http://www.esp.or.id/wp-content/uploads/pdf/toolkit/wsmtoolkit-sla

Page 1

SEKOLAH LAPANGAN ESP

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air



SEKOLAH LAPANGAN ESP Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air



i

Kata Pengantar Foreword

Komponen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan konservasi keanekaragaman hayati ESP memberikan berkontribusi dan peran dalam upaya stabilisasi dan peningkatan penyediaan air di wilayah perkotaan dan semi-perkotaan di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. ESP mengangkat pendekatan berbasis alam untuk meningkatkan pemeliharaan lahan dengan menggabungkan konservasi hutan alam dan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi; perbaikan dan rehabilitasi hutan dan lahan kritis, dan pemanfaatan lahan pertanian berkelanjutan. Selain itu dilakukan juga upaya-upaya yang mendukung peningkatan akses terhadap lahan antara lain dukungan peraturan kepemilikan lahan untuk penanganan hutan berbasis masyarakat yang bertanggungjawab, serta pilihan-pilihan pendanaan kegiatan kelompok masyarakat di kawasan hulu DAS yang telah membantu pemeliharaan lingkungan bagi tersedianya air baku bagi warga di kawasan hilir. Proses Pendekatan utama ESP untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Konservasi Keanekaragaman hayati diawali dengan pemilihan lokasi yang dilakukan melalui proses analisis berbasis GIS (Geographical Information System). Lokasi dipilih dengan mempertimbangkan keseimbangan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati dan rehabilitasi hutan dan lahan kritis di wilayah-wilayah yang berhubungan dengan penyediaan air

ESP’s Watershed Management and Biodiversity Conservation Component contributes to stabilizing and improving the supply of water to urban and periurban population centers in West Java, Central Java, East Java, North Sumatra and Nanggroe Aceh Darussalam. This is achieved through promoting a landscape approach to improved land stewardship that integrates conservation of natural forests with high biodiversity value; restoration and rehabilitation of degraded forests and critical land, especially in areas adjacent to water recharge zones; and sustainable utilization of agricultural land. Enabling conditions for improved land stewardship include policy support for land tenure necessary for responsible community-based forest management, as well as financing options to reward upper-watershed communities for activities that contribute to conserving a stable supply of raw water for their down-stream neighbors. ESP’s main approach to Watershed Management and Biodiversity Conservation starts with site selection through a GIS (Geographical Information System)-based analytical process that ensures sites balance opportunities for biodiversity conservation and critical land rehabilitation in areas clearly linked to the supply of water to urban and peri-urban areas. This is followed by a series of integrated field activities that include community-based Field Schools; field days for bringing together

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


ii bagi wilayah perkotaan dan non perkotaan. Proses ini diikuti dengan serangkaian kegiatan lapangan yang terintegrasi misalnya sekolah lapangan berbasis masyarakat; hari lapangan untuk mempresentasikan hasil-hasil sekolah lapangan kepada komunitas di sub-DAS yang lebih luas, dan pengembangan dan pelaksanaan rencana aksi multipihak untuk meningkatkan fungsi-fungsi ekologis daerah sub DAS. Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk memastikan rencana-rencana aksi yang dilakukan memiliki dampak dan pengaruh positif pada kualitas air serta meningkatkan rehabilitasi hutan dan lahan kritis dan konservasi keanekaragaman hayati. Hal yang tak kalah penting adalah tersedianya sistem untuk program-program komunikasi kesehatan dan kebersihan serta dukungan kegiatan yang berhubungan dengan penyediaan air bersih berbasis masyarakat, sanitasi dan penanganan sampah. Dalam rangka meningkatkan jangkauan hasil pencapaian kerja di wilayah Sub DAS pada skala yang lebih luas, ESP berkejasama dengan mitra-mitra di lapangan yaitu masyarakat setempat, badan pemerintahan, perusahaan air daerah dan sektor swasta. Hal ini juga mendukung upaya pendalaman dan perluasan kegiatan pada wilayah sub-DAS yang sudah termasuk dalam wilayah kerja ESP sebelumnya. Selain itu upaya kerjasama yang mengutamakan penguatan jejaring ini juga dilakukan dalam rangka perluasan kegiatan ke wilayah Indonesia lainnya melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas untuk inisiatifinisiatif Pemerintah Pusat serta dukungan kebijakan yang memungkinkan peningkatan skala kegiatan. Pada tiga tahun pertama pelaksanaan program, ESP berfokus pada baseline kondisi lapangan dan rancangan kegiatan-kegiatan lapangan yang efektif dan membangun

results of community Field Schools in a broader sub-catchment context, multistakeholder Action Plan development and implementation to improve sub-catchment ecological functions, and monitoring and evaluation to ensure Action Plans are making an impact on factors including but not limited to water quality, critical land rehabilitation and biodiversity conservation. Importantly, health and hygiene communications as well as service delivery support in community-based clean water, sanitation and solid waste management systems are also provided. ESP works with field-based partners from local communities, government agencies, municipal water companies and the private sector to leverage the results of subcatchment achievements to a broader scale. This includes deepening and expanding activities in existing watersheds of ESP work sites as well as expanding to new areas across Indonesia through training and capacity building for national government initiatives as well as policy support to provide enabling conditions for scaling-up. During the first three years of the program, ESP focused on establishing effective field activities and building strong networks of community, government and civil society partners. During the final two years of the program, ESP increased its emphasis on leveraging of partners to expand and sustain this work, and to ensure a legacy of impact is sustained into the future through strengthening local and national leadership. This five-series toolkit is based on the inputs of ESP staff and stakeholders and draws from nearly five years of field experience. The toolkit includes a broad range of best practices and lessons learned intended to SEKOLAH LAPANGAN ESP


iii jejaring yang kuat di kalangan masyarakat dan pemerintah. Sedangkan pada dua tahun terakhir pelaksanaan program, ESP menekankan pada usaha-usaha perluasan hasil kegiatan sehingga jejak keberhasilan dapat diteruskan di masa depan melalui penguatan kepemimpinan lokal dan nasional.

supplement already existing government guidelines. It is expected that users of this toolkit can adapt and apply these practices to fit their unique opportunities and achieve more successful and effective watershed management. The five volumes include:

Rangkaian buku panduan yang terdiri dari lima buku ini memuat saran dan usulan seluruh staf, dan mitra kerja ESP berdasarkan pengalaman bekerja selama lima tahun di lapangan. Panduan ini merupakan pelengkap dari beberapa pedoman terkait yang ada yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan diharapkan dapat diadaptasi oleh pembacanya untuk pengelolaan daerah aliran sungai yang lebih berhasil dan efektif. Kelima buku tersebut adalah:

1. Satu Kelola Satu Rasa Satu Aksi Terpadu Sejuta Manfaat: Sebuah Panduan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Skala Kecil (One Management, One Approach, One Action are Integrated to Become a Million Benefits: Small-scale Watershed Management Manual) Introduces effective small-scale watershed management, including methods for local action and collaborative management.

1. Satu Kelola Satu Rasa Satu Aksi Terpadu Sejuta Manfaat: Sebuah Panduan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Skala Kecil Sebuah pengantar pengelolaan DAS skala kecil yang efektif, termasuk metode kegiatan lokal dan pengelolaan bersama. 2. Panduan Perlindungan Sumberdaya Air Buku ini memuat panduan kegiatan perlindungan sumber air termasuk perencanaan perlindungan sumber air, pembuatan batas-batas daerah tangkapan air dan monitoring dan evaluasi. 3. Pemilihan Lokasi Partisipatif Buku ini berisi aspek-aspek teknis dan sosial selama kegiatan fasilitasi pemilihan lahan untuk pengelolaan DAS yang efektif. 4. Sekolah Lapangan ESP Membangun Kemandirian Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Buku

2. Panduan Perlindungan Sumberdaya Air (Spring Resource Protection) Presents a guide for developing water resource protection activities, including water resource protection planning, boundary delineation of recharge zones, and monitoring and evaluation. 3. Pemilihan Lokasi Partisipatif (Participatory Site Selection) Explores the technical and social aspects of facilitating a technically rigorous and socially supported site selection process for effective watershed management. 4. Sekolah Lapangan ESP Membangun Kemandirian Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air (ESP Field Schools Build Community Independence in Water Resource Management) Highlights the many ways communities work to improve

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


iv ini berisi beragam kegiatan masyarakat untuk meningkatkan kondisi DAS dan mencapai ketahanan lingkungan hidup, sosial dan lingkungan hidup yang berkesinambungan. 5. Panduan Penyelenggaraan Sekolah Lapangan ESP Buku ini mengeksplorasi pendekatan “sekolah tanpa dinding” untuk pengelolaan DAS, berfokus pada pendekatan berbasis ekologi air ESP untuk pembangunan perikehidupan yang berkelanjutan. Penghargaan perlu kami berikan kepada seluruh pihak di Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah serta mitra kerja lainnya yang terlibat dalam penyusunan buku panduan ini. Solusi yang berkesinambungan dari pengelolaan DAS tidak akan tercapai tanpa kerjasama yang saling menguntungkan dan dukungan semua pihak yang terlibat tersebut. Besar harapan kami materi panduan dapat diaplikasikan di wilayah lain di Indonesia.

watersheds and achieve environmental, social and economic resilience and sustainability. 5. Panduan Penyelenggaraan Sekolah Lapangan ESP (Facilitation of ESP Field Schools) Explores the “school without walls” approach to watershed management, focusing on ESP’s water ecology-based approach to sustainable livelihoods development. Appreciation goes to both National and Local government agencies as well as other colleagues, friends, and partners that have played a role in the development of this toolkit. Sustainable solutions to watershed management would not be attainable without their mutual collaboration and dedicated support. It is our sincere hope that the resources in this toolkit are applied to sustain on-going work and to expand this work into new areas across Indonesia.

Alfred Nakatsuma Director Environment Office USAID

Ir. Basah Hernowo, MA Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Bappenas Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Reed Merrill Watershed Management Advisor, ESP

Dr. Ir. Silver Hutabarat, M.Si Direktur Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Departmen Kehutanan SEKOLAH LAPANGAN ESP


v

Ringkasan Eksekutif Executive Summary

Proses Sekolah Lapangan ESP (SL ESP) merupakan serangkaian kegiatan sampai dengan tersususnnya rencana aksi masyarakat yang akan emnjadi landasan yang kuat untuk memperbaiki wilayah sumber daya airnya sehingga ketersediaan air bersih akan mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pendekatan ini lebih menekankan proses pendidikan untuk masyarakat untuk mempelajari dan memahami kondisi sumberdaya air yang ada di wilayahnya masingmasing. Fokus utama dari buku ini adalah untuk memberikan informasi tentang bagaimana pengorganisasian dilakukan untuk membangun landasan yang kuat bagi pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan. Bab 1 memberikan informasi tentang apa itu pendekatan Sekolah Lapangan ESP (SL ESP), termasuk prinsip dan karakteristik, langkah-langkah dan pelaku SL ESP. Bab berikutnya, dari Bab 2 sampai Bab 6 menguraian secara rinci langkah-langkah bagaimana menyelenggarakan setiap tahapan SL ESP, yaitu tahap persiapan SL ESP, tahap kajian dan pembelajaran, tahap penyusunan rencana aksi, tahap pelaksanaan aksi rintisan dan Hari Temu Lapangan. Bab 7 menjelaskan tentan kegiatan tindak lanjut dari aksi rintisan. Bab 8 menginformasikan secara spesifik informasi yang terkait dengan penjagaan kualitas kegiatan SL ESP dengan fokus

The Field School process culminates in a set of participant-developed Action Plans which serve as the foundation for the implementation of community-based water resource management approaches and activities. This book discusses lessons learned and best practices related to the implementation of the ESP Field School. The main focus of this toolkit is to provide information on how to conduct community organization, which serves as the foundation for sustainable water resources management. Chapter 1 introduces the ESP Filed School approach, including the principles and charecteristics, steps, and people involved. The following chapters, from Chapter 2 to 6, provide detailed descriptions of each step in the ESP Field School approach. This includes Field School preparation, assessment and learning steps, Action Plan development, implementation of initial Action Plans, Field Day. Chapter 7 discusses follow-up activities following the initial action. Chapter 8 provides specific information regarding maintaining the quality of the Field School process, with a focus on the importance of monitoring and evaluation. Finally, the last chapter, Chapter 9, describes 13 success stories taken from across the ESP provinces. It is hoped that this book serves as a meaningful resource for policy makers at

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


vi pentingnya melakukan monitoring dan evaluasi. Akhirnya bab terakhir adalah Bab 9 memaparkan 13 cerita keberhasilan yang diambil dari berbagai wilayah regional ESP. Buku ini sangat cocok dibaca oleh para penentu kebijakan baik Pemerintah pusat maupun daerah, karena buku ini akan memberikan inspirasi untuk pengembangan kegiatan program pemberdayaan masyarakat. Bagi para Program Manajer dari lembaga-lembaga yang bekerja untuk mendukung pemberdayaan masyarakat juga disarankan untuk membaca buku ini karena sangat bermanfaat untuk memperkaya pendekatan-pendekatan bekerja dengan masyarakat bagi organisasinya masingmasing. Buku ini dapat memberikan inspirasi dan menggugah pembaca sehingga programprogram penguatan dan pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan untuk mendukung perbaikan pengelolaan sumberdaya air. Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah meluangkan waktu untuk menulis buku ini, memberikan gagasan, ide dan pemikiran terhadap buku ini, serta berembuk dan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang telah memberikan kontrobusi untuk penulisan buku ini.

the national and local government level and promotes inspiration for the developemnt of programs that empower communities and encourage their active role in conservation efforts. For program managers of organizations and institutions supporting a community empowerment method to conservation, it is hoped that this book enriches their approach to working with their respective community groups. Most importantly, this book wishes to inspire people and offer support for community empowerment programs related to water resource management. We would like to sincerely thank all friends, colleagues, stakeholders, and partners who inspired the content of this book, with a special appreciation for those community groups who have actively engaged in the ESP Field School program and who provided the foundation for this toolkit.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


vii

Penulis

Penulis Utama: Nanang Budiyanto Tim Penulis:

Widyastama Cahyana Alifah Sri Lestari Aditiajaya Arief Lukman Hakim

Chief Editor:

Reed Merril

Tim Editor:

Russ Dilts, Wouter Sahanaya

Editor Bahasa:

Ardita Caesari

Ilustrator:

Triyanto Purnama Adi

Tata Letak:

Stanley Ardityabrata Irfan Toni Herlambang Pryatin Mulyo Santoso

Kredit Foto:

Dina kartika Sari, Akbar Ario Digdo, Ridahati Rambey, Sukirman, Dhina Mustikaningrum, Bisri, Arief Sulistyo, Sabdo Sumartono, Naomi Distrina Ginting , Nanang Budiyanto, Judy Kurniawan, Widyastama Cahyana, Ismari, Ferry Hestiningroom, Sigit Widodo, Aditiajaya, Maya Melliani, Eri Arianto, Arief Lukman Hakim, Christina H. Putri, Elis S. Widyaningsih.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


viii

SEKOLAH LAPANGAN ESP


ix

Daftar isi

Kata Pengantar

i

Ringkasan Eksekutif

v

Penulis

vii

Daftar isi

ix

Pengertian Sekolah Lapangan ESP ” Cerdaskan Rakyat Perbaiki Perikehidupan” 1.1. Krangka Pemikiran 1.2. Arti, Prinsip, dan Ciri Sekolah Lapangan 1.3. Tahapan Sekolah Lapangan 1.4. Pelaku Sekolah Lapangan

1 1 3 4 7

Tahap Persiapan ”Program Bermanfaat pada Tempat yang Tepat”

9

Tahap Kajian dan Pembelajaran “Belajar dengan Alam untuk Tingkatkan Kualitas Hidup”

11

Tahap Penyusunan Rencana Aksi “Merancang Aktivitas Berbasis Realitas”

15

Tahap Penerapan Aksi ”Belajar dan Bergerak Bersama” 5.1. Sekolah Lapangan Pengelolaan Kebun Campur (SL PKC) 5.2. Sekolah Lapangan Pengelolaan Kawasan Konservasi 5.3. Sekolah Lapangan Pengelolaan Lahan dan Hutan 5.4. Sekolah Lapangan Pengelolaan Air Baku 5.5. Sekolah Lapangan Pengelolaan Sanitasi

17 18 19 20 20 21

Hari Temu Lapangan ”Kampanye Proses dan Hasil Sekolah Lapangan untuk Menggalang Dukungan”

23

Tahap Tindak Lanjut Pengembangan ”Mandiri dan Kolaborasi untuk Keberlanjutan”25 7.1. Penguatan Kelompok Berbasis Desa 26 7.2. Pengembangan Jaringan Kerjasama 27 Monitoring dan Evaluasi ”Menjawab Persoalan dengan Cepat dan Lugas” Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

29


x

8.1. Profil Kualitas Komponen Sekolah Lapangan 8.2. Profil Kualitas Hasil Sekolah Lapangan 8.3. Bentuk-bentuk Monitoring dan Evaluasi

29 32 33

Cerita Keberhasilan

34

Lampiran - Contoh Materi Belajar dari Berbagai Tema Sekolah Lapangan

53

Dftar Singkatan

59

SEKOLAH LAPANGAN ESP


PENGERTIAN SEKOLAH LAPANGAN ESP ” Cerdaskan Rakyat Perbaiki Perikehidupan”

1.1. Kerangka Pemikiran Pada tahun 1989, sebuah pendekatan pendidikan petani yang diberi nama ”Sekolah Lapangan”, dikembangkan melalui Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Program ini didukung oleh USAID melalui kerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Bantuan Teknis dari FAO. Sekolah Lapangan PHT (SL PHT) membawa warna baru pada dunia penyuluhan pertanian dan mampu menciptakan perubahan pada masyarakat tani yang begitu luar biasa. Keberhasilan SL PHT dalam meningkatkan kapasitas petani mendapat sambutan hangat banyak pihak. Program pertanian mulai menerapkan berbagai pola ”Sekolah Lapangan” untuk membangun partisipasi masyarakat. Pada tahun 2006, ESP USAID menggunakan pola pendekatan Sekolah Lapangan ini untuk membangun kerangka pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air. Prinsip-prinsip sekolah lapangan secara konsisten dijalankan dengan proses yang sistimatis. Lokasi untuk menyelenggarakan sekolah lapangan dipilih secara cermat dengan struktur dan kriteria seleksi yang menyeluruh. Prinsip ”Program bermanfaat pada tempat yang tepat” dijalankan dengan konsep ”Pemilihan Lokasi Partisipatif”. Sedangkan untuk memberi garansi keberlanjutan program, dibentuk organisasi pengelola sekolah lapangan yang melibatkan para pihak.

1. Belajar dengan Alam dan Kehidupan ”Pendidikan adalah landasan pembebasan dan perubahan”, sebuah kalimat pendek yang menjadi jiwanya pemberdayaan manusia. Merujuk pada kalimat bijak tersebut, hampir semua program pembangunan menyediakan ruang untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Upaya membangun partisipasi masyarakat dilakukan dengan berbagai konsep pendekatan pendidikan partisipatif yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Panduan belajar berbasis Pendidikan Orang Dewasa (POD) terus mengalami perbaharuan untuk menyesuaikan dengan dinamika sosial masyarakat. Sekolah lapangan yang dikembangkan sejak tahun 1990, juga mengalami pembaharuan, khususnya tema belajarnya. Selain memperkaya materi belajar pada sekolah lapangan, Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

1


2 ESP juga memperlebar ruang untuk proses belajarnya. Proses belajar masyarakat dengan alam lebih diperluas dengan bentang alam berbasis daerah aliran sungai. Kegiatan pengamatan lapangan, penggambaran dan analisis kondisi, pengambilan keputusan, dan penerapannya, dijalankan dengan standar kualitas yang terjaga. ESP meletakkan sekolah lapangan sebagai pintu masuk sebuah sistem pengelolaan kawasan secara terpadu, dimana masyarakat setempat beserta multi pihak mengambil peran utama sebagai pengelolanya.

2. ”Benang Biru” untuk Keberlanjutan Hidup ”Langit biru, sinar mentari menembus beningnya air. Pohon berbaris menahan jatuhnya air hujan”, sepenggal puisi alam dari seorang murid SD Salaman, Magelang. Meskipun kerinduan akan kelestarian dan keindahan alam diungkapkan dengan rangkaian kata sederhana, akan tetapi kandungan maknanya begitu bertenaga. Kita seperti diingatkan, bahwa warisan alam yang akan diberikan pada anak cucu, mestinya dalam kondisi yang indah dan seimbang. Pendidikan lingkungan yang dikembangkan oleh ESP di sekolahnya, telah mendorong mereka untuk menyuarakan konservasi alam. ESP USAID menarik ”benang biru” untuk mendorong perbaikan kesehatan masyarakat sekaligus perikehidupannya melalui perbaikan kondisi sumber daya air. Program ini dijalankan secara terpadu dalam kawasan hulu hilir dan melibatkan multi pihak. Pengelolaan daerah tangkapan dan sumber air, distribusi dan pemanfaatan air, dikembangkan untuk memberi jaminan ketersediaan air secara kuantitas, kualitas, dan kontinuitas. Kawasan hutan, kebun campur dan lahan pertanian, selain merupakan daerah tangkapan air juga menjadi sumber perikehidupan masyarakat. Oleh karena itu, rasa saling peduli antar kelompok masyarakat dan para pihak harus dibangun dengan sistem imbal jasa lingkungan yang formal dan berkelanjutan. ESP menjalankan programnya secara terfokus dalam kawasan khusus dengan beberapa pilihan model pendekatan. Kegiatan yang berkelanjutan dilakukan pada titik-titik strategis dan memberi peluang semua pihak untuk mengembangkan program ini di wilayah kerja mereka.

3. Antara Pemberdayaan Manusia dengan Pengelolaan Alam Pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan alam ibarat sekeping uang logam yang dua sisinya tidak terpisahkan. Masyarakat tinggal dan menggantungkan hidupnya dengan sumber daya alam, sehingga kapasitasnya menjadi modal untuk memperoleh nilai-nilai manfaat dari potensi alam. Keselarasan antara masyarakat dengan alam lingkungannya sudah berjalan dari generasi ke generasi. Banyak nilai-nilai yang mereka sepakati terkait pengelolaan alam menjadi sebuah budaya atau ritual sosial. Oleh karena itu, program yang bergerak pada bidang pengelolaan lingkungan tidak mungkin dijalankan sendiri tanpa melibatkan secara aktif masyarakat setempat. Sekolah lapangan merupakan pintu masuk strategis ke dalam sistem pengelolaan daerah aliran sungai. Proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pada beberapa kelompok masyarakat dalam satu kawasan DAS mikro merupakan pijakan untuk membangun pola kerjasama antar kelompok. Pengelolaan sebuah kawasan yang dibatasi oleh unsur SEKOLAH LAPANGAN ESP


3 ekologis dapat dijalankan jika simpul-simpul di kelompok masyarakat kuat. Meskipun aktivitas nyata mereka jalankan di desa masing-masing, tetapi penyebab dan dampaknya selalu terkait dengan desa tetangga. Oleh karenanya, jejaring antar kelompok masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk dibangun sebelum mereka merintis kerjasama yang lebih luas dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan.

1.2. Arti, Prinsip, dan Ciri Sekolah Lapangan Secara sederhana, sekolah lapangan dimaknai sebagai �sekolah tanpa dinding� dalam pengertian terbuka dan tidak kaku. Sekolah ini membangun nuansa belajar yang partisipatif dan menyediakan ruang terbuka bagi masyarakat untuk mengembangkan kapasitasnya dalam rangka menguasai dunia perikehidupannya. Nilai-nilai Pendidikan Orang Dewasa yang menjadi dasar manajemen belajar, dikemas dalam berbagai metode praktis dan dijalankan secara sistimatis. Sekolah Lapangan adalah proses belajar dengan alam, dimana realitas alam menjadi guru, buku sekaligus laboratorium untuk menguji pengalaman. Sekolah Lapangan ESP lebih ditekankan pada upaya mencerdaskan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan terkait persoalan sumber daya air dan kesehatan masyarakat.

MENGALAMI

Siklus Belajar Lewat Pengalaman adalah pedoman dasar dari proses belajar di sekolah lapangan. Tahapan pemahaman dimulai dari menggali pengalaman peserta lewat kegiatan pengamatan lapangan. Hasil pengamatan diungkap dan dianalisa secara bersama untuk proses pengambilan kesimpulan dan keputusan. Selanjutnya kesimpulan dan keputusan mereka diterapkan untuk memperoleh pengalaman baru. Simbul proses belajar ini menggunakan latar belakang huruf G dengan pengertian �Generation of Knowledge� atau penciptaan pengetahuan baru lewat kajian pengalaman.

Sekolah Lapangan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Kesetaraan: setiap warga belajar memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk belajar dan berpendapat, 2. Keterbukaan: tidak sekadar pada unsur warga belajarnya tapi materi belajar, tempat dan sarana serta pola penyelenggaraannya, 3. Ekologis: dilandasi oleh kaidah-kaidah konservasi alam, 4. Masyarakat sebagai subyek: meningkatkan kemampuan masyarakat dan menjadikan mereka ahli dalam mengelola lingkungannya.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


4 Sedangkan ciri-ciri Sekolah Lapangan adalah sebagai berikut; 1. Proses belajar berdasar pada �Siklus Belajar Lewat Pengalaman�, 2. Kurikulum belajar terpadu dengan kebutuhan dan sesuai dengan perikehidupan masyarakat, 3. Sarana belajar adalah realitas alam dan lingkungan sosial setempat. 4. Jadual belajar dilakukan secara berkala dan disesuaikan dengan ketersediaan waktu masyarakat, musim serta siklus usaha.

Agenda Pertemuan Belajar Sekolah Lapangan 1. Kegiatan Lapangan untuk pengambilan data 2. Diskusi Analisa Kondisi dan Pengambilan Keputusan 3. Presentasi hasil diskusi danperumusan 4. Dinamika Kelompok 5. Pembahasan Topik-topik Tematik. Agenda pertemuan, topik dan proses belajar termasuk pembagian waktunya disepakati bersama dalam kontrak belajar yang dilakukan di setiap awal.

Proses belajar dengan alam lebih ditekankan untuk membangun kecerdasan dan mengembangkan daya kritis. Sekolah ini bukan sarana untuk pemindahan atau pengalihan teknologi atau perubahan perilaku melalui penyajian informasi, melainkan mengutamankan kajian pengalaman untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Setiap warga belajar didorong untuk mampu mengamati realitas, mengungkapkan pengalaman dan gagasan, menganalisa fakta, mengambil keputusan, dan melakukan aktivitas secara bersama. Mereka berposisi sebagai subyek untuk memimpin sendiri dan memotori proses belajar dan aksi bersama secara bertahap dan berkelanjutan.

Sekolah Lapangan diselenggarakan di satu kelompok masyarakat yang memiliki kedekatan hubungan kerja dan kesamaan kepentingan. Mereka hidup di satu kawasan lingkungan alam dari satu hamparan atau satu mikro DAS. Pesertanya berkisar antara 25 sampai 30 orang perwakilan masyarakat dengan keseimbangan peran laki-laki perempuan. Pemilihan peserta ini merupakan hasil kesepakatan bersama yang dilakukan pada pertemuan awal Sekolah Lapangan. Sekolah lapangan mempunyai rangkaian kegiatan yang dijalankan secara bertahap. Lima tahapan utama sekolah lapangan adalah; (1) Persiapan, (2) Pembelajaran, (3) Penyusunan Rencana Aksi, (4) Penerapan Aksi Rintisan, dan (5) Tindak Lanjut Pengembangan Program.

AKBAR ARIO DIGDO

1.3. Tahapan Sekolah Lapangan

Peserta sekolah lapangan di kawasan Sungai Tangsi, Magelang menyiapkan peta dasar desa untuk proses pembelajaran dan pengkajian perikehidupan.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


5 Proses pelaksanaan kegiatan pada setiap tahapan ibarat membangun sebuah rumah dengan urutan dan hasil kegiatan yang berkesinambungan. Keseluruhan tahapan Sekolah Lapangan dijalankan sekitar 7-8 bulan dimana pertemuan berkala umumnya dilakukan dengan interval mingguan. Setiap pertemuan selama 3-4 jam digunakan sebagai “ruang belajar� untuk menata pemahaman dan menetapkan aksi bersama. Tahap pembelajaran dan perencanaan serta tahap penerapan aksi rintisan dijalankan dengan menyelenggarakan sekitar 16 kali pertemuan. Sedangkan tahap tindak lanjut pengembangan dikelola masyarakat secara swadaya.

2. Tahap pembelajaran merupakan langkah awal dalam membangun partisipasi masyarakat. Peserta sekolah lapangan secara kritis mencoba memahami kondisi perikehidupan desanya dengan sistematika yang jelas. Mereka menelusuri, membaca dan menata informasi tentang kondisi lapangan dalam berbagai bentuk seperti data, peta dan foto. Analisa kondisi dilakukan dengan mengurai fakta dan hubungan sebab-akibat dari berbagai hal seperti: kecenderungan perubahan dari waktu ke waktu, pola / siklus aktivitas dan kejadian di desa, serta hubungan fungsional antara masyarakat dengan berbagai institusi yang ada di desa. 3. Tahap penyusunan rencana aksi Kelompok masyarakat di Desa Serdang, Sumatera Utara sebenarnya menjadi satu kegiatan mengamati kondisi studi lapangan tanaman jeruk. Kegiatan ini merupakan bagian dari proses belajar di sekolah lapangan dengan tahap pembelajaran. Pada tahap tahap aksi rintisan. ini peserta sekolah lapangan menyusun profil desa dan rencana aksi desa berdasar hasil kajian yang mereka lakukan pada tahap pembelajaran. Dalam menyusun rencana aksi, masyarakat memadukan antara profil desa impian mereka dengan kajian terhadap modal-modal perikehidupan desa yang mereka miliki. 4. Tahap penerapan aksi rintisan ibarat tahap pembelajaran fase ke dua. Pada tahap ini masyarakat menjalankan rencana aksinya setelah dilakukan analisa skala prioritas. Proses belajar lebih bersifat teknis dengan melakukan aksi yang nyata. Pada tahap ini

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

Ridahati Rambey

1. Tahap persiapan berfungsi sebagai proses membangun pondasi untuk sekolah lapangan. Pada tahap ini dilakukan Seleksi Lokasi, Pelatihan Pemandu Desa, Pert emuan Orientasi Program dan Pertemuan Pendahuluan. Proses pemilihan lokasi, pemandu desa, peserta sekolah lapangan menjadi kunci terjaminnya kualitas dan capaian sekolah lapangan. Oleh karena itu pengenalan wilayah secara mendalam menjadi sangat penting sebelum menentukan pilihan.


6

5. Tahap pengembangan ibarat mendirikan rumah baru kemandirian masyarakat sekaligus menjadi sebuah bukti terjadinya peningkatan kapasitas mereka. Berdasarkan fungsinya, tindak lanjut kegiatan masyarakat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) Penguatan program berbasis desa, dan (2) Pengembangan jaringan kerjasama. Kegiatan seperti pengembangan model aksi rintisan, studi lapangan, sekolah lapangan oleh pemandu Sugianto (Pemandu Desa Hargobinangun, Sleman) mempresentasikan proses dan hasil perencanaan desa, dan penyusunan peraturan desa dilakukan untuk program pengelolaan kawasan konservasi di untuk memperkuat dampak sekolah lapangan depan para pihak terkait. di desanya. Sedangkan kegiatan pertemuan perencanaan lintas desa, pelatihan teknis bersama, penyusunan rencana dan pelaksanaan aksi pengelolaan kawasan termasuk forum pengelolanya, menjadi bentuk pengembangan jaringan kerjasama lintas desa dan multi pihak.

Rangkaian kegiatan dalam satu siklus sekolah lapangan ini dijalankan secara bertahap dan sistimatis dengan selalu menjaga kualitas pelaksanaannya.

SEKOLAH LAPANGAN ESP

Sukirman

masyarakat mendapatkan pengalaman baru dalam melakukan, mengorganisir, mengendalikan dan mengevaluasi sebuah program yang mereka rancang sendiri. Pengalaman mereka akan menjadi pedoman sekaligus bahan pertimbangan untuk menentukan langkah-langkah tindak lanjut.


7 Sekolah lapangan sebenarnya tidak ada batasan kapan akan ditutup, tetapi akan selalu terbuka sesuai perkembangan aksi masyarakat. Setiap selesai satu periode sekolah lapangan selalu dimungkinkan untuk dilanjutkan dengan sekolah lapangan lain untuk memperluas maupun memperdalam pembelajaran. Semakin luas jaringan kerjasama masyarakat, akan semakin besar energi untuk menjaga keberlanjutan sekolah lapangan.

1.4. Pelaku Sekolah Lapangan

• Pemandu Lapangan Pemandu lapangan adalah staf lembaga pengelola program yang direkrut dari daerah di mana program akan dijalankan. Sebelum menjadi pemandu lapangan, mereka harus ikut Training of Trainer (ToT). Kegiatan pelatihan yang biasanya diselenggarakan selama satu musim (3-4 bulan) ini, bertujuan untuk membangun kapasitas mereka dalam mengelola sekolah lapangan. Selain menjadi fasilitator, mereka juga dipersiapkan untuk menjadi manajer kawasan. Sebagai manager kawasan, para pemandu lapangan didorong untuk terus mengembangkan kapasitasnya dalam membangun jaringan kerja dengan para pihak.

Peserta Sekolah Lapangan di Desa Sumberejo, Jawa Timur secara berkelompok mempraktekkan bagaimana merakit teknologi sederhana Biogas

Bisri

• Peserta Sekolah Lapangan Peserta sekolah lapangan adalah masyarakat setempat yang mempunyai hubungan kerja atau sosial dengan tema sekolah lapangan. Peserta dipilih melalui proses pemahaman akan pola penyelenggaraan SL termasuk pengarusutamaan gender. Keterlibatan kaum perempuan memang diutamakan untuk memberi ruang keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan. Ketersediaan waktu untuk terlibat secara penuh juga menjadi kriteria pemilihan peserta Sekolah Lapangan.

Dhina Mustikaningrum

Pada prinsipnya, sekolah lapangan adalah milik masyarakat. Oleh karena itu, rasa memiliki (ownership) masyarakat mesti dibangun sejak awal. Pengorganisasian Sekolah Lapangan meskipun dijalankan secara sederhana, tetapi peran dan fungsi orang yang terlibat sangat jelas. Sekolah ini tidak mengenal istilah guru dan murid, tetapi peserta dan pemandu. Ada empat pelaku yang terlibat aktif dalam penyelenggaraan sekolah lapangan, yaitu peserta, pemandu lapangan, pemandu desa, dan tim monitoring.

Ismari (Pemandu Lapangan) dari Malang, Jawa Timur berperan sebagai mediator antara nara sumber dan masyarakat Desa Benjor dalam kegiatan pelatihan pengelolaan air minum.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


• Pemandu Desa Pemandu desa dipilih dari desa tempat akan diselenggarakan sekolah lapangan. Proses pemilihan didasarkan pada masukan dari kepala desa dan tokoh masyarakat setempat. Selain pamong desa dan pegawai pemerintah, orang yang berpengalaman langsung sesuai tema SL menjadi kriteria seleksi. Kemampuan komunikasi lisan dan tertulis juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan calon Pemandu Desa dari kawasan Sungai Jlegong, Wonogiri Pemandu Desa. Peran pemandu desa pada memperagakan metode analisa tanah secara sederhana pada peserta sekolah lapangan siklus pertama sekolah lapangan lebih sebagai penggerak masyarakat. Sedangkan pada tahap pengembangan, mereka dapat berperan sebagai pemandu sekolah lapangan. Pemandu desa ini bersifat dinamis dan dapat diganti dengan peserta sekolah lapangan berdasarkan kapasitas dan keputusan masyarakat. Untuk mempersiapkan mereka menjadi pemandu desa, mereka terlibat dalam 7 hari pelatihan pemandu. • Tim Monitoring dan Evaluasi Tim Monitoring dan Evaluasi berfungsi untuk memantau dan menjaga kualitas pelaksanaan sekolah lapangan, sekaligus menjadi jembatan bagi kelompok-kelompok Sekolah lapangan untuk menjalin kerjasama dan menggalang dukungan dari mitra dalam rangka keberlanjutan pengembangan program. Timini beranggotakan para kepala desa, perwakilan instansi teknis terkait, dan LSM lokal, dan merupakan salah satu komponen dalam pembentukan Forum Masyarakat Pengelola Kawasan. Pembentukan Tim Monitoring dan Evaluasi dilakukan pada saat pertemuan orientasi program, dimana selain membentuk tim, juga menghasilkan rencana monitoring dan matrik kualitas sekolah lapangan.

SEKOLAH LAPANGAN ESP

Arief Sulistyo

8


TAHAP PERSIAPAN

9

�Program Bermanfaat pada Tempat yang Tepat�

1. Pemilihan Lokasi: Kawasan hidrologis dalam batas sub-sub Daerah Aliran Sungai (DAS Mikro) ditentukan dengan menerapkan konsep �Pemilihan Lokasi Partisipatif�. Proses seleksi lokasi ini dilakukan sampai pada penentuan desa yang akan menjadi lokasi sekolah lapangan. Potensi ekologis seperti kawasan konservasi, kondisi tata guna lahan, kemiringan, hidrogeologi termasuk kekayaan keanekaragaman hayati, serta luasan lahan kritis menjadi bahan pertimbangan utama. Pertimbangan lain adalah potensi sosial ekonomi, seperti kepadatan penduduk, kesehatan masyarakat, sistem sanitasi dan suply air bersih, serta dinamika sosial masyarakat. Selain pengolahan data sekunder dengan proses tumpang tindih data spatial, proses pemilihan lokasi juga didasarkan pada hasil survey lapangan. Kegiatan survey ini bertujuan untuk memferivikasi data sekunder sekaligus mengidentifikasi realitas dan masalah di tingkat lapangan.

SABDO SUMARTONO

Sebelum menjalankan sekolah lapangan, hal yang mesti dipertimbangkan adalah menetapkan lokasi yang tepat untuk mengembangkan program. Oleh karena itu, sekolah lapangan perlu dipersiapkan, seperti pemilihan lokasi, penentuan tempat dan peserta sekolah lapangan, serta kesepakatan pola penyelenggaraannya. Ada empat kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan, yaitu:

Bagan Development Pathway (peta susun tumpuk) yang menjadi pedoman pemilihan lokasi sekolah lapangan.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


10 2. Pertemuan Pendahuluan: Sebelum SL dimulai, pemandu desa melakukan orientasi lapangan dan pengumpulan data desa yang hasilnya akan dibahas dalam pertemuan pendahuluan. Kontrak belajar menjadi agenda utama pertemuan yang melibatkan sekitar 40 orang masyarakat lokal untuk dilakukan kesepakatan pemilihan peserta SL sebanyak 25-30 orang. Kesepakatan tentang peserta, tempat dan waktu, serta organisasi penyelenggaraan sekolah lapangan merupakan hasil utama pertemuan ini. Selain ke dua kegiatan tersebut, beberapa regional (wilayah kerja) melakukan dua kegiatan tambahan pada tahap persiapan sekolah lapangan, yaitu:

3. Pelatihan Pemandu Desa: Setiap desa dipilih 2 orang perwakilan masyarakat yang akan berperan sebagai pemandu desa. Kriteria calon pemandu desa, antara lain; (1) masyarakat biasa (bukan tokoh), (2) mempunyai pengalaman dalam pengelolaan lahan dan hutan atau aktivitas kesehatan masyarakat, (3) lancar berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Untuk membentuk mereka menjadi pemandu desa dilakukan pelatihan selama satu pekan dengan 3 materi belajar, yaitu metode kepemanduan, proses perencanaan dengan metode Sustainable Livelihood Assessment (SLA), topik teknis terkait ESP dan proses penyelenggaraan Sekolah Lapangan.

Akbar Ario Digdo

Para peserta Pelatihan Pemandu Desa (ToT) di Kawasan Sungai Tangsi, Magelang melakukan pengamatan dan analisa kondisi hutan terkait fungsi tangkapan air.

4. Pertemuan Orientasi Program: Pertemuan ini melibatkan para pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, LSM dan forum masyarakat, serta pelaku usaha setempat. Pertemuan yang diselenggarakan pada hari terakhir pelatihan pemandu desa, bertujuan untuk membangun pemahaman dan komitmen para pihak untuk memberi dukungan pelaksanaan sekolah lapangan. Salah satu hasil nyata dari pertemuan ini adalah terbentuknya Tim Monitoring dan Evaluasi Sekolah Lapangan termasuk rencana kerjanya.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


TAHAP KAJIAN DAN PEMBELAJARAN “Belajar dengan Alam untuk Tingkatkan Kualitas Hidup�

Pada tahap pembelajaran, 25 orang peserta sekolah lapangan terlibat aktif dalam proses membaca dan mengkaji modal perikehidupan desa. Metode kajian perikehidupan berkelanjutan (Sustainable Livelihood Assessment /SLA) dipilih sebagai alat untuk proses diskusi dan pengambilan keputusan bersama. Metode SLA ini terdiri dari aneka metode analisa seperti pemetaan, analisa kecenderungan, kalender, posisi, masalah, dan analisa strategi. Secara berurutan metode analisa ini dipraktekkan dengan menyelenggarakan 67 kali pertemuan berkala. Rumusan profil desa dan Rencana Aksi Masyarakat adalah hasil akhir dari proses ini. Secara singkat proses kajian modal perikehidupan adalah sebagai berikut: 1. Kesepakatan Tema Kegiatan: Sebelum proses perencanaan dimulai, perlu diadakan kesepakatan tema aktivitas sesuai dengan bidang kerja program (ESP). Hal ini perlu dilakukan di awal agar ruang lingkup pembahasan masyarakat tidak terlalu luas, sehingga bisa memiliki fokus yang jelas. Pemahaman daerah aliran air dengan analisa potensi dan permasalahannya dibahas untuk menggiring masyarakat pada tema air sebagai acuan pembahasan. Untuk memperluas pemahaman masyarakat dapat ditambah dengan dikusi tentang konsep bersih dan konservasi. 2. Identifikasi dan Penggolongan 5 Modal Perikehidupan: Mencatat apa yang dimiliki oleh sebuah desa akan sangat menjemukan, karena begitu banyak dan variatif. Demikian juga, kumpulan data seperti tertuang pada monografi desa sering tidak diperhatikan. Oleh karena itu diperlukan klasifikasi sederhana yang mudah dipahami semua orang. Untuk memahami klasifikasi modal perikehidupan desa dilakukan dengan diskusi studi kasus tentang kegagalan seseorang yang disebabkan oleh banyak faktor. Melalui diskusi ini ditarik kesepakatan tentang klasifikasi modal desa dalam 5 kelompok, yaitu; (1) Modal Manusia, Alam, Sosial, Fisik, dan Finansial. 3. Pemetaan Kawasan: Pemetaan desa adalah awal dari proses pemahaman masyarakat akan kondisi nyata dari desa mereka yang terkait dengan perikehidupan masyarakat. Proses ini dimulai dengan pemahaman apa itu peta, manfaat dan cara membuat. Termasuk jenis dan klasifikasi informasi simbol-simbol yang diletakkan. Selanjutnya peserta diajak untuk membuat peta desa mereka. Dalam proses ini, kecenderungan Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

11


Arief Sulistyo

12

Naomi Distrina Ginting

Peserta sekolah lapangan Desa Gemawang, Wonogiri, menyiapkan peta desa yang dibuat dalam kertas kalkir untuk proses peta susun tumpuk (development pathway) dalam menentukan lahan kritis.

Ridahati Rambey

Peserta sekolah lapangan di Desa Puang aja, Sumatera Utara mempresentasikan hasil kegiatan penulusuran desa (transect) untuk memahami kondisi nyata di tingkat lapangan.

Peserta sekolah lapangan di Desa Serdang, Sumatera Utara melakukan analisa foto yang dia ambil selama kegiatan penulusuran desa.

masyarakat yang tidak akrab dengan peta, umumnya menjadi kendala yang perlu terus dicermati. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar peserta tidak terjebak pada aktivitas menghasilkan peta hanya untuk hiasan. Metode pemetaan partisipatif untuk menentukan arah, titik, dan kemiringan lahan menjadi bagian penting dalam kegiatan lapangan. Peta yang dihasilkan dalam proses ini sangatlah dinamis dan dapat diubah atau ditambah sesuai perkembangan yang disepakati peserta sekolah lapangan. 4. Penelusuran Kawasan (Transek): Realitas perikehidupan dan alam pedesaan yang sudah dituangkan di dalam peta, dicermati dan dinilai melalui kegiatan penelusuran kawasan (transek). Pengumpulan data dan informasi kondisi lapangan dengan metode pengamatan pada titik-titik tertentu, dilakukan untuk melengkapi informasi dalam peta. Sebelum melakukan penelusuran kawasan, setiap kelompok diskusi mesti menetapkan apa saja yang akan diamati, diukur dan dianalisa. Kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk matrik yang akan diisi selama mereka melakukan perjalanan. Selain kegiatan mengamati, juga dilakukan wawancara dengan masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang kondisi nyata wilayah mereka. Hasil kegiatan ini dirumuskan dalam bentuk gambar melintang kawasan desa yang dilengkapi dengan catatan. 5. Analisa Foto: Selama kegiatan jelajah kawasan, peserta memotret suatu tempat, aktivitas, atau kejadian yang menurut mereka dapat menggambarkan kondisi desanya. Sebelumnya mereka dibekali dengan pemahaman apa itu foto dan manfaatnya sebagai SEKOLAH LAPANGAN ESP


sarana diskusi termasuk ketrampilan mengoperasionalkan kamera dan menentukan sudut pandang. Setelah memilih foto-foto yang dianggap mewakili realitas desa, para peserta kemudian memaparkan cerita dari hasil pemotretan tersebut. Selanjutnya, foto-foto tersebut digunakan untuk melengkapi peta desa. Gabungan informasi yang dituangkan dalam peta, data transect, dan foto menjadi sarana diskusi pengambilan keputusan serta bahan dasar untuk menyusun profil desa dan rencana aksi desa.

Naomi Distrina ginting

13

Peserta sekolah lapangan di Desa Puang aja, Sumatera Utara diskusi dalam kelompok kecil untuk menganalisa kecenderungan kondisi desanya terkait sumber daya air.

Peserta sekolah lapangan Desa Semin, Wonogiri, mendiskusi pola kejadian dan kegiatan masyarakat desa dalam analisa kalender.

Nanang Budiyanto

7. Analisa Kalender: Berdasarkan analisa kalender musim kejadian dan aktivitas masyarakat dipetakan waktu terjadinya dalam bentuk kalender. Peristiwa-peristiwa alam, penyakit, musim bercocok tanam, maupun musim-musim lainnya yang biasa terjadi di desa, dianalisis untuk memahami pola kejadiannya. Disamping itu analisa kalender juga untuk mengetahui saling keterkaitan antara waktu kejadian dan adwal aktivitas yang sering terjadi. Dengan menarik beberapa parameter, juga dapat diketahui hubungan sebab akibat antar suatu kejadian dengan aktivitas tertentu. Informasi dari kalender musim ini nantinya juga dapat dimanfaatkan untuk menetapkan waktu pelaksanaan aksi-aksi pengelolaan lingkungan desa.

Arief Sulistyo

6. Analisa Kecenderungan: Kondisi desa saat ini dikaji sejarahnya untuk mengetahui kecenderungan perubahan yang terjadi. Selain itu, dalam proses diskusi ini, peserta juga merumuskan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan. Hasil diskusi ini nantinya akan digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam merancang aksi konservasi lingkungan desa.

Contoh analisa posisi kelembagaan yang menggambarkan kedekatan dan peran lembaga dalam perikehidupan desa

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


14 8. Analisa Pola Hubungan Antar Lembaga (Diagram Venn): Dalam analisa ini, hubungan, keterlibatan, peran dan sumbangan dari berbagai lembaga yang ada di desa terhadap masyarakat dipolakan posisinya untuk mengetahui seberapa pentingnya lembaga yang ada di desa untuk memberi dukungan terhadap gerakan masyarakat. Selain itu juga dipolakan jarak dan kedekatan lembaga yang ada di desa terkait dengan kepentingannya dengan masyarakat. Hasil analisa ini dipakai untuk mempertimbangkan siapa saja yang akan dilibatkan dalam aksi mendatang. 9. Kajian 5 Modal Perikehidupan: Hasil analisa kondisi, aktivitas, kejadian dan persoalan dengan beberapa metode tersebut di atas, digunakan untuk menilai setiap modal yang dimiliki desa. Setiap hal yang dituangan dalam masing-masing modal dinilai secara sederhana dengan memberi poin satu sampai lima. Poin-poin tersebut kemudian dijumlahkan untuk mengetahui seberapa besar modal manusia, alam, sosial, fisik, dan finansial yang ada di desa. Dengan mengetahui gambaran tentang 5 modal perikehidupan desa ini, nantinya peserta dapat menentukan modal-modal mana saja yang bisa diperkuat dan didayagunakan untuk menggerakkan rencana aksi yang akan mereka susun.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


TAHAP PENYUSUNAN RENCANA AKSI

15

“Merancang Aktivitas Berbasis Realitas”

DINA KARTIKA SARI

Meskipun sederhana, merancang aktivitas masyarakat sangat rumit dan kompleks karena adanya aneka keinginan dan kepentingan. Kebiasaan masyarakat yang hanya menjadi pelaku aktivitas menjadi masalah lain. Rencana aktivitas yang dinamis dan realistis mesti didasari dengan proses analisa pada realitas potensi dan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, hasil penilaian modal perikehidupan menjadi dasar untuk penentuan strategi sebelum menentukan jenis kegiatan yang akan dilakukan. Kegiatan yang dirancang mesti realistis dan sesuai dengan potensi desanya masing-masing.

Peserta sekolah lapangan Desa Doulu, Sumatera Utara mempresentasikan proses penentuan prioritas dan strategi kegiatan dengan metode “Jembatan Bambu”.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


16

1. Penyusunan Profil Desa: hasil rumusan kajian modal perikehidupan, disusun dalam satu tulisan yang sistimatis Contoh Profil dan Rencana Aksi Desa merupakan dokumen dari hasil proses berupa profil desa. Untuk pembelajaran dan pengkajian di sekolah lapangan. memberi kejelasan dari setiap modal perikehidupan perlu ditambahkan data sekunder yang tersedia di pemerintah desa. Lembar profil desa juga diberi tampilan peta dan foto-foto yang dapat memberi gambaran akan kondisi desa. 2. Analisa Strategi: Proses ini dimulai dengan merumuskan kondisi lima modal perikehidupan sebagai gambaran kondisi saat ini. Sedangkan kondisi yang diinginkan digambarkan dengan jelas dimana komponennya mengikuti lima modal perikehidupan saat ini. Berdasarkan kedua kondisi ini ditetapkan strategi kegiatan dengan metode �Jembatan Bambu�. Peserta sekolah lapangan menentukan urutan langkah-langkah yang diisikan pada ruas-ruas bambu. Proses ini sekaligus digunakan sebagai penentuan skala prioritas kegiatan yang akan dilakukan. 3. Penyusunan Rencana Aksi Desa: Setelah jenis kegiatan yang akan dilakukan disepakati semua peserta, mereka menyusun rencana kegiatan tersebut dengan format usulan kegiatan. Latar belakang, tujuan, keluaran, lokasi dan waktu, tahapan, keterlibatan dan sumber daya yang dibutuhkan dibahas oleh peserta sekolah lapangan. Rencana aksi desa ini akan dijalankan dengan skala kecil dalam tahap kegiatan aksi rintisan. Selama penerapan aksi rintisan ini masyarakat secara bersama melakukan proses pembelajaran untuk mencermati setiap tahapan pelaksanaan aksi. Rencana aksi desa ini bersifat dinamis, dapat diubah atau ditambah kapan saja. Pada akhir pelaksanaan aksi rintisan masyarakat melakukan evaluasi untuk memperbaiki rencana aksi desa. Sedangkan hasil perbaikan ini akan dipaparkan dalam hari temu lapangan untuk mendapat pemahaman dan dukungan dari para pihak dalam tindak lanjut pengembangan program. Di sisi lain rencana aksi desa yang telah diperbaiki akan digunakan sebagai bahan dasar untuk penyusunan rencana pengelolaan kawasan.

SEKOLAH LAPANGAN ESP

Nanang Budiyanto

Rencana aksi desa merupakan hasil seleksi dengan penilaian skala prioritas. Rencana aksi desa disusun cukup rinci dengan memberi informasi tentang tujuan, keluaran, lokasi dan waktu, tahapan, keterlibatan dan dana yang dibutuhkan. Tahap penyusunan rencana aksi adalah:


TAHAP PENERAPAN AKSI

�Belajar dan Bergerak Bersama�

Berdasarkan rencana aksi desa yang dibuat, peserta Sekolah Lapangan menjalankan satu kegiatan rintisan sesusai dengan skala prioritas yang mereka nilai sendiri. Melalui kegiatan ini masyarakat mendapat kesempatan untuk menggali pengalaman dalam mengelola kegiatan sehingga mereka siap untuk menjadi manajer pengembangan program. Di sisi lain, masyarakat dapat menilai sendiri kualitas perencanaan yang telah mereka buat. Pada tahapan ini masyarakat melakukan aktivitas belajar sambil bekerja dalam pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan perikehidupannya. Tema-tema yang diusung dalam proses belajar tergantung dari kondisi, potensi, masalah dan dinamika masyarakat setempat. Aktivitas belajar sambil bekerja ini dilaksanakan dalam bentuk “Sekolah Lapangan Tematik� atau �Sekolah Lapangan Tindak Lanjut�. Secara umum ada lima jenis sekolah lapangan berdasarkan sasaran pengelolaannya. Setiap jenis sekolah lapangan tersebut mempunyai aneka tema belajar yang berlandaskan teknis pengelolaan atau komoditas tertentu. Jenis dan tema sekolah lapangan adalah sebagai berikut: No.

Jenis Sekolah Lapangan

Tema Sekolah Lapangan

1.

Sekolah Lapangan Pengelolaan Kebun Campur

2.

Sekolah Lapangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Sekolah Lapangan Pengelolaan Lahan dan Hutan

r r r r r r r r r r r r r r r r r

3.

4.

Sekolah Lapangan Pengelolaan Air Baku

5.

Sekolah Lapangan Pengelolaan Sanitasi

4- 5BOBNBO 1FSLFCVOBO 4- 5BOBNBO $BNQVS 5BIVOBO EBO .VTJNBO

4- 1FOHFMPMBBO #BNCV 4- 5BOBNBO #BXBI 5FHBLBO 4- %FTB ,POTFSWBTJ 4- 1FOHFMPMBBO %BFSBI 1FOZBOHHB 4- 3FIBCJMJUBTJ -BIBO 4- 1FSUBOJBO &LPMPHJT ,POTFSWBTJ 4- 1FSUBOJBO 5FSQBEV EJ ,BXBTBO )VMV 4- "OUJTJQBTJ 1FSVCBIBO *LMJN 4- -FNCBHB .BTZBSBLBU %FTB )VUBO 4- 1FSMJOEVOHBO 4VNCFS "JS 4- 5BCVOHBO "JS 4- 1BOFO "JS 4- 1FOHFMPMBBO 4BNQBI 4- 1FOHFMPMBBO "JS -JNCBI 4- 1FOHFMPMBBO "JS #FSTJI

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

17


18 Meskipun jenis dan tema sekolah lapangan bermacam-macam, namun pola proses belajarnya selalu sama. Pola dasar dari proses belajar yang diterapkan adalah analisa ekosistem untuk mengambil keputusan tindakan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas pengelolaan. Rangkaian kegiatan mulai dari pengamatan lapangan, pengungkapan dan penuangan hasil pengamatan untuk diskusi analisa dan pengambilan keputusan bersama, selalu dilakukan pada setiap jenis sekolah lapangan. Tema belajar lainnya adalah belajar ketrampilan sosial termasuk komunikasi, kerjasama, kepemimpinan, serta cara-cara pemecahan masalah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hubungan sosial. Materi ini juga berfungsi untuk menjaga atmosfer belajar seperti penyegaran suasana, pembentukan suasana belajar dan jembatan untuk pembahasan tema-tema khusus. Sedangkan topik khusus yang berisi hal-hal terkait teknis pekerjaan atau ilmu dasar dibahas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Topiktopik khusus ini berfungsi untuk memperkuat proses analisa pengambilan keputusan. Rangkaian proses tersebut selalu dijalankan secara terorganisir dalam kelompok, baik kelompok kecil maupun kelompok besar, dimana di dalamnya selalu dilakukan pembagian dan pergiliran peran. Hal ini bertujuan untuk membangun kemampuan pengorganisasian masyarakat.

5.1. Sekolah Lapangan Pengelolaan Kebun Campur (SL PKC) Teknis pengelolaan lahan dengan menerapkan konsep kebun campur adalah tema yang diusung dalam rangkaian proses belajar. Peserta sekolah lapangan belajar tentang pola dasar kebun campur, teknis pengelolaan termasuk perbanyakan tanaman, pengelolaan tanah dan konservasi lahan serta pengelolaan organisme lain untuk dinilai keuntungan dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial. SL-PKC ini mempunyai lima kegiatan utama yaitu:

• Pengelolaan Tanaman Potensi Desa: Ada banyak tanaman lokal yang bersifat unggul dan

Ridahati Rambey

• Pengelolaan Kebun Bibit Desa: Kebun bibit desa bukan sekedar unit usaha masyarakat untuk menghasilkan bibit. Lebih dari itu, kebun bibit desa menjadi wadah belajar masyarakat dalam mengenal ekologi tanaman, perbanyakan tanaman, dan peranan tanaman dalam aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

Peserta sekolah lapangan di Desa Serdang, Sumatera Utara melakukan pengamatan ekosistem tanaman jeruk sebagai bagian dari aktivitas sekolah lapangan pengelolaan kebun campur.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


19 menguntungkan bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu peserta sekolah lapangan akan belajar secara khusus pengelolaan tanaman tertentu dari budidaya sampai pemanfaatan hasil dan produk yang dipasarkan. • Pembuatan Model/percontohan Kebun Campur: Pengelolaan lahan dengan pendekatan sistem hutan dipelajari sekaligus diterapkan dengan pola kebun campur (wana tani atau agroforestry). Para peserta sekolah lapangan mengamati, menganalisa, dan mengambil keputusan sendiri dalam menetapkan apa yang harus dilakukan dalam pengelolaan lahannya.

• Rehabilitasi Lahan Kritis: Kegiatan ini dimulai dengan melakukan penilaian lahan kritis dengan mengukur kemiringan, jenis tanah dan tutupan vegetasi. Hasil pemetaan lahan menjadi pedoman untuk membuat lubang tanam dan pemberian bahan organik. Pada musim tanam (penghujan), masyarakat sudah siap untuk melakukan aksi tanam bersama.

Ridahati Rambey

• Pengelolaan Bahan Organik: Kekayaan bahan organik di sekitar hutan rakyat dan lahan pekarangan dikelola dengan melakukan pengomposan. Kompos hasil kegiatan ini dapat digunakan untuk aksi tanam pohon, pemeliharaan pohon yang ada dan dapat mendukung usaha lainnya.

Kelompok masyarakat Desa Durin Sirugun, Sumatera Utara melakukan studi pengomposan sebagai bagian dari aksi belajar di sekolah lapangan pengelolaan lahan dan hutan secara terpadu.

5.2. Sekolah Lapangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Sekolah lapangan ini diselenggarakan di desa konservasi atau desa yang terletak di perbatasan kawasan konservasi. Materi belajar utamanya adalah pemahaman akan keragaman hayati dan prinsip-prinsip pengelolaan kawasan konservasi. Selain hal-hal teknis pengelolaan hutan, sekolah lapangan ini membahas aspek manajemen kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Mekanisme kerjasama formal antara masyarakat dengan lembaga formal pengelola kawasan didiskusikan untuk menyiapkan masyarakat dalam menerima keuntungan ketika kerjasama tersebut dijalankan. Peningkatan kesejahteraan dibahas dalam kerangka peningkatan ekonomi dan aspek kehidupan lain berbasis pada pengelolaan hutan dan rakyat. Diversifikasi usaha ekonomi diperkenalkan dan diidentifikasi untuk memberi banyak pilihan bagi masyarakat. Kampanye konservasi dan keanekaragaman hayati juga menjadi materi pembelajaran untuk menyiapkan masyarakat menjadi advokator dalam menyuarakan isu-isu terkait lingkungan hidup. Kekayaan flora dan fauna diperkenalkan pada masyarakat, sehingga mereka dapat membangun inisiatif untuk melestarikan keragaman hayati tersebut.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


20

5.3. Sekolah Lapangan Pengelolaan Lahan dan Hutan

Gerakan rehabilitasi lahan dan hutan berbasis masyarakat ditujukan pada perbaikan lahanlahan kritis dan area yang besar pengaruhnya terhadap proses peredaran air. Aktivitas yang dilakukan seperti Kebun Bibit Desa, Aksi Tanam Pohon, Pengelolaan Tanaman Khusus, dan upaya sipil teknis yang sederhana. Beberapa langkah rehabilitasi lahan seperti identifikasi masalah, pemetaan, analisa kebutuhan, kebun bibit desa, pendampingan, dan kerjasama aksi lapangan adalah topik yang dibahas dalam pertemuan berkala. Selain itu juga diperkenalkan beberapa jenis tanaman yang potensial dan cara budidayanya untuk memberikan peluang bagi pengembangan kebun campur. Pengelolaan tanaman spesifik seperti aren, bambu dan tanaman obat-obatan di bawah tegakan adalah contoh lain yang mewarnai kegiatan sekolah lapangan ini.

Sukirman

Kondisi lahan yang terbuka dan tidak sesuai dengan peruntukkannya adalah pertimbangan utama untuk menyelenggarakan sekolah lapangan pengelolaan lahan dan hutan. Sistem pengelolaan pertanian berdasar kaidah-kaidah konservasi lahan dan air menjadi pokok bahasannya. Pemahaman akan dasar-dasar ekologi tanah dan air serta praktek pengelolaannya dijalankan dengan proses belajar langsung di lapangan. Sekolah lapangan ini secara khusus membahas proses terjadinya lahan kritis dan akibatnya serta teknis rehabilitasi lahan.

Sekolah lapangan pengelolaan bambu diselenggarakan di Desa Jambewangi, Magelang untuk mendorong masyarakat mengelola bambu secara berkelanjutan di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Merbabu.

Persoalan terkait air, seperti mata air, distribusi air, kekeringan, kualitas rendah air baku menjadi latar belakang sekolah lapangan ini. Berdasar pemahaman akan siklus peredaran air, peserta sekolah lapangan belajar tentang daerah tangkapan air, mekanisme terbentuknya mata air, kualitas air dan teknis pemanfaatan air. Mereka juga belajar secara sederhana tentang sistem zonasi perlindungan air dan teknis perlindungannya. Terkait dengan kualitas air, Masyarakat melakukan studi penguapan air oleh tanaman masyarakat belajar tentang sumber-sumber yang menjadi salah satu materi belajar pada sekolah lapangan tabungan air di kawasan Sibolangit, Sumatera Utara. pencemaran dan dampaknya.

SEKOLAH LAPANGAN ESP

Ridahati Rambey

5.4. Sekolah Lapangan Pengelolaan Air Baku


21 Persoalan kekeringan pada lahan pertanian paling sering menjadi alasan diselenggarakan sekolah lapangan pengelolaan air baku. Mekanisme alamiah dan buatan dalam sistem penyimpanan air dan konservasi hutan merupakan tema belajar yang paling banyak menyerap perhatian masyarakat. Mereka secara berkreatif memunculkan istilah-istilah upaya mendapatkan air, seperti panen air, tabungan air, atau tandon air.

5.5. Sekolah Lapangan Pengelolaan Sanitasi

Beberapa aktivitas dikembangkan oleh masyarakat lewat proses sekolah lapangan ini. Perbaikan sistem pelayanan air bersih seperti bangunan penangkap sumber air dan sistem perpipaan dalam distribusi air. Perbaikan sanitasi dikembangkan secara komunal seperti pembuatan MCK komunal, IPAL Komunal dan sistem pengelolaan sampah rumah tangga. Aktivitas lain adalah pengelolaan lahan pekarangan dan pengembangan tanaman hias dan buah dalam pot. Aktivitas nyata terkait kerjasama masyarakat hulu hilir adalah perlindungan dan pengelolaan daerah bantaran sungai.

Dokumentasi ESP

Sebagai bagian dari penerapan integrasi hulu hilir, sekolah lapangan juga dijalankan di daerah urban / peri-urban. Pendekatan untuk membangun kapasitas di kawasan periurban sedikit berbeda dibanding pendekatan di kawasan rural. Persoalan sanitasi yang mencakup ketersediaan air bersih, pengelolaan limbah cair dan sampah rumah tangga merupakan tema belajar sekolah lapangan jenis ini. Keterlibatan peserta perempuan terlihat lebih aktif dibanding kaum laki-laki. Mereka lebih respon dan lebih bersifat progresif pada langkah penerapan hasil belajar.

Fasilitator lokal (Pemandu Desa) memperagakan bagaimana membuat kerajinan berbahan dasar sampah anorganik di sekolah lapangan pengelolaan sanitasi berbasis masyarakat.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


22

SEKOLAH LAPANGAN ESP


HARI TEMU LAPANGAN

23

JUDY KURNIAWAN

�Kampanye Proses dan Hasil Sekolah Lapangan untuk Menggalang Dukungan�

Ihksan Pemandu Desa Seloprojo, Magelang, memaparkan kondisi daerah tangkapan air yang menjadi latar belakang program perlingkunan sumber air, saat hari temu lapangan.

Pada akhir pelaksanaan sekolah lapangan aksi rintisan, diselenggarakan Hari Temu Lapangan (Field Day) sebagai ajang penyebarluasan proses dan hasil sekolah lapangan. Kegiatan ini juga sebagai sarana untuk mensosialisasikan rencana tindak lanjut sekolah lapangan. Hari Temu Lapangan sering diselenggarakan di tingkat desa, akan tetapi pada daerah tertentu, kegiatan ini diselenggarakan di tingkat kawasan dengan gabungan beberapa sekolah lapangan. Kegiatan satu hari ini melibatkan masyarakat di sekitar desa, pemerintah daerah, dan lembaga atau forum masyarakat serta para pelaku usaha lokal. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


Kegiatan yang merupakan ajang berbagi pengalaman antar masyarakat, dirancang dan dikelola sepenuhnya oleh peserta sekolah lapangan. Pemaparan proses, hasil dan rencana tindak lanjut sekolah lapangan dilakukan baik dalam bentuk pameran maupun presentasi. Hari temu lapangan ibarat pasar bagi masyarakat untuk menawarkan rencana aksinya sekaligus bagi pemerintah daerah atau pihak lain untuk penyediaan dukungan. Dalam hal ini masyarakat tidak berposisi sebagai obyek, tetapi kedudukan yang sama dalam proses tawar menawar dengan pihak lain yang sebenarnya juga sedang mencari mitra kerja.

AGENDA HARI TEMU LAPANGAN JAM

KEGIATAN

08.30 – 10.00 Kunjungan Pameran 10.00 – 10.30 Aksi Tanam Pohon

KETERANGAN Diskusi terbuka dengan peserta SL Perwakilan Peserta Field Day Pengantar diskusi

10.30 – 10.45 Pembukaan Sarasehan 10.45 – 11.00 Pemaparan program Program kelompok tindak lanjut basis dan kelompok jaringan 11.00 – 11.30 Tanggapan Pejabat perwakilan Pemerintah daerah instansi teknis 11.30 – 12.30 Diskusi Umum Narasumber peserta SL 12.30 – 13.30 Makan Siang Ramah Tamah 13.30 – 14.30 Deklarasi Forum

RIDAHATI RAMBEY

24

Alumni sekolah lapangan dari kecamatan Sibolangit, Sumatera Utara memperagakan potensi tanaman lokal di stand pameran hari temu lapangan.

Profil Desa dan Rencana Aksi Desa yang dihasilkan pada tahap perencanaan merupakan dokumen yang menjadi bekal masyarakat untuk bekerjasama dengan pihak lain. Dengan bekal dokumen ini mereka dapat menyebarluaskan gagasangagasan dan penemuan-penemuan mereka sekaligus menjaring hubungan kerjasama. Hari temu lapangan yang diselenggarakan dalam cakupan kawasan merupakan kerjasama antar sekolah lapangan. Kegiatan ini juga sering digunakan untuk lokakarya multi pihak dan mendeklarasikan terbentuknya forum masyarakat pengelola Mikro DAS.

JUDY KURNIAWAN

Kegiatan Hari Temu Lapangan ini merupakan awal interaksi masyarakat dengan para pihak yang ada di kawasannya. Setelah kegiatan Hari Temu Lapangan ini biasanya akan dilanjutkan dengan kegiatan dialog-dialog dan interkasi lainnya untuk menindaklanjuti komitmen yang muncul selama dalam kegiatan Hari temu Lapangan. Interaksi lebih lanjut terjadi antara kelompok Sekolah Lapangan dengan lembaga tertentu sesuai dengan rencana dukungan yang akan diberikan. Perum Perhutani terlibat dalam pameran hari temu lapangan untuk mensosialisasikan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM).

SEKOLAH LAPANGAN ESP


TAHAP TINDAK LANJUT PENGEMBANGAN

25

WIDYASTAMA CAHYANA

�Mandiri dan Kolaborasi untuk Keberlanjutan�

Berbagai teknik perbanyakan vegetatif dipraktekkan langsung oleh para alumni sekolah lapangan. Kegiatan ini menjadi bagian dari kebun bibit desa yang menjadi pilihan masyarakat untuk tahap tindak lanjut sekolah lapangan.

Pada tahap ini masyarakat diberikan peluang untuk menjadi manajer pada setiap aktivitas yang akan dikembangkan. Sistem kerjasama masyarakat antar desa dalam satu kawasan yang sudah terbangun, diterapkan melalui aksi masyarakat yang dalam cakupan kawasan (mikro DAS). Selain berbagai bentuk kegiatan untuk penguatan kelompok berbasis desa, kegiatan yang dilakukan pada tahap tidak lanjut juga ditujukan untuk pengembangan jaringan kerja lintas desa dan dengan pihak lain. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


26

7.1. Penguatan Kelompok Berbasis Desa Kelompok sekolah lapangan yang telah selesai menjalankan proses belajar pada tahap aksi rintisan, diperkuat dengan berbagai bentuk kegiatan di tingkat dusun atau desa. Kegiatan yang dijalankan bersifat aksi nyata yang merupakan penerapan dari hasil proses belajar yang telah mereka lakukan. Jenis kegiatan yang dijalankan untuk memperkuat kelompok alumni sekolah lapangan antara lain:

• Sekolah Bersih, Sehat dan Hijau (CGH School); Salah satu strategi komunikasi untuk menyuarakan pesanpesan lingkungan dan kesehatan adalah melibatkan para murid sekolah menjadi agen komunikator. Konsep sekolah bersih dan hijau dikembangkan pada beberapa sekolah dasar sebagai proses pembelajaran sekaligus pintu masuk aliran perubahan perilaku untuk masyarakat. Bentuk kegiatan seperti pojok diskusi di sekolah, pembelajaran guru murid, pengkayaan Para pemandu desa memfasilitasi kampanye cinta lingkungan kurikulum belajar muatan lokal, dan di Sekolah Dasar Negeri I Desa Benjor yang menjadi salah satu penyelenggaraan kegiatan-kegiatan bentuk kegiatan tindak lanjut sekolah lapangan kesehatan dan lingkungan merupakan aktivitas para pemandu desa yang menjalankan rencana pengelolaan kawasan. Pendekatan lain adalah melibat kader Posyandu dalam komunikasi perubahan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). • Rintisan untuk Munculnya Kebijakan Lokal; Langkah untuk menjaga keberlanjutan pengembangan program adalah melakukan identifikasi dan upaya memunculkan kebijakan lokal. Peraturan Desa, Kesepakan Masyarakat, dan MoU Masyarakat dengan pihak lain adalah bentuk-bentuk kebijakan lokal yang dapat dihasilkan. Kearifan tradisional dan kebijakan lokal sebenarnya sudah banyak dimiliki oleh masyarakat desa, akan tetapi sering tidak formal atau tertulis dalam sebuah dokumen. Untuk mendorong agar fungsi kearifan tradisional dan kebijakan lokal lebih kuat dan berkembang, dilakukan Identifikasi dan Inisiasi Kebijakan Lokal. Fokus kebijakan, diarahkan pada perlindungan kawasan, pengelolaan hutan, dan kebijakan lain terkait pengelolaan lingkungan dengan tetap mengedepankan dan mendorong peran masyarakat setempat sebagai pengelola. SEKOLAH LAPANGAN ESP

Ismari

• Studi Lapangan dan Pengembangan Inovasi; Untuk menjaga program agar tetap berlanjut, dilakukan dengan terus mengaktifkan kelompok alumni sekolah lapangan melalui berbagai bentuk aksi terapan. Masyarakat didorong untuk mempraktekkan dan mengembangkan hasil proses belajarnya dalam kehidupan sehari-hari atau pekerjaannya. Untuk menjaga agar proses belajar terus berjalan, kelompok alumni sekolah lapangan didorong untuk melakukan studi lapangan. Studi ini juga berfungsi untuk memperdalam dan memperluas pembelajaran.


27 • Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa; Memasukkan rencana aksi masyarakat dalam mekanisme formal pembangunan daerah merupakan langkah lain untuk menjaga keberlanjutnya program. Kebijakan pemerintah dalam penyusunan rencana yang partisipasipatif lewat proses musyawarah pembangunan desa, menjadi pintu masuknya. Para pemandu desa dilibatkan secara aktif dalam proses tersebut yang sebelumnya telah disiapkan melalui pelatihan khusus.

7.2. Pengembangan Jaringan Kerjasama

• Pertemuan Perencanaan Lintas Desa antar Kelompok Sekolah Lapangan; Kegiatan ini merupakan sarana awal untuk melahirkan program dan forum pengelolaan Mikro DAS. Pertemuan ini melibatkan wakil peserta sekolah lapangan, pemandu desa, dan wakil pemerintah desa, membahas rencana aksi lintas desa dalam satu kawasan konservasi sumber daya air. Agenda lain adalah melakukan proses terbentuknya forum masyarakat sebagai fasilitator pelaksanaan rencana aksi tersebut. Berdasarkan Profil Desa dan Rencana Aksi Desa disusun Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Selama proses sekolah lapangan, peserta juga melakukan identifikasi dan inisiasi akan kebutuhan akan forum masyarakat yang mewadahi aktivitas masyarakat lintas desa. Gagasan yang muncul dari sekolah lapangan ini mulai dibahas dalam pertemuan perencanaan lintas desa. Hasil pertemuan ini kemudian dibahas secara lebih rinci dalam lokakarya sehari yang diikuti oleh kelompok kerja yang disepakati dalam pertemuan ini. Hasil lokakarya perencanaan ini berupa draf awal Rencana Pengelolaan DAS Waluyo Ketua Forum Masyarakat GASPARI, Magelang, memaparkan rencana pengelolaan kawasan konservasi bersama masyarakat pada Mikro sebagai draf dokumen yang lokakarya multi pihak. organisasi Forum Masyarakat. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

Nanang Budiyanto

Pada dasarnya aktivitas Sekolah Lapangan merupakan pintu masuk terbangunnya sistem pengelolaan kawasan konservasi sumber daya air. Kegiatan yang terintegrasi dalam satu kawasan mikro DAS menjadi sasaran akhir dari rangkaian kegiatan sekolah lapangan. Program kerja di tingkat kawasan ini didorong untuk lebih formal dan terorganisir karena melibatkan banyak pihak. Dokumen Rencana Pengelolaan Mikro DAS dan terbentuk Forum Masyarakat Pengelola Mikro DAS merupakan keluaran nyata dari tahapan ini. Jenis kegiatan yang dijalankan untuk mengembangkan kelompok jaringan, antara lain:


28

• Pertemuan Sosialisasi dan Ajang Advokasi; Langkah lain untuk memperoleh dukungan adalah melakukan advokasi untuk mengangkat isu-isu spesifik dan kritis serta cerita keberhasilan masyarakat. Kolaborasi dengan pekerja media melalui kunjungan ke lapangan dan diskusi dijalankan secara regular dalam upaya mengangkat isu serta memobilisasi masyarakat, pemerintah, dan para pelaku usaha. Selain menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kampanye, keterlibatan forum dalam kegiatan lokal tersebut seperti merti bumi atau kampanye nasional lainnya seperti peringatan hari air dan lingkungan hidup adalah bentuk lain dari proses sosialisasi dan advokasi. Dalam hal ini, forum bertugas mengolah dan menyajikan hasil kajian akan realitas masyarakat terkait dengan kondisi lingkungan dan kesehatan sebagai bahan advokasi.

Nanang Budiyanto

• Lokakarya Multi Pihak; Kelompok kerja yang sudah menyelesaikan tersusunnya draf Rencana Pengelolaan Kawasan Mikro DAS, menyelenggarakan lokakarya multi pihak. Lokakarya ini melibatkan Instansi teknis terkait dari pemerintah daerah, kepala desa, LSM dan forum masyarakat setempat dan perwakilan pelaku usaha. Selain menjadi ajang untuk membahas draf Rencana Pengelolaan Mikro DAS, dalam kegiatan ini sekaligus untuk pengesahan rencana tersebut. Jika personel dalam struktur organisasi forum masyarakat sudah lengkap dan disetujui, kegiatan ini juga menghasilkan deklarasi terbentuknya Forum Masyarakat Pengelola Kawasan Mikro DAS.

Contoh dokumen Pengelolaan Kawasan Konservasi (WSM Plan) dari Forum Masyarakat GASPARI, Sub DAS Soti, Magelang.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


MONITORING DAN EVALUASI

�Menjawab Persoalan dengan Cepat dan Lugas�

Menyelenggarakan sekolah lapangan secara konsisten dengan kualitas emas dan capaian hasil yang signifikan, memang tidak gampang. Kisaran waktu pelaksanaan yang lebih dari enam bulan dengan pertemuan reguler yang melibatkan lebih dari 25 orang, dimungkinkan akan terjadi berbagai persoalan. Rawa-rawa sekolah lapangan ada di mana-mana dan jika tidak hati-hati, kita akan terperosok. Oleh karena itu, profil komponen dan capaian sekolah lapangan ditetapkan dengan kualisifikasi tertentu untuk menjaga kualitas pelaksanaannya. Dan kegiatan monitoring evaluasi menjadi alat untuk menjawab persoalan yang ada dengan cepat dan lugas.

8.1. Profil Kualitas Komponen Sekolah Lapangan 1. Peserta Sekolah Lapangan Peserta sekolah lapangan adalah komponen utama sekaligus sebagai subyek dari penyelenggaraaan sekolah lapangan itu sendiri. Peserta yang merupakan perwakilan dari masyarakat adalah orang yang dalam kehidupan kesehariannya selalu terkait dengan tema sekolah lapangan. Untuk mendapatkan peserta yang mampu berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran, ditetapkan kriteria antara lain; r 1FTFSUB TFLPMBI MBQBOHBO CFSBTBM EBSJ LFMPNQPL NBTZBSBLBU GPSNBU LFMPNQPL UBOJ Posyandu, dan lain-lain) r ,PNQPTJTJ QFTFSUB NFNQFSMJIBULBO BEBOZB LFTFJNCBOHBO HFOEFS VNVS EBO pendidikan r 1FTFSUB CFSLPNJUNFO EBO NFOBSVI NJOBU VOUVL TFMBMV UFSMJCBU EBMBN TFUJBQ LFHJBUBO r 1FOHPSHBOJTBTJBO QFTFSUB UFSCBOHVO EFOHBO QFNCBHJBO QFSBO ZBOH KFMBT TFQFSUJ pembentukan kelompok diskusi 2. Pemandu Lapangan Pemandu lapangan adalah staf lapangan dari lembaga atau program yang digaji dan mendapat fasilitas kerja. Selain sebagai fasilitator proses belajar, pemandu lapangan berperan sebagai manajer yang bertanggung jawab penuh terhadap kualitas dan hasil sekolah lapangan. Oleh karena itu, pemandu lapangan mesti memenuhi syarat: Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

29


30 • Ikut dalam pelatihan fasilitator (ToT) minimal 2 minggu efektif. • Bersifat ramah, hangat dan santun • Dapat diterima masyarakat dalam posisi sepadan (hubungan horizontal) • Mempunyai jiwa dan ketrampilan dalam proses kepemimpinan. • Bersifat terbuka dan bertanggung jawab. • Tidak berperan sebagai guru yang menjalankan komunikasi satu arah dan selalu memberi pengarahan. • Kreatif dan mampu menggali dan membangun gagasan • Berkemampuan dalam teknik kepemanduan (teknik mendengar bertanya, diskusi, membangun suasana belajar, sintesa untuk membantu mengambil keputusan) • Mempunyai kepekaan menangkap pendapat masyarakat dan mengklarifikasinya jika pendapat kurang jelas.

3. Pemandu Desa / Organizer Masyarakat Pemandu desa adalah orang lokal yang menjadi mitra kerja pemandu lapangan. Peran utamanya adalah mengorganisir penyelenggaraan sekolah lapangan termasuk menjadi penggerak masyarakat. Kriteria perwakilan masyarakat yang dipilih menjadi pemandu desa, antara lain; • Terpilih berdasarkan kesepakatan forum masyarakat dan pemerintah desa. • Ikut dalam pelatihan fasilitator (ToT) minimal 5 hari efektif. • Dapat diterima masyarakat dalam posisi sepadan (hubungan horizontal) • Bersikap disiplin, konsisten, dan dinamis. • Mempunyai kepekaan menangkap pendapat masyarakat dan memberi jalan untuk klarifikasi. • Bersifat terbuka dan bertanggung jawab. 4. Kurikulum Belajar Pada prinsipnya kurikulum belajar di sekolah lapangan disusun bersama berdasarkan realitas lapangan dan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, tema dan sistimatika kurikulum harus disusun lebih dahulu oleh pemandu lapangan. Pertimbangan dalam menyusun kurikulum sekolah lapangan ESP, antara lain; • Kurikulum belajar disepakati bersama, khususnya oleh peserta dan selalu disepakati dalam bentuk kontrak pada setiap awal pertemuan. • Kurikulum berlajar bersifat multi-tema tapi terfokus pada persoalan tertentu, berisfat realistis sesuai kondisi lapangan dan dinamis menyesuaikan kebutuhan peserta. • Analisa kondisi perikehidupan (lingkungan secara utuh) dijalankan secara konsisten untuk meningkatkan kemampuan dalam pengambilan keputusan. • Isu-isu kesehatan wajib menjadi materi pembelajaran. SEKOLAH LAPANGAN ESP


31 • Rasa bangga pada konservasi alam terus dibangun dalam setiap proses pembelajaran. • Orientasi pasar hendaknya dapat dibicarakan secara khusus. • Topik dinamika kelompok dijalankan secara seimbang.

5. Sarana Belajar Alam adalah sarana belajar utama. Jika dibutuhkan alat bantu belajar yang lain meski dibuat bersama dan bersifat sementara (saat dibutuhkan). Beberapa catatan tentang sarana belajar antara lain; • Mempunyai tempat atau obyek khusus untuk studi lapangan atau pengkajian pengalaman • Percobaan lapangan bersifat untuk mengkaji pengalaman bukan demontrasi teknik atau inovasi tertentu. • Sarana belajar dirancang oleh peserta berdasarkan proses belajar yang dilakukan. • Sarana belajar dipersiapkan dan diusahakan tersedia di lokasi kegiatan. 6. Pengelolaan Kegiatan Komponen lain dari sekolah lapangan yang bersifat non-fisik dan merupakan hasil kerja ke lima komponen di atas adalah pengelolaan kegiatan. Untuk menjaga kualitas SL-ESP dirumuskan ciri pengelolaan, antara lain; • Disiplin dan memanfaatkan waktu secara efisien • Kehadiran peserta minimal 80% dan terjaga sepanjang musim kegiatan. • Norma-norma belajar dan diskusi selalu terjaga sehingga terhindar dari dominansi peserta tertentu. • Pengarusutamaan gender diterapkan dalam kelompok diskusi baik secara kuantitas maupun kualitas. • keterbukaan dan kebersamaan dalam persoalan keuangan. • peserta dan pemandu paham dan menjalankan perannya secara mandiri dan mengutamakan bekerja sama. • Saling memperhatikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. • Proses dan struktur kepemimpinan dijalankan secara konsekuen. • Menjalankan nilai-nilai demokratis dalam setiap proses pengambilan keputusan. 7. Perencanaan dan Pendokumentasian Meskipun perencanaan dan pendokumentasian merupakan bagian dari pengelolaan kegiatan, akan tetapi dalam penulisan matrik kualitas selalu disendirikan. Karena persoalan yang sering muncul ketika sekolah lapangan sudah sering diselenggarakan, kedua aspek ini sering diabaikan. Catatan untuk proses perencanaan dan pendokumentasian sekolah lapangan, antara lain; • Setiap perencanaan mempunyai tujuan dan hasil yang jelas dan terukur. • Setiap perencanaan kegiatan didokumentasikan. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


32 • Catatan proses dan hasil setiap pertemuan didokumentasi dan disusun secara sistematis. • Catatan hasil monitoring dan evaluasi selain didokumentasikan juga dibahas pada akhir pertemuan. • Hasil pengamatan dan pengambilan keputusan peserta dicatat dan dibahas bersama.

8.2. Profil Kualitas Hasil Sekolah Lapangan 1. Tanda Pemberdayaan Sekolah lapangan yang merupakan sebuah pendekatan pemberdayaan masyarakat, merumuskan tanda-tanda terjadinya perubahan peserta sekolah lapangan, antara lain: • Masyarakat peserta sekolah lapangan percaya diri dan aktif dalam hubungan sosial. • Peserta merasa memiliki kegiatan yang dijalankan. • Komunikasi antar peserta dalam berbagi pengalaman dan informasi berjalan aktif. • Peserta memahami kerangka belajar dan mampu mengembangkan tema-tema yang dipelajari. • Berpartisipasi secara aktif dalam setiap diskusi pengambilan keputusan. • Mampu menggali dan membangun gagasan atau solusi yang menjawab persoalan. 2. Tren Capaian Hasil Hasil lain sekolah lapangan adalah adanya kecenderungan perubahan yang terjadi di masyarakat, khususnya peserta sekolah lapangan. Rumusan tren capaian hasil antara lain; • Secara umum ada perbaikan dalam pengelolaan lahan sendiri dan kawasan di desanya. • Ada perubahan dalam perilaku bersih dan sehat • Ada proses pemberdayaan dalam bidang keuangan • Ada perbaikan proses adopsi dan adaptasi terhadap inovasi baru. • Ada perbaikan kualitas terkait pekerjaan • Ada peningkatan pendapatan baik melalui peningkatan kualitas, efisiensi input atau peningkatan output (hasil) 3. Gejala Keberlanjutan Keberlanjutan aktivitas masyarakat setelah sekolah lapangan menjadi dampak keberhasilan yang rumusannya, antara lain: • Mampu memobilisasi narasumber dan pelaksana lokal. • Adanya lembaga lokal yang mampu berbagi biaya. • Terkait dan bekerja sama dengan program-program setempat. • Mampu membangun keswadayaan masyarakat. • Menerapkan dan mengembangan sistem monitoring dan evaluasi secara partisipatif. SEKOLAH LAPANGAN ESP


33 • Perencanaan tindak lanjut yang dibuat masyarakat dapat diterima oleh semua pihak.

Rumusan profil kualitas komponen dan hasil sekolah lapangan dituangkan dalam matrik kualitas SL ESP yang menjadi pedoman dalam kegiatan monitoring dan evaluasi.

8.3. Bentuk-bentuk Monitoring dan Evaluasi 1. Tim Multi Pihak Pembentukan tim monitoring yang beranggotakan perwakilan intansi teknis terkait pemerintah daerah, LSM lokal, dan pemerintah desa cukup membantu menjaga kualitas sekolah lapangan. Selain menjadi jembatan untuk keberlanjutan sekolah lapangan, tim multi pihak ini juga berperan sebagai narasumber sekaligus pendorong motivasi peserta. Kunjungan tim ini dijadwalkan pada awal, tengah dan akhir pelaksanaan dan dibekali matrik kualitas sekolah lapangan. 2. Kunjungan Silang Kunjungan silang antar perwakilan peserta sekolah lapangan cukup berhasil dalam membangun kompetisi positif di antara mereka. Proses saling melihat, berdialog, belajar dan menilai dapat menjadi sarana untuk membangun kebanggaan mereka sekaligus minat untuk memperbaiki kesalahan atau menambah kekurangan. Kegiatan kunjungan silang ini dilakukan pada pertengahan tahap aksi rintisan. 3. Lokakarya Pemandu Lokakarya pemandu sekolah lapangan (pelandu lapangan dan pemandu desa) merupakan salah satu bentuk wadah belajar bersama berdasar pengalaman mereka. Selain untuk proses evaluasi kegiatan yang telah dilakukan, agenda lokakarya juga menyusun rencana detail kegiatan selanjutnya. Lokakarya ini diselenggarakan setiap awal / akhir tahapan sekolah lapangan. 4. Penilaian Perubahan Pertemuan peserta sekolah lapangan untuk menilai perubahan yang terjadi menjadi salah satu bentuk studi dampak sekaligus proses membangun rasa memiliki. Analisa perubahan yang dituangkan dalam bentuk peta, foto sebelum dan sesudah, profil champion, dan studi kasus, selain mampu mambangun kebanggaan, juga menilai kelebihan dan kekurangan kelompok mereka. Kenyamanan memang sesuatu yang sulit untuk ditinggalkan meski kadang menghambat perubahan. Persoalan juga sulit untuk dihindari meski pekerjaan sudah dilakukan dengan cerdas dan cermat. Akan tetapi, sering perubahan terjadi ketika ada persoalan. Oleh karena itu, persoalan yang terjadi di sekolah lapangan adalah rawa-rawa yang membuat kita terperosok. Bagaimana kita bisa naik kembali dan tidak terperosok lagi dibutuhkan monitoring dan evaluasi. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


34

SEKOLAH LAPANGAN ESP


CERITA KEBERHASILAN

”Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”

Sebagai pendekatan proses pemberdayaan masyarakat, sekolah lapangan sering kesulitan dalam menetapkan target keluarannya. Ukuran keluaran dari kegiatan sekolah lapangan lebih ditekankan pada jumlah orang yang terlibat, kualitas penyelenggaraan, dan peningkatan pengetahuan lewat kegiatan tes awal dan akhir. Meskipun keluaran kegiatan sering dianggap terlalu kecil dibanding masukkan yang diberikan, akan tetapi dampak yang ditimbulkan sangat menguntungkan bagi pengembangan program berikutnya. Peningkatan kapasitas masyarakat yang merupakan hasil dari proses belajar di sekolah lapangan, ukurannya sulit dibakukan. Oleh karena itu, untuk mengukur keberhasilan sekolah lapangan lebih ditujukan pada kegiatan tindak lanjut pengembangan program oleh masyarakat. Penilaian ini, sebagian besar memang bersifat kualitatif, sehingga pengkajian dan pelaporan model studi kasus menjadi pilihan penilaian dampak. Rangkaian cerita keberhasilan dari sekolah lapangan di bawah ini adalah contoh dari studi kasus dari beberapa lokasi sekolah lapangan. Sambutan masyarakat setelah terlibat dalam sekolah lapangan, dikaji baik dari aspek teknis, manajemen, maupun perubahan sikap secara individu. Pola penulisan studi kasus secara garis besar dibagi dalam tiga model, yaitu: (1) Foto sebelum dan sesudah, (2) Pola pengembangan jaringan, dan (3) profil perorangan. Untuk memberi variasi cerita keberhasilan, dipilih 12 cerita dari empat regional dengan tema yang berbeda-beda. 1. Perubahan di Desa Citrosono: ”Lahan Kritis Berubah Jadi Kampung Ternak” 2. Gerakan Kelompok Perempuan Desa Sambak: ”Kebun Bibit Desa untuk Tambahan Pendapatan” 3. Desa Ngargomulyo di lereng Gunung Merapi: “Pengembangkan Desa Konservasi dengan Multi Aspek” 4. Kelompok Tani Bumi Jaya II: ”Rekonstruksi Kebun Apel untuk Menjamin Keberlanjutan Usaha” 5. Gerakan Bersih Masyarakat Kali Nongko: ”Membangun MCK Bernuansa AlamBerstandar Kesehatan”

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

35


36 6. Profil Mohammad Yasin: ”Penghargaan untuk Keragaman Tanaman” 7. Warga Desa Cibogo Sumbang: ”Imbal Jasa Lingkungan untuk Perlindungan Sumber Air” 8. Forum Masyarakat Bandung Barat: ”Membangun Jaringan Kerjasama Lintas Desa untuk Menjaring Dukungan” 9. Profil Pendekar Perubahan dari Sungai Cikapundung: “Dari Sekolah Lapangan ke Sekolah Formal” 10. Gerakan Masyarakat Sibolangit untuk Konservasi Tanah: “Aron Kompos di Puang Aja” 11. Profil Bu Dewi dari Sibolangit: “Menjual Air Liur demi Kelestarian Kawasan”. 12. Cerita Perjalanan Isniar: ”Terbang ke Bandung dengan Sampah” 13. Gerakan Konservasi Warga Desa Keutapang: ”Air Kembali Mengalir di Desa Tercinta”

Sukirman

Perubahan di Desa Citrosono LAHAN KRITIS BERUBAH JADI KAMPUNG TERNAK Desa Citrosono, Kecamatan Grabak, Magelang terletak di persilangan lereng barat Gunung Andong dan lereng selatan Gunung Telomoyo. Desa ini mempunyai keindahan alam dan dinamika sosial masyarakat yang menarik. Hutan negara yang sebenarnya berstatus hutan produksi terlihat masih hijau dengan aneka tanaman pohon dan semak belukar yang tumbuh lebat. Sedangkan lahan kering milik masyarakat, dikelola dengan pola kebun Gasebo dari bambu dengan arsitektur yang menarik dibuat campur. Bunga aneka warna membentang sendiri oleh peserta sekolah lapangan di Desa Citrosono, bangunan ini terletak di tengah kampung ternak di areal persawahan. Masyarakat desa ini memang sudah puluhan tahun bertani tanaman bunga potong. Kebeningan air Sungai yang melintasi desa mengalir di sela-sela bongkahan batu-batu hitam. Keindahan alam ini tak mungkin terlihat jika tak ada aktivitas masyarakat untuk menjaga kelestarian alam. Kekayaan vegetasi di setiap bentang lahan dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber hijau makanan ternak. Hampir di setiap keluarga yang tinggal di pinggir hutan mempunyai ternak sapi atau kambing. Mereka tinggal bersama dengan ternaknya dan kadang hanya dibatasi dengan tembok atau anyaman bambu. Masyarakat tidak memahami akan dampak dari kotornya kandang ternak, meskipun sering terjadi wabah diare dan kadang penyakit malaria. Mereka hanya berargumentasi dengan aspek kemudahan dan keamanan, ketika ternaknya tinggal dalam satu rumah dengan mereka. SEKOLAH LAPANGAN ESP


37 Sekolah lapangan ESP yang dilakukan pada awal tahun 2008, membawa perubahan baru pada perilaku masyarakat. Proses belajar partisipatif yang dikembangkan, mampu meningkatkan daya kritis dan analisis cara berpikir masyarakat. Secara bersamasama mereka merancang sebuah kampung ternak komunal hasil pengkritisan pola perkandangan yang selama ini mereka lakukan. Gagasan mereka yang dituangkan dalam proposal program desa, secara cepat mendapat tanggapan dari banyak pihak. Salah satunya adalah kepala desa yang menyediakan lahan seluas 3.000 M2 untuk area kandang komunal. Semangat masyarakat begitu besar sehingga mampu menggerakkan mereka secara gotong royong menciptakan impiannya. Tidak lebih dari satu bulan, lahan yang sebelumnya hanya ditanami jagung sekali setahun, dirubah menjadi perkampungan ternak. Lebih dari 70 kepala keluarga mempunyai kandang ternak yang tertata rapi di perkampungan ini. Selain kandang ternak, area ini dilengkapi dengan unit kebun bibit desa, MCK komunal dan balai pertemuan berbahan bambu dengan arsitektur modern. Forum masyarakat yang diberi nama �Dlimas Manunggal� dibentuk sebagai unit kerjasama dalam mengelola kampung ternak. Balai Belajar yang terbuat dari bambu ini dikerjakan sendiri oleh masyarakat setempat. Mereka terlibat dalam Sekolah Lapangan Pengelolaan Bambu yang membahas dari persoalan budidaya, pemanfaatan untuk kontruksi sampai pemasaran. Ketrampilan dalam pengawetan dan membuat kontruksi bangunan bambu dengan sentuhan teknologi baru, adalah salah satu peningkatan kapasitas yang bermanfaat dalam perikehidupan. Kemampuan masyarakat ini terus berkembang seiring dengan kontrak kerja / usaha yang mereka terima dari berbagai kalangan. Hutan bambu yang sebelumnya tidak terawatt menjadi sebuah kawasan yang menjadi ladang usaha masyarakat secara berkelanjutan

Gerakan Kelompok Perempuan Desa Sambak KEBUN BIBIT DESA UNTUK TAMBAHAN PENDAPATAN Kelompok Perempuan “Sekar Melati� Desa Sambak yang merupakan kelompok alumni sekolah lapangan, semakin menunjukkan kemajuan dalam melakukan gerakan konservasi lingkungan. Ketekunan mereka dalam mengelola Kebun Bibit Desa (KBD) mendapat dukungan dari Balai Pembibitan Tanaman Hutan (BPTH). Kontrak kerja selama tiga tahun dibuat untuk membangun KBD dengan standar kualitas dan kapasitas yang tinggi. Sebelumnya kelompok yang beranggotakan para ibu rumah tangga ini hanya menghasilkan 10.000 bibit setiap tahunnya. Pada saat ini lebih dari 50.000 bibit suren dan sengon telah dihasilkan dalam satu musim. Berdasarkan kontrak kerja, pada tahun pertama, hasil KBD ini akan digunakan sebagai sumber bibit untuk menghijaukan bukit potorono yang membujur di desanya dan lima Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


Ferry H

JUDY KURNIAWAN

38

Kebun Bibit Desa yang dikelola lelompok perempuan “Sekar Melati”sejak tahun 2006. Semula hanya berukuran 8x4 meter dengan kapasitas 10.000 bibit dan perlengkapan kerja yang terbatas.

Melalui kerja sama dengan Balai Pembibitan Tanaman Hutan (BPTH) Departemen Kehutanan, membangun KBD dengan kapasitas 100 ribu bibit. Selain untuk KBD lahan 5.000 M2 dikelola untuk percontohan pertanian terpadu dan kandang ternak komunal.

desa lainnya. Sedangkan pada tahun ke dua, kelompok ini akan secara professional memasarkan bibit hasil KBDnya setelah mendapat sertifikat dari lembaga pemerintah. Pada tahun ini diharapkan anggota kelompok ini mendapat tambahan pendapatan untuk keluarganya. Gerakan kaum perempuan Desa Sambak untuk konservasi lingkungan sekaligus meningkat livelihood masyarakat, mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Kaum perempuan yang biasanya diabaikan dalam mengelola program lingkungan apalagi berhubungan dengan pihak lain, dijawab oleh kelompok ini dengan bukti kemajuan dan keberlanjutan. Meskipun desanya jauh dari kota, tapi para ibu rumah tangga yang tergabung dalam kelompok ini tidak pernah ketinggalan dalam teknologi pembuatan dan pemasaran bibit pohon. Kelompok ini juga melakukan pendidikan lingkungan untuk anak-anak, baik melalui pendidikan non formal seperti pendidikan anak usia dini (PAUD) maupun sekolah dasar. Kebun Bibit Desa yang dikelola kelompok perempuan “Sekar Melati” sejak tahun 2006, semula hanya berukuran 8X4 meter dengan kapasitas 10.000 bibit. Letaknya jauh dari pemukiman dan perlengkapan kerja juga sangat terbatas . Pada pertengahan tahun 2008, melalui kerjasama dengan Departemen Kehutanan, kelompok perempuan “Sekar Melati” membangun kebun bibit desa dengan kapasitas 100 ribu. Lahan seluas 5.000 M2 dikelola sebagai unit pertanian terpadu termasuk KBD dan kandang ternak komunal.

Desa Ngargomulyo di lereng Gunung Merapi PENGEMBANGKAN DESA KONSERVASI DENGAN MULTI ASPEK Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, merupakan salah satu desa yang termasuk golongan 1 rawan bencana. Desa ini terletak di sisi barat Gunung Merapi dengan separo wilayahnya masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Gunung

SEKOLAH LAPANGAN ESP


39 Merapi. Masyarakat desa ini sangat hafal seluk beluk Merapi dengan aktivitasnya. Seni dan budaya yang masih dilestarikan terkesan sebagai ritual perikehidupan kawasan Merapi. Pada awal tahun 2007, ESP memilih desa ini menjadi lokasi sekolah lapangan bersama lima desa lain di sekitarnya. Kawasan Sub Daerah Aliran Sungai Blongkeng menjadi batas ekologi proses pemilihan kawasan terpadu untuk mengembangkan model mini ESP. Meski pada saat itu aktivitas Gunung Merapi masuk dalam kategori SIAGA, akan tetapi, semangat peserta tetap membara untuk mengikuti proses pembelajaran dan pengkajian perikehidupan berkelanjutan. Perlahan tapi pasti, peserta sekolah lapangan membangun kesepakatan dan menetapkan aktivitas yang akan dijalankan. Model Desa Konservasi yang merupakan Program Nasional dari Departemen Kehutanan, diterjemahkan dalam bahasa lapangan yang gampang dipahami dan diterapkan. Empat pilar teknis konservasi; (1) Vegetasi, (2) Sipil Teknis, (3) Agronomi, dan (4) Sistem pengelolaan setempat, dijalankan secara bertahap. Sebagai awal gerakan, peserta sekolah lapangan membangun Kebun Bibit Desa yang digunakan sebagai sarana belajar sekaligus sebagai unit produksi bibit pohon. Kegiatan ini dirangkai dengan aksi tanam pohon yang melibatkan para pelajar di sekolah setempat. Untuk membangun rasa bangga pada kawasan konservasi, mereka bekerjasama dengan LSM dan forum masyarakat setempat melakukan kampanye dan pendidikan konservasi melalui media stasiun radio setempat.

Sigit Widodo

Pilar agronomi, dijalankan dengan melakukan sekolah lapangan pengelolaan bambu. Kekayaan bambu di kawasan penyangga yang belum dikelola, digarap menjadi salah satu pilihan usaha masyarakat yang menjanjikan secara ekonomi dan ekologi. Masyarakat terlihat begitu semangat mengkuti proses belajar sambil bekerja. Ketrampilan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan, teknis panen berkelanjutan sampai penanganan paska panen seperti kerajinan bambu, hampir seutuhnya dikuasai peserta.

Acara ritual pelestarian sumber air dan satwa Gunung Merapi dilakukan masyarakat Desa Ngargomulyo. Selain pentas seni rakyat setempat, event ini juga mengagendakan dialog tentang konservasi dengan berbagai pandangan.

Langkah selanjutnya, peserta sekolah lapangan yang difasilitasi pemandu desa, mengusulkan kepada Pemerintah Desa Ngargomulyo untuk menyusun Peraturan Desa tentang Pelestarian Lingkungan. Gagasan ini mendapat respon pemerintah daerah dan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Setelah membentuk tim khusus, tujuh tahapan penyusunan peraturan desa dijalankan secara maraton selama empat bulan. Dengan payung formal ini, masyarakat mendapat kepastian tetang terbangunnya sistem pengelolaan lokal

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


40 Kelompok Tani ”Bumi Jaya II”

Arief Lukman hakim

REKONTRUKSI KEBUN APEL UNTUK MENJAMIN KEBERLANJUTAN USAHA ”Dulu saya berpandangan bahwa masalah lingkungan adalah masalah pemerintah, bukan urusan saya” kenang Pak Darmanto. ”Setelah mengikuti Sekolah Lapangan, saya berpikir bahwa setiap hal yang saya kerjakan sekecil apa pun akan berpengaruh terhadap lingkungan, lingkungan adalah saya” imbuh lelaki yang berprofesi sebagai petani apel dari Desa Bumiaji Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Pak Darmanto bersama 24 orang petani lainnya terlibat dalam sekolah lapangan yang diselenggarakan oleh ESP pada tahun 2006. Proses pembelajaran dan pengkajian akan modal perikehidupan desanya, seperti membukan pandangan mereka. Dari hasil analisa kecenderungan mereka menemukan fakta bahwa produksi buah apel terus mengalami penurunan. Kondisi terus ditelusuri untuk mencari faktor penyebabnya. Luas hutan yang terus berkurang dirasakan menjadi penyebab kondisi udara menjadi kurang sejuk, dan hama pemakan pucuk tanaman apel semakin merajalela. Berkurangnya jumlah pohon selain apel dirumuskan sebagai akar masalah ketidak-seimbangan lingkungan di kebun apel mereka. Sekolah lapangan yang melibatkan beberapa anggota Kelompok Tani Bumi Jaya II ini, menjadi pemicu gerakan masyarakat untuk merekontruksi kebun apel. Gerakan dimulai dengan aksi tanam pohon di setiap batas kebun apel untuk meningkatkan keanekaragaman kebun. Dan untuk memenuhi kebutuhan bibit pohon, mereka membangun kebun bibit tanaman keras. Pada tahun 2007, kelompok tani yang dikoordinir Pak Darmanto ini, mampu menghasilkan lebih dari 60.000 bibit tanaman keras. Selain untuk pengkayaan tanaman di kebun apel, aksi tanam pohon yang secara reguler dilakukan masyarakat, juga ditujukan untuk perlindungan sumber air. Daerah ini memang memiliki mata air besar yang juga dimanfaatkan PDAM Kota Malang, sebagai sumber air baku. Pak Darmanto sedang menyiapkan sekitar 60.000 bibit tanaman keras (Program Pembibitan Bekerjasama KT Bumijaya II dengan BPTH (Balai Perbenihan Tanaman Hutan) Jawa Madura.

Aksi masyarakat dalam mengembangkan usahatani sekaligus melindungi lingkungannya, mendapat perhatian dari banyak pihak. Departemen Kehutanan melalui kinerja Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Jawa dan Bali membangun bekerjasama dengan Kelompok Tani Bumi Jaya II dalam program penyediaan bibit pohon. Instansi ini, selain membantu menyediakan sarana kebun bibit juga memberi pembekalan untuk meningkatkan ketrampilan petani. Pada tahun pertama program, kebun bibit yang dibangun di tanah kas desa ini mulai memproduksi sekitar 50.000 bibit tanaman keras, seperti sengon, suren mahoni dan mindi.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


41 Melihat perkembangan kegiatan kelompok taninya, Pak Darmanto membangun ide-ide kreatif dalam memecahkan masalah lingkungan. Para pemuda desa yang biasanya merasa jijik dengan tumpukan sampah, diberdayakan untuk membangun sistem pengelolaan sampah. Potensi sampah rumah tangga dan limbah pertanian yang sangat besar, dikelola oleh kelompok pemuda sebagai salah satu sumber pupuk organik. Gagasan yang mulai diterapkan ini, mendapat dukungan dari pemerintah desa dengan menyediakan dana Rp 13 juta untuk membangun rumah kompos. Unit kerja pemuda yang belum genam berumur satu tahun ini mampu menghasilkan enam ton kompos dalam sepuluh hari. Proses fermentasi bahan organik dilakukan dengan teknologi probiotik (Mikro-Organisme Lokal/MOL) yang mereka buat sendiri. Saat ini saja mereka sudah kewalahan untuk memenuhi permintaan kompos dari petani apel, sayur dan tanaman hias. Unit usaha yang mampu menyerap 5 tenaga kerja per hari, mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 1 juta perbulan.

Gerakan Bersih Masyarakat Kali Nongko MEMBANGUN MCK BERNUANSA ALAM - BERSTANDAR KESEHATAN

Christina H Putri

Antrian panjang masyarakat untuk mandi, mencuci, dan buang air besar di pinggir Kali nongko, menjadi pemandangan rutin setiap pagi dan sore. Masyarakat Dusun Mrasih, Desa Kemiri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, mempunyai kebiasaan yang sudah turun temurun untuk memanfaatkan aliran air di sungai ini. Walaupun wabah penyakit kulit dan mencret sering terjadi, akan tetapi tidak menyurutkan mereka menjalankan aktivitas rutin yang mengandung resiko kesehatan.

Sarana Mandi Cuci dan kakus komunal terlihat asri dan harmonis dengan alam sekitarnya. Sarana ini dibangun oleh masyarakat Kalinongo sebagai bagian gerakan hidup bersih dan hijau.

Desa yang terletak di area perbukitan Gunung Biru dengan struktur tanah yang mudah longsor mempunyai banyak kendala mencari lahan datar untuk fasilitas MCK. Disamping itu, ketidakmampuan ekonomi masyarakat menjadi penyebab lain untuk membangun fasilitas MCK. Pada awalnya, pertimbangan ESP menyelenggarakan Sekolah Lapangan, adalah karena letak desa ini berbatasan langsung dengan wilayah Perhutani KPH Pasuruan dan Taman Hutan Raya Raden Soerjo. Sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat lebih didorong untuk dikembangkan melalui proses belajar bersama.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


42 Keterbukaan sekolah lapangan, menjadi kunci pembuka gagasan untuk memperbaiki perilaku bersih dan sehat, selain mengelola hutan secara lestari. Mereka merancang sebuah bangunan permanen untuk aktivitas MCK. Semangat yang besar dan kebersamaan yang kokoh menjadi modal mereka untuk secara mandiri merealisasikan gagasannya. Pada awal Bulan Agustus 2008, impian mereka terwujud dengan terbangunnya MCK di lahan seluas 50 M2. Fasilitas dua kamar mandi dan empat WC disediakan untuk masyarakat. Selain tangki septik, mereka juga melengkapi bangunan pengolah limbah dalam bentuk lahan basah (wetland). Untuk menarik minat masyarakat, MCK ini sengaja dibangun di pinggir kali dengan desain setengah terbuka agar mereka tidak kaget mengalami perubahan. Nuansa alam, seperti pemandangan sawah dan bukit yang hijau, suara gemercik air sungai dan hembusan semilir angin, masih tetap dapat dinikmati masyarakat selama mereka menjalankan aktivitas di MCK. MCK pinggir Kali Nongko yang digagas, dirancang dan dibangun oleh masyarakat sendiri, mampu melayani lebih dari 90 kepala keluarga dalam aktivitas mandi, cuci, dan buang air besar. Keberadaan MCK ini diharapkan akan mengurangi pencemaran air di Kali Nongko oleh limbah buangan air kotor masyarakat desa karena setidaknya 50% penduduk dusun tersebut telah memanfaatkan MCK ini. Meskipun mereka masih tergolong dalam masyarakat miskin, tetapi sekarang mereka bisa bangga dengan perubahan perilaku bersih dan sehat termasuk kemampuan secara swadaya membangun MCK dengan standar pengolah limbah yang baik. Gerakan masyarakat Dusun Mrasi ini, menjadi bukti bahwa sekolah Lapangan adalah proses mengeluarkan potensi masyarakat yang terpendam sehingga mereka mampu secara swadaya membangun gagasannya.

Profil Mohammad Yasin PENGHARGAAN UNTUK KERAGAMAN TANAMAN

Dhina Mustikaningrum

Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebenarnya bukan hal baru bagi Pak Yasin. Lelaki bernama lengkap Mohammad Yasin ini, sudah menerapkan model sudah lebih dari 40 tahun. Pada tahun 1961, saat baru berumur 11 tahun dan masih belajar di Sekolah Rakyat, Yasin sudah membantu sang ayah mengelola lahan hutan yang dikontrak keluarganya dari negara. Selama 47 tahun, Yasin mengaku sudah berganti wilayah garapan beberapa kali, agar lokasi bekerjanya dekat dengan rumah. Lelaki warga Dusun Tegalkidul, Desa Jatiarjo, Kecamatan Dayurejo, Pasuruhan ini, sudah bertahuntahun mengelola hutan negara dan tetap menjaga kelestariannya. Pak Yasin dengan KPH Award yang didapatkan dari Perhutani (KPH Pasuruan) sebagai Pemenang 1 tahun 2008 untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

Meskipun saat ini sudah berumur 58, Yasin masih mampu mengelola seperempat hektar hutan negara SEKOLAH LAPANGAN ESP


43 dengan hampir 1.000 pohon yang menjadi ajang pekerjaan sehari-hari. Lahan dengan kerapatan pohon seperti di petak Yasin boleh dibilang sebuah pemandangan yang langka. Aneka tanaman seperti nangka, kemiri, pinus, salam, kedawung, mahoni, alpukat, pisang, rambutan, anggrung, jambu tumbuh bercampur dan teratur. Saking rapatnya, jagung atau tanaman musiman lainnya tak bisa tumbuh di lahannya. Selama 17 tahun, lelaki ini memperoleh nafkah dari hasil panen tanaman buah-buahan. Dan sebagai bentuk komitmen atas perjanjiannya dengan Perhutani saat kontrak lahan garapan, Yasin membayar kontrak lahan garapan sebesar Rp 35.000 per tahun melalui mekanisme pengelolaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lelaki ini juga memelihara tiga ekor sapi di bagian belakang lahan. Kotoran sapi yang sudah dicampur tanah dijadikan pupuk, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyuburkan tanamannya, jadi saya tidak perlu keluar uang untuk membeli penyubur tanaman,” katanya. Perkembangan petak lahan garapan Yasin ternyata tidak lepas dari pengamatan petugas Perhutani. Menurut Fathur, salah satu anggota panitia PHBM Awards, Yasin dan lahannya memang layak mendapat penghargaan, karena sesuai dengan kriteria penilaian yang dirancang panita dan Perhutani Pasuruan. “Lahan Pak Yasin memliki jenis tanaman yang variatif, nilai tumbuh tanaman di lahan Pak Yasin di atas 80%, dan jumlah tanaman semusim tidak lebih dari 10%,” kata Fathur. Dan petak di Jatiarjo yang dikelolanya sejak tahun 1991 inilah yang membawa Yasin meraih penghargaan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dari Perhutani. Pada tanggal 14 Januari 2008, bersamaan dengan peresmian Arboretum – kebun aneka tanaman yang dibangun di Desa Dayurejo, dengan bangga menerima tropi penghargaan. “Saya senang dipercaya memegang trofi ini, tapi saya merasa belum melakukan apaapa,” kata Yasin merendah. Kerjasama antara ESP, Perhutani dan Yayasan Kaliandra dalam membangun arboratum sebagai sarana kampanye bangga melestarikan alam, tak akan ada artinya jika tidak didukung masyarakat seperti Pak Yasin. Dan untuk menciptakan Yasinyasin yang lain, ESP menggandeng lelaki yang rendah hati ini menjadi narasumber sekolah lapangan.

Warga Desa Cibogo SUMBANG IMBAL JASA LINGKUNGAN UNTUK PERLINDUNGAN SUMBER AIR Desa Cibogo, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu desa yang terletak di kawasan hulu Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung, tepatnya di Sub Sub DAS Cigulung. Bentang alam yang masuk wilayah administrasi desa ini menjadi daerah tangkapan air yang yang sangat potensial. Disamping itu, menurut hasil survey lapangan kelompok Tunas Harapan, pada Bulan Februari 2009, terdapat 20 mata air tersebar di tiga pedusunan. Survai yang dilakukan oleh kelompok masyarakat setempat juga menyatakan bahwa beberapa mata air yang ada mengalami penurunan pasokan air, baik secara kuantas maupun kualitas airnya. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


Seluruh aliran air di kawasan ini menjadi pemasok air untuk waduk Saguling yang dijadikan sumber energi listrik PT. Indonesia Power. Beberapa perusahan pengolah air seperti PDAM dan Perusahan air minum kemasan juga memanfaatkan mata air yang ada. Keberadaan perusahaan ini dinilai masyarakat menjadi salah satu penyebab keringnya mata air Cicadas yang merupakan sumber air baku mereka. Dan meskipun ketergantungan warga desa terhadap keberadaan mata air sangat besar, mereka tidak dapat berbuat banyak selain tergantung PORTAB bersama PDAM Kota Bandung dan aparat kecamatan setempat melakukan kunjungan lapangan untuk program zonasi kepada perusahaan air minum yang perlindungan mata air Cikareo Kecamatan Lembang. mensuplai air sehari tiga kali ke lokasi mata air. Mata air Cikereo yang dimanfaatkan PDAM untuk melayani air bersih bagi masyarakat kota Bandung, juga mengalami ancaman serupa. Persoalan ini mungkin sudah banyak menjadi pemikiran banyak pihak, akan tetapi belum ada aksi nyata di tingkat lapangan. Pada pertengahan tahun 2008, ESP membangun kerjasama dengan PT. Indonesia Power untuk melaksanakan program konservasi daerah tangkapan air. Kerjasama ini mengawali proses pemberdayaan masyarakat dengan penyelenggaraan sekolah lapangan di beberara desa. Kelompok Tunas Harapan yang merupakan salah satu kelompok masyarakat di desa ini dipilih menjadi salah satu lokasinya. Kelompok yang beranggotakan 10 orang perempuan dan 16 orang laki-laki, menjadi penggerak masyarakat setempat. Mereka menyusun program dengan visi “membentuk lingkungan yang lebih baik dalam hal kebersihan, kesehatan, penghijauan, dan sosial�. Melalui program ini, mereka mencoba mendobrak dan menggerakan warga untuk ikut serta dalam melakukan aktivitas-aktivitas konservasi lingkungan. Program perlindungan mata air mereka jalankan dengan dua perangkat teknis, yaitu: (1) teknis vegetasi melalui penambahan pohon tegakan, dan (2) teknis sipil melalui pembangunan sumur resapan dan pembuatan lubang biopori. Rencana aksi masyarakat ini mendapat dukungan dari PDAM Kota Bandung dengan menyediakan dana dan sarana sebagai salah satu mekanisme imbal jasa lingkungan. Kolaborasi masyarakat dan para pelaku usaha mampu membangun gerakan masyarakat yang nyata dengan hasil yang bermanfaat. Hanya dalam waktu tidak lebih dari enam bulan 5 unit sumur resapan dan 500 titik biopori dihasilkan melalui kerjasama dua pihak tersebut. Selain itu, secara swadaya warga desa membangun sekitar 50 titik sumur resapan dan 100 titik biopori. Bangunan resapan air ini dimanfaatkan masyarakat untuk menampung limpasan air hujan dari talang rumah dan pembuangan air dari kamar mandi. Harapannya, dengan semakin banyak air yang meresap ke dalam tanah akan berdampak pada meningkatnya debit mata air termasuk pasokan air di musim kemarau. SEKOLAH LAPANGAN ESP

Elis

44


45

Forum Masyarakat Bandung Barat MEMBANGUN JARINGAN KERJASAMA LINTAS DESA UNTUK MENJARING DUKUNGAN

Elis

Pada saat ini, forum masyarakat peduli lingkungan bak jamur di musim hujan, mereka tumbuh meski hanya dilatarbelakangi sebuah peristiwa tertentu. Akan tetapi, forum masyarakat di Kabupaten Bandung Barat ini punya perbedaan yang mendasar dengan forum lainnya. Pada awal tanggal 21 Mei 2007, para alumni sekolah lapangan dari lima desa di sub DAS Cikapundung, memproklamirkan sebuah forum yang diberi nama PORTAB (Persatuan Organisasi Rakyat Tatar Alam Bandung). Mereka membangun forum ini berlandaskan pemahaman yang kuat akan kondisi dan kebutuhan alam bandung. Kesepakatan yang mereka buat juga didasarkan pada pengalaman mereka ketika menjalankan aksi-aksi rintisan sekolah lapangan.

PORTAB bersama PDAM Kota Bandung dan aparat kecamatan setempat melakukan kunjungan lapangan untuk program zonasi perlindungan mata air Cikareo Kecamatan Lembang.

Sepintas visi organisasi ini terkesan formal, yaitu “ mempersatukan langkah bersama mencintai alam dan lingkungan untuk menjaga, melestarikan dan mengembangkan segenap potensi yang terkandung di dalamnya untuk sebesarbesar kesejahteraan masyarakat”. Akan tetapi rencana kegiatan yang mereka rumuskan sangat praktis untuk dijalankan. Desa Mekarwangi, Cikidang, Wangunharja, Cibodas, dan Suntenjaya yang membidani lahirnya forum ini berpengalaman dalam menjalankan gerakan masyarakat di tingkat lapangan.

Persoalan daerah aliran sungai yang tidak hanya terkait aktivitas di kawasan mereka, menjadi pertimbangan untuk melebarkan jaringan kerjasama. Pada pertengahan tahun 2008, PORTAB melebarkan sayapnya di Sub Sub DAS Cigulung. Melalui kerjasama dengan PT Indonesia Power mereka menyelenggarakan sekolah lapangan di lima desa di kawasan itu, yaitu Desa Langensari, Pagerwangi, Cikole, Cibogo, dan Jayagiri. Selain pelaku usaha, pemerintah pusat dan daerah juga dirangkul untuk terlibat aktif pada gerakannya. Dan pada bulan Agustus 2008, melalui kegiatan hari temu lapangan, mereka mendklarasikan program dengan ditandatangani prasasti “Hijaukan Lembang seperti Tempo Doeloe”. Komitmen para pihak, mulai dari Bupati Bandung Barat hingga Kepala Desa tidak sekedar hitan di atas putih, akan tetapi harus menyentuh kegiatan lapangan. Bermula dari terbangunya komitmen ini, PORTAB mendapat banyak dukungan bak durian runtuh. PDAM Kota Bandung membatu pengadaan alat pembuat biopori sebanyak 26 buah dan membangun sumur resapan sebanyak 6 unit, dan 500 bibit pohon kawung.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


46 PT. Indonesia Power terus memperkuat kerjasamanya dengan bantuan untuk aksi masyarakat. Departemen Pertanian melalui program konservasi DAS hulu menyediakan dana untuk perbaikan konservasi lingkungan. Seperti tidak mau ketinggalan, istri Wakil Gubernur Jawa Barat dan Dinas Kehutanan Bandung Barat membantu aneka jenis bibit pohon. Hujan dukungan yang diterima PORTAB selain memperkuat keberadaan mereka, tetapi juga menjadi tantangan baru yang mesti dilalui. Mereka mutlak menjaga kepercayaan para pihak disamping harus memperkuat manajemen kelembagaan. “Membangun sebuah forum atau organisasi itu mudah, akan tetapi persoalan selanjutnya adalah bagaimana menghidupkan forum tersebut, sehingga keberadaannya dipercaya dan bermanfaat bagi masyarakat�, ungkap Pak Eson, Ketua PORTAB dengan mantap.

Profil Pendekar Perubahan dari Sungai Cikapundung DARI SEKOLAH LAPANGAN KE SEKOLAH FORMAL Sekolah lapangan yang semula dikenal sebagai salah satu bentuk pertemuan kelompok tani, ternyata membawa tenaga perubahan. Seperti ada kekuatan besar yang mendorong pikiran untuk membuka lebar-labar, dirasakan oleh dua perempuan dari kawasan Sungai Cikapundung.

Aditiajaya

Ros Rosita (34 tahun), warga Desa Wangunharja, Lembang, Bandung ini adalah sosok seorang ibu yang memiliki 2 orang anak. Setiap harinya, ibu ini rajin membantu suaminya bercocok tanam sayuran di Ibu Ros Risita, salah satu pemandu desa dari kawasan kebunnya. Sebelum menjadi peserta sekolah Cikapundung, yang tertarik melanjutkan sekolah formalnya lapangan yang diselenggarakan di desanya setelah terlibat dalam sekolah lapangan. pada Bulan Januari 2007, Ibu Ros aktif menjadi kader PKK dan Posyandu. Bermula dari proses belajar bersama para petani inilah, kekuatan yang selama ini terpendam keluar seperti getah pohon karet yang dilukai. Cara bicara yang jelas dan runtut, ketegasan dalam bertindak dan sifat bersahabat dengan semua orang adalah kelebihan perempuan ini. Tanpa mempertimbangan statusnya sebagai ibu rumah tangga, para alumni sekolah lapangan memilihnya sebagai ketua kelompok PAWAL (Peduli Alam Wangunharja Lembang). Seperti Ibu Rosita, Ibu Nurhayati juga merupakan kader PKK dan Posyandu di Desa Cikidang. Perempuan berumur 35 tahun yang dipanggil Teh Enur ini, menjadi primadona

SEKOLAH LAPANGAN ESP


47 saat sekolah lapangan diselenggarakan di Desanya. Bukan karena kulitnya yang putih dan wajah yang cantik, melainkan sikap luwes, pikiran tajam, dan semangat juangnya yang menjadi alasan Teh Enur didaulat menjadi Sekretaris Kelompok “Golek Decol” Desa Cikidang. Kelompok ini, merupakan wadah baru para alumni sekolah lapangan untuk mengembangkan program yang disusunnya. Kedua sosok ibu tersebut merasakan ada tenaga yang mendorong mereka untuk melakukan perubahan-perubahan. “Sekolah lapangan ternyata bisa merubah sikap diri dan memicu saya untuk terus belajar agar selalu bertambah wawasan dan pengalaman sehingga akan lebih percaya diri ketika mengajak warga dalam menjaga linkungan dan juga sebagai kader PKK/Posyandu di desa Wangunharja.” Ungkap Ibu Rosita. Hal sama senada disampaikan Teh Enur, “Dengan sekolah lapangan dan setelah berbagi pengalaman dengan Bapak. Kustiwa, alumni sekolah lapangan PHT yang sekarang bisa sukses setelah terus belajar dan menjadi pemandu yang berhasil memicu saya meneruskan sekolah agar tidak merasa minder dan muncul kepercayaan diri pada saat memandu.” Semangat perubahan yang tumbuh terus mendorong dan mengganggu pikiran mereka. Meskipun tidak memilik pendidikan formal yang cukup tinggi, mereka tidak pernah kehilangan semangat dan kepercayaan diri. Bahkan sekarang ini, Teh Enur yang hanya lulusan sekolah setingkat SMP mengikuti program sekolah persamaan SMA. Seperti tak mau kalah, Ibu Rosita dengan semangat perubahannya mengikuti program kejar paket B yang dilaksanakan di desanya. Dari sekolah lapangan yang non formal ternyata mampu menggerakkan mereka untuk meningkatkan kemampuannya melalui pendidikan formal.

Gerakan Masyarakat Sibolangit untuk Konservasi Tanah ARON KOMPOS DI PUANG AJA Membuat kompos adalah hal biasa bagi petani, akan tetapi arisan pembuatan kompos oleh kelompok tani, itu merupakan hal yang luar biasa. Masyarakat desa Puang Aja, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Karo menyebutnya “aron kompos” yang artinya arisan pembuatan kompos. Pola ini sudah sejak bulan Mei 2008 dijalankan oleh kelompok Latersia, desa Puangaja, sebagai upaya untuk menerapkan pola pertanian ekologis pada kebun campur kakao mereka. “ Selama ini pelatihan kompos sudah sering kami dapatkan, tapi kemudian hanya beberapa orang saja yang menerapkannya, bahkan bisa dikatakan sekarang tidak ada lagi. Padahal kalau kita punya ilmu tapi tidak diterapkan, sama saja tidak ada artinya. Oleh karena itulah sekarang kami menerapkan sistem aron agar banyak orang yang melakukan pembuatan kompos” ungkap Nd Iju, salah seorang anggota. Pembuatan kompos sistem aron ini dilakukan secara bergiliran di ladang-ladang kakao milik anggota. Dua minggu sekali mereka berpindah dari satu ladang ke ladang lainnya. Selama selang waktu dua minggu itu setiap anggota mengumpulkan bebagai

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


48

Dina Kartika Sari

bahan untuk pembuatan nutrisi untuk mempercepat kerja mikroba pengurai; seperti air bekas cucian beras, limbah rumah tangga, serta bahan kompos seperti kulit kakao, kotoran hewan dan hijaun lainnya yang bersumber dari lingkungan sekitar mereka. Mereka menyebutnya sebagai MOL, Mikro Organisme Lokal.

Pelatihan pembuatan kompos yang diselenggarakan di Desa Sikeben Sumatera Utara, sebagai langkah awal gerakan masyarakat kawasan sibolangit untuk konservasi tanah dan air.

Inisiatif aron kompos muncul ketika kelompok membahas tentang “manajemen nutrisi dan lantai kebun” dalam pertemuan Sekolah Lapangan (SL) Agroforestri Kakao, yang merupakan tindak lanjut dari SL SLA di kawasan Sibolangit.

“Dengan adanya kesepakatan ini kami lebih bersemangat karena ketika tiba giliran ladang kami yang akan dikunjungi, maka kami harus sudah menyediakan tempat pembuatan kompos diladang. Disamping itu, saya akan memperbaiki ladang sebelum dikunjungi kawan-kawan karena merasa malu kalo ladang saya la mejile (bahasa Karo yang artinya ”tidak bagus” atau ”kurang terawat”)” kata Nd Wita, anggota Latersia. Ketika bergiliran dari ladang ke ladang, yang terjadi bukan hanya membuat kompos, tetapi juga terjadi diskusi tentang manajemen kebun mereka. Desa Puangaja merupakan satu dari 14 desa yang sudah difasilitasi oleh ESP USAID di Sibolangit. SL tersebut merupakan bagian dari upaya mendorong gerakan masyarakat untuk merawat fungsi ekosistem kawasan Sibolangit baik secara ekologis maupun ekonomis. Dalam hal ini, mereka berupaya untuk melestarikan kawasan tersebut sebagai Daerah Tangkapan Air dan pada saat yang sama juga mengupayakan perikehidupan masyarakat yang berkelanjutan.

Profil Bu Dewi dari Sibolangit MENJUAL AIR LIUR DEMI KELESTARIAN KAWASAN ”Bu Dewi, kemari, tengoklah tanaman di kebun yang minggu lalu kupupuk dengan kompos cair yang Ibu ajarkan kepadaku.” Demikian seru gembira seorang tetangga kepada Ibu Dewi br. Sembiring, petani desa Sikeben, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Sudah beberapa bulan terakhir ini Bu Dewi rajin menyuarakan upaya pelestarian daerah tangkapan air Sibolangit yang dilakukannya melalui pertanian ekologis. Setiap kali menjual sayur hasil kebun campurnya ke warung, Bu Dewi tak lupa ”menjual air liur” alias berkampanye.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


Widyastama Cahyana

49

Ibu Dewi Sembiring menjadi tokoh lingkungan di daerahnya karena kreativitasnya dalam membuat organisme decomposer.

“Saya ini orang yang tidak bisa memendam ilmu. Saya selalu ingin membagikannya kepada tetangga-tetangga saya. Tujuannya adalah agar lahan mereka juga memberikan hasil panen yang bagus, serta supaya fungsi daerah tangkapan air di kawasan Sibolangit ini tetap lestari.” Ungkap bu Dewi ketika ditanya tentang motivasinya berkampanye. Karena itu pula Bu Dewi rela diberi julukan “Bu Kohe” (kotoran hewan) oleh para tetangganya. Kini tak kurang dari 15 orang tetangganya baik perempuan maupun laki-laki yang belajar ke ladang Bu Dewi.

Bu Dewi tidaklah berjuang sendirian. Ia merupakan bagian dari Forum Masyarakat Sibolangit Peduli Lingkungan Hidup dan Tani untuk Kawasan Sibolangit Hijau (FORMASI PELITA KASIH - FPK). Forum ini merupakan gabungan kelompok SL /SLA, Kepala Desa dan BPD dari sembilan desa yang bersama-sama melakukan berbagai aksi pelestarian lingkungan, seperti penanaman pohon, pembibitan serta gotong royong. FPK kini telah merumuskan impian dan program bersama pelestarian kawasan daerah tangkapan air Sibolangit yang memfokuskan pada penataan dan pelestarian empat ekosistem, yaitu: ekosistem hutan, pemukiman, sungai, dan kebun campur. Impian senada ternyata juga dimiliki PDAM Tirtanadi. Perusahaan ini berkepentingan dengan kelestarian daerah tangkapan air di Sibolangit, mengingat salah satu zona air minum prima miliknya bersumber dari situ. Saat ini PDAM Tirtanadi dengan dijembatani oleh ESP tengah merintis kerjasama dengan FPK dan BPDAS untuk mempersiapkan program Sekolah Lapangan Tabungan Air di kawasan Sibolangit. Rencananya, Petani Pemandu dari FPK yang sudah berpengalaman melakukan SL akan menjadi fasilitator untuk program tersebut. Melalui SL ini masyarakat daerah tangkapan air akan belajar tentang pengelolaan curahan air hujan agar meresap secara optimal ke dalam kawasan, baik melalui revegetasi maupun upaya sipil teknis seperti sumur resapan. “Kalau perlu, SL ini tidak hanya dilakukan di kawasan Sibolangit saja, melainkan juga di daerah-daerah tangkapan air untuk PDAM Tirtanadi” demikian ungkap Subahri Ritonga, Direktur Perencanaan dan Produksi PDAM Tirtanadi menekankan pentingnya hal ini dalam diskusi perencanaan SL Tabungan Air di PDAM 25 Juli 2008 yang lalu. Melalui program ini diharapkan lebih banyak lagi masyarakat Sibolangit yang terlibat dalam upaya untuk melestarikan fungsi ekologis kawasan Sibolangit sebagai daerah tangkapan air sekaligus merawat fungsi ekonomi kawasan sebagai penghasil produk pertanian dan berbagai jasa lainnya.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


50

Maya Melliani

Cerita Perjalanan Isniar TERBANG KE BANDUNG DENGAN SAMPAH

Fasilitator dari Desa Nusa dengan bangga menjelaskan teknis pengelolaan sampah anorganik menjadi aneka produk kerajinan saat mereka ikut dalam pameran hari lingkungan.

Dusun Jabi Desa Lhok Timon Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu dusun yang sangat terpukul pada saat terjadi bencana tsunami. Selain kehilangan keluarga dan kehilangan tempat mencari nafkah, lingkungan hidup mereka menjadi rusak dan kotor dengan berbagai bentuk sampah. Persoalan sampah ini menjadi semakin serius karena kebiasaan masyarakat setempat yang senang berlama-lama di warung kopi dan makan mie instan. Mengapa kebiasaan masyarakat nongkrong di warung kopi telah menyumbang munculnya permasalahan sampah? Dengan makin banyak warung kopi bermunculan di desa ini, makin banyak bungkus plastik dari sisa kopi dan mie instant yang dapat menambah volume sampah di desa ini. Dengan melihat situasi ini, pemilik warung kopi di dusun ini terdorong untuk membantu mengurangi tumpukan sampah sisa tsunami dan sampah dari usaha warung kopinyanya.

Untuk mengatasi ini, Isniar sebagai salah satu kader lingkungan di desa mereka, telah mempelopori upaya penanganan pengurangan sampah, khususnya sampah plastuk di desa mereka. Isniar bekerja sama dengan pemilik warung kopi untuk mengumpulkan sampah plastik dari usahanya untuk dimanfaatkan menjadi barang yang lebih bermanfaat. Upaya Isniar ini mendapat dukungan dari program kolaboratif antara ESP dan Oxfam, sebuah organisasi non pemerintah. Setelah terlibat aktif dalam sekolah lapangan, Isniar mengikuti pelatihan pengelolaan sampah. Bermodal minat, ketekunan dan pengalaman yang didapatkan, dia secara kreatif mengubah tumpukan sampah plastik dan kayu menjadi aneka bentuk kerajinan yang menarik. Aksi bersih yang mengubah sampah menjadi barang bermafaat ini, terus dikembangkan di desa-desa tetangga. Sekolah lapangan dengan tema pengelolaan sampah mendapat perhatian pemerintah setempat dan masyarakat luas. Dusun Jabi dan almuni sekolah lapangan dari dua desa tetangga terpilih mewakili Kecamatan Setia Bakti mengikuti pameran memperingati bencana tsunami. Kebanggaan masyarakat semakin besar ketika terpilih menjadi juara stan terbaik pertama.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


51 Kegiatan pengelolaan sampah di Dusun Jabi rutin dilakukan setiap hari minggu selama empat jam. Baru-baru ini banyak model-model kerajinan tangan yang dibuat, mulai dari tas aneka motif dari beragam sampah dan taplak meja yang dibuat dari pipet minuman mineral. Model-model ini terus berkembang setelah Isniar melakukan studi banding ke wilayah kerja ESP Bandung. Selain mengolah sampah plastik menjadi bermacam bentuk kerajinan, juga mengolah sampah organik menjadi pupuk yang digunakan untuk tanaman. Metoda yang digunakan untuk pengelolaan ini adalah metode takakura. Saat ini, ibu Isniar boleh dibilang ibu yang super sibuk dan mempunyai jam terbang yang sangat padat. Beliau sudah mulai memfasilitasi masyarakat diwilayah kerja ESP di Kabupaten yang lain. Seperti baru-baru ini beliau baru selesai memfasilitasi ibu-ibu PKK, peserta SL dan perwakilan guru di Kecamatan Lhoong Aceh Besar selama dua hari. Jadual mendatang beliau adalah memfasilitasi ibu-ibu di Kecamatan Meureubo Aceh Barat tentang persampahan. Sepadat apapun jam terbangnya tidak membuat ibu lulusan sekolah menengah tingkat pertama ini merasa lelah dan bosan. Malah sebaliknya, tekad untuk menularkan ilmu pemanfaatan sampah terus membara di hatinya. Kalimat ini paling sering terlontar dari mulutnya untuk menyemangati masyarakat lain, “Mari bersama-sama kita manfaatkan sampah, jadikan sampah itu sebagai salah satu penghasilan tambahan kita.�. Isniar sering berucap, “Saat ini saya sudah tau bagaimana mengolah sampah plastik dan sampah dapur menjadi barang berharga yang bernilai ekonomis. Saya akan terus belajar mengolah sampah, karena kelak saya akan memberi contoh yang baik kepada masyarakat luas dan dapat menciptakan model-model yang lain dari banyak macam sampah.� kata Isniar sambil bersyukur.

Eri Arianto

Gerakan Konservasi Warga Desa Keutapang AIR KEMBALI MENGALIR DI DESA TERCINTA

Masyarakat Desa Keutapang belajar sekaligus melakukan aksi penyediaan jaringan perpipaan untuk mengembangkan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat.

Salah satu Desa yang diterapkan metode sekolah lapangan adalah Desa Keutapang Kecamatan Lhoong Aceh Besar. Proses Sekolah Lapangan mengungkapkan bahwa permasalahan terbesar desa tersebut adalah kesulitan air bersih. Masyarakat di desa ini hanya memperoleh air bersih sepanjang lima bulan dalam setahun, ketika musim hujan dan musim turun ke sawah. Selebihnya, untuk keperluan cuci, masak dan minum masyarakat sering mengangkut air dari sumur tua atau dari sungai yang berjarak sekitar 500 m lebih dari rumahnya. Desa Keutapang dihuni oleh 73 kepala kelurga.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


52 Setelah tsunami,ada LSM Lokal yang membantu masyarakat untuk menyediakan air bersih. Kenikmatan ini tidak berlangsung lama. Setahun setelah pembangunan sarana ini masyarakat kembali mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Hal ini terjadi akibat banyaknya pipa air bersih yang bocor bahkan putus akibat bajakan sawah karena dangkalnya penggalian pipa. Selain itu juga ada orang yang hanya mementingkan diri sendiri, sehingga air untuk masyarakat tidak tersedia. Kesengsaraan ini tidak dibiarkan begitu saja oleh masyarakat, mereka terus mencari solusi pemecahan masalah. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan diskusi kelompok dengan seluruh warga yang difasilitasi oleh ESP-USAID. Pada saat musyawarah berlangsung, ada satu orang warga yang berbicara kalau kegiatan ini tidak akan berhasil karena tidak ada dana yang besar, karena pada saat itu ESP hanya bisa membantu mereka dalam memfasilitasi dan hanya menyediakan makanan kecil saja. Berkat kerja keras dan sifat gotong royong yang besar dari masyarakat dan difasilitasi oleh ESP, dalam waktu satu bulan masyarakat sudah berasil memasang pipa induk ke seluruh Desa Keutapang. Kesuksesan ini membuat masyarakat sangat bahagia, bahkan kepala desa sendiri aja tidak percaya kegiatan ini bisa terkabulkan berkat gotong royong.,�Ini betul-betul luar biasa, ini baru terbukti bahwa sifat kebersamaan kita masih tetap utuh.� ungkap Pak Keuchik (kepala desa) di sela-sela kegiatan gotong royong. Sebagai tindak lanjut, masyarakat berunding untuk memasang pipa sambungan hingga ke rumah. Dalam rapat tersebut mereka membuat beberapa peraturan seperti: tidak boleh menyambung sendiri, bersepakat untuk membayar iuran bulanan air bersih, dan lain-lain. Mereka juga memilih seorang koordinator yang menangani urusan air bersih tersebut. Dalam waktu dekat, masyarakat akan menyambung sambungan pipa ke rumah-rumah, tapi sebelumnya mereka akan melakukan survai ke rumah-rumah apakah pemilik rumah bersedia membayar biaya pemasangan pipa dan iuran bulanan apabila sampingan air bersih ke rumah mereka telah dilakukan. Untuk mencukupi jumlah pipa sambungan ke rumah-rumah masyarakat, ESP bekerja sama dengan CWS Indonesia, sebuah organisasi non pemerintah. Berkat kerja sama yang erat antara masyarakat dan lembaga di luar masyarakat, akhirnya desa tersebut bisa menikmati air bersih di rumahnya dan tidak perlu lagi mengambil air dari sumur yang sangat jauh. Saat ini kelompok pengelola air bersih Desa Keutapang menetapkan iuran sebesar Rp 10.000 per kepala keluarga, per rumah.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


LAMPIRAN

53

Contoh Materi Belajar dari Berbagai Tema Sekolah Lapangan

1. Materi Belajar Sekolah Lapangan Pengelolaan Kebun Campur No

Materi Belajar

Pokok bahasan

1

Peranan tanaman pada perikehidupan

Tanaman sebagai sumber makanan, minuman, bahan bakar, bahan baku industri dan penyeimbang lingkungan.

2

Konsep kebun campur

Analisa keuntungan kondel kebun campur dengan nilai ekonomi, ekologi, sosial dan nilai keberlanjutan.

3

Merancang kebun bibit desa

Rancangan kebun dan tata letak tanaman, pengaturan air dan pengelolaan organisme lainnya.

4

Perbanyakan generatif

Seleksi dan perlakuan benih, praktek perkecambahan dan pesemaian,

5

Perbanyakan vegetatif

Seleksi tanaman induk dan praktek aneka perbanyakan vegetatif.

6

Dasar-dasar Ekologi Tanah

Apa itu tanah dan sejarah terbentuiknya tanah Komponen, proporsi dan sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) serta fungsi tanah.

7

Bahan Organik dan Pengomposan

Jenis dan manfaat bahan organik, proses dekomposisi, biota pengurai, dan teknik pengelolaan bahan organik

8

Penentuan tanaman dan saat tanam

Analisa nilai manfaat tanaman termasuk resiko dan kemudah pasar. Analisa kalender iklim dan saat tanam.

9

Pemeliharaan Tanaman

Teknik pemangkasan, pemupukan, pendangiran dan pembumbunan serta teknis pengairan

10

Pengendalian hama terpadu

Mekanisme pengendalian alamiah dan buatan, Teknik pengendalian hayati, fisik, mekanik dan kimia.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


54

2. Materi Belajar Sekolah Lapangan Pengelolaan Kawasan Konservasi No

Materi Belajar

Pokok bahasan

1

Fungsi dan status hutan

Fungsi hutan sebagai kawasan penyangga ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Perbedaan hutan produksi, lindung dan hutan konservasi.

2

Prinsip-prinsip pengelolaan konservasi

Prinsip penjagaan dan perlindungan kelestarian. Prinsip pemanfaatan untuk meningkatkan perikehidupan dan prinsip kerjasama pengelolaan hutan negara.

3

Identifikasi species endemis

Pengenalan flora dan fauna yang ada di hutan setempat termasuk nilai keseimbangannya. Potensi spesifik yang dimiliki kawasan konservasi.

4

Analisa ancaman keanekaragaman hayati dan kawasan konservasi

Identifikasi penyebab kerusakan hutan, hilangnya flora dan fauna serta aktivitas masyarakat terkait dengan kondisi hutan.

5

Mekanisme kerjasama formal dalam pengelolaan kawasan konservasi

Sistem kelembagaan masyarakat termasuk formalitasnya dan aturan main dalam kerjasama dengan lembaga formal.

6

Usaha ekonomi berbasis pengelolaan hutan

Pengembangan wanatani non kayu, pengelolaan lahan penyangga hutan, dan usaha ekonomi kolaboratif.

7

Pola kebun campur

Rancangan kebun dan tata letak tanaman, pengaturan air dan pengelolaan organisme lainnya.

8

Sistem Pertanian konservasi

Prinsip-prinsip pertanian yang menjalankan kaidah konservasi lahan dan air. Sistem pertanian yang memanfaatkan potensi lingkungan setempat

9

Kampanye konservasi

Metode komunikasi publik dan media komunikasinya. Teknik kampanye dan advokasi konservasi.

10

Kelembagaan Desa Konservasi

Pengertian kelembagaan dan praktek membuat aturan main.

SEKOLAH LAPANGAN ESP


55

3. Materi Belajar Sekolah Lapangan Pengelolaan Lahan dan Hutan No

Materi Belajar

Pokok bahasan

1

Analisa sebab dan akibat lahan kritis

Identifikasi faktor penyebab lahan menjadi kritis dan pengamatan dampak yang ditimbulkan

2

Pemetaan dan potret lahan kritis Pemataan lahan kritis di desa dan pemotretan lokasi lahan kritis termasuk contoh akibatnya

3

Analisa kebutuhan Pengelolaan Hutan

Identifikasi kebutuhan dalam pengelolaan hutan dan lahan, baik sarana maupun teknologinya.

4

Pengelolaan Kebun Bubit Desa

Fungsi KBD, kriteria pemilihan lokasi, sarana KBD, Pembuatan media tumbuh dan bangunan naungan.

5

Teknis Vegetasi Rehabilitasi Hutan

Aneka teknis pengaturan tanaman dalam upaya rehabilitasi lahan.

6

Cara Sipil Teknis Rehabilitasi Hutan

Pengenalan berbagai bentuk upaya sipil teknis dalam rehabilitasi lahan.

7

Identifikasi tanaman potensial

Pengamatan tanaman unggulan lokal, analisa pasar dan resiko kegagalan.

8

Budidaya tanaman pola campuran

Rancangan kebun, tata letak, pengaturan air, pemilihan jenis tanaman dan Pengembangan usahatani.

9

Penentuan lokasi tanam pohon

Kriteria lahan untuk tanam pohon termasuk jenis tanamannya, praktek pembuatan lubang tanam termasuk penambahan bahan organik

10

Pemeliharaan Tanaman

Teknik pemangkasan, pemupukan, pendangiran dan pembumbunan serta teknis pengairan

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


56

4. Materi Belajar Sekolah Lapangan Pengelolaan Air Baku No

Materi Belajar

Pokok bahasan

1

Pengertian air bersih

Ciri-ciri air bersih, Sifat fisik, biologi dan kimia air serta unsur dan organisme yang terlarut atau terbawa air.

2

Sumber Air

Nilai kuantitas & kontinuitas: air tanah & air permukaan, munculnya sumber air, area tangkapan air Nilai kualitas: jenis pencemaran, sumber pencemaran, akibat pencemaran.

3

Air dan Tanaman

Fungsi dan peranan air terhadap tanaman

4

Zonasi perlindungan mata air

Definisi zona perlindungan sumber air baku

5

Pencemaran air

Macam-macam cemaran dalam air (Kekeruhan dan warna, bau, rasa, derajat keasaman, konduktifitas, kontaminasi mikrobiologi, zat-zat terlarut dalam air, kandungan radioaktif, dan dampaknya

6

Teknik Vegetasi untuk Perlindungan Air

Pemilihan jenis tanaman dan tata letak tanam

7

Teknik Sipil untuk Perlindungan Air

Pengenalan sumur resapan dan biopori termasuk praktek sederhana

8

Teknik pembuatan tandon air

Cara menyimpan air dalam tanah atau untuk kebutuhan rumah tangga.

9

Teknik distribusi air

Sistem perpipaan, pengunaan air secara hemat dan kranisasi

10

Teknik Perlakuan air bersih

Penyaringan, pengendapan, sirkulasi dan pengurangan keasaman

SEKOLAH LAPANGAN ESP


57

5. Materi Belajar Sekolah Lapangan Pengelolaan Sanitasi No

Materi Belajar

Pokok bahasan

1

Konsep dan Profil Bersih

Konsep bersih individu, kelurga dan masyarakat.

2

Siklus Peredaran Kuman

Jalur peredaran kuman dan upaya penghambatnya.

3

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Lima perilaku bersih dan sehat: Cuci tangan pakai sabun, pengelolaan sampah rumah tangga dan limbah cair, perlakuan air minum dan makanan sehat, serta penghijauan pekarangan dan desa / kampung.

4

Teknis Pengelolaan Sampah Organik

Pembuatan biang kompos dan praktek pengomposan sampah rumah tangga.

5

Teknis Pengelolaan Sampah An-organik

Aneka cara kreatif untuk pengelolaan sampah plastik, kertas dan kaca.

6

Sistem Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

Organisasi langkah pengelolaan seperti pemilahan, pengumpulan, pengiriman ke TPA, termasuk kesepakatan iuran.

7

Teknis Pengelolaan Limbah Cair

Dampak kelimpahan limbah cair, odel-model septitank dan proses kerjanya

8

Sistem Pengelolaan Limbah Cair secara komunal

Rancangan Septictank dan atau MCK komunal serta manajemen IPAL Komunal

9

Perlakuan Air Bersih

Pengambilan, pemurnian, dan penyimpanan air minum.

10

Pengelolaan Pekarangan

Peranan tanaman dalam keluarga, Praktek penanaman dalam pekarangan dan dalam pot.

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


58

SEKOLAH LAPANGAN ESP


59

Daftar Singkatan

BPDAS BPTH CGH CWS DAS ESP FPK IPAL KBD KPH LMDH LSM MCK MOL MoU PAUD PAWAL PDAM PHBM PHBS PHT PKK POD PORTAB Posyandu PT RPJM SL SL PKC SLA SMA SMP ToT USAID WC

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Balai Pembibitan Tanaman Hutan Clean Green and Hygiene Church World Service Daerah Aliran Sungai Environmental Services Program Formasi Pelita Kasih Instalasi Pengelolaan Air Limbah Kebun Bibit Desa Kesatuan Pengelolaan Hutan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Lembaga Swadaya Masyarakat Mandi Cuci Kakus Mikro Organisme Lokal Memorandum of Understanding Pendidikan Anak Usia Dini Peduli Alam Wangunharja Lembang Perusahaan Daerah Air Minum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Pengelolaan Hama Terpadu Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Pendidikan Orang Dewasa Persatuan Organisasi Rakyat Tatar Alam Bandung Pos Pelayanan Terpadu Perseroan Terbatas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sekolah Lapangan Sekolah Lapangan Pengelolaan Kebun Campur Sustainable Livelihood Assessment Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Pertama Training of Trainer United States Agency International Development Water Closet

Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Air


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.