Majalah 2014

Page 1

ISSN:1420-3113

MEMBAHASAKAN LUKA

MAHASISWA Edisi 2014 Tahun XXIII



SELASAR 1

Dari Redaksi Assalamua'laikum

P

embangunan Gedung Kampus Hijau sudah semestinya sejalan dengan pembangunan mental, karakter dan intelektual mahasiswa. Bukan menjadi mahasiswa yang nyaman mengikuti alur kampus yang tidak jarang malah menipu. Sebagai Lembaga Pers Mahasiswa, Suaka hadir dan tak lelah memberi informasi mengenai atmosfer kampus, serta kegiatan di dalamnya kepada pembaca, termasuk anda. Majalah Suaka Tahun 2014 menyuguhkan berita mulai dari isu kekerasan yang terjadi pada mahasiswa secara simbolik. Kekerasan secara halus diterima mahasiswa dari aturanaturan yang dibuat petinggi kampus dan dijadikan tameng sebuah cara mendisiplinkan mahasiswa. Selain itu, kami juga memperlihatkan fenomena budaya permisif yang masih terus mendarahdaging di lingkungan Kampus UIN SGD Bandung. Sebag ai wadah menampung aspirasi mahasiswa, kami menampilkan Opini, Cerpen dan Surat Pembaca Mahasiswa UIN SGD di

dalam rubrik-rubrik kami. Tak lupa, kamipun mengapresiasi Mahasiswa UIN SGD Bandung yang telah mengharumkan nama kampus, seperti kemenangan Tim Robotik, Duta BKKBN dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi dan mahasiswa disabel dari Jurusan Manajemen Dakwah yang telah berkarya dalam membuat buku. Hampir usailah sudah masa jabatan Deddy Ismatullah sebagai Rektor Kampus UIN SGD. Pembangunan besar-besaran kampus yang beliau lakukan telah melewati masa tenggang. Masih ada tugas besar di depan mata Deddy untuk membangunan Fakultas Kedokteran di sisa satu tahun masa jabatannya. Bagaimana rekam jejak program Deddy? Bagaimana sisi humanis di balik kharismanya? Lalu, siapakah pengganti Deddy? Lebih lanjut Suaka akan membeberkan nama bakal calon rektor yang digadang-gadang, namun masih malu-malu kucing mengakui kesiapan dirinya. Tidak pula ingin menjadi katak dalam tempurung, Suaka membuka

mata, melihat isu di luar kampus dan menginformasikan pada pembaca. Sosok, Stetoskop, Mimbar, Mozaik, Sisi Kota dan Sorot menjadi liputan khas yang khusus dikemas secara apik dan bernas. Suplemen Fresh, Suaka suguhkan pula bagi pembaca setia dalam Resensi, Rana, Proyektor, Paguyuban, Musik, Botram dan Vakansi yang mencoba memanjakan mata anda. Ucap syukur dari kami terus mengalir pada Sang Maha Penyayang, Allah SWT. Berkat sayangNya, semangat Suaka terus terjaga hingga berhasil merampungkan Majalah Suaka tahun 2014. Terima kasih telah menjadi satu dari segelintir orang yang mau mengenal Kampus Hijau lebih dalam lewat mata Suaka. Mari terus membaca dan tetap berkarya. “A mind needs book as a sword needs a whetstone, if it is to keep its edge,� kata George R.R. Martin. Wassalamu'alaikum. Salam Pers Mahasiswa! Redaksi LPM Suaka

Pemimpin Umum Iqbal Tawakal Lazuardi Siregar Sekretaris Umum Hilda Kholida Manajer Keuangan Putri Galih Ning Gusti Pemimpin Redaksi Ratu Tresna Ning Gusti Sekretaris Redaksi Ayu Pratiwi Ulfah Editor Riska Amelia Redaktur Tabloid Muhamad Faisal A, Ratu Arti Wulan Sari Redaktur Fresh Firda Firdianti Iskandar, Fadhila Humaira Redaktur Online Adi Permana Redaktur Artistik Ahmad Rijal Hadiyan Layouter Ahmad Rijal Hadiyan Redaktur Foto Ahmad Rijal Hadiyan, Dede Lukman Hakim Kru Redaksi Robby Darmawan, Nita Juniati, Desti Nopianti, Muhamad Yusup, Muhamad Ilham H, Indah Putri Sari, Adam Rahardian, Anne Maulidiani Della, Fitri Andani, Imas Eka N, Isthiqonita, Restia Adila Joneva. Pemimpin Perusahaan Ramadhan Setia Nugraha Iklan Lia Wulan Safitri Sirkulasi Dinda Ahlul Latifah, Ari Wahyuni, Siti Nuraeni Agustia Produksi/Cetak Ramadhan Setia Nugraha Kru Perusahaan Purna Irawan, Fitri Febriani, Masjenar Wahyuningsih, Ira anggraeni Safitri. Ketua Penelitian dan Pengembangan Wisma Putra Sekretaris Penelitian dan Pegembangan Anisyah Al Faqir Riset dan Informasi Data Hengky Sulaksono, Anggara Adhe Putra Pengembangan Aparatur Organisasi Irfan M. Zainuddin Kru Litbang Fatia R. Irfani, Nuru Fitry, Muhammad Fadlli Robby R, Anjar Martiana. *** TIM MAJALAH SUAKA 2014 Pemimpin Redaksi : Ratu Tresna Ning Gusti Redaktur Pelaksana : Muhamad Faisal A, Ratu Arti Wulan Sari, Ahmad Rijal Hadiyan, Dede Lukman Hakim, Adi Permana, Firda Firdianti Iskandar, Fadhila Humaira, Ayu Pratiwi Ulfah Reporter : Robby Darmawan, Nita Juniati, Desti Nopianti, Muhamad Ilham H, Indah Putri Sari, Adam Rahardian, Anne Maulidiani Della, Fitri Andani, Imas Eka N, Isthiqonita, Restia Adila Joneva, Ramadhan Setia Nugraha, Wisma Putra, Hengky Sulaksono, Dinda Ahlul Latifah, Ari Wahyuni, Siti Nuraeni Agustia, Purna Irawan, Fitri Febriani, Masjenar Wahyuningsih, Ira anggraeni Safitri, Irfan M. Zainuddin, Anisyah Al Faqir, Fatia R. Irfani, Nuru Fitry, Muhammad Fadlli Robby R, Anjar Martiana . Layouter dan ilustrator : Muhamad Yusup, Ahmad Rijal Hadiyan Fotografer : Dede Lukman Hakim Rancang Sampul : Ahmad Rijal Hadiyan *** Alamat : Gedung Student Center, Lt. 3 No. 15, Kampus UIN SGD Bandung , Jl. AH Nasution No. 105, , Cibiru-Bandung. Email : redaksi.suaka@gmail.com Web : suakaonline.com Facebook : LPM Suaka Twitter : @lpmsuaka


2 INDEX

Melestarikan Budaya Sunda Lewat Pangsi

TAJUK

#3

#30

Membahasakan Luka Mahasiswa

#10

Kekerasan Simbolik : Sebuah Fenomena Gunung Es

Setahun Dialektika Mazhab Menuju “dia� #65 yang terus Bergulir yang Baru

Kekerasan Simbolik;

#6 #3

Merentang Jarak Salam dan Tikam

#68 Dari Redaksi #1 Tajuk #3 Surat Pembaca #4 Karikatur #5 Laporan Utama #6 Opini #18, #40, #43, #82, #83 Sosok #22 Kampusiana #25 Laporan Khusus #30 Rana #44 Cerpen #46 Sorot #49 Resensi #52 Stetoskop #54 Botram #56 Proyektor #58 Paguyuban #62 Mimbar #65 Mozaik #71 Sisi Kota #72 Vakansi #74 Teater #76 Pendidikan #78 KOLOM #81


TAJUK 3

Desember 2014/XXIII

Membahasakan Luka Mahasiswa

M

engapa dari tahun ke tahun, hampir setengah abad, Kampus Hijau tak lepas dari kasus-kasus pelanggaran peraturan kemahasiswaan? Mengapa ricuh demi ricuh bergulir di setiap musyawarah tingkat jurusan sampai yang tertinggi, tingkat universitas? Jika tak mau ribet, kita bisa menyebutnya sebagai dinamika. Lain dengan jika kita peduli, mau berhenti sejenak dan bertanya pada diri kita sendiri: ada apa? M a h a s i s wa m e m a n g s e l a l u digadang-gadang sebagai pelajar paling merdeka dari semua tingkat pendidikan formal di Indonesia. Maka, wajar ketika ada aturan yang m e n g e k a n g ke m e r d e k a a n i t u , mahasiswa berontak semau yang mereka bisa. Aspirasi berbondongbondong diteriakan lewat pengeras suara di depan Al-Jamiah, lewat arak-arakan yang keliling dari Student Center ke gedunggedung kuliah. Soal jam malam, soal transparansi dana, soal penerapan Uang Kuliah Tunggal dan Biaya Kuliah Tunggal, soal fasilitas yang tak juga lengkap, hingga yang terbaru: soal Kartu Tanda Mahasiswa yang berbayar. Semuanya diteriakan, kecuali satu: kekerasan simbolik. Ditemukannya hal-hal baru dalam realita membuat manusia lagi-lagi harus merumuskan bahasa yang cocok agar dapat diterima khalayak. Begitupun soal kekerasan simbolik. Kekerasan yang tak lewat tangan, tak melanggar aturan tertulis, merupakan kekerasan yang terjadi dengan kasat mata, di balik tembok Kampus Hijau yang tebal dan siap tutup mulut kapan saja diminta. Yang tak tertangkap indera, memang sering terabaikan. Kita sama-sama dibutakan dengan apa yang bisa dilihat, ditulikan dengan apa yang bisa didengar, dibisukan dengan apa yang biasanya diucapkan, dan dilumpuhkan dengan apa yang birokrat minta lakukan. Lagi-lagi kita diminta peka. Ada yang tak beres dengan Kampus Hijau di luar fasilitas dan segala keruwetan yang tertangkap indera itu. Ada yang perlahan merayap dari dalam, menggerogoti tanpa disadari, di sana tanpa terasa. Saat mahasiswa dipaksa membelikan dosen buku-buku mahal untuk menutupi nilainya yang kurang, saat mahasiswa

dipaksa mengisi jawaban ujian dengan kata-kata sesuai dari buku, saat mahasiswa mulai diatur berpakaian begini-begitu, itulah saat bibit kekerasan simbolik tumbuh. Ia mengakar, menjalar, menembus langit-langit kebebasan berekspresi dan berpendapat. Tak sependapat dengan dosen dan birokrat, diancam keluar kuliah. Beda suara di kelas saja, diganjar tak lulus dan harus mengulang. Berpakaian kurang rapi, akan dipandang jelek dan tak terdidik. Maka nilai dan norma menjadi kabur dan semu. Pendidikan jadi penuh subjektivitas yang berdasar emosi hanya karena adu pendapat atau urusan fisik yang tak sesuai. Kasus-kasus tersebut tak pernah muncul dan sampai ke telinga mahasiswa-mahasiswa konservatif, yang melulu mengangguk setuju. Mereka hanya tahu sistem merapikan segala yang carut-marut tanpa tahu jalan pintas apa yang para birokrat tempuh. Mereka tidak tahu banyak mahasiswa dipaksa tersenyum dan mencium tangan dosen yang memberinya nilai E hanya karena tak sependapat di kelas. Mereka tidak tahu banyak mahasiswa dipaksa tersenyum pada dosen yang memandang sebelah mata pada orang yang berambut tak rapi atau berpakaian semrawut. “Tidak berpendidikan,� katanya. Padahal bisa jadi di otak mahasiswa berpenampilan sedemikian rupa itu banyak pemikiran-pemikiran yang bisa diambil dan dijadikan pelajaran. Tak banyak yang mau bicara, semuanya sembunyi di balik meja dan ruangan masing-masing. Para birokrat mungkin takut namanya tercemar, sebagaimana ia mencemarkan nama mahasiswa yang ia kerangkeng kebebasannya. Luka mahasiswa mendadak lahir dari pengerangkengan kebebasan melakukan gerakan, kebebasan berkritik, melempar pendapat bahkan berpenampilan. Segalanya dibatas peraturan tertulis, dengan seperangkat sanksi yang mengiris. Memang peraturan-peraturan itu tak kentara langsung diterapkan, namun lambat laun menjerat dan menjerumuskan mahasiswa untuk tutup mulut dan main terima. Kapan Civitas Akademika Kampus Hijau sadar dan bergerak? Segera. Semoga! [REDAKSI]


4 SURAT PEMBACA

SUAKA/M. Yusup

Kurangnya Tempat Parkir di Kampus

Ketidaknyamanan Beribadah dalam Masjid

Seiring berjalannya waktu, UIN Bandung telah banyak berubah dari tahun ke tahun. Dari segi pembangunan, fasilitas dan lain sebagainya. Namun, menurut saya masih banyak kekurangan di dalam Universitas Sunan Gunung Jati Bandung ini, salah satunya di bagian fasilitas. Tempat parkir kendaraan salah satunya, dimana semakin banyaknya mahasiswa dari tahun ke tahun maka semakin banyak pula kendaraan yang masuk ke universitas ini dan semakin sempit pula tempat parkir. Sehingga membuat mahasiswa dan dosen sulit untuk memakirkan kendaraannya. Untuk itu saya minta kepada pihak pembangunan di UIN agar menambah t e m p a t p a r k i r, k a r e n a s e l a i n memudahkan dan kenyamanan, mahasiswa yang membawa kendaraan pun akan lebih lapang dan lebih cukup serta lebih rapi dan enak di pandang oleh tamu yang akan datang ke universitas kita.

Pada tanggal 14 Oktober 2014, saat saya ingin melaksanakan shalat bersama kawan-kawan di Masjid Iqomah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ternyata mukena yang ingin kami pakai terkapar berantakan di atas karpet hijau, kotor dan dengan bau yang berupa-rupa. Dan tampaknya surat pembaca yang saya beri judul “Ketidaknyamanan beribadah dalam Masjid” memang sangat betul, sangat perlu diperhatikan keasrian serta kebersihan fasilitas masjid seperti halnya alat shalat akhwat yaitu mukena yang kotor dan tidak rapi. Mereka dan termasuk saya sendiri yang terkadang lupa atau bahkan sengaja untuk tidak membawa mukena karena banyak barang bawaan seperti, laptop, buku-buku, dan sebagainya, sehingga tidak memungkinkan untuk membawa mukena. Begitupun dengan masjid besar, seharusnya mukena yang bersih dan wangi telah tertampang dalam lemari yang telah disediakan. Kami berharap setelah saya menulis surat pembaca ini, petugas pembersih masjid maupun kita sebagai mahasiswa menyadari dan dapat lebih menjaga kebersihan juga kerapian tempat ibadah kita bersama,agar lebih nyaman dan ketenangan saat melaksanakan ibadah.

Anisa Rahmadani Mahasiswa UIN Bandung. Jln. Manisi Atas Cibiru Bandung

Intan Purwasih Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum

Penyalahgunaan Gedung SC (Student Center) UIN Bandung Gedung Student Center atau yang lebih akrab dengan sebutan “SC” pada hakekatnya menjadi pusat tempat kegiatan UKM, Senat, HMJ UIN SGD Bandung. Namun, saya merasa risih ketika melihat mahasiswa yang menggunakan Gedung Student Center sebagai kegiatan layaknya rumah tangga seperti, memasak dan mandi. Padahal tata tertib yang dipasang pada pintu masing-masing UKM, Senat, HMJ tertulis, “Diwajibkan menggunakan Student Center (SC) UIN Sunan Gunung Djati Bandung sesuai dengan per untukannya (tidak perkenankan melakukan aktivitas rumah tangga seperti : memasak, mencuci,dan menjemur pakaian)”. Saya mendesak secara tegas kepada pihak pengelola Gedung Student Center, agar menindak tegas pada mahasiswa yang melanggar tata tertib tersebut. Ibnu Fauzi Mahasiswa Jurnalistik UIN SGD Bandung


KARIKATUR


SUAKA/Dede Lukman

Peraga adalah dosen dan mahasiswi jurnalistk semester 5


Kekerasan Simbolik:

Merentang Jarak Salam dan Tikam Kekerasan simbolik terjadi tanpa di sadari. Ia menelusup ke kelas, ruang dosen dan sudut-sudut Kampus Hijau yang bisu, seolah tak tahu. Ia mengisi rentangan jarak salam mahasiswa yang berbalas tikam tajam dosen dan birokratnya.


8 LAPORAN UTAMA

Kekerasan Simbolik : Sebuah Fenomena Gunung Es Oleh Robby Darmawan

SUAKA/Dede Lukman

S

uasana lantai dua Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) mendadak tegang pada awal April lalu. Seorang mahasiswa berambut gondrong yang hendak menuju kelas, ditarik paksa ke ruang dekanat. Muhammad D. Nasruddin yang akrab disapa Galah Denawa, tak mampu berbuat banyak. Walau sempat berontak, akhirnya Ruhenda bisa menggiring masuk Mahasiswa Jurusan Sosiologi itu. Ruhenda merupakan Ketua Komisi Penegak Disiplin Mahasiswa (KPDM) yang mengintai setiap pelanggar aturan. Galah tak banyak berkata. Dia mengikuti perintah Ruhenda sehingga melewatkan UTS pada saat itu. Seperti yang Galah kira, rambut gondrongnya jadi perkara. Ruhenda bersikeras meminta Galah untuk merapikan rambut dan penampilannya. Galah tak terima. Adu argumen pun tak terelakkan. Keduanya tak mau kalah. Lalu, Galah

menantang Ruhenda dengan satu pertanyaan. “Apa alasan saya harus mencukur rambut ? Kalau Bapak bisa berikan alasan yang tepat, akan saya turuti mau Bapak,” ucap Galah saat itu. Melihat Ruhenda yang tak bisa menjelaskan, Galah kembali berujar, “Bapak gak bisa ngejelasin? Kayak yang gak kuliah aja,”. Dikatakan seper ti demikian, Ruhenda naik pitam. Matanya membelalak. Tangannya bergetar. Lalu “Braak!” Ruhenda menggebrak meja di depannya sehing ga memecah keheningan di ruang dekanat. “Koplok nyebut aing teu kuliah! (Sialan, bilang saya tidak kuliah! ,-Red),” bentak Ruhenda. Ia jelas geram. Terjadilah deadlock, tak ada dialog lagi setelah itu. Galah menilai, yang membedakan seorang akademisi dengan orang awam adalah soal metode. Seorang akademisi harus bisa menjelaskan secara rasional. Namun, penjelasan itu tak ia dapatkan. Sejak kejadian itu Galah menjadi buruan

utama KPDM. Selang beberapa minggu, ketegangan itu kembali terjadi. Saat itu, Calon Anggota Senat Mahasiswa Fisip sedang berkumpul di Aula FISIP lantai satu untuk mempersiapkan pelantikan kepengurusan Senat FISIP. Galah dengan semangat mengikuti persiapan tersebut. Lalu, Wakil Dekan 2 FISIP tiba-tiba mendatanginya. Rambut gondrongnya diperkarakan lagi. “Di FISIP mah gak boleh gondrong,” kata Sang Wadek pada Galah. Tak lama, Dekan FISIP, Sahya Anggara datang dengan tergesa-gesa. Adegan gebrak meja terulang. Kali ini Sahya yang melakukannya. Galah mengaku mencoba menjelaskan dan mengajak dialog. Namun, Sahya menolak. “Sia mun teu satuju jeung peraturan, kaluar ngieun fakultas anyar ! (kamu kalau tidak setuju dengan peraturan, silahkan keluar, buat fakultas baru!,-Red),” bentak Sahya. Dengan nada tinggi, jari telunjuk Sahya


LAPORAN UTAMA 9 berulang kali mengetuk-ngetuk dahi Galah. “Sia kaluar! (kamu keluar! ,Red),”. Sambil menggebrak meja lagi, lalu Sahya pergi. Galah hanya terdiam. Gedung Student Center siang itu sedang leng ang. Galah masih menceritakan kejadian yang ia rasakan beberapa bulan lalu. Ia menilai, semua yang dilakukan Ruhenda dan Sahya mencoreng nama baik instansi pendidikan terutama FISIP. Sikap seperti itu bukan sikap seorang akademisi. Galah mempertanyakan kredibilitas Sahya sebagai seorang dekan. “Apakah pantas seorang dekanat berlaku demikian?,” ujar Galah saat berbincang dengan Suaka, Sabtu (15/11) siang. “Ini kekerasan simbolik yang gak disadari sama mereka. Untuk mengilustrasikannya, mereka tidak menyuruh keluar, namun mereka menekan,” tambahnya. Kini laki-laki dengan perawakan kurus dan rambut keriting memanjang itu memilih untuk mengundurkan diri dari FISIP. Sahya menyebut perlunya badan disiplin seperti yang dibentuknya sekarang. Bila tidak diawasi terusmenerus, mahasiswa akan terus melanggar. Saat Suaka menanyakan soal mahasiswa yang merasa terkekang oleh aturannya tersebut, raut mukanya mendadak berubah. “Picik itu pikiran mahasiswa. Karena justru kalau mau mengantar jangan setengah-setengah. Saya akan perangi. Lebih baik menerima mahasiswa yang mau diarahkan, yang gak mau diarahkan silahkan pergi,” ungkapnya berapi-api saat ditemui di ruangannya, Rabu (5/11). Sahya merasa peraturan tersebut telah membudaya di FISIP. Mahasiswa dengan sendirinya menuruti peraturan itu. Menurut Sahya, mahasiswa yang sudah masuk ke FISIP dengan otomatis harus mengikuti peraturan yang ada. Ia menganalogikan ketika kita masuk ke rumah orang lain, kita harus mengikuti peraturan tuan rumah. “Saya paling tidak senang dengan mahasiswa semacam itu,” katanya tegas. Menurut pengamat pendidikan Cik Hasan Bisri, penampilan tidak

berbanding lur us dengan sikap seseorang. Orang yang gondrong, lanjut Cik Hasan misalnya, diibaratkan dekat dengan kejahatan. Lalu yang kulimis pasti baik. Itu tidak menjamin. Menurutnya, bukan penampilan yang perlu dibentuk tapi pola pikir mahasiswa dan keilmuannya. “Lihat saja, ada ilmuwan yang bagus penampilannya? Mereka rata-rata berantakan, rambut gondrong, brewok sana-sini. Ulama-ulama juga banyak yang gondrong. Jadi tidak identik. Masih mengurus-urus pakaian, itu anak SD yang masih begitu, ketinggalan zaman,” ujarnya Jumat (14/11) saat ditemui di kediamannya di bilangan Cipadung. Bibit Kekerasan Simbolik Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dasim Budimansyah menjelaskan bahwa kekerasan simbolik memang kerap kali ada di dalam dunia pendidikan. Kekerasan simbolik memang tidak terasa dan tidak disadari. “Saya punya pandangan bahwa kekerasan simbolik yaitu kekerasan non fisik. Objeknya memang tidak menyadari hal itu. Ketika ditanyakan kepada dosen, mereka pun tidak merasakan,” ungkap Dasim, awal Oktober lalu. Bak fenomena gunung es, bibit-bibit kekerasan simbolik yang diungkapkan di atas hanya sebagian contoh yang muncul ke permukaan. Namun, banyak yang tidak menyadarinya. Kasus Galah di FISIP hanya sebagian kecil saja. Bibit kekerasan simbolik ternyata terjadi juga di berbagai fakultas di UIN SGD Bandung Dasim menyontohkan mahasiswa yang dilarang melakukan kegiatan di luar dan terjadinya pelarangan yang keras dari dosen kepada mahasiswa untuk berdiskusi, berkumpul, berekspresi, bahkan ujian harus sesuai teks book. Itu semua merupakan kekerasan pedagogi dalam konteks pendidikan. “Termasuk kekerasan simbolik juga,” ucapnya dengan nada tegas. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Lastri Asmara Kur nia Ningsih mengungkapkan dirinya merasa dengan

banyaknya dosen yang jarang masuk ke kelas membuat perkuliahan menjadi tidak efektif. “Sekalinya mereka masuk, langsung memberi tugas yang banyak. Ada juga tugas yang tidak sesuai perkuliahan,” ujar mahasiswa semester tiga tersebut Jumat (14/11). Lain Lastri, lain lagi dengan Fajar. Irdam. Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi itu mengungkapkan jika dirinya merasa dirugikan dengan adanya mata kuliah yang tidak sesuai dengan bidang yang dipilih. Cik Hasan menyoroti hal itu. Ia menilai hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa dosen superior dan mahasiswa adalah subordinasi. Sebenarnya dalam dunia pendidikan, tidak mengenal ketimpangan antara dosen dan mahasiswa. “Hanya mungkin disebabkan kultur, sebab begini, di pendidikan kita secara normatif antara dosen dan mahasiswa itu timpang,” ujarnya. Selanjutnya, Cik Hasan juga mengungkapkan ujian yang bersifat teks book sudah tidak relevan lagi. Ia menilai bahwa pembelajaran yang bersifat teoritis harus selesai pada semester pertama. Seharusnya, lanjut Cik Hasan, mahasiswa memilih sendiri program studi pilihan, universitas menentukan mata kuliah yang wajib. Namun, untuk mata kuliah pelengkap, mahasiswa bebas menentukan sendiri. “Misalnya Mahasiswa Jurnalistik ingin belajar Sosiologi, maka ia bisa belajar di FISIP. Jadi, tidak hanya di fakultasnya mahasiswa itu belajar. Namun, susah direalisasikan. Alasannya susah, ribet. Bohong itu, mudah jika mau mengatur. Ini juga yang disebut kekerasan simbolik,” pungkasnya. Walaupun sudah terjadi, kekerasan simbolik belum banyak diketahui di kalangan Civitas Akademika Ja Hijau. Membumikan istilah tersebut perlu dilakukan agar kekerasan di bidang pendidikan dapat disadari kemudian dihindarkan dari atmosfer pendidikan UIN SGD Bandung.[]Kru Liput: Isthiqonita, Restia Aidila Joneva/SUAKA


10 LAPORAN UTAMA

Peraturan di Pusaran Kekerasan Simbolik Oleh Restia Aidila Joneva

M

ekanisme penerapan sebuah peraturan di pergur uan ting gi bak membumikan ayat AlQuran dalam kehidupan sehari-hari. Diawali dengan memahami kandungan ayat Al-Quran terlebih dahulu. Lalu, mencari asbabun nuzul dan mencari hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut. Setelah itu, penafsiran dapat dilakukan dengan menggunakan kaidah ushul fiqih yang sesuai. “Tidak hanya Al-Quran dan hadits yang butuh penafsiran ahlinya. Mekanisme peraturan pendidikan juga membutuhkan penafsiran ahli dalam

menyebarkan butir-butir kebenarannya,� ungkap Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan UIN SGD Bandung, Muhammad Ali Ramdhani, Selasa (7/10). Pagi di awal pekan Oktober itu, suasana Kampus Hijau ramai oleh lalu lalang mahasiswa. Namun, keheningan mendadal terasa di Gedung Rektorat saat Suaka bertandang ke Ruangan Wakil Rektor 3. Perbincangan yang cukup alot terjadi bersama lelaki muda yang menyandang gelar profesor di depan namanya itu. Dengan tenang, ia melanjutkan pembicaraan mengenai mekanisme pembentukkan sebuah peraturan di perguruan tinggi.

Menurutnya, proses tersebut dimulai dari merumuskan terlebih dahulu kajian akademik. Kemudian didapatkanlah draft akademik. Selanjutnya draft tersebut mengalami evaluasi tahap awal dan akhir. Setelah melewati tahap evaluasi, maka terbentuklah draft yang sempurna. Draft yang telah sempurna kemudian disahkan dan menjadi naskah akademik. Naskah tersebut akan menjadi pedoman dalam kebijakan peraturan di lembaga pendidikan. Lebih lanjut, Ali menjelaskan bahwa mekanisme peraturan pendidikan yang telah disahkan akan disosialisasikan di lingkung an perguruan tinggi. Sosialisasi itu sudah berupa kebijakan dan bukan lagi dalam bentuk mekanisme. Sosialisasi ditujukan terlebih dahulu melalui universitas, lalu turun ke fakultas. Setelah itu baru diaplikasikan kepada mahasiswa di perguruan tinggi yang bersangkutan. “Siap atau tidaknya mahasiswa harus bisa menerima bagaimana kebijakan yang telah disajikan,� tegas Ali.

SUAKA/Dede Lukman


LAPORAN UTAMA 11

Siap atau tidaknya, mahasiswa harus bisa menerima bagaimana kebijakan yang telah disajikan,

Otonomi Fakultas Kebijakan yang diterapkan oleh universitas tidak bersifat mengikat. Setiap fakultas memiliki kewenangan untuk menafsirkannya lagi. Perubahan itu bisa berupa menambah atau mengurangi kebijakan yang sudah disosialisasikan. “Itu mungkin saja terjadi karena yang namanya kebijakan akan terus berkembang sesuai dengan waktunya dan akan selalu ada perubahan,” tambah Ali. Wakil Dekan 3 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK), Hasan Basri mengamini pernyataan Ali. Ia menuturkan bahwa setiap kebijakan yang sudah ada mungkin saja ada perubahan di setiap fakultasnya. Jika pada sistem ketatanegaraan dikenal peraturan daerah, maka di ranah pendidikan tinggi dikenal juga istilah otonomi fakultas. Setiap fakultas memiliki warna yang berbeda-beda. Kalau pun kebijakan yang diturunkan

satu, tetap saja setiap fakultas memiliki orientasi yang berbeda kepada mahasiswanya. Setiap fakultas juga memang memiliki peraturan masingmasing. “Pelaksanaan-pelaksanaan dalam berpendidikan itu semua ada prosesnya, ada perubahan-perubahan yang harus kita lakukan. Tidak ada lembaga pendidikan yang tidak memiliki peraturan, karena peraturan akademik berbeda dengan peraturan lainnya. Hal itulah yang menjadikan perbedaan dalam lingkungan sivitas akademika,” ujar Hasan saat Suaka menemui di ruangannya di Lantai 2 FTK, Selasa (7/10) lalu. FTK menerapkan peraturan yang berbeda dengan fakultas lainnya. Hasan menjelaskan bahwa semua mahasiswa dituntut berpakaian rapi dan sopan. Mahasiswi harus memakai rok dan mahasiswa memakai celana berbahan katun. Dari contoh tersebut, ia menjelaskan bahwa itu adalah kebijakan yang diterapkan sebagai proses menuju ke dalam tujuan FTK sesungguhnya. “Karena fakultas ini membentuk mahasiswa sebagai calon guru yang berkarakter,” tegas Hasan. Serupa Kekerasan Simbolik Keterkaitan antara kebijakan peraturan dengan kekerasan simbolik tak dapat dinafikan keberadaannya. Kebijakan peraturan yang tidak sesuai merupakan awal dari terbentuknya kekerasan simbolik. Hal tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Dasim Budimansyah. Menurutnya, kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan nonfisik yang memang ada dalam pendidikan. Namun, tidak terasa dan tidak disadari oleh peserta didik. “Objeknya tidak menyadari hal itu. Kekerasan ini berbahaya jika terus dibiarkan,” ujarnya Kamis (9/10) dengan nada tegas. Dasim menjelaskan bahwa dalam pendidikan itu kita mengajari kepada mahasiswa bagaimana cara berpakaian yang baik, namun, pengajaran itu tidak langsung diterima. Kita harus punya cara bag aimana mahasiswa ini mengikuti dengan baik tanpa adanya

sikap memaksa. Singkatnya, kebijakan yang baik butuh penerapan yang baik pula. Misalnya dengan cara sosialisasi yang baik. Hal senada juga diungkapkan oleh Hasan. Ia mengatakan bahwa dalam setiap penerapan kebijakan harus dilakukan melalui sosialisasi. Dengan sosialisasi mahasiswa akan mampu menerima secara perlahan-lahan apa kebijakan yang diterapkan dalam lembaga pendidikannya. “Jangan sampai sebuah lembaga pendidikan terjadi kekerasan. Karena di sini lembaga pendidikan memiliki peraturan yang berbeda dengan peraturan lainnya,” ujar Hasan. Mengenai hal ini, Ali menyoroti ihwal transparansi. Ia menekankan bahwa mahasiswa selaku subjek dalam lembaga pendidikan harus diikutsertakan dalam pembuatan mekanisme peraturan pendidikan. Jika transparansi ada, maka apapun kebijakan yang akan diterapkan nantinya dalam perguruan tinggi, maka akan berjalan dengan tenang dalam satu titik kekokohan yang abadi. Mekanisme peraturan pendidikan harus dijalankan dengan cara yang benar, melalui proses yang baik dan tidak memaksa. Sosialisasi adalah contohnya. Dengan adanya sosialisasi, terciptanya lingkungan pendidikan yang menjalankan peraturan pendidikan yang sesuai sangatmungkin terjadi. Akhirnya, kekerasan simbolik dapat diminimalisir. “Karena sesungguhnya kekerasan simbolik adalah awal dari kepemimpinan otoriter. Negara kita adalah negara demokrasi, bukan negara otoriter. Berarti kita juga harus bisa menciptakan lingkungan pendidikan yang demokratis,” pungkas Dasim sesaat sebelum Suaka meninggalkan ruangannya. []Kru Liput: Muhamad Faisal A.,Robby Darmawan, Imas Eka N./SUAKA


Direktur Jenderal Pendidikan Islam

ra dengan Wakil Rektor III, M. Ali Ramdhani



14 LAPORAN UTAMA

Saat Mahasiswa 'Mengalah' pada Aturan Oleh Indah Putri Sari M.Z.

M

ahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN SGD Bandung Dede Andri, memilih untuk mengundurkan diri dari jurusan Administrasi Negara. Ketidaksepahaman dengan aturan yang diberlakukan FISIP mer upakan penyebabnya. Dean, begitu sapaan akrabnya, hanya satu contoh saja saat mahasiswa mengalah pada aturan dan memilih untuk keluar. Yang empunya otoritas berdalih jika aturan itu merupakan kebaikan untuk mahasiswa ke depannya. Jadi, jika tidak setuju, mengundurkan diri rasanya lebih baik meskipun itu pil pahit yang harus ditelan daripada harus menanggung rasa malu dikeluarkan si empunya FISIP. FISIP memiliki Komisi Penegak D i s i p l i n M a h a s i s wa ( K P D M ) . Didirikan sejak tanggal 22 April 2014 dan merupakan Surat Keputusan dari dekan. Oleh karena itu landasan hukumnya merupakan hasil rapat dekanat pada tanggal 6 Mei 2014.

Adapun anggotanya terdiri dari seluruh ketua jurusan, sekretaris jurusan, Kasubag keuangan, dan pihak keamanan FISIP. Aturan ini merupakan penafsiran dari keputusan Direktorat Jendral Pendidikan I s l a m ( D i r j e n Pe n d i s ) N o. Dj.I/255/2007 tentang Tata Tertib Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam. Dalam Bab IV pasal 5 ada larangan untuk memakai kaos oblong/tidak berkerah, celana atau baju yang sobek, sarung dan sandal, topi, rambut panjang dan bercat, antinganting, kalung, gelang (khusus laki-laki) dan tato dalam mengikuti kegiatan akademik, layanan administrasi dan kegiatan kampus. Khusus bagi mahasiswi dilarang memakai baju dan atau celana ketat, tembus pandang dan tanpa berjilbab dalam mengikuti kegiatan kampus. Ketua KPDM, Ruhenda mengatakan bahwa tujuan dari KPDM yakni untuk mendisiplinkan mahasiswa. Menurutnya, tidak ada orang, lembaga atau negara yang tidak dibarengi dengan disiplin.

Maka dari itu disiplin menjadi nomor satu. “Karena memang aturan apapun pada awalnya harus dipaksakan. Aturan sehebat apapun kalau tidak ada ketegasan, itu tidak akan berjalan,” tuturnya, Jumat (3/10). Bentuk Sosialisasi Sosialisasi dilakukan KPDM secara lisan maupun tulisan. Bentuk sosialisasi tersebut di antaranya dengan memang gil seluruh Kosma untuk diberikan pengarahan mengenai kedisiplinan FISIP. Selain itu, mereka mencetak tata t e r t i b d a n menempelkannya di setiap ruang kelas serta memasang banner di sekitar Gedung FISIP. Setiap dosen diperintah agar mengingatkan tentang tata tertib di setiap pembelajaran. Mahasiswa FISIP adalah calon intelektual muda, intelektual muslim yang idealnya rapi, disiplin dan tertib serta nantinya diharapakan berada di pemerintahan. Target awal KPDM adalah pendisiplinan rambut. Sudah sekitar 30 orang yang rambutnya dipotong oleh pihak kedisiplinan. “Aturan tersebut bukan saja berlaku untuk mahasiswa, tapi untuk dosen dan karyawan,” kata Ruhenda. Ketua Senat FISIP, Ivan Latifan Fadila mengatakan bahwa adanya KPDM itu terlalu jauh. Sebelum dibentuknya KPDM, FISIP sudah tertib. “Kalau masalah aturan rambut di universitas pun memiliki batasan panjangnya sampai mana, tapi kalau di sini panjang sedikit langsung dipotong,” protes Ivan, Kamis (16/10). Dia juga menyoroti ihwal sosialisasi mengenai aturan tersebut. Mengenai sosialisasi, Ivan melanjutkan, tidak ada sosialisasi langsung yang dilakukan oleh pihak dekanat dengan senat, melainkan hanya melaui himbauan-himbaun seperti banner.


LAPORAN UTAMA 15 Menurut Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Hasan Basri, berbicara mengenai aturan dalam perspektif akademik tidak bisa disejajarkan dengan perspektif kemanusiaan. Menurutnya, mahasiswa yang ingin bebas ketika dikatakan preman, mereka pasti tidak akan menerimanya. Meskipun dari segi penampilan seperti preman. Ingin disebut mahasiswa tapi secara lahiriah tidak menunjukkan ciri layaknya mahasiswa. Berbicara mengenai ideal tidaknya sebuah aturan, menurut Hasan, sesuatu yang sempur na memang sulit ditemukan dalam kenyataan. Hari ini sempurna belum tentu berlaku untuk besok. Karenanya harus ada keinginan bersama dan pengertian dalam menegakkan aturan. Sebab berbicara aturan, tidak ada lembaga tanpa aturan. Karena dalam hidup, kata Hasan, penuh dengan aturan, baik aturan yang bersifat alamiah maupun aturan yang dibuat melalui kesepakatan manusia. “Ketika melang gar aturan, seseorang akan mendapat kesulitan. Karena persoalan setuju dan tidak setuju itu sudah biasa. Sangat sulit untuk menyatukan idealisme. Tinggal bagaimana kita mengikuti keinginan orang banyak. Dalam demokrasi juga, tidak menuntut semua harus setuju, tapi berdasarkan suara terbanyak,” ujar Hasan kepada Suaka, Rabu (1/10). Meniru IPDN Mengenai kedisiplinan, Ruhenda membandingkan FISIP dengan Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN). Hal tersebut dikarenakan orientasi dari mahasiswa FISIP dan IPDN samasama mengarah kepada birokrat. Namun, aturan yang diterapkan hanya 10% saja dari aturan yang berlaku di sana. Menurutnya itulah yang menjadi tanggung jawab moral KPDM untuk menyiapkan generasi muda calon birokrat muslim yang mempunyai karakter. “Mengenai kedisiplinan IPDN, mereka nyaman-nyaman saja. Jadi kembali lagi bahwa pada dasarnya aturan ini dibuat untuk kebaikan mahasiswa ke depannya. Dan kami dalam menegakkan kedisiplinan pun secara bertahap dan baik-baik. Kami

hanya berusaha terlihat rapi dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya,” ungkapnya. Adanya peraturan ini membuat sebagian mahasiswa meradang. Tak jarang, mahasiswa tersebut lebih memilih hengkang dari FISIP dan mencari jurusan lainnya di dalam kampus. Menyikapi hal ini, dengan tegas Ruhenda berujar, “Tahapan dalam menangani kasus pelang garan kedisiplinan melalui teguran lisan, tulisan dan kemudian jika tetap tidak taat aturan akan dikeluarkan atau keluar,”. Hal yang membedakan kelas akademik dengan nonakademik, menurut Hasan harus ada pemilahan di dalamnya. “Kalau berdasarkan pola berpikir, aspek kebebasan kemanusiaan dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia yang berlaku secara umum, hal tersebut tidak berlaku dalam akademik. Kita ingin membuat ciri, karena ciri bisa membedakan seseorang dengan yang lainnya. Mulai dari hal yang bersifat lahiriah seperti penampilan, ucapan, dan tindakan,” tuturnya. Sebenar nya, aturan tersebut bukanlah aturan final. Setiap fakultas memiliki kekuasaan untuk mengembangkan kembali aturan dari Dirjen Pendis. Aturan yang diterapkan oleh masing-masing fakultas merupakan turunan dari Surat Keputusan Dirjen Pendis sesuai deng an orientasi mahasiswa di masa yang akan datang. “Aturan itu hasil pemikiran, beberapa kali sidang, kita godok terus untuk menghasilkan sebuah produk yaitu tata tertib. Persoalan sosialisasi dalam menetapkan peraturan, kita sama-sama dengan beberapa perwakilan dari mahasiswa. Adapun sanksi yang diberikan tergantung pada tingkat pelanggaran dan melalui beberapa tahapan yakni melalui dewan kehormatan, pengaduan, penyerahan bukti dan sidang putusan,” ungkapnya. Filosofi aturan yaitu untuk kebaikan bersama, lembaga dan juga penghuninya. Karena tidak mungkin aturan dibuat untuk menjatuhkan lembaga itu sendiri. Ketika aturan diberlakukan, kemudian dipersepsi jadi macam-macam oleh subjek yang seharusnya melakukan aturan tersebut sehingga terjadi pelanggaran.

“Namun, kacamata yang digunakan sebuah lembaga ya begini aturannya demi kelancaran proses, selama kebijakan-kebijakan fakultas tidak bertentangan dengan aturan umum. Karena aturan tersebut memang merupakan penjabaran dari aturan umum,” pungkas Hasan. Ivan bercerita jika dulu sebelum adanya KPDM, FISIP memang sudah menyosialisasikan mengenai berbagai peraturan. Pihak senat sendiri sebelum adanya KPDM mendukung terhadap sosialiasi tersebut, karena menghimbau kepada kebaikan. Itu sebuah kewajaran dan memang sebuah keharusan. “Akan tetapi, makin ke sini ternyata semakin menjadi. KPDM pun terbentuk tanpa sepengetahuan senat, HMJ bahkan Kajur. Tiba-tiba KPDM itu ada,” Ivan membeberkan. KPDM dibentuk secara resmi namun tidak legal, karena tidak memiliki dasar hukumnya dan hanya ada di FISIP. Ivan menambahkan bahwa tidak hanya KPDM yang berlebihan di FISIP, tetapi juga petugas Satuan Pengamanan (Satpam). Di setiap lantai gedung terdapat Satpam yang selalu mondarmandir, sehingga menganggap bahwa mahasiswa adalah sekumpulan orang yang ditakuti dan dicurigai. “Bahkan yang terakhir KPDM dengan sepihak tanpa sepengetahuan Kajur, senat dan HMJ membuat surat pernyataan untuk mahasiswa baru wajib menandatangani di atas materai beberapa peraturan dan harus disetujui. Tapi Alhamdulillah surat tersebut berhasil dig ag alkan senat dan mahasiswa baru tidak menandatangani surat tersebut,” aku Ivan. Dalam menangani pelanggaran, KPDM tidak preventif, tetapi represif. “Senat itu tidak setuju, bahkan mahasiswa secara umum juga tidak setuju deng an adanya KPDM. Mahasiswa bukanlah siswa, karena siswa masih bisa pantas untuk dibentuk. Tapi mahasiswa sudah mempunyai idealismenya sendiri-sendiri. Dan di sini senat selalu berusaha mengawasi segala kebijakan-kebijakan, baik itu KPDM maupun yang lainnya,” pungkasnya .[]Kr u Liput: Fitri Andani/SUAKA


SUAKA/Robby Darmawan

16 LAPORAN UTAMA

P

endidikan di Indonesia, khususnya di perguruan tinggi saat ini banyak dijumpai indikasi pengekangan terhadap kebebasan peserta didik. Mahasiswa sebagai a g en p er ub a h a n tida k ja ra n g dikeb iri ketika mengaktualisasikan fungsinya itu. Daya kritis mahasiswa dibatasi oleh sistem-sistem yang dibuat pemegang kebijakan. Problematika sosial, pembebasan, kekerasan simbolik, sejarah dan pendidikan ini diangkat oleh ilmuan seperti Bordieu dengan konsep kekerasan simboliknya, Freire dengan pendidikan kaum tertindasnya, Ibnu Khaldun dengan konsep-konsep pendidikannya yang termuat dalam Muqaddimah. Berangkat dari permasalahan tersebut, reporter Suaka Robby Darmawan dan Muhamad Faisal Al'ansori, Kamis, 9 Oktober 2014 mendatangi Gedung Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung untuk mewawancarai secara eksklusif Guru Besar Sosiologi UPI, Dasim Budimansyah. Berikut kutipan wawancara selengkapnya. Menurut Anda bagaimana sebenarnya kekerasan Simbolik itu ? Konsep kekerasan simbolik, kita harus mengenal dulu sebagaimana suasana kebatinan Piere Bordieu itu dibesarkan secara intelektual. Dia termasuk ilmuwan kritis, teori kritis yang selalu mencoba mencari konsep dari sisi yang lain. Sesuatu yang mapan itu bisa disalahgunakan. Jadi kelompokkelompok yang kritis itu selalu mencari anti kemapanan. Apabila kita perhatikan bahwa kekerasan simbolik memang kerap kali ada di dalam dunia pendidikan. Kekerasan simbolik memang tidak terasa dan tidak disadari. Saya punya pandangan bahwa kekerasan simbolik yaitu kekerasan nonfisik. Objeknya memang tidak menyadari hal itu. Ketika ditanyakan kepada dosen, mereka tidak merasakan. Oleh karena itu, hal ini penting diungkap. Saya punya pandangan sedikit berebeda, saya kurang setuju tentang dosen memandang mahasiswa tak ubahnya mesin photo copy sebagai kekerasan simbolik, karena itu masuk pada kekerasan pedagogi. Ini lebih parah dari kekerasan simbolik.

Wawancara langsung dengan Dasim Budimansyah :

“Kekerasan Simbolik Sangat Bertolak Belakang dengan Pendidikan Karakter� Apa yang dimaksud kekerasan pedagogi ? Pedagogi berasal dari pedago yang artinya membimbing anak untuk maju dan berkembang sesuai kompentensi yang memerhatikan anak sebagai subjek. Kekerasan semacam ini nantinya akan menciptakan generasi yang tidak memiliki pendirian, tidak bisa berpikir kritis. Kalau aturan-aturan yang sangat mengekang, misalnya mahasiswa diharuskan belajar dan melarang mahasiswa melakukan kegiatan di luar dan terjadinya pelarangan yang keras dari dosen kepada mahasiswa untuk berdiskusi, berkumpul, ujian harus sesuai teks book dan lainnya, merupakan kekerasan pedagogi dalam konteks pendidikan. Tapi, juga termasuk kekerasan simbolik. Apa perbedaan kekerasan simbolik dan pedagogi ? Kekerasan simbolik berbeda dengan kekerasan pedagogi. Saya sedang mengembangkan konsep Liberal Art. Bukan liberal yang dalam konsep umum, tapi ilmuilmu yang dipelajari oleh mahasiswa karena pilihannya sendiri, kesenangannya sendiri yang membuat mahasiswa enjoy. Mata kuliah tidak hanya hard skill, tapi juga soft skill yang akan menimbulkan anak memiliki skill, problem solving sendiri. Kekerasan simbolik bisa mewabah ke kekerasan pedagogi karena pemaksaan kurikulum. Salah satu jalan yaitu dengan konsep Liberal Art tersebut. Kampus harus segera berpikir bagaimana mahasiswa untuk bisa terbekali dengan mata kuliah-mata kuliah lainnya. Jangan terpaku dengan jurusannya. Jadi, kekerasan simbolik akan lebih berbahaya mewabah kepada kekerasan pedagogi. Mahasiswa bisa menjadi mata kuda. Kekerasan simbolik memang ada di kampus yang merambah kepada kekerasan pedagogi yang tidak ada pilihan nantinya. Makanya sarjana-sarjana di Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Apakah saat peraturan yang telah masuk ke ranah pendidikan boleh diverifikasi ulang atau ditelaah ulang oleh pihak kampus atau dosen?


LAPORAN UTAMA 17 Masalahnya kekerasan simbolik itu kan tidak disadari. Memang pada saat adanya implementasi peraturan, mungkin ada kelompok-kelompok yang tidak setuju. Maka dari itu dalam pelaksanaan peraturan harus menggunakan teori AIDDA, yaitu : 1. Awareness (penyadaran). Teori tersebut menjelaskan kebijakan yang dimulai dengan awareness yang menimbulkan proses kesadaran. 2. Interest (Ketertarikan) 3. Desire (Keinginan) 4. Decision (Keputusan) 5. Action (Tindakan) Bagaimana dengan adanya sebuah peraturan yang membuat mahasiswa keluar dari fakultasnya ? Salah satu kelemahan, rektor memang sebagai presiden di kampus. Tapi, di sini negara kita adalah negara demokrasi yang harus diberlakukan dengan sistem tersebut (AIDDA). Seperti senat dan dewan mahasiswanya. Memang kekerasan simbolik itu berbahaya dan itulah dampaknya dalam kehidupan akademik. Kekerasan simbolik memang juga muncul karena adanya peraturan yang tidak disosialisasikan. Peraturan dan kebijakan kampus itu harus lewat metode AIDDA. Awal dari kekerasan simbolik adalah dari kepemimpinan otoriter. Apa faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kekerasan simbolik? Dari segi intrinsik, kekerasan simbolik tidak disadari, kasat mata, tidak kelihatan. Selanjutnya adanya gaya kepemimpinan. Sehar usnya gaya kepemimpinan demokratis. Masyarakat Indonesia, secara antropologis adalah masyarakat paternalistik, yaitu masyarakat yang meneladani atasan. Kalau menegakkan aturan, tegakkan dulu aturan yang di atas. Rasulullah mencontohkan bahwa pendidikan karakter adalah yang utama, keteladanan dalam setiap peraturan yang dibuat. Semua aturan-aturan termasuk ayat Al-Quran juga dilakukan sosialisasi kepada umatnya. Hal yang lebih mengkhawatirkan tetap mewabahnya kekerasan simbolik ke kekerasan pedagogi sehingga dosen menjadi otoriter yang membuat mahasiswa sebagai mesin photo copy. Jadi apa efek jangka panjang dari kekerasan simbolik itu? Bayangkan sekarang Indonesia tidak cerdas, padahal pendidikan membutuhkan manusia-manusia yang cerdas. Kenapa Indonesia tidak cerdas? Karena Indonesia terlalu memikirkan efek substansi. Dalam PKN misalnya, Pancasila harus hafal. Padahal gunanya PKN supaya mahasiswa bisa mengamalkan seperti berdemokrasi dan toleransi. Yang harus kita ingat sekarang adalah di samping kekerasan simbolik dari para pejabat, kita harus mengingatkan juga kekerasan pedagogi dari para dosen.

Sebab, efeknya seperti sekarang mahasiswa bersifat apatis, permisif dan cuek. Sebaiknya ada sistem yang dibangun atas partisipatif yang sesuai antara mahasiswa dan dosen. Bagaimana solusinya? Apakah dari keteladanan? Ya benar. Karena keteladanan bisa membuat sebuah pendidikan karakter. Namun, dalam pembuatan peraturan perlu memakai teori AIDDA tadi. Adanya kebijakan dan nilai yang nantinya bisa membuat seseorang berpendidikan dengan baik. Saat masih adanya mahasiswa yang bersikap apatis setelah perguruan tinggi menerapkan teori AIDDA, bagaimana sikap seharusnya ? Itu kan natural. Nantinya harus berbesar hati saja pimpinan dalam sebuah perguruan tinggi itu dan harus lebih bijak lagi. Dalam konsep Islam jangan bosan-bosan menjelaskan hal-hal kepada mahasiswa yang kritis. Kebenaran akan terjadi. Akhirnya kebenaran itu hanya satu. Yang penting Indonesia kan hidup dalam multikultur. Adanya paham pasti ada faksi-faksi di kampus itu. Itu adalah salah satu perbedaan dalam rahmat, tapi harus diusahakan menyatukan persepsi. Adakah cara atau trik tersendiri untuk para pendidik dalam mengajar? Kita kembali ke LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Red-). Mari kita gelorakan bahwa kualitas bangsa tergantung pada kualitas pendidiknya. Kita perlu pendidik yang berdedikasi tinggi. Seorang guru atau dosen itu merupakan teladan. Di luar negeri, tenaga pendidik sangat memanusiakan anak didiknya. Tesis saya, apa yang mahasiswa lihat dan rasakan saat dia kuliah, cara itu yang akan dia lakukan saat menjadi guru dan sebagainya. Harus ada pendidikan berkarakter yang dibarengi dengan keteladanan tersebut. Kekerasan simbolik sangat bertolak belakang dengan pendidikan karakter. Bagaimana kita menyikapi adanya kekerasan simbolik dan pedagogi ? Perlu adanya perubahan kelembagaan dan dimulai dari pendidikan yang pelan-pelan dengan program melalui wacana-wacana untuk menghalangi kekerasan pendidikan pedagogik. Dengan melakukan seminar-seminar bagaimana cara mengajar yang memanusiakan, tapi memang tidak bisa frontal karena sistem pendidikan di Indonesia tidak mendukung. Mahasiswa yang tidak suka dengan dosen tersebut boleh melakukan kritik. Mahasiswa boleh memelopori bagaimana memulai berorganisasi dengan pembelajaran atau reformasi pembelajaran atau membuat forum-forum tentang bahaya kekerasan simbolik dan pedagogi.[]


18 OPINI

Islam:

Agama Anti Kekerasan terhadap Perempuan Oleh Nina Nurmila*

T

idak sedikit umat Muslim yang memahami bahwa memukul itu boleh dilakukan pada istri yang nusyuz dengan merujuk kepada Al-Qur'an Surat (QS) An-Nisa' (4): 34, yang di antaranya diterjemahkan (ditafsirkan) sebagai berikut: 34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Artikel ini akan menjelaskan konteks saat diturunkannya ayat di atas untuk menjelaskan spirit Islam sebagai agama yang anti kekerasan terhadap perempuan. Spirit ini dipertegas oleh prilaku dan akhlak mulia Nabi Muhammad SAW sebagai pemaham Al-Qur'an terbaik dan tauladan bagi semua Muslim, yang tidak pernah

Dok. Pribadi

memukul para istri ataupun pembantunya. Polemik Pemukulan terhadap Istri pada Masa Turunnya AlQur'an Faqihuddin Abdul Qadir (2011) dalam bukunya La Tadhribu Ima' Allah. Polemik Wewenang Suami Memukul Istri dalam Teks dan Tasir Hadits menjelaskan bahwa para laki-laki Makkah sudah terbiasa memukul istrinya. Saat hijrah ke Madinah, Rasul khawatir jika kebiasaan ini menular kepada para laki-laki di Madinah, yang memiliki relasi suami istri yang lebih egaliter (setara) dibanding di Makkah. Di Madinah, para perempuan Anshar cenderung lebih bersikap terbuka dan sudah terbiasa melakukan protes terhadap perlakuan buruk suami yang tidak bisa mereka terima. Oleh karena itu, pada tahun pertama hijrah ke Madinah, Rasul melarang para laki-laki untuk memukul istrinya. Para istri Makkah kemudian banyak belajar dari perilaku para istri Madinah yang lebih terbuka dalam mengkomunikasikan ketidaksetujuan mereka terhadap prilaku buruk suami yang tidak bisa mereka terima. Rupanya, para laki-laki Makkah terkaget dan belum terbiasa dengan sikap protes para istri terhadap perlakuan buruk para suami kepada istri mereka, yang mereka anggap sebagai pembangkang an atau ancaman terhadap otoritas mereka sebagai suami.

Di lain pihak, para laki-laki Makkah juga ada yang memprovokasi para suami Madinah agar mereka tidak menjadi penurut terhadap istri-istri mereka serta agar para laki-laki Madinah mendidik istri mereka yang membangkang dengan memukulnya agar para istri menjadi penurut terhadap suaminya. Setelah itu, terjadilah pemukulan yang dilakukan oleh Sa`ad bin Rabi r.a, salah seorang petinggi Madinah, terhadap istrinya, Habibah bin Zaid. Habibah tidak bisa menerima perlakuan dari suaminya sehingga ia mengunjungi Nabi untuk melaporkan apa yang sudah terjadi padanya. Rasul pun memberlakukan qishas dengan memerintahkan agar Saad pun dipukul. Setelah itu, sekelompok laki-laki yang dipimpin oleh Umar menemui Nabi Muhammad SAW untuk memprotes larangan Nabi memukul para istri dan pemberlakuan qishas terhadap suami yang memukul istrinya. “Perempuan akan mudah membangkang jika kami tidak dibolehkan memukul,�. Demikianlah polemik yang terjadi terkait pemukulan terhadap istri sehingga dalam masalah ini umat Islam terbagi menjadi dua kelompok: (1) mereka yang setuju terhadap larangan Rasul memukul perempuan, terutama para perempuan Makkah dan Madinah; dan (2) mereka yang tidak setuju terhadap larangan Rasul untuk memukul perempuan,


OPINI 19 terutama para laki-laki Makkah, di antaranya adalah Umar bin Khattab. QS 4: 34 turun pada abad ketiga Hijriyah, setelah umat Muslim pulang dari kekalahan dalam perang Uhud, yang mengecewakan mereka, juga di tengah polemik yang ada tentang isu pemukulan terhadap istri. QS 4: 34 mengatur agar para suami menunda atau hanya memukul istri yang nusyuz jika suami tidak berhasil mendidik mereka dengan menasihati dan pisah ranjang. Jika mereka sudah taat setelah dinasihati, maka disarankan agar para suami tidak membuat hati istrinya susah dengan memukulnya. Namun ayat ini kemudian difahami sebagian sahabat, terutama para laki-laki Makkah, yang sudah sekitar tiga tahun lamanya menahan diri dari memukul istrinya karena dilarang Rasulullah, sebagai “angin segar” yang membolehkan mereka memukul istrinya. Akibatnya, pada suatu malam, sekitar 70 orang perempuan berduyun-duyun mendatangi Rasul untuk mengadukan pemukulan yang dilakukan para suami mereka. Pada pagi harinya, Rasul berkhutbah, “Tadi malam ada tujuh puluh perempuan yang berkumpul mengitari keluarga Muhammad, setiap mereka mengadukan praktek pemukulan (yang dialami) mereka. Demi Allah, saya tidak menganggap mereka (yang suka memukul) sebagai orang-orang yang baik di antara kamu” (HR Thabrani). Determinasi Rasul SAW untuk Tidak Memukul Istrinya Bagi umat Muslim, Nabi Muhammad SAW adalah tauladan. Dalam kasus pemukulan terhadap perempuan, Rasul bersikap tegas dengan melarang para sahabatnya memukul para istrinya di awal hijrah ke Madinah dan melabeli mereka yang memukul istri sebagai laki-laki yang tidak baik. Sebagai teladan, Rasul tidak pernah memukul istri atau pembantu/budaknya. Ini di antaranya diceritakan oleh hadits dari Aisyah yang artinya sebagai berikut: Dari Aisyah r.a berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memukul apapun sama sekali dengan tangan, tidak juga

(memukul) perempuan, atau pembantu; kecuali ketika dalam perang di jalan Allah. Ketika beliau disakiti mengenai suatu hal, ia tidak pernah membalas, kecuali jika terkait dengan kehormatan Allah, maka beliau baru akan membalas atas nama Allah SWT (HR Muslim). Rasul pun melarang memukul istri yang bisa jadi akan digauli suaminya di akhir hari, yang di antaranya tertulis dalam Hadith Riwayat Bukhari: Dari Abdullah bin Zam`ah dari Nabi SAW bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya bagaikan memukul hamba sahaya, (padahal) kemudian menggaulinya di akhir hari”. Dalam hadith lain, ketika Fathimah bint Qays meminta pendapat Rasul dalam memilih calon suaminya, Rasul menyarankan memilih Usamah bin Zayd, dan tidak memilih laki-laki yang miskin dan/atau pelaku kekerasan seperti yang terekam dalam HR Muslim berikut ini: Nabi SAW berkata (ke pada Fathimah bint Qays): “Mu'awiyah itu masih terlunta-lunta dan miskin, sementara Abu al-Jahm itu keras terhadap perempuan –atau suka memukul istri—karena itu pilihlah Usamah bin Zayd”. Demikianlah di antara hadith-hadith Rasul yang menunjukkan keteladanan beliau yang tidak pernah memukul istri atau jug a pembantu, menyindir/melarang para suami yang suka memukul istrinya sedangkan di malam harinya mereka menyetubuhi istrinya serta menyarankan agar tidak menikahi laki-laki pelaku kekerasan terhadap perempuan. Penutup Islam diturunkan di antaranya untuk membebaskan manusia yang secara sistem dibuat tidak berdaya, seperti perempuan, anak-anak dan si miskin. Salah satu budaya jahiliyah yang direvolusi Islam adalah pemukulan terhadap perempuan, yang sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di kalangan laki-laki Makkah. Yaitu dimulai dengan larangan Rasul agar para suami tidak memukul istrinya pada tahun pertama hijriyah, namun ini kemudian diprotes. Setelah aksi protes ini, turunlah QS 4: 34, yang oleh

sebagian sahabat difahami sebagai izin atau kebolehan memukul istrinya, sehingga kemudian mereka memukul para istrinya. Para istri yang dipukul suaminya ini berduyun-duyun mengadu kepada Rasul SAW. Rasul SAW, yang selalu menunjukkan keberpihakannya kepada perempuan, meresponinya dengan melabeli secara negatif para suami yang memukul istrinya, bahwa mereka bukan termasuk orang yang baik. Rasul sendiri pun memberi tauladan dengan tidak pernah memukul istri dan hambanya, menyindir/melarang para suami yang suka memukul istrinya padahal kemudian menyetubuhinya di akhir hari serta menganjurkan agar tidak memilih calon suami yang suka melakukan kekerasan terhadap perempuan. Mengikuti keteladanan Rasul dan sikap tegas beliau dalam menyikapi pemukulan suami terhadap istrinya, Imam Syafi`i dan Ibn Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa mereka memilih apa yang dipilih oleh Nabi SAW, yaitu tidak memukul istri walau dalam kondisi nusyuz sekalipun. Ibn Hajar alAsqalani juga mengaitkan praktek pemukulan dan akibatnya, yaitu memungkinkan istri menjauh, atau enggan mendekat dengan suami yang telah memukulnya. Jika suami suka memukul istrinya, maka tujuan untuk membina keluarga rukun yang harmonis akan sulit diwujudkan. Pemahaman kedua ulama besar ini sejalan dengan QS 4: 19 yang memerintahkan agar para suami memperlakukan istrinya dengan baik dan dengan tujuan pernikahan itu sendiri, yaitu untuk menciptakan keluarga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang [jauh dari tindak kekerasan], yang tercantum dalam QS 30: 21. Wallahu a`lamu bish shawab.

* Penulis adalah Dosen Senior UIN SGD Bandung Penulis Buku Women, Islam and Everyday Life (London and New York, Routledge, 2009, 2011)




Usyah Budin:

Klasik Itu Abadi Oleh Robby Darmawan


SOSOK 23

Usyah budin Lahir : Bandung, 26 Juli 1945 Pendidikan : SD Harimun II Bandung (1960), Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) I Bandung (19601963), Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) II Bandung (1963-1967), S1 Sosial Politik Universitas Padjadjaran (1967-1977) Pekerjaan : PT Tursina sebagai Ilustrator (2012-sekarang), Mengisi Komik di Majalah Mangle, Ilustrator di Pustaka Setia. Karya : Pendekar Bambu Kuning (1967), Gembang Wirasaba (1974), Roro Jongrang (1972), Batari Durga (1974), Gajah Oya (1972), Iblis Mengamuk di Merapi (1972). SUAKA/Robby Darmawan

K

omik klasik tak akan pernah mati, selalu abadi. Kalimat itulah yang selalu tertancap di hati dan terucap dari bibir Usyah Budin (69). Pria berperawakan tambun dan berambut tipis itu menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk menghidupkan komik klasik khas Indonesia. Keyakinan itu pula yang membuatnya tak pernah berhenti untuk terus menorehkan karya lewat tangan kidalnya hingga lebih dari setengah abad helaan napasnya. Seiring dengan geliat pasar komik Indonesia, maestro komik ini tidak mau kalah dengan generasi-generasi komik kontemporer dan kembali berlaga dalam industri komik yang tengah bangkit dalam beberapa tahun terakhir. Bekerjasama dengan sebuah studio komik yang berbasis di Kompleks Cibiru Indah, Bandung. Sang maestro di balik Madi Sembada kembali tur un gunung dan melanjutkan petualangan Pendekar Bambu Kuning. “Sejak tahun 2009 saya kerjasama dengan Iboy (Manager studio komik, Red-), saat itu mereka datang untuk belajar membuat komik dan sekarang akhirnya kerjasama dalam komunitas mereka untuk melanjutkan komik lama

saya (Pendekar Bambu Kuning, Red-),� katanya sambil tersenyum kecil. Langit Cibiru sore itu sedikit mendung. Matahari seakan malu-malu menampakan sinarnya. Usyah Budin menyesap rokoknya ditemani secangkir kopi dan gorengan. Saat Suaka bertandang ke studionya (23/10),

Jangan telan casingnya, ambil ilmunya,

dengan penuh semangat Usyah menceritakan pahit manisnya selama

setengah abad berkecimpung di dunia komik. Studio itu tak begitu besar, saat masuk ke dalam terlihat banyak kertas bergambar berserakan dan menumpuk. Beberapa gambar karakter komik terpajang di sudut-sudut dinding, mempercantik tampilan salah satu ruangan di studio itu. Di sudut ruangan yang lain seorang pria muda berkemeja sedang sibuk menorehkan garis-garis pensil membuat karakter komik bernama Si Langit. Kecintaan Usyah yang sejak belia menggambar komik diganjar apresiasi tinggi. Sebuah penghargaan sebagai juara pertama perlombaan meng gambar tingkat nasional membuatnya semakin percaya diri. Usyah belajar langsung pada komikus senior bernama Kosasih. Kosasih adalah komikus terkenal pada masanya. “Sejak kecil waktu di rumah daerah Kosambi, saya senang lihat gambar dan belajar kepada Pak Kosasih yang merupakan senior saya,� kenang Usyah. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak karya yang ia lahirkan. Di masa keemasannya tak terhitung berapa banyak rupiah yang ia dapatkan. Sayang, gejolak masa muda membuat


24 SOSOK Usyah tak berpikir panjang. Rupiah yang ia dapatkan hasil dari keringat kerja kerasnya, ia habiskan untuk melakukan halhal yang menurutnya kurang penting seperti jalan-jalan dan h u r a - h u r a . Te r l i h a t g u r a t penyesalan dari wajahnya. “Saya mah dulu orangnnya kaya koboy, jalan-jalan kemana-mana. Dulu harga tanah murah, tapi waktu itu saya berpikir buat apa beli tanah? Kalau aja dulu saya beli tanah, mungkin sekarang tanah saya udah banyak,” ujar Usyah sambil sesekali menyeruput kopinya. Masa Sulit Komik Indonesia Tang annya memantikan korek, menyalakan kembali rokok yang mati setelah lama mengobrol. Usyah bercerita masa sulit yang pernah dirasakan industri komik Indonesia. Komik Manga asal Jepang menyerbu pasar Indonesia di tahun 1990-an. Saat itu anak muda dibombardir dengan Komik Manga yang dijual murah. Lambat laun, komik-komik klasik asli Indonesia terpinggirkan dan lesap, seolah tak pernah ada. “Pada waktu itu, komik di Indonesia dimatikan, yang muncul adalah karya orang Jepang, namun orang-orang terpaksa dan lama-lama menyukai apa yang ia baca,” ujar pria lulusan S1 Sosial Politik Universitas Padjadjaran tersebut. Usyah tak kenal patah arang. Ia tetap membuat komik walaupun penjualannya tak sebanyak pada masa keemasannya. Tahun 1998, Komik Indonesia yang diperjuangkannya oleng di ujung tanduk. Tahun itu tercatat sebagai puncak dari keterpurukannya. Gejolak politik dan krisis moneter yang terjadi pada masa itu membuat keadaan semakin tidak menentu, akibatnya banyak penerbit yang gulung tikar. “Saya juga sampai menjual rumah,” katanya, muram. Untunglah napas Usyah yang megap-megap lekas lega kembali. Keadaan itu tak berlangsung lama. Tahun 2001 rombongan Wahyu

SUAKA/Robby Darmawan

Suharya dan aktor kawakan Ali Topan mendatanginya untuk bekerjasama mengangkat kembali komik Pendekar Bambu Kuning ke layar lebar. ”Itu menjadi awal kebangkitan saya,” Usyah tersenyum lebar.

meskipun punya selera tersendiri. Lihat zaman sekarang banyak yang menyukai Manga, tapi kalau barat saya masih suka jenis komiknya, seperti Conan, tapi jangan telan casingnya, ambil ilmunya,” kata Usyah.

Komik Indonesia Segera Bangkit

Saat ini di Indonesia sudah mulai bermunculan komikus muda berbakat, namun Usyah menilai kekurangannya adalah masalah karakter. Menurutnya, Komik Indonesia berada di posisi abuabu, mereka masih banyak meniru karakter Manga khas Jepang yang ia nilai bersifat datar.

Di umurnya yang tak lagi muda, tangan kreatif Usyah Budin tak pernah berhenti menghasilkan karya. Ia menilai walaupun sekarang Komik Manga asal Jepang masih menjadi mayoritas di pasaran, namun ia yakin bahwa komik klasik tidak akan lekang ditelan zaman. Menurut pria kelahiran Bandung ini komik yang bersifat lama itu adalah klasik, bukan pop. “Komik klasik itu abadi. Contohnya adalah Mahabarata yang dulunya sudah tidak terkenal pada tahun 1955, sekarang malah menjadi terkenal lagi,” papar Usyah. Hampir seluruh hidupnya ia habiskan untuk menggambar. Suka dan duka sudah ia lewati, dedikasinya terhadap dunia Komik Indonesia menimbulkan keinginannya untuk mengembalikan kejayaan komik klasik asli Indonesia. “Kalau kita mau, kita harus bangkit lagi bersama penerbit komik, tapi jangan membuat komik yang sama. Harus lebih produktif lagi. Kita harus ingat kebudayaan kita

Ia menginginkan generasi komikus muda membuat komik berbudaya Indonesia. “Jangan pernah menyerah karena bag aimana pun perkembang an mengenai komik atau Manga yang lain, Indonesia tetap kaya akan karyanya. Kita itu bisa diombang-ambing karena kita tidak memperkaya kebudayaan. Kita harus bersabar dan mengulik kembali budaya kita. Jangan takut. Cuma bagaimana kita menggali lagi kreativitas agar lebih menarik dan bersifat komunikatif. Kalau kita mau dikenal orang karyanya, kita harus kuat,” pungkasnya sembari menyesap rokok yang hampir habis. []Kru Liput : Restia Aidila Joneva/SUAKA


KAMPUSIANA 25

Duta Genre Solusi Remaja Sehat Oleh Dede Lukman Hakim

M

enjadi Duta Generasi Berencana (Duta Genre) merupakan prestasi tersendiri bagi Ira Raswati. Meski hanya sebagai runner up ia tetap bangga. Sebab bukan hal mudah ketika mempunyai tanggung jawab sebagai a g e n d a l a m mensosialisasi peran keremajaan. Baginya, gelar duta tak berarti apa-apa tanpa mengimplementasikan pemahaman tentang remaja ideal dalam kehidupan sehari-hari. Duta Genre merupakan salah satu program dari Badan Koordinasi Keluarg a Berencana Nasional (BKKBN) yang berkepentingan dalam mensosialisasikan programprogram BKKBN. Pencarian duta mahasiswa adalah salah satu wujud

pensosialisasian yang dimaksudkan untuk memiliki icon dalam mensosialisasikan program-program tersebut. Ira tak sendiri, bersama enam peserta lain yang juga m a h a s i s wa U I N S G D Bandung, ia bersaing untuk mengikuti ajang tersebut. Semua itu bermula saat mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) semester tujuh itu mendapatkan sebuah informasi dari jurusannya tentang ajang Duta Genre. Ira berkisah, empat bulan sebelum perlombaan, Ira mengaku disambangi seorang Dosen BKI, Novi Hidayati Afsari. Tawaran untuk mengikuti lomba Duta Genre 2014 datang dari Novi yang hendak membuat Ira sontak tercengang. Dengan alasan kurang percaya diri, Ira

tak langsung menerimanya. Namun jelang akhir Tahun 2013, Ira memutuskan untuk mengikuti lomba tersebut. “Udah gak apa-apa dicoba dulu aja,” kisahnya menir ukan percakapan dengan Novi. Teman satu jurusannya, Edi Hidayat, yang meraih juara per tama Duta Genre juga memiliki kisah yang sama. Edi d i b e r i tawaran lomba dari temannya. Begitu kabar itu sampai Edi, ia tak langsung memut uskan ikut. Ia mempertimbangkannya terlebih dahulu selama dua hari. Akhirnya Edi memutuskan untuk mengikuti lomba, dengan support yang Edi terima dari dosen. “Awalnya saya pikir-pikir dulu, cuman dikasih support dari dosen dan temen jadi agak termotivasi untuk ikut lomba,” tutur Edi. UIN SGD Bandung mengirim tujuh mahasiswa calon Duta Genre 2014 waktu itu, empat mahasiswa lainnya ialah Nizar Andrian, Lusi Uswatun Hasanah, Yeyen Nuryeni dan Riska Nur Mala. Berkas pendaftaran administrasi mereka tenteng ke kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Sekitar 50 mahasiswa calon Duta Genre dari berbagai universitas se-Kota Bandung juga ikut mendaftar. Selang tiga minggu, para peserta yang mendaftar mengikuti karantina selama dua minggu di Kantor BPPKB B a n d u n g. Awa l k a r a n t i n a , memunculkan kesan tersendiri bagi Edi, Mahasiswa BKI semester lima. “Tegangnya, karena lawan saya ratarata diligent. Serunya, punya teman baru dengan karakter yang berbeda-beda,” tutur Edi kepada Suaka akhir Oktober lalu. Ruangan karantina yang berukuran kurang lebih 30x50 meter itu diisi oleh


26 KAMPUSIANA sekitar 50 peserta yang dituntut aktif dalam setiap kegiatan karantina karena sudah termasuk penilaian. Kegiatan dikarantina merupakan apa yang akan ditampilkan pada grand final. Diajarkan bagaimana cara berjalan yang baik, cara duduk, berdiri, berbicara, cara menyimpulkan, cara menyampaikan sampai diberi materi tentang delapan program Genre. “Setiap harinya kita kaya kuliah lagi sampai sore, dari jam dua sampai jam lima, kadang sampai maghrib,” ujar Ira saat ditemui pada awal Oktober silam. Karantina merupakan sesi pembekalan materi tentang keremajaan pada pragrand final pencarian Duta Genre, materi tentang keremajaan diklasifikasikan menjadi delapan substansi Genre, yaitu Triad KRR (Seksualitas, Napza dan HIV/AIDS), Gender, Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), Delapan Fungsi Keluarga, Life Skill, Advokasi dan Komunikasi Informasi dan Edukasi(KIE). Substansi-substansi tersebut merupakan materi yang diujikan pada ajang pencarian Duta Genre 2014. Ajang ini merupakan salah satu media untuk menunjukkan remaja ideal. Bagi Ira, ada pelajaran yang bisa diambil saat di karantina, ialah harus menjadi role model dan menjadi teladan bagi yang lainnya. “Pada intinya kita harus memberikan contoh,” tuturnya. Amat disayangkan, berakhirnya masa karantina diiringi dengan berkurangnya peserta Duta Genre 2014. Akhirnya, tersisa belasan peserta yang bertahan dan mengikuti grand final yang berlangsung di Metro Indah Mall, Jl. Soekarno Hatta No. 590, Bandung. Grand Final Senin pagi, 24 Maret lalu, belasan remaja berpakaian batik berkumpul di salah satu gedung di Metro Indah Mall.

Nampak elok dengan polesan make up, mereka menanti detik-detik pemilihan Duta Genre dalam doa dan harap-harap cemas. Pe r l o m b a a n d i awa l i d e n g a n perkenalan setiap peserta oleh Master of Ceremony (MC) sambil satu per satu dari mereka berjalan di atas catwalk memperlihatkan kemenarikan dirinya yang sudah dibalut pakaian terbaik mereka. Para peserta berjalan bukan hanya menampilkan keanggunan, juga kewibawaan dituntut untuk menarik perhatian juri. Sesi selanjutnya presentasi materi. Luas wawasan, pengetahuan dan retorika menjadi penentu dalam penilaian juri. Setiap peserta mengambil satu gulungan kertas berisikan materi yang harus dipresentasikan dan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan juri. Bagi Ira, lupa tentang materi yang didapat dari praperlombaan adalah sebuah kekhawatiran yang tak kunjung usai hingga Ira mendapat giliran. “Terkadang ketika kita sudah naik panggung, materi yang sudah hapal, tapi ya karena nervous, demam panggung, bisa jadi penghambat presentasi materi,” ucap perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Paduan Suara Mahasiswa UIN SGD Bandung itu. Unjuk Kabisa, adalah sesi terakhir perlombaan, para peserta dipersilahkan menunjukkan bakat atau keterampilannya, di sinilah juri terakhir memberi penilaian yang kemudian para peserta tinggal menunggu pengumuman pemenang. Walhasil, dari belasan peserta, dipilih tiga orang untuk menjadi Duta Genre 2014 seKota Bandung, ialah E d i H i d ay a t , I r a Raswati dan Ani Martini. Disandangnya Duta Genre 2014 berarti memiliki

tang gung jawab bar u terhadap masyarakat. Edi Hidayat yang menyabet Juara Pertama Duta Genre 2014 ini memaparkan tang gungjawabnya. “Dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya para remaja tentang delapan substansi Genre, maka akan terwujud remaja yang ideal yaitu remaja yang sehat, cerdas, dan ceria,” tuturnya. Pikma Fidkom sebagai Volunteer Pusat Informasi dan Konseling Mahasiswa (Pikma) adalah suatu wadah guna memberikan pelayanan informasi dan konseling kesehatan reproduksi s e r t a p e r e n c a n a a n ke h i d u p a n berkeluarga. Pikma memberikan pelayanan dan infor masi tentang kesehatan reproduksi dan Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR). Pikma merupakan Lembaga Intra Jurusan BKI, didirikan dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Ketua Jurusan BKI, Aep Kusnawan berpendapat bahwa adanya program BKKBN mempunyai dasar dan sumber yang begitu kuat, yaitu AlQuran dan Assunah. “Pedoman itulah yang perlu disosialisasikan ketika menangkal pergaulan bebas dan HIV/AIDS,” ungkapnya. Menur utnya, siapapun yang berpedoman kepada ajaran Islam dengan sendirinya akan menyadari pentingnya menjauhi pergaulan bebas. “Jadi, kekhasan dari BKI ini bukan program membagikan kondom dalam menangkal KB, tapi mensosialisasikan ajaran Islam. Dikemas sedemikian rupa sehingga mereka kembali kepada ajaran agama,” tuturnya. Adanya integrasi antara BKKBN dengan UIN SGD Bandung diharapkan membuat mahasiswa memahami arti penting dari delapan substansi Genre di atas. Pun dalam pengaplikasiannya, Duta Genre diharapkan tidak henti mensosialisasikan sekaligus menjadi contoh remaja sehat.[]


KAMPUSIANA 27

Mimpi Dini Menjadi Motivator Dunia Oleh Hilda Kholida

P

ertengahan April lalu, ia berhasil merilis sebuah buku berjudul 'Buku yang Berputar dalam Cahaya' di Aula UIN SGD Bandung. Ia juga pernah diundang di acara talkshow pada salah satu stasiun televisi swasta Agustus lalu. Selain itu ia juga sering mengisi acara motivator di beberapa kampus. Siapakah dia? Adalah Dini Lestari, mahasiswa Manajemen Dakwah angkatan 2011. Prestasinya berhasil membuat buku dan menjadi motivator patut diapresiasi. Ia punya keterbatasan dari segi fisik, namun tak menjadi penghambat baginya. Perbedaan itu terlihat dari gerak-gerik tubunya. Jika berjalan, perempuan 24 tahun ini, tampak sedikit kesusahan, makanya selalu dibantu sahabat-sahabatnya. Tapi ia tetap bersemangat untuk mengikuti perkuliahan. Saat bicara, kata-kata yang ia ucapkan sedikit terbata-bata. Kita mungkin akan mengernyitkan dahi karena kurang paham dari setiap yang ia ucapkan. Meski begitu, prestasinya terbilang bagus dalam hal menjadi motivator. Karena beberapa kali ia sempat mengisi acara motivasi bersama Bang Amey. Dini merupakan satu-satunya alumni Sekolah Luar Biasa atau SLB Bojong Soang Bandung yang berhasil melangkahkan kaki di jenjang perguruan tinggi. Saat ditemui Suaka pertengahan Oktober lalu, Ia banyak berkisah tentang hidupnya. Dulu, saat keluar dari rahim ibunya, ia terlahir secara normal seperti bayi pada umumnya. Tak nampak kekurangan di

Dok. Pribadi

tubuhnya. Namun, seiring waktu bergulir orangtua Dini mulai merasa cemas dan aneh. Perkembangan tubuh Dini terbilang lambat. Dini ternyata belum juga bisa berjalan padahal usianya sudang menginjak dua tahun. Ternyata setelah diperiksa ke dokter, ada

gangguan saraf di dinding otak yang membuatnya kesulitan untuk belajar berjalan, dan berbicara. Bahkan terkadang tubuhnya bergerak dengan sendirinya yang membuat Dini sulit untuk mengontrol tubuhnya sendiri. Baru di usia empat tahun ia mulai belajar merangkak dan bisa berdiri di


28 KAMPUSIANA usia lima tahun. Namun, di balik semua keterbatasan yang dimilikinya, Dini tak pernah menyerah dan menyembunyikan semua kekurangan yang dimiliki tubuhnya. Cita-citanya setinggi angkasa, yakni menjadi motivator dunia. Mahasiswa kelahiran Bale Endah Kabupaten Bandung itu tetap membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing dan meraih mimpi seperti mahasiswa lain yang memiliki tubuh lebih normal dari dirinya. Dini menyimpan kemampuan yang luar biasa. Buku yang berhasil ia buat merupakan autobiografinya sendiri. Buku tersebut mengisahkan kehidupan Dini, yang mendapat

Saya tidak perlu merasa minder, tidak perlu ada yang ditutuptutupi,

banyak tantangan dan cobaan dari ketidaksempurnaan fisiknya. Buku tersebut sengaja ia buat untuk memotivasi semua orang terutama yang memiliki keterbatasan, agar selalu tetap percaya dan tidak merasa minder. Dini yakin, semua orang mampu melakukan hal yang diinginkan, asalkan ada kemauan dan berusaha.

"Alhamdulillah, Dini baru punya satu buku, semua itu bisa terjadi, atas kehendak dan izin Allah,” kata Dini dengan bangga. Sedari dulu ia memang hobi menulis, baik itu puisi atau curahan hatinya. Bahkan keinginannya untuk berhasil menerbitkan sebuah buku sudah ada sejak ia duduk di bangku SMP. Namun, keterbatasan fisiknya terkadang membuat Dini harus mengurungkan niatnya. Setiap kali ia memiliki ide menulis, ia tak sanggup menggerakan tangannya untuk menulis di atas kertas. Apalagi saat masih sekolah di SLB, Dini belum memiliki komputer. “Dari SMP pengen nerbitin buku tapi enggak punya komputer,” kata Dini. M e nu l i s s e b u a h b u k u b a g i perempuan kelahiran 1990 ini bukan hal yang mudah, sebanyak 250 halaman ia ketik sendiri dengan menggunakan satu jari telunjuk kirinya. Meski memiliki dua tangan, ia hanya bisa menggerakan tangan kirinya saja. Itupun hanya telunjuk dan jempol yang bisa digunakan, sedangkan telapak tangan kanannya, sama sekali tak bisa dikepalkan dan digunakan dengan normal. Meski begitu, Dini mengaku tak pernah merasa jenuh dan lelah s e d i k i t p u n s e l a m a m e nu l i s k a n autobog rafinya. Bahkan ketika kuliahnya padat dan memiliki banyak tugas, sering kali ia tak sabar untuk kembali menulis. “Saya tidak perlu merasa minder, tidak ada yang ditutup-tutupi dan inilah saya apa adanya. Terkadang saya sulit untuk belajar terutama menulis, tapi saya tidak menyerah sampai di situ. Saya menggunakan berbagai macam media yang bisa membantu belajar saya,” dini bercerita. Sampai saat ini ia masih berusaha untuk memperkenalkan bukunya kepada seluruh masyarakat, terutama para orangtua, guru, dan anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik. Dini berharap karyanya ini bisa menjadi motivasi bagi siapapun, memberi keyakinan bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah menciptakan manusia dengan sia-sia, namun Allah memiliki rencana di balik itu semua.

Di tengah kesibukan kuliah, Dini menyempatkan diri menjadi motivator di berbagai daerah di Kota Bandung, seperti di UIN SGD Bandung, di UPI hingga di toko busana muslim ternama. Bahkan Agustus kemarin Dini baru saja tampil di Indosiar dalam acara D'terong Show, Inspirasi, diundang ke Kota Solo untuk menjadi motivator, hingga mendapat undangan untuk mengisi seminar di Palembang dan juga Pontianak pada November dan Desember mendatang. Meski sudah banyak yang mengenalnya ia akan terus berjuang untuk meraih cita-citanya, yakni menjadi motivator dunia yang memberi semangat kepada setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik. Tak hanya menjadi penulis dan motivator, ia juga memanfaatkan 50% keuntungan penjualan bukunya untuk bisa disumbangkan ke Dini Center, sebuah organisasi yang dibentuknya untuk membantu orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti dirinya. Keberhasilannya ini tidak ia dapatkan sendirian, kedua orangtuanya yang sabar selalu mendampinginya setiap saat. Perkenalannya dengan Bang Amey, salah satu peserta Aksi Indosiar juga telah membantunya berjuang menerbitkan bukunya. “Dimotivasi sama Bang Amey buat bikin Dini Center. Dini harus membuktikan, Dini harus memberi contoh, kuliah juga dibiayai oleh Kang Badri yang berasal dari BRC, tempat Dini biasa berobat. Dini mendapat tantangan sekolah sampai ke S3,” ceritanya. “Dini punya target pengin ke luar negeri harus jadi pengisi motivator buat orang lain,” pungkasnya. Itulah Dini, salah satu contoh yang bisa menjadi inspirasi. Meski dalam keterbatasan fisik, ia tetap berusaha mengejar cita-citanya, memberikan motivasi kepada orang lain agar tetap hidup optimis. Di tempat lain, tentu masih ada Dini-dini lainnya yang dalam keterbatasan fisik, ia tetap bercita-cita tinggi bak bintang di langit. Lalu bagaimana dengan kita yang mempunyai fisik normal? []


Iklan layanan masyarakat ini dipersembahkan oleh LPM Suaka UIN SGD Bandung.


SUAKA/Dede Lukman


Setahun Menuju “dia” yang Baru


32 LAPORAN KHUSUS

Setahun Lagi (Deddy)kasi Oleh Isthiqonita

SUAKA/Dede Lukman

T

erik matahari membentuk fatamorgana di Taman Kampus UIN SGD Bandung. Cahaya yang menyilaukan itu tak leluasa menerobos dinding-dinding ruang Rektor Kampus Hijau di lantai dua AlJamiah. Dalam sorotan cahaya yang remang, Rektor UIN SGD Bandung, Deddy Ismatullah duduk di balik meja. Ia seolah tak punya waktu untuk sekadar menghela napas usai rapat pimpinan deng an para dekan. Rapat itu membahas pembentukan pusat keunggulan untuk di masing-masing fakultas. Di meja rektor, nampak tumpukan sertifikat yang harus ia tandatangani. Sementara tangannya mengambil lembaran itu satu persatu, ia menjelaskan program-program yang diperjuangkannya 3 tahun ke belakang. Ia mengaku percaya diri dengan satu program andalannya: memadukan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan Al-Quran. Dalam benak Deddy, tumbuh harapan bahwa suatu hari UIN

SGD Bandung akan mencetak ilmuwan muslim yang kuat keilmuan dan keagamaannya. “Mahasiswa lulusan UIN tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mampu mengaplikasikan dirinya dalam ilmu pengetahuan,� tuturnya sambil terus menandatangani sertifikat di lembar yang entah ke berapa, Kamis (9/10). Setahun lagi kursi yang diduduki Deddy bukan lagi miliknya. Keseriusannya dalam membangun Kampus Hijau masih menyisakan beberapa proyek pembangunan yang menjerit minta diselesaikan. Jika Deddy lengah, proyek pembangunan itu terancam terhenti sementara dan harus dilanjutkan oleh rektor selanjutnya. Tiga tahun duduk di kursi kerektoran, Deddy Ismatullah tak kering akan kritik dan pujian. Keduanya mengalir sama deras. Di samping keadaan-keadaan yang mendesaknya terus bergerak, ia terus memacu Kampus Hijau dalam melaksanakan program pembangunan infrastruktur UIN SGD Bandung.

Program yang sempat tertunda di masa jabatan Rektor UIN SGD Bandung yang ke-6, Endang Soetari, masih belum rampung di titik-titik tertentu. Belum lagi proyek pembangunan Fakultas Kedokteran yang memakan banyak tenaga dan biaya. Semua masih menjadi PR baginya. Meski kurang dekat deng an mahasiswa, Deddy tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk mahasiswa. Ia tak lembek pula tak menunda-nunda pekerjaan. Baru beres pembangunan pertama infrastruktur k a m p u s d e n g a n wa r n a k u n i n g gadingnya, kini sudah disibukan lagi dengan merancang pembangunan Fakultas Kedokteran. Rencananya, pembangunan akan dimulai pada Tahun 2015 mendatang. Rapat sana-sini, berkunjung ke sana-ke mari menemui orang penting yang akan membantu menjalankan pembangunan infrastruktur. Dirasanya tak seimbang jika hanya membangun infrastruktur kampus,


LAPORAN KHUSUS 33 maka Deddy angkat tindakan dengan menciptakan pembangunan akhlak bagi suprastruktur kampus, khususnya mahasiswa. Hal yang khas di masa kepemimpinan Deddy ialah pembangunan tata ruang Kampus H i j a u s y a n g d r a s t i s. H a l i n i dikemukakan beberapa dosen. Mereka tak menampik kemajuan yang terjadi, khususnya bidang pembangunan di bawah kepemimpinan Deddy. Tak ada gading yang tak retak. Pujian bagi Deddy disusul komentar miring dari beberapa pihak. Salah satunya dari Dosen Senior Fakultas Ushuluddin. Menyinggung pembangunan serta penataan gedung di Kampus Hijau, Ayung Darun Setiadi mengatakan bahwa rencana serta konsepnya sudah ada sejak masa kepemimpinan Endang Soetari periode 1995-2003. Maka wajar jika apa yang dibangun Deddy sekarang berkesan pesat. “Itu sudah lama dan konsepnya ada pada saya, UIN Bandung memang terlambat,” jelasnya. Ketika ditanya penyebab keterlambatan yang cukup lama itu, Darun, sapaan akrabnya mengatakan itu hanya urusan negosiasi dan komunikasi, Kamis (2/10). Program Lain Deddy Program andalan lain yang tak kalah pentingnya ialah memadukan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan AlQuran. Berupaya menciptakan manusia yang sadar dan mengaplikasikan tugasnya sebagai manusia, itulah yang diharapkan Deddy. “Saya ingin mencetak ilmuwan muslim yang tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mampu mengaplikasikan dirinya dalam ilmu pengetahuan,” tutur rektor asal Sukabumi itu. Salah satu salah pengejawantahan program unggulan Deddy itu adalah tahfidz. “Minimal hafal satu juz,” tegasnya. Tak tanggung-tanggung, Deddy jug a memberi g anjaran menggiurkan bagi mereka yang hafal 30 juz. Diumrohkan gratis. Itu janji manis rektor yang dilegalkan sebagai program di masa kepemimpinannya. Tanggapan bahwa Deddy hanya meneruskan program yang telah ada sebagaimana soal pembangunanpun muncul lagi. Kali ini bukan dari Fakultas Ushuluddin, melainkan Adab dan

Humaniora. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Agus Salim mengatakan, bahwa program tahfidz tersebut adalah ruhnya Wahyu Memandu Ilmu. Program tersebut dikonsepkan oleh rektor periode sebelumnya, Nanat Fatah Natsir. “Meskipun tidak secara gamblang tertera dalam Visi-Misi rektor saat itu,” paparnya ketika ditemui di ruang kerjanya, Selasa (7/10). PR Satu Tahun Tu g a s a k h i r D e d d y d a l a m menyelesaikan programnya tak semudah diucapkan. Perlu kerja ekstra nan persuasif untuk merealisasikan programprogram yang ia gadangkan, khususnya segi dana pembangunan. “Dana dari Kementrian Agama (Kemenag, Red-) itu terbatas, tidak semua bangunan berdasarkan anggaran dari Kemenag,” ujar Deddy saat ditemui di ruang kerjanya.

Hal itu bukan persoalan mudah, pembangunan rumah sakit saja memerlukan dana hampir 650 milyar,

Tak ingin tergantung pada satu sumber dana karena tidak bisa menutupi seluruh kebutuhan pembangunan. Lantas, Deddy mecari banyak donatur salah satunya Pemprov Jawa Barat. “Sebagian dana kita ambil dari sumbangan yang tidak mengikat, misalnya akan ada renovasi mesjid yang merupakan sumbangan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov, Red-) Jawa Barat,” lanjutnya. Di antara program-program masa

jabatannya yang belum rampung ialah pembangunan Fakultas Kedokteran serta Rumah Sakit Pendidikan UIN SGD Bandung. “Hal itu bukan persoalan mudah, pembangunan rumah sakit saja memerlukan dana hampir 650 Milyar,” kata Dedy pada Kamis, Oktober lalu. Nilai-nilai keislaman adalah satusatunya stimulan yang akan dicekokkan kepada calon mahasiswa Fakultas Kedokteran. Selain membangun infrastruktur kampus UIN Bandung, suprastruktur pun dirasa perlu untuk menciptakan bangsa yang beradab sesuai ajaran Islam. Maka, integritas keilmuan yang dimiliki oleh lulusan Fakultas Kedokteran UIN tidak hanya tentang keilmuan dan profesi saja, melainkan integritas nilai keislamannya. Dikutip dari Tabloid Suaka edisi Agustus/September 2014, bahwa UIN Bandung merancang output dari Fakultas Kedokteran yang memiliki kelebihan dibanding dengan lulusan Fakultas Kedokteran di universitas lain. Diantaranya adalah sarjana kedokteran yang ilmunya bisa digunakan untuk berdakwah dan memberikan pelayanan pada masyarakat, untuk mengabdi kepada masyarakat. Profesi dokter tak sebatas bekerja dan mendapat gaji, lebih jauh dari itu, mengabdi dan membantu kesehatan masyarakat menjadi barometernya. Bersedia ditugaskan di mana saja bahkan di tempat rawan bencana, itu menjadi target lulusan Fakultas Kedokteran UIN SGD Bandung. Meski memberi komentar miring soal pembangunan, Darun tak menutup mata atas kebaikan Deddy. Deddy yang menghargai setiap ide dari orang lain membuat Darun mengungkapkan penghormatan itu. Ketika ditanya tanggapan dari sekian program Deddy yang patut mendapat apresiasi, Darun memuji rektor ke-8 itu. MenurutDarun, Deddy responsif terhadap ide-ide yang berkembang, walaupun ide itu bukan ide yang besar. “Dia memberi kebebasan kepada mahasiswa dan dosen secara progresif. Sangat perhatian kepada orang yang memiliki ide, respect, menaruh empati dan simpati kepada orang,” pungkas Darun.[]Kru Liput: Restia Aidila Joneva


34 LAPORAN KHUSUS

Jabatan Lain Diburu, Santri Kian Cemburu Oleh Adam Rahadian Ashari

S

eorang santri cilik dengan sar ung kedodoran berlari melintasi selasar masjid. Beberapa temannya yang sedang mengukir kaligrafi pun beringsut. Mereka tak sempat benahi peci dan bajunya yang sedikit kusut. Sementara itu, santri tingkat awaliyah yang sedang mendiskusikan kitab nahwu shorof berhenti sejenak. Pandangan mereka tertuju pada seseorang berbadan tegap dengan pakaian serba hitam. Dia berjalan tenang menuruni tang ga yang mengarah ke masjid. Kedua sisinya dikawal oleh beberapa santri senior. “Pak Ajengan, Pak Ajengan!” sergah seorang santri yang sedang menyiram tanaman di samping masjid. Mereka semua bergegas menghampiri kiainya untuk sekadar mencium tangan dan mengharap berkah. Pemandangan itu tak asing jika Rektor UIN SGD Bandung, Deddy Ismatullah, berada di Pondok Pesantren Syamsul Ulum Sukabumi, seperti Minggu (12/10). Dia berada di sana untuk mengisi pengajian mingguan Majelis Nurul Ulum. Prof Deddy, demikian sapaan akrabnya, selain seorang rektor, juga merupakan pimpinan di pesantren yang sudah ada sejak tahun 1933 tersebut. Sebuah Yayasan Pendidikan Islam yang didirikan oleh kakeknya, K.H. Ahmad Sanusi. Deddy dianggap sebagai tokoh kharismatik di mata santrinya. “Sebagai pemimpin, beliau kharismatik. Sebagai kiai beliau dihormati dengan ilmunya yang kami butuhkan,” ujar Saiful Anwar (19), Mahasiswa UIN SGD Bandung yang pernah menjadi Santri Syamsul Ulum selama enam tahun, Jumat (9/10). Deddy juga turun langsung mengajar santrinya beberapa kitab hadist dan fikih. Nama Deddy Ismatullah pun dikenal sebagai pemuka agama di Kota Sukabumi. Dia pernah menjadi Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia

SUAKA/Dede Lukman

(ICMI) periode 2009-2014 dan sedang menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Sukabumi. “Pak Deddy itu orang penting di Sukabumi, beliau pengayom masyarakat,” kata Saiful. Ragu tapi rindu. Seperti itulah yang dirasakan seorang santri senior yang juga Mahasiswa STAI Syamsul UlumYanuar Azhar (21). “Kami suka deg-degan kalau mengikuti pengajian beliau. Sosoknya tegas. Santri butuh mental yang kuat. Tapi itu yang membuat kami rindu untuk mengaji bersama beliau,” kata Azhar, Minggu (12/10). Namun sejak menjabat sebagai rektor, intensitas pertemuan Deddy dengan santrinya berkurang. Seringkali jadwalnya mengisi pengajian harus diganti oleh pengajar yang lain. Metode pengajian yang digunakan oleh penggantinya pun berbeda. Tak ayal sebagian santri merasa kehilangan sosok Deddy yang dikagumi. Hampir genap empat tahun. Kini,

Deddy berada di penghujung kepemimpinannya. Beragam spekulasi berseliweran terkait langkah Deddy selanjutnya. Sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi kampus, Saiful tahu ihwal masa jabatan rektor yang akan segera berakhir. Dia beranggapan bahwa sebaiknya Deddy fokus mengurus pesantren dan memajukan Sukabumi. “Semenjak Ajengan Maman (kakak kandung Deddy Ismatullah, Red-) wafat, saya rasa pesantren kehilangan sosok pemimpin yang kharismatik. Saya harap Pak Deddy bersedia melanjutkan kepemimpinan dan fokus di sana seusai menjadi rektor,” ungkapnya. Senada dengan Saiful, Azhar pun berharap kiainya tersebut bersedia lebih dekat lagi dengan santri. Azhar menilai bahwa Deddy adalah sosok kebanggaan pesantren. “Beliau adalah ulama modern yang disegani oleh santri. Pernah belajar dengan beliau adalah kebanggaan bagi siapapun, termasuk santri,” ungkap Azhar.


LAPORAN KHUSUS 35 Berjarak sekitar sembilan puluh kilometer ke arah timur Sukabumi, sosok yang dirindu terlihat lesu. UIN Bandung begitu gerah saat itu. Terpantau dari gedung rektorat lantai dua, mobil-mobil parkir berdesakan di beranda kampus yang minim pepohonan. Deddy keluar dari ruangannya dengan tatapan yang agak sayu. Sebelumnya, satu persatu orang berpakaian rapi keluar masuk ruang rektor. Deddy nampak disibukkan pada bulan-bulan terakhir masa jabatannya. Pembangunan infrastruktur kampus yang menjadi agenda besarnya pun belum sepenuhnya rampung. Masih ada sederet tugas yang harus diselesaikan hingga masa jabatannya berakhir. Pada 2015 nanti, pemilihan rektor periode 2015-2019 akan dilaksanakan. Sebelum meninggalkan gedung rektorat, Deddy menyempatkan berbincang terkait harapan santri yang memintanya segera “pulang”. Deddy mengaku dirinya siap mengabdi selama dia diberi kepercayaan. “Tidak hanya di pesantren, bahkan di Jakarta dan Bandung pun mereka ingin saya bersama mereka. Untuk saat ini dibagi-bagi saja dulu. Saya serahkan semuanya kepada Allah,” paparnya pada Suaka, Rabu (8/10). Saat disinggung soal pencalonan kembali dirinya tahun depan, Deddy tidak menampik kemungkinan tersebut. “Saya pikir-pikir dulu. Kalau saya mendapat tugas yang lain dan harus bepergian ke luar akan sulit untuk terus di sini,” ungkap Deddy. Deddy pun mengaku, jika tidak terpilih menjadi rektor lagi, dia tidak ada niatan untuk berkecimpung di dunia politik. Deddy lebih memilih untuk menjadi Hakim Agung. “Paling jadi Hakim Agung. Sebab ilmu yang saya miliki di ranah itu,” jelasnya. Kendati demikian, Deddy sudah menyiapkan program unggulan jika dia kembali terpilih menjadi rektor. Pada masa jabatannya saat ini, pembangunan infrastruktur kampus dan tahfidz minimal satu juz bagi seluruh mahasiswa adalah target

utamanya. Sementara untuk periode nanti, dia merencanakan peningkatan kualitas mutu dosen dan mahasiswa. “Harus ada peningkatan pengajar yang bergelar doktor. Jika ada 700 dosen maka 350 dari mereka harus bergelar doktor agar kualitas mahasiswa pun semakin baik”. Mengetahui rencana tersebut, Azhar tak lantas lar ut dalam kekecewaan. Meskipun dirinya lebih berharap Deddy fokus membina santri, Azhar tetap mendukung keputusan Deddy. Azhar yang sejak Taman Kanak-Kanak (TK) menimba ilmu di Syamsul Ulum beranggapan, kesibukan Deddy di luar pesantren tetap akan membawa pengaruh positif. “Dengan Prof Deddy aktif di luar akan lebih banyak membuka jaringan. Pada akhirnya Syamsul Ulum akan banyak dikenal dan berpengaruh pada citra pesantren,” jelas Azhar. Menanti Sosok yang Peka Periode kepemimpinan Deddy Ismatullah yang hampir usai mulai memanaskan percaturan politik UIN Bandung. Kursi rektor periode 20152019 mulai diincar oleh beberapa pihak. Hal yang wajar mengingat rektor adalah posisi strategis untuk menentukan nasib UIN Bandung. Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) UIN SGD Bandung, Syarif Saefullah, memiliki kriteria tersendiri untuk calon rektor periode berikutnya. Menurutnya, UIN SGD Bandung membutuhkan sosok pemimpin yang peka terhadap permasalahan kampus sekecil apapun. “Sosok rektor ke depan harus paham kebutuhan UIN. Artinya dia harus cerdas, realistis, berbudaya dan jangan sekadar janji. Kehidupan kampus bukanlah mahasiswa dengan dosen saja tapi dengan pohon, kebersihan, kenyamanan dan masyarakat karena mereka pun sama makhluk hidup,” papar Syarif. Menyoal pandangannya terhadap ke p e m i m p i n a n D e d d y, S y a r i f beranggapan masih ada beberapa masalah serius yang harus Deddy selesaikan. “Ada beberapa hal yang memang belum terselesaikan dengan

baik bahkan kurang diperhatikan. Seperti Ruang Terbuka Hijau, akreditasi jurusan, fasilitas olahraga dan akademik seperti perpustakaan serta pembangunan kampus yang tak kunjung selesai,” ungkap Syarif. Selain itu, Syarif juga menilai kurangnya apresiasi terhadap budaya lokal. Kekurangan juga nampak pada sistem KKM reguler yang menempatkan mahasiswa ke daerah yang jauh. Seharusnya, kata Syarif, mahasiswa Kampus Hijau harus mengabdi pada masyarakat sekitar kampus terlebih dahulu. Menanggapi hal itu, Deddy menilai semua programnya berjalan dengan lancar. “Tidak ada yang sulit, lancarlancar saja. Pembangunan gedung beres. Ting gal bagaimana kita membangun sistem di dalam. Semoga rektor periode berikutnya bisa menyempurnakan,” kata Deddy. Saiful Anwar, yang lebih senang jika Deddy mengabdi di Sukabumi, menganggap kepemimpinan rektor periode sekarang bisa dikatakan sukses. “Dengan berdirinya gedunggedung baru membuktikan kerja nyata beliau. Entah jika yang memimpinnya orang lain, akan begini atau tidak,” katanya. Kemungkinan yang mengarah pada kembalinya Deddy mencalonkan diri sebagai rektor atau memilih profesi sebagai Hakim Agung, tidak membuat Saiful kehilangan rasa hormatnya. Saiful yang pernah merasakan kepemimpinan Deddy di pesantren dan universitas tidak bersikap antipati. “Hingga kini saya tetap menganggap Prof. Deddy sebagai kiai, bukan rektor. Apapun keputusan beliau akan saya dukung dan selalu saya doakan yang terbaik,” tandas Saiful. Masih ada janji yang terus ditagih mahasiswa dan pembangunan jiwa raga kampus yang harus diselesaikan dengan rapi di penghujung jabatan Deddy. Hingga tak ada tanggung jawab yang dikhianati. Dengan begitu, maka akan terus ada sosok Deddy yang dirindukan para santri dan disegani mahasiswa kampus ini. []


36 LAPORAN KHUSUS

Rektor Tak Sekadar Jabatan Oleh Nita Juniati

Menjabat sebagai seorang rekor diperlukan langkah visioner dan fleksibel untuk meningkatkan infrastruktur dan suprastruktur terutama mahasiswa. Upaya merealisasikannya, diperlukan integrasi dari seluruh elemen kampus UIN SGD Bandung. Rektor yang dicap sebagai orang nomor 1 di kampus tentu harus memenuhi kebutuhan kampus serta mahasiswanya.

K

SUAKA/A. Rijal Hadyan

ampus UIN SGD Bandung kini selaiknya miniatur negara. Unsur politik yang kental jadi topik hangat dari waktu ke waktu. Bak permainan catur, raja dengan 1 ratu, 2 benteng, kuda dan kesatria serta 8 pionnya berpacu menciptakan muslihat untuk mendapatkan kekuasaan. Permainan itu dapat ditemukan di seantero kampus bernotabene Islam ini. Salah satunya dalam perebutan kursi rektor. Raja di catur tak berarti rektor di kampus yang hanya mampu melangkah satu petak. Dalam jabatan rekor


LAPORAN KHUSUS 37 diperlukan langkah visioner dan f leksibel untuk meningkatkan infrastruktur dan suprastruktur ter utama mahasiswa. Upaya merealisasikannya, diperlukan integrasi dari seluruh elemen kampus UIN SGD Bandung. Rektor yang dicap sebagai orang nomor satu di kampus tentu harus memenuhi kebutuhan kampus serta mahasiswanya. Setahun lagi atribut kerektoran sudah harus Deddy simpan untuk digunakan oleh calon rektor penggantinya. Pikulan di pundak Deddy tak bisa disebut ringan. Masih ada program akhir yang dipikul Rektor Deddy Ismatullah menjelang akhir jabatannya. Siapa yang pantas mendapatkan atribut rektor? Secara konservatif, jawabannya tak lain adalah ia yang memenuhi kriteria berdasarkan draft statuta. Gayung belum bersambut, sebab nyatanya masih ada kriteria lain yang tak tertulis, namun tetap harus ada di diri rektor pengganti Deddy. Awal Oktober lalu, Suaka menemui Dekan Fakultas Ushuluddin, Rosihon Anwar di ruang kerjanya. Ia duduk di balik meja kerja seolah menikmati ruangan yang tertata rapi dengan udara dingin dari AC. Ia tak berbicara panjang lebar ketika diminta memaparkan kriteria rektor menurutnya. “Kriteria rektor kan sudah diatur dalam draft statuta, dan itu harus ditaati. Tidak perlu ditambah-tambahkan lagi,” ujarnya singkat, Selasa (7/10). Bukan hanya Rosihon, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Oyo Sunaryo Mukhlas pun demikian, Ia mengatakan bahwa kriteria dan peraturan mengenai pemilihan rektor sudah diatur dalam draft statuta yang sudah lengkap dengan mekanismenya. Siang itu matahari cukup terik, di r uang ker janya, Oyo masih memaparkan kriteria pemimpin yang diharapkan. Bagi Oyo, rektor merupakan mahkota universitas. Sehingga wibawa seorang rektor merupakan wibawa universitas yang dipimpinnya. Pergantian rektor akhir

2015 nanti, ia mengatakan bukan berarti kembali ke nol, namun melanjutkan program yang telah ada dengan inovasi baru. Menurutnya seorang rektor harus visioner dan menjadikan UIN SGD Bandung sebagai kampus yang kompetitif. “Seorang rektor harus membuat pengembangan dan penguatan akademik sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi, serta mampu memperkuat akidah,” tuturnya santai, Selasa (7/10). Lantai tiga Gedung Student Centre (SC) ramai oleh aktivitas mahasiswa seperti biasanya. Tepat di kursi lusuh yang tertata di depan Sekretariat Suaka, Ketua Senat Mahasiswa Fakutas Sains dan Teknologi, Awi Jaya, melontarkan kriteria sosok pemimpin yang ia harapkan. Sambil menggenggam ponselnya, ia mengatakan bahwa seorang rektor harus mampu dekat dan mendengar aspirasi dari mahasiswanya. Menurut Awi, jangan sampai hubungan mahasiswa dengan rektor seperti anak kehilangan orang tuanya. Rektor haruslah mampu menjadi contoh baik bagi seluruh civitas akademika, yang tentu akan membawa UIN SGD Bandung kepada perubahan yang lebih baik. Senada dengan Awi Jaya, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora, Nunu Nugraha mengharapkan rektor yang mampu mengakomodir mahasiswa. Selain itu rektor pun harus mengikutsertakan m a h a s i s wa d a l a m m e n e n t u k a n kebijakan. “Rektor tidak akan pernah ada, kalau tidak ada mahasiswa,” ujar Nunu melalui pesan singkat. Senat lain pun sepaham untuk kriteria rektor yang menyesuaikan kebutuhan mahasiswa dan kampusnya. Mengikut sertakan mahasiswa untuk andil dalam pengawasan sistem serta mampu mempromosikan kampus yang minimal sohor di kancah nasional. Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ivan Latifan, beranggapan bahwa sejatinya seorang rektor harus mampu meningkatkan fasilitas akademik yang sesuai dengan visi dan misi UIN SGD Bandung. Program Wahyu Memandu

Ilmu yang diusung rektor sebelum Deddy Ismatullah yakni Nanat Fatah Natsir, tak terlihat di periode ini. Padahal menurutnya program itu sudah sesuai dengan visi dan misi UIN SGD Bandung. Selang satu hari, Suaka berhasil menghubungi Nanat Fatah Natsir. Ia tak bersedia diwawancarai ketika diminta penjelasan mengenai program yang diusungnya saat menjabat sebagai rektor serta kriteria untuk rektor periode selanjutnya. “Kalau pertanyaannya itu, lebih baik nanti saja,” katanya melalui pesan singkat. Suaka mencoba menghubungi lagi, namun tidak mendapat jawaban. Kriteria rektor secara formal atau yang tercantum dalam draft statuta tak berarti mencakup semua kriteria yang dibutuhkan oleh Kampus Hijau. Hal itu diungkapkan Dosen Fakultas Ushuluddin, Ayung Darun Setiady. Ia justr u menyuguhkan 8 kriteria tambahan yang mengacu pada Majalah CampusAsia edisi NovemberDesember 2008. Pada tulisan yang berjudul Top 100 Educators, Great Achievers from State Universities, tercantum: Pertama, bagaimana orang tersebut meng gunakan IT, jika segala koneksinya diserahkan kepada sekretaris pribadinya. “Wah, itu pemimpin gagal,” ungkap Darun, sapaan akrabnya. “Selanjutnya, bagaimana dia mengatur universitas, mulai dari level learning university, research university hingga high university (universitas bertaraf internasional, Red-),” lanjutnya, Kamis (2/10). Kriteria lain yang dipaparkan Darun adalah human interest, social service, mind set mengikuti sistem yang berlaku, berwibawa, produktivitas, serta kebebasan akademik. Rektor berakhlak baik sesuai Al-Quran sangat dibutuhkan di universitas Islam agar meningkatkan kualitas spiritual mahasiswa, “Jika rektornya saja tidak berakhlak, bagaimana mahasiswanya,” pungkas Darun dengan senyum. []Kru Liput: Isthiqonita, Restia Aidila Joneva/SUAKA


38 LAPORAN KHUSUS

Calon Rektor, Malu Tapi Mau Oleh Nuru Fitry SUAKA/M. Yusup

S

etahun lagi masa jabatan Deddy Ismatullah sebagai rektor menuju garis finis dengan tugas akhir yang masih menumpuk. Banyak program yang belum terselesaikan di tahun terakhir ini. Para kandidat rektor mulai berpacu dengan strategi dan muslihatnya untuk sampai terlebih dahulu pada kursi kendali rektor. Kursi pemegang setir untuk menunjukkan arah kemana UIN akan dibawa. Siapa kandidatnya, masih samar. Saat dikonfirmasipun mereka tak peduli seolah tak menginginkan kursi kendali itu. Di ruang dekanat lantai dua Fakultas Syariah dan Hukum, sinar matahari yang membakar kulit tak mampu blusukan ke r uangan. Sebagian cahaya yang mampu menerobos sekat ruangan itu pun seolah tak berkutik. Saat Suaka datang, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Oyo Sunaryo Mukhlas nampak menikmati ruangan dengan meja dan kursi yang terpojok menghadap utara. Kepada Suaka, Oyo mengatakan calon rektor atau bahkan yang dijagokan belum ada di fakultasnya. “Hal itu dikarenakan belum ada pembicaraan mengenai hal tersebut,” Jelasnya, selasa (7/10). Tak jauh berbeda, Dekan Fakultas Ushuluddin, Rosihon Anwar pun mengatakan hal serupa. “Itu masih sangat lama, belum ada pembicaraan mengenai hal tersebut,” tuturnya dengan sedikit acuh. Begitupun dengan pencalonan rektor dari Fakultas Adab dan Humaniora yang masih samar. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Agus Salim justru lebih

merasa khawatir. Dalam setahun ini, jika calon rektor selanjutnya digemborgemborkan dari sekarang akan berpengaruh terhadap kinerja Deddy. Salah satu dari sekian banyak kicauan tentang nama calon rektor ialah Ujang Saefullah, Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Namun saat dikonfirmasi oleh Suaka, ia dengan tegas mengelak kebenaran isu tersebut. “Saya enggak akan mencalonkan diri, lagi pula masih lama, belum ada pembicaraan mengenai itu,” Ujang mengatakan bahwa pembicaraan ditingkat fakultas akan dilaksanakan jika sudah dekat waktunya. “Ya biasanya ada pembicaraan dulu, tapi hanya beberapa orang saja, tidak semua orang dilibatkan,” tuturnya, Selasa (21/10). Menjadi dekan merupakan poin plus, karena merupakan salah satu syarat menjadi calon rektor berdasarkan draft statuta. Maka selaku dekan, Oyo sebenarnya bisa saja mencalonkan dirinya menjadi rektor. Akan tetapi saat ditanya mengenai kesiapannya dalam pencalonan tersebut ia mengatakan bahwa diakhir masa jabatannya ia ingin meng optimalkan kiner janya di lingkungan Fakultas Syari'ah dan Hukum. “Lagi pula itu masih terlalu lama, saya belum kepikiran untuk mencalonkan diri,” ungkapnya tertawa saat ditemui di ruangan kerjanya. Oyo mengutarakan bahwa siapa pun calon yang akan maju dari Fakultas Syari'ah dan Hukum pasti mendapat dukungan dari fakultasnya. Oyo berpendapat bahwa masih ada

kemungkinan untuk Deddy Ismatullah menjabat lagi sebagai rektor. Selain karena ia baru menjabat satu periode, Oyo menganggap Deddy masih memenuhi kriteria seorang rektor. “Kinerja beliau sebagai rektor saya rasa bagus, program yang ia jalankan pun terasa,” tuturnya. Berbanding terbalik dengan ucapan dosen senior Fakultas Ushuluddin, Ayung Darun Setiyadi. Dalam kamar nomor 312, Rumah Sakit Al-Islam, Darun tersenyum ketika Suaka datang. Setengah badannya bersembunyi di balik selimut tipis, dengan suara pelan dan lambat ia sempatkan mengatakan bahwa hampir semua dekan menginginkan jabatan sebagai rektor. “Semua dekan mau mencalonkan diri, ya tinggal lihat saja mereka memenuhi kriteria atau tidak,” ucap Darun saat ditemui di ruang inap, Jumat (24/10). Darun saat itu terbaring lemas, tangannya mengepal alat terapi berbentuk bulat berduri secara bergantian. Darun tetap melanjutkan percakapan. Katanya beberapa orang sudah mengutarakan niatannya untuk jadi rektor. “Itu serius, bukan hanya gurauan,” ujarnya ketika ditanya mengenai keseriusan ucapan tersebut. Darun sambil tersenyum menyimpulkan bahwa karakter orang sunda memang malu-malu kucing. Saat ini para bakal calon rektor belum mengungkapkan niatnya, namun sebenarnya mereka sudah mempersiapkan diri. “Lihat saja nanti di akhir pendaftaran,” pungkasnya.[]Kru Liput: Isthiqonita/SUAKA



40 OPINI

“Tuhan Memerintahkan Manusia Bertepuk Tangan� Oleh Ahmad Solahudin*

SUAKA/M. Yusup

E

ksistensi manusia berkiprah di muka bumi bukanlah suatu kehidupan tanpa orientasi yang membuat manusia hidup tanpa arah, juga bukan sebagai kehidupan bebas orientasi dimana setiap individu semaunya menetukan jalan serta langkah hidupnya. Akan tetapi terlahirnya manusia di bumi ini telah memiliki tujuan dan tugas risalah yang telah ditentukan oleh Tuhan sang maha pencipta. Seperti halnya produk elektronik yang diciptakan untuk suatu fungsi tertentu oleh produsennya. Sehingga tugas dan tujuan manusia pun sudah jelas berdasarkan aturanaturan dan undang-undang yang telah ditetapkan Tuhan. Layaknya fungsi dan cara pemakaian produk elektronik yang tercantum dalam buku petunjuk pemakaiannya. Tugas manusia yang pertama adalah menjadikan dirinya sebagai hamba yang senatiasa beribadah kepada penciptanya, sebagaimana tugas beribadah ini pun ditaklifkan kepada jin sebagai golongan makhluk yang berbeda dimensi dengan manusia. Sehingga jin dan manusia memiliki tugas yang sama sebagai makhluk Tuhan yaitu beribadah. Bahkan selain golongan jin dan manusia pun semua makhluk beribadah kepada sang pencipta dengan cara mereka sendiri. Hewan, tumbuhan, air, angin, gunung dan semua yang ada di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya. Adapun tugas manusia yang kedua

adalah memosisikan dirinya sebagai pengurus bumi. Manusia mendapatkan mandat ini sejak awal berkiprahnya manusia pertama yaitu Adam A.S, kemudian terus menerus terwariskan kepada anak cucunya sampai kita yang sekarang mebaca tulisan kecil ini, hingga mereka yang akan merasakan berakhirnya kehidupan duniawi. Berbeda dengan tugas beribadah, tugas mengurus bumi ini tidak disanggupi oleh golongan makhluk lain, sehingga manusialah yang mendapatkan mandat untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan cara menjalankan aturanaturan yang termaktub dalam buku panduan kehidupan yaitu kitab suci yang tiada lain adalah firman Tuhan. Sepasang tugas ini menjadi dasar orientasi setiap aktivitas manusia. Aktivitas sehari-hari dijalani berdasarkan rel-rel dan rambu-rambu yang telah ditunjukan oleh Tuhan melalui kitab suci, bukan rel-rel yang dikehendaki keinginan pribadi karena akan besar kemungkinannya untuk tersesat atas tujuan hidup, pula bukan mengikuti rambu-rambu kehawatiran nafsu karena tidak kecil potensinya untuk anjlok dari rel-rel yang telah Tuhan berikan. Salah satu ilmuan modernis islam mengistilahkan ibadah sebagai nama bagi sesuatu yang disukai dan dikasihi Allah ta'ala. Ibadah sebagai perintah Allah dan Rasul seyogyanya dilakukan dengan penuh kesadaran, kasih dan cinta kepada Allah. Bukan karena suatu paksaan atau iming-iming selain

dinisbatkan kepada Allah. Sekalipun ibadah sebagai amalan horizontal yang datangnya dari Tuhan, manusia tidak perlu kebingungan dalam menerjemahkan perintah Tu h a n . K a r e n a s e l a i n Tu h a n memberikan perintah, Tuhan pun mengirim utusan-Nya agar umat manusia dapat memelajari dan meniru perintah Tuhan melalui utusan-nya secara langsung. Rasul bisa dikatakan sebagai tutorial kehidupan yang sempurna bagi mereka yang mengimaninya. Muhammad SAW diutus Tuhan sebagai reformis moral terhadap kaum yang secara kultur mendominasi kebokbrokan moral. Tuhan melalui Rasulnya tidak memerintah secara instan kepada umat manusia untuk menyembah kepada-Nya. Akan tetapi Rasul terlebih dahulu mereformasi perilaku umat yang penuh kebodohan menuju kemuliaan budi dengan cara menyontohkannya langsung. Begitu ilmiah dan sistematisnya tindakan Rasul pada kalanya itu jika dikaji kekinian secara antropologis. Tidak mungkin seorang pendatang baru atau pembawa ajaran baru dapat mencapai pusat sistem sosial sebelum melewati sistem kebudayaan terlebih dahulu. Puncak ritual peribadatan kepada Tuhan tidak dulu disampaikan sebelum dapat melewati fase sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan b e r i s i k a n ke b i a s a a n - ke b i a s a a n masyarakat, dimana kala itu masyarakat Arab tempatnya Rasul diutus tengah


OPINI 41 berada dalam masa jahiliyah, yaitu masa yang gandrung akan kebodohan, ketidak adilan dan keegoisan kabilah keturunan. Rasul datang merubah kebodohan menjadi pencerahan semisalnya ketika Rasul berdagang dengan penuh kejujuran, ketidak adilan menjadi kebijaksanaan salah satunya ketika Rasul mengangkat drajat perempuan yang sebelumnya hanya sebagai makhluk simbol kesialan dan dapat menyatukan keegoisan suku ketika beberapa kabilah berebut untuk menyimpan Hajar Aswad (batu hitam yang berada didekat Ka'bah) hingga mereka dapat bersatu untuk menyimpannya. Masih sangat banyak kebijakan-kebijakan yang didasari mulianya budi pekerti yang dicontohkan Rasul sehingga membuat umat manusia pada masa itu simpati, bahkan percaya dan patuh terhadap apa-apa yang dikatakan Rasul. Setelah ketauladanan Rasul sudah diakui halayak umum hingga dapat merubah pola kebudayaan masyarakat saat itu, barulah Rasul mendapatkan risalah berupa perintah ritual ibadah kepada satu-satunya Tuhan yang layak disembah, yaitu Tuhan yang mewahyukan dan menjaga Rasul menjadi manusia luar biasa dengan kemuliaan akhlaknya. Kini perintah ibadah yang disampaikan dan diajarkan Rasul telah sampai kepada kita. Yaitu ruang lingkup ibadah yang tidak hanya bersifat horizontal menghambakan diri kepada Tuhan, akan tetapi memiliki sisi pertikal, yaitu berperan menjadi pengurus bumi sebagai pengabdian khalifah atas tugas yang telah dimandatkan oleh Tuhannya. Dalam salah satu ayat kitab suci AlQur'an lebih spesifik diterangkan bahwa manusia diperintahkan untuk mencari apa-apa yang telah Tuhan datangkan untuk kehidupan akhirat dan menghimbau agar umat manusia tidak melupakan bagiannya dari kehidupan dunia. Sudah sangat jelas Tuhan tidak hanya memerintahkan ibadah ritual saja, akan tetapi ibadah sosial sebagai persoalan kehidupan dunia pun adalah bagian dari himbauan-Nya agar tidak dilupakan.

Menjalin dan menjaga kekerabatan adalah ibadah, menafkahi keluarga juga ibadah, menyantuni fakir miskin dan anak yatim pun ibadah, hingga membuang duri dan sampah yang ada di jalan pula adalah ibadah. Tidak selaras dengan dengan konteks di atas, kenyataan saat ini tidak sedikit menampilkan perilaku-perilaku manusia yang timpang dalam memaknai ibadah. Sering dijumpai orang-orang yang menyatakan ibadah adalah sebatas menghambakan diri secara ritual saja, sedangkan dalam interaksi sosial mereka tak ubahnya orang-orang yang tidak beragama. Dia sholat tapi tidak ramah tetangga, dia puasa tapi jauh dari sifat dermawan, dia berkali-kali ibadah haji tapi tetangganya untuk makan sehari dua kali pun susah, dia berdoa tapi tidak ikhtiyar dan banyak sekali perilakuperilaku lain yang menjadikan timpangnya makna ibadah. Ketimpangan dalam memaknai ibadah akan membuat hilangnya keseimbangan dalam esensi ibadah itu sendiri. Tuhan tidak memerintahkan manusia untuk bertepuk sebelah tangan dalam ibadah dengan hanya menghambakan diri kepada-Nya saja. Akan tetapi Tuhan memerintahkan manusia untuk bertepuk tangan dalam ibadah dengan cara diselaraskan melalui tugas manusia sebagai pengurus bumi; menciptakan perdamaiaan, menjaga dari kerusakan, memelihara kerukunan, dan menebarkan kasih sayang terhadap sesama. Ketika seseorang bertepuk tangan maka akan terdengar suara yang keluar dari bertemuanya kedua belah tangan yang saling bersambut. Begitu pun ketika seseorang menunaikan ibadah ritual serta dibarengi ibadah sosial maka ia akan menemui makna ibadah sesungguhnya berdasarkan apa yang telah diperintahkan Tuhan. Berbeda halnya dengan seseorang yang bertepuk sebelah tangan, gerakan tangannya akan hampa dan tidak akan menghasilkan suara apa pun, inilah yang akan dialami oleh orang yang timpang dalam menjalankan ibadah. Ibadahnya hanya sebatas ritual saja, tidak memiliki efek untuk kasalehan sosial. Maka tidak salah jika orang semacam ini dicap sebagai orang egois yang hanya ingin

cari muka dihadapan Tuhannya. Sedangkan tangga-tangga yang dapat menghantarkannya menuju kasih sayang dan keridhoan Tuhan ia kesampingkan. Sesungguhnya dalam beberapa praktek ibadah ritual pun telah diisyaratkan agar manusia bertepuk tangan, agar manusia seimbang dalam menjalani tujuan hidupanya; ketika sholat diawali dengan takbir sebagai pengagungan kepada Tuhan dan diakhiri dengan salam sebagai doa kesejahteraan kepada sesama; ketika Ramadhan diawali berpuasa selama satu bulan yang ditujukan kepada Tuhan dan diakhiri dengan zakat fitrah yang ditujukan kepada sesama yang membutuhkan; ketika hari raya iedul adha di mulai dengan sholat ied yang berhubungan langsung dengan Tuhan dan dilanjutkan dengan berkurban hewan untuk dinikmati oleh masyarakat sekitar; ketika adzan dikumandangkan akan terdengar hayya 'alassholah sebagai ajakan sholat kemudian disusul dengan kalimat hayya 'alalfalah sebagai ajakan sukses menuju kejayaan. Beberapa petunjuk ini mengisyaratkan manusia agar bertepuk tangan. Bahwa setelah manusia menunaikan kewajiban menyembah Tuhan maka hendaklah ia menjalankan tugasnya sebagai pengurus bumi yang tidak akan pernah terlepas dari interaksi antar sesama. Marilah kita bertepuk tangan untuk Tuhan. Agar tidak menjadi manusia yang timpang dalam ibadahnya. Semoga Tuhan menunjukan kita ke jalan yang penuh dengan keridhoanNya, bukan kesesatan kepada-Nya. Amien.[] Penulis adalah Mahasiswa UIN SGD BDG jurusan Sosiologi fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.


?

? Lisna Novit

a

Iklan ini disponsori oleh DEMA UIN Bandung

an

Iraw Purna


OPINI 43

Mutualisme Wartawan dan Warga di Media Sosial Oleh Iqbal Pratama Putra

D

alam era global ini, tidak dapat dipungkiri media komunikasi menjadi salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi sebagian besar masyarakat di dunia. Hal ini diakibatkan karena kemudahan dan hal-hal menarik yang ditawarkan oleh media itu sendiri. Wa r t a w a n s e k a r a n g memiliki kesempatan untuk menyambung ke publik secara langsung. Melalui tweet di Twitter update status di Facebook dan atau media sosial lainnya. Wartawan dapat menerima umpan balik dari publik atau pembaca dengan cepat. Mereka mampu menjangkau khalayak yang lebih luas dan melibatkan publik dalam cerita penting saat rumor sedang panas. Maka sosial media adalah alat alternatif yang memungkinkan komunikasi dua arah antara wartawan dan pembacanya . Hal ini tentunya sangat bermanfaat bagi publik atau p e m b a c a u n t u k menyampaikan aspirasi terhadap apa yang sedang diberitakan. Adanya media sosial se per ti Facebook dan Twitter dapat menjadi sumber berita karena tidak jarang masyarakat memberikan atau mengupdate suatu berita

dalam media sosial seperti dalam @infobdg yaitu salah satu akun twitter yang menampung berita-berita di Kota Bandung di dalamnya sering sekali muncul berita yang sengaja disampaikan oleh publik secara langsung, atau bisa disebut Citizen Journalism. Seperti berita kemacetan jalan atau keadaan di jalan, dengan adanya media seperti ini seorang wartawan dapat mengumpulkan informasi dari akun twitter tersebut. Contoh lebih jelasnya adalah ketika yang muncul dari Citizen Jounalism adalah berita kecelakaan tentu saja seorang wartawan yang telah mendapat info itu akan langsung mendatangi tempat kejadian untuk memberitakan info yang lebih mendalam. Banyak juga di antaranya pengisi media sosial adalah penyedia beritaberita online yang sudah resmi seperti Kompas, Pikiran Rakyat dan lain sebagainya yang kemudian memberitakan berita online melalui Twitter, agar dapat diterima dan mendapat respon dari publik. Tentunya hal ini dapat menjadi referensi bagi para wartawan. Karena respons masyarakat yang beragam kemudian dapat dijadikan sumber untuk terbitnya berita baru. Bagi para pembaca berita, dengan adanya media sosial dapat mendorong pembaca untuk memberi komentar berupa opini dan harapan kepada berita yang disodorkan. Sosial media dapat memungkinkan berita menjadi hidup dan interaktif, mendorong lebih banyak orang untuk terlibat dalam cerita. Ellen Hume, seorang analis media sosial dan wartawan, mengatakan kekuatan media sosial yaitu memungkinkan berita untuk bepergian dengan cepat dan

memperluas ke cerita yang lebih berarti. Dalam hal ini tentunya peran publik sebagai responden sangat penting karena dapat menjadikan komunikasi yang interaktif dari penyedia berita (wartawan) dan warga sebagai pembaca. Kini wartawan lebih melihat pentingnya cara menghubungkan dunia melalui media sosial. Ketika dunia di era global ini tergantung pada teknologi, kebutuhan bagi wartawan untuk membuat berita lebih mudah diakses sangatlah penting, untuk menjaga agar berita tetap hidup. Begitu pula dengan warga yang semakin modern dan selalu update terhadap berita setiap harinya. Keberadaan Media sosial salah satunya akan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara wartawan dan publik atau warga masyarakat.[]

*)Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik UIN SGD Bandung


HARTA KARUN KAMPUS YANG TERSISA Teks dan foto oleh A. Rijal Hadiyan



46 CERPEN

Tiga Helai Daun SUAKA/M. Yusup

Tiga Helai Daun Taleus Ateul Oleh Jajang Juhana

A

ku tak ingin disebut sebagai orang berjasa. Aku juga tak sudi bila mereka mengelu-elu kan namaku sebagai sosok pahlawan. Orang sekampung tahu apa yang sudah aku lakukan subuh itu. Mereka begitu terharu dan hanyut dalam kata-kata pujian layaknya hamba terhadap dewa. Sekarang aku bertanya, pantaskah aku disebut orang berjasa? Benarkah diriku pahlawan yang tanpa pamrih rela berkorban dengan orang tak berdaya? O Tuhan, seandainya semua perbuatan manusia tak kau tangguhkan balasannya. Aku masih ingat jelas dan tak mungkin lepas dari otakku. Saat itu aku beranjak pulang sehabis ngabedug macul, menunggu ojek di depan pasar Bayongbong. Dia

tengah berdiri didepan sebuah warung. Rambut yang acak-acakan, muka kusam membuat nuraniku terketuk seperti air dingin membasuh angkara terpendam. Rupanya dia hendak pulang setelah lama melunta tak jelas. Aku tawarkan dia rokok kretek. Sesaat bercengkrama begitu dekat seperti teman lama saja. Teman? Bukan! Dia saudara sekampung yang sudah lima tahun tak kelihatan batang hidungnya. Jadi bukan sekedar teman. Lalu kenapa ada angkara terpendam? Matanya yang merah yang dipenuhi garisan kekuningan itu melempar jauh memandangi langit yang dipenuhi awan bergumpal. Sesaat menyedot rokok, aku lihat tangannya kerempeng hampir tak berdaging, kaos tipis putih buramnya bergetar. Apa aku hantam saja


CERPEN 47 orang ini dengan cangkulku? Toh, aku tak akan disalahkan dan pasti berada di pihak yang benar. Terlebih, dia sekarang sungguh berbeda dari yang dulu. Tubuh mengurus tinggal tulang, lemah, berantakan tak terurus. Satu hantaman saja pasti dia terjungkal. “Ah…” desisnya, “Gimana kabar isteri dan anakku, Was?” “Mereka baik-baik saja, Kang” “Akang udah gak tahan pengen ketemu mereka. Sudah lama mereka terlantar dalam derita. Was, kau harus tahu siapa akang sebenarnya” Huh! aku sudah tahu sebelum kau beri tahu. Kau itu pencuri tanaman jahe dan sapi-sapiku saat hargaharganya melonjak! Dengusku dalam hati. Tiba-tiba dia tertunduk dalam p a n g k u a n n y a . Te r i s a k . D i a mendongak dan memandangku sayu, pipinya terlelehi air mata, kamudian menunduk kembali “Was, akang inilah yang mencuri tanaman jahe sebelum esoknya kau panen” Tangisnya memecah, tersedu-sedu, “ Akang juga yang mencuri ketiga sapimu tengah malam itu” Lama aku dan dia terkaku. Terasa darahku mendidih. Aku coba tahan. Wajah mendiang anakku melintas ingatanku. Istriku, nasibku.. mungkin berbeda jika saat itu ada uang hasil penjualan jahe dan sapi. Anakku bisa dioperasi. Tumor nya bisa di hilangkan. Mungkin Ratna... ah gadis malang. “Kau!” aku rasa amarahku tak bisa terbendung. Secepat itu tanganku memegang cangkul keras-keras. Saat itu hanya Ratna dan Isteriku -yang telah meminta cerai- dalam pikiran. Aku berdiri di hadapannya. Dia masih tertunduk dan tersedu-sedu. Orang-orang yang tak sengaja melintas, memandang kami berdua. Mungkin jika salah satu dari mereka berasal dari kampungku, akan langsung menghajarnya tanpa ampun. Kenapa aku malah berdiri bagai patung? Bukankah hakku membalas semua kesengsaraan ini?

Dialah dalangnya? Dialah si bajingan itu! D i a b e r d i r i d e n g a n p ay a h menghadap persis denganku. Kakinya bergetar hebat lalu mencari tenaga dengan meraih lenganku. Sejenak para pedagang dan pembeli berhenti dari aktivitasnya, memandangi kami. Seperti tahu permasalahan dan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Rokok yang menempel di bibirku ku lempar dan ku injak-injak. Lagi-lagi aku tak kuasa saat tangan dinginnya memegangi kedua bahuku. Dia menunduk dan sedikit terisak “Sekarang kau sudah tahu. Selanjutnya akang pasrah. Jika harus disini meregang nyawa sekalipun” Sialan saat itu aku malah terenyuh. Dengan seberkas sinar sanubari terdalamnya yang memancar disemua organ tubuh itu, kepasrahannya yang mantap tanpa sedikitpun wajah kusamnya memperlihatkan ketakutan. “Sudahlah Kang, aku sudah rela dan ridho atas apa yang menimpaku dulu. Jujur. Aku jujur, akang-lah manusia yang pernah saya benci selama ini. Sekarang jangan dulu akang pulang. Pisau, golok dan pentungan sudah menanti jika akang pulang. Pasti akang bakalan celaka” “Jadi , kamu sudah tahu?” “Ya” dia menunduk mukanya menjadi pucat “Mau biru, mau hitam. Akang pastikan bakalan pulang” Lalu aku memberinya uang selembar lima ribu. Dan secepatnya meninggalkan tempat itu. Kadang terasa aneh dan menggelikan ketika diriku malah memberinya uang. Sekarang tinggal lima belas ribu, cukup untuk makan dua hari. Hem, hidup sendiri terasa ringan. Penghasilan sebesar itu pun terasa menjadi orang kaya. Namun sungguh, saat ini aku miskin perhatian dan kasih sayang. Sejak semua yang ku sayangi pergi dari kehidupan ; Ayah, Ibu, Ratna, Aisah! Jam dua belas tepat kampungku sunyi. Namun di balik kesunyian itu ada mata-mata dan tangan-tangan yang sudah ku ketahui akan

menghabisinya. Para santri dan ajengan berbondong-bondong dalam sepi menuju rumahnya. Mereka kiranya sudah kehabisan kesabarannya. Sudah terlalu banyak kejadian perampokan di kampung ini. Aku sudah tak heran mengapa para peronda tak per nah berhasil meringkus si maling. Jangankan meringkus, memergokinya pun belum pernah, selalu saja kecolongan. Mereka berjalan pelan menuju rumah minimalis bercat hijau yang menur ut ukuran di kampung tergolong mewah; dua kaca jendela dari mahoni (di kampung hanya sedikit rumah yang sudah berjendela kaca, hampir semua masih rumah panggung dengan dinding anyaman bamboo semua ), ada ruang tamu, dapur, dua kamar terpisah, dan wc di dalam rumah ( rata-rata rumah di sini berbentuk persegi dimana dapur dan kamar seabreug menjadi satu. Kamar mandipun masih milik bersama yaitu di kali yang selalu dipenuhi antrian). Saat ini rumahnya tengah mengecap sedikit kebahagiaan. Kebahagiaan dimana rindu terobati sebuah pertemuan. Sebenarnya, dia seorang yang cerdas dalam Agama. Ayahnya seorang Kiyai di kampung sebelah. Setelah menikahi Aisah- yang tak lain seorang Ustadzah- lalu menetap di kampung ini hampir dua puluh tahun dan dikaruniai empat anak; tiga perempuan dan satu laki-laki. Terjerembab dalam jurang hitam setelah mencicipi minuman yang menuntunnya lebih jauh lagi ke urusan perempuan, maling, judi, dan obat-obatan terlarang. Aku tahu saat itu terdengar suara tangisan dan suara celotehan anak sebelum orang sekampung menyatroni rumahnya. Rumahnya dan rumahku hanya terhalangi satu gubuk lumbung padi dan beberapa pohon pisang. Jika malam tiba, suasana Desa Serang ini sepi, sunyi dan gelap. Berbeda dengan di daerah lainnya yang sudah mulai ramai dengan


48 CERPEN penerangan memadai. Ya, karena daerah ini luas, dekat pegunungan ditambah penduduknya belum padat hanya ratusan kepala keluarga. Di bawah sinar remang-remang obor, hampir lima puluh orang telah berada di depan rumahnya. Pertamatama Pak Ajengan mengetuk pintu dan mengucap salam. Sampai tiga kali, salamya tak ada yang menjawab. Rumah Kang Ayat telah gelap sedari tadi. Terpaksa mereka mendobrak pintu yang terbuat dari Kayu mahoni cokelat tua bermotif kembang, meliuk-liuk. Mereka menggeledah ke setiap sudut ruangan. Namun tak ada sosok Kang Ayat. Bahkan isteri dan anaknya pun menghilang. Mungkin saja mereka telah melarikan diri? Dari kejauhan, seorang lelaki bertubuh pendek berlari kearah rumahku. Aku yang sedari terdiam sejurus kemudian menghampirinya. “Akang! Tulungan. Coba di ikhtiarin. Mungkin saja dia menggunakan ajian halimunnya. Saya yakin dia masih ada di rumah itu” “Darimana kamu tahu, Kang? Bukankah lebih mungkin jika mereka telah melarikan diri sejauh-jauhnya?” “Salah seorang telah coba mencari mereka ke rumah nenek Isah, namun hanya ada Marni dan anak anaknya. Ayo K ang” sahutnya sambil menyeret lenganku “Mungkin dia sudah melarikan diri sendiri” Aku mencoba menahan diri ber usaha meyakinkannya. Padahal dalam hatiku sudah mantap m e n c i u m d i m a n a persembunyiannya, menggunakan ajian apa, dan apa yang bisa menangkalnya. Biasanya setiap orang yang hendak menggunakan kanuragan pasti berucap ; seguru dan seilmu jangan mengganggu. Pantas saja tadi, saat aku hendak ke air, tiba-tiba sekelebat perasaan aneh melintasi pikiranku. Naluri keilmuan yang dulu pernah dikenyam bersamanya muncul. “Hayu, Kang” pintanya kembali Kulipatkan kembali sarung sekuat

mungkin. Hanya berjalan lurus, lalu belok satu kali ke kiri untuk menuju rumahnya. Dekat sekali. Aku berusaha memperlambat langkah kaki dan berpura-pura tersandung batu ; memekik, jongkok, dan mengusapngusap jempol kakiku. Hasan menoleh ke belakang. Raut mukanya masam tersinari obor. Sudah bisa ku baca. Dia tergesa-gesa. Lalu aku berdiri membetul-betulkan pakaian dan sarung. Berharap dia sudah melarikan diri sejauh mungkin. Ya, Tuhan semoga saja, dalam hatiku harap-harap cemas. “Cobian di Syare'atan, Mang” Kata Pak Ajengan yang sebelumnya menyalamiku dengan segudang ketergesaan. Terlihat dari peci hitamnya yang sudah menggeser tak tepat di kepala. Baju koko putihnya terasa basah dan lengket saat tadi memeluk tubuhku. Katanya sudah hampir dua jam mereka berdiam di sini. Baru selanjutnya si Hasan sialan itu memanggilku karena sudah kehabisan akal. Tapi kenapa juga mereka masih di sini, padahal jelasjelas faktanya dia sudah tak ada di rumahnya. Ku lihat pintu kamar dan lemari terbuka, tempat tidur acakacakan, semua sudah di geledah. Kenapa mereka tahu dia masih ada di rumah ini? Saat keluar menuju halaman, semua mata tertuju padaku. Sung guh mengerikan sekali melihat orangorang tengah membredel dirinya sendiri dengan benda-benda tajam. Golok, pisau raut, rajang, pentungan, bahkan ada yang membawa keris dan samurai. Aku mencoba mengelilingi rumah yang berpola persegi panjang ini; masih baru karena bau cat masih tercium menusuk. Mula-mula kupandangi di balik dua kamar, ruang tengah, lalu ruang tamu. Dan aku merasa lega karena kurasa tak ada jejak kehadirannya. Namun saat menuju dapur, aku tersentak. Seberkas sinar hitam namun membias, memekat, dan bergerak seperti jantung berdetak menyembul. O, maafkan aku kawan. Kau sudah berani berbuat nista

padaku. Aku meminta Hasan supaya mencabut talas ateul dari halaman masjid. Aku pilah-pilah daunnya sudah menguning menuju kelayuan. Semua orang memencar mengepung dalam sunyi dan senyap. Aku menerobos masuk ke dapur melalui pintu belakang. Sesuai rencana, saat aku masuk, seseorang harus tepat waktu menyalakan aliran listrik yang memang sudah gelap sedari tadi. Hawu terasa masih menyembulkan asapnya saat hidungku tak sengaja menghisap baunya. Sebuah teko kecil berwarna kuning emas itu berada di lantai sudut kiri ruangan. Lengkap dengan lima gelas putih bermotif kembang mengitarinya. Dari lima gelas hanya satu yang masih penuh dengan air teh. Mantra ku baca lalu memukulkan tiga helai daun itu tiga kali persis ke tubuh teko itu. Dan secepat kilat aku merangsek keluar, berlari sekencang kuda edan dalam pacuan. Aku menuju rumah, membanting pintu dan terkapar di kasur. “Di sini! Di langit-langit!” teriak orang dari rumahnya dan aku menutup telinga dengan kedua tanganku. Terasa lama. Lama sekali. Aku sudah tak tahan. Tak tahan mendengar jeritan dia. Meski memang dendamku terbalas, aku tak bisa membohongi sanubariku yang tengah luluh seperti bekuan es yang meleleh terkena hangatnya mentari. Isteriku… puteriku… Kuraih golok dan menghambur keluar. Tak sampai hati ketika mendengar orang terkutuk bersahut; siksa dia pelan-pelan sampai mampus! Langsung ku akhiri hidupnya seketika. Mereka melongo. Kaki, hati, tangan dan mata! Semua terasa berat. Mereka menghambur memangku tubuhku disertai teriakan bergemuruh.[] Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris.


SOROT 49

SUAKA/Dede Lukman

Lahan Produktif itu Kini Digerus MP3EI Oleh Fatia Ruhbaniyah F.

Program pemerintah sejatinya ditujukan untuk kesehjateraan rakyat. Saat rakyat didzalimi oleh sebuah kebijakan, maka pemerintah harus mencari solusinya supaya tidak menghasilkan konflik di kemudian hari.

D

ekade 90an, hamparan sawah hijau, rindangnya pohon dan sejuknya hembusan angin masih bisa dirasakan di Cipacing, Sumedang. Tanah Sunda yang tersohor akan keasriannya, kini kikis digerus proyek pembangunan. Alihalih menyejahterakan masyarakat, pembangunan malah mencekik

rakyat. Pencaplokan lahan menjadi sebab utamanya. Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) bak dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Di satu sisi, program ini dapat memberikan kemudahan akses infrastruktur bagi masyarakat. Di sisi lainnya, keberadaan program ini mengikis lahan di Tatar Sunda. Ribuan hektar lahan produktif, kini telah disulap menjadi rangka besi dan fondasi beton untuk konstruksi bangunan. Mega program MP3EI yang diluncurkan pada Mei 2011 telah

mendorong terjadinya alih fungsi lahan yang cukup besar. Hamparan sawah, perkebunan dan hutan menjadi korban dari pembangunan program MP3EI ini. Pembangunan Waduk Jati Gede di Sumedang, PLTA Cisokan meliputi wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur serta yang teranyar pembangunan jalan tol Cisumdawu (Cileunyi-SumedangDawuan,Red-) telah menyita ribuan hektar lahan produktif. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Dadan Ramdan menuturkan bahwa pembangunan industri di wilayah Subang, Karawang dan Bekasi telah menyita lahan produktif sebanyak 7.000ha. “Jug a pembangunan infrastruktur telah menyita 3.000ha,� tuturnya Jumat (17/10) kepada Suaka saat ditemui di bilangan Buahbatu, Bandung. Alih fungsi lahan yang terjadi


50 SOROT semata-mata demi memuluskan pembangunan program MP3EI. Program ini membagi pembangunan Indonesia melalui 6 koridor ekonomi : Sumatera, Jawa, K alimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Maluku. Program MP3EI memaksa sebagian daerah di Jawa Barat untuk melakukan pembangunan secara masif yang berdampak pada kerusakan ekologi. “Alih fungsi lahan menjadi problem besar pemicu krisis dan kerusakan lingkungan di Jawa Barat,” tegas Dadan. Lahan produktif semacam pertanian dan hutan kini berubah menjadi galian guna keperluan pembangunan. Walhi Jawa Barat mencatat 8 kabupaten di Jawa Barat beralih fungsi dari lahan kawasan hutan dan non hutan ke lahan industri serta infrastruktur mencapai 930.000 ha. Belum lagi selama 15 tahun terakhir, alih fungsi lahan di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat sudah mencapai 150.000ha. Petani Meradang Adanya program MP3EI berdampak nyata pada kerusakan ekologi di Jawa Barat. Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia ini dikenal sebagai lumbung padi nasional. Sayangnya, gelar itu mulai terkikis. Alih fungsi lahan dapat memicu bencana. Pembangunan industri yang semakin deras menghasilkan limbah yang berpotensi besar mencemari lingkungan. Masyarakat miskin mengalami krisis ekonomi karena kepemilikan tanahnya dirampas. Bahkan lebih parahnya lagi, pembangunan bisa memunculkan konflik antar masyarakat. ”Karena terjadi pro dan kontra kepemilikan lahan, yang ujung-ujungnya menciptakan kriminalisasi bagi warga yang menolak pengalihfungsian lahan. Melihat hal itu, pemerintah perlu menciptakan resolusi konflik,” saran Dadan. S e k r e t a r i s J e n d e r a l Ta n i Sumedang, Noviar Safari menjelaskan derita yang dialami akibat

pembangunan proyek jalan tol Cisumdawu. Sebagian petani di Desa Ciherang, Sumedang terenggut hak ke p e m i l i k a n t a n a h n y a k a r e n a pembangunan jalan tol tersebut. Profesi sebagai petani terhenti secara tiba-tiba. Lahan yang biasa mereka tanami padi, umbi-umbian dan kayu kini telah lenyap. Kendati mendapat uang yang cukup besar dari hasil penjualan lahan, mereka bingung bukan kepalang. Tak ada hasil panen yang bisa mereka raup lagi. Mereka bingung harus bekerja apa, sedangkan keahlian mereka hanya sebatas menjadi petani. “Keadaan masyarakat bingung, karena tidak pernah diberikan gambaran atau arahan mau ngapain setelah lahan kehidupannya atau aset kehidupannya tidak ada. Pertama mereka bingung mau ngapain, kedua uang yang mereka dapat mau diapakan dan ketiga mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari apakah dari uang yang diperoleh ataukah menjadi buruh,” ucapnya, Jumat (17/10). Noviar juga menceritakan friksi yang sempat terjadi antara petani di Ciherang dan pejabat terkait. Bermula dari ketidaksepakatan soal harga tanah, hal itu mamancing hadirnya konflik antara warga dan Petugas Pengadaan Tanah (P2T). Ia menuturkan bahwa w a r g a m e n y u a r a k a n ketidaksepakatannya, namun petugas tidak terima dengan protes tersebut. Akibatnya, lanjut Aviar, pada suatu malam 2 orang petani pernah diteror dengan cara dibawa ke suatu tempat yang gelap. Lalu mereka diancam oleh petugas untuk tidak melakukan protes menyoal harga tanah yang mereka jual. Perlu Berbagai Upaya Program MP3EI sudah berjalan dan tidak bisa dihindari. Kebingungan yang menimpa masyarakat pun perlu diakhiri. Perhatian pemerintah perlu dicurahkan. Pakar Ekonomi dari Universitas Padjajaran, Acuviarta Kurtubi menarik benang merah dalam persoalan ekonomi kerakyatan ini. Antara pengembangan ekonomi kerakyatan dengan pengembangan infrastruktur haruslah mengarah pada

titik yang sama. “Harus konvergen,” tegas Kurtubi, Jumat (17/10) saat ditemui di Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi Unpad. Jadi, menurut Kurtubi bukan b e r a r t i s a t u m a j u , ke mu d i a n mengorbankan yang lain. Pembangunan infrastruktur bukan berarti harus mematikan yang kecil atau kerakyatan. “Tinggal kerakyatan menyinergikan,” sambungnya. Lebih lanjut Kurtubi memberikan contoh untuk mengatasi masalah ekonomi yang diakibatkan alih fungsi lahan. Para petani bisa direlokasi ke tempat lain yang memiliki kultur ekonomi pekerjaan yang mirip. Selanjutnya harus ada rekayasa sosial untuk memberikan pemahaman agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sektor lingkungan ekonomi yang baru, semacam penyuluhan. Ia memberikan gambaran konkret, “Nanti kalau sudah ada infrastruktur, ada jalan tol yang bagus, ada bandara, banyak orang yang datang. Kita bikin slot pintu gerbang ke wilayah Majalengka dan Sumedang. Di pinggir-pinggir tol kita bangun outlet produk lokal daerah. Jadi, bukan suatu hal yang sifatnya dikotomis, namun harus saling bersinergis. Ini tugas pemerintah daerah,” imbuhnya. Upaya demi upaya harus tetap digalakan demi mengendalikan kestabilan lingkungan. Upaya untuk membangun koridor ekologis jauh lebih lambat dibanding pembangunan yang kemudian mengalihfungsikan lahan yang ada. Maka, jika mengacu pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), kebijakan MP3EI bertolak belakang dengan agenda 45% kawasan lindung di Jawa Barat. “Kan provinsi itu di RTRW mencanangkan 45% kawasan lindung di Jawa Barat, namun pada praktiknya justru bukannya melindungi tapi malah merusak atau mengalih fungsi. Ini kalau kita kembalikan ke situ maka sebenarnya pemerintah harus konsisten,” pungkas Dadan Ramdan.[]


Pashmina Chiffon, Ceruti, Satin & Soft Cotton


52 RESENSI

TRANSCENDANCE “Yesterday DR Will Caster Only Human� Oleh Fitri Pebriani

Genre : Fiksi Ilmiah Sutradara : Wally Pfister Pemeran : Johnny Deep , Rebecca Hall, Paul Betanny, Cillian Murphy, Kate Mara , Cole Hauser , Morgan Freeman, Clifton Collins, Cory Hardrict, Josh Stewart, Falk Hentschel DURASI : 01:59:16

F

ilm fiksi ilmiah ini seolah menjawab bagaimana teknologi di masa depan akan terus bersaing dengan manusia dan dengan mudahnya bisa menggenggam dunia. Dalam Transendance, kesadaran seseorang yang sudah mati bisa ditransfer ke prosesor komputer dan terhubung ke jaringan internet. Eksperimen inilah yang dilakukan Evelyn Caster (Rebbeca Hall) bersama sahabatnya Max Watters (Paul Bettany). Mereka mentransfer kesadaran Will Caster (Johnny Depp), suami Evelyn, yang sekarat ke dalam sebuah prosesor canggih yang diciptakan oleh Will, PINN namanya. Tujuannya untuk mengabadikan kesadaran Will ke dalam prosesor super canggih tersebut, walaupun jasadnya telah mati. Sebelumnya, Will terkena sabetan peluru radiasi yang dilontarkan seorang anggota perkumpulan rahasia yang menolak pengembangan teknologi PINN. Eksperimen serupa juga pernah di lakukan oleh Will, namun dengan objek monyet. Hal itu awalnya membuat Max ragu untuk bereksperimen pada diri

Dok. Net

Will, namun akhirnya eksperimen ini tetap dilakukan. Setelah kesadaran Will berhasil dipindahkan ke PINN, Will meninggal dunia. Evelyn pun tenggelam dalam kesedihan. Tidak terima dengan kegagalan eksperimen tersebut, Evelyn tetap mencoba mengotak-atik PINN. Setelah lama berselang, muncul suara Will dari komputer, disusul gambar wajahnya di monitor. Max heran melihat hal tersebut. Ia tidak percaya yang bersuara itu Will. Ia memiliki firasat buruk tentang hal itu. Ia kemudian menyuruh Evelyn untuk mematikan prosesor canggih tersebut. Evelyn menolak, ia malah mengusir Max. Evelyn sangat percaya bahwa yang nampak dan berbicara padanya di komputer itu adalah kesadaran Will,

suaminya. Exsperimen itu teryata berhasil. Evelyn merasa senang karena dapat melihat dan berbincang kembali dengan Will, walaupun hanya melalui komputer. Kesadaran Will kini hidup dalam prosesor canggih tersebut. Saking cang gihnya, kesadaran Will yang ditanamkan di prosesor tersebut mampu berkembang dan kecerdasannya bertambah. Dengan kecanggihan itu, Will yang berada dalam prosesor mampu meretas semua data yang ada di dunia lewat sambungan internet. Untuk meng gapai cita-cita mereka berdua untuk mengubah dunia, Will menyuruh Evelyn pergi ke kota terpencil yang jauh dari


RESENSI 53 tenaga listrik. Di kota itu mereka membangun Brightwood Data Center, harapan mereka untuk merubah dunia semakin nyata dengan teknologi BTC. BTC terhubung dan mampu meretas seluruh komputer yang terhubung ke internet, seperti jaringan data bank dan pasar saham dunia. Kecerdasan dan kecanggihan tersebut semakin lama semakin canggih. Kemampuan Will d a n p r o s e s o r n y a b e r ke m b a n g menyerupai kekuatan Tuhan. Melihat hal tersebut, Max Watters mengajak Joseph Tagger (Morgan Freeman) menyusun strategi untuk menyelamatkan dunia dari genggaman Will. Mereka dibantu oleh Bree (Kate Mara), seseorang yang menentang proyek PINN, dan pemerintah untuk membuat software berupa virus yang bisa mematikan semua koneksi BTC dan “membunuh� Will dan prosesornya. Virus ini kemudian disuntikan ke tubuh Evelyn. Virus tersebut akan masuk ke PINN dan Will ketika Will mengunduh data kehidupan Evelyn. Rencana tersebut tercium oleh Will, perang antara pasukan Will dan pemerintah tak terhindarkan. Namun dengan bujukan Evelyn, Will akhirnya mengunduh data kehidupan Evelyn dan virus pun menjalar ke seluruh sistem prosesor. Will pun akhirnya mati bersama Evelyn yang juga telah tercemar virus tersebut. Secerdas apapun Will mengendalikan dunia, ia tetaplah manusia, bukan Tuhan. Walau kecanggihan teknologi memungkinkannya untuk menggerakan dunia sekehendaknya, rasa kemanusiaan tak bisa hilang dari kesadaran Will. Secara keselur uhan film ini menyajikan plot yang menarik dan kemasan sains fiksi yang unik. Dibantu peran Johnny Depp berpadu polesan efek visual yang baik, gambaran teknologi masa depan yang muncul di film ini seolah nyata. Kelemahan dari film ini adalah topik sains dan teknologi yang terlalu berat, sehingga penonton harus punya pengetahuan sains yang cukup untuk mencerna film ini. Bagi anda penggemar berat film-film fiksi ilmiah, film ini layak masuk daftar tontonan Anda.[]

Dok. Net


54 STETOSKOP

Stalking is Annoying Oleh Siti Nuraeni Agustia

SUAKA/M. Yusup

M

empunyai hubungan dekat dengan seseorang tak berarti harus membagi informasi pribadi, termasuk password media sosial. Se per ti yang dialami Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, Ayu Holilawati yang sempat menjadi korban cyber crime, pertengahan 2014 ini. Akibat berbagi password, Ia harus berlapang dada foto-foto pribadinya tersebar di akun Facebook dan Twitternya. Sebagai perempuan berkerudung, pastinya Ayu tidak senang auratnya terumbar luas di media sosial. “Ayu kan enggak suka foto-foto yang enggak pake kerudung di upload di media sosial,” keluhnya pada Suaka, Jumat (14/11). Tidak hanya mengumbar foto Ayu yang tidak memakai kerudung, pelaku mencoba mengganggu orang-orang terdekatnya dengan cara mempengaruhi mereka dengan memberikan info palsu. Pelaku mengatakan bahwa Ayu adalah perempuan yang tidak baik. Apa yang terjadi pada Ayu adalah satu dari sekian kasus stalking yang ada di sekitar kita. Kata stalking sudah tak asing di telinga sebagian orang, namun ada baiknya jika kita telaah lebih lanjut dari ahlinya. Menurut Dosen Psikologi, Lilis Aisyah, stalking adalah usaha memburu informasi serta mengikuti seseorang atau sesuatu secara sembunyi maupun terangterangan. Seiring berkembangnya zaman, kata ini bergeser makna yang lebih spesifik

yaitu untuk menunjuk perilaku penguntit bahkan sering dianggap gejala gangguan kejiwaan. Stalking dapat disebabkan karena tidak pandai bersosialisasi dengan orang sekitar, tidak memahami cara bersosialisasi dengan baik dan benar. Akibatnya dia mencari-cari tahu tentang orang ataupun sesuatu yang menurut dia penting dalam kehidupannya tanpa didasari dengan etika, dan melewati batasan-batasan sehingga mengakibatkan privasi orang terganggu. Di era digital saat ini para stalker (sebutan untuk orang yang melakukan stalking, Red-) bisa dengan mudah mencari tahu dan mengganggu privasi seseorang demi memuaskan hasrat keingintahuannya. Pada dasarnya, menurut Lilis Aisyah, seorang stalker memiliki rasa empati yang kurang kepada orang lain. “Biasanya rasa empatinya kurang, maka ketika melakukan intimidasi kepada orang lain dia tidak memikirkan perasaan orang tersebut apakah sakit hati atau tidak,” terang dosen berkacamata ini, akhir Oktober lalu. Sebagai Dosen UIN SGD Bandung yang mengampu beberapa mata kuliah di Fakultas Psikologi, Lilis Aisyah menuturkan gangguan kejiwaan yang satu ini bisa dimasukan ke dalam area psikopat jika dia memiliki keinginan untuk memanipulasi seseorang dan ingin mengerjai seseorang tanpa sebuah alasan. Stalker sendiri dibagi menjadi beberapa tipe dari mulai yang tidak mengganggu

privasi seseorang sampai yang bisa mengancam keselamatan seseorang. Pertama, seseorang yang tidak menerima kenyataan hubungannya putus di tengah jalan seperti hubungan rumah tangga atau pacaran. Sehingga dia melakukan upaya ter us mener us menghubungi orang yang dicintai tanpa mempedulikan privasi orang tersebut, dengan cara mengiriminya SMS berulangulang, via e-mail, Twitter, Facebook, dan sosial media lainnya. Hal ini tak lain karena stalker ingin tetap hubungannya terjalin. Kasus Ayu yang dipaparkan di atas adalah contoh nyata wanita dengan tipe stalker satu ini. Tipe kedua yaitu stalker tidak mengetahui orang yang ia stalking sebelumnya. Hanya mengetahui melalui dunia maya. Untungnya, stalker memiliki perasaan serta harapan lebih kepada orang tersebut dan memiliki anggapan bahwa dia juga akan membalas perasaannya. Se per ti Mahasiswa Bimbing an Konseling Islam Semester 1 Ayu Ditya Sekarwangi Azahra mengakui bahwa ia sangat mengidolakan salah satu penyanyi Indonesia, Afgan Syahreza. Melalui telepon pintarnya, Ayu mencari di Google, Instagram dan Twitter, hanya untuk melihat foto-foto, lagu terbaru, jadwal manggung, dan sedang dekat dengan siapa Afgan sekarang. “Nge-add Path-nya tapi sampai sekarang enggak diterima. Kalau di


STETOSKOP 55 Facebook kebanyakan grupnya jadi bingung mau nge-add yang mana. Aku sebel kalau ada orang yang ngobrolin Afgan. Soalnya aku ngerasa Afgan itu cuma milik aku!� tegasnya pada Suaka, Sabtu pagi, akhir Oktober lalu. Tipe selanjutnya yaitu stalker yang ingin dekat dengan orang yang dia jadikan objek stalking. Hanya saja dia mengakui bahwa orang tersebut tidak memerhatikan dia, namun dia tetap mengejar orang tersebut. Biasanya stalker jenis ini nilai intelektualnya kurang. Jadi dia tidak memahami cara berhubung an deng an orang lain seharusnya seperti apa. Yang diketahuinya hanya cara menakut-nakuti orang yang dia jadikan objek stalking, tanpa memiliki rasa ramah tamah. Adapula stalking yang dipicu rasa sakit hati kepada seseorang dan berniat balas dendam dengan cara stalking kepada si objek. Tipe stalking terakhir ialah keinginan untuk memanipulasi orang. Jenis ini adalah stalker predator karena benar-benar ingin menguasai dan mengontrol kehidupan s e s e o r a n g. B a h k a n m e n g a n c a m

keselamatan seseorang. Biasanya stalker predator ini adalah orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan terlalu sering menonton adegan-adegan kekerasan. Dilihat dari kacamata hukum, sampai saat ini di Indonesia belum ada Undangundang yang spesifik mengatur jerat hukum bagi stalker tersebut. Menurut pemerhati hukum Ine Fauzia, saat ditemui di ruang Tata Usaha Fakultas Syariah dan Hukum, Jumat (10/10), di Indonesia ada undang-undang yang mengatur tentang pelanggaran ITE seperti UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi yang berbunyi 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.' Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29 UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 2miliar. Ada juga UU yang membahas tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan

Pasal 335 KUHP dihukum penjara selama satu tahun yang berbunyi: 1e. Barangsiapa dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukakn, tiada melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun dengan perbuatan yang tak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan. ancaman dengan sesuatu perbuatan lain, ataupun ancaman dengan perbuatan yang tak menyenangkan, akan melakukan sesuatu itu, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain. 2e. Barang siapa memaksa orang lain dengan ancaman penistaan lisan atau penistaan tulisan supaya ia melakukan, tidak melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa. “Meskipun UU mengenai stalker di Indonesia tidak spesifik seperti di luar negeri, namun hukum di Indonesia pada sesungguhnya secara tekstual sudah sangat lengkap. Tinggal orang-orang yang menjalankannya saja,� pungkas Ine pada Suaka.[]

Katakan Tidak untuk Stalking! Oleh Firda Firdianti Iskandar

S

ebenarnya, manusia sudah kodratnya memiliki keingintahuan yang tinggi akan sesuatu hal. Rasa inilah yang nantinya bisa menjadi bibit perilaku menguntit. Secara tanpa sadar, bisa saja seseorang stalking untuk memuaskan nafsu penasarannya. Untuk mencegah serta menghentikan perilaku seperti ini berlanjut, berikut yang bisa kita lakukan: 1. Get A Life! Perilaku menguntit orang lain selain merugikan para korban, namun juga menyita waktu si pelaku. Ketika kita mulai ingin stalking tentang orang lain, carilah kesibukan lain. Dengan terisinya waktu dengan hal lain, kita perlahan dapat lupa akan niat untuk stalking dan perlahan bisa meredam rasa penasaran kita yang berlebihan. Dengan begitu, waktu akan terisi dengan hal yang lebih produktif. Sesuai dengan Survey Gallup tahun 2012 bahwa orang yang pengang guran cenderung memiliki kebiasaan buruk salah satunya memberi ancaman terhadap orang lain dengan stalking. Jadi, buka pintu, keluar rumah dan banyak bergaul dengan orang-

orang nyata di sekitar bisa menjadi terapi awal untuk berhenti stalking yang tak perlu. 2. Posisikan Diri Sebagai Korban Tidak ada orang yang ingin diganggu privasinya apalagi sampai dikontrol kehidupannya. Salah satu efek yang sangat merugikan dari stalking bagi si korban adalah timbulnya rasa depresi, kebingungan dan ketakutan. Pikirkan salah satu efek merugikan ini jika terjadi pada kita sendiri. Tumbuhkan rasa empati dalam diri kita supaya kita sadar sebelum stalking dan mengganggu kehidupan orang lain. 3. Banyak Bersosialisasi Banyak bersosialisasi bisa dikatakan sangat ampuh mencegah perilaku stalking. Hal ini disebabkan karena dengan banyak bergaul, seseorang akan lebih percaya diri dan juga tidak butuh mencari tahu tentang orang lain. Seperti kata Lilis bahwa salah satu penyebab seseorang menjadi stalker adalah keegoisan dirinya yang tinggi. Dengan jiwa sosial dan percaya diri yang tinggi, seseorang akan merasa malu untuk menguntit orang lain. 4. Lapang Dada Salah satu alasan seseorang menjadi

stalker adalah pengalaman dia di masa lalu yang mengerikan dan membuatnya semena-mena terhadap orang lain. Cobalah untuk memaafkan diri sendiri dan orang lain supaya niat untuk balas dendam dengan stalking bisa teredam. Kita harus menyadari bahwa setiap orang berbeda dan wajar jika melakukan kesalahan. Maka lapang dada dan menerima kesakitan di masa lampau bisa menjadi rem yang ampuh untuk tidak menguntit orang lain. Tentunya bukan kesalahan jika kita tertarik pada seseorang dan ingin tahu tentang kehidupannya. Namun, cara untuk mendapatkan informasinya harus selalu diperhatikan. Tidak harus sampai membahayakan dan meng ancam kehidupan orang lain. Seperti kata Lilis Aisyah, bahwa jika masih wajar anggap saja secret admirer. Kontrol diri menjadi perisai ampuh untuk menghentikan stalking. Perilaku stalking yang prihatin ini merugikan diri sendiri dan orang lain maka harus dibatasi dengan peraturan yang berlaku. Bagaimanapun, jika dibiarkan, bukan tidak mungkin seseorang bisa melakukan tindakan kriminal lainnya.[]


56 BOTRAM

Pesona di Balik Mie Instan Oleh Desti Nopianti

M

ie Instan. Siapa sih yang tidak mengenal makanan yang terbuat dari terigu dan mudah dimasak oleh setiap orang ini? Makanan yang banyak digemari oleh kalangan masyarakat tersebut memiliki pesona tersendiri bagi para konsumenya. Beraneka ragam racikan bumbu, kuah dan topping dapat menambah kelezatan mie instan. Di tangan orang-orang kreatif, mie instan yang tadinya hanya sebatas mie yang diseduh dengan air dan hanya mengandalkan beberapa jenis topping misalnya telur dan sayuran, kini sudah menjadi bahan dasar berbagai macam makanan dan diracik sedemikian rupa. Contohnya saja Novianti Haryono yang selalu membuat berbagai macam makanan yang berbahan dasar mie instan. “Karena aku emang suka masak, biasanya mie instan aku buat jadi mie-dog (mie endog, Red-) pake kornet tambah sosis lalu dikukus tapi kalau lagi pengen yang berkuah biasanya aku bikin mie yang toppingnya mirip-mirip ramen,� ujar Mahasiswi Manajemen Keuangan Syariah ini, Senin (27/10). Selain mie-dog tentunya telinga kita sudah tidak asing lagi dengan mie-tul atau mie tulang. Mie ini tentu sesuai namanya dipadukan dengan tulang dan kini sedang banyak penggemarnya. Selain tulang, mie juga ditambahkan sosis, bakso, telur dan beberapa semisal sayuran sawi lalu ditambah sedikit kecap membuat tampilan mie ini terlihat menggiurkan. Selain mie tulang, mie juga dapat dipadukan dengan seblak, schotel mie yang meng g antikan makaroni,

martabak mie dan olahan makanan menarik lainya. Dikutip dari okezone.com, orang yang pertama kali menemukan mie adalah Momofoku Ando, pria yang berasal dari Jepang. Momofoku Ando memiliki kisah tersendiri tentang bagaimana ia menemukan mie instan. Di sini diceritakan bahwa sejak kecil Ando, sapaan akrabnya sering membantu neneknya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti mengepel, mencuci piring dan memasak. Saat Amerika sedang gencargencarnya menyumbangkan gandum ke Jepang, Ando melihat peluang bisnis. Pe n d u d u k Je p a n g y a n g s e l a l u mengonsumsi mie akhirnya mendorong Ando untuk menciptakan mie yang berbeda dari buatan orang lain. Saat ia bereksperimen ternyata banyak sekali orang-orang yang menyukai mie buatanya tersebut, yaitu mie yang jenisnya instan seperti yang sering kita temukan di pasaran. Setelah mengetahui sedikit sejarah tentang asal-muasal mie instan, mari kita sedikit menengok bagaimana cara pembuatan mie instan itu sendiri.

Ternyata mie instan memang memiliki proses pembuatan yang cukup panjang. Dimulai dari percampuran semua bahan, membentuk adonan dari semua bahan yang tercampur, setelah itu adonan akan dipotong dan dikritingkan, dikukus lalu mie yang sudah mulai terlihat seperti mie pada kemasan perlu digoreng terlebih dahulu. Setelah melewati proses pendinginan, mie instan akan disortir terlebih dahulu sebelum dikemas dan dipasarkan. “Dari segi kesehatan tentunya memang tidak terlalu baik mengonsusmi mie instan,� ujar Kiky Rizqiyah Amd, Gz kepada Suaka, Senin (20/10). Lulusan Sekolah Tinggi Kesehatan Kementerian Kesehatan ini juga menjelaskan bahwa tidak ada aturan yang pasti kapan sebaiknya mengonsumsi mie. Akan tetapi sebaiknya kita mengatur diri sendiri untuk memakan mie hanya satu minggu sekali. Selain itu juga Kiky yang kini sedang magang di pemantauan status gizi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, menjelaskan bahwa pada saat kita mengonsumsi mie, ada


BOTRAM 57

beberapa makanan yang tidak boleh dicampur dengan mie salah satunya ialah nasi. Padahal banyak sekali orang yang mengkonsumsi mie instan dengan nasi terutama anak indekos yang malas untuk membeli makan keluar atau karena faktor keuangan yang menipis saat akhir bulan. Ia memaparkan bahwa nasi dan mie merupakan makanan karbohidrat yang tentunya tidak baik jika mengkonsumsi karbohidrat secara berlebihan. Ia juga menyarakan jika ingin mengonsumsi mie instan lebih baik dicampur dengan makanan yang mengandung protein hewani dan protein nabati seperti daging ayam, kacang-kacangan, telur, sayuran dan lain sebagainya. Tidak dapat kita pungkiri bahwa memang tubuh kita membutuhkan gizi yang seimbang oleh karena itu mari kita jaga kesehatan diri mulai dari sekarang. Selain memerhatikan bagaimana cara mengonsumsi mie dengan baik tentunya kita juga harus mengetahui bagaimana memasak mie dengan benar. Jika kebanyakan orang memiliki

kebiasaan menyeduh mie instan dengan membuang air rebusan pertama dan memakanya dengan air panas yang baru, maka sebenarnya hal ini juga masih dipertanyakan. “Dulu waktu saya ngekos, selalu memperdebatkan bagaimana cara menyeduh mie instan dengan baik,� ujar Kiky. Ternyata dalam air rebusan pertama, terdapat kandungan B16 yang dimana tepung tersebut sudah difortifikasi sehingga memiliki nilai kandungan gizi, dan ditakutkan ketika kita membuang air rebusan pertama maka tambahan gizi pun akan terbuang. Sayangnya, tidak membuang air rebusan pertama itu juga masih jadi kontoversi. Kiky akhirnya menyarankan untuk memilih cara menyeduh mie instan dengan cara yang dianggap paling nyaman. Meski di kemasan mie instan ditulis kandungan gizi yang berderet, nyatanya banyak anggapan para pecinta mie instan mengabaikan kesehatan dan mengedepankan kenikmatan. Hal tersebut tak ditampik Kiky. Dampak negatif dari mengonsumsi mie instan secara berlebihan memang benar

adanya. Kik y menambahkan, bahwa mengkonsumsi mie instan itu memiliki dampak jangka panjang sehingga konsumen tidak akan merasakan dampaknya secara langsung. Selain dapat merusak sistem pencernaan mie instan juga dapat mengakibatkan kanker, diabetes, bahkan obesitas yang merupakan pencetus dari segala macam penyakit. Picu Kreativitas Terlepas dari masalah kesehatan, mie instan ternyata dapat memicu kreativitas. Jika kita terbiasa disuguhkan dengan tampilan mie yang sederhana, kini kedai penjual mie instan memutar otak untuk melakukan inovasi baru. Salah satunya adalah Kedai Mie Siga Pisan yang berada di sekitaran jalan Pasupati. Kedai yang buka mulai pukul 4 sore hingga jam 12 malam tersebut akhir-akhir ini tengah digandrungi karena konsep pembuatan mie mereka yang unik. Ya, sesuai namanya mie ini disajikan dengan topping dan tampilan yang benar-benar mirip dengan bungkus yang ada di bungkus salah satu merek mie instan. Menurut adik dari pemilik Kedai Mie Siga Pisan Safira, setiap harinya kedai ini bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan mangkok. Tidak jarang juga banyak pelanggan yang rela mengantri untuk menjawab rasa penasaran mereka mencoba mie ini. Pelanggannya pun tidak hanya anak muda. Orang dewasa terlebih yang baru pulang dari kantor, banyak menggemari mie. Usaha ini dihasilkan dari gurauan sang kakak, Ari Afrian (32) yang sedang memikirkan bagaimana rasa mie instan jika dihidangkan dengan cara yang sangat mirip dengan tampilan yang sama di bungkusnya. Dari pikiran isengnya tersebut, akhirnya Ari mulai terpikir untuk mulai membuka usaha kuliner dengan bahan baku mie instan, sesuai dengan apa yang dipikirkannya saat itu. Nah, dari situlah sejarah Mie Siga Pisan muncul sebagai ide cemerlang dan membuat banyak penasaran orang. Bag aimana? Ter pikir untuk membuat mie dengan cara yang baru?[]


58 PROYEKTOR

Cuplikan Film Laskar Pelangi

Montase Nasionalisme Sinema Kita B Oleh Hengky Sulaksono

eberapa tahun ke belakang, lanskap sinema kita sedang getol-getolnya memburu dua tema lawas yang kembali mencuri perhatian: nasionalisme dan Islam. Buktinya, kedua tema film tersebut digandrungi hingga hari ini. Salah seorang kritikus film Windu Jusuf angkat bicara betapa di era Orde Baru kedua tema tersebut saling berkelindan, bahkan dilebur ke dalam sebuah film. Adalah Film Para Perintis Kemerdekaan (1997) yang pernah mengawinkan nasionalisme dan Islam di masa silam. Jika ditarik pada konteks hari ini, Film Laskar Pelangi (2008) menjadi penanda dibukanya gerbang parade film bertema nasionalis. Di sisi yang lain, pada tahun yang sama muncul Ayat-Ayat Cinta (2008). Film yang diadopsi dari novel best seller ini menjadi pemicu menjamurnya filmfilm Islami di layar lebar sinema tanah air. Seperti dirilis filmindonesia.or.id,

rekor penonton film Laskar Pelangi (4.631.841 penonton) dan Ayat-Ayat Cinta (3.581.947 penonton) masih menjadi yang tertinggi hingga hari ini. Kronik Judul-judul karya sinema lain yang bertemakan nasionalisme dan Islam mulai ikut berseliweran di pasaran. Di tahun yang sama, terdapat pula beberapa film sejenis, sebut saja Sang Murabbi; Mengaku Rasul: Sesat; 3 Doa 3 Cinta; Kita Punya Bendera. Selain momentum pemilu, di tahun 2009 publik Indonesia juga masih diramaikan oleh film-film nasionalisme dan Islam. Di antaranya bertengger dengan judul Garuda di Dadaku; King; Sang Pemimpi; Ketika Cinta Bertasbih; Merah Putih dan Perempuan Berkalung Sorban. Sementara itu Dalam Mihrab Cinta; Sang Pencerah; Tanah Air Beta mewakili film pada 2010. Berlanjut tahun 2011 hadir Garuda di Dadaku 2; Kehormatan di Balik Kerudung; Mata Tertutup; 5 Elang; Semesta Men dukun g; Serda du

Kumbang; Hati Merdeka; Si Anak Kampoeng dan Tanda Tanya. Hadir pada 2012, karya Garin Nugroho yaitu Soegija, yang menyusup di antara Jendral Kancil; Tanah Surga... Katanya; Di Timur Matahari; Negeri 5 Menara; Atambua 39 Derajat Celcius. Tahun 2013 dihiasi Laskar Pelangi 2: Edensor; Soekarno: Indonesia Merdeka; Malam Seribu Bulan; Bismillah Aku Mencintaimu; La Tahzan; Sokola Rimba; Sang Kiai; Hari Ini Pasti Menang; Hasduk Berpola; Ketika Bung di Ende. Adapun tahun ini direpresentasikan Garuda 19: Semangat Membatu; Haji Backpacker; Negeri Tanpa Telinga; Hijrah Cinta; Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Geliat naik daunnya kedua tema tersebut dalam jagat sinema tanah air turut ditanggapi Esa Hak. Founder Ruang Film Bandung ini menyebut kemunculan film-film bernapaskan nasionalisme dan Islam sebagai alamat yang cukup baik bagi belantika sinema tanah air. Menurut pria asal Bandung


PROYEKTOR 59

Cuplikan Film Ayat-ayat Cinta

tersebut karena ada muatan positif yang disebar di kedua tema tersebut. Eric mengungkapkan ukuran prestasi sebuah film bisa dilihat dari dua hal, eknomi dan artistik. Secara ekonomis, sudah ada perkembangan yang baik di mana para film maker sudah mulai pandai memanfaatkan jalur pendanaan dan distribusi internasional. Secara artistik, sudah banyak perhatian terhadap film Indonesia dari insan sinema internasional. “Beberapa film sudah ditayangkan pada sesi kompetisi film internasional,” ujar cofounder Rumah Film ini pada Suaka beberapa waktu silam. Beberapa film bertema nasionalisme dan Islam bahkan masuk nominasi dan menyabet penghargaan dari juri festival film internasional. Sebut saja Laskar Pelangi (Signis Award dalam Hongkong International Film Awards 2009, Best Film pada Asia Pacific Film Festival 2010 dan lain-lain), 3 Doa 3 Cinta (nominasi Best Children's Feature Film pada Asia Pacific Screen Awards 2009, Grand Prize of International Jury pada Vesoul Festival of Asian Cinema 2009), Sang Pemimpi (Audience Award pada Udine Far East Film Festival 2010, NETPAC Critics Jury Award dari Singapore International Film Festival 2010 dan lain-lain),

Cuplikan Film Sang Pencerah

Atambua 39 Derajat Celcius (Best Director pada ASEAN International Film Festival and Awards 2013), Sokola Rimba (Audience Award pada Focus on Asia-Fukuoka International Film Festival 2014). Musabab Gandrung Windu menggarisbawahi beberapa alasan yang membuat kedua tema film tersebut masif diproduksi. Menurutnya, hari ini para film maker tanah air ingin terlibat mempromosikan isu-isu multikulturalisme. “Tapi itu pembacaan pihak ketiga saja (publik,Red-),” imbuhnya, Selasa (14/10). Kreator film Hong (2009), Esa Hari Akbar mengamini hal tersebut. Ia menunjuk Film Mata Tertutup (2011) kreasi Garin Nug roho sebagai percontohan paling gamblang. W i n d u j u g a m e nu d i n g a d a kepentingan industrial di balik gandrungnya film-film nasionalis. “Nasionalisme dikomersilkan, seperti halnya fashion,” tutur Redaktur Harian Cinema Poetica tersebut. Windu mengonfirmasi bahwa hal yang sama (komersialisasi, Red-) juga terjadi pada film bernapaskan Islam. Pandangan berbeda dilontarkan Esa. Ia justru lebih melihat gejala ini disokong oleh faktor di luar sinema. “Dibilang komersil sih tidak,” katanya kalem. Kesimpulan tersebut didapatnya dengan merujuk pada film-film

percintaan yang sebelumnya muncul ke p e r mu k a a n . A l a s a n n y a k a r e n a percintaan, khususnya nasionalisme dan Islam selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. “Orang tiap hari kita disuguhi berita kok,” ujar kampiun Eagle Awards 2010 tersebut kepada Suaka, Senin (13/10). Windu menambahkan sebab lain. Menurutnya, hari ini film dijadikan medium ekspresi kegalauan kelompok masyarakat tertentu. Adalah kelas menengah yang ingin melakukan sesuatu, namun tidak memiliki artikulasi politik yang relevan. “Ujungnya semua political cause yang menurut mereka baik dan perlu, diterjemahkan sebagai nasionalisme,” tegasnya. Windu menganggap, di sisi lainnya nasionalisme yang diangkat dalam filmfilm Indonesia bertendensi mengisi kekosongan spiritual penonton Indonesia. Tak berbeda, tema Islam juga bisa menjadi alternatif penunjang. Imbas Industrialisasi E s a m e n y e b u t ke mu n c u l a n beberapa akibat yang disebabkan industrialisasi sinema tanah air. Imbas itu dirasakan langsung oleh insan sinema dan penonton tanah air. Bagi para sineas, mereka harus rela karya sinemanya acap kali terbawa selera pasar. Situasi ini turut berdampak pada kualitas sinema tanah air, tak terkecuali


60 PROYEKTOR film-film nasionalis dan islami. “Filmfilm Garin Nugroho yang bagus, justru lebih terkenal di luar negeri,” ucapnya. Sementara bagi penonton, mereka mesti menerima suguhan film-film yang kurang menggigit. Esa menilai, konten dan pengemasan film yang kurang diperhatikan, ditambah keterbiasaan penonton Indonesia menyimak sinetron turut membentuk karakteristik penonton Indonesia. “Aspek hiburan yang primer, itulah penonton Indonesia hari ini,” ungkapnya. Karakteristik penonton dan konten sinema yang kurang menggigit, juga dianggap Windu memicu parade filmfilm biopik bertema nasionalisme dan Islam. Film-film semisal Sang Pencerah, Sang Kiai, Soekarno dan lain-lain, ke mu d i a n i k u t b e r mu n c u l a n . Sebabnya, kisah hidup seorang tokoh direpresentasikan seperti kronik, laiknya novel dengan struktur naratif paling klasik, ada awal, tengah (konflik) dan akhir. “Pertimbangannya adalah agar mudah dimamah,” ungkapnya. Kualitas Buruk “Kualitasnya buruk dan buruk,” itulah reaksi yang dilontarkan Windu saat Suaka memintanya untuk menilai film-film nasionalis dan Islami di Indonesia. “Teknis mungkin urusan lain, tapi dari segi konten ya saya bilang buruk,” lanjut kritikus yang malangmelintang di dunia film Indonesia ini. J.B Kristanto turut menimpali pernyataan Windu ini. Menurut penulis Katalog Film Indonesia ini, buruknya kualitas film disebabkan faktor keterampilan. Sineas Indonesia, tuturnya, kurang kreatif dan tidak mau berpikir. Menyoal keterampilan, Windu beranggapan buruknya kualitas film kita ditopang oleh minimnya riset yang dilakukan. Ia juga mepertanyakan keseriusan para film maker Indonesia untuk menggojlok perisetannya. Esa menjelaskan penggarapan riset film masih belum familiar di Indonesia. Seolah ada anggapan riset film terbatas untuk kategori dokumenter. Meski begitu, ia menilai

ada beberapa film maker yang memang serius dalam melakukan riset. Garin Nugroho misalnya, ia mengaku melakukan riset yang bahkan lebih mendalam ketimbang film dokumenter saat menggarap Film Mata Tertutup (2011). Mengenyampingkan riset salah satunya berdampak menghadirkan representasi yang kurang akurat dalam sebuah film. Esa mencontohkan hal tersebut lewat Serdadu Kumbang (2011). “Saya pernah berdiskusi dengan orang Sumba dan memang ada beberapa hal yang tidak seperti itu (sesuai skenario film, Red-),” ungkapnya. Film-film Islam pun tidak lepas dari kontroversi yang sama. Hal itu dilontarkan Koordinator Komunitas L a y a r K i t a To b i n g J r . I a memperlihatkan hal tersebut dalam Ayat-Ayat Cinta (AAC). “Di AAC banyak kesalahan sejarah dan kondisi negara tertentu yang dipelintirkan. Hal ini menandakan rendahnya pengetahuan dan referensi pembuat film ini,” ungkapnya, Senin (27/10). Arah Nasionalisme Sinema Kita Bergeser ke arah konten, Windu sekali lagi mempertanyakan dengan lantang arah pesan-pasan nasionalisme dan keislaman dalam film. “Film maker kita sebenarnya mau ngomong apa sih,” ujarnya. Sementara Eric Sasono berpendapat bahwa arah pesan dalam film-film nasionalisme dan Islam berpotensi menimbulkan subjektivitas baru, meskipun terkadang hal itu tak disadari oleh para film maker. Subjektivitas dalam arti praanggapan yang akan memengaruhi cara pandang penonton terhadap film. “Penonton juga bisa mengidentifikasi diri dan memunculkan perasaan dan gagasan subjektif tentang pesan tersebut,” terang Eric. Pesan-pesan yang bermuatan Islam tampak sekali berusaha keras untuk memunculkan sebuah subjektivitas baru, tentang Islam yang berbau global, trendy, dekat dengan gaya hidup kelas menengah dan kaum elite. Contohnya

Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, 99 Cahaya di Langit Eropa dan Haji Backpacker. Dalam nasionalisme, yang jadi pusat perhatian adalah sebaliknya: penguatan batas-batas tentang apa yang nasional itu. Maka sesuatu yang datang dari luar atau bagian dari korporasi multinasional pun diakui sebagai bagian dari yang nasional dan diimbuhi oleh identitas nasional. Sekolah sepak bola dan perusahaan rokok pada Garuda di Dadaku dan King; yang lokal dianggap sebagai perwujudan yang nasional seperti pada Cahaya Dari Timur: Beta Maluku. J. B K r i s t a n t o b e r p e n d a p a t nasionalisme yang dibawa sinema kita hari ini adalah nasionalisme arkais, dalam arti, spirit cinta tanah air yang diperlihatkan masih sangat identik dengan masa sebelum hingga awal kemerdekaan Republik Indonesia. “Mestinya nasionalisme ditafsir ulang dengan konteks dan masalah zamannya,” tutur wartawan sekaligus kritikus film senior ini lewat surel, Senin (20/10). Wartawan sekaligus kritikus film senior ini kemudian mengungkap konten film-film nasionalis dan islami yang relevan mesti mampu menjawab permasalahan Indonesia hari ini. Windu juga menyebut nasionalisme sinema kita mestinya diartikulasikan lewat pengangkatan isu gerakan sosial kolektif. “Politik kelas, entah itu mau pake kedok agama atau nasionalisme” paparnya. Eric juga menyarankan agar para film maker terus berkarya dengan baik dan tidak menganggap penonton bodoh. Senada dengan Eric, Tobing menyarankan para penonton sineas Indonesia lebih sering menyajikan film-film yang tergolong baik. “Tema yang baik, penggambaran yang baik, alur cerita yang baik, dan penokohan serta penyutradaraan yang baik,” imbuhnya. Dengan prasyarat tersebut, ia juga mengajak para penonton Indonesia lebih mencintai karya sinema tanah air.[]



62 PAGUYUBAN

Dok. Pribadi

UIN Nihon Club, Atmosfer Jepang di Kampus Islam Oleh Ari Wahyuni

B

anyak orang beranggapan bahwa universitas bertitel Islam isinya hanya melulu tentang kajian Islam dan menutup diri dari dunia luar. Kini, anggapan semacam itu ditampik oleh hadirnya Komunitas UIN Nihon Club, sebuah komunitas pecinta kebudayaan Jepang di UIN SGD Bandung. UIN Nihon Club terbentuk atas gagasan dari seorang alumnus Sains Fisika UIN SGD Bandung, Yuni Karlina. Berawal dari kecintaannya yang begitu besar pada kebudayaan Jepang, Ia akhirnya memutuskan

untuk membuat sebuah Gr up Facebook bernama UIN Nihon Club. Setelah memiliki beberapa anggota, pada Juni 2013, mereka mengadakan per temuan per tama sekaligus meresmikan grup tersebut sebagai sebuah komunitas kreatif. Meskipun komunitas ini tergolong baru, namun menurut salah seorang pendiri UIN Nihon Club, Agit, ada semangat dan itikad baik yang ingin ditunjukkan untuk almamaternya. “Mereka kebanyakan berpikir, bahwa universitas bertitel Islam itu kolot, oldschool dan nggak update. Dengan

komunitas ini kita mau membuktikan bahwa mahasiswa UIN SGD juga terbuka pada dunia luar,” ujarnya saat ditemui di sela-sela kegiatan UIN Nihon Club, Kamis (9/10). Selain mempelajari berbagai keunikan budaya Jepang, di sini para otaku (orang yang menekuni hobi yang berhubungan dengan budaya Jepang, Red-) juga bisa mempelajari bahasa Jepang mulai dari cara penulisan huruf Jepang hingga cara membacanya. Satu lagi yang menarik, di sini mereka juga bisa saling bertukar Anime, menonton drama Jepang, dan belajar Cosplay (Costume Playing) dari mulai cara berdandan hing ga pembuatan kostumnya. Hingga kini, selain mengadakan pertemuan rutin dua kali seminggu, pada Selasa dan Kamis, mereka juga kerap kali mengikuti kegiatan Japan Fest di luar kampus. Salah satu kegiatan yang sering mereka ikuti adalah Cosplay Street, di mana mereka berkarnaval sepanjang jalan dengan menggunakan kostum khas Anime Jepang. Tak hanya itu, mereka juga sering menyediakan informasi mengenai program-program beasiswa ke Jepang. Berkat hal itu, pada Juni lalu, salah seorang anggota UIN Nihon Club Taufik Albari, berhasil memenangkan beasiswa dari program Jenesys (Japan East Asia Network of Exchange for Youth and Students). Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ini mengaku mendapatkan informasi beasiswa tersebut dari Anggota UIN Nihon Club. “Manfaat yang saya dapat dari komunitas ini, selain hubungan kekeluargaan yang erat, juga banyak informasi seputar Jepang. Salah satunya ya, beasiswa ini,” ungkapnya saat diwawancarai Suaka, Rabu (15/10). Dengan adanya komunitas ini, Agit mengajak para pecinta budaya Jepang yang ada di UIN SGD Bandung untuk bergabung bersama UIN Nihon Club. “Kalau kamu seorang otaku, yang ingin bercita-cita ke Jepang dan jika ingin ada suasana yang beda dengan keunikan dari para otaku, silakan gabung bersama k a m i ,” p u n g k a s A g i t , p e n u h semangat.[]


PAGUYUBAN 63

Menjadi Hatori di Negeri Sendiri Dok. Pribadi

M

endengar kata ninja, imajinasi kita pasti tertuju pada filmfilm serial Anime Jepang, seperti Naruto, Samurai-X, dan Ninja Hatori. Ketiganya mampu membius mata penonton Indonesia yang notabene kalangan anak-anak untuk ikut terobsesi dalam kegiatan bela diri asal Jepang tersebut. Melompati pohon satu dan lainnya, memainkan shuriken (pisau berbentuk bintang, Red-) bahkan menghilang menjadi keunikan tersendiri dari seorang ninja. Kini, tidak hanya di Film Jepang saja kita bisa melihat aksi-aksi akrobatik para ninja tersebut. Sebuah komunitas unik yang dirintis di Bali menjadi wadah buat para ninja dan calon ninja untuk belajar ilmu ninja. Mereka tergabung dalam Ninjutsu Indonesian Club atau NIC. Tidak sebatas menyukai, mereka juga mendalami ilmu bela diri yang sudah muncul sejak tahun 522 M itu. Adalah Sanmoon Nakamura (47) yang pertama kali mendirikan komunitas Ninjutsu di Indonesia. Pria yang memiliki backgr ound militer ini mempelajari Ninjutsu sejak tahun 1988. Sebuah tugas membawa pria berkulit sawo matang ini berkelana ke Australia dan Jepang untuk sebuah program pelatihan militer.Ketika bertugas di Jepang, Nakamura mulai mengenal dunia ninja. Sejak saat itu ia mulai belajar dan mengembangkan kemampuan

Oleh Ramadhan Setia Nugraha

Ninjutsunya. Sepulangnya dari tugas, ia mulai merintis NIC pada tahun 1994 di Bali. NIC kemudian berkembang ke Jakarta dan Bogor. Hingga saat ini, NIC sudah hampir tersebar di seluruh Indonesia. Anggotanya telah mencapai 700 orang, terdiri dari kalangan sipil hingga militer. Basis keilmuan NIC adalah Ninjutsu, yakni ilmu para ninja. “Ninjutsu adalah ilmu dari para pendekar ninja. Lebih jelas lagi, Ninjutsu adalah suatu keterampilan beladiri dan seni spionase yang menyatu, yaitu gabungan antara ilmu berkelahi yang canggih dengan kegiatan mata-mata dan spiritual,” papar Nakamura saat dihubungi melalui surat elektronik, Senin (13/10). Ninjutsu kerap disebut sebagai ilmu kaum intelejen karena prinsip bela diri mereka adalah mendahulukan strategi dan siasat sebelum bertindak. Filosofi mereka yaitu bergerak tanpa batas, melayangkan angan yang melampaui kemampuan. Menurut Nakamura, dalam prinsip ninja, hebat tidak harus tampak kuat dan gagah, tetapi strategi dan intelejensi harus diutamakan, ketimbang aksi-aksi beladiri yang arogan dan kasar. Kiprah NIC di Indonesia sarat akan perjuangan. Sejak berdiri tahun 1994 mereka menghadapi kecaman dan tekanan dari masyarakat. Bahkan di tahun 1998 banyak kalangan yang mencurigai

NIC terlibat dalam aksi-aksi kerusuhan. Banyak orang tua masih takut jika anaknya belajar Ninjutsu, sebab ninja memiliki citra buruk waktu itu. Masyarakat menilai ninja sama seperti perampok, penjahat, pembunuh bayaran dan lain-lain. Jangankan memakai baju ninja, ketika berlatih saja mereka selalui diawasi. Setelah memasuki tahun 2000-an, angin segar mulai datang. Dengan keyakinan dan niat yang baik, akhirnya banyak masyarakat yang mulai bisa menerima Ninjutsu sebagai salah satu warna beladiri baru yang berkembang di Indonesia. Mereka memperkenalkan diri lewat seminar, dan tour show di tiap kota. Kini banyak orang tua berdatangan membawa anak-anaknya untuk belajar Ninjutsu. NIC bisa ber napas leg a. Kekhawatiran masyarakat di tahun 90-an mulai hilang. “Sekarang kita merasa tenang memakai baju ninja, bahkan di tengah-tengah mall dan keramaian kota,” kelakarnya. Prestasi NIC cukup di perhitungkan di luar negeri. Mereka pernah mengunjungi dan dikunjungi dojo-dojo (perguruan bela diri, Red-) Ninjutsu dari Jepang, bahkan namanya harum di luar negeri terutama di jaringan intelejen barat seperti FBI, CIA, MOZAT, dan lainlain. “Australia, Jerman, Jepang, Singapura, Israel dan Malaysia juga pernah mengirimkan anggotanya ke NIC untuk mengikuti pelatihan Ninjutsu,” ujar lelaki bertubuh gempal itu. Kiprah NIC selama 15 tahun telah memberi warna baru dalam dunia bela diri Indonesia. NIC pun tetap membuka diri bagi mereka yang ingin belajar Ninjutsu. Mereka mempunyai kanal informasi berupa halaman penggemar di Facebook berjudul Ninjutsu Indonesia dan sebuah website www.ninjutsu-indonesia.com. Nakamura berharap NIC mampu memberi ruang bagi mereka yang ingin mengembangkan diri melalui dunia ninja. “Harapannya, NIC mampu menjadi wadah inspirasi, petualangan dan olahraga bagi masyarakat Indonesia,” pungkas Nakamura mengakhiri obrolan.[]



SUAKA/Dede Lukman

Dialektika Mazhab yang terus Bergulir Oleh Dinda Ahlul Latifah

SUAKA/Dede Lukman


66 MIMBAR

UIN Bandung itu bagaikan kawah Candradimuka, berbagai mazhab, p em i ki ra n , d a n kel o m p o k keislaman berkumpul, meng gali pengetahuan yang lebih luas, universal dan menciptakan peradaban keislaman yang baru, kata Agus Shultonie dengan berapi-api saat ditanyai pendapatnya mengenai ciri khas jati diri keislaman UIN SGDBandung. Dosen pengampu mata kuliah Filsafat Islam di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung ini pun mengatakan bahwasanya ada pengetahuan baru yang diterima oleh Mahasiswa Kampus Hijau tentang wacana keilmuan Islam yang baru dan eksploratif. Hal tersebut membuat berbagai mahasiswa dari berbagai latar belakang keislaman membaur dan melebur. “Kalau orang Muhammadiyah abus (masuk, Red-) UIN ang geur Muhammadiyah keneh (masih tetap Muhammadiyah, Red-), kalau orang

NU abus UIN anggeur NU keneh, kalau orang PERSIS abus UIN anggeur PERSIS keneh, berarti gagal kuliahna di UIN. Sebetulnya UIN tidak merusak keyakinan, tapi ada keterbukaan wacana bahwasanya ada pemahaman Islam lain yang tidak salah, sehingga mereka pun mudah untuk melebur dan terbukalah wacana baru,” jelas Agus di sela-sela istirahat mengajarnya, Kamis (2/10). Ia juga menambahkan bahwa UIN SGD Bandung adalah majelis akademik yang terbuka pada berbagai mazhab. UIN SGD Bandung tidak terikat pada mazhab tertentu. Ia malah melahirkan jati diri peradaban Islam yang baru, yaitu Islam UIN SGD Bandung. Sementara itu Dekan Fakultas Ushuluddin, Rosihon Anwar b e r p e n d a p a t b a h wa , p e r t a m a , keberagaman itu tidak bisa dihilangkan dan dinafikan. Kedua, diperlukan ke d e wa s a a n d a l a m m e m a h a m i pendapat. Kedewasaan diawali dengan pengetahuan yang luas tentang

memahami perbedaan dan mau menerima pendapat orang lain. “Insan akademik di kampus ini sudah dikenalkan dengan berbagai aliran. Mereka tahu bahwa cara memahami Islam harus dipahami dari berbag ai perspektif. Akhir nya masyarakat kampus relatif toleran terhadap perbedaan. Mereka sudah tahu akar-akar persoalan perbedaannya. Tidak hanya di tataran kampus tapi juga harus mau toleransi di luar kampus,” tuturnya saat diwawancarai Suaka, Selasa (7/10). Maraknya organisasi mahasiswa yang berlabel Ormas (organisasi masyarakat) dan mazhab tertentu di UIN SGD Bandung adalah salah satu ciri keberagaman yang ada. Hal itu diyakini Agus sebagai salah satu bentuk eksplorasi dan pengembangan nilai keilmuan Islam itu sendiri. Agus pun menolak jika organisasi mahasiswa yang berlabel Ormas dan mazhab tertentu dikatakan hanya sebuah

SUAKA/Dede Lukman


MIMBAR 67 bentuk fanatisme atau arogansi semata. Mengenai hal ini, Rosihon Anwar pun mengamininya. Ia menilai bahwa organisasi kemahasiswaan adalah sarana untuk mahasiswa beraktivitas. Sebagai organisasi tentu harus terdiri dari orang-orang yang sama. “Biarkan mereka berkreasi dan berorganisasi dalam homogenitas yang ada. Yang penting tidak saling menyalahkan saja. Yang Aswaja tidak boleh menyalahkan yang Hima-Himi dan sebaliknya, yang penting ada dialog dan tabayyun untuk saling memahami,” tambahnya. Sejalan dengan Agus dan Rosihon, Ketua Organisasi Hima Persis, Gifar Afghany, mengatakan bahwasanya perbedaan yang ada dan melatar belakangi beberapa Ormas di kampus adalah sebuah hal yang lumrah. Perbedaan tersebut tidak menimbulkan konflik antar golongan atau antar mazhab. Ia menilai bahwa konflik yang terjadi justru berada di ranah politik kekuasaan, bukan pada ranah pemahaman latar belakang keislaman. “Di UIN Bandung itu meskipun berbeda latar belakang tapi tidak terlihat gesekan yang berasal dari latar belakang itu sendiri. Lebih terlihat dari gesekan perebutan kekuasan antar organisasi pergerakan. Adanya pengkotak-kotakan Islam, ada Persis, NU, Muhamadiyah itu adalah variasi bentuk dan jalan untuk memperjuangkan Islam secara lebih terorganisir,” ujarnya, Jumat (3/10). Gifar memaparkan bahwa adanya indikasi fanatik pada sebuah Ormas tidak selalu buruk. Fanatik pada suatu Ormas itu sah-sah saja, selama dia meyakini bahwa Ormas itu benar dalam pemahamannya, maka itu harus diperjuangakan. Mahasiswa Ahwal Asy-Syaksiyyah semester 5 itu menilai fanatisme sangatlah menarik. Karena keterbukaan di UIN SGD Bandung dalam menerima paham dan kajiankajian pemikiran baru, membuat beberapa organisasi ekstra mudah masuk kampus, tidak seperti di kampus lain.

“Karena memang Universitas Islam jadi adanya organisasi pun ya seputaran Islam. Terkait ada golongan Islam liberal atau sekuler dan lainnya, saya kira di UIN Bandung itu ada semua,” paparnya. Sementara itu, ketika ditanya soal pendapatnya mengenai identitas Islam yang ada dalam jati diri UIN SGD Bandung sebagai kampus berlabel Islam, Gifar menganggap bahwa UIN SGD Bandung memerlukan pembenahan baik dari segi infrastruktur atau fasilitas, segi mahasiswa serta birokrat. Menurutnya keadaan kampus yang carut-marut karena ketidakjelasan lahan parkir serta keadaan WC yang terkadang kotor dan bau, itu telah menodai identitas UIN SGD Bandung sebagai kampus bertitelkan Islam. Begitupun dengan tingkah para mahasiswa dan birokratnya yang terkadang membuat identitas UIN SGD Bandung sebagai Kampus Islam dipertanyakan. Terlepas dari itu semua Gifar mengang gap bahwa kehidupan keberagaman di UIN SGD Bandung sudah dirasa cukup damai dan stabil meskipun dalam beberapa hal masih ada saja gesekan. Contohnya kasus penolakan tokoh pengagagas Jaringan Islam Liberal (JIL)Ulil Abshar Abdala. Menurutnya sikap penolakan tersebut dirasa kurang bijak karena sebagai majelis akademik sebetulnya siapapun boleh berpendapat asal dilandaskan pada landasan keilmuan. Berbeda dengan Gifar, Muhammad Fikri Aziz, Ketua Lembaga Studi Politik Islam (LSPI) memiliki pandang an berbeda. Menurutnya beberapa organisasi pergerakan Islam justr u telah kehilangan idealisme sejatinya untuk memperjuangkan Islam. Berbicara fanatisme golongan, Fikri pun menilai bahwa ketika kita bangga pada fanatisme golongan maka sesung guhnya kita telah meng abaikan kebang g aan kita menjadi seorang muslim. Hal tersebut juga dilihat Fikri terjadi dalam beberapa kehidupan organisasi

mahasiswa di UIN SGD Bandung yang ideologinya dinilai melenceng dari Islam. “Salah satu pengaruh ideologi sekuler misalnya bisa dilihat dari tidak adanya regulasi yang tegas dari segi berbusana. Padahal busana adalah salah satu representasi pribadi keislaman. Tidak ada regulasi yang merata mengenai aturan memakai rok. Kalau Rektor tegas harusnya dia membuat aturan yang mengikat mahasiswa untuk bertindak layaknya seorang muslim,” keluhnya Jumat, (2/10). Menang g api keluhan Fikri mengenai regulasi yang tidak tegas tersebut, Rosihon Anwar berpendapat bahwa hal urgent yang harus diperhatikan saat ini di UIN SGD Bandung adalah bagaimana harus mengimplementasikan regulasi serta nilai-nilai Islam yang ada dari berbagai aspek, mulai dari kedisiplinan, kebersihan, akademik, dan lainnya. Pernyataan Rosihon sekaligus membantah keluhan Fikri soal ketiadaan regulasi yang tegas mengenai aturan tata cara berpakaian dan berperilaku bagi mahasiswa. Menurutnya aturan itu sudah ada tinggal bagaimana bisa dijalankan dan diterapkan dengan baik. Anggapan mengenai UIN SGD Bandung sekuler, liberal atau kiri, Rosihon menyatakan bahwa hal itu bisa terjadi karena adanya ketidakpahaman satu sama lain. Maka dari ungkapannya bahwa kedewasaan adalah awal cara untuk saling memahami, memberi label pada seseorang atau golongan itu kiri atau bahkan sesat adalah hal yang tidak bijak. Menurut Rosihon mereka yang berpandangan Islam konservatif seharusnya mau berdiskusi dan mengkaji pandangan dan perspektif Islam yang lebih luas begitupun sebaliknya. Tentu dengan adanya hal seperti ini bisa saling tahu dan paham serta mengerti tentang jati diri Islam sesungguhnya. []


68 MOZAIK

N

azib terlihat nyaman dengan Pangsi yang ia kenakan. Di waktu istirahat, anak kelas lima SDN 3-4 Cibiru itu tampak asik bermain sambil memamerkan senyum lebar. Tidak seperti biasanya, hari itu semua siswa mengenakan pakaian khas Sunda. Untuk perempuan mengenakan pakaian Kebaya dan Pangsi untuk laki-laki. Nazib bertutur saat ia mengenakan Pangsi, identitasnya sebagai orang Sunda begitu terasa. “Pakai Pangsi itu menunjukkan identitas orang Sunda,” jawab Nazib sambil terkikik. Aturan penyeragaman Pangsi dan Kebaya telah dipatenkan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil di akhir 2013 lalu. Tidak hanya anak Sekolah Dasar, revolusi kebijakan Kang Emil, sapaan Ridwal Kamil, juga sampai di tataran Pegawai Negeri Sipil di kantor pemerintahan untuk memakai Pangsi dan Kebaya setiap Rabu. Jika berkaca ke belakang, Pangsi hanya bisa dilihat pada acara-acara khusus Kesenian Sunda saja. Para seniman biasanya mengenakan Pangsi serta ikat dari batik di kepala dan juga menanggalkan alas kakinya. Dadan Rusmana, Dosen di Fakultas Adab dan Humaniora meng atakan, dalam perjalanan sejarah Pangsi, ketika kerajaan Sunda menghilang, Pangsi itu menjadi pakaian para pendekar. “Saat itu Pangsi digunakan oleh para kesatria untuk menyamarkan penyamaran mereka. Kemudian Pangsi menjadi status para pendekar atau mereka yang kemudian bergelut dengan olah kanuragan (tenaga dalam, Red-) sebelum ke sini menjadi identik silat, ya walau pun beberapa perguruan tidak semua menggunakan warna hitam,” ujar Dadan. Dadan menuturkan, penyeragaman Pangsi yang diberlakukan sebenarnya adalah aksi unjuk gigi identitas orang Sunda. Pangsi inilah representasi budaya Sunda. Dihubungkan dengan penerapan Pangsi kepada Pelajar SD, menurut salah satu Mahasiswa Sosiologi UIN SGD Bandung Widia, penggunaan Pangsi pada anak-anak merupakan program yang bagus untuk mereka (Pelajar SD, Red-) agar lebih mengenali identitasnya sebagai orang Sunda sejak dini. Identitas Orang Sunda Terkait identitas orang Sunda, Dadan

Melestarikan Budaya Sunda Lewat Pangsi Oleh Imas Nur Eka Fadilah

Rusmana yang juga pecinta Budaya Sunda menerangkan bahwa ketika masyarakat mencari identitas Sunda. Terdapat beberapa indikator yang bisa memperlihatkan budaya orang Sunda. Indikator itu adalah bahasa Sunda yang digunakan untuk berinteraksi, ragam seni, kuliner khas Sunda, serta pola perilaku orang Sunda dan tentunya pakaian yang menjadi salah satu indikator penting untuk menunjukkan identitas diri (Orang Sunda, Red-). “Fashion, fashion disepakati sebagai representasi dari masyarakat Sunda. Yaitu, Pangsi dan Kebaya Sunda. Kenapa Pangsi? Karena Pangsi itulah yang kemudian menunjukkan kesundaan, karena

itulah Pangsi Sunda bisa dibedakan dengan yang lain,” ujar Dadan Rusmana dengan semangat ketika ditemui Suaka (2/10) di ruangannya di Fakultas Adab dan Humaniora. Pangsi Sunda yang hitam legam, tanpa motif dan ornamen merupakan kekhasan tersendiri dari Pangsi daerah lain. Selain sebagai pembeda antara kaum agamawan dengan rakyat biasa, Pangsi pun memilki filosofi sendiri. “Hitam kan dekat dengan alam, karena hitam unsur tanah. Makanya filosofi warna hitam itu mengingatkan orang Sunda pada purwadaksina (asal usul, Red-) kalau jati diri orang kita (Orang Sunda, Red-) berasal dari tanah nanti


SUAKA/Dede Lukman

MOZAIK 69

kembali ke tanah kemudian menghadap kepada Pencipta Bumi ini,” jelas Dadan. Dulu, Pangsi dijadikan pembeda juga antara kaum bangsawan dan rakyat biasa, saat ini semuanya sama. Para pejabat pun mengenakan Pangsi. Termasuk PNS yang dihimbau menggunakan Pangsi sebagai identitas Orang Sunda. Tidak h a n y a d i Ko t a B a n d u n g y a n g memberlakukan penggunaan Pangsi, tapi para PNS di Garut dan Ciamis pun melakukan hal yang sama untuk menjadi contoh yang baik dalam memperkenalkan identitas Sunda kepada masyarakat sekitarnya. Dadan Rusmana menambahkan, meskipun penggunaan Pangsi itu

program pemerintah yang bersifat memaksa, tapi itulah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan kembali Budaya Sunda. Pergumulan Hambatan Selain itu ada beberapa aspek persoalan masyarakat terkait dengan budaya. Menurut Dadan, aspek legislasi Orang Sunda yang belum kukuh, tidak seperti budaya Jawa. “Jawa itu kan ada keraton. Keraton itu sebagai simbol keutuhan Budaya Jawa. Sunda kan tidak punya. Sehingga kekuatan budaya tidak ada. Makanya tingkat legislasi berada pada pemerintah,” paparnya. Dadan menyayangkan langkah

pemerintah yang hanya bisa menjaga beberapa budaya saja. “Pemerintah tingkat provinisi dan daerah hanya memproteksi budaya tertentu (Pangsi, Red-). Mereka harusnya mengayomi semua Budaya Jawa Barat,” tuturnya. Pria yang hobi membaca ini juga menambahkan selain aspek legalitas yang belum kuat, ada beberapa persoalan yang masih belum terselesaikan seperti aspek regenerasinya (anak muda, Red-) yang tidak ingin belajar. “Beberapa Adat Sunda hampir mati karena proses atau regenerasinya jalan, tidak mau belajar. Jadi yang tuanya capek dan tidak mau mengajarkan. Makanya cultural sharing atau cultural transfer budayanya berhenti,” paparnya. Ketiga aspek advokasi, pendampingan ini diperlukan organisasi masyarakat atau ormas dan non-government organization (NGO) yang peduli. Tidak terkecuali instansi pendidikan yang ikut berperan penting dalam memelihara, menjaga dan mengembangkan Budaya Sunda. “Sekarang advokasinya masih lemah,” keluh Dadan. Dadan juga menekankan mengenai aspek sosialisasi dan promosi terhadap masyarakat. Sosialisasi dan promosi kurang memberikan unsur yang bersifat universal, baik pendidikan maupun aspek mental. “Kalaupun dijual sebagai produk b u d ay a , h a n y a s e b a g a i p r o d u k tradisionalisme. Makanya ada upaya modernisasi,” ujarnya. Aspek kelima adalah mentalitas. Dari kelima aspek itu, aspek mentalitas Orang Sunda paling lemah di antara aspek lainnya. Kecintaan pada budaya sunda saja kurang, tersmasuk dalam berbagai hal paling lemah. Termasuk pada aspek produksi karya. Karena kecintaan orang Sunda pada budaya itu kurang. Menurut Dadan, masih banyak aspek yang menjadi pekerjaan rumah seluruh masyarakat. Meski masih banyak PR, Dadan menilai baik langkah Pemerintah Kota Bandung yang melestarikan penggunaan Pangsi. “Penggunaan Pangsi adalah program yang bagus yang dilakukan pemerintah untuk menggalakan kembali budaya Sunda dan menguatkan mental generasi, karena mereka sudah mengenal identitasnya sendiri sejak kecil,” pungkasnya.[]


SUAKA INSTITUTE Sebuah wadah bagi mahasiswa untuk membicarakan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan ide dan gagasan mereka dalam misi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Divisi Pendidikan -Pengenalan Media Massa ke Anak Sekolah -Pembinaan Pembuatan Buletin Divisi Penelitian -Aliansi Pers UIN SGD Bandung -Penerbitan Jurnal Scientia Sacra -Menampung Karya Tulis Divisi Pengabdian -Penyuluhan Media Sehat


MUSIK 71

Alunan Lagu Bernada Lingkungan Oleh Adi Permana Dok. Suaka

S

elain sebagai media ekspresi jiwa, musik juga bisa menjadi saluran untuk menyampaikan pesan-pesan moral. Sehingga lirik-liriknya pun sarat akan makna. Bukan hanya soal bunyi suara belaka, tetapi gambaran dari realitas sosial yang ada. Anak menjerit-jerit/ Asap panas membakar/ Lahar dan badai menyapu bersih/ Ini bukan hukuman/ Hanya satu isyarat/ Bahwa kita mesti banyak berbenah. Masih ingat dalam benak Depi Pramana, saat Gunung Sinabung meletus awal Januari lalu, penggalang lirik lagu ini yang menghiasi mayoritas siaran televisi. Penggalan lagu 'Untuk Kita Renungkan' karya Ebiet G. Ade. Lagu itu seolah jadi lagu wajib yang diputar di televisi. Lagu tersebut ditulis Ebiet sekitar tahun 1998. Bila ditelaah, banyak pesan moral yang ada dalam setiap liriknya. Ebiet sendiri pernah bercerita bahwa lagu tersebut ia tulis dan nyanyikan sebagai renungan atas kerusakan alam dan bencana alam yang sering terjadi di sekitar kita. Hal itu juga yang dirasakan salah seorang M ahasiswa Sosiologi UIN Bandung. Depi merasakan bagaimana perpaduan antara musik dan lirik dalam lagu tersebut membuat sisi humanisnya meletup-letup. Ia begitu terharu melihat amukan awan panas yang menghantam rumah-rumah warga di sekitar Sinabung. “Saya khawatir ketika gunung meletus dan menimpa rumah warga, mereka tidak punya tempat tinggal lagi, cadangan makanan dari korban juga kurang,” ujarnya, Jumat (24/10). Lagu 'Untuk Kita Renungkan' juga banyak menginspirasikan musisi lainnya dan masyarakat, karena lagu tersebut memiliki pesan dan makna yang cukup dalam. Sehingga pendengar tersentuh

dengan liriknya yang mengajak masyarakat Indonesia untuk merenungkan diri, membersihkan diri dan sadar diri terhadap fenomena alam yang sedang bergejolak. Tidak hanya Ebiet, banyak pula musisi lain yang lirik lagunya berbicara tentang alam. Salah satunya adalah Iwan Abdulrachman atau biasa disebut Abah Iwan. Musisi berkepala plontos yang punya hobi naik gunung ini telah lama eksis di panggung hiburan. Selain aktif menjadi musisi, ia juga aktif di kegiatan peduli lingkungan dengan menjadi anggota Wanadri, sebuah perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung. Karena kepeduliannya terhadap lingkungan, Abah Iwan banyak menulis serangkaian lagu yang digubahnya di alam bebas atau di tengah hutan yang tenang dan di gunung-gunung yang sepi. Seperti lagu ‘Balada Seorang Kelana’, yang ia tulis di Gunung Burangrang (1964), ‘Bulan Merah’ yang ditulis di hutan Banten Kidul (1968), ‘Mawar yang Terbiru’ yang ditulis di Gunung Tangkuban Perahu (1970) dan lagu ‘Seribu Mil Lebih Sedepa’ ditulis di atas perahu disebuah danau di tengah-tengah hutan yang sangat sunyi, pedalaman Kalimantan Tengah (1979). Selain itu ada lagi musisi yang sangat populer namanya, yakni Iwan Fals. Ia sudah tidak diragukan lagi soal kepeduliannya terhadap lingkungan. Bagi salah satu musisi Kota Bandung, Adew Habtsa, ia menganggap bahwa musik itu mempunyai makna yang dalam. Musik ibarat sebuah ruh spiritualitas bagi manusia yang menggambarkan manusia itu ada, dengan musik kita bisa melihat sejauh mana kita menjadi manusia seutuhnya. “Musik sangat lekat seperti udara, dekat dengan kehidupan seperti air, seperti matahari. Sangat akrab dan penting. Sepertinya jika hidup tanpa musik itu gak

asyik,” tuturnya kepada Suaka akhir Oktober lalu. Menurut pria yang populer dengan lagu Egaliter itu, musik tidak bisa begitu saja terlepas dari hal lingkungan. Terutama pada lirik-liriknya, sebab musik yang berbicara dengan lingkungan menjadi ada karena musik merupakan bagian dari lingkungan. “Kalau ada musik yang tidak membicarakan lingkungan, berarti ia telah menghianati kemanusiaan dan menghianati lingkungannya,” ujar Kang Adew, begitu biasa ia disapa. Tokoh musisi seperti Abah Iwan, bisa dibilang tidak bisa jauh-jauh dari alam dan lingkungan. Karena, menurut Kang Adew, sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Musik memiliki peran yang signifikan dalam upaya melakukan penyadaran bagaimana pentingnya lingkungan. “Musik menjadi salah satu aspek atau media yang ampuh untuk menyampaikan kegelisahan terhadap lingkungan. Apakah nantinya ada perubahan, toh kita hanya menyampaikannya, mengingatkan,” kata Kang Adew. Begitulah musik, ia dimaknai sebagai suatu ungkapan yang berasal dari perasaan yang dituangkan dalam bentuk bunyibunyian atau suara. Musik merupakan hasil karya manusia yang menarik karena memegang sebuah peranan yang sangat banyak di berbagai bidang. Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah lirik lagu, karena lirik lagu dalam musik dapat menjadi media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial di masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi karena mengandung informasi atau berupa pesan untuk pelestarian terhadap lingkungan. []


72 SISI KOTA

Riwayat Mata Air di Kampus Hijau Oleh Muhamad Faisal Al'ansori

SUAKA/Dede Lukman

Dekade 50an, sumber air di dalam kampus masih perawan. Pepohonan yang masih terjaga memberikan andil terhadap persediaan sumber air tersebut. Sekalipun dilanda musim kemarau, sumber air itu tidak pernah mengering. Tapi kini, saat musim kemarau melanda, sumber air pun mengering. Lahan resapan air di dalam kampus yang minim merupakan penyebabnya. Jangan sampai sumber air yang dulu sempat dimanfaatkan warga Cipadung itu tinggalah kenangan.

S

iang itu, Jumat (17/10), suasana di sekitar toilet dan tempat wudhu Masjid Iqomah terlihat

berbeda. Kolam yang berada di antara tempat wudhu untuk ikhwan dan akhwat, kering kerontang. Hanya menyisakan bebatuan yang bercampur debu dan lumpur mengering nan retak. Air yang keluar dari keran tempat wudhu mengalir sedikit. Bahkan, keran di toilet tidak mengeluarkan air sama sekali. Mereka yang hendak berwudhu harus bersabar menunggu antrian. Kolam yang berada di komplek Mesjid Iqomah itu merupakan sumber mata air. Ya, mata air yang dulu pernah dimanfaatkan oleh Warga Cipadung dan sekitar untuk keperluan hajat hidupnya. Berdasarkan pantauan Suaka pada Jumat (17/10), di kolam itu terdapat 2 sumur dengan kedalaman sekitar 3 meter. Satu sumur masih menyimpan debit air. Lalu, sumur lainnya kering hanya menyisakan tanah hitam yang terlihat masih basah. Maklumlah, mata air tersebut

mengering karena saat itu musim kemarau sedang melanda. Ikan-ikan yang biasanya berenang di kolam pun, kini bersembunyi di balik dinding sumur. Menurut cerita Solihin (64), mata air yang berada di dalam kampus UIN SGD Bandung tidak pernah mengalami kekeringan seperti sekarang ini, meskipun sedang dilanda musim kemarau. Solihin mengenang, pada waktu itu saat kampus ini masih bernama IAIN Sunan Gunung Djati, banyak Warg a Cipadung yang memanfaatkan sumber mata air untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi dan mencuci. “Bapak juga dulu suka mencuci mobil di sana,� tuturnya kepada Suaka Jumat (17/10) sambil menunjuk arah kampus. Kendati bukan warga asli Cipadung, Solihin kecil sudah menginjakan kaki di desa yang letaknya


SISI KOTA 73 mengitari Kampus UIN SGD Bandung ini, tepatnya saat usia 14 tahun. Dulu, warga menyebut mata air itu dengan nama Ciburial. Menurut salah seorang warga yang lahir dan besar di Cipadung, Amin (68), mata air ini dinamakan Ciburial karena air yang keluar dari sumber mata air itu ngaburial (menggelontor). Airnya jernih dan mengalir besar. “Bahkan warga Lio dan Legit, sering datang ke sini,” kata kakek yang sekarang bekerja sebagai karyawan di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan itu. Menurut Solihin, keberadaan sumber mata air ini tidak hanya terdapat di dalam kampus saja. Di titik Cipadung lainnya, tepatnya di sebelah barat kampus juga pernah terdapat mata air. Warga sekitar menyebutnya dengan nama Sumur Siuk. “Mungkin karena pada waktu itu airnya suka disiuk, maka warga menyebutnya Sumur Siuk,” kenang Solihin. Namun sekarang, keberadaan mata air itu tidak jelas. Lokasi Sumur Siuk sekarang, lanjut Solihin sudah berdiri indekos. Begitupun dengan sumber mata air di dalam kampus. Sejak pembangunan gedung pada tahun 2012an, ia tidak mengetahui lagi keadaan mata air itu. Dominasi Hutan Beton Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Ja w a B a r a t , D a d a n R a m d a n mengatakan bahwa keberadaan sumber mata air bukan berasal dari tempat mata air itu berada, tapi dari wilayah lain. Pohon mempunyai urat atau jalur air. Misalnya, mata air di lokasi A, sumbernya bisa jadi berasal dari lokasi B. “Tetapi lahan hijau yang berada di sekitarnya itu sangat berpengaruh. Karena kalau hujan banyak yang diresap oleh tanah, ke akar dan ke aliran mata air yang berada di dalam tanah. Kalau di atas nya sudah berupa hutan beton, itu tidak akan diresap,” ujarnya Jumat (3/10) siang saat ditemui di bilangan Buahbatu, Bandung. Hutan beton yang diungkapkan Dadan benar adanya. Seperti kita ketahui, sejak IAIN berubah menjadi UIN, sarana dan prasarana di Kampus

Hijau berubah drastis. Lahan beralaskan beton mendominasi kampus ini. Gedung Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Psikologi, Lecture Hall dibangun pada medio 2012-2014, misalnya. Pun halnya dengan gedung perpustakaan. Gedung ini berdiri kokoh di atas lahan di sekitar sumber mata air. Lahan parkir tersebar dimana-mana.

Pembangunan yang masif berlangsung di sana. Ini tidak diimbangi dengan pembangunan lahan-lahan hijau. Jadi, semakin banyaknya pembangunan yang ada justru mengurangi luasan-luasan lahan hijau yang fungsinya untuk konservasi, resapan air, hutan lindung semakin berkurang,

Pembangunan jor-joran ini mengorbankan pepohonan di dalam kampus. Fungsi pohon sebagai peresap air hujan dan penangkap karbondioksida sudah tidak ada karena banyak yang ditebang. Dadan juga mengkritisi pembangunan di kampus UIN SGD Bandung. Menurutnya, Ruang Terbuka Hijau (RTH) di UIN SGD Bandung kurang sekali. “Okelah UIN sedang membangun sarana dan prasarana karena banyak mahasiswa yang masuk dan membutuhkan ruangan. Tapi,

kebutuhan itu juga harus diimbangi dengan RTHnya. Karena pihak swasta, negara, pemerintah, publik itu wajib menyediakan RTH, termasuk institusiinstitusi pemerintah seperti perguruan tinggi,” kata Ketua Walhi Jawa Barat periode 2011-2015 itu. Minimnya RTH di UIN SGD Bandung juga berbanding lurus dengan keterbatasan RTH di kawasan Bandung Timur. Dadan berujar, pembangunan di Kota Bandung sangat meningkat. Terutama pembangunan hutan beton berupa pemukiman, ruko, mal, superblock dan apartemen. Itu terjadi secara masif. Bertambahnya pengguna transportasi juga berdampak pada peningkatan temperatur suhu. “Pembangunan yang masif berlangsung di sana. Ini tidak diimbangi dengan pembangunan lahan-lahan hijau. Jadi, semakin banyaknya pembangunan yang ada justr u mengurangi luasan-luasan lahan hijau yang fungsinya untuk konservasi, resapan air, hutan lindung semakin berkurang,” jelas lak-laki kelahiran Bandung, 37 tahun lalu itu. Jika kita lihat, kawasan Bandung Timur di daerah Ujungberung, ke atasnya itu masuk ke kawasan Bandung Utara sebagai fungsi lindung yang memberikan perlindungan pada kawasan di bawahnya. Yang terjadi di lapangan yaitu ekspansi perluasan perumahan-perumahan juga sangat masif di situ. “Idealnya, di kaki Gunung Manglayang itu sebagai fungsi lindung dan resapan air,” tegas Dadan. Tidaklah berlebihan jika apa yang diceritakan Solihin dan Amin tentang keberadaan sumber Mata Air Ciburial dan Sumur Siuk ini yang konon memberikan kemaslahatan bagi warga sekitar kampus. Pasalnya, sebelum didirikan kampus IAIN, di sekitar sumber mata air itu terdapat banyak pohon bambu dan beberapa Pohon Albasiah. Sekarang, jumlah pohon di dalam kampus bisa dihitung dengan jari. Maka janganlah kaget saat melihat kolam di Masjid Iqomah mengering saat musim kemarau, air di toilet tidak mengalir dan cuaca di dalam kampus yang semakin menyengat.[]


74 VAKANSI

Dok. Pribadi

Berawal dari wacana dan canda belaka; kami terbang dan mendarat Oleh Rezza Kharisma*

S

emuanya berawal dari wacana dan canda belaka. Tanpa banyak perencanaan dan rupiah pun seadanya. Aku dan temanku Saepul terbang menuju Pulau Dewata. Dari dalam pesawat, tidak kami bayangkan sebelumnya akan terbang menuju pulau dimana banyak turis asal Asia dan Eropa berkumpul untuk berlibur. Kami mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar pukul 15.15 Wita. Tujuan kami adalah Kota Ubud, tempat Saraswati tersimbolkan dalam sebuah acara, te patnya acara pembukaan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2014. UWRF adalah acara tahunan yang diselenggarakan di Bali untuk mempertemukan para penulis lokal dan luar negeri. Setidaknya ada perwakilan penulis dari 24 negara yang berpartisipasi. Salah satu alasan utama kami pergi ke Bali karena di sana sudah menunggu salah seoarang penyair yang menjadi salah satu dari tiga perwakilan penulis asal Jawa Barat. Beliau adalah Kang

Benny, kenalan kami dari Bandung. Pukul 18.30 waktu setempat, kami tiba di Ubud. Riuh suara gamelan khas Bali terdengar dari salah satu bangunan yang dikelilingi tembok dengan ukiran khas Bali. Ramai dikunjungi manusia nonIndonesia. Ubud Temple (Puri Ubud), ternyata itu tempat berlangsungnya acara pembukaan UWRF 2014. Selepas acara pembukaan berakhir, kami bertemu Kang Benny dan salah satu rekannya yang juga penulis, Regi Sastra Sena. Regi adalah penulis asal Sukabumi. K ami lekas menuju penginapan Kang Benny yang disiapkan oleh panitia UWRF. Kecuali Regi, ia pergi ke penginapannya. Kami ikut bermalam di penginapan itu. Selama di Bali, kami akan ikut tinggal di penginapan ini. Keesokan harinya, aku, Saepul, Regi dan Kang Benny pergi ke Bedugul, K a b u p a t e n Ta b a n a n . S e t e l a h menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam dengan 2 sepeda motor, akhirnya kami

tiba di kawasan Bedugul. Suhu di kawasan Bedugul jauh berbeda dengan di Ubud. Di sini sangat dingin. Dengan pemandangan pepohonan hijau dan hamparan Danau Beratan yang sangat luas. Ada syarat yang harus dipenuhi untuk memasuki tempat wisata ini: membeli tiket seharga 10.000rupiah/orang. Di sana terdapat pura peninggalan Kerajaan Mangwi masa I Gusti Agung Putu. Pura Ulun Danau Beratan namanya. Pura akan terlihat sangat indah ketika air sedang naik. Sehingga pura terlihat berdiri di atas air danau. Hanya sayang ketika kami datang, air sedang surut. Sayang, kami tidak bisa berlama-lama di lokasi karena Kang Benny harus mengisi sebuah acara di UWRF. Kami lekas pulang menuju penginapan. Pura di Atas Ombak Hari ketiga di Bali, aku dan Saepul bertandang ke Tanah Lot. Di gerbang masuk tertulis, “Selamat Datang di Objek Wisata Tanah Lot�. Ada satu hal yang menarik perhatian kami. Pengelola tempat wisata menyediakan masjid bagi pengunjung pemeluk Islam. Hal ini tidak kami temui di dua tempat wisata sebelumnya. Perhatian kami langsung tertuju pada sebuah bongkahan batu besar di tengah pantai. Pura Tanah Lot, sebuah pura yang berdiri kokoh di tengah terjangan ombak. Kami habiskan waktu senja di sebuah batu karang. Mengarah tepat ke arah barat, tempat matahari terbenam. Sungguh indah melihat matahari terbenam perlahan dari atas batu karang. Pancaran matahari berwarna jingga menembus sebuah celah tebing. Kami lekas menuju tebing sebelum matahari benar-benar terbenam. Dari sini pemandangan jauh lebih indah. Tanah Lot benar-benar indah. Para Dewa sungguh menjaga tempat ini dengan baik. Kami kembali ke penginapan sekitar pukul 10 malam. Petualangan di hari keempat ini, kami berencana mengunjungi tiga pantai: Pantai Sanur, Pantai Nusa Dua dan Pantai Pandawa. Panas terik Pulau Dewata mengarahkan kami langsung menuju Pantai Sanur. Suasana pantai tidak begitu ramai. Hanya terlihat hamparan pasir putih dan terdengar


VAKANSI 75 jelas suara debur ombak pantai. Hanya terlihat beberapa turis mancanegara yang sedang berjemur. Lalu kami ke Pantai Nusa Dua. Pantai Nusa Dua berbeda dengan pantai Sanur. Di sini ada dua pantai. Satu pantai digunakan untuk wahana wisata pantai dan pantai satunya diperuntukan untuk umum. Dalam perjalanan menuju pantai berikutnya masih di Nusa Dua, kami istirahat sejenak untuk menunaikan shalat dzuhur dan ashar di sebuah masjid. Tempat ini sangat unik. Di sebelah masjid tersebut berdiri gereja. Di sebelah gereja terdapat pura. Lalu di sebelah pura ada sebuah kuil tempat beribadah umat Budha. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Pandawa di Kabupaten Badung. Pantai ini dijuluki Secret Beach, karena lokasinya yang tersembunyi di balik perbukitan. Kiri dan kanan jalan menjulang dua tebing besar, menuntun kami menuju pantai. Air lautnya cukup tenang. Kami menyewa sebuah kano untuk menikmati keindahan laut di Pantai Pandawa. Tawa dan canda kami habiskan berdua di atas kano, di bawah langit senja. Sesekali aku meloncat dari atas kano, berenang di laut lepas. Hingga matahari terbenam kami habiskan waktu di Pantai Pandawa. Malam harinya, kami mengunjungi Kuta untuk bertemu dengan teman Saepul. Oki namanya. Ia bekerja di sebuah restoran seafood di kawasan Kuta. Ia baru 2 minggu tinggal di Bali. Kami pun menginap di indekosanya. Hari kelima berada di Bali bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Saepul dan temannya masih terlelap. Aku pergi ke sebuah lapangan milik TNI untuk menunaikan shalat ied. Ini pertama kalinya aku merayakan Hari Raya besar Islam jauh dari rumah.

Dok. Pribadi

Tidak ada ketupat atau opor. Yang ada hanya nasi jinggo, makanan ekomomis di Bali. Terdiri dari nasi, sambal, potongan daging dan sayur. Harganya hanya 4.000 rupiah. Cara tepat untuk bertahan hidup disaat kondisi dompet sekarat. Tinggal tiga tempat wisata yang belum dikunjungi yang sebelumnya sudah direncanakan; Pantai Kuta, Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Kabupaten Badung dan Pantai Dreamland. Di Pantai Kuta, kami bermain surfing dengan menyewa papan surfing seharga Rp. 150.00 per jam untuk pemula. Setelah cukup menikmati Pantai Kuta, kami langsung menuju Pantai Dreamland. Namun, dalam perjalanan kami tersesat dan tibalah di Pantai Balangan. Lalu, kami melanjutkannya lagi menuju Pantai Dreamland. Terletak di sebelah selatan Bali, daerahnya bernama Pecatu. Nama lain dari pantai ini adalah New Kuta Beach. Di sini banyak surfer profesional, tidak seperti di Pantai Kuta yang kebanyakan para pemula. Pantai Dreamland menjadi pantai terakhir yang kami kunjungi. Tidak

kami sangka, tujuh pantai kami tandangi dalam tiga hari. Melelahkan? Tidak, ini sungguh menyenangkan. Kami puas dengan tempat-tempat yang telah kami kujungi. Tempattempat yang dihuni banyak Dewa seperti Pandawa dan Tanah Lot jauh lebih indah dibanding tempat-tempat yang dijadikan penginapan oleh manusia-manusia asing, seperti Kuta atau Sanur. Ini hari terakhir perjalanan kami menjelajahi pantai di pulau Bali. Malam harinya bertepatan dengan Closing Night Party UWRF 2014. Seluruh penulis berkumpul di Arma Resto, sebuah tempat berkumpul dengan halaman cukup luas. Waktunya untuk melepas Saraswati. Di hari terakhirku di Bali, matahari bangun mendahuluiku. Oh, terimakasih Pulau Dewata untuk danau, pura, hutan dan pantaimu selama lima hari ini. Selamat tinggal Bali. Kami pulang.[] *Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris 2011 Fakultas Adab dan Humaniora


76 TEATER

Rumentang Siang, Lakon yang belum Usai Oleh Ratu Arti Wulan Sari

ebuah sore di pelataran bangunan bergaya art deco, samar-samar terdengar alunan musik gamelan dari ruang lantai atas. Sepintas dari kejauhan, bangunan menyerupai bentuk radio masa silam, dengan bukaan horizontal dan vertikal yang saling terpadu menambah keartistikan serta keunikannya. Abuabu dan merah mendominasi tembok luar. Bagian depan tertulis 'Gedung Kesenian Rumentang Siang' guna menyambut siapa saja yang

S

mengunjunginya. Memasuki gedung ini lebih dalam, pintu utama yang sejurus dengan pintu masuk lantai dasar akan mengajak langsung ke jajaran tempat duduk penonton yang berjumlah 370 kursi. Sisi depan terdapat sebuah pangung dengan luas 8x12 meter dimana sebuah lakon, tari, dan tembang-tembang menggema unjuk kebolehannya. Tepat sebelah kiri gedung terdapat ruang sekretariat Rumentang, di sanalah Suaka bertemu dengan Pimpinan

Pengur us Gedung Kesenian Rumentang Siang, Tjetje Raksa yang menceritakan riwayat Rumentang Siang dari waktu ke waktu. “Rumentang lahir pada masa jabatan Gubernur Solihin 1974-1975, saat itu pak gubernur ingin memberi sebuah kenang-kenangan kepada budayawan dan seniman di Bandung sebagai tempat mereka berkumpul,� paparnya, Selasa (7/10). Harastoeti DH dalam buku 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung


TEATER 77

SUAKA/Dede Lukman

mengulas sejarah bangunan Rumentang Siang. Semula gedung kesenian yang berada di Jalan Baranang Siang No. 1 Kosambi ini merupakan gedung bioskop bernama Rivoli, sebuah bangunan pening g alan pemerintahan Hindia-Belanda yang dibangun sekitar tahun 1935-1940. Rivoli menjadi salah satu bisnis bioskop di Bandung yang mengalami kemajuan pesat. Pada tahun 60-an Rivoli berganti nama menjadi Bioskop Fadjar, gedung bioskop khusus

memutar film-film mandarin. Sekitar Hingga saat ini kegiatan yang satu dasawarsa kemudian Bioskop terus dikembangkan di Rumentang Fadjar beralih fungsi menjadi gedung Siang selain pertunjukan seni juga kesenian. meliputi diskusi kesenian, sastra dan Nama Rumentang Siang adalah budaya. buah pemikiran dari seorang Sastrawan “Sebenarnya yang membuat Sunda Wahyu Wibisana, yang kemudian gedung ini bertahan dan hidup nama pemberiannya itu disematkan sampai sekarang pada gedung hasil karena masih pengalihan yang b a n y a k s e mu l a g e d u n g s e n i m a n Bioskop Fadjar. s e n i m a n Nama Rumentang Bandung yang Siang diambil dari menjadikan Bahasa Sunda, gedung ini 'Rumentang' dari sebagai poros Sebenarnya yang kata rentangberkesenian. rentang yaitu membuat gedung ini Menghidupkan samar-samar bertahan dan hidup Rumentang terlihat dari Siang dengan sampai sekarang kejauhan. 'Siang' karya meski karena masih banyak berarti nyata, sudah lapuk dengan begitu seniman-seniman usia,” tambah dapat dimaknai Bandung yang Tjetje Raksa. sesuatu yang Kelompokmenjadikan gedung samar-samar ketika k elompok ini sebagai poros p e n t a s d i kesenian seperti Rumentang Siang berkesenian. g r u p Te a t e r keberadaan mereka Menghidupkan Sunda Kiwari, lebih nyata. Rumentang Siang Studiklub Teater Sekretaris Bandung dan dengan karya meski Bandung Heritage, kelompok Tari Koko Komara sudah lapuk usia, Setia Luyu, menjelaskan m a s i h kondisi Rumentang menjadikan Siang yang sempat R umentang redup karena tidak sebagai poros diperhatikan k e g i a t a n dengan baik oleh mereka. pemerintah, Akhir 2013 lalu namun sempat menemui era Pemerintah kejayaannya. Sejak Kota Bandung berdiri hingga tahun 2000 banyak memugarnya. “Dengan adanya kerjasama kebudayaan yang dijalin pemugaran ini, secara bertahap dengan beberapa negara seperti dengan semoga keadaan gedung kesenian Japan Foundation, British Council juga akan menjadi lebih baik, seperti Kedutaan Besar Amerika. Tidak adanya biaya menyebabkan kondisi bangunan fasilitas sound dan lighting yang menurun sehingga kerjasama tidak mer upakan fasilitas penting berlanjut. “Padahal Rumentang Siang penunjang pertunjukan,” imbuh merupakan cagar bangunan yang harus Tjetje. Meski keberadaannya terus dilestariakan dan dilindungi baik meredup, Rumentang Siang keberadaannya ataupun fungsi belumlah usai.[] bangunannya”, ujar Koko, Rabu (15/10).


78 PENDIDIKAN

Mahapeka Buka Aksara Oleh Wisma Putra

Dok. Pribadi

ditanggung sebulan penuh.

Mega belum nampak sempurna, tapi Rusydi dan 19 kawan mahasiswanya sudah harus berangkat. Bukan sekadar iseng, sebab ada sawah yang mesti disair, kebun yang mesti digarap, dan jauh di pedalaman sana, ada anak Madrasah Tsanawiyah Bojong Manik yang butuh guru untuk belajar.

R

usydi dan 19 temannya bukan mahasiswa biasa. Mereka terg abung dalam Ang g ota Mahasiswa Pencinta Kelestarian Alam (Mahapeka). Dalam rangka Bakti Sosial

(Baksos) dan Penyuluhan Lingkungan Hidup XXVlah mereka datang ke Kampung Adat Baduy, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Di pundak mereka, misi penyebaran ilmu keislaman dan pendidikan

Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Banten. Letaknya sekitar 40 km dari R a n g k a s b i t u n g. U n t u k m e n c a p a i Kampung Adat Baduy, kita terlebih dahulu harus menuju Kampung Ciboleger yang menjadi batas akhir sebelum menuju Baduy. Akses kendaraan hanya boleh masuk sampai Kampung Ciboleger saja. Selanjutnya perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki dengan jarak sekitar 12Km, melewati kaki gunung, perkebunan,


PENDIDIKAN 79 Penyiaran Islam Dinda Ahlul Latifah, 20 Anggota Mahapeka dibagi dua kelompok menjadi 10 orang. Setiap kelompok ditempatkan di dua kampung berbeda. Satu di Cicakal daerah Baduy Dalam, sedangkan yang lainnya di Kampung Adat Baduy Islam yang ada di Desa Cibeunyer, daerah perbatasan Baduy Luar. “Mahasiswanya beraktivitas sesuai kegiatannya masing-masing. Nanti ada yang pergi ke sawah bantu warga, buat ngala (menangkap, Red-) belut. Ada yang stay di basecamp untuk ngajar soft skill kayak tarian atau nyanyi. Semuanya nanti tergantung jadwalnya mereka,” papar Dinda. Perjuangan Anggota Mahapeka untuk mengajar anak-anak Baduy tak semudah mengajar di sekolah-sekolah umumnya di Kota Bandung. “Mereka jalan melewati hutan dan persawahan.Waktu tempuhnya 12 jam jalan kaki. Tanpa kendaraan. Kontur tananhnya kan gak lurus ya, jadi nanjak, terjal,” tambah Dinda lagi. Ketika ditanyai mengenai bagaimana keadaan sekolah di Baduy, Dinda tak mampu menyembunyikan rasa mirisnya. “Sistem di sana masih berantakan. Guru datang ke sana seenaknya. Pas pertama kita mau ngajar, pas survey itu, kita nunggu sampai jam 10, gurunya gak dateng juga,” papar Dinda, mengenang. Hal lain yang membuat Dinda mengelus dada adalah perhatian orang tua yang minim terhadap pendidikan anaknya. “Perhatian orang tuanya rendah. Lebih menginginkan anak ke sawah atau kebun ketimbang ke sekolah,” kata Dinda.

sungai dan beberapa perkampungan Baduy Luar. Wilayah Suku Baduy terbagi menjadi dua, yakni Baduy Luar dan Baduy Dalam. Suku Baduy Luar sudah mulai mengenal dan menerima masuknya perkembangan teknologi dan budaya luar Baduy, sedangkan Suku Baduy Dalam masih sangat memegang erat adat istiadat dan tidak mau menerima adanya pengaruh budaya dari luar. Setelah menempuh perjalanan selama 10 jam dari Kota Bandung, dengan 30 menit istirahat, anggota tiba di Kampung Adat Baduy dengan penuh suka cita. Diketuai Mahasiswa Komunikasi

Sementara itu, salah satu Anggota Mahapek Ujang Sihab yang ikut dalam pelaksanaan Baksos merasa senang bisa menyambangi Kampung Adat Baduy. Ia dan Anggota Mahapeka tak hanya membawa puluhan karung pakaian, ratusan kardus mie instan dan ribuan buku, tapi juga membawa ilmu. “Bisa mengajar menulis, membaca dan mengaji,” kata Ujang, sumringah. Warga Diajarkan Baca Tulis “Masyarakat Baduy kebanyakan tidak sekolah, karena orangtuanya mengajarkan sejak kecil dan mereka sudah tahu banyak hal tanpa perlu bersekolah. Komunikasi mereka didasarkan pada adat istiadat mereka. Saat adat istiadat mereka mengatakan tidak boleh, maka mereka tidak akan melakukannya. Sehingga, masyarakat Baduy sangat patuh pada peraturan dan adat-istiadat mereka,” kata Ketua Umum Mahapeka, Dede Syamsudin.

Pepatah Cina Kuno menyatakan bahwa secara lahiriah semua manusia adalah sama, namun pendidikanlah yang membuat

perbedaan. Perbedaan ini menyangkut pengaruh budaya pada sistem dunia pendidikan. Pelajaran bahasa juga merupakan hal yang umum, namun sama halnya dengan sejarah, budaya pertama sekali mengajarkan bahasanya sendiri. Ketika anak- anak sekolah diajarkan sejarah dan budaya suatu negara, masyarakat mereka menyebarkan budayanya dan menanamkan kepercayaan dan nilai, demikian juga prasangka yang dimilikinya. Rusydi mengatakan bahwa saat ini masih banyak warga Baduy yang buta aksara. “Kami khawatir, terutama kepada para orangtua yang masih ada beberapa yang buta aksara,” kata Mahasiswa Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi tersebut. Berangkat dari kesadaran itu, timbulah rasa kekhawatiran dari Mahapeka untuk menyebarkan ilmu yang bisa harmoni dengan adat istiadat dan mengubah paradigma masyarakat Baduy agar lebih peduli pendidikan. “Sosialisasi pedesaan, pendataan penduduk dan baca tulis hitung kini merupakan kegiatan sehari-hari,” ungkap Dede. Dede sadar benar bahwa masyarakat Baduy butuh sekolah dan mengenal aksara. Itulah mengapa Mahapeka merumuskan Sekolah Tuna Aksara. Hal ini diamini pula oleh Dinda. “Ada sekolah Tuna Aksara buat bapak dan ibu yang gak bisa baca. Kita juga ada penyuluhan buat mereka biar lebih peduli pendidikan sejak dini,” tambah Dinda. Tidak mudah bagi Mahapeka mengajarkan mereka, sebab mereka sangat tertutup dengan orang asing. Namun selama seperempat abad berturut-turut, Mahapeka tak berhenti b e r j u a n g. M a h a p e k a t e r u s mengirimkan ang gotanya untuk memusnahkan buta aksara di daerah demi daerah, kampung demi kampung.[]


80 PENDIDIKAN Suku Badot :

belajar mencintai tebing-tebing Cidadap Oleh Ratu Tresna N. Gusti

“Yang paling berkesan liat anak-anak gembira, ketika manjat, tertawa. Seneng itu teh. Liat anakanak ngajakin kemping. Wah... Bungah,” kata Oga.

N

ama lelaki itu Andri Prayoga. Ia salah satu penggagas Suku Badot, komunitas pendidikan dan sosial di s e k i t a r K a m p u n g C i d a d a p, Padalarang. Meski masih semester 1, mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat itu terus menabuh gaung kiprahnya. “Ba do t i tu mer uj uk p a da babadotan, artinya tumbuhan obat yang tumbuh liar,” kata Oga saat diminta penjelasan mengapa komunitasnya dinamai Badot, Nopember lalu. “Sederhananya, liar itu karakter komunitas kita. Terkesan tidak teratur tapi bermanfaat,” tambahnya lagi. Yoga memang tak mengajar anakanak Cidadap layaknya sekolah atau komunitas pendidikan pada umumnya. Pelajaran yang ia dan 9 Pembina Suku Badot berikan berdasar pada soft skill untuk konser vasi sumber daya alam Kampung Cidadap. “Kalo ditanya mereka menempuh pendidikan formal atau enggak, ya mereka menempuh. Makanya kita hadir sebagai pendidikan alternatif. Yang membebaskan, tidak membatasi si anak,” kata Oga. Ketika ditanya soal kegiatan rutin, Oga tersenyum. “Memanjat!” katanya semang at. “Selain memanjat, sebenar nya kita jug a sedang menumbuhkan rasa cinta pada alam,

Dok. Pribadi

mencintai tebing,” lanjut Oga. Kenapa tebing harus dicintai? Pertanyaan itu mungkin muncul di benak kita, maka Oga langsung menjelaskan tanpa perlu Suaka bertanya. “Karena ada eksploitasi dari perusahaan. Tebing itu tangki air alami, dia penyangga kawasan sekitar. Kalo tebing rusak, itu kompleks,“ papar Oga, berapi-api. Bicara soal fasilitas memanjat tebing yang tak murah, Yoga menjawab dengan senyum simpul. “Kadang bawa dari kampus. Dipinjemin. Banyak orang meminjamkan alat. Kita tidak kesulitan soal itu,” kata Oga. “Komitmen awal kita tidak dibangun dengan uang, tapi komunikasi. Saling melengkapi, hasilnya kita bertahan sudah setahun setengah,” katanya lagi. Hingga kini, Suku Badot sudah mendirikan 3 saung untuk belajar. 1 untuk sekretariat dan perpustakaan, 1 saung di tebing untuk gathering ketika manjat, 1 di bawah Gunung Puter. “Kebetulan lokasinya di Gunung Puter, di bawahnya kita bikin saung 2 tingkat. Di sana kita buat pendidikan menanam apotek hidup,” kata Oga. Desa Cidadap memiliki 2 mata air, Cibakung dan Ciseureuh. Di salah satu mata air itulah salah satu saung Suku Badot berada. “Di sana kita buat anakanak mencintai alam. ”Kita lakukan kegiatan rutin namanya botram. Tidak sekedar makan, tapi juga ada kegiatan k r e a t iv i t a s, m e m b u a t k a l u n g , menggambar,” papar Oga. Di benak Yoga, pendidikan harus bisa disampaikan dengan jalan yang

disukai dan menyenangkan. Yang ia selalu ingin menghidupkan rekreasi dalam edukasi. “Ada kreativitas yang menghibur dan membuat anak-anak jadi senang, tidak berat,” ungkap Oga dengan sumringah. Oga bersyukur ia tak perlu jungkir balik memenuhi kebutuhan Suku Badot. Ia merasa cukup dengan segala keajaiban yang hadir di perjalanan Suku Badot. “Lagi penanaman di Tebing Hawu, urang ngalamun. Ngimpen, kumaha mun harepeun urang teh lain tanah kosong, tapi pohon, jiga hutan kitu (saya membayangkan di depan saya bukan tanah kosong, tapi pohonpohon, selayaknya hutan, Red-). Eh tiba-tiba Si Pampam (Salah satu teman Yoga, Red-) nga-SMS, aya 100 biji mahoni, jati, trembesi. Langsung urang mangkat ka Cicalengka. Isukna langsung dipelakeun, (langsung saya berangkat ke Cicalengka. Besoknya langsung ditanam, Red-),” kenang Oga. Lain lagi cerita ketika Oga memimpikan perpustakaan di Kampung Cidadap. Restu Allah atas keinginan Og a tur un deng an sedemikian lancar. “Tiba-tiba Mang Deden Panas Dalam posting di Grup Suku Badot ‘Yoga kaleresan di bumi aya buku 2 kardus,’ cenah. Duh... Bagja! (dan ada lagi waktu mau punya perpustakaan, tiba-tiba Mang Deden Panas dalam menulis di Grup Faceboook Suku Badot. ‘Yoga, di rumah ada buku 2 kardus,’ kata dia. Wah senang!, Red-),” ucap Oga, penuh haru. Fasilitas yang kini dinikmati Suku Badot membuat Yoga bersyukur, namun tak buru-buru berpuas hati. Ia sadar benar Suku Badot masih butuh banyak perbaikan di sana-sini. “Kelemahannya tidak terorganisir. Gak ada jobdesk,” kata Oga. Meski demikian, Oga masih menggantungkan harapannya, bahwa suatu saat Suku Badot bisa menjadi seperti apa yang ia impikan. “Harapan mah mau bikin Sekolah Alam Badot, kalo misalnya ada yang mau berdonasi ke sukubadot.com aja. Hehehe,” tutup Oga dengan tawa.[]


KOLOM

Kampus Gagal Oleh Iqbal T. Lazuardi S

K

ampus Gagal. Begitu sebuah coretan yang terpampang di salah satu tembok di sudut kampus kita. Dengan nada tendensius, coretan tersebut seolah berbicara: Sedang ada yang tak beres di kampus ini. Sementara itu, para pengendara maupun pejalan kaki yang saban hari melewati tembok tersebut dan melihatnya pasti memiliki beragam tafsir atas coretan tersebut. Ada yang melihat, coretan tersebut merupakan hal lumrah atas kemarahan sekelompok orang yang menganggap situasi dalam kampus jauh dari yang mereka harapkan. Ada pula yang mengerenyitkan dahi, bahwasannya coretan tersebut hanya mengotori saja. Tak ada gunanya sama sekali. Namun, kita bisa saja mengatakan hal tersebut adalah wujud dari pengejawantahan ekspresi seseorang. Dimana sang pencoret ingin menyuarakan sesuatu yang selama ini ia dan kelompknya rasakan. Mereka sepertinya tak ingin ekspresi tersebut hanya ia pendam dalam hati. Mereka butuh sebuah ruang untuk mengaktualisasikan dirinya. Atas dasar pilihannya mereka memilih tembok untuk menunangkan hasratnya tersebut. Pikirnya dengan hal tersebut, seseorang yang membacanya akan memikirkan apa yang mereka tulis dan terakumulasi menjadi suatu tindakan. Dalam konteks demokrasi, menuangkan aspirasi dan ekspresi memang tak sepenuhnya salah. Hanya saja mereka malas untuk mencari cara yang lebih anggun dalam melakukan protes. Terlepas dari maksud yang ingin disampaikan sang pencoret. Menurut penulis fenomena tersebut menandakan minimnya r uang

interaksi antara pemangku kebijakan dengan mahasiswa. Seakan terbangun sebuah gerbang yang tertutup rapat antara mahasiswa dengan pemangku kebijakan—sebut birokrat. Secara kasat mata, kampus kita “dianugrahi� kelebihan yang unik dibanding kampus-kampus lain. Sivitas Akademika UIN SGD Bandung memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi dalam hal mengawal kebijakan. Terutama yang menyentuh masalah berskala mikro. Seperti baru-baru ini gelombang aksi berduyun-duyun memprotes pemberlakuan jam malam dan penyatuan ATM dengan KTM. Jelas ini merupakan indikasi positif bagi terbangunnya sebuah sistem demokrasi di kampus kita. Hal tersebut menandakan, peran masyarakat warga dalam kampus ini berfungsi sebagai penyangga ruang-ruang demokratis. Dan hal demikian, apabila dimanfaatkan, akan menjadi satu modal penting menuju protype kampus yang demokratis. Ruang Publik Amat disayangkan Civitas Akademika di kampus ini masih belum ngeh akan pentingnya sebuah ruang bagi diskursus antar pemangku kebijakan dengan mahasiswa. Sepeti yang ditulis oleh Budi Hardiman dalam bukunya tentang pemikiran Jurgen Habermas berjudul Demokrasi Deliberatif, mengatakan ruang diskursus berguna bagi terwujudnya konsensus bagi kehendak umum. Karena menurut dia, kepentingan-kepentingan pribadi dalam setiap masyarakat akan selalu bersifat individual yang memihak dan bertentangan satu sama lain. Maka dari itu memaksimalkan ruang diskursus

teramat urgen bagi kondisi si kampus hijau dewasa ini. Jurgen Habermas menafsirkan fenomena di atas sebagai gejala upaya membangun masyarakat dan kekuasaan yang komunikatif. Menurut Habermas komunikasi adalah ciri dasar kehidupan bersama manusia. Dalam konteks demokrasi dewasa i n i — d e n g a n s e g a l a keunikannya—Habermas menelurkan sebuah gagasan akan model demokrasi yang menekankan akan pentingnya prosedur komunikasi. komunikasi menjadi sebuah landasan bagi terwujudnya masyarakat-negara dapat berfungsi dengan baik, dan ujungnya diharapkan akan mengakomodir kepentingan publik secara luas. Dari gagasan tersebut, Habermas menyebutkan ada beberapa piranti untuk menopang sistem kekuasaan dan masyarakat yang komunikatif, diantaranya: People Power, Ruang Publik dan Media Massa. Apabila menilik dari gagasan Habermas tersebut, kampus dengan segala elemen yang ada harus membuka selebar-lebarnya ruang bagi terciptanya sebuah diskursus: Media massa dan ruang publik. Disana gagasan-gagasan dan berbagai bentuk kepentingan yang dimiliki setiap individu dapat terakomodir. Berangkat dari hal tersebut, diharapkankhususnya-para aktivis kampus dapat mengakhiri masa kejumudan. Dimana suara-suara dapat diaktualisasikan dengan dan argumentasi yang terang. Dan yang tak kalah penting adalah terwujudnya sebuah kedewasaan dalam berpolitik.

81


82 OPINI

HEGEMONI

DALAM KEMASAN KEBIJAKAN REKTOR Oleh Agus Mauluddin

F

enomena masyarakat era dewasa ini menunjukan bahwa ke s a d a r a n a k a n s e s u a t u ditempatkan pada posisi yang setinggitingginya. Kesadaran akan realitas sosial yang ada, terindra, empiris, dan kritis begitu diperlihatkan oleh masyarakat secara umum, terutama bagi para penggiat intelektual seperti Mahasiswa. Mahasiswa sebagai agen sosial yang peka terhadap realitas sosialnya tersebut. Kampus merupakan tempat lalu lalangnya para pencari pencerahan. Mahasiswa sebagai aktor yang haus ilmu pengetahuan, dan kedahagaan Mahasiswa terhadap pencerahan, menjadikan kampus sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhannya tersebut. Kebutuhan para Mahasiswa akan pengetahuan diserahkan pada lembaga pendidikan, yakni kampus. Sistem yang terdapat dalam lembaga pendidikan di tataran Mahasiswa, tentunya tidak terlepas dari struktural dan fungsi-fungsi pada strukturnya. Sistem yang selalu terkesan mendominasi para pencari pencerahan, yang berimplikasi pada hal yang positif maupun negatif. Sistem yang merupakan suatu hal yang selalu ada dalam setiap lembaga, yang tentunya bermacam dampak yang ditimbulkannya. Dominasi para pemberi kebijakan terhadap objek yang diberi kebijakan begitu kentara jika dilihat dalam sebuah sistem sosial. Terdapatnya Hegemoni dari pihak pemberi kebijakan, tanpa disadari oleh objek yang diberi kebijakan tersebut. Karena hegemoni terkesan tanpa pemaksaan dan “kekerasan”. Hegemoni (Ritzer, 2012: 476) ini menurut gramsci diartikan sebagai kepemimpinan

budaya yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa. Kelas yang berkuasa menghegemoni atau mempengaruhi tanpa terkesan memaksa dan tanpa bernuansa kekerasaan, akan tetapi mempeng ar uhi tanpa disadari. Hegemoni menjadi suatu cara untuk melanggengkan kekuasaan kelas yang berkuasa. Kebijakan yang diputuskan oleh pemberi kebijakan dalam lembaga pendidikan kampus, yakni Rektor tentunya ber nuansa heg emoni. Kebijakan yang dibalut dengan anjuran, atau hingga menjadi suatu keharusan, yakni diberlakukannya tahfidz minimal 1 Juz Al-Quran. Rektor memberikan kebijakan tersebut, dan menjadikan sebagai pra-syarat lulusnya perkuliahan (Wisuda). Diberlakukannya kebijakan tahfidz untuk setiap Mahasiswa yang akan wisuda, menjadi suatu keharusan dan mer upakan hegemoni atau pengaruh dalam sebuah sistem yang harus ditaati tanpa disadari terpengaruhi dan tanpa merasa dipaksa. Kebijakan tersebut menuai banyak tanggapan, setuju dan tidak setuju. Walaupun demikian, kebijakan tersebut tetap dipandang sebagai sesuatu yang “lazim”, karena Universitas Islam tentunya mengedepankan aspek agama. Dalam artian disana, diharapkan lulusan-lulusan UIN handal dalam

agama, minimal menguasai 1 Juz dalam Al-Quran. Dengan kemasan tahfidz Al-Quran tersebut, Mahasiswa sedikit banyaknya merasa “berat”, karena kehausan akan pencerahan ilmu pengetahuan sedikit terbebani karena diharuskannya menghapal Al-Quran. Menghapal Al-Quran menjadi kewajiban baru para Mahasiswa, selain mencari ilmu pengetahuan di kampus. Mahasiswa sebagai agen sosial yang peka terhadap realitas sosialnya, tentu memahami akan terdapatnya hegemoni dalam dunia empirisnya. Mahasiswa sebagai agen intelektual, berperan pula dalam mengontrol setiap kebijakan para pemberi kebijakan. Mahasiswa pun harus memiliki sumbangsih dalam kebijakan tahfidz 1 Juz Al-Quran ini, seperti misalnya diberlakukannya sistem gradual. Para Mahasiswa sudah bisa menghafal sejak awal masuk kuliah, tidak secara komprehensif langsung. []

*)Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi semester VI


OPINI 83

Memacu Daya Kreatif Mahasiswa Oleh Roni Tabroni

S

elain kelas, banyak ruang yang menjadikan mahasiswa semakin paripurna. Berasal dari kata Kullun, mahasiswa berarti akan mempelajari berbagai hal untuk meningkatkan intelektualitas dan daya kritisnya. Dengan tanpa meninggalkan aspek profesinalisme di bidang ilmunya masing-masing, mahasiswa sejatinya menyiapkan diri sebagai agen of change yang siap menghadapi berbagai tantangan zaman di berbagai ruang yang tidak terduga. Pergur ua n Tin g gi (PT), b a gi mahasiswa merupakan kawah candra dimuka yang dapat menyajikan jamuan ilmu dan ruang berekspresi. Di antara kewajiban kuliah dan belajar, mahasiswa juga disuguhi berbagai lembaga formal yang bersifat structural. Di sini mahasiswa dapat belajar banyak hal dan penting bagi pengembangan karir dan kehidupan ke depan. Kepentingan ini semakin tinggi mengingat sooft skill merupakan faktos penting di dunia kerja dan interaksi di masyarakat dibanding hanya kemampuan akademik. Di organisasi mahasiswa belajar kepemimpinan, manajemen, birokrasi, mengorganisasi orang banyak, melakukan event, mempengaruhi orang lain, hingga menjadi problem solver. Kemampuan berbicara di depan umum, memimpin rapat, dan lobby adalah aspek yang juga sangat melekat di sebuah organisasi kemahasiswaan. Namun, untuk menumbuhkan dan meningkatkan daya kritis mahasiswa, tidak semua dapat diwadahi dengan kelembag aan for mal. “Kegilaan� mahasiswa sesungguhnya banyak yang lebih cocok dengan menggunakan wadah yang lebih fleksibel dan melampaui sisi formalism yang kaku. Komunitas, orang kini banyak menyebut lembaga yang relative mudah dibentuk dan sedang menjamur ini. Komunitas saat ini seperti alternative aktualisasi diri yang dapat menampung potensi mahasiswa karena bersifat focus dan tidak bertele-tele. Di sana tidak ada birokrasi yang ketat, setiap ide dapat dijalankan kapan saja dan dimana saja. Karenanya, komunitas biasanya lebih focus untuk satu jenis aktivitas atau

keg emaran saja. Mereka biasanya melakukan sesuatu yang tidak biasa, karena cenderung bebas berekspresi. Penting dicatat dalam dinamika kehadiran komunitas adalah corak yang lebih fleksibel dalam struktur organisasinya, namun sang at kreatif pada pola aktivitasnya. Komunitas dalam kacamata organisasi yang bersifat struktural biasanya lebih "nakal" dan "liar". Keliaran dan kenakalan komunitas dikarenakan mereka sangat beorientasi pada inovasi dan kreativitas dibanding harus mengurusi struktur yang mengkerangkeng. Tentu saja ini pun bukan dimaksudkan untuk menapikan organ intra baik yang terkait langsung dengan Jurusan, Fakultas, Universitas maupun UKM yang sudah mapan. Ini pun tetap penting karena menjadi identitas formal kehadiran org anisasi kemahasiswaan sebag ai perangkat kampus. Pentingnya komunitas dimaksudkan agar setiap orang tidak menapikan kehadirannya terlebih mendiskreditkan para penggeraknya. Komunitas yang bercorak bebas dan tidak terikat aturan kampus secara khusus, pada tahap teretntu sesungguhnya memberikan kontribusi positif, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun mereka tidak mendapat alokasi anggaran dan kebijakan formal dari struktur kampus, namun mereka tidak bisa dipisahkan dari kampus itu sendiri. Karenanya, apapun komunitasnya, selama mahasiswa itu tercatat sebagai mahasiswa maka mereka secara akademis berhak atas segala fasilitas kampus secara formal. Namun jika kampus pun dapat memanfaatkan kehadiran komunitas menjadi sebuah fartner produktif yanga akan mengangkat citra kampus atas karya dan kreatifitasnya, maka tidak ada salahnya merekapun secara fungsional mendapat perhatian yang sama dengan organ struktural kampus, walaupun tidak formal. Selanjutnya kita akan melihat dinamika komunitas mahasiswa dari sisi identitasnya. Komunitas setidaknya memiliki tiga identitas penting; pertama, dia dibangun atas kesamaan visi dan minat. Karenanya komunitas biasanya lebih fokus pada bidang garapan tertentu. Dia tidak mengurus

berbagai hal dari A-Z. Kedua, komunitas memiliki struktur lebih simple. Struktur dibuat lebih pada kerangka kerja bukan pembidangan yang akan membuat garapan lebih melebar dan akan membuat ang g otanya menjadi rigid. Tidak sewajarnya sebuah komunitas disibukan untuk urusan struktur, karena itu akan membuat anggota kelompok terjebak pada formalitas. Ketiga, komunitas berorientasi pada karya. Karya bisa berupa barang, produk pemikiran maupun produk aktivitas yang bersifat kreatif dan inspiratif. Di sinilah diperlukannya ide-ide kreatif dan inovatif. Cara berfikir orang-orang komunitas memang harus out of the box. Mereka harus bebas berekspresi selama tidak merugikan orang lain. Mereka harus bisa keluar dari cara berfikir mainstream. Di sinilah sebenarnya letak "kegilaan" mahasiswa yang berada di komunitas. Namun sebaliknya, jika komunitas disibukan dengan urusan struktur, tidak memiliki karya apa-apa dan tidak memiliki fokus yang jelas, maka komuntas hanyalah label yang tidak berarti. Tidak jarang orang kini membuat komunitas hanya untuk gaya karena tahu trend yang saat ini terjadi. Padahal, komunitas bukan hanya keberadaannya dan namanya yang keren, tetapi lebih kepada out put nya yang jelas dan inspiratif. Bahkan tidak sedikit kini komunitas yang kebingungan apa yang akan digarap dan mau kemana komunitas itu akan dibawa. Fenomena komunitas di kalangan mahasiswa ini tentu menjadi menarik, sebab kemunculannya terkadang tiba-tiba dan penggeraknya merupakan mahasiswa yang tidak diduga. Kondisi ini menjadi penting untuk diperhatikan agar Ospek tidak hanya memberikan sesuatu tetapi juga menggali potensi mahasiswa yang kemudian dapat dijadikan sebagai sumber daya dalam pembentukkan komunitas tertentu sesuai minat dan bakat mahasiswa tersebut. *Penulis adalah Dosen Fidkom UIN SGD Bandung dan Penggagas Sekaligus Pengasuh Komunitas “Kampung Belajar.�





Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.