PROGASIK - Proyek Gagal, tapi Asik

Page 1

Proyek Gagal

PRO

GA SIK tapi Asik



Proyek Gagal

PRO

GA SIK tapi Asik


PROGASIK

- Proyek Gagal, tapi Asik -

Penyusun: Ade Amelia Alfoadra Zamdekha Ana Fitriani Andy Tanjung Anggi Dwi Febiyanti Annisa Dienfitriah Fathiyah Nur Fadhilah Fitria Setyawati Frist Sunarta Indah Amalia Hasan Mu’awinatus Syar’iyah Nuvi Lailani Oktaferina Thaza Theresia Georly Vania Dwi Amanda Surya Widya Aulia Ramadhani

Editor: Fidyani Samantha Frist Sunarta Layout Grafis: Ade Amelia Annisa Dienfitriah Faris De Indonesia Foto Sampul: Faris De Indonesia Pengantar: Paramita Atmodiwirjo S.T., M.Arch., Ph.D.



“Make Mistaskes.”



TIMELINE DAN KONTEN BUKU Timeline dan Konten Buku

006 Kata Pengantar

028

008 Isu ditemukan! Isu yang diangkat: kurang maksimalnya pelaksanaan salah satu program PKK, yaitu TOGA (tanaman obat keluarga).

Taksonomi Program

012

020

Pengenalan Site Survei pertama! Keliling RT, berkenalan dengan warga, ikut senam, mencari potensi kawasan dan isu.

016

Diskusi Kelompok Menyusun pertanyaan angket untuk mengetahui kebiasaan dan pengetahuan warga terkait isu. 16

A

Survei ketiga! Berkeliling membagikan angket, namun tidak banyak yang bisa ditemui. 19

05

Site telah ditentukan! (Srengseng Sawah, Jaksel)

un

054

k sa Survei keempat! Kami mengajak ibu-ibu untuk ikut membuat pot, tapi ternyata anak-anaknya yang lebih tertarik. 02

13

17

11

18

Presentasi Awal (memilih satu dari tiga site alternatif)

Menentukan target awal dan rencana ke depan.

Survei kedua! Mulai membatasi kawasan, berdialog dengan organisasi warga, mulai menentukan isu.

20 Survei ketiga (bagian dua)! Mencoba keliling lagi, namun hasilnya tak jauh berbeda dengan kemarin.

044

0

S m a d f t

23 Presentasi progress! Ada banyak masukan dari dosen yang membuat kita berpikir kembali.

PKK

SEPT 2013

OKT 2013

OKT 2013

NOV 2013

006


118 082

Perkecil Ruang Intervensi! Akhirnya, setelah berdiskusi lagi, kami sepakat ntukmemperkecil kawasan. Dari kawasan seluas atu RT, diperkecil menjadi seluas sebuah taman bermain, KB Raisya.

Workshop 2 di KB Raisya! Kami mengajak anak-anak untuk menggambarkan seperti apa pekarangan impian mereka. Namun, ternyata perkiraan kami meleset jauh (duh, lagi).

Survei keenam! Bertemu guru KB Raisya, bertanya banyak hal tentang sekolah dan muridnya. Kami juga melakukan survei fisik.

18

04

02

07

Survei kelima! menyosialisasikan sistem alternatif untuk menanam di lahan terbatas (vertical farming) namun ternyata terlalu sepi (lagi!).

Workshop 1 di KB Raisya! Kami berkenalan, bertanya mainan apa yang mereka suka, bermain mencocokkan tanaman, dan simulasi menanam kacang hijau.

090

21

09

18

13

03

Rencana Selanjutnya: Membuat pot dan alat peraga lainnya, serta menyusun buku!

Susun Matriks! Setelah tabel selesai disusun, tim matriks menyusun diagram alur yang menjelaskan ‘mengapa’ gagal, dan ‘mengapa’ berhasil.

Presentasi progress! Dari keseluruhan gagal dan berhasilnya progress yang sudah dijalani, dosen menyarankan kami untuk mengevaluasi dan menyusun diagram mengenai hal-hal apa saja yang membuat berhasil dan gagal.

Evaluasi Akhir Diskusi kembali, susun tim baru, tabel evaluasi kegiatan, dan proposal modul belajar (beserta alat peraganya) yang akan diberikan ke guru PAUD Raisya.

Presentasi akhir! Mendapat banyak saran dan masukan lagi. Namun, kali ini kami ditantang untuk mendokumentasikan kinerja kami ke dalam sebuah buku (dan kami menyanggupinya!).

Esai Refleksi 1

138 Esai Refleksi 2

146 Esai Refleksi 3

152 Esai Refleksi 4

160

098

066

Arsip

167 108

076

Referensi

K

NOV 2013

007

DES 2013

171


KATA PENGANTAR Oleh: Paramita Atmodiwirjo S.T., M.Arch., Ph.D.

Mempelajari Kegagalan Berarsitektur.

sebagai

Bagian

dari

Mari mempelajari kegagalan. Kumpulan tulisan di dalam buku ini mengantarkan sebuah gagasan tentang perlunya untuk tidak selalu melihat keberhasilan dan kesuksesan dalam proses berarsitektur, seperti yang sudah banyak dituliskan di berbagai media. Buku ini mencoba menantang sebuah arus berpikir dalam praktik arsitektur yang cenderung untuk melihat keberhasilan dan kesuksesan sebagai sebuah tujuan utama dari berbagai praktik arsitektur. Tentunya tidak ada –setidaknya sejauh yang kami ketahui– arsitek yang mengharapkan dikenal karena gagal menuntaskan sebuah proyek atau gagal menghadirkan karya arsitektur yang bekerja dengan baik. Kalaupun terjadi kegagalan, itu bukan merupakan sesuatu yang perlu diketahui orang lain, sehingga

sebaiknya disembunyikan. Namun, kami mencoba melihat dari sisi lain bahwa kegagalan bukanlah sebuah cela yang perlu disembunyikan karena pada dasarnya kegagalan adalah pembelajaran yang penting dalam proses arsitektur. Sehingga sudah saatnya kita menyelebrasi kegagalan, sebagai bagian yang penting dalam berarsitektur. Pernyataan di atas hendaknya tidak disalahartikan sebagai pernyataan yang mendorong terjadinya kegagalan atau tidak menuntaskan sebuah pekerjaan. Namun, justru kami berusaha untuk menempatkan kegagalan sebagai bagian yang dapat mengungkap banyak realita dalam berlangsungnya sebuah proses berarsitektur di tengah masyarakat. Praktik di tengah masyarakat memberikan tantangan yang beragam, yang tidak mungkin dapat dipelajari sebelumnya di dalam kuliah atau studio di sekolah 008


arsitektur. Berlandaskan kepercayaan inilah maka kami membuka mata kuliah Keseharian dan Arsitektur di Universitas Indonesia di Universitas Indonesia sejak tahun 2006. Mata kuliah ini memberikan kesempatan mahasiswa untuk melakukan sebuah praktik intervensi nyata, langsung bersinggungan dengan masyarakat. Tentunya dalam mata kuliah ini mahasiswa didorong untuk melaksanakan praktik dengan benar dan berhasil. Berhasil artinya setidaknya intervensi arsitektur dilaksanakan dengan tuntas, mencapai tujuan yang diharapkan, dan masyarakat memperoleh manfaat positif dari intervensi tersebut. Namun, ternyata sebagaimana praktik arsitektur umumnya, kegagalan tidak dapat terhindarkan dalam proses tersebut. Dan buku ini berupaya untuk mengupas terjadinya kegagalan demi kegagalan yang dialami dan meletakkannya sebagai bagian pembelajaran yang penting. PROGASIK. Proyek Gagal Tapi Asik. Judul buku ini mengisyaratkan setidaknya tiga hal. Pertama, bahwa kegagalan merupakan bagian tidak terhindarkan dari sebuah proyek. Proyek apapun memiliki risiko untuk menjadi gagal. Artinya mengerjakan proyek apapun selalu mengandung risiko mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan bisa beragam, namun proyek arsitektur menjadi rentan terhadap kegagalan karena pada dasarnya praktik arsitektur yang tidak terlepas dari kehadiran berbagai 009

faktor lain selain arsitektur itu sendiri. “Architecture is dependent on others at every stage of its journey from initial sketch to inhabitationâ€? (Till, 2009: 45). Termasuk dari dependency ini adalah ketergantungannya dengan kehadiran pengguna yang seringkali memiliki kebutuhan, aspirasi, dan cara pandangnya sendiri yang di luar pengetahuan yang dimiliki dan dibangun di dalam benak arsitek. Sehingga berhasil tidaknya sebuah proyek arsitektur tidak semata-mata ditentukan faktor internal dari praktik, melainkan tergantung oleh banyak hal. Kedua, kegagalan dapat menjadi asik, karena sesungguhnya kegagalan merupakan sebuah pengalaman pembelajaran yang berharga. Pembelajaran berbasis pengalaman atau experiential learning (Kolb, 1984) memiliki karakteristik dimana pengetahuan dibangun dari proses mengalami secara langsung dan merefleksikan apa yang dialami. Pengalaman akan kegagalan bila direfleksikan secara cermat mampu memberikan pengetahuan yang berharga, bukan hanya sekadar untuk mengetahui penyebab terjadinya kegagalan, namun, lebih jauh dari itu, juga dapat memberikan gambaran kompleksitas seluruh proses yang menjadi konteks terjadinya kegagalan tersebut. Kegagalan menjadi bermakna tatkala menjadi bagian dari reflective practice (SchĂśn, 1983), sebagai bagian dari kemampuan untuk merefleksikan tindakan yang sedang dan telah dilakukan.


Ketiga, kata “tapi” yang menghubungkan “gagal” dan “asik” juga dapat bermakna banyak. Kata hubung seperti “dan”, “atau”, “tapi” mengandung makna penting saat kita melihat sebuah fenomena yang bukan berdiri sendiri dan tidak statis. “Tapi” mengandung gagasan koneksi antara satu dan lain hal yang berlawanan. Sehingga kegagalan tidak dilihat sebagai sekadar kegagalan, namun kegagalan, namun juga menjadi sesuatu yang perlu diselebrasi kehadirannya dalam proses berarsitektur. Selain itu, “tapi” di sini mengindikasikan bahwa penilaian terhadap sesuatu seringkali tergantung pada penilaian sesuatu yang lain. Melihat visualitas dari sebuah karya arsitektur dapat mengundang sebuah penilaian tertentu, namun penilaian ini tidak lengkap tanpa mempertimbangkan aspek lain yang barangkali justru sama pentingnya atau bahkan lebih utama. Kompleksitas proyek arsitektur membutuhkan pemahaman semacam ini sebelum dapat semata-mata dinilai sebagai proyek yang berhasil atau gagal. Refleksi terhadap kegagalan demi kegagalan yang dialami para penulis buku ini dalam upaya melaksanakan intervensinya menunjukkan bahwa kegagalan pada dasarnya merupakan sebuah bagian dari praktik yang transformative – “a process that is transformative for all parties – the architect included” (Till, 2005: 27). Proses merancang dan mengimplementasikan mengimplementasikan sebuah intervensi arsitektur di tengah masyarakat dan

bersama-sama masyarakat merupakan sebuah proses yang hendaknya bersifat transformatif tidak hanya bagi komunitas sasaran intervensi, namun juga bagi arsitek. Proses mengalami kegagalan merupakan sebuah bentuk transformasi pengetahuan dari perancang yang diperoleh dari pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat yang menjadi sasaran intervensi arsitektur. Buku ini diakhiri dengan sebuah taksonomi kegagalan, sebagai sebuah sintesis dari pengalaman berarsitektur yang telah dialami para penulis. Taksonomi ini tentunya tidak sempurna dan belum dapat dikatakan mewakili setiap kemungkinan kegagalan dan keberhasilan dari sebuah proyek arsitektur. Namun, kehadirannya kami harapkan dapat menunjukkan proses pembelajaran yang kaya yang dapat diperoleh dari proyek yang secara sepintas dianggap gagal. Meski pun banyak kegagalan yang dialami di dalamnya, pada akhirnya PROGASIK ini berhasil dalam menguraikan secara sistematis dan terperinci terjadinya pengalaman belajar yang berharga bagi berkembangnya pengetahuan dan praktik arsitektur yang dekat dengan masyarakat penggunanya.

010


Referensi: ? Kolb, D. (1984). ? Till, J. (2009). Architecture Depends. Cambridge, MA.: The MIT Press. ? Till, J. (2005). The Negotiation of Hope. In P. Blundell-Jones, D. Petrescu& J. Till, Architecture and Participation, pp. 19-41. London: Spon Press. ? Schรถn, D. (1983) The Reflective Practitioner. How Professionals Think in Action. London: Temple Smith.

011


TAKSONOMI PROGRAM:

KEMUNGKINAN KOMBINASI ALUR

Taksonomi A.1: Taksonomi Seluruh Kemungkinan Alur Program dan Keberhasilan/Kegagalannya (Sumber: Tim Progasik)

(K)

(I)

+

(S)

+

(SLo)

+

(LPr)

+ (LPu)

+

(SOr)

+

+

(DId)

(ODe)

+

(M)

+

(MOb)

+

(DKo)

+

(YCa)

+ (MWo)

+

(WSi)

+

(DIs)

(TCa)

+ (WIn)

+

+

(OAn)

(WKu)

+

+ (MAn)

(SAr)

+

(ADi)

+

+ MWa (AKe)

+

+ (MPa)

+ (MPe)

+

012


LEGENDA TAKSONOMI PROGRAM Cara Mendapatkan Informasi (I)

Kegiatan (K) Survei PAUD Raisya (KSu)

Senam Sehat Ibu-Ibu (KSe)

Workshop Mainan Favorit (KMa)

Penyebaran Angket TOGA (KAn)

Workshop Identifikasi Tanaman (KId)

Pemetaan Pekarangan dan TOGA (KPe)

Workshop Simulasi Menanam (KTa)

Workshop Pot Kreatif (KPo)

Menggambar Pekarangan Impian (KGa)

Sosialisasi Vertical Farming (KVe)

Diskusi dengan Ketua PKK (KDi) PKK

Sasaran (S) Sasaran Area (SAr)

Sasaran Lokasi (SLo)

Satu Tempat (ADi)

Ruang Privat (LPr)

Berkeliling/Banyak Tempat (AKe)

Ruang Publik (LPu)

Sasaran Orang (SOr) Dewasa (ODe) Individu (DId) Komunal (DKo) Instansi (DIs) Anak-Anak (OAn)

Metode (M) Angket (MAn)

Mengobrol (MOb)

Wawancara (MWa)

Workshop (MWo)

Berpartisipasi (MPa)

Simulasi (WSi) Memberi Informasi (WIn)

Pemetaan (MPe) Kuis (WKu)

Tercapai (YCa) Tidak Tercapai (TCa)

013


I.K.KTa.S.SOr.OAn.M.MWo.WSi.YCa

I.K.KId.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.YCa

I.K.KMa.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.TCa

I.K.KSu.S.SAr.ADi.M.MPe.YCa

I.K.KDi.S.SOr.ODe.DIs.M.MWa.YCa

PKK

I.K.KGa.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.YCa

I.K.KVe.S.SOr.ODe.Dko.M.MWo.WIn.TCa

I.K.KPo.S.SOr.ODe.DKo.M.MWo.WSi.TCa

I.K.KPe.S.SAr.AKe.M.MPe.YCa

I.K.KAn.S.SOr.ODe.DId.M.MAn.TCa

I.K.KSe.S.SOr.ODe.DKo.M.MPa.TCa

TAKSONOMI PROGRAM:

PROGRAM YANG DILAKUKAN

Taksonomi A.2: Taksonomi Seluruh Program yang Dilaksanakan (Sumber: Tim Progasik)

014



PENGENALAN SITE Lokasi RT 04 RW 06, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan Jumlah Kepala Keluarga: 118 KK Jumlah Warga: 462 Warga (237 Laki-Laki, 225 Perempuan)

U

Gambar A.1: Site yang Dipilih (Sumber: google maps: https://www.google.co.id/maps/@6.3446039,106.8253141,381m/data=!3m1!1e3?hl=en google earth: https://www.google.co.id/maps/@6.3446039,106.8253141,18z?hl=en)

016


Jl. W ika

U

Masjid

Rumah Ketua RT

Jl. Wik a

PAUD KB Raisya

Jalan

Gambar A.2: Ruang Lingkup Site yang Menjadi Sasaran Intervensi (Sumber: Tim Progasik)

017


“A thinker sees his own actions as experiments and questions-as attempts to find out something. Success and failure are for him answers above all.� - Friedrich Nietzsche -


PKK


SENAM SEHAT IBU-IBU Oleh: Ade Amelia

I.K.KSe.S.SOr.ODe.DKo.M.MPa.TCa

Taksonomi B: Program “Senam Sehat Ibu-Ibu” (Sumber: Tim Progasik)

020


D

ari manakah kegiatan ini kami mulai? Ah, saya ingat ketika itu untuk pertama kalinya teman-teman kuliah saya berkunjung ke rumah dengan jumlah cukup banyak. Ibu saya sampai memesan nasi bungkus untuk menjamu kami. Ya, kelompok kami memiliki anggota sebanyak tujuh belas orang. Sasaran lokasi yang diinginkan kelompok kami maunya yang dekat dan aksesnya mudah serta belum tersentuh tangantangan peduli anak UI. Akhirnya saya yang memiliki rumah paling dekat dari kampus dan kebetulan kedua orang tua saya aktif dalam kegiatan-kegiatan RT, menjadi sasaran empuk untuk percobaan proyek dalam mata kuliah ini. Awalnya, saya takut tidak bisa memandang secara objektif lantaran posisi saya yang rangkap yaitu sebagai warga dan sebagai pengamat. Namun, akhirnya, saya memilih untuk menjadi pengamat seperti teman-teman yang lain, meskipun terkadang memberi opini pribadi terkait isu yang ingin kelompok kami angkat. 021


Pada Sabtu siang, 5 Oktober 2013, hampir semua anggota kelompok kami hadir di rumah saya di Jalan Wika, RT 004/06 Kelurahan Srengseng Sawah. Kami ingin mengetahui secara umum tentang selukbeluk kepengurusan RT, PKK, program-program yang dijalaninya, nilai-nilai apa saja yang bisa menjadi potensi, serta hambatan apa saja yang kerap terjadi. Siapa tahu ada yang berpotensi untuk dikembangkan di sana. Kami memilih survey pada hari Sabtu karena ada kegiatan senam yang ingin kami ikuti untuk membaur dengan warga sekitar secara natural dan instan. Beruntung masih ada file dalam laptop saya yang berisi laporan pertanggungjawaban PKK RT 04. Karena, tahun lalu, saya memang diminta ibu saya untuk mengetik laporan kegiatan semasa ibu masih aktif menjabat sebagai ketua PKK. Lewat laporan ini, dapat diketahui bahwa sebenarnya susunan kepengurusan, program kerja, serta pelaksanaan kegiatan RT dan PKK sudah baik secara strukturnya. Banyak pula kegiatan yang terlaksana dengan cukup baik, meskipun memang masih ada kekurangan disana-sini. Setelah berdiskusi dengan Pak Yandi, bagian humas RT 04, kami mengetahui bahwa program yang memiliki potensi namun belum maksimal yaitu Karang Taruna, Tanaman Obat Keluarga (TOGA), dan Biopori. Apakah yang dapat kami kerjakan berikutnya?

Sampai pada tahap ini, kami terus menggali dari sudut pandang masyarakat. Ternyata bertanya langsung kepada masyarakat RT lebih sulit daripada bertanya kepada pengurus RT. Inilah tantangan kami selanjutnya. Bagaimana cara menyerap aspirasi masyarakat secara efisien? Pada hari Sabtu tersebut adalah percobaan kami yang pertama. Kami ingin terlibat langsung dengan kegiatan yang ada di masyarakat. Kami berharap dapat merasakan pengalaman sebagai warga RT 004, sehingga mempermudah sosialisasi dan mendapatkan berbagai ilmu dari RT 004. Pada malam minggunya, ada arisan bapak-bapak; Jumat pagi, ada kegiatan bersih-bersih kampung (Jumat Bersih); dan setiap satu bulan sekali, di hari Minggu, ada kerja bakti membersihkan selokan yang biasa diikuti oleh bapak-bapak. Pada hari biasa, terdapat berbagai macam aktivitas seperti pengajian, arisan ibuibu, dan lainnya. Dari berbagai kegiatan tersebut, ada satu kegiatan yang menarik perhatian kami, yaitu senam sehat. Senam dimulai pukul empat sore. Kegiatan senam biasanya hanya diikuti beberapa orang saja, paling banyak ada sepuluh orang dan kami yang melihat kegiatan senam pun hampir sama banyaknya. Pada saat senam dimulai, hanya ada sekitar enam 022


orang ibu-ibu (sudah termasuk dua orang instruktur). Kami bergabung di tengah-tengah sesi pemanasan seri pertama akan berakhir. Ada tiga seri senam pada setiap latihan, masing-masing seri senam terdapat sesi pemanasan, utama, dan pendinginan. Anggota kelompok kami yang ikut senam sekitar enam sampai delapan orang. Posisi senam mengikuti barisan depan dan semakin lama semakin banyak yang mengikuti. Orang yang datang terlambat langsung ikut serta dengan langsung mengisi barisan paling belakang. Ada warga yang sengaja mengikuti senam sampai memakai baju dan sepatu olahraga dan ada juga yang mengikuti senam secara spontan saat mendengar suara musik yang keras dan kebetulan lewat area senam. Sehingga, ada pula anggota senam yang hanya memakai daster dan sendal jepit. Tiba-tiba, kegiatan senam dapat menarik warga yang penasaran untuk melihat-lihat. Hal tersebut menyebabkan ada banyak anak-anak yang bermain dan orang berjualan di sekitar area senam (lapangan belakang rumah Pak RT). Halaman rumah seketika menjadi tempat sosial dadakan. Sangat pas untuk coba kami kulik, bukan?

023


Gambar B.1: Kegiatan Senam Sehat Ibu-Ibu (Sumber: Tim Progasik)


Gambar B.2: Warga Berkumpul di Sekitar Kegiatan Senam (Sumber: Tim Progasik)


Titik kumpul penonton senam

Ternyata tak semudah yang kami bayangkan. Meskipun berkumpul bersama, masing-masing warga sudah memiliki kesibukannya masing-masing, sehingga sulit bagi kami untuk bergaul dengan mereka secara alami. Ibu-ibu yang senam sulit untuk diganggu, sedangkan kegiatan senam berakhir beberapa menit sebelum waktu sholat maghrib. Setelah senam, para ibu-ibu terburu-buru pulang untuk menyiapkan makan malam dan berbagai kesibukan lain di rumah. Sementara itu, warga yang melihat kegiatan senam juga memiliki kegiatan untuk menjaga anak mereka yang sedang bermain, memberi makam anak-anak balita yang berlarian, dan beberapa ada yang jajan sambil mengobrol dengan warga lain.

Rumah Ketua RT 004

Titik kumpul pesenam Gambar B.3: Titik Kegiatan di Lokasi Senam (Sumber: Tim Progasik)

026


Seharusnya, kami tetap kekeuh mengajak ngobrol mereka, tetapi kami bingung untuk memulainya dengan topik seperti apa. Basa-basi yang bagaimana yang harus kami lakukan untuk mengulik kegiatan ibuibu? Ada beberapa dari mereka yang bertanya, “Memang disuruh buat apa, Mbak?� Pertanyaan tersebut pun belum tentu bisa kami jawab. Mungkin, kami belum bisa memberikan gambaran konkret apa yang akan kami buat dan isu yang ingin kami ambil juga belum rampung. Ternyata untuk berinteraksi dengan warga yang banyak dibutuhkan usaha lebih untuk menarik perhatian, kemampuan JB (Join Bareng), keterampilan basa-basi, dan keteguhan hati untuk kepo (memiliki rasa penasaran yang tinggi). Akhirnya, hari pertama kami diisi dengan “kegagalan� kami yang pertama. Gagal untuk menggali isu dan informasi yang ada di lingkungan RT 04 dari para ibuibu.

027


PENYEBARAN ANGKET TOGA Oleh: Ana Fitriani

I.K.KAn.S.SOr.ODe.DId.M.MAn.TCa

Taksonomi C: Program “Penyebaran Angket TOGA” (Sumber: Tim Progasik)

028


S

etelah melalui beberapa pertimbangan, kami memutuskan untuk melakukan intervensi terkait TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Pertimbangannya adalah TOGA dapat dilakukan oleh segala usia, ada “wujud�-nya (remarkable), dapat menciptakan rasa kepemilikan dari warga setempat, fungsional, bernilai ekonomis, serta dapat sekaligus membantu penyelesaian program biopori. 029


Setelah melakukan diskusi dalam kelompok, kami memutuskan untuk kembali bertanya kepada warga seputar TOGA. Target kami kali ini adalah untuk mengetahui pendapat dan pengetahuan warga mengenai TOGA. Kami memilih untuk menggunakan angket sebagai media pendataan yang sudah biasa kami temui di dunia perkuliahan. Angket disebarkan di hari Sabtu dan Minggu. Kami juga mewawancarai warga RT 04 yang kami temui. Namun, survei kali ini sebenarnya lebih memfokuskan pada kaum ibu. Hal ini dikarenakan kaum ibu lah yang lebih banyak berinteraksi dengan TOGA dalam kehidupan sehari-hari. Meski begitu, pada hari pertama penyebaran angket ini kami anggap “gagal� karena jumlah warga yang berpartisipasi sangat sedikit sehingga tidak representatif. Jika dikaitkan dengan teori Carole Pateman, partisipasi warga di wilayah ini bukanlah pada tahap �full participation (equal power in decision making)�, 030


kenyataannya, hal ini memang mustahil. Dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi warga masih pada tahap “pseudo participation (creating a 'feeling' of participation)”, di mana warga ”seolah” berpartisipasi. Karena hanya beberapa rumah warga saja yang berhasil berpartisipasi mengisi angket yakni hanya 24 orang dari jumlah 144 KK. Hari Minggu, kami kembali menyebarkan angket TOGA. Kami berharap akan ada lebih banyak koresponden yang mengisi angket hari ini. Sayangnya hari ini pun keadaan tetap sama seperti Sabtu. Kami memang melihat segelintir warga ada di teras rumahnya masing - masing, tetapi jumlahnya hanya dalam hitungan jari. Saat membagikan angket, kami juga menemui beberapa kendala di mana beberapa warga tidak terlalu paham maksud pertanyaan kami di angket, jadilah beberapa nomor pada angket kosong tidak terjawab. Lagi-lagi, hari pada hari kedua ini kami kembali “gagal”, karena ada banyak hal yang belum juga terpenuhi seperti hari Sabtu. 031



Gambar C.1: Angket TOGA yang Diberikan kepada Warga (Sumber: Tim Progasik)


Kemudian, kami memetakan hal-hal apa saja yang menjadi kendala dari proyek yang kami jalani sehingga apa yang kami lakukan dua hari ini kami anggap gagal.

Perencanaan

Pelaksanaan

Alasan & Penyebab Kegagalan

Membagikan angket

Terlaksana, tetapi target tidak tercapai (dianggap gagal)

Kegiatan komunal tidak berjalan dengan baik; jumlah warga yang diwawancarai kurang representatif (23 perempuan, 1 laki-laki)

Wawancara (untuk menggali minat dan kebiasaan warga)

Terlaksana, tetapi target tidak tercapai (dianggap gagal)

Hanya beberapa warga saja yang terlihat ada di rumah dan bersedia diwawancarai ketika kami berkunjung ke RT. 004. Oleh karena itu, informasi mengenai minat dan kebiasaan warga menjadi tidak tergali dengan maksimal

Tabel C.1: Penyebab Kegagalan pada Program “Penyebaran Angket TOGA� (Sumber: Tim Progasik)

034


Jika dievaluasi dari apa yang sudah kami laksanakan, sebaiknya, ketika akan menyebar angket, kami harus mempertimbangkan matangmatang perencanaannya dan bagaimana cara melibatkan warga. Kami menyadari bahwa sejauh ini kami belum pernah diperkenalkan secara komunal terhadap seluruh warga RT 04. Kami melakukannya hanya pada beberapa warga dan pengurus RT yang sudah mengetahui tentang program TOGA. Sebagian warga memang menyadari keberadaan kami yang ingin mengintervensi wilayah mereka. Namun, ada juga warga yang belum mengetahui akan hal tersebut, sehingga kami harus memperkenalkan diri kami lagi dan lagi ketika kami mendatangi rumah-rumah warga untuk pengisian angket. Hal ini tentunya sedikit banyak membuang waktu dalam menyelenggarakan survei. Tidak cukup dengan perkenalan saja, seperti 035

yang didapatkan pada studio perancangan di kampus, kami juga harus mengetahui kondisi site. Kami perlu melakukan survei keadaan lapangan (wilayah RT 04) untuk mengetahui aktivitas harian warga. Tujuannya agar kami dapat mengetahui kapan warga beraktivitas di dalam rumah dengan keluarga dan kapan warga beraktivitas komunal dengan warga lain di luar rumah. Ketika ada warga yang beraktivitas komunal di luar rumah, kami pun dapat mengetahui di mana saja tempat yang biasanya ramai untuk digunakan bersama. Adanya aktivitas warga di luar rumah dapat kami manfaatkan untuk memulai interaksi. Lebih jauh lagi, ketika ada acara atau kegiatan rutin RT (seperti arisan, kerja bakti, senam, dan lainnya) kami juga dapat memanfaatkannya untuk bertemu secara komunal dan memperkenalkan diri secara resmi.


Kegagalan dalam penyebaran angket TOGA sebenarnya dapat dicegah, misalnya, dengan melakukan publikasi terlebih dahulu sehingga kejadian wilayah sepi dapat sedikit ditanggulangi. Karena ketidaksiapan ini, angket tidak tersebar ke seluruh KK di RT 04. Suara yang kami dapatkan pun belum cukup mewakili suara seluruh warga karena kebanyakan responden yang mengisi angket merupakan kaum ibu. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa dalam merancang sesuatu yang berbasis komunitas memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tentu kami ingin jika rancangan yang dibuat akan tepat guna. Oleh karena itu, pastinya ada banyak cara yang

dapat dilakukan untuk mengetahui apa yang benarbenar menjadi kebutuhan suatu komunitas, baik itu secara fisik, maupun nonfisik. Cara yang kami lakukan ini (menyebarkan angket) merupakan salah satu metode untuk mengetahui hal tersebut, di mana ada partisipasi warga di dalamnya. Jika metode ini diterapkan pada site lain, belum tentu akan membawa kegagalan seperti yang kami dapatkan karena setiap tempat memiliki karakternya sendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Sepanjang survei studio perancangan yang sudah kami lakukan, ketika ingin mendata suatu sampel, kami cenderung menggunakan angket 036


ataupun dengan wawancara langsung. Rupanya, metode seperti ini belum tentu cocok untuk semua jenis survei karena nyatanya apa yang kami dapatkan ketika survei di RT 04 tidaklah sama. Ada baiknya untuk melihat kalangan orang yang menjadi target pengisi angket terlebih dahulu. Metode angket memang sudah familiar di kalangan mahasiswa yang masih sering berkutat dengan kertas ujian dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada suatu kertas. Namun, apakah warga RT 04 juga demikian? Tentunya tidak. Oleh karena itu, agar lebih efektif sebaiknya metode pendataan yang dilakukan pun juga berbeda. Misalnya, dengan format yang lebih santai dan tidak melulu dengan mengisi kertas. 037


HASIL ANGKET TOGA

Usia Responden <20 Tahun 1 (4.16%) 20 - 30 Tahun 1 (4.16%) 31 - 40 Tahun 6 (25%) Responden berjumlah 24 orang Pria : 1 orang (4.17%) Wanita : 23 orang (95.83%)

42 - 50 Tahun 9 (37.5%) 51 - 60 Tahun 6 (25%) >60 Tahun 1 (4.16%)

038


Waktu Senggang Jumlah responden yang memiliki waktu senggang bersama keluarga di hari kerja/akhir minggu pada saat-saat tertentu.

Weekdays pagi siang sore malam

7 (29.16%) 6 (25%) 8 (33.3%) 21 (87.5%)

Weekend pagi

19 (79.16%)

siang

19 (79.16%)

sore

Makanan Jumlah responden yang mendapatkan makanan dari memasak dan/atau membeli. Bahan Makanan Jumlah responden yang mendapatkan bahan makanan dari memetik tanaman sendiri dan/atau membeli.

039

18 (75%)

malam

21 (87.5%)

masak

24 (100%)

beli

petik beli

3 (12.5%)

2 (8.3%) 23 (95.8%)


Jumlah Responden yang Mengetahui Program PKK Tahu Semua 1 (4.16%)

Tahu Sebagian 6 (25%)

Tahu Sebagian Besar 1 (4.16%)

Tahu Sebagian Kecil 9 (37.5%) Tidak Tahu Sama Sekali 6 (25%)

Popularitas Program PKK Jumsih

24 (100%)

TOGA

22 (91.67%)

POS

21 (87.5%)

UKM

15 (62.5%)

PIK

13 (54.16%)

040


Jumlah Responden yang Mengetahui Manfaat TOGA Tertentu 20 (83.3%)

Sirih Limau

22 (91.67%)

Lidah Buaya

19 (79.16%)

Jambu Biji

24 (100%)

Belimbing Wuluh

18 (75%)

Jumlah Responden yang Merawat TOGA di Lahan Rumah

Jumlah Responden yang Menggunakan TOGA dari Lahan Rumah

041

*Sebanyak 66.67% Responden menuliskan jenis tanaman obat lainnya yang mereka ketahui. Didapat 27 jenis tanaman lainnya dari kolom isian.

Selalu 5 (20.83%)

Selalu 4 (16.67%)

Sering 7 (29.16%)

Sering 5 (20.83%)

Jarang 9 (37.5%)

Jarang 4 (16.67%)

Tidak Pernah 3 (12.5%)

Tidak Pernah 11 (45.83%)


Perlu/Tidak Adanya TOGA di Lingkungan Rumah?

Perlu 24 (100%) Tidak Perlu 0 (0%)

Dimana TOGA Sebaiknya Ditanam? Di Setiap Lahan Rumah

21 (87.5%)

Di Lingkungan RT

4 (16.67%)

Di Setiap Gang

0 (0%)

042


Kesimpulan: Program yang mewadahi keharusan penanaman tanaman obat sudah ada (salah satu program PKK) dan warga sudah mengetahui program tersebut. Masyarakat sadar akan pentingnya tanaman obat, tetapi perlu lebih dimaksimalkan pada saat pelaksanaan (lebih dalam mempelajari keseharian dan kebutuhan warga sehingga dapat tercipta bentuk kegiatan dan peraturan yang lebih tepat.

Kelebihan

Kekurangan

Tahu pentingnya tanaman obat

Ketersediaan waktu luang.

Ada keinginan untuk melakukan penanaman tanaman obat

Pengetahuan cara merawat, menanam, dan memilih jenis tanaman yang perawatannya mudah.

Kegiatan keseharian yang mendukung (aktif memasak)

Bantuan sarana dan prasarana.

Mengetahui jenis-jenis tanaman obat lainnya yang bermanfaat

043


PEMETAAN PEKARANGAN DAN TOGA Oleh: Thaza Theresia Georly

I.K.KPe.S.SAr.AKe.M.MPe.YCa

Taksonomi D: Program “Pemetaan Pekarangan dan TOGA” (Sumber: Tim Progasik)

044


R

T 04 memiliki program yang mengharuskan setiap warga untuk menanam TOGA. Setiap rumah diwajibkan memiliki minimal lima jenis tanaman obat. Pemilihan jenis dan media tanam diserahkan kepada masing-masing pemilik rumah. Bagi warga yang memiliki pekarangan, dapat langsung menanam di tanah pekarangan rumahnya, tetapi bagi yang tidak memiliki area pekarangan, tetap harus menanam menggunakan pot. 045


Kami ingin mengetahui lebih lanjut mengenai TOGA di RT 04, sehingga kami memutuskan untuk melakukan pemetaan TOGA. Tujuan utama dari pemetaan ini adalah untuk mengetahui titik-titik penanaman TOGA oleh warga. Dari pemetaan ini, kami ingin melihat potensi lahan-lahan yang ada (lahan pribadi maupun lahan kosong milik bersama). Kami juga ingin mempelajari bagaimana cara warga menanam TOGA. Hal ini penting untuk mengembangkan ide kami selanjutnya mengenai bagaimana menggalakkan kembali penanaman TOGA kepada warga RT 04. Kemudian, tujuan lainnya adalah untuk mengetahui ketertarikan dan pemahaman warga pada berbagai jenis TOGA. TOGA yang ditanam warga tidak ditentukan oleh Bapak RT, sehingga kami ingin mencari tahu kecenderungan warga dalam memilih TOGA untuk ditanam di pekarangan rumahnya masing-masing. Hal yang berusaha kami cari tahu, sebenarnya, bicara lebih jauh daripada sekadar

metode maupun jenis TOGA yang ditanam, tetapi juga untuk mengetahui antusiasme warga: bagaimana keharusan menanam ditanggapi oleh warga RT 04. Antusiasme warga adalah poin yang penting dalam memutuskan apakah proyek seputar TOGA ini tepat dan perlu dilanjutkan atau tidak. Metode yang dipakai untuk pemetaan TOGA adalah melalui pengamatan langsung dengan berkeliling RT 04. Tahap pertama yang kami lakukan adalah mengamati pemetaan RT 04 secara umum melalui google maps. Kemudian, kami menentukan alur perjalanan dan membagi kelompok untuk survei lapangan. Frist Sunarta dan Thaza Georly (ditemani Ade Amelia) memetakan lahan menanam TOGA pada rumah warga. Caranya adalah dengan menandai rumah-rumah yang memiliki area tanam (pot maupun tanah). Lalu, jenis media tanamnya, posisi, dan besaran area juga ditandai pada pemetaan yang dibuat. 046


Bangunan

Lahan Tanah Jalan

Gambar D.1: Pemetaan Titik Lahan Tanam (Sumber: Tim Progasik)

047


Hampir seluruh warga memiliki lahan terbuka hijau yang ditanami dengan berbagai macam tanaman. Akan tetapi, dari keseluruhan pekarangan warga terdapat delapan titik pekarangan yang cukup besar dan belum maksimal. Selain pekarangan warga, ada pula lahan-lahan kosong yang cukup luas dan tidak berpemilik.

Titik Pekarangan Warga

048


8 Pekarangan Warga yang Potensial

9 Titik Lahan Kosong

Gambar D.2: Titik Pekarangan Potensial dan Lahan Kosong (Sumber: Tim Progasik)

049


Kemudian, Andy Tanjung & Alfoadra memetakan jenis tanaman yang ditanam warga. Pemetaan dilakukan dengan membagi jenis tanaman menjadi 3 tipe tanaman: Pohon, TOGA, dan bunga. Berikut adalah pembagian jenis tanaman yang ditanam warga. Sebagian besar tidak menanam TOGA, melainkan tanaman hias saja (bunga-bungaan). Pot banyak digunakan warga sebagai media tanam. Baik media utama atau sebagai tambahan (dari tanah pekarangan).

050


Bagi rumah yang memiliki pekarangan luas, terdapat tanaman hias, tanaman obat, dan pohon di dalamnya. Namun, bagi rumah yang memiliki pekarangan kecil, tanaman yang ada berupa tanaman hias dan tanaman obat yang ditanam di dalam pot. Gambar D.3: Pemetaan Jenis Vegetasi yang Terdapat di Rumah Warga (Sumber: Tim Progasik)

051


Dari kegiatan yang kami lakukan, kami melihat bahwa pada dasarnya warga patuh menjalankan peraturan program TOGA di RT 04. Namun, patuh saja tidak cukup membuat warga tetap merawat tanaman hingga saat ini. Kami menangkap, sebenarnya, ada keinginan warga untuk berpartisipasi (bukan hanya karena diharuskan pak RT). Buktinya, bahkan, hingga saat ini masih ada warga yang tetap menjalankan program tersebut (di luar maksimal atau tidaknya program ini dijalankan).

Pelaksanaan program TOGA kurang komunal dan tidak melibatkan banyak orang. Padahal, sebagian besar kegiatan yang berhasil di RT ini adalah kegiatan-kegiatan komunal yang membuka kesempatan bagi warga untuk ikut berpartisipasi. Ada efek saling mengawasi yang membuat programprogram demikian lebih berkembang dan berkelanjutan. Jadi, mungkin kegiatan TOGA bisa dilakukan dengan beberapa perubahan sistem dan mekanisme.

Warga sebenarnya tidak keberatan terlibat dalam program menanam TOGA. Akan tetapi, keinginan berpartisipasi ini tidak mencapai 100%. TOGA memang tetap ada (tidak diterlantarkan sama sekali), tapi keberadaannya tidak maksimal, baik dari segi pemanfaatan, maupun perawatan. Hal ini bisa juga kita simpulkan sebagai akibat dari kurangnya antusiasme warga. Kurangnya antusiasme ini bisa dilihat dari jenis tanaman yang kebanyakan bukan merupakan TOGA.

Pada akhirnya, pengumpulan data ini berhasil memberi kami informasi mengenai apa yang ingin kami dapatkan. Informasi-informasi inilah yang kami gunakan untuk menetapkan langkah kami selanjutnya mengenai isu TOGA yang kami angkat.

Sebagian besar warga, baik yang memiliki pekarangan maupun tidak memilih menggunakan pot sebagai media tanam. Pot digunakan sebagai media tanam utama ataupun pendukung. Kami menganalisis bahwa pemilihan pot terkait dengan efisiensi. Penggunaan pot lebih efisien karena tidak harus mencangkul dan menanam langsung di pekarangan. Pot tanaman lebih mudah diatur, diurus, dan diganti. 052



WORKSHOP POT KREATIF Oleh: Vania Dwi Amanda Surya

I.K.KPo.S.SOr.ODe.DKo.M.MWo.WSi.TCa

Taksonomi E: Program “Workshop Pot Kreatif” (Sumber: Tim Progasik)

054


T

ahap selanjutnya yang kami lakukan adalah mencari tahu seberapa besar antusiasme warga terhadap kegiatan menanam. Apakah dengan adanya program TOGA di RT membuat warga juga menyenangi kegiatan menanam? Metode yang digunakan adalah dengan mengadakan kegiatan workshop menanam. Target awal ditujukan untuk warga RT 05 Srengseng Sawah, tetapi, kemudian, difokuskan kepada ibu-ibu yang melakukan kegiatan senam rutin di rumah bapak RT. Ibu-ibu yang datang senam biasanya tidak datang sendiri, tetapi juga membawa anak-anaknya untuk bermain dan makan. Oleh sebab itu, kami memilih waktu senam untuk melakukan kegiatan workshop menanam, melalui “pendekatan� dengan menyelipkan kegiatan workshop selama berlangsungnya kegiatan senam. 055


Kegiatan ini diawali dengan membuat pot-pot kreatif menggunakan bahan daur ulang yaitu botolbotol plastik bekas pakai. Botol-botol tersebut dibuat menjadi berbagai macam bentuk pot, tidak hanya satu bentuk pot saja. Kegiatan ini dilakukan sebelum kegiatan senam ibu-ibu dimulai. Awalnya tidak ada warga yang terlihat tertarik dengan apa yang kami kerjakan saat itu. Walaupun demikian, kami tetap melanjutkannya. Selama membuat pot-pot kreatif tersebut, beberapa ibu-ibu mulai berdatangan untuk melakukan kegiatan senam. Terdapat ibu-ibu yang juga membawa serta anak-anaknya. Ada pula ibu-ibu yang sengaja datang untuk menyuapi makan anaknya sambil melihat kegiatan senam dan mengobrol dengan ibu-ibu lainnya. Sempat ada seorang ibu yang terlihat tertarik dengan apa yang kami kerjakan. Ibu tersebut bertanya dengan antusias tentang apa yang kami kerjakan dan tujuan kami melakukannya. Namun, sayangnya ibu tersebut tidak bisa diwawancara lebih lanjut karena kegiatan senam sudah dimulai dan ibu tersebut lebih memilih untuk senam. Setelah membuat beberapa pot kreatif, kami mulai untuk menanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Namun, kami kekurangan bahan untuk menanam TOGA karena tidak adanya bibit tanaman TOGA yang siap tanam. Awalnya kami mengharapkan warga akan terpancing keingintahuannya dan tertarik Gambar E.1: Botol Bekas sebagai Bahan Membuat Pot (Sumber: Tim Progasik)

056


untuk mengikuti kegiatan menanam dengan pot kreatif, sehingga mau memberikan bibit tanaman untuk ditanam saat itu. Namun, hanya sedikit yang tertarik dan hanya seorang ibu yang telihat antusias, tetapi ia lebih memilih untuk senam. Pada akhirnya, kami tidak mendapatkan bibit tanaman TOGA. Kami mencoba mencari alternatif lain agar kegiatan menanam tersebut

dapat tetap berjalan. Akhirnya, kami menggunakan tanaman hias yang dapat di stek untuk melanjutkan kegiatan menanam tersebut. Hasilnya, beberapa pot kreatif berhasil diisi tanah dan diberi tanaman, tetapi sampai saat ini pun, kegiatan yang kami lakukan masih belum bisa menarik perhatian warga khususnya ibuibu yang sedang senam. Gambar E.2: Pot Kreatif yang Sudah Terisi oleh Tanah dan Stek Tanaman Hias (Sumber: Tim Progasik)


Kemudian, kami memutuskan untuk kembali membuat pot kreatif dengan menggunakan botol air mineral bekas. Hal tersebut dilakukan karena membuat pot kreatif dirasa lebih menarik perhatian warga khususnya ibu-ibu yang sedang senam. Terbukti dengan beberapa ibu-ibu yang terlihat lebih tertarik dari sebelumnya. Terdapat pula seorang ibu yang menyatakan bahwa dia sangat tertarik dengan apa yang kami lakukan. Salah satu warga RT 05 juga ingin ikut serta apabila terdapat kegiatan yang lebih serius dengan bibit tanaman TOGA dan tanaman lain yang lebih bermanfaat. Hal yang tidak terduga adalah beberapa anakanak yang datang bersama ibunya untuk makan dan bermain malah lebih tertarik dengan kegiatan menanam yang kami lakukan. Mereka bolak-balik ke tempat kami membuat pot dan penasaran dengan apa yang kami kerjakan. Melihat keadaan ibu-ibu yang lebih antusias untuk senam dan anak-anak yang justru lebih penasaran dengan apa yang kami kerjakan, kami mencoba mengganti target kegiatan menanam ini dari ibu-ibu menjadi anak-anak. Agar anak-anak tersebut tidak bosan dan senang melakukan kegiatan menanam ini, kami menyiapkan tambahan kegiatan untuk mereka yaitu menghias pot-pot kreatif tersebut. Kami menyiapkan kain flanel yang dibentuk menjadi mata, hidung, dan mulut untuk ditempel anak-anak pada pot kreatif sebagai hiasan.

058


Gambar E.3: Salah Satu Anggota Kelompok Sedang Mengajarkan Anak-Anak untuk Menempel Pernak-Pernik Pot Kreatif (Sumber: Tim Progasik)

059


Awalnya, anak-anak tersebut hanya kami minta untuk menghias pot-pot kreatif saja. Kami tidak mengajak mereka untuk melakukan keseluruhan kegiatan menanam terutama kegiatan membuat potpot kreatif dari botol bekas pakai, mengingat anakanak tersebut kebanyakan masih berusia kurang dari 6 tahun. Anak-anak tersebut kami rasa belum bisa menggunakan alat-alat tajam seperti gunting dan cutter karena benda-benda tersebut merupakan benda yang cukup berbahaya. Namun, seiring berjalannya kegiatan ini, anak-anak tersebut tidak hanya antusias untuk menghias pot-pot saja, tetapi mereka juga ingin mencoba menanam. Akhirnya, anak-anak tersebut tidak hanya menghias pot-pot saja, tetapi juga melakukan keseluruhan kegiatan menanam. Mereka mulai dari mengambil tanah menggunakan sekop untuk dimasukkan pada pot kreatif dan kemudian menanam bibit tanaman hias. Selanjutnya, mereka menghias pot-pot dengan menempelkan mata, hidung dan mulut dari kain flanel yang telah disiapkan pada pot yang sudah ditanami tanaman hias. Kemudian, kami juga mengajak mereka untuk menyiram tanaman yang telah mereka tanam tersebut (sesuai dengan langkahlangkah menanam tanaman). Anak-anak terlihat lebih antusias, tertarik, dan bersemangat dengan kegiatan menanam ini.

060


Gambar E.4: Kegiatan Pembuatan Pot Kreatif (Sumber: Tim Progasik)

061


Terjadi perubahan pada target untuk kegiatan menanam ini, yang awal mulanya adalah untuk ibu-ibu dan berubah menjadi anak-anak. Hal tersebut terjadi karena pendekatan kami dalam melakukan kegiatan menanam tanaman TOGA untuk ibu-ibu tersebut salah. Sehingga, tujuan awal dari kegiatan ini untuk mengetahui antusiasme warga terhadap kegiatan menanam tidak tercapai. Hal tersebut terjadi karena kegiatan menanam yang dilakukan tidak difokuskan untuk ibu-ibu melakukan kegiatan menanam saja, tetapi bersamaan dengan kegiatan senam ibu-ibu. Jelas ibu-ibu yang hadir lebih tertarik untuk melakukan senam daripada mengikuti kegiatan menanam yang kami adakan, karena tujuan awal mereka datang untuk senam bukan untuk menanam. Selain itu bahan dan alat yang digunakan juga masih seadanya, belum cukup untuk bisa mewadahi semua ibu-ibu untuk melakukan kegiatan menanam tersebut. Gambar E.5: Salah Satu Anak yang Antusias dalam Membuat Pot (Sumber: Tim Progasik)

062


Tujuan awal dari kegiatan menanam ini memang bisa dibilang “gagal�, tetapi ada hal lain yang kami dapatkan dan pelajari. Suatu kegiatan yang diselipkan di tengah kegiatan lain dengan pendekatan langsung dan spontanitas, tidak cocok diterapkan untuk ibu-ibu karena ibu-ibu cenderung untuk melakukan kegiatan utama yang telah disiapkan dan dirancang sebelumnya. Ketika target dari kegiatan menanam ini menjadi anak-anak, kegiatan berjalan dengan baik dan anak-anak terlihat senang serta antusias untuk menanam. Pendekatan langsung dan spontanitas seperti ini bisa diterapkan untuk anakanak, apalagi dengan pengemasan kegiatan yang menarik, tidak biasa, dan tidak monoton. Pendekatan ke anak bukan hanya sekadar belajar cara menanam, tetapi juga sambil bermain dengan menghias pot. Anak-anak mudah tertarik dengan hal yang baru, dinamis, dan tidak biasa mereka lakukan. 063

Jika ingin membuat workshop menanam seperti ini, target dari kegiatan yang akan dilakukan menjadi sangat penting dalam menyusun kegiatan workshop. Jika target yang ingin dicapai adalah ibuibu, maka pendekatan yang harus dilakukan adalah pendekatan yang fokus, tersusun, dan terencana dengan baik. Lebih baik jika diberikan waktu khusus untuk melakukan kegiatan, bukan menyelipkan kegiatan workshop di tengah-tengah kegiatan utama lain. Ibu-ibu akan lebih fokus pada kegiatan utama daripada kegiatan tambahan. Jika target yang ingin dicapai adalah anak-anak, pendekatan yang dilakukan harus menarik dan tidak membosankan agar anak-anak dapat menjalani keseluruhan kegiatan dengan perasaan senang tanpa paksaan.




SOSIALISASI VERTICAL FARMING Oleh: Widya Aulia Ramadhani

I.K.KVe.S.SOr.ODe.Dko.M.MWo.WIn.TCa

Taksonomi F: Program “Sosialisasi Vertical Farming” (Sumber: Tim Progasik)

066


P

ada awalnya, kami “membacaâ€? RT 04 sebagai sebuah lingkungan yang kurang memiliki lahan untuk mendukung program kerja Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Karakter lokasi yang padat dengan gang-gang kecil selebar Âą1meter antar rumah dan tidak tersedianya lapangan atau tempat berkumpul terbuka warga menjadi salah satu faktor penyebab tidak berjalannya program TOGA. Menanam di halaman rumah pun sulit karena hanya sedikit rumah yang memiliki halaman yang dapat ditanami. Kami sepakat pada sebuah kesimpulan bahwa RT 04 tidak memiliki lahan yang cukup dan memadai untuk digunakan sebagai lokasi penanaman TOGA. 067


Masalah sudah kami temukan. Lalu, apa selanjutnya? Upaya untuk mencari solusi terhambat karena satu-satunya solusi yang terbayangkan oleh kami adalah memaksa warga untuk menanam TOGA di pot saja. Solusi yang terlalu dipaksakan karena faktanya warga pun sudah menanam di pot. Akan tetapi, tidak banyak pot yang mampu ditampung di halaman depan rumah yang jarak dari pintu ke pagarnya sekitar 2m, belum ditambah dengan ruang yang terpakai untuk meletakkan motor, rak sepatu, dan perabot lainnya. Kami memutuskan untuk mengubah cara pandang kami dengan tidak melihat masalah, tetapi kembali melihat lokasi dengan berusaha mencari potensi yang ada. Dari survey berikutnya, kami mendapati beberapa usaha warga yang berusaha untuk meletakkan potnya tidak hanya di lantai, tapi juga di atas pagar batu-bata yang berbatasan dengan gang dan dengan rumah di sebelahnya. Terdapat pula warga yang memanfaatkan rak untuk menyusun potpot tanamannya agar tidak begitu memakan ruang. Muncul ide untuk mencari tau lebih lanjut mengenai upaya bercocok tanam di ruang yang terbatas. Fakta tersebut menggiring kami pada informasi mengenai vertical farming. Sebenarnya, ini bukan hal yang baru. Beberapa dari kami sudah pernah menggunakan metode vertical farming pada proyek studio perancangan arsitektur, tetapi belum benar-benar menggali aplikasi dari vertical farming di skala rumah.

Kami memperinci pencarian pada metode vertical farming untuk tanaman sayur, buah, dan obat. Berikut adalah beberapa contoh vertical farming yang kelak kami jadikan preseden untuk pelaksanaan sosialisasi vertical farming:

Gambar F.1: Preseden Vertical Farming (Media Pot) (Sumber: http://inhabitat.com/green-your-walls-withschiavello-vertical-gardens/)

068


Gambar F.2: Preseden Vertical Farming (Media Botol Plastik) (Sumber: http://www.lumieresdelaville.net/2014/07/17/bresildes-jardins-verticaux-en-ville/)


Gambar-gambar dari preseden vertical farming ini kemudian kami cetak untuk kami bawa berkeliling dari rumah ke rumah untuk memberikan informasi mengenai alternatif cara menanam di ruang yang sempit. Agar tidak terkesan terlalu menggurui, kami menyusun suatu rencana pelaksanaan sosialisasi vertical farming ini. Pertama, kami menyiapkan beberapa peralatan, yaitu:

Gambar F.3: Rumah Tipe 1 (Rumah dengan Halaman Depan Tanah) (Sumber: Tim Progasik)

1. Gambar 3 Tipe Rumah 2. Gambar tanaman yang dicetak di kertas kalkir, berukuran skalatis dengan gambar rumah 3. Gambar preseden vertical farming 4. Selotip 5. Gunting

Gambar F.4: Rumah Tipe 2 (Rumah dengan Halaman Depan Perkerasan) (Sumber: Tim Progasik)

Gambar F.5: Rumah Tipe 3 (Rumah tanpa Halaman Depan) (Sumber: Tim Progasik)


` Langkah selanjutnya, kami menyusun langkah pelaksanaan sosialisasi vertical farming ini: 1. Warga diminta untuk memilih gambar rumah yang sesuai dengan tipe (halaman depan) rumah yang mereka tinggali. 2. Warga menempel gambar tanaman pada gambar rumah sesuai dengan keadaan aslinya (kondisi eksisting). 3. Memperlihatkan gambar preseden vertical farming, menjelaskan secara singkat, dan meminta pendapat warga mengenai metode tersebut. 4. Memberikan kertas bergambar rumah yang baru berikut gambar tanamannya dan meminta warga untuk kembali melakukan langkah kedua, tetapi kali ini sesuai dengan harapan mereka untuk mengaplikasikan metode vertical farming di rumah mereka sendiri. Rencananya, kami hendak melakukan workshop ini setelah acara senam pagi yang dilaksanakan di hari Sabtu, tetapi, pada hari pelaksanaannya, ternyata kegiatan senam pagi tidak dilakukan di rumah Ketua RT 04, melainkan dipindahkan ke RW. Akibatnya, kami gagal untuk mendapatkan massa di satu tempat. Karena kondisi tersebut, kami memutuskan untuk berkeliling, berharap ada warga yang sedang berbincang-bincang di gang atau di depan rumahnya, sehingga kami bisa melakukan workshopnya secara individual dari rumah 071

ke rumah. Ternyata, rencana B kami pun juga mengalami kesulitan karena ternyata di pagi hari saat weekend hanya sedikit warga yang berkeliaran di luar rumah. Mayoritas warga menghabiskan waktunya di dalam rumah atau berwisata ke luar. Sampai siang hari, kami hanya berhasil bertemu dengan satu orang warga. Itupun tidak di rumahnya, melainkan di KB Raisya. Langkah-langkah yang kami rencanakan pun kurang bisa berjalan sesuai rencana karena si Bapak enggan untuk melakukan kegiatan menempel gambar seperti yang sudah kami rencanakan. Beliau hanya menjelaskan kondisi halaman depannya secara verbal, lalu meminta salah satu dari kami untuk menempelnya pada gambar. Ketika diperlihatkan preseden vertical farming, beliau merasa mendapatkan pengetahuan yang baru, tetapi tidak cukup tertarik untuk mencobanya sendiri. Hal ini terjadi karena tidak adanya informasi lebih lanjut mengenai alat, bahan, dan cara membuat vertical farming pada gambar-gambar yang kami tunjukkan.


Kegagalan terbesar dari sosialisasi vertical farming ini adalah ketiadaan partisipan sosialisasi. Kami tidak berhasil mengumpulkan warga karena adanya faktor pemindahan kegiatan senam yang tiba-tiba, sehingga kami gagal mendapatkan kesempatan untuk bertemu banyak warga di satu tempat. Lalu, ide untuk berkeliling dan berharap akan menemui warga di luar rumah di hari Sabtu pagi sepertinya kurang pas karena ternyata warga lebih memilih menghabiskan waktunya di dalam rumah dan berkumpul dengan keluarga daripada berbincang-bincang atau berkumpul dengan tetangga. Kondisi ini terjadi karena di hari Sabtu dan Minggu, seluruh anggota keluarga berada di rumah, tidak bekerja dan sekolah, sehingga weekend menjadi hari bersama keluarga. Hal ini terbukti pula dari hasil survei awal mengenai ketersediaan waktu senggang.

072


Waktu Senggang Jumlah responden yang memiliki waktu senggang bersama keluarga di hari kerja/akhir minggu pada saat-saat tertentu.

Weekdays pagi siang sore malam

7 (29.16%) 6 (25%) 8 (33.3%) 21 (87.5%)

Weekend pagi

19 (79.16%)

siang

19 (79.16%)

sore malam

18 (75%) 21 (87.5%) Gambar F.6: Grafik Waktu Senggang Warga (Sumber: Tim Progasik)

Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa waktu berkumpul bersama keluarga di hari kerja hanya pada malam hari, sedangkan di hari libur waktu senggang lebih banyak untuk bisa dimanfaatkan untuk bersama keluarga sepanjang hari. Faktor waktu sangat penting untuk menentukan kemungkinan banyaknya partisipan yang bisa didapatkan, terlebih untuk kegiatan-kegiatan yang butuh melibatkan banyak warga. 073


Selain karena faktor waktu dan partisipan, metode yang kami gunakan untuk sosialisasi vertical farming juga memiliki kekurangan. Kegiatan menggunting dan menempel mungkin kurang menarik jika dilakukan oleh orang dewasa. Orang dewasa lebih memilih untuk menyampaikan informasi secara verbal, melalui wawancara formal atau sekedar berbincangbincang ringan. Menggali atau memberikan informasi melalui verbal terasa lebih mudah karena kebanyakan warga yang kami temui sedang melakukan kegiatan lainnya seperti mengasuh anak, mencuci motor, dan kegiatan lainnya, sehingga jika kita memaksa untuk melakukan kegiatan seperti menggunting atau menempel, mereka harus menghentikan kegiatan yang saat itu mereka lakukan. Sehingga, perlu dilakukan pertimbangan yang matang mengenai metode sosialisasi atau workshop dan bagaimana cara mendapatkan partisipan. Jika memang kegiatan sosialisasi atau workshop terjadwal dengan baik dan berada di tempat tertentu, bisa saja menggunakan metode yang lebih advance dari sekedar verbal, tapi jika akan melakukan pendekatan ke warga secara spontan dari rumah ke rumah, alangkah baiknya dilakukan dengan metode yang lebih sederhana dan mudah.

bagaimana cara, waktu, dan tempat yang tepat untuk menemui dan melaksanakan kegiatan tersebut. Partisipan adalah faktor utama karena tidak ada artinya kegiatan dengan metode yang luar biasa, tetapi tidak memiliki partisipan. Kemudian, metode kegiatan yang akan dilakukan juga perlu dipersiapkan secara matang, baik alat dan bahannya, metode mengomunikasikannya, dan target pencapaiannya. Apabila target pencapaian dipahami dengan baik, jika terjadi hambatan-hambatan pada pelaksanaan kegiatan, dapat dilakukan modifikasi-modifikasi kegiatan sesuai dengan fakta lapangan yang, pada akhirnya, tetap dapat mencapai tujuan pencapaian pelaksanaan kegiatan tersebut.

Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari upaya pelaksanaan sosialisasi vertical farming. Dalam merancang sebuah kegiatan, hal yang paling pertama dipikirkan adalah siapa target partisipannya dan 074



DISKUSI DENGAN KETUA PKK Oleh: Annisa Dienfitriah

Taksonomi G: Program “Diskusi dengan Ketua PKK” (Sumber: Tim Progasik)

PKK

I.K.KDi.S.SOr.ODe.DIs.M.MWa.YCa

PKK

076 PKK


I

bu Rini adalah ketua PKK wilayah RT 04 yang juga merupakan pemilik PAUD Kelompok Bermain Raisya di kawasan tersebut. Wawancara dengan Ibu Rini kami lakukan untuk mendapatkan informasi mengenai KB Raisya: seperti apa saja kegiatan di sana dan bagaimana kira-kira proses belajar-mengajar yang terjadi. Menjadi penting bagi kami untuk memahami dan melakukan pendekatan ke anak-anak PAUD Raisya karena mereka yang akan menjadi sasaran kami selanjutnya untuk diajak bekerjasama (setelah melalui beberapa proses kegagalan pendekatan kepada warga). 077 PKK


Mulanya, tiga orang dari kami melakukan wawancara di rumah Ibu Rini. Melalui hasil wawancara, kami mendapatkan informasi tentang jadwal kegiatan di PAUD Raisya. Lebih dalam lagi, Ibu Rini juga menceritakan sifat dan kebiasaan murid-muridnya. Beliau bahkan menunjukkan gambar-gambar yang pernah dibuat oleh anak-anak PAUD Raisya. Sesekali beliau menanyakan mengenai proyek yang akan kami buat. Dalam hal ini, kami berusaha menjelaskan tujuan kami dengan jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kami tetap bisa diterima walaupun, pada dasarnya, kami belum dapat menentukan pastinya intervensi apa yang akan dilakukan karena kami masih berada dalam tahap pendekatan dan pengamatan awal. Informasi-informasi yang diberikan Bu Rini cukup memberikan pencerahan bagi kami mengenai

bagaimana cara melakukan pendekatan kepada anak-anak PAUD Raisya agar kami bisa lebih mengenal dan memahami mereka. Kami mengharapkan dapat menemukan apa yang sebenarnya dibutuhkan dan menentukan output dari proyek ini. Berdasarkan data yang didapat, anak-anak di PAUD Raisya berada pada kisaran umur 2-5 tahun. Terbagi atas dua kelas: kelas kecil (2-3 tahun) dan kelas besar (4-5 tahun). Kami berpendapat bahwa akan lebih mudah bekerja sama dengan murid dari kelas besar yang sudah mengerti soal warna maupun bentuk (beberapa ternyata juga sudah bisa mengenal huruf maupun membaca). Mayoritas anak-anak PAUD Raisya ini sudah lancar menggambar walaupun pengetahuan mereka mengenai hal yang digambar masih sedikit. 078 PKK


Dalam wawancara yang singkat tersebut, kami mendapatkan informasi yang kemudian menggiring kami kepada langkah selanjutnya, yaitu membuat workshop. Workshop yang akan kami lakukan dibuat dengan beberapa pertimbangan dari hasil wawancara ini terkait kemampuan dan potensi anak-anak PAUD Raisya.

Kegiatan wawancara dengan ketua PKK ini dapat dilihat pada matriks kegiatan bahwa kegiatan ini berhasil dilakukan sesuai tujuan:

Tabel G.1: Matriks Kegiatan “Diskusi dengan Ketua PKK� (Sumber: Tim Progasik)

079 PKK


Tujuan wawancara ini dikatakan tercapai karena eksekusi kegiatan terlaksana sesuai sasaran, yaitu mendapatkan informasi awal mengenai PAUD Raisya. Keberhasilan terjadi karena kami mencari informasi dari subjek yang memang paham tentang hal tersebut. Dapat dikatakan, kami mewawancarai subjek yang menjadi domesticity (kerumahtanggaan) dari lingkungan yang ingin kami ketahui. “The term domesticity is sometimes used as if it has one meaning that applies to all situations and individuals. However, domesticity actually has many possible meanings and associations that resonate politically and personally. Domesticity can refer to the paid and unpaid labors of housekeeping, to creative endeavors related to the home, and to the expectations related to the maintenance of private familial domestic space. It is also culturally coded as feminine, as it is traditionally labor performed by women. It consists of both preventive and reparative work expected to be routinely performed, such as preparing food and washing dishes, doing laundry, sewing, cleaning toilets, and eliminating

clutter and dirt from surfaces. Creative endeavors related to the home, such as interior decorating and design, crafting, cooking, and sewing, can enhance this perception. These acts of physical maintenance and creativity can result in the perception of an individual’s or a family’s home as a private haven from a harsh world. Further, such domestic creativity and housekeeping performed by a single individual within a home can lead, or at least contribute, to a cultural conception that the familial (or individual) domestic home space must function as a haven. In all these senses of domesticity, the laborer’s subject position is key…….” (Wastemorland, Kalene. 2006. A Dissertation: Interior Revolutions: Doing Domesticity, Advocating Feminism in Contemporary American Fiction. Tarleton State University. Pdf) Melalui kutipan tersebut, dijelaskan bahwa domesticity terkait dengan situasi-situasi yang bisa dilakukan seorang individu, baik personal maupun secara politis, baik dibayar ataupun tidak, dengan 080 PKK


adanya rasa tahu dan kenal pada domestic space yang ada di lingkungannya. Hal ini terjadi karena situasi dan kegiatan itu dilakukan secara rutin (keseharian), karena itulah ia menjadi kunci utama bagi semua situasi yang terjadi di sekelilingnya. Ia akan menjadi orang yang paling mengerti tentang hal itu. Ibu Rini, sebagai pemilik PAUD Raisya, kemungkinan besar sangat mengerti kondisi terbaru seputar PAUD Raisya (dan memang demikian kenyataannya). Sehingga beliau menjadi sumber yang terpercaya untuk menggali informasi mengenai PAUD Raisya. Keberhasilan ini juga terjadi karena Ibu Rini hadir sebagai seorang individu yang mewakili instansi sehingga kami dapat menggunakan cara “wawancara” untuk mendapatkan informasi. Perlu diketahui bahwa pendekatan secara komunal dengan pendekatan secara individu sangatlah berbeda. Kita akan lebih mudah mengontrol interaksi pada satu individu dibandingkan secara komunal. Semakin banyak kepala, akan semakin kompleks pula pemikiran atau percakapan yang akan terjadi 081 PKK

sehingga semakin besar melenceng dari tujuan awal.

kemungkinan

untuk

Begitu juga dengan pendekatan pada satu instansi. Biasanya, instansi akan lebih siap untuk menerima dan melakukan interaksi dengan pihak yang sudah dikenal dibandingkan orang awam dari pihak luar yang tiba-tiba datang ke lingkungannya. Apa yang kami lakukan seringkali menimbulkan kecurigaan bagi pihak instansi. Alur keberhasilan kegiatan ini dapat dilihat melalui taksonominya (Taksonomi G). Alurnya: Cara Mendapatkan Informasi – (Kegiatan) – Diskusi dengan Ketua PKK – (Sasaran) – Orang – Dewasa – Instansi – (Metode) – Wawancara – Tercapai. Alur tersebut dapat menjadi referensi untuk melakukan pendekatan jika mengadakan suatu proyek komunal. Mencari informasi dari seorang yang berpengaruh di suatu instansi terkait memiliki kemungkinan berhasil yang lebih besar jika dilakukan dengan wawancara kepada satu orang berpengaruh saja, seperti pada alur keberhasilan di taksonomi ini.


SURVEI PAUD RAISYA Oleh: Nuvu Lailani Oktaferina

I.K.KSu.S.SAr.ADi.M.MPe.YCa

Taksonomi H: Program “Survei PAUD Raisya” (Sumber: Tim Progasik)

082


S

etelah berbincang dengan Ibu Rini, ketua PKK RT 04, kami pun mengetahui bahwa beliau juga merupakan pendiri sebuah PAUD yang bernama PAUD Raisya yang telah berjalan selama tiga tahun. Selain berfungsi sebagai tempat belajar anak-anak setiap hari Senin hingga Jumat, sekolah ini dapat juga dipergunakan oleh warga setempat untuk kegiatan lainnya seperti pengajian, sekadar kumpul dengan tetangga, ataupun kegiatan RT lainnya. Dari sini lah, kami tertarik untuk menggali lebih dalam lagi tentang PAUD Raisya sebagai sebuah tempat dengan berbagai macam fungsi. 083


PAUD Raisya terdiri dari dua bangunan utama untuk dua kelas yang berbeda, bangunan pertama merupakan ruang kelas Taman Kanak-kanak (TK), sedangkan bangunan kedua merupakan ruang kelas playgroup. Bangunan PAUD dibuat terbuka tanpa dinding sehingga memberi kesan luas sehingga anak

merasa tidak terkurung di dalam kelas. Selain itu, ruang yang terbuka ini juga membuat proses belajar mengajar dapat dilihat dengan jelas oleh para orang tua. Bangunan tanpa dinding ini juga yang membuat PAUD Raisya bisa difungsikan sebagai tempat berkumpul warga dalam berbagai kegiatan. Selain 084


Gambar H.1: PAUD Raisya (Sumber: Tim Progasik)

ruang kelas, sekolah ini juga memiliki sebuah pendopo yang biasanya digunakan sebagai area berkumpul bagi orang tua siswa ketika menunggu anak-anaknya. Di sebelah kiri pendopo, terdapat beberapa permainan seperti ayunan dan perosotan. Sementara, di sebelah kanannya, terdapat sepetak tanah dengan berbagai 085

tanaman di dalam pot serta pohon dalam kondisi yang kurang terawat. Pada mulanya, sepetak tanah ini hendak difungsikan sebagai pusat kegiatan menanam TOGA, tetapi kegiatan tersebut terhenti begitu saja.


Dalam wawancara kami selanjutnya, kami mengetahui bahwa ada kurikulum mengenai tanaman yang diajarkan di PAUD Raisya. Anak diajarkan pengenalan dasar seputar tanaman seperti praktik menanam, pengenalan jenis-jenis tanaman, dan sebagainya. Praktik menanamnya pun masih sangat sederhana, yaitu menanam kacang hijau di atas kapas basah yang telah dimasukan ke gelas plastik sebelumnya. Fakta - fakta ini menjadi menarik untuk kami karena isu TOGA yang dari awal kami angkat ternyata memiliki koneksi dengan PAUD Raisya yang selain menjadi tempat belajar anak usia dini, juga berfungsi sebagai sebuah tempat berkumpul warga. Kami berpikir untuk menjadikan anak-anak di PAUD Raisya sebagai target baru kami setelah sebelumnya gagal mendekati warga ibu-ibu RT 04. Anak-anak memiliki antusiasme yang lebih tinggi dalam kegiatan tanam menanam. Terlihat pada percobaan kami sebelumnya yang bermaksud menarik perhatian ibu-ibu peserta senam rutin RT untuk berpartisipasi

dalam program “Workshop Pot Kreatif�, tetapi malah anak-anak mereka yang lebih tertarik. Pertimbangan lainnya adalah lebih mudah memasuki komunitas yang sudah terorganisasi dengan baik, seperti murid-murid PAUD Raisya ini, dari pada ibu-ibu yang masingmasing memiliki jadwal yang berlainan. Lalu apa yang selanjutnya kami lakukan setelah pengamatan dan survei ini? Kami mulai membicarakan potensi-potensi yang mungkin bisa diangkat dan dikembangkan dari segi tempat, ruang, fasilitas, dan pengguna PAUD. Secara lokasi, PAUD Raisya cukup strategis. Tempatnya dekat dengan rumah warga dan cukup luas untuk difungsikan sebagai ruang komunal warga RT 04. Paud Raisya dapat menjadi tempat yang strategis untuk mengadakan workshop di waktu mendatang. Pemiliknya, Ibu Rini, sangat terbuka dengan kami. Beliau sangat ramah dan dapat diajak bekerja sama sehingga akan lebih mudah bagi kami masuk dalam komunitas pengguna PAUD Raisya. Pengguna tetap 086


dari tempat ini adalah murid PAUD yang usianya sekitar 3-5 tahun. Mereka punya jadwal yang pasti setiap minggunya, terorganisasi dengan baik oleh gurunya. Sepetak tanah yang terletak di pojok belakang sekolah juga memiliki potensi. Ibu Rini pun sudah mempersilakan kami jika ingin mengotak-atiknya. Kami berpikir untuk merombak sepetak tanah tersebut menjadi taman yang lebih bermanfaat. Namun, kami belum tahu akan menjadi seperti apa dan bagaimana cara mewujudkannya. Selain itu, kami pun berencana mengadakan workshop untuk mengetahui apa yang akan kami lakukan selanjutnya dengan murid-murid PAUD Raisya sebagai sasaran. Tujuannya untuk menggali lebih dalam mengenai tanaman terkait dengan anak-anak di PAUD. Mencari koneksi antara tempat, pengguna, dan tanaman.

087

Pintu Depan Ruang Kelas TK

Permainan

Ruang Kelas Playground

Pendopo

Kamar Mandi

Area Hijau (Vegetasi)

Gambar H.2: Layout Kasar PAUD Raisya (Sumber: Tim Progasik)


Gambar H.3: Tanaman di PAUD Raisya - Adenium (Sumber: Tim Progasik)

Gambar H.4: Tanaman di PAUD Raisya - Pohon Cabe (Sumber: Tim Progasik)


Gambar H.5: Tanaman di PAUD Raisya - Daun Salam (Sumber: Tim Progasik)

Gambar H.6: Tanaman di PAUD Raisya - Sirih (Sumber: Tim Progasik)


WORKSHOP MAINAN FAVORIT Oleh: Andy Tanjung

I.K.KMa.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.TCa

Taksonomi I: Program “Workshop Mainan Favorit” (Sumber: Tim Progasik)

090


W

orkshop Mainan Favorit adalah suatu kegiatan untuk mengetahui mainan kesukaan anak-anak PAUD Kelompok Bermain Raisya. Workshop ini direncanakan berlangsung dengan membagi para murid PAUD Raisya menjadi tiga kelompok. Di dalam kelompok, diharapkan mereka mampu mengomunikasikan mainan apa yang mereka sukai dan menceritakan alasan mereka menyukai mainan tersebut. Hasil dari workshop mainan favorit kami analisis untuk dijadikan dasar sebagai intervensi dalam proyek ini. 091


Workshop ini merupakan salah satu rangkaian dari Workshop Besar yang terdiri dari tiga kegiatan dan dilaksanakan dalam satu hari. Ketiga kegiatan tersebut yaitu Workshop Mainan Favorit, Workshop Identifikasi Tanaman, dan Workshop Simulasi Menanam. Pertama, anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan jumlah anggota kelompok yang tersedia pada saat itu. Satu kelompok workshop terdiri dari sekitar enam murid PAUD dan dua fasilitator (anggota Tim Progasik). Setelah itu, Workshop Mainan Favorit ini pun dimulai. Para fasilitator menjelaskan kepada murid-murid PAUD Raisya mengenai kartukartu bergambar mainan dan memancing anak-anak untuk menceritakan mainan apa saja yang mereka miliki atau pernah mereka mainkan. Kemudian, kartukartu tersebut diletakkan di atas meja dan masingmasing anak diminta untuk memilih kartu bergambar mainan yang mereka sukai. Setelah mereka selesai memilih kartu, para fasilitator menanyakan kepada setiap anak alasan mereka memilih kartu mainan tersebut. Alasan-alasan ini, selanjutnya, dirangkum sebagai dasar intervensi proyek ini.

092


Gambar I.1: Salah Satu Kelompok ketika Melakukan Workshop Mainan Favorit (Sumber: Tim Progasik)


Metode Workshop Mainan Favorit ini digunakan karena dirasa cukup menarik untuk anakanak dan juga dapat memberikan informasi pada kelompok kami untuk mengintervensi proyek. Namun, pada pelaksanaannya, hasil akhir tidak sesuai rencana awal. Tujuan awal dari pelaksanaan metode Workshop Mainan Favorit ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai ketertarikan seperti apa yang dimiliki oleh anak-anak TK ini ketika bermain dan apa yang mereka sukai. Kami rasa, metode ini cukup baik dalam perencanaannya, dimana banyak jenis kartu yang kami sediakan seperti kartu dengan gambar mainan robot, boneka, mobil, pesawat, sampai dengan seluncuran atau jungkat-jungkit. Namun, pada saat pelaksanaannya ada beberapa kekacauan yang terjadi, contohnya saja anak-anak tidak memilih mainan yang mereka sukai untuk bermain tapi mereka memilih kartu dengan gambargambar yang menurut mereka keren dan belum pernah mereka lihat. Lalu, ada juga beberapa anak yang hanya mengikuti temannya, bila temannya mengambil kartu dengan gambar A maka dia juga akan mengambil kartu dengan gambar yang sama. Kejadian seperti ini membuat kami tidak mendapatkan informasi yang presisi tentang kesukaan mereka.

tidak kami dapatkan. Yang terakhir adalah banyak anak-anak yang sama sekali tidak mengambil mainan yang mereka sukai, tetapi hanya beradu siapa mengambil kartu yang lebih banyak dari temannya, dan dari kejadian, ini kami tidak mendapatkan informasi sama sekali mengenai mainan dan alasan mengenai mainan yang mereka sukai.

Banyak juga anak yang mengambil mainan yang mereka sukai, tetapi tidak dapat menceritakan kenapa mereka menyukai mainan tersebut sehingga esensi dari alasan mereka menyukai mainan tersebut

“Meniru atau mengikuti apa yang dilihat dan didengar akan selalu dilakukan oleh anak kecil atau balita� (Bambang Wakidi, 2012)

“Anak yang berusia 3 tahun. Disebut juga fase bertanya atau fase keras kepala. Anak pada tingkat umur ini memperlihatkan keadaan semi independensi. Dapat diajak dalam suatu kegiatan, peka untuk pujian, mau kerja sama dan ikut melakukan sesuatu� (Me-too-Age). “Anak berusia 4 tahun. Usia ini disebut juga usia mengapa dan bagaimana (Why and How Age) dan merupakan suatu masa bagi anak untuk menyatakan perasaan berdiri sendiri (independensi), perlawanan atau reaksi, banyak bicara dan menganggap dirinya serba bisa, dapat bergaul dengan teman sebaya, sudah dapat diberi petunjuk-petunjuk secara lisan dan suka bekerjasama.� (Tingkah Laku Anak pada Masa Perkembangan, 2009)

094


Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa pada fase seperti yang sedang dijalani anak-anak PAUD Raisya ini memang mereka dapat ikut berpatisipasi dan mengerti mengenai apa yang sudah dijelaskan oleh para fasilitator, tetapi disamping itu anak-anak punya kecenderungan yang tinggi untuk meniru apa yang mereka lihat. Metode ini tidak efektif dilakukan pada pelaksanaan workshop berkelompok dimana anakanak akhirnya hanya mengikuti apa yang temannya lakukan. Jadi, memang secara keseluruhan, metode ini tidak berhasil untuk dilakukan karena kami tidak mendapatkan banyak informasi mengenai mainan yang mereka sukai dan alasan mereka menyukai mainan tersebut dengan jelas, dan juga memang metode ini tidak efektif untuk dilakukan pada anakanak.

095




WORKSHOP IDENTIFIKASI TANAMAN Oleh: Alfoadra Zamdekha

I.K.KId.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.YCa

Taksonomi J: Program “Workshop Identifikasi Tanaman” (Sumber: Tim Progasik)

098


W

orkshop Identifikasi Tanaman merupakan suatu kegiatan untuk mencari tahu sejauh mana pengetahuan anak-anak PAUD Raisya mengenai jenis-jenis tanaman dengan cara meminta mereka mengelompokkan tanaman-tanaman ke dalam golongan buah, bunga, atau sayur. Workshop ini dilaksanakan setelah Workshop Mainan Favorit yang juga merupakan rangkaian kegiatan untuk pengenalan dan pendekatan ke anak-anak PAUD Raisya. Workshop ini berdurasikan sekitar 10-15 menit. 099


Gambar J.1: Salah satu hasil menempel murid PAUD Raisya (Sumber: Tim Progasik)


Dalam kegiatan workshop ini, anak-anak PAUD Raisya dibagi menjadi tiga hingga empat kelompok yang masing-masing didampingi satu atau dua orang fasilitator. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam mengontrol dan mengawasi pekerjaan anak. Nantinya, masing-masing anak akan diberikan berbagai macam gambar buah, bunga, dan sayuran yang harus ditempel di kertas yang sudah disediakan. Anak anak diminta mencocokkan gambar yang mereka terima dengan judul yang tertera pada kolom, yakni buah, bunga, dan sayuran. Pada saat proses eksekusi, kami melihat bahwa anak-anak sangat tertarik untuk mengikuti 101

workshop ini. Sebenarnya, masing-masing anak mendengarkan instruksi para fasilitator di dalam kelompok dengan cukup baik, tetapi terdapat beberapa hal yang menyulitkan anak-anak, seperti ketika akan menempel, anak-anak cenderung kebingungan mengidentifikasi masing-masing kolom. padahal mereka tahu jenis gambar yang akan mereka tempelkan. Hal tersebut terjadi karena mereka belum dapat membaca, sehingga banyak anak yang menempel gambar di kolom yang salah. Dari permasalahan tersebut, kami berinisiatif untuk mengidentifikasi masing-masing kolom dengan warna tulisannya sehingga mereka dapat menempel gambar dengan baik.


Kegiatan workshop ini dapat dikatakan berhasil karena mencapai tujuan yang diinginkan. Pencapaian yang didapatkan dari workshop adalah informasi bahwa anak- anak PAUD Raisya sudah mampu untuk membedakan antara buah, bunga, dan sayuran. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki pengetahuan dasar yang cukup mengenai tanaman. Oleh karena itu, di sini, kami akan menunjukan kenapa kegiatan workshop ini berhasil dan layak untuk dicoba. Apabila dianalisis berdasarkan teori, kami mendapatkan bahwa: “...., anak-anak usia 5-7 tahun sebagai tahuntahun awal memasuki sekolah dasar mereka mempunyai ciri sebagai berikut: 1. Kebanyakan anak-anak usia ini masih

berada pada tahap berpikir pra-operasional dan cocok belajar melalui pengalaman konkret dan dengan orientasi tujuan sesaat; 2. Mereka gandrung menyebut nama-nama benda, medefinisikan kata-kata, dan mempelajari benda-benda yang berada di lingkungan dunianya sebagai anak-anak; 3. Mereka belajar melalui bahasa lisan dan, pada tahap ini, bahasanya telah berkembang dengan pesat; dan 4. Pada tahap ini, anak-anak sebagai pembelajar memerlukan struktur kegiatan yang jelas dan intruksi spesifik.� (sumber: http://jikunikalu.wordpress.com, diakses 12 Januari 2014)

102


Gambar J.2: Salah Satu Murid PAUD Raisya yang sedang mengidentifikasi jenis-jenis tanaman (Sumber: Tim Progasik)




Metode yang kami gunakan dalam workshop ini terbilang tepat sehingga tujuan yang diinginkan tercapai. Dari sumber teori, dikatakan bahwa anakanak pada tahap tersebut sudah mulai mencoba mendefinisikan, mempelajari, dan mengorganisasikan benda-benda di sekitarnya. Mereka juga cenderung lebih mengerti tugas yang diberikan secara lisan dibandingkan tulisan. Pada proses workshop, kebanyakan dari mereka sudah mengetahui dan memiliki rasa ingin tahu terhadap apa yang akan mereka kerjakan. Hal penting yang tanpa kami sadari telah dilaksanakan, yakni memberi suatu instruksi yang jelas dan spesifik ke anak-anak. Hal lain yang tanpa kami sadari sudah kami lakukan dalam proses pelaksanaan workshop ini yakni metode yang selama ini kami nyatakan sebagai “metode kuis� ternyata terdapat di dalam teori metode pembelajaran untuk anak usia dini. Metode tersebut adalah metode tugas dan resitasi. Metode Tugas dan Resitasi Metode resitasi (penugasan) adalah metode penyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.

Kelebihan metode tugas dan resitasi: 1. Lebih merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar individual ataupun kelompok 2. Dapat mengembangkan kemandirian siswa di luar pengawasan guru 3. Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa 4. Dapat mengembangkan kreativitas siswa Kekurangan metode tugas dan resitasi: 1. Siswa sulit dikontrol, apakah benar ia yang mengerjakan tugas ataukah orang lain 2. Khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikannya adalah anggota tertentu saja, sedangkan anggota lainnya tidak berpatisipasi dengan baik 3. Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa 4. Sering memberikan tugas yang monoton (tidak bervariasi) dapat menimbulkan kebosanan siswa.� (http://gurupaud.blogspot.com, diakses 12 Januari 2014) Seperti yang dijelaskan pada sumber, bahwa di dalam metode ini terdapat beberapa kelebihan 106


maupun kekurangan. Kedua hal tersebut kami rasakan ketika melaksanakan workshop. Salah satunya, di dalam sebuah kelompok, terdapat beberapa anak yang memang aktif dari awal sampai akhir kegiatan. Mereka tidak hanya aktif untuk menempel, tetapi juga aktif bertanya kepada fasilitatornya. Namun, di dalam kelompok tersebut juga terdapat beberapa anak yang tidak terlalu tertarik sehingga fasilitatornya dituntut untuk lebih aktif. Selain itu, ada juga anak yang di awal mengerjakan tugas sangat aktif, tetapi seiring berjalannya proses, si anak tersebut malah berhenti dan tidak menyelesaikan tugas. Hal tersebut terjadi karena tugas yang kami berikan dilakukan secara berulang-ulang (proses penempelannya) sehingga menimbulkan kebosanan. Namun, hal ini bisa kami atasi dengan cara membatasi waktu kegiatannya sehingga si anak tidak terlalu bosan. Keuntungan lainnya menggunakan metode ini adalah kami mengetahui bagaimana kemampuan kognitif masing-masing anak. Berdasarkan pengamatan kami ketika workshop berlangsung, ada beberapa anak yang memang cepat dalam 107

menggolongkan buah, bunga, dan sayuran dan ada juga beberapa anak yang membutuhkan waktu lebih lama. Metode tugas atau resitasi ini dapat mengungkapkan kemampuan dan perkembangan kognitif masing-masing anak karena kemampuan tersebut dapat dilihat secara langsung dengan seberapa cepat si anak dalam menyelesaikan tantangan yang diberikan. Dari beberapa sumber, kami mendapatkan kalau metode ini akan menjadi lebih baik apabila ketika si anak menyelesaikan tugasnya sambil mendengarkan alunan musik. Jadi, dengan metode ini, kami tidak hanya mendapatkan pencapaian yang ingin didapatkan, tetapi juga mendapatkan informasi-informasi lainnya mengenai anak-anak PAUD Raisya. Hal yang perlu diingatkan dalam menggunakan metode ini adalah persiapkan alat dan bahan yang jelas yang akan digunakan oleh anak-anak dan, jangan lupa, instruksi yang diberikan harus dilakukan secara lisan, jelas, dan spesifik.


WORKSHOP SIMULASI MENANAM Oleh: Mu’awinastus Syar’iyah

I.K.KTa.S.SOr.OAn.M.MWo.WSi.YCa

Taksonomi K: Program “Workshop Simulasi Menanam” (Sumber: Tim Progasik)

108


W

orkshop Simulasi Menanam merupakan rangkaian terakhir dari kegiatan workshop satu hari yang kami lakukan di PAUD Kelompok Bermain Raisya Masih sama, sasaran dari kegiatan ini adalah muridmurid PAUD Raisya. Kami mengadakan kegiatan workshop ini untuk memberi pengetahuan umum pada anak-anak mengenai cara dan proses menanam tanaman serta untuk mengetahui bagaimana reaksi anak-anak terhadap simulasi tersebut. Kami ingin anak-anak langsung mempraktikkan proses menanam, bukan hanya dari melihat dari apa yang dicontohkan orang lain. 109


Untuk mempersiapkan kegiatan simulasi menanam ini, pertama, kami menentukan proses menanam seperti apa yang cocok untuk dilakukan oleh anak-anak. Pemahaman anak-anak mengenai proses menanam masih sangat sederhana, yaitu menanam dari biji (anak-anak belum memahami proses menanam lain yang lebih rumit seperti stek atau cangkok), maka kami memilih proses menanam yang paling simpel tersebut. Kemudian, kami menentukan jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam oleh anak-anak. Kami ingin tanaman tersebut bisa tumbuh cepat sehingga anak-anak bisa langsung merasakan hasil dari proses menanam yang mereka lakukan. Akhirnya, kami memilih untuk menggunakan biji kacang hijau. Jenis tanaman ini bisa tumbuh dengan cepat sehingga nantinya anak-anak dapat langsung melihat perubahan yang terjadi. Selain mempersiapkan kedua hal tersebut, kami juga menyiapkan alat-alat yang akan digunakan saat simulasi menanam. Kami menyiapkan media tanam berupa tanah, gelas air mineral bekas sebagai pot, dan tidak lupa sekop untuk mengambil tanah serta alat penyiram untuk menyirami tanaman.

Botol Plastik Bekas untuk Pot

Tanah sebagai Media Tanam

110


Biji Kacang Hijau untuk Bibit

Sekop

Alat Penyiram dan Air

Gambar K.1: Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Simulasi (Sumber: Tim Progasik)

111


Sebelum anak-anak mencoba langsung menanam tanaman, kami memberikan contoh tahapan-tahapan menanam tanaman. Dimulai dari mempersiapkan segala alat dan bahan untuk menanam seperti, media tanam, pot, biji, serta air untuk menyiram. Pertama, pot yang telah kami sediakan berupa gelas air mineral bekas dilubangi kecil-kecil pada bagian bawahnya agar air yang nantinya disiram tidak tertampung di dalam pot seluruhnya dan air tetap

bisa mengalir keluar. Selanjutnya, media tanam berupa tanah dimasukkan ke dalam pot kira-kira sebanyak setengah gelas. Setelah pot diisi dengan tanah, biji diletakkan pada tanah tersebut. Tahap berikutnya, biji ditutup kembali dengan tanah secukupnya. Proses diakhiri dengan menyiram tanah dengan air secukupnya dan pot diletakkan pada tempat yang terkena sinar matahari.

Botol plastik bekas dipotong, dilubangi bagian bawahnya, dan diisi dengan tanah

Pot botol yang sudah berisi tanah kemudian diisi dengan bibit

112


Bibit dalam pot disiram dengan air

Setelah beberapa hari perawatan, bibit akan mulai tumbuh.

Gambar K.2: Proses Penanaman yang Disimulasikan (Sumber: Tim Progasik)

113



Gambar K.3: Kegiatan Simulasi Menanam (Sumber: Tim Progasik)


Pemberian contoh menanam ini kami lakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari lima orang, dengan harapan anak-anak bisa lebih fokus dan memahami contoh yang kami berikan. Namun, tetap saja, pada eksekusinya, tidak semua anak bisa fokus selama proses pemberian contoh. Beberapa anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan tidak terlalu memperhatikan proses percontohan. Setelah itu, anak-anak mulai melakukan simulasi menanam sendiri. Mereka melakukan tahapan-tahapan yang dicontohkan sambil tetap kami dampingi selama pelaksanaan proses tersebut. Pada proses ini, anak-anak lebih tertarik dan banyak yang ingin berkontribusi langsung. Sayangnya, alat dan bahan yang kami sediakan terbatas sehingga tidak setiap anak bisa mencoba sendiri-sendiri proses menanam. Mereka melakukannya secara bersamasama pada satu pot yang sama, akibatnya kondisi saat simulasi menanam ini cukup ramai dan kurang kondusif. Namun, anak-anak tidak ada yang berebut dan tetap melakukan/menonton dengan senang dan antusias. Dari kegiatan simulasi menanam ini, ada pencapaian yang kami peroleh, yaitu kami menemukan bahwa siswa-siswi PAUD Raisya sudah mengetahui cara menanam tanaman. Selain itu, kami mengetahui bahwa anak-anak lebih tertarik pada halhal yang interaktif seperti kegiatan simulasi menanam

ini. Pencapaian ini membuat kami mengetahui potensi yang dimiliki oleh anak-anak terhadap proyek komunitas yang kami kerjakan. Anak-anak berpotensi menjadi sasaran utama pada proyek ini dan nantinya mereka bisa terlibat langsung dalam proses penggarapan proyek. Berdasarkan uraian di atas, kegiatan simulasi menanam ini menjadi salah satu kegiatan yang berhasil kami lakukan selama proses pengerjaan proyek komunitas. Mulai dari proses perencanaan hingga proses eksekusi bisa diselesaikan dengan cukup baik, meskipun pada proses eksekusinya kurang teratur dengan baik. Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran serta dan antusiasme anak-anak yang menjadi sasaran utama dalam menjalankan kegiatan ini. Menurut Albert Bandura (1977), perilaku anak-anak dipelajari dari lingkungan sekitar melalui proses observasi. Anak-anak sangat dipengaruhi oleh model (objek) yang diobservasinya. Model ini memberikan contoh perilaku untuk diobservasi dan diimitasi. Awalnya, mereka akan mengobservasi dan memahami perilaku dari model kemudian, nantinya, perilaku itu akan mereka imitasi. Apa yang terjadi selama proses simulasi menanam di PAUD Raisya menunjukkan ada kecocokan dengan teori yang disampaikan oleh Bandura dengan praktik di lapangan. Saat memberikan proses percontohan, tanpa disadari, anak-anak mengobservasi kegiatan menanam tersebut sambil mencoba memahami prosesnya. 116


Kemudian, mereka dengan mudah bisa melakukan persis seperti yang dicontohkan saat mereka dipersilakan untuk mencoba menanam sendiri. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendukung keberhasilan dari kegiatan workshop dan menunjukkan bahwa metode yang kami gunakan cukup efektif sehingga bisa dieksekusi dengan baik. Jadi, keberhasilan dari kegiatan simulasi menanam ini dipengaruhi oleh, pertama, peran anakanak dalam kegiatan tersebut. Antusiasme anak-anak untuk berpartisipasi pada kegiatan ini membuat kegiatan ini bisa dieksekusi dengan baik, tanpa adanya antusiasme tersebut kemungkinan besar kegiatan ini akan gagal seperti kegiatan-kegiatan lain. Kedua, penerapan metode belajar yang kami berikan melalui model (percontohan) bisa diterima dengan baik oleh anak-anak sehingga mereka dengan mudah bisa melakukan proses menanam hingga selesai. Dengan demikian, Workshop Simulasi Menanam merupakan salah satu kegiatan yang berhasil kami lakukan selama proyek komunitas ini berjalan.

117


MENGGAMBAR PEKARANGAN IMPIAN Oleh: Indah Amalia Hasan

I.K.KGa.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.YCa

Taksonomi L: Program “Menggambar Pekarangan Impian” (Sumber: Tim Progasik)

118


M

enurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata Pekarangan adalah tanah di sekitar rumah atau halaman rumah. Lalu, bagaimana menurut anak-anak di PAUD KB Raisya? 119


Program budidaya tanaman obat-obatan yang sudah berjalan di komunitas ini menjadi motivasi kami untuk mengembangkannya menjadi suatu program mindset yang dapat kami tanamkan kepada anakanak sebagai generasi penerus dalam komunitas ini. Keunggulan komunitas ini adalah kebiasaan memiliki tanaman obat dan sayur mayur yang mereka tanam di halaman rumah mereka, baik di atas tanah kosong maupun dipot-pot tanaman yang juga berfungsi menjadi pagar halaman rumah. Maksud dan tujuan dari diadakannya workshop ini adalah agar sebagai generasi penerus di masa depan, mereka sudah belajar untuk merancang kehidupan bercocok tanam sesederhana mungkin. Memberikan gambaran tentang sebuah kebiasaan

komunitas tempat tinggalnya yang diterjemahkan dalam bentuk seni visual. Jangka panjangnya adalah agar, sebagai generasi muda, mereka tidak kehilangan tradisi komunitasnya sendiri sebagai salah satu kebiasaan yang turun menurun. Sebenarnya, bukan baru kali ini sebuah tradisi memiliki pekarangan obat-obatan serta sayur mayur di halaman rumah dapat dijumpai. Justru, temuan kami di komunitas ini dapat kami sebut sebagai temuan tradisi yang hampir punah di kawasan ibu kota. Sebagai negara agraria, Indonesia memiliki tanah yang subur dan hal ini sudah disadari ratusan tahun oleh nenek moyang kita. Hampir setiap manusia di zaman terdahulu pandai bercocok tanam. Hal ini tidak mengeherankan di kala itu karena hampir setiap rumah 120


di masa itu dapat kita jumpai berbagai jenis pekarangan, mulai dari pekarangan bunga, sayurmayur, obat-obatan, sampai pekarangan untuk mengurus hewan-hewan ternak mereka. Namun, kemajuan zaman yang berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan kosong hijau secara perlahan menggeser tradisi tersebut, sehingga sebuah kebiasaan yang menjadi identitas bangsa ini hampir punah, khususnya, di kota-kota besar seperti, salah satunya, Jakarta. Sebelum lebih jauh dalam mengartikan pekarangan itu sendiri dan hendak menjadikannya contoh nyata bagi anak-anak di KB Raisa, terlebih dahulu kami ingin mengetahui seberapa jauh pemahaman anak-anak tersebut akan definisi 121

pekarangan. Untuk itu, kami mangadakan workshop menggambar, khususnya, menggambar pekarangan yang terlintas di benak mereka. Dengan alibi menggambar bersama, kami memancing imajinasi mereka tentang bayangan akan sebuah pekarangan yang ditanami berbagai macam tanaman. Lain hal dengan rencana yang sudah kami susun, lain pula dengan hasil yang kami dapatkan di lapangan. Selama workshop menggambar tersebut berlangsung, anak-anak kebingungan dengan arti atau definisi dari pekarangan itu sendiri. Memang, tidak seharusnya kami berharap banyak dari anak-anak seusia mereka, yang masih duduk di taman kanakkanak, akan pengertian dan gambaran umum mengenai sebuah pekarangan.


Gambar L.1: Seorang Anak Peserta Workshop sedang Menggambar Pekarangan Impiannya (Sumber: Tim Progasik)


Sebagai perkenalan, kami menjelaskan tema dari workshop menggambar ini yakni menggambarkan “Pekarangan Impian�. Respons mereka hanya diam tanpa pertanyaan apapun. Kami pikir selama belajar di PAUD Raisya, mereka sudah mengerti apa itu pekarangan. Lalu, kami mulai membuka satu set alat mewarnai, begitu pun dengan mereka. Awalnya, mereka terdiam, termenung, dan melamun. Ternyata mereka sedang berpikir hendak menggores apa di atas kertas putih itu. Hasilnya, mereka justru menggambar bunga, rumah, gunung, dan berbagai gambar yang setiap tahun ajaran selalu menghiasi dinding kelas. Seperti ada semacam paradigma yang tak disengaja telah terbentuk selama puluhan tahun pada kurikulum pendidikan di negeri ini akan sebuah proses kreativitas menggambar. Rumah yang memiliki satu pintu dan dua jendela dengan rumput di depannya dan jalan setapak berbatu; Bunga yang memiliki empat hingga enam mahkota bunga; Satu jenis bunga dengan perbedaan warna mahkota menjadikan gambar tersebut terkesan bervariatif; Pemandangan akan dua Gunung yang di tengah-tengahnya terdapat matahari terbenam atau terbit, lengkap dengan awan yang diselingi oleh burung-burung yang seolah terbang, serta dibagian bawahnya terdapat dua petak sawah yang dipisahkan oleh jalan raya.

123


Gambar L.2: Beberapa Murid KB Raisya dan Gambar-Gambarnya (Sumber: Tim Progasik)



Namun demikian, ada salah satu contoh kasus menarik pada salah satu murid PAUD Raisya tersebut. Ia bernama Ezel. Dia kesulitan dalam menggambar. Kesulitan itu disebabkan bukan karena dia tidak bisa menggambar, tetapi karena dia bingung dengan tema menggambar yang saat itu bertemakan pohon buah atau sayur mayur. Berbeda dengan teman-temannya, yang meskipun kami yakin betul mereka tidak betulbetul memahami tema menggambar yang kami berikan, tetapi teman-temannya menggambar sesuka hati. Ezel ini mungkin tipe anak yang sedikit mengarah ke idealis karena dirinya terlalu lama memutuskan hendak menggambar apa, "apa itu pekarangan?", "saya harus menggambar apa tentang pekarangan ini?". Mencoba menyontek pada teman sebelahnya, tetapi enggan kepada kami. Akhirnya, ia saya ajak berdiskusi. Saya bertanya apakah ada pohon di sekitar sini yang buahnya ia sukai. Lalu, mata saya melihat pada pohon kelapa di ujung halaman yang terpisah dua rumah dari PAUD Raisya dan dengan spontan saya bertanya padanya, “Kamu suka minum Es Kelapa, nggak?”, tanya saya. “Suka”, jawab Ezel. “Kamu lihat pohon Kelapa itu?” “Yang di sana (menunjuk pada pohon Kelapa yang ada di sebelah Utara KB Raisya)”. Gambar L.3: Azel dan Gambarnya (Sumber: Tim Progasik)

126


“Kamu lihat, kan?�, tanya saya. (Ezel mengangguk) “Jika kamu suka buahnya, kenapa gambarkan pohonnya?�, tanya saya.

tak

Setelah bingung beberapa lama dan ketinggalan dari teman-teman lainnya, akhirnya, ia mulai mencoret kertas kosongnya. Dengan perlahan, ia menggoreskan krayonnya membuat replika pohon kelapa dalam bentuk dua dimensi menurut versinya. Ternyata, tidak mudah mendorong anak usia sedini itu untuk menggambarkan sesuatu yang ada di benaknya. Namun, hal ini juga menjadi lebih sulit setelah tertanamnya pemahaman gambar yang selama ini mereka gambarkan hanya seputar pegunungan dan rumah. Kesadaran akan apa yang ada di sekitar mereka kurang diperhatikan menjadi acuan mereka dalam menggambar. Padahal, contoh kasus Ezel tadi merupakan hal sederhana yang bisa kita selesaikan dengan melibatkan elemen alam yang berlimpah di sekitar dirinya sendiri.

127


Proses menggambar ternyata tidak semudah apa yang sudah kami bayangkan di awal, terutama pada kasus ini. Terlalu dini, memang, jika kami mengharapkan hasil gambaran tentang sebuah pekarangan lengkap dengan jenis-jenis tanaman yang dimaksudkan, terlebih lagi kepada anak-anak seusia mereka yang masih dalam tahap pengenalan bentuk serta objek di sekitarnya. Penyebabnya adalah sudut pandang umur mereka yang tergolong masuk ke fase pra-operasional. Berdasarkan teori Piaget dalam mengelompokkan fase perkembangan kognitif anak, anak mulai menyadari bahwa pemahamannya tentang benda-benda di sekitarnya tidak hanya dapat dilakukan melalui kegiatan sensorimotor, tetapi juga dapat dilakukan melalui kegiatan yang bersifat simbolis. Dalam kasus ini, anak-anak baru memasuki tahap pengenalan objek-objek di sekitar mereka, tetapi belum masuk ke tahap dimana mereka dapat mereplikasikan objek-objek tersebut. Berdasarkan pengamatan dalam bahan ajar pendidikan usia dini oleh Departemen Perdidikan pada tahun 2004, pendekatan proses kreatif dalam menggambar oleh anak-anak TK sebagai berikut:

1. Mengamati (Seeing), yang memberi peluang untuk mengembangkan kepekaan persepsi (perceptual awareness) melalui kegiatan mengembangkan penglihatan kritis. 2. Merasakan (Feeling), yang memberi peluang untuk mengembangkan “respons estetis� (aesthetic awareness) melalui kegiatan apresiasi dan pengembangan kepekaan penilaian estetis. 3. Berpikir (Thinking), yang memberi peluang untuk mengembangkan kemampuan mengevaluasi dan mengapresiasi melalui evaluasi objektif dan diskriminasi/perbedaan personal. 4. Melakukan (Doing), yang memberikan peluang untuk mengembangkan keterampilan (skills), memanipulasi alat dan media dalam menghadirkan visual forms (bentuk–bentuk visual) yang merupakan ungkapan emosi, gagasan, dan perasaan. Pada kenyataan yang kami dapatkan selama workshop berlangsung, anak-anak baru mencapai tahap mengamati, hal ini juga baru terjadi pada beberapa anak saja. Dapat disampaikan demikian karena respon mereka terhadap tema menggambar 128


yang kami berikan kurang diresapi dengan seksama dan setelah mengajak mereka untuk megamati objekobjek hidup di sekitarnya, yang berhubungan dengan pekarangan, salah satu contohnya adalah pohon kelapa dan Ezel tadi.

sebenarnya masih dalam tahap belajar pengenalan bentuk? Hal ini hanyalah sebuah bukti ajar yang selama ini melanda metode pengajaran pendidikan Indonesia, yakni mencontoh gambar yang sudah atau pernah digambarkan oleh sang guru.

Selain memaksakan proses input pemahaman tentang pekarangan, kesalahan kami adalah kami kurang mendalami tahapan belajar menggoreskan alat tulis pada proses menggambar yang terjadi pada anak-anak seusia mereka. Menurut guru-guru mereka, tahapan belajar menggambar yang baru saja mereka capai belumlah sekompleks dapat merealisasikan imajinasi mereka tentang tumbuhan-tumbuahan yang ada di sekitar mereka. Hal ini menjadi terlalu sulit bagi mereka karena mereka masih dalam proses mengenal metode menggaris, membuat bangun datar seperti lingkaran, persegi, dan segitiga, sehingga dalam menerjemahkan bentuk asli yang kemudian mereka cerna ke dalam imajinasi masing-masing lalu keluar di atas kertas, itu adalah sebuah kesulitan. Lalu, bagaimana dengan gambar-gambar mainstream seperti gunung, rumah, dan lain-lain? Mengapa mereka mampu menggambarkannya di saat mereka

Menggambarkan sebuah Pekarangan menjadi cukup sulit ketika si anak sendiri tidak dibekali pemahaman tentang apa itu pekarangan. Pengetahuan yang mungkin belum mereka dapatkan di taman ajar ini terpaksa kami jejalkan lewat sebuah workshop menggambar. Agaknya, memang terkesan memaksa, yaitu memaksakan sebuah definisi tempat fungsional yang dapat ditanami berbagai tumbuhan di dalamnya agar juga tumbuh di benak pikiran mereka dan melahirkan imajinasi tentang tempat tersebut dalam versi kreatif mereka dan bentuk seni visual dua dimensi. Kemudian, hal ini menjadi lebih keliru ketika sebuah tema menggambar ini tidak sejalan dengan kemampuan menggambar yang baru mereka capai di usia mereka.

129



Gambar L.4: Kegiatan Workshop Menggambar Pekarangan Impian di KB Raisya (Sumber: Tim Progasik)



Gambar L.5: Kegiatan Workshop Menggambar Pekarangan Impian di KB Raisya (Sumber: Tim Progasik)


Gambar L.6: Beberapa Gambar Pekarangan Impian Hasil Workshop (Sumber: Tim Progasik)



“The only real mistake is the one from which we learn nothing.” - Henry Ford -



PARAMETER GAGAL DI DALAM MATRIKS DAN TAKSONOMI KEGAGALAN Oleh: Alfoadra Zamdekha

Pada esai ini, saya memposisikan diri sebagai orang yang mempertanyakan kembali dan mengkritik “kegagalan” di dalam matriks dan taksonomi kegagalan. Hal yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah proses yang telah dicantumkan di dalam matriks dan taksonomi benar-benar dapat dikatakan “gagal”?. Untuk proses menganalisisnya, saya perlu mendefinisikan kata gagal terlebih dahulu, baik menurut kelompok, maupun saya pribadi, sehingga ada parameter acuan apakah matriks dan taksonomi ini benar-benar berisi kegagalan

1. Definisi Gagal Menurut Kelompok Dari proses diskusi, saya mendapatkan definisi “gagal” yaitu apabila pencapaian yang didapat tidak sesuai dengan tujuan dan eksekusi tidak sesuai dengan rencana di awal. Contohnya, pada tahap awal proyek, ketika kelompok mencoba masuk ke dalam lingkungan masyarakat yang ingin diintervensi. Untuk mendapatkan apa yang ingin diintervensi dari masyarakat, kelompok cukup sulit mendapatkannya karena masyarakat tidak mudah bercerita mengenai bagaimana kehidupan sehari-hari di lingkungan 138


Tabel M1.1: Matriks Kegiatan “Senam Sehat Ibu-Ibu� (Sumber: Tim Progasik)

tersebut. Padahal, harapannya, informasi mengenai kehidupan sehari-hari dari masyarakat dapat membantu anggota kelompok untuk mendapatkan data dan juga turut memposisikan diri sebagai individu di dalam masyarakat. Ketika kelompok bisa memposisikan diri sebagai individu di dalam masyarakat, artinya kelompok tidak mengerjakan hal yang didapat berdasarkan kelompok, namun berdasar dari “apa yang dirasakan masyarakat�. Oleh karena itu, pada presentasi terakhir, di dalam matriks kegagalan, terdapat hal mengenai 139

eksekusi dan pencapaian untuk menentukan apakah kegiatan yang telah dilakukan dapat dikatakan gagal atau berhasil. Selain itu, ketika di awal presentasi, sebelum masuk membahas mengenai matriks dan taksonomi kegagalan, kelompok memberi penekanan paramater kegagalan yang dinilai dari tujuan, eksekusi, dan pencapaian, sehingga alur pola pikirnya bisa dimengerti kenapa kegiatan A, B, atau C dikatakan gagal atau berhasil. Selain itu, di matriks disediakan kolom berisi gagal atau berhasil yang terjadi karena eksekusi, pencapaian yang tidak sesuai tujuan, atau kedua-duanya.


kekandasan

keberhasilan

menangkis membantutkan

kehampaan

kegagalan

kekalahan

mengecewakan menggagalkan

menyabot berhasil patah pucuk

penggagal gagal urung

mudarat kubra

Gambar M1.1: Diagram Hubungan Kata “Gagal� dengan Kata Lain yang Berelasi (Sumber: http://www.artikata.com/arti-327565gagal.html, telah diolah kembali)

rusak

2. Definisi Gagal Menurut Saya (Berdasarkan Teori, Definisi, dan Para Ahli) Di sini, saya mencoba menganalisis definisi gagal dari beberapa teori, yakni: “Sebelum membangun sistem informasi ini, perusahaan harus melakukan beberapa langkah terlebih dahulu agar pembangunan sistem informasi yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Untuk itu secara detail harus dijawab pertanyaan-pertanyaan: 1. Informasi apakah yang dibutuhkan? 2. Oleh siapa? 3. Kapan? 4. Dimana? 5. Dalam bentuk apa? 6. Bagaimana cara memperolehnya? 7. Dari mana asalnya? 8. Bagaimana cara mengumpulkannya? 140


Selain itu, diperlukan pula langkah–langkah yang diperlukan dalam membangun sistem informasi tersebut, yaitu mendesainnya. Berikut langkah-langkah dasar dalam proses desain sebuah sistem informasi: Mendefinisikan tujuan sistem (defining system’s goal), tidak hanya berdasarkan informasi pemakai, akan tetapi juga berupa telaah dari abstraksi dan karakteristik keseluruhan kebutuhan informasi sistem. Pendefinisian ini dapat dilakukan dengan pendekatan input-proses-output. Untuk menentukan hal ini, diperlukan proses iteratif sebagai berikut: 1. Mengidentifikan output terpenting untuk mendukung/mencapai tujuan sistem (system’s goal) 2. Me-list field spesifik informasi yang diperlukan untuk menyediakan output tersebut 3. Mengidentifikasi input data spesifik yang diperlukan untuk membangun field informasi yang diperlukan. ....� (Gelar Pradana: 2010) Oleh sebab itu, perlu diperhatikan beberapa hal yang terkait dengan keberhasilan dan kegagalan penerapan sistem informasi itu sendiri seperti akan dibahas di bawah ini: Keberhasilan penerapan sebuah sistem informasi sangat bergantung pada sistem 141

apakah yang dibangun oleh perusahaan, apakah sistem ini mampu mengadaptasi kebutuhan perusahaan, mudah digunakan, dan mampu menyajikan segala jenis informasi yang diperlukan. Berikut beberapa faktor yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan sistem informasi: ? Sistem dengan tingkat penggunaannya relatif tinggi (High Levels of System Use) Dengan penggunaan yang tinggi, artinya, sistem informasi yang dibangun memiliki manfaat yang sesuai dengan kebutuhan para user (dalam hal ini pegawai perusahaan) sehingga mereka menggunakan sistem ini secara sering. ? Kepuasan para pengguna terhadap sistem (Users Satisfaction With The Systems) Dengan semakin meningkatnya kepuasan para user terhadap sistem yang dibangun, maka hal itu mengindikasikan bahwa sistem tersebut telah sesuai dengan kebutuhan pengguna dan merupakan indikasi keberhasilan dari sistem. Karena tidak mungkin sistem yang ada dianggap berhasil jika dalam implementasinya banyak terjadi keluhan dari para penggunanya. ? Sikap yang menguntungkan (Favourable Attitude) para pengguna terhadap sistem informasi dan staff dari sistem informasi


Jika para pengguna memiliki sikap yang positif terhadap sistem yang ada, maka hal tersebut merupakan indikasi keberhasilan yang kuat. Karena tidak mungkin para pengguna memiliki sifat yang positif jika sistem yang ada tidak memberi dampak yang positif serta sesuai dengan yang dibutuhkan. Kegagalan penerapan sebuah sistem informasi dapat disebabkan oleh banyak faktor. Sebuah sistem dikatakan gagal jika keberadaannya tidak mampu memenuhi kebutuhan yang ada, tidak mampu memberi efek manfaat terhadap para penggunanya serta sulit untuk digunakan. Berikut dijelaskan beberapa kondisi yang dapat menyebabkan suatu sistem informasi dapat dikatakan gagal. (Gelar Pradana: 2010) Menurut teori atribusi, keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat dianalisis dalam tiga

karakteristik, yakni: 1. Penyebab keberhasilan atau kegagalan mungkin internal atau eksternal. Artinya, kita mungkin berhasil atau gagal karena faktor-faktor yang kami percaya memiliki asal usul mereka di dalam diri kita atau karena faktor yang berasal di lingkungan kita. 2. Penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat berupa stabil atau tidak stabil. Maksudnya, jika kita percaya penyebab stabil maka hasilnya mungkin akan sama jika melakukan perilaku yang sama pada kesempatan lain. 3. Penyebab keberhasilan atau kegagalan dapat berupa dikontrol atau tidak terkendali. Faktor terkendali adalah salah satu yang kami yakin kami dapat mengubah diri kita sendiri jika kita ingin melakukannya. Adapun faktor tak terkendali adalah salah satu yang kita tidak percaya kita dengan mudah dapat mengubahnya. (Kompasiana: 2011)

142


Dari sumber di atas, saya melihat bahwa hal yang disebut sebagai gagal yakni apabila sistem informasi yang diinginkan bermasalah dalam hal penerapannya sehingga tidak mau memenuhi tujuan dan tidak memberi manfaat (sulit untuk diolah lebih lanjut). Sedangkan, selanjutnya, keberhasilan ataupun kegagalan mempunyai karakteristik yang sama atau penentu yakni “percaya atau tidak percaya�. Percaya di sini maksudnya bukan di tahap awal individu atau kelompok percaya bahwa kegiatan yang akan dilakukan berhasil. Namun, percaya di sini maksudnya percaya bahwa kegiatan yang akan dilakukan berhasil. Namun, percaya di sini maksudnya percaya bahwa kegiatan yang dilakukan akan menghasilkan efek atau dampak, begitu pula sebaliknya. Percaya atau tidak percaya, salah satu dari keduanya ada dalam dalam hal yang disebut berhasil atau gagal. Sesuai dengan tujuan awal dari kegiatan, apakah akan memberi dampak atau tidak, artinya selama kegiatan

143

tersebut sesuai dengan tujuan, hal tersebut dapat dikatakan berhasil. Tujuan yang dimaksud di sini, menurut saya, bukanlah tujuan yang spesifik ukuran dampaknya seberapa besar, karena menurut saya ketika membicarakan seberapa besar dampak yang dihasilkan, hal tersebut lebih dimaksudkan ke perkiraan (imajinasi) individu terhadap tujuan tersebut. Oleh karena itu, saya mempertanyakan kembali, bagaimana posisi tujuan di dalam taksonomi atau matriks, karena saya melihat bahwa semua kegiatan yang dilakukan mencapai tujuannya, tetapi tidak sesuai ekspektasi dan eksekusi yang dilakukan kurang baik.


Tabel M1.2: Matriks Kegiatan “Workshop Mainan Favorit� (Sumber: Tim Progasik)

Salah satu contohnya, ketika melakukan kegiatan “Workshop Mainan Favorit�, tujuannya untuk bisa melakukan pendekatan terhadap anak-anak dan mengetahui apa yang mereka suka. Pada kegiaan ini, anak-anak sulit bercerita dan menyampaikan pendapat, artinya proses pendekatan ke anak-anak berhasil karena individu atau kelompok telah mencoba meminta namun memang metode yang digunakan tidak bekerja dengan baik, karena menurut saya, tujuannya bisa dicapai dengan banyak metode dan proses eksekusi yang baik. Dari tujuan mengetahui apa yang mereka suka, semua anak-anak memilih mainan apa yang mereka sukai, artinya apabila ditarik ke kesimpulan, kegiatan ini tetap bisa dikatakan berhasil

karena pencapaian sesuai dengan tujuan yang dibangun di awal. Namun, apabila ada landasan dimana matriks ini kegagalannya diukur dari ekspektasi dan eksekusi, artinya ada kemungkinan bahwa kegiatan ini bisa dikatakan gagal. Dari hal tersebut, saya melihat permasalahan ketika proses eksekusi membuat matriks ini yakni masih ada pola pikir menyatukan antara tujuan dan ekspektasi. Selain itu, dari landasan teori, gagal terjadi apabila proses selanjutnya tidak bisa terjadi dan memberi efek negatif sedangkan ketika menjalankan proyek ini, proses kegiatan yang dilakukan berkelanjutan dan terkait dengan kegiatan sebelumnya (tidak terputus).

144


Jadi, kesimpulannya yakni matriks dan taksonomi ini tidak bisa dikatakan sebagai hal yang berisi kegagalan apabila ditinjau dari tujuan. Karena semuanya yang dilakukan mencapai tujuan, hal tersebut terbukti dengan ada proses selanjutnya yang terjadi dan tidak terputus dari proses sebelumnya. Namun, apabila matriks dan taksonomi ini berlandaskan “perkiraan dan eksekusi�, maka saya menyetujui bahwa isi di dalamnya memang mengenai kegagalan. Kegagalan yang terjadi bukan karena sistem informasi, tapi karena proses mengatur dan menyusun sistem informasi oleh individu atau kelompok lah yang bermasalah.

145


MENGETAHUI YANG MENGERTI Oleh: Annisa Dienfitriah

Pada esai ini, saya ingin membahas bagaimana pendekatan kepada warga untuk mendapat informasi pada suatu proyek dan bagaimana kaitannya dengan domesticity. Untuk itu, saya mencoba menganalisisnya dari proyek everyday architecture kelompok saya (Progasik). Melakukan pendekatan sangat terkait dengan bagaimana kita dapat berpartisipasi dalam suatu proyek. Pendekatan juga terkait dengan komunikasi, yaitu cara penyampaian, termasuk apa yang ingin disampaikan. Melakukan pendekatan tentunya terkait dengan dua pihak: pihak yang mendekati dan pihak yang didekati. Dalam proyek ini, pendekatan sendiri memiliki tujuan untuk lebih dekat dan lebih mengenal apa yang orang-orang setempat butuhkan dan inginkan. Dengan pendekatan itu, kita juga bisa mendapat dan mengetahui hal-hal baru yang menarik

bagi kita. Berpartisipasi dan mengetahui domesticity setempat saya rasa sangat diperlukan dalam melakukan pendekatan, hal ini saya rasakan ketika proses pendekatan pada proyek ini. Dalam melakukan pendekatan di proyek ini, berdasarkan objek yang ingin didekati, terdapat beberapa teknik komunikasi yang bisa dilakukan, yaitu berbicara atau berdiskusi secara personal dengan individu dewasa (warga setempat), berbicara atau wawancara dengan individu dewasa yang punya pengaruh (Ketua PKK dan Humas RT), juga berkomunikasi dengan anak-anak (warga PAUD). Sebagai pihak yang mendekati, ternyata saya dan teman-teman sekelompok perlu mengenal potensi kami masing-masing, begitu juga dengan pihak yang didekati. Kami perlu tahu potensi apa yang dimiliki warga setempat. Dengan begitu, kami jadi tahu siapa 146


yang harus berbicara di depan umum, siapa yang bisa memikirkan metode yang perlu diterapkan, siapa yang bisa melakukan survei kepada warga (anak kecil atau orang dewasa), survei lokasi, mencatat hal-hal yang diperlukan, wawancara dan sebagainya. Intinya, kami jadi tahu siapa yang perlu melakukan apa agar proses pengerjaan ini bisa berjalan. Hal yang sama (sebut: potensi) juga perlu diketahui dari pihak yang ingin didekati. Ketika kami tahu siapa dan apa saja potensi warga setempat, kami jadi tahu ketika membutuhkan informasi mengenai lingkungan setempat, warga, area atau lahan, PAUD dan kondisinya, perizinan survei lokasi, dan sebagainya harus bertanya kepada siapa. Potensipotensi tersebut juga dapat diketahui melalui kegiatan pendekatan ini. Kita akan mencari suatu hal yang kita belum ketahui kepada orang yang sudah tahu terlebih dahulu atau kepada orang yang memang sudah mengenal apa yang belum kita ketahui atau yang belum kita kenal. Hal ini cukup berkaitan dengan domesticity. “Domesticity, therefore, is a construction of the 19th century. The term refers to a whole set of ideas that developed in reaction to the division between work and home. These ideas stressed the growing separation between male and female spheres….” 147

(Heinen, Hilde. 2005. Gender en/ in burgerschap/ Les genres de la citoyennete. Colloquium Sophia. Pdf) Domesticity sendiri seringkali dikaitkan dengan feminin. Disebut feminin karena berkaitan dengan kondisi yang terjadi di abad ke-19. Saat ini, yang dimaksud, lebih terkait pada hal-hal yang memang menjadi bagian keseharian dari sesuatu dan bisa dikatakan sebagai “ahli” dari keseharian suatu area atau ruang, seperti yang dijelaskan oleh Kalene Westmoreland pada disertasinya bahwa domesticity itu memiliki pengertian: “The term domesticity is sometimes used as if it has one meaning that applies to all situations and individuals. However, domesticity actually has many possible meanings and associations that resonate politically and personally. Domesticity can refer to the paid and unpaid labors of housekeeping, to creative endeavors related to the home, and to the expectations related to the maintenance of private familial domestic space. It is also culturally coded as feminine, as it is traditionally labor performed by women. It consists of both preventive and reparative work expected to be routinely performed, such as preparing food and washing dishes, doing laundry, sewing, cleaning toilets, and eliminating clutter and dirt from surfaces. Creative


endeavors related to the home, such as interior decorating and design, crafting, cooking, and sewing, can enhance this perception. These acts of physical maintenance and creativity can result in the perception of an individual’s or a family’s home as a private haven from a harsh world. Further, such domestic creativity and housekeeping performed by a single individual within a home can lead, or at least contribute, to a cultural conception that the familial (or individual) domestic home space must function as a haven. In all these senses of domesticity, the laborer’s subject position is key....”

Jika diilustrasikan, dapat terbentuk hal ini: Tim yang Mendekati (Kami, Tim Progasik) Lebih ahli berbicara di depan umum

Lebih ahli merekap data, di balik layar

(Wastemorland, Kalene. 2006. A Dissertation: Interior Revolutions: Doing Domesticity, Advocating Feminism in Contemporary American Fiction. Tarleton State University. Pdf) Pada kutipan di atas, dijelaskan bahwa domesticity terkait dengan situasi-situasi yang bisa dilakukan seorang individu, baik personal maupun secara politis, baik dibayar ataupun tidak, dengan adanya rasa tahu dan kenal akan domestic space yang ada di lingkungannya. Hal ini terjadi karena situasi dan kegiatannya sehari-hari itu dilakukannya secara rutin (keseharian) dan karena itulah ia menjadi kunci utama bagi semua situasi yang ada di sekelilingnya. Ia akan menjadi orang yang paling mengerti di antara lainnya tentang hal itu.

Lebih ahli pendekatan dan wawancara dengan warga atau orang dewasa

Bisa berkomunikasi dengan anak-anak

148


Tim yang Didekati (Warga) Anak-Anak PAUD: Menjadi dirinya sebagai anakanak, sangat tahu kebiasaan dan perilaku di antara mereka

Ibu Ketua PKK/Pemilik PAUD: Sangat mengerti tentang PAUD dan PKK Bapak Humas RT: Cukup tahu tentang perkembangan RT secara umum Warga (termasuk ibu-ibu senam): Ahli senam dan tidak mengerti lebih jauh tentang perkembangan RT. Lebih mengerti perkembangan rumah pribadi

Gambar M2.1: Ilustrasi Pengelompokan terhadap Proses Pendekatan (Sumber: (Sumber: Dokumentasi pribadi, telah diolah kembali))

149

Kami, sebagai tim yang mendekati, memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Awalnya, cukup sulit karena kami belum mencoba memahami potensi masing-masing. Semua bekerja untuk satu hal yang, lama kelamaan, dirasa kurang efektif dibandingkan jika dibagi-bagi sesuai potensi yang dimiliki. Walaupun tidak menuntut kemungkinan ada yang memiliki lebih dari satu potensi atau kemauan untuk mengembangkan potensi, dari sini kami dapat belajar apa yang sebenarnya ada di diri kami, karena kamilah yang menjadi domestic bagi diri kami sendiri, kami yang bisa merasakan siapa yang bisa melakukan apa. Begitu juga dengan tim yang didekati, untuk melakukan pendekatan dan mendapat informasi, kami perlu memahami siapa saja domestiknya, hingga mengerti siapa saja yang bisa dimintai keterangan secara baik. Begitu pula dengan warga, ketika ingin mencari tahu tentang warga setempat mengenai TOGA, kami perlu menyebarkan angket kepada warga untuk memperoleh informasi, sayangnya tidak semua warga mudah untuk didekati, sehingga sedikit sekali angket yang terisi. Dari angket-angket yang terisi pun, tidak semua warga mengerti akan programprogram RT-nya.


Pada proyek ini, saya dan temen-teman saya tidak langsung mengetahui orang-orang “domestik�, yaitu orang yang menjadi domesticity yang sangat tahu keseharian RT pada proyek kami. Kami hanya tahu seorang ketua RT dan Humas RT. Dengan Humas RT kami diberitahukan mengenai program-program kerja RT tersebut, hingga kami tertarik pada TOGA (Tanaman Obat Keluarga) yang merupakan program kerja dari PKK (Program Kesejahteraan Keluarga). PKK memiliki domestiknya sendiri, yaitu ibu ketua PKK yang ternyata memang lebih paham tentang perkembangan program PKK tersebut, seperti bagaimana program ini berjalan selama ini, yang kemudian hal ini kami rekam pada Tabel kegiatan proyek kelompok kami. Pentingnya mengetahui domesticity terlihat pada kolom eksekusi bagian sasaran dan kolom

pencapaian. Pada wawancara dengan pihak Humas RT, beliau mengatakan cukup banyak program yang bagus, salah satunya TOGA. Seperti yang ada di halaman belakang rumah Pak RT. Sedangkan, pada wawancara dengan ibu Ketua PKK, program TOGA berjalan ketika akan ada Sidak (Inspeksi Dadakan) dari RW. Ketika ada Sidak, barulah warga menanam kembali TOGA. Walaupun memang tidak semua warga seperti itu, ada pula yang memang sehariharinya gemar menanam TOGA. Untuk itu, mengetahui domesticity sangat penting ketika melakukan pendekatan dalam suatu proyek komunal. Informasi yang lebih jelas dan lengkap akan mudah kita peroleh dari orang yang memang bersangkutan atau orang yang merupakan domestik dari perihal tersebut. Orang yang memang kesehariannya berkutat dengan hal itu.

150


Informasi dari Humas RT: Program PKK bagus

Informasi dari ibu PKK: Program TOGA tidak sepenuhnya berjalan Tabel M2.1: Matriks Kegiatan “Senam Sehat Ibu-Ibu” dan “Penyebaran Angket TOGA” (Sumber: Tim Progasik)

151


ESTAFET NILAI KELUHURAN DALAM KESEHARIAN Oleh: Indah Amalia Hasan

Dalam esai ini, saya akan mencoba merefleksikan apa yang sudah dikerjakan oleh kelompok kami pada community project. Proyek kami meliputi suatu komunitas yang memiliki kebiasaan menanam tanaman obat-obatan di setiap halaman rumahnya, kebiasaan yang sudah jarang ditemui di tengah-tengah masyarakat perkotaan. Kami mencoba melihat potensi pada komunitas tersebut dari sudut pandang kami. Pada esai refleksi ini, saya mencoba kembali memutar alasan awal kami melangkah: Mencari sesuatu yang tertanam pada komunitas ini, yang baru saya temukan jawabannya setelah kami sekelompok menjalani beberapa tahap usaha pendekatan. Mulai dari bincang ringan, berdiskusi sambil mengisi angket, hingga mengadakan workshop.

Proyek ini berangkat dari ketertarikan kami pada sebuah komunitas publik di kawasan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan yang masih menyadari akan pentingnya "berkebun" di rumah. Sebuah kawasan yang terlingkup dalam satu Rukun Tetangga yang memiliki program menarik, tepatnya dalam satu lingkup RT 04 RW 06. Program tersebut mengharuskan setiap rumah memiliki minimal lima jenis tanaman obat di halaman rumahnya. Program ini merupakan bentuk keseriusan atas sebuah adat masyarakatnya yang suka menanam tumbuh-tumbuhan meliputi pohon, buah, sayur-mayur, sampai jenis tanaman obatobatan di halaman rumah mereka. Kebetulan, daerah Srengseng Sawah ini merupakan salah satu kawasan di Jakarta Selatan yang masih memiliki beberapa lahan kosong bertanah subur. Masyarakatnya pun masih menjaga nilai-nilai kebiasaan orang tua mereka yang 152


kerap memanfaatkan lahan tersebut untuk ditanami berbagai jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan manfaat lagi untuk warganya. Sadar akan keunggulan dari masyarakatnya, Bapak Surya Darma selaku Ketua RT pun menetapkan program tersebut sebagai salah satu program PKK sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai tradisi nenek moyang. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah tradisi Nusantara yang sudah lama tidak terangkat ke publik lagi, yakni memiliki kebun di halaman rumah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga dari kebun itu sendiri. Sehingga kebiasaan komunitas tersebut menjadi sebuah jejak tertinggal dari sebuah nilai budaya keseharian Bangsa. Bangsa yang kaya akan hasil sumber daya alam dan pernah dikatakan sebagai bangsa yang mata pencaharian penduduknya dominan di bidang perkebunan. Kayanya negeri ini tak hanya emas yang tertanam di balik tanah subur setiap daratan dan dalamnya lautan Indonesia, tapi juga berlimpahnya sumber daya manusia yang begitu terampil dan arif dalam mengolah itu semua. Namun, seiring kemajuan zaman serta pendidikan yang berkembang begitu pesat, ternyata kurang diimbangi dengan bekal nilai-nilai leluhur bangsa. Perlahan, tradisi demi tradisi yang dulu sangat kental dalam keseharian kini mulai samar-samar hilang tergeser oleh beberapa tuntutan gaya hidup manusianya. Nilai-nilai yang menjaga ketaatan pada pemeliharaan Ibu Pertiwi yang harus selalu kita jaga keseimbangannya, antara 153

mengambil darinya dan memberi padanya. Sehingga, suatu saat nilai-nilai tersebut memudar secara perlahan dan terkubur di bawah gedung-gedung pencakar langit, alam tak lagi dapat memberi apa yang manusia selama ini ambil. Inilah kekhawatiran kami yang, kemudian, di Srengseng Sawah, kami temukan komunitas yang memiliki benih nilai-nilai yang hampir pudar itu. Seperti yang sudah disampaikan, bahwa program terkait tanaman obat-obatan mengharuskan setiap rumah di daerah RT tersebut memiliki minimal lima jenis tanaman obat-obatan. Hal semacam ini tentu saja menjadi urusan seorang ibu rumah tangga dari masing-masing keluarga. Kepengurusan mengenai hal-hal tersebut menjadi spesifik lagi setelah sang ibu rumah tangga juga menjadi lebih tahu akan manfaat dari tanaman yang mereka tanam di halaman rumahnya masing-masing. Hal ini terbukti dari hasil angket yang kami sebar ke para ibu rumah tangga. Pengetahuan akan manfaat dan khasiat dari setiap tanaman (tanaman obat-obatan, sayuran, buahbuahan) menjadi sangat membantu ketika salah satu anggota keluarganya ada yang sakit dan di sinilah peran seorang ibu rumah tangga yang sudah dibekali dengan pengetahuan mengenai jenis dan manfaat dari setiap TOGA yang tersedia di halaman rumah mereka masing-masing. Sang ibu dapat menggunakan tanaman obat yang tersedia untuk meringankan penyakit dari anggota keluarganya.


Peran ibu rumah tangga tadi menjadi sangat menarik untuk lebih ditelusuri. Pengetahuan dasar mereka akan khasiat dan kandungan dari manfaat tanaman-tanaman akan lebih sangat berarti jika dapat disebarluaskan kepada generasi-generasi muda. Lalu, kami mencari target sasaran selanjutnya yang akan menjadi penerima pengetahuan tersebut dari kaum ibu. Setelah kami survei sekitar lingkungan RT terkait, kami tertarik pada sebuah taman kanak-kanak yang bernama PAUD KB Raisya. Kami memutuskan untuk menanamkan apa yang sebenarnya sudah ada pada kawasan tersebut kepada benak para anak tersebut. Kami bertujuan untuk mentransfer pemahaman mengenai tanaman, tak hanya tanaman obat, tetapi juga meliputi tanaman buah, sayur, bunga dan sebagainya. Sebagai pendekatan awal, kami megadakan beberapa jenis workshop kepada anak-anak PAUD Raisya. Mulai dari mencari tahu permainan apa yang menjadi favorit mereka, melakukan simulasi menanam pada kecambah dari kacang hijau, dan terakhir mencari tahu gambaran sebuah taman di dalam imajinasi mereka. Hal ini kami lakukan semata-mata

untuk mencari tahu media apa yang cocok dan anakanak sukai dalam menyampaikan sebuah informasi yang tersimpan pesan khusus di dalamnya. Hasil workshop ini kurang berjalan sesuai harapan, karena ternyata anak-anak tersebut tidak terbiasa mengungkapkan pendapat. Terlihat sekali di umur mereka, dalam penyampaian mata ajar sekolah, mereka hanya berperan sebagai penerima informasi tanpa mengungkapkan pendapat atau pertanyaan terkait informasi yang akan disampaikan. Tentu hal ini menjadi salah satu kesulitan kami dalam menggali informasi mengenai diri mereka, apa yang mereka suka, apa yang mereka harapkan dan apa yang menjadi imajinasi mereka tentang sebuah taman. Selain itu, pada proses workshop menggambar, terbukti imajinasi mereka ternyata belum dibebaskan dari paradigma sebuah gambar pemandangan sederhana meliputi pegunungan, sawah, dan sebuah rumah. Hal ini menjadi tantangan bagi kami untuk berusaha membebaskan mereka dari paradigma yang selama ini sudah berjalan puluhan tahun di TK Indonesia. Salah satu contoh kasusnya, waktu itu saya menangani seorang anak laki-laki bernama Ezel, dia kesulitan dalam menggambarkan sebuah taman. Kesulitan itu 154


disebabkan bukan karena dia tidk bisa menggambar, tetapi karena dia bingung dengan tema menggambar yang saat itu bertemakan “pohon, buah, atau sayur mayur”. Setelah saya ajak berdiskusi, menanyakan apakah ada pohon di sekitar sini yang buahnya ia sukai. Lalu, mata saya melihat pada pohon kelapa dan spontan saya bertanya padanya, “Kamu suka minum Es Kelapa, nggak?”, tanya saya. “Suka”, jawab Ezel. “Kamu lihat pohon Kelapa itu?” “Yang di sana (menunjuk pada pohon Kelapa yang ada di sebelah Utara KB Raisya)”. “Kamu lihat, kan?”, tanya saya. (Ezel mengangguk) “Jika kamu suka buahnya, kenapa gambarkan pohonnya?”, tanya saya.

155

tak

Setelah bingung beberapa lama dan ketinggalan dari teman-teman lainnya, akhirnya ia mulai mencoret kertas kosongnya. Ternyata, tidak mudah mendorong anak usia sedini itu untuk menggambarkan sesuatu yang ada di benaknya. Namun, hal ini juga menjadi lebih sulit setelah tertanamnya pemahaman gambar yang selama ini mereka gambarkan hanya seputar pegunungan dan rumah. Kesadaran akan apa yang ada di sekitar mereka kurang diperhatikan menjadi acuan mereka dalam menggambar. Padahal, contoh kasus Ezel tadi merupakan hal sederhana yang bisa kita libatkan elemen alam yang berlimpah di sekitar dirinya sendiri. Yang kita butuhkan hanya mengerahkan apa yang sudah ada untuk ikut menjadi pembelajaran mereka, memang sulit untuk keluar dari kulit kurikulum yang sekian lamanya menjadi pembungkus pendidikan Indonesia. Hal ini mendorong kami untuk berbuat sesuatu. Bentuk perhatian kami berlanjut pada mengintervensi kurikulum ajar PAUD Raisya. Kami mencoba memodifikasi kurikulum lama tentang pengetahuan tanaman dengan pengajaran yang interaktif dan lebih bervariatif antara lain dengan media puzzle, flash card, dan sebagainya.


Setelah beberapa rangkaian kegiatan yang sudah kami lakukan dengan banyak melibatkan komunitas tersebut, ternyata tidak semudah bayangan kami. Terjun ke tengah-tengah masyarakat dan mencoba menggali mengenai isu atau potensi apa yang sudah mereka miliki menjadi lebih sulit ketika aspek-aspek pendekatan dan sistem kerja sama antara penghuni asli dan pendatang kurang terlaksana dengan sempurna. Menangani isu terpilih sebagai potensi khusus yang komunitas ini miliki memang dapat kami angkat ke permukaan secara mudah, tetapi bentuk perhatian selanjutnya kepada warga komunitas tersebut menjadi terasa kurang berhasil. Selain kurangnya pengalaman kami dalam terjun ke masyarakat, kemungkinan lainnya adalah kendala waktu yang harus terus disesuaikan dengan kegiatan perkuliahan dan waktu yang tepat untuk berkumpul bersama komunitas tersebut. Mengenal secara pribadi, masuk dan merasakan sebagai bagian dari diri

mereka yang belum dapat kami capai. Karena memang jika kita mengharapkan adanya sesuatu bergerak maju menuju perubahan yang lebih baik dalam sebuah komunitas tertentu, terlebih dahulu kita harus merasakan jika kita lah salah satu anggota dari komunitas tersebut. Bukan datang sebagai agen asing yang hendak mencari isu dan potensi kemudian mengintervensinya lalu, setelah selesai, pergi. Hal ini mungkin dapat diilustrasikan seperti sebuah sel yang memiliki membran sel sebagai penyelimutnya, sedangkan elemen-elemen dari eksterior tidak bisa sembarangan masuk ke dalam sel tersebut karena butuh adaptasi yang sesuai dengan kondisi dari selnya. Namun, bukan berarti sel tersebut tidak membutuhkan aspek dari luar untuk masuk ke dalamnya, karena sel sendiri butuh nutrisi dari luar untuk kelangsungan hidupnya. Sehingga sel tersebut membuat mekanisme sebuah proses masuknya benda asing ke dalam dirinya dengan rancangan semipermeable.

156


(1) Sel memiliki membran untuk menyaring elemen yang dibutuhkannya dan yang tidak.

Membran Sel

Elemen yang dapat diterima oleh sel

Gambar M3.1: Ilustrasi Mekanisme Semipermeable (Sumber: Dokumentasi pribadi, telah diolah kembali)

157

Elemen Asing

(2) a. Sel membuat mekanisme penyesuaian agar elemen asing yang dibutuhkan olehnya dapat masuk atau b. Elemen asing menyesuaikan diri/beradaptasi agar dapat masuk dan diterima sel

(3) Elemen asing, yang sudah sesuai/disesuaikan, dapat masuk dan diterima di dalam sel


Kemungkinan yang telah terjadi adalah kami datang sebagi agen asing yang kurang fleksibel dengan bentuk yang tak sama dengan komunitas tersebut karena kami kurang menempatkan diri kami sebagai bagian dari mereka, tetapi kami justru berperan sebagi agen asing yang terlihat seolah akan membawa suatu perubahan. Sehingga selaput dari sel, atau seperti mindset, dari komunitas yang sudah berkembang selama ini kurang welcome terhadap kami para “agen asing�. Oleh sebab itu, perlakuan yang sesuai dengan sistem kerja sel untuk memasukkan benda asing ke dalam salah satu caranya adalah dengan mekanisme semipermeable. Mekanisme semipermeable di sini diartikan sebagai bentuk fleksibelitas dari “agen asing� yang menempatkan dirinya sebagai bagian dari sel tersebut dengan ukuran, kerapatan, kepadatan, dan massa yang sesuai. Pada kenyataan di lapangan komunitas terkait, kami kurang berhasil memainkan peran semipermeable tadi, meskipun demikian bentuk

semipermeable tersebut tercerminkan pada perhatian kami terhadap anak-anak PAUD Raisya. Dalam modifikasi kurikulum yang dimiliki PAUD Raisya, secara implisit kami menamkan pesan-pesan leluhur yang di awal pembahasan esai ini sudah diterangkan. Sehingga, peran kurikulum yang sudah dimodifikasi tersebut menjadi bentuk agen perubahan atau nutrisi yang baik bagi perkembangan sel. Bukan tanpa maksud jangka panjang kami memodifikasi kurikulum KB Raisya. Sebenarnya, tradisi tersebut sudah ada sejak dulu dan menjadi kebiasaan dari sebagian ibu rumah tangga dalam komunitas ini. Kami hanya membantu menanamkan tradisi yang sudah ada kepada anak-anak dalam komunitas tersebut dengan tujuan pesan leluhur akan pentingnya menjaga keseimbangan alam ini sudah tertanam di benak setiap manusia sejak usia dini, sehingga akan melekat hingga dewasa nanti dan menjadi bagian dari jati diri setiap masyarakat.

158


Sampai pada kesimpulannya, bentuk community project kami yang mengusung nilai tradisi terhadap alam adalah bentuk perhatian terhadap kekhawatiran kelangsungan keseimbangan konsumsi manusia terhadap dunia ini. Kekhawatiran yang muncul di tengah-tengah isu ruang hijau yang kian hari kian mengerucut. Meminjam diagram konsep teori Karl Marx tentang keterasingan yang terdiri dari tiga elemen yaitu (Men) manusia, (Nature) alam, (Industry) industri. Menjelaskan bahwa, di sini, manusia tidak hanya sebagai creator dalam membangun industri dari alam, tetapi manusia juga merupakan produk dari sistem itu sendiri. Sehingga, bijaknya manusia tidak menjadikan dirinya makhluk asing yang terus menggerus kekayaan alam demi industri kehidupannya yang, tanpa disadari, bahwa dirinya adalah bagian dari alam (Universe) tersebut.

159

Gambar M3.2: Diagram Konsep Teori Marx (Sumber: https://www.marxists.org/archive/meszaros/works/alien/meszaro3.htm)


ANOMALI KESEHARIAN Oleh: Thaza Theresia Georly

Dalam serangkaian kegiatan-kegiatan asik ini, sebagian besar peran saya ada pada kegiatan bersama anak-anak. Bagi saya, berkomunikasi dengan anak kecil jauh lebih mudah dibandingkan dengan orang dewasa. Jadi, kegiatan dimana saya ikut terlibat aktif adalah pada kegiatan workshop bersama anak-anak (perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan Workshop Pot Kreatif, rangkaian kegiatan pada Workshop Besar, dan Menggambar Pekarangan Impian) atau kegiatan yang tidak memerlukan komunikasi sama sekali seperti pada kegiatan Pemetaan Pekarangan dan TOGA dan Senam Sehat Ibu-Ibu.

Apa yang kami presentasikan pada projek ini berupa apa yang telah kami lakukan yang hasilnya sebagian besar berupa kegagalan, yang produk akhir dari proyek ini merupakan sebuah “Taksonomi Kegagalan�. Ketika diminta merefleksikan diri, saya menjadi kembali bertanya-tanya sendiri, “Mengapa proyek kami yang asik ini bisa mengalami kegagalan berturut turut?� Menurut saya, kesalahan utama yang membawa kami pada satu kegagalan ke kegagalan lain berakar pada kegagalan awal yaitu pemilihan RT. Benar bahwa setiap area pasti punya masalah. Namun, saya tidak merasa RT ini punya sesuatu untuk kami "urus". 160


Masalah apa yang dapat kita temukan dari sebuah RT yang sudah lengkap dengan segala aktivitas pemererat warga, memiliki PAUD terbaik senasional, program TOGA (Tanaman Obat Keluarga), memperhatikan area hijau tiap rumah, bahkan biopori diseluruh jalanan RT? Bahkan, jika kita cermati, ada hal lucu yang terjadi. Bagaimana satu kegagalan, membawa kami kepada sebuah keberhasilan RT 04 yang lain. Selain mendapatkan “Taksonomi Kegagalan”, saya rasa proses ini membantu saya mengungkap satu demi satu keberhasilan RT 04. Kegagalan mewawancarai ibu-ibu senam membawa kami bertemu Humas RT yang menjabarkan seluk beluk keberhasilan kegiatan PKK dan sistem kampung yang teratur, hingga potensi tanaman TOGA. Dari sini lah, awalnya, kami tahu mengenai segala program kampung. Mungkin, kreativitas saya terlalu terbatas, tetapi segala macam kegiatan positif yang mungkin dapat diterapkan pada kampung, sudah diterapkan di kampung ini: Ronda, arisan bapak-bapak dan ibu-ibu, senam ibu-ibu, kumpul bapak-bapak, bersih-bersih kampung, perayaan-perayaan, dan sebagainya. Diskusi ini yang mengarahkan kami ke arah TOGA, karena program ini lah yang kurang maksimal dilakukan di RT ini di antara program yang lain. Lalu, selanjutnya, kegagalan kami mencari tahu 161

dan menganalisa potensi TOGA berkeliling RT menjabarkan kepada kami mengenai keberhasilan RT menyadarkan warga mengenai lahan hijau. Hampir tidak ada warga yang tidak memiliki lahan untuk menanam di rumahnya (paling tidak, dengan pot tanaman). Dari data dan pengamatan, terlihat bahwa hampir semua rumah dapat dikategorikan sebagai rumah sehat. Belum lagi, keberadaan biopori di seluruh jalanan kampung yang kami lewati. Setelah itu, memindahkan subjek kami dari ibu-ibu menjadi anakanak yang, selanjutnya, menggiring kami kepada keberhasilan RT menciptakan area pendidikan usia dini bagi anak-anak yang bermutu nasional. Kami gagal. RT ini berhasil. “everyday emphasis on the concrete and the real, the humble and the ordinary – lived experienced” Saya jadi bertanya-tanya, “Apakah yang saya lihat selama ini merupakan kehidupan keseharian yang ‘real, humble, and ordinary’ atau ini adalah sebuah kerangka besar keseharian yang dikonstruksi sedemikian rupa oleh pak RT sebagai ‘arsitek’ RT?”. RT adalah sebuah ruang domestik bagi warga. Namun, berada di dalam RT ini, seakan-akan saya sedang tidak berada dalam ruang domestik yang katanya adalah ruang terjadinya konflik. Domestic Space=Space of Conflicts.


Bisa saja ini terjadi karena pada dasarnya kegiatan yang kami sasar semuanya merupakan kegiatan komunal yang sudah dijadwalkan dengan baik, seperti senam, kumpul arisan, jumat bersih dan lain sebagainya. Bukankah kegiatan komunal seperti ini adalah kegiatan yang sudah dirancang sedemikian rupa? Contohnya, Ibu RT yang mengajar senam, bukan ibu-ibu biasa. Ia ikut serta dalam FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat se-Indonesia) dan berusaha meningkatkan acara senam ini ke tingkat Nasional.

Jika kita melihat RT (program, kejadian, dan kehidupan) sebagai sebuah bentuk arsitektur, maka kita bisa mencocokkan cirinya dengan mengacu pada esai Deborah Burke dan Steven Harris, yaitu Thoughts on the Everyday. Ada sepuluh poin yang disebut dalam esai itu yang bisa dipakai mengidentifikasi apakah suatu . arsitektur merupakan bentuk dari keseharian atau bukan yang menjadi dasar acuan saya juga dalam berargumen soal RT ini. 1. An Architecture of the everyday may be generic and anonymous. [...] the generic does not flaunt its maker. [...] it can lurk, loiter, slip beneath the surface. Dari sisi manapun, RT tidak bisa dikatakan anonymous. Setiap orang tau siapa "starchitect" RT ini. Dan, sekali lagi, RT ini tidak lurk, loiter apalagi slip beneath the surface. Dalam jenjang yang lebih tinggi, yaitu RW, RT 04 adalah RT paling ideal. Bahkan, seringkali program-programnya menyelesaikan masalah RT tetangga (misalnya ketika ada kasus kematian.) . 2. An Architecture of the everyday may be banal or common. It does not seek distinction by trying to be extraordinary. [...] in its mute refusal to say “look at me�, it doesn’t tell you what to think. Ketika semua cerita dan program yang 162


diberitahu . kepada kami membuat kami bersamasama bergumam “Woow”. 3. An Architecture of everyday may be crude. RT ini rasanya tidak mentah. Malah sangat matang. Setiap kegiatan tidak sekadar ada, tetapi juga direncana dan ditata dengan baik. Jika ada senam, bukan sekadar senam main main ala ibu-ibu RT. Jika ada acara jumat bersih, tidak hanya menyapu, tetapi juga ada rumah bergilir yang siap menyediakan makanan. Jika ada PAUD, levelnya nasional. Apa yang bisa disebut mentah dan kasar dari program-program di RT 04?. 4. An Architecture of the everyday may take on collective and symbolic meaning but it is not necessarily monumental. It questions if every building need to be one. Sebaliknya, semua program di RT ini seakan harus monumental. Jika tidak, ia akan hilang. Seperti tanaman TOGA tersebut contohnya. 5 .An Architecture of the everyday acknowledge domestic life. Events need not to be dictated and programmed by architects. Sama seperti poin pertama. Pak RT lah yang mendesain program-program RT. 163

6. .An Architecture of the everyday may change as quickly as fashion, but it is not always fashionable. Sedikit hal yang berubah dari RT 04 karena semua sudah terencana dan terorganisir dengan baik, maka rutinitas terjadi seperti itu dengan usaha-usaha pencapaian yang lebih tinggi dari rutinitas tersebut. Walaupun demikian, tetap ada empat aspek kehidupan keseharian yang saya setujui terjadi dalam RT ini. 7. .An Architecture of the everyday may be sensual. 8. .An Architecture of the everyday may also be vulgar dan visceral. 9. .An Architecture of the everyday respond to program and is functional. 10. .An Architecture of the everyday may therefore be quite ordinary. Sementara, enam aspek lainnya tidak saya setujui bisa dikatakan sejalan dengan apa yang terjadi pada RT ini. Dalam usaha saya mencari bangunan sederhana yang mencerminkan keseharian, ini lebih seperti masuk kedalam bangunan gagah yang dikonstruksi oleh seorang “starchitect”. Kita bisa melihat


bagaimana RT 04 ini adalah sebuah maha karya dari Bapak RT dan tim desainnya. An Architecture of the everyday is built RT ini tidak lagi menggambarkan sebuah gambaran kehidupan keseharian bagi saya. Saya tidak bisa memutuskan apakah kami tidak masuk cukup dalam sampai menemukan keseharian RT ini, atau memang menjadi “tidak terlalu sehari-hari� adalah keseharian dari RT ini. RT ini membangun menuju utopis. Menuju sebuah kesempurnaan sistem. Dengan konflik-konflik minor yang tidak terlalu penting untuk digubris, intervensi kami tidak dibutuhkan. Kami mencoba menyelesaikan masalah yang sejak awal tidak ada. Di luar —harus diakui juga bahwa ada faktor— kesalahan kami dalam memilih metode, melakukan pendekatan dan banyak faktor lainnya, namun inilah yang utama menurut pandangan saya. Proyek ini seperti berusaha membenahi sebuah toilet di mall besar karya, katakan saja, Rem Koolhaas agar (sedikit) lebih enak dan teratur. Rasanya tidak perlu, jelas tidak digubris dan tidak aneh juga jika lalu gagal.

164





ARSIP:

MATRIKS PROGRAM

Tabel N.1: Matriks Seluruh Program yang Dilaksanakan (Sumber: Tim Progasik)

168





REFERENSI

Pateman, Carole. 1970. Participation and Democratic Theory. Cambridge: At the University Press, 1970. Pp. 122.

PKK

Wastemorland, Kalene. 2006. A Dissertation: Interior Revolutions: Doing Domesticity, Advocating Feminism in Contemporary American Fiction. Tarleton State University. Pdf

Universitas Sumatera Utara. Tingkah Laku Anak pada Masa Perkembangan. cw.usu.ac.id/course/download/611PEDODONSIADASAR/kgm427_slide_tingkah_laku_anak_pada_masa_perke mbangan.pdf (diakses 11 Januari 2014)

172


Wakidi, Bambang. 2012. Tingkah Laku Anak Kecil dan Balita. http://bambangweblog.blogspot.com/2012/11/tingkah-laku-anak-kecil-dan-balita.html (diakses 11 Januari 2014)

Abdul, Indah Fajarwati. 2010. Macam-Macam Metode Mengajar. http://gurupaud.blogspot.com/2010/09/macam-macam-metode-mengajar.html (diakses 12 Januari 2014) Jikunikalu. 2012. Karakteristik Pembelajaran di TK. http://jikunikalu.wordpress.com/2012/06/14/karakteristikpembelajaran-di-tk-anak-usia-dini/ (diakses 12 Januari 2014)

Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Alfoadra Zamdekha

Arti kata. Definisi Gagal. http://www.artikata.com/arti-327565-gagal.html (diakses 11 Desember 2013) Pradana, gelar. 2010. Keberhasilan dan Kegagalan Implementasi Sistem Informasi di Perusahaan Bisnis. http://gelarheyn87.blogspot.com/2011/03/keberhasilan-dan-kegagalan-implementasi.html (diakses 11 Desember 2013)

173


Kompasiana. 2011. Teori Atribusi Berner Weiner dan Implementasinya dalam Pembelajaran. http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-atribusi-berner-weiner-dan-implementasinya-dalampembelajaran-346951.html (diakses 11 Desember 2013]

Annisa Dienfitriah

Heinen, Hilde. 2005. Gender en/ in burgerschap/ Les genres de la citoyennete. Colloquium Sophia. Pdf; Owens, Tom. 2003. Unstaked Territory: Frontiers of Beginning Design. Oklahoma State University, College of Engineering, Architecture, and Technology: Still Water OK. Wastemorland, Kalene. 2006. A Dissertation: Interior Revolutions: Doing Domesticity, Advocating Feminism in Contemporary American Fiction. Tarleton State University. Pdf

Indah Amalia Hasan

Mészáros, István. 1970. Marx’s Theory of Aienation. http://www.marxists.org/archive/meszaros/works/alien/meszaro3.htm (diakses 11 Desember 2013)

Thaza Theresia Georly

Haris, Steven, Deborah Berke. 1997. Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.

174



“Around here, however, we don't look backwards for very long. We keep moving forward, opening up new doors and doing new things, because we're curious...and curiosity keeps leading us down new paths.� - Walt Disney (Meet The Robinsons)




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.