
3 minute read
MODEL PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT YANG BERKELANJUTAN UNTUK PAPUA
Jakarta - Karena perkebunan kelapa sawit dapat menjadi kontributor signifikan bagi mata pencaharian masyarakat pedesaan di Indonesia, pemerintah telah memanfaatkan komoditas ini dan memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan memperluas perkebunan. Karena lahan untuk investasi perkebunan baru semakin langka di Kalimantan dan Sumatera, para pengembang perkebunan melirik Papua sebagai sumber tanah. Minat yang semakin meningkat dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua menawarkan peluang yang berpotensi, namun juga tantangan.
Pengembangan perkebunan di Papua telah membuka daerah-daerah terisolasi, mendorong pembangunan infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan pekerja. Namun, ketergantungan masyarakat adat terhadap hutan sebagai sumber kehidupan subsisten dan kurangnya pemahaman tentang kelapa sawit sebagai tanaman komersial menjadi hambatan besar dalam perekrutan dan keterlibatan mereka secara efektif dalam industri ini.
Selain itu, keengganan perusahaan untuk menerapkan skema perkebunan inti dan plasma (Nucleus Estate and Smallholder/NES) juga telah membatasi keterlibatan masyarakat lokal, meningkatkan kesenjangan dan seringkali menyebabkan ketegangan dalam proses perolehan lahan dan ketidakpuasan terhadap kompensasi yang rendah. Banyaknya pekerja migran yang dibawa untuk bekerja di perkebunan juga menjadi sumber konflik dengan penduduk setempat.
Perluasan perkebunan di Papua, yang semakin dipercepat dan sering kali berlebihan di bawah otonomi daerah sejak Papua sekarang terbagi menjadi enam administrasi provinsi, telah menyebabkan deforestasi dan dampak lingkungan negatif lainnya, seperti kualitas air yang buruk, polusi udara, dan erosi tanah. Kurangnya pengawasan oleh publik dan media utama terhadap perkembangan di Papua, serta jarak wilayah tersebut dari pengawasan Jakarta, dapat membuat situasi menjadi tidak terkendali.
Sebelum kerusakan menjadi tidak terkendali, pemerintah pusat harus melakukan intervensi untuk memperkenalkan rencana pengembangan berkelanjutan yang holistik sejajar dengan wilayah lain di Indonesia. Papua, wilayah yang paling tertinggal di negara ini, membutuhkan program pengembangan sosial ekonomi yang teruji dengan baik di mana kelapa sawit dapat memberikan manfaat bagi penduduk Papua yang besar dan menjaga perdamaian yang berlangsung lama di wilayah tersebut.
Menurut data tahun 2021 dari World Resource Institute (WRI), luas total Papua adalah 41,3 juta hektar, yang mencakup 36 juta hektar kawasan hutan, atau 87 persen dari luas tanah di wilayah tersebut. Kawasan hutan dominan di Papua berarti wilayah ini dianggap sebagai kawasan khusus dengan tutupan hutan tinggi (High Forest Cover Landscape/HFCL), sebuah istilah yang dicetuskan oleh Pendekatan Persediaan Karbon Tinggi (High Carbon Stock Approach/HCSA) untuk wilayah dengan tutupan hutan lebih dari 80 persen.
Menurut Kementerian Pertanian, terdapat 29 kontrak perkebunan kelapa sawit aktif di Papua dengan total luas 225.000 hektar, atau 0,5 persen dari luas total Papua, bagian yang tidak signifikan dari total perkebunan nasional sekitar 16 juta hektar. Luas kawasan konsesi yang telah diizinkan sekitar 1 juta hektar dan akan lebih besar jika tidak diambil langkah-langkah drastis pada tahun 2021, ketika pemerintah Provinsi Papua Barat mencabut 16 izin konsesi yang mencakup luas 340.000 hektar. Namun, karena hampir semua perkebunan kelapa sawit di wilayah ini dikelola oleh perusahaan, produksi kelapa sawit rata-rata di Papua 20 persen lebih tinggi daripada di bagian lain Indonesia. Ini berarti Papua memiliki tingkat produktivitas tertinggi dan lokasi terbaik untuk pengembangan kelapa sawit di dunia. Papua perlu diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang dan tumbuh secara ekonomi. Peluang pengembangan Papua dapat sepenuhnya dimanfaatkan jika industri kelapa sawit lokal dikembangkan dengan cara yang berkelanjutan, dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya unik wilayah ini.
Franki Samperante dari Yayasan Pusaka, sebuah organisasi non-pemerintah terkemuka di Papua, mencatat bahwa pengembangan kelapa sawit di Papua harus dilakukan dengan sangat menghormati hukum adat dan melindungi kepentingan masyarakat adat Papua, pekerja, dan keberlanjutan lingkungan. Pengembangan kelapa sawit juga harus mengurangi dampak sosial dan lingkungan yang negatif. Ia menekankan perlunya perubahan kebijakan untuk mencakup program pengembangan berbasis masyarakat yang memberikan prioritas pada keputusan dan mata pencaharian masyarakat Papua.
Berbeda dengan Sumatera dan Kalimantan yang telah mengalami perkembangan berlebihan pada perkebunan kelapa sawit, tanah yang subur di Papua masih menawarkan peluang luas untuk perkebunan baru, asalkan dilakukan secara berkelanjutan dan mengambil pelajaran dari kesalahan masa lalu. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa penerapan legislasi Uni Eropa tentang deforestasi tidak seketat dan keras seperti di Sumatera dan Kalimantan jika tidak, Papua akan semakin tertinggal dalam pengembangan.
Sebaliknya, pemerintah perlu mengawasi dengan cermat pengembangan platform pengembangan berkelanjutan di Papua sebagai HFCL untuk menjaga keseimbangan antara perlunya melestarikan hutan di wilayah tersebut tanpa mengorbankan tujuan keberlanjutan. Konsep pengembangan kelapa sawit di HFCL bukanlah hal baru. HCSA telah mencoba mengembangkan kerangka kerja, tetapi belum diuji atau diadopsi.
Mengingat urgensi yang muncul untuk strategi pembangunan baru di Papua guna mempercepat pembangunan wilayah tersebut menuju kemakmuran dan perdamaian yang baru, pemerintah harus proaktif dalam merumuskan kerangka kerja regional tentang pengembangan kelapa sawit berkelanjutan untuk Papua sebagai opsi pembangunan yang paling layak, yang mencakup tiga strategi.
Pertama, melakukan penilaian ulang penggunaan lahan di Papua secara menyeluruh yang mencakup wilayah dan lanskap, dibagi menjadi dua kategori utama yaitu stok karbon dan kawasan konservasi hutan dan pembangunan berkelanjutan dengan ketentuan-ketentuan khusus, di mana beberapa tingkat pengembangan yang terkendali dapat diizinkan sambil tetap menjaga stok karbon tinggi (HCS) dan nilai konservasi tinggi (HCV).
Kedua, merancang dan mengadopsi rencana pengembangan kelapa sawit berkelanjutan untuk Papua sebagai HFCL. Kerangka kerja ini harus memuat kondisi-kondisi untuk budidaya kelapa sawit yang berkelanjutan yang mencakup tujuan konservasi lingkungan, pembangunan wilayah, dan kesetaraan sosial.
Ketiga, mengevaluasi ulang dan membatasi budidaya kelapa sawit agar sepenuhnya mematuhi standar keberlanjutan. Pengembangan kelapa sawit baru di kawasan konsesi yang ada seluas 1 juta hektar harus dipantau dengan ketat, dengan memberikan prioritas kepada petani kelapa sawit kecil.
Terakhir, kita perlu mendidik dan meyakinkan pasar bahwa pengembangan kelapa sawit yang seimbang dan berkelanjutan di Papua untuk kemakmuran wilayah tersebut harus diizinkan, dan bahwa perubahan tutupan lahan yang terkendali harus dikecualikan dari label deforestasi.