Koran Panggung FTJ Desember 2014

Page 1

KORAN PANGGUNG TEATER STASIUN-�Repertoar Sabun Colek� Pembukaan FTJ 2014 Teater Kecil TIM-Jakarta 5 Desember 2014

1

#

PEMBUKAAN FTJ 2014

Bebas Menuju Kebaruan Festival Teater Jakarta menjadi saksi sejarah yang cukup panjang untuk kehidupan dan medan teater di Jakarta.

M

eskipun gerimis tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, antrian terlihat di lobby Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki-Jakarta, malam itu, 5 Desember 2014. Mereka mengantri untuk mengisi daftar hadir dan memperoleh buku acara Festival Teater Jakarta (FTJ) ke-42. Di luar lobby, tampak sejumlah insan teater Jakarta berbincang hangat sambil menikmati kopi dan sesekali memperhatikan serta mengomentari aktifitas di sekitar. Panitia FTJ 2014 yang telah bekerja selama kurang lebih tiga bulan untuk festival tahunan ini, memakai dress code warna putih, terlihat melakukan briefing lalu mempersiapkan diri untuk pelaksanaan Pembukaan FTJ 2014. Deretan x-banner kelompok peserta berdiri dan memperlihatkan visual yang beragam dengan keunikan desain grafis-nya. Jika melangkah ke selasar kanan, terhitung sekitar ratusan botol berjejer rapi, mengarah kepada beberapa buah meja yang merupakan bagian dari acara FTJ 2014 yaitu Workshop Seni Rupa Panggung dengan pemateri Hanafi. Pembukaan FTJ 2014 dibuka oleh Teater Stasiun yang membawakan Repertoar Sabun Colek. Pementasan ini merupakan hasil riset terhadap lokalitas di lingkungan pinggiran kota Jakarta. (Bersambung ke hal 8)

EDISI 5-9 DES 2014


KORAN PANGGUNG

Hal 2 # 001

Ruang Represi yang lain

Selalu ada wacana tersembunyi di dalam teks pertunjukan, wacana yang muncul tanpa rencana, tanpa titik fokus, namun seperti duri di dalam daging ia pelanpelan melahirkan kesakitan. Repertoar Sabun Colek yang dipertontonkan pada pembukaan FTJ ke-42 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki-Jakarta, 5 Desember 2014 pukul 19.00 WIB, membawakan dua fragmen, yaitu fragmen Got Mampet dan fragmen Ojek Prihatin. Sebuah jalinan kisah yang jauh secara naratif akan tetapi dekat secara gagasan. Dua fragmen ini muncul sebagai garis merah keras yang meneriakkan keprihatinan dan masalah-masalah kaum 'pinggiran' masyarakat kota.

D

alam fragmen Got Mampet, cerita bergerak diantara sirkulasi dialogis Fitri (Anggun Anggendari)-seorang biduan dangdut kelas bawah, dan Ibunya (Reni KH). Siapakah yang hidup tanpa problema? Disini wacana dialogis terjalin seperti mekanisme piston yang saling mengisi kekosongan, tak beradu, namun memiliki keterhubungan. Kemampuan teks untuk saling melilit dan menghubungkan wacananya masing-masing adalah sebuah pencapaian Teater Stasiun yang paling menarik, diluar bagaimana isinya-pencapaian ini adalah sebuah titik estetik yang menarik bagi keseluruhan pertunjukan. Repertoar Sabun Colek menawarkan keakraban lewat intuisi tokohnya, lewat jalinan Fitri dan Ibu, permasalahan dijahit dengan renyah, dan (kadang) menyenangkan. Kemampun Ibu untuk menarasikan hidup dan permasalahannya dihadirkan lewat jalan yang sangat natural, pemilihan bentuk adegan Ibu yang sedang mencuci pun bukan sebuah bentuk yang kosong. Ini adalah gambaran besar bagi pandangan dunia yang patriakal terhadap posisi perempuan. Ibu dijadikan fokus untuk melihat perempuan Indonesia dalam skala besar, sebuah gerakan represif kebudayaan patriarki yang menekan kemampuan perempuan. Hal ini muncul dari bagaimana secara naĂŻf, Ibu mengeluh mengenai hidup dan tidak bisa melepaskan diri dari kuasa laki-laki yang memang secara gamblang pula ia gambarkan bahwa laki-laki yang dinikahinya hanya membawa kesengsaraan. Tokoh Ibu yang berusaha dikuatkuatkan lewat bentuk dialog kemudian dihancurkan lewat kenaifan atas nama cinta, sebuah penyelesaian yang kosong, sebuah penyelesaian yang kita.

Teater Stasiun Repretoar Sabun Colek Di sisi lain, Fitri secara keras memperlihatkan dirinya menjadi dominatriks dalam kehidupan. Ia menjadi sebuah objek bagi dunia, kemampuannya untuk bertahan melalui apa y a n g i a sukai—bekerja dengan menjadi penyanyi, sementara Ibu menyerah lewat bentuk bertahan hidup sebagai kuli cuci—hal ini menunjukan bagaimana sifat dominan Fitri, yang secara sadar membawa dirinya sebagai potret perempuan lain di dalam fokus kuasa laki-laki. Namun meskipun memiliki garis keras pejuang yang direpresentasikan dengan anggun lewat dialog, tokoh Fitri tetaplah menjadi kenaifan lagi. Ia kembali menjatuhkan dirinya lewat narasi-narasi pretensius yang seolah berusaha ingin menunjukan ketidakberdayaannya sebagai perempuan. Jalinan kekuatan yang ada di tubuh Fitri dan Ibu kemudian menjadi mentah dan banal, akibat penyelesaian yang tergesa-gesa terhadap tubuh mereka yang memang perempuan. Fragmen Got Mampet ini secara buram mencoba mengangkat realitas perempuan pinggiran kota

Foto: Dyan Shinta

yang tertekan dibawah kebesaran narasi patriarki, perempuan dalam konteks masyarakat pinggiran masih terasa seperti kelamin kedua. Proyeksi sexist ini kemudian berlanjut ke fragmen Ojek Prihatin dimana terjadi percakapan antara Bapak dan Anak yang sama-sama berprofesi sebagai tukang ojek. Dialog sang anak secara tegas menyatakan bagaimana Bapak adalah seorang yang selalu menimbulkan penderitaan ke banyak orang, penderitaan tersebut terjadi lantaran Bapak sering menikah dan menelantarkan anak dan istrinya. Bapak (Ndang Rumeksa) dan Anak (Indie Silmi Rahmadi) secara baik dan terorganisir mengisi penuh ruang pertunjukan, walaupun seringkali terjadi bentukbentuk permainan yang indikatif, namun tetap saja gagasan yang dibawa tidak lari sedikitpun. Kemunculan Pedagang (Indra) memberikan gambaran keajaiban yang hanya bisa dirasakan penduduk kota, kejutan-kejutan ganjil, aneh, dan menyenangkan membuat warna pertunjukan ini tidak melulu menghadirkan kemuraman dan penderitaan hidup. Bentuk-bentuk ekspose perempuan dan kuasa laki-laki sangat jelas diproyeksikan di pertunjukan ini, dimulai ketika Fitri yang dihadirkan sebagai objek, sendiri, dan terekspos, kemudian kemunculan Blizt (Beri Ken Agnes) yang secara sensual bereaksi terhadap kehadiran dan tubuh Fitri. Adegan menjadi sebuah potret pahit perjalanan perempuan di dalam represi laki-laki, dan seolah perempuan menerima keadaan tersebut, sebuah kesadaran palsu yang (mungkin) sengaja diledakkan.

Foto: Dyan Shinta

Teater Stasiun, dengan sutradara dan naskah karya Edian Munaedi ini, pelan-pelan membuka FTJ 2014 dengan narasinya sendiri, sebuah narasi kota yang konstruktif dan padu. Dengan gagasan-gagasan yang mengenal dirinya sendiri, lewat hal tersebut kita bisa melihat FTJ adalah gerak sebuah kota, sebuah ritme yang hadir, berkembang, dan terbuka lewat berbagai kemungkinan. FTJ adalah kebebasan, sebuah ruang publik yang harus terus menerus dikembangkan, dan selalu terbuka dalam menyambut siapapun yang datang.*Ferdi Firdaus


KORAN PANGGUNG

Hal 3 # 001

Dari Matinya

Sindikat Aktor Jakarta

Kemewaktuan Kapai- Kapai Foto: Dyan Shinta

Kemiskinan adalah kaos oblong yang berlapis-lapis, dirobek dan dilucuti namun dia tetap melekat dengan tubuh kita.

hadir, jelas memiskinkan kualitas ruang sublim KapaiKapai. Di tangan Joind, Kapai-Kapai menjadi festival visual yang merentet, cerewet dan melulu menyoal televisi, seluruh gambar membetot isu cermin tipu daya sebagai keju kepada tikus bernama Abu.

K

emiskinan lengket dan menjerat, ingin kita lepaskan namun dia melekat dengan kuat. Semakin ingin kita lepaskan, semakin dia merubah terus tubuh kita menjadi kemiskinan lanjutnya. Abu dalam pertunjukan Kapai-Kapai, kelompok Sindikat Aktor Jakarta (SAJ) dengan sutradara Joind Bayuwinanda, membanting tubuhnya di atas panggung, kesakitan penuh memar, menjeblosnya ke dalam sumur mimpi, menarik dan menjatuhkannya lagi. Abu yang diperankan oleh Haikal Sanad terpelanting dan meringis. Abu mencoba melepaskan kaos oblongnya yang lusuh, namun robekan kaos oblong itu melepaskan dirinya semakin jauh ke dalam kubangan kemiskinan. Sementara itu bayang-bayang televisi di panggung belakang, melatari kegagapan Abu. Dirinya meringkuk kaku bertemu dengan zaman yang menggilas tubuhnya. Abu melongo di balik tubuh yang berlalu lalang di balik layar putih, menggemakan suarasuara jual-beli, dan keterjepitan diri diantara iklan-iklan televisi yang menawarkan seribu kehausan membeli. Abu impoten, kehilangan akses untuk bertemu dengan zaman. Abu terpekur di ujung panggung memandangi kilatankilatan iklan, lekuk tubuh wanita yang merangsang, wangi parfum yang menusuk tubuh, dan seruan-seruan untuk mengunjungi pusat perbelanjaan. Gelombang televisi merasuk, merangsang masuk ke dalam alam pikiran Abu, sel-sel saluran televisi menyelusup memasuki syaraf-nya, tubuh Abu berdentam, jari jemarinya mengendur, mengeras mengikuti volume saluran televisi. Urat-urat tubuh Abu menekuk, terkejut, mengejang dan lemas dalam bayang-bayang televisi yang menghisap seluruh nafas hidupnya. Di tengah-tengah kelelahan tersebut, Abu terkejut oleh kehadiran tokoh Om Super yang diperankan oleh Joind. Om Super adalah alter-ego Emak kepada Abu dalam tafsir Joind, seperti juga dalam naskah asli Arifin.C. Noer yang mengisahkan Emak sebagai bayang-bayang dari peta

hidup Abu. Emak adalah pencipta dan pemusnah Abu. Ibu dalam Kapai-Kapai adalah angan-angan yang menuntun kita melewati jalan mimpi, menjerumuskan kita ke dalam jurang khayalan. Emak adalah bayang-bayang yang melahirkan sekaligus membunuh anaknya sendiri. Teater yang hilang dalam jerat desain dan gambar

K

hayalan yang ditafsir dalam Kapai-Kapai kelompok SAJ ini, digeser oleh Joind ke dalam gagasan kapitalisme global. Jalan berputar Joind dalam pementasan ini adalah televisi. Jika Arifin C. Noer mengerahkan seluruh teks Kapai-Kapai yang asli untuk merogoh kelamnya dunia dongeng, mitos dan khayalan masyarakat nusantara, namun Joind melihat bahwa kelamnya masyarakat hari ini adalah ketertiduran panjang manusia di depan layar televisi yang menganga selama 24 jam per hari, mengisi pikiran-pikiran masyarakat kelas bawah, dalam keterkosongan akal yang bolong melompong, haus dalam dahaga bahagia. Abu adalah subjek terepresi yang terus meleleh di depan layar televisi, menggonggong meminta daging mimpi, memaksanya untuk terus menjadi pecandu angan-angan, membuatnya terperosok jatuh ke dalam pencarian panjang sebuah mitos bernama cermin tipu daya, dan televisi menunjukan jalan kepada Abu untuk terus masuk ke dalam kelamnya mimpi. Masalahnya adalah bahwa Joind luput melihat KapaiKapai sebagai teks yang memiliki kualitas mewaktu dan meruang. Kapai-Kapai adalah teks yang panjang mewaktu, bergetar dan sanggup meruangkan kembali kengerian atas sebuah pencarian diri yang nganga menuju ujung dunia, perjalanan abu yang hening dalam mencari lubang diri menjadi kering. Datar dan keringnya pemanggungan justru karena warna dan gambar terlalu banyak mengisi dan mewarnai adegan. Pilihan Joind yang terasa ingin menggambar-gambar-kan, menjelas-jelaskan, memposisikan seluruh elemen teks & sub-teks KapaiKapai (dalam tafsir kolonisasi televisi) untuk seluruhnya

Joind melakukan desain ulang dengan beberapa resiko yang menggantung. Panggung menjadi arena pikturisasi yang berlebihan, tiga kain putih yang dipasang sebagai set putar-balik, dengan latar scaffolding tersebut menjadi saksi yang memperlihatkan kecanggihan bentuk-bentuk interaktif media dalam wujud teater. Wajah-wajah tokoh Yang Kelam, Bulan dan Om Super sendiri beberapa kali tampak muncul-hilang di dalam layar multimedia panggung. Teater akhirnya menjadi mesin desain, seperti mesin fotokopi yang menggandakan beratus-ratus halaman tulisan, maka teater milik Joind-pun terus mereka-gandakan gambar untuk terus lahir di kanan dan kiri panggung. Joind seakan-akan tidak memberikan ruang kosong bagi keheningan makna untuk hadir di dalam panggung. Joind memberondong panggung dengan cahaya gemerlap, lintasan-lintasan gambar yang menohok, penjelasanpenjelasan yang bertele-tele, dan plot yang berulangulang. Cekaman hilang dalam pertunjukan Kapai-Kapai dari SAJ ini, menggunting dramaturgi gelap Kapai-Kapai menjadi jalan gambar yang terbata-bata. Yang Kelam bermain-main dengan tubuh yang musikal, lagu Idiotique dari Radiohead melenting mengisi ruang, Bulan bermainmain dengan lagu India, percakapan antara awal-bulan dan akhir-yang kelam tentang kedalaman ada menjadi renyah dan dangkal. Kedalaman mati di dalam cahaya proyektor, narasi waktu menjadi melompong dan lengang. Kelebatankelebatan gambar akhirnya melintasi terus mata kita, sehingga kita lupa akan kemewaktuan yang diusung oleh Arifin C. Noer. Keheningan dan kedunguan waktu untungya terasa di adegan terakhir, ketika Abu bersama Iyem terbujur busuk di akhir waktu. Mereka berjalan menuju satu pintu ke pintu yang lain, dan bertemu dengan belasan manusia yang sama-sama berjalan untuk bertemu dengan pintu waktu. Heroisme yang absurd dari Abu terasa menusuk, dan akhir dari adegan ini menyelamatkan kematian yang komikal dari sayatan teks Kapai-Kapai yang bergelimpang & berdarah di tangan penyutradaraan Joind.*Riyadhus Shalihin

Sabtu, 6 Desember 2014 Pukul 16.00 WIB di Teater Luwes-IKJ Alamat Group : Jl. Sasak 3 Rt. 003/02 No. 73 Kelapa dua Jakarta Barat 11550 Nama Pimpinan : Haikal Sanad No. Telp Pimpinan : 081280926639 Alamat e-mail Pimpinan : haikal.sanad@yahoo.com Alamat e-mail Grup : sindikataktorjakarta@gmail.com Facebook : Sindikat Aktor Jakarta Twiiter : @aktorJKT Tahun berdiri Grup : 2014


KORAN PANGGUNG

Hal 4 # 001

Panggung dari Sepasang Lelaki yang Kehilangan Biografi Tetater Lugas-Saxophone

Foto: Dyan Shinta

Gelembung-gelembung sabun berbentuk balon kecil mengapung di atas bath-up, balon-balon berwarna hijau tersebut naik dan turun seperti hujan dan embun sekaligus.

P

erlahan-lahan terdengar sayatan melodi yang liris dari lagu I will Always Love You-Whitney Houston, decak tawa lelaki perlahan-lahan mengisi ruang, seiring dengan menyelusupnya cahaya lighting yang semakin melebarkan jarak melihat. Tampak dua orang lelaki berbaju putih, muncul dari dalam bath-up, mereka muncul dari dalam bath-up, melongo dengan polos, saling berpelukan, melenguh dan luruh dalam gairah. Tuhan seakan berada di antara daging kelelakian mereka yang gembur. Menit-menit pertama dalam pementasan Saxophone oleh Teater Lugas, seluruh intensi penonton terhisap ke dalam gairah tubuh yang lebur dalam denting piano, percakapanpercakapan yang sederhana dalam iringan nada-nada dan letupan dialog yang ringan mengalir berhasil mengikat syaraf penyaksian para penonton. Tawa mereka mengalun dalam kenangan tentang percintaan lelaki yang tidak pernah memiliki pagi, gerimis yang telah berlalu dalam kenangan pahit yang tersisa sesudah persetubuhan. Percakapan antara Hans (diperankan oleh Olil Buntil) dan Fay (diperankan oleh Dani Husein) berjalan dengan balutan nada piano yang mengalun, berdenting perlahanlahan, merayap dengan lembut hingga masuk ke dalam wilayah interogasi diri yang menyesakkan kenangan. Fay pun meminta Hans untuk bersenandung tentang sebuah lagu yang memutarkan kembali ingatan tentang pertemuan mereka yang pertama. Senandung Hans seakan meruntuhkan gerimis di wajah Fay dan merubah ruang dramaturgi menjadi kesenduan yang berlarut-larut, begitu juga dengan Hans, seakan dirinya ditarik oleh kesenduan yang mengundang arah plot pertunjukan menjadi begitu melemas. Energi panggung perlahan-lahan semakin meredup, tenaga ruang menjadi samar-samar, perpindahan tubuh yang begitu tertata justru membuat penciptaan peran terasa terbata-bata, panggung menjadi museum kerapihan dan kepucatan peran. Yang tersisa hanyalah sayup-sayup kesedihan yang tertinggal di dalam naskah. Aktor seakan menjadi atribut panggung. Mereka merespon teks bukan dengan perwatakan yang menukik, keluar masuk panggung bukan untuk menjawab panggilan karakter. Aktor hanya menerima order dari sutradara untuk bergerak dan mengisi ruang, bukan untuk mengisi takdir tubuh terhadap peran.

melarutkan teks-teks. Identitas gay menjadi limbung. Persepsi tentang gay menjadi begitu berjarak dengan tubuh gay sendiri. Alih-alih ingin menggiring isu tentang gay, pementasan ini membuat jarak yang semakin membentang antara publik dan gay itu sendiri. Gay sebagai narasi besar dibetot kepada masalah masalah keragu-raguan, kebimbangan dan ketakutan kepada abnormalitasnya sendiri. Gay yang dibimbing kepada keketatan peta pemeranan, arsitektur yang rapih, denting piano yang melenting dan membius telah meninggalkan sebuah desing nganga yang memar. Ingatan tentang tubuh dan memori hasrat yang murni tidak ditemukan di dalam panggung Saxophone, kita hanya dapat menyaksikan tubuh sebagai artefak kerapihan dalam jahitan denting piano, peran sebagai sejarah yang ganjil, sejarah yang membungkam gairah, dan museum kesedihan untuk terus bersembunyi di dalam kematian watak. Mungkin kita masih dapat berharap pada arsitektur pementasan yang telah berhasil membacakan kembali ikhwal kehidupan dan kematian, kehidupan yang ditandai dengan munculnya Hans dan Fay di dalam bath-up, bersama hujan gelembung berhasil membuat penonton merasakan cinta yang gelap namun polos dan indah. Pada babak akhir, kematian dibacakan melalui racun yang diminum oleh Fay. Racun yang dilarutkan dalam minuman yang disuguhkan oleh Foto: Dyan Hans sendiri menuntun tubuh Fay bergerak keShinta arah bathup yang dibacakan melalui kesakitan tubuh Fay. Fay masuk ke dalam bath-up sekaligus peti mati bagi tubuhnya. Gelembung sabun kelahiran digantikan oleh sesal Hans yang lirih, geliat dan hasrat tubuh yang berkeringat menjadi kemuraman yang menjerit pelan, dan perlahan-lahan Fay meronta perih, menggapai-gapai tubuh Hans, meski Hans hanya menunduk, membaca kematian Fay dalam keheningan yang gelap dan curam.*Riyadhus Shalihin

Dimanakah biografi peran ketika tubuhmu hanya order tanpa bunyi

P

enataan peran yang dilakukan oleh Anto Malaya mendistribusikan titik yang kaku. Tangan Anto Malaya terasa kuat mencengkram tubuh aktor. Hans dan Fay memang mampu menahan penonton untuk tertegun menyaksikan rapihnya jalinan penyutradaraan, namun kita tidak melihat daging peran tumbuh daripadanya. Urat manusia yang tumbuh dari pada perasaan-perasaan gay yang telah lama hidup bersama terasa terjebak di dalam dinding kesedihan dan kesenduan, seluruh pertanyaan-pertanyaan tentang hidup yang terasa menghukum sepasang gay menjadi begitu hitam putih. Mengapa mesti ada kesedihan yang berlumut di wajah Fay, mengapa mesti tetap ada keteguhan yang memaksa Hans untuk tegar di atas panggung. Ketika kita tahu bahwa mereka adalah sepasang gay yang telah hidup lama bersama. Premis pun menjadi begitu na誰f dan melankolis. Hans dan Fay seakan hidup dalam payung cekaman, meskipun hujan cercaan telah lama membasahi mereka, dan mereka sudah tahu bahwa baju keadaban tidak akan pernah kering di tubuh mereka. Kewajaran sepasang gay seakan hanya ada di luar panggung, Sepasang gay yang ada di atas pentas Saxophone adalah ketertiban peran yang begitu memasung ketidakterbatasan hasrat tubuh dari sepasang gay. Di luar itu sendiri ada taktik plot yang digulirkan oleh sutradara dalam membuat strategi naratologis, yaitu: fragmen sabun dan gelembung di atas bath-up sebagai pembuka peristiwa, percakapan ringan antara Hans dan Fay yang dibumbui oleh alunan piano yang liris. Kedatangan tokoh presenter yang menjembatani masa lalu dan kembalinya masa kini, penyesalan yang kembali, ilusi kedatangan ibu, kemarahan kepada Tuhan, hingga akhirnya meracuni Fay untuk mengakhiri elegi yang melankolis. Ada premis yang terasa gamang dari ceracau Hans, ledakan teks berupa hujatan terhadap ibu, hujatan terhadap agama, hujatan terhadap Tuhan adalah kenyataan gay yang heroik di atas panggung, kenyataan hujatan bukan sejumput sejarah yang hadir di belakang peran. Kenyataan ceracau itu hanya dibangun dari arsitektur kesenduan, mimik yang mengaduh, penyesalanpenyesalan yang mengiris dan lantunan piano yang

Sabtu, 6 Desember 2014 pukul 20.00 WIB di Teater Kecil-TIM Nama Grup : JL. Kali Anyar VI Persima 3 Rt 003/06 Kali Anyar, Tambora Jakarta Barat Nama Pimpinan : Olil Buntil No. Telp Pimpinan : 085718265725 Alamat e-mail Grup :teaterlugas@gmail.com Tahun Berdiri Grup : 31 Oktober 2013 Foto: Dyan Shinta


KORAN PANGGUNG

Hal 5 # 001

Tema Kemiskinan

Dari Kalangan Remaja Teater Sneptu-Lorong

Dedaunan kering berserakan di lantai arena Teater Luwes. Pada pinggir kanan dan kiri, berdiri deretan rumah gubuk, rumah kardus, rumah triplek, dengan barang-barang rongsokan di atapnya. Musik tetabuhan mengiringi penonton untuk masuk dan berhadapan dengan teater yang sebentar lagi akan disaksikannya.

P

ada ketinggian panggung prosenium tampak bangunan WC dengan memakai seng-seng bekas sebagai dindingnya. Perempuan-perempuan berdaster dan bersarung muncul dari rumah-rumah mungil itu. Pertemuan warga perkampungan kumuh ini terjadi di bangku panjang yang mengambil posisi pada bagian tengah arena pentas. Mereka bahu-membahu menolong warga yang sakit. Diselingi dengan candaan, makian, dan saling meledek. Tetapi ada juga anak kecil yang berani menentang orang tua. Warga yang sakit itu, secara ajaib, dapat disembuhkan oleh orang asing dengan pakaian jas nan rapi yang tiba-tiba datang ke perkampungan kumuh itu. Rupanya orang berjas tersebut merupakan kaki tangan dari seorang pengusaha yang ingin menguasai perkampungan itu untuk kepentingan bisnisnya. Ketika warga bersikukuh mempertahankan tanah tempat tinggal mereka, tindakan premanisme dihadirkan untuk memporak-porandakan rumah-rumah yang rapuh itu. Premanisme yang muncul dari lingkungan internal setelah didorong oleh godaan uang. Teater Sneptu dengan sutradara Nuryeni dan naskah karya Puthut Buchori ini seperti mengusung semangat pembelaan terhadap wong cilik. Dalam sinopsisnya, mereka menulis: tempat tinggal kami memang tidak terdaftar di peta. Ia tertutup gedung perkantoran, hotel, dan mall mewah. Tapi…sungguh, kami ada dan nyata. Sebuah semangat yang akan tampil dengan perwujudan pentas yang mantap jika Teater Sneptu mau secara lebih siap merapikan permainan akting-nya, mulai dari tingkat konsentrasi pemain, penghayatan, dan perangkat keaktoran lainnya. Tema hubungan kemiskinan dengan negara muncul melalui bendera merah-putih yang diangkat melalui tangan lunglai seorang anak kecil dan lagu Indonesia Raya

yang keluar secara sumbang dari m u l u t n y a . Kemiskinan yang masih juga mengandalkan negara untuk mengatasinya. Atau pengadeganan seperti itu selalu menghasilkan bingkai ketersudutan posisi pemerintah yang dilihat seperti tak peduli tehadap kesejahteraan rakyat. Pemerintah selalu ditampilkan absen tindakan dalam kekumuhan ini. Padahal, alangkah menariknya jika Teater Sneptu memiliki visi tersendiri mengenai hubungan pemerintah dengan kemiskinan pada pementasan ini. Dengan menampilkan para pemain yang masih duduk di bangku SMA, Teater Sneptu mengangkat naskah yang sebenarnya berpotensi untuk merangsang riset lapangan terhadap lingkungan di sekitar mereka. Mereka mencoba untuk keluar dari narasi internal anak SMA yang lazim dibuat oleh teater-teater sekolah seperti percintaan dan pergaulan remaja. Hanya saja, kejujuran untuk mengusung tema-tema sosial seperti ini memang masih sering dipertanyakan, apakah benarbenar lahir dari alam pikir dan batin siswa-siswi SMA? Sementara di sisi lain, pementasan naskah seperti ini merupakan usaha menuju pendewasaan diri dari individu kalangan remaja. Rumah-rumah gubuk yang hancur pada ending pementasan ini seperti memberikan gambaran tragis tentang masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan yang dihantam tekanan sosial-ekonomi dan penderitaan tak berkesudahan. Gambaran yang juga

foto : Ferdi Firdaus

sering kita lihat dalam pemberitaan-pemberitaan di media massa tentang penggusuran yang masih berlanjut tanpa solusi lain dari permasalahan kehidupan bersama.*Dendi Madiya

Minggu, 7 Desember 2014 pukul 16.00 WIB di Teater Luwes-IKJ Alamat Group : JL. Laks.R.E Martadinata Tanjung Priok Jakarta Utara 14350 Nama Pimpinan : Rizki Intan May Beyna No. Telp Pimpinan : 089601847783 Alamat e-mail Pimpinan : Rizkiintan16@yahoo.com Facebook : Teater Sneptu SMAN 41 Jakarta Tahun berdiri Grup : 2014


KORAN PANGGUNG

Hal 6 # 001

Parade Gagasan Komunitas Ranggon Sastra tiTIKKUSut

dan

Kegagalan Eksploratif Minggu, 7 Desember 2014 pukul 20.00 WIB di Teater Kecil-TIM Alamat Grup : Jl. Raya Tengah. No 100. Rt/Rw 06/09 KrL.Tengan. Kec. Keramat Jati. Jaktim Nama Pimpinan : Ali Ibnu Anwar No. Telp Pimpinan : 085285303001 Alamat e-mail Pimpinan : Hyperlink;ali.ibnuanwar@gmail.com Alamat e-mail Grup : Hyperlink;ranggon.sastra@yahoo.com Facebook : Komunitas Ranggon Sastra Twiiter : @Komunitas Ranggon Sastra Tahun berdiri Grup : 2009

foto : Ferdi Firdaus

Teater adalah media penyampai gagasan. Itulah yang disampaikan Saini KM, dan sewajarnya kita akan menyetujui pendapatnya karena gagasan adalah hal yang sangat mendasari peristiwa teater. Ta n p a g a g a s a n , t e a t e r a d a l a h kekosongan tanpa syarat.

S

ebagai media penyampai gagasan, teater harus memikirkan strategi penuturannya sendiri, bentuk naratif harusnya menjadi penajam gagasan, peristiwa haruslah dijahit dengan cermat dan cekatan. Bagaimanapun gagasan adalah nyawa teater. Namun tanpa tubuh, nyawa hanyalah ketidakmaterian yang tak bergerak, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Inilah yang terjadi pada pertunjukan tiTIKKUSut oleh Komunitas Ranggon Sastra. Secara jelas pertunjukan ini merepresentasikan kegelisahan tentang korupsi yang terjadi di Indonesia, yang bahkan sudah masuk ke ranah kebudayaan. Dimulai ketika dua mahasiswa bertemu dengan dua orang pedagang. Mereka kemudian terlibat dalam satu dialog mengenai korupsi, dan bersama berusaha mencari solusi untuk memberantas korupsi. Naskah asli kelompok ini yang ditulis Luthfi Setyo Whidy, terasa sangat lemah dalam mencari 'istilah' baru tentang koruptor. Lagi-lagi mereka menggunakan 'tikus' sebagai rujukan yang mengarah pada koruptor, sebuah dead metaphor yang membuat tampaknya naskah ini tidak menawarkan apaapa lagi. Kegelisahan tentang korupsi tampaknya sangat menukak bergerak di dalam tubuh Komunitas Ranggon Sastra dan dengan frontal mereka meneriakan hal tersebut langsung ke arah penonton dengan jelas dan terang, seperti membawa sebuah rahasia umum untuk kembali disampaikan lagi. Tak ada yang salah dengan gagasan dan kegelisahan tersebut, namun pertunjukan tiTIKKUSut ini cenderung mengarah ke dalam bentuk verbal yang menjemukan, dialog tanpa motivasi membuat gagasan menjadi sebuah bunyi-bunyi dialog yang klise, akor bekerja seperti mesin pelontar dialog yang tidak berfikir dan tidak memiliki orientasi untuk memproses informasi. Adegan demi adegan direpresentasikan dengan sangat tergesa-gesa, seperti peristiwa teater yang tidak memiliki dasar berfikir. Pertunjukan bergerak pada keniscayaan aktor, gerakan aktor yang selalu mengarah ke kecenderungan bentuk permainan histronik terlihat primitif, lakon yang sangat penuh ini kemudian berubah

menjadi jalinan dialog yang melelahkan. Kemunculan aktor-aktor pun kemudian lahir menjadi tubuh tanpa pemeranan, slapstick primodialisme yang muncul pada tokoh penjual racun merefleksikan keluguan kita untuk tidak mengakui kecerdasan kesukuan. Tokoh tersebut dibuat 'lucu' dengan dialek lokal, pemikiran naif, busana yang mencolok, yang kemudian melahirkan bentukbentuk slapstick kasar dengan tujuan hampa: mencapai tawa. Tata artistik cenderung tidak bergerak. Pertunjukan ini menawarkan zero black out dimana tidak terjadi pergantian set yang signifikan. Pembangunan stage yang lebih tinggi dibagian belakang, dijadikan dimensi ruang yang lain. Dimensi ruang tersebut menjadi sebuah ruang perjalanan, baik perjalanan yang dilakukan kelompok pencari solusi korupsi, pun perjalanan perempuan penutur yang berada di luar dimensi ruang kelompok pertama. Pembagian ruang ini kemudian direproduksi berkali-kali menjadi sebuah lingkaran naratif yang terkesan wajar, sutradara tidak mencari penawaran gerak ruang yang lain. Ruang tersebut difungsikan secara maksimal bahkan cenderung berlebihan, seperti menandakan dengan gamblang kebuntuan pencarian ruang gerak yang lain, yang lebih efektif dan eksploratif. Hal cerdas yang ditawarkan oleh pertunjukan ini adalah central panggung yang bisa dialihfungsikan menjadi berbagai macam ruang. Komunitas Ranggon Sastra memberikan sebuah bidang kubus yang multifungsi, dan dapat diubah tanpa ada penanda yang masuk ke dalam ekspektasi penonton. Ia membuat kubus itu berubah sesuai tuntutan adegan, dimulai ketika menjadi warung minuman keras, kemudian toko penjaja racun, sampai kemudian menjadi perpustakaan tempat lakon ini berakhir. Diluar ruang tersebut, panggung adalah ikatan yang menjalin adegan-adegan. Namun sayangnya bentukbentuk gerak penguasaan panggung dipaksakan dengan (lagi) tanpa motivasi. Aktor bergerak untuk mengisi kekosongan, mendekat dan menjauh, sebuah gerakan reaktif yang terprogram. Pembuangan dialog yang selalu diarahkan ke penonton seolah mencoba melemparkan gagasan-gagasan penting langsung ke wajah penonton. tiTIKKUSut yang dimainkan oleh Komunitas Ranggon Sastra adalah sebuah parade gagasan yang tidak disertai dengan kemampuan daya ucap, penuh dengan teriakan, gerakan histronik, motivasi yang kosong, dan ketidakmampuan melihat peluang eksploratif. Pertunjukan ini masih dipenuhi nafsu untuk membicarakan kegelisahannya secara verbal dan frontal, nafsu inilah yang kemudian membunuh pertunjukannya sendiri.*Ferdi Firdaus foto : Ferdi Firdaus


KORAN PANGGUNG

Hal 7 # 001

Refleksi Tenggelamnya Jakarta:

Hasil Dua Pembacaan Riset Teater Berbagai prediksi para ahli dari peneliti dan ilmuwan mengatakan bila Jakarta dan beberapa capital city di dunia akan tenggelam dan amblas antara 2020 dan 2030. Alasannya pun turut beragam, dari mulai letak Jakarta yang lebih rendah dari permukaan laut, minimnya daerah resapan (drainase), sungai yang tidak bisa mengalirkan dirinya sendiri karena bendungan sampah, proyek-proyek pembangunan yang massif, tata kota yang semrawut hingga perubahan iklim. Inti persoalan dari prediksi ini adalah tenggelamnya Jakarta akibat faktor ekologi dan sosial human eror.

M

engkaji lebih mendalam, letak esensi prediksi ini sebenarnya bukan pada air, angka dan penyebabnya, tetapi yang genting untuk dikhawatirkan adalah bila ibu kota negara lenyap. Tentu saja akan menghancurkan sebuah kebudayaan yang multikutural dan manusia yang mendiaminya. Bila prediksi ini tepat, mungkin Tuhan dan alam ingin mengembalikan Jakarta dan manusianya ke titik nol. Selanjutnya, siapakah yang peduli dan memberikan solusi atas prediksi ini selain para ilmuwan? Apakah negara dan pemimpin, rakyat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lalu bagaimana dengan kepedulian seni dan seniman merespon ini? Ketika kita tersadarkan dengan sebuah prediksi peristiwa tenggelamnya Jakarta, tentu isu ini jauh dari isu seksi yang kebanyakan dijadikan tema seni pertunjukan saat ini. Komite Teater-Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggagas tema “Jakarta Kota yang Tenggelam” berdasarkan pembacaan terhadap isu yang penting (urgent) secara global dan para pelaku teater harus bergerak untuk meresponnya. Salah satu caranya adalah melalui riset mendalam yang hampir jarang dilakukan oleh pelaku teater.

Foto: Dyan Shinta

Pilihan Komite Teater DKJ untuk meriset fenomena ini ditawarkan pada tiga teater, meskipun Teater Kubur dan Lab Teater Ciputat yang menjalaninya secara berkelanjutan. Keduanya memilih situs yang menarik dan saling mengisi, daerah hulu di kali Pesanggarahan oleh Lab Teater Ciputat dan daerah hilir oleh Teater Kubur di Kampung Apung. Berdasarkan kepedulian terhadap lingkungan dan berbagai persoalannya, keduanya melakukan riset berupa observasi partisipasi dan mempresentasikannya dalam “Presentasi Riset Teater Kota yang Tenggelam” pembicara Dindon W.S sebagai pimpinan dan Yustiansyah Lesmana sebagai periset, sedangkan presentasi Lab Teater Ciputat oleh Bambang Prihadi. Presentasi ini merupakan rangkaian acara Festival Teater Jakarta ke-42 berlangsung Sabtu (6/12) di Loby Teater Kecil. Teater adalah salah satu bentuk kesenian yang berakar pada “drama sosial”, di mana manusia mengalami situasi dramatis pertama kali, yang kemudian tersadarkan. Selanjutnya menjadi pergelaran “drama teatrikal”. Pengertian menurut antropolog Victor Turner ini menjelaskan bila realitas kesenian dan realitas keseharian hidup manusia begitu dekat. Membaca presentasi para periset melalui penjelasan verbal dan visual foto meski belum maksimal, tetapi para pengunjung seolah ditarik membaca “drama sosial dan ekologi” secara nyata terhadap kondisi Kampung Apung dan cerita Kali Pesanggrahan bersama sosok Mang Idin yang luar biasa. Identitas, Adaptasi dan Solusi Kultural Masyarakat.

S

ebuah peristiwa di mana air merendam sebuah daerah hingga berlangsung selama 22 tahun, menggantikan identitas daerah Kapuk Teko menjadi Kampung Apung---terutama setelah media lokal dan dunia pada 1998 mengekspos kondisi Kampung Apung sebagai pusat air yang menggenang. Penyebabnya, menurut Yustiansyah dimulai sejak adanya grand desain pembangunan sejak 1986 di daerah Pantai Indah Kapuk hingga antara 1992 atau 1994 terjadi banjir permanen. Adaptasi yang dilakukan masyarakat Kampung Apung di mana luas daerahnya sekitar satu hektar dan satu Rukun Wa r g a ( RW ) , d i l a k u k a n l e b i h p a d a c a r a swasembada/mandiri. Para warga yang kebanyakan bekerja sebagai buruh cuci, tukang ojeg dan pegawai biasa beradaptasi dengan cara rumah yang selalu ditinggikan (rumah liliput), jembatan kayu menjadi jembatan beton dan yang menarik adalah mereka menumpuk sampah agar dapat menahan air. “Ada satu bagian daerah kalau kita jalan akan terasa tanahnya bergoyang atau fleksibel, di bawahnya itu gunungan sampah,” jelas Yustiansyah.

Foto: Dyan Shinta

Kerusakan ekologi yang lebih diperparah oleh salah satu adaptasi dengan gunungan sampah ini membuat kondisi Kampung Apung berdampak semakin buruk. Menurut Dindon, salah satu situasi yang dianggap mengerikan adalah ketika seorang ibu melahirkandan harus terjaga

untuk mengawasi anaknya sebulan penuh agar tidak terkena penyakit terutama malaria. Selain itu, tiga korban anak kecil baru-baru ini tewas karena tenggelam. Selanjutnya, mengapa masyarakat masih bertahan tinggal di Kampung Apung? Menurut Dindon, mereka masih ingin merawat identitas budaya asli nenek moyang sebagai masyarakat Betawi. Di sisi lain ada yang memanfaatkan situasi dengan menjual kemiskinan. Bagi yang sudah merasa klimaks dengan situasi ini juga merasa kebingungan karena sulitnya menjual rumah mereka. Padahal para warga selalu dibayangi kerinduan akan kampung yang dahulu memiliki kesenian Cokek, Gambang Kromong dan Lenong, hingga kerinduan pada nenek moyang yang makamnya tinggal tersisa rawa dan eceng gondok. Semoga Teater Kubur dari riset partisipasi dapat mengembalikan kerinduan, berupa teater pemberdayaan hingga ke atas panggung untuk mengembalikan kerinduan mereka melalui persoalan masa kini. Berbeda dengan Teater Kubur yang lebih meneliti dan mendampingi masyarakat secara komunal. Pada Lab Teater Ciputat melalui Kali Pesanggarahan, di Karang Tengah ini ditemukanlah Chaerudin, disapa Mang Idin sebagai jawara lingkungan. Mang Idin secara nyata memberikan solusi kultural. Sebagai fasilitator yang merubah pola pikir masyarakat, Mang Idin berjuang selama 25 tahun untuk mengembalikan keindahan Kali Pesanggarahan dengan membuat ekosistem sendiri, mengajak masyarakat untuk menanam tanaman, bambu hingga hutan. “Mang Idin berbicara tentang karakter, alam ini bukan warisan, tetapi titipan,” jelas Bambang.Kedua riset yang dilakukan adalah sebuah pembacaan terhadap kondisi Jakarta dari contoh daerah hulu dan hilir untuk melihat kemungkinan Jakarta sebagai kota yang tenggelam. Melalui presentasi kedua kelompok teater ini kita bisa membaca identitas masyarakat bersama adaptasinya. Adapun bila di Kampung Apung cenderung pada sebuah “politik lokasi” dengan adanya pembangunan masif, sehingga menimbulkan kerusakan hingga tercipta identitas masyarakat Kampung Apung yang masih menunggu solusi nyata. Di daerah Kali Pesanggarahan sungguh beruntung mendapatkan pejuang lingkungan yang revolusioner mengubah kondisi dengan solusi kultural. Seandainya, bila penghuni Jakarta mau jujur pada dirinya sendiri, sebenarnya yang menyebabkan banjir di Jakarta setiap tahun sejak zaman Belanda hingga saat ini adalah perilaku manusianya. Alam selalu menjadi kambing hitam, karena penghuni Jakarta tidak akan sudi menyalahkan dirinya sendiri, kecuali ada perubahan di pola pikir dan solusi kultural. Salah satunya dengan teater yang menyentuh masyarakat langsung, tidak sekadar di panggung. *Ratu Selvi Agnesia


Bebas Menuju Kebaruan Usai pentas Teater Stasiun, Malhamang Zamzam selaku Project Officer FTJ 2014 mengucapkan selamat datang kepada para sutradara dan anggota grup peserta yang turut hadir malam itu. Sebanyak 18 grup akan bertarung dalam festival tahun ini.

Tahun ini, FTJ bertema “Bebas.” Tidak ada ketentuan untuk membuat atau mengambil naskah tertentu dengan harapan munculnya pencarian kebaruan yang melahirkan kesegaran yang berangkat dari kebebasan tersebut.

Melalui laporannya, Malhamang menjelaskan beberapa acara pendamping. Diantaranya Presentasi Riset Kota yang Tenggelam, Workshop Seni Rupa Panggung, Sharing Kelompok Diskusi Postdramatic Theatre, Diskusi Pertunjukan Peserta Lomba, Koran FTJ dan Warung FTJ yang didalamnya terdapat live music, performance art, pemutaran video teater FTJ serta aneka jajanan.

Dalam sambutannya, Prof. DR. Sylviana Murni, Deputi Gubernur DKI Jakarta, Bidang Kebudayaan dan Pariwisata turut menantang insan teater untuk melahirkan kreatifitas baru dengan memanfaatkan ruang-ruang publik, tempat terbuka seperti taman, agar teater memiliki kedekatan dengan masyarakat.

“Dengan sangat bersenang hati, pada tahun ini kami memiliki website FTJ yang akan terus dikembangkan karena perjalanan 42 tahun harus dicatat dan bisa dilihat serta dipelajari oleh banyak orang,” ungkap Dewi Noviami, Ketua Komite Teater-Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). FTJ juga diharapkan tidak hanya mendapat liputan dari media massa tetapi juga memperoleh ulasan-ulasan kritis.

FTJ tahun ini memiliki komposisi juri yang terdiri dari Seno Joko Suyono, Dindon WS, Iswadi Pratama, Zen Hae dan Ugeng T. Moetidjo. Pembukaan FTJ 2014 juga dimeriahkan oleh grup band Lokal Ambience yang membawakan lagu-lagu hit mereka dan disambut dengan hangat oleh para pekerja teater Jakarta.*(Dendi Madiya, Hamidah)

Koran Panggung FTJ > Pemred: Dendi Madiya Tim Redaksi: Ferdi Firdaus, Riyadhus Shalihin, Hamidah Layouter: Fidelis Krus Yosua, Penulis Tamu: Ratu Selvi Agnesia

FTJ 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.