1
2
SOTTA! aso nda’u. sitau. one year. 1 thn. satu tahun. tok tok waow! sudah setahun eee... (mikir gaya plato). itu artinya setahun lalu kita masih sibuk dengan... apa ee? eh, tundulu. bukan setahun. kabel #4 bicara tentang ramadhan tahun lalu. kabel #6 brojol setelahnya. berarti bukan setahun lalu. tapi, hampir setahun lalu. ah, betulbetulbantul. leskraken moxifera setigria. itu sudah. hampir setahun lalu kami lumpuh. sesumbar kata pengantar kabel edisi #4 mempermalukan kami. lewat itu, sepertinya tuhan baru saja menjewer kami untuk merapikan kata-kata dan mengilapkan keikhlasan lagi. karena ternyata dari resep prematur yg kami erami, ada celah yg melumpuhkan hampir seluruh topografi semangat dan menempatkan kebosanan bertahta di sudut sana. ya, kebosanan itu membuat kami malas mengerjakan apa-apa. sampai-sampai kami juga malas menguraikan pnjang lebarnya alasan itu padamu disini. sehingga, tidak ada pilihan lain selain harus lebih mengilapkan keikhlasan lagi. yap. kami harus lebih mengilapkan keikhlasan lagi. apa?! keikhlasan? hei yang benar saja bro. kenapa training keikhlasan mu kau kabarkan di lembaran ini?! bukankah orang yang terang-terangan mempablis keikhlasannya adalah orang yang rentan tidak sadar bahwa di waktu yang sama sedang tidak ikhlas? contoh: “wahai para pembaca sekalian... mulai saat ini, kami bagikan kabel ini kepada kalian tanpa di pungut biaya alias GRATIS.. tis... tis...! sumpah! kami ikhlas kok! suer dah!� bo aabboo... tra bisa itu pace. no can. tidabissaa... makanya, kami patok harga kabel ini sejumlah lima.000 agar kalian mampu beli dan kami tidak terjebak dosa lagi. tapi klo ndak bisa en ndak mau beli, yah paling tidak:minimal fotokopi lah. tidak kah kau bahagia menjadi kurir Allah, yang lewat tanganmu rejeki dari-Nya untuk tukang fotokopi, bisa sampai? minimal fotolah kopi. tidak kah kau ingin menjadi penebar risalah suci akhir zaman, yang lewat foto kopi mu mampu mengumpulkan para petani kopi untuk membahas musrenbang usaha kopi dan sebelum musrenbang selesai ada acara bagi2 majalah kabel di cicil lima kali sehingga dengan begitu risalah suci dari-Nya untuk tukang foto kopi, bisa sampai? *ampun dah* ok fine. marilah kita menutup acara ini dengan bersama-sama mengucapkan hamdalah. Alhamdu...lillah... tsumma alhamdulillahi rabbil’alaamiin... awalnya ia sekedar pelepah kayu dengan sentuhan teknologi. kami beri nama kabel sambil berlari merayakan kejujuran diksi. ya, sekedar ingin tahu saja. apakah orang akan bertanya-tanya: mampukah ia menjawab segala macam tanya? terimakasih sekali telah membaca note ini. -kamiPelindung : Allah SWT. Typewritter : Itonroy, Ridwan Elram Cover & Page Designer : ending Finance : Rizal Ode Distributor : kami, kau, dan kalian Hotline : 085298361146
3
Mama Tweet By: E.S ITO
Dia adalah seorang pecinta kehidupan, karena itu dia tidak banyak tidur. Dalam dunia dimana nasib baik seringkali datang tidak tentu ini, mata tidak boleh terpejam terlalu lama. Pukul enam kurang sepuluh dia bangun pagi. Suaminya bangun lebih cepat, telah berpakaian rapi tidak ingin mentari terlalu tinggi untuk menggorengnya dengan cahaya yang memanaskan besi motor. Dua orang anaknya, satu kelas empat es-de, satu lagi masih te-ka; mulai ribut soal sarapan. Untunglah keluarga sederhana pekerja ibukota ini masih sanggup menggaji seorang pembantu, yang tidak tahu lagi dimana mesti menghabiskan hari tua-nya, kecuali tinggal di kontrakan keluarga ini. Kesadaran dimulai dari sapaan. Dia
memahaminya sebagai hukum alam. Sebelum mata penuh terjaga, tangannya merayapi setiap jengkal ranjang. Dia lega, dia menemukannya. Jari lincah menari, saatnya menghadirkan sapaan hangat di pagi hari. “Pagi Tweeps..�, dan dia tenggelam dalam dunia baru itu, realita bertukar tempat. Sejak Blackberry hasil arisan itu dia dapatkan, hidupnya mulai berubah. Apalagi kemudian dia menemukan dunia yang ramah bagi siapa saja yang rajin untuk menyapa, twitter. Di tengah dunia nyata yang memberi curiga pada setiap kata sapa ini, ijazah diploma nya tidak membuka ruang yang luas untuk kehidupan. Apalagi dia menikah cepat dengan jabang bayi yang tidak sabar untuk keluar. Dunia yang gemar memilah ini hanya memberikan peran kecil baginya, menjadi pegawai administrasi di
4 sebuah perusahaan jasa kecil, seorang istri dan ibu dari dua orang anak. Peran yang pada awalnya dinikmatinya sebelum dia terlalu banyak melihat dan kemudian menakar kehidupannya dengan kehidupan orang lain. Fatamorgana memang terlihat indah tetapi dia tidak pernah ada. Sapaan balasan berhamburan, sementara anakanaknya masih ribut di dapur. Dia membalas lagi sementara suaminya bertanya tentang sepatu proyek yang mau digunakan. Dia bangkit dari tempat tidur dengan blackberry dalam genggaman. Dia tidak mendengarkan keributan di rumah, dia hanya merasakan keramahan dunia. Pagi ini terlalu indah untuk dilewatkan, followernya meningkat pesat seiring tweet nya yang mencapai ribuan. Lebih indah lagi ketika semakin banyak yang me –retweet sapaan-sapaan sederhananya. Anaknya bertanya tentang uang jajan, tangan kirinya merogoh kantung suami. Anaknya merajuk bekal sarapan, dia perintahkan si bibi memasukkan indomie. Suaminya berpamitan, tangan kirinya melambaikan tangan tanpa pelukan apalagi ciuman. Tangan kanan tidak boleh diganggu, dia sibuk membalas pesan. Deru motor suami meninggalkan rumah. Deru ojek menjemput anak-anak sekolah. Paru-parunya terasa lapang, jari tangan semakin lincah menari. Dia mohon pamit sebentar kepada para tweeps, berkemas untuk berangkat ke kantor. Dunia yang ramah itu
membalas bertubi-tubi, penuh sanjungan, harapan dan godaan. Ah, betapa indahnya dunia ini. Dia mandi lebih cepat dari biasanya (kalau nanti menang arisan lagi, dia akan minta blackberry yang water resistant). Sarapan hanya sedikit, itu juga buah, sayuran dan omelet. Dia sebenarnya lebih suka nasi uduk, sebagaimana dulu masakan itu menjadi favorit keluarga, “nasi uduk mama�, tetapi setelah dia menjadi warga twitterland, rasanya kurang keren ditulis sarapan nasi uduk. Buah, sayuran ditambah omelet akan menuai pujian sebagai gaya hidup sehat. Dan dia segera berkemas menuju kantor..tangan kanan tidak lepas dari benda berharga itu. Pada saat teman kantornya (yang menang arisan blackberry sebelum dirinya) pertama kali mengenalkan twitter dia mengikutinya dengan polos. Pikirnya ini tentu sama dengan facebook, bertemu teman lama berkenalan teman baru bahas ini itu dan pada akhirnya orang akan tahu juga siapa dia. Dalam Bio singkat dia menulis : karyawan swasta. Dia mem-follow ratusan nama-nama beken, artis, sosialita, eksekutif hingga pejabat kepolisian. Dia masih bingung dengan apa yang dibicarakan orang-orang di dunia kecil itu (tentu lebih kecil dari facebook). Minggu pertama, followernya satu orang (yaitu temannya yang mengenalkan twitter itu). Minggu kedua, bertambah enam orang, itu adalah teman-teman arisan kantor yang dia minta untuk juga main twitter. Minggu ketiga, petaka terjadi, followernya berkurang dua orang, karena mereka ribut soal kocokan arisan. Dia sudah akan mengakhiri petualangannya di dunia twitter ini
5 ketika melihat dunia ini juga tidak memberi ruang yang luas untuknya. Tetapi pantauan sejenak membuat pikirannya berubah. Dia melihat perempuan-perempuan yang malang melintang di dunia ini. Dia membaca bio mereka tidak pernah mencantumkan pekerjaan layaknya KTP. Dia membaca tweet mereka, tidak pernah berurusan dengan hal-hal yang serius apalagi masalah dapur. Dia belajar cara mereka menyapa, membalas dan menggoda. Dia semakin tekun melihat bagaimana cara mencari kata-kata bijak, dipungut dari siapa saja, dilemparkan ke dunia twitter lalu menu ai tanggapan. Dan pelajaran paling penting dari semua itu; senantiasa sisipkan bahasa inggris di tengah lingua franca melayu pasar yang payah. Untuk soal terakhir dia tidak terlalu buruk. Bio nya berganti kata : mother of two kids, tweet-lover, workaholic. Dia mulai menyapa siapa saja yang diikuti. Dia mengatur waktunya pada waktu jam-jam kosong dimana kantor dan keluarga tidak membutuhkannya. Usahanya mulai menuai hasil followernya bertambah tapi masih merangkak. Tetapi dia mulai menemukan kebahagiaan. Di dunia ini orang tidak peduli dengan pekerjaannya, mereka hanya ingin mendengar kicau indah tentang fatamorgana. Dia rajin meng-googgling kata-kata bijak, pada awalnya tentang cinta. Ketika dia lihat orang sibuk bicara tentang bumi yang damai, dia juga mulai mencari kata-kata bijaknya. Tidak dinyana followernya tidak lagi merangkak mulai berjalan tegak. Dia mulai memaafkan dirinya ketika kesibukan berbalas kata ini mulai menggerus waktunya bersama anak-anak. Dia mulai menyadari potensi terbesar dalam dirinya yang selama ini terungkap : Dia cepat belajar untuk berkicau. Bio nya berganti kata : mother of two kids, peacelover, world traveller. Pajangan fotonya berganti, dia pilih yang paling enak dipandang. Pada usia 33 tahun, wajahnya tidak bisa dibilang jelek. Malah dia cukup cantik untuk ukuran perempuan yang tidak sampai menghabiskan satu juta rupiah per bulan untuk perawatan kecantikan. Ini potensi terbesar keduanya. Beberapa follower nyasar mulai menyapanya, kebanyakan laki-laki kalaupun ada perem-
puan mungkin penyuka sejenis. Tetapi itu belum cukup untuk bisa bersanding dengan perempuan-perempuan dengan bio : PR, Editor, Corporate Secretary, Consultant atau Food Lover. Dia melihat mereka berbicara tentang kebebasan, kicauan mereka tentang ancaman agama pedang dan kegilaan mereka pada seni pertunjukan. Dunia ini benar-benar semakin mudah, dia tinggal bertanya pada google, mencuri dari wikipedia dan menambahkan brainyquotes. Dalam tempo singkat dia faseh berbicara inklusifisme, radikalisme, pacifisme, opera, Ahmadiyah,gallery, libretto dan tentu saja libido. Pilihan terbaik dalam dunia yang ramah itu adalah dengan menjadi terbuka, penuh cinta dan sedikit centil. Suaminya mulai mengeluh di rumah karena tiba-tiba pembantu tua itu menjadi istrinya kecuali di ranjang. Pertengkaran terjadi di malam hari, dia sengit membela diri. Kata-kata berhamburan : gender, kesetaraan, KDRT, libretto dan libido. Esok paginya bio nya berganti : happy single mom, I love my Life. Tidak dinyana lagi, followernya bertambah pada saat dia mulai membahas relasi perempuan dan laki-laki walaupun pagi harinya suaminya sudah berdamai dengannya. Demikianlah semuanya dimulai, dari kawan arisan hingga kawan siluman dan kopi darat. Dia mulai menemukan dunianya, dan orang tidak peduli siapa dia sebenarnya. Yang terpenting dalam dunia maya itu, berusahalah untuk tampak bijak terus menerus, cintailah perdamaian semati-matinya, reguplah nikmatnya dunia sehisaphisapnya dan selalu berada di tengah jangan condong kanan atau kiri dan senantiasa menuliskan catatan di pinggir. Dia bertemu dengan para tweeps, berkencan dengan beberapa orang di antaranya dan seringkali dia pulang malam karena dunia maya ini menjadi semakin nyata. Perlahan-perlahan dia ditelan oleh imajinasi kata-kata, itu semua butuh uang. Jemarinya mengubah dunia dengan mudahnya. Menukar suami dan anak-anak dengan ribuan follower. Mengganti sarapan “nasi uduk mama� dengan “pagi tweeps�. Kehangatan keluarga hilang ditelan *peluk & cium* dalam dunia pura-pura.
6
Belajar Bahasa
Ke Om Vicky Prasetyo “Di usiaku ini, twenty nine my age , aku masih merindukan apresiasi karena basically , aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya.” Ia berujar lagi, “Kita belajar, apa ya, harmonisisasi dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita enggak boleh ego terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan.”“Dengan adanya hubungan ini,” lanjut Vicky, “bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga dia, tapi menjadi confident .”“Tapi, kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga…” Potongan kalimat tersebut merupakan potongan penggalan wawancara Vicky Prasetyo ketika melakukan pertunangan dengan Zaskia Gothik
7 (kabarnya tunangan tersebut sudah putus). Di socmed tidak sedikit teman yang mengshare kata-kata om Vicky, video wawancara di youtube pun sudah ditonton lebih dari 58 ribu orang. Lucu memang. Kata-kata om Vicky ini, entahlah apa berniat lucu-lucuan atau memang lagi serius. Walau serius pun malah terkesan lucu. Tidak sedikit pula yang mencaci-maki karena dianggap si om Vicky ini sedang cari muka, atau ingin terlihat intelek dengan kata-katanya yang campuran indonesian and british. Bahasa indonesia yang dipakai pun dirasa bahasa tingkat tinggi sehingga untuk sebagian orang susah untuk memahami (termasuk saya). Saya tidak ingin berspekulasi lebih. Bisa jadi om Vicky tidak berniat sok intelek, barangkali dalam kehidupan sehari-hari bahasa yang dia gunakan memang seperti itu. Jadi hal tersebut biasa baginya, tapi tidak biasa buat kita. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kejadian ini tentu tentang cara berkomunikasi. Katakanlah om Vicky memang seorang intelektual tulen, dimana-mana ikut seminar dan gaya bicaranya seperti itu. Pertanyaannya apakah lawan bicaranya mudah memahami? Saya rasa tidak. Sesama orang ‘intelek’ mungkin iya. Cuman yang membutuhkan seorang intelektual itu bukan hanya para intelektual lainnya, tapi juga orang awam. Yaitu mereka yang membutuhkan didikan atau arahan. Katakanlah seorang petani. Petani membutuhkan arahan dari orang ahli (in-
telektual) bagaimana supaya hasil pertaniannya bisa melimpah atau setidaknya tahan dari serangan hama. Bagaimana jadinya jika sang ahli tadi menerangkan dengan bahasa keintektualitasnya seperti om Vicky, apakah si petani mudah paham? Saya rasa tidak. Misalnya si ahli ngomong seperti ini, “supaya tidak terjadi kudeta hama, maka bapak perlu melakukan harmonisasi pupuk. Sedangkan adanya labil ekonomi, basically merupakan tugas pemerintah supaya tidak terjadi kontroversi harga. Dengan begitu, konspirasi kemakmuran bisa diraih.� Semakin tinggi intelektual seseorang, seharusnya bahasanya makin mudah dipahami. Intelektual yang semestinya memahami masyarakat awam, bukan malah sebaliknya. Bisa-bisa latar pendidikan malah membuat jarak dengan orang awam. Maka apalah gunanya pendidikan jika makin menjauhkan dengan masyarakat awam atau tidak dapat menyentuh mereka-mereka yang membutuhkan? I hope to para intelektual (mahasiswa, dosen, cendekiawan) untuk tidak hanya pandai dalam forum ilmiah tapi juga mensiasati kecerdasan dan harmonisasi dengan masyarakat bawah. Mereka lah yang membutuhkan kudeta, karena mereka yang paling membutuhkan konspirasi kemakmuran. Metode paling mudah yaitu melakukan languange simple supaya tidak terjadi kontroversi hati dengan mereka. The last, to om Vicky Prasetyo or Heriyanto or whatever your name is, i am can study kesusahteraan dengan anda! []peta
8
Struggle
With No End! batu. Pemuka Thaif ketika itu berkata: “ Usir orang ini dari negeri kita dan kerahkan semua rakyat untuk memperdayainya!� Mengingat kejadian itu sungguh selalu
Jika kita melihat kilas balik kebelakang. Tentang bagaimana orang-orang terdahulu memperjuangkan Islam ini hingga bisa kita nikmati sampai saat ini, sungguh sangat luar biasa. Ketika awal dakwah Rasulullah Saw yang penuh dengan pertentangan dari kalangan musyrikin Mekkah. Betapa dahsyatnya penghinaan dan perlawanan mereka untuk menjatuhkan dakwah Rasulullah Saw dan para sahabat ketika itu. Satu kejadian yang tidak mungkin bisa dilupakan adalah ketika penolakan dan pengusiran penduduk kota Thaif kepada Rasulullah Saw dengan menyuruh anak-anak kecil di kota itu untuk memaki dan melempari batu ke arah Rasulullah Saw sampai gigi beliau tanggal karena terkena lemparan
membuat air mata ini ingin menetes, karena ketika itu Rasulullah Saw keluar dari kota Thaif lalu menghampiri sebatang pohon anggur, lalu duduk dibawahnya. Beliau mengucapkan do’anya yang sangat terkenal, yang menunjukkan kesedihannya yang memenuhi hati beliau, karena
9 kerasnya penghinaan terhadap beliau dan dorongan rasa memelas karena tak satupun orang yang mau diajak beriman. Beliau berdo’a: “Ya Allah, kepada-Mu juga aku mengadukan kelemahan kekuatanku, kekurangan siasatku dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Pengasih diantara para pengasih, Engkau adalah Rabb orangorang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa hendak engkau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab sungguh teramat luas afiat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu yang menyinari segala kegelapan dan karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemarahan-Mu kepadaku atau murka kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan-Mu”. Namun, kesedihan beliau tidak berlarutlarut. Ketika beliau akan kembali ke Mekkah, Zaid bin Haritsah bertanya kepada beliau, “Bagaimana cara engkau memasuki Makkah, padahal mereka (orang-orang Quraisy) sudah mengusir engkau?”. Beliau Saw menjawab,”Wahai Zaid, sesungguhnya Allah pasti akan menciptakan kelonggaran dan jalan ke-
luar dari masalah yang engkau lihat. Sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya dan memenangkan Nabi-Nya.” Subhanallah! Begitu besarnya ketawakkal-an Rasulullah Saw! Kesedihannya menghadapi cacian yang bertubi-tubi bisa hilang sesaat setelah mengadu kepada Allah Ta’ala. Namun bukan hanya itu, perjuangan para pendakwah Islam ketika masuk ke dalam negeri ini, lalu menjaga tegaknya syariat Islam di bumi Indonesia, patut kita apresiasi keistiqomahannya. Penduduk Indonesia yang dahulu kebanyakan beragama Hindu, Budha dan animisme, kemudian berubah total menjadi mayoritas Muslim bukan merupakan proses yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, namun merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan keistiqomahan. Tidak mungkin pejuangpejuang Islam yang merintis di Nusantara ini tidak mengalami cercaan di tengah-tengah masyarakat yang masih asing dengan Islam. Namun mereka mampu tahap demi tahap menyampaikan kebenaran Islam dan merealisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Jika kita mengingat buku sejarah pahlawan-pahlawan kita ketika melawan kolonial Belanda di
10 daerah-daerah, mayoritas adalah Muslim yang taat. Sebut saja, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Sultan Agung, Imam Bonjol, Pattimura, dll. Mereka adalah pahlawan-pahlawan Islam di Nusantara yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di wilayahnya. Walau akhirnya banyak cerita sejarah yang didistorsi oleh oknum-oknum tertentu untuk menghilangkan cerita tentang motif para pejuang tersebut. Pejuang dakwah Islam di Indonesia ini terus saling menyambung dalam melaksanakan dakwah, dari generasi ke generasi berikutnya. Jika generasi terdahulu sudah banyak berkontribusi pada perjuangan Islam, maka generasi berikutnya memiliki kewajiban untuk melanjutkan serta memperbaiki jika ada kekurangan-kekurangan pada generasi sebelumnya. Kita wajib mempelajari perjuangan mereka, agar kita bisa berjuang lebih keras untuk hasil yang lebih baik. Seorang intelektual Muslim, tokoh Muhammadiyah, panglima perang, mujahid, sekaligus orang yang sering keluar masuk penjara-nya Belanda dan Orde Lama, Prof. Kasman Singodimedjo, pernah menuliskan pesan perjuangannya dari ruang tahanan penjara rezim Orde Lama: “Seorang Muslim harus berjuang terus, betapa pun keadaannya lebih sulit daripada sebelumnya. Ada pun kesulitan-kesulitan itu tidak membebaskan seorang Muslim untuk berjuang terus, bahkan ia harus berjuang lebih gigih daripada waktu lampau dengan strategi tertentu dan taktik yang lebih tepat dan sesuai. Pengalaman-pengalaman yang telah dialami hendaknya menjadi pelajaran yang akan banyak memberi hikmah dan manfaat kepadanya. Tidak usah seorang muslim berkecil hati. Tidak usah ia merasa perjuangannya yang lampau itu telah gagal, hanya memang belum sampai pada maksud dan tujuannya. Perjuangan Tengku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro, HOS Tjokroaminoto, H.A. Salim, dan lainnya itu pun tidak gagal, hanya belum sampai pada tujuannya. Oleh sebab itu, Muslimin yang masih hidup sekarang ini harus meneruskan perjuangan Islam itu, dengan bertitik tolak kepada keadaan (situasi) dan fakta-fakta yang kini
ada, dengan gaya/semangat baru, setidaktidaknya “to make the best of it”, menuju kepada baldatun “tayibatun wa Rabbun gafur”, yakni suatu negara yang baik yang diampuni dan diridhai oleh Allah: adil, makmur, aman sentausa, tertib, teratur, bahagia, damai.” Mohammad Natsir juga pernah menulis sebuah artikel yang sangat fenomenal ketika itu berjudul,”Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”. Melalui artikel ini beliau mengingatkan bahwa perjuangan dakwah itu tidak mengenal berhenti. Dan beliau memperingatkan jangan sampai diantara kita terjangkit penyakit “cepat puas” dalam perjuangan dan mengharap imbalan atas jerih payahnya, karena itu akan membuat para pejuang dakwah ‘hanyut akan arus’ dan menjadi penyebab kekalahan. Beliau mengatakan “Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja (berdakwah-red) tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.” Beliau juga memperingatkan bahwa penyakit bangsa Indonesia, terutama umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia. Perenungan akan perjuangan mereka tidak boleh kita lupakan, agar kita mensyukuri setiap kondisi kita sekarang. Lalu berikutnya kita segera memperbaiki diri kita untuk bekal di medan dakwah, melanjutkan perjuangan para pendahulu-pendahulu kita. Menjiplak keistiqomahan mereka dalam berdakwah, lalu kita aplikasikan dalam manhaj dakwah kita. Karena generasi saat ini adalah generasi kita. Umat Islam saat ini adalah umat Islam era kita sekarang. Artinya, tongkat estafet dakwah sudah diberikan oleh para pejuang dakwah pendahulu dan saat ini kita genggam ditangan. Mari kita lanjutkan bersama. Tanpa akhir! Sampai tongkat estafet ini berada ditangan anakcucu kita kelak... - Aditya Abdurrahman a.k.a Aik a.k.a Abu Hafizh-
11
SIAPA PAHLAWAN, Siapa Pecundang ? Barangkali, kalau Sultan Hadiwijaya berhasil menumpas Panembahan Senopati yang dianggap mbalelo, Mataram Islam tak akan pernah berdiri. Tidak akan ada Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta seperti yang kita saksikan sekarang. Lebih jauh dari itu, Panembahan Senopati akan tercatat sebagai seorang penghianat. Seorang pemberontak. Alih-alih sebagai raja pertama Mataram Islam yang bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah. Barangkali, kalau Jenderal George Washington tidak berhasil dalam memimpin kaum revolusioner melawan tentara Inggris pada 19 April 1775, tidak akan pernah ada yang namanya kota Washington D.C., berikut negara yang memproklamirkan diri
sebagai Polisi Dunia itu. Lebih jauh dari itu, Inggris akan mengumumkan ke dunia bahwa pada masa lalu pernah ada seorang pecundang kecil bernama George di salah satu wilayah kolonialnya. Hanya itu. Barangkali, khilafah Islamiyah masih berdiri kokoh sampai saat ini. Seandainya Ghazi Mustafa Kemal Pasha gagal mengorganisir gerakan-gerakan “Kuva-i Milliye� (Angkatan Nasional) sehingga kemudian memenangi Perang Kemerdekaan Turki. Yang bersangkutan kemudian mengubah nama menjadi Mustafa Kemal Attaturk, seorang Bapak Turki. The Founding Father. Seandainya pemberontakan perjuangan itu gagal, tentu cap pecundang bakal melekat di sepanjang hayat dan nisannya. Barangkali, Kay Rala Xanana Gusmao tidak akan berhasil menjadi Presiden, jika TNI berhasil menumpas pemberontakan
12 pro kemerdekaan Timor Timur. Kehidupan Xanana Gusmao kemungkinan berakhir di penjara pengasingan di salah satu dari 17 ribuan pulau terpencil di negeri ini. Sebaliknya, Eurico Barros Gomes Guterres, sebagai tokoh pro integrasi, bisa jadi sudah menjadi Gubernur Provinsi Timor Timur saat ini. Barangkali, seandainya PKI berhasil “membebaskan” Indonesia menjadi Negara Komunis “Merdeka”, mungkin saja tanggal kemerdekaan negeri ini adalah 30 September atau sekitarnya. Dan bukan tidak mungkin, jasad Dipa Nusantara Aidit disemayamkan di TMP Kalibata di tempat terhormat. Alih-alih nasibnya sekarang: tidak diketahui di mana jasad dan kuburannya. Barangkali, jika PRRI Permesta yang dimotori Syafruddin Prawiranegara dan M. Natsir berhasil menyelamatkan posisi Indonesia dengan gemilang, cerita sejarah negeri tercinta ini akan berbeda. SoekarnoHatta tetaplah founding fathers, tetapi M. Natsir tentu akan memegang peranan jauh lebih penting terhadap nusantara. M. Natsir_seorang tokoh yang hanif sampai akhir hayatnya itu_tidak akan membutuhkan waktu sampai dengan 15 tahun hanya untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional sejak meninggal pada 6 Februari 1993 lalu. Barangkali, Kartosuwiryo akan menjadi Founding Father Indonesia jika proklamasinya pada tanggal 15 Agustus 1945 tidak ditarik demi mendengar proklamasi SoekarnoHatta dua hari kemudian. Karena kecewa dengan RI, akhirnya Kartosuwiryo memproklamirkan NII kembali pada 17 Agustus 1949. Barangkali, ini juga akan menjadi tanggal bersejarah bagi seluruh negeri jika “pemberontakan” tersebut tidak berhasil ditumpas dengan operasi Pagar Betis. Begitulah. Pahlawan atau pecundang, menurut Abi hanya masalah sudut pandang. Seorang pejuang akan disebut EL Libertador (Sang Pembebas), jika perjuangannya sukses. Atau, yang diperjuangkan eksis sampai saat ini. Sebaliknya, seorang pejuang akan menjadi Dissidenti (penghianat), jika perjuangannya gagal. Atau, lawan perjuangannya adalah pihak yang eksis sampai saat ini.
Pada zaman dahulu, kita selalu mendapat informasi asimetrik yang didapat dari buku sejarah. Semua informasi sejarah tersebut sudah by design untuk bermuara pada satu kalimat simpulan. Itulah cara untuk mengarahkan generasi masa depan bagaimana membedakan mana pahlawan, mana pecundang. Kini, yang memainkan peranan penting adalah media. Bagaimana kita tahu dahsyatnya perang hegemoni media yang dilakukan Amerika untuk meyakinkan dunia internasional, bahwa teroris itu adalah Osama bin Muhammad bin Laden. Bahwa teroris itu kebanyakan seorang muslim, tentu dengan mudah dikatakan: hanya kebetulan. Bahwa dengan pengumuman resmi Presiden Obama tentang terbunuhnya Osama, setelah diburu sejak satu dekade lalu akibat peristiwa 11/9_yang masih kontroversial, terutama bagi para konspiratus maka dunia layak bersuka cita. Warga Amerika dan berbagai belahan dunia berpesta demi mendengar kabar kematian ini. Pesan simpelnya adalah: kita aman! Benarkah kita aman? Bagaimana dengan Irak setelah “dibebaskan” oleh Amerika dari Saddam Husein? Bagaimana Afghanistan setelah “ditolong” Amerika dari “pemberontak” Taliban? Bagaimana nasib Mesir setelah revolusinya? Bagaimana masa depan Libya, Sudan, Yaman, Bahrain??? Apakah mereka aman? Mari kita tanya pada tangkitangki minyak yang bergoyang…hehe Pahlawan atau pecundang? Abi percaya haruslah ada info obyektif dan meyakinkan untuk menilai itu. Akan lebih baik jika kita sedekat mungkin dengan tokoh itu, sehingga kita benar-benar tahu layak disebut apa dia. Dekat dengan pemikirannya, gerak geriknya, bahkan fisiknya. Tidak mudah? Iya. Namun jangan lupa, ada satu senjata pamungkas sebenarnya untuk memutuskan penilaian. Yaitu, nurani. Tanyakan pada nuranimu, dan itulah jawabannya. Valid? Wallahu a’lam. Alloh Maha Tahu. -Abi(Ayah Dari anak-anak mbak Nurul)
13
IBU SAYA YANG MENGAJARKAN TENTANG
APA ITU
PERJUANGAN Ada seorang perempuan yang saya kenal sangat dekat, perempuan yang mengajarkan saya tentang “perkelahian” konotasi maupun denotasi. sejak usia 1 tahun setiap siang saya tinggal dirumah dengan “mba” yang ngurus rumah, atau kalau si mba lagi mudik saya “di titipkan” di rumah tante atau bahkan tetangga, kala di titipkan itu saya sering sekali rindu dengan rumah, sampai menangis di telfon berharap sore ini saya di jemput. tapi seminggu ketika jumat saya baru di bawa pulang. ketika saya TK, ibu saya masih bekerja, tak jarang ketika pulang sekolah saya pulang sendirian karena teman lain di jemput
dan saya malas nunggu si mba jemput saya, lama. untuk pulang saya harus melewati 2 jalan raya dan 2 komplek, terkadang saya dijahili teman kadang dijorokin dari perosotan, di kejar2..dan reaksi saya? SAYA BALAS SEMAMPU SAYA! TK, gigi saya harus dicabut, dan ibu saya kasih perawatan gigi ke RSCM, saya jam 8 sampai, perawatan gigi dan jam 10 saya di jemput untuk ke kantor ibu saya di daerah daksinapati. jam 10, jam 11, jam 12, ibu saya belum dateng… saya pulang aja sendiri ke kantor ibu saya JALAN KAKI!,saya sampe kantor ibu saya pingsan! soalnya ibu telfon ke dokter nya untuk bilang telat jemput dan kata dokternya saya udah
14 gak ada,, iya lo.. mantep ga tuh.. SD, keadaan finansial keluarga saya agak oleng karena kantor tempat ayah kerja pailit, saya… jajan Rp. 100 seharian dan harus mengumpulkan uang bermingguminggu untuk bisa beli raket seharga Rp. 5000 untuk tes olahraga. di SD saya sangat NAKAL, berkali-kali masuk ruang kepsek karena mukulin anak orang, ngehasut 1 kelas buat bolos, berantem sama SD lain (siliwangi), tapi ga pernah ada kata-kata dikeluarin karena saya murid teladan waktu SD, (percaya ga percaya) SMP, saya daratkan bogem mentah dan tendangan saya ke pipi cowok yang nge hina saya, dan yah masuk BP, yang saya ingat ketika itu kata-kata ibu saya: “ kalo di jahatin lawan sekuat-kuatnya! kalo gak berani, lari! tapi jangan pernah pulang sambil nangis!” saya sering ambil opsi pertama. SMA, saya terlibat candu organisasi, berputar dalam warna hijau, dekat dengan kalangan orang shalih, dan ibu saya adalah orang pertama yang langsung mensupport saya untuk segalanya, masak untuk panitia sebuah acara gratis, bayarin semua dauroh saya, bujukin ayah buat izinin saya pergi ke mana aja saya dauroh, telfon tiap jam 7 malam (batas paling malam saya diluar rumah) “NURUL… JAM BERAPA NI…” Tapi, Saya sempat mengalami fase hubungan terburuk dengan ibu saya ketika
SMP, berantem tiap hari, pilihannya saya atau ibu saya yang nangis. saya pernah cerita tentang kehebatan A yang pinter bgt, B yang ceria, C yang tajir abis, D yang pinter organisasi, E yang cantik bgt, F yang lembut bgt, dan apa yang di jawab ibu saya? “buat ibu kamu semuanya”... tes... tes... ada sesuatu yang saya rasakan entah apa... hmm.. waktu saya sangat panjang bersamanya… ibu saya kini… kurus, lemah, dan rambutnya luluh helai demi helai karena kanker payudara yang di deritanya. tapi ibu saya tetap lucu, jayus, baik, sabar, dermawan, dll.. suatu malam ibu saya SMS di tengah sakit yang beliau rasakan, di kamarnya ibu ketik sms begini: “untuk kehidupan, berani! lawan sekuat2nya. gak berani? boleh kok lari, tapi jangan penah pulang sambil nangis. maafin ibu ya klo ibu selama sakit ngerepotin nurul.” saya...speechless.. ibu buat saya adalah lembaran yang terbuka sangat, tak ada misteri. ibu saya… segalanya. bila masih banyak waktu saya untuknya...akan saya habiskan waktu saya bersamanya. -Nurul Ainul Mardiyah_ (nama ini pun ibu saya yang memberikan)
15
UMMU NIDHAL FARHAT
BERSYUKUR TIGA PUTRANYA SYAHID Mendengar kabar putranya syahid, ia keluar rumah membagi-bagikan coklat dan manisan sebagai tandai syukur. Apa yang akan dilakukan seorang ibu jika mendapati anak kesayangannya mati terbunuh? Marah, menangis sejadi-jadinya, atau minimal sedih berkelanjutan. Tapi yang demikian tidak berlaku bagi Ummu Nidhal Farhat. Seorang ibu yang tinggal di kawasan Syuja’iyyah, Gaza, ini malah bersyukur saat mendapati tiga putranya tewas diberondong tentara Zionis Israel. Saat berkunjung ke Gaza Desember 2012 lalu, Suara Hidayatullah dan tim Sahabat Al-Aqsha sempat diantar berkunjung ke rumah Ummu Nidhal yang berlokasi di kawasan padat penduduk. Rumahnya terletak di ujung gang buntu yang pas-pasan untuk dilalui satu mobil saja. Sebagai seorang anggota parlemen, rumah Ummu Nidhal sangat jauh berbeda
dibanding dengan umumnya wakil rakyat di Indonesia yang tinggal di rumah megah dan kompleks mewah. Bentuk bangunan rumahnya kotak bertingkat yang sederhana tanpa pilar-pilar dan balkon nan megah. Ketiga putra Ummu Nidhal keluar untuk menyambut. Sementara Ummu Nidhal menunggu di ruang tamunya. Ruangan berukuran sekitar 3,5 x 4 meter dengan satu set sofa berbentuk huruf “U”. Di dinding tempat ia bersandar terpajang lukisan kaligrafi dan sepucuk senapan tua. Ummu Nidhal duduk berseberangan dengan Suara Hidayatullah dan tim Sahabat Al-Aqsha. Ia memakai pakaian terusan abaya hitam dan jilbab besar warna putih. Kakinya dibalut selimut. “Rumah ini pernah diroket oleh Israel hingga rata dengan tanah,” bisik seseorang yang menemani Suara Hidayatullah dan tim Sahabat Al-Aqsha waktu itu. Rasanya tidak heran, jika rumah Ummu Nidhal jadi sasaran Zionis Israel. Seperti
16 diakui oleh Ummu Nidhal sendiri, rumahnya memang tempat berkumpul para mujahid Palestina. Imad ‘Aqil, Panglima Brigade ‘Izzuddin al-Qassam pertama yang syahid– insya Allah–pada tahun 1994, juga kerap berkumpul di sini bersama putra-putra Ummu Nidhal dan mujahidin yang lain untuk merencanakan serangan. Bahkan di rumah ini pula ‘Aqil dibunuh Zionis. Membagikan Manisan dan Coklat Nama asli Ummu Nidhal adalah Maryam Muhammad Yusuf Farhat. Ia lahir di Gaza, tahun 1950. Ia juga dikenal dengan julukan Khansa’ dari Palestina. Khansa’ adalah seorang sahabat Rasulullah Muhammad SAW dari kalangan wanita yang seluruh anaknya syahid di medan jihad dan ia ridha terhadap kematian semua anaknya. Hal serupa juga terjadi pada Ummu Nidhal. Tiga putranya, Nidhal Farhat, Muhammad Fathi Farhat, dan Rawad Farhat gugur di medan jihad melawan penjajahan Zionis Israel. Pada Maret 2002, Muhammad Fathi Farhat melakukan penyerangan seorang diri ke sebuah sekolah semi-militer di bekas pemukiman Yahudi di Gaza, Atzmona. Muhammad yang saat itu berumur 17 tahun menembaki siswa-siswa tersebut dengan senapan otomatis AK 47 dan granat tangan. Serangan itu menewaskan 10 orang dan 23 luka-luka. Dalam wawancaranya dengan Dream2 TV, Ummu Nidhal bercerita, Muhammad menembaki orang-orang Yahudi itu dari ruangan ke ruangan selama 22 menit sampai ia kehabisan aminusi dan ditembak mati Zionis. “Jika ia masih punya amunisi, tentunya ia tetap akan menyerang,” ujar Ummu Nidhal yang suaminya juga gugur di medan jihad ini. “Ketika mendapat kabar Muhammad syahid, Ummu Nidhal keluar rumah dan membagi-bagikan manisan dan coklat. Sebagai tanda syukur putranya mati syahid di jalan Allah,” kata sumber tadi. Pada pertemuan itu, Ummu Nidhal memang tidak menyinggung soal ketiga putranya yang syahid. Ia juga tidak mengeluhkan perjuangan berat yang tengah dihadapi
negerinya itu. Ia lebih banyak memberikan kata sambutan kepada tim dan menasihati agar selalu ikhlas dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan berbagai kelezatan dunia. “Kita tinggalkan kelezatan dunia, Allah akan ganti,” katanya. Mulia dengan Jihad dan Ribath Dalam buku Inside Hamas: The Untold Stories of Militants, Martyrs, and Spies, ditulis, setelah kehilangan suami pertamanya di medan jihad, Ummu Nidhal menikah dengan seorang polisi. Ia mempunyai enam anak laki-laki dan empat anak perempuan. Tiga anak laki-lakinya tewas di medan jihad. Satu orang putranya lagi, Wissam Farhat, pernah dipenjara selama kurang lebih 11 tahun oleh Zionis. Wissam ditangkap saat berusaha meledakkan bom isytisyhadi (meledakkan diri) di sebuah pemukiman Yahudi di Beer Sheva, di daerah Gurun Negev, selatan Hebron. Dalam buku itu diceritakan, Wissam mendapat dukungan penuh dari ibunya untuk melakukan aksi-aksi jihad melawan Zionis, termasuk melakukan aksi isytisyhadi. Dalam wawancaranya dengan media-media usai gugurnya Muhammad, Ummu Nidhal juga mengaku dialah yang menyiapkan dan anak-anaknya berperang. Tapi, bukan berarti ia tidak sayang dengan anak-anaknya. Dalam buku itu ia mengaku sempat menangis mengetahui Muhammad mendapat misi penyerangan seorang diri. Sedangkan Muhammad tertawa melihat reaksi sang ibu. Segera saja Ummu Nidhal berkata padanya, “Aku ibumu! Tidak mudah bagiku melepasmu, aku menangisimu siang dan malam. Jangan salah artikan air mataku. Itu adalah tangis seorang ibu yang akan melepas putranya untuk menikah dengan bidadari. Kau harus jalankan tugasmu, dan tetaplah menyerang sampai waktunya engkau bertemu Allah.” Dalam wawancara denga Iqra TV Arab Saudi, Ummu Nidhal mengatakan, orangorang Palestina beriman kepada takdir Allah, kalau sudah bertemu dengan ajal ia pasti akan mati biarpun ia berusaha sembunyi.
17 Katanya, ada perbedaan antara jenis kematian satu dengan yang lain. “Lalu, kenapa kami tidak pilih saja mati sebagai syuhada,” ujar Ummu Nidhal. “Alhamdulillah,” kata Ummu Nidhal, “Allah telah pilih kami di antara semua manusia, dan telah memuliakan kami dengan jihad dan ribath membebaskan Palestina.” Ia melanjutkan. “Jadi, lebih baik kami yang mencari kematian sebagai syuhada, sebelum maut datang sedang kami duduk di rumah.” Berjuang Bersama Kepada Suara Hidayatullah dan tim Sahabat Al-Aqsha, Ummu Nidhal mengatakan, kemenangan mujahidin Gaza dalam perang delapan hari melawan Zionis pada November 2012 lalu bukanlah kemenangan Gaza sendiri. Tapi katanya, penduduk Gaza yang
sedikit telah dibantu saudara-saudaranya seiman sedunia. “Kemenangan ini adalah saham-saham kalian juga,” kata Ummu Nidhal. Ia melanjutkan, perang terbaru dengan Zionis itu adalah perang yang penting. Setelah itu, katanya, akan ada perang berikutnya. “Yakni perang untuk kemerdekaan seluruh Palestina dan al-Quds,” ucapnya. Untuk itu, Ummu Nidhal mengajak semua umat untuk bergabung bersama mujahidin Gaza di shaf depan perjuangan merebut kembali al-Quds. “Memang benar kami di shaf depan dalam jihad, tapi kalian juga bisa bersama kami di depan,” kata perempuan yang terbiasa memengang senapan ini.* [Surya Fachrizal Ginting/Suara Hidayatullah]
“tidaklah penting siapa kita, yang terpenting adalah apa yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan apa yang mampu kita perbuat. -gayatri-
18
Sufi Entut
Entah apa yang terjadi pada Gus Blong, tiba-tiba ia mendadak menjelma menjadi orang tua yang bijak. Kali ini yang mendapat semprotan kata-kata bijaknya itu bukan Gus Cur, kawan seteru abadinya itu, melainkan tole, anaknya Gus Cur. “Pakde,” sapa tole ke Gus Blong yang saat itu bertamu ke rumah Gus Cur. “Ada apa tole yang ganteng,” jawab Gus Blong. “Tadi malam bapak cerita soal pakde.” “Cerita apa, tole?” “Cerita soal masa muda pakde yang penuh perjuangan dalam membangun keluarga dan membesarkan anak-anak pakde. Kata bapak, pakde itu orangnya ora tegoan (tidak tegaan) dan suka membantu siapa pun. Apakah betul itu pakde?” “Ah kamu dibohongi sama pakmu. Pakde ini orangnya seperti orang pada umumnya. Tak ada yang istimewa. Malahan lebih istimewa bapakmu, orang terpandang di desa ini, menjadi panutan masyarakat, dan dermawan pula.” “Pakde merendah. Sudahlah pakde diakui saja. Semua orang di kampung ini sudah tahu apa yang pakde lakukan tempo hari.” “Emang tole tahu apa yang pa de lakukan?” “tahulah.” “Apa?” “Pakde rela menunda kulia anak pakde karena uang yang seharusnya untuk
kulia anak pakde, pakde gunakan untuk membantu tetangga pakde yang terkena musibah. Dan masih kata bapak, mohon maaf sebelumnya, pakde rela menikahi istri pakde yang eks lonte itu demi membantunya keluar dari pekerjaannya itu.” “Ah sudah lah nggak usah memuji. Biasa aja.” “Bukan begitu pak de, seorang kiai, ulama’, atau ustadz pun belum tentu berani melakukan apa yang pakde lakukan. Menurutku, pakde lah kiai, ulama’, ustadz yang sesungguhnya.” “Kiai dari Hongkong itu iya.” “Hehehe… pakde masih aja bercanda.” “Sudahlah tole, kebaikan apa pun yang sudah kita lakukan, jangan diingat-ingat. Lupakan sebagaimana kita kalau kentut.” “Maksudnya?” “Begini tole, kalau kita berderma anggap saja seperti buang kentut. Kita tak pernah mengingatnya: kapan, dimana, dan siapa yang kita kentuti. Selain itu, orang kentut itu kan tidak mengakui dan berusaha untuk tidak diketahui orang di dekatnya kalau dia sendiri yang kentut, malahan menuduh orang lain.” “Wah kata-kata pakde sudah kayak seorang sufi aja.” “Sufi entut (kentut) itu ya.”[] -wak hadi[dari tuban]
19
ADA CERITA DARI BUMI MUTIARA HITAM Ditulis Oleh :Adi Wijaya
Mentari pagi, lagi-lagi menghamburkan sinarnya. Tunaikan amanah Sang Pencipta, cahayai separuh dunia. Bentuknya seperti piringan jingga nan terang. Kalau mencoba menatapnya sejenak, berarti siap bertarung dengan kesilauan. Mentari itu, adalah mentari yang sama, yang kupandangi sepuluh tahun lalu. Hanya tempatnya saja berbeda. Sekarang aku mentapnya di balik dinding-dinding beton kota metropolitan. Dulu, sepuluh tahun lalu, ia tersenyum padaku dari cela sebuah bukit. Dari bangunan sekolah, terpencil letaknya, di tengah belantara semak belukar. Dari bumi Papua, bumi yang terjuluki “Mutiara Hitam�, kisah Rohis ini mulai tercurah. *** Dari pesisir timur Indonesia, kita mulai
kisah. Dari bumi mutiara hitam, Papua, kurajut cerita. Dari sebuah sekolah yang terpencil letaknya. Di atas gunung, di tengah semak-semak ilalang. Walau terpencil, meskipun terisolir, sekolah itu ternobatkan sebagai salah satu sekolah unggulan di seantero Papua. Muridnya beasal dari putra putri terpilih, seluruh kabupaten sepenjuru Papua. Bila kelak berkunjung ke Papua, carilah SMA Negeri 3 Jayapura. Sepertinya memang sekolah itu sengaja disisihkan dari hiruk pikuk keramaian kota. Supaya siswanya bisa berkonsentrasi belajar. Ada yang khas dari sekolah ini. Tata pola tinggal siswanya mirip pesantren. Tak boleh tinggal di luar sekolah. Harus menetap di asrama yang telah tersedia. Meskipun mirip pesantren, namun sekolah ini bukanlah sekolah berbasis agama. Ini adalah sekolah sekuler. Bahkan sebagian besar muridnya
20 adalah non-muslim. Wajarlah, karena memang begitu komposisi penduduk di Papua, muslim adalah minoritas. Dari sekira 80-an teman seangkatan, yang muslim hanyalah dua belas orang. Dari dua belas orang itu, lelakinya hanya empat orang. Nah, justru dari sinilah keseruan kisah tentang Rohis dimulai. Kehidupan sebagai siswa muslim minoritas, memang bertabur suka juga duka. Walaupun hanya segelintir, namun kami diberikan fasilitas musola. Jangan bayangkan musola-nya serupa musola pada umumnya. Berkubah setangah bola dengan ujungnya berlambang bulan-bintang atau serupa lencana raksasa dengan lafadz Allah. Tidak begitu kondisi musola kami. Ruangan itu tidak pernah direncanakan jadi musola. Mungkin si perancangnya tidak pernah mengira, akan ada anak Rohis seperti kami. Awalnya dibangun untuk menjadi ruang makan. Hanya karena sebuah pendekatan hati dan sedikit rengekan, oleh pihak asrama tempat itu diijinkan menjadi musola. Hadiah berharga untuk kami yang minoritas. Persaudaraan terasa begitu kental. Ukhuwah terjalin begitu manis. Mungkin salah satu faktornya, karena jumlah kami yang sedikit itu. Ternyata selalu ada hikmah dari jumlah yang sedikit. Bila sehabis salat subuh, kami sering saling melempar senyum. Apa sebabnya? Baru-baru saja suara imam tak terlalu jelas terdengar. Karena harus beradu dengan dendangan kidung-kidung pujian. Ya, hanya berjarak sepelemparan batu dari musola
kami, mereka yang Nasrani juga ibadah pagi. Berbarengan dengan waktu salat subuh. Jumlah mereka banyak, bernyanyi bersama-sama, layaknya paduan suara. Maka kalahlah suara imam kami, yang hanya seorang itu. Namun apa hendak dikata, begitulah yang terjadi. Syukurlah, rasa risih itu terjadi di awal-awal saja. Lama kelamaan, semua jadi biasa. Telinga juga hati, mulai beradaptasi. Tapi jangan salah, akidah kami tetap Islam yang asli, sebab akidah tak kenal adaptasi. Perjuangan untuk bisa salat khusyu, selalu mewarnai subuh ceria kami. Jumlah yang sedikit, tempat yang terpencil, berimbas pada agenda Rohis. Dari dulu, ada impian tak tersampai. Ingin sekali membuat kegiatan Rohis akbar yang mengguncang Papua. Mengundang sekolahsekolah untuk datang bertandang. Namun sepertinya itu sulit. Akses menuju sekolah kami terbilang ekstrim. Perlu sekitar delapan kilometer menunggangi ojek barulah bisa sampai. Waktu itu, sekali jalan, ongkos ojek Rp3.000,00. Jumlah yang terbilang mahal untuk kantong remaja SMA di tahun 2002. Sadar, sulit membuat event akbar Rohis, maka kami selalu merindu ada undangan. Tidak perduli dari sekolah mana, yang penting kegiatan islami, kami pasti datang. Terkenallah sekolah kami, sekolah gunung itu sebagai sekolah yang selau melaksanakan satu sunah Rasulullah saw: Datang bila ada undangan. Perjuangan untuk mendatangi kegiatankegiatan Rohis pun terbilang sukar, penuh perjuangan. Kalau ada undangan, jangan
21 coba tidur pagi, bila tak ingin ketinggalan. Karena kita selalu berangkat beramai-ramai. Tantangan semakin berat, kalau musim kemarau tiba. Sumber mata air alam, jauh dari asrama. Harus menuruni bukit terjal, melewati jalan setapak. Bila pijakan kaki tak kuat, engkau akan terpeleset dan terjerambab jatuh. Makanya hati kadang miris, melihat siswa-siswa muslim yang tinggal di kota. Ketika mereka tidak antusias bila ada gelaran acara Rohis. Padahal jarak mereka dekatlah saja. Bandingkan dengan kami, anak asrama, anak sekolah gunung yang harus berjuang berkejaran dengan waktu. Apalagi bila kantong mulai tipis. Tuntutan berhemat menjadi sebuah keharusan. Maka jalan kaki adalah pilihan terakhir. Di belakang sekolah kami memang ada jalanan yang menghubungkan ke jalan besar. Kami biasa menyebutnya “Jalan Tikus.” Terkadang berpikir beribu-ribu kali bila ingin melaluinya. Panjang jalannya kira-kira ada tiga kilometer. Kalau datar-datar saja mungkin tak menjadi soal. Tapi ini jalanannya terjal, melewati punggung-punggung bukit yang curam. Di sisi-sisinya banyak tebing yang mulai rapuh. Salah sedikit memijakkan kaki, engkau akan tergelincir dan jatuh terguling. Agar penat tak terasa, kami selalu menjadikan Allah dan Rasulullah saw sebagai pembela. Kadang dalam hati, saya pribadi menggumamkan Surat Muhammad ayat 7, “Hai orang-orang yang beriman, tolonglah agama Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudu-
kan.” Ayat singkat namun penuh makna. Ayat ringkas, namun berisi janji yang pasti adanya. Semangat dari “Muhammad ayat 7” mampu memulihkan tenaga, untuk terus mengayunkan langkah. Kalau perjalanan seperti ini saja sudah merasa tersiksa, lalu bagaimana kira-kira pedih derita yang dirasakan sahabat Rasulullah dulu? Berjalan dari Mekah ke Madinah, dengan bekal alakadarnya. Ah, rasanya malu hati ini, jika merefleksikan amal pada mereka. Belum ada seujung kuku, membandingkan pengorbanan ini dengan pengorbanan Rasulullah dan sahabat. Bertambah malulah aku, ketika kualitas amal belumlah sama, tapi mengharap imbalan surga. Begitulah perjuangan yang dilalui, untuk mendatangi taman-taman surga (baca: majelis ilmu). Setiap mengikuti kegiatan Rohis, pastilah menyeksamainya dengan sepenuh jiwa. Rugi rasanya, bila pengorbanan untuk mendatanginya sudah berlipat-lipat, namun tak ada ilmu yang didapat. Satu-satu, serpihan hidayah itu aku kumpulkan. Kemudian menatanya di ruang hati. Berharap kelak menjadi inspirasi dan bekal untuk lanjutkan perjuangan Rasulullah saw. Di Rohislah aku temukan arti hidup, arti perjuangan, termasuk arti cinta, sebenar-benarnya cinta. Makanya, waktu Metro TV memberitakan tentang Rohis adalah lumbung teroris, hati ini seperti perih diiris-iris. Rohis tempatku dulu mendapat hidayah, kini ia difitnah sebagai sarang teroris. Tidak boleh tinggal diam. Harus memberi pembelaan!
22
JERUJI INTELEKTUAL
Saya pernah merasakan masa itu dan ku yakin kalian pun pernah merasakannya. Ya, masa dimana kita harus bangun
di pagi-pagi buta, cuci muka, berwudhu, sholat, sarapan, mandi kemudian berangkat ke sebuah bangunan yang
23 kita kenal dengan istilah “sekolah. “ Kurang lebih dua belas tahun lamanya kita bergelut dalam lingkaran gedung itu. Senang, susah, ceria, canda, tawa, emosi, ngejailin teman, menggoda wanita, bolos bahkan terkadang berbuat sesuatu yang tidak terpuji kepada sang “Omar Bakri”. Hufffttttt....!!! Harus banyak maaf nih. hehehe. Namun ada satu hal yang kemudian membuatku harus mengatakan ini. “Masamasa itu adalah masa dimana kita hidup dalam sebuah penjara yang tak nampak jerujinya”. Karena ia tak memiliki jeruji, maka kitapun dengan polosnya merasa adem ayem saja hidup dalam tekanan itu. Ya, sekolah itulah yang kuibaratkan sebagai penjara dimana praktek penindasan dan tekanan dilakukan terhadap diri kita dengan mengatas namakan “mendidik” dan “mencerdaskan”. Padahal apa..??? Disanalah terjadi praktek penindasan, intervensi dan dominasi. Masih sangat jelas dalam ingatan kita, stiap hari Minggu tiba, maka gembiranya hati tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kegembiraan itu hanya bisa digambarkan di dalam alam imaji saja. hahahah.. Yah, paling tidak rasanya hampir miriplah dengan para napi yang lama dipenjara kemudian dibebaskan. Pun demikian, rasa gembira itu tak berlangsung lama. Ketika Minggu malam telah menyapa, rasa gembira itupun ikut menghitam terseret dalam gelapnya malam. Bukan karena malamnya yang membuat kita down, tapi karena esoknya itu adalah hari Senin. Dimana kita kembali akan digir-
ing ke dalam penjara yang sama. Perku kita ketahui dan pahami bahwasanya secara umum orientasi dari dunia pendidikan itu setidaknya mencakup dua hal, yaitu untuk “Memanusiakan Manusia dan Orientasi Pasar”. Namun setelah melihat realita yang terjadi maka dapatlah kita menarik seutas benang merah bahwa: Lembaga pendidikan hari ini tidaklah berorientasi memanusiakan manusia, melainkan hanya sebagai pencetak generasi prematur yang termodifikasi menjadi penindas-penindas baru yang sifat kemanusiaannya tertelan oleh doktrin-doktrin pragmatik dan oportunistik. Orientasi pasar pun tidak pernah jelas. Lulusan pendidikan saat ini tidak pernah bertolak pada kebutuhan masyarakat secara umum, melainkan hanya berpondasikan pada kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Tanya kenapa...???? Semuanya jelas karena saat mengecap dunia pendidikan para penuntut ilmu itu dijauhkan dari realitas sosial masyarakat. Hingga kemudian kepekaan dan sikap kritis akan problemaitika sosial yang ada pun ikut terdegradasi, hingga semakin licinlah jalan para birokrat dan korporat untuk mengenyangkan perut-perut buncit mereka. LAWAN...... LAWAN..... LAWAN dan MENANG.......!!!!! -Akar Rumput(Mahasiswa)
24
25
KESOMBONGAN KOLEKTIF Sombong itu, kata Rasulullah, menolak kebenaran dan meremehkan manusia. [HR. Muslim]. KETIKA seseorang disodorkan peran antagonis dalam sinetron, maka kesan karakter yang akan ditangkap adalah kecongkakan. Sikap menghinakan, merendahkan, membabi buta, dan mungkin selalu diikuti dengan penampilan glamour yang menandakan bahwa dirinya pantas untuk diperhitungkan. Itu dalam sinetron, yang tentunya bagi para penonton sangat mudah untuk menilai, bahwa sikap peran itu: Sombong. Banyak literatur menyebutkan, bahwa sombong adalah satu macam di antara penyakit hati. Oleh sebab tidak stabilnya kondisi hati. Walaupun ini merupakan masalah hati, tetapi penampakannya sangat mudah untuk diindentifikasi. Contohnya terlalu banyak, bisa Anda cari sendiri, yang dengannya akan dapat
membuat Anda mengumpat ke arahnya, “Sombong!” Seseorang tidak perlu meraih gelar tinggi-tinggi untuk mengerti kata ini, namun agaknya, ada satu hal yang amat teramat disayangkan. Seiring dengan berkembangnya zaman, seakan-akan kata tersebut tengah mengalami reduksi. Atau janganjangan, definisi sombong dalam bahasa Indonesia tidak sama dengan pengertian istilah takabur dalam Islam? Ternyata benar, bahwa di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sombong hanya diartikan sebagai: Menghargai diri secara berlebihan; congkak; dan pongah. Dan setelah diteropong berdasarkan realita penerapannya, maka kita bisa menyimpulkan bahwasanya ‘sombong’ di lingkungan sekitar kita hanya mencakup perilaku “moralitas” belaka. Setingkat lebih sempit ketimbang apa yang dipaparkan oleh Rasulullah saw.. Jelas ada satu hal yang terlupakan, yang secara tidak sadar konsekuensinya jauh lebih mengerikan. Kalau sombong seperti yang telah kita bahas di atas umumnya berobyek kepada sesama manusia, maka kriteria som-
26 bong yang kedua yang disampaikan oleh Rasulullah saw., yakni menolak kebenaran, itu berarti pelakunya melakukan kesombongan kepada Allah swt.. Kita tahu kenapa Iblis dipastikan dijebloskan ke neraka, itu akibat sikapnya yang menolak perintah kebenaran untuk bersujud kepada Adam. Dengan congkak ia membangga-banggakan diri merasa lebih terhormat dari pada tanah lempung. Ironisnya, akhir-akhir ini ada yang mencoba bertindak sebagai semacam pembela iblis dengan mengatakan hanya Allah tempat kita bersujud dan bukan kepada manusia, untuk kemudian terlahir klaim bahwa itulah alasan mengapa iblis menolak untuk bersujud kepada manusia. Maka, celetukan yang keluar bisa sampai kepada pernyataan iblis berhak menyandang gelar makhluk paling bertakwa. Andaikan perkara ini dibawa ke meja persidangan, dan Iblis menyetujui alasan pembelaan “pengacara”-nya itu, maka sebenarnya ia pun lupa, bahwa yang ia lakukan hanyalah mencari pembenaran, dan bukan kebenaran. Saya pastikan para “pengacara” Iblis tersebut kurang memahami makna dari “sujud kepada Adam”. Maka, tetaplah iblis berada dalam vonis. Hal yang perlu direnungkan disini adalah, semua orang tahu bahwa iblis bukanlah Atheis. Bahkan ia lebih dulu mengenal Allah daripada manusia. Tetapi karena sikap enggan menerima kebenaran, dan justru ia lebih memilih membangkang, maka tetaplah neraka tempat ia bakal dijebloskan. Pertanyaannya, apakah aturan semacam itu hanya diperuntukkan kepada Iblis? Anda pasti tahu ini pertanyaan retoris. Dan jawa-
bannya memang tidak. Setiap manusia yang membangkang dari aturan, berani menolak kebenaran, maka resikonya kurang lebih sama seperti yang diberlakukan terhadap iblis. Kini, masalah besar yang melanda dunia ini, adalah satu hal yang belum sepenuhnya dipahami oleh mayoritas umat Muslim bahwa Agama yang dianutnya telah lengkap memberikan aturan di segala aspek kehidupan. Saya katakan belum sepenuhnya “dipahami” karena realitasnya hanya sekedar “dimengerti”. Orang yang mengerti belum tentu memahami, tetapi orang yang memahami sudah tentu mengerti, untuk kemudian melakoni. Seperti apa yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an, Islam merupakan agama yang sempurna [QS.Al-Maidah: 5]. Sempurna, artinya tidak satupun aspek kehidupan yang luput dari aturan Islam. Dari mulai perihal sholat sampai perkara buang hajat, dari yang ritual sampai mu’amalah, dari hukum moral sampai hukum tatanan Negara. Maka sebagai konsekuensi logisnya, Allah memerintahkan manusia untuk berislam secara keseluruhan (kaffah) [QS.Al-Baqarah: 208]. Lha, kalau menolak? Dengan alasan apapun, maka harap diingat, sekalipun manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna, tetapi mereka bukanlah “anak emas” yang akan membuat Allah membabi buta membela mereka apapun alasannya. Mereka yang mencoba menolak dan justru memutuskan perkara selain dengan hukum Allah, maka akan dikenai tiga kemungkinan sangsi: Kalau tidak Kafir, ya Dhalim. Dan kalau tidak keduanya, maka ia fasik [QS.Al-
27 Maidah: 44; 45; 47]. Anda yang jika betahbetah saja berislam setengah-setengah dengan mengimani sebagian isi Al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya, inipun dikecam oleh Allah swt. [QS.Al-Baqarah: 85]. Terlebih bagi yang kemudian mencari Agama lain, maka di akhirat ia termasuk orang yang merugi [QS.Ali Imran: 85]. Dan ironi yang selanjutnya, betapa sombongnya Negara ini yang telah menolak hampir keseluruhan aturan dari Allah swt., Tuhan yang notabene Maha Mengatur. Mereka tidak hanya menolak, tetapi bahkan ada yang mencibir dengan mengatakan Syariat Islam tidak relevan untuk diberlakukan. Selanjutnya, mereka meracik sendiri syariat baru untuk menggantikan Syariat Islam. Itu artinya ia merasa lebih pinter dan lebih ‘sakti’ dari pada yang menciptakan dirinya sendiri. Bahkan sempat terdengar suara sumbang yang menuduh Syariat Islam, harus bertanggung jawab atas kemunduran umat manusia. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Jauh sebelum orang-orang sombong itu membuat aturan baru, Allah swt. sudah melontarkan satu pertanyaan retoris, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka ambil? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang beriman?” [QS. Al-Maidah: 50]. Dan kemudian Al-Qur’an juga mengingatkan, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS.An-Nisaa’: 60]. Mungkin ada sebagian remaja seusia SMA yang berusaha menjelaskan, bukankah dasar Negara ini tidak bertentangan dengan Agama? Wahai adikku, seindah apapun kata-kata yang menjadi dasar Negara, selagi hukum yang berlaku adalah hukum thaghut maka tetap thaghut. Kemasan kaldu yang bermerek sapi selagi isinya babi maka tetaplah babi, tetap haram dikonsumsi. Nah, apakah Kamu, adikku, melihat hukum Negara ini sudah tepat akurat sesuai Syariat? Dia terdiam. Kemudian datang seorang Dosen, dan berucap dengan nada sarkastis, “ini bukan Negara Agama!” Pak Dosen yang terhormat, Negara ini memang bukan Negara Agama, namun jangan lupa bahwa Negara ini juga bukan Negara setan yang dengan semaunya bisa melegalkan produk hukum nafsu yang belepotan kepentingan. Kawan, kuberi tahu sekarang ini banyak orang sakit. Yang menyedihkan bahkan sebagian besar tidak merasa kalau dirinya sakit. Penyakit ini aneh, karena berjalan secara kolektif, tersistem dalam satu wadah besar. Penyakit itu bernama Kesombongan kolektif. Dan pelaku kesombongan terbesar kini adalah Negara, yang menolak sebagaian besar –untuk tidak mengatakan keseluruhan- kebenaran. Saya, Anda, saudara kita, semoga masih dikaruniai kesehatan. Inilah akhirnya. [] -Ahsan Hakim (dari Surabaya)
28
BICARA TERUS, KAPAN BELAJARNYA? “..akan datang setelah kalian nanti suatu zaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang berilmu.” Apa yang salah? Training semakin gencar, seminar bertubi-tubi, teknikpresentasi juga semakin canggih, tetapi sulit menemukan jejak-jejak perubahanberarti. Betapa banyak training yang memukau, tetapi yang pertama kali berubahakibat training itu justru trainer atau motivatornya sendiri. Bukan karena ibda’bi nafsik, tetapi karena training-training itu memberi kesempatan kepadanarasumbernya untuk mengubah penampilannya.
Apa yang salah pada ceramah-ceramah yang meriah, seminarseminar yang hingarbingar dan tabligh akbar yang menggelegar? Beratus-ratus atau bahkan beribu manusia berduyun-duyun, tepuktangan membahana sangat menakjubkan dan gelak-tawa tak putus-putus sejak pembukaan hingga acara ditutup dengan pembacaan do’a yang puitis dan mendayudayu. Sesuatu yang tak pernah kita jumpai riwayatnya di zaman nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga beberapa generasi sesudahnya. Tetapi kenapa acara-acara mempesona yang sering kita sebut majelis taklim itu justru tidak meninggalkan jejak-jejak ilmu? Betapa banyak penceramah (sering disebut ustadz)yang dikenang karena lucunya, bukan karena membekasnya nasehat dalam jiwa sehingga kita bersedia untuk menengadahkan tangan berdo’a untuk kebaikan dan keselamatannya hingga yaumil-qiyamah. Kita datangi majelis-majelisnya, hingga ikuti do’anya dengan syahdu penuh haru hingga menitikkan airmata dan kita memperoleh kenikmatan dari katarsis itu. Tetapi apa yang salah sehingga do’a-do’a itu tak membekas dalam diri kita untuk benar-benar berharap hanya kepada Allah Ta’ala. Padahal demi suksesnya acara itu, kita sudah siapkan soundsystem luar biasa dahsyat sesuai spesifikasi minimal yang dipersyaratkan. Betapa berbeda rasanya kalau kita mengenang bagaimana Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullah sangat hidup majelisnya. Padahal beliau tidak memakai sound system, LCD Projector dan slide yang memukau. Beliau juga tak memakai film-film
29 pilihan untuk memberi gambaran yang hidup dari ilmu yang dijelaskan. Tetapi setiap keterangannya begitu hidup, terus membekas bahkan hingga beberapa generasi sesudahnya. Sementara ketika kita menampilkan film yang menegangkan, yang terus bergaung adalah filmnya. Bukan nasehat kita. Banyak yang datang untuk menyodorkan hard-disk untukkemudian dicopy berantai. Teringatlah saya tatkala Hamdun bin Ahmad Al-Qashshar ditanya, “Apa sebabnya ucapan para ulama salaf lebih besar manfaatnya dibandingkan ucapan kita?” Beliau menjawab: “Karena mereka berbicara (dengan niat) untuk kemuliaan Islam, keselamatan diri (dari azab Allah Ta’ala), dan mencari ridha Allah Ta’ala, adapun kita berbicara (dengan niat untuk) kemuliaan diri (mencari popularitas), kepentingan dunia (materi), dan mencari keridhaan manusia.” Perkataan Hamdun bin Ahmad AlQashshar ini dinukil oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam kitab beliau “Hilyatul Auliya’”. Saya tidak tahu apa yang akan beliau katakan seandainya beliau hidup di zaman kita ini. Di zaman ketika ‘ilmu dien masih jernih, agama masih amat membekas dan sunnah begitu hidup, Hamdun bin Ahmad AlQashshar sudah sedemikian gelisah. Lalu apa yang akan beliau katakan seandainya menyaksikan zaman ini ketika kita nyaris tak mungkin mendengar taushiyah dari ustadzustadz ternama kecuali apabila kita mampu menggenggam dunia? Di sisi lain, betapa amat mirisnya hati tatkala melihat rendahnya penghormatan kepada mereka yang datang menyampaikan ilmu tanpa meminta persyaratan yang memberatkan? Atau, inikah saatnya ketika kita terkadang harus meminta seekor kambing sebagaimana yang dilakukan oleh seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu tatkala meruqyah pemuka suatu kaum dengan bacaan Al-Fatihah. Tetapi sungguh, yang beliau kerjakan bukan karena hubbud dunya (cinta dunia). Atau, inikah masa yang disebut dalam atsar shahih dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagaimana di riwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad.
Beliau berkata, “Sesungguhnya kalian (sekarang) berada di zaman yang banyak terdapat orang-orang yang berilmu tapi sedikit yang suka berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu zaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang berilmu.” Sungguh, nasehat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini tak bergeser sedikit pun dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam AthThabrani: “Sesungguhnya kalian hidup di zaman yang fuqahanya (ulama) banyak dan penceramahnya sedikit, sedikit yang minta-minta dan banyak yang memberi, beramal pada waktu itu lebih baik dari berilmu. Dan akan datang suatu zaman yang ulamanya sedikit dan penceramahnya banyak, peminta-minta banyak dan yang memberi sedikit, berilmu pada waktu itu lebih baik dari beramal.” (HR. Ath-Thabrani). Ada yang patut kita renungkan. Bagi para pembicara semacam saya, kitakah yang dimaksud oleh ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu? Bagi mereka yang berusaha meraup ilmu dari para pembicara, perhatikanlah dari lisan siapa ilmu tentang dien ini engkau terima. Terlebih hari ini, ketika ceramah agama dan gelar ustadz begitu menjanjikan dunia sehingga kartu nama pun bertuliskan “Al-Ustadz”. Sesuatu yangsulit kita jumpai pada pribadi Imam Nawawi yang risih ketika digelari muhyidin, sementara hari ini gelar-gelar itu bahkan kita ciptakan sendiri. Betapa berbedanya! Atau..., telah tibakah masa yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang zaman fitnah? Sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Darimi, di antara tanda zaman fitnah itu adalah munculnya orangorang yang bertekun mempelajari agama untuk tujuan selain agama, yakni demi meraih dunia. O Allah, ampunilah hamba-Mu yang zalim ini. -Mohammad Fauzil Adhim-
30
“PARA PENCARI TIKET”
Mudik lebaran 2013. di sepanjang jalan dari Bandara Halu Oleo Kendari, yg gw pikirin adalah makanan enak. Coto Makassar, sop konro, rendang, opor ayam, tape uli, dll. Nyam… nyam… enaknya. seperti biasa gw udah bikin planning sehabis sholat ied bakal “menggilir” rumah kerabat mulai dari ujung jalan sampai ke tepi laut, sampai kenyang. mumpung emang momen wisata kuliner setahun sekali. sambil sesekali gw mengecek tas, memeriksa baju baru yang masih bau toko. baju buat gw sendiri, buat istri dan buat sodara. lalu membayangkan rumah yang kinclong kena cat setahun sekali. tiba di Kampung, pas azan magrib. ipar sudah menjemput . mobil melaju melewati jalan di tepi sungai yang di kiri kanannya berdiri puluhan tenda. loh ? tenda ? mau hari raya gini kok malah kemping ? “itu tenda para keluarga korban banjir awal puasa kemarin. Satu Kendari ini terendam. daerah sini termasuk yang paling parah. mereka ini yang tinggal di tepi sungai Wanggu. rumahnya semi permanen, dari papan dan triplek seadanya. jadi begitu banjir datang, wusss.... rumah mereka habis tidak bersisa... “ demikian ipar gw menunjuk jejeran tenda-tenda kumal di tanah basah kena gerimis berhari-hari. gw tertegun. dari balik terpal itu, di bawah temaram lampu teplok, gw bisa melihat wajah2 kuyu orang-orang yang meringkuk di atas alas tikar seadanya. tikar2 kecil di atas kardus, sekedar membatasi tanah dengan tubuh bocah2 yang kedinginan. sayup2 gw dengar mereka tetap semangat melantunkan takbir dari balik tenda. ibu-ibu menyiapkan mi instan bantuan dermawan.
tak ada ketupat atau opor. tenggorokan gw langsung kering, membandingkan keadaan mereka yang berlebaran di tengah musibah, dengan keadaan gw yang pulang kampung merasa seperti jenderal menang perang. Jargon hari kemenangan itu rasanya jadi tidak bermakna. lagipula apa yg gw menangkan ? sebulan kemarin gw lebih banyak depan komputer daripada di mesjid. gw lebih banyak tarawih sendirian di kantor, di sela-sela deru komputer yang ngerender siang malam. gw sibuk mengejar “uang lebaran” agar bisa beli tiket dan mudik dengan riang gembira. Masya Allah. ramadhan udah kelar, gw baru nyadar, betapa gw masih sama seperti sebagian orang2 Indonesia pada umumnya. lebih larut di Lebarannya daripada Ramadhannya. gw bersujud memohon supaya Allah masih memberi umur panjang, agar bisa memperbaiki catatan ramadhan gw tahun depan... ya, itulah salah satu kesombongan kita sebagai manusia yang “belum tua-tua amat”. selalu merasa masih punya waktu tahun depan atau tahun depannya lagi. padahal ajal dan musibah bukan soal tua atau soal cuaca. tapi soal giliran. Padahal ramadhan tahun depan pun belum tentu kita ketemu lagi. sehari sebelum Lebaran, pas tiba di rumah, adik gw ngasih kabar duka dari kantor lama. seorang teman meninggal. masih sangat muda. meninggal di penghujung Ramadhan. tidak sempat ia merayakan lebaran, padahal ia pastinya memanjatkan harapan yang sama tahun lalu. innalillahi wainnailaihi rajiun. Allahu akbar walillahil hamd. - Ichal Kecil (orang jakarta) -
31
Politik Gincunya
Partai
Dalam 3 bulan terakhir kita disuguhi banyak munas partai ‘besar’. Tidak perlulah saya sebutkan partai apa saja itu. banyak kog beritanya. Dari tiga partai besar yang mengadakan agenda munas tersebut di tempat mewah yang berbeda-beda, saya menarik satu kesimpulan yang sama, yakni penguatan institusi dan pencitraan partai. Kedua hal ini, merujuk pada satu tujuan yang sama pula , yakni memperoleh posisi tiga besar bahkan memenangkan pemilu 2014. Beginilah kalau hidup di alam demokrasi. Demokrasi yang prosedural. Indikator keberhasilan sebuah partai ’hanya’ diukur oleh jumlah suara. Jadilah momen lima tahun sekali dijadikan ajang partai untuk ’turun ke jalan’ ‘mengayomi’ masyarakat. Bukan hanya itu, berbagai macam cara pun dilakukan demi satu tujuan, PEROLEHAN SUARA. Dua kata ini ternyata bisa membutakan para pengurus partai beserta para anggotanya. Jangan salah, anda bisa menemukan partai yang tadinya idealis sekali pada awalnya, namun bergeser menjadi
32 pragmatis pada akhirnya. Jika ada partai yang tadinya ’mengaku’ eksklusif, kini sudah tak malu-malu lagi menyatakan keterbukaannya. Berbagai dagelan politik yang bersembunyi di balik kata ‘pembenahan’ pun dilancarkan. Pendekar-pendekar partai(baca:politisi) berubah haluan, terjerembab ke lembah nihilisasi substansi dan memainkan politik etalase. Politik gincu kemudian menjadi keniscayaan. Nyeleneh memang. tapi apa mau dikata, beginilah alam demokrasi, politik gincu. Pencitraan, pembentukan identitas , atau apapun namanya, menjadi harga mati tanpa memperdulikan lagi idealisme. Politik gincu dalam hal ini, sangat membutuhkan popularitas demi memperoleh suara. Popularitas adalah faktor krusial bagi sebuah partai untuk masuk kedunia politik dalam sistem demokrasi. Untuk menjamin tingkat elektabilitas, partai harus terlebih dahulu dikenal, untuk kemudian disukai dan pada akhirnya dipilih. Ini yang saya katakan bahwa Politik gincu memang selalu identik dengan upaya pecitraan politik. Kalau yang saya dapatkan dari ’profesor’ saya, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani –semoga Allah merahmati beliau– di buku at Takattul al Hizby (Pembentukan partai politik) , Justru ideologi partailah (baca:idealisme yang benar), dengan pemikiran dan metodenya, yang akan menjadi ruh bagi bangunan partai tersebut. Para kader partai yang sudah terinternalisasi ideologi partai , justru akan menjadi motor menggerak yang
sangat canggih. Yang impact-nya, tentu bisa ditebak, penggemukan tubuh partai di masyarakat. Jadi tak perlulah dilakukan pencitraan diri partai secara berlebihlebihan, apalagi sampai menjelma menjadi partai yang terbuka bahkan buka-bukaan. karena pecitraan partai, akan terbentuk dengan sendirinya seiring dengan kuatnya ideologi partai yang menyentuh masyarakat. Sehingga masyarakat akan tertunjuki oleh ideologi tersebut dan ikut bergerak karena pengaruh ideologi tersebut. Politik gincu, hanyalah salah satu kosmetiknya sistem demokrasi yang serba utopis. Partai-partai idealis, mau tidak mau, pasti akan tergerus juga ideologinya oleh tawar menawar politik ala demokrasi. Partai yang seharusnya membersihkan diri masyarakat dan umat dari kedigdayaan liberalisme, sekulerisme, dan politikusme, justru terjerat arus isme-isme tadi. Terakhir, Partai seharusnya mendedikasikan dirinya kepada umat, bukan mendedikasikan dirinya untuk perolehan suara. Karena jika partai hanya mendedikasikan diri demi suara,suara, dan suara. Apa bedanya mereka dengan partai van Americana? —- Ingin rasanya saya memberikan buku at Takattul al Hizby yang merupakan masterpice-nya ’profesor’ saya, Syekh Taqi. Let’s be honest, compared to his ideology, they are getting a shallowness — -20 Juni 2010, - Nurina Purnama Sari - [dari depok]
33
Dho ba dho *sebuah catatan refleks
arloji berdetak. sepasang mata jeli memerhatikan. puluhan siswa menunggu reaksi. diam. takzim. berdiri dengan rapi di bangku masing-masing. saat waktunya tiba, pelajaran pertama hari itu pun dimulai. dho ba dho. pernahkah kalian menontonnya? sekali lagi, dho ba dho. pernahkah kalian menontonnya? itu loh film yang telah menembus angka 1.050.439 pengunjung. pernahkah kalian menontonnya? aduh kasihan sekali. berarti anda adalah yang ke sekian dari sekian kalinya orang-orang setelah saya. ok, fine. untukmu yg belum, mari sini aku ceritakan. dho ba dho a.k.a 2+2=5. pelajaran hari itu adalah matematika. seorang guru berbadan tegap mencengkram kapur putih lalu menuliskan bilangan itu tanpa beban. kontan siswa-siswanya rusuh. “diam!” ekspresi ini jelas membentak. “2+2 sama dengan lima. ulangi setelah saya. 2+2 sama dengan?” siswa terdiam. “2+2 sama dengan?!” “5 pak” “keraskan. sama dengan?” “5 paakk!” “lebih keras!” “limaaaa paaakk!” “sekali lagi!” “5 paakkk!!” memotong gelagat sang guru, seorang
siswa menggantungkan jari ke udara. “kenapa nak?” “pak. sebenarnya, 2+2 sama dengan 4.” sang guru diam sejenak. maksudnya, sepersekian jenak. “tadi, kau baru saja menyatakan 2+2=5. kau tidak harus menanyakannya. mengerti?” “iya pak. saya hanya berpikir...” “jangan berpikir. kau tidak butuh berpikir. 2+2=5. sekarang duduk dan diamlah.” “keluarkan buku tulismu dan tuliskan, 2+2= lima.” lanjut sang guru kepada siswasiswanya. seorang siswa lainnya tiba-tiba berdiri “pak. 2+2=4. ia akan selalu 4. bagaimana bisa jadi 5?” “siapa yang mengizinkan mu bicara? beraninya kau bertanya padaku?” “pak ini hanya....” 2+2=5. ucapkan!” tapi pak..” ucapkan!!” “argghh... 2+2=4, kalian semua pasti bisa melihatnya.” jari-jari anak itu menyontohkan kepada teman-temannya. “lihat ke depan!” sang guru semakin naik tensinya. “kau tahu itu empat. kenapa kau tidak mengatakannya?” “DIAMM!! jangan berpindah sampai saya kembali.” sang guru keluar kelas. “diamlah. kau membawa kita semua dalam masalah. kau benar-benar membuatnya kesal. dia akan membunuhmu.” kata dua kawannya.
34 sang guru masuk kembali bersama tiga orang siswa senior. kepada mereka ia berkata, “siswa kurang ajar ini merasa dia tahu lebih baik.” lanjutnya,”bocah, katakan pada kami lagi, 2+2 sama dengan berapa?” “pak, jawabannya adalah 4 pak.” “pernahkah kalian mendengar hal semacam itu?” tanyanya pada siswa senior. “mereka adalah beberapa siswa terbaik kita. kalian harus melakukan hal sama seperti mereka. katakan, berapa 2+2?” kembali siswa senior di tanyai. “pak, jawabannya lima pak.” “bagus sekali” “kau bocah, kemari. sekarang, tulis jumlahnya. lakukan dengan benar.” sambil menyodorkan kapur tulis. siswa senior berjajar dan mulai memainkan scene imajinatif. mereka berakting menodongkan senjata. di lihat dari gayanya, sepertinya senjata itu model senapan. sungguh... sang siswa meraih kapur tulis, titik klimaks kisah ini sepertinya di mulai. ia menatap semuanya berkali-kali. lalu... akan kah ia konsisten dengan angka 4? ataukah ia mesti berdamai dengan moncong senjata imajinatif demi angka 5? singkat cerita, murid itu di seret keluar karena keras kepala menuliskan angka 4. cipratan darah terlempar melekat di angka itu setelah bunyi tembakan meletus dengan kejam. semua siswa kembali mengikuti instruksi, mereka menulis 2+2=5. jleb! *** “Yakin!” “hadir pak!” “anda Yakin?” “Yakin pak.” Sontak se isi kelas terbahak. itulah dia Yakin kawanku. perjaka dengan nama yang aneh. lebih aneh dari saya. haha. eh, jangan salah ya. yakin ini fragmen kisah yang lain. tidak ada hubungannya dengan cerita dho ba dho di atas. ini sekedar preambule untuk sampai pada bahasan keyakinan. ya, betapa sukarnya menyusun alur hanya demi
sampainya kita ke istilah ini. pernahkah kau mendengar musik di taman ria? Yang iramanya melayu dan katanya asyik sekali? halah. maksud saya, pernahkah kau mendengar kalimat ini, “marilah kita berdoa menurut keyakinan dan kepercayaan kita masing-masing. berdoa di mulai.... berdoa di kumpul!” pernah toh? lantas apa itu yakin? apa itu percaya? wah, jangan tanya saya... hehehe. ada yang bilang, yakin itu seperti seorang biasa, memanah buah apel di atas kepala dalam jarak satu meter. sedangkan percaya adalah memanahnya dalam jarak yang jauh. bagaimana? kemungkinan kenanya jelas beda to? yakin itu tidak sekedar percaya. artinya, percaya itu belum sampai yakin. apa menurutmu juga begitu? baiklah. ku pikir tak perlu menjelaskannya panjang lebar. kelihatannya anda lebih banyak tahu dari saya. yang jelas, yakin itu efeknya kurang lebih seperti yang di alami baginda rosul di atas darah dan lemparan batu orang-orang thaif. seperti teguhnya asy syahid sayyid qutb di bawah lambaian tali gantung. iman baja pemuda muslim uzbek dan muslim guantanamo di balik jeruji. titian intifada generasi masjidil aqsha. wangi revolusi mujahid- mujahid syria. pertarungan tiada henti kaum muslimin seluruh dunia atas kezaliman kaum kuffar. Begitu juga kalian yang disini, di atas aspal siang seberang DPR, menusuk-nusukkan ar-roya’ ke udara mengepal-ngepalkan tinju ke angkasa sementara mulut tak henti mengoreksi penguasa. bagaimana? bisakah kita menjadi yakin? mari mengukur diri sebelum tiba masanya. “Di antara orang-orang yang beriman itu, ada yang bersikap benar menunaikan apa yang telah dijanjikannya kepada Allah (untuk berjuang membela Islam); maka di antara mereka ada yang telah selesai menjalankan janjinya itu (lalu gugur syahid), dan di antaranya ada yang menunggu giliran dan mereka pula tidak mengubah (apa yang mereka janjikan itu) sedikitpun.” [Surah Al Ahzab, Ayat 23] - Achoy Majazi (makassar tonji)-
Terima kasih kepada :
35
| Allah swt | | Nabi Muhammad saw | Syaikh Taqiyuddin An-nabhani | Pustaka Baca Hurufkecil | Campusgroup | Ichal Kecil mbak Nurul Abi | Wak Hadi Nurina P. Sari E.S.Ito | Achoy Majazi Faudzil Adhim | Adi Wijaya Abu Hafidzh | Akar Rumput Ahsan Hakim Peta | Apan | Ramto Falah | Arash | Munex | Sabir Abu Najwa | Anshar | Khadijah Ririn Rebelinos | Sury | Suara Hidayatullah | Bapak Ibu kami di seberang sana | dan semua yang terlibat.
TAK TERTUNDUKKAN Walau malam kelam menyelubungiku Sekelam lubang sedalam kutub ke kutub Aku bersyukur pada yang di atas sana Atas jiwaku yang tak pernah tertundukkan. Dalam rasa tercengkeram keadaan Aku tidak meringis, tidak menangis meraung Dibawah palu gada yang memukul tiap ada kesempatan Kepalaku boleh bercucur darah, tapi takkan aku tunduk. Di tempat yang penuh angkara dan air mata ini Penuh bayang-bayang pekat kengerian Dalam tahun-tahun sarat ancaman Lihat, lihatlah, aku yang tak pernah gentar. Sempitnya jalan, bukanlah masalah Seberat apapun lembaran hidupku dituliskan Akulah yang menentukan nasibku Akulah yang memimpin jiwaku. [Terjemahan “Invictus� oleh William Ernest Henley]
36
“Semua bisa menjadi pelaku sejarah, tapi tidak semua bisa tercatat oleh sejarah. Jangan membuat bingung menemukan hal yang bisa dicatat darimu sebagai torehan sejarah. Meski demikian, berbuatlah secara natural dan mengalir penuh keikhlasan, tanpa bermaksud ingin tercatat oleh sejarah...� --ustadz--