Prosiding Semnas Modal Sosial

Page 1

ISBN : 978-602-99286-2-4

Sabtu, 4 Mei 2013 Ruang Sidang Utama Rektorat UNY Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Negeri Yogyakarta Program Pasca Sarjana & Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Luar Sekolah


PROCEEDING PENGEMBANGAN MASYARAKAT BERBASIS MODAL SOSIAL

Editor Prof. Dr. Yoyon Suryono Dr. Sugito, MA Dr. Sujarwo, M.Pd Dr. Iis Prasetyo, MM Dr. Puji Yanti Fauziah Lutfi Wibawa, M. Pd

Desain cover oleh Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Di cetak dan diterbitkan oleh Jurusan PLS Fakultas Ilmu Penddikan

Alamat Redaksi : Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Jl. Colombo Kampus Karangmalang Yogyakarta Tlp/Fak : (0274) 586168 psw 369 E-mail

: plsfipuny@gmail.com

Web

: http://pls.fip.uny.ac.id/

ISBN 978-602-99286-2-4

i


KATA PENGANTAR Masyarakat sebagai suatu sistem memiliki beberapa komponen yang saling berinteraksi dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, dituntut akselerasi perubahan secara aktif dari anggota masyarakat. Ciri-ciri masyarakat aktif dan agen perubahan diarahkan pada upaya yang dapat menggerakkan masyarakat mencapai dalam kemajuan. Cara-cara yang harus dilakukan dan aktor-aktor yang berperan dalam pemberdayaan harus dioptimal. Tujuan pemberdayaan harus dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat pada semua aspek. Analisis ini berangkat dari telaah peran komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.Pemberdayaan masyarakat melibatkan modal sosial untuk memperkuat interaksi sosial dalam masyarakat, menyatukan dan membantu mereka untuk saling berkomunikasi dengan cara efektif, efisien, produktif dan humanis yang dapat mengarah pada dialog yang sejati, pemahaman dan aksi sosial yang humanis dan harmonis. Pada analisis ini disajikan diawali dengan modal sosial mengenai peran komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat, Komunikasi diharapkan dapat memprediksi, mendeteksi, menganalisis, dan menjelaskan setiap perubahan. Secara tidak langsung, komunikasi berpengaruh atas perubahan yang terjadi. Berbagai perubahan yang terjadi memerlukan dukungan dan intervensi komunikasi sehingga perubahan berlangsung seimbang dan bermanfaat. Untuk memperkuat peran modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan perannya dalam bentuk kelembagaan pada unit-unit usaha dan sosial. Kondisi ini diperlukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama, yang diwarnai oleh pola interelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilainilai sosial yang positif dan kuat. Perlunya penguatan unsur-unsur modal sosial dalam proses pemberdayaan seperti penguatan nilai atau norma-norma yang ada dalam institusi lembaga, peningkatan tindakan proaktif diarahkan dapat merangsang tumbuhnya sikap saling bertukar kebaikan (resiprosity) yang memperkuat jaringan yang terbentuk semakin kokoh dan membantu optimalisasi program pemberdayaan melalui penguatan komunikasi dan kelembagaan di masyarakat. Karakteristik perilaku masyarakat yang sangat beragam dan kompleks membutuhkan sentuhan modal sosial yang dapat membuat terjalinnya ikatan yang harmonis antar jaringan dalam pemberdayaan tersebut. Modal sosial dapat difahami adalah sebuah jalinan sosial yang memungkinkan masing-masing anggota dapat berhubungan langsung dengan kelompoknya Agar pemberdayaan masyarakat lebih terarah dalam pencapaian tujuan yang optimal, maka perlu memberikan perhatian pada potensi dan kondisi yang dimiliki masyarakatnya sebagai wujud akomodasi dari perhatian pada kearifan lokal ( local wisdom). Kearifan lokal dapat dipahami sebagai ide-ide setempat yang bersifat bijaksana dan penuh kearifan, mengandung norma dan nilai baik yang masih dipertahankan karena merupakan suatu keyakinan untuk menjaga dan melestarikan alam. Hal itu masih tertanam dan masih dijaga oleh seluruh anggota masyarakatnya. Kondisi ini ditunjukan pada masyarakat nelayan, masyarakat Dayak Kaburai Daerah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kabupaten Melawi, dan sebagainya. Untuk memperkuat posisi pemberdayaan masyarakat di daerah diperlukan penguatan secara kelembagaan. Unsur penting yang sangat strategis adalah Pemerintah Daerah (PEMDA). Komitmen Pemda sebagai modal sosial dalam pemberdayaan msyarakat di daerah/kota. Salah satu contoh bentuk komitmen Pemda dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh Pemkot Salatiga dalam pembangunan pendidikan. Salah satu dan bentuk komitmennya adalah menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan dan peningkatan perhatian Pemda terhadap pendidikan, misalnya berupa regulasi pembentukan dan penataan organisasi pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi, dukungan pendanaan pendidikan, dan kebijakan-kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Merefleksi apa yang dilakukan Pemda tersebut. ii


Agar pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara optimal diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, komitmen, karakter yang baik dan kepekaan sosial yang memadai. Manusia sebagai subjek pembangunan mengandung arti bahwa manusialah yang menjadi pemikir, perencana, dan pelaksana pembangunan dirinyan sendiri, pembangunan masyarakat. Mengembangan manusia sebagai subjek pembangunan berarti mengembangkan manusia yang sadar akan permasalahan diri dan lingkungannya, manusia yang berusaha memecahkan sendiri permasalahan yang dihadapinya, manusia yang tidak selalu tergantung atau menggantungkan diri kepada orang lain untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, baik masalah sendiri maupun masalah masyarakat lingkungannya. Mengembangkan manusia yang demikian berarti mengembangkan manusia yang mandiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan sangat tergantung kepada keberhasilan proses pemandirian manusia

Yogyakarta, 29 April 2013

Dr. Sujarwo, M.Pd

iii


DAFTAR ISI COVER .................................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv

Peran Komunikasi Pembangunan Dalam Pengembangan Masyarakat Di Negara Dunia Ketiga Restiawan Permana, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas BSI Bandung ..........................

1

Peran Modal Sosial Dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan Sari Narulita, SE, MSi, Dosen tetap STKIP PGRI Bandar Lampung .................................

8

Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Berbasis Kearifan Lokal Suku Dayak Kaburai Di Kalimantan Barat Dian Wahyuningsih .................................................................................................... 18 Komitmen Pemda Sebagai Modal Sosial Pembangunan Pendidikan (Sebuah Refleksi dalam Konteks Implementasi Paradigma Baru Pendidikan) Wasitohadi .................................................................................................................. 32 Village Community Development Syafruddin Wahid, Dosen PLS Universitas Negeri Padang ............................................ 48 Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan (Suatu Studi Peningkatan Mutu Pendidikan di SMA Salatiga dan Semarang) Slameto. Dosen Program Studi PGSD FKIP UKSW Salatiga .............................................. 59 Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogyakarta Berbasis Modal Sosial Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Meita Wulan Sari, Mahasiswi Pendidikan Biologi UNY .................................................... 72 Peranan Modal Sosial Dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif Di Jawa Timur Herry Yulistiyono, M.Si, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo Madura . 81 Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar Irmawita, Dosen PLS FIP UNP ................................................................................... 94 Revitalisasi Modal Sosial Dan Budaya Lembaga Pendidikan Masyarakat Dalam Membangun Habitus Baru S.Wisni Septiarti, M.Si, Dosen PLS FIP UNY ................................................................. 103 Pergeseran Pola Kehidupan Dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik Hardika, Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP UM ............................................... 110 Pendidikan Dan Pengembangan Sosial (Peningkatan Intensitas Pengembangan Masyarakat Melalui Pendidikan Informal) M. Djauzi Moedzakir, Dosen PLS FIP Universitas Negeri Malang .................................... 119 Pembentukan Civil Involvement Dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial Habib Prastyo. S.Pd .................................................................................................... 127 iv


Peranan Adat Istiadat dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial Widyaningsih, M.Si Dosen Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY.......................................... 132 Pemberdayaan Pemuda Melalui Social Capital Lutfi Wibawa, M.Pd Dosen Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY ......................................... 137 Dampak pendidikan kewirausahaan masyarakat terhadap pengembangan modal social Entoh Tohani, M.Pd. Dosen PLS FIP UNY ..................................................................... 143 Ketrampilan kerjasama sebagai modal social dalam pemberdayaan masyarakat Dr. Sujarwo, M.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY ............................... 149 Data Penulis .................................................................................................................. 157

v


Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pengembangan Masyarakat di Negara Dunia Ketiga‌/Restiawan

2013

PERAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI NEGARA DUNIA KETIGA (Kasus Pada Program Optimalisasi Lahan Pekarangan di Desa Mulyasari Kab. Karawang – Jawa Barat) Oleh: Restiawan Permana Dosen Ilmu Komunikasi Universitas BSI Bandung Abstraksi

Pembangunan di Indonesia adalah dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia, harus bersifat pragmatik yaitu suatu pola yang membangkitkan inovasi bagi masa kini dan yang akan datang. Melalui program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian Republik Indonesia memiliki harapan agar mengedepankan inovasi teknologi spesifik lokasi untuk mendukung pembangunan pertanian. Optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan atau ruang terbuka menjadi sangat penting untuk ketahanan pangan, sumber pendapatan, kesempatan kerja, dan agrowisata. Melalui kegiatan penyuluhan sebagai praktek komunikasi dalam program KRPL di Desa Mulyasari, maka peran komunikasi pembangunan dinilai penting. Hal ini ditandai dengan berjalannya program optimalisasi lahan pekarangan tersebut dengan baik sesuai dengan tujuan dan sasaran programnya. Berjalannya kegiatan penyuluhan di Desa Mulyasari ini tidak hanya dinilai dari materi penyuluhannya saja, namun dinilai juga bagaimana ragam kegiatan yang dilakukan, kebermanfaatannya, dan tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan peserta program KRPL dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan. Kata Kunci: peran komunikasi pembangunan, pengembangan masyarakat, program KRPL

Latar Belakang Kebijakan pembangunan di Negara Dunia Ketiga atau negara-negara yang sedang berkembang pada periode tertentu mengacu pada paradigma pertumbuhan. Berdasarkan paradigma ini, pembangunan lebih difokuskan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tinggi. Kondisi ini diyakini pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tinggi tidak saja akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional tetapi juga akan berpengaruh pada pertumbuhan kesejahteraan sosial. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat mendorong pada penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan buruh melalui kenaikan upah pekerja, juga asumsi bahwa dengan perkembangan perekonomian moderen akan mempengaruhi daerah perdesaan yang akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani atau masyarakat desa itu sendiri. Pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh negara-negara miskin atau negara yang sedang berkembang dalam dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan kekuatan militer negara-negara adikuasa atau negara industri maju. Persoalan-persoalan yang dimaksud yakni bagaimana mempertahankan hidup atau meletakkan dasar-dasar ekonominya agar dapat bersaing di pasar internasional. Untuk mengukur pembangunan atau pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain: 1. Kekayaan rata-rata: produktivitas masyarakat atau produktifitas negara tersebut melalui produk nasional bruto dan produk domestik bruto. 2. Pemerataan: tidak saja kekayaan atau produktifitas bangsa yang dilihat, tetapi juga pemerataan kekayaan dimana tidak terjadi ketimpangan yang besar antara pendapatan golongan termiskin, menengah dan golongan terkaya. Bangsa yang berhasil dalam

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

1


Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pengembangan Masyarakat di Negara Dunia Ketiga‌/Restiawan

2013

pembangunan adalah bangsa yang tinggi produktifitasnya serta penduduknya relatif makmur dan sejahtera secara merata. 3. Kualitas kehidupan dengan tolok ukur PQLI (Physical Quality of Life Index) yakni: ratarata harapan hidup sesudah umur satu tahun, rata-rata jumlah kematian bayi, dan ratarata presentasi buta dan melek huruf. 4. Kerusakan lingkungan. 5. Kejadian sosial dan kesinambungan. Berdasarkan pertimbangan tersebut muncul gagasan agar pemerintah di negara-negara sedang berkembang sangat mengharapkan peningkatan kesejahteraan sosial dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial terutama bagi warga masyarakat lapisan bawah dari mekanisme tetesan hasil pertumbuhan ekonomi yang belum tentu terwujud. Pemerintah di negara-negara sedang berkembang perlu mempunyai komitmen untuk secara khusus mengalokasikan anggaran pembangunannya bagi usaha-usaha kesejahteraan sosial tersebut. Dalam implementasinya di Indonesia sebagai salah satu Negara Dunia Ketiga, program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian Republik Indonesia memiliki harapan agar mengedepankan inovasi teknologi spesifik lokasi untuk mendukung pembangunan pertanian. Optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan atau ruang terbuka menjadi sangat penting untuk ketahanan pangan, sumber pendapatan, kesempatan kerja, dan agrowisata. Prinsip program KRPL ini adalah pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi masyarakat. Dalam rumah pangan, pekarangan dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya tanaman pangan. Tujuan dari pengembangan rumah pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, mengembangkan ekonomi produktif dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat. Melalui pengembangan KRPL tersebut ditargetkan skor Pola Pangan Harapan (PPH) masyarakat meningkat dari 65,6 persen menjadi lebih dari 90 persen, selain itu, pengeluaran pangan keluarga menurun menjadi 50-55 persen. Program KRPL bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam pengelolaan lahan pekarangan untuk ditanami sayuran, tanaman obat, tanaman pangan sehingga kemandirian pangan dapat tercapai. Selain itu juga dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga dalam sayuran maupun protein hewani, dan juga dapat mengurangi belanja harian. Prinsipnya adalah dilarang membiarkan lahan-lahan kosong, bila akses pangan terhadap keluarga terpenuhi sebagai bentuk pengejawantahan konsep ketahanan pangan maka ketahanan pangan nasional bukanlah suatu hal yang tidak mungkin untuk dicapai. Memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial merupakan pengertian dari pengembangan masyarakat. Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat menunjuk pada interaksi aktif antara pekerja sosial dan masyarakat dengan mana mereka terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi suatu program pembangunan (Suharto, 2005). Untuk menumbuhkan keterlibatan dan partisipasi individu, serta kelompok dalam masyarakat melalui program pemberdayaan diperlukan sumberdaya komunikasi apapun tema pembangunan tersebut. Komunikasi dalam konteks pembangunan adalah bagian integral dari pembangunan, dan komunikasi sebagai peubah penting yang diterima dalam mewujudkan pembangunan (an integral part of development, and communication as accept of variables instrumental in bringing about development). Seperti yang dikatakan Pearce (1986) bahwa komunikasi memegang peran penting dalam proses pembangunan. Hal utama yang dilakukan komunikasi pembangunan adalah membuka pemahaman, wawasan berpikir, pengayaan pengetahuan dan keterampilan, serta pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh. Secara pragmatis, menurut Quebral dalam Dilla (2007), komunikasi pembangunan dapat dirumuskan sebagai komunikasi yang dilakukan untuk melaksanakan pembangunan suatu bangsa. Sebagai proses perubahan dan pembaharuan masyarakat pembangunan membutuhkan kontribusi komunikasi.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

2


Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pengembangan Masyarakat di Negara Dunia Ketiga‌/Restiawan

2013

Hal utama yang dilakukan komunikasi pembangunan adalah membuka pemahaman, wawasan berpikir, pengayaan pengetahuan dan keterampilan, serta pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh. Secara pragmatis, menurut Quebral dalam Dilla (2007), komunikasi pembangunan dapat dirumuskan sebagai komunikasi yang dilakukan untuk melaksanakan pembangunan suatu bangsa. Sebagai proses perubahan dan pembaharuan masyarakat pembangunan membutuhkan kontribusi komunikasi. Untuk terjadinya perubahan dan pembaharuan dalam masyarakat diperlukan komunikasi efektif. Secara sederhana, komunikasi efektif apabila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya (Goyer dalam Tubbs & Moss, 2005). Begitu pun untuk berhasilnya tujuan dalam program KRPL perlu adanya pembinaan. Keberhasilan ini sangat bergantung pada efektivitas komunikasi yang terjadi antara pemandu lapang sebagai pembawa atau sumber pesan (source) dan masyarakat sebagai penerima pesan (receiver). Perubahan dalam masyarakat dan individu banyak faktor yang mempengaruhinya. Selain komunikasi itu sendiri, efektivitas dan tingkat keberdayaan masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti adanya kebijakan publik dari pemerintah, adanya intensitas penyuluhan, informasi dan ketersediaan sarana produksi yang bisa mendukung aktivitas petani dan masyarakat. Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pengembangan Masyarakat Keberhasilan pembangunan berawal dari adanya komunikasi dalam pembangunan itu sendiri. Komunikasi memiliki peran dalam pelaksanaan pembangunan. Hedebro diacu dalam Nasution (2004) mengidentifikasi tiga aspek komunikasi dan pembangunan yang berkaitan dengan tingkat analisisnya, yaitu: 1. Pendekatan yang berfokus pada pembangunan suatu bangsa, dan bagaimana media massa dapat menyumbang dalam upaya tersebut. Di sini, politik dan fungsi-fungsi media massa dalam pengertian yang umum merupakan obyek studi, sekaligus masalah-masalah yang menyangkut struktur organisasional dan pemilikan, serta kontrol terhadap media. Untuk studi jenis ini, sekarang digunakan istilah kebijakan komunikasi dan merupakan pendekatan yang paling luas dan bersifat general (umum). 2. Pendekatan yang juga dimaksudkan untuk memahami peranan media massa dalam pembangunan nasional, namun lebih jauh spesifik. Persoalan utama dalam studi ini adalah bagaimana media dapat dipakai secara efisien, untuk mengajarkan pengetahuan tertentu bagi masyarakat suatu bangsa. 3. Pendekatan yang berorientasi kepada perubahan yang terjadi pada suatu komunitas lokal atau desa. Studi jenis ini mendalami bagaimana aktivitas komunikasi dapat dipakai untuk mempromosikan penerimaan yang luas akan ide-ide dan produk baru. Dari sekian banyak ulasan para ahli mengenai peran komunikasi pembangunan, Hedebro diacu Nasution (2004) mendaftar 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan, yakni: 1. Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujukkan nilai-nilai, sikap mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi. 2. Komunikasi dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-tulis ke pertanian, hingga ke keberhasilan lingkungan, hingga reparasi mobil. 3. Media massa dapat bertindak sebagai pengganda sumber-sumber daya pengetahuan. 4. Media massa dapat mengantarkan pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile. 5. Komunikasi dapat meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak nyata. 6. Komunikasi dapat membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan keharmonisan dari masa transisi. 7. Komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

3


Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pengembangan Masyarakat di Negara Dunia Ketiga‌/Restiawan

2013

8. Komunikasi dapat mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan tradisional, dengan membawa pengetahuan kepada massa. Mereka yang beroleh informasi akan menjadi orang yang berarti, dan para pemimpin tradisional akan tertantang oleh kenyataan bahwa ada orang-orang lain yang juga mempunyai kelebihan dalam hal memiliki informasi. 9. Komunikasi dapat menciptakan rasa kebangsaan sebagai sesuatu yang mengatasi kesetiaankesetiaan lokal. 10. Komunikasi dapat membantu mayoritas populasi menyadari pentingnya arti mereka sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik. 11. Komunikasi memudahkan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk 12. Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating). Menurut Nasution (2004), dalam arti luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbale balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedangkan dalam arti sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Quebral dan Gomez (1976) mengatakan, komunikasi pembangunan merupakan disiplin ilmu dan praktikum komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan komunikasi untuk perubahan sosial yang berencana. Komunikasi pembangunan dimaksudkan untuk secara sadar meningkatkan pembangunan manusiawi, dan itu berarti komunikasi yang akan menghapuskan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan. Agar komunikasi pembangunan lebih berhasil mencapai sasarannya, serta dapat menghindarkan kemungkinan efek-efek yang tidak diinginkan. Kesenjangan efek ditimbulkan oleh kekeliruan cara-cara komunikasi, hal ini bisa diperkecil bila memakai strategi komunikasi pembangunan yang dirumuskan sedemikian rupa (Nasution, 2004), yang mencakup prinsipprinsip berikut: 1. Pengunaan pesan yang dirancang secara khusus (tailored message) untuk khalayak yang spesifik. 2. Pendekatan “ceiling effect� yaitu dengan mengkomunikasikan pesan-pesan yang bagi golongan yang dituju (katakanlah golongan atas) merupakan redudansi (tidak lagi begitu berguna karena sudah dilampaui mereka atau kecil manfaatnya, namun tetap berfaedah bagi golongan khalayak yang hendak dicapai. 3. Penggunaan pendekatan “narrow casting� atau melokalisir penyampaian pesan bagi kepentingan khalayak. 4. Pemanfaatan saluran tradisional, yaitu berbagai bentuk pertunjukkan rakyat yang sejak lama berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab dengan masyarakat setempat. 5. Pengenalan para pemimpin opini di kalangan lapisan masyarakat yang berkekurangan (disadvantage), dan meminta bantuan mereka untuk menolong mengkomunikasikan pesanpesan pembangunan. 6. Mengaktifkan keikutsertaan agen-agen perubahan yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri sebagai petugas lembaga pembangunan yang beroperasi di kalangan rekan sejawat mereka sendiri. Setelah berkembang selama lebih kurang 30 tahun, komunikasi pembangunan menunjukkan suatu kecenderungan yang menggembirakan. Di antaranya adalah bahwa pada saat sekarang ini telah lebih dikenal, bertambah diyakini hasil dan manfaatnya, dan diharapkan oleh lebih banyak pihak untuk penerapannya di lebih banyak lagi bidang kehidupan. Jika dulu bidang penerapan komunikasi pembangunan terbatas baru pada beberapa bidang saja seperti: pertanian, pendidikan, kesehatan, dan keluarga berencana, maka sekarang meluas ke hampir di setiap bidang, seperti kehutanan, energi, lingkungan hidup, konsumen, sarana air minum, sanitasi, dan lain-lain. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

4


Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pengembangan Masyarakat di Negara Dunia Ketiga…/Restiawan

2013

Dengan demikian pembangunan di Indonesia adalah dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia, harus bersifat pragmatik yaitu suatu pola yang membangkitkan inovasi bagi masa kini dan yang akan datang. Sementara itu, pembangunan sangat berkaitan dengan pengembangan masyarakat. Sebagaimana asal katanya, menurut Mayo (1996), pengembangan masyarakat terdiri dari dua konsep, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial-budaya. Sedangkan masyarakat itu sendiri diartikan sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama dan sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Pembangunan pada pokoknya untuk mengubah kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan merupakan suatu proses yang menuntut sekaligus menghasilkan perubahan. Peran komunikasi secara luas dalam mengubah masyarakat melalui penyebarserapan ide-ide dan hal-hal yang baru ini dikenal dengan kegiatan difusi inovasi. Komunikasi antaranggota suatu masyarakat ataupun antara suatu masyarakat dengan masyarakat lain terjadi dengan masuknya inovasi ke tengah suatu sistem sosial. Dengan demikian, komunikasi merupakan faktor yang penting untuk terjadinya suatu perubahan sosial. Masyarakat akan diberikan pengenalan, pemahaman, penilaian yang kelak akan menghasilkan penerimaan ataupun penolakan terhadap suatu inovasi. Pada masyarakat yang sedang membangun, seperti di negara-negara berkembang, penyebarserapan (difusi) inovasi terjadi terus-menerus: dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu waktu ke kurun waktu berikutnya, dan dari bidang tertentu ke bidang yang lainnya. Difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung bersamaan dengan perubahan sosial yang terjadi. Penyebarserapan inovasi menyebabkan masyarakat menjadi berubah, dan perubahan sosial pun merangsang orang untuk menemukan dan menyebarluaskan hal-hal yang baru. Ini disebabkan dalam perubahan sosial memasukkan hal-hal, gagasan-gagasan, dan ide-ide yang baru yang dikenal dengan inovasi. Komunikasi diharapkan dapat memprediksi, mendeteksi, menganalisis, dan menjelaskan setiap perubahan. Secara tidak langsung, komunikasi berpengaruh atas perubahan yang terjadi. Berbagai perubahan yang terjadi memerlukan dukungan dan intervensi komunikasi sehingga perubahan berlangsung seimbang dan bermanfaat. Rogers (1989) mengemukakan pandangan kritisnya tentang pengaruh komunikasi pada perubahan. Komunikasi melalui isi pesan dapat mempengaruhi, mengubah, dan membentuk konsepsi makna seseorang. Namun komunikasi bukan satu-satunya penentu terjadinya perubahan, karena komunikasi sebatas sebuah proses dari percampuran isi pesan dengan potensi pertukaran pesan. Peran Komunikasi Pembangunan dalam Mekanisme Sosialisasi Program KRPL di Desa Mulyasari Untuk berhasilnya tujuan dalam program KRPL perlu adanya pembinaan. Keberhasilan ini sangat bergantung pada komunikasi yang terjadi antara pemandu lapang sebagai pembawa atau sumber pesan (source) dan masyarakat sebagai penerima pesan (receiver). Dalam kaitan itu, perlu dilakukan suatu kajian dan analisis untuk mengetahui apakah proses komunikasi yang terjadi antara sumber pesan dengan penerima pesan mampu menghasilkan perubahan dalam tataran kognitif, afektif, dan konatif pada masyarakat peserta program tersebut sehingga pada akhirnya mereka mampu mengadopsi dan mengaplikasikan sebuah inovasi teknologi yang diperkenalkan dalam rangka pencapaian sasaran utama, yaitu untuk meningkatkan produktivitas pangan yang dampaknya dapat meningkatkan perekonomian rumah tangga. Dalam rangka percepatan (akselerasi) dan perluasan (eskalasi) penerapan program KRPL tersebut, maka Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) telah melaksanakan koordinasi, sosialisasi dan advokasi, baik melalui pertemuan (rapat koordinasi dan workshop), maupun diskusi bersama para penanggungjawab kegiatan KRPL di (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) melalui berbagai media komunikasi. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

5


Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pengembangan Masyarakat di Negara Dunia Ketiga‌/Restiawan

2013

Upaya percepatan dan perluasan dilaksanakan selain didasarkan pada Pedoman Umum (Pedum) KRPL yang disusun oleh Tim Bada Litbang Pertanian, juga dilengkapi dengan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan berbagai jenis leaflet, poster, dan banner KRPL yang disusun/dicetak oleh Tim KRPL BBP2TP. Suatu percontohan (display) penerapan program KRPL juga dibuat baik dilingkungan/pekarangan kantor BBP2TP. Display ini merupakan miniatur implementasi program KRPL, dengan tujuan agar seluruh staf lingkup BBP2TP dan pemangku kepentingan (stakeholders) dapat secara langsung memahami penerapan program KRPL, dan harapannya dapat diimplementasikan di lingkungan rumah atau kantornya masing-masing. Informasi awal mengenai program KRPL pertama kali diperoleh warga pada dasarnya melalui sosialisasi oleh Tim KRPL Badan Litbang Kementerian Pertanian termasuk BBP2TP dan sosialisasi Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) yang dilakukan di salah satu rumah warga dan Balai Desa. Salah satu sumber informasi tentang adanya program ini yaitu dengan melihat langsung program KRPL ini di Kebun Benih Desa (KBD). Namun demikian, sebagian kecil masyarakat mengetahui program ini karena mendengar dari tetangganya. Pelaksanaan program KRPL terdiri dari beberapa tahap, yaitu: (1) tahap persiapan; (2) tahap pelaksanaan; (3) tahap pengamatan; dan (4) tahap evaluasi. Yang dilakukan pada tahap persiapan terdiri dari pertemuan di tingkat desa yang mengikutsertakan tokoh masyarakat, penyuluh pertanian, masyarakat desa untuk mendiskusikan lahan mana yang akan digarap, menetapkan komoditas apa yang ingin dihasilkan, dan menetapkan jadwal pertemuan untuk penyuluhan. Tahap selanjutnya yaitu pelaksanaan, di mana pada tahap ini terdiri dari kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh PPL yang dilakukan di rumah warga dan Balai Desa; kegiatan pendampingan (advokasi) yang terdiri dari aktivitas pengelolaan hama dan penyakit tanaman/ikan/ternak; dan juga dengan dibuatnya lapangan percobaan (display) yang dilakukan oleh penyuluh bersama-sama masyarakat. Seluruh kegiatan ini merupakan proses belajar yang dilakukan secara periodik di lahan pekarangan. Pertemuan yang dilakukan secara periodik dimulai beberapa minggu sebelum melakukan penanaman untuk melihat potensi, kendala, dan peluang komoditas yang akan dibudidayakan. Pertemuan berikutnya dilakukan pada saat pengolahan tanah, pembuatan persemaian, pemupukan, serta pengendalian hama. Tahap selanjutnya adalah pengamatan, yaitu suatu pertemuan non reguler jika ada masalah yang mendesak untuk dipecahkan, misalnya adanya serangan hama dan penyakit tanaman. Kemudian di tahap terakhir adalah kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk mengevaluasi semua kegiatan yang dimulai dari pengelolaan tanah, penanaman hingga penanganan pascapanen. Adapun materi-materi yang diseminasikan pada program KRPL ini meliputi empat aspek yaitu: 1. Penataan dan pemanfaatan lahan pekarangan Materi diseminasi yang disampaikan meliputi bagaimana melakukan penanaman yang baik dengan pemanfaatan polibag, vertikultur, bedengan, pot, pagar, budidaya ikan pada kolam, dan budidaya ternak di kandang. 2. Pemilihan komoditas Materi diseminasi yang disampaikan kepada masyarakat pada aspek pemilihan komoditas adalah informasi tentang pertimbangan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, keanekaragaman pangan, pelestarian sumber pangan lokal yang memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan dan peluang pasar yang besar. 3. Pembuatan kebun bibit desa Materi diseminasi yang disampaikan kepada masyarakat pada aspek pembuatan kebun bibit desa adalah informasi tentang proses perbanyakan dan pengelolaan bibit dan benih untuk memenuhi kebutuhan anggota RPL maupun kawasan. 4. Diversifikasi pangan Materi diseminasi yang disampaikan kepada masyarakat pada aspek diversifikasi pangan ini meliputi informasi peningkatan konsumsi aneka ragam pangan lokal dengan prinsip gizi seimbang. Praktek komunikasi pembangunan dalam program KRPL melalui kegiatan penyuluhan di Desa Mulyasari berjalan dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsi tenaga penyuluh. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

6


Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pengembangan Masyarakat di Negara Dunia Ketiga‌/Restiawan

2013

Berjalannya kegiatan penyuluhan di Desa Mulyasari ini tidak hanya dinilai dari materi penyuluhannya saja, namun dinilai juga bagaimana ragam kegiatan yang dilakukan, kebermanfaatannya, dan tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan peserta program KRPL dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan penilaian kegiatan penyuluhan dikategorikan baik (Permana, 2012). Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peran komunikasi pembangunan yang dirancang sedemikian rupa agar tujuannya tercapai, yaitu mulai dari penetapan pesan, saluran komunikasi, hingga khalayak sasaran, dan tidak lupa juga mengikutsertakan khalayak sasaran agar dapat berpartisipasi dalam perubahan sosial tersebut. Perencanaan pembangunan menentukan bagaimana strategi komunikasi yang harus diterapkan. Maka komunikasi pembangunan pun bergantung pada model atau paradigma pembangunan yang dipilih oleh suatu negara. Peranan komunikasi pembangunan telah banyak dibicarakan oleh para ahli, pada umumnya mereka sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting dalam pembangunan. Melalui kegiatan penyuluhan sebagai praktek komunikasi dalam program KRPL di Desa Mulyasari, maka peran komunikasi pembangunan dinilai penting. Hal ini ditandai dengan berjalannya program optimalisasi lahan pekarangan tersebut dengan baik sesuai dengan tujuan dan sasaran programnya. Berjalannya kegiatan penyuluhan di Desa Mulyasari ini tidak hanya dinilai dari materi penyuluhannya saja, namun dinilai juga bagaimana ragam kegiatan yang dilakukan, kebermanfaatannya, dan tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan peserta program KRPL dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan.

Daftar Pustaka Dilla, S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Simbiosa Rekatama Media. Bandung Mayo, M. 1998. “Community Work�, dalam Adams, Dominelli dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues, dan Critical Debates. MacMilan. London Nasution, Z. 2004. Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya (Edisi Revisi). Rajawali Pers. Jakarta Pearce, B. 1986. Development As Communication: A Perspective on India . Illinois University Press. Carbonale Southern Permana, R. 2012 Efektivitas Komunikasi Program Optimalisasi Lahan Pekarangan (Kasus Program Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Desa Mulyasari Kecamatan Ciampel Kabupaten Karawang Jawa Barat). Tesis. FEMA IPB. Bogor Rogers, EM. 1989. Perspektif Baru dalam Komunikasi Pembangunan: Suatu Tinjauan. In: EM

Rogers, ed. Komunikasi dan Pembangunan: Perspektif Kritis. Terjemahan dari Communication and Development. LP3ES. Jakarta Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. PT Refika Aditama. Bandung

Suharto, E. 2005.

Tubbs, S. L, Moss, S. 2005. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar. Remaja Rosdakarya. Bandung

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

7


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari‌

2013

PERAN MODAL SOSIAL DALAM PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI NELAYAN Oleh : Sari Narulita, SE, M.Si Dosen Tetap STKIP PGRI Bandar Lampung Abstrak

Program development in the coastal area is directed at prevention and poverty reduction that occurred in the coastal communities. Activities that may be done is to increase the role of public institutions that serve as containers community participation and empowerment in development. Economic empowerment of coastal communities that are most relevant is through institutional strengthening fishing cooperatives. Elements of social capital do not appear or are created by government bureaucracy. By tradition, the history, the charismatic, something can wake a person's behavior or procedures there in communities and social capital arise spontaneously within the framework of regulations determining who can manage personal interests and the interests of the group as described in the empowerment of fishing communities in the institutional cCommunity called cooperative fisherman. Keywords: coastal communities, economic empowerment, cooperative fishing Pendahuluan Kawasan pembangunan pesisir dan laut, dikatakan berkelanjutan secara ekonomi ( an economically sustainable area) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa (goods and service) secara berkesinambungan (on a continuing basis) dan menghindarkan ketidakseimbangan ekstrim antar sektor ( extreme sectoral embalances ) yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sektor sekunder ( manufacturing) atau sektor tersier. Tingkat sosial-ekonomi yang rendah merupakan ciri umum kehidupan nelayan dimanapun berada. Tingkat kehidupan mereka setaraf dengan petani kecil. Bahkan jika dibandingkan secara seksama dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan ( khususnya nelayan buruh dan nelayan kecil atau nelayan tradisional) dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang miskin. Pola-pola pekerjaan sebagai nelayan membatasi aktivitas ke sektor pekerjaan lain, mengingat nelayan sangat terikat dengan pekerjaan menangkap ikan di laut sehingga nelayan membatasi aktivitas ke sektor pekerjaan lain. Hal inilah yang menjadi penyebab banyaknya kemiskinan di kehidupan nelayan. Perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak modernisasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut lainnya. Proses demikian masih terus berlangsung dan dampak lebih lanjut yang dirasakan oleh nelayan adalah semakin menurunnya tingkat pendapatan mereka dan meningkatnya pengeluaran rumah tangganya. Program pembangunan di kawasan pesisir diarahkan pada pencegahan dan pengurangan angka kemiskinan yang terjadi di kalangan masyarakat pesisir. Untuk itu perlu selalu dilakukan usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup minimum sehingga dengan terpenuhinya kebutuhan ini dapat mendorong masyarakat pesisir untuk berkembang dengan mandiri. Di dalam usaha untuk mengurangi kemiskinan di kalangan masyarakat perlu diusahakan program peningkatan produktivitas masyarakat sehingga dapat berdampak pada penciptaan lapangan kerja atau usaha baru. Selain itu yang tidak kalah penting adalah Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

8


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari‌

2013

meningkatkan peranan lembaga-lembaga masyarakat yang berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam rangka pengembangan sumberdaya masyarakat pesisir perlu adanya keterpaduan dan koordinasi antar para pelaksana pembangunan terutama pada masyarakat pesisir sendiri. Secara umum, masalah-masalah yang dihadapi masyarakat pesisir dapat dispesifikasi sebagai masalah di bidang pengetahuan dan ketrampilan, permodalan, penguasaan teknologi dan manajemen serta peranan lembaga. Strategi yang dapat digunakan untuk pembangunan masyarakat pesisir adalah membantu masyarakat pesisir agar dapat membangun dan berkembang atas kemampuan sendiri dengan mendasarkan pada pengembangan potensi alam dan sumberdaya manusia. Salah satu langkah penanggulangan kemiskinan adalah menciptakan kebijakan-kebijakan yang bersifat melindungi atau memberikan kemudahan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap sumber-sumber ekonomi termasuk modal (financial capital). Pembentukan modal merupakan faktor strategis dan menjadi faktor kunci dalam proses pembangunan. Untuk itu langkah yang harus ditempuh adalah perlunya keberadaan lembaga kredit dan keuangan untuk menggalakkan dan penyaluran dana pada usaha mikro. Lembaga keuangan yang diharapkan mampu menjadi sumber pembiayaan usaha yang terjangkau oleh masyarakat miskin adalah lembaga koperasi yang selama ini sebenarnya selalu menjadi jargon soko guru perekonomian Indonesia. Empat macam modal lainnya diluar modal finansial yang perlu diperhatikan untuk mendesain kebijakan-kebijakan pembangunan: modal sosial ( social capital), modal alam (natural capital), modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital) (Farrington (1999). Modal sosial dianggap sangat penting, karena fungsinya sebagai perekat elemenelemen masyarakat. Hasil penelitian Chuzu (2002) menemukan bahwa modal sosial mempengaruhi pendapatan. Modal sosial dalam bentuk kepercayaan atau ikatan sosial memainkan peranan yang penting dalam mengurangi kemiskinan (Narayan dan Pritchett, 1999). Untuk itu sudah waktunya merubah fungsi intermediasi koperasi tidak hanya sekedar intermediasi keuangan, tetapi juga intermediasi sosial. Secara holistik, karakteristik koperasi seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sebuah proses intermediasi kelembagaan dan keuangan, tetapi juga proses intermediasi sosial dalam rangka pembentukan modal sosial. Proses intermediasi sosial merupakan sebuah investasi yang dilakukan untuk pengembangan sumberdaya manusia dan kapasitas kelembagaan yang membuat kelompok masyarakat miskin yang termarginalkan mempunyai kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam lembaga intermediasi keuangan formal. Elaine dan Barton (1998), intermediasi sosial adalah intermediasi keuangan dengan sebuah komponen peningkatan kapasitas, yang ditujukan kepada kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses layanan keuangan formal. Sedangkan konsep modal sosial yang berasal dari ilmu sosial dan antropologi, secara teoritis merupakan elemen kunci dalam intermediasi sosial.Hal ini membuktikan bahwa penyediaan modal finansial bagi masyarakat miskin belum dapat menyelesaikan permasalahan dan menjadi obat mujarab untuk mengatasi masalah yang dihadapai masyarakat miskin. Pembentukan kelompok masyarakat merupakan dasar dari kelembagaan koperasi. Jika koperasi digunakan sebagai alat untuk menolong orang miskin, proses tersebut harus diawali dengan pembentukan dan pengembangan kelompok masyarakat. Hal ini amat penting karena secara individu lebih sulit bagi orang miskin untuk melepaskan dirinya dari kemiskinan bila dibandingkan secara komunal, orang miskin bisa lepas dari kemiskinan, apabila mereka bekerjasama dengan orang miskin yang lain. Sebagai konsekuensinya, koperasi harus mendorong pembentukan dan pengembangan kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat yang terbentu akan sangat efektif bila mempunyai orientasi peningkatan pendapatan anggotanya, bersifat terbuka, memegang prinsip demokrasi dan transparansi. Elemen kritis yang perlu diperhatikan adalah pentingnya peneguhan keterkaitan dan integrasi kelompok masyarakat melalui jejaring sosial, karena itu dibutuh koperasi yang benar-benar dekat dengan masyarakat miskin, serta memiliki kemampuan dalam peneguhan keterkaitan dan integrasi keteguhan masyarakat.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

9


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari‌

2013

Tujuan dan Manfaat Tujuan dan maafaat dari kajian Pustaka ini adalah untuk mengetahui kemampuan modal sosial dalam meningkatkan kinerja aktivitas koperasi serta mengetahui kemampuan modal sosial dalam meningkatkan kinerja dampak ekonomi terhadap sumber pembiayaan dan pemberdayaan. Dan bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya pengembangan modal sosial dalam lingkup koperasi nelayan yang dikelola pemangku kepentingan di pedesaan. Tinjauan Pustaka Konsep Modal Sosial Modal sosial didefinisikan sebagai �satu set sumber daya yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan dalam keluarga dan dalam komunitas organisasi sosial dan berguna untuk kognitif atau perkembangan sosial anak-anak atau generasi muda� (Coleman, 1990). Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai “gambaran organisasi sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan�. Dalam dekade saat ini modal sosial telah digunakan dan dijelaskan dalam konteks pendidikan, perusahaan dan manajemen pengetahuan (Tsai et al., 2005). Sedangkan menurut Collwel (2004) dikemukakan bahwa modal sosial dipergunakan untuk menjelaskan teori network dalam kajian bidang manajemen. Modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia didukung oleh jaringan (network), norma-norma dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisiensi dan efektifitas koordinasi kerjasama untuk mendapatkan keuntungan dan kewajiban bersama (Burt, 1992). Menurut Cox (1995) modal sosial merupakan rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisiensi dan efektifnya koordinasi kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Bank Dunia (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk pada dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukan sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue), yang menjaga kesatuan kelompok secara bersama-sama. Masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep modal sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Perbedaan tersebut, juga dalam pendekatan analisis. Pada intinya konsep modal sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hubungan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Uphoff (1999) mengenalkan konsep optimalisasi dengan karakter MBCAnya, yaitu hasil dari aksi kolektif pasti menghasilkan penjumlahan pengaruh positif dan tidak menyakiti siapapun, dalam hal ini dikenal sebagai buah dari modal sosial. Unsur Pokok Modal Sosial Inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitasatau kelompok untuk bekerjasama, yang diwarnai ileh pola interelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan dan dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip. a. Norma Norma-norma sosial berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Aturan tersebut biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial. Aturan kolektif ini misalnya, bagaimana cara menghormati orang yang lebih tua, menghormati pendapat orang lain, norma untuk hidup sehat, norma untuk tidak mencurangi orang lain dan norma untuk selalu bersama-sama. Konfigurasi norma yang tumbuh di tengah masyarakat juga akan menentukan apakah norma

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

10


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari‌

2013

tersebut akan memperkuat kekuatan hubungan antar individu dan memberikan dampak positif bagi perkembangan masyarakat tersebut. b. Nilai-nilai Nilai adalah suatu ide turun temurun dianggap benar dan penting yang oleh anggota kelompok masyarakat. Misalnya, nilai, harmoni, kompetisi dan lainnya. Pada kelompok masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai harmoni biasanya akan senantiasa ditandai oleh suasana rukun, indah, tetapi dalam pemecahan masalah kurang produktif. Akan tetapi jika suatu kelompok memberi bobot tinggi pada nilai-nilai kompetisi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran maka kelompok masyarakat tersebut cenderung jauh lebih baik cepat berkembang dan maju dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang senantiasa menghindari keterusterangan, kompetisi dan pencapaian. c. Trust Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasabertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putman, 1993, 1995, 2002). Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas tenggelam dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih akan hilang. Terdapat enam fungsi penting dari kepercayaan ( trust) dalam hubungan-hubungan sosialkemasyarakatan seperti: 1. Kepercayaan dalam arti confidence yang bekerja pada ranah psikologis individual. Sikap ini akan mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko yang ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif. 2. Kerjasama yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antar individu tanpa dilator belakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akanmendorong integrasi sosial yang tinggi. 3. Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas ketidakpercayaan. 4. Ketertiban, trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab. 5. Pemelihara kohesivitas sosial, trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. 6. Modal sosial, trust adalah asset penting dalam kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur-struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien d. Resiprocity (timbal balik) Modal sosial senantiasa diwarnai dengan kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara repsiprokal seketika seperti proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan orang lain). Seseorang atau sejumlah rang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika. e. Jaringan Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia.Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

11


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari‌

2013

lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal Putnam (1993) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu. Perspektif Modal Sosial Woolcock dan Narayan (dalam Yustika, 2008), membagi dalam empat bagian perspektif dari modal sosial yang meliputi: 1. Pandangan Komunitarian ( communitarian view), memberi tekanan pada partisipasi anggota dalam berbagai kegiatan kelompok sebagai ukuran modal sosial.Semakin besar jumlah anggota suatu perkumpulan atau asosiasi semakin baik modal sosial dalam komunitas tersebut. 2. Pandangan Jaringan (network view), melihat bahwa ikatan kelompok yang kuat akan membawa anggota komunitas memiliki kesadaran tentang identitas kelompok dan akhirnya tumbuh rasa kebersamaan untuk mengejar tujuan bersama. 3. Pandangan Institusional (institutional view), melihat kekuatan jaringan suatu komunitas terletak pada lingkungan politik, hukum dan kelembagaan. 4. Pandangan Sinergi (sinergy view), merupakan gabungan dan pandangan jaringan dan pandangan institusional. Pandangan sinergi melihat bahwa negara dan masyarakat dapat bekerja sama sehingga sama-sama mendapat untung dari kerjasama tersebut. Tabel 2.1. Empat Perspektif Modal Sosial Perspektif Pelaku Preskripsi kebijakan Perspektif Komunitarian Asosiasi Lokal Perspektif jaringan Ikatan dan Jembatan Ikatan komunitas

Kelompok komunitas organisasi sukarela WirausahawanKelompok bisnisPerantara informasi

Perspektif Kelembagaan Kelembagaan Politik dan Hukum Perspektif Sinergi Jaring Komunitas dan Relasi Negara Masyarakat

Sektor privat dan public

Kecil itu indahMengidentifikasi aset sosial kaum miskin Desantralisasi Menciptakan Zona usahaMenjembatani pemisahan social Desain kebebasan sipil dan politik

Kelompok komunitas, masyarakat sipil,perusahaan, dan Negara

Produksi bersama, partisipasi komplementaritas,keterkaitan Penguatan kapasitas dan skala organisasi local

Sumber: Woolcock dan Narayan, 2000; dalam Yustika, 2008

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

12


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari‌

2013

PEMBAHASAN Kemiskinan Nelayan Kemiskinan nelayan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor Faktor eksternal terkait dengan persaingan saha ang semakin ketat dan kebijakan yang tidak berpihak pada nelayan. Faktor internal yang paling dominan adalah karakter negatif sebagian besar nelayan, antara lain : (1) Kesadaran terhadap pendidikan dan kesehatan rendah; (2) Sifat konsumtif rumah tangga nelayan; (3) Sifat suka menunda pembayaran pinjaman; dan (4) Manajemen keuangan rumah tangga nelayan tidak teratur. Semua hal tersebut berujung pada rendahnya kredibilitas nelayan untuk mengakses permodalan dari lembaga keuangan formal. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar nelayan di sangat tergantung pada pekerjaannya sebagai nelayan dan tidak mempunyai alternatif pekerjaan lainnya. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan ekonomi rumah tangga nelayan terutama pada saat tidak musim ikan (musim paceklik). Pada saat tersebut para nelayan hanya mendapat hasil tangkapan sangat sedikit bahkan tidak jarang tidak memperoleh hasil tangkapan sama sekali. Pada saat paceklik para nelayan sangat memerlukan pinjaman dana untuk biaya menangkap ikan dan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal inilah yang selama ini menjadi penyebab utama terjeratnya para nelayan pada para rentenir yang kemudian berlanjut menjadi awal kemiskinan para nelayan secara berkelanjutan. Ikatan perjanjian antara nelayan dan rentenir pada umumnya merugikan nelayan dan berakibat pada lemahnya posisi tawar nelayan di pasar input dan output. Sementara itu manajemen keuangan rumah tangga nelayan sangat kurang terkontrol dan cenderung konsumtif. Sehingga pada saat musim ikan, pendapatannya tidak digunakan untuk membayar hutang atau berinvestasi melainkan untuk berfoya-foya. Dalam kondisi ini sebenarnya sangat dibutuhkan peran koperasi sebagai sarana bagi orang-orang yang berkepentingan sama untuk berjuang secara bersama-sama. Namun yang terjadi justru koperasi tidak berfungsi sama sekali justru semakin mengajarkan anggotanya untuk tergantung pada bantuan pemerintah Hasil identifikasi permasalahan masyarakat pesisir, antara lain: 1. Keterbatasan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Sumberdaya laut di Lampung secara potensial bisa dikatakan luas. Tetapi pada saat ini telah mengalami fenomena over fishing (tangkap lebih) yang menjadikan hasil laut yang didapat oleh para nelayan semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh makin bertambahnya jumlah/kepadatan nelayan namun tidak diimbangi oleh pencarian fishing ground baru yang lebih Iuas. Daerah penangkapan ikan (fishing ground) nelayan menjadi terbatas karena keterbatasan kemampuan nelayan masyarakat miskin. 2. Sumber Daya Manusia (Nelayan) Masih Rendah Ketrampilan nelayan diperoleh secara turun-temurun. Nelayan cenderung bersikap apatis dan tidak ada keinginan untuk meningkatkan ketrampilannya. Hal ini menyebabkan tidak ada peningkatan produksi yang signifikan. Nelayan tradisional belum bisa melihat adanya insentif (keuntungan) dari peningkatan ketrampilan. 3. Teknologi Penangkapan yang Masih Sederhana Teknologi penangkapan ikan yang dipakai oleh nelayan sebagian besar masih bersifat tradisional. Hal ini dapat dilihat dari jenis perahu dan jenis alat tangkap yang digunakan. Perahu yang dipakai oleh nelayan untuk melaut umumnya berskala kecil dengan tonase tidak lebih dari 5-10 GT (bobot mati). Sedangkan alat tangkapnya terdiri dari pancing dan jaring insang. Kondisi ini membuat para nelayan tidak dapat melakukan penangkapan ikan di laut lepas bahkan sampai zone ZEE. 4. Teknologi Pengolahan Ikan (Pasca Panen) yang Tradisional Industri pengolahan ikan masih terbatas produksinya untuk produk-produk sederhana saja seperti: ikan asin, ikan kering, petis dan terasi. Belum adanya investasi dalam bidang pengolahan ikan secara modern seperti industri pengalengan ikan, ikan beku atau industri kerupuk dan tepung ikan, membuat nelayan cenderung menjual ikan segar atau hasil olahan sederhananya saja. Hal ini jelas berdampak pada penghasilan nelayan, karena produk-produk tradisional tersebut hanya memiliki nilai ekonomis yang rendah. 5. Kelembagaan Ekonomi Nelayan dan Permodalan yang Lemah Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

13


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari…

2013

Masalah klasik yang membuat kelompok nelayan sulit untuk mengembangkan usahanya salah satunya adalah masalah permodalan yang tidak mencukupi. Hal ini sebabkan oleh rendahnya kredibilitas nelayan untuk mengakses modal di lembaga keuangan formal dan tidak berfungsinya Koperasi Nelayan untuk menjadi organisasi ekonomi nelayan Pola/Bentuk Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan Pemberdayaan ekonomi nelayan melalui penguatan kelembagaan koperasi nelayan merupakan solusi yang sangat strategis dan relevan. Secara individu nelayan sangat sulit berkembang karena lemahnya kekuatan pasar yang dimiliki. Tetapi secara kolektif melalui manajemen koperasi yang profesional, kekuatan pasar nelayan di pasar input dan output akan meningkat. Dengan demikian kesejahteraan nelayan juga meningkat. (Gambar 1).

Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan

Peningkatan daya tawar nelayan di pasar input

Penurunan Biaya produksi nelayan

Peningkatan kredibilitas /daya kerjasama nelayan

Peningkatan daya tawar nelayan di pasar output

Peningkatan perkembangan usaha nelayan

Peningkatan pendapatan nelayan

dg pihak eksternal

Peningkatan kesejahteraan ekonomi nelayan

Gambar 1. Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan

Terkait pola pemberdayaan ekonomi nelayan melalui penguatan kelembagaan koperasi, terdapat kesamaan karateristik antara organisasi usaha modern dengan koperasi (Bayu Krisnamurthi, 2007). Persamaan karateristik tersebut ditunjukkan oleh tabel berikut ini. Persamaan Karateristik/Ciri Organisasi Modern dan Koperasi Ciri Organisasi Usaha Modern Ciri Koperasi  Berorientasi pada stake holder bukan  Anggota sebagai pemilik dan pelanggan hanya share holder, dimana customer menjadi pemilik utama  Membangun loyalitas customer melalui  Bekerja berdasarkan partisipasi anggota partisipasi dalam proses pengambilan dengan prinsip : Dari anggota, oleh keputusan anggota, dan untuk anggota Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

14


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari…

 Accountable dan transparan  Menjunjung tanggung jawab sosial dan peduli lingkungan  Data tawar dan daya kerjasama sebagai kekuatan untuk maju dan berkembang

2013

 Direncanakan, dikelola, dan dikontrol oleh anggota secara demokratis  Menjunjung tanggung jawab sosial dan peduli lingkungan  Data tawar dan daya kerjasama sebagai kekuatan untuk maju dan berkembang

Sesuai dengan tujuan didirikannya koperasi nelayan, maka tugas pokok koperasi adalah meningkatkan kesejahteraan anggota baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Indikator tingkat kesejahteraan di dalam batasan ekonomi biasanya diterjemahkan ke dalam variabel pendapatan, biaya, dan laba. Dengan demikian, tugas pokok koperasi untuk mempromosikan anggota atau meningkatkan kesejahteraan anggota dapat dipertegas menjadi tugas untuk meningkatkan pendapatan usaha anggota, menekan biaya usaha, dan meningkatkan laba usaha. Beberapa manfaat apabila sekelompok nelayan melakukan kerja sama melalui koperasi, antara lain: 1. Membangun economies of scale dalam setiap transaksi di pasar input maupun pasar output. Dengan demikian akan tercapai efisiensi dan peningkatan daya tawar yang mendorong kenaikan harga di pasar output dan penurunan harga di pasar input. 2. Memperoleh external economies yaitu meningkatnya produktivitas karena peluang kemitraan atau kerjasama dengan berbagai pihak eksternal semakin terbuka. 3. Memperoleh manfaat-manfaat non-ekonomis karena adanya penyatuan individu ke dalam kelompok. Dengan demikian tugas pokok koperasi nelayan adalah meningkatkan pendapatan nelayan yang menjadi anggotanya atau merupakan alat dari anggota untuk memperbaiki kondisi ekonomi rumah tangganya. Dengan demikian peningkatan kondisi ekonomi rumah tangga anggota menjadi kriteria evaluasi terhadap kinerja koperasi. Berdasarkan kepada tujuan-tujuan aliansi sebagaimana diuraikan itu, maka dapatlah diidentifikasi motivasi yang melandasi lahirnya aliansi strategis, yang antara lain berbentuk koperasi, antara lain: 1. Membangun skala operasi. Aliansi merupakan wadah ke arah pencapaian skala produksi global dan mendekatkan diri terhadap pelanggan di manapun berada. Tujuan akhimya bermuara kepada pencapaian economies of scale dan atau economies of scope. 2. Membangun kemampuan inovasi secara berkesinambungan. Peserta aliansi membawa kompetensinya masing-masing yang bersifat komplementer terhadap yang lain. Penyatuan kompetensi itu diharapkan menghasilkan tindakan inovatif yang bukan saja di dalam kerangka mempertahankan pasar yang sudah ada melainkan juga untuk membuka pasar bam, tanpa kawatir akan terjadi risiko yang harus ditanggung sendiri. 3. Maju lebih cepat dari pesaing. Hal ini dapat diraih melalui riset dan pengembangan yang dilakukan oleh organisasi aliansi (dalam hal ini koperasi); Hasilnya digunakan secara tepat dan cepat dibawah payung aliansi, misalnya melakukan penetrasi pasar bagi produk baru. Perlunya penguatan unsur-unsur modal sosial dalam proses pemberdayaan seperti penguatan nilai atau norma-norma yang ada dalam institusi lembaga, peningkatan tindakan proaktif baik dari pengelola maupun peserta sehingga merangsang tumbuhnya sikap saling bertukar kebaikan (Resiprosity) yang menyebabkan jaringan yang terbentuk akan menjadi semakin kokoh dan membantu optimalisasi program pemberdayaan melalui penguatan kelembagaan koperasi. Perlunya peningkatan capacity building pengelola dalam berinovasi, memotivasi dan berinteraksi dengan masyarakat untuk lebih memperlancar upaya pemberdayaan, sehingga dengan adanya interaksi di harapkan nantinya pelaksanaan pemberdayaan terjadi secara optimal. Karakteristik perilaku masyarakat yang sedemikian rupa tersebut bukan hal mudah dan tentunya membutuhkan sentuhan modal sosial yang dapat membuat terjalinnya ikatan yang harmonis antar jaringan dalam pemberdayaan tersebut.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

15


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari‌

2013

Diketahui bahwa pemahaman dasar dari modal sosial adalah sebuah jalinan sosial yang memungkinkan masing-masing anggota dapat berhubungan langsung dengan kelompoknya.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian yang telah dinyatakan sebelumnya, maka beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Beberapa manfaat apabila sekelompok nelayan melakukan kerja sama melalui koperasi, antara lain: (a). Membangun economies of scale dalam setiap transaksi di pasar input maupun pasar output. Dengan demikian akan tercapai efisiensi dan peningkatan daya tawar yang mendorong kenaikan harga di pasar output dan penurunan harga di pasar input. (b). Memperoleh external economies yaitu meningkatnya produktivitas karena peluang kemitraan atau kerjasama dengan berbagai pihak eksternal semakin terbuka. (c). Memperoleh manfaat-manfaat non-ekonomis karena adanya penyatuan individu ke dalam kelompok. 2. Berdasarkan kepada tujuan aliansi strategis, yang antara lain berbentuk koperasi, maka dapatlah melakukan antara lain: (a). Membangun skala operasi, (b). Membangun kemampuan inovasi secara berkesinambungan dan (c). Maju lebih cepat dari pesaing. 3. Penguatan kelembagaan koperasi nelayan sebaiknya diawali dengan mengorganisir nelayan yang mempunyai kepentingan ekonomi dan komitmen yang sama untuk bergabung dalam organisasi koperasi. 4. Unsur-unsur modal sosial tidak muncul atau diciptakan oleh birokrasi pemerintah. Melalui tradisi, sejarah, tokoh karismatik, dapat terbangun sesuatu tata cara perilaku seseorang atau kelompok masyarakat didalamnya lalu muncul modal sosial secara spontan dalam kerangka menentukan tata aturan yang dapat mengatur kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok seperti digambarkan dalam pemberdayaan masyarakat nelayan dalam komunitas kelembagaan yang bernama koperasi nelayan.

DAFTAR PUSTAKA Chuzu, P. 2002. Social Capital Effect in Poverty and Technical Efficiency in Rural Kwazulu-Natal, South Africa. Dissertation submitted to University if Illinois at Urbana-Champaign. Cohen, D, & Prusak, L. 2001. In Good Company: How Social Capital Makes Organizations Work. Harvard Bussiness Press. Coleman, J.S. 1986. Social Teory, Social Research, and a Theory of Action. The American Jurnal of Sociology Coleman, J.S. 1986. Social Capital l The Creation Of Human Capital. The American Journal of Sociologi, 94 (Supplement) Collier, P. 1998. Social Capital and Poverty in The Role of Social in Development, Edited by Grootaert, C, and Thierry van Bastelaer, (Eds.), Cambridge University Press. Ellison, C. and Linda K. George. 1994. Religious Involvement, Social Ties, and Social Support in a Southern Community. Journal for the Scientific Study of Relegious. Farrington, J. et. Al. 1999. Sustainable Livelihoods in practice : Early Applications of Concepts in Rural Areas. ODI Natural Resources Perspectives. Number 42. June 1999. Overseas Development Intitute, London.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

16


Peran Modal Sosial dalam Penguatan Kelembagaan Koperasi Nelayan/Sari‌

2013

Fukuyama, F. 1995. Trust : The Social Virtues and The Creation of Prosperity, Free Press, New York. Fukuyama, Francis. 2001. Social Capital, Civil Society, and development, Third Word Quarterly, 22(1):7-200. Narayan, D. dan Pritchett, L. 1999. Cent and Socialibility : Household Income and Social Capital in Tanzania. Economics Development and Culture Change 47(4 July). Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Butir butir Pemikiran Strategi menghapus kemiskinan dalam

pembangunan pedesaan. Dalam Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan Sebagai Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Penyuting Hasan Basri), Cetakan Pertama, hal 140-154 Bina Rena Pariwara, Jakarta.

Uphoff, N. 1999. Undestanding Social Capital : Learning from the Analysis and Experience of Participation. Dalam Social Capital : A Multifaceted Perspective. P. Dasgupta dan I. Serageldin (Editor). Washington DC : The World Bank. Woolcock, M., Jones, V.N., dan Narayan. 2004. Measuring Social Capital: An Integreated Quetionnaire. World Bank Working Paper No. 18. The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. Washington D.C. Yustika, A. E.2006. Ekonomi Kelembagaan. Definisi, Teori, & Strategi. Edisi Pertama. Bayu Media Publishing. Jawa Timur

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

17


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA BERBASIS KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK KABURAI DI KALIMANTAN BARAT Oleh : Dian Wahyuningsih Abstrak

Kearifan lokal dapat dipahami sebagai ide-ide setempat yang bersifat bijaksana dan penuh kearifan, mengandung norma dan nilai baik yang masih dipertahankan karena merupakan suatu keyakinan untuk menjaga dan melestarikan alam. Hal itu masih tertanam dan masih dijaga oleh seluruh anggota masyarakatnya.Masyarakat Dayak Kaburai yang hidup di daerah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalimantan Barat memiliki keanekaragaman dan aktivitas perekonomian yang unik.Kegiatan berladang yang syarat dengan upacara adat juga masih terjaga dengan baik serta diiringi dengan pelestarian lingkungan.Kegiatan berladang adalah salah satu kegiatan dibidang ekonomi yang memanfaatkan lahan secara bergilir, dan bukan berpindah.Kegiatan ini disebut dengan uma atau bahuma atau nugal yaitu menanam padi yang bukan di sawah, ini merupakan aktivitas utama masyarakat Dayak Kaburai dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Kegiatan berladang bagi masyarakat dayak kaburai bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhan melainkan juga untuk menjalin kekerabatan, mempertahankan budaya, serta komunikasi dengan Sang Pencipta. Aktivitas berladang pada masyarakat dayak kaburai hanya menggunaka lahan pada kawasan produksi mereka sebelumnya yang juga bekas perladangan beberapa tahun sebelumnya atau bekas perkebunan yang sudah tidak produktif. Jadi masyarakat dayak kaburai melakukan kegiatan berladang mereka dengan siklus 3-10 tahun dan sama sekali tidak berpindah melainkan menggilir lahan. Masyarakat dayak kaburai juga memegang teguh prinsip bahwa menebang pohon-pohon yang berukuran besar dan sudah tua itu akan mendatangkan bala musibah. Dengan kearifan local yang dimiliki oleh masyarakat Suku Dayak Kaburai serta pengetahuan lokalnya (indigenous knowledge) dalam menjaga dan melestarikan lingkungan mereka, maka dapat menajadi contoh nyata untuk masyarakat lain dalam menjada ekosistem lingkungan. Fakta ini harusnya mendorong pemerintah dan lembaga-lembaga non formal untuk membuat dan melaksanakan program pemberdayaan masyarakat dengan sasarannya adalah individu maupun kelompok dalam hal mempertahankan, berusaha,menjaga, dan mengontrol kehidupan mereka sendiri dan berusaha mewujudkan masa depan sesuai keinginan mereka tanpa mengorbankan alam. Keyword: local wisdom, indigenous knowledge, community empowerment

Pendahuluan Kalimantan Barat dengan luas 146.807 km 2 merupakan provinsi terbesar keempat setelah Papua atau Irian Jaya, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dengan jumlah penduduk sebesar 4.395.983 ini sebagian besar bekerja disektor pertanian. Provinsi ini sekarang terdiri dari 12 wilayah kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Wilayah Kalimantan Barat terdiri dari 65% hutan tropis. Kawasan hutan ini kaya akan berbagai jenis kayu, termasuk yang spesifik seperti ramin dan belian. Selain itu, hutannya menyimpan 1.216 jenis flora, antara lain anggrek hutan, pinang merah dan berbagai tanaman hias, serta beberapa fauna terkenal dan dilindungi, antara lain orang utan, kukang, kelempiau, bekantan, rusa, burung enggang, burung ruai, trenggiling, burung dara laut, bangau tongtong, harimau dahan, beruang madu dan kancil. Dari tahun 1969 hingga sekarang eksploitasi sumber daya alam (SDA) masih terus berlangsung, hingga lahan krits di daerah Kalimantan barat pun meningkat. Adanya alih fungsi hutan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah. Pengalihfungsian hutan menjadi perkebunan dan hutan industri Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

18


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

membuat Kalimantan barat kehilangan banyak luas wilayah hutannya. Maraknya eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah, investor, dan masyarakat itu sendiri menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak terkendali. Jika hal ini tidak segera diatasi maka akan menimbulkan dampak kerusakan struktur ekologi yang tidak dapat diperbaharui kembali. Oleh karena itu diperlukan sebuah konsep pengembangan berbasis pemberdayaan masyarakat yang mampu mengimbangi banyaknya eksploitasi terhadap lingkungan. Sehingga masyarakat tidak menggantungkan hidupnya pada SDA yang sewaktu-waktu dapat habis. Permasalahan dalam lingkungan yang secara ekologis, lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem.Dalam ekologi juga manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan lingkungannya dan diantaranya terjalin suatu hubungan fungsional sedemikian rupa. Dalam hubungan fungsional tersebut manusia dan lingkungan terdapat saling ketergantungan dan saling pengaruh yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekosistem secara keseluruhan. Untuk mencapai keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antar subsistem dalam ekosistem diperlukan sistem pengelolaan secara terpadu. Sebagai suatu ekosistem, lingkungan hidup mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda Politik pembangunan terutama di negara-negara berkembang yang lebih menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi untuk mengejar kesejahteran rakyat sering mendatangkan permasalahan di bidang lingkungan. Permasalahan lingkungan ini biasanya bersumber pada dorongan untuk memanfaatan secara terus menerus dan belebihan SDA tanpa memperhatikan daya dukung SDA tersebut. Untuk mengejar kemakmuran, SDA dipandang sebagai faktor produksi untuk mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi, tanpa memperhatikan dampaknya. Adanya kerusakan lingkungan alam sejauh berhubungan dengan manusia adalah aktivitas-aktivitas industri kapitalis modern. Desakan persaingan di bidang industri yang merupakan prinsip kapitalisme melahirkan berbagai tindakan yang lepas kontrol dalam pendayagunaan atau pengolahan sumber daya alam untuk kebutuhan industri dan dalam penerapan teknologi industri yang tidak mempertimbangkan kondisi alam. Penerapan teknologi canggih dalam industri memungkinkan pengolahan sumber daya alam secara cepat dan ekstensif. Dengan demikian terjadi percepatan dalam proses mengakumulasi modal dan konsumsi. Inilah logika kapitalisme.Tetapi logika itu bermuara secara tragis pada percepatan tempo kehidupan secara total.Kapitalisme memang menciptakan kelimpahruahan materi, tetapi di balik kelimpah ruahan tersebut ada beban berat yang dipikul oleh bumi, yaitu kerusakan ekologis, yang dalam jangka panjang menggiring kepada kehancuran ekologis, dan akhirnya kehancuran manusia itu sendiri. Ada dua faktor penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup, pertama penyebab yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah pemerintah, perusahaan dan penduduk setempat yang mengeksploitasi hutan/lingkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Pemerintah sebagai lembaga tertinggi dalam suatu Negara berwenang untuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan hal tersebut maka pemerintah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup 2. Mengatur penyediaan,peruntukan,penggunaan,pengelolaan lingkungan hidup dan pememfaatan kembali SDA, termasuk sumber genetika. 3. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang lain atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap SDA dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika. 4. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

19


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

5. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku Tetapi, akibat derasnya arus kapitalisme global telah mendorong intervensi dari negara untuk melakukan proses regulasi. Efek yang ditimbulkan adalah terjadinya konspirasi antara penguasa modal dengan birokrasi untuk memuluskan proses eksploitasi sumber daya alam dengan dalih investasi untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara itu masyarakat lokal, mempunyai cara yang berbeda dalam mengeksploitasi lingkungan, sehingga menimbulkan konflik lingkungan.Konflik lingkungan ini yaitu adanya kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh pengusaha seringkali tidak memihak kepada masyarakat. Selain itu dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, seringkali masyarakat tidak dilibatkan, padahal dalam kebanyakan kasus-kasus lingkungan korbannya adalah masyarakat baik sebagai individu maupun kollektif. Konflik ini menunjukkan bahwa posisi antara negara dengan masyarakattidak berimbang dan masing masing terlihat mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, baik di daerah rural maupun urban. Degradasi lingkungan tersebut harus disadari akan merusak infrastruktur perekonomian dan mengganggu kehidupan sosial. Di daerah rural degradasi lingkungan bisa terlihat salah satunya dengan makin menipisnya kawasan perhutanan yang diakibatkan oleh kebakaran maupun pemba-lakan liar. Adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan bencana tersebut, akan bisa diminimalisir apabila ada kerjasama pengelolaan SDA antara Pemerintah Negara dengan perangkatnya, dan masyarakat lokal dengan kearifan dan pengetahuan local yang dimilikinya. Pembahasan 1. Keadaan Masyarakat Dayak Kaburai Daerah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kabupaten Melawi Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) merupakan salah satu dari 50 (lima puluh) taman nasional yang terdapat di Indonesia, yang penunjukannya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 281/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992, dengan luas 181.090 Ha. Kawasan TNBBBR memiliki posisi trategis yang berada di 2 (dua) wilayah Propinsi yaitu kawasan Bukit Baka di propinsi Kalimantan Barat dan kawasan Bukit Raya di propinsi Kalimantan tengah.Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya juga masuk dalam wilayah kerja Heart of Borneo yang memiliki inisiatif pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi yang bertujuan untuk melestarikan manfaat hutan-hutan terbaik yang masih tersisa di Borneo. Pengelolaan kawasan ini berada pada Balai Taman Nasional Bukit BakaBukit Raya yang dibentuk melalui Surat keputusan Menteri kehutanan No : 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997. Kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya memiliki tipe hutan hujan tropis yang berada pada daerah perbukitan juga meliputi daerah dataran rendah pada bagian selatan pegunungan Schwaner, serta wilayah perhuluan dari sungai-sungai seperti sungai Mentatai, sungai Ella, dan sungai Jelundung yang bermuara pada sungai Melawi di Kalimantan Barat, kemudian sungai Bemban, sungai Hiran, sungai Tae dan sungai Samba yang bermuara pada sungai Katingan di Kalimantan Tengah. Sehingga kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya berfungsi sebagai sistem tata air pada daerah aliran sungai Melawi DAS Kapuas dan DAS Katingan. Penduduk asli yang menetap di sekitar TNBBR merupakan keturunan dari kelompok Suku Dayak Limbai, Ransa, Kenyilu, Ot Danum, Malahui, Kahoi dan Kahayan, walaupun demikian bahasa Indonesia sudah dimengerti oleh penduduk dan dipakai sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan pertemuan umum. Pada umumnya mereka hidup berkelompok dalam jumlah terbatas, tersebar di sepanjang sungai-sungai kecil yang bermuara di Sungai Melawi dan di Kalimatan Barat maupun Sungai Katingan di Kalimantan Tengah. Mata pencaharian mereka adalah berladang berpindah, berkebun dan memelihara ternak. Karya-karya budaya yang dapat disaksikan adalah patung-patung kayu leluhur terbuat dari kayu belian, kerajinan tangan dari rotan maupun bambu dan daun pandan serta upacara-upacara adat. Pengembangan masyarakat perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidup berdasar atas partisipasi masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhannya sendiri sehingga pemberdayaan dapat berhasil dan tepat sasaran.permberdayaan juga secara langsung akan berdampak pada perbaikan ekonomi masyarakat itu sendiri, dimana dalam model Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

20


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

pertumbuhan Harrod-Domar (Sitompul, 2009) dijelaskan bahwa pertumbuhan dikembangkan atas dasar pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang yang mengutamakan dua aspek yaitu adanya investasi dan produktivitas local. Melihat yang terjadi saat ini di Kalbar telah melakukan investasi besar-besaran dengan memanfaatkan SDA dan mengakibatkan produktivitas masyarakat cenderung kurang, maka diperlukan pemberdayaan yang mampu meningkatkan produktivitas masyarakat. Dalam teori perubahan structural model Lewis, 1954 (Sitompul, 2009) yang memusatkan perhatian pada mekaanisme yang memungkinkan perekonomian masyarakat terbelakang mentransformasikan struktur perekonomian tradisional yang subsisten kea rah perekonomian modern yang didominasi oleh sektor manufaktur dan jasa. Dimana model yang menjadi perhatian utama adalah terjadinya proses pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan keluaran serta kesempatan kerja di sektor modern. Namun faktanya adalah ketika sector modern terus diperluas dengan investadi yang memanfaatkan SDA, dampak negative yang timbul adalah kerusalan ekologi, ketergantungan terhadap SDA sehingga terus dieksploitasi, serta pola hidup masyarakat yang komsumtif dan tidak produktif lagi seperti pada saat mereka masih berada pada tahappertanian tradisional. Sehingga hal yang diperlukan adalah pola-pola pembangunan dalam bentuk pemberdayaan yang mampu membantu masyarakat untuk mengidentifikasi kebutuhannya dan mampu memandirikan setiap masyarakat hingga pada akhirnya mereka dapat memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan secara universal. 2. Kearifan Lokal Kearifan lokal (local wisdom) didefinisikan sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat lainnya yang dikenalkan oleh Wales (Ayatrohaedi, 1986). Dalam disiplin ilmu Antroplogi dikenal istilah localgenius. Soebadio mengatakan bahwa localgenius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asingsesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986). Dalam hal ini masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar) terutama suku asli Kalbar punya cara tersendiri untuk menjaga kelestarian lingkungan. Suku Dayak Kaburai memiliki cara yang berbeda dalam pengelolaan hutan. Meskipun mereka tergolong pada kelompok petani ladang, namun proses-proses pembukaan ladang baru harus melalui tahapan panjang mulai dari pemilihan lahan hingga pelestarian hutan setelah aktivitas panen selesai. Hal ini adalah contoh dari kearifan lokal yang saat ini sudah mulai ditinggalkan karena tergerus arus globalisasi regional yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan kemiskinan yang meingkat. 2.1. Sistem Ekonomi Suku Dayak Kaburai TNBBBR Konsep sistem ekonomi ini erat kaitannya dengan sumber-sumber penghidupan yang merupakan mata pencaharian suatu masyarakat.Seperti yang diungkapkan oleh Kaplan (1999) bahwa ekonomi menekankan pengaturan yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam menggunakan perlengkapan teknis dan pengetahuan untuk produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa.Jika konsep ini dielaborasi maka sistem ekonomi yang dimaksudkan adalah system ekonomi yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jadi dapat dipahami aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup ini berupa mata pencaharian masyarakat. Dalam konteks ini tentunya berkaitan dengan mata pencaharian yang dilakukan oleh Suku Dayak Kaburai yang dalam rutinitasnya lebih pada pertanian, dengan sistem yang dikenal dengan ladang berpindah atau istilah lainnya huma tugal untuk Suku Dayak. Dalam melakukan aktivitas bahuma, masyarakat hanya menggunakan kawasan produksi mereka seperti bekas perladangan beberapa tahun sebelumnya atau bekas lahan kebun yang sudah tidak produktif karena sudah tua atau ditebang dengan tujuan untuk mengambil hasilnya, misalnya kayu manis. Jadi masyarakat Dayak melakukan aktivitas perladangan sama sekali tidak berpindah, hanya menggilir lahan mereka dalam siklus waktu 3–10 tahun. Selain itu juga terdapat pengelolaan bahan tambang berupa emas yang dilakukan oleh penduduk asli tanpa menggunakan zat-zat kimia. Penduduk asli pemilik lahan berdasarkan status “ulayat� pada Suku Dayak mampu mengelola tambang emas Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

21


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

dengan mengeluarkan sekop demi sekop tanah untuk menacri keberadaan emas sehingga bisa didulang. Lubang yang digalipun tidak terlalu dalam, hanya berkisar 2 meter.Penggalian yang dilakukan 1 sampai 2 orang itu dilakukan secara bergiliran.Hasil yang diperoleh juga tidak kalah dengan hasil yang diperoleh mereka yang mendulang emas dengan mesin modern dan bahan kimia hingga merusak lingkungan karena penggalian tanah menimbulkan kerusakan struktur tanah dan hutan yang ada disekitarnya. Hal inilah yang saat ini terjadi di wilayah TNBBBR.Tidak sedikit masyarakat pendatang yang melakukan perambahan hutan hingga penambangan emas tanpa izin menggunaka alat-alat modern dalam pengelolaan tambang.Padahal dengan alat sederhana saja sudah dapat menghasilkan emas yang tidak sedikit. Dengan semua hal yang terjadi dan menambah parah kerusakan lingkungan yang ada, sehingga diperlukan komitmen untuk mempertahankan keraifan lokal seperti yang masih dipertahankan oleh masyarakat Dayak Kaburai. Nilai-nilai kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh para pendulang emas tradisional ini antara lain adalah: 1) mendulang emas tanpa menggunaka air raksa dan mercuri; 2) tidak menggunakan mesin penghisap atau penyemprot tekakan tinggi, karena semua proses dilakukan secara manual dengan tenaga manusia; 3) menggali lahan per bagian, tidak mengeksploitasi secara besar-besaran; 4) bekerja dengan pembagian yang adil dengan teman kelompok dan pemilik lahan untuk menghindari perselisihan (Ariyanto, 2010). Dengan kearifan lokal, ternyata alam bisa dikelola dengan meminimalisasi kerusakan lingkungan. Dampak terhadap alam pasti ada, tetapi bagaimana mengelola dampak tersebut sehingga menjadi manfaat yang besar bagi masyarakat yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup manusia dan hal itulah yang harus dipertahankan dan dikelola dengan baik tanpa terengaruh oleh faktor modern yang menawarkan banyak metode pengelolaan alam dengan eksploitasi yang merusak lingkungan. 2.2. Sistem sosial Nilai-nilai sosial selalu didapati dalam setiap kehidupan masyarakat. Kebudayaanlah yang mampu membentuk nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat.Dari konsep yang dikemukakan oleh Awang, 2000 kebudayaan merupakan sumbangan manusia kepada alam dan lingkungannya.Dalam kebudayaan tersebut terkandung segenap norma-norma sosial, yaitu ketentuan-ketentuan masyarakat yang mengandung sanksi dan hukuman-hukuman yang dijatuhkan apabila terjadi pelanggaran. Adatkebiasaaanmengandung tradisi hidup bersama yang biasanya dipakai secara turun temurun. Mengacu pada konsep nilai-nilai sosial ini, sejauhmana nilai-nilai sosial ini berlaku dalam masyarakat atau Suku Dayak Kaburai di wilayah TNBBBR Kabupaten Melawi. Secara tradisional masyarakat Suku Dayak Kaburai tinggal sekeluarga di rumah panjang yang disebut Betang. Pemerintah desa dipegang oleh lembaga adat yang dijalankan oleh kepala adat. Hukum adat yang berlaku pada masing-masing desa umumnya mengatur hubungan sosial antar warga desa misalnya perkawinan, perceraian, pemakaian lahan, tata cara pembukaan ladang pada bekas ladang maupun hutan yang masih asli, penebangan pohon dan pemanfaatan hasil hutan. Selanjutnya satu kelompok yang terdiri atas beberapa keluarga inti atau keluarga batin adalah mereka yang memiliki hubungan yang sangat erat, atau biasa disebut dengan bubuhan. Beberapa bubuhan yang ada didaerah bukit baka bukit raya yang menjadi perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. 2.3. Sistem pengetahuan Konsep tentang sistem pengetahuan pada suatu masyarakat lokal atau masyarakat tradisional lebih didasarkan pada pengetahuan yang mereka miliki dalam pengelolaan lingkungan. Mitchell dkk, 2003 menjelaskan bahwa sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan lokal atau tradisional. Hal ini karena hubungan mereka yang dekat dengan lingkungan dan SDA, masyarakat asli yang mengembangkan pengetahuan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal. Memalui konsep tersebut, dapat dipahami bahwa sistem pengetahuan yang berkaitan erat dengan pengetahuan local adalah sistem pengetahuan yang berdasarkan pada pemahaman masyarakat terhadap kondisi ekologis lingkungan, yang kesemuanya Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

22


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya …/Dian …

2013

dilakukan atas dasar pengetahuan yang dapat melalui proses belajar terhadap situasi lingkungan secara langsung. Konsep ini berimplikasi pada peralatan atau teknologi yang mereka gunakan dalam menunjang system ekonomi atau mata pencaharian mereka tanpan merusak alam. 3. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”. Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) sebagai proses, pemberdayaan mempunyai 3 (tiga) tahapan yaitu: penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Dimana setiap tahapnya memiliki batasan-batasan konsep dalam proses menjadi untuk memberdayakan sasaran. 3.1. Batasan konseptual pemberdayaan Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community development (pembangunan masyarakat) dan community-based development yang dipahami sebagai pembangunan yang bertumpu pada masyarakat yang kemudia diarahkan oleh masyarakat dan digerakkan pula oleh masyarakat. Wrihatno dan Dwidjowijoto(2007). Keberdayaan dalam konteks masyarakat, pembedayaan memiliki tujuan untuk meningkatkan keberdayaan dari mereka yang merasa dirugikan, (liat buku frank,) yang di alam prosesnya selalu ada faktor kekuasaan terhadap individu atau kelompok dimana masing-masing memiliki kesempatan untuk mearih kekuasaan, Clegg 1989 (Frank, 2012). Kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan menjadi prose penting dalam pemberdayaan.Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.Masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat serta inovatif, tentu memiliki keberdayaan yang tinggi.Namun selain nilai fisik, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan seperti kekeluargaan, kegotongroyongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat Indonesia, yaitu kebhinekaan. Seperti halnya pada Suku Dayak Kaburai di wilayah TNBBBR, begitu banyak yang memiliki begitu banyak kearifan lokal sehingga dapat menjadi modal dasar dalam kegiatan pemberdayaan masyarakatnya.Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat Indonesia umumnya dan Suku Dayak Kaburai wilayah TNBBBR khususnya yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat, Wrihatnolo & Dwidjowijoto (2007). 3.2. Menambah Daya Masyarakat Paradigma pemberdayaan masyarakat yang mengemuka sebagi issue sentral pembangunan dewasa ini muncul sebagai tanggapan atas kenyataan adanya kesenjangan yang belum tuntas terpecahkan terutama antara masyarakat di daerah pedesaan, kawasan terpencil, dan terkebalakang. Padahal pertumbuhan ekonomi nasional di wilayah perkotaan terus meningkat. Pemberdayaan pada dasarnya menempatkan masyarakat sebagai pusat perhatian dan sekaligus pelaku utama pembangunan (people-centered development), Wrihatnolo & Dwidjowijoto (2007). Program-program pembangunan di era 1990-an yang dimulai dari program IDT (Inpres Desa Tertinggal) telah menunjukkan tekad pemerintah untuk mengentaskan masyarakat miskin dan sekaligus sebagai bagian dari perwujudan pembangunan alternative yang melihat pentingnya manusia (masyarakat), tidak lagi sebagi objek, tetapi subjek pembangunan. Dalam konteks ini “partisipasi masyarakat sepenuhnya” dianggap sebagai penentu keberhasilan pembangunan. Dalam pengertian konvensional, konsep pemberdayaan sebagai terjemahan empowerment mengandung dua pengertian, yaitu (1) to give power or authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, (2) to give ability to atau to enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Eksplisit Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

23


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

dalam pengertian kedua ini adalah bagaimana menciptakan peluang untuk mengaktualisasikan keberdayaan seseorang, Wrihatnolo & Dwidjowijoto (2007). Program IDT yang diarahkan untuk mempercepat untuk mengurangi penduduk miskin dengan mengarahkan kegiatan penanggulangan kemiskinan disejumlah wilayah desa tertinggal. Menurut Kartasasniat, 1995 IDT juga dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai program pembangunan yang sudah ada dalam rangkan penanggulangan kemiskinan. Namun dalam pengembangan program IDT terdapat kelemahan program yaitu adanya kesulitan dalam penetapan penerima dana IDT, lemahnya kelambagaan lokal di daerah dalam mendukung pelaksanaan program, dan masih kuatnya perana pemerintah daerah dalam perencanaan kebutuhan penduduk miskin, Murbyarto (Sitompul, 2009). Dimana kebutuhan-kebutuhan terebut harus dipenuhi. Dengan demikian konsep pemberdayaan sebagai terjemahan empowerment mengandung dua pengertian, yaitu (1) to give power or authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, (2) to give ability to atau to enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Secara eksplisit pengertian keduanya ini adalah bagaimana menciptakan peluang untuk mengaktualisasikan keberdayaan seseorang, Wrihatnolo & Dwidjowijoto (2007). Dalam misi pemberdayaan masyarakat wilayah TNBBBR diperlukan beberapa strategi dan pendekatan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya yaitu sebagai berikut: 1) manajemen kolaborasidalam konsep human capital collectivity-owned capital yang berinetaraksi dengan ekonomi dan budaya, yaitu pengelolaan para pihak aka mengatur berbagai peran dari masing-masing pihak terutama pemerintah dan masyarakat setempat untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan dan meningkatkan produktivitas pertanian tanpa merusak lingkungan. Serta kebudayaan masyarakat setempat yang tercermin melalui kegiatan-kegiatan dalam usaha meningkatkan taraf hidup sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Serta penguatan modal sosial (social capital) yaitu kepercayaan masyarakat terhadap pemberian dukungan dari pemerintah; 2) membuka jaringan (networking). Jaringan kerjasama yang dibangun akan memperkuat programprogram yang berdampak pada pengelolaan TNBBBR. Seperti yang dijelaskan oleh Bourdieu (Burheim, 2010) the

aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of durable network of more or less institutionalized relationship of mutual acquaintance and recognition. Sehingga dalam hal ini yang dibutuhkan adalah modal sosial yang

terkumpul dari sumber-sumber actual dan potensial yang terhubunga dengan jaringan yang bertahan lama. Manfaat-manfaat langsung dari program-program tersebut bisa dilakukan dengan membuka jaringan kepada beberapa pihak luar yang tujuannya sejalan dengan rencana dan pengelolaan TNBBBR. Beberapa kegiatan yang akan dikembangkan dalam memperkuat jaringan tersebut seperti: ekowisata, kerjasama penelitian, program-program pengembangan masyarakat di kawasan penyangga TNBBBR, penguatan kapasitas dan lain-lain. 4. Pemberdayaan Masyarakat Dayak Kaburai DaerahTNBBBR Berbasis Kearifan Lokal Dengan menggali kearifan lokal yang ada pada Suku Dayak maka ketertinggalan yang dapat mengakibatkan kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi tetapi juga dapat dihindari karena lestarinya sumber daya bagi generasi berikutnya. Menurut Soerjani, 2005 dijelaskan bahwa kearifan lokal mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu kerifan lokal seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pemberdayaan masyarakat. Terlepas dari pendekatan yang bercorak struktualis, sesungguhnya kita menggali konsep kehidupan masyarakat setempat yang bernama kearifan kolektif atau kearifan budaya. Sebagaimana diketahui bahwa disetiap kehidupan masyarakat manapun kearifan semacam itu tertanam direlung pengetahuan kolektif mereka yang dialami bersama. Itulah yang sering disebut local wisdom atau Indigenous knowledge (IK). IK contrasts with the

international knowledge system generated by universities, research institutions and private

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

24


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

firms. It is the basis for local-level decision making in agriculture, health care, food preparation, education, natural-resource management, and a host of other activities in rural communities,Warren 1991 (Word bank, 2010). Terlepas dari kegiatan eksploitasi yang

dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu, masih terdapat pola pengelolaan alam dengan kearifan local seperti penambangan emas tradisional, ladang berpindah dengan penentuan lahan yang tepat, dan lain - lain. Penggunaan konsep pemberdayaan perlu mendapat reinterpretasi, yaitu dengan menghilangkan kesan-kesan modernisasi, apalagi yang dipaksakan. Melalui pendekatan kebijakan (policy approach) kearifan lokal masyarakat Suku Dayak dalam pengelolaan SDA harus juga dihadapi dengan pendekatan yang bernuansa kearifan. Untuk memberdayakan masyarakat Dayak wilayah TNBBBR, perlu diketahui karakteristik daerah baik secara geografis maupun kondisi masyarakatnya yaitu sebagi berikut: 4.1. Karakteristik Aksesbilitas Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dapat dicapai dari arah Utara melalui Provinsi Kalimantan Barat dan dari Selatan melalui Kalimantan Tengah. Cara pencapaian lokasi dari Pontianak ke Sintang menggunakan jalur darat 399 KM ditempuh selama sembilan jam dan dilanjutkan dari Sintang ke Nanga Pinoh selama dua jam dan atau Sintang Nanga Serawai selama enam jam. Perjalanan dilanjutkan dari Nanga Pinohke Nanga Popay yaitu Logpond PT. Sari Bumi Kusuma (SBK) dengan speedboat selama dua jam atau dengan menggunakan kendaraan darat selama kurang lebih dua jam, kemudian dilanjutkan menuju kawasan melalui main road PT. SBK kurang lebih dua jam. Perjalanan dari Serawai menuju kawasan dapat ditempuh melalui jalur Sungai Serawai ke Desa Rantau Malam menggunakan long boat selama kurang lebih enam jam. Perjalanan dari Palangkaraya menuju Kasongan menggunakan kendaraan darat selama satu setengah jam, dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan air melewati kota Kecamatan Tumbang Samba,Tumbang Hiran dan kota Kecamatan Tumbang Senamang ditempuh selama delapan jam. Informasi aksesibilitas menuju TNBBBR dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel. 1.1. Akses TNBBBR dari Kalimantan Barat No Rute Jarak Jenis sarana (km) perhubungan

Waktu tempuh

1.

Pontianak-Sintang

400

Bus umum/mobil

9 jam

2.

Pontianak-Nanga Pinoh Sintang- Nanga Pinoh

450

Bus umum

9-10 jam

80

Bus umum

2 jam

3. 4.

Nanga PinohSpeed Boat menukung 5. Nanga Popay28-54 Main road PT. SBK kawasan Sumber: Badan Taman Wisata Bukit Baka Bukit Raya Sintang Tabel. 1.2. Akses TNBBBR dari Kalimantan Tengah No. Rute Jarak Jenis sarana (km) perhubungan 1. 2.

PalangkarayaKasongan Kasongan-Tb. Samba

3.

Tb. Samba-Tb. Hiran

85

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

3 jam 2-4 jam

Waktu Tempuh

Bus umum

1.5 jam

Speed boat

3 jam

Long boat

3 jam

25


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

4.

Tb. Hiran-Tb. Tae

Long boat/klotok

2013

1 jam

5.

Tb. Hiran-Batu Long boat 6 jam Panahan 6. Batu PanahanLong boat/jalan kaki 2 jam Kawasan Sumber: Badan Taman Wisata Bukit Baka Bukit Raya Sintang 4.2. Karakteristik Perekonomian Kegiatan perekonomian masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNBBBR Kabupaten Sintang-Melawi didominasi oleh sektor pertanian, hal ini sesuai dengan potensi dan karakteristik yang dimiliki kawasan dan masyarakat. Beberapa kegiatan tersebut secara garis besar dikelompokkan ke dalam beberapa sektor yaitu: pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, industry rumah tangga (kerajinan, dan sektor perdagangan. Sedangkan khusus Suku Dayak setempat kegiatan perekonomiannya lebih utama pada bidang agraris atau pertanian. Yaitu dengan menanam padi di ladang yang biasa disebut dengan nugal atau uma taua bahuma. Ini merupakan aktivitas utama bagi masyarakat Suku Dayak disamping kegiatan lainnya. Bahkan dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang wajib dan tidak dapat ditinggalkan karena selain hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan akan pangan mereka selama setahun, nugal atau bahuma dapat mereka gunakan sebagai media atau cara mereka “berkomunikasi� dengan Sang Pencipta. Pembangunan kawasan tertinggal menurut indikator pemerintah daerah Kabupaten Sintang yaitu, kawasan perbatasan, kawasan sintang raya, kawasan yang perlu dipelihara kawasan lingkungannya, dan kawasan tertinggal. Kawasan tertinggal adalah kawasan yang secara ekonomi jauh tertinggal dibanding wilayah lain di Kabupaten Sintang, baik diakibatkan oleh geografis, kondisi sosial ekonomi, maupun infrastrukturnya. Wilayah tertinggal di Kabupaten Sintang adalah Kecamatan Serawai dan Kecamatan Ambalau yang masuk dalam wilayan TNBBBR. Pemerintah memiliki program kebijakan yang harus diterapkan dalam kawasan ini yaitu: peningkatan kualitas jaringan jalan dan perluasan jangkauan pelayanan angkutan umum, penyediaan fasilitas sosial ekonomi, peningkatan kegiatan perekonomian pedesaan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat setempat yang dalam hal ini perlu melibatkan masyarakat setempat yaitu mereka yang tinggal di kawasan TNBBBR. Dari Kabupaten Melawi terdapat satu kecamatan yang termasuk dalam wilayah TNBBBR yaitu kecamatan menukung yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Sehingga pembangunan daerah difokuskan pada potensi kecamatan tersebut untuk menjadi gerbang utama antar propinsi yang memiliki peluang sebagai pusat pengembangan skala lokal dan penunjang kegiatan wisata alam di TNBBBR. Mengingat kawasan ini terdapat parameter kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perambahan hutan, maka perlu dilakukan program rehabilitasi hutan dan reboisasi lahan kritis. Dalam melaksanakan aktivitas pertanian dengan berladang ini, masyarakat hanya menggunakan kawasan produksi mereka seperti bekas perladangan beberapa tahun sebelumnya atau bekas lahan kebun yang sudah tidak produktif karena sudah tua atau ditebang karena telah diambil hasilnya, misalnya kayu manis. Jadi masyarakat Suku Dayak melakukan aktivitas perladangan tidak berpindah, namun mereka menggilir lahan mereka dalam siklus 3-10 tahun. Sebelum melakukan kegiatan nugal ini, masyarakat dayak selalu melaluinya dengan tahapan-tahapan dari awal kegiatan dimulai yaitu pemilihan lahan dampai proses penanaman hingga panen. Tahap pelaksanaan uma masyarakat adat Dayak Kaburai menurut Himakova, 2008 (perencanaan pengelolaan jangka panjang TNBBBR 2009) adalah sebagai berikut : a. Musyawarah batas, maksudnya menentukan batas ladang dan meminta ijin pada pemilik diareal perladangan nantinya. Jadi harus ada mufakat dalam musyawarah tersebut. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

26


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

i.

j.

k.

l.

2013

Minu (menebas), setelah mendapatkan lahan hal yang perlu dilakukan adalah penebasan. Alat yang digunakan seperti bore (parang), baliokng (beliung). Ketika

melakukan penebasan tersebut lahan yang bersangkutan tiba-tiba dihinggapi oleh panginget/penyinyet (lebah madu) maka lahan itu harus segera ditinggalkan dan mencari lahan baru. Nobakng (menebang), dalam melakukan aktifitas ini ada beberapa aturan yangharus ditaati, yaitu tidak boleh mengenai usaha orang lain, jamih (bawas) orang lain, pohon madu, kebun, kampokng buah, keramat. Jika kejadiannya tidak disengaja maka yang bersangkutan harus segera memberitahukan kepada pemiliknya. Mpo ropa (masa pengeringan), masa ini berkisar antara 1,5 – 2 bulan, tergantung dari kondisi iklim. Bila panas terus menerus maka daun, ranting, dahan dan batang kayu akan cepat kering. Bila demikian maka ladang akan dibakar hangus (mosu). Hangus tidaknya sebuah ladang yang akan dibakar sangat menetukan tingkat kesuburan tanaman baik padi maupun tanaman sayur mayur lainnya. Miadakng (membuat sekat bakar), merupakan proses pembersihan disekeliling muh (ladang) yang sudah ditebang dengan tujuan agar api tidak menjalar ketempat lain. Ngucol (membakar), setelah miadakng maka dilakukan pembakaran, namun sebelum dilakukan pembakaran semua warga yang ladang, kebun atau usaha lain yang berdekatan dengan ladang yang akan dibakar harus diberitahukan terlebih dahulu. Membakar juga harus berlawanan dengan arah angin, tidak boleh membakar dimusim angin kencang dan panas terik, dan biasanya pembakaran dimulai pukul 14.00 wib. Ngarorak, jika di hutan rimba setelah pembakaran selama minimal 3 hari tidak boleh keladang karena masih ada bara yang menyala. Ketika api sudah padam maka kayu yang tidak habis terbakar disingkirkan kegiatan inilah yang dinamakan ngarorak. Tumpukan kayu bekas bakaran itu namanya panok. Panok itu akan dibakar sebelum pulang pada pukul 18.00 wib. Areal bekas membakar panok itu akan subur jika ditanami dengan tanaman sayuran seperti: cabe, jahe, kunyit, terong dan sebagainya. Tamurok (menanam padi),kegiatanpenanaman padi ini biasanya dilakukan 2 orang seorang laki-laki yang membuat lobang diikuti dibelakangnya, seorang wanita, yang melakukan penanaman benih padi. Alat yang digunakan adalah tugal yang panjangnya 2,5 meter dengan diameter 3 cm ujungnya diruncingkan agak tumpul. Miobuh (merumput), sekitar 1,5 bulan setelah padi ditanam dilakukan pembersihan rumput diladang, tujuannya agar rumput tidak mengganggu pertumbuhan padi. Biti ampar kuning podi, setelah merumpun kegiatan berladang berhenti sampai masa panen tiba, masa 3 minggu- 1bulan digunakan untuk perbaikan jalan ke pondok, membuat tempat pemberhentian ( mpadas/ mpalakng) sebelum padi di masukkan kedalam jurokng (lumbung). Mereka juga kadang menoreh karet untuk kemudian dijual kepasar. Ngotump (panen), padi yang dipanen ini harus benar-benar masak, jika belum maka padi itu akan cepat busuk jika disimpan, padi yang pertama masak diambil dan setiap anggota keluarga harus mencicipi berasnya. Sebelum panen ada upacara adat yang bernama mota dan ngamaru. Mota adalah upacara yang menyatakan bahwa panen akan dimulai dan ngamaru upacara pemberitahuan bahwa padi hasil panen itu akan dimakan oleh anggota keluarga. Gawe Tautn (upacara syukuran), upacara syukuran yang melibatkan seluruh warga di kampung yang bersangkutan. Didalamnya terdapat makan-makan bergendang (tarian), minum tuak, menari dan sebagainya dan upacara ini dilakukan di rumah betang atau rumah panjang.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

27


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

m.

2013

Bacucok batonam (bersosok tanam), ladang yang baru dipanen padinya dinamakan jamih atau bawas. Jamih ini dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :Jamih mongut (bawas muda dibawah 5 tahun), Jamih malakng (bawas yang subur berumur sampai 7 tahun), Jamih muntuh (bawas tua yang berumur 7-25 tahun). Jamih bisa ditanami tanaman keras seperti karet, pohon madu, kayu

belian, keladan, dan lain-lain. Sedangkan buah-buahan seperti durian,rambutan, duku, langsat, belimbing, pakawe (sejenis durian), dll. Kearifan masyarakat adat Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya, yaitu menanam lahan bekas berladang dengan tanaman keras. Bibitnya telah disiapkan 6 bulan – 1 tahun sebelum panen berakhir. Bibit ini diambil dari lahan lain, ketika lahan ditinggalkan selama 7-10 tahun maka sudah siap dipanen. Lahan-lahan yang telah dimafaatkan sebagai ladang ditanami kembali dengan tanaman keras yang hasilnya juga dikelola sendiri oleh masyarakat dayak. Seperti pengelolaan pohon madu, yaitu Pohon madu yang dimaksud adalah pohon yang biasa digunakan oleh lebah untuk membuat sarang. Pohon madu ini termasuk sebagai keramat pedagi (benda keramat). Juga terdapat pengelolaan kawasan hutan keramat cadangan, dimana kawasan hutan ini sangat dikeramatkan, ini merupakan hutan konservasi yang tidak boleh dimanfaatkan, termasuk sebagai tonah colap tarutn pusaka. Ciri kawasan jenis ini adlaah bukit atau gunung yang didalamnya terdapat banyak tanaman obat, tanaman langka, banyak binatang, sungai yang masih banyak ikan, dan terdapat aneka bahan bangunan, kawasan tersebut telah ditetapkan dan diwariskan secara turun temurun dan pengelolaannya diatur dalam hukum adat. Biasanya kayu boleh diambil untuk keperluan hidup bukan untuk diperjualbelikan. Kearifan lokal yang ditunjukkan oleh masyarakat Dayak Kaburai dalam menjaga keberadaan pohon-pohon di desanya dan tidak diperbolehkan menebang pohon terutama pohon-pohon besar yang sudah berumur panjang karena diyakini bahwa jika menebang pohon tersebut maka sipenebang akan menadapatkan bala atau musibah. Selain itu juga untuk menjaga fauna di wailayah sekitar, masyarakat dayak kaburai juga dilarang memakan katak dan trenggiling. Karena untuk mengantisipasi jika fauna ini diperbolehkan untuk dikonsumsi maka pemburuan terhadap binatang ini akan terus terjadi. Masyarakat dayak kaburai juga mengeramatkan beberapa hewan yang salah satunya adalah buaya putih, dimana setiap dua tahun sekali masyarakat memberikan sesaji kepada buaya putih tersebut. Bentuk sesaji yang sering diberikan yaitu beras kuning (beras yang sudah dicampur dengan kunyit). Pemberian sesaji dimaksudkan untuk agar buaya putih tidak menyerang masyarakat setempat. Komitmen kerifan lokal masyarakat daya kaburai dibuktikan dengan menjaga ekosistem dan hampir semua satwa yang ada tidak dikonsumsi. Kesadaran mereka dalam menjada SDA agar tetap ada untuk generasi mendatang menjadi motivasi masyarakat untuk terus melestarikan lingkungan. Pengelolaan keramat juga berlaku terhadap suatu wilayah, yaitu wilayah keramat didaratan juga di lubuk sungai. Tempat seperti ini dipelihara, dilindungi dan dihormati oleh warga masyarakat.Didaerah tersebut tidak boleh ada kegiatan apapun kecuali upacara adat yang dilakukan 3 kali dalam setahun. Selain kegiatan berladang, yang menjadi model kearifan lokal masyarakat dayak, masih terdapat bentuk kearifan lain yang juga tak kalah baiknya untuk menjada ekologi wilayah TNBBBR yaitu sebagai berikut: a. Pengelolaan Tembawang Kawasan ini adalah bekas lahan yang telah ditinggalkan selama 5-10 tahun ditandai dengan banyak tanaman keras dan juga beberapa bekas perabot rumah tangga.Tembawang dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu : - Tembawang rumah/ kambokng, terdapat dirumah - Tembawang dango, terdapat disekitar pondok ladang 2-5 tahun yang lalu. - Tembawang dukoh, terdapat disekitar pondok semi permanen yang pernah didiami antara 5-10 tahun. - Tembawang bagant, terdapat di rimba, sempat didiami selama 3 minggu sampai sebulan kegiatan berburu. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

28


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

b. Pengelolaan Jamih Jamih adalah lahan bekas ladang, dan biasanya masih dirawat oleh pemiliknya karena akan diladangi lagi sekitar puluhan tahun lagi. Antara jamih dengan jamih lainnya ada batasan (bat) biasanya batasan ini berupa sungai, kayu yang tahan lama seperti kayu belian, bambu hidup, tanaman buah seperti durian atau angkabakng (tengkawang) c. Pengelolaan are sungai Air sungai merupakan sumber kehidupan lain bagi masyarakat Suku Dayak. Agar air sungai dapat digunakan untuk masyarakat maka masyarakat Dayak tidak pernah berladang di tepi sungai, sehingga kayu yang berada di pinggir aliran sungai akan tetap ada yang berguna juga untuk pelindung dan penangkal erosi. Terkadang masyarakat Dayak melakukan ritual untuk menuba di aliran sungai tetapi menuba itu pun tidak boleh tiap hari. Ada upacara adat yang harus dilakukan sebelum melakukan penubaan d. Mokatn tonah dan Nungkat Gumi Tujuan pelaksanaan adat ini adalah memulihkan kembali hutan kawasan adat yang dikelola oleh warga masyarakat lokal.Upacara Nungkat Gumi dilakukan setiap 7 tahun sekali selama 7 hari 7 malam. Setelah upacara itu masyarakat melakukan pantakng ponti, dan selama masa pantangan itu tidak diperbolehkan memetik tanaman (balayo), me bia ikatn dari amun toruh tanyokng ka soju, toruh tanyokng ka soba (tidak boleh mengambil ikan tujuh tanjung kehilir dan kehulu dari sungai tempat mandi mereka), memotong atau makan hewan potongan, nyingor (bersiul), berpesta dan sebagainya. Kearifan masyarakat dayak dalam berladang, menanami kembali hutan, menjaga, dan melestarikannya dapat menepis anggapan bahwa mereka melakukan ladang berpindah dan bukan ladang bergilir. Dari penjelasan diatas maka terlihat bahwa Masyarakat Suku Dayak mempunyai kearifan terhadap lingkungan yang sangat tinggi, walaupun terkadang mereka di tuding sebagai aktor perusak lingkungan karena mereka melakukan sistem pertanian dengan sistem ladang berpindah. Hampir 80% masyarakat Suku Dayak di Kalimantan mata pencahariannya berladang. Berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan hingga akhir panen harus dilalui dengan tahapan-tahapan dan aturan yang hatus ditaati, adatnya inilah yang membentuk kebudayaan Dayak. Tidak benar aktivitas ladang berpindah sama dengan kegiatan merusak hutan. Istitut Dayakologi menyebutkan bahwa sistem ladang berpindah itu sebagai sistem pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system). Bukan ladangberpindah tetapi ladang bergilir. Sebab sistem perladangan dari masyarakat Dayak ini berladang dilahan lain untuk memberi kesempatan lahan lama itu cukup tua (10-15 tahun) yang nantinya akan mereka ladangi lagi. Sistem pertanian ini merupakan jawaban yang tepat bagi perjuangan mempertahankan kehidupan atas tanah yang relatif kurang subur.Menurut Alqadri (Wibowo, 2008) dijelaskan bahwa sistem perladangan seperti ini tidak dapat dituding sebagai sumber kerusakan hutan.Daur perladangan sekitar 1015 tahun secara teratur menyebabkan hutan subur berkelanjutan.Aktifitas berladang tidak bisa terlepas dari hutan. Kesimpulan Sebagai simpulan dari tulisan ini, maka dikatakan bahwa masyarakat Dayak Kaburai mengandalkan hasil alam dari kegiatan pertanian dan perkebunan sebagai sumber pencaharian. Sehingga pengetahuan masyarakat tentang lingkungan, teknologi tradisional, dan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan lingkungan biasanya berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Sehingga sumber kearifan lokal masyarakat Suku Dayak Kaburaidi wilayah TNBBBR dengan mempertahankan prinsip-prinsip kearifan lokal mereka berbasis ekologi dan ekosistem. Kearifan lokal Suku Dayak Kaburai wilayah TNBBBR bukan hanya tataran kebiasaan namun ide-ide dan nilai-nilai yang berkaitan dengan pengelolaan SDA sudah mengindikasikan adanya upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan yang dilakukan masyarakat sejak lama. Upaya untuk Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

29


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

mendukung kearifan lokal juga terlihat dari usaha pemerintah dalam perencanaan program pengembangan daerah dan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan jaringan (network) di daerah-daerah tertinggal kawasan TNBBBR, serta penerapan manajemen kolaborasi dari human capital development dengan konsep capital social dan pengetahuan lokal menuju social welfare. Upaya untuk mendorong kearifan lokal menjadi sebuah lembaga yang mapan perlu dilakukan.Untuk itulah pemerintah ikut berperan aktif memberdayakan masyarakat setempat terutama masyarakat asli yaitu masyarakat Suku Dayak Kaburai agar tetap mempertahankan kearifan lokalnya. DAFTAR PUSTAKA Ariyano, Astanilaus,. 2010. Kearifan Lokal Di Pulau Kalimantan: Suku Dayak Mengelola Emas dengan Kearifan Local. online: http://ayouk91.blogspot.com. Diakses tanggal 1 Mei 2013. Ayatrohaedi,. 1986. Kepribadian buadaya bangsa (local genius). Pustaka jaya. Jakarta. Badan pusat statistic kabupaten Melawi. 2011. Geografi dan iklim. Pemda Melawi. Badan pusat statistic kabupaten Melawi. 2011. Kependudukan Daerah Melawi. Pemda Melawi. Badan pusat statistic Kalimantan Barat.2011. Pembangunan Manusia Kalimantan Barat Dan Ketenagakerjaan. Pemprov Kalbar. Pontianak. Balai Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya. 2009. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang

Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Periode 2010 S/D 2029 Kabupaten Sintang, Melawi, Katingan Provinsi Kalimantan Barat-Kalimantan Tengah. BTNBBBR.Sintang.

Burnheim, C,. 2010. Educational And Social Capital. http://en.wikipedia.org/wiki/social_capital. Diakses tanggal 2 Mei 2013.

Online:

Dinas kehutanan propinsi Kalimantan Barat. 2000. Komposisi Hutan di Kabupaten Sintang .Dinas kehutanan dan perkebunan kab. Sintang.Sintang. Fachrizal, Andi,, 2012. Tambang Emas Illegal Di Taman Nasional Bukit Baka . Online: www.mongbay.co.id. Kaplan, David, dkk,. 1999. Teori Budaya. Pustaka pelajar.Yogyakarta. Kartodiharjo, H,.1999. Belenggu Imf Dan Word Bank: Hambatan Srtuktural Pembaruan Kebijakan Pembangunan Kehutanan Di Indonesia . Lembaga Alam Tropika (LATIN). Jakarta. Mitchell, Bruce dkk,. 2003. Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan. UGM Press.Yogyakarta. Sitompul, Rismila F,.2009. Merancang Model Pengembangan Masyarakat Pedesaan .LIPI Pers. Jakarta. Soerjani, M,. 2005. Krisis Kearifan Kita. Kompas Edisi Oktober 2005. Soetomo,. 2012. Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Wibowo, Arif,. 2008. Hutan: Darah Dan Jiwa Dayak. Online: http://staff.blog.ui.ac.id. Diakses pada tanggal 2 Mei 2013. Wrihatno,. Dwidjowijoto,. 2007. Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar Dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

30


Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ‌/Dian ‌

2013

, 2010. Indigenous Knowledge.The word bank group. Online: www.wordbank.org

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

31


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

KOMITMEN PEMDA SEBAGAI MODAL SOSIAL PEMBANGUNAN PENDIDIKAN Sebuah Refleksi dalam Konteks Implementasi Paradigma Baru Pendidikan Oleh : Wasitohadi Abstrak

Keberhasilan pengelolaan pendidikan di daerah, salah satunya ditentukan oleh adanya komitmen Pemda terhadap pendidikan. Komitmen Pemda sebagai modal sosial dalam pembangunan pendidikan daerah Kota Salatiga, dalam bentuk menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan dan peningkatan perhatian Pemda terhadap pendidikan, misalnya berupa regulasi pembentukan dan penataan organisasi pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi, dukungan pendanaan pendidikan, dan kebijakan-kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Merefleksi apa yang dilakukan Pemda tersebut, Pemda Kota Salatiga mempunyai komitmen membangun sistem pendidikan yang bernuansa otonomi, dengan berusaha mengimplementasikan paradigma baru pendidikan dalam UU Sisdiknas. Meskipun demikian, pada tingkat praksis, regulasi tersebut belum dapat dilaksanakan secara konsisten dan optimal, terkendala oleh sejumlah faktor, seperti keterbatasan PAD, kualitas SDM yang kurang memadai, dan pengisian SDM yang bukan berdasarkan prinsip the right man on the right place, dengan memperhatikan mindset yang bernuansa otonomi. Kata Kunci: Modal Sosial, Komitmen Pemda, Pembangunan Pendidikan .

Pendahuluan Kota Salatiga sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia, yang pengembangannya diarahkan sebagai kota pendidikan, telah berupaya melaksanakan otonomi pengelolaan pendidikan. Kebijakan era otonomi memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi pengelolaan pendidikan, dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Ini berarti, daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus persoalan pendidikan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat di daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan dan keleluasaan dimaksud mencakup: (a) kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan pendidikan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat; dan (b) kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Dalam rangka melaksanakan kedua kewenangan tersebut, berbagai kebijakan pendidikan dalam konteks otonomipun telah dirumuskan dan diimplementasikan. Tetapi, apakah substansi regulasi kebijakan pendidikan dan implementasinya tersebut sesuai dengan jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan, belum pernah diteliti dan dievaluasi. Hingga kini penelitian sebagai “pendampingan� atas pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan di Salatiga baru menyangkut masalah profil, persepsi, dan problematika otonomi daerah bidang pendidikan (Wasitohadi, 2003), dan sebatas upaya mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat Salatiga tentang makna, konsep, kesiapan dan persiapan dalam pelaksanaan otonomi daerah secara umum (Virna Mellani, 2001). Penelitian tersebut antara lain menyimpulkan bahwa otonomi daerah di Salatiga kurang disiapkan dan tidak diikuti dengan pemahaman yang benar dari masyarakat sehingga terkesan dipaksakan. Selain itu, ada persepsi yang beragam tentang otonomi daerah bidang pendidikan, di samping masih banyak problematika yang dihadapi. Penelitian ini dibatasi pada upaya untuk mengetahui berbagai komitmen Pemda Kota Salatiga terhadap pembangunan pendidikan dan mengetahui apakah berbagai komitmen tersebut telah diimplementasikan sesuai dengan jiwa dan semangat paradigma baru Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

32


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi…

2013

pendidikan. Agar sistematis, tulisan akan dimulai dengan uraian singkat mengenai arti dan pentingnya modal sosial, unsur-unsur modal sosial (dimana komitmen menjadi salah satunya), baru dilanjutkan dengan membahas mengenai komitmen Pemda terhadap pendidikan dan refleksinya, serta diakhiri dengan kesimpulan. Konsep Modal Sosial Ada banyak konsep tentang modal sosial yang disampaikan para ahli. Modal dapat dipahami sebagai kekuatan, asset, dan juga sumber-sumber. Modal tak hanya berupa harta kekayaan seperti uang dan barang-barang bergerak dan tak bergerak: saham, tanah, rumah, mobil, pabrik, alat-alat teknologi, melainkan juga pengetahuan, budaya, jaringan hubungan sosial, adat kebiasaan, aktivitas sosial, dan lain sejenisnya (Suyata, 2010). Schuller, Baron & Field (2000) merujuk tiga pionir konsep modal sosial, yaitu Piere Bourdieu, James Coleman, dan R.D. Putnam, dari merekalah konsep modal sosial itu hadir, dikaji dan diterapkan. Konsep tersebut berkembang, produktif dan menyebar penggunaannya dari satu kawasan ke kawasan lain, dari medan kajian yang satu ke yang lain. Bourdieu dapat disebut sebagai orang yang mengajukan konsep berbagai modal dan modal budayalah yang paling banyak dikembangkan olehnya, terutama di dalam menganalisis reproduksi budaya dan reproduksi sosial. Sementara itu, menurut James Coleman (2000:6), modal sosial dipahami sebagai jenis-jenis sumber yang tersedia bagi seorang aktor yang terdiri atas aneka ragam entitas berupa aspek tertentu dari struktur sosial dan fasilitasi mereka untuk bertindaknya para aktor baik mereka itu pribadi-pribadi maupun aktor korporasi. Modal sosial itu misalnya kepercayaan, kebutuhan mencari bantuan, tingkat kekayaan, perbedaan budaya, tingkat keterbukaan jaringan sosial, dan lain-lainnya. Coleman juga menekankan pentingnya hubungan kekerabatan dan kehidupan bertetangga sebagai modal sosial. Sedangkan Putnam memasukkan konsep modal sosial ke mainstream kajian politik. Putnam memberikan pengertian modal sosial sebagai “the resources embedded in social networks accessed and used by actors for actions” (Nan Lin, 2004: 25). Modal sosial oleh Putnam digambarkan sebagai corak kehidupan sosial seperti jejaring sosial (networks), norma-norma, dan trust yang dengan itu dapat menjadi dasar berpartisipasi untuk bertindak bersama secara lebih efektif dalam usaha mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut, Zamroni (2007:118) menyatakan bahwa modal sosial menunjuk pada “kemampuan dan kemauan untuk bekerja sama yang didasarkan pada kejujuran, toleransi dan kebersamaan”. Dikatakan bahwa modal sosial merupakan suatu jalinan kerjasama di antara warga yang saling menguntungkan dan didasarkan pada trust. Dengan modal sosial ini muncul berbagai asosiasi di masyarakat yang kuat, yang menjadi simbol-simbol kebebasan, dan sekaligus menjadi perisai yang dapat menjamin kelangsungan kebebasan dan melawan ancaman atas kebebasan baik yang datang dari negara maupun dari ”pasar”. Sementara itu, Sastrapratedja (2004:16), menempatkan modal sosial sebagai bagian yang harus dipupuk oleh pendidikan. Menurutnya, disamping dimensi individualitas, pendidikan juga berfungsi untuk membangun sosialitas manusia sejak dini. Pendidikan harus memupuk ”modal sosial”, yaitu serangkaian nilai dan norma sosial yang harus dihayati oleh setiap anggota kelompok, seperti keadilan sosial, tenggang rasa, dan saling percaya. Sementara itu, menurut Ridell (Edi Suharto, 2007:4 ), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan ( trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks). Dari berbagai pendapat di atas, tampak ada perbedaan rumusan mengenai modal sosial beserta unsur-unsurnya. Namun, apapun rumusannya, semua menekankan pada kuasa jaringan (networks), yang secara umum membawa pengaruh positif, dapat mewujudkan banyak hal. Grootaert, C.& van Bastelaer, T., dalam buku mereka berjudul The role of social capital in development, menegaskan dimensi-dimensi dari modal sosial sebagaimana tampak dalam gambar berikut.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

33


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

Macro

Institutions of the state, rule of law

Governance

Structural

Cognitive

Trust, local norms, and values

Local institutions, networks

Micro

Gambar 1.

Dimensions of social capital Modal sosial merupakan energi pembangunan yang sangat dahsyat. Modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesalingpercayaan dan kesalingmenguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. (Jousairi Hasbullah, 2006: 3). Masing- masing entitas sosial memiliki tidak saja tipologi, melainkan juga konfigurasi nilai dan norma yang sangat menentukan derajat kerekatan sosial dan kolaborasi sosial dalam masyarakat. Dimensi ini akan berpengaruh kuat pada karakteristik perilaku masyarakat dan respon yang mereka tunjukkan terhadap setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah. Apapun rencana atau proyek yang dirancang akan senantiasa berhadapan dengan faktor-faktor yang telah disebutkan. Faktor tersebut dapat memperlancar atau bahkan menggerogoti pembangunan itu sendiri. Di sini peran modal sosial yang sangat menentukan. Sementara itu, Francis Fukuyama (1999) menyatakan bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Sedangkan modal sosial yang kuat akan menumbuhkan kerja sama dan komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan bersama. Komitmen yang kuat adalah sebuah kehendak bersama yang kuat. Komitmen semacam itu membutuhkan motivasi yang kuat, motivasi untuk mewujudkan cita-cita kehidupan masyarakat Indonesia dalam kebersamaan. Komitmen tersebut mestinya dimiliki oleh setiap warga bangsa, apapun tugas dan kewajibannya, termasuk pada pemerintah yang sehari-hari menjalankan roda pemerintahan. Metode Penelitian Sesuai fokus masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data kualitatif diperoleh dari informan-informan kunci serta berbagai dokumen terkait melalui wawancara dan studi dokumen. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

34


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi…

2013

Data dokumen yang dibutuhkan, misalnya, kebijakan-kebijakan pendidikan yang tertuang dalam perda tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Master Plan bidang pendidikan Kota Salatiga, renstra Dinas Pendidikan, dan lain-lain. Sedangkan teknik wawancara dilakukan terhadap informan-informan kunci yang dipandang paling tahu tentang data yang dibutuhkan tersebut, misalnya: orang-orang di Pemda, DPRD, Dinas Pendidikan yang mengurusi ke-SD-an, dan lainlain. Mengenai siapa ”informan-informan kunci” yang dijadikan sebagai subyek penelitian, ditentukan dengan menggunakan teknik snowball sampling. Teknik snowball sampling adalah teknik pengambilan sumber data, yang pada awalnya berjumlah sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang lengkap, maka peneliti mencari aktor atau orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sumber data akan semakin besar dalam upaya untuk mendapatkan informasi yang maksimum. Mengenai siapa ”aktor” yang menjadi informan kunci, ditentukan dengan memilih sumber data yang dianggap paling mengetahui masalah yang sedang diteliti, dan pilihannya dapat terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam mengumpulkan data di lapangan. Dengan demikian, keputusan untuk menambah jumlah sumber data dapat muncul begitu peneliti memandang data yang dikumpulkan belum lengkap/jenuh, sehingga menuntut perlunya pendalaman dan perluasan data. Data kualitatif yang dikumpulkan merupakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari dokumen misalnya atau lisan dari orang-orang sebagai sumber data. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan induktif. Hasil analisis tersebut direfleksi lebih lanjut melalui upaya pemaknaan menggunakan berbagai teori yang relevan, sehingga penyimpulan dapat diberikan. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Komitmen Pemda terhadap Pendidikan Keberhasilan pengelolaan pendidikan di daerah sangat ditentukan oleh adanya komitmen Pemerintah Daerah terhadap pendidikan. Komitmen Pemda Kota Salatiga diawali dengan penetapan visi dan misi. Visi Kota Salatiga adalah “terwujudnya Salatiga yang lebih maju dan harmonis, dengan tata kelola pemerintahan yang baik” (Perda, 2007). Untuk mewujudkan visi tersebut, salah satu misi pembangunan Kota Salatiga adalah meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu prioritas utama (Perda, 2009). Sasaran pembangunan Kota Salatiga salah satunya diarahkan agar berfungsi sebagai kota pendidikan. Visi menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan diputuskan secara partisipatif, ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPRD Kota Salatiga, dan telah tertuang dalam berbagai produk perencanaan daerah, bahkan tercantum dalam Perda (Perda, 1997) yang mengatur tentang makna, filosofi dan cita-cita lambang daerah Salatiga. Komitmen tersebut semakin diperkuat dasarnya, karena ditegaskan secara eksplisit dalam Perda (Perda, 2009) tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga. Kota pendidikan adalah kota yang menjadikan pendidikan sebagai roh utama kehidupannya (Bambang Suteng, 2003:18). Dengan mencanangkan diri sebagai kota pendidikan, diharapkan urusan pendidikan menjadi urusan semua warga Kota Salatiga. Pendidikan bukan saja menjadi agenda utama kinerja pemerintah kota maupun para wakil rakyat, melainkan juga menjadi acuan utama kinerja ataupun performance baik wakil rakyat, aparat pemerintah daerah, para pengusaha, rakyat biasa maupun terlebih lebih para praktisi pendidikan. Dimensi “mendidik” diharapkan menjadi acuan setiap sikap, perilaku, ucapan maupun tindakan/kebijakan setiap warga Kota Salatiga. Ditetapkannya Kota Salatiga sebagai kota pendidikan menunjukkan adanya kesadaran dan komitmen untuk menjadikan pendidikan sebagai strategi dalam mengembangkan dan memajukan Kota Salatiga. Penyusun renstra Kota Salatiga memberi alasan fenomenologis ditetapkannya Salatiga sebagai kota pendidikan, dengan menyatakan bahwa “denyut nadi aktivitas Kota Salatiga selama ini sangat terkait dengan keberadaan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

35


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

dan aktivitas pendidikan baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah� (Renstra, 2002). Selain visi menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan (Perda, 2009), komitmen tersebut juga berupa peningkatan perhatian Pemda terhadap pendidikan, misalnya dalam pembentukan dan penataan organisasi pendidikan, dukungan pendanaan pendidikan, dan kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan. a. Pembentukan dan penataan organisasi pendidikan Dari segi pembentukan dan penataan organisasi, pada era otonomi telah ditetapkan perda yang mengatur tentang pembentukan organisasi, struktur organisasi serta tugas dan fungsi dinas sebagai unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Salah satu unsur pelaksana pemerintah daerah adalah Dinas Pendidikan yang dibentuk dengan tugas melaksanakan kewenangan otonomi daerah di bidang pendidikan. Dinas Pendidikan merupakan hasil penggabungan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Perda, 2001). Dalam perkembangannya, karena tuntutan kebutuhan, organisasi Dinas Pendidikan tersebut diubah menjadi Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora). Disdikpora mempunyai tugas pokok membantu Walikota melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang pendidikan, pemuda dan olah raga berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam rangka menjalankan tugas pokok tersebut, Disdikpora mengkoordinasikan keseluruhan program dan kegiatan yang ada agar pelaksanaannya dapat berjalan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Selain itu, untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Disdikpora menyelenggarakan fungsi (Perda, 2008): 1. perumusan kebijakan teknis di bidang pendidikan, pemuda dan olah raga; 2. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pendidikan, pemuda dan olah raga; 3. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang pendidikan, pemuda dan olah raga yang meliputi prasekolah dan pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan nonformal, dan pendidik dan tenaga kependidikan, pemuda dan olah raga; 4. pelaksanaan pelayanan kesekretariatan Dinas; dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam peraturan Walikota tersebut ditegaskan bahwa untuk menyelenggarakan fungsifungsi tersebut, susunan organisasi Disdikpora terdiri atas: Kepala Dinas, Sekretariat, bidang Pendidikan Dasar, bidang Pendidikan Menengah, bidang Pendidikan non Formal, bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan, bidang Pemuda dan Olah Raga, Unit Pelaksana Teknis Dinas, dan Kelompok Jabatan Fungsional, yang masing-masing mempunyai uraian tugas dan fungsi pokok tertentu. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, masingmasing wajib menerapkan prinsip “koordinasi, sinkronisasi, integrasi dan simplifikasi� secara vertikal dan horisontal baik dalam lingkungan masing-masing maupun dengan instansi lain sesuai dengan tugas pokoknya. Di samping itu, sebagai bagian dari upaya penataan organisasi dibentuk pula Dewan Pendidikan sebagai wadah partisipasi masyarakat Salatiga dalam bidang pendidikan. Dewan Pendidikan dibentuk atas inisiatif Dinas Pendidikan Kota Salatiga. Pembentukannya dimotivasi oleh keinginan untuk menggalang dukungan dan peran serta masyarakat yang lebih optimal dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan, masyarakat dapat berperanserta dalam peningkatan mutu, pemerataan, efisiensi penyelenggaraan pendidikan, dan tercapainya demokrasi pendidikan, dengan memberi pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan. Di samping itu, pembentukannya juga didorong agar memperoleh bantuan dana dari pemerintah, yang usulannya mengharuskan mendapat persetujuan dari Dewan Pendidikan Kota Salatiga. Dengan motivasi seperti itu, dalam beberapa hal prosedur pembentukannya tidak sesuai dengan panduan dalam Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002, seperti: (a) tidak melalui pembentukan panitia persiapan terlebih dahulu, yang keanggotaannya terdiri atas kalangan praktisi pendidikan dan pemerhati pendidikan, (b) tidak mengadakan forum sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu, (c) tidak menyusun kriteria, mengidentifikasi calon dan menyeleksi anggota berdasarkan usulan dari masyarakat, dan (d) tidak mengumumkan nama-nama calon anggota kepada masyarakat, selain hanya Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

36


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

menetapkannya dalam SK Walikota. Dalam pembentukannya, Dinas Pendidikan langsung mengundang orang-orang yang dinilai mempunyai kemampuan dan kepedulian untuk meningkatkan mutu pendidikan di Kota Salatiga, dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam keanggotaan Dewan Pendidikan. Kemampuan dan kepedulian itu dapat dilihat dari partisipasi aktif orang tersebut di berbagai kegiatan yang diadakan Dinas Pendidikan baik seminar, pelatihan maupun program-program sosialisasi kebijakan baru di bidang pendidikan. Selain itu, dalam proses pembentukannya tetap memberi kemungkinan bagi orang-orang di luar yang diundang, yang dianggap layak menjadi anggota Dewan Pendidikan. Dewan Pendidikan sebagai wadah peran serta masyarakat yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkhis dengan lembaga pemerintah daerah. Tata hubungan antara Dewan Pendidikan dengan Pemerintah Daerah, DPRD, Dinas Pendidikan serta Komite-Komite Sekolah di Kota Salatiga bersifat koordinatif. Peran Dewan Pendidikan adalah: (a) memberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan, (b) mendukung, baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan, (c) mengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, dan (d) sebagai mediator antara pemerintah dan DPRD (legislatif) dengan masyarakat. Fungsi Dewan Pendidikan meliputi: (a) mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, (b) melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi), pemerintah, dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, (c) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat, (d) memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada pemerintah daerah/ DPRD mengenai: kebijakan dan program pendidikan, dan melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan. Agar peran dan fungsi tersebut dapat terwujud, pemerintah daerah wajib memberikan hibah pendanaan kepada Dewan Pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku (Perda,2009). Adanya regulasi itu menunjukkan adanya komitmen Pemerintah Daerah terhadap pendidikan. Selain itu, dalam rangka menjalankan peran dan fungsinya, Dewan Pendidikan mengadakan pertemuan rutin. Kendala yang dihadapi adalah sulitnya mengumpulkan anggota untuk pertemuan, terutama anggota yang berasal dari unsur birokrasi. Umumnya mereka hanya berpartisipasi ketika ada acara keluar, seperti studi banding misalnya, sedangkan apabila sekedar rapat mereka jarang hadir dengan alasan kesibukan. Oleh karenanya, praktis kinerja Dewan Pendidikan lebih banyak digerakkan oleh sebagian anggota yang memiliki kemampuan, komitmen dan kepedulian yang tinggi untuk melakukan perubahan di bidang pendidikan. b. Dukungan pendanaan pendidikan Komitmen Pemerintah Daerah lainnya adalah dalam bentuk dukungan pendanaan pendidikan. Dalam Perda (Perda, 2007) disebutkan bahwa arah kebijakan umum pembangunan pendidikan Kota Salatiga adalah bahwa �pelayanan pendidikan akan diberikan melalui anggaran yang proporsional sebagai bentuk perhatian terhadap pentingnya pendidikan bagi masyarakat�. Sementara itu, dalam Perda (Perda, 2009) disebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Ditetapkan bahwa Pemerintah Daerah menjamin terselenggarakannya kegiatan wajib belajar pendidikan dasar sesuai standar pelayanan minimal tanpa memungut biaya bagi sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Sementara bagi satuan pendidikan yang mengembangkan mutu pendidikan di atas standar pelayanan minimal, dapat menggali sumber daya pendidikan dari partisipasi masyarakat, kecuali bagi masyarakat miskin. Selain itu, pemerintah daerah diwajibkan memberikan subsidi bagi terselenggaranya kegiatan wajib belajar pendidikan dasar bagi sekolah yang diselenggarakan masyarakat dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Ada pula regulasi yang mengatur prinsip pengalokasian dan pengelolaan dana pendidikan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20% (dua puluh perseratus) dari APBD, yang pemenuhannya dilakukan secara bertahap. Sementara itu mengenai dukungan pendanaan pendidikan ke sekolah ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

37


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

berkelanjutan. Yang dimaksud adalah bahwa dukungan pendanaan pendidikan ditentukan dengan memperhatikan status atau kategori sekolah, jumlah rombongan belajar dan atau jumlah peserta didik, serta sarana dan prasarana atau fasilitas sekolah yang ada. Berikut adalah gambaran perkembangan presentase alokasi anggaran fungsi pendidikan dalam APBD Kota Salatiga, yang menggambarkan tingkat komitmen pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan pasca reformasi.

Gambar 2. Alokasi Anggaran Fungsi Pendidikan dalam APBD Kota Salatiga Pasca Reformasi Lain dari itu, pemerintah daerah juga memiliki komitmen pendanaan pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin (pasal 69-71 Perda, 2009). Anak usia sekolah dari keluarga miskin berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar yang bermutu dan pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan oleh pemerintah daerah. Bahkan anak usia sekolah dari keluarga miskin yang berprestasi berhak mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari pemerintah daerah sampai jenjang pendidikan tinggi. Biaya pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, meliputi biaya pribadi peserta didik dan pungutan satuan pendidikan. Sementara biaya pendidikan anak dari keluarga miskin yang menempuh pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan. Sebagai bentuk komitmen untuk mewujudkan pendanaan pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, diatur skema tindakan pembiayaan pendidikan sebagai berikut (pasal 72 Perda, 2009): (a) pemerintah daerah melakukan pendataan siswa dan atau anak usia sekolah dari keluarga miskin secara periodik; (b) data siswa dan/atau anak usia sekolah dari keluarga miskin diverifikasi kebenarannya oleh Tim Verifikasi, (c) data siswa dan atau anak usia sekolah dari keluarga miskin yang telah diverifikasi ditetapkan oleh Walikota, (d) perangkat daerah terkait bertugas menyalurkan biaya pendidikan, bantuan dan/atau beasiswa kepada siswa dari keluarga miskin sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dalam hal ini, masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan skema pembiayaan pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. c.

Perumusan kebijakan yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Komitmen lainnya adalah dalam bentuk perumusan kebijakan yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Pada masa reformasi, telah dirumuskan kebijakan umum, Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

38


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis pendidikan. Kebijakan umum pendidikan menunjuk pada kebijakan Pemda tentang pendidikan sebagai pelaksanaan asas desentralisasi, yang merupakan ketentuan yang bersifat makro dan strategis daerah, yang produknya berupa peraturan daerah. Kebijakan umum tersebut memuat arah kebijakan dan program pembangunan pendidikan, digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dan segenap anggota masyarakat Kota Salatiga dalam melaksanakan pembangunan pendidikan di daerah. Sementara kebijakan pelaksanaan dan teknis pendidikan dibuat oleh Dinas Pendidikan sebagai operasionalisasi dari kebijakan umum tersebut. Kebijakan umum pendidikan ditetapkan bersama oleh Pemerintah Daerah dengan DPRD, yang substansinya dapat mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang RPJMD Kota Salatiga tahun 2007-2012, ditegaskan mengenai arah kebijakan umum pembangunan Kota Salatiga khususnya pada fungsi pendidikan, bahwa: kebijakan pada fungsi pendidikan diarahkan pada upaya-upaya pemenuhan pelayanan dasar dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas melalui peningkatan kualitas pendidikan berupa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi agar menjadi dinamis, serta peningkatan profesionalisme. Lebih lanjut, dalam upaya pemenuhan pelayanan dasar pendidikan tersebut, pada tahun 2008 disusun Masterplan Pendidikan Kota Salatiga, yang dapat memberi gambaran kebijakan jangka menengah dan panjang sektor pendidikan secara sistematis dalam mencapai visi dan misi Kota Salatiga. Masterplan tersebut memuat pentahapan pengembangan pendidikan Kota Salatiga, yang dalam implementasinya terbagi menjadi 4 periode dengan penekanan masing-masing, sebagaimana tampak dalam gambar sebagai berikut. Periode 4: 2024-2028: Puncak dari bangunan sistem pendidikan Kota Salatiga: memiliki daya saing di tingkat global (internasional)

Periode 3: 2019-2023: Kemampuan menghadapai dan memenangkan daya saing di kawasan regional dan nasional

Periode 2: 2014-2018: Penguatan pelayanan yang kompetitif, penguatan semua pondasi bangunan sistem pendidikan Kota Salatiga

Periode 1: 2008-2013: Optimalisasi pelayanan dan modernisasi sebagai pondasi bagi bangunan sistem pendidikan Kota Salatiga secara menyeluruh

Gambar 3. Masterplan Pendidikan Kota Salatiga

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

39


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi…

2013

Sementara itu, berdasarkan kebijakan umum tersebut, kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan dokumen perencanaan teknis operasional bagi aparatur pemerintah dalam melaksanakan pembangunan untuk kurun waktu satu tahun. Mencermati substansi kebijakan pendidikan dan program dalam RKPD selama lima tahun terakhir (2007-2011), tampak bahwa peningkatan kualitas pendidikan selalu menjadi prioritas kebijakan. Dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut diimplementasikan melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, program peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan sehingga dapat menunjang proses pendidikan, dan program manajemen pelayanan pendidikan Selain itu, sebagai wujud komitmen Pemda terhadap pendidikan tercermin dari dukungannya untuk mewujudkan “manajemen pendidikan satu payung”, yang dapat mengintegrasikan peran pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketiga pihak tersebut berperan dan bertanggung jawab secara profesional dalam penyelenggaraan pendidikan. Aspirasi ini, meskipun sempat tenggelam, tetapi akhirnya menjadi semacam “embrio” bagi adanya Raperda tentang penyelenggaraan pendidikan di Kota Salatiga. Raperda ini merupakan usulan inisiatif para pelaku pendidikan di Kota Salatiga yang menyadari perlunya landasan yang kuat bagi stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan. Lebih lanjut, sebagai wujud komitmen Pemda terhadap pendidikan, Walikota berpendapat bahwa: pembentukan Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Kota Salatiga yang merupakan tindak lanjut penyelesaian Raperda inisiatif DPRD Kota Salatiga pada tahun 2002 yang sempat terhenti karena menunggu diundangkannya UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sangatlah tepat karena dengan adanya landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pendidikan diharapkan akan mampu mewujudkan layanan pendidikan yang bermutu, transparan, akomodatif dan akuntabel, serta partisipatif. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa dengan dibentuknya Raperda tersebut diharapkan dapat menopang perwujudan visi dan misi Kota Salatiga sebagai Kota Pendidikan sebagaimana tertuang dalam Perda No. 4 Tahun 2007 tentang RPJM Kota Salatiga Tahun 2007- 2012. Untuk itu, ia berharap agar dalam pembentukan perda ini memperhatikan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengenai beberapa hal pokok dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu peningkatan mutu pendidikan, aksesibilitas pendidikan, perbaikan tata kelola pendidikan, dan desentralisasi serta dekonsentrasi penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya, Walikota memerintahkan Tim Asistensi Penyusunan Raperda dan perangkat daerah terkait untuk bersama-sama dengan Panitia Khusus DPRD segera melakukan pembahasan dalam rangka kesatuan pola pikir dan pola tindak sehingga harmonisasi dan finalisasi penyusunan Raperda penyelenggaraan pendidikan dapat diselesaikan dengan baik. Atas pendapat Walikota tersebut, semua fraksi menyetujui dan menyarankan agar supaya eksekutif segera melakukan pembahasan-pembahasan dengan pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu, guna mendapatkan masukan materi atas Raperda tersebut, diadakan studi banding ke berbagai Pemda. Selain itu, juga dilakukan public hearing yang dihadiri para stakeholders bidang pendidikan Kota Salatiga. Dalam public hearing tersebut ditekankan bahwa Kota Salatiga sebagai kota pendidikan sudah selayaknya memiliki dasar hukum penyelenggaraan pendidikan. Sementara itu, dilaksanakan pula kegiatan workshop dalam rangka finalisasi, harmonisasi, dan penyelarasan terhadap Raperda penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya, diadakan rapat paripurna DPRD dalam rangka persetujuan bersama terhadap Raperda tersebut. Menurut pendapat fraksi: dengan diterapkannya perda tentang penyelenggaraan pendidikan, diharapkan dapat lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan di Salatiga, serta terjangkaunya pendidikan bagi orang yang kurang mampu, sehingga mendukung terwujudnya Kota Salatiga sebagai Kota Pendidikan. Sebagai kota pendidikan, Kota Salatiga sudah seharusnya memiliki Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, sebagai pedoman bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan pendidikan.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

40


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi…

2013

Dalam rapat paripurna DPRD tersebut, Walikota menyatakan bahwa Perda tersebut merupakan karya yang monumental dan strategis. Melalui Perda tentang penyelenggaraan pendidikan, diharapkan dapat: (1) mendorong dan memperkuat kepastian hukum dalam penyelenggaraan pendidikan di Kota Salatiga, (2) mendorong tumbuh dan berkembangnya penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, (3) mendorong terciptanya pencitraan publik dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, (4) memperjelas dan mempertegas wewenang dan kewajiban pemerintah daerah, (5) mempertegas dan memperjelas hak dan kewajiban masyarakat, dan (6) mendorong terwujudnya tertib penyelenggaraan pendidikan di sekolah sejak dari proses penerimaan, proses pembelajaran, sampai tamat sekolah. Dalam kebijakan umum mengenai penyelenggaraan pendidikan tersebut, ditegaskan mengenai prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang merupakan operasionalisasi sekaligus modifikasi atas prinsip penyelenggaraan pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas. Berbeda dengan UU Sisdiknas, dalam Perda tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga ditambahkan satu prinsip berkenaan dengan good governance, sehingga selain yang tercantum dalam pasal 4 UU Sisdiknas, juga menyebutkan bahwa ”Pendidikan diselenggarakan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang mencakup asas kepastian hukum, tertib penyelenggara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas” (Perda, 2009). Berdasarkan kebijakan umum pendidikan tersebut, Disdikpora sebagai salah satu unsur pelaksana pemerintah daerah merumuskan kebijakan pelaksanaan dan teknis pendidikan sebagai operasionalisasi dari kebijakan umum tersebut. Kebijakan umum pendidikan dipakai sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugas sebagai penanggungjawab utama teknis penyelenggaraan pendidikan di daerah. Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Disdikpora merumuskan rencana strategis bidang pendidikan pada tingkatan yang lebih operasional, dan membentuk kebijakan-kebijakan pelaksanaan dan teknis pendidikan di beberapa aspek (Renstra Dinas Pendidikan, 2002-2006; Renstra Disdikpora, 2009-20012). Renstra Disdikpora memuat arah dan tujuan sebagai acuan dan pedoman bagi seluruh jajaran penyelenggara pendidikan di Kota Salatiga, baik pemerintah maupun masyarakat. Renstra dibuat secara bersama-sama, melibatkan subbagian-subbagian dan bidang-bidang dan seksi-seksi yang ada. Tiap subbagian, bidang, dan seksi membuat konsep awal berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, berdasarkan masukan dari stakeholders. Konsep awal tersebut kemudian direkap oleh “Tim Perumus Renstra ” untuk mengolah lebih lanjut bahan awal tersebut. Tim perumus terdiri atas unsur kepala Dinas Pendidikan, kepala-kepala subbagian dan bidang, baik bidang pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan non formal, bidang pendidik dan tenaga kependidikan, bidang pemuda dan olah raga, unit pelaksana teknis dinas dan kelompok jabatan fungsional. Hasil kerja tim kemudian dikirim ke pemerintah daerah untuk mendapatkan tanggapan, setelah itu direvisi dan disahkan. Dalam renstra disebutkan bahwa visi Disdikpora tahun 2009-2012 adalah “terwujudnya masyarakat Kota Salatiga yang mandiri, menguasai iptek, cinta tanah air, berwawasan kebangsaan, berprestasi dan berakhlak mulia”. Sedangkan misi untuk mewujudkan visi tersebut, antara lain: (a) mewujudkan sistem pendidikan yang demokratis dan bermutu, (b) meningkatkan kualitas hasil dan kemandirian pendidikan, dan (c) meningkatkan pengamalan ajaran pendidikan agama, IMTAQ dalam kehidupan sehari-hari, mewujudkan sekolah bertaraf internasional pada masing-masing jenjang minimal 1 sekolah, meningkatkan pencapaian kesempatan memperoleh pendidikan dan memperluas akses pendidikan, dan meningkatkan akuntabilitas dan pencitraan publik di bidang pendidikan.Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, ditetapkan tujuan dan sasaran. Salah satu tujuannya adalah “tercapainya peningkatan kualitas akademik dan non akademik pada semua jenjang pendidikan”. Sedangkan sasarannya, antara lain: penuntasan Wajar Diknas 9 tahun yang bermutu, tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, menekan angka putus sekolah dan tinggal kelas, peningkatan kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan, peningkatan prestasi siswa, pengembangan kurikulum, peningkatan mutu pendidikan dan kecakapan hidup, dan terwujudnya pelajar yang berakhlak mulia. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

41


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

Pembahasan Hasil Penelitian Dari deskripsi hasil penelitian, jelas bahwa jauh sebelum era otonomi daerah, telah ditetapkan visi untuk menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan. Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah, komitmen tersebut semakin diperkuat dasarnya, karena ditegaskan secara eksplisit dalam Perda (Perda, 2009) tentang penyelenggaraan pendidikan. Merefleksi apa yang dilakukan Pemda di era otonomi, ada beberapa bentuk komitmen Pemda terhadap pendidikan, yaitu berupa regulasi penataan organisasi pendidikan, dukungan pendanaan pendidikan dan kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Dari segi penataan organisasi, telah dibentuk Dinas Pendidikan, yang dalam perkembangannya karena tuntutan kebutuhan, diubah menjadi Disdikpora, dengan tugas melaksanakan otonomi daerah di bidang pendidikan. Dalam istilah Edward Deming (Syafaruddin, 2002:32), telah terjadi transformasi organisasi sebagai salah satu dasar bagi perbaikan mutu berkelanjutan, karena organisasi tersebut merupakan hasil penggabungan dari organisasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berlaku sebelum otonomi. Dari segi struktur organisasinya, tampak telah ada upaya untuk membuat struktur organisasi pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi. Struktur organisasi dibuat cukup sederhana, ramping, dengan jenjang birokrasi sependek mungkin sehingga diharapkan organisasi dapat bergerak dengan lincah dan gesit (Sumarno, 2000:6). Bentuk organisasi berubah dari “organisasi hierarkhis� menuju “organisasi datar� (Slamet P.H., 2000:10), yang memudahkan organisasi lebih responsif, beradaptasi dan mengantisipasi terhadap perubahan-perubahan terhadap isu-isu strategis yang dihadapi maupun perubahanperubahan sosial secara umum. Menurut Syaiful Sagala (2008), organisasi pendidikan yang dibutuhkan dalam era otonomi adalah organisasi pendidikan yang lebih profesional, dinamis, dan berdaya yang mengedepankan pelayanan pada sekolah. Dalam hal ini, jajaran birokrasi kependidikan dan unsur-unsur lainnya lebih sebagai unit pelayanan pendukung, yang membantu dan mendorong sekolah untuk berkembang. Sekolah bersifat otonom, bukan subordinasi, dan mendudukkannya sebagai unit utama kegiatan pendidikan (Depdiknas, 2001:28; Cotton,1992:5; Slamet P.H., 2002:12). Agar organisasi sekolah lebih berdaya, maka diperlukan perubahan mendasar dalam organisasi yang memberikan pelayanan kepadanya. Perubahan itu antara lain adalah perubahan dari pola birokratis sebagai pemberi petunjuk, menjadi pola pelayanan menerima masukan (input) dengan mengukuhkan organisasi pendidikan sebagai lembaga pelayanan pendidikan yang profesional. Namun, di situlah masalahnya di Kota Salatiga. Transformasi organisasi belum diikuti dengan perubahan nilai-nilai yang dianut organisasi, dan perubahan pola pikir dari orang-orang dalam organisasi tersebut. Pola pikir manajemen lama yang lebih menekankan pada subordinasi, pengarahan, pengaturan, pengontrolan, dan one man show dalam pengambilan keputusan dari orang-orang yang mengisi dan menggerakkan organisasi tersebut, belum diganti dengan pola pikir manajemen baru yang lebih memandirikan dan memberdayakan sekolah. Pengisian orang-orang pada organisasi Dinas Pendidikan selama ini tidak terutama didasarkan pada prinsip the right man on the right place, dengan memperhatihan pola pikir yang bernuansa otonomi, tetapi lebih didasarkan pada selera pihak yang berkuasa. Selain itu, pergantian dari orang-orang yang mengisi organisasi tersebut relatif cukup sering dilakukan, sehingga kurang memberi kesempatan pada yang bersangkutan untuk belajar memahami perubahan-perubahan pendidikan yang terjadi dan implikasi-implikasi bagi pekerjaannya. Sesuai dengan tuntutan kebutuhan era otonomi, telah dibentuk pula Dewan Pendidikan sebagai wadah partisipasi masyarakat Salatiga dalam bidang pendidikan. Ini sesuai dengan semangat pasal 54 UU Sisdiknas yang menekankan pentingnya peranserta masyarakat dalam pendidikan. Namun, pembentukannya tidak sesuai dengan panduan dalam Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002. Dinas Pendidikan langsung mengundang orang-orang yang dinilai mempunyai kemampuan dan kepedulian untuk meningkatkan mutu pendidikan, dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam keanggotaan Dewan Pendidikan. Dari segi kinerjanya, fungsi sebagai badan pertimbangan, pendukung dan penghubung dapat terlaksana, sementara fungsi sebagai badan pengontrol belum dapat dilakukan (Nurhasanah, Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

42


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi…

2013

2005). Lagi pula, kinerja Dewan Pendidikan Kota Salatiga terlalu tergantung pada figur ketua dan beberapa anggota yang mempunyai komitmen dan kepedulian terhadap kemajuan pendidikan, sehingga ketika mereka diganti kinerja Dewan Pendidikan juga mengalami penurunan. Agar Dewan Pendidikan dapat berfungsi secara optimal, dan mengalami peningkatan kinerja dari waktu ke waktu, pembentukan Dewan Pendidikan secara bottom-up dan partisipatif sesuai dengan panduan perlu diupayakan. Asumsi yang ada dibalik cara pandang yang demikian adalah agar dapat menemukan orang yang tepat, yang memiliki komitmen, perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan (pasal 1 ayat (24) dan (27) UU Sisdiknas, 2003). Dengan demikian, yang diutamakan bukan sekedar terpenuhinya unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam Dewan Pendidikan, tetapi pertimbangan bahwa dengan keanggotaan orang-orang semacam itu, semua fungsi Dewan Pendidikan dapat dijalankan secara lebih optimal. Demikian pula, peran sebagai advokasi bagi stakeholders pendidikan tentang berbagai isu dan inovasi pendidikan sebagai dampak perubahan paradigma pendidikan pasca reformasi tetap dapat dilakukan. Dari segi dukungan pendanaan pendidikan, telah dibuat regulasi dalam Perda bahwa “pelayanan pendidikan akan diberikan melalui anggaran yang proporsional sebagai bentuk perhatian terhadap pentingnya pendidikan bagi masyarakat”. Selain itu, ada regulasi yang mengatur prinsip pengalokasian dan pengelolaan dana pendidikan bahwa “dana pendidikan dialokasikan minimal 20% (dua puluh perseratus) dari APBD, yang pemenuhannya dilakukan secara bertahap”, sesuai dengan semangat pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas. Sedangkan mengenai dukungan pendanaan pendidikan ke sekolah ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan berkelanjutan. Dalam implementasinya, meskipun ketentuan tersebut belum terpenuhi, namun diketahui bahwa presentase alokasi anggaran fungsi pendidikan dalam APBD Kota Salatiga, memang cenderung semakin tinggi dari tahun ke tahun, meskipun peningkatannya sangat kecil, dan merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan sektor lain. Dari segi lain, sebagai bentuk komitmen, Pemda juga sudah mengatur secara khusus mengenai pendanaan pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin. Sesuai dengan semangat pasal 31 ayat (2) UUD 1945, anak usia sekolah dari keluarga miskin berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar yang bermutu dan pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan oleh pemerintah daerah. Bahkan anak usia sekolah dari keluarga miskin yang berprestasi berhak mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari pemerintah daerah sampai jenjang pendidikan tinggi. Biaya pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, meliputi biaya pribadi peserta didik dan pungutan satuan pendidikan. Sementara biaya pendidikan anak dari keluarga miskin yang menempuh pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan. Sebagai upaya mewujudkan hal tersebut, dalam perda juga diatur sistem tindakan pembiayaan pendidikan. Selain itu, telah diatur pula dalam aturan yang lebih operasional, dalam Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2009 tentang bantuan bea siswa bagi keluarga kurang mampu. Dengan demikian, komitmen Pemda berupa dukungan pendanaan pendidikan sudah diatur dalam regulasi dalam berbagai Perda. Namun, pada tingkat praksis, meskipun telah terjadi perubahan dan peningkatan, tetapi implementasinya belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terkendala oleh berbagai permasalahan yang dihadapi, seperti belum dibuatnya peraturan pelaksanaan, keterbatasan PAD, dan keterbatasan kemampuan SDM. Komitmen lainnya tampak dalam pembentukan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Pada era reformasi telah dirumuskan kebijakan umum pendidikan yang memuat arah, landasan, kebijakan dan program pembangunan pendidikan sebagai pedoman bagi Pemda dan segenap anggota masyarakat Kota Salatiga dalam melaksanakan pembangunan pendidikan di daerah. Dari segi cara pembentukannya, kebijakan tersebut dibuat secara partisipatif, bottom-up, dengan memperhatikan prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedangkan dari segi substansinya, meskipun setiap kebijakan mempunyai substansi yang berbeda-beda, dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun ada benang merah yang mengkaitkan di antara berbagai kebijakan tersebut. Berbagai kebijakan tersebut merupakan upaya operasionalisasi dan implementasi untuk mewujudkan visi “Salatiga yang lebih maju dan harmonis, dengan tata kelola pemerintahan yang baik” di bidang Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

43


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

pendidikan. Terwujudnya prinsip tata kelola pemerintahan yang baik ( good governance), dengan demikian, menjadi target yang harus diwujudkan dalam pembangunan di semua sektor, termasuk sektor pendidikan. Oleh sebab itulah, dalam Perda tentang penyelenggaraan pendidikan dicantumkan berbagai prinsip penyelenggaraan pendidikan dengan mengakomodasi semua prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sisdiknas, ditambah prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan demikian, sebagai daerah otonom yang pengembangannya diarahkan sebagai kota pendidikan, Kota Salatiga telah berkomitmen menciptakan sistem pendidikan yang bernuansa otonomi, dengan mengimplementasikan paradigma baru penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sisdiknas, paling tidak dalam kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibentuknya, baik berkenaan dengan cara pembentukannya maupun substansinya. Sedangkan pada tingkat praksis, beberapa kebijakan modernisasi sistem pembelajaran, seperti penetapan kawasan learning centre sebagai pilot project kawasan pendidikan terpadu dan terintegrasi, yang menjadi hot spot area, belum dilakukan secara optimal. Komitmen Pemda terhadap pendidikan, sistem dan praksisnya tampak dalam bagan sebagai berikut.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

44


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi…

2013

Daerah berwenang mengatur dan mengurus persoalan pendidikan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat di daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Kebijakan Pemerintah

Komitmen Pemda terhadap Pendidikan

Komitmen

Visi menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan

Sistem

Pendidikan menjadi prioritas pelayanan

Praksis

 Diputuskan secara partisipatif  Ditetapkan oleh Pemerintah Kota dan DPRD  Tertuang dalam berbagai produk perencanaan daerah

 Tercantum dalam Perda tentang makna, filosofi dan cita-cita lambang daerah Salatiga

 Telah dibentuk Disdikpora, dengan struktur organisasi yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi.

Penataan organisasi pendidikan

Dukungan pendanaan pendidikan

Pembuatan kebijakan yang menguntungkan perkembangan pendidikan

Telah dibentuk Dewan Pendidikan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pendidikan

 Pendanaan pendidikan melalui anggaran yang proporsional.  Dana pendidikan dialokasikan minimal 20% dari APBD, pemenuhannya bertahap.  Pendanaan pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin. Kebijakan umum, teknis, dan pelaksanaan pendidikan

Transformasi organisasi belum diikuti oleh perubahan dalam nilai-nilai yang dianut organisasi, juga belum ada perubahan pola pikir orang-orang yang mengisi organisasi.

 Pembentukannya kurang sesuai dengan panduan.  Fungsi sebagai badan pengontrol belum dilakukan.  Kinerjanya terlalu tergantung pada figur ketua dan beberapa anggota.  Presentase alokasi anggaran pendidikan dalam APBD cenderung semakin tinggi.  Alokasi anggaran pendidikan merupakan yang tertinggi dibandingkan sektor lain.  Telah terjadi perubahan/ peningkatan, tetapi implementasinya belum sesuai dengan yang diharapkan.

   

Arah kebijakan pembangunan pendidikan Disusun Master Plan Pendidikan Penetapan kawasan learning centre Dibentuk Perda No. 4 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan.

Gambar 4. Komitmen Pemda Terhadap Pendidikan, Sistem dan Praksisnya

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

45


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

Kesimpulan Dari refleksi hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pengelolaan pendidikan di daerah, salah satunya ditentukan oleh adanya komitmen Pemda terhadap pendidikan. Komitmen Pemda sebagai modal sosial dalam pembangunan pendidikan di daerah Kota Salatiga, terwujud dalam bentuk menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan dan peningkatan perhatian Pemda terhadap pendidikan, misalnya berupa regulasi pembentukan dan penataan organisasi pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi, dukungan pendanaan pendidikan, dan kebijakan-kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Merefleksi apa yang dilakukan Pemda tersebut, Pemda Kota Salatiga mempunyai komitmen membangun sistem pendidikan yang bernuansa otonomi, dengan berusaha mengimplementasikan paradigma baru pendidikan dalam UU Sisdiknas. Meskipun demikian, pada tingkat praksis, regulasi tersebut belum dapat dilaksanakan secara konsisten dan optimal, terkendala oleh sejumlah faktor, seperti keterbatasan PAD, kualitas SDM yang kurang memadai, dan pengisian SDM yang bukan berdasarkan prinsip the right man on the right place, dengan memperhatikan mindset yang bernuansa otonomi. DAFTAR PUSTAKA Bambang Suteng S. (2003). Menjadikan Salatiga kota pendidikan, bagaimana? Buletin Hati Beriman,1, 18-20. Bappeda. (2008). Perencanaan masterplan pendidikan kota Salatiga. Semarang: Mitra Muda Rekayasa. Depdiknas. (2002). Mengembangkan kebijakan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Field, J. (2010). Modal sosial. Bantul: Kreasi Wacana Offset. Grootaert, C.& van Bastelaer, T. (2002). The role of social capital in development. New York: Cambridge University Press. Hauberer, J. (2011). Social capital theory. Germany: Springer. Jousairi Hasbullah. (2006). Social capital. Jakarta: Penerbit MR-United Press. Nan Lin. (2004). Social capital. New York: Cambridge University Press. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 5 Tahun 2001, tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kota Salatiga. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 1 Tahun 2002, tentang Rencana Strategis Pembangunan Kota Salatiga Tahun 2002 – 2006. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 8 Tahun 2004, tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Salatiga. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Salatiga, Tahun 2007 – 2012. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 10 Tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Salatiga. Peraturan Walikota Salatiga Nomor 17 Tahun 2006, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

46


Komitmen Pemda sebagai Modal Sosial Pembangunan/Wasitohadi‌

2013

Peraturan Walikota Salatiga Nomor 40 Tahun 2007, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga Tahun 2008. Peraturan Walikota Salatiga Nomor 17 Tahun 2008, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga Tahun 2009 Peraturan Walikota Salatiga Nomor 42 Tahun 2009, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga Tahun 2010. Peraturan Walikota Salatiga Nomor 12 Tahun 2010, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga Tahun 2011. Rencana Strategis Bidang Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2002 – 2006 Dinas Pendidikan Kota Salatiga Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2009 – 2012 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Salatiga Sumarno. (2000). Menuju manajemen pendidikan berbasis sekolah . Pusat Studi Kebijakan Pendidikan Lembaga Penelitian UNY. Suyata. (2011). Memanfaatkan dan mengembangkan modal budaya dan modal sosial di sekolah: pemetaan dan implikasinya. Makalah disampaikan dalam Workshop Strenght Based Leadership and Social Capital di program studi S3 IP, UNY. Syafaruddin. (2002). Manajemen mutu terpadu dalam pendidikan . Jakarta: PT. Rineka Cipta. Syaiful Sagala.(2008). Budaya dan reinventing organisasi pendidikan. Bandung: Alfabeto. Virna Mellani. et al. (2001). Otonomi daerah, studi persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Salatiga. Salatiga: Pusat Studi Pembangunan & Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UKSW. Wasitohadi. (2003). Otonomi daerah bidang pendidikan di kota Salatiga (Profil, Problematika dan Strategi Mengatasinya). Tesis magister, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

47


Village Community Development/Safruddin…

2013

VILLAGE COMMUNITY DEVELOPMENT Oleh: Dr. Syafruddin Wahid, M.Pd Dosen PLS Universitas Negeri Padang Abstract

Indonesia's national development aimed at establishing a just and prosperous society are material and spiritual equally based on Pancasila within an independent, sovereign, united and people's sovereignty Negara Kesatuan Republik Indonesia (Unitary State of the Republic of Indonesia) in atmosphere of life of nation that are save, peaceful, orderly and dynamic as well as in the free, friendly, orderly and peaceful world society. To achieve the development goals need to be prepared Indonesian people that are able to continually strive to achieve the development goals that emphasize the preparation of the mental attitude, the attitude of modernity. Therefor the development focused on the creation of a democratic society with recognition of human dignity. Accordance with human dignity, the equality (1) the fulfillment of basic needs, (2) the opportunity to obtain the education and health services, (3) the distribution of income, (4) employment, (5) business opportunities, (6) participation in the development , (7) the spread development to all regions of the country, (8) the opportunity to obtain justice. Key Word: village, development

PENDAHULUAN Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersabahat, tertib dan damai. Tujuan pembangunan yang dirumuskan dalam tersebut merupakan tujuan yang sangat ideal, yakni suatu masyarakat yang adil dan makmur merata spiritual dan material. Tujuan tersebut mencerminkan dimensi kuantitatif dan kualitatif serta mencerminkan kedinamisan. Kedinamisan tujuan pembangunan nasional terutama terletak pada kata “makmur”. “Makmur” adalah kata yang mempunyai makna relatif, yang selalu berubah ukurannya sesuai dengan perkembangan zaman. Ukuran makmur dua puluh tahun yang lalu, misalnya, akan berbeda dengan ukuran makmur sekarang dan akan berubah pula untuk pengertian puluhan tahun yang akan datang. Oleh karena itulah Faisal (1981) menyatakan bahwa pada dasarnya tujuan pembangunan tersebut tidak akan pernah dicapai secara sempurna. Artinya, kesenjangan antara cita-cita nasional dengan kenyataan kehidupan dan penghidupan masyarakat akan tetap ada dan tetap menantang untuk ditangani oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut perlu disiapkan manusia-manusia Indonesia yang mampu berusaha secara terus-menerus untuk mencapai tujuan pembangunan yang menekankan kepada penyiapan sikap mental, yakni sikap modernitas. Sehubungan dengan itu, Hasan (1989) mengemukakan bahwa dengan sikap modernitas manusia akan dapat dan mempunyai dorongan untuk terus menerus berupaya mencapai tujuan pembangunan, baik untuk kesejahteraannya sendiri, maupun kesejahteraan keluarga, masyarakat dan bangsanya. Karena dengan sikap modernitas manusia dapat terbuka terhadap pengalaman baru, siap menghadapi segala tantangan dan perubahan zaman. Akan tetapi, modernisasi manusia yang perlu dipersiapkan ialah modernitas manusia Indonesia, bukan modernitas yang semata-mata berkiblat Barat. Modernitas manusia Indonesia adalah manusuia-manusia yang berorientasi pada pembangunan, Sularto (1990), lebih menekankan pada penciptaan masyarakat demokratis dengan pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Untuk itu, dituntut adanya keterbukaan dari pihak penguasaan, sehingga masyarakat tidak diwarnai oleh totaliterisme. Dengan semangat demokratis, dengan mengakui harkat dan martabat manusia, maka pembangunan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

48


Village Community Development/Safruddin‌

2013

bukanlah berarti intervensi dari pihak penguasa kepada yang dikuasai, sehingga baik buruknya suatu masyarakat ditentukan oleh pihak penguasa. Dengan totaliterisme dan suasana yang bernafaskan anarkis, tujuan pembangunan memang mudah dicapai, akan tetapi pencapaiannya terbatas, yakni sebatas apa yang dikatakan oleh penguasa bahwa tujuan tersebut telah tercapai. Padahal, sebagaimana yang dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa tujuan pembangunan yang dirumuskan dalam suatu rencana pembangunan bersifat dinamis yang selalu mengandung tantangan karena dia selalu bergerak ke arah yang lebih tinggi atau lebih jauh sesuai dengan kemajuan masyarakat suatu bangsa dan negara. Pembangunan haruslah berorientasi pada pemerataan, seperti pemerataan (1) pemenuhan kebutuhan pokok; (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pembagian pendapatan; (4) kesempatan kerja; (5) kesempatan berusaha; (6) berpartisipasi dalam pembangunan; (7) penyebaran pembangunan ke seluruh wilayah tanah air, (8) kesempatan memperoleh keadilan. Untuk memenuhi pemerataan tersebut, banyak penekatan pembangunan yang dapat digunakan, antara lain pendekatan GNP-trickle down yang dikenal juga dengan paradigma modernisasi, pendekatan paradigma ketergantungan, pendekatan sistem dunia, pendekatan alternatif, pendekatan kebutuhan dasar, dan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Apa pun pendekatan pembangunan yang digunakan, Korten (1988) mengemukakan bahwa setiap program pembangunan yang dirancang haruslah mempunyai kesesuaian dengan mereka yang dibantu dengan mendayagunakan organisasi swadaya masyarakat yang ada. Sehubungan dengan permasalahan yang dikemukakan, maka tulisan ini akan mendiskusikan (1) Masyarakat dan tujuan pembangunan yang meliputi (a) manusia yang berorientasi pembangunan dan (b) manusia baru Indonesia; (2) Pembangunan masyarakat desa Indonesia dan kecenderungan pendekatannya yang mencakup (a) permasalahan pemerataan, (b) kecenderungan pendekatan pembangunan desa, dan (c) masalah agen pembangunan; dan (3) alternatif pendekatan pembangunan desa. PEMBAHASAN A. Masyarakat dan Tujuan Pembangunan Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersabahat, tertib dan damai. Tujuan pembangunan yang dirumuskan dalam tersebut merupakan tujuan yang sangat ideal, yakni suatu masyarakat yang adil dan makmur merata spiritual dan material. Tujuan tersebut mencerminkan dimensi kuantitatif dan kualitatif serta mencerminkan kedinamisan. Kedinamisan tujuan pembangunan nasional terutama terletak pada kata “makmur�. “Makmur� adalah kata yang mempunyai makna relatif, yang selalu berubah ukurannya sesuai dengan perkembangan zaman. Ukuran makmur dua puluh tahun yang lalu, misalnya, akan berbeda dengan ukuran makmur sekarang dan akan berubah pula untuk pengertian puluhan tahun yang akan datang. Oleh karena itulah Faisal (1981) menyatakan bahwa pada dasarnya tujuan pembangunan tersebut tidak akan pernah dicapai secara sempurna. Artinya, kesenjangan antara cita-cita nasional dengan kenyataan kehidupan dan penghidupan masyarakat akan tetap ada dan tetap menantang untuk ditangani oleh segenap lapisan masyarakat. Penangangan seluruh permasalahan yang terdapat dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat haruslah melalui partisipasi aktif masyarakat itu sendiri, karena masyarakat sekaligus adalah objek dan subjek dari pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu tujuan pembangunan tidak mungkin dicapai secara sempurna dan oleh karena masyarakat adalah subjek dan objek pembangunan sekaligus, maka dalam kegiatan pembangunan masyarakat yang paling penting sekali disiapkan ialah prakondisi yang memungkinkan masyarakat itu sendiri untuk berusaha dan selalu berusaha mencapai tujuan pembangunan yang bersifat dinamis. Sebagaimana yang dikemukakan pada bagian terdahulu, agar masyarakat mampu berusaha untuk mencapai tujuan pembangunannya, prakondisi yang perlu disiapkan tersebut Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

49


Village Community Development/Safruddin‌

2013

tidaklah sama untuk setiap masyarakat, bangsa, dan negara. Prakondisi yang perlu dipersiapkan perlu disesuaikan dengan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat bangsa Indonesia yang terumus dalam Pancasila yang sekaligus merupakan landasan pembangunan itu sendiri, maka menurut Hasan (1989) perlu dipersiapkan manusia-manusia yang berorientasi pada pembangunan. Sedangkan Sularto (1990) mengemukakan perlunya penyiapan manusia baru Indonesia. 1.

Manusia yang Berorientasi pada Pembangunan Dalam rangka menyiapkan manusia-manusia Indonesia yang mampu berusaha secara terus-menerus untuk mencapai tujuan pembangunan, Hasan (1989) menekankan pada penyiapan sikap mental, yakni sikap modernitas. Menurutnya, dengan sikap modernitaslah manusia akan dapat dan mempunyai dorongan untuk terus menerus berupaya mencapai tujuan pembangunan, baik untuk kesejahteraannya sendiri, maupun kesejahteraan keluarga, masyarakat dan bangsanya. Karena dengan sikap modernitas manusia dapat terbuka terhadap pengalaman baru, siap menghadapi segala tantangan dan perubahan zaman. Akan tetapi, modernisasi manusia yang perlu dipersiapkan ialah modernitas manusia Indonesia, bukan modernitas yang semata-mata berkiblat Barat. Untuk itu, Hasan (1989) mengemukakan delapan ciri-ciri modernitas manusia yang perlu dimiliki oleh manusia Indonesia, sebagai berikut. Pertama, orientasi umum yang berhubungan dengan diri manusia itu sendiri yang bersifat universal. Orientasi tersebut meliputi tujuh tema pokok: (1) Terbuka terhadap pengalaman baru dan perubahan, ini berarti bahwa manusia Indonesia yang berorientasi pada pembangunan harus terbuka untuk menerima ide-ide, cara-cara, dan tindakan baru; (2) Berorientasi pada perencanaan, berarti bahwa setiap kegiatan yang dilakukannya bukan karena kebetulan saja atau dengan cara coba-coba, tapi didasarkan suatu perhitungan yang matang; (3) Berorientasi pada masa depan, sejalan dengan perencanaan, maka manusia yang berorientasi pada masa depan mampu mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi; (4) Efficasy, yakni manusia yang mempunyai keyakinan bahwa dia mampu menguasai lingkungannya untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskannya; (5) Optimis, artinya selalu mempunyai harapan setiap usahanya akan berhasil dan dia berpandangan positif terhadap lingkungannya; (6) Berani menghadapi resiko, dia menyadari bahwa setiap kegiatan tidak akan selalu berhasil secara maksimal dan bahkan dia siap untuk menghadapi resiko yang paling jelek sekalipun; dan (7) percaya pada orang lain, sesuai dengan optimismenya, maka dia dapat bekerjasama dan mempercayai orang lain. Kedua, mempunyai paham nasionalisme. Hal ini berati bahwa manusia modern Indonesia dapat saja bergaul dengan bangsa-bangsa lain di dunia, terbuka terhadap pengaruh kebudayaan lain dalam ide-ide baru, ilmu dan teknologi, tapi dia tidak kehilangan kepribadian bangsanya, dia tetap bangga menjadi bangsa Indonesia. Dengan paham yang demikian, dia siap dan berani untuk berkorban membela bangsanya. Sejalan dengan kerelaan berkorban tersebut, dia mendahulukan kepentingan nasional daripada kepentingan pribadi, suku, atau golongannya. Ketiga, memandang bahwa pada hakekatnya manusia itu sama dalam hak dan kewajibannya. Hal ini mengandung arti bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan cara yang sama dalam situasi yang sama. Dengan pandangan yang demikian, dia yakin bahwa struktur sosial yang ada bersifat terbuka, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai kedudukan tertentu dalam struktur sosialnya. Oleh karena itu, setiap orang berhak untuk berikhtiar guna memperoleh sesuatu yang lebih baik dalam masyarakatnya. Keempat, keselarasan antara ilmu keduniaan dengan ilmu keakhiratan. Hal ini mengandung arti bahwa manusia Indonesia modern mempercayai bahwa ilmu dan teknologi dapat membantu manusia dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dan dapat pula membantunya untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskannya. Meskipun demikian, dia tidak lantas menjadi manusia yang sekularisme, dia tetap meyakini bahwa kewajiban manusia ialah berusaha, ketentuan terakhir terletak pada tangan Tuhan. Kelima, keselarasan individu dengan masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa manusia modern Indonesia tidak lantas menjadi manusia individualisme yang mengejar kesuksesan atas pertimbangan diri sendiri saja. Sebagai makhluk sosial, dia menyadari bahwa Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

50


Village Community Development/Safruddin‌

2013

dirinya tidak mungkin untuk hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia modern Indonesia memandang konsensus dan kerjasama kekeluargaan sebagai cara terbaik dalam membuat keputusan untuk mengatasi masalah kemasyarakatan dan masalah pribadi. Keenam, dalam orientasi keluarga, masyarakat modern Indonesia lebih senang akan keluarga kecil untuk dapat memberikan tanggung jawab dan kasih sayang sepenuhnya kepada keluarga. Selain daripada itu manusia modern Indonesia mengakui kesamaan hak-hak dan status wanita. Ketujuh, dalam pengembangan karirnya, manusia modern Indonesia berorientasi pada kehidupan di kota. Hal yang demikian dikarenakan kehidupan di kota membuka peluang untuk berkembang dengan baik sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Kedelapan, manusia modern Indonesia memahami hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu mereka selalu berusaha untuk berperan serta dalam segala kegiatan politik dan sosial. Dengan demikian dia selalu berusaha untuk ikut menentukan kelancaran penyelenggaraan negara baik secara langsung atau tidak. 2.

Manusia Baru Indonesia Dalam rangka menyiapkan manusia-manusia Indonesia yang berorientasi pada pembangunan, Sularto (1990), lebih menekankan pada penciptaan masyarakat demokratis dengan pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Untuk itu, dituntut adanya keterbukaan dari pihak penguasaan, sehingga masyarakat tidak diwarnai oleh totaliterisme. Dengan semangat demokratis, dengan mengakui harkat dan martabat manusia, maka pembangunan bukanlah berarti intervensi dari pihak penguasa kepada yang dikuasai, sehingga baik buruknya suatu masyarakat ditentukan oleh pihak penguasa. Dengan totaliterisme dan suasana yang bernafaskan anarkis, tujuan pembangunan memang mudah dicapai, akan tetapi pencapaiannya terbatas, yakni sebatas apa yang dikatakan oleh penguasa bahwa tujuan tersebut telah tercapai. Padahal, sebagaimana yang dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa tujuan pembangunan yang dirumuskan dalam suatu rencana pembangunan bersifat dinamis yang selalu mengandung tantangan karena dia selalu bergerak ke arah yang lebih tinggi atau lebih jauh sesuai dengan kemajuan masyarakat suatu bangsa dan negara. Sesuai dengan sifat tujuan pembangunan tersebut, maka perlu disiapkan masyarakat yang selalu berusaha untuk mengejar pencapaian tujuan pembangunan secara terus-menerus. Dalam hal tersebut Sularto (1990) mengemukakan tiga ciri-ciri manusia baru Indonesia yang perlu dipersiapkan. Pertama, manusia sadar ilmu dan teknologi. Manusia baru Indonesia yang perlu dipersiapkan adalah manusia yang sadar ilmu, yakni manusia yang selalu berusaha untuk serba tahu (well informed), yang merasa bahwa proses belajar tidak pernah selesai. Dengan kesadaran dan perasaan yang demikian, dia berusaha untuk memasuki era belajar sepanjang hidup dalam dunia yang serba cepat berubah. Karena dunia yang serba cepat berubah, manusia Indonesia perlu mempunyai gaya hidup internasional dalam cara berfikir dan menghayati situasi dunia yang mau tidak mau ikut mempengaruhinya karena canggihnya teknologi komunikasi. Kemajuan dan kecanggihan teknologi memang menuntut orang untuk belajar sepanjang hidupnya. Tanpa kemampuan untuk belajar sepanjang hidup, orang tidak akan mampu untuk mencerna informasi yang datangnya membanjir bertubi-tubi. Informasi yang datang tersebut perlu dianalisis secara tajam atas segala perubahan yang terjadi agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Kedua, manusia kreatif. Manusia kreatif ialah manusia yang mampu mengantisipasi perkembangan dan tantangan baru. Manusia yang demikian memerlukan sejumlah kemampuan, antara lain kemandirian dan keberanian. Dengan kemandirian, dia tidak mau untuk berkompromi, sebab konformitas merupakan bahaya terbesar dalam perkembangan kreativitas. Kreativitas memerlukan keberanian untuk bertanggung jawab sebagai realisasi dari sikap mandiri. Manusia yang mandiri akan dengan sungguh-sungguh menghidupi kehidupan. Tanpa kemandirian, kehidupan seseorang akan tergantung, kurang gerak untuk memperbaiki kehidupannya, tidak mempunyai nafsu untuk menciptakan peluang dan selalu menunggu diberi kesempatan. Bahkan menurut Koentjaraningrat (1987), manusia yang tidak kreatif diberi kesempatan sekalipun tidak dapat memanfaatkannya dengan baik. Manusia kreatif dengan kemandirian dan keberanian bukan berarti manusia yang tidak mampu bekerjasama dengan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

51


Village Community Development/Safruddin‌

2013

orang lain dalam suatu organisasi dan bukan pula berarti berani tanpa perhitungan. Manusia yang mandiri dituntut mempunyai kemampuan untuk berorganisasi dan bekerjasama dengan orang lain tanpa dipengaruhi oleh perbedaan suku, agama, ras, dan asal usul. Dengan keberanian dia sanggup untuk menemukan dimensi moral dan etis dalam perubahan-perubahan sosial atau dalam menentukan pilihan-pilihan teknologi, sanggup menalar secara moral, sanggup menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkap relevansinya untuk masalah dan perkembangan baru. Ketiga, manusia beretika solidaritas. Manusia yang beretika solidaritas ialah manusia yang mempunyai pedoman moral etis dalam setiap tindakannya. Manusia yang berpegang pada prinsip keadilan yang pada hakekatnya memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Selanjutnya sesuai dengan prinsip keadilan, maka dia memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang dalam situasi yang sama. Dengan prinsip keadilan maka dia menghargai orang yang berhasil sembari berusaha untuk memperoleh keberhasilan dirinya sendiri. Dalam usaha memperoleh keberhasilan, dia tidak terjerumus ke dalam individualisme yang berlebihan dalam arti mendahulukan kepentingan pribadi dengan mengabaikan kepentingan orang banyak. Tidak memanfaatkan pengetahuannya untuk kepentingan sendiri, tapi juga menyumbangkan pengetahuan dan kelebihan yang dimilikinya untuk kepentingan bersama dengan penuh tenggang rasa. Manusia yang beretika solidaritas adalah manusia yang menghargai manusia lain sebagai pribadi sebagaimana dia menghargai dirinyan sendiri. Oleh karena itu, dia tidak akan menjadikan orang lain sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuannya, begitu juga dia akan berusaha menjaga orang lain dari tindakan pemerasan. Dengan demikian, dia menjadi peka terhadap penderitaan orang lain di lingkungannya. Pembangunan Masyarakat Desa dan Kecenderungan Pendekatannya 1. Permasalahan Pemerataan Jika pada bagian terdahulu telah didiskusikan makna dari kata “makmur� dalam tujuan pembangunan nasional Indonesia dan hubungannya dengan penyiapan manusia yang berorientasi pada pembangunan, maka dalam subbab ini akan didiskusikan kata “merata� dalam hubungannya dengan pembangunan masyarakat desa. Dalam pembangunann Indonesia pernah dirumuskan delapan jalur pemerataan. Kiranya delapan jalur pemerataan tersebut masih relevan samapai saat ini. Sesuai dengan rumusan delapan jalur pemerataan, yang cakupannya amat luas, yakni pemerataan: (1) pemenuhan kebutuhan pokok; (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pembagian pendapatan; (4) kesempatan kerja; (5) kesempatan berusaha; (6) berpartisipasi dalam pembangunan; (7) penyebaran pembangunan ke seluruh wilayah tanah air, (8) kesempatan memperoleh keadilan. Delapan jalur kebijaksanaan pemerataan tersebut jelas mengungkapkan komitmen penyelenggara negara dalam mengusahakan pembangunan yang memungkinkan terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Komitmen untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran memang sudah. Akan tetapi, untuk mewujudkan komitmen tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, karena berbagai faktor dapat menjadi penghalang terwujudnya pemerataan. Faktor tersebut antara lain karena faktor pendekatan pembangunan yang digunakan, faktor penggerak (subyek) pembangunan, dan faktor sasaran (objek) pembangunan. Untuk tidak menutup mata bahwa sulitnya untuk mewujudkan pemerataan, dapat dikemukakan beberapa kesenjangan hasil pembangunan yang diamati oleh beberapa pengamat pembangunan Indonesia, diantaranya Frasenda, Emil Salim dan N. Halim Chotib. Fransenda (1980) mengemukakan indikator masalah pemerataan pembangunan Indonesia dengan semakin pincangnya pembagian pendapatan. Untuk menguatkan hasil pengamatannya, dia mengutip data yang dikemukakan oleh Bank Dunia bahwa pembagian pendapatan relatif di Indonesia adalah sebagai berikut: 40% rakyat dengan pendapatan terendah memperoleh 15% dari pendapatan nasional; 40% dengan pendapatan di atasnya memperoleh 32% dari pendapatan nasional; dan 20% dari golongan yang berpendapatan tertinggi memperoleh 53% dari pendapatan nasional. Sedangkan Chotib (1981), mengungkapkan tentang kemerosotan tingkat hidup 40% penduduk Indonesia, jurang yang semakin lebar antara si kaya dengan simiskin; ketidak seimbangan antara ibukota dengan daerah-daerah lainnya. Sejalan dengan itu, Salim (1979) mengemukakan bahwa terdapat ketidakseimbangan yang tinggi antara Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

52


Village Community Development/Safruddin‌

2013

pendapatan masyarakat desa yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia dibandingkan dengan pendapatan masyarakat kota dilihat dari pola konsumsinya. Dari berbagai masalah pemerataan pembangunan, kiranya masalah pemerataan penyebaran pembangunan ke seluruh pelosok desa adalah masalah yang paling mendesak. Alasan pertama yang dapat dikemukakan untuk itu ialah bahwa penduduk desa merupakan bagian terbesar dari keseluruhan penduduk Indonesia, yakni 81,2% (Ditbangdes Jatim, 1981). Alasan lain ialah karena kedudukan dan peranan desa dalam pembangunan nasional serta permasalahan yang dihadapi oleh desa itu sendiri. Berkenaan dengan kedudukan dan peranan desa dalam pembangunan nasional, Ditbangdes Jawa Timur (1981) mengemukakan bahwa desa sebagai: (1) sumber segala data, informasim daya gerak, pembinaan dan pengawasan; (2) benteng terakhir dalam pengamatan Pancasila, (3) pusat penumbuhan dan peningkatan jiwa gotong-royong di segala bidang kehidupan dan penghidupan; (4) pusat pembinaan partisipasi masyarakat di segala bidang; (5) pusat pembinaan ketentraman, ketertiban dan kesatuan bangsa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh nusantara. Lebih menekankan pendekatan pembangunan kepada perataan daripada pertumbuhan ekonomi memang mengandung resiko kelambatan untuk pencapaian pendapatan perkapita yang tinggi (Kuitenbrouwer, 1980 dan Korten, 1988). Akan tetapi, disamping demi keadilan, pemerataan pembangunan terutama sampai ke pelosok desa—mempunyai arti penting bagi ketahanan nasional suatu bangsa. Memperhatikan uraian di atas, terlihat bahwa pembangunan masyarakat desa merupakan masalah yang paling mendesak atau setidaknya sama pentingnya dengan pembangunan masyarakat perkotaan. Kenyataan yang teramati ialah bahwa pembangunan masyarakat desa tercecer di belakang. Banyak pengamat yang mengemukakan bahwa hal tersebut terjadi karena pendekatan pembangunan yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat desa, misalnya pendekatan GNP-trickle down dan pendekatan proyek. 2.

Kecenderungan Pendekatan Pembangunan Desa Berbagai pendekatan dalam digunakan dalam pendekatan pembangunan. Pertama, pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan pendapatan perkapita untuk selanjutnya diharapkan dapat merembes kepada golongan “bawah� secara evolusi; Kedua, pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pemerataan dan sekaligus pada pertumbuhan; dan Ketiga, pendekatan pembangunan yang mendahulukan pemerataan dari pada pertumbuhan, pendekatan ini mengandung resiko mandegnya pertumbuhan (Salim, 1979). Dari berbagai pendekatan pembangunan yang ditempuh oleh berbagai negara, secara praktek, para pengamat pembangunan melihat bahwa pendekatan pembangunan Indonesia cenderung menggunakan pendekatan GNP-trickle down (Kindrvatter, 1979; Franseda, 1980; Rahardjo, 1988). Pendekatan pembangunan GNP-trickle down pada mulanya berawal dari konsep Weber yang meyakini fungsi evolusi dalam perubahan masyarakat. Perubahan akan terjadi secara perlahan bila diberikan kesempatan yang luas kepada individu untuk meningkatkan pendapatannya dengan memberikan berbagai fasilitas, misalnya dalam penggunaan sumberdaya alam dan pemberian modal. Ide Weber ini akhirnya melahirkan konsep negara kesejahteraan di negara-negara kapitalis (maju) yang mendasarkan kesejahteraan suatu negara pada pertumbuhan GNP ( General Nation Produck). Selanjutnya, model yang sangat berorientasi pada pertumbuhan GNP ini menjadi model yang banyak diterapkan di dunia ketiga. Sesuai dengan teori evolusi Weber dalam perubahan sosial, diharapkan budaya pembangunan yang demikian menghasilkan rembesan dari atas ke bawah. Menurut Simanjuntak dan Pasaribu (1986), pendekatan pembangunan GNP-trickle down lebih merupakan impian Amerika, terutama sejak terbitnya buku Rostow yang berjudul A nonCommunist Mafesto pada tahun 1959. Amerika memimpikan suatu masyarakat dengan produksi melimpah, masyarakat konsumsi massal, masyarakat demokratis dengan gaya yang dinamik. Di samping karena pendekatan pembangunan GNP-trickle down telah mengalami kritikan yang tajam dari banyak pengamat pembangunan karena memperlebar jurang antara kaya dan miskin, menurut Simanjuntak dan Pasaribu (1986), pendekatan tersebut tidak cocok Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

53


Village Community Development/Safruddin‌

2013

untuk masyarakat desa. Pertama, kondisi sosial budaya masyarakat desa Indonesia tidak cocok dengan kondisi masyarakat desa Amerika yang dinamis. Sesuai dengan sikap mental bangsa Indonesia—baik akibat penjajahan maupun akibat revolusi—yang antara lain puas dengan hidup apa adanya, masyarakat desa Indonesia belum mampu untuk bersaing dengan segelintir golongan elit yang telah menguasai ekonomi Indonesia secara turun temurun semenjak zaman penjajahan. Kedua, pendekatan pembangunan GNP-trickle down mengakibatkan ketergantungan perekonomian pedesaan pada perekonomian perkotaan. Berkenaan dengan pendekatan ini, Kuitenbrouwer (1980), mengemukakan modernisasi industri di perkotaan yang berorientasi pada pasaran dunia untuk eksport. Akibatnya industriawan lebih mengutamakan produksi eksport atau produksi untuk kepentingan segolongan kecil masyarakat elit. Begitupun dalam modernisasi pertanian yang lebih banyak dapat dinikmati oleh para pemilik modal dan berpendidikan tinggi. Bahkan tidak jarang perluasan pertanian modern dengan mengorbankan lahan pertanian petani kecil, dengan berbagai cara petani kecil terpaksa atau dipaksa untuk melepaskan lahannya. Akhirnya semakin banyak petani di desa kehilangan lahannya dan terpaksa menjadi petani penggarap. Kelemahan lain dari pendekatan GNP-trickle down adalah keinginan yang terlalu berlebihan untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui proyek-proyek. Menurut Kottak (1988), pendekatan proyek tidak memberikan keuntungan yang cukup berati bagi masyarakat desa. Hal tersebut terutama karena proyek yang dilaksanakan lebih banyak berdasarkan kepada pertimbangan perencana proyek tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan masyarakat desa untuk menangani proyek tersebut setelah ditinggalkan oleh para ahli. Tidak jarang proyek-proyek yang ditinggalkan di pedesaan jadi terbengkalai, karena tidak ada tenaga ahli yang mengoperasikan atau memelihara. Selain daripada itu terbengkalainya proyek yang ditinggalkan juga dikarenakan masyarakat kurang merasa memilikinya. Selain setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Kottak, Chambers (1988), mengemukakan kelemahan lain dari pendekatan proyek, yakni lebih berorientasi pada pendekatan tujuan tunggal yang bersifat pisik atau teknis. Secara fisik, suatu proyek misalnya bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian, maka peningkatan produksi tersebutlah yang diburu tanpa memperhitungkan siapa yang diuntungkan. Akhirnya, menurut Chamber, keuntungan proyek hanya dinikmati oleh segolongan kecil warga masyarakat yang agresif, yang berpendidikan lebih, atau pemilik modal. 3.

Masalah Agen Pembelajaran Agen pembangunan adalah pekerja profesional yang berusaha untuk mengintervensi suatu masyarakat dalam bentuk pemberian pengaruh atau pengarahan untuk berbuat sesuatu yang lebih baik untuk kemajuan masyarakat itu sendiri. Biasanya sesuatu yang lebih baik itu berasal dari suatu lembaga. Misalnya dalam suatu daerah atau desa, seorang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) melihat bahwa sawah di desa tersebut perlu dan mungkin diairi melalui irigasi, untuk itu dia mengajak, mempengaruhi dan mengarahkan masyarakat untuk membuat saluran irigasi. Masyarakat dan PPL mungkin kurang memahami bagaimana teknik irigasi yang baik, sehingga dia memerlukan bantuan dari teknisi Pekerjaan Umum (PU). Dalam hal tersebut, PPL adalah agen pembangunan dalam hal perlunya irigasi, sedangkan teknisi PU adalah agen pembangunan dalam membangun irigasi yang baik. Agen pembangunan tersebut bukan saja terbatas dalam arti pembangunan pisik, mereka dapat juga mempengaruhi atau mengarahkan masyarakat untuk menerima suatu ide baru atau mempengaruhi dan mengarahkan masyarakat untuk merubah sikap mental mereka yang tidak menguntungkan (Rogers dan Shoemaker, 1981). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang agen pembangunan ialah orang luar yang berusaha untuk mengintervensi (memperlakukan) seseorang atau kelompok masyarakat untuk keluar dari permasalahanpermasalahan yang dihadapinya. Peranan orang luar dalam pembangunan memang sangat diperlukan, karena pembangunan masyarakat memang memerlukan intervensi dari luar untuk memacu lajunya pembangunan. Permasalahannya ialah bahwa tidak jarang orang luar salah dalam memahami masyarakat desa. Kegagalan dalam memahami masyarakat desa ini menurut Chamber (1988), dikarenakan orang luar sering menganggap bawha orang desa bodoh, orang desa tidak tahu apa yang mereka butuhkan, orang luar karena pada umumnya memang beasal dari kelas sosial Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

54


Village Community Development/Safruddin…

2013

yang lebih tinggi dan merasa superior—mengetahui segalanya. Dengan meminjam istilah Rogers dan Shoemaker (1981) dapat dikatakan bahwa antara orang luar dengan masyarakat desa tidak terdapat hubungan yang homofilius, yakni tidak terdapatnya hubungan kesetaraan antara orang luar dengan masyarakat desa. Untuk lebih mudah memahami permasalahan yang sering ditimbulkan oleh orang luar sebagai agen pembangunan dapat dikemukakan bahasan yang dikemukakan oleh Rahardjo (1988) sebagai berikut. Para birokrat dan teknorat—dan saya yakin juga para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)—pada dasarnya adalah the outsiders. Kedudukan ini yang pertamatama perlu disadari. Dalam kedudukannya itu, mereka mempunyai hambatan kultural dan struktural. Hambatan itu langsung muncul dan tampak dalam bentuk “bias” dalam pemikiran dan tindakan. Tapi dengan adanya otokritik, jalan keluar untuk mengatasi hambatan tersebut menjadi terbuka. Langkah pertama untuk menembus hambatan kultural dan struktural adalah mendalami arti penting kata-kata “dari rakyat”. Di sini saya teringat kata-kata mutiara Rendra bahwa “rakyat itu sumber ilmu”. Para peneliti dan pekerja sosial perlu percaya bahwa ilmu pengetahuan itu tidak hanya bisa digali dari buku-buku teori, tapi juga dari rakyat sendiri; tidak hanya menyangkut, misalnya nilai atau hubungan sosial tetapi bahkan juga aspek-aspek yang menyangkut teknologi. Dari pengalaman pembangunan, kita telah memperoleh contoh-contoh dari pengalaman ketidakberhasilan. Misalnya dalam pembangunan jaringan irigasi. Tujuan resmi pembangunan itu tidak perlu dipersoalkan yaitu bahwa jaringan irigasi itu dibangun untuk kepentingan rakyat kecil. Orientasi pembangunan seperti itu sudah jelas terarah ke pedesaan dan pertanian. Tapi yang memperoleh keuntungan mungkin bukan rakyat pedesaan, melainkan para kontraktor ibukota, termasuk di dalamnya kaum profesional yang menyusun disain proyek dan melakukan manajemen konstruksi. Apabila proyek irigasi itu rampung dikerjakan, belum tentu rakyat bisa memakainya. Dalam kasus seperti ini, maka yang mengambil keuntungan adalah kontraktor atau birokrat di pemerintahan yang kebagian uang semir. Kasus semacam ini ternyata banyak terjadi. Kesalahan yang kerap kali timbul adalah bahwa, para pakar yang merencanakan disain teknis itu hanya mengandalkan diri pada teori, tapi tidak mau mendengarkan keterangan dari rakyat, misalnya mengenai kecenderungan aliran air pada musim penghujan. Ketika melaksanakan survei, para perencana itu terperangkap ke dalam “bias”. Mereka punya prevensi, misalnya memilih bekerja di dalam rumah ( indoors) dan karena itu agak malas ke lapangan, kerja secara laboratoris dan karena itu sudah merasa cukup hanya dengan mengutak atik data sekuner dan keterangan umum, kalau ke lapangan hanya mau ke tempat-tempat yang mudah dijangkau kendaraan, lagi pula dalam merencanakan masalah air itu mereka memilih datang pada musim kemarau (dry season) karena tidak mau basah pada musim hujan. Mereka juga berorientasi pada teknologi pasdat mdoal, karena dengan itu mereka bisa mendapatkan honor yang lebih banyak. Akhirnya, konstruksi bangunan irigasi yang telah dibangun dengan biaya mahal itu tidak bisa digunakan oleh rakyat, bahkan ternyata tidak ada air yang mau mengalir melalui jaringan yang didisain secara bertentangan dengan kebiasaan air mengalir. Kesalahan fatal yang dilakukan yang oleh para pakar itu adalah, selain terperangkap oleh “bias”-nya, karena mereka tidak percaya bahwa rakyat itu sumber ilmu dan tahu teknologi. Padahal berpuluh-puluh tahun bahkan sudah berabad-abad, rakyat telah dan harus hidup dengan teknologi. Tapi barangkali mereka memiliki bahasa teknologi yang lain. Ilmu antropologi mampu mengungkapkan teknologi rakyat itu. Acuan dari rakyat membuka perspektif baru, tidak saja dari praktisi, tapi juga untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Tapi yang penting untuk dipahami di sini adalah, bahwa acuan dari rakyat ini memberi jalan kepada tujuan kedua, yaitu “untuk rakyat”. Pengabaian hal pertama bisa membelokkan pola kegiatan dan akhirnya menghasilkan suatu yang sama sekali bukan untuk rakyat. Memperhatikan persoalan pemerataan, permasalahan pendekatan, dan permasalahan orang luar sebagai agen pembangunan, inti permasalahan yang terlihat adalah lemahnya partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. Lemahnya partisipasi tersebut berhubungan dengan pendekatan pembangunan yang digunakan dan peranan agen pembangunan yang tidak berorientasi pada pemandirian sasaaran pembangunan, dalam hal ini masyarakat desa. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

55


Village Community Development/Safruddin‌

2013

Alternatif Pendekatan Pembangunan Masyarakat Desa Di samping pendekatan GNP-trickle down yang dikenal juga dengan paradigma modernisasi, masih banyak lagi pendekatan pembangunan yang dapat digunakan, misalnya paradigma ketergantungan, pendekatan sistem dunia, pendekatan alternatif, pendekatan kebutuhan dasar, dan pembangunan yang berwawasan lingkungan (Manan, 1989). Dari berbagai pendekatan pembangunan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, menurut Soedjatmoko (1985), tidak satupun pendekatan pembangunan yang paripurna, semuanya mempunyai kelemahan. Oleh karena itu Soedjatmoko (1985) mengemukakan bahwa yang terpenting dalam pembangunan bukanlah persoalan intervensi, tetapi bagaimaan meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individu maupun kolektif; tidak hanya untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan, melainkan juga untuk mampu mengarahkan perubahan sesuai dengan tujuannya sendiri. Hal tersebut mengandung arti bahwa seseorang atau masyarakat dituntut untuk belajar agar tidak begitu saja menerima segala kemudahan yang diberikan kepadanya untuk mengatasi ketidak berdayaannya. Belajar untuk mengetahui bahwa seseorang mempunyai hak dan belajar apa itu hak-hak tersebut. Belajar bahwa dengan hak-hak tersebut dia mungkin untuk memperoleh kesempatan-kesempatan baru. Belajar sebagai suatu masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mengadakan koreksi yang tepat pada waktunya guna merubah arah yang telah ditempuh—jika mereka melihat arah tersebut salah. Memperhatikan pandangan Soedjatmoko (1985) tersebut tentang pendekatan pembangunan, terlihat bahwa dia betul-betul mengutamakan pemandirian. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti bahwa pembangunan tidak memerlukan intervensi sama sekali. Permasalahannya ialah bagaimana intervensi yang dilakukan tidak mengabaikan proses pemandirian rakyat. Agar pendekatan pembangunan tidak mengabaikan proses pemandirian, Korten (1980), mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembangunan. Pertama, individu atau masyarakat setempat harus dipandang sebagai aktor pembangunan yang menetapkan tujuan pembangunan yang ingin dicapainya. Hal tersebut mengandung arti memberi kesempatan kepada masyarakat setempat untuk merencanakan pembangunan daerahnya dengan memperhatikan segala kelebihan dan kekurangan sumberdaya lingkungan yang mereka miliki. Kedua, perencanaan pembangunan tetap berorientasi pada produksi, tapi bukan meletakkan segalanya atas kebutuhan produksi, sebaliknya, segala kebutuhan produksi diletakkan di atas kebutuhan rakyat banyak. Ketiga, teknik yang digunakan mengutamakan organisasi swadaya yang menonjolkan peranan masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut berarti bahwa manusia tidak mungkin dipandang sebagai mesin yang memperlakukan hukum sebab akibat. Keempat, proses membangun pengetahuan masyarakat haruslah didasarkan kepada konsep-konsep dan metode belajar sosial. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Korten selanjutnya mengemukakan bahwa setiap program pembangunan yang dirancang haruslah mempunyai kesesuaian dengan mereka yang dibantu dengan mendayagunakan organisasi swadaya masyarakat yang ada. Kesesuaian antara program bantuan dengan kebutuhan masyarakat penerima bantuan dan organisasi swadaya yang tersedia, digambarkan oleh Korten seperti dalam gambar berikut.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

56


Village Community Development/Safruddin‌

2013

PROGRAM

PENERIMA BANTUAN

SARANA PENGUNGKAPAN KEBUTUHAN

PROSES KEPUTUSAN ORGANISASI

ORGANISASI

Gambar Pendekatan Pembangunan Sebagai Proses Belajar Untuk dapat menyusun program pembangunan yang layak seperti yang digambarkan tersebut, maka setiap agen pembangunan perlu menempuh proses belajar dalam tiga tahap. Pertama, satu atau beberapa tim yang bermutu tinggi dikirimkan ke satu desa atau beberapa desa yang akan menjadi laboratorium belajar para perencana tersebut. Di desa tersebut, mereka menghayati permasalahan pembangunan dari sudut pandang masyarakat desa sendiri, dan mencobakan beberapa pendekatan untuk pemenuhan kebutuhan yang diidentifikasikan bersama-sama dengan masyarakat. Tahap belajar yang demikian disebut dengan tahap belajar efektif, karena mengutamakan keefektifan suatu program dalam langkah pertama. Kedua, tahap belajar efisien. Setelah diketahui apa yang harus dilaksanakan, perhatian kemudian diarahkan pada bagaimana melaksanakan program tersebut secara lebih efisien, meninggalkan kegiatan yang tidak produktif dan mengembangkan cara sederhana sehingga orang yang bukan ahli dapat melaksanakannya. Ketiga, tahap belajar mengembangkan diri. Setelah program yang dirancang teruji efektifitas dan efisiensinya serta disederhanakan sehingga masyarakat desa yang tidak ahlipun dapat melaksanakannya, maka perhatian diarahkan pada perluasannya. Perluasan tersebut, mencakup pengembangan keahlian para pelaksana yang akan ditinggalkan; membangun dan mengembangkan organisasi swadaya masyarakat; menyiapkan dan mengembangkan nilai-nilai pendukung terlaksananya program. PENUTUP Memperhatikan seluruh bahasan yang telah dikemukakan, terbaca, bahwa hampir semua diskusi dalam setiap sub-bab mendiskusikan pengembangan sumberdaya manusia dalam pembangunan. Kesimpulan umum dari semua diskusi tersebut ialah perlunya pengembangan sumberdaya manusia dalam pembangunan, sehingga manusia tidak saja menjadi objek dari pembangunan, tetapi sekaligus adalah subjek pembangunan. Manusia sebagai subjek pembangunan mengandung arti bahwa manusialah yang menjadi pemikir, perencana, dan pelaksana pembangunan dirinyan sendiri, pembangunan masyarakat. Mengembangan manusia sebagai subjek pembangunan berarti mengembangkan manusia yang sadar akan permasalahan diri dan lingkungannya, manusia yang berusaha memecahkan sendiri permasalahan yang dihadapinya, manusia yang tidak selalu tergantung atau menggantungkan diri kepada orang lain untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, baik masalah sendiri maupun masalah masyarakat lingkungannya. Mengembangkan manusia yang demikian berarti mengembangkan manusia yang mandiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan sangat tergantung kepada keberhasilan proses pemandirian manusia.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

57


Village Community Development/Safruddin‌

2013

DAFTAR RUJUKAN Chambers, R.1988. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang (terjemahan Pepep Sudrajat). Jakarta: LP3ES Chotib, M. H. 12 Agustus 1981. Proses Pemerataan Pendapat di Negara Berkembang. Harian

Kompas, hlm 4.

Ditbangdes Jatim. 1981. Himpunan Surat-surat dan Pedoman tentang Unit Daerah Kerja Pembangunan (UKDP) Jawa Timur. 1981. Pendidikan Luar Sekolah, di dalam Sistem Pendidikan dan Pembangunan Nasional. Surabaya: Usaha Nasional.

Faisal, Sanapiah.

Hasan, Zaini. 1989. Modernitas Individu yang Berorientasi kepada Pembangunan di Indonesia. Forum Penelitian IKIP Malang, 1989 (1): 12—21. Kindervatter, S. 1979. Noformal Education as an Empowering Process with Case Studies from Indonesia and Thailand. Massachusetts: Center for International Education, University of Massachusetts Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Korten, D. C. 1988. Pembangunan yang Berpusat kepada Rakyat dalam D. C. Korten dan Syahrir (Eds.), Pembangunan Berdimensi Manusia (terjemahan A. Setiawan Abadi). Jakarta: Yayasan Obor Indonsia. Kottak, C. P. 1988. Bila Manusia yang Utama: Beberapa Hikmah Sosiologi dari Proyek-proyek yang Telah Selesai dalam M. M. Cernea (Ed.), Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan (terjemahan Basilius Bengo Teku). Jakarta: Universitas Indonesia. Kuitenbrouwer, J. B. W. 1980. Menuju Pembangunan Terpadu yang Berbudaya (terjemahan Dian B.S.). Jakarta: Lembaga Studi Pemabngunan. Manan, I. 1989. Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdibud. Rahardjo, D. M. 1988. Mulai Berguru dari Rakyat, dalam pengantar untuk Robert Chamber, Pembangunan Mulai dari Belakang (terjemahan Pepep Sudradjat). Jakarta: LP3ES. Rogers, E. M. dan Shoemaker, F. F. 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru (terjemahan Abdillah Hanafi). Surabaya: Usaha Nasional Salim, E. 1986. Di Bawah Garis Kemiskinan dalam lampiran III I. L. Pasaribu dan B. Simjuntak Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito. Simanjuntak, I. L. dan Pasaribu , B. 1986. Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito. Soedjatmoko. 1985. Pembangunan sebagai Proses Belajar dalam Basis XXX-8 dan XXX-9, Agustus dan September. Sularto, St. 1990. Pendahuluan dalam Menuju Masyarakat Baru Indonesia. Jakarta: Kerjasama Harian Kompas dan Gramedia

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

58


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

PARTISIPASI ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN (Suatu Studi Peningkatan Mutu Pendidikan di SMA Salatiga dan Semarang) Oleh: Slameto Program Studi PGSD FKIP UKSW Salatiga

Abstrak

Peningkatan mutu melalui reformasi pendidikan pada aras sekolah yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/MPMBS) memiliki tiga pilar utama. Pilar yang ketiga adalah partisipasi orang tua dalam pendidikan. Partisipasi orang tua dalam pendidikan demikian pentingnya bagi keberhasilan belajar siswa. Masalah penelitian ini adalah: Seberapa tinggi tingkat partisipasi orang tua dalam pendidikan? Seberapa besar dampaknya terhadap prestasi belajar anak? Dan di antara variabel partisipasi orang tua dalam pendidikan, status ekonomi, struktur keluarga, pendidikan orang tua dan pola asuh, manakah yang menjadi determinan prestasi belajar anak?

Dari populasi 5.892 orang yang tersebar di 12 SMA (171 kelas) kota Semarang dan Salatiga dipilih sampel secara acak dengan tingkat presisi 95%, sampel ditetapkan sebanyak 12 kelas (masing-masing SMA 1 kelas) yang dipilih secara acak dengan jumlah siswa sebanyak 444 orang. Pengumpulan data tentang partisipasi orang tua dengan questioner dalam bentuk skala penilaian 37 item yang memenuhi persyaratan. Prestasi siswa dikutip dari buku daftar nilai pada masing-masing wali kelas. Analisis data deskriptif untuk mendeskripsikan variable yang diteliti, analisis korelasi dan regresi dengan program SPSS versi 19 untuk menjelaskan dampak. Berdasarkan hasil analisa dapatlah dsimpulkan bahwa partisipasi orang tua dalam pendidikan anknya; menurut jenjang partisipasi mereka seperti guci, yang didominasi pada jenjang transisi; Partisipasi orang tua berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap prestasi belajar siswa sesar 25,20%. Penelitian ini menghasilkan 5 model yang akhirnya dapat dipakai untuk menjelaskan determinan prestasi belajar siswa: Model 1 adalah partisipasi orang tua, besarnya 25,20%; Model 2 disamping partisipasi orang tua, adalah status ekonomi keluarga, besarnya 35,40%; Model 3 selain partisipasi orang tua dan status ekonomi keluarga adalah tingkat pendidikan ayah, besarnya 46,40%; Model 4 selain partisipasi orang tua, status ekonomi keluarga dan tingkat pendidikan ayah adalah lingkungan keluarga, besarnya 48,40%; Model 5 determinan selain partisipasi orang tua, status ekonomi keluarga dan tingkat pendidikan ayah, lingkungan keluarga adalah pendidikan ibu, besarnya adalah 48,90%. Berdasarkan hasil seperti di atas maka sekolah yang akan meningkatkan mutunya perlu membuat keputusan pengembangan kemitraan keluarga-sekolah untuk berbagai aspek manajemen sekolah, pengembangan kepemimpinan kepala sekolah beserta wakilnya serta guru dengan melibatkan orang tua sebagai porosnya, sehingga perlu peningkatan kapasitas organisasi sekolah dengan pemberdayaan orang tua/keluarga dan guru dalam rangka manajemen kurikulum/pengajaran; Lima model determinan prestasi belajar siswa dapat dijadikan alternatif pengembangan manajemen partisipasi orang tua dalam peningkatan mutu sekolah dengan memfungsikan manajemen hubungan masyarakat utamanya dengan orang tua yang ditunjang manajemen kesiswaan yang dipercayakan pada layanan bimbingan konseling, dukungan sarana prasarana demi efektivitas dan kualitas pendidikan sekolah. Kata Kunci: determinan prestasi belajar siswa, partisipasi orang tua dalam pendidikan, status ekonomi, struktur keluarga, pendidikan orang tua, pola asuh.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

59


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

Abstract Quality improvement through education reform at the level of the school known as School Based Management (SBM) has three main pillars. The third pillar is the participation of parents in education. Participation of parents in education is so important to the success of student learning. The research problem is: How high is the level of parent participation in education? How big is the impact on children's learning achievement? And among the variables parent participation in education, economic status, family structure, parental education and parenting, which one is the determinant of learning achievement of children? Of the population of 5,892 people spread across 12 high school in Semarang and Salatiga randomly selected sample with 95% precision level, the sample set as many as 12 classes (each class of senior high school) randomly selected by the number of students as many as 444 people. Collecting data on the participation of parents with a questionnaire in the form of 37 item rating scale that meets the requirements. Student achievement is quoted from the book lists in the holding school books. Descriptive data analysis to describe the variables studied, correlation and regression analysis using SPSS version 19 to explain the impact. Based on the analysis it can be concluded that parent participation in education; according to the level of their participation such as jars, which dominated at the level of transition; Participation of parents in a positive and significant effect on student achievement cesarean 25.20%. The study produced five models that eventually can be used to explain the determinants of student achievement: Model 1 is parent participation, the amount of 25.20%; Model 2 in addition to the participation of the parents, is the economic status of the family, the amount of 35.40%; Model 3 than parent participation and economic status of the family is the father's education level, the amount of 46.40%; Model 4 in addition to the participation of parents, family economic status and education level of the father is the family environment, the magnitude of 48.40%; Model 5 determinant in addition to the participation of parents, family economic status and father's education level, mother's education is a family environment, the magnitude is 48.90%. Based on the above results as the school will need to make decisions to improve their quality development of family-school partnerships to various aspects of school management, leadership development along with his deputy principals and teachers to involve parents as its axis, so that the school needs to increase the capacity of organizations to empower parents / families and teachers in the context of the management curriculum / instruction; Five determinants of student achievement models can be used as an alternative management development participation of parents in school quality improvement by enabling management of major public relations with parents who supported entrusted the management of student counseling services, support infrastructure for the effectiveness and quality of school education. Keywords: determinants of student achievement, parent participation in education, economic status, family structure, parental education, parenting. PENDAHULUAN Pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan yang utama bagi anak. Karenanya tidak perlu disangsikan lagi bahwa orang tua dalam pendidikan memainkan peran vital bagi keberhasilan pendidikan anak, namun bagaimana dalam prakteknya? Peningkatan mutu melalui reformasi pendidikan pada aras sekolah yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

60


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

(MPMBS) memiliki tiga pilar utama. Pilar yang ketiga adalah partisipasi orang tua dalam pendidikan baik di sekolah maupun di rumah. Sesuai namanya, salah satu tujuan reformasi adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang akan tampak dari kualitas hasil belajar siswanya. Partisipasi orang tua dalam pendidikan adalah bagian integral dalam reformasi pendidikan/MBS (Brillian, 2001:3; Marten, Ted dan Key, 1999:59-60; Owen, 2004:24). Misi reformasi pendidikan adalah meningkatkan kesempatan keluarga/orang tua lebih berpartisipasi dalam pendidikan anaknya baik di sekolah maupun di rumah dan untuk memanfaatkan kemitraan sekolah dengan orang tua guna pemberdayaan sekolah, dan peningkatan prestasi belajar siswa. Wajarlah jika keefektifan sekolah sebagai wujud mutu pendidikan juga ditentukan oleh partisipasi orang tua dalam pendidikan (Bergeson, 2004:1; Golan dan Peterson, 2002:2-3; Hale, 2003:1; Robinson, 2003:3-5). Menurut Departemen Pendidikan Amerika Serikat (Brown, 2000:1; Nord, 1998:v) para pembuat kebijakan, pakar beserta para pendidik setuju bahwa peran keluarga dalam pendidikan anaknya itu berhubungan erat dengan atau berdampak kuat terhadap keberhasilan belajar anak di sekolah. Kesimpulan ini juga didukung oleh lebih dari 2.500 hasil penelitian selama lebih dari tiga dekade terakhir (Walberg dalam Hale, 2003:1); Maka dari itu tidaklah mengherankan jika Amerika Serikat dalam menyongsong Tujuan Nasional, peran orang tua dalam pendidikan menjadi prioritas nasional. Sebagian besar pembuat kebijakan, pakar, guru, termasuk juga orang tua berasumsi bahwa peran keluarga yang dimaksud memang begitu besar bukan hanya bagi keberhasilan belajar anak di sekolah tetapi juga dalam penyesuaian diri anak dan masa depan anak seusai sekolah. Dalam studi tentang partisipasi orang tua dalam pendidikan terdapat beberapa konsep yang satu dengan yang lain berbeda-beda, bahkan akhirnya disepakati bahwa partisipasi orang tua dalam pendidikan itu sebagai konstruk yang multi dimensional, karena ada yang dapat difahami berdasar bentuk/tipe peran yang dimainkan orang tua, konteks di mana peran tersebut, tingkatan/jenjang dan strukturnya, fokus isyu dan fihak mana yang mengambil prakarsa aktif. Partisipasi orang tua dalam pendidikan adalah seperangkat kegiatan terpola dalam berbagai bentuk pada jenjang tertentu dengan struktur yang terfokus pada permasalahan seputar reformasi pendidikan/MBS. Bagaimana dengan orang tua di Indonesia? Krisis multidimensi yang tak kunjung usai ini juga melanda sendi-sendi kehidupan keluarga. Para orang tua terkesan sibuk dengan usahausaha ekonomi sehingga tugas pendidikan anak terabaikan?. Sementara peningkatan mutu melalui reformasi pendidikan/MBS terus bergulir, sepanjang pencarian yang dilakukan belum ditemukan/diadakan studi tentang partisipasi orang tua dalam pendidikan di Indonesia. Padahal kebutuhan itu makin mendesak. Partisipasi orang tua dalam pendidikan demikian pentingnya bagi keberhasilan belajar siswa yang bukan saja secara akademik karena di negara-negara yang sedang berkembang, menurut Hanushek dalam Mizala dan Romaquera (2002:11) setelah menganalisis 38+377+46 hasil penelitian (di negara-negara berkembang) peran sekolah seperti: rasio guru-siswa, penataran guru, pengalaman mengajar, gaji guru, uji kompetensi/’Standard Pelayanan Minimum’, dan infrastruktur atau sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah tidak memberi sumbangan terhadap keberhasilan belajar siswa. Meski faktor sekolah tersebut berkorelasi dengan prestasi belajar siswa, korelasinya rendah dan secara statistik tidak signifikan. Di negara maju seperti Amerika, peran sekolah (seperti sarana-prasarana, besar klas, buku teks dan guru) hanya berpengaruh kecil terhadap prestasi belajar siswa (Coleman dalam Thornton, 2003:11-12). Maka dari itu reformasi pendidikan dalam bentuk MBS tidak akan berhasil efektif tanpa partisipasi orang tua, karena partisipasi orang tua dalam pendidikan merupakan faktor yang paling menentukan keberhasilan belajar siswa (Harvard Family Research, 2000:6). Kebenarannya tak perlu dipertanyakan lagi (Henderson dan Mapp, 2002 setelah mereview 36 hasil penelitian tahun 1991, 49 hasil penelitian tahun 1997 dan 51 hasil penelitian tahun 2002). Maka hanya ada satu cara yang paling tepat untuk memperbaiki mutu pendidikan melalui MBS, yaitu meningkatkan partisipasi orang tua dalam pendidikan (Bennet dalam Mcintosh, 2003:4). Pada akhirnya Faktor latar belakang keluarga yang terdiri dari karakteristik keluarga (gender, tingkat pendidikan ayah dan ibu serta struktur keluarga), interaksi keluarga (pola asuh orang tua) dan kesejahteraan keluarga (status ekonomi dan lingkungan rumah) berpengaruh Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

61


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

terhadap prestasi belajar siswa baik secara langsung maupun melalui partisipasi orang tua. Berpengaruhnya faktor latar belakang keluarga tersebut baik secara simultan semua faktor/variabel, maupun secara sendiri-sendiri masing-masing variabel atau faktor (Slameto, 2006); namun dalam kajian manajemen pendidikan/sekolah sangat diperlukan variabel mana yang menjadi determinannya Rumusan Masalah Kebutuhan akan perlunya riset tentang partisipasi orang tua dalam pendidikan diungkap oleh Baker dan Soden (1998:3-4) khususnya yang menyangkut lokasi, bentuk peran, pola, kompleksitas serta komprehensifnya. Sedangkan penelitian partisipasi orang tua, khususnya ibu, sangat menarik karena peran ibu penting untuk mendapatkan nilai yang bagus bagi keseluruhan mata pelajaran dan mengurangi skors dan atau dikeluarkannya siswa dari kelas/sekolah (Hoover, 2002:1) Sesuai latar belakang permasalahan di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Seberapa tinggi tingkat partisipasi orang tua dalam pendidikan? 2. Seberapa besar dampak partisipasi orang tua dalam pendidikan terhadap prestasi belajar anak? 3. Di antara variabel partisipasi orang tua dalam pendidikan, status ekonomi, struktur keluarga, pendidikan orang tua dan pola asuh, manakah yang menjadi determinan prestasi belajar anak? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model empirik hubungan antar faktor keluarga yaitu: partisipasi orang tua dalam pendidikan, status ekonomi, struktur keluarga, pendidikan orang tua dan pola asuh yang mempengaruhi prestasi belajar anak dalam kerangka MBS; Dengan demikian akan diperoleh: (1) pengetahuan tentang tingkat partisipasi orang tua dalam pendidikan, (2) terujinya dampak partisipasi orang tua terhadap prestasi belajar anak di sekolah beserta determinan prestasi belajar siswa. Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi dan kerangka kerja yang bermanfaat bagi perbaikan mutu pendidikan dengan teragendakannya masalah-masalah manajerial sekolah yang menyangkut: pembuatan keputusan, pengembangan kemitraan keluarga-sekolah, pengembangan kepemimpinan, kapasitas organisasi dan pemberdayaan orang tua/keluarga dan guru dalam rangka manajemen kurikulum/pengajaran. Selain itu juga bermanfaat dalam manajemen hubungan masyarakat, kesiswaan, sarana prasarana, dan pengembangan sumber daya manusia demi efektivitas dan kualitas sekolah (bandingkan dengan Gershberg dan Shatkin, 2002:9). Bukankah partisipasi orang tua adalah poros/pilar reformasi pendidikan? KAJIAN TEORI Mengingat salah satu kunci sukses manajemen dalam menggalang partisipasi orang tua adalah menjalin hubungan yang harmonis, maka sekolah perlu memprogramkan beberapa hal (Mulyasa, 2000: 168-170) sebagai berikut. 1. Melibatkan orang tua secara profesional dalam mengembangkan perencanaan, pelaksanaan dan program sekolah. 2. Menjalin komunikasi secara intensif. Secara proaktif sekolah menghubungi orang tua siswa 3. Mengadakan pembagian tugas dan tanggung jawab antara sekolah dengan orang tua dalam pembinaan pribadi siswa. 4. Melibatkan orang tua dalam berbagai program dan kegiatan sekolah yang bersifat sosial kemasyarakatan, 5. Melibatkan orang tua dalam mengambil berbagai keputusan, agar mereka merasa bertanggung jawab untuk melaksanakannya. 6. Mendorong guru untuk mendayagunakan orang tua sebagai sumber belajar dan menunjang keberhasilan belajar peserta didik. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

62


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

Dalam upaya membangun kemitraan antara keluarga, sekolah dan masyarakat, Detroit (AS) membuat seri terbitan berkala yang salah satunya terbit September 2002 yang mana Hoover (hal. 1) mengungkapkan bahwa orang tua memainkan peran vital bagi peningkatan prestasi belajar anaknya. Berdasarkan hasil penelitian, lebih lanjut diungkapkan bahwa secara keseluruhan partisipasi orang tua penting bukan hanya dalam perolehan prestasi belajar anak tetapi juga pengurangan hukuman yang dilakukan guru dan dikeluarkannya siswa dari sekolah, serta keberhasilan anak dalam aspek kehidupan yang lain kelak seusai sekolah. Partisipasi yang dimaksud adalah keikutsertaan mereka dalam setiap jenjang pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi dan setiap tahap perkembangan anak mulai sejak lahir sampai memasuki masa dewasa, mengingat bahwa orang tua merupakan pengaruh utama dalam kehidupan anak (Brown, 2002:1; San Diego County Office of Education, 1997:1). Partisipasi orang tua dalam pendidikan adalah seperangkat kegiatan terpola dalam berbagai bentuknya pada jenjang tertentu dengan struktur yang terfokus pada isyu seputar reformasi pendidikan/MBS. Berbagai bentuk kegiatan yang dimaksud adalah: 1) Intervensi pendidikan anak di rumah yaitu secara tradisional menolong anak belajar dan memberi informasi tentang anak dan keluarga yang terkait dengan pendidikan anak (Baker dan Soden, 1998:1-3; The State of Texas Education, 1999:2-3). 2) Sebagai manajer kegiatan pendidikan di sekolah adalah menjadi relawan pembelajaran di sekolah, mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah, menghadiri rapat, menjadi anggota komite sekolah atau satuan tugas yang dibentuk (Brown, 2002:2; Jesse, 2002:2-3; San Diego County office of Education, 2000:2-4). 3) Partisipan sosial sebagai agen masyarakat, dan atau kolaborator (Cavkin dan Welliam, Honic, dan Epstein dalam Lunenburg dan Irby, 2001:1-10). Ditinjau dari jenjangnya, partisipasi orang tua dalam pendidikan itu dapatlah dibedakan menjadi tiga kategori yang bersifat ordinal yaitu mulai dari yang terendah atau yang tradisional, kemudian yang sedang atau transisi tingkatnya, dan yang tertinggi tingkatnya yaitu reformis. Tujuan Partisipasi orang tua dalam pendidikan menyangkut banyak fihak seperti siswa, orang tua yang bersangkutan, guru dan staf sekolah, manajemen sekolah, dan masyarakat. Manfaat dalam manajemen sekolah yang paling dominan adalah terjadinya pengambilan keputusan yang partisipatif sehingga lebih demokratis dalam perencanaan program beserta implementasi dan monitoring serta evaluasinya sehingga dapat lebih dipertanggung-jawabkan. Bagi masyarakat, makin tersedianya peluang untuk pemberdayaan dan berkembangnya warga negara sebagai masyarakat sipil yang lebih mampu menilai dan mempengaruhi sekolah (Hoover-Dampsey, et al., 2001:201-203). Prestasi belajar siswa adalah pernyataan tentang tingkat keberhasilan siswa, dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sekolah, setelah usai satu satuan program pengalaman pembelajaran, dalam satu periode waktu tertentu (semester atau tahun ajaran). Tujuan pembelajaran dapat berupa penguasaan pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan sikap akademik. Pencapaian tujuan pembelajaran sering diukur dengan skor tes/ulangan/ujian standar atau buatan guru, dan tugas-tugas lain, termasuk pekerjaan rumah (PR) untuk mata pelajaran tertentu. Skor tes dan tugas/PR mencerminkan perilaku hasil pengalaman, yang berkaitan dengan konsep, topik, atau masalah tertentu dalam mata pelajaran yang diikuti. Pengalaman yang memungkinkan terbentuknya hasil belajar siswa tersebut, dapat berupa pengetahuan siswa dan apa yang ingin diketahuinya, apa yang telah dipelajari, serta apa yang benar-benar dapat dilakukan, dari apa yang telah diketahuinya itu. Selain itu, dapat juga berupa kepercayaan diri dan motivasinya dalam mendemonstrasikan apa yang dapat dilakukannya. Pada akhirnya, ciri hasil belajar tersebut bersifat baru, menetap, positif, disadari dan fungsional (Ammon et al. 2002:4.4-9.7; Dong-il 2004:2-3; Farguhar 2003:13; Surya 2003:25) Dari 35 studi dengan model input-output, yang diangkat Bridge, et al. (1979: 191-192) diperoleh 28 studi yang konsisten apakah positif, negatif atau tidak ada pengaruhnya terhadap prestasi belajar (skor tes hasil belajar). Semua variabel input dapat dikelompokkan lima kategori yaitu: karakteristik individu siswa, karakteristik keluarga, karakteristik kelompok teman sebaya, karakteristik guru, dan karakteristik sekolah. Tingkat pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal (sekolah atau universitas) tertinggi yang ditamatkan baik oleh ayah maupun ibu. Tingkat pendidikan orang tua disamping mempengaruhi partisipasinya, juga mempengaruhi harapan dan dukungan yang pada akhirnya mempengaruhi prestasi belajar anak. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

63


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

Struktur keluarga adalah susunan keluarga orang tua siswa berdasarkan siapakah yang menjadi kepala keluarga. Ada dua bentuk struktur keluarga yaitu yang lengkap (ayah menjadi kepala keluarga, ibu dan anak menjadi anggota), dan yang tidak lengkap (ibu menjadi kepala keluarga karena tanpa ayah atau suami, atau di mana ayah menjadi kepala keluarga tanpa ibu atau istri). Struktur keluarga berpengaruh terhadap partisipasi orang tua yang pada gilirannya menentukan prestasi belajar anak. Pola asuh orang tua adalah kecenderungan interaksi antara orang tua dengan anak yang ditandai oleh dominan tinggi atau rendahnya pendisiplinan yang meliputi tanggapan atau kehangatan kasih sayang dan tuntutan atau pembatasan aturan yang berlaku dalam keluarga. Ada empat bentuk pola asuh berdasar tinggi rendahnya tanggapan dan tuntutan orang tua terhadap anak yaitu: indulgent (manja), authoritarian, authoritative, dan un-involved (tidak terlibat). Pola asuh menentukan partisipasi orang tua yang pada gilirannya menentukan prestasi belajar anak; di satu pihak berpengaruh langsung terhadap prestasi belajar, namun dilain pihak melalui partisipasi orang tua. Status ekonomi orang tua adalah status penghasilan ayah dan atau ibu apakah termasuk kategori kaya, sedang atau miskin. Status ekonomi sebagai latar belakang keluarga terkait dengan partisipasi orang tua, bahkan menjadi penentu partisipasi orang tua; Di satu pihak status ekonomi berpengaruh langsung terhadap prestasi belajar, namun di pihak lain melalui partisipasi orang tua, dengan demikian status ekonomi tidak ada artinya jika tanpa partisipasi orang tua. Kualitas lingkungan rumah atau keluarga adalah ketersediaan serta kelengkapan fasilitas atau sarana dan prasarana rumah tangga yang dirancang dan diadakan untuk mendukung belajar. Lingkungan keluarga berpengaruh terhadap partisipasi orang tua yang pada akhirnya juga berpengaruh pada prestasi belajar anak. Di satu sisi lingkungan keluarga berpengaruh langsung terhadap prestasi belajar, namun pada sisi lain, justru melalui partisipasi orang tua.

METODE PENELITIAN Penelitian ini tidak memanipulasi atau membuat treatment terhadap variabel karena pada dasarnya beberapa diantara indikatornya memang tidak dapat diapa-apakan lagi. Di Semarang yang terdapat 79 SMA baik negeri maupun swasta yang terdiri dari 984 kelas dengan jumlah siswa 36.835 orang dan di Salatiga terdapat 10 SMA baik negeri maupun swasta yang terdiri dari 155 kelas dengan jumlah 5.266 orang siswa. Dari 79 SMA baik negeri maupun swasta yang berada di Semarang dan 10 SMA di Salatiga dipilih 12 SMA dengan mempertimbangkan status (negeri atau swasta); Khusus SMA swasta dipertimbangkan afiliasi sekolah yang meliputi SMA swasta nasional, dan SMA swasta berafiliasi agama: islam, kristen dan katolik. Dengan pertimbangan demikian, populasi penelitian ini adalah semua keluarga dari semua siswa pada 12 SMA yang terdapat di kota Semarang dan Salatiga, yaitu 3 SMA negeri dan 9 SMA swasta yang terdiri dari 2 SMA swasta nasional, 2 SMA swasta berafiliasi agama islam, 3 SMA swasta berafiliasi agama kristen dan 2 SMA swasta yang berafiliasi agama katolik. 12 SMA terpilih sebagai populasi penelitian ini terdiri dari 171 kelas dan 5.892 orang siswa. Dari populasi 5.892 orang yang tersebar di 12 SMA (171 kelas) kota Semarang dan Salatiga tersebut dipilih sampel secara acak dengan tingkat presisi 95%. Sesuai tabel Krecjie (Sugiyono 1997: 67) jika populasi 6.000 sampelnya minimal 217, sedangkan menurut Cochran (Dewanto dan Tarmuji 1995: 62-63) jika populasi 10.000 orang, maka sampel minimal 403 orang. Dalam penelitian ini sampel ditetapkan sebanyak 12 kelas (masing-masing SMA 1 kelas) yang dipilih secara acak; Mengingat rata-rata kelas adalah 37 orang siswa, maka sampelnya sekitar 444 orang. Mengingat saat mengurus ijin, hanya klas 1 dan 2 yang diperbolehkan untuk diteliti, maka sampel penelitian ini adalah siswa klas 1 dan 2 pada 12 SMA. Lebih lanjut setelah data terkumpul dan diseleksi yang layak untuk dianalisa terdapat 407 orang yang berasal dari 7 SMA kota Semarang (2 SMA negeri, 2 SMA swasta nasional, dan masing-masing 1 SMA swasta yang berafiliasi agama islam, kristen, dan katolik) dan 5 SMA kota Salatiga (1 SMA negeri, masingmasing 1 SMA swasta yang berafiliasi agama islam dan katolik, dan 2 SMA swasta yang berafiliasi agama kristen). Pengumpulan data tentang partisipasi orang tua, struktur keluarga, pendidikan orang tua dan pola asuh berdasar laporan siswa yang bersangkutan, bukan langsung dari orang tua Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

64


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan…/Slameto

2013

dengan questioner dalam bentuk skala penilaian. Sumber data dari siswa tersebut lebih tepat sesuai rekomendasi Muller (1998:339) yang menyatakan bahwa isian/data dari siswa mengindiasikan perspektif siswa dan ini lebih valid karena juga untuk mengukur perilaku akademik siswa yang bersangkutan. Selain itu sesuai usia anak. Questioner tentang partisipasi orang tua juga mngungkap perkembangan dan relasi anak dengan orang tua. Skala penilaian partisipasi orang tua tiap item disediakan dua alternatif jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Sebelum dibagikan kepada sampel siswa yang bersangkutan, dilakukan uji coba untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Berdasarkan hasil uji coba diperoleh 37 item yang memenuhi persyaratan. Indeks validitas terendah 0,2412, rata-rata 0,4342, tertinggi 0,6272 dengan reliabilitas Alpha 0,8803. Prestasi siswa dikutip dari buku daftar niilai pada masing-masing wali kelas; status ekonomi orang tua dikutip dari buku induk siswa di sekolah yang bersangkutan. Analisis data digunakan teknik analisis deskriptif untuk mendeskripsikan variable yang diteliti, dan analisis korelasi dan regresi. Semua teknik analisis dilakukan dengan Program SPSS release 19. HASIL PENELITIAN Orang tua sampel penelitian ini cukup bervariasi. Menurut gender anak, jumlah siswa perempuan lebih banyak. Sebagian besar putra-putri mereka berusia 16 -17 tahun sesuai kelas yang dimiliki. Keluarga orang tua sebagian termasuk keluarga kecil dengan jumlah anak dua atau tiga orang saja. Sebagian besar orang tua tinggal hanya bersama dengan anak tanpa pihak lain seperti kakek, nenek, dan atau orang lain. Sarana yang ada pada sebagian besar keluarga adalah alat musik, sarana ibadah dan olah raga. Aset yang dimiliki sebagian besar keluarga adalah TV dan VCD, sepeda motor, HP, telepon. Sekitar separo keluarga memiliki mobil. Sarana belajar yang dimiliki sebagian besar keluarga adalah satu ruang belajar untuk setiap anak, dan satu komputer untuk satu keluarga. Hanya sebagian (kurang dari 40%) keluarga yang memiliki satu ruang belajar bersama untuk semua anak. Tidak lebih dari 50% keluarga yang anaknya memiliki jadwal belajar di rumah, bahkan kurang dari seperempat saja yang anaknya memiliki jadwal kegiatan sehari-hari di rumah. Selanjutnya deskripsi singkat setiap variabel penelitian ini dapatlah disajikan dalam ringkasan pada tabel berikut ini.

Prestasi Partisipasi Pend_ayah Pend_Ibu Struk_klg Pola_asuh Lingk_klg Stat_ekonomi

Mean

Median

Mode

Std. Deviation

Minimu m

Maximu m

68,7495 1,85 2,87 3,03 2,60 3,06 2,15 2,42

68,1250 2,00 3,00 3,00 3,00 3,00 2,00 2,00

61,25 2 3 3 3 3 2 2

6,39897 ,662 1,095 1,067 ,650 ,646 ,658 ,556

58,25 1 1 1 1 1 1 1

85,50 3 5 5 3 4 3 3

Ternyata nilai atau prestasi belajar siswa cukup bervariasi. Nilai ini dirangkum dari semua mata pelajaran. Dari data yang lebih rinci, kelompok mata pelajaran IPA dan Matematika adalah kelompok mata pelajaran yang sering dianggap lebih sulit, terbukti nilainya hanya sebatas cukup dan lebih rendah dari kelompok mata pelajaran IPS atau Bahasa. Secara keseluruhan rata-rata prestasi dari semua mata pelajaran yang diteliti termasuk belum baik, masih ada sekitar 15% siswa mengalami masalah dengan rendahnya prestasi yang dimilikinya. Bahkan jika ditetapkan patokan batas tuntas penguasaan kompetensi 75%, sebagian besar siswa bermasalah dengan daya serap karena belum mencapai target minimal. Terdapat suatu pola partisipasi orang tua yang belum tinggi, setelah ditelusuri lebih lanjut, partisipasi ayah yang dilakukan secara insidental belum tinggi, partisipasi ayah yang dilakukan secara terencana agak tinggi, partisipasi ibu yang dilakukan secara terencana agak tinggi, partisipasi ibu yang dilakukan secara insidental berada pada aras sedang cenderung agak tinggi, dan partisipasi ayah dengan ibu yang dilakukan secara terencana Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

65


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

berada pada aras sedang cenderung agak tinggi. Tingkat pendidikan sebagian besar ayah adalah SLTA dan Perguruan Tinggi (sarjana dan sarjana muda/diploma). Walau kecenderungannya sama, jumlah ibu yang berpendidikan SLTA dan sarjana muda/diploma lebih kecil daripada ayah. Sebagian besar orang tua siswa termasuk keluarga yang lengkap. Terdapat variasi orang tua berdasarkan pola asuhnya. Ternyata sebagian besar orang tua menerapkan pola asuh yang oautoritatif, sebagian lagi non direktive. Hanya sedikit sekali yang menerapkan pola asuh otoriter dan pengabaian atau un-involved. Sebagian besar orang tua mengusahakan kelengkapan sarana belajar/kualitas lingkungan keluarga termasuk kategori lengkap. Ternyata terdapat variasi orang tua yang signifikan berdasarkan lingkungan keluarganya dan status ekonomi. Orang tua cukup mendukung pendidikan anaknya terbukti justru sebagian besar mengusahakan kelengkapan sarana belajar/kualitas lingkungan keluarga termasuk mereka yang berasal dari keluarga miskin. Status ekonomi sebagian besar orang tua adalah sedang dan hanya sedikit termasuk kaya. Data ini sekali lagi mengindikasikan betapa besar konsern orang tua akan pendidikan anak. Selain itu wajar pula jika partisipasi mereka didominasi di rumah mengingat mereka telah mengupayakan kelengkapan lingkungan belajar di rumah sehingga berusaha agar anak memanfaatkanya secara optimal melalui partisipasinya. Seberapa tinggi tingkat partisipasi orang tua dalam pendidikan? Hasil analisis deskriptif diperoleh seperti dalam tabel berikut ini. Berdasarkan hasil analisis tersaji pada halaman berikut, ternyata persentase orang tua menurut jenjang partisipasi mereka wajar jika seperti guci. Jumlah pada jenjang tradisional sedikit, kemudian terbanyak ada pada jenjang kedua yaitu transisi kemudian turun sedikit lagi pada jenjang ketiga yaitu reformis. Di satu pihak cukup menggembirakan karena sekalipun belum menjadi prioritas manajemen sekolah, partisipasi orang tua pada jenjang transisi maupun reformis telah dimainkan oleh cukup banyak orang tua. Walaupun jika diperhatikan lebih lanjut, belum banyak orang tua yang berpartisipasi pada aras yang tinggi. Partisipasi

Valid

Frequenc y

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

1

124

30,5

30,5

30,5

2

220

54,1

54,1

84,5

3

63

15,5

15,5

100,0

Total

407

100,0

100,0

Sedikitnya orang tua yang berpartisipasi pada jenjang reformis tersebut perlu dimaklumi mengingat pada jenjang yang tradisionalpun jumlahnya lebih kecil. Sebetulnya data ini memperkuat dugaan bahwa sekolah belum memberi perhatian serius terhadap partisipasi orang tua. Demikian juga bahwa orang tua sendiri belum banyak yang menyadari betapa penting partisipasinya dan pengaruhnya terhadap prestasi belajar anaknya sendiri, terlepas apakah mereka dari keluarga yang berpendidikan tinggi ataupun berstatus kaya secara ekonomi. Seberapa besar dampak partisipasi orang tua dalam pendidikan terhadap prestasi belajar anak? Dengan melakukan analisis inferensial diperoleh hasil seperti berikut ini. Model Summary Mod el 1

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

,504a

,254

,252

5,53456

a. Predictors: (Constant), Partisipasi

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

66


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

Dari tampilah output SPSS besarnya adjusted R2 adalah 0,252; hal ini berarti 25,20% variasi prestasi belajar siswa dapat dijelaskan oleh variasi partisipasi orang tua. Sedangkan 74,80% dijelaskan oleh sebab atau faktor lain di luar model ini. Standar error of estimated (SEE) sebesar 5,53456. Hal ini jika lebih kecil lagi dapat membuat model regresi makin lebih tepat dalam memprediksi prestasi belajar siswa. ANOVAb Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Regression

4218,733

1

4218,733

137,726

,000a

Residual

12405,697

405

30,631

Total

16624,430

406

Model 1

a. Predictors: (Constant), Partisipasi b. Dependent Variable: Prestasi Dari hasil uji ANOVA atau F tes seperti tabel di atas, diperoleh F hitung sebesar 137,726 dengan tingkat probabilitas atau signifikansi 0,000. Karena tingkat probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi ini dapat digunakan untuk memprediksi prestasi belajar siswa. Dengan kata lain bahwa partisipasi orang tua berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap prestasi belajar siswa. Determinan prestasi belajar anak Setelah data terkumpul dilakukan analisa regresi model stepwise diperoleh 5 model yang akhirnya dapat dipakai untuk menjelaskan determinan prestasi belajar siswa seperti terpetakan pada 2 tabel berikut ini. Variables Model 1

Entered Partisipasi

Method Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <=,050, Probability-of-F-to-remove >=,100).

2

Stat_ekonomi

Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <=,050, Probability-of-F-to-remove >=,100).

3

Pend_ayah

Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <=,050, Probability-of-F-to-remove >=,100).

4

Lingk_klg

Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <=,050, Probability-of-F-to-remove >=,100).

5

Pend_Ibu

Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <=,050, Probability-of-F-to-remove >=,100).

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

67


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

Model Summary Model

R

R Square

1 2 3 4 5

,504a ,606b ,681c ,700d ,704e

,254 ,367 ,464 ,490 ,496

Adjusted R Square ,252 ,364 ,460 ,485 ,489

Std. Error of the Estimate 5,53456 5,10434 4,70121 4,59246 4,57278

a. Predictors: (Constant), Partisipasi b. Predictors: (Constant), Partisipasi, Stat_ekonomi c. Predictors: (Constant), Partisipasi, Stat_ekonomi, Pend_ayah d. Predictors: (Constant), Partisipasi, Stat_ekonomi, Pend_ayah, Lingk_klg e. Predictors: (Constant), Partisipasi, Stat_ekonomi, Pend_ayah, Lingk_klg, Pend_Ibu Dari tampilah output SPSS terdapat 5 model, model 1 determinan prestasi belajar adalah partisipasi orang tua, besarnya adjusted R2 adalah 0,252; hal ini berarti 25,20% variasi prestasi belajar siswa dapat dijelaskan oleh variasi partisipasi orang tua. Sedangkan 74,80% dijelaskan oleh sebab atau faktor lain di luar model ini. Standar error of estimated (SEE) sebesar 5,53456. Hal ini jika lebih kecil lagi dapat membuat model regresi makin lebih tepat dalam memprediksi prestasi belajar siswa. Dengan demikian manajemen mutu sekolah haruslah memberi perhatian utama pada partisipasi orang tua, terlebih begitu besar sumbangannya. Model 2 determinan prestasi belajar disamping partisipasi orang tua, adalah status ekonomi keluarga, besarnya adjusted R2 adalah 0,364; hal ini berarti 35,40% variasi prestasi belajar siswa dapat dijelaskan oleh variasi partisipasi orang tua bersama status ekonominya. Dengan demikian manajemen mutu sekolah haruslah memberi perhatian pada partisipasi orang tua dan status ekonominya, terlebih begitu besar sumbangannya. Model 3 determinan prestasi belajar selain partisipasi orang tua dan status ekonomi keluarga adalah tingkat pendidikan ayah, besarnya adjusted R2 adalah 0,460; hal ini berarti 46,40% variasi prestasi belajar siswa dapat dijelaskan oleh variasi partisipasi orang tua, status ekonomi bersama tingkat pendidikan ayah. Dengan demikian manajemen mutu sekolah haruslah memberi perhatian pada partisipasi orang tua dan status ekonomi dengan memperhatikan tingkat pendidikan ayah, mengingat kombinasi 3 variabel ini menjadikan begitu besar sumbangannya. Model 4 determinan prestasi belajar selain partisipasi orang tua, status ekonomi keluarga dan tingkat pendidikan ayah adalah lingkungan keluarga, besarnya adjusted R2 adalah 0,484; hal ini berarti 48,50% variasi prestasi belajar siswa dapat dijelaskan oleh variasi partisipasi orang tua, status ekonomi tingkat pendidikan ayah bersama linkungan keluarga. Memang sedikit terjadi peningkatan prestasi, namun 2,10% ini cukup berarti terutama bagi siswa yang posisi nilai tesnya berada disekitan batas ketuntasan. Dengan demikian manajemen mutu sekolah haruslah memberi perhatian pada partisipasi orang tua dan status ekonomi, tingkat pendidikan ayah dengan memperhatikan lingkungan keluarga, mengingat kombinasi 4 variabel ini menjadikan lebih besar sumbangannya terhadap hasil belahjar. Model 5 determinan prestasi belajar selain partisipasi orang tua, status ekonomi keluarga dan tingkat pendidikan ayah, lingkungan keluarga adalah pendidikan ibu, besarnya adjusted R2 adalah 0,489; hal ini berarti 48,90% variasi prestasi belajar siswa dapat dijelaskan oleh variasi Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

68


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

partisipasi orang tua, status ekonomi tingkat pendidikan ayah, linkungan keluarga bersama tingkat pendidikan ibu. Memang sedikit terjadi peningkatan prestasi, namun 0,40% ini juga cukup berarti terutama bagi siswa yang posisi nilai tesnya berada disekitan batas ketuntasan. Dengan demikian manajemen mutu sekolah haruslah memberi perhatian pada partisipasi orang tua, status ekonomi, tingkat pendidikan ayah, lingkungan keluarga dengan memperhatikan tingkat pendidikan ibu, mengingat kombinasi 5 variabel ini menjadikan lebih besar sumbangannya terhadap hasil belahjar. Kelima model tersebut memang teruji signifikan mengingat dari hasil uji ANOVA atau F tes, diperoleh F hitung dengan tingkat probabilitas atau signifikansi 0,000. PENUTUP Orang tua sampel penelitian ini cukup bervariasi baik menurut gender anak, besaran keluarga, Sarana yang ada dalam keluarga, Aset yang dimiliki, termasuk sarana belajar anak; demikian juga prestasi belajar siswa, secara keseluruhan rata-rata prestasi dari semua mata pelajaran yang diteliti termasuk belum baik, masih ada sekitar 15% siswa mengalami masalah dengan rendahnya prestasi yang dimilikinya. Terdapat suatu pola partisipasi orang tua yang belum tinggi. Tingkat pendidikan sebagian besar ayah adalah SLTA dan Perguruan Tinggi. Walau kecenderungannya sama, jumlah ibu yang berpendidikan SLTA dan sarjana muda/diploma lebih kecil daripada ayah. Sebagian besar orang tua siswa termasuk keluarga yang lengkap. Terdapat variasi orang tua berdasarkan pola asuhnya. Ternyata sebagian besar orang tua menerapkan pola asuh yang oautoritatif, sebagian lagi non direktive. Hanya sedikit sekali yang menerapkan pola asuh otoriter dan pengabaian atau un-involved. Sebagian besar orang tua mengusahakan kelengkapan sarana belajar/kualitas lingkungan keluarga termasuk kategori lengkap. Ternyata terdapat variasi orang tua yang signifikan berdasarkan lingkungan keluarganya dan status ekonomi. Berdasarkan hasil analisa dapatlah dsimpulkan tentang partisipasi orang tua dalam pendidikan anknya; menurut jenjang partisipasi mereka seperti guci. Jumlah pada jenjang tradisional sedikit, kemudian terbanyak pada jenjang transisi kemudian turun jumlahnya sedikit lagi pada jenjang ketiga yaitu reformis. data ini memperkuat dugaan bahwa sekolah belum memberi perhatian serius terhadap manajemen partisipasi orang tua. Partisipasi orang tua berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap prestasi belajar siswa sesar 25,20%. Penelitian ini menghasilkan 5 model yang akhirnya dapat dipakai untuk menjelaskan determinan prestasi belajar siswa. Model 1 determinan prestasi belajar adalah partisipasi orang tua, besarnya 25,20%; Model 2 determinan prestasi belajar disamping partisipasi orang tua, adalah status ekonomi keluarga, besarnya 35,40%; Model 3 determinan prestasi belajar selain partisipasi orang tua dan status ekonomi keluarga adalah tingkat pendidikan ayah, besarnya 46,40%; Model 4 determinan prestasi belajar selain partisipasi orang tua, status ekonomi keluarga dan tingkat pendidikan ayah adalah lingkungan keluarga, besarnya 0,484; Model 5 determinan prestasi belajar selain partisipasi orang tua, status ekonomi keluarga dan tingkat pendidikan ayah, lingkungan keluarga adalah pendidikan ibu, besarnya adalah 0,489. Berdasarkan hasil seperti di atas maka sekolah yang akan meningkatkan mutunya perlu membuat keputusan pengembangan kemitraan keluarga-sekolah untuk berbagai aspek manajemen sekolah, pengembangan kepemimpinan kepala sekolah beserta wakilnya serta guru dengan melibatkan orang tua sebagai porosnya, sehingga perlu peningkatan kapasitas organisasi sekolah dengan pemberdayaan orang tua/keluarga dan guru dalam rangka manajemen kurikulum/ pengajaran; Lima model determinan prestasi belajar siswa dapat dijadikan alternatif pengembangan manajemen partisipasi orang tua dalam peningkatan mutu sekolah dengan memfungsikan manajemen hubungan masyarakat utamanya dengan orang tua yang ditunjang manajemen kesiswaan yang dipercayakan pada layanan bimbingan konseling, dukungan sarana prasarana demi efektivitas dan kualitas pendidikan sekolah.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

69


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan…/Slameto

2013

DAFTAR PUSTAKA Ammon, M.S., Furco, A., Chi, B., and Middaugh, E. 2002. Service Learning in California: A Profile of the Cal serve Service Learning Partnership (1997-2000). Service-Learning Research and Development Center, University of California, Berkley. Baker, A.J.L and Soden, L.M. 1998. The Challenges of Parent Involvement Research. Eric Digests http://www.ed.giv/databased/ERICDigest ed41903.html Bergeson, T. (31/7/04). What Makes A School Successful? Http://www.K12.Wa.Us/SchoolImprovement/involvement.aspx (31/7/04) Bridge, R.G., Jud, C.M. and Moock, P.R. 1979. The Determinants of Education Outcomes. Cambridge: Ballinger Publishing Company Brilliant, C.D.G. 2001. Parental Involvement in Education: Attitudes and Activities of Spanish – Speakers as Affected by Training. Bilingual Research Journal. Vol.25 No. 3: 251-274. Brown, P.J. 2002. Parental Involvement. Education. Policy Brief. Vol. 10, March: 1-5. Dewanto dan Tarmudji, T. 1995. Metode Statistika. Yogyakarta: Liberty. Dong-il, K. 2004. Pre-Referral Stage in School. htp://apedsner.ac.kr/cyberedu/cyberedu1/eng14-01.html (11/9/04) Farguhar, S.E. 2003. Quality Teaching Early Foundations: Best Evidence Synthesis. Wellington: Ministry of Education, New Zealand. Gershberg, A.I.and Shatkin, G. 2002. Empowering Parents and Building Communities: the Role of SchoolBased Councils in Educational Governance and Accountability. Working Paper # 2002-004. New York: The New School University, CDRC. Golan, S. and Peterson, D. 2002. Promoting Involvement of Recent Immigrant Families in Their Children’s Education. http://www.Piqe.Org/Assets/Specialprj/Family involvement.Htm. (9/27/04) Hale, L.M. 2003. Student Perception of Parental Involvement and Grade 5 Reading and Math Achievement. Dissertation. Baylor University. Harvard Family Research Project. 2000. Family and Schools Together: Building Organizational Capacity for Family School Partnership. Harvard College. Henderson, A.T. and Mapp, K.L.2002. A New Wave of Evidence: The Impact of School, Family, and Community Connections on Student Achievement. Austin: Southwest Educational Development Laboratory. Hoover, A. 2002. Parent Play a Vital Role in Kids Grades, The Detroit News, September. http://www.bridges4kids.org/articiles/9-02/DetroitNews9-9-02.html. (31/7/04) Hoover-Dempsey, K.V., Battiato, A.C., Walker, J.M.T., Reed, R.P., DeJong, J.M. and Jones, K.P. 2001. Parental Involvement in Home Work. Educational Psychologist. Vol.36. No 3: 195-209. Jesee, D. 2002. Increasing Parental Involvement: A Key to Student Achievement. http://www.mcrel.org/products/ noteworthy/danJ.html. (12/17/02). Lunenburg, F.C. and Irby, B.J. 2001. Parental Involvement a Key to Student Achievement. Research in Educational Leadership. http://www.shsu.edu/~elj/journal/chapter8new.pdf. (31/7/04) Martin J., Tett, L. and Kay, H. 1999. Developing Collaborative Partnerships: Limit and Possibilities for Schools, Parents and Community Education. International Studies in Sociology of Education. Vol. 9 No. 1: 5975. McIntosh, H. 2003. A Descriptive Profile of Parental Involvement in Selected Kentucky Middle Schools. Dissertation. University of Kentucky. Mizala, A. and Romaquera, P. 2002. Equity and Educational Performance. http://www.Uam.Es/Ontros/ Rimace/Bibioteca/Documentos/Mizala_Romaquera (2002).pdf. (31/7/04) Muller, C. 1998. Gender Differences in Parental Involvement and Adolescents’ Mathematics Achievement. Sociology of Education. 71. 4: 336-356 Mulyasa. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nord, C.W., Brimhall, D. and West, J. 1997. Fathers’ Involvement in their Children’s Schools. US Department of Education: Office of Educational and Improvement. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

70


Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan‌/Slameto

2013

Owen, R.C. (2004). Components of Comprehesive School Reform. http://Www.Rowen.Com/ Tlnresearchsup/Rase%203%2010%205%20research%20 components.Doc. (31/7/04) Robinson, C. 2003. An Investigation of Parent Participation in the Charter Schools of Oregon. Thesis. University Of Oregon. San Diego Country of Education. 1997. Notes from Research: Parent Involvement and Student Achievement. http://www.sdcoe, k12ca.us/notes/51/parstu.html (10/3/04) Sugiyono. 1997. Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta. Surya, M. 2003. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya. The State of Texas Education, 1999. Parental Involvement in Education. http://www. cpppp.org/kidsource/education/welcome.html. (10/4/04) Thornton, P.D. 2003. Selected Correlates of Rhode Island High School Students’ English and Mathematics Achievement. Dissertation. Johnson And Wales University.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

71


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta‌/Meita‌

2013

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DUSUN SUKOHARJO, ARGODADI, SEDAYU, BANTUL, YOGYAKARTA BERBASIS MODAL SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Oleh: Meita Wulan Sari Mahasiswa Pendidikan Biologi UNY ABSTRAK

Bentuk pembangunan daerah berbagai macam, salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat. Dengan pengembangan masyarakat berarti kita memberikan kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk dapat mendayagunakan sumber daya yang ada dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga dapat digunakan untuk mengembangkan kewenangan menentukan masa depan suatu komunitas masyarakat. Salah satu komunitas masyarakat yang mempunyai potensi besar dalam sumber daya alam serta sumber daya manusia adalah Dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Untuk mendapatkan model pemberdayaan masyarakat yang tepat sertaberhasil hendaknya berbasis modal sosial. Modal sosial yang paling menonjol di desa Sukoharjo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta adalah rasa guyup rukun-gotong royong. Hal ini dapat terlihat dari aktivitas warga dalam kegiatan masyarakat. Untuk itu, model pemberdayaan masyarakat yang cocok untuk Dusun Sukoharjoadalah model pemberdayaan masyarakat dengan sistem partisipatif berkelompok. Kata kunci : modal sosial, pemberdayaan masyarakat

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan masyarakat di Indonesia sudah lama berlangsung. Entah itu yang dilakukan oleh masyarakat sendiri ataukah yang dilakukan oleh pemerintah. Bentuknya bisa berupa pengembangan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan), peningkatan pendapatan, infrastruktur dan pengembangan organisasi-organisasi sosial ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa kebutuhan sumberdaya alam semakin banyak dan senantiasa menghadapi berbagai kendala yang semakin serius, terutama di wilayah pedesaan. Dalam kondisi seperti ini diperlukan prioritas pemanfaatan keunggulan sumberdaya alam dan sumberdaya wilayah lainnya dengan melibatkan secara penuh segenap potensi masyarakat, terutama di daerahdaerah yang potensi sumberdaya alamnya sangat terbatas dan kondisi pembangunan wilayahnya masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Dalam kondisi seperti ini diperlukan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi proyek daerah secara cepat, tepat dan akurat. Berdasarkan konsep pembangunan berbasis masyarakat yang dikemukakan oleh Hasbullah (2006) diketahui bahwa keberhasilan pembangunan masyarakat perlu dilihat dari beberapa modal komunitas yang terdiri dari : (a) modal manusia (human capital), yakni berupa kemampuan personal seperti pendidikan, kesehatan, pengetahuan, keahlian, dan keadaan terkait lainnya; (b) modal sumber daya alam (natural capital) seperti perairan laut, (c) modal ekonomi produktif (produced economic capital) berupa asset ekonomi dan finansial serta asset lainnya, dan (d) modal sosial (social capital) berupa norma/nilai, partisipasi jaringan, proactivity. Modal manusia, modal sumber daya alam, dan modal ekonomi produktif sudah banyak dikerjakan oleh pemerintah. Sedangkan untuk modal sosial masih banyak diabaikan dalam pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan salah satu penyebab ketidakberhasilan kinerja pembangunan daerah. Sistem sosial masyarakat hendaknya menjadi dasar bagi pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, pemanfaatan modal sosial dalam perencanaan model pemberdayaan masyarakat merupakan hal yang sangat krusial dan mendesak dalam rangka memberdayakan potensi yang ada untuk kesejahteraan masyarakat. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

72


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta‌/Meita‌

2013

Salah satu dusun yang kesejahteraan masyarakatnya masih dibawah adalah Dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul, Argodadi, Sedayu, Bantul. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul, Argodadi, Sedayu, Bantul adalah petani. Ada banyak permasalahan yang terjadi pada petani di dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul, Argodadi, Sedayu, Bantul. Pertama, aliran air di dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul tidak lancar. Hanya pada musim-musin hujan masyarakat dapat menanan padi. Pada musim kemarau, masyakarat kekurangan air. Ini menyebabkan masyarakat Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul hanya mampu panen satu sampai dua kali. Kedua, harga beras di pasaran saat ini sudah cukup tinggi. Akan tetapi, jika masa panen tiba harga jual petani menjadi menurun. Harga beras per kilo gram dihargai kira-kira Rp 6.000,00. Oleh karena itu, beras yang dihasilkan dari panen hanya digunakan untuk konsumsi masyarakat. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya masyarakat Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul tidak hanya menanam padi. Masyarakat juga menanam palawija di lahan kering. Pemanfaatan lahan kering untuk menanan berbagai macam palawija, sayuran sudah lama dilakukan. Hasil dari pemanenan di lahan kering inilah yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hasil panen dijual kepada tengkulak. Hasil dari penjualan hasil panen ini pun tidak seberapa. Ini juga yang merupakan penyebab mengapa sebagian besar masyarakat beralih menjadi buruh; entah buruh pabrik maupun bangunan. Hasil yang didapatkan dari pertanian tidak menjanjikan untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejatinya, ada banyak potensi yang dapat digali kemudian dikembangkan oleh warga Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul. Selain lahan basah serta lahan kering, masyarakat memiliki lahan huni yang cukup besar. Lahan huni biasanya terdiri dari lahan yang digunakan untuk bangunan serta lahan kosong yang biasanya digunakan untuk pekarangan. Lahan pekarangan inilah yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Beberapa masyarakat menanami lahan pekarangan dengan berbagai macam jenis umbi-umbian, salah satunya adalah garut. Tanaman garut merupakan tanaman umbi-umbian yang sudah dibudidayakan di pedesaan sejak dahulu dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat alternatif. Tanaman yang memiliki nama latin Maranta arundinacea Linn. ini tumbuh tersebar di beberapa wilayah di Indonesia dan dikenal dengan nama lokal, misalnya sagu betawi, sagu belanda, ubi sagu, arerut atau arirut (Melayu); angkrik, arus, irut, jelarut, larut, erut (Jawa); larut atau patat sagu (Sunda); arut, selarut atau laru (Madura); labia walanta (Gorontalo); huda sula (Ternate), peda sula (Halmahera); dsb (Rahmat Rukmana, 2000; Suswadi, 2004). Tanaman garut telah lama dikenal oleh masyarakat pedesaan sebagai sumber karbohidrat selain tanaman umbiumbian yang lain. Dulu, tanaman ini banyak dikonsumsi sebagai makanan tambahan yang diolah dalam bentuk bubur (Jawa: jenang). Sejak tahun 1998 pemerintah telah mencanangkan tanaman garut sebagai salah satu komoditas bahan pangan yang mendapatkan prioritas untuk dikembangkan karena memiliki potensi sebagai pengganti tepung terigu. Tanaman garut dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah Indonesia, dapat tumbuh dengan baik pada lahan ternaungi sehingga mudah dibudidayakan dan dipelihara. Daerah budidaya tanaman garut tersebar di Tasikmalaya dan Ciamis (Jawa Barat), Wangla, Ajibarang, Purwokerto, Sampang, Sukaraja, Banyumas, Buntu, Sragen, Boyolali, dan Pemalang (Jawa Tengah), Malang, Blitar, dan Kepanjen (Jawa Timur) (Rahmat Rukmana, 2000). Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sentra tanaman garut terdapat di Kabupaten Sleman, Kulon Progo, dan Gunungkidul. Umbi garut dapat diolah menjadi berbagai macam olahan. Beberapa diantaranya adalah emping garut, tepung garut, pati garut, mie garut, dan lain sebaginya. Saat ini, masyarakat luas memperhitungkan umbi ini. Harga olahan umbi garut sebanding dengan kandungan gizinya. Potensi sumberdaya wilayah ini tampaknya masih belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal, terutama karena terbatasnya modal dan teknologi. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain karena masih terbatasnnya informasi teknologi dan informasi pasar yang diperlukan untuk mengembangkan wilayah tersebut, serta lemahnya akses masyarakat terhadap peluang-peluang bisnis yang ada. Disisi lain, masyarakat mempunyai modal sosial (misalnya komunitas masyarakat) yang dapat digunakan sebagai modal untuk memperkuat suatu komunitas, dalam hal ini komunitas dusun Sukoharjo. Selain itu masih Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

73


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta‌/Meita‌

2013

banyak modal sosial masyarakat Dusun Sukoharjoyang dapat digunakan sebagai modal pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, perlu model pemberdayaan masyarakat mengenai umbi garut berbasis modal sosial. Permasalahan Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan daerah. Beberapa permasalahan penting yang mengemuka berkaitan dengan aspek pembangunan daerah adalah: 1) Bagaimana model pemberdayaan masyarakat dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul berbasis modal sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ? Tujuan Secara umum, tujuan kajian ini adalah untuk mendapatkan model pemberdayaan masyarakat yang efektif, efisien di dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul. Tujuan khususnya adalah: 1) Mengetahui model pemberdayaan masyarakat mengenai umbi garut dengan berbasis pada modal sosial dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial Modal sosial adalah hubungan yang sifatnya mutual, kepercayaan, kelembagaan, nilai dan norma sosial lainnya yang berperanan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hubungan tersebut dapat bersifat formal maupun informal. Hubungan formal dalam masyarakat misalnya yang terjadi melalui organisasi masyarakat, kelompok keagamaan, koperasi, partai politik dan sebagainya, sedangkan hubungan sosial yang informal misalnya interaksi sosial antara masyarakat dalam satu lingkungan. Hal yang sangat menentukan dalam penguatan modal sosial adalah intensitas interaksi antara warga masyarakat atau dengan pihak terkait, yang dapat berperan menjadi ruang publik yang partisipatif dan efektif. Modal sosial terbentuk melalui berbagai interaksi sosial dan institusi sosial yang menggerakkan masyarakat,. Menurut salah satu penggagas modal sosial, Robert Putnam, modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial berupa hubungan sosial dan rasa saling percaya yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama (Putnam 1995). Seperti halnya modal yang lain, modal sosial dapat meningkat dan dapat pula menurun bahkan menghilang.Selanjutnya dikatakan bahwa hasil penelitian Putnam di Italia menggambarkan adanya korelasi positif antara modal sosial dan kinerja pemerintah daerah. Putnam menyimpulkan bahwa modal sosial mempunyai peranan penting dalam penciptaan pemerintah daerah yang responsif dan efisien, yang ditandai dengan adanya masyarakat yang kuat dan dinamis. Selain itu arus balik kekuasaan dari pusat ke daerah dalam kerangka desentralisasi mensyaratkan partisipasi lokal dalam pembangunan daerah dan modal sosial merupakan kekuatan tidak terlihat yang dapat mendorong keberhasilan partisipasi lokal tersebut. Dengan demikian penting sekali bagi pemerintah daerah memahami ide modal sosial terlebih dalam implementasi kebijakan-kebijakan di daerah dalam kerangka desentralisasi. Konsep modal sosial berasal dari James Coleman dalam tulisannya yang berjudul ‘Social Capital in the Creation of Human Capital’yang diterbitkan oleh American Journal of Sociology tahun 1988. Modal sosial diartikan sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antara individu-individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Konsep ini kemudian dielaborasi terkait dengan isu-isu pembangunan ekonomi masyarakat yang partisipatif, maupun politik. Dikatakan modal sosial apabila mengandung tiga komponen inti, yaitu: 1) kemampuan merajut kelembagaan (crafting institution); 2) adanya partisipasi yang setara dan adil, dan 3) adanya sikap saling percaya. Modal sosial salah satu unsur yang sangat penting dalam pencapaian tujuan suatu bangsa. Dalam menyongsong era globalisasi dan era lepas landas, setiap bangsa memerlukan sumber daya manusia (SDM) dalam perspektif modal sosial yang memiliki keunggulan prima dan memiliki kualitas tinggi yaitu di samping menguasai iptek juga harus memiliki sikap mental dan soft skill sesuai dengan kompetensinya. Modal sosial yang besar harus dapat diubah Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

74


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta‌/Meita‌

2013

menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Tindakan yang cermat dan bijaksana harus dapat diambil dalam membekali dan mempersiapkan modal sosial, sehingga benar-benar menjadi aset pembangunan bangsa yang produktif dan bermanfaat serta berkualitas untuk pendampingan dalam proses pengembangan masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan kesempatan, kemauan/motivasi, dan kemampuan masyarakat untuk dapat lebih akses terhadap sumber daya, serta mengembangkan kewenangan untuk itu, sehingga meningkatkan kapasitasnya untuk menentukan masa depan sendiri dengan berpartisipasi dalam mempengaruhi dan mewujudkan kualitas kehidupan diri dan komunitasnya. Tujuan jangka pendek pemberdayaan sebaiknya jelas (specific), terukur (measurable) dan sederhana (relistic), sehingga merupakan kondisi yang mendorong minat masyarakat untuk mewujudkannya ( achievable) dalam waktu tertentu. Tujuan pemberdayaan yang lebih kompleks perlu ada dan sebaiknya ditetapkan sebagai tujuan dalam jangka panjang ( vision). Visi yang jelas berpotensi untuk menjadi pemandu kegiatan kerjasama diantara masyarakat untuk menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek pemberdayaan, sehingga proses pemberdayaan menjadi lebih terarah, efektif dan efisien. Hal ini disebabkan setiap proses pemberdayaan menuju pada suatu kondisi kehidupan di masa yang mendatang yang lebih jelas. Tujuan pemberdayaan seyogyanya didasarkan pada kebutuhan riil (real-needs) masyarakat dan bukan hanya sekedar kebutuhan yang dirasakan ( felt-need). Idealnya kebutuhan yang dirasakan masyarakat adalah kebutuhan riilnya. Oleh karena itu, siapapun pelaku pemberdayaan semestinya mampu mengenali dengan baik kebutuhan riil masyarakat dan secara dialogis dikomunikasikan sedemikian rupa dengan masyarakat, sehingga menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat. Dalam kontek penerapan tanggungjawab sosial perusahaan yang akhir-akhir ini cukup banyak dikembangkan, kebutuhan yang diangkat sebagai tujuan dalam pemberdayaan seyogyanya merupakan konsensus antara pihak-pihak yang mendefinisikan kebutuhan, misalnya pemerintah, perusahaan, masyarakat/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemberdaya atau pemberi pelayanan serta akademisi/peneliti. Peran pemberdaya mengupayakan dialog antara para pendefinisi kebutuhan sehingga diperoleh konsensus mengenai kebutuhan masyarakat secara partisipatif. Diutamakan, pendefinisian kebutuhan oleh masyarakat sendiri, dengan cara mengajak orang untuk berdialog dan mengembangkan kemampuan warga untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka yang sesungguhnya (Sumardjo 2009). Salah satu prinsip penting dalam pemberdayaan adalah menghargai nilai lokal ( valuing the local). Prinsip-prinsip ini tersirat oleh gagasan pembangunan yang bersifat “bottom up�. Prinsip-prinsip ini berpusat pada gagasan untuk menghargai pengetahuan lokal, nilai-nilai, keyakinan, keterampilan, proses dan sumber daya suatu masyarakat. Dengan demikian lebih mudah meyakinkan masyarakat dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan tersebut (Sumardjo 2007). Pemahaman paradigma dalam pengembangan kapasitas petani bergeser dari masa ke masa. Pada masa sistem pembangunan pertanian yang sentralistik tampak prioritas dalam penyuluhan adalah (Sumardjo 2009) better farming, better business, better living; Masa Transisi Agribisnis-Reformasi adalah better business, better farming, better living; dan masa Reformasi adalah Better living, better business, better farming. Pada masa pembangunan yang sentralistik teknik produksi dikembangkan secara intensif melalui kegiatan penyuluhan, penelitian dan pelayanan untuk mencapai target-target produksi. Dengan teknik produksi yang baik maka akan terjadi bisnis usaha tani yang baik yang selanjutnya diharapkan meningkatkan kualitas hidup. Dalam penyuluhan saat itu dikenal istilah dipaksa-terpaksa-terbiasa, sehingga menjadi apatis. Faktanya, kesejahteraan petani kurang terwujud, bisnis pun kurang berkembang meskipun petani sudah menggunakan teknologi pertanian inovatif. Konsep agribisnis demikian gencar digerakkan pada awal reformasi dengan prinsip better business, better farming dan better living . Utamanya adalah pengembangan kemampuan bisnis, karena dengan kemampuan bisnis yang baik maka petani akan memilih Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

75


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta‌/Meita‌

2013

menerapkan teknologi pertanian yang terbaik. Faktanya, sistem agribisnis yang asimetris menyebabkan kemampuan bisnis tetap lemah, karena tersekat-sekat oleh terputusnya informasi hulu-hilir dalam sistem agribisnis. Hasilnya, kesejahteraan petani juga kurang terwujud, karena tidak efektif terjadi perubahan perilaku bisnis, posisi tawar petani tetap rendah. Dewasa ini, pada akhir dekade reformasi hipotesis muncul yang perlu diutamakan adalah better living, dengan kualitas hidup yang baik maka perilaku konsumtif terkendali dan perilaku produktif berkembang, tingkat pendidikan dan pengelolaan keuangan keluarga menjadi kondusif, maka keputusan-keputusan bisnis usahatani menjadi terdukung. Pada kondisi seperti itu, inovasi teknologi lebih dapat dicerna karena daya nalar yang semakin baik. Pada musimmusim panen raya petani tidak harus buru-buru menjual hasil produksinya dengan harga murah, tetapi melakukan pengolahan hasil untuk mendapatkan nilai tambah. Hasil usaha tani ditabung dan diinvestasikan pada usaha produktif, sehingga penghasilan meningkat dan pada gilirannya tersedia dana untuk akses informasi dan akses inovasi di dalam berusaha tani. PEMBAHASAN Analisis Modal Sosial Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogyakarta Desa Sukoharjo terletak di Kelurahan Argodadi, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Dusun Sukoharjoterdiri dari empat rukun tetangga; RT RT 43, RT 44, RT 45, RT 46. Jumlah masyarakat Sukoharjo kurang lebih berjumlah tujuh ratus orang dengan total keluarga 187. Dengan latar belakang sumber daya alam yang didominasi oleh persawahan, perkebunan, serta pendidikan, sebagian besar masyarakat Sukoharjo bermatapencaharian sebagai petani. Selain sebagai petani, sebagian dari mereka bekerja sebagai buruh di industri tenun rumah tangga di sekitar dusun Sukoharjo. Masyarakat memilih untuk menjadi buruh untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pendapatan menjadi seorang petani tidak menentu. Jika menjadi buruh, masyarakat mampu memperoleh pendapatan sekitar Rp 15.000,00 sampai Rp 20.000,00. Apabila menjadi buruh di kota pendapatan perhari yang mampu di dapatkan sekitar Rp 25.000,00 sampai dengan Rp 30.000,00. Dengan memakan waktu serta jarak yang cukup lama, pendapatan ini tidak cukup seimbang. Mata pencaharian yang saat ini digeluti oleh masyarakat Sukoharjo ditentukan juga oleh pendidikan yang ditempuh. Masyarakat sudah menyadari arti penting pendidikan. Tidak ada masyarakat Sukoharjo yang tidak mengenyam bangku sekolah. Walaupun satu tahun terakhir ini, ada dua masyarakat yang hanya sampai di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Permasalahannya adalah orang tua dari masyarakat tidak dapat membayar biaya sekolah. Walaupun berada di tengah keterbatasan, ada tujuh masyarakat Sukoharjo yang mengenyam bangku perguruan tinggi dan sisanya adalah lulusan sekolah menengah atas. Dengan kondisi pendidikan yang cukup baik, ini dapat dijadikan sebagai modal bagi pembangunan dusun Sukoharjo. Kondisi sosial masyarakat Sukoharjo cukup bagus. Strata masyarakat Dusun Sukoharjotidak beragam sehingga tidak ada kesenjangan antar masyarakat. Masyarakat Sukoharjo adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi persaudaraan. Kegiatan gotong royong yang masih kental menunjukkan guyup rukun yang apik. Tidak hanya gotong royong, ronda bergilir serta pengambilan jimpitan pun masih berjalan dengan lancar. Dari kegiatan pengambilan jimpitan ini setiap dua minggu masyarakat berkumpul di rumah Kepala Dusun untuk menghitung berapa total jimpitan yang didapatkan setiapdua minggu. Jimpitan ini adalah jimpitan beras. Setiap hari masyarakat harus menyediakan beras sebanyak satu tutup botol. Setiap hari pula para warga yang bergilir ronda memeriksa keamanan dusun sembari mengambil jimpitan tersebut. Hasil dari kegiatan ini akan dimasukkan kedalam kas dusun. Uang kas akan diputar sebagai dana simpan pinjam. Selain kegiatan ini, masyarakat Sukoharjo juga memiliki beberapa komunitas; terdapat komunitas khusus bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, dan anak-anak. Komunitas bapak-bapak terdiri dari komunitas kelompok ternak. Komunitas untuk ibu-ibu terdiri dari PKK, komunitas pengajian. Komunitas remaja terdiri dari karang taruna. Sedangkan untuk komunitas anak-anak adalah kegiatan TPA. Dalam penjelasan diatas nampak bahwa organisasi serta guyup rukun masyarakat Sukoharjo cukup kuat. Modal sosial berupa

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

76


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta‌/Meita‌

2013

nilai kekeluargaan, semangat inilah yang dapat kita jadikan sebagai kekuatan pembangunan masyarakat Sukoharjo. Kepercayaan lokal yang dikaji melalui agama atau kepercayaan yang dianut tercermin dalam kehidupan sosial masyarakat Sukoharjo. Kepercayaan masyarakat dapat tercermin dalam aktivitas serta partisipasi masyarakat dalam kegiatan keagamaan serta tingkah laku masyarakat. Kegiatan keagamaan masyarakat Sukoharjo dilakukan pada setiap jenjang umur. Selain itu juga ada kegiatan keagamaan untuk seluruh masyarakat Sukoharjo setiap malam Jumat pahing. Kepercayaan kepada Tuhan juga tercermin dalam tindak-tanduk masyarakat. Berdasarkan penuturan Kepala Dukuh, solidaritas, keamanan masyarakat senantiasa terjaga. Dusun Sukoharjomemiliki luas 72 ha. Dengan rincian sebagai berikut : lahan huni seluas 50 ha, lahan kering seluas 10 ha, dan lahan basah seluas 12 ha. Jumlah rumah yang ada di Dusun Sukoharjoadalah 187 rumah. Setiap rumah rata-rata memiliki sisa lahan huni yang cukup luas. Sisa lahan ini digunakan untuk halaman rumah yang difungsikan sebagai kebun, dan lain sebagainya. Sisa lahan ini biasanya ditanami berbagai macam umbi, salah satunya adalah Garut. Garut belum dibudidayakan secara optimal oleh masyarakat Sukoharjo. Padalah kandungan gizi dan harga garut relatif tinggi. Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogyakarta Berbasis Modal Sosial Gambar 1 merupakan model atau kerangka sederhana untuk melihat hubungan yang erat antara modal sosial dan pemberdayaan masyarakat, dalam hal ini pengelolaan umbi umbi garut di desa Sukoharjo. Modal pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam pengelollan umbi garut dapat dikembangkan dengan menggunakan kerangka pemikiran atau model sederhana seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. Terlihat bahwa budaya dan nilai-nilai menjadi penentu kea rah mana, dengan landasan pengetahuan dan dengan cara atau teknologi seperti apa suatu kegiatan pengelolaan umbi Garut. Model pengelolaan umbi garut tidak semata-mata dipandang sebagai objek material pemberdayaan masyarakat, melainkan perlu juga dipandang sebagai subyek material dan budaya. Keberhasilan pengelollan umbi garut di Sukoharjo akan sangat ditentukan oleh budaya dan nilai-nilai dalam bentuk modal sosial di masyarakat. Model pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan oleh pemerintah selama ini lebig menekankan pada pemberian bantuan fisik kepada petani dan pengenalan melalui kegiatan percontohan fisik di lapangan. Aspek penguasaan pengetahuan dan teknologi di masyarakat Sukoharjo memang belum sepenuhnya memadai. Masyarakat telah memperoleh ilmu dasar serta sedikit perkembangan dalampertanian dan perkebunan. Pembekalan hendaknya dilakukan secara holistic, dari pengetahuan, teknologi,serta modal sosial. Pemberdayaan masyarakat berupa pengelolaan umbi garut ini harus didasarkan pada modal sosial. Modal sosial akan senantiasa berubah seiring dengan dinamika budaya dalam masyarakat setempat. Dalam gambar 1 dapat juga ditunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak semata-mata melihat pengelolaan masyarakat sebagai obyek pasif. Keberadaan pengelolaan garut di Sukoharjo tidak bisa dipisahkan dari system kehidupan masyarakat setempat. Dalam pengelolaan garut termuat aspek pemberdayaan masyarakat setempat. Dalam perspektif pembangunan pedesaan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat yang diterjemahkan dalam bentuk pemberian bantuan dan pengetahuan fisik pada masyarakat pedesaan hanya sesuai pada tahap pengenalan awal. Pendekatan semacam ini yang dilakukan terus menerus oleh pemerintah tidak saja akan membuat partisipasi masyarakat pedesaan menjadi sangat dangkal (shallow participation, Malvicini and Sweetser, 2003), melainkan juga tidak akan memperkuat modal sosial yang nota benenya adalah modal utama.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

77


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta‌/Meita‌

2013

Budaya dan Tata Nilai Masyarakat

Pemerintah atas Dusun

Modal Sosial

Masyaraka t setempat

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Umbi Garut

Ilmi pengetahuan tentang Umbi Garut dan Pengelolaan Umbi Garut

Pertanian dan Industri Umbi Garut

Teknologi dan keterampilan dalam pengelolaan umbi garut

Sistem Masyarakat

Gambar 1. Model Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial Pengembangan masyarakat di Sukoharjo, Argodadi, Sedayu, Bantul berupa pengelolaan umbi garut. Ini didasarkan pada pengintegrasian potensi sumber daya alam, sumber daya manusia (modal material), modal sosial, dan juga permintaan pasar. Karena selain sebagai peningkatan kualitas hidup masyarakat Sukoharjo, pemberdayaan ini diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan pendapatan. Dalam pemberdayaan masyarakat ini, pengelolaan umbi garut akan dibagi menjadi beberapa kluster.

Kluster General management Financial Produksi umbi garut

Pengolahan umbi garut 1. Emping 2. Tepung 3. Pati Pengolahan limbah umbi garut

Keterangan General management bertugas untuk mengatur seluruh inkubator. Dari proses pembibitan umbi garut sampai pemasaran hasil pengolahan umbi garut. Mengatur seluruh arus kas dalam inkubator Produksi umbi garut merupakan kluster yang bertugas untuk menghasilkan umbi garut dengan kualitas yang baik sampai super. Mengatur bagaimana caranya agar seluruh lahan masyarakat Sukoharjo dapat dioptimalkan. Pengolahan umbi garut bertugas untuk membuat suatu produk dari umbi garut yang memiliki harga jual yang tinggi. Dalam suatu industri pasti menghasilkan limbah. Demikian pula pengolahan umbi garutt. Limbah umbi garut antara lain berupa kulit serta ampas (jika dibuat pati). Kluster ini bertugas untuk memikirkan bagaimana cara memanfaatkan limbah umbi garut ini.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

78


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta‌/Meita‌

2013

Dengan adanya perberdayaan masyarakat yang dilakukan secara holistik dan terpadu harapannya dapat mendatangkan kebaikan bagi seluruh masyarakat. Pengembangan masyarakat hanya efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan beradab, ketika masyarakat secara nyata telah berpartisipasi. Masyarakat akan berpartisipasi apabila mereka berdaya untuk melaksanakannya. Masyarakat hanya akan berdaya dalam berpartisipasi apabila didukung oleh manusia-manusia atau individu masyarakat yang mandiri (autonomous). Penyuluhan merupakan pilar utama dalam mengembangkan kemandirian individu masyarakat tersebut secara partisipatif, adil dan bermartabat (Sumardjo 1999; 2000). Oleh karena itu, pemberdayaan ini ditujukan bagi seluruh masyarakat Sukoharjo. Sebelum pelaksanaan program ini, masyarakat akan digodhog oleh para penyuluh yang sudah handal dibidangnya. Dari penyuluh pertanian dan perkebunan sampai praktisi/penyuluh bidang pemasaran. Modal sosial yang dominan dimiliki oleh masyarakat Sukoharjo adalah solidaritas, kerja keras, serta semangat. Untuk itu akan sangat mudah jika semua turut berpartisipasi membangun masyarakat. Partisipasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig & Mayo 1995; Hikmat 2004). Partisipasi masyarakat merupakan jaminan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemberdayaan menyebabkannya dapat lebih mampu secara proporsional memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Semakin tinggi wawasan, keterampilan seseorang semakin termotivasi untuk semakin berpartisipasi dalam pembangunan. Prinsip-prinsip yang penting dalam pembangunan masyarakat antara lain: 1) keterpaduan pembangunan aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, dan pribadi/ spiritual; 2) mengatasi ketidakberdayaan struktural; 3) menjunjung hak asasi manusia; 4) keberlanjutan; 5) pemberdayaan; 6) kaitan masalah individual dan politik; 7) kepemilikan oleh komunitas; 8) kemandirian; 9) ketidaktergantungan pada pihak lain termasuk pemerintah; 10) keterkaitan jangka pendek dan menengah; 11) pembangunan yang bersifat organik dan bukan mekanistik; 12) kecepatan pembangunan ditentukan sendiri oleh masyarakat; 13) pengalaman pihak luar diadaptasi sesuai kondisi lokal; 14) proses sama pentingnya dengan hasil pembangunan; dan 15) prinsip lainnya seperti proses tanpa paksaan, partisipatif, inklusif, koperatif, serta pengambilan keputusan secara demokratis, dialogis dan berdasarkan konsensus. KESIMPULAN Dalam menyongsong era globalisasi pembangunan daerah senantiasa ditingkatkan. Salah satu upaya untuk meningkatkan pembangunan masyarakat adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayan masyarakat saat ini banyak dilakukan dengan modal material saja. Sehingga hasilnya pun tidak terlalu signifikan. Untuk hasil yang diharapkan, hendaknya ada model pemberdayaan masyarakat yang didasarkan juga pada modal sosial yang ada dalam masyarakat setempat. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan bahwa modal sosial yang dominan di Dusun Sukoharjo adalah solidaritas terhadap sesama. Masyarakat senantiasa bekerja bersama-sama untuk mewujudkan desa yang lebih baik. Oleh karena itu, model pemberdayaan yang cocok bagi masyarakat Sukoharjo adalah pemberdayaan masyarakat dengan sistem inkubator. Dalam sistem inkubator akan dibagi menjadi berbagai macam kluster. Setiap kluster memiliki tugas masing-masing. PJabatan masyarakat akan didasarkan pada pengalaman, pendidikan, dan lain sebagainya. Dengan adanya cluster ini, harapannya, pemberdayaan masyarakat dapat berjalan terpadu sehingga mampu menciptakan hasil yang diharapkan.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

79


Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sukoharjo, Argodado, Sedayu, Bantul, Yogyakarta…/Meita…

2013

DAFTAR PUSTAKA Coleman J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology Supplement 94: S95-S120. Craig G, Mayo (ed.) 1995. Community Empowerment: A Reader in Participation and Development. Zed Books. London. Hasbullah, J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Penerbit MR-United Press. Jakarta. Hikmat H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora. Malvicini, C.F. And A.T. Sweetser. 2003. Modes of Participation (Experiences from RETA 5894 : Capacity Building and Participation Activities II). Poverty and Social Development Papers No.6/July 2003. Regional and Sustainable Development Departement, ADB. http://www.adb.org/Documents/Papers/ModesofParticipation/mode part.pdf. Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78. Sumardjo. 1992. Pembangunan dan Kemiskinan di Timor Tengah Selatan. Dalam Sayogyo (penyunting) “Pembangunan dan Kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Timar”. Yogyakarta: Gama Press. Rahmat Rukmana. 2000. Garut : Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta : Kanisius.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

80


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

PERANAN MODAL SOSIAL DALAM MENUNJANG PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DI JAWA TIMUR Oleh: Herry Yulistiyono, M.Si Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo Madura ABSTRAK

Pembangunan industri dengan mengandalkan kreativitas manusia dan budaya termasuk sumberdaya Jawa Timur yang dapat mensejahterakan masyarakatnya. Industri kreatif bersifat strategis dalam membangun sumber daya manusia Jawa Timur. Pengembangan industri kreatif mendorong Jawa Timur menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan kualitas yang dapat diandalkan. Kegiatan perekonomian di era ekonomi kreatif ini digerakkan oleh industri kreatif yang melihat nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global dengan hanya mengandalkan harga atau mutu produk saja, tetapi harus bersaing berbasiskan inovasi dan kreativitas. Tindakan – tindakan yang dimunculkan dalam proses pemberdayaan yang berupa tindakan norma, sikap proaktif, sampai pada tindakan berbuat kebaikan (resiprocity) merupakan cerminan bahwa modal sosial memiliki peranan penting dalam menompang aktivitas pemberdayaan industri kreatif itu sendiri. Kata kunci: Industri Kreatif, Inovasi dan Kreatifitas, Pemberdayaan

PENDAHULUAN Kesadaran bahwa Indonesia akan kalah bersaing di pasar dunia jika mengandalkan produk berteknologi tinggi sungguh sangat tepat. Konteksnya bukan karena Indonesia adalah bangsa yang minder dalam bidang teknologi, akan tetapi lebih disebabkan karena Indonesia harus lebih fokus dalam mengembangkan produk unggulannya berupa produk-produk berbasis traditional knowledge and arts dan produk-produk yang bersumber pada keanekaragaman hayati Indonesia sendiri. Produk semacam ini jelas memiliki keunggulan competitive dibandingkan dengan produk negara lain karena memiliki karakter yang jelas dan tidak dimiliki oleh negara lain. Kegiatan perekonomian di era ekonomi kreatif ini digerakkan oleh industri kreatif yang melihat nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global dengan hanya mengandalkan harga atau mutu produk saja, tetapi harus bersaing berbasiskan inovasi dan kreativitas. Industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan memberdayakan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut (Kementerian Perdagangan 2009). Menurut Harsono (2010), ekonomi adalah sistem yang berhubungan kegiatan manusia dalam memproduksi, mendistribusikan, pertukaran atau perdagangan, dan mengkonsumsi benda dan jasa yang diciptakannya. Sedangkan kreatif berhubungan dengan kegiatan manusia yang dilandasi oleh sikap mental yang selalu ingin menghasilkan ide-ide baru yang didasari oleh sebuah konsep keindahan. Untuk bisa menghasilkan ide baru dan mempunyai nilai keindahan, maka diperlukan manusia yang mempunyai keahlian dan rasa keindahan yang melebihi kemampuan manusia rata-rata. Ada beberapa kata kunci dalam definisi tersebut, yaitu kreativitas, keterampilan, dan bakat. Hal itu semua akan menjanjikan mata pencarian jika kekayaan intelektual yang kita miliki dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dalam upaya meningkatkan industri kreatif di Indonesia maka Pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru “Ekonomi Kreatif Indonesia�, yakni konsep ekonomi baru yang berorientasi pada kreativitas, budaya, warisan budaya, dan lingkungan. Landasan utama industri kreatif adalah sumber daya manusia Indonesia yang akan dikembangkan sehingga mempunyai peran sentral dibanding faktor-faktor produksi lainnya. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

81


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

Gambaran negara lain atas pengelolaan industri kreatif, best practice mereka mampu menghasilkan penciptaan ‘industri kreatif’ yang dapat mendongkrak perekonomian dan menciptakan lapangan kerja, selain itu juga memunculkan banyak peluang bisnis baru. Di beberapa negara maju seperti Inggris, sumbangan industri kreatif terhadap PDB mencapai 7,9%, melampaui pendapatan dari sektor industri manufaktur yang hanya 5%. Pertumbuhannya rata-rata 9% per tahun, jauh diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara maju yang berkisar 2-3%. Sementara di Australia, industri kreatifnya menyumbang sekitar 3,3% terhadap PDB dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mencapai 5,7% (Simatupang, 2008). Sebagai langkah nyata dan komitmen pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kreatif Indonesia 2025, maka pemerintah telah melakukan kajian awal untuk memetakan kontribusi ekonomi dari industri kreatif yang merupakan bagian dari ekonomi kreatif. Hal ini, kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan "Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015" serta "Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif 2009-2015", dan akhirnya diharapkan setiap departemen teknis terkait akan membuat rencana kerja berupa program dan kegiatan nyata (rencana aksi) yang akan dilakukan untuk mengembangkan sektor industri kreatif ini. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pemerintah daerah harus mengikuti dan mendorong rencana aksi yang telah dibuat oleh pemerintah pusat. Dengan demikian Pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu memperkuat keberadaan industri kreatif di daerah ini, mengingat selama ini Industri kreatif, mampu menciptakan lapangan kerja dan memperkuat citra, identitas daerah serta mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur cukup signifikan. Di Jawa Timur, sektor industri kreatif diasumsikan memberikan kontribusi sebesar Rp. 885,84 triliun pada tahun 2012 dengan share PDRB sebesar 62,28% (Rp. 551,70 triliun). Asumsi tersebut akan memberikan sumbangsih yang sangat signifikan terhadap pembangunan ekonomi Jawa Timur. Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama-sama dengan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Timur dalam mendorong pertumbuhan industri kreatif perlu mempertimbangkan aspek bidang peningkatan SDM, bahan baku, kelembagaan, dan pembiayaan serta dengan memperbanyak jumlah wirausahawan kreatif untuk meningkatkan produktivitas. Pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu juga menciptakan iklim industri kreatif menjadi ajang bisnis yang nyaman dan tahan terhadap guncangan krisis. Berdasarkan hal tersebut maka dipandang perlu untuk dilakukan telaah empiris mengenai kontribusi modal social untuk mendukung keberlanjutan industri kreatif tetap tumbuh dan berkembang di Provinsi Jawa Timur. Rumusan Masalah Rumusan masalah berdasarkan pendahuluan sebelumnya adalah bagaimana peranan modal sosial dalam mendukung perkembangan dan peningkatan kontribusi industri kreatif di Jawa Timur. Tujuan Tujuan yang akan dicapai pada telaah empiris ini adalah mengidentifikasi peranan modal sosial dalam mendukung perkembangan dan peningkatan kontribusi industri kreatif di Jawa Timur Manfaat Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu Pemerintah akan semakin mendorong kebijakan untuk meningkatkan potensi pengembangan industri kreatif sebagai salah satu alternatif pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan sumber informasi tentang ekonomi kreatif yang diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat luas untuk berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pengembangan industri kreatif ini.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

82


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

KAJIAN PUSATAKA Model Pengembangan Industri Kreatif Model pengembangan industri kreatif adalah layaknya sebuah bangunan yang akan menguatkan ekonomi Indonesia, dengan landasan, pilar dan atap sebagai elemen-elemen bangunan tersebut.

Gambar 1. Model Pengembangan Industri Kreatif Pondasi Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Pondasi industri kreatif adalah sumber daya insani (People) Indonesia yang merupakan elemen terpenting dalam industri kreatif. Keunikan industri kreatif-yang menjadi ciri bagi hampir seluruh sektor industri yang terdapat dalam industri kreatif- adalah peran sentral sumber daya insani sebagai modal insani dibandingkan faktor-faktor produksi lainnya. Untuk itu, pembangunan industri kreatif Indonesia yang kompetitif harus dilandasi oleh pembangunan SDM yang terampil, terlatih dan terberdayakan untuk menumbuhkembangkan pengetahuan dan kreativitas. Pengetahuan dan kreativitas inilah yang menjadi faktor produksi utama di dalam industri kreatif. Pilar Utama Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Dalam model pengembangan ekonomi kreatif terdapat 5 pilar yang perlu terus diperkuat sehingga industri kreatif dapat tumbuh dan berkembang mencapai visi dan misi ekonomi kreatif Indonesia. Kelima pilar ekonomi kreatif tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Industry. Industri merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang terkait dengan produksi, distribusi, pertukaran serta konsumsi produk atau jasa dari sebuah negara atau area tertentu. 2. Technology. Teknologi dapat didefinisikan sebagai suatu entitas baik material dan non material, yang merupakan aplikasi penciptaan dari proses mental atau fisik untuk mencapai nilai tertentu. 3. Resources. Sumber daya yang dimaksudkan disini adalah input yang dibutuhkan dalam proses penciptaan nilai tambah, selain ide atau kreativitas yang dimiliki oleh sumber daya insani yang merupakan landasan dari industri kreatif ini. Sumber daya meliputi sumber daya alam maupun ketersediaan lahan yang menjadi input penunjang dalam industri kreatif. 4. Institution. Institution dalam pilar pengembangan industri kreatif dapat didefinisikan sebagai tatanan sosial dimana termasuk di dalamnya adalah kebiasaan, norma, adat, aturan, serta hukum yang berlaku. Peranan hukum dalam memproteksi ide-ide sangat penting. Proteksi ide-ide dijalankan dengan mekanisme HKI. Sebisa mungkin industri kreatif di Indonesia juga mampu membangun landasan HKI yang bersifat ketimuran yang kuat, karena HKI di dunia timur banyak berupa nilai-nilai kearifan budaya lokal yang bersifat kebersamaan (togetherness) dan berbagi (sharing). 5. Financial Intermediary. Lembaga intermediasi keuangan adalah lembaga yang beperan menyalurkan pendanaan kepada pelaku industri yang membutuhkan, balk dalam bentuk modal/ekuitas mapun pinjaman/kredit. Lembaga intermediasi keuangan merupakan salah satu elemen penting untuk untuk menjembatani kebutuhan keuangan bagi pelaku dalam industri kreatif.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

83


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

Aktor Utama Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Bangunan industri kreatif ini dipayungi oleh hubungan antara Cendekiawan (Intellectuals), Bisnis (Business) dan pemerintah (Government) yang disebut sebagai sistem 'triple helix' yang merupakan aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif. Hubungan yang erat, saling menunjang dan bersimbiosis mutualisme antara ke-3 aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar-pilar model industri kreatif akan menghasilkan industri kreatif yang berdiri kokoh dan berkesinambungan. 1. Intellectuals (Cendekiawan). Cendekiawan adalah orang-orang yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mencari tujuan-tujuan praktis, serta para moralis yang dalam sikap pandang dan kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Dalam konteks industri kreatif, cendekiawan mencakup budayawan, seniman, punakawan, begawan, para pendidik di lembaga-lembaga pendidikan, para pelopor di paguyuban, padepokan, sanggar budaya dan seni, individu atau kelompok studi dan peneliti, penulis, dan tokoh-tokoh lainnya di bidang seni, budaya (nilai, filsafat) dan ilmu pengetahuan yang terkait dengan pengembangan industri kreatif. 2. Business (Bisnis). Bisnis pada umumnya dimiliki oleh swasta dan dibentuk untuk menghasilkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator bisnis bertujuan memperoleh keuntungan finansial sebagai hasil kerjanya dan tantangan resiko yang is hadapi. Ketataniagaan bisnis diatur oleh hukum disuatu negara dimana bisnis itu berada. Bentuk-bentuk bisnis adalah: kepemilikan tunggal, kemitraan, korporasi dan koperasi. Bisnis bisa berbasis manufaktur, jasa, eceran dan distribusi, pertanian, mineral, finansial, informasi, real estat, transportasi, dan utility seperti listrik, pengairan yang biasanya terkait dengan badan-badan kepemerintahan. Di dalam organisasinya, bisnis memiliki pengelompokan pekerjaan seperti pemasaran, penjualan, produksi, teknologi informasi, riset dan pengembangan. 3. Government (Pemerintah). Pemerintah didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang memiliki otoritas untuk mengelola suatu negara, sebagai sebuah kesatuan politik, atau aparat/alat negara yang memiliki badan yang mampu memfungsikan dan menggunakan otoritas/kekuasaan. Dengan ini, pemerintah memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Pola Interaksi Triple Helix Teori mengenai Triple Helix pada awalnya dipopulerkan oleh Etzkowitz & Leydersdorff sebagai metode pembangunan kebijakan berbasis inovasi. Teori ini yang mengungkapkan pentingnya penciptaan sinergi tiga kutub yaitu akademisi, bisnis dan pemerintah- diIndonesia dikenal sebagai konsep ABG.

Gambar 2. Pola Interaksi Triple Helix Dari teorinya, tujuan dari ABG adalah pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan. Dari sinergi ini diharapkan terjadi sirkulasi ilmu pengetahuan berujung pada Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

84


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

inovasi. Inovasi seperti apa? yaitu inovasi yang memiliki potensi ekonomi, atau kapitalisasi ilmu pengetahuan (knowledge capital). Triple Helix sebagai aktor utama harus selalu bergerak melakukan sirkulasi untuk membentuk knowledge spaces, ruang pengetahuan dimana ketiga aktor sudah memiliki pemahaman & pengetahuan yang setara, yang akan mengarahkan ketiga aktor ini untuk membentuk consensus space, ruang kesepakatan dimana ketiga aktor ini mulai membuat kesepakatan dan komitmen atas suatu hal yang akhirnya akan mengarahkan kepada terbentuknya innovation spaces, ruang inovasi yang dapat dikemas menjadi produk kreatif bernilai ekonomis. Sirkulasi ini selalu berusaha menciptakan kebaruan (inovasi) dan inovasi sering mengubah struktur yang telah ada(membuat tidak stabil). Teori di atas diadaptasi untuk mengembangkan ekonomi kreatif Indonesia dengan konsep aktor 'triple helix' yang sedikit berbeda, yaitu cendekiawan (intellectuals), bisnis (business) dan pemerintah (government) atau yang disingkat menjadi IBG. Yang paling penting adalah mencermati akibat dari perputaran pusaran Triple Helix, yaitu adalah terciptanya ruang interaksi yang dapat dianalisa sebagai berikut: 1. Ruang Ilmu Pengetahuan: Disini individu-individu dari berbagai disiplin ilmu mulai terkonsentrasi dan berpartisipasi dalam pertukaran informasi, ide-ide dan gagasan-gagasan. Wacana-wacana dan konsepsi tumbuh subur dan senantiasa dimantapkan. 2. Ruang Konsensus: Disini mulai terjadi bentukan-bentukan komitmen yang mengarah pada inisiatif tertentu dan project-project, pembentukan perusahaanperusahaan baru. Diperkuat pula oleh sirkulasi informasi yang kredibel dan netral sehingga menumbuhkan rasa kepercayaan dari individu-individu yang bersangkutan yang akhirnya menjadi dukungandukungan terhadap konsensus. 3. Ruang Inovasi: Disini inovasi tercipta telah terformalisasi dan bertransformasi menjadi knowledge capital, berupa munculnya realisasi bisnis, realisasi produk baru, partisipasi dari institusi finansial (misalnya Seed Capital, Angel Capital, Venture Capital), dan dukungan pemerintah berupa insentif, penegakan hukum yang tegas terhadap HKI dan sebagainya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pendekatan pemberdayaan (Usman, 1995) menjelaskan bahwa dalam pengertian terminologi pemberdayaann (empowerment) dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Dalam kontek ini secara implisit pemberdayaan mengandung unsur “partisipasi� yang seharusnya dimunculkan dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Pearse dan stiefel (1979) sendiri lebih condong dengan memberikan istilah pemberdayaan partisipatif, yang mengandung bentuk-bentuk seperti menghormati kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuasaan, dan peningkatan kemandirian. pemberdayaan masyarakat adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat, dimana masyarakat didampingi/difasilitasi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif sendiri agar mereka lebih mandiri dalam pembangunan dan peningkatan taraf hidup mereka, sedangkan pihak lain hanya berfungsi sebagai fasilitator. Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen: pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers, partai politik, lembaga donor, aktor-aktor masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat lokal sendiri. Birokrasi pemerintah tentu saja sangat strategis karena mempunyai banyak keunggulan dan kekuatan yang luar biasa ketimbang unsur-unsur lainnya: mempunyai dana, aparat yang banyak, kewenangan untuk membuat kerangka legal, kebijakan untuk pemberian layanan publik, dan lain-lain. Proses pemberdayaan bisa berlangsung lebih kuat, komprehensif dan berkelanjutan bila berbagai unsur tersebut membangun kemitraan dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling percaya dan menghormati. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Latar belakang pemikiran partisipasi yaitu program atau proyek atau kegiatan pembangunan masyarakat yang datang dari atas atau dari luar komunitas sering gagal dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Praktisi pembangunan juga sering mengalami frustasi terhadap kegagalan program tersebut. Oleh karena itu, reorientasi ulang terhadap Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

85


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

strategi pembangunan masyarakat muncul dengan lebih mengedepankan partisipasi pemberdayaan masyarakat sebagai strategi dalam pembangunan masyarakat.

dan

Teori Modal Sosial Begitu juga dengan modal sosial termasuk konsep yang tidak gampang diidentifikasi apalagi diukur secara kuantitas dan absolut. Sebagai salah satu elemen yang terkandung dalam masyarakat sipil, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat. Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat, masyarakat sipil yang kokoh, maupun identitas negara dan bangsa. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruism, gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Suharto, 2005). Esensi Modal Sosial Modal sosial juga berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang ada di dalam masyarakat, seperti diungkapkan sebelumnya.Ia juga memberikan kontribusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial. Modal sosial dalam hal ini bisa berfungsi memelihara adanya integrasi sosial sekaligus mengatasi konflik dalam masyarakat. Disintegrasi sosial terjadi karena potensi konflik sosial yang tidak dikelola secara efektif dan optimal, sehingga termanifest dengan kekerasan. Sebagai alat untuk mengatasi konflik yang ada di dalam masyarakat dapat dilihat dari adanya hubungan antara individu atau kelompok yang ada di dalam masyarakat yang bisa menghasilkan trust, norma pertukaran serta civic engagement yang berfungsi sebagai perekat sosial yang mampu mencegah adanya kekerasan. Namun demikian perlu dicatat bahwa dalam kehidupan yang positif diperlukan adanya perubahan di dalam masyarakat.Dari modal sosial yang eksklusif dalam suatu kelompok menjadi modal sosial yang inklusif yang merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis. Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia.Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal Putnam (1993) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu. METODOLOGI Metode dasar yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain, penelitian deskriptik analitik bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai mengenai keadaan saat ini, dan melihat kaitan antara variabel-variabel yang ada, mengingat data yang dikumpulkan merupakan data sederhana yang sangat bermanfaat apabila ditabulasi, digrafikkan dan dinarasikan sesuai dengan karakteristik data yang ada. Kajian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan informasi informasi apa adanya sesuai variabel-variabel yang diteliti. Penelitian semacam ini sering dilakukan guna merekomendasikan kebijakan atau keputusan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam melakukan tugasnya. Pendekatan yang dikenakan ini agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai menggunakan Mixed Method yaitu pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan Penelitian Kualitatif digunakan untuk menjawab permasalahan fenomena secara real yang tidak Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

86


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

dapat diungkap tuntas hanya berdasarkan oleh data di lapangan. Sedangkan pendekatan penelitian yang bersifat kuantitatif adalah digunakan untuk menyempurnakan dan menguatkan penjelasan yang dijabarkan oleh sumber-sumber yang berkompeten dan relevan saat melakukan pengayaan informasi di lapangan. Data yang diperlukan dalam kegiatan ini bisa bersifat data sekunder maupun data primer. Untuk keperluan data sekunder akan dikumpulkan dari: Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda Kabupaten, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, atau pun dinas dan instansi terkait lainnya. Sedangkan untuk data primer akan dikumpulkan melalui observasi, wawancara semi terstruktur baik secara individual maupun komunitas. Observasi dilakukan dengan melihat langsung kondisi lapangan. Sementara itu, wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan, meliputi stakeholders yang terlibat langsung dan paham atas kegiatan yang dilakukan. BAHASAN KAJIAN 1.1. Perkembangan peretumbuhan sector industry kreatif di Indonesia Indonesia mengalami krisis ekonomi sebagai dampak krisis keuangan yang terjadi di Amerika pada 2008. Salah satu imbas krisis tersebut adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan hanya 6,1% pada 2008. Tetapi nilai ekonomi industri kreatif, yaitu PDB, tenaga kerja dan ekspor, memiliki trend peningkatan (ditunjukkan oleh gambar di bawah). Pada 2008, ketika krisis melanda, nilai PDB Harga konstan industri kreatif mencapai sebesar Rp. 345 triliun, kemudian mengalami kenaikan menjadi Rp. 468 triliun pada 2010. Peningkatan nilai ekonomi juga terjadi pada penyerapan tenaga kerja dan ekspor industri kreatif. Data nilai PDB, penyerapan tenaga kerja dan jumlah ekspor industri kreatif yang terus meningkat menunjukkan bahwa pada dasarnya industri kreatif mampu bertahan terhadap krisis walaupun secara umum krisis global ini menyebabkan penurunan pada perekonomian.

Sumber: data BPS diolah Gambar 3. Pertumbuhan PDB sektor industri kreatif tahun 2002-2010 Sektor industri kreatif memberikan kontribusi PDB di peringkat ke-6, sebesar 7,8% atau senilai Rp. 235.633 miliar, lebih tinggi dari rata-rata kontribusi sektor keuangan, Real estate dan jasa perusahaan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor konstruksi dan sektor listrik, gas dan air bersih. Rata-rata kontribusi terbesar diberikan oleh sektor industri pengolahan sebesar 24,1%, sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan sebesar 14,53%, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13,42%. Indikasi ini menunjukkan bahwa sektor industri kreatif merupakan sektor penting dalam perekonomian nasional, karena memiliki kontribusi PDB yang cukup besar. Jika dilihat dari indikator ketenagakerjaan maka berdasarkan rata-rata penyerapan jumlah tenaga kerja tahun 2002-2008, sektor industri kreatif menduduki peringkat ke-5 di antara 10 sektor utama, dengan kontribusi sebanyak 7.391.642 tenaga kerja atau sekitar 7,74% dari total tenaga kerja nasional. Rata-rata kontribusi penyerapan tenaga kerja terbesar tahun 2002-2008 masih diberikan oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

87


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

dan perikanan sebesar 43,24%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 16,15%, sektor jasa kemasyarakan 11,36% dan sektor industri pengolahan sebesar 8,7%. dalam hal jumlah penyerapan tenaga kerja, sektor industri kreatif masih memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor konstruksi, sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan, sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor listrik, gas dan air bersih. Selengkapnya ditunjukkan pada tabel dan gambar berikut.

Sumber: data BPS diolah Gambar 4. Jumlah tenga kerja sektor industri kreatif tahun 2002-2010 Subsektor fesyen merupakan pemberi kontribusi tenaga kerja terbesar di antara 14 Subsektor Industri Kreatif, dengan rata-rata kontribusi 2002-2008 mencapai 54,50%, atau sekitar 4.028.588. tenaga kerja. Setengah dari jumlah tenaga kerja Subsektor Fesyen tersebut berada pada industri-industri menengah besar yang menghasilkan produk-produk fesyen, terutama Industri Pakaian Jadi. Setengah bagian tenaga kerja Subsektor Fesyen lainnya merupakan aktivitas distribusi atau perdagangan, baik perdagangan besar, eceran maupun ekspor. Kegiatan membeli dari pusat-pusat grosir untuk diperjualbelikan secara eceran memang merupakan kegiatan yang jamak ditemukan pada masyarakat Indonesia. Indikator terakhir yaitu indikator yang dilihat berdasarkan nilai eksport dan import Nilai ekspor Sektor Industri Kreatif jauh melampaui nilai impornya, sehingga net trade atau Net Export selalu bernilai positif sepanjang tahun 2002-2008. Bahkan nilai impor industri kreatif tidak pernah lebih dari 10% dari nilai ekspor setiap tahun, dan sekitar 90% nilai ekspor sektor industri kreatif tersebut diberikan terhadap cadangan devisa nasional. Besarnya selisih nilai ekspor dan impor sektor industri kreatif dapat diartikan bahwa sektor industri kreatif tidak memiliki ketergantungan yang besar terhadap impor. Keteraturan lain yang dapat dilihat yaitu bahwa peningkatan atau penurunan nilai ekspor juga diikuti dengan peningkatan atau penurunan nilai impor. Korelasi ekspor impor ini tidak konsisten hanya pada tahun 2006. Nilai ekspor yang dicatat dalam studi ini belum termasuk subsektorsubsektor jasa seperti, subsektor televisi dan radio. subsektor piranti lunak, subsektor riset dan pengembangan, dan subsektor seni pertunjukan. Padahal produk-produk televisi nasional sudah ada yang ditayangkan di luar negeri. Produk-produk piranti lunak nasional juga sudah ada yang dikonsumsi di luar negeri, juga Seni Pertunjukan sudah banyak yang ditampilkan di luar negeri. Namun pencatatan ekspor impor di subsektor-subsektor intangible ini belum cukup baik hingga saat ini.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

88


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry…

2013

Sumber: data BPS diolah penulis Gambar 5. Jumlah ekspor-impor sektor industri kreatif tahun 2002-2010 1.2. Kondisi existing pengembangan Industri Kreatif di Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa yang letaknya sangat strategis, di perlintasan Barat dan Timur Indonesia, dan didukung oleh Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah sebenarnya memiliki berbagai macam potensi yang dapat dikembangkan, baik yang ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan hasil analisa pemetaan potensi industri kreatif Provinsi Jawa Timur, adapun beberapa potensi industri kreatif yang dapat dikembangkan ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut : Tabel 1. Analisis Pemetaan Potensi Ekonomi, Sosial dan Budaya di Provinsi Jawa Timur dalam Pengembangan Industri Kreatif Peluang Potensi Ekonomi Best Practices Pengembangan Industri Kreatif Pengembangan Wisata Pelabuhan Internasional Tanjung Bahari dan Museum Wisata Bahari, Perak Kelautan di Pelabuhan Museum Kelautan Sunda Kelapa Pasar Tradisional:  Pasar Barang Antik:  Pasar Barang Antik,  Kota Surabaya Jl. Sriwijaya, Jakarta  Pasar Seni, Pasar Turi, Pasar Kapasan, Pasar Triwindu, Solo  Batik dan kerajinan, Bunga & Burung Bratang  Pasar Batik dan  Mebel dan Dekorasi  Kota Malang : Kerajinan: interior, Pasar Besar Malang, Pasar Burung Beringharjo, Jogja  Pasar ikan dan & Tanaman Hias Pekalongan Kuliner  Kota Madiun : Klewer, Solo  Fotografi Pasar Besar Madiun, Pasar Logam  Pasar Seni: Jaya Ancol, Jakarta  Kabupaten Bojonegoro : Sukowati, Denpasar pasar Besar Bojonegoro, Templek  Pasar Ikan dan Kuliner: Ngantru Toradomori, Jepang  Kabupaten Pamekasan: Pasar Ngasem Jogja Pasar Batik Joko Tole, Pasar 17 Malioboro, Jogja Agustus  Seni tari dan pertunjukan: Produk budaya dan  Film, Video, Fotografi pencapaian kebudayaan Tari Remo, Ludruk (Surabaya),  Arsitektur Bantengan (Malang), Pencak Silat bisa dikomersialisasikan,  Penerbitan film atas seni pertunjukan  Desain Setia Hati (Madiun), Tari Tayub, Wayang Tenghul (Bojonegoro), Tari bisa dijual dalam bentuk  Fashion Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

89


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry…

Pecot, Karapan Sapi (Pamekasan),  Seni Musik : Kidungan (Surabaya), Samroh, Thuk-Thuk/Daul, Ngok-Ngok (Pamekasan)  Seni Lukis dan Grafis Event Budaya:  Festival Reog Nusantara  Penyambutan Tahun Baru Imlek  Grebek Suro (Tahun Baru Islam)  Upacara Petik Laut  Pemilihan Duta Wisata Raka Raki Jawa Timur  Festival Makanan Khas Jatim  Pameran Batik

2013

VCD

 Permainan Interaktif  Agen Ticketing  Jasa Konvensi dan Pameran

 Pengenalan tradisi Tionghoa pada etnis lain: Liong dan Barongsai, wushu  Kuliner (Pia, Lumpia, Mie, Es Tjong Lik, Wedang Tahu dll)  Pengenalan tradisi Islam Melayu, Arab, Jawa.

 Film, Video dan Fotografi o Seni Pertunjukan  Musik  Penerbitan  Fashion  Pasar Seni dan Barang Antik  Desain

Sumber: data diolah Jawa Timur yang kaya dengan keanekaragaman sumberdaya manusia seyogyanya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan industri. Pembangunan industri di Jawa Timur masih bernuansa pertanian dan pengolahan (manufaktur), belum banyak menyentuh kegiatan ekonomi berbasis pengetahuan. Pembangunan industri dengan mengandalkan kreativitas manusia dan budaya termasuk sumberdaya Jawa Timur yang dapat mensejahterakan masyarakatnya. Industri kreatif bersifat strategis dalam membangun sumber daya manusia Jawa Timur dan terutama Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota besar lainnya di Jawa Timur. Pengembangan industri kreatif mendorong Jawa Timur menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan kualitas yang dapat diandalkan. Pada dasarnya tantangan industri kreatif secara umum berlaku untuk semua wilayah terutama di Jawa Timur sendiri dimana beberapa tantangan yang bisa dikemukan secara umum adalah industri kreatif dianggap masih relatif baru dan belum diakui sebagai penggerak roda pembangunan, Tidak ada kebijakan yang mendukung iklim kreatif, perijinan, investasi, dan perlindungan hak cipta. Di samping itu kegiatan kreatif masih terkontak-kotak dan belum ada kajian rantai nilai yang utuh mulai dari kegiatan kreasi, produksi, dan distribusi. 1.3. Peran modal sosial dalam Implementasi dan Kegiatan Mengembangkan Industri Kreatif Interaksi jaringan yang dibangun karena tindakan proaktif secara simultan dan terus menerus tanpa disadari akan mendirikan kontruksi sosial yang kuat dari semua komponen sosial yang terlibat dalam kegiatan mengembangkan industri kreatif tersebut. Tindakan tersebut pada akhirnya akan memunculkan suatu sikap resiprosity atau sikap yang senantiasa diwarnai dengan oleh kecenderungan untuk saling bertukar kebaikan antar individu dalam dalam suatu kelompok antar kelompok itu sendiri. Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah membentuk Tim Koordinasi Pengembangan Ekonomi Kreatif yang diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/427/KPTS/013/2011. Salah satu tugas yang harus diemban oleh Tim ini adalah merumuskan kebijakan dan melakukan penelitian serta pengembangan sumber daya alam dan teknologi terkait Pengembangan Ekonomi Kreatif (PEK). Jawa Timur menyimpan begitu besar potensi budaya tradisi mulai dari wilayah Mataraman, budaya Arek, Madura, sampai budaya Osing di Banyuwangi, yang masih harus terus dikembangkan guna menumbuhkan industri kreatif dalam rangka turut membuka peluang usaha khususnya UKM, lapangan pekerjaan, industri pendukung, pariwisata, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya serta menurunkan angka kemiskinan. Kegiatan program pengembangan industri kreatif di Jawa Tmur dapat mengadopsi dari beberapa strategi program yang dapat dijabarkan berikut ini.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

90


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry‌

2013

Tabel 2. Strategi Program dan Tujuan Kegiatan Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur No. Strategi Program Tujuan Kegiatan 1 Pencitraan Produk Kreatif a. Produk-produk kreatif Indonesia semakin dikenal keunggulan Lokal Yang Berdaya Saing dan originalitasnya di pasar internasional Global b.Indonesia semakin dikenal sebagai bangsa kreatif yang kaya akan budaya dan warisan budaya original c. Produk-produk kreatif Indonesia, semakin disukai di manca negara. 2 Fasilitasi Apresiasi Insan a. Sebagai wujud pengakuan dan penghargaan terhadap insan Kreatif Indonesia kreatif atas prestasi, kinerja dan pencapaiannya. b.Sebagai insentif untuk memotivasi para insan kreatif untuk lebih berprestasi c. Sebagai insentif untuk memotivasi pekerja, calon entrepreneur untuk berkarir dengan baik 3 Fasilitasi Pelaksanaan a. Memperkenalkan lebih dalam, kekhasan dan keunikan seni, Festival Ekonomi Kreatif budaya, warisan budaya dan bentuk-bentuk kreativitas lain, di Indonesia kepada seluruh masyarakat b.Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni, budaya, warisan budaya dan produk-produk kreatif lain, sehingga tercipta mindset kreatif yang lebih baik 4 Pengembangan Pasar a. Memberdayakan kembali pasar tradisional sebagai ujung Tradisional di Daerahtombak ekonomi kerakyatan melalui: pembinaan manajemen daerah pengelolaan pasar meliputi operasional, pembinaan pedagang, pengelolaan tata ruang yang baik, pemeliharaan sarana fisik, pengelolaan sampah, sanitasi, keamanan pengawasan barang, standarisasi alat ukur dan sebagainya. b.Membuat konsep dan melakukan asistensi perbaikan pasar tradisional yang mendukung kegiatan perdagangan dan pariwisata. c. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). d.Peningkatan nilai tambah terhadap fungsi pasar tradisional, misalnya selain sebagai wahana perdagangan juga sebagai obyek wisata. e. Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan keberadaan pasar. Sumber: dari berbagai referensi, data diolah PENUTUP Kesimpulan Kesimpulan yang bisa disajikan dalam telaah empiris dalam makalah ini adalah sebegai berikut: 1. Dukungan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk menciptakan kreatifitas peningkatan ekonomi dengan pengembangan potensi unggulan daerahnya secara baik dan tidak melupakan pemenuhan pengetahuan warganya melalui wahana atau eventevent yang mampu membangkitkan potensi masyarakat setempat. Melalui modal sosial setempat dan didukung oleh program pemerintah yang berpihak atas peningkatan kreatiftas warganya akan mampu memberi kesejahteraan bagi setiap warga yang terlibat didalamnya, dan tentu efek selanjutnya adalah peningkatan ekonomi daerah, regional dan nasional. 2. Pentingnya koordinasi antar instansi pemerintah, untuk membangun kolaborasi dengan berbagai stakeholders, mutlak diperlukannya visi yang tajam, data yang akurat dengan strategi yang jelas sesuai kebutuhan sektor industri masing-masing yang berbeda situasinya. 3. Pelaku industri kreatif yang mengandalkan potensi kreatifitas bagi pelakunya menjadikan industri kreatif cenderung independen. Sifat pelaku industri kreatif yang Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

91


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry…

2013

lebih mengoptimal potensi yang tersedia dengan sumber daya yang ada menjadikan industri kreatif kurang berkembang. Keragaman potensi dengan dukungan social capital bisa digunakan untuk menutup celah-celah kelemahan industri kreatif dalam menoptimalkan keragaman potensi yang ada Saran Pemerintah Pusat dan Daerah diharapkan untuk mengambil peran aktif dalam meningkatkan pengembangan sumber daya manusia dan kapasitas kelembagaan serta penguatan infrastruktur keuangan, mengingat perkembangan industri kreatif memerlukan SDM yang tangguh dan kreatif menuju perkembangan perekonomian yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA Anonimous (2004) Kebijakan Dan Strategi Nasional Untuk Pengembangan Usaha Mikro, Laporan Penelitian oleh BRI, ADB, dan ProFI GTZ. Christopherson, Susan, 2004, “Creative Economy Strategies For Small and Medium Size Cities: Options for New York State”, Quality Communities Marketing and Economics Workshop, Albany New York, April 20, 2004 Douglas DeNatale, Ph.D., Gregory H.Wassal,Ph.D., 2007, The Creative Economy: The New

Definition” A research framework for New England and beyond, including an economic analysis of New England’s cultural industries and workforce”, New England Foundation for the Arts.

Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2008. “ Studi Industri Kreatif Indonesia: Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 ”. Jakarta. Departemen Perdagangan RI. Pangestu, Mari Elka. 2008. “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 ”, disampaikan dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang diselenggarakan pada Pekan Produk Budaya Indonesia 2008, JCC, 4 -8 Juni 2008 Pearse, Andrew dan Michael Stiefel. 1979. Inequality Into Participation: A Research Approach. Genewa.UNRISD. Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press ______________. 1995. The Prosperous Community Social Capital and Public Life. American Prospec (13): (dalam The World Bank. 1998) Simatupang, TM. 2008. Perkembangan Industri Kreatif. Paper. Bandung: SMB ITB Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. bandung. PT. Rifka Aditama ___________. 2005. Modal SosialdanKebijakanPublik. SekolahTinggiKesejahtraanSosial (STKS). Bandung UNDP. 2008. “Creative Economy Report 2008” Usman, P. 1995. Peran Sosiologi dalam Pengentasan Kemiskinan. Jakarta. Galia Indonesia

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

92


Peran Modal Sosial dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur/Herry…

2013

Wahyudin, Didin (2004) Key Succes Factors In Micro Financing, Paper pada Diskusi Panel Microfinance Revolution: “Future Perspective for Indonesian Market”, Jakarta, 7 Desember 2004. http://en.wikipedia.org/wiki/Creativity http://en.wikipedia.org/wiki/Talent http://en.wikipedia.org/wiki/economy http://en.wikipedia.org/wiki/creative industry http://www.ceans.org/whatisthecreativeeconomy1.html

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

93


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA BERBASIS KEBUTUHAN BELAJAR Oleh : Dra. Irmawita, M.Si Dosen PLS FIP UNP ABSTRAK Empowerment of rural communities is a process whereby people, especially those who have less access to resources for further self-driven to developing them self. Moreover of their lives they supposedly able to find the right solution and access the necessary resources, both sources external power belongs to the people and the resources themselves. Community development is determined by the community, in which the supporting institutions only have a role as a facilitator, it will reduce dependence on external resources. Model of rural community development activities consist of (1) empowerment as participation (2). Empowerment as a democracy (3). Empowerment as capacity development (4). Empowerment as economic improvement and (5). Empowerment as an individual development. An empowered society is a society that is able to, know, understand, understanding, motivated, and the opportunity to see the opportunity to take advantage of that opportunity, energetic and able to work, know the various alternatives, able to make decisions, the courage to face risk, able to find and capture the required information and able to act optimally according to the situation. Empowerment of community-based learning needs using participatory approaches and cooperative models. Participatory approaches can toward to society activities, and cooperative approach can improve social relationships and cooperation among them so that the creation of the concept of mutual learning each others. Key Words: Empowerment of Rural Communities and Their Needs learning. Pendahuluan Transformasi masyarakat menuju kearah masyarakat madani perlu diawali pemahaman bahwa masyarakat sebagai sistem sosial yang didalamnya terdapat aspek struktural, kultural dan proses-proses sosial. Perubahan masyarakat tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan struktural yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal masyarakat itu sendiri. Aspek struktural meliputi segala bentuk tatanan organisasi dan kelembagaan masyarakat. Aspek cultural yang menjadi faktor penyebab perubahan masyarakat, antara lain adalah perubahan aspirasi masyarakat yang dapat diakselerasi dengan perekayasaan perubahan struktural. Perubahan masyarakat kearah masyarakat madani (civil society) dapat dilakukan melalui kegiatan pembedayaan masyarakat dalam bentuk pendidikan berwawasan kemasyarakatan, pengembangan organisasi,peningkatan kesejahteraan keluarga dan pengembangan ekonomi kerakyatan. Menurut Brubacher dalam Ihat Hatimah (2007) “Hubungan pendidikan dan masyarakat yang mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial , tatanan ekonomi, tatanan politik dan negara. Oleh karena pendidikan itu terjadi di masyarakat dengan sumber daya masyarakat dan untuk masyarakat maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik dan kenegaraan secara simultan. Di samping itu pendidikan secara mikro harus memperhitungkan individualitas dan perbedaan karakteristik peserta didik. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses dimana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan didorong untuk makin mandiri dalam mengembangkan pri kehidupan mereka sendiri.Selain dari itu mereka dituntut mampu dalam menemukan solusi yang tepat dan mengakses sumber daya yang diperlukan, baik sumber daya eksternal maupun sumber daya milik masyarakat itu sendiri. Kegiatan pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh masyarakat, dimana lembaga pendukungnya hanya Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

94


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

memiliki peran sebagai fasilitator, hal ini akan mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal . Kelompok sasaran utama pendekatan pemberdayaan masyarakat desa adalah kelompok-kelompok marginal dalam masyarakat, termasuk kaum wanita. Namun demikian, ini tidak berarti mengenyampingkan partisipasi pihak-pihak lain dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Dalam rangka pemberdayaan diperlukan langkah-langkah yang positif , yaitu menciptakan iklim dan suasana penguatan yang meliputi langkah-langkah nyata yang menyangkut :(a) penyediaan berbagai masukan (input) ;(b) pembukaan akses pada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat semakin berdaya; (c) pembaharuan lembagalembaga sosial dan pengintegrasiannya kedalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Model pemberdayaan berbasis kebutuhan belajar masyarakat desa adalah suatu proses dimana masyarakat, khususnya mereka yang belum memiliki akses kepada sumber daya pembangunan didorong untuk makin mandiri dalam mengembangkan prikehidupan mereka. Dalam proses ini masyarakat dikaji kebutuhan dan minat belajarnya, masalah dan peluang dalam pembangunan yang dimilikinya sesuai dengan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya setempat. Pemberdayaan Masyarakat Desa 1.Pengertian Pemberdayaan Pemberdayaan berarti dimana seseorang memiliki posisisi seimbang dengan kaum lainya yang selama ini telah lebih mapan kehidupannya. Dengan pemberdayaan, kaum idealis atau para pejuang demokrasi, keadilan dan hak asasi manusia menginginkan adanya tata kehidupan yang lebih adil, lebih demokratis, dan dimana kebenaran dan keadilan ditegakkan. Dengan demikian istilah pemberdayaan telah merambah pada segenap sisi kehidupan manusia dan masyarakat. Kata pemberdayaan mula-mula dipakai dalam bidang pendidikan nonformal. Salah satu pemberdayaan yang diberikan oleh Kindervatter adalah peningkatan peran warga belajar untuk mengontrol pengambilan keputusan, sumber-sumber daya, dan institusi yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. 2.Langkah-Langkah Pemberdayaan a. Menyusun kelompok kecil sebagai penerima awal atas rencana penyusunan program pemberdayaan b. Mengidentifikasi /membangun kelompok peserta belajar tingkat wilayah c. Memilih dan melatih fasilitator kelompok d. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan fasilitator e. Mendukung aktivitas kelompok yang telah berjalan f. Mengembangkan hubungan diantara kelompok g. Meyelenggarakan sebuah lokakarya untuk evaluasi 3.Aspek Yang Diperhatikan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa. Aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pemberdayaan masyarakat antara lain : a. Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang berfungsi mendinamisasikan kegiatan produktif masyarakat. b. Pengembangan jaringan strategis antar kelompok masyarakat misalnya dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. c. Pengembangan kemampuan kelompok masyarakatmengakses sumber- sumber luar yang mendukung upaya mereka, baik dalam informasi pasar,permodalan, teknologi dan manajemen. d. Jaminan dan kejelasan norma atas hak –hak masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal. e. Berbagai upaya mengarah kepada terpenuhinya kebutuhan hidup mereka serta pengembangan kemampuan menjamin daya dukung lingkungan bagi pembangunan masyarakat.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

95


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

4.Pemberdayaan Masyarakat dalam Konteks Kewirausahaan Konsep pemberdayaan pada hakikatnya didasari oleh ide yang menempatkan manusia bukan semata-mata sebagai objek dari dunia orang lain, melainkan lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri. Proses pemberdayaan masyarakat pada intinya adalah bagaimana mendudukan masyarakat pada posisi pelaku pembangunan yang aktif, bukan yang pasif. Konsep gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat, dengan strategi pokok pemberian kekuatan ( power) kepada masyarakat dengan pendekatan partisipatif dan kooperatif. 5.PLS Dipandang Sebagai Proses Pemberdayaan Dalam Konteks Kewirausahaan Pendekatan yang mendasari pemberdayaan, hendaknya adalah pendekatan pendidikan untuk membangun sumber daya manusia. Dengan demikian pemberdayaan perlu lebih difokuskan pada upaya membantu masyarakat sehingga mereka senantiasa mau dan mampu belajar. Pemberdayaan PLS adalah membelajarkan masyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat sehingga mereka mereka dapat memberdayakan didalam aspek kehidupan ekonomi, sosial, politik,dan aspek kehidupan lainnya. Atau dengan kata lain, pemberdayaan dalam pembangunan adalah upaya membantu masyarakat sehingga masyarakat itu mampu membantu dirinya sendiri (t o help people help themselves). Program pemberdayaan yang berorientasi pada pembangunan masyarakat, para pelaksana tidak memaksakan kehendaknya kepada masyarakat tetapi akan membangkitkan minat dan kebutuhan mereka untuk keinginan terhadap adanya perubahan kearah yang lebih baik dalam berwirausaha. Kebutuhan Belajar Masyarakat Desa Pendidikan berbasis masyarakat pada hakekatnya merupakan kegiatan interaksi pendidikan yang terjadi atas dasar kepentingan bersama untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah yang dihadapi warga masyarakat yang dapat dilakukan sepanjang hidupnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Menurut Galbarait dalam (Marzuki,2004), pendidikan berbasis masyarakat mengandung makna yaitu (1). Kemampuan peserta didik meningkat. Melalui proses pendidikan berbasis masyarakat , setiap peserta mengalami peningkatan kemampuan , keterampilan dan sikap, serta konsep dirinya semakin matang. Kematangan secara psikhologis menumbuhkan belajar yang dapat diperoleh melalui pengalaman belajar dari lingkungannya. (2). Partisipasi dan demokrasi. Pendidikan berbasis masyarakat menumbuhkan keterbukaan pada setiap peserta untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya secara bersamasama. (3). Mobilisasi aksi masyarakat. Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah diperlukan adanya kegiatan dari peserta. Prinsip ini menekankan kesadaran dan kesediaan darisetiap peserta untuk mengatasi masalah bersama-sama. Sihombing (2001) bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki tiga elemen :� pertama, mementingkan warga belajar. Yakni pentingnya mendengarkan suara warga belajar, menggunakan apa yang dikatakan warga belajar sebagai dasar untuk mengembangkan program belajar, percaya bahwa setiap orang mempunyai kemampuan belajar karena setiap warga belajar memiliki kekuatan, keterampilan, pengetahuan dan pengalaman, serta ada kesetaraan diantara warga belajar pembina program�. Kemudian mendorong warga belajar untuk ikut aktif terlibat dalam kegiatan belajar dan kegiatan kemasyarakatan, dan memperhatikan kebutuhan belajar masyarakat karena sebenarnya mereka tahu apa yang mereka butuhkan. Kedua, program dimulai dari persfektif yang kritis. Ada tiga persfektif dalam melihat masyarakat yaitu konservatif, liberal dan kritis. Pendidikan berbasis masyarakat menggunakan pendekatan kritis yang menekankan pentingnya perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang sudah ada dan partisipasi dalam setiap kegiatan.Ketiga pendidikan berbasis masyarakat menekankan bahwa belajar harus berlokasi di lingkungan mayarakat, menjawab kebutuhan belajar masyarakat, menciptakan rasa memiliki, dan program itu dirancang , diputuskan dan diatur oleh masyarakatsehingga mereka membentuk kesatuan yang lebih besar. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

96


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa pendidikan keaksaraan fungsional adalah program pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat, dan manajemen pendidikan nonformal berorientasi pada kebutuhan dan sumber potensi lokal yang ada di masyarakat. Pengembangan model kebutuhan belajar masyarakat ke depannya sebagaimana pendapat Shane (2001), teridentifikasi kebutuhan belajar masyarakat untuk masa depan yaitu (1). Kemampuan membaca, menulis dan berhitung fungsional (2). Kemampuan bekerja sama (3). Kemampuan berfikir ilmiah (4). Kemampuan mengasuh keluarga dan rumah tangga (5). Kemampuan mencari nafkah (6). Kemampuan memahami kewarganegaraan (7). Sikap dan motivasi untuk gemar belajar (8). Kemampuan memperoleh dan menguasai informasi (9). Kemampuan berkomunikasi (10). Kemampuan berorganisasi (11). Kemampuan beradaptasi dan mengatasi perubahan-perubahan yang cepat (12). Kemampuan teknik perencanaan masa depan , mengatur waktu, tenaga dan uang (13). Kemampuan bersaing (14). Sikap keterbukaan (15). Sikap peduli terhadap sesama dan menghargai martabat manusia ,dan (16). Suka menghargai perbedaan dan keragaman. Kebutuhan belajar masyarakat yang pertama sampai ke enam merupakan kebutuhan yang esensial sedangkan lanjutannya merupakan kebutuhan belajar yang menyesuaikan dengan era globalisasi dan reformasi. Selain dari itu kecakapan yang harus dimiliki untuk masa depan oleh masyarakat sebagaimana pendapat Combs dalam Marzuki (2010) menjelaskan kecakapan dasar yang dapat digunakan untuk masa datang adalah (1). Sikap positif terhadap kerjasama dengan dan membantu keluarga, teman, pekerja, masyarakat dan pembangunan nasional serta nilai-nilai etis (2). Keaksaraan dan berhitung fungsional , yakni dapat membaca dan mengerti isinya , menulis surat penting, menanyakan informasi dan menghitung hal-hal yang umum (3). Pandangan ilmiah dan pemahaman sederhana tentang hukum alam , seperti kesehatan, sanitasi, gizi dan lingkungan (4). Pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk mengasuh keluarga dan rumah tangga (5). Pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk mencari nafkah (6). Pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk kewarganegaraan seperti tentang sejarah, idiologi, struktur pemerintahan,pajak, pendapatan dan layanan sosial yang tersedia. Dari identifikasi kebutuhan belajar masyarakat untuk masa depan, maka dalam program pendidikan keaksaraan fungsional yang warga belajarnya adalah masyarakat buta aksara dan masyarakat miskin maka oientasi bahan belajar yang diberikan itu adalah terpenuhinya kebutuhan belajar esensial atau standar minimum yang harus dipenuhi oleh masyarakat masa depan. Pemberdayaan berbasis kebutuhan belajar masyarakat menggunakan model pembelajaran partisipatif dan kooperatif. Pembelajaran partisipatif dapat mengarah pada keaktivan warga belajar, dan pendekatan kooperatif dapat meningkatkan hubungan sosial dan kerja sama diantara mereka sehingga terciptanya konsep saling membelajarkan. Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar Pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana membuat masyarakat lebih berdaya dan mengolah potensi lokal untuk dapat diolah sebagai sumber penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tentu saja program pemberdayaan itu dirumuskan berdasarkan identifikasi kebutuhan belajar masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan masyarakat dan pembinaan keluarga dan mengembangkan usaha produktif masyarakat.Sebagaimana pendapat Jajat S.Adiwinata (2004), Semakin modern kehidupan manusia,pendidikan semakin diformalisir keberadaannya,ia menjadi predictor dalam berbagai aspek,aktivitas dan perkembangan kehidupan. Pendidikan menjadi indicator lapangan kerja,income bahkan sampai kemajuan suatu Negara. Dilain pihak terdapat pemecahannya selalu menunggu hasil pendidikan, karena pendidikan berkaitan erat dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia dalam mencari alternative usaha baru. Pendidikan berhubungan erat dengan modal kemanusiaan yang sangat potensial untuk usaha peningkatan pendapatan dan hasil kerja seseorang.Terdapat siklus yang saling berkaitan antara pendidikan dengan pendapatan dan kesejahteraan hidup seseorang.Pendidikan berkaitan dengan penampilan kerja,penampilan kerja berkaitan dengan produktivitas,produktivitas berkaitan dengan income Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

97


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

perkapita dan income perkapita berkaitan dengan kesejahteraan.Apabila diteruskan lagi,maka kesejahteraan ini berkaitan dengan keikutsertaan pada pendidikan,atau memberangkatkan anggota keluarga untuk mengikuti pendidikan. Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pendidikan maksudnya adalah bagaimana membuat masyarakat lebih berdaya dalam artian masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu, tahu,mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang dan dapat memanfaatkan peluang itu, berenergi dan mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan ,berani menghadapi resiko,mampu mencari dan menangkap informasi yang dibutuhkan serta mampu bertindak secara optimal sesuai situasi. Secara operasionalnya model pemberdayaan masyarakat dapat mengambil berbagai bentuk. Pemberdayaan adalah suatu tindakan yang kontekstual ,dan apa yang dibutuhkan suatu konteks/lingkungan tertentu seringkali berbeda, yang menjadikan berbagai operasionalisasi tersebut adalah tujuan akhirnya yaitu kondisi dimana berbagai kebutuhan dan hak-hak dasar dari individu dan komunitasnya terpenuhi dan terlindungi. Berikut ini disajikan model operasional pemberdayaan masyarakat desa berbasis kebutuhan belajar. Tabel 1. Operasionalisasi Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat No 1.

Operasionalisasi Pemberdayaan sebagai partisipasi

2.

Pemberdayaan sebagai demokratisasi

3.

Pemberdayaan sebagai pengembangan kapasitas

4.

Pemberdayaan ekonomi

5.

Pemberdayaan sebagai pengembangan individu

sebagai

perbaikan

Keterangan Pemberdayaan diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang mendorong partisipasi masyarakat dalam berbagai pelaksanaan program pembangunan maupun dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa pihak melihat pemberdayaan lebih sebagai upaya pengembangan demokrasi yang berarti masyarakat harus lebih berperan di dalam proses politik. Masyarakat atau individu dianggap berdaya apabila terjadi peningkatan kapasitas pada dirinya. Asumsinya apabila ekonomi masyara rakat berkembang ,berbagai aspek yang lain akan dapat diselesaikan sendiri oleh masyarakat Sebagian kalangan meyakini bahwa pemberdayaan harus dimulai dari pengembangan kesadaran kritis dari individu dan memampukan individu untuk mengambil sikap berdasarkan kesadarannya sendiri.

Proses pemberdayaan masyarakat didampingi oleh suatu fasilitator yang bersifat multidisipliner.Tim pemberdayaan masyarakat berperan mendampingi masyarakat dalam pelaksanaan proses pemberdayaan yang pada awalnya sangat aktif, tetapi akan berkurang selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu melanjutkan kegiatannya secara mandiri. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui beberapa tahapan seperti diuraikan di bawah ini.Proses ini perlu disesuaikan dengan kondisi dan dinamika yang ada di wilayah pelaksanaan. 1.Tahap Perencanaan Dalam tahap ini seharusnya Tim pemberdayaan masyarakat pengenalan daerah operasinya, agar diperoleh keadaan faktual langsung,tentang potensi dan kendala-kendala pada kelompok masyarakat yang ada.Tahap-tahap perencanaan itu meliputi :(a).Pengenalan sumber daya alam pertanian sesuai basis ekosistemnya: agroklimat, topografi,keadaan tanah, Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

98


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

keadaan pengairan, vegetasi dan lain-lain.( b). Pengenalan ekonomi pertanian,sumber supply pangan, (food supply),sumber processing,sumber marketing, sumber distribussion. (c). Pengenalan sosialisasi pedesaan: kependudukan,sejarah, budaya dan adat istiadat,hambatan, pendidikan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat.(d). Pengenalan ekonomi pertanian,pola usaha tani, pola pendayagunaan komudity. (e).Pengenalan politik dan kebijakan-kebijakan pertanahan, pertanian,pangan, pertahanan dan lain sebagainya. Selanjutnya seleksi desa,atau dusun dapat dilakukan sesuai dengan criteria yang disepakati oleh lembaga , pihak-pihak terkait dan masyarakat.Penetapan criteria ini penting agar tujuan lembaga dalam pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan kemandirian masyarakat akan tercapai serta pemilihan lokasi dilakukan sebaik mungkin. Proses pemilihan wilayah kerja terdiri dari beberapa tahapan yaitu : (1). Menyepakati criteria seleksi (2). Konsultasi dengan pihak-pihak terkait (3). Pencalonan desa. Kriteria minimal yang menjadi acuan dari pemberdayaan masyarakat adalah (a). Kesediaan masyarakat untuk menerima kegiatan non fisik (b). Tidak terlalu banyak kegiatan keproyekan lain. (c). Adanya masyarakat yang terpinggirkan (d). Dukungan dari aparat desa dan tokoh-tokoh masyarakat (d). Lokasi terjangkau bagi Tim pemberdayaan masyarakat, sesuai kemampuan dan sarana.Pencalonan desa berdasarkan criteria yang dapat dinilai itu dilanjutkan dengan proses sosialisasi,dalam rangka memberitahuna kepada masyarakat program pemberdayaan yang akan dilakukan dan sekaligus memotivasi masyarakat agar berpartisipasi dan bekerjasama dalam melaksanakan program pemberdayaan. 2.Tahap Sosialisasi Pemberdayaan Masyarakat Sosialisasi pemberdayaan masyarakat di desa adalah suatu kegiatan yang sangat penting untuk menciptakan komunikasi serta dialog dengan masyarakat. Sosialisasi pada masyarakat, membantu untuk meningkatkan pengertian masyarakat dan pihak terkait tentang program. Proses sosialisasi sangat menentukan ketertarikan masyarakat untuk berperan dan terlibat di dalam program. Tahap dan metode dalam sosialisasi meliputi : (1). Pertemuan formal dengan aparat desa dan tokoh-tokoh masyarakat.(2). Menyepakati wilayah kerja (desa/dusun) (3). Pertemuan formal dengan masyarakat (4). Pertemuan informal dengan masyarakat: kunjungan rumah, diskusi kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat,(sosial,agama,lapangan). Sasaran sosialisasi adalah tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Dalam proses sosialisasi Tim PM harus memperhatikan bahwa seluruh kelompok sasaran dilibatkan termasuk perempuan, mereka yang miskin, buta huruf,dan sebagainya. Sosialisasi ini merupakan kesempatan yang baik untuk belajar tentang keadaan desa. Materi dan media yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan sosialisasi adalah (a). Brosur pemberdayaan masyarakat (b).Film pemberdayaan masyarakat (c). Poster pemberdayaan masyarakat (d). buku-buku dan gambar-gambar pemberdayaan masyarakat. 3.Tahapan Proses Pemberdayaan Masyarakat Maksud dari pemberdayaan masyarakat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya.(tujuan umum).Pemberdayaan adalah suatu proses yang berjalan terus menerus.Dalam proses tersebut, masyarakat bersama-sama : (a). Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan, potensi serta pengembangan peluang usaha.(b). Menyusun rencana kegiatan kelompok, berdasarkan hasil kajian (c). Melaksanakan rencana kegiatan kelompok (d). Memantau proses dan hasil kegiatan secara terus menerus (monitoring dan evaluasi partisipatif). Kemudian temuan-temuan monitoring dan evaluasi dikaji,(kembali ke tahap) (1). Kemudian rencana perlu disesuaikan ,atau kalau tujuannya sudah tercapai ,akan disusun rencana pengembangan baru. Tahap (2). Pelaksanaan tahapan-tahapan di atas sering bersamaan dan lebih bersifat proses yang diulang terus menerus, pemberdayaan masyarakat kerap kali dilakukan dengan pendekatan kelompok ,dimana anggota bekerjasama dan berbagi pengalaman dan pengetahuannya. a. Kajian Keadaan Pedesaan Partisipatif Kajian keadaan pedesaan partisipatif dimaksudkan agar masyarakat mampu dan percaya diri dalam mengidentifikasi serta menganalisa keadaannya,baik potensi maupun Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

99


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

permasalahannya. Selain itu tahap ini dilakukan untuk melihat gambaran mengenai aspek social, ekonomi,dan kelembagaan masyarakat serta sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Gambaran ini akan memberikan dasar untuk menyusun rencana kegiatan pengembangan.Kajian pedesaan ini dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Tim PM.Dalam langkah kajian ini disediakan proses dimana masyarakat mendapat kesempatan untuk berdiskusi dari berbagai pengalaman dan pengetahuannya. Pendekatan yang dipakai adalah kajian keadaan pedesaan secara partisipatif,yang biasanya disebut “Participatory Rural Appraisal (PRA)�. PRA adalah suatu pendekatan yang memanfaatkan macam-macam teknik visualisasi (misalnya, gambar, tabel,dan bentuk). b. Pengembangan Kelompok Setelah teridentifikasi segala potensi dan permasalahan masyarakat, langkah berikutnya adalah menfokuskan kegiatan pada masyarakat yang benar-benar tertarik dan berminat untuk melakukan kegiatan bersama. Kegiatan bersama ini dapat berbentuk kelompok yang lengkap dengan kepengurusan dan aturan-aturannya. Jumlah anggota bukan merupakan ukuran, Saat pembentukan kelompok tidak ditentukan .Pembentukan kelompok berdasarkan kekauan masyarakat dan bisa terjadi pada pelaksanaan kajian keadaan pedesaan partisipatif maupun sesudahnya.Seringkali kelompok yang sudah ada,namun keaktifannya kurang, berinisiatif untuk merevitalisasi dirinya melalui proses pemberdayaan ini.Yang jelas, bahwa inisiatif perlu diakomodasikan oleh tim pemberdayaan masyarakat.Proses pembentukan kelompok berfokus (1). Memfasilitasi pertemuan masyarakat(yang berminat untuk menentukan tujuan kelompok ) (2).Memfasilitasi pertemuan anggota pemilihan pengurus dan nama kelompok. Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat,untuk memandirikan masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya, maka arah pendampingan kelompok adalah mempersiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya. Selanjutnya pendampingan oleh Tim PM akan dikurangi dan dilaksanakan oleh pengurus kelompok atau siapa saja yang dianggap mampu oleh masyarakat. c. Penyusunan Rencana dan Pelaksanaan Kegiatan Penyusunan rencana kelompok dimaksudkan agar kelompok dan anggotanya mampu mengembangkan dan melaksanakan kegiatan yang kongkrit dan realistis.Dasar penyusunan adalah potensi dan masalah –masalah yang sudah teridentifikasi dalam kajian keadaan pedesaan partisipatif dan tujuan kelompok yang sudah ditentukan. 4.Tahap Pemandirian Masyarakat Proses pemberdayaan masyarakat adalah proses belajar yang terus menerus bagi masyarakat dengan tujuan kemandirian masyarakat dalam upaya –upaya peningkatan taraf hidupnya. Artinya bahwa inisiatif Tim PM akan pelan-pelan dikurangi dan pada akhirnya akan berhenti. Peran Tim PM sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh masyarakat. Waktu pemunduran Tim PM tidak selalu jelas, maka untuk memecahkan masalah ini penting sekali bahwa masyarakat dari awal proses, sadar bahwa hal ini akan terjadi.Disamping itu penting untuk menetapkan dan menyepakati bersama masyarakat tentang criteria-kriteria untuk pemunduran . walaupun Tim PM sudah mundur, anggotanya tetap berperan,yaitu sebagai penasehat atau konsultan bila diperlukan oleh masyarakat. 5.Tahap Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Salah satu aspek yang sangat penting dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah Monitoring dan Evaluasi secara Partisipatif (MEP).Monitoring dan evaluasi pemberdayaan bukan suatu kegiatan khusus, tetapi dilaksanakan secara mendalam disemua tahap pemberdayaan masyarakat agar proses berjalan dengan lancar dan tujuan dapat tercapai. MEP dilaksanakan oleh semua pihak, yang terlibat dalam PM ,dimana intinya adalah peran masyarakat sebagai pelaku utama. MEP adalah suatu proses penilaian, pengkajian dan pemantauan kegiatan PM, baik proses pelaksanaan, hasilnya dan dampaknya agar dapat disusun proses perbaikan kalau diperlukan. Dalam pemberdayaan masyarakat ada beberapa Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

100


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

hal yang di MEP-kan (1). Proses pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan kelompok sesuai rencana yang telah disusun (2). Tujuan pemantauan terhadap pencapaian tujuan kelompok serta tujuan kegiatannya.(3). Dampak pemantauan akibat proses pemberdayaan bagi masyarakat atau terhadap tujuan pemberdayaan yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya secara mandiri. Tahapan-tahapan monitoring dan evaluasi pemberdayaan meliputi (a). Menjelaskan tujuan evaluasi dan monitoring pemberdayaan masyarakat (b). Membahas kapan, dimana dan siapa yang akan melaksanakan monitoring pemberdayaan masyarakat tersebut.(c). menentukan indicator yang akan dipakai untuk melakukan monitoring dan evaluasi .(d). Melakukan monitoring dan evaluasi (e). Membahas temuan-temuan monitoring dan evaluasi,dan (f).Membahas perbaikan proses /kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pada butir a,b,c, dilakukan pada langkah penyusunan rencana kegiatan. Pihak-pihak yang terlibat dalam monitoring dan evaluasi adalah semua pihak yaitu masyara kat,dan Tim PM. Tim PM berperan sebagai fasilitator monitoring dan evaluasi, namun juga berperan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam prosesnya. Penutup Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses dimana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan didorong untuk makin mandiri dalam mengembangkan pri kehidupan mereka sendiri.Selain dari itu mereka dituntut mampu dalam menemukan solusi yang tepat dan mengakses sumber daya yang diperlukan, baik sumber daya eksternal maupun sumber daya milik masyarakat itu sendiri. Kegiatan pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh masyarakat, dimana lembaga pendukungnya hanya memiliki peran sebagai fasilitator, hal ini akan mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal . Kelompok sasaran utama pendekatan pemberdayaan masyarakat desa adalah kelompok-kelompok marginal dalam masyarakat, termasuk kaum wanita. Namun demikian, ini tidak berarti mengenyampingkan partisipasi pihak-pihak lain dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Pengembangan model kebutuhan belajar masyarakat ke depannya sebagaimana teridentifikasi kebutuhan belajar masyarakat untuk masa depan yaitu (1). Kemampuan membaca, menulis dan berhitung fungsional (2). Kemampuan bekerja sama (3). Kemampuan berfikir ilmiah (4). Kemampuan mengasuh keluarga dan rumah tangga (5). Kemampuan mencari nafkah (6). Kemampuan memahami kewarganegaraan (7). Sikap dan motivasi untuk gemar belajar (8). Kemampuan memperoleh dan menguasai informasi (9). Kemampuan berkomunikasi (10). Kemampuan berorganisasi (11). Kemampuan beradaptasi dan mengatasi perubahan-perubahan yang cepat (12). Kemampuan teknik perencanaan masa depan , mengatur waktu, tenaga dan uang (13). Kemampuan bersaing (14). Sikap keterbukaan (15). Sikap peduli terhadap sesama dan menghargai martabat manusia ,dan (16). Suka menghargai perbedaan dan keragaman. Model kegiatan pemberdayaan masyarakat desa terdiri dari (1) pemberdayaan sebagai partisipasi (2). Pemberdayaan sebagai demokrasi (3).pemberdayaan sebagai pengembangan kapasitas (4). Pemberdayaan sebagai perbaikan ekonomi dan (5). Pemberdayaan sebagai pengembangan individu. Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu, tahu,mengerti,paham,termotivasi, berkesempatan melihat peluang dan dapat memanfaatkan peluang itu,berenergi dan mampu bekerjasama,tahu berbagai alternative,mampu mengambil keputusan ,berani menghadapi resiko,mampu mencari dan menangkap informasi yang dibutuhkan serta mampu bertindak secara optimal sesuai situasi.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

101


Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Kebutuhan Belajar/Irmawita‌

2013

Daftar Pustaka Ihat Hatimah .(2007). Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, Jakarta. Universitas Terbuka. Jajat.S.Adinata.(2004). Model Pembelajaran Distance Learning Berbaasis Andragogi. Bandung.Universitas Pendidikan Indonesia, Jurnal Jurusan PLS. Marzuki Saleh (2004).Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah.Bandung,Nusantara. Marzuki Saleh (2010).Pendidikan Nonformal dan Informal.Bandung.Educasia Press. Sihombing .(2000). Pendidikan Luar Sekolah, Masalah dan Tantangan,Jakarta.Bumi Aksara. Shane.(2001) Educating the youngest for Tumorrow.In tofelt A Learning Tumorrow .Newyork,Random .House.Inc.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

102


Revitalisasi Modal Sosial dan Budaya Lembaga Pendidikan Masyarakat …/Septiarti…

2013

REVITALISASI MODAL SOSIAL DAN BUDAYA LEMBAGA PENDIDIKAN MASYARAKAT DALAM MEMBANGUN HABITUS BARU Oleh: S.Wisni Septiarti, M.Si Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY ABSTRAK

I’m not the best but I’m trying my best memiliki makna yang dalam ketika sebuah proses pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat dengan menekankan pentingnya membangun bukan hanya intelektualitas namun lebih pada membangun watak, karakter yang teguh, takwa dan santun dalam bentuk habitus baru. Membangun masyarakat yang dimulai dari satuan-satuan sosial yang terkecil seperti keluarga dengan prinsip hidup sederhana, rendah hati serta memegang teguh kejujuran dan tertanam sejak masa kanak-kanak nampaknya lebih berarti bagi pembentukan karakter bangsa. Sistem Pendidikan Nasional yang diterapkan di Indonesia setidaknya mengenal dua jalur yakini Pendidikan Formal dan Pendidikan Non formal dan Informal atau PAUDNI memiliki paradigma dalam membangun karakter bangsa. Paradigma pendidikan berbasis masyarakat yang memiliki arti antara lain bahwa masyarakat tidak semestinya menyerahkan seluruh pendidikan anak mereka kepada sekolah semata, akan tetapi ikut memelihara serta bertanggungjawab bersama untuk terciptanya hubungan yang harmonis diantara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah. Permasalahannya adalah seringkali lembaga pendidikan baik fomal maupun non formal dan informal dianggap kurang memiliki kemampuan membangun kembali modal sosial dan budaya yang sebetulnya sudah tersedia sebagaimana terkandung di dalam sistem nilai, sistem norma dan dan sistem budaya yang terus hidup namun tidak menjadi perhatian khusus oleh karena berbagai faktor antara lain semakin pesatnya pengaruh informasi dan teknologi yang tidak dikembangkan sebagai bagian dari media pendidikan serta lemahnya ikatan keluarga yang begitu terenggut oleh perkembangan jaman. Melalui sistem sosial yang menghidupkan kembali keadaban (publik), kebiasaan baik menjadi sebuah habitus baru dalam cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak, cara berperilaku sesuai dengan keadaban yang umumnya dikehendaki oleh masyarakat luas. Peran serta masyarakat dan pemerintah dalam membangun habitus baru dengan menggunakan kembali modal sosial dan budaya di lingkungan keluarga dan sekolah menjadi penting adanya. Kata kunci: modal sosial dan budaya, habitus baru PENDAHULUAN Sampai saat ini bangsa Indonesia masih saja mengalami situasi yang sangat sulit. Belum lagi persoalan-persoalan seperti pengangguran, kemiskinan, keadilan dan kesejahteraan tampaknya masih jauh dari harapan seluruh komponen bangsa, berita tentang terorisme, korupsi yang melibatkan para elit politik dan pejabat tinggi bahkan oleh penegak hukum seperti jaksa hingga yang paling mengejutkan, meresahkan dunia pendidikan adalah berita mengenai tawuran. Perkelahian, atau yang disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Peristiwa tawuran antar pelajar akhir-akhir ini bukan lagi secara kuantitas meningkat, namun tawuran yang dilakukan bahkan diikuti dengan pembunuhan, sebuah perilaku yan tak dapat ditolerir sebagai perkelahian biasa oleh karena cenderung ke kriminal yang melibatkan aspek hukum. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

103


Revitalisasi Modal Sosial dan Budaya Lembaga Pendidikan Masyarakat ‌/Septiarti‌

2013

pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas (Widodo Judarwanto, 2012). Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus. Informasi tentang peristiwa perkelahian antar pelajar begitu banyak dibahas di berbagai media cetak maupun elektronik bukan hanya dari segi kuantitas namun juga kualitas yang menunjukkan meningkatnya keberingasan pelajar saat tawuran terjadi. Catatan dirilis dari data kepolisian menyebutkan bahwa sejak bulan Januari hingga bulan September 2012 tawuran ini menelan korban sebanyak 17 pelajar meninggal dunia. Kompas yang terbit hari Kamis tanggal 27 September 2012 juga mengupas tentang keberingasan pelajar yang kian meresahkan semakin membuat keprihatinan seluruh komponen bangsa, bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh merasa perlu menata kembali pola pendidikan yang lebih banyak memberdayakan OSIS kedua sekolah yang bertikai untuk menyelenggarakan kegiatan olah raga dan seni secara bersama-sama. Berbagai cara maupun program telah dilakukan untuk mengatasi banyak persoalan-persoalan di atas tampaknya masih belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Serangkaian kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia dan sangat meresahkan sebenarnya sangatlah kompleks oleh karena terjadi di semua aspek dan institusi sosial yang ada. Tentu saja kekerasan yang terjadi di jenjang pendidikan dari tingkat SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi bukan hanya siswa atau mahasiswa saja sebagai pelaku, namun justru guru atau pendidik turut serta menodai dunia pendidikan dengan melakukan kekerasan atau pelecehan terhadap peserta didiknya. Thomas Lickona (1992) seorang guru besar ilmu pendidikan, penganjur berat pendidikan budi pekerti dari Cortland University mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda jaman yang kini terjadi, tetapi harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju pada keterpurukan. Ke sepuluh tanda jaman tersebut adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/masyarakat; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk/tidak baku; (3) pengaruh peer-group (geng) dalam tindak kekerasan, menguat; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba; alkohol dan seks bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok; (9) membudayanya kebohongan/ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama. Semestinya semua persoalan yang terjadi dalam setiap relasi sosial antara dua pihak atau lebih di dunia pendidikan bukan lagi diselesaikan dengan cara kekerasan melainkan mengembangkan sistem komunikasi atau dialog, sebuah cara penyelesaian yang lebih halus atau manusiawi. Mengapa bangsa Indonesia yang dulu leluhurnya adalah orang-orang yang santun, ramah dan berbudi pekerti luhur, gotong royong, kini masuk dalam kelompok Negara yang gagal dengan kasus dan tingkat korupsi no.3 dunia.. Apakah benar bahwa sistem pendidikan telah memisahkan diri dari sistem sosial dan budaya bangsa yang memiliki nilai-nilai adiluhung sehingga sistem pendidikn kita hanya mengedepankan pada kepentingan kecerdasan intelektual dan formalitas belaka? Sehingga melupakan aspek-aspek lain yang mengolah rasa, cara berpikir yang halus, santun dalam berucap dan berperilaku dalam proses pembentukan karakter sebagaimana diharapkan masyarakat luas. Atrikel ini hendak mendeskripsikan, menganalisis bagaimana modal sosial dan modal budaya yang dimiliki lembaga-lembaga pendidikan di masyarakat dapat dihidupkan kembali sebagai bagian dari proses pembentukan manusia Indonesia yang seutuhnya dalam masyarakat yang madani dan memiliki habitus baru PEMBAHASAN Ketika bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional pada tahun 2010,

Pendidikan Karakter dimunculkan kembali di semua jenjang pendidikan SD hingga Perguruan

Tinggi sebagai bagian dari perangkat pendidikan yang dianggap penting dan relevan dalam mengatasi berbagai keresahan banyak pihak yang melanda dunia pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta termasuk salah satu Perguruan Tinggi kependidikan yang sangat perhatian terhadap pembentukan kepribadian seluruh civitas akademik melalui pendidikan karakter. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

104


Revitalisasi Modal Sosial dan Budaya Lembaga Pendidikan Masyarakat ‌/Septiarti‌

2013

Sebuah upaya sadar dalam bingkai pendidikan di perguruan tinggi, pendidikan karakter menjadi salah satu icon penting oleh karena memiliki jangkauan jauh ke depan yakni membentuk pribadi-pribadi yang tangguh agar masyarakat mengalami sebuah perkembangan dan memunculkan sebuah habitus baru. H.A.R Tilaar (2002) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia menegaskan bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan landasan kebudayaan itu diwujudkan dalam nilai-nilai yang diharapkan dan berkembang dalam masyarakat. Kecenderungan masyarakat termasuk masyarakat pendidikan yang mengabaikan prinsip tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya berbagai bentuk masalah yang dihadapi dunia pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa degradasi budaya pada kalangan remaja atau siswa oleh karena melemahnya hubungan afeksi, emosional orang tua terhadap anak-anaknya atau terjadinya disintegrasi keluarga seperti poor parenting. Kondisi ini menyebabkan hilangnya pegangan dan keteladanan dalam meniru kelakuan-kelakuan yang etis dari orang tua atau orang dewasa yang ada di sekitarnya. Modalitas pendidikan yang ada yakni lembaga pendidikan formal, non formal dan informal menjadi modalitas dalam pembentukan kepribadiaan bangsa menjadi saling berpengaruh dengan pemerintah sebagai fasilitator utama perangkat pendidikan serta masyarakat (stakeholder) di pihak lain yang semestinya berkolaborasi secara harmonis. Ketiga modalitas pendidikan yang dilengkapi serangkaian pranata atau sistem norma dan nilai tersebut pada saatnya akan berdaya guna dalam membangun integritas bangsa yang semakin dibutuhkan. Meskipun untuk membangun integritas dan karakter bangsa bukanlah persoalan yang mudah oleh karena sistem norma dan nilai yang diinstitusionalisasi melalui modalitas pendidikan yang ada memerlukan proses belajar agar norma dan nilai tersebut mempribadi ke dalam setiap individu ketika hendak berperilaku. Apabila harmoni ini tercapai oleh ketiga modalitas pendidikan maka akan terjadi kesejahteraan sosial dan kebaikan umum bagi masyarakat yang semakin mengglobal. Asumsi bahwa anak-anak merupakan entitas yang paling mungkin untuk menjadi orang berkarakter ketika mereka tumbuh di masyarakat karakter, di mana ada upaya dari keluarga, sekolah, gereja, kuil, masjid, media,organisasi, pemerintah, olahraga, seni dioraganisisr secara sistematis dan bermakna bagi banyak orang. Setidaknya penurunan kualitas hidup moral sehari-hari dalam hal-hal sederhana seperti kesopanan, sopan santun masyarakat di tempat umum, dan kesopanan yang dikesankan oleh banyak pihak kembali mewarnai dinamika sosial budaya masyarakat. Hal ini membutuhkan upaya masyarakat bersama-sama dengan sekolah dan pemerintah untuk mengembalikan tatanan moral melalui modalitas pendidikan yang sudah ada. Pertanyaannya adalah bangsa Indonesia yang memiliki sistem sosial budaya yang begitu mengakar sekian puluh bahkan ratus tahun masa kehidupan nenek moyang yang mewariskan kepada generasi penerus sekian banyak way of life, cara pandang yang adi luhung belum mampu mengembangkan, menghidupkan kembali modal sosial dan budaya tersebut. Revitalisasi Modal Sosial Budaya dan Habitus Baru Masyarakat

dalam Mengembangkan

Capital sebagaimana sering dimengerti sebagai modal yang dimiliki seseorang yang memungkinkan seseorang itu untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidupnya. Ada beberapa modal seperti intelektual (pendidikan) modal ekonomi dan modal sosial budaya (termasuk jaringan sosial). Konsep modal sosial pertama kali dikemukakan oleh James S. Coleman seorang sosiolog yang mendefinisikan modal sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Lebih lanjut, Coleman membedakan antara modal sosial dengan modak fisik dan juga modal manusia. Sementara itu, Pierre Bourdieu (dalam Ignas Kleden; Reza A.A.Wattimena, 2006), seorang pemikir dari Perancis yang juga pemerhati pendidikan, mendefinisikan modal sosial sebagai

"the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition�.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa modal sosial dan budaya memiliki kekuatan dalam membentuk kapasitas individu yang menjadi bagian dalam sistem kelembagaan yang berkembang sesuai dengan tujuannya. Masing-masing unsur yang ada dalam sistem Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

105


Revitalisasi Modal Sosial dan Budaya Lembaga Pendidikan Masyarakat ‌/Septiarti‌

2013

kelembagaan tersebut saling berkaitan dalam membangun setiap tujuan yang ditentukan dan berarti bagi kehidupan setiap individu yang ada di dalamnya. Modal sosial adalah bagian-bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Modal sosial juga didefinisikan sebagai kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut yang memungkinkan terjalinnya kerjasama. Saling keterkaitan antar unsur dalam sistem juga dapat dijelaskan dengan model tindakan menurut Talcot Parson (dalam George Ritzer dan Douglas J Goodman, 2007) dengan sistem sosial, sistem budaya, sistem kepribadian dan organisme perilaku merupakan satu kesatuan tindakan yang sangat penting dalam membangun habitus baru sebagaimana masyarakat yang berkembang terutama dalam era budaya global dan tak terelakkan. Secara konseptual, Talcot Parson memperkenalkan teori tindakannya melalui sistem yang masing-masing memiliki fungsi yang kontributif. Fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan system. Menurut Parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua system social, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal attainment (G), integrasi (I), dan Latensi (L).empat fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua system agar tetap bertahan ( survive), penjelasannya sebagai berikut: Adaptation : fungsi yang amat penting disini system harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan system harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya. Goal attainment ; pencapainan tujuan sangat penting, dimana system harus bisa mendifinisikandan mencapai tujuan utamanya. Integration artinya sebuah system harus mampu mengatur dan menjaga antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi(AGL). Latency :laten berarti system harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah system harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan cultural. Hal ini menunjukkan bahwa setiap sistem yang ada dalam modalitas pendidikan seperti lembaga pendidikan formal, nonformal dan informal; pemerintah dan masyarakat pada umumnya dibangun untuk mencapai tujuan tertentu tanpa mengabaikan sistem yang lain sehingga adaptasi menjadi pilihan agar sistem terjaga dan terintegratif dalam setiap kebutuhan dalam sistem tersebut hingga membutuhkan sistem pemeliharaannya agar masing-masing modalitas pendidkan tersebut tetap memiliki fungsi satu terhadap yang lain secara konstruktif. Pemahaman makna modal sosial dan budaya yang sudah tertanam dalam budaya bangsa Indonesia telah membentuk manusia yang seutuhnya sebagaimana dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantoro mengalami pasang surut oleh perkembangan masyarakat global, maka revitalisasi terhadap modal sosial dan kultural dalam setiap lembaga pendidikan perlu dikembangkan terus menerus. Beberapa elemen yang terkait dengan modal sosial dan budaya yang paling populer seperti saling percaya dengan berbagai unsurnya; jaringan sosial dengan beberapa unsurnya serta pranata dengan sejumlah valuenya adalah elemen-elemen yang tidak begitu saja kita peroleh sebagai warisan budaya namun lebih banyak berkembang dan hidup dalam masyarakat melalui proses belajar di dalam keluarga, comunitas, asosiasi, negara dan sebagainya. Sebuah kritikan seorang ahli pendidikan, Prof.H.A.R Tilaar di berbagai kesempatan, pertemuan ilmiah yang dikuatkan dalam buku-bukunya tampak jelas bahwa pendidikan yang juga disebut sebagai bagian sistem kebudayaan menegaskan bahwa sistem pendidikan kita selama ini terlalu mengutamakan aspek intelektualitas, formalitas dan mengagungkan ijazah sehingga mengabaikan aspek kebudayaan yang membentuk kapasitas individu dengan kesantunan, sikap, kebiasaan atau keterampilan-keterampilan tertentu. Membangun masyarakat melalui revitalisasi modal sosial dan budaya sebagaimana yang diharapkan dalam sistem sosial budaya masyarakat memang bukanlah persoalan yang mudah bahkan memerlukan proses yang begitu lama. Sebagai gambaran belajar hidup di masyarakat merupakan sebuah proses yang tak mengenal waktu, usia, gender dan latar belakang lain, namu seringkali situasional seperti gambaran berikut:

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

106


Revitalisasi Modal Sosial dan Budaya Lembaga Pendidikan Masyarakat …/Septiarti…

2013

Dikisahkan :

Ada seorang pria yang buta huruf bekerja sebagai penjaga sekolah, sudah 20 tahun dia bekerja di sana. Suatu hari kepala sekolah itu digantikan dan menerapkan aturan baru. Semua pekerja harus bisa membaca dan menulis maka penjaga yang buta huruf itu terpaksa tidak bisa bekerja lagi. Awalnya dia sangat sedih, hingga dia tidak berani langsung pulang ke rumah dan memberitahu isterinya. Dia berjalan pelan menelusuri jalanan. Tiba-tiba muncullah serangkaian ide untuk membuka kios di jalanan itu. Tak disangka usahanya sukses dari satu kios menjadi beberapa kios. Kini dia jadi pengusaha sukses dan kaya. Suatu hari, dia pergi ke bank untuk membuka rekening, namun karena buta huruf dia tidak bisa mengisi formulir dan karyawan Bank yang membantunya.Karyawan Bank berkata: wah Bapak buta huruf saja bisa punya uang sebanyak ini, apalagi kalau bisa membaca dan menulis. Dengan tersenyum dia berkata: Kalau saya bisa membaca dan menulis, saya pasti masih menjadi penjaga sekolah. (sent from blackberry’s friend, 2012) Membelajarkan manusia untuk bisa membaca, menulis dan menghitung relatif lebih mudah daripada membentuk seseorang untuk memiliki karakter. Membangun masyarakat melalui pribadi-pribadi yang dinamis, unik dan berkembang menjadi persoalan dan perhatian seluruh bangsa Indonesia. dan melalui mekanisme yang ada setiap lembaga pendidikan sebagai bagian dari pengembang modal sosial, budaya serta kepribadian kelak akan dimilikinya sebuah habitus baru, sebuah kedalaman sikap. Sikap dan tindakan (yang diharapkan menjadi ‘kebiasaan’) ini dikatakan sebagai “cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok” yang relevan bagi sebuah masyarakat. Keseluruhan cara sebagaimana digambarkan dalam kedalaman sikap dan tindakan secara proses (belajar) akan dimiliki oleh setiap individu sejak individu mulai mengenal norma, nilai meski secara sederhana untuk menuju ke sebuah habitus baru. Secara umum habitus dimengerti sebagai nilai-nilai sosial yang dihayati manusia dan muncul melalui proses sosialisasi yang berlangsung lama sehingga mengadop cara menjadi cara berpikir, cara hidup, pola berperilaku yang menetap di dalam diri manusia. Pierre Bourdieu (dalam Ignas Kleden, 2006) menggambarkan:  habitus terbentuk melalui latihan terus menerus (terinternalisasi) dan terbentuk dalam konteks sosial yang konkrit yang berarti terbentuk dalam umat basis yang menjadi lingkungan yang terdekat  habitus menolak sikap yang mekanistis, jadi harus ada suatu latar belakang sejarah dan pendidikan yang menjadi dasarnya;  habitus menunjuk suatu tingkat internalisasi yang sangat mendalam karena ia merupakan sejarah yang sudah membadan (embodied history).  dia juga transposable yaitu dapat dialihtempatkan, jadi kebiasaan yang terbentuk dalam kehidupan rohani seseorang dapat ditransfer juga ke kehidupan sosial, tanpa rujukan langsung ke norma-norma keagamaan yang menjadi dasarnya; sifat ini sesuai dengan sekularisasi iman ke dalam bidang-bidang sosial politik atau bidang pendidikan misalnya.  demikian pula habitus bersifat generative yang berarti kebiasaan yang sudah terbentuk tidak bersifat statis tetapi cenderung menghasilkan persepsi dan tindakan-tindakan tertentu. Proses pembiasaan terhadap nilai untuk menjadi habitus baru melalui modalitas pendidikan (dalam arti luas) dapat diimplementasikan ke dalam struktur kurikulum atau aktivitas belajar dengan prinsip pembelajaran yang pernah ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan prinsip pembelajaran panca wardana (dalam HAR Tilaar, 2002) barangkali dapat membangkitkan kembali semangat belajar bagi para pendidik dan peserta didik yang menjadi bagian dalam seperangkat sistem norma, sistem nilai sebagai dasar modal sosial, budaya yang sudah ada sebelumnya. Panca wardana merupakan prinsip pembelajaran yang meningkatkan individu dalam proses belajar pada aspek:

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

107


Revitalisasi Modal Sosial dan Budaya Lembaga Pendidikan Masyarakat ‌/Septiarti‌

2013

1. kecerdasan intelektual, prinsip ini mengindikasikan bahwa di setiap proses pembelajaran tidak lepas dari membangun kapasitas individu yang membentuk kecerdasan intelektual. 2. artistik emosional, prinsip ini menekankan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran untuk mempengaruhi peserta didik bukan hanya dalam pikiran namun juga perasaan yang menimbulkan rasa empati, peduli, menghargai, dan olah rasa lainnya seperti rasa keindahan, kasih sayang dan sebagainya. 3. skills (keterampilan); mengintegrasikan materi pembelajaran dengan keterampilanketerampilan atau kebiasaan yang baik seperti keterampilan untuk dapat menempatkan diri sebagaimana seharusnya, sebagai mahasiswa, murid, sebagai guru, orang tua termasuk keterampilan melakukan pekerjaan dalam tekanan-tekanan tertentu. 4. kapasitas fisik pembentukan kapasitas fisik individu memiliki implikasi pada keterlaksanaan aktivitas belajar lainnya, seperti kebiasaan melakukan olah raga, melakukan kebiasaan makan yang sehat dan sebagainya. 5. rasa nasional sesungguhnya secara sederhana dapat diintegrasikan ke dalam materimateri pembelajaran dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi bahkan dapat berlangsung sepanjang hayat yakni melalui kegiatan yang memupuk rasa cinta tanah air dalam bentuk kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler seperti mendaki gunung, dengan sukarela mengikuti upacara bendera pada saat-saat tertentu dan sebagainya. Ke lima prinsip pembelajaran tersebut dapat dimaknai sebagai bagian dari serangkaian aktivitas akademik dan profesional yang memiliki komitmen dalam membangun karakter anak agar memiliki sikap sosial, bermoral dan memiliki tanggungjawab secara akademik ketika pendidikan karakter terintegrasi ke dalam seluruh disiplin ilmu yang dimuat dalam setiap aspek dari kurikulum. Selain melalui modalitas pendidikan formal, non formal dan informal, membangun karakter individu secara sistem juga dapat dilakukan dalam proses pembelajaran di masyarakat. Oleh karena keanekaragaman gender dan latar belakang sosial ekonomi dan budaya begitu nyata, maka pengelolaannya menjadi lebih kompleks dan dampaknya pun bisa begitu meluas. Anak-anak yang belajar pada orang dewasa di masyarakat begitu terbuka termasuk belajar pada hal-hal yang tidak layak bagi anak-anak. Oleh karena itu sangat penting untuk diadopsi pola pembelajaran yang menekankan pada keadaban publik menjadi habitus yang baru, kejujuran (bukan kebohongan publik), kesantunan dalam berpikir dan bertindak (bukan menggunakan kekerasan untuk mencari solusi) dari orang tua, orang dewasa lainnya, tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh agama, atau pimpinan informal dalam setiap statemen, penampilannya di depan publik. Dengan saling membangun kepercayaan, toleransi serta saling menghargai dilatihkan pada setiap individu dengan penuh tanggungjawab di setiap modalitas pendidikan melalui struktur dan prosesnya diperlukan kerjasama dalam jaringan sosial yang selalu dijaga keberadaannya. Salah satu alasannya adalah bahwa membangun karakter individu identik dengan membangun manusia Indonesia yang seutuhnya. Konsep ini barangkali dapat dipahami tidak hanya pandai atau ahli dalam bidang ilmu saja, namun lebih dari itu yakni manusia yang memiliki cara pandang, sikap terhadap hidup lebih hidup atau cerdas dalam menghadapi hidup yang penuh tantangan dan last but not least adalah berani mengambil resiko secara bijaksana (dalam bahasa enterpreneur menggunakan hati nurani) dan benar terutama dalam membangun trust bersama dengan orang lain berbagai pranata kehidupan terutama pada lembaga pendidikan. Penutup Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia mengalami perkembangan dalam kehidupan dengan pola dan sebab yang relatif sama. Pola perkembangan masyarakat yang disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi, demokrasi dalam berbagai aspek yang semakin mengglobal menjadi tak terelakkan. Berbagai akibat yang dimunculkan oleh perkembangan global seperti munculnya permasalahan-permasalahan sosial, pendidikan hingga budaya yang dirasa semakin membahayakan, meresahkan sehingga memerlukan solusi secara signifikan bagi setiap lapisan masyarakat. Sebagaiman diungkapkan oleh seorang ahli pendidikan Arif Rahman melalui media elektronik dalam menanggapi fenomena tawuran yang begitu meresahkan masyarakat adalah yang terpenting adalah membentuk anak supaya tidak hanya pandai Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

108


Revitalisasi Modal Sosial dan Budaya Lembaga Pendidikan Masyarakat ‌/Septiarti‌

2013

secara otak saja, melainkan membangun karakter, dengan sikap, santun dalam bertutur kata dan bertindak melalui pendidikan di sekolah dan juga yang paling penting melalui keluarga. Meskipun pengaruh lingkungan cukup berpengaruh namun apabila basic pendidikan cara merasa, cara berpikir, sikap menghargai dan sebagainya itu kuat maka niscaya pembentukan karakter cenderung menunjukkan hasil yang relatif lebih baik. Oleh karena itu membangun kepercayaan antar modalitas sosial budaya di lembaga-lembaga pendidikan bersama pemerintah dan masyarakat pada umumnya menjadi penting untuk dikembangkan. Membangun keadaban publik sebagai habitus baru bagi setiap individu dalam kehidupan kolektifnya menjadi mutlak untuk dilaksanakan. Sistem sosial, budaya yang dimiliki bangsa secara keseluruhan di setiap pranata memiliki peluang sekaligus tantangan untuk bersamasama membangun kembali sistem sosial dengan nilai dan normanya dengan keanekaragaman yang ada dalam masyarakat. Untuk menutup tulisan ini pendidikan moral sebagai bagian dari proses penerapan pendidikan karakter sebagaiman dikemukakan Lickona pemerhati pendidikan dalam statemennya sebagai berikut: moral education is not a new idea. It is, in fact as old as

education it self. Down through history, in countries all over the world, education has had two great goals, to help young people became smart and to help them became good.

Daftar Pustaka George Ritzer dan Douglas J.Goodman.2007.(edisi 6). Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Prenada Media Group. H.A.R. Tilaar. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung, PT Remaja Rosdakarya. Ignas Kleden. 2006. Pierre Bourdieu dan Konsep habitus Baru. Habitusbaru blogspot.com. Pusat Studi Habitus Baru. Kompas. 2012. Keberingasan Pelajar Kian Meresahkan. Jakarta. Hal. 1 Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character. How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York. A Bantam Book. Reza.A.A.Wattimena. 2006 Berpikir Kritis Bersama Pierre Bourdieu Sander Diki Zulkarnaen. 2011. Tawuran Pelajar Memprihatinkan Dunia Pendidikan Makalah. Widodo Judarwanto. 2012.Koran Demokrasi Indonesia.Aspirasi Rakyat Sipil Jakarta.Yudhasmara Publisher.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

Merdeka.

109


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

2013

PERGESERAN POLA KEHIDUPAN DAN KEBUTUHAN BELAJAR MASYARAKAT MODEL PRISMATIK Oleh: Hardika Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP UM Abstrak

Perubahan masyarakat rural ke arah suburban atau dari tradisi ke transisi memunculkan konsekuensi terhadap eksistensi matapencaharian masyarakat. Konsekuensi yang muncul adalah pemenuhan kebutuhan belajar untuk memperoleh pekerjaan baru akibat dari perubahan pola matapencaharian. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kebutuhan belajar masyarakat prismatik dalam mengembangkan matapencaharian baru. Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif menggunakan metode diskusi kelompok terfokus. Hasil penelitian diketahui, bahwa kebutuhan belajar masyarakat prismatik meliputi kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan, pemahaman arah perubahan dan strategi pengembangan matapencaharian baru untuk mempertahankan kelangsungan hidup.

Kata-kata kunci: masyarakat prismatik, kebutuhan belajar, matapencaharian. PENDAHULUAN Masyarakat model prismatik menurut Riggs adalah suatu masyarakat dalam kondisi polyfunctional, selectivism, dan attainment. Masyarakat model prismatik ini berada dalam proses peralihan (transisi) dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri. Teori sosilogi yang bersifat dikotomis sudah tidak dapat diterapkan dalam masyarakat prismatik, seperti teori dikotomis tradisional rasionalis (Riggs, 1983). Salah satu indikator masyarakat model prismatik adalah terjadinya perubahan masyarakat dari rural ke suburban dan terjadinya perubahan pola matapencaharian dari petani ke nonpetani. Perubahan masyarakat rural ke suburban tentu akan menimbulkan berbagai konsekuensi terhadap pekerjaan petani dalam mengembangkan matapencaharian baru nonpertanian. Berbagai kegagalan pembangunan di negara-negara berkembang diduga disebabkan oleh ketidakcermatan para perencana pembangunan dalam melakukan asesmen dan analisis kebutuhan masyarakat serta penerapan teori sosilogi yang masih bersifat dikotomis. Para ahli perencana pembangunan masyarakat perlu didorong untuk mengkaji ulang validitas teori modernisasi klasik yang bertahun-tahun menguasai pola pembangunan di beberapa belahan dunia tanpa memperhatikan karakteristik dan keunikan masyarakat setempat. Kaji ulang terhadap teori pembangunan melahirkan paradigma baru dalam teori modernisasi, bahwa tradisi modern bukan merupakan dua hal yang bersifat dikotomis, tetapi merupakan fenomena sosial yang dapat berjalan seiring bahkan saling melengkapi (Adimihardja, 2002). Sejalan dengan pemahaman tersebut, model perilaku masyarakat dan sistem budaya tradisional sebenarnya bersifat dinamis dan dapat didayagunakan secara langsung untuk menunjang proses pembangunan di berbagai bidang kehidupan. Demikian pula yang berkenaan dengan sistem dan kebutuhan belajar masyarakat prismatik tentu juga memiliki perbedaan yang khas dalam berpikir dan berperilaku. Kebiasaan, pola pikir dan perilaku masyarakat tradisi yang masih merujuk pada pemahaman masa lalu, tentu juga akan mewarnai keunikan perilakunya dalam memenuhi kebutuhan belajar matapencaharian meskipun kehidupan telah bergeser ke arah transisional. Menurut Rogers dalam (Leibo, 1995) dijelaskan, bahwa karakteristik menonjol masyarakat tradisi di Indoensia antara lain, (1) pada umumnya hanya memiliki kemampuan tunggal sebagai petani, sehingga perilaku dalam mengembangkan usaha nonpertanian akan bersifat khas/unik, (2) matapencaharian masih bersifat subsisten dan lokalis, sehingga pekerjaan di luar pertanian yang lebih bersifat kompetitif dan komersial belum menjadi kebiasaan hidupnya, (3) kurang memiliki jaringan informasi luas dan perilakunya lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman diri sendiri dan sistem sosial yang ada di lingkungannya, (4) biasanya tidak memiliki daya inovasi Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

110


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

2013

yang dimunculkan dari diri sendiri, tetapi lebih banyak bergantung kepada perilaku lingkungan, (5) tidak berani mengambil risiko dalam bertindak di luar kemampuannya, sehingga proses alih usaha merupakan peristiwa unik dan bahkan rumit bagi dirinya, dan (5) pada dasarnya memiliki kekayaan perilaku belajar dan tradisi asli yang unik. Pergeseran masyarakat tradisi ke transisi juga ditandai oleh menurunnya angka pekerja petani akibat penyempitan lahan pertanian. Data terbaru menunjukkan bahwa dari 42,32 juta pekerja pertanian turun menjadi 40,14 juta atau turun 2,18 juta untuk tahun 2006, sedangkan penyempitan lahan pertanian mencapai 100 ribu hektar per tahun (Jawa Pos 2 Desember 2006). Hilangnya lahan pertanian di kawasan pinggiran kota yang sekaligus juga menghilangkan pekerjaan masyarakat petani, justru menambah persoalan masyarakat tradisi yang masih mengandalkan tanah sebagai sumber matapencaharian. Dalam kondisi seperti ini, biasanya banyak muncul ketegangan psikologis yang disebabkan oleh berbagai konflik status sebagaimana telah disebutkan diatas. Masyarakat model prismatik sering mengalami konflik sosial, nilai, dan pengaburan antara ilmiah dan tidak ilmiah. Sebagaimana dikatakan Daniel Lerner (1983), bahwa masyarakat Indonesia yang telah lama disebut sebagai masyarakat tradisi, kini telah mengalami pemudaran ke arah masyarakat transisi yang disertai oleh berbagai perubahan dan pergeseran pola kehidupan. Hal ini seiring dengan kecenderungan arah perubahan masyarakat Indonesia dari postagraris menuju praindustri dengan disertai terjadinya berbagai perubahan norma dari norma kolektif menjadi polynormative indivualistis (Mar’at, 1988). Perubahan tata nilai semacam ini tentu akan mendorong terjadinya perubahan perilaku usaha yang lebih bersifat kompetitif, mandiri dan komersialistik. Berkaitan dengan perubahan tata nilai dan pola kehidupan masyarakat prismatik, persoalan yang muncul berikutnya adalah bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan belajar dan tuntutan kehidupan yang dapat dijadikan alat untuk berkompetisi memperebutkan peluang usaha yang ada di lingkungannya. Masyarakat prismatik yang sebelumnya bekerja sebagai petani tentu membutuhkan keterampilan dan pengetahuan baru untuk memperoleh dan mengembangkan matapencaharian serta kehidupan sosialnya. Prestise sosial yang pada saat menjadi petani ditentukan oleh tingkat kepemilikan luas tanah dan penguasaan bahan makanan, kini telah bergeser dan lebih ditentukan oleh peran dan kemampuan berinteraksi dan kemampuan mendisain pola kehidupan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pergeseran pola kehidupan dan kebutuhan belajar masyarakat prismatik dalam upayanya untuk mengembangkan usaha matapencaharian baru pasca hilangnya pekerjaan pertanian. METODE Penelitian ini dilakukan di kawasan pinggiran kota dan kabupaten Malang Jawa Timur. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan metode focus group discussion dan indepth analysis. Data digali secara induktif, kontekstual, dan terfokus sesuai dengan situasi yang dihadapi dan dialami sendiri oleh subjek penelitian yang meliputi pengalaman belajar, potensi diri dan lingkungan, peluang dan kesempatan masyarakat dalam mengembangkan kehidupan. Teknik penggalian data meliputi dialog individual dan kelompok, observasi partisipatif dan nonpartisipatif, dokumentasi, dan penjelajahan lapang. Analisis data dilakukan dengan teknik interaktif model Miles dan Hubarmen (1994) yang dilakukan sejak pengumpulan data berlangsung hingga dilakukannya konfirmasi hasil penelitian kepada subjek. HASIL Jenis Kebutuhan Belajar Kebutuhan belajar masyarakat prismatik sangat bervariatif meskipun secara umum selalu berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan ekonmi. Kebutuhan belajar masyarakat didasarkan atas situasi dan kondisi lingkungan yang selalu berubah kearah penekanan terhadap eksistensi dirinya sebagai masyarakat petani. Kebutuhan belajar masyarakat prismatik meliputi kebutuhan dasar yang bersifat kualitas pemahaman tentang arah dan pola perubahan dan kebutuhan belajar ke arah kebutuhan praktis yang berkaitan dengan matapencaharian. Beberapa kebutuhan belajar masyarakat prismatik meliputi (1) kemampuan merancang usaha Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

111


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

2013

matapencaharian, (2) merancang jaringan belajar usaha, (3) menentukan jenis usaha baru yang relevan dengan karakteristik masyarakat, (4) kemampuan melakukan komunikasi usaha dengan lembaga mitra, (5) melakukan dan mengembangkan usaha, (6) meningkatkan kemampuan komunikasi uasaha dengan masyarakat pendatang, dan (7) menemukan agen pembaharu yang dapat melakukan biombingan belajar usaha matapencaharian. Secara umum kebutuhan belajar masyarakat dapat diklasifikan menjadi tiga aspek, yang meliputi (1) kebutuhan belajar pengetahuan, (2) kebutuhan belajar keterampilan, (3) kebutuhan belajar sikap, dan (4) kebutuhan belajar norma usaha matapencaharian di tengah situasi transisional. Namun demikian, kebutuhan belajar masyarakat prismatik juga masih dipengaruhi oleh keyakinan dan kepercayaan subjektif yang terjadi di lingkungannya. Beberapa keyakinan masyarakat dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan belajar usaha matapencaharian adalah (1) belajar dan bekerja harus sesuai dengan tata nilai ajaran orang tua atau orang yang dituakan di lingkungannya, (2) ajaran dan tata nilai orang tua sebagai pembelajaran yang memiliki kebenaran objektif oleh kelompoknya, (3) belajar dan bekerja lebih didasarkan pada keyakinan diri daripada realitas sosial yang berseberangan dengan keyakinannya, (4) pengalaman orang tua dan pribadi menjadi �cikal-bakal� munculnya bahan belajar yang diturunkan kepada generasi berikutnya, (5) eksistensi takhyul adalah keniscayaan adanya sehingga akan selalu dipercaya, (6) eksistensi orang pinter dalam sistem kehidupan lokal adalah benar dan menjadi panutan bagi lingkungan sekitar, (7) nilai masa lalu disikapi sebagai sumber pembelajaran dan acuan dalam sistem komunikasi masa kini, (8) perbedaan nilai dan keyakinan dengan lingkungannya dianggap sebagai perubahan sistem yang terjadi dalam konteks kekinian dan tidak wajib menjadi pertimbangan dalam berperilaku, dan (9) orang tua di kalangan masyarakat dianggap memiliki filosofi strategis dalam proses pembelajaran yang berfungsi sebagai saluran pembelajaran (learning channel) untuk memindahkan pesan belajar. Karakteristik Jenis Matapencaharian yang Dikembangkan Masyarakat Prismatik Terdapat empat jenis kelompok usaha nonpertanian yang dikembangkan dan ditekuni masyarakat mantan petani, yaitu (1) kelompok pekerjaan serabutan (buruh serabutan, (2) kelompok usaha atau pekerjaan yang dapat dilakukan oleh semua atau banyak orang tanpa memerlukan keahlian khusus, (3) kelompok usaha atau pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian khusus, (4) kelompok usaha atau pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki jiwa dan kemampuan wirausaha (bekerja mandiri). Berikut disajikan tabel jenis kelompok usaha yang dikembangkan mantan petani sebagai pengganti pekerjaan pertanian. Tabel Karakteristik Pekerjaan/Usaha Nonpertanian Masyarakat Prismatik N o 1

Kelompok Usaha Nonpertanian Kelompok usaha serabutan

2

Kelompok usaha tanpa memerlukan keahlian khusus

3

Kelompok usaha yang hanya dapat

Jenis Usaha Buruh rumah tangga, buruh warung, pembantu rumah tangga, pekerja kebersihan kota, pekerja pemeliharaan taman, pekerja angkut barang, buruh pabrik, dan tukang rombeng. Tukang terop, kuli bangunan, penjaga rumah, tukang cuci dan seterika, tukang ojeg, penjual bambu, penjaga rumah, tukang mlijo, penjual makanan anak-anak. Tukang bangunan, pracangan, berternak,

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

Pendidikan dan Pengalaman Buta Huruf sampai dengan SMA, tidak berpengalaman bekerja di luar pertanian

Karakteristi k Petani Petani kecil (1/4 Ha), buruh tani, petani penggarap, petani ngasak

Buta huruf sampai dengan SMA, kurang berpengalaman bekerja di luar pertanian

Petani kecil (1/4 Ha), buruh tani, petani penggarap, petani ngasak

Buta huruf sampai dengan SMA,

Petani kecil (1/4 Ha), 112


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

4

dilakukan dengan keahlian khusus

teknisi mesin sepeda motor, pompa air.

Kelompok yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki jiwa dan kemampuan wirausaha (bekerja mandiri)

Pengusaha angkutan mikrolet, pedagang/toko, pengusaha saniter, pengusaha selep atau giling padi, dan persewaan mobil, persewaan rumah (kontrakan)

memiliki pengalaman dan pengetahuan pekerjaan di luar pertanian SD sampai dengan SMA berpengalaman dan berpengetahuan terhadap pekerjaan di luar pertanian

2013

buruh tani, petani penggarap, petani ngasak Petani berlahan luas (satu kedok keatas atau 2,5 Ha keatas)

Kebanyakan prismatik masih belum berani memilih jensi pekerjaan yang memerlukan sikap konpetisi dan spikulasi yang tinggi. Walaupun mantan petani sadar bahwa buruh adalah profesi yang sangat tidak menyenangkan, akan tetapi pekerjaan buruh merupakan pilihan yang paling bisa ditembus dalam transaksi tenaga kerja di kawasan transisi. Kemampuan yang sangat terbatas serta sikap subsisten yang masih melekat pada diri mantan petani ternyata masih mewarnai pola kehidupan dan kemampuan untuk memutuskan jenis usaha nonpertanian pasca hilangnya pekerjaan pertanian. BAHASAN A. Pergeseran Masyarakat Tradisi ke Transisi : Dari Petani Menjadi Mantan Petani Hilangnya lahan pertanian di kawasan pinggiran kota yang sekaligus juga menghilangkan pekerjaan masyarakat petani, justru menambah persoalan masyarakat pinggiran sebagai kelompok termarginalisasi (Marzali, 1993). Menurut Eitzen (dalam Marzuki, 2005) dikatakan bahwa masyarakat pinggiran sebenarnya sudah banyak mengalami penderitaan. Salah satu penderitaan yang dialami masyarakat pinggiran adalah persoalan status (status anguish), yaitu penderitaan yang disebabkan karena adanya pertentangan status bagi sese-orang. Derita status menurut Eitzen ada tiga macam, yaitu status marginalitas ( marginality status), status tidak konsisten (inconsistensy status), dan status menarik diri (withdrawal status). Dalam kondisi seperti ini, biasanya banyak muncul ketegangan psikologis yang disebabkan oleh berbagai konflik status sebagaimana telah disebutkan diatas. Masyarakat seperti ini menurut Riggs (1986) disebut sebagai masyarakat prismatik atau transisional, yaitu suatu keadaan masyarakat yang di dalamnya berkembang proses polynormative, yaitu banyak norma, sering terjadi konflik nilai dan pengaburan antara ilmiah dan tidak ilmiah. Dalam masyarakat transisi atau model prismatik, persoalan yang munculpun telah mengalami perubahan dari persoalan bawaan masa lalu kearah persoalan penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan dan perkembangan ke masa depan (Planck, 2002). Proses perubahan pada masyarakat trasisi merupakan persoalan yang tidak mudah, sebab karakter masyarakat seperti ini dalam posisi sulit dan ada di tengah-tengah, yaitu sering disebut dengan istilah “kota tidak, desa juga tidak�. Kelangsungan hidup petani menjadi berubah dan bergeser ke arah yang lebih bersifat individualistik dan posisional. Prestise sosial yang pada waktu menjadi petani ditentukan oleh tingkat kepemilikan luas tanah dan penguasaan bahan makanan, kini telah bergeser dan lebih ditentukan oleh peran dan kemampuan berinteraksi dan kemampuan mendisain pola kehidupan. Di samping itu, peralihan lahan pertanian juga membawa perubahan yang mendasar pada diri petani maupun keluarganya, sebab perubahan yang terjadi bukan sekedar masalah pekerjaan tetapi menyangkut pola kehidupannya (Wolf, 1998). Proses ini tentu tidak mudah, sebab karakter asli petani di Indonesia memang masih lebih senang mengambil jalur keamanan ekonomi atau “asal selamat� dengan menganut prinsip saling terima sepadan/resiprositas (Scott, 1998). Sebagai suatu sistem yang dinamis, tentu masyarakat akan terus berkembang dan berubah melalui berbagai saluran, baik dari dalam masyarakat itu sendiri maupun dari luar. Perubahan masyarakat selalu memerlukan pemicu agar terjadi aksi, reaksi dan interaksi dari komunitas masyarakat yang bersangkutan dengan pihak luar. Pemicu dari pihak luar yang Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

113


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

2013

biasanya disebut sebagai agen pembaharu (change agent), harus selalu memperhatikan karakteristik masyarakat setempat dalam melakukan tindakan dan sosialisasi program. Menurut World Bank (2007), proses pemandirian masyarakat harus tetap diupayakan melalui pengendalian oleh dirinya sendiri dengan tetap berlandaskan pada karakteristik asli masyarakat yang bersangkutan. Peningkatan wawasan masyarakat memang harus dilakukan, akan tetapi nilai-nilai asli tidak boleh tercabut dari akar kehidupannya, sebab semua itu merupakan bagian dari kepemilikannya dan akan terus dipertahankan sebagai miliknya. Dalam terminologi pembangunan masyarakat, perubahan pinggiran kota menjadi kawasan perkotaan juga banyak menimbulkan daya tarik tersendiri bagi masyarakat tertentu. Kota juga dinilai telah melahirkan pusat-pusat perekonomian dengan kapital yang sangat tinggi meskipun belum tentu berdampak pada keberhasilan ekonomi warganya. Dari temuan lapangan juga didapatkan bahwa tidak sedikit masyarakat petani yang tergusur dari matapencahariannya pergi berduyun-duyun ke kota untuk mengadu nasib. Namun, sebagian besar dari mereka banyak yang gagal karena tidak memiliki bekal yang memadahi untuk bersaing dengan komunitas kota. Bahkan, kota juga berpotensi menimbulkan kejahatan di berbagai bidang kehidupan karena faktor kompleksitas migrasi (Bennet, 1994). Walaupun perkembangan kota telah menghasilkan berbagai basis ekonomi, namun ongkos sosial yang ditanggung oleh masyarakat pinggiran sebagai kelompok tergusur sangat mahal. Dalam tinjauan ekonomik dan sosiologik, masyarakat kurban penggusuran lahan pertanian kesulitan memperoleh pekerjaan pengganti yang dapat menjamin kelangsungan ekonominya, karena minimnya wawasan luar dan rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki. Kelangsungan sosial mantan petani juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Interaksi sosial yang selama ini banyak didasarkan pada homogenitas sosial dan pemerataan penghasilan, kini telah berubah ke arah prinsip stratifikasi sosial dan hubungan antara buruh dan tuan tanah (Hayami & Kikuchi, (1981). Benturan sosial juga sering terjadi akibat perubahan pola kerja dan jenis pekerjaan baru yang ditekuni mantan petani. Bank Dunia memperkirakan, bahwa tahun 2025 nanti diproyeksikan 2/3 penduduk dunia tinggal di kota yang sebagian besar berada di negara-negara berkembang meningkat 1/3 dari jumlah penduduk dunia. Pertumbuhan kota juga akan meningkat pesat sampai 20 tahun mendatang seiring dengan peningkatan kemampuan manusia untuk mengelola potensi lingkungan. Produktivitas pendapatan mencapai 7 kali lipat antara daerah kaya dan miskin yang akan memicu perpindahan penduduk dari desa ke kota (Marzuki, 2005). Memperhatikan berbagai fakta dan persoalan tersebut di atas, pengembangan usaha nonpertanian dengan basis kegiatan ekonomi di sekitar daerah asal mantan petani merupakan pilihan yang menarik untuk diimplementasikan dan dikaji keberadaannya. Sebab, bagaimanapun sulitnya pesersoalan yang dihadapi mantan petani, masih ada ruang dan waktu yang dimiliki mantan petani untuk berimprovisasi dalam pengembangan usaha nonpertanian. Hal ini seiring dengan kecenderungan arah perubahan masyarakat Indonesia dari postagraris menuju praindustri. Beberapa Pandangan terhadap Teori dan Praktik Pembelajaran Masyarakat Praktik pembelajaran masyarakat sudah dilakukan sejak manusia ada di muka bumi, seiring dengan terbentuknya manusia sebagai komunitas yang tertata dan bersistem. Interaksi antar manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dilakukan dengan berbagai cara yang tergambar dalam suatu bentuk saling ketergantungan. Melalui simbol dan perbuatan seperti itulah terjadi kegiatan memberi dan menerima informasi sebagai upaya untuk melakukan perubahan diri dan lingkungannya. Apabila pesan atau informasi diterima orang lain dengan tepat maka terjadilah apa yang disebut dengan belajar, walaupun kegiatan belajar itu masih dalam wujud yang sederhana (Sudjana, 1998). Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kini makin cepat, masih banyak masalah pembelajaran yang perlu dipikirkan. Masalah itu antara lain kelambanan dalam upaya pencapaian dan penerimaan informasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam suatu sistem pembelajaran. Masalah yang lain menurut Ditjen PLSP (2003) menyangkut daya jangkau sasaran, kualitas pembelajaran dan relevansi program pembelajaran bagi masyarakat pinggiran dan terasing. Kecepatan transformasi juga tidak seimbang dengan kecepatan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga banyak masyarakat Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

114


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

2013

yang tidak dapat segera menikmati informasi belajar. Oleh karena itu, kepesatan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tantangan bagi umat manusia untuk menemukan dan mengembangkan metoda pembelajaran dan penyampaian informasi yang cocok dengan kebutuhan dan karakteristik sasaran belajar (Sudjana, 2003). Dalam perspektif belajar, penyebaran dan penyerapan informasi mempunyai dua tujuan yaitu melestarikan kebudayaan dan mengembangkan berbagai keahlian yang diperlukan untuk kehidupan manusia. Dalam situasi seperti ini, pembelajaran harus mampu memberikan kontribusi nyata terhadap perubahan sikap dan perilaku warga belajar dalam kehidupan seharihari (King, 2005). Pendapat lain dikemukakan Kindervatter (1976), bahwa pembelajaran masyarakat harus memiliki muatan pemberdayaan agar masyarakat sebagai subjek belajar memiliki kemandirian dalam kehidupannya. Strategi pemberdayaan yang sudah dikembangkan Kindervatter sejak tahun 1975, memang masih memerlukan kajian yang mendalam baik dari sisi substansi teoretik maupun strategi implementasinya. Pemberdayaan harus diarahkan kepada suatu proses penanaman dan pemahaman masyarakat terhadap pengendalian tentang kekuatan sosial, ekonomi, politik guna memperbaiki kehidupannya. Pekerti (1999) berpendapat, bahwa pemberian kebebasan kepada masyarakat untuk beraktualisasi dalam belajar usaha (wirausaha) merupakan hal penting dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Strategi pembelajaran masyarakat harus lebih banyak difokuskan pada aspek pemberdayaan untuk menuju kemandirian dalam mengatasi persoalan diri, dan lingkungannya. Masyarakat sebagai pelaku belajar harus diberi akses dalam memperoleh sumber belajar, daya tawar yang lebih kuat, pilihan untuk menentukan sikap, status harga diri, peningkatan sikap kritis, dan pengakuan terhadap eksistensinya, agar mereka lebih berperan dan memiliki kepercayaan diri. Dalam membentuk perilaku belajar, masyarakat sebagai subjek belajar harus diberi kesempatan untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi serta potensi diri yang dimiliki Peluang ini harus benar-benar dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat dengan segala karakteristik dan atribut yang dimilikinya (World Bank Group, 2002). Menurut Kneler dalam (Hendrowibowo, 2002) dijelaskan bahwa pendidikan adalah suatu keniscayaan untuk membantu perkembangan kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, bahan pembelajaran tidak dapat ditetapkan begitu saja hanya dari sudut pandang ilmu pendidikan, tetapi juga harus memperhatikan bidang-bidang lain seperti ilmu sosial, psikologi, sosiologi, sejarah, manajemen serta ilmu bantu pendidikan yang lain. Terkait dengan perkembangan lebih lanjut tentang pembelajaran, Boyle (1991) membagi tipe pembelajaran masyarakat melalui tiga model, yaitu (1) informasional, (2) institusional, dan (3) developmental. Nadler (1982) membagi tipe pembelajaran kedalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan pengembangan. Tipe pembelajaran yang lain dikemukakan oleh Callaway (dalam Brembeck, 1982) yang meliputi (1) program perluasan (pertanian dan industri), (2) program yang berhubungan dengan pekerjaan, (3) program keaksaraan, dan (4) program pengembangan masyarakat. Combs (1983) mengkategorikan kebutuhan belajar dapat dipandang dari peran dan fungsi pendidikan di masyarakat, yaitu (1) complementary education, (2) suplementary education, dan (3) replacement education. Complementary education berfungsi melengkapi pembelajaran di sekolah karena bahan belajar di sekolah kadang tidak cocok disajikan di kelas. Suplementary education adalah tambahan pendidikan setelah mereka tamat sekolah. Replacement education adalah pendidikan bagi masyarakat yang tidak dapat menikmati sekolah, biasanya berupa keterampilan dan pengetahuan praktis seperti pertanian, kesehatan dan nutrisi. Strategi belajar masyarakat yang tidak terdesain dalam beberapa model tersebut di atas masih memberikan peluang bagi peneliti untuk mengungkap lebih jauh tentang eksistensi perilaku belajar masyarakat, terutama yang berkenaan dengan “belajar asli masyarakat� (indegenous learning system). Menurut Huvelock (1995) model pembelajaran masyarakat harus menempatkan agen pembaharu sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai (1) catalisator (mempercepat proses terjadinya belajar), (2) resources linker (penghubung berbagai sumber belajar), (3) process helper (pembantu proses belajar), dan (4) solution helper (pembantu pemecahan masalah belajar). Adapun pilar pembelajaran menurut Knowles (1988) meliputi (1) kesiapan peserta belajar untuk melakukan belajar, (2) pengalaman yang telah dimiliki oleh peserta belajar, (3) Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

115


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

2013

konsep diri yang telah terbentuk dalam pribadinya, dan (4) kebutuhan belajar yang ingin dicapai. Hakikat pembelajaran masyarakat (orang dewasa) harus didasarkan pada pelibatan pribadi dan potensi peserta belajar secara utuh dan selalu bertolak dari ide dan inisiatif mereka sendiri agar proses belajar berjalan sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Adimihardja (2008), pemikiran tentang pendayagunaan sistem pengetahuan lokal dalam berbagai program pembangunan dimulai oleh para perencana dan pekerja pedesaan di negara-negara Barat sebagi akibat dari kegagalan pembangunan yang pernah dialaminya. Mereka beranggapan, bahwa sistem pengetahuan masyarakat yang berakhar pada nilai-nilai tradisi budaya di negara berkembang dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan. Selain itu, sistem nilai tradisi budaya tersebut merupakan sumber pengetahuan yang paling bernilai dan dapat dijadikan dasar bagi perencana pembangunan nasional. Sistem ini, menurut pandangan perencana pembangunan di negara-negara barat dapat memberi gambaran tentang pengalaman dan pengetahuan interaksi manusia dengan lingkungannya. Sayangnya, di Indonesia pemahaman terhadap sistem pengetahuan lokal oleh kalangan ahli ilmu-ilmu sosial maupun ilmu alam masih belum optimal dan cenderung bersifat teiritik. Oleh karena itu, perlu disadari bersama bahwa sistem pengetahuan dan teknologi lokal tersebut tidak boleh dipahami sebagai sistem pengetahuan yang tuntas dan sempurna, akan tetapi sistem lokal ini merupakan sesuatu yang dinamis dan terus berkembang sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang terus berubah. Demikian pula yang berkenaan dengan sistem belajar masyarakat. Paket pembelajaran masyarakat sebaiknya juga harus diangkat dari kekayaan asli masyarakat yang bersangkutan, baik yang menyangkut bahan belajar, proses belajar, media belajar, alat bantu belajar, fasilitas belajar, dan evaluasi hasil dan program belajar. Menurut Soedomo (1989), sistem belajar masyarakat harus mengandung matra (1) tujuan untuk membelajarkan masyarakat, (2) teleologik (saling interaksi antar komponen), (3) ketangguhan, ketahanan, dan berakar pada masyarakat yang bersangkutan, (4) bersifat sinergik, dan (5) memiliki daya suai (adaptability) terhadap lingkungan fisik, sosial dan budaya. Sistem belajar asli masyarakat semacam ini pasti ditemukan di dalam masyarakat manapun sehingga upaya untuk menggali dan mengembangkannya dalam suatu sistem pembelajaran modern sangat dimungkinkan. Di samping itu, pembelajaran masyarakat juga harus mengandung misi perubahan dan pemberdayaan untuk melakukan pembentukan karakter belajar yang kuat untuk selalu melakukan pembaharuan pengetahuan secara terus-menerus (Sullivan, 2004). Beberapa prinsip pembelajaran yang harus diperhatikan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat adalah (1) perubahan kehidupan harus disikapi sebagai proses pembelajaran, (2) belajar merupakan proses inkuiri aktif dengan prakarsa utama dari dalam diri peserta belajar, (3) belajar adalah upaya membantu kecakapan untuk kebutuhan selama hidup, (4) peserta belajar memiliki keragaman belajar yang harus digali dan dimanfaatkan, (5) sumber belajar ada di setiap lingkungan yang harus diidentifikasi untuk kemanfaatan peserta belajar, dan (6) belajar lebih berdaya guna bila dipandu dengan struktur proses yang mengakar daripada struktur isi yang tidak relevan. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, maka diagonis kebutuhan belajar masyarakat merupakan pilar penting yang harus dilakukan untuk menciptakan program belajar yang benar-benar berakar dan relevan dengan kepentingan warga belajar. PENUTUP Simpulan Perubahan masyarakat rural ke arah suburban memunculkan konsekuensi terhadap eksistensi matapencaharian masyarakat. Konsekuensi yang muncul adalah pemenuhan kebutuhan belajar untuk memperoleh pekerjaan baru akibat dari perubahan pola matapencaharian. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebutuhan belajar yang diperlukan masyarakat model prismatik adalah kebutuhan untuk melakukan adaptasi dan pemahaman terhadap arah perubahan dan kebutuhan untuk mengembangkan strategi pemerolehan matapencaharian baru. Secara kognitif, kebutuhan belajar masyarakat prismatik meliputi kebutuhan belajar pengetahuan, keterampilan, sikap dan norma dalam melakukan interaksi dalam mengembangkan matapencaharian.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

116


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

2013

Saran

Sejumlah saran diajukan dalam penelitian ini antara lain (1) perlu segera dirumuskan model pembelajaran masyarakat berbasis kebutuhan masyarakat sesuai dengan karakteristik masyarakat model prismatik di kawasan transisional, (2) perlu segera dilakukan pemetaan usaha berdasar atas karakteristik masyarakat dan potensi lingkungan agar segera diketahui jenis dan karakteristik matapencaharian yang relevan dengan masyarakat model prismatik, dan (3) perlu dikembangkan model pembelajaran masyarakat untuk menciptakan kelompokkelompok usaha mandiri berbasis kebutuhan masyarakat model prismatik DAFTAR RUJUKAN Adimihardja, Kusnaka. 2002. Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalam Pertanian yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan. Dalam Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Adimihardja, Kusnaka, (Ed). Bandung: Humaniora Utama Press. Adimihardja. K. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Bandung. CV Indra Prahasta bersama Pusat Kajian LBPB. Boyle, Patrick G.1991. Planning Better Program. New York. Mc.Graw Hill Book Company. Combs, P.H. (1984). Attacking Rural Poverty, How Nonformal Education Can Help. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Ditjend PLS dan Pemuda Direktorat Tenaga Teknis. Jakarta. 2003. Majalah Visi, Media Kajian Pendidikan Luar Sekolah dan PemudaNo.15, tahun XI. 2003. Hardika & Atmoko, Adi. 2003. Subsistensi Petani Pesanggem (Tuna Lahan) dan

Upaya Pengubahan Perilaku serta Pola Pikir Ekonomi Menuju Orientasi Pasar. Penelitian Dana Proyek UM. Lembaga Penelitian Universitas Negeri

Malang. Tidak Diterbitkan. Havelock, RG & Zlotolow, S. (2003). The Change Agent’s Guide. Second Edition. New Jersey: Educational Technology Publications Englewood Cliffs.

Hayami, Yujiro and Masao, Kikuchi. 1981. Asian Village Economy at the Crossroad: An Economic Approach to Institusional Change. Tokyo. University of Tokyo Press. ______Umur Petani di Bawah 30 Tahun Hanya 12 Persen. dalam Jawa Pos, 22 Maret 2008 halaman 15. Hendrowibowo, L. 2002. Beberapa Aliran Filsafat dan Kaitannya dengan Pendidikan di Indonesia. dalam Ilmu Pendidikan, Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan, ISSN 0854-8307, Tahun 29 Nomor1Januari 2002. Fakultas Ilmu Pendidikan UM. Malang. Huberman. Michael A. & Miles, Mathew.1994. Qualitative Data Analysis. New York. Sage Publications Inc. Kindervatter, Suzanne.1976.Non Formal Education As anEmpowering Process. University of Massachusetts.

Amherst: CIE

King, Katheleen .P. (2005). Bringing Transformatif Learning to Life. Malabar, Florida: Krieger Publising Company. Knowles, Malcolm S.1988. Andragogi in Action: Applying Modern Principles Adult Learning. San Francisco. Jossey Bass.

of

Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta. terjemahan oleh Gajah Mada University Press. Marzali, Amri. 1993. Beberapa Pendekatan dalam Kajian tentang Respon Petani terhadap Tekanan Penduduk di Jawa, dalam Jurnal JIIS. Jakarta. PAU- IS- UI. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

117


Pergeseran Pola Kehidupan dan Kebutuhan Belajar Masyarakat Model Prismatik/Hardika‌

2013

Marzuki, Saleh HM. 2005. Peranan PLS dalam Penggerak Pembangunan dalam Mengatasi Migran Perkotaan, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang PLS di Universitas Negeri Malang. 29 Maret 2005.

Mc Curdy, Howard E. 2009. Fred W. Riggs: Contributions to the Study of

Public Administration American University. Tersedia (http://www2.hawaii.edu/~ fredr/mccurdy.htm. Diunduh 22 September 2010.

di

Comparative

Pekerti, Annugerah.1999.Mitos danTeori dalam PengembanganWirausaha.dalam Jurnal P&PT Pengembangan dan PenerapanTeknologi,Volume I, Nomor 9, Tahun 1999. DP3M. Ditjend Dikti Depdikbud. Riggs, Freed W.1986. Administrasi di Negara-negara Berkembang Teori Masyarakat Prismatik. Rajawali. Jakarta. Scott, James C.1998. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta. LP3ES. Soedomo, M.1989. Pendidikan Luar Sekolah Ke Arah Sistem Belajar Masyarakat . Direktorat Pendidikan Tinggi. Jakarta. P2LPTK. Sudjana, N. 2003. Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung. Nusantara Press. Sullivan, E .O’. (2004). Transformatif Learning. Educational Vission for the21st Toronto: Published in Association with University of Toronto Press.

Century.

Wolf, ER.1998. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta. CV Rajawali. World Bank. 2007. Pakistan Promoting Rural Growth and Poverty Reduction. Dalam Document of The World Bank Report No. 39303- PK 30 March. Sustainable dan Development Unit South Asia Region. World Bank. 2007. Pakistan Promoting Rural Growth and Poverty Reduction. Dalam Document of The World Bank Report No. 39303- PK 30 March. Sustainable dan Development Unit South Asia Region.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

118


Pendidikan dan Pengembangan Sosial…/Djauzi…

2013

PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL (PENINGKATAN INTENSITAS PENGEMBANGAN MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN INFORMAL) Oleh: M. Djauzi Moedzakir Universitas Negeri Malang

PENDAHULUAN Pendidikan pada dasarnya merupakan satu-satunya bidang yang mengurus atau menangani pemberdayaan manusia. Pendidikan diasumsikan ada sejak adanya manusia itu sendiri dan bentuk aktivitas paling awal yang terimplementasikan adalah indigenous learning atau proses belajar dalam rangka pembudayaan (Pidarta, 1997). Hingga kini bentuk aktivitas pendidikan tersebut masih tetap ada, bahkan diakui sebagai fenomena pendidikan yang paling alamiah dan mendasari semua aktivitas pendidikan lainnya. Bentuk aktivitas pendidikan tersebut dikenal sebagai pendidikan informal. Pada masa kebangkitan kesadaran akan adanya krisis pendidikan dunia pada tahun 1960-an, UNESCO mengklaim bahwa pendidikan merupakan substansi yang tak dapat dipisahkan dari semua aspek kehidupan masyarakat (Marzuki, 2009). Sejak itu pendidikan disadari sebagai bagian substansial dari upaya pengembangan sosial atau pengembangan masyarakat (PM). Selanjutnya untuk mengupayakan pendidikan dalam konteks PM, terutama untuk bangsa-bangsa di negara sedang berkembang, konsep yang dipandang paling inklusif menurut Faure (dalam Marzuki, 2009) adalah lifelong education. Dalam konsep ini pendidikan dirancang sebagai suatu keseluruhan yang mencakup semua setting pendidikan, yaitu pendidikan formal (PF), pendidikan non-formal (PNF), dan pendidikan informal (PIF) (Coombs,1964). Setting disini bermakna bentuk atau tingkat keketatan pengelolaan dimana PF merupakan setting yang paling ketat, PIF sebagai setting yang paling fleksibel, dan PNF sebagai setting yang terletak di antara PF dan PIF. Dalam konteks seperti inilah di Indonesia lahir program Pendidikan Masyarakat dan Jurusan Pendidikan Sosial (Pensos) yang kemudian berubah menjadi Pendidikan Luar Sekolah (PLS), sebuah istilah yang esensi pengertiannya adalah pendidikan dalam konteks PM, meskipun pada umumnya orang mengartikannya secara sederhana, yaitu semua aktivitas pendidikan yang berlangsung di luar sistem persekolahan. Dalam kaitan ini, meskipun pengembangan masyarakat dipahami oleh beberapa ahli sebagai rangkaian aktivitas yang ditujukan ke komunitas sedangkan pendidikan lebih diarahkan ke individu (Apps, 1979), proses edukasi dalam pemberdayaan masyarakat bisa diimplementasikan melalui berbagai setting pendidikan termasuk PIF. Kebutuhan akan pengembangan atau pemberdayaan masyarakat pada dasarnya telah ada sejak dahulu kala hingga sekarang, bahkan juga untuk yang akan datang. Kebutuhan tersebut pada intinya berkenaan dengan pengentasan masyarakat dari “kebodohan” dan “kemiskinan”. Situasi dan kondisi masyarakat memang terus berubah dan berkembang sebagai dampak dari kemajuan IPTEKS yang begitu cepat dan arus globalisasi yang melanda hampir semua segi kehidupan masyarakat, corak kehidupan masyarakat Indonesia yang dahulunya relatif sangat sederhana sekarang menjadi sangat kompleks. Namun demikian, kebutuhan terhadap PM tidak pernah surut, yang berbeda hanyalah soal orientasi dan ragam kebutuhan belajarnya. Hal ini mengisyaratkan perlunya pemikiran baru tentang alternatif solusi baginya, selain cara-cara yang telah biasanya digunakan selama ini. Makalah ini ditulis untuk mengajak pembaca lebih menyadari urgensi PIF di masa mendatang, terutama dalam kaitannya dengan PM. Untuk itu berikut dicoba diungkap tentang konsep dasar, urgensi, dan pola implementasi PIF dalam konteks pengembangan sosial atau masyarakat. KONSEP PENGEMBANGAN MASYARAKAT DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA PM pada dasarnya merupakan terjemahan dari istilah community development dan sering diistilahkan juga dengan pengembangan sosial, pembangunan masyarakat, ataupun Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

119


Pendidikan dan Pengembangan Sosial‌/Djauzi‌

2013

pemberdayaan masyarakat. PM adalah upaya terencana dan sistematis yang dilakukan oleh, untuk dan dalam masyarakat di suatu kesatuan wilayah tertentu guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan (Sudjana, 1991). Kesatuan wilayah tersebut bisa pada lingkup dusun, RT, RW, dusun, kelurahan, kecamatan ataupun kabupaten/kota. PM juga merupakan proses yang mencakup identifikasi kebutuhan dan sumber belajar serta upaya pemanfaatan sumber belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar dimaksud. Kegiatan PM perlu melibatkan warga masyarakat sejak awal kegiatan hingga akhir. Selain itu juga mempertimbangkan ruang lingkup, apakah kegiatan tersebut berada di tingkat mikro (lokal), meso (regional), ataukah makro (nasional). PM harus senantiasa berbasis pada permasalahan yang aktual. Di masa menjelang kemerdekaan, masyarakat Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Di masa Orde Lama masyarakat dituntut untuk memantapkan kedaulatan atau kemerdekaan negaranya, kemudian di masa Orde Baru masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan nasional, dan di masa setelahnya masyarakat berhadapan dengan tuntutan peningkatan kualitas guna mempertahankan eksistensinya di tengah tuntutan kemajuan IPTEKS dan persaingan global. PM juga dipandang sebagai sebuah sistem ataupun gerakan. PM di satu sisi merupakan bagian dari supra sistem pembangun nasional dan di sisi lain merupakan gerakan. Dikatakan sebagai gerakan karena hal itu merupakan upaya bersama yang dilakukan secara sadar, sistematis, dan terarah untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan masyarakat. PM memang memiliki tujuan ganda, yaitu mendukung proses pembangunan nasional secara buttom-up dan menghasilkan perubahan sikap, wawasan dan kemampuan warga masyarakat. Dengan demikian PM pada dasarnya merupakan proses edukasi (Sudjana, 1991). Sejalan dengan pendapat di atas, Jarvis (2005) menegaskan bahwa belajar adalah: �where the groups of people learn through planned activities in an informal manner �. Ini berarti bahwa komunitas mempunyai peran sebagai peserta didik dan proses atau aktivitas belajarnya bisa dilaksanakan atau terjadi secara informal. Ini berarti bahwa setiap komunitas tak bisa terlepas dari kegiatan belajar, meskipun hal itu dilakukannya secara informal. Konsep ini memberi makna bahwa aktivitas pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan melalui PIF. Berikutnya tentang operasionalisasi development atau PM, Tight (2004) menyatakan sebagai berikut.

Development may be viewed as operating at a variety of levels: macro, meso, and micro. At the macro level, it has to do with nations and international relationships, while at the micro level it is individual and personal. In between, at the meso level, it has relevance for organizations and communities. All of these levels are relevant to adult education and training, and there are fairly obvious connections between them .

Jadi secara operasional pengembangan (masyarakat) dikategorikan ke tingkat mikro, meso, dan makro, masing-masing memiliki ruang lingkup tersendiri tetapi saling terkait dan kesemuanya relevan dengan pendidikan. PM di tingkat makro (nasional ataupun internasional) diletakkan dalam konteks hubungan nasional ataupun internasional dan umumnya ditekankan pada bidang ekonomi, sedangkan di tingkat meso ditekankan pada pengembangan kapasitas kelembagaan atau komunitas. Selanjutnya tingkat mikro ditekankan pada pember-dayaan personal atau individual dalam artian pemberdayaan semua potensi manusia, tak terbatas pada aspek ekonomi saja, dan karenanya pengembangan disini lebih dimaknai sebagai pemberdayaan. Selanjutnya pada masa pemerintahan Orde Baru ditetapkan bahwa tujuan pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pada waktu pemerintah Orde Baru memulai program pembangunan nasional, masyarakat umumnya masih belum paham dengan maksud dan tujuan program pembangunan yang digulirkan pemerintah. Selain itu masyarakat belum terbiasa hidup secara proaktif, kerja keras, terbuka, demokratis, dan penuh inisiatif sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena semua upaya ditempuh dan semua pihak dikerahkan untuk memotivasi masyarakat dan menyadar-kan posisi mereka selaku subyek pembangunan nasional sehingga betul-betul terjadi perubahan pada perilaku masyarakat secara luas. Berbagai pendekatan baik secara sosiologis, psikologi sosial, antropologis maupun sosial politis diimplemen-tasikan. Seluruh modal sosial yang ada di masyarakat diakomodasi. Para tokoh agama dikerahkan melalui wadah Majelis Ulama, para Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

120


Pendidikan dan Pengembangan Sosial‌/Djauzi‌

2013

sarjana diakomodasi melalui program Tenaga Kerja Sukarela (TKS-BUTSI). Dilakukan pembentukan kelompok-kelompok masyarakat untuk memudahkan pengelolaan dan pembinaannya, seperti pembentukan organisasi sosial kemasyarakatan untuk para pegawai negeri sipil melalui KORPRI, ibu-ibu rumah tangga melalui organisasi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), peserta program Keluarga Berencana melalui Paguyuban Keluarga Berencana (PKB), para petani melalui Kelompok-kelompok Tani, peserta didik program-program pendidikan masyarakat melalui Kelompok-kelompok Belajar (Kejar), para pemirsa siaran pedesaan di RRI dan TVRI melalui Kelompok Pendengar dan Calon Pemirsa (Kelompencapir), dan sebagainya. Setelah terjadi kiris moneter dan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, masyarakat berkembang ke arah keterbukaan, transparansi, akuntabilitas dan desentralisasi secara luas. Program yang menonjol terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat antara lain adalah Program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (GerduTaskin). Hal ini dilatari oleh meningkatnya jumlah rumah tangga miskin (RTM) sebagai akibat langsung dari krisis moneter. Program ini tidak hanya menekankan pemberdayaan ekonomni melainkan juga pemberdayaan sumber daya manusia dan lingkungan. Selain itu adalah program pengembangan unit-unit UKM (Usaha Kecil dan Menengah) untuk mengatasi masalah pengangguran sebagai dampak dari terjadinya pemberhentian hu-bungan kerja (PHK) yang sangat luas. Kedua macam program ini ditengarai berdampak terjadinya pembelajaran sosial (social learning) pada masyarakat. Pada saat ini, kondisi kehidupan masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan yang luar biasa. Perubahan tersebut sejalan dengan kemajuan IPTEKS yang sangat cepat dan pengaruh arus globalisasi yang sangat luas. Masyarakat pada umumnya telah terbiasa berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang berasal dari pihak pemerintah maupun pihak masyarakat sendiri. Kehidupan masyarakat juga terfasilitasi oleh berbagai macam sarana dan prasarana, mulai dari peralatan teknologi komunikasi dan informasi, transportasi, hingga alat permainan anak-anak. Mereka telah terbiasa berinisiatif dalam berbagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup, bahkan telah terbiasa juga bersikap kritis terhadap masalah apapun. Selain itu, kehidupan mereka tampak sangat didominasi oleh media massa terutama televisi. Namun demikian, dalam proses menuju terbentuknya masyarakat “madani� yang dicita-citakan pembangunan nasional pada saat ini, berbagai bentuk perilaku negatif bermunculan di dalam masyarakat. Di antaranya adalah korupsi yang merajalela hampir di semua lini pihak eksekutif dan legislatif, pertikaian antar warga masyarakat di pedesaan dan di perkotaan, antar sekolah, antar komunitas, dan antar suku, serta perilaku seks bebas pranikah di kalangan pelajar. Selain itu juga tantangan persaingan global yang terus mengancam eksistensi budaya dan keberlanjutan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini merupakan persoalan yang sangat serius baik bagi kehidupan masyarakat saat ini maupun bagi masa depan generasi bangsa. Oleh karenanya hal tersebut harus segera diatasi. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa persoalan yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia pada saat ini bukan hanya terkait dengan aspek kesejahteraan atau ekonomi semata, melainkan juga atau terutama aspek sosial budaya atau pendidikan. Oleh karena itu akan lebih menyeluruh bila permasalahan kehidupan masyarakat tidak hanya diatasi dari segi ekonomi saja, melainkan bersamaan dengan itu juga segi sumber daya manusia (SDM)-nya. Menurut sudut pandang edukasi, pengembangan kapasitas SDM jauh lebih esensial karena manusia adalah subyek pembangunan atau penentu utama, sedangkan ekonomi merupakan pendukung atau penentu berikutnya. Sehubungan dengan kompleksitasnya persoalan tersebut, beberapa kementerian mengembangkan program-programnya. Kementerian Sosial akhir-akhir ini mengembangkan Program Keluarga Harapan (PKH). Di beberapa kabupaten/kota di seluruh provinsi, program ini dikembangkan untuk mengentaskan para keluarga miskin di tingkat kecamatan dan desa. Selanjutnya Kementerian Delam Negeri telah lama mengembangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) melalui suatu lembaga PNPM Mandiri. . PERKEMBANGAN KONSEP PENDIDIKAN INFORMAL Selanjutnya sebagaimana telah diketengahkan sebelumnya bahwa untuk mengatasi krisis pendidikan dunia, para ahli mengembangkan tiga setting pendidikan dalam kerangka

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

121


Pendidikan dan Pengembangan Sosial…/Djauzi…

2013

pendidikan sepanjang hayat, yaitu PF, PNF dan PIF. Dalam kaitan ini, berbeda dengan PF dan PNF, definisi untuk PIF sedang dalam proses pemantapan. Coombs dan Ahmed (Sudjana, 1991) selaku penggagas awal ketiga setting pendidikan (PF, PNF dan PIF) tersebut di atas memberi definisi PIF sebagai berikut: ... proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup seharihari, pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media. Jadi berarti PIF adalah proses belajar (bukan proses pendidikan). Proses tersebut berlang-sung sepanjang hayat, terjadi di dalam pergaulan sehari-hari, baik di keluarga, pekerjaan, ataupun di lokasi atau kesempatan lainnya dan menghasilkan berbagai pengalaman yang membentuk sikap, keyakinan, keterampilan, pemahaman, dan wawasan, tak masalah apakah hal itu terjadi secara disengaja ataupun tidak. Agak sedikit berbeda dari pemahaman di atas, Jarvis (2005) mendefinisikan PIF sebagai: “the form of education that occurs when people learn informally from their environment”. Dengan demikian PIF tidak hanya dipandang sebagai proses belajar, tetapi sebuah bentuk pendidikan. Kegiatan belajar disini dilakukan dengan sengaja meskipun secara informal, dalam arti tak terikat oleh aturan, dan disebut sebagai belajar mandiri. Jarvis memang merupakan salah seorang ahli yang PIF bukan hanya sebagai proses belajar, melainkan proses pendidikan. Perbedaan pendapat ini memang sempat melahirkan pembahasan panjang pada beberapa ahli. Namun demikian Axinn (1974) mencoba menengarai bahwa pangkal diskursi tersebut menurutnya terletak pada ada-tidaknya kesengajaan pada aktivitas pendidikan tersebut. Untuk itu dia memetakan peristiwa pendidikan (apa yang dilakukan pendidik) dan peristiwa belajar (apa yang dilakukan peserta didik) dilihat dari sudut ada-tidaknya kesengajaan akan melahirkan 4 jendela quadrant terkait dengan pengkategorian PF, PNF dan PIF sebagai berikut.

System“teacher” perspective “Learner” Perspective Intended

Unintended

Intended

Unintended

A Formal (school) Non-formal (Out-ofschool) B In-formal

C In-formal D Batic (Incidental)

Dalam hal ini, aktivitas edukatif yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak (jendela A) terkategori sebagai PF dan PNF. Aktivitas edukatif yang hanya disengaja oleh pihak pendidik (jendela B), misalnya acara pengajian yang ditayangkan oleh stasiun TV tertentu tetapi hanya terikuti secara kebetulan oleh seseorang, ataupun yang hanya disengaja oleh peserta didik saja (jendela C), seperti seseorang yang berusaha menemukan informasi mengapa nama kota kelahirannya disebut Malang (kegiatan belajar mandiri) dikategorikan sebagai PIF, sedangkan aktivitas yang tak disengaja oleh kedua pihak (jendela D) adalah merupakan suatu peristiwa belajar yang insidental ataupun suatu pengaruh edukatif tetapi masih terkategori juga sebagai PIF. Atas dasar ini, PIF dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa pendidikan atau peristiwa belajar yang terjadi baik secara disengaja ataupun tak disengaja. Selanjutnya di dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 terdapat 3 pernyataan sebagai berikut: (1) PIF adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan, (2) Kegiatan PIF yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, dan (3) Hasil PIF diakui sama dengan PF dan PNF setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Pengertian PIF yang diberikan di UU Sisdiknas ini memang masih dalam bentuk yang sederhana sehingga ada kesan rancu. Di bagian sebelumnya telah dinyatakan PIF sebagai aktivitas belajar atau pengalaman edukatif yang diperoleh secara Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

122


Pendidikan dan Pengembangan Sosial‌/Djauzi‌

2013

disengaja ataupun tak disengaja, tetapi di UU tersebut PIF dinyatakan sebagai kegiatan atau jalur pendidikan. Selain itu PIF langsung dikaitkan dengan peluang kesetaraannya dengan PF atau PNF. Lingkungan keluarga dan masyarakat memang disadari kontribusinya bagi pendidikan setiap individu, akan tetapi keduanya sebetulnya bukan berkenaan dengan bentuk atau setting pendidikan itu sendiri melainkan hanya berkenaan dengan lokasi terjadinya proses pendidikan. Memang harus diakui kontribusi lokasi tersebut bagi terjadinya proses belajar karena konten atau isi edukasi yang terdapat di dalamnya terutama berkenaan dengan aspek-aspek nilai dan sikap yang dibutuhkan oleh setiap orang di sepanjang hidupnya. Jadi tampaknya UU Sisdiknas masih belum memberi ketegasan tentang konsep PIF yang dapat dipedo-mani untuk pengembangannya lebih lanjut di Indonesia. PIF semula memang lebih dipahami hanya sebagai peristiwa alamiah, proses belajar yang tak disengaja, pengalaman edukatif yang kebetulan, bahkan pengaruh edukatif. Tentu saja hal ini berdampak dipandangnya PIF itu bukan aktivitas pendidikan, sulit untuk diintervensi, dan pengintervensian bisa membuat-nya berubah menjadi PNF. Sementara itu sebagian ahli mengklaim kenyataan banyaknya peristiwa belajar yang sengaja dilakukan dan ada upaya yang sengaja membuatnya sebagai kegiatan belajar mandiri. Yang jelas memang kehidupan masyarakat telah mengalami perubahan dan perubahan sosial yang ditopang oleh globalisadi dan kenajuan IPTEKS telah melahirkan kebutuhan yang semakin besar akan perlunya intervensi terhadap PIF, justru untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat itu sendiri. Lokasi yang menjadi pusat terjadinya pendidikan tersebut sudah diketahui dan diakui oleh semua orang, yaitu di dalam keluarga dan di tengah pergaulan masyarakat luas. Dalam kehidupan keluarga di Indonesia, seiring dengan semakin lebih banyaknya jumlah penduduk wanita ketimbang penduduk pria dan semakin bertambahnya jumlah anak usia dini, persoalan yang muncul semakin bervariasi dan semakin kompleks. Begitu juga dalam pergaulan masyarakat secara luas, perubahan masyarakat yang dipicu oleh globalisasi membuat semakin tumbuh dan berkembangnya berbagai ragam dilemma kehidupan sosial. Dalam kondisi dan situasi yang semacam itu, jika tidak ada inisiatif untuk mengembangkan upaya edukatif di kedua ling-kungan tersebut, akan semakin tidak jelas kontribusi PIF terhadap kebutuhan edukatif individu dan komunitas yang ada di dalamnya. Perkembangan berikutnya muncul penekanan belajar mandiri sebagai bagian yang sangat penting dari PIF karena unsur kesengajaan dapat mengoptimalkan proses dan hasil belajar. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan berikutnya sehubungan dengan urgensi peristiwa belajar dalam kehidupan sehari-hari di era informasi sekarang dan mendatang adalah bagaimana dengan peristiwa belajar yang insidental, apakah hal tersebut dibiarkan begitu saja. Berkenaan dengan hal ini Smith (2005) menegaskan sebagai berikut.

Some see informal education as the learning that goes on in daily life. As friends, for example, we may well encourage others to talk about things that have happened in their lives so that they can handle their feelings and to think about what to do next. As parents or carers we may show children how to write different words or tie their laces. As situations arise we respond.

Others may view informal education as the learning projects that we undertake for ourselves. We may take up quilting, for example, and then start reading around the subject, buying magazines and searching out other quilters (perhaps through joining a Quilters Guild). Many view informal education as the learning that comes as part of being involved in youth and community organizations. In these settings there are specialist workers/ educators whose job it is to encourage people to think about experiences and situations. Like friends or parents they may respond to what is going on but, as professionals, these workers are able to bring special insights and ways of working. Dengan penegasan Smith ini, terlihat dengan sangat jelas bagaimana perkembangan pemahaman terhadap orang terhadap PIF. Pertama sebagai proses atau peristiwa belajar dalam kehidupan sehari-hari, kedua sebagai kegiatan belajar mandiri, dan terakhir sebagai peristiwa belajar dalam kehidupan sehari-hari yang perlu dan memang bisa diintervensi. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

123


Pendidikan dan Pengembangan Sosial…/Djauzi…

2013

Jadi sudah jelas sekali bahwa PIF memang merupakan setting pendidikan khusus yang tidak dapat disangsikan lagi kontribusinya bagi ummat manusia baik sebagai individu maupun komunitas. Dengan demikian sudah tidak perlu lagi ada perdebatan apakah PIF itu fenomena belajar ataukah pendidikan. PENDIDIKAN INFORMAL SEBAGAI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pengembangan atau pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah upaya untuk meningkatkan kekuatan masyarakat dan memperbaiki kapasitasnya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Pemberdayaan masyarakat adalah proses sosial. Dalam rangka konsep pemberdayaan masyarakat tersebut, kata kuncinya terletak pada adanya upaya dan hasil bahwa kehidupan komunitas menjadi lebih kuat, lebih percaya diri, dan semakin kurang bergantung kepada pihak lain. Dengan kata lain, mereka bisa menolong diri sendiri untuk memperbaiki kekuatan, kesanggupan, dan kelebihan mereka sendiri. Salah satu pertanyaan yang muncul disini adalah mengapa masyarakat perlu diberdayakan? Smith (2005) menyatakan:

‘Community education' is also used to describe the work we are interested in. Community educators in Scotland and in many Southern countries have similar concerns and approaches as 'informal educators'. In fact the way that the Scottish Community Education Council defines community education is very close to our view of informal education.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah bagaimana bentuk PIF yang dapat dimanfaatkan dalam PM? Untuk itu Jeff & Jeff & Smith (1999) menegaskan bahwa: “Undoubtedly the most common medium within informal education is the spoken word, which

clearly makes for responsiveness. The notion of dialogue also implies a particular kind of relationship between educator and learner and between learners, one which is based upon mutual respect.” Caranya adalah dengan mengintervensi proses pergaulan tersebut melalui

dialog. Melalui percakapan atau dialog antara pendidik dan peserta didik yang berlangsung dalam nuansa informal dapat berlangsung proses dan hasil yang diharapkan dalam PIF. Jadi “dialog” dalam proses pergaulan sehari-hari merupakan sebuah media yang sangat tepat untuk digunakan sebagai strategi. Dengan penegasan Smith di atas, intervensi educkatif dalam pergaulan sehari-hari melalui dialog atau percakapan menjadikan PIF sebagai sebuah strategi dalam PM. Berkenaan dengan strategi di atas, ada beberapa pemikiran kongkret yang menarik dan bahkan patut dipertimbangkan. Pertama, sebagaimana disarankan oleh Mahoney (2001), PIF dapat dilaksanakan dengan sebuah prosedur yang terdiri atas 3 langkah, yaitu: Pertama, Penentuan strategi pendekatan, penentuan konten edukatif yang akan disisipkan, dan pemilihan bahan atau topik pembicaraan sebagai alat untuk masuk dalam dialog edukatif. Kedua, sebagaimana ditambahkan oleh Banks (2001), pendidik berpegang pada beberapa prinsip antara lain saling menghargai, menghormati perbedaan budaya, menjunjung tinggi kejujuran dan kesetaraan dalam pelaksanaan tugas. Ketiga, Wolfe (2001) menambahkan tentang perlunya kecermatan pendidik terhadap waktu, tempat dan sikap profesional karena intervensi ini merupakan suatu seni yang strategis di dalam memanfaatkan suasana yang informal. Terakhir, Blacker (2001) mengingatkan perlunya pendidik untuk berupaya menggunakan pengalaman tertentu yang bisa men-trigger atau merangsang terjadinya refleksi pada diri peserta didik di dalam proses pelaksanaan dialog tersebut agar proses ini betul-betul tersadari dan membuahkan hasil yang optimal. Sampai disini kiranya cukup jelas bahwa intervensi terhadap nuansa informal pergaulan sehari-hari memang merupakan keniscayaan, artinya betul-betul bisa dilakukan. Disini pendidik informal (mungkin bisa disebut fasilitator pembelajaran) masuk ke dalam arena pergaulan sehari-hari melakukan pendekatan dan memberi arahan tentang konten-konten edukatif tertentu sesuai kebutuhan secara informal. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah masih ada kemungkinan adanya bentuk intervensi yang lain lagi. Untuk menjawab hal ini, Boyle (1981) telah lama memberikan pandangannya melalui salah satu tipe program pendidikan orang Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

124


Pendidikan dan Pengembangan Sosial…/Djauzi…

2013

dewasanya yang disebut dengan tipe informasional. Telah sama-sama diketahui bahwa media massa di Indonesia dewasa ini memiliki kekuatan pengaruh yang luar biasa dalam membentuk opini masyarakat. Tentunya ini merupakan sarana yang layak dipertimbangkan untuk kemanfaatannya bagi PM. Format pendi-dikan yang memanfaatkan media massa seperti ini tergolong PIF. Tipe program informasional tersebut bisa dikembangkan lebih lanjut secara lebih bervariasi, mungkin disesuaikan dengan lingkup ketersediaan peluang di media yang bersangkutan, jenis kebutuhan informasi, latar belakang sasaran, ataupun nuansa kultural dan dievaluasi secara sungguh-sungguh serta ditindaklanjuti terus untuk keberlanjutannya. Dengan demikian, bentuknya tidak sekedar atau asal menyampaikan informasi tanpa diketahui hasil dan diupayakan keberlanjutannya. Dengan demikian pada dasarnya setidaknya ada dua strategi PIF yang dapat dimanfaatkan atau diimplemenetasikan untuk kepentingan PM sebagaimana telah diketengahkan di atas. Oleh karena itu mendatang diharapkan dapat dikembangkan lagi kemungkinan strategi PIF lainnya yang secara spesifik mungkin cocok untuk suatu kasus atau situasi tertentu. PENUTUP Akhirnya dapat disimpulkan bahwa PIF merupakan substansi pendidikan yang sangat strategis dan dapat dimanfaatkan sebagai upaya pengembangan atau pemberdayaan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengembangkan PIF sebagai suatu strategi yang lebih efektif bagi pemberdayaan masyarakat. Selain itu juga perlu dipikirkan tentang kebutuhan tenaga profesional untuk pengembangan PIF untuk pemberdayaan masyarakat yang lebih optimal ke depan. DAFTAR PUSTAKA Apps, Jerold W. 1989. Problems in Continuing Education. New York: McGraw-Hill Book Company. Banks, Sarah. 2001. Professional Values In Informal Education Work. In Richardson, Linda Deer & Wolfe, Mary (eds). 2001. Principles and Practice of Informal Education: Learning Through Life. London and New York: RoutledgeFalmer, Taylor & Francis Group. Internet Downloaded in 2012. Boyle, Patrick G. 1981. Planning Better Programs. New York: McGraw-Hill Book Company. Blacker, Huw. 2001. Learning from Experience. In Richardson, Linda Deer & Wolfe, Mary (eds). 2001. Principles and Practice of Informal Education: Learning Through Life. London and New York: RoutledgeFalmer, Taylor & Francis Group. Internet Downloaded in 2012. Coombs, Phillip H. 1974. The World Educational Crisis. Baltimore: Johns Hopkins. Jarvis, Peter. 2004. Adult Education and Lifelong Learning, Theory and Practice. Third edition. London: RoutledgeFalmer. Jarvis, Peter. 2005. International Dictionary of Adult Education. Third edition. Taylor and Francis e-Library. Jeffs, T. and Smith, M. 1999. Informal Education – Conversation, Democracy and Learning. Derby: Education Now. Mahoney, John. 2001. What Is Informal Education? In Richardson, Linda Deer & Wolfe, Mary (eds). 2001. Principles and Practice of Informal Education: Learning Through Life. London and New York: RoutledgeFalmer, Taylor & Francis Group. Internet Downloaded in 2012. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

125


Pendidikan dan Pengembangan Sosial‌/Djauzi‌

2013

Marzuki, M. Saleh. 2009. Dimensi-dimensi Pendidikan Non-formal. Malang: FIP UM. Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia . Jakarta: Rineka Cipta. Smith, Mark K. 2005. Introducing Informal Education. Internet downloaded in 2010. Sudjana, Djudju. 1991. Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah & Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Nusantara Press. Tight, Malcolm. 2004. Key Concept in Adult Education and Training. Edition published in Taylor and Francis e-library.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Wolfe, Mary. 2001. Conversation. In Richardson, Linda Deer & Wolfe, Mary (eds). 2001.

Principles and Practice of Informal Education: Learning Through Life. London and New York: RoutledgeFalmer, Taylor & Francis Group. Internet Downloaded in 2012.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

126


Pembentukan Civil Involement dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Habib‌

2013

PEMBENTUKAN CIVIL INVOLVEMENT DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS MODAL SOSIAL Oleh: Habib Prastyo. S.Pd PENDAHULUAN Perkembangan kehidupanan di Republik Indonesia semakin lama semakin menjauh dari kodrat masyarakat timur yang berbudaya, sikap tenggang rasa, welas asih, tepo seliro sudah semakin menghilang di masa peradaban dunia yang pro pasar bebas (free market) dewasa ini, mulai tampak semakin jelas bahwa peranan humanis di dalam sistem kehidupan cenderung semakin berkurang dengan munculnya kaum-kaum hedonis yang merajai disegala lini kehidupan. Masalah pembangunan salah satu masalah yang kompleks. Kompleksitas itu misalnya dari sisi manajemen berarti perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Dari sisi bidang yang yang harus dibangun juga memiliki aspek kehidupan yang sangat luas. Aspek kehidupan itu mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan. Terminologi modal (capital) di dalam kehidupan konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar alat-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yang lebih luas dan dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: (a) modal ekonomi (economic capital), (b) modal kultural (cultural capital), dan (c) modal sosial (social capital). Modal ekonomi, dikaitkan dengan kepemilikan alat-alat produksi. Modal kultural, terinstitusionalisasi dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri dari kewajiban (Fukuyama, 2001) Dalam manajemen pemerintahan yang otoriter yang sentralistis, dalam realitas masyarakat lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan. Ketika kini pemerintahan yang demokratis yang hendak dikembangkan, maka ada perubahan posisi masyarakat yang semula lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan menjadi subyek pembangunan. Memposisikan masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan agar bersifat efektif perlu dicarikan berbagai alternatif strategi pemberdayaan masyarakat salah satunya sebagai ukuran adalah civil involvement. Sehingga pilihan strategi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Kali ini memfokuskan pada paparan tenang proses civil involvement sebagai ukuran keberhasilan pemberdayaan masyarakat berbasis modal sosial. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Sutoro Eko, 2002). Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

127


Pembentukan Civil Involement dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Habib‌

2013

pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat (8) ). Inti pengertian pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Bagaimana strategi atau kegiatan yang dapat diupayakan untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat ?. Ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat. STRATEGI 1 : MENCIPTAKAN IKLIM, MEMPERKUAT DAYA, DAN MELINDUNGI. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumbersumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian ( charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. STRATEGI 2 : PROGRAM PEMBANGUNAN PEDESAAN Pemerintah di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah mencanangkan berbagai macam program pedesaan, yaitu (1) pembangunan pertanian, (2) industrialisasi pedesaan, (3) pembangunan masyarakat desa terpadu, dan (4) strategi pusat pertumbuhan (Sunyoto Usman, 2004). Penjelasan macam-macam program sebagai berikut: Program pembangunan pertanian, merupakan program untuk meningkatkan output dan pendapatan para petani. Juga untuk menjawab keterbatasan pangan di pedesaan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar industri kecil dan kerumahtanggaan, serta untuk memenuhi

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

128


Pembentukan Civil Involement dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Habib…

2013

kebutuhan ekspor produk pertanian bagi negara maju. Program industrialisasi pedesaan, tujuan utamanya untuk mengembangkan industri kecil dan kerajinan. Pengembangan industrialisasi pedesaan merupakan alternative menjawab persoalan semakin sempitnya rata-rata pemilikan dan penguasaan lahan dan lapangan kerja dipedesaan. Program pembangunan masyarakat terpadu, tujuan utamanya untuk meningkatkan produktivitas, memperbaiki kualitas hidup penduduk dan memperkuat kemandirian. Ada enam unsur dalam pembangunan masyarakat terpadu, yaitu: pembangunan pertanian dengan padat karya, memperluas kesempatan kerja, intensifikasi tenaga kerja dengan industri kecil, mandiri dan meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan, mengembangkan perkotaan yang dapat mendukung pembangunan pedesaan, membangun kelembagaan yang dapat melakukan koordinasi proyek multisektor. Selanjutnya program strategi pusat pertumbuhan, merupakan alternatif untuk menentukan jarak ideal antara pedesaan dengan kota, sehingga kota benar-benar berfungsi sebagai pasar atau saluran distribusi hasil produksi. Cara yang ditempuh adalah membangun pasar di dekat desa. Pasar ini difungsikan sebagai pusat penampungan hasil produksi desa, dan pusat informasi tentang hal-hal berkaitan dengan kehendak konsumen dan kemampuan produsen. Pusat pertumbuhan diupayakan agar secara sosial tetap dekat dengan desa, tetapi secara eknomi mempunyai fungsi dan sifat-sifat seperti kota. Senada dengan program pembangunan pedesaan, J. Nasikun (dalam Jefta Leibo, 1995), mengajukan strategi yang meliputi : (1) Startegi pembangunan gotong royong, (2) Strategi pembangunan Teknikal – Profesional, (3) Strategi Konflik, (4) Strategi pembelotan kultural. 1. Dalam strategi gotong royong, melihat masyarakat sebagai sistem sosial. Artinya masyarakat terdiri dari atas bagian-bagian yang saling kerjasama untuk mewujudkan tujuan bersama. 2. Gotong royong dipercaya bahwa perubahan-perubahan masyarakat, dapat diwujudkan melalui partisipasi luas dari segenap komponen dalam masyarakat. Prosedur dalam gotong royong bersifat demokratis, dilakukan diatas kekuatan sendiri dan kesukarelaan. 3. Strategi pembangunan Teknikal – Profesional, dalam memecahkan berbagai masalah kelompok masyarakat dengan cara mengembangkan norma, peranan, prosedur baru untuk menghadapi situasi baru yang selalu berubah. Dalam strategi ini peranan agen – agen pembaharuan sangat penting. Peran yang dilakukan agen pembaharuan terutama dalam menentukan program pembangunan, menyediakan pelayanan yang diperlukan, dan menentukan tindakan yang diperlukan dalam merealisasikan program pembangunan tersebut. Agen pembaharuan merupakan kelompok kerja yang terdiri atas beberapa warga masyarakat yang terpilih dan dipercaya untuk menemukan cara – cara yang lebih kreatif sehingga hambatan –hambatan dalam pelaksanaan program pembangunan dapat diminimalisir. 4. Strategi Konflik, melihat dalam kehidupan masyarakat dikuasasi oleh segelintir orang atau sejumlah kecil kelompok kepentingan tertentu. Oleh karena itu, strategi ini menganjurkan perlunya mengorganisir lapisan penduduk miskin untuk menyalurkan permintaan mereka atas sumber daya dan atas perlakuan yang lebih adil dan lebih demokratis. Strategi konflik menaruh tekanan perhatian pada perubahan oraganisasi dan peraturan (struktur) melalui distribusi kekuasaan, sumber daya dan keputusan masyarakat. 5. Strategi pembelotan kultural, menekankan pada perubahan tingkat subyektif individual, mulai dari perubahan nilai-nilai pribadi menuju gaya hidup baru yang manusiawi. Yaitu gaya hidup cinta kasih terhadap sesame dan partisipasi penuh komunitas orang lain. Dalam bahasa Pancasila adalah humanis-relegius. Strategi ini merupakan reaksi (pembelotan) terhadap kehidupan masyarakat modern industrial yang betrkembang berlawanan dengan pengembangan potensi kemanusiaan.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

129


Pembentukan Civil Involement dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Habib‌

2013

PEMBENTUKAN CIVIL INVOLVEMENT BERBASIS MODAL SOSIAL Penyebutan modal sosial (social capital) sudah lama muncul dalam berbagai literatur, istilah ini pertama kali muncul di tahun 1916 disaat ada diskusi tentang upaya membangun pusat pembelajaran masyarakat. Konsep modal sosial diangkat kepermukaan sebagai wacana ilmiah. Modal sosial (Social Capital) awalnya dipahami sebagai suatu bentuk di mana masyarakat menaruh kepercayaan terhadap komunitas dan individu sebagai bagian didalamnya. Mereka membuat aturan kesepakatan bersama sebagai suatu nilai dalam komunitasnya. Di sini aspirasi masyarakat mulai terakomodasi, komunitas dan jaringan lokal (kelembagaan) teradaptasi sebagai suatu modal pengembangan komunitas dan pemberdayaan masyarakat. (Fukuyama, Francis, 2001) Civil Involvement (Keterlibatan Masyarakat) merupakan hal penting dalam pemberdayaan masyarakat berbasis modal sosial, dimana seluruh masyarakat menjadi bagian atas keterlibatannya dari segala usaha pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di kehidupannya. Oleh karena itu harus dilihat dari kerangka kerja yang lebih nyata untuk menciptakan kehidupan demokrasi menuju civil involvement. Teori sosiologi klasik mengembangkan teori bahwa pada masyarakat kota pola kehidupan sosial sudah melemah, mempunyai bentuk keterlibatan dan solidaritas yang berbeda, bahkan pada masyarakat tertentu ditemukan alienasi. Kemudian berkembang pemikiran bahwa nilai, norma. kepercayaan sosial adalah modal sosial yang sangat berperan dalam kehidupan sosial. Bagaimanapun juga modal sosial harus dapat digunakan sebagai stabilisator antar modal-modal lain dan sebagai langkah alternatif bagi warga komunitas. Konsep kunci modal sosial adalah bagaimana orang dengan mudah dapat bekerjasama. Studi modal sosial yang ada menggunakan keanggotaan untuk mengukur modal sosial dan menemukan kekuatan modal sosial sebagai koproduksi sebagai hasil kerjasama antar berbagai jenis organisasi. Beberapa fungsi dan peran modal sosial dalam pembentukan civil involvement yaitu; 1. Membentuk solidaritas sosial masyarakat dengan pilar kesukarelaan. 2. Membangun partisipasi masyarakat . 3. Penyeimbang hubungan sosial dalam masyarakat . 4. Sebagai pilar demokrasi. 5. Agar masyarakat mempunyai bargaining position (posisi tawar) dengan pemerintah. 6. Membangkitkan keswadayaan dan keswasembadaan ekonomi. 7. Sebagai bagian dari mekanisme manajemen konflik. 8. Menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat. 9. Memelihara dan membangun integrasi sosial dalam masyarakat yang rawan konflik. 10. Memulihkan masyarakat akibat konflik, yaitu guna menciptakan dan memfasilitasi proses rekonsiliasi dalam masyarakat pasca konflik. 11. Mencegah disintegrasi sosial yang mungkin lahir karena potensi konflik sosial tidak dikelola secara optimal sehingga meletus menjadi konflik kekerasan. Untuk itu merumuskan modal sosial sebagai kehidupan berorganisasi dimana warga dapat menyelesaikan masalah bersama di komunitas tempat tinggal mereka (spatial) serta Kehidupan berorganisasi mencerminkan jaringan kerjasama antar warga untuk mencapai tujuan bersama karena mereka tinggal di lingkungan yang sama. Dinamika kehidupan berorganisasi tentu sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber modal sosial (kognitif) yaitu kehidupan sosiabilitas antar warga yang dimiliki suatu komunitas yaitu nilai kepedulian, kepercayaan sosial dan solidaritas sosial antar warga dalam bentuk Civil Involvement itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA J, Nasikun, 1995, Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda, dalam Jefta Leibo, Sosiologi Pedesaan, Yogyakarta : Andi Offset. Kutut Suwondo, 2005, Civil Society Di Aras Lokal: Perkembangan Hubungan Antara Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar & Percik.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

130


Pembentukan Civil Involement dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Habib‌

2013

Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, Bandung : Fokus Media. Sunyoto Usman,2004, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sutoro Eko, 2002, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Materi Diklat Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang diselenggarakan Badan Diklat Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember 2002. Fukuyama, Francis, 2001, Sosial Capital; Civil Society and Development, Third World Quarterly, Vol 22.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

131


Peranan Adat Istiadat dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Widyaningsih‌

2013

PERANAN ADAT ISTIADAT DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS MODAL SOSIAL Oleh: Widyaningsih, M.Si. Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY ABSTRAK

Adat istiadat merupakan bagian dari kebudayaan yang berperan sebagai pedoman perilaku warga masyarakat pendukung kebudayaan itu. Sebagai pedoman, adat istiadat yang di dalamnya ada nilai-nilai dan norma-norma, diikuti oleh warga masyarakat secara bersama-sama (bukan individual). Adat istiadat ini sangat menentukan kehidupan masyarakat secara struktur sosial maupun kebudayaannya, karena sangat berpengaruh pada perilaku warga masyarakat dan tindakan mereka terhadap kebijakan pemberdayaan yang diterapkan. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat tersebut didasari oleh modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan, mengingat modal sosial ada yang kuat dan ada yang lemah. Apapun program pemberdayaan yang diterapkan dalam masyarakat, keberhasilannya sangat tergantung pada peranan adat istiadat setempat dan sekaligus pada kuat lemahnya modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Kata Kunci : Adat-istiadat, Pemberdayaan Masyarakat, Modal Sosial

Pendahuluan Dalam kehidupan saat ini adat istiadat yang merupakan bagian dari kebudayaan pada kebanyakan masyarakat ada kecenderungan mengalami kelemahan peranan, bahkan sebagian sudah ditinggalkan. Hal ini terjadi antara lain karena adanya kesenjangan antara generasi tua dan generasi muda, mengingat generasi muda berbeda dalam memahami dan memanfaatkan adat-istiadat, karena pemahaman mereka tentang adat-istiadat berbeda dengan pemahaman dan pemanfaatan adat-istiadat oleh generasi terdahulu yang umumnya masih eksis dalam mematuhi adat istidat. Dengan demikian dalam setiap masyarakat dapat ditemukan perbedaan peranan adat istiadatnya. Namun keberadaan adat istiadat dalam suatu masyarakat sangat berperan karena menjadi pedoman bagi perilaku warga sebagai anggota masyarakat. Oleh karena perilaku warga dalam kehidupan bersama sangat menentukan tingkat keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat diterapkan agar dapat memberi manfaat mengembangkan potensi dalam rangka mencapai taraf kehidupan warga masyarakat yang lebih baik Selain adat istiadat yang dijadikan pedoman perilaku warga dan yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat, ternyata "nilai kebersamaan" sebagai modal sosial juga diperlukan dalam menunjang keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Bahkan modal sosial inilah yang menjadi basis dan awal berperannya adat istiadat dalam pemberdayaan masyarakat Adat Istiadat Berbicara tentang adat istiadat memang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat sebagai pendukungnya. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah suatu bentuk kehidupan bersama manusia dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Manusia yang hidup bersama secara teoritis. 2. Bergaul selama jangka waktu yang cukup lama. 3. Mempunyai kesadaran, bahwa setiap manusia merupakan bagian dari satu kesatuan. 4. Adanya nilai-nilai dan norma-norma, yang menjadi patokan bagi perilaku yang dianggap pantas (inilah yang dimaksud dengan adat istiadat). 5. Menghasilkan kebudayaan dan mengembangkan kebudayaan tersebut. Menurut Peter Berger dan Thomas Luckman (1990) hubungan manusia dengan masyarakat sangat erat oleh karena masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Mereka memandang setiap orang yang berinteraksi baik melalui kontak sosial dan komunikasi akan menghasilkan nilai, norma, bahasa, ide, institusi sosial yang Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

132


Peranan Adat Istiadat dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Widyaningsih‌

2013

diminati. Nilai, norma, dan sebagainya itu berfungsi sebagai pedoman perilaku manusia dalam kehidupan bersama, dan inilah yang dimaksud dengan adat istiadat. Oleh karena manusia bisa bekerja sama untuk membentuk dunianya. Dengan kata lain, masyarakat sebagai realita obyektif dan sekaligus sebagai realita subyektif. Sebagai realitas obyektif masyarakat berada di luar diri manusia, sedangkan sebagai realitas subyektif individu merupakan unsur-unsur pembentuk masyarakat dan masyarakat selaln dianut oleh individu, yang keduanya tidak terpisahkan. Suatu masyarakat (menurut Ihromi, 2006) tidak harus menyesuaikan diri pada keadaan yang khusus. Pada umumnya orang dapat mengubah perilaku sesuai dengan pemikiran mereka dan yang dianggap akan berguna, meskipun hal itu tidak selalu terjadi. Suatu kebudayaan yang didukung oleh masyarakat tertentu, menurut Koentjaraningrat dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu : 1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. 2. Wujud sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud sebagai benda-benda hasil karya manusia. Adat istiadat merupakan wujud yang pertama, yaitu sebagai kumpulan gagasan, nilai dan norma, yang sifatnya paling abstrak kalau dibandingkan dengan wujud-wujud yang lain. Namun demikian, adat istiadat ini justru dipatuhi sebagai pedoman perilaku bagi warga masyakarakat yang bersangkutan. Warga dalam kehidupan bersama cenderung mematuhi adat istiadat, dan senantiasa berusaha untuk tidak melanggarmya, karena ada sangsi atau risiko yang berat yang harus ditanggung oleh si pelanggar. Sangsi itu baik yang berupa sangsi psikologis maupun sangsi sosial. Sangsi psikologis bisa diartikan berkaitan dengan hal-hal yang gaib seperti dijauhi rejeki, akan kena kutukan, sampai ke akan ditumpas; sementara sangsi sosial kaitannya dengan sesama warga masyarakat seperti dijauhi orang lain, dibenci, atau dikucilkan. Pada kehidupan masyarakat modern perlu dibangun semacam adat istiadat, yaitu suatu hubungan antara satu individu dengan individu lain sepanjang waktu dan perlu adanya kerjasama karena tidak dapat dilakukan sendiri. Dalam hal ini terutama masyarakat yang mempunyai nilai atau norma yang sama dan membentuk suatu kelompok sosial yang kuat yang menjadi sumberdaya manusia. Artinya bahwa organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan tadi termasuk di dalamnya adalah adat-istiadat. Berbicara tentang adat-istiadat ternyata masih banyak nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya yang merupakan tatanan hidup untuk diacu oleh warga masyarakat. Dalam Antropologi konsep struktur sosial berkembang dalam pendekatan struktural fungsional. Konsep struktur sosial seringkali dipergunakan sebagai sinonim dari organisasi sosial terutama yang terkait dengan masalah kekerabatan, lembaga politik, dan lembaga hukum pada kehidupan masyarakat sederhana. Menurut Firth membedakan arti konsep tersebut yaitu organisasi sosial berkaitan dengan pilihan dan keputusan dalam hubungan-hubungan sosial aktual. Sementara struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan oleh warga organisasi, sedangkan Fortes berpendapat bahwa konsep struktur sosial diterapkan pada setiap totalitas yang terbit seperti lembagalembaga sosial, kelompok-kelompok, situasi, proses dan posisi social yang ada dalam kehidupan masyarakat. Struktur sosial tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, yang di dalamnya ada adat istiadat, karena kebudayaan dan adat istiadat memberi arah bagi perkembangan pribadi dalam bentuk struktur, dinamika yang ada, dan arah dari kebudayaaan tersebut di dalam lingkungan sesama manusia karena kebudayaan dan adat istiadat merupakan suatu komplek dari nilai-nilai sebagai keseluruhan dan bersifat normatif (Tilaar, 2002: 42). Struktur Sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial, yaitu norma sosial, institusi sosial, kelompok sosial, stratifikasi sosial, dan diferensiasi sosial. Kebudayaan dan adat istiadat adalah acuan individu dalam berperilaku, Struktur Sosial adalah bentuk interaksi antar individu dalam berbagai posisi sosial,sedangkan kepribadian adalah ciri individu dalam merespon kebudayaan, adat istiadat, dan struktur sosial. Kajian tentang struktur sosial dan kebudayaan mempunyai relevansi dengan pendidikan, dalam memahami proses pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan kepribadian. Struktur Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

133


Peranan Adat Istiadat dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Widyaningsih‌

2013

sosial memiliki dampak terhadap perkembangan kepribadian, proses belajar, dan hasil belajar siswa. Keterkaitan antara struktur sosial dan perkembangan kepribadian telah dikaji oleh Melvin Kohn. Komponen-komponen kelas sosial dan berfungsinya masing-masing komponen, memiliki dampak terhadap perilaku dan kepribadian individu yang terlibat di dalamnya. Kebudayaan dan adat-istiadat diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam perilakunya. Kebudayaan dan adat istiadat mencakup aturan-aturan yang berisi kewajiban-kewajiban, karena ada tindakan-tindakan individu yang diterima dan ditolak, ada tindakan-tindakan individu yang dilarang dan dianjurkan oleh individu lain dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu adat istiadat memiliki peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan, termasuk kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang mengembangkan dan memperkuat kemampuan masyarakat yang berlangsung secara dinamis sehingga masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat mengambil keputusan secara independen dan mandiri (Sumaryo, 1991: 6). Dalam hal ini ditekankan pemberdayaan itu sebagai proses memberdayakan masyarakat yang berkesinambungan sehingga mampu memecahkan persoalan. Hak yang senada disampaikan oleh Margono (2000: 32) bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan usaha mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya tanpa adanya kesan bahwa perkembangan itu hasil kekuatan eksternal; masyarakat harus dijadikan subyek bukan obyek. Di sini ditekankan upaya pengembangan potensi yang dimiliki oleh masyarakat tanpa bantuan dari luar masyarakat itu. Sementara itu Harry (2001: 12) menjelaskan adanya beberapa faktor internal yang menghambat pemberdayaan masyarakat, misalnya kurang bisa untuk saling mempercayai, kurang daya inovasi atau kreativitas, mudah pasrah atau menyerah dan putus asa, aspirasi dan cita-cita rendah, tidak mampu menunda menikmati hasil karya, wawasan waktu yang sempit, sangat tergantung pada bantuan pemerintah, sangat terikat pada tempat kediaman, dan tidak bersedia atau tidak mampu menempatkan diri sebagai orang lain. Di sini cakupan pemberdayaan masyarakat semakin luas, menyangkut berbagai hambatan yang menghambat pengembangan potensi lokal. Memberdayakan masyarakat sebenarnya merupakan upaya agar masyarakat yang semula tidak atau belum berdaya menjadi berdaya atau lebih berdaya, yang capaian selanjutnya adalah meningkatnya taraf kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat yang bersangkutan. Hanya saja bagaimana praktek pemberdayaan itu dijalankan, merupakan masalah tersendiri karena daya atau kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu, begitu pula interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut beraneka ragam. Keadaan seperti itu masih dipengaruhi oleh faktorfaktor yang saling terkait seperti pengetahuan, kemampuan, status, kekayaan, dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang saling terkait itu akan membuat interaksi antar individu dipengaruhi oleh perbedaan dekotomis subyek - obyek seperti laki-laki - perempuan, kaya - miskin, guru murid, pejabat pemerintah - warganya, dan sebagainya. Gangguan atau hambatan interaksi yang disebabkan perbedaan-perbedaan dekotomis itu perlu ditekan melalui pemberdayaan masyarakat tadi. Dengan demikian pemberdayaan merupakan proses pembersihan terhadap berbagai gangguan dan hambatan dalam interaksi antara subyek dan obyek. Dalam proses ini diperlukan pengakuan dari pihak subyek akan kemampuan atau daya yang dimiliki oleh obyek. Di sini terjadi adanya proses mengalirnya daya dari subyek ke obyek, dan tersedia kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses belajar baik yang produktif maupun reproduktif. Produktif dalam arti mampu memberdayakan potensi lokal dan lingkungan, sedangkan reproduktif dalam arti mampu mewariskan nilai-nilai kearifan. Inilah tujuan dari pemberdayaan masyarakat, yaitu meningkatkan taraf hidup melalui pengembangan potensi. Untuk itu perlu dukungan peranan adat-istiadat dan modal sosial yang ada dalam masyarakat.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

134


Peranan Adat Istiadat dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Widyaningsih‌

2013

Modal Sosial Modal sosial merupakan salah satu sumberdaya tersimpan untuk mendapatkan sumberdaya baru (selain modal manusia, modal alam, dan modal ekonomi). Pada modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok atau antar kelompok dengan pusat perhatian pada jaringan sosial, nilai, norma, dan kepercayaan antar sesama sebagai anggota kelompok, menjadi nilai dan norma kelompok. Oleh karena itu modal sosial harus dipahami sebagai konstruk relasional dan hanya dapat memberikan akses bagi sumber daya ketika individu tidak hanya membangun ikatan dengan orang lain namun juga menginternalisasikan nilai-nilai bersama kelompok (John Field 2011:233) Manusia dalam kehidupan bersama akan membentuk banyak kelompok sosial yang mempunyai kesamaan nilai dan norma perilaku akan memperkuat modal sosial mereka. Kesamaan nilai dan norma itu akan membuat mereka lebih dapat bekerjasama dan biasanya mencapai tujuan bersama dengan lebih mudah. Kelompok-kelompok yang mempunyai nilai dan norma yang sama ini merupakan inti modal sosial. Di sini unsur membangun hubungan bersama menjadi penting, dan menjaga hubungan itu agar berkesinambungan sehingga orang mampu bekerja bersama-sama untuk mencapai berbagai hal, yang tidak dapat dilakukan oleh individu sendirian. Dengan demikian kekuatan jaringan antar individu dalam kehidupan besama sebagai dasar modal sosial. Ava Cox (1995) mendefinisikan "modal sosial" sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar individu manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisiensi dan efektivitas koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama. Dalam hal ini Cox juga menekankan pentingnya jaringan antar individu sehingga kebersamaan menjadi efisien dan efektif. Francis Fukuyama (1995) lebih menekankan pada dimensi yang lebih luas, yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma (atau adat istiadat) yang tumbuh dan disepakati. Modal sosial dapat menciptakan perbedaan dalam kehidupan masyarakat, baik bersifat positif maupun negatif, dan dapat berubah kapan saja. Menurut Putnam dalam John Field (2011: 6) modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat memperbaikai efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Artinya bahwa organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan tadi termasuk di dalamnya adalah adat-istiadat. Berbicara tentang adat-istiadat ternyata masih banyak nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya yang merupakan tatanan hidup untuk dipatuhi oleh masyarakat. Atas dasar struktur sosial dan kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat tidak selamanya memiliki modal sosial yang kuat. Berdasar struktur sosial ada kemungkinan modal sosial belum mampu memberdayakan masyarakat ke kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu masih diperlukan campur tangan pihak lain di luar masyarakat, seperti pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Demikian juga halnya berdasar kebudayaan yang didukung oleh masyarakat, ternyata modal sosial mununjukkan arah ke semakin lemah. Dalam hal ini modal sosial merupakan energi sosialyang sangat penting untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat, karena modal sosial menyatu dalam struktur hubungan antar individu dalam kehidupan bersama. Modal sosial juga dapat digunakan sebagai modal dasar atau modal awal dalam menggerakkan masyarakat untuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Penutup Dalam bahasan di atas dapat dikemukakan bahwa kehidupan masyarakat saat ini masih terkait dengan adat istiadat yang merupakan bagian dari kebudayaan yang bersifat heterogen dan ada kecenderungan sebagian sudah ditinggalkan oleh pendukungnya. Hal ini terjadi antara lain karena adanya kesenjangan antara generasi tua dan generasi muda, berbeda pemahaman dan pemanfaatan adat-istiadat Dengan demikian dalam setiap masyarakat dapat ditemukan perbedaan peranan adat istiadatnya. Namun keberadaan adat istiadat dalam suatu masyarakat sangat berperan karena menjadi pedoman bagi perilaku warga sebagai anggota masyarakat. Oleh karena perilaku warga dalam kehidupan bersama sangat menentukan tingkat keberhasilan pemberdayaan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

135


Peranan Adat Istiadat dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Widyaningsih‌

2013

masyarakat. Pemberdayaan masyarakat diterapkan agar dapat memberi manfaat mengembangkan potensi dalam rangka mencapai taraf kehidupan warga masyarakat yang lebih baik.Adat istiadat dan modal social saling terkait dan keduanya berperan besar dalam menunjang pemberdayaan masyarakat. Daftar Pustaka Cox, Eva (1995) A Truly Civil Society. Sydney: ABC Books. Dwiningrum, Siti Irene Astuti (2013) "Realisasi dan Ekstensi Education for All Sebagai Pemandirian Bangsa di Era Otonomi Daerah" dalam Pendidikan untuk Pencerahan & Kemandirian Bangsa. Yogyakarta, UNY, Mei 2013. Field, John (2011) Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana. Fukuyama, Francis (1995) Trust:The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press. Harry, Hikmat ((2001) Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Margono, Slamet (2000) "Memantapkan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan dalam Pembangunan". Dalam Proseding Seminar IPB Bogor: Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Pustaka Wira Usaha Muda. Menteri Dalam Negeri (2007) Peraturan tentang Pedoman pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat. Sumaryo (1991) Impementasi Participatory Rural Appraisal (PRA) dalam Pemberdayaan Masyarakat. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat dalam rangka Peningkatan Mutu Pengabdian dalam Masyarakat, di IAIN Raden Intan Bandar Lampung, 26 November 2005. Tilaar, H.A.R. (2002) Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

136


Pemberdayaan Pemuda Melalui Social Capital l Lutfi‌

2013

PEMBERDAYAAN PEMUDA MELALUI SOCIAL CAPITAL Oleh : Lutfi Wibawa, M.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY ABSTRAK

Permasalahan yang muncul di masyarakat akhir-akhir ini salah satu penyebabnya adalah golongan pemuda yang tidak bisa secara optimal menjalankan perannya sebagai soko guru peradaban. Masalah pemuda tersebut bisa diatasi dengan model pemberdayaan berbasis social capital. Pendekatan pemberdayaan pemuda melalui social capital adalah sebagai upaya memunculkan dan memanfaatkan potensi yang ada disekitar pemuda. Sehingga dengan serangkaian kemitraan dan hubungan antar organisasi untuk merencanakan dan memberikan menu layanan berdasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan pemuda di harapkan mampu menjadi solusi bagi persoalan pengembangan pemuda. Pendekatan pemberdayaan pemuda melalui social capital ini mengacu pada 3 prinsip yaitu : pertama, program yang holistik. Kedua, program yang sistematis, Ketiga, program yang berkelanjutan. Tuilisan berikut berupaya menyajikan kajian tentang pemberdayaan pemuda melalui social capital secara lebih mendalam. Kata Kunci : Pemberdayaan, Pemuda, Social Capital Pendahuluan Dunia mengalamai krisis identitas dan jati diri, kondisi ini teridentifikasi dari beberapa fenomena dan kejadian yang nampak pada tahun-tahun terakhir. Beberapa fenomena itu antara lain: pertama, konflik antar negara dengan mengedepankan pendekatan kekuatan senjata semakin meningkat ekskalasinya. Kedua, penjajahan gaya baru (neokolonialisme) dengan pendekatan kapitalisme semakin menggurita dan menyengsarakan negara dunia ketiga. Ketiga, perang dengan mengatasnamakan melawan terorisme menjadi alat baru negara-negara adidaya untuk menekan negara lain. Keempat, nilai humanisme yang semakin memudar dalam masyarakat yang disebabkan faham liberalisme dan kebebasan individu yang menabrak hakekat nilai kemanusiaan. Kelima, gaya hidup masyarakat dunia yang hidonis dan semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan yang pada tahapan berikutnya menghancurkan moralitas terutama dikalangan pemuda. Keenam, pertarungan ideologi dunia yang belum ada ujungnya sehingga mengorbankan kepentingan masyarakat. Ketuju, perubahan iklim yang menyebabkan kejadiankejadian alam yang tidak mampu di antisipasi sehingga merugikan manusia. Kedelapan, bencana alam dan kerusakan bumi sebagai akibat dari prilaku manusia yang tidak memperhatikan ekosistem. Permasalahan-permasalahan ini menandai kondisi dunia yang mengalami kebobrokan dan mandulnya peradaban manusia yang humanis. Mandulnya peradaban dunia tidak lepas dari sokongan prilaku dan kekutan pemuda sebagai bagian dari peradaban itu. Pemuda tidak lagi mampu memainkan peranannya sebagai tembok peradaban. Pemuda terkungkung dalam penjara hedonisme semu, yang merenggut nilai-nilai kemanusiaannya. Pemuda terperangkap dalam kubangan prakmatisme materi yang menjauhkan pada nilai kediriannya. Sosoknya tidak lagi mampu menjadi topangan soko guru pembangunan peradaban, namun sebaliknya pemuda menjadi sumber persoalan bagi peradaban. Contoh sederhana persoalan yang menerpa para pemuda adalah penyalah gunaan NARKOBA. Sebagai catatan penelitian pernah dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa jumlah pengguna narkoba di Indonesia sekitar 3,8 juta orang (Data BNN 2011) dan 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Harapan untuk masa depan dunia yang lebih baik dan humanis sebenarnya layak senantiasa hadir dalam semua level kehidupan yang di pikirkan. Layaknya tidak ada keputus asaan untuk menata, membangun dan mengokohkan kembali peran pemuda sebagai ujung utama peradapan. Karena disamping problem yang besar dialami pemuda masih tersimpan tenaga dan potensi yang lebih besar lagi untuk menjadi lebih kokoh dan mampu membuat lompatan sejarah. Hal ini di yakini akan berhasil jika semua prasaratnya diupayakan dan di Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

137


Pemberdayaan Pemuda Melalui Social Capital l Lutfi…

2013

munculkan dari diri pemuda itu sendiri. Potensi yang besar dalam diri pemuda masih layak untuk di lesatkan menjadi anak panah dan tombak yang siap meluncur menghunjam menghancurkan peradaban yang di kuasai para tiran. Tulisan ini pada dasarnya akan mengkaji secara mendalam tentang pemberdayaan pemuda melalui social capital untuk peradaban dunia yang humanis, dengan harapan mampu membangkitkan kembali peran pemuda dalam menata peradaban dunia. Pembahasan Secara harfiah youth yang diterjemahkan sebagai pemuda, adalah the time of life between childhood and maturity, early maturity, the state of being young or immature or inexperienced, the freshness and vitality characteristic of a young person . Definisi ini, dapat diinterpretasikan pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, penuh vitalitas, bergejolak dan optimis akan tetapi belum memiliki pengendalian emosi yang stabil karena masa transisional psikologisnya. Lebih lanjut Syamsudin 2008 mengemukakan, peran pemuda selalu sentral dalam perubahan, mengingat dalam jiwa pemuda selalu ada hasrat yang dinamis. Ciri khas dari seorang pemuda adalah semangatnya yang menyala-nyala, bahkan terkadang kurang memiliki perhitungan. Selain itu pemuda juga secara fisik lebih kuat dibandingkan usiausia diatasnya. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa usia muda adalah usia yang paling produktif dalam diri manusia (Syamsudin, 2008: 9). Masa muda atau masa remaja merupakan proses tumbuh menjadi dewasa. Karena mengacu pada pertumbuhan spesifik. Hal ini bisa berlaku untuk pertumbuhan fisiologis atau sosial, Oleh karena itu perlu untuk menyepakati arti yang lebih khusus. Masa remaja dalam arti sosiologis mengacu pada pengalaman melewati suatu fase yang terletak di antara masa kanakkanak dan dewasa. Hal ini sebagaimana di sampaikan oleh Sebald, 1984 sebagai berikut : The word “adolescence” is derived from the latin adolescere,which means “to grow into maturity”. Since reference to growth is non specific, it could apply to physiological, physiological, or social growth. It is therefore necessary to agree on a more specific meaning. Adolescence in the sociological sense refers to the experience of passing through a phase that lies between childhood and adulthood (Sebald, 1984: 3).

Masa transisi yang dialami pemuda menyebabkan pergolakan yang dasyat dalam diri pribadinya. Masa-masa inilah proses menjadi matang itu bisa di optimalisasi dengan pemberdayaan potensi yang dimiliki. Selain itu pemuda selayaknya di pandu untuk terbiasa menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Willis 2010 mengemukakan: “masa ini ialah dimana masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak kedewasa, tingkah lakunya labil dan tidak mampu menyesuaikan diri secara baik terhadap lingkungannya, usia ini memiliki kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi, hal inilah yang merupakan sumber timbulnya berbagai problem” (Willis, 2010: 43). Problem yang muncul menjadi alat untuk mematangkan jati diri dan kekuatan pemuda sehingga potensinya tidak tergerus oleh persoalan yang dihadapi. Keterlibatan peran sosok pemuda dalam masyarakat diyakini juga sebagai bagian dari bentuk pematangan diri. F.J.Monks, 2006 mengemukakan : “Emansipasi merupakan suatu proses, dalam proses tersebut seseorang, selama berkembang bersama-sama orang lain yang ada dalam keadaan yang sama belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai kelompok yang diperlakukan sama” (F.J.Monks, 2006: 293). Pernyataan ini menitikberatkan betapa pentingnya masyarakat dalam proses pendewasaan dan pemberdayaan pemuda. Pemuda mampu berkembang secara maksimal dengan bersama-sama masuk dan terlibat penuh dalam perkembangan masyarakat, dalam bahasa lain keterlibatan menjadi penting untuk perkembangan dirinya dan juga untuk masyarakat. Selain keterlibatan pemuda juga harus berfikir dan bertindak untuk meredam masalah yang dihadapi, Santrock, 2003 mengemukakan , untuk mengurangi masalah-masalah yang di hadapi pada pemuda dan remaja ada sebelas komponen yang harus di perhatikan yaitu : (1) Perhatian individual yang intensif, (2) Pendekatan kolaboratif dengan berbagai perantara dalam masyarakat luas, (3) Identifikasi dan interval awal, (4) Bertempat di sekolah, (5) Pelaksana program sekolah dengan perantara di luar sekolah, (6) Lokasi program di luar sekolah, (7) Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

138


Pemberdayaan Pemuda Melalui Social Capital l Lutfi‌

2013

Perencanaan pelaksanaan pelatihan, (8) Pelatihan ketrampilan hidup, (9) Penggunaan teman sebaya dalam intervensi. (10) Penggunaan orang tua dalam intervensi, (11) Keterlibatan dunia kerja. Santrock (2003: 534).

Persoalan-persoalan yang di hadapi pemuda juga harus di selesaikan dengan pendekatan secara sestemik dan holistik. Pendekatan itu mulai dari hulu dan juga dari hilirnya, secara personal, kelompok, sosial dan juga dengan pendekatan struktur. Melibatkan semua komponen dan sumberdaya yang ada. Kusus di Indonesia secara tertulis pedoman untuk pemberdayaan pemuda sudah tertuang dalam UU No. 40 tahun 2009, “pemberdayaan pemuda dilaksanakan secara terencana, sistematis, dan berkelanjutan untuk meningkatkan potensi dan kualitas jasmani, mental spiritual pengetahuan, serta keterampilan diri dan organisasi menuju kemandirian pemuda�. Mengandung makna jika usaha untuk mengoptimalisasikan potensi yang dimiliki pemuda di laksakan dengan pendekatan pemberdayaan yang terencana, sistematis dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan untuk pemberdayaan pemuda yang terencana, sistematis dan berkelanjutan yaitu dengan pendekatan optimalisasi social capital (modal sosial), yang penulis sebut dengan konsep pengembangan pemuda berbasis modal sosial ( development of youthbased social capital). Modal sosial (sosial capital) diperkenalkan Putnam pada waktu meneliti di Italia pada 1985. Masyarakatnya, terutama di Italia Utara, memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi, karena tiap indvidu punya minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Putnam dalam Field (2010: 49) mengungkapkan bahwa hubungan antar masyarakat lebih bersifat horizontal, karena semua masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Putnam dalam Field (2010: 51) mengungkapkan modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial, jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektifuntuk mencapai tujuan tujuan bersama. Dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. Bourdieu dalam Field (2010: 2124), perbedaan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan. Suharto dan Yuliani (2005), modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan sosial di masa lalu dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan dan jika digunakan secara tepat mampu memperkuat efektivitas pembangunan. Tjondronegoro (2005: 21-22) berpendapat modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk pula dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia. Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi serta memungkinkan adanya kerja sama. Dalam sebuah masyarakat, modal sosial menjadi suatu alternatif pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Prasaratnya adalah jika masyarakat masih mempunyai nilai-nilai yang mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial. Modal sosial memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi sebagai pilar penting pembangunan masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi dan good governance (tata pemerintahan yang baik). Fukuyama (2002: 42-45) modal sosial adalah serangkaian nilai nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka, modal sosial dapat digunakan untuk mencermati: 1) 2) 3) 4) 5)

Hubungan sosial, merupakan bentuk komunikasi bersama melalui hidup berdampingan sebagai interaksi antar individu. Adat dan nilai budaya lokal yang menjunjung tinggi kebersamaan, kerja sama, dan hubungan sosial dalam masyarakat. Toleransi merupakan salah satu kewajiban moral yang harus dilakukan setiap orang ketika berada/hidup bersama orang lain. Kesediaan untuk mendengar berupa sikap menghormati pendapat orang lain. Kejujuran menjadi salah satu hal pokok dari keterbukaan/transparansi untuk kehidupan lebih demokratis.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

139


Pemberdayaan Pemuda Melalui Social Capital l Lutfi‌

2013

6)

Kearifan lokal dan pengetahuan lokal sebagai pendukung nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. 7) Jaringan sosial dan kepemimpinan sosial yang terbentuk berdasar kepentingan/ketertarikan individu secara prinsip/pemkiran di mana kepemimpinan sosial terbentuk dari kesamaan visi, hubungan personal atau keagamaan. 8) Kepercayaan merupakan hubungan sosial yang di bangun atas dasar rasa percaya dan rasa memiliki bersama. 9) Kebersamaan dan kesetiaan berupa perasaan ikut memiliki dan perasaan menjadi bagian dari sebuah komunitas. 10) Tanggung jawab sosial merupakan rasa empati masyarakat terhadap upaya perkembangan lingkungan masyarakat. 11) Partisipasi masyarakat berupa kesadaran diri seseorang untuk ikut terlibat dalam berbagai hal berkaitan dengan diri dan lingkungan dan 12) Kemandirian berupa keikut sertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Modal sosial dibangun dari 3 dimensi yaitu kepercayaan (trust), jaringan sosial (Networks), dan pranata sosial (social institution). Kata trust berasal dari bahasa German trost yang berarti kenyamanan (comfort). Kepercayaan merupakan bagian dari keyakinan (faith). Kepercayaan menjadi dasar sebagai jaminan awal dari suatu hubungan dua orang atau lebih dalam bekerjasama. Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial. Kepercayaan merupakan salah satu kunci terpenting untuk menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat. Badaruddin 2005 mengungkapkan, sikap saling percaya ( trust) meliputi adanya unsur kejujuran (honesty), kewajaran (fainerss), sikap egaliter (egali-tarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity). Sedangkan jaringan sosial merupakan aspek penting modal sosial karena dibangun dari tiga unsur penting, keterkaitan (connectedness) dan jaringan (networks) serta kelompok (groups). Elemen yang ketiga adalah pranata sosial, Badaruddin 2005 mengemukakan pranata sosial merupakan salah satu elemen penting dari modal sosial. Pranata (institutions), yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared value), norma norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan aturan-aturan (rules). Sedangkan Koentjaraningrat mendefinisikan pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Tiga elemen penting modal sosial yaitu kepercayaan (trust), jaringan sosial (networks), dan pranata sosial (social institution) ini menjadi dasar bagi proses pemberdayaan pemuda. Kekuatan dari kepercayaan, jaringan sosial, dan pranata sosial yang dimiliki masyarakat selayaknya di angkat dan di semai kembali sehingga menjadi pondasi utama dalam pengembangan program dan perumusan kebijakan dalam penataan pemberdayaan pemuda. Hal yang menjadi perhatian kita berikutnya adalah pambahasan mengenai model pemberdayaan pemuda dengan basis modal sosial. Pemberdayaan sendiri dalam kasanah kajian keilmuan dapat dipahami sebagai upaya untuk menguraikan belenggu yang membelit masyarakat terutama yang berkaitan dengan pengetahuan, pengalaman, motivasinya. Seperti yang di sampaiakan oleh Blanchard 2001, “The real essence of empowerment comes from

releasing the knowledge, experience, and motivarional power that is already in people but is being severely underutilized�. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan

harkat dan martabat lapisan masyarakat, di mana kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Atau dengan ungkapan lain memberdayakan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat. Keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil evaluasi). Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya, serta berupaya untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi masalahnya. Konsep pemberdayaan pemuda melalui social capital dapat di gambarkan seperti bagan 1 sebagai berikut.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

140


Pemberdayaan Pemuda Melalui Social Capital l Lutfi…

2013

Bagan 1. Pemberdayaan pemuda berbasis modal sosial

Daya Dukung •Modal Sosial •Analisis Kebutuhan Pemberdayaan Pemuda

Proses Pemberdayaan •Program Yang Holistik •Program Yang sistematis •Program Yang Berkelanjutan

Output •Pemuda yang mantab, tangguh dan berkarakter

Outcome •Pemuda yang mandiri dan mampu menjadi penerus peradaban

Pemberdayaan pemuda berbasis modal sosial seperti dalam bagan 1 dapat di pahami dengan uraian sebagai berikut : 1. Daya dukung utama dalam perumusan program-program pemberdayaan pemuda adalah kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. 2. Analisis kebutuhan pemberdayaan untuk pemuda menjadi dasar utama untuk perumusan program yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan pengembangan. 3. Proses pemberdayaan sebaiknya mengarah pada 3 prinsip yaitu : pertama, program yang holistik. Kedua, program yang sistematis, Ketiga, program yang berkelanjutan. 4. Harapan Output dari proses pemberdayaan pemuda ini menghasilkan Pemuda yang mantab, tangguh dan berkarakter. 5. Capain dampak program pemberadayaan di maksudkan mampu membentu pemuda yang mandiri dan mampu menjadi penerus peradaban. Prinsip dasar pengembangan dan pemberdayaan pemuda mengacu kepada hal-hal sebagai berikut : 1. Mengkomonikasikan sebuah harapan tentang masa depan bagi kaum muda. 2. Membangun rasa keanggotaan individu pemuda sebagai bagian dari anggota kelompok. 3. Mengembangkan kemampuan kepemimpinan. 4. Menumbuhkan rasa identitas pribadi. 5. Memperluas perspektif, mengembangkan keterampilan. 6. Menyediakan struktur dan lingkungan yang aman. 7. Fokus pada sentralitas kerja. 8. Memupuk dan mengembangkan dukungan kelompok sebaya yang positif. 9. Menghubungkan pemuda dengan keinginan orang dewasa sehingga terbangun komunikasi yang efektif. 10. Harus mampu menawarkan dukungan yang berkelanjutan selama jangka waktu tertentu. Tips kusus untuk membangun proses pemberdayaan pemuda dengan berbasis bada modal sosial dapat di uraikan dengan langkah-langkah seperti berikut : 1. Libatkan organisasi-organisasi yang berbasis pada pemuda sebagai kolaborasi komunitas untuk kepemimpinan, perencanaan, memanfaatkan sumber daya, pelaksanaan dan pengawasan. 2. Upayakan semua mitra mitra aktif terlibat. 3. Mengidentifikasi strategi disesuaikan agar bekerja dengan baik, baik sistem sekolah, dan institusi pasca sekolah menengah. 4. Mengatasi "rumput" masalah dan hambatan kelembagaan. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

141


Pemberdayaan Pemuda Melalui Social Capital l Lutfi‌

2013

5. 6. 7. 8. 9. 10.

Penjelasan dan mendefinisikan peran mitra secara konkrit. Gunakan sumber daya yang ada secara kreatif. Memberikan kepemimpinan yang konsisten. Buat sistem hubungan lingkungan untuk menjangkau dan melibatkan pemuda Mengidentifikasi dan mengembangkan relasi untuk bekerja sama dengan pimpinan. Merancang dan mengimplementasikan strategi peningkatan kapasitas untuk bantuan teknis dan sarana pengembangan. 11. Membangun sistem dan hubungan secara bertahap. Upaya pemberdayaan pemuda pada prinsipnya adalah untuk mengembalikan kembali kekuatan dan potensi yang dimiliki pemuda dengan membuang jauh segala persoalan yang dihadapi. Prinsip pemanfaatan modal sosial dimaksudkan sebagai upaya memunculkan dan memanfaatkan potensi yang ada disekitar pemuda. Sehingga dengan serangkaian kemitraan dan hubungan antar organisasi untuk merencanakan dan memberikan menu layanan berdasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan pemuda di harapkan mampu menjadi solusi bagi persoalan pengembangan pemuda. Penutup Sebagai penutup dalam kajian pemberdayaan pemuda melalui social capital ini, berikut disampaikan beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Permasalahan yang muncul di masyarakat dunia akhir-akhir ini salah satu penyebabnya adalah golongan pemuda yang tidak bisa secara optimal menjalankan perannya sebagai soko guru peradaban. 2. Masalah pemuda tersebut bisa diatasi dengan model pemberdayaan berbasis social

capital.

3. Pendekatan pemberdayaan pemuda melalui social capital adalah sebagai upaya memunculkan dan memanfaatkan potensi yang ada disekitar pemuda. Sehingga dengan serangkaian kemitraan dan hubungan antar organisasi untuk merencanakan dan memberikan menu layanan berdasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan pemuda di harapkan mampu menjadi solusi bagi persoalan pengembangan pemuda. 4. Pendekatan pemberdayaan pemuda melalui social capital ini mengacu pada 3 prinsip yaitu : pertama, program yang holistik. Kedua, program yang sistematis, Ketiga, program yang berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Badaruddin. (2005). Modal Sosial (Sosial Capital) dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan. Dalam: M. Arif Nasution, Badaruddin, dan Subhilhar (Editor) (Ed), 2005, Isu-isu Kelautan dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. F.J Monks. (2006). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Field, John. (2010). Social capital (modal sosial). Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Fukuyama, Francis (2002). Great Disruption: Hakikat Manusia Dan Rekonstitusi Tatanan Sosial. (Alih Bahasa: Ruslani). Yogyakarta: Qalam Santrock. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.Sebald. (1984). Adolescence a social psychological analysis. New Jersey: Prentice Hall. Suharto, E. & Yuliani. (2005). Analisis Jaringan Sosial: Menerapkan Metode Asesmen Cepat dan Partisipatif (MACPA) pada Lembaga Sosial Lokal di Subang, Jawa Barat , http://www.policy.hu/suharto/mak-Indo4.html.Internet. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2012, pukul 20.45 WIB. Tjondronegoro, S.M.P. (2005), “ Pembangunan, Modal dan Modal Sosial. Jurnal Sosiologi Indonesia, Vol. I, No. 7: 21-22.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

142


Membentuk Modal Sosial dalam Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM)/Entoh‌

2013

Membentuk Modal Sosial dalam Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM) Oleh: Entoh Tohani, M.Pd Dosen Jurusan PLS FIP UNY Abstrak

Pendidikan kewirausahaan masyarakat atau PKM sebagai salah satu cara yang dipandang tepat untuk dapat mengembangkan kualitas sumberdaya manusia yaitu menciptakan manusia yang kreatif, inovatif, dan produktif perlu diarahkan pada pembentukan modal sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Keberhasilan pendidikan kewirausahaan masyarakat tidak lepas dan dipengaruhi oleh keberadaan dan keberfungsian modal sosial dalam penyelenggaraannya, namun terkadang modal sosial belum begitu diperhatikan dalam pengelolaan pendidikan kewirausahaan masyarakat agar program ini memperoleh efektivitas yang lebih besar. Kata kunci: Pendidikan, kewirausahaan, modal sosial Pendahuluan Setiap warga negara baik secara individual maupun berkelompok berkesempatan mendapatkan berbagai layanan pendidikan dan/atau pemberdayaan lain sehingga memungkinkan diri mereka menjadi individu atau kelompok yang kreatif, produktif, dan lebih berkarakter (Noeng Muhadjir, 2000). Melalui pendidikan, kesejahateraan hidup dan kehidupan warga masyarakat baik dalam bidang ekomoni, social budaya dan politik dapat tercapai. Dalam bidang ekonomi, pendidikan berfungsi untuk menyiapkan tenaga-tenaga kerja yang kreatif, produktif dan mandiri, berperilaku inovatif, dan memiliki sikap dan nilai berwirausaha. Dalam bidang social budaya, melalui pendidikan setiap warga negara diharapkan menjadi manusiamanusia yang memiliki kepribadian utuh, berkarakter baik dan memiliki perilaku positif dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan dalam kehidupan politik, melalui pendidikan, warga masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam menyukseskan pembangunan bangsa, dan selalui melaksanakan dan menjaga perilaku demokratis, toleransi, dan kebersamaan dengan orang lain (Fegerlind & Saha, 1983). Dalam kehidupan masyarakat, banyak peluang yang perlu dimafaatkan oleh setiap warga masyarakat, namun kadang peluang yang ada berupa melimpahnya potensi lokal seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kekayaan cultural belum dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, setiap individu akhir-akhir ini dihadapkan pada perkembangan dunia semakin maju dengan ditandainya perubahan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bentuk dari globalisasi yang tentunya dapat mendatangkan manfaaat atau sebaliknya menghadirkan kerugian kepada kehidupan individu dan masyarakat. Adanya potensi dan tantangan tersebut, seorang perlu memiliki kompetensi yang tepat salah satunya adalah kapasitas kewirausahaan, dan tentu kompetensi ini dapat dicapai melalui proses pendidikan baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Kapasitas ini memungkinkan individu dapat mengatasi persoalan yang dihadapinya secara inovatif dari sudut pandang yang beragam. Pembentukan kapasitas kewirausahaan ini akhir-akhir ini sangat genjar dilaksanakan baik oleh pemerintah misalnya dengan program gerakan kewirausahaan nasional, swasta dengan kegiatan social responsibilitynya, lembaga pendidikan atau pun warga masyarakat secara perorangan yaitu melalui penyelenggaraan program pendidikan kewirausahaan masyarakat (PKM). Kewirausahaan Konsep kewirausahaan sudah menjadi suatu hal yang dipandang penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena kewirausahaan mampu memberikan manfaat besar dalam perbaikan perekonomian masyarakat akhir-akhir ini. Tentunya sudah banyak para ahli memberikan pemaknaan terhadap konsep ini. Kewirausahaan sebagai suatu proses penerapan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

143


Membentuk Modal Sosial dalam Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM)/Entoh‌

2013

kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan atau usaha (Zimmer, dalam Kasmir, 2007:17). Kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa seorang wirausahan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain karena mereka memiliki kemampuan berinovasi (Drucker, 1984). Dengan kata lain, kewirausahaan adalah suatu kemampuan dalam hal menciptakan kegiatan usaha. Kemampuan menciptakan usaha mememerlukan adanya kreativitas dan inovasi yang terus-menerus untuk menemukan sesuatu yang beda dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Kreativitas dan inovasi tersebut pada akhirnya mampu memberikan kontribusi pada orang banyak. Seorang yang memiliki kemampuan berwirusaha ditandai dengan sikap dan perilakunya yang dicirikan dengan karakteristik memiliki kepercayaan diri, berorientasi pada tugas dan hasil, berani mengambil resiko, memiliki kepemimpinan yang baik, memiliki keorisinilan dalam berfikir, dan memiliki perspektif ke masa depan, memiliki sikap kerja keras, bertanggungjawab atas semua aktivitas yang dilakukan, memiliki komitmen yang kuat dan teguh, dan mengembangkan hubungan yang baik dengan berbagai pihak baik yang berhubungan langsung dengan kegiaan usaha maupun yang tidak (Kasmir, 2007:27-28) serta mengorganisasikan mekanisme sosial/ekonomi untuk mengubah sumberdaya dengan cara praktis (Wiratmo, 1996:11). Pada tataran substansi berwirausaha, serorang yang memiliki kemampuan berwiusaha adalah mereka yang 1) memiliki motivasi berprestasi tinggi, 2) memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam dunia usaha, dan 3) memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi peluang yang prospektif, menentukan peluang yang tepat dan layak untuk dicapai, merencanakan aktivitas berusaha, membangun jejaring social atau kemitraan baik secara institutional maupun personal, memulai kegiatan usaha dengan mencari sumberdaya yang diperlukan, memilih dan mengembangkan personalia secara selektif, melakukan promosi dan penjualan yang tepat, dan memperkirakan keuntungan dan kerugian yang dicapai (Kasmir, 2007). Pemikiran lain disampaikan oleh Boyless (2012) bahwa kompetensi kewirausahaan dapat mencapai kemampuan yang terktait dengan aspek kognitif: kemampuan seseorang melihat peluang; aspek sosial yaitu kemampuan membina hubungan yang baik dengan orang lain secara manusiawi, dan aspek tindakan yaitu kemampuan yang menunjukkan dirinya mampu mengelola usahanya mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya dengan kepercayaan diri dan penuh inisiatif. Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat Individu atau kelompok menjadi wirausahawan bukan semata-mata dikarenakan oleh adanya sifat atau karekteristik bawaan yang ada dalam dirinya dan berlangsung secara alamiah, namun pembentukan kompetensi kewirausahaan dapat dilakukan melalui proses pendidikan atau entrepreneurship education yang tererencanakan. Atau dengan kata lain, pembentukan kapasitas kewirausahaan perlu dilakukan dengan tindakan edukatif terstruktur dan terarah sehingga kapasitas kewirausahaan dapat dengan mudah diinternalisasikan oleh kelompok sasaran. Dalam konteks memberdayaan masyarakat, pendidikan kewirausahaan memiliki kelompok sasaran yaitu para orang dewasa yang produktif dan memerlukan layanan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Pendidikan kewirausahaan dimaknai sebagai proses eduaktif yang bertujuan untuk memberikan kompetensi kewirausahaan masyarakat (keterampilan, pengetahuan, nilai-nilai) kepada anggota masyarakat yang umumnya orang dewasa dan dipandang produktif yang dapat digunakan untuk berwirausaha, bekerja bersama orang lain sehingga mereka dapat menghasilkan pendapatan, dan akhirnya mampu mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Melalui pengelolaan pendidikan ini, beragam keterampilan kewirausahaan diajarkan kepada kelompok sasaran misalnya terkait dengan informasi dan teknologi komputer, kerajinan, pertanian, fashion, bidang perikanan, dll. Pendidikan kewirausahaan pada dasarnya dimaksudkan oleh keinginan menyiapkan warga masyarakat untuk menghadapi apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang penuh ketidakpastian, dan kebutuhan akan sumberdaya manusia yang dapat bekerja sesuai dengan situasi perubahan yang terjadi (Mwasalwiba, 2010). Mwasalwiba pun menjelaskan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

144


Membentuk Modal Sosial dalam Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM)/Entoh‌

2013

proses pendidikan atau pembelajaran kewirausahaan mencakup: pendefinisikan esensi dan tujuan pendidikan kewirausahaan, penentukan tujuan khusus kewirausahaan, penentukan program belajar, kelompok sasaran, materi dan tugas-tugas; penentukan metode pembelajaran, dan pelaksanaan evaluasi pembelajaran. Semua tahapan dalam pendidikan kewirasuahaan masyarakat dimaksud sangat berhubungan satu dengan yang lain; perhatian yang perlu lebih jelas berikan dalam proses pembelajaran kewirausahaan masyarakat adalah aspek penentuan kelompok sasaran atau target group dalam hal ini warga masyarakat yang telah dewasa dan dipandang produktif, dan menghadapi masalah sosial tertentu. Kelompok sasaran perlu dipahami terlebih dahulu secara tepat agar apa yang akan diberikan berupa layanan pendidikan kewirausahaan tidak menjadi suatu yang dipandang sebagai pemborosan. Pemilihan kelompok sasaran harus didasarkan pada informasi yang benar bahwa mereka adalah orang-orang yang memang memiliki kebutuhan obyektif yang memerlukan layanan pendidikan kewirausahahan, memiliki kesadaran aktif bahwa dirinya akan berpartisipasi secara aktif dalam upaya peningkatkan kualitas dirinya, dan memiliki consensus yang kuat dalam mengiktui proses pendidikan kewirausahaan. Oleh karena itu, pemilihan kelompok sasaran harus didasarkan pada pandangan bahwa individu-individu dalam mengatasi masalahnya dengan kemampuan sendiri, dan ditentukan oleh dirinya sendiri, sebagai makhluk yang memiliki kapasitas belajar.

Gambar: Model pendidikan kewirausahan (Sumber: Mwasalwiba, 2010). Efektivitas Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat Proses pendidikan kewirausahaan masyarakat diharapkan terlaksana secara efektif, yaitu terjadinya peningkatan kesejahteraaan kepada individu, kelompok maupun masyarakat. Dalam hal ini, kelompok sasaran harus mampu menjadikan hasil pembelajaran yang telah dicapainya menjadi bermakna bagi kehidupannnya. Hasil pembelajaran yang dicapai bukan hanya sebagai sesuatu yang tidak berguna atau inert idea, namun diaplikasikan dalam bentuk kegiatan wirausaha yang produktif dalam kehidupan sehari-hari baik secara individu maupun secara kelompok, Kegiatan produktif harus mampu memberikan keuntungan materi dan ekonomi bagi mereka. Lebih jauh hasil penerapaan hasil belajar perlu diarahkan pada pengembangan peran sosial yang positif kelompok sasaran dalam kehidupan masyarakatnya seperti bertindak sebagai pengembang masyarakat dan pendidik masyarakat, dan peningkatan kontribusi yang positif pada kehidupan politik khususnya ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengambilan keputusan dalam menghadapi masalah yang dihadapi bersama. Atau pendidikan kewirausahaan masyarakat perlu menghasilkan produktivitas, adaptabilitas, dan kontinuitasnya. Dilihat dari aspek lain, pendidikan kewirausahaan yang berhasil atau efektif adalah memberikan umpan balik dan masukan, tentunya dicapai dengan melihat hasil evaluasi pendidikan ini, guna pengambilan keputusan untuk perbaikan kepada pihak penyelenggara pendidikan kewirausahaan masyarakat seperti para penyelenggara pendidikan kewirausahaan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

145


Membentuk Modal Sosial dalam Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM)/Entoh‌

2013

masyarakat dalam rangka mengetahui kendala-kendala, perbaikan, dan/atau penghentian program pendidikan kewirausahaan; terhadap pendidik atau narasumber dalam rangka mengembangkan kemampuan melatih dan refleksi diri, dan bagi para donator atau pihak lain dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas partisipasi dalam menyukseskan proses pendidikan kewirausahaan. Membentuk Modal Sosial Istilah modal sosial sebenarnya muncul pada akhir abad 19, dan diperkenalkan pertama kali oleh Burdieu yang menjelaskan mengenai konsep modal manusia, dan modal sosial. Konsep modal sosial selanjutnya dikembangkan lebih jauh oleh Coleman dan Robert Putnam (Field, 2005) yang mana Coleman dan Putman lebih menekankan pada keberadaan modal sosial dalam konteks masyarakat /kolektif atau sebagai public good dibanding pemikiran Bourdieu yang lebih memandang modal capital sebagai asset pribadi (individual). Coleman menjelaskan bahwa social capital is defined by its function. It is not a single entity, but a

variety of different entities having two characteristics in common: They all consist of some aspect of social structure, and they facilitate certain actions of individuals who are within the structure’ (Coleman, 1990:302). Modal sosial terdiri dari dua aspek yaitu: struktur sosial, dan

tindakan individu-individu yang difasilitasi oleh struktur sosial dimaksud. Secara lebih spesifik, modal sosial memiliki dimensi yang dapat dipahami secara lebih jelas sebagaimana pendapat dari Grootaert & Bastelaer (2002:243) yang menjelaskan bahwa modal sosial dapat berada pada level mikro, meso, maupun sosial dalam kehidupan sosial masyarakat, baik sifatnya structural misalnya kelembagaan suatu masyarakat, aturan perundangan, dan jejaring sosial yang terlembagakan maupun aspek cultural antara lain pengelolaan pemerintahan, norma dan nilai-nilai lokal.

Dilihat dari fungsinya, Woolcock (Field, 2005) menyatakan bahwa modal sosial dapat bersifat: mengikat (bonding) yaitu mampu mengikat dan menyatukan individu-individu yang ada dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat; menjembatani ( bridging) yaitu mampu mengantarkan individu-individu yang ada dalam kelompok sosial berhubungan dengan naggota-anggota kelompok sosial lainnya yang lebih besar; dan menghubungkan ( linking) yang mana menunjukkan bahwa modal sosial mampu menghubungkan suatu kelompok sosial dengan kelompok lain dan/atau kepada pihak yang berada di level atas dalam struktur hirarki tertentu. Pendidikan kewirausanaan masyarakat baik yang diselenggaran oleh pemerintah, swasta, maupun perorangan diharapkan berkontribusi pada pembentukan modal sosial yang mampu mendukung keberhasilan usaha wirausaha kelompok sasaran. Hal ini disebabkan bahwa modal sosial yang positif atau produktif mampu menjadikan pengelolaan pendidikan kewirausahaan masyarakat menjadi lebih efektif, efesien, dan bermakna. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan kewirausahaan perlu diarahkan pada pembentukan modal sosial. Pembentukan modal sosial dalam PKM dapat dilakukan pada tataran mikro, kelembagaan, dan lingkungan luas yang mempengaruhinya. Dalam setiap level atau lingkungan para pelaku atau actor baik actor yang terkait dengan usaha ( business stakeholders) maupun pelaku yang masyarakat umum (societal stakeholders) dalam pendidikan Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

146


Membentuk Modal Sosial dalam Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM)/Entoh‌

2013

ini memiliki peran penting. Pada level mikro, pendidikan kewirausahaan harus diselenggarakan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman yang memungkinkan warga belajar mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuan mengenai realitas atau dunia, melaui proses mengalami sesuatu dan merefleksikan pengalaman-pengalamannya. Warga belajar dapat merekonsialisasi pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, mungkin mengubah pengetahuan yang ada, atau mungkin menghilangkan apa yang sudah diyakini, atau menolak pengetahuan yang baru karena tidak relevan. Pembelajaran berbasis pengalaman dapat dilakukan misalnya dengan metode belajar dengan melakukan (learning by doing), belajar berbasis masalah (problem based learning), dan learning based project. Tentunya, pembelajaran secara berkelompok (kooperatif) harus dilakukan agar warga belajar dapat membangun rasa saling membantu dan mengembangkan budaya belajar dalam rangka menguasai kemampuan wirausaha. Interaksi antara pendidik dan warga belajar selama proses pembelajaran harus menjamin terjadinya proses komunikasi yang harmonis, memposisikan warga belajar sebagai individu yang memiliki keinginan untuk saling membelajarkan dan seorang pendidik perlu menghindari perilaku yang kurang memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk melakukan proses belajar yang baik, didukung dengan komunikasi yang humanis. Prinsipprinsip pendidikan orang dewasa seperti: orang dewasa memiliki pengalaman dan orientasi belajar, perlu dipahami dan diaplikasikan dalam proses pendidikan kewirausahaan masyarakat sehingga terhindar dari praktek pendidikan yang hanya berorientasi pada pemilikan pengetahuan semata. Pasca pendidikan kewirausahaan perlu dibangun suatu komunitas praktek (community of practice) yang berfungsi sebagai wahana untuk saling berbagi pengetahuan, membangun ikatan bersama sesuai dengan tujuan kelompok, dan membangun kemampuan untuk mengatasi masalah dan berhubungan dengan lingkungan luar kelompok, mengefektifkan usaha yang dikelola bersama dan berbagi sumbedaya (Holmes & Meyerhoff, 1999). Komunitas praktek bukan sebatas forum-forum untuk bertemu rutin mengurusi hal-hal teknis, namun merupakan ruang dan kesempatan kepada semua pelaku usaha yang terkait untuk mengatasi permasalahan dalam memajukan masalah usaha misalnya masalah penjualan usaha, proses produksi barang/jasa, pengembangan pasar dan pengembangan kapasitas organisasi yang dilandasi prinsip saling membelajarkan dan belajar sepanjang hidup. Kelembagaan pengelolaan pendidikan kewirausahaan idealnya dikembangkan suatu tata hubungan sosial antara pihak yang terlibat secara terbuka, transparan, dan akuntabel. Dalam pengelolaan pendidikan kewirausahaan, terjamin suatu kondisi yang menunjukkan bahwa tidak adanya perlakuan-perlakukan yang tidak adil dalam pembelajaran kesempatan belajar kepada warga belajar, tidak mengutamakan mutu, dan ketertutupan informasi kepada para pihak yang terkait. Oleh karena itu, dalam kegiatan pengelolaan pendidikan ini, pengembangan iklim organiasi/lembaga yang sehat, disertai dengan kepemimpinan yang tidak mengenal batas (borderless) dan plate harus diwujudkan sehingga semua pihak yang terlibat akan dapat membentuk rasa saling percaya dan merasa memiliki apa yang menjadi tujuan bersama dan memiliki perilaku yang positif. Dalam konteks lingkungan luas, para pihak yang terlibat dalam pendidikan kewirausahaan masyarakat, khususnya warga belajar, dituntuk untuk memiliki kemampuan bekerja sama, bersinergi dan berkoordinasi dengan para pihak yang ada di lingkungan luas. Hal ini disebabkan lingkungan luas memiliki pengaruh baik positif seperti banyak sumberdaya yang dapat dicapai, maupun pengaruh negative seperti persaingan yang tidak sehat; yang mana apabila salah melakukan tindakan antisipasi dan penyesuaian berakibat pada pencapaian tujuan pendidikan kurang optimal. Dalam hal ini, tindakan mengembangan jejaring usaha dengan para stakeholder lain yang bersifat menguatkan kegiatan usaha dan keberadaan kelompok usaha dapat dilakukan dengan dilandasi nilai saling memberi keuntungan dan kontinu. Sudah pasti, pengembangan kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi, dan memasarkan produk/lembaga kepada warga belajar menjadi suatu keharusan dalam pendidikan kewirausahaan masyarakat. Selain itu, fasilitasi yang diberikan pemerintah baik pemerintah di level lokal maupun nasional merupakan suatu hal penting yang diperlukan dalam kesukseskan pendidikan kewirausahaan yang mampu memberikan kemajukan dalam aspek sosial masyarakat, misalnya adanya pemberian kemudahan perizinan, penyediaan informasi Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

147


Membentuk Modal Sosial dalam Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM)/Entoh‌

2013

kepada kelompok wirausaha, memberikan fasilitas (pendanaan, ruang usaha, tempat) yang memadai dan memberikan kepastian kestabilan lingkungan dalam berusaha. Penutup

Pendidikan kewirausahaan masyarakat sebagai salah satu solusi memecahkan masalah masyarakat seperti pengangguran dan kemiskinan diharapkan dapat mencapai hasil yang baik, dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi kehidupan sosial masyarakat yaitu salah satunya terbentuk modal sosial yang menguatkan pengelolaan pendidikan kewirausahaan masyarakat. Terbentuknya modal sosial sosial dalam pendidikan kewirausahaan masyarakat dapat meningkatkan peningkatan produktivitas, efektivitas, dan akuntabilitasnya. Lebih jauh lagi, hal ini dapat menunjukkan suatu gambaran bahwa hasil pendidikan kewirausahaan memberikan kemampuan pengetahuan, nilai dan keterampilan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan orang dewasa yang bermakna, atau dapat mencapau efikasi hasil pendidikan. Sudah pasti, modal sosial dalam penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan masyarakat yang terjalin dan terbentuk harus didasarkan pada kesadaran obyektif dan kemampuan dari semua para stakeholder dalam mengembangkan pendidikan masyarakat. Daftar Pustaka Coleman, James S. 1990. Foundations of social theory. Cambridge: Harvard University Press. Drucker, Peter F. (1984). Innovation and entrepreneurship. California: Perfect Bound. Field, John. (2005). Social capital and life long learning. Brisboll: The Policy Press Grootaert, Christiaan, & Thierry Van Bastelaer. 2002b. ‘Introduction and Overview.’ Pp. 1-7 in The Role of Social Capital in Development, edited by Thierry Van Bastelaer. Melbourne: Cambridge University Press. Holmes, Janet & Meyerhoff, Miriam. The Community of Practice: Theories and Methodologies in Language and Gender. Language in Society, Vol. 28, No. 2, (Jun., 1999), pp. 173183. Kasmir. (2007). Kewirausahaan. Jakarta: Rajawali press. Mwasalwiba , Ernest Samwel. (2010). Entrepreneurship education: a review of its objectives, teaching methods, and impact indicators. Education + Training, Vol. 52 No. 1, 2010, pp. 20-47. Noeng Muhadjir. (2000). Ilmu pendidikan dan perubahan sosial. Yogyakarta: Rake Sarakin. Masykur Wiratmo. (1996). Pengantar kewirausahaan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

148


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo‌

2013

KETERAMPILAN KERJASAMA SEBAGAI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS MODAL SOSIAL Oleh Dr. Sujarwo, M.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY Abstrak

Seiring dengan akselerasi dinamika kehidupan manusia dalam masyarakat diperlukan instumen yang sangat bervariatif dan adaptif. Instrumen diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Berbagai kemungkinan perubahan bersifat dinamis, sehingga sulit untuk diprediksi dalam kehidupan masyarakat. Kemampuan adaptif dan antisipatif menjadi modal sosial dan modal kultural dalam mengkondisikan perubahan tersebut. Kemampuan ini diharapkan mampu menciptakan kondisi dan atmosphir pola interaksi dalam kehidupan masyarakat yang lebih harmonis dan nyaman. Persinggungan dalam kehidupan sebagai proses dinamika masyarakat yang selalu terjadi dan sering menimbulkan gesekan positif dan negatif. Untuk meminimalkan dampak negatif dari gesekan masyarakat dan mengoptimalkan dampak positif interaksi dalam kehidupan masyarakat diperlukan keterampilan bekerja sama sebagai modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Kata Kunci: kerjasama, modal Sosial, emberdayaan masyarakat Pendahuluan Manusia pada hakekatnya sebagai makhluk monodualistik yang terus berusaha meningkatkan keterbatasan dirinya, keterbatasan pikirannya dan keterbatasan tradisi yang mengikatnya, dengan menolaknya sebagai suatu fakta dan satu kenyataan (Sumaatmadja, 2000). Hakekat manusia yang demikian itu, dimungkinkan karena manusia memiliki akal budi yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan hidupnya. Oleh karena itu manusia akan selalu melakukan interaksi dan kerjasama dengan manusia lain dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Di era globalisasi dewasa ini, ada kecenderungan ketergantungan antar manusia dalam segala hal sebagai upaya untuk memperjuangkan eksistensinya. Untuk memperoleh keberhasilan dan perjuangannya keterampilan bekerjasama dengan manusia lain sangat dibutuhkan. Keterampilan kerjasama merupakan suatu aspek sosial yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Seiring dengan akselerasi dinamika kehidupan manusia dalam masyarakat diperlukan instumen yang sangat bervariatif dan adaptif. Instrumen diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Berbagai kemungkinan perubahan bersifat dinamis, sehingga sulit untuk diprediksi dalam kehidupan masyarakat. Kemampuan adaptif dan antisipatif menjadi modal sosial dan modal kultural dalam mengkondisikan perubahan tersebut. Kemampuan ini diharapkan mampu menciptakan kondisi dan atmosphir pola interaksi dalam kehidupan masyarakat yang lebih harmonis dan nyaman. Persinggungan dalam kehidupan sebagai proses dinamika masyarakat yang selalu terjadi dan sering menimbulkan gesekan positif dan negatif. Terjadinya gesekan positif akan mendorong kehidupan masyarakat yang lebih integratif dan harmonis. Masing-masing anggota masyarakat merasa nyaman dan saling percaya dalam menjalankan tugas dan perannya. Terkondisinya rasa nyaman dan saling percaya ini menjadi modal sosial dalam menjalankan fungsi dan peran kehiduapan masyarakat. Gesekan negatif sering dimunculkan melalui perasaan sentimen negatif, rasa curiga, saling tidak percaya, dan bersifat melankolis yang lain. Perasaan ini akan mendorong munculnya perilaku destruktif yang mengarah pada terciptanya kondisi masyarakat disharmonis dan disorganisasi. Kondisi masyarakat yang disharmonis dan disorganisasi yang berkepanjangan akan menimbulkan gejolak sosial (konflik) yang menimbulkan disintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang mengalami disintegrasi dalam kehidupan akan mengalami kesulitan untuk diberdayakan dalam waktu yang normatif. . .

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

149


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo‌

2013

Bebarapa Kondisi Negatif Di Masyarakat Seiring denga dampak terjadinya akselerasi masyarakat yang sangat sulit diprediksi, muncul serentetan kejadian yang sering membuat kalangan masyarakat merasa berkecil hati dan kurang percaya diri. Rasanya kata itu tepat untuk menggambarkan perilaku sejumlah oknum masyarakat. Memang oknum yang terlibat sangat tidak signifikan dengan jumlah masyarakat secara keseluruhan, label, cap negatif yang lahir tidak lagi diarahkan untuk manusia per manusia. Secara general, masyarakat kita menyebut bahwa pelaku berbagai tindak kecurangan itu adalah masyarakat. Dengan demikian, maka sesungguhnya yang tercoreng (tertuduh) adalah masyarakat itu sendiri. Serentetan kejadian ini mengindikasikan adanya degradasi moralitas di kalangan masyarakat kita, baik dikalangan masyarakat awam, birokrat maupun pendidik. Degradasi itu lahir sebagai akibat pragmatisme masyarakat. Pragmatisme dalam hal ini munculya hasrat untuk memenuhi kepentingan-kepentingan sesaat dan keinginan memperoleh prestise, meskipun sifatnya semu. Ada beberapa kondisi negatif dalam masyarakat yang sering menghambat dalam pemberdayaan masyarakat, antara lain: Pertama, gengsi pribadi dan gengsi sosial. Adanya keinginan untuk memperoleh prestise atas nama pribadi dan institusi dalam jiwa masyarakat. Masyarakat (baca; masyarakat yang terlibat dalam kasus) ingin disebut berhasil secara pribadi atau lembaga. Sesungguhnya semangat masyarakat demikian bagus, hanya saja jalan yang ditempuh sama sekali tidak bisa dibenarkan. Contoh kasus ini tercermin dari lembaga pendidikan, pendidik manipulasi nilai untuk meluluskan masyarakat ke pendidikan tinggi dan kasus pembocoran ujian nasional di sekolah. Keberhasilan meluluskan anak didik dalam jumlah yang banyak ke pendidikan tinggi bergengsi atau keberhasilan meluluskan masyarakat seratus persen dalam ujian nasional merupakan prestise bagi masyarakat sekaligus sosial. Predikat ini yang ingin diraih masyarakat, tetapi fatalnya dilakukan dengan tindakan amoral. Permasalahan ini juga tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang ingin menilai pada hasil akhir. Masyarakat kita memiliki pandangan bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu meluluskan masyarakatnya hingga seratus persem dalam Ujian Nasional atau mampu meluluskan masyarakatnya dalam jumlah yang banyak pada pendidikan tinggi bergengsi tanpa melihat proses yang terjadi di balik angka kelulusan itu. Kedua, ketakutan masyarakat memperoleh cap gagal dalam menjalankan fungsi dan peran dalam kehidupan masyarakat. Banyak pandangan dan anggapan bahwa kegagalan menjadi pukulan telak bagi masyarakat yang dapat menurunnkan fungsi dan perannya dalam masyarakat, kegagalan dinilai sebagai aib bagi masyarakat . Padahal, kegagalan tidak harus menjadi aib dan sesuatu yang ditakuti, namun dikelola menjadi kekuatan modal psikis dalam meraih keberhasilan. Keberhasilan dan kegagalan masyarakat dalam menjalankan fungsi dan peran sosial tidak hanya ditentukan faktor kepandaian, kepinteran, kekayaan, modal ekonomi dan sejenisnya, namun juga dibutuhkan kepiawaian (baca: keterampilan kerjasama) dalam menjalankan fungsi dan peran dalam kehidupan masyarakat . Dukungan dari seluruh anggota masyarakat , lingkungan, dan juga pemerintah memberikan andil terhadap keberhasilan atau kegagalan masyarakat dala menjalankan peran dan fungsinya dalam masyarakat. Ketiga, adanya tuntutan masyarakat yang dibebankan. Persoalan lain yang seringkali menghantui masyarakat adalah kegagalan memenuhi target yang dibebankan dalam menjalankan fungsi dan perannya dalam masyarakat. Misalnya, target yang ditetapkan dalam memenuhi kebutuhannya, baik untuk kepentingan pribadi, maupun masyarakat.. Sering terjadi penyelesaian target syarat dengan kepentingan. Target-target yang tidak terlepas dari kepentingan pribadi dan kelompok . Semuanya terakumulasi dan menjadi tekanan bagi masyarakat . Secara realitas kadangkala target-target seperti itu sesungguhnya sangat sulit untuk dipenuhi, tetapi ketakutan memperoleh cap gagal melahir kan pilihan berbuat curang dipilih oleh masyarakat a secara institusi, seperti ; me-mark up biaya/anggara, percepatan pembeangunan, pengurangan kualitas bahan dalam pembangunan dan berbagai bentuk kecurangan lain demi tercapainya terget. Budaya mark-up nilai yang kerap terjadi di dunia masyarakat kita dewasa ini hendaknya dipandang sebagai persoalan serius. Apalagi, melibatkan masyarakat sebagai aktor utama. Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Sosial Kepribadian (2002; 5) mengatakan bahwa profesi masyarakat diukur dari kemampuan me-mark up nilai Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

150


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo…

2013

sehingga rapor masyarakat bebas angka merah. Kenaikan kelas atau kelulusan 100 % adalah sebuah peristiwa biasa bukan sebuah prestasi. Keempat, faktor kepentingan sesaat dan ‘rayuan materi’. Kasus pungutan liar yang terjadi di sejumlah lembaga formal dan kemasyarakatan, tidak terlepas dari kepentingan sesaat sosial untuk ‘meningkatkan’ pundi-pundi keuangan pribadi. Berbagai alibi dan justifikasi digunakan untuk membenarkan tindakan, misalnya; uang pembangunan gedung, penugaran riumah, Proyek ADD, PNPM mandiri, biaya administrasi, dana bantuan sosial , BOS, tunjangan sertifikasi dan perilaku sejenis lainnya. Di balik semua itu sosial lebih banyak memanfaatkan momentum. masyarakat msikin yang berada dalam ‘posisi lemah’ karena kebutuhan memperoleh bantuan sosial dan modal dimanfaatkan untuk memberikan pemasukan bagi pemegang kebijakan. Di samping itu, masih maraknya perilaku ‘menyimpang’ masyarakat yang membantu anggota masyarakat lain dengan cara-cara haram memiliki implikasi negatif yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan intelektual masyarakat. Masyarakat yang mereka lalui ditempuh dengan cara-cara ‘haram’, maka anak akan tumbuh dengan mental yang rapuh, suka menggunakan jalan pintas, dan melakukan kecurangan untuk tujuan-tujuan dan kesuksesan sesaat. Pembentukan karakter seperti itu bisa terjadi atas dasar pengalaman yang dilalui dan diperoleh dalam menempuh masyarakat mereka. Untuk mencegah agar tindakan-tindakan serupa tidak berulang dan tidak semakin berkembang di masa yang akan datang, masyarakat harus memiliki integritas. Integritas sebagai masyarakat yang tidak terpengaruh oleh tekanan untuk membantu masyarakat dengan cara-cara yang tidak dibenarkan. Integritas yang dimiliki oleh masyarakat akan berimplikasi pula terhadap integritas masyarakat. Masyarakat akan belajar dari masyarakat lain untuk berjuang secara maksimal, tetapi tidak dengan tindakan kecurangan. Untuk itu diperlukan keterampilan kerjasama sebagai modal soisal dalam memberdayakan masyarakat. Keterampilan Kerja Sama Keterampilan bekerjasama merupakan suatu modal sosial yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan global dewasa ini, karena hampir semua perilaku yang ada di masyarakat menunjukkan adanya kerjasama dari semua lapisan masyarakat, tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, laki-laki dan perempuan, serta golongan. Masyarakat global memandang dunia ini sebagai satu kesatuan yang harus diperjuangkan secara kolektif, utuh dan sinergis. Seperti perilaku dalam: unjuk rasa menyampaikan suatu pendapat, menghargai dan menghormati ide manusia/kelompok lain, mengikuti rapat di kampung, menyampaikan kritik kepada pemerintah, mengelola dan mencegah terjadinya konflik sosial di desa, kegiatan kemasyarakatan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk pencegahan korupsi, dan sebagainya. Perilaku-perilaku sosial tersebut sesungguhnya harus senantiasa dimiliki dan dilakukan oleh setiap manusia, tidak terbatas hanya untuk manusia laki-laki saja atau perempuan saja. Pentingnya memiliki keterampilan kerjasama dalam kehidupan manusia, sejalan dengan pernyataan Johnson, Johnson & Holubec (1998), yang menyatakan bahwa sama seperti semanusia masyarakat harus mengajarkan keterampilan akademis, keterampilan kerjasama juga harus diberikan kepada masyarakat, karena tindakan ini akan bermanfaat bagi mereka untuk meningkatkan kerja kelompok, dan menentukan bagi keberhasilan hubungan sosial di masyarakat. Pentingnya seseorang masyarakat memiliki keterampilan kerjasama, masyarakat benar-benar harus belajar untuk bekerjasama menuju satu tujuan, yakni adanya pemahaman bahwa tidak ada satu manusiapun yang memiliki semua jawaban yang tepat, kecuali dengan bekerjasama. Kerjasama akan terwujud jika ada objek yang jelas, ada subjek kerjasama, tujuan yang jelas dan kongkrit, aktivitas yang jelas, adanya komitmen bersama, adanya sarana pendukung, adanya kesepakatan bersama. . Dalam bekerja sama memiliki beberapa unsur yang saling terkait, atara lain; 1) saling mengenal, pengetahuan awal, pemahaman antar anggota masyarakat untuk menjalin kerjasama sangat diperlukan sebagai modal sosial dalam menjalankan fungsi dan perannya masing-masing.. Kerjasama tidak akan terwujud jika masing-masing pihak yang kerjasama belum saling mengenal dan memahami karakter, potensi dan kontribusi yang akan diperoleh dari masing-masing pihak. 2) memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, kerjasama dapat Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

151


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo…

2013

dilakukan antar anggota masyarakat yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Dimilikinya kesamaan kepentingan dan tujuan akan memperkuat proses komunikasi dan interaksi dalam memperjuangkan ’objek atau subjek” yang disepakati untuk dilakukan bersama, 3) saling percaya, modal sosial yang sangat mendasar dalam menjalin kerjasama dengan berbagai pihak adalah adanya perasaan sailing percaya. Kepercayaan sebagai modal sosial dan psikis dalam diri seseorang dalam melaksanakan fungsi dan perannya dalam menjalin kerjasama. Tidak akan bisa terjalin secara intens dan kokoh jika tidak dimilikinya rasa saling percaya antar pihak-pihak yang menjalin akad kerjasama. 4) memiliki komitmen yang sama, kemampuan dan kemauan memperjuangkan keberhasilan akad kerjasama merupakan modal sosial strategis dan fundamental. Loyalitas, kesetiaan, tanggung jawab dalam mewujudkan keberhasilan kerjasama menjadi asset dan karakter bagi masing-masing anggota masyarakat yang menjalin kerjsama. 5) saling menguntungkan, kerjasama akan terwujud jika masing-masing pihak merasa yakin akan memperoleh keuntungan. . Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, keterampilan kerjasama merupakan aspek kepribadian yang penting, dan perlu dimiliki oleh setiap manusia dalam kehidupan sosial di masyarakat. Oleh karena itu keterampilan kerjasama khususnya dalam pembelajaran perlu mendapatkan perhatian dari manusia tua dan masyarakat untuk diberikan kepada anak semenjak usia dini, agar menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat dalam kehidupan seharihari. Keterampilan kerjasama dapat diajarkan melalui keluarga, lembaga sosial, lembaga agama, lembaga pramuka, dan lembaga sosial yang lainnya. Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat Definisi modal sosial secara sederhana menurut Fukuyama (2001: 1) adalah “ an

instantiated informal norm that promotes co-operation between two or more individuals. By this definition, trust, networks, civil society, and the like, which have been associated with social capital, are all epiphenominal, arising as a result of social capital but not constituting social capital itself”. Modal sosial memiliki peran yang sangat penting pada beberapa kelompok

masyarakat dalam berbagai aktivitas. Namun Fukuyama juga mengatakan bahwa tidak semua norma, nilai dan budaya secara bersama-sama dapat saling melengkapi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sama seperti halnya modal fisik dan modal finansial, modal sosial juga bisa menimbulkan dampak negatif. Fukuyama (2001) mengatakan bahwa modal sosial dibangun oleh kepercayaan-kepercayaan antar individu. Rasa saling percaya dibentuk dalam waktu yang tidak sebentar serta memerlukan proses-proses sosial yang berliku. Menurut Loury dalam Coleman (2009 : 415) modal sosial adalah :“kumpulan sumber yang melekat dalam relasi keluarga dan dalam organisasi sosial masyarakat dan yang bermanfaat untuk perkembangan kognitif dan sosial anak-anak atau pemuda. Sumber-sumber ini berbeda untuk manusia yang berbeda dan dapat memberikan keuntungan penting untuk perkembangan modal manusia anak-anak dan manusia dewasa”. Coleman (2009 : 438) mendefinisikan modal sosial sebagai “sumber penting bagi para individu dan dapat sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk bertindak dan kualitas kehidupan yang mereka rasakan. Lebih lanjut Coleman menggambarkan bahwa modal sosial memudahkan pencapaian tujuan yang tidak dapat dicapai tanpa keberadaannya atau dapat dicapai hanya dengan kerugian yang lebih tinggi”. Menurut Coleman modal sosial tercipta ketika relasi antara manusia-manusia mengalami perubahan sesuai dengan cara-cara yang memudahkan tindakan. Modal sosial tidak berwujud, sama seperti modal manusia. Keterampilan dan pengetahuan yang ditunjukkan oleh seseorang atau sekelompok manusia merupakan perwujudan modal manusia. Demikian pula halnya modal sosial karena diwujudkan dalam relasi di antara manusia-manusia. masyarakat. Coleman (2009) mengemukakan bahwa modal sosial ditetapkan berdasarkan fungsinya, yaitu: “modal sosial bersifat produktif, yang memungkinkan pencapaian beberapa tujuan yang tidak dapat dicapai tanpa keberadaannya. Seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak sepenuhnya dapat ditukar, tetapi dapat ditukar terkait dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Bentuk modal sosial tertentu yang bernilai untuk memudahkan beberapa tindakan kadang tidak berguna atau merugikan manusia lain. Tidak seperti bentuk modal lainnya, modal sosial melekat pada struktur relasi di antara manusia dan di kalangan manusia”. Bentuk-bentuk modal sosial menurut Coleman (2009) adalah 1) kewajiban dan ekspektasi, 2) potensi Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

152


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo‌

2013

informasi, 3) norma dan sanksi efektif, 4) relasi wewenang, 5) organisasi sosial yang dapat disesuaikan dan 6) organisasi yang disengaja. Sama halnya terhadap modal alam, modal fisik dan modal lainnya yang dapat digunakan dan dikembangkan namun sekaligus dapat terjadi pengrusakan. Lebih lanjut Coleman menyatakan modal sosial dapat diciptakan, dipelihara dan dirusak oleh konsekuensi keputusan para individu itu sendiri. Untuk memanfaatkan modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan beberapa unsur yang memperkuat perannya dalam kehidupan masyarakat. Menurut Hasbullah (2006), unsur-unsur pokok modal sosial dalam pemberdayaan mayarakat adalah: 1) partisipasi dalam suatu jaringan, 2) imbal balik ( resiprocity), 3) kepercayaan (trust), 4) norma-norma sosial, 5) nilai-nilai dan 6) tindakan yang proaktif. Masing-masing unsur tersebut secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut : a. partisipasi dalam suatu jaringan Kemampuan manusia atau individu atau anggota-anggota masyarakat untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial merupakan salah satu kunci keberhasilan untuk membangun modal sosial. Manusia mempunyai kebebasan untuk bersikap, berperilaku dan menentukan dirinya sendiri dengan kekuatan yang dimilikinya. Pada saat seseorang meleburkan diri dalam jaringan sosial dan mensinergiskan kekuatannya maka secara langsung maupun tidak, seseorang telah menambahkan kekuatan ke dalam jaringan tersebut. Sebaliknya, dengan menjadi bagian aktif dalam suatu jaringan, seseorang akan memperoleh kekuatan tambahan dari jaringan tersebut. b. Hubungan Timbal Balik (Reciprocity) Modal sosial selalu diwarnai oleh kecenderungan saling bertukar kebaikan di antara individu-individu yang menjadi bagian atau anggota jaringan. Hubungan timbal balik ini juga dapat diasumsikan sebagai saling melengkapi dan saling mendukung satu sama lain. Modal sosial tidak hanya didapati pada kelompok-kelompok masyarakat yang sudah maju atau mapan. Dalam kelompok-kelompok yang menyandang masalah sosial sekalipun, modal sosial merupakan salah satu modal yang membuat mereka menjadi kuat dan dapat melangsungkan hidupnya. c. Akumulasi Rasa Percaya (Trust) Rasa percaya adalah suatu bentuk ekspresi hati untuk mengambil resiko dalam hubunganhubungan sosial yang didasari perasaan yakin bahwa manusia lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan selalu bertindak dalam suatu pola yang saling mendukung�. Rasa percaya menjadi pilar kekuatan dalam modal sosial. Seseorang akan mau melakukan apa saja untuk manusia lain kalau ia yakin bahwa manusia tersebut akan membawanya ke arah yang lebih baik atau ke arah yang ia inginkan. Rasa percaya dapat membuat manusia bertindak sebagaimana yang diarahkan oleh manusia lain karena yang bersangkutan meyakini bahwa tindakan yang disarankan manusia lain tersebut merupakan salah satu bentuk pembuktian kepercayaan yang diberikan kepadanya. Rasa percaya tidak muncul tiba-tiba. Keyakinan pada diri seseorang atau sekelompok manusia muncul dari kondisi terus menerus yang berlangsung secara alamiah ataupun buatan (dikondisikan). Rasa percaya bisa diwariskan tetapi harus dipelihara dan dikembangkan karena rasa percaya bukan merupakan suatu hal yang absolut. d. Norma Sosial Norma-norma sosial merupakan seperangkat aturan tertulis dan tidak tertulis yang disepakati oleh anggota-anggota suatu masyarakat untuk mengontrol tingkah laku semua anggota dalam masyarakat tersebut. Norma sosial berlaku kolektif. Norma sosial dalam suatu masyarakat bisa saja sama dengan norma sosial di masyarakat lain tetapi tidak semua bentuk perwujudan atau tindakan norma sosial bisa digeneralisir. Norma sosial mempunyai konsekuensi. Ketidaktaatan terhadap norma atau perilaku yang tidak sesuai dengan normanorma yang berlaku menyebabkan seseorang dikenai sanksi. Bentuk sanksi terhadap pelanggaran norma dapat berupa tindakan (hukuman) dan bisa berupa sanksi sosial yang lebih sering ditunjukkan dalam bentuk sikap, seperti penolakan atau tidak melibatkan seseorang yang melanggar norma, untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. e. Nilai-nilai Nilai merupakan sesuatu yang diharga dalam masyarakat. Nilai adalah suatu yang diyakini dan diharga, serta dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat dan diwariskan secara turun temuru.. Nilai-nilai tersebut meliputi etos kerja (kerja keras), harmoni Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

153


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo‌

2013

(keselarasan), kompetisi dan prestasi. Selain sebagai ide, nilai-nilai juga menjadi motor penggerak bagi anggota masyarakat. Nilai-nilai kesetiakawanan sosial adalah sikap dan perilaku yang menggerakkan anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama. Nilai prestasi merupakan suatu energy dan pendorong yang menguatkan anggotanya untuk bekerja lebih keras guna mencapai hasil yang lebih optimal. f. Tindakan yang proaktif Keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk terlibat dan melakukan tindakan bagi kelompoknya adalah salah satu unsur yang penting dalam modal sosial. Tindakan yang proaktif tidak terbatas pada partisipasi dalam artian kehadiran dan menjadi bagian kelompok tetapi lebih berupa kontribusi nyata dalam berbagai bentuk. Tindakan proaktif dalam konteks modal sosial dilakukan oleh anggota tidak semata-mata untuk menambah kekayaan secara materi melainkan untuk memperkaya hubungan kekerabatan, meningkatkan intensitas kekerabatan serta mewujudkan tujuan dan harapan bersama. Keterikatan yang kuat dan saling mempengaruhi antar anggota dalam suatu masyarakat menjadi penggerak sekaligus memberi peluang kepada setiap anggota untuk bertindak proaktif. Tindakan proaktif juga dapat diartikan sebagai upaya saling membagi energi di antara anggota masyarakat. Dari beberapa paparan di atas dapat dirumuskan bahwa ada beberapa pendukung modal sosial yang dapat dijadikan fondasi dalam meraih keberhasilan kerjasama antara lain: 1) partisipasi dalam suatu jaringan, 2) imbal balik ( resiprocity), 3) kepercayaan (trust), 4) normanorma sosial, 5) nilai-nilai dan 6) tindakan yang proaktif. Masing-masing unsur tersebut secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut : Keterampilan Kerjasama Dalam Pemberdayaan Masyarakat Kerjasama merupakan sifat sosial bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak bisa dielakkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang telah berkembang maju, menempatkan kerjasama sebagai indikator keberhasilan mereka. Apabila suatu negara mempunyai hubungan kerjasama yang luas dengan banyak negara maka akan semakin mudah bagi negara dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di negara tersebut. Berbeda dengan era “pasar bebas� suatu negara akan semakin sulit mengatasi perekonomiannya karena negara tersebut kalah dalam hal persaingan perdagangan, namun era tersebut semakin ditinggalkan oleh banyak negara, karena mereka lebih suka untuk bekerjasama atau berkolaborasi dalam berbagai bidang dalam rangka menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama. Dalam bidang masyarakat muncul berbagai model pemberdayaan yang lebih menitikberatkan pada kerjasama, antara lain seperti dikemukakan oleh Hill & Hill (1993) serta Slavin (1995), pada umumnya memberikan batasan tentang pengertian kerjasama mirip satu sama lain. Kerjasama adalah bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama (Johnson & Johnson, 1991). Mengacu pada pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa suatu kerjasama adalah kumpulan/ kelompok yang terdiri dari beberapa manusia anggota yang saling membantu dan saling tergantung satu sama lain dalam melakukan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Individu-individu yang ada dalam kelompok tersebut mempunyai tanggungjawab yang sama, sehingga tujuan yang diinginkan akan bisa dicapai oleh mereka, apabila mereka saling bekerjasama. Menurut Johnson & Johnson (1991), karakteristik suatu kelompok kerjasama terlihat dari adanya lima komponen yang melekat pada program kerjasama tersebut, yakni, (1) adanya saling ketergantungan yang positif diantara individuindividu dalam kelompok tersebut untuk mencapai tujuan, (2) adanya interaksi tatap muka yang dapat meningkatkan sukses satu sama lain diantara anggota kelompok, (3) adanya akuntabilitas dan tanggungjawab personal individu, (4) adanya keterampilan komunikasi interpersonal dan kelompok kecil, dan (5) adanya keterampilan bekerja dalam kelompok. Pada umumnya masyarakat belum memahami makna kerjasama ini dengan benar, terutama bila dikaitkan dengan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan masyarakat merasa bahwa dengan telah membentuk kelompok masyarakat dalam kelompokkelompok masyarakat, telah merasa memiliki keterampilan kerjasama yang mengacu pada lima karakteristik tersebut. Suatu kerjasama dalam pemberdayaan masyarakat kemungkinan besar tidak dapat berjalan atau berlangsung dengan optimal dan mencapai tujuan kelompok kegiatan masyarakat secara maksimal tanpa didukung oleh adanya keterampilan kerjasama di antara semua anggota masyarakat. Hal ini berarti, jika setiap anggota dalam kelompok memiliki Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

154


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo‌

2013

keterampilan kerjasama yang baik, maka akan terwujud suatu suasana atau iklim kolaboratif, yang pada gilirannya akan mendorong para anggota kelompok bekerjasama secara sinergis mencapai tujuan belajar secara optimal. Keterampilan kerjasama merupakan hal penting yang paling diunggulkan dalam kehidupan masyarakat utamanya budaya demokratis, dan merupakan salah satu indikator dari lima indikator perilaku sosial, yakni tanggungjawab, peduli pada manusia lain, bersikap terbuka, dan kreativitas. Unsur tersebut sebagai modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan (empowerment) mengandung dua pengertian, yaitu (1) to give power or authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, (2) to give ability to atau to enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Secara eksplisit pengertian keduanya ini diarahkan pada upaya bagaimana menciptakan peluang untuk mengaktualisasikan keberdayaan seseorang atau anggota masyarakat dalam kehidupannya, Dalam dalap dilakukan melalui beberapa pendekatan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya yaitu sebagai berikut: 1) manajemen kolaborasi dalam konsep human capital collectivity-owned capital yang berinetaraksi dengan ekonomi dan budaya, yaitu pengelolaan para pihak aka mengatur berbagai peran dari masing-masing pihak terutama pemerintah dan masyarakat setempat untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan dengan memperhatikan kebudayaan masyarakat setempat dan penguatan modal sosial (social capital); 2) membuka jaringan (networking). Jaringan kerjasama yang dibangun akan memperkuat program-program yang akan dilakukan dala,m pemberdayaan masyarakat. Kondisi tersebut diperlukan modal sosial yang terkumpul dari sumber-sumber daya produktif dan potensial yang terhubunga dengan jaringan yang memberikan dampak secara langsung dan tidak langsung bagi penguatan masyarakat. Manfaat-manfaat langsung dari programprogram tersebut bisa dilakukan dengan membuka jaringan kepada beberapa pihak luar. Beberapa kegiatan yang akan dikembangkan dalam memperkuat jaringan tersebut seperti: ekowisata, kerjasama penelitian, program-program pengembangan masyarakat penguatan pada keberdayaan masyarakat. dan lain-lain. PENUTUP Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pemberian kekuatan kepada anggota masyarakat, baik dalam bentuk sikap, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman agar dapat berperan dalam kehidupan masyarakat. Pemberdayaan harus dilakukan oleh semua anggota masyarakat dari semua lapisan dan secara menyeluruh dan terpadu. Masalah yang dihadapi warga berkaitan erat dengan budaya kemiskinan dan melemahnya modal sosial masyarakat dalam mengemban nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Kondisi ini mempunyai pengaruh langsung yang cukup kuat terhadap pembentukan sikap dan perilaku anggota masyarakat. Agar modal sosial memiliki peran yang optimal, maka keterampilan kerjasama anggota masyarakat perlu dioptimalkan. Keterampilan kerjasama merupakan asset dan modal sosial yang dimiliki anggota masyarakat dalam membangkitkan kekuatan dalam dirinya ( self empowerment) membangun pribadi dan lingkungan sekitarnya. Modal manusia ( human capital) dapat dilihat dan diukur dari pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh seseorang modal sosial hanya dapat dirasakan dari kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian di dalamnya. DAFTAR RUJUKAN `Anderson, Jonathan R. On cooperative and competitive learning in the management classroom. Mountains Plains Journal of Business and Economics, Paedagogy. (7) 1- 10. Coleman, J.S. 2009. Social Teory, Social Research, and a Theory of Action. The American Jurnal of Sociology Coleman, J.S. 1986. Social Capital l The Creation Of Human Capital. The American Journal of Sociologi, 94 (Supplement) Fukuyama, F. 1995. Trust : The Social Virtues and The Creation of Prosperity, Free Press, New York. Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

155


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo…

2013

Fukuyama, Francis. 2001. Social Capital, Civil Society, and development, Third Word Quarterly, 22(1):7-200. Golleman, Daniel. 2005. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncsk Prestasi. ( Edisi tejemahan oleh Tri Kantjono Widodo ). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka utama. Graham, R.A. & Graham, B.L. 1997. “Cooperative Learning: The Benefit of Participatory Examinations in Principles of Marketing Classes.” Journal of Education for Business, 72, (3), 149-152. Greening, Tony.1998. Scaffolding for Success in Problem Base Learning , http://www.med-edonline.org?f0000012.htm. diakses tanggal 10 Desember 2008. Hassoubah, Z. 2004. Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan). Bandung: Yayasan Nuansa Cendia. Hill, Susan & Hill, Tim. 1993. The Collaborative Classrom: a guide co-operaative learning. Australia. Eleanor Curtain Publisshing. Johnson, D.W. & Johnson, R.T, 1988. Cooperative Learning: Two heads learn better than one. http:www.contextlorg/ICLIB/IC18/Johnson.htm. Diakses tanggal 30 April 2008. Johnson, D.W. & Johnson, R.T, & Holubec,E. 1993. Circles of learning. Edina: Interaction Book Company. Johnson, D.W. & Johnson, R.T, & Smith, Karl.A. 1998. Cooperative Learning Returns To College: WhatEvidence Is There That It Work? Change, July/August, 27-35. Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning. Boston: Allyn and Bacon. Sumaatmadja, N. 2000. Perspektif Studi Sosial. Bandung: Alumni.

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

156


Ketrampilan Kerjasama Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial/Sujarwo…

2013

DATA PENULIS 1. Restiawan Permana, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas BSI Bandung 2. Sari Narulita, SE, M.Si, Dosen STKIP PGRI Bandar Lampung 3. Dian Wahyuningsih, S.Pd, Dosen STKIP Melawi Kalimantan Barat 4. Wasitohadi, Dosen PGSD FKIP UKSW Salatiga 5. Dr. Syafruddin Wahid, M. Pd, Dosen PLS FIP UNP 6. Slameto, Dosen PGSD FKIP UKSW Salatiga 7. Meita Wulan Sari, Mahasiswa S1 Pendidikan Biologi UNY 8. Herry Yulistiyono, M.Si, Staf Pengajar FE Universitas Trunojoyo Madura 9. Dra. Irmawita, M.Si, Dosen PLS FIP UNP 10. S. Wisni Septiarti, M.Si, Dosen Jurusan PLS FIP UNY 11. Dr. Hardika, M.Pd, Dosen PLS FIP UM 12. Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A, Dosen PLS FIP UM 13. Habib Prasetyo, S.Pd, Mahasiswa S2 PLS UM 14. Widyaningsih, M.Si, Dosen PLS FIP UNY 15. Lutfi Wibawa, M.Pd, Dosen PLS FIP UNY 16. Entoh Tohani, M.Pd, Dosen PLS FIP UNY 17. Dr. Sujarwo, M.Pd, Dosen PLS FIP UNY

Seminar Nasional Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial

157


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Negeri Yogyakarta Program Pasca Sarjana & Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Luar Sekolah


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.