Fovea Magaine

Page 1

FOVEA#0 indonesian and international film culture

JALUR MEMUTAR LEMBAGA

SENSOR! € 7.oo

ISSN : 2252-8830


FOVEA#0 this 210mm x 297mm colourful space is for rent

7

SENSOR!

Shinkan Tamaki

Festival Film Cannes 2012

32

Dari A Trip To The Moon Hingga Hugo Cabret

72

....and more

arie asona - FOVEA


e d i t o r i a l

A

s extended knowledge of ‘Monty Python and the Holy Grail’ would prove you, arriving at the Gorge of Eternal Peril, you can be confronted with questions as tricky as ‘what’s the capital of Assyrya ?’ or as obvious as ‘what is your quest ?’

This first ( actually, not yet... ) issue of FOVEA is the ideal occasion to unravel the latter. Who are we and what is our quest? In short I’d say that we are gourmets, guides and knights. Not in the daily life, of course, where our activities are more akin to architecture, art, music, pedagogy and journalism, among others, but in the metaphorical sense. We’re gourmets because we like good cooks : people who can turn a few basic ingredients into something extraordinary for other’s delicate and often demanding palates. This first issue will deal with those excellent cooks that are independent filmmakers, having to deal with limited resources and confronted to high expectations. Just like your auntie preparing the best Nasi Goreng in the world. We’re guides because we’ve been travelling the ways of movies in many directions, hanging out in the dark rooms of local theatres, in the erudite spheres of the cinematheques, in the festivals for the most lucky of us, and let’s admit it, in front of our computer’s screen waiting for the torrents to be downloaded. Hours after hours. We’ve seen it almost all and we like to share it with others (No, not the torrents. The excitement ! ) Showing you the unnoticed details that make sense. You know, like those statues in ‘Angels and Demons’ ( but rest assured, we don’t live in Vatican ). We’re knights because, com’on, we’re starting a paper-only magazine in the age of internet, about independent cinema, without subventions and formal links to any film distributors. It is a work of resistance, of guerilla. Yeah. Once a masochist, always a masochist ! Or on a more positive perspective : the key to freedom, and the price to pay ! And we didn’t forget that Mr. Wayne who reminded us that : with great power comes great responsibility. Our quest : to find the Grail of course ! That movie which speaks to our heads and hearts ( admittedly, the other way around is fine as well ). That filmmalkers who will not only make you learn to make movies, but also make you learn to think. Those people who organize alternative distribution networks and viewing opportunities. Those ideas that put back the thinking in the viewing, that help discerned gold from lead. Here we stand in front of the Bridge of Death, with such unusual guild, and these were our answers. Now let’s see, eyes wide open ! the editor and its shadow

FOVEA www.foveamagazine.com contributors

SPACE FOR RENT 21CMX29,7CM IN COLOR

Amalia Sekarjati Astari Yanuarti Ekky Imanjaya Eric Sasono Gambar Selaw Gayatri Nadya Ging Ginanjar Irawaty Wardany Makbul Mubarak Miranti Hirschmann Nosa Normanda Pody Junion Sheila Rooswitha Putri Shinkan Tamaki Sylvain Dal Tobias Fischer Yuki Aditya editor in chief Asmayani Kusrini art direction | design | photography Arie Asona public relation | social media Pritta Rustandi advertising | distribution Dawina Isack

arie asona - FOVEA


head line SENSOR!

C O N T E N T S HEADLINEs Sensor p7 Sensor di Indonesia Sensor di Kamboja Wawancara dengan Mukhlis Paeni, Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia

Censorship always defeats it own purpose, for it creates, in the end, the kind of society that is incapable of exercising real discretion. Henry Steele Commager

Crowdfunding p16 Solusi Baru Filmmaking? Wawancara dengan Sammaria Simanjuntak, sutradara Demi Ucok FESTIVALs Berlinale 2012 p23 Ada Apa di Berlinale tahun ini? Wawancara dengan Edwin Wawancara dengan John Badalu Wawancara dengan Marlon Rivera Film-film Asia Tenggara Di Berlinale 65 Festival De Cannes p32 Bertaburan Kritik dan Komentar Sosial Dominasi Film-Film Amerika Lewat Djam Malam di Cannes Classics Kontroversi Filsuf Selebriti Bernard-Henri Levy Film-Film politik Para Generasi Baru FILM INDONESIA DI AWAL TAHUN p68 SHORTSHARPSHOCK p130 Film Pendek, Kenapa Tidak? DOKUMENTER p132 Wawancara dengan Ucu Agustin

LSF LINE DO NOT CROSS

LSF LINE DO NOT CROSS

LSF LINE DO NOT CROSS

LSF LINE DO NOT

TRACKING THE SOUND p118 On David Julyan’s Work with Christopher Nolan PROFILE John Cassavettes p83 George Méliès p72 Paul Agusta p140 Kamila Andini p94 FEATURE Towards A Grey World: From Apollo 13 to Apollo 18 p81 Freak Cinema: Memandang Yang (Tidak) Seadanya p78 ARTIST’s CORNER Arie Asona p120 Sheila Rooswitha Putri p146 Gambar Selaw p58 REVIEW Modus Anomali p107 The Mirror Never Lies p92 Le Havre p110 Joven Y Alocada p114 The Iron Lady p98 Cesare Deve Morire p104 We Need To Talk About Kevin p100 OBITUARI Almarhum Misbach Yusa Biran p116 On The Cover : Photograph by Arie Asona

FOVEA#0 2012 7


head line SENSOR!

head line SENSOR!

JALUR MEMUTAR LEMBAGA SENSOR

International Film festival 2012, San Fransisco, Amerika Serikat. Walaupun sudah berbekal restu LSF, diputar di berbagai festival film internasional, dan bahkan memenangkan berbagai penghargaan bergengsi di luar sana, Lovely Man rupanya tetap harus melewati ‘imigrasi film’ ketika kembali ke Indonesia. “Entah kenapa, LSF ingin mengkaji ulang Lovely Man ketika kami berniat memutarnya di bioskop nasional,” kata Teddy. Lovely Man kemudian kembali tercatat sebagai film yang akan disensor sejak tanggal 30 April 2012. Seperti yang dikhawatirkan Teddy sejak awal, LSF kemudian menyatakan keberatannya atas beberapa adegan yang dianggap terlalu brutal. “Setelah mereka menonton film Lovely Man dua kali, saya diundang untuk bertemu mereka. Mereka meminta penjelasan atas film saya dan menunjukkan beberapa adegan yang menurut mereka harusnya dihilangkan,” kisah Teddy. Dalam pertemuan itu, Teddy lalu menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud membuat film yang sensasional apalagi provokatif. “Lovely Man adalah kisah sederhana tentang hubungan seorang anak dan ayahnya yang kebetulan waria,” kata Teddy. Semua adegan-adegan yang ada dalam film itupun tidak dibuat untuk cari sensasi tapi untuk kebutuhan alur cerita.

Oleh Asmayani Kusrini

Dengan menekankan terhadap adegan-adegan yang dianggap ekstrim, diakhir pertemuan dengan LSF, Teddy diminta untuk menyensor sendiri Lovely Man. “Saya awalnya khawatir mereka akan mencabut beberapa adegan dan akhirnya akan membuat filmnya tidak masuk akal. Setelah mereka mendengarkan penjelasan saya, mereka akhirnya menonton Lovely Man untuk ketiga kalinya dan saya diminta memperhalus saja beberapa adegan,” kata Teddy. Selain itu, Lovely Man juga berubah status yang awalnya diluluskan untuk remaja diganti menjadi khusus untuk penonton dewasa. Pada 8 Mei 2012 lalu, Lovely Man akhirnya dinyatakan lulus sensor dan bisa dinikmati didalam negeri.

S

uara Teddy Soeriaatmadja terdengar riang di telepon ketika mengabarkan bahwa filmnya, Lovely Man akhirnya bisa beredar di bioskop-bioskop Indonesia. Beberapa hari sebelumnya, ia enggan berkomentar karena masih menunggu kepastian dari Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia. Tema kehidupan seorang waria yang berlatar belakang dunia malam dan sisi gelap Jakarta yang keras tentu bukan tontonan biasa bagi masyarakat Indonesia --setidaknya dihadapan lembaga sensor-- yang terbiasa dengan tontonan-tontonan eskapis. Sejak awal, Teddy sadar betul bahwa Lovely Man akan menghadapi masalah di meja sensor jika diputar di depan publik Indonesia. “Saya sudah bisa menduga sejak awal adegan-adegan apa saja yang pasti akan diprotes oleh lembaga sensor nanti. Tapi, film ini adalah proyek saya sendiri, proyek impian yang sudah lama ingin saya buat, jadi saya tidak pernah memikirkan akan lolos sensor atau tidak. Bahkan awalnya saya bilang, kalau harus disensor, mending filmnya tidak diputar di Indonesia,” kata Teddy. Karena itu, saat film ini selesai, Teddy memilih mempertontonkan Lovely Man di ranah alternatif dengan penonton terbatas, yaitu di Q! Film Festival di Perpustakaan Nasional pada 30

8 FOVEA#0 2012

photo : Shinkan Tamaki

September 2011 lalu dan menyusul diputar di Erasmus Huis di hari berikutnya. Meskipun Lovely Man kala itu menuai banyak pujian, Teddy tetap berusaha sebisa mungkin agar tidak harus melewati lembaga sensor. Tapi Teddy tidak bisa menghindar lagi ketika Lovely Man diundang Busan International Film Festival pada 2011 lalu. Syukurlah, LSF –rupanya-- punya kebijakan untuk tidak memotong film-film yang akan dibawa ke festival film di luar negeri (lihat wawancara dengan Ketua LSF). Maka Lovely Man kemudian bisa bertandang ke berbagai festival film dan bisa ditonton secara utuh diluar negeri. Setelah Busan International Film Festival, selanjutnya, Lovely Man terpilih masuk seleksi di Mumbai Film Festival, lalu diputar di Asiatica Filmmediale Rome, Bagalore Film Festival, World Film Festival Bangkok, dan banyak lagi fesival film lainnya. Lovely Man kemudian mengantarkan Donny Damara sebagai aktor terbaik Asian Film Awards 2012 dan kabar terakhir, Lovely Man dinyatakan sebagai film terbaik sekaligus menobatkan Teddy Soeriaatmadja sebagai sutradara terbaik di Tiburon

Lovely Man harus melalui jalur memutar sebelum akhirnya berdamai dengan sensor. Sayangnya, tidak semua film bisa berakhir bahagia di kantor lembaga sensor. Seperti juga Lovely Man, Prison and Paradise (Penjara dan Nirwana) sebelumnya sudah diputar di berbagai festival film internasional termasuk di Dubai International Film Festival dan Yamagata International Film Festival, salah satu festival film dokumenter paling bergengsi di dunia. Namun, Prison and Paradise, film dokumenter karya sutradara Daniel Rudi Haryanto mendapat surat penolakan tegas dari lembaga sensor pada akhir tahun 2011 lalu. Film Penjara dan Nirwana adalah film dokumenter tentang para pelaku bom Bali seperti Mukhlas, Imam Samudar dan Amrozi dan pandangan-pandangan mereka mengenai Islam dan jihad. Penjara dan Nirwana banyak menampilkan pernyataanpernyataan dari para pengebom yang mengaku tidak pernah menyesali perbuatannya dan beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan memang meupakan jalan yang dikehendaki agama Islam. LSF menganggap pernyataan-pernyataan ini sebagai propaganda yang menyesatkan. (Eric Sasono, Tentang Pelarangan “Prison and Paradise”). Penolakan LSF ini sungguh menyakitkan bagi Rudi mengingat film tersebut sudah di putar keliling ke 17 kota di Indonesia. Pemutaran di 20 kota selanjutnya terpaksa batal karena adanya surat penolakan tersebut. Selain itu, nominasinya di Festival Film Indonesia (FFI) juga dicabut. Penolakan yang tidak diduga ini membuat Rudi serba salah. Di satu sisi, ia ingin protes. Tapi

di sisi lain, ia juga khawatir akan nasib film-film selanjutnya jika ia membuat masalah dengan lembaga sensor. Menurut kritikus film Eric Sasono --yang menulis dengan cermat soal penolakan ini di blognya gemarnonton.wordpress. com--, kejadian ini mengukuhkan bahwa negara belum berhasil menghilangkan kekuatiran para pembuat film dan malah menambahinya. Diakui atau tidak, sebagai pekerja film, baik Teddy maupun Rudi –dan semua pekerja film dimana saja-- memang punya kekhawatiran kolektif terhadap lembaga sensor film. Banyak dari mereka, khususnya yang membuat film bukan dengan orientasi komersial, terang-terangan tidak ingin mendaftarkan filmnya ke LSI. Banyak pekerja film memilih lewat jalur alternatif yang juga makin marak. Pertimbangannya adalah, sebuah film wajib masuk lembaga sensor jika akan di pertontonkan secara komersil lewat jalurjalur resmi, baik itu lewat bioskop, televisi maupun DVD. Maka, untuk menghindari bentrokan dengan lembaga sensor, banyak sutradara memilih jalur lain, baik itu langsung mengirimkannya ke luar negeri, membuat pemutaran-pemutaran khusus dan terbatas maupun melalui media online. Tentu, petak umpet antara pekerja film dan LSI tidak bisa dihindari akibat tidak adanya mekanisme yang bisa dijadikan pegangan bagi para pekerja film. Eric Sasono menganggap mekanisme kerja LSF yang tidak transparan terhadap film-film yang ditolak makin mempertajam rasa saling curiga antara lembaga sensor dan pemilik karya. Alasan-alasan yang diberikan kepada pekerja film ini adalah alasan diplomatis yang biasanya dikutip dari naskah UU atau PP. Eric juga mencatat sebuah ‘lubang besar’ dalam proses kerja LSF. Berdasarkan penolakan Prison and Paradise, LSF ternyata masih bekerja mengikuti peraturan yang dibuat pada masa Orde Baru dengan niat mengendalikan muatan film. Prison and Paradise ditolak berdasarkan aturan sensor Orde Baru yaitu PP No. 6 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film. Peraturan penyensoran yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah, hingga kini belum berubah. (Eric Sasono, Tentang Pelarangan “Prison and Paradise”). Padahal, masa Orde Baru sudah 14 tahun lewat. Artinya, aturan yang digunakan sudah lewat jangka waktunya. Hal ini diakui sendiri oleh Mukhlis Paeni, ketua Lembaga Sensor Film. Berkembangnya teknologi digital yang tak terbendung memungkinkan siapa saja bisa membuat film dengan biaya murah. “Teknologi digital ini membawa revolusi besar, tidak hanya dalam mekanisme produksi film, tetapi juga dalam filosofi perfilman nasional. Laju industri perfilman dan masuknya industri digital yang begitu cepat, membuat banyak pasal-pasal dari UU Perfilman 2009 maupun PP No. 6 tahun 1994 itu tidak berfungsi dan harus diubah,” kata Mukhlis. Tentu ini menjadi tanggung jawab Direktorat Jendral Seni, Budaya, dan Film untuk membuat perubahan tersebut. “Sudah beberapa kali saya bicara dengan Dirjen Film soal ini, dan saya kira mereka sudah pahami. Kalau mereka bisa menangkap tanda-tanda perubahan teknologi, maka seharusnya mereka bisa berpikir bahwa UU ini sudah kedaluwarsa.” Jika Lembaga Sensor Film sendiri merasa gamang dengan amanat yang diembannya, bagaimana dengan mereka yang akan disensor?***

FOVEA#0 2012 9


head line SENSOR!

head line SENSOR!

Wawancara Khusus:

Mukhlis Paeni, Ketua Lembaga Sensor Film

“Layakkah film ini kamu tontonkan ke publik?”

Oleh Astari Yanuarti

Mada ini harus pula mengemban tugas sebagai Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia Akhirnya tepat di penghujung bulan April lalu, Mukhlis menerima kehadiran koresponden Majalah Fovea, Astari Yanuarti di ruangan ketua Lembaga Sensor Film, Gedung Film Lantai 7, Cawang, Jakarta Selatan. Selama 45 menit, sarjana dari Universitas Gajah Mada ini menjelaskan berbagai hal tentang mekanisme kerja LSF, Undang Undang Perfilman 2009, dan kontroversi soal penolakan atas film dokumenter Prison and Paradise karya Daniel Rudi Haryanto. Berikut ini petikannya. Bagaimana sebetulnya mekanisme kerja di LSF? photo : Astari Yanuarti

T

eknologi digital membawa revolusi besar tidak hanya dalam mekanisme produksi film, tetapi juga dalam filosofi perfilman nasional. Menurut Mukhlis Paeni, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, dengan adanya revolusi itu, maka UU Perfilman tahun 2009 maupun PP yang belum jadi hingga sekarang ini, menjadi kadaluwarsa sebelum diterapkan. Dengan kesadaran akan peraturan yang ketinggalan jaman itu, ia toh tetap menjalankan tugas sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh negara. Namun, Mukhlis lama-lama gerah juga dengan berbagai tudingan yang diarahkan kepada lembaga yang dipimpinnya ini. Tapi tidak hanya Mukhlis yang kesal. Generasi muda perfilman Indonesia juga tak kelah geramnya dengan sejumlah kebijakan yang diterapkan LSF. Maka dengan niat mencari penjelasan itulah, kami menemui Mukhlis Paeni. Mencari waktu luang Dr. Mukhlis Paeni selama dua pekan terakhir di bulan April ternyata juga tidak mudah. Sebab pemegang gelar doktor antropologi sosial dari University of Oslo, Norway ini harus bolak-balik Jakarta-Makassar. Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia ini sedang sibuk mengurus penyerahan sertifikat Memory of The World (MOW) United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) untuk karya sastra La Galigo dari Sulawesi Selatan. Pria asal Makassar inilah yang menominasikan La Galigo sebagai warisan budaya dunia sejak tahun 2008. Selain itu, Mukhlis juga masih harus menerima konsultasi dari para mahasiswa pasca sarjana dari tiga kampus tempat Mukhlis mengajar yaitu Universitas Udayana Bali, Universitas Hassanudin Makassar, dan Universitas Indonesia. Diantara kesibukannya tersebut, sarjana lulusan program sejarah Universitas Gajah

10 FOVEA#0 2012

LSF adalah lembaga pemerintah yang anggotanya dipilih berdasarkan Keputusan Presiden dan kami bekerja berdasarkan Undang Undang (UU) Perfilman Tahun 2009. Nah, dalam domain sensor, ada kriteria-kriteria sensor yang diamanatkan UU untuk dijaga dan diseleksi dalam setiap tayangan-tayangan yang akan diperlihatkan pada masyarakat. Antara lain mengenai pornografi, kekerasan, SARA, politik yang menjatuhkan wibawa pemerintah, hal-hal yang mendiskreditkan golongan dan kelompok tertentu. Karena film adalah salah satu produk yang paling cepat ditangkap oleh masyarakat, begitu dilihat, langsung masuk dalam pikiran dan sanubarinya. Jadi langsung mempunyai bekas pada orang yang menontonnya. Maka, pemerintah membentuk LSF dan membekali anggota LSF dengan peraturan pedoman penyensoran berdasarkan UU Film 2009. Walaupun Peraturan Pemerintah (PP) mengenai itu belum terbit sampai sekarang.

kementerian ini belum selesai. Mungkin dalam waktu 6 bulan terakhir ini akan bisa dilakukan lagi. 2012 itu masih dalam masa transisi dan diharapkan selesai. Disamping itu juga, dengan cepatnya masuk teknologi digital perfilman, sekarang semua orang bisa membuat film dengan gampang. Sineas muda dengan sedikit talenta pun bisa membuat film dengan murah, mungkin hanya dengan 5 juta rupiah. Nah, teknologi digital ini membawa revolusi besar tidak hanya dalam mekanisme produksi film, tetapi juga dalam filosofi perfilman nasional. Dengan adanya itu, maka saya katakan baik UU Perfilman tahun 2009 maupun PP yang belum jadi sekarang ini, menjadi kadaluarsa sebelum diterapkan. Karena banyak hal-hal yang belum dicakup di dalamnya. Laju industri perfilman dan masuknya industri digital yang begitu cepat, membuat banyak pasal-pasal dari UU itu yang langsung tidak berfungsi dan harus diubah.

Jadi aturannya, semua film untuk festival di luar negeri tidak akan dipotong, hanya diregistrasi di LSF? Iya. Tetapi harus ke LSF dan kami akan beri rekomendasi ini untuk festival. Kalau untuk diputar di dalam negeri dan diputar untuk kepentingan umum, maka kami tetap akan melakukan sensor. Dan kalau kami menemukan hal-hal yang tidak layak tonton, kami akan undang produsernya. Saya biasa bilang dari hati ke hati: layakkah film ini kamu tontonkan ke publik? Kalau festival di dalam negeri bagaimana? Bisa tidak dipotong. Tapi kalau dipertontonkan untuk kepentingan umum dan untuk menontonnya membeli karcis, maka standarnya sama seperti film lain. Yang wajib disensor LSF itu semua jenis film Pak?

Bapak sudah mengusulkan revisinya?

Iya, mulai dokumenter, film pendek, dan film panjang. Setiap tayangan yang akan dipertontonkan ke muka masyarakat itu harus melewati LSF.

Bukan urusan saya.

Untuk dokumenter, adakah tim khusus di LSF?

Urusannya Dirjen Film ya, apakah Bapak sudah sampaikan ke mereka?

Begini, di LSF itu dari 45 anggota, terdiri dari beberapa latar belakang misalnya BIN, Kepolisian, unsur agama, budayawan, orang film. Tapi tidak ada spesialiasi tim dokumenter. Untuk tiap subyek yang disensor itu, diseleksi oleh lima orang.

Sudah beberapa kali dan saya kira mereka sudah pahami. Seharusnya kalau mereka bisa menangkap tanda-tanda perubahan teknologi dan filosofi, maka seharusnya mereka bisa berpikir bahwa UU ini sudah kedaluarsa. Oya, LSF sudah punya berapa alat sensor film digital? Kita punya satu. Masih kurang 5-6 unit. Tapi mahal harganya, untuk proyektor saja 2 Miliar rupiah, belum lagi ditambah aksesoris lain. Dan anggaran pemerintah terbatas. Kalau kita mau lari cepat, seharusnya ditunjang dengan infrastruktur yang memadai. Soal dialog, apakah juga dilakukan dengan para pembuat film dari kalangan muda yang rajin mengkritik LSF? Bukan begitu. Mereka selalu menganggap LSF sebagai tukang jagal, belum ketemu dengan saya, prediksi di kepalanya adalah LSF tukang potong. Cobalah kita berdialog soal itu. Dan cobalah merasa bahwa kita punya tanggung jawab terhadap masyarakat yang akan menonton film.

Terkait dengan Prison and Paradise, kenapa hanya film ini yang dipertanyakan, sementara film Negeri di Bawah Kabut yang belum disensor bisa mejeng dan menang di festival film? Semua film yang diputar keluar negeri harus dibawa ke LSF dulu. Tidak hanya Prison and Paradise. LSF itu negara. Jadi kalau kamu keluar membawa nama negara, harus melewati pintu negaramu. Ini kan sama namanya dengan menginjak-injak institusi negaramu. Lalu mengapa ‘Negeri’ bisa diputar di berbagai festival film internasional dan ‘Prison’ juga masuk nominasi FFI 2011? Itu kesalahan dari Direktorat Film yang ada di bawah Kementerian Budpar waktu itu. Jadi kecolongan dong Pak?

Jadi PP yang digunakan masih yang tahun 1994?

Saya juga sedih kalau dikatakan LSF memasung kreativitas dan asal motong film. Tidak ada seperti itu. Mari kita dialog secara terbuka tentang karya-karya itu seperti apa.

Iya masih berlaku, selama tidak bertentangan dengan UU yang baru.

Jadi dialog dengan kelompok ini belum dilakukan?

Soal dibawa ke luar negeri, direktur film-film itu datang ke sini dan kami bilang, bawa ke sini dan akan kami sensor. Yang diantar cuma satu film saja, yang dua film tidak. Dan konyolnya yang bawa ke luar negeri itu direktorat film sendiri. Nah itu kan membuat orang bingung. Harusnya dia tahu. Saya marah waktu itu, Kalian kan tahu aturannya, kenapa kalian bawa mereka dan biayai ke LN, itu belum disensor.

Apakah ini juga yang membuat anggota LSF masih 45 orang bukan 17 orang seperti yang diamanatkan UU Film 2009?

Iya benar. Itu seperti yang terjadi dengan film apa itu yang barubaru ini dibawa ke luar negeri.....

Mekanisme seperti apa yang dilakukan supaya tidak terulang lagi?

Jumlah 45 itu masih sesuai UU lama. Karena PP belum ada maka itu masih berlangsung. Untuk menerapkan, infrastruktur belum kita persiapkan. Karena harus ada perubahan gedung, sebab masing-masing dari 17 orang itu harus punya ruangan sendiri dan peralatannya untuk memonitor kegiatan sensor itu.

Prison and Paradise ya Pak?

Mekanismenya sudah jelas, cuma masalah mutu birokrat kita saja. Teguran juga sudah saya lakukan.

Kapan PP yang baru selesai ? Sekarang ini lagi disisihkan karena mekanisme pengaturan dua

Iya itu. Waktu mau dibawa ke LN, saya katakan, tolong bawa film itu kemari mengikuti prosedur. Kita kan hidup di negara yang punya aturan. Semua film yang untuk festival tidak kita potong, itu sudah ada aturannya. Tapi karena mereka tidak mau kemari dan ketakutan kalau kita potong. Nah, itu kan prediksi mereka sendiri.

Jadi direktorat film tidak mematuhi aturan perundangan yang ada? Iya. Apakah disampaikan ke kementerian?

FOVEA#0 2012 11


head line SENSOR! Tidak. Dulu, hanya sampai ke Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film. LSF sekarang ini berkoordinasi dengan kementerian apa? Kita sekarang ada di bawah koordinasi dua menteri. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Soal protes dari KBRI di Uni Emirat Arab, apakah hal seperti ini sah? Kenapa tidak. Di KBRI ada biro sosial budaya. Mereka punya kewenangan untuk mempertanyakan. Surat lolos sensor film itu cap-nya burung garuda, berarti negara. Jadi teman-teman ini harus diketuk pintu hatinya. Kamu ini tinggal di satu negara, urusan seperti itu ada aturannya. Kalau kamu mau ikut festival di luar negeri, mintalah izin dari LSF. Satu senti pun kita tidak akan potong. Saat film dinyatakan lulus sensor atau tidak, adakah penjelasan dari LSF tentang alasannya? Kami tidak mengatakan lolos sensor. Tidak ada istilah lolos sensor. Ini pemotongan-pemotongan, dikurangi. Jadi ada sekian banyak. Kalau tidak memenuhi durasi minimal dari sebuah film, itu kan biasanya yang punya film complain, filmnya jadi tak bisa diputar. Mau nggak kamu ganti adegannya. Lah kalau nggak diganti, artinya nggak bisa tayang juga kan Pak? Memang tidak bisa tayang. Tapi istilah film tidak lolos sensor itu tidak ada. Kecuali memang ada film-film yang langsung kita tolak, seperti film-film luar negeri yang diimpor. Tapi di sini juga banyak persoalan. Tidak semudah itu. Jadi importer film itu juga bermain karena ini bisnis. Ada kenakalan yang mereka lakukan. Misalnya, dia mengimpor film karungan. Kemudian setelah dibeli, dia merasa 5 atau 6 yang dibeli itu tidak cocok untuk konsumsi orang Indonesia. Lalu mereka minta LSF untuk mengeluarkan surat penolakan. Supaya mereka bisa mendapatkan penggantian dari penjualnya. Itu kan namanya memperalat LSF. Jadi ini bisnis yang luar biasa. Bagaimana dengan film dalam negeri? Kalau itu ada kasus film yang ditayangkan adalah film yang sebelum dipotong oleh LSF. Kalau ada pelanggaran seperti itu apakah LSF punya aparat untuk memantaunya dan apa hukumannya? Kita minta untuk diturunkan dari bioskop. Kami punya sumberdaya untuk memantau penayangan film-film yang ada di lapangan. Pernah terjadi kasus di Pontianak, lalu kita minta distop. Tolong diputar yang sudah dapat izin. Ini industri yang keras sekali. Jadi seringkali banyak kesalahan ditimpakan ke LSF, padahal mereka sendiri yang melakukan kesalahan. Kalau ada keberatan terhadap hasil sensor film, mekanisme seperti apa yang dijalankan? Kita dari awal sekalipun, bahkan di UU lama, kita sudah menjalankan prinsip dialog. Kita undang para pemilik film untuk berdialog, dari hati ke hati. Apakah menurut Anda film ini layak untuk ditonton masyarakat. Bukan soal baik atau buruk,

12 FOVEA#0 2012

head line SENSOR!

tapi soal layak atau tidak. Kita mencoba menanyakan kata hati dari dia. Dari situ kita memperoleh respon: “ Iya Pak, kalau demikian saya akan mengubah adegan itu dengan adegan baru yang kita sepakati.” Pada prinsipnya kita tidak pernah menolak. Kita hanya menganjurkan untuk memotong itu, kalau perlu bisa diganti dengan adegan yang lain. Jadi, prinsip kerja LSF beda dengan apa yang diterapkan di AS dan Eropa? Begini, ada satu hal prinsip yang perlu diketahui yaitu ketika Hollywood atau sineas luar memproduksi karya film, itu satu karya seni budaya yang lahir dari inovasi otak si pencipta. Dia hanya dituntut untuk bagaimana menciptakan dan menghasilkan inovasi kreatif tanpa ada beban apa-apa terhadap dampak film itu pada kehidupan masyarakat. Mereka pada umumnya, terutama AS, tidak dibebani oleh tanggung jawab reservasi, pelestarian nilai-nilai, untuk menjaga masalahmasalah yang menyangkut SARA. Nah kita, tidak bisa seperti itu. Sineas kita juga dituntut untuk berkreasi, tetapi dia juga dituntut pertanggungjawaban terhadap nilai-nilai apa yang harus dia transferkan pada masyarakat setelah dia menonton film itu. Iya kan? Karena kita menganggap itu bukan hanya tontonan belaka, tapi dia juga harus punya nilai plus menjadi tuntunan setelah orang itu menonton. Karena itu kita punya kewajiban terhadap kreativitas itu berbeda dengan orang luar (Barat). Kita punya tanggung jawab terhadap kreativitas, kita punya aturan terhadap apa yang kita ciptakan. Kalau masyarakat kita sudah seperti masyarakat AS yang bisa melakukan self censorship, dan menangkap makna film yang mereka tonton secara intelektual dengan standar pendidikan yang sudah dipunyai mereka, maka itu mungkin. Tapi sekarang ini belum mungkin. Suatu saat mungkin kita mengarah ke sana.

Bradley Cox

SENSOR DI KAMBOJA

Maksudnya bapak meragukan daya nalar penonton kita? Iya. Saya tidak menafikan suatu saat kita akan mengarah ke self sensorship. Bahwa masyarakat suatu saat sudah bisa memilah mana yang layak tonton mana yang tidak. Tapi saat ini masyarakat kita belum sampai pada kesadaran untuk memilah itu. Kita ini sangat pluralis, dari masyarakat yang hidup di dunia digital internet sampai masyarakat yang masih berkebudayaan batu. Kita sedang dalam proses menuju ke arah itu. Saya tidak bisa memprediksi kapan, karena itu tidak hanya menyangkut LSF, tapi menyangkut pendidikan publik dan bagaimana sistem pendidikan kita bisa menghasilkan manusiamanusia yang bisa memilah informasi yang ditontonnya. Sekarang sudah jarang negara yang masih menerapkan sensor seperti di Indonesia? Masih ada. Kalau Anda lihat di Malaysia saja, memang di sana sensor sudah sangat longgar, tapi Malaysia punya peraturan yang ketat mengenai penapisan film, lembaga penapis film. Anggotanya 72 orang. Dan lembaga sensor film di sana punya tangan untuk melakukan sweeping ke kedai-kedai penjual dvd/ vcd segala macam dan dia mempunyai polisi untuk menanggap itu. Kita tak punya, karena itu menjadi wewenang kepolisian RI. Di Malaysia mana ada bajakan seperti yang kita temui di Indonesia.***

P

Oleh Asmayani Kusrini

agi itu, 22 Januari 2004. Bradley Cox sedang bersiap memulai hari dikediamannya, di pusat kota Phnom Phen, Kamboja. Tiba-tiba kesibukan diluar rumahnya berubah ketika terdengar tembakan dari arah yang tak jauh. Orang-orang berlarian panik, tapi kemudian berlari menuju satu tempat. Bradley Cox yang lebih suka dipanggil Bradley ini lalu mengikuti arus, berlari keluar rumahnya menuju kerumunan orang. Ditengah kerumunan itu, tergeletak Chea Vichea, pemimpin serikat buruh perdagangan bebas di Kamboja. Dengan kamera ditangan, Cox langsung merekam suasana mencekam tersebut sepuluh menit sebelum polisi datang. Menurut keterangan para saksi, dua orang berkendaraan motor tiba-tiba saja datang mendekat dan langsung mengarahkan senjata ke dada Chea Vichea. Ketua partai serikat buruh yang terkenal sangat aktif menyerukan hak-hak buruh inipun tak tertolong. Darah merembes keluar dan menodai kemeja putih Vichea. Saat polisi tiba, mereka ingin segera mengangkut tubuh Vichea dengan harapan peristiwa itu tidak sampai terekam oleh media. Mereka salah sangka. “Setelah merekam peristiwa tersebut, saya menghabiskan hari itu dan hari-hari selanjutnya untuk mendokumentasikan prosesi pemakaman Vichea,” kata

Cox. Setelah pembunuhan, tak ada upaya sedikitpun dari pemerintah untuk menyelidiki kasus tersebut. Namun, tekanan internasional membuat polisi akhirnya terpaksa menangkap dua orang yang dianggap bertanggung jawab. Tewasnya Chea Vichea ditengah kerumunan orang banyak membawa dampak yang besar bagi Cox. Beberapa bulan sebelumnya, Cox melakukan interview dengan Vichea. Saat itu, Cox sedang mendokumentasikan jalannya pemilihan umum di Kamboja tahun 2003. Pemilihan umum yang bagi Cox seperti ‘wild west’ dimana siapapun bisa menjatuhkan lawan dengan cara apapun. Sepuluh tahun sebelumnya, Kamboja pernah mencoba melakukan pemilihan umum, dan tercatat, terjadi kurang lebih 400 pembunuhan berkaitan dengan politik. Pemilihan umum di tahun 2003 itu terbukti memakan waktu cukup lama. “Tugas saya meliput pemilihan umum itu diperkirakan hanya 6 bulan, tapi akhirnya memakan waktu hingga satu setengah tahun,” kata Cox kepada Fovea. Saat itu, dua pihak yang berlaga tidak mau menyetujui kesepakatan koalisi. Sepanjang satu setengah tahun itu, kedua belah pihak saling menawar, berdebat dan saling mengintimidasi satu sama lain.

FOVEA#0 2012 13


head line SENSOR!

Sebagai pemimpin serikat buruh, Chea ingin agar pemilihan umum itu dibuat transparan, terbuka dan sejujur mungkin. Chea mengeluarkan pernyataan akan mengadakan demonstrasi besar-besaran jika tuntutannya tidak terpenuhi. Setelah mengeluarkan pernyataan tersebut, Chea tiba-tiba mendapat ancaman pembunuhan. Seorang petugas polisi memberi informasi bahwa ancaman itu datang dari pejabat tingkat tinggi di pemerintahan. Si Polisi juga menganjurkan Chea untuk keluar dari Kamboja karena tidak ada yang akan bisa melindunginya jika tetap bertahan di dalam negeri itu. Chea menolak dengan tegas. Siapapun yang mengirim ancaman tersebut tentu gerah, karena Chea tidak main-main. “Chea adalah orang yang bisa menggerakkan ratusan ribu orang di Kamboja karena ia terkenal dikalangan buruh dan sangat dihormati dikalangan yang lebih luas. Saya menduga, mereka ingin Chea keluar dari Kamboja agar demonstrasi itu tidak terjadi,” kisah Cox. “Saat itulah saya bertemu Chea.” Cox mewawancarai Chea sesaat setelah menerima ancaman pembunuhan. “Chea nampaknya pasrah pada kenyataan bahwa mereka akan membunuhnya, tapi ia tidak mau meninggalkan negerinya dan juga tidak mau mengecewakan ratusan ribu anggota serikat buruh. Chea menolak untuk di intimidasi,” kata Cox. Berkali-kali Cox menemui Chea, berbincang tentang situasi politik Kamboja untuk kepentingan dokumenter Pemilihan Umum Kamboja 2003.

14 FOVEA#0 2012

“Saya punya banyak sekali rekaman video tentang Vichea dan aktivitasnya. Begitu banyak orang tewas di Kamboja karena berani berbicara terbuka dan dengan mudahnya mereka terlupakan. Karena saya satu-satunya yang memiliki dokumentasi video ini, maka saya merasa wajib untuk membuat film tentang Vichea sehingga masyarakat Kamboja tidak akan melupakan perjuangannya dan warisan semangatnya akan terus hidup hingga 20 atau 50 tahun kedepan.”

head line SENSOR!

Nations Association International Film Festival. Who Killed Chea Vichea? masuk dalam daftar Top Ten Movies That Matter dari Amnesty International. Berbagai penghargaan juga diterima antara lain Special Jury Prize: Reportage and Investigation dari International Human Rights Film Festival Paris, Grand Prize dari Philadelphia Independent Film Festival, dan yang terakhir, April 2012 lalu, menerima penghargaan prestisius George Foster Peabody Award, salah satu penghargaan tertua terhadap media di Amerika yang setiap tahun memberikan penghargaan terhadap karya-karya terbaik untuk layanan publik di Radio, TV dan Media baru.

Selain memiliki video eksklusif tentang Vichea, Cox juga merasa sudah saatnya orang membuat film tentang iklim politik, penindasan, intimidasi, korupsi dan impunitas yang berlangsung setiap hari di Kamboja. Maka, Cox kemudian melakukan investigasi sendiri terhadap kasus pembunuhan Vichea. Ia tidak hanya mewawancarai orang-orang yang dekat dengan Vichea, tapi juga pihak pemerintah, polisi, hingga dua orang yang dituduh (dan mengaku) melakukan pembunuhan tersebut. Cox mengungkap banyak fakta yang mengesahkan kecurigaan bahwa kedua orang pesakitan tersebut hanyalah kambing hitam.

Dengan segala penghargaan dan pengakuan dunia terhadap film tersebut, Who Killed Chea Vichea? tidak pernah bisa diputar secara legal di Kamboja. Film dokumenter berdurasi 58 menit ini ditolak oleh badan sensor di Kamboja. Film yang rencananya diputar untuk publik Kamboja pada hari buruh 1 Mei 2010 waktu itu gagal saat polisi datang mengobrak-abrik peralatan dan tempat pemutaran film tersebut.

Hasil penyelidikan Cox selama kurang lebih 6 tahun ini akhirnya menjadi film dokumenter berjudul Who Killed Chea Vichea?, sebuah dokumenter tentang sistem pemerintahan yang korup dan impunitas yang memungkinkan pembunuhan terhadap orang-orang seperti Vichea. Who Killed Chea Vichea? diputar di lebih dari 20 festival internasional sejak tahun 2010, mulai dari International Documentary Festival Amsterdam hingga United

Aksi polisi tersebut dianggap sah oleh pejabat setempat, karena film Who Killed Chea Vichea? adalah film yang diproduksi dan diimpor secara ilegal. Dari salah satu artikel yang ditulis media setempat, Tith Sothea, juru bicara pers di pemerintahan Kamboja mengatakan bahwa pemerintah memiliki hak untuk memblokir pemutaran film tersebut dimanapun. Sementara Kementerian Seni Budaya Kamboja mengeluarkan pernyataan

bahwa semua film yang akan ditayangkan di Kamboja harus mendapat persetujuan dari badan sensor film. Karena dianggap film asing, Who Killed Chea Vichea? harus mengikuti aturan main, yaitu film ini harus dibawa masuk oleh perusahaan Kamboja yang memiliki hak untuk membawa film asing masuk ke Kamboja. Padahal, menurut Ou Virak, kepala Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja, selama ini pemutaran film secara berkala didepan publik tidak pernah meminta ijin dari Kementerian Seni Budaya. Ou Virak memberi contoh pemutaran film asing di Foreign Correspondents Club Cambodia dan Pusat Kebudayaan Perancis. Belum lagi DVD bajakan yang tak terhitung jumlahnya yang dijual secara terbuka di pasar umum Phnom Penh. Dan para penguasa di Kamboja juga tidak sadar bahwa teknologi berkembang cepat melampaui batas-batas peraturan pemerintah. Mereka bisa saja menghancurkan setiap usaha pemutaran film tersebut, tapi pemerintah tidak bisa menghadang penyebarannya di dunia maya. Setelah berkalikali gagal memutar film ini di ruang publik, akhirnya Bradley Cox mengalihkan venue ke ruang publik dunia maya. Sekarang Who Killed Chea Vichea? bisa ditonton dalam bahasa aslinya di situs video online, Youtube. Dengan mekanisme penyiaran film seperti ini, apakah sensor masih punya kuasa? ***

FOVEA#0 2012 15


head line

crowdfunding

CROWDFUNDING SOLUSI BARU FILMMAKING ? Ide besar, kerja keras dan jaringan yang luas ternyata tidak cukup jadi jaminan untuk mewujudkan sebuah ide. Maka crowdfunding hadir sebagai alternatif. Metode baru pendanaan secara massal lewat jaringan sosial dunia maya. Situs penyedia jasa layanan crowdfunding kian menjamur. Tapi di Indonesia, pendanaan kolaboratif yang melibatkan teknologi internet masih menjadi kendala. Oleh Asmayani Kusrini “Gue ceritain dari Sons Of Adam dulu ya,” kata Athpal Paturusi, seorang sutradara muda yang selama ini lebih banyak membuat video musik. Beberapa kali, ia pernah membuat skenario film pendek, diantaranya berjudul Sarman, adaptasi cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma. Sayang nya, film itu belum sempat di produksi. Tapi Athpal rupanya tidak pernah kehilangan semangat. Athpal menjelaskan, Sons Of Adam adalah film fiksi pendek yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, alias mahal. “Gue bikin skenario tentang konflik etnis di Indonesia. Setelah dihitung-hitung dengan standar normal, jika semua orang yang bekerja dibayar selayaknya dengan menggunakan peralatan yang juga memadai, tercapailah angka yang fantastis untuk sebuah film pendek, diatas 100 juta rupiah...wew hahaha !”. Athpal sadar, di Indonesia, jumlah itu akan membuat calon produser tercengang-cengang. Apalagi untuk sebuah produksi film pendek. Tapi Athpal bersama timnya tidak kehilangan semangat. “Kami mikirnya, kalau sudah kebutuhan duitnya segitu untuk menunjang sisi kreatif dan artistik produksi film, ya kenapa nggak? Kami nggak takut untuk dicemooh orang yang akan bilang kalau itu adalah mimpi. Yang jelas, kami berusaha untuk tidak membatasi ide kreatif di awal produksi, terlepas nanti akan ada penyesuaian bujet, itu masalah nanti,” katanya. Memproduksi Sons Of Adam akhirnya memang harus disiasati. “Sampai saat ini, gue belum ketemu investor yang mau mendanai. Lagipula, di Indonesia, susah banget dan jarang ada yang mau. Atau mungkin aja, gue yang nggak tau. Kami sudah membuat proposal tertulis untuk calon donatur atau sponsor, tapi kami nggak bisa berharap banyak.” Athpal kemudian memilih jalur crowdfunding untuk mendanai Sons Of Adam.

16 FOVEA#0 2012

Pada 16 April lalu, Sons Of Adam resmi diunduh ke indiegogo.com, salah satu situs yang mewadahi crowdfunding. Indiegogo dipilih sebagai tempat berkampanye karena persoalan administrasi. “Kami sudah mengirim proposal juga ke situs crowdfunding lokal, wujudkan.com, tapi sampai saat ini belum ada tanggapan. Akhirnya kami memilih indiegogo, karena disitus itu menerima proyek apa saja, tanpa seleksi lebih dulu. Gue rasa lebih fair,” kata Athpal. Menurutnya, persiapan untuk berkampanye mengumpulkan dana via indiegogo juga tidak rumit, selain itu ada pilihan yang cukup memudahkan bagi pemilik proyek. Di indiegogo misalnya pemilik proyek bisa memilih antara fixed funding atau flexible funding. Fixed funding adalah sistem yang umum digunakan di situs crowdfunding, yaitu ada target dana yang harus dicapai. Jika target dana tidak tercapai di periode waktu yang sudah ditentukan, maka, setiap sumbangan dikembalikan ke para penyumbang. Sistem fixed funding juga digunakan oleh situs lokal di Indonesia seperti wujudkan.com. Sementara flexible funding, sesuai dengan namanya, lebih lentur soal pencairan dana. “Walaupun kami tidak mencapai target, kami tetap bisa menerima duit yang sudah terkumpul,” kata Athpal. “Di Indiegogo juga ada dua cara pembayaran. Transfer atau paypal. Gue pilih paypal. Keistimewaan paypal, duit sewaktu-waktu bisa ditarik jika ada kebutuhan produk, nggak harus menunggu hingga masa kampanye selesai.” Yang cukup menyita pikiran, menurut Athpal, justru menentukan perks, atau imbalan bagi para penyumbang. “Karena Sons Of Adam ini adalah film pendek yang pasti akan sulit diputar di bioskop, salah satu hal yang kami janjikan adalah pemutaran spesial bagi para penyumbang yang menyumbang dengan target dana tertentu. Selain itu ada merchandise dan DVD.”

head line

crowdfunding

Selain Sons Of Adam, Athpal dan timnya dari Mutumata Production House juga akan berkampanye untuk proyek film omnibus mereka berjudul Parade Patah Hati. “Di Parade Patah Hati, gue bertindak sebagai produser, dan gue punya target, film ini tayang di bioskop seperti Blitz dan 21 yang sudah menggunakan sistem digital. Sebenarnya, untuk ukuran film yang akan tayang di bioskop, Parade Patah Hati berbujet murah. Segala cara gue coba, lewat investor, sponsor dan juga berkampanye di Indiegogo. Mudah-mudahan ada jalan terang untuk proyek-proyek ini,” begitu harapan Athpal.

kan sebelum filmnya selesai.”

Sons Of Adam menjadi proyek film kedua dari Indonesia yang menggunakan jasa Indiegogo, situs crowdfunding yang berbasis di San Fransisco, California itu. Sebelumnya, film Children Of Srikandi, sebuah antologi karya dari beberapa pembuat film Indonesia sukses mengumpulkan dana di indiegogo.com untuk menyelesaikan tahap akhir produksi film tersebut.

BERAWAL DARI USAHA YANG GAGAL

Dengan alasan yang sama dengan Athpal, Laura Coppens, produser Children Of Srikandi juga memilih indiegogo untuk mengumpulkan dana pada tahap post-production film tersebut. “Situs Kickstarter membutuhkan rekening bank di Amerika, sementara kami tidak punya rekening disana. Selain itu, di Indiegogo, kami tetap bisa memiliki dana yang terkumpul walaupun tidak memenuhi target. Karena kami baru pertama kali melakukan kampanye seperti ini, kami memilih jalur aman, ya di Indiegogo,” jelas laura. Film Children Of Srikandi memulai crowdfunding di tahap post-production karena menurut mereka, fase ini adalah tahap yang paling mahal dan paling sulit. “Saat memulai proses ini, crowdfunding jadi satu-satunya cara mengumpulkan dana untuk proses sound-design dan colour-grading. Dua tahap ini harus melalui proses rumit menyangkut teknologi dan pengetahuan yang tidak kami miliki,” kata Laura. Laura mengakui mudahnya menggunakan crowdfunding platform, tapi juga menyita banyak waktu. “Kami harus aktif menganjurkan untuk mendukung proyek kami. Kami harus mengirim email ke semua orang, sebanyak mungkin ke orang-orang yang menurut kami mungkin tertarik dengan proyek film seperti ini. Kami juga harus aktif menggunakan media sosial seperti Facebook atau Twitter untuk menyebarkan kampanye ini.” Selain itu, persiapan berkampanye juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit, misalnya memproduksi video pendek untuk menjelaskan tentang proyek tersebut, menulis teks, membuat daftar siapa-siapa saja yang mungkin tertarik. Tidak hanya tahap persiapan kampanye, waktu juga akan banyak dihabiskan setelah kampanye tersebut berakhir. “Kami harus mengirim imbalan yang dijanjikan kesemua orang, dan tentu saja terus mengirimkan informasi terkait dengan proyek tersebut.” Namun, Laura berpendapat, crowdfunding adalah sistem terbaik yang bisa digunakan khususnya bagi para pembuat film independen karena memungkinkan untuk memproduksi film sesuai keinginan si pembuatnya. “Crowdfunding sangat berguna khususnya untuk film pendek dan film dokumenter. Cara ini membuka banyak kemungkinan baru, mendemokratisasi pembuatan film lebih jauh. Penonton potensial sekaligus menjadi produser. Dengan merasa menjadi bagian dari proyek ini, mereka juga akan menyebarkannya ke orang lain sehingga film ini sudah mempunyai penonton sendiri bah-

Film Children Of Srikandi akhirnya berhasil mengumpulkan dana yang diharapkan, tidak hanya karena kegigihan tim mereka berkampanye, tapi juga hasil dari penyebaran informasi berantai lewat sosial media. Children Of Srikandi kemudian di putar di kategori Panorama, di Berlinale tahun ini, dan selanjutnya akan berkeliling ke berbagai universitas dan pemutaran-pemutaran khusus di pusat-pusat kebudayaan.

Mungkin anda sudah pernah mendengar kisah ini: ayah Slava Rubin meninggal karena kanker sumsum tulang. Sepeninggal sang ayah, Rubin kemudian berusaha mengumpulkan dana untuk membiayai penelitian tentang kanker sumsum tulang yang dianggapnya sangat penting. Segala upaya dilakukan untuk mewujudkan pusat penelitian kanker tersebut. Usaha itu gagal. Suatu hari di tahun 2007, Rubin bertemu dengan dua sahabat masa kuliahnya di universitas, Danae Ringelmann dan Eric Schell. Saat itu Danae Ringelmann sedang sibuk bekerja dengan para sutradara di berbagai proyek film independen, sementara Eric Schell aktif mengelola sebuah teater. Mereka bertiga lantas berbagi pengalaman tentang betapa sulitnya mengumpulkan uang untuk membiayai proyek-proyek kreatif. Ide besar, kerja keras dan jaringan yang luas ternyata tidak cukup jadi jaminan untuk mewujudkan sebuah ide. Maka mereka bertiga pun mendirikan situs Indiegogo, sebuah situs crowdfunding yang awalnya dikhususkan untuk proyek-proyek film independen. “Kami merasa, pendanaan dalam bidang film masih kurang diperhatikan dan paling terbelakang dalam memanfaatkan fasilitas di dunia maya,” kira-kira begitu kata Slave Rubin dalam sebuah interview di situs FilmThreat.com. Karena itu, Indiegogo diresmikan di Sundance Film Festival pada 2008 lalu karena target market yang dianggap sama dengan festival film tersebut. Barulah pada Desember 2009, Indiegogo membuka peluang untuk proyek di ranah kreatif lainnya. Sejak itu, ide apapun yang membutuhkan dana bisa dikampanyekan lewat situs Indiegogo. Peran situs jasa layanan crowdfunding ini sebetulnya sederhana. Pada dasarnya, situs-situs ini menawarkan jasa layanan tempat berkampanye sekaligus sebagai perantara dalam penyaluran dana hasil kampanye. Situs crowdfunding ini juga menyediakan infrastruktur teknis dan berbagai fasilitas yang memudahkan para pengguna jasanya untuk berkampanye, seperti akses ke berbagai sosial media, akses ke perangkat dunia maya seperti Youtube dan layanan pembayaran yang terjamin aman. Personalisasi pendanaan dan keuangan menjadi produk dari pola pikir baru yang mulai jadi budaya sejak maraknya jaringan sosial di dunia maya. Tidak perlu menunggu terlalu lama, terbukti jasa layanan pendanaan massal ini langsung disambut dengan senang hati oleh para pencetus ide yang merasa ide mereka patut diwujudkan. Sejak diluncurkannya, hingga saat ini, Indiegogo sudah menampung lebih dari 9000 proyek yang berasal dari 134 negara dari berbagai belahan dunia. Ratusan kisah sukses pengumpulan dana untuk membuat film, mulai dari film untuk tugas akhir, film pendek, dokumenter hingga film panjang, marak diberbagai situs crowdfunding. Salah satu-

FOVEA#0 2012 17


head line

crowdfunding

nya, tentu saja Children Of Srikandi yang disutradarai oleh 7 sutradara muda asal Indonesia. Tentu saja, Indiegogo bukan satu-satunya pemain dalam penyediaan jasa layanan crowdfunding ini. Yang paling terdepan dalam layanan ini selain Indiegogo, tentu saja Kickstarter yang diluncurkan pada 2009 lalu. Tidak seperti Indiegogo yang awalnya mengkhususkan jasa layanan untuk proyek film independen, Kickstarter sejak awal langsung membuka peluang terhadap proyek kreatif apapun, mulai dari musik, fashion, komik, hingga makanan. Selain Indiegogo dan Kickstarter, juga ada ArtistShare, Pledgemusic, Spot.Us, RocketHub, Fondomat dan banyak lagi yang lainnya. Dan tren ini akhirnya sampai juga di Indonesia. KERAGUAN AKAN PENDANAAN MASSAL DI INDONESIA Indonesia pun tidak mau ketinggalan mengikuti perkembangan jasa layanan crowdfunding di dunia maya ini. Dua situs jasa pendanaan massa lokal muncul dimulai oleh situs Patungan.org ditahun 2011, lalu menyusul Wujudkan.com diawal tahun 2012. Sayangnya, hanya wujudkan.com yang terlihat aktif bergiat dengan beberapa proyek kreatif, sementara patungan.org hingga saat artikel ini ditulis belum menunjukkan aktivitas apapun. Bisa jadi, ini menyangkut kredibilitas. Patungan.org tidak menyediakan informasi apapun soal siapa saja yang berada dibalik situs tersebut, juga tidak ada nomor kontak yang bisa dihubungi. Praktis, komunikasi hanya berjalan satu arah. Setiap peminat harus mengisi formulir dulu sebelum bisa berkomunikasi dengan orang-orang dibalik Patungan.org. Sementara Wujudkan.com digarap lebih serius dan lebih transparan dengan mencantumkan nama pendiri serta pengurus situs tersebut lengkap dengan nomor telepon yang bisa dihubungi. Ini terlihat sepele, tapi menjadi penting di Indonesia, yang meskipun menjadi salah satu negara yang penduduknya termasuk paling aktif di dunia maya, tapi belum terbiasa dengan pendanaan kolaboratif via internet. Kalau di luar negeri, crowdfunding adalah solusi bagi para pembuat film independen dan pemula, maka di Indonesia, sutradara mapan tetap merasa harus melakukan kampanye ini karena proyek film yang dianggap tidak terlalu menarik bagi investor. Produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza menggunakan jasa wujudkan.com untuk mengumpulkan dana proyek film Atambua 39° Celcius. Menurut video kampanye proyek ini di wujudkan.com, Atambua 39° Celcius adalah film yang menggunakan aktor lokal dan hampir sepenuhnya berbahasa Tetun dan Porto, bahasa asli orang Timor. “Ini bukan film yang mudah untuk saya presentasikan ke para investor bisnis, tapi kami merasa perlu memotret sepenggal kehidupan di Timur Indonesia yang kerap terlupakan,” begitu tulis produser Mira Lesmana.

crowdfunding

“CROWDFUNDING IS THE ANTITHESIS OF SOCIAL MEDIA”

belum biasa kita lakukan. Masih banyak sekali orang yang belum terbiasa membayar segala sesuatu dengan kartu kredit, termasuk gue. Jadi kayaknya masih susah kalau diterapkan di Indonesia,” kata John. Karena itu, ketika diminta menjadi produser untuk film Parts Of the Heart karya Paul Agusta, John memilih untuk menggunakan cara konvensional. “Waktu jadi produsernya Paul, gue sama sekali tidak berpikir untuk crowdfunding, karena gue yakin bisa dapat beberapa orang yang punya potensi untuk mau membiayai.” Selain itu, menurut John, walaupun crowdfunding ide yang menarik dan bisa jadi alternatif pendanaan film-film independen, tapi imbalan kepada para donatur masih sangat tidak nyata. “Biasanya kan kalau crowdfunding imbalannya cuma nama dicantumkan di credit title aja, dan orang Indonesia jarang yang mau tinggal didalam bioskop sampai credit title habis.” Meskipun terlihat menjanjikan solusi dana, beberapa pembuat film mengaku masih ragu-ragu dengan efektivitas crowdfunding. Ucu Agustin, misalnya menganggap crowdfunding memungkinkan suatu produk didukung oleh komunitas dan karena itu harus di pertanggungjawabkan. “Tapi, aku nggak ngerti pertanggungjawabannya bagaimana. Ketika orang menyumbang, harusnya filmnya jadi. Nah bagaimana kalau tidak? Atau dapat bujet tapi kurang?. Apakah si pemilik proyek perlu membuat laporan ke penyumbang ketika filmnya tidak jadi atau uangnya dikembalikan?.” Bagi sutradara dokumenter Death In Jakarta ini, pendanaan massal harus dipikirkan dengan lebih matang dengan pertanggung jawaban yang juga massal. “Prinsipnya, untuk bisa dipercayai oleh grass root, massa, kita harus transparan. Kalau tidak, nanti ada satu yang korupsi atau ada yang tidak transparan, itu akan menghancurkan yang lain. Orang bisa ngomong jelek ke yang lain dan akhirnya menghancurkan proyek itu sendiri.”

Target proyek ini sebesar Rp. 300 juta rupiah yang akan berakhir pada 31 Mei 2012 mendatang. Hingga saat ini, Atambua 39° Celcius baru mengumpulkan kurang lebih 23% dari target dana tersebut. Nama besar Mira Lesmana dan Riri Riza ternyata tidak cukup jadi jaminan proyek ini akan mendapatkan dana dengan cepat.

Kuntz Agus, sutradara yang baru saja merilis film #republiktwitter ini sedang menyiapkan dua proyek film yang saat ini belum jelas secara finansial. Meskipun butuh dana, Kuntz mengaku belum yakin akan menggunakan metode pendanaan massal. “Pengen sih nyobain crowdfunding, tapi mikir lagi, beban moralnya bakalan berlipat,” kata Kuntz. Seperti Ucu, Kuntz juga masih belum bisa melihat bagaimana pertanggung jawaban kepada pendonor jika melakukan kampanye pengumpulan dana. “Penonton berbayar saja sudah pusing melayani maunya gimana, apalagi melayani ratusan produser.”

Menurut John Badalu, direktur Q! Film Festival, crowdfunding jadi trend di Amerika, maka bisa jadi trend juga di Indonesia, karena memang Indonesia selalu mengacu kepada Amerika. “Masalahnya, sistem dan proses crowdfunding ini

Kuntz Agus berpendapat, sebuah proyek bisa mendapatkan dana tergantung dari kepercayaan diri dengan pembuktian lewat karya. Dengan karya yang baik, Kuntz percaya proyekproyek film selanjutnya akan lebih mudah.***

18 FOVEA#0 2012

head line

WAWANCARA: Sammaria Simanjuntak Sutradara film cin(T)a dan Demi Ucok Photos Courtesy tim Demi Ucok

“I will make history,” kata Sammaria Simanjuntak. Tidak. Dia tidak gila. Ia lulusan arsitek Institut Teknologi Bandung yang kebetulan memilih profesi jadi pembuat film. Dengan modal nekat ia sudah pernah membuat film panjangnya yang pertama berjudul cin(T)a. Setelah itu, dia juga membuat beberapa film pendek, salah satunya 7 Deadly Kisses yang beberapa waktu lalu diputar di Berlin International Film Festival. Jadi, dia tidak bisa lagi dianggap pendatang baru di dunia film. Oh, bukan. dia bukan ingin membuat film tentang sejarah. Dia benar-benar ingin membuat sejarah. Dia mungkin terdengar super optimis saat mengeluarkan pernyataan bahwa ia ingin membuat sejarah dengan mengumpulkan 10.000 orang untuk membiayai proyek filmnya. Mengumpulkan 10.000 orang? Anda mungkin berpikir itu sebuah ide gila. Tapi di jaman ini, apa yang tidak mungkin? Maka bersama timnya, Sammaria membuat sebuah situs khusus Demiapa.com untuk menggalang dana. Hingga saat ini, ia satu-satunya sutradara di Indonesia yang nekat melakukan crowdfunding sendiri tanpa mengandalkan situs crowdfunding yang sudah punya nama. Meski mengaku sudah nyaris putus asa, tapi Sammaria tetap berusaha mewujudkan Demi Ucok. Jika proyek ambisius ini berhasil, maka Sammaria berhasil membuat sejarah. Jika tidak berhasil, dia juga tetap membuat sejarah di perfilman Indonesia karena ia satu-satunya sutradara yang nekat membuat situs platform crowdfunding sendiri. Kepada FOVEA, Sammaria menuturkan proses pengumpulan dana Demi Ucok. Bagaimana rasanya terjerembab, bangun, terjerembab lagi dan bangun lagi.

Beberapa media sudah menulis review film Demi Ucok. Ini menimbulkan kebingungan karena filmnya belum selesai. Tanggal 22 Desember 2011 kita sudah bikin Layar Tancep di Bandung, terbatas untuk cast, crew, orangtua, dan temanteman. Selanjutnya, 17 Maret 2012 kami bikin Layar Tan-

cep di Jakarta, terbatas untuk teman yang belum sempat datang ke Bandung. Kami sadar, dengan tim promo Demi Ucok yang hanya 4 orang, nggak mungkin bisa mengumpulkan 10.000 orang tanpa bantuan teman-teman. Makanya film ini kami tontonkan duluan ke mereka walaupun belum 100% selesai agar tangan kami menjadi lebih panjang sam-

FOVEA#0 2012 19


head line

crowdfunding

pai bulan Juni 2012 ini. Untuk release bioskop, kita harapkan bisa tayang di bulan September 2012. Hanya kita belum dapat jadwal release fixed dari 21. Mengapa memilih crowdfunding ? Saya memutuskan untuk mencari uang dengan crowdfunding ini karena saya percaya ada banyak cara mencari uang, tidak harus lewat sponsor atau investor saja. The idea of communal funding is heart warming and brings smile to a hopelessly optimistic romantic, seperti saya inilah. Setelah dijalani 2 bulan, ternyata kami harus menarik nafas lebih panjang. Sejauh ini saya baru dapat 7.5 % dari total target 1M. Tapi saya tetap bersyukur dan tidak menyesal memilih cara crowdfunding ini. Bedanya dengan film-film lain yang melakukan crowdfunding untuk mendanai filmnya, proses crowdfunding ini menjadi bagian dari cerita Demi Ucok itu sendiri. Si karakter Gloria mencari 10.000 orang yang mau memberi 100.000 rupiah agar dia bisa mendanai film yang sudah dia omongin, tapi nggak pernah terlaksana selama 4 tahun ini. Dengan pengumpulan dana yang menjadi bagian dari cerita, termasuk pula dengan cara pendanaan dan promosi, saya berharap ini jadi cara baru promo yang unik dan me-

Di Indonesia juga ada situs crowdfunding baru, Wujudkan.com, kenapa tidak melalui situs ini? Atau situs lain seperti Indiegogo? Nah sayangnya situs-situs ini baru ada setelah Demi Ucok jalan. Demi Ucok itu resmi jalan 22 Desember 2011. Sementara situs-situs ini baru ada kemudian. Terus terang kalau mereka sudah ada duluan, tentunya saya akan dengan senang hati memasukkan Demi Ucok ke situs-situs ini karena keberadaaan mereka justru mempermudah pekerjaan para filmmaker. PR banget lhooo bikin web dan sistemnya ini. Saya sempet ngobrol sama yang membuat wujudkan.id dan patungan.net dan akhirnya memutuskan untuk tidak bergabung karena masalah teknis. Kalau indiegogo saya rasa kurang personal untuk film Demi Ucok ini karena bukan situs Indonesia. Sementara yang saya targetkan untuk mendanai Demi Ucok ini mayoritas orang Indonesia. Awalnya, kalau Demi Ucok sampai berhasil, akan saya jadikan portfolio sukses untuk sebuah web bersama temanteman filmmaker yang berjudul www.cookafilm.com. (Ini adalah web pengumpul dana yang dipakai Gloria dalam film Demi Ucok). Tapi kalau sudah ada wujudkan.id dan patungan.net mungkin saya akan lebih mendukung mereka daripada bikin situs baru.

head line

crowdfunding

Satu demi satu acara kecil kami datangi. Melelahkan dan perkembangannya lambat. Tapi saya melihat investasi yang lebih dari sekedar uang. Tim saya jadi lebih humble, working harder, banyak bersyukur, dan akhirnya menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Prinsip kami, kalau tidak menyenangkan, jangan dikerjakan. Kalau kebayang akan gagal, berarti kami masih kurang sibuk. Kesimpulannya, nilai positif crowdfunding, filmmaker lebih mengenal penontonnya. Nilai negatifnya, melelahkan jiwa dan raga. Siap-siap ditolak dan dilecehkan, tapi siapsiap juga feel the ecstasy of one support. Intinya, kalau kamu bukan Riri Riza dan Mira Lesmana, crowdfunding ini bukan jalan gampang. Lebih gampang nyari 1M dari 1 orang daripada 10 ribu orang. Sejauh ini udah ada 2 produser yang menawarkan untuk mendistribusikan Demi Ucok tanpa saya harus capek mengumpulkan dana lewat crowd funding. Menurutmu, apakah crowdfunding ini sejalan dengan fenomena social media seperti twitter dimana semua orang ingin bersuara, menjadi bagian dari apapun yang terjadi disekitar mereka? Justru crowdfunding ini antitesisnya. Kami harus kembali ke pendekatan satu-satu dan bergantung pada hubungan

muluk sih emang, malah jadi gak fokus. Demiapa.com ini terbagi jadi 2 bagian. Pertama tes kepribadian Demi Apa. Dilaunching jauh sebelum filmnya. Diharapkan komunitasnya sudah terbentuk sebelum filmnya diberitakan. Yang kedua, film Demi Ucok dan crowd fundingnya. Dilaunching bersamaan dengan layar tancap di hari ibu, 22 Desember 2011. Konsep ini berhasil untuk film Miranda July, The Future. Untuk kami malah jadi bumerang karena situsnya jadi gak fokus. Karena itu, bulan Maret ini kami sudah membuat revisi situs besar-besaran. Tadinya tes kepribadian lebih ditonjolkan, sekarang cara crowdfundingnya yang lebih ditonjolkan. Tapi kami belajar banyak hal yang kami temui sepanjang prosesnya. Ini jadinya selalu memberi ruang untuk terus evaluasi perkembangan proyek ini. Kalau awalnya saya ingin membuat sejarah, saya ingin bilang bahwa banyak cara mencari duit dan saya ingin mengajari orang-orang yang suka mengeluh tentang susahnya cari duit. Sekarang saya sadar, mencari duit itu memang tidak gampang dan tidak banyak cara. Bahkan untuk sekelas Riri Riza dan Mira Lesmana masih

Photos Courtesy tim Demi Ucok

nyenangkan untuk film ini. Karena film ini budget promonya sangat terbatas. Promosinya harus dibuat lebih kreatif. Di Indonesia, crowdfunding belum lumrah, kalau tidak mencapai target, bagaimana selanjutnya? Di draft akhir film Demi Ucok itu sendiri, karakter Gloria pada akhirnya tidak berhasil mengumpulkan 100 persen dana untuk filmnya. Tapi film Demi Ucok ini diakhiri dengan kalimat “somehow it’s enough”. Cukup dalam arti apa? Apakah Gloria tetap berhasil bikin film dengan dana segitu? Apakah nggak berhasil bikin film tapi Gloria tetap puas? Cukup seperti apakah yang dialami Gloria? Jangan diceritain dulu ya, nanti spoiler.

Menurut anda, apa nilai positif dan negatif dari crowdfunding? apakah ini juga jadi pertimbangan saat memutuskan untuk bikin kampanye Demi Ucok? Beda dengan kickstarter.com yang sudah punya sistem pembayaran credit card dan budaya masyarakat yang tidak gagap online, di Indonesia, ternyata lebih banyak yang ikutan jadi coProduser Demi Ucok tidak lewat online. Harus didatangi satu-satu. Karenanya di bulan ke tiga ini, strategi crowdfunding kami berubah besar-besaran. Online tidak lagi jadi andalan. Twitter, Facebook, dan Web hanya jadi tambahan. Saya percaya, It’s the era of personal touch. We go offline.

20 FOVEA#0 2012

antar manusia. Sudah terbukti, ada 2 film sepi penonton padahal jadi trending topic di twitter. Twitter and facebook can tell you things, but it doesn’t move your heart, and your ass, to go and see a movie. What will? Belum bisa saya jawab sekarang. Mungkin nanti, setelah filmnya release, kita bisa ngobrol lagi. Demiapa itu situs khusus untuk kampanye DemiUcok tapi tidak melulu berisi kampanye mengumpulkan dana. Awalnya konsep www.demiapa.com ini memang kami ingin membuat komunitas, makanya ada personality test dan database berdasarkan kepribadian. Niatnya, situs ini memberi manfaat lebih juga buat yang datang, tidak hanyaa untuk promosi dan meminta duit. Sekarang sih saya sadar, terlalu

harus crowdfunding. Selling a film is all about humiliation. I am a dreamer and I am not the only one. Miranda July itu sutradara favoritmu? ada sutradara favorit lain? Secara film sebenarnya dia bukan sutradara favorit saya. Tapi gerakan dan strategi promonya kreatif sekali. Menurut saya filmmaker jaman sekarang ya semangatnya harus kaya Miranda July ini. Sutradara favorit saya salah satunya Yasmin Ahmad. Dialah yang menginspirasi saya untuk menulis Demi Ucok ini. Dimulai dari membaca blog Yasmin, dari situlah saya belajar banyak tentang film. Dari situ saya mulai berani membuat cin(T)a tanpa modal pengalaman apa pun. Untuk film

FOVEA#0 2012 21


festival

head line

crowdfunding

Kalau in real life saya malah nyerah, saya malah merasa jadi filmmaker memble yang gak percaya mimpi. Dua produser itu sudah saya alihkan ke proyek-proyek saya berikutnya setelah Demi Ucok. Huehehehehe.

Selama ini saya selalu merasa kunci sukses adalah live by your passion, makanya saya resign dari arsitektur dan mulai membuat film. Tapi jawaban Yasmin simple sekali. Be nice to your parent.

Beberapa waktu lalu, Berlinale (Berlin Internasional Film Festival) memutar film pendek anda 7 Deadly Kisses. Tapi katanya tidak akan di putar di Indonesia? bahkan tidak di Q Film festival? Bukankah sudah banyak film gay?

Simple tapi mendalam. Live by your passion ternyata gampang buat saya. Be nice to my parent justru sangat susah. Apalagi ibu saya yang cerewet dan rewelnya minta ampun. Karenanya Demi Ucok ini adalah jalan tengah saya agar bisa live by your passion sambil be nice to your parent. Saya bikin saja ibu saya jadi pemeran utama film saya. Dari dulu emang pengen jadi artis.

Benar sudah banyak film gay, tapi bukan yang saya bikin. Hahahaha... jadi alasannnya sangat personal ya. Saya dan teman-teman belum siap dicap gay, as simple as that. Sebenarnya 7 Deadly Kisses ini sangat renyah dikonsumsi bahkan oleh yang hetero sekalipun karena genrenya komedi. Apalagi dibandingkan Babi Buta Yang Ingin Terbang (karya Edwin), 7 Deadly Kisses seharusnya bisa diedarkan lebih luas. Setelah melihat sambutan penonton di Berlin kemaren, saya jadi pede kalau film ini akan menghibur dan ‘mendidik’.

Bisa dijelaskan masalah teknis jika bergabung di salah satu situs crowdfunding? apakah ini termasuk soal presentase hasil yang harus dibagi kepada situs tersebut? Persentase 5 % menurut saya bersahabat banget. Juga agak susah bekerja sama karena saya terlanjur sudah mulai duluan dan susah mengalihkan info yang sudah terlanjur menyebar. Selain itu, biaya 1M juga terlalu besar untuk patungan.net. Kalau di wujudkan.id, saya merasa film ini terlalu kecil untuk ditaruh di sebelah nama besar seperti Riri Riza dan Mira Lesmana. Apalagi melihat reward yang mereka tawarkan, tambah jauhlah Demi Ucok dari situs ini. Ya akhirnya saya memutuskan untuk jalan sendiri saja. Tapi untuk teman-teman lainnya, saya menganjurkan untuk bergabung di situs yang sudah ada saja karena proses administrasi pembuatan website dan pengumpulan dana itu butuh banyak energi. Anda bilang social media macam twitter dan facebook cuma tambahan. Bisa dikira-kira berapa persen dari kontak anda di FB dan twitter yang ikutan jadi co-prod? Saya belum hitung, tapi pastinya sedikit sekali. Yang jelas banyakan yang mendaftar itu lewat pertemuan langsung, face to face, bukan isi formulir online kemudian transfer. Di antara yang sudah ikutan menyumbang 100.000 rupiah, ada nggak yang ‘cerewet’ soal jalan cerita, dan ingin intervensi dalam proses pembuatan Demi Ucok seperti pada umumnya produser? Ada beberapa. Tapi biasanya gak jadi support. Hahahahaha Komunitas yang terbentuk di Demi Ucok apakah juga otomatis ikutan crowdfunding nya juga? Maksudnya komunitas Demi Ucok di FB? Aku belum cek tapi kayanya nggak ya. Tadinya aku harapkan komunitas FB cin(T)a yang ada 40ribu akan mendukung. Tapi ternyata belum tentu. Anda bilang ada 2 produser yang menawarkan untuk mendistribusikan Demi Ucok tanpa harus cape-cape crowdfunding. Kenapa tidak disambut? Karena isi film Demi Ucok ini tentang nyari 10 ribu orang.

22 FOVEA#0 2012

PhotoCourtesy MH

ke dua saya, tadinya banyak sekali cerita yang saya ingin angkat untuk film ke dua saya. Akhirnya saya memilih Demi Ucok setelah saya membaca salah satu post blog dia. Di tulisan itu dia bertanya What is the key to your success?.

2012

Ada Apa di Berlinale Tahun Ini?

Tapi ternyata masuk Berlinale, diliput TV nasional, jadi susah untuk menghindar sekarang. Hahaha. Jadi dari saya sendiri sudah siap, tapi teman yang lain, ada yang belum siap. Jadi sampai semuanya siap, film ini tidak akan kita putarkan di Indonesia. Apakah 7 Deadly Kisses ini semacam teaser untuk Demi Ucok? Apakah masuknya 7 Deadly Kisses di Berlinale berpengaruh terhadap Demi Ucok? Secara cerita, 7 Deadly Kisses ini tidak ada hubungannya dengan Demi Ucok. Tapi pengaruhnya secara tidak langsung besar sekali ke Demi Ucok. 7 Deadly Kisses ini dibuat menjelang shooting Demi Ucok. Waktu itu kakak saya baru beli kamera baru. Karena kami sedang dalam proses negosiasi dana produksi Demi Ucok, kami nggak ada kerjaan dan sangat bersemangat dengan kamera baru ini. Udah kangen bikin film. Saking kangennya, kami bikin film seminggu satu. Walaupun hanya bertahan 3 minggu, jadi artinya 3 film. Film pertama, 7 Deadly Kisses, masuk Berlinale dan banyak festival lain yang sudah menghubungi. Film ke dua, Emit, masuk Europe On Screen short film competition dan JAFF. Film ke tiga, Jupe, kita edarkan di Youtube karena ini yang paling ringan. Tiga film ini, termasuk 7 Deadly Kisses, banyak sekali pengaruhnya pada Demi Ucok. Pertama karena kami jadi punya materi untuk menjangkau publik lebih luas tanpa membawa Demi Ucok. Film cin(T) a udah kelamaan, jadi tiga film ini yang saat ini kami bawa ke mana-mana untuk memperkenalkan diri. Kedua, karena 7 Deadly Kisses mengubah target coPro Demi Ucok besarbesaran. Sebelum ini, gue gak pernah terexpose ke dunia LGBT, yang sekarang lebih suka disebut MIX. Setelah 7 Deadly Kisses, saya tidak bisa diam-diam lagi walaupun nggak punya cewek. Tadinya Demi Ucok menargetkan coPro yang spesifik Batak. Kita akan mencari coPro lewat komunitas batak terbesar: HKBP. Tapi setelah Layar Tancap, saya jadi sadar kalau mungkin ada beberapa elemen yang membuat Demi Ucok tak akan semudah itu diterima sebuah gereja konvensional karena ada nikahan beda agama dan ada tokoh lesbian hamil. Karenanya target market coPRo Demi Ucok sekarang harus didefinisikan ulang. ***

Seperti tahun-tahun sebelumnya, para cinephile membludak, berkemah didepan loket penjualan tiket. Ada film pertama Angelina Jolie sebagai sutradara. Pangeran Bollywood, Shah Rukh Khan datang terlambat karena flu. Perfilman Kamboja, Laos dan Myannmar juga turut hadir. Dan yang paling istimewa, ada film Indonesia !

Oleh Miranti Hirschmann

S

uhu terendah di musim dingin menyelimuti Jerman, waktu itu. Dan, penyelenggaraan Berlinale ke 62, pada 9 hingga 19 Februari lalu tepat berada di salah satu periode terdingin di Eropa. Hujan salju nyaris tak berjeda. Jalanan berair, berlumpur dan licin. Namun gegap gempita Berlinale seperti tak mengenal cuaca. Ratusan ribu penggemar film tetap rela mengantri tiket ditengah cuaca tak bersahabat. Tentu, mereka tidak ingin membuang kesempatan untuk menjadi bagian dari salah satu pesta film terbesar di dunia ini. Saking besarnya, banyak pengamat menilai, Berlinale sering tampil kepayahan karena mencoba memuaskan banyak orang. Bayangkan saja, di Berlinale ada 10 kategori.

Ada kategori Competition, yang film filmnya memperebutkan Golden Bear award, penghargaan tertinggi di Berlinale. Kemudian ada kategori Forum, yang merupakan arena untuk film-film eksperimental dan dokumenter. Sementara film film baru dari sutradara-sutradara independen yang bertema kontroversial dengan gaya estetika yang juga tidak konvensional berkumpul di kategori Panorama. Direktur Berlinale, Dieter Kosslick, juga punya seksi khusus Specials, yang terdiri dari film-film pilihan sang direktur. Lalu ada kategori Generation KPlus dan Generation 14plus, yang khusus untuk film-film bertema anak-anak mulai dari umur 4 tahun ke atas. Berlinale juga menghadirkan kategori film dengan tema khusus, yaitu tema makanan di Culinary

FOVEA#0 2012 23


f e s t i v a lberlinale

f e s t i v a lberlinale luruh dunia hadir meliput Berlinale. Mengantisipasi jumlah penonton yang juga membludak, maka khusus bagi wartawan disediakan press screening buat film film yang masuk kategori kompetisi, setiap hari jam 9 pagi. Keberadaan pusat perbelanjaan Arcade tepat di kompleks yang sama, digunakan penyelenggara Berlinale sebagai pusat penjualan tiket bagi publik. Membeli tiket menonton Berlinale bisa dilakukan dengan 2 cara: beli secara online (dengan tambahan biaya 1,5 Euro) atau mengantri 3 hari sebelum film diputar. Bagi mereka yang kuliah atau bekerja, mereka biasanya membeli secara kolektif, titip pada mereka yang punya waktu untuk mengantri berjam –jam. Pemandangan antrian yang mengular hingga luar Arcade adalah hal biasa selama Berlinale berlangsung. Untungnya, semua mengantri dengan tertib. Yang menarik, pada malam hari, saat toko toko mulai tutup dan loket Berlinale sudah mematikan lampunya, datanglah mereka yang ingin membeli tiket esok harinya dengan tidur di depan loket Berlinale! Mereka membawa perbekalan, roti, kopi panas, sleeping bag, selimut, serta perlengkapan untuk membuat mereka senyaman mungkin mengantri tiket film idaman.

MH

Cinema. Daftar kategori ini dilengkapi dengan film film pendek dengan genre tertertentu di kategori Shorts. Kategori Retrospective – terdiri dari kumpulan film-film klasik yang pernah diputar di Berlinale. Setiap tahun, kategori ini memutar sekumpulan film sebagai penghormatan terhadap sutradara atau artis/aktor atas dedikasi mereka terhadap dunia sinema. Tahun ini, Retrospecive memampilkan film-film Meryl Streep, dan terakhir, kategori Perspektive Deutsches Kino yang memberi peluang bagi para sineas baru Jerman. Karena itu, untuk memutar semua film ditiap kategori itu yang seluruhnya berjumlah 400 film itu, Berlinale harus menggunakan 20 bioskop. Selama 10 hari pelaksanaan Berlinale, kegiatan utama berpusat di Berlinale Palast yang berseberangan dengan hotel Grand Hyatt Berlin. Di kedua tempat inilah, red carpet, pemutaran film film perdana, press conference film film yang masuk kompetisi dan Berlinale Special diselenggarakan. Studio darurat bagi televisi nasional terpasang di pojok pojok Berlinale Palast yang sekaligus menjadi pusat informasi bagi ribuan wartawan yang meliput pesta akbar ini. Di dalam gedung ini terdapat press room yang dilengkapi wifi dan perlengkapan lainnya yang bisa memudahkan kerja para pencari berita. Tak heran, jurnalis televisi, radio, cetak dan fotografer lalu lalang di lokasi ini. Karena semakin membludaknya minat terhadap festival ini, persyaratan meliput Berlinale tiap tahun makin ketat. Guna mendapat akreditasi, panitia meminta surat penugasan dan dibebani biaya 60 Euro. Pemegang kartu akreditasi kemudian dapat menonton semua film dan berhak mengikuti press conference. Tahun ini, tercatat kurang lebih 4.000 jurnalis dari se-

24 FOVEA#0 2012

Film film idaman yang tiketnya banyak diperebutkan adalah film di kategori Kompetisi dan Berlinale Special. Tahun ini, pada Berlinale Special, ada The Land of Blood and Honey, film pertama Angelina Jolie sebagai sutradara. Film ini berkisah tentang cinta antara seorang tentara Serbia dan muslimah Bosnia ditengah konflik di Balkan. Adalagi The Iron Lady, yang menampilkan Meryl Streep sebagai pemeran utamanya. Bagi peminat sineas serius, ada Death Row arahan sutradara senior, Werner Herzog, yang kali ini membuat film dokumenter tentang hukuman mati terhadap 4 pembunuh sadis di Amerika. Salah satu film di kategori Berlinale Special yang tahun ini tiketnya ludes dari awal adalah Don, The King is Back yang dibintangi aktor Bollywood Shah Rukh Khan dan Priyanka Chopra. Film ini dianggap istimewa karena berkisah tentang perampokan aset bank Eropa. Sejumlah adegan jumpalitan lengkap dengan mobil melanting dan meledak diambil di kota Berlin, tempat penyelenggaraan Berlinale. Ini merupakan kerjasama produksi Bollywood dan sineas Jerman. Sejumlah aktor Jerman juga ikut bermain dalam film ini. Tentu saja, Don, The King is Back tidak hanya istimewa karena berlatar belakang kota Berlin, tapi juga karena hadirnya aktor Shah Rukh Khan. Sejak press conference sehari sebelum acara seremoni karpet merah untuk Don, The King is Back, sejumlah perempuan penggemar Shah Rukh Khan dari kota-kota di Jerman sudah berkumpul dan menunggu di pintu masuk hotel Grand Hyatt Berlin, tempat Shah Rukh menginap demi mencari celah untuk bisa melihat langsung sang pangeran Bollywood itu. Mereka terpaksa kecewa karena Shah Rukh Khan tertahan di India karena flu. Namun mereka tak putus asa. Esoknya, pada acara karpet merah yang diselenggarakan di studio Friedrich Palast, para penggemar yang tidak hanya berasal dari Jerman, namun juga dari Austria dan Polandia ini rela menunggu berjam jam pada suhu minus 22 derajat. Mereka membawa spanduk poster, dan berbagai macam atribut lainnya, meneriakkan nama Shah Rukh Khan tak henti-henti. Toh, upaya itu tak sia-sia. Akhirnya Shah Rukh Khan muncul bersama istrinya setelah terlambat satu jam. Miranti Hirschmann adalah koresponden TVOne di Jerman

Selamat Datang kembali Film Indonesia !

M

obil mewah hitam berhenti di depan karpet merah dan menurunkan penumpangnya yang malam itu jadi bintang: Edwin sang sutradara, didampingi aktor dan aktris utama Nicholas Saputra dan Ladya Cheryl. Menyusul dibelakang mereka, penata kamera Sidi Saleh, dan para produser, Meiske Taurisia dan Kemal Arsjad. Direktur Berlinale, Dieter Kosslick menyambut para tamu dari Indonesia ini satu persatu dan kemudian berfoto bersama. Sebelum memasuki bioskop, Edwin, Nicholas dan Ladya diajak untuk menandatangani poster foto close-up mereka yang dipampang di pintu masuk utama teater di lantai dua. Film Kebun Binatang atau Postcard from The Zoo memang beda. Dengan angle-angle mikro yang diambil penata kamera Sidi Saleh, Kebun Binatang Ragunan tampak damai bagai mimpi, berbeda dengan yang biasa kita saksikan sehari-hari. Dalam film ini, Edwin mengajak kita untuk mengamati lebih dekat dan menyadari, betapa kesepiannya binatang-binatang yang terkurung dalam kebun tersebut. Film berdurasi 90 menit yang minim dialog ini, kaya akan deskripsi audio visual. Setelah pemutaran, media media Jerman memberi pujian pada film ini. Selain itu, menurut data, pada 16 Februari 2012 di Friedrich Palast di suhu minus 15, sekitar 800 calon penonton dengan sabar mengantri di udara terbuka hingga pintu gedung itu terbuka. Pemutaran Kebun Binatang tidak hanya dipenuhi oleh para penggemar film, tapi juga penonton yang punya keterkaitan dengan Indonesia. Tanggapan para penonton berbeda beda, ada yang menyambut gembira karena keunikan filmnya, ada juga yang tampak termangu. Bagaimanapun, tahun ini perfilman Indonesia layak merasa bangga. Bagaimana tidak? Setelah 49 tahun, sineas Indonesia kembali menapaki karpet merah di gedung bioskop utama festival film Berlinale. Kebanggaan yang sama pernah dirasakan juga di tahun 1962. Pada masa itu, Berlinale yang ke-12 memilih film Badai Selatan, film yang disutradarai oleh Sofia WD dan dibintangi W.D. Mochtar, dan Sukarno M. Noor. Dalam rentang 49 tahun, memang, sejumlah film Indonesia sempat masuk pada kategori Forum dan Generation tapi sulit masuk ke seksi kompetisi. Masuknya Film Post Card from The Zoo karya Edwin ini akhirnya membuktikan bahwa generasi muda film Indonesia juga patut diperhitungkan di peta percaturan film dunia. Film Kebun Binatang bersaing dengan film film besutan sutradara top dan aktor kelas dunia. Sebut saja film Cina The Flowers Of War arahan sutradara Zhang Yimou yang dibintangi Christian Bale. Atau film Inggris, Bel Ami, arahan sutradara Declan Donnelan dan Nick Ormerod yang menampilkan Uma Thurman dan Robert Pattison. Tidak Hanya Kebun Binatang Kebun Binatang bukan satu-satunya film Indonesia yang hadir di Berlinale. Di kategori Panorama, ada film Anak Anak Srikandi. Film hasil kerja kolektif ini menggambarkan kehidupan kaum lesbian di Indonesia. Karya omnibus ini

bermula dari sebuah workshop mengenai identitas lesbian di Indonesia yang diselenggarakan oleh Goethe Institut Jakarta. 10 sutradara muda yang terlibat dalam penggarapan film ini belum pernah bertemu sebelumnya. Dengan dorongan Laura Coopers, produser film asal Jerman, akhirnya Stea Lim, Oji, Yulia Dwi dan rekan rekannya bekerja sama membuat film dokumenter tentang benturan sosial kaum lesbian di negara yang mayoritas beragama Islam ini. Anak-anak Srikandi adalah sebuah film yang tidak mudah dibuat. Bukan hanya dari sisi finansial, tapi juga dari sisi psikologis para pembuatnya. Tadinya, tidak satupun dari mereka terbersit untuk menceritakan serba serbi kehidupan sebagai lesbian, apalagi dalam bentuk film. Keberadaan lesbian di Indonesia masih belum mendapat tempat yang semestinya didalam masyarakat, sehingga penggarapan film ini tampak sangat hati-hati. Stea Lim, salah satu sutradara yang juga bertindak sebagai produser eksekutif mengakui proses pembuatan film ini tidak mudah, apalagi dalam pendanaan. Mereka menempuh segala cara hingga film ini terwujud seperti pinjam kamera, bantuan kru film dari sana-sini, dan juga crowdfunding. Dengan mengikuti kursus singkat sinematografi, mereka pun bekerja sama bergantian berada di balik kamera. Dalam proses itu kemudian terbentuk rasa saling percaya antara mereka yang tengah disorot kamera dan mereka yang dibalik kamera. Kesedihan, kerinduan, kegalauan, perlawanan, pertanyaan dan ketidak berdayaan melawan keinginan keluarga dan masyarakat banyak digambarkan lewat narasi yang dibacakan tokoh-tokoh film ini. Masih dengan tema minoritas, Sammaria Simanjuntak, sutradara muda berbakat lulusan arsitektur ITB menghadirkan film berdurasi 4 menit berjudul 7 Deadly Kisses. Ia mengaku, film ini digarap secara iseng ditengah keruwetan penggarapan film lain, Demi Ucok. Film ini berkisah mengenai 2 lelaki muda yang tengah mencari tahu, ciuman jenis apa yang harus dihindari agar tak ditinggal oleh kekasih. Untuk itu, mereka harus mempelajari jenis jenis ciuman tabu itu dengan saling berciuman!. Idenya tak lain dari pengalaman pribadi Sammaria sendiri yang turn off saat berciuman dengan kekasihnya. Dibantu Daud Sumolang yang bersedia sebagai pemain filmnya, 7 Deadly Kisses digarap dalam 2 jam, pengambilan gambarnya 2 jam, editingnya pun 2 jam. Hasilnya, film ini masuk kategori Berlinale Shorts dan juga terdaftar sebagai film yang memperebutkan Teddy Award, yaitu penghargaan khusus Berlinale bagi film film yang mengangkat tema LGBT (Lesbian Gay Biseks dan Transgender). Film yang tak kalah penting dicatat adalah The Mirror Never Lies. Film garapan sutradara muda, Kamila Andini ini secara mengejutakan malah masuk dalam kategori Generation Kplus alias Kinder atau anak anak. Ditemui setelah pemutaran filmnya, Kamila Andini mengaku senang filmnya masuk kategori film anak anak. “Unik juga, padahal di Indonesia film ini masuk katefori film remaja. Film ini dinilai oleh juri anak-anak. Ini pengalaman yang mengesankan,� ujar putri pertama sutradara senior Garin Nugroho ini.

FOVEA#0 2012 25


f e s t i v a lberlinale

f e s t i v a lberlinale Wawancara dengan Edwin

TENTANG EDWIN & VISUALISASI BAU

gan lelaki telanjang. Perempuan telanjang. Waktu itu pertengahan tahun 2006, Edwin masih berjuang mengumpulkan dana untuk menyelesaikan film panjangnya yang pertama, Babi Buta Yang Ingin Terbang. Ia bercerita bagaimana nasib film pertamanya itu harus berstatus ‘tertunda’ beberapa kali karena kekurangan dana. Tapi kemudian kita tahu, Babi Buta Yang Ingin Terbang akhirnya berhasil diselesaikan dan meraih FIPRESCI Award di International Film Festival Rotterdam 2009. Babi Buta Yang Ingin Terbang belumlah film tentang rasa dan bau. Tentu, ini hanya soal waktu sebelum Edwin benarbenar mewujudkan keinginannya memfilmkan rasa dan bau. Setelah Babi Buta, Edwin kemudian berkesempatan membuat filmnya yang kedua, Kebun Binatang atau Postcard From The Zoo, juga belum sepenuhnya tentang bau, tapi lewat film ini, Edwin mengaktifkan indera perasa atau indera peraba kita lewat gambar-gambar mikro kulit binatang. Feel. Setelah percakapan ditemani kopi Aceh itu, enam tahun kemudian, Edwin banyak berubah. Kali ini Edwin ditemui di Partner Lounge Berlinale Palast. Sebagai sutradara yang filmnya masuk kompetisi di Berlinale, tentu suasananya tidak seperti ketika ngobrol sambil minum kopi Aceh. Tapi ada yang tidak berubah sejak enam tahun lalu itu. Edwin masih terobsesi dengan visualisasi rasa dan bau. Berikut percakapan singkat Miranti Hirschmann dan Edwin: Media di Jerman sampai mengatakan welcome back pada anda dan kawan kawan anda di artikel mereka. Rupanya tim anda memang buah dari benih benih yang ditebar Berlinale. Boleh saja dibilang begitu. Berlinale Talent Campus memang punya peran penting untuk mempertemukan para filmmaker dari berbagai negara. Kebetulan, beberapa orang dari tim Kebun Binatang pernah berpartisipasi di Berlinale Talent Campus.

Photo MH

(Short Filmnya “Trip to The Wound” masuk Berlinale pada 2009. Co-script writernya, Daud Sumolang pernah ikut Berlinale Talent Campus 2006, produsernya, Meiske Taurisia di Berlinale 2008 dan tahun ini Ladya Cheryl, pemeran utama di Kebun Binatang juga berpatisipasi).-red. Sampai sekarang kami masih berteman dengan peserta Talent Campus yang lain. Di ajang inilah pertama kalinya saya bertemu dengan filmmaker dunia di generasi saya. Cukup membuka wawasan saya tentang dunia film diluar Hollywood dan film Indonesia. Talent Campus juga mengenalkan saya pada karpet merah. Walau waktu itu saya ikut program Berlinale di Talent Campus, ya kita cuma bisa berdiri di luar, melihat mereka yang berjalan di red carpet.

E

dwin pernah bilang, “Saya ingin memfilmkan rasa dan bau”. Sambil menyeduh kopi Aceh di dapurnya, disebuah kawasan rumah susun di Jakarta, ia berkisah tentang obsesinya memvisualkan rasa pedas dan bau. “Coba bayangkan, menonton film dan merasa kepedasan,” katanya bersemangat, yang direkam oleh kamera Chris Chong Chan Fui, sutradara asal Malaysia. “Atau menonton sesuatu lantas mencium bau ikan asin,” kata Edwin. Jika medium film selama ini dikenal sebagai medium yang menuntut indera penglihatan dan indera pendengaran kita, maka Edwin juga ingin mengaktifkan indra pengecap dan penciuman kita lewat medium film. Taste and smell.

26 FOVEA#0 2012

Saya orang Indonesia. Syuting di Indonesia, dengan bahasa Indonesia, untuk penonton Indonesia dan dunia. Indonesia kan bagian dari dunia. Anda yakin film ini bisa diputar di bioskop Indonesia? Ngga tau. Saya bukan lembaga sensor. Ada berbagai jenis bintang di kebun binatang. Mengapa hanya mengambil 3 binatang yang menjadi bintang (gajah, jerapah, kuda nil) ? 2 diantaranya malah bukan satwa asli Indonesia. Dari kecil saya banyak membaca buku tentang binatang dan saya tertarik dengan gajah, jerapah dan kuda nil karena bentuknya. Gajah, jerapah dan kuda nil banyak hadir pada mimpi mimpi saya. Kalau dilihat dari dekat, mereka sangat indah, komposisinya sangat sinematik. Mereka juga punya daya magnet yang besar. Ada kesulitan bekerja sama dengan pihak kebun binantang? Sangat kooperatif, ada banyak kerjasama yang malah menguntungkan antara tim kami dan kebun binatang. Misalnya tim kami membuatkan video pendek tentang gajah buat anak anak sekolah dasar. Kami juga membuat foto koleksi kebun binatang bila mereka perlu, bikin brosur untuk promosi taman satwa, kami juga buatkan musiknya. Kerjasama yang sangat menyenangkan. Di sejumlah bagian film ini, kebun binatang terlihat sunyi sepi bagai dalam mimpi. Kenyataannya, taman satwa Ragunan selalu ramai. Kapan syutingnya? Pagi sekali dan hari kerja hingga jam 11 siang. Seperti Kebun Bintang, film pendek anda di Berlinale 2009 berjudul Trip to the Wound mengetengahkan kerinduan. Apakah kerinduan selalu mendominasi karya anda? Ngga sengaja. Karena dibuat orang yang sama, tentu ada kemiripan. Saya ngga fanatik dengan satu tema. Ladya Cheryl sudah membintangi 5 film anda. Ini semacam fanatisme? Saya sudah cukup lama berteman dengan Ladya dan kami sama-sama tumbuh dalam melihat sinema dan membuat film. Ada unsur kepercayaan. Bikin film ngga gampang dan ngga murah. Saya ngga mau merekam apa yang ngga saya percayai.

Waktu itu ada impian untuk “One day I walk the red carpet ?

Apa yang akan anda lakukan di Amsterdam untuk 2 tahun mendatang?

Hahahaha Nggak sih. Waktu itu saya kelaparan, saya malah melihat saja dari jauh sambil makan.

Riset. Apakah mungkin dengan menonton film di bioskop bisa memicu kita terhadap bau bauan.

Dari film Kebun Binatang, apa tantangan paling besar dalam pembuatan film ini?

Film anda selanjutnya tentang bau?

Seperti kata orang, mengambil gambar binatang dan anak kecil tantangannya sangat besar. Shooting film bersama mereka nggak gampang, banyak kejutan dan tidak mudah. Tapi hasilnya juga diluar dugaan. Film anda berbeda dengan film Indonesia lainnya. Ada ade-

Dengan riset tentunya ada pengejawantahannya seperti membuat film atau artwork. Saya belum tahu. Kita lihat saja nanti. Catatan: Saat ini Edwin tengah melakukan riset pasca sarjana di National Film and TV Academy, Amsterdam.***

FOVEA#0 2012 27


f e s t i v a lberlinale

f e s t i v a lberlinale

Asia Tenggara Makin Berjaya di Berlinale 2012

T

ahun ini, kawasan Asia Tenggara kembali menghadirkan sejumlah karya yang berasal dari Thailand, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Kamboja. Ada 2 film asal Asia Tenggara pada kategori utama Kompetisi, yaitu Kebun Binatang dari Indonesia dan Captive, film Filipina arahan sutradara Brillante Mendoza. Captive berkisah mengenai aksi penculikan para wisatawan asing oleh kelompok Abu Sayyaf di Selatan Filipina. Mendoza bukan nama asing di peta perfilman dunia. Berkat filmnya, Kinatay, Mendoza berhasil mendapat gelar Sutradara Terbaik pada Festval Film Cannes 2009. Film ini didukung oleh aktris Perancis terkenal, Isabelle Huppert. Mengingat tema-tema film di Berlinale yang banyak mengangkat isu politis, minoritas, konflik, perang dan masalah lingkungan yang sedih dan kadang depresif, film Filipina berjudul Ang Babae sa Septic Tank atau The Woman in a Septic tank arahann Marlon N. Rivera setidaknya memberi warna tersendiri. Berkisah mengenai keseharian para sineas muda yang berlatar belakang kota besar Manila yang katanya penuh gunungan sampah, film ini seakan menertawakan diri sendiri. (Lihat wawancaranya di box)

Selain The Woman in a Septic Tank, satu film menarik dari Filipina lainnya di kategori Generation adalah Nono. Berdurasi 115 menit, film Filipina ini lagi-lagi mengangkat daerah miskin di kota besar Filipina. Rommel Tolentino menggarap cerita tentang seorang anak lelaki yang berbibir sumbing. Ia tak mau menyanyi karena artikulasinya selalu mengundang tertawaan. Ia bersahabat dengan anak yang memiliki masalah pendengaran. Film ini telah memenangkan penghargaan di Pusan International Film Festival, Korea Selatan. Dari Thailand, tahun ini hanya 2 film yang masuk Berlinale. Pen-ek Ratanaruang, untuk ketiga kalinya, membawa filmnya ke Berlinale. Tahun 2005 film besutannya Khampipaksa Chak Mahasamut bahkan masuk kategori Kompetisi di Berlinale. Tahun ini, Ratanaruang berhasil membawa karyanya Fon Tok Kuen Fah pada kategori Panorama Berlinale. Bergenre thriller, film ini mengetengahkan konflik batin seorang mantan polisi, Tul. Setelah jatuh koma pada sebuah baku tembak, Tul bangun dan pengelihatan Tul seperti kamera terbalik. Kepala dibawah dan kaki diatas, langit dibawah dan bumi diatas. Padahal, Tul sebenarnya hanya ingin lepas dari komplotan jahat yang mengejarnya dan memberantas korupsi di negerinya.

28 FOVEA#0 2012

Direktur World Film Festival of Bangkok (WFFB), Kriengsak Silakong mengamati, film film Asia tenggara makin lama makin menunjukkan eksistensinya di percaturan dunia. Selain film film Filipina dan Thailand yang sudah memiliki posisi di pasar film dunia internasional, ia yakin Indonesia akan segera menyusul. “Saya mengikuti perkembangan film Indonesia, apalagi setelah menyelenggarakan dan menyeleksi film untuk WFFB. Dalam 10 tahun terakhir ini, film Indonesia berkembang bukan hanya dalam jumlahnya, tapi kualitasnya yang juga makin baik.” Ia menambahkan, dunia membutuhkan cerita film yang istimewa dan Asia tenggara punya potensi menampilkan kisah kisah yang unik. “Perfilaman Kamboja, Laos dan Myannmar juga sedang menggeliat. Mereka pun memiliki keragamann dalam menampilkan cerita film,” kata Silakong. Kriengsak Silakong ada benarnya. Tahun ini Berlinale mengangkat 4 film Kamboja. Tiga diantaranya merupakan film retro tahun 60 dan 70-an. 2 film garapan Tea Lim Koun berjudul Pous Keng Kang (1970, The Snake Man) dan Peov Chouk Sor (1967) diputar di Berlinale dalam kategori Forum. Begitu juga Puthisen Neang Kongrey (1968) arahan sutradara Ly Bun Yin. Ketiga film ini baru saja ‘ditemukan’ kembali. Menurut John Badalu, kurator film Berlinale yang juga ikut berburu film film lawas Kamboja tersebut, penemuan itu layaknya mendapatkan sebuah harta karun. “Saat KhmerMerah berkuasa di Kamboja, para pekerja film tak lagi dapat berkarya. Film film dimusnahkan. Namun ada beberapa film yang sempat diselamatkan dan disembunyikan,” kata Badalu. Dengan bantuan seorang sutradara muda Kamboja, Davy Chou – yang juga membawa filmnya ke Berlinale, Le Sommeil D‘or (Golden Slumber) – akhirnya para sutradara senior negerinya itu berhasil dibujuk untuk merelakan filmnya diputar di layar bergengsi Berlinale. Tiga film retro ini merupakan film-film yang terkenal pada masa kejayaan film Kamboja. Ketiganya berkisah tentang cerita rakyat yang penuh dengan mitologi khas Asia tenggara, dewa dewi kahyangan, peran ibu tiri, pangeran ganteng yang dikutuk, putri putri cantik dirundung malang dan tentunya peran antagonis yang ditunggu: penyihir berhati busuk.

Wawancara dengan Marlon N. Rivera

“Bagaimana bisa, dunia memersepsikan Filipina itu hanya berisi kemiskinan?”

M

alam itu, Marlon N Rivera dilarikan ke rumah sakit di Berlin. Ia pingsan karena tekanan darahnya naik tak terkontrol. Padahal, film pertamanya The Woman AT The Septic Tank akan diputar di Berlinale. Untunglah, Lulusan Arts in Communications dari Universitas Ateneo de Manila tahun 1987 ini tidak perlu berlama-lama menginap di rumah sakit dan akhirnya bisa tampil dalam acara tanya-jawab tentang filmnya yang unik. Meskipun The Woman At The Septic Tank adalah filmnya yang pertama, tapi Marlon bukanlah orang asing di dunia visual. Tahun 1988, Ia masuk ke dunia advertising dan menjadi associate creative director yang terlibat di hampir semua lini produksi, mulai dari copywriter, produser, desainer, make-up artist, stylist, asisten sutradara di berbagai iklan televisi. Selama kurang lebih tujuh tahun, Marlon mengajar komunikasi Visual-Verbal di College Of Fine Arts, University of Philippines. The Woman At The Septic Tank tercatat sebagai film independen Filipina paling sukses dari segi komersial. Sebuah parodi tentang proses pembuatan film ‘indie’. Di film ini, Marlon tidak hanya menghadirkan segala klise tentang film-film Filipina. Ia juga mengkritisi, bahkan mengolok-olok kerja para pembuat film yang bernaung dibawah payung ‘independen’ dan punya agenda besar untuk bisa diterima di festival film internasional. Sebuah film komedi yang menertawai diri sendiri. Cerita Marlon tentang film ini tak kalah menarik untuk disimak. Berikut percakapan Miranti Hirschmann dan Marlon Rivera: Ini pertanyaan klise dan saya tahu banyak pembuat film dinegara saya mengaku tidak suka ditanya soal ini, tapi sungguh, saya ingin tahu, bagaimana anda mendapat ide membuat film yang seperti mengolok-olok kerja anda sendiri? Saya dan penulis film ini, Chris Martinez sempat berkolaburasi dalam pembuatan sebuah film untuk Cinemalaya (Festival Film Independen Filipina) berjudul One Hundred yang berkisah tentang seorang perempuan penderita kanker yang sekarat (diperankan oleh aktris Eugene Domingo). Ia bertekad untuk melakukan 100 hal sebelum menemui ajalnya. Perempuan ini berasal dari masyarakat kelas menengah tentunya jadi kami memfilmkannya sesuai layaknya mereka yang tinggal di apartemen dan gedung-gedung menjulang Manila. Kami memenangkan penghargaan di Cinemalaya, dan film kami diputar di berbagai festival dunia. Nah, saat kami ke Osaka, saya bertemu dengan seorang Jepang yang menyaksikan film saya dan bertanya, mengapa anda tidak menampilkan kejujuran Manila? Kemiskinan dan kehidupan masyarakat melarat?. Pertanyaan ini sungguh sangat mengejutkan. Bagaimana bisa, dunia mempersepsikan Filipina yang rekat dengan kemiskinan? Saya dibesarkan, hidup dan tinggal di lingkungan kelas menengah dan saya tidak cukup dekat dengan kemiskinan yang biasa digambarkan di film-film independen Filipina. Karena itulah, sejak 2008 kami menyiapkan sebuah script film tentang bagaimana orang melihat kemiskinan dengan sumbang, seperti melihat pornografi.

Mengapa mengambil judul Septic Tank? Apa yang lebih rendah dari sampah? Maaf, tai, bukan? Maka jadilah Septic Tank. Sekali lagi maaf, penampung tai. Memang menyedihkan, tapi begitulah negara negara besar melihat Filipina yang selalu dilekatkan dengan kemiskinan. Saya lelah dengan klise ini. Ya, tentu saja sebagian rakyat Filipina berada dalam kemiskinan. Tapi ada juga orang orang yang hidup di kelas menengah ke atas. Mudah mudahan dengan film ini, pandangan klise tentang Filipina berubah. Berapa lama anda butuhkan untuk memproduksi film ? Film ini film independen, tapi mengapa bisa mengajak Eugene Domingo, artis dengan bayaran mahal di Filipina. Dari 2008 hingga 2010. Saya dan Chris beberapa kali bertemu. Chriz Martinez selalu sibuk karena ia adalah sutradara film block buster Filipina. Kami sepakat, dalam film The Woman in the Septic Tank, saya menjadi sutradaranya. Ini pertama kali buat saya. Kami mendapat hibah 500.000 peso (sekitar 12.000 USD) dan akhirnya film ini kami produksi dengan biaya total 3 juta peso (sekitar 70.000 USD). Realistis saja, ini budget yang sangat minim. Tentunya kami mengerjakan segalanya dengan akal akalan. Kamera ada, tapi lightingnya, well, ehm, cuma satu. Biaya produksi kami tekan sebisanya. Untung saja, Eugene Domingo, bintang film papan atas Filipina, bersedia berakting tanpa honor untuk film ini. Ia adalah sahabat dekat Chris Martinez. Saya juga minta bantuan teman teman untuk ikut dalam film ini yang bersedia main tanpa dibayar. It´s work of friends. Kesulitan apa lagi yang ditemui dalam memproduksi film ini? Setelah film ini rampung, sejumlah artis menghubungi saya dan bertanya, apakah karakter Eugene yang cerewet dan malah ingin mengatur alur dan setting film itu, yang diperankan sendiri oleh aktris Eugene Domingo) merupakan sindiran terhadap aktris aktris Filipina papan atas?. Saya sempat bingung dan meyakinkan bahwa karakter itu hanya fiksi. Apakah anda sudah memprediksi film ini ternyata sukses secara komersil? Saya bersyukur. Film yang berbujet mini ini, ternyata menembus block buster dan meraup keuntungan 38 juta Peso dari produksi 3 juta Peso! Dengan begitu, kami bisa membayar honor Eugene Domingo. Dipotong pajak, biaya distributor, kami bisa membuat film berikutnya. Apakah reaksi penonton sesuai dengan yang anda harapkan? Kami sempat khawatir pesan film ini tidak dicerna dengan mudah. Well, di Cinemalaya, mereka berharap ini merupakan film eksperimen. Saat kami bawa film ini ke Vancouver, mereka bisa menerima. Begitu juga di Pusan. Yang paling mengkhawatirkan adalah Berlinale. Budaya Jerman sangat berbeda, apalagi mereka terkenal sulit dibuat tersenyum.Tapi saya lega, dalam screening kemarin, penontonnya tertawa saat ada dialog mengenai “Kodak Theater” (Piala Oscar –red). Saya senang, batas batas budaya itu berhasil kami tembus. Dalam dua kali screening, kami mendapat beberapa undangan untuk ikut dalam festival film, dan dua distributor bersedia mengambil film kami. Masih ada dua screening lagi selama Berlinale. Mudah mudahan kami mendapat lebih banyak undangan dan distributor. Saya amat mensyukuri anugerah ini. Film saya diputar berbagai belahan dunia. Bayangkan, saya dihargai sebagai sineas dan diwawancara oleh wartawan dari berbagai negara, berbicara tentang film. Seperti yang anda lakukan ini. Di Filipina, saya jarang ditanya mengenai film oleh media. Yang mereka tanyakan, paling-paling apakah saya akan menghadiri ke pesta ulang tahun bintang film A atau B.***

FOVEA#0 2012 29


f e s t i v a lberlinale

f e s t i v a lberlinale

ton internasional. Jadi, mereka berusaha bikin film yang ceritanya bisa diterima pasar internasional. Sementara di Indonesia, rata-rata orang filmnya, baik sutradara maupun produser, sama sekali tidak memikirkan pasar internasional. Sebetulnya tidak ada yang salah jika mereka memikirkan pasar lokal saja. Tapi lebih baik jika filmnya menjangkau penonton yang lebih luas melewati batas lokal. Mind set ini memang belum umum. Ada juga sutadara dan produser yang sangat tahu pasar luar negeri. Seperi Garin Nugroho, Riri Riza, dan Nia Dinata. Mereka ini sudah cukup dikenal untuk pasar luar negeri.

photo GingGinanjar

Wawancara John Badalu

“Masih Banyak Investor Idealis Yang Mau Membiayai Film Idealis”

C

uaca dingin di bulan Februari. Diluar sana, terlihat antrian panjang para pencinta film yang akan membeli tiket untuk pemutaran film-film yang masuk program Berlinale, festival film internasional yang berlangsung di Berlin, Jerman. Disebuah ruang café tak jauh dari area festival, saya dan John Badalu menikmati pemandangan diluar sambil menikmati teh hangat. Tahun ini, John resmi menjadi salah satu kurator Berlinale. Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan pada 1971 ini salah satu orang paling berjasa dalam mengenalkan filmfilm Indonesia di festival-festival internasional mancanegara. John punya sejarah panjang dengan berbagai festival. Perkenalannya dengan dunia festival dimulai sejak tahun 1999 ketika bergabung menjadi pekerja sukarela di Jakarta International Film Festival (Jiffest). Berturut-turut, ia menjadi staf operasional di British Film Festival yang diselenggarakan oleh British Council, Jakarta, lalu kembali ke Jiffest di tahun 2000. Sejak itu, John nyaris tak berhenti bekerja dari satu festival ke festival lainnya, tidak hanya di festival film di Indonesia tapi juga festival film internasional. Dimulai dari sukarelawan di festival film, John kemudian menjadi film programmer hingga menjadi juri, diantaranya untuk Teddy Award di Berlinale. Dengan semua pengalamannya itu, John kemudian memprakarsai Q! Film Festival yang khusus memutar film-film bertema LGBT, satu-satunya di Indonesia yang dimulai tahun 2002. Selain sibuk mengelola Q! Film festival, dan juga menjadi produser dibeberapa film-film Indonesia, John juga aktif mempromosikan film-film Indonesia dilingkaran festival film dunia. Artis Ria Irawan kemudian menjulukinya Menteri Luar Negeri untuk Film Indonesia

30 FOVEA#0 2012

Karena itu, John Badalu adalah orang yang tepat diajak ngobrol tentang film-film Indonesia yang belakangan ini makin banyak diputar di festival mancanegara. Berikut petikan obrolan Miranti Hirschmann dengan John Badalu di Berlinale, februari lalu. Bagaimana pandangan anda tentang Film Postcard From The Zoo yang masuk kompetisi di Berlinale tahun ini? Buat saya, Postcard From The Zoo adalah masterpiece. Baik dari sisi cerita, sisi produksi, maupun penyutradaraan. Nyaris nggak ada cacatnya. Kompetisi di Berlinale sangat berat, tapi film ini sangat pantas buat kompetisi. Masalah menang, tergantung siapa jurinya. Film yang biasa-biasa saja juga bisa menang. Masuk kompetisi di Berlinale saja sudah merupakan kemenangan. Sebagai salah satu kurator di Berlinale, bagaimana pandangan anda mengenai film film Asia Tenggara yang masuk Berlinale? Tahun ini untuk pertama kalinya, ada lebih dari 10 film yang masuk. Rata-rata film ini mengambil tema dan penceritaan yang sangat kuat. Di kategori utama (kompetisi) ada 2 film (Postcard from the Zoo dan Captive dari Filipina). Kualitasnya bertaraf internasional dan sudah bisa berkompetisi secara fair. Baik dari sisi cerita, produksi, production valuenya sudah bagus dan visualnya ngga beda dengan film film dari negara yang industri filmnya sudah mapan. Bila dibandingkan dengan film Thailand di industri perfilman internasional, nampaknya Indonesia tertinggal. Apa bisa Indonesia mengejar mereka? Seharusnya bisa. Kita baru mulai. Sejak dulu, tiap kali bikin film, Thailand sudah memikirkan target pasarnya . Tidak hanya diperuntukkan bagi penonton lokal, tapi juga penon-

Sebagian bertujuan menjaga lingkungan, penggambaran tentang kerusakan bahkan kiamat karena kehancuran ekosistem. Lihat film film yang muncul di Cannes tahun lalu, atau The Mirror Never Lies (Kamila Andini) . Post card from the Zoo juga berbicara tentang lingkungan dengan pandangan yang sangat mikro, yaitu dengan latar belakang kebun binatang. Saya melihat adanya peningkatan yang sangat besar pada pembuatan film untuk anak anak dan isu tentang anak anak. Selalu ada trend, dan lainnya akan mengekor. Sutradara yang maju ke Berlinale masih muda-muda. Apa berpengaruh pada film mereka, dibandingkan dengan yang senior?

Potensi film Indonesia sebetulnya sangat besar, dan bisa sejajar dengan Thailand dan Filipina. Sekarang tergantung ide cerita, dan harus seorisinal mungkin. Saat ini di Indonesia agak sulit karena di Indonesia produksi filmnya masih cenderung mengekor film genre tertentu yang sedang top. Jarang sekali ide orisinal muncul. Ini yang membuat film Postcard from The Zoo sangat berbeda, baik dari isi cerita maupun temanya beda. Makanya film ini mencuat.

Bila kita melihat umur dan jumlah film yang pernah mereka tangani, memang akan terlihat film mana yang dibuat oleh sutradara muda dan mana yang dibuat oleh sutradara senior. Ini jelas, pengalaman mereka kan juga berbeda-beda. Ada sutradara muda yang pemahamannya terhadap medium film diatas rata-rata. Film pertamanya sudah sangat kuat, karena banyak menonton, memiliki banyak referensi dan didukung penulis skrip yang baik dan tim yang bagus.

Tak semua film Indonesia bisa diputar di Indonesia. Bukankah ini ironi?

Nah, tim yang bagus menjadi salah satu masalah juga di Indonesia. Di negara kita, masih sangat sulit membentuk tim yang baik dan profesional karena SDM kita masih sangat terbatas. Penulis skenario misalnya, belum banyak yang bagus. Kebanyakan masih terima pesanan. Jarang yang mampu menuangkan idenya sendiri. Selain penulis skenario, produser yang baik juga sulit ditemukan di Indonesia. Kalau kita lihat sekarang ini, ada berapa produser di Indonesia? Bisa dihitung dengan jari. Semua ingin jadi sutradara. Perbadingan kasarnya ada 5 produser, dan 100 sutradara yang ingin filmnya dibuat.

Penilaiannya sangat subyektif. Prosedur kita sejauh ini menghadapi dilema sendiri. Bila sebuah film diproduksi dan ingin diputar di bioskop, mereka harus lulus lembaga sensor film. Lembaga sensor ini walau punya standar, kadang juga sangat subyektif. Tergantung siapa anggota sensor yang menonton film tersebut dan apa yang diputuskan, adegan mana yang bisa diputar dan mana yang dipotong. Ini jadi tergantung si pembuat filmnya. Disatu pihak, film adalah pengalaman personal. Tiap orang punya interpretasi berbeda terhadap sebuah film. Ada film drama biasa tapi dianggap kritik sosial atau malah dianggap menyinggung. Ini kan soal interpretasi. Nah pembuat filmnya rela atau tidak filmnya tidak bisa diputar di dalam negeri? Karena ada juga pembuat film yang membuat film hanya untuk diputar pada festival film.

Mengapa profesi sutradara lebih digandrungi?

Lalu bagaimana dengan pembuatan film-film ‘idealis’? Bukankah sulit membiayainya?

Sekarang lagi ramai para sutradara muda mencari dana untuk membiayai filmnya dengan cara crowdfunding, menurut anda bakalan jadi trend juga nggak di Indonesia?

Mau seideal apapun, film adalah industri. Bila produsernya sangat idealis, mereka akan cari cara apapun untuk memproduksi film itu, apalagi tahu filmnya tidak bakal laku. Kalau produksi film yang bersifat komersial, mereka akan cari uang dan mempertimbangkan hal-hal lain, sehingga laku di bioskop dan uang investor kembali. Ada juga film yang punya idealisme namun sekaligus bernilai komersial. Tapi jangan kecil hati, masih banyak investor di dunia ini yang juga idealis. Mereka mau membiayai pembuatan film idealis dan tak berharap uangnya kembali. Anda banyak mendatangi berbagai festival film di luar negeri. Kemana arah film film dunia bergerak? Sulit memprediksi film yang apa saja yang sedang dibuat. Para sineas biasanya bekerja diam-diam, dan saat hampir rampung, baru mereka pengumuman sedang bikin film apa. Jangan heran, dalam satu tahun, bisa ada 2 film dengan tema yang sama keluar dipasaran. Menurut pengamatan saya, 2-3 tahun terakhir ini, banyak sekali film yang dibuat bertemakan lingkungan. Entah sengaja atau tidak.

Sutradara menangani filmnya, artistik, alurnya, dan lain lain. Produserlah pedagangnya, banyak berhubungan dengan finansial. Tak banyak yang senang mengurusi hal ini, apalagi di dunia kesenian. Produser harus mampu berkompromi antara kerja kreatif dan kerja industri.

Crowdfunding jadi trend di Amerika, jadi bisa jadi trend juga di Indonesia, karena memang kita selalu mengacu kepada Amerika. Tapi juga tergantung bagaiman caranya mempromosikannya. Masalahnyakan, sistem dan proses crowdfunding ini belum biasa kita lakukan. Masih banyak sekali orang yang belum terbiasa membayar segala sesuatu dengan kartu kredit, termasuk saya. Jadi kayaknya masih susah kalau diterapkan di Indonesia. Menurut saya, crowdfunding ide yang menarik, tapi imbalan kepada para donatur masih sangat tidak “nyata”. Biasanya kan kalau crowdfunding imbalannya cuma nama dicantumkan di credit title aja, dan orang Indonesia jarang yang mau tinggal didalam bioskop sampai credit title habis. Waktu anda jadi produsernya Paul Agusta (untuk film Parts Of the Heart), apa sempat kepikiran untuk crowdfunding juga? Waktu jadi produsernya Paul, saya sama sekali tidak berpikir untuk crowdfunding, karena saya yakin bisa dapat beberapa orang yang punya potensi untuk mau membiayai. ***

FOVEA#0 2012 31


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

KABAR DARI PESTA SINEMA FESTIVAL FILM CANNES 2012 C

uaca yang buruk, hujan yang mengguyur, angin yang menghempas, mewarnai hampir sepanjang Festival Film Cannes yang berlangsung dari tanggal 16 hingga 27 Mei 2012 lalu. Tapi, faktor cuaca buruk tidak mengurangi antusiasme pencinta film untuk tetap menikmati puluhan film yang terpilih di berbagai program. Seperti biasa, di program kompetisi banyak menghadirkan karya sutradara-sutradara diluar arus utama yang menghadirkan sentuhan khas dan personal dalam karya-karya mereka. Seperti juga tahun-tahun sebelumnya, festival film yang sudah memasuki usia 65 ini masih dibanjiri dengan berbagai film Hollywood. Bahkan di kompetisi utama. Terlihat jelas perbedaan pendekatan antara sutradara-sutradara Amerika yang masih kuat berpegang teguh terhadap keyakinan bahwa film adalah seni hiburan dan fokus terhadap pasar dengan sutradara-sutradara non-Amerika (non-arus utama) yang lebih fokus pada pendekatan personal dengan ide-ide yang kadang sangat ekstrim. Ada film yang dianggap Amerika tapi masuk kategori art-house cinema seperti Cosmopolis karya David Cronenberg. Tahun ini juga ditandai dengan banyaknya film dengan komentar dan kritik sosial yang kental seperti The Angels Share karya Ken Loach atau The Hunt karya Thomas Vinterberg. Film-film dari sutradara-sutradara asing non Amerika-non Eropa juga mewarnai festival tahun ini; Abbas Kiarostami dari Iran, Im SangSoo dan Hong Sang Soo dari Korea, Lou Ye dari Cina, Darezan Omirbaev dari Kazakhstan, Carlos Reygadas dari Meksiko, Yoursy Nasrallah dari Mesir, Moussa Touré dari Afrika, Sergei Loznitsa dari Ukrania, dan banyak lagi yang turut hadir dalam pesta film tahunan ini. Selain tradisi menghadirkan beragam sinema dari berbagai belahan bumi, Cannes kembali menghadirkan film politik yang mengundang kontroversi. Tahun ini ditandai dengan film dokumenter The Oath Of Tobruk karya filsuf Bernard-Henri Levy. Film ini bukan hanya kontroversial karena isinya tapi justru karena kehadiran Bernard-Henri Levy sebagai sutradara. Di Perancis dan sekitarnya, film ini dicemooh sebagai ajang pamer gaya dan kuasa sang filsuf selebriti. Dan tentu saja, tak lupa, Cannes juga menghadirkan karya-karya dari generasi baru yang akan menentukan masa depan dunia sinema. Festival Film Cannes tidak pernah luput menjadi ajang pesta paling megah di dunia sinema. Pesta meriah dunia sinema selama 12 hari di pesisir pantai Croisette itu akhirnya menyimpulkan bahwa Amour karya Michael Haneke adalah film terbaik dan pantas membawa pulang Palem Emas. Pro dan kontra saling bersahutan di laman sosial media. Berbagai komentar terdengar di malam penghargaan, khususnya karena Michael Haneke baru tiga tahun lalu memenangkan penghargaan paling prestisius tersebut lewat filmnya The White Ribbon. Protes satu arah kepada keputusan juri untuk memberikan Palem Emas kepada Haneke, juga karena penghargaan tersebut berarti mengeliminasi kesempatan dua tokoh utama dalam Amour, Emmanuelle Riva dan Jean Louis Trintignant untuk mendapatkan predikat artis/aktor terbaik. Memberikan tiga penghargaan utama dari satu film adalah aturan yang tidak bisa dilanggar oleh siapa saja jury yang sedang bertugas. Nanni Moretti, sebagai ketua dewan juri Festival Film Cannes tahun ini kembali menekankan hal tersebut. “Beberapa anggota juri ingin memberikan hadiah artis/aktor terbaik kepada Jean Louis Trintignat dan Emmanuelle Riva, tapi ada aturan yang tidak mengizinkann komposisi seperti itu,” kata Moretti usai malam gala penutupan pada 27 Mei 2012 lalu. Selain itu, menurut Moretti, tidak ada satupun penghargaan yang disepakati secara utuh oleh semua anggota juri. Bagaimanapun, tidak ada yang bisa menyangkal, dilihat dari berbagai sisi, Amour adalah satu-satunya film yang paling layak menyandang kata ‘masterpiece’ diantara semua film di seksi kompetisi tahun 2012 ini. Narasi Amour mungkin konvensional bagi sebagian orang. Dengan kru, pemain dan ruang yang serba terbatas, membuktikan kematangan Haneke sebagai sineas dengan penguasaan medium sinema yang diatas rata-rata. Karena itu, bagi sebagian sinefil, tahun ini mungkin adalah salah satu tahun dengan seleksi sekumpulan film-film yang tidak terlalu menonjol baik dari segi eksplorasi struktur maupun narasi yang memang selalu dinantikan tiap tahun di Festival Film Cannes. Tapi secara keseluruhan, Cannes ditahun 2012 menyuguhkan pilihan-pilihan yang cukup beragam baik di Kompetisi Utama, Un Certain Regard serta di program sampingan seperti Out Of Competition dan Special Screening. Paling istimawa bagi sinema Indonesia adalah hadirnya Lewat Djam Malam karya bapak perfilman Indonesia, Usmar Ismail di program Cannes Classics. Program ini khusus menampilkan film-film klasik dan masterpiece dalam sejarah dunia sinema yang sudah di restorasi. Asmayani Kusrini melaporkan dari Festival Film Cannes 2012

FOVEA#0 2012 33


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012

KRITIK SOSIAL : YANG UNIVERSAL YANG KOMUNAL

Tema diskriminasi terhadap golongan tertentu juga ditampilkan oleh Juan AndrĂŠs Arango dalam fimnya La Playa DC di program Un Certain Regard. Berkisah tentang Tomas, remaja kulit hitam yang ingin menjadi bagian dari kehidupan sosial di Bogota, yang terkenal sebagai metropolis yang rasis. Seperti karakter Robbie dalam The Angels Share, Tomas dalam La Playa DC juga berjuang mencari pekerjaan untuk bisa keluar dari daerah miskin La Playa dan bebas dari diskriminasi. Tapi sistem dan adanya strata sosial membuat Tomas harus terbentur dan jatuh bangun untuk memenuhi tuntutan sosialnya. La Playa DC juga menampilkan bagaimana kota besar menjadi sumber ilusi bagi orangorang pinggiran seperti Tomas Selain La Playa DC, program Un Certain Regard juga menghadirkan La Pirogue karya sutradara asal Senegal, Moussa Toure. Film tentang orang-orang Afrika yang ingin mengembara mencari kehidupan lebih baik di Eropa. Sebuah ilusi dari orang-orang yang sudah terlalu lama tenggelam dalam kemiskinan di negeri dengan sistem ekonomi yang amburadul.

La Playa DC (Septima Films)

Penerima penghargaan Grand Prix aka medali perak tahun ini diterima oleh Matteo Garrone, sutradara asal Italia, lewat film Reality. Film ini mengangkat isu sekaligus mengkritisi program reality show di televisi yang menjangkiti masyarakat bawah, tidak hanya di Italia, tapi juga diseluruh dunia. Seperti namanya, Reality dan Show hanyalah salah satu dari produk dunia hiburan yang jadi sumber mimpi, utamanya dikalangan tak berpendidikan sebagai jalan keluar untuk mendapat kemewahan instan.

The Angels Share (Why Not Production)

T

ahun ini, sejumlah sutradara terang-terangan ingin membuat pernyataan atau komentar terhadap isu-isu sosial yang belakangan sedang marak di seluruh dunia. Kecuali Amour yang lebih personal, semua film yang memenangkan penghargaan di Festival Film Cannes ke 65 ini adalah film-film dengan isu-isu sosial yang kental. Mulai dari Angels Share, Reality, Beyond The Hills, The Hunt dan bahkan Post Tenebras Lux yang dianggap sebagai film eksperimental, juga adalah sebuah komentar terhadap keterasingan sebuah keluarga borjuis kecil yang ingin menjadi bagian dari masyarakat bawah di tempat tinggal mereka yang baru. Komentar sosial dari berbagai sudut pandang tidak hanya hadir di film-film yang memenangkan penghargaan, tapi juga di film-film lainnya di kompetisi utama hingga ke Un Certain Regard. Dalam hal komentar sosial, Ken Loach adalah salah satu sutradara Inggris yang terdepan menggunakan film sebagai medium untuk mengkritisi kehidupan sosial di Inggris. Ia terkenal sebagai sutradara kiri yang tidak pernah bosan memotret kehidupan proletar. Di Cannes, Loach hadir dengan The Angels Share. Lewat film ini, Loach menerima penghargaan Jury Prize, medali perunggu di Festival Film Cannes. “Karakterkarakter dalam film saya adalah pengangguran yang dianggap tidak berguna dalam masyarakat. Tapi lewat film saya, karakter-karakter ini akan membuktikan bahwa solidaritas adalah jalan terbaik dan mungkin untuk mereka yang ingin hidup lebih baik.� Buruh, pengangguran atau pekerja serabutan tanpa jaminan sosial memang menjadi kekhawatiran Loach sejak lama. Dalam film-filmnya, mereka ini tidak pernah diperlakukan sebagai sampah masyarakat tapi di potret sebagai manusia yang juga sedang berjuang untuk hidup, sambil mengkritisi sistem sosial yang diskriminatif dan membuat orang-orang ini sering menemui jalan buntu. Mulai dari Kes (tentang buruh tambang), Riff-Raff (buruh bangunan), dan sejumlah film tentang kehidupan pengangguran seperti Cathy Come Home, Raining Stones, Ladybird Ladybird, My Name is Joe, It’s A Free World hingga The Angels Share.

34 FOVEA#0 2012

Sementara Ulrich Seidl menyorot soal industri seks berkedok pariwisata dalam Paradise: Love (Paradise: Liebe). Seperti judulnya, Paradise: Love adalah paradoks sinis tentang cinta surgawi yang bisa ditawar layaknya menawar barang dagangan di pasar. Seperti juga barang dagangan lainnya, cinta jadi sumber eksploitasi antar ras, antar budaya dan antar sesama manusia. Meskipun fokus pada industri pariwisata di Kenya, sudah bukan rahasia lagi kalau isu yang diangkat dalam Paradise: Love juga terjadi didaerah pusat pariwisata manapun. Dari Asia hingga Afrika.

Cosmopolis (Alfama Films)

Kritik sosial akibat globalisasi juga menjadi salah satu isu yang terselip dalam Cosmopolis, karya David Cronenberg. Kalau empat film yang disebutkan diatas menyorot dampak kekacauan ekonomi dari bawah, maka Cosmopolis melihat keruntuhan sistem ekonomi global dari atas menara (atau secara harfiah, dari dalam limousine putih yang mewah). Bayangkan, saat hampir sebagian isi bumi bekerja keras membanting tulang mengumpulkan sen demi sen, disaat yang sama, satu dari sedikit orang didunia ini hanya duduk dalam limousine, berspekulasi dan bermain dengan setiap sen yan dikumpulkan tersebut, dan menjadi miliuner. Selain Cosmopolis, Taste Of Money karya Im SangSoo juga berbicara tentang uang yang mengendalikan banyak hal (juga) dari sudut pandang kalangan diatas awan. AGAMA SEBAGAI PEMBENARAN Selain kritik sosial akibat langsung globalisasi, Cannes tahun ini juga semarak dengan kritik sosial dalam komunitas tertentu. Beyond The Hills bercerita tentang komunitas relijius disebuah desa terpencil yang taat mengemban misi spiritual tapi mengesampingkan logika dan sisi kemanu-

Paradise Love (Ulrich Seidl Film Produktion GmbH)

FOVEA#0 2012 35


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012

Beyond The Hills (Mandragora Movies)

siaan mereka. Mungiu mengangkat tema kontroversial yang sudah menjadi perdebatan sejak kelahiran agama di dunia beradab. Dengan mudah kita bisa melihat bahwa Mungiu tidak hanya mengkritisi ortodoksi dalam gereja katolik, tapi juga menunjuk kesemua kelompok-kelompok agama yang buta terhadap kepentingan kemanusiaan dan sering menindas atas nama iman. Agama yang dijadikan landasan dan pembenaran terhadap tindak-tindak kekerasan juga menjadi topik utama dalam Horses Of God karya Nabil Ayouch. Film yang diputar di program Un Certain Regard ini mengamati dengan seksama bagaimana kemiskinan menjadi ladang subur kelompok fundamentalis agama. Disini, agama dimanfaatkan sebaikbaiknya sebagai alat sosial oleh kelompok tertentu. Pemanfaatan agama sebagai alat sosial juga digambarkan dalam White Elephant karya Pablo Trapero. Dua orang pen-

deta idealis mencoba menjadi jembatan untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dalam sebuah proyek raksasa yang terlantar. Proyek yang terkenal dengan White Elephant ini dicetuskan gereja untuk mengundang simpati dari komunitas miskin di Argentina. Film ini mengkritik keras para pemuka agama yang menawarkan ilusi bahwa agama adalah jawaban dari semua masalah yang ada di dunia. Yang menjadi korban bukan hanya masyarakat kecil tapi juga para pendeta idealis yang percaya bahwa mereka bisa melakukan perubahan lewat agama yang mereka wakili.

Horses Of God (Les Films Du Nouveou Monde)

Reality (Le Pacte)

In The Fog (Belarus Film)

The Hunt (Zentropa Entertainments)

lecehkan. Sebagai anak kecil, saya bisa duduk dipangkuan seorang lelaki yang telanjang dan tidak ada yang berpikir negatif,� kata Vinterberg. Jaman ini, dunia seperti dibekukan oleh rasa takut, kecemasan dan prasangka yang berlebihan.

yang dituduh melakukan pelecehan. The Hunt memotret dengan tepat bagaimana paranoia kolektif dalam sebuah komunitas begitu mendominasi hingga membutakan penilaian personal, penilaian moral terhadap sesama manusia. The Hunt melontarkan sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab.

PARANOIA DAN KEPERCAYAAN YANG HILANG Dalam sebuah wawancara, Thomas Vinterberg, sutradara asal Denmark itu bercerita bagaimana ia tumbuh di lingkungan yang komunal, dimana semua orang dekat satu sama lain dan semua orang dianggap keluarga. “Pada masa itu, semua orang bisa telanjang dan tidak ada yang merasa di

Fenomena hilangnya kepolosan yang dulu akrab ini yang ditampilkan oleh Vinterberg dalam film terbarunya The Hunt (Jagten). Paranoia terhadap kepercayaan yang disalahgunakan bukannya tanpa alasan. Berita-berita soal orangorang terdekat atau guru taman kanak-kanak yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak belakangan ini marak di berbagai media.

White Elephant (Matanza Cine)

36 FOVEA#0 2012

Sejak orang-orang mulai membangun kehidupan sosialnya di dunia maya, fenomena ini makin merebak. Yang menarik, Vinterberg tidak fokus kepada anak-anak yang menjadi korban pelecehan, tapi mengarahkan kameranya kepada orang

Pertanyaan moral yang tidak mudah ini juga di tampilkan oleh Sergei Loznitsa dalam filmnya In The Fog (V Tumane). Walaupun berlatar belakang perang dunia ke dua, apa yang ditampilkan In The Fog sama relevannya dengan The Hunt. Ketika individualisme merebak, siapa yang patut dipercaya? Teman bermain sejak kecil atau orang asing yang tiba-tiba muncul menengahi? Seperti The Hunt, In The Fog juga menyodorkan pertanyaan yang akan sulit dijawab. oleh Asmayani Kusrini

FOVEA#0 2012 37


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012

BINTANG HOLLYWOOD DAN KEKERASAN YANG DIBUAT SEKSI

S

epanjang sejarahnya, dunia film Amerika akan selalu berhutang budi pada Festival Film Cannes. Begitupun sebaliknya, festival ini tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehadiran film-film Amerika. Industri film Amerika lah yang meramaikan pantai Croisette dengan memboyong para superstar sejak festival film ini pertama kali diadakan pada 1946. Para superstar ini penting untuk menarik perhatian orang agar ma berbondong-bondong datang ke Cannes. Tanpa bintang-bintang yang berkibar di Hollywood ini, niscaya Festival Film Cannes tak akan semegah sekarang.

38 FOVEA#0 2012

Killing Them Softly (Plan B ENtertainment)

FOVEA#0 2012 39


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012

On The Road (American Zoetrope)

Tentu, tidak hanya kehadiran para bintang ini yang membuat Cannes menjadi festival film prestisius di mata para industriawan film Amerika. Pada 1946 itu, Festival Film Cannes menjadi saksi era keemasan film-film Amerika dengan memutar film-film yang kemudian menjadi klasik karya para maestro seperti Gaslight oleh George Cukor, Notorious oleh Alfred Hitchcock hingga The Lost Weekend karya Billy Wilder. Tidak hanya itu, di Cannes pula genre film noir mulai ditanggapi serius, dan di kota ini juga Orson Welles akhirnya diakui di dunia perfilman Amerika ketika ia mendapat penghargaan Grand Prix untuk filmnya Othello. Bahkan, Palem Emas yang baru dibaptis sebagai penghargaan tertinggi di Festival Film Cannes tahun 1955, pertama kali diberikan kepada sutradara Amerika, Delbert Mann untuk filmnya Marty. Selanjutnya, sebanyak 14 film Amerika tercatat sebagai penerima Palem Emas, negara penerima Palem Emas terbanyak sepanjang sejarah. Festival Film Cannes jugalah yang membuka pintu lebarlebar bagi generasi baru sutradara film independen yang tumbuh di Amerika ketika sistem studio mulai berakar kuat. Nama-nama seperti Morris Engel, John Cassavetes dan Irvin Kershner baru mulai dibicarakan ketika film-film mereka diputar di Cannes. Dan hanya di Cannes saja yang bersedia memutar film hasil tugas akhir dari seorang mahasiswa film Amerika bernama Francis Coppola, ketika Amerika bahkan belum mengenal namanya . Terbukti, Coppola menjadi salah satu anak emas di festival ini dan memboyong dua Palem Emas, pertama di tahun 1974 untuk karyanya The Conversation dan tahun 1979 untuk Apocalypse Now. Bagi sutradara-sutradara independen Amerika, Festival Film Cannes adalah rumah tempat mereka menemukan penonton, bahkan untuk film dokumenter politis seperti Bowling For Columbine karya Michael Moore. Sejak itu, para sutradara film-film Amerika selalu berusaha mendapat tempat di Palais De Festival, venue utama Festival Film Cannes. Apalagi, sejarah juga membuktikan, film-film yang diputar di Cannes juga selalu menjadi target perhatian para anggota Academy Awards sebelum membagi-bagikan Oscar mereka.

40 FOVEA#0 2012

Lawless (Annapurna Pictures)

Karena itu, tidak heran kalau setiap tahun dibulan Mei, pantai Croisette tidak pernah sepi dari kru film-film Amerika, tak terkecuali tahun ini. Tentu, di era ini sulit sekali mengidentifikasi film yang benar-benar Amerika dimana kewarganegaraan dan bahasa makin kabur dengan komunitas global khususnya di dunia film. Banyak film yang secara teknis dan produksi adalah Amerika tapi disutradarai oleh non Amerika. Atau film yang disutradarai oleh orang Amerika tapi di produksi di negeri-negeri jauh dengan menggunakan aktor artis yang juga berasal dari berbagai bangsa. Dalam hal ini, disepakati bahwa film-film dalam daftar kompetisi utama 2012 ini dianggap film Amerika dengan merujuk dari segi teknis, produksi dan sekumpulan bintang yang namanya tercatat sebagai aktor artis Hollywood, lambang supremasi film Amerika. Tahun ini ada Moonrise Kingdom karya Wes Anderson, Killing Them Softly karya Andrew Dominik, Lawless karya John Hillcoat, On the Road karya Walter Salles, dan Mud karya Jeff Nichols. Moonrise Kingdom yang menjadi film pembuka Festival Film Cannes ke 65 dianggap sebagai film Amerika yang mengikuti selera unik penonton Eropa. Dengan desain produksi yang mengagumkan, dan cara penyutradaraan Wes Anderson yang memang unik, film ini memang terlihat sangat Eropa. Moonrise Kingdom berkisah tentang kisah cinta sepasang bocah menjelang remaja umur 12-an, Sam dan Suzy, yang saling jatuh cinta sejak pandangan pertama. Kisah cinta terlarang dan naif ala Romeo dan Juliet ini diramu dengan kocak sehingga walaupun terselip adegan kekerasan yang artifisial, film ini bisa menjadi film keluarga yang menghibur. Film ini dibintangi aktor-aktor terkenal asal Amerika seperti Bruce Willis, Bill Murray dan Edward Norton yang membuat warga Cannes serentak berseru histeris ketika mereka tampil di karpet merah. Selain mereka, karpet merah Cannes tahun ini kembali menyambut Brad Pitt yang tak pernah lupa membagi-bagikan tanda-tangannya kepada para penggemar yang beruntung mendapat tempat persis didepan pagar. Brad Pitt datang

Moonrise Kingdom (AMerican Empirical Pictures)

Mud (Everest Entertainment)

The Paperboy (Lee Daniels Entertainment)

untuk mengawal film kompetisi Killing Them Softly karya Andrew Dominik. Film ini berkisah tentang pembunuh bayaran yang mencoba mencari cara terbaik membunuh perampok amatir. Brad Pitt kembali tampil sebagai jagoan antagonis yang diprediksi akan membuat Killing Them Softly laku dikalangan penonton perempuan.

sama oleh Jack Kerouac ini adalah salah satu karya penting dari The Beat Generation, generasi di Amerika yang anti kemapanan, menentang segala pemikiran dan gaya hidup konservatif di Amerika pasca perang dunia kedua. Dalam On The Road, The Beat Generation diwakili oleh Sam Riley, Garreth Hedlund, dan Viggo Mortensen. Sementara di jajaran artis dilengkapi oleh salah satu artis paling populer saat ini yaitu Kirsten Stewart. Stewart yang melejit lewat perannya sebagai Bella di trilogi Twilight Saga ini didampingi oleh nama-nama yang tak kalah tenarnya antara lain Kirsten Dunst dan Amy Adams

Film yang juga masuk kompetisi tahun ini adalah Lawless karya John Hillcoat. Walaupun Hillcoat dan Nick Cave penulis skenario film ini berkebangsaan Australia, namun Lawless sepenuhnya di produksi dan dibintangi aktor artis papan atas Amerika. Lawless menampilkan Tom Hardy, Shia LaBeouf, Guy Pearce, Gary Oldman, serta dua bintang baru Hollywood yang sedang bersinar terang, Jessica Chastain dan Mia Wasikowska. Lawless yang menggabungkan dua genre tipikal film Amerika, western dan gangster, berkisah tentang bisnis whiskey ilegal yang marak dibekuk oleh aparat hukum Amerika ditahun 1920 – 1933. Sementara itu, The Paperboy karya Lee Daniels menawarkan Nicole Kidman, Zac Efron, John Cusack, dan Matthew McConaughey sebagai pemeran utama serta Macy Gray sebagai narator. The Paperboy menggabungkan kisah investigasi jurnalisme dan kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan antara Zac Efron dan Nicole Kidman. Selain itu, film ini disusupi dengan isu-isu ras dan homoseksual. Matthew McConaughey adalah aktor Hollywood yang paling sibuk di Cannes tahun ini. Selain membintangi The Paperboy, McConaughey juga tampil dalam film Mud karya Jeff Nichols. Dalam Mud, McConaughey berperan sebagai tokoh Mud, seorang pelarian yang bersembunyi dari kejaran polisi akibat kasus pembunuhan. Mud digambarkan sebagai seorang kriminal yang romantis dan bercita-cita ingin membawa lari wanita pujaannya ke kehidupan yang lebih baik. Dalam film ini, McConaughey berpasangan dengan artis kelas Oscar, Reese Witherspoon. Tentu, tahun ini daftar film Amerika di Festival Film Cannes dilengkapi dengan On The Road karya sutradara asal Brazil, Walter Salles. On The Road yang diangkat dari buku berjudul

Dari semua film-film Amerika yang masuk dalam daftar kompetisi Festival Film Cannes tahun ini terlihat jelas bahwa film produksi Amerika masih sangat tergantung dengan kehadiran para bintang tenar. Mereka masih percaya bahwa para bintang inilah yang akan menjadi jaminan film mereka akan mendapat perhatian. Tidak ada yang berani mengambil resiko seperti Ken Loach, sutradara Inggris itu misalnya, yang sangat jarang mengajak nama tenar dalam produksi filmnya. Padahal Inggris tidak pernah kekurangan nama bintang tenar, tapi Loach tetap percaya bahwa pembentukan karakter dan skenario yang baiklah yang menentukan bangunan film yang baik. Selain ramai-ramai menampilkan bintang ternama, semua film ini masih menampilkan formula klasik film-film Amerika arus utama bahwa film adalah hiburan, dan hiburan dalam film itu terdiri dari: senjata, perempuan, seks dan kekerasan yang berlebihan. Kecuali On The Road, film-film ini seperti saling berlomba menampilkan adegan kekerasan yang bikin bergidik. Bahkan film Moonrise Kingdom yang ditujukan untuk remaja pun tak lepas dari aksi kekerasan yang brutal. Jika film adalah gambaran umum sebuah generasi, maka Amerika sepertinya tidak beranjak jauh dari industri film yang menganggap bahwa kekerasan adalah salah satu bumbu wajib untuk melancarkan pemasaran sebuah film. Violence is made sexy ! oleh Asmayani Kusrini

FOVEA#0 2012 41


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012

GENERASI BARU CANNES: DARI JUNIOR HINGGA ANAK AJAIB

F

estival Film Cannes 2012 mencatat sejarah baru: menampilkan dua Cronenberg. Inilah untuk pertama kalinya, festival ini menampilkan karya dua sutradara dari satu keluarga, bapak dan anak, di program utama. Sang bapak, David menayangkan perdana film terbarunya Cosmopolis di kompetisi utama, dan si anak, Brandon mempertontonkan Antiviral, karya pertamanya sebagai sutradara di program Un Certain Regard.

Dalam Glory At Sea, sudah terlihat jelas ketertarikan Zeitlin terhadap narasi realisme bercampur dengan gaya penyutradaraan dengan sentuhan magis. Film pendek ini berkisah tentang sekelompok sampah masyarakat (seperti karakterkarakter dalam Beasts) yang menjadi pengungsi setelah badai Katrina menerjang New Orleans. Kelompok marjinal ini berusaha menemukan kembali orang-orang yang mereka cintai diantara kekacauan akibat badai dahsyat itu. Terlihat bahwa Glory At Sea adalah cikal bakal Beasts Of

The Southern Wild. Dalam Beasts, kelompok terpinggirkan yang hidup didaerah banjir ini juga harus bertarung melawan badai. Kedua film ini memperlihatkan pendekatan Zeitlin yang aneh dan filosofis, dalam hal gaya dan narasi, tapi tetap bisa dinikmati sebagai tontonan yang menghibur. Kabarnya, setelah Beasts, Zeitlin sedang sibuk dengan proyek film barunya tentang orang-orang yang terdampar di tengah lautan Artik. Kita pasti akan mendengar lagi nama Benh Zeitlin di salah satu festival bergengsi di masa mendatang.

Tapi, bukan hanya generasi kedua dari klan Cronenberg yang mendapat kesempatan untuk memperlihatkan talenta sebagai sutradara berbakat. Setiap tahun, puluhan sutradara muda lainnya –rata-rata berusia dibawah 35 tahun-- hadir di berbagai program dengan posisi yang sama dengan para senior. Tapi seperti biasa, yang bisa menembus seleksi di program utamalah yang paling banyak menarik perhatian. Menjadi bagian dari keluarga besar Festival Film Cannes, mereka tentu punya keunggulan tersendiri. Film-film mereka selanjutnya niscaya akan selalu dinantikan. Tahun ini, tercatat 5 diantara sutradara muda ini menerobos di program Un Certain Regard dan Kompetisi utama, bersanding dengan nama-nama maestro sinema.

Asmayani Kusrini

Everest Entertainment

Jeff Nichols

Asmayani Kusrini

JOurneyman Pictures

Benh Zeitlin “Penghargaan ini saya persembahkan untuk semua orang yang membuat film pertama mereka, untuk keberanian dan keyakinan mereka,” kata Benh Zeitlin berseri-seri saat menerima penghargaan Camera D’or di Palais Du Cinema, Cannes 27 Mei lalu. Penghargaan ini diberikan kepada sutradara dengan film panjang pertamanya yang masuk seleksi Kompetisi, Un Certain Regard, Director’s Fortnight dan International Critic’s Week. Zeitlin, sutradara Amerika kelahiran 14 Oktober 1982 ini menampilkan film pertamanya Beasts Of The Southern Wild yang terseleksi di program Un Certain Regard 2012. Selain mendapatkan Camera D’Or, Beasts juga memenangkan penghargaan FIPRESCI sebagai film terbaik di program tersebut.

42 FOVEA#0 2012

Sebagai sebuah film low-budget, Beasts Of The Southern Wild, adalah film ambisius yang unik. Sebuah film realisme magis tentang orang-orang marjinal yang berusaha bertahan tetap tinggal didaerah asal mereka yang rawan banjir. Film ini sudah memenangkan penghargaan Grand Jury Price di Sundance Film Festival, January 2012 lalu. Ini bukan untuk pertama kalinya Zeitlin membuat film realisme magis. Setelah lulus kuliah, Zeitlin membentuk Court 13, kelompok pembuat film independen yang kemudian membantunya menyelesaikan sejumlah film pendeknya yaitu Egg, Origins Of Electricity, I Get Wet dan Glory At Sea. Film pendek Glory At Sea memenangkan Wholphin Award di SXSW Festival (South By Southwest), Texas, tahun 2008 lalu.

Sejak membuat film pertamanya, Shotgun Stories, Jeff Nichols tidak pernah kekurangan undangan untuk hadir diberbagai festival-festival film bergengsi. Shotgun Stories pertama kali di putar di program Forum, Berlin Film Festival pada 2007. Berturut-turut, film tentang pembalasan dendam tiga orang saudara sebapak lain ibu ini diputar di berbagai festival, dinominasikan untuk berbagai penghargaan dan memenangkan penghargaan Grand Jury Prize untuk New American Cinema di Seattle International Film Festival, Grand Jury Prize di Austin Film festival dan penghargaan juri internasional FIPRESCI di Viennale. Kritikus senior Roger Ebert mencantumkan Shotgun Stories dalam daftar film terbaiknya di tahun 2008. Menyusul kesuksesan Shotgun Stories, Nichols kemudian membuat Take Shelter yang masuk dalam seleksi Critic’s Week di Fesival Film Cannes tahun 2011 lalu. Dalam program Critic’s Week 2011 tersebut, Nichols memborong penghargaan Grand Prize sebagai film terbaik, SACD Award sebagai film dengan skenario terbaik dan penghargaan juri international FIPRESCI. Selanjutnya, film panjang Nichols yang kedua ini memenangkan berbagai penghargaan di berbagai kategori di 24 festival film internasional di seluruh dunia. Dengan dua film tersebut, sutradara kelahiran Arkansas

pada 7 Desember 1978 ini sudah menjadi topik pembicaraan hangat diantara para programmer film festival. Tidak heran, begitu Mud, selesai dibuat, Festival Film Cannes tak segan-segan menempatkan film panjang Nichols yang ketiga ini di seksi kompetisi, bersaing dengan para maestro seperti David Cronenberg hingga Abbas Kiarostami. Menurut pengakuan Nichols, Mud adalah ide yang disemai pelanpelan sejak ia masih dibangku kuliah di sekolah film North Carolina. Nichols memilih untuk membuat Shotgun Stories dan Take Shelter, karena menurutnya dua film ini adalah batu loncatan untuk mewujudkan Mud yang matang secara teknis maupuan finansial. Dua film sebelumnya, Nichols bekerja jauh dibawah standar bujet. Untuk Mud, ia ingin semua sesuai standar dan berjalan sesuai rencana dengan bujet yang sudah tersedia. “Mud adalah film saya yang paling ambisius dan juga berbiaya paling besar,” kata Nichols. Jika Shotgun Stories mengangkat tema tentang pembalasan dendam, Take Shelter tentang ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga, maka Mud sederhananya adalah tentang cinta. Dengan tiga film beragam tema dengan kualitas yang serba matang dan terukur, Nichols mencatat namanya sebagai salah satu generasi baru sinema yang paling berbakat dekade ini.

FOVEA#0 2012 43


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012

Pop Films

Rhombus Media

Brandon Cronenberg Brandon sepertinya sudah siap mental ketika memutuskan untuk akhirnya terjun ke dunia film. Sejak remaja, ia sudah terbiasa disambut sebagai anak David Cronenberg. Telinganya sudah terbiasa mendengar kawan-kawannya memujimuji film sang ayah. “Banyak yang menilai saya berdasarkan prasangka mereka terhadap ayah saya,” kata Cronenberg junior ini. Karena itu, awalnya Brandon mencoba medium seni yang lain, mulai dari literatur hingga video art. Tapi, pria yang memasuki usia 32 tahun ini sadar, ia tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya terhadap dunia film. Maka dengan film pertamanya, Antiviral, Brandon siap untuk selalu dibandingkan dengan sang ayah, siap untuk dianggap bayangan, siap untuk terus ditanya tentang hubungan antar keluarga Cronenberg dengan karya-karya filmnya, bahkan siap untuk dianggap memanfaatkan reputasi sang ayah untuk bisa sampai ke Festival Film Cannes. “Dia adalah ayah saya yang membesarkan saya. Jadi saya tidak bisa mengelak jika ada kesamaan selera estetis. Awalnya saya sangat khawatir soal ini, tapi saya pikir, saya tidak akan bergerak kemana-mana jika terus memikirkannya,” kata Brandon. Jika Brandon masih bergelut dengan kekhawatiran tersebut, tentu kita tidak akan menonton Antiviral yang terpilih sebagai salah satu film di Un Certain Regard. Setelah menon-

44 FOVEA#0 2012

tonnya, rasanya tak adil untuk terus membuat perbandingan antara senior-junior ini. Bahwa Antiviral mengingatkan orang kepada film-film Cronenberg senior diawal karirnya memang tidak bisa dihindari. Toh jaman ini, ide orisinil rasanya sudah jadi barang super langka. Cronenberg junior paham benar soal itu. Tapi ia juga paham apa yang ingin diangkatnya ke layar lebar dan bagaimana cara mengucapkannya dalam bahasa visual. Konsep yang ditawarkan Brandon pun sangat matang: tentang dorongan untuk mendewakan seseorang. Sebuah gejala umum yang aneh tapi membudaya dalam masyarakat kita. Film ini berasal dari observasi mendalam tentang obsesi terhadap selebriti yang menggila sehingga membuat para penggemarnya rela meniru apa saja yang dilakukan sang idola. Obsesi itu menjadi makin akut belakangan ini dengan berbagai reality show yang menampilkan kehidupan sehari-hari selebriti tersebut. Antiviral adalah film sciencefiction dengan pilihan estetis bernuansa putih steril dengan kamera statis yang komposisinya ditata dengan detail dan merujuk pada 2001: A Space Odyssey karya Stanley Kubrick. Maka jadilah Antiviral sebagai film utuh yang punya karakter sendiri. Sebuah film yang benar-enar menerapkan medium sinema sebagai seni visual, tapi sekaligus juga sebagai alat kritik sosial.

Michel Franco Sutradara asal Meksiko berusia 33 tahun ini mulia membuat film pendek usai menyelesaikan pendidikan formalnya dalam bidang media. Awalnya, Michel Franco membuat Cuando Sea Grande, sebuah film pendek kampanye anti korupsi yang diputar diberbagai sinema di Meksiko. Tahun 2003, Franco menerima penghargaan Film Pendek Terbaik di Festival Film Dresden untuk filmnya Entre Dos yang juga menang rand Prize di Festival Film Huesca. Di Festival Film Cannes, Michel Franco sudah bukan nama yang asing. Tahun 2009 lalu, film panjangnya yang pertama Daniel And Ana diputar dalam program Director’s Forthnight. Film panjangnya yang kedua, After Lucia dikembangkan saat menjalani progam Residency Cinefondation Cannes pada 2010 lalu. Program residensi ini adalah program khusus untuk membantu pengembangan proyek film bagi para sutradara muda dari berbagai negara yang sedang mengerjakan film panjang mereka yang pertama atau kedua. After Lucia yang masuk dalam program Un Certain Regard tahun ini adalah film hasil pendidikan yang diterima Franco di program residensi tersebut plus kemampuan dan bakatnya sebagai sutradara muda yang memang menon-

jol. After Lucia adalah pengamatan terhadap kecenderungan alamiah manusia untuk menegaskan kekuasaan atas individu-individu yang lemah serta kecenderungan melupakan begitu saja dan tidak pernah menyesal atas tindakan kekerasan komunal mereka. Bagi Michel Franco, Meksiko adalah negeri yang brutal: kekerasan terjadi dimana saja kapan saja oleh siapa saja. Premis ini juga berlaku universal. Karena itu, Franco menggambarkan situasi ini terjadi di lokasi paling universal, sekolah. Area pendidikan tidak pernah hanya jadi tempat untuk menuntut ilmu dan membaca buku, tapi juga tempat para pelajar ini berinteraksi, bersosialisasi dengan dunia diluar rumah. Tidak mengherankan jika banyak peneliti sosial yang menemukan bahwa perilaku kekerasan justru sering terjadi didalam gedung sekolah. After Lucia tidak ditampilkan secara kasat mata diatas layar tapi dirasakan kehadirannya lewat respon emosional karakter-karakternya dan pengaruhnya terhadap hubungan mereka. Tanpa menampilkan adegan sensasional itulah justru membuat After Lucia menjadi sensasi sehingga dinobatkan sebagai pemenang film terbaik Un Certain Regard. Cannes tentu akan menunggu karya Michel Franco selanjutnya.

FOVEA#0 2012 45


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

color page

Xavier Dolan for rent Sutradara termuda sekaligus paling ambisius dalam generasi baru ini adalah Xavier Dolan. Sutradara asal Quebec, Kanada ini baru berusia 23 tahun tapi pencapaiannya dalam dunia sinema jauh melampaui usianya. Dolan memulai karir sebagai aktor cilik sehingga ia paham cara kerja dibelakang layar. Diusianya yaang belia, ia dengan percaya diri menyutradarai filmnya yang pertama J’ai Tué Ma Mère, semi-otobiografi tentang hubungan Dolan yang gay dengan ibunya sendiri. Film pertamanya yang termasuk dalam program Directors Fortnight di Cannes tahun 2009 ini memenangkan sejumlah penghargaan tahun itu: Art Cinema Award dari CICAE ( Confédération Internationale des Cinémas d’Art et d’Essai ), sebuah penghargaan khusus untuk membantu si penerimanya mendistribusikan filmnya dengan layak. Dolan juga mendapat Prix Regards Jeune, sebuah penghargaan dari 7 orang juri muda untuk film terbaik menurut mereka, dan kemudian SACD Prize, penghargaan yang diberikan kepada film panjang berbahasa Perancis di program Director’s Forthnight. Setelah Cannes, J’ai Tué Ma Mère berturut-turut memenangkan penghargaan di 20 festival film lainnya, termasuk MovieZone Award di Rotterdam Film Festival, People’s Choice Award di Istanbul International Film Festival, hingga Special Mention di Bangkok International Film Festival. Di tahun 2010, Dolan kembali ke Cannes ketika filmnya Les Amours Imaginaires (Heartbeats) terpilih dalam Un Certain Regard. Seperti J’ai Tué Ma Mère, Dolan tampil sendiri sebagai tokoh utama dalam film keduanya ini. Seperti film pertamanya, Heartbeats juga memenangkan penghargaan Prix Regards

46 FOVEA#0 2012

Jeune dan MovieZone Award di Rotterdam Film Festival. Heartbeats juga mendapatkan penghargaan tertinggi di Sydney Film Festival. Dengan daftar panjang penghargaan tersebut diusia yang belum lagi 30 tahun, Dolan tak raguragu membuat filmnya yang ketiga, Laurence Anyways yang membuatnya kembali masuk seleksi Un Certain Regard. Laurence Anyways adalah sebuah melodrama epic tentang kisah cinta antara seorang wanita dan seorang pria yang ingin mengubah kelamin menjadi perempuan. Kisah cinta ini sengaja berlatar belakang era 80an dan 90an dimana berbagai kemajuan sosial dan politik sedang marak, runtuhnya tembok Berlin, AIDS, dan homoseksual yang sangat tepat dengan konteks cerita Laurence Anyways. Film ini juga memuaskan keinginan Dolan untuk membuat film ala Titanic yang menurutnya adalah kisah cinta paling romantis dan paling ambisius. Obsesinya terhadap kisah kasih yang tak sampai, membuat Dolan berencana untuk kembali mengangkat tema ini di proyek film selanjutnya. Tapi sebelum itu, ia berharap ada sutradara yang akan mengajaknya berperan sebagai aktor. Jika tidak, ia akan membuat film untuk dirinya sendiri sebagai aktor. “Saya yakin, saya bisa menjadi aktor yang sangat baik jika saya teru menerus melakukannya. Karena itu penting bagi saya untuk terus berakting,” kata Dolan. Perlu dicatat, selain sebagai aktor, Dolan juga tertarik sebagai fashion desainer. Dalam Laurence Anyways, Dolan tidak hanya bertindak sebagai sutradara, tapi juga penulis skenario, editor dan fashion desainer. Dengan multi bakat yan dimilikinya, tak heran, banyak yang menjuluki Dolan sebagai anak ajaib dunia sinema.


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012

POLITIK DI CANNES: AJANG KEMENANGAN LIBYA atau AKSI HEROIK BÉRNARD-HENRI LEVY?

Tahun lalu, Festival Film Cannes sengaja memutar film This Is Not A Film karya Mojtaba Mirtahmasb dan Jafar Panahi sebagai penghormatan kepada sutradara tersebut sekaligus juga penentangan kepada pemerintah Iran atas status Panahi sebagai ‘tahanan rumah’, yang dilarang membuat film dan dilarang keluar Iran oleh pemerintahnya selama 20 tahun. Pesan festival film Cannes kala itu: Panahi boleh tertahan di Iran, tapi film dan ide-idenya tetap bisa berkeliaran diseluruh dunia. Toh, itu salah satu peran sinema yang memang ingin diusung oleh festival film yang makin menua ini.

Festival Cannes Blog

REUTERS - JEAN PAUL PELISSIER

F

estival Film Cannes sejak berdirinya memang sudah punya prinsip membuka ruang selebar-lebarnya bagi semua jenis film, dari genre hingga eksperimental, dari realisme hingga fantasi, dari kisah personal hingga film politik dengan ide-ide besar. Tak terhitung banyaknya film-film politik yang kontroversial sengaja diputar di Palais Du Festival untuk memprovokasi perdebatan tentang situasi politik, tidak hanya di Perancis tapi juga dari negara lain. Contohnya ketika Chronicle Of The Burning Years karya sutradara Algeria, Mohammed Lakhdar-Hamina mendapatkan Palem Emas tahun 1975.

Kemenangan film epik berdurasi tiga jam ini dinilai sebagai kemenangan politis. Chronicle Of The Burning Years mengangkat kisah tentang revolusi Algeria, sebuah topik sensitif bagi Perancis kala itu. Di tahun 2004, Cannes menimbulkan ricuh politik ketika menghadirkan Fahrenheit 9/11, dokumenter politik anti-Bush karya Michael Moore. Fahrenheit 9/11 mendapatkan penghargaan tertinggi pula di tahun itu, dan ini dianggap sebagai tamparan keras dunia sinema terhadap George Bush.

48 FOVEA#0 2012

Film-film tersebut hanya sedikit contoh. Sepanjang tahun, film-film dengan tema politik yang kental tak pernah absen menjadi tamu Festival Film Cannes. Tahun 2012 pun begitu dengan menempatkan beberapa film politik diantara jadwalnya. Salah satu yang paling menonjol tahun ini adalah The Oath Of Tobruk, film dokumenter karya Bernard-Henri Levy dengan co-director Marc Roussel, tentang perang kemerdekaan di Libya yang berakhir dengan jatuhnya salah satu rezim kediktatoran paling lama dan paling brutal di jaman modern.

The Oath Of Tobruk diperlakukan istimewa bukan melulu karena isi pesannya yang sangat politis, tapi juga karena Cannes memang ingin menegaskan posisi politiknya di dunia internasional. “Sebetulnya, bukan festival kami yang politis. Tapi dunia yang politis, para pembuat film yang politis, dan sinema adalah bagian dari dunia, dititik itulah festival kami berdiri,” kata Thierry Fremaux, Direktur Artistik dan Delegasi Umum Festival Film Cannes. Fremaux menghadiri acara temu wartawan dengan tim The Oath Of Tobruk di Palais Du Festival, sehari sebelum pemutaran perdananya pada 25 Mei 2012. “Inilah kontribusi yang bisa diberikan oleh dunia sinema kepada sejarah. Kami berharap, apa yang ada di film ini bisa

jadi contoh bagi negeri lain yang juga sedang memperjuangkan hak kebebasannya. Kami sangat bersyukur dan bangga, akhirnya empat tokoh kunci revolusi Libya bisa hadir di Cannes, walaupun melalui jalan memutar, untuk menghadiri pemutaran The Oath Of Tobruk,” kata Fremaux dalam kata sambutannya menyambut tim Bernard-Henri Levy dan Marc Roussel. Selain itu, Film The Oath Of Tobruk juga kontroversial karena keterlibatan Bernard Henri-Levy yang namanya tercatut sebagai sutradara film ini. Ini adalah filmnya yang pertama sebagai sutradara. BHL, begitu biasa Levy disebut diberbagai media, adalah salah satu filsuf paling kontroversial dan pemimpin gerakan filsuf baru (Nouveaux Philosophes)

FOVEA#0 2012 49


f e s t i v a lFilm Cannes 2012 di Perancis. Di kalangan para filsuf, BHL tidak pernah dianggap sebagai bagian dari ‘keluarga’ dan hanya dianggap sebagai selebriti super-narsis berkedok filsuf. Mengutip kata-kata Gilles Deleuze ketika ditanya pendapatnya tentang filsuf baru, “Tidak ada. Pemikiran mereka nol.” Dalam artikel Deleuze On The New Philosopher and A Wider Problem, yang diterbitkan di majalah duabulanan Minuit, pada tahun 1977, Deleuze juga mengungkapkan bahwa BHL dan gerakan barunya hanyalah sekelompok orang kaya yang tahu bagaimana caranya mengendalikan media. Deleuze mengatakan ini tiga dekade lalu, dimana banyak yang menganggap bahwa filsuf senior ini cemburu dengan kesuksesan BHL dengan bukunya La Barbarie à Visage Humain (Barbarisme dengan wajah manusia). Anggapan bahwa Deleuze cemburu itu makin lama makin memudar seiring dengan meroketnya popularitas BHL di berbagai media. Tidak hanya Deleuze yang menganggap nol

f e s t i v a lFilm Cannes 2012 Libération, komite seleksi penerbit buku Gasette, pemilik majalah La Règle Du Jeu, dan konsultan ARTe. Selain memegang berbagai jabatan penting disejumlah media, Lévy juga bersahabat dekat dengan François Pinault, billioner Perancis pemilik berbagai macam perusahaan multinasional dan juga pemilik majalah Le Point. Tidak hanya itu, ia juga berteman dekat dengan mantan presiden Perancis Jacques Chirac (dan juga Nicholas Sarkozy), dan berada dilingkaran pertemanan dengan JeanLuc Lagardère, pemilik Hachette Livre perusahaan penerbit terbesar di Perancis dan Hachette Filipacchi Médias, peruhaan penerbit majalah terbesar didunia. Jaringan yang kuat dengan orang-orang dipuncak menara Perancis ini memungkinkan BHL bisa melakukan apa saja, termasuk tidak mempublikasikan tulisan para jurnalis yang mengkritisi karya-karyanya. BHL yang sering menulis, berbicara atau memberi kuliah umum tentang pentingnya melaLe serment de Tobrouk © Marc Roussel

Le serment de Tobrouk © Marc Roussel

pemikiran dan tulisan-tulisan BHL. Filsuf Jacques Rancière juga menganggap banyak hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dalam karya-karya BHL. Bahkan Marianne Pearl, istri dari jurnalis Daniel Pearl yang dipenggal oleh sekelompok ekstrimis Islam di Pakistan mengkritisi buku Who Killed Daniel Pearl?, hasil investigasi BHL yang dianggap berkisah tentang BHL dan egonya. “Levy adalah pria yang kecerdasannya dihancurkan oleh egonya sendiri,” kata janda Pearl tersebut.

wan kemiskinan dan bekerja untuk kondisi kehidupan yang lebih baik, tapi tak melakukan apa-apa ketika para wartawan ditempatnya bekerja menuntut perbaikan gaji. Bahkan filosofi dan etika yang sering dibicarakan BHL juga tentang pentingnya transparansi, tidak membuat BHL sadar pajak. Ia terkenal sebagai penghindar pajak paling lihai di Perancis.

BHL memang merajai berita-berita eksklusif bukan hanya karena tulisannya dalam bentuk buku maupun di berbagai media ternama di Perancis, tapi juga kegiatannya dipanggung politik dunia yang sering jadi headline di media-media internasional. Pada tahun 2006, Nicolas Beau dna Olivier Toscer menulis buku berjudul Une Imposture Française (kurang lebih diterjemahkan sebagai Penipu Perancis) tentang fakta-fakta dibalik kesuksesan BHL untuk selalu mengarahkan lampu sorot media kedirinya sendiri.

Maklum, BHL mewarisi harta billiaran euro dari ayahnya, André-Levy, seorang Yahudi pengusaha kayu asal Algeria yang mendirikan perusahaan Becob, yang katanya sudah dijual ke sahabat sekaligus bapak baptis-nya, François Pinault. Becob yang dikecam sejumlah LSM lingkungan hidup sebagai perusahaan terburuk memperlakukan hutan di Afrika, dan terburuk memperlakukan karyawannya yang dipekerjakan seperti budak, sementara BHL tampil di berbagai acara televisi tentang pentingnya menciptakan dunia yang lebih baik, dan pentingnya memperhatikan nasib orang-orang miskin di berbagai belahan dunia.

Jika diperhatikan, di Perancis, BHL menyandang berbagai gelar dimedia, kadang sebagai jurnalis, penulis, kolumnis, editor, anggota dewan editor, editor supervisi, dan banyak lagi jabatan lainnya disejumlah media berpengaruh seperti koran Le Monde, TV Chanel Arte, majalah Le Point, koran

Belakangan, BHL kemudian makin aktif di panggung politik dunia. Ia mati-matian membela Dominique Strauss-Kahn, dalam kasus pelecehan seksual mantan kepala IMF tersebut. Awal karirnya, Levy memang aktif sebagai wartawan perang untuk Combat, koran bawah tanah yang didirikan pe-

50 FOVEA#0 2012

nulis, jurnalist dan filsuf Albert Camus. Untuk Combat, BHL yang meliput berbagai konflik di India, Bangladesh, dan Pakistan. Ditahun 1990an, Levy juga berada ditengah-tengah Perang Bosnia, hadir di Serbia, ikut mendukung masyarakat Iran, membela Paus terhadap serangan komunitas Yahudi, mengajak dunia untuk memberi perhatian penuh terhadap konflik di Darfur, Sudan, membuat laporan tentang perang Ossetia selatan, terlibat dalam perundingan perang sipil di Libya (yang kemudian menghasilkan film The Oath Of Tobruk); dan kemudian lanjut ikut terlibat di konflik di Syria. Keterlibatan BHL di Libya kemudian menghasilkan buku La Guerre Sans L’aimer (kira-kira berarti War Without Loving It) yang diterbitkan oleh Grasset, perusahaan penerbit dimana BHL menjadi komite seleksinya. Dengan segala keterlibatannya dalam politik, bisa jadi BHL sedang menerapkan petuah Sartre yang dulu sering menghimbau para intelektual Perancis untuk terlibat dalam politik agar bisa membuat perubahan. Apapun agenda BHL, terlihat jelas bagaimana pengaruhnya terhadap event sinema terbesar di Perancis, bahkan di jajaran pemerintahan Perancis sendiri. Bagaimanapun ganjilnya, satu hal yang patut disyukuri adalah, Libya berhasil mendapatkan kemerdekaannya dan nama BHL disebut-sebut sebagai orang yang berjasa atas kemenangan tersebut. Pertanyaannya

kemudian, apakah untuk menang, setiap negara yang berjuang harus punya sosok BHL? Sulit melihat The Oath Of Tobruk sebagai sebuah karya utuh tentang perjuangan masyarakat Libya untuk merdeka. Di satu sisi, iya, film dokumenter ini memang perjuangan masyarakat Libya. Tapi kehadiran BHL dihampir semua momen penting dimana ia selalu tampil dengan setelan jaket mahal diantara orang-orang kecil yang tulus memperjuangkan revolusi, menjadikan film ini seperti ajang –tak tahu malu-- heroisme BHL. Dalam The Oath juga terlihat bagaimana BHL menelpon Sarkozy yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden Perancis dan menyarankan agar Perancis mengakui dewan sementara di Libya sebagai pemerintahan yang sah. BHL juga menghimbau Sarkozy untuk membujuk London, Washington, dan pemerintah negara-negara adidaya lainnya agar melakukan hal serupa. The Oath Of Tobruk jadi seperti ajang unjuk pengaruh seorang BHL terhadap situasi politik dunia. Film ini juga menunjukkan, bahwa tidak hanya sekelompok teroris yang bisa melakukan aksi pengeboman dan meminta pasokan senjata dari donornya. BHL pun bisa melakukan hal yang sama. Dalam film ini, BHL terlihat seperti superhero, seorang Batman di kota Gotham.

FOVEA#0 2012 51


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012 Politik dari Chili hingga Jepang, dari Maroko hingga Mesir

K

ehadiran filsuf narsis Bernard-Henri Levy dengan The Oath Of Tobruk di Cannes memang menjadi kontroversi politik paling menjulang tahun ini. Tapi, sejumlah film-film yang berlatar politik juga patut dicatat. No, film karya Pablo Larrain, sutradara asal Chili, adalah salah satunya. Film ini diputar di program Director’s Forthnight sehingga jarang menjadi perhatian sebagian besar wartawan saat Festival Film Cannes berlangsung. Tapi tidak berarti mengurangi arti penting film ini dalam konteks sejarahnya. Larrain adalah salah satu sutradara muda yang belum ingin berhenti mengingatkan bangsanya akan penindasan yang dilakukan Augusto Pinochet terhadap masyarakat Chili. Jika dalam dua karya sebelumnya, Tony Manero dan Post Mortem, Larrain masih menggunakan alegori, maka dalam film panjangnya yang ketiga ini, Larrain langsung masuk kepusaran politik pada masa referendum Chili tahun 1988. Menampilkan Gael Garcia Bernal sebagai seorang eksekutif periklanan yang diminta untuk membuat kampanye menentang Pinochet selama referendum. Perang kampanye melawan propaganda para pendukung Pinochet yang marak di seluruh stasiun televisi Chili waktu itu kemudian berkembang hingga keluar dari kotak televisi dan akhirnya mengancam kehidupan para penentang Pinochet hingga kehidupan keluarga terdekat mereka.

Le serment de Tobrouk © Marc Roussel

Bahwa namanya tercantum sebagai sutradara film ini juga terasa ganjil. BHL berada di Libya bersama fotografer Marc Roussel, untuk menulis buku tentang revolusi tersebut. Dengan kamera fotonya yang berfungsi ganda, Roussel lah yang berinisiatif untuk memfilmkan adegan-adegan yang ada didalam film The Oath of Tobruk. Tapi nama Roussel hanya ditetapkan sebagai co-director dihalaman paling belakang press-kit, dan nama BHL terpampang raksasa diatas poster. Lepas dari kualitas film yang sepenuhnya subjektif bagi penonton, dominasi BHL dalam The Oath Of Tobruk juga terasa di Cannes. The Oath Of Tobruk mendapat jatah penayangan pada tanggal 25 Mei 2012 pada jam 19.45 di Salle Du Soixantième. Biasanya, konferensi pers dilakukan setelah penayangan perdana sebuah film, sehingga jurnalis ada bahan untuk menyiapkan pertanyaan. Tapi The Oath Of Tobruk diperlakukan berbeda. Konferensi pers dilakukan sebelum pemutaran filmnya dengan alasan agar para jurnalis mengerti konteks filmnya.

52 FOVEA#0 2012

Di hari yang sama dan di jam yang sama dengan pemutaran perdana The Oath Of Tobruk, diputar pula Cosmopolis karya David Cronenberg di Grand Theater Lumière, venue utama Festival Film Cannes yang lengkap dengan karpet merah, dimana semua media, kru televisi, fotografer, dan para warga sinema dunia berkumpul. Anda bisa menduga dimana BHL berada? Di Grand Theater Lumière dengan semua cahaya lampu menyorot ke karpet merah, atau di Salle Du Soixantième yang terpencil dan berada di belakang Lumière?. BHL lebih memilih hadir di karpet merah Cosmopolis lengkap dengan para revolusioner Libya dengan wajah yang ditutup –daripada dipenayangan perdana filmnya sendiri-sambil mengancung-ancungkan tanda kemenangan V. Kemenangan untuk Libya dan kemenangan untuk BernardHenri Levy. *** oleh Asmayani Kusrini

FOVEA#0 2012 53


f e s t i v a lFilm Cannes 2012 No adalah sebuah film berdasarkan kisah nyata yang menggabungkan triller, satir, politik dan drama yang solid. Film ini dibuat ala siaran televisi yang digabungkan dengan footage tentang peristiwa pemilihan umum 1988 yang akhirnya menumbangkan kediktatoran Augusto Pinochet. Judulnya saja adalah sebuah pernyataan keras. NO. Terinspirasi dari kampanye referendum ‘Yes or No’ , dimana rakyat Chile bisa memilih ‘Yes’ yang berarti tetap menempatkan Pinochet di kursi kepresidenan, atau ‘No’ yaitu menendang Pinochet dari kursinya. Larrain dengan lihai membuat No sebagai film politik yang kental mengkritik tapi sekaligus juga drama satir yang menghibur, sebuah kualitas yang jarang dimiliki film-film politik lainnya. Film lain yang melakukan pendekatan yang agak berbeda terhadap masalah politik adalah Horses Of God karya Nabil Ayouch asal Maroko. Film yang diangkat dari novel The Stars Of Sidi Moumen karya Mahi Binebine ini adalh sekelompok remaja dari daerah kumuh Sidi Moumen di Casablanca, Maroko yang direkrut oleh kelompok islam fundamentalis untuk menjadi pengebom bunuh diri. Horses Of God tidak menampilkan gambaran besar tentang kelompok fundamentalis agama, tapi mengambil sampel mikro dalam kelompok kecil masyarakat dimana bibit fundamentalis tumbuh dan menjamur. Dari pendekatan mikro ini, Ayouch justru berbicara tentang situasi politik global yang menjadi masalah dihampir semua negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Pada Mei 2003 lalu, masyarakat Maroko tersentak dengan peristiwa pemboman berdarah di beberapa titik ramai Casablanca. Pemboman ini dilakukan oleh 14 pelaku yang semuanya berasal dari pemukiman kumuh Sidi Moumen.

f e s t i v a lFilm Cannes 2012 Untuk memaparkan analisa dan asumsi ini, sutradara Yousry Nasrallah mengambil jalan memutar yang cukup pelik dengan menghadirkan karakter utama, Rim, seorang wanita modern berpedidikan tinggi dengan pikiran-pikiran liberal yang jatuh cinta kepada seorang pengendara kuda miskin dari desa Nazlet yang sudah beranak istri. After The Battle menghadirkan begitu banyak subplot yang akhirnya mengaburkan hal-hal penting yang ingin disampaikan film ini. Pesan politik, feminisme, isu sosial, kisah cinta, semua berlomba untuk menjadi penting. Maka After The Battle gagal menyerukan apapun itu pesan politiknya, dan pesan-pesan lain yang berserakan tidak tereksplorasi.

Oleh Asmayani Kusrini

Film bernuansa politik lainnya yang juga mengecewakan adalah 11/25 The Day Mishima Chose His Own Fate karya Koji Wakamatsu yang terseleksi di Un Certain Regard. Yukio Mishima adalah salah satu sastrawan paling kontroversial di Jepang bukan hanya karena karya-karyanya tapi juga sikap politiknya. Mishima adalah pendukung politik sayap kanan yang radikal. Kontroversi yang dihadirkan tokoh ini memuncak ketika ia melakukan harakiri pada November 1970 setelah gagal melakukan kudeta. Disatu sisi, Mishima adalah tokoh yang kompleks. Disisi lain, aspek politik dalam keterlibatannya sebagai aktivis sayap kanan di era 1970an juga menghadirkan kompleksitas tersendiri. Koji Wakamatsu mencoba menggabungkan keduanya dengan menyederhanakan banyak hal. Yang kemudian tampil menonjol justru karakter Masakatsu Morita, pengikut setia Mishima dan ambisi Mishima untuk melakukan seppuku.

Dalam Horses Of God, Nabil Ayouch, sutradara Maroko kelahiran Perancis ini lebih fokus pada pendekatan personal karakter-karakternya dibandingkan gerakan fundamentalis itu sendiri. Horses Of God yang menjadi salah satu film di program Un Certain Regard ini berusaha untuk konsisten terhadap sudut pandang mikro ini sehingga meski mengandung pesan pesan politik yang kuat, film ini tidak kehilangan pijakan dari drama kemanusiaan yang memang ingin ditampilkan.

Dalam film 11/25 The Day Mishima Chose His Own Fate, Morita seperti pengikut yang tidak punya landasan dan seperti dibutakan oleh ‘kegilaan’ Mishima. Dasar kekagumannya terhadap sosok Mishima juga tidak jelas benar. Bahkan dalam salah satu adegan ia mengaku tidak paham dengan karya-karya Mishima. Apakah ini cinta buta? Sudah bukan rahasia umum, kalau Mishima punya kecenderungan homoseksual, walaupun sudah menikah dan punya anak. Tapi Wakamatsu menghindar untuk menyinggung soal ini dalam filmnya, hingga meninggalkan sebuah pertanyaan, apa yang membuat Morita ingin ikut mati, melakukan seppuku bersama Mishima.

Konsistensi terhadap sisi kemanusiaan dalam Horses Of God inilah yang sayangnya tidak dimiliki oleh film kompetisi After The Battle karya Yousry Nasrallah. After The Battle berlatar revolusi Mesir yang memuncak di Tahrir Square tahun 2011 lalu sehingga menumbangkan karir panjang kepemimpinan Housni Mubarak. Film ini dimaksudkan untuk merekam euforia revolusi berikut akibat-akibat sampingannya.

Hal lain yang ikut menonjol seiring dengan kehadiran Morita adalah ambisi Mishima untuk melakukan harakiri pada hari kelompok mereka, Shield Society, mencoba melakukan kudeta; Banyak spekulasi sekitar aksi nekat Mishima ini. Wakamatsu menggambarkan Mishima sebagai aktivis radikal yang terlihat tolol dengan ambisinya untuk melakukan aksi kudeta dan mencari perhatian dengan merobek perutnya sendiri.

Premis film ini cukup ambisius, yaitu analisa tentang keterlibatan para pengendara kuda pada puncak revolusi Mesir di Tahrir Square. Para pengendara kuda yang biasanya jadi pemandu turis ini berasal dari desa Nazlet El Samman, desa tradisional di kaki kawasan piramida. Konon, mereka mereka berada di Tahrir Square sebagai protes terhadap pembangunan dinding sepanjang 16 kilometer yang memblokade akses antara kawasan piramida dengan desa Nazlet El Samman. Di sisi lain, After The Battle juga berasumsi bahwa pengendara kuda ini dijadikan kambing hitam oleh para politisi lokal.

Mungkin, Mishima memang hanya tokoh haus popularias politik yang tolol walaupun terkenal sebagai salah satu sastrawan paling berpengaruh di Jepang. Tapi, apa sebetulnya yang ia perjuangkan? Siapa musuhnya? Untuk apakah aksi harakiri itu sebetulnya? Benarkah untuk masa depan Jepang? Atau untuk menutupi malu karena sudah sesumbar ingin melakukan seppuku? Koji Wakamatsu memang berusaha menjelaskan semua pertanyaan ini lewat 11/25 The Day Mishima Chose His Own Fate, tapi tidak cukup memberi jawaban sehingga pertanyaan yang sama tetap menjadi tanda tanya besar setelah menonton film ini. ***

54 FOVEA#0 2012

LEWAT DJAM MALAM di CANNES CLASSICS

oleh Asmayani Kusrini

Yayasan Konfiden

K

ondisi reel film Lewat Djam Malam awalnya memang mengenaskan. Reel nya keriting karena lembab, jamur tumbuh disana-sini, beberapa frame dilengketi debu dan bercak hitam. Membersihkan seluloid film ini juga membutuhkan keahlian khusus dan tidak murah. Adalah National Museum Of Singapore bekerja sama dengan Yayaan Konfiden dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta yang akhirnya bekerjasama mengupayakan restorasi Lewat Djam Malam agar bisa ditonton utuh seperti yang diniatkan oleh almarhum Usmar Ismail. Atas persetujuan keluarga Usmar Ismail dan petunjuk dari JB Kristanto serta Philip Cheah, Lewat Djam Malam kemudian direstorasi di laboratorium L’Immagine Rotrovata, Bologna, Italia. Setelah proses restorasi yang memakan waktu hampir satu tahun ini selesai, World Cinema Foundation kemudian tertarik bergabung. Yayasan milik Martin Scorsese ini memang mempunyai misi untuk merestorasi, memelihara dan menyebarkan film-film dari berbagai belahan dunia dimana proses restorasi bukan hal yang lumrah, seperti Kazakhstan, Brazil, Maroko dan juga Indonesia. Di negaranegara jauh yang tidak punya kemampuan finansial dan teknis untuk merestorasi film inilah World Cinema Foundation memberikan perhatian lebih. Bergabungnya World Cinema Foundation dalam proyek restorasi Lewat Djam Malam ini seperti sebuah jaminan film ini akan menjangkau sebanyak-banyaknya penonton. WCF akan menangani distribusi komersial dan non-komersial diseluruh dunia. Atas kerjasama WCF pula, Lewat Djam Malam menarik perhatian Festival Film Cannes dimana direktur artistik festival ini, Thierry Fremaux adalah salah satu honorary board di WCF.

FOVEA#0 2012 55


f e s t i v a lFilm Cannes 2012

f e s t i v a lFilm Cannes 2012 Maka salah satu film Indonesia terbaik yang lahir dari tangan bapak perfilman Indonesia inipun diputar di Festival Film Cannes pada 17 Mei 2012 lalu. Lewat Djam Malam menjadi salah satu film yang diputar di program Cannes Classics. Program ini menampilkan film-film klasik dan masterpiece dalam sejarah dunia sinema yang sudah direstorasi. Penayangan perdana hasil restorasi Lewat Djam Malam juga dihadiri sejumlah kritikus senior dan sutradara ternama, salah satunya Alexander Payne (sutradara Sideways dan The Descendants).

before

before

after

after

Malam perdana itu dihadiri pula oleh Lee Chor Lin direktur National Museum Singapore, Alex Sihar dari Yayasan Konfiden, Lisabona Rahman dari Kineforum, Berthy Ibrahim mewakili Sinematek Indonesia, dan beberapa orang wakil pemerintah antara lain Ukus Kuswara, Dirjen Seni Budaya dan Syamsul Yusa, Dirjen Film, serta Cineteca di Bologna/ L’Immagine. Kent Jones yang malam itu hadir mewakili Martin Scorsese dari World Cinema Foundation, mengaku tidak habis terkagum-kagum dengan film Usmar Ismail yang dibuat tahun 1954 tersebut. “Film ini menurut saya adalah sebuah melodrama yang berfungsi sebagai kritik sosial. Lewat Djam Malam memiliki energi yang menggambarkan situasi revolusi saat itu,” kata Jones. Kualitas restorasi film ini juga menjadi nilai tambah yang menonjolkan kekuatan dan semangat revolusi Lewat Djam Malam. Dalam kata sambutannya, Thierry Fremaux mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada festival Film Cannes untuk memutar Lewat Djam Malam. “Sebuah film klasik dari Indonesia yang sempat luput dari perhatian. Saya berharap setelah dari Cannes, film ini bisa ditonton secara luas,” kata Fremaux. Dan kami pun mengucapkan: Amin ! REVOLUSI LEWAT DJAM MALAM Ketika Lewat Djam Malam dibuat, Indonesia baru saja melewati masa transisi, dari negeri yang terjajah, menjadi negeri yang merdeka. Umur kemerdekaan Indonesia belum mencapai satu dekade. Euforia kemerdekaan tidak hanya disambut gempita tapi juga mulai menghasilkan kekacauan sosial politik. Struktur dan tatanan dalam negeri ini masih kacau balau.

before

after

Ada perubahan besar-besaran baik secara fisik maupun psikologis dalam tubuh negara. Pertanyaan besar yang hadir saat itu: Kita harus mulai darimana? Siapa yang harus mengatur apa?. Negara yang saat itu dipimpin oleh Soekarno sedang kebingungan menentukan arah. Semua orang ingin melakukan sesuatu untuk apa saja yang menguntungkan. Toh, begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Tidak perlu seorang ahli. Siapa yang harus melakukan apa tergantung siapa yang tahu memanfaatkan situasi. Ketidakstabilan negara ini membuat apa saja menjadi mungkin. Status seseorang bisa berubah drastis dari kriminal menjadi pahlawan, atau sebaliknya, pahlawan menjadi paria. Tapi yang paling merasakan akibat dari ketidakstabilan ini adalah rakyat kecil. Mereka tidak hanya menderita kemiskinan ekonomi tapi juga kemiskinan mental akibat trauma perang. Kekacauan masa transisi ini kemudian dikenal dengan Revolusi Fisik. Para penguasa menganggap bahwa situasi keamanan negara masih rawan, maka perlu upaya untuk menertibkan kehidupan bermasyarakat, salah satunya dengan menerapkan jam malam. Di masa ini, militer memegang posisi yang sangat menonjol.

56 FOVEA#0 2012

Usmar Ismail mencoba memotret segala carut marut ini dalam Lewat Djam Malam. Tokoh utamanya, Iskandar adalah mahasiswa kedokteran yang baru turun gunung setelah lama bergerilya. Ia pulang karena merasa sudah berhasil memperjuangkan sesuatu. Tapi ia disambut oleh suasana kota yang apokaliptik dan harus menghindar dari sorotan lampu mobil tentara. Jadi, apa yang sebetulnya ia perjuangkan selama ini? Pertanyaan ini makin mengusik Iskandar ketika ia akhirnya tiba di rumah tunangannya, Norma. Ada perbedaan yang mencolok antara suasana kota yang lengang dan mati dengan suasana didalam rumah Norma yang asri dan wangi. Dalam suasana yang serba tenang didalam rumah inilah, Iskandar makin merasa terganggu. Ada yang salah dalam revolusi yang diperjuangkannya mati-matian. Iskandar seperti mengalami shock-culture, dari pejuang yang terseok-seok dipegunungan dan hidup bergantung pada masyarakat kecil, ke kehidupan serba wah dan berlimpah diiringi musik jazz. Norma dan keluarganya seperti tak menyadari apa yang sedang terjadi diluar rumah mereka kecuali bahwa ada jam malam. Mereka tetap hidup tenteram dan nyaman, mengikuti aturan main yang berlaku, tapi tidak terusik dengan apa yang terjadi. Sesekali mereka mengeluh karena tidak bisa pulang lebih malam dari acara pestapesta. Yang dikhawatirkan Norma bukanlah nasib sesama rakyat Indonesia, tapi apa kata orang nanti jika pestanya tak cukup menyenangkan. Selain menghadirkan Norma dan keluarganya sebagai pembanding kontras terhadap kondisi umum Indonesia, Usmar bekerja sama dengan Asrul Sani sebagai penulis skenario juga menghadirkan karakter-karakter yang menggambarkan kondisi labil kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia saat itu. Ada Gafar dan Gunawan yang sukses dalam berbisnis, tapi ada juga Puja sang mucikari penjudi dan Laila sang pelacur pemimpi. Lewat Djam Malam melakukan semacam pemetaan hasil dari revolusi dengan Iskandar sebagai titik sentral idealismenya. Revolusi yang diusung Iskandar menghadirkan kenyataan yang suram: memakmurkan kelas atas, menelantarkan kelas bawah, dan menjamurnya oportunis. Jauh melenceng dari cita-cita ideal Pancasila yang dipercaya sebagai tujuan revolusi oleh Iskandar. Tidak ada kemanusiaan yang adil dan beradab dan tidak ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa yang menjadi cita-cita negara itu hanya terlihat ideal sebagai ideologi diatas kertas. Usmar Ismail mengkritik keras kaum borjuis intelektual sebagai kaum yang memulai revolusi tapi sekaligus juga kaum yang paling oportunis ketika revolusi dianggap selesai. Lewat Djam Malam juga mengamati bagaimana korupsi, kolusi dan nepotisme lahir dan tumbuh subur bersama dengan dibangunnya negeri ini dan akhirnya berakar kuat hingga kini. Tanah dengan bibit-bibit korupsi, kolusi dan nepotisme ini menyuburkan para borjuis oportunis diantara dua simbol pilar negara: militer dan birokrat. Inilah yang membuat Lewat Djam Malam memiliki relevansi yang sangat penting tidak hanya dalam sejarah sinema Indonesia tapi juga sejarah dibangunnya Republik Indonesia kita tercinta ini. Film ini mengingatkan kita akan pekerjaan rumah yang belum tuntas, yang selalu diabaikan dan sering dilupakan oleh para petinggi negeri. Upaya untuk memulihkan kondisi Lewat Djam Malam agar layak ditonton adalah upaya melawan lupa.***

FOVEA#0 2012 57


GAMBAR SELAW dan USMAR ISMAIL

S

ince the era of digital drawing such as Corel Draw, Photoshop, Corel Painter, as such, people have a tendency to forget how to draw by hand. Gambar Selaw is a drawing club which is created to activate hands, working with the real tools of drawing and painting, not by clicking the mouse. Gambar Selaw is initiated by RuangRupa, a non profit organization that strives to support the progress of art ideas. They started as a regular meeting every Thursday night at Ruru Shop in Tebet, South of Jakarta. It was open to public. Anyone who likes to draw, anyone who wants to learn, could come and join the crowd. It was meant to be an alternative to socialize with other artists and people who have similar interests. Since September 2011 to date, Gambar Selaw attracted 20 permanent members, with a wide range of backgrounds. Certainly, their activities are not only for fun but meant as a medium of expression for its members. For the National Film Day in March 2012, Kineforum, an alternative cinema in Jakarta, invited Gambar Selaw to reinterpret and re-design the posters of classic Indonesian movies with their own style. Out of 20 movie titles, came 59 posters from 19 illustrators. The complete collection of 59 posters has been exhibited at Galeri Cipta 3, TIM, last March. As a tribute to Usmar Ismail, we also invited them to show their works related to Usmar Ismail in this edition. Among all 59 poster from 20 titles, we selected 4 titles by Usmar Ismail, either as a director or as a producer or both. The four titles in this edition are Tjambuk Api dan Harimau Tjampa, both by D Djajakusuma, Djenderal Kantjil by Nyak Abbas Akub, all produced by Usmar Ismail. And Asrama Dara, directed and produced by Usmar Ismail. All movies were produced in 1958.

Tiff

58 FOVEA#0 2012

FOVEA#0 2012 59


Bayu

Efi

Aji

60 FOVEA#0 2012

FOVEA#0 2012 61


Thuke

Bayu

Ube

62 FOVEA#0 2012

FOVEA#0 2012 63


Ube

Danang

Jarockbass

64 FOVEA#0 2012

FOVEA#0 2012 65


Abigail

Ube

66 FOVEA#0 2012

Jarockbass


f e a t u r e

f e a t u r e yang Ingin Terbang. Film ini berkisah tentang Lana (Ladya Cherryl) yang sejak kecil ditinggal sendirian di kebun binatang, sehingga kosakata dan kesehariannya adalah seputar zoologi dan manusia-manusia yang bekerja dan tinggal di sana. Hal ini adalah sesuatu yang langka terjadi di Indonesia. Diantara keterasingannya di dunia binatang itu, tibatiba muncullah seorang pesulap berpakaian koboi (Nicholas SAputra) yang menyihir Lana dan membawanya ke luar habitatnya: ke peradaban manusia yang sebenarnya. Inilah film tentang keterasingan dan kesendirian, tentang apa itu habitat dan adaptasi.

Tren 4 Bulan Pertama Bagaimana tren 4 bulan pertama tahun ini? Film horror picisan memang masih diproduksi, tapi umumnya tak pernah beranjak dari 300 ribu penonton. Misalnya Rumah Bekas Kuburan dan Pulau Hantu 3 yang meraup penonton tak lebih dari 280 ribu. Bahkan Santet Kuntilanak dan Kafan Sundel Bolong hanya berkisar 100 ribuan penonton. Sedangkan Kungfu Pocong Perawan (plesetan Kung Fu Panda, dengan tagline: lebih dahsyat dari Si Panda) baru saja beredar pekan ini.

Serbuan Maut di Kebun Binatang Film Indonesia di Awal 2012

Beberapa film Indonesia diawal tahun mulai keluar dari zona aman, mengeksplorasi tema dan estetika yang tak biasa. Topik sensitif seperti LGBT pun sudah berhasil lolos sensor dan diputar di jaringan bioskop komersial. Produksi omnibus makin menjamur.

Oleh Ekky Imanjaya*

D

alam empat bulan pertama di tahun 2012, tidak ada film yang patut dibicarakan sebelum membahas The Raid garapan Gareth Evans dan Postcard from The Zoo karya Edwin. Mari kita bahas satu-satu mengapa keduanya penting. Saat tulisan ini dibuat, The Raid yang memamerkan keindahan sekaligus kegarangan silat ini sudah menginjak hari ke 21 dan meraih 1.239.273 penonton, dan terus bertambah, meninggalkan Negeri 5 Menara (740.347 jiwa), atau film terlaris tahun lalu, Surat Kecil untuk Tuhan (748.842). Di Amerika Serikat, film ini menembus angka 1,2 juta dollar pendapatan. Di Selandia Baru, Australia, dan Russia, film ini juga diminati. The Raid¸dikenal juga dengan Serbuan Maut, mengembalikan kepercayaan penonton Indonesia yang selama ini kecewa dengan film lokal berkualitas buruk yang tak jauh dari pocong atau kuntilanak. Para penonton yang sudah lama tak menyambangi bioskop itu tergerak kembali menonton di bioskop. Rahasianya: The Raid mengembalikan film sebagai sesuatu yang nikmat, enjoyable, untuk ditonton. Dan memang, film ini—walau ceritanya begitu sederhana: tentang bagaimana pasukan khusus terjebak dalam sebuah gedung yang dikuasai para criminal, dan bagaimana mereka bertahan dan mengatasi para begundal itu--seperti naik rollercoaster, yang membuat kita menahan nafas karena tegang,

68 FOVEA#0 2012

mengingat pertarungan penuh kekerasan disuguhkan berkali-kali. Film kedua Gareth Evans setelah Merantau (2009) ini bisa dibilang adalah sebuah produk terobosan, yang mengeksplorasi kembali genre silat dan laga yang sudah jarang hadir, dibalut dengan production value yang tinggi. Film ini juga hadir di berbagai festival film bergengsi, seperti Festival Film Toronto—yang membuatnya meraih People’s Choice Awards-- dan Sundance Film Festival. Diharapkan fenomena ini akan menjadi lokomotif dan berpengaruh pada film Indonesia yang bakal beredar, seperti Modus Anomali (Joko Anwar), Lovely Man (Teddy Soeriaatmaja), atau Parts of the Hearts (Paul Agusta). Selain The Raid, tentu saja Postcard from the Zoo penting karena film ini mewakili generasi termuda filmmaker Indonesia yang berkarya. Dari film ini kita bisa melihat bagaimana eksplorasi tema dan pencapaian estetika generasi ini. Selain masuk kompetisi utama Berlinale, film ini keliling festival film semacam Tribeca dan Hong Kong. Edwin, namanya tercatat dalam buku Take 100 (The Future of Film: 100 New Directors), menggarap film keduanya dengan lebih matang dan personal. Film ini masuk dalam kompetisi utama Berlinale Film Festival tahun ini. Tentu saja, film ini bukan konsumsi penonton arusutama, tetapi para cinephile akan disuguhi dengan ekspresi seni yang personal dan lebih matang dari Babi Buta

Justru film terobosan seperti The Raid dan Negeri 5 Menara (sebuah film tentang orang-orang di pesantren Gontor, diadaptasi dari novel dengan judul yang sama) menembus angka 700 ribu. Ada juga Love Is U yang mengandalkan ketenaran girls band Cherry Belle yang hingga tulisan ini dibuat hampir menembus angka 190 ribu penonton. Sedangkan Enak sama Enak, ya…kita bisa tahu macam apa film ini hanya dari judulnya. Genre dan topik lain diawal tahun ini ternyata hadir bervariasi. Misalnya adala Malaikat Tanpa Sayap (karya Rako Prijanto) dan Bila (Ody Mulya Hidayat) yang lebih cenderung ke drama percintaan. Tema media sosial juga hadir lewat #RepublikTwitter (karya Kuntz Agus). Untuk representasi di luar Jawa, ada Keumala (Andhy Pulung) yang mengambil lokasi tentang Sabang dan Aceh. Kisah berbeda lainnya adalah Xia Aimei (Alyandra) yang bercerita tentang gadis asal Yangshuo Guangxi, Cina, yang terjebak dalam pelacuran terselubung di Jakarta. Tema Islam juga hadir, seperti Negeri 5 Menara, Ummi Aminah (tentang seorang ustadzah senior, garapan Aditya Gumay), dan Mata Tertutup (besutan Garin Nugroho). Mata Tertutup adalah sebuah film Garin yang agak berbeda dari karya sebelumnya, karena memang didesain sebagai film naratif yang bisa dicerna masyarakat arusutama. Temanya juga cukup menantang, tentang bagaimana organisasi yang berniat mendirikan Negara Islam di Indonesia merekrut jamaahnya, dan bagaimana para korban dan keluarganya diceritakan. Sayangnya, film terbaik 2011 menurut Hikmat Darmawan dan Eric Sasono ini tak mendapat sambutan dari masyarakat dan hanya meraup kurang dari tiga ribu penonton saja.

Proyek Omnibus itu Seksi Proyek omnibus, alias kumpulan beberapa film pendek (acap dengan berlainan sutradara) dengan topik atau genre yang sama rupanya sedang naik daun. Ini adalah sebuah terobosan modus produksi, eksibisi, dan distribusi baru bagi filmmaker, khususnya yang baru meniti karir di industri film Indonesia. Sebenarnya fenomena ini bukan hal baru di Indonesia. Sebelumnya sudah ada Kuldesak (1997). Film lainnya yang pernah ada pasca 1998 adalah Belkibolang, 9808, Pertaruhan, Working Girls, dan FISFIC 6.1 yang merupakan hasil kompetisi Fantastic Indonesia Short Film

Competition. Awal tahun ini, ada beberapa proyek omnibus. Salah satunya adalah Hi5teria, sebuah kumpulan film pendek horror yang diproduseri Upi, dengan sutradara Chairun Nissa/Adi Baskoro, Billy Christian, Adriyanto Dewo, Harvan Agustransah, dan Nicho Yudifar. Sementara itu, Lola Amaria baru saja merilis Sanubari Jakarta, film yang diproduksinya bertema Lesbian Gay Biseks Transgender (LGBT), dengan 10 sutradara, antara lain Dinda Kanyadewi, Aline Jusria, Fira Soviana, dan Tika Pramesti. Children Of Srikandi yang proses editingnya lebih banyak dilakukan di luar negeri juga merupakan proyek omnibus dari para sutradara yang pada umumnya pemula. Children Of Srikandi diputar pertama kali di Panorama, Berlinale 2012. Dalam daftar ini tak mau juga masuk Wulan Guritno dan kawan-kawan merilis Dilema bersama sutradara Adilla Dimitri, Robert Ronny, Robby Ertanto Soediskam, dan Rinaldy Puspoyo. Film ini terpilih di Detective Film Festival, Moscow, Rusia pada 25 April lalu dan memenangkan penghargaan sebagai film panjang terbaik. Yang menarik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Transparency International Indonesia juga turut berkampanye lewat proyek omnibus, Kita vs. Korupsi (sutradara Lasja F Susatyo, Ine Febriyanti, Emil Heradi, Chairun Nissa ). Intinya, tentang perlawanan terhadap korupsi harus dimulai dari diri sendiri dan dari keluarga. Film ini pun mengeksplorasi praktik korupsi yang dianggap wajar saja, di rumah, di sekolah, hingga KUA. Institusi yang hendak menonton film ini diwajibkan mengajukan permohonan, dan pemutaran akan satu paket dengan diskusi atau workshop tentang gerakan anti-korupsi.

FOVEA#0 2012 69


f e a t u r e

f e a t u r e

Sayangnya, sebagian dari film-film pendek itu kurang bisa bercerita dengan lebih dalam dan lebih banyak hanya membahas persoalan permukaan dan turistik. Selain itu, kekuatan dan kualitasnya juga tidak rata. Dari omnibus, para sineas muda bekerja sama, bergotong royong patungan dana. Proyek patungan seperti ini bisa menghasilkan sebuah film dengan format di atas 90 menit dan tentu saja terbuka kesempatan bagi mereka untuk bisa mendapat slot di bioskop komersial. Dari proyek semacam ini pula, terjadi perekrutan generasi baru dalam perfilman Indonesia.

Bangkitnya Sinema LGBT? Diawal tahun, selain The Raid dan Postcard From The Zoo, beberapa film bermutu yang patut dicatat adalah film bertema LGBT, yaitu Lovely Man garapan Teddy Soeriaatmaja dan Parts Of The Heart karya Paul Agusta yang belum masuk bioskop komersial. Lovely Man (yang hingga hari ini belum beredar di bioskop di Indonesia) mungkin adalah film bertema LGBT yang paling menaruh perhatian tahun lalu. Di Jakarta, film ini diputar di pembukaan Q Film Festival. Film ini kemudian beredar ke berbagai festival dunia, termasuk ke Hong Kong (di mana Teddy Soeriaatmadja sang sutradara bersaing dengan Tsui Hark dan Zhang Yimou; dan Donny Damara sang pemeran utama mengalahkan Andy Lau). Di film itu, cerita berpusat pada si Pupuy (bencong kaleng di Taman Lawang) yang bertemu dengan putrinya yang berjilbab, yang sudah 14 tahun tak bertemu—lebih kurang mirip dengan Eliana-Eliana. Sementara Parts of the Heart, rencananya tayang Oktober, menyajikan sisi lain sutradara Paul Agusta yang tak ada dalam film-filmnya sebelumnya: tentang Peter dan kisah cintanya kepada pacar-pacar prianya, lengkap dengan berbagai emosi mulai dari cinta, galau, hingga marah. Parts of The Hearts rencananya akan diputar di bioskop komersial, jika lolos sensor. Di Youtube, trailernya banyak mendapat kecaman terhadap kaum homoseksual dan ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia belum bisa sepenuhnya menerima keberadaan homoseksual sebagai bagian dari kehidupan sosial kita. Film ini begitu personal dan berhasil masuk ke dalam persoalan, sehingga kita bisa melihat Peter dan kisahnya adalah cerita tentang manusia dan kehidupan cinta yang manusiawi. Film LGBT lain yang dirilis awal tahun ini adalah Sanubari Jakarta, sebuah film omnibus yang lolos sensor dari LSF. Di banding dengan film dengan orientasi seksual heteroseksual, film LGBT ini cukup banyak memotret aktivitas fisik sesama jenis secara eksplisit (tentu dengan berbagai cara dan metode)—tapi, uniknya, lolos LSF. Film lain yang mengangkat tema LGBT adalah Children Of Srikandi, juga proyek film omnibus yang di produseri oleh Laura Coppens dan Stea Lim. Sayangnya film ini tidak direncanakan untuk diputar di bioskop umum di Indonesia ka-

70 FOVEA#0 2012

The Raid

rena temanya yang dianggap kontroversial. Film ini akan diputar di pemutaran khusus dipusat-pusat kebudayaan di Indonesia.

Crowd Funding Fenomena crowdfunding di dunia kreatif yang marak sejak berkembangnya sosial media di internet akhirnya menjalar masuk ke Indonesia. Dunia film Indonesia di awal 2012 mencatat cara “baru” dan unik mendapatkan dana untuk produksi (dan juga pasca-produksi, distribusi, dan promosi), yaitu crowdfunding. Demi Ucok karya Sammaria Simanjuntak, misalnya, mencari 10 ribu orang yang memberikan donasi Rp 100 ribu; dengan imbalan merchandise dan pencantuman nama di posternya. Diwaktu yang hampir bersamaan, situs dengan platform crowdfunding kemudian terbentuk di Indonesia yang dimulai dari wujudkan.com dan patungan.com. Atambua 39 yang sedang digarap Riri Riza dengan produser MiraLesmana juga memakai sistem ini lewat situs wujudkan.com. Film Garin Nugroho akan akan beredar Juni, Soegija, berhasil mendapatkan Rp 12 M, hampir dua kali lipat dari Opera Jawa, dengan upaya patungan dari masyarakat gereja. Bagaimana perkembangan situs crowdfunding ini di Indonesia mungkin baru bisa dilihat hasilnya dalam setahun kedepan. Tapi, bisa jadi ini menjadi salah satu alternatif bagi para pembuat film diluar arusutama untuk mewujudkan proyek film impian mereka.

Postcard From The Zoo

8 Bulan Berikutnya Beberapa film yang sedang diproduksi dan menunggu untuk diputar di sinema ada Nenek Gayung, 3 Pocong Idiot, dan Kuntilanak-Kuntilanak, yang sudah bisa diramal seperti apa isi dan mutunya dari judulnya. Ada lagi satu film horror dari Muhammad Yusuf, The Witness, yang punya sinopsis sedikit berbeda dengan horror kebanyakan. Di area genre thriller, banyak orang menantikan Modus Anomali yang sudah di pertontonkan di SXSW Film Festival di Austin, Texas. Dari genre sepak bola dan futsal, bakal ada Hattrick (Robert Ronny) dan Hari Ini Pasti Mimang (Andibachtiar Yusuf). Film terakhir berkisah tentang timnas kita yang berlaga melawan Brazil di putaran final Piala Dunia dengan Gabriel Omar sebagai ujung tombaknya. Dari tema religi, bakal ada Cahaya Di Atas Cahaya (Viva Westi) yang melibatkan budayawan Emha Ainun Nadjib., dan Bait Surau (Kuswara Sastra Permana) yang menceritakan perjalanan spiritual karakternya, yang diperankan Rio Dewanto. Satu lagi adalah Soegija, film Garin yang menceritakan uskup pertama Indonesia di masa Perang Revolusi. Dari genre fantasi, Gareth Evans sedang membuat sekuel The Raid berjudul Berandal, sedangkan Mo Brothers menggarap Killers, namun kita sepertinya masih harus menunggu

The Raid

beberapa lama lagi. Film omnibus agaknya masih menjadi tren dalam beberapa bulan ke depan. Yang akan beredar adalah Hello Project (sutradara Upi Avianto, Lasja Sutanto, Anto sinaga, Joko Anwar, Oddy Harahap, Ardy Octaviand, dan Dimas Djay) dan sebuah film panjang dari pemenang FISFIC bersama Joko Anwar, Mo Brothers, dan Gareth Evans. Tidak hanya di kelas nasional, dua sutradara Indonesia juga terlibat dalam proyek omnibus internasional, misalnya, Timo Tjahjanto dari Mo Brothers terlibat dalam ABC’s of Death, yang terdiri dari sutradara film horror kelas dunia seperti Banjong Pisanthanakun (Shutter, Alone), Jason Eisener (Hobo With A Shotgun), Thomas Malling (Norwegian Ninja), Yoshihiro Nishimura (Tokyo Gore Police; Frankenstein Girl Vs. Vampire Girl), dan Srdjan Spasojevic (A Serbian Film). Sedangkan Ifa Isfansyah dikabarkan ikut serta dalam proyek Southeast Loves bersama Aditya Assarat (Thailand) , Vimukthi Jayasundara (Sri Lanka), Phan Dang Di (Vietnam) , and Ishtiaque Zico (Bangladesh)

Penutup Tentu saja film-film horror kacangan a la suster ngesot masih diproduksi di Indonesia. Tetapi, menurut data dari situs filmindonesia.or.id, film sejenis itu kini semakin tak laku dan umumnya hanya mendapatkan sekitar 300 ribu penonton saja. Justru film-film yang keluar dari zona aman dan membuat terobosan yang sebelumnya belum ada atau membuat hal yang sudah lama tak diekplorasi yang mendapatkan perhatian. Penonton film Indonesia pun kini punya pilihan lain dalam hal genre dan tema. Selain itu, topik sensitif seperti LGBT sudah berhasil lolos sensor dan diputar di jaringan bioskop komersial. Sementara produksi gaya omnibus makin menjamur dan bisa diharapkan akan memunculkan bibit-bibit baru bagi generasi pembuat film Indonesia di masa mendatang. *Redaktur Rumahfilm.org, koordinator program Film Binus International University

Postcard From The Zoo

Postcard From The Zoo

FOVEA#0 2012 71


f e a t u r e

f e a t u r e

Georges Méliès Dari A Trip To The Moon Hingga Hugo Cabret

Berawal dari munculnya kopi film A Trip To The Moon di Barcelona. Sepuluh tahun kemudian, salah satu film panjang Georges Méliès itu kembali bisa dinikmati oleh generasi digital. A Trip To The Moon adalah sebuah monumen penting dalam dunia sinema dan Martin Scorsese menunjukkan, bahwa kekuatan sinema tidak pernah kehilangan sedikitpun daya magisnya, sejak jaman kamera buatan sendiri ala Méliès hingga jaman teknologi 3D.

Oleh Asmayani Kusrini

FOVEA#0 2012 73


f e a t u r e

f e a t u r e grafi dan lentera ajaib. Méliès begitu terkagum-kagum dengan Praxinoscope (atau teater Optik), karya Emilie Reynaud yang diperkenalkan pada umum pada Pameran Universal tahun 1878; Setelah itu, seorang fotografer asal Amerika, George Eastman mulai mengembangkan strip film dan menjual rol film pertama kali ditahun 1889. Ia menciptakan sebuah media yang diperlukan untuk perkembangan gambar bergerak yang kemudian menjadi dasar perkembangan sinema.

Dari 13.375 Frame hingga A Trip To The Moon “The greatest difficulty in realising my own ideas forced me to sometimes play the leading role in my films. I was a star without knowing I was one, since the term did not yet exist.” George Méliès.

S

uatu hari di tahun 1993, seorang kolektor anonim menyumbangkan koleksi 200 kopi gulungan film bisu ke Filmoteca de Catalunya di Barcelona, Spanyol. ‘Sayangnya, gulungan rol film ini nampak seperti gelungan gelondong kayu, kaku dan mengeras,” tulis Serge Bromberg dan Eric Lange, dari Lobster Films, sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri pada restorasi film dan warisan sinema dunia. Keaktifan Lobster films mengumpulkan film-film ‘hilang’ dan ‘rusak’ ini akhirnya mempertemukan mereka dengan Anton Gimenez yang waktu itu menjabat sebagai direktur Filmoteca de Catalunya, ditahun 1999. Gimenez lah yang kemudian menyebutkan bahwa Filmoteca de Catalunya memiliki kurang lebih 30 kopi film Georges Méliès, salah satunya, versi warna A Trip To The Moon, tapi dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Melihat kondisinya, hampir tidak ada yang percaya bahwa film itu masih bisa diselamatkan.

Mulai awal tahun 2000, proses restorasi A Trip To the Moon pun dimulai. Proses panjang yang mirip permainan puzzle. Dimulai dengan restorasi gambar, membersihkan setiap frame dari debu dan kotoran, kemudian dilanjutkan dengan menyusun kembali setiap urutan gambar yang tersebar tak beraturan sesuai dengan alur aslinya. Butuh kurang lebih 10 tahun untuk menyusun ulang kurang lebih 13.375 frame dari rol-rol film yang berantakan dengan susunan yang acak tersebut. Restorasi gambar film A Trip To The Moon melibatkan laboratorium kimia untuk memastikan film tersebut bisa dinikmati sesuai dengan kondisi awalnya, termasuk menjaga agar warna film ini tetap seperti semula. Sebuah proses yang rumit karena pewarnaan film-film Georges Méliès kala itu menggunakan proses pewarnaan manual, dengan tangan, dan diwarnai satu persatu, frame per frame. Akhirnya proses ini selesai ditahun 2011. Ditahun yang sama, Martin Scorsese menyelesaikan film dengan format 3D nya yang pertama: Hugo. Masyarakat dunia perfilman pun diajak untuk mengenal sosok Georges Méliès lebih dekat.

Era Inovasi Gambar Bergerak Era inovasi mesin sinematografi dimulai dari kamera foto-

74 FOVEA#0 2012

Dua tahun kemudian, William Kennedy Laurie Dickson atas nama Thomas Edison menciptakan kamera pertama, Kinetograph, yang dikomersilkan ditahun 1894. Disaat yang sama, Edison juga menciptakan Kinetoscope (peep show) untuk mempertontonkan gambar bergerak. Demi menjual ratusan paket Kinetoscope, Edison membuat film-film berdurasi 1 menit, hasil besutannya sendiri. Mesin ini kemudian di copy, didesain ulang, dan dimodifikasi dimana-mana, khususnya di Inggris oleh Robert William Paul dan Birt Acres , serta di Perancis oleh Charles Pathé. Kekurangannya, Kinetoscope berfungsi seperti telescope, film-film ini hanya bisa di tonton perorangan. Berita soal perkembangan teknologi gambar bergerak ini juga tidak lepas dari perhatian Georges Méliès yang kala itu sudah memiliki gedung pertunjukan teater Robert-Houdin, teater pertunjukan drama dan sulap spaktakuler. Tapi Méliès lebih tertarik untuk membuat mesin yang tidak hanya ditonton perorangan, tapi bisa ditonton semua orang di teaternya. Méliès tak sadar, bahwa fotografer kenalannya, Antoine Lumière yang menyewa salah satu ruangan di teater Robert-Houdin memiliki dua putra yang saat itu juga sedang mengutak-atik sebuah mesin baru yang memungkinkan impian Méliès terwujud. Sebuah mesin yang bisa berfungsi sebagai kamera, mesin dan viewer atau proyektor. Dan yang lebih penting, bisa membuat semua orang menonton gambar bergerak secara bersamaan diatas layar lebar. Dua bersaudara Lumière sedang menciptakan mesin yang kemudian diberi nama Cinématograph. Kualitas gambar dari mesin baru ini juga jauh lebih baik dari Kinetograph. Sebagai kenalan dekat Antoine Lumière, Méliès mendapat kehormatan untuk hadir di Salon Indien du Grand Café pada 28 Desember 1895, dimana dua putra Lumière, Louis and Auguste akan mempertontonkan sebuah film didepan semua orang. “Méliès, you are used to astonishing the public with your tricks. I’d be delighted if you could come this evening to the Grand Café. You are going to see something that will perhaps stun even you,” kata Antoine Lumière kepada Méliès –dicatat dengan baik oleh Méliès sendiri dalam sebuah teks Dictionnaire des Hommes Illustres, sebuah catatan yang tidak pernah dipublikasikan--. Méliès benar-benar terkesima. Seperti yang ditulisnya usai mengalami pertunjukan spekatukuler di jaman itu, “ ….when a horse pulling a cart started to move towards us, followed by other cars, then passers by, in short, all the animation of a street. As we watched, we were open-mouthed, struck dumb, surprised beyond anything we could express.” Tanpa pikir panjang, Méliès langsung menyatakan niatnya untuk membeli mesin tersebut, tapi ditolak dengan tegas oleh Lumière bersaudara. Méliès tak kehilangan akal. Ia berkunjung ke London, menemui Robert William Paul yang bersama koleganya Birt Acres sudah menciptakan sebuah proyektor yang diberi nama Theatograph (Animatograph) dan juga mampu memproyeksikan gambar bergerak diatas layar hitam dan dipatenkan

pada 2 Maret 1896. Méliès membeli salah atu proyektor produksi RW Paul lengkap dengan film-film produksi Edison yang biasanya hanya bisa ditonton di Kinetoscope. Tak menunggu lama, teater Robert-Houdin mulai membuat pertunjukan gambar bergerak dan tidak hanya fokus pada pertunjukan sulap saja. Teater milik Méliès ini menjadi sinema pertama yang dirombak khusus untuk pertunjukan film.

Berlomba Mendaftar Hak Paten Ingin membuat film tapi tak punya kamera. Kamera orang lain pun di rombak total. Gilingan kopi pun jadilah. Sebagai seorang penghibur panggung, Méliès tidak puas dengan hanya bertindak sebagai penyedia proyektor dan tempat pertunjukan film. Ia juga ingin membuat film, tapi tak punya kamera; Dengan keterbatasan peralatan yang ada, Méliès nekat membongkar Theatograph buatan RW Paul. Dibantu oleh seorang ahli mesin, Lucien Korsten dan seorang insinyur, Lucien Reulos, mereka membuat sebuah kamera yang bagian-bagiannya diambil dari Theatograph dan dibangun dengan peralatan seadanya, sesuai keinginan dan kebutuhan Méliès untuk membuat film. “No spare parts, no cog-wheels, no special lenses were available on the market in those days. … The machine, once built, was based on an entirely different system from the Lumière’s, but was wholly satisfactory,” tulis Méliès kepada salah seorang kawannya. Kamera versi modifikasi Theatograph ala Méliès ini dibangun berbeda. Mesin-mesinnya ditata terbalik dan kemudian ditutup dengan kotak dari kayu ek. Bagi Méliès, mesin karyanya ini adalah sebuah monumen, sebuah kamera yang super berat dan susah dipindah tempatkan. Walaupun cukup puas dengan kamera buatannya sendiri, Méliès terpaksa mengakui kekurangan dari karya monumentalnya ini. Selain berat, kamera ini juga membuat suara yang cukup mengganggu ketika dioperasikan. Méliès sendiri menjuluki kameranya ini sebagai ‘coffee grinder’ (gilingan kopi) atau ‘machine gun’ (senapan mesin). Kekurangan lainnya, kamera ini tidak memiliki view finder dan hanya bisa memuat tidak lebih dari 20 meter film. Saat Méliès, Korsten dan Reulos sibuk membangun kamera film sendiri, Louis Henri Charles mematenkan sebuah alat baru pada 20 April 1896, untuk mengendalikan film dari foto bergerak alias proyektor gambar bergerak, Kinorama dan Cinorama. Tidak mau kalah, Méliès, Korsten dan Reulos juga mematenkan modifikasi Theatograph ini pada 20 November 1896 yang kemudian diberi nama baru Kinetographe, --sama dengan nama mesin ciptaan Edison yang kala itu belum dipatenkan hingga tahun 1897--.

film dengan kamera buatannya sendiri. Film pertamanya, Une Partie de Cartes (A Game of Cards) dibuat di akhir tahun 1896, berdurasi satu menit. Tidak cukup hanya dengan membuat kamera, Méliès membangun studio filmnya sendiri, lagi-lagi terinspirasi oleh Edison yang kala itu sudah membangun The Black Maria, studio film pertama dalam sejarah sinema. Dengan mengusung nama Star Film, Méliès membangun Workshop A di tahun 1897–kala itu, pemakaian kata studio belum umum dipakai untuk bangunan tempat membuat film. Workshop ini dibangun diatas kebun belakang rumahnya di Montreuil-sous-Bois. Gedung ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas syuting film dan berbagai perlengkapan lainnya. Dengan segala fasilitas tersebut, Méliès mulai dengan membuat film pendek 1 menit dan kemudian berlanjut dengan memproduksi film-film yang lebih panjang dan lebih kompleks hingga 40 menit. Karena banyaknya permintaan suplai film, Méliès kemudian membangun Workshop B, juga dibelakang rumahnya. Mengikuti jejak Méliès, Pathé besaudara (Charles, Émile, Théophile, Jacques) dan Léon Gaumont juga membangun studio film sendiri diikuti dengan insfrastruktur pemasarannya. Bedanya, jika Pathé dan Gaumont membuat studio murni untuk bisnis, Méliès membangun studio berdasarkan rasa ingin tahu terhadap teknologi baru yang menyediakan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas untuk imajinasinya yang juga diluar jangkauan. Berbeda dengan Pathé dan Gaumont yang mempekerjakan sutradara untuk memproduksi film-filmnya, Méliès terlibat dihampir segala aspek produksi filmnya. Ia menjadi sutradara, menjadi kamera operator, menjadi aktor, menata koreografi, menata busana hingga ikut sibuk menata lampu dan penempatan kabel. Keterlibatan Méliès dihampir semua aspek pembuatan film membuatnya paham sejak awal tentang kekuatan ilusi dan efek spesial yang bisa dihasilkan oleh Kinetograph. Méliès pulalah yang menyadari kekuatan ‘editing’ –kala itu disebut collage (kolase), yang memungkinkan dua fragment film digabungkan hingga menjadi satu rangkaian adegan-- . Efek sinema yang sejak awal di kuasai Méliès ini membuatnya mampu membuat film-film bertema fantastik. Film-filmnya bisa memunculkan dan bisa menghilangkan, mengubah wujud benda maupun manusia, relatif jauh lebih mudah daripada pertunjukan sulap langsung. Salah satu contohnya diterapkan di A Trip To The Moon. Aktifnya Méliès melakukan percobaan terhadap kemampuan Kinetograph didalam film-filmnya membuatnya terkenal hingga Star Film akhirnya membuka cabang pemasaran dimana-mana. Star Film membuka cabang di London, Bar-

Hingga akhir tahun 1896, lebih dari 100 sertifikat hak paten dikeluarkan untuk inovasi dalam teknik sinematografi, dan setiap karya inovasi ini adalah hasil contek mencontek dari inovasi sebelumnya yang dimodifikasi sedemikian rupa oleh si pemilik hak paten. Méliès menjadi salah satunya. Bersamaan dengan era mematenkan hak atas teknik-teknik baru sinematografi ini, Méliès bersama Reulos lalu mendirikan Star Film, diniatkan sebagai ‘studio’ yang akan memproduksi film.

Mulai Membuat Film di Kebun Belakang Rumah Hanya berselang 6 bulan setelah menyaksikan pertunjukan spektakuler bersaudara Lumière di Grand Café, Méliès yang kala itu berumur 35 tahun akhirnya bisa memproduksi

FOVEA#0 2012 75


f e a t u r e celona, Berlin hingga New York dan beberapa kota lainnnya di Amerika. Tema film-film Méliès mencakup banyak hal, mulai dari hiburan yang populer di masa itu, berita terkini, adaptasi dari novel klasik, film humor, dongeng, film tentang perjalanan hingga science fiction.

Edison Menghambat di Amerika Meski sudah mencapai sukses dimana-mana, Méliès tidak pernah turun panggung dan tidak mau hanya menunggu hasil sukses. Jiwa seniman panggungnya tidak pernah luntur. Sebagai pemilik studio, ia terlibat langsung dihampir semua produksi filmnya yang mencapai lebih dari 500 judul. Méliès juga termasuk konvensional dalam mempekerjakan aktor, artis maupun para pekerja film lainnya. Pada umumnya, mereka yang bermain dalam filmnya adalah keluarga dekat (istri, anak, sepupu, saudara), teman-teman, tetangga hingga aktor teater. Méliès juga mempekerjakan hampir semua seniman yang datang bertandang ke studionya sesuai kebutuhan. Barulah belakangan ia mulai mengajak aktor atau artis teater ketika film-filmnya menuntut karakter dengan tugas yang cukup kompleks, berakting sambil menari. Aktor artis teater inipun bukan berasal dari kelas bintang. Pada umumnya pekerja film ini disewa sehari sebelumnya untuk produksi esok hari. Berbeda dengan pemilik studio lainnya khususnya Pathé dan Gaumont, Méliès membayar pekerja filmnya dengan sangat baik, bahkan ketika produksi film mereka terpaksa tertunda karena kurangnya cahaya atau masalah teknis. Mereka yang sudah disewa tetap dibayar sesuai ketentuan. Méliès begitu bersemangat dengan dunia baru yang kemudian dikenal dengan dunia sinema ini hingga tak menyadari bahwa ada sebuah gerakan besar yang akan mengiringi pertumbuhan sinema kemudian. Gerakan besar yang akan tumbuh mengakar dan melindas imajinasi Méliès. Melihat perkembangan sinema yang makin menjadi industri hiburan menguntungkan, sejumlah pebisnis kemudian mulai mengatur strategi-strategi dagang, pemasaran dan sistem pendistribusian film. Biaya membuat film kala itu sudah sangat mahal sehingga sebagian studio yang mulai berhitung untung rugi lebih memilih menjadi distributor saja. Di Amerika, film-film Méliès yang didistribusikan oleh perusahaan Amerika, Biograph, secara sistematis dikopi dan diedarkan secara ilegal. Akhirnya, Méliès mengirim adiknya, Gaston untuk membuka perusahaan film agar film-filmnya bisa didistribusikan secara legal. Tapi rupanya, Edison berusaha menjegal pengembangan usaha ini dan menuntut Méliès serta Pathé di pengadilan demi menghadang perusahaan asing bergerak ditanah Amerika. Meskipun gagal, Edison tak berhenti. Edison kemudian membentuk Film Service Association. Meskipun Star Films menjadi anggota kartel ini, namun dua perusahaan distributor yang memegang hak distribusi Méliès film, Biograph dan Kleine tidak dimasukkan menjadi anggota mereka. Selain membentuk Film Service Association, Edison lalu membentuk Motion Picture Patents Company (MPPC) dimana dua perusahaan tersebut masuk menjadi anggota. Karena dua perusahaan distribusi yang memiliki hak distribusi film-film Méliès ini masuk anggota di satu asosiasi dan tidak masuk anggota di asosiasi yang lain, ijin atas kegiatan aktivitas menyangkut film untuk perusahaan Méliès pun tertahan. Setelah melalui proses pengadilan panjang, perusahaan Méliès akhirnya menang dan mendapatkan ijin usaha tapi

76 FOVEA#0 2012

f e a t u r e dengan ketentuan, perusahaan ini harus memenuhi kuota MPPC yang kala itu mematok 300 meter film per minggu. Méliès bekerja siang malam di dua studio belakang rumahnya , membuat film demi memenuhi kuota tuntutan MPPC itu. Tapi, MPPC tidak hanya menetapkan kuota, anggota komite MPPC juga menjadi semacam badan sensor terhadap film-film produksi anggotanya, dan menjadi penentu apakah film-film tersebut bisa diloloskan untuk didistribusikan (juga) oleh anggota MPPC sendiri.

menciptakan sinema. Secara garis besar, riwayat hidup Georges Méliès dan kontribusinya terhadap sinema yang kita kenal sekarang digambarkan nyaris akurat di Hugo, karya Martin Scorsese. Setelah meninggalkan dunia sinema, Méliès menikah dengan istri keduanya, Jehanne d’Alcy, pada 1925. D’Alcy, dulunya seorang artis teater yang cukup terkenal, meninggalkan teater untuk mendedikasikan diri pada dunia sinema dibawah arahan Méliès. Dengan uang hasil kerjanya, d’Alcy membeli sebuah toko kecil yang menjual permen dan berbagai mainan anak-anak disalah satu bagian stasiun kereta Montparnasse. Seperti dalam film Hugo, bersama Méliès, mereka hidup bersama Madeleine Mathête-Méliès, cucu mereka dari Georgette, putri Méliès.

Ditengah perseteruan bisnis di Amerika itu, istri Méliès yang pertama Eugénie Génin, wafat ditahun 1913 dan meninggalkan Méliès beserta dua anak mereka Georgette dan André yang kala itu masih belum cukup usia. Setahun kemudian, perang dunia pertama pecah. Teater Robert-Houdin milik Méliès yang sudah berubah fungsi menjadi sinema terpaksa ditutup. Kegiatan Méliès membuat film yang menghabiskan biaya banyak terpaksa terhenti juga karena penonton film rupanya sudah mulai bosan dengan cerita dan teknik yang itu-itu saja. Film-film Méliès yang terakhir dan hak distribusinya dipegang Pathé, juga tidak pernah didistribusikan dengan layak.

Dalam Hugo, salah satu adegan, ketika A trip To The Moon dipertontonkan diruang tamu Méliès, nampak gadis yang duduk diatas lengkungan bulan itu adalah Jehanne D’Alcy. Aslinya, gadis bulan itu adalah Bleuette Bemon, seorang penyanyi kabaret kenalan Méliès. Tentu, ini bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan karena meskipun terinspirasi dari kisah hidup Méliès, Hugo yang diadaptasi dari buku The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick tetaplah karya imajinasi.

Ketika teater Robert-Houdin dibuka kembali untuk umum pada tahun 1915, Méliès kembali naik panggung dan lebih banyak memberi pertunjukan teater dan sulap. Akibat perang, salah satu studionya di Montreuil difungsikan sebagai rumah sakit darurat, sementara yang lainnya diubah menjadi sinema kecil. Kopi koleksi film-film Méliès banyak yang hilang sepanjang masa pendudukan. Perkembangan yang diluar kendali ini membuat Méliès terpaksa meninggalkan dunia panggung dan dunia hiburan ditahun 1920.

Keistimewaan Hugo karya Martin Scorsese ini terletak pada nilai sejarah yang ditampilkannya. Hugo, anak yatim piatu yang kehilangan ayahnya, menemukan sebuah automan rusak peninggalan sang ayah. Upaya Hugo memperbaiki mesin automan itu membawanya mengenal Papa Georges, pemilik toko mainan di stasiun kereta api tempat tinggal sekaligus tempat kerja Hugo. Automan ini membawa Hugo masuk kedalam sejarah sinema. Sayangnya, automan asli yang disumbangkan oleh Méliès ke Museum Arts et Métiers, Paris, ini di jual (atau mungkin sudah dihancurkan) dan tidak berjejak sama sekali.

Teater Robert-Houdin pun disewakan kepada kelompok teater baru dan kemudian diubah lagi menjadi sinema hingga 1923. Sepanjang 35 tahun, teater Robert-Houdin yang dibelinya dari uang warisan orang tuanya, menjadi saksi kecintaan Méliès terhadap sinema. Semua hasil kreativitasnya, mulai dari pertunjukan sulap hingga menjadi pembuat film, dipertontonkan di teater ini. Bangunan bersejarah bagi Méliès ini akhirnya dihancurkan dan diratakan untuk pembangunan jalan baru.

Pertemuan Hugo dan Papa Georges dalam film Hugo seperti pertemuan antara Georges Méliès dan Martin Scorsese, dua orang yang sama-sama percaya, bahwa sinema menyimpan banyak potensi yang tidak akan pernah habis untuk diutakatik. Papa Georges, sudah tak punya harapan dengan dunia magis itu, menganggap dunia itu mengabaikannya. Tapi Hugo percaya dan begitu antusias menemukan rahasia dibalik sebuah mesin rusak, mesin yang diabaikan. Sama seperti Scorsese yang juga begitu antusias mengungkapkan betapa pentingnya Méliès dalam sejarah sinema.

Ironisnya, stok film-film lama yang disimpan dalam teater inipun terpaksa dijual perkilogram, yang kemudian dicairkan untuk diubah menjadi --salah satunya-- pita seluloid. Daur ulang stok film ini dijual kembali untuk para pembuat film amatir yang kala itu bermunculan seiring dengan perkembangan dunia sinema. Setelah terpaksa menjual properti dan harta yang termasuk didalamnya, Méliès juga terpaksa menjual rumahnya di Montreuil termasuk dua studio film yang berdiri di kebun belakang rumah tersebut. Putus asa, Méliès membakar semua stok negatif film-filmnya. Setelah itu, ia mengucapkan selamat tinggal pada dunia sinema.

Tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia sinema. Lewat A Trip To The Moon, Méliès menjelajahi bulan. Lewat Hugo, Scorsese menghidupkan kembali sosok Méliès serta imajinasinyaa diera awal sinema. Penggunaan teknologi 3D dalam film Hugo jadi punya peran penting dan tidak hanya sekedar pertunjukan teknologi spektakuler semata seperti pada umumnya film-film blockbuster belakangan ini.

Hugo Cabret Dan Kekuatan Sinema

Dengan menjembatani pertemuan antara A Trip To The Moon –film pertama dengan segala keterbatasannya tapi mampu menunjukkan kekuatan sinema-- dan Hugo –film terkini dengan teknologi 3D, teknologi terbaru di dunia sinema—Martin Scorsese sekali lagi ingin menegaskan bahwa sinema adalah dunia imajinasi tak terbatas. Méliès di abad 19 hingga Scorsese di awal abad 21, masing-masing menyadari aturan dasar sinema. Teknologi hanyalah sekedar perangkat, tapi imajinasi lah yang menggerakkan teknologi. Mempertemukan titik awal sejarah sinema dan titik terakhir perkembangan sinema dalam satu wadah, bukan lagi hal yang muskil. Imajinasi dan teknologi. Sinema adalah hasil dari pertemuan tersebut, baik di jaman Méliès maupun dijaman Scorsese.

Dalam sebuah acara makan malam ditahun 1931, beberapa tahun setelah Méliès mundur dari dunia film, Louis Lumière menghampiri Méliès yang kala itu menjadi tamu kehormatan. Lumière kemudian melekatkan sebuah medali, Legion Of Honor ke dada Méliès. “I salute you as the inventor of the cinematographic show,” kata Lumière. Dalam pidatonya malam itu, Lumière menyatakan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Méliès atas jasanya terhadap perkembangan sinema. Lumière mengakui, meski ia dan saudaranya yang pertama kali menciptakan kamera Cinematograph, tapi Georges Méliès lah yang membuktikan segala potensi yang tak terbatas oleh adanya mesin tersebut, menunjukkan daya magis dunia sinema. Dengan kata lain, Méliès sudah Courtesy Photos by Jaap Buitendijk – © 2011 GK Films

FOVEA#0 2012 77


f e a t u r e

f e a t u r e

Brooksfilms

Freak Cinema: Memandang Yang (Tidak) Seadanya Dalam menonton film, cara menonton dan menatap adalah hal yang paling penting untuk diperhatikan. Bahwa kita bisa saja telah meninggikan atau melukai orang lain hanya lewat pandangan. The Elephant Man dan Black Venus patut dijajaki sebagai medan latihan berprasangka, dalam sinema, dan pada akhirnya, di dunia nyata.

W

Oleh Makbul Mubarak*

MK2 Productions

Kritikus Noël Carroll mengartikan film horor sebagai film yang, lewat keberadaan entitas lain (hantu, monster, vampir, dsb) menebar gangguan pada karakter di sekitarnya. Film yang tidak memotret entitas lain sebagai unsure yang tidak menganggu, bukanlah film horor. Ambil contoh E.T the Extra-Terrestrial (1982) dan Koi… Mil Gaya (2003), dimana keberadaan entitas lain (alien) bukanlah gangguan, melainkan rekan beromansa, dengan demikian ia bukanlah film horor. Definisi Carroll ini sangat membantu kita mendefinisikan film-film seperti The Elephant Man. Berkebalikan dengan film horor, film yang berisi orang freak (selanjutnya disebut “freak cinema”) justru menggambarkan entitas lain sebagai sumber kesenangan bagi karakter-karakter di sekitarnya. Dalam The Elephant Man, John Merrick adalah sumber kesenangan bagi penonton pertunjukannya. Nanti juga akan kita bicarakan mengenai penggambaran karakter Saartje Baartman dalam Black Venus karya Abdellatif Kechiche, yang kurang lebih mengangkat cara penggambaran serupa. ***

aktu itu sore penghujan, ketika tiba-tiba saya dikejutkan oleh sesosok lelaki tirus tinggi menjulang di belakang gudang kopra dekat rumah kami. Lelaki itu duduk diam, seperti mati terserang angin duduk. saya ajak bicara, tak ada sahutan. Matanya kosong saja. Antara kaget dan takut, saya berlari kencang, membungkus kabar untuk para tetangga. Keesokan harinya, lelaki tirus ini telah menjadi tontonan warga. Senyum kosong dan wajah lancipnya, entah kenapa, menjadi sumber keriaan ganjil para penonton. Tahun berlalu, tak ada yang tahu siapa lelaki itu.

Sebagai film yang berkonsentrasi pada tokoh, ganjil rasanya karena The Elephant Man (memilih) tak menceritakan beberapa hal penting dalam kehidupan Merrick. Dalam kehidupannya, Merrick ditinggal wafat oleh ibunya ketika ia masih sangat kanak, ayahnya menikah lagi, sanak familinya tak ada yang sudi, lamaran kerja tak ada yang jadi. Patah hati Merrick mendatangi seorang seniman panggung, menawarkan diri, siapa tahu ada uang yang bisa digali dari kelainan yang dideritanya itu. Ia akhirnya bekerja di sana, sebagai karakter utama pertunjukan makhluk aneh; freak.

Pilihan Lynch untuk tak menceritakan kehidupan pra-panggung Merrick berimbas pada impresi penonton pada karakter ini. Sedari awal film bermula, tak pernah ada impresi bahwa Merrick punya latar belakang keluarga seperti halnya manusia umumnya. Ia seperti dijatuhkan dari langit khusus untuk dipermainkan demi kesenangan para penonton, baik penonton yang ada di dalam film (para karakter), maupun penonton yang ada di luar film (para penonton film).

Kenangan tentang si lelaki tirus menyeruak ketika saya menonton film The Elephant Man karya David Lynch. Film ini mengisahkan Joseph Merrick, pemuda penderita kelainan bentuk tubuh dan “perjuangan”-nya bersama kondisi yang mengenaskan tersebut. Joseph Merrick sejatinya adalah kisah nyata yang terjadi di London di akhir abad sembilan belas. Tak terhitung sumber yang telah menjadikan kisah Merrick sebagai rujukan.

Alih-alih menuturkan perjalanan Merrick dari seorang manusia “biasa” (punya kelurga, pahit manis mecari kerja), The Elephant Man memulai cerita dengan meminjam mata seorang hadirin pertunjukan panggung Merrick. Sang hadirin bernama Dokter Teves, yang sengaja datang karena mendengar desas-desus adanya manusia berwujud absurd yang dipertontonkan untuk kesenangan khalayak.

Lynch menantang penontonnya, adakah sesiapa yang bisa lepas dari prasangka? Adakah sesiapa yang bisa menjamin bahwa bahwa tatapannya tak mungkin merendahkan posisi orang lain? Pertanyaan yang tentu sangat sulit dihindari dan dijawab ketika menonton The Elephant Man. Setelah menempatkan Merrick sebagai manusia-janggal semula jadi, The Elephant Man mempermainkan empati penonton lewat perlakuan orang-orang di sekitar Merrick terhadap dirinya.

***

Bagaimana Bytes memanfaatkannya untuk pertunjukan (tentu

78 FOVEA#0 2012

akan lain ceritanya jikalau Lynch menceritakan muasal hidup Merrick yang sebenarnya), bagaimana Dokter Teves sangat menginginkan Merrick sebagai objek penelitian medisnya, nantinya juga akan muncul kaum aristoktrat, menyenyumi Merrick dengan kedermawanan yang sungguh mencurigakan. Dua puluh tahun kemudian, sineas Aljazair Abdellatif Kechiche menyeberang ke Perancis dan membuat Black Venus, sebuah lakon penelanjangan massal atas peradaban Eropa yang selama ini (setidaknya menurut Black Venus) selalu ditutup-tutupi. Saartje, seorang perempuan kulit hitam datang ke Inggris untuk bekerja sebagai seniman panggung. Dalam pertunjukannya, Saartje ditampilkan sebagia makhluk primitif dari Afrika. Demikianlah juga, penonton (dalam film itu) tak tahu bahwa Saartje hanyalah seorang pelakon. Kesenangan penonton memuncak karena mereka menyangka bahwa Saartje adalah benar seorang makhluk primitif. Mereka antusias menyambut penampilan perempuan gembur, berotak nihil, buas, dan tak bisa berproses layaknya manusia modern. Jikalau kehidupan Merrick merangkak naik di tengah jepitan munafik aristokrasi Inggris, Saartje terus menerus dilemahkan oleh ruang sosial tempat ia berada. Putus asa di Inggris, ia (di) pindah(kan) ke Perancis. Disana cita-citanya menjadi seniman panggung terbawa hingga ke titik musykil. Ia kerap diminta memuaskan hasrat primitif para aristokrat. Saartje yang tadinya sadar penuh bahwa penampilan panggung berbeda dengan kehidupan nyata, kini mulai limbung; kehilangan batas antara keduanya. Kalau John Merrick tak kuasa melawan karena sakit, Saartje tak bisa melawan karena dibekap tetek-bengek sosial yang runyam. Pertama, Saartje tak berbahasa Inggris atau Perancis, ia datang dari “luar”. Kedua, Saartje terus-menerus diperingkatkan oleh koleganya, bahwa penampilannya di panggung sebagai “spesias terbelakang” adalah bagian dari profesionalitasnya sebagai seniman panggung. Bila aura penampilan itu hilang, maka hilanglah sudah karirnya. Sementara di titik lain, kenyataan bahwa ia seringkali mengalami pelecehan seksual di atas

FOVEA#0 2012 79


f e a t u r e

f e a t u r e

Towards a grey world : from Apollo 13 to Apollo 18

panggung tak bisa ia terima sebagai pengalaman panggung belaka. Serangan Kechiche tidak hanya berlangsung dalam narasi, ia juga memaksa penonton menggeser posisi duduk berkalikali. Sudah benarkah cara pandang kita yang seperti “ini”? Keberpihakan pada karakter aristokrat akan bermakna rasis, keberpihakan kepada Saartje tentu juga tak tertanggungkan, sebab dalam posisi apapun, perempuan pendiam ini selalu ada dalam posisi yang dirugikan. Alih-alih melawan, Saartje seperti memasuki fase masokistik yang melenakan.

Photo Courtesy MK2 Productions

Di akhir hidupnya, Saartje menderita penyakit seksual. Ketika Saartje mati, para dokter mengambil alih jasadnya, memilah organ tubuhnya, mengawetkan otaknya, lalu mempersembahkan tubuh Saartje ke hadirat majelis ilmiah yang mulia. “Hadirin,” terang seorang dokter, “Perhatikan labia pada vaginanya, spesies ini menyerupai kera sebelum evolusi sempurna manusia.” Maka Kechiche seperti mengajak penonton filmnya mengerutkan kening. Penis siapakah yang merajam labia itu bila bukan penis putih yang dilema ?. Siapakah yang mengebiri hidup perempuan itu bila bukan sang peradaban durjana?. *** Bila kita perhatikan karya-karya humanis Jean Renoir, kita selalu menemukan bukti bahwa selalu ada alasan di balik setiap tindakan manusia. Bukan alasan transendental, melainkan alasan yang datang dari manusia itu sendiri. Pandangan manusia terhadap sesamanya seringkali salah, sebab pandangan, seringkali tidak mempertimbangkan alasan. Sineas Korea Hong Sang-soo membawa pandangan menjadi setingkat lebih kompleks. Dalam film-film Hong Sang-soo, pandangan tidak lagi menjadi masalah internal naratif, melainkan menjadi masalah penonton dan karakter-dalamfilm sebagai objek yang mereka tatap. Seringkali, twist dalam film Hong Sang-soo lahir dari kesalah-pahaman penonton terhadap perangai satu dua karakter. Semua karakter bisa jadi adalah manusia normal dan freak pada saat yang bersamaan, penonton hanya bisa memutuskan lewat cara mereka memandang. Bagaimanapun, sebelum melihat ke sana, The Elephant Man dan Black Venus patut dijajaki sebagai medan latihan berprasangka, dalam sinema, dan dalam dunia nyata pada akhirnya. Genre horor dan freak cinema akan terus dibuat orang. Horor menguasai penontonnya lewat ketakutan. Freak cinema mengaduk perasaan penontonnya lewat sensasi kelainan dan gerak konstan antara jijik dan kasihan. Freak cinema merelakan diri dikuasai sepenuhnya oleh pandangan penonton. Sekarang masalahnya, bila kuasa memandang ada pada kita, kita bisa sebijak apa?

*co founder dan editor CinemaPoetica.com

80 FOVEA#0 2012

From 13 to 18, the tone has switched from a belief in human solidarity to a radical suspicion and mistrust. We are facing an era of a disorientation about the goals of science and governments.

Pada paruh kedua film, Kechiche menambah intensitas kesadisannya. Orang-orang di sekitar Saartje mulai memperlakukannya sebagai objek fetish. Seluruh bagian tubuh Saartjie bebas disentuh oleh siapa saja tanpa sanggup ia lawan. Harkatnya sebagai manusia tetap bergelung kedinginan di belakang label profesi seniman panggung. Bekerja di sebuah “salon”, Saartje harus menerapkan taktik peluk berbayar pada para lelaki berduit yang ditundukkan nafsu.

By Sylvain Dal

W

e are all probably well aware that the 90’s were very different from the previous decades. Gone was the flower power generation of the 60’s, gone was the community spirit and rebellion of the 70’s, gone were the casualness and the golden boys of the 80’s. Since then it has become more difficult for me to distinguish the changes. Of course, there is the arrival of the now omnipresent internet, but that asides, were the ‘00s so different ?. Is there a further change occurring in the ‘10s ?. Is it because I became young adult in the 90’s, or is it a case of shortsightedness ?. Maybe time will tell.

So, let’s start pragmatically, playing a little game of 7 ( or more ) differences. Or as Dr Dre would say, what’s the difference between me and you ?

Nonetheless, recently, I was utterly struck by a movie that made me think there might be a paradigmatic shift between the ‘90s and the ‘10s. Let’s call him to the witness box : Apollo 18. You might call it a B-movie without risking to get sued. And, honestly, it has some traces of Z-movie DNA. But my point is : it’s a good witness of our times. To properly show his face, i would like here to confront him, in the very same field, with a gem of the ‘90s : Apollo 13, by Ron Howard.

Well, that’s what Gonzalo wants you to believe. 18 is supposed to look like a patch of CCTV and lo-fi images, presumably escaped from the wreck of the mission. A discerning eye soon realizes that this pretended lo-fi quality is achieved with what i suppose to be a highly priced software, a posttreatment of decent HD shots. In the end you get a spastic fuzz of jumping cuts, fake end of rushes and grainy stains, unfocused empty shots at rocks.

Everyone knows this movie, as part of the now classical Tom Hanks canon, along Forest Gump, Green Mile, Philadelphia, Cast Away, and Saving Private Ryan. One line synopsis : astronauts are heading for the moon, but get confronted with many technical problems that they have to solve with their team to land safe on earth. True story, has to be remembered. The mission Apollo 18 on the other hand, has never existed, but the movie by the same name would like to make us believe it has, was never revealed, and would have been a bloody case of alien encounter, organized by DOD ( Department of Defence ). For the record, this movie is from 2011, made by hitherto unknown Gonzalo Lopez Gallego.

First of all, one that screams through the screen : the texture of the image. 13 was still using the highest quality, 35mm images. All clean and shiny, with a real DOP ( Director of Photography, not to be confused with aforementioned DOD ). The one kind for which it’s nice to have a 2m large hi-res TV set. In 18, you are falling from hyper-realistic heaven into hell.

These images are actually overproduced and desperately trying to look like what you see on CNN since 20 years. It looks like what we are now taking for ‘the real stuff’. The problem is, we are so much used of that trick already ( thanks to Blair Witch Project, Redacted and Cloverfield ) that we become immediately suspicious. 18 is trying to make us believe the reality of its subject by producing fake real images. It’s all about simulacrum. Whereas 13 was assuming its narration of real events. You already see the confusion emerging. Second point is the context mentioned in the movie. 13 starts very concisely by reminding us that what happened in those years was : USA versus Soviet Union. That was it,

FOVEA#0 2012 81


p

f e a t u r e a bit of political context. The movie ends with compulsory documentary credits, telling us what the protagonists became. 18 starts with the same kind of lines, parodying a documentary and urging us to look at a website ( lunartruth. org ) which has been deleted.

cessful. A revelatory scene is when the module is defective, the situation impossible to understand from the screens of the tools. Only a direct look through the window, an unmediated human experience, will help understand the cause of the problem.

Smart-asses who have the idea to look in the source code of that page will find a link to another blog. OK, that’s what we call ingredients for suspicion and complot theory. Alternatively, you can also name it viral marketing. The movie is linked to the bottomless barrel of naivety and credulity that is the web. A few souls will probably get lost in there. Far more than telling a story that happened and could be dramatized like it is the case for 13, 18 is telling us that entertainment can become a shared semblance of reality, with the help of technology and marketing.

In 18 we get a totally different image : science has achieved its devastation potential, and the humans are unable to relate to it. The experiment consists of installing an emitter which should attract aliens forms to the landing site of the astronauts, these fully ignoring the purpose of it, all the while their proceedings being monitored and watched by earth scientists ( and military authorities, never far away in today’s representation of science ).

If we now start to look a bit closer in the structure of the story and in its a-priori, we find the most interesting differences. How are the human relationships described in both movies. In 13, we have a rich palette of interactions : sexualized man-woman relations, parental links ( astronauts-kids, astronaut-mother ), group interactions ( Houston, the military school, the sisterhood of astronaut brides ), friendly links ( the astronauts ), sometimes tinted by animosity ( the replacement of a sick astronaut ), national union ( pride, space race ). What shines 13 in comparison with 18 is that there is a belief that human life is important : “We are not losing those men.” In 18, all this is shrinking to the dimension of a sterile desert : the Houston team is reduced to a voice echoing in the emptiness, we never get to see a face of that team. Different voices take over, switching from Houston to Russia to DOD as equivalent interlocutors distinguished by minimal variation in timber. Asides very shallow description of their partners at the beginning of the movie, families and friends never appear once the astronauts are in space. There is an essential loneliness. Far more, it appears during the movie that these astronauts are considered as guinea pigs by the authorities, simple victims of science. From 13 to 18, the tone has switched from a belief in human solidarity to a radical suspicion and mistrust. From the good motherly figure of a caring team who will ‘work the problem’ and ‘cares about what it can do’, we have arrived to a destructive figure of perversion, who misleads the astronauts on purpose, for its own interest and without any consideration for their lives. The representation of authority has totally changed. Along the same line we can spot another change of representation : that of science. In 13, science is already showing its limitation. It’s obvious that defects are inherent to science, the whole story being based on the consequences of a few technical defects : the explosion of a panel of the vehicle, the misshapes of carbon dioxide filters, the wrong calculations. This science somehow has to let place to hazard, and suggest the movie, to belief. There is the meaning of the number 13, still very present in the US nowadays, some buildings not having at 13th floor for example. There is the lost ring of the astronaut’s wife. There is the brand new waistcoat of the Houston director for each flight. Science coexists with superstition. But what matters is that it is still considered as a positive tool. imperfect, but positive. In the end, it’s well the association of science and human qualities which will save these astronauts : calculations and electrical rewirings will prove suc-

82 FOVEA#0 2012

r

o

f

i

l

e

JOHN CASSAVETES

Between the 2 movies, the enemy is shifting from an intrinsic problem of humanity ( how to face our defects, the defects of our science, trying to overcome them with our intelligence and our moral qualities ) to a totally external enemy, as evil as other humans. In 18, the humanity is destroyed : you have a few individuals, facing aliens and their own colleagues and authorities on earth who don’t care about them. The bitter conclusion of these astronauts, “they’re lying”. In 13 is still a movie about heroism and values, stating that something is indeed wrong in us sometimes, but that we can get over with it. 18 is a paranoiac and bleak reflection on despaired individualism. Still, there is one last bit of hope in 18, the astronaut orbiting the moon is still willing to help his colleague, against the orders from earth. It’s a shallow consolation, but at least the despair is not complete (that might be a mistake from the director, though). Anxiety in 13 is allowing the astronauts to find the resources to ‘get home’, because they believe in something worth living for. In 18, anxiety is fragmenting and isolating them. Other minor signs are confirming this change of world between 13 and 18 : the sketchy world of 18, compared to the extreme complexity of 13 ( media, relationships, politics, science, values, to cite a few ). That sketchy aspect is also underlined by the sound effects of 13 : we have omnipresence blips, interferences, buzzes, echoes and whirr but barely any music, save a tape with a piece of music interrupted by a kid’s message. Sound effects and glitches are taking the place of the music, which was still present in 13. The calming reassurance of a know-it-all voice-over at the introduction of 13 made place in 18 to silence and only you to judge the images. Nobody’s there to help you understand any more. Gloomy conclusion to this futile comparison: we are facing a huge gap between the ‘90s and the ‘10s, a collective black hole which is feeding on a generalizing distrust, on a disorientation about the goals of science and governments. Hum, where’s my prozac ?.***

dan PERJUANGAN MELAWAN ARUS John Cassavetes tidak pernah dianggap semulia Orson Welles, Howard Hawks, atau John Ford. Dengan pendekatan yang jauh dari pakem Hollywood, Cassavetes seperti sengaja menantang arus yang sudah dilaluinya sejak memulai karir sebagai aktor. Ini sebuah tulisan yang menjelajahi karya seorang seniman film yang pernah membuat gerakan independen menemukan jalurnya di dunia sinema.

Oleh Yuki Aditya

FOVEA#0 2012 83


p

r

o

f

i

l

e

JOHN CASSAVETES

B

erbicara tentang John Cassavetes akan sangat personal bagi saya. Selain Ingmar Bergman, Yasujiro Ozu, Luis Bunuel dan Andrei Tarkovsky, John Cassavetes adalah orang yang bertanggung jawab besar menumbuhkan cinta saya pada medium film. Medium film sendiri merupakan sesuatu yang baru buat saya. Saya tumbuh dengan buku dan membenci film. Bagi saya dulu semua film yang ada di rental VCD dan Laser Disc mempunyai jalan cerita yang klise atau itu-itu saja. Perkenalan saya dengan film berawal dimasa kuliah. Dimasa itulah saya mulai menonton film-film seperti Magnolia, Blue Velvet, Being John Malovich, dan beberapa film pemenang piala Oscar lainnya. Film-film tersebut membuka mata saya bahwa sebetulnya ada banyak cara bercerita dalam film. Saya membaca nama John Cassavetes pertama kali dari daftar Top 50 Cult Film sepanjang masa versi Entertainment Weekly dimana Love Stream ada diposisi 44. Selain itu saya juga mengikuti daftar Great Movies oleh Roger Ebert yang menempatkan A Woman Under the Influence sebagai salah satu film terbaik. Suatu waktu seorang teman membuat copy 5 film independent John Cassavetes bersama dengan The Seventh Seal (Ingmar Bergman), dan Tokyo Monogatari (Yasujiro Ozu). Waktu itu saya begitu terkesima dengan The Seventh Seal dan Tokyo Monogatari. Baru kali itulah saya merasa tertantang menonton film. Dibanding sutradara-sutradara yang saya sebut di awal, nama John Cassavetes sendiri sebenarnya jarang saya temui dalam daftar film terbaik. Jika ada pun paling hanya A Woman Under the Influence saja dan ada di urutan bawah. Cassavetes tidak dianggap semulia Orson Welles, Howard Hawks, atau John Ford misalnya. Tapi saya selalu suka dengan idiom “underdog”. Jadi mengapa tidak saya coba tonton, bisa jadi filmnya akan jelek, dan mungkin juga saya akan suka. Saya memutuskan untuk menonton film-filmn Cassavetes secara kronologis agar paham perkembangan artistik dalam film-filmnya. Jujur saja, saya bukan orang yang terlalu perduli dengan keindahan teknis dan visual mewah macam 2001: A Space Odyssey. Maka, ketika menonton Shadows, dengan visual hitam-putih yang terkesan seadanya dan kasar, saya sama sekali tidak terganggu. Teriakan demi teriakan, tawa demi tawa dan plot yang nyaris tidak ada dalam Shadows menimbulkan kesan yang dalam. Saya merasa Cassavetes membuat film karena dia senang membuatnya, bebas, dan tanpa aturan. Mendengar orang-orang yang ada di dalam Shadows saling bersahutan dan berbicara bagaikan bertemu teman akrab. Mereka tidak terdengar ingin menjual suatu ide, hanya berbicara tentang diri mereka, yang penting buat mereka dan masalah mereka melalui kata-kata sederhana tapi jujur dengan cara mereka sendiri. Satu hal yang saya sadari, tiap karakter seperti mempunyai jiwa yang utuh, dimana dalam film-film Hollywood biasanya semua orang berbicara dengan cara yang sama atau generik. Dan menggunakan mulut dan otak penulis skenario yang terkesan ditempelkan ke semua karakter. Tema-tema dari film Cassavetes pun saya rasa dekat dengan kehidupan saya pribadi. Persahabatan dan romantika (Shadows), keluarga (Faces, A Woman Under the Influence, Love Streams), hidup karena ekspektasi orang lain (Killing of a Chinese Bookie) atau soal bertambahnya umur (Opening Night). Karakter-karakternya mungkin jauh lebih tua dari umur saya ketika menonton, tetapi esensi permasalahan

84 FOVEA#0 2012

mereka tak jauh dari yang saya rasakan. Seringkali, Cassavetes menunjukkan suatu situasi yang membuat otak dan hati saya turut aktif menjadi bagian dari film-filmnya. Film-film Cassavetes seperti membukakan suatu dunia baru buat saya. Film-filmnya mengajak memikirkan masalah karakternya seperti juga mengajak saya untuk memikirkan masalah yang pernah saya alami, serta bagaimana melihatnya dengan lebih objektif. Tulisan berikut lebih merupakan kesan dan pengalaman yang saya dapatkan dari menonton film-film John Cassavetes. Tulisan ini tidak sedang mengkritisi, tapi sedang menjelajahi karya-karya seorang seniman film yang pernah membuat gerakan independen menemukan jalurnya di dunia sinema. Jika “Film is like a battleground”, seperti yang pernah dikatakan oleh Samuel Fuller dalam film Pierrot le Fou karya Jean-luc Godard, maka tulisan ini adalah medan saya untuk mengingat, menghormati, dan menyebarkan gelora yang pernah dan masih saya punya terhadap John Cassavetes.

“Film is like a battleground” Mengulang kutipan dari Samuel Fuller di atas, sepanjang karirnya di dunia film, John Cassavetes adalah salah satu sutradara yang tak pernah berhenti berperang di medan laga perfilman yang dikuasai sebuah kerajaan bernama Hollywood. Bahkan ketika pria yang lahir pada 9 Desember 1929 menjadi bagian dari sistem Hollywood, Cassavetes tak henti-hentinya berontak terhadap aturan-aturan baku. Bagi Cassavetes, makna dari medan perang itu sendiri bisa diartikan luas. Melawan sistem produksi dan distribusi Hollywood yang menggurita, melawan bentuk dan formula film yang lazim, serta melawan dirinya sendiri. Penggemar Frank Capra (It’s a Wonderful Life, Meet John Doe) dan Carl Theodor Dreyer (Ordet, Gertrud) ini suatu kali membuat teori tentang mengapa penonton mempunyai masalah dalam mencerna film-filmnya.

p

r

o

f

i

l

e

JOHN CASSAVETES menganalisis permasalahan karakter-karakternya, tetapi untuk menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa kecil itu dan merasakan sendiri bagaimana menjadi karakter-karakter tersebut. Dalam film John Cassavetes, kepribadian adalah plot, dan prilaku manusia adalah narasinya. Kita tidak belajar fakta baru, tetapi kita melihat, mendengar, berfikir, dan merasakan dengan cara baru. John Cassavetes berusaha menjauhkan pendefinisian intelektual atas karakter-karakter dalam filmnya, dan menolak suatu formula yang saklek. Hidup dalam film-film Cassavetes adalah hasil negosiasi tiap detik dari cara menjalaninya dan interaksi dengan individu yang lain. Peristiwa dan emosi tidak di potong menjadi lebih ringkas agar lebih mudah dicerna penonton, melainkan sebuah pengalaman untuk di lalui bersama. Dengan pendekatan yang jauh dari pakem Hollywood itu, Cassavetes seperti sengaja menantang arus yang sudah dilaluinya sejak memulai karir sebagai aktor. Karena John Cassavetes sebetulnya dibesarkan oleh Hollywood. Cassavetes—dengan garis muka yang tajam, dan aktor tampan pada masa jayanya—tidak termasuk dalam jajaran aktor dengan bayaran mahal di Hollywood saat itu seperti Montgomery Clift atau Burt Lancaster. Film-filmnya memang tidak menikmati sukses besar saat di rilis, baik dari segi pendapatan maupun apresiasi dari kritikus film di negaranya sendiri layaknya yang diterima Martin Scorsese, ataupun sutradara impor macam Ingmar Bergman, Federico Fellini, atau Akira Kurosawa. “As an artist, I feel that we must try many things. But above all, we must dare to fail”, kata Cassavetes.

film yang sebagian didanai oleh studio film di Hollywood, dan juga dikenal dalam peran-perannya di film-film terkenal produksi Hollywood, antara lain adalah Rosemary’s Baby dan The Dirty Dozen. Tapi sejak awal, Cassavetes punya idealisme sendiri dan akhirnya memilih untuk keluar jalur mengikuti jejak sutradara-sutradara independen Amerika lainnya seperti Shirley Clarke (Portrait of Jason, The Connection), Morris Engel (Lovers and Lollipops, The Little Fugitive) dan Lionel Rogosin (On the Bowery) . Walaupun John Cassavetes bukanlah sutradara film independent pertama di Amerika Serikat, tetapi kekeraskepalaan dan kengototan Cassavetes untuk membuat film dengan atau tanpa dukungan studio, membuatnya di cap sebagai bapak gerakan independen sinema di Amerika. Cassavetes adalah sutradara pertama yang menunjukkan bahwa membuat film dengan dana dari kocek pribadi, sesuai idealismenya, dan mendistribusikannya sendiri secara luas adalah hal yang mungkin dilakukan oleh seorang pembuat film. Kegigihan Cassavetes untuk membuktikan bahwa membuat film tidak hanya menjadi hak eksklusif para sutradarasutradara yang berada dibawah payung sistem Hollywood, menjadi inspirasi gerakan-gerakan independen lainnya hingga saat ini. Belakangan, muncul istilah mumblecore untuk menggambarkan sejumlah film independen Amerika yang diproduksi ditahun 2000an. Film-film ini pada umumnya dibuat seperti kondisi dalam film-film Cassavetes, dana minim, dialog yang dibuat senatural mungkin, characterdriven, penceritaan mengikuti karakter, dan tidak fokus pada plot konvensional. Beberapa wartawan film lebih suka menyebutnya slackavetes, istilah yang berasal dari gabungan film berjudul Slacker, karya Richard Linklater dan nama John Cassavetes.

Toh, Cassavetes total menyutradarai sebanyak 12 feature

“The audience comes into the theater and sits down. The lights dim, the movie begins, and they say, ‘All right, let’s get going.’ They watch for a few minutes and say it again. They watch for a few minutes more and say one more time. But what they don’t realize is that the film has been going all along—going all crazy—but somewhere they don’t understand, somewhere, maybe, they don’t want to go.” Film-film Cassavetes memang berbeda dengan formula film-film yang sudah diciptakan dan dipatenkan oleh Hollywood. Cassavetes tidak menyajikan masalah-masalah dalam filmnya secara ontologis atau membukanya dengan suatu problematika yang harus dipecahkan oleh karakter-karakternya. Adegan dalam film-filmnya tidak di bangun untuk menggelar pertanyaan akan masalah sosial yang gamblang, dimana adegan berikutnya dihadirkan sebagai jawaban. Karakter-karakter dalam film Cassavetes selalu tampak gamang, ragu-ragu dengan keberadaan mereka sendiri dan hampir selalu tidak tahu akan kemana. Alih-alih membuat penonton filmnya mengerti, karakter-karakter dalam filmfilm Cassavetes pun nyaris sama tidak mengertinya dengan penonton. Setidaknya, begitulah cara Cassavetes membuat penonton berada pada posisi karakter-karakternya. Cassavetes menyajikan film-filmnya sebagai rangkaian dari peristiwa-peristiwa kecil, detik per detik, seperti dalam kehidupan nyata. Perhatian penonton tidak di bentuk untuk

FOVEA#0 2012 85


p

r

o

f

i

l

e

JOHN CASSAVETES

DARI FILM PERSONAL KE FILM PERSONAL LAINNYA “When I started making films, I wanted to make Frank Capra pictures. But I’ve never been able to make anything but these crazy, tough pictures. You are what you are. Say what you are. Not what you would like to be. Not what you have to be. Just say what you are. And what you are is good enough”. John Cassavetes. Oleh Yuki Aditya men, dan tujuan utamanya adalah belajar. Yang paling fundamental bagi Cassavetes dan semua orang yang bekerja untuk Shadows adalah hasrat menjadi seniman. Sebuah cita-cita yang mungkin terdengar gila untuk mengekspresikan diri secara absolut. Para aktor dan kru yang bekerja tidak ada yang menerima bayaran, sehingga Shadows bukan lagi menjadi kewajiban mereka, melainkan hak dan milik mereka. Shadows menjadi semacam galeri tempat para seniman ini memamerkan karya-karya mereka, baik itu karya berupa lakon, musik, hingga sinematografi.

Shadows Shadows lahir dari sebuah kelas workshop akting yang diprakarsai oleh Cassavetes dan koleganya, Burt Lane (ayah dari Diane Lane). Hanya berbekal ide, Cassavetes yang saat itu sedang tak punya uang, bicara disebuah acara talk show di radio. “If people really want to see a movie about people, they should just contribute money.” Seminggu setelahnya, terkumpul uang sebesar US$ 2,500. Dengan uang tersebut dan pinjaman peralatan syuting dari Shirley Clarke, juga seorang sutradara independen, ditahun 1957, Shadows lahir dan menandai debut Cassavetes sebagai sutradara film. Pengumpulan dana dari orang banyak ini adalah cikal bakal dari proses yang saat ini dikenal sebagai crowdfunding. Shadows bercerita tentang hubungan inter-rasial antara Lelia, seorang wanita kulit hitam yang nampak putih, dan Tony, pria berkulit putih. Hubungan mereka bergejolak ketika saudara laki-laki Lelia mengetahui hubungan tersebut dan Tony sadar bahwa Lelia seorang gadis berkulit warna. Meski kental dengan nuansa rasial, Shadows bukan film tentang ras. Cassavetes menganggap Shadows sebagai film personal karena semua karakter utama dalam Shadows adalah cerminan dirinya, dan adegan-adegan dalam film ini didasarkan dari pengalaman pribadinya. Shadows terasa lebih sebagai sebuah drama tentang hubungan antar manusia ketimbang film yang menyorot isu tertentu. Shadows adalah metafora yang ada di sekeliling kita sendiri yaitu perbandingan antara “topeng” yang kita pakai di masyarakat, dengan “wajah” asli yang kita sembunyikan. Setiap karakter di Shadows memainkan sebuah peran yang menyalahi kodrat mereka sendiri atau mencoba menjadi orang lain. Tony ingin menjadi seorang cowok yang dikagumi banyak wanita, Bennie ingin di anggap keren, Hughie ingin dianggap kuat, melindungi, dan kakak yang baik, Lelia berpura-pura bahwa masalah ras tidak penting dan seks tidak mempunyai konsekuensi emosional. Karakter-karakter dalam Shadows berusaha membohongi diri mereka sendiri. Dengan dana yang minim dan peralatan terbatas, Cassavetes berusaha menyelesaikan Shadows sesuai dengan apa yang dibayangkannya. Shadows adalah sebuah eksperi-

86 FOVEA#0 2012

p

r

o

Kesuksesan Shadows di Eropa membuat John Cassavetes di lirik oleh para eksekutif di Hollywood. Di Paramount, Cassavetes menyutradarai Too Late Blues dan A Child is Waiting.Tapi sekali lagi, selalu ada dimensi otobiografi dalam setiap film-film yang di sutradarai oleh Cassavetes walaupun dia bekerja untuk sebuah studio besar. Too Late Blues berkisah tentang Ghost Wakefield (yang diperankan oleh musisi Bobby Darin) seorang musisi yang idealismenya harus ditabrakkan dengan kompromi komersial, kekecewaan, serta perjuangan untuk kembali pada prinsip awalnya. Seperti Wakefield, Cassavetes menyadari adanya pembatasan atas kreatifitasnya. Jadwal produksi yang ketat dan semua hal harus pasti sebelum kamera pertama kali dinyalakan. Perubahan pada skenario film saat syuting berlangsung pun adalah hal yang mustahil. Too Late Blues di rilis pada Maret 1962, dan gagal di pasaran. Tapi yang mengejutkan bahkan untuk Cassavetes sendiri, dirinya tidak di pecat malahan ditawari kontrak baru dengan harapan belajar dari kesalahan dalam Too Late Blues. Mimpi Cassavetes menjadi “art filmmaker” yang bekerja untuk sebuah studio besar terus berlanjut seiring kontrak baru dari Paramount. A Child is Waiting adalah proyek kedua Cassavetes di Hollywood. Dia ‘dipinjamkan’ ke MGM untuk menggantikan Stanley Kramer yang sedang sibuk menyutradarai It’s a Mad, Mad, Mad, Mad World. Film ini melibatkan dua nama besar

i

l

e

JOHN CASSAVETES dalam industri Hollywood, yaitu Judy Garland dan Burt Lancaster. Cerita dalam A Child is Waiting mengambil lokasi di sebuah panti yang merawat anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental. Burt Lancaster sebagai orang yang di tunjuk untuk mengelola panti tersebut, dan Judy Garland berperan sebagai salah seorang guru yang bekerja di situ.

dengan masalah tersebut makan malam di rumah dengan pasangannya, atau bagaimana kehidupan seksual mereka. Filmnya adalah usahanya untuk mengerti melalui simpati dan empati, bukan untuk menghakimi. Hasilnya, Faces kemudian mendapat tiga nominasi dalam perhelatan Oscar. Dua di kategori akting terbaik, dan satu di kategori skenario terbaik.

Bekerja sama dengan bintang film terkenal membuat masalah baru selama pembuatan film ini berlangsung. Cassavetes menginginkan sejak awal bahwa anak-anak keterbelakangan mental tersebut tidak boleh diperankan oleh aktor. “Why did I want to use actors for to play retarded kids? They didn’t know anything about it, and neither did I.” Cassavetes merasa bahwa anak-anak tersebut lebih penting dan harus mendapat porsi adegan yang sama dengan bintang-bintang film tersebut. Gaya penyutradaraannya yang terkenal radikal, dengan tidak pernah memberitahukan para bintang film tentang bagaimana cara membawakan peran mereka, menimbulkan banyak skandal selama proses shooting berlangsung. Termasuk salah satunya adalah ketika Stanley Kramer sebagai produser mengedit ulang versi final cut Cassavetes. Mereka kemudian bertengkar dan berujung dengan dipecatnya Cassavetes dari Paramount. Kekecewaan pada studio dan sistem di Hollywood memberi kesadaran baru pada Cassavetes bahwa dia hanya bisa bekerja dengan caranya sendiri. Setelah hengkang dari Paramount, Cassavetes kemudian membuat Faces, film independennya yang kedua. Setelah 6 tahun berjuang keras dan membiayai pembuatannya dari kocek pribadi, Faces akhirnya dirilis pada 1968.

Periode Hollywood dan Faces

f

Faces di anggap mengubah pandangan tentang tema film “dewasa” yang telah dominan dalam industri film di Hollywood. Di masa itu, film dewasa merupakan eufemisme dari pornografi, sementara Faces menawarkan sesuatu yang lain dan akhirnya menarik perhatian. Dalam Faces, Cassavetes menghindari simbolisme, maupun framing dan tehnik penceritaan yang elegan dan indah ala Eropa yang kala itu membanjiri dunia perfilman Amerika. Cassavetes memilih pendekatan “raw” dan “rough”. Dialogdialog dalam Faces terdengar realistis, dan memberi kesan bagi penonton bahwa kita sedang mencuri dengar pembicaraan pribadi karakter-karakternya. Faces berkisah tentang periode kebosanan yang akut dalam pernikahan Richard dan Maria Forst yang sudah berlangsung selama 14 tahun. Krisis perkawinan yang berlatar belakang era economic booming di Amerika, sesaat sebelum perang Vietnam, dan skandal Watergate terjadi. Kita tidak pernah di beri tahu langsung apa yang menjadi penyebab retaknya hubungan rumah tangga mereka. Richard adalah orang penting dalam sebuah perusahaan besar, dan Maria terlihat seperti ibu rumah tangga yang bosan dengan rutinitasnya. Mereka masih memiliki kesamaan, dan bisa tetap berbagi tawa dari lelucon garing yang diceritakan Richard hanya untuk menyenangkan perasaan satu sama lainnya. Tiap senyum dan gelak tawa malahan menguak ketidaknyamanan satu sama lainnya, juga terhadap kita sebagai penonton. Di sini, saya mengerti dan melihat bagaimana bentuk ketidaknyamanan dalam suatu hubungan yang kita kira dekat karena waktu dan komitmen, tetapi sudah menjauh secara emosi.

Husbands Husbands menceritakan tentang trauma dari tiga pria bernama Harry (Peter Falk), Gus (John Cassavetes), dan Archie (Ben Gazzara) yang bersahabat, atas kematian salah satu teman dekat mereka. Mereka semua telah berkeluarga. Peristiwa menyedihkan tersebut mengejutkan ketiganya, dan kesedihan itu mereka tutupi bersama, antara lain dengan menggelandang di stasiun kereta bawah tanah, bermain basket, kontes bernyanyi antara mereka, hingga berlomba mabuk di suatu bar. Cassavetes mengeksaminasi kemungkinan bahwa satu-satunya masalah Gus, Harry, dan Archie adalah masalah emosional, keraguan akan diri mereka sendiri, dan kegamangan dengan apa yang mereka mau dalam hidup mereka. Manakah yang lebih baik, menjadi seorang pria, atau bocah lelaki yang terperangkap dalam tubuh pria dewasa? Pertanyaan itu terus berada di benak saya. Dalam Husbands, Cassavetes menunjukkan perasaan bagaimana terlahir sebagai pria, dan apa yang dilakukan pria dalam menghadapi kehilangan dengan cara berbeda yang dilakukan oleh wanita—menghadapi suatu kesedihan yang tak tertahankan untuk melaluinya. Jika saya mengalami kehilangan macam mereka, saya ingin merasakan dan membuang kesedihan saya, seperti saat Harry, Gus, dan Archie yang mabuk untuk mendapat mual dan memuntahkan rasa itu di kamar mandi. Mungkin hal itu akan terlihat idiot di mata banyak orang, atau mungkin mereka benar. Kita melakukan hal yang bodoh, dan sering. Tapi setidaknya dalam Husbands, Cassavetes tidak menutup-nutupinya, kalau manusia adalah egois. Gaya khas Cassavetes kembali diterapkan disini. Gerak kamera yang liar dan mengikuti langkah kemana aktornya berpindah tempat a la cinéma vérité, dikombinasikan dengan dialog yang saling bertabrakan (overlapping) dan bahkan sesekali terdengar seperti orang yang bergumam. Imej medium close-ups dan kekuatan performa akting aktor-aktornya, secara bertahap memberikan gambaran menarik tentang ketiga pria yang “sedang mencari” kembali masa muda mereka yang mulai luruh termakan usia.

Dalam film ini, Cassavetes mencoba masuk ke dalam kepala dan hati mereka, ingin mengerti bagaimana orang-orang

FOVEA#0 2012 87


p

r

o

f

i

l

e

p

JOHN CASSAVETES Minnie and Moskowitz Jika Shadows, Faces, dan Husbands adalah refleksi dari pengalaman pribadi John Cassavetes, maka Minnie and Moskowitz terasa sebagai usaha Cassavetes untuk memberi makna baru pada genre komedi screwball (orang-orang edan) yang pernah terkenal di Hollywood pada dekade 1930-an. Seperti dalam komedi screwball pada umumya, cinta adalah tema sentral dalam Minnie and Moskowitz yang bercerita tentang hubungan cinta antara seorang kurator museum bernama Minnie (Gena Rowlands) dan seorang tukang parkir bernama Moskowitz (Seymour Cassel). Perilaku sopan, dan tutur kata yang terjaga dari Minnie dikontraskan dengan kasarnya kata-kata dan tindak-tanduk dari Moskowitz yang notabene dari kalangan tidak berpendidikan. Kegigihan Moskowitz untuk mengajak kencan Minnie, makin dekatnya hubungan mereka—kendati perbedaan mereka—seiring kisah cinta mereka dibeberkan oleh John Cassavetes dengan cara yang hangat. Cinta diperlihatkan dalam aroma yang lebih positif dibandingkan film-film Cassavetes lainnya . Momen jatuh cinta adalah ketika sepasang kekasih membuang jauh beban emosional dan membuka diri mereka untuk merasakan suatu pengalaman baru. Dengan Minnie and Moskowitz, Cassavetes memutarbalikkan formula yang biasa ada di film komedi romantis produksi Hollywood. Dalam film Hollywood, aktor utama pria haruslah tampan, dingin, dan memesona a la Cary Grant; Sementara aktris wanita haruslah elegan, misterius, dan angelic a la Irene Dunne atau Ava Gardner; Cassavetes memilih Seymour Cassel yang jauh dari tampan dan berbanding terbalik dengan Cary Grant untuk memerankan Moskowitz. Sementara Minnie yang diperankan oleh Gena Rowlands bukan wanita idaman yang biasa ada di filmfilm romantis Hollywood. Minnie diceritakan masih menjalin hubungan dengan tunangannya yang kasar dan suka menghina. Ia jauh dari sosok matinee idol yang biasa mendampingi Clark Gable.

masalahan dan kebingungan yang dia hadapi saat membuatnya. Cassavetes tidak mengulang masalah cinta yang serupa dengan yang di alami Tony dan Lelia dalam Shadows pada saat umurnya menginjak kepala empat.

r

o

utang akibat kegemarannya berjudi, sehingga ditugaskan untuk membunuh kepala gangster keturunan Tionghoa agar utangnya dapat segera lunas. Karakter dalam sebuah film gangster biasanya merupakan selebrasi akan ketangguhan, kemaskulinan, dan bagaimana kerasnya mereka menjalani hidup. Cassavetes mengambil jalur lain melalui The Killing of a Chinese Bookie. Cassavetes mempertanyakan hal-hal diatas dan melihatnya sebagai pelarian dari kelemahan yang sebenarnya ada pada diri mereka. Dia tertarik dengan apa yang mungkin terjadi kepada konvensi dan situasi yang klise dari genre tersebut, ketika dihadapkan ke ritme dan logika narasi yang berbeda.

Cassavetes menunjukkan perjuangan sama beratnya antara Nick dengan niat dan kelihaiannya untuk membawa sang istri ke realitas atau dunia waras, dengan usaha mandiri Mabel mengatasi apa yang di lihat orang lain salah terhadap dirinya. Masalahnya adalah, Nick bukanlah orang yang pintar, tindakannya impulsif dan dirinya juga keras kepala. Tapi komitmennya untuk menjaga keutuhan keluarganya yang kuat adalah pegangannya.

Sebagai contoh, halangan dan rintangan yang Cosmo temui dalam perjalanannya ke rumah Chinese Bookie diberikan durasi yang lebih panjang dan penting di banding adegan tembak-tembakannya. Cosmo terus menghubungi tempat hiburannya itu untuk mengetahui wanita mana yang akan tampil malam itu. Cassavetes mengevaluasi berapa besar “biaya” yang harus kita keluarkan jika penampilan merupakan hal yang paling penting bagi hidup.

Namun Cassavetes tidak pernah memosisikan karakterkarakternya dalam kondisi yang hitam dan putih. Segilagilanya Mabel terlihat di mata kita, dia tetap berfungsi baik sebagai ibu rumah tangga. Anak-anaknya nyaman dan senang berada disekitarnya. Dia tetap bisa memasak, dan menunggui anak-anaknya pulang sekolah.

Rasa malu dan berbuat kesalahan adalah tema yang selalu ada dalam film-film Cassavetes, dengan mengeksplorasi bagaimana karakter-karakternya merespon suatu kejadian yang mempermalukan mereka. Dalam The Killing of a Chinese Bookie, ketakutan Cosmo untuk direndahkan membuatnya terlihat seperti pengecut. Dia telah kehilangan jati dirinya, dan mau berkompromi dengan siapa saja untuk menyenangkan semua orang yang ada disekitarnya. Resiko adalah kata terakhir yang ada dalam kamusnya.

Cara Cassavetes meramu komedi romantis ini bisa jadi bukan selera untuk semua orang, Minnie and Moskowitz adalah sebuah kisah cinta yang indah dan intens; lucu dan romantis. Sebuah contoh pas bagaimana frasa komedi romantis tidak selalu harus diasosiasikan dengan roman picisan.

Menyelidiki kepribadian Cosmo adalah sama dengan menguak kepribadian Cassavetes dan kita sendiri, atau dengan kata lain esensi yang manusiawi setiap orang. Karena seperti Cosmo, kita hidup di dunia dimana kompromi akan selalu ada, dan keinginan untuk menyenangkan semua orang untuk mencapai tujuan kita sendiri. Bagi Cassavetes, makna ekspresi dirinya sebagai seniman bukanlah dengan menutupi kekurangan-kekurangan tersebut, tetapi ditampilkan untuk dieksaminasi.

The Killing of a Chinese Bookie Cosmo Vitelli (Ben Gazzara) adalah pemilik tempat hiburan malam bernama Crazy Horse yang menampilkan suatu aksi pertunjukkan akting dan tarian telanjang. Dari luar Cosmo terlihat sebagai sosok yang tampan, berwibawa dan menjadi sandaran ekonomi banyak orang. Gayanya parlente, dan penuh pesona. Dia memperlakukan wanita-wanita yang bekerja untuknya bak puteri raja, dan mengirimkan bunga secara rutin pada mereka.

A Woman Under the Influence Menjadi seorang seniman adalah untuk menelanjangi diri sendiri. Menguak sisi emosional dan menyuarakan kebingungannya sendiri. John Cassavetes selalu menaruh bagian dari pribadinya ke dalam tiap filmnya. Oleh karena itu, permasalahan di setiap filmnya adalah sama dengan per-

88 FOVEA#0 2012

Bisnis hiburan malamnya tetap dijalankan dengan baik disaat ramai maupun sepi, dan Cosmo terlihat dingin bahkan dalam keadaan terjepit. Obsesinya adalah tampil baik dan tegar di segala kesempatan, di dalam maupun di luar tempat hiburannya. Cosmo membaktikan hidupnya untuk terlihat keren, bahkan ketika dirinya dihadapkan dengan masalah hidup dan mati. Cosmo sedang terjebak dalam

i

l

e

JOHN CASSAVETES

A Woman Under the Influence dibuat berdasar pengalaman kehidupan pernikahan Cassavetes dengan Gena Rowlands. Gena dalam film ini memerankan Mabel, seorang ibu rumah tangga yang mengidap kelainan mental. Dia berjuang untuk menjaga kewarasannya agar tetap dapat bersama anakanaknya, sedangkan Nick (Peter Falk), suaminya, melihat perilaku Mabel dapat membahayakan keselamatan keluarga mereka.

Cassavetes mencoba untuk mendudukkan kita pada posisi Nick, Mabel, ketiga anaknya. Bagaimana kita merespon situasi tersebut. Bagaimana kadang membuat diri kita terlihat bodoh, hilang arah, lebih peduli dengan pendapat dan perkataan orang lain, di banding percaya pada intuisi sendiri.

f

Opening Night Tema tentang sosok aktris yang tengah menua di Hollywood kebanyakan lebih berkisar pada mulai redupnya jiwa dan semangat mereka. Mulai dari “high-camp bitchiness” dalam All about Eve, sampai misogini dan sinisme dalam Sunset Boulevard, mereka ditampilkan sebagai sosok yang mesti dikasihani dan/atau berbahaya. Di Opening Night, Cassavetes bersimpati kepada sosok aktris yang menolak konformitas atas pencarian identitas diri

dan perjuangan hidupnya. Gena Rowlands sebagai Myrtle Gordon, seorang aktris teater senior dan terkenal, mencoba mentranslasikan karakter dalam sandiwara teater terbarunya berjudul The Second Woman. Myrtle “bertarung” melawan kawan mainnya, sutradara, penulis dan juga terhadap bayang-bayang masa mudanya yang dipersonifikasikan dalam sosok hantu seorang penggemar dirinya. Myrtle menolak untuk memainkan perannya sebagaimana telah tertulis dalam naskah dengan alasan naskah tersebut tidak mempunyai “harapan” atau terlalu kelam. Ketika penulis naskah bernama Sarah Goode (yang diperankan oleh bintang kawakan Joan Blondell dalam peran terakhir di dunia film) mengkonfrontirnya, Myrtle melawan balik dengan dalih bahwa yang dia coba tunjukkan adalah refleksi kepribadiannya. Semua film Cassavetes mempunyai benang merah seperti itu. Perjuangan fisik dan batin yang dialami karakterkarakternya sama dalam film-film awal Cassavetes. Opening Night pun mengeksplorasi celah medan juang antara dirinya sendiri melawan orang-orang di sekitarnya, paralelisasi antara penampilan panggung dan keseharian hidup, kepuasan dirinya dan berani melawan suatu bentuk kemapanan.

Love Streams Seorang penulis novel roman yang sukses bernama Robert Harmon (John Cassavetes) hidup dikelilingi wanita-wanita tuna susila, dan suka mengumbar pujian dan kata cinta pada mereka. Gaya hidupnya yang hampa menyingkap ketidakmampuannya untuk menjalani suatu hubungan yang intim dengan manusia yang lain. Sementara itu adiknya, Sarah Lawson (Gena Rowlands) sedang menjalani proses perceraian dengan suaminya. Atas saran dari psikiaternya, Sarah menjauhi keluarganya sementara dan kemudian memutuskan untuk mengunjungi saudara laki-lakinya Robert. Di sadur dari sebuah pertunjukkan teater, Love Streams adalah sebuah kisah eksplorasi makna cinta yang provokatif, brutal, dan jujur. Film ini mengikuti kisah dan nasib sepasang kakak-beradik yang sedang berada pada titik nadir dalam kehidupan mereka. Robert menganggap bahwa cinta adalah sebuah fantasi anak perempuan belaka, sedangkan seks adalah sesuatu yang nyata. Sementara Sarah menolak untuk merelakan impian romantisnya kabur walau kehidupan pernikahannya sedang dalam masa yang kritis. Hubungan bersaudara tersebut terasa misterius, dan momen itu digunakan Sarah sebagai pelariannya dan juga untuk mengembalikan ikatan keluarga yang telah lama meregang. Keduanya adalah yang tersisa dari keluarga mereka. Dan seperti Shadows, Love Streams terus mempertanyakan “apa itu arti keluarga?” di tiap sudut, dan di setiap

FOVEA#0 2012 89


p

r

o

f

i

l

e

JOHN CASSAVETES adegan. Love Streams berkisah tentang upaya memperbaiki hubungan keluarga yang tersisa dari apa yang sudah terlanjur hancur. Dan seperti di dunia nyata, usaha tersebut tidak ada yang berjalan mudah. Keintiman butuh waktu untuk dijalin, cinta butuh waktu untuk tumbuh, dan hubungan butuh waktu untuk matang. The Big Trouble adalah film terakhir yang diselesaikan John Cassavetes. Namun dia masuk untuk menggantikan Andrew Bergman yang pada waktu itu di pecat karena ada satu masalah, dan Cassavetes tidak pernah mau mengakui The Big Trouble sebagai salah satu karyanya. Kombinasi antara kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol, dan jarang istirahat akibat mengedit hampir semua filmnya sendiri, tak pelak gangguan pada fungsi hati yang telah lama dideritanya merenggut nyawa Cassavetes. Cassavetes meninggal pada dini hari 3 Februari 1989, diusia 59 tahun.

The World’s First Music Mag Investigating music from acoustics & production to science & technology

Launching September 2012 http://15questions.net/ 90 FOVEA#0 2012

Photos Courtesy : DVD Screen Capture


REVIEW

REVIEW

The Mirror Never Lies

The Mirror Never Lies

dan Dini memilih salah satu lokasi terindah diwilayah pesisir Sulawesi Tenggara, Indonesia timur, Wakatobi. Dalam setiap film-film dokumenter tentang laut, tidak ada yang pernah lupa menyebutkan kawasan Wakatobi sebagai salah satu wilayah dengan populasi terumbu karang terkaya dan terindah didunia. Dan itu jelas terlihat di The Mirror Never Lies. Wakatobi adalah kawasan yang fotogenik. Langitnya yang biru terang dengan awan putihnya yang menggumpal-gumpal adalah pemandangan biasa di pesisir Sulawesi. Pasir putih, warna air laut yang biru kehijauan, terumbu karang dan berbagai jenis ikan warna warni adalah lokasi dan perlengkapan shooting yang mewah dan mahal bagi sutradara-sutradara dibelahan bumi lain. Tentu, berkarya dalam lingkungan seperti ini adalah kemewahan tersendiri. Dan Kamila Andini tidak bisa mengabaikan semua kemewahan itu. Dini memanfaatkan kawasan laut Wakatobi sebagai salah satu karakter utama dalam film The Mirror Never Lies. Hidup sekelompok masyarakat lokal disekitar pesisir Sulawesi Tenggara bertumpu sepenuhnya pada Wakatobi. Tidak hanya oleh para pemandu wisata, atau pemandu dan penyelam lokal, tapi juga para nelayan dan terutama sekali suku Bajo. Suku pengelana laut yang menetap di pesisir dan kehidupannya sedang ingin digarisbawahi di The Mirror. Alkisah, seorang gadis kecil menjelang dewasa dari suku Bajo, Pakis (Gita Novalista) belum bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya hilang di laut Wakatobi. Sepanjang film, Pakis selalu berbekal sebuah kaca pemberian ayahnya. Kaca yang dipercaya oleh suku Bajo sebagai ‘penghubung’ dengan sesuatu yang hilang. Sementara ibu Pakis, Tayung (Atiqah Hasiholan) berusaha menyambung hidup dengan menjual apapun yang bisa didapatkan disekitar pesisir, mulai dari kerang hingga rumput laut. Atas perintah tetua desa, Tayung menyewa bekas rumah suaminya kepada Tudo (Reza Rahadian), peneliti lumba-lumba dari Jakarta.

WAKATOBI BERLATAR SUKU BAJO

Sebuah film yang menyusuri eksotisme wilayah laut di daerah Indonesia bagian timur sekaligus mengangkat kehidupan suku Bajo, suku pengelana laut yang keberadaannya makin tersamarkan atas nama integrasi. Hasilnya sebuah film eksotis yang abai terhadap subjeknya.

K

amila Andini beruntung. The Mirror Never Lies, film panjangnya yang pertama, memiliki semua elemen yang akan membuat sutradara-sutradara muda lainnya cemburu. Dini –panggilan akrabnya-- didukung oleh

92 FOVEA#0 2012

Oleh Asmayani Kusrini

Garin Nugroho –salah satu auteur di dunia sinema Indonesia-- yang bertindak sebagai produsernya. Ia juga tidak harus menghadapi kesulitan dana seperti pada umumnya sutradara-sutradara yang akan membut film pertamanya,

The Mirror adalah film Indonesia pertama yang mengangkat kehidupan suku pengelana laut ini. Tema yang tidak mudah mengingat minimnya referensi tentang suku yang keberadaannya terpencar hingga kepesisir Malaysia dan Filipina. The Mirror berhasil menampilkan momen-momen istimewa yang terasa sangat otentik. Salah satunya ketika Tayung memandikan rambut Pakis dengan bekas serutan kelapa. Hal biasa yang dilakukan khususnya oleh para tetua kepada anak perempuan di kawasan Sulawesi agar rambut mereka tumbuh lebat, hitam dan tebal. Sementara momen lain membawa penonton masuk ke kebiasaan sehari-hari suku Bajo adalah ketika mereka memasak ramai-ramai dengan alat kukus tradisional dan mengasilkan nasi tumpeng padat yang sepertinya menjadi makanan sehari-hari suku Bajo. Begitu juga soal perkataan Tayung bahwa ia menyewa tempat bekas suaminya kepada orang asing karena keputusan kepala desa. Mungkin begitulah budaya suku Bajo, bahwa keputusan menerima pengunjung masuk kedesa mereka tergantung kepada kepala suku. Dalam banyak hal, mulai dari soundtrack –perhatikan detail-detail suara air, sentuhan antar perahu, hingga kriyukan papan diatas air-- yang dikelola dengan sangat baik, sinematografi hingga seni peran yang ditampilkan oleh karakter-karakter utama, The Mirror nyaris sempurna sebagai sebuah karya pertama, tapi bukannya tanpa kelemahan.

KURANGNYA RASA INGIN TAHU Dari press kit yang saya dapatkan, Kamila Andini ingin mengangkat dua tema besar. Menyuguhkan keindahan laut Wakatobi dan mengenal lebih jauh suku Bajo. Sutradara muda ini ingin mengajak penonton mengenal kehidupan laut di Indonesia khususnya keberadaan suku Bajo sebagai suku pengelana laut yang hampir punah lewat rasa kehilangan yang dialami Pakis. Tapi, The Mirror abai terhadap banyak hal menyangkut Suku Bajo. Tudo, sebagai orang luar --yang diharapkan jadi pemandu penonton masuk ke komunitas suku Bajo-- tidak membantu banyak. Ia sibuk sendiri. Tidak berusaha berdialog –selain dengan para tokoh utama-- dengan suku Bajo yang lainnya. Tudo sepertinya hanya ingin mencari lumbalumba dan tidak tertarik dengan keberadaan suku Bajo. Anak-anak dikelasnyalah yang menerangkan bahwa suku Bajo percaya, kehadiran lumba-lumba dilaut Wakatobi adalah pertanda bahwa serombongan ikan cakalang sedang berada disekitar. Tudo hanya bisa berkomentar: benar sekali. Di Film ini, terlihat, bahwa suku Bajo yang terwakili oleh kehadiran anak-anak tersebut sangat ingin tahu tentang Tudo yang berasal dari Jakarta –sebuah tempat diluar jangkauan imajinasi bagi sebagian penduduk Indonesia yang jauh dari pusat--. Sayangnya, rasa ingin tahu anak-anak tersebut tidak sebanding dengan sikap acuh Tudo. Ketimpangan ini jadi sangat terasa. Sebagai tamu dan sebagai peneliti, Tudo enggan bertanya. Enggan menghabiskan sedikit waktu ngobrol dengan masyarakat setempat. Tudo sebagai peneliti jadi terlihat seperti peneliti kurang kerjaan yang melarikan diri dari keruwetan hidup di Jakata. Ia lebih senang menghabiskan waktu didepan komputernya dan sesekali mengajar anakanak suku Bajo yang sebenarnya lebih banyak tahu tentang laut dan lumba-lumba. Alih-alih iya bertanya bagaimana suku ini bertahan ditengah krisis ekonomi dan krisis posisi mereka di kawasan Wakatobi, Tudo seperti tidak ingin tahu seberapa sering para nelayan suku Bajo hilang dilaut dan bagaimana keluarga yang ditinggalkannya bertahan hidup. Tiba-tiba saja, ia sok berkesimpulan tentang sesuatu yang sudah jelas: bahwa Pakis rindu dan kehilangan sosok ayahnya. Dalam sebuah wawancara, Kamila Andini memang mengakui sulitnya mencari buku referensi tentang suku Bajo. Tapi, Dini mengaku menghabiskan 3 tahun untuk mempersiapkan The Mirror. Ia punya kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama suku yang langka ini, dan bahkan membuat film dengan suku Bajo. Waktu yang cukup lama untuk memperkaya informasi soal keberadaan suku Bajo. Sayangnya, tiga tahun itu, ia hanya berhasil menempatkan Suku Bajo sebagai salah satu ornamen eksotis Wakatobi. Haruskah kita maklum bahwa Wakatobi terlalu indah untuk diabaikan dan dihabiskan untuk mengobrol dengan para suku Bajo?. Haruskah kita maklum bahwa Wakatobi diberi peran dominan karena dibiayai oleh Pemkab Wakatobi yang punya kepentingan untuk memajukan pariwisata setempat? Haruskah kita maklum, bahwa mungkin suku Bajo memang tidak pernah dianggap penting bagi bangsa Indonesia kecuali untuk pernak pernik pariwisata?***

FOVEA#0 2012 93


REVIEW

REVIEW

The Mirror Never Lies

The Mirror Never Lies

Wawancara dengan Kamila Andini

ran Indonesia sejak dulu sekali, tapi kok tak banyak orang Indonesia yang tahu. Jadi saya pikir, saya ingin turut memperkenalkan mereka. Dan film adalah medium yang bagus dan efektif bagi publik untuk mengetahui, belajar tentang mereka. Mengetahui sesuatu yang lain, menjalani pengalaman yang berbeda. Nah, saya ingin membawa pengalaman tentang suku Bajo itu melalui film. Bagaimana ceritanya WWF ikut terlibat dalam film anda?. Ya awalnya dari diving, setelah pulang dari studi saya di Melbourne, saya kembali menyelam. Beberapa kali saya menyelam ke daerah di Indonesia biasanya saya bertemu dengan teman teman WWF yang mempunyai program disana. Selain itu, saya beberapa kali bekerja sama membuat dokumenter untuk program mereka. Merka tahu bahwa saya ingin membuat film cerita tentang laut. Kebetulan juga kami mempunyai visi yang sama tentang lingkungan, akhirnya WWF menjadi bagian dari film ini.

Ging Ginanjar

“Saya Butuh Sudut Pandang Mereka”

D

i Festival Film Berlin --Berlinale 2012, Dini, panggilan akrab Kamila Andini, begitu sibuk. Bukan melulu urusan filmnya, Laut Bercermin atau judul versi bahasa Ingrisnya The Mirror Never Lies yang menyangkut pemutaran, diskusi, wawancara pers, ini dan itu. Tapi Dini juga bertindak jadi pengasuh, alias babysitter bagi Eko dan Gita Novalista, dua pemain utama di filmnya yang masih bocah. Bukan hal yang mudah. Keduanya baru pertama kali ke luar negeri, tak bisa berbahasa Inggris atau Jerman. Acaranya berlangsung di musim dingin bersalju yang menggigit tulang, belum lagi jenis makanan yang berbeda. Dini harus menyiapkan makanan khusus yang cocok untuk lidah Gita dan Eko. Mie siap saji jadi andalan. “Ya, ini pengalaman khusus. Tapi mengasyikan, hahahah,” kata Dini terbahak. Lahir pada 6 May 1986, Dini memang masih tergolong muda. Tapi, bisa dibilang, Dini tumbuh dilingkungan pekerja film dan menyerap semua energi positif dari lingkungannya tersebut. Padahal, Dini sempat merasa malu. Malu karena begitu banyak orang yang ingin belajar dari ayahnya, tapi ia sendiri sempat tak tertarik dengan medium film. Keputusannya untuk (akhirnya) menekuni bidang film tidak sia-sia. Di usia semuda itu, Dini sudah menghasilkan karya yang mampu menempatkan namanya di ranah perfilman internasional. Tapi ia mengakui, satu hal yang akan terus ia pelajari dalam membuat film adalah belajar bagaimana untuk bekerjasama. Wawancara ini dilakukan oleh Ging Ginanjar dan Asmayani

94 FOVEA#0 2012

Kusrini di dua kesempatan berbeda. Ging Ginanjar menemui Dini pada sebuah pagi dihari terakhir Berlinale, dimana Dini menyempatkan diri untuk berbagi pengalaman menyutradarai Laut Bercermin. Sementara sebagian lainnya dilakukan dengan surat elektronik. Berikut cuplikan obrolannya:

Sebagian besar pemain Anda bukan aktor profesional. Seberapa besar kesulitan dan tantangannya melibatkan mereka, khususnya warga asli suku Bajo, dalam film ini? Wah, sebetulnya buat saya, menyutradarai aktor non-profesional itu justru lebih nyaman. Hahaha. Karena latar belakang saya sebetulnya adalah dokumenter. Dengan latar itu, kendati ini film cerita, saya melakukannya dengan pendekatan dokumenter. Kalau menonton film Laut Bercermin, semua pendekatannya pun se-organik membuat film dokumenter. Walaupun semuanya fiksi. Titik pandang film saya, dari dalam, dari sudut pandang warga Bajo. Saya kan bukan orang Bajo. Dan para pemain itu, yang warga Bajo, tentu jauh lebih tahu tentang masyarakat Bajo ketimbang saya. Nah, saya butuh sudut pandang mereka. Makanya saya mengarahkan mereka untuk berperan sebagai mereka sendiri. Dan tidak mengubah mereka menjadi tokoh lain. Bagaimana proses pengambilan gambarnya?

Ini film cerita Anda yang pertama. Bagaimana gagasan dasarnya? Pada dasarnya, sejak lama sekali saya kepingin membuat film tentang laut. Ya, laut Indonesia, khususnya. Kebetulan saya suka menyelam, sejak SMP. Saya belajar diving saat saya berumur 13 tahun, saat itu saya belajar di Manado, saat liburan bersama keluarga. Saya belajar berdua dengan adik saya yang berumur 9 tahun. Tapi sampai sekarang hanya saya yang meneruskan kegiatan ini sampai kebanyak tempat. Kegiatan ini juga yang membuat saya sangat tertarik dengan laut. Sejak itu saya banyak bepergian keliling Indonesia untuk menyelam. Pada tahun 2009 saya akhirnya sampai ke Wakatobi. Dan untuk pertama kalinya saya melihat sendiri desa Bajo, bertemu langsung dengan orang-orang suku itu. Saya sudah lama pula mendengar kisah tentang orangorang Bajo. Di situlah saya menemukan gagasan cerita Laut Bercermin di desa suku Bajo itu. Jadi saya pikir, ah saya mau mengembangkannya untuk film cerita. Saya menyadari, bahwa tak banyak yang tahu tentang suku Bajo. Padahal suku Bajo itu sebenarnya tersebar di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia dan Filipina. Mereka adalah satu suku yang begitu tersebar, hidup di atas perai-

Keseluruhan syuting berlangsung sangat alamiah, sangat “organik”. Terkadang saya membicarakan suatu adegan bersama anak-anak itu. Saya tanya, apa yang mereka kirakira akan katakan, dalam situasi itu. Ya, saya ingin mereka melontarkan dialog yang otentik di film itu, menyampaikan pendapat yang jujur. Lagipula, ini kan film berlatar lingkungan hidup. Jadi saya membutuhkan pandangan mereka yang jujur sepenuhnya. Sulitkah memilih tim untuk pembuatan film The Mirror Never Lies? Saya masih sangat baru di dunia film, dan masih sangat muda, waktu saya memilih tim saya masih berumur 23 tahun. Jadi saya memilih partner dan tim yang percaya atas apa yang akan saya lakukan. Dalam salah satu wawancara, Dini bilang bahwa pre-production film ini cukup panjang. Tiga tahun. Bisa diceritakan mengapa? Bukan melulu karena kendala teknis? Banyak hal yang membuat proses ini sangat lama, salah satunya jelas funding. Tidak mudah untuk anak berumur 23 tahun, yang ingin membuat film pertama, secepat itu men-

dapatkan funding untuk sebuah film layar lebar. Yang kedua memang teknis, lokasi Wakatobi itu tidak mudah, apalagi untuk shooting ditengah laut. Hanya ada dua periode bulan yang bisa digunakan untuk shooting, yaitu april atau september. Jadi saat bulan april dan kita belum terkumpul, maka diundurnya harus sampai 6 bulan atau 1 tahun berikutnya. Dan memundurkan film harus juga disesuaikan dengan jadwal 30 orang yang terlibat didalamnya. Selain itu. saya riset bolak balik ke kampung Bajo di Wakatobi sampai hampir dua tahun. Saya tinggal disana, mendengar kisah mereka, belajar banyak dari kehidupan mereka. Dari mulai gosip sampai akar kebudayaannya. Untuk mengangkat kisah tentang kehilangan ayah/suami/saudara laki-laki di laut apakah terinspirasi dari orang lokal? Iya benar, saat itu saya bertemu ibu yang anaknya meninggal dilaut saat memancing, tapi sampai saat ini dia masih merasa bahwa anaknya ‘hilang’ dan hanya ‘belum kembali’, karena dia merasa belum melihat jasad anaknya. Ini yang menjadikan karakter Pakis. Dan disana banyak sekali janda, karena hal tersebut, yang saya jadikan karakter Tayung. Seberapa banyak naskah anda di diskusikan dengan orang Bajo sendiri? Salah satu yang menarik misalnya soal pemakaian bedak putih di wajah, apakah itu bagian tradisi bagi wanita yang berkabung? Pemakaian bedak sebenarnya dipakai sehari hari sebagai pelindung dari sinar matahari, hubungannya dengan kecantikan, tapi kemudian di film ini saya mau menggunakan bedak dingin sebagai medium bagi Tayung untuk menutup dirinya. DI film ini, kaca dianggap bisa jadi benang merah, sebagai penghubung. Apakah ini memang kepercayaan di Bajo? Atau bagian dari eksplorasi imajinasi Anda? Sebenarnya itu berawal dari sebuah ritual di Bajo, mencari orang/barang lewat sebuah cermin. Mungkin cermin ini seperti bola kristal lah bagi mereka. Makanya diawal diperlihatkan Pakis selalu ke Sandro (Dukun) untuk mencari ayahnya. Elemen cermin ini sangat menarik untuk saya, dan menurut saya laut adalah cermin sebenarnya. Jadi saya banyak memainkan elemen ini. Banyak tradisi dan ritual bahkan bahasa yang menghilang di Bajo yang tidak diungkapkan dalam Laut Bercermin. Bisa jadi ini sebagai pernyataan anda sebagai filmmaker bahwa lebih baik memelihara apa yang masih tersisa daripada mempertanyakan apa yang sudah hilang? Atau ada pertimbangan lain? Sangat banyak hal yang sebenarnya sangat menarik dan ingin dimasukan kedalam film, ritual, bahasa, nyanyian, teks. Tapi saya tidak membuat film sejarah bajo. Saya membuat film cerita tentang suku bajo, dan tidak semuanya harus masuk. Semua yang hadir adalah semua yang sejalan dengan cerita dan fokus pada beberapa hal, dan settingnya adalah sekarang. Saya harap akan ada lagi filmmaker yang mau membuat film tentang banyak hal lainnya itu mengenai suku Bajo. Eksplorasi kawasan eksotik tentu saja menjadi tantangan bagi generasi muda seperti anda. Tapi disaat yang sama juga punya resiko sendiri. Film The Mirror membuat sebagian orang akhirnya mengenal lebih dekat keberadaan suku

FOVEA#0 2012 95


REVIEW

REVIEW

The Mirror Never Lies

The Mirror Never Lies

Bajo. Tapi apakah anda punya gambaran bagaimana agar suku Bajo tidak hanya jadi objek rasa ingin tahu yang semakin meningkat? Ambil contoh seperti Hutan Sayama di dekat Tokyo yang jadi terkenal karena film Hayao Miyazaki ‘My Neighbour Totoro’. Kekhawatiran akan hilangnya hutan itu kemudian membuat sekelompok seniman Jepang membuat yayasan untuk memastikan keberlangsungan hidup hutan tersebut.

yang sama, suku Bajo selalu mendapatkan panggilan yang berbeda di daerah, mereka selalu menjadi ‘mereka’ karena latar belakang kehidupannya sebagai pengembara. Film ini sedikit banyak membuat mereka merasa tidak lagi menjadi ‘mereka’ tapi menjadi ‘kita’.

Menurut saya keberadaan yayasan itu sangat positif dan sangat bagus. Karena kalaupun tidak karena film, cepat atau lambat, banyak hal yang bisa menjadi penyebab hilangnya hutan itu. Perumahan, bisnis, pariwisata, bencana alam, politik dan banyak hal lainnya. Saya merasa perlu memperkenalkan Suku Bajo dan kebudayaannya.

Nadine yang memperkenalkan saya dengan Wakatobi, kami diving bersama disana tahun 2009. Sebelumnya kami sudah kenal satu sama lain, itu juga pertama kalinya saya datang ke perkampungan Bajo. Kami pun brainstorm ideas bersama untuk membuat film. Nadine benar benar terlibat dari film ini, mulai dari hanya angan-angan saya, sampai akhirnya menjadi sebuah film.

Saya mendengar dari beberapa teman di Filipina bahwa Suku Bajo disana sudah tidak diperbolehkan untuk membangun rumah ditengah laut, lalu sekarang mereka menjadi pengemis ditengah kota, karena mereka tidak tahu caranya untuk hidup di darat. Mungkin saya malah bersyukur kalau ada sekelompok orang yang mau memastikan keberlangsungan hidup suku Bajo ditengah laut Indonesia. Bagaimana tanggapan para tetua suku Bajo sendiri tentang film ini? Adakah film Anda membuat perubahan berarti bagi suku Bajo sendiri? Respon mereka sangat positif. Tahun lalu saya membuat pemutaran film ini di tengah tengah kampung mereka, dengan layar ditengah laut, dan penduduk yang menonton dari atas perahu. Sampai saat ini walaupun hidup dan lahir di area

Bagaimana dengan keterlibatan Nadine Chandrawinata dalam proyek pertama anda?

Apa yang anda pelajari setelah membuat Laut Bercermin? Apa kekurangan Laut Bercermin menurut anda yang perlu diperbaiki di proyek selanjutnya? Banyak hal. Keberagaman, hubungan manusia dan alam, penemuan jati diri saya sebagai sutradara. Juga banyak sekali yang harus diperbaiki tentang memperlakukan medium film itu sendiri, eksekusi, penuangan ide. Dan satu hal yang akan terus saya pelajari dalam membuat film adalah belajar bagaimana untuk bekerjasama. Seberapa jauh pengaruh ayah Anda (sutradara terkenal) Garin Nugroho? Haha, ini pertanyaan berat. Secara teknis, ayah saya mem-

berikan kebebasan penuh mengenai apa yang saya mau lakukan. Sebetulnya saya tak pernah benar-benar belajar langsung dari dia. Dulu, sedari kecil saya tidak pernah tertarik dengan dunia film, walaupun saya sendiri besar dengan kegiatan-kegiatan seni, seperti menari, menulis, dll, dan selalu ingin mencoba belajar banyak hal, tapi tidak film. Saat saya SMP saya belajar fotografi dan diving, sampai SMA. Nah saat saya SMA, kebetulan sedang demam film pendek, hampir semua anak SMA ingin membuat film pendek, dan banyak sekali ruang kompetisi, festival, workshop yang diadakan saat itu. Itu periode saat film indonesia mulai kembali ke bioskop. Saat itu semua terjadi, banyak teman teman saya yang ingin membuat film, dan otomatis mereka pasti berkonsultasi pada saya, berusaha mendapatkan jawaban dari putri seorang Garin Nugroho. Padahal, kenyataannya waktu itu saya tidak tahu apa apa soal film. Saat itu saya merasa malu. Malu karena begitu banyak orang yang ingin belajar dari ayah saya dan saya bahkan tidak pernah ingin mengetahui tentang medium ini. Saat itulah saya mulai belajar membuat film, lewat workshop, magang dll. Dan sampai sekarang ternyata tidak bisa berhenti. Terlepas dari itu, saya hidup bersama Garin sejak dilahirkan, hahaha. Saya selalu hidup dikelilingi pikiranpikiran dia, film-film dia, semuanya. Jadi yang namanya “pengaruh” dia pada saya, ya terjadi begitu saja. Tak bisa disangkal. Di film Laut Bercermin ini ayah saya memang jadi salah satu produser, tapi dia tak pernah ikut pergi ke Wakatobi. Dia ingin saya mengalami semuanya sebebas mungkin. Ya memang, kami berdiskusi mengenai film ini. Tapi ya diskusi yang wajar. Film ini sepenuhnya didasarkan gagasan saya, dan dibuat sesuai apa yang saya inginkan. Ngomong-ngomong, film pertama Garin yang anda tonton apa? Dan apa tanggapan atau kritikan Dini terhadap film itu? Film pertama Garin yang saya tonton Surat Untuk Bidadari, film keduanya, di tahun 1994. Saat film pertamanya release di tahun 1991, cinta dalam sepotong roti, saya masih belum diperbolehkan menonton filmnya yang untuk 17tahun ke atas. Surat Untuk Bidadari bukan film anak anak, sedangkan saya masih kelas 4 SD saat itu, jadi saya jelas belum bisa memberikan kritik terhadap film diumur segitu, apalagi film yang tidak diperuntukan untuk anak seusia saya. Tapi untuk anak-anak, menonton di bioskop adalah experience, pengalaman baru. Kebetulan film Surat Untuk Bidadari berlatar belakang di Sumbawa, tempat yang tidak pernah terbayangkan seperti apa sebelumnya. Jadi menonton film itu seperti melihat dunia yang baru, dengan pengalaman yang juga baru. Film Anda ini sangat sukses di berbagai festival. Bagaimana dengan pemasarannya? Ya itu dia. Di bagian pemasaran, film Laut Bercermin sama sekali tidak berhasil. Ini menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Di Indonesia, semua film diperlakukan sama sih, komersial, alternatif, film seni. Semuanya masuk bioskop dengan cara yang sama. Tentu saja berat sekali film alternatif untuk bersaing dengan film komersial. Di Indonesia, masih kurang sekali ruang untuk film alternatif.

96 FOVEA#0 2012

Photo Courtesy Ging Ginanjar

Anda sejak awal menyadari film Anda lebih layak untuk diputar di festival ketimbang bioskop? Bukan begitu. Saya tidak bermaksud membuat film sekadar untuk festival. Karena sebagai seorang pembuat film, mimpi kita yang utama tentu berjumpa dengan audiens, penonton. Penontonlah yang membuat kita berkembang, belajar, dan berkarya lebih baik lagi. Film itu bagaikan anak untuk pembuat film. Setiap pembuat film tentu menginginkan agar anaknya berkembang dan tumbuh dengan baik. Nah ketika kita tak bisa berjumpa penonton di bioskop biasa, kita harus mengusahakannya di tempat lain. Nah, di festival-festival itu terdapat ruang-ruang untuk bertemu audiens. Di Berlin, film Anda memperoleh publik yang besar. Penontonnya banyak sekali. Ya, ini pemutaran perdana untuk Eropa. Kami langsung menuju venue begitu mendarat di bandara Berlin. Langsung ke acara pemutaran perdana, langsung ke karpet merah. Hahahaha Dan itu merupakan kejutan yang sangat menyenangkan buat kami. Gedungnya luar biasa besar, dan penuh sesak. Saya tak membayangkan sebelumnya. Ribuan penonton, kebanyakan anak-anak. Huhuhu, terus terang saya deg-degan. Benar-benar nervous. Ini pertama kalinya saya memutar film itu untuk publik anak-anak. Karena di Indonesia, klasifikasinya untuk remaja, di atas 14 tahun. Nah di Berlin, kategorinya di bawah 12 tahun. Jadi saya deg-degan, dan sekaligus sangat bersemangat, dan penasaran, bagaimana pendapat dan perasaan mereka mengenai Laut Bercermin. Ini juga untuk pertama kalinya saya mendapat forum tanya jawab dengan anak-anak. Dan bocah-bocah itu begitu tulus, polos, dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik. Saya jadi belajar banyak mengenai jalan pikiran mereka, apa yang mereka harapkan dan mereka lihat dari sebuah film. Ngomong-ngomong, di Berlinale ini Anda terpaksa juga jadi pengasuh, ceritanya? Betul sekali, hahaha. Jadi Panitia Berlinale hanya memberi fasilitas untuk sutradara, aktor dan aktris. Jadi, hanya saya dengan Gita dan Eko. Ini festival besar, di kota besar Eropa. Eko dan Gita begitu muda, masih anak-anak, dan belum pernah ke luar negeri sebelumnya. Biasanya, ada yang mendampingi mereka. Ya, kali ini, jadinya saya yang harus sekaligus jadi pendamping. Ini pengalaman pertama jadi pengasuh mereka, tapi sangat menantang dan mengasyikan. Sungguh pengalaman unik dan menarik, jadi pendamping mereka seperi ini. Proyek Anda selanjutnya? Proyek saya berikutnya, sedang dalam pengembangan. Saya sekarang sedang menulis skenarionya. Masih tentang anak-anak. Dalam film pertama, Laut Bercermin, saya bicara tentang laut, tema yang dekat dengan saya sebagai serang penyelam. Nah yang berikut ini tenang gerakan. Saya selalu senang dunia anak-anak dan dunia tarian. Jadi ini tentang dua orang yang belajar untuk saling berkomunikasi melalui gerakan. Latarnya nanti akan di Bali. Saya masih menyiapkannya. ***

FOVEA#0 2012 97


REVIEW

REVIEW

The Iron Lady

The Iron Lady

BERDAMAI DENGAN SANG PEREMPUAN BESI Apa yang bisa dikenang dari seorang Margareth Thatcher di durasi 105 menit dalam The Iron Lady ? Sebuah film netral yang enggan berkomentar tentang politik. Oleh Pody Junion

Thatcher. Yang membuat film ini hidup, justru datang dari akting Meryl Streep sebagai Margareth Thatcher dalam dua periode. Yakni saat Thatcher menjadi angota Palemen Inggris hingga Perdana Menteri, dan ketika Thatcher di masa tua dimana ia juga menderita demensia (sedangkan periode Thatcher muda dimainkan secara apik oleh Alexandra Roach). Kekuatan Meryl Streep memainkan karakter Thatcher memang tak sia-sia, dengan diraihnya Piala Oscar sebagai Aktris Terbaik 2012. Ini adalah Piala Oscar ketiga bagi aktris berusia 62 tahun ini. Meryl sukses menjelma sebagai Thatcher dengan karakter utuh. Aksen British yang kental, sikap ambisius, emosi, bahasa tubuh, semua dilakukan dengan baik. Tentu saja keutuhan akting Meryl semakin kuat karena dukungan tata rias yang sempurna dalam film ini. Sulit dibayangkan jika peran ini tidak dimainkan seorang Mery Streep. Mungkin saja ‘roh’ dalam film ini tak sedalam seperti yang ada. Adalah J. Roy Helland dan Mark Coulier yang mengubah Meryl Streep menjadi Margareth Thatcher dengan sempurna. Tak heran jika The Iron Lady pun meraih Oscar untuk kategori Tata Rias Terbaik, sekaligus juga untuk Kostum Terbaik. Diperlukan waktu kurang lebih tiga jam setiap hari untuk Meryl dirias sebelum syuting dimulai. Bisa dibayangkan betapa aktris satu ini harus menahan diri, duduk di depan cermin dan ‘digarap’ oleh tim penata rias. Hal istimewa lainnya di film ini? Rasanya tak ada yang lebih menyentuh secara personal, selain perilaku Thatcher di masa tua di akhir film dimana ia mulai menerima kenyataan bahwa suaminya sudah benar-benar pergi. Sekaligus kenyataan lainnya, ketika ia menyaksikan berita di televisi dan melihat betapa ‘menyedihkan’ sosok dirinya saat meninggalkan klinik usai cek kesehatan. Thatcher kini menderita demensia, penurunan kemampuan mental dimulai dari gangguan ingatan, pikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian yang biasanya berkembang perlahan.

Photo Courtesy: The Weinstein Co.

“I will never be one of those woman who stay silent on the arms of her husband. One’s life must matter, Denies”, ucap Margareth Hilda Roberts saat dilamar kekasihnya, Denies Thatcher. Pernyataan itu disambut hangat. Komitmen pun dibentuk. Denies tahu, wanita yang dicintainya ini bukan wanita biasa. Ia memang tak akan memasak untuknya, namun ia akan menjadi wanita hebat di jamannya. Wanita peraih beasiswa Universitas Oxford dan lulus dengan dua gelar di bidang Hukum dan Kimia itu, kemudian bermertafosa luar biasa. Ia mengubah cara pandang masyarakat Inggris, khususnya pria pendominasi kancah politik untuk ‘menoleh’ dan mengakui keberadaannya. Dialah Margareth Thatcher.

Jika Bukan Meryl Streep… The Iron Lady adalah ‘album foto’ pribadi Margareth Thatcher yang penonton lihat melalui cuplikan demi cuplikan. Menggunakan alur maju-mundur, film ini tak gamblang menceritakan komplit biografi wanita yang dikenal dengan

98 FOVEA#0 2012

kebijakan kontroversialnya. Para pembuat film ini sepertinya ragu-ragu memberikan opini tentang sepak terjang karir politik Thatcher. Sutradara Phyllida Lloyd nampak mengagumi sosok Thatcher sebagai wanita tangguh tanpa ingin berdebat tentang hal-hal lain. The Iron Lady terlihat hanya membeberkan fakta netral dengan kesimpulan yang umum bahwa Thatcher hanya satu dari manusia biasa yang kebetulan pernah memegang tampuk pemerintahan di Inggris dan membuat kebijakan politik kontroversial di jamannya. Jadi, buat sebagian generasi muda yang tak sempat mengenal Margareth Thatcher, dipaksa memaklumi bahwa ia mantan Perdana Inggris perempuan yang cukup manusiawi sebetulnya. Sementara generasi sebelumnya yang sempat berada di era ketika Thatcher berjaya mungkin akan mendapati film ini datar tanpa ada sesuatu yang bisa dijadikan bahan diskusi. Penonton diajak sedikit berdamai dengan ambisi dan tindakan kontroversial Thatcher di masa lalu. Film garapan sutradara Phyllida Lloyd ini secara garis besar akhirnya tak banyak menonjolkan keistimewaan kiprah

She’s So Gorgeous! “Margareth Thatcher , Dress, and the Politicts of the Fashions” Yup! Setidaknya kalimat di atas sering terlontar dari opini jurnalis dunia dalam menggambarkan sosok wanita satu ini. Tidak hanya pandai berdebat menunjukkan intelektualnya, namun juga cerdas menampilkan sisi lain yang tak kalah ‘intelek’. Yakni dalam hal berbusana. Dalam film The Iron Lady penonton diajak untuk mengenal sosok Margareth Thatcher lebih detail, terutama dalam soal berpenampilan. Lihat saja bagaimana di usia tua, Thatcher tetap rapi menyimpan busan kerjanya terdahulu di lemari (tentu saja dominasi warna biru memenuhi isi lemari), serta koleksi perhiasan mewahnya. Dalam setiap pertemuan dengan staff, atau sedang berdebat sengit dengan lawan politiknya, atau pun di kondisi kegalauannya menyaksikan ketidaknyamanan ekonomi Inggris saat itu, Thatcher tetap tampil elegan. Rambutnya tersasak rapi, ulasan lipstik merahnya tak pernah keluar dari garis bibir, bahkan padanan blazer dan blus pun terkombinasi dengan baik. Satu lagi, kalung mutiara yang berjuntai cantik dan anting-anting, seakan melengkapi percaya dirinya. Secara tidak langsung, penonton terbawa dalam kekaguman gaya elegan Thatcher di penampilannya saat menjadi Perdana Menteri. Dalam kesempatan bertemu rakyat Inggris atau pun acara formal dengan tamu negara, Thatcher nampak menenteng tas mewah Asprey atau Salvatore Ferragamo serta mengenakan sepatu ber hak tinggi merek Carla. Well, tak diragukan lagi dalam berpenampilan pun Thatcher memiliki ‘kecerdasan’ tersendiri. Film ini tidak sekedar membangkitkan kenangan masa kepemimpinan Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, namun juga sekaligus bukti ‘sejarah’ fashion dimana di periode Thatcher pada 1979 hingga 1990, ada tren yang secara tidak langsung dipelopori olehnya. Mungkin saja di saat Thatcher berhenti bekerja, tak ada yang menyadari jika wanita satu ini telah ‘menyodorkan’ karakter tersendiri dalam berbusana. Namun di saat film ini tengah dipersiapkan. Rumah Mode Chanel dalam peragaan busananya di Fall-Winter 2011 sudah menampilkan para modelnya dengan tatanan rambut tersasak mengembang, Terinspirasi gaya rambut Thatcher. Selain itu sebelumnya sekitar tahun 2000 dan 2001, koleksi tas tangan Thatcher yang sudah dimiliki lebih dari 30 tahun dilelang di rumah lelang ternama Christie’s dengan nilai 83.110 Poudsterling untuk tas kulit merek Asprey dan 25.000 Poundsterling untuk tas tangan warna hitam merek Salvatore Ferragamo. The IRON LADY. Directed by Phyllida Lloyd. Written by Abi Morgan. Cast: Merryl Streep, Jim Broadbent.

FOVEA#0 2012 99


REVIEW

REVIEW

We Need To Talk About Kevin

We Need To Talk About Kevin

S

ome of the most dangerous things are the ones which look at first very benign. Uncooked potatoes full of solanine. Paracetamol, above 4g in a single dose ( you risk liver failure ), very small poisonous spiders maybe ( not where I’m writing right now though ). Well you got the idea. We Need To Talk About Kevin by Lynne Ramsay, is a very smart, and at first benign, movie. In short, it follows the growth of a kid who becomes a mass murderer, as a grotesque mixture of Robin Hood and Andy Warhol. I would like to talk here about the movie, isolated from the book which it’s derived from. Why is it smart? Why is it dangerous?. It’s very smart because the trick box of Ms Ramsay is insanely well equipped. It’s all there. (1) Let’s start with the gorgeous photography, using hints in the use of red colours and filters (mashed tomatoes, red curtains, red teddy bear, splashes of red colour on the walls of the new house, on the wind-shield, etc.

We need to SHUT THE FUCK UP about Kevin Can kids be born psychopath ? One of the most talked-about movie from last year. It is a smart but dangerous movie. Many parents were fascinated after watching this brilliant movie. were you ? By Sylvain Dal

(2) Then, the disorienting but clever use of flash-backs and -forwards. I count about 3 time-lines, one preceding the birth of Kevin, one clinically explaining his growth (only the pathological items, that is), one starting from the murder scene. Birth and Death are here the marking points. (3) One more smart point : the use of sound. Rarely has the noise of a sprinkler been used with such psycho-acoustic efficiency. Brilliant! (4) The use of associations of images. There are obvious mirror effects between the mother and Kevin, the way they dive their face in the water pool, shot from under the surface ; the collection of nails and eggs shells; the Christ-like attitude before Kevin’s conception, drowned in tomatoes and human flesh, and Kevin’s bow before the murders; (5) The sheer density of overwhelming details . Watching this movie 3 times has not yet for me exhausted the scenes, there are still subtle moves, gazes, words, associations to find. (6) A seemingly exact description of what psychopathy, or antisocial personality disorder, like our American friends felt a compulsion to rename the thing, is. It’s all in there. Perfect for psychopathology teachers. Perfect for the students. DSM-IV list anyone ? Performing acts that are ground for arrest : check. Deceitfulness : check. Impulsivity : check. Aggressiveness : check. Reckless disregard for safety of others : check. Consistent irresponsibility : check. Lack of remorse : check. Uses a weapon that can cause serious physical harm to others : check. Has been physically cruel to animals : check. On top of that I could add the collusion that Kevin is creating after his mother broke his arm : that little bastard really know how to have a pervert hold on her, using a lie to make his mother feel less embarrassed towards his father, but holding her that way in his command. (7) A quite subtle use of association of ideas in some wonderful scenes : the moment where Kevin is sick and unusually close to his mother, who can for once nurture him, is the occasion of telling him a tale of archery and heroes. this precious moment seems to lead to a fascination for bows

100 FOVEA#0 2012

and arrows, which will be used once more to further enhance Kevin’s own void image (his 15 minutes of fame) and hurt his mother (destroying all around them). Another striking scene: the correspondence between Kevin’s eye and the target. Brilliant, once again, saying so much about gaze and aggressivity in a few images. (8) Finally, this movie is loaded with subliminal references . I already cited Warhol, but there is a bit of the other American iconic painter : Pollock. There is Woolf in there as well (remember, Ms Ramsay is an English). There is a reference to Christianism : Christ, Saint Sebastian, the medieval knights with arrows. And of course, the tragedy of Columbine massacre. Strangely enough, all this does not bring the movie to an unrealistic plane, but instead augments the hyper-reality of it . Most people I’ve talked with believed it was based on a true story, which is not the case. Brilliant, brilliant movie. But now let’s get to the point where I think the movie is not convincing and actually dangerous. I should write: DANGEROUS. Why ? Simply because I cannot realistically believe that such a psychopathic kid could be ‘made’ by such a nice family and environment. Clinically, this movie is bollocks. Of course, we understand at the beginning of it that this mother likes her freedom very much, often goes away from home, and maybe even likes the wild company of other men, like the scene in Spain (tomatoes, remember ? very RED ) suggests. Of course, we see that she hates her pregnant body, all covered in a white dress in the pre-natal gym local, where other women exhibit their huge bellies with much pride. Of course the birth looks and sounds like very traumatic for her. We understand that this mother has been through much before little Kevin arrives. But then, something is wrong : it’s as if that baby, just born, was already completely filled with hatred towards his mother, from the beginning. Not a simple resentment, but the kind of destructive hate that makes him want to refuse her any pleasure, not even throwing the ball at her. The hate that destroys her ‘room of her own’ (Virginia Woolf allusion here ?). The hate that gets even more elaborate when he’s starting to play with her expectations : first pretending not the know the number after 7, then reciting the numbers until 50 at once. It’s as if, from the birth, Kevin, was pure evil. And the mother, father, and environment were foreign to it. At the same time we have a thorough psychiatric description of what a psychopath is, and on the other hand, really have no clue at all about where it could come from. This leads us to the conclusion that ‘kids can be born psychopaths’. Natural born killers, so to say. And this is utterly dangerous. Ask the first psychiatrist you meet about the impact of ‘Fly over a cuckoo’s nest’ from Milos Forman. This movie has percolated to the universal unconscious and given terrible roots to the idea that ECT (Electro Convulsive Therapy, electroshocks) and psychiatric wards were tools and places closer to torture than curing. We Need To Talk About Kevin, with its very convincing story – many people are totally clueless whether this is true or invented – is strong enough to spread that idea of born-evil.

FOVEA#0 2012 101


REVIEW

We Need To Talk About Kevin

This, under the psychoanalytical varnish, is actually totally un-psychoanalytical. This movie gives little to no importance to the history of the kid. Evil seems to be the essence of that kid, and seems to be there, completely formed, with its destructive intention, from the birth. These people seem to be isolated entities, without any possibility to interact in a constructive way, to evolve. We Need To Talk About Kevin shows that destructive pulsion is without history, without meanings, without memories, without resolution. The way the movie shows that couple and their kid in an autistic world, without classmates, friends, neighbours, family members, forms an impressive ‘in Camera’ (Sartre), where ‘the other is hell’. The outside world is mostly worse than the family itself : kids on Halloween costume are like hooligans, the nice guy at the office is suddenly verbally abusive, the mothers on the street are spitting their bile and punching you in the face, the lady in the supermarket breaks your eggs. The dissemination of psychopathy is at work. And you are alone. Christ-like figure of a mother who doesn’t have anything to blame herself about, and faces a world of aggression, or indifference. This too brilliant movie, where death and murder appear before the kid himself, might help create a generation of parents who will think in a distorted way about the evil in their kids. There is evil in kids, but not ‘that’ way. Go back to Freud or go back to ‘Finding Nemo’ if you want to know more about it and how to deal with it, but don’t search for answers in We Need To Talk About Kevin.***

for rent

102 FOVEA#0 2012


REVIEW

REVIEW

Cesare Deve Morire

Cesare Deve Morire

main, yang ditata cerdas: memadukan gambaran proses pemilihan pemain suatu teater, dengan proses yang menjadi bagian dari kehidupan para penjahat itu: interogasi, pengambilan foto tampak depan, tampak samping kanan, tampak samping kiri. Proses awal yang dipimpin sutradara teater Italia terkemuka, Fabio Cavalli, sering muncul lucu. Para narapidana mencoba satu dua dialog dalam Julius Caesar, melatihnya, menafsirkannya, dan membicarakannya dengan logika yang unik. Film yang juga memasukkan adegan-adegan latihan, membuat Caesar Deve Mourire jadi tontonan yang memikat. Dalam film ini, terlihat sejumlah pemain melakukan latihan sendiri-sendiri di selnya masing-masing. Kamera menghubungkannya dengan sel lain, di mana narapidana lain sedang berlatih. Lain waktu, latihan berlangsung bersama, di sebuah ruangan kecil. Kemudian beralih ke latihan lebih lanjut, di ruangan lain, yang sudah dilengkapi set-properti. Pada adegan-adegan massal, Paolo dan Vitorio Taviani memperlihatkan sentuhan penyutradaraannya yang paling membekas. Misalnya adegan pertempuran Filippi. Pengambilan gambar dilakukan dari ketinggian. Para narapidana awalnya berlatih di sel masing masing. Riuh rendah. Lantas mereka bergerak, bergelombang, menuju koridor. Suasana kalut. Hiruk pikuk. Kamera bergerak menjauh. Para sipir memantau agak galau. Kamera memotret penjara dari luar. Dibawah langit kelabu, sayup-sayup terdengar riuh rendah adegan pertempuran besar itu.

Photo Courtesy Kaos Cinematografica

Photo Courtesy Kaos Cinematografica

Kala Kaum Pesakitan Mainkan Shakespeare Paolo dan Vittorio Taviani menawarkan naskah drama Julius Caesar kepada para narapidana kelas berat. Sebuah film yang menggabungkan dokumenter dan fiksi dipenuhi kejutan spektakuler. Oleh Ging Ginanjar

T

ak ada yang menyangka, bahwa Cesare Deve Morire karya Taviani bersaudara, Paolo dan Vittorio, akan berwujud seperti itu. Di satu sisi ini dokumenter tentang sebuah persiapan pertunjukan drama dengan segala prosesnya sejak awal. Di lain sisi, Kaisar Mesti Mati ini juga muncul sebagai sebuah drama tersendiri. Begitu otentik dan begitu orisinal.

Boleh dikata tak ada yang terkejut, ketika di Berlinale 2012 lalu, juri menobatkan Cesare Deve Morire sebagai film terbaik, pemenang hadiah tertinggi Beruang Emas. Ini hadiah tertinggi yang diperoleh dua bersaudara Taviani itu sejak mereka memenangkan Palme d’Or, Palem emas, lewat Padre Padrone, di Festival Film Cannes 1977, 35 tahun yang lalu. “Cesare” adalah sebuah drama dan sebuah dokumenter tentang pertunjukan Julius Caesar. Namun yang luar biasa tidak biasa, karya empu teater William Shakespeare ini dimainkan oleh para narapidana di penjara Rebibbia, sebuah penjara berkeamanan maksimum di pinggiran kota Roma. Para aktor drama –dan sekaligus film- ini adalah para penjahat kelas berat: pembunuh, perampok, mafia, dan sejenisnya. Para penghuni Rebibbia adalah narapidana yang masa hukumannya minimum 14 tahun penjara hingga seumur hidup.

104 FOVEA#0 2012

“Kami memilih naskah ‘Julius Caesar’ dengan sebuah alasan yang jelas sekali,” kata Paolo Taviani dalam pidato penerimaan Beruang Emasnya, “Bahwa kami bekerja di dalam penjara. Itu berarti akan gampang menyampaikan pesan melalui lakon ini, tatkala para aktor berbicara tentang kebebasan, tirani, pembunuhan.” “Cesare” digulirkan bergantian, dalam format warna dan hitam putih. Format warna untuk adegan “masa kini”, tatkala pertunjukkan Julius Caesar berlangsung di aula penjara, dan sesudahnya. Format hitam putih digunakan untuk kilas balik yang direkam enam bulan sebelumnya. Dimulai sejak proses awal sekali: pemilihan para pemeran. Format warna dan format hitam putih sebagai penanda masa kini dan masa lalu tentu bukan hal yang baru sama sekali. Sudah dilakukan dalam ratusan film lain. Juga aliran dasar penceritaan film ini, cukup biasa: dibuka dengan adegan pertunjukan yang berlangsung di masa kini, diselingi di tengahnya, sebagian besar tubuh film, dengan kilas balik proses produksi drama Julius Caesar. Untuk nanti di akhir film, kembali ke masa kini. Betapapun, Cesare Deve Morire tetap penuh kejutan. Khususnya di bagian kilas balik itu. Sejak proses seleksi pe-

Taviani bersaudara begitu cerdas dalam memanfaatkan arsitektur penjara Rebibbia. Ini tampak lagi di adegan yang sungguh monumental, saat Brutus berpidato di depan jenazah Julius Caesar. Brutus sendirian bersama jenazah Caesar yang dibungkus kafan putih, ditempatkan di halaman dalam penjara yang begitu luas. Dikelilingi sel-sel penjara dengan para tahanan didalamnya yang berlakon seperti rakyat Roma. Brutus kemudian berpidato kepada “warga Roma” yang berteriak-teriak, berseru, dari balik jendelajendela sel mereka. Paolo dan Vittorio Taviani mulai tergerak dengan proyek ini, setelah mendapat kabar dari teman mereka, seorang linguis, tentang sebuah pertunjukkan sebelumnya di penjara itu. Taviani bersaudara lalu menghubungi Fabio Cavalli, sutradara teater Italia yang memimpin proyek pertunjukkan di Rebibbia. Ketika kedua Taviani datang pertama kali ke penjara kelas berat itu, para narapidana sedang latihan membaca beberapa kantata dari Inferno, bagian dari La Divina Commedia, sebuah karya besar Dante Aligheri. Kedua Taviani begitu terpukau, meyadari bahwa yang sedang membaca karya Dante itu umumnya para terpidana penjara seumur hidup. Taviani bersaudara melihat, bahwa para terpidana ini berakting dengan naluri mereka yang dibangkitkan oleh desakan dramatik untuk mengungkapkan perasaan mereka. Begitu terkesan Vitorio dan Paolo Taviani, hingga mereka melakukan kunjungan kedua ke Rebibbia. Pada kunjungan kedua itu, Taviani bersaudara menawarkan para narapidana, apakah tertarik menggarap Julius Caesar untuk difilmkan. Para narapidana, bersama Fabio Cavalli, sutradara yang bekerja bertahun-tahun bersama mereka, “memberi jawaban langsung dan tegas: “ayo kita mulai saja sekarang,” ungkap Vittorio.

Photo Courtesy Kaos Cinematografica

Seterusnya Paolo dan Vittorio Taviani menghabiskan waktu lebih dari 6 bulan di penjara Rebibbia, bersama para penjahat itu, dan juga para sipir. Agar lebih lancar mewujudkan pertunjukkan ini, sutradara teater Fabio Cavalli mengubah banyak dialog Shakespeare sesuai dengan latar belakang para aktornya. Jadi ada dialog yang muncul dalam bahasa Italia ala Napoli, ala Milano, ala Cagliari, dsb. Ibaratnya, dalam konteks Indonesia, Brutus diucapkan dengan gaya Maluku, Casius dengan bahasa Indonesia Papua, Caesar Julius dengan bahasa Betawi, dsb. Awalnya Taviani bersaudara bertanya-tanya, bagaimana drama-drama berat begitu dimainkan oleh para narapidana, para kriminal yang kehidupannya diasumsikan jauh dari kebudayaan. Nyatanya, mereka tampil dengan performa yang kuat, tak ubahnya para aktor professional. Memang tidak seratus persen pemain adalah pesakitan penghuni penjara Rebibia. Salvatore Striano, pemeran Brutus misalnya, sudah tak menghuni Rebibbia sejak 2006. Tapi Salvatore ini baru belakangan jadi aktor profesional. Ia bekas penghuni Rebibbia, dihukum penjara 14 tahun 8 bulan. Ia memperoleh pembebasan bersyarat, dan sesudahnya jadi aktor professional. Melalui Kaisar Harus Mati, Salvatore berkesempatan kembali mengunjungi “almamaternya”. Enam bulan lebih Taviani bersaudara bekerja dan bergaul bersama para penjahat itu. Ketika akhirnya film selesai dikerjakan, dan mereka harus sepenuhnya berpisah, Cosimo Rega – yang berperan sebagai Cassius, tatkala naik tangga menuju kembali ke selnya, berteriak kepada taviani bersaudara: “Paolo, Vittorio, mulai besok dan seterusnya, semuanya tak akan lagi seperti semula”!.***

FOVEA#0 2012 105


R E V I E WModusAnomali Anomali Teror 1/2page in CMYK for rent

dan Ketegangan Artifisial Film terbaru Joko Anwar tidak mengandalkan munculnya sosok mistis yang menjadi pemicu ketakutan. Sebuah thriller psikologis memasuki labirin petualangan tokoh yang dibangun lewat imajinasi. Berawal seperti puzzle tapi mendadak diarahkan ke jawaban versi sang sutradara yang seolah jadi mutlak. Oleh Gayatri Nadya

K

enikmatan menyaksikan film bergenre horor atau thriller nampaknya belum bisa ditinggalkan begitu saja oleh khalayak di Indonesia. Tiap detik ketegangan menjadi katarsis tersendiri bagi penonton yang duduk layaknya korban dalam horor tersebut atau hanya bersantai menikmati tontonan tersebut tanpa ikut merasakan penderitaan sang korban.

1/2page in CMYK for rent

Ketegangan dalam film horor atau thriller yang ditampilkan itulah yang kadang menjadi tujuan utama ketika penonton keluar dari gedung bioskop. Saat penonton lega bisa bertahan sepanjang film, meskipun harus menutup mata atau telinga sesekali, di situlah kepuasan sekaligus kemenangan penonton terhadap film yang sukses menakutinya dan tetap terngiang-ngiang setelah itu. Meskipun banyak cela dalam film horor lokal yang sarat dengan hantu jadi-jadian plus bumbu adegan esek-esek yang menjadi pemanis, tak dipungkiri genre tersebut masih jadi juara di antara genre film lainnya. Sampai April 2012 ini, data penonton bioskop dari situs filmindonesia.or.id menunjukkan dalam peringkat lima besarnya diduduki oleh dua judul film horor; Rumah Bekas Kuburan dan Pulau Hantu 3 yang menembus angka 200.000 penonton. Tentu masih panjang perhitungan selama tahun 2012 ini, namun April ini hadir pula film yang kabarnya menjanjikan ketegangan tanpa perlu menampilkan hantu

gentayangan. Modus Anomali bisa jadi film yang banyak ditunggu setelah gaungnya sukses di SXSW Festival, Texas Februari lalu. Trailernya sendiri sudah ditayangkan sejak Desember tahun lalu dan berhasil memberikan buzz tambahan lewat media sosial dunia maya sebelum filmnya rilis. Apa sebenarnya yang dijanjikan Joko Anwar dan Sheila Timothy, duet sutradaraproduser yang juga berkolaborasi di film Pintu Terlarang ini? Adalah John Evans (Rio Dewanto) yang terpaksa mengaisngais ingatannya ketika terdampar sendiri di hutan yang dirasa asing dan melihat sang istri dibantai lewat video. John mengumpulkan satu persatu potongan pertanyaan dan jawaban di kepalanya lewat alarm yang berbunyi di sekitar hutan, orang-orang yang bergantian muncul seolah ingin memburunya, sampai peti yang diisi pesan misterius. John ternyata tidak sendiri di hutan itu. Beberapa kali muncul orang dengan senjata berbeda yang berusaha membunuh John. Tidak mau jadi korban, John dengan rapi menyusun jebakan agar ia selamat sekaligus mencari jejak anak-anaknya yang hilang sejak istrinya terbunuh. Situasi perlahan terbaca dan muncul pencerahan saat satu keluarga lain datang. Masalah dalam hutan antah berantah itu mendadak menjadi jelas, siapa lawan sebenarnya.

FOVEA#0 2012 107


R E V I E W ModusAnomali Layaknya Janji Joko sejak trailernya ditayangkan, ketegangan menjadi jualan utama dari film ini. Kemunculan John di adegan awal sudah menjadi satu peringatan bagi penonton untuk selalu bersiap-siap dengan atmosfer yang disusun. Pertama-tama penonton disuguhi pemandangan hutan lengkap dengan serangga dan gerak-gerik binatang penghuninya secara close-up dengan kamera yang bergerak perlahan-lahan. Mendadak muncullah sesosok laki-laki yang bangkit dari kubur. Di situlah permainan dimulai, ketegangan penuh teror yang dijanjikan sampai akhir film. Apakah cukup bagi sebuah film menawarkan thriller dengan modal tegang dan meneror sepanjang 87 menit? Permainan Joko tidak sampai di situ saja. Ia senang mengajak penontonnya bermain bersama. Sejak pertemuan pertama dengan John, penonton diajak untuk bersimpati pada penderitaan John dan seolah-olah membantu pencarian dalam hutan tersebut. Tokoh lain yang dimunculkan seolah ikut menjadi kode dan perekat teka-teki yang menjadi pertanyaan. Di awal film ditampilkan istri John yang dibunuh dan terekam kamera. Dari video tersebut, diketahuilah kalau masih ada anakanak yang entah di mana keberadaannya. Anak-anak John kemudian diberikan porsi lebih untuk menguak misteri pembunuhan yang terjadi. Mereka bergerak dengan berani perlahan-lahan mencari di mana sang ayah berada sekaligus berusaha cari cara untuk keluar dari hutan itu. Petunjuk lain yang tersisa, foto sang istri dan dua anaknya tersebut. Lewat foto yang dilihat John sebagai petunjuk, hanya ada sang istri dan anaknya tanpa ada John dalam satu gambar yang sama. Dua anak ini sebenarnya bisa menjadi kunci perjalanan John berikutnya. Mengapa mereka justru mendadak jadi korban dari John? Apakah sebenarnya memang ada relasi dengan John? Posisi John dan penonton sebenarnya duduk sama tinggi, keduanya minim informasi. Penonton juga tidak diberi kesempatan memiliki posisi lebih tahu dibanding John. Jadilah posisi ini yang membuat penonton gregetan untuk ‘keluar’ dari misteri ini. Sampai di sini, rasa penasaran masih berhasil meneror untuk tetap duduk tenang sampai akhir perjalanan.

Bermain Tebak Susun Puzzle Susunan puzzle dalam Modus Anomali memang nikmat dicari tahu perlahan satu persatu. Setidaknya penonton diberikan ruang untuk mengutak-atik sendiri persepsi yang hadir timbul tenggelam di tengah ketegangan film. Sayangnya teka-teki ini akhirnya menjadi sedikit bumerang bagi ketegangan yang sudah dibangun sejak awal. Perlahan-lahan tensinya merosot dan menyisakan penonton yang sibuk berpikir apa yang sebenarnya tengah terjadi dibandingkan menikmati suasana mencekam. Visualisasi yang dibangun dalam layar sebenarnya sudah mendukung, mulai dari latar waktu malam hari di mana John memulai pencariannya, kemudian sosok-sosok misterius yang ditemui tanpa ada kejelasan siapa dan apa motif mereka mengejar John, sampai efek suara dan scoring yang terdengar sangat detail membangun emosi penonton terhadap ketakutan John. Empat sampai lima puluh menit pertama, seluruh elemen tersebut sukses menjadikan misteri tersebut nyaris tak ter-

108 FOVEA#0 2012

R E V I E WModusAnomali pecahkan dan bergidik lewat adegan per adegannya. Sepanjang durasi yang tersisa ternyata justru meluruhkan intensitas ketegangan yang ternyata berbanding terbalik dengan kejelasan misteri yang terkuak. Makin jelas masalahnya, makin kendorlah suasana tegang itu. Perlahan-lahan informasi yang tersedia makin terbuka lebar, jika awalnya penonton dipersilakan menyusun puzzle versi mereka dengan segala keterbatasan, mendadak diarahkan ke dalam jawaban versi sang sutradara yang seolah jadi mutlak. Teka-teki pembunuhan ini juga terasa begitu lambat alurnya, seolah John menyusuri hutan tersebut untuk mengukur luasnya. Adegan demi adegan terasa punya jeda yang panjang. Hal itu terjadi bisa jadi karena aktor utama memang hanya John seorang, ia dituntut untuk lebih membangun emosi dengan sekelilingnya. Tuntutan itu nampaknya tidak bisa dipenuhi oleh akting Rio Dewanto. Ia lebih banyak berkonsentrasi untuk membiarkan penonton ikut larut dalam permainan psikologis yang dicipta sang kreator. Di tengah perjalanan cerita, masuklah ke dalam babak lain dari penyelesaian puzzle tersebut. John kemudian bertemu dengan keluarga lain yang juga berlibur di kabin pribadinya. Sepasang suami istri dengan dua anak. Formulanya terasa begitu familiar dengan situasi John. Di sinilah misteri mulai terungkap dengan sangat jelas dan lugas. Mengapa demikian? Ternyata, pertemuan John dengan keluarga tetangga yang baru datang menjadi kunci dari semua pertanyaan yang sudah berjalan di empat puluh menit sebelumnya. Jadilah penonton seolah dibawa kembali dalam prekuel perjalanan John yang mungkin sudah dilakukan lebih dari puluhan atau ratusan kali. Terlihat sosok John begitu berbeda dari yang ditampilkan sebelumnya, ia lebih percaya diri, berani dan segala ketakutan yang sebelumnya ada langsung hilang. Muncul pertanyaan baru, darimana munculnya keberanian John setelah semalaman nyaris mati di hutan belantara? Atau, apakah ini sosok lain dari John yang tidak ‘diperkenalkan’ sepanjang film? Penonton mulai diajak menyimpulkan, apakah perubahan karakter John inilah yang memicu semua kejadian aneh di hutan tersebut. Sebagai tokoh sentral, keberadaan John serta gerak-geriknya inilah yang menjadi pamungkas. Di awal terlihat bagaimana John ketakutan setiap kali ia mendengar langkah kaki mendekat. Setelah itu John justru ditampilkan begitu memahami medan tanpa cela. Di sinilah penonton bisa mulai awas, kejanggalan atau anomali ini berasal dari sosok yang sepanjang film sudah diawasi. Perubahan karakter ini nampaknya terlalu drastis untuk tidak dipahami sebagai twist yang ditunggu. Gelagat John yang rapi menunjukkan keakrabannya dengan hutan, mobil, dan kabin di tempat tersebut terasa tidak natural setelah drama pembunuhan yang nyaris menghabiskan nyawanya. Apakah ini menjadi twist atau sekadar tebakan yang dengan mudah dibenarkan lewat dua-tiga adegan saja?

Ketegangan Artifisial Tidak dipungkiri, dibanding film-film yang menjual nuansa horor atau thriller lainnya yang juga beredar tahun ini, Modus Anomali menyuguhkan formula berbeda yang dengan berani diracik sedemikian rupa. Bahkan rasa-rasanya tidak adil membandingkannya dengan dua film horor yang men-

duduki lima besar box office Indonesia tahun ini. Joko Anwar tidak mengandalkan munculnya sosok mistis yang menjadi pemicu ketakutan tetapi labirin petualangan tokoh itulah yang dibangun lewat imajinasi. Keberanian inilah yang akhirnya membuatnya sukses menyuguhkan rasa baru dalam kelompok genre horor dan teman-temannya. Secara teknik, kamera dan efek suara berperan sebagai elemen penting yang membangun sebuah film thriller. Pergerakan kamera ala handheld yang mengikuti aktor utama memberikan efek ketegangan sendiri dan ikut membawa penonton larut dalam petualangan dalam hutan tersebut. Visualisasi inilah yang mencuri perhatian penonton ke dalam layar dan sejenak lupa sang aktor yang susah payah melafalkan dialog Inggris penuh umpatan itu. Melihat ide Joko yang dianggap ‘sakit’ dan menawarkan rasa baru, tidak sedikit dari penonton yang akan menganggap karya ini menghibur. Hiburan dengan bumbu ketegangan mungkin memang asyik dinikmati layaknya didongengi sebuah kisah dengan awal dan akhir yang pasti-pasti saja. Meskipun penonton berhasil memecahkan kode yang ada, justru akhirnya penonton dijauhkan dari inti judul yang terpampang besar-besar; Modus. Apakah sebenarnya motif dari segala permainan keji John tersebut?

Jangan-jangan, memang tidak ada motif atau modus yang melatari semua kejadian dan perilaku menyimpang tersebut. Nampaknya kini kita harus puas sampai pada narasi Modus Anomali yang hanya ingin bercerita bagaimana sikap manusia saat menemukan titik anomali alias penyimpangan dalam dirinya sendiri. Tidak perlu usaha lebih dalam menggali apa pemicu deviasi watak John dengan segala rencana dan permainanannya lebih lanjut. Beberapa dari penonton mungkin ada yang mencoba mengutak-atik alur demi menemukan kisah yang lebih luar biasa dari seorang John Evans. Ternyata tidak perlu terlalu serius mengutak-atik , karena pada akhirnya narasi dengan sangat lugas akan membawa kita ke akhir yang diinginkan sang sutradara, yang punya hak veto atas katya ini. Mungkin para tokoh dalam Modus Anomali memang diciptakan sebagai pion-pion permainan yang sudah jelas arahnya tanpa ada pengembangan dari dalam karakter itu sendiri. Modus Anomali pun akhirnya terasa seperti dongeng yang mencoba menunjukkan bagaimana ‘sang pangeran’ yang mencoba menaklukan masalahnya dan kemudian sukses menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Ketegangan dan teror yang dibangun sejak awal hanyalah ‘penyedap rasa’ yang diciptakan secara artifisial hanya untuk membuat penonton bertahan sampai film usai. Seperti yang umum terjadi, rasa yang artifisial akan mudah berlalu begitu saja, dan jejaknya tidak akan bertahan lama.*** 109

FOVEA#0 2012


REVIEW

UTOPIA TENTANG SOLIDARITAS YANG KEMBALI

REVIEW

Awalnya sebuah utopia yang berkaitan erat dengan politik Perancis. Kemudian menjadi nostalgia. Lalu menjadi reuni pembuat film Finlandia dengan sinema Perancis. Akhirnya menjadi harapan tentang kembalinya solidaritas.

Oleh Asmayani Kusrini Photos Courtesy JanusFilms

S

ulit untuk membahas Le Havre tanpa mengkaitkannya dengan situasi politik Perancis terkini. Ceritanya begini: beberapa bulan lalu, tidak ada yang akan menduga Francois Hollande bakal meroket melampaui Nicholas Sarkozy pada putaran pertama kampanye pemilihan presiden di Perancis, 2012. Banyak yang menganggap Hollande –seorang politisi kiri dari Partai Sosialis-- ini terlalu radikal dalam rencana jangka panjang politiknya. Hollande berupaya untuk keluar dari zona Euro, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pajak bagi konglomerasi sebesar kurang lebih 75%. Dengan jualan politik yang dianggap pro-rakyat itu, Hollande jelas tidak akan menjadi pilihan para konglomerat dengan kantong gemuk di Perancis. Disaat yang sama, kebijakankebijakan Sarkozy selama menjadi presiden Perancis juga sangat berpengaruh terhadap kampanye politiknya tahun ini. Meski tak semua buruk, toh yang paling membekas dihati rakyat Perancis itu adalah sikap politik Sarkozy terhadap para imigran. Sarkozy ingin membatasi pergerakan dan pertumbuhan imigran di Perancis ke titik yang paling rendah. Dengan politik kanan yang ‘garang’ terhadap imigran sejak masa pemerintahan Sarkozy, ada anggapan umum bahwa Perancis beserta seluruh rakyatnya adalah negeri yang rasis dan anti-imigran. Ini mengaburkan fakta bahwa secara hitungan kasar, hampir sepertiga dari rakyat Perancis adalah imigran (baik itu imigran asli maupun imigran keturunan). Maka, menurut sistem demokrasi, terjadilah perebutan suara masyarakat Perancis antara Hollande dan Sarkozy. Antara rakyat kebanyakan (yang sepertiganya imigran) dan konglomerat. Hasilnya, Hollande mendapat 28,4% sementara Sarkozy mendapat 27% diurutan kedua. (Bersamaan dengan ditulisnya artikel ini, Hollande menang dan akan segera dinobatkan sebagai Presiden Perancis, menandai kembalinya Partai Sosialis ke Istana Elisée di Paris setelah 25 tahun). Disinilah karya terbaru Aki Kaurismaki berjudul Le Havre yang diputar di Festival Film Cannes tahun lalu menjadi relevan. Kaurismaki, sutradara Finlandia ini mungkin juga tidak menduga bahwa film Le Havre seperti sebuah ramalan terhadap situasi

110 FOVEA#0 2012

politik Perancis saat ini. Tentang Le Havre di Le Havre Le Havre yang berarti pelabuhan, adalah sebuah kota pelabuhan paling sibuk di Perancis setelah Marseilles. Dibawah pendudukan Jerman tahun 1944, hampir seluruh pusat kota Le Havre hancur akibat serangan udara sekutu. Akibat perang yang dikenal sebagai pertempuran Normandi tersebut, kurang lebih 12.000 gedung hancur rata dengan tanah, termasuk bangunanbangunan bersejarah seperti balaikota, gereja, rumah sakit, hingga kantor pos. Untuk memulihkan kondisi Le Havre yang rusak berantakan ini, Auguste Perret, seorang arsitek Perancis kelahiran Belgia, mendesain ulang hampir seluruh bagian pusat kota. Rekonstruksi yang berlangsung pada 1949 hingga 1956 ini membuat semua bangunan di kota Le Havre nyaris seragam, berbentuk kotak, simetris dengan konstruksi beton bertulang. Di tahun 2005, UNESCO menetapkan pusat kota Le Havre sebagai bagian dari daftar warisan dunia (World Heritage)

Perhatikan cara bercakap antar tokohnya yang datar, seperti cara bercakap tokoh-tokoh di film Bresson, antara lain Au Hasard Barthazar atau Pickpocket. Salah seorang karakter, Arletty –diperankan oleh Kati Outinen, artis favorit Aki Kaurismaki-- adalah nama artis besar Perancis yang terkenal lewat film Children Of Paradise dan Le Jour Se Léve –keduanya karya Marcel Carné. Arletty –artis Perancis ini-- ditangkap dan dimasukkan ke kamp konsentrasi setelah berakhirnya Perang Dunia ke II, karena kisah cintanya dengan seorang tentara Jerman. Di Perancis, nama Arletty hampir selalu disandingkan dengan status penghianat bangsa. Arletty dalam Le Havre digambarkan sebagai pelarian politik dan terdampar menjadi imigran di Perancis yang kemudian menikah dengan Marcel Marx, tokoh utama di Le Havre.

Kehadiran Jean-Pierre Léaud juga menambah daftar dalam reuni di Le Havre ini. Léaud adalah salah satu aktor, simbol gerakan sinema New Wave di Perancis ketika bermain di film Les quatre cents coups (The 400 blows) karya François Truffaut. Lalu ada Pierre Étaix, aktor sekaligus sutradara Perancis yang sering main di film komedi Perancis. Selain itu, jika diperhatikan lebih teliti, banyak lagi referensi simbol yang digunakan Kaurismaki sebagai penghormatan terhadap sinema Perancis di Le Havre. Persaudaraan Yang Bangkit di Le Havre Alkisah, hiduplah seorang Marcel Marx, –diperankan André Wilms, aktor Perancis yang sudah beberapa kali bekerja sama dengan Kaurismaki-- seorang tukang semir sepatu yang biasa

Namun, Aki Kaurismaki justru menghindar dari area pusat kota ini, dan nyaris tidak menampakkan sedikitpun bagian kota yang menjadi warisan dunia di UNESCO. Dalam Le Havre, Kaurismaki seperti ingin bernostalgia. Ia memilih kawasan di luar pemukiman kotak, di luar blok. Le Havre berlatar belakang daerah pemukiman nelayan disekitar geladak kapal yang masih seperti asalnya. Pemukiman dengan jalanan sempit, berbatu dan becek lengkap dengan rumah-rumah tua yang kecil dan umumnya dihuni para proletar dan imigran miskin. Kawasan miskin ini seperti masih menyisakan kenangan ketika Perancis masih benar-benar tulus mengusung semboyan Liberté, égalité, fraternité. Kemerdekaan, Kesetaraan, dan Persaudaraan. Le Havre tidak hanya menggambarkan nostalgia Kaurismaki terhadap kehidupan bermasyarakat Perancis yang dulunya lekat dengan semboyan negara tersebut. Le Havre juga menjadi semacam reuni dengan sinema Perancis dijaman keemasannya. Film ini lekat dengan gaya penyutradaraan Robert Bresson.

FOVEA#0 2012 111


REVIEW

So, looks like you are reading our magazine ! Isn’t that great ? beroperasi disekitar galangan kapal Le Havre. Marx adalah seorang bohemian, mantan penulis yang memilih untuk hidup tenang bersama istrinya, Arletyy di kota pelabuhan Le Havre. Marx --seperti namanya adalah seorang Marxist-- sehariharinya bergaul dengan orang-orang dari kalangan kelas bawah –pada umumnya imigran-- dan banyak menghabiskan waktu di Café kecil yang juga diperuntukkan bagi kalangan bawah. Suatu hari, hidup Marx yang tenang bersama istri dan kerabatkerabatnya berubah dengan hadirnya Idrissa, imigran gelap asal Afrika yang melarikan diri dari kejaran polisi setelah tertangkap menyelundup disalah satu kontainer yang akan membawa Idrissa dan keluarganya ke London. Keluarga Idrissa tertangkap, namun Idrissa berhasil lari dan berlindung di rumah Marx. Maka, kehidupan pemukiman kumuh di sekitar dermaga Le Havre yang biasanya monoton dan membosankan itupun terusik oleh rasa solidaritas antar sesama manusia. Solidaritas bisa jadi kata yang mulai samar-samar artinya di kehidupan masyarakat Perancis jaman ini. Di Le Havre, solidaritas seperti menemukan nafasnya kembali, ketika komunitas kecil nan

miskin yang biasanya sibuk dengan urusan berjuang hidup masing-masing, tiba-tiba merasa perlu saling membantu untuk menyelamatkan seorang imigran Afrika. Mereka berkonspirasi, tidak hanya untuk mewujudkan impian Idrissa ke London, tapi juga ‘menghadang’ pion-pion otoritas negara yang hendak membersihkan Perancis dari imigranimigran gelap. Rakyat kecil yang biasa diabaikan ini mungkin tidak sanggup melawan system, tapi mereka terbiasa bersiasat untuk bertahan hidup, seperti yang dilakukan di Le Havre. Tahun lalu, banyak yang menganggap Le Havre sebagai kisah utopia tentang Perancis yang peta politiknya dikuasai para politikus sayap kanan sejak puluhan tahun lalu. Dengan politik kanan, rakyat kecil makin tersudut dan nyaris tak punya kekuatan politik. Tapi naiknya François Hollande sebagai Presiden dari Partai Sosialis Perancis bisa jadi pertanda solidaritas menemukan jalannya kembali, seperti di Le Havre. Kalaupun ia hanya sekedar dongeng, Le Havre adalah sebuah dongeng kontemporer tentang nostalgia dan harapan yang tak mustahil.***

Maybe you do also fancy the fine art of writing in your spare time ? Do you happen to have an interesting article about cinema ?

If your article is interesting, accessible, lively, and able to challenge readers with new or interesting angles, why not send it to us?

Indeed, we’re still keen to get new writers for the magazine. Otherwise, if you’re considering submitting a piece of coursework you’ve already written, just give it a nice facelift to turn it into something nice to read. Got the message ? So, here’s the place : foveamzine@gmail.com

112 FOVEA#0 2012


R E V I E W Joven Y Alocada

R E V I E W Joven Y Alocada ditampilkan dalam jarak dekat. Mendadak api membara melalap. Vagina berapi itu muncul berkali-kali, secara singkat sebagai penanda perpindahan “babak” dalam Joven y Alocada (Belia dan Liar). Dan kita bisa menafsirkannya apa saja. Bisa sebagai lambang gairah yang membara, yang membawamu ke puncak kenikmatan syahwat. Bisa juga peringatan tentang gairah yang bisa menjerumuskanmu ke neraka jahanam. Tapi bisa juga, provokasi ini sebagai sebuah protes terhadap kekangan masyarakat atas pantangan pengetahuan tentang seks. Masih ada berbagai pencitraan lain yang menohok, yang provokatif, dalam karya pertama Marialy Rivas ini. Misalnya penis raksasa yang bergerak liar. Yang bahkan bersilangan dengan gambar Yesus Kristus. Provokasi Joven Y Alocada bukan melulu melalui gambar-gambarnya, tapi juga adegan, dan dialog-dialognya. Joven y Alocada diangkat dari kejadian nyata, tentang pemberontakan seksual seorang remaja perempuan dari keluarga Kristen Evangelical yang saleh. Alkisah Daniela, umurnya 17 tahun, hidup di dua dunia. Dalam penampilan ‘publik’, ia adalah seorang yang alim, soleh, baik-baik saja. Maklum, orang tuanya adalah seorang tokoh Gereja Evangelis –sekte Kristen yang juga dikenal sebagai ‘Kristen yang terlahir kembali’, yang peribadatannya seru, dan syiarnya memaksimalkan dunia komunikasi modern seperti televisi.

Pemberontakan Seksual Seorang Evangelis Belia Remaja yang penasaran tehadap hasrat seksualnya adalah hal yang wajar dalam evolusi pertumbuhan manusia. Namun bagaimana jika rasa ingin tahu itu tumbuh dilingkungan yang ketat membendung pengetahuan tentang seks? Blog jadi salah satu alternatif pelampiasan sekaligus pencerahan di Joven Y Alocada. Oleh Ging Ginanjar

M

asa remaja adalah masa yang penuh keraguan dan kebingungan atas diri dan identitas mereka yang sedang berubah secara fisik, mental, dan psikologis. Perubahan besar ini membuat mereka menjadi pribadi yang membingungkan bagi orang tua maupun keluarga mereka. Seorang remaja bisa bertindak emosional, tidak terduga, dan uring-uringan. Selain harus melalui perubahan secara emosional, mereka juga harus melalui perubahan fisik yang tidak bisa dihindari, yaitu perubahan organ seksual mereka. Di masa inilah mereka mulai impulsif terhadap reaksi seksual, dan rasa penasaran yang akut terhadap reaksi ini membuat banyak dari para remaja melakukan eksperimen sendiri terhadap seks.

114 FOVEA#0 2012

Pemimpin agama dan orang tua biasanya menjadi orang-orang yang paling keras berusaha membendung pengetahuan seks anak remaja mereka. Para orang tua –khususnya dari kalangan konservatif-- jarang yang menyadari, bahwa seks menyangkut perubahan organ dalam tubuh remaja dan mereka tidak bisa menghalang-halangi rasa ingin tahu remaja tersebut atas perubahan reaksi tubuh mereka sendiri. Tubuh mereka adalah hak mereka. Tak ada yang bisa menghalangi jika mereka ingin mengenal tubuh mereka sendiri. Bahkan sabda Tuhan pun tak mempan. Hal inilah yang coba diceritakan oleh sutradara asal Chile, Marialy Rivas dalam filmnya Joven Y Alocada (Young and Wild). Adegan-adegan provokatif bermunculan dalam film ini. Seonggok vagina, dalam bentuk gambar yang realistis,

Di sisi lain Daniela adalah gadis pemberontak. Ia dikeluarkan dari sekolahnya karena kepergok tidur dengan seorang lelaki. Orang tuanya sampai mengancam untuk mengirimnya ke pendidikan khusus gereja mereka di luar negeri. Apa yang membangkitkan kemarahan orangtuanya sebetulnya cuma secuil saja dari kebengalan Daniela. Masih seabrek-abrek pemberontakan Daniela, yang kalau saja diketahui, bisa membuat orangtuanya jantungan: yakni revolusi seksual Daniela. Daniela membuat sebuah blog tentang pengalaman seksnya, dengan nama, Joven y Alocada, atau belia dan liar. Blog itu ia perlakukan sebagai catatan harian terbuka. Ia menulis secara rutin tentang sikapnya, pandangannya, perasaannya, dan segala pengalamannya yang berhubungan dengan seksualitasnya sebagai remaja, dan lingkungannya yang begitu mengekang. Blog itu segera menghebohkan Chile, negeri yang masyarakatnya masih kuat dengan tradisi-tradisi keagamaan. Banyak kecaman berdatangan, tetapi juga sambutan hangat. Begitu banyak komentar dari pembaca yang masuk hingga terciptalah interaksi yang sangat intim, serba tak terduga, antara Daniela dengan begitu banyak remaja lain. Tentang seksualitas dan penjelajahannya. Di blog itu Daniela berkisah tentang, misalnya gairahnya terhadap seorang lelaki. Pengalaman seksualnya yang eksploratif dengan lelaki lain. Juga eksperimentasi seksualnya

lebih jauh: dengan seorang perempuan. Daniela menggunggah sebagian besar materi blognya dari tempat kerjanya, yang, mama mia, adalah sebuah lembaga penyiaran syiar Kristen milik bapaknya, yang justru dibangun untuk ‘meluruskan moral’ anak-anak muda. Sekali waktu, ia teledor. Sesudah mengunggah sebuah tulisan ke dalam blognya, ia lupa log-out. Pacarnya jadi tahu bahwa Daniela adalah orang dibalik Joven Y Alocada. Skenario Joven y Alocada sebetulnya sederhana, namun efektif. Bahasanya lugas, menggambarkan secara jitu gariah hormonal anak muda yang nyaris tak terkendali. Namun, film ini juga berhasil menampilkan sisi-sisi remaja yang walaupun liar tapi juga tetap manusiawi. Misalnya hubungan segitiga Daniela dengan orangtuanya yang konservatf, dan bibinya – adik ibunya-- yang liberal, namun sedang menanti ajal karena menderita kanker akut. Penyutradaraan pertama Marialy Rivas ini patut dicatat. Seks, --diluar wilayah film porno-- bagaimanapun adalah tema yang masih kontroversial. Namun Rivas tak tergelincir dalam mewujudkan kisah pemberontakan seksual anak muda yang begitu panas itu dalam bentuk yang sensasional. Kecuali peralihan adegan dengan gambar-gambar provokatif, Rivas cenderung memperlakukan kisah Camila Gutierrez yang menghebohkan Chile itu sebagai drama remaja yang memang harus diceritakan. Di sisi lain, ia juga berhasil menangkap watak blog anak muda yang spontan dan casual, -- sebuah penanda era teknologi informasi jaman ini-- sebagai warna penceritaan film ini. Berperan sebagai remaja pemberontak ini adalah Alicia Rodriguez, yang aslinya adalah Camila Gutierrez. Perempuan itu aktif menulis di blog Joven Y Alocada antara tahun 2005 hingga 2007. “Joven Y Alocada adalah kenyataan hidup saya,” kata Gutierrez yang sebetulnya pendiam itu. Awalnya, Camilla Gutierrez cukup berhasil merahasiakan identitasnya. Sebelumnya, berbagai kutukan, khususnya dari kalangan Gereja Evangelis yang banyak disebut langsung di blognya, hanya tertuju ke blog tersebut dan dan kepada sosok anonim dibelakang layar. Namun sesudah kisahnya difilmkan, identitasnya terungkap. “Gereja Evangelis menyatakan bahwa saya bukan bagian dari mereka. Mereka tidak mengakui saya,” kata Gutierrez. Di film ini, Camila Gutierrez menjadi salah satu dari empat penulis skenario, bersama Rivas sendiri. “Peran Camila sangat penting. Bukan semata karena ini kisahnya pribadi. Namun ia memang berbakat menulis. Keterlibatannya sebagai salah satu penulis skenario, sangat membantu menjaga agar film ini bisa sedekat mungkin dengan kenyataan aslinya, kendati membutuhkan sentuhan-sentuhan dramatis dan filmis,” ungkap sutradara Marialy Rivas. Hasil kerjasama mereka mendapat penghargaan World Cinema Screenwriting Award di Festival Film Sundance awal tahun 2012 lalu. ***

FOVEA#0 2012 115


Alm. H Misbach Jusa Biran

Kursi Kecil dan Pisang Goreng

obituary

Tulisan ini bukan ditulis dari orang yang mengenal langsung seorang H. Misbach Jusa Biran. Tulisan ini juga bukan ditulis oleh orang yang sering menghabiskan waktu bersama beliau. Tulisan ini ditulis oleh saya yang lahir di generasi yang jauh setelah generasinya, tapi merasa begitu dekat hanya karena satu pertemuan singkat dengan beliau. Terima kasih, Pak Misbach! Dan selamat jalan..

Oleh Amalia Sekarjati

P

ak Misbach: “Duduk, duduk, silakan duduk.” Saya kemudian duduk di bangku kecil. Pak Misbach: “Eh, kamu jangan duduk di situ. Kursinya kekecilan. Nanti kursinya rusak.” Itu pengalaman pertama (dan terakhir kalinya) saya bertemu dalam jarak yang dekat dengan H. Misbach Jusa Biran. Waktu itu, 14 Februari 2012. Saya bersama tim dari situs filmindonesia.or.id berkunjung ke rumah Pak Misbach di Sentul untuk mewawancarainya tentang film Lewat Djam Malam, dan juga tentang Usmar Ismail terkait proyek restorasi film tersebut. Kami datang menemui Pak Misbach karena beliau ‘tumbuh’ dan terlibat pada produksi-produksi Perfini bersama Usmar dan mungkin satu-satunya ‘orang Perfini’ yang masih ada. Dengan misi yang saya anggap sangat serius itu, saya sempat kaget dengan cara perkenalan kami yang jauh dari serius. Bagi saya, berkenalan langsung dengan seseorang, apalagi yang sudah senior seperti beliau, biasanya dilakukan dengan berjabat tangan dulu, tukar informasi nama, atau bahkan tukar kartu nama, yang kemudian berlanjut ke tahap menjaga relasi dengan interaksi sehari-hari. Perkenalan saya dengan Pak Misbach tidak mengikuti pola seperti itu. Pada awalnya, saya hanya bisa mengenal dia dari jarak yang jauh karena perbedaan generasi dan juga perbedaan posisi. Maksudnya begini, saya mengenal beliau hanya sebatas beliau sebagai suami dari aktris senior Nani Wijaya, yang jauh lebih dikenal untuk generasi saya. Sebagai suami dari artis terkenal, Pak Misbach saya anggap sebagai ‘orang terkenal’ dan saya sebagai ‘orang biasa’.

Tahap perkenalan dengan Pak Misbach selanjutnya adalah ketika saya bergabung menjadi relawan di kineforum. Melalui ruang pemutaran film tersebut, saya banyak mendengarkan orang bicara tentang Pak Misbach sebagai pendiri Sinematek Indonesia. Saya mencuri dengar dari orang-orang di sekitar saya tentang dedikasi beliau, yang membuat saya makin merasa berjarak, karena Pak Misbach bagaikan suatu konsep besar yang hanya akan bisa saya sanjung dari jauh. Juga pada saat menonton film Misbach: Di Balik Cahaya Gemerlap yang disutradarai Edwin pada April 2007, lima tahun lalu, di kineforum. Saya kemudian melihat Pak Misbach langsung ketika beliau memberi kata sambutan pada acara peluncuran bukunya, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa pada November 2009. (Laporannya bisa dilihat di blog kineforum, berjudul Misbach Jusa Biran dan Sejarah Film Indonesia). Selama itu, saya tidak menyadari bahwa selain sebagai pendiri Sinematek Indonesia dan suami Nani Wijaya , Pak Misbach ternyata juga berkarya sebagai sutradara dan penulis skenario. Saya sendiri baru menonton satu filmnya, Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966), sehari sebelum saya menulis artikel ini. Film ini pernah diputar di kineforum

116 FOVEA#0 2012

pada tahun 2010, tetapi dalam program ‘membaca’ peran Soekarno M. Noor, bukan dalam rangka membaca karyakarya Misbach Jusa Biran. Yang berkesan bagi saya dari film itu hanya dialognya, karena sebagian besar film ini seperti hanya merekam pertunjukan panggung dengan medium film, tidak sebesar konsep yang digambarkan pada sinopsis bahwa film ini menggambarkan suka-duka di balik panggung. Menonton film tersebut juga bisa dibilang bukan ‘menonton’ secara ideal karena materi film yang saya tonton kurang baik. Selain itu, tentu saja, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, buku pertama beliau yang saya punya, mensahihkan Pak Misbach sebagai cendekiawan pengamat, pencatat sejarah perfilman Indonesia, dan pelaku sejarah itu sendiri. Buku tersebut menjadi penting, bukan hanya karena belum ada yang menuliskan buku tentang produksi film pada periode tersebut, tetapi juga karena ia tidak hanya menceritakan ‘what’ tetapi juga ‘why’ dan ‘how’ terhadap suatu peristiwa. Saya sebagai generasi baru jadi punya konteks dalam menempatkan peristiwa-peristiwa tersebut. Buku yang ditulis pak Misbach ini menghapus jarak atas perbedaan konteks, waktu, dan kondisi yang dipaparkan tentang dunia film masa itu dan menjadi jembatan bagi saya sebagai pembaca yang hidup di masa sekarang. Bertemu langsung dari dekat dengan pak Misbach adalah sebuah kesempatan langka yang saya catat dalam memori saya. Pak Misbach tidak pelit bercerita. Beliau menganggap penting cerita-cerita kecil yang melingkupi satu peristiwa besar. Di titik itu, saya merasa bahwa sejarah tidak melulu terjadi pada orang-orang besar, pada peristiwa-peristiwa besar, dan dalam satu momen besar tertentu. Sejarah bisa juga muncul lewat peristiwa-peristiwa kecil dan momen sederhana yang berkesan. Misalnya, saat bertemu beliau di kediamannya, Pak Misbach tidak hanya menceritakan fakta bahwa Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail pergi menghadiri konferensi produser se-Asia, tetapi ia juga bercerita bahwa ketika di sana Djamaluddin mendapat kesempatan pidato, ia berpidato menggunakan bahasa Padang dengan alasan ingin menggunakan bahasanya sendiri saja. Pak Misbach juga bercerita tentang aturan pembagian penggunaan transportasi ketika produksi film Usmar Ismail berlangusng. Mobil milik Usmar untuk Usmar dan para pemain perempuan, pick up untuk para pemain laki-laki, dan truk untuk para kru. Bisa jadi Pak Misbach sadar betul bahwa orang-orang Indonesia lebih banyak menganggap sejarah sebagai kenangkenangan seperti yang sempat ia utarakan pada pertemuan kami. “Buat orang-orang komunis, sejarah adalah ilmu. Mereka belajar dari sejarah. Kalau buat kita, sejarah adalah kenang-kenangan,” katanya. Mungkin, buku memoar Kenang-Kenangan Orang Bandel (2008) yang menjadi salah satu akses untuk mengenal diri Pak Misbach lebih

dalam dan lebih dekat, dimaksudkan bukan untuk sekedar kenang-kenangan, tapi untuk materi belajar bagi generasi selanjutnya agar lebih mudah dibaca. Namun, satu hal yang membuat Pak Misbach menjadi istimewa di mata saya, beliau tampil dan bercerita apa adanya, tanpa bermaksud menjadikan dirinya penting dalam konteks sejarah. Selain melalui karya-karyanya, saya pikir saya bisa memahami semangat, dedikasi, dan kepedulian Pak Misbach melalui Sinematek Indonesia, ‘anak’ yang lahir pada 20 Oktober 1975 dari sebuah kerja keras dan pemikiran tentang pentingnya dokumentasi. Bagi saya, Sinematek Indonesia merupakan wujud dedikasi beliau yang paling besar dan paling penting, tanpa mengecilkan peran-perannya yang lain, baik sebagai upaya pengarsipan bentuk film secara fisik, maupun pengarsipan ide, gagasan, dan wacana melalui film. Saya tidak sanggup membayangkan jika Sinematek tidak ada setelah saya lahir. Saya menganggap eksistensi Pak Misbach dan Sinematek Indonesia punya ‘takdir’ peran yang sama: meminimalisir kesenjangan zaman dengan mengumpulkan kepingan-kepingan peristiwa masa lalu yang menjadi bekal untuk menjalani masa depan. Pak Misbach menyimpan itu di ingatannya, yang untungnya sebagian sudah ia bagi melalui buku yang ia tulis, sementara Sinematek menyimpan sejarah itu di gedungnya. Cerita-cerita tentang kerja keras dan ketekunan beliau mengumpulkan dokumentasi sampai akhirnya melahirkan Sinematek Indonesia harusnya membuat saya mendapatkan gambaran akan semangat dan kepeduliannya. Bagaimanapun juga, membangun institusi arsip perfilman Indonesia adalah cita-cita besar dan bukan perkara mudah untuk mewujudkannya. Namun, kisah-kisah ‘prihatin’ kondisi Sinematek saat ini seperti bertentangan dengan gambaran tentang Pak Misbach yang seharusnya saya dapatkan. Apalagi yang saya rasakan ketika berada di sana adalah suasana prihatin, murung, dan sepi. Perasaan itu kemudian membuat saya berpikir bahwa Sinematek Indonesia seperti anak yang dirawat sedemikian penuh perhatian oleh Pak Misbach, orangtuanya, kemudian dipisahkan oleh keadaan yang entah apa, sampai pada akhirnya mereka seperti mengalami nasib yang sama walau tidak berada di ‘ruang’ yang sama lagi. Pak Misbach mengundurkan diri menjadi Direktur Sinematek Indonesia pada tahun 2001. Saya pun membuat kesimpulan seperti ini: Saya bisa mengenal Pak Misbach yang ‘dulu’ lewat bukubuku yang ia tulis, lewat cerita-ceritanya, tetapi saya seolaholah bisa mendapatkan gambaran tentang dirinya ‘kini’ lewat keadaan Sinematek Indonesia.

obituary Bedanya, Pak Misbach punya nafas terbatas yang sewaktuwaktu dapat berhenti berhembus di luar kuasa siapapun. Sedangkan Sinematek Indonesia, masih punya ‘nafas’ yang walau kini terengah-engah dan hampir sekarat, tetapi siapapun bisa menentukan apakah ingin menyediakan oksigen agar nafas itu kembali normal atau membiarkan nafasnya habis karena ketidakpedulian. Setidaknya, Sinematek masih bisa diselamatkan. Kesempatan duduk di teras rumah Pak Misbach, mendengarkan ia bercerita dengan gaya dan caranya yang menarik dalam memilih informasi yang ia ceritakan, diiringi hujan, ditemani teh dan pisang goreng, diselipi candaan ringan, sungguh merupakan satu jam sekian menit yang berharga buat saya. Berbincang dengan beliau seperti tidak akan pernah ada habisnya. Saking senangnya Pak Misbach bercerita, seringkali ceritanya terpaksa harus kami potong agar sesuai jalur wawancara kami. Tapi selama menit-menit itu, tidak ada jarak generasi apalagi posisi karena ia terbuka dan selalu bisa mencairkan suasana setiap saya menunjukkan keseganan. Saya masih ingat bagaimana beliau meledek saya yang berbadan besar ketika ia menyuguhkan pisang goreng. “Silakan dimakan, ya. Kalau kamu jangan makan banyak-banyak. Satu, aja. Dua boleh deh, dua.”, katanya, entah serius atau tidak , ketika melihat saya yang memang terkesima dan tergiur melihat setumpuk pisang goreng yang disajikan. Sebelum kami berpamitan, kami mengundang beliau untuk hadir dan memberi sambutan pada acara pemutaran film Lewat Djam Malam yang sudah direstorasi nanti. Ia bilang, kalau diundang ia bersedia hadir tetapi enggan untuk memberi sambutan. “Kalau mengutip kata-kata saya, kutip saja. Namun, kalau saya yang bicara, nanti yang muda-muda heran, siapa ini orang tua yang ngomong di depan?” ujarnya kurang lebih seperti itu. Sayangnya, Pak Misbach memang sudah tidak bisa hadir secara fisik pada acara pemutaran film Lewat Djam Malam nanti. Beliau wafat pada 11 April 2012 lalu. Selamat jalan Pak Misbach, semoga generasi kami bisa meneruskan semangat, kepedulian, dan perjuanganmu. -Hasil wawancara dengan H. Misbach Jusa Biran bisa dilihat pada situs www.filmindonesia.or.id, rubrik Wawancara, dengan judul ‘Misbach Jusa Biran: Sejarah adalah Ilmu’.

Keduanya kini yang sama-sama terasa jauh dari jangkauan dan seolah tak berdaya. Pak Misbach tinggal di daerah Sentul, di lokasi cluster perumahan yang hampir ujung, jauh dari keramaian dan akses yang gampang-gampang susah untuk mencapainya. Begitu juga Sinematek yang seperti jauh dari kepedulian banyak orang dan seolah olah dilupakan bahwa ia pernah dan masih menjadi satu hal penting untuk dipertahankan. Keduanya bagaikan harta karun berharga yang tersembunyi di suatu tempat. “Sinematek juga tidak jelas masa depannya,” ujarnya sempat bercerita tentang salah satu ‘anak’nya. Ia berharap agar ada ahli yang bisa didatangkan untuk mengajar para pekerja di Sinematek sehingga bisa mengurus lembaga itu lebih profesional. Bagi saya, itu sebuah momen yang menyiratkan optimisme dan pesimisme sekaligus. Optimis karena ada solusi yang bisa dilakukan, pesimis karena khawatir solusi tersebut hanya akan menjadi harapan semata.

FOVEA#0 2012 117


t

r

a

c

k

i

n

g

the

s o und

t

r

a

c

k

i

n

g

the

s o und

adventures later on.

On David Julyan’s work:

Initiation Into The Implausible puzzled as Angier, who will spend – and ruin - the rest of his life chasing for explications.

Radical dualism David Julyan’s soundtrack to Christopher Nolan’s Following was realised with a zero-budget. And yet, it is anything but a mere prelude to its breakthrough successor Memento. Within the borders of the score, delineated by a brooding blend of cool, industrially-tinged electronica and enigmatic string cycles, it already contains the entire emotional space that would come to define his congenial partnership with Nolan – as well as the reasons for its eventual breakup. By Tobias Fischer

M

any film composers tend to see their trade as a compromise between an autonomous career as a “serious artist” and the profanity of making ends meet. David Julyan, on the other hand, has never found it hard to put his talent entirely at the service of directors. Although his scores have rarely been appreciated as accomplished musical works in their own right, Julyan, even after fifteen years in the business, still seems to be living his dream. His approach has always been to regard cinema as a contemporary form of opera, as a multimedial blend of words, images and music. In accordance with this philosophy, visual cues and sounds are naturally becoming so closely conflated that they can no longer be separated from each other without loosing their meaning: One of the most effective uses of music in 2006’s The Prestige occurs when magician Robert Angier (Hugh Jackman) visits a performance of his eternal rival Alfred Borden (Christian Bale) in front of a tiny, unappreciative audience and is unexpectedly confronted with what he considers the “greatest trick he’s ever seen”. During the entire preparatory stages of “The Disappearing Man” - a full one and a half minutes filled with trivial action, including Borden having an audience member inspect a rubber ball and demonstrating the set-up - a darkly glistening orchestral drone is gradually building from all but complete silence into a wall of sound brimming with inner tension and suspense, a dramatugical cliché seemingly leading up to a powerful erruption. And yet, when the prestige actually occurs, the camera turns away from the stage and the music is abruptly cut off, leaving nothing but an unresolved echo and a feeling of frozen expectation. Despite its anti-climactical resolution, it is one of the most striking scenes of the entire movie, still, it hardly even registers on the soundtrack album, which, to Julyan, was one of the few instances where he consciously re-organised his music to work as a stand-alone composition. The disparity is a mystery that leaves the listener as

118 FOVEA#0 2012

The Prestige is generally regarded as a turning point in Julyan’s career, as it equally marked his biggest assignment, his final collaboration with Christopher Nolan as well his possibly most heavily criticised soundtrack, considered by many as merely functional, stale and predictable. In reality, of course, not all that much has changed since his first offical contributions for Nolan’s short Doodlebug and the subsequent almost-feature-length Following. The latter in particular proved to be a showcase for the expressive repertoire and timbral palette which he would come to hone and refine over the next one and a half decades and which expressed itself in a radically dualistic style juxtaposing pensive, slow-motion strings arrangements on the one hand and a fusion of dark, experimental sound art and mysterious ambient soundscapes on the other - an enigmatic and reclusive music inspired equally by producers like Aphex Twin and Vangelis’s Blade Runner soundtrack. Much has been made of the fact that Following was realised over a one-year period of on- and off-shooting in London, with no one on the cast receiving any kind of financial renumeration and the score written on a primitive setup at Julyan’s home studio – the quip goes that the only thing paid on the music score was the blank DAT tape on which to record it. And yet, unlike the heavily debated acting by main characters Jeremy Theobald, Lucy Russell and Alex Haw – whose careers never profited from the movie’s artistic triumph to the extent that Nolan’s and Julyan’s did - the score never once actually reveals its limitations. On the contrary: By infusing contemporary elements from the realms of electronica, ambient and dub with a sense of radical minimalism, it would turn out to be as important to the movie’s aesthetics as Nolan’s camera work.

Slow-downs and hallucinations In fact, as as a short stretched to 70-minute proportions, Following would simply not have worked without its soundtrack. Contrary to a classic soundtrack, the music foremost functions as a structuring device, keeping the slender narrative from ripping apart at the seams. Unlike its successor Memento, Following, shot entirely in grainy, retro-style black and making use of a modular rather than linear chronology, offers few readily identifiable markers. Rather than using the music to speed up the development or to magnify the emotional impact of a scene, Julyan is foremost using it to slow the action down, to award it a breathing space the breathless storyline can’t provide. Rather than

supporting the images, he is questioning and confusing them, adding a hallucinatory quality to what outwardly appear to be quite unspectacular events. In doing so, he is actively shaping the unfolding of the movie. It has rightly been remarked that the denoument of Following is, strictly speaking, fairly improbable, an exceedingly complicated construction wrapped up in excuisitely elegant images. And yet, the music marks the entire movie as a fantasy anyway, located in the same sphere between reality and dream as later works like Memento and, of course, Inception. While Nolan is gradually tightening the noose of motives around the spectator’s head, Julyan is initiating him into a world where implausibility follows a logic of its own: After fifteen minutes, the hero (simply called “The Young Man” in the credits) is walking down a narrow staircase and enters a basement bar, where he will meet and chat up a blond girl he’s followed and fallen in love with.

By suiting his sounds to the movie, his own profile never rose beyond it - it seems entirely apt in this context that Nolan’s audio commentary for Following should only mention the music and its composer on three all but neglible occasions and one of them involves the director pointing out the composer as an extra in the background. Others may have taken this as a sign of disrespect, but he will probably have seen a confirmation of great trust in his abilities and of a mutual understanding about the fundamentals of cinema, as part of which there is no separation of a movie into its constituent parts, no image, sound, lighting or special effect outside the parameters defined by the camera lense. And so fans on forums may debate whether or not he was disappointed by being replaced by Hans Zimmer for Batman Begin and Inception, but is not a question someone like Julyan would ask himself. Forever putting himself at the service of the director, that was simply never a decision for him as a film composer to make. http://www.davidjulyan.com/

It is the emotional centerpiece of the work, the kind of key moment all of Julyan’s scores revolve around. For the first time, the music switches from industrially-tinged, propulsive rhythms to ethereal strings, suggesting that, as already announced in the very first minute of the movie, “things are going wrong”. As the camera descends into a world of cool eroticism and forbidden pleasures, so does the music, describing a falling line dropping from ethereal heights to mysterious mid-range sonorities. When it finally touches bottom, things are no longer in the young man’s control.

Absence and presence At the time of its release, German newspaper taz commented on Following that it had the air of a great boxer – not an ounce too much fat and with a hard and precise punch. The music follows a similar approach, feeding as much from its absence as its presence. There is a rhythm between gripping compositions and silence, which continually has the audience oscillating between almost antiseptically delivered dialogues and moments of mystery and magic. It is telling that Julyan is not just credited with the score here, but also with the movie’s sound, as environmental noises and the overall sonic design complement each other in a completely organic way. When the music does come in, it is marked by the composer’s recognisably naked arrangements, with barely more than four tracks running at the same time. Rather than many of his colleagues, which like to envision themselves as conductors in front of a symphonic orchestra, Julyan favours chambermusical settings. In his oeuvre, if cinema is indeed larger than life, then only to contrast it with the inner insecurities, fears and smallness of the protagonists populating it. In the worlds of Christopher Nolan, lies and deceit are preventing protagonists from living their life in freedom. In the music of David Julyan, they are all that is left to save themselves from going insane. Julyan once noted that he loved subtlety in music. The smallnes of his score to Following was indeed what made it work, but it may also have been what excluded him from joining Nolan on his epic Hollywood

FOVEA#0 2012 119


photo essay

GHOST of A CINEMA from Niagara Theatre

T

here were just the letters I and A and R there, hanging on the façade which was barely recognizable. The only thing that interested me to stop and to have a look was the word ‘Theatre’, next to the I and A and R. So it used to be a theatre, a little-2 rooms-cinema in Ciputat, a sub district in Tangerang, the west part of Jakarta. When I saw this ruin with its pathetic condition, rusty, old, almost collapsed, I thought, what a waste. It used to be named Niagara Theatre. Based on an old poster that is still attached to one of the windows, the last film screened there was Bourne Identity, around 2002. A guy called Uta, told me that after closing its door as a theatre, the owner transformed it into a food court, but it still didn’t bring any profit. In the end, he was forced to sell the building due to bankruptcy. Until today –at least until someone buys it-, the remains of the theatre building and its contents are still stored inside with no less tragic condition than the building itself. Film copies are left abandoned, dusty, and the story inside the film may soon fade. “This building is full of ghosts,” said Uta, the key holder of Niagara Theatre. I bet it is.

Arie Asona, March 2012

FOVEA#0 2012 121


photo essay

122 FOVEA#0 2012

photo essay

FOVEA#0 2012 123


photo essay

124 FOVEA#0 2012

photo essay

FOVEA#0 2012 125


photo essay

126 FOVEA#0 2012

photo essay

FOVEA#0 2012 127


photographic essay

for rent


SHORT SHARP SHOCK

Film Pendek, Kenapa Tidak? Kenapa film pendek? Kenapa tidak? Pada awal kelahiran medium ini, panjang atau pendek tak jadi soal, karena yang ada hanya film yang durasinya pendek. Baru pada saat pertunjukan film jadi mapan, berubah menjadi tontonan terpisah dari tari dan music (yang biasanya disebut vaudeville) maka durasi jadi soal. Namun dalam hal lain, film pendek tetap punya makna penting. Tulisan ini adalah tentang hal itu, baik dalam soal teks maupun dalam konteks.

SHORT SHARP SHOCK

Oleh Eric Sasono*

M

akna penting film pendek: beberapa film pendek punya masa hidup yang panjang, bahkan amat panjang, lantaran punya terobosan artistik yang istimewa, bahkan bisa dibilang menjadi film-film yang membawa gagasan estetik penting. Misalnya tentu film karya Luis Bunuel dan Salvador Dali, Un Chien Andalou atau Anjing Andalusia. Adegan mengiris pupil mata di film tentu sudah menjadi referensi bagi banyak pembuat film lain, lihat misalnya pengirisan kelopak mata di Babibuta Yang Ingin Terbang karya Edwin atau found footage operasi mata di sebuah film pendek karya sutradara Filipina, Christopher Gozum.

berdurasi 14 menit karya sutradara dan artis Austria, Virgil Widrich. Film ini merupakan film Austria yang paling banyak diputar di festival, yaitu 313 festival dan mendapatkan 36 penghargaan! Film ini sendiri berisi montase yang amat-amat pendek dari potongan film-film klasik (nyaris semuanya hitam putih) Hollywood yang ditempelkan ke adegan kejarkejaran (chase), baik kejar-kejaran mobil ataupun pesawat. Inilah film pendek yang paling efektif dan kuat melakukan kritik terhadap tokoh-tokoh dalam film Hollywood yang tak berkarakter (bisa digantikan oleh siapa saja) dan hanya berintikan kejar-kejaran yang dikembangkan sedemikian rupa.

Un Chien Andalou dianggap mengawali, bukan hanya filmfilm beraliran surealis, tetapi juga menjadi bagian penting dari gerakan seni surealis. Di film berdurasi 16 menit ini, Salvador Dali (dalam bidang seni lukis) dan Luis Bunuel (dalam bidang sinema) dianggap menjadi tokoh-tokoh pentingnya, sekalipun keduanya kemudian bertengkar hebat sesudah film ini dan tak pernah lagi bekerja sama. Namun berangkat dari film Anjing Andalusia ini, Bunuel terus membuat film yang mewujudkan gagasan seni surealisme dalam layar perak.

Saya menyebut judul-judul dan nama-nama itu dengan harapan Anda sudah menonton, atau setidaknya berkesempatan untuk mencari dan menonton film-film itu. Menonton filmfilm yang saya sebutkan itu adalah pengalaman sinematik yang tak terhingga, apalagi kalau Anda sudah jenuh pada film yang mengandalkan sensasi efek khusus untuk mengubah mobil menjadi robot yang gemar perang.

Dari sini juga Bunuel dianggap sebagai salah satu seniman pada bidang sinema yang paling penting, dalam arti mampu mengangkat film sebagai karya seni yang sejajar dengan karya seni tinggi semisal seni rupa dan lain-lain karena kekayaan gagasannya, baik dalam kekayaan pandangan filosofisnya maupun kekayaan kosa gambar yang dibuatnya. Semua berangkat dari mata yang diiris itu. Bahkan, kalau mau iseng, lihat bagaimana gambar close up mata menjadi salah satu ikon paling penting dalam sinema dan dipakai dalam berbagai poster film. Saya juga akan menyebut beberapa judul lagi. Pertama adalah Flight of The Red Balloon, sebuah film karya Albert Lamorisse yang dibuat pada tahun 1956. Film berdurasi 35 menit itu bercerita tentang seorang anak kecil dan balon warna merah yang “mendatanginya”. Sekalipun film itu adalah film pendek dan tanpa dialog, film ini mendapatkan Piala Oscar di tahun 1956 untuk skenario asli terbaik! Inilah film pendek satu-satunya yang pernah mendapatkan hadiah pada kategori itu. Ffilm ini dijadikan acuan oleh Hsou Hsiao Hsien tahun 2007 untuk filmnya yang berjudul sama. Sutradara Serbia, Emir Kusturica juga memberi salam takzim untuk film ini pada karyanya di Amerika: Arizona Dream. Film pendek selanjutnya yang saya ingin sebutkan adalah La jetée (1962). Film pendek karya Chris Marker ini merupakan montase foto (bukan gambar bergerak) tentang seorang anak yang melihat dirinya ketika dewasa di sebuah bandar udara. Film ini kemudian dijadikan inspirasi pembuatan film Twelve Monkeys (1996) yang dibintangi oleh Brad Pitt dan Bruce Willis. Kehebatan La jetée bagi saya adalah kemampuannya bercerita dengan amat kompleks dalam waktu singkat dan cara sederhana. Terakhir, saya akan menyebut Fast Film (2003), sebuah film

130 FOVEA#0 2012

Format pendek memang kerap dianggap identik dengan kebebasan berkreasi. Frasa terakhir ini kerap artinya adalah: boleh bikin apa saja. Kita ke Indonesia, tapi saya tak ingin membahas film pendek dari soal estetika mereka. Saya ingin bicara dulu soal film pendek sebagai sebuah medium, sebagai institusi. Film pendek di Indonesia pernah jadi primadona: artinya yang paling dipuja di panggung utama. Hal ini disebabkan panggung sedang sepi dan sulit mencari pemain yang mau tampil. Ini adalah perumpamaan akhir dekade 1990-an, sesudah perubahan politik besar-besaran dan rakyat negeri ini berkeras meminta agar presiden diganti. Krisis ekonomi mendahului transisi itu, dan imbasnya bukan hanya krisis politik tapi juga krisis film. Dunia film Indonesia sudah agak merana sejak awal dekade 1990-an karena arena panggung sedang berubah. Kepemilikan bioskop sedang dikumpulkan di satu tangan, bioskop yang berdiri sendiri pada mati. Hiburan menggila dengan didirikannya TV swasta, dan penemuan VCD, cakram rekam untuk merekam film dan dijual (di kios-kios bajakan pelanggar hukum) dengan harga amat murah. Satu film (dua keping VCD) harganya 5000 rupiah, atau bahkan bisa 2.500 kalau beli dalam jumlah banyak di agen. Intinya: film Indonesia sudah merana, sebelum krisis finansial membuat biaya produksi melonjak tak keruan. Kita ingat angka dolar yang melompat telah membuat bahan baku jadi amat sangat mahal. Kalau sebelum itu para produser itu punya stock film dalam kaleng di bawah meja mereka (sering ini artinya harfiah), maka sesudah itu, mereka tak lagi punya. Harga bahan baku film dan alat-alat untuk bikin film melonjak seiring lonjakan dolar. Maka jika sebelumnya film Indonesia sudah sulit dapat tempat di bioskop dan keok oleh hiburan lain, maka tahun 1998 adalah puncak pukulan besar. Pada tahun itu, produksi film Indonesia

hanya 5, dari sebelumnya yang bisa sampai 200-an dalam setahun. Para pekerja film lalu beralih menjadi pekerja TV, membuat sinetron. Tapi film yang dipertunjukan di bioskop tentu masih digandrungi, dan anak-anak Indonesia masih ingin membuatnya. Apa daya: harga-harga mahal, sekalipun sesudah 1998 ijin bikin film tak sesulit sebelumnya. Lalu pemecahannya adalah: video dan durasi pendek. Teknologi video, apalagi video digital, telah membuat biaya jadi murah lagi. Dengan durasi pendek, semua jadi bisa bikin film! Bikin film jadi gampang. Dan kalimat terakhir itu adalah salah satu mantra paling ampuh di akhir 1990-an hingga awal dekade 2000-an. Penjelasan konteks yang agak panjang ini adalah untuk menjelaskan bahwa film pendek pernah jadi semacam katarsis, sebuah jalan keluar dari kebuntuan. Coba lihat Kuldesak. Omnibus 4 film pendek karya 4 sutradara itu adalah sebuah katarsis, persis seperti yang dikatakan oleh tokoh yang diperankan oleh Wong Aksan dalam film itu, “Kalau nggak bikin film, gue bisa mati!”. Dalam film yang disutradarai oleh Mira Lesmana itu (satu-satunya film Mira yang ia sutradarai sendiri dan beredar di bioskop), si tokoh adalah penjaga rental video (acuan ke Quentin Tarantino?) dan ngotot bahwa bikin film adalah hal yang menyelamatkan keberadaannya di muka bumi. Katarsis ini menarik sekali, karena pada masa sebelumnya, para produser film dan sutradara bikin film untuk cari nafkah. Mereka akan mati beneran kalau tidak bikin film karena tidak dapat nafkah. Pada masa Kuldesak, hal itu berganti: bikin film adalah urusan eksistensi dan bukan urusan nafkah. Tentu ada hal lebih panjang yang bisa dibahas dari sana, tapi kita bicarakan dulu soal film pendek, bagaimana etos “kalau nggak bisa bikin film, bisa mati” itu kemudian menjadi semacam bagian dari pubertas remaja awal dekade 2000-an. Jangan-jangan pada masa itu menenteng-nenteng kamera video telah mengiringi (atau jangan-jangan telah menggantikan) kebiasaan gitaran di sekolah-sekolah. (Catatan: lihat bagaimana film Catatan Akhir Sekolah karya Hanung Bramantyo --serta penulis Salman Aristo dan Hendrawan Wahyudianto-- mencatat hal ini dengan jenius!). Maka menjamurlah pembuatan film pendek. Di Jakarta, sempat ada lembaga-lembaga yang berkembang dan mengembangkan urusan bikin film pendek ini, mulai dari Popcorner yang digawangi oleh Eko Harsoselanto, Ismet Fahmi dan kawan-kawan, sampai Yayasan Konfiden (Alex Sihar, Lintang Gitomartoyo, Agus Mediarta dan kawan-kawan) atau Boemboe Forum (Lulu Ratna, Amin Shabana dan Ray Nayoan). Mereka tentu bukan yang pertama dalam memperhatikan film pendek karena pada dekade 1970-an sudah ada Forum Film Pendek yang dipelopori dan dijalankan oleh Gotot Pra-

kosa, pengajar di IKJ dan pelopor dalam pembuatan film eksperimental di Indonesia. Pada masa Gotot itu, film berdurasi pendek sungguh-sungguh menjadi wadah bagi pembuatan film eksperimental dalam arti sesungguhnya. Film pendek sempat dikompetisikan di Festival Film Indonesia dengan sebutan film ini, dan dalam komentarnya tentang ajang itu, kritikus JB Kristanto memberi catatan khusus bagi karya eksperimental yang bahkan sudah mencapai tingkatan “memutar proyektor tanpa disertai dengan film”. Ketika itu pendek artinya –itu tadi—bisa bikin apa saja. Dari uraian saya ini, bisa dilihat bahwa film pendek yang riuh rendah dirayakan pada awal dekade 2000-an itu lebih mirip dengan pengganti bagi ketiadaan film panjang di bioskop, setidaknya dari soal kesempatan untuk membuat film. Sekalipun di mata pembuatnya film pendek adalah iseng-iseng atau setingkat di atas itu (atau serius sekali sebagai bahan ujian sekolah), tetapi pada waktu itu film pendek menempati tempat utama bagi banyak orang. Semangat ini bisa jadi sudah berubah. Film pendek kini tidak lagi dipandang secara romantis sebagai sebuah usaha katarsis atau sebuah upaya “gerilya” demi bisa memajukan media ini. Film pendek kini berubah menjadi sebuah ajang latihan yang serius bagi para pembuat film. Banyak para pembuat film yang memberlakukan film pendek sebagai ajang latihan sebelum benar-benar masuk ke industri yang menuntut ketrampilan tinggi ini. Production value dan anggaran film pendek juga sudah mencapai angka yang besar, yang tak terbayangkan sama sekali oleh para pelakunya di awal dekade 2000-an. Apalagi belakangan model omnibus film pendek banyak sekali dirilis secara komersial. Model ini bisa jadi sebuah bentuk antara, dimana bagi produser, omnibus merupakan upaya kerja kolektif, bantingan, sehingga bisa menyiasati soal anggaran terbatas; sementara di sisi pembuat, karya model ini bisa jadi sebuah bentuk antara sebelum mereka mampu membuat karya panjang (baik dari sisi anggaran maupun dari sisi kreatif). Dalam konteks kelembagaan film pendek seperti ini, menarik sekali membicarakan film pendek sebagai teks, sebagaimana saya membahas film-film yang saya sebutkan di bagian awal tulisan ini. Blog saya (gemarnonton.wordpress. com) sudah mulai membahas film-film pendek sekalipun belum memuaskan. Mudah-mudahan penerbitan ini bersedia mendedikasikan terus halaman mereka untuk memberi ruang bagi karya seni yang banyak dilupakan orang ini. @gemarnonton, adalah seorang pecinta film dan kritikus yang sesekali bepergian untuk menjadi juri di berbagai festival film.

FOVEA#0 2012 131


(documentary)

(documentary)

Wawancara Ucu Agustin

Menurut pesan yang saya terima, Ucu Agustin ingin bertemu di sebuah café bernama Newseum di daerah Juanda, Jakarta Pusat. Katanya, sore itu ada sebuah diskusi oleh sebuah kelompok yang menayangkan salah satu filmnya, FPI Menyerang Q! Film Festival. Karena tidak familiar dengan café maupun wilayah Juanda, saya sempat berpikir kalau tempat tersebut adalah museum berita atau museum pers yang membuat saya tersesat ke museum Fotografi Antara di Pasar Baru. Setelah bertanya kiri kanan akhirnya saya menemukan Newseum yang terletak di lantai 2 deretan restoran berarsitektur Belanda di daerah Juanda dimana restoran es krim homemade Ragusa berada. Sesampainya ke tempat yang dijanjikan, Ucu sedang berbincang dengan teman-temannya, termasuk Lucky Kuswandi –sutradara yang baru saja menyelesaikan film panjangnya yang pertama, Madame X--. Mengenakan T-shirt merah dan syal hitam yang akhirnya dilepas, Ucu langsung menyapa dengan hangat. Setelah mematikan rokoknya, perbincangan dengan perempuan ramah ini berlangsung lancar, sesekali ia menyisir rambut lurusnya yang jatuh berpotongan asimetrisnya ke belakang dengan jari. Ucu bercerita tentang banyak hal, mulai dari pilihannya untuk membuat film dokumenter hingga dampaknya terhadap diri sendiri.

Wawancara Ucu Agustin

Berawal Dari Astrada : “Asal Terang Gambar Ada” Oleh Irawaty Wardany

K

ritikus senior JB Kristanto pernah bilang, lepas dari jumlahnya yang tidak banyak, film dokumenter itu selalu ada, dari dulu. Film dokumenter yang dimaksud disini adalah dokumenter yang diposisikan sama dengan film cerita, tanpa bermaksud mengesampingkan arti penting dokumenter jurnalistik yang diproduksi untuk kepentingan tayangan di stasiun-stasiun televisi. Masalah paling umum bagi sutradara film dokumenter, menurut Kristanto adalah dana. “Bikin dokumenter, duitnya dari mana? Selain itu, juga tidak diputar di bioskop-bioskop komersial.” Dan ini, menurutnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. “Kan cuma Michael Moore aja yg film dokumenternya bisa tembus ke sana kemari. Lainnya mana?. Paling masuk TV, festival atau kalau beruntung, dalam bentuk DVD.” Di dunia internasional, membuat film dokumenter dianggap sebagai bagian dari kreatifitas seni dan hasilnya dianggap sama dengan film-film fiksi lainnya dan bisa dinikmati juga sejajar dengan film-film komersial. Dokumenter menjadi tontonan alternatif jika bosan denga film-film komersial. Dunia mengenal Hubert Sauper dengan Darwin’s Nightmare yang kualitasnya sama dengan filmThe Constant Gardener, film fiksi panjang karya Fernando Meirelles. Keduanya sama-sama mengangkat kisah tentang bisnis besar di daerah miskin yang akhirnya mengorbankan rakyat kecil. Bedanya, The Constant Gardener adalah film cerita dengan bumbu kisah cinta sementara Darwin’s Nightmare adalah film dokumenter tanpa kisah cinta. Selain itu, seperti mengamini kata JB Kristanto, Darwin’s Nightmare hanya

132 FOVEA#0 2012

bisa ditonton di festival dan kemudian DVD. Tapi tidak ada yang bisa menyangkal kekuatan cerita dari kedua film tersebut. Tapi di Indonesia, posisi film dokumenter memang tidak mudah. Dalam sebuah diskusi tentang film dokumenter, Hafiz, pendiri komunitas film Forum Lenteng mengatakan bahwa dokumenter yang dihasilkan oleh para sutradara di Indonesia kebanyakan melupakan bahasa sinema, dan seolah-oleh hanya menjadi proyek jurnalis. Padahal, dokumenter juga adalah storytelling, medium bercerita. Menurut Hafiz, seharusnya dokumenter kembali pada titah sinema. “Walaupun dokumenter berasal dari konstruksi sosial yang faktual, namun seharusnya dokumenter membangun kenyataan pada ruang-ruang yang berbeda,” kata Hafiz seperti yang dikutip dari situs komunitasfilm.org. Jalan untuk ‘mengarahkan’ film dokumenter Indonesia kembali pada titah sinema ini mulai dirintis dengan hadirnya berbagai kompetisi dan festival film yang mulai memasukkan dokumenter sebagai kategori yang patut mendapatkan penghargaan. Dari kompetisi di festival-festival film ini juga mulai lahir generasi-generasi muda pembuat film dokumenter. Salah satunya Ucu Agustin. Perempuan yang lahir di Sukabumi pada 19 Agustus 1976 ini adalah satu dari sedikit pembuat film dokumenter di Indonesia. Film-film dokumenternya beragam mulai dari dokumenter tentang hari-hari terakhir Pramoedya Ananta Toer hingga dokumenter yang mengkritisi soal keadilan, jaminan kesehatan, dan isu-isu gender. Selain itu, Ucu juga aktif menulis cerpen dan menulis buku untuk anak-anak.

Berikut petikan wawancara Irawaty Wardany dengan Ucu Agustin: Bisa ceritakan bagaimana awalnya anda membuat film dokumenter? Ceritanya panjang. Sejak mahasiswa saya sudah hobi menulis. Kuliahnya Institut Agama Islam Negeri jurusan Akidah Filsafat (teologi filsafat). Gak nyambung banget kan? Hahahaha. Saya mulai menulis sejak semester 6, tapi fokusnya ke artikel perempuan dan cerita pendek. Ketika sudah lulus itu jadi semacam portofolio. Begitu lulus, saya langsung jadi kontributor untuk majalah Pantau. Tidak beberapa lama kemudian saya pindah ke kantor berita 68H. Media yang betul-betul berbeda. Dari biasanya saya menulis hingga berpuluh ribu kata, ke media yang cuma sekilas dengar, yaitu radio yang teksnya sangat pendek. Hanya memberitakan topik utama, diberi insert kemudian di belakang diberi keterangan yang lebih global, selesai. Sambil bekerja untuk kantor berita 68H, saya juga masih menulis cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media lokal, seperti Republika, Jawa Pos, Media Indonesia, dan lain-lain. Lalu tahun 2005, saya bekerja untuk Common Ground Indonesia dimana saya diberi kesempatan untuk menulis drama radio berjudul Menteng Pangkalan tentang transformasi konflik. Saat itu, saya mulai berpikir ada hal-hal yang tidak bisa di cover media cetak ataupun radio. Seperti Truman Capote di Cold Blood dimana terdakwa memutar-mutar cincinya. Hal-hal detil demikian yang tidak bisa ditampilkan di kedua media tersebut. Akhirnya saya mulai mencari media yang bisa mengakomodasi hal seperti itu sambil melamar pekerjaan di beberapa tempat.

ment competition untuk dokumenter. Script yang saya kerjakan bersama Veronica Kusuma, Death in Jakarta akhirnya terpilih. Sejak itulah mulai beralih ke audio visual dengan pengalaman dan pengetahuan yang masih nol. Di awal-awal tuh prinsipnya Astrada (Asal Terang Gambar Ada). Tapi saya sendiri lebih concern ke story, cerita, agar informasi atau pesan yang ingin kami sampaikan itu bisa dimengerti. Di situlah saya mulai merasakan bahwa media audio visual ini cukup mampu mengakomodasi apa yang saya inginkan, meskipun ada proses editing segala macam. Yang menyenangkan dan merupakan kekuatan dari media ini juga yaitu kami boleh berpihak. Jadi benar-benar otodidak? Iya. Kemudian ketemulah dengan orang-orang yang punya niat sama, salah satunya Lucky Koeswandi dan beberapa orang dari komunitas film lainnya. Sejak itu kami belajar bersama. Proyek anda yang pertama? Harusnya Death in Jakarta. Tapi ketika sedang mencari-cari bahan, tiba-tiba Pramoedya Ananta Toer masuk ke rumah sakit. Setelah itu kita datang ke Rumah Sakit Carolus. Tiga hari di Carolus dan sehari di rumah Pram. Jadi itulah karya kami yang pertama tentang tiga hari terakhir kehidupan Pram. Topik-topik yang dipilih untuk karyanya jadi tergantung isu yang kebetulan sedang marak? Sebenarnya topiknya beragam. Tapi belakangan saya menyadari concern saya kebanyakan di isu perempuan dan gender. Kesadaran itu juga baru muncul saat saya berpartisipasi di Camp Sambel –sebuah perkemahan yang diselenggarakan oleh EngageMedia, organisasi para aktivis video untuk berbagi informasi antara praktisi video dibidang distribusi dan produksi--. Perkemahan yang diselenggarakan pada Februari tahun ini mempertemukan para pembuat film dan aktivis dari berbagai Negara ASEAN di Port Dickson, Negeri Sembilan, Malaysia. Di situ kami sadar, sebagai pembuat film independen, karena kami nggak punya duit buat promosi, kami harus melakukan distribusinya secara online. Ada satu sesi dimana kami ditanya soal concern, ketertarikan kami terhadap tema tertentu. Awalnya saya menulis head crime, karena saya berencana membuat film soal itu dan sudah mengumpulkan bahannya, seperti tentang penembakan waria yang hingga kini belum ketahuan siapa pelakunya, kemudian Q! Film Festival attack, dan penyerangan Ahmadiyah tanggal 8 juni. Saya pikir kalau saya kumpulkan akan jadi sebuah film dengan topik head crime di Indonesia. Tapi saya berpikir kalau saya tulis head crime itu kan lebih dekat ke demokrasi. Lalu saya menggantinya dengan perempuan dan gender. Saya baru sadar ternyata saya punya kekhawatiran sendiri, kalau semua orang bicara soal demokrasi siapa yang akan bicara spesifik soal perempuan? Karena kita tahu, pengadilan perang ada, tapi gak pernah ada pengadilan perang yang membela kaum perempuan, padahal banyak kasus pemerkosan dan semacamnya. Klise tapi memang harus ada orang yang mengangkat soal itu.

Ditahun itu juga, Jiffest kemudian membuka script develop-

FOVEA#0 2012 133


(documentary)

Wawancara Ucu Agustin

(documentary)

Wawancara Ucu Agustin

Sekarang ini kan jaman pertempuran informasi, siapa yang menguasai informasi dia yang mengusai politik dan banyak kepentingan-kepentingan. Pertanyaannya adalah siapa yang harus bertanggung jawab ketika dalam pertempuran itu suara perempuan tidak ada yang mengisi. ? Anda berharap bisa belajar tentang perempuan Indonesia dan apa masalah yang mereka hadapi lewat dokumenter?

Saya juga tidak tahu akan sampai kapan bisa seperti ini. Sementara saya sendiri sangat ingin dalam segala hal harus transparan. Misalnya film dokumenter yang saat ini sedang proses Conspiracy of Silence, seandainya ini mau diuangkan, saya juga mau, tapi harus jelas juga seperti apa metode keuangannya. Saya sangat percaya masa depan dari pembuatan karya apapun itu harus lahir dari transparansi. Saya gak yakin kalau misalnya kita gak transraparan dalam budgeting orang akan mau berkontribusi atau jadi sukarelawan untuk hal-hal yang seperti ini, susah.

Pertama karena masih banyak perempuan yang butuh informasi itu dan kedua, kami sebagai filmmaker, ngapain sih terus-terusan share film-film di antara teman-teman kami yang sudah pintar?. Saya tidak tau apakah ini ada hubungannya dengan akses informasi atau bagaimana. Di kota besar, kita sudah akrab dengan sosial media, sosial network, dan lain-lain. Kalau di kampung mana ada. Yang ada televisi yang lebih mengutamaka sinetron. Makanya perempuanperempuan di kota jangan lupa untuk menyebarkan energienergi tersebut ke perempuan-perempuan di desa, karena terasa sekali ketimpangannya.

Saya misalnya dapat dana, itu harus dibuka. Saya akan bilang terus terang, saya tidak tahu apakah film saya bisa dijual DVD atau tidak. Conspiracy of Silence itu saya bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, salah satu partner kami untuk isu-isu demokrasi. Saya bilang ke mereka kalau misalnya film itu mau dibagikan gratis silahkan. Tapi seandainya punya inisiatif untuk dijual, saya mau 50 persen untuk fundraising LBH, 25 persen untuk narasumber di film itu, karena mereka tidak ada yang dibayar, dan 20 persen untuk pembuat filmnya, karena kru itu tidak dibayar layak. Selebihnya untuk proyek berikutnya.

Film-film anda sejauh ini sudah mencakup apa saja?

Kembali ke soal pembiayaan film, selama ini kebanyakan dari grant ?

Sambutannya bagaimana? Sekarang sih selalu ada permintaan dari sekolah-sekolah, dari kampus untuk pemutaran film dan sebagainya. Permintaan ada, tapi kalau bicara tentang financial, ya tidak ada. Artinya, saya tidak pernah bisa memutar secara komersil dari film-film dokumenter. Tapi, entah kenapa, selalu saja ada yang minta diputar. Sejauh ini, saya tidak tahu yang mana yang mulai duluan, apakah karena isunya atau karena perlahan orang juga mulai mencari pembuat film tentang perempuan. Filmmaker yang khusus mengangkat tema perempuan kan masih sedikit. Saya bahkan tidak tahu siapa pembuat film dokumenter perempuan di Indonesia sebelum-sebelumnya.

Saat-saat terakhir sang penulis besar

134 FOVEA#0 2012

Sekarang, kalau mau membuat karya untuk merawat kemerdekaan dan kebebasan sendiri ya freelance nggak jelas inilah medianya. Setidaknya you get your own credit, and brand yourself through your works. Rasanya itu yang lebih penting bagi kami sekarang.

Tentu saja. Dikota-kota besar, kita melihat sudah banyak perkembangan dan kemajuan. Sekarang bahasanya bukan emansipasi lagi tapi program-program development dan semacamnya. Setelah dievaluasi apakah perempuan benar terlibat atau tidak?. Saya berharap lebih banyak orang membuat film dokumenter yang tujuannya tidak lagi untuk meraup nama atau ketenaran sendiri tapi lebih untuk kontribusi ke masyarakat, khususnya untuk perempuan-perempuan yang jaduh dari pusat informasi.

Saya sudah membuat kurang lebih 11 karya. Tidak hanya dokumenter saja, tapi juga video campaign, behind the scene, dan lain-lain. Pengalaman Pertama membuat film dokumenter. Sutradara merangkap soundwoman. Titi Toer sedang memberikan keterangan pers tentang kondisi terakhir ayahnya, Promoedya Ananta Toer

kebebasan, mungkin situasinya bisa berbeda.

Iya. Saya mulai melalui jaringan festival. Film tentang Pram itu uang sendiri karena saya penggemar dia. Kalau memang punya ide dan ada kesempatan, saya daftarkan saja, baik ke festival maupun yang menawarkan grant. Death in Jakarta dapat dari Jiffest. Peremuan Punya Cerita itu dari Nia Dinata. Kebetulan semua krunya juga perempuan. Saya diminta untuk membuat behind the scene. Saya bilang ke the Nia, kalau diizinkan, ketika produksi dan alatnya bisa dipakai, saya mau buat film dokumenter aja. Jadi waktu itu saya diberi dana 30 juta untuk membuat 24 menit behind the scene. Kalau soal dana, saya selalu berusaha transparan sama kru. Dengan transparansi seperti itu, saya juga ingin semua orang yang bekerja punya posisi sama; Saya tidak mau orang bekerja untuk saya. Saya ingin orang bekerja bersama saya. Kalau bujet nya nggak cukup, gimana?

Atau mungkin isu yang saya pilih memang diminati. Bisa jadi karena tiga faktor, apakah karena isunya, atau karenasegmentasi saya atau memang banyak yang membutuhkan media dokumenternya untuk belajar dan lain-lain.

Pernah pas Conspriracy of Silence oleh JFCC (Jakarta Foreign Correspondents Club),. Dana nggak cukup karena ada biaya yang memang tak diperkirakan. Kalau seperti itu ya saya memotong dari honor sendiri saja.

Anda bilang tidak bisa mengkomersilkan film dokumenter, bagaimana anda bertahan di medium ini?

Distribusi filmnya lewat apa saja biasanya ?

Saya mengajar di Next Academy walaupun tidak penuh. Biasanya saya mulai September, Oktober, November. Lumayan. Selain itu, saya membuat video campaign. Kalau dari film dokumenter sendiri ya tidak bisa dijadikan ajang cari duit. Habis mau bagaimana lagi sekarang?, lewat TV sudah tidak bisa, konglomerasi media sudah gila-gilaan. Kalau saja media ini bisa mengadopsi semangat kami yang menuntut

Macam-macam. Kalau video campaign atau yg dibiayai oleh suatu produk biasanya mereka yang akan memasarkannya sendiri, atau disiarkan di TV. Kalau yang punya sendiri, ya lewat youtube atau dari mulut ke mulut. Ada juga yang lewat DVD, yang produksi dengan Nia Dinata. Yang dalam bentuk DVD sudah berapa?

FOVEA#0 2012 135


(documentary)

(documentary)

Mayat-mayat tanpa identitas (tunawan) sesaat sebelum dibawa ambulance ke pemakaman. Sholat terhadap Jenazah dilakukan karena ada pengambilan gambar, “Kadang disholatkan kadang nggak. Tapi karena mau masuk film, kita sholatkan aja deh,� ujar salah satu staff bagian pemulasaraan jenazah RSCM

Nisan kayu yang tulisannya dibuat dengan spidol. Dalam 2 bulan, biasanya tulisan tersebut luntur oleh hujan

Cuma 1, At Stake aja. Selebihnya film saya tidak ada DVDnya karena itu butuh modal. Prinsip saya, selama film-film saya bisa tersebar, mau dikopi berapa banyak juga silahkan, daripada dimasukin laci tidak ada yang menonton. Duit bukan penghalang kalau kita punya gairah dan semangat untuk membuat itu.

prasangka kelas ini, awal-awal saya masih takut. Setelah bergaul sama mereka, saya kemudian sadar, mereka juga manusia biasa. Hanya saja mereka memang punya kebutuhan dan latar belakang yang tidak membuat mereka begitu beruntung untuk menjalani hidup. Dampaknya ya seperti itu.

pektif orang. Intinya film untuk perubahan, film untuk aksi, film yang bisa mendorong orang untuk melakukan aksi. Tapi saya suka ngeri sendiri kalau ditanya soal dampak karya saya. Jadi dampak yang paling proporsional ya merubah diri sendiri dulu. Kalau perspektif kita berubah, kita bisa berharap, orang lain juga bisa mengubah perspektifnya terhadap hal-hal tertentu.

Dampak yang diharapkan dari film dan karya-karyanya?

Yang lebih mengangetkan lagi, perubahan terhadap subjek di film itu sendiri. Mereka bisa berubah ketika mereka melihat dirinya. Awalnya mereka cuek, tapi begitu mereka melihat diri mereka sendiri di film, mereka bisa menyadari kalau mereka bisa berjuang lebih banyak. Jadi lebih banyak harapan. Misalnya ketika saya mengikuti seorang korban malpraktek. Awalnya mereka sempat kehilangan harapan, lelah dengan perjuanganya untuk menuntut keadilan. Tapi setelah melihat rekaman perjuangan itu, mereka jadi kembali bersemangat.

Wawancara Ucu Agustin

Paling pertama ke kita sendiri. Dari setiap film itu dampak yang paling pertama timbul ternyata ke filmmakernya sendiri. Contohnya? Perspektif saya berubah. Itu yang membuat saya merasa kaya terus-terusan. Misalnya sebelumnya saya masih punya prasangka kelas terhadap kelompok preman. Saya kemudian membuat film tentang preman berjudul At Stake. Karena

136 FOVEA#0 2012

Wawancara Ucu Agustin

Sebenarnya tujuan utamaya bagaimana mengubah pers-

Film itu menurut saya seperti sebuah kehidupan, panorama, yang dilihat oleh sepasang mata yang terhubung dengan otak yang kemudian memunculkan perspektif. Kemudian orang itu cerita lagi ke orang lain. Sayangnya kita gak menyediakan regular screening, kalau sudah selesai sekali, ya sudah. Makanya tantangan bagi pembuat film dokumenter adalah jangan menyajikan sesuatu yang sudah diberitakan oleh TV atau Koran. Saya sempat agak trauma waktu membuat film Ragat’e Anak di lokasi prostitusi di Tulungagung. Kami sempat diki-

ra kru SCTV. Mereka takut banget. Orang-orang TV kan biasanya datang, ambil gambar, setelah itu sudah tidak peduli lagi. Kebanyakan seperti itu. Kalau kami kan datang, tinggal bersama mereka, ngobrol dll. Apa tega kalau mereka kirim sms, mengeluh tidak bisa makan karena komplek prostitusi mereka ditutup gara-gara film kami? Soal lokalisasi di Tulungagung yg sempat ditutup, itu benar karena film Anda ? Di beberapa media disebutkan saya menyesali. Maksudnya saya menyesali penutupan itu karena sepihak. Kami membuat film pasti sudah tahu konsekuensinya. Dulu kami hanya khawatirkan nasib orang-orang itu setelah pemutaran, utamanya para preman. Ternyata seperti yang saya katakan, premannya berubah setelah mereka melihat diri mereka di film itu.

FOVEA#0 2012 137


(documentary)

Wawancara Ucu Agustin

for rent

Ada ibu-ibu yang bertanya apakah mereka ingin terus hidup dengan menarik uang dari para pekerja seks. Mereka bilang, “saya juga ingin berubah�. Dan memang terjadi. Saya dengar dari teman-teman di lokasi --sebuah LSM yang bekerjasama dengan Ucu di film Regat’a Anak-- premannya sudah gak jadi preman lagi dan bekerja jadi supir truk. Si ibu itu juga sudah 2 tahun tidak bekerja sebagai pekerja seks lagi. Saya sih tidak masalah terhadap pekerja seks. Itu hak perempuan ketika dia tidak bisa dapat uang untuk menghidupi dirinya dan keluargnya dan dia hanya tahu pekerjaan itu. Itu kebebasan mereka apalagi kalau mereka gak punya pilihan, hanya lulusan SD dan gak punya kerjaan, mau jadi pekerja seks, terserah. Tapi yang saya tidak sangka kalau lokalisasi itu sampai ditutup. Waktu itu yang membuat beban pikiran, bagaimana agar mereka tidak kehilangan kepercayaan terhadap kami karena dari awal kami sudah bilang, kami punya niat baik dan kami mau meminjam cerita mereka supaya orang lain juga tahu ada realitas seperti ini. Jadi apakah penutupannya memang karena film Ragat’e Anak? Kalau di koran nulisnya seperti itu. Tapi ketika kami datang ke kantor pemerintahnya mereka bilang tidak. Mereka hanya melakukan penertiban rutin. Dan penutupan itu memang sering terjadi. Kadang ditutup 2 minggu, kemudian dibuka lagi. Dalam kasus ini cukup panjang sekitar 3 bulan, padahal, lokalisasi itu sudah berdiri seabad disitu. Bagaimana

138 FOVEA#0 2012

cara menutupnya, karena akan selalu ada permintaan dan akan selalu ada pekerja seks yang datang kesitu. Film dokumenter anda lewat sensor film juga atau tidak? Sejauh ini yang distribusi independen gak pake sensor. Saya tidak peduli, yang penting bikin dan sebar, tidak perlu disebar secara komersil, orang akan tahu juga kok. Daripada pesannya terpotong di sensor, lebih baik didistribusikan secara independen aja atau ya online. Setelah terjun di dunia dokumenter, bisa memprediksi perkembangan film dokumenter di Indonesia ? Makin banyak orang yang tertarik dan makin banyak juga yang mendukung secara teknologi. Saya sih berharap makin banyak perempuan yang bikin film tentang masalah sosial atau ketidakadilan yg dihadapi perempuan atau manusia lainnya. Ke depannya sih pasti bagus, asal konsisten. Teman-teman yg berkerja di IT dan internet base mengatakan 5 hingga 7 tahun ke depan mereka akan meniadakan cakram, jadi akan lebih fokus ke digital. Konsekuensinya bandwidth jadi lebih besar, akan bisa menyimpan lebih banyak data di internet. Kita akan menjadi komunitas global. Gejalanya toh sudah terasa sekarang. Kondisi tersebut akan membuat audio visual jadi semakin dibutuhkan dan orang akan punya gairah terhadap audio visual, utamanya dokumenter yang baik.***


p

r

o

f

i

l

e

p

r

o

f

i

l

e

MENGENAL PAUL AGUSTA LEWAT AT THE VERY BOTTOM Of EVERYTHING dan PARTS OF THE HEART

Foto : Arie Asona, Teks : Asmayani Kusrini

D

ia bilang, dia seorang idealis yang rasional. Dia ingin terus membuat film sesuai kemauannya, tapi tidak mau terus-terusan tanpa dana. Karena itu, dia rela bekerja sampingan, membuat profile company, atau kerja kantoran untuk mengumpulkan dana, demi membuat film. Dia bilang, setiap filmnya ditandai dengan satu tatto baru, dan dia berencana akan membuat 12 tatto lagi. Tattonya yang terbaru, bergambar kepala singa, logo Rotterdam Film Festival yang memutar filmnya, Parts Of The Hearts pada Februari lalu. Dari tatto itu, entah bercanda atau serius, Paul mendapat hadiah 100 euro dari salah satu programmer festival tersebut Dia adalah peminum kopi yang akut dan perokok berat, serta selalu gelisah jika melihat alat perekam. Dan dia suka memasak dan sangat dekat dengan ibunya.

140 FOVEA#0 2012

FOVEA#0 2012 141


p

r

o

f

i

l

e

p

r

o

Parts Of The Heart

Menonton dua filmnya yang sangat personal dan dari ceritaceritanya, saya membayangkan Paul Agusta menghadapi banyak stigma. Apalagi ia hidup di Indonesia, dimana stigma bisa melekat seperti daun yang tertiup angin dan hinggap dipunggung siapa saja. Ia berdarah campuran, ayah Indonesia dan ibu Amerika. Sebagai anak campuran, seperti juga anak-anak campuran lainnya, ia sudah jadi objek rasa ingin tahu orang-orang disekelilingnya. Rasa ingin tahu itu bertambah karena Paul feminin, gay, menikah dengan kekasihnya dan berkebangsaan Amerika, walaupun kabarnya, ia berjuang mendapatkan haknya sebagai warga negara Indonesia. Ditambah lagi, ia mengidap bipolar disorder. Mungkin, Paul sudah terbiasa dengan rasa ingin tahu orang-orang disekitarnya. Dia pernah marah. Ia kembali ke Indonesia setelah lulus dari sekolah film di Amerika, dan dengan segala keterbatasannya, Paul belum

142 FOVEA#0 2012

bisa membuat film. Kemarahannya tertumpahkan di filmnya yang pertama, Kado Hari Jadi (The Anniversary Gift). Setelah itu, ia seperti ingin berdamai dengan dirinya sendiri. Lewat dua film selanjutnya, Paul seakan membuka diri. Dengan membuat At The Very Bottom Of Everything dan Parts Of The Heart, Paul seperti ingin bilang: “OK, this is me. You can join me or get out of my way.� At The Very Bottom of Everything di desain dengan tata artistik sederhana, seperti panggung teater dan sesekali diselingi dengan gambar dan animasi. Film ini dibagi dalam 10 bagian, yang merupakan gambaran tentang siklus yang dialami penderita bipolar. At The Very Bottom adalah sebuah instrospeksi dengan pendekatan visual. Paul mengajak penontonnya mengalami bipolar melalui serangkaian visual dan sound. Lewat film ini, Paul membawa penontonnya un-

f

i

l

e

Parts Of The Heart

tuk berpetualang di landskap psikologis seorang bipolar. Dari film ini, kita paham, bagaimanapun bipolar disorder bukanlah penyakit yang mudah untuk diatasi, tapi bukan hal yang tidak mungkin untuk dihadapi. Ada harapan, ada cinta, ada romantisme yang akan membuat orang-orang seperti Paul yang mengidap bipolar tetap bisa berkarya. Dalam Parts Of The Hearts, terlihat bahwa walaupun hidup diantara masyarakat yang gampang menempelkan stigma, Paul beruntung berada dilingkungan yang bisa menerima kehadirannya apa adanya. Masalah yang muncul bukan dari dalam keluarga Paul sendiri, tapi justru dari lingkuangan luar ketika ia sudah mulai berhubungan dengan orang lain. Parts Of The Heart adalah kisah cinta seorang Peter, sejak ia kanak hingga dewasa. Sebuah kronologi tentang perkem-

bangan hubungan Peter dengan kekasih-kekasihnya, dari cinta bocah hingga hubungan dengan suaminya. Walaupun Paul terbuka soal orientasi sesksualnya dan berkeras mengatakan bahwa Parts Of The Heart adalah kisah cinta, tapi ia tidak bisa mengelak dari konteks sosial yang masih harus dihadapi oleh para gay. Hasilnya, Parts Of the Heart adalah kisah cinta yang masih berada di ruang-ruang tertutup. Di tenda, ruang apartemen, ruang hotel, club malam dan di cafe yang juga khusus. Seperti At The Very Bottom Of Everything, Parts Of The Heart juga dibagi dalam beberapa bagian. Salah satu bagian paling representatif terhadap masalah yang dihadapi oleh homoseksual adalah chapter The Last Time. Disini, Paul Agusta menghadirkan problem nyata menyangkut homoseksual dan lingkungan diluarnya.

FOVEA#0 2012 143


p

r

o

f

i

l

e

for rent

Di sebuah kamar hotel, dimana Peter sedang terlibat pertengkaran dengan Tri, kekasihnya. Tri baru saja menikahi seorang perempuan demi status sosial, tapi tetap ingin berhubungan dengan Peter secara sembunyi-sembunyi. Tri adalah pria gay produk masyarakat konvensional yang akhirnya menyerah pada aturan sosial. “Mungkin dimatamu aku punya pilihan. Kamu dengan segala idealismemu tentang persamaan, penerimaan diri. Semua itu hanya terlihat bagus diatas pamflet dan poster, tapi tidak di dunia nyata. Setidaknya bukan diduniaku. Ada orangtuaku, adikku, kakakku, ada istriku,� begitu kata Tri. Sementara Peter berkeras bahwa kebahagian justru harus datang dari penerimaan diri sendiri. “Kamu yang tidak mengerti. Kamu tidak akan bisa membuat orang lain bahagia kalau kamu tidak bahagia dengan dirimu sendiri. Kamu pikir, istrimu bisa bahagia dengan suami yang gay? Dan bagaimana dengan anak-anak kamu? Kamu pikir mereka akan bahagia kalau tahu ayah mereka gay?� Ini adalah pertanyaan yang universal, tidak hanya bagi kaum gay, tapi juga bagi semua orang yang ingin mendefiniskan arti kebahagiaan mereka. Seperti Peter, kita tahu dimana posisi Paul Agusta dalam perdebatan soal penerimaan diri ini. Lewat At The Very Bottom Of Everything dan Parts Of The Heart, jalan bagi Paul seperti terbuka lebar. Energi krea-

144 FOVEA#0 2012

tivitasnya tersalurkan. Di Indonesia, Paul termasuk salah satu sutradara independen muda yang paling aktif mengeksplorasi medium sinema. Ia tidak hanya sedang menyiapkan proyek film terbarunya. Mei 2012 lalu, bersama dengan timnya di Kinekuma Pictures, Paul meluncurkan Biweekly Video Project, karya video tanpa dana yang akan dilakukan selama 12 bulan. Biweekly Video Project dimulai dengan premis sederhana, membuat video art sebagai jalan untuk melepas stress dan mengeksplorasi ide-ide apa saja yang tidak dapat dilakukan dalam karya-karya komersial mereka. Paul juga aktif mengajar dan baru-baru ini menjadi pembimbing untuk mewujudkan proyek film lima orang yang bekerja dalam bidang film (unit manager, line-producer, publicist, aktor dan film-blogger). Proyek yang dinamai The Cherry Project ini dimaksudkan sebagai regenerasi, pencarian bakat baru untuk perfilman Indonesia. Melalui crowdfunding, proyek ini diharapkan bisa mulai berjalan pada Juli 2012. Selain itu, Paul menikah dengan Kyo Haryanto, dan bersama mereka aktif saling membantu berbagai proyek film. Paul Agusta beruntung, tumbuh dewasa di lingkungan yang tidak konvensional.***


TATA TERTIB BIOSKOP oleh Sheila Rooswitha Putri

M

enonton film di bioskop adalah salah satu ritual sakral para penggemar film. Mereka, film-buff, film-enthusiasts, cinephiles, atau apapun sebutannya, menonton film dengan konsentrasi penuh dan semua indera terbuka demi menyerap sebanyak-banyaknya pesan apa yang ada dalam film yang ditonton. Tapi tak semua orang punya tujuan yang sama ke bioskop, dan tidak semua orang menganggap menonton film adalah sakral.

Berdasarkan pengalaman menonton ditengah orang-orang yang tidak punya tujuan yang sama ini, Sheila Rooswitha Putri membuat komik Tata Tertib Bioskop. Segala uneg-unegnya ia tumpahkan melalui komik ini dengan harapan agar orang bisa lebih mengerti bahwa sebagian dari mereka menghabiskan uang untuk menonton film di bioskop, bukan sekedar untuk menghabiskan waktu sambil menonton film. Sheila adalah ilustrator dan komikus yang pernah bekerja sebagai ilustrator untuk storyboard film-film Indonesia seperti Arisan, Lovely Luna, Jakarta Undercover, Jomblo dll. Selain membuat storyboard film, Sheila juga pernah menerbitkan diary-grafis berjudul Cerita Si Lala dan komik grafis-travelogue berjudul Duo Hippo Dinamis: Tersesat di Byzantium kolaborasi dengan penulis Trinity dan Erastiany yang diterbitkan oleh Curhat Anak Bangsa. Tata Tertib Bioskop pernah diedarkan sebelumnya di kompilasi komik karya-karya Sheila yang lain dalam bentuk fotokopi. Karya Sheila yang lain bisa disimak di okeboo.multiply.com. --redaksi--

146 FOVEA#0 2012

FOVEA#0 2012 147


148 FOVEA#0 2012

FOVEA#0 2012 149


150 FOVEA#0 2012

FOVEA#0 2012 151


FOVEA#0 2012 DISTRIBUTION OUTLETS : Copies will be available from the outlets listed below.

Kineruku

Jl. Hegarmanah 52 Bandung 40141 Indonesia Tel/Fax: 022.2039615

Indonesian Visual Art Archive Jalan Ireda Gang Hiperkes MG I-188 A/B Kampung Dipowinatan, Keparakan Yogyakarta 55152 Indonesia Tel/Fax: 0062 274 375 262

For order in Indonesia please contact: 0813 1147 8277

FOVEA#0 2012 visit us www.foveamagazine.com like us https://www.facebook.com/FoveaMagazine follow us @foveamzine email us foveamzine@gmail.com Fovea magazine is published by SVP/AUB production Reproduction in any form is prohibited without prior consent. Entire contents Š copyright 2012 by their respective writers and artists

For individual order in Europe please email us : foveamzine@gmail.com or contact us : +32 496 37 66 56

If you are interested in distributing or advertising in our magazine, please get in touch via email: foveamzine@gmail.com

152 FOVEA#0 2012



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.