Literaksi#5

Page 1


Jurnal Kumpulan Tulisan

LITERAKSI #5/September 2016

Kementrian Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan Kabinet KM-ITB 2016/2017

1


2


“Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadanmu.� -Soe Hok Gie-

3


Pengantar Edisi Kelima Assalamualaikum wr. wb. Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, pada akhirnya Jurnal Literaksi #5 dapat terbit sebagai "asupan nutrisi" bagi seluruh anggota KM ITB untuk memenuhi kebutuhan informasi terkait kondisi bangsa dan dunia saat ini serta kemungkinannya di masa mendatang. Literaksi #5 kali ini berisikan sumbangsih pemikiran teman-teman anggota KM-ITB dari mulai persoalan lokal hingga internasional, beberapa diantaranya: dibalik pelaksanaan PON & pembangunan Kereta Cepat Indonesia Cina(KCIC) di Jawa Barat yang menuai tanya "Siapa Berjaya di Tanah Legenda?", Sinyal kegagalan tax amensty; dan di balik pelaksanaan Olimpiade Dunia yang mengindikasikan trade-off antara kesejahteraan dan citra kota. Besar harapan, kedepannya semakin banyak anggota KM ITB yang semakin peduli terhadap kondisi bangsa & dunia ini yang nyatanya "tidak baik-baik" saja, serta kita dapat saling berbagi manfaat untuk turut serta membantu menyelesaikan berbagai persoalan tersebut dengan mengoptimalkan potensi "luar biasa" yang kita miliki, kami pun berharap kedepannya semakin banyak teman-teman yang dapat turut serta menulis & memberikan kontribusi pemikirannya dalam Jurnal Literaksi selanjutnya. Wassalamualaikum Wr. Wb. Hidup Mahasiswa !!! Hidup Rakyat Indonesia !!! Kementerian Pusat Studi Arsip & Kajian Kebijakan Kabinet KM-ITB 2016

4


Daftar Konten Pengantar ........................................................................................................... 4 Daftar Konten ................................................................................................... 5 Indonesia Menuju Olimpiade 2024: Menukar Kota dengan Pesta ........... 6 Surili: Kisah Monyet Hampir Punah yang di Branding ―Melegenda‖ ... 9 Sebulan Tiga Hari Pengampunan Pajak: ―Sebuah Sinyal Kegagalan‖ ......................................................................... 16 Salah Habitat (III) Tersesat di PrepCom3 ……………………………….. 24 disharmonia on progressio ITB Cirebon .................................................... 28 OMONG KOSONG GERAKAN MAHASISWA: Sebuah prosa kontemplatif ........................................................................... 43 Pesan untuk Peserta Kaderisasi Pasif: Berani Konflik itu Baik! .............. 48 Jurnal Aksi: ―Parkir Gratis‖ ......................................................................... 51 Kota Tanpa Kafein Tentang Cangkir yang Tak Tersesap .......................................................... 63

5


Indonesia Menuju Olimpiade 2024 “Menukar Kota dengan Pesta” Nayaka Angger

Sebuah Harga Pesta Pora Sebelum bergibah, mari menutur syukur atas perolehan dua medali perak Indonesia dalam Olimpiade Rio 2016 oleh atlet angkat besi Sri Wahyuni dan Eko Yuli, jua panjatkan pula mantra-mantra kepada kontingen Indonesia yang masih berjuang di sana. Bersyukur pula karena olimpiade kali ini menjadi sebuah eksploitasi momen untuk memulihkan ilusi persatuan dan kemanusiaan dunia, seperti yang tertangkap dalam potret atlet voli putri Mesir dan Jerman [1], serta sebuah selfie yang memuat kenaifan atlet gimnastik putri Korea Utara dan Korea Selatan. Namun, di balik euforia tersebut, Olimpiade Rio terselenggara dengan sebuah harga. Pemerintah kota Rio de Janeiro adalah salah satu yang membayarnya; menggelontorkan setidaknya 4,6 miliar US$ untuk biaya operasional, konstruksi dan renovasi tempat, serta infrastruktur kebutuhan Olimpiade [2]. Walaupun jauh lebih kecil dibandingkan bujet Olimpiade London dan Sochi silam, nominal tersebut mampu mendesak pemerintah Rio untuk menyatakan keadaan darurat finansial. Berbagai kritik menyusul dilayangkan terkait buruknya persiapan dan penyelenggaraan Olimpiade di Rio [3], mengilustrasikan sebuah kota yang belum siap menuanrumahi perhelatan semegah itu. Kendati demikian, Rio de Janeiro mempertaruhkan semuanya demi kesempatan untuk sebuah kehormatan besar yang, sayangnya, tidak bisa dimakan atau dijadikan tempat tidur. Tidak hanya pemerintah, sebagai sebuah kesatuan sistem kota, warga kota Rio de Janeiro juga ikut ‗membayar‘ terselenggaranya Olimpiade kali ini. Setidaknya 340 keluarga digusur dan dipindahpaksakan untuk pembangunan Olympic Park di Vila Autódromo, serta 380 rumah di utara kota yang akan dibangun jalur bus cepat penghubung bandara dengan area Olimpiade [4]. Dalam sebuah laporan, jurnalis Lena Azevedo dan arsitek Lucas Faulhaber 6


memperkirakan ada lebih dari 60.000 penduduk yang kehilangan tempat tinggalnya sejak Rio de Janeiro ditetapkan sebagai tuan rumah pada 2009 [5]. Harga semacam itu bukanlah harga yang hanya dibayar secara fisik, namun juga secara psikis. Ratusan keluarga dicerabut dari tempat tinggalnya, dipisahkan dari sistem ruang dan sosial. Beberapa bahkan dipindahkan 60 km dari pusat kota, berharap keajaiban mempertemukannya dengan penghidupan. Kemarahan pun timbul dari mereka yang ‗membayar‘, tapi justru kehilangan. Maka, bukan mengherankan ketika konflik akhirnya pecah, bergulir menjadi sebuah riuh antara pemerintah dengan masyarakatnya [6], memperdebatan antara kesejahteraan dan kehormatan. Itu adalah rahasia gelap di balik Olimpiade Rio. Namun sayangnya, rahasia tersebut tidak hanya milik Rio. Olimpiade dan Kota Pada persiapan Olimpiade Beijing 2008, Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE) melaporkan sekitar 1,5 juta penduduk digusur dan dipindahpaksakan untuk pembangunan terkait Olimpiade, walaupun pemerintah bersikeras bahwa jumlah sebenarnya hanya enam ribu [7]. Kebanyakan dari korban relokasi dipindahkan jauh dari tempat asalnya, mengalami kekerasan dan ketidakjelasan prosedur selama proses penggusuran. Kehilangan tersebut, entahkah sepadan dengan kemegahan Olimpiade Beijing 2008. Rahasia yang sama juga diungkap pada Olimpiade London 2012. Sedikitnya 450 penyewa di sebuah housing estate menghadapi ancaman relokasi setelah kompleksnya dibeli paksa oleh London Development Agency untuk kepentingan Olimpiade [8]. Para penghuni flat di East End, sebuah blok di dekat area Olimpiade, Statford, juga mengalami ancaman kenaikan sewa yang tidak masuk akal sebagai upaya untuk mengosongkan flat demi kepentingan Olimpiade [9]. Setidaknya seribu orang menghadapi ancaman pemindahan sejak lima tahun sebelum Olimpiade dilaksanakan. Walaupun London tidak memiliki banyak pemukim informal, penduduk kelas menengah ke bawah yang tidak mampu mempertahankan propertinya turut dikorbankan demi laga ini. 7


COHRE juga melaporkan bahwa 720.000 orang digusur paksa dalam persiapan Olimpiade Seoul 1988 dan 30.000 orang dipindahpaksakan dalam upaya gentrifikasi dan pengembangan untuk Olimpiade Atlanta 1996 [10]. Dari pemaparan tersebut, dapat dimengerti bahwa seringkali, Olimpiade menuntut harga yang lebih dari sekedar anggaran untuk terselenggara. Olimpiade juga menuntut pengorbanan dari kesatuan komponen kota, tidak hanya pemerintah, tetapi juga warganya. Tren ini mengindikasikan sebuah kecenderungan trade-off antara kesejahteraan dan citra kota. Narasi di atas melekatkan Olimpiade bukan dalam konstelasi olahraga ataupun diplomasi internasional, melainkan dalam sebuah konteks yang lebih mikro dan lokal, yaitu kota. Olimpiade dan kota adalah dua muka dari koin yang sama, sebuah koin yang kebetulan jatuh di selokan. Epilog: Indonesia Seluruh fenomena tersebut: penggusuran masif, pembangunan yang marak, serta represi pemerintah, seakan memberikan klise tentang keadaan Indonesia. Di koran atau lini masa gawai, saksikanlah bahwa kota-kota di Indonesia sedang menghadapi semua itu. Pada 2015, LBH melaporkan bahwa terdapat 3433 keluarga dan 433 unit usaha yang mengalami penggusuran paksa di Jakarta [11]. Sedangkan di Bandung, dari rumah [12] sampai kampung [13], dari PKL [14] sampai orang mati [15] , harus sedikit merasakan gusur dan geser di sana-sini. Tidak hanya di dua kota tersebut, hal serupa terjadi di penjuru Indonesia dengan intensitas yang beragam. Rasa-rasanya, pantaslah berbaik sangka dan menyimpulkan bahwa mungkin saja, Indonesia sedang berkonspirasi untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2024. --Rabu, 10 Agustus 2016

8


SURILI: Kisah Monyet Hampir Punah yang di Branding “Melegenda‖ Yulida Rachma

Aku adalah Surili. Aku adalah pemilik tanah asli di Tanah Legenda. Value tanahku diharga murah awalnya oleh para pendatang dengan warna kulit putih, mata dan rambut yang berbeda-beda. Tapi sesungguhnya, bagi kami, inilah tanah peninggalan nenek moyang kami. Tempat di mana aku dilahirkan, di beri pengajaran dan mendapat nilai-nilai kehidupan. Beberapa teman-temanku sudah mati di Tanah Legenda. Meski kami sudah bekerja keras setiap hari, apalah kami yang hanya bisa bekerja dengan otot kami. Kalian berkata, lahan kami murah, tapi kalian berbaik hati memberikan nilai beberapa sen lebih banyak. Betapa mulia! Kami hanya memakan kuncup daun dan daun muda, kadang juga buahan, bijian, dan bungaan. Tapi semakin lama, tanah Legenda sudah menjadi beton. Berlalu lalang besi keras dan dingin yang tidak bisa kami ajak bicara. Kami tak tahu jenis hewan apakah itu. Tapi lihatlah kotoran mereka. Membuat kuncup daun dan daun muda tidak seenak dahulu. Rasanya berubah, lebih pahit. Kami adalah Surili. Bangsa monyet dunia lama dengan genus Presbytis. Tubuh kami mulai dari kepala sampai bagian punggung hitam atau coklat dan keabuan, sedangkan warna rambut jambul dan kepala berwarna hitam. Rambut yang tumbuh di bawah dagu, dada dan perut, bagian dalam lengan kaki dan ekor, berwarna putih. Warna kulit muka dan telinga kami hitam pekat agak kemerahan. Anak kami yang baru lahir berwarna putih dan memiliki garis hitam mulai dari kepala hingga bagian ekor.

9


Kami yang hanya tinggal beberapa ini memilih berjuang bersama, mencoba melihat apa yang bisa dilakukan. Beberapa mencoba mencari kehidupan yang baru, seperti Lili dan Lala yang menjadi maskot Pekan Olahraga dan Paralimpiade Nasional 2016 di Tanah Legenda. Aku mengharapkan Lili dan Lala dapat berjaya di Tanah Legenda. Tapi sepertinya tidak. Mereka bersedih tadi pagi. Bahwa mereka harus berpindah karena ada banyak beton-beton tinggi menjulang, merusak tanaman manusia di sana. Katanya, itu untuk membuat kereta yang sangat sangat sangat cepat. Dibuatnya juga sama saja: sangat sangat sangat cepat. Beberapa bersorak, hore! Tanah kami di jual sangat sangat mahal. Tapi setelah beberapa bulan kami melawat ke sana, harga tanah saat itu terdengar sangat sangat sangat murah.

10


Aku merasa Surili di bodoh-bodohi di mana-mana. Ini membuatku sakit hati. Lalu ternyata ada beberapa manusia yang mendengarkan kami.

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA BEM SI—WILAYAH JAWA BARAT DALAM RANGKA KEDATANGAN JOKOWI KE BANDUNG

“SIAPA BERJAYA, DI TANAH LEGENDA?” MEMPERTANYAKAN KEBERPIHAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN KERETA CEPAT INDONESIA CHINA (KCIC)

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

Siapa yang berjaya di Tanah Legenda? Asing!

11


Pada tahun 2016 ini, Jawa Barat menjadi tuan rumah Pekan Olahraga dan Paralimpiade Nasional dengan tajuk ―Berjaya di Tanah Legenda‖, mengusung motto ―Lili dan Lala‖ sepasang Surili, primata yang saat ini populasinya kian terancam. Seperti sebuah kebetulan, pada tahun 2016 ini pula di Jawa Barat dimulai pembangunan Kereta Cepat Indonesia China, sebuah sejarah yang mungkin akan menjadi Legenda baru dalam pembangunan Indonesia. Namun kini, siapa yang Berjaya? Apakah masyarakat Indonesia, masyarakat Jawa Barat, masyarakat tanah Legenda hari ini hanya akan seperti Surili yang semakin hari nasib hidupnya semakin terancam?

Hana nguni hana mangke, tan han nguni tan hana mangke tiada masa kini tanpa ada masa lalu, masa kini adalah peninggalan masa lalu. Namun akan seperti apa bentuk masa depan apabila hari ini kita seperti ini? Apakah kita masih akan memiliki masa depan ataukah kita hanya akan bersisa sebagai Legenda? Lalu siapa yang Berjaya dengan Kereta Cepat Indonesia China (KCIC)? Tinjauan Aspek Fisik dan Lingkungan Berdasarkan dokumen AMDAL sejak April 2016 lalu, belum ada surat mengenai izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal berdasarkan PP №10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan Permenhut 32/2010 jo. Permenhut 41/2012 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan karena ada kawasan hutan produksi yang dipakai seluas 279,2 hektar, di Resor Penguasaan Hutan (RPH) Wanakerta, Resor Penguasaan Hutan (RPH) Kutapohaci, Resor Penguasaan Hutan (RPH) Pinayungan, Resor Penguasaan Hutan (RPH) Teluk Jambe Karawang dan sebagian di Kabupaten Bandung Barat. Berdasarkan aturan Undang-Undang Kehutanan, lahan pengganti hutan harus minimal 2 kali lipat dari luas lahan hutan yang dipakai di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sama. Bahkan surat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati belum ada dalam AMDAL.

12


Selain itu dari sisi fisik, dokumen Rancangan Rekayasa Rinci (DED/Detailed Engineering Design) baru selesai awal Agustus 2016 lalu, namun anehnya izin pembangunan telah keluar sejak 18 Juli 2016, tepat beberapa hari setelah Menteri Perhubungan di reshuffle. Tentu ini patut dipertanyakan. Sebesar 75% biaya proyek dari total investasi merupakan pinjaman dari China Development Bank (CDB), namun syarat pencairan pinjaman tersebut ialah dokumen perizinan pembangunan, sedangkan semestinya dokumen pembangunan keluar setelah DED selesai. Terlebih lagi, lahan yang dibebaskan baru 59%, proyek konstruksi dibangun secara inkremental atau terpisah-pisah, awalnya groundbreaking di Walini pada Kilometer 90an, lalu pembangunan dilanjutkan sepanjang 35 kilometer dari kilometer 5 hingga kilometer 40, padahal konstruksi Prasarana Kereta Cepat dengan Prasarana Jalan Tol, tentu tidaklah sama! Informasi bahwa Wijaya Karya hanya mendapat pengerjaan pengawasan (project supervisor) sedangkan pengerjaan pembangunan prasarana dilakukan oleh China Railway Group, dengan alasan ketidakmampuan teknologi juga tidak sesuai dengan muatan materi Perpres 107 tahun 2015 yang mengutamakan kandungan lokal. Lantas, siapa yang akan Berjaya? Tinjauan Aspek Kegiatan dan Sumber Daya Ekonomi serta Sosial Mengingat proyek kereta cepat ini sebenarnya secara finansial akan sangat merugi apabila hanya bertumpu pada ticketing atau sektor utama jasa transportasinya, maka sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek ini juga terintegrasi dengan pembangunan Kawasan di sekitar stasiun yang dikenal dengan Transit Oriented Development/TOD. Sehinga sesungguhnya investasi megaproyek ini bukanlah mengatasi masalah transportasi Jakarta-Bandung. Motif proyek ini sesungguhnya adalah investasi properti dan industri di Megapolitan Bandung-Jakarta. Proyek ini memang bernilai sumber daya ekonomi tinggi namun apakah mempertimbangkan bagaimana nasib sumber daya sosial yang ada di sekitar jalur dan rencana stasiun? Apakah mempertimbangkan fungsi sosial dari ruang terkesan direndahkan? Mengapa pembangunan dilakukan dengan cara meminggirkan, dan memiskinkan masyarakat lokal, dan jauh dari cita-cita memberdayakan? Apalagi kejadian soil test pada April 2016 lalu, yang melibatkan 5 orang asing dari total 7 orang yang bekerja ―hanya‖ mengecek kondisi tanah, sudah menjadi bukti 13


kuat, bahwa terbukanya 39.000 lapangan kerja sebagai bangkitan pengerjaan proyek ini, hanyalah iming-iming belaka. Siapa yang akan Berjaya? Tinjauan Aspek dan Hak-hak Masyarakat dan Tanggungjawab Pemerintah Proyek kereta cepat ini juga mengancam hak-hak kemakmuran rakyat dalam berspasial, hak atas keadilan dalam ruang, hak atas ruang yang aman nyaman produktif dan berkelanjutan, hak atas tidak ada kesenjangan, hak atas aman dari bencana, hak atas nilai tambah ruang, hak atas penggantian yang layak apabila hak atas ruangnya ditukar. Apakah ketika kawasan di sekitar stasiun itu dibangun sebuah kota baru, dengan konsep Transit Oriented Development, maka masyarakat yang pada awalnya bermukim atau bekerja disitu, masih akan Berjaya di tanah kelahirannya? Ataukah mereka hanya akan menjadi Legenda? Bagaimana perlindungan, pembinaan dan antisipasi yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi dampak-dampak negatif dari pembangunan ini? Bagaimana wujud tanggungjawab pemerintah, kehadiran pemerintah, untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat atas ruang tersebut tetap terjaga? Maka dengan ini, bertepatan dengan pembukaan Pekan Olahraga Nasional yang membawa tajuk Berjaya di Tanah Legenda, Kami, BEM Seluruh Indonesia Wilayah Jawa Barat menuntut Presiden Jokowi beserta Pemerintah RI untuk: Membatalkan Proyek Pembangunan Kereta Cepat IndonesiaChina sebelumcadanya: a. Penjelasan yang utuh dan transparan terkait berbagai kejanggalan dalam pembangunan kepada masyarakat luas b. Komitmen serius dalam melindungi hak-hak atas ruang yang dimiliki masyarakat supaya pembangunan yang dilakukan mensejahterakan bukan meminggirkan apalagi memiskinkan masyarakat c. Komitmen serius dalam mengutamakan kandungan lokal dalam segala aspek, ketenagakerjaan dan alih teknologi, pada Pembangunan Kereta Cepat Indonesia-China 14


Demikian pernyataan sikap kami sebagai bentuk kepedulian BEM SI Jabar terhadap pembangunan di wilayah Jawa Barat. Semoga kedepannya kita tidak hanya menjadi Surili yang hidupnya semakin terpinggirkan, semoga kita dapat Berjaya di Tanah Legenda kita, bukan sekedar menjadi ―Legenda‖.

Jadi, kalau seperti ini, pembangunan ini untuk siapa? Untuk rakyat yang mana? Mahasiswa yang memiliki otak menolak, monyet yang tahu hidup yang katanya Tanah Legenda tidak suka. Kami sudah pindah, tentu saja, dari Tanah Legenda. Waktu jaya kami sudah punah bersama kami yang semakin sedikit.

Selamat datang spesies baru yang akan berjaya di Tanah Legenda. Semoga kau lekas punah‌ Detik - detik kepindahan dari Tanah Legenda, Surili

15


Sebulan Tiga Hari Pengampunan Pajak:

“Sebuah Sinyal Kegagalan� Luthfi Muhamad Iqbal Terhitung 19 Juli 2016, UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang disahkan tanggal 1 Juli 2016, secara resmi dijalankan. Hari ini tepat sebulan lebih 3 hari, Pengampunan Pajak diterapkan di Indonesia. Berbagai sosialisasi dilakukan untuk menarik para pengusaha supaya mengikuti program Pengampunan Pajak. Bahkan beberapa sosialisasi tersebut diisi langsung oleh Presiden Jokowi seperti di Kota Medan, Jakarta, Surabaya, Semarang dan Bandung. Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak per 21 Agustus 2016 pukul 22.15 sebanyak 7.374 wajib pajak berpartisipasi dalam program pengampunan pajak.[1] Dari target yang yang dipatok, sangatlah ambisius. Pemerintah menargetkan deklarasi Rp 3.500 triliun, repatriasi Rp 1.000 triliun, dan dana tebusan sebesar Rp 165 triliun. Pengampunan Pajak ini dilakukan untuk menjawab tantangan perekonomian Indonesia yang sedang terjadi belakangan ini. Pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami perlambatan yang berdampak pada turunnya penerimaan pajak dan juga telah mengurangi ketersediaan likuiditas dalam negeri yang sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sisi lain, banyak Harta warga negara Indonesia yang ditempatkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik dalam bentuk likuid maupun nonlikuid, yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah likuiditas dalam negeri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.[2] Bentuk Diskriminasi di hadapan Hukum Undang-Undang No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah didaftarkan untuk diuji terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, telah masuk dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan (I) di Mahkamah Konstitusi 27 Juli 2016, Pukul 14:37 WIB dengan Nomor Perkara 58/PUU-XIV/2016, dan sedang ditindaklanjuti untuk menjalani proses perbaikan berkas, terutama perihal legal standing pemohon dan berbagai detail yang akan memengaruhi proses persidangan kedepannya.[3] Pihak yang mengajukan peninjauan kembali (judicial review) undang-undang tersebut ialah terdiri dari tiga pihak, pertama Serikat 16


Perjuangan Rakyat Indonesia-SPRI; (Pemohon I) sebagai badan hukum privat, Samsul Hidayat; (Pemohon II) dan Abdul Kodir Jailani (Pemohon III). Berikut ini butir-butir yang dipersoalkan dan diperbenturkan antara Undang-Undang a quo terhadap Norma Undang Undang Dasar 1945:[4] 1. Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, maka terdapat perbedaan kedudukan warga negara yaitu antara warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak; 2. Anggapan negara mendapatkan potensi penerimaan pajak melalui objek pajak baru adalah anggapan yang bersifat ekstensif dan tidak bisa dibuktikan sifat kebenaranya terlebih dahulu, karena penerimaan pajak yang dimaksud tersebut amat tergantung dengan peran dan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak; 3. Bahwa pengertian frase ―memaksa‖ dalam Pasal 23A UUD 1945 menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa sedangkan pengertian frase ―Pengampunan‖ pada Undang- Undang Pengampunan Pajak adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan; 4. Negara telah melakukan tindakan pembiaran atas kejahatan pajak yang telah dilakukan oleh penggelap pajak. Uang tebusan dalam Undang-Undang a quo menjadi bentuk perlakuan khusus pemerintah untuk penggelap dan penghindar pajak; 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana, yang seharusnya dalam kedudukan sebagai warga negara memiliki kewajiban yang sama untuk taat pajak; 6. Pemberlakuan secara eksklusif tersebut dimulai ketika peserta pengampunan pajak diberikan Tanda Terima Pernyataan dan Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang diterbitkan oleh Menteri, sehingga para peserta pengampunan pajak terhindar dari segala upaya refresif perpajakan. Perlakuan khusus tersebut tentunya akan mendorong Wajib Pajak lainnya untuk tidak taat lagi, karena sifat Pajak adalah sukarela dan tidak memaksa; 17


7. Pemberian hak khusus yang bersifat ekslusif melalui frase ―tidak dilakukan‖ dalam Pasal 11 ayat (2), frase ―ditangguhkan‖ dalam Pasal 11 ayat (3) dan frase ―Pengampunan Pajak‖ dalam Pasal 11 ayat (5) dalam Undang-Undang a quo telah bertentangan dengan prinsip persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan; 8. Pembatasan sengketa Penghapusan Pajak yang hanya menempatkan sengketa kepada Gugatan Peradilan Pajak, merupakan bentuk pengingkaran terhadap berlakunya aspek hukum lain yang ada dalam ranah perpajakan sehingga menutup akses pencarian keadilan; 9. Frase ―Dilarang‖ pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang a quo telah membuat penghalangan secara langsung terhadap hak asasi warga negara dalam memperoleh hak atas informasi; 10. Pemaknaan pada kalimat ―tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas‖ memiliki makna ―imunitas‖ yaitu keadaan Menteri Keuangan, Pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak memiliki kekebalan hukum yang tidak dapat dituntut atau dimintai pertanggungjawaban hukum baik secara pidana maupun secara perdata;

Kebijakan Pengampunan Pajak: Janji Manis Kebijakan Ekonomi Pengampunan Pajak yang diyakini dapat menjadi tulang punggung penopang perekonomian, ternyata terlihat tidak bisa diandalkan. Apa sebab? Pemotongan pos anggaran APBN-P 2016 pada awal Agustus lalu, ditambah pemotongan rencana anggaran Kementerian dan Lembaga (K/L) dan dana transfer ke daerah oleh Menteri Keuangan baru, Sri Mulyani Indrawati, menjadi salah satu indikasi yang kuat bahwa tindakan penghematan pengeluaran pemerintah (Government Expenditure) tetap perlu dilakukan meskipun Program Pengampunan Pajak telah diluncurkan. Bahkan pada tahun 2017, Pemerintah akan gunakan skema defisit (deficit financing), yang bertumpu pada hutang, untuk membiayai 18


pembangunan nasional.Postur RAPBN tahun 2017 disusun dengan menggunakan kaidah ekonomi publik yang terdiri atas pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran. Pada tahun 2017, besaran pendapatan negara ditetapkan mencapai Rp1.737.629,4 miliar. Di lain pihak, dengan mengacu pada pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2017, besaran anggaran belanja negara untuk tahun 2017 dialokasikan sebesar Rp2.070.465,9 miliar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa APBN 2017 defisit sebesar 332.836,5 miliar, atau defisit -2.41% terhadap PDB, memburuk dari tahun 2016 yang defisit -2.35% terhadap PDB. Meskipun, perencanaan anggaran kali ini diapresiasi karena lebih realistis, akan tetapi tetap saja hal ini menjadi sinyal negatif bagi masa depan perekonomian Indonesia.[5] Target dan Realisasi Pengampunan Pajak Lalu bagaimana realisasinya? Dari target pemerintah yang menargetkan deklarasi Rp 3.500 triliun, repatriasi Rp 1.000 triliun, dan dana tebusan sebesar Rp 165 triliun, realisasinya masih jauh dari harapan. Berdasarkan data terakhir di bulan pertama: Target vs. Realisasi Deklarasi 

Target Deklarasi Rp 3.500 triliun

Realisasi Deklarasi (Per 21 Agustus) Deklarasi Dalam Negeri Rp 35,53 Triliun (96.08% dari total pelaku deklarasi); Deklarasi Luar Negeri Rp 1,450 Triliun (3.92% dari total pelaku deklarasi); Sehingga total Deklarasi Rp 36,980 Triliun atau baru sebesar 1.06% dari total target Rp 3.500 Triliun. Target vs. Realisasi Repatriasi

Target Repatriasi Rp 1.000 triliun

Realisasi Repatriasi (Per 21 Agustus) Rp 1,450 Triliun atau baru sebesar 0.15% dari total target Rp 1.000 Triliun. Target vs. Realisasi Dana Tebusan

Target Dana Tebusan Rp 165 triliun

Realisasi Dana Tebusan (Per 21 Agustus) Rp 863 miliar atau baru sebesar 0.52% dari total target Rp 165 Triliun.

19


Pembahasan Apabila dihitung secara rata-rata target pengampunan pajak didistribusikan secara merata setiap bulannya, maka semestinya pencapaian setiap bulannya mengikuti garis biru. Apabila melihat data eksisting, realisasi pada bulan pertama, dengan asumsi pertumbuhan keberhasilan program secara linier, maka perlu ada upaya supaya pemasukan baik dari deklarasi, repatriasi maupun penebusan, sesuai dengan garis merah (target II - terkoreksi). Adapun apabila melihat data secara eksisting, dengan proyeksi pertumbuhan konstan (business as usual), menggunakan asumsi yang sama, maka program pengampunan pajak hanya sebatas garis jingga (No-Action).

Grafik 1 Proyeksi Target, Target terkoreksi dan Deklarasi dengan skema Business as Usual (Sumber: Hasil Analisis, 2016)

20


Grafik 2 Proyeksi Repatriasi, Target Repatriasi terkoreksi, dan Repatriasi dengan skema Business as Usual (sumber: Hasil Analisis, 2016)

Grafik 3 Proyeksi Target Tebusan, Target Tebusan Terkoreksi, dan Tebusan dengan Skema Business as Usual (Sumber: Hasil Analisis, 2016)

21


Epilog: Sebuah Renungan untuk Aliansi BEM Seluruh Indonesia Mei lalu, kita telah melihat indikasi-indikasi bahwa terdapat potensi penyimpangan dalam pelaksanaan program pengampunan pajak, pasca berlakunya UU No 11 Tahun 2016. Terutama dalam hal ketidakadilan hukum, diskriminasi hukum terutama bagi yang selama ini taat pajak. Juga sebagai bentuk perlindungan bagi penjahat-penjahat penggelapan dana, pencucian uang dan korupsi, yang tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang dijanjikan Nawa Cita Poin ke 4: yang menyatakan bahwa Pemberantasan Korupsi menjadi agenda prioritas, secara konsisten dan terpercaya[5]. Sedangkan berlakunya UU No 11 Tahun 2016 sangat menodai upaya konsisten pemberantasan korupsi, karena informasi hasil Pengampunan Pajak, TIDAK BISA digunakan sebagai bukti penyidikan, penyelidikan, di masa mendatang. Sedangkan manfaat yang dijanjikan pun tak juga terbukti. Repatriasi Aset yang diduga akan masuk menjadi aliran modal bagi pembangunan ke Indonesia, masih sekedar omong kosong, bagaimana tidak? Hanya 3.92% yang mendeklarasikan aset di Luar Negeri dari total peserta pengampunan pajak. Ketidakpastian menjadi salah satu alasan, pasalnya, warga negara Indonesia (WNI) yang selama ini berada di luar negeri, dan terduga sebagai tax evaders atau penghindar pajak, selama ini membayar pajak pada negara tempat dimana mereka berdomisili. Sehingga terdapat kekhawatiran bahwa dengan menjadi peserta Pengampunan Pajak, maka yang bersangkutan akan menjadi Wajib Pajak di dua negara [1]. Hal inilah yang sejak dulu kita waspadai bersama, bahwa payung hukum, peraturan yang lebih rinci, layanan petugas ditjen pajak dan instrumen investasi yang ditawarkan oleh pemerintah secara jelas dan konkret belum siap 100 persen. Kini, Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi pun mengakui bahwa terdapat resiko realisasi Pengampunan Pajak di bawah Target[1]. Melihat lansekap politik di DPR, dengan komposisi Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (KPP) sejumlah 7 partai, Partai Oposisi sejumlah 2 partai, dan Partai netral sejumlah 1 partai, peran DPR sebagai check and balance kekuasaan pemerintah, bisa dikatakan kurang berfungsi. Apabila mahasiswa, yang semestinya sadar dan paham kondisi bangsanya, terdiam dan kurang kritis dalam mengawal, serta cenderung hanya wait and see menunggu perkembangan keadaan, jangan salahkan masyarakat jika masyarakat tidak lagi memiliki harapan kepada pergerakan mahasiswa.

22


Saya tidak bermaksud untuk anti-pembangunan, tidak. Tidak pula untuk menebarkan sikap anti-pemerintah. Namun, diamnya kita disaat sebenarnya ada yang salah meskipun sedikit, hanya karena kita melihat ada yang benar dari hal tersebut. Maka itulah saat dimana wacana penguasa menang, Berdiri gagah menginjak-injak hak rakyat, yang Sengaja ataupun tidak Terampas oleh kepentingan, segelintir yang kuat Padahal, Semestinya, kaum muda harus bisa menawarkan wacana alternatif Bukan untuk menghancurkan kemapanan, namun untuk samasama membangun Dengan peran yang dimiliki masing-masing. Bukan sekedar, menunduk mengiyakan, sepakat dan pasrah pada keadaan tanpa kritis menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi “Semoga, Nurani tetap menyala� Referensi [1] ------.2016.Pengampunan Pajak: Jangan Takut-takuti Wajib Pajak. Jakarta: Harian Kompas Senin, 22/08/16 [2] ------.2016.Penjelasan UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia [tersedia di: https://pengampunanpajak.files.wordpress.com/...] [3] ------.2016.Risalah Persidangan Perkara Pengujian Undang-Undang No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia [tersedia di: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/...] [4]-------.2016.Resume Perkara Uji Materil Undang Undang No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia [tersedia di: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/...] [5] --------.2016. Nota Keuangan RAPBN 2017. Jakarta: Kementerian Keuangan. [tersedia di: http://www.anggaran.depkeu.go.id/co...] [6] --------.2014.Visi Misi Jokowi JK. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. [tersedia di: kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J...] 23


Salah Habitat (III) Tersesat di PrepCom 3 Nayaka Angger

Setidaknya selama tiga hari, Surabaya menjadi salah satu primadona media dunia. Bukan karena tembakan ataupun ledakan, melainkan karena kontribusinya sebagai tuan rumah Preparatory Committee 3 (PrepCom 3) untuk Habitat III pada 25–27 Juli silam. Konferensi ini dihadiri oleh lebih dari 4.000 partisipan dari 142 negara dan diselenggarakan sebagai persiapan penyusunan New Urban Agenda yang akan dibawa pada Habitat III di Quito, ibu kota Ekuador, pada 17–20 Oktober mendatang. PrepCom dan Celotehnya Habitat adalah konferensi dunia yang membicarakan mengenai pemukiman dan perkotaan yang diadakan oleh United Nations (UN) setiap dua puluh tahun sekali. Pada Habitat III, isu besar yang diusung adalah urbanisasi, dimana lebih dari setengah populasi dunia kini telah tinggal di daerah perkotaan. Pembeludakan tersebut tentu menuntut sebuah pendekatan baru dalam menilik kehidupan kota, sehingga Habitat mencoba untuk menjawabnya melalui penyusunan New Urban Agenda sebagai mandat internasional framework pengelolaan masalah perkotaan. PrepCom 3 sendiri merupakan forum persiapan terakhir sebelum New Urban Agenda diadopsi pada Habitat III di Quito nanti. Secara umum, PrepCom 3 terdiri dari plenary session dan main committee, side event, serta ekshibisi.Plenary session dan main committee adalah dua alam yang tidak bisa dilejajahi oleh partisipan biasa, dimana di dalamnya terjadi negosiasi politis antar negara mengenai konten New Urban Agenda. Acara yang masih dapat dinikmati oleh partisipan biasa adalah side event dan ekshibisi. Kebanyakan side event berbentuk seminar ataupun dialog yang mengangkat tema sesuai dengan New Urban Agenda, terutama 22 issue paper yang diajukan dalam negosiasi. 24


Pembicara yang diundang juga terlibat langsung di dalam negosiasi, sehingga dengan mengikuti side event bisa didapatkan gambaran mengenai New Urban Agenda. Ekshibisi, di lain sisi, dibuka untuk masyarakat umum. Ia diikuti oleh puluhan stakeholder terkait tema pembangunan kota, khususnya pemerintah, NGO, asosiasi profesi, dan organisasi lainnya. Seringkali ditemukan orang aneh di sini, mulai dari birokrat berdasi kupu-kupu sampai aktivis yang ngopi di lantai, saling berbincang berkonspirasi. PrepCom dan Surabaya Setelah memulai debutnya pada forum di Argentina 2014 lalu, Bu Risma berhasil meyakinkan dunia bahwa Surabaya layak untuk menjadi host city untuk PrepCom 3. Benar saja, ia tidak hanya berhasil, tetapi juga sukses menyajikan pelayanan terbaik selama menjadi tuan rumah. Jalan yang bersih dan nyaman, keamanan yang dijaga ketat, gala dinner yang megah, festival dan tur di penjuru kota, serta kudapan yang tak henti-hentinya mengalir. Penyelenggaraan PrepCom 3 ditanggung oleh host country, bukan oleh UN seperti yang mungkin kita kira. Pelaksanaannya ditangani oleh Pemerintah Kota Surabaya dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dibantu oleh event organizer serta UN. Menurut intel, penyewaan gedung acara dan penyelenggaraannya dibiayai oleh PUPR, sedangkan gala dinner dan acara-acara lain ditanggung oleh Pemkot. Referensi menyatakan bahwa dibutuhkan US$500.000 — US$1 juta US$ untuk dikontribusikan ke Habitat III Trust Fund demi berpartisipasi dalam Habitat III. Sedangkan berdasarkan intel yang belum tentu valid, Indonesia merogoh setidaknya Rp30 miliar (setara US$2,3 juta) dari kocek negara dan APBD kota atas nama diplomasi internasional ini. Tapi di balik semua itu, ada mereka yang tersingkirkan. Terdapat setidaknya dua titik PKL yang ditertibkan dan dicerabut dari pencahariannya selama seminggu kemarin, atau lebih, sehingga Surabaya terlihat begitu lengang. Masih juga dihiasi pemukiman kumuh di pojok-pojok kota Surabaya, walau bus-bus besar berpawai di sepanjang jalan bersama belasan voorijder. Seluruh kemewahan yang disajikan di atas justru menjadi momok bagi apa yang sesungguhnya 25


ingin dicapai. Inklusif? Ekonomi informal? Kemiskinan? Tentu, mari kita rayakan itu dengan makan malam di taman. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Surabaya telah menjadi garda terdepan dalam mencapai kota berkelanjutan. Terlepas dari hipokrisi yang mungkin tidak disengaja, Surabaya pantas disanjung atas keberhasilannya dalam PrepCom 3. PrepCom dan Mahasiswa PrepCom 3 dapat digambarkan sebagai sebuah tempat di mana terdapat tiga anjing pelacak di setiap pintu, lobbying internasional di wastafel kamar mandi, ocehan kota inklusif di sudut-sudut ruang, dan coffee break di setiap kesempatan. Sangat mudah bagi seorang mahasiswa atau orang biasa untuk tersesat ketika berkeliaran di hajatan sekaliber itu. Namun, dengan berbekal beberapa trik dan putusnya sejumlah urat malu, terlibat dalam PrepCom 3 tidak jadi seburuk itu. Orang-orang di sana sangat terbuka dengan partisipasi dan ide tanpa memandang usia atau pengalaman. Tak jarang pertanyaan yang Anda ajukan di forum dapat berakhir dengan pertukaran kartu nama saat makan siang. Berlawanan dengan anggapan umum, mahasiswa dan pemuda justru sangat dinantikan dalam rangkaian acara ini. Materi dalam seminar serta obrolan-obrolan ringan menyuratkan bahwa pemudalah yang diharapkan untuk berpartisipasi aktif dalam wacana masa depan kota. Dengan Habitat yang diadakan 20 tahun sekali, mungkin setengah dari mereka sudah mati di Habitat IV nanti sehingga partisipasi generasi muda harus dimulai dari sekarang. Tetapi, memang sulit rasanya berdiri di hadapan delegasi dari ratusan negara dan meracau tentang ini itu sebagai seseorang dengan usia yang belum lama saja diperbolehkan menonton film biru. Sebagai pemuda dan akademisi, mahasiswa perencanaan seharusnya dapat terlibat aktif dan memberikan kontribusi yang bernas dalam keberjalanan agenda semacam Habitat. Banyak mahasiswa perencanaan yang datang ke PrepCom 3, tapi sayangnya kebanyakan datang sebagai partisipan biasa. Menariknya, yang justru menjadi salah satu acknowledge stakeholder di sana adalah sebuah ikatan mahasiswa 26


kedokteran. Tanpa bermaksud mendiskreditkan siapa pun, adalah sebuah ironi ketika ikatan mahasiswa perencanaan justru hilang genggaman dari sebuah perhelatan di bidang keahliannya. Jadi, mari bangkit‌? Epilog Apa yang terjadi di Habitat III mungkin tidak sepenuhnya berdampak pada usaha kita untuk memperbaiki kota-kota di Indonesia. Tetapi sebagai sebuah mandat internasional, New Urban Agenda dapat memengaruhi banyak hal selama dua puluh tahun ke depan; mulai dari kurikulum kuliah sampai kebijakan wali kota. Dan dua puluh tahun lagi, di Habitat IV, giliran kita berdiri di ruang-ruang yang tadinya terkunci, memuntahkan basa-basi tentang sesuap nasi. --Rabu, 3 Agustus 2016

27


disharmonia on progressio ITB Cirebon Bima Satria

Penerimaan Mahasiswa Baru ITB Cirebon[1] Seleksi ITB Kampus Cirebon (Bekerjasama dengan Pemprov Jabar berdasarkan mandat Kemristekdikti) Untuk menunjang visi perguruan tinggi berwawasan wirausaha (entrepreneurial university), mulai tahun 2015, ITB bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat berdasarkan mandat dari Kemristekdikti, menyelenggarakan pendidikan sarjana di Kabupaten Cirebon. Keberadaan ITB Kampus Cirebon merupakan bagian yang terikat dan menyatu dengan ITB Kampus Ganesa Bandung, sehingga seluruh administrasi akademik penyelenggaraan studi sifatnya setara, paralel, dan tidak dibedakan. Pada tahun 2016, ITB Kampus Cirebon membuka 3 (tiga) program studi (kelas reguler), yaitu : 1. Teknik Industri yang berada di bawah Fakultas Teknologi Industri (FTI) 2. Perencanaan Wilayah dan Kota yang berada di bawah Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) 3. Kriya yang berada di bawah Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Di tahun pertamanya mahasiswa baru ITB Kampus Cirebon menempuh Matrikulasi Penyamarataan Tahap Persiapan Bersama (TPB) di Kampus ITB Jatinangor. Berbeda dengan mahasiswa ITB yang diterima melalui jalur masuk lain, menempuh masa TPB di Kampus Ganesha. Pada tahun kedua, mahasiswa ITB Kampus Cirebon direncananyakan menempuh pendidikan di kampus ITB yang terletak

28


di Kabupaten Cirebon, tepatnya sementara ditempatkan di Asrama Haji, Kecamatan Watubelah[2]

Maket rencana Gedung Kampus ITB Cirebon, sumber: Kementerian Pengembangan dan Apresiasi Keluarga Ganesha Mahasiswa Cirebon

Pendidikan di Luar Domisili Pembukaan program pendidikan oleh ITB di Kampus Cirebon merupakan bentuk penyelenggaraan Pendidikan di Luar Domisili (PDD) yang memang diatur dalam Statuta ITB[3] [Pasal 4 ayat (1)] “ITB menyelenggarakan kegiatan Tridharma dan kegiatan lainnya secara terintegrasi, harmonis, dan berkelanjutan baik di dalam maupun di luar domisili ITB.�

29


Penyelenggaraan

PDD

tersebut dikoridori oleh

Pemerintah

melalui peraturan menteri pendidikan nasional No 20 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan PDD[4] [Pasal 1 ayat 2] “Penyelenggaraan program studi di luar domisili adalah pelaksanaan kegiatan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi di luar domisili perguruan tinggi sebagaimana dicantumkan dalam izin pendirian perguruan tinggi dan/atau izin penyelenggaraan program studi yang ditetapkan oleh Kementerian.” [Pasal 2 ayat 1] “Penyelenggaraan program studi di luar domisili dilaksanakan dengan prinsip akuntabilitas publik perguruan tinggi dengan mutu setara dengan program studi yang sama di domisili perguruan tinggi tersebut.”

Kenapa PDD? Pada Peraturan tentang Penyelenggaraan PDD tersebut (Permendiknas 20/2011), tidak diterangkan secara eksplisit latar belakang dibalik penyelenggaraan PDD ini. Namun ada beberapa argumen untuk menjelaskan penyelenggaraan PDD. Duplikasi Institusional Peraturan Penyelenggaraan PDD mensyaratkan bahwa program studi yang dibuka di luar domisili harus sama kualitasnya dengan program studi yang ada di domisili asal. Ini artinya bahwa penyelenggaraan PDD adalah duplikasi penyelenggaraan program studi yang sama di dua atau lebih lokasi yang berbeda. [Pasal 3 ayat 1] “Penyelenggaraan program studi di luar domisili wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: b. perguruan tinggi penyelenggara program studi di luar domisili telah memperoleh akreditasi A untuk program studi yang sama di domisili perguruan tinggi tersebut;

30


c. program studi di luar domisili harus memperoleh peringkat akreditasi yang sama dengan program studi di domisili perguruan tinggi paling lambat 3 (tiga) tahun; d. program studi di luar domisili diselenggarakan dengan kebijakan, manual, standar, dan dokumen penjaminan mutu yang sama dengan program studi di domisili perguruan tinggi tersebut; e. h. kurikulum program studi di luar domisili ditetapkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan sama dengan kurikulum program studi di domisili perguruan tinggi tersebut, kecuali diperlukan kekhasan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan setempat;� Menyelenggarakan program studi yang sama di lokasi yang berbeda secara economic efficiency tidaklah efisien karena opportunity cost yang lebih besar, jika dibandingkan dengan daya tampung yang sama di lokasi yang teraglomerasi di satu tempat Kenapa tidak efisien? Karena adanya keuntungan aglomerasi dan economic of scale (skala ekonomi) yang hilang dari pemisahan lokasi untuk produksi pengetahuan dan kualifikasi SDM yang sejenis. Apa Contohnya? perpustakaan, Kelembagaan riset dan penelitian, tenaga pengajar, jaringan dengan pemerintah dan swasta setempat, atmosfer keilmuan (berikut juga atmosfer penunjang kurikuler dan pelengkap kurikuler seperti aktivitas kemahasiswaan), semua hal tersebut bisa dimanfaatkan di satu tempat yang sama meskipun dengan daya tampung yang lebih besar dari sistem pemisahan program studi di dua tempat. Kebutuhan akses geografis perdidikan tinggi oleh wilayah tujuan Seperti yang kita ketahui, bahwa lokasi perguruan tinggi belum tersebar merata[5] baik secara kuantitas[6] maupun kualitas[7] di seluruh wilayah Indonesia. Selain berupaya untuk mendorong berdirinya perguruan tinggi di wilayah yang kekurangan[8], pemerintah juga berupaya melalui mekanisme penyelenggaraan pendidikan tinggi Jarak Jauh[9] (PJJ) dan Pendidikan di Luar Domisili (PDD). PJJ lebih dulu lahir dibandingkan dengan PDD namun keduanya berdiri atas dasar yang sama. Yaitu agar perguruan tinggi menjangkau wilayah yang membutuhkan akses geografis terhadap pendidikan tinggi. Kebijakan Penyelenggaraan pendidikan di luar domisili pertama kali dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2009 melalui Permendiknas No 9 tahun 2009[10] dengan menimbang:

31


“bahwa sebagai salah satu upaya mendukung peningkatan akses warga negara pada pendidikan tinggi yang bermutu, sumber belajar harus didekatkandengan domisili peserta didik.� Kemudian peraturan tersebut diperbarui dengan Permendiknas No. 20 Tahun 2011. Bagian menimbang tersebut dihapuskan, namun masih terdapat makna yang sama pada pasal 3 ayat 1 butir e: “e. penyelenggaraan program studi di luar domisili dilakukan untuk memenuhi minat calon mahasiswa pada program studi tersebut yang belum dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi setempat;� Pendidikan di luar domisili ini merupakan sebuah upaya untuk menjangkau secara geografis wilayah permukiman yang membutuhkan akses terhadap pendidikan tinggi yang belum dapat disediakan oleh otoritas setempat. Dan semenjak pemberlakukan desentralisasi otonomi daerah, menjadi peran pemerintah daerah untuk menyediakan akses terhadap pelayanan dasar, salah satunya yaitu penyelenggaraan pendidikan[11].

Jadi menurut saya, tidak ada motif lain dari penyelenggaraan PDD ini selain memang mengejar agar perguruan tinggi menjangkau secara lokasi daerah luar domisili/ daerah tujuan. PDD dan Multikampus? Keberadaan konsep Multikampus didorong oleh dua hal yaitu, Pertama, keterbatasan kapasitas kampus awal dalam menampung penyelenggaraan pendidikan tinggi. Seperti pada kasus Kampus ITB Ganesha seluas 28 Ha yang sudah tidak mampu lagi menampung beban civitas akademika dan pegawainya[12]. Maka atas dasar overload itulah yang mendorong dibukanya kampus ITB Jatinangor[13]. Argumen kedua, keuntungan geografis/lokasional yang ditawarkan kampus baru bagi penyelenggaraan pendidikan untuk disiplin ilmu tertentu. Ssperti calon kampus ITB Bekasi yang mendukung untuk bidang keilmuan Industrial dan manufaktur dikarenakan terdapat industri dan pabrik yang relevan di Bekasi[14] Maka PDD bukanlah multikampus, karena multikampus tidak akan pernah menduplikasi program studi dengan kualitas yang sama.

32


Kenapa Cirebon? Pemerintah Jawa Barat memang serius[15] untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) terhadap pendidikan di Jawa Barat yang memang relatif lebih rendah dibandingkan provinsi lain[16]. Tapi kenapa Cirebon? Sedangkan banyak kabupaten/kota di jawa barat yang belum memiliki perguruan tinggi sebanyak[17] di Cirebon? Pada awalnya calon kampus PDD ITB adalah Kabupaten Pangandaran yang baru terbentuk mekar secara legal pada tahun 2012[18] dan Kota Cirebon. Berdasarkan ambisi dari Pemerintah Jawa Barat[19] Kabupaten Pangandaran merupakan pusat pertumbuhan baru dan dipromosikan untuk menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN-P) Pariwisata dan Perikanan, sedangkan Kota Cirebon dan sekitarnya (Sebagian wilayah Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan) direncanakan menjadi Kota Metropolitan Cirebon Raya)[20]. Konsep pusat pertumbuhan (growth center) dan twin metropolitan (Metropolitan Bandung Raya dan Metropolitan Cirebon Raya) telah disahkan melalui Peraturan Daerah №12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat (P2MP2JB)[21]. Apabila kita mengesampingkan permasalahan tumpang tindih dan tidak sinkronnya antara Perda P2MP2JB, dengan RTRWN, RTRW Jawa Barat dan RTRW Kabupaten/Kota di Jawa Barat sebelum revisi, maka keberadaan PDD di dua calon lokasi tersebut (pangandaran dan cirebon) pada awalnya adalah berasal dari keinginan Pemerintah Jawa Barat, Bukan dari Kabupaten/Kota masing-masing daerah. [Pasal 3 ayat 1, butir f] Permendikan tentang Penyelenggaraan PDD “f. penyelenggaraan program studi di luar domisili didukung oleh pemerintah daerah kabupaten/kota setempat;� Karena Cirebon dan Pengandaran adalah wilayah yang diusulkan/direncanakan untuk menjadi pusat pertumbuhan dan mesin pertumbuhan ekonomi, maka keberadaan Insititusi pendidikan memang sejalan dan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah karena meningkatkan indikator human capitalnya[22] dan inovasi teknologi[23]

33


Gambaran Konsep Metropolitan Jawa Barat, sumber; metropolitan.jabarprov.go.id

Sebelum lebih jauh mempertanyakan kenapa daerah Cirebon yang dipilih menjadi lokasi PDD, pertanyaan yang sebaiknya diajukan adalah Kenapa ITB bersedia menyelenggarakan PDD? Kenapa ITB Bersedia? [Pasal 4 Ayat 1] Peraturan Penyelenggaraan PDD “Dalam hal terdapat kebutuhan untuk menyelenggarakan program studi di luar domisili dalam bidang dan kondisi tertentu, Menteri dapat menetapkan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan program studi tersebut.� Bukan, Bukan atas dasar arahan menteri lah ITB menyelenggarakan PDD, melainkan adalah hasil runding dan negosiasi ITB sebagai PTN BH dengan Pemprov Jawa Barat. Semua berawal dari Nota Kesepakatan Bersama (MoU) ITB dengan Jabar pada tahun 2010 mengenai peminjaman aset Kampus Winaya Mukti milik Pemprov selama 30 Tahun, yang mana menjadi Kampus ITB Jatinangor saat ini[24]. Pemprov Jabar memang serius dalam meningkatkan APK Jabar, terdapat butir perjanjian untuk menyediakan kuota khusus bagi calon mahasiswa yang memiliki KTP Jawa Barat untuk diterima di ITB, serta menerima sejumlah PNS dari lingkungan Pemprov Jabar untuk menempuh pendidikan di ITB yang mana biayanya ditanggung oleh ITB. 34


Persebaran Asal SMA Mahasiswa S1 ITB 2014, sumber: http://infografis.itb.ac.id/data-info-itb-2014/

Persebaran Asal SMA Mahasiswa S1 ITB 2015, sumber: http://infografis.itb.ac.id/data-info-itb-2015-akademik/

Kemudian pada tahun 2015, Pemprov Barat berniat untuk menyerahkan aset tersebut sepenuhnya ke ITB dengan syarat ITB bersedia menyelenggarakan PDD di Provinsi Jawa Barat untuk wilayah Cirebon atau Pangandaran. ITB kemudian membentuk tim kajian untuk memiih satu di antara dua pilihan lokasi ini. Selanjutnya diputuskan untuk memilih Cirebon sebagai lokasi di luar domisili untuk penyelenggaraan PDD[25]

35


Calon Kampus PDD di Kabupaten Cirebon, sumber:http://arsip.itb.ac.id/uploads/arsip/32560Laporan_Kinerja_dan_Keuangan _ITB_2015.pdf

Sebuah Ironi in Harmonia Progressio harmonia itu sebuah keselarasan, kerukunan, dan kebersamaan yang berasa sangat hangat dan indah. Sedangkan progressio bermakna kemajuan. Secara keseluruhan bermakna kemajuan dalam keselarasan. Asal Daerah Mahasiswa ITB Cirebon Saya dan Anda tentunya berekspektasi bahwa mahasiswa yang menempati kampus ITB Cirebon merupakan mahasiswa yang berasal dari Cirebon. Karena memang tujuan awalnya PDD kampus Cirebon adalah untuk memeberikan akses geografis terhadap pendidikan tinggi bagi penduduk cirebon. Seperti yang diharapkan oleh Bupati Cirebon[26]. Berdasarkan hasil pendataan mahasiswa baru ITB 2016 dari Kementerian Data Publik Kabinet Nyala KM ITB 2016, setidaknya terdapat 95 Mahasiswa ITB Kampus Cirebon tersebar merata di tiga program studi tersebut. Jika ditinjau dari asal daerahnya (94 data mahasiswa yang valid), Memang sebagian besar mahasiswa ITB Cirebon berasal dari Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 73 Mahasiswa (Dan memang sebagian besar mahasiswa ITB setiap tahunnya selalu berasal dari Jawa Barat). Dan terdapat 3 mahasiswa yang berasal dari Kota Cirebon, dan 8 dari

36


Kabupaten Cirebon. 11 mahasiswa ini memang terbilang kecil dari total 94 mahasiswa ITB Cirebon 2016.

Grafik Asal Provinsi Mahasiswa ITB Cirebon, sumber: Kementerian Data Publik KM ITB, 2016 Jumlah Mahasiswa ITB Cirebon 2016 berdasarkan asal kab/kota di Provinsi Jawa Barat, Sumber: Kementerian Data Publik KM ITB, 2016

ITB memang tidak menyaratkan apapun Terkait asal daerah pada proses penerimaan mahasiswa ITB Kampus Cirebon, sehingga sangat wajar jika mahasiswa yang terseleksi masuk adalah sesuai dan tergambarkan pada grafik di atas. Tujuan penyelenggaraan PDD di Cirebon ini bukan lagi agar menumbuhkan minat penduduk setempat pada program studi terkait di perguruan tinggi. Tetapi melainkan untuk memperlancar ambisi pembentukan metropolitan cirebon raya sebagai pertumbuhan ekonomi yang gagal sinkron dengan produk perencanaan yang diatas dan dibawahnya

37


Rencana Tiba-Tiba Seperti halnya rencana Pembangunan Kereta Cepat IndonesiaChina yang cepat-cepat atau mendadak[27], sama halnya dengan perencanaan dan eksekusi kampus ITB cirebon . [Pasal 3 ayat 1] Peraturan Penyelenggaraan PDD “g. penyelenggaraan program studi di luar domisili telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis 5 (lima) tahun perguruan tinggi penyelenggara;” Dalam dokumen Renstra ITB 2016[28], tidak ada rencana untuk pembangunan kampus ITB Cirebon.

Mahasiswa Dahulu Gedung Kuliah Kemudian [Pasal 3 ayat 1] Peraturan Penyelenggaraan PDD “p. sarana dan prasarana lainnya dimiliki sendiri atau disewaguna/kontrak untuk jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) tahun meliputi fasilitas fisik pendidikan, yang dibuktikan dengan sertifikat atau perjanjian dengan ketentuan minimal: 1. ruang kuliah : 0.5 m2 per mahasiswa; 2. ruang dosen tetap : 4 m2 per orang; 3. ruang administrasi dan kantor : 4 m2 per orang; 4. ruang perpustakaan dengan jumlah pustaka sebagai berikut: a) paling sedikit 120 (seratus dua puluh) judul buku (hard copy atau soft copy) per program studi dan setiap judul buku (hard copy) minimal memiliki 2 (dua) eksemplar; dan b) paling sedikit 10 (sepuluh) judul jurnal ilmiah (hard copy) per program studi;” Mahasiswa tahun pertama Kampus ITB Cirebon ‗ditampung‘ sementara di Kampus ITB Jatinangor. Terpisah dengan Mahasiswa Tahun Pertama (TPB) lainnya yang berkuliah di kampus Ganesha. Terlepas dari permasalahan fasilitas ruang dan kemahasiswaan yang dialami oleh Mahasiswa ITB Cirebon saat ini di Kampus Jatinangor, Pembangunan Gedung Kampus ITB Cirebon baru dilakukan pertengahan tahun 2016[29].

38


39


Penutup Jika melihat jauh kebelakang, ada masanya di mana Perguruan Tinggi Negeri di Republik ini merupakan Perguruan Tinggi yang terjamin pendanaannya oleh Pemerintah. Sehingga perguruan tinggi cukup fokus pada penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berkualitas tanpa perlu repot memikirkan anggaran. Semenjak drama Perguruan Tinggi BHMN dan Perguruan Tinggi PTN BH tidak heran akan ada banyak kebijakan sejenis untuk memperoleh anggaran sebesarbesarnya. Meskipun pada pasal 2 ayat 3 butir c. Peraturan Penyelenggaraan PDD “c. tidak melakukan komersialisasi pendidikan dalam penyelenggaraan program studi di luar domisili;” namun faktanya keberadaan Kampus ITB Cirebon saat ini merupakan hasil ‗tukar tambah‘ kepemilikan aset kampus ITB Jatinangor. Setidaknya 95 Mahasiswa adalah harga yang harus dibayar oleh ITB.

Sumber: [1] Seleksi Masuk ITB http://usm.itb.ac.id/wp/?page_id=1706 [2] Kementerian Pengembangan dan Apresiasi Keluarga Ganesha Mahasiswa Cirebon [3] STATUTA ITB 2013 http://sa.itb.ac.id/wpcontent/uploads/2012/09/STATUTA-ITB-PP-RI-No.-65-2013.pdf [4]Permendiknas №20 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan PDDhttp://www.unm.ac.id/files/surat/permendiknas-nomor-20-tahun2011.pdf [5] http://www.antaranews.com/berita/459504/mendikbud-akui-ptn-belumtersebar-merata [6] Jumlah Perguruan Tinggi 1, Mahasiswa, dan Tenaga Edukatif (Negeri dan Swasta) di Bawah Kementrian Agama Menurut Provinsi 2013/2014https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1840 [7] http://ristekdikti.go.id/wpcontent/uploads/2016/02/klasifikasi20151.pdf [8] http://forlap.ristekdikti.go.id/files/downloadinfografis/Mw~~ [9] http://kuliahdaring.dikti.go.id/s/berkas/view/1/panduan/pjj [10] http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/Permen30-2009.pdf [11] http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU23-2014PemerintahDaerah.pdf

40


[12] Pemaparan Ibu Betty http://mwa-wm.itb.ac.id/pembahasan-pembukamultikampus-itb/ [13] Kajian Akademik Kampus ITB Jatinangor http://lp4.itb.ac.id/wpcontent/uploads/Program-Akademik-di-Kampus-Jatinangor.pdf [14] Kajian Akademik Kampus ITB Bekasi http://lp4.itb.ac.id/wpcontent/uploads/A-4-Program-Akademik-di-Kampus-Bekasi.pdf [15] https://www.unpad.ac.id/2015/04/tiga-tahun-lagi-apk-pendidikanmenengah-di-jawa-barat-harus-capai-100/ [16] BPS, Angka Partisipasi Kasar berdasarkan Provinsi 2011– 2015https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1050 [17] https://cirebonkota.bps.go.id/new/website/pdf_publikasi/KotaCirebon-Dalam-Angka-2016r1.pdf [18] UU Pembentukan Kabupaten Pangandaranhttp://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU%2021Th%202012%2 0Pemb%20Kab%20Pangandaran.pdf [19] http://metropolitan.jabarprov.go.id/ [20] Konsep Metropolitan Cirebon Rayahttp://metropolitan.jabarprov.go.id/sources/download/paper/e114808-konsep-awal-pengembangan-metropolitan-cirebon-raya_juni-2013_a22.pdf [21] http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_JABAR_12_2014.pdf [22] Solow Model: Educationhttp://www.econ.ku.dk/okojacob/makromappeE02/Chapter07.pd f danhttp://www.mruniversity.com/courses/principles-economicsmacroeconomics/human-capital-conditional-convergence [23] Solow Model: Ideas http://www.mruniversity.com/courses/principleseconomics-macroeconomics/solow-model-ideas [24] perjanjian kerjasama antara pemerintah provinsi jawa barat dengan institut teknologi bandung tentang peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui penyelenggaraan pendidikan tinggi №073/02/Otdaksm 002/K01/DN/2010 http://xa.yimg.com/kq/groups/21815699/445254002/name/MOU+Pem.Jab ar.docx ; https://multisite.itb.ac.id/jatinangor/wpcontent/uploads/sites/17/2015/03/363-DN-2010-C.pdf http://www.ftsl.itb.ac.id/wpcontent/uploads/sites/17/2015/03/Addendum-Pertama-No-65-Tahun-20101.pdf https://jatinangor.itb.ac.id/wpcontent/uploads/sites/17/2015/03/Addendum-Kedua-No-004-Tahun-20131.pdf [25] Pembentukan tim kajian Akademik dan Infrastruktur dalam rangka penyelenggaraan pembelajaraan di luar domisili (PDD) di Pangandaran atau 41


Cirebon tahun anggara 2015 http://sappk.itb.ac.id/wpcontent/uploads/2014/12/SK-Rektor-17-tahun-2015-Ttg-Tim-KajianAkademik-dan-Infrastruktur.pdf [26]http://news.fajarnews.com/read/2016/02/09/8927/kampus.itb.akan.seg era.dibangun.di.kawasan.watubelah.cirebon danhttp://www.jawapos.com/r ead/2016/08/20/45888/bangun-kampus-di-cirebon-itb-buka-dua-prodi-/2 [27] https://www.facebook.com/notes/luthfi-muhamad-iqbal/jurnal-aksi-01menolak-pembangunan-instan-kereta-cepat/10153921696552389 [28] https://fitb.itb.ac.id/wpcontent/uploads/sites/5/2016/03/renstra_itb_2016_2020.pdf [29] http://lpse.itb.ac.id/eproc/lelang/view/514137 danhttp://lpse.itb.ac.id /eproc/lelang/tahap/514137

42


OMONG KOSONG GERAKAN MAHASISWA Sebuah Prosa Kontemplatif Ardhi Rasy Wardhana

“The Present is the Key to the Past� -James Hutton, Geologist Uniformitarianisme Dalam ilmu geologi, ada sebuah doktrin yang digaung-gaungkan oleh seorang dokter yang akhirnya tersesat di ruang-ruang kebumian, James Hutton. Kitab tersohornya yang berjudul Theory of the Earth memberikan gagasan mengenai uniformitarianisme. Ide ini mengatakan bahwa gaya-gaya yang terjadi saat ini dalam proses pembentukan bumi juga terjadi dahulu kala. Sehingga pembentukan bumi saat ini bisa diprediksi penyebabnya dan seperti apa rupanya di masa lampau. Mengetahui kondisi dahulu kala sangat krusial untuk menentukan seperti apa bumi hari ini dan menerka bentuknya di masa depan. Bapak Geologi Modern ini mungkin patut berbangga hati karena penemuannya ini berhasil memiliki oplah yang tinggi sampai teorinya diadaptasi ke bidang-bidang lain seperti hukum dan agrikultur.

Hipotesis Irrelevan Mahasiswa saat ini banyak yang beranggapan bahwa beban akademik begitu berat karena makin modernnya ilmu pengetahuan yang menyebabkan bertambahnya jumlah praktikum, jam kuliah beserta tetek bengek asistensi, dan lain-lain. Selain itu, indeks penentu kehidupan juga menjadi tujuan utama akibat tingginya kompetisi pascalulus dari perguruan tinggi. Angka ini menjadi tolok ukur kebanggaan sehingga layak diperjuangkan dengan cara apa pun. Batas waktu studi yang singkat juga banyak diperbincangkan karena semakin memperbesar gaya tekan ke dalam sel-sel alat pikirnya. Birokrasi mengikat dan peraturan yang ketat juga menambah panjang alibi mahasiwa untuk tidak melakukan pergerakan. ―Zaman sekarang sudah berbeda‖ menjadi obat mujarab penghindar dari berbagai macam peran mahasiswa di masyarakat. 43


Padahal, sama seperti teori uniformitarianisme, di zaman dulu pun entitas kita mengalami ―gaya-gaya‖ yang serupa. Sukarno di buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa karya Eko Prasetyo menggambarkan betapa sulitnya melakukan pergerakan karena banyaknya praktikum yang menguras tenaga –THS Bandung merupakan salah satu sekolah artes serviles (ilmu tukang) untuk menciptakan pekerja kasar pribumi- dan kelas akademik berbahasa Belanda yang memaksa mahasiswa lokal di zaman itu harus mengeluarkan energi ekstra untuk belajar. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda merepresi seluruh pelajar Indonesia agar tidak melakukan pergerakan dan menelurkan gagasan untuk negrinya. Jika dilanggar, takpelak lagi jeruji besi dan pengasingan menjadi peristirahatan. Tekanan sosial dari lingkungan sekitar seharusnya menyurutkan niat mahasiswa di zaman itu melakukan pergerakan. Tetapi yang terjadi malahan aktor-aktor penggerak tetap lihai memainkan perannya. Hasil perjuangan mereka adalah kedaulatan bangsa yang kita nikmati bersama. Didik Fotunadi, penulis buku Revolusi Secangkir Kopi pun berujar hal yang mirip ketika ditemui di suatu acara seminar mengenai sekolah sosial. ―Dahulu aksi massa bisa dihitung dengan jari jumlahnya di mana peserta yang terlibat tidak sampai dua puluh orang‖, kata mantan Komandan Lapangan OSKM ITB ‘95 itu. Hal ini dikarenakan semua mahasiswa dirundung ketakutan akan rezim orde baru yang bisa saja melenyapkan mereka seketika dari dunia. Ditambah lagi peraturan yang memandulkan kaderisasi dan beraneka ancaman akademik yang sengaja dibuat untuk mengendurkan urat syaraf mahasiswa dalam pergerakan. Dalam kondisi demikian motor-motor penggerak kemahasiswaan pun termarginalkan seperti tergambar dalam buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan, gerakan mahasiswa tahun 1990anoleh Rudy Gunawan dan kawan-kawan yang tertulis ―Mahasiswa yang aktif dalam gerakan mahasiswa hanyalah minoritas di dalam kelas sosialnya.‖ Banyaknya sinisme dari kalangan mahasiswa sendiri maupun rektorat dan pemerintah tidak berhasil memadamkan api semangat para motor kemahasiswaan unjuk gigi dalam roda pergerakan. Konsistensi dan semangat tinggi membangun gerakan tetap dijalankan demi perbaikan zaman. Alhasil, reformasi yang merundukkan tirani dapat diraih. Terlihat dari kutipan sejarah, di setiap masa pasti bekerja gayagaya yang tidak akan pernah musnah, tetapi hanya berubah wujud. Hipotesis mahasiswa kini tentang suasana dulu yang lebih kondusif untuk bergerak karena didukung kondisi dan generasi merupakan 44


asumsi takberdasar yang keluar dari mulut seorang pengecut. Hipotesis itu sama sekali tidak relevan malah terkesan mencari-cari alasan untuk sekadar diam. Apalah artinya mengeluhkan rintangan yang datang menghadang. Anggaplah itu sebuah tantangan yang harus lantang diselesaikan. Takmau bergerak itu sebuah candu dengan beribu alasan. Setelah tahu, tidak malukah kita masih mengutarakan omong kosong alasan tidak ikut serta dalam pergerakan?

“Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan” -James Prescott Joule

Quo Vadis Setiap pergerakan pasti punya tantangan zamannya. Layaknya teori James Hutton, dengan mengetahui gaya-gaya yang tidak bisa hilang dan hanya berubah bentuk, mahasiswa dengan kapasitas intelektualnya dapat menganalisis masa lalu untuk meredefinisi gerakan yang tepat untuk saat ini. Kebingungan mungkin menjalar dan terpancar dari raut muka serta mata penyandang nama ―maha‖ ini. Namun, jangan lah berlarut-larut. Karena secercah petunjuk telah W.S. Rendra ungkapkan dalam karyanya SajakSebatang Lisong yang dibacakan 19 Agustus 1977 di Institut Teknologi Bandung sebagai berikut

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing Diktat-diktat hanya boleh memberi metode Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan Kita mesti keluar ke jalan raya Keluar ke desa-desa Mencatat sendiri semua gejala Dan menghayati persoalan yang nyata … Apakah artinya kesenian, Bila terpisah dari derita lingkungan Apakah artinya berpikir, Bila terpisah dari masalah kehidupan Penggalan kuno tersebut berhasil memberi mahasiswa napas segar akan pergerakan. Besarnya reformasi dahulu dimulai dari merumuskan keadaan. Perumusan ini harus dirasakan dan dialami 45


sendiri oleh aktor penggeraknya sehingga konstruksi gerakan dapat kokoh dan berdiri gagah menyelesaikan masalah. Rakyat tidak butuh pertolongan dari ilmu prematurmu, yang mereka butuhkan adalah gelak tawa sedu sedan bersama serta perhatianmu agar nantinya tak kau lupa memori indah bersama mereka. Sehingga, kelak ketika kau menjadi besar suatu hari, langkah yang kau ambil bukan tentang kau, aku atau segolongan orang saja, tetapi tentang kita semua. --Sabtu, 2 Juli 2016 Di muka perut bumi yang kaya emas.

46


Ilustrator: Devi Kava / Arsitektur ITB 2015

47


Pesan untuk Peserta Kaderisasi Pasif:

“Berani Konflik itu Baik!� Reynaldi Satrio Nugroho

Kaderisasi Pasif Mengadaptasi KBBI, kaderisasi saya definisikan sesuai sebagai proses pembentukan seseorang yang akan memegang peranan penting dalam sebuah organisasi. Sedangkan tambahan kata pasif berarti peserta kaderisasi diposisikan sebagai subjek pasif yang menerima materi dari pelaksana kaderisasi. Biasanya kaderisasi pasif hanya bersifat eventual saja seperti osjur dan os-unit, sedangkan kaderisasi aktif dilakukan terus menerus oleh peserta kaderisasi sendiri dengan cara selalu aktif mencari pembelajaran. Oke jelas ya, jadi jangan sangka kaderisasi akan usai begitu saja setelah mendapat status keanggotaan atau jaket himpunan. Ke depannya, saya berharap pembaca menggunakan definisi yang telah saya sebutkan untuk memaknai tulisan ini. Sila ambil manfaatnya apabila menemukan. Kalau tidak ketemu, yasudah barangkali menambah wawasan. Kegiatan Kaderisasi Sebagai Pemicu Konflik Kegiatan yang membawa kata kaderisasi pasti tidak akan luput dari bayang-bayang konflik. Hal ini disimpulkan dari pengamatan pribadi mengenai suatu hal yang mendasar: perbedaan persepsi mengenai definisi dan tujuan kaderisasi. Pendidikan kader, penanaman nilai, pengembangan softskill, perploncoan, ajang balas dendam dan wadah mencari prestise adalah beberapa contoh makna kaderisasi menurut massa kampus. Keberagamaan pemaknaan tersebut mengindikasikan terdapatnya beberapa sumber konflik menurut McShane & Glinow (2003) yaitu perbedaan tujuan, kepercayaan dan nilai. Sehingga sekali lagi saya tekankan, rasanya wajar apabila kaderisasi selalu menuai konflik terutama di kampus saya yang penuh dengan pengguna jaket himpunan akhir-akhir ini.

48


Mengubah Pandangan Terhadap Konflik "Apakah konflik yang pasti terjadi dalam kaderisasi ini harus dihindari?” Dihadapi dong! Tapi supaya konflik yang dihadapi dalam kaderisasi — yang selalu hits di kampus saya — bisa bermanfaat, pembaca sangat disarankan mengubah pandangan terhadap konflik sesuai perkembangan yang dikemukakan oleh Robbins (2012). Apabila pembaca masih menjawab pertanyaan tadi dengan jawaban ―Ya‖, artinya pembaca berpandangan tradisional menurut pendapat Robbins. Pandangan seperti ini dapat menyebabkan konflik dalam kaderisasi menjadi tidak bermanfaat. Dibanding menggunakan pandangan tradisional, setidaknya cobalah menggunakan kacamata interaksionis dalam memandang konflik. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik absolut dibutuhkan agar sebuah kelompok dapat bekerja efektif. Pada dasarnya, konflik pada tingkatan tertentu akan bersifat fungsional  —  bermanfaat untuk meningkatkan performa organisasi. Kenapa performanya bisa meningkat? Konflik dapat menghindarkan suatu kelompok dari fenomena groupthink. Irving Janis (1972) berpendapat bahwa fenomena ini terjadi pada saat sebuah kelompok membuat suatu keputusan yang salah karena kelompok tersebut terlalu menghindari konflik dan tertekan untuk mencari persetujuan bersama. Janis sendiri mengusulkan solusi, salah satunya adalah menempatkan seorang devil‘s advocate yang selalu menyerang argumen dalam diskusi suatu kelompok. Hal ini juga berlaku dalam konteks kaderisasi pasif. Apabila tidak ada peserta berlaku sebagai devil‘s advocate untuk menyerang argumen pelaksana kaderisasi pasif, bisa jadi keputusan yang diambil oleh peserta dan pelaksana dalam sebuah interaksi justru menggagalkan kegiatan kaderisasi. Jangan keseringan jadi yes-man deh, rugi. Pengader itu tidak selamanya lebih pintar dari peserta kaderisasi, walau mungkin maksud dan tujuannya sudah baik. “Tapi bukannya konflik itu malah menjadi penyebab turunnya performa organisasi? Makannya kami disuruh solid satu angkatan. Lagipula kalau terlalu banyak membangkang, nanti hubungan antar angkatan jadi renggang.” Tunggu dulu, konflik dengan tingkatan yang sesuai akan meningkatkan kohesi kelompok atau bahasa gampangnya: makin kompak. Angkatan kalian justru akan semakin solid apabila sudah 49


menempuh konflik, selain merasakan kesenangan bersama. Begitu pula dengan hubungan antar angkatan. Ikatan sejati tidak dibentuk hanya dari senang-senang. Namun penyataan tadi bisa ada benarnya, konflik yang terlalu banyak malah bersifat disfungsional atau menghancurkan. Perlu diingat pula bahwa penduduk Indonesia masih belum terbiasa dengan konflik. Argumen ini didasarkan pada studi di Indonesia dan Taiwan yang menunjukkan tingkat konflik berbanding terbalik dengan performa dan kepuasan tim (Shaw et al., 2011). Kesimpulannya? Alangkah baiknya apabila pembaca juga berfokus pada solusi produktif dari sebuah konflik, supaya semakin terbiasa memanfaatkan potensi konflik fungsional yang muncul. Inilah yang menurut Robbins dilakukan oleh kebanyakan pihak sekarang. Kurang-kurangilah perilaku yang hanya menimbulkan konflik tanpa ada follow up yang berarti. Tapi jangan lupa untuk tetap menimbulkan konflik ya! Tidak Hanya Dalam Kaderisasi Di luar kaderisasi pun konflik dibutuhkan. Apabila pembaca tidak berani membuat konflik di organisasi yang akan dimasuki, saya yakin organisasi tersebut tidak akan berkembang signifikan. Inovasi produktif mutlak dibutuhkan oleh setiap organisasi dewasa ini agar bisa bertahan dan tetap mencapai tujuannya. Hubungan antara inovasi dan konflik ditegaskan oleh Linda Hill (2005) berdasarkan studinya mengenai collective creativity di organisasi besar yang sukses. Beliau berkata bahwa anggota organisasi yang inovatif mengerti bahwa inovasi sangat jarang terjadi kecuali mereka memiliki keberagaman dan konflik. Jadi‌. Apa karena sejak dalam kaderisasi pasif kita takut untuk menghadapi konflik, organisasi yang ada nggak maju-maju ya? Okelah cukup sekian tulisan ini, saya tutup dengan mengulang judul yang sedikit dimodifikasi:

Berani Konflik itu Baik! Apalagi ada follow up-nya.

50


Jurnal Aksi: “Parkir Gratis!” Luthfi Muhhamad Iqbal Pendahuluan Untuk yang memandang aksi mahasiswa ITB hari ini, Jum‘at 2 September 2016 ialah hanya soal perut dan dompet mahasiswa, karena harga parkir meningkat, mohon maaf, berarti pesan aksi hari ini tidak sampai. Atau anda, barangkali tidak ada di lapangan dan hanya memantau keadaan dari depan layar kaca? Tidak heran. Betul demikian, bahwa solusi itu tidak dapat dihitung dengan jari jumlahnya. Kreativitas dari ruang-ruang ide mahasiswa bermunculan seperti Bike to Campus, Walk to Campus, RFID system integrated student card with GPS locator, Ridesharing Community dan reaktivasi YukNebeng, YukNgangkot, Shuttle ke area kosan sekitar dan lain sebagainya hadir dan mendorong supaya mahasiswa dapat menjadi solusi dan bersikap lebih arif bijaksana menghadapi kebijakan terbaru yakni perubahan pengelolaan jasa layanan perparkiran di ITB yang diiringi oleh naiknya harga tarif parkir. Namun bukan itu poin utama aksi hari ini kawan-kawan! Sebuah Opini: ITB dan Politik Pernah mendengar kasus Prof. Rudi, yang dikriminalisasikan karena dikenakan dua pasal mengenai Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang? Hanya karena beliau tidak mau ada uang keluar dari kas SKK Migas untuk menyuap oknum anggota dewan, dan beliau tidak mau ada uang masuk ke kas SKK Migas dari pihak-pihak yang tidak seharusnya memberikan aliran uang? Beliau terima uangnya, beliau berikan kepada oknum yang ‗memeras‘ beliau, tidak ada uang keluar dan masuk ke kas SKK Migas, tidak juga ke atau dari kas pribadinya, dia dikriminalkan. Lalu kemarin, kasus pemberhentian dengan hormat, menteri ESDM, Bapak Arcandra Tahar, yang penuh dugaan intrik politik, dimana pada awal masa jabatan beliau di kementerian ESDM, beliau tidak menyadari bahwa terdapat beberapa orang mantan anak buah Luhut Binsar Pandjaitan di Kantor Staff Kepresidenan yang ―dititipkan‖ seolah-olah sebagai Staff Khusus Menteri ESDM padahal diantaranya ialah Vice President Government Relation PT Freeport

51


Indonesia, Yuni Rusdinar. Hingga akhirnya dengan alasan yang terlihat sangat direkayasa, meskipun benar demikian, beliau turun jabatan. Dari dua contoh kasus tersebut, kita dapat menarik kesimpulan sementara. Pertama, tokoh-tokoh diatas ialah Alumni ITB; Kedua, tokoh-tokoh diatas mendapatkan kemalangan, yang besar kemungkinan disebabkan oleh buruknya literasi kita semua terhadap hukum dan politik. Mungkin technically, mereka pakar di bidangnya, dan apabila dirunut track recordnya, tokoh-tokoh tersebut memiliki moral serta itikad baik untuk memperbaiki bangsanya. Tapi tanpa literasi yang baik akan hukum dan politik, keduanya dengan mudah dipolitiki oleh orang-orang yang tidak suka terhadap kebaikan yang diusahakan oleh tokoh-tokoh tersebut. wallahu „alam. Dengan demikian, hipotesis saya, ITB tidak memberikan/menyediakan suasana yang kondusif bagi proses pendidikan politik yang baik untuk mahasiswanya. Boleh jadi karena ITB ialah universitas teknik yang tidak memiliki program studi khusus tentang politik, sehingga pendidikan dijalankan dengan gaya korporatokrasi-mekanistik, bagaimana mahasiswa dicetak sebagai pemenuh kebutuhan industri-industri; dan alpa menjadikan kampus sebagai camp-ground bagi mahasiswa untuk berperilaku dan menyiapkan diri menjadi masyarakat dalam sebuah civil society. Mahasiswa: Pelanggan atau Masyarakat ITB? Universitas dalam peristilahan akademik, secara etimologi berasal dari kependekan dari universitas magistrorum et scholarium yang artinya "community of masters and scholars�[1]. Sebuah komunitas adalah sekelompok orang yang memiliki kekuatan kepentingan komunal yang saling mengikat satu sama lain[2]. Di ITB, kita mengenal ada komunitas dosen, komunitas pegawai, komunitas mahasiswa. Bahkan dalam PP RI No 65 Tahun 2013 tentang Statuta ITB, pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 poin 12 menyatakan bahwa [3]: Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa ITB

Sedangkan sivitas berasal dari kata sivilitas yakni masyarakat dan sivitatem yang berarti seni pemerintahan. Pada Statuta bahkan dengan jelas dinyatakan bahwa salah satu nilai-nilai ITB dalam pasal 3 ayat 1 poin c: Keadilan, Demokrasi, Kebebasan dan Keterbukaan, Hak Asasi Manusia

Namun rasanya nilai diatas itu seperti sebuah omong kosong! Apa sebab? Pernyataan salah satu pihak eksekutif kampus cukup 52


membuat kawan-kawan mahasiswa memanas, karena ketika ditanyakan mengapa dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan mahasiswa termasuk diantaranya dalam hal penyelenggaraan perparkiran tidak melibatkan mahasiswa, dijelaskan bahwa pihak rektorat hanya memandang mahasiswa sebagai ―customer‖ atau pelanggan, pengonsumsi jasa pendidikan yang disediakan oleh ITB. Tentu ini sangat mengherankan, sekaligus menjawab akumulasi kegelisahan yang telah terpendam lama di benak mahasiswa ITB. Historiografi Kebijakan Sepihak Rektorat Ya, aksi pagi ini ialah bentuk dari kekesalan kami, mahasiswa terhadap berbagai kebijakan sepihak yang dikeluarkan oleh Rektorat dari Kantornya di Jalan Tamansari 64. Mungkin, kesalahan tidak pada pejabat yang menjabat hari ini, kekesalan kami juga bukan ditujukan pada jajaran Rektorat perseorangan, bukan. Namun kepada tindakantindakan yang mungkin dalam kewenangannya, namun sewenangwenang terhadap kami. 2013, tahun pertama kami di ITB, Rektorat mengeluarkan kebijakan penutupan gerbang belakang secara sepihak, dan merugikan pejalan kaki yang selama ini mengakses kampus melalui gerbang utara. 2014, tahun kedua kami di ITB, Rektorat memberlakukan aturan jam malam kegiatan kemahasiswaan secara sepihak, yang menyebabkan sedikit banyak mahasiswa jadi berkegiatan di luar kampus lewat jam 23.00 yang tentunya lebih tidak aman dibandingkan berkegiatan di dalam kampus. 2015, tahun ketiga kami di ITB, Rektorat memberlakukan aturan sentralisasi publikasi dan penertiban majalah dinding ITB. Mading ITB ditutup dengan kaca, dikunci, yang mana pemegang kuncinya ialah Sarana Prasarana (SP) ITB. Belakangan dikabarkan terdapat beberapa mahasiswa yang dikenai tarif Rp 75.000 untuk pemasangan paket publikasi apabila ingin diproses secara cepat. Namun diklarifikasi bahwa itu ialah biaya extra-time pemasangan untuk diluar jam kerja. Padahal, dulu, sebelum ada aturan ini, mahasiswa terbiasa secara mandiri dan bertanggungjawab memasang dan mencopot saranasarana publikasi pada prasarana yang tersedia. Kebebasan berekspresi media mahasiswa dalam bentuk fisik sedikit-demi-sedikit dibungkam. Hanya karena alasan keteraturan. Sungguh mencerminkan Nilai-Nilai inti ITB berikut: Keadilan, Demokrasi, Kebebasan dan Keterbukaan, Hak Asasi Manusia!

53


2016, tahun keempat kami di ITB, Rektorat memberlakukan pentarifan parkir secara sepihak bahkan dengan tanpa sosialisasi. Tarif baru, naik sebesar 750% [3]. Banyak pro-kontra terkait kebijakan ini. Namun kita memprotes tidak hanya secara materiil substansi kebijakan yang ditetapkan, melainkan secara formil, proses perumusan kebijakan tarif parkir yang lagi lagi tidak melibatkan mahasiswa dalam penentuan keputusannya. UPT K3L memberikan keterangan bahwa tarif parkir sudah dipertimbangkan untuk disesuaikan dengan Perda/Perwal yang terkait. Padahal, setelah kami cek di Peraturan Walikota Bandung No 1005 tahun 2014[5], peraturan tersebut hanya berlaku untuk: Badan Hukum ... mencakup Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, BUMN, dan BUMD dalam bentuk apapun (Ps.1 Poin 8)

Oke, mungkin ITB ialah Perguruan Tinggi (Negeri) Badan Hukum (PT(N)BH). Namun berdasarkan poin tersebut ITB sebagai Perguruan Tinggi tidak dapat dikatakan sebagai objek dari peraturan tersebut, kecuali status ITB sebagai PTNBH itu dapat diartikan Perseroan Terbatas Negeri Badan Hukum, baru mungkin peraturan ini berlaku juga untuk ITB. Selain daripada itu pada Pasal 4, terjadi ketidaksesuaian tarif parkir. Batas atas tarif parkir kendaraan roda empat 24 jam ialah 10.000, sedangkan kendaraan roda dua 24 jam ialah 6000. Dengan kebijakan tarif parkir yang baru, batas atas sangat jauh melambung tinggi. Untuk motor saja misalnya, apabila diparkir 24 jam, dikenakan tarif 15.000 dan mobil sebesar 35.000. Mungkin kami dianggap polos dan bodoh atau tak peduli, sehingga akan mudah percaya ketika disuguhkan ―ini harus sesuai aturan Perda bla..bla..bla..‖. Mohon maaf, anda salah. Kronologi Eskalasi Isu: Sebuah Akumulasi Kegelisahan Apabila, barangkali isu-isu dari tahun 2012-2015 yang serupa, dalam artian penerapan kebijakan kampus secara sepihak dari rektorat merupakan kegelisahan yang tersegmentasi, dan barangkali hanya segelintir ―elite‖ organisasi kemahasiswaan yang gelisah; kali ini kegelisahan yang bermunculan bersifat organik atau alami dari akar rumput. Dengan berbagai kemudahan kanal media, setiap mahasiswa berekspresi dengan akun media masing-masing, mulai dari membuat meme, memasang status keluhan, membuat gambar, poster, atau status parodi terkait kemalangan sebagian mahasiswa yang terjepit seiring dengan berlakunya kebijakan ini, baik di kanal pribadi, akun resmi maupun grup-grup chat, hingga beratus-ratus pesan pribadi masuk 54


melalui akun resmi KM ITB. Tentu ini ialah fenomena langka, dan kesempatan yang baik untuk pencerdasan sistem KM ITB. Pemegang akun resmi KM ITB, yang salah satunya ialah Menteri Koordinator Komunikasi dan Informasi memanfaatkan momen ini supaya setiap pengirim pesan pribadi melaporkan keluhannya masing-masing melalui senatornya. Kongres-pun secara sigap menghimbau supaya Kabinet KM ITB memikirkan langkah advokasi yang dapat dilakukan untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Sore hari, di hari pertama efektif berlakunya kebijakan tarif parkir, Presiden KM ITB beserta Menteri Koordinator Kesejahteraan Mahasiswa dan Menteri Advokasi Kebijakan Kampus serta MWA WM ITB langsung meminta penjelasan dan menyampaikan keluh kesah rekan-rekan mahasiswa ke UPT K3L. Namun keterangan yang diberikan, ialah keputusan ini sudah bersifat FINAL karena ITB terikat kontrak dengan pengelola parkir, yang sudah ditenderkan dan dimenangkan oleh Autopark, pengganti pengelola lama yakni ISS. Koordinasi dengan ketua lembaga dijalankan melalui forum rapat pimpinan, dan dijadwalkan dilaksanakan dalam forum tatap muka di Tugu Kubus pada pukul 23.00, karena kebijakan kemahasiswaan tidak membolehkan adanya aktivitas di dalam kampus lewat dari pukul 23.00. Namun untuk mengefisien-efektifkan jalur penyebaran informasi dan koordinasi taktis, pada akhirnya Kabinet memutuskan bahwa forum rapat pimpinan dilaksanakan secara terbuka untuk seluruh mahasiswa dalam bentuk forum Darurat! mengundang seluruh CUSTOMER ITB untuk duduk bareng dan membahas keluhan-keluhan terkait kebijakan sepihak yang tidak tertutup hanya pada kebijakan tarif parkir semata. Didapatkanlah bentuk bentuk pengekangan lain diantaranya kebebasan berkumpul dan berserikat, pembatasan untuk perkumpulan lebih dari 20 orang di sekretariat harus disertai surat izin (meskipun masih dalam koridor jam kemahasiswaan), dan berbagai temuan-temuan lainnya, yang berbeda di kondisi program studi yang berbeda. Forum darurat tersebut dihadiri oleh 165 orang mahasiswa ITB yang memenuhi tugu kubus (menjadi rapat pimpinan yang dihadiri oleh jumlah peserta terbanyak selama saya empat tahun di kampus), dengan persetujuan 25 lembaga melalui ketua dan perwakilannya/senator (sehingga secara total lembaga, telah 1/2 n + 1 setuju) untuk bersama-sama melakukan aksi parkir gratis untuk menuntut adanya koreksi atau perbaikan pengambilan kebijakan supaya terdapat pelibatan mahasiswa dalam perumusan kebijakan yang berhubungan dengan 55


mahasiswa yang sudah dan akan diambil oleh Rektorat kedepannya. Kongres KM ITB merestui aksi ini. Setelah forum selesai, dilanjutkan perencanaan aksi yang secara partisipatif diikuti oleh peserta forum, dibagi kedalam tim-tim kecil terfokus (small-focused-group discussion), ada yang membahas perihal teknis lapangan, ada yang mempersiapkan propaganda dan media, ada yang merapikan notulensi, mencetak surat untuk perizinan kepolisian, membahas konten kajian dan drafting pernyataan sikap dipimpin oleh Menteri Koordinator bidang PSDM supaya sistematis dan jelas, hingga merumuskan solusi jangka panjang bagi polemik transportasi mahasiswa yang diupayakan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi namun tidak melalui jalan kebijakan tarif parkir yang mencekik seperti yang dikenakan pada kita dengan kebijakan baru tersebut. Menteri Koordinator Inovasi yang berhalangan hadir pada malam itu, juga menginformasikan bahwa terdapat beberapa mahasiswa yang secara inisiatif melakukan riset mengenai perubahan kebijakan sepihak terkait pengelolaan parkir tersebut. Malam itu, adalah kali pertama dalam kehidupan kemahasiswaan saya di ITB, mahasiswa menghargai keberadaan sistem KM ITB, yang benar-benar terasa seperti keluarga. Tidak tersekat-sekat oleh lembaga, namun sebagai satu mahasiswa kesemuanya. Perbedaan warna jaket yang dikenakan, yang biasanya digunakan untuk menunjukan arogansi identitas dan eksistensi, berubah menjadi hanya sebatas pelindung tubuh untuk memberikan rasa hangat dari dinginnya malam. Satu sama lain saling mendukung, membantu, memberikan kritik yang konstruktif dan membangun, dan bersatu padu merencanakan gerakan bersama-sama. Dini hari, saya bersama Sekretaris Jendral KM ITB mengurus administrasi perizinan ke Kantor Kepolisian Sektor Kecamatan Coblong dan melakukan koordinasi mengenai rencana aksi yang akan dilakukan Jum‘at, 2 September 2016. Menteri Manajemen Pergerakan merampungkan teknis dan rencana flow aksi. Poster himbauan ―parkir gratis‖ disebarkan. Persiapan ditutup dengan Shalat Shubuh berjamaah bersama kawan-kawan yang masih terjaga. Gerakan Parkir Gratis: Sebuah Langkah Kebobrokan Demokrasi Kehidupan Kampus

Awal

Mendobrak

Pagi hari, saya bersama seorang kawan Luthfi TM‘12, membawa karton berisikan tulisan ―parkir gratis ->‖ yang sudah disiapkan oleh rekan rekan semalam. Satu-dua motor mulai berparkiran di pelataran depan gerbang Kampus ITB. Sekitar 5-10 menit kami berdiri sebagai 56


signase di pojok tenggara dan pojok barat daya pelataran timur dan barat depan gerbang kampus ITB, ada dosen yang melihat dan kemudian menegur satpam untuk menertibkan kami. Akhirnya satpam yang bertugas memanggil kami dan meminta keterangan. Kami memparkan bahwa ini ialah hasil reaksi atas kebijakan perubahan tarif parkir, sehingga mahasiswa ingin parkir gratis disini. Dialog dengan satpam terjadi, beliau pun baru tahu bahwa tarifnya ternyata semahal itu, namun satpam yang bertugas melarang kami untuk menyelenggarakan parkir gratis di lokasi tersebut. Apa daya, seiring waktu yang semakin siang, mahasiswa semakin banyak masuk kedalam area, dan semakin banyak motor yang parkir di kiri dan kanan depan gerbang ITB secara gratis. Kami hanya mengusahakan supaya parkir gratis ini tidak mengganggu hak pejalan kaki dan hak pengendara yang keluar ataupun masuk ke area ITB, supaya parkir gratis ini tidak malah menimbulkan kemacetan di Jalan Ganesha. Satuan Pengamanan ITB sudah bertugas secara profesional, dan melaksanakan tugasnya dengan baik, beliau memberikan penjelasan bagi kami bagian-bagian mana saja yang tidak boleh ada motor karena untuk mobilisasi alternatif untuk kendaraan supaya dapat berputar balik. Ksatria Ganesha, secara bergantian mengisi panggung podium di depan tiang bendera ITB untuk mendinamisasi massa dengan orasi dan yel-yel yang bisa menyemangati sekaligus menarik mahasiswamahasiswa yang berlalu lalang untuk berpartisipasi dalam gerakan parkir gratis. Ada satu pengalaman yang menarik, saat saya tengah berdiri menjadi signase, tiba tiba ada motor berhenti dan menanyakan ini apa yang terjadi. Beliau adalah salah satu orangtua mahasiswa yang berdomisili di Bandung, yang hari ini tidak lagi membawa kendaraan bermotor karena hari kemarin harus membayar Rp 5000, sehingga pada hari ini yang bersangkutan diantarkan oleh orang tuanya ke kampus, karena rumahnya yang jauh dari ITB, kuliahnya yang pagi hari sekali, sedangkan angkutan umum mungkin membuat kuliahnya terlambat, karena 97,9% transportasi publik di Bandung masih berupa Paratransit yakni Angkot dan Ojek[6] yang waktu antara (headway) nya tidak menentu. Beliau menuturkan: B: Ini benar parkir naik jadi 5000? S: Iya pak, betul B: Kemarin anak saya tidak tahu, jadi hari ini saya harus mengantar dia ke kampus. Bukan saya tidak mau mendidik mandiri, tapi ini 5000 keterlaluan juga ya?

57


S: Iya pak, dulu hanya 2000 soalnya, Makannya ini kami bikin parkir gratis disini B: Saya heran, kenapa ini ITB kapitalis sekali! Tolong diperjuangkan lah mas, supaya tidak seperti ini lah... Semangat mas! Mari

Beliau berlalu dengan motornya. Sontak saya tertegun. Terdiam. Sejak 2012, ketika saya masuk ke ITB, sedang ada ribut-ribut mengenai UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) Perubahan Status dari BHMN menjadi PTNBH (yang secara nama, sebenarnya sama saja). Mahasiswa tidak pernah tergerak melihat adanya praktikpraktik yang lebih komersil sebagai konsekuensi perubahan gaya pengelolaan dari BLU menjadi BHMN dan PTNBH. Baru kali inilah kita bergerak semassif ini di kampus sendiri. Apa yang dituturkan oleh Bapak yang melewat dan menyemangati kami ketika aksi, membuat saya menyadari bahwa sebenarnya kebijakan parkir ini ialah salah satu bentuk teknis dari konsekuensi status ITB sebagai PTNBH, kan? Tarif Kembali Normal: Bukan Akhir dari Perjuangan Pukul 09.30 Presiden KM ITB didatangi oleh pihak UPT K3L yang memberikan informasi bahwa beliau ditelepon oleh Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Organisasi (WRSO) untuk mengembalikan tarif parkir motor kembali seperti semula sampai kebijakan yang baru diputuskan. Namun kita tidak langsung percaya, aksi tetap berlangsung sampai ada keterangan secara langsung melalui telepon bahwa pihak Autopark langsung mengembalikan tarif parkir saat itu juga. Menteri Koordinator Kesejahteraan Mahasiswa mengecek ke parkiran sipil dan SR apakah benar. Ketika informasi sudah diklarifikasi dengan benar, pihak UPT K3L meminta aksi supaya diakhiri, dan menghimbau mahasiswa untuk memindahkan motor dari lokasi parkir gratis ke tempat parkir di sipil dan SR. Presiden KM ITB menjelaskan bahwa aksi kita ini tidak hanya soal parkir, tapi juga ada tuntutan mahasiswa lainnya terkait proses pengambilan kebijakan sepihak. Sehingga dijanjikan pada pukul 13.15 setelah shalat Jum‘at akan ada pertemuan dengan Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan untuk membicarakan kejelasan dan kepastian hal-hal yang dituntut. Ternyata, pertemuan yang dilakukan di Ruang Rapim B tersebut juga dihadiri Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Organisasi, Wakil Rektor Bidang Komunikasi, Kemitraan dan Alumni, Direktur Pendidikan, Kepala UPT K3L dan Direktur Sarana dan Prasarana. Namun forum tersebut hanyalah menjadi forum klarifikasi dan penegasan bahwa tarif parkir motor dikembalikan seperti semula sampai ditentukan harga yang disepakati bersama, namun karena para unsur pimpinan memiliki waktu terbatas 58


tuntutan lainnya dijanjikan akan dibahas pada waktu yang ditentukan selanjutnya, mengingat ada Rapat bersama Senat Akademik di Gedung Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) pada pukul 14.00. Wakil Rektor Bidang Keuangan, Perencanaan dan Pengembangan dan Rektor tidak hadir dalam forum karena sedang berada di luar kota. Pembahasan Aksi Massa: Metode Advokasi Alternatif Komplementer Advokasi Elit Hari kemarin, 2 September 2016 telah menunjukkan bahwa aksi massa ialah sebagai salah satu sarana untuk mengadvokasikan kepentingan mahasiswa yang harus dibersamai selama proses-proses advokasi elit dilakukan. Kelebihan dari advokasi massa, ialah terjadinya pendidikan politik bagi massa, tentang hak-hak yang semestinya dituntut. Tentang perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan penguasa melalui kebijakan yang sewenang-wenang dan merugikan, tentang sebuah proses ideal yang semestinya terjadi dalam sebuah komunitas yang menghargai nilai-nilai Keadilan, Demokrasi, Kebebasan dan Keterbukaan, Hak Asasi Manusia. Substansi Kebijakan/Materiil Secara materiil dan substansi kebijakan yang diambil, kami sadar bahwa progressive parking fees ialah salah satu bentuk Transport Demand Management[7], sarana efektif untuk mengendalikan laju pemakaian kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan angkutan umum atau berpergian dengan angkutan tak bermotor (Non Motorized Transportation) seperti bersepeda, atau berjalan kaki. Proses Pembentukan Kebijakan/Formil Akan tetapi, sekali lagi yang ditekankan dalam aksi kemarin ialah pembentukan kebijakan secara formil yang tidak melibatkan mahasiswa sama sekali! Padahal, dengan ruang ruang ide dan kreativitas mahasiswa, boleh jadi mahasiswa menjadi mitra untuk bersama-sama mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan ini. Apakah pendataan mahasiswa menurut jarak antara domisili ke kampus, untuk digunakan rayonisasi supaya dapat dilaksanakan program ridesharing per-rayon domisili, atau solusi-solusi lainnya, sehingga ketika kebijakan di terapkan, mahasiswa sebagai masyarakat yang terkena kebijakan, telah siap menerima kebijakan yang dikeluarkan oleh Rektorat. Sangat lucu, apabila di dalam kelas, kita mendapatkan kuliah-kuliah mengenai Manajemen Perubahan dalam 59


penerapan Teknologi ataupun Kebijakan di masyarakat, sedangkan secara implementasi, dengan kasus ini, TERBUKTI, bahwa kampus kita sendiri saja belum mampu menerapkan teori-teori yang dijelaskan di dalam kelas. Teori dan Kritik terhadap Ketiadaan Partisipasi Mahasiswa dalam Proses Pembentukan Kebijakan Kampus yang berkaitan dengan Mahasiswa: Sebuah Indikasi Rektorat melanggar salah satu Nilai ITB Dalam Peraturan Pemerintah RI No 65 Tahun 2013 tentang Statuta ITB dijelaskan, salah satu nilai ITB ialah Keadilan, Demokrasi, Kebebasan dan Keterbukaan, Hak Asasi Manusia (Ps.3 ayat (1) poin c). Akan tetapi secara implementasi apa yang terus menerus dilakukan oleh Rektorat terhadap Mahasiswa bertentangan dengan nilai yang diharapkan oleh Statuta = membunuh proses demokrasi, kebebasan dan tanpa keterbukaan! Padahal, dengan partisipasi mahasiswa, kebijakan yang dirumuskan mungkin akan lebih realistis berdasar pada preferensi mahasiswa, Publik akan lebih mengevaluasi dengan cara simpatik atas keputusan berat yang harus diambil oleh administratur dalam hal ini ialah rektorat, dan akan ada dukungan dari publik, dalam hal ini mahasiswa yang akan mengurangi perlawanan publik yang agresif.[8] Nelson dan Wright (1995) menyebutkan bahwa proses partisipasi ialah alat transformatif yang efektif untuk menciptakan perubahan sosial.[9] Selain daripada itu, sebuah kebijakan yang didasarkan pada preferensi masyarakat dalam hal ini mahasiswa, mungkin akan diimplementasikan dengan cara yang lebih halus dan lebih murah karena masyarakat, dalam hal ini mahasiswa akan lebih kooperatif ketika kebijakan diimplementasikan (Thomas 1995, Vroom dan Jago 1988)[10][11]. Dengan partisipasi pula, pengambil kebijakan dalam hal ini Rektorat, dapat memperoleh dukungan politik yang penting untuk perubahan. Dengan membuka proses terhadap input atau masukan dari masyarakat, dalam hal ini mahasiswa, maka pembuat keputusan, dalam hal ini Rektorat, akan terbiasa untuk tidak membuat kebijakan yang sepihak (Applegate 1998, 931)[12] Epilog: Perjuangan Belum Berakhir Ban Motor belakang yang kempes, mungkin adalah harga perjuangan dan pengorbanan yang harus dibayar, demi perubahan kebijakan yang lebih baik. Tapi tidak apa, karena hari kemarin, menjadi sejarah, bahwa kita semua, sebagai mahasiswa ITB, ialah bagian dari masyarakat ITB, bukan sekedar customer ITB. Karena hari kemarin, 60


itulah awal proses pendidikan politik untuk kita mahasiswa juga pelajaran penting bagi Rektorat, bahwa kedepannya kita tidak akan tinggal diam, apabila ada yang salah, pada bangsa ini, negara ini, dimulai dari kesadaran kita dari kampus kita sendiri. Terakhir, terima kasih kepada seluruh elemen bagian dan yang pernah menjadi bagian dari Keluarga Mahasiswa ITB, baik yang terlibat secara langsung, maupun yang tidak, baik yang hadir di lapangan, atau yang turut dalam persiapan, para peserta parkir gratis, para media warrior yang sangat luar biasa, para meme-creator yang kreatif, dan kritikankritikan konstruktif bagi gerakan kami kali ini yang turut membangun solusi bersama bagi KM ITB, bagi ITB yang lebih baik, di kemudian hari. Keberhasilan ini, bukanlah akhir, Ini baru awal dari perjuangan kita, dalam menuntut hak-hak demokrasi yang kita miliki, sebagai bagian dari masyarakat ITB :) Semoga Nurani tetap Menyala! #MahasiswaBukanCustomer

Referensi [1] Etimologi Universitas http://www.etymonline.com/index.php... [2]Babooa, Sanjiv. 2008. Public Participation in the Making and Implementation of Policy. University of South Africa [Doctoral Thesis on Public Administration] [3] Peraturan Pemerintah RI No 65 Tahun 2013 tentang Statuta ITB http://sa.itb.ac.id/wp-content/uplo... [4] M.Fawwaz. 2016. Survei Parkir ITB: Sebuah Analisis Informal. [Dalam Jaringan] tersedia di: https://fawwaz.github.io/ParkirITB/ [5] Peraturan Walikota Bandung No 1005 tahun 2014 tentang Harga Sewa Parkir https://intilandasparkir.files.wordpress.com/... [6] -----.2010.Laporan Akhir Review Masterplan dan Penyusunan Rancangan Peraturan Walikota Transportasi Kota Bandung. Bandung [7]http://www.vtpi.org/tdm/tdm26.htm [8]http://c.ymcdn.com/sites/www.iap2.o... [9] Nelson, Nici and Susan Wright. 1995. Power and Participatory Development: Theory and Practice London: Intermediate Technology Publications [10]Thomas, John Clayton. 1995. Public Participation in Public Decisions. San Francisco: Jossey-Bass. 61


[11]Vroom, Victor H. and Arthur G. Jago. 1988. The New Leadership: Managing Participation in Organizations. Englewood Cliffs NJ: Prentice-Hall. [12]Applegate, John S. 1998. Beyond the Usual Suspects: The Use of Citizens Advisory Boards in Environmental Decisionmaking. Indiana Law Journal 73(3): 903-957.

62


Kota Tanpa Kafein Tentang Cangkir yang Tak Tersesap Nayaka Angger

Empat Puluh Empat Ribu Kota Bandung tak akan kamil dilafalkan tanpa mengeja ‗kopi‘ dan — tentu saja — ‗Ridwan Kamil‘. Namun, yang membuat Bandung lebih layak untuk dicintai adalah uap panas dari bibir segelas americano di sudut-sudut kota, bukan Yang Mulia Wali Kota. Maka pantaslah rasanya untuk mengawali gibah kota ini melalui kacamata seorang penikmat kopi. Dinas Pariwisata Kota Bandung mencatat bahwa ada 235 kafe di Kota Bandung pada tahun 2012 dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 11,1% per tahun sejak 2008. Itu berarti ada 19 kafe baru per tahun, ekuivalen dengan paling tidak satu kafe baru setiap bulannya! Jika diserasikan dengan observasi awam sekalipun, data tersebut dapat dikonfirmasi kebenarannya. Bahkan, tidak berlebihan jika diperkirakan bahwa sekarang ada dua sampai tiga kafe baru di Kota Bandung setiap bulannya. Pertumbuhan yang demikian pesatnya dimungkinkan karena kopi telah menjadi lebih dari sekedar tren pasar. Lebih jauh dari itu, kopi telah menjadi kultur yang menjalar di tingkat komunitas sehingga pertumbuhannya tidak dipaksakan melalui iklan ataupun promosi, melainkan diakomodasi oleh pemasaran dari mulut ke mulut, dari satu kawan ke kawan lain. Kopi telah menjadi pengetahuan dan ketertarikan yang dibutuhkan oleh gaya hidup kebanyakan wargi muda Bandung. Persinggahan yang sekejap pun akan membuat Anda paham bahwa Bandung adalah tempat yang tepat untuk tenggelam dalam seduhan kopi pagi. Sayangnya, terkadang Anda mesti singgah di ibu kota, dimana kopi ditranslasi menjadi sebuah fenomena yang lebih komersial. Dengan pertumbuhan yang hampir sama dengan Kota Bandung, kafe di Jakarta mendiferensiasi diri dengan harga kopi yang sulit 63


dimengerti. Berbekal ulasan media sosial, sebuah kafe di bilangan selatan menjadi referensi untuk menggambarkan mahalnya tegukan kopi di Jakarta. Dinyatakan bahwa kafe tersebut populer sebagai ―pocket-friendly home brews‖. Beberapa komentar juga menyatakan bahwa kafe tersebut selalu ramai karena harganya terjangkau oleh mahasiswa dan anak sekolah. Betul saja, Anda bisa menenggak kopi Mandheling french press hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp44.000,00. Di Kota Bandung, suguhan yang sama dapat dinikmati dengan harga sekitar Rp15.000,00 — Rp30.000,00. Walaupun menyedihkan, perbedaan tersebut dapat dirasionalisasi oleh perbandingan PDRB per kapita Kota Jakarta yang hampir tiga kali lipat lebih tinggi dari Kota Bandung (Badan Pusat Statistik, 2014). Dengan biaya kebutuhan dan daya beli yang lebih tinggi, maka wajar jika harga kopi di Jakarta lebih tinggi dari Kota Bandung. Tapi, Mandheling french press, empat puluh empat ribu. Sungguh? Kota Tanpa Kafein PDRB per kapita Jakarta pada tahun 2014 adalah sekitar Rp174 juta. Dari situ, dapat dimengerti bahwa penduduk Jakarta menghasilkan Rp14,5 juta setiap bulannya, atau hampir Rp500 ribu setiap harinya. Namun, hanya dengan duduk di persimpangan Blok M selama 10 menit, Anda akan setuju bahwa data tersebut menyesatkan — setidaknya jika tidak dipadukan dengan indeks gini DKI Jakarta yang mencapai 0,41. Jangankan orang Bandung, orang asli Jakarta pun belum tentu bisa menikmati kopi di Jakarta. Pengalaman lapangan menunjukan bahwa kopi adalah sebuah kemewahan yang sulit didapatkan bagi sebagian besar orang. Tidak hanya di Jakarta dan Bandung, tetapi juga hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Terdapat 11,31% penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2015). Itu berarti, mereka hidup dengan penghasilan di bawah USD 25$ setiap bulannya, atau sekitar Rp10.500,00 per harinya. Apa yang bisa dilakukan dengan sepuluh ribu rupiah dalam satu hari? Lupakan tentang kopi 64


Mandheling, masih ada banyak hal yang harus dipikirkan untuk bertahan esok hari: dari bunga cicilan rumah sampai ongkos bajaj ke pasar, dari naiknya harga daging sampai setoran yang belum terkejar, dari tagihan listrik sampai tempat untuk tidur nanti malam. Bahkan untuk menyesap kopi sachet seharga dua ribu rupiah, mereka harus berpikir dua kali. Kesulitan untuk menikmati secangkir kopi menjadi sebuah enigma tersendiri tentang bagaimana meningkatkan taraf hidup setiap orang, agar tidak ada seorang yang bersantai di teras kedai sementara seorang lain bersikukuh dengan pamong praja. Pertumbuhan kafe yang membeludak pun banyak sia-sia untuk memenuhi dahaga sosial kelas menengah ketimbang mereka yang benar -benar butuh kafein — untuk sekadar jaga malam atau lembur pesanan kue. Semestinya, setiap penduduk berhak atas asupan kafein yang cukup serta penghidupan dan akses pelayanan yang layak. Ketidakmampuan untuk memenuhinya menuntut adanya perbaikan kehidupan kota yang lebih fundamental, yang sepertinya tidak bisa dibenahi hanya dengan celoteh ‗smart‘ dan ‗resilient‘. Sayangnya, artikel ini pun belum mampu memberikan solusi atas disparitas kafein yang terjadi di negara ini. Namun setidaknya, pahamilah bahwa bagi beberapa orang, atau mungkin bagi 28,5 juta penduduk miskin di Indonesia, kota-kota ini adalah kota tanpa secangkir pun kopi panas — sebuah kota tanpa kafein, di mana cangkir-cangkir dibiarkan tak tersesap karena kopi lebih mahal dari cangkir. --Rabu, 20 Juli 2016

65


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.