8 minute read

Kopi Kota Malang

Kata Pengantar

Suatu kehormatan bagi saya untuk dapat menulis dan menyusun buku “Kopi Kota Malang”. Sebuah buku tentang perjuangan secangkir kopi dalam masa pandemik virus Corona COVID-19.

Advertisement

Berbicara tentang kopi merupakan hal yang sangat unik. Kopi bukan hanya sekedar minuman tetapi kopi sudah menjadi budaya dalam nadi kita. Dahulu, orang-orang tua kita menikmati kopi di pagi hari sambil membaca koran ditemani dengan camilan ringan. Bagi mereka kopi haruslah mampu memberi energi untuk menghalau kantuk dalam beraktivitas. Dahulu, kopi juga sangat identik dengan pria, kalau tidak ngopi tidak laki. Kopi menjadi pandangan tingkat kejantanan seseorang sehingga banyak sekali yang beranggapan bahwa kopi diciptakan untuk kaum adam kala itu.

Kopi zaman dulu dinikmati di kala panas, orang Jawa menyebutnya dengan kopi tubruk. Kopi yang diseduh dalam secangkir air panas bersama gula. Kopi menjadi asupan pagi bagi bapak-bapak sebelum bekerja. Kopi menjadi salah satu minuman khas yang diminati banyak orang waktu itu.

Sekarang, kopi dinikmati oleh berbagai kalangan. Dari tua hingga muda, pelajar hingga pekerja, serta laki-laki dan perempuan. Masyarakat menjadikan kopi sebagai alasan untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah nongkrong.

Budaya nongkrong sambil ngopi menjadi hal umum yang dilakukan, bahkan dari pagi, siang, sore, hingga malam. Berberapa tahun terkahir, banyak sekali usaha kopi yang berdiri karena budaya ngopi ini seperti warung ataupun kedai kopi dan café. Mereka mampu membawa kopi yang berbeda dengan berbagai biji kopi Arabica dan Robusta yang memiliki variasi rasa beragam dan metode yang berbeda-beda. Kopi menjadi hal unik yang mampu dinikmati banyak orang dan masyarakat. Kopi sangat identik dengan keramaian. Kopi sering dinikmati saat berkumpul bersama. menjadi sebuah dilema saat kopi harus dinikmati di saat pandemik Corona COVID-19 yang melarang interaksi fisik pada masyarakat. Kopi menjadi tidak bisa dinikmati bersama. Perekonomian masyarakat juga terhambat, banyak usaha yang terimbas dampak negatif COVID-19 termasuk usaha kopi. Banyak kedai kopi tutup saat masa COVID-19 ini untuk menghalau penyebaran virus pandemik tersebut. Keadaan ini memaksa banyak wirausahawan mengurangi pengeluaran dengan memperkecil jumlah karyawan hingga menutup usaha untuk sementara waktu. Usaha tersebut semata-mata dilakukan untuk mempertahankan diri dari kerasnya ekonomi sekarang ini.

Meski begitu, banyak usaha kopi yang menerapkan berbagai cara lain demi mempertahankan usahanya. Mereka tetap mampu mengikuti peraturan pemerintah dan mencari jalan keluar. Mereka memiliki pandangan yang unik terhadap kopi. Mereka yang dimaksud adalah para pemilik usaha yang mampu memimpin usahanya menjadi lebih baik dengan menggunakan kopi sebagai semangat mereka.

Giovanni Kevin Irawan

Lupa Lelah lupakan lelahmu

WAKTU pertama kali masuk ke Universitas merupakan momen yang berat bagi orang-orang seperti saya. Apa yang harus saya lakukan setelah kuliah nanti? Bagaimana kalau teman-teman kampus saya tidak menyukai saya? Apa bisa nanti saya survive di kampus nanti? Begitu banyak masalah yang belum tentu terjadi tapi dipikirkan oleh mahasiswa baru. Hal itu terus saja menghantui pikiran saya. Konyol memang, tetapi memang begitulah keadaannya. Demi menenangkan pikiran, cara terbaik yang saya lakukan adalah menikmati kopi di pagi hari sebelum beraktivitas. Ngopi pagi ini terus saya lakukan dan menjadi kebiasaan hingga sekarang.

Penghujung Januari 2020 - Pagi itu sebelum berangkat ke kampus saya sempatkan diri untuk menikmati kopi. Selesai menyiapkan diri saya mengendarai sepeda motor ke kompleks kedai kopi di belakang rumah. Kompleks itu terdiri dari gugusan kedai yang berjajar sepanjang areal persawahan. Sampailah saya pada satu kedai di mana hati saya tertambat di situ. Lupa Lelah namanya. Pagi itu masih sepi dengan pengunjung, hanya ada 2 orang barista bersama seorang bapak sekitar 50 tahunan. Bapak tersebut mengenakan topi coklatnya sambil meminum kopi di samping bar kedai kopi itu.

Segera saya memesan secangkir kopi tubruk Dampit tanpa gula dan duduk didekat bar. Seteguk, dua teguk, tidak terasa beberapa waktu telah saya lewati. Lalu tiba-tiba bapak tersebut menghampiri saya dan kami berbincang-bincang. Saya akhirnya mengetahui bahwa Ia bukanlah seorang pelanggan di sana melainkan pemilik dari kedai kopi Lupa Lelah ini.

Dia bernama Begi Bagiono, orang ini lebih akrab disapa sebagai Om Begi. Om Begi menekuni beberapa usaha sebelum memutuskan untuk membuka kedai kopi di Kota Malang ini. Pria yang berasal dari Kota Kediri ini dulunya adalah seorang konsultan ekonomi bisnis hingga tahun 2017. Setelah itu Om Begi memutuskan untuk membuka kedai kopi karena Om Begi yang sering melihat putrinya keluar rumah untuk nongkrong di kedai kopi.

Nikmatnya Kopi Senja Mataram

Kecintaan saya terhadap kopi membuat semua hal yang saya kerjakan berkaitan dengan kopi. Sampai-sampai tugas kuliah saya juga berhubungan dengan kopi. Saya adalah seorang mahasiswa di jurusan Desain Komunikasi Visual di Universitas Ma Chung Malang. Jurusan saya banyak berhubungan dengan instansi di luar kampus untuk melatih kehidupan sosial mahasiswanya. Karerna objek tugas sering dibebaskan, saya lalu memilih instansi yang berkaitan dengan kopi.

Di tahun 2018, sekitar bulan September, saya mendapat tugas observasi untuk pembuatan branding usaha kopi milik teman saya. Waktu itu saya dan teman-teman berkunjung ke berbagai tempat untuk merasakan kopi itu seperti apa sih variasinya? Apa hal yang bisa dieksplorasi lagi dari kopi? Dan bagaimana brand yang baik dan mampu mewakili secangkir kopi ini?

Jujur, observasi itu menyenangkan. Saya menganggapan observasi adalah kegiatan nongkrong di berbagai tempat, sambil melihat-lihat. Salah satu tempat yang membuat saya kagum bernama Senja Mataram. Kopi ini berada di dalam Pasar Tawangmangu Kota Malang. Sebenarnya Senja Mataram lebih bisa disebut sebagai toko kopi ketimbang kedai. Varian kopinya semua adalah “houseblend” atau racikan sendiri dari resep mereka. Jadi jarang kita jumpai kopi-kopi dengan nama daerah seperti Aceh Gayo, Mandailing, Bali Kintamani, dan kopi-kopi lain.

Di Senja Mataram, kopi-kopinya memiliki nama yang unik. Juragan, Mandor, dan Lembur merupakan salah satu menu yang bernama unik di toko kopi ini. Sebenarnya kopi-kopi ini merupakan kopi tubruk, tetapi kopi tersebut memiliki rasa yang unik. Lebih gurih, rasa yang khas. Semua karena “quality control” yang baik dari standar kerja tempat itu.

Kesatu Kaduwa dan Ketiga

Kebiasaan ngopi sangat lekat pada segala lapisan masyarakat. Saya juga menjadi salah satu bagiannya. Di lingkungan saya banyak sekali para penikmat kopi, dari mereka yang suka kopi sebagai alasan untuk menghabiskan waktu bersama hingga para maniak kopi yang selalu mengejar kesempurnaan rasa dari segelas kopi yang mereka nikmati. Tidak terkecuali di lingkungan kampus. Kegiatan belajar mengajar juga sering diselingi dengan segelas kopi, baik itu mahasiswa maupun dosen pengajarnya. Kopi menjadi satu nilai lebih untuk dibahas.

Kopi, kopi, dan kopi. Saya dan teman-teman saya sangat suka sekali dengan kopi. Kadang kami ngopi di dekat kampus, kadang juga ngopi di tempat lain. Sampai semua kerjaan kami berkaitan dengan kopi. Eh, ternyata bukan hanya kami yang suka dengan kopi, dosen kami juga. Mereka sering sekali berkumpul setelah selesai kerja. Mereka sering membahas kerjaan kampus maupun bercengkrama satu sama lain. Saya jadi penasaran bagaimana kopi yang mereka minum itu, kopi yang menjadi alasan untuk bercerita satu sama lainnya.

Saya akhirnya mencoba ngopi bersama dosen saya Pak Didit. Saya akhirnya menjumpai sebuah kedai kopi yang sering dikunjungi dosen-dosen saya. Namanya Kaduwa, kedai kopi yang cukup nyentrik di Kota Malang. Kedai Kopi Kaduwa letaknya cukup “nyelempit”, di Jalan Kediri, jalan yang cukup kecil tapi punya kedai yang ramai.

Kedai Kopi Kaduwa ini punya bentuk interior yang menarik, dihiasi ornamen kayu dan banyak sekali foto-foto mobil tua, dan aksesoris mobil-mobil tua. Kopinya juga bukan kopi aneh-aneh, hanya kopi tubruk dan kopi V60, kopi-kopi yang cocok bagi orang-orang tua.

Keselarasan Seperti Cangkir Laras

“Banyak orang yang menganggap kopi lebih dari sekedar minuman. Ada yang menganggap kopi sebagai seni, sebagai nilai kebersamaan, juga ada yang menganggap kopi adalah hikmah yang menghidupi.”

Di dalam perjalanan saya membuat buku ini, jujur sangat sulit mencari kedai kopi yang buka. Banyak usaha yang memilih tutup untuk menjaga diri dari COVID-19. Tentu tidak semua orang mampu melakukan hal itu. Ada juga orang-orang yang terpaksa menjalankan usahanya untuk menyambung hidup atau alasan-alasan lainnya. Untungnya masih ada kedai kopi yang buka waktu itu.

Kedai kopi ini sering dikunjungi dosen-dosen saya. Nama kedai itu adalah Cangkir Laras. Kedai kopi Cangkir Laras terletak di Jalan Magelang No.11, Kota Malang. Lokasinya sangat dekat dengan Universitas Malang atau yang dulu dikenal dengan IKIP Malang. Tempatnya terbilang kecil tetapi memiliki keunikan yang beda dari kedai-kedai kopi yang lain.

Cangkir Laras ini dimiliki oleh seorang seniman. Dia bernama Wirastho, saya lebih suka memanggilnya Mas Sawir. Dia adalah seorang pelukis. Lukisannya juga sangat unik, Mas Sawir menggunakan ampas kopi sebagai tinta lukisnya. Mas Sawir melukis untuk kebutuhan pribadi dan pesanan dari orang lain. Selain itu, Mas Sawir juga merupakan mantan guru seni budaya di beberapa sekolah negeri di Kota Malang.

Hasil Kopi Tanah Rakyat

Di tengah maraknya virus COVID-19 tentu banyak orang yang tentu takut terjangkit virus ini. Semua bentuk usaha yang ada di masyarakat mengalami dampak penurunan omzet. Banyak orang yang di rumahkan oleh perusahaannya. Adapula yang ter-PHK secara sepihak.

Pengalihan kerja dari tatap muka menjadi menggunakan media online secara virtual juga menghambat beberapa golongan di masyarakat. Ada masyarakat yang gagap teknologi hingga kendala internet mahal di Indonesia ini. Semua hal menjadi bermasalah karena COVID-19 ini.

Mungkin kita pikir kalau semua pekerjaan berdampak, kenapa kita masih bisa makan nasi sekarang ini? Bukannya semua orang harus “work from home”? tapi kenapa banyak pedagang sayur yang masih kita jumpai? Bagaimana bisa usaha toko kopi masih bisa terus produksi “roasting” hingga masa pembatasan kontak fisik?

Tentu menjadi pertanyaan sendiri bagi kita ketika melihat fenomena ini. Kami juga penasaran bagaimana kopi ini ditanam. Yang kita tahu, kopi yang kita dapat di kota sudah berupa kopi olahan, kopi setelah di “roasting”, kopi bubuk, ataupun kopi seduhan. Tetapi bagaimana bentuk tanaman kopi ini? Serta bagaimana cara pengolahan kopi tersebut?

APRIL – Pertengahan bulan April ini saya dan teman saya berkunjung ke sebuah daerah di wilayah Kabupaten Malang, sekitar 60 km dari Kota Malang. Wilayah yang sangat terkenal akan produksi kopinya. Daerah yang cukup panas dan cocok untuk mengkultivasi berbagai tanaman terutama kopi.

This article is from: