Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi

Page 1

BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

BAGAIMANA MENGAWASI KETERBUKAAN INFORMASI PEMERINTAH PROVINSI?

pilot project

DPRD PROVINSI SUMATERA BARAT



BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

BAGAIMANA MENGAWASI KETERBUKAAN INFORMASI PEMERINTAH PROVINSI?

pilot project

DPRD PROVINSI SUMATERA BARAT


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi? PENULIS Arbain, Charles Simabura EDITOR Ahmad Hanafi DESAIN COVER & LAY-OUT Taufik Bayu Nugroho

CETAKAN I, 2017 Kerjasama Indonesian Parliamentary Center (IPC) dan The Asia Foundation ISBN : 978-602-50176-0-5 DITERBITKAN OLEH: PUSAT PARLEMEN INDONESIA (Indonesian Parliamentary Center - IPC) dan The Asia Foundation Jl. Tebet Utara III D No. 12 A Jakarta Selatan Telp/Fax: 021-8353626 Web: ipc.or.id Twitter: @pusatparlemen


KATA PENGANTAR

Lembaga perwakilan, partai politik, dan penyelenggara pemilu merupakan tiga serangkai di sektor hulu demokrasi yang mempengaruhi kualitas kehidupan berbangsa dan negara. Karena itu, keberadaannya perlu diisi oleh orang-orang yang berintegritas, berkomitmen, dan berkapasitas sehingga fungsi dan produk yang dihasilkan juga berkualitas. Unsur penting yang dapat mengontrol mereka adalah masyarakat. Karena itu, tiga sektor ini harus terbuka, mulai dari proses pembentukan kelembagaan hingga pelaksaan fungsi. Kali ini, fokus IPC pada lembaga perwakilan di tingkat lokal (DPRD). Bagi IPC, pembuatan buku manual ini merupakan kelanjutan dari berbagai kegiatan sebelumnya untuk mendorong keterbukaan, sejak tahun 2010.


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

KEGIATAN

KETERANGAN

Pelatihan

IPC melatih masyarakat dan aparatur pemerintah agar memiliki paradigma, pengetahuan, dan keterampilan terkait hak atas informasi, pengecualian informasi, pelayanan, daftar informasi, pembuatan laporan, dan mekanisme sengketa informasi.

Uji Akses

IPC melatih para peserta untuk mengajukan permohonan informasi ke badan publik sesuai UU KIP berdasarkan kebutuhan masing-masing.

Kampanye

IPC mensosialisasikan hak atas informasi melalui situs kebebasaninformasi.org, twitter: @foiindonesia dan sosialisasi pada peringatan hari hak atas informasi se-dunia.

Uji Materi UU KIP

IPC melalui FoINI melakukan uji materi ke MK perihal pasal pengangkatan anggota KI.

Pendampingan

IPC bersama anggota FoINI mendampingi sejumlah badan publik. Antara lain KI Pusat RI dalam rangka penyusunan rencana strategis lembaga, KPU RI dan DPR RI dalam rangka implementasi UU KIP.

Membentuk jaringan

IPC bersama anggota FoINI lainnya dipilih untuk menjadi koordinator sekretariat dalam rangka mengkonsolidasikan 50 organisasi non pemerintah dan individu untuk mendorong implementasi UU KIP.

Evaluasi kinerja KI Pusat RI

IPC bersama anggota FoINI lainnya melakukan pengawasan dan evaluasi secara berkala terhadap kinerja KI Pusat RI.

Pengawalan pem- IPC bersama anggota FoINI lainnya mengawal bentukan KI dan pembentukan dan pengisian keanggotaan KI pemilihan anggota Pusat dan KI Provinsi. KI Pembuatan Modul Pengawasan DPRD terhadap keterbukaan pemerintah provinsi.

IPC bersama Pusako Universitas Andalas membuat Buku Manual Bagi Anggota DPRD: Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Apa yang telah dilakukan bersama rekan-rekan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam mendorong keterbukaan informasi di atas menjadi pengalaman berharga untuk mengembangkan buku ini. Dalam berbagai advokasi yang kami lakukan, kami akhirnya menyadari pentingnya peran DPRD yang selama ini cenderung diabaikan. DPRD seolah hanya diingat ketika proses fit & proper test. Buku ini membangun kembali perspektif kita bahwa sesungguhnya DPRD memiliki peran yang sangat penting dalam membangun keterbukaan informasi publik di daerah. Jika DPRD memiliki paradigma, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam bidang keterbukaan informasi publik, maka agenda transparansi daerah akan berjalan lebih sistematis dan terarah. Kami mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang berada di balik terbitnya buku ini, antara lain The Asia Foundation (TAF), tim pengelola program dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Freedom of Information Network Indonesia (FoINI), DPRD Provinsi Sumatera Barat, dan berbagai pihak lainnya. Kepada Bapak dan Ibu anggota DPRD dan rekan-rekan lainnya, kami mengucapkan selamat membaca, memahami, dan mempraktikkan isi buku ini. Semoga memberikan inspirasi untuk terciptanya pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Jakarta, Juli 2017

Ahmad Hanafi Direktur IPC


DAFTAR ISI

Halaman Judul—i Kata Pengantar—iii Daftar Isi—vi Daftar Tabel—viii Daftar Singkatan—x Bab I. Sebuah Pengantar, Pentingnya Buku Ini Bagi Anda—1 A. Latar Belakang—1 B. Tujuan—3 C. Sistematika—4 Bab II. Anda Begitu Berharga; Menyadari Pentingnya Pengawasan DPRD—6 A. Dampak lemahnya pengawasan—7 B. Pengawasan sebagai fungsi primer—11 C. Tantangan fungsi pengawasan—15 Bab III. Bayangkan Sebuah Kondisi Ideal; Pemerintahan yang Terbuka—18


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

A. Peran Para Pihak—18 B. Inisiatif-Inisiatif Keterbukaan—22 Bab IV. Saatnya Anda Berkontribusi; Membenahi Keterbukaan di Sumatera Barat—24 A. Implementasi KIP oleh Pemerintah Provinsi—25 B. Pengawasan DPRD terhadap Implementasi KIP—35 Bab V. Sungguh, Ini Kewajiban; Objek dan Dasar Hukum Pengawasan KIP—38 A. Pengawasan Terhadap Infrastruktur KIP di Lingkungan Pemerintah Provinsi—40 B. Pengawasan Terhadap Komisi Informasi—43 C. Pengawasan Terhadap Fungsi Pembinaan Pemerintah Kabupaten/Kota—46 D. Pengawasan Terhadap Fungsi Penyuluhan Masyarakat—48 Bab VI. Datamu, Harimaumu; Himpun, Olah, Sampaikan—54 A. Sumber Data dan Informasi—54 B. Kategori Sumber Data dan Informasi—55 C. Metode dan Cara Pengawasan—56 Bab VII. Awasi Lebih Dalam; Petakan Objek Pengawasan Secara Detil—59 A. Cara Mendetilkan Objek Pengawasan—59 B. Contoh Tabel Objek Pengawasan—60 Bab VIII. Gunakan Tabel; Mudah Dipahami, Dijalankan, Diwariskan—70 A. Tabel Laporan Pengawasan—70 B. Manfaat Tabel Laporan Pengawasan—71 C. Contoh Tabel Laporan Pengawasan—72


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : PPID Pemerintah Kab/Kota di Sumatera Barat Berdasarkan Tahun Pembentukan Tabel 2.2: Manajemen Pembentukan Perda dan Anggaran Tabel 3.1: Peran Para Pihak Dalam Membangun Kondisi Ideal Keterbukaan Informasi Tabel 4.1 : Rekapitulasi PPID Pemerintah Provinsi Tabel 4.2 : Rekapitulasi PPID Pemerintah Kabupaten Tabel 4.3 : Rekapitulasi PPID Pemerintah Kota Tabel 4.4 : Struktur PPID Pemerintah Provinsi Tabel 4.5 : Regulasi Terkait Keterbukaan Di Sumatera Barat Tabel 4.6 : Pembentukan PPID Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Barat


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Tabel 5.1 : Unsur Pelayanan Publik Pada Implementasi KIP Tabel 5.2 : Regulasi yang Menjamin Transparansi Pembahasan Kebijakan, Peraturan Per-UU-an, Program, dan Kegiatan Pemerintah Tabel 7.1 : Objek Pengawasan Infrastruktur KIP di Lingkungan Pemerintah Provinsi Tabel 7.2 : Objek Pengawasan Komisi Informasi Tabel 7.3 : Objek Pengawasan Fungsi Pembinaan Pemerintah Kab/Kota Tabel 7.4 : Objek Pengawasan Fungsi Penyuluhan Masyarakat Tabel 8.1 : Tabel Pengawasan Pendahuluan Tabel 8.2 : Tabel Pengawasan Pelaksanaan Tabel 8.3 : Tabel Pengawasan Umpan Balik Tabel 8.4 : Contoh Pengisian Tabel Laporan Pengawasan


DAFTAR SINGKATAN

1. APBD

: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2. BOS : Bantuan Operasional Sekolah 3. BPK : Badan Pemeriksa Keuangan 4. DIP : Daftar Informasi Publik 5. DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Ang­ garan 6. FoINI : Freedom of Information Net work 7. Humas : Hubungan Masyarakat 8. IPC : Indonesian Parliamentary Center 9. Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masya­ rakat 10. KI : Komisi Informasi 11. KIP : Keterbukaan Informasi Publik 12. KTKLN : Kartu Tenaga Kerja Luar Ne­ geri 13. LAKIP : Laporan Kinerja Instansi pe merintahan


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

14. LHKPN 15. LPPDP 16. MK 17. OPD 18. Pemda 19. Pemprov 20. PPID 21. POAC 22. Pusako 23. Raker 24. RAPBD

: Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara : Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Dae­rah : Mahkamah Konstitusi : Organisasi Perangkat Daerah : Pemerintah Daerah : Pemerinitah Provinsi : Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi : Planning, organizing, actuating, controlling : Pusat Studi Konstitusi : Rapat Kerja : Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 25. RDP : Rapat Dengar Pendapat 26. RDPU : Rapat Dengar Pendapat Umum 27. Renstra : Rencana Strategis 28. RKA-KL : Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga 29. RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah 30. RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dae­rah 31. RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 32. SDM : Sumber Daya Manusia 33. SKPD : Satuan Kerja Pemerintah Daerah 34. SOP : Standar Operasional Prosedur 35. SPP : Sumbangan Pembinaan Pendidikan 36. SWOT : Strength, weaknesses, opportunities, threats 37. Unand : Universitas Andalas 38. UU : Undang-Undang 39. TAF : The Asia Foundation


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD


BAB I

Sebuah Pengantar Pentingnya Buku Ini Bagi Anda

A. LATAR BELAKANG Penulisan buku ini dilatarbelakangi oleh keinginan memperkuat fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah provinsi dalam rangka implementasi keterbukaan informasi publik. Harapannya, dengan pengawasan yang kuat, agenda keterbukaan pemerintah daerah yang awalnya berjalan lamban, akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Ke depan, kita berharap tak ada lagi cerita tentang peme­ rintah provinsi yang jadi penghambat pemenuhan hak atas informasi warganya. Hak atas informasi bukan semata hak terhadap sebuah informasi. Pemenuhan hak atas informasi juga mempengaruhi pemenuhan dan pelayanan hak-hak dasar warga negara. Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015 (UU Pemda), keterbu-


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

2

kaan informasi publik dimasukkan dalam urusan pemerintahan konkuren1 bidang komunikasi dan informatika. Artinya, instansi yang bertanggung jawab pada implementasi keterbukaan informasi di pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota adalah instansi yang terkait pada bidang komunikasi dan informatika. Bidang komunikasi dan informatika sendiri, dikategorikan sebagai urusan pemerintahan yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Mengacu pada pembagian tersebut, keterbukaan informasi publik masuk sebagai urusan pemerintahan yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Secara logika, apa yang dikategorikan sebagai pelayanan dasar menurut UU Pemda, seperti pendidikan dan kesehatan,2 sesungguhnya tidak dapat berjalan tanpa ada­ nya informasi publik yang memadai dari pemerintah kepada masyarakat. Sejumlah program seperti jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan bantuan operasional sekolah (BOS), tidak dirasakan oleh banyak warga yang membutuhkan karena tidak ada­ nya informasi publik secara memadai. Jadi, posisi informasi pu­ blik sebagai prasyarat terpenuhinya hak-hak dasar warga ne­gara. Karena itu, informasi publik sepatutnya ditempatkan sebagai urusan pelayanan dasar atau bahkan prasyarat terpenuhinya pelayanan dasar. Dengan kesadaran ini, maka sejak UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) diberlakukan pada 30 April 2010, sejumlah organisasi non pemerintah melatih dan mendampingi komunitas-komunitas di masyarakat untuk menggunakan hak atas informasi, sebagai jembatan untuk menyelesaikan persoalan mereka. Misalnya, Indonesian Parliamentary Center (IPC) bersama organisasi lain melatih warga korban penggusuran di Surabaya, orang tua siswa di Bandung, pengelola pos­yandu di Solo, pegiat kepemiluan di Jakarta, seniman di Bali, aktivis pendamping rakyat miskin kota di Makassar dan lain-lain. Hal serupa dilakukan oleh berbagai organisasi non pemerintah lainnya yang tergabung di jaringan Freedom of Information Network (FoINI). Hasilnya, ada kisah sukses dimana pemohon mendapatkan 1. Urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib ada yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan yang tidak terkait pelayanan dasar. 2. Pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat, dan sosial.


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

informasi yang diminta. Akan tetapi, mayoritas pemohon ditolak, diabaikan, dicurigai, bahkan dikira pengemis. Ada beragam penyebab kondisi tersebut, mulai dari paradigma aparatur tentang posisi rakyat dan pemerintah, ketidaktahuan adanya UU KIP sebagai jaminan hak atas informasi, persoalan teknis administra­ tif, serta budaya melayani yang masih minim dalam birokrasi kita. Dalam proses advokasi ini, salah satu pembelajaran pen­ ting yang kami dapatkan adalah perlunya melibatkan wakil rakyat (DPRD), sehingga keterbukaan menjadi sebuah sistem yang permanen. DPRD memiliki peran yang strategis untuk membangun keterbukaan mengingat posisinya sebagai representasi rakyat, sebagai “parlemen lokal” yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran, dan sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah. Idealnya, dalam relasi dengan masyarakat, DPRD memberi­ kan pendidikan politik tentang hak atas informasi, menyerap aspirasi, dan mendampingi mereka yang mengalami hambatan dalam mendapatkan hak atas informasi. Sementara dalam relasi dengan pemerintah provinsi, DPRD dituntut untuk mendorong, mengawal, mengawasi, dan mengevaluasi keterbukaan informasi, sesuai tugas dan kewenangannya. Fungsi ini bisa berjalan, jika ada paradigma, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai pada anggota DPRD. Dalam kerangka itulah, buku ini dibuat. Dengan penjelasan singkat di atas, kami berharap upaya Anda untuk mendorong keterbukaan tak semata alasan yuridis, bahwa Anda sebagai representasi rakyat diikat oleh sejumlah UU. Kami yakin transparansi berpengaruh secara politis, meningkatkan dukungan konstituen pada Anda, tetapi lagi-lagi kami berharap, alasan kita bergandeng tangan mendorong keterbukaan juga bukan semata-mata karena itu. Ada alasan lain yang le­bih mendalam, yaitu kesadaran filosofis; sebuah kesadaran tentang posisi dan misi sebagai wakil rakyat serta kesadaran tentang pentingnya memenuhi hak-hak mereka. Sebagai anggota DPRD, Anda perlu mewariskan legacy terbaik, sebuah sistem yang de­ ngannya beragaman hak-hak warga dapat terpenuhi. Itulah, ke­ terbukaan informasi.

B. TUJUAN Buku ini dibuat sebagai panduan bagi anggota DPRD dalam melakukan pengawasan implementasi UU KIP yang dijalankan

3


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

oleh pemerintah provinsi dan Komisi Informasi (KI) Provinsi. Buku ini juga diharapkan dapat diadopsi oleh DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota lainnya di Indonesia.

C. SISTEMATIKA Buku ini disusun secara sistematis dimulai dari membangun aspek kesadaran yaitu pentingnya buku ini bagi anggota DPRD, pentingnya posisi informasi publik dan pentingnya peran anggota DPRD hingga langkah-langkah praktis yang dapat digunakan untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap implementasi keterbukaan informasi. Buku ini terdiri dari delapan bab, yaitu:

4

Bab I Penting Bagi Anda; Sebuah Pengantar A. Latar Belakang B. Tujuan C. Sistematika Bab II Karena Anda Begitu Berharga; Menyadari Pentingnya Pe­ ngawasan DPRD A. Dampak lemahnya pengawasan B. Pengawasan sebagai fungsi primer C. Tantangan fungsi pengawasan Bab III Bayangkan Sebuah Kondisi Ideal; Pemerintahan yang Terbuka A. Peran Para Pihak B. Inisiatif-Inisiatif Keterbukaan Bab IV Saatnya Anda Berkontribusi; Membenahi Keterbukaan di Sumatera Barat A. Implementasi KIP oleh Pemerintah Provinsi B. Pengawasan DPRD terhadap Implementasi KIP Bab V Sungguh, Ini Kewajiban; Objek dan Dasar Hukum Pengawasan KIP A. Pengawasan Terhadap Infrastruktur KIP di Lingkungan Pemerintah Provinsi


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

B. Pengawasan Terhadap Komisi Informasi C. Pengawasan Terhadap Fungsi Pembinaan Pemerintah Kabupaten/Kota D. Pengawasan Terhadap Fungsi Penyuluhan Masyarakat Bab VI Datamu, Harimaumu; Himpun, Olah, Sampaikan A. Sumber Data dan Informasi B. Kategori Sumber Data dan Informasi C. Metode dan Cara Pengawasan Bab VII Awasi Lebih Dalam; Petakan Objek Pengawasan Secara Detil A. Cara Mendetilkan Objek Pengawasan B. Contoh Tabel Objek Pengawasan Bab VIII Gunakan Tabel; Mudah Dipahami, Dijalankan, Diwariskan A. Tabel Pengawasan B. Manfaat Tabel Pengawasan C. Contoh Tabel Pengawasan

5


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

6


BAB II

Anda Begitu Berharga; Menyadari Pentingnya Pengawasan DPRD

Ketika membahas tentang fungsi pengawasan, pada umumnya pakar manajemen me­ mulai dari tahap penetapan standar atau kondisi ideal yang diinginkan. “Begin with the End in Mind,” kata Stephen R. Covey. Tapi sebelum masuk pada tahap tersebut, mari kita bahas tema yang lebih mendasar, yaitu “Pentingnya Pengawasan DPRD”. Kami berharap bab ini memicu setitik kesadaran, bahwa sebagai anggota DPRD, Anda Begitu Berharga. Kami percaya bahwa tipe politisi idealist itu ada banyak di negeri ini. Tapi harap maklum, prinsip bad news is good news menenggelamkan mereka. Media berpesta berita dengan menampilkan para politisi yang oleh Laswell disebut agitator. Para politisi idealist atau bertipe mission memang sepi dari hiruk pikuk sensasi. Mereka bekerja untuk konstituen, menjaga integritas, dan selalu belajar untuk menjadi lebih baik. Kami berharap, semoga Anda adalah salah satunya.


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

Kami sering bertemu dengan orang-orang yang semangatnya amat membara, mengkampanyekan hak atas informasi. Namun, mereka orang-orang biasa, bukan anggota DPRD seperti Anda. Dengan sumber daya seadanya, mereka membantu warga, tanpa kontrak politik, pun tanpa proses otorisasi (pemilu). Meski demikian, orang-orang yang disebut Laura Montanaro sebagai self appointed representation ini, memiliki kesadaran kuat bahwa rakyat berhak atas informasi publik karena sesungguhnya me­ rekalah pemilik negeri ini. Semoga kita punya kesadaran serupa.

A. DAMPAK LEMAHNYA PENGAWASAN KIP

8

Ini kisah nyata, lagi-lagi tentang orang biasa yang melakukan hal-hal luar biasa. Disebut luar biasa karena mereka melakukan sesuatu yang belum lazim kala itu; meminta informasi publik. Mungkin Anda berpikir, “Ah, biasa, apa sulitnya, apa hebatnya?” Namun, tidak semua orang mau dan berani melakukan itu. Ada beragam alasannya, karena malas berurusan dengan birokrasi, takut, dan berbagai kendala psikis yang melemahkan posisi warga negara. Di NTT, ada seorang ibu miskin yang berjuang mendapat­ kan informasi publik untuk memastikan bahwa dirinya berhak memperoleh jamkesmas. Perjuangannya memang berhasil, namun malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, beliau meninggal dunia dalam keadaan sakit. Di Jakarta, ada ibu Widi yang menuntut transparansi biaya sekolah. Beliau tidak mau membayar SPP, sebelum haknya atas informasi dipenuhi. Namun anaknya mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari para guru dan siswa. Tak cuma lisan. Namanya pun dipampang di papan pengumuman. “Selama masa itu, anak saya selalu pulang menangis. Saya sedih, tapi saya selalu membesarkan jiwanya, “Kalau bukan kita, siapa lagi?”ujar Ibu Widi. Ada ibu Fera, seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berjuang mendapatkan informasi publik tentang prosedur Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Ini berawal dari kekesalan karena kerap diperas oleh oknum tertentu, Ada pak Rokhim, warga korban lumpur Lapindo yang setiap malam menggunakan radio komunitas untuk menjelaskan apa itu hak atas informasi kepada warga. Kisah lainnya tentang pak Heru Narsono, yang meminta informasi daftar donatur dan besaran uang yang diserahkan kepada


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

PPKM FKUI (Perkumpulan Penyantun Kesejahteraan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2010-2016 dan laporan serta bukti pengeluaran sepanjang tahun 2010-2015. Setelah dinyatakan menang oleh KI Provinsi DKI Jakarta, dia justru dilaporkan ke polisi dari PPKM FKUI atas tuduhan keterangan palsu saat sidang di Komisi Informasi. Malang nian nasibnya, hanya meminta informasi justru dipolisikan. Dalam tipologi perwakilan, kondisi di atas disebut tipologi “masyarakat kuat – wakil lemah”. Disebut kuat karena mereka te­ lah memahami hak-haknya sebagai warga negara, mereka memahami bagaimana mendapatkan hak tersebut, dan mereka memahami bagaimana merebut kembali hak tersebut, jika diambil pihak lain, termasuk pemerintah. Mereka berjuang keras, hanya untuk sebuah informasi publik. Namun, di sisi lain, buruknya kondisi keterbukaan informasi di level badan publik ini, ditambah pula dengan ketidaktahuan sebagian warga terhadap hak atas infomasi. Mereka tak paham bahwa hak tersebut berdampak pada pemenuhan hak-hak lainnya. Seorang warga Bogor, pak Tedi, bercerita pada kami, beliau ha­ nya bisa pasrah melihat balitanya meninggal karena tak ada uang untuk berobat di rumah sakit yang menjadi rujukan. Padahal, tak sedikit anggaran negara untuk beragam program kesehatan dan ber­obat gratis. Tapi banyak warga tidak tahu informasinya, karena tidak ada publikasi yang memadai. Lalu, dimana wakil yang seharusnya memperjuangkan keterbukaan ini? Entah. Andewang (2011) menyebut relasi ini sebagai bad representation. Dalam kasus-kasus di atas, informasi publik yang diperjuangkan mati-matian oleh warga tersebut, seharusnya diumumkan secara pro-aktif (tanpa permintaan publik). Akibat pengabaian ini, warga kehilangan hak atas informasi, kehilangan hak atas pengobatan gratis, dan hak lainnya, bahkan kehilangan hak untuk menikmati kehidupan. Kondisi demikian semakin menambah tugas Anda sebagai anggota DPRD untuk melakukan advokasi kepada konstituen. Padahal, dengan hadirnya informasi publik secara memadai, diharapkan warga dapat secara mandiri menyelesaikan persoalan mereka. Kondisi keterbukaan informasi yang buruk sebagai dampak dari lemahnya pengawasan juga berpotensi mempengaruhi kua­ litas keterwakilan (representasi). Tidak tersebarnya informasi pu­ blik di masyarakat, berpotensi dimanfaatkan pihak tertentu untuk mendapatkan simpati pemilih dengan memanipulasi sebuah informasi. Modus yang digunakan, antara lain dengan klientelisme

9


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

10

pelaksanaan program pemerintah. Karena tidak adanya keterbukaan, ada oknum-oknum politisi yang mengalokasikan program pemerintah kepada kelompoknya saja dan mengabaikan ma­ syarakat lainnya. Mereka juga memberikan bantuan dari anggaran negara kepada masjid, sekolah, panti asuhan, majelis taklim, organisasi mahasiswa atau organisasi kemasyarakatan, atas nama pri­badi dan mengklaim bahwa hadirnya anggaran, program, atau pembangunan di satu daerah sebagai hasil kerjanya. Padahal, ini merupakan program pemerintah pusat atau program pemerintah provinsi yang telah disepakati bersama di DPRD secara kelembagaan. Hal ini telah tercantum di APBD Provinsi, RKA-KL, DIPA, dan dokumen-dokumen lain yang seharusnya disampaikan secara terbuka kepada masyakat. Dalam kondisi demikian, sebagai anggota DPRD yang telah bekerja keras, anda tentu dirugikan karena insentif politik yang selayaknya Anda terima (berupa dukungan suara dalam pemilu), diambil oleh pihak lain yang melakukan manipulasi. Selain itu, kerugian juga dialami masyaraka, berupa terabaikannya hak-hak yang seharusnya mereka nikmati melalui sejumlah program. Selain itu, karena masyarakat memilih kandidat yang tidak berinte­ gritas, maka kepentingan mereka potensial diabaikan ketika kandi­dat bersangkutan terpilih. Dengan integritas wakil seperti ini, kecil kemungkinan yang bersangkutan berkomitmen mendo­ rong pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Jika yang terpilih sebagai wakil rakyat adalah adalah orangorang yang tidak berintegritas, dampak lainnya akan menimpa pada pembentukan KI Provinsi. Ada kemungkinan hasil uji kepatutan dan kelayakan DPRD hanya menghasilkan orang-orang yang dekat dengan anggota DPRD bersangkutan tanpa memperhatikan integritas, komitmen, dan kapasitas. Padahal keberadaan KI Provinsi dibutuhkan oleh Anda dan konstituen Anda untuk mencari keadilan. Kita bersyukur anggota KI Provinsi Sumatera Barat, hasil uji kepatutan dan kelayakan DPRD adalah orangorang yang memiliki komitmen kuat, sehingga tetap menjalan­ kan tupoksinya meski tanpa anggaran pada tahun 2017 ini. Lemahnya pengawasan terhadap infrastruktur keterbukaan di pemerintah provinsi juga berpotensi menyebabkan rendahnya pemahaman aparatur pemerintah terhadap hak atas informasi. Sebagai contoh, pada tahun 2016, Dinas Pendidikan Kota Padang sebagai termohon (informasi pengelolaan dana BOS) hanya ha­


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

dir sebanyak 2 kali dari 7 kali sidang sampai putusan. Bahkan termohon menyatakan penyelesaian sengketa yang diajukan pe­ mohon bukan ranah KI.3 Padahal, Kota Padang telah membentuk PPID pada 7 Oktober 2013. Dari sisi pengelolaan APBD, ketertutupan juga berpotensi menyebabkan terjadinya pemborosan, salah sasaran, terabaikannya pihak-pihak yang berhak mendapatkan anggaran, ketimpangan anggaran hingga penyimpangan atau korupsi. Sepanjang tahun 2016, setidaknya sepuluh kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lemahnya pengawasan DPRD juga berdampak pada infra­ struktur keterbukaan informasi di lingkungan pemerintah kabupaten/kota. Dampak ini berupa tertundanya pembentukan regulasi, SOP, SDM, sarana, anggaran, dan sistem evaluasi kinerja terkait pengelolaan dan pelayanan informasi publik serta lemahnya implementasi regulasi. Dalam hal ini, peran pemerintah provinsi adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah kabupaten/kota. Keterlambatan ini juga terjadi di Sumatera Barat. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, jumlah PPID pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat, berdasarkan tahun pembentukannya adalah sebagai berikut:

TABEL 2.1 PPID KAB/KOTA DI SUMATERA BARAT BERDASARKAN TAHUN PEMBENTUKAN TAHUN

JUMLAH PEMERINTAH KAB/KOTA YANG MEMBENTUK PPID

2013

2

2014

12

2015

4

2016

1

TOTAL

19

SUMBER: DIOLAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI (2017)

Kondisi-kondisi di atas tidak saja berdampak bagi terabaikannya pemenuhan hak atas informasi semata. Tapi juga hilang­nya harta benda hingga kehidupan seseorang. Dengan posisi informa3. https://www.komisiinformasi.go.id/news/view/ki-sumbar-putuskan-dana-bos-informasi-publik

11


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

12

si publik yang sedemikian penting bagi kehidupan rakyat. Maka, sebagai representasi rakyat, seharusnya anggota DPRD berjuang serius untuk memastikan terpenuhinya hak atas informasi publik ini. Salah satunya dengan menjalankan fungsi pe­ngawasan. Keterbukaan sesungguhnya berdampak positif bagi kualitas sebuah pemerintahan. Salah satu contoh pemerintah daerah yang sukses dalam membangun transparansi adalah Kabupaten Bojonegoro. Kabupaten ini satu-satunya wakil Indonesia dalam Pilot Project Open Government yang bertujuan untuk mempromosikan dan memperkuat pengelolaan birokrasi yang terbuka, partisipatif, inovatif, dan responsif. Selain Bojonegoro, kota-kota dunia lain yang terpilih di antaranya Seoul, Paris, Madrid, Buenos Aires, Sao Paulo, dan sejumlah kota lain. Sebelumnya, pada tahun 2007, akibat pengelolaan pembangunan yang kurang tepat, Bojonegoro memiliki hutang kepada pihak ketiga sebesar Rp. 350 miliar, sementara APBD hanya Rp. 850 miliar. Kini, Bojonegoro berhasil melunasi hutangnya. Dalam kurun delapan tahun, kemiskinan di Bojonegoro turun hingga 50%. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Bojonegoro tertinggi di Indonesia bahkan dunia yaitu mencapai 19,4%, mengalahkan Tiongkok yang hanya 7%.

B. PENGAWASAN DPRD SEBAGAI FUNGSI PRIMER Sebagai sebuah organisasi, pemerintah provinsi (dalam arti luas, termasuk DPRD) memiliki tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah manajemen. Pengawasan, sebenarnya salah satu siklus dalam fungsi manajemen (planning, organizing, actuating, dan controlling). Sementara peraturan daerah dan anggaran merupakan materi yang menjadi objek dari siklus manajemen tersebut.

TABEL 2.2 MANAJEMEN PEMBENTUKAN PERDA DAN ANGGARAN PERDA & ANGGARAN 1

2

3

4

PERENCANAAN

PENGORGANISASIAN

PELAKSANAAN

PENGAWASAN


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi? PEMPROV + DPRD

PEMPROV + DPRD

PEMPROV

DPRD

SUMBER: IPC (2017)

Keterangan: • Perencanaan pembuatan perda dan anggaran disusun melalui sebuah instrumen yang disebut program legislasi daerah. Dari proses ini, perencanaan pembuatan perda dan anggaran dibagi dalam program legislasi daerah jangka menengah (lima tahun) dan program legislasi daerah prioritas (tahunan). • Pengorganisasian pembentukan perda dan anggaran diwujudkan melalui pembagian tanggung jawab di antara alat kelengkapan dewan (AKD). Pembentukan perda menjadi tanggung jawab komisi-komisi sesuai bidang kerja, sementara pembentukan anggaran menjadi tanggung jawab badan anggaran (banggar). • Pelaksanaan perda dan anggaran, tanggung jawab utamanya ada pada pemerintah provinsi. DPRD memiliki peran tertentu sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah. • Pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan anggaran menjadi tanggung jawab DPRD. Selain pembentukan perda dan anggaran, ada beberapa tanggung jawab lain DPRD seperti melakukan uji kepatutan dan kelayakan pejabat publik tingkat provinsi. Dalam konteks ini, pengawasan dipandang sebagai siklus yang perlu dilakukan oleh DPRD dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Artinya, jika fungsi pengawasan ini tidak dijalankan dengan baik oleh DPRD, maka terjadi ketimpangan fungsi-fungsi manajemen dalam rangka mencapai tujuan yang telah disusun pada tahap perencanaan (planning). Di konstitusi kita, DPRD diposisikan sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah tingkat provinsi.4 Tugas dan fungsi DPRD ini kemudian dijabarkan dalam UU Pemda, yaitu: pembentukan peraturan daerah (perda) provinsi, anggaran dan pengawasan. Fungsi pembentukan perda dan fungsi anggaran dibahas antara DPRD dan pemerintah provinsi dengan persetujuan kedua 4. Pasal 18 UUD 1945

13


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

14

belah pihak. Sementara fungsi pengawasan, merupakan wewenang penuh dari DPRD. Dalam fungsi legislasi, rancangannya bisa datang dari pemerintah provinsi maupun dari DPRD. Sementara dalam fungsi anggaran, rancangan APBD provinsi dibuat oleh pemerintah provinsi. DPRD pada posisi memberikan tanggapan berupa persetujuan, penolakan, atau permintaan perbaikan untuk disepakati bersama. Dalam dua fungsi tersebut, DPRD dapat berposisi pasif (inisiatif rancangannya dari pemerintah provinsi). Sementara dalam fungsi pengawasan, tidak ada pilihan lain, kecuali DPRD sendirilah yang harus berinisiatif. Dalam perspektif ini, fungsi pengawasan ini disebut sebagai fungsi primer DPRD. Sementara fungsi pembentukan perda dan penganggaran disebut sebagai fungsi sekunder (auxiliary) DPRD. Pengawasan sebagai fungsi utama DPRD ini juga disampaikan sejumlah pakar, antara lain Jimly Ashiddiqie dalam “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara” (2012). Beliau menambahkan bahwa kewenangan untuk melakukan pengawasan tersebut, dilakukan dalam tiga hal yaitu: kontrol atas pemerintahan (control of exe­ cutive), kontrol atas pengeluaran (control of expenditure), dan kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation). Senada dengan hal tersebut, Sunarso, S. (2005) berpandangan bahwa DPRD berfungsi sebagai lembaga pengawasan politik. Menurutnya, fokus utama fungsi pengawasan DPRD adalah pengawasan akuntabilitas kinerja eksekutif dalam hal pelayanan publik, umum dan pembangunan termasuk peningkatan kompetensi institusi dan kompetensi aparatur. Dalam praktik, sebenarnya fungsi kontrol atau pengawasan inilah yang seharusnya diutamakan. Dalam UU Pemda, pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPRD diwujudkan dalam tiga bentuk pengawasan, yaitu: a) Pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan gubernur; b) Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan c) Pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keua­ ngan (BPK).


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah, disebutkan bahwa DPRD memiliki tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD. Secara lebih terperinci, Jimly Ashiddiqie (Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2012) membagi fungsi pengawasan DPRD, sebagai berikut: 1) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of po­ licy making); 2) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing); 3) Pengawasan terhadap perencanaan penganggaran dan belanja negara (control of budgeting); 4) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation); 5) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances); 6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan. Pengertian bahwa fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan pelaksanaan anggaran merupakan makna secara istilah (terminologi) yang diadopsi dari definisi menurut peraturan perundang-undangan. Namun secara bahasa, pengawasan bermakna memperhatikan secara hati-hati, serius dan seksama (awas) atas sebuah objek tertentu. Dengan makna demikian, maka pengawasan tidak hanya dilakukan saat pelaksanaan regulasi dan pelaksanaan anggaran saja, tetapi di­ mulai dari tahap perencanaan (pendahuluan), pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan (umpan balik). Pengawasan Pendahuluan (Feed Forward Control) dirancang untuk mengantisipasi adanya potensi penyimpangan dari standar atau tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap kegiatan tertentu dilaksanakan. Dalam implementasi UU KIP, tipe pengawasan ini dapat dilakukan oleh DPRD pada saat penyusunan RPJPD, RPJMD, RKPD, dan Renstra SKPD. DPRD

15


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

16

perlu mengingatkan pemerintah agar memasukkan agenda implementasi keterbukaan informasi publik. Pengawasan Pelaksanaan (Concurrent Control) dilakukan pada saat berlangsungnya kegiatan untuk segera direspon. Karena itu, sumber informasi yang digunakan adalah yang sifatnya cepat, disampaikan pada saat atau tidak lama berselang sejak kejadian. Dengan demikian, sumber informasi yang relevan antara lain Laporan Pengaduan Masyarakat; Laporan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Masyarakat; Laporan kunjungan kerja lapangan DPRD; Laporan pemantauan DPRD; Laporan hasil rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan pemerintah pro足 vi足nsi, KI Provinsi, dan OPD di lingkungan pemerintah provinsi; Laporan hasil reses DPR/DPRD; Laporan pengaduan masyarakat; dan Pemberitaan media. Sementara itu, pengawasan umpan balik (Feedback Control) dijalankan untuk mengukur hasil atau capaian dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan. Selain itu, juga untuk memberikan rekomendasi dalam rangka perbaikan pengelolaan dan pelayanan informasi publik. Sumber informasi yang dapat digunakan, antara lain: Laporan Tahunan Pelayanan Informasi Publik Peme足 rintah Provinsi dan OPD; Laporan Tahunan Pelayanan Informasi Publik Pemerintah Kabupaten/Kota dan OPD; Laporan dan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia; Laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang KI Provinsi; Laporan Peme足 ringkatan KI Pusat; Laporan Pemeringkatan KI Provinsi; Laporan Hasil Pembinaan dan Pengawasan terhadap Perangkat Daerah Kabupaten/Kota; Laporan Hasil Pembinaan dan Pengawasan terhadap Perangkat Daerah Provinsi; Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Laporan hasil penelitian, pemantauan, atau kajian dari lembaga swadaya masyarakat. Pembagian tiga kategori pengawasan ini dimaksudkan untuk mendorong Anda agar terlibat dalam melaksanakan fungsi pengawasan sejak dalam tahap perencanaan.

C. TANTANGAN FUNGSI PENGAWASAN Pada praktiknya, DPRD lebih mengutamakan fungsi pembentukan perda daripada fungsi pengawasan. Secara tidak sadar, hal ini berpotensi memperlemah pelaksanaan fungsi pengawasan.


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Hal ini disebabkan beberapa tantangan dalam melaksanakan fungsi pengawasan ini, antara lain: 1) Faktor konfigurasi politik Jika konfigurasi partai-partai pendukung kepala daerah (gubernur) lebih dominan daripada partai “oposisiâ€?, pada u­­ mumnya, agenda pengawasan DPRD akan melemah. Padahal, pengawasan tidak serta merta mendelegitimasi kinerja kepala daerah. Pengawasan dibutuhkan untuk meningkatkan capaian kepada daerah. 2) Faktor kapasitas sistem pendukung Sistem pendukung (supporting system) DPRD relatif lebih lemah dibandingkan pemerintah provinsi. Hal ini dilihat dari jumlah tenaga ahli, kompetensi, sistem rekrutmen, sistem evaluasi dan penggajian. Dampaknya dirasakan pada kualitas hasil pengawasan dan pengelolaan data sebagai basis pengawasan. 3) Faktor manajerial lembaga Manajerial lembaga ini meliputi berbagai aspek, seperti jumlah anggota, jumlah fraksi, jumlah komisi, jumlah mitra kerja, jumlah bidang kerja, pilihan prioritas agenda kerja, dan penjadwalan. Ketika DPRD fokus pada pelaksanaan satu fungsi, biasanya fungsi pengawasan cenderung terbengkalai. 4) Faktor dukungan publik Pada umumnya, masyarakat cenderung menempatkan eksekutif (pemerintah provinsi) sebagai pihak yang dimintai pertanggungjawaban (akuntabilitas) atas sebuah pe,rsoalan di daerah. Bukan kepada legislatif (DPRD). Padahal, bisa jadi sebuah persoalan terjadi karena lemahnya fungsi pengawasan DPRD. 5) Faktor komitmen anggota DPRD Komitmen pribadi dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: latar belakang kehidupan anggota (termasuk profesi), motivasi menjadi anggota DPRD, integritas personal, kontrol partai, persepsi terhadap dampak pengawasan pada konstituen dan pribadi (misal: insentif politik yang akan diterima), dan lainlain.

17


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

6) Faktor integritas lembaga Bagaimana sebuah lembaga akan mengawasi lembaga lain, jika lembaga tersebut belum menjalankan kewajiban yang sama? Jadi, sebelum mengawasi implementasi UU KIP, DPRD sendiri seharusnya terlebih dahulu menerapkan UU ini. Tanpa integritas, akan muncul potensi hilangnya kepercayaan pihak yang diawasi (pemerintah provinsi), menciptakan ruang transaksi jangka pendek, hingga pembangkangan (disobedience). Jadi, selain sebagai sebuah kewajiban, implementasi keterbukaan di DPRD juga wujud akuntabilitas dan cara untuk membangun integritas sebagai lembaga yang melakukan fungsi pengawasan.

18

Pada umumnya, peran DPRD hanya pada pembentukan perda keterbukaan informasi atau sejenisnya dan seleksi anggota Komisi Informasi Provinsi. Padahal pasca itu, DPRD diharapkan melakukan pengawalan, pengawasan, dan evaluasi terhadap implementasi keterbukaan informasi publik.


BAB III

Bayangkan Sebuah Kondisi Ideal Pemerintahan yang terbuka

“Begin with the end in mind!” kata Stephen R. Covey. Kita akan membahas itu pada bab ini. Sebelumnya, kita telah mengupas singkat tentang dampak terjadi bila pengawasan DPRD terhadap implementasi UU KIP lemah. Dengan mem­ baca bab sebelumnya, semoga lahir kesadaran tentang pentingnya posisi informasi publik dan pentingnya posisi DPRD dalam implementasi KIP. Mari kita petakan sebuah kondisi ideal, sebuah pemerintahan yang terbuka dan akuntabel.

A. PERAN PARA PIHAK Untuk mewujudkan sebuah kondisi ideal, ada berbagai pihak yang terlibat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kami mencatat bebe­ rapa pihak di bawah ini.


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

TABEL 3.1 PERAN PARA PIHAK DALAM MEMBANGUN KONDISI IDEALKETERBUKAAN INFORMASI PIHAK

KONDISI IDEAL

Pemerintah Provinsi dan OPD

• Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di lingkungan pemerintah provinsi. • Adanya pembentukan KI Provinsi. • Berjalannya fungsi pembinaan dan pe­ ngawasan implementasi keterbukaan terhadap pemerintah kabupaten/kota. • Berjalannya fungsi penyuluhan ma­ syarakat tentang hak atas informasi publik dan mekanismenya.

DPRD Provinsi

• Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di lingkungan pemerintah provinsi. • Berjalannya fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan terhadap pemerintah provinsi dalam implementasi keterbukaan informasi publik. • Berjalannya uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon anggota KI Provinsi. • Berjalannya fungsi pengawasan implementasi keterbukaan informasi publik pada badan publik non OPD di tingkat provinsi yang menerima APBD. • Terbangunnya perspektif hak atas informasi publik di seluruh anggota DPRD. • Berjalannya fungsi penyerapan aspirasi dan advokasi kepentingan konstituen terkait hak atas informasi publik dan hak lain yang relevan dengan informasi publik.

KI Provinsi

• Terbentuknya KI Provinsi (terpilihnya komisioner yang berintegritas, berkomitmen dan berkapasitas; adanya dukungan kesekretariatan, kepanite­ raan, dan tenaga ahli; berjalannya tupoksi).

20


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

• Berjalannya fungsi sosialisasi dan pemeringkatan keterbukaan informasi pada badan publik di tingkat provinsi. • Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di KI Provinsi. • Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di lingkungan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabu• Adanya pembentukan KI Kabupaten paten/kota dan (jika dibutuhkan) OPD • Berjalannya fungsi penyuluhan ma­ syarakat tentang hak atas informasi publik dan mekanismenya. Lembaga negara non struktural di tingkat provinsi

• Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di lembaga negara non struktural di tingkat provinsi.

BUMN/BUMD

• Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di BUMN/BUMD. • Adanya misi perusahaan untuk berkontribusi membangun kesadaran hak atas informasi publik. Perusahaan memandang costumer sebagai manusia se­ utuhnya, yang tak cuma punya kebutuhan hidup, tapi juga jiwa dan semangat untuk mengembangkan nilai-nilai yang baik. Inilah yang dikenal dengan era marketing 3.0.

Partai Politik

• Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di partai politik. • Berjalannya fungsi agregasi, sosialisasi, dan edukasi politik terkait hak atas informasi publik.

Organisasi non pemerintah

• Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di organisasi non pemerintah. • Berjalannya kajian terkait hak atas informasi publik. • Berjalannya kampanye dan/atau advokasi kepada masyarakat tentang hak atas informasi publik.

21


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

• Berjalannya pengawasan terhadap badan publik dalam implementasi ke­ terbukaan informasi publik. • Adanya upaya untuk mendapatkan dan/ atau mengolah informasi publikuntuk tujuan-tujuan positif.

22

Sekolah dan perguruan tinggi

• Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di sekolah/perguruan tinggi. • Adanya kurikulum dan pengajaran ter­ hadap hak atas informasi publik.

Masyarakat

• Adanya kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan untuk mengakses dan menggunakan informasi publik. • Adanya upaya untuk mendapatkan dan/ atau mengolah informasi publik untuk tujuan-tujuan positif.

Badan publik lain di tingkat provinsi

• Terbangunnya infrastruktur keterbukaan informasi di badan publik lainnya.

SUMBER: IPC (2017)

Infrastruktur keterbukaan informasi publik pada setiap badan publik yang kami tulis di atas, terdiri dari: 1. Adanya regulasi keterbukaan informasi publik 2. Terbentuknya PPID dan struktur 3. Adanya SOP: Pelayanan informasi, publikasi informasi, pengecualian informasi publik, penyusunan DIP, pembuatan Laporan tahunan, beracara di KI) 4. Adanya Daftar Informasi Publik (DIP) 5. Berjalannya pelayanan informasi 6. Adanya publikasi informasi yang wajib diumumkan 7. Adanya laporan tahunan pelayanan informasi Selain itu, infrastruktur keterbukaan informasi juga terkait de­ ngan keselarasan dengan hal-hal lainnya, yaitu: 1. Regulasi tentang Kearsipan; 2. Regulasi tentang Pelayanan Publik; 3. Dimuatnya prinsip keterbukaan dalam Regulasi daerah; 4. Dimuatnya agenda keterbukaan di RPJPD, RPJMD, RKPD, dan Renstra SKPD;


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

5. Adanya dukungan anggaran bagi pengelolaan dan pelayanan informasi publik. Silakan Anda bayangkan ada sebuah pemerintah provinsi yang membangun infrastruktur keterbukaan informasi di lingkungan pemerintah provinsi seperti di atas, membentuk dan mendukung sepenuhya KI Provinsi, melakukan fungsi pembinaan dan pe­ ngawasan kepada pemerintah kabupaten/kota, dan melakukan fungsi penyuluhan masyarakat tentang hak atas informasi publik dan mekanismenya. Dalam kontek KIP, ini pemerintah yang ideal. Tapi tak cukup hanya itu, pemerintah juga perlu terlibat dalam sejumlah inisiatif untuk memperkuat keterbukaan.

B. INISIATIF-INISIATIF KETERBUKAAN Kondisi ideal lainnya adalah terlibatnya pemerintah provinsi dan DPRD dalam sejumlah inisiatif keterbukaan di daerah, yaitu: 1. Open Government Indonesia (OGI) Ini adalah inisiatif transparansi yang mengkolaborasikan antara pemerintah dengan masyarakat untuk menyusun serangkaian rencana aksi keterbukaan. Di sejumlah negara, rencana aksi ini juga melibatkan parlemen dan masyarakat yang dikenal de­ ngan open legislative. DPRD sendiri dapat mengambil dua peran, pertama mengawasi rencana aksi di daerah dan membangun inisiatif keterbukaan parlemen di tingkat lokal. 2. Open Legislative Working Group (OLWG) Sebagai bagian dari OGI, OLWG bertujuan untuk mendorong parlemen yang lebih terbuka. Terdapat sejumlah komponen yang perlu diperjuangkan dalam mendorong keterbukaan parlemen yaitu: • Keterbukaan dalam konflik kepentingan; • Transparansi dan akses informasi publik; • Keterbukaan proses lobi. 3. Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Ini adalah inisiatif transparansi sektor pendapatan negara. Dalam inisiatif ini, setoran oleh perusahaan ekstraktif (pertambangan

23


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

dan migas) akan direkonsiliasi dengan penerimaan oleh negara dari perusahaan yang sama, sehingga terlihat jika ada penyimpangan. EITI dilaksanakan oleh beragam kelompok pemangku kepentingan antara lain pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil. DPRD dapat mengambil peran untuk menggunakan data-data EITI untuk pengawasan di daerah.

24

4. Open Data Inisiatif Open data merupakan gerakan agar pemerintah menyediakan data dalam format digital yang bisa dibaca oleh mesin berbasis teknologi informasi, misalnya data dengan format xml dan csv. Kedua jenis format tersebut merupakan format yang dapat dibaca oleh mesin. Dengan format terbuka tersebut, publik lebih luas bisa memanfaatkannya secara lebih baik, misalnya dengan membuat aplikasi yang memudahkan pelayanan publik. Peran DPRD dalam hal ini adalah mendorong keterbukaan informasi ke arah yang lebih maju, yaitu open data, melalui pengawasan yang berkelanjutan. Gambaran di atas merupakan kondisi ideal dimana seluruh badan publik membangun infrastruktur keterbukaan. Singkat kata, pemerintah membangun sistem keterbukaan di internal dan eksternal, DPRD melakukan pengawasan, masyarakat memiliki kesadaran untuk mengakses dan mengolah informasi pu­blik, sementara kelompok intermediary bodies seperti organisasi non pemerintah dan lain-lain turun membangun kesadaran pu­blik, mengadvokasi, dan mengawasi keterbukaan yang dijalankan pemerintah. Semua kondisi ini didukung oleh sinergi dan keselarasan regulasi di daerah.


BAB IV

Saatnya Anda Berkontribusi

Membenahi Keterbukaan di Sumatera Barat

“Saya ditelpon berkali-kali oleh orang Dinas, waktu ada permintaan informasi dana BOS. Heran, kenapa sepanik ini. Dana BOS itu informasi publik yang bersifat terbuka. Tak perlu ditutup-tutupi,â€? kata seorang anggota KI Provinsi Sumatera Barat, dalam sebuah diskusi. Ini ungkapan keresahan tentang dana BOS yang diperlakukan sebagai dana boss. Untuk urusan ini, pemohon harus bersidang sebanyak tujuh kali, berbulan-bulan pula lamanya. DPRD dapat berperan, sembari proses hukumnya berjalan. Peran itu adalah dengan melakukan fungsi pengawasan terhadap SKPD terkait. SKPD ini dapat dimintai penjelasan me­ ngapa tidak membuka dana BOS yang jelas-jelas merupakan informasi publik. Bahkan, bisa lebih dari itu, DPRD dapat meminta SKPD tersebut untuk membuka berapa jumlah dana BOS, berapa yang disalurkan, ke daerah mana saja, kepada siapa saja, dipergunakan untuk apa saja oleh penerima, dimana laporannya, dan sebagainya.


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

Dalam hal tertentu yang relevan dan tupoksi anggota DPRD, pe­ ran seperti ini, seharusnya dilakukan DPRD. Cerita di atas hanya sebuah pengantar untuk me-review kondisi keterbukaan informasi di Sumatera Barat. Kami akan menyajikan dua hal; fakta implementasi KIP oleh pemerintah provinsi Sumatera Barat dan fakta pengawasan DPRD terhadap implementasi KIP. Namun, tidak semua aspek dapat dibahas. Kami hanya menyampaikan sebagian kecil dari aspek infrastruktur keterbukaan informasi yang sedianya dibangun oleh peme­ rintah provinsi. Review yang lebih sistemik dan mendalam, kami harapkan dilakukan oleh DPRD.

A. IMPELEMENTASI KIP PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

26

Sejak pemberlakuan UU KIP, pada 30 April 2010, KI Pusat mengeluarkan PerKI No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP), pada 30 April 2010. Sebulan kemudian, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah, pada 14 Mei 2010.5 Tiga bulan kemudian, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (PP 61), pada 30 Agustus 2010. Salah satu mandat PP 61 adalah penunjukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen (PPID). Untuk memastikan kesiapan badan publik, maka pemerintah memberikan tambahan toleransi waktu satu tahun untuk membentuk PPID, setelah PP ini diundangkan.6 Artinya, pada 30 Agustus 2011, seharusnya PPID di semua pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah terbentuk). Masa jeda itu bertujuan memberi waktu pada badan publik untuk mempersiapkan infrastruktur keterbukaan seperti SDM, SOP, anggaran, dan lain-lain. Meski ada jeda waktu 2 (dua) tahun dari UU ditambah satu tahun dari PP, namun data Kementerian Dalam 5. Diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah. 6. Pasal 21 ayat (1) PP No. 61 Tahun 2010


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Negeri hingga Mei 2017 menunjukkan belum semua pemerintah daerah memenuhi mandat tersebut (lihat tabel 4.1 sampai de­ ngan 4.3).

TABEL 4.1 REKAPITULASI PPID PEMERINTAH PROVINSI JUMLAH PROVINSI: 34 PERIHAL

JUMLAH

PERSENTASE

Telah membentuk PPID

34

100 %

Belum membentuk PPID

0

0%

SUMBER: KEMENTERIAN DALAM NEGERI RI (8 MEI, 2017)

TABEL 4.2 REKAPITULASI PPID PEMERINTAH KABUPATEN JUMLAH KABUPATEN: 416 JUMLAH

PERSENTASE

Telah membentuk PPID

PERIHAL

304

73,07 %

Belum membentuk PPID

112

26,92 %

SUMBER: KEMENTERIAN DALAM NEGERI RI (8 MEI, 2017)

TABEL 4.3 REKAPITULASI PPID PEMERINTAH KOTA JUMLAH KOTA: 98 PERIHAL

JUMLAH

PERSENTASE

Telah membentuk PPID

89

89,79

Belum membentuk PPID

9

22,08

SUMBER: KEMENTERIAN DALAM NEGERI RI (8 MEI, 2017)

Berdasarkan data di atas, hingga Mei 2017, jumlah pemerintah daerah yang belum membentuk PPID, sebagai berikut:

27


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

1. Pemerintah kabupaten, sebanyak 112 dari 416; 2. Pemerintah kota, sebanyak 9 dari 89. Adapun struktur PPID pada pemerintah provinsi adalah sebagai berikut: Gubernur

Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi

Sekretaris Daerah

PPID

28

Pengelola Informasi

Dokumentasi & Arsip

Pelayanan Informasi

Pengaduan & Penyelesaian Sengketa

PPID Pembantu di OPD

PPID Pembantu di OPD

PPID Pembantu di OPD

PPID Pembantu di OPD

TABEL 4.4 STRUKTUR PPID PEMERINTAH PROVINSI STRUKTUR

PEJABAT

Pimpinan badan publik

Gubernur

Tim Pertimbangan Pelayanan Inspektur, Bawasda, Dan KepaInformasi la OPD Atasan PPID

Sektretaris Daerah Yang Berkoordinasi Dengan Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi

PPID

Pejabat Ex-Officio yang Tugas dan Tanggungjawabnya di Bidang Komunikasi, Informasi dan Kehumasan.

Organisasi Pelayanan Informasi dan Dokumentasi Pengelolaan Informasi

Kepala Data

Bidang

Pengelolaan

Dokumentasi dan Arsip

Kepala Bagian Arsip


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Pelayanan Informasi

Kepala Bagian Arsip/Komunikasi dan Informatika

Pengaduan dan penyelesaian Kepala Bagian Hukum sengketa SUMBER: PUSAKO UNAND (2017)

Di Sumatera Barat, pemerintah provinsi baru membentuk PPID, satu tahun setelah pemberlakuan PP 61 ini, tepatnya pada 12 April 2012.7 Memang benar ada ketentuan lain bahwa jika PPID belum ditunjuk, tugas dan tanggung jawab PPID dapat dilakukan oleh unit atau dinas di bidang informasi, komunikasi, dan/ atau kehumasan.8 Namun hal ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab SOP baru dibentuk pada tahun 2014 melalui Peraturan Gubernur No. 79 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Setelah pedoman dan SOP itu terbit, masih ada sejumlah masalah dalam pengelolaan dan pelayanan informasi. Khusus untuk publikasi informasi secara pro-aktif di situs pemerintah provinsi, sumbarprov.go.id, ada tiga catatan penting yang kami temukan, yaitu: a. Sejumlah informasi yang wajib diumumkan secara berkala, tidak dipublikasikan. Antara lain: Laporan Keuangan (audited) tahun 2016, Ringkasan permohonan & keberatan informasi publik, tata Cara Permohonan Informasi Publik, pengadaan barang dan jasa, laporan kinerja instansi peme­ rintahan (LAKIP), Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), dan lain-lain. b. Informasi terkait layanan tidak mencantumkan mekanisme tetapi hanya berupa berita-berita kegiatan. Padahal, mekanisme inilah yang dibutuhkan publik untuk mendapatkan hak pelayanan dari pemerintah provinsi. c. Belum adanya perlindungan terhadap informasi pribadi. Dalam menu pengaduan, pelapor tidak dapat memilih sistem untuk melindungi nama dan informasi yang diadukan dirahasiakan. Idealnya, ada tiga jenis pengaduan yang perlu disediakan oleh pemerintah provinsi, yaitu: peng­aduan atas 7. Keputusan Gubernur Nomor 489-332-2012 tentang Penetapan PPID dan PPID Pembantu di Lingkungan Pemerintah Provinsi 8. Pasal 21 ayat (2) PP No. 61 Tahun 2010

29


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

pelayanan publik, pengaduan atas pelayanan informasi, dan pengaduan atas penyalahgunaan wewenang pejabat atau pegawai di lingkungan pemerintah provinsi.

30

Jika pembentukan PPID tidak diikuti dengan pembentukan komponen-komponen SOP di atas, maka ada kemungkinan pelayanan informasi tidak berjalan secara maksimal. Selain berpedoman pada aturan tersebut, keterbukaan informasi memerlukan sinergi, setidaknya dengan dua aturan lain, yaitu UU Kearsipan dan UU Pelayanan Publik. Dalam kondisi itupun, kelalaian dalam pengelolaan informasi publik, masih sangat mungkin terjadi. Karena itu, DPR dan pemerintah melalui UU KIP memandatkan pembentukan KI Provinsi. Menurut UU KIP, komisi ini dibentuk paling lambat dua tahun sejak diundangkannya UU KIP. Artinya, pada April 2010, KI Provinsi seharusnya telah terbentuk atau minimal telah memasuki proses pembentukan. Tetapi, KI Provinsi Sumatera Barat, baru dibentuk pada tahun 2014 atau terlambat selama empat tahun. Ironisnya, pada tahun 2017, pemerintah provinsi tidak memberikan anggaran kepada KI Provinsi. Menurut Gubernur Sumatera Barat, berdasarkan surat Mendagri yang ditujukan kepada Ketua KI Pusat Republik Indonesia tertanggal 30 Desember 2016, KI bukan tugas konkuren daerah. Karena itu, anggaran untuk KI Provinsi berasal dari APBN bukan APBD. Sikap pemerintah provinsi yang ingin mendapatkan kejelasan, memang penting. Namun diperlukan solusi sementara agar aktivitas KI Provinsi tidak terhenti. Apalagi selama ini, tidak ada masalah hukum atas penggunaan APBD untuk KI Provinsi. Solusi sementara itulah yang tidak diberikan oleh pemerintah provinsi dan DPRD. Padahal di saat yang sama, KI Provinsi sedang mena­ ngani belasan kasus sengketa informasi. Dari seluruh pemerintah provinsi, hanya tiga pemerintah provinsi yang mempersoalkan ini. Keberadaan KI sangat diperlukan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum jika terjadi sengketa informasi. Angka sengketa informasi, merupakan salah satu sumber informasi untuk menilai kualitas keterbukaan di sebuah provinsi, bersama komponen-komponen lainnya. Sepanjang perjalanan KI provinsi, ada beragam jumlah sengketa. Di provinsi Banten, misalnya, pada tahun 2015 lalu, ada 321 sengketa informasi.9 Jumlah ini 9. Radar Banten, 2 Maret 2016


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

merupakan yang tertinggi di Indonesia. Sementara di Sumatera Barat, sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2016, hanya ada 13 pengajuan sengketa informasi. Adapun badan publik di tingkat pemerintah provinsi yang digugat pemohon informasi, diantaranya adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumatera Barat, Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Barat, dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. Rendahnya jumlah sengketa informasi, bisa jadi menunjukkan pemerintah setempat telah memberikan pelayanan yang baik sehingga tidak ada gugatan dari masyarakat. Namun bisa jadi sebaliknya, menunjukkan kurang baiknya pelayanan sehingga ma­ syarakat apatis. Selain itu, bisa jadi karena rendahnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak atas informasi. Salah satu cara mengidentifikasi baik-buruknya kondisi keterbukaan dari sisi pemerintah adalah dengan melihat kuantitas dan kualitas pu­ blikasi informasi yang wajib diumumkan dari aspek jenis informasi, isi informasi, waktu penyampaian, sarana, kemudahan bahasa, dan inovasi-inovasi. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, selain membutuhkan regulasi keterbukaan informasi publik, transparansi juga membutuhkan sinergi dengan dua regulasi lain, yaitu kearsipan dan pelayanan publik. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat te­ lah membuat regulasi daerah yang terkait regulasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam tabel berikut ini.

TABEL 4.5 REGULASI TERKAIT KETERBUKAAN DI SUMATERA BARAT PERIHAL

UNDANG-UNDANG

REGULASI DAERAH

Pergub No. 79 Tahun 2014 tentang UU No. 14 Tahun Pedoman PengeloKeterbukaan Infor- 2008 tentang Ke- laan Informasi dan masi terbukaan InforDokumentasi Di masi Publik Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat

31


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

Kearsipan

UU No. 25 Tahun 2009 tentang Kearsipan

Perda No. 17 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kearsipan

Pelayanan Publik

UU No. 43 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Perda No. 6 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik

SUMBER: IPC (2017)

32

Tantangannya, sejauhmana regulasi daerah tentang penyelenggaraan kearsipan dan penyelenggaraan pelayanan publik ini diterapkan secara konsisten oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Sementara itu, implementasi oleh pemerintah kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Barat juga mengalami keterlambatan. Ada jeda waktu pembentukan PPID dan pembentukan SOP, antara tiga sampai dengan enam tahun, sejak pemberlakuan UU KIP dan PP No. 61 Tahun 2010, sebagaimana tabel di bawah ini.

TABEL 4.5 REGULASI TERKAIT KETERBUKAAN DI SUMATERA BARAT KABUPATEN Kab. Padang Pariaman

SURAT KEPUTUSAN Kep. Bupati Padang Pariaman No. 152 KEP/BPP/2013

TENTANG

TANGGAL

PPID Kabupaten Padang Pariaman

28 Juni 2013

Kota Padang

Pejabat PPID dan PPID pembantu walikota padang

7 Oktober 2013

Kab. Kep. Men- Kep. Bupati Mentawai tawai No.188.45162 Tahun 2014

Tim Pembentukan Lembaga PPID Pemkab Kep Mentawai

21 April 2014

Kota Solok

Tim Penyusunan PPID di Lingku­ ngan Pemerintah Kota Solok

24 April 2014

Kep. Walikota Solok No. 188.45/224/ KPTS/WSL2014


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Kep. Walikota Solok No. 188.45-234 Tahun 2017

PPID dan PPID Pembantu di Lingkungan Pemerintahan Kota Solok

16 Maret 2017

Kab. Dharmasraya

Kep. Bupati Dharmasraya Nomor: 189.1/243/ KPTDBUP/2014

PPID dan PPID Pembantu Di Lingkungan Pemkab Dharmasraya

14 Mei 2014

Kab. Pasaman Barat

Kep. Bupati Pasaman Barat No. 188.45/541/ BUP-PASBAR/2014

Penunjukkan PPID 20 Juni di Kabupaten Pa­ 2014 saman Barat

Kab. Sijunjung

Kep. Bupati Penunjukan PPID Sijunjung No. 188.45/236/ KPTS-BPT-2014

Kab. Pasaman

Kep. Bupati Pasaman No. 188.45/621/ BUP-PAS-2014

Penunjukan Peja- 27 Juni bat Pengarah, Tim 2014 Pertimbangan, PPID Utama dan Pembantu Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Pemkab Pasaman Tahun 2014

Kab. Agam

Kep. Bupati Agam No. 349 Tahun 2014

PPID dan PPID Pembantu Kabupaten Agam

21 Juli 2014

Kota Pariaman

Kep. Walikota Pariaman No. 375/040/2014

Pembentukan Tim dan Operasional PPID Kota Pariaman

14 Agustus 2014

24 Juni 2014

33


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

34

Kab. Agam

Kep. Bupati Agam No. 349 Tahun 2014

PPID dan PPID Pembantu Kabupaten Agam

21 Juli 2014

Kota Pariaman

Kep. Walikota Pariaman No. 375/040/2014

Pembentukan Tim dan Operasional PPID Kota Pariaman

14 Agustus 2014

Kab. Solok

Kep. Bupati Penunjukan PPID Solok No. 480- dan PPID Pem559-2014 bantu di Lingku­ ngan Pemkab Solok

23 September 2014

Kab. Solok Selatan

Kep. Bupati Penunjukan PPID Solok No. 480- dan PPID Pem559-2014 bantu di Lingku­ ngan Pemkab Solok

23 September 2014

Kab. Lima Puluh Kota

Kep. Bupati Lima Puluh Kota No. 539 Tahun 2014

Pembentukan 6 Oktober Struktur Organisa- 2014 si dan Personalia PPID di Lingku­ ngan Pemkab Lima Puluh Kota Tahun 2014 Dalam Formasi Jabatan Secara Ex-Officio

Kota Padang Panjang

Kep. Walikota Padang Panjang No. 489/479/WAKO-PP/2014

Pembentukan Tim Pertimba­ ngan Pelayanan Informasi, PPID serta PPID Pembantu di Lingku­ ngan Pemerintah Kota Padang Panjang

30 Desember 2014


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Kab. Tanah Datar

Kep. Bupati Tanah Datar No.451.1/94/ HUMAS-2015

Penunjukkan 6 Maret PPID dan 2015 PPID Pembantu di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar

Kota Bukittinggi

Kep. Walikota Pembentukan Bukittinggi No. PPID dan 188.45-94-2015 PPID Pembantu Kota Bukittinggi

27 Maret 2015

Kep. Walikota Bukittinggi No.188.45-1062017

Pengelola 23 Maret Layanan Informasi 2017 dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Kota Bukit Tinggi

Kabupaten Pesisir Selatan

Kep. Bupati Pesisir Selatan No.550/368/ Kpts/BPTPS/2015

Penunjukan PPID dan PPID Pembantu

14 Agustus 2015

Kota Payakumbuh

Kep. Walikota Payakumbuh No.489.4/153/ Wk-Pyk/2015

Pembentukan Tim Perumus PPID dan PPID Pembantu Kota Payakumbuh

4 Maret 2015

Kota Sawahlunto

Kep. Walikota Sawahlunto No. 188.45/9/ WAKO-SWL/2016

Penetapan PPID Serta PPID Pembantu Kota Sawahlunto Tahun 2016

14 Januari 2016

SUMBER: KEMENTERIAN DALAM NEGERI RI (APRIL, 2017)

Untuk memperkuat implementasi keterbukaan informasi, pada tahun 24 Mei 2015, KI Provinsi mengingisiasi nota kesepahaman (Memorandum of Understanding - MoU) tentang pembentukan PPID dan pengelolaan informasi antara pemerintah

35


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

provinsi dengan pemerintah dengan pemerintah kabupaten/ kota. Namun kami tidak menemukan dokumen yang menjelaskan perkembangan atas MoU ini.

B. PENGAWASAN IMPELEMENTASI KIP OLEH DPRD SUMA­ TERA BARAT

36

Gambaran impelementasi UU KIP oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat di atas, juga terkait dengan kualitas pengawasan DPRD terhadap sektor ini. Fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah provinsi dalam implementasi UU KIP, hingga kini memang masih belum berjalan dengan maksimal. Belum maksimalnya fungsi pengawasan ini dapat dilihat mi­ nimnya pembahasan tentang keterbukaan informasi oleh fraksi maupun alat kelengkapan dewan terkait di DPRD (komisi I). Padahal, ada beberapa situasi yang pernah terjadi di pemerintah provinsi. Situasi ini memerlukan pengawasan DPRD Provinsi Sumatera Barat, antara lain: 1. Keterlambatan pembentukan PPID 2. Keterlambatan pembuatan SOP Pengelolaan Informasi 3. Keterlambatan pembentukan KI Provinsi 4. Tidak adanya anggaran bagi KI Provinsi pada APBD tahun 2017 5. Pengumuman informasi secara pro-aktif belum maksimal 6. Adanya penolakan terhadap pemohon informasi oleh sejumlah OPD. Sebenarnya ada banyak dokumen yang dapat digunakan DPRD dalam mengevaluasi implementasi keterbukaan informasi publik di provinsi Sumatera Barat, antara lain Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah; Laporan Tahunan Pelayanan Informasi Publik Pemerintah Provinsi; Laporan Tahunan Pelayanan Informasi Publik SKPD di Lingkungan Pemerintah Provinsi; Laporan Pemeringkatan KI Pusat; Laporan Pemeringkatan KI Provinsi; Laporan dan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia. Namun, kami belum menemukan adanya pembahasan khusus tentang evaluasi keterbukaan informasi publik ini.


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Bagi DPRD Sumatera Barat, keterbukaan informasi publik merupakan bidang baru, baik secara substansi (materi), infrastruktur pelaksana (PPID), dan keberadaan KI Provinsi. DPRD periode 2014 – 2019 ini, merupakan DPRD periode awal yang ruang lingkupnya meliputi bidang keterbukaan informasi publik. Pada awalnya, keterbukaan informasi publik ini berada di bawah komisi IV (bidang pembangunan), kemudian dipindah ke komisi I (bidang pemerintahan). Hal ini seiring dengan perkembangan di Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sendiri yang baru membentuk PPID tahun 2012, membentuk SOP pada tahun 2014, dan membentuk KI pada tahun 2014. Selain kapasitas, tantangan DPRD dalam melakukan pengawasan implementasi keterbukaan, yaitu integritas institusional. Di DPRD Provinsi Sumatera Barat, implementasi UU KIP belum dijalankan dengan baik. Bahkan pada hal yang dasar sebagai sebuah lembaga legislatif, yaitu dalam proses pembuatan perda. Sejumlah informasi terkait proses penyusunan perda tersebut, tidak dipublikasikan. Antara lain rancangan perda, naskah akademik, risalah rapat, catatan rapat, laporan singkat, pendapat mini fraksi, pendapat akhir fraksi, laporan kunjungan kerja, daftar inventaris masalah, laporan rapat dengar pendapat umum (RDPU), laporan studi banding, dan pandangan pemerintah provinsi. Transparansi perda dibutuhkan untuk membangun akuntabilitas dan partisipasi. Proses yang tidak transparan akan mempengaruhi kualitas perda yang dihasilkan. Pada Juni 2016 lalu, Kemendagri telah membatalkan tujuh perda provinsi Sumatera Barat, yaitu 1. Perda No. 9 tahun 2011 tentang Irigasi. 2. Perda No. 7 tahun 2012 tentang Pengelolaan Panas Bumi. 3. Perda No. 6 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. 4. Perda No. 2 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.5. Perda No. 1 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. 6. Perda No. 9 tahun 2008 tentang Tera dan Tera Ulang Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya. 7. Perda No. 13 tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi Sumatera Barat. Transparansi memang tidak serta-merta berkorelasi positif dengan partisipasi. Artinya, meskipun DPRD terbuka, ada kemungkinan partisipasi publik masih minim. Hal ini bisa jadi ini terjadi dalam penyusunan perda di atas. Dalam kondisi demikian,

37


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

maka DPRD perlu melakukan evaluasi implementasi keterbukaan informasi yang dilakukan selama ini. Misalnya, mengevaluasi ketepatan sarana penyampaian informasi publik, bahasa, lokasi penyampaian. Selain itu, jika mengacu pada UU Pelayanan Pu­ blik, maka DPRD juga perlu melakukan penyuluhan pelayanan publik, dalam hal ini penyuluhan tentang hak atas informasi dan mekanismenya. Hal lainnya adalah perlunya evaluasi sejauhmana DPRD membangun keterhubungan secara pro-aktif dengan kelompok-kelompok terdampak dan potensial terdampak agar mereka peduli pada perda yang dibahas.

38


BAB V

Sungguh, Ini Sebuah Kewajiban Objek dan Dasar Hukum Pengawasan KIP

Anda masih ingat tema di Bab III? Dari seluruh pihak yang berkontribusi pada terciptanya kondisi ideal keterbukaan informasi publik di atas, sasaran pengawasan DPRD dapat dibagi dalam dua kategori. Kategori pertama adalah pengawasan terhadap sistem keterbukaan informasi publik di daerah. Fungsi pengawasan ini dilakukan oleh komisi terkait di DPRD meliputi pengawasan terhadap pembentukan infrastruktur keterbukaan informasi di lingkungan peme­ rintah provinsi, pembentukan KI Provinsi, fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap peme­ rintah kabupaten/kota, dan fungsi penyuluhan masyarakat. Kategori kedua adalah pengawasan terhadap isu sektoral berbasis UU KIP (pihak yang diawasi tergantung pada objek pengawasan). Fungsi pengawasan ini dilakukan oleh semua Komisi di DPRD. Hal ini bisa dilakukan jika anggota DPRD memiliki perspektif KIP. DPRD mengawasi apakah hak masyarakat atas informasi di sektor


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

40

tertentu telah dipenuhi. Misalnya, ketika ada warga yang tidak mendapatkan pupuk bersubsidi, DPRD dapat mempertanyakan apakah Dinas Pertanian telah mengumumkan kepada masyarakat berapa pupuk bersubsidi yang didistribusikan, koperasi apa saja yang menyalurkan, kecamatan mana saja yang mendapat alokasi, berapa jumlah alokasi setiap kecamatan, berapa harganya, kategori petani yang berhak mendapatkan, nomor pengaduan jika terjadi penyimpangan. Dalam konteks UU KIP, jenis informasi seperti ini dapat dikate­ gorikan sebagai informasi yang wajib diumumkan secara serta merta. Cara mengukurnya dilihat dari tingkat kepentingan publik pada informasi tersebut. Perspektif demikian, juga perlu diba­ ngun angota DPRD dalam melakukan pengawasan. Inilah yang disebut pengawasan berbasis UU KIP. Buku ini difokuskan pada kategori pertama yaitu pengawasan terhadap sistem keterbukaan informasi publik di daerah. Dari 4 (empat) objek pengawasan DPRD terhadap implementasi KIP, menurut hemat kami, urutan prioritas pengawasan adalah sebagai berikut: 1. Infrastruktur keterbukaan informasi di lingkungan pemerintah provinsi 2. Pembentukan KI Provinsi 3. Fungsi pembinaan dan pengawasan pemerintahan kabupaten/kota dalam implementasi keterbukaan informasi 4. Fungsi penyuluhan masyarakat Dua prioritas teratas merupakan kewajiban yang tercantum dalam UU KIP sebagai lex specialis dalam pelayanan publik untuk sektor keterbukaan informasi. Pemerintah provinsi, perlu memastikan bahwa infrastruktur keterbukaan informasi di lingku­ ngan pemerintah provinsi telah terbangun, sebelum menjalan­ kan tiga kewajiban lainnya. Mengapa ini yang pertama? Logika sederhanya, membangun KI Provinsi tanpa membangun infrastruktur menyebabkan maraknya sengketa pada hal-hal yang tidak substansial atau bisa jadi KI Provinsi justru tidak berfungsi karena tidak ada masyarakat yang mengajukan gugatan. Mengapa? Karena memang tidak ada yang meminta informasi. Hal ini mungkin saja terjadi sebab masyarakat belum memiliki kesadaran yang harusnya dibangun oleh infra­


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

struktur tadi. Kemudian fungsi pembinaan pada pemerintah kabupaten/ kota. Tentu terasa aneh bila fungsi ini dilakukan sementara pemerintah provinsi sendiri tidak membangun infrastruktur di internalnya. Para bupati dan walikota akan mempertanyakan contoh praktis yang akan mereka ikuti, mereka juga pasti mempertanyakan integritas kelembagaan pemerintah provinsi. Sementara itu, jika fungsi penyuluhan kepada masyarakat dilakukan namun infrastruktur KIP di internal pemerintah provinsi belum dibangun, maka akan menjadi senjata makan tuan. OPD akan direpotkan oleh beragam permintaan informasi. Ujungujung­nya akan diselesaikan di KI Provinsi. Hal ini akan menguras energi dan menyita waktu yang harusnya dialokasikan bagi tugas utama mereka.

A. PENGAWASAN INFRASTRUKTUR KIP DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI Infrastruktur keterbukaan informasi publik di lingkungan pemerintah provinsi, setidaknya meliputi 7 (tujuh) hal, yaitu: 1. Regulasi keterbukaan informasi publik 2. PPID dan struktur 3. Standar operasional prosedur (SOP) • Pengecualian informasi publik • Penyusunan DIP • Pelayanan atas permohonan informasi • Pelayanan atas keberatan pemohon informasi • Pembuatan laporan tahunan pelayanan informasi • Publikasi informasi yang wajib diumumkan • Bersengketa di KI. 4. Daftar Informasi Publik (DIP) 5. Pelayanan informasi 6. Publikasi informasi yang wajib diumumkan 7. Laporan tahunan pelayanan informasi Selain hal-hal di atas, infrastruktur keterbukaan informasi juga terkait dengan keselarasan dengan hal-hal lainnya, yaitu:

41


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

1. Regulasi tentang Kearsipan; 2. Regulasi tentang Pelayanan Publik; 3. Dimuatnya prinsip keterbukaan dalam Regulasi daerah; 4. Dimuatnya agenda keterbukaan informasi dalam RPJPD, RPJMD, RKPD, dan Renstra SKPD. 5. Anggaran pengelolaan dan pelayanan informasi 6. Ketaatan OPD pada pemeringkatan KIP oleh KI Provinsi

42

Dalam konteks pengawasan, peran DPRD adalah memastikan bahwa tujuh infrastruktur KIP tersebut telah dibangun atau dilakukan oleh pemerintah provinsi, yang dikerangkakan dan dijamin melalui regulasi. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah membuat Pergub No. 79 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Maka, tugas DPRD adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pergub tersebut. Hal ini mengacu pada UU Pemda bahwa salah satu bentuk pengawasan DPRD adalah pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan gubernur. Pasal 100 ayat (1): Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap: a. pelaksanaan Perda provinsi dan per­aturan gubernur. b. pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi; dan c. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. DPRD perlu memastikan, apakah secara materi muatan, tujuh hal tersebut telah diatur dalam pergub? Berdasarkan pemetaan kami, khusus terkait SOP, ada tiga hal yang belum diatur. SOP tentang publikasi informasi yang wajib diumumkan, SOP Laporan tahunan pelayanan informasi dan SOP Beracara di KI. Ketiadaan SOP publikasi informasi yang wajib diumumkan berdampak pada adanya sejumlah informasi yang tidak ditampilkan pada situs pemerintah provinsi. Contoh, dokumen RKA K/L dan DIPA. Berdasarkan Surat Edaran KI Pusat (SEKIP) No. 1 Tahun 2011 ditegaskan bahwa status dokumen RKA K/L dan DIPA adalah Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Pertanyaan lainnya, apakah tujuh hal tersebut, tepat diatur melalui pergub? Misalnya tentang anggaran pengelolaan dan pelayanan informasi. Jika tidak, maka DPRD dapat mengusulkan jenis regulasi lain tambahan yang dibutuhkan. Misalnya, dalam bentuk peraturan daerah. Adapun terkait pemeringkatan yang dilakukan oleh KI Provinsi, seharusnya disambut baik oleh pemerintah provinsi sebab pemeringkatan ini merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengukur tingkat impelementasi keterbukaan informasi pada OPD di lingkungan pemerintah provinsi dan mengukur implementasi keterbukaan informasi pada pemerintah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Barat. Jika dikategorikan dalam tiga tahap pelaksanaan pengawasan, maka khusus untuk pengawasan infrastruktur KIP di lingkungan pemerintah provinsi dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Pengawasan Pendahuluan Pengawasan ini dilakukan untuk memastikan bahwa pada tahap perencanaan pembangunan dan penganggaran (seperti RKPD, RPJPD, RPJMD, RAPBD Provinsi, dan Renstra) telah memuat agenda implementasi keterbukaan informasi publik). 2. Pengawasan Pelaksanaan Pengawasan ini dilakukan untuk memastikan bahwa infrastuktur KIP di lingkungan pemerintah provinsi telah berjalan dengan baik. Hal ini bisa diketahui dari penerimaan kanal pengaduan masyarakat, pemberitaan media, pemantauan, penelusuran situs, dan lain-lain. 3. Pengawasan Umpan Balik Pengawasan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan keterbukaan informasi publik di lingkungan pemerintah provinsi dalam rangka memberikan rekomendasi perbaikan. Hal ini diketahui dari Laporan Tahunan Pelayanan Informasi Publik Pemerintah Provinsi dan OPD, hasil pemeringkatan KI Pusat dan Provinsi, serta rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia. DPRD juga harus memastikan dalam LKPJ Kepala Daerah memuat pelaksanaan UU KIP yang menjadi kewenangan Kepala Daerah. Kinerja tentang pelaksanaan UU KIP dapat menjadi parameter baik tidaknya kinerja pemerintahan dalam bidang trans-

43


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

paransi pemerintahan. Pada akhirnya perbaikan pelayanan publik diharapkan memacu partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan ma­ syarakat dalam jangka panjang.

B. PENGAWASAN TERHADAP KI PROVINSI Ada empat peran DPRD Provinsi yang dapat dilakukan terhadap KI Provinsi. 1. Melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon anggota KI Provinsi

44

Dalam UU KIP disebutkan bahwa peran DPRD dalam proses seleksi calon anggota KI Provinsi. DPRD menerima 10 (sepuluh) sampai dengan 15 (lima belas) orang calon anggota KI Provinsi, hasil dari pemilihan dari Tim Seleksi yang dibentuk oleh Gubernur. Dari jumlah tersebut, DPRD akan memilih 5 (lima) orang berdasarkan uji kepatutan dan kelayakan. Selanjutnya, 5 (lima) orang terpilih ini, akan ditetapkan sebagai ang­ gota KI Provinsi. Pasal 32 ayat (1): Calon anggota KI provinsi dan/atau KI kabupaten/kota hasil rekrutmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota oleh gubernur dan/atau bupati/walikota paling sedikit 10 (sepuluh) orang calon dan paling banyak 15 (lima belas) orang calon. Pasal 32 ayat (2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota memilih anggota KI provinsi dan/ atau KI kabupaten/kota melalui uji kepatutan dan kelayakan. Pasal 32 ayat (3) Anggota KI provinsi dan/atau KI kabupaten/ kota yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota selanjutnya ditetapkan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota.


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Dalam proses ini, DPRD diharapkan melakukan pengawasan pendahuluan dengan memastikan Gubernur membentuk tim seleksi, setidaknya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa periode KI Provinsi yang sedang berjalan. Selain itu, DPRD juga perlu memastikan bahwa pemerintah provinsi sudah menganggarkan di R-APBD Provinsi tentang pembentukan tim seleksi calon anggota KI Provinsi, pembentukan KI Provinsi, dan anggaran untuk kelembagaan KI Provinsi. 2. Memberikan pendapat kepada Gubernur jika terjadi pergantian antar waktu anggota KI Provinsi Pergantian antar waktu anggota KI Provinsi dilakukan oleh Gubernur dengan meminta pendapat pada DPRD. Hal ini mengacu pada ketentuan sesuai pasal 34 ayat (4) UU KIP. Pasal 34 ayat (4) : Pergantian antar waktu anggota KI dilakukan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR RI untuk KI Pusat, oleh gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi untuk KI provinsi, dan oleh bupati/ walikota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota untuk KI kabupaten/kota. Adapun fungsi pengawasan DPRD adalah memastikan bahwa Gubernur segera menindaklanjuti secara administrasi jika terjadi pergantian antar waktu, memastikan agar Gubernur berkonsultasi dengan DPRD, dan mengingatkan Gubernur bahwa penggantinya diambil dari urutan berikutnya berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan yang telah dilakukan DPRD, sesuai pasal 34 ayat (5) UU KIP. Pengawasan DPRD ini dapat dikategorikan sebagai pengawasan pendahuluan dan pengawasan pelaksanaan. 3. Menerima laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya KI Provinsi. Tugas DPRD menerima laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya KI Provinsi yang mengacu pada pasal 28 UU KIP ini, tidak bermakna sebagai tugas administratif dan pasif semata.

45


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

Pasal 28 : KI provinsi bertanggung jawab kepada gubernur dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi yang bersangkutan. Dalam hal ini, DPRD dapat melakukan fungsi pengawasan umpan balik (feed back control) dengan memastikan memastikan kinerja dan kondisi kelembagaan, antara lain:

46

• Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyelesaian penyelesaian sengketa informasi (Jumlah sengketa yang teregister, jumlah sengketa yang telah selesai diputuskan, jumlah sengketa yang belum diputuskan, jumlah sengketa yang diselesaikan melalui mediasi, jumlah sengketa yang diselesaikan melalui ajudikasi, dll); • Pelaksanaan tugas sekunder, antara lain fungsi sosialisasi UU KIP dan pemeringkatan badan publik; • Pelaksanaan pelayanan publik di KI; • Pelaksanaan keterbukaan informasi publik di KI; • Kondisi kelembagaan KI Provinsi (Kondisi kesekretariatan, kepaniteraan, dan tenaga ahli). Sementara terkait tugas menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik, DPRD tidak dibenarkan melakukan intervensi pada KI Provinsi. 4. Melakukan pembahasan anggaran KI Provinsi bersama pemerintah provinsi Tugas ini mengacu pada ketentuan UU KIP Pasal 29 ayat (6) bahwa anggaran KI provinsi dibebankan pada APBD provinsi Pasal 29 : Ayat (6) Anggaran KI Pusat dibebankan pada APBN, anggaran KI provinsi dan/atau KI kabupaten/kota dibebankan pada APBD provinsi dan/atau APBD kabupaten/kota yang bersangkutan. Penentuan APBD provinsi itu sendiri harus dengan persetujuan DPRD provinsi. Hal ini sesuai dengan Pasal 317 ayat (1)


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

huruf b UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPRD Provinsi mempunyai wewenang dan tugas membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur. Ini yang disebut sebagai fungsi anggaran (fungsi penyusunan anggaran). Dalam fungsi penyusunan anggaran, juga terdapat fungsi pengawasan pendahuluan. Meminjam istilah Prof. Jimly, disebut sebagai pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making). Dalam hal ini, DPRD berperan memastikan bahwa pemerintah provinsi telah memasukkan anggaran untuk pembentukan KI Provinsi dan kelembagaan KI Provinsi. Sebagai lembaga negara yang mandiri tetapi dibawah “bayang-bayang� pemerintah daerah, menjadikan KI Provinsi lembaga yang tidak diberikan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Anggaran KI Provinsi disusun dan dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi. Pada sejumlah kasus, KI Provinsi mengalami kendala dalam anggaran penyelesaian sengketa, karena keterbatasan dan ketidaktahuan OPD yang menyusun mata anggaran dari KI Provinsi. Karena itu, diperlukan pengawasan pendahuluan untuk memastikan dukungan anggaran pada KI Provinsi terpenuhi dengan baik.

C. PENGAWASAN FUNGSI PEMBINAAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA Infrastruktur keterbukaan informasi publik di lingkungan pemerintah kabupaten/kota, pada dasarnya sama seperti infrastruktur keterbukaan informasi publik di lingkungan pemerintah provinsi. Peran pemerintah provinsi (gubernur) adalah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah kabupaten/ kota dimana posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Hal ini mengacu pada UU Pemda. Pasal 373 ayat (2): Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyeleng-

47


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

garaan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Dalam pasal 375 ayat (4) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pembinaan yang bersifat umum meliputi: a. pembagian Urusan Pemerintahan; b. kelembagaan Daerah; c. kepegawaian pada Perangkat Daerah; d. keuangan Daerah; e. pembangunan Daerah; f. pelayanan publik di Daerah; g. kerja sama Daerah; h. kebijakan Daerah; i. kepala daerah dan DPRD; dan j. bentuk pembinaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun tugas pemerintah provinsi dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan tersebut adalah sebagai berikut:10

48

1. Mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah kabupaten/kota; 2. Melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; 3. Memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya; 4. Melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/ Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah; 5. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan 6. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai panduan lebih lanjut, pemerintah menerbitkan Per­ aturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam PP ini disebutkan bahwa Kepala Daerah yang tidak melakukan pelanggaran administratif dijatuhi sanksi administratif.11 Bentuk-bentuk pelanggaran administratif kepala daerah ini antara lain: tidak diumumkannya pelayanan publik kepada masyarakat melalui media dan tempat yang dapat diakses oleh masyarakat luas,12 tidak diumumkannya informasi pembangunan daerah, 10. Radar Banten, 2 Maret 2016 11. PP No. 12 Tahun 2017. Pasal 36 ayat (1) 12. PP No. 12 Tahun 2017. Pasal 36 ayat (2) huruf p


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

dan infomasi keuangan daerah kepada masyarakat.13 Sanksi administratif ini dijatuhkan oleh pemerintah provinsi (gubernur) kepada pemerintah kabupaten/kota (bupati/walikota), dalam ruang lingkup kewenangannya.14 Adapun sanksi administratif ini berupa teguran tertulis, tidak dibayarkan hak keuangan selama 3 (tiga) bulan, tidak dibayarkan hak keuangan selama 6 (enam) bulan, penundaan evaluasi rancangan perda, pengambilalihan kewenangan perizinan, penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil, mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan, pemberhentian sementara selama 3 (tiga) bulan dan/atau pemberhentian.15 Fungsi pengawasan dalam hal ini adalah memastikan bahwa pemerintah provinsi (gubernur) telah menyusun program pembinaan dan pengawasan infrastruktur keterbukaan informasi publik di lingkungan pemerintah kabupaten/kota, sebagai mandat dari Undang-Undang Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 100 ayat (1) disebutkan bahwa salah satu bentuk pengawasan DPRD adalah pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi. Adapun bentuk kegiatannya dapat berupa Fasilitasi, Konsultasi, Pendidikan dan Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan.

D. PENGAWASAN FUNGSI PENYULUHAN MASYARAKAT Sebagai salah satu satu bidang dalam pelayanan publik, maka pada beberapa prinsip dasarnya, pelaksanaan keterbukaan informasi publik juga mengacu pada UU Pelayanan Publik. Dalam UU Pelayanan Publik disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan informasi publik, sekurang-kurangnya meliputi: pelaksanaan pelayanan; pengelolaan pengaduan masyarakat; pengelolaan informasi; pengawasan internal; penyuluhan masyarakat; dan pelayanan konsultasi.16 Jika unsur-unsur tersebut diturunkan ke dalam kewajiban-kewajiban yang ada pada UU KIP dan Peraturan KI, maka akan terlihat sebagai berikut: 13. PP No. 12 Tahun 2017. Pasal 36 ayat (2) huruf s 14. PP No. 12 Tahun 2017. Pasal 37 ayat (1) 15. PP No. 12 Tahun 2017. Pasal 37 ayat (4) 16. UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pasal 5 ayat (2)

49


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

TABEL 5.1 UNSUR PELAYANAN PUBLIK PADA IMPLEMENTASI KIP

50

UNSUR PELAYANAN PUBLIK

KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Pelaksanaan pelayanan

- Pelayanan informasi secara pro-aktif (pro-active disclosure) terhadap informasi yang wajib diumumkan secara berkala dan secara serta-merta - Pelayanan permohonan berdasarkan permintaan untuk informasi yang wajib tersedia setiap saat.

Pengelolaan yarakat

pengaduan

- Adanya mekanisme kebe­ ratan pemohon informasi yang ditujukan kepada Atasan PPID dengan wak mas- Adanya KI sebagai tindak lanjut atas ketidakpuasan pemohon informasi terhadap respon keberatan Badan Publik.

Pengelolaan informasi

- Pembentukan PPID (beserta struktur dan tupoksi) - Pengarsipan (sesuai UU Kearsipan) - Penyusunan Daftar Informasi Publik (DIP) - Pengecualian informasi (Melalui Uji Konsekuensi)

Pengawasan internal

Pemberian kewenangan pada Pimpinan lembaga untuk: - Pengesahan DIP - Pengesahan informasi yang dikecualikan - Pengesahan Laporan Tahunan Pelayanan Informasi

Penyuluhan masyarakat

- Tidak disebutkan di UU KIP

Pelayanan konsultasi

- Tidak disebutkan di UU KIP

SUMBER: IPC (2017)


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

Mengacu pada unsur pelayanan publik di atas, maka ada dua hal yang belum disebut dalam UU KIP, yaitu penyuluhan ma­ syarakat dan pelayanan konsultasi. Tugas ini bisa disatukan de­ ngan PPID atau Humas. Untuk “pelayanan konsultasi”, dilakukan secara pasif berdasarkan permintaan publik. Sementara, “penyuluhan masyarakat” ini dilakukan secara pro-aktif pada tiga aspek. Pertama, paradigma bahwa informasi adalah hak masyarakat. Posisi sebagai hak ini lahir karena pada dasarnya negera ini adalah milik masyarakat. Sementara, pemerintah hanyalah pelaksana mandat rakyat untuk menjalankan pemerintahan dan melayani masyarakat. Inilah turunan dari prinsip dasar tentang kedaulatan rakyat, sebagaimana disampaikan John Locke, Montesquieu, Rousseau, dan lain-lain. Masyarakat juga perlu mamahami bahwa informasi publik merupakan sarana untuk mendapatkan hak-hak lainnya. Karena paradigma di atas, maka perumusan peraturan perundang-undangan, kebijakan program pembangunan dan kegiatan pemerintah dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Sejumlah regulasi yang mengatur hal tersebut, antara lain tertera pada tabel di bawah ini.

TABEL 5.2 REGULASI YANG MENJAMIN TRANSPARANSI PEMBAHASAN KEBIJAKAN, PERATURAN PER-UU-AN, PROGRAM, DAN KEGIATAN PEMERINTAH REGULASI

PASAL

UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Penjelasan Pasal 69 Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan, antara lain, melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Penjelasan Pasal 5 huruf g Bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

51


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

Pasal 88 ayat (1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan RUU, pembahasan RUU, hingga Pengundangan UU. Pasal 88 ayat (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan. UU No. 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)

52

Pasal 108 ayat (3) huruf I dan j: Anggota DPRD provinsi berkewajiban menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; dan menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat.
 Pasal 354 ayat (1): Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat. Pasal 354 ayat (2): Dalam mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah: 
a. menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; b. mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melalui dukungan pengembangan kapasitas masyarakat; c. mengembangkan pelembagaan dan mekanisme 
pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok dan organisasi kemasyarakatan dapat terlibat secara efektif. Pasal 354 ayat (3): Partisipasi masyarakat mencakup: penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang mengatur dan membebani masyarakat, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan Daerah; pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam Daerah; dan penyelenggaraan pelayanan publik. Pasal 354 ayat (4) : Partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk: konsultasi publik; musyawarah; kemitraan; penyampaian aspirasi; pengawasan; dan/atau keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

UU No. 43 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Pasal 23 ayat (4) Penyelenggara berkewajiban mengelola sistem informasi yang terdiri atas sistem informasi elektronik atau nonelektronik, sekurang-kurangnya meliputi: a. profil penyelenggara; b. profil pelaksana; c. standar pelayanan; d. maklumat pelayanan; e. pengelolaan pengaduan; dan f. penilaian kinerja. Pasal 23 ayat (5) Penyelenggara berkewajiban menyediakan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada masyarakat secara terbuka dan mudah diakses. Pasal 28 ayat (1) Penyelenggara yang bermaksud melakukan perbaikan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik wajib mengumumkan dan mencantumkan batas waktu penyelesaian pekerjaan secara jelas dan terbuka

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Pasal 10 ayat (1) AUPB yang dimaksud dalam UU ini meliputi asas: a. kepastian hukum b. kemanfaatan c. ketidakberpihakan d. kecermatan e. tidak menyalahgunakan wewenang f. keterbukaan g. kepentingan umum h. pelayanan yang baik Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan� adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. AUPB = Asas-asas umum pemerintahan yang baik

UU No. 14 Tahun Pasal 9 ayat (1) Setiap Badan Publik wajib mengu2008 tentang mumkan Informasi Publik secara berkala. Keterbukaan Informasi Publik Pasal 9 ayat (2) Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik; b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait; c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/ atau d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.

53


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

Pasal 9 ayat (3) Kewajiban memberikan dan menyampaikan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali. SUMBER: IPC (2017)

54

Kedua, selain paradigma, masyarakat juga perlu diberikan pengetahuan tentang makna informasi publik agar mereka memahami informasi apa saja yang masuk kategori hak. Ketiga, masyarakat juga perlu diberi keterampilan untuk meng­ akses informasi publik, termasuk mengajukan keberatan dan sengketa ke KI. Pemerintah provinsi memiliki kewajiban untuk membangun kesadaran masyarakat. Tugas DPRD dalam konteks pengawasan pendahuluan adalah memastikan bahwa pemerintah provinsi memiliki program pe­ nyuluhan masyarakat dan pelayanan konsultasi publik terkait keterbukaan informasi agar kesadaran (paradigma), pengetahuan, dan keterampilan tentang hak atas informasi publik, terbangun secara baik. Dengan demikian, akan terjalin sinergi antara ke­ terbukaan pemerintah dan kesadaran masyarakat, sehingga keberadaan informasi publik memberikan manfaat secara maksimal bagi kehidupan masyarakat. DPRD juga dapat melakukan pengawasan pelaksanaan de­ ngan membuka kanal pengaduan masyarakat terkait pelayanan informasi publik dan berjalan-tidaknya fungsi penyuluhan ma­ syarakat tersebut. Pengaduan dari masyarakat akan menjadi lebih berkualitas sebagai aspirasi jika didukung oleh mekanisme pe­ ngelolaan yang sistematis, baik di aspek penyerapan, menghimpun, maupun menampung. Berdasarkan data pengaduan yang dihimpun secara sistematis, DPRD bisa melakukan tindak lanjut yang lebih mendasar. Mulai dari meminta keterangan kepada pelaksana pelayanan publik, baik di tingkat unit pelayanan maupun ke SKPD, maupun membawanya dalam pembahasan di alat kelengkapan DPRD.17

17.USAID, 2009, Pengawasan DPRD Terhadap Pelayanan Publik: Seri Penguatan Legislatif, Jakarta: USAID, hlm. 19.


BAB VI

Datamu, Harimaumu Himpun, olah dan sampaikan

“Mulutmu harimaumu,” kata sebuah pepatah. Tapi dalam konteks fungsi pengawasan DPRD, mulut tanpa data tak akan menjadi “harimau”. Justru sebaliknya, bisa jadi senjata makan tuan. Sekarang zamannya, “Datamu, Harimaumu”. Tentu, jika data itu diolah dan disampaikan, bukan didiamkan.

A. Sumber Data dan Informasi Berikut ini sejumlah sumber data dan informasi yang dapat digunakan untuk melakukan pengawasan implementasi keterbukaan informasi di daerah. 1. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPDP); 2. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah; 3. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah;


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

56

4. Laporan Tahunan Pelayanan Informasi Publik Pemerintah Provinsi dan OPD; 5. Laporan Tahunan Pelayanan Informasi Publik Pemerintah Kabupaten/Kota dan OPD; 6. Laporan dan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia; 7. Laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang KI Provinsi; 8. Laporan Pemeringkatan KI Pusat; 9. Laporan Pemeringkatan KI Provinsi; 10. Laporan Hasil Pembinaan dan Pengawasan terhadap Perangkat Daerah Kabupaten/Kota; 11. Laporan Hasil Pembinaan dan Pengawasan terhadap Perangkat Daerah Provinsi; 12. Laporan Pengaduan Masyarakat; 13. Laporan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Masyarakat; 14. Laporan kunjungan kerja lapangan DPRD; 15. Laporan pemantauan DPRD; 16. Laporan hasil rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan pemerintah provinsi, KI Provinsi, dan OPD di lingkungan pemerintah provinsi; 17. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 18. Laporan hasil penelitian, pemantauan, atau kajian dari lembaga swadaya masyarakat; 19. Laporan hasil reses DPR/DPRD; 20. Laporan pengaduan masyarakat; 21. Pemberitaan media.

B. Kategori Data dan Informasi Sumber data dan informasi di atas, dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Data dan Informasi yang merupakan hak DPRD Provinsi se­ perti LKPJ dan Laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang KI Provinsi. 2. Data dan informasi yang merupakan Laporan dari lembaga lain yang dipublikasikan secara terbuka atau diminta melalui koordinasi antar lembaga, seperti Laporan dan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia dan Laporan Pemeringkatan


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

KI Provinsi. Permintaan informasi antar badan publik pemerintah, menggunakan mekanisme koordinasi antar lembaga, tidak menggunakan UU KIP. 3. Data dan informasi yang didapatkan dari pelaksanaan fungsi representasi, seperti Laporan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan masyarakat, laporan reses, dan kunjungan kerja. 4. Data dan informasi yang merupakan hasil inisiatif DPRD untuk memperkuat fungsi pengawasan, misalnya, hasil penelusuran situs, pemantauan lapangan, dan penerimaan kanal penga­ duan masyarakat. Pada dasarnya, seluruh informasi yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga di atas merupakan informasi publik yang bersifat terbuka. Karena itu, meskipun dokumen tersebut bukan ditujukan kepada DPRD seperti Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPDP) dan Laporan Hasil Pembinaan dan Pengawasan terhadap Perangkat Daerah Provinsi, DPRD tetap dapat mengaksesnya. Semakin banyak informasi yang didapatkan, semakin memperkuat kualitas pengawasan DPRD.

C. Metode dan Cara Pengawasan Sebagian besar data-data tersebut dapat diperoleh dari metode dan cara-cara pengawasan di bawah ini. Selain untuk menggali data dan informasi, metode dan cara pengawasan ini, juga untuk melakukan pengawasan pendahuluan, pengawasan pelaksanaan, dan pengawasan pasca pelaksanaan (umpan balik). 1. Rapat Kerja (Raker) Rapat yang diselenggarakan oleh DPRD dengan mitra kerjanya dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan program kerja daerah. 2. Rapat Dengar Pendapat (RDP) Rapat yang diselenggarakan antara DPRD dengan mitra-mitra kerjanya dalam rangka pengawasan ataupun legislasi atau dengan lembaga lain yang bukan mitranya namun pendapatnya dibutuhkan oleh DPRD. 3. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Rapat yang diselenggarakan dengan tujuan untuk meminta

57


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

58

pendapat publik dalam satu topik tertentu 4. Hak Bertanya Hak untuk bertanya oleh DPRD atau anggota DPRD, baik tertulis maupun tidak, kepada pemerintah pada saat pelaksanaan rapat-rapat DPRD. 5. Hak Interpelasi Hak untuk meminta keterangan. Bedanya dengah hak untuk bertanya, hak angket meminta legitimasi kepada pemerintah dalam kebijakan tertentu. 6. Hak Angket Hak untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah tertentu. 7. Hak Menyatakan Pendapat Hak untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan peme­ rintah yang dapat berakhir pada pemakzulan. 8. Reses Reses dilakukan pada periode tertentu dalam rangka menye­ rap aspirasi masyarakat, menggali persoalan yang terjadi di konstituen dan menyampaikan perkembangan tugas-tugas anggota DPRD. 9. Kunjungan Kerja Lapangan Kunjungan kerja DPR dilakukan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah. 10. Pengawasan Bersama (Joint Monitoring) Pengawasan yang dilakukan dengan bekerjasama antara beberapa pihak atau lembaga dengan tujuan memperkuat kua­ litas dan hasil pengawasan di lapangan. 11. Pemantauan Pemantauan dilakukan untuk mengetahui fakta yang sesungguhnya di lapangan. Misalnya terhadap kualitas pelayanan dan situs pemerintah provinsi. 12. Permintaan informasi Permintaan informasi hasil pemantauan, investigasi, dan/atau kajian instansi lain. 13. Pembuatan kanal pengaduan masyarakat Pembuatan kanal pengaduan masyarakat dilakukan untuk mengetahui kasus-kasus yang dialami masyarakat dalam pelayanan informasi publik. 14. Media Monitoring Media monitoring dilakukan untuk mengetahui persoalan apa


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

saja yang terjadi pada daerah tertentu atau pada bidang tertentu berdasarkan pemberitaan media. Idealnya, DPRD memiliki data primer berdasarkan fakta lapa­ ngan sebagai data pembanding dari Laporan-laporan yang di­ sampaikan pemerintah. Pada umumnya, ada kecenderungan pemerintah menyampaikan informasi dengan sudut pandang, framing dan/atau diksi tertentu, agar terkesan berhasil menyelesaikan sebuah masalah. Untuk itu, diperlukan sebuah tim pendukung yang kuat, baik dari partai, fraksi, komisi, atau tim yang dibentuk oleh individu anggota DPRD. Cara lainnya, adalah menciptakan komunitas-komunitas yang dapat membantu kerja-kerja anggota DPRD dalam penyerapan aspirasi.

59


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

60


BAB VII

Awasi Lebih Dalam

Petakan objek pengawasan secara detil

Untuk menghasilkan rekomendasi yang berkualitas, maka anggota DPRD harus mendalami sebuah persoalan. Untuk mendapatkan kedalaman itu, maka diperlukan pendetilan ter­ hadap objek pengawasan.

A. Cara Mendetilkan Objek Pengawasan Untuk mendetilkan objek pengawasan, maka anggota DPRD perlu melihat sebuah persoalan dari berbagai pendekatan, antara lain - Pendekatan fungsi manajemen. Misalnya dengan POAC (planning – perencanaan, organizing – pengorganisasian, actuating – pelaksanaan, controlling – pengawasan). Misalnya pengawasan terhadap fungsi pe­ nyuluhan ma­syarakat tentang hak atas infor-


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

62

masi. DPRD dapat mempertanyakan apa saja program penyuluhan masyarakat terkait hak atas informasi publik, komunitas apa saja yang dilibatkan, apa saja yang telah dilaksanakan dan yang belum dilaksanakan, bagaimana mengukur keberhasilan program penyuluhan tersebut - Pendekatan analisis kondisi objek. Misalnya dengan SWOT (strength – kekuatan, weaknesses - kelemahan, opportunities - peluang, threats - hambatan) untuk mengetahui kondisi infrastruktur dan sistem keterbukaan informasi. Misalnya, pengawasan terhadap KI Provinsi Sumatera Barat. DPRD dapat menggali apa saja kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang dihadapi dalam menjalankan penyelesaian sengketa informasi. - Pendekatan sistem. Melihat sebuah permasalahan sebagai satu kesatuan yang saling terikat dan mempengaruhi. Mi­ salnya, pengawasan terhadap pelayanan informasi. DPRD dapat mempertanyakan apakah pemerintah provinsi telah me­nyiapkan berbagai hal yang dapat mempengaruhi terlaksananya pelayanan informasi dengan baik. Misalnya, apakah DIP yang dimiliki telah disusun secara lengkap dari seluruh SKPD dan diperbaharui berkala, apakah jumlah SDM yang memberikan pelayanan cukup, apakah masyarakat telah me­ ngetahui adanya pelayanan informasi, apakah anggaran untuk pelayanan informasi tersedia memadai, apakah tenaga arsiparis dan fungsi kearsipan berjalan dengan baik, dan lain-lain). - Pendekatan dengan beragam perspektif sosial yang berkembang di kelompok masyarakat sipil. Misalnya perspektif disabili­tas. DPRD dapat mempertanyakan apakah sarana pelayanan informasi yang tersedia ramah pada kelompok disabilitas, apakah situs pemerintah provinsi dapat diakses oleh warga yang mengalami tuna netra.

B. Contoh Tabel Objek Pengawasan Tabel di bawah ini memandu Anda untuk mendetilkan objek pengawasan dalam implementasi UU KIP. Pertanyaan-pertanyaan yang kami sajikan merupakan contoh yang dapat dikembangkan sesuai kondisi di lapangan.


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

TABEL 7.1 OBJEK PENGAWASAN INFRASTRUKTUR KIP DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI ASPEK Regulasi

PPID

OBJEK PENGAWASAN

CONTOH PERTANYAAN

1. Regulasi keterbukaan informasi 2. Regulasi lain terkait KIP (Kearsipan & Pelayanan Publik) 3. Prinsip KIP dalam regulasi-regulasi lainnya 4. Keselarasan perencanaan

1. Apakah ada regulasi KIP di daerah yang mengatur: Hak dan kewajiban badan publik dan masyakarat, Pembentukan PPID dan SOP, Peng­ anggaran terhadap pengelolaan dan pelayanan, Penganggaran terhadap KI. 2. Apakah ada regulasi daerah yang mengatur tentang kearsipan dan pelayanan publiK? Bagaimana implementasinya di lapangan? 3. Apakah ada regulasi daerah yang belum mengadopsi prinsip-prinsip KIP atau melanggar prinsip-prinsip KIP 4. Bagaimana keselarasan antara RKPD, RPJPD, RPJMD, dan Renstra SKPD dalam implementasi KIP? 5. Dll

1. Efektivitas Struk- 1. Apakah struktur tur PPID efektif dalam 2. Kuantitas SDM melakukan pengelo3. Kualitas SDM laan dan pelayanan informasi? 2. Apakah jumlah SDM pada PPID memadai?

TEMUAN

63


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

3. Apakah ada standarisasi para pejabat dan staf pada PPID? 4. Upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas PPID? 5. Dll SOP

1. SOP Pelayanan Informasi Publik 2. SOP Penyusunan DIP 3. SOP Publikasi Informasi Yang Wajib Diumumkan 4. SOP Penge­ cualian Informasi Publik 5. SOP Pembuatan Laporan Tahunan 6. SOP Bersengketa di KI

1. Apakah pemerintah provinsi telah membuat 6 (enam) jenis SOP? 2. Apakah SOP telah memenuhi dua unsur, hak dan kewajiban bagi badan publik, serta hak dan kewajiban bagi publik? 3. Apakah SOP telah dijalankan dengan baik? 4. Apa saja kendala dalam menjalankan SOP? 5. Kapasitas dan kebutuhan untuk menjalankan SOP ? 6. Dll

DIP

1. Format 2. Kelengkapan dari seluruh OPD 3. Ketepatan Pembaruan 4. Ketepatan Isi 5. Mekanisme Penyusunan DIP

1. Apakah format DIP sudah memadai untuk kebutuhan badan publik? 2. Apakah DIP telah mencakup dari seluruh OPD? 3. Apakah DIP diperbaharui secara serta-merta dan berkala? 4. Apakah subjek informasi dalam DIP sudah tepat (Misal: tidak mencantumkan

64


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

informasi dikecualikan)? 5. Apa saja kendala dalam menyusun DIP? 6. Dll Publikasi Informasi

1. Subjek informa- 1. Apakah pemerintah si memiliki panduan 2. Kemudahan tentang informaakses si apa saja pada 3. Bentuk informapemerintah provinsi si dan OPD, yang wajib 4. Waktu publikasi diumumkan dan 5. Mekanisme mekanismenya? Publikasi Infor2. Apa saja sarana yang masi digunakan untuk 6. Sarana yang publikasi informasi? digunakan 3. Bagaimana memastikan masyarakat telah mengakses dan memanfaatkan informasi publik yang dipublikasikan? 4. Apakah informasi yang tersedia di situs mudah diakses? 5. Apakah jenis-jenis pelayanan publik dan mekanismenya telah disampaikan kepada masyarakat, melalui situs dan sarana lain yang mudah diakses? 6. Apakah ada mekanisme untuk melindungi informasi pribadi pada situs pemerintah provinsi? 7. Apakah situs pemerintah provinsi menyediakan sarana pengaduan? 8. Dll

65


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

Pelayanan Informasi

1. Cara pelayanan permintaan 2. Bentuk informasi 3. Ketersediaan informasi 4. Ketepatan informasi 5. Kelengkapan informasi 6. Waktu pelayanan 7. Lama pelayanan 8. Syarat pelayanan 9. SDM 10. Jadwal Pelayanan

Laporan Tahunan

1. Kelengkapan isi 1. Apakah pemerinLaporan tah provinsi telah 2. Ketepatan wakmembuat Laporan tu penyampaian tahunan? 3. Mekanisme 2. Apakah isi laporan Penyusunan lengkap tahunan seLaporan suai dengan ketentuan? 3. Apakah laporan tahunan telah disampaikan dengan tepat waktu? 4. Berapa permohonan informasi yang dipenuhi dan ditolak?

66

1. Apa saja sarana yang disediakan untuk permohonan informasi? 2. Apakah sarana tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat? 3. Bentuk-bentuk informasi apa saja yang disediakan? 4. Berapa banyak masyarakat yang meminta informasi dalam satu bulan? 5. Informasi apa yang banyak diminta? 6. Mengapa informasi yang banyak diminta tidak diumumkan secara pro-aktif? 7. Sarana apa yang digunakan untuk menyampaikan pe­ ngaduan pelayanan informasi? 8. Dll


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

5. Apakah ada kebe­ ratan atau gugatan dari publik terkait pelayanan informasi? 6. Apakah anggaran untuk pengelolaan dan pelayanan informasi sudah memadai? 7. Apakah seluruh OPD mengikuti pemeringkatan dari KI Provinsi? 8. Apa upaya pemerintah provinsi mendorong keikutsertaan OPD dalam peme­ ringkatan KI Provinsi? 9. Dll

67

TABEL 7.2 OBJEK PENGAWASAN TERHADAP KI PROVINSI ASPEK

OBJEK PENGAWASAN

CONTOH PERTANYAAN

Uji Kepatutan dan Kelayakan

1. Pembentukan Timsel 2. Pengesahan Ang­gota terpilih

1. Apakah pemerintah telah mempersiapkan pembentukan timsel, dalam aspek anggaran, ketersediaan waktu, dll? 2. Apakah timsel telah memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan PERKI?

Konsultasi atas PAW anggota KI Provinsi

1. Proses administratif PAW 2. Kandidat pengganti

1. Apakah proses administratif PAW telah sesuai prosedur dan tepat waktu? 2. Apakah kandidat pengganti PAW,

TEMUAN


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

sesuai urutan hasil fit

& proper test? Penganggaran KI Provinsi

68

1. Anggaran Pembentukan KI Provinsi 2. Anggaran Operasional KI Provinsi

1. Apakah proses administratif PAW telah sesuai prosedur dan tepat waktu? 2. Apakah kandidat pengganti PAW, sesuai urutan hasil fit & proper test?

Menerima 1. Pelaksanaan tu- 1. Berapa jumlah laporan poksi penyelesengketa yang teregpelaksasaian sengketa ister? naan tu2. Pelaksanaan 2. Berapa jumlah poksi dan fungsi sosialsengketa yang telah wewenang isasi (termasuk selesai diputuskan KI Provinsi pemeringkatan) & jumlah sengketa 3. Pelaksanaan peyang belum diputuslayanan publik kan? 4. Infrastruktur KIP 3. Berapa jumlah 5. Kondisi kelemsengketa yang bagaan diselesaikan melalui mediasi dan ajudikasi? 4. Berapa jumlah sengketa yang diselesaikan seuai ketentutan dan yang tidak sesuai ketentuan (dalam 100 hari kerja)? 5. Berapa jumlah sengketa yang diterima kedua belah pihak dan jumlah sengketa yang digugat ke PN/ PTUN? 6. Apa saja objek yang disengketakan? 7. Apa saja jenis substansi informasi yang banyak disengketakan?


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

8. Apa kendala-kendala dalam pro­ ses penyelesaian sengketa 9. Apa rekomendasi untuk perbaikan kualitas penyelesaian sengketa informasi? 10. Bagaimana respon badan publik terhadap pemeringkatan? 11. Baan publik mana yang rendah nilai pemeringkatannya? 12. Pihak mana saja yang telah menerima sosialisasi KIP? 13. Bagaimana kondisi kesekretariatan, kepaniteraan, dan tenaga ahli? 14. Apakah dukungan anggaran KI Provinsi sudah memadai?

69

TABEL 7.3 OBJEK PENGAWASAN TERHADAP FUNGSI PEMBINAAN PEMERINTAH KAB/KOTA UNSUR Pembinaan

OBJEK PENGAWASAN

CONTOH PERTANYAAN

1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Evaluasi 4. Hasil 5. Unsur-Unsur: Fasilitasi, Konsultasi, Pendidikan dan Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan

1. Apa perencanaan pemprov dalam menjalankan fungsi pembinaan KIP? 2. Bentuk pembinaan KIP apa saja yang telah dilakukan? 3. Kab/Kota mana saja yang telah dan belum mendapat pembinaan KIP? 4. Apa saja hasil pembinaan KIP ini?

TEMUAN


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

5. Apa tools yang digunakan untuk menilai keberhasilan pembinaan KIP pada kab/kota? 6. Dll Pengawasan

1. Perencanaan 1. Apa perencanaan 2. Pelaksanaan pemprov dalam 3. Evaluasi menjalankan fungsi 4. Hasil pengawasan KIP 5. Unsur-Unsur: pada pemerintah - Capaian standar kab/kota? - Ketaatan terha- 2. Apakah semua dap regulasi pemerintah kab/ - Dampak pelakkota telah membasanaan ngun infrastruktur - Akuntabilitas KIP di lingkungan pengelolaan pemerintah kab/kota anggaran masing-masing? Kab mana saja yang belum? 3. Infrastruktur KIP apa yang belum dibangun oleh pemerintah kab/kota? 4. Bagaimana ketersediaan dan penggunaan anggaran untuk pengelolaan dan pelayanan informasi publik di pemerintah kab/kota? 5. Apa tindak lanjut dari hasil pengawasan? 6. Dll

70

TABEL 7.4 OBJEK PENGAWASAN TERHADAP FUNGSI PENYULUHAN MASYARAKAT UNSUR Penyuluhan

OBJEK PENGAWASAN 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan

CONTOH PERTANYAAN 1. Apa perencanaan pemprov dalam

TEMUAN


Bagaimana Mengawasi Keterbukaan Informasi Pemerintah Provinsi?

3. Evaluasi 4. Hasil

menjalankan fungsi penyuluhan KIP kepada masyarakat? 2. Bagaimana pemprov mengukur dampak atau capaian penyuluhan? 3. Apa saja bentuk kegiatan penyuluhan? 4. Adakah contoh kisah sukses dari komunitas yang diberi penyuluhan? 5. Dll

Berdasarkan temuan dari hasil pengawasan di atas, DPRD dapat mengklasifikasikan rekomendasi perbaikan dalam beberapa kategori, yaitu: 1. Regulasi (Perubahan, pembentukan baru, penghapusan, pembentukan regulasi turunan, penguatan implementasi) 2. SOP (Pembentukan baru, perubahan, atau penghapusan, penguatan implementasi) 3. Anggaran (Penambahan, perubahan alokasi, pengurangan, peniadaan) 4. SDM (Penambahan jumlah, peningkatan standar kompetensi, pembuatan sistem indeks kinerja, monitoring dan evaluasi) 5. Sarana Prasarana (Penambahan, penggantian atau penyesuaian) 6. Program/Kegiatan (Pembuatan program baru, perubahan program, penguatan program yang ada, dll) Klasifikasi ini dibutuhkan untuk memudahkan pihak pemerintah memahami dan menjalankan rekomendasi Anda secara sistematis. Anda dapat mengembangkan sesuai kebutuhan.

71


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

72


BAB VIII

Gunakan Tabel Mudah dipahami, dijalankan, dan diwariskan

Akhirnya, kita sampai pada bab terakhir dari buku ini. Jangan sungkan untuk mengulang bab sebelumnya, jika ada yang kurang jelas. Dari keseluruhan pembahasan di atas, jika dibentuk dalam sebuah tabel, akan terlihat sebagai berikut.

A. Tabel Laporan Pengawasan TABEL 8.1 TABEL PENGAWASAN PENDAHULUAN OBJEK PENGAWASAN

KONDISI IDEAL

TEMUAN (BUKTI)

SUMBER

METODE

REKOMENDASI


BUKU MANUAL BAGI ANGGOTA DPRD

TABEL 8.2 TABEL PENGAWASAN PELAKSANAAN OBJEK PENGAWASAN

KONDISI IDEAL

TEMUAN (BUKTI)

SUMBER

METODE

REKOMENDASI

TABEL 8.3 TABEL PENGAWASAN UMPAN BALIK OBJEK PENGAWASAN

74

KONDISI IDEAL

TEMUAN (BUKTI)

SUMBER

METODE

REKOMENDASI

B. Manfaat Tabel Laporan Pengawasan Sebagaimana disampaikan sebelumnya, pembagian pengawasan ini untuk membantu Anda memudahkan melakukan fungsi pengawasan secara sistematis. Dengan tabel pada tiga tahap pengawasan ini, akan meminimalkan potensi kesalahan di pihak DPRD. Potensi-potensi kesalahan dalam melakukan fungsi pe­ ngawasan, antara lain: 1. Pengawasan dilakukan hanya terhadap program atau kegiatan yang telah selesai. Sementara pada saat perencanaan dan pelaksanaan, tidak dilaksanakan pengawasan; 2. Tidak adanya kejelasan objek yang akan diawasi (terlalu umum); 3. Tidak adanya gambaran tentang kondisi ideal yang diharapkan; 4. Tidak dilampirkannya bukti-bukti temuan dalam pengawasan; 5. Pengawasan dilakukan hanya mengacu pada data pihak yang diawasi tanpa melakukan pemantauan fakta di lapangan; 6. Sumber informasi pengawasan tidak lengkap, tidak valid, tidak diverifikasi, dan/atau tidak dianalisa; 7. Rekomendasi yang diberikan tidak relevan dengan perubahan menuju kondisi ideal yang diharapkan. Rekomendasi yang tak terkait objek pengawasan sebaiknya dipisahkan.


KONDISI IDEAL

Adanya SOP: - Pelayanan Informasi Publik - Penyusunan DIP - Publikasi Informasi Yang Wajib Diumumkan - Pengecualian Informasi Publik - Pembuatan Laporan Tahunan - Bersengketa di KI Adanya sosialisasi secara massif ke OPD di Provinsi Adanya evaluasi berkala pelaksanaan SOP

OBJEK PENGAWASAN

SOP PENGELOLAAN INFORMASI DAN IMPLEMENTASINYA 1. Adanya SOP yang belum dibuat: - Publikasi Informasi Yang Wajib Diumumkan - Pembuatan Laporan Tahunan - Bersengketa di KI Dampak - Pengisian informasi publik di situs tidak lengkap - Laporan Tahunan tidak dipublikasikan - Adanya pengingkaran bersengketa di KI Provinsi Bukti

TEMUAN (BUKTI) - Laporan pemantauan web - Pergub 79 Tahun 2014 - Laporan Dinas Kominfo - Hasil Kajian Pusako Unand - Laporan pengaduan masyarakat

SUMBER

- Penelusuran web pada 1 – 30 Mei 2017 - RDP dengan Diskominfo pada 1 Juni 2017 - RDP dengan KI Provinsi pada 2 Juni 2017 - RDPU Pusako Unand pada 3 Juni 2017

METODE

Rekomendasi terkait SOP 1. Pemprov perlu membentuk SOP: - Publikasi Informasi Yang Wajib Diumumkan - Pembuatan Laporan Tahunan - Bersengketa di KI 2. SOP dibentuk dan diberlakukan paling lambat pada Desember 2017 3. Penanggungjawab pembentukan SOP: Diskominfo 4. Pembuatan sistem evaluasi pelaksanaan SOP, pada Desember 2017 5. Sosialisasi dilaksanakan ke seluruh OPD pada Januari 2018.

REKOMENDASI

LAPORAN PENGAWASAN PENDAHULUAN KOMISI I DPRD PROVINSI SUMATERA BARAT TERHADAP SOP PENGELOLAAN INFORMASI (5 JULI 2017)

TABEL 8.4 CONTOH PENGISIAN TABEL LAPORAN PENGAWASAN (FIKSI):

C. Contoh Tabel Laporan Pengawasan


OBJEK PENGAWASAN

KONDISI IDEAL

TEMUAN (BUKTI) - Adanya pengingkaran bersengketa di KI Provinsi Bukti - Laporan dan Putusan Sidang Sengketa Informasi - Screenshoot situs pemerintah provinsi 2. Adanya 4 OPD yang belum menerima sosialisasi SOP 3. Tidak ada evaluasi berkala terhadap pelaksanaan SOP

SUMBER

METODE

REKOMENDASI

Rekomendasi lain-lain: 6. Informasi publik yang wajib diumumkan segera dipublikasikan di situs pemerintah provinsi. Antara lain DIPA Tahun 2016, Laporan Pelaynan Informasi Tahun 2016, dan LHKPN Gubernur / Wakil Gubernur Sumatera Barat, pada minggu IV Agustus 2017. 7. Gubernur segera memanggil Kepala SKPD yang menolak panggilan sidang ajudikasi KI Provinsi pada Juli 2017. 8. Rapat berikutnya dilaksakan satu bulan setelah RDP ini (5 Agustus 2017).



Jl. Tebet Utara III D No. 12 A Jakarta Selatan Telp/Fax: 021-8353626 Web: ipc.or.id Twitter: @pusatparlemen


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.