Marinus Kristiadi Harun
AGROFORESTRY
BERBASIS JELUTUNG RAWA Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan P e n g e l o l a a n L a h a n G a m b u t
AGROFORESTRY
BERBASIS JELUTUNG RAWA: Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut Marinus Kristiadi Harun
FORDA PRESS 2014
AGROFORESTRY BERBASIS JELUTUNG RAWA:
Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut Penulis: Marinus Kristiadi Harun Editor: Pujo Setio Mahrus Ariyadi Tjuk Sasmito Hadi Desain Sampul dan Tata Letak: FORDA PRESS Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Oktober 2014 x + 254 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-14274-1-7 Diterbitkan oleh: FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp./Fax.: +62251 7520093 Email: fordapress@yahoo.co.id Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh: BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU Jl. Ahmad Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan 70721 Telp./Fax.: +62511 4707872
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan HARUN, Marinus Kristiadi Agroforestry Berbasis Jelutung Rawa : Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut / Marinus Kristiadi Harun. -- Cet. 1. -Bogor : FORDA Press, 2014 x, 254 hlm. : ill. ; 21 cm. ISBN: 978-602-71770-1-7
2
1. Jelutung Rawa – Agroforestry – Pengelolaan lahan gambut I. Harun, Marinus Kristiadi II. Judul
KATA PENGANTAR Kondisi hutan rawa gambut di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan akibat meningkatnya tekanan dan kerusakan alam. Lahan gambut tersebut dikhawatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologi secara optimal karena kegiatan yang mengarah pada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Contohnya, lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah telah terdegradasi mencapai lebih dari 35%. Lahan gambut yang terdegradasi tersebut pada perkembangannya menjadi lahan terlantar sehingga sangat rawan kebakaran pada musim kemarau. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi dan menurunnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, lahan gambut terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) gambut. Kegiatan RHL di lahan gambut masih sering mengalami kegagalan karena beberapa permasalahan. Selain kendala yang terkait sifat lahan gambut (fisika, kimia, dan tata air), adopsi teknologi RHL dengan kegiatan penanaman (budi daya tanaman) juga mengalami hambatan. Transfer teknologi kepada petani lokal seringkali hanya diadopsi sebagian atau bahkan tidak diadopsi sama sekali oleh mereka. Hal ini disebabkan petani lokal pada umumnya memiliki sumber daya yang terbatas. Selain itu, kegagalan tersebut juga disebabkan oleh pendekatan yang bersifat topdown. Paradigma kegiatan RHL sebelumnya kurang mengedepankan partisipasi aktif petani lokal. Posisi mereka lebih banyak sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Pola pendekatannya pun cenderung bersifat menggurui (teaching) dibandingkan pola saling belajar bersama (learning).
iii
Partisipasi petani lokal dalam kegiatan RHL gambut dapat dikembangkan bila mereka telah diberdayakan sehingga dapat berperan secara aktif. Hal ini memerlukan adanya akses, informasi tentang teknik, manajemen, kelembagaan kegiatan, dan pengakuan atas keberadaan pengetahuan lokal. Selain itu, koordinasi antar para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam kegiatan tersebut sangat diperlukan. Pelaksanaan kegiatan RHL di lahan gambut terdegradasi harus bersifat strategis, komprehensif, operasional sesuai dengan lokasi, melibatkan seluruh stakeholders secara partisipatif, dan mampu memberdayakan masyarakat setempat. Hal ini berarti upaya merehabilitasi hutan dan lahan gambut terdegradasi merupakan bagian integral dari upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pengalaman kegiatan RHL sebelumnya dapat menjadi bahan pembelajaran. Kegiatan yang hanya menitikberatkan pada aspek teknis saja–tanpa diikuti dengan pembinaan sumberdaya masyarakat pelaku kegiatan RHL–terbukti mengalami kegagalan. Pengalaman pelaksanaan rehabilitasi lahan gambut pada masa lalu juga menyadarkan kita bahwa masih terdapat kelemahan pada pola kebersamaan masyarakat pelaku kegiatan RHL secara berkelompok. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan melalui pengembangan kelembagaan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, upaya ini dapat menumbuhkan rasa saling percaya, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan melalui penerapan teknologi partisipatif dan sistem kebersamaan berdasarkan manajemen kemitraan. Berdasarkan hal-hal di atas, upaya RHL gambut dengan kegiatan penanaman (budi daya tanaman) yang mampu menjembatani kepentingan produksi dan perlindungan lingkungan perlu dilakukan. Salah satu pola tanam yang dapat dikembangkan di lahan gambut tersebut adalah sistem
iv
agroforestry. Sistem ini merupakan pola tanam yang dapat diterapkan di lahan yang rentan secara ekologi (fragile) dengan mempertimbangkan beberapa hal yang berhubungan dengan kapasitas pohon untuk tumbuh pada kondisi tanah dan iklim yang kurang menguntungkan. Salah satu aspek dasar dari peran agroforestry adalah memelihara kesuburan tanah. Penulisan buku ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kelayakan pengembangan agroforestry untuk merehabilitasi hutan dan lahan gambut terdegradasi. Buku ini memberikan gambaran tentang prospek budi daya tanaman di lahan gambut dengan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa untuk memperoleh hasil yang optimal dan berkelanjutan. Budi daya secara terpadu antara tanaman tahunan, semusim, ternak, dan ikan juga disajikan dalam buku ini. Uraian perihal lahan rawa gambut sengaja diulas secara menyeluruh dengan maksud agar petani memiliki gambaran tentang alternatif pemanfaatan lahan garapan yang lebih baik. Informasi dalam buku ini merupakan hasil penyarian berbagai tulisan dan penelitian dari para pakar dan peneliti; pengalaman beberapa petani di lahan gambut; dan hasil praktik, pengamatan, serta pengalaman penulis di lapangan. Kami menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan memerlukan banyak masukan dari pihak-pihak terkait. Namun demikian, kami berharap semoga buku ini dapat bermanfaat, terutama bagi para pihak yang bergerak dalam kegiatan RHL di lahan gambut. Semoga praktik agroforestry di lahan gambut dapat benar-benar menjadi solusi bagi masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan pengelolaan lahan gambut. Banjarbaru, Oktober 2014 Penulis
v
UCAPAN TERIMA KASIH Ungkapan rasa syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena hanya atas Rahmat, Hidayah dan Kasih-Nya buku ini dapat selesai disusun. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan kesempatan, motivasi, bantuan, dan doa, antara lain kepada: 1. 2. 3.
4.
5.
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru; Rekan-rekan peneliti dan staf Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru; Para narasumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan: Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau, Pimpinan PT SAS dan PT Sampit, para pihak yang hadir dalam FGD, Kepala Desa Mentaren II, Penyuluh Pertanian Kecamatan Jabiren Raya, dan Kelompok Tani “Sepakat Maju� Kelurahan Kalampangan; Para petani yang telah mengembangkan jelutung rawa dengan sistem agroforestry: Bapak Tamanurrudin (Kelurahan Kalampangan), Bapak Sukardi (Desa Tumbang Nusa), Bapak Agus Martedjo (Desa Jabiren), dan Bapak Rapingun (Desa Mentaren II); Orang tua, istri, dan anak-anakKu terkasih.
Akhirnya, semoga buku ini dapat memberikan kontribusi nyata bagi kelestarian lingkungan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani di lahan gambut.
vi
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU Penulisan buku Agroforestry Berbasis Jelutung Rawa: Solusi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut ini didorong oleh keprihatinan mendalam terhadap semakin rusak ekosistem rawa gambut akibat pemanfaatan yang tidak tepat. Lahan gambut mengemban fungsi produksi dan perlindungan lingkungan yang saling berhubungan dan saling memengaruhi. Apabila fungsi perlindungan lingkungan menurun maka fungsi produksi dapat terganggu. Peranan lahan gambut sebagai penyangga lingkungan berhubungan dengan fungsinya sebagai pengatur tata air (hidrologis), biogeokimia, dan ekologis. Walaupun telah dilakukan upaya pemulihan lahan gambut terdegradasi, tingkat keberhasilannya masih belum memuaskan. Kendala utama keberhasilan penanaman adalah kondisi biofisik lahan yang tidak mendukung untuk jenis tanaman yang dikembangkan. Bertitik tolak dari tantangan yang dihadapi, buku ini memuat suatu pemikiran bahwa perlu untuk melakukan upaya pemulihan lahan gambut terdegradasi berbasis jenis lokal dengan sistem yang ramah lingkungan. Sistem tersebut harus memenuhi empat persyaratan: secara teknis dapat diterapkan (technically applicable), secara sosial dapat diterima petani setempat (socially acceptable), secara ekonomis menguntungkan (economically feasible), dan ramah terhadap lingkungan (environmentally friendly). Aspek mendasar yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan budi daya tanaman yaitu menghindari terjadi kering tak balik (irreversible drying) dan amblesan (subsidence) lahan gambut.
vii
Sistem yang ditawarkan dalam buku ini adalah mengelola lahan gambut menjadi produktif dan memenuhi persyaratan melalui agroforestry berbasis jelutung. Agroforestry merupakan suatu pola tanam yang menggunakan kombinasi komponen pohon dengan tanaman semusim, dan/atau dengan kegiatan peternakan/perikanan. Pola tanam ini merupakan salah satu jawaban bagi usaha produksi yang mempertimbangkan konservasi sumber daya alam sehingga memungkinkan bagi kita untuk dapat memanfaatkan lahan gambut yang rentan secara ekologis. Sementara itu, jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis sinonim Dyera lowii Hook F.) merupakan jenis asli tumbuhan di lahan gambut. Jenis ini mempunyai daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, pertumbuhannya relatif cepat, dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal, dan mempunyai hasil ganda: getah dan kayu. Buku ini memberikan gambaran tentang prospek pengembangan sistem Agroforestry berbasis jelutung rawa dengan aspek yang dikaji mencakup empat kelayakan: teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu, informasi dalam buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru. Penyusunan dan penerbitan buku ini dibiayai oleh DIPA BPK Banjarbaru tahun anggaran 2014. Akhirnya, kami berharap semoga buku ini dapat memberikan kontribusi nyata bagi kelestarian ekosistem gambut dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani di lahan gambut. Banjarbaru, Oktober 2014 Kepala Balai,
Ir. Tjuk Sasmito Hadi, M.Sc. NIP 19611026 198903 1 001
viii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...........................................................
iii
UCAPAN TERIMAKASIH ……………………….…………………………
vi
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU ……………………………………….….……………………
vii
DAFTAR ISI .....................................................................
ix
I.
PENDAHULUAN .........................................................
1
II.
PEMANFAATAN GAMBUT ……………………….………………..
11
2.1 Pengertian Gambut ……....................................... 2.2 Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut .............. 2.3 Kondisi Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah ……..…………………………………….…............. 2.4 Permasalahan Utama Pemanfaatan Gambut Lestari ............................................................... 2.5 Budi daya Tanaman Secara Bijak di Lahan Gambut..
11 19
III. PROSPEK AGROFORESTRY DI LAHAN GAMBUT …..……..
39
Definisi Agroforestry ………………….……………………. Ruang Lingkup Agroforestry ………….…………………. Pola Agroforestry ………………………….………………… Pola Pengombinasian Komponen ………….………….. Diagnosis dan Desain Agroforestry ………….……….. Kendala dan Prospek Pengembangan Agroforestry di Lahan Gambut ……………………………….…………….
39 41 45 49 59
IV. JELUTUNG RAWA DI LAHAN GAMBUT ……….……………..
65
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6
4.1 4.2 4.3 4.4
Penyebaran dan Tempat Tumbuh ……….……………. Sifat Botanis …………………………….…………………….. Sifat Pohon …………………….…….………………………… Pemanfaatan Jelutung ………………………………………
22 26 35
62 65 65 67 68
ix
V.
4.5 Perlindungan Tanaman ……………..…………………….. 4.6 Pertumbuhan Jelutung ……………..………………………
70 70
KAJIAN TEKNIS DAN PERFORMANSI AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA ……………………………………………………
73
5.1 Pengadaan Bibit …………………………..…………………. 73 5.2 Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem Agroforestry …………………………………………………… 90 5.3 Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa ………….. 109 VI. KELAYAKAN AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA ………… 123 6.1 Kriteria dan Penilaian Kelayakan Agroforestry Jelutung Rawa …………………………….…………………. 123 6.2 Strategi dan Solusi Permasalahan Pengembangan Agroforestry Jelutung Rawa …………….………………. 142 VII. NILAI EKONOMI AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA ….. 163 7.1 Margin Pemasaran Jelutung ……….……………………. 163 7.2 Analisis Finansial …………………….………………………. 172 7.3 Analisis Sensitivitas ………………….…………………….. 177 VIII. PENGARUH LINGKUNGAN AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA ………………………………………….………………………. 179 8.1 Kesuburan Tanah …………………………………………… 179 8.2 Kondisi Iklim Mikro …………………………………………. 199 8.3 Amelioran Alternatif Pengganti Abu ……….…………. 205 IX. KELEMBAGAAN AGROFORESTRY ……………………………… 217 DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………….. 233
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
…………………………………………………. 245
Bab I PENDAHULUAN Luas lahan gambut di dunia diperkirakan sekitar 426,2 juta ha atau 2% luas daratan dunia yang tersebar pada 80 negara. Salah satu negara yang memiliki lahan gambut adalah Indonesia dengan luas 17,2 juta ha atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia dan peringkat keempat untuk lahan gambut secara umum setelah Kanada seluas 170 juta ha, eks Uni Soviet seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Euroconsult, 1984). Luas lahan gambut dan fungsinya yang kompleks menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki arti yang sangat penting bagi penyangga (buffer) lingkungan. Peranan lahan gambut sebagai penyangga lingkungan berhubungan dengan fungsi tata air (hidrologis), biogeokimia, dan ekologis. Fungsi gambut secara hidrologis adalah menyimpan air. Gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air antara 500–1.000% dari bobotnya. Selain sebagai daerah tampungan air, gambut rawa alami juga berfungsi sebagai penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air (aquafer) selama musim hujan, yaitu pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya banjir pada musim hujan besar dan kelangkaan air pada musim kemarau (Andriesse, 1988; Rydin & Jeglum, 2006). Gambut dalam setiap meter kubik dapat menyimpan sekitar 850 liter air sehingga setiap hektar gambut mampu menyimpan air sebesar 88,60 juta liter. Apabila hal ini dikaitkan dengan kebutuhan air penduduk, yang rata-rata sebesar 85 liter per hari per jiwa, maka setiap hektar gambut (tebal 1 m) dapat mencukupi kebutuhan air
1
untuk 274 jiwa penduduk per tahun. Kemampuan gambut dalam mengonservasi air dapat berubah jika terjadi pengeringan terhadap gambut. Pengeringan dapat mengubah sifat gambut yang menyukai air (hidrofil) menjadi tidak menyukai air (hidrofob) yang tak terbalikkan. Gambut juga diperlukan sebagai penyangga antara wilayah marine dan wilayah air tawar. Upaya mempertahankan keseimbangan antara keduanya dapat menghindari terjadinya penyusupan (intrusi) air laut ke pesisir dan mencegah pencemaran di perairan pantai akibat hasil buangan daratan (Rieley et al., 1996). Kemampuan gambut dalam mengonservasi air dan pemendaman (sequestering) karbon berkaitan erat dengan kepentingan lingkungan, baik secara regional maupun global. Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut telah diteliti oleh beberapa peneliti (Sorensen, 1993; Notohadinegoro, 1996; Schimada et al., 2001 dan Page et al., 2004). Laju rata-rata pemendaman karbon gambut di Kalimantan sekitar 0,74 ton per hektar per tahun. Hal ini berarti karbon yang dilepaskan ke atmosfer setiap tahun dari setiap hektar hutan yang dibuka dan digunakan untuk perladangan dapat dikompensasi oleh pemendaman karbon dalam 190 hektar lahan gambut setiap tahun (Notohadinegoro, 1996). Emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh lahan gambut diperkirakan antara 100–400 mg per m2 per jam, setara dengan 9–35 ton per hektar per tahun (Ridlo, 1997). Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat mencapai 5.000 ton per hektar, di antaranya 1.200 ton per hektar gambut dunia (Diemont et al., 1992). Lahan gambut juga menghasilkan emisi gas CH4 (metan) selain emisi gas CO2, sebagai hasil dari perombakan atas bahan organik secara anaerob. Peningkatan emisi gas seperti CO2 dan CH4 dalam jumlah besar akan memengaruhi iklim global yang menimbulkan
2
pemanasan secara global pula, yaitu naiknya suhu permukaan planet bumi (Noor, 2001). Sumber daya penting lain yang terdapat di kawasan gambut adalah keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang besar dan khas. Hasil penelitian Dahuri (1997) di hutan primer gambut sekitar Sungai Mentangai, Provinsi Kalimantan Tengah, menemukan 104 jenis satwa liar yang terdiri atas 32 jenis mamalia (di antaranya 13 jenis dilindungi), 8 jenis reptilia (5 jenis dilindungi), dan 60 jenis burung (19 jenis dilindungi). Lahan gambut juga mempunyai sumber air hitam (black water stream) yang masih bersifat misteri. Sumber air hitam tersebut hanya terdapat di dua tempat di dunia: Amerika Utara dan Provinsi Kalimantan Tengah. Uraian tersebut menunjukkan bahwa kawasan gambut dapat dijadikan obyek wisata lingkungan (ecoturism) selain dijadikan obyek wisata flora dan fauna. Pemanfaatan fungsi produksi lahan gambut saat ini mengalami peningkatan seiring dengan semakin bertambah kebutuhan lahan dan potensi ekonomi yang dimilikinya. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan juga terjadi di lahan gambut. Hal ini menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan gambut, penurunan permukaan gambut (subsidence), kering tak balik (irreversible drying), kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan, dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan rawa gambut yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian/ perkebunan. Limin (2004) menyatakan bahwa lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikhawatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologi secara optimal karena kegiatan yang mengarah kepada perubahan ekosistem
3
masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan adanya kerusakan lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35%. Lahan gambut tersebut pada perkembangannya menjadi lahan terlantar yang pada musim kemarau sangat rawan kebakaran. Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologi dan penurunan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, lahan gambut terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan kegiatan penanaman: rehabilitasi dan penghijauan. Gambar 1 memperlihatkan beberapa kondisi lahan gambut yang terdegradasi akibat pemanfaatan yang tidak lestari. Kondisi tersebut perlu segera diperbaiki melalui upaya pemulihan lahan gambut yang terdegradasi agar dapat berfungsi kembali secara ekologi dan ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Gambar 1.
Kondisi lahan gambut pasca kebakaran (kiri) dan perubahan penutupan lahan gambut dari hutan menjadi lahan yang didominasi oleh pakis (kelakai) setelah kejadian kebakaran yang berulang kali (kanan)
Pemanfaatan lahan gambut harus mengedepankan konsep berkelanjutan (Sustainable Development). Konsep ini berarti setiap kegiatan dalam pengelolaan lahan gambut harus
4
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara terintegrasi dan holistik. Berkelanjutan dalam pengelolaan lahan gambut berarti adanya jaminan bahwa lahan gambut yang dikelola dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa menimbulkan risiko terhadap kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Djajadiningrat (2001) menyatakan bahwa terdapat dua gagasan penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) gagasan kebutuhan esensial untuk kelangsungan hidup manusia, dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang. Memerhatikan kedua gagasan tersebut, lahan gambut harus dikelola dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas. Penerapan prinsip tersebut diharapkan dapat menjembatani kepentingan fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan lahan gambut. Fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling memengaruhi. Apabila fungsi perlindungan lingkungan menurun maka fungsi produksi dapat terganggu (Maltby & Immirzi, 1996). Dua syarat mendasar yang harus diperhatikan pada kegiatan budi daya tanaman dalam rangka pengelolaan lahan gambut agar fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam keadaan seimbang adalah (1) menghindari terjadinya kering tak balik (irreversible drying), dan (2) menghindari terjadinya amblesan (subsidence) lahan gambut. Selain itu, aspek sosialekonomi petani setempat perlu mendapat perhatian. Gambar 2 menjelaskan aspek-aspek yang diperlukan dalam pengelolaan lahan gambut lestari.
5
Sosial
Dapat ditahan (Bearable)
Adil (Equitable)
Lestari (Sustainable)
Lingkungan
Gambar 2.
Dapat hidup terus (Viable)
Ekonomi
Tiga pilar kelestarian menurut The World Summit 2005
Tingkat keberhasilan pemulihan lahan gambut terdegradasi masih belum memuaskan, walaupun telah mulai dilakukan upayanya. Hasil penelitian dan ujicoba penanaman di lahan gambut pasca kebakaran menunjukkan tingkat keberhasilan tanaman masih rendah (Limin et al., 2003). Kendala utama keberhasilan penanaman terutama terjadi pada kondisi biofisik lahan yang tidak favourable untuk jenis tanaman yang dikembangkan. Bertitik tolak dari tantangan yang dihadapi dalam upaya pemulihan lahan gambut terdegradasi tersebut, pada buku ini diajukan suatu pemikiran bahwa upaya pemulihan lahan gambut terdegradasi berbasis jenis lokal dengan sistem yang ramah lingkungan perlu dilakukan. Salah satu sistem pengelolaan
6
lahan gambut yang dapat diterapkan untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi adalah sistem agroforestry berbasis jenis lokal (indigenuos tree species). Penerapan sistem ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan lahan gambut. Faktor lain yang turut menentukan keberhasilan pengelolaan lahan gambut secara lestari adalah pemilihan jenis yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Salah satu jenis yang memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung rawa. Jenis ini mempunyai nama ilmiah Dyera polyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F. yang merupakan salah satu jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jelutung rawa merupakan jenis pohon endemik lahan gambut yang hanya terdapat di dua negara di dunia: Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, jenis pohon ini hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Jenis ini mempunyai daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, pertumbuhannya relatif cepat, budi daya dapat dilakukan dengan memanipulasi lahan yang minimal, dan mempunyai hasil ganda: getah dan kayu. Pertimbangan pemilihan jenis ini juga didasari pada kemudahan pemasaran produk (getah) dan aspek silvikulturnya telah diketahui: mulai dari teknik perbanyakan (generatif dan vegetatif), teknik persemaian, teknik penanaman hingga teknik pemeliharaan (Daryono, 2000). Pengembangan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi memerlukan pemahaman yang baik tentang faktor pendukung suatu sistem agar dapat menghasilkan inovasi dalam upaya memulihkan lahan gambut. Suatu sistem mengandung arti adanya saling interaksi antara masing-masing faktor yang membentuk sistem tersebut untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan (Hartrisari, 2007).
7
Faktor utama yang memengaruhi upaya merehabilitasi lahan gambut terdegradasi dengan pengembangan agroforestry adalah (1) kebijakan pemerintah, (2) ketersediaan teknologi, (3) faktor eksternal (pasar), dan (4) partisipasi petani. Keterkaitan antar faktor tersebut merupakan kerangka berpikir dari buku ini sebagaimana skema pada Gambar 3.
8
Kondisi Ideal Ekosistem Lahan Gambut
Gambar 3.
Kerangka pemikiran pengembangan agroforestry berbasis jelutung rawa untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi
9
10
Bab II PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT 2.1 Pengertian Gambut Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Akumulasi bahan organik terjadi karena laju dekomposisi lebih lambat dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan basah. Proses pembentukan gambut hampir selalu terjadi pada hutan dalam kondisi tergenang dengan produksi bahan organik dalam jumlah yang banyak (Najiyati et al., 2005). Hardjowigeno (1996) mendefinisikan gambut sebagai tanah yang terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Bahan organik tidak melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karena itu, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (backswamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi. Hal ini berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik. Gambut tropis, khususnya di Indonesia, mengandung sangat banyak kayu-kayu dengan tingkat pertumbuhan gambut setiap tahun relatif tinggi. Salah satu ciri gambut tropis dalam cekungan di Indonesia adalah bentuk kubah (dome) yang menipis di pinggiran (edge) dan menebal di pusat cekungan. Ketebalan
11
gambut dapat mencapai >15 m (Wahyunto et al., 2005). Menurut Noor (2001), pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0–3 mm per tahun. Di Barambai, Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan, laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm per tahun, sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 mm per tahun. Di Sarawak, Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar 0,22–0,48 mm per tahun. Gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan selulosa (Brady, 1997). Andriesse (1988) menjelaskan bahwa pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga proses. Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu. Ketiga proses pematangan gambut diuraikan sebagai berikut.
12
1.
Pematangan fisik. Proses ini terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) akibat adanya drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah.
2.
Pematangan kimia. Proses ini terjadi melalui peruraian bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan melepaskan senyawa asam organik yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus.
3.
Pematangan biologi. Proses ini disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedia oksigen yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme.
Lahan gambut di Indonesia pada umumnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian pinggiran kubah didominasi tumbuhan kayu yang masih memperoleh pasokan hara dari air tanah dan sungai sehingga jenisnya banyak dan umumnya berdiameter besar membentuk hutan rawa campuran (mixed swamp forests). Menuju ke bagian tengah, jenis-jenis spesies kayu hutan semakin sedikit. Vegetasi hutan tersebut relatif kurus yang umumnya berdiameter kecil. Hal ini disebabkan gambut tebal yang terbentuk umumnya bersifat masam dan miskin hara sehingga memiliki kesuburan alami yang rendah hingga sangat rendah. Perubahan dari wilayah pinggiran gambut yang relatif kaya hara menjadi wilayah gambut ombrogen yang miskin diperkirakan terjadi pada kedalaman gambut antara 200–300 cm (Suhardjo & Widjaja, 1976). Gambar 4 menjelaskan proses pembentukan gambut di Indonesia (Noor, 2001).
Gambar 4.
Proses pembentukan gambut di Indonesia (van de Meene dalam Noor, 2001)
13
Penampang skematis wilayah gambut diilustrasikan pada Gambar 5 (Subagyo, 2002). Gambar tersebut menunjukkan bahwa mulai dari sungai besar pertama hingga ke sungai besar berikutnya akan berturut-turut ditemukan tanggul sungai (levee), dataran rawa belakang sungai (backswamp), cekungan/depresi yang berisi tanah gambut, kemudian kembali dataran rawa belakang dan tanggul sungai berikutnya. Bentukan-bentukan landform yang relatif sama atau mirip proses pembentukan dan dinamikanya disebut satuan (unit) fisiografi.
Gambar 5.
Penampang skematis lahan rawa gambut yang terletak di antara dua sungai besar (Subagyo, 2002)
Lahan gambut menempati cekungan di antara dua sungai besar. Apabila jarak horizontal kedua sungai besar tersebut cukup jauh, misalnya beberapa puluh kilometer, lahan gambut biasanya membentuk pola kubah gambut (peat dome) yang cukup besar.
14
Pada kubah gambut seperti ini, bagian pinggir merupakan gambut dangkal dan semakin ke bagian tengah ke arah puncak kubah, permukaan tanah gambut secara berangsur menaik. Ketinggian puncak kubah gambut bervariasi, bisa mencapai 3–8 m di atas permukaan air sungai. Pada gambut dalam, bagian tengah kubah gambut bisa mencapai 8–13 m; air tanah tergenang (stagnant) dan sangat miskin hara. Sekeliling puncak kubah gambut atau bagian pinggir merupakan gambut melereng, lebih dangkal, dan lebih banyak tercampur bahan mineral sehingga tingkat kesuburannya lebih tinggi. Tanah gambut yang menempati depresi atau cekungan sempit biasanya merupakan gambut tipis (0,5–1 m) hingga gambut sedang (1–2 m). Gambar 6 menjelaskan kubah gambut (peat dome).
Gambar 6.
Lahan gambut dengan puncak kubah di bagian tengah (Mudiyarso & Suryadiputra, 2003)
15
Sifat tanah gambut dapat dikelompokkan menjadi dua: sifat fisika dan kimia. Sifat fisika dan kimia gambut tidak saja ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan organik, tetapi juga oleh tipe vegetasi asal bahan organik. Sifat fisika gambut yang penting untuk diketahui antara lain tingkat kematangan, berat jenis, kapasitas menahan air, daya dukung (bearing capacity), penurunan tanah, daya hantar hidrolik, dan warna. Sifat kimia gambut yang penting untuk diketahui adalah tingkat kesuburan dan faktor-faktor yang memengaruhi kesuburan tersebut. Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposis bahan organik, gambut dibedakan menjadi tiga (Najiyati et al., 2005) seperti diuraikan sebagai berikut. 1.
Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih dari ¾ bagian volumenya berupa serat segar (kasar). Cirinya, apabila gambut diperas dengan telapak tangan dalam keadaaan basah maka kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (>¾).
2.
Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan sedang (setengah matang): sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa serat. Apabila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari dan kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah kurang dari tiga perempat hingga seperempat bagian (¼–<¾).
3.
Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang). Apabila diperas, gambut sangat mudah melewati sela-sela jari dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat bagian (<¼).
16
Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang maka gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat; hemik berwarna coklat tua; saprik berwarna hitam (Darmawijaya, 1990). Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap. Semakin matang gambut maka semakin besar berat jenisnya. Wahyunto et al. (2005) membuat klasifikasi nilai berat jenis atau bobot isi (bulk density) tanah gambut di Sumatera: gambut saprik nilai bobot isinya sekitar 0,28 gr/cc, hemik 0,17 gr/cc, dan fibrik 0,10 gr/cc. Akibat berat jenis yang ringan, gambut kering mudah tererosi/terapung dan terbawa aliran air. Kandungan air pada gambut saprik, hemik dan fibrik berturut-turut adalah <450%, 450â&#x20AC;&#x201C;850%, dan >850% dari bobot keringnya atau 90% volumenya (Suhardjo & Dreissen, 1975). Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat air (reservoir) yang dapat menahan banjir saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau sehingga intrusi air laut saat kemarau dapat dicegah. Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horizontal (mendatar) yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase. Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertikal (ke atas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air ke atas hanya sekitar 40â&#x20AC;&#x201C;50 cm. Untuk mengatasi perilaku ini, upaya untuk menjaga ketinggian air tanah pada kedalaman tertentu perlu dilakukan. Kedalaman muka air tanah yang ideal untuk tanaman semusim adalah kurang dari 100 cm, sedangkan untuk tanaman tahunan disarankan untuk mempertahankan muka air tanah pada kedalaman 150 cm. Pemadatan gambut sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah.
17
Gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu yang rendah karena mempunyai ruang pori yang besar sehingga kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Ruang pori total untuk bahan fibrik–hemik adalah 86–91% (volume) dan untuk bahan hemik–saprik adalah 88–92%, atau rata-rata sekitar 90% volume (Suhardjo & Dreissen, 1977). Friesher dalam Driessen & Soepraptohardjo (1974) membagi gambut dalam tiga tingkatan kesuburan: eutrofik (subur), mesotrofik (sedang), dan oligotrofik (tidak subur). Secara umum, gambut topogen–tergolong sebagai gambut mesotrofik sampai eutrofik–yang dangkal dan dipengaruhi air tanah dan sungai umumnya mempunyai potensi kesuburan alami yang lebih baik daripada gambut ombrogen–sebagian besar oligotrofik–yang kesuburan hanya dipengaruhi air hujan. Tingkat kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu ketebalan gambut, bahan asal, kualitas air, kematangan gambut, dan kondisi tanah di bawah gambut. Secara umum, gambut yang berasal dari tumbuhan berbatang lunak lebih subur daripada gambut yang berasal dari tumbuhan berkayu; gambut yang lebih matang lebih subur daripada gambut yang belum matang; gambut yang mendapat luapan air sungai atau air payau lebih subur daripada gambut yang hanya memperoleh luapan atau curahan air hujan; gambut yang terbentuk di atas lapisan liat/lumpur lebih subur daripada yang terdapat di atas lapisan pasir; gambut dangkal lebih subur daripada gambut dalam. Tabel 1 memperlihatkan secara umum sifat fisika dan kimia tanah gambut yang menjadi faktor pembatas kesuburan gambut. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, setiap penyelenggaraan kegiatan di lahan gambut, khususnya pertanian, harus mempertimbangkan kondisi ini secara mendalam.
18
Tabel 1. Faktor pembatas kesuburan di lahan gambut Kategori
Sifat Fisika
Sifat Kimia
Sifat/Perilaku kematangan gambut bervariasi berat jenis rendah kapasitas menahan air tinggi, tetapi bila sudah kering sulit menyerap air kembali daya hantar air vertikal rendah daya tumpu rendah mengalami penurunan permukaan tanah di bawah gambut sering terdapat lapisan pasir atau pirit Kesuburan rendah pH rendah KTK tinggi Kejenuhan basa rendah Ketersediaan unsur hara makro (N, Ca, Mg, K) rendah Ketersediaan unsur hara mikro (Cu, Mo, Zn, Mn, Fe) rendah
Sumber: Najiyati et al. (2005)
2.2 Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Luas lahan gambut di wilayah tropika diperkirakan 40 juta hektar atau 10% dari luas lahan gambut di dunia (Rieley & Page, 2005; Radjagukguk, 2000). Bagian terbesar dari lahan gambut tropis dijumpai di Indonesia dengan luas tidak kurang dari 17 juta hektar (Notohadiprawiro, 1996) dan di Malaysia kira-kira 2,7 juta hektar (Mutalib et al., 1991). Lahan gambut mempunyai potensi sebagai penghasil berbagai produk seperti kayu, flora (tanaman) dan fauna (ikan, burung, dan lain-lain). Jenis kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di hutan rawa gambut antara lain
19
(Gonystylus bancanus Kurtz), belangeran (Shorea belangeran), jelutung (Dyera lowii Hook. F), nyatoh (Palaquium cochlearia), bintangur (Calophyllum kuntsleri King), pulai rawa (Alstonia pnematophora), terantang (Campnospernum auriculata Hook. F), geronggang (Cratoxylon arborescens Bl.), punak (Tetramerista glabra), kapurnaga (Calopyllum macrocarpum Hk. ramin
F), dan lain-lain. Daryono (2000) menyatakan bahwa jenis-jenis pohon rawa gambut yang mempunyai nilai komersial (prospektif) untuk dikembangkan pada pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) ataupun untuk kegiatan rehabilitasi terdapat sebanyak 27 jenis. Potensi lain dari lahan gambut yang tidak kalah besar adalah ikan. Jenis ikan penghuni rawa gambut yang bernilai ekonomi penting antara lain papuyu (Anabas testudineus), lele (Clarias spp.), baung (Mystus nemurus), ikan gabus (Channa spp.), sepat (Trichogaster spp.), dan jelawat (Ceptobarbus hoeveni). Pada rawa gambut, terdapat tidak kurang dari 100 jenis ikan di perairan tawar Provinsi Kalimantan Tengah dan sebagian besar termasuk ikan penghuni rawa yang bernilai ekonomi penting (Kartamihardja, 2002). Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan akhir-akhir ini mendapatkan tantangan berkenaan dengan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan juga sering menimbulkan permasalahan terkait dengan tingkat kesuburannya yang rendah dan biofisik lahan yang rapuh. Namun, apabila dikelola dan dibudidayakan dengan baik dan bijak maka lahan gambut dapat memberikan hasil tanaman yang baik. Bahkan, hasil tanaman dapat mencapai produktivitas yang tidak kalah dengan tanah mineral (Noor, 2001; Najiyati et al., 2005).
20
Menurut Najiyati et al. (2005), pemilihan lahan yang sesuai dan penataan lahan secara tepat merupakan salah satu kunci sukses bertani di lahan gambut. Kesalahan dalam memilih dan menata lahan dapat menyebabkan biaya tinggi, pengorbanan waktu, dan kegagalan bertani. Bahkan, kesalahan tersebut dapat merusak dan membahayakan lingkungan. Lahan Gambut perlu dimanfaatkan sesuai fungsinya dengan memerhatikan keseimbangan antara kawasan budi daya, kawasan nonbudidaya, dan kawasan preservasi (Widjaya-Adhi, 1995). Kawasan nonbudidaya merupakan kawasan yang tidak boleh digunakan untuk usaha dan harus dibiarkan sebagaimana adanya. Kawasan tersebut meliputi kawasan lindung dan kawasan pengawetan. Kawasan pengawetan (preservasi) adalah kawasan yang dengan pertimbangan tertentu harus dibiarkan sebagaimana aslinya dengan status masa kini sebagai kawasan nonbudidaya. Kawasan ini nantinya dapat saja dikembangkan bila kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mampu mengatasi berbagai kendala dalam proses budi daya di lahan ini sehingga pemanfaatannya memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat. Kawasan budi daya adalah kawasan yang dinilai layak untuk usaha di bidang pertanian dan berada di luar kawasan nonbudidaya dan preservasi. Najiyati et al. (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan gambut di kawasan budi daya harus disesuaikan dengan tipologinya, yaitu: (1) lahan potensial, bergambut, aluvial bersulfida dalam, dan gambut dangkal hingga kedalaman 75 cm dapat ditata sebagai sawah; (2) gambut dengan kedalaman 75â&#x20AC;&#x201C;150 cm untuk tanaman hortikultura semusim, padi gogo, palawija, dan tanaman tahunan;
21
(3) gambut hingga kedalaman 2,5 m hanya untuk perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, dan karet; (4) gambut lebih dari 2,5 m sebaiknya digunakan untuk budi daya tanaman kehutanan seperti sengon, sungkai, jelutung/pantung, meranti, pulai, dan ramin. Berdasarkan uraian di atas, lahan gambut mempunyai potensi yang besar. Pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan dengan hati-hati dan memerhatikan sifat, karakter, dan ekologi lahan gambut sehingga dapat mencegah terjadinya degradasi yang berdampak sangat luas, baik terhadap sumber kehidupan maupun terhadap fisik lingkungan. 2.3 Kondisi Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah Lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah diperkirakan mencakup areal seluas 3.472.000 ha atau sekitar 21,98% dari total luas wilayah provinsi ini (sekitar 15.798.000 ha). Kondisi objektif lahan gambut di provinsi ini dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok utama (Limin et al., 2003) sebagai berikut. 1.
22
Lahan gambut yang belum digarap. Kawasan bergambut pada kelompok ini pada umumnya masih berhutan atau merupakan kawasan hutan yang terdiri atas kawasan hutan produksi, kawasan lindung, dan kawasan konservasi lainnya. Kondisi lahan gambut kelompok ini masih berhutan sehingga mudah membedakan ciri-ciri penyusun vegetasi di kawasan yang umumnya didominasi oleh jenis-jenis meranti rawa, ramin, jelutung, agathis, nibung, dan rengas. Sebagian besar kawasan bergambut yang termasuk dalam kelompok ini dibebani Hak Pengusahaan Hutan (HPH) karena jenis vegetasi penyusunnya masih potensial untuk dimanfaatkan.
Kawasan bergambut kelompok ini terletak pada tiga kawasan utama, yaitu (1) kawasan hutan yang terletak di antara areal eks PLG di sebelah Timur (dibatasi oleh Sungai Sebangau) hingga areal Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di sebelah Barat dan dengan batas Utara adalah Jalan Trans Kalimantan dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, (2) kawasan hutan yang terletak pada Blok E di sebelah Utara areal eks PLG, dan (3) kawasan hutan yang terletak di antara kawasan TNTP hingga ke batas Provinsi Kalimantan Barat. 2.
Lahan gambut areal eks PLG. Total luas areal eks PLG sekitar 1.119.493 ha yang terdiri atas empat blok: Blok A (227.100 ha), Blok B (161.480 ha), Blok C (568.635) ha, dan Blok D (162.278 ha).
3.
Lahan gambut yang termasuk wilayah TNTP dan Taman Nasional Sebangau (TNS). Kawasan TNTP mempunyai luas areal 415.040 ha dan secara khusus diperuntukkan sebagai habitat satwa langka yang dilindungi yaitu orangutan (Pongo pygmaeus). Sementara itu, TNS mempunyai luas areal 568.700 ha.
4.
Lahan gambut terlantar. Sebaran dari lahan gambut pada kelompok ini terletak di sepanjang kanan-kiri jalan negara, seperti Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Palangkaraya–Kuala Kapuas–Banjarmasin, jalan negara yang menghubungkan Sampit–Ujung Pandaran, Sampit–Kuala Pembuang, Palangkaraya–Tumbang Talaken–Tumbang Jutuh, dan Kotawaringin–Sukamara. Lahan gambut di kanankiri jalan negara menjadi terlantar karena pada umumnya peruntukan kawasan bergambut pada kelompok ini mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah sehingga sudah tidak lagi sebagai
23
kawasan hutan tetap. Lahan ini juga diklaim oleh masyarakat sebagai milik mereka, namun tidak digarap atau diolah sebagaimana mestinya. Kelompok ini lebih tepat disebut sebagai lahan gambut terlantar (lahan gambut tidak produktif). 5.
Lahan gambut yang diolah masyarakat. Lahan gambut pada kelompok ini umumnya terdiri atas (1) lahan gambut yang dijadikan sebagai kawasan permukiman melalui program transmigrasi, dan (2) lahan gambut yang dikelola menjadi lahan-lahan perkebunan besar swasta (kelapa sawit) dan lahan gambut yang dikelola masyarakat setempat, baik sebagai lahan perkebunan maupun pemungutan hasil hutan ikutan lainnyaâ&#x20AC;&#x201C;kelapa, karet, jelutung dan rotan.
Berdasarkan perspektif pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, kelompok keempat (lahan gambut terlantar) merupakan lahan gambut yang perlu mendapat prioritas penanganan. Pengelolaan tersebut harus memerhatikan berbagai kondisi objektif permasalahannya. Selanjutnya, perkembangan pengelolaan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah dapat dibedakan sebagai berikut (Limin et al. 2003). 1.
24
Pengelolaan lahan gambut melalui program pemerintah. Penetapan lahan gambut tertentu untuk tujuan konservasi atau perlindungan setempat berupa penetapan kawasan taman nasional (TN), cagar alam (CA), suaka margasatwa (SM), cagar budaya, taman wisata alam (TWA), dan hutan lindung (HL); termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam. Masing-masing fungsi kawasan tersebut telah diatur dan ditetapkan dalam RTRWP Kalimantan Tengah dan hasil paduserasi tahun 1999. Pengelolaan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan wilayah pada umumnya dalam
bentuk pembukaan lahan baru sebagai lokasi permukiman penduduk melalui program transmigrasi (resettlement) dan pembangunan jaringan/akses jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Tengah. 2.
Pengelolaan lahan gambut oleh pihak swasta. Pengelolaan lahan gambut yang masih berupa hutan dengan status kawasan hutan dilakukan oleh para pemegang HPH dalam rangka memanfaatkan tegakan hutan yang bernilai ekonomis melalui kegiatan eksploitasi dan silvikultur. Pengelolaan lahan gambut yang sudah tidak berupa hutan dan bukan kawasan hutan dilakukan oleh perusahaan perkebunan swasta besar (PSB) yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, sekaligus sebagai sentra-sentra produksi crude palm oil (CPO) di Provinsi Kalimantan Tengah.
3.
Pengelolaan lahan gambut oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Mengacu kepada RTRWP Kalimantan Tengah hasil paduserasi tahun 1999 yang berlaku saat ini, kawasan hutan bergambut seluas 5.000 ha telah dialokasikan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yaitu sebagai Hutan Penelitian. Selain itu, terdapat Laborarium Gambut di Sungai Sebangau yang dikelola oleh pihak Universitas Palangkaraya bekerja sama dengan pihak Nottingham University, United Kingdom (UK).
4.
Pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat. Kegiatan pengelolaan lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat lebih merupakan pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan kebun rakyat dan pengolahan lahan gambut sebagai lahan pertanian tanaman pangan. Pola sebaran pengolahan lahan gambut mengikuti konsentrasi permukiman penduduk di sepanjang kanan-kiri jalan negara.
25
2.4 Permasalahan Utama Pemanfaatan Lahan Gambut Lestari Pembukaan hutan dan pengatusan lahan gambut dalam rangka reklamasi lahan gambut untuk pertanian mengakibatkan berbagi masalah. Kegiatan ini dapat menimbulkan kerusakan struktur vegetasi hutan dan perubahan watak hidrologi dan tanah gambut dalam ekosistem lahan gambut. Praktik budi daya tanaman yang sering dilakukan, seperti pembakaran lapisan atas tanah gambut dengan maksud mengurangi kemasaman dan pemakaian pupuk dan bahan pembenah lainnya, dapat mengganggu keseimbangan berbagai bahan dalam sistem tanah. Demikian pula halnya dengan kebakaran hutan lahan gambut, yang sering terjadi selama musim kering dan biasanya lebih terpusat di dalam kawasan yang telah direklamasi, dapat menimbulkan kerusakan gambut, baik langsung maupun tidak langsung. Perubahan yang ditimbulkan oleh kegiatan atau kejadian di atas terutama terkait dengan berkembangnya keadaan lingkungan tanah yang lebih bebas udara (aerob). Keadaan demikian mendorong terjadinya perubahan dalam sistem tanah yang tertampakkan dalam sifat-sifat tanah gambut. Proses biogeokimia penting dalam sistem tanah-tanamanatmosfer di dalam ekosistem lahan gambut, antara lain dinamika kemasaman dan dinamika nitrogen (N). Dinamika kemasaman merupakan proses utama dalam sistem tanah-tanaman-atmosfer dan menentukan proses biogeokimia lainnya. Dinamika kemasaman merupakan fungsi keseimbangan antara prosesproses yang memasamkan (acidifying processes) dan prosesproses yang menyangga kemasaman (buffering processes). Proses pemasaman dan penyanggaannya melibatkan banyak ion, baik ion anorganik maupun ion organik, dalam sistem tanahtanaman-atmosfer. Ion-ion tersebut dapat dikelompokkan ke
26
dalam asam atau basa yang menunjukkan fungsinyaâ&#x20AC;&#x201C;apakah memasamkan atau sebaliknyaâ&#x20AC;&#x201C;terhadap tanah gambut. Dinamika N di dalam ekosistem lahan gambut melibatkan proses alih ragam dan alih tempat di dalam sistem tanahtanaman-atmosfer. Dinamika N dapat diamati dalam dua bagian: bagian di dalam ekosistem lahan gambut itu sendiri (bagian dakhil) dan bagian di luar ekosistem lahan gambut (bagian luaran). Pada bagian dakhil, N dapat berada di dalam biomassa mikrobia, di dalam bahan organik, dan pada sistem pertukaran antara fase padat dan fase larutan tanah. Nitrogen dapat bergerak dan berubah bentuk di antara ketiga komponen tersebut melalui proses mineralisasi, imobilisasi, denitrifikasi, pelarutan, dan pelindian. Intensitas, daya pergerakan, dan perubahan N tersebut sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan seperti kelengasan, kesarangan (aerasi), dan kemasaman di dalam tanah gambut. Pemanfaatan lahan gambut untuk budi daya tanaman secara lestari perlu memerhatikan faktor-faktor kunci (Noor, 2001): (1) reklamasi dan pengelolaan air, (2) kebakaran dan degradasi lahan, (3) perubahan iklim dan pemanasan global, (4) kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, (5) pembalakan liar, dan (6) perdagangan karbon. Keenam faktor kunci tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. 1.
Reklamasi dan Pengelolaan Air Lahan gambut secara alamiah tergenangi air sepanjang tahun sehingga reklamasi lahan gambut harus dilakukan agar dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Kegiatan antara lain pembukaan dan pembersihan lahan, serta pengatusan (drainase). Najiwati et al. (2005) menyebutkan bahwa
27
pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan untuk hal-hal berikut: (1) mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau; (2) mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa beracun lainnya di dalam tanah; (3) menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman; (4) mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence); (5) mencegah pengeringan dan kebakaran gambut, serta oksidasi pirit; (6) memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dengan cara mengatur tinggi muka air tanah. Persoalan utama yang muncul setelah reklamasi adalah terjadinya amblesan, yaitu menyusutnya tanah dan menurunnya permukaan tanah (Andreisse, 1988; Radjagukguk, 2000). Dradjad et al. (1989) melaporkan laju amblesan 0,36 cm/bulan untuk tanah gambut saprik di Barambai (Kalimantan Selatan) pada 12â&#x20AC;&#x201C;21 bulan setelah reklamasi, sedangkan untuk tanah gambut saprik di Talio (Kalimantan Tengah) diketahui laju amblesan 0,78 cm/bulan dan untuk gambut hemikâ&#x20AC;&#x201C;saprik 0,9 cm/bulan. Laju amblesan rata-rata di Malaysia dilaporkan 5 cm/tahun untuk tanah gambut di Sarawak, dan 2 cm/tahun untuk tanah gambut di Johor Barat (WĂśsten & Ritzema, 2001). Laju amblesan lebih rendah untuk tanah gambut dangkal daripada untuk tanah gambut tebal (Notohadiprawiro, 1996; WĂśsten et al., 1997).
28
Amblesan akibat pengatusan dapat dipilah dalam tiga komponen: penghilangan (wastage) gambut, pengerutan lapisan gambut permukaan, dan hilangnya daya apung (buoyancy) lapisan gambut permukaan (Noor, 2001). Penghilangan gambut terjadi akibat perombakan bahan gambut. Dua komponen pengatusan yang terakhir disebabkan oleh hilangnya air atau berkurangnya air yang ditahan oleh tanah gambut. Amblesan tanah gambut sebenarnya terkait dengan perubahan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah gambut (Notohadiprawiro, 1996; Radjagukguk, 2000). Beberapa perubahan sifat fisika tanah gambut yang terkait dengan reklamasi lahan gambut dan praktik budi daya untuk pertanian antara lain meningkatnya berat volume, daya hantar air menyamping (lateral), dan daya simpan bahang (heat); dan menurunnya porositas total, daya simpan lengas, daya hantar air cacak (vertical), dan daya hantar bahang (Notohadiprawiro, 1996; Radjagukguk, 2000). 2.
Kebakaran dan Degradasi Lahan Kebakaran dan pembakaran hutan (lahan) gambut acap kali menyertai kegiatan reklamasi dan praktik budi daya tanaman di lahan gambut. Bahaya kebakaran, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang dipicu oleh kecerobohan manusia, menjadi lebih mengancam di lahan gambut yang direklamasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah telah mengakibatkan amblesan (subsidensi) tanah gambut dan emisi gas CO2 (Jaya et al., 2002; Page et al., 2000). Beberapa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan gambut yang terkait dengan kegiatan manusia seperti dijelaskan pada Gambar 7.
29
Gambar 7.
Faktor penyebab kebakaran lahan gambut dan ancaman yang dapat ditimbulkan (Sumber: Najiati et al., 2005b)
Kebakaran lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak langsung. Akibat langsung dari kebakaran lahan gambut antara lain hilangnya lapisan serasah dan lapisan atas gambut (Jaya et al., 2002); kerusakan atau gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan, kesehatan manusia dan hewan di sekitar kawasan terkena dampak, dan kegiatan transportasi (Adinugroho et al., 2005). Kasus kebakaran hutan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 1997â&#x20AC;&#x201C;1998 telah mengakibatkan berkurangnya kerapatan pohon sekitar 75% (Page et al., 2004), kehilangan lapisan gambut antara 35â&#x20AC;&#x201C;70 cm, dan kehilangan karbon 0,2â&#x20AC;&#x201C;0,6 Gt C yang sebagian besar berasal dari gambut yang terbakar (>95%) (Jaya et al., 2002; Page et al., 2000). Karbon yang
30
hilang ini berdampak luar biasa terhadap emisi gas CO2 ke atmosfer. Akibat tidak langsung dari kebakaran lahan gambut merupakan akibat lanjutan (post-effect) yang dihasilkan ketika proses pemulihan lahan gambut belum mencapai keadaan semula, baik secara alamiah maupun buatan manusia. Akibat ini bisa terjadi selama bertahuntahun tergantung kemampuan untuk memulihkan dan kualitas hutan gambut itu sendiri. Setelah kebakaran, kanopi hutan menjadi lebih terbuka dan tanah gambut menjadi lebih tersingkap. Akibatnya, tanah gambut menjadi lebih bebas udara (aerob) dibandingkan dengan keadaan alaminya. Oleh karena itu, sifat-sifat tanah gambut akan berubah setelah kebakaran. Pemulihan hutan gambut yang terbakar secara alamiah berpotensi mengalami penurunan kualitas kimia tanah gambut. Dengan demikian, campur tangan manusia diperlukan dalam penerapan teknologi penghutanan kembali. 3.
Perubahan Iklim dan Pemanasan Global Persoalan global yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan adalah emisi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida, metana, dan (di)nitrogen oksida dari ekosistem lahan gambut. Persoalan itu telah dikaji oleh banyak peneliti gambut di dunia (Limin et al., 2004; Melling et al., 2005; Botch et al., 1995; Mudiyarso & Suryadiputra, 2003; Jaya et al., 2002; Rydin & Jeglum, 2006; Barber, 1993). Emisi gas rumah kaca tersebut sebenarnya terkait dengan proses biogeokimia yang terjadi di dalam ekosistem lahan gambut seperti dinamika kemasaman, dinamika karbon (C), dan dinamika nitrogen (N) (Hadi et al., 2001; Hooijer et al., 2006). Dinamika kemasaman merupakan suatu proses yang sangat penting dan menentukan bagi proses biogeokimia
31
lainnya. Kemasaman merupakan salah satu peubah utama (master variable) bagi proses biogeokimia sehingga menentukan arah dan laju reaksi, serta ragam bahan kimia yang terlibat dalam proses biogeokimia lainnya; misalnya dinamika N di dalam suatu ekosistem. Dalam konteks lahan gambut, emisi GRK dapat ditekan apabila perbaikan sistem pengelolaan lahan dan air di areal pertanian dan perkebunan; termasuk pencegahan kebakaran yang banyak terjadi di kawasan pertanian maupun konservasi seperti hutan lindung dan cagar alam. 4.
Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Permasalahan kemiskinan menjadi penting mengingat kerusakan lingkungan lahan/hutan gambut terkait dengan keberadaan penduduk di kawasan lahan gambut dan sekitarnya. Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat di lahan gambut tidak hanya penting dalam kerangka meningkatkan kesejahteraannya, tetapi juga terkait dengan pelestarian dan konservasi lahan gambut di masa depan. Pemberian insentif sebagai kompensasi atas upaya pelestarian dan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat perlu dilembagakan sehingga rasa keadilan dapat terpenuhi. Pemberdayaan masyarakat lahan gambut memiliki dua pertimbangan: (1) karena kemiskinan dan ketidakberdayaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di lahan gambut (seringkali menjadi penyebab ketidakpedulian mereka terhadap kualitas lingkungan), dan (2) upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk berpartisipasi dalam konservasi lahan (sulit dilakukan apabila kebutuhan dasar masyarakat masih belum terpenuhi). Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut harus dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengoptimal-
32
kan pemanfaatan potensi ekonomi dan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan. Keterbatasan daya dukung ekonomi lahan gambut dari sisi pertanian harus menjadi tantangan dalam mencari solusi agar masyarakat memiliki pilihan sumber penghidupan yang layak dan ramah lingkungan. Dengan demikian, peningkatan kemampuan ekonomi juga harus disertai dengan peningkatan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan. Tanpa hal itu, peningkatan kondisi ekonomi justru dapat berbalik menjadi faktor perusak karena dapat menjadi modal bagi sebagian masyarakat yang tidak sadar untuk lebih banyak lagi melakukan kerusakan lingkungan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan strategi yang tepat karena kesalahan pendekatan justru dapat berakibat fatal. Demikian juga kesalahan dalam menangkap permasalahan, kondisi ini mengakibatkan kesalahan dalam menentukan cara pemecahannya. Apabila hal ini terjadi, program pemberdayaan tidak berjalan efektif, mubazir, dan yang lebih buruk lagi adalah terciptanya masyarakat pemintaminta alias masyarakat yang hidupnya tergantung dari uluran tangan. Dalam praktiknya, ketika program pemberdayaan dijalankan, biasanya terdapat fenomena â&#x20AC;&#x153;seolaholahâ&#x20AC;? telah terjadi peningkatan taraf hidup. Lalu sesudah dihentikan, program menjadi terbengkalai dan kemandirian masyarakat semakin terpuruk. Apabila ini terjadi, bukan perbaikan kondisi kehidupan yang terjadi, melainkan marginalisasi dan pemiskinan yang semakin meluas. Menurut Kartasasmita (1996), implementasi pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga upaya: (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang;
33
(2) memperkuat potensi daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan menerapkan langkah-langkah nyata seperti menyediakan lingkungan, prasarana, dan sarana baik fisik ataupun sosial yang dapat diakses oleh masyarakat; (3) melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi terhadap yang lemah. Secara operasional, pemberdayaan dapat dilakukan melalui perbaikan kondisi internal maupun eksternal. Secara internal, antara lain dilakukan dengan membangun kesadaran, membangkitkan kepercayaan diri, meningkatkan kemampuan mengelola potensi yang ada, dan membangun budaya mandiri. Sementara itu, perbaikan faktor eksternal dilakukan melalui pembangunan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang berkeadilan dan demokratis; perbaikan lingkungan; dan perbaikan akses terhadap layanan permodalan usaha, layanan sarana produksi, layanan pendidikan, dan layanan kesehatan. 5.
Pembalakan Liar Hampir semua kerusakan hutan dan lahan gambut disebabkan oleh aktivitas manusia, baik disengaja maupun tidak. Pemanfaatan hutan melalui penebangan merupakan aktivitas yang paling sering dijumpai. Berdasarkan statusnya, penebangan dapat dikelompokkan menjadi dua: penebangan legal dan penebangan ilegal. Penebangan legal dilakukan oleh masyarakat melalui pola hutan kemasyarakatan (HKm), perusahaan kehutanan (HPH dan HTI), dan perusahaan perkebunan berdasarkan izin dari instansi yang berwenang. Sebaliknya, penebangan ilegal biasanya dilakukan oleh
34
penebang liar tanpa dilengkapi izin dari pihak/instansi yang berwenang. Pembalakan liar di hutan rawa gambut perlu dicegah mengingat hal tersebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan kepunahan jenis-jenis tertentu sehingga mengurangi keanekaragaman hayati. 6.
Perdagangan Karbon Perdagangan karbon merupakan salah satu upaya sukarela yang mengikat dalam bentuk konvensi antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang untuk menanggulangi perubahan iklim dan pemanasan global. Kesempatan untuk ikut dalam perdagangan karbon terbuka luas sehubungan dengan potensi lahan gambut yang cukup luas. Perdagangan karbon dapat dilakukan melalui empat skema mekanisme: (1) perdagangan emisi, (2) mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism/CDM), (3) penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation /REDD), dan (4) pasar â&#x20AC;&#x153;sukarelaâ&#x20AC;?.
2.5 Budi daya Tanaman Secara Bijak di Lahan Gambut Kegiatan pertanian dan kejadian kebakaran di lahan gambut dapat menurunkan volume spesifik, kerutan, porositas total, dan bagian volume pori makro tanah gambut. Sebaliknya, kegiatan tersebut dapat meningkatkan berat volume dan bagian volume pori mikro. Perubahan sifat-sifat ini memengaruhi sifat lengas (hidrofisika) tanah gambut. Bahan gambut di lahan pertanian terombak lebih cepat dan sebagian besar hasil rombakannya terlindi sehingga menyisakan bahan gambut yang lebih matang. Begitu pula di lahan bekas kebakaran, bahan gambut lebih matang bukan oleh perombakan tetapi lebih
35
disebabkan oleh hilangnya lapisan atas. Bertani di lahan gambut memang harus dilakukan secara hati-hati karena menghadapi banyak kendala, antara lain kematangan dan ketebalan gambut yang bervariasi, permukaan gambut yang menurun, daya tumpu yang rendah, kesuburan tanah yang rendah, terdapatnya lapisan pirit dan pasir, pH tanah yang sangat masam, kondisi lahan gambut yang jenuh air (tergenang) pada musim hujan dan kekeringan saat kemarau, serta rawan kebakaran. Kunci keberhasilan pertanian di lahan gambut adalah bertani secara bijak dengan memerhatikan faktor-faktor pembatas yang dimilikinya. Menurut Najiyati et al. (2005), terdapat 10 langkah bijak agar sukses bertani di lahan gambut, yaitu: (1) mengenali dan memahami tipe dan perilaku lahan; (2) memanfaatkan dan menata lahan sesuai dengan tipologinya dengan tidak merubah lingkungan secara drastis; (3) menerapkan sistem tata air yang dapat menjamin kelembaban tanah atau menghindari kekeringan di musim kemarau dan mencegah banjir di musim hujan; (4) tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar; (5) melakukan pola bertani secara terpadu dengan mengombinasikan tanaman semusim dan tanaman tahunan, ternak, dan ikan; (6) memilih jenis dan varietas tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan dan permintaan pasar; (7) menggunakan bahan amelioran seperti kompos dan pupuk kandang untuk memperbaiki kualitas lahan; (8) mengolah tanah secara minimum (minimum tillage) dalam kondisi tanah yang berair atau lembab;
36
(9) menggunakan pupuk mikro untuk budi daya tanaman semusim; (10) melakukan penanaman tanaman tahunan di lahan gambut tebal yang didahului dengan pemadatan dan penanaman tanaman semusim untuk meningkatkan daya dukung tanah. Keberlanjutan dalam konteks pertanian berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumber daya. Pertanian untuk memproduktifkan lahan gambut dapat dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi lima aspek berikut (Reijntjes et al., 1999). 1.
Mantap secara ekologis. Hal ini berarti kualitas sumber daya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem ditingkatkan secara keseluruhan (manusia, tanaman, hewan, dan organisme tanah). Kedua hal tersebut akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan, dan masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri).
2.
Kegiatan dapat berlanjut secara ekonomis. Hal ini berarti petani dapat menghasilkan komoditas untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan.
3.
Adil. Hal ini berarti sumber daya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka terjamin dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis, dan peluang pemasaran.
4.
Manusiawi. Hal ini berarti semua bentuk kehidupan dihargai: tanaman, hewan, dan manusia.
37
5.
38
Luwes (fleksibel). Hal ini berarti masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, dan permintaan pasar.
Bab III PROSPEK AGROFORESTRY DI LAHAN GAMBUT 3.1 Definisi Agroforestry Padanan kata untuk agroforestry adalah wanatani. Wana (Bahasa Jawa) berarti hutan dan tani berarti bertani (kegiatan bercocok tanam). Wanatani berarti sebuah teknik bercocok tanam yang menggabungkan tanaman berkayu (pohon hutan) dengan tanaman pertanian (pangan). Agroforestry bukanlah sesuatu yang baru. Hal yang baru adalah ilmu agroforestry, sedangkan budayanya sendiri merupakan hal yang lama, bahkan sangat lama. Konsepsi agroforestry dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre (CIDC) yang bertugas untuk mengidentifikasi prioritas pembangunan di bidang kehutanan di negara-negara berkembang pada tahun 1970-an. Menurut tim CIDC, hutan-hutan di negara berkembang tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan terdapat beberapa kegiatan yang mengarah kepada perusakan lingkungan. Kecenderungan perusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik secara efektif dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan dan sandang bagi masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan laporan dan usulan dari tim tersebut, suatu badan bernama International Council for Research in Agroforestry (ICRAF) didirikan pada tahun 1977 untuk menstimulasi penelitian bidang agroforestry yang berpusat di Nairobi, Kenya. Direktur yang pertama, K.F.S. King, mendefinisikan agroforestry sebagai berikut. â&#x20AC;&#x153;suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian,
yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengom-
39
binasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pepohonan), tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King & Chandler, 1978)â&#x20AC;?. Pada seminar mengenai agroforestry dan perladangan berpindah di Jakarta tahun 1981, agroforestry didefinisikan sebagai suatu metode penggunaan lahan secara optimal yang mengombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan asas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau di luarnya dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat (Lahjie, 2001).
Agroforestry didasarkan pada dua macam premis dasar yaitu biologis dan sosial-ekonomi (King, 1979). Secara biologis, komponen pohon dalam agroforestry mempunyai kemampuan untuk menjerap nutrisi jauh dari dalam tanah (di luar jangkauan perakaran tanaman pertanian), memprosesnya dan memanfaatkan nutrisi tersebut untuk pembangunan tubuhnya dan kemudian mendaur ulang dalam bentuk serasah. Selanjutnya, serasah berubah menjadi humus dan masuk kembali ke dalam tanah. Proses ini membentuk siklus nutrisi yang efisien. Kontribusi agroforestry dalam bidang sosial-ekonomi lebih bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan murni karena komponen usahanya lebih beragam dan kombinasi hasil produksi yang lebih stabil. Selain itu, agroforestry mampu memenuhi tiga segmen ekonomi masyarakat: kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang (Sabarnurdin, 2000).
40
3.2 Ruang Lingkup Agroforestry Pada dasarnya agroforestry terdiri atas tiga komponen pokok: kehutanan, pertanian dan peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan (Gambar 8). Hanya saja, sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan kepada produksi satu komoditas khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi.
Gambar 8.
Ruang
lingkup
sistem
pemanfaatan
agroforestry (Sumber: Hairiah et al., 2003)
lahan
secara
Agroforestry merupakan suatu pola tanam yang bersifat dinamis sehingga setiap kombinasi unsur-unsur penyusunnya yang berbeda akan membentuk sistem yang berbeda pula. Perbedaan sistem tersebut akan menambah khasanah kekayaan
41
sistem agroforestry. Ruang lingkup agroforestry akan semakin luas sehingga masyarakat memiliki alternatif aplikasi salah satu sistem sesuai karakteristik kawasan, minat dan tujuan pemanfaatan lahan. Tipe sistem agroforestry sangat beragam dan kompleks dalam sifat dan fungsinya. Oleh karena itu, pengklasifikasian sistem agroforestry dalam berbagai kategori sangat diperlukan untuk mengevaluasi, memahami dan memperbaiki sistem-sistem yang telah ada. Istilah sistem agroforestry berbeda dengan teknologi agroforestry. Sistem agroforestry mencakup bentukbentuk agroforestry yang banyak dilaksanakan di suatu daerah atau merupakan suatu pemanfaatan lahan yang sudah umum dilakukan di suatu daerah. Sementara itu, istilah teknologi agroforestry digunakan untuk menunjukkan adanya perbaikan atau inovasi yang biasanya berasal dari hasil penelitian dan digunakan untuk mengembangkan hasil-hasil yang baik dalam mengelola sistem agroforestry yang telah ada. Dengan demikian, sistem agroforestry meliputi bentuk-bentuk asli praktik agroforestry (indigenous agroforestry), sedangkan teknologi agroforestry menghasilkan bentuk agroforestry yang telah diperbaiki (improved agroforestry), misalnya improved fallow, alley cropping, multi purpose trees on farm lands, dan sebagainya. Bentuk-bentuk agroforestry dapat dikelompokkan sebagai berikut (King & Chandler, 1978; Nair, 1985). 1.
Agrisilvikultur; yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi, sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
2.
Sylvopastural; yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan untuk memelihara ternak.
42
3.
Agrosylvopastural; yaitu sistem pengelolaan lahan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.
4.
Multipurpose forest trees production system; yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak hanya kayu, tetapi juga daun-daunan dan buah-buahannya dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia atau pakan ternak.
5.
Sylvofishery; yaitu sistem pengelolaan lahan yang dirancang untuk menghasilkan kayu dan sekaligus berfungsi sebagai kolam/tambak ikan.
6.
Apiculture; yaitu sistem pengelolaan lahan yang memfungsikan pohon-pohon yang ditanam sebagai sumber pakan lebah madu. Selain memproduksi kayu, pohon juga menghasilkan madu yang memiliki nilai jual tinggi dan berkhasiat obat.
7.
Sericulture; yaitu sistem pengelolaan lahan yang ditujukan untuk penanaman pohon-pohon sumber pakan ulat sutera.
Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam pengklasifikasian sistem agroforestry (Nair, 1993) adalah: 1)
pengaturan komponen-komponennya menurut waktu dan tempat ď&#x192;&#x17E; struktur,
2)
kepentingan dan peran komponen ď&#x192;&#x17E; fungsi,
3)
tujuan produksi atau hasil sistem ď&#x192;&#x17E; output,
4)
karakter sosial-ekonominya ď&#x192;&#x17E; dasar sosial-ekonomi,
5)
basis ekologinya ď&#x192;&#x17E; dasar ekologi.
Klasifikasi pokok sistem agroforestry sebagaimana terdapat pada Tabel 2.
43
44
Berdasarkan uraian sebelumnya, sebagai upaya memudahkan kegiatan di lapangan maka secara teknis digunakan istilahistilah: (1) sistem agroforestry; didasarkan pada komposisi biologis serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial ekonominya; (2) subsistem agroforestry; mempunyai tingkat hierarki yang lebih rendah daripada sistem agroforestry tetapi memiliki ciri-ciri yang rinci dalam lingkup yang lebih mendalam; (3) praktik agroforestry; lebih menjurus kepada operasional pengelolaan lahan yang khas dari agroforestry yang murni didasarkan pada kepentingan dari petani lokal atau unit manajemen lain yang di dalamnya terdapat komponen agroforestry; (4) teknologi agroforestry; yaitu inovasi atau penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistem atau praktik agroforestry yang sudah ada dengan tujuan memperoleh keuntungan yang lebih besar. 3.3 Pola Agroforestry Sistem agroforestry memiliki pola-pola (pattern) tertentu dalam mengombinasikan komponen penyusunnya ke dalam satu ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi yang bersifat negatif antar komponen penyusun. Interaksi negatif yang terjadi dapat berupa kompetisi dalam memperebutkan unsur hara, cahaya matahari, air, dan ruang tumbuh. Tajuk pohon yang terlalu lebat menyebabkan cahaya matahari tidak sampai ke strata di bawahnya yang menjadi tempat tumbuh tanaman pertanian. Akar pohon yang memanjang dan menempati horizon tanah dengan kedalaman kurang dari 50 cm dapat
45
menganggu perakaran tanaman pertanian sehingga terjadi perebutan unsur hara yang merugikan tanaman pertanian. Vergara (1982) mengklasifikasikan pola tanam agroforestry ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut. 1.
Pohon sebagai pagar (trees along border). Pola ini merupakan penanaman pohon di bagian pinggir lahan dan tanaman pertanian di bagian tengah. Pepohonan yang ditanam mengelilingi lahan berfungsi sebagai pagar ataupun pembatas lahan. Gambar 9 menjelaskan pola trees along border.
2.
Pola larikan pohon dan tanaman semusim secara berselangseling (alternate rows). Pola ini merupakan model penanaman agroforestry yang menempatkan pohon dan tanaman pertanian secara berselang-seling. Pola agroforestry ini dimungkinkan pada lahan yang relatif datar. Gambar 10 menjelaskan pola alternate rows.
3.
Budi
daya lorong (alley cropping). Pola penanaman agroforestry yang menempatkan pohon di pinggir kanan dan kiri tanaman pertanian. Larikan pohon dibuat membujur ke arah Timurâ&#x20AC;&#x201C;Barat. Hal ini dimaksudkan agar tanaman pertanian mendapatkan cahaya matahari penuh di pagi dan sore hari. Pola alley cropping sering disebut sebagai bentuk lorong karena bila dilihat dari ujung lahan menyerupai lorong gua. Pola ini mirip dengan pola trees along border bila dua sisi lainnya ditanami pohon. Pola ini seperti ditunjukkan pada Gambar 11.
4.
46
Sistem blok (blocking system). Pola ini merupakan penanaman antara tanaman kehutanan dan tanaman pertanian yang ditanam secara berdampingan sehingga membentuk dua petak yang berbeda. Pola ini dimaksudkan agar petani lebih mudah dalam memberi perlakuan pada
masing-masing blok karena sifat tanamannya yang seragam. Gambar 12 menjelaskan pola ini. 5.
Pola campuran acak (Random Mixture). Pola ini merupakan penanaman acak antara tanaman kehutanan dan tanaman pertanian yang ditanam secara tidak teratur. Pola ini terbentuk karena tidak adanya perencanaan awal dalam menata letak tanaman. Petani dengan sekehendak hati menanam dengan memilih ruang yang masih kosong di lahannya. Gambar 13 menjelaskan pola ini.
Gambar 9.
Profil pohon jelutung rawa (kiri) dan kelapa (kanan) yang ditanam di batas lahan sebagai pohon pagar di lahan gambut (Lokasi: Desa Mantaren, Kabupaten Pulang Pisau dan Desa Pangkalan Rekan, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)
47
Gambar 10. Profil pola alternate rows di lahan gambut (Lokasi: Kelurahan Kalampangan, Provinsi Kalimatan Tengah)
Gambar 11. Profil pola alley cropping dengan teknik surjan dengan komponen penyusun jelutung rawa dan padi di lahan gambut (Lokasi: Desa Mantaren, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimatan Tengah)
48
Gambar 12. Profil block system di lahan gambut: blok 1 ditanami nenas dan blok 2 ditanami karet (Lokasi: Desa Batunindan, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)
Gambar 13. Profil pola random mixture di lahan gambut pada kebun buah-buahan (Lokasi: Desa Batunindan, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimatan Tengah)
3.4 Pola Pengombinasian Komponen
Agroforestry
merupakan pengombinasian komponen tanaman berkayu (woody plants)/kehutanan; baik berupa pohon, perdu, palem-paleman, bambu maupun tanaman berkayu lainnya; dengan tanaman pertanian (tanaman semusim) dan/atau
49
(peternakan), baik secara tata waktu (temporal arrangement) maupun secara tata ruang (spatial arrangement). hewan
Menurut von Maydell (1988), kombinasi yang ideal terjadi bila seluruh komponen agroforestry secara terus menerus berada pada lahan yang sama. Akan tetapi, secara alamiâ&#x20AC;&#x201C;atau seringkali atas dasar alasan ekonomiâ&#x20AC;&#x201C;kombinasi komponen berkaitan erat dengan dinamika dari keseimbangan perubahan musim sesuai dengan ritme tahunan dan suksesi tertentu akibat dari gangguan atau perlakuan manusia secara periodik atau sporadik. Pengombinasian berbagai komponen dalam sistem agroforestry menghasilkan berbagai reaksi yang masing-masing atau bahkan sekaligus dapat dijumpai pada satu unit manajemen. Reaksi tersebut dinyatakan oleh von Maydell (1987) sebagai berikut.
50
1.
Persaingan (competition). Pepohonan dan perdu atau tanaman pertanian dan binatang bersaing satu sama lain guna memperoleh cahaya, air, hara, ruang hidup, input kerja, lahan, kapital, dan sebagainya. Persaingan ini tidak dapat dideteksi secara langsung, namun dapat diduga secara tidak langsung. Sebagai contoh, tanaman tertentu menjadi perantara parasit bagi tanaman lain, misalnya pohon sebagai tempat sarang burung-burung yang dapat mengakibatkan berkurangnya panen tanaman padi-padian. Tidak jarang, persaingan justru sengaja diharapkan, misalnya berkurangnya gulma rerumputan akibat terlindung tajuk pohon.
2.
Melengkapi (complementary). Reaksi saling melengkapi ini dapat secara waktu, ruang ataupun kuantitatif. Secara waktu, contohnya ketersediaan dedaunan lebar atau buahbuahan sebagai pakan ternak yang pada musim tertentu tidak tersedia rumput, seperti Acacia albida di Afrika. Secara ruang, contohnya pemanfaatan keseluruhan biotop atau
produksi secara lebih, baik melalui dua strata atau lebih sekaligus. Secara kuantitatif, contohnya produk sejenis yang diperoleh dari satu lahan secara bersamaan, antara lain protein nabati dan hewani. 3.
Ketergantungan (dependency). Beberapa jamur hanya dapat tumbuh pada pohon tertentu. Jenis binatang tertentu juga hanya dapat hidup pada padang pengembalaan. Sebagai contoh di Afrika, telah diketahui bahwa sistem akan rusak apabila tidak ada keseimbangan antara jenis binatang pemakan rerumputan panjang dan pendek. Binatang pemakan rumput pendek hanya mau mendekati makanannya bila rumput tidak terlampau tinggi. Reaksi
akibat
kombinasi
berbagai
komponen
dalam
agroforestry dapat terjadi pada sistem monokultur dan campuran. Pada sistem pertanian monokultur, baik tanaman semusim maupun tahunan, bila ditanam terlalu dekat akan menurunkan produksi per unit area. Hal ini disebabkan adanya kompetisi terhadap kebutuhan cahaya, air, dan hara. Apabila jarak tanamnya diperlebar maka besarnya tingkat kompetisi tersebut semakin berkurang. Dalam praktik di lapangan, petani mengelola tanamannya dengan melakukan pengaturan pola tanam, pengaturan jarak tanam, dan sebagainya. Pada sistem campuran dari berbagai jenis tanaman atau mixed cropping (pohon dengan tanaman semusim atau hanya jenis-jenis pepohonan saja), setiap jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri. Sebagai contoh, jenis tanaman yang bercabang banyak akan menaungi tanaman yang lain. Beberapa tanaman yang jaraknya tidak terlalu dekat akan memperoleh keuntungan; prosesnya sering disebut dengan â&#x20AC;&#x2DC;facilitationâ&#x20AC;&#x2122;. Contohnya, pohon dadap yang tinggi dan lebar, sebaran kanopinya memberikan
51
naungan yang menguntungkan tanaman kopi. Jenis tanaman yang memiliki perakaran lebih dalam akan lebih memungkinkan untuk menyerap air dan hara dari lapisan yang lebih dalam daripada jenis tanaman yang lain. Dalam waktu singkat kondisi lingkungan di sekitar tanaman akan berubah (ketersediaan hara semakin berkurang) sehingga akhirnya akan menimbulkan kompetisi antar tanaman. Proses saling memengaruhi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, antar komponen penyusun sistem campuran ini (termasuk sistem agroforestry) sering disebut dengan â&#x20AC;&#x2DC;interaksiâ&#x20AC;&#x2122;. Pemahaman yang mendalam tentang proses terjadinya interaksi antar tanaman, baik pada spesies yang sama maupun spesies yang berbeda, dalam sistem agroforestry sangat dibutuhkan agar dapat menentukan pengelolaan yang tepat. Suprayogo et al. (2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga hal utama yang perlu diperhatikan dalam menyusun komponen agroforestry yaitu (1) proses terjadinya interaksi, (2) faktor penyebab terjadinya interaksi, dan (3) jenis-jenis interaksi. Ketiga hal tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. 1.
52
Proses terjadinya interaksi: langsung atau tidak langsung. Pada sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman yang ditanam berdampingan pada satu lahan yang sama sering terjadi bila ketersediaaan sumber kehidupan tanaman berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya diwujudkan dalam bentuk hambatan pertumbuhan terhadap tanaman lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hambatan secara langsung contohnya melalui efek allelophathy (jarang dijumpai di lapangan). Hambatan tidak langsung dapat berupa berkurangnya intensitas cahaya karena naungan pohon, atau menipisnya ketersediaan hara dan air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang
berdampingan. Tanaman kadang-kadang memengaruhi tanaman lain melalui â&#x20AC;&#x2DC;partai ketigaâ&#x20AC;&#x2122; yaitu apabila tanaman tersebut menjadi inang bagi hama atau penyakit tanaman lainnya. Selain bersifat negatif, interaksi tidak langsung dapat bersifat positif, misalnya pengaruh pohon dadap terhadap tanaman kopi; pohon dadap berfungsi sebagai penambah N sekaligus sebagai penaung. 2.
Faktor penyebab terjadinya interaksi. Secara umum, interaksi yang bersifat negatif dapat terjadi karena (1) keterbatasan daya dukung lahan yang menentukan jumlah populasi maksimum dapat tumbuh pada suatu lahan, dan (2) keterbatasan faktor pertumbuhan pada suatu lahan. Konsep daya dukung alam merupakan konsep yang penting untuk diketahui. Konsep ini menggambarkan tentang jumlah maksimum dari suatu spesies di suatu area, baik sebagai sistem monokultur maupun campuran. Suatu spesies mungkin saja dapat tumbuh dalam jumlah yang melimpah pada suatu lahan. Apabila dua spesies tumbuh bersama pada lahan tersebut, salah satu spesies dapat lebih kompetitif daripada yang lain. Hal ini kemungkinan mengakibatkan spesies kedua akan mengalami kepunahan. Konsep tersebut juga diterapkan dalam usaha pertanian yaitu mengharapkan tanaman pokok akan tumbuh lebih baik. Salah satu syarat terjadinya kompetisi adalah keterbatasan faktor pertumbuhan: air, hara, dan cahaya. Pertumbuhan tanaman mengalami kemunduran jika terjadi penurunan ketersediaan satu atau lebih faktor. Kekurangan hara di suatu lahan mungkin saja terjadi karena kesuburan alami yang memang rendah atau karena besarnya proses kehilangan hara pada lahan tersebut, misalnya karena
53
penguapan dan pencucian. Kekurangan air dapat terjadi karena daya menyimpan air yang rendah, distribusi curah hujan yang tidak merata, atau proses kehilangan air (aliran permukaan) yang cukup besar. Pengetahuan tentang faktor pertumbuhan, seperti jumlah yang dibutuhkan tanaman dan ketersediaannya di suatu lahan, sangat diperlukan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang optimal pada sistem agroforestry. 3.
54
Jenis interaksi pohon-tanah-tanaman. Pada bahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa menanam berbagai jenis tanaman pada lahan yang sama dalam sistem agroforestry akan menimbulkan berbagai macam bentuk interaksi antar tanaman. Pada prinsipnya, terdapat tiga macam interaksi di dalam sistem agroforestry yaitu (1) interaksi positif (complementarity=saling menguntungkan): bila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman lainnya, (2) interaksi netral: bila kedua tanaman tidak saling memengaruhi (peningkatan produksi tanaman semusim tidak memengaruhi produksi pohon atau sebaliknya), dan (3) interaksi negatif (kompetisi/ persaingan=saling merugikan): bila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman lainnya atau penurunan produksi keduanya. Tabel 3 menjelaskan tentang analisis interaksi antara dua jenis tanaman A dan B.
Tabel 3. Analisis interaksi antara dua jenis tanaman A dan B
Sumber: Suprayogo et al. (2003). Keterangan: (0) = tidak ada interaksi yang nyata (+) = menguntungkan bagi tanaman utama (pertumbuhannya, ketahanan terhadap stress, reproduksi, dan sebagainya) (-) = merugikan bagi tanaman utama
Kunci keberhasilan dari sistem agroforestry sangat tergantung dari pengelolaan pohon yang dapat menekan pengaruh yang merugikan dan memaksimalkan pengaruh yang menguntungkan (dengan kebutuhan tenaga kerja yang masih dapat diterima). Interaksi pohon-tanah-tanaman tergantung pada
55
pertumbuhan dan bentuk spesifik dari pohon, baik pada bagian tajuk maupun akar tanaman. Beberapa cara dapat dilakukan untuk menekan pengaruh merugikan dari pohon, antara lain sebagai berikut.
56
1.
Mengatur tajuk pohon. Tinggi tanaman semusim biasanya lebih rendah daripada pohon. Hal ini menyebabkan pohon dapat menciptakan naungan sehingga menurunkan jumlah cahaya yang dapat dipergunakan tanaman semusim untuk pertumbuhannya. Petani biasanya mengatur jarak tanam, sekaligus melakukan pemangkasan beberapa cabang pohon untuk mengurangi pengaruh merugikan pohon terhadap tanaman semusim tersebut. Naungan dikurangi dengan jalan pemangkasan cabang pohon selama musim tanam, tetapi dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan pertumbuhan gulma (misalnya alang-alang).
2.
Mengatur pertumbuhan akar. Pengaturan pertumbuhan akar dapat dilakukan dengan mengatur pemangkasan. Pemangkasan tajuk pohon menyebabkan berkurangnya aktivitas akar. Pertumbuhan kembali tajuk pohon akan diikuti pula oleh pertumbuhan akar baru. Pemangkasan pertama bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun. Dalam melakukan pemangkasan cabang pohon, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dengan seksama: tinggi pangkasan dari permukaan tanah dan frekuensi pemangkasan. Tinggi pemangkasan batang yang terlalu dekat dengan permukaan tanah akan memicu terbentuknya akar-akar halus pada tanah lapisan atas sehingga peluang untuk terjadinya kompetisi terhadap kebutuhan air dan hara dengan tanaman semusim menjadi lebih besar. Tinggi pemangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah. Pemangkasan lebih rendah dari 75 cm akan menyebabkan
pertumbuhan akar pohon terpusat pada lapisan tanah atas sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim. Hal yang sama juga akan terjadi bila terlalu banyak frekuensi pemangkasan. Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari tiga kali dalam setahun. Pemangkasan tajuk yang terlalu sering akan memicu terbentuknya akar halus pada lapisan atas. Dangkalnya sistem perakaran pohon sebagai akibat pengelolaan pohon yang kurang tepat juga akan merugikan pertumbuhan pohon itu sendiri. Perakaran yang dangkal mengakibatkan pohon menjadi kurang tahan terhadap kekeringan pada musim kemarau. Mengatur pertumbuhan akar juga dapat dilakukan dengan pemilihan teknik penanaman pohon. Teknik menanam pohon dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di lapangan, stek atau dari bibit cabutan; tergantung dari bahan tanam dan tenaga yang tersedia. Apabila bahan tanam berupa stek tersedia, menanam stek akan lebih cepat dan mengurangi populasi gulma. Cara menanam pohon di lapangan tersebut juga menentukan kedalaman perakaran. Bibit pohon yang ditanam langsung dari biji biasanya diperoleh sistem perakaran yang cenderung lebih dalam daripada yang ditanam berupa stek batang atau melalui persemaian dalam polybag. 3.
Meningkatkan pengaruh positif pohon melalui pemilihan jenis tanaman naungan. Besarnya pengaruh naungan pohon dalam agroforestry menyebabkan tidak semua jenis tanaman dapat ditanam bersama pepohonan. Oleh karena itu, pemilihan jenis tanaman yang toleran terhadap naungan dalam agroforestry sangat diperlukan.
Selain pengombinasian komponen penyusun, kegiatan agroforestry juga penting untuk memerhatikan pengombinasian
57
secara tata waktu. Hal ini dimaksudkan sebagai durasi interaksi antara komponen kehutanan dengan pertanian dan/atau peternakan. Kombinasi tersebut tidak selalu tampak di lapangan sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa suatu bentuk pemanfaatan lahan tidak dapat dikategorikan sebagai agroforestry. Jangka waktu dan proses kesinambungan penggunaan lahan penting untuk diperhatikan dalam agroforestry. Pemahaman ini seringkali tidak sesederhana pada budi daya tunggal (monokultur). Huxley (1999) dan Nair (1993) mengategorikan kombinasi secara waktu menjadi empat: (1) co-incident, yaitu kombinasi selama jangka waktu budi daya jenis/komponen agroforestry; (2) concomitant, yaitu kombinasi pada awal atau akhir waktu budi daya suatu jenis/komponen agroforestry; (3) overlapping, yaitu kombinasi bergantian yang tumpang tindih antara akhir dan awal dari dua (atau lebih) jenis/komponen agroforestry; (4) interpolated, yaitu kombinasi tersisip pada jangka waktu budi daya jenis/komponen agroforestry. Ketiga kombinasi terakhir di atas masih memerlukan penjelasan lagi, apakah bersifat berkala (intermittent) atau terus menerus (continous). Jika kombinasi komponen agroforestry secara tata waktu disederhanakan maka secara garis besar kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu kombinasi permanen (permanent combination) dan sementara (temporary combination). Kedua kombinasi tersebut dijelaskan oleh von Maydell (1988) sebagai berikut. 1.
58
Kombinasi secara permanen (permanent combination). Kombinasi komponen agroforestry ini dapat terdiri atas komponen kehutanan dengan paling sedikit satu dari
komponen pertanian dan peternakan. Kombinasi permanen ini dapat dijumpai dalam tiga kemungkinan: (1) kombinasi komponen kehutanan, pertanian, dan peternakan berkesinambungan selama lahan digunakan (co-incident), misalnya berbagai bentuk kebun pekarangan (home gardens) yang dapat dijumpai di banyak wilayah nusantara; (2) pemeliharaan tegakan/pohon secara permanen pada lahan-lahan pertanian sebagai sarana memperbaiki lahan, tanaman pelindung atau penahan air, misalnya penanaman pohon-pohon turi (Sesbania grandifora) pada pematang sawah di Jawa dan pohon pelindung pada perkebunan komersial (kopi, kakao); (3) pemeliharaan/penggembalaan ternak secara tetap (berjangka waktu tahunan) pada lahan-lahan hutan bertumbuhan kayu, tanpa melihat pada umur tegakan. 2.
Kombinasi secara sementara (temporary combination). Sebagai contoh, penggembalaan ternak atau kehadiran hewan di kawasan berhutan/bertumbuhan kayu hanya dilakukan pada musim-musim tertentu (continous interpolated). Contoh lainnya adalah kehadiran berbagai satwa hutan (terutama jenis-jenis burung) di kebun-kebun hutan dan kebun pekarangan pada saat musim buah (khususnya bulan-bulan Desember hingga Maret).
3.5 Diagnosis dan Desain Agroforestry Pengumpulan data untuk menyusun desain agroforestry yang akan dikembangkan penting untuk dilakukan. Metode diagnosis & design (metode D&D) dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Metode ini digunakan untuk mengungkap
59
permasalahan penggunaan lahan dan penyusunan rancangan pemecahannya dalam sistem agroforestry. Tahapan D&D untuk agroforestry diuraikan sebagai berikut (Raintree, 1990). 1.
Tahap prediagnosis. Tahap ini dilakukan dengan kegiatan: (1) mendefinisikan sistem dan mendeskripsian lokasi (sistem apa yang menjadi sasaran); (2) menguraikan secara jelas kombinasi dari sumber daya, teknologi dan tujuan dari pengelola (land-user); (3) menggambarkan bagaimana sistem bekerja yang mencakup organisasi, tujuan dan strategi produksi, serta susunan komponen sistem.
2.
Tahap diagnosis. Tahap ini menjelaskan bagaimana kinerja sistem yang mencakup apa saja masalahnya, hambatan dan keterbatasan, akar permasalahan dan kemungkinan intervensi, permasalahan sehubungan dengan tujuan (rendahnya produksi, permasalahan keberlanjutan).
3.
Rancangan dan evaluasi. Tahap ini menjelaskan bagaimana memperbaiki kinerja sistem yang mencakup apa yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sistem, dan spesifikasi pemecahan masalah atau deskripsi kinerja setelah ada intervensi.
4.
Perencanaan. Tahap ini merupakan pengembangan dan penyebarluasan sistem yang sudah disempurnakan yang mencakup kebutuhan penelitian, pengembangan, dan penyuluhan.
5.
Penerapan (Implementasi). Tahap ini berupaya untuk menyesuaikan dengan informasi yang baru.
Metode D&D merupakan sebuah metodologi yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan sistem agroforestry. Metode D&D dapat mengakomodasikan cara
60
pemeriksaan secara menyeluruh terhadap permasalahan dalam sistem agroforestry dan diikuti dengan penyusunan rancangan pengembangan inovasi pemecahan dan implementasi yang tepat. Ciri-ciri D&D yang ditonjolkan oleh pengembangnya adalah (1) keluwesan (fleksibel), yaitu D&D dapat disesuaikan untuk beraneka kebutuhan dan pada berbagai kondisi sumber daya yang dimiliki oleh pengguna (landusers); (2) kecepatan, yaitu D&D memungkinkan untuk menerapkan pemahaman cepat (rapid appraisal) pada tahap perencanaan yang diikuti oleh analisis mendalam (in-depth analysis) pada tahap implementasi; (3) pengulangan (repetisi), yaitu D&D merupakan proses pembelajaran yang tidak berujung (open-ended). Penyempurnaan rancangan bisa dilakukan sejak dari awal hingga tidak lagi diperlukan adanya revisi. D&D dapat diterapkan secara netral pada berbagai tingkatan hierarki sistem penggunaan lahan. Dengan sedikit modifikasi, pendekatan D&D ini dapat diterapkan pada tingkatan plot dan rumah tangga petani, tingkatan desa dan sub-DAS, serta tingkatan kawasan yang lebih luas. Pada tingkatan mikro, D&D dapat difokuskan pada pendekatan kebutuhan dasar untuk mengidentifikasi hambatan dan merancang pemecahan masalah. Kebutuhan dasar petani yang dianggap paling penting seperti pangan, bahan bakar, pakan ternak, papan (rumah), bahan baku untuk industri rumah tangga, dan uang tunai. Masalah yang dihadapi oleh petani dalam rangka memperoleh berbagai kebutuhan dasar tersebut harus diidentifikasi. Analisis permasalahan dengan mengajukan pertanyaan â&#x20AC;&#x153;apa yang menyebabkan masalah dan mengapa timbul masalah ituâ&#x20AC;? menuntun kepada rumusan masalah. Dari setiap masalah yang muncul dapat dicari intervensi pemecahannya. Prosedur pendekatan D&D pada skala meso- dan makro harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi. Hasil terbaik akan diperoleh jika
61
metode ini tidak dipergunakan secara kaku, melainkan harus kreatif dalam mengembangkan cara diagnosis yang peka dan menyusun rancangan. 3.6 Kendala dan Prospek Pengembangan Agroforestry di Lahan Gambut Keragaman karakteristik gambut yang tinggi pada jarak yang berdekatan merupakan suatu kendala yang sulit untuk diatasi. Kondisi ini mengharuskan untuk memetakan areal gambut sehingga diperoleh gambaran kondisi karakteristik yang dihubungkan dengan teknik pengelolaan. Karakteristik gambut perlu dipelajari sedetail mungkin agar keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dapat diantisipasi dan diprediksi sehingga dapat memberikan arahan dalam pengelolaannya. Menurut Subagyo (2000), data karakteristik tanah gambut yang perlu diinventarisasi adalah (1) sifat fisik tanah gambut, meliputi: kerapatan lindak (bulk density), bobot jenis dan kandungan air tanah gambut; (2) sifat kimia tanah gambut, meliputi: kandungan unsur hara makro, kandungan unsur hara mikro, pH tanah, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kejenuhan aluminium, kedalaman lapisan pirit dan salinitas; (3) tingkat kedalaman dan kematangan gambut; dan (4) fluktuasi genangan air, kedalaman air tanah dan kondisi lapisan bawah tanah gambut (mineral di bawah tanah gambut). Kekurangan informasi mengenai sifat-sifat karakteristik tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam memanfaatkan lahan gambut.
Agroforestry sebagai pola tanam dapat diterapkan di lahan yang rentan secara ekologi (fragile) akibat beberapa hal yang berhubungan dengan kapasitas pohon untuk tumbuh di bawah kondisi tanah dan iklim yang kurang menguntungkan. Salah satu aspek dasar dari peran agroforestry adalah memelihara
62
kesuburan tanah. Hal ini dimungkinkan mengingat peranan pohon, sebagai salah satu komponen penyusun agroforestry, dalam memperbaiki kondisi tanah rawa gambut. Peranan pohon dalam memperbaiki tanah rawa gambut dapat dijelaskan sebagai berikut (Lahjie, 2001). 1.
Proses yang bersifat meningkatkan masukan pada tanah, yaitu (1) pemeliharaan bahan organik tanah melalui fiksasi karbon dalam fotosintesis dan transfer selanjutnya melalui pelapukan, (2) fiksasi N oleh legum dan beberapa nonlegum, (3) penyerapan nutrisi hasil pelapukan oleh akar pohon, (4) masukan lewat atmosfir, (5) meningkatkan aerasi tanah melalui perbaikan sifat fisik tanah, dan (6) penyerapan air dari kedalaman tanah.
2.
Proses yang bersifat mereduksi sesuatu yang hilang dari tanah, yaitu (1) melindungi dari erosi (mencegah hilangnya bahan organik dan nutrisi), (2) pengembalian nutrisi dan siklus (penangkapan dan resiklus nutrisi oleh akar dan mikoriza), (3) reduksi kecepatan dekomposisi bahan organik (dengan adanya naungan dan mulsa), (4) reduksi hilangnya air akibat evaporasi (oleh naungan dan serasah), dan (5) meningkatkan kapasitas menyimpan air (melalui kondisi fisik yang lebih baik).
3.
Proses yang memengaruhi kondisi fisika tanah, yaitu (1) pemeliharaan sifat fisik melalui bahan organik dan pengaruh perakaran, dan (2) modifikasi suhu tanah yang ekstrim melalui naungan dan serasah.
4.
Proses yang memengaruhi kondisi kimia tanah, yaitu (1) reduksi kemasaman melalui basa yang terkandung dalam serasah, (2) reduksi kegaraman oleh pohon diikuti dengan tindakan manajemen lainnya, dan (3) reduksi toksisitas tanah yang disebabkan oleh polusi.
63
5.
Proses yang memengaruhi kondisi biologi tanah, yaitu (1) memproduksi serasah daun yang bermutu tinggi dan mengandung suplai nutrisi yang seimbang, kemudian mentransfernya dengan cara dekomposisi, (2) meningkatkan aktivitas fauna tanah, (3) meningkatkan mineralisasi nitrogen melalui pengaruh naungan, (4) meningkatkan ketersediaan P melalui asosiasi mikoriza, (5) meningkatkan bintil nitrogen dari nodulasi akar pohon pengikat N dekat akar pohon yang bukan pengikat N, (6) mentransfer nutrisi antar sistem perakaran pohon, dan (7) mengeksudasi substansi perangsang tumbuh oleh rhizosphere.
Berdasarkan uraian di atas, agroforestry berpotensi besar untuk diterapkan di lahan rawa gambut. Penerapan agroforestry di lahan rawa gambut membuka jalan baru bagi penggunaan lahan rawa gambut yang lebih efisien dengan hasil yang lebih bervariasi dan dengan tetap mempertimbangkan aspek kelestarian (konservasi).
64
Bab IV JELUTUNG RAWA DI LAHAN GAMBUT 4.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis) merupakan jenis pohon asli lahan gambut (indigenuos tree species). Sinonim nama ilmiah jenis ini adalah Alstonia pollyphylla Miq. (1861), D. lowii Hook F. (1882) dan D. borneensis Bailon (1898). Menurut Daryono (2000), terdapat dua jenis jelutung di Pulau Sumatra dan Kalimantan: jelutung rawa dan jelutung darat (D. costulata Miq. HK). Menurut Foxworthy (1972), jelutung darat tumbuh pada tanah laterit atau aluvial, baik pada lahan yang relatif datar maupun berbukit rendah; sedangkan jelutung rawa tumbuh di tanah organosol, khususnya hutan rawa gambut dengan tipe curah hujan A dan B pada ketinggian 20â&#x20AC;&#x201C;800 m dpl. Nama perdagangannya adalah kayu jelutung, sedangkan nama daerahnya: anjarutung, gapuk, jalutung, jelutung, labuai, lebuai, letung, melabuai, nyalutung, nyulutung, pidoron (Sumatra) dan jelutung, pantung, pulut (Kalimantan). Status konservasi jenis pohon ini termasuk sebagai jenis yang dilindungi. 4.2 Sifat Botanis Jelutung rawa termasuk genus Dyera, famili Apocynaceae. Menurut Daryono (2000), habitus dan ciri morfologinya dapat dijelaskan sebagai berikut. 1.
Profil pohon. Pohon besar, tinggi dan bertajuk tipis. Tinggi pohon dapat mencapai 60 meter dan diameter 260 cm, sedangkan tinggi bebas cabang dapat mencapai 30 meter.
2.
Profil batang. Bentuk batang silindris dan tidak berbanir. Kulit batang berwarna abu-abu atau kehitam-hitaman. Kulit
65
luar rata tetapi kasar, mempunyai sisik berbentuk bujur sangkar, tebal kulit batang 1–2 cm, tidak berbulu, bergetah putih hingga kuning, halus dan tidak berteras.
66
3.
Profil daun. Daun tunggal tersusun melingkar pada ranting sebanyak 4–8 helai, berbentuk lonjong atau bulat telur, ujung daun membulat, panjang 15–20 cm dan lebar 6–8 cm. Tajuk tipis atau jarang.
4.
Profil buah. Buah berupa polong kayu yang kembar (berpasangan) menyerupai tanduk berbentuk bulat memanjang yang berangsur-angsur memipih apabila buah menjadi tua. Panjang polong 12–26 cm (rata-rata 23 cm), berat kering polong 20,2–31,9 gram (rata-rata 28,02 gram). Buah yang telah matang (fisik dan fisiologis) akan merekah setelah dijemur selama 1–3 hari, sedangkan buah yang belum masak akan pecah setelah dijemur lebih dari 4 hari. Pohon berbuah hampir setiap tahun.
5.
Profil biji. Biji berbentuk oval, pipih, dan berwarna coklat. Kulit biji berupa selaput tipis yang melebar dan memanjang membentuk sayap. Biji tersusun dalam dua baris yang berhimpitan di dalam polong buah. Jumlah biji per polong 12–26 biji (rata-rata 18 biji).
6.
Profil bunga. Bunga berukuran kecil, berwarna putih dan wangi, bertangkai panjang 10–14 cm.
Gambar 14. Profil pohon (kiri), buah (tengah), bunga dan daun (kanan) jelutung rawa
4.3 Sifat Pohon Jelutung termasuk pohon yang membutuhkan naungan pada waktu muda, tetapi kemudian memerlukan cukup cahaya untuk pertumbuhan selanjutnya (van Wijk, 1950). Menurut Aminuddin (1982), semai jelutung memberi respon terbaik pada penyinaran 30%. Pohon jelutung berbunga hampir setiap bulan, kecuali bulan Desember dan Januari. Pembuahan terjadi setiap bulan, kecuali bulan Agustus (Whitmore, 1972). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Yap (1980) yang menyatakan bahwa masa berbunga pohon jelutung berlangsung dari bulan Juli hingga Desember. Pohon jelutung menggugurkan daun setiap tahun, tetapi meranggas gundul hanya selama beberapa hari saja. Waktu menggugurkan daun tidak bisa ditetapkan secara pasti, ada kalanya pohon menggugurkan daun dua kali dalam
67
setahun. Daun yang baru muncul selama beberapa hari sebelum mekar berwarna coklat kekuning-kuningan (Gambar 15).
Gambar 15. Profil permudaan tingkat semai (kiri), biji (tengah) dan kuncup daun (kanan) jelutung rawa
4.4 Pemanfaatan Jelutung Pada mulanya, getah jelutung banyak digunakan untuk pembuatan barang-barang yang terbuat dari karet, sebelum ada pembudidayaan jenis karet (Hevea brasiliensis). Namun, jelutung tidak dapat bersaing lagi setelah karet dapat berkembang dengan produk yang lebih baik. Pada tahun 1920 diketahui bahwa getah jelutung dapat digunakan untuk pembuatan permen karet (Whitmore, 1972). Selanjutnya, perhatian terhadap jelutung meningkat setelah sumber bahan baku permen karet yaitu pohon Achras zapota (salah satu jenis pohon tropis dari Amerika Tengah) yang populasinya semakin langka.
68
Kayu jelutung memiliki kelas keawetan yang termasuk rendah (lunak dan tidak tahan lama), namun demikian sangat disukai konsumen karena mudah dikerjakan. Selain itu, permukaan kayu jelutung halus dan warnanya putih menarik (Daryono, 2000). Pohon jelutung menghasilkan getah berwarna putih yang diperoleh dengan cara penyadapan seperti pada Gambar 16. Getah terdiri atas 20% kaucuk dan 20% damar. Pohon mulai disadap setelah batang berdiameter paling kecil 20 cm atau telah berumur Âą15 tahun. Penyadapan getah dilakukan dengan membuat torehan pada kulit batang hingga ke batas kambium yang membentuk huruf V (metode tulang ikan). Torehan pertama pada batang dibuat setinggi Âą1 meter, lebar torehan 4 cm hampir mengelilingi batang dengan menyisakan Âą15 cm bagian yang tidak ditoreh. Produktivitas getah per pohon jelutung dapat mencapai 0,15â&#x20AC;&#x201C;1,5 liter (Burkill, 1935).
Gambar 16. Batang jelutung rawa yang ditoreh (kiri) dan produksi getah (tengah dan kanan)
69
4.5 Perlindungan Tanaman Hama terpenting yang sering menyerang pohon jelutung adalah Batocera rubus (Coleoptera-Cerambycidae-Lamiinae). Serangga ini mempunyai kebiasaan meletakkan telur di dalam celah-celah kulit jelutung yang sehat atau pada batang yang kulitnya terbuka pada saat penyadapan. Setelah telur menetas, larva muda terbungkus corion. Beberapa waktu kemudian, corion terobek dan larva keluar. Larva segera aktif memakan bagian meristem kayu, kemudian menembus ke dalam kayu teras. Siklus hidup serangga hama ini tidak lebih dari 6 bulan: stadium pupa selama 21 hari, kumbang 23 hari, dan larva ±4 bulan. Kehadirannya pada pohon jelutung dapat terlihat dari terdapatnya serbuk/bubuk kayu yang jatuh di tanah atau melekat pada lubang gerekan (Daryono, 2000). 4.6 Pertumbuhan Jelutung Pohon jelutung pada habitat alami dan keadaan yang optimal dapat mencapai tinggi 45–60 meter dengan batang bebas cabang sekitar 35 meter. Diameter batang mencapai 100–260 cm. Anakan jelutung dapat tumbuh paling baik pada intensitas penyinaran nisbi sekitar 33% hingga diperoleh riap tinggi, diameter, permukaan daun, dan produksi bahan kering secara optimum (Aminuddin, 1982). Pertumbuhan jelutung dapat mencapai tinggi 1,8–2,4 meter pada umur 2 tahun; 2,5–2,9 meter pada umur 3 tahun; dan 5–5,5 meter pada umur 5 tahun dengan diameter batang 5,2–5,5 cm dan tingkat hidup mencapai 60% dari saat penanaman. Pada umur 15 tahun, tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 10 meter dengan diameter rata-rata 13 cm. Pada umur 39 tahun pada tanah yang kurang subur, pohon jelutung mempunyai riap diameter 0,93 cm per tahun, tetapi pada umur 40 tahun diameternya hanya mencapai 30–35 cm.
70
Sebaliknya, diameternya dapat mencapai 60 cm pada tanah yang relatif lebih baik dan pada umur tersebut (Daryono, 2000). Menurut Foxworthy (1972) riap diameter pohon jelutung adalah 1,58 cm per tahun. Pohon yang berumur 46 tahun mencapai diameter sekitar 50 cm dan pada umur 70 tahun mencapai Âą70 cm.
71
72
Bab V KAJIAN TEKNIS DAN PERFORMANSI AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA Pengembangan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara teknis dianalisis berdasarkan dua parameter. Pertama, teknik silvikultur pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry yang telah dipraktikkan oleh para praktisi lapangan. Teknik silvikultur yang dibahas mencakup dua variabel utama: pengadaan bibit jelutung rawa, dan pola (design) agroforestry berbasis jelutung rawa yang dapat dikembangkan untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi. Kedua, performansi pertumbuhan jelutung rawa pada beberapa demplot agroforestry yang telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru bekerjasama dengan petani mitra penelitian di lahan gambut. 5.1 Pengadaan Bibit 5.1.1
Pengadaan bibit dari biji (generatif)
Pengadaan bibit jelutung yang umum dilakukan oleh para praktisi lapangan di Kalimantan Tengah adalah dengan menggunakan biji. Cara tersebut telah dilakukan secara luas dengan hasil yang mencukupi kebutuhan. Hal ini ditandai dengan maraknya persemaian jelutung yang dikembangkan oleh masyarakat secara mandiri, seperti yang banyak dijumpai di Desa Tumbang Nusa, Desa Taruna Jaya dan Desa Jabiren (Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah). Sumber benih untuk pengadaan bibit secara generatif berasal dari beberapa tegakan benih terindentifikasi yang sudah memperoleh sertifikat dari Balai Perbenihan Tanamam Hutan (BPTH) Kalimantan dan berasal dari pohon induk di hutan alam
73
yang sengaja dijaga dan dipelihara oleh masyarakat. Kemampuan produksi benih jelutung rawa dari tegakan benih teridentifikasi per tahun di Provinsi Kalimantan Tengah tercantum pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi benih jelutung rawa dari tegakan benih teridentifikasi di Provinsi Kalimantan Tengah No.
Nama Pemilik Sumber Benih
Produksi per Tahun (biji)
1.
Hardianto
2.
KUD Kahimat Desa Pilang
1.440.000
3.
PT. Katingan Jaya Perkasa
2.664.000
4.
KUD Kahimat Desa Tumbang Nusa Ir. Soeyatno K. S.
5.616.000
5.
115.200.000
Jumlah Total
2.000.000 126.920.000
Sumber: Data primer yang telah diolah
Berdasarkan data pada Tabel 4 diketahui bahwa kemampuan pasokan benih jelutung rawa bersertifikat di Provinsi Kalimantan Tengah mencapai 126.920.000 biji per tahun. Apabila dikaitkan dengan kebutuhan bibit jelutung rawa untuk merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang terdegradasi, potensi tersebut dapat digambarkan, yaitu: (1) kemampuan pasokan bibit dengan asumsi viabilitas benih 80%, maka bibit yang dihasilkan sebanyak 101.536.000 batang per tahun; (2) jumlah bibit siap tanam yang dapat dihasilkan dengan asumsi persen hidup di persemaian sebesar 80% adalah sebanyak 81.228.800 batang per tahun; (3) apabila asumsi kematian bibit selama pengangkutan dari persemaian ke lokasi penanaman sebesar 20% dan tingkat
74
keberhasilan penanaman di lapangan sebesar 80% dengan jarak tanam 5 x 4 m, bibit tersebut dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi sebanyak 51.986.432 bibit untuk luas lahan 103.972,86 ha per tahun. Tabel 5. Data lahan gambut kritis di Provinsi Kalimantan Tengah No.
Status & Fungsi Kawasan
Sangat Kritis (ha)
Kritis (ha)
Agak Kritis (ha)
183,53
168.312,04
-
1.966,49
406.812,99
3.002,002
3,21
283,24
-
1.
Hutan Produksi yang dapat dikonversi
2.
Hutan Produksi
3.
Taman Wisata Tanjung Keluang
4.
Taman Nasional Tanjung Putting
161,60
31.164,02
44.197,240
5.
Taman Nasional Sebangau
-
3,91
71.984,780
6.
Suaka Margasatwa Lamandau
81,83
1.893,36
-
7.
Hutan Konservasi
58,53
232.151,48
11.002,520
8.
Budi daya Jumlah
467,79 2.922,98
50.743,81 38.486,150 891.364,86 168.672,690
Sumber: data sekunder yang telah diolah
Apabila dikaitkan dengan data lahan gambut yang terdegradasi (agak kritisâ&#x20AC;&#x201C;sangat kritis) seperti tercantum pada Tabel 5, jelutung rawa mampu merehabilitasi lahan tersebut dalam jangka waktu 10 tahun. Sementara itu, kemampuan pasokan bibit jelutung rawa siap tanam untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi tercantum pada Tabel 6.
75
Tabel 6. Kapasitas produksi bibit jelutung rawa per tahun dari lima penangkar persemaian rakyat No.
Nama Pemilik Persemaian
Tahun Produksi
Kapasitas Produksi (Batang)
Harga eceran per batang (Rp)
1.
2002
4.000
4.500
2.
2003
15.000
2.000
3.
2004
90.000
2.000
2005
300.000
1.500
2006
150.000
1.000
2007
250.000
1.000
4. 5. 6. 7.
Uyen Sabri (Desa Tumbang Nusa)
2008
50.000
1.000
8.
2009
50.000
1.000
9.
2010
100.000
1.000
10.
2011
100.000
1.000
Jumlah 1.109.000; rata-rata produksi per tahun 110.900 batang 11. 12. 13. 14.
Albinus Awat (Desa Jabiren)
15.
2005
200.000
1.750
2006
350.000
1.500
2007
330.000
1.300
2008
180.000
1.200
2011
40.000
1.000
Jumlah 1.100.000; rata-rata produksi per tahun 220.000 batang 16.
2003
20.000
2.500
17.
2004
40.000
1.500
18.
2005
60.000
1.500
2007
60.000
1.500
19. 20.
Agus A. Sidik (Desa Tumbang Nusa)
2008
100.000
1.000
21.
2009
150.000
1.000
22.
2010
150.000
1.300
Jumlah 580.000; rata-rata produksi per tahun 82.858 batang
76
23.
2006
78.000
1.200
24.
2007
75.000
1.200
2008
150.000
1.300
2009
20.000
2.500
2010
50.000
2.500
2011
600.000
1.200
25. 26. 27.
Nunung (Desa Tumbang Nusa)
28.
Jumlah 973.000; rata-rata produksi per tahun 162.167 batang 29. 30. 31. 32. 33.
2004 Yansyah A. Gani (Desa Tumbang Nusa)
80.000
1.000
2005
28.000
1.000
2007
100.000
1.000
2008
80.000
1.000
2010
80.000
1.000
Jumlah 368.000; rata-rata produksi per tahun 73.600 batang Jumlah Total 4.130.000; rata-rata produksi per tahun 129.905 batang
Tabel 6 menunjukkan bahwa Desa Tumbang Nusa dan Desa Jabiren dikenal sebagai sentra penghasil bibit jelutung rawa. Bibit yang diproduksi oleh lima orang pengembang persemaian di kedua desa tersebut telah mencapai 4.130.000 batang dalam jangka waktu 9 tahun. Rata-rata produksi bibit jelutung rawa sebanyak 129.905 batang siap tanam per tahun. Kemampuan kedua desa tersebut dalam memproduksi bibit jelutung rawa diperkirakan mencapai 1â&#x20AC;&#x201C;3 juta bibit per tahun. Kondisi tahun 2005â&#x20AC;&#x201C;2006 pernah terjadi permintaan sangat besar terhadap bibit jelutung untuk proyek penghijauan dan rehabilitasi hutan/lahan gambut. Kondisi ini menarik sebagian besar penduduk Desa Tumbang Nusa (75% jumlah KK) untuk membibitkan jelutung rawa. Harga bibit jelutung yang cukup tinggi (rata-rata Rp1.500,00 per batang) dan permintaan yang banyak menyebabkan masyarakat antusias untuk membibitkan jelutung
77
rawa. Kemampuan memproduksi bibit tersebut jika digunakan untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasiâ&#x20AC;&#x201C;asumsi kematian bibit selama pengangkutan 20%, tingkat keberhasilan penanaman 80% dan jarak tanam 5 x 4 mâ&#x20AC;&#x201C;adalah 83.140 bibit untuk lahan 166,28 ha per tahun. Hal ini akan lebih besar lagi jika harga bibit jelutung tinggi dan permintaan banyak. Berdasarkan data pada kelima pengembang persemaian jelutung rawa di Desa Tumbang Nusa dan Desa Jabiren, jika diasumsikan jumlah bibit yang dapat diproduksi oleh pembibitan jelutung rawa di kedua desa tersebut mencapai 3 juta bibit siap tanam per tahun maka mampu merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi dengan jumlah bibit sebanyak 1.920.000 batang untuk lahan seluas 3.840 ha per tahun. Kemampuan ini dihitung dengan asumsi yang sama seperti sebelumnya: persen hidup bibit selama pengangkutan 20%, persen hidup keberhasilan penanaman 80%, dan jarak tanam 5 x 4 m. Kemampuan ini masih dapat ditingkatkan mengingat persediaan benih bersertifikat yang melimpah dan teknologi pembibitan jelutung rawa sudah dikuasai oleh warga di kedua desa tersebut. Teknologi pembibitan yang telah dikuasai oleh warga Desa Tumbang Nusa dan Desa Jabiren mencakup variabel berikut. 1.
Pemanenan Polong Jelutung berbuah setiap tahun dengan musim panen raya setiap 2 tahun. Pengamatan pada beberapa tegakan benih jelutung teridentifikasi di Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa puncak berbunga terjadi pada bulan Septemberâ&#x20AC;&#x201C; Oktober dengan puncak buah masak pada bulan Februariâ&#x20AC;&#x201C;Maret. Hal lain dikemukakan oleh Bastoni & Lukman (2006) bahwa pohon jelutung rawa berbunga pada bulan November dan telah masak sekitar 5â&#x20AC;&#x201C;6 bulan setelah
78
berbunga sehingga pemanenan buah dapat dilakukan pada bulan Aprilâ&#x20AC;&#x201C;Mei. Pemanenan dilakukan terhadap polong yang telah masak dengan ciri-ciri kulit buah berwarna coklat kehitam-hitaman, bentuk polong pipih, kulit buah mengerut, dan mulai menampakkan tanda akan merekah. Pengamatan pada beberapa tegakan benih teridentifikasi yang terdaftar di BPTH Kalimantan menunjukkan bahwa rata-rata setiap satu batang pohon indukâ&#x20AC;&#x201C;diameter batang 40â&#x20AC;&#x201C;50 cmâ&#x20AC;&#x201C;mampu menghasilkan 3.000 polong dalam satu musim berbuah.
Gambar 17. Profil polong buah jelutung rawa yang masih di pohon (kiri) dan yang sudah matang siap diekstraksi (kanan)
2.
Ekstraksi dan Seleksi Biji Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengeluarkan biji dari polong pada tingkat kematangan yang tepat. Proses sebagaimana Gambar 18 dilakukan melalui tahapan: (1) kulit polong dikupas hingga tersisa lapisan keras (seperti tempurung) yang menyelimuti biji agar mempercepat retaknya polong pada saat penjemuran; (2) polong dijemur di bawah sinar matahari di tempat terbuka hingga polong merekah;
79
(3) polong yang telah merekah diguncang dengan halus agar biji jelutung keluar dengan sendirinya; (4) seleksi biji yang dilakukan secara manual dengan cara memilih dan memisahkan (sortir) biji yang baik (berisi, segar, dan matang) dari biji yang rusak (biji yang hampa, muda, cacat atau terkena penyakit). Biji yang telah diseleksi (benih) siap untuk disimpan atau langsung disemaikan. Berdasarkan pengalaman para praktisi persemaian, terdapat 12â&#x20AC;&#x201C;26 biji di dalam satu polong buah jelutung dengan 15â&#x20AC;&#x201C;22 biji yang daya kecambahnya baik (rata-rata 17 biji). Jumlah benih setiap kilogram sekitar 10.000â&#x20AC;&#x201C;11.000 benih.
(a) Kulit polong dikupas
(c) biji dikeluarkan dari polong
(b) Polong buah dijemur
(d) seleksi (sortir) biji
Gambar 18. Tahapan proses ekstraksi dan seleksi biji jelutung rawa
80
3.
Penyimpanan Benih Kegiatan ini diperlukan apabila kondisi masih belum memungkinkan untuk melakukan kegiatan penyemaian. Benih jelutung bersifat mudah berkecambah (rekalsitrant) sehingga mempunyai masa simpan yang pendek. Penyimpanan pada suhu ruang dapat dilakukan dengan mengemas benih dalam kantong/kotak kertas tebal, diletakkan pada ruang yang tidak lembab, bersirkulasi udara baik, dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Penyimpanan dalam lemari es (kulkas) dapat dilakukan dengan mengemas benih dalam kantong plastik tebal dan ditutup rapat, kemudian diletakkan pada ruang bawah kulkas. Daya tahan benih pada penyimpanan suhu ruang sekitar 2 bulan dan di dalam kulkas sekitar 4 bulan. Penyimpanan selama 35 hari pada ruang bersuhu 26â&#x20AC;&#x201C;290C akan menurunkan viabilitas benih sebesar 50% dan di dalam kulkas bersuhu 9â&#x20AC;&#x201C;110C akan menurunkan viabilitas benih sebesar 30%. Viabilitas benih tertinggi yang pernah dicapai adalah 85% (Bastoni & Lukman, 2006).
4.
Penyemaian Proses penyemaian yang dilakukan oleh para praktisi pembibitan jelutung rawa di Desa Tumbang Nusa adalah dengan mengecambahkan benih. Benih yang akan dikecambahkan terlebih dahulu direndam dalam air selama 4 jam hingga benih jenuh air. Perendaman juga berfungsi untuk menyeleksi benih yang viable dari benih yang telah mati. Benih yang mati tampak menggembung setelah direndam. Benih disimpan hingga berkecambah dan setelah berkecambah ditanam di polybag. Proses perendaman dan pengecambahan benih jelutung seperti pada Gambar 19.
81
Gambar 19. Perendaman benih jelutung (kiri), benih jelutung rawa yang mulai berkecambah setelah 2 minggu dari perendaman (kanan)
Posisi penanaman benih pada polybag harus tegak (vertikal) dengan bagian bawah adalah calon akar (dicirikan oleh bagian lancip dari endosperm benih dan adanya saluran gelap seperti benang). Tempat perkecambahan benih dinaungi sarlonet dengan intensitas penyaringan cahaya 50â&#x20AC;&#x201C; 75 persen. Pemeliharaan dilakukan dengan cara menyiram 2 kali sehari dan penyemprotan fungisida sesuai kebutuhan. Pemeliharaan intensif harus dilakukan selama Âą8 minggu. Polybag yang digunakan berukuran 15 x 12 cm atau lebih besar, tergantung lama waktu bibit di persemaian. Tahapan ini seperti terlihat pada Gambar 20.
82
Tahap 1. Persiapan polybag yang akan ditanami kecambah jelutung
Tahap 2. Penanaman kecambah jelutung sampai keping benih mulai terangkat
Tahap 3. Kotiledon pecah dan keluar sepasang daun (2 bulan setelah penanaman)
Gambar 20. Tahapan perkecambahan benih jelutung rawa
83
5.
Proses Pengerasan Batang Semai (Hardening) Proses pengerasan dapat segera dilakukan jika semai jelutung rawa sudah berdaun 6â&#x20AC;&#x201C;8 helai. Pemeliharaan semai di persemaian dilakukan hingga bibit siap tanam dan berlangsung selama 8â&#x20AC;&#x201C;14 bulan. Kriteria bibit siap tanam: tinggi 25â&#x20AC;&#x201C;40 cm, diameter 0,5 cm, jumlah daun 8â&#x20AC;&#x201C;12 helai, batang lurus, perakaran sudah menyatu dengan media (kompak). Tahap hardening seperti pada Gambar 21.
Gambar 21. Tahap pengerasan batang (hardening) bibit jelutung rawa
5.1.2
Pengadaan bibit secara vegetatif
Jelutung dapat dikembangbiakan melalui bagian vegetatifnya dengan cara cangkok dan stek pucuk. Metode stek pucuk yang telah diujicoba meliputi dua macam, yaitu metode konvensional dan metode KOFFCO (Komatsu Forda Fog Cooling) (Rusmana, 2007). Metode konvensional dilakukan dengan menempatkan stek pucuk jelutung pada sungkup plastik yang berfungsi untuk mengatur suhu dan kelembaban udara. Stek pucuk diletakkan di dalam sungkup plastik hingga stek tersebut tumbuh akarnya, kemudian bibit stek dipelihara di luar sungkup plastik. Persentase keberhasilan stek pucuk dengan metode
84
konvensional masih sangat rendah, yaitu kurang dari 10% (Rusmana, 2007). Sementara itu, metode KOFFCO dilakukan dengan mengatur suhu dan kelembaban udara melalui penempatan stek boks propagasi berukuran sekitar 40 x 70 cm dan tinggi 30 cm. Boks propagasi dikenakan pengabutan air menggunakan nozel yang dipasang sedemikian rupa dalam rumah kaca (greenhouse) sehingga kondisi temperatur dalam boks propagasi rendah (<320 C) dan kelembaban udara tinggi (>90%). Persentase keberhasilan stek pucuk dengan metode KOFFCO mencapai 25%.
Gambar 22. Penampilan stek jelutung rawa dengan metode persemaian KOFFCO (Sumber: Rusmana et al., 2005)
Tahapan kegiatan pembuatan bibit stek jelutung rawa menurut Rusmana (2007), sebagai berikut. 1.
Media Tumbuh Stek Media yang dapat digunakan harus bebas dari hama dan penyakit (patogen). Sebelum berakar, media perlu dijemur atau disterilisasi terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai media tumbuh stek agar bebas dari patogen yang
85
mengakibatkan stek busuk. Beberapa jenis media yang dapat digunakan sebagai media tumbuh stek:
2.
1)
campuran serbuk kulit kelapa (cocopeat atau cocodust) dengan sekam padi (2 : 1),
2)
kompos serbuk gergaji (sawdust) dicampur tanah lapisan atas (2 : 1),
3)
campuran gambut dengan sekam padi (70% : 30%);
4)
pasir sungai atau pasir kuarsa,
5)
arang sekam padi murni atau dicampur dengan bahan lain.
Pemilihan Bahan Stek Bahan stek pucuk terbaik diambil dari bagian pucuk yang masih dorman (resting). Pucuk yang masih tumbuh aktif (flushing) dan tumbuh orthotrop sebaiknya tidak digunakan. Pohon induk sebagai sumber bahan stek pucuk sebaiknya berumur 6 bulan hingga 2 tahun (Rusmana, 2007).
Gambar 23. Ujung batang jelutung resting (kiri), flushing (tengah) dan tipe tunas (othotrop dan plagiotrop) (kanan) (Sumber: Rusmana, 2007)
86
3.
Pengambilan dan Penyemaian Stek Secara ringkas, tahapan pengambilan dan penyemaian stek (Rusmana, 2007): 1)
mempersiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan, meliputi: gunting stek, ember plastik, dan hormon perangsang akar “Rootone F” atau sejenis;
2)
mengisi ember plastik dengan air bersih secukupnya (½-nya);
3)
stek diambil dari pohon induk atau stock plant yang baik, yaitu bagian pucuk atau bagian tunas orthotrop;
4)
panjang stek dibuat sekitar 10–15 cm;
5)
daun pada stek dibuang dan disisakan 2–3 helai dan dipotong ½-nya;
6)
stek dimasukkan ke dalam ember plastik berisi air dan diusahakan bagian pangkalnya terendam air;
7)
stek disemai pada polybag atau disediakan sebelumnya di rumah propagasi (metode KOFFCO) atau bedengan dalam sungkup konvensional);
8)
stek sebelum disemai terlebih dahulu diberi hormon perangsang akar (Rootone F atau sejenisnya);
9)
membuat lubang semai pada media dengan menggunakan batang kayu yang bersih agar pada saat penancapan/penyemaian stek, hormon perangsang akar dan bagian pangkal stek tidak rusak akibat gesekan dengan media;
media yang telah kaca dalam boks pada polybag atau plastik (metode
10) stek disemaikan sedalam 1/3 panjang stek, kemudian media dipadatkan ke arah bagian stek;
87
11) penyiraman stek dengan air secukupnya agar terjadi kontak yang baik antara stek yang ditanam dengan media tumbuhnya; 12) menutup boks propagasi atau sungkup plastik dengan rapat sehingga tidak terjadi sirkulasi udara antara bagian dalam dan luar boks propagasi (sungkup); 13) stek dipelihara pada kondisi temperatur udara tidak melebihi 320 C dan kelembaban udara tidak kurang dari 90% dengan cara penyiraman hingga stek berakar seluruhnya (16 minggu); dan 14) menghindari terjadinya penyiraman terlalu basah dan bibit kekeringan karena akan mengakibatkan stek mati. 4.
Pemeliharaan Bibit Kegiatan pemeliharaan bibit stek yang dilakukan meliputi: 1)
penyiraman 2â&#x20AC;&#x201C;3 kali sehari atau sesuai kondisi cuaca,
2)
pemupukan NPK dengan dosis sebesar 10â&#x20AC;&#x201C;15 gram/m2 yang diberikan dalam bentuk larutan dengan frekuensi dua kali seminggu,
3)
pengendalian gulma yang dilakukan secara manual, yaitu gulma pengganggu dicabut atau dibersihkan,
4)
pemangkasan akar yang dilakukan setiap bulan sekali.
Pemangkasan akar bibit terakhir dilakukan dua minggu sebelum bibit diseleksi dan dikemas untuk diangkut ke lokasi penanaman. Pemangkasan akar dilakukan terhadap akarakar bibit yang keluar dari polybag agar pertumbuhan akar tidak menembus ke dalam tanah di luar pot. Pemangkasan akar dapat dilakukan bersamaan dengan pengendalian gulma, sekaligus menyeleksi bibit yang mati dalam polybag.
88
Metode pembiakan vegetatif lain yang dapat dilakukan adalah pencangkokan. Metode ini terutama untuk memenuhi kebutuhan bibit jelutung rawa dengan tinggi lebih dari 1 m dalam waktu yang relatif lebih singkat. Percobaan pembiakan secara vegetatif dengan cara mencangkok 36 cabang jelutung rawa pada berbagai letak cabang pada pohon (bawah, tengah, dan ujung) menghasilkan 100% cabang berhasil tumbuh akar setelah satu bulan pencangkokan. Bibit baru hasil cangkokan dapat dipisahkan dari induknya setelah berumur tiga bulan (Rusmana, 2007). Hal ini seperti terlihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Cangkok pada cabang jelutung rawa
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jelutung rawa untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi dengan sistem agroforestry dapat dikatakan layak untuk dikembangkan ditinjau
89
dari variabel ketersediaan benih, ketersediaan bibit siap tanam, dan teknologi pembibitan.
5.2 Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem
Agroforestry Pola agroforestry yang telah dikembangkan oleh petani lokal di lahan gambut yang mempunyai karakteristik yang spesifik (khas). Pola yang telah dikembangkan oleh petani tersebut dapat dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut. Beberapa aspek penting dalam budi daya jelutung rawa dengan sistem agroforestry yang bersifat khas di lahan gambut tipis telah dilakukan di Desa Mentaren II dan Desa Jabiren, sedangkan di lahan gambut tebal telah dilakukan di Desa Tumbang Nusa dan Kelurahan Kalampangan. Aspek penting budi daya jelutung rawa dengan sistem agroforestry di lahan gambut dangkal (ketebalan gambut 50â&#x20AC;&#x201C;100 cm) oleh petani lokal yang perlu diperhatikan meliputi penyiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Uraian aspek penting tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1.
Penyiapan Lahan Kegiatan ini dilakukan sebelum penanaman yang meliputi penebasan gulma dan pengolahan tanah. Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah tajak, cangkul dan sundak. Petani lokal dalam penyiapan lahan menggunakan tajak (parang bertangkai panjang) yang berfungsi ganda, yaitu selain untuk menebas gulma juga untuk memapas lapisan permukaan tanah 5â&#x20AC;&#x201C;10 cm. Hal ini sekaligus berfungsi sebagai pengolahan tanah minimum. Penyiapan lahan dengan olah tanah minimal menggunakan tajak merupakan usaha petani lokal agar lapisan gambut
90
tidak/sedikit terganggu sehingga lapisan pirit tidak tersingkap. Proses penyiapan lahan yang dilakukan petani lokal adalah tebas-bakar-penyimpukan (pembersihan). Sistem tebas-bakar dilakukan karena cara ini cepat dan murah, walaupun mempunyai dampak negatif yang dapat menyebabkan penurunan permukaan gambut (subsidence). Teknik penyiapan lahan yang dilakukan oleh petani lokal dapat dibedakan menjadi dua: gundukan (tongkongan) dan surjan (Gambar 25). Bagi petani bermodal besar, teknik surjan dibuat sejak awal. Sebaliknya, penggunaan teknik gundukan (tongkongan) banyak dilakukan petani yang bermodal kecil dan selanjutnya mengganti dengan teknik surjan apabila kondisi memungkinkan. Hal ini disebabkan pembuatan surjan membutuhkan biaya yang cukup besar yaitu sekitar Rp1.250,00â&#x20AC;&#x201C;3.500,00 per meter dengan ukuran baluran lebar 3â&#x20AC;&#x201C;6 m dan tinggi 60â&#x20AC;&#x201C;80 cm. Budi daya tanaman sistem agroforestry di lahan gambut tipis idealnya memang menggunakan sistem surjan. Hal ini merupakan salah satu upaya mengatasi pengaruh luapan air pasang dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan sehingga selain padi dapat ditanam jenis tanaman lainnya yang tidak tahan genangan.
91
Gambar 25. Penyiapan lahan teknik gundukan (kiri) dan surjan (kanan)
Tahap 1. Pembuatan bagian tabukan (sunken beds) dan guludan (raised beds)
Tahap 2. Pembuatan parit keliling ukuran 50â&#x20AC;&#x201C;100 cm dan tata air mikro
Tahap 3. Penanaman tanaman penyusun sistem agroforestry pada bagian tabukan untuk tanaman tahan genangan dan pada bagian guludan untuk tanaman tidak tahan genangan.
Gambar 26. Tahapan penyiapan lahan dengan teknik surjan (Muslihat, 2003)
92
Penerapan teknik surjan sangat memungkinkan untuk pengembangan pola tanam dan penganekaragaman jenis komoditas. Pada teknik surjan, lahan dibagi menjadi ď&#x201A;ą80% tabukan (sunken beds) yaitu bagian lahan yang lebih rendah, dan ď&#x201A;ą20% bagian guludan/tembokan/baluran (raised beds) yaitu bagian lahan yang lebih tinggi. Bagian tabukan biasanya ditanami padi atau tanaman tahan genangan lainnya, sedangkan bagian guludan ditanami karet, jelutung, palawija, tanaman buah-buahan dan/atau hijauan makanan ternak (HMT). Tahapan penyiapan lahan dengan teknik surjan seperti pada Gambar 26 (Muslihat, 2003). 2.
Pengelolaan Kesuburan Tanah Kegiatan ini menyangkut cara-cara peningkatan kesuburan dan upaya pelestarian produktivitas lahan. Sumber hara untuk tanaman diperoleh dengan cara mengolah jerami hasil panen padi dan gulma dengan cara puntal sebar. Teknik ini merupakan bentuk kearifan lokal petani setempat dalam memperoleh sumber hara bagi tanaman budi daya. Hal ini dilakukan dengan cara memuntal (menggulung) jerami dan gulma hasil dari penyiangan pada salah satu tahapan kegiatan persiapan lahan dalam bercocok tanam padi sawah. Pemuntalan dilakukan setelah gulma layu yaitu dengan mengumpulkan gulma menjadi satu gulungan yang berbentuk gundukan-gundukan kecil. Proses pembuatan pupuk organik sistem puntal sebar: 1)
pembersihan atau penyiangan gulma menggunakan alat tajak,
2)
gulma yang telah ditebas dibiarkan selama 2â&#x20AC;&#x201C;3 hari supaya layu,
93
3)
kegiatan pemuntalan dilakukan terhadap gulma yang sudah layu,
4)
penyebaran secara merata bahan yang telah hancur (lapuk).
Bentuk kearifan lain yang dilakukan petani lokal dalam mengelola kesuburan lahan dalam budi daya padi adalah cara pemindahan bibit sebanyak tiga kali (taradak, lacak dan ampak). Selain untuk mempertahankan kesuburan tanah, cara ini juga sebagai upaya mengantisipasi kurangnya tenaga kerja. Pemanfaatan jerami padi dan tebasan gulma sebagai bahan organik berfungsi untuk menyimpan unsur hara yang secara perlahan akan dilepaskan ke dalam air tanah untuk dimanfaatkan tanaman (slow release fertilizer). Selain itu, bahan organik hasil puntal sebar yang berada di dalam dan di atas permukaan tanah berfungsi untuk melindungi dan membantu mengatur suhu dan kelembaban tanah. Praktik puntal sebar ini seringkali digabungkan dengan teknik-teknik lain dengan fungsi yang saling melengkapi; misalnya pengolahan tanah, pengumpulan air (sistem tabat) dan pembuatan baluran (pematang). Kearifan petani dalam memanfaatkan limbah hasil panen dan gulma sebagai bahan organik bersifat spesifik untuk tiap-tiap individu petani. Secara umum, hal tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat: (1) memberikannya langsung ke tanah, baik itu sebagai mulsa pada permukaan tanah maupun dipendam dalam tanah; (2) membakar bahan organik (mengakibatkan mineralisasi) dan abu hasil pembakaran tersebut berfungsi sebagai bahan amelioran yang cepat dan murah; (3) mengomposkan bahan organik
94
tersebut dengan teknik puntal sebar; dan (4) menjadikannya sebagai pakan ternak, selanjutnya kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk kandang. 3.
Pengelolaan Air Kegiatan ini dilakukan oleh petani lokal yang meliputi pembuatan saluran keliling dan sistem tabat. Sistem tabat dilakukan petani lokal untuk mempertahankan muka air selama musim tanam (lacak) yaitu sekitar bulan Maretâ&#x20AC;&#x201C;April. Tabat dibuka pada akhir musim kemarau atau menjelang musim hujan untuk mengeluarkan unsur pencemar (Al, Fe, H2S).
4.
Pola Tanam Sistem agroforestry berbasis jenis jelutung rawa yang telah dilakukan oleh petani lokal dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan lebih lanjut. Pola tanam yang telah dikembangkan oleh petani lokal tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) agrosilvofishery, (2) mixed cropping, dan (3) alleycropping. Tabel 7 menjelaskan ketiga pola tersebut.
95
Tabel 7. Pola agroforestry yang telah berkembang di lahan gambut dangkal Pola
Agroforestry Alley cropping dengan teknik gundukan (tongkongan).
Alley cropping dengan teknik surjan.
Agrosilvofishery dengan teknik surjan.
Deskripsi Singkat (Susunan Komponen)
Komponen Utama
Tanaman padi ditanam pada lorong yang terbentuk dari baris tanaman pohon yang ditanam dengan teknik gundukan (tongkongan).
Pohon: karet, jelutung. Tanaman semusim: padi lokal/tahun.
Lahan dibagi menjadi tabukan yang ditanami padi lokal (padi tahun) dan bagian guludan yang ditanami tanaman keras (karet dan/atau jelutung).
Pohon: karet, jelutung. Tanaman semusim: padi lokal (tahun).
Lahan dibagi menjadi tabukan yang berfungsi sebagai kolam ikan peliharaan maupun beje (kolam perangkap ikan) dan bagian guludan yang ditanami tanaman keras (jelutung, durian, gaharu, karet, dan mangga kueni) dan tanaman buah-buahan (salak pondoh).
Pohon: karet, jelutung, gaharu, mangga kueni, dan durian. Tanaman buahbuahan: salak pondoh. Kolam ikan dan beje.
Aspek penting budi daya jelutung rawa dengan sistem agroforestry di lahan gambut tebal (ketebalan gambut 200â&#x20AC;&#x201C;300 cm) meliputi penyiapan lahan, penanaman, pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Uraian kelima aspek penting tersebut adalah sebagai berikut.
96
1.
Penyiapan Lahan Penyiapan lahan merupakan aspek paling penting dalam budi daya tanaman sistem agroforestry di lahan gambut tebal. Penyiapan lahan dilakukan dengan membagi lahan dalam petakan-petakan dengan parit sebagai pembatas antar petakan (teknik petak berparit). Pembuatan parit berfungsi ganda yaitu sebagai pengelolaan tata air dan sebagai sekat bakar, terutama untuk api bawah tanah. Adanya parit dapat mempertahankan muka air tanah (lengas tanah) antara 60â&#x20AC;&#x201C;100 cm dari permukaan tanah sehingga memberi peluang akar tanaman dapat tumbuh dengan baik (drainase dan aerasi tanah berlangsung dengan baik). Ukuran parit yang digunakan untuk luas lahan 1 ha adalah 50â&#x20AC;&#x201C;100 cm untuk lebar dan kedalaman parit. Nenas ditanam di sekeliling parit drainase dengan maksud untuk memadatkan tanah di sekitar parit agar tidak mudah longsor, sebagai sekat bakar hijau terutama untuk api permukaan, dan membantu mencegah masuknya gulma ke lahan budi daya. Menurut Noor (2001), kendala dalam budi daya tanaman di lahan gambut adalah rendahnya kerapatan lindak (bulk density) dan kecilnya daya dukung tanah sehingga tanaman menjadi mudah rebah dengan semakin meningkatnya bobot tanaman di atas tanah. Peningkatan daya dukung tanah memerlukan pemadatan, khususnya pada mintakat perakaran atau jalur tanaman. Teknik pemadatan yang dilakukan oleh petani lokal secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua: menggunakan vegetasi, dan pemadatan yang dilakukan di dalam lubang tanam. Vegetasi yang biasa digunakan untuk kegiatan pemadatan tanah adalah nenas dan ubi kayu. Namun demikian ada beberapa petani yang tidak menggunakan
97
nenas untuk keperluan pemadatan tanah dengan alasan akar nenas sukar membusuk. Tanaman ubi kayu mempunyai ketahanan terhadap keasaman yang tinggi dan dapat berfungsi untuk mempercepat proses pematangan gambut (Muslihat, 2003). Profil parit drainase yang multi fungsi dan pemanfaatan tanaman ubi kayu untuk membantu mempercepat proses pemadatan tanah dan kematangan gambut seperti pada Gambar 27.
Gambar 27. Profil parit drainase dan tanaman nenas (kiri) serta tanaman ubi kayu untuk mempercepat pematangan gambut dan pemadatan tanah (kanan)
2.
Penanaman Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman jelutung rawa di lahan gambut adalah pembuatan lubang tanam dan kondisi bibit yang siap tanam. Teknik pembuatan lubang tanam yang umum dilakukan para praktisi di lapangan (seperti pada Gambar 28), yaitu: (1) lokasi lubang tanam dibersihkan dari vegetasi yang tumbuh di atasnya;
98
(2) mengambil/membuang akar pakis pada titik tanam agar akar bibit langsung kontak dengan lapisan gambut dan mencacah gambut agar menjadi kompak (padat) sehingga tidak ada rongga udara; (3) membuat lubang tanam seukuran dengan polybag yang akan ditanam; (4) melakukan perobekan polybag hanya pada permukaan bawah tanpa melepaskannya dari bibit, dengan tujuan agar lengas tanah media bibit tidak pecah pada saat terjadi fluktuasi karena belum menyatu dengan gambut di lapangan; (5) memasukan polybag ke dalam lubang tanam yang sudah dibuat dengan posisi ujung atas polybag sejajar dengan permukaan tanah dan bagian bawah polybag menyentuh lapisan gambut bukan akar pakis; (6) memadatkan gambut di sekitar polybag yang telah ditanam agar menyatu dengan tanah di lapangan. Kondisi bibit jelutung rawa yang siap ditanam di lapangan adalah yang batangnya sudah mengalami proses pengerasan (hardening) dan pada bagian tunasnya sedang dalam kondisi dorman (resting), yang ditandai dengan bagian pucuk masih berupa pentol bukan kuncup daun muda. Hal ini penting untuk diperhatikan karena bibit yang masih dalam kondisi kuncup daun muda akan cenderung mudah layu pada saat ditanam di lapangan. Keadaan layu tersebut sering berlanjut sampai kematian bibit di lapangan.
99
Bersihkan permukaan gambut dan vegetasi/gulma (pakispakis, kelakai)
Robek permukaan bawah polybag, sehingga akar terlihat
Cacah/cincang pada titik tanam agar gambut menjadi lebih kompak/tidak terdapat rongga
Masukkan bibit pada lubang tanam yang sudah dibuat
Buat lubang tanam sesuai dengan ukuran polybag yang akan ditanam
Padatkan gambut di sekitar bibit yang sudah ditanam
Gambar 28. Teknik penanaman bibit jelutung rawa di lahan gambut tebal (Sumber: Santosa, 2008)
100
Sebelum ditanam di lapangan, bibit harus diaklimatisasikan dulu agar dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan penanaman. Tinggi bibit yang akan ditanam harus lebih tinggi dari genangan (saat genangan tertinggi) sehingga bibit tidak tenggelam. Proses aklimatisasi bibit seperti ditunjukkan pada Gambar 29.
Gambar 29. Kondisi bibit siap tanam (gambar kiri yang berdiri tegak) dan proses aklimatisasi bibit jelutung rawa (kanan)
3.
Pengelolaan Kesuburan Tanah Pemberian bahan amelioran merupakan hal yang sangat penting untuk memperbaiki kondisi lahan. Bahan amelioran yang umum digunakan oleh petani lokal adalah kapur, tanah mineral dan abu hasil pembakaran rumput, serta serasah. Setelah panen tanamam pertanian, petani lokal akan mengistirahatkan (memberakan) lahannya beberapa waktu (6 bulan hingga 1 tahun) agar lahan ditumbuhi rumput. Saat penyiapan lahan berikutnya, rumput dibesik (dipapas menggunakan cangkul dengan menyertakan gambut yang menempel pada perakaran rumput), dan selanjutnya dibakar
101
untuk memperoleh abu sebagai bahan amelioran (Gambar 30). Selain menggunakan bahan amelioran, pengelolaan kesuburan tanah oleh petani lokal juga dilakukan dengan cara membagi lahan ke dalam petakan-petakan. Hal ini dimaksudkan agar lahan yang sama tidak berulang kali ditanami. Penanaman dilakukan pada masing-masing petak secara bergilir sehingga dapat mengurangi laju penurunan permukaan gambut (amblesan) pada satu lokasi.
Gambar 30. Proses pembuatan abu amelioran. Lahan diberakan setelah panen (kiri atas). Rumput dibesik, dikumpulkan dan dibakar sampai jadi abu (kanan atas). Pendangiran tanah dan pembuatan bedeng tanam (kiri bawah). Pemberian abu dalam lubang tanam untuk tanaman semusim (kanan bawah)
102
4.
Pengelolaan Air Pengaturan lengas tanah dilakukan dengan membuat parit drainase yang mengelilingi lahan. Ukuran parit drainase sebelah luar (keliling) lahan adalah 50â&#x20AC;&#x201C;100 cm untuk lebar dan kedalaman, sedangkan parit dalam berukuran 30â&#x20AC;&#x201C;50 cm untuk lebar dan kedalamannya. Selain parit drainase, petani juga membuat sumuran berukuran 1 m2 dengan kedalaman 2 m sebagai sumber air untuk keperluan menyiram tanaman semusim. Bagi petani bermodal besar; selain sumuran, mereka juga telah membuat sumur bor sebagai sumber air untuk mengantisipasi musim kemarau. Profil sumuran dan penyiraman tanaman semusim dengan mesin pompa air seperti pada Gambar 31.
Gambar 31. Profil sumur dan penyiraman dari sumur pompa sebagai sumber air di musim kemarau
5.
Pola Tanam Sistem agroforestry yang telah dilakukan petani lokal di lahan gambut tebal seperti terdapat pada Tabel 8.
103
Tabel 8. Pola agroforestry yang telah berkembang di lahan gambut dalam Pola
Agroforestry Mixed cropping dengan teknik petak berparit
Alley cropping dengan teknik petak berparit
Deskripsi Singkat (Susunan Komponen)
Komponen Utama
Lahan budi daya dikelilingi parit drainase dengan ukuran 50â&#x20AC;&#x201C; 100 cm untuk lebar dan kedalamannya. Tanaman yang ditanam adalah rambutan dan jelutung rawa yang ditanam per jalur secara selang-seling. Jarak tanam rambutan dan jelutung 7 x 7 m. Nenas ditanam di sekeliling parit drainase.
Pohon: jelutung rawa dan rambutan. Tanaman semusim: nenas.
Lahan dibagi kedalam petakpetak yang dibatasi parit kecil (saluran â&#x20AC;&#x153;cacingâ&#x20AC;?). Petak dengan luas lebih sempit untuk menanam pohon, sedangkan yang lebih luas untuk menanam tanaman pangan.
Pohon: jelutung rawa. Tanaman semusim: sayur-sayuran (jagung, sawi, kacang panjang, daun bawang, dll).
Pengembangan jenis jelutung dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah diprioritaskan pada lahan gambut yang telah dikonversi tetapi kurang sesuai untuk tanaman pertanian dan perkebunan. Pengembangannya berdasarkan sistem agroforestry yang telah dikembangkan oleh petani lokal, antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan teknik wanatani (agroforestry),
104
wanamina (silvofishery), wanaternak (silvopasture), maupun kombinasinya: tanaman semusim-pohon-ternak (agrosilvopasture) atau tanaman semusim-pohon-ikan (agrosilvofishery), tergantung dari sumber daya dominan yang terdapat di lokasi pengembangan. Penerapan teknik agroforestry pada pengembangan jenis jelutung rawa dimaksudkan untuk diversifikasi komoditas, usaha, dan pendapatan sehingga akan dapat meningkatkan minat petani untuk membudidayakan jelutung rawa yang berjangka panjang. Pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry harus melalui suatu kegiatan diagnostik untuk melihat kebutuhan masyarakat dan designing untuk memolakan pertanamannya melalui partisipasi aktif agar bisa dipraktikkan oleh petani setempat. Berdasarkan sistem agroforestry yang telah dikembangkan oleh petani lokal maka dapat dibuat pola-pola pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry di lahan gambut seperti tercantum pada Tabel 9 dan Tabel 10.
105
Tabel 9. Sistem silvopastoral dan agrisilvopastoral berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut Pola
Agroforestry
Deskripsi singkat (susunan komponen)
Komponen Utama
Kesesuaian Agroekologis
Jelutung rawa dan tanaman HMT
Daerah penggembalaan yang ekstensif.
Sistem Silvopastoral 1. Jelutung pada ranch atau padang rumput
Jelutung rawa tersebar tidak teratur atau tersusun dengan sebaran tertentu.
Sistem Agrosilvopastoral 1. Apikultur dengan pepohonan
Jelutung rawa, galam, karet, rambutan untuk sumber tepungsari bagi lebah madu
Jelutung rawa, galam, karet, rambutan, jagung dan lebah madu
Tergantung kepada kesesuaian dari apikultur.
2. Aquaforestry atau
Jelutung rawa ditanam ditepi kolam ikan.
Jelutung rawa dan tanaman yang disukai ikan.
Lahan gambut dengan kualitas air yang sesuai dengan ikan.
Agrosilvofishery
106
Tabel 10. Sistem agrosilvikultur berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut
Agroforestry
Pola
Deskripsi singkat (susunan komponen)
Komponen Utama
Kesesuaian Agroekologis
1. Pengayaan lahan bekas perladangan
Jelutung rawa dan karet ditanam agar tumbuh pada fallow phase.
Jelutung rawa, karet dan padi tahun
Pada lahan perladangan berpindah.
2. Tumpangsari
Pencampuran tegakan dengan tanaman pertanian pada awal pertanaman.
Jelutung rawa, karet, pisang dan padi tahun
Pada pola suksesi dari pertanaman padi menjadi perkebunan.
3. Alley cropping
Jelutung sebagai pagar, tanaman pertanian di antaranya; susunan baris.
Jelutung rawa, rambutan, pisang, karet, ketela pohon, tanaman sayuran dan padi tahun
Lahan gambut dengan tekanan populasi penduduk (produktif tapi rentan).
4. Multilayer Multi species, tree garden kelompok tanaman
Jelutung rawa, karet, durian, pisang, rambutan dan tanaman semusim tahan naungan
Lahan gambut subur, murah tenaga kerja dan tekanan penduduk besar.
5. Tanaman serbaguna pada lahan pertanian
Jelutung, karet, tanaman buah, HMT dan tanaman pertanian pada umumnya
Pada daerah pertanian subsisten dan ternak.
dengan tajuk rapat tanpa susunan yang jelas.
Jelutung rawa tersebar sembarangan atau tanaman batas lahan dan teras.
107
6. Pekarangan Rapat; kombinasi (Home multi tajuk: jelutung garden) dan tanaman pertanian di sekitar tempat tinggal.
Jelutung, tanaman merambat, dan tanaman pertanian tahan naungan
Lahan gambut dengan populasi penduduk padat.
7. Jelutung untuk konservasi dan reklamasi tanah
Jelutung, karet pada tepi teras, pelindung dll.; dengan atau tanpa baris rumput, tanaman kayu pada reklamasi tanah.
Jelutung rawa, karet dan tanaman pertanian pada umumnya
Pada lahan gambut tebal yang terlanjur dikonversi menjadi lahan pertanian.
Penggabungan multitajuk (campuran, rapat); pencampuran tanaman pertanian. a. Pencampuran tanaman pertanian dengan pola berseling atau susunan teratur yang lain. b. Pohon peneduh yang tersebar untuk tanaman pertanian. c. Intercropping dengan tanaman pertanian.
Jelutung rawa, karet, rambutan, dan tanaman semusim tahan naungan
Pada pertanian subsisten dengan lahan yang terbatas.
Jelutung rawa dan tanaman pertanian setempat
Pada daerah yang berangin.
8. Plantations
crop combinations.
9. Selterbelts,
Jelutung rawa pada
windbreaks, sekeliling lahan pagar hidup pertanian.
108
5.3 Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai sistem agroforestry yang telah dikembangkan oleh petani lokal secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut. 5.3.1
Plot penelitian di Kelurahan Kalampangan Pada
plot ini jelutung dibudidayakan dengan pola alleycropping. Tanaman semusim seperti jagung, sawi, kacang tanah, kacang panjang, cabe, dan daun bawang ditanam di antara dua jalur tanaman jelutung. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 32.
Gambar 32. Rata-rata tinggi batang dan diameter batang jelutung rawa umur 6 tahun (atas) dan umur 5,25 tahun (bawah) pola alleycropping di Kelurahan Kalampangan
109
Gambar 32 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 6 tahun terendah terdapat pada Petak A dengan rata-rata tinggi 541,8 cm, sedangkan yang tertinggi pada Petak B dengan rata-rata tinggi 682,1 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 6 tahun terkecil terdapat pada Petak C dengan rata-rata diameter 8,91 cm, sedangkan yang terbesar pada Petak D dengan ratarata diameter 11,52 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 6 tahun pada plot penelitian ini mencapai 102,86 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 1,73 cm per tahun. Gambar 32 juga menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 5,25 tahun terendah terdapat pada Petak F dengan rata-rata tinggi 375,6 cm, sedangkan yang tertinggi pada Petak I dengan rata-rata tinggi 567,8 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5,25 tahun terkecil terdapat pada Petak G dengan rata-rata diameter 7,5 cm, sedangkan yang terbesar pada Petak E dengan rata-rata diameter 10,16 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,25 tahun pada plot penelitian ini mencapai 86,55 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 1,66 cm per tahun. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi sebanyak 672 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak 18,01% adalah sulaman dan 9,67% terserang penggerek batang. Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang ditanam di plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%. Persen hidup tanaman yang sering digunakan sebagai indikator keberhasilan tanaman yang berlaku pada proyek penghijauan dan rehabilitasi hutan adalah 80%.
110
5.3.2
Plot penelitian di Desa Tumbang Nusa
Pada plot ini, jelutung dibudidayakan dengan pola mixed cropping. Tanaman yang ditumpangsarikan dengan jelutung rawa adalah rambutan dan nenas. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 33.
Gambar 33. Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) per jalur dari jelutung rawa umur 5,3 tahun pola mixed cropping di Tumbang Nusa
Gambar 33 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 5,3 tahun terendah terdapat pada Jalur 4 dengan rata-rata tinggi 547,9 cm, sedangkan yang tertinggi pada Jalur 3 dengan rata-rata tinggi 666,1 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5,3 tahun terkecil terdapat pada Jalur 4 dengan rata-rata diameter 8,69 cm, sedangkan yang terbesar pada Jalur 1 dengan rata-rata diameter 12,41 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,3 tahun pada plot penelitian ini mencapai 116,03 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 1,96 cm per tahun.
111
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi sebanyak 126 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak 30,16% adalah sulaman dan 4,76% terserang penggerek batang. Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang ditanam di plot penelitian ini kurang dari 80%. Kematian jelutung rawa yang tinggi pada plot ini disebabkan oleh banjir yang melanda. Banjir tersebut menyebabkan banyak tanaman yang mati karena lama tenggelam pada tahun-tahun awal penanaman.
5.3.3
Plot penelitian di Desa Jabiren
Pada plot ini, jelutung dibudidayakan dengan pola mixed cropping. Tanaman yang ditumpangsarikan dengan jelutung rawa adalah karet Klon PB 260.
Gambar 34. Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) jelutung rawa umur 5,25 tahun per jalur pola mixcropping di Desa Jabiren
Gambar 34 menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 5,25 tahun terendah terdapat pada Jalur 5 dengan rata-rata tinggi 570,9 cm, sedangkan yang
112
tertinggi pada Jalur 1 dengan rata-rata tinggi 804,4 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5,25 tahun terkecil terdapat pada Jalur 4 dengan rata-rata diameter 8,74 cm, sedangkan yang terbesar pada Jalur 1 dengan rata-rata diameter 11,42 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 5,25 tahun pada plot penelitian ini mencapai 127,94 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 1,92 cm per tahun. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari populasi sebanyak 300 batang jelutung rawa yang ditanam, sebanyak 10,92% adalah sulaman dan 16,72% terserang penggerek batang. Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang ditanam di plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%.
5.3.4
Plot penelitian di Desa Mentaren II
Pada plot ini jelutung dibudidayakan dengan tiga macam pola: (1) agrosilvofishery dengan komponen penyusun: salak, durian, gaharu dan kolam ikan; (2) alleycropping dengan komponen penyusun: jeruk dan padi; (3) mixcropping dengan komponen penyusun: karet dan padi. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada plot ini tersaji pada Gambar 35. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun dengan pola agrosilvofishery terendah terdapat pada baluran 6 dengan ratarata tinggi 695,2 cm, sedangkan yang tertinggi pada Jalur 1 dengan rata-rata tinggi 834 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun terkecil terdapat pada Baluran 6 dengan rata-rata diameter 8,94 cm, sedangkan yang terbesar pada Baluran 1 dengan rata-rata diameter 11,07 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun pada pola ini adalah
113
111,13 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 1,49 cm per tahun. Pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun dengan pola alleycropping terendah terdapat pada Baluran 3 dengan rata-rata tinggi 676,1 cm, sedangkan yang tertinggi pada Baluran 5 dengan rata-rata tinggi 813,3 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun terkecil terdapat pada Baluran 2 dengan rata-rata diameter 12,88 cm, sedangkan yang terbesar pada Baluran 5 dengan rata-rata diameter 15,16 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun pada pola ini adalah 102,31 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 2 cm per tahun. Pertumbuhan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun dengan pola mixed cropping terendah terdapat pada Baluran 5 dengan rata-rata tinggi 554,90 cm, sedangkan yang tertinggi pada Baluran 1 dengan rata-rata tinggi 668,30 cm. Pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 7 tahun terkecil terdapat pada Baluran 4 dengan rata-rata diameter 9,47 cm, sedangkan yang terbesar pada Baluran 7 dengan ratarata diameter 10,86 cm. Riap tinggi jelutung rawa umur 7 tahun pada pola ini adalah 83,08 cm per tahun, sedangkan riap diameternya mencapai 1,45 cm per tahun. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada ketiga pola tersebut di atas, dari jumlah populasi jelutung rawa sebanyak 960 batang yang ditanam, sebanyak 6,63% adalah sulaman dan 8,692% terserang penggerek batang. Hal ini menunjukkan bahwa persen hidup jelutung rawa yang ditanam di plot penelitian ini telah mencapai lebih dari 80%.
114
Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) pada pola agrosilvofishery
Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) pada pola alleycropping
Rata-rata tinggi batang (kiri) dan rata-rata diameter batang (kanan) pada pola mixcropping Gambar 35. Performansi pertumbuhan jelutung rawa umur 7 tahun di Desa Mentaren II
115
Gambar 36 menampilkan data persen hidup dan serangan penggerek batang pada jelutung yang ditanam pada beberapa tipologi lahan gambut. Sedangkan Gambar 37 menampilkan riap pertumbuhan tanaman jelutung rawa pada beberapa pola tanam di lahan gambut.
Gambar 36. Persen sulaman (kiri) dan % serangan penggerek batang (kanan)
Gambar 36 menjelaskan bahwa persentase sulaman tertinggi terdapat pada jelutung rawa yang ditanam di Desa Tumbang Nusa sebesar 30,16% dan terendah pada jelutung rawa yang ditanam di Desa Mentaren II sebesar 6,63%. Persentase jumlah jelutung rawa yang terserang penggerek batang terbanyak pada Desa Jabiren sebesar 16,72% dan terendah pada Desa Tumbang Nusa sebesar 4,76%. Gambar 37 menampilkan data riap pertumbuhan tinggi batang dan diameter batang jelutung rawa pada beberapa pola tanam di lahan gambut. Riap pertumbuhan tinggi batang tertinggi terdapat pada jelutung rawa yang ditanam dengan pola mixed cropping di Desa Jabiren dengan riap sebesar 127,94 cm per
116
tahun dan terendah di Desa Mentaren II yang di tanam dengan pola mixed cropping. Riap pertumbuhan diameter batang tertinggi terdapat pada jelutung rawa yang ditanam dengan pola alleycropping di Desa Mentaren II dengan riap sebesar 2,15 cm per tahun dan terendah di Desa Mentaren II yang ditanam dengan pola mixed cropping dengan riap sebesar 1,56 cm per tahun.
Gambar 37. Riap per tahun pertumbuhan tinggi batang (atas) dan riap pertumbuhan diameter batang (bawah).
117
Tabel 11 menyajikan data rata-rata diameter batang, tinggi batang, riap pertumbuhan diameter batang dan riap tinggi batang jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan pola tanam. Tabel 11. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan sistem agroforestry di Provinsi Kalimantan Tengah Performansi Pertumbuhan Jelutung (cm) Lokasi, Tipologi Lahan dan Umur Pola Tanam (tahun) Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam, alleycropping I dengan teknik petak berparit Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam, alleycropping II dengan teknik petak berparit Desa Tumbang Nusa, lahan gambut dalam, mixcropping dengan teknik petak berparit Desa Jabiren, lahan gambut dangkal, mixcropping dengan teknik surjan Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, agrosilvofishery teknik surjan Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, alleycropping teknik surjan Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, mixcropping teknik surjan Rata-rata
118
Rata-rata Diameter
Riap DB /tahun
Rata-rata Tinggi
Riap Tinggi /tahun
6,00
10,39
1,73
617,13
102,86
5,25
8,69
1,66
454,38
86,55
5,30
10,11
1,96
626,70
116,03
5,25
10,11
1,92
671,70
127,94
6,50
11,03
1,60
800,60
120,00
6,50
13,98
2,15
716,18
110,18
6,50
10,15
1,56
581,58
89,47
5,9
10,64
1,80
638,32
107,58
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa riap tinggi tanaman jelutung rawa yang ditanam dengan sistem agroforestry pada berbagai tipologi lahan gambut adalah 86,55–127,94 cm per tahun, sedangkan riap diameternya adalah 1,56–2,15 cm per tahun. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan jelutung rawa pada kondisi alaminya di Pulau Sumatra, riap diameter jelutung rawa sekitar 1,5–2,0 cm/tahun (Bastoni & Riyanto, 1999). Jelutung rawa yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi intensif di Pulau Sumatra dapat diperoleh riap diameter 2,0–2,5 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil pengukuran pertumbuhan jelutung umur 9 tahun yang dilakukan oleh Balittaman Palembang pada tahun 2001 memperoleh data riap tinggi sekitar 164–175 cm/tahun dan riap diameter sekitar 2,18–2,38 cm/tahun (Bastoni, 2001). Perbedaan riap pertumbuhan jelutung rawa di Pulau Sumatra yang lebih tinggi dari pertumbuhan jelutung rawa yang dibudidayakan dengan sistem agroforestry pada penelitian ini disebabkan kondisi lahan gambut yang lebih subur. Performansi pertumbuhan jelutung rawa yang ditanam secara monokultur seperti tersaji pada Tabel 12. Tabel 12. Performansi monokultur
pertumbuhan
Parameter Umur tanaman (tahun)
jelutung
rawa
pola
Lokasi Jabiren I Jabiren II Hampangin
tanam
Tumbang Nusa
8,00
20,00
10,00
6,00
1.360,00
2.150,00
1.070,00
752,90
Rata-rata diameter (cm)
5,60
20,50
12,10
11,82
Riap diameter/tahun (cm)
0,72
1,03
1,21
1,97
170,00
107,50
107,00
125,48
Rata-rata tinggi (cm)
Riap tinggi/tahun (cm)
119
Gambar 38 menampilkan data riap pertumbuhan tanaman jelutung rawa yang ditanam secara monokultur di Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan data pada Tabel 8 diketahui bahwa pertumbuhan tanaman jelutung rawa yang ditanam secara monokultur menghasilkan riap tinggi sekitar 107â&#x20AC;&#x201C;170 cm per tahun, sedangkan riap diameter sekitar 0,72â&#x20AC;&#x201C;1,97 cm per tahun.
Gambar 38. Riap tinggi batang (kiri) dan riap diameter batang (kanan) tanaman jelutung rawa yang ditanam secara monokultur
Berdasarkan Gambar 37 dan Gambar 38 diketahui bahwa riap pertumbuhan jelutung rawa yang ditanam dengan sistem agroforestry lebih rendah dibandingkan dengan riap pertumbuhan jelutung rawa yang ditanam dengan sistem monokultur. Hal ini disebabkan pada kasus jelutung rawa yang ditanam dengan karet, penanamannya dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Akibatnya, karetâ&#x20AC;&#x201C;yang tumbuhnya lebih cepatâ&#x20AC;&#x201C;cenderung menaungi jelutung rawa. Padahal, jenis ini merupakan jenis yang memerlukan cahaya matahari penuh mulai pertumbuhan tingkat
120
tiang. Sementara itu pada kasus jelutung yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim, gangguan berupa pengolahan lahan dan pembakaran untuk memperoleh abu diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan jelutung rawa. Hasil penelitian Indrayatie & Suyanto (2009) menunjukkan bahwa pada aspek topografis, jelutung rawa menyukai bentuk lahan dataran, yaitu wilayah yang memiliki air tanah dangkal (baik yang terendam secara permanen maupun musiman), elevasi dataran rendah (<100 m dpl.); hidup di tempat terbuka tanpa naungan maupun berasosiasi dengan vegetasi lain. Pada aspek edafis, jelutung rawa dapat hidup pada tanah mineral (alluvial) ataupun tanah organik. Kondisi ini dipresentasikan untuk daerah subsistem alluvio-marine seperti daerah rawa (swamp), paya pasang surut (marsh), delta, tidal flat; daerah subsistem alluvial seperti daerah banjir (flood plain), jalur meander (meander belt); daerah subsistem alluvio-colluvial seperti daerah cekungan terisolasi (isolated miniplain); daerah subsistem closed alluvial seperti daerah rawa tanpa pengaruh air laut (swamp or marsh without marine influence). Uraian di atas menjelaskan bahwa pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi layak untuk dilakukan berdasarkan parameter kelayakan teknis.
121
122
Bab VI KELAYAKAN AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA 6.1 Kriteria dan Penilaian Kelayakan Agroforestry Jelutung Rawa Kelayakan pengembangan jelutung rawa dengan sistem sebagai upaya memulihkan lahan gambut terdegradasi dianalisis menggunakan kriteria Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Unggulan sesuai Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.21/Menhut-II/2009. Berdasarkan peraturan tersebut, penentuan tingkat keunggulan mencakup kriteria: ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan teknologi. Kelima kriteria tersebut seperti uraian berikut (Dephut, 2009b).
agroforestry
1.
Kriteria Ekonomi Kriteria ekonomi merupakan aspek yang mengukur besaran ekonomi dari getah jelutung. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan tujuh indikator: (1) nilai perdagangan ekspor, (2) nilai perdagangan lokal, (3) lingkup pemasaran, (4) potensi pasar internasional, (5) mata rantai pemasaran, (6) cakupan pengusahaan, dan (7) investasi usaha. Nilai perdagangan ekspor getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh dua perusahaan, yaitu PT Sumber Alam Sejahtera (PT SAS) dan PT Sampit mencapai lebih dari US$1 juta per tahun. Nilai ekspor getah jelutung oleh PT SAS mencapai US$700,000.00 per tahun dan PT Sampit mencapai US$648,000.00 per tahun (nilai kurs Rp10.000,00). Nilai tersebut termasuk kategori tinggi (nilai 3) karena nilai ekspor yang mencapai Rp10 milyar per
123
tahun dianggap sudah dapat menggerakkan perekonomian masyarakat dan kabupaten/kota pengekspor getah jelutung. Tabel 13 mencantumkan realisasi ekspor getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah. Nilai perdagangan lokal getah jelutung untuk PT SAS mencapai 4 milyar rupiah per tahun, sedangkan untuk PT Sampit mencapai 9,9 milyar rupiah per tahun. Gambar 39 mencantumkan produksi getah jelutung oleh PT SAS per bulan selama tiga tahun (2007â&#x20AC;&#x201C;2009). Gambar 40 mencantumkan rata-rata produksi getah jelutung per bulan untuk Kabupaten Kotawaringin Barat (Pangkalan Bun). Gambar 41 mencantumkan produksi getah jelutung menjadi bahan baku setengah jadi pada tahun 2008 di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Lingkup pemasaran getah jelutung mencakup pasar internasional, nasional dan lokal. Pasar internasional dengan negara tujuan ekspor: Singapura, Jepang, dan Prancis. Potensi pasar internasional menunjukkan tingkat permintaan komoditas getah jelutung di pasaran internasional. Potensi pasar internasional getah jelutung termasuk dalam kategori tinggi yaitu diminta lebih dari tiga negara. Hal ini menunjukkan pasar getah jelutung belum jenuh dan belum mampu memenuhi pesanan. Mata rantai pemasaran menunjukkan tingkat kompleksitas rantai pemasaran (market chain) dan saluran pemasaran (market channel). Pada aspek ini getah jelutung termasuk dalam kategori sedang (nilai 2) karena pemasarannya sudah melibatkan berbagai pihak: masyarakat pengumpul, pengusaha UMKMK, dan pemerintah; namun belum melibatkan pengusaha besar (industri). Cakupan pengusahaan menunjukkan perkembangan industri dalam upaya meningkatkan nilai tambah (value added).
124
Cakupan pengusahaan getah jelutung mempunyai nilai 2 karena hanya meliputi industri hulu dan tengah (barang setengah jadi). Investasi usaha menunjukkan bahwa melalui investasi, komoditas getah jelutung mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi pertumbuhan ekonomi. Pada indikator investasi usaha, pengusahaan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk kategori sedikit (nilai 2) karena terdapat kurang dari lima dunia usaha yang berinvestasi, yaitu hanya ada dua perusahaan (PT SAS dan PT Sampit). Tabel 13. Realisasi ekspor getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
Volume (ton)
Nilai (USD)
2000
96
476,800.00
2001
128
2002
Harga ratarata/kg (US$)*
Negara Tujuan Ekspor
4,966.70
0.50
Jepang
587,840.00
4,592.50
0.50
Jepang
176
792,000.00
4,500.00
0.45
Jepang
2003
192
902,400.00
4,700.00
4.70
Jepang
2004
192
902,400.00
4,700.00
4.70
Jepang
2005
176
827,200.00
4,700.00
4.70
Jepang
2006
176
827,200.00
4,700.00
4.70
Jepang
Jumlah
1.136
Rata-rata
Nilai Ratarata/ton (US$)
162,29
Keterangan: * Harga di tingkat buyer luar negeri Sumber: Karyono (2008)
125
Gambar 39. Produksi getah jelutung oleh PT SAS di Kota Palangkaraya
Gambar 40. Produksi getah jelutung di Kabupaten Kotawaringin Barat tahun 2009
126
Gambar 41. Produksi getah jelutung menjadi bahan baku setengah jadi pada tahun 2008 di Kabupaten Kotawaringin Timur
2.
Kriteria Biofisik dan Lingkungan Biofisik dan lingkungan merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan jenis jelutung. Indikator yang perlu dipertimbangkan adalah (1) potensi tanaman, (2) penyebaran, dan (3) status konservasi. Ketiga indikator tersebut sangat memengaruhi kemudahan pengembangan lebih lanjut. Potensi jelutung menunjukkan tingkat kelimpahan (abundance) jenis di alam yang diukur sebagai persentase antara jumlah pohon per hektar terhadap kondisi tegakan normal. Dalam hal ini, tegakan normal diasumsikan 100 pohon per ha untuk pohon pada hutan alam. Jenis jelutung memiliki potensi tinggi (nilai 3) jika populasinya berjumlah >60% dari populasi normal, potensi sedang (nilai 2) jika
127
populasi komoditas tersebut berjumlah 40â&#x20AC;&#x201C;60% dari populasi normal dan potensi rendah (nilai 1) jika populasinya <40% dari populasi normal. Data populasi pohon jelutung di alam didekati dari jumlah pohon jelutung yang disadap oleh para regu kerja. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa regu kerja penyadap getah jelutung, pada setiap jalur sadap (panjang 1â&#x20AC;&#x201C;2 km) terdapat pohon jelutung sebanyak 70â&#x20AC;&#x201C;100 batang. Rata-rata setiap regu kerja mempunyai 10 jalur sadap sehingga setiap regu kerja menyadap sekitar 1.000 batang pohon jelutung. Berdasarkan jumlah tersebut, potensi jenis jelutung termasuk dalam kategori rendah (nilai 1) karena populasinya <40% dari populasi normal atau kurang dari 40 pohon per ha. Penyebaran menunjukkan tingkat keberadaan jenis jelutung dalam suatu wilayah (dalam hal ini wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan gambut). Kategori merata (nilai 3) jika komoditas tersebut terdapat di 2/3 wilayah tersebut, kategori cukup merata (nilai 2) jika terdapat di antara 1/3â&#x20AC;&#x201C;2/3 wilayah dan kategori tidak merata (nilai 1) jika terdapat di <1/3 wilayah. Pada tingkat provinsi dihitung kabupaten yang mempunyai lahan gambut, kemudian untuk tingkat kabupaten dihitung jumlah kecamatan yang terdapat tumbuhan alam maupun tanaman jelutung. Kabupaten/kota di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan gambut tercantum pada Tabel 14. Penyebaran tumbuhan alam jelutung hanya tersisa di kawasan-kawasan lindung seperti di kawasan Taman Nasional (TN) Sebangau (Kabupaten Pulang Pisau, Kota Palangkaraya dan Kabupaten Katingan) dan kawasan Suaka
128
Margasatwa (SM) Lamandau (Kabupaten Kotawaringin Barat). Pohon jelutung dari daerah tersebut menjadi sumber pasokan kebutuhan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dengan produktivitas seperti tercantum pada Tabel 15. Tabel 14. Persentase lahan gambut dan nongambut di wilayah kerja BPDAS Kahayan No. Kabupaten/Kota
% Gambut
% nonGambut
1.
Kapuas
27,17
72,83
2.
Katingan
24,89
75,11
3.
Kotawaringin Barat
29,00
71,00
4.
Kotawaringin Timur
21,53
78,47
5.
Lamandau
0,12
99,88
6.
Palangkaraya
42,38
57,62
7.
Pulang Pisau
64,32
35,68
8.
Seruyan
18,90
81,10
9.
Sukamara
28,91
71,09
Sumber: BPDAS Kahayan (2007)
Tabel 15. Produksi getah jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah Kabupaten/ Kota
Tahun Produksi (kg) 2003
2004
2005
2006
Rataan
Pangkalan Bun
423.242
493.012
421.770
564.923
475.737
Palangkaraya
428.739
454.214
180.530
67.840
282.831 98.112
Sampit
185.933
115.440
30.081
60.993
Jumlah
1.037.914
1.062.666
632.381
693.756
Sumber: Karyono (2008)
129
Penyebaran jenis jelutung hasil tanaman rehabilitasi dan penghijauam seperti tercantum pada Tabel 16. Tabel 16. Rekapitulasi pembuatan tanaman jelutung rawa di wilayah kerja BPDAS Kahayan tahun 2008â&#x20AC;&#x201C;2010 Jumlah No.
Kabupaten/Kota
Luasan (ha)
Tanaman (batang)
1.
Kapuas
1.100
165.000
2.
Pulang Pisau
2.100
300.000
3.
Kotawaringin Barat
2.000
-
4.
Palangkaraya
1.000
125.000
5.
Katingan
2.000
250.000
8.200
840.000
Jumlah
Uraian pada Tabel 14, 15, dan 16 menunjukkan bahwa penyebaran jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk kategori tidak merata (nilai 1) karena terdapat di <1/3 wilayah. Indikator status konservasi menunjukkan keleluasaan pemanfaatan dan perdagangan komoditas getah jelutung dikaitkan dengan ancaman kepunahan jenis tersebut. Nilai 3 jika tidak terdaftar di CITES yang berarti jenis jelutung lebih leluasa dimanfaatkan. Jika terdaftar dalam Appendix CITES maka memiliki nilai lebih rendah karena memiliki batasan untuk diperdagangkan. Jenis jelutung termasuk dalam kategori tidak terdaftar di CITES Appendix (Nilai 3). Indikator budi daya menunjukkan upaya memproduksi komoditas getah jelutung, selain dari tegakan alam. Semakin tinggi persentase hasil budi daya maka memiliki nilai lebih
130
tinggi pula. Terdapatnya usaha budi daya dapat memberikan jaminan keberlangsungan produksi yang semakin tinggi dan akan mengurangi tekanan tegakan alam. Kategori bernilai 3 jika persentase produksi hasil budi daya >70%, bernilai 2 jika persentase produksi antara 40â&#x20AC;&#x201C;70% dan bernilai 1 jika persentase <40%. Hingga saat ini, produksi getah jelutung hampir seluruhnya berasal dari tegakan alam karena tanaman jelutung hasil budi daya masih belum dapat disadap. Oleh karena itu, jelutung rawa termasuk dalam kategori produksi HHBK <40% hasil budi daya dan bernilai 1. Aksesibilitas ke sumber getah jelutung menunjukkan tingkat kemudahan sumber tersebut untuk dicapai dan dijangkau oleh moda transportasi. Nilai 3 jika mudah dijangkau moda transportasi darat dan/atau air sepanjang tahun, nilai 2 jika dapat dijangkau moda transportasi darat dan/atau air tetapi tidak sepanjang tahun dan nilai 1 jika sulit dijangkau moda transportasi sepanjang tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa regu kerja, lokasi penyadapan jelutung dapat dijangkau dengan moda transportasi air (klotok) dan jukung (sampan) hanya pada saat musim hujan. Pada saat musim kemarau, beberapa lokasi dapat dijangkau dengan berjalan kaki dari sungai besar yang dapat dilalui klotok. Oleh karena itu, sumber getah jelutung rawa termasuk dalam kategori dapat dijangkau moda transportasi air tetapi tidak sepanjang tahun (nilai 2). 3.
Kriteria Kelembagaan Kelembagaan merupakan aspek penting dalam penentuan tingkat keunggulan getah jelutung karena menyangkut unsur pelaku dan tata aturan produksi dan perdagangannya. Enam
131
indikator pada kriteria kelembagaan yang dipergunakan dalam penentuan tingkat keunggulan getah jelutung yaitu: (1) jumlah kelompok usaha/regu kerja; hal ini menunjukkan tingkat keterlibatan regu kerja yang meramu getah jelutung; semakin banyak jumlah regu kerja maka semakin tinggi peluangnya dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat; (2) asosiasi kelompok usaha dan kelompok peramu getah jelutung; keberadaan asosiasi kelompok usaha dan kelompok peramu (forum komunikasi) menunjukkan tingkat ketertarikan kelompok usaha membentuk asosiasi untuk meningkatkan daya saing; (3) perangkat peraturan tentang komoditas getah jelutung; hal ini menunjukkan ketersediaan peraturan dan tingkat pengaturan komoditas getah jelutung; (4) peran institusi; hal ini menunjukkan dukungan dari berbagai institusi, seperti pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pengusaha; (5) standar komoditas jelutung; hal ini menunjukkan ada tidaknya standarisasi dari produk getah jelutung; (6) sarana/fasilitas pengembangan getah jelutung; hal ini menunjukkan ketersediaan fasilitas untuk pengembangan komoditas getah jelutung, seperti pusat pelatihan dan trade center. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pelaku perdagangan getah jelutung di Kalimantan Tengah, Bapak Ikut Ali/pemilik PT SAS, jumlah pedagang pengumpul yang telah diberi modal sebanyak 11 orang dengan jumlah regu kerja sebanyak 300 regu. Regu kerja tersebut tersebar di beberapa lokasi di Kalimantan Tengah yaitu Sukamara,
132
Pangkalan Bun, Seruyan, Samuda, dan Sebangau. Tiap regu kerja beranggota 1â&#x20AC;&#x201C;3 orang (rata-rata 2 orang). Berdasarkan informasi tersebut, pengusahaan getah jelutung dapat dikategorikan banyak karena terdapat >5 kelompok usaha produsen sehingga kategori jumlah penyadap getah jelutung bernilai 3. Keberadaan asosiasi kelompok usaha dan kelompok peramu (forum komunikasi) getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah belum ada. Kelembagaan yang terbentuk masih terbatas pada regu kerja penyadap, pedagang pengumpul, dan perusahaan penampung getah jelutung. Oleh karena itu, keberadaan asosiasi kelompok usaha dalam pengusahaan getah jelung di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk dalam kategori rendah (nilai 1). Saat ini, terdapat perangkat peraturan dari pejabat Bupati/ Walikota berkaitan dengan komoditas getah jelutung (nilai 2). Salah satu peraturan yang secara tidak langsung mengatur tentang komoditas getah jelutung terkait dengan retribusi pengumpulan HHBK adalah Peraturan Daerah (Perda) Kota Palangkaraya Nomor 07 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Perda Kota Palangkaraya Nomor 04 Tahun 2000 tentang Retribusi izin Pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu dan Hasil Perkebunan. Perda tersebut menetapkan retribusi getah jelutung sebesar 3% per ton. Pada tahun 2000, Bupati Kapuas mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan areal konservasi jelutung rawa di Desa Bajuh. Proses penyadapan dan pengumpulan getah jelutung telah difasilitasi oleh Pemerintah Kota Palangkaraya berupa penerbitan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu oleh Walikota yang diberikan kepada kelompok masyarakat. Perizinan serupa di Kabupaten Kotawaringin Barat hanya
133
diberikan kepada perusahaan pengumpul. Bagi masyarakat yang mengumpulkan getah jelutung di dalam kawasan lindung, seperti SM Sungai Lamandau, izin diberikan oleh pengelola kawasan (BKSDA di Pangkalan Bun). Sementara itu, kabupaten lain yang juga memiliki potensi jelutung belum ada fasilitasi berupa perizinan. Retribusi pemanfaatannya ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Daerah, baik Bupati atau Walikota. Besarnya retribusi Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk Provinsi Kalimantan Tengah adalah sebesar Rp56.100,00 per ton. Tabel 17 mencantumkan pendapatan daerah Kota Palangkaraya dari hasil retribusi getah jelutung. Tabel 17. Pendapatan daerah dari retribusi getah jelutung Tanggal
Volume (ton)
Jumlah Pungutan (Rp)
25-04-2010
10
1.200.000,00
09-03-2010
20
2.400.000,00
14-01-2010
25
3.000.000,00
14-7-2009
25
3.000.000,00
15-5-2009
25
3.000.000,00
17-4-2009
25
3.000.000,00
13-3-2009
25
3.000.000,00
14-2-2009
15
1.800.000,00
Peran institusi menunjukkan terdapat dukungan dari berbagai pihak, seperti Pemerintah Pusat (melalui Unit Pelaksana Teknis/UPT), pemerintah daerah, dan LSM. Bentuk dukungan tersebut berupa keterlibatan institusi, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap kegiatan pengembangan usaha getah jelutung seperti budi daya, pengolahan, dan pemasaran. Kategori tinggi (nilai 3) apabila
134
seluruh institusi yang ada mendukung pengembangan komoditas HHBK yang dinilai tersebut, kategori sedang (nilai 2) apabila hanya ada salah satu institusi yang mendukung, dan kategori rendah apabila tidak ada dukungan dari institusi (nilai 1). Kementerian Kehutanan melalui UPT di Provinsi Kalimantan Tengah (BPDAS Kahayan, BTN Sebangau dan BPK Banjarbaru) telah memberikan perhatian terhadap pengembangan jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah. BPDAS Kahayan telah menanam jelutung rawa di Areal Model Budi daya Jelutung pada lahan seluas 10 ha di Km 55 Jalan Palangkarayaâ&#x20AC;&#x201C;Sampit (ditanam tahun 2001), di Habaring Hurung (Kota Palangkaraya) dan di Kecamatan Pilang (Kabupaten Pulang Pisau). Melalui program GERHAN tahun anggaran 2004, BPDAS Kahayan telah menanam sebanyak 736.250 batang jelutung rawa, kemudian jumlahnya meningkat pada tahun berikutnya yang mencapai 877.160 pohon untuk 11 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Selama pelaksanaan GERHAN 2005, BPDAS Kahayan telah menanami lahan kritis yang terdapat di dalam dan di luar kawasan hutan seluas 40.900 ha (20â&#x20AC;&#x201C; 30% kawasan ditanami jenis Jelutung Rawa). Selain melakukan penanaman, BPDAS Kahayan juga melakukan pelatihan budi daya jelutung untuk petani, penyuluh, dan petugas lapangan. Pada tahun 2007, BPDAS Kahayan telah membangun enam unit areal model tanaman silvikultur intensif di luar kawasan hutan dengan total luas 350 ha. Salah satu unit areal model tersebut adalah yang terletak di Desa Lunuk Ramba seluas Âą50 ha. Areal Model Tanaman Silvikultur Intensif di Desa Lunuk Ramba ditanami dengan jenis tanaman pokok berupa jelutung (kayu-kayuan), karet, dan durian (MPTS) dengan komposisi jenis yaitu 60% jelutung, 30% karet, dan 10% durian (BPDAS Kahayan,
135
2009). Demikian pula halnya dengan TN Sebangau, UPT ini turut berperan dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis seluas 60.000 ha yang melakukan penanaman seluas 2.850 ha dengan tanaman jelutung, pulai, dan belangeran. Sementara itu, BPK Banjarbaru telah menjadikan jelutung sebagai salah satu jenis yang termasuk dalam Penelitian Integratif Unggulan (PIU). Pada tanggal 25 Oktober 2009, LSM World Education Pangkalan Bun telah melakukan workshop tentang tanaman jelutung dan ekosistemnya. Workshop tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya ekosistem gambut dan mengajak masyarakat untuk lebih mengenal tanaman jelutung sebagai jenis tanaman asli lahan gambut, terutama dari aspek budi daya dan nilai ekonominya. Berdasarkan uraian tersebut, pengembangan jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dari indikator peran institusi termasuk dalam kategori tinggi dengan adanya dukungan dari berbagai institusi (nilai 3). Standar komoditas menunjukkan ada tidaknya standardisasi dari produk komoditas HHBK bersangkutan. Terdapatnya standardisasi, seperti SNI atau standar internasional lainnya (nilai 3) berarti komoditas tersebut sudah menjadi komoditas perdagangan di pasar internasional atau memiliki pangsa pasar yang jelas di dunia internasional. Namun demikian, standar baku yang mengatur komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah belum ada pada saat ini (nilai 1). Standar mutu getah jelutung yang digunakan hanya terkait dengan kandungan air dan ditentukan oleh perusahaan. Semakin banyak kandungan air dalam getah maka harganya akan semakin murah. Getah siap ekspor oleh PT SAS mempunyai kandungan air sebesar 14%.
136
Sarana/fasilitas pengembangan komoditas bersangkutan menunjukkan ketersediaan fasilitas untuk pengembangan komoditas tersebut, seperti pusat pelatihan, trade centre, clearing house, sarana laboratorium atau networking (contoh rotan ASEAN). Saat ini, sarana pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah masih bertaraf lokal (nilai 1). 4.
Kriteria Sosial Dipilihnya aspek sosial sebagai salah satu kriteria dalam penentuan tingkat keunggulan komoditas HHBK merupakan keberpihakan kepada masyarakat lokal dalam pengusahaan HHBK. Indikator yang dipilih berupa keterlibatan dan kepemilikan masyarakat dalam usaha HHBK. Pelibatan masyarakat menunjukkan tingkat keterlibatan masyarakat yang diukur dalam persentase jumlah petani yang terlibat dalam mengusahakan (meramu, menanam, memperdagangkan) komoditas getah jelutung untuk sumber penghasilannya. Nilai 3 jika keterlibatan masyarakat tinggi yaitu persentase yang terlibat >20%. Hal ini berarti komoditas getah jelutung menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat. Pengusahaan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah melibatkan sebagian masyarakat lokal (5%< persentase yang terlibat <20%). Hal ini terutama di Kelurahan Kereng Bangkirai yang lokasinya tidak jauh dari PT SAS dan TN Sebangau. Desa Kereng Bangkirai mempunyai empat orang penggumpul dengan rata-rata pengumpul mempunyai 20 orang penyadap. Jumlah tersebut akan bertambah jika harga getah jelutung tinggi. Tabel 18 mencantumkan beberapa nama warga desa yang memperoleh izin lokasi areal penyadapan getah jelutung (pamantungan) di Kota Palangkaraya (Kalimantan Tengah).
137
Tabel 18. Penerima izin lokasi penyadapan getah jelutung di Kota Palangkaraya Jumlah per tahun
No.
Nama, alamat
Letak areal hutan, luas
1.
Rusli, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 500 ha
20 ton
2.
Saptono, Kereng Bangkirai
Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 600 ha
20 ton
3.
Untung, Kereng Bangkirai
Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 500 ha
20 ton
4.
Yamani, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 400 ha
20 ton
5.
Dedie, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 900 ha
20 ton
6.
Darmawan, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 750 ha
20 ton
7.
Noraiko, Kereng Bangkirai
Kelurahan Sabaru, Kec. Sabangau, 1.050 ha
20 ton
8.
Kurdi, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 600 ha
20 ton
9.
Agau Matsaleh, Kereng Bangkirai
Kel. Kereng bangkirai, Kec. Sabangau, 400 ha
20 ton
Kepemilikan usaha menunjukkan tingkat keikutsertaan atau kolaborasi masyarakat dengan pengusaha dalam mengusahakan komoditas tersebut. Kategori bernilai 3 jika komoditas jelutung telah diusahakan oleh masyarakat dan swasta dalam pola usaha kemitraan sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Pengusahaan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah telah melibatkan kemitraan antara pengusaha dengan penggumpul dan petani penyadap. Kemitraan yang dilakukan berupa pinjaman modal dari
138
pengusaha (PT SAS) kepada pengumpul yang selanjutnya diberikan kepada para penyadap sebagai modal awal untuk menyadap pohon jelutung di hutan. Modal yang diberikan kepada satu pengumpul mencapai Rp50 juta. Berdasarkan hal ini, indikator kepemilikan usaha termasuk dalam kategori masyarakat lokal bermitra dengan pengusaha (nilai 3). 5.
Kriteria Teknologi Aspek teknologi dipilih sebagai kriteria penentuan unggulan komoditas HHBK karena memiliki peran dalam pengembangan HHBK tersebut, baik dalam menjamin pasokan HHBK sebagai bahan baku maupun dalam peningkatan nilai tambah HHBK tersebut. Indikator kriteria teknologi ada dua, yaitu: (1) Teknologi budi daya; kategori teknologi dikuasai (nilai 3) jika komoditas jelutung siap untuk dibudidayakan secara luas dalam skala ekonomis untuk memenuhi permintaan pasar; teknologi budi daya jelutung mulai dari perbenihan, persemaian dan penanaman di lapangan telah dikuasai (nilai 3); hal ini seperti hasilhasil penelitian silvikultur jelutung yang telah dilakukan BPK Banjarbaru; (2) Teknologi pengolahan hasil; hal ini menunjukkan tingkat penguasaan teknologi pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah (dalam hal ini apakah getah jelutung hanya untuk bahan baku permen karet atau dapat bermanfaat pula untuk kegunaan lain yang lebih ekonomis); kategori teknologi pengolahan telah dikuasai (nilai 3) jika nilai tambah dapat diperoleh melalui proses pengolahan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi dari komoditas jelutung; saat ini, teknologi pengolahan hasil getah jelutung belum banyak dikuasai (nilai 1).
139
Berdasarkan uraian sebelumnya, Total Nilai Unggulan (TNU) dari jelutung dapat diperoleh (Tabel 19). Penilaian tersebut menunjukkan bahwa getah jelutung termasuk dalam kategori Nilai Unggulan (NU) 2 yaitu sebagai komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 54â&#x20AC;&#x201C;77. Berdasarkan ketentuan penetapan jenis HHBK Unggulan menurut Permenhut Nomor P.21/Menhut-II/2009, getah jelutung dikategorikan sebagai HHBK unggulan provinsi, yaitu termasuk dalam kriteria jenis HHBK yang termasuk NU 2 yang tersebar minimal di dua kabupaten. Tabel 19. Matrik kriteria dan indikator penilaian getah jelutung sebagai komoditas HHBK Unggulan menurut Permenhut No. P.21/ Menhut-II/2009 Kriteria
140
Indikator
Standar
Nilai
Ekonomi 1. Nilai perdagangan Tinggi (nilai ekspor per (Bobot 35%) ekspor tahun â&#x2030;ĽUS$1 juta)
3
2. Nilai perdagangan Tinggi (nilai lokal perdagangan per tahun >Rp1 milyar)
3
3. Lingkup pemasaran
Internasional, nasional dan lokal
3
4. Potensi pasar internasional
Tinggi (diminta oleh >3 negara)
3
5. Mata rantai pemasaran
Sedang (melibatkan masyarakat pengumpul, pengusaha UMKMK, dan pemerintah).
2
6. Cakupan pengusahaan
Meliputi industri hulu dan tengah.
2
7. Investasi usaha
Sedikit (<5 badan usaha yang sudah berinvestasi dan belum ada pengusaha besar).
2
Biofisik dan 1. Potensi tanaman lingkungan (Bobot 15%) 2. Penyebaran
Rendah (persentase jumlah pohon per hektar <40% dari kondisi normal).
1
Kurang merata (terdapat di <1/3 wilayah bersangkutan)
1
3. Status konservasi Tidak terdaftar dalam Appendix CITES
3
4. Budi daya
Produksi HHBK <40% hasil budi daya
1
5. Aksesibilitas ke sumber HHBK
Dapat dijangkau moda transportasi darat dan atau air tetapi tidak sepanjang tahun
2
Kelembagaan 1. Jumlah Kelompok Banyak (terdapat >5 (Bobot 20%) usaha produsen/ kelompok usaha koperasi produsen/koperasi komoditas bersangkutan)
3
2. Asosiasi Kelompok Usaha
Rendah (hanya terdapat Kelompok Tani).
1
3. Aturan tentang komoditas bersangkutan
Terdapat peraturan dari pejabat setingkat Eselon I, Gubernur atau Bupati.
2
4. Peran Institusi
Tinggi (ada dukungan dari berbagai institusi seperti Pemda, UPT, dan LSM)
3
5. Standar komoditas bersangkutan
Belum ada standar baku
1
6. Sarana/fasilitas pengembangan komoditas bersangkutan
Sarana pengembangan bertaraf lokal
1
141
Sosial 1. Pelibatan (Bobot 15%) masyarakat
2. Kepemilikan Usaha Teknologi 1. Teknologi budi (Bobot 15%) daya 2. Teknologi pengolahan hasil
Melibatkan sebagian masyarakat lokal (5%< persentase yang terlibat < 20%)
2
Masyarakat lokal bermitra dengan pengusaha
3
Teknologi telah sepenuhnya dikuasai.
3
Teknologi pengolahan hasil belum dikuasai.
1
Total Nilai
46
6.2 Strategi dan Solusi Permasalahan Pengembangan Agroforestry Jelutung Rawa Strategi pengembangan komoditas getah jelutung sebagai jenis HHBK Unggulan menurut Permenhut Nomor P.21/MenhutII/2009 perlu dilakukan pada masa mendatang dengan mempertimbangkan indikator pada setiap kriteria yang bernilai rendah (nilai 1 dan nilai 2). Identifikasi masalah pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya terkait aspek kawasan dan pemasaran terdapat pada Tabel 20; sedangkan yang terkait aspek budi daya, pengolahan, dan kualitas terdapat pada Tabel 21.
142
Tabel 20. Identifikasi masalah pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya terhadap aspek kawasan dan pemasaran Masalah
Kondisi Existing
Prioritas Solusi
Penanggung Jawab
Aspek Kawasan Alih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lain
Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai penghasil terbesar getah jelutung dihadapkan pada konversi lahan menjadi perkebunan sawit.
Penunjukkan kawasan konservasi jelutung
Dinas Kehutanan, Bappeda, BPN
Colaborative Management
Dinas Kehutanan, BKSDA
Proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kabupaten Katingan, Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya menyebabkan kerusakan habitat jelutung alam. Kebijakan pemanfaatan di kawasan lindung
Sampai dengan tahun 2009, pemanfaatan getah jelutung dalam kawasan SM Sungai Lamandau masih diberikan izin, namun mulai tahun 2010 akan terus dikurangi sehingga perlu dicarikan alternatif bagi masyarakat peramu getah jelutung di wilayah tersebut.
143
Perambahan, kebakaran hutan dan tebangan liar
Faktor yang terus mengancam keberadaan hutan rawa gambut yang menjadi habitat tumbuhan jelutung.
Pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut; penegakan hukum
Dinas Kehutanan, Manggala Agni, Masyarakat Peduli Api
Perizinan pemanfaatan getah jelutung
Belum semua daerah penghasil getah jelutung mengatur hal ini karena hasil getah yang masih dianggap kecil/sedikit.
Perlu Perda yang secara khusus mengatur tentang perizinan pemanfaat getah jelutung
Dinas Kehutanan
Aspek Pemasaran
144
Perluasan tujuan eksport
Tujuan ekspor masih terbatas ke negara Jepang. Perluasan manfaat getah dan jaminan kelestarian diharapkan dapat memperluas pemasaran.
Alternatif pasar selain Jepang, seperti negaranegara Eropa, Amerika dan Cina
Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan dan Industri
Adanya bahan alternatif
Minyak jagung dapat menjadi subtitusi getah jelutung dengan produk berupa bubble gum.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas serta kelangsungan pasokan bahan baku
Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian
Pemanfaatan yang masih terbatas
Pemanfaatan getah jelutung saat ini dominan hanya sebagai bahan baku permen karet.
Penelitian alternatif pemanfaatan getah jelutung selain sebagai bahan baku permen karet
Badan Litbang Kehutanan, Dinas Perindustrian, Dinas Kehutanan, Perguruan Tinggi
Arus informasi budi daya dan pemasaran
Perlu fasilitasi penyediaan dan penyaluran informasi mengenai budi daya dan pengolahan getah jelutung.
Pusat Informasi Pengembangan komoditas getah jelutung
Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian
Bantuan permodalan
Bantuan permodalan yang ada baru pada level pengumpul yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia di Kota Palangkaraya.
Lembaga Keuangan Mikro
Dinas Koperasi, PNPM Mandiri, Perbankan
Tabel 21. Identifikasi masalah pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya terhadap aspek budi daya, pengolahan dan kualitas Masalah
Kondisi Existing
Prioritas Solusi
Penanggung Jawab
Aspek Budi daya Umur sadap yang panjang
Diperlukan pemuliaan jenis yang dapat menghasilkan tanaman berkualitas, yaitu menghasilkan getah yang banyak dengan umur sadap yang relatif lebih cepat.
Penelitian Pemuliaan jenis jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan
Aspek Pengolahan dan Kualitas Selang penyadapan 7â&#x20AC;&#x201C;15 hari
Salah satu karakteristik jenis jelutung dalam menghasilkan getah
Penelitian teknik penyadapan getah jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan
145
Pembinaan dan penetapan kualitas
6.2.1
Belum tersosialisasikan dengan baik mengenai penanganan pasca panen dan kualitas getah yang baik.
Standar Mutu getah jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Pustanling, Perguruan Tinggi, Dinas Kehutanan
Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor Partisipasi Petani
Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah terkait faktor partisipasi petani mencakup dua hal: (1) membangun kelompok tani pengembang komoditas getah jelutung berkategori kelompok produktif, dan (2) membangun kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan. Kelembagaan petani pembudidaya jelutung yang kuat memerlukan adanya strategi pemantapan kebersamaan individu petani dalam berkelompok. Terkait dengan hal tersebut maka penting untuk memahami karakteristik kelompok. Berdasarkan karakteristiknya (proses pembentukan dan aktivitas kelompok), maka kelompok petani dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1.
146
Kelompok Merpati. Kelompok jenis ini baru mulai terbentuk dan menunjukkan kegiatannya jika ada bantuan dari luar, biasanya berupa uang, atau barang yang manfaatnya bisa dirasakan langsung. Kelompok semacam ini hidup dan berkembang selagi masih ada bantuan. Tetapi begitu
bantuan dan dukungan dari luar tidak ada lagi, maka kelompok menjadi bubar. 2.
Kelompok Pedati. Kelompok ini bagaikan pedati, baru akan bergerak bila ditarik atau didorong oleh pihak luar. Seringkali dorongan itu bersifat paksaan.
3.
Kelompok Lestari. Kelompok ini bisa tumbuh atas inisiatif, keinginan dan kesadaran para anggota tanpa menunggu bantuan, dukungan dan dorongan dari pihak lain. Kehadiran pihak luar hanya sebagai penunjang atau perangsang. Kelompok ini sudah mampu mengelola program kelompok sendiri (CKPP, 2007).
Berdasarkan karakteristik kelompok tersebut, pada kegiatan pengembangan komoditas getah jelutung harus diupayakan untuk membangun kelompok berkategori â&#x20AC;&#x153;Kelompok Lestariâ&#x20AC;?. Upaya mewujudkan hal tersebut memerlukan beberapa komponen pengembangan, yaitu (1) pengembangan struktur organisasi sederhana, yang terdiri atas: ketua, sekretaris, bendahara dan rapat anggota; (2) pengembangan permodalan dari kas kelompok, misalnya: iuran kelompok, sisa uang kegiatan, denda anggota yang disepakati dan setoran wajib tertentu yang disepakati; (3) pengembangan usaha produktif, terdiri atas usaha ekonomi kelompok, seperti: simpan pinjam, arisan dan kebun kelompok; (4) pengembangan kebutuhan anggota dan kelompok, misalnya: pengadaan sembako, bibit, pupuk, alat pertanian dan alat pemadam kebakaran (CKPP, 2007). Pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah memerlukan kelembagaan. Idealnya kelembagaan yang dibangun merupakan bagian integral dari matapencaharian
147
(livelihood) petani. Metode yang dapat diterapkan untuk membangun kelembagaan pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry adalah Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan. Pemberdayaan petani terkait dengan pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry melalui SKE berdasarkan manajemen kemitraan bertitik tolak dari pemikiran bahwa setiap individu petani mempunyai potensi yang dapat dikembangkan atau diberdayakan (bukan dimulai dengan melihat tumpukan masalah yang ada padanya). Konsep ini seperti dijelaskan pada Gambar 42, sedangkan Gambar 43 menjelaskan proses penumbuhan kelembagaan petani dengan mekanisme proses dari bawah dalam rangka mewujudkan SKE berdasarkan manajemen kemitraan.
Gambar 42. Proses penumbuhan kerjasama (Sumber: Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)
148
Direktorat
Gambar 43. Proses penumbuhan kelembagaan pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry (Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)
Hal lain yang juga penting dalam mendukung suksesnya pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry adalah adanya kemitraan. Kemitraan yang kuat akan membangun kebersamaan yang kuat pula. Kemitraan yang dilakukan mencakup aspek SDM, kelembagaan, budi daya dan keuangan (berdasarkan akumulasi asset), modal, keterampilan, gagasan, kebutuhan, dan komitmen petani. Kemitraan dilakukan dengan strategi kapasitas individu petani dikembangkan dalam kesatuan ekonomi (kelompok produktif) dan kelompok produktif menciptakan wadah kebersamaan ekonomi (misalnya Forum Koordinasi Manajemen Kebun/FKMK), serta seluruh kelompok produktif bekerjasama dalam wadah Koperasi Primer. Hasil akhirnya diharapkan terwujud petani yang profesional,
149
kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi, produktivitas kebun tinggi, sistem keuangan kelompok transparan dan hubungan kerjasama yang harmonis. Gambar 44 menjelaskan proses pembangunan kemitraan dalam SKE.
Gambar 44. Proses penumbuhan sistem kebersamaan ekonomi (Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003)
150
Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan merupakan suatu sistem yang mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan. Pendekatan tersebut diperlukan untuk memperkuat rasa kebersamaan masing-masing pihak. Kebersamaan yang paling kuat apabila kebersamaan tersebut dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing pihak, maka kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan yang produktif dan tidak bertahan lama. Pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry yang dilakukan dengan SKE berdasarkan manajemen kemitraan diharapkan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat dan sekaligus memulihkan lahan gambut yang terdegradasi. 6.2.2
Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor Teknologi
Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah terkait faktor teknologi adalah dengan teknologi penyadapan. Berdasarkan pengalaman para penyadap getah jelutung di hutan alam, permasalahan yang ditemui di lapangan adalah kematian beberapa pohon yang disadap akibat serangan hama penggerek batang. Luka sadapan pada batang jelutung semakin mempermudah serangga hama untuk meletakkan telurnya. Serangga hama yang umum menyerang jelutung adalah Batocera rubus. Serangga ini mempunyai kebiasaan meletakkan telurnya di celah-celah kulit pada batang yang kulitnya terbuka saat penyadapan. Larva serangga penggerek akan aktif memakan
151
bagian meristem kayu, kemudian menembus ke dalam kayu teras (Daryono, 2000). Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah teknik penyadapan yang dilakukan oleh para penyadap. Cara penyadapan getah yang dilakukan oleh para penyadap biasanya dengan cara menyayat kulit batang pohon dengan sayatan berbentuk huruf V. Penyadapan yang tidak tepat seringkali mempercepat kematian pohon. Bastoni & Lukman (2006) menyatakan bahwa terjadi dampak negatif dari aktivitas penyadapan jelutung di hutan alam yang disebabkan penerapan cara sadap (termasuk penggunaan zat perangsang CEPA yang berlebihan) yang dapat merusak pohon. Oleh sebab itu, teknik atau cara penyadapan yang memerhatikan kelestarian sumber dan hasil getah sangat diperlukan. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa penyadapan getah jelutung yang terbaik dilakukan pada pohon dengan diameter >25 cm, periode sadap 2 hari, dan sudut bidang sadap 450. Ujicoba ini memberikan hasil getah rata-rata 1,37 ton/ha/tahun. Penurunan riap diameter pohon jelutung akibat penyadapan rata-rata sebesar 0,34 cm/tahun. Metode lain yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengaplikasikan teknik â&#x20AC;&#x153;infusâ&#x20AC;? seperti terlihat pada Gambar 45. Teknik ini sudah pernah diaplikasikan pada beberapa perkebunan karet. Teknik ini mampu mengurangi lebar luka goresan pada kulit batang pohon sehingga peluang serangga hama untuk meletakkan telurnya dapat dikurangi. Penerapan teknologi ini memerlukan kajian lebih lanjut terkait dengan kesiapan para penyadap menerima teknologi tersebut dan analisis kelayakan ekonominya. Pelatihan teknik-teknik penyadapan yang benar bagi para penyadap perlu dilakukan.
152
1
2
3
4
Gambar 45. Teknik penyadapan: tradisional (1), teknik infus dengan stimulan gas etilen (2), dan pemberian stimulan berbahan cuka kayu (3 & 4)
6.2.3
Strategi dan Solusi Permasalahan Faktor Kebijakan
Strategi yang ditawarkan sebagai solusi permasalahan pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah terkait faktor kebijakan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kunci intervensi pengembangannya; mulai dari kunci pemasaran, kebijakan, kapasitas usaha, sampai dengan kepemimpinan dan akses finansial. Pengembangan getah jelutung memerlukan dua hal penting sebagai kunci intervensi (Departemen Kehutanan [Dephut], 2009a). Pertama, informasi dan peningkatan kapasitas melalui pengelolaan informasi dan pembelajaran yang terus-menerus. Kedua, kepemimpinan sebagai ketokohan untuk melakukan berbagai terobosan dalam memanfaatkan peluang pasar, memaksimumkan potensi, dan menemukan strategi yang tepat untuk menanggapi berbagai situasi yang menghambat. Kepemimpinan ini diperlukan dengan berbagai kualitas di tingkat kebijakan (kepemerintahan),
153
pemerintah daerah, lembaga bisnis di tingkat unit usaha, dan pada aktor pendamping masyarakat (LSM). Intervensi yang dilakukan harus mempertimbangkan kondisi existing pengusahaan getah jelutung dan karakteristiknya. Terdapatnya keterbatasan perilaku industri hilir yang masih dikuasai negara pengimpor, pengaruh peran pengepul (agen) di negara produsen, standardisasi dan pengembangan belum mantap; mengakibatkan usaha getah jelutung hanya dapat dilakukan pada produk bahan mentah dan industri primer saja. Intervensi kebijakan yang akan dilakukan perlu memerhatikan lokasi di mana komoditas getah jelutung dibudidayakan. Berdasarkan lokasi tempat tumbuh pohon jelutung, komoditas getah jelutung dapat berasal dari kawasan hutan dan luar kawasan hutan (lahan milik) atau hutan rakyat. Getah jelutung yang berasal dari pohon yang tumbuh di kawasan hutan negara dibedakan menjadi dua: (1) getah jelutung yang berasal dari hutan lindung dan kegiatannya dikenal dengan nama pemungutan, dan (2) getah jelutung yang berasal dari hutan produksi, baik hutan alam maupun hutan tanaman, yang dikenal dengan istilah pemanfaatan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan sehubungan dengan pengelolaan pemanfaatan getah jelutung dapat dijelaskan sebagai berikut.
154
1.
Inventarisasi dan pemetaan potensi getah jelutung di dalam dan luar kawasan hutan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran potensi getah jelutung pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah.
2.
Penyusunan/perumusan kebijakan yang mendukung pengelolaan komoditas getah jelutung sebagai HHBK Unggulan Provinsi Kalimantan Tengah. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pelaku usaha dan masyarakat yang akan melaksanakan pengembangan
komoditas getah jelutung. Langkah ini bersifat lintas sektor, antara lain (1) alokasi lahan produksi (alam dan tanaman) untuk pengembangan getah jelutung, (2) insentif bagi pelaku usaha, dan (3) insentif bagi masyarakat yang akan mengembangkan komoditas getah jelutung. Faktor pendukung yang diperlukan bagi pengembangan komoditas getah jelutung dapat dijelaskan sebagai berikut (Dephut, 2009b). 1.
Pemantapan Kawasan; yang mencakup aspek: (1) peningkatan kelengkapan, keakuratan dan keterkinian hasil inventarisasi potensi getah jelutung di dalam setiap kegiatan inventarisasi hutan; (2) percepatan proses pengukuhan, penyelesaian konflik kawasan, proses penyesuaian tata ruang, rekonstruksi (tinjau ulang), dan realisasi tata batas; (3) percepatan proses pembentukan unit-unit KPH pada seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi) dengan mengarusutamakan kelas pengusahaan HHBK; (4) implementasi dari perencanaan pengembangan HHBK sebagai bagian dari sistem perencanaan kehutanan menuju terwujudnya rencana kehutanan yang hierarkis dan terintegrasi; mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan; yang meliputi jangka waktu panjang dan pendek pada seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi).
155
2.
Mitigasi Perubahan Iklim; yang mencakup aspek: (1) terselenggara secara optimum peran kawasan hutan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan diterimanya imbalan yang seimbang dari peran tersebut; pengembangan komoditas getah jelutung ditempatkan sebagai salah satu elemen pendukung percepatan pembentukan KPH untuk diposisikan sebagai register area dalam mekanisme perdagangan karbon; (2) identifikasi lokasi yang potensial untuk skema pasar karbon dan membangun model implementasi skema perdagangan karbon dengan menitikberatkan pemanenan getah sebagai HHBK, serta lebih banyak menunda pemanenan kayu untuk memperbesar cadangan karbon; (3) penyelenggaraan penelitian kemampuan/kapasitas penyerapan dan penyimpanan karbon (CO2) oleh tegakan hutan dan pengembangan sistem perhitungannya, ketika tegakan lebih diarahkan untuk produksi getah (HHBK).
3.
Pemanfaatan Hutan; yang mencakup aspek: (1) penyempurnaan pedoman dan percepatan tata hutan (konservasi, lindung, dan produksi) sebagai dasar arahan bentuk pemanfaatan hutan dalam sistem KPH, yang meliputi kayu dan bukan kayu, serta penyusunan rencana pengelolaan hutan pada setiap unit KPH; (2) peningkatan kegiatan inventarisasi sumber daya hutan sehingga dapat diperoleh data/informasi potensi hutan sebagai dasar pemanfaatan kayu dan HHBK yang lestari;
156
(3) intensifikasi pemanfaatan lahan hutan, peningkatan produktivitas melalui perbaikan teknik silvikultur yang disesuaikan dengan tipologi hutan setempat, joint production (dalam satu tapak hutan dapat dimanfaatkan dengan berbagai tujuan, misalnya hasil hutan kayu, HHBK, dan sekaligus jasa lingkungan hutan); (4) pemanfaatan hutan yang memproduksi HHBK diselenggarakan oleh usaha skala kecil untuk menciptakan dunia usaha kehutanan yang tahan (lentur) menghadapi perubahan lingkungan strategis dan dinamis; (5) peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan, antara lain melalui peningkatan kapasitas dan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan (termasuk di dalamnya HHBK) dengan memanfaatkan secara maksimal instrumen pemberdayaan (pola kemitraan, Hutan Desa, dan Hutan Kemasyarakatan/HKm), serta pelibatan dalam usaha kehutanan skala kecil (misalnya melalui Hutan Tanaman Rakyat/HTR). 4.
Rehabilitasi; yang mencakup aspek: (1) peningkatan pengembangan jenis jelutung sebagai bahan pertimbangan dalam percepatan pembangunan hutan tanaman (HTI dan HTR), pembangunan hutan rakyat, GERHAN, dan gerakan menanam lainnya sehingga dapat terjamin adanya laju rehabilitasi yang lebih besar daripada laju degradasi; (2) percepatan rehabilitasi pada DAS prioritas dengan memaksimumkan kelas pengusahaan HHBK untuk meningkatkan daya dukung ruang hidup;
157
(3) kegiatan rehabilitasi dipersiapkan kemungkinannya untuk memasuki skema voluntary carbon market, pemanfaatan air, dan wisata alam yang dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. 5.
Perlindungan dan Pengamanan Hutan; yang mencakup aspek: (1) penguatan peraturan perundangan dan kelembagaan untuk meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan pemberantasan gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan melalui berbagai insentif yang melekat pada pengembangan komoditas getah jelutung (HHBK); (2) Penyadaran dan penguatan kelembagaan masyarakat untuk ikut berperan dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan melalui berbagai insentif pemanfaatan komoditas getah jelutung (HHBK); (3) Penegakan hukum (law enforcement) yang adil dan transparan.
6.
Konservasi Alam; yang mencakup aspek: (1) pemanfaatan getah jelutung tidak dapat dilepaskan dari upaya peningkatan konservasi keanekaragaman hayati melalui konservasi ekosistem insitu dan konservasi exsitu; (2) penguatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem, jenis dan genetik melalui kolaborasi pengelolaan, profesionalisme sumber daya manusia, penerapan good forest governance, serta pengembangan sistem insentif konservasi yang kondusif; (3) Perluasan pelaku dan jumlah jenis pemanfaatan HHBK di kawasan konservasi.
158
7.
Penelitian dan Pengembangan (Litbang); yang mencakup aspek: (1) pemanfaatan hasil litbang dan teknologi dalam pemanfaatan getah jelutung (HHBK) untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah pemanfaatan hutan; (2) penguatan kegiatan penelitian yang lebih integratif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan berorientasi kepada kebutuhan pengguna (useroriented) sehingga menghasilkan produk olahan getah jelutung dan teknologi pengembangannya yang inovatif, bernilai tambah tinggi, berorientasi pasar, ramah lingkungan, dan berdaya saing tinggi.
8.
Kelembagaan; yang mencakup aspek: (1) kelembagaan pengurusan HHBK dibangun kembali dengan sumber daya manusia (SDM) yang berorientasi pada kompetensi program dan kerja dengan dukungan organisasi dan tata hubungan kerja, sumber dana, dan SDM yang berkualitas dalam jumlah dan penyebaran yang memadai; (2) penguatan SDM melalui pengembangan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan berbasis kompetensi usaha HHBK; pengembangan standardisasi kompetensi, peningkatan jumlah dan distribusi SDM profesional kehutanan; serta pembinaan SDM kehutanan untuk pengembangan HHBK; (3) peningkatan penyuluhan kehutanan yang dilakukan secara terintegrasi (pusat dan daerah), didukung dengan bimbingan teknis dan pendampingan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan, bisnis dan pemasaran HHBK; penyesuaian program penguatan
159
kelembagaan penyuluhan kehutanan dilakukan guna melayani kebutuhan pengembangan HHBK, termasuk perluasan sasaran penyuluhan kehutanan; (4) pengawasan yang menjamin terselenggaranya pengurusan hutan sesuai dengan mandat undangundang, sebagai umpan balik yang menjadi bahan penyempurnaan kebijakan pengurusan hutan dari waktu ke waktu; termasuk pula, optimalisasi peran pengawasan kinerja pembangunan kehutanan oleh unsur masyarakat; (5) pengembangan kebijakan/regulasi tentang HHBK yang dapat memfasilitasi terselenggaranya kebijakan dan lebih bersifat insentif daripada disinsentif, serta penerapan pemerintahan yang baik (good governance). 9.
Pengembangan Insentif; yang mencakup: (1) pembangunan pilot project pengembangan komoditas getah jelutung dengan pola BOT (Built, Operate, Transfer); dalam hal ini, pemerintah membangun unit pengembangan komoditas getah jelutung secara langsung, mulai dari produksi bahan baku hingga unitunit industri pengolahannya; kegiatan dilakukan pula dengan menyiapkan SDM dan sarana prasarana, kemudian secara bertahap diserahkan ke Kelompok Tani untuk dikelola lebih lanjut; (2) penyiapan sarana prasarana produksi untuk diberikan kepada kelompok-kelompok yang akan membentuk unit pengembang komoditas getah jelutung; sarana produksi dapat berupa bibit jelutung unggul (hasil pemuliaan), mesin pemroses, pupuk, dan lain-lain;
160
(3) penguatan kelembagaan, antara lain melalui penyiapan pedoman, pelatihan teknis dan manajerial, studi banding, pertemuan, seminar, diskusi, dan pemasaran; (4) penyelenggaraan promosi program-program yang berkaitan dengan pengembangan komoditas getah jelutung, antara lain melalui aktivitas penyuluhan, penyebarluasan informasi, dan penguatan jejaring kerja. 10. Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pengembangan jelutung memerlukan adanya permodalan yang dapat dibiayai oleh perbankan. Namun, hal ini terkendala oleh sifat pengusahaan getah jelutung yang belum bankable (belum memenuhi persyaratan bank) sehingga tidak dapat mengakses kredit/pembiayaan dari bank. Kendala tersebut dapat dicarikan solusinya melalui KUR yang merupakan implementasi dari Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKMK. Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank pemberi kredit/ pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK); baik individu maupun kelompok koperasi; yang mempunyai usaha produktif yang layak namun belum bankable. Agunan yang diperlukan harus lebih ringan dibandingkan kredit komersial karena jika UMKMK gagal mengembalikan pinjaman, maka 70% dari sisa kredit/pembiayaan dapat dijamin oleh perusahaan penjamin. Imbal jasa penjaminan menjadi beban pemerintah (khusus untuk sektor Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, Industri Kecil, serta TKI; dijamin pemerintah sebesar 80%).
161
Penyaluran KUR, khususnya KUR Mikro, dilaksanakan oleh bank yang memiliki banyak cabang hingga ke tingkat kecamatan/desa dan lembaga linkage sehingga mudah dijangkau oleh UMKMK. Mekanisme penyaluran KUR melalui tiga cara: (1) langsung dari bank pelaksana ke UMKMK, (2) dari bank pelaksana tidak langsung ke UMKMK tetapi melalui lembaga linkage dengan pola executing, dan (3) dari bank pelaksana tidak langsung ke UMKMK tetapi melalui lembaga linkage dengan pola channeling.
Hasil analisis kondisi existing komoditas getah jelutung menurut Permenhut Nomor P.21/Menhut-II/2009 dan uraian di atas menjelaskan bahwa pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara sosial layak dilakukan.
162
Bab VII NILAI EKONOMI AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA 7.1 Margin Pemasaran Jelutung Indonesia merupakan negara penghasil utama getah jelutung. Hampir seluruh produksi getah jelutung Indonesia diekspor dalam bentuk bongkah ke Jepang, Singapura dan Hongkong. Beberapa daerah penghasil dan pengekspor getah jelutung adalah Pangkalan Bun, Palangkaraya, dan Sampit (Provinsi Kalimantan Tengah). Selama empat tahun (2003â&#x20AC;&#x201C;2006), daerah terbesar penghasil getah jelutung di Kalimantan Tengah adalah Kabupaten Pangkalan Bun (Gambar 46).
Gambar 46. Produksi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah (Sumber: Karyono, 2008)
163
Berdasarkan data PT Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah mampu mengekspor getah jelutung ke Jepang rata-rata 162,29 ton per tahun dan nilai harga per ton sekitar US$4,500.00â&#x20AC;&#x201C; 4,966.70 (Karyono, 2008). Ekspor getah jelutung dari Provinsi Kalimantan Tengah terdapat pada Tabel 22, sedangkan perkembangan ekspor getah jelutung dari Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1993â&#x20AC;&#x201C;2001 terdapat pada Tabel 23. Tabel 22. Ekspor getah jelutung Provinsi Kalimantan Tengah ke Jepang Tahun
Volume (ton)
Nilai (US$)
2000
96
476,800.00
4,966.70
0.50
2001
128
587,840.00
4,592.50
0.50
2002
176
792,000.00
4,500.00
0.45
2003
192
902,400.00
4,700.00
4.70
2004
192
902,400.00
4,700.00
4.70
2005
176
827,200.00
4,700.00
4.70
2006
176
827,200.00
4,700.00
4.70
1.136
5,315,840.00
32,859.20
20.25
162,29
759,405.71
4,694.17
2.89
Jumlah Rata-rata
Nilai rata-rata Harga rata-rata per ton (US$) per kg (US$)*
Sumber: Karyono (2008) Keterangan: * Harga di tingkat pembeli
Produksi getah jelutung diperkirakan 0,1â&#x20AC;&#x201C;0,6 kg per batang setiap kali sadap dan selama satu tahun rata-rata penyadapan dilakukan 40 kali. Apabila diasumsikan harga getah Rp4.500,00 per kg dan jumlah pohon per ha dengan jarak tanam 5 x 4 m adalah 500 batang, nilai ekonomi getah jelutung setiap tahun
164
berkisar antara Rp9.000.000,00â&#x20AC;&#x201C;54.000.000,00. Sementara itu, riap diameter pohon jelutung adalah 1,58 cm per tahun dan pada umur 25 tahun sudah dapat dipanen untuk keperluan bahan baku pensil slate dengan diameter mencapai 35 cm. Apabila rata-rata pohon bebas cabang mencapai 15 cm maka volume tiap pohon rata-rata 2,94 m3. Apabila kerapatan 500 pohon/ha maka volume rata-rata per ha 1.470 m3. Dengan asumsi harga kayu jelutung di tingkat masyarakat Rp200.000,00 per m3 maka diperoleh nilai ekonomi kayu Rp294.000.000,00.
Tabel 23. Perkembangan ekspor getah jelutung dari Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1993â&#x20AC;&#x201C;2001 Tahun
Produksi (ton)
Nilai ekspor (US$)
Nilai ekspor per kg (US$)
1993
495.034
1,651,864.5
3.337
1994
193.512
634,214.0
3.277
1995
178.348
678,228.0
3.803
1996
531.290
2,179,460.5
4.102
1997
560.000
4,492,000.0
8.021
1998
531.950
4,094,809.0
7.698
1999
578.721
4,817,360.0
8.324
2000
625.492
5,539,912.0
8.857
2001
96.000
432,000.0
4.500
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalimantan Tengah (2002) dalam Monika (2002)
165
Tabel 24. Produksi kayu bulat jelutung di Indonesia 2001â&#x20AC;&#x201C;2005 Jumlah Produksi (m3)
Tahun 2001
58.546,53
2002
100.250,81
2003
122.441,10
2004
26.431,52
2005
50.960,21
Jumlah
358.600,17
Rata-rata
71.720,03
Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia (2005) dalam Karyono (2008)
Tabel 25. Potensi awal dan penyebaran jenis kayu jelutung di Indonesia tahun 1987 Provinsi Aceh
Luas Areal Berhutan (1.000 ha) 396,5
Potensi awal jelutung (m3) 988.000
Sumatra Utara
362,5
1,21
440.000
Sumatra Barat
449,0
1,87
842.000
Riau
2.380,8
2,42
5.759.000
Jambi
2.601,5
3,79
9.871.000
Sumatra Selatan
549,2
12,03
6.608.000
Bengkulu
224,5
1,93
434.000
Lampung
47,2
7,24
342.000
Kalimantan Barat
2.294,1
4,41
10.108.000
Kalimantan Tengah
6.179,2
1,30
8.039.000 7.909.000
Kalimantan Timur
5.368,0
1,47
Jumlah
20.852,5
40,16
Rata-rata
1.895,68
3,65
Sumber: Karyono (2008)
166
Volume ratarata per ha (m3) 2,49
Pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dilakukan oleh dua perusahaan yakni PT Sampit yang berkedudukan di Kota Sampit dengan Kantor Cabang di Kota Palangkaraya dan PT Sumber Alam Sejahtera (SAS) yang berkedudukan di Kota Palangkaraya. PT Sumber Alam Sejahtera mampu mengumpulkan getah jelutung per bulannya rata-rata Âą100.000 kg (100 ton) dari beberapa petani penyadap getah jelutung alam, yang kemudian diekspor ke Singapura. Kemampuan pasokan tersebut masih jauh dari permintaan importir yang mencapai 500 ton per bulan sehingga peluang pemasaran masih terbuka lebar. Hal ini tentu saja tidak akan dapat dipenuhi jika produksi getah jelutung masih mengandalkan pohon alam. Oleh karena itu upaya membangun hutan tanaman jelutung perlu dilakukan. Pengembangan jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah dimulai sejak tahun 2004 dalam bentuk kegiatan DAK-DR dan GERHAN dengan luas 136 ha dan jumlah bibit 55.000 batang. Pemasaran getah jelutung oleh PT SAS seluruhnya (100%) untuk keperluan ekspor ke Singapura. Perbedaan harga dalam negeri dengan harga ekspor sangat mencolok. Pasaran dalam negeri (harga beli oleh PT SAS) hanya mencapai Rp4.500,00â&#x20AC;&#x201C; 6.000,00 per kg atau setara dengan nilai mata uang dolar Singapura sekitar SIN$0.56â&#x20AC;&#x201C;0.75, sedangkan harga ekspor mencapai Rp16.810,50 atau setara SIN$2.10 per kg (kurs SIN1.00 = Rp8.005,00). Bahkan menurut data Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (2005), harga getah jelutung per kg di pasar internasional mencapai US$10.00 atau setara dengan Rp100.000,00 (dengan kurs US$1.00 = Rp10.000,00). Pada masa mendatang, tata niaga jelutung diharapkan dapat lebih baik sehingga harga di tingkat petani dapat meningkat.
167
Sebagai komoditas perdagangan, getah jelutung dipasarkan melalui saluran pemasaran. Pada kasus di Kota Palangkaraya dan sekitarnya, terdapat dua saluran pemasaran getah jelutung: (1) dari penyadap langsung ke PT SAS, dan (2) dari penyadap ke pengumpul tingkat desa, kemudian ke PT SAS. Kedua saluran pemasaran terkait dengan karakter dari penyadap dan kondisi lokasi tegakan jelutung yang disadap di area hutan alam (tegakan alami). Para penyadap harus menggunakan sarana transportasi sungai (kelotok dan jukung) untuk sampai di lokasi. Jarak terdekat area penyadapan jelutung ditempuh dalam waktu 1,5 jam, sedangkan jarak terjauh area penyadapan jelutung ditempuh dalam waktu 8 jam (6 jam dengan klotok, dilanjutkan 2 jam dengan jukung). Lokasi tegakan jelutung yang seperti ini membuat penyadap tidak dapat pergi-pulang setiap hari, melainkan mereka harus tinggal beberapa hari di hutan (10â&#x20AC;&#x201C;13 hari). Penyadapan getah jelutung sebagai suatu usaha ekonomi memerlukan modal untuk setiap kali kegiatan penyadapan. Modal untuk penyadapan getah dialokasikan untuk biaya transportasi, kebutuhan makan, kebutuhan bahan (cuka, pencampur getah), dan peralatan habis pakai (plastik untuk menampung getah yang keluar dari pohon). Modal akan jauh lebih besar dikeluarkan apabila penyadapan getah jelutung dilakukan pada tegakan yang baru atau tegakan yang belum dibuka. Modal tambahan yang harus disediakan adalah untuk keperluan pembuatan pondok dari kayu, pengadaan jukung, pengadaan peralatan pisau, gergaji, kapak, peralatan masak, dan tikar. Salah satu karakteristik penyadap yang membuat dirinya menjual getah pada pengumpul atau menjual langsung pada pengusaha di pabrik adalah kemampuan ekonominya. Penyadap
168
yang mempunyai modal yang cukup akan menyadap getah jelutung di area yang dikuasainya dan hasil sadapannya dijual langsung ke pengusaha. Sebaliknya, penyadap yang tidak mempunyai modal akan meminjam dari pengumpul dan secara berkelompok menyadap getah jelutung di area kerja milik pengumpul atau milik dirinya sendiri, kemudian hasil sadapannya harus dijual kepada pengumpul. Penyadap yang meminjam uang dari pengumpul sebagai modal untuk menyadap getah jelutung harus menjual hasil sadapannya kepada pengumpul pemberi modal. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran getah jelutung di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas petani penyadap getah jelutung dari pohon di hutan (peramu getah jelutung), pengepul tingkat desa, dan perusahaan (PT SAS dan PT Sampit). Jalur distribusi pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah seperti Gambar 47.
Gambar 47. Jalur distribusi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah
169
Gambar 47 menjelaskan bahwa jalur distribusi pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat dua saluran utama. Pertama, peramu getah jelutung langsung menjualnya ke perusahaan (PT SAS dan PT Sampit) tanpa melalui pengepul tingkat desa. Peramu yang termasuk dalam pola ini mendapat modal dari luar perusahaan untuk meramu getah jelutung (kebutuhan pokok/sembako selama di hutan, bahan bakar/BBM, dan lain-lain). Kedua, regu peramu yang modalnya berasal dari PT SAS. Pada pola ini, PT SAS menunjuk dan memberi modal kepada salah satu peramu getah jelutung di desa sebagai pedagang perantara (pengepul tingkat desa). Pedagang pengepul tersebut lalu menyalurkan modal kepada beberapa regu (satu regu terdiri atas dua orang) untuk mengumpulkan getah jelutung dari hutan, dengan syarat getah hasil sadapan harus dijual kepadanya. Modal yang dipinjam dari PT SAS untuk setiap regu kerja peramu getah jelutung sebesar Rp3.000.000,00. Modal ini digunakan untuk membeli sembako, bahan bakar, dan keperluan lainnya selama dua bulan di dalam hutan yang jaraknya sekitar 20 km (diselingi 2â&#x20AC;&#x201C;3 kali pergi-pulang sesuai kondisi perbekalan). Keuntungan setiap regu dari penjualan getah jelutung hasil sadapan tergantung kualitasnya (kadar air dalam getah jelutung). Getah yang berkualitas sedang memiliki kadar air sedang (ciri fisik getah dapat ditekan dengan jari dan menimbulkan bekas), sedangkan getah berkualitas baik memiliki kadar air rendah (ciri fisik getah tidak dapat ditekan dengan jari dan tidak menimbulkan bekas tekanan jari). Pada umumnya, getah jelutung yang diperoleh setiap regu penyadap selama dua bulan sebanyak dua ton dan harga jual per kilogram sekitar Rp4.000,00â&#x20AC;&#x201C;4.500,00 (tergantung kualitas). Keuntungan dari nilai penjualan setelah dikurangi pinjaman modal untuk getah jelutung yang berkualitas sedang sebesar Rp5.000.000,00 dan getah berkualitas baik
170
sebesar Rp6.000.000,00. Dengan demikian, penghasilan setiap penyadap getah jelutung dari hutan tersebut adalah sekitar Rp1.250.000,00â&#x20AC;&#x201C;1.500.000,00 per orang per bulan. Besarnya margin atau keuntungan pemasaran dapat dijadikan sebagai indikator efisiensi pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah. Margin pemasaran merupakan perbedaan harga di tingkat konsumen terakhir (dalam hal ini PT SAS dan PT Sampit) dengan harga di tingkat penyadap. Nilai margin pemasaran untuk setiap pelaku usaha getah jelutung disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Margin pemasaran getah jelutung setiap pelaku usaha pada harga terendah dan tertinggi di Provinsi Kalimantan Tengah Pelaku Usaha
Harga (Rp/kg)
Total Biaya (Rp/ton)
Total Pendapatan (Rp/ton)
Keuntungan Bersih (Rp/Ton)
Harga terendah: Penyadap
3.500,00
1.500.000,00
3.500.000,00
2.000.000,00
Pengumpul
5.000,00
750.000,00
1.500.000,00
750.000,00
Pengusaha
15.000,00
1.000.000,00 10.000.000,00
9.000.000,00
Margin pemasaran bagi pengusaha dari tingkat penyadap Rp11.500,00 (76,67%) dan dari tingkat pengumpul Rp10.500,00 (70%) Harga tertinggi: Penyadap
4.000,00
1.500.000,00
4.000.000,00
2.500.000,00
Pengumpul
6.000,00
750.000,00
2.000.000,00
1.250.000,00
Pengusaha
25.000,00
1.000.000,00 19.000.000,00 18.000.000,00
Margin pemasaran bagi pengusaha dari tingkat penyadap Rp20.500,00 (82%) dan dari tingkat pengumpul Rp19.000,00 (76%)
171
Data pada Tabel 26 menunjukkan bahwa margin pemasaran sangat mencolok antara pengusaha dengan penyadap maupun pengusaha dengan pengumpul. Perbedaan harga antara penyadap dan pengusaha pada harga terendah sebesar 76,67% dan pada harga tertinggi sebesar 82%. Perbedaaan harga antara pengumpul dan pengusaha pada harga terendah sebesar 70% dan pada harga tertinggi sebesar 76%. Basri (2001) menyatakan bahwa pemasaran dikatakan efisien jika margin pemasaran <50%. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa margin pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah belum efisien. Keuntungan bersih dari usaha getah jelutung mulai dari yang terbesar berturut-turut berada di tangan pengusaha, penyadap, dan pengumpul. Perbedaan keuntungan bersih antara pengusaha dengan penyadap dan pengumpul juga sangat mencolok. Sementara itu, keuntungan bersih antara penyadap dan pengumpul relatif tidak jauh berbeda. Keuntungan untuk pengumpul sebenarnya tidak terlalu besar karena salah satu asumsi yang digunakan dalam perhitungan tidak memasukkan biaya tenaga yang dikeluarkan penyadap. 7.2 Analisis Finansial Tanaman jelutung yang dianalisis kelayakan finansialnya dalam tulisan ini difokuskan pada tegakan monokultur jelutung dan agroforestry pola mixed cropping dengan komponen tanaman jelutung, karet, dan padi (ditanam pada tahun pertama hingga ketiga). Pola agroforesty tersebut banyak dikembangkan oleh petani. Minat petani menanam karet sangat tinggi, namun karena karet bukan merupakan tanaman asli rawa maka terkadang mengalami tumbang (roboh) akibat daya topang perakaran yang tidak cukup kuat. Hal tersebut disiasati oleh petani dengan cara mencampur karet dengan jelutung
172
menggunakan pola selang-seling dalam satu jalur tanam. Akar jelutung yang mampu menembus ke bawah diharapkan mampu membantu menopang akar tanaman karet sehingga tanaman karet tidak mudah roboh. Aspek produksi yang diidentifikasi pada tulisan ini adalah pembangunan hutan tanaman jelutung mulai dari tahap penyiapan lahan hingga pemanenan kayu. Pada setiap tahapan tersebut diperlukan bahan dan peralatan yang berbeda-beda. Sementara itu, aspek pasar yang ditelusuri adalah pasar getah jelutung dan pasar kayu jelutung. Tahapan umum pembangunan hutan tanaman jelutung di lahan gambut dan tahap pemanenannya adalah sebagai berikut. 1.
Penyiapan lahan. Kegiatan ini dilakukan agar lahan gambut siap untuk ditanami. Persiapan lahan dimulai dengan kegiatan penebasan semak belukar, selanjutnya lahan dibersihkan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Alat dan bahan yang digunakan adalah mesin pemotong rumput, parang, alat semprotan, dan herbisida.
2.
Pembuatan parit. Parit dibuat di sekeliling petak tanaman yang berfungsi untuk pengaturan tata air dan sebagai sekat bakar. Parit luar dibuat sepanjang 400 m (4 x 100 m) dengan ukuran lebar dan kedalaman masing-masing 100 cm, sedangkan parit dalam dibuat memotong bagian tengah lahan secara vertikal dan horizontal dengan total panjang 200 m dengan ukuran lebar 40 cm dan kedalaman 50 cm. Alat yang digunakan adalah linggis, sundak dan cangkul.
3.
Pembuatan baluran. Baluran dibuat mengikuti arah Timurâ&#x20AC;&#x201C; Barat dengan lebar 2 m dan tinggi 15 cm di atas pasang tertinggi (sekitar 40â&#x20AC;&#x201C;50 cm). Baluran dibuat pada lahan agroforestry, sedangkan pada lahan monokultur jelutung tidak memerlukan baluran.
173
174
4.
Pengajiran. Kegiatan ini dilakukan setelah lahan bersih sehingga memudahkan pelaksanaan penanaman dan jarak tanam menjadi lebih teratur. Jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 4 m (jarak antar jalur tanam 5 m dan jarak antar tanaman dalam jalur 4 m) sehingga dalam lahan seluas satu hektar terdapat 500 batang pohon yang terdiri atas 250 pohon karet dan 250 pohon jelutung rawa untuk pola agroforestry, sedangkan untuk pola monokultur terdapat 500 batang jelutung rawa.
5.
Penanaman. Kegiatan ini dilakukan pada awal musim hujan (sekitar bulan Oktoberâ&#x20AC;&#x201C;November), yaitu pada saat genangan air rawa belum mencapai puncak. Bibit jelutung yang ditanam harus sudah mengalami proses pengkayuan (hardening) yang cukup dengan tinggi minimal 20 cm dan jumlah daun minimal enam helai. Pada lahan agroforestry campuran, populasi jelutung dan karet adalah sebesar 50% dengan pola selang-seling dalam satu jalur.
6.
Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi pemupukan, pengendalian gulma dan pencegahan kebakaran. Pemupukan untuk karet dan jelutung, baik pada pola monokultur maupun agroforestry, dilakukan dari umur 1 tahun hingga akhir daur. Pemeliharaan intensif terhadap gulma dilakukan hingga tanaman berumur 5 tahun. Asumsi yang digunakan bahwa pada umur 5 tahun, kondisi tajuk jelutung sudah cukup lebar sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma. Pemeliharaan parit sebagai saluran drainase dan sekat bakar dilakukan setiap tahun selama daur.
7.
Pemanenan hasil. Getah jelutung diasumsikan dapat dipanen pada umur 10 tahun dengan asumsi diameter batang 18â&#x20AC;&#x201C;20 cm. Getah karet dapat dipanen pada umur 7 tahun. Kayu
jelutung dipanen pada umur 30 tahun dengan asumsi ratarata diameter mencapai 35 cm, dengan tinggi bebas cabang 12 m sehingga nilai volume satu pohon adalah 0,64 m3.
Analisis finansial dilakukan dengan melakukan analisis terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari usaha budi daya tanaman jelutung rawa selama masa produksinya. Rincian biaya dan manfaat usaha budi daya jelutung rawa selama masa produksi terdapat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial usaha budi daya jelutung rawa, antara lain: (1) lahan yang diperuntukkan bagi usaha budi daya jelutung rawa adalah lahan gambut terlantar milik petani sendiri sehingga di dalam analisis tidak memperhitungkan sewa lahan; biaya lahan yang diperhitungkan hanya nilai pajak (PBB) yang harus dikeluarkan oleh pemilik setiap tahunnya; (2) waktu sadap jelutung rawa menggunakan interval waktu 7 hari sehingga setiap pohon disadap sebanyak empat kali dalam sebulan atau 48 kali dalam satu tahun; (3) masa perhitungan analisis merupakan masa produksi (daur) tanaman jelutung selama 30 tahun; (4) satu HOK adalah satu hari orang kerja dengan upah Rp60.000,00 per hari; (5) suku bunga yang digunakan 12%; (6) potensi getah jelutung dalam satu tahun sesuai pola musim berbunga; produksi getah setiap pohon jelutung pada umur 10 tahun mencapai 75 gram pada saat musim berbunga (selama 3 bulan) dan 150 gram di luar musim berbunga (selama 9 bulan); produksi getah ini mengalami peningkatan sebesar 80% setiap 2 tahun;
175
(7) potensi getah karet dapat dipanen saat pohon berumur 7 tahun; (8) potensi kayu jelutung pada akhir daur diperkirakan memiliki diameter yang mencapai 40 cm dengan tinggi bebas cabang 12 m dan volume kayu sebesar 0,84 m3; (9) harga getah jelutung Rp6.000,00 per kg dan harga getah karet Rp10.000,00 per kg; (10) harga kayu pohon jelutung berdiri sebesar Rp450.000,00 per m3. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat usaha budi daya jelutung rawa pola monokultur dan pola agroforestry diperoleh nilai NPV, BCR, dan IRR seperti pada Tabel 27. Tabel 27. Analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa seluas 1 ha dengan nilai NPV, BCR dan IRR pada suku bunga 12% Pola Tanam
NPV (Rp)
BCR
IRR
Monokultur jelutung
29.933.289,52
7,88
20%
Mixed cropping jelutung-karet
69.799.338,00
8,68
29%
Berdasarkan hasil analisis finansial tersebut maka diketahui bahwa usaha budi daya jelutung rawa layak untuk dikembangkan, baik secara monokultur maupun mixed cropping. Pola mixed cropping jelutung-karet lebih banyak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pola monokultur jelutung. Pada Tabel 27 terlihat bahwa tanaman jelutung pola monokultur memberikan keuntungan sebesar Rp29.933.289,52 dalam luasan 1 ha. Nilai ini berbeda dengan hasil penelitian sejenis yang dilakukan oleh Karyono (2008) yang memperoleh nilai pendapatan usaha jelutung mencapai Rp134.481.000,00 per ha. Hal ini disebabkan
176
adanya perbedaan asumsi yang digunakan. Pada penelitian tersebut digunakan asumsi volume kayu per ha mencapai 588 m3 dan asumsi getah jelutung umur 8â&#x20AC;&#x201C;12 tahun mencapai 3 kg/bulan/pohon, umur 13â&#x20AC;&#x201C;30 tahun mencapai 5 kg/bulan/pohon. Analisis finansial oleh Budiningsih & Ardhana (2011) menghasilkan nilai pendapatan usaha budi daya jelutung rawa pola monokultur sebesar Rp21.055.063,00 dan pola mixed cropping jelutung rawa-karet sebesar Rp59.693.845,00 per ha. 7.3 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan suku bunga, jumlah produksi kayu dan harga kayu turun 50%. Rekapitulasi analisis terhadap analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa seperti pada Tabel 28. Tabel 28. Rekapitulasi analisis sensitivitas kelayakan usaha budi daya jelutung rawa Pola tanam
Harga getah karet turun 50%
Harga kayu turun 50%
Suku bunga 20%
68.717.893,00
18.041.160,00
Mixed cropping jelutung rawa-karet NPV (Rp)
35.965.115,00
IRR
23%
29%
29%
BCR
6,04
8,28
8,68
Monokultur jelutung rawa NPV (Rp)
29.433.289,52
27.747.869,96
664.828,11
IRR
20%
20%
20%
BCR
7,88
6,97
7,88
177
Berdasarkan analisis sensitivitas tersebut diketahui bahwa usaha budi daya tanaman jelutung rawa baik pada pola campuran dengan karet maupun monokultur cukup kuat terhadap perubahan harga getah karet (turun 50%) ataupun perubahan harga kayu jelutung rawa (turun 50%). Pada tingkat suku bunga 20% usaha budi daya jelutung rawa, baik pola campuran jelutung-karet maupun pola monokultur jelutung, masih layak untuk diusahakan. Hasil analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa dan uraian di atas menunjukkan bahwa pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara ekonomi layak dilakukan.
178
Bab VIII PENGARUH LINGKUNGAN AGROFORESTRY JELUTUNG RAWA Pengaruh lingkungan pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi dianalisis berdasarkan tiga parameter: (1) kesuburan tanah, (2) kondisi iklim mikro, dan (3) teknologi amelioran ramah lingkungan. 8.1 Kesuburan Tanah Unsur kesuburan tanah yang dianalisis adalah (1) sifat kimia gambut yang terdiri atas pH H2O, N-total, C-organik, K dapat ditukar (K-dd), Na-dd, Ca-dd, Mg-dd, Kapasitas Tukar Kation (KTK), Al-dd, H-dd, Kejenuhan Basa (KB), Kejenuhan Al, Kejenuhan H, P-total, K-total, P-tersedia, Fe, dan SO4; (2) sifat fisik gambut yaitu tingkat kematangan gambut; (3) sifat biologi gambut yaitu kelimpahan makro fauna tanah. 8.1.1
Sifat Kimia Gambut
Tabel 29 menyajikan data hasil analisis laboratorium sifat kimia gambut yang digunakan untuk budi daya jelutung rawa dengan sistem agroforestry pada lahan gambut terhadap pertanian monokultur dari jenis tanaman hortikultura, dan terhadap lahan gambut terlantar (padang pakis). Data tersebut menunjukkan bahwa parameter pH, Al-dd, H-dd, Kejenuhan Al, dan Kejenuhan H lahan gambut yang ditanami dengan jelutung rawa pola agroforestry lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut yang ditanami dengan tanaman semusim monokultur. Sebaliknya; parameter N-total, C-organik, K-dd, Ca-dd, Na-dd,
179
Mg-dd, KTK, KB, P-total, K-total, P Bray 1, dan SO4 lahan gambut yang ditanami dengan jelutung rawa pola agroforestry lebih rendah dibandingkan dengan lahan gambut yang ditanami dengan tanaman semusim monokultur. Parameter C-organik, Nadd, Mg-dd, KTK, H-dd, Kejenuhan H, K-total, dan SO4 lahan gambut yang ditanami dengan jelutung rawa pola agroforestry lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut terlantar. Sebaliknya; parameter pH, N-total, K-dd, Ca-dd, KB, P-total, dan P Bray-1 lahan gambut yang ditanami dengan jelutung rawa pola agroforestry lebih rendah dibandingkan dengan lahan gambut terlantar. Kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi (90â&#x20AC;&#x201C;200 me/100 gr) pada semua tipologi lahan gambut pada penelitian ini dengan Kejenuhan Basa (KB) yang sangat rendah dapat menyebabkan ketersedian hara; terutama K, Ca, dan Mg menjadi sangat rendah. Selain itu, Kejenuhan Basa (KB) yang sangat rendah pada semua tipologi lahan gambut harus ditingkatkan mencapai 25â&#x20AC;&#x201C;30% agar basa-basa tertukar dapat dimanfaatkan tanaman (Hardjowigeno, 1996). C/N gambut yang tinggi (>30) menyebabkan hara nitrogen kurang tersedia untuk tanaman, sekalipun hasil analisis N total menunjukkan angka yang tinggi. Unsur P dalam tanah gambut terdapat dalam bentuk P-organik dan kurang tersedia bagi tanaman. Pemupukan P dengan pupuk yang cepat tersedia akan menyebabkan ion phosphat mudah tercuci dan mengurangi ketersediaan hara P bagi tanaman. Penambahan besi dapat mengurangi pencucian P (Soewono, 1997). Pencucian P dapat diperkecil dengan menambahkan tanah mineral kaya besi dan Al (Salampak, 1999).
180
Tabel 29. Data hasil analisis laboratorium sifat kimia gambut Lokasi Parameter
Kalampangan
Agroforestry
pH
3,94
N-total (%)
0,40
C-organik (%)
Tumbang Nusa
Pertanian Monokultur 3,93 0,45
Agroforestry 3,67 0,37
Lahan Terlantar 4,00 0,43
48,58
51,78
55,12
54,76
121,45
115,07
148,97
127,35
K-dd (me/100g)
0,076
0,15
0,09
0,12
Na-dd (me/100g)
0,014
0,06
0,04
0,03
Ca-dd (me/100g)
2,34
4,13
1,28
2,47
Mg-dd (me/100g)
1,76
2,58
0,90
0,88
Nisbah C/N
KTK (me/100g)
147,50
361,17
137,50
90,83
Al-dd (me/100g)
2,40
2,30
0
0
H-dd (me/100g)
5,27
3,03
2,83
2,00
KB (%)
2,86
3,76
1,80
4,24
Kejenuhan Al (%)
20,80
19,73
0
0
Kejenuhan H (%)
48,94
26,66
55,29
37,18
P-total (mg/100 gr P2O5) K-total (mg/100 gr P2O5) P Bray-1 (ppm)
4,21
24,50
7,82
12,71
4,32
18,33
6,94
5,51
SO4 (ppm)
12,55
12,59
19,36
29,82
102,12
119,20
112,66
101,69
Tabel 30 menjelaskan tentang kriteria penilai sifat kimia tanah (untuk tanah mineral). Kriteria tersebut digunakan sebagai pembanding, karena kriteria penilai sifat kimia tanah khusus untuk gambut belum ada.
181
Tabel 30. Kriteria penilaian sifat kimia tanah Sifat Tanah
Sangat Rendah
C (%) N (%) C/N P205 HCl (mg/100 g) P205 Bray-1 (ppm) P205 Olsen (ppm) K2O HCl 25% (mg/100 g) KTK (me/100 g) Susunan Kation: K (me/100 g) Na (me/100 g) Mg (me/100 g) Ca (me/100 g) Kejenuhan: Basa (%) Alumunium (%) Kriteria pH H2O
Rendah
Sedang
<1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 <0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 <5 5-10 11-15 <10 10-20 21-40 <10 10-15 16-25 <10 10-25 26-45 <10 10-20 21-40
Tinggi
Sangat Tinggi
3,01-5,00 0,51-0,75 16-25 41-60 26-35 46-60 41-60
>5,00 >0,75 >25 >60 >35 >60 >60
<5
5-16
17-24
25-40
>40
<0,1 <0,1 <0,4 <2
0,1-0,2 0,1-0,3 0,4-1,0 2-5
0,3-0,5 0,4-0,7 1,1-2,0 6-10
0,6-1,0 0,8-1,0 2,1-8,0 11-20
>1,0 >1,0 >8,0 >20
<20 <10
20-35 10-20
36-50 21-30
51-70 31-60
>70 >60
Sangat Masam
Masam
Agak Masam
Netral
Agak Alkalis
Alkalis
<4,5
4,5-5,5
5,6-6,5
6,6-7,5
7,6-8,5
>8,5
Sumber: Hardjowigeno (1996)
Kriteria penilai sifat kimia tanah pada Tabel 30 menunjukkan bahwa ketiga tipologi penutupan lahan gambut mempunyai pH yang termasuk kategori sangat masam (<4,5). Kandungan N termasuk kategori sedang (0,21–0,5). Kandungan C-organik termasuk kategori sangat tinggi (>5%). Nisbah C/N termasuk kategori sangat tinggi (>25%). Kandungan P (metode
182
P2O5 HCl) untuk lahan gambut yang ditanami jelutung rawa dengan sistem agroforestry termasuk kategori sangat rendah (<10 mg/100 g), untuk lahan gambut yang ditanami tanaman pertanian monokultur termasuk kategori sedang (21–40 mg/100 g), sedangkan lahan gambut terlantar termasuk kategori rendah (10–20 mg/100 g). Kandungan P (metode P2O5 Bray-1) untuk lahan gambut di Kelurahan Kalampangan (agroforestry jelutung dan pertanian monokultur) termasuk kategori rendah (10–15 ppm), untuk lahan gambut di Desa Tumbang Nusa yang ditanami jelutung rawa sistem agroforestry termasuk kategori sedang (16– 25 ppm), sedangkan lahan gambut terlantar termasuk kategori tinggi (26–35 ppm). Kandungan K untuk tipologi penutupan lahan gambut
agroforestry jelutung dan lahan terlantar mempunyai kategori sangat rendah (<10 mg/100g), untuk lahan pertanian monokultur termasuk kategori rendah (10–20 mg/100g). Kapasitas pertukaran kation (KTK) untuk ketiga tipologi penutupan lahan gambut mempunyai kategori sangat tinggi (>40 me/100 g). Kandungan K-dd untuk lahan agroforestry jelutung termasuk kategori sangat rendah (<0,1 me/100g), untuk lahan pertanian monokultur termasuk kategori rendah (0,1–0,2 me/100g). Kandungan Na-dd untuk ketiga tipologi penutupan gambut termasuk kategori sangat rendah (<0,1 me/100g). Kandungan Ca-dd untuk agroforestry jelutung dan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan serta lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa termasuk kategori rendah (2–5 me/100g), sedangkan lahan agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa termasuk kategori sangat rendah (<2,0 me/100g). Kandungan Mg-dd untuk lahan agroforestry jelutung dan pertanian monokultur di kelurahan Kalampangan termasuk kategori sangat tinggi (>1,0 me/100g), untuk lahan agroforestry jelutung dan lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa termasuk kategori rendah (0,4–1,0
183
me/100g). Kejenuhan Basa (KB) untuk ketiga tipologi penutupan lahan termasuk kategori sangat rendah (<20%). Kejenuhan Al untuk lahan agroforestry termasuk kategori sedang (21â&#x20AC;&#x201C;30%), sedangkan lahan pertanian monokultur termasuk kategori rendah (10â&#x20AC;&#x201C;20%). 8.1.2
Sifat Fisika Gambut
Menurut Hardjowigeno (1996), sifat-sifat fisika tanah gambut yang penting adalah tingkat dekomposisi tanah gambut, kerapatan lindak, kering tak balik dan subsiden. Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut. Berdasarkan tingkat pelapukan (dekomposisi), tanah gambut dibedakan menjadi (1) gambut kasar (fibrik), yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organik kasar; (2) gambut sedang (hemik), memiliki 1/3â&#x20AC;&#x201C;2/3 bahan organik kasar; (3) gambut halus (saprik), jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki kerapatan lindak yang lebih besar daripada gambut kasar (Hardjowigeno, 1996). Kadar lengas gambut (peat moisture) ditentukan oleh kematangan gambut. Pada gambut alami, kadar lengas gambut sangat tinggi mencapai 500â&#x20AC;&#x201C;1.000% bobot, sedangkan yang telah mengalami dekomposisi sekitar 200â&#x20AC;&#x201C;600% bobot. Kadar lengas gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari gambut sapris dan hemik, namun kemampuan fibrik memegang air lebih
184
lemah dari gambut hemik dan saprik (Noor, 2001). Tingginya kemampuan gambut menyerap air menyebabkan tingginya volume pori-pori gambut sehingga mengakibatkan rendahnya kerapatan lindak dan daya dukung gambut (Mutalib et al., 1991). Penetapan tingkat kematangan gambut dilakukan dengan prosedur (BB Litbang SDLP, 2008): 1)
mengambil segenggam gambut segar dan memasukkannya ke dalam syringe bervolume 10 ml atau 25 ml,
2)
menekan pompa syringe dan mencatat volume sewaktu gambut tidak bisa lagi dimampatkan sebagai volume 1,
3)
memindahkan gambut dari dalam syringe ke dalam ayakan dengan ukuran lubang 150 Âľm atau 0, 0059 inci,
4)
menggunakan botol semprot atau semprotan air atau aliran kran air untuk membilas gambut yang halus,
5)
memindahkan serat kasar ke dalam syringe sesudah serat halus lolos dari ayakan, lalu memampatkannya dan mencatat volume serat kasat sebagai volume 2,
6)
menghitung kadar serat dengan rumus: Kadar Serat =
7)
.
tingkat kematangan gambut (seperti terlihat pada Gambar 48) ditentukan berdasarkan berdasarkan kriteria: (1) gambut saprik (matang) yaitu gambut yang sudah melapuk dan kadar seratnya <15%, (2) gambut hemik (setengah matang) yaitu gambut setengah lapuk dan kadar seratnya 15â&#x20AC;&#x201C;75%, (3) gambut fibrik (mentah) yaitu gambut yang belum melapuk dan kadar seratnya >75%.
185
Gambar 48. Prosedur penentuan tingkat kematangan gambut
Hasil analisis tingkat kematangan gambut untuk lahan
agroforestry jelutung, lahan pertanian monokultur, dan lahan terlantar dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada gambut lahan agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa (kode AFTN) mempunyai tingkat dekomposisi saprik–hemik, hemik, saprik dan hemik–fibrik. Gambut lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa (kode LTTN) mempunyai tingkat dekomposisi hemik–fibrik, hemik dan fibrik. Hal ini menandakan bahwa lahan gambut yang ditanami jelutung dengan sistem agroforestry mempunyai tingkat kematangan yang lebih lanjut dibandingkan lahan gambut terlantar. Gambut lahan agroforestry jelutung di Kelurahan Kalampangan (kode AFKL) mempunyai tingkat dekomposisi saprik–hemik, hemik–fibrik dan saprik. Gambut lahan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan (kode PMKL) mempunyai tingkat dekomposisi saprik–hemik, hemik–fibrik dan hemik. Hal tersebut di atas menandakan bahwa lahan gambut yang ditanami jelutung dengan sistem agroforestry
186
mempunyai tingkat kematangan yang lebih lanjut dibandingkan lahan pertanian monokultur. 8.1.3
Sifat Biologi Gambut
Hasil pengamatan makrofauna tanah pada lokasi Kelurahan Kalampangan yang membandingkan dua kondisi penutupan lahan yaitu lahan agroforestry jelutung dan lahan pertanian monokultur seperti terlihat pada Gambar 49 dan 50. Hasil pengamatan makrofauna tanah pada lokasi Desa Tumbang Nusa yang membandingkan dua kondisi penutupan lahan yaitu lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar seperti terlihat pada Gambar 51 dan Gambar 52. Hasil identifikasi pada Gambar 49 menjelaskan bahwa makrofauna yang terdapat di lahan gambut Kelurahan Kalampangan yang ditanami jelutung rawa dengan sistem agroforestry berjumlah 507 ekor yang terbagi kedalam 8 ordo (+ 1 tak teridentifikasi). Makrofauna yang terdapat di lahan gambut Kelurahan Kalampangan yang penutupan lahannya berupa pertanian monokultur berjumlah 466 ekor yang terbagi ke dalam 9 ordo. Data pada Gambar 49 dan 50 menunjukkan bahwa makrofauna tanah yang menghuni lahan gambut di Kelurahan Kalampangan yang penutupannya berupa agroforestry jelutung lebih beragam apabila dibandingkan dengan lahan gambut yang penutupannya berupa pertanian monokultur. Perbandingan keberadaan makrofauna yang terdapat di lahan agroforestry jelutung dengan lahan pertanian monokultur adalah orthoptera = 4 : 3, chilopoda = 1 : 1, arachnida = 3 : 2, hymenoptera = 4 : 5, diptera = 2 : 1, coleoptera = 11 : 5, scorpionida = 1 : 0, hemiptera = 1 : 1, thysanoptera = 0 : 1, lepidoptera = 0 : 1, dan tak teridentifikasi = 3 : 0.
187
Gambar 49. Hasil identifikasi makrofauna tanah per ordo pada lahan agroforestry jelutung dengan lahan pertanian monokultur di Kalampangan
188
Gambar 50. Jumlah famili masing-masing ordo makrofauna tanah pada lahan agroforestry jelutung dan lahan pertanian monokultur di Kalampangan
Hasil identifikasi seperti tersaji pada Gambar 51 menjelaskan bahwa makrofauna yang terdapat di lahan gambut Desa Tumbang Nusa yang ditanami jelutung rawa dengan sistem agroforestry berjumlah 198 ekor yang terbagi ke dalam 8 ordo. Makrofauna yang terdapat di lahan gambut Desa Tumbang Nusa yang penutupan lahannya berupa lahan terlantar (padang pakis) berjumlah 69 ekor yang terbagi ke dalam 6 ordo. Data pada Gambar 51 dan 52 menunjukkan bahwa makrofauna tanah yang menghuni lahan gambut di Desa Tumbang Nusa yang penutupannya berupa agroforestry jelutung lebih beragam bila dibandingkan dengan lahan gambut yang penutupannya berupa padang pakis (lahan terlantar). Perbandingan keberadaan makrofauna yang terdapat di lahan agroforestry jelutung dengan lahan terlantar adalah orthoptera = 3 : 2, chilopoda = 1 : 0,
189
arachnida = 2 : 1, hymenoptera = 2 : 4, diptera = 2 : 2, coleoptera = 6 : 1, hemiptera = 3 : 1, diptera = 2 : 2, dan anura = 1 : 0.
Gambar 51. Hasil identifikasi makrofauna tanah per ordo pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa
Gambar 52. Jumlah famili pada masing-masing ordo makrofauna tanah pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa
190
Hasil penghitungan indeks kesamaan komunitas Morisita menunjukkan bahwa makrofauna tanah yang terdapat di lahan agroforestry jelutung mempunyai kesamaaan atau identik dengan makrofauna tanah yang terdapat di lahan pertanian monokultur pada lahan gambut di Kelurahan kalampangan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks 0,95. Hasil yang sama juga berlaku pada lahan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa. Kedua penutupan lahan gambut tersebut mempunyai jenis makrofauna yang identik dengan nilai indeks 0,83. Berdasarkan penghitungan indeks keragaman Shannon diperoleh hasil: (1) lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Kelurahan Kalampangan mempunyai tingkat keragaman makrofauna tanah sedang dengan nilai indeks 1,8; (2) lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan mempunyai tingkat keragaman makrofauna tanah rendah dengan nilai indeks 1,2; (3) lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung dan lahan terlantar di Desa Tumbang Nusa mempunyai tingkat keragaman makrofauna tanah sedang dengan nilai indeks 1,62 dan 1,698. Indeks Nilai penting (INP) dan kelimpahan (n/m2) makrofauna tanah di permukaan tanah dan di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung dan lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan, serta lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung dan lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa disajikan pada Tabel 31.
191
Tabel 31. Indeks Nilai Penting (INP) dan kelimpahan makrofauna tanah Makrofauna
Kelompok Tipologi
Orthoptera
Chilopoda
Arachnida
Hymenoptera
Diptera
192
Indeks Nilai penting (INP) (%)
Kelimpahan (n/m2)
p-AfKL
61,54
1.654,33
p-PMKL
80,90
1.984,21
p-AfTN
67,00
705,26
p-LTTN
52,17
189,47
d-AfKL
141,82
124,80
d-PMKL
100,00
51,20
d-AfTN
5,26
3,20
d-LTTN
117,24
54,40
p-AfKL
2,37
63,63
p-PMKL
1,93
47,37
p-AfTN
1,00
10,53
d-AfKL
14,55
12,80
d-PMKL
37,50
19,20
d-AfTN
5,26
3,20
d-LTTN
41,38
19,20
p-AfKL
8,68
233,30
p-PMKL
8,37
205,26
p-AfTN
12,00
126,32
p-LTTN
28,99
105,26
p-AfKL
18,15
487,81
p-PMKL
4,94
121,05
p-AfTN
9,00
94,74
p-LTTN
13,04
47,37
d-AfKL
10,91
9,60
p-AfKL
3,75
100,74
p-PMKL
0,43
10,53
p-AfTN
2,00
21,05
p-LTTN
2,90
10,53
d-PMKL
6,25
3,20
Coleoptera
p-AfKL
4,54
121,95
p-PMKL
2,79
68,42
p-AfTN
6,00
63,16
p-LTTN
1,45
5,26
d-AfKL
29,09
25,60
d-PMKL
56,25
28,80
d-AfTN
184,21
112,00
d-LTTN
41,38
19,20
p-AfKL
0,20
5,30
p-AfKL
0,20
5,30
p-PMKL
0,21
5,26
p-AfTN
2,50
26,32
p-LTTN
1,45
5,26
d-AfKL
3,64
3,20
Thysanoptera
p-PMKL
0,21
5,26
Lepidoptera
p-PMKL
0,21
5,26
Anura
p-AfTN
0,50
5,26
Nematoda
d-AfTN
5,26
3,20
tak teridentifikasi p-AfKL
0,59
15,91
Scorpionida Hemiptera
Keterangan: p-AfKL = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Kelurahan Kalampangan p-PMKL = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan p-AfTN = di permukaan tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa p-LTTN = di permukaan tanah pada lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa d-AFKL = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Kelurahan Kalampangan d-PMKL = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur di Kelurahan Kalampangan d-AfTN = di dalam tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung di Desa Tumbang Nusa d-LTTN = di dalam tanah pada lahan gambut terlantar di Desa Tumbang Nusa
193
Makrofauna tanah merupakan salah satu kelompok organisme yang penting dalam ekosistem tanah. Klasifikasi makrofauna tanah menurut kebiasaan makan dan penyebarannya dalam profil tanah seperti uraian berikut (Suin, 1997). 1.
Jenis epigeik; yaitu fauna tanah yang hidup dan makan di permukaan tanah. Invertebrata ini berperan dalam pelumatan (comminution) serasah menjadi ukuran yang lebih kecil dan pelepasan hara (mineralisasi); tetapi tidak aktif dalam redistribusi bahan organik ke dalam profil tanah. Termasuk dalam kelompok fauna ini antara lain semut (Hymenoptera), kumbang (Coleoptera), kelabang (Chilopoda), kaki seribu (Diplopoda), dan belalang (Acrididae).
2.
Jenis anesik; yaitu fauna tanah yang memindahkan serasah dari permukaan tanah dan dibawa masuk ke dalam profil tanah, melalui aktivitas makannya. Contoh jenis ini adalah Oligochaeta dan Isoptera yang memindahkan serasah ke dalam sarangnya.
3.
Jenis endogenik; yaitu fauna tanah yang hidup di dalam tanah dan memakan bahan organik seperti akar yang mati. Ada dua kelompok utama dalam kategori ini yaitu Oligochaeta dan Isoptera. Jenis ini merupakan pemakan humus yang dapat naik turun dalam tanah.
Salah satu peran yang sangat penting dari makrofauna tanah adalah sebagai soil engineers. Fauna yang termasuk dalam kelompok ini antara lain rayap, semut, dan cacing (Jouquet et al., 2006). Peranan mereka sangat penting karena berpengaruh terhadap daya dukung tanah dan ketersediaan sumber daya bagi organisme lain, termasuk mikroorganisme dan tumbuhan. Ecosystem engineers adalah organisme yang secara langsung
194
atau tidak langsung mengatur ketersediaan sumber daya untuk spesies lain melalui perubahan sifat fisik material biotik dan abiotik (Jouquet et al., 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe penutupan lahan gambut yang berbeda mempunyai kelimpahan makrofauna tanah yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis makrofauna tanah di suatu daerah sangat tergantung pada faktor lingkungan yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Menurut Suin (1997), faktor fisika-kimia tanah merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam mempelajari ekologi makrofauna tanah. Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai makrofauna tanah. Aktivitas makrofauna tanah akan sangat membantu proses dekomposisi dalam tanah. Keberadaan makrofauna tanah di dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan, seperti bahan organik dan biomassa hidup. Rahmawaty (2004) menjelaskan bahwa proses dekomposisi oleh makrofauna tanah dimulai dengan cara makrofauna meremah substansi habitat yang telah mati, kemudian materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses. Butiran-butiran feses tersebut selanjutnya dimakan oleh mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, feses juga dapat juga dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi fauna ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh mikroorganisme, terutama bakteri, hingga proses
195
mineralisasi. Mikroorganisme yang telah mati melalui proses tersebut akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan kembali oleh tumbuh-tumbuhan. Perbedaan kelimpahan makrofauna tanah dalam penelitian ini disebabkan oleh faktor-faktor (Rahmawaty, 2004): 1)
struktur tanah yang akan berpengaruh pada gerakan dan penetrasi,
2)
kelembaban tanah dan kandungan hara yang akan berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup,
3)
suhu tanah yang akan mempengaruhi peletakan telur,
4)
cahaya dan kegiatannya.
tata
udara
yang
akan
mempengaruhi
Pendapat lain dikemukakan oleh Decaens et al. (1998) yang menyebutkan ada dua faktor utama yang memengaruhi komunitas makrofauna tanah: (1) struktur vegetasi yang mengakibatkan beragamnya habitat mikro dan kondisi lingkungan tempat hidupnya, dan (2) kualitas biomassa serasah di atas tanah. Vohland & Schroth (1999) menambahkan bahwa jumlah individu makrofauna pada sistem agroforestry sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman. Makrofauna tanah dapat digunakan sebagai alat mengukur kualitas tanah secara integratif dengan mengasumsikan perannya yang penting dalam mengatur proses-proses yang sangat vital bagi kelangsungan pembentukan tanah dan melindungi tanah dari kerusakan (Bruyn, 1999). Kehadiran, ketidakhadiran, atau kelimpahan suatu organisme dapat mengindikasikan sesuatu (Elliot, 1997). Keragaman serasah yang jatuh juga dapat mempengaruhi struktur komunitas makrofauna tanah (Laossi et al., 2008). Ekosistem tanah dengan biodiversitas yang rendah dianggap kurang ulet, lebih rapuh terhadap gangguan, dan pada
196
akhirnya tidak dapat berfungsi sebagaimana ekosistem tanah dengan biodiversitas yang tinggi (Bruyn, 1999). Pada tanah yang rusak, kompleksitas dan biomasa faunanya juga menurun (Lavelle et al., 1994). Setiap perubahan yang terjadi pada kemampuan tanah berpengaruh terhadap makrofauna tanah (Lavelle et al., 2006). Contohnya; biomasa cacing tanah dapat dijadikan indikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah, dan kualitas humus; sedangkan rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik (Maftuâ&#x20AC;&#x2122;ah et al., 2005). Bruyn (1999) menyatakan bahwa keragaman semut selalu rendah pada lahan pertanian dibandingkan dengan vegetasi alami. Salah satu pendekatan dalam mengelola kesuburan tanah agar menyerupai ekosistem alami adalah membangun komposisi tegakan sehingga hampir menyerupai komunitas hutan, caranya dengan mencampur tanaman tahunan dengan tanaman semusim (Brown et al., 1994). Sistem agroforestry berbasis jenis jelutung rawa memberikan tawaran yang cukup menjanjikan bagi pemulihan fungsi hutan yang hilang setelah dialihfungsikan. Pencampuran komposisi jenis tanaman berumur pendek dengan pohon jelutung rawa dalam satu bidang lahan dapat menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, melalui terpeliharanya sifat fisik dan kesuburan tanah; meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran; mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran (Widianto et al., 2003). Selain itu, komposisi juga meningkatkan kekayaan jenis fauna tanah, memacu proses dekomposisi dan siklus hara (Zimmer, 2002). Berdirinya tegakan pohon jelutung rawa dapat menekan laju evaporasi dan mengurangi intensitas sinar matahari sehingga akan membentuk iklim mikro yang kondusif bagi kehidupan mikroorganisme dan
197
tanaman, terutama pada musim kering. Sementara itu, penetrasi akar tanaman ke dalam profil tanah dapat menciptakan lapisan subsoil yang berbentuk granula dan menciptakan pori yang tidak mudah tersumbat sehingga memacu perkembangan mikromorfologi tanah (Utomo, 1990). Keberadaan pohon jelutung dalam sistem agroforestry juga memberikan masukan bahan organik melalui pangkasan dan biomassa yang gugur berupa daun, cabang, dan ranting. Perbedaan penggunaan lahan (Lavelle, 1994), nisbah C/N pada berbagai tipe serasah (Sileshi et al., 2008), serta praktik pengelolaan lahan dan penggunaannya akan memengaruhi kelimpahan dan komposisi makrofauna tanah (Baker, 1998). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan, dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian dapat menyebabkan terjadinya penurunan biodiversitas makrofauna tanah (Maftuâ&#x20AC;&#x2122;ah et al., 2005). Pengolahan tanah pada pertanian monokultur tersebut juga meningkatkan oksidasi bahan organik melalui pemecahan agregat dan dapat memperluas permukaan bahan organik sehingga mudah dihancurkan mikroba (Brown et al. 1994). Pengaruh pengolahan tanah terhadap organisme berbeda sesuai kedalamannya, yaitu dampak negatifnya akan lebih rendah pada lapisan yang lebih dalam dan aktivitas biota tanah lebih tinggi pada tanah yang tidak diolah (Miura et al., 2008). Musim, tempat dan kedalaman tanah (Harsoyo, 2002), sistem penggunaan lahan (Prijono 1999), suhu dan kelembaban tanah (Konstantin et al., 2008), jenis vegetasi dan tumbuhan bawah (Aquino et al., 2008), serta habitat mikro (Miranda et al., 2009) berpengaruh terhadap kelimpahan jenis makrofauna tanah. Mengingat perannya yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus hara di dalam tanah, maka penurunan populasi makrofauna tanah dikhawatirkan akan membawa dampak menurunnya kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.
198
8.2 Kondisi Iklim Mikro Penanaman jelutung secara tumpangsari dengan tanaman semusim pada satu tempat dan waktu yang bersamaan merupakan pola dasar sistem agroforestry. Pada sistem agroforestry, terjadi interaksi yaitu adanya proses yang saling memengaruhi dari komponen-komponen penyusun agroforestry seperti ditunjukkan pada Gambar 53. Interaksi tersebut bisa positif (komplimentasi) atau negatif (kompetisi). Beberapa pengaruh pohon jelutung yang merugikan bila ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim, antara lain: 1)
kompetisi cahaya, yaitu pohon jelutung tumbuh lebih tinggi daripada tanaman semusim sehingga kanopinya akan menaungi tanaman semusim,
2)
kompetisi air dan hara, yaitu pepohonan dan tanaman semusim yang berkembang di lapisan yang sama akan saling berebut air dan hara sehingga mengurangi jumlah yang dapat diserap tanaman semusim,
3)
inang penyakit, yaitu pohon jelutung dapat menjadi inang hama dan penyakit untuk tanaman semusim.
Pengaruh positif penanaman pohon jelutung ditumpangsarikan dengan tanaman semusim, antara lain: 1)
yang
sumber bahan organik, yaitu daun pohon jelutung yang gugur dan hasil pangkasan yang dikembalikan ke dalam tanah dapat menjadi rabuk sehingga tanah menjadi remah, jatuhan bagian-bagian tanaman yang telah mati dan kering memiliki peranan sangat penting bagi keharaan tanah gambut di kawasan hutan gambut; pada ekosistem alamiah, kandungan hara dalam bagian-bagian tanaman yang jatuh diyakini sebanding dengan jumlah hara yang diserap oleh
199
tanaman yang tumbuh di atas permukaan tanah (Zimmer, 2002), 2)
menekan gulma, yaitu naungan pohon dapat menekan pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah sehingga mengurangi risiko kebakaran pada musim kemarau,
3)
mengurangi kehilangan hara, yaitu akar pohon jelutung yang dalam dapat memperbaiki daur ulang hara melalui beberapa cara: (1) akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi dengan tanaman pangan sehingga mengurangi pencucian hara ke lapisan yang lebih dalam (namun, pada batas tertentu kompetisi ini akan merugikan tanaman pangan); (2) akar pohon berperan sebagai "jaring penyelamat hara" yaitu menyerap hara yang tidak terserap oleh tanaman pangan pada lapisan bawah selama musim pertumbuhan; (3) akar pohon berperan sebagai "pemompa hara" yaitu menyerap hara pada lapisan bawah; (4) akar pohon berperan memperbaiki struktur tanah dan porositas tanah; (5) menjaga kestabilan iklim mikro, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembaban tanah, dan memberikan naungan parsial; (6) mengurangi bahaya amblesan (subsiden) melalui pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan organik tanah dan struktur tanah.
200
Keterangan: a = naungan; b = kompetisi terhadap air dan hara; c = daun gugur (serasah) dari pohon berguna untuk menambah C, N, P dan hara lainnya; d = pohon berperakaran dalam berperanan penting sebagai jaring penyelamat hara yang tercuci ke lapisan bawah
Gambar 53. Interaksi jelutung dengan tanaman semusim pada sistem agroforestry (alleycropping)
Hubungan antara lahan gambut dengan sistem agroforestry berbasis jenis jelutung adalah lahan gambut sebagai sumber daya dengan gatra (aspect) bentangan (space) dan habitat, sedangkan sistem agroforestry berbasis jelutung sebagai sistem masukan (input system) yang dipadukan dengan lahan induk sebagai sistem induk (parent system) membentuk suatu sistem produksi (production system) (Notohadiprawiro, 2006). Lahan gambut mempunyai nilai pakai dan menyediakan kesempatan untuk dipakai yang tercakup dalam pengertian kemampuan (capability). Sistem agroforestry berbasis jenis jelutung memiliki daya pakai dan bertindak sebagai pelaku (agent) yang menjelmakan kemampuan aktual (produktivitas) dari kemampuan hakiki (intrinsic) lahan. Perbedaan antara kemampuan hakiki dan kemampuan aktual merupakan ukuran
201
kemampuan potensial. Hal ini tergantung pada kemempanan (effectiveness) pelaku sehingga perbedaan ini dapat kecil atau besar. Kerja pelaku yang semakin mempan berarti lahan terpakai semakin sempurna dan keluaran (out-put) sistem produksi semakin mendekati keluaran potensial atau maksimum. Pencapaian keluaran potensial pada lazimnya dibatasi oleh pertimbangan ketersediaan teknologi, kejituan (efficiency) ekonomi, kelayakan sosial-budaya, dan/atau keterizinan dampak lingkungan. Sasarannya adalah keluaran yang optimum. Pengoptimuman keluaran ini masih ditentukan pula oleh kemempanan dakhil (internal effectiveness) sistem agroforestry berbasis jelutung. Hal ini berarti kemempanan total saling tindak (interaction) antar anasir sistem agroforestry berbasis jelutung, dan kemempanan pemaduan agroforestry sebagai sistem masukan dengan lahan sebagai sistem induk (Notohadiprawiro, 2006). Hasil pengukuran iklim mikro terhadap tiga kondisi penutupan lahan: agroforestry jelutung, pertanian monokultur, dan lahan gambut terlantar menunjukkan bahwa lahan gambut berpenutupan agroforestry jelutung mempunyai iklim mikro yang lebih baik. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Gambar 54. Iklim mikro adalah kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas. Komponen iklim ini penting artinya bagi kehidupan tanaman dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian (Syakir, 1994). Keberadaan tajuk jelutung menyebabkan adanya naungan yang akan memengaruhi intensitas radiasi sehingga, selain berpengaruh langsung terhadap tanaman semusim, juga berpengaruh tidak langsung melalui perubahan iklim mikro di sekitar tanaman semusim. Menurut Stigter (1984) naungan berfungsi mencegah terjadinya dispersi tanah, pemindahan uap air dan CO2 di sekitar tajuk tanaman. Naungan oleh tajuk
202
tanaman jelutung memengaruhi intensitas radiasi matahari, suhu udara, suhu tanah, kelembaban relatif udara, dan kelembaban tanah. Semakin tinggi tingkat naungan maka kelembaban tanah dan kelembaban relatif udara semakin besar; sedangkan suhu udara, suhu tanah, dan intensitas radiasi semakin menurun. Semakin tinggi tingkat naungan maka kelembaban relatif udara dan kelembaban tanah semakin tinggi, sedangkan fluktuasi kelembaban semakin kecil. Kelembaban tanah dan kelembaban nisbi udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan tanaman. Intensitas radiasi matahari, suhu udara, suhu tanah, kelembaban nisbi udara, dan kelembaban tanah; semuanya memengaruhi fotosintesis dan respirasi tanaman (Kramer dan Kozlowski, 1960). Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah. Oleh karena itu, suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara; suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah, dan keadaan tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1970), besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsiâ&#x20AC;&#x201C; sebelum sampai pada permukaan tanahâ&#x20AC;&#x201C;tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya.
203
Suhu udara maksimum pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
Kelembaban udara maksimum pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
Suhu tanah pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
Intensitas sinar matahari pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
Gambar 54. Iklim mikro pada penutupan lahan agroforestry dan nonagroforestry
204
8.3 Amelioran Alternatif Pengganti Abu Ameliorasi lahan gambut merupakan salah satu cara yang efektif untuk memperbaiki tingkat kesuburan. Bahan amelioran yang sering digunakan dalam budi daya tanaman di lokasi penelitian adalah abu hasil pembakaran gambut dan tumbuhan gulma (metode besik-bakar). Persoalan utama yang muncul sebagai akibat praktik besik-bakar adalah terjadinya amblesan, yaitu menyusutnya gambut dan menurunnya permukaan lahan. Tabel 32 menyajikan data ketebalan gambut yang terbawa pada praktik besik-bakar. Tabel 32. Ketebalan gambut yang terbawa pada proses pembesikan lahan No. Nama
Ulangan Tebal Besik (cm) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ratarata
1.
Sauji
1,7
3,8
2,2 1,4
1,5
2,1 2,8
1,8
0,3 0,8 1,84
2.
Paijan
0,9
0,6
1,7 1,6
0,8
2,4 0,4
1,0
1,3 1,5 1,22
3.
Slamet
0,9
2,6
1,2 0,9
2,1
1,1 1,0
4,0
0,9 1,0 1,57
4.
Sukino
1,2
2,9
2,7 5,2
0,5
1,1 1,0
3,7
0,9 1,7 2,09
5.
Tiyo
0,8
0,5
0,9 0,5
1,1
0,6 1,1
1,5
1,6 1,4 1,00
6.
Tukijo
6,9 10,8 5,8 7,8 10,9 7,3 7,6 11,6 8,5 7,3 8,45
Catatan: Ukuran besik untuk nomor 1â&#x20AC;&#x201C;5 seukuran mata cangkul (15 x 20 cm). Pada nomor 6 biasa dilakukan pada pertanaman jagung dengan cara mencabut batang jagung sisa panen dengan ukuran diameter 11,5â&#x20AC;&#x201C; 18,5 cm
Tabel 32 menunjukkan ketebalan gambut yang terbawa pada kegiatan besik berkisar antara 1â&#x20AC;&#x201C;8,45 cm dengan ukuran besik seukuran mata cangkul (15 x 20 cm) dan ukuran diameter 11,5â&#x20AC;&#x201C;18,5 cm. Gambar 55 memperlihatkan berat gulma/serasah,
205
berat gambut, dan berat abu yang dihasilkan. Berdasarkan data tersebut, berat gambut yang terbawa pada proses besik-bakar adalah 159,15 ton/ha pada kondisi lahan basah dan 214,8 ton/ha pada saat kondisi lahan gambut kering. Pada kondisi lahan gambut kering, ketebalan gambut yang terbawa saat mencangkul akan lebih besar dibandingkan pada saat lahan basah. Praktik besik-bakar untuk memperoleh abu sebagai bahan amelioran harus segera dihentikan dan diganti dengan sumber amelioran alternatif, yaitu pengomposan bahan organik setempat.
Gambar 55. Rata-rata berat serasah/gulma, gambut, dan abu yang dihasilkan pada kondisi lahan gambut basah dan kering dari lima ulangan
Hasil analisis laboratorium terhadap kandungan hara kompos berbahan baku bahan organik setempat menunjukkan bahwa kompos hasil penelitian dapat digunakan untuk menggantikan abu hasil pembakaran gambut sebagai bahan amelioran. Kompos hasil penelitian mampu meningkatkan pH dan
206
memiliki kandungan unsur hara yang mencukupi. Hal ini sangat diperlukan mengingat lahan ganbut memiliki kandungan beberapa unsur hara makro dan mikro yang rendah (Najiyati et al., 2005). Pengunaan kompos sebagai bahan amelioran akan memberikan hasil yang optimal apabila ditambah dengan bahan amelioran lain seperti kotoran ayam sebagai sumber unsur P dan K (Buckman & Brady, 1969), zeolit sebagai pengikat N (Suryapratama, 2004), batuan fosfat alam (rock phosfat) sebagai sumber unsur P (Moersidi, 1999), dan kapur dolomit sebagai sumber unsur Ca dan Mg (Winarso, 2005). Kompos hasil penelitian yang berasal dari jenis bahan organik yang berbeda menunjukkan kualitas yang berbeda pula. Hal ini menunjukkan bahwa jenis bahan organik yang akan dikomposkan berpengaruh terhadap proses pengomposan dan kualitas kompos yang dihasilkan. Tabel 33 menunjukkan bahwa kompos berbahan baku bahan organik setempat mempunyai kandungan hara yang tidak kalah dengan abu dan telah memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kompos. Salah satu indikator kompos yang baik adalah mempunyai pH mendekati netral. Nilai pH kompos hasil penelitian berkisar antara 6,34â&#x20AC;&#x201C;6,47; sedangkan abu hasil besik-bakar 6,42. Kandungan unsur N kompos hasil penelitian berkisar antara 0,9â&#x20AC;&#x201C; 1,23%; sedangkan abu hasil besik-bakar 0,85%. Kandungan P kompos hasil penelitian berkisar antara 0,5â&#x20AC;&#x201C;0,55%; sedangkan abu hasil besik-bakar 0,14%. Kandungan unsur K kompos hasil penelitian berkisar antara 0,3â&#x20AC;&#x201C;0,43%; sedangkan abu hasil besikbakar 0,34%. Samekto (2006) menyatakan bahwa kompos yang baik mengandung unsur hara makro N >1,5%, P2O5 (Phosfat) >1%, dan K2O (Kalium) >1,5%. Rendahnya kandungan unsur N pada kompos hasil penelitian diduga disebabkan oleh bahan baku kompos yang berasal dari hijauan dedaunan yang menyebabkan pertumbuhan mikroba sangat cepat sehingga sebagian dari
207
nitrogen akan berubah menjadi gas amoniak. Hal ini menyebabkan Nitrogen yang diperlukan akan hilang. Mengatasi hal ini, Samekto (2006) menyarankan kompos dari gulma yang banyak mengandung bahan hijauan agar dicampur dengan bahan-bahan yang mengandung C, seperti limbah serutan kayu. Pencampuran bahan baku yang mengandung C dan N sebesar 30 : 1 (berdasarkan berat) mampu membuat kandungan unsurunsur penyusun proses pembuatan kompos seimbang. Tabel 33. Kandungan unsur hara pada abu, tiga macam kompos, dan nilai SNI No.
Kandungan Unsur
Amelioran Lokal 6,42
Kompos Hasil Penelitian BKK BKT BKM
1.
pH H2O
2.
Karbon (C) (%)
3.
Nitrogen (N) (%)
4.
C/N
5.
Phospor (P2O5)
0,14
0,50
0,55
0,55
0,1 (min)
6.
Kalium (K2O) (%)
0,34
0,30
0,36
0,43
0,2 (min)
7.
Kalsium (Ca) (%)
6,25
3,48
3,30
4,50 25,5 (maks)
8.
Magnesium (Mg) (%)
2,75
1,88
1,59
2,22
0,6 (maks)
9.
Besi (Fe) (%)
0,77
0,26
1,39
0,10
2 (maks)
10. Sulfur (S) (%)
0,49
0,33
0,35
0,18
Na
42,64 0,85 50,36
6,41
6,34
6,47
SNI 197030-2004
39,48 42,13 36,65 0,90
1,23
1,09
76,97 36,41 33,89
6,8â&#x20AC;&#x201C;7,49 9,8â&#x20AC;&#x201C;32 0,4 (min) 10â&#x20AC;&#x201C;20
Nisbah C/N kompos hasil penelitian berkisar antara 36,41â&#x20AC;&#x201C; 76,97; sedangkan abu hasil besik-bakar 50,36. Tingginya nisbah C/N pada kompos hasil penelitian diduga karena bahan organik yang digunakan sebagai bahan kompos merupakan tumbuhan gulma pertanian yang mempunyai kandungan hijauan dengan
208
unsur tinggi, tetapi kemudian menguap menjadi amoniak pada saat proses pengomposan. Banyaknya N yang hilang menyebabkan unsur N dalam kompos rendah sehingga nisbah C/N kompos menjadi tinggi. Kandungan unsur K, P, Mg, Fe, dan S kompos hasil penelitian menunjukkan telah memenuhi SNI sehingga memenuhi syarat untuk kecukupan unsur hara. Hasil analisis terhadap parameter lingkungan yaitu kesuburan tanah, iklim mikro, dan teknologi amelioran ramah lingkungan menunjukkan bahwa pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara lingkungan layak dilakukan.
Gambar 56. Tahapan pembuatan bak tanam dari batako (kiri-atas); profil bak tanam untuk tanaman semusim (sayuran) (kanan-atas); penanaman kacang panjang pada bak tanam (kiri-bawah); dan bedengan pada lahan gambut (kanan-bawah) untuk penanaman tanaman semusim
209
Selain pengomposan, upaya lain yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya penurunan permukaan gambut akibat budi daya tanaman semusim adalah dengan membuat bak tanam berisi tanah mineral sebagai media bercocok tanam tanaman semusim. Tahapan dalam pembuatan bak tanam pada penelitian ini ditampilkan pada Gambar 56. Bahan yang digunakan sebagai dinding bak tanam adalah batako. Tanah subur (tanah mineral) yang didatangkan dari daerah Tangkiling dimasukkan ke dalam bak tanam dari batako yang telah selesai dibuat. Ketebalan lapisan tanah subur yang dihasilkan sekitar 10â&#x20AC;&#x201C; 15 cm. Pada saat digunakan sebagai media tanam, ke dalam bak tanam juga ditambahkan pupuk kandang (pupuk organik) dan pupuk kompos yang ditabur pada lubang tanam tanaman semusim.
Gambar 57. Profil tanaman jagung yang mulai berbuah (muncul tongkol) pada bedengan gambut (kiri) dan bak tanam berisi tanah mineral (kanan)
210
Profil tanaman jagung yang ditanam pada bak tanam dan bedengan gambut menunjukkan bahwa tanaman jagung yang ditanaman di bak tanam mempunyai performansi pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman jagung yang langsung ditanam di bedengan gambut. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk batang tanaman jagung yang lebih kokoh dengan persentase tanaman yang roboh saat bertongkol 0%, sedangkan jagung yang ditanam langsung di tanam di bedengan lahan gambut mempunyai persentase roboh 5% (Gambar 57 dan Gambar 58). Selain itu, ukuran tongkol jagung yang ditanam di bak tanam lebih besar (dari segi ukuran dan bobot) dibandingkan jagung yang ditanam di bedengan gambut.
Gambar 58. Jagung yang telah bertongkol yang ditanam di bedengan gambut tumbuh miring dan roboh saat hujan-angin (kiri), sedangkan yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral tetap tegak berdiri (kanan)
211
Gambar 59. Penyakit bulai yang menyerang daun jagung yang ditanam di bedengan gambut (kiri). Jagung yang ditanam di bak tanam tidak mengalami serangan penyakit bulai (kanan)
Gambar 60. Profil tanaman kacang tanah yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral (atas) dan di bedengan gambut (bawah)
212
Gambar 59 menunjukkan bahwa jagung yang ditanam di bedengan gambut banyak yang mengalami penyakit bulai pada daunnya, yaitu ditandai dengan warna kuning di helaian daun; sedangkan jagung yang ditanam di bak tanam tidak mengalami penyakit bulai pada daunnya. Berdasarkan pengalaman petani, apabila daun jagung mengalami penyakit bulai maka produktivitasnya akan rendah (tongkol jagung tidak berkembang sempurna). Gambar 60 menampilkan profil tanaman kacang panjang yang ditanam di bedengan gambut dan bak tanam berisi tanah mineral. Berdasarkan penampilan pertumbuhannya, tanaman kacang panjang yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral lebih subur bila dibandingkan dengan kacang tanah yang ditanam di bedengan gambut. Hal ini ditunjukkan dengan warna daun yang lebih hijau mengkilap dan hasil panen yang lebih baik. Berdasarkan Gambar 57 sampai dengan Gambar 60 dan Tabel 34, kesimpulan dapat diketahui bahwa tanaman pertanian yang ditanam di bak tanam berisi tanah mineral mempunyai pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman pertanian yang ditanam di bedengan gambut. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan teknik budi daya tanaman pertanian di lahan gambut dengan bak tanam berisi tanah mineral secara teknik layak untuk dilakukan dan terbukti lebih baik dibandingkan cara tradisional (penanaman dilakukan langsung di bedengan gambut).
213
Tabel 34. Perbandingan jumlah batang jagung yang hidup dan jumlah tongkol pada bak tanam berisi tanah mineral dan bedengan gambut Bak Tanam Berisi Tanah Bedengan Gambut Mineral â&#x2C6;&#x2018; Awal â&#x2C6;&#x2018; Awal Ulangdi- Jumlah Jumlah Jumlah di- Jumlah Jumlah Jumlah an tanam Batang yang Tongkol tanam Batang yang Tongkol Jagung Mati Jagung Jagung Mati Jagung 1
30
24
6
20
60
44
16
29
2
50
45
5
44
60
41
19
33
3
50
43
7
40
60
51
9
51
4
50
45
5
40
60
60
0
52
5
60
54
6
45
60
52
8
45
6
60
59
1
54
60
52
8
46
7
50
49
1
54
60
47
13
44
8
50
50
0
48
60
43
17
41
9
60
56
4
41
60
51
9
46
10
50
48
2
46
60
48
12
37
11
60
55
5
49
60
47
13
39
12
60
53
7
48
60
52
8
47
13
60
52
8
46
60
42
18
34
14
60
52
8
41
60
50
10
50
15
50
50
0
45
60
57
3
55
16
60
56
4
55
60
52
8
33
â&#x2C6;&#x2018; Total
810
791
76
716
960
789
171
682
Analisis kelayakan ekonomi penerapan bak tanam berisi tanah mineral untuk menggantikan teknik tradisional dan penanaman dilakukan langsung di bedengan gambut dapat dijelaskan dengan perhitungan sederhana sebagai berikut.
214
1.
Perhitungan biaya pembuatan bedengan gambut. Biaya pelaksanaan besik-bakar dan pembuatan bedengan gambut per gang (lorong di antara dua jalur tanaman jelutung yang terdiri atas empat bedengan), yaitu: (1) upah tebas-bakar Rp100.000,00; (2) upah mencangkul membuat bedengan Rp100.000,00; (3) upah melubangi dan menabur abu di lubang tanam Rp50.000,00. Total biaya sebesar Rp250.000,00. Biaya pembuatan bedengan per satu gang tersebut akan selalu dikeluarkan petani pada setiap musim tanam.
2.
Perhitungan biaya pembuatan bak tanam berisi tanah subur. Pada penelitian ini telah dibuat bak tanam dari batako sebanyak 16 bak dengan ukuran masing-masing bak tanam lebar 125 cm dan panjang 1.150 cm. Pada setiap gang/ lorong antara dua jalur tanaman jelutung terdapat empat buah bak tanam. Komponen biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan bak tanam berisi tanah subur per gang/lorong adalah: (1) harga tanah mineral subur Rp400.000,00; (2) harga batako Rp496.000,00; (3) upah pemasangan batako membentuk bak tanam Rp1.000.000,00; (4) upah mengisi bak tanam dengan tanah mineral dengan ketebalan 10â&#x20AC;&#x201C;15 cm per bak tanam Rp100.000,00; (5) upah melubangi dan menabur kompos di lubang tanam: Rp 50.000,00. Total biaya sebesar Rp2.046.000,00. Biaya pembuatan bak tanam per satu gang tersebut hanya dikeluarkan satu kali
215
untuk beberapa kali penanaman tanaman semusim (sejauh tanah mineral dalam bak tidak tererosi/hilang dari dalam bak tanam). Apabila digunakan asumsi bahwa umur pakai bak tanam adalah sebanyak 100 kali penanaman tanaman semusim, biaya yang dikeluarkan untuk 100 kali penanaman tanaman semusim untuk teknik tradisionalâ&#x20AC;&#x201C;penanaman dilakukan di bedengan gambutâ&#x20AC;&#x201C;sebesar Rp25.000.000,00 (100 x Rp250.000,00). Berdasarkan perhitungan tersebut, penerapan bak tanam berisi tanah mineral untuk budi daya tanaman semusim di lahan gambut dalam jangka panjang lebih ekonomis dibandingkan dengan cara tradisional (penanaman dilakukan langsung di bedengan gambut). Selain lebih ekonomis, penanaman tanaman semusim di bak tanam berisi tanah mineral juga lebih ramah lingkungan karena dapat mengurangi terjadinya penurunan permukaan lahan gambut (subsidence). Berdasarkan uraian tersebut, penerapan teknik budi daya tanaman semusim di bak tanam berisi tanah mineral di lahan gambut secara ekonomi layak dilakukan dengan tingkat efisiensi sebesar 1 : 12 dibandingkan dengan teknik tradisional.
216
Bab IX KELEMBAGAAN AGROFORESTRY Strategi yang dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa untuk memproduktifkan lahan gambut mencakup dua hal, yaitu (1) membangun kelompok tani pengembang sistem agroforestry berkategori kelompok produktif, dan (2) membangun kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan. Pendekatan yang dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestry berbasis jelutung rawa di lahan gambut berprinsip pada dua aspek: (1) pemberdayaan melalui pembangunan kapasitas, dan (2) mendukung perencanaan dan peningkatan matapencaharian (livelihood). Penyusunan konsepsi pelibatan petani lokal dalam pengembangan sistem agroforestry di lahan gambut dilakukan dengan konsep pendekatan pemberdayaan petani lokal. Hal ini dilakukan melalui pembangunan kapasitas petani lokal yang mendukung perencanaan dan peningkatan matapencaharian. Proses konsep tersebut dijelaskan pada Gambar 61.
217
Gambar 61. Proses perencanaan pengembangan agroforestry di lahan gambut
Uraian berikut menjelaskan proses perencanaan pengembangan agroforestry di lahan gambut. 1.
Pengkajian Desa Partisipatif (PRA) Tujuan utama dari PRA dalam pengembangan agroforestry di lahan gambut adalah untuk menyusun rencana program tersebut di tingkat desa yang memenuhi persyaratan: dapat diterima petani lokal, secara ekonomi menguntungkan, dan berdampak positif bagi lingkungan. Metode ini dilakukan dengan memobilisasi sumber daya petani dan alam setempat, serta lembaga lokal untuk mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta melestarikan sumber daya
218
alam setempat (Syahyuti, 2006). Pendekatan partisipatif dalam kegiatan ini akan memberikan keuntungan, antara lain petani peserta program akan lebih energik, lebih komit, dan lebih bertanggung jawab. Agar terjadi pemberdayaan petani lokal dalam kegiatan tersebut maka perlu adanya dukungan bagi petani lokal untuk mengemukakan pendapatnya, berbagi pengetahuan dan pengalaman, mengkaji dan menyusun rencana, menciptakan kondisi yang kondusif, dan berfokus pada proses dengan tidak meninggalkan isi proses. Esensi pendekatan partisipatif adalah seperti puisi karya pujangga klasik Cina, Lao Tzu, berikut.
Datanglah ke desa, tinggallah bersama petani lokal, Pahami mereka, pahami kebutuhan dan aspirasi mereka, Ikutlah senang dan sedih bersama mereka, Tunjukkan cara-cara berorganisasi kepada mereka, Mulailah dengan apa yang mereka ketahui, Membangunlah dengan apa yang mereka miliki, Tingkatkan keterampilan mereka, Bekerja sambil belajar, Bimbinglah dengan peragaan dan contoh. 2.
Kelompok Kerja Desa (KKD) Kelompok Kerja Desa (KKD) merupakan lembaga yang terdiri atas kelompok peminat program, tenaga ahli lokal, LSM pendamping, dan perangkat pemerintahan desa. Lembaga ini berfungsi untuk memfasilitasi, melatih, mendampingi, dan mengasistensi individu petani peminat program (kepala rumah tangga peminat program).
219
3.
Perencanaan Rumah Tangga Ujung tombak keberhasilan pengembangan agroforestry untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di lahan gambut adalah individu petani (kepala rumah tangga peminat program). Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan tersebut perlu memerhatikan aspirasi individu petani, utamanya dalam preferensi jenis pohon yang akan ditanam dan pola tanam yang akan digunakan. Perencanaan pengembangan agroforestry untuk memproduktifkan lahan gambut tingkat rumah tangga merupakan mekanisme pelaksanaan RHL yang bottom-up.
4.
Konsolidasi Konsolidasi merupakan tahapan setelah masing-masing individu petani (kepala rumah tangga peminat program) menyelesaikan usulannya, dan usulan tersebut telah dibahas oleh KKD. Selanjutnya, KKD akan mengajukan hasil pembahasan kepada pemerintah. Implementasi pengembangan agroforestry untuk RHL partisipatif di lahan gambut dilakukan dengan metode seperti pada Gambar 59.
220
1. Kelompok Peminat Program
4. Implementasi Aksi Pengembangan agroforestry di lahan gambut
2. Tenaga Ahli Lokal
3. Kontrak
Gambar 62. Aksi pengembangan agroforestry di lahan gambut
Uraian berikut menjelaskan proses aksi pengembangan
agroforestry di lahan gambut. 1.
Kelompok Peminat Program Lokasi lahan tempat pengembangan agroforestry lahan gambut di tingkat desa ditentukan bukan berdasarkan pola hamparan, tetapi berdasarkan pada petani peminat program. Petani yang berminat mendaftarkan dirinya sebagai petani peserta program yang selanjutnya bergabung dalam kelompok peminat program.
2.
Tenaga Ahli Lokal Bagi petani di desa, faktor tokoh panutan mempunyai pengaruh besar pada cara pandang dan cara tindak mereka.
221
Secara umum, petani di desa mencirikan masyarakat yang paternalistik, yaitu faktor karakter tokoh desa akan banyak memengaruhi dinamika kehidupan mereka (Adi, 2003). Lebih lanjut, Ismawan (2000) menjelaskan bahwa ciri paternalistik petani lokal di pedesaan dapat dipandang sebagai potensi kelembagaan petani di pedesaan untuk dijadikan energi bagi kemajuan perekonomian (dalam hal ini keberhasilan pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan gambut). 3.
Kontrak Kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan musyawarah yang dituangkan dalam surat kesepakatan bermaterai. Hal ini dimaksudkan agar kesepakatan tersebut mengikat semua pihak yang terlibat dalam penyusunan kesepakatan tersebut.
4.
Implementasi Langkah selanjutnya adalah implementasi semua hal yang telah disepakati dalam kontrak kerja. Pada aspek implementasi, faktor keberlanjutan merupakan hal yang pokok dan dapat tercipta jika kondisi berikut terpenuhi: (1) pelatihan bagi petani peminat program memfasilitasi dan melatih petani yang lainnya;
untuk
(2) dukungan keuangan dan teknis untuk membangun kapasitas; (3) mempercepat dan mendukung terbentuknya institusi lokal yang kuat; (4) pelaksanaan program berprinsip petani lokal yang memutuskan, memilih, dan mengelola; (5) jaringan kerja antar desa-desa (antar KKD); (6) desentralisasi budget dan sumber daya.
222
Inti dari pembentukan partisipasi petani lokal pada pengembangan agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan gambut adalah bagaimana para pihak pemangku kepentingan (stakeholders) mampu membangun komunikasi yang sehat dengan mengedepankan nilai-nilai persamaan hak, kesetaraan, bertanggung jawab, saling menghormati, dan menghargai. Selain itu, lokasi pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan gambut seharusnya ditentukan berdasarkan kepada petani peminat bukan hamparan lahan dengan alasan (1) individu petani peminat program (kelompok pehobi) masing-masing telah mempunyai kesadaran (awareness), (2) adanya ketertarikan (interest), (3) adanya keinginan yang kuat (desire), dan (4) kemampuan untuk bertindak (action) dalam mensukseskan kegiatan RHL. Keempat sikap positif tersebut sangat penting dalam pelaksanaan RHL partisipatif. Kesadaran (awareness) petani muncul didasari oleh beberapa hal, yaitu (1) kesadaran petani untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan seperti erosi, banjir, dan bencana ekologis lainnya; (2) kesadaran petani bahwa menanam pohon dapat menjadi tabungan di hari tua dan anak cucu; (3) kesadaran petani bahwa hutan yang cenderung semakin berkurang luasannya dan semakin jauh dari permukiman menyebabkan mereka akan kesulitan memperoleh kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual; (4) kesadaran petani bahwa penanaman pohon mempunyai peranan menjaga kesuburan lahan gambut. Sistem perladangan berpindah merupakan bukti nyata peranan pohon dalam mengembalikan kesuburan tanah. Ketertarikan (interest) petani untuk berpartisipasi selain ditentukan oleh faktor internal juga faktor eksternal, utamanya pola insentif yang ditawarkan. Karakteristik petani yang marginal
223
(subsisten), tawaran hasil yang besar merupakan salah satu faktor pemacu yang sangat memotivasi petani lokal mengembangan agroforestry di lahan gambut. Keinginan yang kuat (desire) untuk memproduktifkan lahan gambutnya selanjutnya akan mendorong petani melakukan aksi (action) untuk mengembangkan agroforestry sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Pemberdayaan petani yang dilakukan harus mencakup lima aspek pengembangan: sumber daya manusia (SDM), organisasi, budi daya (teknis usaha), keuangan/ ekonomi, dan kemitraan. Pola pembinaan dan pengembangan tersebut diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, serta mampu mendorong perekonomian petani lokal kearah yang lebih maju. Kesejahteraan petani lokal dapat terwujud jika empat faktor berikut terpenuhi: (1) produktivitas kebun yang setinggi-tingginya; (2) kualitas produksi yang sebaik-baiknya; (3) adanya diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal; (4) adanya mitra usaha yang menangani aspek pengolahan, pemasaran, dan keuangan. Keempat faktor tersebut dapat terwujud, bila persyaratan berikut terpenuhi: (1) sumber daya petani yang profesional; (2) kebersamaan, kekompakan, dan keharmonisan seluruh petani (warga desa); (3) kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi melayani kebutuhan petani yang didukung oleh sistem keuangan yang transparan. Inti dari kegiatan pemberdayaan petani adalah mengakumulasikan potensi yang dimiliki individu petani (pendekatan dari bawah) untuk digunakan secara maksimal mewujudkan kesejahteraan mereka.
224
Dalam konteks pelibatan petani lokal dalam pengembangan
agroforestry untuk RHL di lahan gambut, desain program seharusnya tidak hanya sekedar mengatur aspek teknis. Desain program kegiatan juga harus dapat menjamin kelestarian pemanfaatan sumber daya hutan secara ekologis dan sosialekonomi, yaitu hutan tetap lestari dan petani lokal sejahtera. Oleh karena itu, penetapan tujuan kegiatan dilakukan untuk mendesain program dengan tujuan dan kegiatan yang menjamin tingkat kelestarian yang tinggi dari penggunaan sumber daya lahan gambut dan petani lokal dengan penekanan pada keterlibatan dan peran serta petani lokal secara aktif. Keterlibatan dan peran serta petani lokal dalam kegiatan RHL akan sangat tergantung dari sejauh mana petani lokal merasa dan menerima tanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya, yaitu seperti dalam bentuk kesempatan untuk mengontrol dan mengawasi sumber daya, dimilikinya bentuk tugas dan kewajiban yang jelas, adanya hak yang jelas, pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut, dan diperolehnya imbalan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut. Uraian berikut menjelaskan tentang hubungan antara hak, kompetensi (kemampuan), manfaat, dan kelembagaan (organisasi) petani lokal yang kuat sebagai prasyarat penting untuk menjamin peran serta dan tumbuhnya tanggung jawab dalam pengembangan agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan gambut. 1.
Kepentingan/Manfaat Ekonomi Masyarakat akan terlibat dalam kegiatan RHL hanya apabila mereka melihat secara jelas manfaatnya, baik intangible maupun tangible; berupa hasil fisik, jasa, ataupun dalam bentuk penerimaan. Mereka akan membuat perkiraan biaya-
225
manfaat (untung rugi), baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang, dalam konteks tujuan ekologis ataupun sosial-ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan hutan rakyat harus mempertimbangkan kepentingan ganda (multiple interest) yang dapat dinikmati petani lokal. Apabila kepentingan ekonomi pembangunan hutan rakyat tidak cukup memadaiâ&#x20AC;&#x201C; seperti yang diperkirakanâ&#x20AC;&#x201C;maka dapat menyebabkan mereka kurang termotivasi mengorbankan waktu, tenaga, ataupun dana untuk melakukan kegiatan tersebut. Penerimaan finansial dari pola agroforestry yang dikembangkan erat sekali hubungannya dengan rasa memiliki terhadap keberadaan jenis tanaman yang ditanamnya. 2.
Kompetensi/Kapasitas Masyarakat akan termotivasi untuk terlibat dalam pengembangan agroforestry dalam rangka RHL di lahan gambut hanya apabila memiliki kompetensi (pengetahuan atau teknologi) untuk mengerjakan kegiatan tersebut. Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa kemampuan analisis untuk melihat situasi dan kondisi aktual (saat ini) dan potensi di masa depan, ataupun kemampuan untuk melakukan pilihan terbaik dari beragam aktivitas beserta dampaknya. Hal ini berkaitan dengan pengorganisasian dan pengelolaan aktivitas tersebut. Kompetensi untuk melakukan pengelolaan tanaman RHL seharusnya didasarkan pada pengetahuan setempat dan dapat diadaptasikan ke kondisi lingkungan yang berubah sebagai tujuan atau sasaran yang diinginkan. Kompetensi ini dapat dilakukan melalui pelatihan atau bentuk pendidikan lainnya.
226
3.
Wewenang dan Hak Apabila dipandang tidak ada jaminan berupa kewenangan dan hak yang dapat mereka peroleh dari aktivitas yang dilakukan, dapat dipastikan, mereka akan ragu. Bahkan, mereka akan meninggalkan aktivitas tersebut dan beralih ke aktivitas lain yang lebih memberikan jaminan hasilnya. Pada beberapa kasus, sistem kewenangan dan hak tradisional terkadang sedang dalam proses disintegrasi yang secara perlahan tergantikan oleh ketentuan formal dan hanya memberikan sedikit keleluasaan bagi berkembangnya kewenangan dan hak setempat. Kewenangan dan hak terhadap hasil, akses, dan hak kepemilikan individu ataupun kolektif sebaiknya dibuat secara eksplisit dalam kerangka ketentuan formal, misalnya dalam bentuk peraturan pemerintah atau perundangan lainnya.
4.
Organisasi Lokal yang Kuat Organisasi lokal yang kuat sebaiknya juga diikuti pada tingkat individu. Untuk meningkatkan pengakuan bahwa individu-individu petani pengembang agroforestry memiliki kapasitas, kepentingan individu-individu tersebut sebaiknya didukung oleh organisasi lokal yang kuat. Pengelolaan agroforestry yang dikembangkan akan mendapat dukungan, peran serta, dan tanggung jawab petani di tingkat lokal apabila pada tingkat tersebut dipenuhi empat prakondisi: adanya jaminan hak, dimilikinya pengetahuan/ kompetensi, ada jaminan manfaat, dan adanya kelembagan lokal yang kuat. Sementara itu di tingkat nasional, instrumen kebijakan harus berjalan secara efektif yang terdiri atas peraturan yang menjamin adanya hak, training/pelatihan dan penelitian
227
yang terus-menerus, dan ditetapkannya insentif. Apabila dicermati dalam proses pengembangan agroforestry, petani lokalâ&#x20AC;&#x201C;sebagai pelaku utamaâ&#x20AC;&#x201C;memiliki tanggung jawab yang besar yaitu melestarikan fungsi hutan. Namun pada saat yang sama, mereka juga dituntut untuk mampu meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Padahal, tingkat kelestarian fungsi hutan dan tingkat kesejahteraan masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik masing-masing. Sebagai pelaku atau pengelolaan tanaman RHL, petani lokal harus mengenal ciri-ciri fungsi hutan yang lestari tersebut, bagaimana kriteria dan indikatornya. Begitu halnya, kriteria dan indikator petani lokal yang sejahtera perlu dikenali dan diusahakan oleh para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam kegiatan RHL partisipatif. Upaya mewujudkan kesejahteraan petani lokal tersebut memerlukan adanya kemitraan. Kata kemitraan berasal dari kata mitra yang berarti teman. Kata â&#x20AC;&#x153;temanâ&#x20AC;? ini mengajak kita mempersepsikan hubungan antar personal yang berkelanjutan dan selalu menghasilkan hal yang baik/positif, sedangkan lawan dari kata teman adalah musuh yang dapat diartikan hubungan antar makhluk yang terputus dan menghasilkan efek yang negatif. Dasar pemikiran yang perlu kita pahami sebenarnya adalah perlunya landasan keikhlasan antara kedua pihak untuk menjalin hubungan kemitraan tersebut. Apabila tidak ada keikhlasan atau kerelaan, maka hubungan kemitraan tersebut diragukan kekuatan dan ketahanannya. Hubungan kemitraan yang dilandasi dengan keikhlasan, akan menjadi hubungan kemitraan yang kuat. Kerelaan atau keikhlasan dalam menjalin hubungan kemitraan akan memotivasi kita untuk memahami, mengerti, dan mencoba mengadaptasi diri sendiri dengan orang lain (teman) sehingga kita cenderung selalu membuat suasana
228
yang ramah, baik, dan kondusif. Kerjasama tersebut tercipta karena pihak mitra melihat bahwa dengan adanya kebersamaan dalam masyarakat, peluang-peluang usaha akan muncul dengan nilai efisiensi tinggi. Sebagai contoh, apabila produksi dipasarkan secara kolektif maka kontinuitas produksi akan tercapai dan pemasaran akan menguntungkan. Sementara itu, berbekal kebersamaan pola pikir (motivasi memperbaiki hidup), kualitas produksi akan meningkat dengan adanya kebersamaan motivasi untuk mempertinggi nilai tawar (bargaining position). Namun demikian, perlu disadari bahwa pada hubungan kemitraan yang kuat sekalipun dapat saja terjadi risiko hubungan kemitraan yang lambat laun akan hilang. Degradasi hubungan kemitraan dapat disebabkan karena adanya eliminasi sikap saling percaya yang semakin lama semakin diragukan oleh masing-masing pihak yang bermitra. Apalagi dalam kemitraan usaha, setiap pihak sering meragukan komitmen pihak yang lain dalam bermitra. Untuk menghindari hal tersebut, sistem yang menjamin bahwa setiap pihak tetap mendapatkan keuntungan materiil maupun moril secara adil sangat diperlukan. Sistem tersebut disebut dengan Sistem kebersamaan ekonomi (SKE). Sistem kebersamaan ekonomi (SKE) adalah suatu sistem yang mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan. Pendekatan ini diperlukan untuk memperkuat rasa kebersamaan masing-masing pihak karena nilai kebersamaan dianggap kuat bila dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing pihak, kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan yang produktif dan tidak bertahan lama.
229
Pengembangan agroforestry untuk RHL di lahan gambut pada masa mendatang kiranya perlu dirancang pola insentif yang memenuhi syarat: (1) menarik minat petani untuk berpartisipasi secara aktif, dan (2) mampu meningkatkan kesejahteraan petani melalui pemberdayaan potensi yang dimiliki masing-masing individu petani dan kelompoknya. Insentif kegiatan RHL selama ini (termasuk insentif GN-RHL/GERHAN) lebih banyak didasari oleh keinginan petani lokal untuk mendapatkan â&#x20AC;&#x153;upahâ&#x20AC;?. Hal ini berakibat partisipasi petani lokal lebih dilandasi kepentingan memperoleh keuntungan materi yang bersifat sesaat sehingga kondisi tanaman menjadi kurang terawat, terutama setelah kegiatan tidak lagi dibiayai oleh proyek (pemerintah). Dengan demikian, kondisi tersebut berakibat pada rendahnya keberhasilan tanaman RHL. Berdasarkan hal tersebut, beberapa upaya perlu dilakukan untuk menarik minat petani berpartisipasi dalam kegiatan RHL, sebagai berikut.
230
1.
Lahan lokasi pengembangan agroforestry di lahan milik tidak harus berupa satu hamparan, tetapi tergantung pada kepemilikan lahan oleh petani peminat program.
2.
Iinsentif kegiatan pengembangan agroforestry dapat berupa peminjaman uang untuk modal kerja usaha produktif seperti perbengkelan, peternakan (ayam, itik, kambing, sapi, dll.), warung makan, penjahit pakaian, dan usaha produktif lainnya. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program dalam bentuk surat kesepakatan (MoU) bermeterai.
3.
Insentif kegiatan RHL dapat berupa pemberian beras (food for work) untuk petani peserta program yang jumlahnya ditentukan setiap bulan. Jumlah beras yang diterima per bulan dan jangka waktu pemberian beras tersebut
ditentukan berdasarkan luasan lahan dan jumlah batang pohon per ha yang ditanam oleh petani. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program dalam bentuk surat kesepakatan (MoU) bermeterai. 4.
Insentif berupa upah langsung sebaiknya dilakukan dengan mekanisme â&#x20AC;&#x153;beli tanaman tumbuhâ&#x20AC;?. Pada pola ini, mekanisme pemberian upah dilakukan secara periodik (misalnya setiap 3 bulan atau 6 bulan sesuai pertumbuhan tanaman). Besarnya upah yang diterima petani peserta ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah tanaman yang ditanam yang hidup atau tumbuh. Luas lahan yang ditanami atau jumlah pohon per ha yang ditanam merupakan hasil kesepakatan atau musyawarah dengan petani peminat program. Kesepakatan ini pun harus dibuat bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program dalam bentuk surat kesepakatan (MoU) bermeterai.
Selain itu, mengingat kondisi ekologi adalah lahan gambut, praktik pertanian seharusnya mengacu pada bentuk-bentuk pertanian berikut. 1.
Praktik pertanian yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada, yaitu dengan mengombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
2.
Praktik pertanian dengan cara pemanfaatan input luar hanya diperlukan bila untuk tujuan melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik, dan manusia; pemanfaatan input luar
231
memberikan perhatian utama pada upaya memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan. 3.
Praktik pertanian tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang.
Teknologi
yang
diaplikasikan
dalam
pengembangan
agroforestry untuk kegiatan RHL di lahan gambut harus memerhatikan kondisi petani dengan berprinsip: (1) pemahaman akan kebutuhan dan aspirasi petani lokal; (2) fasilitasi/pendampingan kepada petani lokal;
tentang
cara-cara
berorganisasi
(3) paket teknologi yang akan dikembangkan harus dimulai dari apa yang mereka ketahui; (4) kegiatan dibangun atas dasar apa yang mereka miliki (potensi SDA dan SDM setempat); (5) asistensi peningkatan kapasitas dan keterampilan mereka; (6) bekerja sambil belajar; (7) membimbing dengan peragaan dan contoh.
232
DAFTAR PUSTAKA Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 354 hlm. Adinugroho, W.C., I.N.N. Suryadiputra, B.H. Saharja dan I. Siboro, 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Wetland Int.-Indo. Prog. & GEC. Bogor, Indonesia. 162 hlm. Aminudin. 1982. Light requirement of Dyera costulata seedlings. Malayan Forester 45 (2): 203–208. Andriesse. J.P. 1988. Nature and management of tropical peat soils. FAO Soils Bull. 59. 165 hlm. Aquino, A.M., R.F. Silva, F.M. Mercante, M.E.F. Correria, M.F. Guimardes and P. Lavelle. 2008. Invertebrate soil macrofauna under different ground cover plants in the no-till system in the Cerrado. European Journal of Soil Biology 44: 191–197. www.sciencedirect.com. Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. 2005. Budi daya Jelutung. Laporan Profil Penyusunan Bidang Usaha Unggulan Sub Sektor Perkebunan. 27 hlm. Baker, G.H. 1998. Recognizing and responding to the influences of agriculture and other landuse practices on soil fauna in Australia. App. Soil Eco. 9: 303–310. www.sciencedirect.com. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian [BB Litbang SDLP]. 2008. Laporan Tahunan 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
233
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan [BPDAS]. 2007. Laporan Kegiatan Pembangunan Area Model Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gambut. Palangkaraya. 35 hlm. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan [BPDAS]. 2009. Laporan Kegiatan Pembangunan Area Model Silvikultur Intensif (SILIN). Palangkaraya. 40 hlm. Barber, K.E. 1993. Peatlands as scientific archives of past biodiversity. Biodiversity and Conservation, 2: 89–474. Basri, H.M. 2001. Analisis margin pemasaran industri gula aren produksi pengrajin gula aren di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Jurnal Kalimantan Scientiae 58 Th. XIX: 55–71. Bastoni. 2001. Pertumbuhan hasil dan kualitas tapak hutan tanaman di Sumatera bagian Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan. Bastoni dan A.H. Lukman. 2006. Prospek pengembangan hutan tanaman jelutung (Dyera lowii) pada lahan rawa Sumatera. Di dalam S. Hidayat, H. Daryono, H. Suhaendi, M. Turjaman dan H. Mardiah [Editor]. Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Jambi, 22 Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. pp 19–30. Bastoni dan H.D. Riyanto. 1999. Teknik Silvikultur untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan Basah Bekas Tebangan di Sumatera Selatan dan Jambi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan. Botch, M.S., K.I. Kobak, T.S. Vinson and T.P. Kolchugina. (1995). Carbon pools and accumulation in peatlands of the former Soviet Union. Global Biogeochemical Cycles, 9: 37–46. Brady, M.A. 1997. Organic matter dynamic of coastal peat deposit in Sumatera, Indonesia. Phd thesis. The University of British dalam Mudiyarso dkk, 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan
234
cadangan Karbon pada lahan gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands InternationalIndonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia. Brown, S., J.M. Anderson, P.L. Woomer, M.J. Swift and E. Barrios. 1994. Soil biological processes in tropical ecosystems. In P.L. Woomer and M.J. Swift [Editor] The Biological Management of Tropical Soil Fertility. John Wiley & Sons. pp 15–46. Bruyn, L.A.L. 1999. Ants as bioindicators of soil function in rural environments. Agriculture, Ecosystem and Environment 74: 425–441. www.sciencedirect.com. Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1969. The Nature And Properties Of Soils. The Mac Millan Company, New York. Budiningsih, K. dan A. Ardhana. 2011. Laporan Hasil Penelitian T.A. 2010. RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Analisis ekonomi dan kelayakan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Banjarbaru. Januari 2011. 44 hlm. Burkill. 1935. A Dictionary of Economic Products of Malaysia. pp 889–897. Central Kalimantan Peat Project [CKPP]. 2007. Mengelola Bencana Kebakaran Hutan Lahan dan Pekarangan. Palangkaraya. 120 hlm. Dahuri, R. 1997. Dampak lingkungan proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektar dan arahan pengelolaannya. Jurnal Alami 2 (1): 7–12. Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah, dasar teori bagi peneliti tanah dan pelaksana pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 441 halaman. Daryono, H. 2000. Teknik Membangun Hutan Tanaman Industri Jenis Jelutung (Dyera spp.). Informasi Teknis Galam No. 3/98. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Kalimantan Selatan.
235
Decaens, T., T. Dutoit, D. Alard and P. Lavelle. 1998. Factor influencing soil macrofaunal communities in post-pastoral successions of western France. App. Soil Eco. 9: 361–367. www.sciencedirect.com. Departemen Kehutanan [Dephut]. 2009a. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan [Dephut]. 2009b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria Dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Diemont, W.H., H.D. Rijksen and M.J. Silvius. 1992. Development and conservation of lowland peat areas in Indonesia: how and where. In B.Y. Aminnudin [Editor]. Tropical Peat: Proceeding of The International Symposium on Tropic Peatland. 6–10 Mei 1991. Kuching, Sarawak, Malaysia. pp 169–179. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2003. Pemberdayaan Petani Melalui Sistem Kebersamaan Ekonomi Berdasarkan Manajemen Kemitraan. Jakarta. Djajadiningrat, S.T. 2001. Untuk Generasi Masa Depan: Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi. Departemen Teknik Industri. Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Bandung. 375 hlm. Dradjat, M., S. Soeprapto, M. Shodiq, Hidayat and N. Mulyono. 1989. Subsidence of peat soils in the tidal swamplands of Barambai, South Kalimantan. p 168–181. In ILRI. Symp. Lowland Development in Indonesia, Jakarta, 24–31 August 1986, Wageningen, The Netherlands. Driessen, P.M. and Soepraptohardjo. 1974. Organic Soils. In Soils for agricultural expansion in Indonesia. ATA 106 Bulletin 1. Soil Research Institute. Bogor. Elliot, E.T. 1997. Rationale for developing bioindicators of soil health. in C. Pankhrust, B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta
236
[Editor]. Biological Indicators of Soil Health. CAB International, New York, USA. pp 49–78. Euroconsult. 1984. Nationwide study of coastal and near coastal swamp-land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Vol. I and II, Arnhem. Foxworthy. 1972. Commercial timber trees of Malay. The Malayan Forester 3: 109–112. Hadi, A., M. Haridi, K. Inubushi, E. Purnomo, F. Razie and H. Tsuruta. 2001. Effects of land-use change on tropical peat soil on the microbial population and emission of greenhouse gases. Microbes and Environments 16: 79–86. Hairiah, K., M. Agung dan S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestry. ICRAF World Agroforestry Center. Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian suatu peluang dan tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. 22 Juni 1996. Harsoyo, E. 2002. Keragaman dan dinamika makrofauna tanah pada berbagai pola penggunaan lahan di Pekalongan Jawa Tengah. Tesis Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Seameo Biotrop. Bogor. Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943. Huxley, P.A. 1999. Tropical Agroforestry. Blackwell Science Ltd. London. Indrayatie, E.R. dan Suyanto. 2009. Penyusunan Database Digital Karakteristik Habitat Jelutung (Dyera polyphylla Miq. V. Steenis) di Lahan Basah Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan. Manajemen Hutan. Universitas Lambung Mangkurat. Tidak dipublikasikan.
237
Ismawan, B. 2000. Pemberdayaan Orang Miskin: Refleksi Seorang Pegiat LSM. Puspa Swara. Jakarta. Jaya, N.S. 2002. Perubahan tutupan lahan di kawasan lahan gambut sejuta hektar selama 5 tahun (1995–2000). Prosiding Lokakarya Kajian Status dan Sebaran Gambut di Indonesia, Bogor 25 Oktober 2002. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Jouquet, P., J. Dauber, Lagerlof, P. Lavelle and M. Lepage. 2006. Soil invertebrate as ecosystem engineers: Intended and accidental effect on soil and feedback loops. Appl. Soil Ecol. 32: 153–164. www.sciencedirect.com. Kartamihardja, E.S. 2002. Pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah: mega proyek pemusnahan sumberdaya perikanan. Makalah falsafah sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor. pp. 25. Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta. Karyono, O.K. 2008. Peluang Usaha Budi daya Jelutung (Dyera costulata) pada Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Majalah Kehutanan Indonesia (MKI) Edisi II/2008. Jakarta. King, K.F.S. 1979. Concept of Agroforestry. In M.T. Chandler and D. Spurgeon [Editor]. Proceeding of an International Conference in Agroforestry. ICRAF. Nairobi, Kenya. pp. 1–14. King, K.F.S. and M.T. Chandler. 1978. The watershed lands. The Program of Work on The International Council for Research in Agroforestry (ICRAF). Roma. Konstantin, B. G., T. Pearson and A. D. Pokazhevskii. 2008. Effect of soil temperature and moisture on the feeding activity of soil animals as determined by the baitlamina test. Appl. Soil Ecol. 39: 84–90. www.sciencedirect.com. Kramer, P. J. and T. T. Kozlowski. 1960. Physiology of trees. Mc Grow Hill Company. New York. 642 hlm.
238
Lahjie, A.M. 2001. Teknik Agroforestry. Penerbit UPN “Veteran Jakarta” (Grafika-UPNVJ). Jakarta. Laossi, K. R., S. Barot, D. Carvalho, T. Desjardins, P. Lavelle, M. Martins, D. Mitja, A.C. Rendeiro, G. Rousseau, M. Sarrazin, E. Velasquez and M. Grimaldi. 2008. Effects of plant diversity on plant biomass production and soil macrofauna in Amazonia pastures. Pedobiologia 51: 397–407. www.sciencedirect.com. Lavelle, P. 1994. Soil fauna and sustainable land use in the humid tropics. In D.I. Greenland and I. Szabolcs [Editor]. Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon. Lavelle, P., T. Decaens, M. Aubert, S. Barot, M. Blouin, F. Beureau, P. Margerie, P. Mora and J. P. Rossi. 2006. Soil invertebrates and ecosystem services. European Journal of Soil Biology 42: S3–S15. www.sciencedirect.com. Limin, S.H. 2004. Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi pemulihannya. Di dalam A.P. Tampubolon, T.S. Hadi, W. Wardani dan Norliani [Editor]. Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Ilmiah. Palangkaraya, 12 Mei 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. pp. 1–14. Limin, S.H., A. Jaya, A. Dohong dan Y. Jagau. 2003. Pokok-pokok pikiran tentang penanganan kawasan eks-PLG Kalimantan Tengah. CIMTROP Universitas Negeri Palangkaraya. Palangkaraya. Limin, S.H., A. Jaya, F. Siegert, J.O. Rieley, S.E. Page and H.D.V. Boehm. 2004. Tropical peat fire an fire in 2002 in Central Kalimantan, Its characteristics and the amount or carbon released. In: J. Paipanen (Eds). Proc. Of the 12th Int. Peat congress. Wise Use of peatlands. Vol. 1. Tampere, Finland, 611 June 2004. Pp. 679–686.
239
Maftu’ah, E., M. Alwi dan M. Willis. 2005. Kelimpahan dan Diversitas makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah gambut. Jurnal Bioscientiae 2(1): 15–25. Maltby, E. and C.P. Immirzi. 1996. The sustainable utilization of tropical peatlands. In E. Maltby [Editor]. Proceeding of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands. IUCN. Pp. 1–16. Melling, L.R. Hatano and K.J. Goh. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystem in tropical peatland of Serawak, Malaysia. Tellus 57B: 1–11. Uk. Miranda, E.D., F.S. Pinero and A.G. Megias. 2009. Different microhabitats affect soil macroinvertebrate assemblages in a mediterranean arid ecosystem. Appl. Soil Ecol. 41: 329–335. www.elsevier.com. Miura, F., T. Nakamoto, S. Kaneda, S. Okano, M. Nakajima and T. Murakami. 2008. Dynamic of soil biota at different depths under two contrasting tillage practices. Soil Biology & Biochemikry 40: 406–414. www.elsevier.com. Moersidi, S. 1999. Phosfat alam sebagai bahan baku dan pupuk Phosfat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 82 hlm. Monika. 2002. Kelayakan Investasi Proyek Perkebunan Jelutung di Kota Palangkaraya. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hlm. Mudiyarso, D. dan I.N.N. Suryadiputra. 2003. Paket Informasi Praktis. Proyek Climate Change Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Muslihat, L. 2003. Teknik Penyiapan Lahan untuk Budi daya Pertanian di lahan Gambut dengan Sistem Surjan. Wetlands Internasional-Indonesia Programme. Bogor.
240
Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization, distribution and utilization of Peat in Malaysia. In B.Y. Aminuddin [Editor]. Tropical Peat: Proceeding of The International Symp. on Tropic Peatland. Kuching, Sarawak, Malaysia. 6–10 May 1991. pp 7–16. Nair, P.K.R. 1985. Classification Agroforestry Systems 3: 97–128.
of
agroforestry
systems.
Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers in Cooperation with International Centre for Research In Agroforestry, ICRAF. Netherlands. Najiyati, S., A. Asmana dan I.N.N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Notohadinegoro, T. 1996. Perspektif pengembangan lahan basah: maslahat dan mudarat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peringatan Setengah Abad Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 25–26 September 1996. Yogyakarta. Notohadiprawiro, T. 2006. Pemapanan agroforestry selaku bentuk pemanfaatan lahan menurut kriteria pengawetan tanah dan air. Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. 12 halaman. Page, S.E., R.A.J. Wüst, D. Weiss, J.O. Rieley, W. Shotyk and S.H. Limin. 2004. A record of late pleistocene and holocene carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): implications for past, present and future carbon dynamics. Journal of Quaternary Science 19: 625–635. Prijono, A. 1999. Populasi dan keragaman makrofauna tanah pada berbagai sistem penggunaan tanah di Jambi. Thesis
241
Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (tidak dipublikasikan). Radjagukguk, B. 2000. Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 2 No. 1, Februari 2000. Halaman 1–16. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rahmawaty. 2004. Studi keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan hutan wisata alam Sibolangit (Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara). www.library.usu.ac.id. Raintree, J.B. 1990. Theory and practice of agroforestry diagnosis and design. In K.G. Macdiken and N.T. Vergara [Editors]. Agroforestry: Classification and Management. John Wiley and Sons, Inc. New York. Reijntjes, C., B. Haverkort dan A.W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Y. Sucoko [Penerjemah]. E. van de Fliert dan B. Hidayat [Editor]. Terjemahan dari: Farming for The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Ridlo, R. 1977. Emisis CO2 pada pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan. Jurnal Alami 2 (1): 57–58. Rieley, J.O., A.A. Shah and M.A. Brady. 1996. The extern and nature of tropical peat swamps. In E. Maltby [Editor]. Proceeding of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands. IUCN. Pp. 17–54. Rieley, J.O. and S.E. Page. 2005. Wise use of tropical peatlands: Focus on Southeast Asia. Nottingham, UK. 168 p. Rusmana, E. 2007. Teknik Produksi Bibit Jenis-Jenis Pohon Rawa Gambut Secara Generatif Dan Vegetatif. Bahan Ajar disampaikan pada Alih Teknologi Pembangunan Hutan Rakyat Sistem Agroforestry. Banjarbaru. 15 hlm.
242
Rusmana, E., P.B. Santoso dan B. Hermawan. 2005. Teknik Pembuatan Bibit Stek dengan Metode KOFFCO. Balai Penelitian Kehuatanan Banjarbaru. Banjarbaru. 15 hlm. Rydin, H. and J.K. Jeglum. 2006. The Biology of Peatlands. Oxford University Press. New York. Sabarnurdin. 2000. Agroforestry untuk Agribisnis. Buletin Kehutanan (Forestry Bulletin) Nomor 42 Tahun 2000. Fakultas Kehutahan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Salampak. 1999. Peningkatan produksi tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Doktor Program Pasca Sarjana IPB. Tidak dipublikasikan. Samekto, R. 2006. Pupuk Kompos. Penerbit PT Citra Aji Parama. Yogyakarta. 44 hlm. Santosa, P.B. 2008. Teknik Penanaman di Lahan Rawa Gambut. Bahan Ajar disampaikan pada Alih Teknologi Pembangunan Hutan Tanaman. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru. 18 hlm. Schimada, S., H. Takahashi, A. Haraguchi and M. Kaneko. 2001. The carbon content characteristics of tropical peats in Central Kalimantan, Indonesia: Estimating their spatial variability in density. Journal Biogeochemikry 53: 249–267. Sileshi, G., P.L. Mangofoya, R. Chintu and F.K. Akinnifesi. 2008. Mixed-species legume fallows affect faunal abundance and richness and N cycling compared to single species in maizefallow rotations. Soil Biology & Biochemikry 40: 3066–3075. www.elsevier.com Soewono, S. 1997. Fertility management for sustainable agriculture on tropical ombrogenous peat. In J.O. Rieley and S.E. Page [Editor]. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands. Held in Palangkaraya, Central Kalimantan, Indonesia, 4–8 September 1995.
243
Sorensen, K.W. 1993. Indonesian peat swamp forests and their role as a carbon sink. Journal Chemosphere 27 (6): 1065– 1082. Stigter, C.J. 1984. Shading a traditional method of micro climate manipulations. Neth. J. April. 32: 81–86. Subagyo, H. 2000. Inventarisasi karakteristik tanah gambut sebagai penunjang pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL). Di dalam H. Daryono, Y.J. Sidik, Y. Mile, E. Subagyo, T.S. Hadi, A. Akbar dan K. Budiningsih [Editor]. Upaya Rehabilitasi Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Menuju Pengembalian Fungsi dan Pemanfaatan Hutan yang Lestari. Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarmasin, 9 Maret 2000. pp. 126–137. Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Suhardjo, H. and P.M. Driessen. 1975. Reclamation and use of Indonesian lowland peats and their effects on soil conditions. p419-424. Proc. Third Asean Soil Conf., Kuala Lumpur, Malaysia. Suhardjo, H. and P.M. Driessen. 1977. Reclamation and use of Indonesian Lowlaand peats and their effects on soil conditions. Pp 419–424. Proc. Third Asean Soil Conf., Kuala Lumpur, Malaysia. Suhardjo, H. and I.P.G Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat from Riau. Pp 74– 92. In Soil Research Institute Peat and Podzolic Soils and their potential for agriculture in Indonesia. Proc. ATA 106 Midterm, Bull. 3, Seminar, Tugu 13–14 October 1976. Suin, M. N. 1997. Ekologi hewan tanah. Bumi Aksara-ITB. Jakarta. Suprayogo, D.K. Hairiyah, N. Wijayanto, Sunaryo dan M. van Noordwijk. 2003. Peran agroforestry pada skala plot: analisis
244
komponen keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Bahan Ajar Agroforestry 4. ICRAF. Bogor. Suryapratama, W. 2004. Peranan zeolit dalam bidang peternakan. 8P. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Pertemuan Nasional Luar Biasa Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (FOKUSHIMITI), pada tanggal 10 Mei 2004. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Penjelasan tentang: Konsep, Istilah, Teori, dan Indikator serta Variabel. PT. Bina Rena Pariwara (BRP). Jakarta. 262 hlm. Syakir, M. 1994. Pengaruh naungan, unsur hara P dan Mg terhadap iklim mikro, indeks pertumbuhan dan laju pertumbuhan tanaman lada. Buletin Littro Volume IX Nomor 2 Tahun 1994. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. pp 106–114. Utomo, M. 1990. Budi daya Pertanian Tanpa Olah Tanah. Teknologi untuk Pertanian Berkelanjutan. Direktorat Produksi Padi dan Palawija. Departemen Pertanian. Jakarta. van Wijk, C.I. 1950. Enkele Antekeningen over de verjonging van djelutung (Dyera lowii Hook L f) tectona XXXX: 167–173. Vergara, N.T. 1982. New Direction in Agroforestry; The Potential of Tropical legume trees, Improving Agroforestry in the asiaPasific Tropics. Prepared by a Working Group on Agroforestry Environment and Policy Institute East-West Center. Honolulu. Hawai. Vohland, K. and G. Schroth. 1999. Distribution patterns of the litter macrofauna in agroforestry and monoculture plantation in central Amazonia as affected by plant species and management. Appl. Soil Ecol. 13: 57–68. www.sciencedirect.com. von Maydell, H.J. 1987. International Research in Agroforestry (Editorial). Agroforestry System Journal 5 (1987), 3: 193–195.
245
von Maydell, H.J. 1988. Agroforestry (Lecture Notes). GTZFahutan Unmul. Samarinda. Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan Subagyo, 2005. Sebaran gambut dan kandungan karbon di Sumatra dan Kalimantan 2004. Wetland Int.- Indo. Prog. & WHC. Bogor, Indonesia. 254 hlm. Wallwork. 1970. Nematodes Diversity in Dutch Soils From Rio to a Biological Indicator for Soil Quality. Nematology Monographs and Perspectives. 2: 469–482. Whitmore, T.C. 1972. Tree flora of Malay a manual for forester. Longman, London. Vol. II. Pp 13–15. Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito dan M. A. Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestry. Bahan Ajar Agroforestry 3. ICRAF. Bogor. Indonesia. Widjaya-Adhi, I.P.G. 1995. Potensi, peluang, dan kendala perluasan areal pertanian di lahan rawa. Makalah Seminar Pengembangan Lahan Pertanian di Kawasan Timur Indonesia, Puspiptek Serpong. Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakara. Wösten, J.H.M. and H.P. Ritzema. 2001. Challenges in Land and Water Management for Peatland Development in Sarawak. In Rieley, J.O. dan S.E. Page (2001) (eds.). Peatland for People: Natural resource functions and sustainable management. BPPT. Jakarta. Wösten, J.H.M., A.B. Ismail and A.L.M. van Wijk. 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78: 25–36. Yap, S.K. 1980. Jelutong phenology. Fruit and Seed Biology. Malaysian Forester 43 (3): 309–315. Zimmer, M. 2002. Is decomposition of woodland leaf litter influenced by its species richness? Short communication. Soil Biology & Biochemistry 34: 277–284.
246
247
Lampiran 1.
Analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa pola mixed cropping dengan karet
Lanjutan Lampiran 1.
248
249
Lanjutan Lampiran 1.
Lampiran 2.
Analisis finansial usaha budi daya jelutung rawa pola monokultur
250
251
Lanjutan Lampiran 2.
Lanjutan Lampiran 2.
252
Lampiran 3. Tingkat kematangan gambut pada masing-masing plot penelitian
253
Lanjutan Lampiran 3.
Keterangan: AFTN = agroforestry jelutung di Ds. Tumbang Nusa; AFKL = agroforestry jelutung di Kel. Kalampangan PMKL= pertanian monokultur di Kel. Kalampangan; LTTN = lahan terlantar di Ds. Tumbang Nusa
254
Diterbitkan oleh: FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp./Fax.: +62251 7520093 Email: fordapress@yahoo.co.id Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh: BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU Jl. Ahmad Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan 70721 Telp./Fax.: +62511 4707872