Reborn - Bambang Adi Pramono

Page 1

solo exhibition by BAMBANG ADI PRAMONO


BIRD’S NEST, H.315 cm, Coffee Wood, Old Teak Wood (root), Stainless Steel String and Metal, 2009.


Solo exhibition by BAMBANG ADI PRAMONO curated by arif bagus prasetyo

Jan’23 - Feb’6, 2010


Published as a supplement of the exhibition by Bambang Adi Pramono at Hanna Artspace, Ubud - Bali January 23rd - February 6th, 2010 Curated by Arif Bagus Prasetyo Hosted by Nicolaus F.K. All works of art by Bambang Adi Pramono. Used by permission. Catalog concept & design by Hanna Artspace team Printed in Indonesia Published in 300 copies, by Hanna Artspace Copyright 2010 Hanna Artspace All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in retrieval system or transmitted in any means, electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, without the permission of the publisher.


daftar isi daftar isi

3

sambutan galeri nicolaus f.k

4

teks irah banuboro

5

kuratorial arif b. prasetyo

8

karya

11

biografi 20


2010 DIMULAI, by nicolaus f.k Pameran tunggal Bambang Adi Pramono dengan tema “REBORN� merupakan pameran pembuka Hanna Artspace di tahun 2010 ini. Dengan judul pameran “REBORN� yang dikonsepkan oleh pematung senior ini, jelas tersorot kesinambungan dengan dimulainya harapan yang disertai oleh kinerja manajemen Hanna Artspace untuk terus melanjutkan eksistensi yang telah dimulai menuju waktu-waktu sekarang dan yang akan datang. Kelahiran kembali karya - karya Bambang Adi Pramono yang dituangkan dalam konsep pameran ini adalah suatu kekuatan baru, tidak hanya bagi si perupa tetapi juga diharapkan bagi semua unsur seni rupa Indonesia baik dari sisi jenis karya, bahan-bahan, pesanpesan yang disampaikan ataupun dari keseluruhan makna pameran ini. Kami ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bambang Adi Pramono yang telah memberikan kepercayaan besar kepada kami untuk menyelenggarakan pameran ini. Semoga dimulainya tahun 2010 ini akan memberikan semangat dan apresiasi yang lebih baik dari tahun - tahun yang telah terlewatkan. Sukses untuk seni rupa Indonesia.

4

Hanging Nest, 120 x 80 x 40 cm, Stainless Steel & Old Teakwood, 2009


by Irah Banuboro Bambang Adi Pramono sejak awal terjun didunia seni telah gigih untuk memposisikan diri sebagai seniman yang “qualifield”, walau Bambang senidiri merasa kemunculannya dalam pameran ini merupakan kelahiran kembali didunia seni, tetapi sejatinya tidaklah demikian. Mungkin memang lama Bambang tidak berkiprah di seni murni (fine art) tetapi proses dan progres yang dilakukannya adalah tetap pada konteks seni sehingga bila ini dikatakan sebagai reborn maka lebih tepat lagi merupakan metamorfosis, bak lahirnya kupu yang indah, demikian pameran ini merupakan “pencerahan” baru dari proses berkesenian Bambang. Di konteks seni murni, diawali kembali dengan karyanya yang muncul di Syang Galery di Magelang. Sekali muncul pada karya “Kekayon” , Bambang membuktikan bahwa kelahirannya kembali ini memang merupakan hasil dari pengolahan “laku” bertahun-tahun yang ia jalani secara total. Maka “Kekayon” sukses bukan saja secara artistik tetapi juga menarik perhatian audien untuk memilikinya. Berikut keikutsertaanya di Bienale Yogyakarta 2009 dengan karya patung Berjudul “Bird's Nest” dan “Living Tree” yang juga hadir di Hanna Space ini. IN CONCEPT Yang sangat menarik dari karya-karya Bambang adalah bahwa eksistensinya selalu didukung konsep artistik yang jelas. Ini merupakan sebuah kecerdasan yang tidak selalu dimiliki oleh seniman. Kita harus jujur bahwa di negara ini dalam status sebagai

negara berkembang, strata pendidikan kita belum pada standard internasional, walau dibeberapa kota bisa mencapai, tetapi mayoritas belum mencapai. Terlebih dalam pendidikan seni yang sangat spesifik ini. Seni (baca: seni modern) didaratan kelahirannya di Eropa diartikan dan berada pada konteks pola berfikir jenius. Padahal persepsi ini masih demikian jauh dari pemahaman mayoritas masyarakat kita, maka galery-galery di Indonesia berperan aktif dalam apresiasi seni kepada masyarakat. Diawali dengan kemunculan karya berjudul “Kekayon” di Galery Syang di Magelang yang sukses bukan saja secara artistik tetapi juga diminati sehingga langsung dikoleksi, kemudian muncul karya “Bird's Nest” dan “Living Tree” yang dipasang di halaman kompleks gedung Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini pameran tunggal di Hanna Art Space Galery ini, “Reborn” karya-karya Bambang berpendar di berbagai kreatifitas dalam berbagai tema. Tema serial naga yang diekspresikan pada visualisasi anatomi tubuh, menjadi karya-karya yang berjudul “Dragon's Mouth”, “Dragon's Hearth”, “Dragon's Penishhh”, juga “Dragon Egg”.Ini merupakan karya yang mengangkat nilai-nilai filosofis legenda Naga dari Negeri China, sebuah filosofi yang sangat konstruktif sehingga bangsa China merupakan bangsa yang sangat eksist, sebagaimana yang dikatakan oleh Bambang; “Adanya semangat keperkasaan, kegarangan, power digabung dengan keindahan visualisasi dan itu semua mengilhami negeri China bisa hebat dimasa lalu dan saat ini. Dipatung saya, naga saya simbolkan dengan bentuk-bentuk runcing berupa taring dan kuku/ claw. Hidup adalah perjuangan bukan cengeng dan filosofi yang ada di naga / dragon yang paling tepat ditampilkan. Kecuali dragon, orientasi saya adalah alam dan problematikanya”.

5


6


IN ARTISTIC Artistik berarti bersifat seni yang dengan itu sebuah karya seni bernilai didalam disiplin seninya, karakter konsep dapat diekspresikan sehingga audiens dapat menangkap pemahaman didalamnya. Lekatkan konsep yang disampaikan sang seniman dengan patungnya. Mereka, karya dan konsep, menyatu sebagai teks dan konteks yang dapat dimengerti sebagai dasar penciptaan dan ekspresi karya. “Dragon's Mouth” dan juga patung tema naga di pameran ini menunjukan karakter kegagahan tersebut. Walau patung itu hanya fokus pada mulut, itupun tidak berupa mulut dalam arti yang sebenarnya lengkap dengan bibir dan kumis misalnya. Ini hanya berupa rahang yang ada beberapa taring. Tetapi pengolahan bentuk rahang dan taring ini sedemikan rupa dengan bentuk oval melengkung dan terbuka lebar. Siapa tak berpikir tentang kegarangannya dan kegagahannya. Begitupun dengan “Dragon's Heart” dengan ronggarongga kayu warna coklat dalam komposisi warna putih kayu, imajinasi menghidupkan degup jantung sang naga, maka intelektulitas membawa pada logika alam kehidupan naga. “The Muscle” seolah menjembatani tema serial naga dengan tema-tema yang lain karena bentuk muscle ini bisa ada di naga atau juga pada makhluk lain. Patung ini berekspresi tentang keuletan dan kegigihan. Dari bentuknya dapat ditangkap karakter itu,melingkar dalam liukan yang abstrak, meregang dan menciut, juga dengan tekstur yang bervariasi antara polos dan bergaris. Rangkaian itu merupakan kekuatan didalam fleksibilitas. Lebih spektakuler lagi adalah apa yang disampaikan oleh “The Wave : 5th Anniversary of Tsunami”,

yang berekspresi tentang hebohnya sebuah ombak, dengan kisah yang begitu menggemparkan hingga menarik perhatian seluruh dunia. Ini adalah problem alam yang juga ada pada karya “The Last Summer”, “Life Begin”, ”Dragon's Flower”, juga “Love Wave”. Patung-patung yang yang tentu juga jelas konsepnya yang telah terangkum dalam judul. Hanya saja karya-karya seperti dalam judul “Balance” dan “Harmoni” merupakan karya yang berolah didalam kebentukan itu sendiri, bentuk sebagai bentuk, maka tidak berbicara tentang “isi”. Ini kontras dengan “Heritage” yang sarat dengan filosofi sosiokultur, dengan “isi” yeng tentu sangat kompleks dan rumit, sebuah konteks renungan dengan kekuatan intelektualitas yang “berat” . Tetapi pada dasarnya karya seni adalah karya yang berdedikasi untuk semua strata dan semua bidang. Oleh karenanya seni dapat dinikmati oleh siapa saja dengan masing-masing kapasitas pemahaman. Di karya-karya Bambang, “performance” artistik terasa halus sehingga dimungkinkan pula untuk semua usia dapat menikmati. Anak-anak dengan bimbingan orang dewasa dapat menikmati karyakarya ini. Walau ada beberapa gelitik di “Dessert” dan di “Dragon's Penishhh” tetapi sama sekali bukan karya yang dangkal, bahkan karya ini sangat baik untuk pendidikan kepada dunia yang lebih dewasa bagi anak-anak. Sebab adakalanya sebuah karya bisa tampil sedemikian “keras” untuk usia anak-anak. Reborn pada pameran tunggal ini sangat menarik karena “reborn” disini merupakan progres dari kematangan artistik sang seniman. Selamat kepada Bambang Adi Pramono, untuk kegigihannya berkarya dan berkarya didalam seni patung didalam kehidupan, dimana nilai-nilai seni ini sangat dibutuhkan.

73


Seni Patung Bambang Adi Pramono SETELAH TIGA DASAWARSA oleh arif bagus prasetyo BAMBANG Adi Pramono adalah perupa kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, 1955, yang telah lebih dari dua puluh tahun bermukim di Bali. Ia lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan sempat menjadi dosen di almamaternya. Pekerjaan sebagai tenaga pengajar di kampus kemudian ditinggalkan, karena ia lebih tertarik menekuni karier profesional sebagai pematung, juga desainer dan konsultan desain di berbagai proyek. Bambang, antara lain, pernah bertahuntahun menjadi desainer, konsultan dan instruktur program pembinaan kerajinan di berbagai daerah di Indonesia Timur. Sebagai konsultan dan desainer pula, ia pernah terlibat dalam renovasi “Indonesia Pavilion Expo Garden Kunming, China”; dan pembangunan “Monumen Veteran Pejuang Kemerdekaan RI Sumatera Utara” di Medan, Sumatera Utara. Sementara sebagai pematung, salah satu karyanya yang menonjol adalah “Monumen I Gusti Ngurah Rai” di kawasan Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Sebagaimana dimaklumkan oleh judulnya, Pameran “Reborn” seolah menandai kelahiran kembali Bambang sebagai insan kreatif. Betapa tidak. Setelah absen sejak 2004, baru tahun kemarin karya patung Bambang kembali tampil di sejumlah pameran bersama. Untuk pameran tunggal, masa absen Bambang bahkan lebih lama. Pameran tunggal perdananya berlangsung pada 1981, hampir tiga dasawarsa silam. Baru sekarang ia berpameran tunggal lagi. Tak syak lagi, kesibukan Bambang melayani permintaan pihak lain selama bertahun-tahun membuatnya tidak punya banyak kesempatan menciptakan karya-karya idealis yang semata-mata mengejar visi kreatif personal, sehingga ia harus ambil cuti panjang dari ruang pameran. Bekerja sebagai desainer maupun pematung dalam berbagai proyek pesanan, kemauan, kepentingan dan standar kualifikasi dari pihak lain yang mesti dipatuhi, atau

8

setidaknya diperhitungkan atau dinegosiasi. Ia tak mungkin mengekspresikan rasa dan karsanya sendiri secara total dan murni kreatif. Pameran “Reborn” mengetengahkan karya-karya patung mutakhir Bambang yang, tentu saja, diciptakan sebagai ekspresi kreatif murni. Tanpa dibebani misi dan persyaratan yang dipatok pihak lain, Bambang mengejar misinya sendiri sebagai seorang seniman patung yang berkuasa menentukan syarat-syaratnya sendiri. Ia leluasa mengarungi langit imajinasi untuk memburu ilham kreatif, bergumul dengan konsep dan gagasan ideal, merumuskannya dalam rancangbangun yang bebas dari agenda pragmatis, mewujudkannya sesuai standar kualifikasi yang ditetapkan sendiri, bahkan terjun langsung dalam proses produksi yang tak jarang melibatkan eksperimentasi. Tak heran, karya-karya Bambang dalam pameran ini memancarkan semangat eksplorasi yang didorong oleh energi kreatif yang mengalir deras. Daya cipta yang terbendung selama tiga puluh tahun terakhir seolah menemukan kanal-kanal pelepasan kreatif, dan menubuh dalam bahasa artistik trimatra yang kaya makna dan ungkapan. Bambang bergulat dengan aneka pemikiran dan rangsang intuisi kreatif, lalu memahat kayu atau menempa logam, dua bahan utama karya patungnya. Sebagian besar proses produksi karya memang dikerjakan oleh tangan Bambang sendiri, termasuk untuk patung-patung berbahan logam. Bambang mengaku sangat menikmati kerja fisik yang cukup berat dalam penciptaan patungnya, misalnya menempa logam atau mengolah permukaan logam, sampai ia puas dengan hasil akhirnya. Dalam proses kerja ini ia tidak sekadar membangun suatu konstruksi, melainkan juga bereksperimen, menjajal kemungkinan-kemungkinan yang muncul, menemukan efek-efek tak terduga yang berbeda antara satu patung dan patung lain. Sebuah proses yang tentu menambah nilai otentik dan eksklusif pada karyanya.


Bambang terlahir kembali sebagai kreator yang mencipta, bergerak mewujudkan kreasi pribadi dan otonom, di tingkat konseptual maupun praksis. Reborn. Bambang berkarya dengan menggunakan material konvensional: logam dan kayu. Namun bahan-bahan konvensional itu digarapnya secara kreatif, justru untuk menghadirkan ekspresi yang inkonvensional. Karya-karya mutakhir Bambang menyiratkan suatu idealisme untuk mereformasi citra populer tentang seni patung, dan lebih jauh lagi, meredefinisi hakikat patung. Sejumlah patung yang dipamerkan tampak menantang persepsi umum tentang apa yang lazimnya disebut sebagai “patung”. Lihatlah, misalnya, patung berwujud seonggok tangan yang terputus pada lengan (“Dejected”), lilitan bilah silindris aluminium (“Life Begins”), atau imitasi sepotong bagian berukir dari rangka rumah tradisional Jawa (“Heritage”). Bahwa patung tidak mesti berdiri atau berbaring, tapi bisa juga melayang atau menggelantung (“Dragon Mouth”, “Hanging Nest”). Bambang terkesan mengupayakan hadirnya suatu struktur, proporsi dan energi ekspresif yang baru. Ia menjelajahi kemungkinankemungkinan ekspresif baru yang mampu menempung kegelisahan kreatifnya sebagai seniman patung kontemporer. Dengan kepekaan artistik dan kekuatan gagasan yang dimilikinya, Bambang memperluas pengertian tentang “patung”. Dalam karya-karya mutakhir Bambang, prinsip kestabilan desain, yang biasa melekat pada konstruksi monumen atau patung konvensional, seringkali digantikan dengan pencarian suatu kesetimbangan baru yang rawan. Ada kesan rawan yang membersit dari struktur-struktur trimatra yang rata-rata bertengger pada batang penyangga penyangga kecil. Melihat konstruksi patung “Heritage” atau “Dragon Mouth” yang seolah menyangkal hukum gravitasi, misalnya, muncul kesan bahwa kesetimbangan sajalah yang menahan patung-patung itu dari keambrukan. Kerawanan jenis lain diperagakan oleh patung “Torso”. Sepasang torso “kembar siam”,

yang bervolume cukup besar dalam karya ini nyaris tidak menyatu hanya seperti menyerempet satu sama lain. Sebagai tambahan, “suasana rawan” kadang juga mengemuka secara tematis, misalnya dalam karya “Kekayon II: Rhythm in Chaos” yang menggemakan kerawanan sosial, atau karya “Love Wave” dan “The Last Summer” yang menggaungkan kerawanan ekologis. Dalam mengonstruksi patung, Bambang tak segan-segan menangani ruang kosong sebagai elemen yang sama pentingnya dengan volume. Ruang sekitar dapat menembus atau meresapi massa pejal, menjadi bagian integral dari konstruksi keseluruhan sebuah patung. Rongga atau celah bukan sekadar areal kosong, melainkan juga “wujud” yang sama validnya dengan wujud patung itu sendiri. Eksplorasi spasial dengan prinsip “patung menembus ruang dan ruang menembus patung” tampak jelas dipraktikkan dalam karya-karya yang memainkan rongga seperti “The Muscle”, “Dragon Heart” dan “Reach It”. Dalam karya-karya semacam ini, praktis tak ada lagi batas yang tegas antara patung dan ruang kosong di sekitar patung. Salah satu daya-tarik karya patung Bambang terletak pada tegangan dinamis antara unsur formal dan unsur diskursif, aspek stilistik dan aspek tematik, wujud dan pesan. Di sini gagasan berperan sangat penting, baik gagasan di ranah rupa maupun di ranah wacana. Hampir semua karya Bambang mengusung tema tertentu yang digali dari pengamatan dan pemikirannya tentang berbagi fenomena alam dan kebudayaan. Dalam niat kreatif Bambang, kayu atau logam nyaris tidak pernah berhenti sebatas wahana ekspresi murni, sarana manifestasi keindahan ideal belaka. Hampir selalu ada “narasi” di balik bentuk-bentuk artistik trimatra kreasi Bambang. Namun demikian, “narasi” ini tidak selalu transparan, bahkan kadang tidak terbaca secara visual,karena kuatnya interupsi pertimbangan-pertimbangan artistik formal. Ambil contoh karya “Reach It” dan “Life Begins”. Tanpa membaca judul, pemirsa kemungkinan besar akan sulit menangkap pesan kehidupan yang ingin disampaikan Bambang dalam kedua

39


patung itu, dan mungkin hanya memaknainya sebagai bentuk-bentuk patung abstrak eksperimental.Contoh lain, pada karya “The Muscle”, “narasi” bahwa patung ini diilhami oleh serat-serat otot (sebuah gagasan yang orisinal!) menjadi kurang berarti dibanding efek artistik yang muncul dari alunan ritme permukaan dan logika visual formal. Sementara pada karya “Torso”, citra tubuh manusia seakan lebur dalam sensasi gerak dari resonansi antara gelombang permukaan kayu dan riak-riak tekstur kayu. Patung berbentuk manusia ini jelas tidak mengangkat isu kemanusiaan. Dalam karya-karya Bambang, gagasan di ranah rupa tampak cenderung lebih dominan daripada gagasan di ranah wacana. Tapi bukan berarti Bambang kurang memiliki perhatian terhadap isu-isu di luar persoalan rupa. Sejumlah karyanya yang menampilkan mimesis

DRAGON’S MOUTH, H 75 x W 103 x L 50 cm, Aluminium, Brass & Teak Wood, 2009.

10

alam (misalnya patung berbentuk tumbuhan, pohon atau sarang burung) mengungkapkan pesan ekologis yang kuat. Kepekaan sosial tentang zaman yang kian akrab dengan kekerasan dan kekacauan diungkapkan secara simbolis dan dramatis dalam karya “Kekayon II: Rhythm in Chaos”; sementara karya “Heritage” menyuarakan keprihatinan tentang ancaman kepunahan warisan budaya tradisional. Kritik terhadap seksualitas pada zaman kontemporer, ketika seks telah terhalau dari ruang sakral dan bisa dinikmati dengan enteng bak hidangan pencuci mulut, disampaikan dengan nada humor dalam karya “Dessert”. Kekuatan gagasan Bambang di ranah rupa memberikan perspektif segar dan aksentuasi unik pada gagasannya di ranah wacana. Dalam pameran ini, peragaan paling menarik dari paduan kekuatan gagasan rupa dan wacana terdapat pada serial patung naga. Berangkat dari keterpesonaan kepada Cina saat berkunjung ke sana beberapa tahun silam, Bambang mengeksplorasi sosok naga yang menyimbolkan spirit kultural masyarakat negeri Tirai Bambu yang mampu bangkit sebagai bangsa besar di muka bumi. Tapi uniknya, Bambang tidak menciptakan patung naga dengan mengacu pada gambaran umum tentang makhluk mitologis ini, melainkan mengolah elemen-elemen karakteristik naga (terbang, bergerigi, bertaring atau bercakar dsb) hingga menjelma jadi citra naga yang baru dan orisinal. Bentuk hati atau jantung naga (“Dragon Heart”), mulut naga (“Dragon Mouth”) atau penis naga (“Dragon Penishhh…”), besar kemungkinan tak pernah terbayangkan oleh siapa pun sebelum dilahirkan oleh imajinasi kreatif Bambang. Patung-patung “naga” karya Bambang meramu memori dan fantasi, mengawinkan model mitologis purba dan model rekayasa canggih (bahkan futuristis seperti karya “Dragon Mouth”), memadukan spiritualitas dan materialitas. Ke depan, serial patung naga Bambang masih sangat menjanjikan untuk dikembangkan lebih jauh.


Karya

THE WAVE : 5th Anniversary of Tsunami, H 102 x L 94 x W 68 cm, Copper, 2009.

31 1


REACH IT, H 193 x W 23 x L 35 cm, Stailess Steel String & Iron Wood, 2009.

TORSO, H 40 x W 100 x L 40 cm, Suar Wood, 2009. The Muscle, H 60 x W 100 x L 14 cm, Aluminium, 2009.

12


DESSERT, H 213 x D 52 cm, Jempinis Wood and Old Teak Wood, 2008.

HERITAGE, H 105 x W 69 x L 14 cm, Bronze & Teakwood, 2009.

33 1


DRAGON’S PENISHHH, H 100 x D 40 cm, Suar Wood, 2009.

THE MUSCLE, H 60 x W 100 x L 14 cm, Aluminium, 2009.

14


DRAGON FLOWER, H 98 x W 60 x L 30 cm, Copper, 2009.

LIVING TREE, H 300 cm, Stainless Steel Pipe, Sonokeling Wood and Concrete Block, 2009

15


DEJECTED, H 47 x L 55 x W 15 cm, Bronze and Old Teak Wood, 2008.

DRAGON’S HEART, H 50 x L 75 x W 45 cm, Suar Wood, 2008.

16


KEKAYON II : Rythm in Chaos, H 110 x L 55 x W 8 cm, Copper & Teak Wood, 2009.

LOVE WAVE, H 102 x W 40 x L 30 cm, Copper, 2009

37 1


PALESTINE : Needs unity, H 16 x W 80 x L 17 cm, Aluminium & Old Teak Wood, 2008.

THE LAST SUMMER, H 20 x W 90 x L 40 cm, Copper, 2009.

18


Biografi

LIFE BEGINS, H 60 x W 65 x L 79 cm, Aluminium, 2009.


2004

Renovation in “Indonesia Pavilion Expo Garden Kunming, China” as Consultant and Designer 2004 Comparative Study of Handicraft in THAILAND 2003 Indonesia Supervisor of “World Jewelry Exhibition”, Convention & Exhibition Center, Hongkong 93-2000 Designer Consultant and Instructure of Handicraft for East Indonesia Development supported by :TELKOM, DEPNAKERTRANS and Dinas Perindustrian - Bali 1983-90 To give Lecture at Institute of The Art - ISI Yogyakarta Solo Exhibition 2010 Reborn, Hanna Artspace, Ubud - Bali 1981 Indonesia Institute of Arts (ISI), Gampingan, Yogyakarta

BAMBANG ADI PRAMONO Born in Sidoarjo, July, 07, 1955 Lives and works in Bali Education 1976 Indonesia Institute of Arts (ISI) Yogyakarta Experience 2008-09 “Monumen I Gusti Ngurah Rai” at Boulevard to Internasional Airport Ngurah Rai Denpasar Bali as Sculptor 2008-09 “Monumen Veteran Pejuang Kemerdekaan RI Sumatera Utara”, Medan as Designer and Consultant 2007-09 Chief of Research and Development, Education, and Design Consultant in Non Government Organization 2000-05 Involved in Construction of “Hilton International Hotel and Grand Hyatt Nusa Dua Bali” in Art Work and Interior Design

20

Group Exhibition 2009 Arti[culation], Hanna Artspace, Ubud - Bali 2009 Bienale Jogja XI -2009 Jogja on The Move, DPRD Propinsi Yogyakarta. 2009 Narasi, Pameran Bersama, Syang Gallery Magelang 2003 Pameran Bersama, Nusa Indah Convention Center, Nusa Dua, Bali 1978 Pameran Bersama, IKJ Jakarta 1978 Pameran Bersama, Monumen Pers Nasional Solo 1977-80 Pameran Dies Natalis STSRI “ASRI” Yogyakarta Awards 2004 Awards of Design for Bali Architecture and Participation in “The International Horticultural Exposition, Kunming China” 2001 Awards of Handicraft Consulting and Instructors, Mario Vegas Carascalo, Governor of East Timor 1979 Award of The Best Sculpture “Dies Natalis” ISI Yogyakarta


Terimakasih kepada : 1. 2. 3. 4.

5.

6. 7.

HANNA Artspace dan staf yang telah memberikan kesempatan pertama untuk berpameran tunggal. Istri dan anak-anakku Pritha dan Agni yang selalu mendukung 'kegilaan' bapaknya. Komang Ayu yang senantiasa bekerja tak kenal lelah walau banyak tekanan. Pak Hendra dan keluarga, Syahrizal, Irah Banuboro yang menjadi lawan debat dan sering membantu mencarikan solusi atas 'keruwetan' pikiran saya. Pak Supriharyanto dan Pak Sutrisno beserta keluarga di Cepogo-Boyolali yang telah meminjamkan workshopnya selama pengerjaan patung tembaga dan alumunium. Mas Cus Kadarusman, Endah, Iwan beserta seluruh keluarga yang lain. Dan semua teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu jasa mereka atas terselenggaranya pameran ini, saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan Yang Maha Esa yang akan memberikan rahmat dan ridhonya kepada mereka semua. Amin


Hanna Artspace Jln. Raya Pengosekan, Ubud - Bali Ph.+62361 978216, www.hannaartspace.com e-mail:hannaartspace@yahoo.co.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.