NYLON Indonesia / April 2012

Page 1

A

10

lily collins

LISTEN

musical blue blood

young folk

flower prints mid crop jacket pretty pastels romantic makeup

local music heroes:

A.F.F.E.N Backwood Sun Protocol Afro Stars and Rabbit Sparkle Afternoon Dubyouth Soundsystem LeSmokey Section’s Pagi Mentari Band Grace Sahertian Mahesa utara

music APRIL

2012

RP. 35.000,LuAR PuLAu jAwA RP. 37.500,I S S N 208 788 26

N O w!

liputan spesial our anniversary party up close friendly fires




table of contents

018

025

go sailor!

janis joplin

020

026

pastel fever

mother of pearls

022

028

mass appeal:

COVER: Lily Collins. Foto Oleh: Hilary Walsh. Stylist: Britt Bardo. Rambut: Mara Roszak at Starworksartists.com menggunakan Sebastian Professional.Makeup: Kayleen McAdams at The Wall Group. Manikuris: Nettie Davis at The Wall Group. Retouching: Milk. Thanks to: 5th & Sunset Studio, L.A. Atasan dan gaun (dikenakan di dalam: H & M. Collar: Louis Vuitton. Cincin: Steller Minyon.

006

ed letter

008

masthead

010

par avion

012

Behind the Scenes

002

FASHIONISTA

014

t-shirt of the month

miss penny lane

023

opener:

016

mass appeal:

into the jacket

haute stuff

024

price is right

private icon:

profile:

factory girl

030

fashion news

040

sometime in april

BEAUTY QUEEN

034

046

opener: the only love

036

counter culture

026

oleh: tiara puspita foto oleh: ricko sandy

private icon:

karen carpenter

047

beauty news

profile:

kiehl’s

APRIL 201 2

mass appeal:

Foto Oleh: Bona Soetirto. Stylist: Anindya Devy. Model: Renya-21mm. Make-up & hair: Priscilla Myrna. Dress & rok panjang: Picnic. Kemeja floral: Sober Girls @ The Goods Dept. Wellies: Kate Spade.



table of contents

076

girls on gigs

078

japan acts

080

profile:

RADAR

turkey

083

10 local heroes

074

culture club

082

white shoes & the couples company

radar special:

088 090

profile:

053

soundcheck, bookmark, get this

mother of pearls

050

radar:

086

ay ducane

profile: silver swans

084

filmstrip

friendly fires

004

en route:

093

on stage: architecture in helsinki

094

one on one:

pains of being pure at heart

095

one on one:

kina grannis

096

on stage:

jessie j

100

cover story: lily collins

040

097

on stage:

young folk

avolution beatfest

oleh: anindya devy foto oleh: ricko sandy

098

108

java jazz

foto oleh: anouck bertin

on stage:

printed matter

126

shopping list

127

star maps: walk on by

128

bag check:

the rockstar

Foto oleh: Ricko Sandy. Stylist: Tiara Puspita. Asisten Stylist: Amanda Indira. Model: Juliette dan Erin-VTM. Make Up Artist: Alfina Narang. Hair Stylist: Shabura Sebastian. Lokasi: White Box Bistro & Deli. Juliette: Atasan pink: Argyle & Oxford. Cardigan: MANGO. Cincin: Mr. Freddy. Erin: Tank top: TOPSHOP. Cardigan: Pull & Bear. Scarf: MANGO. Anting: CS Accessories.

APRIL 201 2



letter from the editor

eargasm ApA yAng AkAn kamu lakukan bila mengalami sebuah ‘eargasm’? Well, buat kami di tim nyLOn Indonesia kita akan dengan bangga berbagi dengan kamu. Setahun yang lalu nyLOn Indonesia membuat sebuah edisi musik, dengan tujuan memasang radar mencari band atau musisi muda yang memiliki warna baru dan berbeda. Begitu uniknya konsep yang mereka tawarkan, hingga kita melabelkan sebagai ‘music heroes’. kenapa jadi ‘heroes’? Well, first thing first, cause they make good music. kedua, mereka begitu unik sehingga patut diberikan ruang di industri musik yang sudah jelas pengkotakannya. Dan terbukti para ‘heroes’ tahun lalu tidak sedikitpun mengecewakan, terlebih saat diberikan panggung untuk unjuk kebolehannya di nyLOn Music Festival dan hingga hari ini namanya semakin jelas terdengar. Di edisi ini, akhirnya tim nyLOn kembali memasang radar dan berhasil menemukan 10 Local Music Heroes yang baru. Dan kembali rapat redaksi diisi dengan mendengarkan demo, browsing youtube, Soundcloud, MySpace dan berbagai medium. perdebatan pun tak terelakan hingga bulat terhitung 10. Sebut saja Backwood Sun, pagi Mentari Band, grace Sahertian, Sparkle

006

Afternoon, Dubyouth Soundsystem, LeSmokey Section’s, A.F.F.E.N, Mahesa Utara, Stars and Rabbit, Protocol Afro. Mereka adalah pejuang-pejuang yang musiknya mungkin baru kamu dengar saat surfing di internet atau menghadiri festivalfestival musik. Secara eksklusif di Radar edisi ini kamu bisa tahu lebih dekat tentang musik mereka, yang tadinya hanya mendengarkan di internet menjadi tertarik untuk melihat gig mereka langsung. Agar terjadi sebuah ‘eargasm’, di saat para pencipta musik akhirnya bertemu dengan penikmatnya. Musik bisa menjadi sumber inspirasi, tidak ada yang lebih sempurna dari mendengarkan play list favorit. Kamu pasti mengerti apa yang saya maksud. Seperti halnya saya yakin kamu pun begitu ‘freak’ dengan musik kamu. Kamu bisa begitu idealis menseleksi apa yang kamu dengar atau bahkan bisa begitu terbuka. So, from folk to K-Pop with a little bit of Hip Hop, why not? Just love your music. Cukup itu saja inti dari edisi musik ini.

Listen and Enjoy! EIn haLId EdItor In chIEf



A Chairman and Chief Entertainment Officer Julius Ruslan Chief Executive Officer and Group Publisher Denise Tjokrosaputro Editorial Director Petrina Leong Editor-in-Chief Ein Halid Managing Editor Resti Purniandi

Senior Fashion & Beauty Editor Anindya Devy Fashion Stylist Patricia Annash Beauty Editor Tiara Puspita

Associate Editor Alexander Kusuma Praja

writers Jessica Hanafi editorial assistant Deasy Rizkinanti interns Amanda Indira design Graphic Designer Coordinator Amirudin Hafihz Graphic Designer Marisa Saleh, Haris Juniarto, Philip Ponk

photographer Rude Billy, Rizhki Rezahdy business Group Sales Manager Herawati Saragih Senior Account Excecutive Nimas Ayu Inawati Account Excecutive Natasya Wulandari, Puspita Imasari Traffic Manager Ursula Sitorus Marketing Communication Supervisor Thania Muljadi Event Staff Arsil Fajar, Adi Wira.P, Carl Ronaldo Circulation & Distribution Algoniun, Iriansyah IT Coordinator Fajar Fitriadi Web Coordinator Arvino Zulka Harahap NYLON is published by

PT. TIGA VISI UTAMA Thamrin City Office Park Blok AA No. 08-09 Jl. Kebon Kacang Raya, Jakarta Pusat 10350, Telp. (021) 319 91193, fax. (021) 349 91178

SIUP NUMBER : 01881/10-1.824.51 NYLON US Chief Editor Marvin Scott Jarett Publisher Jaclynn b Jarett Associate publisher Karim Abay President Don Hellinger

Editorial Office

110 greene street,suite 607, New York, NY 10012 Disclaimer Artikel yang dimuat dalam majalah ini telah melalui proses editorial yang berkesinambungan. Isi majalah ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan proses pemeriksaan dan opini publik, dan hanya berfungsi sebagai informasi yang bersifat konstan. Semua materi yang kecuali ditetapkan lain. telah memiliki izin pemuatan foto dari pihak yang bersangkutan diterima akan menjadi hak milik untuk digunakan sesuai keperluan. Hak Cipta & Izin Penerbitan Hak cipta dilindungi. Tidak ada bagian dari majalah ini yang diizinkan untuk dikutip ataupun diproduksi dalam format apa pun dengan atau tanpa sengaja tanpa izin dari perusahaan. Hak cipta 2012

follow us on

NYLON_IND NYLON Indonesia

contact us

contact@nylonindonesia.com sales@nylonindonesia.com www.nylonindonesia.com



par avion

Dear NYLON, Last month was your 1st edition that I read and I’m eager to say that, it was GREAT!! Beda dari majalah lainnya, aku langsung jatuh cinta sama NYLON. Beauty issue-nya inspires me a lot. Keep up your lovely works, heart NYLON. - Arina Prameswari, Bandung Dear NYLON, I’m the person who love fashion and social life so bad. And NYLON is the one of my favorite magazine which is fit to my style. NYLON has a good passion about fashionable things and the way to be stylish. It inspired me!! I love NYLON. - Riza Vladimir, Jakarta

NICO YOGA SANTO, JAKARTA

STEVANNY JAKARTA

USMAN,

Dear NYLON, When I read NYLON, I found a lot of useful and interesting articles. And I think NYLON is the coolest magazine ever. XOXO! - Sandra Firdausya, Bandung Dear NYLON, I love NYLON magazine. Young, stylish and artsy.. so inspired! - Dita Ismuntoyo, Jakarta

DWIPRATITA JAKARTA

010

WIDYANTI,


contributors Muhammad Asranur Fotografer freelance Muhammad Asranur akan bekerja sama dengan Nylon untuk memotret hampir semua New Local Heroes di Music Issue ini. Ketika ditanya mengapa menyukai bidang fotografi, Asra malah menjawab sebenarnya kurang terlalu suka juga dengan fotografi. Namun, ia kembali mengakui suka dengan fotografi yang berhubungan dengan panggung konser dan musisi. Tidak heran, hobinya memang bermain dan mendengarkan

musik. Ia mudah ditemukan menjadi bagian dari crowds konser. Konser yang mengesankan baginya adalah The Flaming Lips di Singapura 2010, Yeah Yeah Yeahs di Singapura 2009, dan Arcade Fire di San Francisco 2007. Penggemar lingkup musik rock, electronica, jazz, dan classical ini juga memfavoritkan Bjork, Arcade Fire, Yeah Yeah Yeahs, Astor Piazzolla, Sigur Ros, Mono.

Marissa Anita Marissa Anita aktif menjadi anchor Metro TV dan biasa menyapa pagi lewat program 811 Show. Marissa menggabungkan kedua passion-nya ketika meliput Cannes Film Festival 2011 dan Berlin Film Festival 2012. Selain menjadi jurnalis, ia aktif di dunia teater dan film. Marissa termasuk tim inti Jakarta Players, komunitas teater berbahasa Inggris berbasis sosial di mana ia berperan on and off stage sebagai tim produksi atau

‘meregangkan otot-otot aktingnya’ di panggung. Kamu juga bisa menemukan review film yang ditulis Marissa untuk Waspada Online atau menjumpainya di project film pendek bersama kawan-kawan teaternya. Aktris favoritnya adalah Meryl Streep dan ia sangat terkesan dengan film-film karya sutradara Clint Eastwood. Marissa Anita akan bercerita soal Berlinale Film Festival 2012 di rubrik Filmstrips bulan ini.

Ykha Amelz Ilustrator asal Bandung ini ternyata tidak memiliki latar belakang edukasi ilustrator. Lulusan Arsitektur di Universitas Parahyangan Bandung ini justru memilih sendiri kesempatannya untuk menjadi ilustrator. Ia lebih memilih untuk menuangkan ekspresi dan imajinasi ke dalam media visual daripada verbal. Dalam proses berkarya, ia terinspirasi oleh seniman-seniman seperti Dr.Seuss, Alphonse Mucha, dan Laura Laine. Dengan

spesialisasi menggambar dengan pensil, digital, dan desain grafis, artwork-nya mencoba menjelajahi bidangbidang musik, fashion, advertising, branding, cover album, web, novel, buku anak-anak,dan tentu saja majalah. Dengan darah kreatif yang telah mengalir padanya, Ykha juga aktif menjadi vokalis band indie asal Bandung, C.U.T.S. Eksplorasi karya Ykha Amelz di rubrik Counter Culture bulan ini.

N. Fajri Hastomo Sebagai lulusan Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung, Fajri yang akrab disapa Iyunk ini lebih menyukai berkomunikasi lewat media foto. Iyunk yang juga sedang mengenyam pendidikan Magister Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia dengan konsentrasi Marketing Communication ini mengakui lebih suka pantai daripada gunung. Ia bisa ditemukan di spot-spot surfing ataupun travelling di Indonesia, tentunya di mana mataharinya

terik. Iyunk yang di kalangan teman-temannya dikenal mengusung semangat Rastafarian ini menyebut konser favoritnya adalah, Jammin Island 3 di Gili Trawangan. Pengagum musik Jack Johnson, Radiohead, Bob Marley, dan Tony Q ini mengakui salah satu pengalaman serunya tahun ini adalah sempat mencium tangan Erykah Badu dua kali saat menemani NYLON untuk fotografi konser Java Jazz Festival tahun ini.

011


behind the scenes

Beauty note:

Makeup artist Kayleen Mcadams menonjolkan keindahan mata Lily dengan mengaplikasikan beberapa macam eyeshadow berwarna coklat yang berbeda untuk hasil smoky yang lembut, berpasangan dengan warna bibir yang netral dan creamy.

under cover: lily collins

Setelah membintangi film Mirror Mirror sebagai Snow White, Lily Collins mungkin sudah semakin terbiasa mengenakan korset, tiara dan gaun ballroom dibandingkan blazer dan dasi, tetapi hal tersebut tidak menyebabkan sang bintang stop bereksperimen dengan gaya boyish untuk pemotretan cover NYLON kali ini yang bertempat di Los Angeles. “Saya ingin mencoba tampilan yang belum pernah ia coba sebelumnya, karena itu saya mendandaninya dengan menswear, tetapi tetap bernuansa girly,” ujar stylist Britt Bardo. “Lily sangat easygoing dan akan mencoba apapun dalam berpakaian,” tambahnya. Makeup artist Kayleen McAdams fokus untuk menonjolkan alis Lily yang terkenal. “Lily mempunyai mata dan alis yang sangat indah. Saya ingin ia merasa percaya diri dan mengenakan makeup yang menunjukkan sisi fun dari kepribadiannya, tetapi tetap mendapatkan aura sesuai keinginannya,” ujar Kayleen. Selama pemotretan, Luly mendengarkan Foster the People dan Rihanna, dan sempat pindah lokasi ke pantai sekitar untuk beberapa pengambilan gambar. Hairstylist Mara Roszak menambah volume rambut coklat Lily yang tebal alami dengan Bumble and bumble Surf Spray dan curling iron. “Lily mempunyai rambut yang luar biasa,” ujar Mara. “Saya ingin ia terlihat dan merasa seperti dirinya sendiri.”

for her LooK try: Blush Duo tweed effect in tweed Sienna, Inimitable Intense Mascara, Quadra eye Shadow in Mystic eyes, Intense eye Pencil in noir, highlighter face Pen, hydrating Sheer Lipshine in Canotier. Semuanya dari Chanel.

012

photo: stephen walker. still lifes: christine blackburne.



miss penny

Sekali-kali coba menjadi groupie ala ‘Almost Famous’. Just put on your hat with your favorite short and feel the joy.

Photo: PoPPie Mayiesky. stylist: Patricia annash. Model: Mariana - VtM. MakeuP artist: lisa Fazaki. lokasi: dia.lo.Gue artsPace. atasan: this is a loVe sonG @ the Goods dePt.. Blazer: toPshoP. short: Mr. Freddy. sneakers: conVerse. toPi: zara.


lane


mass appeal: jacket

2

1

4

3

5 6

7

9

8

10 11

into the jacket How to play it cool while keeping warm? Jaket-jaket keren ini bisa dijadikan pilihan 1. Suede jacket, Mango, Rp. 2.269.000; 2. Printed jacket, Zara, Rp. 599.000; 3. Leather jacket, Bershka, Rp. 699.900; 4. Striped Blazer, Mango, Rp. 769.000; 5. Paisley Jacket, Topshop, Rp. 699.000 ; 6. Gucci Spring ‘12; 7. Brown leather, Bershka, Rp. 699.000; 8. Black & White, Pull & Bear, Rp. 599.900; 9. Three Tone Jacket, Stradivarius, price by request; 10. Military Blazer, Zara Rp. 599.000 ; 11. Pink Leather, Miss Selfridge, Rp. 599.000.

016

Oleh: Patricia Annash

Foto oleh: Rizhki Rezahdy


www.kipling.com

JAKARTA Boutique Mal Taman Anggrek, Boutique Pondok Indah Mal 2, Boutique Senayan City, Boutique Central Park, Boutique Gandaria City, Sogo Emporium Pluit, Sogo Pondok Indah Mal 2, M-Pacific Place, Seibu Grand Indonesia Surabaya Boutique Tunjungan Plaza 4, Sogo Tunjungan Plaza 4 Bali Sogo Discovery Mall Bandung Boutique Paris Van Java, Sogo Paris Van Java Medan Sogo Sun Plaza


mass appeal: sailor 1

3 5 2 4

9

6 8 7 11

10

13

12

go sailor!

14

Bergaya ala sailor can be fun. Let’s sail away! 1. T-shirt, Bershka, Rp. 259.000; 2. T-shirt, Stradivarius, Rp. 159.000; 3. Anchor Necklace, Stradivarius Rp. 139.000; 4. Anting, Mata-Mata Rp. 85.000; 5. Tank top, Mango Rp. 279.000; 6. Swimsuit, twentyforteen, Rp. 350.000; 7. Rok, Mr. Freddy, Rp. 135.000; 8. Scarf, Stradivarius, Rp. 199.900; 9. Sweater, Topshop, Rp. 499.000; 10. Dompet, Topshop, Rp. 159.000; 11. Tas, Pull & Bear, Rp. 399.900; 12. Frankie Morello Spring’12; 13. Sweater, Mango Rp. 389.000; 14. Flat shoes, Pull & Bear, price by request.

018

Oleh: Patricia Annash

Foto oleh: Rizhki Rezahdy



mass appeal: pastel

4

1

5 3 2

6

7

8

9

11

12

10

pastel fever

13

Bosan dengan flashy look? Coba warna pastel untuk mengeluarkan sisi manis kamu. 1. Cropped Top, Inch Rp. 130.000; 2. Bangles, Stradivarius, price by request; 3. Collar Dress, Argyle & Oxford Rp.498.000; 4. Short, Pink Label Rp. 150.000; 5. Lace Short, Stradivarius Rp. 499.000; 6. See-through Shirt, PICNIC Rp. 329.000; 7. Prada Spring ‘12; 8. Jeans, Topshop, Rp. 499.000; 9. Tights, Mata-Mata Rp. 55.000; 10. Dress, Nikicio @ The Goods Dept. Rp. 999.000; 11. Shoulder Bag, Stradivarius Rp. 259.000; 12. Two-Tone, Bershka Rp. 799.000; 13. Kacamata, Mata-Mata, Rp. 75.000.

020

Oleh: Patricia Annash

Foto oleh: Rizhki Rezahdy



t-shirt of the month: balenciaga

Oleh: Anindya Devy. Foto Oleh: Bona Soetirto. Model: Renya - 21mm. Make-up & hair: Priscilla Myrna.

Going classic dengan ilustrasi mosaic lukisan di sebuah gereja tua.

the magus



The price is right: duo-tone

Tampil dengan

outfit dengan dua

Crop top, Mr.Freddy,

Rp 120.000.

warna netral bisa

menjadi seru. Let’s

give it a try.

Oleh : Anindya

Devy. Foto : Michael

Cools. Model :

Olenia - DAMN.

Makeup Artist :

Rok mini, FAR, Rp 259.000.

Priscilla Myrna.

Lokasi: Never Been Better, Kemang.

seeing double

Stokin g, Top s hop,

Rp 199 .0 0 0.

Sepatu, Charles & Keith, Rp 499.000.

024


private icon: janis joplin 1

2

3

The Queen of Psychedelic Soul ini bisa memberikan inspirasi gaya hobo with a rocker twist. Awesome Janis Joplin is awesome. Oleh: Anindya Devy. Pasti kalian Pernah mendengar The 27 Club dan tidak berusaha menjadi superstitious disini, Janis Joplin termasuk di dalam kategori para musisi hebat yang meninggal di usia yang masih muda yaitu 27 tahun. Bernama lengkap Janis lyn Joplin, penyanyi asal texas ini lahir pada tanggal 19 Januari 1943. Memulai awal hidupnya dengan rebellious dan gaya hidup yang tidak biasa, sempat menjadi beatnik poet (sebuah group para penyair dan penulis yang muncul pada tahun 1950an). karier menyanyinya dimulai sebagai folk dan blues singer di san Francisco, di berbagai klub dan bar. namanya mulai dikenal di akhir tahun 1960an ketika dia bergabung di sebuah psychedelic-acid rock band bernama Big Brother and the holding Company dan memulai karier solonya setelah itu. Meskipun Joplin hanya memiliki 5 hits single selama 4 tahun kariernya, tapi ia menjadi salah satu major attractions di Woodstock festival. Pada masa keemasan kariernya, dia dikenal sebagai “the Queen of rock and roll” dan “the Queen of Psychedelic soul”. tidak hanya ia one of the 100 greatest artist of all time, ia memiliki impact yang besar juga dengan gaya berpakaiannya hingga kini masih influential, dengan gaya hobo-rock-folk nya yang ikonik. High heeled boots, tumpukan scarfs panjang, perhiasan besar dan mantel-mantel bulu yang seru. sentuhan gaya Victorian terkadang dicampur dengan gaya rock’n’roll, kacamata bulat selalu terlihat, dan bermacam-macam aksesoris besar dengan nyaman dikenakannya. Janis tidak takut untuk mencampur tekstur, pattern, dan siluet yang beragam. Dare to try? 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

7

4

5

6

8

double j

Butterfly top, Dorothy Perkins, Rp 386.000; Kacamata bulat; Topshop, Rp 229.000; Wideleg trousers, Topshop, Rp 699.000; Faux fur, Miss Selfridge, price by request; Leopard welly, Miss Selfridge, price by request; Pouch Necklace, Miss Selfridge, Rp 145.000; Anklet, Miss Selfridge, Rp 85.900; Fringe kimono, Dorothy Perkins, Rp 459.000.

025


profile:

art in action

Dari laut hingga ke galeri, Mother of Pearl adalah inspirasi tersendiri. Oleh: Jessica Bumpus. Foto oleh: Christopher Starbody.

026

CuaCa malam ini gelap dan dingin, saya berada di daerah Clerkenwell london. Tetapi di balik pintu besi besar yang menutup dengan bunyi keras di belakang saya terletak markas mother of Pearl yang terang dan sedang naik daun, label “sporty tapi tidak berorientasi sport” dari maia norman, fashion desainer, partner dari seniman Damien Hirst, dan surfer yang berdedikasi. “Jika saja angin berhenti, itulah yang akan saya lakukan sekarang”, norman mengakui, yang asli berasal dari California, duduk di sekitar meja potong dipenuhi dengan ilustrasi. Tertempel di sekeliling tembok, sketsa-sketsa berwarna dan petunjuk dari 13 koleksi musim gugur label - sebuah kolaborasi dengan seniman Fred Tomaselli. Kami ditemani oleh kepala desainer amy Powney, umur 27, lulusan dari universitas Kingston london yang telah bersama mother of Pearl selama 5 tahun; sebelum di luncurkan ulang tahun 2009, mOP dimulai lebih seperti merk surf vintage. Sekarang, mendesain untuk “wanita aktif berpikiran ke depan yang kuat, percaya diri dengan sebuah tujuan” ujar norman, yang dirinya merupakan penjabaran sempurna dari pernyataan tadi. Selain surfing, dia juga mengendarai sepeda motorcross, dan Juni lalu, menyelesaikan Gumball 3000 Race - balapan mobil yang dimulai di london, membawa para kompetitor-nya 3000 mil melintasi Eropa. Powney, sebaliknya, bermain drum dan sering tertawa. Keduanya adalah pasangan yang cocok, dan ketika berurusan dengan fashion, mereka punya selera yang sama. “Kami berdua menyukai pakaian yang mudah dipakai dan punya pola yang

Stylist: Doria Santlofer. Rambut: Bellair menggunakan Paul Labrequec. Makeup: Rachael Ghorbani menggunakan Nars. Model: Anna I at New York Models. T-shirt and skirt: Mother of Pearl, shoes: Asos, necklace: Lizzie Fortunato, cincin: Anndra Neen.


profile:

indah,” kata Powney. “Saya tahu dimana Mother Of Pearl pernah berada dan akan kemana, dan bagaimana seharusnya terlihat.” Estetika label ini dipertegas oleh kolaborasi artistik musiman - hal yang tidak mengejutkan karena Norman sendiri mempelajari seni murni di Parsons, Paris; kumpulan seniman adalah “lebih komunitas saya” katanya. Setiap musim, seorang seniman diundang untuk bergabung dalam Mother of Pearl - ada seniman video dan fotografer Mat Coltishaw dan partner-nya Walton Fund untuk koleksi musim semi ‘10, seniman instalasi Carstein Holler untuk musim gugur ‘10, pematung Jim Lambie untuk musim semi ‘11 dan seniman multi-media Keith Tyson untuk musim gugur ‘11. Untuk musim semi ‘12, label ini bekerja sama dengan seniman multi-media (dan pemegang kartu YBA) Fiona Banner. “Kami mulai memilih karya para seniman dan menyetujui yang mana yang kami suka. Lalu Amy mulai melakukan keahliannya, lalu saya bergabung dan membereskannya’” jelas Norman tentang proses kolaborasi, dimana musim ini Banner bereksplorasi dengan dengan tema publishing sebagai pertunjukan. Koleksi ini di-presentasikan menyerupai buku, lengkap dengan nomor ISBN. Konsepnya dipermainkan lewat pemisahan yang mudah rok mini dan maksi dipasangkan dengan kaos tipografik, mantel jas bergaris, sebuah rompi ber - ISBN, jaket bomber ketat, dan aksesoris gym yang keren. “Itu cara yang bagus untuk memulai proyek,” kata Powney. “Kami juga beruntung bisa bekerja sama dengan kumpulan seniman tadi.” Yang akhirnya menimbulkan pertanyaan: Apakah salah satu seniman tadi bisa jadi Damien Hirst? “Saya sudah memikirkan pastinya. Kami menunggu sampai kami siap. Kolaborasinya harus jadi sangat spesial, eksotis dan penuh hasrat,” ujar Norman dengan binar dimatanya. Mengenai apakah Hirst memberi masukan pada koleksi mereka, Norman mengakui kalau “Terkadang kami berdiskusi tentang seniman mana yang kita akan pilih, tapi tidak sampai dengan formulasi koleksinya.” Rencana berikut untuk MOP adalah sebuah toko pop-up di Harrods, dibuka bulan ini, dan peluncuran dari koleksi pra-musim panas hasil kolaborasi dari para seniman yang sedang menanjak. “Pasti sangat senang rasanya bisa bekerja dengan seorang seniman yang mempunyai sifat melenceng dan tidak menganggap diri mereka terlalu serius,” jelas Norman - sebuah pernyataan sentimen yang diperjelas lewat sepotong pola kain tertempel di dinding, yang setelah dIinspeksi lebih dekat, memperlihatkan simbol burung yang terpenggal dan berdarah (yang terlihat sangat indah). Di dalam dunia Mother of Pearl, semuanya bagus, secara kreatif - dan yang lebih penting - menyenangkan untuk dipakai.

mixed media

Kami meminta Maia Norman untuk memilih lima seniman yang paling ia ingin berkolaborasi. Gabriel Orozco Saya suka irama alami visualnya - dari organik ke murni buatan manusia, dari optik ke pola yang representatif. Dia memiliki cara yang elegan. Wangechi Mutu Dia mengingatkan saya akan Francis Bacon dengan sentuhan Afrika. Saya melihat instalasinya di Guggenheim di Bilbao dengan perisai terbungkus bulu dan kayu lapis di cat penuh dengan lubang peluru. Saya dan anak-anak saya sangat terpesona. Sangat kaya, jahat dan eksotik. Ed Ruscha Kakek yang keren dari California. Saya suka gambar-gambarnya yang ringkas, nakal dan terus terang. Tom Friedman Saya tidak tahu bagaimana menerjemahkan karya-karyanya, tapi saya menyukai cara otaknya bekerja. Ada humor dalam karyanya, tapi ada juga yang lain - ia tahu bagaimana untuk melihat sesuatu dari dalam ke luar dan dalam 4 dimensi. Chris Ofili Karyanya Chris sangat padat dan hangat. Saya telah bepergian ke Afrika lima tahun terakhir ini dan karyanya diambil dari estetika Afrika tapi dengan caranya yang indah dan gaya primitif.


factory girl: Coca-Cola

First thing First, ya saya tahu halaman ini bernama Factory girl dan saya sendiri adalah cowok, tapi percaya deh, yang akan saya ceritakan sekarang adalah satu hal yang pasti disukai oleh cewek mau pun cowok, so drum roll please…it’s about soft drink, dan soft drink apa yang paling terkenal di dunia jika bukan CocaCola? Saya tak tahu kalau kamu, tapi untuk saya pribadi, soft drink adalah pilihan favorit saya saat sedang kepanasan dan Coca-Cola selalu yang pertama terlintas ketika menyebut soft drink. Entah apa karena memori kolektif sejak kecil yang tertanam kuat baik karena warna merah ciri khasnya, desain logo ikonik atau sensasi dingin saat meminumnya yang menjadikannya salah satu ikon pop culture sampai hari ini. Sebut saja mulai dari film-film seperti the gods Must Be Crazy, the Coca-Cola Kid sampai lagu “Come Together” dari The Beatles dan “All Summer Long” dari The Beach Boys, menyebut CocaCola sebagai salah satu elemennya. Basically, it’s part of our daily life, tapi apakah kamu tahu tentang cerita dibaliknya? Well, sekarang saya tahu dan sebentar lagi kamu juga, karena untuk rubrik Factory girl (Factory Boy, in my case) kali ini saya berkesempatan berkunjung langsung ke Pabrik Pembotolan Coca-Cola Indonesia di daerah Cibitung, Jawa Barat atas undangan PT Coca-Cola Indonesia dan Maverick. Setelah menempuh waktu sekitar satu jam perjalanan bus, saya tiba di pabrik yang terlihat sejuk dengan banyaknya pohon rindang, tapi sayangnya pepohonan tersebut masih belum mengatasi rasa gerah akibat cuaca yang luar biasa terik. Untungnya saat hendak memasuki ruang auditorium saya langsung disuguhi sebotol Coca-Cola dingin tanpa sedotan. Kenapa tanpa sedotan? Tenang, nanti kamu tahu alasannya. Hal pertama yang menangkap perhatian saya adalah banyaknya poster iklan vintage Coca-Cola yang merupakan koleksi autentik dan di dalam auditorium juga terpajang beberapa etalase berisi

the coca cola kid

Bagaimana menikmati sebotol Coca-Cola dengan maksimal? I’ll spoil the secret. Oleh: Alexander Kusuma Praja. Foto: Dok. CocaCola Indonesia.

028


merchandise dan koleksi botol Coca-Cola asli dari berbagai negara, mulai dari yang berukuran jumbo sampai yang sangat mini, mulai dari yang botolnya berbahasa Arab hingga Jepang dan favorit saya adalah botol berdesain pin-up girl yang merupakan edisi khusus ulang tahun ke-125 mereka tahun lalu. Yup, Coca-Cola memang sudah berusia lebih dari seabad, saya tidak perlu menyontek Wikipedia untuk mengetahuinya karena di auditorium ini saya menonton film pendek tentang sejarah Coca-Cola dengan dipandu Bapak Andrew Hallatu selaku Media Relations Manager Coca-Cola Indonesia. Pertama kali diciptakan tahun 1886 oleh seorang ahli farmasi bernama John Pemberton di Georgia, Amerika Serikat, Coca-Cola yang awalnya dijual di apotek seharga 5 sen per gelas, menjadi minuman favorit rakyat Amerika setelah dikembangkan oleh pengusaha bernama Asa Candler yang mendirikan Coca-Cola Company di tahun 1892 dengan taktik marketing yang sukses. Namun, ide meminum Coca-Cola dari botol baru muncul dua tahun berikutnya dari ide dua pengusaha bernama Benjamin Thomas dan Joseph Whitehead. Bentuk botol Coca-cola yang kita kenal sekarang didesain oleh Alexander Samuelson dari Root Glass Company di Indiana, Amerika Serikat dan kemudian diproduksi secara meluas sejak 1916. Enough with the history lesson, setelah dihibur penampilan The Angels Percussion yang memainkan jingle Coca-Cola dengan sangat keren, Pak Andrew beserta koleganya kemudian menayangkan iklan Coca-Cola dari berbagai dekade (termasuk versi Jamie Aditya) dan menjelaskan tentang kampanye terbaru mereka bernama Romancing the Coca-Cola’s Iconic Contour Bottle. Program ini bertujuan mengingatkan kita walaupun sekarang Coca-Cola memiliki banyak kemasan seperti botol plastik dan kaleng, tapi tetap yang paling asik adalah meminum langsung dari botol gelas alias contour bottle-nya yang ikonik karena bisa memicu kelima panca indera kita; mulai dari melihat bentuknya yang unik; menyentuh konturnya sehingga dapat langsung merasakan lekukan botol serta suhunya yang dingin; mendengar suara letupan tutup botol dan desis soda saat dibuka; mencium aroma karamel dari Coca-Cola; hingga akhirnya

merasakan rasa Coca-Cola itu sendiri. Karena itu kamu tidak membutuhkan sedotan untuk meminum sebotol Coca-Cola, dan jangan takut, setelah melihat proses sterilisasi dan pembotolannya secara langsung, I could confidently say, it’s really hygienic. It’s not a valid article kalau saya tidak melihat langsung ruang produksi di Pabrik Coca-Cola Amatil Indonesia yang juga memproduksi berbagai produk Coca-Cola Company lainnya seperti Sprite, Fanta, Diet Coke, AdeS dan Minute Maid ini. Hanya saja, saya tidak terlalu lama berada di dalam karena bunyi mesin yang cukup bising (saya diharuskan memakai ear plug) dan temperatur ruangan yang panas karena proses sterilisasi yang membutuhkan suhu tertentu. Sialnya saya agak salah kostum hari itu dengan memakai kemeja plus sweater (saya selalu membayangkan pabrik CocaCola itu seperti freezer raksasa, hehe my bad), untungnya saat selesai tur dan kembali ke auditorium, panitia sudah menyiapkan handuk basah untuk membasuh keringat dan, obviously, sebotol Coca-Cola dingin lagi (it’s almost like free flow). Jika awalnya saya sempat ragu menenggak Coca-Cola langsung dari botolnya karena terbiasa memakai sedotan, kini saya dengan percaya diri meminum langsung dari bibir botolnya. Trust me, it taste even better.


“Kami mendesain untuk perempuan yang ingin terlihat cantik dan seksi dengan elegan,” ujar Begum Tuna dari Beatrixe, clothing line yang berbasis di New York namun dibuat di Istanbul yang telah diluncurkan sejak tahun 2010 dengan teman baiknya Axel Burla. Koleksi spring’12 duo ini mengambil inspirasi dari gaya arsitektur mid-century, dan novel fashion dari Palm Springs di tahun 60an (untuk referensi, liat film yang berjudul Palm Springs Weekend dari tahun 1963). “Koleksi ini adalah koleksi kamu yang paling berwarna dan fun,” ujar Burla. A-line mod dresses, burlap wideleg trousers, dan freeflowing silk blouses dipadankan dengan jersey shorts dengan shade seperti terracotta, vintage merlot, dan café crème. “Masih sangat feminine dan romantic, tapi yang pasti lebih happy!”

the exhibitionist Bertepatan dengan “Louis Vuitton/Marc Jacobs” exhibition yang diadakan di Musée Les Arts Décortifs di Paris pada 9 Maret 2012 hingga 16 September 2012, mereka juga menerbitkan buku dari dua pribadi dibalik kesuksesan rumah mode ini yaitu, Louis Vuitton, sang pendiri pada tahun 1854, dan Marc Jacobs, sang Artistic Director sejak 1997. Buku ini menceritakan bagaimana dalam beda kurun waktu lebih dari 1 abad, Louis Vuitton dan Marc Jacobs dapat melihat dan membawa brand ini ke era yang spesifik dan mengambil keuntungan dari berbagai kesempatan yang ada. Buku ini diisi juga dengan foto-foto kuno, arsip dari the Louis Vuitton house, berbagai advertising campaigns dan foto-foto dari fashion show mereka. Kesuksesan brand asal Paris ini memang tidak dipungkiri lagi, dan pada exhibition ini dipamerkan pula berbagai koleksi yang ikonik over the years seperti kolaborasi dengan berbagai artist seperti Stephen Sprouse, Haruki Murakami dan Richard Prince. Time to learn the history, guys! AninDyA DeVy.

MADELINE GILES beatrixe.com

get happy

030

Teks oleh: Anindya Devy dan Amanda Indira.

Hey, Skinny! Spring season is here! Begitu juga dengan koleksi terbaru dari Levi’s®. Sebagai brand denim yang original dan inovatif, pada musim ini Levi’s® meluncurkan Levi’s®Ankle Skinny untuk melengkapi koleksi Levi’s®Curve iD. Hadir dengan beragam potongan, bahan, finishing, koleksi ini juga memiliki warna-warna yang chic dan oh so stylish. Dengan inspirasi dari tahun 60an yang popular dengan skinny pants dengan potongan pas diatas ankle, celana ini harus berada di lemari mu untuk musim ini! Mulai awal Maret kemarin koleksi ini sudah tersedia di semua gerai Levi’s® di kota-kota besar dengan harga Rp 549.900 untuk koleksi warna cerah dan Rp 599.900 untuk koleksi denimnya. Get ‘em fast! AninDyA DeVy.


q&a:

kim gordon Rocker Kim Gordon bukanlah rookie dalam urusan meminjamkan creative talents nya ke para fashion brand –lihat saja line X-Girl nya yang terinspirasi dari 90’s skater, koleksi Mirror/Dash nya untuk Urban Outfitters, atau kolaborasi Marni dan No.6. Kami bertemu dengan penyanyi utama dari Sonic Youth ini untuk ngobrol tentang proyek terakhirnya, koleksi 12 pcs dengan Surface to Air, termasuk t-shirt yang bergambarkan artwork Kim. MALLORY RICE

UI Fashion Week Pada awal Maret lalu, Universitas Indonesia mengadakan talkshow event sebagai tahapan untuk menyambut UI Fashion Week yang rencananya akan diadakan bulan Juli nanti. Dalam acara kali ini, NYLON berkesempatan untuk ikut serta sebagai pembicara. UI Fashion Week mengundang Anindya Devy (Senior Fashion&Beauty Editor NYLON), Tiara Puspita ( Beauty Editor NYLON) bersama dengan Panji Indra, freelance photographer yang sudah cukup berpengalaman untuk sedikit berbagi cerita pengalaman dan memberikan tips untuk semua peserta yang datang. Acara dimulai pukul 1 siang di gedung Ekonomi Universitas Indonesia dan dihadiri oleh para peserta yang antusias. Masing- masing pembicara berbagi cerita tentang pekerjaan yang mereka geluti, bagaimana awal karir mereka dan

perjalanannya hingga sekarang, tips bagaimana cara kerja menjadi fotographer, fashion editor dan beauty editor yang baik, para pembicara juga memperlihatkan hasil karya mereka dan menjelaskan secara detail tahapan-tahapan sebelum terciptanya hasil karya tersebut dan bagaimana membuat sebuah moodboard. Sesi tanya jawab berlangsung menarik karena banyak peserta talkshow yang antusias untuk bertanya mengenai hal seputar fotografi, fashion dan beauty dalam dunia media. Tak lupa, NYLON juga mengajak anak-anak internship NYLON untuk berbagi pengalaman dan kesan pesan mereka selama bekerja di NYLON. Terakhir, panitia UI Fashion Week membagikan plakat kepada para pembicara sebagai bentuk pengargaan dan kenang-kenangan. See you next July, UI! AMANDA INDIRA.

BAGAIMANA KAMU MEMILIh BRAND UNtUK BERKOLABORASI? Mostly sih random. Tapi saya suka apa yang Surface to Air lakukan. Harganya masih terjangkau dan kualitasnya baik. LEBIh DARI SEtENGAh KOLEKSI INI tERBUAt DARI SUtERA. ApA YANG KAMU SUKA DARI BEKERjA DENGAN BAhAN ItU? Menurut saya sutera dapat menciptakan movement dan jatuh dengan nicely. It’s also salah satu cara untuk me re-do sebuah t-shirt (tertawa). KAMU SERING BERBICARA tENtANG MENCINtAI GAYA YANG SEKSI tApI tIDAK tERLALU tERBUKA. ApAKAh ADA pEREMpUAN LAIN DI DUNIA ROCK YANG MENCERMINKAN INI?

PJ Harvey sering bermain dengan image nya dan ide akan seksualitas. Mary timony dari Wild Flag juga. Saya tidak memperhatikan musisi masa kini. ApA BENDA DI LEMARIKU YANG KAMU SANGAt SUKA? Saya rasa sekarang ini boots dari Isabel marant yang banyak orang komentar saya tiru (tertawa). Dress Rodarte pertama saya –berwarna biru royal dan hitam, dari koleksi yang terinspirasi dari Buffy the Vampire Slayer. Lalu celana jeans Surface to Air yang mereka kasih ke saya. Celana itu two-tone dan harus saya akui, hampir saya pakai setiap hari.

Pada akhir bulan February lalu, Yves Saint Laurent mengumumkan pengunduran diri dari Creative Directornya, Stefano Pilati yang sejak tahun 2004 menciptakan karya-karya yang indah bagi rumah mode itu. Dengan tangan dinginnya, Stefano berhasil re-vamp dan repositioning French luxury brand yang ikonik ini. It is a sad story karena dibawah naungan visi dan arahan artistik Stefano Pilati, YSL telah menjadi contemporary reference di high fashion. Stefano menampilkan final collectionnya untuk fall/ winter’2012-2013 pada awal Maret kemarin di Paris. Chief Executive Officer Paul Deneve mengatakan, “Kami semua di Yves Saint Laurent sangat bersyukur akan Stefano dan pencapaiannya yang historis selama ini.” Penerusnya pun sudah diumumkan dan Hedi Slimane ditunjuk menjadi penggantinya. Can’t wait untuk melihat bagaimana Hedi Slimane akan membawa YSL selanjutnya. ANINDYA DEVY.

031

thank you, sir.


Crazy something Cool

about mary Selama 6 musim terakhir, desainer lulusan Central Saint Martins, Mary Katrantzou telah menggoda dunia fashion dengan gaya hyper-real, paradisiacal aesthetic (siluet botol sampanye dan vivid surrealist prints). Ia memenangkan Swiss Textiles Award pada tahun 2010, the Emerging Talent Award di kategori ready-to-wear di British Fashion Awards pada tahun 2011, dan baru saja diumumkan sebagai pemenang dari BFC’s Fashion Forward initiative (menerima tunjangan bisnis dan uang tunai sebagai hadiah). Selanjutnya, Topshop dan Longchamp samasama mengeluarkan koleksi kolaborasi Katrantzou mereka pada bulan Maret kemarin. “Selalu menantang untuk bekerja dalam sebuah kolaborasi, dalam saat yang bersamaan juga menyenangkan untuk bekerja dengan brief yang berbeda untuk target market yang berbeda,” ujar Katrantzou. “Untuk Longchamp tujuannya supaya para perempuan bisa membeli aksesoris dengan motif tanpa harus berkomitmen dengan sebuah full look,” ceritanya tentang koleksi tas nya yang di commissioned oleh artistic director Longchamp, Sophie Delafontaine. Hasilnya, dua tote bag dari line Le Pliage menampilkan motif eksklusif, yang terinspirasi dari tema East-meets-West, menggabungkan image dari kuil di Vietnam, naga, lentera, bunga anggrek, Carnegie Hall dan tangga sculptural dari toko Longchamp yang ada di New York. Untuk kolaborasi ketiga nya dengan Topshop, Katrantzou telah menjabarkan inti dari koleksi Fall’12 nya menjadi 10 piece capsule collection yang terdiri dari celana, t-shirt, tunik, legging, dan signature lampshade dressesnya. “Sangat flattering untuk melihat para perempuan dari berbagai usia mengenakan dresses saya, dan merasa nyaman.” ujarnya. JESSICA BUMPUS

032

Teks oleh: Anindya Devy dan Amanda Indira.

Desainer kelahiran Yunani, Mary Katrantzou is literally unstoppable! Setelah kolaborasinya dengan salah satu street wear brand asal Inggris laku dalam hitungan menit, kini kolaborasinya dengan Longchamp telah hadir di Jakarta! Katrantzou is everywhere! Ia menciptakan dua handbags dengan exclusive new prints yang super seru. Bertemakan East-meets-West, untuk koleksi La Pliage ia mendesain print dengan collage of floating orchids dan lanterns. “Line La Pliage dan tote bag mereka adalah kanvas yang sempurna untuk menciptakan sebuah print,” ujarnya. This bag is absolutely going into my bucket list! AnInDYA DEvY

plastic fighters It is about time untuk lebih peduli dengan lingkungan dan ni Luh Wayan Ayu dari OJA melanjutkan kampanye nya. Ia menyebutnya dengan Fight Plastic with Plastic, sebuah ide kampanye yang mengolah bahan-bahan plastik sesederhana mungkin supaya bisa dipakai kembali dalam wujud baru yang fashionable. Merasa tertantang, ia pun menciptakan sebuah oversized clutch (22cm x 37cm) yang terbuat dari sampah kantong plastik hitam sebagai koleksi perdananya. Dengan tekstur yang menyerupai kulit binatang, clutch yang edgy ini juga dihiasi dengan detail

studs. So cool! Setiap detail dikerjakan dengan handmade dengan craftsmanship yang baik. Tak hanya itu, OJA juga turut berkolaborasi dengan TIKshirt yang memiliki visi yang serupa dalam perwujudan rasa cinta kepada Indonesia. Dalam koleksi kolaborasi ini, Tikshirt menyiapkan kejutan dengan sentuhan kain batik di bagian dalam tas. Seru! Dapatkan tas ini di TIKShirt, Level One Grand Indonesia East Mall 1st Floor dan check www.ojamantra. blogspot.com untuk mengetahui lebih lanjut soal kampanye ini. Be good, do good. AnInDYA DEvY


guess what? the heir Pada bulan Maret lalu Gucci mengumumkan berlanjutnya kerjasama antara rumah mode asal Italia ini dengan Charlotte Casiraghi, sang pewaris tahta ke-4 dari Kerajaan Monaco. Seri advertising campaign yang berjudul “Forever Now” ini adalah hasil kolaborasi antara sang Creative Director, Frida Giannini dan Ms. Casiraghi. Berlokasi di sebuah stable, fotofoto Ms.Casiraghi ini menampilkan kecintaan sang pendiri Gucci, Guccio Gucci akan berkuda. Jika kamu perhatikan, green dan red stripe dari bahan kanvas dan lambang horse saddle sudah menjadi visual reference dari House of Gucci yang ikonik. Siapsiap untuk melihat wajah cantik Ms.Casiraghi selama dua tahun mendatang, I don’t mind. ANINDyA Devy

The Famous Wrath Butik pertama Fred Perry yang berada di Plaza Indonesia telah diluncurkan bulan Desember lalu. Buat kamu yang belum terlalu mengenal brand asal Inggris ini, brand ini dengan sukses telah menggabungkan sportswear dengan street wear dan menciptakan gaya yang ikonik. Koleksi Spring/Summer’12 kali ini menghadirkan koleksi yang sporty yet casual elegance, terdiri dari 3 tema, Team Travel, Track and Field, dan Downtime. Jika Team Travel menghadirkan smarter look untuk sportswoman yang sedang berpergian dengan tim nya sebelum bertanding, Track and Field menghadirkan koleksi yang vintage dan nyaman. Pada koleksi Downtime, koleksi ini lebih santai dan fun seperti parka dan polkadot shirt dress. Choose that suits your game, check out their collection di Plaza Indonesia lt.2 dan klik ke www.fredperry.co.id AnInDyA Devy

Akhir Februari lalu, GUeSS merayakan ulang tahun nya yang ke 30. Perusahaan yang berdiri di Los Angeles, California ini memang sangat ikonik, apalagi dengan ad campaigns nya yang memorizing. Diciptakan oleh Paul dan Maurice Marciano yang melihat kesempatan untuk menggabungkan kreativitas mereka dan pengaruh eropa dengan tekstil Amerika tradisional, GUeSS berhasil merubah persepsi tentang denim untuk selamanya. Dalam rangka merayakan hari jadinya, GUeSS meluncurkan sebuah capsule collection dengan desain yang inovatif dan tentunya, hot. Koleksi ini menggabungkan gaya orisinil seperti vintage washed dan potongan asli seperti yang digunakan pada tahun 80an. Tak hanya itu, Claudia Schiffer, yang merupakan salah satu model GUeSS tampil kembali khusus untuk koleksi ulang tahun ini. We wish you many sexy years ahead! AMAnDA InDIrA

Dalam usaha untuk menyuntikkan energi dan gaya muda ke dalam brand nya, Hush Puppies, yang merupakan footwear brand asal Midwestern ini meluncurkan koleksi kolaborasinya dengan Anna Sui. Pilihan yang tepat, mengingat Anna Sui selalu memiliki kejutan dalam koleksi-koleksinya yang seru. “Mix dari gaya vintage dan rock ini pas dengan background Midwest saya,” ujar Sui. Fringed dan studded suede moccasins, striped canvas espadrilles dan sandals dengan detail cherry is very suitable for spring! Check www.hushpuppies.com untuk intip seluruh koleksinya. ANINDyA Devy

fringe magnet

033


This month, get ready to fall for Courtney Love… Courtney Michelle Love yang lahir pada 9 Juli 1964, mungkin dikenal sebagai perempuan urakan yang kontroversial di berbagai aspek hidupnya. Mengawali karier sebagai lead vocalist, penulis lirik dan rhythm guitaris dari band beraliran alternative rock, Hole, yang didirikannya di tahun 1989, dan kemudian menjadi solo singer mungkin kita lebih banyak mengenalnya sebagai istri dari the famous Kurt Cobain, frontman dari band Nirvana yang tewas karena bunuh diri, serta ibu dari Frances Jean Cobain, anak perempuan satu-satunya hasil pernikahan dengan Cobain (and yes, she’s so pretty). Hidupnya memang penuh kontroversi dengan berbagai

bad behavior yang dilakukannya, but actually it’s not always bad. Di awal tahun 90’an, Courtney mempopulerkan gaya yang dikenal dengan kinderwhore, yaitu dengan babydoll dress, lipstick merah dan rambut blonde keriting di atas bahu, yang saat itu sangat populer dan pretty iconic. Mau mencoba gayanya? Catok rambut kamu menggunakan curlin iron, lalu acak rambut yang telah dicatok sehingga hasilnya terlihat messy, tambahkan jepit rambut, gunakan lipstick merah, dan smudging eyeliner. You may try her look, but not the behavior, please.

the only Oleh: Tiara Puspita. Foto Oleh: Ricko Sandy.

Model: Erin-VTM; Make Up Artist: Alfina Narang; Hair Stylist: Shabura Sebastian; Asisten Stylist: Amanda Indira. Jepit rambut: Stradivarius.


love


rock the cradle Get the look of your favorite rockstar dengan 4 produk berikut. Oleh: Anindya Devy. Ilustrasi Oleh: Yhka Amelz. up in SMOke

Black Beauty

Jika kamu perhatikan para rockstar, mereka sering tampil dengan make-up yang messy dan smoky eyes yang heavy. I guess itu salah satu cara menunjukkan mereka itu bad ass or something. Smoky eyes adalah salah satu teknik make-up yang perlu kamu kuasai karena sangat berguna! Yang dibutuhkan adalah 1 palet eyeshadow yang lengkap, seperti The Smoky Palette dari Make Up Forever ini. Palet ini terdiri dari 8 warna, matte black, deep plum shimmer, metallic navy blue, peacock green, metallic copper, metallic taupe, yellow beige, dan white shimmer. Warna yang intens ini bisa menciptakan 5 smoky eyes make-up karena terdiri dari warna yang netral hingga dramatis. Ada 2 brush yang berbeda untuk highlight atau shadow. Bahkan disediakan petunjuk stepby-step untuk mendapatkan look nya. Jadi bagi kamu yang masih amatir, learn it right now and show that rocker chic side of you!

Lipstick warna gelap memang bukan pilihan pertama, tapi once in your lifetime menurut saya kamu harus mencobanya. Ada certain power yang diberikan oleh lipstick berwarna gelap dan vampy seperti Black Orchid dari Make Up Store ini. Sedikit tip, supaya lipstick lebih tahan lama coba bubuhkan sedikit concealer dan lip pencil sebelumnya. Saya lumayan suka memperhatikan nama-nama produk yang akan saya beli dan Black Orchid terdengar sangat eksotis dan layak untuk dikoleksi. Tampilannya yang sangat gelap pekat hampir mendekati warna hitam memang menintimidasi pada awalnya. Tapi warna sesungguhnya lipstick ini adalah dark plum yang sangat seksi! Tekstur yang sedikit matte tapi tidak opaque ini akan terlihat juicy di bibirmu. Jangan menyerah jika kamu tidak berhasil dalam aplikasi pertama, lipstick dengan warna gelap memang membutuhkan ekstra kesabaran dan keahlian. Para rockstar itu pasti tidak terlalu sadar ketika mengenakan lipstick, pasti kamu bisa! Selamat mencoba!

Smoky palette, Make up Forever, Rp 625.000

Black Orchid lipstick, Make up Store, Rp 199.000

036


The IllusIon

eAsy PeAsy

If there’s a will, there’s a way. Begitu juga dengan kamu yang ingin memiliki bulu mata yang lentik tanpa harus memakai bulu mata palsu yang mengganggu. Maskara memang ‘alat’ yang tepat untuk mendapatkan look yang lebih natural tanpa terlihat seperti Mr. Snuffleupagus dari Sesame Street. Setiap mascara juga diciptakan dengan tujuannya masing-masing, entah itu mempertebal atau memanjangkan bulu mata. MAC Fake Lashes Mascara akan memberikan efek dramatis dengan menambah volume dan panjang bulu mata. Tersedia dalam warna hitam saja, maskara ini bisa memperpanjang bulu mata mu dengan partikel-partikel lembut tanpa menggumpal. Hasil yang clean dan natural bisa kamu dapatkan dengan maskara ini, yang menurut saya lebih baik dibandingkan dengan pemakaian yang terlalu berlebihan karena dengan volume maskara yang tepat, mata mu bisa lebih ter highlight dengan lebih sempurna.

Let’s face it, memang tidak mudah menghasilkan rambut wavy yang sempurna meskipun rambut aslimu sudah bergelombang. For the rest of us yang memiliki rambut yang super lurus, kita harus mengakalinya. Untuk menciptakan gorgeous wave yang terlihat effortless seperti para rockstar itu, coba gunakan BaByliss Wave Envy. Tak perlu menghabiskan berjam-jam dengan curling iron dan rollers yang biasa untuk menghasilkan natural wavy hair yang sempurna. Teknik pengerjaannya sederhana, mudah dan cepat, tinggal menekan rambut antara ceramic plate dan barrels nya. Bagi rambutmu menjadi beberapa bagian dan sisir terlebih dahulu. Mulai dengan menempatkan styler di bagian tengah rambut, ambil setiap bagian lalu tempatkan rambut di antara top barrels dan bottom plate. Tekan styler selama beberapa detik kemudian lepaskan, lalu lanjutkan ke bagian rambut berikutnya. Tahap terakhir, buyar rambut dengan tanganmu supaya terlihat lebih natural.

MAC Fake lashes Mascara, Rp 220.000

BaByliss Wave envy, price by request.


advertorial: Kiehl's

taking it down Most of us pasti sudah pernah mendengar dan menggunakan brand ini. Yup, siapa yang tidak kenal Kiehl’s. Selama lebih dari 160 tahun, Kiehl’s terus mengembangkan produk dengan komposisi dari bahan-bahan natural dan teknologi terkini untuk memastikan bahwa produk-produknya berkualitas tinggi dalam merawat wajah, rambut, dan tubuh para konsumennya. Setiap produk dibuat dengan penuh ketelitian dengan menggabungkan teknologi kosmetik, pharmaceutical, herbal, dan medis, serta terus dikembangkan sepanjang tahun dan diturunkan antar generasi. Sejarah Kiehl’s berawal di tahun 1851, ketika seorang laki-laki bernama John Kiehl bekerja di sebuah apotek bernama “Brunswick Apotheke” yang terletak di daerah East Vilage New York. John akhirnya membeli apotek tersebut dan mengubahnya dengan nama “John Kiehl & Co”. Sejak itu, apotek yang terletak di pojok 3rd Avenue and 13th Street akhirnya berada di bawah nama Kiehl, serta menjual produk-produk perawatan rambut dan kulit. Di tahun 1921, Irving Morse, yang juga bekerja pada John Kiehl dan mempelajari pharmacology di Columbia University, membeli toko tersebut. Morse pun banyak terlibat dalam pengembangan produk-produk utama dari Kiehl’s yang masih populer hingga saat ini, seperti Blue Astringent Herbal Lotion dan Crème de Corps. Di tahun 1950an, Aaron Morse, anak dari Irving yang juga mempelajari pharmacology di Columbia University mengambil alih toko tersebut. Berkat Aaron lah akhirnya Kiehl’s bisa

mendapat pengakuan dunia sebagai natural cosmetic shop yang bergengsi di tahun 1980an. Aaron berhasil mengembangkan dan mengubah image Kiehl’s yang tadinya sebuah apotek tradisional menjadi rangkaian produk perawatan kulit seperti yang dikenal sekarang ini. Namun, Aaron menyadari bahwa ketika ada pasangan laki-laki dan perempuan yang datang ke tokonya, biasanya para laki-laki tersebut tidak tertarik untuk melihatlihat produk kosmetik yang mereka jual. Akhirnya ia memutuskan untuk membuat tokonya terlihat seperti museum dengan memamerkan motor vintage Harley Davidson dan Indian Motorcycles dari koleksinya. Hal ini membuat Kiehl’s menjadi talk of the town karena keunikan konsep tokonya. After he died in 1995, meja kerja dan beberapa vintage motorcycles miliknya dipajang di toko-toko Kiehl’s di seluruh dunia. Jadi, jangan kaget kalau kamu melihat ada motormotor vintage yang berdiri manis di toko Kiehl’s favoritmu, karena itu milik mendiang Aaron Morse. Di tahun 1988, Anak perempuan Aaron, yaitu Jami Morse Heidegger mengambil alih bisnisnya dan mengoperasikannya. Ia disebut sebagai “a clever marketer” karena ia memberikan satu teknik marketing yang baik dengan lebih mengandalkan word of mouth dan sampel gratis serta gift untuk para konsumen Kiehl’s di seluruh dunia. Tidak hanya terfokus pada pengembangan rangkaian dan

1950: The ascent of Aaron Morse

kualitas produk, Kiehl’s pun aktif dalam berbagai kampanye dan movement untuk lingkungan dan masyarakat, seperti meluncurkan produk Kiehl’s Hand Care for a Cure to benefit AmFar (American Foundation for AIDS Research) dimana 100% keuntungannya didonasikan untuk AmFAR, lalu mengumpulkan dana untuk mendukung Harvard Center for Cancer Biology. Di tahun 2002, “Kiehl’s Bath and Body Cleanser to benefit YouthAIDS” diluncurkan. Dengan seluruh keuntungannya ditujukan untuk program pencegahan HIV/AIDS untuk generasi muda. Di tahun 2005, Kiehl’s mensponsori the Greenland First Ascents Expedition, yaitu pendakian enam orang penjelajah ke puncak sebuah glacier di Greenland. Tidak hanya itu, mereka juga mengunjungi areaarea terpencil di Eastern Greanland, dan menamakan salah satu puncaknya dengan nama “Kiehl’s Peak”. Sejak itu, di tahun 2006, Kiehl’s berasosiasi dengan NRDC dan meluncurkan www.clickforgreenland. com untuk meningkatkan kesadaran mengenai efek global warming terhadap es


di Greenland. Di tahun 2007, Kiehl’s melakukan pengumpulan dana untuk membantu Project Angel Food, sebuah non-profit organization untuk membantu memberikan daily meals bagi orang-orang yang mengidap HIV/AIDS serta penyakit serius lainnya. Setelah itu, Kiehl’s bekerja sama dengan Brad Pitt dan meluncurkan Aloe Vera Biodegradable Liquid Body Cleanser, yang seluruh keuntungannya diberikan kepada JPF Eco System, sebuah lembaga charity yang diciptakan oleh Brad Pitt untuk mendukung pelestarian lingkungan di seluruh dunia. Well, tidak berhenti disitu saja, Kiehl’s masih terus melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memberikan give back kepada masyarakat dunia dan menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan, hingga saat ini. Saat ini, Kiehl’s store telah ada di 41 negara, dan hingga kini tidak menggunakan iklan sebagai media marketingnya. Selain itu, Kiehl’s menawarkan produk dengan kemasan yang simpel sehingga dapat fokus mengembangkan kualitas dan ingredients yang terkandung dalam setiap produk yang mereka miliki. Dengan respon yang sangat baik dari berbagai belahan dunia, Kiehl’s telah memperoleh efisiensi biaya dalam menjalankan bisnisnya. Cheryl Vitali, Worldwide General Manager dari Kiehl’s menyatakan, “Sebagai brand yang memiliki konsep customer-centered business, Kiehl’s berupaya untuk membagi kesuksesan tersebut dengan para konsumen kami di seluruh dunia dengan menurunkan harga jual pada seluruh produk Kiehl’s dengan tetap mempertahankan kualitasnya yang sangat baik untuk produk-produk favorit para customer kami di Indonesia”. Untuk Kiehl’s Indonesia sendiri, terdapat 44 buah produk yang mengalami penurunan harga, dan tentunya produkproduk favorit seperti Crème de Corps, Rare Earth, Blue Herbal, shampoo, hingga conditioner juga mengalami penurunan

harga. Kamu pun tidak perlu bingung untuk memilih produk apa yang sesuai dengan kebutuhanmu, karena di store Kiehl’s, kamu akan dibantu untuk berkonsultasi dengan Kiehl’s Customer Representative (KCR) yang handal dalam melakukan analisa kulit dan rambut. Tidak hanya itu, sesuai dengan DNA Kiehl’s yang mengusung konsep “sample before you buy” kamu dapat mencoba sampel produk yang sesuai dengan kebutuhanmu! Great quality products with great prices? Hmm… sounds like an invitation to me… Wanna come? Visit Kiehl’s store at your favorite malls, and get your favorite Kiehl’s products at SEIBU Grand Indonesia, SOGO Plaza Senayan, SOGO Mall Kelapa Gading, METRO Pondok Indah Mall, SEIBU Kelapa Gading, Tunjungan Plaza 4 Surabaya, and Sun Plaza Medan. See you there! Oleh: Tiara Puspita 1910: The apprentice Mr. Morse

WAS Rp 430.000 NOW Rp 350.000

WAS Rp 880.000 NOW Rp 650.000

WAS Rp 450.000 NOW Rp 380.000

1851: Kiehl’s early history

069


O l e h: Ti ara P us pi t a. Foto O l e h: R i cko San dy.

Sometime In April


Bergaya vintage bukan berarti harus tampil ‘tua’. Twist the 50’s inspired look with some fun! Play on!

Supernatural Wavy sleek hair dan makeup nude akan membuat wajahmu terlihat cantik dan flawless, now add some fun dengan gambar berbentuk bibir di dahimu! Juliette: Dress: Argyle & OxfOrD; BrOs: little lADy; gelAng: Cs ACCessOries. erin: Dress: tOPsHOP; KAlung: MAtA-MAtA.


Sexy Pout Tampil sexy dengan lipstick merah matte dan sasakan tinggi di bagian belakang rambut. Don’t forget the cat eyes glasses and head band. Purrfect! JulieTTe: KacamaTa: PRaDa @ OPTiK melawai; DRess: liTTle laDy; caRDigan: mangO; cincin: miss selfRiDge; anTing: cs accessORies; BanDO: miliK sTylisT.


Line Up Bermain dengan garis eyeliner yang tebal di bagian bawah matamu, biarkan makeup wajahmu terlihat natural dengan lipstick pink yang segar. Untuk rambut, sided bun dan sedikit sasak di bagian poni, will give your hair some volume. Erin: JackEt: Zara; BandEaU: StradivariUS; kalUng dan anting: cS accESSoriES.


Blew Me Away Double color eyeliner warna biruhitam, bun di atas kepala dan pita di sisinya akan memberikan kesan fresh di gaya klasikmu. Juliette: Jacket: StraDivariuS; kalung lipStick: cS acceSSorieS; Jepit pita: Milik StyliSt.


Classic Twist smoky eyes yang tidak terlau tebal akan memberikan kesan klasik elegan pada penampilanmu, jangan lupa gunakan lipstick warna maroon. Want more fun? Wavy ponytail dengan poni yang digulung bisa jadi alternatif seru untukmu! try on! Juliette: Dress: Pull & Bear; Pearl collar & anting Bunga: cs accessories. erin: KemeJa: sash; coat: Zara; Kalung: mata-mata.

moDel: Juliette Dan erin - Vtm. asisten stylist: amanDa inDira. maKe uP artist: alfina narang. hair stylist: shaBura seBastian. loKasi: White Box Bistro & Deli.


private icon: Karen Carpenter

tRipLE EyE ShAdoW, dAndy Untuk meniru makeup warna tanah favorit karen gunakan palet eyeshadow ini.

kAy CoLLECtion BRuSh WAvy AquA Smoky LASh Maskara dengan hasil maksimal yang membuat bulu matamu terlihat lentik dan tebal seketika!

nyX, Rp. 140.000.

rambut karen yang wavy bisa kamu dapatkan dengan sisir khusus ini. Guardian, Rp. 66.900.

make up For Ever, Rp. 320.000

mEGA ShinE LipGLoSS, SmokEy Look AquA LinER BLACk

eyeliner pensil yang mudah digunakan dengan warna yang bold. Try on! make up For Ever, Rp. 280.000.

Untuk hasil akhir, sapukan lipgloss warna nude di bibirmu. Rp. 95.000.

Lip pEnCiL, Wood agar lipstik tahan lama dan tidak berantakan. lip pencil is a must.

make up Store, Rp. 188.000.

BLuSh BAiLEyS

Blush warna natural yang subtle untuk kulitmu! make up Store, Rp. 220.000.

Why do birds suddenly appear, every time you are near... just like me, we’re meant to be… close to you…. Oleh: Tiara Puspita

no other karen Sepenggal lirik di atas mengingatkan kita akan sosok duo kakak beradik karen dan richard Carpenter dari The Carpenters yang sangat familiar di telinga kita hingga saat ini. kesuksesan The Carpenters yang mampu menjual lebih dari 80 juta keping albumnya di seluruh dunia ini sayangnya diakhiri dengan cerita yang menyedihkan. Selama 14 tahun karir mereka di industri musik, karir The Carpenters yang telah merekam 11 album dan 31 buah single lagu ini berakhir seiring dengan kematian sang vokalis, karen Carpenter, karena mengalami komplikasi anorexia nervosa. karen anne Carpenter yang lahir pada 2 Maret 1950, merupakan seorang vokalis dan drummer, dan mendirikan duo The Carpenters bersama kakaknya, richard, di awal tahun 1970an. dikenal dengan musik yang unik, lagu dengan nada rendah yang dinyanyikan oleh karen, serta instrumen yang khas dimainkan oleh richard, membuat duo The Carpenters ini langsung mencuri perhatian publik. penampilan karen yang selalu tampil cantik dengan rambut ikalnya yang berwarna

046

brunette, wajah tirus, serta doe eyes-nya hingga kini masih ada di benak para pecinta musik dunia. kesuksesan di dunia musik ternyata tidak membuatnya lepas dari gangguan eating disorder yang dialaminya. gangguan pola makan anorexia nervosa yang dialami oleh karen diawali ketika ia berkonsultasi dengan dokter mengenai kelebihan berat badannya. The diet really worked, but unfortunately, karen menjadi terobsesi pada pola makan barunya itu. She just can’t stop dieting. Meskipun sempat berkonsultasi dengan seorang psychoteraphist dan dokter gizi, serta berhasil menaikan berat badannya, namun kerusakan fisik akibat pola makan yang buruk dalam waktu yang lama, serta kebiasaan mengkonsumsi obat pencahar yang berlebihan setiap hari, membuat kondisinya tidak stabil dan semakin buruk setiap harinya. karen tidak meninggal karena penyakit anorexia, tapi karena side effects dari penyakit tersebut. Jantungnya tidak dapat bertahan akibat pola makan yang buruk, kekurangan berat badan yang ekstrim,

serta naiknya berat badan dengan drastis dalam waktu singkat. pada 4 Februari 1983, di usianya yang belum genap menginjak 33 tahun, karen terjatuh di rumah orangtuanya, dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. And that’s the end of the Carpenters. kematian karen Carpenter di usia muda akibat efek dari anorexia nervosa akhirnya mendapat perhatian media dan publik, karena sebelumnya, banyak orang yang masih belum memahami masalah pola makan seperti anorexia dan bulimia, mulai dari ciri-ciri hingga penanganannya. Tidak hanya itu, keluarganya juga mendirikan Carpenter Memorial Foundation yang bertujuan menggalang dana untuk penelitian terhadap eating disorders, seni, entertainments, dan pendidikan. dunia merasa berduka atas meninggalnya penyanyi cantik ini dan berakhirnya The Carpenters. namun, semoga apa yang dialami oleh karen Carpenter dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya eating disorders terhadap tubuh. Let’s hope so!


beauty news

bright and beautiful Baru-baru ini, Shiseido memperkenalkan “Brightening Concept”, yaitu rangkaian perawatan kulit wajah yang bertujuan untuk mencerahkan kulit. rangkaian produknya dinamakan Shiseido White Lucent yang akan membuat kulitmu lebih cerah dan segar tanpa perlu pemakaian makeup secara berlebihan. Teknologi yang digunakan adalah melano Sensor System, dimana produk ini mampu menuju langsung ke noda hitam dan menghilangkan melanin pada setiap tahap pembentukannya. Tidak hanya memudarkan noda yang sudah ada, tapi Shiseido White Lucent ini juga mampu mencegah terbentuknya noda baru. Selain mengatasi flek hitam, Shiseido White Lucent juga mampu melembabkan kulit, meretekstur kulit, serta melancarkan peredaran darah di wajah, sehingga kulitmu tidak hanya terlihat lebih cerah tapi juga lebih

segar dan tidak kusam. Untuk hasil maksimal, gunakan rangkaian produknya secara teratur yang terdiri dari: • Brightening Cleansing Foam: Sabun pembersih yang mampu mengangkat kotoran dan sel-sel kulit mati yang berisi melanin, menjaga kelembaban alami kulit, serta membantu penyerapan softener. • Brightening Balancing Softener W & Enriched W: melembapkan dan mencerahkan kulit dan membantu penyerapan kandungan whitening produk berikutnya • Brightening Protective Emulsion W & Cream W: mengandung SPF 15 dengan PA++, untuk mencerahkan, melembabkan, dan melindungi kulit dari faktor lingkungan seperti pengaruh buruk sinar UV dan kekeringan. • Brightening Moisturizing Gel W: night cream bertekstur gel yang memperbaiki kerusakan kulit yang terjadi pada siang hari.

One for All Stres, polusi, paparan sinar UV, cuaca panas dan suhu yg lembab bisa menyebabkan kulit kita menjadi mudah berminyak, tampak kusam, dan timbul noda hitam. Sayangnya, bedak saja tidak cukup untuk menutupinya. Clear Smooth All in One Shine Free Cake Powder dari Maybelline New York menjawab semua tantangan yang dihadapi kulitmu. Kandungan pro vitamin C dari ultra fine powder membantu mencerahkan, menghaluskan, menyamarkan noda, mengontrol kilap dengan membuat efek matte di kulitmu, serta kandungan SPF25/PA++ mampu melindungi kulitmu dari efek sinar matahari yang dapat merusak kulit. Jangan khawatir harus sering touch-up karena bedak ini akan melekat tahan lama di wajah tanpa harus sering touch-up! Fun, isn’t it? AmAndA IndIrA

• Brightening Moisturizing Emulsion & Cream: night cream bertekstur emulsi untuk mencegah flek serta kulit kusam dan kering. • Intensive Spot Targeting Serum: Serum dengan teknologi melano Sensor System yang efektif meratakan warna kulit dan mencerahkan dari dalam. An ultimate skin care to get your flawlessly beautiful skin. Go grab it now! TIArA PUSPITA

stress no more Sebagai perempuan yang aktif dengan banyak kegiatan, pasti kamu sering mengalami kelelahan akibat pekerjaan dan juga gaya hidup yang menyita waktu tidur. Akibatnya, mata sering terlihat sembab dan berkantung. Untuk mengatasinya, L’Oreal meluncurkan produk terbarunya yang cocok untuk mengatasi masalah kamu. White Perfect Eye Vibrator, mengandung melanin vanish dan tourmaline gemstone sebagai anti dark circles dan anti spots yang secara intens mencerahkan kulit, menyamarkan bintik dan lingkaran hitam,

serta kandungan caffeine sebagai anti-puffiness untuk menyamarkan pembengkakan kulit di daerah bawah mata. Cara pemakaiannya mudah, hanya dengan mengaplikasikan krim secukupnya pada bagian ujung mata hingga bagian pelipis menggunakan jari, siapkan massager (alat pemijat khusus), tempatkan vibrator di setiap titik di bawah mata dan diamkan selama 2-3 detik lalu geser vibrator dari tengah ke kiri dan dari tengah ke kanan selama 10 detik. Voila! Bye-bye puffy eye! AmAndA IndIrA

047


it’s a call!

Eye Popping Candy Costume National mengeluarkan rangkaian koleksi fragrance-nya yang diberi nama “POP Collection”. Bertema timeless, minimal, and refined fragrance, dengan tetap mengutamakan sophistication dan simplicity, serta peculiarity dan intimacy, memberikan keseimbangan pada aroma pink grapefruit, raspberry, rose, jasmine, patchouli, dan cashmeran. intensitas sensual yang bertemu dengan charm dan grace menghasilkan karakter yang kuat dan feminin, namun tetap berkesan pop dan chic di saat yang sama. inspirasinya berasal dari koleksi SS’11 dimana

bentuk dan bahan dipresentasikan dengan warna-warni kromatis yang unexpected dengan nuansa pop chic dalam balutan pakaian bergaya color block. itulah kenapa kemasan EDP POP Collection bergaya sangat minimalis dan ‘muda’. Botol berukuran 100ml ini terdiri dari empat warna yaitu turquoise, orange, merah, dan biru yang dikemas tertutup dalam box berwarna putih dan emboss kotak yang mewakili keempat warna itu. To add some fun, kamu tidak tahu botol berwarna apa yang akan kamu dapatkan. it’s a surprise! – exclusively available at Glow Living Beauty.

The Face Shop is now searching for the right girls for the naturalism-based brand! Kampanye global ini mencari spokesperson dari 9 negara yang berpartisipasi, yaitu China, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Taiwan, Thailand, and Vietnam. Untuk kamu yang menyukai The Face Shop and have a beautiful smile, beautiful skin, and beautiful mind can join the

event! Jika kamu terpilih menjadi pemenang, kamu akan memperoleh hadiah uang tunai sebesar US$ 3000, menjadi duta The Face Shop Indonesia, mengikuti tour ke korea dan bertemu dengan brand ambassador The Face Shop, memperoleh paket selama satu tahun dari The Face Shop, dan masih banyak hadiah seru lainnya! Syaratnya, kamu yang berusia 17-29 tahun, dengan tinggi badan minimal 155 cm, memiliki kulit, rambut, dan gigi yang sehat, sehat jasmani dan rohani, wajah menarik dan fotogenik, serta berkepribadian baik, dapat mengikuti pemilihan ini! Untuk keterangan lebih lanjut, kunjungi gerai The Face Shop terdekat, atau klik www.thefaceshop. co.id, add facebook di thefaceshopindo atau follow twitter di @ thefaceshopid. Come and join the event! TIara PUSPITa

nail statement Untuk kamu para pecinta nail polish, Yves Saint Laurent baru saja meluncurkan rangkaian nail polish La Laque Couture. Kuteks dengan pilihan 30 warna yang dapat kamu pilih seperti blue majorelle, timeless fuchsia, tuxedo black, Saharan beige dan palet dari warna warna original yang terinspirasi dari Yves Saint Laurent Couture collection hasil rancangan Stefano Pilati. Lloyd Simmonds, Creative Director Make-up Yves Saint Laurent menyebutkan “ .” Warna-warna seru yang ditampilkan dalam koleksi kuteks YSL kali ini memang sangat beragam, bisa disesuaikan dengan mood dan warna pakaian yang kamu kenakan. Lloyd juga menambahkan “Very Parisian colors, extremely vivid, intensely pure, inspired by fabulous YSL fabrics and accessories.” Yup, range warna Red & Orange melambangkan sensualitas seorang Parisian woman, warna pink dan fuchsia melambangkan carefree spirit dari siapapun yang mengenakannya, warna Plums dan purple akan mewakili sisi unik dan sophisticated dari dalam dirimu. Warna nude & flesh akan memberikan penampilan kukumu meticulously-groomed dan natural. Warna brown & bistress cocok untukmu yang ingin tampil cool and warm tanpa terlihat terlalu over the top. Tapi jika kamu ingin tampil beda, pilih range groundbreaking shades yang unusual, original, dan atypical. But if you want something iconic, just try the bestseller range karena berwarna klasik dan vintage yang khas dari

048

Teks oleh: Tiara Puspita.

YSL. Kuteks dengan konsentrat tinggi yang akan memberikan hasil berkilau, serta mampu menjaga kukumu dari kerusakan karena mengandung kalsium dari ekstrak Chilean rose bush dan Corallina ini juga cepat kering. Complete drying in just minutes! Oh I just can’t wait to buy! TiaRa PUSPiTa


Lift Me Up

vintage twirl untuk menyambut Spring 2012, M.A.C baru saja meluncurkan rangkaian koleksi terbarunya, yaitu M.A.C Shop Cook. Dengan warna-warni cerah dan cantik yang terdiri dari eyeshadow palet empat warna, lipstick, cremeblend blush, dan kissable lip colour dari koleksi shop dengan kemasan berdesain vintage, berwarna bubbly pink, kuning, dan biru pastel yang sangat menarik. Sedangkan dari koleksi Cook, M.A.C mengeluarkan fluidlines, studio careblend/

pressed powder, opulash Mascara, brushes, dan beberapa warna nail colors yang wajib dimiliki. Dengan kemasan bermotif plaids berwarna pink, kuning, dan biru ini semakin melengkapi kesan vintage dari koleksi M.A.C di seri ini. Tidak percaya? Just take a look! TiArA PuSPiTA

Kulit sering mengalami berbagai masalah setiap harinya, seperti kusam, dehidrasi, dan gradual breakdown dari protein dalam kulit yang terdiri dari collagen, elastin, dan laminin. Ketiga zat tersebut berfungsi untuk menjaga kekencangan, kekenyalan, dan elastisitas kulit. Semakin bertambahnya usia, kulit kehilangan struktur protein utama karena protein tersebut akan rusak dan memproduksi lebih sedikit dibanding usia sebelumnya, sehingga perlahan-lahan kulit akan menjadi kendur. Hal ini diperparah dengan kondisi lingkungan yang buruk seperti sinar UV, polusi, dan radikal bebas. Untuk itu, Estee Lauder memformulasikan

click it now! Terganggu dengan bulu-bulu halus di tubuhmu dan ingin menghilangkannya tanpa repot dan sakit? Kini telah hadir Click House! Permanent hair away dan skin rejuvenation center yang akan menghilangkan bulu-bulu yang tidak diinginkan, serta meremajakan kulitmu. Teknologi yang digunakan oleh Click House adalah dengan menggunakan alat yang telah mendapat sertifikasi FDA, dengan menggunakan cahaya untuk menyerap melanin pada rambut. Cahaya ini akan diubah menjadi panas dan akan merusak folikel rambut yang diinginkan tanpa merusak kulit. Hasilnya, rambut tersebut akan lepas dan tidak dapat tumbuh di dalam kantung rambut yang sama. Teknologi di Click House ini tidak menggunakan laser, namun melainkan menggunakan cahaya dengan spektrum yang luas untuk mempenetrasi kulit

dan menstimulasi kekuatan regenerasi natural. Lakukan selama 5-6 kali dengan selang waktu 6 minggu dari masingmasing treatment, maka unwanted hair di tubuhmu akan hilang secara permanen tanpa merusak atau membahayakan kulitmu. Tanpa rasa sakit seperti dicabut atau teknik waxing, hair removal di Click House ini dapat menjadi alternatif hair removal treatment yang mudah dan menyenangkan, and of course, very affordable. Dengan konsultan yang ramah dan handal, kamu akan merasa nyaman selama proses treatment. Girls, It’s totally worth it. For further info, please call 08777 533 5000 or visit My Click House, Jl. Gunawarman No. 75 Jakarta Selatan. TiArA PuSPiTA

Teks oleh: Tiara Puspita.

sebuah rangkaian perawatan yang akan menjaga kulitmu tetap kencang, lembap, dan bercahaya. Please welcome Estee Lauder Resilience Lift Firming/Sculpting Collection. Terdiri dari Resilience Lift Firming/ Sculpting Face and Neck Crème SPF 15, Resilience Lift Night Firming/Sculpting Face and Neck Crème, Resilience Lift Firming/Sculpting Eye Crème, dan Resilience Lift Instant Action Lift Treatment (akan membuat kulitmu kencang seketika, kapan pun dan dimana pun kamu membutuhkannya). Wangi floral yang lembut dari rangkaian ini akan membuatmu merasa nyaman dan halus ketika menggunakannya. Let’s try! TIARA PUSPITA


Perjalanan White Shoes & The Couples Company ke Eropa tak sekedar untuk bervakansi, mereka juga membawa musik Indonesia selangkah ke seberang. Oleh: Alexander Kusuma Praja. Foto oleh: Ezar P Darnadi.

euro trip


Di saat beberapa musisi indonesia menggembar-gemborkan tentang “go international�, sebuah istilah redundant yang tidak jelas maknanya, kejutan justru datang dari band-band indie seperti bottlesmoker, Mocca, Gugun blues shelter atau the s.i.G.i.t yang kerap diundang tampil bermain di berbagai negara dengan crowd yang tentu saja benar-benar baru bagi mereka. Dalam hal ini, White shoes & the Couples Company termasuk band indonesia dengan track record yang mengesankan. berbekal musikalitas jenius dan gimmick 70-an yang ditunjukkan lewat matching wardrobe dan stage act masing-masing personel yang mampu membuai crowd, mudah mengerti jika mereka, visually and musically, mampu memesona siapapun yang menonton live performance mereka. Dimulai dari Melody Music Festival di bangkok tahun 2006 silam, dua tahun berikutnya mereka terbang ke amerika serikat untuk tampil di sXsW Music Festival di texas dan CMJ Music Festival di New York, dua event musik dengan reputasi prestisius, ditambah beberapa gig di san Francisco dan Los angeles. pencapaian impresif bagi sebuah band yang mayoritas lagunya memakai bahasa indonesia dan didirikan dengan tujuan untuk bersenang-senang melepas kepenatan masa kuliah. tahun ini mereka kembali menambah resume dengan sebuah tur eropa, saya pun tak mau melewatkan kesempatan untuk berbincang dengan aprilia apsari (vokal), rio Farabi (rhythm guitar), saleh bin Husein (melody guitar), John Navid (drum), ricky Virgana (bass, cello) dan aprimela prawidyanti (biola, keyboard) tentang perjalanan mereka kali ini dan yang akan datang. Ki-ka: Mela, John, Saleh, Sari, Ricky, Rio.


So, how’s the Europe trip? Berapa lama kalian di sana dan tampil di mana saja? Sari: Kami tur selama dua minggu di tiga kota Eropa. Awalnya dalam rangka menghadiri MIDEM Festival, acara konferensi industri musik terbesar Eropa yang diadakan di Cannes, Perancis. Kami diundang oleh promotor Music Services Asia, yang sebelumnya telah bekerjasama dengan kami dalam album kompilasi SEA Absolute Indie yang menampilkan 25 band dari Asia Tenggara dan sekitarnya. Selama di Eropa, kami bermain empat kali di tiga kota: Cannes, Paris dan Amsterdam. Apa keasikan dan tantangan saat tampil di luar negeri? How you handle the crowd yang mungkin banyak yang belum pernah mendengar kalian? Ricky: Selalu asik bertemu dengan publik baru dan bermain dalam suasana yang berbeda. Biasanya kalau main di tempat baru, di atas panggung kami sedikit berbicara tentang kesan kami mengenai tempat atau negara tersebut untuk mencairkan suasana. Juga kalau di tempat baru, kami seperti mendapat energi lebih untuk bermain semaksimal mungkin. Lagu apa yang paling sering dibawakan saat show di luar? Mela: Lagu yang paling sering dibawakan “Roman Ketiga”, “Aksi Kucing”, dan “Tentang Cita”. Tapi terkadang juga, kami tanya ke penonton mau lagu apa, karena kalau main di luar negeri tidak akan banyak kesempatan untuk bisa bertemu mereka. Menurut kalian apa bedanya crowd di sini dan di luar negeri? Mela: Crowd di dalam dan di luar negeri sama serunya kok. Yang menyenangkan kalau melihat di luar negeri, orang-orang antusias membeli tiket untuk menonton konser kami. Bagaimana kalian mengatasi rasa nervous setiap hendak tampil? Do you guys have any pre-show ritual? Saleh: Beberapa kali saat akan tampil ada kalanya nervous, tapi jika sudah di atas panggung dan instrumen sudah di tangan, semua rasa nervous itu hilang seketika! Pre-show biasanya hanya doa bersama dan tos, lebih dari cukup, hehe.

“Selalu asik bertemu dengan publik baru dan bermain dalam suasana yang berbeda.”

Saya terkesan sekali saat melihat rapinya dokumentasi kalian dalam pameran ‘Vakansi’ di Dia.Lo.Gue Artspace kemarin, Apakah begitu pentingnya dokumentasi band bagi kalian? Rio: Dokumentasi penting sekali. Tujuan pertama kami rekaman dulu itu untuk dokumentasi. Dokumentasi itu nantinya jadi sesuatu untuk ditunjukkan kepada anak-cucu bahwa kami dulu pernah nge-band, hehe.

It’s bit personal, beberapa dari kalian memulai band ini sebagai pasangan, namun seiring waktu there’s some personal break-ups yang terjadi, bagaimana cara kalian meng-handle isu itu agar tidak memengaruhi kesolidan band? Rio: Yang pasti masing-masing personel berusaha untuk tidak mencampur-aduk urusan pribadi dengan urusan band. Urusan pribadi diusahakan sebaik mungkin untuk tidak merusak hubungan kerja. Pelan-pelan kami menjalani itu. Semakin dewasa, kami bisa berpikir lebih tenang, tidak mengambil keputusan terburu-buru. Beruntung kami sudah berteman dekat jauh sebelum band ini ada, mungkin faktor itu juga yang memudahkan kami. Untuk kedepannya apa lagi rencana dan mimpi-mimpi WSATCC? John: Rencana ke depan melanjutkan Pameran Album Foto Vakansi di beberapa kota di Indonesia. Pameran ini sudah diadakan di Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Selanjutnya mungkin Makassar dan Bandung. Dalam waktu dekat ini juga “Album Vakansi” akan dirilis dalam bentuk vinyl oleh label kami di Amerika Serikat, Minty Fresh. Mimpi kami sendiri yang belum tercapai adalah ingin mengadakan pertunjukan musik di kota-kota Indonesia yang belum pernah kami kunjungi seperti Salatiga, Trenggalek, dan lainnya. Untuk Pulau Sumatera aja, kami baru pernah main di Medan.

Sounds awesome, good luck! Ada lagi yang ingin disampaikan? John: No More Pretend, No Pura-Pura.


Menemukan musik baru yang keren memang sama menyenangkannya dengan menonton band favoritmu, terutama jika datangnya dari negeri sendiri. Sepuluh nama berikut yang mewarnai scene musik Indonesia dengan musikalitas masing-masing adalah rekomendasi kami tahun ini. Are you ready for some musical excitement again? FotograFer: MuhaMMad asranur. stylist: Patricia annash. MakeuP artist: lisa Fazaki. ilustrasi: PhiliP Ponk.


here comes the sun

Bersiaplah, musik Magic Folk yang diusung Backwood Sun adalah penanda momen paling bersinar dalam folk scene Indonesia saat ini. Oleh: Alexander Kusuma Praja.

Entah kamu mEnyadarinya atau tidak, musik folk dan segala subgenrenya (folk rock, folktronica, psych folk, dll) sedang mengalami fase “revival� kembali. Barometernya adalah munculnya band-band seperti the national, Band of horses dan Fleet Foxes di amerika Serikat, sementara di inggris lahir scene baru bernama nu-folk dengan nama-nama seperti Laura marling, mumford & Sons dan noah and the Whale. Berkat internet dan keandalan band folk masa kini yang menggabungkan esensi folk tradisional dengan bunyi yang modern, perlahan folk menjadi genre yang accessible dan memasuki ranah pendengar musik mainstream dengan titik puncaknya adalah band folk Bon iver yang meraih 4 nominasi Grammy tahun ini dan memenangkan dua diantaranya sebagai Best New Artist dan Best Alternative Music Album. Folk pun tak


record

Ki-ka: Chandra, Ready, Lim, Martius, Bowo. Kemeja jins: Pot Meets Pop @ Orbis.

lagi identik dengan pria-pria berjenggot karena musik folk paling menarik sekarang ini justru dimainkan oleh anak-anak muda seperti duo kakak-beradik First Aid Kit dari Swedia atau tiga gadis cantik bernama The Staves, sedangkan dari Indonesia sendiri kita mempunyai The Trees & The Wild, Deugalih & Folks, Afternoon Talk serta lima pemuda Jakarta yang membentuk band folk yang terbilang masih sangat fresh saat ini dengan nama Backwood Sun. Seperti biasa, pertemanan dan selera musik yang sama menjadi faktor pencetus Lim Rendy (vokal/gitar), Bowo Pranoto (gitar), Chandra

Wijaya (bass), Martius Forus (keyboard/tamborin) dan Ready Febrian (drum) untuk bergerak dalam satu band yang telah melewati banyak proses sebelum akhirnya mereka merasa nyaman di jalur folk. Band psychedelic rock bernama Bang Bang Shoes adalah cikal bakal band ini di mana Lim, Bowo, Chandra dan Martius adalah anggotanya, sementara saat itu Ready masih sibuk mencicipi berbagai genre mulai dari Grind sampai Drum N Bass, sambil menjadi freelance photographer yang sempat beberapa kali memotret Bang Bang Shoes sebelum akhirnya menjadi bagian dari Backwood Sun yang terbentuk tahun lalu. “Sebenarnya musik Bang Bang Shoes dan Backwood Sun sendiri nggak jauh berbeda, intinya masih harmonisasi vokal, cuma kalau sebelumnya kental dengan psikedelia berbalut overdrive, nah di Backwood Sun ini lebih akustik dan clean,” ungkap Lim yang menjadi songwriter dan komposer utama. Lalu apa arti nama band ini sendiri? “Backwood Sun itu dalam Bahasa Indonesia berarti Matahari di Desa, kenapa demikian? Karena suasana itulah yang coba gue bangun dalam materi yang sedang digarap ini, suasana yang hangat, mungkin.” jawab Lim sambil tersenyum. Mendengarkan lagu-lagu seperti “Got a Morning”, “Red Valley” atau “Wilderness” dari demo album mereka, The Mystery of Woods, imaji yang terlintas di benak saya adalah perjalanan ke pegunungan asing saat matahari mulai tenggelam. There’s a sense of some warmness namun di saat yang sama juga terasa mendebarkan. Mereka sendiri mengaku influens terbesar dalam bermusik datang dari musisi 60 dan 70-an seperti Bob Dylan, The Byrds, Beach Boys, Graham Nash, Neil Young, Vashti Bunyan, Kitaro, sampai Richard Stoltzman dengan menekankan harmonisasi pada bagian vokal dan unsur psikedelia dalam musik yang mereka sebut Magic Folk. “Wait, Magic Folk?” Tanya saya, Ready pun mencoba menjelaskan, “Kami masing-masing punya karakter dalam satu band, karena semua personel punya selera masing-masing nggak cuma folk saja, jadi kami mix sedemikian rupa sehingga terciptalah apa yang kami sebut Magic Folk,” penyataan Ready kemudian diteruskan oleh Chandra, “Di dalam musik kami terdapat banyak unsur, ada unsur Barat dan Timur dengan folk sebagai garis besarnya.” Sementara untuk soal lirik, seluruhnya diserahkan kepada Lim yang banyak terinspirasi dari mimpi-mimpi yang ia alami (dia seorang lucid dreamer), yang saya rasa cukup menjelaskan dari mana asalnya lirik bernaratif dalam setiap lagu mereka. Well, I don’t know it’s because magic or not, faktanya adalah walau hanya berbekal album demo berisi 5 lagu yang direkam di kepingan CD-R, lagu mereka bisa menarik pendengar dari banyak negara seperti Amerika (“Yang paling banyak di fan page Facebook kami.” cetus Lim), Inggris, Yunani, Jepang, Meksiko dan salah satu single mereka “The Man Has Come” juga terdapat di situs label Inggris bernama TakeAimFire. Walau mengaku musik hanya sampingan dari daily job mereka, tapi mereka terlihat cukup serius dalam bermusik. Band yang telah bernaung di Sinjitos Records ini tengah menyiapkan album yang rencananya dirilis tahun depan. Masih lama memang, namun untuk saat ini kamu bisa menunggunya dengan mendatangi berbagai gig mereka yang semakin padat dari hari ke hari atau menonton live session mereka di Black Studio yang diunggah di Youtube baru-baru ini. Ibarat hari, mereka baru saja memasuki awal pagi yang cerah, dan saya percaya there’s even brighter days waiting for them.

tion

collec

Adele 21 Mungkin pilihan ini a bit over rated, tapi untuk kali ini saya berpihak pada sebagian populasi dunia yang merasa jeritan hatinya terwakili di album ini. Kehebatannya bercerita saat bernyanyi yang menggambarkan sisi pilu, indah dan humanis sebuah ‘relationship’. A beautiful album from a beautiful soul. EIN HALID, EDITOR IN CHIEF.

Coldplay All albums Saya tahu pilihan saya ini terlalu generic, but i just want to be honest. I like this band and their masterpieces so much, tanpa terkecuali. From Parachutes, A Rush of Blood to the Head, X & Y, Viva la Vida or Death and All His Friends, till the newest one Mylo Xyloto, those albums are champs! Sudah lebih dari satu dekade musik para Brit guys ini bersenandung dan menambah makna ke dalam my personal life, dan nonton live concert mereka adalah salah satu hal yang masuk dalam daftar things to do before i die milik saya. REZA INDRA O, MANAGING EDITOR NYLON GUYS.

Esperanza Spalding Chamber Music Society Saya belum familiar dengan jazz. Tapi sejak awal 2011, album ini setia menemani saya membaca majalah sebelum tidur. Track “Knowledge of Good & Evil”, “Apple Blossom”, “Inútil Paisagem” selalu on the loop di iPod. JESSICA HANAFI, WRITER.


BERADA DI JALUR independen, musik Pagi Mentari Band sarat dengan pengaruh British pop era 90-an, indie rock, folk, shoegaze. Elemen-elemen itu membuat musik band asal Bandung ini seperti leburan catchy hooks khas Britpop dengan kelokalan vokal dan ritme. Lewat situs soundcloud.com/pagimentari, kamu bisa membuktikan rasa itu lewat dua single utama yaitu “Hello” yang diisi duet vokalis Yayan Adriansyah dan Lalan Loreni Dwiyharti dan “300 Miles” yang rasanya cocok masuk playlist roadtrip ke luar kota. Selain Yayan dan Lalan, band yang beranggotakan enam orang yaitu digawangi oleh Kumala Adi Pramono (Adi, gitar), Moch. Rasyanda (Ras, Gitar), Lutfi Rahmanaji (Lutfi atau Uphei, Bass), dan Isma Riadi (Isma, Drum). Keenamnya menghadiri pemotretan dan wawancara dengan menempuh jalan darat langsung dari Bandung hingga sempat tersasar. Formasi inilah yang tetap sejak tahun 2010. “Kami mengawali pertemanan karena sering nongkrong di kampus dan nonton gigs bareng,” jelas Uphei yang sering menjadi perwakilan teman-temannya dalam menjelaskan soal Pagi Mentari. Uphei melanjutkan, “Waktu itu kami masuk unit kegiatan mahasiswa musik. Kami lalu sering nge-jam atau sekedar bertukar koleksi musik. Karena terlalu sering nonton gigs bareng and wondering how does it feel if we performed on stage, kami sepakat buat bikin band sekedar buat iseng.” Seperti sapaan pagi yang sering jadi senyum positif untuk menghadapi the rest of the day, nama Pagi Mentari sendiri disandangkan dengan harapan peruntungan dan semangat baru. Mereka mencoba menganalogikan musik-musik yang mereka buat seperti daily morning greet untuk menemani aktivitas keseharian. Sama sekali tidak ada maksud destruktif kendati mereka juga tidak membatasi referensi Britpop yang lirik dan musiknya bicara tentang good ol’ times saja. Pagi Mentari bahkan pernah tampil dalam tribute to Morrisey di acara ‘Britpop Calling’ di Borneo Beer House, Jakarta. Lirik-lirik khas Morrissey yang dramatis, penuh kesendirian dan berbeban berat tidak serta merta mereka telan. Bagi Pagi Mentari, musik bukan hanya sekadar lirik dan lagu, ada semangat yang ditularkan. “Kami kebetulan pernah nonton bareng konser Suede di Jakarta. Sebenarnya yang bikin kami sangat terinspirasi bukan hanya musik. Kami melihat Suede juga kan sudah gaek tapi tetap bersemangat,” kenang Uphei. Semangat ini juga kamu bisa rasakan dalam lagu-lagu Pagi Mentari yang berada di jalur alternative pop. Kamu juga bisa dengar single lain seperti “Hari Esok” dan “Brown Shoes” yang catchy dan easy listening. Berbeda dengan musik jalur major, energi yang dihasilkan dari padu padan alat musik sangat terasa dalam materi Pagi Mentari. Tidak heran, keberagaman pengaruh dari masing-masing personel, mulai dari The Smiths, Nirvana, Arctic Monkeys, The Libertines, Fleet Foxes, atau Teenage Fanclub di-dissolve dalam teknik permainan musik mereka. Soal permainan, mereka merasakan pengatuh yang luar biasa besar justru berasal dari band lokal Bandung Pure

Saturday dan Cherry Bombshell. Semua anggota serempak mengatakan menggemari semua lagu band-band tersebut dan kolaborasi dengan mereka masuk dalam daftar harapan anak-anak Pagi Mentari. Yayan yang vokalis laki-laki dalam grup ini mengungkapkan bahwa mereka membangun koneksi lirik dengan cerita-cerita sosial di sekitar mereka serta alam. Sementara Ras sang gitaris lain lagi, ia yang berperan memberikan sentuhan shoegaze dalam lagu-lagu Pagi Mentari. Shoegaze bisa dimampatkan dengan satu kata, floating. Rasa unik ini coba dimultiplikasi oleh Ras. Ia menuturkan, ”Saya mengisi sound delay, agak noise, tujuannya supaya ada kekayaan ambience sekaligus menciptakan efek klimaks dalam lagu.” Ras menggagas perlakuan itu lewat inspirasinya dari kesedihan dan keceriaan atau pagi hari dan malam. Dalam proses memproduksi lagu, Pagi Mentari mencoba menggabungkan sebuah momen yang sederhana ke dalam masing-masing instrumen. Sound yang menjadi output kemudian coba diinterpretasikan dalam perspektif yang berbeda namun tetap menghasilkan harmonisasi yang dinamis dalam lagu tersebut. Mereka masih suka berkumpul di kos sambil bertukar cerita dan referensi lagu. Mereka tidak bosan menghabiskan waktu nonton video-video musik ataupun live gigs. Dengan kegemaran yang klop seperti itu, tidak susah bagi mereka untuk bercerita lewat musik. Mereka buru-buru menambahkan, “Kami ini bisa dikategorikan sebagai genre ‘popstorytelling bebas yang penting pop’. Intinya melihat, mendengar, merasa.” Pagi Mentari cukup beruntung karena scene musik Bandung dipenuhi dengan tipe-tipe pengamat musik. Ras menuturkan, “Mereka kalau nonton serius banget. Tidak hanya menikmati tapi mencermati.” Nah, harapannya Pagi Mentari menyusul talenta-talenta Bandung yang sukses masuk dalam industri musik nasional. Mudah-mudahan pertengahan tahun ini kamu bisa menikmati materi Pagi Mentari Band. Mereka sedang dalam proses menggarap EP berisi lima hingga enam lagu yang rencananya akan diluncurkan pertengahan tahun. “Kami berkarya dengan asal happy, tidak ada motivasi lain,” kata Yayan. Kemudian Uphei meneruskan, ”Ekspektasi kami bermusik pada awalnya adalah bikin lagu untuk kami sendiri. Kalau orang lain suka, itu kebahagiaan untuk mereka sendiri.” Saya rasa Pagi Mentari punya kans besar untuk lebih banyak menyapa pendengar dengan jangkauan yang lebih luas lewat materi-materinya. Kita tunggu saja.

morning


Atas ki-ka: Ras, Uphei. Bawah ki-ka: Yayan, Lalan, Isma, Adi. Jaket: 16 D’Scale. Studded Dress: 16 D’Scale. Stripped Sweater: Nosta @ Manekineko. Skull Sweater: Anonymous.

greet

Alternative pop (storytelling) yang dibawa Pagi Mentari Band diharapkan menjadi musik yang sepositif sapaan pagi. Oleh: Jessica Hanafi.


the amazing grace Dunia musik Indonesia haus dengan genre neo-soul, figur perempuan dengan power suara kuat seperti Grace Sahertian bisa memuaskan dahaga itu. Oleh: Jessica Hanafi.

SAAT MEMBUKA SITUS www.soundcloud.com/GraceSahertian, saya takjub dengan kematangan musik pada track pertama, “Honestunes”. Tak heran lagu itu membuat redaksi NYLON yakin memilih Grace Sahertian mewakili genre neo-soul/jazz untuk New Local Heroes tahun ini. “Bagi gue, musik gue adalah angka 5 dari ‘4 sehat 5 sempurna’, terasa ada yang kurang dan belum sempurna kalau gue belum berkarya,” begitu ia mengenalkan musiknya pertama kali pada saya. Grace Carolline Sahertian yang menempuh 2 jam perjalanan dari Bandung menemui kami ini sabar dan tetap semangat menceritakan her music life pada saya meskipun ia adalah urutan terakhir dari delapan band yang kami wawancarai hari itu. Duduk menunggu rambutnya yang ikal ditata, Grace yang lahir di Bandung, 18 Oktober 1985 bilang pada saya bahwa ikut band-band SMA mengantarkannya pada komunitas yang suka jazz di Bandung. Genre musiknya memang bukan jazz dari awal tetapi lebih R&B dan soul. Ia jelas memahami karakter suaranya yang berat bisa melebur dengan pas dalam genre itu. Kami banyak berbincang soal musik dan musisi yang dikaguminya, ”Saya sampai suka dengerin instrumental karena iramanya referensi buat saya.” Coba dengarkan otentisitasnya pada aransemen jazz-nya untuk lagu Brit-rock “Roxanne” yang dipopulerkan Sting. Meski Grace sudah mendapat tempat di Java Jazz Festival sejak tahun 2008, ia bersyukur tahun ini ditempatkan di panggung yang strategis untuk slot pukul 22.00. Grace mungkin belum mendapatkan hall yang spacious dan full air-conditioner layaknya Raisa. Namun, konsep Java Jazz Stage yang terbuka dan berada di dekat booth merchandise memberikannya kesempatan untuk penonton, siapapun itu, untuk lalu-lalang dan menonton penampilannya. “Waktu itu sempet ketemu Mas Riza Arshad (pianis Simak Dialog), dia bilang ‘Gue nonton lo, lho!’, tapi gue nggak ketemu dia.” Mengingat slot penampilan mereka sangat mepet, apakah Grace sempat melihat penampilan Erykah Badu? “Untungnya sempet!” tukasnya berbinar. “Gue ngeliat dia itu udah kayak berhala gitu, seakan-akan gue nyembah dia,” candanya sambil tertawa lepas. “Aura seorang

Erykah Badu emang beda banget. Pas performancenya, like ... what! Gila banget!” Ia seperti berusaha mendeskripsikan inspirasi bermusiknya yang satu itu tetapi berakhir dengan seruan-seruan pasti “Wow.. Wow..” yang menggambarkan ‘keyakinan terhadap idola yang tak perlu dideskripsikan’. Kami lalu membicarakan penampilan favorit dari musisi yang dijuluki The Queen of Neo-Soul itu. “Banyak sih lagu favorit seperti ‘Love of My Life’, ‘On & On’ yang dia singalong dengan penonton itu,” celotehnya. Grace lanjut berbicara tentang Pat Metheny yang juga baru tampil di JJF barusan. Ia melanjutkan, “Pada proyek tahun 2010 dengan nama Grace Sahertian & Friends, kami membawakan lagu-lagu Pat Metheny semua. Di situ kan tidak ada vokal, jadi gue scat singing menyesuaikan gitarnya. Di proyek itu, gue dibantuin sama Tesla.” Tesla Manaf sendiri ada dalam format duo ‘Grace Tesla’ sudah merilis satu EP. Album pertama baru akan dirilis akhir tahun ini. Saya berharap “A Shelter In A Time Of Storm”, “Route 66”, dan “Tak Mudah Untukku” tidak disingkirkan. “Kebetulan gue temenan sama Tulus. Ada rencana duet dengan dia di album pertama,” ujar penerima beasiswa Diknas S2 ITB jurusan desain fashion, game dan digital media ini. Oke, karena baru akan rilis akhir tahun jadi saya sarankan kamu memanfaatkan waktu untuk menonton live performance Grace. Lupakan sejenak kafe-kafe Kemang yang sajian utamanya bir. Di Kemang Raya ada Red White Lounge ‘Home of Mostly Jazz’ milik musisi jazz Indra Lesmana. Red White Lounge menggandeng Idang Rasjidi, Benny Mustafa Quartet, Syaharani, Andien, Margie Segers, Monita Tahalea, hingga Urban Phat dan The Extra Large. Nama Grace Sahertian terselip dalam jajaran itu. Hari Kamis 22 Maret 2012 adalah penampilan kedua Grace setelah pernah tampil dalam Margo’s Red White Experience (slot khusus untuk komunitas Margo Friday Jazz Bandung) pada bulan Februari. Aplaus audiens yang hangat bakal mengundang Grace untuk tampil lagi. Percaya deh!



seeing sounds Sparkle Afternoon melukis dunia mereka sendiri lewat nada-nada eksperimental yang lembut dan keras di saat yang sama, so are you in? Oleh: Alexander Kusuma Praja.

ApA yAng AdA di benakmu saat mendengar kata dream pop? Kemungkinan besar yang terpikir adalah musik beraransemen meruang dengan soundscape yang seakan bercerita tanpa harus dihiasi vokal dan lirik sekali pun. Saya juga percaya jika lagu dream pop yang baik adalah yang bisa membuatmu melamun dan membayangkan suatu scenery tertentu. Well, hal seperti itulah yang membuat saya langsung suka saat pertama kali mendengarkan single “gorgeous” milik Sparkle Afternoon. dibuka dengan dentingan piano yang menjadi pengantar vokal lirih seorang gadis sebelum lengkingan gitar mulai masuk dan semakin intens saat menuju menit ketiga lagu berdurasi sekitar 4 menit tersebut, saya terhanyut dalam ruang yang dibangun lagu yang sedikit mengingatkan saya akan masa-masa awal Homogenic dalam versi lesselectronic ini. Terdiri dari vokalis Ratih Kemala dewi, gitaris diki Setiadi, gitaris yogie Riyanto, bassist Warna Kurnia, drummer Tedy Wijaya dan keyboardist Rizka Rahmawaty, unit musik dari Bandung ini memang meramu musik yang kerap didefinisikan sebagai dream pop dengan nuansa post-rock dan shoegaze yang kental. “Sebenarnya dari dulu kami nggak pernah nentuin mau main musik seperti apa, dulu sempat ke arah indie pop, tapi karena sekarang influensnya juga semakin bertambah akhirnya musik yang kami rilis sekarang seperti ini, ada postrock, dream pop, shoegaze minimalis dan ada eksperimentalnya juga.” jawab yogie saat saya bertanya tentang konsep

musik mereka yang mengaku mendapat influens dari band-band seperti god Is an Astronaut dan Maybeshewill. dream pop dan post-rock sendiri sama sekali bukan hal yang asing di scene musik Indonesia saat ini sehingga mau tak mau mereka harus memiliki suatu ciri khas yang bisa membuat mereka standout di antara puluhan band segenre di negeri ini, untungnya mereka punya hal itu. Selain memiliki vokalis perempuan yang juga pemain glockenspiel, hal menarik lainnya dari band ini adalah komposisi musik yang kerap mengawinkan dentingan keyboard Rizka dengan kocokan gitar diki yang powerful (sebelumnya ia tergabung di band metal). Terdengar kontras memang, but opposites attract dan justru itulah yang membuat musik mereka menyenangkan untuk disimak. Bisa dibilang, keyboard adalah salah satu pilar utama band ini, karena itu saya bertanya kepada Rizka tentang influens dari permainan keyboardnya yang kadang terdengar psychedelic itu, “dulu saya sempat suka banget sama Ray Manzarek (keyboardist The doors), cuma kalau menyebutnya sebagai influens, kayanya juga nggak sampai segitunya, jadi ya sudah ngalir aja, saya bukan pemain yang baik tapi tetap berusaha untuk punya style sendiri.” jawab gadis mungil ini dengan merendah. dalam band profile-nya, mereka menulis jika saat yang tepat untuk mendengarkan lagu-lagu mereka adalah di sebuah padang rumput terbuka dengan langit yang sedikit mendung. “Katanya sih musik kami lebih ‘kena’ ke pendengar cewek, kaya lagu ‘gorgeous’ itu yang nyeritain tentang perempuan.” ungkap diki yang disetujui personel lainnya, tentang beberapa lagu mereka yang telah dirilis dalam format split album bersama band post-rock Bandung bernama Under The Bright Big yellow Sun dengan judul We Sit Under The Bright Big Yellow Sun in Sparkle Afternoon yang dirilis Loud For goodness Records bulan Oktober 2010 lalu. Sebelum itu, dua lagu mereka yaitu


record

“Gorgeous” dan “Fade Away” juga sempat dirilis oleh BFW Recordings, sebuah netlabel asal Manchester, Inggris yang memang spesialis genre ambient, shoegaze, experimental dan semacamnya. “Untuk suasana yang pas mungkin lebih ke nature seperti film Heima, haha,” ucap Yogie sebelum meneruskan, “Harapan kami untuk gig Sparkle Afternoon sendiri lebih yang outdoor atau mungkin di galeri, dan kurang cocok juga kalau siang hari.” ujar sosok yang termasuk aktif di scene musik Bandung sebagai Head Chief dari Glasslike ent. yang rutin menggelar event bernama Hearing Goodness ini. Bicara tentang langkah Sparkle Afternoon selanjutnya, mereka mengaku tidak terdesak oleh target, karena saat ini mayoritas personel

baru saja meniti karier masing-masing, kecuali Rizka yang masih kuliah, sementara Mala dan Tedy pun kini berdomisili di Jakarta sehingga mereka merasa sedikit kerepotan untuk mengatur jadwal latihan. “Kalau latihan kita live streaming! Haha,” canda Yogie, “Kalau ada materi atau ide-ide baru kita bisa lewat Skype dan kalau mau manggung kita pasti latihan, kadang di Bandung atau nyamperin yang di Jakarta, yang penting tetap komunikasi.” tambah Diki. Masalah perbedaan geografis memang terdengar seperti hal yang telah usang, jangankan Jakarta – Bandung, jarak antar benua pun tak menghalangi mereka menyiapkan sebuah split album bersama band shoegaze asal US, The Sunshine Factory, di samping menggarap materi untuk full album mereka yang diharapkan rilis tahun ini. That’s definitely some sparks to watch out.

Ki-ka: Tedy, Warna, Rizka, Mala, Diki, Yogie. Kemeja jins: 16 D’Scale. Harrington Jacket: Papersmooth @ Manekineko. Hoodie long sleeves: Anonymous. Polkadot shirt: El Haus @ Orbis.

tion

collec

Cocteau Twins Blue Bell Knoll Suatu keputusan yang tidak mudah untuk memilih satu saja album favorit dari Cocteau Twins, namun saya “terpaksa” harus menyebut Blue Bell Knoll (1988) sebagai album favorit saya karena banyak lagu di album ini yang penuh berisi memori pribadi. Untuk kamu yang ingin mengenal band ini, saya sarankan untuk memulai dari album Milk and Kisses (1996) yang merupakan album terakhir mereka yang sedikit lebih “pop”, walaupun tentunya pop bukan definisi yang mendekati tepat untuk band luar biasa ini. RESTI PURNIANDI, MANAGING EDITOR NYLON.

Simian Ghost Youth Simian Ghost adalah alternative pop band asal Swedia yang baru meluncurkan album pertamanya pada tahun 2010 lalu. Tahun ini mereka meluncurkan album kedua berjudul Youth. Musiknya yang summer breezy dan suara sang vokalis, Sebastian Arnström yang ethereal caught my attention dengan lagu single nya “Wolf Girl”. ANINDYA DEVY, SENIOR FASHION & BEAUTY EDITOR.

Chromeo She’s in Control Album ini full of unique instrument. Mood booster banget. Kapan pun, di mana pun, setiap lagunya bisa bangkitin mood. AYU HENDRIANI, FASHION STYLIST NYLON GUYS.


Kesempatan berkiprah di lingkup internasional lebih dahulu mendatangi duo elektronik lokal Yogyakarta Dubyouth Soundsystem. Oleh: Jessica Hanafi. Foto: Dokumen pribadi.

the beat goes on Ki-ka: Popa Tee, DJ D’metz.

Di antara sepuluh new local heroes yang kami sajikan tahun ini, Dubyouth soundsystem adalah band lokal yang secara geografis paling jauh dari ibukota. namun, bukan berarti Dubyouth soundsystem kalah potensial. Justru nYlOn merasa harus memasukkan warna Dubyouth soundsystem ini ke dalam daftar local promising acts

yang memungkinkan untuk menghembuskan hawa baru ke dalam scene musik indonesia. Dubyouth soundsystem atau yang lebih dikenal dengan Dubyouth ini sejatinya berasal dari kota Yogyakarta, sebuah kota yang kita tahu sarat dengan atmosfer seni, musik dan kultur masyarakatnya. arus indie label yang berangkat dari Yogyakarta


kabarnya sedang melahirkan sound-sound yang patut menjadi perhatian, sebut saja si ‘Mesin Penenun Hujan’ Frau atau indie pop Brilliant at Breakfast yang pernah tampil di Singapura, juga adanya festival musik seperti Lockstock yang memfasilitasi penampilan para pemusik indie. Materi Dubyouth Soundsystem sendiri dapat dideskripsikan sebagai melting pot dari akar reggae, dubstep, dan Jamaican flavour. Jika kamu sempat memutar “Jogja City Grooverider”, “Bomb Da Town”, “Endless Night” dan “Pon De Drums” yang anthemic, kamu bisa menemukan elemen musik elektronik yang menjadi substansi materinya. Ada elemen jungle, drum, bass, two step, dancehall, breakbeat. Dubyouth sendiri mengakui tidak menutup kemungkinan akan bertambahnya elemen-elemen lain di masa depan. Sekilas mengenai Dubyouth, grup ini memiliki formasi Heru Wahyono alias Poppa Tee yang melakoni peran sebagai MC, vokal, sekaligus produser dan Memet alias DJ D’metz. Mereka berdua sendiri tergabung dalam Shaggydog yang cukup punya nama di kalangan musik indie Yogyakarta. Sementara side project Dubyouth menjadi eksperimen dari segi sound yang lebih elektronik dan memperbanyak teknik sampling, berbeda dari Shaggydog yang formasinya adalah band dan mengandalkan instrumen musik konvensional. Poppa Tee mencoba mendekorasi proyek Dubyouth ini dengan iseng bereksperimen dengan beberapa software musik dengan media komputer yang masih jauh dari hi-grade. Lalu bagaimana proses memproduksi atau mixing sebuah track? “Bisa mulai dari mana saja kalau soal ide. Bisa dari hook atau bisa juga dari beat/loop. Semuanya biasanya terjadi secara spontan dan tidak sengaja,” serunya. Perluasan referensi untuk tampil live mereka lakukan dengan bergerilya di berbagai gig-gig underground. Dari sana, nama Dubyouth Soundsystem mulai familiar sebagai salah satu grup elektronik dengan materi yang matang. Mereka juga menambah kesempatan untuk merambah klub-klub. Uniknya, beberapa prestasi yang tak pernah mereka targetkan dan tak pernah terduga sama sekali pun mereka dapatkan.Tanpa mereka ketahui, lagu mereka sempat menduduki chart indie salah satu radio ternama di Indonesia karena pada saat itu mereka dengan santai mengumbar lagu mereka untuk diunduh di situs myspace. Kita juga patut bangga pada talenta lokal ini karena mereka ternyata telah melakukan ekstensi penampilan mereka sampai ke benua Eropa. Bagaimana ceritanya? “Tahun 2009 kami bertemu dengan satu kolektif DJ dari Perancis bernama Chinese Man yang kebetulan sedang ada show di Jogja. Kebetulan Dubyouth menjadi pembukanya. Dari situlah kami saling menyukai musik masing-masing dan terus berhubungan via email dan lain-lain. Dan, (pada waktu itu) rencananya mereka akan mengundang Dubyouth ke Perancis tahun 2010,” cerita PopaTee. Memet pun melanjutkan, “Pada tahun 2009, kami juga pernah dikontak oleh Batman ‘Goodnight Electric’. Saat itu, Henry ‘Batman’ Foundation diminta oleh The Haus der Kulturen der Welt (HKW) yang merupakan lembaga kebudayaan seni kontemporer di Jerman untuk mencari band elektronik di Asia. Batman pun merekomendasikan Dubyouth untuk tampil di Worldtronic yang merupakan pagelaran musik elektronik

yang melibatkan musisi elektronik dari beberapa negara. Gayung pun bersambut,” cerita Memet. Ia pun melanjutkan, “Lantas kami kontak temanteman Chinese Man. Mereka mengundang kami di sela-sela jadwal show di Berlin. Akhirnya, di Paris kami tampil di Elysee Monmartre (coba buka www. elyseemontmartre.com) dan Trabendo. Semua track yang dimainkan adalah materi dari Dubyouth dan kami bermain kurang lebih selama 1 jam per show.” Mini tur selama sepuluh hari yang dilakukan di Berlin dan Paris ini juga membuahkan tawaran untuk merilis album di Eropa dalam bentuk vinyl. Dengan antusias, Heru menambahkan, “Bahkan saat soundcheck, saya dan mereka menciptakan sebuah lagu berjudul ‘Worldwide’ yang rencananya akan dirilis di album live mereka.” Dubyouth yang baru saja meramaikan PopMeetsPop Denim Anniversary di Bandung ini menyebut pengaruh terbesar mereka dalam bermusik adalah sentuhan Barrington Levy, Congo Natty, Cutty Rank, David Rodigan, DJ Hype. Popa Tee yang melabeli genre Dubyouth dengan ‘Raw, Ruff and Tuff’ ini bercerita, “Wah, penontonnya benar-benar gila dan sangat antusias! Ya, kami sangat senang apabila musik yang kami mainkan bisa membuat orang jadi gila, dimanapun itu.” Memet juga berujar, “We hit them with music. Sesi pertama DJ set beberapa tracks jungle dan dnb, dan langsung dilanjutkan dengan tracks Dubyouth Melihat penonton berkeringat membasahi lantai dansa dan wajah-wajah yang sumringah..itu yang paling aku suka.” Duo ini merasakan atmosfer musik indie Yogyakarta yang masyarakatnya cukup apresiatif dan saling mendukung untuk mengembangkan scene musik Yogyakarta. Memet melengkapi, “Memang Yogyakarta dari dulu scene musiknya sangat variatif, mau cari jenis musik apa aja ada disini.” Namun soal ekspansi musik ke nasional, ia berpendapat “Lebih bagus memang ekspansi ke ibukota. Hanya kembali kepada masing-masing musisinya, apakah benar-benar siap berekspansi atau tetap di daerah tapi melakukan movement yang meluas dan cerdas.” Kalau Dubyouth sendiri? Sepertinya mereka punya rencana yang lebih besar. “Kesempatannya mungkin lebih ke internasional, ya,” tegas Popa Tee dengan lugas. Sebaiknya, kita tunggu saja kiprah Dubyouth Soundsystem lewat album mereka. Soal ini, Popa Tee juga berbagi pada kami, “Sebenarnya album direncanakan Maret, tapi kelihatannya akan mundur ke bulan April. Materi-nya beberapa lagu-lagu Dubyouth yang lama dan juga ada beberapa lagu baru yang melibatkan beberapa musisi seperti Jogja Hiphop Foundation serta dua srikandi hip hop Indonesia, Yacko dan Nova.” Apapun rencananya, saya kira Dubyouth Soundsystem sudah menahbiskan diri menjadi salah satu talenta lokal bukan dari ibukota yang mampu melaju dengan kualitasnya.


it’s just is Tidak ingin terkotak dengan genre tertentu, LeSmokey Section’s berusaha menyebarkan cinta lewat musik. itu saja. Oleh: Jessica Hanafi.

SAYA MEMAHAMI LESMOKEY SECTION’S mencurahkan ketotalan energi mereka saat mereka bercanda ingin alien datang ke bumi dan menyadari bahwa musik adalah satusatunya cara untuk berkomunikasi. Kebiasaan bercanda yang saya lihat selama proses wawancara dan pemotretan pun menjelaskan bagaimana keempat anggotanya memulai proyek ini dengan dasar persahabatan mereka. LeSmokey Section’s saat ini memiliki formasi Doolabile (Adhe Bachtiar), Leftlove (Rudi Silfa), Moskitone (Alex Abbad), dan QuasiJazz (Firman Maulana). Seperti soal alien tadi, language of love mereka adalah ekspresi diri lewat musik. Semuanya dimulai saat formasi awal masih bertiga. Pada pertengahan Juni 2011, Doolabile, Leftlove, dan Moskitone dapat kesempatan untuk jamming di rumah Doolabile. Pada saat itulah mereka merasa terhubung dengan banyak kesamaan. “Kami tidak dapat berhenti dan kami harap hubungan ini juga berlanjut entah sampai kapan,” jelas mereka. Doolabile ingin melanjutkan mimpi kakak laki-lakinya, Chilling. Leftlove lain lagi, ia menyebut musik sebagai sarana ‘spread the love’. Sementara Moskitone telah mencatat banyak kata-kata yang barangkali akan menguning bersama kertas itu jika tidak terjamah. Mereka larut fokus pada musiknya hingga nama band juga tidak terlalu dipikirkan. Sampai pada sebuah malam di akhir bulan Juni, Doolabile dan Leftlove baru saja menyelesaikan sebuah track. Mereka menelepon Moskitone dan meminta dia mendengarkan lagunya. Moskitone kemudian punya ide, “Lagu ini terdengar seperti sesuatu yang bisa menjernihkan pikiran. Ini sesuatu yang positif dan bisa menyebarkan getaran positif dan pemikiran yang jernih untuk para pendengarnya. Less Smoke... LeSmokey.” Pada malam itu, mereka juga menentukan alias mereka. Adhe Bachtiar adalah Doolabile yang mungkin labil dalam memutuskan sesuatu tapi punya sentuhan emas berkaitan dengan lagu. Rudi Silfa dengan nama Leftlove yang bisa tiba-tiba hilang kemana saja dan dengan siapa saja dan merasa senang dengan itu. Moskitone untuk Alex Abbad yang bertanggung jawab dengan lirik dan konsep kreatif seakan mengeluarkan dengungan kata-kata, terakhir

QuasiJazz dipasangkan untuk Firman Maulana karena selalu ada sesuatu yang jazzy pada cara tertawanya dan apapun itu yang ia lakukan. Untuk pembagian proses kreatif musiknya Doolabile menjadi mastermind musik mereka, Leftlove yang mengarahkan, Moskitone in charge soal lirik dan QuasiJazz yang put the tunes in place. “Musik kami sebenarnya mudah dijelaskan. Saking mudahnya pendengar dapat mendeskripsikannya saat mendengarkan lagu kami. Tujuan dasar kami adalah untuk membuat musik yang bagus yang sayangnya susah dibuat akhir-akhir ini di Indonesia,” jelas Moskitone mewakili rekanrekannya. Mereka mengakui tidak ingin membangun kotak di sekitar mereka. “Kami tidak punya genre dan paling tidak ketiadaan spesifikasi kami itu yang membuat kami ingin merasa nyaman dalam musik kami sendiri. Punya genre bisa berarti menghalangi pemikiran kreatif kami untuk bebas di luar sana. It blocks the idea of being able to explore the unknown. Kami hanya berproduksi dan memainkan lagu yang kami sukai.” Siklus produksi materi mereka adalah menghabiskan waktu berkeliling Kota Batavia, entah makan, minum, atau hang out dan mendengarkan cerita teman-teman, kembali ke studio dan mendengarkan sudut pandang masing-masing tentang persoalan itu. Cerita itu dirangkai dalam kalimat. Leftlove akan mereka-reka nada sambil menyanyi dan Doolabile mengharmonisasikan itu. “Lagu yang pertama kali direkam adalah ‘IS’ dan sampai sekarang lagu itu adalah lagu favorit kami untuk dimainkan. Lagu ‘IS’ bertutur tentang pilihan untuk memiliki keyakinan dalam hidup. No drama...it’s just IS. Mereka pun cukup santai membiarkan orang lain mengenali lagu-lagu mereka. Mereka lebih suka mengandalkan mata dan telinga menyaksikan respons audiens saat memainkan lagu-lagu secara live. “Dari sana, kami bisa merasakan bagian mana yang masih perlu diperbaiki.” Desember tahun lalu menjadi pengalaman yang berkesan saat mereka main di bar. “Saat itu adalah pertama kalinya dan kebanyakan teman-teman kami datang. Mereka adalah orang-orang yang membuat kami mengerti bahwa kami bisa melakukan lebih lewat band ini. Kami bermain juga di bulan Valentine saat kami semua sedang single. YOU know how it is,” rangkum saya merujuk pada obrolan mereka. Dan tentu saja Java Jazz. Event ini penting sebagai penanda perjalanan sebuah band atau project atau solois yang berjuang di akar jazz untuk melebarkan sayap. Dan mereka baru saja tampil di situ. “Kami mulai main jam


21.00 dan saat itu masih kosong. Kami udah lemes aja tuh. Tapi setelah main, orang mulai berdatangan,” jelas Doolabile. “Untungnya kami dapat stage strategis di samping pintu masuk (Masima Stage). Orang-orang yang baru datang langsung lihat kami. Dengan awal yang kosong, kami belum ada album, belum ada video klip, baru manggung tiga kali, di stage yang belum tentu semua orang pergi,” ucap Moskitone dengan rasa syukur. Di panggung itu, LeSmokey Section’s memainkan “IS”, “Nobody Else But You”, cover lagu “Just Friends”, “Let Me Love You”, “We Might Be” dan satu track jamming karena penonton mereka berseru ‘We want more’. Soal penampilan live yang cukup bisa menjadi patokan uji teknik musik, apalagi untuk genre neo-soul dan jazz, Moskitone menambahkan, “Kami selalu bersenang-senang ketika kami tampil. Bagus atau jelek, ya itu terserah audiens. Untuk mereka yang menyukai kami, kami selalu berusaha untuk memberikan apa yang

kami tahu walaupun kami masih butuh belajar banyak. Untuk mereka yang tidak menyukai, kami pikir mereka juga harus paham betul detilnya sehingga akhirnya memutuskan untuk tidak suka. Apapun alasannya, mereka berhak untuk merasa tidak suka dan kami juga berhak tahu kenapa mereka tidak suka.” Saya sarankan kamu mulai menyimak secara detil lagu mereka di soundcloud.com/lesmokey_sections dan reverbnation.com/lesmokeysections. Itu dulu sementara mereka fokus menyelesaikan album pertama yang diharapkan selesai sebelum bulan Mei. Seberapa besar yang mereka bisa berikan untuk para pendengar? “If we have to go through winning Grammies and all.. Sure why not?! Ladies and gents, it is about time the local think outside the box,” tulis mereka pada saya. Meskipun seringkali banyak bercanda, tapi saya yakin mereka sangat serius dalam mempersiapkan musikmusik mereka.

Ki-ka: Quasijazz, Doolabile, Leftlove, Moskitone.


Mengemban kata “Fabulous” dalam nama band bisa jadi terdengar pretensius, namun A.F.F.E.N membuktikan jika mereka mampu live up for the name. Oleh: Alexander Kusuma Praja.

anatomy Jika beberapa waktu lalu kamu pergi ke bandung, mungkin kamu pernah mendengar sebuah kafe mungil bernama beat ‘N bites milik riko prayitno (gitaris Mocca yang kini juga membentuk band the triangle) yang saban Jumat malam kerap mengadakan acara free jamming/open mic, di mana banyak musisi seantero bandung berkumpul untuk sekedar mengobrol atau iseng jamming yang akhirnya membuahkan proyek musik terbaru, seperti a.F.F.e.N misalnya. Dimotori oleh Hariz Lutfi asa (gitar akustik & vokal), babam bramaditia (gitar elektrik & vokal), elmo rinaldy (gitar elektrik & vokal), Mochammad ifsan (bass), Hari Nurdin (drum) dan ebong permana (cello), band ini muncul dari lingkup

066

pertemanan yang terbentuk di tempat yang sayangnya saat ini sudah tutup tersebut. Single berjudul “Like Life’s easily ended” yang saya dengar sekitar bulan November lalu adalah impresi awal yang menarik untuk band bandung ini. Dimulai dengan petikan gitar dan bass yang membuka jalan bagi marching drum, gempuran reverb juga dentingan glockenspiel di pertengahan lagu, aransemennya memang terdengar ramai namun entah bagaimana terasa nyaman dan harmonis. Saya pun mencoba mencari tahu lebih jauh dengan mengetik kata “aFFeN” di Google namun yang keluar justru foto-foto hewan primata,

Ki-ka: Ifsan, Ebong, Hariz, Hari, Elmo, Babam.


of noise karena ternyata affen dalam Bahasa Jerman memang berarti kera. “Awalnya muncul kepanjangannya dulu, ‘Anatomy For Fabulous Emergency Noise’ karena kami ingin membuat sebuah musik yang fabulous tapi masih bisa memberikan sentuhan noise di dalamnya, pas coba disingkat baru muncul nama A.F.F.E.N” ungkap Babam saat saya menceritakan hal itu. Berturut-turut, saya juga mendengarkan beberapa lagu lainnya seperti “Another Dream Story” dan “Emily” dari akun Bandcamp mereka yang sama menariknya dan mulai menarik benang merah musik mereka yang dengan cerdas menggabungkan banyak elemen musik dalamnya, satu hal yang mungkin berasal dari fakta jika mayoritas personelnya pernah tergabung di beberapa band lainnya seperti Babam yang menjadi gitaris Local Drug Store dan additional player Mobil Derek atau Ebong yang juga menjadi pemain cello di Nada Fiksi misalnya. Secara umum, musik mereka mengarah ke post-rock, namun banyak istilah seperti Hypnotizing Rock dan Garage PostRock yang kemudian tersemat ke mereka. “Haha, kalau Hypnotizing Rock itu didapat dari pendapat beberapa teman yang bilang karena alunannya dreamy jadi agak menghipnotis, hehe. Sebetulnya nggak mematok satu genre tertentu sih, mungkin iya core-nya post-rock, tapi kemudian kami masukin influence masing-masing ke lagunya, eh ternyata blend.” ungkap Hariz yang juga menjadi penulis lirik lagu-lagu mereka. Untuk tiga lagu yang telah saya sebut sebelumnya, Hariz yang berkuliah di jurusan Psikologi mengaku terinspirasi dari topik-topik seputar child abuse dan suicidal tendencies. “Ya, sebetulnya cerita di EP pertama kami banyak diambil dari akumulasi cerita orang-orang yang curhat ke gue. Beberapa kali dapat cerita tentang orang-orang yang sempat mencoba bunuh diri dan ternyata semuanya memiliki kesamaan, mereka di masa kecilnya pernah mengalami tekanan mental atau child abuse.” ungkapnya dengan serius. Walaupun temanya cenderung berat, namun tak lantas membuat musik mereka depresif. Lagu-lagu

mereka justru seperti menunjukkan suatu harapan bagi yang merasa terpuruk, melalui irama lembut cello yang terselip di riuhnya instrumen lain, terutama di lagu “Last Lullaby”. “Awalnya, kami sempat terpikir untuk ngisi line dengan string di beberapa lagu biar makin terasa emosi lagunya, tadinya mau ajak seorang violist, tapi kayanya udah banyak dan kami rasa cello player masih langka, ya udah kami cari deh sosok langka itu dan bertemu lah Ebong” ujar Babam menceritakan alasan mereka membutuhkan pemain cello dalam band yang baru terbentuk tahun lalu ini. Selain cello, mereka juga memasukkan beberapa toys instrument. Tak hanya yang modern seperti glockenspiel, tapi juga alat musik tradisional seperti gamelan mini dari Bali, suling yang mengeluarkan suara burung, native American shaker, karinding dan “Satu lagi yang kami nggak tau namanya, tapi suaranya kaya gemuruh gitu…kalau kata Ebong itu namanya ‘Gemuruh Nestapa’ haha.” runut Babam yang kerap memakai headdress Indian sebagai ciri khasnya ini. Sebagai band yang terbilang baru, pengalaman manggung adalah salah satu yang mereka kejar saat ini. “Semua gig adalah best experience sih buat kami. I mean, gigs jadi satu sarana yang sangat suportif terhadap perkembangan musik indie, jadi semuanya best experience, mudah-mudahan makin banyak gigs yang support musisi-musisi lokal di Indonesia.” tandas Babam saat ditanya gig terbaik mereka sejauh ini. Well, mengingat jika single pertama mereka juga dirilis digital oleh BFW Records di Manchester (UK), Bakery Netlabel (Swedia) dan beberapa komunitas indie di Jepang, Rusia, Jerman, dan Malaysia, serta keberhasilan mereka menjadi salah satu finalis di ajang Global Bite Music Awards (sebuah music awards dengan finalis dari seluruh dunia yang kerap disebut sebagai “World Cup of Independent Music”), bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini mereka akan menyusul banyak band indie Indonesia lainnya yang berkesempatan tampil di luar negeri. Ditambah dengan sebuah album mini berisi 6 lagu berjudul The Sun of Pandora yang akan dirilis sebentar lagi, I think you better get used to hear their name from now on.

record

tion

collec

The Raveonettes In and Out of Control Konser mereka di Bandung setahun yang lalu masih tidak bisa terlupakan walaupun dengan set panggung yang sangat minim. One of the best concerts I’ve ever seen. PATRICIA ANNASH, FASHION STYLIST.

Blonde Redhead Misery Is a Butterfly Salah satu comment paling menyenangkan yang pernah saya baca di Youtube menulis bahwa mereka merupakan salah satu “underrated bands in the world”. Menyenangkan sekaligus sehati dengan saya, karena trio Italia-Jepang ini memiliki corak musik yang ajaib. Nuansa musik psikadelik dengan unsur keyboard dan distorsi yang berani namun tetap proporsional. “Doll Is Mine”, “Elephant Woman”, “Messenger”, dan tentu saja “Misery Is a Butterfly” adalah beberapa jagoan saya, walaupun generally I love each songs from it. SANDI EKO, WRITER NYLON GUYS.

Lana Del Rey Born To Die Penyanyi cantik bersuara seksi yang sedang jadi talk of the town ini membawakan lagu-lagu yang cantik dan girly seperti “Born to Die”, “Video Game”, “Without You”, dll dalam albumnya yang berjudul Born To Die. Setelah mendengar seluruh lagunya, kamu akan merasa pretty, sexy, and sultry at the same time, just like Lana. Song of the moment: “Blue Jeans”, and you should watch the video too. TIARA PUSPITA, BEAUTY EDITOR.


at stake

Pernah mendalami macam-macam genre dan alat musik, Mahesa Utara memutuskan memilih jalur menjadi DJ yang awalnya penuh pertaruhan. Oleh: Jessica Hanafi.

“MAKE A LIVING from music and happy with it. Sederhana sih,” jelas Mahesa Utara saat ditanya mengenai harapannya. Tapi tidak sesederhana itu juga. Mahesa mengakui sedang mengalami krisis identitas berat soal genre. Ia suka semua genre, kecuali yang terlalu deep. “Selama itu danceable, gue pasti suka. Semestinya gue nggak mau milih untuk cenderung mainin genre tertentu. lagipula tren musik sekarang ini semuanya mash-up, sudah nggak ada yang pure lagi. Sebisa mungkin gue bikin set gue se-eclectic mungkin,” jelasnya. Ia menambahkan, “Tahun 2011, gue banyak memproduksi lagu Dutch House di mana Dutch House lumayan disukai tetapi justru banyak DJ menyebutnya sebagai musik yang kurang bermutu. Sekarang gue sih mencoba untuk evolve terus supaya nggak kepatok di satu genre.” Saya berpikir bukan berarti ketika seorang musisi berjuang di genre yang dianggap kurang bermutu, berarti ia musisi tidak berkualitas. Pemikiran inilah yang saya ungkapkan pada Mahesa. Coba saja lirik background-nya, ia tumbuh dewasa dengan keluarga yang akrab dengan musik. Telinga Mahesa akrab dengan fusion jazz karena sang ayah sering memperdengarkan kaset bassist dari Eropa yang cover-nya Purple Octopus. Keakrabannya dengan musik diperkaya lagi dengan kursus piano klasik sejak di bangku Sekolah Dasar dan belajar drum mulai kelas 6 SD. Mungkin kamu sempat mendengar band bertitel UNO di Nagaswara. Di situ Mahesa menekuni drum sampai akhirnya dilihatnya scene pop di Indonesia kurang berkembang. Mahesa pun melompat ke alternatif yang sangat berbeda, memproduksi musik dengan komputer dan memutuskan nyaman dengan profesi DJ sejak sekitar tahun 2008. Sense musik Mahesa diperkaya dengan referensi musik, mulai dari ayahnya yang dulu juga pemusik, Dave Weckl (drum), Laidback Luke, sampai Diplo! Dalam proses memproduksi track, Mahesa lantas bercerita, “Harus ada bayangan jelas dulu sih di otak. Misalnya, gue mau buat track seperti Boys Noize dicampur dengan Daft Punk, harus ada referensi yang kuat dulu baru gue bisa mulai produksi. Kalau sudah jelas gitu prosesnya bisa cepat, sekitar 2-4 jam sudah bisa jadi. Terkadang gue juga coba untuk eksperimen, kalau gini biasanya kemungkinan besar nggak akan jadi track, tapi gue bisa nemuin sound dan workflow baru.” Demi mengeksplorasi dan menambah wawasan, Mahesa

bekerja sama dengan banyak artis lokal termasuk me-remix lima lagu Vidi Aldiano untuk ulang tahun salah satu radio dan memproduksi remix bersama DJ Winky dan Dipha, dan yang terpenting adalah bekerja sama dengan idolanya, Diplo. Untuk mengatasi flow permainan yang jelek, sebelum tampil Mahesa selalu buat set track-list. “Tapi track-list ini fleksibel, jadi nggak terlalu kaku,” tukasnya. Ada pengalaman buruk ketika tampil? Ia tertawa lalu menceritakan,“ Sebenarnya gue takut laptop gue nge-hang. Untungnya gue sudah pindah ke Mac. Waktu gue pakai laptop PC, harddisk-nya nggak tahan getaran. Jadi gue hati-hati banget tiap tampil, kalau gue liat laptop gue udah agak stuttering karena kena getaran meja DJ Booth, gue angkat laptop gue. Jadi, gue main sambil gue pegang laptopnya gitu while I’m busy mixing tracks and stuff. Ribet parah.” Mahesa belum memproduksi EP atau LP dan belum berencana untuk itu. Satu catatan penting yang saya dapat dari laki-laki kelahiran 26 April 1988 ini, Mahesa lebih memilih merilis satu single tapi bagus dan bermakna daripada satu EP yang kontennya tidak semuanya berkualitas. Menariknya, ia mengakui baru mulai menyukai produksi sendiri belakangan ini dan justru yang ia suka malah cukup jauh berbeda dari yang sudah pernah dirilisnya. “Buat sementara, single andalan gue masih remix gue buat Angger Dimas yang judulnya ‘Are You Ready’. Menurut gue itu breakthrough banget sih. Setahu gue, ini lagu transisional pertama dari BPM 128 ke 108. Bisa dikatakan sebagai genre moombahton lagi hype banget di US selain dubstep,” jelasnya. Mahesa yang sudah pernah menjajal main di Playground yang merupakan pengalaman pertama main untuk Rave party itu juga senang: “Kalau ada yang request lagu yang gue buat sendiri. Itu priceless banget!” Selama Februari hingga Maret 2012 yang lalu, setiap akhir minggu Mahesa tampil dalam To the Ground Spring Tour bareng DJ Winky (Downey) dan DJ Hogi (Bone). “Itu tur gue yang pertama di X2, baru di situ gue bisa memainkan musik yang bener-bener gue suka, dan responnya oke banget!” Berikutnya, Mahesa mencoba memperluas area dengan tur keliling Indonesia dan sempat singgah di Singapura sekali. Mahesa pernah kuliah dan drop out. Terjunnya dia di industri ini penuh pertaruhan memang, tetapi ia didukung penuh bergerak di bidang musik dan mereka benar, “Music is my life. Bagi gue, DJ dan producing itu full time job. Tiap hari dari gue bangun sampai tidur lagi pasti either gue cari musik baru, baca artikel soal musik, atau producing. Hampir nggak ada ruang buat yang lain,” begitu ia menutup perbincangan ini. Jika seseorang memproduksi sesuatu dengan passion yang besar, kamu tahu kamu akan mendengar sesuatu yang luar biasa dari seseorang itu.

Kemeja: Satcas.



down to the rabbit hole Mendengarkan lagu Stars and Rabbit seperti membaca buku cerita yang tak ingin kamu letakkan sebelum selesai. Oleh: Alexander Kusuma Praja.


Saat berSiap menyiapkan radar 10 Local music Heroes ini, tentu saja kami sudah mempunyai bayangan siapa saja yang akan termasuk di dalamnya dan jujur saja salah satu yang paling pertama saya ingat adalah duo musisi yogyakarta bernama Stars and rabbit. Walaupun saya sudah mendengarkan beberapa lagu mereka sejak akhir tahun lalu dan ingin segera menulis tentang mereka, saya sengaja menyimpannya untuk edisi ini, so, here it is. Dijumpai di sebuah studio musik di bilangan Senopati, Stars and rabbit yang terdiri dari gitaris dan arranger adi Widodo dan elda Suryani sebagai singer-songwriter baru saja menyelesaikan interview shoot untuk sebuah acara televisi, sebuah kegiatan yang tampaknya semakin lumrah bagi mereka belakangan ini. memadukan vokal elda yang unik dan kemampuannya menulis lirik imajinatif dengan musik gubahan adi yang catchy, mereka tak hanya menjadi omongan di media musik dalam negeri, tapi juga sampai ke berbagai publikasi di inggris, italia hingga islandia, walaupun mereka belum merilis album satu pun sampai saat ini. Saat bertemu, mereka sedang membicarakan dialek daerah dari berbagai kota yang pernah mereka tinggali dengan bersemangat, terutama elda yang sangat ekspresif saat menceritakan sesuatu. elda yang baru sampai di Jakarta sehari sebelumnya terlihat ceria, walaupun mengaku dirinya baru saja sembuh dan mengalami kecelakaan kecil jatuh dari tangga. Jadwal Stars and rabbit sendiri lumayan padat, menghabiskan satu hari di Jakarta untuk beberapa interview dan besoknya mereka langsung berangkat ke bandung untuk sebuah gig. Anyway, pertanyaan pertama tentu saja bagaimana mereka bertemu. “I know him from my ex-boyfriend. They had a band. 6 or 7 years ago, dan kami berteman baik sejak itu. tapi kami sempat hilang kontak dua tahun terakhir.” ungkap elda. “kalau aku sudah ngefans sama elda sejak dia masih main di bandnya yang dulu, Candles. Dari dulu sebenarnya kami sering sharing masalah musik dan aku sempat beberapa kali bantuin beberapa project elda, kami sempat lost contact cukup lama sampai akhirnya di pertengahan tahun 2011, elda menghubungi aku buat project baru. karena terlalu banyak rasanya hal-hal yang sayang untuk kami abaikan begitu saja, karena pemikiran dan visi yang sama, akhirnya kami melanjutkan project ‘Stars and rabbit’ ini.” lanjut adi. Walaupun saat itu mereka sudah memiliki beberapa lagu seperti “Like it Here”, “rabbit run” dan “Worth it”, nama band justru adalah hal yang baru mereka pikirkan belakangan. Stars and rabbit sendiri sebenarnya adalah nama akun personal twitter elda, yang akhirnya

Ki-ka: Elda, Adi. Lokasi: Ruang Rupa, Tebet.

dipilih karena dirasakan cocok untuk lagu mereka yang memang cenderung whimsical dan manis. bicara tentang musik mereka yang whimsical, hal itu tak lepas dari vokal elda yang kerap dibilang mirip Joanna newsom, emiliana torrini dan Cerys matthews, namun gadis pengagum Jewel dan Vanessa Carlton ini mengaku jika cara bernyanyinya memang keluar begitu saja tanpa dibuat-buat, sama seperti lirik yang ia tulis. Walau tak bisa memainkan instrumen, jika mendapat inspirasi yang datangnya bisa dari mana saja, elda akan mencoret-coret di buku doodling yang sering ia bawa, humming dan memetik senar gitar berdasarkan insting. Di saat itulah ia membutuhkan bantuan adi yang akan menerjemahkan apa yang ada di pikiran elda lewat musik. proses bermusik yang berjalan dengan sangat natural untuk mereka. Lucunya, walau chemistry bermusik mereka sangat kuat, namun mereka mengaku jika sebenarnya mereka tidak terlalu nyambung kalau di luar musik. Untuk hang out pun mereka memiliki lingkup pertemanan masing-masing, walau tak bisa dipungkiri jika kedekatan keduanya memang terasa. “Dia itu sudah seperti kakak saya.” kata adi sambil tersenyum, yang langsung disahuti oleh elda, “Haha, kita kan cuma beda dua bulan padahal!” Walaupun kini adi menetap di Jakarta dan bekerja di sebuah Production House, sementara elda masih menetap di Jogja sambil mengurusi toko handmade miliknya yang bernama Little Garage. mereka mengungkapkan dengan yakin jika sampai kapan pun Jogja adalah rumah mereka, walaupun mereka sendiri bukan orang asli Jogja. “tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Jogja dikelilingi gunung, laut, bukit dan orangnya pembawaannya laid back semua. padahal dulu sebelum pindah dari Surabaya, aku sempat menolak tinggal di Jogja, eh begitu sampai di sini jadi nggak mau kemana-mana rasanya,” ungkap elda. “tapi itu juga yang menjadi salah satu ‘bahaya’ tinggal di Jogja, saking nyamannya banyak yang nggak mau mengembangkan diri keluar. Seperti adegan orang-orang yang makan bunga lotus di kasino di film Percy Jackson.” lanjut gadis yang kerap memakai topi-topi lucu saat manggung ini. “If you want to do something, you must act now. nggak usah takut, karena semua pasti ada jalannya sendiri.” tutupnya dengan senyum lebar.


Ki-ka: Panji, Ferdi, Ditto, Giano, Mayo, Kristian. Jaket jins: 16 D’Scale.

irresistible inconsistency You can call it what you want, yang jelas Protocol Afro akan membuatmu berdansa dengan lagulagu mereka tanpa terkukung oleh genre. Oleh: Alexander Kusuma Praja.


Suka atau tidak, kita hidup di masyarakat yang gemar menempelkan label ke semua hal, tak terkecuali musik. Berbicara soal label atau genre dalam musik akan selalu menjadi dikotomi tersendiri, di satu sisi genre bermanfaat sebagai terminologi untuk membicarakan sebuah band dan musik yang mereka mainkan, serta secara umum memudahkan kita saat mencoba mengenalkan sebuah band ke pendengar baru, namun di sisi lain genre juga bisa menjadi semacam pagar kecil yang membatasi band tersebut untuk berkembang. Sebagian musisi akan nyaman-nyaman saja berada di kotak genre yang mereka buat sendiri atau diberikan orang lain, sementara sebagian lainnya seperti Protocol afro menolak untuk dibatasi oleh genre. “We called it ‘Inconsistent Pop’, dasarnya tetap indie rock tapi nuansa pop nya tetap ada dan lebih bebas menginjeksikan genre apapun ke musik kami.” ujar Mayo Falmonti yang menjabat sebagai bassist, manajer dan co-founder yang membentuk band Jakarta ini bersama vokalis aryadita utama alias ditto, gitaris Giano Valentino, drummer kristian Harahap dan gitaris Panji Prasetyo tahun 2007 silam. Saya sendiri pertama kali mendengar nama band ini sekitar dua tahun lalu lewat single mereka kala itu, “Radio”, satu lagu bernuansa post-punk dengan vokal ditto yang sekilas mirip Brandon Flowers dari the killers. Lama menghilang dari radar saya, di tahun 2011 mereka kembali dengan single “Music (dance With Me)” yang terdengar dancey dan berwarna lebih uplifting dibanding lagu sebelumnya serta tampil di Baybeats Festival di Singapura dengan tambahan satu personel, Ferdi Salim di synths/keyboard. Suatu prestasi tersendiri bagi band yang saat itu belum merilis album dan belum dikenal bahkan oleh publik di negeri sendiri. “apresiasinya luar biasa, padahal di saat bersamaan di negara sendiri band ini tidak dikenal sama sekali, gue kasih demo ke acara dan pensi sering ditolak, tapi pas approach Baybeats, malah goal, padahal sebelum Baybeats itu baru manggung tiga kali. Menurut gue, miracle from God bisa dapat kesempatan gitu.” kenang Mayo tentang gig itu yang kemudian menjadi turning point bagi band ini. Berkat ulasan bagus dari media dalam dan luar negeri, nama mereka perlahan semakin dikenal dan mereka memutuskan untuk lebih serius dalam bermusik dengan merilis self-titled EP berisi 4 lagu dan tampil di berbagai kesempatan seperti HelloaSEaN 2011 di Nusa dua, Bali dan acara 811 Show di Metro tV. kini, dengan materi-materi baru seperti “Light it up”, “Electricfire” dan “the Youth” yang berbenang merah aransemen dancey dan anthemic, mereka siap menuju langkah berikutnya. I don’t care its cliché or not, namun pertanyaan soal nama band selalu menarik bagi saya, termasuk Protocol afro yang membuat saya bertanyatanya karena tak ada satu pun personel yang berambut

073 afro. Saya mengharapkan jawaban yang mencengangkan dan memang itu yang saya dapat. Siapa sangka jika nama Protocol afro datang dari situs name generator? “Bosan di kantor, gue iseng cari nama band di situs band name generator dengan menggunakan keyword ‘Mayo’ dan muncul ‘Mayo & the Protocol afro’, akhirnya ‘Mayo & the’ dicoret, dan ‘Protocol afro’ dipilih jadi nama bandnya.” ungkap Giano yang disambut tawa oleh semua personel. Saya sempat bertanya pernahkah mereka terpikir untuk mengganti nama, namun semua personel mengungkapkan jika mereka telah stuck in comfort dengan nama itu, “Mungkin bisa dibilang nama ini yang memilih kami. dari sekian ratus ribu kemungkinan nama yang keluar, tapi entah kenapa nama yang muncul adalah nama yang telah mengantarkan kita sampai di sini.” tukas ditto dengan serius. Walau sehari-hari disibukkan dengan daily job masing-masing (diantaranya ada yang berprofesi sebagai jurnalis tv, marketing saham, graphic designer dan kuliah S2), mereka dengan senang hati mencurahkan perhatian lebih untuk proyek musik ini. tak hanya sekedar memainkan instrumen masing-masing, setiap personel memiliki porsi tugas ekstra yang berbeda-beda. Mayo adalah manajer yang rajin menyambangi EO acara dan media untuk mengenalkan band mereka, Giano berperan sebagai mastermind dalam setiap lagu yang digarap, Pandji membuat visual/animasi saat mereka tampil, sementara kristian dan Ferdi mengurusi marketing dan promosi. kalau ditto? Well, ditto punya opini sendiri tentang bagaimana cara band ini bergerak, “ibarat tubuh, Mayo is the heart, that keeps us going, Giano the brain blessed with inspiration, Kris the legs that move us in the right direction, Panji and Ferdi are the hands that make things happen, and me the face, because I look better than the other lads,” ujarnya sambil tertawa. Lalu apa rencana Protocol afro selanjutnya? “Yang pasti sih full debut album yang rencananya bakal rilis pertengahan atau akhir tahun ini, dan selain itu juga video clip. ada juga rencana untuk bikin conceptional live videos, yang sempat kita omongin bersama, tapi belum terlaksana. Selain itu sekarang juga lagi coba approach beberapa teman-teman musisi luar negeri untuk remix lagu kami. Sudah ada satu, by the way, yaitu Riot !n Magenta (electropop duo dari Singapura) yang me-remix single kami, ‘Music (dance With Me)’.” jawab Ferdi mewakili temantemannya. Mereka boleh saja memainkan musik yang inkonsisten namun satu hal yang konsisten saya tangkap dari band ini adalah kekompakan dan semangat mereka yang tinggi. Yang jelas saat mendengar harapan mereka untuk bisa tampil di luar negeri kembali, saya rasa hal itu bukan anganangan siang bolong belaka.

record

tion

collec

Kishi Bashi 151a Mendengarkan album solo dari K Ishibashi, seorang violist Jepang kelahiran Seattle yang juga personel band Of Montreal dan tour member dari Regina Spektor, Sondre Lerche dan The Athens ini seperti bertualang ke alam fantasi yang dibangun dari bunyi biola, perkusi dan vokalnya yang mengingatkan akan Paul McCartney. Single favorit saya dari album ini yaitu “Bright Whites” yang dipenuhi dengan seruan ritmis adalah lagu penyemangat di hari paling gloomy sekalipun. ALEXANDER KUSUMA PRAJA. ASSOCIATE EDITOR.

The Death Set Michel Poiccard Teriakan “slap slap slap pound up down snap” terus mengulang di pusat otak ketika mendengar lirik bagian ini. Bagi saya teriakan mereka membuat saya semangat ketika mengendarai kendaraan untuk melakukan aktivitas dan mungkin kita bisa menyebutnya dengan “punk beat zaman sekarang!” PHILIP PONK, GRAPHIC DESIGNER.

Landon Pigg Coffee Shop His single “Falling in love at a coffee shop” truly makes me ‘fall in love’ with this man. Suara khas Landon Pigg semacam lullaby yang pas sebagai pengantar tidur. One word for him: Adorable. DEASY RIZKINANTI, EDITORIAL ASSISTANT


fire through the night

special report: friendly fires

Satu hari bersama Friendly Fires cukup untuk membuktikan, not only they’re friendly but they’re also a great balls of fire! Teks dan foto oleh: Resti Purniandi.

SEBELUM MEMULAI CERITA, saya harus mengeluarkan kalimat ini dulu, there’s dancing and there’s Ed Macfarlane’s kind of dancing. Jujur saja gaya dansanya yang cenderung berantakan dan gila-gilaan itu yang menarik perhatian saya ketika pertama kali melihat video klip Paris sekitar 4 tahun lalu. Tapi kalau ditanya apa lagu dari Friendly Fires yang membuat saya jatuh cinta dengan mereka, maka Strobe adalah jawabannya. Walau lagu tersebut cenderung manis dan menyentuh, irama dance tetap melekat dan menciptakan harmonisasi yang sempurna. Pada bulan Maret tahun ini, para fans mereka di Jakarta dapat berterima kasih kepada Urbanite Asia, Hybrid Entertainment dan Berlian Entertainment yang membawa mereka datang dan bermain dalam acara Avolution Beatfest di Fairgrounds. Saya dan pemenang kuis untuk eksklusif meet and greet dengan mereka, Mayang Sanditya (kamu bisa baca jurnal pengalamannya di www.nylonindonesia.com) beruntung bisa menghabiskan satu hari bersama mereka. Setelah konser mereka di Singapura, hari Sabtu siang tanggal 17 Maret mereka mendarat di Jakarta dan langsung menuju venue untuk soundcheck. Selama mereka soundcheck, kami dan para teman pers lainnya menunggu di Poste Kitchen & Bar untuk bersiap menghadiri press conference. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Edd

074

Gibson (gitar) dan Jack Savidge (drums) muncul dengan wajah kelelahan. Sambil menemui kami, tidak henti-hentinya Edd dan Jack mengusap peluh dengan wajah kemerahan karena udara Jakarta. Tetapi semua itu tidak membuat mereka berhenti senyum dan melayani berbagai pertanyaan dengan semangat. Edd yang hari itu hanya mengenakan kaos oblong berwarna biru meminum bir lokal sementara Jack meminum kopi. Sayang sekali, sang vokalis Ed Macfarlane yang ditunggu kedatangannya memutuskan untuk langsung ke hotel. Kebetulan ia sedang terkena flu dan sedikit bermasalah dengan tenggorokannya sehingga ia harus mengejar istirahat agar dapat tampil prima nanti malam. Sebetulnya saya sendiri sempat cemas ketika sekitar dua hari sebelumnya twitter dari Friendly Fires Fans mengumumkan bahwa Ed sedang sakit dan meminta para fansnya di Jakarta untuk berdoa bagi kesembuhannya. Untung saja ia penganut paham the show must go on! Selain itu excitement untuk main di Asia tampaknya juga menjadi faktor utama. Pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan tetap bisa dijawab dengan baik walau tanpa kehadiran Ed. “Waktu kami menulis album pertama, kami berada di satu tempat yang terisolasi, semacam pedesaan, tidak ada pantai bahkan kami jarang melihat matahari. I don’t know, maybe it’s what we’re naturally drawn to. Where we come from is really not exotic at all...,” ujar Edd sambil tertawa mendengar pertanyaan saya:

“Kenapa lagu-lagu Friendly Fires selalu mempunyai nuansa pantai yang kental?” Saya juga bertanya, apa yang membedakan album pertama mereka dengan Pala secara emosional? Sekali ini Jack yang lebih serius menjawab “Pada album pertama, we have all the time in the world to make it. Tidak ada tekanan yang berarti untuk menyelesaikan sebuah rekaman. More freedom.” Selesai wawancara, tentunya kami tidak melewatkan sesi berfoto dan meminta mereka menandatangani CD Pala milik masing-masing. Setelah selesai press conference, dengan masih membawa koper

Special thanks for Urbanite Asia.


masing-masing, Edd dan Jack segera ke hotel untuk beristirahat sebentar. Sekitar jam 7 malam, saya dan Mayang bergabung dengan mereka dan kru untuk makan malam bersama. Kali ini Ed Macfarlane yang mengenakan jas serta celana coklat dan kemeja bunga-bunga biru tua ikut bergabung. Ia terlihat rileks dan segar setelah beristirahat, dan saya pun menghela nafas lega. Di depannya hanya ada segelas air putih, dan sebuah senyum lebar yang tak pernah hilang selalu menghiasi wajahnya sambil mengobrol dengan kami. “Tidak, kami sama sekali tidak menyangka bahwa kami akan sampai di titik sekarang dalam karier. Kami hanya begitu mencintai musik dan bersenang-senang,” ujarnya. Acara mengobrol malam itu sangat menyenangkan karena kami tidak hanya bercerita tentang band mereka sendiri, tetapi musik secara general. “Iya, kami diminta Gucci untuk meng-cover lagu Strangelove milik Depeche Mode. Dan kami juga mengagumi kerja Frank Miller. Jadi yeah, it was great.” “Itu lagu Depeche Mode kesukaan kamu?,” tanya saya. “No, actually. I have others that I like more,” ujarnya sambil tertawa. “I love Depeche Mode” ujar saya. Dan ia pun balik bertanya apa favorit saya. “Master and Servant,” ujar saya. Ia mengeluarkan ekspresi lucu, “Oh, it’s very S&M don’t you think?” Pembicaraan kami sempat berhenti ketika pesanan makan malam Edd datang, sebuah piring berisi lobster yang sangat besar. Edd memandang piringnya dengan takjub, “I don’t think I could finish this.” Saya mengingatkan bahwa hal itu mungkin akan menjadi masalah ketika ia berlari-lari di atas panggung nanti. Ia mengangguk setuju dan menawarkan kepada yang lain untuk membantu

menghabiskannya. Ed Macfarlane meminta sedikit, dan mulai mengorek daging lobster tersebut dengan semangat. Saya sempat mengeluarkan satu pertanyaan yang sudah gatal ingin saya tanyakan, “How do you feel, ‘Paris’ being some sort of club anthem around the world?” Ia mengangguk-angguk dan bercerita dengan seru, “Kamu tau nggak, kalau di Jepang itu, misalnya kamu datang ke sebuah club dan mereka melihat kamu. Mereka akan memainkan lagumu sebagai bentuk penghormatan. Tetapi club yang kami datangi saat itu memainkan lagu-lagu rock yang sangat keras. Jadi saya yang “Oh nooo, don’t…” dan rasanya ingin bersembunyi karena malu. Hahaha…,” ia melanjutkan “Tetapi ya, tentu saja itu sungguh hebat. Hanya saja saya tetap tidak terbiasa mendengarkan suara saya sendiri. Kamu mengerti kan? Aneh rasanya.” Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat dan mereka sudah harus bersiap-siap. “Ed, kamu yakin mau memakai jas itu untuk manggung?” tanya saya sebelum berpisah. Ia tertawa, “Tentu saja tidak, saya akan banyak berdansa nanti!” Seperti mungkin yang sudah banyak kamu lihat dari reaksi para penonton di Twitter. Friendly Fires berhasil membuat seluruh penonton di Fairgrounds tidak berhenti berdansa. Lovesick yang merupakan lagu lawas mereka menjadi pembuka konser, yang langsung disusul dengan Jump in the Pool yang juga familiar dan salah satu favorit para fans lama mereka. Sementara semua hits dari album Pala seperti Blue

Cassette, Hurting, Show Me Lights, Hawaiian Air, menambah panas suasana. Bisa dibayangkan ketika Paris dimainkan, para penonton langsung histeris. Tata lampu di panggung yang memanjakan mata (dan juga memanjakan para pengambil gambar) dengan tulisan Friendly Fires yang menyala menambah nilai plus. Set list yang sempurna ditutup dengan Kiss of Life. Setelah penonton beranjak pulang, kami menuju ke backstage untuk bertemu mereka dan tentunya memberi selamat untuk show yang luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Ed Macfarlane setelah hampir 2 jam tidak berhenti menari dan bernyanyi, dan dalam keadaan habis sakit juga. Tetapi ternyata dugaan saya salah, setelah memeluk saya dengan hangat, dengan muka berseri-seri ia berkata, “Saya sangat bersemangat sekali! Jadi, kemana kita sekarang?”


radar: girls on gigs

girls on gigs

Siapa bilang perempuan hanya bisa menjadi sekadar pemanis belaka di konser-konser musik? Empat perempuan berikut ini bercerita tentang serunya bekerja di gigs. Oleh: Alexander Kusuma Praja. Foto Oleh: Muhammad Asranur.

nastasha abigail announcer/ band manager

ade putri

road manager “Road manager adalah penghubung antara band dengan panitia; kami yang mengatur jadwal keberangkatan serta kepulangan rombongan sesuai request dan availability player mau pun tim produksi. Kami juga memastikan panitia membaca rider dengan baik dan memberikan counter rider – intinya memastikan kebutuhan band & produksi bisa terpenuhi.” ungkap Ade Putri tentang job description seorang road manager. Bila masalah standar road manager pada umumnya adalah panitia yang kurang kordinasi atau liaison officer yang tidak komunikatif, sebagai seorang road manager yang mengurusi bandband cadas seperti Seringai, Superman Is Dead dan Suicidal Sinatra, ia harus berhadapan dengan tantangan ekstra, yaitu

crowd dan medan yang tak terduga. “Waktu SID perform di USU, Medan tahun 2003 lalu, ada provokator dan konser jadi rusuh. Panitia nggak bisa berbuat banyak karena mereka nggak nyangka kejadiannya akan seperti itu.” kenangnya, “SID tetap menuntaskan set list, biar pun sudah gue suruh turun karena suasananya nggak kondusif. Turun panggung, SID dan manajer langsung naik mobil kembali ke hotel. Saat gue bersama tim produksi lagi beresin alat di panggung, eeh… banyak banget barang melayang ke atas panggung. Jadilah gue dan stage crews berlindung di bawah ridging stage. Menegangkan, kayak perang, hahaha.” tandasnya santai. Gadis kelahiran Surabaya yang juga berprofesi sebagai

freelance publicist dan social media strategist di sebuah digital agency ini mengaku lebih menyukai terjun langsung ke lapangan dibanding bekerja di balik meja, karena itu di antara semua kesibukannya, ia tetap menikmati menjadi freelance road manager untuk band yang sudah disebutkan di atas dan beberapa nama lainnya seperti Vicky Shu, The Flowers dan Armada. “Let me tell you something, handling bunch of rockin’ boys is much much much easier than handling one unpredictable selfish and spoiled princess!” tutupnya dengan senyum jahil.

Berbincang dengan Nastasha Abigail sama menyenangkannya dengan mendengarkan siarannya di Trax FM. Ia ramah, approachable dan senantiasa menyelipkan joke segar dalam omongannya. Sebagai seorang announcer merangkap reporter untuk salah satu stasiun radio anak muda paling dikenal tersebut, Abigail memang kerap kali dijumpai di berbagai acara musik, baik yang berskala besar maupun gig-gig yang lebih kecil. Kini, selain siaran dan mendesain cincin buatan sendiri dengan nama Hullo, lulusan Jurnalistik UPH ini menambah resume dengan menjadi manajer untuk Zeke Khaseli, suatu tawaran yang secara spontan ia terima dengan antusias, walau ia mengaku masih dalam tahap belajar. “Sekarang ini kami lagi mempersiapkan launching album kedua Zeke Khaseli, “Fell in Love with the Wrong Planet”, tepat Friday the13th April nanti di Goethe, baru prosesnya aja sudah berkesan banget, soalnya konsepnya nanti theatrical, jadi jangan takut untuk datang pakai kostum ya.” ceritanya dengan semangat. Saya pun bertanya di umurnya yang ke-25

tahun ini, sampai kapan kira-kira ia ingin berkarier di bidang yang berhubungan dengan musik. “Gue sedang berada di comfort zone sebetulnya. Apalagi sebagai anak muda yang notabene budak konser, gue bersyukur dapet tiket-tiket gratisan, ketemu banyak

teman baru, lokal dan internasional. Jadwal siaran pun membuat gue bisa melakukan banyak kegiatan lainnya. Kalau ditanya mau sampai kapan, itu gue agak bingung. Pernah sih kepikiran kerja kantoran dan menciptakan kestabilan hidup, tapi kayaknya gue nggak terlalu banyak punya baju rapi”, jawabnya sebelum menambahkan dengan tersenyum lebar, “Menjamin mapan bukan berarti menjamin senang kan?”


radar: girls on gigs

niken prista

GiG photoGrApher Admit it, DSLR is just like fashion accessory nowadays. Kita dengan mudah melihat cewek­ cewek menenteng kamera di gig musik, tapi berapa banyak diantara mereka yang memang seorang gig photographer dan rela berdesak­ desakan di media pit yang disesaki pria­pria yang terkadang, literally push each other untuk mendapatkan foto yang keren? Mungkin masih bisa dihitung dengan jari dan Nikensari Pristandari adalah salah satunya. Gadis berperawakan mungil ini dapat dengan mudah kamu lihat di berbagai gig sedang membidikkan kamera kesayangannya, Canon

isha hening visuAL jocKey Apakah kamu sempat menonton penampilan Röyksopp di Love Ga­ rage tempo hari? Kalau iya, pasti kamu ingat visual mapping keren yang melengkapi live performance mereka. Well, guess what? Visual mapping tersebut dibuat oleh perempuan manis bernama Isha Hening yang kian dike­ nal sebagai seorang Visual Jockey andal. Semua bermula saat ia masih berkuliah di ITB jurusan DKV – Multi­ media, gadis berumur 25 tahun ini sering menghabiskan waktu di Common Room, sebuah ruang kreatif di Bandung, yang juga tempat sebuah komunitas bernama Openlabs yang me­ ngulik soal electronic music, visual dan new media art. Dari situ ia belajar soal VJ dan live visual sampai akhirnya pertama kali menjadi

VJ untuk Bottlesmoker di sebuah gig elektronik Bandung, sebuah peng­ alaman yang membuat­ nya jatuh cinta, ketagihan dan akhirnya menjadi profesi. Isha lalu diper­ caya menjadi VJ untuk event­event besar seperti Godskitchen, Beatfest, Djakarta Warehouse Project, Dance Republic, Playground dan Love Garage. “Hampir semua event berkesan sebetul­ nya, karena pasti ada yang uniknya, seperti kemarin senang banget bisa VJ-ing untuk Bag Raiders dan Röyksopp karena saya kebetulan memang ngefans atau yang paling capek saat main sampai pukul 6 pagi untuk Armin Van Buuren. Tapi tetap sih, saya paling menikmati kalau main di gigs drum ‹n bass seperti Phunk­ tion, hehe.” jawab Isha saat ditanya event yang menurutnya pal­ ing berkesan. Selepas

Kiss X2, untuk situs musik Geeksbible.com atau beberapa media lainnya. “Keinginan buat motret penampilan band atau musisi buat gue pribadi adalah untuk mendukung band lokal yang masih belum dikenal banyak orang dan sebagai media berbagi keriaan buat mer­ eka yang nggak bisa non­ ton konser tertentu Jadi ketika liat jepretan gue, mereka juga bisa mera­ sakan euforia yang sama saat gue motret penampi­ lan band atau musisi itu“ ungkap Niken tentang alasannya menjadi gig photographer, “Basically, gue sendiri cinta musik, dan menjadi salah satu bagian dari hal tersebut adalah menyenangkan.”

imbuhnya. Melihat sosok mungil dan pembawaannya yang kalem, mungkin kamu akan kaget mengetahui jika ternyata ia paling antusias memotret untuk gig­gig metal dan salah satu ke­ inginan terbesarnya adalah memotret di Hellfest. Gadis berumur 21 tahun ini me­ ngaku dirinya memang pen­ diam, namun jika melihat foto­foto bidikannya di akun flickr­nya (flickr.com/pho­ tos/nikenprista), kamu bisa merasakan emosi dan se­ mangat dari objek fotonya. Apa tipsnya? “Baiknya sih survey dulu venuenya dimana jadi kira­kira sudah siap angle photo yang mau diambil dan mau bawa lensa apa aja. Terus peka juga sama hal­hal yang ber­ pengaruh pada hasil foto, misalnya lighting. Biasanya kalau venue cukup gelap, gue ngitungin waktu kapan lighting ini bisa pas nembak ke objek yang mau gue foto, atau pada lighting warna tertentu.”

Love Garage, kini gadis yang memiliki daily job sebagai motion graphic artist di Fear FX Studio di daerah Bangka, Ja­ karta Selatan ini sedang bersiap mengerjakan video klip untuk Rock N Roll Mafia bersama temannya Guntech dan sebuah group exhibition di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang. Bekerja di field yang didominasi pria, apakah sebagai VJ ia pernah direme­ hkan hanya karena ia perempuan? “Haha, ya pasti pernah, seringnya sih masalah teknis, tapi seharusnya isu seperti itu sudah basi ya, sudah tidak penting gendernya apa, pada akhirnya karya dan profesionalisme yang berbicara.” jawab­ nya optimis.

Lokasi: Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang.

077


radar: japan acts

cool japan Jepang boleh saja dihempas Korean Wave atau bahkan Tsunami, namun scene musik Jepang selalu mempunyai tempat tersendiri di peta musik internasional berkat eksplorasi visual dan sounds yang mendobrak batas. Berikut adalah namanama yang mengibarkan kembali slogan Cool Japan ke dunia. Oleh: Alexander Kusuma Praja.

Kiriko Takemura awalnya hanya satu dari ratusan anak SMA Jepang yang senang hangout di Harajuku, tempat di mana mereka bisa memakai pakaian seaneh mungkin tanpa resiko dihujani pandangan aneh dari orang-orang sekitar, namun ada suatu “Faktor X” dalam wajah imut dan personality dirinya yang mengundang para fotografer street fashion untuk membidiknya sebagai model majalah dan menjadikannya idola lokal tersendiri dengan nama Kyary Pamyu Pamyu. Next thing she know, di usianya yang ke-18 tahun dia dikontrak Warner Music Japan dan menjadi penyanyi pop Jepang paling menarik saat ini dengan merilis singlesingle SUPER catchy seperti “Cherry Bon Bon”, “Jelly”, dan terutama “PonPonPon”, lagu bernada adiktif dengan video yang menjadi international hit di Youtube dan iTunes. Setelah merilis album debut Moshi Moshi Harajuku dan otobiografi Oh! My God! Harajuku Girl, Kyary sempat pergi ke Amerika Serikat untuk penampilan perdananya di luar negeri dan membuat kita kembali terpesona dengan gaya street style Harajuku yang fantastically weird. In the mean time, kamu bisa melihat videonya di Youtube dan bersiaplah menekan tombol replay berulang kali. http://kyary.asobisystem.com

078

trippple nippples

kyary pamyu pamyu

Sangat sulit untuk menjelaskan musik Trippple Nippples. Coba bayangkan saja tiga orang gadis Jepang bernama Yuka Nippples, Qrea Nippples dan Nabe Nippples yang bernyanyi dan bergoyang liar diiringi musik gabungan electropop dan dance punk yang dimainkan dua pria Australia dan satu pria Amerika yang tak kalah lantangnya. Fast and furious saja tidak cukup untuk menjelaskan penampilan mereka yang seperti ledakan acid di pesta sekolah seni paling seru dan paling absurd. Saya pertama kali mengetahui eksistensi mereka saat menonton seri dokumenter Tokyo Rising dari label sepatu boots terkenal Palladium, di mana Pharell Williams datang ke Tokyo sebagai host dan menyusuri creative industry Tokyo pasca tragedi gempa bumi dan Tsunami yang melanda Jepang bulan Maret tahun lalu. Di video itu (you still can watch it on Youtube, by the way), saya melihat aksi mereka di sebuah klub dengan mengenakan kostum handmade (beberapa kostum yang pernah mereka pakai meliputi spaghetti basi, bulu ayam hingga lumpur) juga body painting dan membuat semua penonton, termasuk Pharell, ikut berjingkrak kesetanan. Tak hanya Pharell, grup elektronik legendaris Devo pun terpincut dan mengajak Trippple Nippples menjadi opening act dalam US Tour mereka. Mendengar lagu-lagu energetik seperti “LSD”, “M.I.A.M.I” atau “Cavity” (yang bercerita tentang seorang cewek yang menggosok gigi dengan lollipop dan berkumur dengan Cola), kamu hanya punya dua pilihan: terbengong karena takjub atau ikut berdansa seperti orang gila, which is the more fun option, obviously. http://www.trippplenippples.com


sendiri). Saat ini, di antara berbagai kesibukannya sebagai kolumnis NYLON Japan, mendesain aksesori berlabel Giza dan berkolaborasi dengan banyak musisi andal seperti Towa Tei, Uffie, Verbal, Teriyaki Boyz, termasuk yang paling terbaru dengan will.i.am di lagu “Blow Your Mind”, Yulia merilis album debutnya berjudul Mademoworld dengan single “Gimme Gimme” yang catchy dan video klip keren buatan seniman terkenal asal Perancis, Fafi. Dengan tur dunia bertajuk Angee Yung Robotz dan tampil di berbagai media style berpengaruh seperti Vice, Vogue dan NYLON, she’s more than ready to rule your world. http://www.myspace.com/ mademoiselleyulia

nisennenmondai Jangan tertipu dengan nama band ini, pertama: Yuya Matsumura (vokalis/gitaris/ programmer) dan Kazumasa Ishii (drummer) bukan perempuan kakak beradik, dan kedua: walau sekilas nama mereka terdengar innocent, nyatanya dua pemuda Nagoya ini memainkan electro-rock dengan elemen industrial yang mengingatkanmu akan era terbaik Nine inch Nails dan Boom Boom Satellites. Well, gaung musik industrial memang telah lama pudar, namun Kazu dan Yuya membawa daya tarik tersendiri ke genre ini berkat gabungan bunyi instrumen organik dan digital, di mana Kazu menggebuk drumnya seakan tidak

mademoiselle yulia

Istilah It Girl mungkin tidak terlalu familiar di Jepang, tapi jika ada satu cewek Jepang yang berhak menyandangnya, maka dia adalah Mademoiselle Yulia. Gadis berusia 24 tahun ini sudah membuat pesta-pesta underground paling hip di Tokyo sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMA, termasuk pesta electro DJ legendaris bernama Neon Spread di tahun 2005. Sejak itu, ia menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam club scene Jepang berkat kontribusinya sebagai MC, DJ, penyanyi juga style icon yang terkenal dengan rambutnya yang dicat biru (dicat sendiri olehnya yang sempat belajar di sekolah tata rambut) dan edgy wardrobe (mulai dari Jeremy Scott sampai baju vintage yang di-customize

Jepang punya sejarah panjang tentang girl band yang bisa ditelusuri mulai dari Shonen Knife, The 5.6.7.8’s, Stereopony hingga The Suzan yang memainkan musik dengan skill yang tak kalah keren dari para musisi pria. Masako Takada (gitaris), Yuri Zaikawa (bassist) dan Sayaka Himeno (drummer) membentuk Nisennemondai yang namanya diambil dari istilah Jepang untuk “Y2K bug” sejak tahun 1999 dan telah merilis tujuh album hingga saat ini. Melihat penampilan mereka yang tampak malu-malu khas perempuan Jepang, mungkin kamu tak akan menyangka jika mereka adalah maestro dalam hal meracik musik Japanoise dengan influens post-rock dan eksperimental yang menari di

ada hari esok dan Yuya mencabik gitarnya sambil menyanyikan lirik berbahasa Inggris dengan efek loop dan vocoder (bayangkan saja Daft Punk bertemu Trent Reznor) yang terdengar di lagulagu seperti “Wasted”, “Spectrachroma” dan “Imperfect Conflict” dari EP mereka, [euphoriaofeuphobia] yang juga dirilis di Amerika Serikat. Dengan live performance yang selalu didukung visual mapping oleh VJ dan Art Director Kouta Tajima, duo ini berhasil memukau penonton di Summer Sonic, Canadian Music Week dan SXSW. http://whitewhitesisters.com

Foto Trippple Nippples oleh Cedric Diradourian. Mademoiselle Yulia oleh Kazunobu Yamada. Nisennenmondai oleh Kim Hiorthoy. Kyary Pamyu Pamyu oleh Natalie. White White Sisters oleh Sachie Kimura.

radar: japan acts

garis tipis antara harmoni dan pure chaos. Walaupun tidak terlalu tertangkap radar media mainstream, berkat lagu-lagu instrumental garda depan seperti “Destination Tokyo”, “Sonic Youth”, “Ikkkyokume” dan “This Heat”, mereka sukses menjadi cult tersendiri di kancah internasional. Band ini pernah tampil sebagai opening act untuk Battles, Hella, Thurston Moore dan No Age serta menghiasi headline berbagai festival seperti Death By Audio di Brooklyn, Roskilde Festival di Denmark dan juga tur ke berbagai negara Eropa. http://www.nisennenmondai.com

white white sisters


profile: pallers

Lewat Pallers, Johan Angerg책rd kembali membuatmu jatuh cinta dengan dinginnya musik Swedia. Oleh: Alexander Kusuma Praja. Foto Oleh: Henrik M책rtensson.

Saya yakin di satu titik hidupmu, kamu pasti pernah mendengar Swedish pop semacam Club 8, Jens Lekman, The Cardigans atau setidaknya band-band indie pop indonesia yang banyak terinfluens oleh band-band daerah Skandinavia tersebut. Musik pop Swedia memang memiliki tempat tersendiri di ranah musik berkat kemampuan mereka meramu musik pop yang kreatif serta easy listening dan bila bicara tentang Swedish pop, mau tak mau kita harus menyebut Labrador Records sebagai ujung tombak dari scene ini berkat rilisan-rilisan influental seperti The Radio dept, Pelle Carlberg,

Sambassadeur dan banyak lagi. di balik label ini ada seorang Johan angerg책rd yang merupakan tokoh penting bagi musik Swedia berkat perannya sebagai personel acid House kings, Club 8 dan The Legends atau pun menjadi produser untuk musisi-musisi muda Swedia seperti amanda Mair. kini bersama bekas teman satu flat-nya, Henrik M책rtensson, ia membuat proyek musik terbaru bernama Pallers dan merilis album debut The Sea Of Memories yang berisi lagulagu ambient down-tempo dengan soundscape elektronik yang kaya akan cerita. kenali lebih jauh tentang mereka di interview kali ini.

swedish hymn 080


profile: pallers

Hi Johan, apa kabar? Apa saja yang sudah kamu lakukan hari ini? Johan: Cukup baik. Saya seharian ini bekerja di Labrador menyiapkan rilisan Amanda Mair, apakah kamu sudah mendengarnya? Mungkin belum…albumnya baru keluar di Swedia. Dia gadis berumur 17 tahun yang sangat bertalenta. Sekarang saya akan membuat segelas kopi dan memasang vinyl Depeche Mode.

Sounds great, sekarang tolong ceritakan tentang proyek barumu, Pallers. Johan: Saya dan Henrik sudah saling kenal cukup lama. Bertahun-tahun lalu saya punya band bernama Poprace bersama Karolina Komstedt (dari Club 8). Kami mencari pemain bass dan Karolina memberitahuku tentang Henrik, teman sekelasnya yang bermain bass dan mendengarkan The Smiths. That sounded pretty great to us jadi kami mengajaknya bergabung. Henrik sebenarnya pernah co-writing sebuah lagu untuk Club 8 dan kami pernah membuat lagu instrumental bareng untuk Summer Songs EP. Pallers juga tercipta tanpa disengaja, saya merekam vokal untuk lagu, mengirimnya ke Henrik dan dia mulai memproduksinya. Hasilnya ternyata cocok dan lahirlah Pallers. Bagaimana kalian membagi tugas untuk proyek musik ini? Henrik: Kami berdua menulis lagu. Johan bernyanyi dan saya lebih banyak mengerjakan programming dan beat making, namun kami selalu berusaha menjaga lagu-lagu itu sesuai arah yang kami berdua mau. Lalu kami melakukan final touch dan mixing. Proses yang cukup memakan waktu sebetulnya, namun membuat kami berdua sama-sama puas. Dibandingkan proyek-proyek musik sebelumnya, apa hal paling standout dari Pallers yang ingin kalian tonjolkan? Johan: We have a very threedimensional sound. Musik kami terbentuk dari banyak detail-detail kecil yang terjadi bersamaan dan menciptakan lanskap suara yang luas seperti sebuah dunia sendiri. Sebenarnya masih bisa dibilang musik pop karena melodi-melodinya terdengar pop, hanya saja setiap lagu

dibangun dan terstruktur dengan cara yang sama sekali tidak pop. Saat mendengarkan CD kalian, saya merasakan sensasi dingin tersendiri, apakah kalian setuju jika orang melabeli musik kalian sebagai Chillwave? Atau kalian merasa istilah Chillwave itu sendiri agak overrated? Henrik: Kurasa semua “waves” selain ocean waves itu overrated. Saya tak melihat banyak persamaan antara kami dengan band-band yang disebut Chillwave. There is far too much ice on our waters for waves to form. Namun setiap orang bebas menyebut musik kami sesuka mereka. Tapi sebutan “Chillwave” itu sendiri juga nggak terlalu keren kok, apa sih artinya? “Death Metal”, “Stoner Rock” adalah genre yang terdengar keren. I´d join a genre if it had a name like that. Johan: Saya tidak mendengarkan bandband Chillwave.

Apakah kalian memiliki satu momen dari musik, film atau buku yang mengubah hidup kalian yang terus mengendap di sub-consious masing-masing dan muncul lewat karya kalian? Henrik: The Smiths really changed my life dan caraku melihat diri sendiri dan orang lain tapi saya tak pernah memikirkan mereka saat membuat musik. Sejak tahun 1995, Autechre juga mengubah pandanganku pada musik dan saya sering memikirkan style bermusik mereka dengan sadar. Kita tentu mendapat inspirasi dari hal-hal yang kita lihat, baca atau dengarkan dan entah bagaimana mereka akan muncul saat kita membuat sesuatu. Autechre, The Smiths, Burial, film seperti Gummo dan My Life as a Dog atau buku The Dice Man adalah hal-hal yang mengubah hidupku tapi jika salah satu dari mereka muncul di musik kami, saya tidak bisa mengingatnya. Johan: Saya juga akan bilang The Smiths. Mereka memengaruhi banyak sisi dari hidupku, it’s silly. Saya mungkin saat ini sedang mengerjakan sesuatu yang benar-benar lain jika saya tak pernah menemukan mereka. Apa yang sedang kalian dengarkan akhir-akhir ini? Henrik: HTRK, Grouper, Andy Stott, Jacques Greene, Demdike Stare dan Starlet. Johan: Amanda Mair, A Place to Bury Strangers, Cosmetics, King Creosote dan Jon Hopkins. Rencana berikutnya untuk Pallers? Henrik: More music. Apa pesan kalian untuk yang sedang membaca artikel ini? Johan: Thank you for being you. Jangan lupa berkunjung ke Pallers.se! Henrik: Have fun and take care of your loved-ones!

Swedia selalu memiliki tempat tersendiri di industri musik, apa pendapatmu sebagai orang yang bisa dibilang key figure untuk scene ini? Johan: Saya tahu orang-orang yang mendengarkan band-band dari Labrador akan memandangnya sebagai sesuatu yang Swedish. Dan memang semua band Labrador berasal dari Swedia… tapi saya selalu ingin membuat sesuatu yang menjadi scene tersendiri dan saya selalu memandang Labrador sebagai label internasional. It’s just my taste in music dan saya berusaha memengaruhi selera musik itu ke orang lain. Kurasa saya menjadi tokoh penting dalam musik Swedia hanya kebetulan saja. I just wanted to be a key figure in my very own scene.

081


ay ay captain

profile: ay ducane

Galih Richardson dari Ay Ducane berpikir jika boyband lebih merusak dibanding politisi, why? Oleh: Alexander Kusuma Praja. Foto oleh: Kurtiss Lloyd

SometimeS in life, you don’t know what you could miss in a moment, even if you just go to toilet for minutes. Kemungkinannya bisa apa saja, tapi untuk Galih Richardson dari unit folk rock asal London bernama Ay Ducane, hal itu adalah menemukan soulmate dalam bermusik. Di acara open mic sebuah pub di North London saat hendak menuju toilet, ia menghentikan langkahnya saat mendengar Francis Newington memainkan gitar dengan cara yang menurutnya tidak bisa disamakan dengan orang lain, sampai-sampai membuatnya lupa akan tujuan semula. Setelah perkenalan yang langsung “klik” yang berlanjut dengan bermain bersama di sebuah acara akustik di mana mereka membuat lagu pertama berjudul “She’s Gone”, mereka sepakat tampil sebagai duo di berbagai gig lainnya, termasuk sepanggung dengan banyak musisi folk Inggris terkenal di British Folk Festival. Itu sekitar 4 tahun lalu, kini mereka telah menukar gitar akustik mereka dengan gitar elektrik Fender dan Gretch, serta menambah personel. “We’re officially 4 piece band now,” tegas Galih sebelum melanjutkan, “Jadi lineup kami sekarang adalah saya (Lead Vocals, Rhythm Guitar, Harmonica), Francis (Lead Guitar, Backing Vocals, Cello), Edward Maltby (Bass Guitar, Backing Vocals) dan Ollie Richens (Drums, Percussion, Squeeze Box, Sax).” Memainkan musik folk rock dengan sentuhan bluegrass dan psikedelia, Galih menggambarkan lagulagu mereka seperti “The Queen and The Sultan”, “Old Souls” dan “Fagin’s Mother” sebagai anti-love song yang terinspirasi dari cinta, politik, Penny Lane dan Teori Gaia. “it’s influenced by love,” cetus pria blasteran Inggris-Blitar kelahiran Surabaya yang telah tinggal di London sejak berumur 17

082

tahun ini, “Jawaban yang obvious meliputi Bob Dylan, Nash Young, The Doors dan John Martyn, namun saya sendiri tidak mau mendefinisikan musik kami karena hal itu adalah amalgamasi dari 4 orang yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda pula yang membuat musik bersama di sebuah basement kecil di East London… we play grunge folk, hehe.” lanjut vokalis berambut ikal tersebut. “Francis dan saya memilih nama Ay Ducane di kamar saya di Pitshanger Lane. Setiap kali kami latihan, Francis akan bersepeda dari Acton ke tempat saya melewati sebuah penjara bernama Wormwood Scrubs di Du Cane Road. Penjara itu didesain oleh Edmund du Cane, seorang military engineer yang diberi tugas merasionalisasikan sistem penjara Inggris tahun 1880-an dan terkenal dengan kutipan ‘society cannot exist without criminality’. Francis pernah menjadi arsitek dan cerita tentang Edmund Du Cane sangat menarik bagi kami. Kami mengambil nama belakangnya untuk nama band kami, sedangkan ‘Ay’ sendiri diambil dari bentuk semacam mata panah yang menjadi simbol dari tahanan di penjara itu sebagai pengingat kejahatan mereka. the image is both terrifying and beautiful. “ ungkap Galih panjang lebar tentang nama bandnya. Francis dan Galih beberapa waktu lalu juga sempat datang ke Jakarta dan tampil di beberapa gig, pengalaman yang membuat mereka tak sabar untuk kembali ke sini. Saya kemudian memintanya bercerita tentang gig paling berkesan selama bersama Ay Ducane. “Gig terbaik kami untuk saya pribadi adalah di Somerset. Untuk alasan yang sentimental, kami baru kembali dari tampil di sebuah gereja di daerah pedesaan North Wooton untuk pesta ulang tahun bibi drummer kami. Sama sekali bukan gig yang besar tapi sangat

http://ayducane.com

menyenangkan. Kuharap begitulah musik yang seharusnya, bukan limbah komersial yang disebut sebagai music industry saat ini. Kupikir teroris harusnya mengincar boyband dibanding politisi…i believe they do more damage.” jawabnya serius. Galih mengaku dirinya memang hijrah ke London dengan tujuan untuk bermusik, sesuatu yang kini sedang dijalaninya dengan passion menggebu sambil mengungkapkan suatu saat ingin kembali ke Indonesia untuk menulis album di sini. Untuk sekarang, ia dan temantemannya tengah menyiapkan kelanjutan dari the Queen and the Sultan dengan materi lagu yang lebih psikedelik dan soundscape yang luas. ”Jika kamu ingin mendengar musik yang sesungguhnya di Jakarta, kamu harus pergi ke Hey Folks! di Mayestik. Di sana kamu akan menemukan Ari yang sering memasang musik 60-an yang juga seorang drummer keren dan sempat manggung bersama kami saat kami ke Jakarta. Juga Bangkutaman, band Indonesia paling hebat saat ini yang digawangi Acum (Wahyu Nugroho), seseorang yang juga sempat bermain bersama kami. Kurasa Francis dan dia saling jatuh cinta, haha!” pesan Galih menutup interview ini.


profile: silver swans

sweet dreams

Silver Swans mengajakmu bermimpi indah bersama album terbaru mereka. Oleh: Alexander Kusuma Praja. Foto Oleh: Miwah Lee.

Saya kurang percaya dengan yang namanya love at the first sight, tapi sebagai seseorang yang harinya dihabiskan untuk mencari band-band baru yang menarik, I do believe with love at the first heard. kamu tahu kan terkadang kita hanya membutuhkan beberapa detik intro atau sebait lirik untuk menyukai sebuah lagu. Well, itulah yang saya rasakan saat pertama kali mendengar lagu berjudul “Secrets” dari duo electro dream pop bernama Silver Swans ini. Memadukan vokal soprano yang ethereal milik vokalis ann yu yang dikemas dengan blissful synth dari DJ dan produser Jon Waters, “Secrets” adalah lagu pop jenial dengan modus operandi yang mengingatkanmu akan momenmomen termanis asobi Seksu, The knife, School of Seven Bells dan Ladytron. “Jon menghubungiku untuk berkolaborasi dalam sebuah lagu. Saya belum pernah membuat musik elektronik sebelumnya jadi saya sangat excited untuk mencobanya. Lalu saya menyadari betapa saya menikmati proyek ini jadi kami terus stay in touch

dengan bertukar file-file musik lewat email. akhirnya terkumpul koleksi materi lagu yang cukup banyak walaupun kami sangat jarang bertemu langsung. That’s when we decided we should meet more often, haha.” ungkap ann yang sebelumnya juga dikenal sebagai vokalis LoveLikeFire, band indie rock asal San Francisco yang sudah merilis tiga album. Dengan influens awal yang meliputi The radio Dept., cocteau Twins, old school r&B hingga enya, Jon dan ann menganalogikan musik dream pop yang mereka buat dengan kota tempat tinggal mereka sekarang, San Francisco. “Saya jatuh cinta dengan kota ini setiap harinya. kota ini sangat menginspirasi untuk bermain musik dan cuacanya yang silih berganti hangat dan berkabut sangat sesuai dengan mood-ku yang sering naikturun.” ujar ann yang lahir di Las Vegas. rasa yang sama juga dialami oleh Jon yang berasal dari Inggris, “San Francisco adalah rumah kedua saya. Saya besar di Birmingham, sebuah kota yang dipenuhi

http://silverswans.bandcamp.com

pabrik dan atmosfer yang secara umum terasa suram. SF memiliki suasana dingin dan lembap yang sama namun dengan sinar matahari yang cukup untuk membuatmu merasa nyaman.” Setelah di tahun 2010 mereka merilis album debut bertajuk Realize The Ghost, kini mereka kembali dengan album baru berjudul Forever yang dirilis oleh Twentyseven records, label new york milik clyde erwin Barretto yang juga merilis The Drums dan memperkenalkan musisi Swedia seperti pelle carlberg ke audiens amerika. album berisi 11 lagu ini masih menawarkan hook synth yang cantik namun dengan warna yang lebih beragam dari pendahulunya, mulai dari Afro-pop (“arrows” dan “House of Blood”), doo-wop (“Diary Land”) hingga dub (“Mother of pearl”), walaupun momen favorit saya di album ini tetap di lagu-lagu seperti “Secrets” dan “always Something” yang dreamy, shoegaze-y dan misterius. “Forever bercerita tentang teman dan kekasih. album ini ibarat memeluk bantal di tengah malam sambil berbincang dengan teman lamamu sampai pagi menjelang. Tentang memandang mata seseorang yang kamu sukai dan tersesat dalam rasa suka itu, tentang berpegang kepada kesedihanmu dan menjadikannya sesuatu yang indah. It’s about dreams that will never die.” cetus ann tentang konsep album yang desain sampulnya menampilkan dua orang yang sedang berpelukan (which is Ann’s cousin and her boyfriend) tersebut. Sebelum ini, mereka juga sempat mengcover beberapa lagu dari Fleet Foxes, The national dan “Video games” milik Lana Del rey yang sukses menimbulkan hype tersendiri di berbagai blog musik berkat kesuksesan mereka membawakan lagu itu dengan gaya mereka sendiri yang nostalgic. Hal apa yang membuat mereka tertarik untuk meng-cover sebuah lagu? “Saya selalu terbius dengan nostalgia dari sebuah lagu. Sesuatu dari cara seseorang menyanyikan sebuah cerita yang bisa membuatmu sedih. kami sempat membicarakan untuk meng-cover lagu Weezer dari album Pinkerton atau Blue Album. Saya melewati masa remaja sambil mendengarkan Weezer dengan relijius dan kurasa akan menyenangkan untuk kembali ke masamasa itu dengan membawakan salah satu lagu mereka dengan gaya kami.” jawab ann dengan bersemangat. yang jelas, berbekal album bagus dengan review media yang juga bagus, mereka sukses mendapatkan spot di SXSW tahun ini di antara banyak gig lainnya sambil berharap bisa tampil di asia dan eropa. Sebagai penutup, saya pun meminta duo ini mengungkapkan rahasia terbesar mereka yang belum terungkap. Saya mengharapkan jawaban yang whimsical atau sureal, namun dengan enteng mereka menjawab: “We love Nicki Minaj.” Well, that’s quite surreal for sure.

083


Edited by Jessica Hanafi

Mungkin kamu mengenal Marissa Anita sebagai anchor program 811 Show di Metro TV yang rutin menemani pagimu dengan bincang politik, ekonomi, atau pendidikan. Nah, NYLON menemukan kefasihannya berbicara mengenai film ketika NYLON Guys mengulas profilnya untuk January/February 2012 Issue. Kami senang ketika Marissa Anita bersedia menyisipkan ceritanya untuk NYLON selama di Berlinale Film Festival 2012. Apalagi bisa dibilang tahun ini Festival Film Berlin has been very friendly to Indonesian productions. Festival ini berperan memberi angin segar bagi sineas Indonesia yang sayangnya berita bagus itu tidak terlalu banyak diekspos di negeri kita ini. Tulisan ini diharapkan bisa memberimu gambaran yang lebih jelas. Teks dan Foto oleh: Marissa Anita

the amicable berlin BERLINALE FILM FESTIVAL ke-62 ini menjadi festival film yang spesial, khususnya bagi Indonesia. Film Indonesia menjadi salah satu dari 18 film dari berbagai negara dalam kompetisi utama Berlinale memperebutkan piala beruang emas Golden Bear. Kebun Binatang (Postcards from the Zoo) karya sutradara Edwin adalah film Indonesia pertama yang masuk dalam kompetisi utama Berlinale. Partisipasi Indonesia tidak berhenti di sini saja. Film bertema LGBT (Lesbian Gay Bisexual and Transgender) dari Indonesia turut berpartisipasi meramaikan kategori Teddyrolle dan Panorama. Delapan sutradara perempuan lesbian Indonesia “bersuara” melalui film mereka Anak-Anak Srikandi. Bagaimana rasanya hidup di Indonesia sebagai seorang perempuan yang mencintai perempuan? Film semi dokumenter ini mengeksplorasi identitas gender, agama, dan politik – menghadirkan berbagai segi kehidupan LGBT di Indonesia. Sementara di kategori film pendek

084

Berlinale Shorts, film pendek karya sutradara Sammaria Simanjuntak adalah salah satu yang menghibur di antara 9 film pendek bertemakan LGBT lain. Membintangi Seven Deadly Kisses adalah Sunny Soon dan Daud Sumolang. “Ini adalah tujuh jenis ciuman yang tidak boleh dilakukan kalau nggak cewek bisa ilfeel sama lo,” kata Sammaria. Ia mendapat inspirasi ini dari pengalaman pribadinya yang buruk. Awalnya Seven Deadly Kisses adalah proyek iseng Sammaria, Daud dan Sunny di pagi buta. Mereka tidak menyangka ide out of the box ini bisa menghasilkan film berdurasi 4 menit yang masuk Berlinale untuk memperebutkan Teddy Award – acara penghargaan di Berlinale yang khusus dibuat untuk memberi ruang kreativitas sineas film-film bertema LGBT. Sammaria kini tengah membuat film terbarunya Demi Ucok namun mengalami kesulitan tayang karena kekurangan dana. “Kami lagi mencari 10,000 orang yang mau kasih kita Rp. 100,000. Jadi kalau pengen tayang, kasih kami Rp. 100,000 ya biar bikin filmnya nggak bertiga lagi,” kata Sammaria. So,

dukung film Indonesia yuk sambil galang dana di www.demiapa.com! OK, “sidik jari” Indonesia telah tertempel di kategori kompetisi utama, Panorama dan Teddyrolle. Namun tak berhenti di situ saja, satu lagi karya anak bangsa yang filmnya premiere di Eropa, The Mirror Never Lies karya Kamila Andini. Sutradara 25 tahun yang akrab disapa Dini ini membawa dua orang aktor utamanya, Eko dan Gita Novalista. “Mamaaaaaak!” seru Eko yang selama dua minggu berada di Berlin yang saat itu temperaturnya berada di bawah nol derajat! “Kangen mamak,” kata Eko, anak Wakatobi yang tidak sabar ingin kembali ke tanah air dan kembali bermain di laut.


The Mirror Never Lies rencananya masih akan singgah dari satu festival ke festival internasional lain hingga akhirnya rilis dalam bentuk DVD. Next stop? Milano Film Festival! Setelah menonton 18 film selama 10 hari (9-19 Februari 2012), para juri Berlinale 2012 memutuskan Caesar Must Die (Cesare Deve Morire) dari Italia sebagai film terbaik. Film ini bercerita tentang pertunjukan teater Julius Caesar namun para pemainnya adalah tahanan penjara Rabibia di Roma. Para tahanan mengatakan setelah mereka terlibat dalam teater, mereka menyadari penjara benar-benar terasa seperti penjara. Charlotte Gainsbourg, aktris berdarah Inggris-Perancis yang menjadi salah satu juri Berlinale tahun ini, mengatakan para juri merasa mudah memutuskan film terbaik Berlinale. “Film terbaik adalah film yang secara mengejutkan mendapatkan nilai baik dari ke delapan juri,” tukas Gainsbourg. Film yang menerima Golden Bear tahun lalu adalah film Iran A Separation karya Asghar Farhadi yang telah memenangkan Golden Globe dan Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik tahun ini. Lalu, apa harapan sutradara Paolo dan Vittorio Taviani mengenai film mereka yang masuk dalam ajang penghargaan film prestisius ini? “Yang penting bagi kami adalah film ini telah membawa kami ke sebuah petualangan baru. Kami sangat senang bisa mendapatkan piala beruang emas!” seru kedua bersaudara berusia 81 dan 83 tahun ini. Kedua bersaudara ini selama berkarir telah menghasilkan film-film yang masuk nominasi seperti Fiorile (1993), The Night of the Shooting Stars (1982) dan Padre Padrone (1977) di Cannes Film Festival memperebutkan piala tertinggi Palme D’Or. Sementara aktris terbaik jatuh pada Rachel Mwanza dalam film Rebelle arahan Kim Nguyen. Ia memerankan Komona, seorang anak gadis yang

Best Moments! dipaksa menjadi tentara anak-anak saat perang saudara di Afrika. Piala Beruang Perak kategori aktor terbaik disabet Mikkel Boe Følsgaard sebaga raja yang agak “gila” di A Royal Affair (En Kongelig Affaere). Christian Petzold juga puas ketika namanya muncul sebagai sutradara terbaik Berlinale 2012.

Achievements • Golden Bear for Best Film: Cesare Deve Morire/ Caesar Must Die (Italy) by Paolo and Vittorio Taviani • Silver Bear for Best Director: Christian Petzold (Germany), Barbara • Silver Bear for Best Actress: Rachel Mwanza by Kim Nguyen, Rebelle • Silver Bear for Best Actor: Mikkel Boe Følsgaard (Denmark), A Royal Affair • Silver Bear for Best Script: Nikolaj Arcel, Rasmus Heisterberg (Denmark) for A Royal Affair • Silver Bear for an Outstanding Artistic Contribution/ Cinematography: Lutz Reitemeier (German), Bai Lu Yuan

• Robert Pattinson datang 30 menit lebih awal ke Berlinale Palast (Red Carpet) untuk menemui seluruh fansnya yang telah berjam-jam menunggu di udara dingin. Ia memberi tanda tangan dan berfoto dengan para fansnya. Sadar memiliki fan base yang besar di Indonesia, melalui Metro TV dia say hi ke semua fansnya di Indonesia. • Meryl Streep’s Press Conference was the best! Meryl mendapat waktu lebih lama dari konferensi pers film lain. Si penerima nominasi Oscar 17 kali ini bercengkerama dengan para wartawan. Berhubung saat itu Hari Valentine, tidak jarang para wartawan memberikan bunga pada aktris kawakan ini. Meryl, dengan gelak tawa lepas khas dirinya, juga menerima boneka Babooshka dari Russia yang bergambar wajah karakter yang ia mainkan di The Iron Lady dan The Devil Wears Prada.

085


vinyl junkies: adventures in record collecting Brett Milano “Makes me wish I’d kept my turntable.” -Steve Wynn, Musician Rp. 192.000,-

woodstock: three days that rocked the world

Tahun 1969, Woodstock menjadi sebuah event musik non-komersil yang menjadi penanda generasi itu. Woodstock menjadi ekspresi para kaum hippies. Ribuan orang memadati ladang luas Max Yasgur merayakan musik dan kebebasan. Tidak ada yang bisa menandingi euforia dan jumlah festival Woodstock hingga saat ini (walaupun beberapa festival musik mencoba untuk seperti itu, coba tebak festival lokal apa yang formatnya mirip). Buku ini memperingati peristiwa tiga hari itu. Telusuri halamannya dan temukan tentang Janis Joplin beserta keterlibatannya dalam band Big Brother & the Holding Company serta energinya yang besar dalam bermusik. Selain cerita mengenai musisi dan band, ada berbagai komentar

yang kurang penting tetapi bisa membuatmu mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan festival ini dari seorang yang bladder-nya kecil bahkan seperti apa udara yang mereka hirup di sana. Lalu, bagaimana Joe Cocker memainkan “With a Little Help from My Friends” di depan kerumunan terbesar yang pernah ia hadapi ketika awan yang gelap kemudian menghampiri mereka. But it was always the pictures that speak more than words. Dalam gambar-gambar yang disajikan, kamu akan

menemui potongan rambut khas 60-an dan histeria ribuan orang yang berkumpul di lapangan besar merayakan musik. Baca juga sejarahnya lewat timeline dan rumusan Facts and Figures Woodstock dalam angka. Kamu memang bukan bagian dari sejarah Woodstock. Tetapi kamu masih bisa merasakan kegilaannya lewat tuturan dan gambaran yang diulas secara detil dalam buku ini. Psst! Kamu juga bisa mengintip bagaimana look fashion yang otentik pada zaman 60-an itu.

reviewed by Jessica Hanafi. foto oleh Rizhky Rezahdy.

Edited by Mike Evans & Paul Kingsbury Foreword by Martin Scorsese Rp. 207.000,-

Nah, buku yang ini ditujukan untuk yang merasa kepingan CD biasa ‘doesn’t sound right, doesn’t look right, nor feel right’. Piringan hitam yang klasik seakan bisa menciptakan mood tersendiri sehingga pengoleksinya berani mengabaikan inovasiinovasi rekaman yang baru, lebih praktis dan murah sekalipun. Dalam buku ini, kolektor piringan hitam fanatik Brett Milano menuturkan bagaimana kecintaan akan musik menjadikan seseorang loyal pula terhadap artefak. Alasannya bukan karena mereka object-oriented. Bukan juga sekadar adiksi. Hmm... Lalu apa? Ia juga memaparkan bagaimana perilaku adiksi yang cenderung dilabelkan untuk para pengoleksi dalam paparan neuroscience. Tidak perlu bingung, karena semuanya dijelaskan lewat dialog dan contoh perilaku manusia umum. Tidak melepaskan esensi pelaku musik, ada juga paparan cinta pertama gitaris R.E.M. Peter Buck pada gadis penjaga toko piringan hitam, dan turntable itu sendiri, serta koleksinya yang ribuan (dan bukan hanya untuk dilihat). Hobi adalah preferensi individual yang menarik diperbincangkan. Suatu subjek akan semakin menarik jika ia bersifat seperti koin, punya dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi, penggemar dan musisi menganggap mengoleksi piringan hitam punya nilainya

sendiri. Suara lain menganggap para pengoleksi terlalu obsesif dan tenggelam dalam situasi yang tidak mempertimbangkan faktor X, kehidupan kencan misalnya. Komentar-komentar khas musisi dan pengamat yang eksentrik kadang juga terasa begitu witty. Kelucuannya sampaisampai membuatmu yang setuju dengan komentarnya mengangguk-angguk dan ingin segera berlanjut ke halaman berikutnya meski jelas ia tidak menarik dari segi bahan kertas dan visualisasinya juga kurang. Buku ini bisa menjadi referensi komplementer jika kamu bertanya-tanya mengapa piringan hitam mulai dipasarkan secara lebih terbuka beberapa tahun terakhir meskipun rasanya sudah bukan lagi masanya. By reading this book, you get to understand why vinyl records’ novelty never looses its way to some people. Tidak harus kamu percayai, sih.

BOOK MARKS george harrison: living in the material world Olivia Harrison Foreword by Martin Scorsese Introduction by Paul Theroux Rp. 460.000,-

090

Ini adalah buku yang patut menghiasi rak bukumu jika personel favorit The Beatles-mu adalah George Harrison. Well, sebenarnya tidak cukup jadi sekadar penghias. Buku ini sangat direkomendasikan karena ditulis oleh sang istri, Olivia Harrison, dan menjadi komplementer dari dokumenter berjudul sama yang disutradarai Martin Scorsese. Meskipun sering dikenal dengan ‘The quiet Beatle’, George Harrison tetap merupakan satu elemen penting dari The Beatles yang terlibat dalam euforia material world. Satu yang menarik, Paul Theroux dalam introduksi buku ini menulis, “He knew that he was living in the material world, but had he been so attached to it he would not have been able to look deeper into it.” Theroux lalu berbicara mengenai

pertemuan George dengan guru spiritualnya dari India, Ravi Shankar (yang juga ayah musisi Norah Jones), lalu tentang identitas George yang lekat dengan ketidakterikatan. Susah mendeskripsikan George ke dalam tiga bahkan satu kata. Ia susah dipahami dan hobi mencela dirinya sendiri sampai akhirnya di zona amannya sendiri, rumahnya, orang asing mencoba membunuh dirinya. Dalam buku ini, kamu dapat melihat kumpulan kutipan George dan kumpulan foto lama yang hitam putih. Kamu akan amazed dengan pernak-pernik yang masih tersimpan rapi seperti kartu pos George pada ibunya saat ia hitch-hiking dengan Paul McCartney di Exmouth. Ada juga surat personal yang ditulis George untuk saudarinya, Louise Caldwell, dengan kop Albany Hotel di Birmingham. Bisa ditebak bagaimana selera humornya. Tidak melupakan sisi ketenarannya, buku ini juga menyajikan halamanhalaman ‘belakang panggung’ pemotretan The Beatles. Halaman-halaman berikutnya bercerita paska ketenaran itu, saat George yang bintang Pisces ini mencoba ‘menemukan sisi lain dirinya’ dalam pengalaman spiritualnya di India.

Find the books at Aksara Bookstore.


Oleh: Jessica Hanafi.

Deer Trap

@polardeers http://www.polardeer.weebly.com http://www.facebook.com/polardeer

Item Trapper hat mungkin masih sedikit asing. Well, kalau sempat nonton penampilan Gugun Blues Shelter di Java Jazz Festival 2012, kamu mungkin melihat Jono, sang bassist, mengenakan item ini. Trapper hat mungkin kurang cocok untuk Indonesia yang iklimya tropis. Tapi Herald dan Rara yang percaya bahwa musik dan fashion adalah pasangan jiwa memang ingin brand Polar Deer mewadahi kebutuhan orang Indonesia yang doyan melancong ke luar negeri yang iklimnya dingin. Rara yang mendesain Polar Deer sempat ke Rusia dan saat musim dingin semua orang mengenakan trapper hat (ushanka). Semangatnya untuk mempopulerkan item ini semakin besar. Polar Deer menawarkan keunggulan tekstil, taste desain yang kuat, dan semangat indie. Pengerjaan dengan personalisasi memunculkan koleksi Hibernatanima (Hibernate Animal) yang sesuai dengan musim hujan di Jakarta akhir-akhir ini. Koleksinya berkesan hangat, yaitu dominasi faux fur dengan warna-warna dingin. Jika kamu membeli produk trapper hat ini, ada CD yang dikomposisi sendiri oleh Herald untuk mendukung suasana santai dan tenang. Sementara menunggu peluncuran produk mereka berikutnya, coba hibernasi dulu dengan konsep ini.

Grimes Visions 4AD

Pernah membayangkan bagaimana jika alien atau cyborg membuat musik pop? Di album ketiganya ini, Claire Boucher alias Grimes menunjukkan padamu bagaimana musik pop di masa depan. Dengan suara falsetto yang girlish seperti peri luar angkasa, bagi Grimes vokal merupakan instrument musik tersendiri yang menjadi ujung tombak dari musik berbalut synth, loop dan reverb layer ciptaannya. Kamu bisa menyebut lagu-lagu di album ini seperti “Genesis”, “Skins” dan “Vowels = space and time” sesukamu, entah itu witch house, synth-pop, avant-pop atau apa pun, tapi yang pasti Claire Boucher adalah salah satu musisi paling menarik di era “post-internet” saat ini. After all, it’s easier to love this album than to explain it.

Sleigh Bells Reign of Terror Mom+Pop

Nave Dengan desain elegan, bahan berkualitas dan fungsi yang jelas (yaitu pelindung gadget), Nave ingin mendapatkan hati para pecinta gadget sekaligus fashion. Untuk kamu yang mobile dan hobi menenteng iPad 2 untuk mendukung aktivitas sekolah atau kerja, kamu bisa mempertimbangkan iPad Case Denim milik Nave. Ia menggunakan materi dry stretched indigo, dengan sentuhan genuine leather di atasnya. Terdapat aksen jahitan dan embos logo Nave untuk mengesankan

SOUNDCHECK

penampilan minimalis yang cerdas. Nave menggunakan teknik buatan tangan dari para craftsmen profesional sehingga buatannya akan rapi dan inovatif. Priced at 349.000,-, ini jenis produk yang bisa kamu banggakan ketika presentasi klien @NAVEcase dengan iPad 2 kesayanganmu.

www.navecase.com

Lomography Society – Eastern Exposure Sedang mencari kamera lomo sekaligus ingin tampil beda dengan koleksi teman-temanmu? You better scan through this. Untuk merangkai koleksi Spring 2012, The Lomographic Society terinspirasi dari suasana Sahara. Kamu bisa menemui packaging Diana F+ Deluxe Kit dengan nuansa piramida kuno dan pohon palem di atas pasir yang dileburkan pada sentuhan klasik ala Diana F+. Nah, paket kamera Diana F+ ini juga dipercantik dengan wadah kamera berbahan kulit, bahkan tempat khusus flash, juga lens cap Sahara. Para pendatang baru dalam dunia ‘don’t think, just shoot’, juga bisa lekas memulai perjalanan fotografinya dengan buku panduan Diana F+ legendaris. Dengan desain yang tidak norak atau terlalu polos, kamu tidak akan pernah memisahkan si lomo dengan tasmu. www.lomonesia.co.id

Salah satu pertanyaan besar yang pasti muncul di benak siapa pun yang pernah mendengar musik duo noise pop bernama Sleigh Bells ini adalah bagaimana bisa vokal pop Alexis Krauss menyatu dengan nyaman dalam gempuran heavy metal sample dan cabikan gitar hardcore dari Derek Miller, formula itu hadir kembali di album kedua ini. Jika mayoritas lagu di debut mereka, Treats, adalah ciptaan Derek sebelum Alexis bergabung, di Reign of Terror mereka memiliki porsi yang sama dalam hal produksi. Mendengarkan lagu-lagu seperti “Comeback Kid”, “Born to Lose”, “D.O.A” dan “Leader of the Pack” masih membangkitkan adrenaline rush berkat guitar-oriented riff yang fist-pumping dan sesekali dihiasi suara pekikan cheerleader.

Goldfrapp The Singles Parlophone Dari awal terbentuk tahun 1999 lalu, Alison Goldfrapp dan Will Gregory selalu membawa sensibilitas artistik ke dalam musik pop dan tanpa ragu berkesperimen dengan berbagai genre sepanjang diskografi mereka, mulai dari electro-glam, ambient, folktronica, cabaret dan synth pop. The Singles merupakan rangkuman single-single juara dari 5 album yang telah duo asal Inggris ini hasilkan. Hampir semua lagu andalan mereka seperti “Number 1”, “Ooh La La”, “A&E” dan “Black Cherry” ada di sini, plus dua lagu baru yaitu “Melancholy Sky” yang menjadi lead single kompilasi ini dan “Yellow Halo”. Sebuah showcase menarik dari perjalanan musikal mereka sembari menunggu album keenam nanti.

0 8 7

Oleh: Alexander Kusuma Praja.

get this


Q&A

Mana yang lebih dulu muncul, bukunya atau single “Danur”? Apakah mereka saling berkaitan? Single “Danur” sudah dibuat jauh sebelum saya mulai menulis Danur. Arina sudah jauh hari merekam suaranya di studio sebelum pindah ke Amerika, sementara saya saat itu berhalangan karena infeksi pita suara. Kondisi suara saya pulih beberapa bulan belakangan, dan barulah saya merekam suara untuk single ini. Kebetulan momennya pas dengan perilisan buku Danur, dan tema liriknya sendiri memang diangkat dari salah satu kisah dalam Danur yaitu “Sarah dan Jane”. Voila! Jadilah single ini saya beri judul “Danur”, sebagai pelengkap buku dan pemanasan Sarasvati menuju album berikutnya. Apa bagian paling sulit saat menulis buku ini? Saya agak kesulitan saat mengorek tentang “Nippon” (tentara Jepang), karena sahabat-sahabat saya enggan dan malah cenderung marah saat menyinggung kata “Nippon”. Ssssh... saya tak pernah membiarkan mereka membaca buku ini.

Risa Saraswati

Kalau kamu kebetulan adalah follower Risa Saraswati di Twitter, kamu pasti tahu jika saban malam Jumat, singer-songwriter yang juga berprofesi sebagai PNS ini kerap tweeting tentang pengalaman mistis yang ia alami. Yup, Risa memang salah satu orang yang memiliki bakat melihat dan berkomunikasi dengan “mereka” yang tak tertangkap mata kebanyakan orang, satu fakta yang sudah diketahui umum sejak Risa dengan nama Sarasvati merilis album Story of Peter dengan penampilan live yang kerap dibumbui gimmick mistik. Sembari menunggu materi album kedua, baru-baru ini ia merilis single berjudul “Danur” yang menghadirkan guest vocal dari Arina Mocca dan menulis buku memoir berjudul sama. Lewat Danur yang diterbitkan oleh Bukuné ini, ia menceritakan kisah persahabatannya dengan hantu-hantu anak Belanda sejak ia kecil sampai sekarang plus berbagai cerita lainnya yang dapat membuatmu tersenyum, sedih dan tentu saja, merinding. ALEXANDER KUSUMA PRAJA. FOTO: MARISCA SURAHMAN Ada rencana menulis buku lagi? Di Twitter banyak yang minta buku ini difilmkan, mungkinkah? Saya nggak mau terlalu memaksakan untuk tetap menulis jika memang sedang tidak ada ide untuk menulis. Untuk saat ini saya masih mau fokus ke album Sarasvati dulu. Untuk masalah film, saya sempat bertanya kepada “mereka” karena sebelumnya memang sudah ada seseorang yang menawarkan Danur diangkat ke layar lebar, “mereka” menjawab: “Cukup Risa, jika hanya tulisan kami tak peduli karena kami tak akan membacanya. Tapi jika dijadikan film, mau tak mau kami akan melihatnya, dan itu hanya akan mengorek luka hati kami.” Keputusannya, kami menolak memvisualisasikan isi Danur ini ke layar lebar.

Baru-baru ini kamu bikin video untuk lagu “Story of Peter” dari album pertama, kenapa baru sekarang? Sejujurnya, Sarasvati adalah band modal dengkul, hihi. Kami tak cukup mampu mendanai sebuah video klip. Untuk “Story of Peter” sendiri akhirnya saya ikut terlibat setelah seseorang baik hati menawari konsep yang menurut saya sih asik, ya sudah kesempatannya baru datang sekarang. Yang paling menyenangkan dalam proses syutingnya adalah lokasi yang dilakukan di sekitar rumah tempat saya dan Peter cs bertemu. Bisa dibayangkan bukan bagaimana hebohnya “mereka” berlarian ikut campur saat syuting kemarin? Hihihi.

Mixtape:

marcel thee Tindersticks “Let’s Pretend” Melancholy without the sappy-nes; Baroque for drunken men. Bedhead “The Rest of the Day” Lagi, satu dari sekian karya emas band asal Texas ini dari album kedua terbaik mereka. Intensitas dalam kedewasaan. Jauh lebih menghantui dari band-band rambut gondrong bertato dengan 10 pedal distorsi. Flying Saucer Attack “Soaring High” Bising yang hipnotik. European pop dalam bentuknya yang paling atraktif. A Silver Mount Zion “13 Angels Standing Guard ‘Round the Side of Your Bed” Glorious sounding sadness.

Marcel Thee adalah salah satu orang dengan sejuta kesibukan yang berhubungan dengan musik. Selain dikenal sebagai frontman Sajama Cut dan Roman Catholic Skulls, Marcel juga disibukkan dengan website miliknya Cultural Glitch yang juga dimuat di web Jakarta Globe, sebuah record label The Bronze Medal Recording Company dengan artist roster meliputi Sigmun dan Jirapah, merilis limited merchandise lewat clothing line miliknya, European Porn, dan masih menyempatkan bermain dengan anaknya, Anio Thee. “Sajama Cut lagi hibernasi dulu untuk sekarang. Kalau Roman Catholic Skulls akan merilis versi fisik dari “Weathered” yang kemarin dirilis online secara free, via label asal Jerman, Siko Records. Kami juga sedang memproduksi album kedua yang bernuansa ambient-gospel.” cetus Marcel tentang kegiatan bermusiknya. Ternyata itu baru sebagian kecil, karena ia langsung melanjutkan, “Proyek musikal gue cukup banyak. Gue baru merilis proyek Strange Mountain via label Denmark A Beard of Snails Records. Itu proyek drone-atmospheric gue sendiri. Gue juga akan merilis album debut solo gue sebentar lagi. Selain itu, gue juga ada proyek musik dengan Ken dari Jirapah, Gonzo dari Duck Dive, dan Adrian Adioetomo. Semoga ketiganya bisa dirilis tahun ini juga. Gue juga akan memproduksi album debut Eric dari Deathrockstar.” Dengan dedikasinya yang begitu besar dalam bermusik, tak salah kami memilihnya untuk membuatkan mixtape di Music Edition kali ini. “Sekarang ini lebih sulit untuk meluangkan waktu mendengarkan musik, kecuali dalam perjalanan, baik mobil, motor, ataupun kendaraan lainnya. Mixtape ini cocok untuk perjalanan-perjalanan panjang tersebut. Yang pasti, ini bukan lagu-lagu disposable yang bisa cuma jadi aural wallpaper. Butuh dedikasi; seperti karya-karya seni yang terbaik.” ungkapnya tentang mixtape berjudul “Songs to drive at night with” ini. ALEXANDER KUSUMA PRAJA.

Rex “Ride Home” Lagu dan album yang lebih dari cocok untuk perjalanan pulang panjang di jalanan tanpa akhir. Guided By Voices “Man Called Aerodynamics” Band favorit dengan satu dari ratusan emas di katalog lagu mereka. Dead Can Dance “Fortune Presents Gifts not According to the Book” Like catching a glimpse of your previous lives. Earn “Only Black Out” Instant classic yang perlu diresapi semua orang yang mengaku penggemar musik. Rachel’s “An Evening of Long Goodbyes” Album underrated dari band yang underrated. Dingin dan hangat pada saat yang sama. Golden Pawn “Workers Lament” Ambient yang menggambarkan bunyi jalanan. Cocok untuk akhir jalan yang panjang.


art attack:

erica iris simmons

“It’s not what you have but it’s how you use it.” tukas Erika Iris Simmons tentang prinsipnya dalam berkarya. Seniman yang berdomisili di Princeton, New Jersey ini membuat seri experimental artwork berupa siluet ikon-ikon terkenal seperti Jimi Hendrix, The Beatles, Audrey Hepburn hingga Robert Smith dengan media pita kaset dan roll film usang. “Ketika saya mulai bereksperimen membuat artwork, saya tidak punya banyak uang, jadi saya mulai menggeledah isi rumah untuk mencari barang-barang yang bisa digunakan untuk membuat composite art pieces. Suatu hari ketika hendak berangkat kerja, mata saya menangkap tumpukan kaset yang tergeletak di atas kanvas dan tiba-tiba saya punya ide memakai kaset-kaset tersebut untuk menciptakan gambar.” ungkap wanita berumur 28 tahun ini. “Saya berpikir, ‘What ghosts could be hiding in those machines?’ Saya menarik seutas pita kaset lalu pita itu tergulung dengan indah dan mengingatkanku akan rambut Jimi Hendrix, itulah karya pertama saya.” lanjutnya tentang proyek yang kemudian diberi nama “The Ghost in the Machine” ini. Erika yang mengaku mulai membuat artwork sejak tahun 2008 karena terinspirasi oleh Ken Knowlton ini awalnya membutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk membuat satu karya namun seiring waktu ia kini sudah jauh lebih cepat dalam menyelesaikan sebuah karya. “Yang harus kamu lakukan hanya menggunting pita untuk membuat berbagai detail lalu menempelkannya sesuai sketsa. Terkadang saya juga membuat karya tanpa harus menggunting pita, semua tergantung apa yang saya rasa cocok untuk sebuah karya.” ungkapnya. Selain seri “The Ghost in the Machine”, saat ini ia juga bereksperimen membuat sculpture besar dari jaring pancing yang dibentuk sedemikian rupa hingga terlihat seolah ada putri duyung tak kasat mata yang tertangkap jaring itu. “Saya gemar mengeksplorasi ide tentang ‘full void’…bagaimana ruang yang terlihat kosong sebenarnya justru dipenuhi kehidupan.” tandas Erika yang banyak terinspirasi dari berbagai audiobook yang ia dengarkan saat berkarya. Apa pekerjaan lain yang ia lakukan di luar seni? “Well, kalau saya tidak sedang membuat seni, saya bekerja paruh waktu sebagai waitress di sebuah restoran. It’s a good life.” ALEXANDER KUSUMA PRAJA.

http://www.iri5.com

RE

AD

TH

IS

!

http://primitifzine.net

Primitif Zine Dulu, saat internet belum semaju sekarang, para penggemar musik yang ingin membagi pemikiran atau menulis tentang band yang mereka suka, berekspresi dengan cara membuat fanzine, yaitu sebuah majalah atau pamflet dengan isi mulai dari review band atau gig keren yang underrated, komik, artikel ringan hingga yang bermuatan politis dan perlawanan yang dibuat dengan semangat Do-It-Yourself, diperbanyak dengan mesin fotokopi lalu dibagikan gratis di gig-gig lokal. Sekarang kita bisa melakukan semua itu dengan mudah di internet berkat beragam social media dan blog, sehingga keberadaan fanzine semakin sedikit walau tak pernah benar-benar lenyap. Salah satunya adalah Primitif Zine, sebuah fanzine buatan beberapa alumni UI yang sedang bosan dengan pekerjaan kantoran mereka. “Ada dua motif utama kenapa kami bikin Primitif Zine ini. Pertama, karena kami jenuh dengan review & feature musik yang straightforward tanpa variasi dan yang kedua karena kami ingin bikin satu produk fisik yang isinya adalah dokumentasi

musik dalam perspektif primitif.” terang Abdul Manan, salah satu editor dari zine berawak delapan orang ini. Seperti yang bisa diharapkan dari sebuah zine, Primitif yang sudah sampai edisi ke-5 ini dipenuhi review musik dan artikel-artikel yang cenderung nyeleneh namun serius dengan gaya bahasa yang menyentil dan kritis. Selain dibagikan gratis di berbagai gig, kamu bisa mengunduh versi PDF-nya di web milik zine yang baru-baru ini menggelar gig intim bernama Primitif Gig sebagai showcase band-band keren underrated seperti Bungabel, Vague dan Siaran Langsung. Manan pun mengungkapkan kepuasan yang didapat dari membuat zine, “Kami senang kalau pesan yang ingin kami sampaikan bisa dipahami. Di balik itu kami ingin ngajak orang untuk menertawakan diri sendiri, karena hanya dengan itu scene atau kultur lokal kita bisa berkembang, karena guyonan itu kami tawarkan sebagai kritik yang konstruktif. Selama orang bisa tertawa bersama kita, kami merasa sudah mencapai oplah ribuan.” ALEXANDER KUSUMA PRAJA.


en route:

club med Mulai dari air warna toska di Riviera hingga gunung bernapaskan api, Turki tampak menakjubkan dari segala arah Oleh Victoria de Silverio.

SAYA MENEMUI NAMA-NAMA khas death metal-diantaranya Volkan, Serkan, Vahit di malam pertama saya di Istanbul. Meski mereka manis dan membelikan saya bir, nama mereka seakan kaku dan megah mewakili penjara bawah tanah, tanduk, dan hutan yang beku. Saya menanyakan apakah mereka punya ide tempat yang harus dikunjungi di Turki selama perjalanan panjang saya ini dan saya sempat keceplosan menyebutkan oil wrestling. Olive oil wrestling adalah olahraga nasional yang dilakoni laki-laki yang memakai calfskin lederhosen (semacam leather pants yang terbuat dari kulit anak sapi) di lapangan. Tetapi tampaknya menanyakan hal itu kepada beberapa seniman adalah suatu kebodohan. “Pertanyaan itu seperti ketika seseorang datang ke New York dan menanyakan ‘Mana rodeonya?’” kata salah seorang dari mereka. Jadi, saya pun beralih ke camel wrestling. Saya mengacu pada foto yang pernah saya lihat, yaitu binatang dengan leher terjerat dan berlomba-lomba meraih unta perempuan di sisi penonton di tengah panasnya cuaca. “Maaf, negara yang keliru. Mungkin sebaiknya Anda pergi ke Arab?” salah satu dari teman mereka nimbrung. Ouch.

Foto oleh Victoria de Silverio.


ADDRESS BOOK

breakfast

Di Turki, santapan pertama pembuka hari bukan hanya sangat penting tetapi suatu bentuk seni. Dan sarapan terbaik di Olympos adalah Olympos Lodge. Jalanlah menuju pantai sampai kamu menemukan jalanan berkayu menuju taman dengan hammocks dan fire pit, dan rasakan nikmatnya porsi besar buah olive, telur, roti, mentega, selai dan madu, tomat, timu, keju, yogurt, daging, dll. Untuk reservasi telpon sehari sebelumnya dan minta berbicara dengan Aysen dan Ziya. olymoslodge.com

HALAMAN INI, SEARAH JARUM JAM DARI KIRI: gereja yunani yang terbengkalai di kota hantu Kayaköy; burung asli Pigeon Valley di Cappadocia; Tea for Two; Little gods dan whirling dervishes.

OPPOSITE PAGE: Kastil-kastil dan gua-gua yang sureal di Cappadocia.

Hari berikutnya, saya berharap melepaskan atribut “A” untuk “Amerika” di dada saya. Saya beralih ke Google. Dua hari kemudian, saya menerima email dari seorang pria bernama Asif. Ia tidak hanya tahu di mana lomba wrestling yang sedang berlangsung sekarang tetapi juga menginformasikan unta mana yang menang kontes kecantikan. Seharusnya saya dan Asif bisa merencanakan untuk bertemu tetapi saya sudah punya rencana untuk pergi ke selatan Olympus, sebuah desa Mediterania dengan rumah pohon, eternal flames, dan sudut yang konon merupakan tempat bertemunya Zeus dengan para bidadari. Satu jam perjalanan membawa saya ke Antalya, yang terletak di sepanjang coastal region di Turki. Saya naik mini-van bersama beberapa orang dan menuju ke barat. Saya menyusuri pantai dan menemukan gunung yang diselimuti pohon pinus dan pantai penuh kerikil dengan airnya yang berwarna toska. Beberapa domba yang diikat dan café pinggiran menyuguhkan jus delima yang segar dan black tea dengan gula berbentuk kotak. Saat itu adalah awal bulan November sehingga musim turis akan segera berakhir. Saya pun memilih pansiyonlar di jalan satu-satunya Olimpus. Di sana terdapat rumah pohon dari kayu dan kabin yang beberapa diantaranya lebih reyot daripada lainnya. Ada juga kumpulan alas duduk untuk makan di pinggir api unggun. Saya berhenti di Doa dan menjumpai tiga orang perempuan duduk memotong sayuran di semak belukar. Anak laki-laki mereka yang bisa berbahasa Inggris menunjukkan kepada saya kabin kecil yang berlantai kayu dan beralas seprei motif mawar. Aliran sungainya yang menuju ke arah laut, reruntuhan kuil yang elegan dan sarkofagus yang tertimbun di ladang anggur merupakan peninggalan Romawi yang menguasai mereka pada abad kedua. Matahari sudah tenggelam dan gunung yang dahulunya berwarna ungu itu seakan menaungi pantai yang kini berwarna biru itu. Dua orang turis Jerman muncul dari air lalu mengenakan pakaian mereka dan bergabung dengan seorang laki-laki berambut gelap dan bergelombang dengan jaket motor. Sedikit jauh dari situ, ada pasangan yang lebih tua melambaikan tangan pada saya dan menawarkan yogurt dengan garlic, mentimun dan roti pita yang hangat. Saya berada di Olympos Lodge yang ternyata pemiliknya adalah Aysen,

paraglide

laki-laki pasangan itu. Aysen membuka tempat itu sejak 25 tahun lalu dan sekarang menjadi tempat yang hip di area itu. Charlize Theron dan Tom Hanks sempat bermalam di sana, tapi bukan berbarengan. Saya melanjutkan perjalanan saya di area trekking yang menanjak ke Yanarta. Ada api yang disemburkan dari gunungnya. Rembesan metane adalah adalah penjelasan yang membosankan tetapi menjadi teori yang lebih masuk akal daripada mitos pahlawan Yunani yang membunuh Chimera, singakambing-ular yang bernapaskan api. Kobaran apinya adalah rambu bagi pelaut zaman dahulu dan sekarang para traveller menggunakannya untuk memasak teh. Setelah dua jam, saya akhirnya mencapai puncak. Saya bergabung dengan grup dengan beraneka aksen dan mulai menyusun tenda untuk camp dan saling mengoper botol wine. Hari berikutnya saya meneruskan ke barat ke Ölüdeniz untuk berenang di danau biru elektrik dan paragliding dari gunung tertingginya. Setiap tempat punya cerita tersendiri. Orang-orang di Xanthos mengobarkan api ke acropolis, di kuil Letoön yang diambil alih kawanan kodok dan terrapins, sedangkan Patara adalah kota yang terbakar separuh tempat lahirnya Santa Claus. Terakhir ada Kayaköy yang diabaikan oleh penduduk Yunani di tahun 1920 dan sekarang menjadi kota seram dan berhantu. Langit tidak berawan dan matahari bersinar sangat terang ketika saya sampai di Orange Butik Hotel. Wastafelnya saya jadikan mesin cuci dan balkonnya saya jadikan jemuran. Cardigan putih saya sudah berbau dan tampak seperti asbak dan T-shirt yang biasa saya kenakan ternoda darah di belakangnya akibat pertemuan saya dengan perempuan hammam yang

Para pemula dan veteran datang dari berbagai belahan dunia ke Olüdeniz, di bagian barat daya Turki untuk paraglide dari Gunung Babada. Kondisi cuaca ideal dan pemandangan dibawahnya-bukit, pulau, laguna- sangat fenomenal. Beroperasi sejak tahun 1994, Focus Tours adalah yang terlama. Carilah direktur Kudret atau pilot Jay. focusparagliding.com

hot-air balloon

Digerakkan oleh propane, fisika dan imajinasi, perjalanan hot-air ballon adalah hal klasik. Dam do Cappadocia, mereka menawarkan pemandangan luarbiasa. Royal Balloons yang indah akan membawamu mengambang di atas gunung-gunung yang seakan meleleh seperti lukisan Dali, mengajakmu terbang rendah untuk mengintip isi gua, dan mengakhiri perjalanan dengan segelas sampanye. royalballoon.com

travel atelier

Dengan banyaknya millennia dan invasi dan agama untuk dirangkum, akan lebih susah mempelajari sejarah Cappacodia dibandingkan geografinya yang luar biasa. Dan jika menyewa seorang pemandu mungkin pengalaman baru, hal ini adalah pengalaman yang menyenangkan dan hanging out dengan Ismail dari Travel Atelier tidak hanya informatif, tetapi seru. Ia mempunyai berbagai cerita menakjubkan dan lebih penting lagi, bisa memberitahu kamu dimana dapat menemukan whirling dervishes (penari Turki dengan tarian khasnya yang berputar-putar). travelatelier.com

STAy Dog˘a Pansiyon

Kabin cute berwarna oranye di Olympos. dogapansyion.com Orange Butik Hotel

Hotel kecil dengan balkoni dengan pemandangan laut di pantai Olüdeniz. orangeboutiquehotel.com Argos

Hotel di gua Cappadocia yang dreamy dengan terowongan bawah tanah rahasia. argosincappadocia.com Kale Konak

Hotel yang homey dengan kamar-kamar gua dan hamam di Cappadocia. kalekonak.com


en route:

92

BELOW: a paraglider pondering the summit near ölüdeniz before jumping; RIGHT:sundown at olympos beach.

terlalu bersemangat dan sarung tangan sandpaper-nya. Mission accomplished! Saya pergi ke pantai untuk menemukan siapa yang bisa mendampangi paragliding pertama saya. Saya memilih Jay, laki-laki Turki yang tinggi dan kokoh yang telah terbang selama 19 tahun tanpa tabrakan. Yang lebih impresif adalah gaya hidupnya yang hanya diisi bekerja selama enam bulan dalam setahun. Saya berada di truk bersama dengan pilot Austria berusia 80 tahun dan dua laki-laki Jepang yang wajah cemasnya mengingatkan saya bahwa yang akan saya lakukan ini berpotensial fatal. Ketika menuju Gunung Babada, ban mobil tua itu tergelincir di antara jalan penuh kerikil yang sempit tanpa pagar pembatas. Sesampainya di puncak, di ketinggian dua kilometer, cuaca berubah sedemikian cepatnya. Saya diminta mengenakan jumpsuit, sepasang sepatu dan diberi instruksi singkat untuk meluncur di antara awan. Kala melewati laut ke arah pantai, otak

saya tidak mampu menjelaskan mengapa saya sangat rileks padahal saya bergelantungan di udara. Meskipun euforia itu dirusak dengan bau asap, yang baru saya sadari berasal dari pilotnya yang kecanduan nikotin. Saya meninggalkan laut dan pasir dan melanjutkan perjalanan saya ke bagian tengah Turki ke Cappadocia, sebuah tempat yang terdengar seperti surga di romansa Harlequin tapi lebih serupa dengan Mars. Jutaan tahun lalu, volkano membanjiri tanahnya. Angin dan hujan terus membantu untuk menjadikan lava dan abunya membentuk onggokan emas yang fantastis. Diantara cairan pegunungan, pilar dengan sumbat segitiga tampak seperti jamur yang tinggi. Ada kemiripan yang luar biasa dengan apa yang disebut masyarakat setempat sebagai “Love Valley”. Sejak Bronze Age, penduduk

telah memanfaatkan bebatuan lunak, mengukir gua, kastil, gereja, dan membuat sembilan cerita mengenai kota bawah tanah. Beberapa tahun terakhir, sarang-sarang bawah tanah telah diubah menjadi rumah magical dan boutique hotels yang indah. Seorang bernama Volkan lainnya, yang lebih muda, tampak bosan, dan cemas, bekerja di sebuah bar di Argos hotel sebagai guest relations. Ia memikat dan tampan serta tak menyembunyikan sesuatu. Setelah shift-nya, ia memperlihatkan labirin rahasia dengan terowongan yang menghubungkan hotel dengan kastil. Begitu menjumpai udara, kami memanjat di sebuah batu besar di tepi jurang di mana ia menggamit tangan saya layaknya Leonardo DiCaprio pada Kate Winslet di Titanic. Saya tahu saya bukan Rose yang pertama. Saya terbangun saat subuh di sebuah hot-air balloon, aktivitas yang saya dulu kira lebih cocok untuk orang tua. Tak ada yang lebih baik dari membuat tempat berhalusinogen terasa surreal. Sekembalinya di daratan, seorang pemandu bernama Ismail membawa saya ke Gröeme, di mana orang-orang Kristen menyucikan batu monolit untuk membuat gereja sekitar 1200 tahun lalu. Gereja itu tampak seperti rumah-rumah Flinstone dari luar, interiornya dihiasi dengan lukisan dinding bergambar Yesus, para rasul dan orang-orang kudus dengan corak permata. Fakta bahwa sebagian besar gambar wajah dan mata mereka digores oleh para perusak menambah sensasi misterinya.


on stage: architecture in helsinki

Para personel multi-talenta Architecture in Helsinki berhasil membujuk ratusan orang menikmati panasnya malam Minggu dengan berdansa! Oleh: Sandi Eko. Foto oleh: Muhammad Asranur.

the great escapee SABtu Sore tANGGAl 10 Maret 2012 lalu, tampak beberapa anak muda sudah menunggu di lobby Fairgrounds, menunggu kedatangan para personel band synth-pop asal Australia, Architecture in Helsinki. Namun tidak seperti kebanyakan artis atau musisi internasional yang kerap disambut dengan histeria dari penggemarnya, Architecture in Helsinki disambut dengan cara lebih tenang. Pikir saya, mereka sedang memberi ruang kepada para idolanya untuk bersiapsiap sebelum melakukan pertunjukan pada malam harinya. Seperti yang kita ketahui, mereka memang baru saja tiba dari Singapore dan langsung mengadakan show terakhir dari bagian tur dunia yang kebetulan diadakan di Jakarta. “Gue suka sama mereka… Nih!”, seru Angkuy dari Bottlesmoker sambil memperlihatkan t-shirt yang disandarkan di pundaknya pada selasela sesi soundcheck. Kala itu ia memang nampak sedang bergegas meminta tandatangan kepada para personel Architecture in Helsinki. Bottlesmoker bertugas membuka seluruh pertunjukan. “love Saturday”, “Vagabond”, dan single terbaru berjudul “Boredom and Freedom” adalah sebagian track elektronika yang duo Bottlesmoker mainkan malam itu. Bak Moby yang muncul bersama

kepala suku Sioux yang terjebak di masa depan dan menemukan instrumen musik nan canggih, Angkuy dan Nobie berhasil memanaskan orang-orang yang baru berdatangan. Walaupun sepanjang tahun 2011 hingga kedatangan mereka di Jakarta kemarin merupakan rangkaian tur yang amat panjang dengan jadwal cukup padat di puluhan kota di dunia, penampilan Architecture in Helsinki malam itu begitu energetic dan nyaris tanpa cela. Para personel Architecture in Helsinki bagai para pekerja yang begitu mencintai profesinya tanpa kata lelah. Gerakan tubuh mereka malam itu mengingatkan kita pada tarian yang sering dilakukan oleh para musisi dari scene disko era 80an. Setelah Bottlesmoker turun panggung dan dilanjutkan beberapa menit aksi DJ Imam Darto, gitaris Jamie Mildren mulai terlihat memasuki arena panggung disusul para personel

Architecture in Helsinki yang lain. “Dessert Island” digarap sebagai lagu pembuka, otomatis ratusan pemuda yang sebagian sudah menanti dari sore itu mulai menggerakkan badannya mengikuti beat lagu. “Contact High”, “Do the Whirlwind”, “that Beep”, “Hold Music”, “W.o.W” dan “Souvenirs” yang jarang mereka mainkan secara live tak ketinggalan dibawakan malam itu. Histeria penonton semakin menjadi-jadi ketika hits wajib “escapee” mereka garap. tak lama berselang, lagu “that Beep” begitu menyedot perhatian oleh aksi koreografi seluruh personel Architecture in Helsinki yang mengagumkan. Hadiahnya, tentu saja tepukan tangan dan teriakan dari para penonton Fairgrounds. Selain rajin berdansa, para personel Architecture in Helsinki membuktikan kepada semua yang hadir malam itu bahwa mereka adalah orang-orang dengan bakat brilian. Di kebanyakan lagu, secara random Kellie Sutherland, Jamie Mildren, Gus Franklin, dan Cameron Bird seringkali kedapatan bertukar instrumen musik. Hal yang jarang ditemui pada konser band-band lain. Yeah, they’re truly architects!


One on One: the pains of being pure at heart

Kip Berman dari The Pains of Being Pure At Heart adalah contoh anak baikbaik yang tampil keren dengan caranya sendiri. Oleh: Alexander Kusuma Praja. Foto oleh: Muhammad Asranur.

the cool kip Kip Berman, voKalis dan gitaris The pains of Being pure at Heart, terbiasa hidup dalam dikotomi. saat masih sekolah dulu, ia mendengarkan nirvana, The exploding Hearts, sonic Youth dan rajin mendatangi acara-acara punk namun selalu menyempatkan diri untuk belajar dan membuat pr. Kini, pemuda kurus yang dulu mengenakan celana khaki di gig punk dan menggambar simbol anarki di meja sekolahnya ada di depan saya sebagai frontman salah satu band indiepop paling menarik saat ini. peggy Wang (keyboardist), alex naidus (bassist) dan Kurt Feldman (drummer), personel lain dari band asal Brooklyn ini masih melakukan sound check, menyisakan Kip sendirian untuk menghadapi rentetan interview hari itu. Wajahnya terlihat lelah namun senyumnya langsung mengembang saat saya menghampirinya di ruang kecil di dalam Balai sarbini, tempat yang menjadi venue penampilan pertama mereka di indonesia. Terlepas dari hujan deras disertai petir hari itu, ia mengaku sudah menikmati segelas kopi dan beberapa donut, jadi “So far so good,” jawabnya sambil tersenyum saat saya menyapanya. rutinitas interview dan touring ke berbagai kota di dunia jelas bukan sesuatu yang mereka targetkan saat mulai bermain musik bersama sejak tahun 2007 lalu, Band ini terbentuk dengan spontan saat alex dan Kip ingin merayakan pesta ulang tahun peggy dengan tampil di sebuah gudang pabrik di Brooklyn, di mana mereka menyanyikan 5 lagu dalam durasi 10 menit

094

saja. Dari situ mereka mengajak Kurt, teman sekamar Kip untuk mengisi posisi drummer dan mulai tampil di berbagai gig-gig kecil. nama The pains of Being pure at Heart mungkin terdengar seperti nama band emo, namun pada kenyataannya band ini kerap dicap sebagai musik twee dengan referensi dari my Bloody valentine dan band-band C86. mereka jelas bukan yang pertama membuat kembali musik-musik bermelodi pop dengan reverb dan noise di sana-sini, namun berkat lagu-lagu seperti “Contender”, “everything With You” dan “The Tenure itch” yang terdapat di self-titled debut mereka dan fakta jika keempat anak ini berasal dari amerika serikat di mana twee adalah sesuatu yang undetected, membuat mereka mempunyai nilai lebih yang akhirnya membuat pitchfork menobatkan mereka sebagai The Best New Music. Thanks to the internet, nama mereka kini tak hanya dikenal anak-anak hip di new York saja, tapi juga seluruh dunia. Band yang awalnya harus menempuh perjalanan jauh ke Tallahassee hanya untuk tampil di depan penonton berjumlah lima orang di sebuah toko sandwich kini menjadi headliner untuk festival musik sekelas Coachella, sXsW, summer sonic dan menghabiskan banyak hari di kota-kota asing yang tak pernah didatangi sebelumnya dalam rangka tur album kedua mereka, Belong. “apa yang saya nikmati dari tur? Hal yang paling dasar tentu saja berpergian itu sendiri,” ujar Kip, “seperti Jakarta misalnya, ini adalah salah satu

tempat di dunia yang mungkin tak bisa saya datangi jika saya mempunyai pekerjaan reguler. saya memiliki kesempatan untuk bertemu orang-orang menarik di berbagai penjuru dunia yang menyukai hal-hal yang saya sukai juga lewat musik.” lanjutnya sambil kemudian menyebutkan tiga hal yang paling ia rindukan di rumah, which are laundry, his girlfriend dan masakan ibunya. “saya tidak minum alkohol sebelum tampil, beberapa orang merasa lebih nyaman jika mereka minum dulu sebelum show, tapi saya ingin menampilkan sisi terbaik saya yang bisa ditunjukkan dalam setiap show. Biasanya saya hanya mondar-mandir di sekitar venue atau bermain scrabble di ponsel saya bersama personel lainnya.” ungkapnya saat saya bertanya tentang preshow ritual. suatu pernyataan menarik dari vokalis yang menyanyikan banyak lirik patah hati berbau teenage angst seperti “You’re taking toffee with your vicodin, something sweet to forget about him,” di lagu “Young adult Friction” dan baru-baru ini merilis ep berjudul Acid Reflex yang berisi 4 lagu dari album Belong yang di-remix oleh saint etienne, Twin shadows, violens dan Washed out. “Tapi setelah show, biasanya saya pergi minum-minum bersama orang-orang yang datang ke show saya.” lanjutnya. Well, either its beer or just milkshake, Kip adalah sesosok teman minum yang asik untuk membicarakan musik indie atau anarkisme.

Thanks to Ardy Chmbrs for this interview opportunity.


Di antara sekian musisi, sensasi, singer/songwriter yang didatangkan untuk konser di indonesia, mungkin nama kina Grannis paling tidak familiar. kina Grannis cukup populer di jalur publikasi yang dipilihnya, situs youtube. com. Meski begitu, ia bukan musisi asal-asalan. Pada event ismaya Live “in Your arms” World tour 2012 di Pizza e Birra, Plaza indonesia, terbukti ia memiliki penggemar tersendiri. Memulai show akustiknya pada pukul 21.35, kina menyapa sekitar 300 penonton dengan “the World in Front of Me” dan “strong enough”. Di lagu “the One to say Goodnight to”, spontan penonton clapping hands menemani iramanya. “This is the best singing and clapping ever,” serunya. kina membuat penonton singalong dengan aransemen akustik “Oops! i Did it again” milik Britney spears. Dilanjutkan dengan “this Far”, “Heart and Mind”, “Valentine”, “Message From Your Heart”, “stay Just a Little”, dan encore cover taylor swift ft. the Civil War, “safe and sound” yang meraih 247 ribu views. nYLOn sempat berbincang dengan penyanyi pemalu ini:

a delicate voice The world in front of Kina Grannis. Teks dan fotografi: Jessica Hanafi

one on one: kina grannis

Apa inspirasimu dalam bermusik? apapun yang ada di sekitar saya. saya suka bercerita tentang pengalaman saya, hubungan saya dengan orang-orang. Bahkan alam dapat menginspirasi saya untuk membuat musik. apa saja sih. Video “In Your Arms” butuh dua tahun untuk dikerjakan karena ada detil jellybeans yang ratusan ribu itu. Ya, saat pertama kali membuat video dengan konsep itu, kami tidak mengira membutuhkan waktu selama itu. tapi kami tidak mungkin berhenti di tengah jalan. Jadi ya kami lanjutkan saja. Berkeliling Eropa dan Asia untuk tur album, bagaimana perubahan dalam dirimu? saya orang yang pemalu. Dulu saya susah menghadapi crowds. ada pemikiran “Orang itu berpikir saya ini bukan apa-apa, musik saya tidak bagus, saya bodoh, dan lainnya”. saya pernah tampil di panggung kecil dan menangis di pojokan sesudahnya. tapi tur ini benar-benar membuat saya belajar berani dan lama-lama saya juga tidak terlalu mempedulikan orang-orang yang rasanya tidak ingin saya maju. Karena kamu memulai karier sebagai musisi yang berbasis online di mana kamu bisa berinteraksi langsung dengan para fans, bagaimana dirimu berhadapan dengan komentar-komentar negatif? awalnya ketika saya membaca komentar negatif di youtube.com, saya ingin sekali pura-pura tidak membaca komentar tersebut. tapi sekarang saya mulai belajar untuk memahami bahwa pasti ada saja orang yang tidak suka dengan musik saya dan itu kebebasan mereka. Masih sering hang out dengan KevJumba, Ryan Higa, dan David Choi? Mereka adalah teman-teman terbaik saya. tapi sekarang kami sering melakukan tur sehingga waktu kami untuk bersama juga jarang cocok.

095


on stage: jessie j

“Hello Jakarta, lets sing with me!” sapa Jessie J kepada para penonton yang sudah tidak sabar untuk menikmati penampilannya. Oleh: Amanda Indira. Foto oleh: Nissa Maretta

do it like jessie j Jakarta, 18 Maret 2012, POND’S kembali menghadirkan POND’S teens Concert 2012 yang diselenggarakan di Ji-expo Hall D2 kemayoran Jakarta. tahun ini merupakan tahun keempat diselenggarakannya POND’S teens Concert setelah tahun-tahun sebelumnya sukses membawa Dashboard Confessional (2010) dan Finalis american Idol, David archuleta (2011), juga beberapa artis lokal lainnya. kali ini POND’S berhasil mengundang Jessie J untuk pertama kalinya tampil di Jakarta didampingi oleh afgan sebagai pembuka acara dilanjutkan dengan penampilan grup band asia, Blush. Sekitar pukul 18.00 pengunjung sudah mulai berdatangan ke lokasi. Disana kita juga bisa mendapatkan koleksi baju dan aksesoris dari para desainer muda Indonesia yaitu Danjyo-Hiyoji, Hunting Fields dan No’mi yang juga tergabung dalam POND’S make it happen. Yang menarik, kita bisa membeli merchandise dan CD lengkap dengan tanda tangan Jessie J. Pukul 19.00, pengunjung sudah mulai memadati hall D 2, kemudian pukul 19.30 afgan membuka acara dengan membawakan lagu legendaris milik Stevie Wonder, “I Just Call to Say I

096

Love You” dan ditutup dengan lagu “Panah asmara” milik afgan sendiri. Penyanyi berkacamata ini membawakan sekitar 8 lagu yang disambut sangat meriah oleh para penonton sambil ikut bernyanyi dan sesekali bersorak senang. Lima orang gadis dengan kostum kimono lengkap dengan samurainya, kemudian naik ke panggung menggantikan afgan. Mereka memperkenalkan diri sebagai Blush, girl band asal asia. Blush membawakan 5 lagu andalan mereka dengan sangat enerjik, menggunakan banyak koreografi dan sesekali lagu dengan gaya rap yang bersemangat dan langsung menyita seluruh perhatian penonton. Setelah Blush selesai, semua penonton sudah tidak sabar menantikan penampilan dari idola mereka, Jessie J. POND’S mengundang Jessie J sebagai musisi yang dapat memberikan inspirasi kepada para remaja happening di Indonesia agar berani mengambil langkah awal untuk make things happen. Satu jam berlalu dengan sangat lambat hingga, finally…we welcome Jessie J to the stage! Jessie ellen Cornish tampil memukau dengan long dress sheer berwarna biru laut cerah dengan boots hitam dan aksesoris yang simple pemberian dari salah satu fans yang hadir malam itu. Ia langsung disambut dengan teriakan dan tepuk tangan histeris dari para penggemarnya. Mengawali penampilannya, penyanyi 23 tahun ini membawakan “Who’s

Laughing Now” disusul dengan “rainbow”, “Stand Up”, “Casualty of Love”, “Nobody String Intro” sambil sesekali berinteraksi dengan crew band-nya dan mengutarakan betapa ia sangat senang bisa berada di Jakarta. “Nobody’s Perfect” dan “Do It Like a Dude” dibawakan Jessie J dengan gayanya yang sangat enerjik sambil menari dan berlarian mengitari panggung. Sekitar 15 lagu yang dibawakan hari itu termasuk “Never too Much”, “abracadabra”, “Mama know’s Best” yang membuat saya dan penonton lainnya ikut bersemangat . Suasana mulai gloomy saat lagu “technology”, “LOVe” dan “Who You are” dibawakan dengan aransemen akustik oleh Jessie J dan band-nya. Dia sempat meminta para penonton untuk mematikan kamera dan handphone dan mengajak kami semua untuk sama-sama men-capture moment

itu hanya dalam ingatan kita, ‘Ah it was nice to see you all without a phone and cameras, and enjoy this moment with just us,” ujarnya. Setelah berganti pakaian dengan rompi dan topi, Jessie J mengundang salah satu penonton untuk naik ke panggung. anak perempuan yang bernama Hanna itu tidak hanya berduet dan menari dengannya menyanyikan lagu “Price tag”. The lucky girl also got to take some pictures with her yang langsung disambut dengan sorak gembira dari para fans. Last but not least, Jessie J menutup POND’S teen Concert tahun ini dengan menyanyikan lagu ”Domino” dengan enerjik, membuat semua penonton ikut bernyanyi senang dan berdansa sepanjang lagu. It was a great performance after all, See you guys in POND’S teen Concert next year!


show me lights

on stage: avolution beatfest

Avolution Beatfest did it again! Satu malam yang penuh pengalaman baru yang keren dan memorable berisi art installation dan festival musik yang fun. Oleh: Resti Purniandi. Foto: Rude Billy. WHAT FUN NIGHT are made of? Dalam kasus Avolution Beatfest hal tersebut berarti kumpulan orang-orang berbakat yang menyalurkan kreatifitas mereka dalam karya. Pada 17 Maret yang lalu, bertempat di Fairgrounds, 4 seniman yang tergabung dalam kontributor Avolution Rated-A menampilkan kolaborasi karya seni sebagai wujud persembahan dari komunitas Rated-A untuk menyambut kemasan baru Avolution dengan sentuhan Metamorphic dari berbagai bidang kreatif. Olivia Naida Siahaan, Brand Manager Avolution menjelaskan, “Pada Avolution Beatfest kali ini, selain menghadirkan artis Internasional kami juga akan menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Kami menampilkan kolaborasi kontributor Avolution Rated-A yang merupakan buah pikiran dari interpretasi kemasan baru Avolution yang terinspirasi oleh 360° spektrum warna yang mendeskripsikan semangat dan kepercayaan pada perokok dewasa akan kekuatan sebuah perubahan.” Hmmm…make you wonder right? Apa sih yang mereka tampilkan malam itu yang bisa bikin jadi spesial? Let’s see, kita mulai dari Anton Ismael (fotografer) ia dan dua orang rekannya, Onik dan Handri Karya mendefinisikan Metamorphic dalam bentuk instalasi bernama “Thousands Distortrions”, sebuah ruangan kecil yang seluruhnya berisi kaca. Didalam sini kamu bisa melihat dirimu dalam angle 360°, bisa kamu bayangkan nggak sih? You’ll loose your sense of direction for a while! Instalasi tersebut bergandengan dengan instalasi Handri Karya yang bernama “Pixelator” dimana kamu bisa berpose didepan kamera dan mendapatkan foto kamu yang sudah di-pixilized. Dana Maulana (pemilik dan desainer Dyanjo-Hyoji) mengintepretasikan karyanya dalam art instalastion bernama “Flair on Board” dengan menggabungkan pola pixilated modern dengan tribal untuk mendapatkan sentuhan techno. Stage mini yang menampilkan fashion show dari Dana khusus untuk Avolution Beatfest berisi 2 model, dimana setiap mereka melangkah lantai panggung akan menyala mengikuti jejak mereka. Ade Darmawan (pendiri Ruang Rupa) dan rekannya Leo,

menuangkan konsep metamorphic dengan sentuhan “TechnoArt” ke dalam karya seni yang mengeksplorasi pixel menjadi sebuah pameran dan video yang akan membentuk sebuah kota, yang disebut dengan City Scan, Pengunjung yang dapat dapat berpartisipias dalam membangun atau mengubah tatanan kota dengan mengubah pixel-pixel tersebut. Last but not least, Anton Wirjono aka DJ Anton mempersembahkan “8 bit Sound Experiment” yaitu mengenai transformasi musik digital dari mulai musik vintage sampai modern, disini pengunjung yang datang bisa memainkan musik dari DJ set di sebuah ruangan. Tapi kejutan dari DJ Anton ternyata tidak berhenti di situ saja. Setelah penampilan band lokal Indonesia yang namanya sedang banyak dibicarakan, Roman Foot Soldiers, diikuti dengan The Magician who shows his magic that night dengan DJ set yang berisi dance pop yang fun dan enerjik (salah satunya adalah memainkan remix version dari I Follow River milik Lykke Li yang membuat penonton menggila.). Dj Anton memainkan versi “8 Bit Sound Experiment” dengan alat-alat dan teknologi terbaru, ia memainkan lagulagu pilihannya yang keren tanpa

benar-benar berada di panggung. But rather, his holographic image was on stage and the clothes kept changing through the set. Beberapa model juga berjalan di atas panggung menggunakan baju putih dan di proyeksikan dengan video mapping. Definitely one of the many awesome thing happened that night! Malam yang fun ini ditutup dengan sempurna oleh main act acara ini yaitu Friendly Fires, trio asal UK ini sudah mencuri perhatian publik dengan lagu Paris pada tahun 2008. Jadi bisa dipastikan ketika lagu tersebut berkumandang, para penonton ramai menyanyikan

lagu tersebut dengan semangat. It’s right on time, karena ada sedikit technical problem yang menyebabkan mic sang vokalis, Ed Macfarlane tidak menyala pada lagu tersebut. Tetapi kerasnya alunan suara penonton membuat ia tidak kehilangan beat sama sekali dan tetap bergoyang dengan gaya enerjiknya yang khas. Para fans lama maupun baru Friendly Fires sama-sama dipuaskan dengan set list malam itu, karena walaupun lagu-lagu dari album terbaru mereka, Pala, hampir semua dimainkan, lagu-lagu lawas mereka seperti On Board, Skeleton Boy, In the Hospital juga dimainkan. Tanpa ragu saya bisa bilang bahwa ini adalah salah satu konser terbaik yang pernah saya saksikan selama ini. Now I can’t wait to see what they will show us for the next Avolution Beatfest!


Para jazz enthusiast menemukan rumahnya di Java Jazz Festival 2012. Oleh: Jessica Hanafi. Foto oleh: N. Fajri Hastomo.

the jazz parade MENYAPA DENGAN TAGLINE “Where Jazz Finds a Home” di tahun kedelapan ini, Java Jazz Festival 2012 merayakan hari raya jazz dengan menghadirkan musisi-musisi legendaris dari akar jazz seperti Pat Metheny, The Manhattan Transfer, Laura Fygi, Al Jarreau, Herbie Hancock, dan banyak lagi. Gelaran tiga hari ini dimulai dengan Jumat yang rapi, Sabtu yang sesak, dan diakhiri dengan Minggu yang damai. Lokasi festival di Pekan Raya Jakarta Kemayoran yang luas mampu memfasilitasi semangat peminat festival ini. Tidak hanya nama-nama familiar, beberapa nama yang baru emerge tahun ini seperti Raisa secara mengejutkan (atau tidak) dipenuhi dengan penonton dari segala sisi demografi. Meski tidak totally jazzy, solois pembuka konser Lenka di Indonesia ini rupanya bikin penasaran banyak orang. Melantunkan “Inginku”, “Serba Salah”, dan menggoda penonton dengan “Terjebak Nostalgia”, Raisa tampil di B1 Hall yang kapasitasnya besar. Satu hall yang juga

menghadirkan nama-nama beken seperti Soulvibe dan Andien. Sekitar dua puluh menit sebelum jadwal, hall sudah penuh sesak sehingga petugas pengaman terpaksa menutup pintu dan merapatkan badan karena barisan orang yang memaksa masuk. Talenta baru yang tak kalah seru adalah Taylor McFerrin, putra vokalis legendaris Bobby McFerrin yang populer dengan “Don’t Worry, Be Happy” (yang juga tampil di Java Jazz kali ini). Ia memikat wajahwajah yang tampak baru mengenalnya dengan performa beatbox dan DJ-nya. Aksi lokal Andre Harihandoyo and Sonic People yang baru saja meluncurkan album Songs for Rainy Days juga benar-benar ditemani hujan gerimis saat tampil di panggung dekat pintu masuk. Aransemen ulang “Rolling in The Deep” milik Adele serta mash up single-nya “The Break Up” dengan “Home” milik Michael Buble juga membantu pendengar baru mengenal musik mereka. Penampilan grup akustik asal Jepang, Depapepe yang tahun lalu tampil di Jakarta


on stage: Java Jazz Festival

terasa familiar. “Selamat malam, Jakarta! Kami senang kembali ke sini. Last night we had fun very much. Let’s have fun fun fun together,” sapa Miura Takuya, rhythm guitar Depapepe. Miura interaktif dengan penonton. Ia punya contekan bahasa Indonesia yang dicatat di sehelai kertas putih. Pelafalan Jepangnya yang melupakan huruf L juga mengundang tawa penonton. Lagu “Rosy”, “Clap Your Hands”, “One” dan “Start” dialunkan. Penonton yang tak puas meminta mereka encore “Summer Parade”. Miura lagilagi mengundang tawa penonton dengan teriakan,” STOP! Don’t go,” ketika ia meminta kami untuk diambil gambarnya. Mayer Hawthorne + The Country juga punya daya tarik sendiri. “Java Jazz are you with me?!” seru Mayer yang tampil dengan look khasnya, setelan putih rapi dengan celana kain tujuh per delapan. “Make Her Mine” dan “The Walk” dilanjutkan dengan lagu seductive, “Rico Suave”. Social media ramai membicarakan Dave Koz yang memang entertaining sejak malam kedua. Founder Java Jazz Peter Gontha menganugerahkan Java Jazz Hall of Fame untuk saksofonis yang pernah datang ke Jakarta pada tahun 1992 itu. Apresiasi Dave terhadap Indonesia cukup tinggi, ia membuka show-nya dengan memainkan “Keliru” milik Ruth Sahanaya yang memicu koor audiens. Adrenalin audiens makin menggila ketika hits “Together Again” dimainkan. Apalagi ketika Randy Jacobs sang gitaris jamming sambil berputar-putar di lantai. Unsur Indonesia dalam penampilan Dave Koz dipertegas dengan kolaborasinya

bersama musisi Youtube asal Bandung, 57 Kustik. “You Make Me Smile” yang mereka unggah di Youtube hingga dilirik Dewi Gontha pada malam itu dikolaborasikan bersama idola mereka. Ah! Indahnya. Selain penghargaan untuk Dave Koz, Peter Gontha juga menganugerahkan Lifetime Achievement Awards untuk mengenang legenda jazz Bubi Chen yang wafat Februari lalu. Bubi harusnya diplot untuk bermain di Java Jazz seperti tahun-tahun sebelumnya. Mendiang dihormati lewat segmen sentimental in memoriam Bubi Chen yang kursi-kursi ruangannya penuh diisi penikmat jazz yang sudah berumur. Solois Sierra Soetedjo tampil dengan terusan hitam menyenandungkan “The Nearness of You”. Kesan bahwa Bubi Chen itu perfeksionis, teliti, memiliki presisi tepat dan well-trained classically didapatkan dari Indra Lesmana. Putra dari musisi Jack Lesmana ini melanjutkan,” Kalau menginap di rumah saya, Om Bubi selalu mendengarkan koleksi piringan hitamnya yang rapi sekali itu.. sampai pagi.” Dari jajaran special show, Erykah Badu yang baru saja menemui kontroversi sebelum kedatangannya ke Indonesia juga menyajikan performa stabil, sedikit lebih molor dari jadwalnya. Queen of Neo Soul ini mengenakan sweater gelap, legging corak, dan gold necklace. Ia menyapa kami dan melantunkan “Happy to See You Again”. Erykah memunculkan hits seperti “Window Seat” dan “On & On”. Ia turun ke jajaran penonton dan melantunkan “Hip Hop”. Audiens pun sing along dan penonton di barisan paling depan sibuk menyalami tangannya, kecuali fotografer kami yang berhasil mencium tangannya. Hahaha. Swing Out Sister yang bukan special show cukup memusingkan penonton karena harus memilih antara Swing Out Sister dan Al Jarreau yang timing-nya bersamaan. Terlambat sejam dari jadwal, Swing Out Sister membuat saya hanya sempat menikmati setlist hingga “La La (Means I Love You)” karena saya harus bergeser menyaksikan Al Jarreau & George Duke Trio. Special show Al Jarreau dihiasi ornamen scat singing yang membuat penonton kagum. Special show yang paling ditunggu tentu saja Stevie Wonder, soul musician ini terlambat sekitar dua jam dari jadwal. But you know he’s worth the wait. Semua kelelahan mengantre dan menunggu dibayar dengan nostalgia bersama “How Sweet It Is (To Be Loved by You)”, “I Just Called to Say I Love You”, “Overjoyed”, hingga “Signed Sealed Delivered”. Dengan berakhirnya penampilan Stevie Wonder malam itu, berakhir pula perhelatan Java Jazz Festival 2012.

099


once upon a time Dengan peran impian sebagai Snow White dalam Mirror Mirror, dongeng Lily Collins terus berlanjut. Oleh: Luke Crisell. Foto: Hilary Walsh.




PADA SUATU SORE di musim panas, ketika Lily Collins baru berusia lima tahun, ia ada di mobil bersama ibunya, Jill, berjalan-jalan sekitar Sunset Boulevard, melihat ke atas langit. Jill dan ayah Lily, musisi terkenal Phil Collins, baru saja bercerai dan ia berkunjung dari London untuk melihat rumah mereka yang sedang direnovasi di Beverly Hills. “Saya ingat saya melihat keluar jendela, melihat pepohonan palem dan meminta untuk tinggal.” ujar Lily. “Jadi akhirnya kami tinggal di sini.” Tujuh belas tahun kemudian, ibu Lily masih tinggal di mansion Beverly Hills mereka (Phil pindah ke Begnins, Switzerland, pada tahun 1997 dan tinggal di sebuah rumah dengan pemandangan Danau Jenewa di depannya), dan ketika saya menjemput Lily dari gedung apartemennya yang mewah (tetangganya adalah Elton John, Cher, dan Rachel Zoe) pada satu hari minggu pagi yang cerah, ia memberi ide untuk melewati kediaman ibunya untuk melihat-lihat. Perjalanan dalam melewati rumahnya, yang tersembunyi di balik dinding yang tinggi dan mempunyai taman yang luas, mengambil waktu sekitar 30 detik. Rumah tersebut sering disewakan untuk pemotretan, ia menceritakan pertemuannya dengan Carine Roitfeld di situ kemarin. “Ia adalah salah satu heroes saya!” ujarnya bersemangat. “Ia berkata bahwa saya tidak boleh mengubah alis saya, karena alis itulah yang membuat saya terlihat berbeda.” Ia menghela nafas. “Saya mencintai hasil kerjanya. Sangat luar biasa hanya berbicara dengannya; saya nggak tahu kalau kamu tahu atau tidak, tetapi saya sangat cinta fashion. Love it.” Lily jelas sangat tahu bagaimana berdandan, hari ini ia mengenakan sepasang ankle boot studded berwarna beige merk Sam Edelman; celana jins skinny J.Brand berwarna hitam yang dilipat; dan cape coat oversize dari Zara yang lebih terlihat seperti bikinan Vivienne Westwood (“Mirip ya? Saya punya yang Vivienne Westwood di rumah”). Perhiasannya terdiri dari kumpulan cincin vintage, gelang dan kalung-kalung, termasuk satu kalung dengan kaca pembesar. “Saya menemukannya di pasar loak yang akan kita datangi nanti,” ujarnya, sambil memainkan kalung tersebut. “Tetapi semua orang mempunyainya sekarang.” Tentu saja ia tidak bermaksud mengatakan bahwa karena ia punya kalung tersebut, banyak orang jadi mengikuti membeli kalung sejenis. Karena, tentu saja, Lily Collins belum segitu terkenalnya. Ia mempunyai peran kecil dalam film favorit Oscar, The Blind Side pada tahun 2009 dan peran yang lebih besar di Priest and Abduction, dua-duanya keluar tahun lalu dan tidak begitu meledak di bioskop-bioskop di Amerika (ia beruntung bisa keluar dari kritikan pedas untuk film Abduction, dimana Taylor Lautner yang sempat dikencaninya sebentar, menjadi bintang utamanya. Film ini mendapat banyak kecaman baik secara kritik maupun komersial). Daftar tersebut sedikit banyak merangkum total karier akting Lily sampai sekarang. Sehingga banyak yang terkejut ketika ia dikasting sebagai Snow White dan berhadapan dengan Julia Roberts di Mirror Mirror, film dengan bujet besar yang disutradarai oleh Tarsem

Stylist: Britt Bardo. Halaman sebelah: Cardigan oleh Chanel, Atasan dan rok oleh Elkin, Gelang rantai oleh Made Her Think, Gelang mutiara dan bangles perak oleh H&M. Halaman ini: Atasan oleh American Apparel, Rok oleh McQ Alexander McQueen.

Singh (The Fall, Immortals), yang keluar pada bulan Maret tahun ini. “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Mirror Mirror,” ujarnya, “tetapi saya senang bahwa saya masih bisa melakukan apapun yang saya mau di akhir pekan, seperti pergi ke pasar loak. Saya tidak ingin hal itu berhenti. Saya tidak ingin mengorbankan bagian dari diri saya, dan saya tahu saya tidak begitu, mengetahui bahwa orang lebih tertarik dengan kehidupan pribadi saya. Saya tidak pernah keluar dan berpesta! Saya tidak pernah minum-minum, atau narkoba…Hal tersebut tidak akan pernah menjadi bagian dari diri saya.” Ia terdiam sejenak dan melihat keluar jendela, melihat rumah-rumah di Beverly Hills yang sebagian besar adalah perumahan paling mahal di negara ini. “Tentu saja saya tumbuh dewasa melihat pro dan kontra dari bisnis ini dengan ayah saya, tetapi ia sangat bersemangat atas apa yang dilakukannya, dan kamu tidak bisa berhenti melakukan apa yang menjadi passion kamu hanya karena seseorang mengambil fotofotomu. Saya tidak bertujuan untuk mendapatkan ketenaran, saya tidak ingin mendapatkan apapun jenis “ketenaran” itu. Saya hanya ini terus melakukan apa yang saya cintai.” MELROSE TRADING FLEA market diadakan di halaman Parker Fairfax High School, di sudut jalan Farifax dan Melrose Avenue di West Hollywood setiap hari Minggu. Ketika kita mengatur wawancara ini, publisis Lily berkata bahwa ia mengunjunginya hampir setiap akhir pekan, yang terdengar agak tidak masuk akal-sedikit terdengar “klien kami sangat cool dan down to earth kok.” Ketika kami sampai disana, ternyata memang benar kata mereka. Lily berjalan mantap melewati kios-kios yang berisi mesin ketik vintage, lukisan, buku dan berbagai macam barang lainnya, dan dengan ketrampilan seseorang yang fasih dalam berbicara bahasa second-hand. Ia tidak hanya tahu kios mana yang bagus, tetapi juga mengetahui nama-nama penjualnya, dan saling menyapa, melambaikan tangan dan memeluk mereka sambil berjalan. “Apartemen saya berisi segala macam barang ini,” ujarnya. “Saya menyebutnya organic industrial zen.” Kami tiba di sebuah kios yang sangat kecil, hanya berupa sebuah meja lipat yang dipenuhi oleh jam rusak dan boks-boks berisi metal mengkilat-dan saya memperhatikan sesuatu yang saya sangka tadinya adalah sebuah peluru ternyata adalah sebuah kotak rias dengan sisa-sisa makeup didalamnya. Inisial “LC” dengan hiasan terukir padanya. Sebuah kebetulan. “Oh my God!” Lily berteriak. “Ini sungguh luar biasa.” Kemudian ekspresi tegang menghiasi wajahnya. “Tetapi itu artinya ini adalah inisial kamu juga! Kita butuh dua!” Kemudian ia mulai mencari-cari di tumpukan barang dan setelah beberapa menit, memegang kotak yang serupa, dengan perasaan menang. “Dua!” ujarnya. “Hebat sekali ya?” Sang pemilik yang terlihat bingung memberi kami harga sedolar masing-masing. Setelah beberapa jam mencari-cari diantara tumpukan foto tua dan kacamata vintage, kami memutuskan untuk makan siang. Saya berkata bahwa ia bisa memilih tempatnya, dan sambil kami berkendara menuju barat ia memberi bocoran tentang tujuan kami. “Saya harap kamu akan menyukainya,” ujarnya. “Saya sangat menyukainya! Saya pergi dengan ibu saya sekali, dan kita bersenang-senang.” Setelah berhenti sebentar di beberapa toko sepanjang Melrose, termasuk diantaranya butik baru Kelly Wearstler, kami sampai di The Abbey, salah satu bar gay paling popular di Los Angeles. Pilihan yang aneh tetapi menarik. Setengah klab, setengah bar, setengah restoran, The Abbey sangat penuh sore hari ini: penari go-go melewati meja-meja sambil membawa minuman berwarna cerah berupa shot didalam tube-tube, banyak dari para bartender yang tidak mengenakan atasan, dan house music Euro berkumandang sangat keras dan terus menerus. Lily memesan es teh peach dan salad ayam panggang yang hangat. “Oh, my gosh, banyak sekali pria di sini yang berdandan seperti wanita!” ujarnya sambil tersenyum.


KUAT, CANTIK DAN berkecukupan, Lily hampir seakan dipengaruhi untuk menjadi sukses, dan dia mengakui kalau ia menjalani kehidupan menyenangkan untuk seseorang berumur 22 tahun. (Komennya atas ibunya, presiden dari Beverly Hills’ Women’s Club: “Kami sangat dekat, seperti sahabat. Kami biasa traveling bersama saat libur-seperti, jika saya mempelajari tentang Afrika, maka kami pergi ke Afrika.”) Tetapi ia juga berkata bahwa ia bekerja keras untuk dapat sampai di tempatnya sekarang. “Ketika saya pada awalnya bertemu dengan para agensi, saya ingat salah satu dari mereka bertanya, ‘Apa yang membuat kamu spesial? Ada banyak sekali anak dan keponakan para selebritis-kamu tidak punya apa-apa! Balik lagi dan baru kita berbicara,” ingatnya. Dan saya seperti, “Kamu tidak mengerti saya sama sekali!” Karena saya tidak pernah datang dari situ.” Saya berkata kepadanya, dan kamu juga bukan seorang Suri Cruise, bapakmu hanyalah drummer dari Genesis. Jangan tersinggung. “Tepat sekali,” ujarnya sambil tertawa. “Persepsi orang adalah bahwa saya tidak harus bekerja untuk sampai di sini karena orang hanya tertarik dengan nama belakang saya, tetapi saya selalu berkata, kepribadian mungkin membuka pintu kesempatan, tetapi karakterlah yang membuatnya tetap terbuka. Semua orang mempunyai sesuatu yang spesial dalam dirinya untuk membuat mereka dapat masuk, tetapi ketika kamu sudah masuk, selanjutnya apa? Saya merasa saya butuh untuk benar-benar merasa percaya diri dengan diri saya sendiri dan tahu apa yang harus saya ingin kejar dan apa yang saya merasa passionate sebelum saya menaruh diri saya di luar sana.” Ia terdiam sejenak untuk memakan hummus saya. “Saya merasa sangat beruntung dapat tumbuh berkembang seperti ini, tetapi sekarang adalah keputusan saya sendiri ingin melakukan apa dengan hidup saya.” Sekarang ini, hal tersebut adalah akting. “Tumbuh berkembang di pedesaan Inggris, saya akan pergi ke lapangan dan menciptakan cerita saya sendiri, dan saya akan berlarian seperti berada dalam sebuah film,” ujarnya. “Oleh karena itu, untuk saya, bermain sebagai Snow White adalah mimpi menjadi kenyataan yang sangat gila, karena saya adalah seseorang yang suka membaca buku dan kemudian berkhayal membuat film tentang itu di otak saya.” Lily memulai aktingnya pada umur dua tahun ketika ia tinggal di Inggris; neneknya mempunyai sekolah teater di London, dan ketika ia masih kecil, ayahnya berakting sedikit baik di film maupun kadang-kadang di atas panggung. Ia sendiri pernah main di teater, dan ketika ia sampai pertama kali di L.A. ia sempat tampil di beberapa musikal. “Saya tidak pernah pemalu; saya suka berdandan, menceritakan kisah, dan berpura-pura menjadi beberapa orang dengan aksen yang berbeda,” ujarnya (Aksennya sendiri sekarang sudah sangat Amerika.) Lily ingat ia pergi tur dengan ayahnya, tetapi di puncak ketenaran ayahnya tersebut, ia terlalu muda untuk benar-benar memahaminya. “Saya tahu bahwa ayah saya bernyanyi untuk mencari nafkah, tetapi pada umur segitu kamu tidak akan bisa benar-benar memahaminya,” ujarnya. “Saya ingat satu hari saya pergi ke studio rekaman dan di luar ada daycare


dan anak-anak di sana mengetahui tentang ayah saya dan mereka bertanya, “Bolehkah kami ikut melihat?” Dan saya yang, “Tentu saja, kenapa tidak?” Kemudian saya masuk dan mengetuk pintu, “Mom, anak-anak ini ingin menonton,” dan ibu saya berkata, “Apa?” Momen tersebut aneh karena saya mengerti sedikit, tetapi ternyata tidak benar-benar paham.” Ia memakan sedikit ayam di piringnya. “Untuk saya itu adalah bagian dari masa pertumbuhan saya, dan saya tidak akan mengubah apapun.” Tidak susah untuk melihat kenapa. Di luar orang tuanya yang sangat rock n’roll (“Ibu saya bercerita ia pernah membawa Iggy Pop ke rumahnya untuk dikenalkan ke ibunya.) ia juga pernah mencoba modeling, sesuatu yang ia sebut sebagai ketidaksengajaan. “Saya berada di pesawat balik dari New York, dan Tommy Hilfiger ada di flight yang sama,” ujarnya. “Kami kemudian mengobrol dan bahkan sebelum pesawat take off dia sudah menelepon produser fashion show-nya dan memasukan saya untuk show keesokan harinya.” Tidak lama setelah show, Hilfiger mengenalkan Lily dengan kepala agency NEXT, yang kemudian memperkerjakannya, walaupun ia cukup pendek untuk menjadi seorang model dengan tinggi sekitar 5’5”. Ia bekerja di Paris, London, dan Barcelona, termasuk sebuah pekerjaan dimana ia memperagakan perhiasan dengan Naomi Campbell di sebuah istana es di kaki gunung Mont Blanc. “Saya lebih pendek dari gadis-gadis lainnya, tentu saja, tetapi saya si gadis pendek dengan attitude. Karena saya tidak melakukan itu untuk mencari nafkah; saya melakukannya untuk bersenang-senang.” Ketika ia berumur 15 tahun, Lily mulai menelepon para editor dari beberapa majalah yang ia suka, dan berhasil meyakinkan editor Elle Girl U.K. untuk memperbolehkannya menulis sebuah kolom, “L.A.Confidential,” untuk majalah tersebut. Setelahnya ia mulai menulis untuk majalah lain; ia mewawancarai Scarlett Johansson untuk CosmoGirl pada November 2008. “Saya berpikir, ini sangat menyenangkan. Saya menciptakan pembicaraan dengan orang-orang-bagaimana caranya saya bisa membawa ini lebih jauh lagi?” ujarnya. Jawabannya adalah untuk pindah ke dunia siaran. “Saya berumur 15 dan 16, masuk ke ruang rapat para eksekutif yang sudah dewasa dan pitching ide-ide ke semua network besar,” ujarnya. “Saya banyak menerima penolakan, karena saya masih hijau, dan dibilang gila, tetapi tidak banyak anak muda di luar sana yang melakukan wawancara atau melakukan commentary social. Ini terjadi sebelum Twitter dan Facebook menjadi sangat popular. Saya ingin menciptakan sebuah versi muda dari The View, karena saya berpikir sungguh menarik untuk berbicara dengan generasi saya, tetapi juga dari generasi ibu saya, dengan sudut pandang anak muda. Pada akhirnya, ia mendapatkan kesempatan dari Nickelodeon untuk menjadi host sebuah acara. “Dalam prosesnya saya bertemu dengan banyak produser dan saya mulai menanamkan ide-ide, “Saya rasa kamu harus memperkerjakan saya full-time karena saya punya banyak ide, yang akan cocok untuk network ini.” Ia berhasil meninggalkan kesan, dan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk meliput pemilihan Presiden dan inaugurasi pada tahun 2008. “Tetapi jangan bergosip,” ujarnya sambil menggelengkan kepala. “Saya berpikir jika satu hari saya akan menjadi orang yang bisa dipercaya dan bisa mempunyai pembicaraan yang real, dan jujur, maka saya harus memulai secepatnya.” Ia juga meliput red carpet yang kemudian menjadi agak aneh ketika ia sudah bermain dalam The Blind Side, dan disaat bersamaan ia juga mempelajari jurnalisme siaran di University of Southern California. “Ketika akting mulai melaju pesat, saya hidup di dua dunia,” ujarnya. Saya

“saya tidak ingin mendapatkan apapun jenis “ketenaran” itu. Saya hanya ini terus melakukan apa yang saya cintai.” diwawancarai sebagai diri saya, tetapi kemudian saya berakting di antara orang-orang yang saya wawacarai. Kamu ingin dianggap serius sebagai seorang aktor, dan jika orang merasa mengenal dirimu maka akan susah untuk mereka menganggap kamu sebagai sebuah karakter.” Lily berkata bahwa ia berencana untuk kembali menjalani kuliahnya dalam jurnalisme siaran pada akhirnya, dan untuk sekarang ia akan menggunakan latihannya untuk akting, yang tidak pernah ia pelajari. “ Bertemu dengan banyak orang, terbuka untuk berbagai pengalaman baru adalah esensi dasar dari jurnalisme-apa yang saya pelajari sekarang saya gunakan untuk masuk ke dalam karakter.” “Baru setelah ia meninggalkan audisi, saya mengetahui kalau ia adalah anak dari Phil Collins,” ujar sutradara John Lee Hancock, yang menyutradarai The Blind Side dan mengkastingnya untuk peran Collins Tuohy, anak dari karakter Sandra Bullock. “Saya merasa sangat aneh karena saya tahu Phil Collins. Ia adalah pecinta Alamo, dan kami menjadi teman karena sering bertukar memorabilia Alamo dan kumpul bareng. Saya jadi berpikir bahwa, gosh, kalau saya memperkerjakan anak ini, semua orang akan berpikir bahwa saya melakukannya karena saya mengenal bapaknya, atau sederhananya, hanya karena nama besar bapaknya. Tetapi kemudian saya berpikir, bahwa saya harus memperkerjakan orang yang terbaik untuk peran ini. Sehingga sebenarnya bisa dibilang justru nama keluarganya bisa merugikan dirinya. Tetapi saya sangat senang memutuskan memilih dia!” Lily menunjukkan keberanian yang sama seperti jurnalisme dalam mengejar karir aktingnya. Setelah meninggalkan audisi untuk Mirror, Mirror ia kembali ke mobilnya dan duduk untuk sementara sambil berpikir. “Saya ada perasaan dalam hati untuk mencobanya sekali lagi, karena saya sangat menginginkannya, dan saya berpikir, Apa yang mereka akan katakan? “Tidak”? Tidak apa-apa, tetapi setidaknya saya sudah mencoba. Jadi saya kembali ke dalam dan mengetuk pintu, dan mereka menyuruh saya masuk kembali.” Ia menyeringai. “Saya sangat gigih, tetapi tidak dengan cara yang mengganggu. Saya sangat bertekad kuat, dan saya ingin mencoba yang terbaik, dan ketika saya sudah mencoba semua yang saya bisa, maka semua akan baik-baik saja,” ujarnya. Tanpa diketahuinya,

Blazer oleh Jenni Kayne, Kemeja oleh Armani Jeans. Celana oleh J Brand. Dasi kupu kupu oleh Emporio Armani. Kalung oleh Jennifer Meyer. Cincin oleh Aldo.


para produser yang mengaudisinya mengirimkan videonya langsung ke Tarsem Singh malam itu juga. Keesokan paginya, Lily mengetahui bahwa ia mendapatkan peran tersebut. Mirror Mirror menceritakan tentang cerita tradisional Snow White, tetapi tanpa hal-hal mengerikan yang diceritakan dari Brothers Grimm (versi lebih gelapnya, Snow White and the Huntsman dengan Kirsten Stewart sebagai bintang utama, muncul enam minggu setelah tayang perdana Mirror Mirror-Lily juga audisi untuk peran tersebut. Ini adalah versi menyenangkan dan komedi akan petualangan tujuh kurcaci mengajarkan Snow White untuk mengurus dirinya sendiri ketika ia dikirim ke hutan oleh Evil Queen, yang diperankan oleh Julia Roberts. “Saya melihat perjalanan saya dan perjalanan Snow White seperti suatu kejadian yang paralel,” Lily berkata. “Saya hadir dengan mata terbuka lebar dan bersemangat tetapi sangat tidak paham dengan apa yang akan terjadi, dan seperti itu jugalah dia. Ia mendapatkan rasa percaya diri dan menjadi seorang pejuang dan wanita muda selama film saya merasa saya menemukan diri saya dalam cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Saya tidak akan melihat pengalaman tersebut sebagai hanya membuat film saja: tetapi suatu petualangan yang mengubah hidup saya.” Lokasi film, di Motreal tidak sehijau seperti yang terlihat di film. “Mereka menciptakan sebuah hutan dengan pohon-pohon impor, dan 40 ton garam. Mereka membuat sebuah ballroom yang luas, dengan lantai marmer,” ujarnya. “Rasanya seperti masuk ke sebuah snow globe setiap harinya.” Fakta bahwa ia bekerja dengan salah satu aktris terkenal juga masuk ke dalam otaknya. “Saya akan berada dalam satu adegan dengan Julia dan dia akan mengatakan sesuatu yang sangat kejam dan saya akan menahan senyum karena saya sangat menikmati saat tersebut. Dan kemudian saya sadar bahwa saya harus beradegan sedih saat itu.” Ia menghabiskan es tehnya. “Saya hanya tidak percaya dari semua orang, mereka memilih saya.” Saya berkata bahwa banyak peran kuat untuk para perempuan di Hollywood sekarang ini, terutama setelah sukses Jennifer Lawrence di Winter’s Bone dan Carrey Mulligan di An Education. Dengan caranya sendiri, Snow White adalah salah satunya. “Iya, di versi Snow White kami, akhirnya ia yang menyelamatkan sang pangeran seperti juga sang pangeran menyelamatkan dirinya,” ujarnya. “Saya rasa peran-peran ini adalah fakta bahwa banyak sekali aktris luar biasa yang mempunyai keinginan kuat untuk memerankan karakter yang kuat. Mereka tidak hanya ingin memainkan peran menjadi pacar atau seorang gadis yang ditaksir pria.” Lily menemukan peran bagus lainnya dalam The English Teacher, film independen yang baru saja selesai dibuat, di mana ia bermain bersama Julianne Moore. “Ia sangat luar biasa percaya diri,” ujar Julianne tentang Lily. “Ia mempunyai kualitas yang mengagumkan di mana ia dapat membuat dirinya terlihat tenang dan dewasa dan sangat profesional, tetapi di saat yang bersamaan juga sesuai dengan umurnya. Dia tidak dewasa sebelum waktunya. Ia merasa pada saat ini ia butuh menjadi anak muda.” Ketika saya berkata bahwa belum lama ini, fenomena dewasa sebelum waktunya banyak terjadi di kalangan aktor muda, Julianne berkata: “Hal tersebut tidak akan berhasil. Orang tidak bisa bertoleransi, dan pada akhirnya orang akan menghilang. Pikiran jernih Lily dan juga bakat serta kecantikannya akan membuat dia berdiri dengan kuat.” Ketika makan siang kami selesai, Lily dan saya pergi ke ekshibisi Hedi Slimane di MoCA di Pacific Design Center; Heidi

menceritakan tentang show tersebut ke Lily sehari sebelumnya, ketika ia memotret Lily untuk Vogue China. Dalam perjalanan, kami mendiskusikan perannya sebagai Clary Fray, bintang The Mortal Instrument, beberapa seri film yang baru akan diproduksi tetapi bisa menjadi Hunger Games berikutnya (City of Lost Souls, buku kelima di seri terkenal karya Cassandra Clare, akan keluar bulan Mei). Untuk beberapa saat, Lily mempunyai akun Twitter dengan nama Clary, tetapi sudah tidak pernah aktif; kemudian ia memulai akun pribadi pada Februari tahun lalu dan berhenti juga setelah 28 twit, pada bulan April. “Saya suka aktor dan aktris Hollywood yang mempunyai aura misteri,” ujarnya. “Bukannya yang selalu berbicara tentang apa yang sedang mereka lakukan, tetapi tetap bisa membuat orang merasa dekat dan dapat dipahami tanpa seluruh dunia tahu apa yang sedang dilakukannya.” Kami berjalan dengan cepat di sekitar ekshibisi kecil tersebut dan kemudian memutuskan untuk pergi ke toko OK, sebuah gift boutique kecil di 3rd Street, dimana ia membeli sebuah set backgammon vintage untuk ibunya dan sebuah cincin emas berbentuk mawar untuk dirinya. Setelah berhenti di satu toko lainnya, Book Soup, di Sunset, dimana ia membuka-buka buku coffee table Carine Roitfeld, Irrevent (ketika saya menghubunginya beberapa minggu kemudian, ia berkata bahwa ibunya memberikan buku itu sebagai hadiah Natal), kita kemudian menuju Pete’s Coffee, dimana saya bertanya apa saja hal yang sudah terjadi dengannya dalam beberapa tahun belakangan ini. “Saya merasa bahwa sekarang saya rapat dengan orang-orang utama di studio sekarang, dan bukannya dengan para asisten,” ujarnya. “Aneh rasanya mendapatkan jadwal rapat dan kamu yang, “Orang ini?! Kamu yakin?” Contohnya adalah, berapa waktu yang lalu ia rapat dengan Harvey Weinstein. Ia berpikir sejenak, dan kemudian mengkualifikasikan: Rapat dengan salah satu pria paling berkuasa di Hollywood tidak masuk hitungan karena ia adalah teman lama keluarganya. Hal tersebut sedikit banyak menjelaskan kontradiksi dalam diri Lily Collins: Ia sangat berbakat, tetapi apakah dia suka dan menerimanya, ia mempunyai keunggulan dibanding yang lain. Sekarang keputusan di tangannya untuk membuktikan dirinya. “Aku tidak mengerti kenapa ini terjadi begitu cepat,” ujarnya. Tetapi saya tahu kalau saya bekerja sangat keras untuk sampai di sini, dan apapun yang orang pikirkan tentang keluarga saya, saya tahu bukan saya masalahnya, dan orangtua saya tahu itu dan teman-teman saya tahu itu.” Sekarang sudah gelap dan coffee shop ini sudah sepi. “Saya berharap bahwa kerja saya membuktikannya sendiri,” lanjutnya. “Ya, saya tinggal di apartemen saya sekarang ini, tetapi itu hanya karena itu milik nenek saya, dan apartemen itu milik keluarga saya-kalau tidak, saya tidak mungkin tinggal di situ. Ia mulai terlihat sedikit gusar. “Iya saya memang sangat beruntung dengan kehidupan saya. Tetapi saya tetap bekerja. Saya tidak audisi sampai umur 15 tahun karena saya takut orang akan mempunyai alasan untuk berkata, “Kamu mendapatkan ini karena ayahmu.” Saya ingin yakin bahwa saya siap untuk ditolak dan kegilaan dalam bisnis ini karena saya tahu bahwa saya akan melakukannya seperti yang orang lain lakukan. Saya tidak ingin perlakuan khusus.” Kami pergi keluar, dimana sekarang jalanan Sunset sudah sangat sibuk dan hanya terlihat seperti garis cahaya merah dan putih. Kami berdiri sejenak, dikelilingi oleh suara neon sign dan billboard iklan tv serial yang kemungkinan tidak akan tayang lagi minggu depan. “Ada masamasa dimana saya berpikir, “Apa yang sedang terjadi sekarang?” ujarnya. “Bisnis ini sangat naik turun setiap saat. Hidup saya berubah dalam 24 jam dengan Snow White, dan saya tahu besok bisa saja semua ia berlalu.” Untuk pertama kalinya kepercayaan dirinya agak redup. “Semua ini sangat tidak pasti, you know?”

Gaun oleh Elkin. Kemeja: Boss Orange. Dasi: Vivienne Westwood. Vintage Ring oleh: Ar’Chive Fashion Library. Gelang: Made Her Think. Gelang mutiara dan silver oleh H&M. Stylist: Britt Bardo. Rambut: Mara Roszak di Starworksartists.com menggunakan Sebastian Professional. Makeup: Kayleen McAdams di The Wall Group. Manikuris: Nettie Davis di The Wall Group, Retouching: Milk. Thanks to 5th & Sunset Studio, L.A.



youn folk Let’s welcome the spring dengan outfit bertemakan folk music. Embrace the flowery feel!


O l e h : A n i n d y A d e v y . F Ot O O l e h : BO n A SO e t i r t O. M Od e l : re n y A- 2 1 M M . M Ak e - u p & h Ai r: pr i S c i ll A M yr n A .

Kemeja dan celana pendeK , Balenciaga.


Bralet , topshop. Celana, pull & Bear. Kemeja, Cotton InK.


AtAsAn Asimetris rAjut, nikoo @ the Goods dept. LeGGinG , topshop. kALunG, mAtA-mAtA.


Sweater , MarkS & Spencer. rok aSiMetriS, Zara. VeSt fringe , chi Shop. kaLUng, Mata-Mata.


Fringe top , Zara. Celana pendek, StradivariuS. topi, Zara. a nting-anting, Mata-Mata. gelang, CS aCCeSSorieS.



Kemeja flannel , Z a r a . r oK pensil , Y o s a f a t K . Kardigan r a j u t , a g s a .


Kemej a , Yosaf a t K . sweat e r , Picni c .


Dress , T O P s H O P . jakeT , z a r a . Denim vesT , P u l l & b e a r . kalung, cs accessOries.


Buatlah pameranmu sendiri yang terinspirasi dari seniman seperti Van Gogh, Mondrian hingga Monet dan Lichtenstein. Stylist: Martha Violante. T-shirt: Marc by Marc Jacobs, celana pendek: Pret-Ă -surf, cacamata: Ray Ban, collar dan gelang: Delfina Delettrez.


Foto oleh: Anouck Bertin


Crop top: Pleats Please Issey Miyake Archive, Rok: Joe Fresh, Sepatu: Pollini oleh Nicholas Kirkwood for Louise Gray, Cincin: Mordekai oleh Ken Borochov.


Sweater: Jil Sander, kemeja: Joe Fresh, jeans: G A P, m a h k o t a : Mordekai oleh Ken Borochov, sepatu: Alejandro Ingelmo for Chris Benz.


Dress: Rodarte.

Rambut: ayumi yamamoto di defacto. makeup: JoRdy poon daRi bRyan bantRy memakai Lanc么me. modeL: imogen moRRis cLaRke daRi next.


Kemeja: Christopher Kane, tank top (dipakai di dalam): Express, headphone: Nixon.

123


Hit the Town: Nylon 1st Anniversary

Pada selebrasi ulang tahun pertama, NYLON Indonesia mengekspresikan kembali kejutan yang diperolehnya selama setahun ini. Oleh: Jessica Hanafi. Dok. Pribadi

NYLON Anniversary Party a year of overwhelming surprises

124

PADA JANUARI TAHUN 2011, NYLON lahir di Indonesia dengan harapan ‘menjadi bible fashion, musik, seni, dan gaya hidup urban’ untuk para pembaca muda di Indonesia. Pernyataan itu saya kutip dari letter from the editor paling pertama yang ditulis Editor-in-Chief Ein Halid di edisi pertama bersampul Mariana Renata. Saya rasa selang waktu membuat visi itu kian terpancar. Selama setahun, NYLON telah mengalami perubahan dan bereksperimen. NYLON sudah bertemu dengan band-band dalam dan luar Jakarta yang berbakat, berkenalan dengan brand-brand yang bisa mendeskripsikan gaya kami, dan menyajikan informasi dan dekorasi item-item fashion serta kecantikan untuk para pembaca yang sehati dengan visi kami. Di ulang tahun pertama our little baby ini, redaksi punya harapan untuk mengapresiasi pembaca dan kerja kami selama setahun. Dan... terbentuklah rencana NYLON First Anniversary Party ini. Saat brainstorming ide mengenai First Anniversary Party, kami menanamkan

suatu pemikiran di otak kami bahwa kami ingin pembaca punya experience yang relate dengan kami. Dengan semangat NYLON yang youthful, quirky, and dangerous, rasanya tema ulang tahun pertama yaitu ‘New Wave’ adalah irama yang sesuai. Di era 1970-an, New Wave menjadi gerakan musik post-punk yang lebih artsy dan eksperimental, berbeda dengan jalur musik pop. New Wave menjadi inspirasi dari subgenre glam rock Ziggy Stardust yang diusung David Bowie pada tahun 1972. Ziggy Stardust menjadi alter ego David Bowie yang penuh kejutan (banyak aksi panggung yang dramatis dan tiba-tiba). ‘Mengejutkan’ mungkin itu bisa menjadi satu kata yang mewakili ekspresi yang kami harapkan dari pembaca kami ketika merencanakan perayaan ini. Di antara respon para followers Twitter @ NYLON_IND dan @NYLONGuys_IND, kami bisa membaca antusiasme bahkan rasa putus asa ketika kami sempat melewatkan beberapa nama untuk memperoleh undangan guest list valid for two sebagai akses untuk menghadiri perayaan ini. Begitu juga saat hari


H pada Sabtu, 10 Maret 2012 di Cafe Aria yang terletak di bilangan Jenderal Sudirman. Ketika pukul 20.00 sudah ada kelompok-kelompok yang menelusuri namanya di daftar Guest List dengan look yang well-prepared, kami tahu dancefloor Cafe Aria akan penuh sesak. Benar saja! Selanjutnya tamu dan klien semakin memenuhi Cafe Aria. Kami juga menemukan Saskia, Vidi Aldiano, Dian Sastrowardoyo, dan model-model dari DAMN Inc, POSH, dan VTM . Sembari menunggu acara benar-benar dimulai, pengunjung digiring ke sudut green carpet MINI Indonesia yang dihiasi properti dua kotak penyimpanan dari kayu (yang tidak akan hancur saat diduduki) bertuliskan ‘Go Fishing. Pick up a Souvenir’ dan berdinding logo-logo MINI yang bersayap itu. Kelompok lainnya tertarik dengan photo booth milik flip buku di mana sepuluh detik gaya bebas akan ditangkap dalam buku kecil yang bisa di-flip. Seperti menonton kartun! (Kamu bisa baca selengkapnya di www.flipbuku.com). Di ruangan VIP dengan meja

yang memanjang, CEO MPG Media Group Denise Tjokrosaputro, Ein Halid, serta managing editor NYLON Indonesia Resti Purniandi dan NYLON Guys Rezaindra O., dinner bersama dengan para klien. Chairman MPG Media Group Julius Ruslan dan Editor-in-Chief Ein Halid membuka acara dengan MC Iwet Ramadhan. Sementara itu, duo pemenang Nylon FACE OFF @BranVargas dan @ chrystalinelin dan para @ArifinPutra @ NinaNikicio @Innoceroze @Aqi_Alexa @DanaMaulanas @AlexSiregar @ Kleting @AriyoWahab @Ade_Habibie @Karissa_H ikut meramaikan. Dengan DJM 800, DJM 900, dan CDJ 900 dari Pioneer, para pengisi acara mulai memainkan track, mulai dari DJ Adit RNRM (@bosborot), DJ Eka BRNDLS (@ekaannash), JAKARTA TECHNO MILITIA DJ : @ MasAudie @AndreeUchiel @Indra7 @ Shawnmuljadi. Temperatur semakin naik ketika panggung dengan lighting LED pink keunguan menyajikan legenda hiphop/ rap IWA K (@Iwa_ Kusuma), Orsoen (@Orsoen) & Sweet Martabak (@SwtMrtbk). Hits ‘Bebas’ ternyata masih banyak dilantunkan oleh beberapa orang. Pandangan mata saya dipenuhi dengan seliweran para model dan yang meskipun tak terlalu banyak malam itu, menyunggingkan senyum dan tampak membaur. Di luar juga ada

kesenangan tersendiri untuk mereka yang menggemari Mini Cooper (@MINI_Indonesia). Ada 3 jenis MINI yang bisa dicoba, Countryman, Hatchback, dan Cabrio. Tak terasa satu tahun berlalu begitu cepat seperti berakhirnya malam itu. Saat membaca seruan-seruan di Twitter di perjalanan pulang hingga keesokan harinya, saya tahu bahwa kami cukup bisa bernafas lebih lega untuk melanjutkan tahun-tahun berikutnya. Identitas yang dinyatakan oleh NYLON pada paragraf pertama itu juga terus menempel pada kami meskipun dalam edisi-edisi berikutnya akan banyak lagi kejutan yang akan kami temui (dan kami sajikan untuk pembaca). Special thank you from the bottom of our hearts to Café Aria, MINI Indonesia, Blackberry, Pioneer DJ, Lacoste, Flip Buku, MaxOne Hotel, 21 mm and our beautiful hosts for helping us make this event come true. Also, we have to state a huge gratitude to our team, clients, and loyal readers! For a year happened and another years to go.


shopping list 16 D’Scale, Level One @ Grand Indonesia

Choco Chips, www.chocochipsboutique.com, ITC Mangga Dua lt. 4 blok D no. 62 (021) 62300027

AGSA, www.facebook.com/agsa 081316047906

Make Up For Ever, Plaza Indonesia Lt. 2 (021) 31990177

Pedder Red, Plaza Indonesia lt. 1 Picnic, Grand Indonesia Level One

Make Up Store, Plaza Indonesia lt. 1

White Box Bistro Deli, Menteng

Converse, Senayan City lt. 2

Priscilla Myrna (makeup Artist), 0817885533, priscillamyrna@yahoo.com

Manekineko, Epicentrum lt. 1 Aksara, Jl. Kemang Raya 8B (021) 7199288

Cotton Ink, www.cottonink-shop.com Mango, Grand Indonesia lt. LG CS Accessories ITC Mangga Dua lt. 4 blok D no. 36/63 (021) 80782679

ALDO, Plaza Indonesia lt. 2 (021) 3926893

Dia.Lo.Gue Artspace, Jl. Kemang Selatan 99A Jakarta Selatan

Alfina Narang (Makeup Artist) www. alfinanarang.com / 0811806852

FAR, Level One - Grand Indonesia East Mall

Argyle & Oxford, http://argyleandoxford.blogspot.com

Guardian, Plaza Indonesia Badha Project (0817899466) badha.tumblr.com

Inch, ITC Mangga Dua lt. 4

Balenciaga, Harvey Nichols @ Grand Indonesia

Kate Spade, Plaza Indonesia lt. 1 (021) 39838239

Bershka, Plaza Indonesia lt. 1 Charles & Keith, Plaza Indonesia lt. 2 (021) 39838802

Little Lady, ITC Mangga Dua lt. 4 blok B

Yosafat.K, 088211493766 Zara, Grand Indonesia East Mall lt. 1

Pull & Bear, Grand Indonesia east Mall lt. 1

Marks & Spencer, Plaza Indonesia lt. 2 (021) 31930448

Sash, ITC Mangga Dua lt. 4 D35 (021)6126560

Mata-Mata, ITC Mangga Dua lt.4 blok B Miss Selfridge, Senayan City lt. 1

Satcas, Level One - Grand Indonesia East Mall

Mr Freddy Boutique, ITC Mangga Dua lt. 5 blok A no. 130 (081808992797)

Shabura Sebastian (Makeup Artist) 085692928568

NYX Cosmetics, EX lt. 1, (02133711260)

Stradivarius, Plaza Indonesia lt. 2 The Goods Dept, Plaza Indonesia Ext lt.4

Optic Melawai, Plaza Indonesia lt.3 (021) 3107572

Lisa Fazaki (Makeup Artist) 085692004039

Twentyforteen, www.twentyforteen. blogspot.com

The Little Things She Needs, EX lt. 1 (021) 31990225

Orbis, www.orbis-store.com / Jl. Panglima Polim V no. 36 (021) 71783935

TOPSHOP, Senayan City Lt. 1

not for girls.

INDONESIA

Ya, saya ingin berlangganan majalah

INDONESIA

SubSCribe & SAve 30%

BEST dEAL

cara pembayaran

Nama

Cash

Tanggal Lahir Perusahaan Alamat pengiriman

Transfer

Jabatan Kantor

Rumah

Kota

Negara

Telpon

HP

Fax

Email

Kode Pos

Hubungi Claudia tel. 021-3199 1193 / fax. 021-3199 1178. Mohon konfirmasi melalui telepon sebelum melakukan transfer

Mulai berlangganan dari bulan

Cover PriCe

PT. Tiga Visi Utama. Bank Mandiri Sudirman No. rek. 102 00 4567899 9

NorMAL PriCe

SubSCribe PriCe

SAviNg

NYLON

Rp. 35.000 (12 edisi)

Rp. 420.000

Rp. 294.000

30%

NYLON Guys

Rp. 35.000 (10 Edisi)

Rp. 350.000

Rp. 245.000

30%

Dapatkan: - Hadiah untuk 30 (tiga puluh) orang pertama yang subscribe - Hadiah langsung voucher Lee Cooper dengan worth Rp. 100.000 follow us on

NYLON_IND

Untuk Luar Jakarta tambah biaya ongkos kirim (untuk konfirmasi harap menghubungi nomor telepon (021) 3199 1178

Kirim formulir ini ke : Thamrin City Office Park Blok AA No. 08-09 Jl. Kebon Kacang Raya, Jakarta Pusat 10350, Telp. (021) 319 91178, fax. (021) 349 91179

w w w.mpgmedia.co.id

NYLON Indonesia

PT. Tiga Visi Utama Thamrin City Office Park Blok AA No. 08-09 Jl. Kebon Kacang Raya, Jakarta Pusat 10350


star maps: loafers & slippers

walk on by

Ganti boots kamu dengan loafers untuk menyambut musim panas. Let’s play with them.

Teks: Patricia Annash | Foto: Rizki Rezahdy

Pedder Red, price by request

Topshop, Rp. 519.000

Pedder Red, price by request

ALDO, Rp. 500.000

Keds @ Pedder Red, Rp. 799.000

The Little Thing She Needs, Rp. 269.000

Chevalier @ The Goods Dept., Rp. 799.000

ALDO, Rp. 949.000

Amble, Rp. 450.000

Gwen Stefani

The Little Thing She Needs, Rp. 269.000

ALDO, Rp. 949.000

127


bag check

Dari kanan atas: t-shirt, Bershka, rp 259.900; kalung tengkorak, Cs accessories, rp 650.000; kalung lipstick, Cs accessories, rp 150.000; sunglasses, Gucci@Optik Melawai, price by request; antinganting, More and More@the Goods Dept, rp 299.000; Face mist, Evian@Guardian, rp 55.000; Hair spray, schwarzkopf@Guardian, rp 126.000; Hair curler, stylerush@Guardian, rp 729.000; Lipstik, Make Up store, rp 199.000; Parfum, Make Up store, rp 600.000; Eyeshadow, MaC, rp 225.000; Maskara, MaC, rp 160.000; Pigment shadow, MaC, rp 225.000; Fake Eyelash, Guardian, rp 600.000; kuteks, Make Up store, rp 160.000; Boots, Doc.Martens@the Goods Dept., rp 1.499.000; studded bag, BaDHa Project, price by request; Permen, skittles@ Guardian, rp 6.500; kuteks, skin Food, rp 43.800; Cleansing foam, skin Food, rp 165.400; Foundation, LÂ’orĂŠal, rp 90.000; Lip gloss, PaC, rp 235.500; Pouch, Bershka, rp 119.900; Compact powder, Maybelline, rp 36.000; Eyebrow pencil, PaC, rp 74.900; Glitter pallete, nYX, rp,129.000; Eyeshadow, Make Up store, rp 182.000; Glitter, Make Up store, rp 172.000; Glitter, Make Up store, rp 172.000.

the rockstar

Jika bisa mengintip tas dari musisi rock favoritmu, who would it be? Oleh: Anindya Devy. Foto Oleh: Rizhki Rezahdy.




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.