Warta herpetofauna edisi november 2011

Page 1

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Warta Herpetofauna (edisi dua bahasa/bilingual)

Daftar Isi: Rumah Cicak Hutan (Cyrtodactylus spp) di Kabupaten Dairi

4

Keberadaan kodok Ingerophrynus biporcatus di Kalimantan yang terlewatkan

Dalam Kebersamaan Surili 2011

8

GALERI FOTO Ekspedisi di TN Kerinci Seblat 10

Mengunjungi Penangkaran Kura-Kura di 12

Penangkaran: Upaya Menuju Keberlanjutan Populasi Kura-Kura

15

Penangkaran Kura-Kura Brazil

16

The Pig-nosed Turtle repatriation project

18

Mencintai Katak Mencintai Kehidupan

20

Si Cantik Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) dari Surga Eksotis Kepulauan Aru, Indonesia

22

Pustaka Perilaku Ular 1997-2005

24

Komodo, Evolusi dan Tim Jessop

26

Leptophryne cruentata

28

2

Penerbit : Perhimpunan Herpetologi Indonesia Pimpinan redaksi : Mirza Dikari Kusrini

di Batang Merangin, Taman Nasional Kerinci Seblat

Karawang

Media informasi dan publikasi dunia amfibi dan reptil

6

Mengenal Keanekaragaman Herpetofauna

Surili KPH-Himakova, Fakultas Kehutanan IPB

Warta Herpetofauna

Redaktur: Noor Aenni Tata Letak & Artistik : Noor Aenni Arief Tajalli Sirkulasi KPH “Python” HIMAKOVA Alamat Redaksi Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil Indonesia Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan – IPB Telpon : 0251-8627394 Fax : 0251-8621947 Foto cover luar: Ahaetulla prasina di Sungai Lesan, Kalimantan Barat oleh Arief Tajalli

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Volume V No 1, November 2011

Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus bagi konservasi amfibi dan reptil. Pada bulan Oktober lalu dilakukan pelepasan kura-kura moncong babi hasil sitaan dari Hong Kong ke Papua. Kegiatan yang merupakan kerjasama antar pemerintah Hong Kong, Indonesia dan LSM ini menunjukkan itikad kuat para penggiat konservasi satwa liar untuk melindungi kura-kura dari ancaman penurunan populasi. Dilain sisi, penetapan katak api Leptophryne cruentata sebagai ikon satwa nasional 2011 walaupun sepi dari kegiatan namun menunjukkan paling tidak adanya perhatian akan keberadaan katak ini sehingga lebih dikenal. Katanya, tak kenal maka tak sayang. Selamat membaca. REDAKSI MENERIMA SEGALA BENTUK TULISAN, FOTO, GAMBAR, KARIKATUR, PUISI ATAU INFO LAINNYA SEPUTAR DUNIA AMFIBI DAN REPTIL. BAGI YANG BERMINAT DAPAT MENGIRIMKAN LANGSUNG KE ALAMAT REDAKSI ATAU VIA EMAIL KE :mirza_kusrini(at)yahoo.com

3

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


RUMAH CICAK HUTAN (Cyrtodactylus spp) DI KABUPATEN DAIRI Tulisan dan Foto oleh Mistar/Yayasan Ekosistem Lestari Ketika mengunjungi hutan bagi pengamat herpetofauna tentu berharap besar ketemu beragam jenis amfibi maupun reptil khususnya di malam hari. Tidak lebih dari dua minggu (21 Juni - 3 Juli 2011) penulis mengunjungi sebagian kecil hutan Lindung Batu Ardan mencatat 44 jenis amfibi dan reptil. Hutan Lindung tersebut secara administrasi termasuk Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, Propinsi Sumatera Utara. Tepatnya daerah yang dikunjungi yaitu;

4

Bongkaras dan Sungai Semungun, kedua lokasi terletak pada ketinggian antara 6001150 meter dari permukaan laut, kondisi hutan sudah terganggu oleh kegiatan ekplorasi tambang, dan perambahan, bertopografi terjal, tutupan tajuk masih baik antara 70-80 %. Pada saat survey berlangsung, ditemukan sebuah rumah yang menjadi “rumah cicak hutan�.

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Cyrtodactylus quadrivirtus

Rumah kayu dibangun diatas batu berukuran sekitar 5 x 8 meter, berjarak sekitar 300 meter dari hutan, antara hutan dengan rumah terdapat kebun kopi dan semaksemak sehingga habitat alami ini masih bersinggungan . Pada suatu malam dimana cuaca yang awalnya cerah, seketika hujan deras sehingga membatalkan pengamatan standar VES-night stream. Kandisi yang basah kuyub meski sudah pakai jas hujan, membuat penulis membatalkan niat langsung masuk pondok tersebut. Secara tidak sengaja penulis mengarahkan headlamp ke tiang-tiang rumah dan segera terlihat sedikitnya tiga inidvidu cicak berdekatan. Akhirnya penulis memutuskan untuk mengelilingi pondok, dan meriksa batu penopang rumah. Ternyata ditemukan lima jenis cicak dari dari 3 marga yaitu yang diidentifikasi sebagai Cyrtodactylus lateralis, C. quadrivirgatus, Cyrodactylus sp, Cicak rumah Gehyra mutilata, dan Hemidactylus frenatus. Cicak hutan (Cyrtodactylus spp) merupakan satu marga dari 11 marga Suku Gekkonidae di Kawasan Sunda Besar. Sumatera menurut (Manthey & Grossmann, 5

1997) tercatat lima jenis yaitu; Cyrtodactylus consobrinus, C. lateralis, C. malayanus, C. marmoratus, dan C. quadrivirgatus). Perkembangan terakhir banyak jenis belum dikenal, sehingga besar kemungkinan akan terjadi penambahan jenis baru dalam beberapa tahun kedepan. Dugaan rumah diatas yang penulis sebut “Pelabuhan Cicak� disebabkan banyaknya tumpukan papan dibawah rumah dan hutan sekitarnya, sehingga menjadi tempat ideal berburu mangsa bagi cicak seperti yang diburon tersebut. Oleh karena itu, kalau lain kali masuk hutan dan melihat rumah kayu, jangan segan-segan untuk memeriksanya!

Cyrtodactylus lateralis

Cyrtodatylus sp, dijumpai Bongkaras dan Sungai Semungun

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


KEBERADAAN KODOK Ingerophrynus biporcatus DI KALIMANTAN YANG TERLEWATKAN Hellen Kurniati/ Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI biporcatus di Kalimantan masih merupakan tanda tanya, apakah jenis ini asli Kalimantan atau merupakan jenis introduksi dari Sumatra atau Jawa. Untuk membuktikan itu semua perlu dilakukan studi DNA populasi untuk melihat keterkaitan populasi jenis ini yang berada di Kalimantan, Sumatra dan Jawa.

Gb. 1. Kodok I. biporcatus yang dijumpai di daerah kebun sawit PT. MSM, Kalimantan Tengah (Foto: H. Kurniati).

Jenis kodok Ingerophrynus biporcatus (Gb.1) atau lebih dikenal dengan nama lamanya Bufo biporcatus, adalah jenis kodok endemik di Indonesia. Menurut IUCN (2011), Iskandar (1998) dan Iskandar & Colijn (2000), penyebaran jenis ini meliputi Sumatra bagian selatan, Jawa, Madura, Bali, Lombok dan introduksi ke Sulawesi (Gambar 2). Melihat pola penyebarannya, yaitu dari Sumatra dan Jawa kemudian introduksi ke Sulawesi dengan melompati Kalimantan terlihat cukup janggal, karena perpindahan manusia keluar dan masuk antara Kalimantan dan Sulawesi cukup ramai. Informasi keberadaan jenis kodok I. biporcatus di Kalimantan tidak dijumpai pada publikasi Furlong dkk (2005), Inger (2005), Inger & Voris (2001), Inger & Stuebing (2005), Inger dkk (2005), Inger & Tan (1996), Iskandar (1998), Iskandar (2004), Iskandar & Colijn (2000), Meijaard dkk (2005) dan Veith dkk (2004). Informasi keberadaan kodok ini hanya dijumpai pada publikasi Kirono & Santoso (2007: halaman 43); jenis ini dijumpai di daerah Hulu Belantikan, Kalimantan Tengah (Gambar 2). Pada bulan Maret 2010, penulis menjumpai kodok I. biporcatus di areal perkebunan sawit PT. Mentaya Sawit Mas (PT. MSM) yang terletak di dekat kota Sampit, Kalimantan Tengah (Gb. 2). Keberadaan jenis I. 6

Menurut Kirono & Santoso (2007), habitat kodok I. biporcatus adalah hutan sekunder dan kolam-kolam dangkal dan terbuka di sekitar perbatasan hutan dengan perkebunan; kodok ini cukup jarang dijumpai dan sering dijumpai berasosiasi dengan kodok Duttaphrynus melanostictus atau B. melanostictus. Kondisi kelimpahan I. biporcatus di areal kebun sawit PT. MSM sangat jauh berbeda dengan apa yang diinformasikan Kirono & Santoso (2007); jenis ini dijumpai sangat berlimpah di kebun sawit; mereka dijumpai pada habitat pemukiman manusia, parit irigasi dan rawa gambut, tidak dijumpai berasosiasi dengan jenis D. melanostictus. Sepertinya kodok I. biporcatus sangat toleran dengan perairan gambut yang asam yang tidak disukai jenis D. melanostictus, karena pada areal perkebunan sawit ini tidak satupun dijumpai individu D. melanostictus.

Gb. 2. Penyebaran kodok I. biporcatus di Indonesia. Daerah warna merah adalah penyebaran asli; daerah warna merah muda adalah introduksi (Sulawesi); bulatan biru tempat Ingerophrynus biporcatus dijumpai di Kalimantan: (1) Hulu Belantikan; (2) Perkebuna sawit PT. MSM (sumber peta: IUCN, 2011). WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Furlong dkk (2005), tidak mendapatkan jenis I. biporcatus di Taman Nasional Tanjung Puting yang letaknya relatif dekat dengan lokasi kebun sawit PT. MSM dan juga merupakan daerah hutan gambut. Habitat di mana kodok I. biporcatus kerap dijumpai berlimpah di areal kebun sawit adalah kolam terbuka dengan air berwarna coklat kehitaman (Gambar 3); habitat ini menandakan bahwa air kolam itu bersifat asam yang berasal dari rawa gambut.

of Biodiversity and Environmental Conservation, Universiti Malaysia Sarawak, Kota Samarahan. Inger, R.F & F.L. Tan. 1996. Checklist of the frogs of Borneo. Raffles Bulletin of Zoology 44: 551-574. Iskandar D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor. Iskandar, D.T. 2004. The Amphibians and Reptiles of Malinau Region, Bulungan Research Forest, East Kalimantan. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Iskandar, D. & E. Colijn. 2000. Preliminary checklist of Southeast Asian and New Guinean herpetofauna, I. AmFurlong, R., C. Gibbons, K. Kennedy, I. Mackenzie, S. phibians. Treubia 313: 1-133. Shonleben & A. Stott. 2005. Project Kodok. A research proIUCN. 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Verject aimed at investigating and monitoring Anuran populasion 2011.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 13 tions in Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan, July 2011. Indonesia, South East Asia. Main Report, University of Edinburgh. 21 pp. Kirono, S & E. Santoso. 2007. Panduan lapangan amfibi Hulu Belantikan. Yayasan Orangutan Indonesia. Pustaka Inger, R.F. 2005. The systematics and Zoogeography of Yayorin. the amphibia of Borneo. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu. Meijaard, E., D. Sheil, R. Nasi, D. Augeri, B. Rosenbaum, D. Iskandar, T. Setyawati, M. Lammertink, I. Rachmatika, Inger, R.F & H.K. Voris. 2001. The biogeographical relaA. Wong, T. Soehartono, S. Stanley & T. O’Brien. 2005. tions of the frogs and snakes of Sundaland. Journal of BioLife after logging. Reconciling wildlife conservation and progeography 28: 863-891. duction forestry in Indonesian Borneo. CIFOR, Bogor, IndoInger, R.F & R.B. Stuebing. 2005. A field guide to the frogs nesia. of Borneo. Natural History Publication (Borneo). Kota KinaVeith, M, S. Wulffraat, J. Kosuch, G. Hallmann, H.W. Henbalu. kel, P. Sound, Samsu, L. Rudhimanto & D. Iskandar. 2004. Inger, R.F, R.B. Stuebing & R. Zainudin. 2005. Peat swamp Amphibians of the Kayan Mentarang National Park (East frogs of Borneo. In: Wallace in Sarawak–150 Years Later. Kalimantan, Indonesia): estimating overall and local speAn International Conference on Biogeography and Biodi- cies richness. Tropical Zoology 17: 1-13. versity. A. A. Tuen and I. Das (Eds). pp: 178–181. Institute DAFTAR PUSTAKA

Gambar 3. Habitat kodok I. biporcatus di areal kebun sawit PT. MSM (Foto: H. Kurniati). 7

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Mengenal Keanekaragaman Herpetofauna di Batang Merangin, Taman Nasional Kerinci Seblat Dalam Kebersamaan Surili 2011 Rika Sri Wahyuni Kelompok Pemerhati Herpetofauta “Phyton” Himakova—Fakultas Kehutanan IPB

Tim Surili 2011 dari KPH Himakova (kiri atas), Kondisi sungai di lokasi pengamatan di Sungai Batang Merangin (kanan atas). Foto: KPH “Phyton” Himakova IPB

Kegiatan ini merupakan salah satu program kerja unggulan dari HIMAKOVA yang disebut Studi Konservasi Lingkungan atau biasa disebut SURILI. SURILI 2011 dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Jambi. Delapan Kelompok Pemerhati (KP) yang terdapat di Himpunan Mahsiswa Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata (Himakova) menyebar di 4 Resort TNKS yaitu resort Gunung tujuh, Batang Merangin, Gunung Kerinci dan Bukit Tapan. Kelompok Herpetofauna ‘PYTHON’ sendiri ditempatkan di Resort Batang Merangin Muara Hemat. Kegiatan surili sendiri dimulai pada tanggal 26 Juli 2011 yang diawali dengan perjalann dari Bogor menuju Kota Sungai Penuh. Lima hari pertama digunakan dalam perjalanan, persentasi rencana kegiatan pada pihak Taman Nasional serta persiapan segala macam kebutuhan dilapang. Kegiatan eksplorasi keanekaragaman herpetofauna dibatang merangin berlangsung dari tanggal 31 Juli hingga 9 Agustus 2011. Tim KPH berjumlah 10 orang dengan komposisi 7 orang laki-laki dan 3 orang perem8

puan serta Bapak Polhut (Pak Gio dan Babeh) dan Pak Ndin yang selalu menemani dan menjaga kami selama kegiatan dilapang. Bulan Puasa tidak menghalangi kami dalam melakukan kegiatan ini, malahan meningkatkan kebersamaan dalam proses belajar mengenal keanekaragaman herpetofauna di salah satu kawasan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Alam Dunia. Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan habitat asli dari Harimau Sumatra dan satwa liar lainnya. Babi hutan, simpai dan biawak merupakan pemandangan biasa setiap harinya disekitar resort. Selama kurang lebih 10 hari dilapang kami melakukan pengamatan di 6 lokasi dengan 3 type habitat. Pada habitat akuatik pengamatan dilakukan di Sungai Batu asah, Pulau Ular dan Sungai Batang Merangin, sedangkan habitat semi akuatik di Hutan Sapurak, Pulau Ular dan Hutan Alam semi akuatik, dan habitat terrestrial dilakukan pengamatan di Jalan Lurus muara hemat dan Hutan alam terrestrial. Dari lokasilokasi tersebut hanya hutan alam yang termasuk kedalam wilayah TNKS sedangkan sungai batang merangin merupakan sungai perbatasan kawasan dan lokasi lainnya

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Untuk mencapai kawasan Hutan alam dan hutan Sapurak kami harus menyebrang sungai Batang Merangin yang lebarnya mencapai 30 meter dengan arus yang cukup deras. Disinilah uji tantangan bagi tim KPH, Untuk menuju Hutan Sapurak tim harus menyebrangi sungai dengan menggunakan tali dan katrol. Sedangkan untuk mencapai hutan alam kami harus mnyebrangi sungai secara langsung dengan bergandeng tangan agar tidak terbawa arus. Berkat bantuan dari warga sekitar dan Bapak Polhut kami dapat melaksanakan pengamatan dengan selamat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di tiga tipe habitat yang ada di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat, ditemukan 30 jenis herpetofauna dari sepuluh famili. Dengan Komposisi amfibi 15 jenis dari 3 family, dan reptil 15 jenis dari 7 family (Tabel 1.).

Dari 30 jenis herpetofauna yang ditemukan jenis amfibi yang paling melimpah adalah Bufo asper dan Rana chalconata, jenis tersebut hampir ditemukan disetiap type habitat. Sedangkan jenis reptil yang paling melimpah adalah Bronchocella cristatella dan Cyrtodactylus marmoratus Dua ekor Python reticulatus ditemukan di pulau ular dan di jalan lurus, namum python yang ditemukan di pinggir jalan raya jalan lurus ditemukan dalam kondisi mati karena luka di bagian ventral. Setelah pengamatan dilapang, kegiatan dilanjutkan dengan pengolahan data dan persentasi hasil sementara kepada pihak Taman Nasional di Sungai Penuh. Pada tanggal 14 Agustus tim Himakova kembali menuju Bogor. Kegiatan SURILI 2011 di Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan pengamalam berharga yang tak akan terlupakan.

Tabel 1. Komposisi Herpetofauna di Batang Merangin TNKS selama pengamatan 31 Juli—9 Agustu 2011 Famili Bufonidae

Ranide

Jenis Amfibi

n

Bufo asper

21

Ansonia leptopus

1

Rana chalconota Rana hosii Rana nicobariensis Huia sumatrana Limnonectes crybetus Limnonectes macrodon

22 7 3 2 4 1

Limnonectes kuhlii Fejervarya cancrivora Fejervarya limnocharis Leptobrachium hasseltii

1 1 3 1

Polypedates leucomystax Polypedates macrotis

1 1

Rhacophorus nigropalmatus

1

Rhacophoridae

Famili Boidae

Python reticulatus

2

Typhlopidae

Typhlopidae sp

1

Colubridae

Xenodermus javanicus

1

Agamidae

Ptyas korros Boiga dendrophila Draco volans Draco sp Bronchocela cristatella

1 1 2 1 7

Gonocephalus chamaeleontinus Aeluroscalabotes felinus Hemidactylus frenatus Cyrtordactylus marmoratus

1 1 1 7

Scincidae sp. Eutrophis rudis

1 3

Varanus salvator

1

Gekkonidae

Jenis Reptil

n

Scincidae

Varanidae

Mernyeberang sungai menggunakan tali (kiri). Foto KPH “Phyton� Himakova

9

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


GALERI FOTO Ekspedisi di TN Kerinci Seblat Surili KPH-Himakova, Fakultas Kehutanan IPB; FOKA & (KPH PYTHON HIMAKOVA) Pada bulan Juli - Agustus 2011, Kelompok Pemerhati Herpetofauna Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB melaksanakan ekspedisi tahunan ke Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Laporan perjalanan kegiatan ini telah disajikan di halaman sebelumnya. Berikut disajikan beberapa foto yang tersimpan dari kegiatan ekpedisi ini yang dilakukan di resor Merangin.

Atas kiri: Aeluroscalabotes felines; Atas kanan: Xenodermus javanicus; Tengah kiri: Python reticulatus; Tengah kanan: Bronchocela cristatella; Habitat sungai di Pulau Ular ( bawah kiri)

10

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Polypedates macrotis

Huia sumatrana

Rana chalconota

Bufo asper Rana nicobariensis

11

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


MENGUNJUNGI PENANGKARAN KURA-KURA DI KARAWANG

12

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Foto dan tulisan: Mirza D. Kusrini

Indukan kura-kura brazil (Trichemys scripta) berjemur di tengah kolam penangkaran di Karawang Timur. Sementara itu ratusan lainnya berada di dalam air dan menjulurkan lehernya untuk mengambil udara. Foto: Mirza D. Kusrini

13

Pernahkah Anda melihat kura-kura brazil (Trichemys scripta) kecil dijual di pasar atau di depan sekolahsekolah dan berpikir darimana asalnya? Walaupun disebut sebagai kura -kura brazil, sebenarnya jenis ini bukan berasal Brazil (lihat boks). Populer sebagai hewan peliharaan, hewan ini dulu memang diimpor, namun kini kura-kura brazil yang dijual di berbagai daerah di Indonesia kebanyakan berasal dari penangkaran dari dalam negeri. Praktek penangkaran kurakura maupun labi-labi secara komersial baik untuk konsumsi makanan maupun obat atau sebagai hewan peliharaan kini banyak dikembangkan di beberapa negara. Pada beberapa tempat, praktek penangkaran ini merupakan industri besar sehingga dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai “farm� atau peternakan. Jenis-jenis kura-kura yang banyak ditangkarkan adalah Labi-labi Cina Pelodicus sinensis untuk konsumsi dan kura-kura Brazil (Trachemys scripta elegans dan T. s. scripta) untuk hewan peliharaan. Produk yang dijual bisa berupa telur, anakan maupun indukan. Cina merupakan negara dengan jumlah penangkaran kura-kura yang sangat besar. Pada tahun 2008 saja ada 1499 penangkaran kura-kura yang tercatat resmi pada otoritas terkait. Diperkirakan jumlahnya sebenarnya WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Di Indonesia, paling tidak tercatat dua perusahaan yang menangkarkan kura-kura dalam jumlah besar yaitu PT Agrisatwa Alam Nusa yang menagkarkan kura-kura brazil T. s. elegans dan yaitu PT. Tarumfajar Pratama yang menangkarkan labilabi Cina P. sinensis. Pada hari Jum’at tanggal 21 Oktober 2011 yang lalu Warta Herpetofauna mendapat undangan dari APEKLI (Asosiasi Pengusaha Kura-kura dan labi-labi Konsumsi Indonesia) untuk mengunjungi kedua penangkaran yang terletak di Karawang. Kunjungan dilakukan oleh Mirza D. Kusrini (MDK) dan Arief Tajalli didampingi oleh Bpk. Maraden Purba dari APEKLI, Pak. Herianto (CV Bali Foultry anggota APEKLI ) dan bapak Li Xiao Ming, penasehat teknis dari PT Tarumfajar Pratama dan PT Agrisatwa Alam Nusa. Kunjungan berawal dari penangkaran kurakura Brazil di Karawang Timur. Pada areal seluas 18 hektar, hampir 80% ditutup oleh kolam-kolam beraneka ukuran yang terpisah mulai dari kolam indukan sampai kolam tukik. Kolam induk dilengkapi dengan tempat berjemur di tengah kolam dan area bertelur. Setiap sore, telur-telur akan diambil

oleh pekerja dan dipindahkan ke ruang khusus sampai menetas. Setelah menetas, tukik akan dipindahkan ke kolam khusus, dimana tukik yang sakit akan dipisahkan untuk perawatan. Diawali dengan uji coba sejak tahun 2008 dengan beberapa indukan yang diimpor, produksi T. scripta saat ini adalah 200.000/ tahun dengan proyeksi ke depan mencapai 1 juta ekor/tahun. Bisa dikatakan, saat ini peredaran kura-kura Brazil di dalam negeri berasal dari penangkaran ini. Kunjungan dilanjutkan untuk melihat penangkaran P. sinensis. Labi-labi cina merupakan jenis yang paling umum diternakkan untuk keperluan konsumsi. Sejarah penangkaran P. sinensis dimulai dari Jepang pada awal abad 20. Di Cina sendiri sekitar 97% perdagangan kura-kura dari penangkaran yang dilaporkan adalah jenis P sinensis. Penangkaran P. sinensis oleh PT Tarumfajar Pratama sudah berlangsung sekitar 15 tahun. Saat ini produksi utamanya adalah telur yang diekspor terutama ke Korea Selatan, dengan jumlah sekitar 3 kuintal telur/minggu.

Gambar dari kiri atas searah jarum jam: Telur labi-labi Cina yang siap untuk dikemas; lab-labi Cina bertelur di rumah pasir yang sudah disediakan; Mr. Li Xiao Ming menjelaskan pengembangan penangkaran dengan antusias; kolam kura-kura brazil. Foto: Mirza D. Kusrini

14

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


PENANGKARAN: UPAYA MENUJU KEBERLANJUTAN POPULASI KURA-KURA INDONESIA Mirza D. Kusrini

Saat ini Indonesia mendapat sorotan cukup tajam atas perdagangan kura-kura terutama jenisjenis yang diperdagangkan dalam jumlah besar seperti misalnya labi-labi Amyda cartilagenea dan kura-kura Ambon Coura amboinensis. Berbagai keraguan atas populasi kura-kura Indonesia harusnya dapat dijawab melalui monitoring populasi di alam. Selain itu, perlu dilakukan juga upaya penangkaran, baik untuk mengurangi tekanan pemanenan dari alam maupun untuk kepentingan konservasi jenis. Saat ini upaya penangkaran jenis-jenis Indonesia telah dilakukan oleh beberapa pengusaha eksportir reptil. Adalah PT Alam Nusantara Jayatama (PT Alnusa) yang dikenal sebagai salah satu perusahaan eksporter hewan peliharaan yang aktif melakukan usaha budidaya berbagai kura-kura asli Indonesia untuk kepentingan hewan peliharaan. Sementara itu, upaya penangkaran untuk jenis-jenis yang dikonsumsi baru pada tahap ujicoba seperti yang dilakukan oleh pengusaha yang tergabung pada APEKLI. Sebagai contoh pada areal penangkaran PT Tarumfajar Pratama kini telah disiapkan 4 areal kolam untuk Penangkaran labi-labi Amyda cartilagenea yang dilakukan oleh CV Bali Foultry. Selain itu, juga dilakukan ujicoba Penangkaran C. amboinensis pada satu kolam yang rencananya akan dikembangkan oleh PT Agrisatwa Alam Nusa. Sampai saat ini keberhasilan ujicoba telah menunjukkan hasil memuaskan untuk A. cartilagenea dan C. amboinensis yang ditandai dengan adanya telur dan anakan. Oleh karena itu, mulai tahun 2012 direncanakan pengembangan penangkaran lebih lanjut. Selain dua jenis ini, ujicoba penangkaran juga dilakukan untuk jenis lain baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Namun demikian keberhasilan jenis lainnya belum menunjukkan hasil memuaskan. Menurut Pak Purba, selama ini perhatian kepada kura-kura di Indonesia sangat kurang. Oleh karena itu upaya penangkaran yang dilakukan merupakan salah satu program yang diusung oleh APEKLI agar dapat membantu konservasi kurakura di Indonesia terutama untuk jenis-jenis yang endemik maupun banyak dipanen untuk berbagai kepentingan. Selain itu, upaya penangkaran bisa 15

menjadi salah satu wadah untuk penelitian dan pendidikan mengenai kura-kura. Dukungan para pengusaha ini antara lain telah ditunjukkan oleh PT Alnusa melalui program pelepasliaran Chelonida mccordii dari hasil penangkaran ke habitat asalnya di Pulau Rote pada tahun 2009. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu keraguan mengenai usaha penangkaran kura-kura adalah biaya operasional yang relatif tinggi dibandingkan dengan penangkapan dari alam. Inilah yang membuat APEKLI mencoba mengembangkan penangkaran kura-kura Indonesia dengan cara bekerja sama dengan pengusaha penangkar yang sudah berhasil sehingga terdapat subsidi silang dimana biaya ditekan karena menggunakan fasilitas yang sama. Sebagai contoh, dari perbincangan diketahui bahwa biaya operasional labi-labi Cina lebih dari Rp 100 juta/bulan. Oleh karena itu pengembangan labi-labi A. cartilagenea oleh perusahaan yang telah berusaha di bidang penangkaran labi-labi Cina diharapkan tidak akan menambah biaya lebih banyak karena menggunakan fasilitas maupun tenaga kerja yang telah ada. Sumber: Mitsukuri K. 1906. "The cultivation of marine and fresh-water animals in Japan", in Rogers, Howard Jason, Congress of arts and science: Universal exposition, St. Louis, 1904, Houghton, Mifflin and company, pp. 694–732. Timor Express. 2009. Pelepasan Kura-kura Rote oleh Menhut. Chelodina Mccordi Pulang Kampung. Berita 17 Juli 2009. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 dari http://timorexpress.com/index.php/ index.php?act=news&nid=34205 Shi H, Parham JF, Fan Z, Hong M, Yin F. 2008. Evidence for the massive scale of turtle farming in China. Oryx 42: 147–150. Shi H, Parham JF. 2000. "Preliminary Observations of a Large Turtle Farm in Hainan Province, People's Republic of China", Turtle and Tortoise Newsletter 3: 4–6. WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


PENANGKARAN KURA-KURA BRAZIL 1

2

4

6 16

3

5

7 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Kura-kura Brazil Trachemys scripta

Kura-kura kolam Trachemys scripta merupakan kura-kura semi akuatik berukuran menengah (dewasa panjang 12.5 to 28.9 cm) yang sangat umum. Jenis ini memiliki tiga subspecies dengan jenis paling populer adalah T. s. elegans atau kura-kura telinga merah (redeared slider). Tukik kura-kura ini memiliki karapas berwarna hijau dan kulit kuning kehijauan dan garis hijau. Tanda-tanda dan warna hijau ini akan hilang saat dewasa menjadi abu kehijauan, beberapa bahkan menjadi kehitaman dengan sedikit bercak. Karapas oval dan datar, bagian bawah berwarna kuning dengan bercak gelap. Jantan memiliki cakar yang lebih panjang yang berfungsi untuk memegang betina saat kawin. Dikenal dengan nama kura-kura Brazil di Indonesia, sebenarnya kura-kura ini bukan berasal dari Brazil. Kura-kura ini aslinya berasal dari Amerika Serikat bagian timur dan tengah. Penyebaran asli ke-3 subspesies adalah sebagai berikut: T.s. scripta: Dari Virginia Selatan ke Florida Utara T.s. elegans: Alabama sampai Meksiko timur laut sampai ke Cuatro Cienegas. T.s. troostii: Virginia barat daya sampai Alabama timur laut (bagian barat dari pegunungan Appalachian). Kura-kura ini sangat populer sebagai hewan peliharaan sehingga diimpor ke berbagai negara di belahan dunia mulai dari Eropa (Perancis, Jerman, Yunani, Italia, Belanda, Spanyol, Swiss), Asia (Kamboja, Jepang, Cina, Indonesia, Taiwan, Thailand), Amerika Utara ( Kanada) bahkan sampai ke Israel dan Afika Selatan. Popularitas kura-kura ini sebagai hewan peliharaan sayangnya tidak dibarengi dengan kesadaran dan tanggungjawab pemilik hewan untuk mencegah hewan ini masuk ke habitat alam. Dibanyak tempat, populasi lepasan kura-kura ini menjadi ancaman bagi kurakura asli melalui kompetisi maupun predasi. Tak heran

Trachemys scripta elegans lalu masuk kedalam 100 Daftar Hewan Invasif Terburuk pada IUCN/SSC Invasive Species Specialist Group. Di beberapa negara, populasi kura-kura brazil di alam dimusnahkan. Uni Eropa, sebagai contoh telah melarang impor kura-kura T. s. elegans karena hewan ini dianggap menjadi jenis invasif, namun demkian subspecies lainnya masih diperbolehkan. Mengingat jenis ini telah masuk ke Indonesia dan ditangkarkan dalam jumlah besar, perlu ada pendidikan bagi konsumen mengenai penanganan kura-kura bila pemilik bosan dengan hewan peliharaan. Pelepasan ke alam harus dihindarkan untuk mencegah jenis ini menjadi pesaing bagi jenis asli ataupun mengganggu kesimbangan ekologi ekosistem perairan. Diperlukan adanya monitoring dan penelitian mengenai penyebaran dan dampak ekologi dari populasi feral. Sebagai contoh, di Telaga Biru. TN Gunung Gede pangrango, Jawa Barat penulis beberapa kali melihat jenis ini berjemur. Disarankan agar keberadaan jenis ini di kawasan konservasi dipantau, dan bila perlu dihilangkan sebelum mengganggu keseimbangan ekosistem. Sumber: Dewey T, Kuhrt T. 2002. "Trachemys scripta" (On-line), Animal Diversity Web. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 pada http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/ accounts/information/Trachemys_scripta.html. Rhodin AGJ, van Dijk PP, Inverson JB, Shaffer HB. 2010. Turtles of the World 2010 Update: Annotated Checklist of Taxonomy, Synonymy, Distribution and Conservation Status). Chelonian research Monographs 5: 85-163. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2011 pada http:// www.eve.ucdavis.edu/shafferlab/pubs/ TTWGChelResMono2010.pdf. van Dijk PP, Harding J, Hammerson GA. 2010. Trachemys scripta. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.1. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 pada http://www.iucnredlist.org/ apps/redlist/details/22028/0

Gambar 1: Kura-kura brazil dewasa betina yang telah kawin akan naik ke sisi kolam untuk bertelur (biasanya malam). Gambar 2: Telur yang terkubur di tanah akan digali oleh pekerja setiap siang Gambar 3 dan 4: Telur-telur dari tanah yang telah digali akan diambil dan jumlah telur yang diperoleh dicatat. Telur lalu dibawa dalam ember. Gambar 5: Telur dipindahkan ke dalam kotak penetasan di dalam ruangan khusus. Gambar 6: Begitu telur menetas, kotak dipindahkan ke ruangan lain dan disatukan dengan telur-telur yang siap menetas sehingga mudah dipantau. Gambar 7. Tukik kura-kura Brazil kemudian dipindahkan ke kolam anakan dan siap untuk dijual. Foto: MDK 17

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


The Pig-nosed Turtle repatriation project Gary Ades (Kadoorie Farm– Hong Kong)

609 Pig-nosed turtles (Carettochelys insculpta) were successfully released into the Maro River in Indonesian Papua on 7th October. The release involved full participation by the local villagers from the nearby village of Bupul which is on the border of Papua New Guinea. The village head and most of the school children released a turtle into the river after a sermon was provided by the village pastor. The theme of the sermon related to protection and understanding of the environment and sustainable use of re-

sources. The village head who was familiar with the local fauna, last saw a wild pig-nosed turtle in the river 30 years previously and there was a hope that this release of juvenile turtles would see the return of this species to the area. The people of Bupul and two other villages down river have vowed to protect the turtles and also provide the local Forestry Officers updates if they come across pignosed turtles in the river. The whole repatriation operation has been considered a success in many ways and not least through the partnerships and collaborations that have developed between the Hong Kong and Indonesian Governments, Conservation NGOs, commercial airlines and the village of Bupul, all with a joint desire to correct some of the damage which over-exploitation of our natural resources has caused and see a once common turtle species return to this stretch of the Maro river. The repatriation project has been successfully conducted by generous assistance of various organizations and individuals, in particular HKSAR Government’s AFCD, the KKH and BKSDA of the Indonesian Government, WCS Indonesia, Cathay Pacific Airways and the villagers of Bupul.

Pictures Top: arrival of pig-nosed turtles from Hong Kong; Left: Turtles are carried to the river; Right: The Head of the Forestry Office in Merauke releases the first turtle into a holding net Gambar Atas: Kedatangan kura-kura moncong babi; Kiri: Kura-kura dibawa ke sungai; Kanan: Kepala Dinas Kehutanan Merauke melepaskan kura-kura pertama ke jarring sementara 18

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Pictures Left: Karmele from international animal Rescue tells local children about the story ; Right: The Release Kiri: Karmele dari IAR menjelaskan kepada anak-anak cerita tentang kura-kura moncong babi; Kalan: pelepasan ura-kura

Sebanyak 609 kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) telah sukses dilepas di Sungai Maro di Provinsi Papua pada tanggal 7 Oktober yang lalu. Pelepasan ini mengikutsertakan partisipasi penuh dari penduduk lokal dari desa di dekatnya yaitu Bupul, yang merupakan perbatasan dengan Papua Nugini. Kepala desa dan hampir semua anak-anak sekolah melepaskan kura-kura ke sungai setelah pembacaan khotbah oleh pastor desa. Tema khotbah berhubungan dengan perlindungan dan pemahaman akan lingkungan serta pemanfaatan berkelanjutan dari sumberdaya. Kepala desa yang sangat mengeali fauna lokal mengatakan bahwa kura-kura moncong babi terakhir di sungai ini dilihatnya 30 tahun yang lalu dan ada harapan pelepasan tukik kura-kura akan mengembalikan jenis ini ke daerahnya. Masyarakat Bupul dan dua desa lainnya telah bersumpah untuk melindungi kura-kura dan juga akan mem-

berikan laporan kemajuan kepada petugas Dinas Kehutanan jika mereka melihat kura-kura ini di sungai. Secara keseluruhan operasi pengembalian dianggap sukses dalam berbagai hal, antara lain melalui kerjasama dan kolaborasi yang telah terbentuk antara pemerintah Hong Kong dan Indonesian Governments, LSM Konservasi, perusahaan penerbangan internasional dan desa Bupul, dimana semuanya memiliki keinginan sama untuk memperbaikan kerusakan akibat eksploitasi berlebih dari sumberdaya alam kita dan melihat kembali keberadaan jeni sini yang dulunya umum, pada daerah aliran sungai Maro. Keberhasilan proyek pengembalian didukung oleh bantuan dari berbagai organisasi dan individu, antara lain AFCD Pemerintah HKSAR, KKH dan BKSDA (Pemerintah RI), WCS Indonesia, Cathay Pacific Airways dan masyarakat Bupul.

Sekilas latar Belakang pelepasan Kura-kura Moncong Babi dari Hong Kong Pada tanggal 13 Januari 2011, 786 kura-kura moncong babi berukuran 7-9 cm disita oleh Pemerintah Hong Kong sebagai barang selundupan dari Jakarta menuju Cina Selatan. Kura-kura ini berada dalam 35 buah boks stryfoam yang bertulisan sebagai ikan tropis. Pemerintah Hong Kong bekerjasama dengan Kadoorie Farm memutuskan untuk mengembalikan kura-kura ini. Serangkaian pembicaran dilakukan dengan pemerintah Republik Indonesia, dibantu oleh International Animal Rescue Indonesia. Bila sampai Oktober rencana pemulangan tidak berjalan, maka kura-kura akan dibunuh. Hal ini disebabkan kondisi cuaca yang mulai dingin sehingga kura-kura menjadi sakit, selain itu dibutuhkan ruang lebih banyak akibat pertumbuhan kura-kura. Pemerintah RI menyambut baik rencana pemulangan ini, persiapan dilakukan melalui rapat-rapat di KKH maupun komunikasi melalui email. Masalah yang menjadi diskusi adalah rencana awal dari pihak Kadorrie Farm untuk melepaskan hewan ini di TN Wasur. Serangkaian disuksi (termasuk melalui milis forum_herpetologi_Indonesia@yahoogroups.com) tidak menyarankan pelepasan hewan ini di TN Wasur mengingat habitatnya yang kurang sesuai. Akhirnya, kura-kura dilepaskan di Sungai Maro. Pelepasan kura-kura moncong babi sebenarnya sudah pernah dilaksanakan oleh pemerintah RI beberapa kali dari hasil sitaan sebelum diekspor. Laporan dari Balai Besar KSDA Papua menunjukkan bahwa ribuan kura-kura moncong babi dilepas sejak tahun 2009. (MDK) Tabel Jumlah kura-kura moncong babi yang telah dilepaskan oleh BBKSDA Papua. Sumber: presentasi Kepala Balai Besar KSDA Papua Drs. IGNN Sutedja, MM pada rapat tanggal 23 September 2011

19

Tahun

Jumlah (ekor)

Lokasi

Status

Tindakan

Mitra

2009

12.247

Merauke

DPO

Lepas liar

Freeport

2010 2010

464 10.980

Merauke Timika

DPO Vonis 1,5 than di Mimika

Lepas liar Lepas liar

Freeport

2011 (sktr Maret)

744

Merauke

Dalam proses

Lepas liar

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


MENCINTAI KATAK, MENCINTAI KEHIDUPAN Mirza D. Kusrini Katak sebenarnya bukan hewan yang cukup dicintai di Indonesia. Jangankan dicintai, dikenalpun hampir tidak. Dengan banyaknya satwaliar, katak jarang masuk ke dalam prioritas para peneliti dan konservasi satwa liar Indonesia. Rupanya yang kecil, hidupnya yang kebanyakan aktif malam serta cenderung bersembunyi – belum lagi kulitnya yang licin berlendir serta beberapa kasar membuat katak bukan hewan yang mudah untuk dicintai. Berbeda dengan satwa besar lainnya yang kharismatis seperti Badak, Gajah, Orangutan maupun Harimau, ataupun atraktif dan akrab dalam budaya seperti berbagai jenis burung. Tak heran, untuk Indonesia yang kini tercatat memiliki lebih dari 350 spesies amfibi, tidak ada satupun lembaga penggiat konservasi satwaliar di Indonesia yang mengurusi katak. Bandingkan dengan orangutan yang hanya dua spesies namun jumlah LSM yang menangani bisa sampai puluhan! Dalam pendidikan katak dikenal cukup baik. Contoh yang digunakan dalam pelajaran metamorfosis di SD pastilah katak dan kupu-kupu. Ini membuat seakan-akan semua katak pasti bermetamorfosis, bermula dari berudu yang serupa ikan berinsang hidup di air lalu berubah menjadi katak dewasa berkaki empat dengan paru-paru untuk bernafas dan hidup di darat. Padahal katak pohon mungil Philautus sp saat menetas dari telur sudah berbentuk persis seperti dewasa, alias tidak melalui tahapan metamorfosis. Ada juga katak yang tidak punya paruparu, bernafas lewat kulit, yaitu Barbourula kalimantanensis yang membuat katak ini tidak tahan lama hidup diluar air. Beberapa tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa pada tahap telur dan berudu amfibi sangat sensitif terhadap kerusakan lingkungan, terutama pencemaran air. Oleh karena itu, amfibi menjadi indikator biologis yang penting, dimana adanya perubahan pada morfologi maupun populasi menjadi ukuran kesehatan lingkungan di sekitarnya. Dalam jejaring makan, katak termasuk karnivora dengan makanan utama berbagai jenis serangga dan invertebrata lainnya (labah-labah, siput). Tak heran,

20

fungsi katak sebagai predator hama serangga kerap didengungkan para pecinta lingkungan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya katak di alam. Dalam jajaran kuliner manusia, katak sebenarnya cukup akrab. Swikee, olahan kaki katak bisa ditemui dengan mudah di rumah makan tertentu, atau bahkan di warung-warung pinggir jalan di Purwodadi. Tak banyak yang tahu bahwa Indonesia adalah pengekspor paling besar di dunia untuk kaki katak beku yang sebagian besar dikirim ke Eropa. Menurut perhitungan sekitar 5,5 juta ton dikirim per tahun atau setara dengan 400 juta katak. Jumlah yang banyak ini tak pelak membuat Indonesia menjadi sorotan pemerhati konservasi satwa di luar negeri yang menganggap katak Indonesia akan punah bila jumlah yang dipanen tidak berkurang. Walaupun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar katak yang dipanen berasal dari sawah dan merupakan jenis-jenis yang diuntungkan dari keberadaan sawah. Sawah bukan habitat yang menyenangkan dan katak sawah memanfaatkan sedikitnya saingan untuk hidup nyaman dengan anakan yang sangat banyak serta kawin setiap waktu. Jadi, hitungan panenan yang fantastis ini masih relatif aman untuk populasi katak sawah di Indonesia. Fungsi katak bagi manusia juga terkait kehidupan. Katak merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan dalam penelitian maupun praktikum di laboratorium untuk kepentingan medis. Tahun 1939 Hogben memperkenalkan uji kehamilan menggunakan katak Xenopus laevis dari Afrika Selatan. Dengan ditemukannya metode yang lebih maju dan mudah, tes ini kemudian ditinggalkan mulai tahun 1960-an. Sayangnya penggunaan katak ini yang diekspor ke berbagai laboratorium di seluruh dunia dianggap sebagai salah satu sumber menyebarnya jamur Batrachochytrium dendrobatis (Bd). Gelombang kepunahan katak di seluruh dunia dalam satu dekade terakhir disinyalir diakibatkan oleh jamur ini. Beberapa jenis yang berhasil selamat diketahui memiliki senyawa aktif biologi pada kulit yang dapat melawan Bd dan ternyata dapat dikembangkan sebagai obat-obatan bagi manusia.

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Katak api Leptophryne cruentata merupakan katak tional park mt. Gede, java, indonesia. The Philippine endemik di Indonesia. Katak kecil yang memiliki bercak Journal of Science 100(2): 131-161. merah dan kuning pada kulitnya (alasan disebut katak api) Linder, G., S. K. Krest and D. W. Sparling. 2003. Amphibhidup di sekitar air terjun di dataran tinggi. Di habitat utaian decline: An integrated analysis of multiple stressor manya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, jenis effects. Society of Environmental Toxicology and ini melimpah di tahun 1960an namun dianggap hilang akhir Chemistry (SETAC). Pensacola, FL, USA368. pp. tahun 1990an. Penelitian intensif oleh tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor menemukan kembali katak ini tahun Skerratt, L. F., L. Berger, R. Speare, S. Cashins, K. R. McDonald, A. D. Phillott, H. B. Hines and N. Kenyon. 2003 dan populasinya walaupun masih rendah dibanding 2007. Spread of chytridiomycosis has caused the rapid tahun 1960an dianggap stabil. Salah satu dugaan turunnya global decline and extinction of frogs. EcoHealth 4: 125 populasi katak api adalah keberadaan penyakit chytridio–134. mycosis. Alih-alih punah, katak ini berhasil pulih. Oleh karena itu, patut diapreasiasi keputusan pemerintah RI Warkentin, I. G., D. Bickford, N. S. Sodhi and C. J. A. Bradmenjadikan katak api menjadi satwa nasional 2011 karena shaw. 2009. Eating frogs to extinction. Conservation dengan mencintai katak berarti mencintai kehidupan. Biology 23(4): 1056-1059. Sumber tulisan: Bickford, D., D. Iskandar and A. Barlian. 2008. A lungless frog discovered on borneo. Current Biology 18(9): R374–R375. DOI: 10.1016/j.cub.2008.03.010. Callery, E. M., H. Fang and R. P. Elinson. 2001. Frogs without polliwogs: Evolution of anuran direct development. BioEssays 23: 233-241.

Woodhams, D. C., K. Ardipradja, R. A. Alford, G. Marantelli, L. K. Reinert and L. A. Rollins-Smith. 2007. Resistance to chytridiomycosis varies among amphibian species and is correlated with skin peptide defenses. Animal Conservation 10(2007): 409–417.

Gurdon, J. B. and N. Hopwood. 2000. The introduction of xenopus laevis into developmental biology: Of empire, pregnancy testing and ribosomal genes. Int. J. Dev. Biol. 44: 43-50. Iskandar, D. T. 1998. Amfibi jawa dan bali. 1. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor132. pp. Kusrini, M. D. 2005. Edible frog harvesting in indonesia: Evaluating its impact and ecological context. PhD thesis. School of Tropical Biology, James Cook University, Towsnville. 239 pp. Kusrini, M. D. and R. A. Alford. 2006. Indonesia’s exports of frogs’ legs. Traffic Bull. 21(1): 13-24. Kusrini, M. D., M. Yazid and A. U. Ul-Hasanah. 2008. Population of the bleeding toad leptophryne cruentata: Decline and conservation threats. Joint meeting of the 3rd International Meeting on Asian Zoo/Wildlife Medicine and Conservation (AZWMC 2008) & 10th National Veterinary Scientific Conference of Indonesian Veterinary Medical Association (KIVNAS X PDHI 2008), Bogor. Halaman 119-121 Kusrini, M. D., L. Skerratt, L. Berger, S. Garland and W. Endarwin. 2008. Chytridiomycosis in frogs of mount gede-pangrango, indonesia. Diseases of Aquatic Organisms 82: 187–194.

Murid SMA mengamati katak serasah saat kegiatan Frog Camp tahun 2006 di Jawa Barat

Liem, D. S. S. 1971. The frogs and toads of tjibodas na21

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


SI CANTIK ULAR SANCA HIJAU (Morelia viridis) DARI SURGA EKSOTIS KEPULAUAN ARU, INDONESIA Fatwa Nirza Susanti (Anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna HIMAKOVA IPB)

Kepulauan Aru adalah salah satu ka-

berwarna hijau terang dan dihiasi oleh

bupaten baru hasil pemekaran Kabu-

beberapa bintik putih yang dimiliki oleh

paten Maluku Tenggara. Kabupaten baru

individu dewasa menimbulkan kesan unik

yang menjadi salah satu kabupaten ke-

yang tajam. Keunikan yang dimiliki ular ini

banggaan Maluku ini, memiliki luas sekitar

tidak sampai disitu saja, ular ini memiliki

54.395 Km² dan terdiri atas 187 pulau (89

warna yang berbeda ketika masih dalam

berpenghuni dan 98 pulau tak berpen-

fase anakan (juvenile). Fase anakan ular

ghuni). Kabupaten Kepulauan Aru ini juga

ini ada dua tipe yaitu, berwarna kuning

sering kali disebut sebagai “wilayah laut

lemon cerah dengan garis kecoklatan

pulau” karena berbatasan langsung den-

serta bintik gelap dan berwarna merah

gan Papua Barat, Laut Arafura, Laut Aus-

darah dengan bintik putih yang menghi-

tralia dan pulau Kei Besar. Kepulauan Aru

asi

ini secara astronomi juga dinobatkan

kuning atau merah ini akan memudar

menjadi

Negara”

dengan sendirinya saat ular memasuki

karena terletak di perbatasan atas NKRI

fase remaja, kemudian digantikan den-

(Badan

gan warna hijau cerah yang menawan.

“Beranda

Depan

Penanaman

Modal

Daerah

Provinsi Maluku 2006).

seluruh

bagian

Keunikan

yang

tubuhnya.

dimiliki

Warna

oleh

ular

viridis)

sanca hijau ini begitu memikat para pe-

adalah salah satu spesies reptile yang

cinta reptil, khususnya pecinta jenis ular

hidup di kepulauan ini, dan tentunya

eksotik. Tak jarang banyak pemburu yang

menjadi

mengambil jenis ini langsung dari alam

Ular

sanca

salah

hijau

(Morelia

satu

lambang

“keeksotisan” bagi kepulauan ini. Ular ini memiliki morfologi yang sangat menarik dan berbeda dari jenis ular lainnya. Warna tubuhnya yang umumnya 22

kemudian dijual untuk memenuhi permintaan para pecintanya yang tak sabar untuk segera menikmati keeksotisan dan kecantikannya. Tindakan ini tentu sangat WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


membahayakan populasi ular sanca hi-

cantik ini harus tetap terjaga eksistens-

jau di Kepulauan Aru. Ular sanca hijau

inya di Kepulauan Aru untuk tetap men-

sekarang tergolong dalam golongan spe-

jaga “label� eksotis yang melekat pada

sies Appendix II dalam daftar CITES.

wilayah ini. Tak ada si cantik, maka tiada

Si cantik ini punah ? Tentunya tidak

pula si eksotis Kepulauan Aru.

ada yang ingin hal itu terjadi. Oleh

Referensi :

karena itu ular sanca hijau yang berada

Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Maluku. 2006.

di alam tidak boleh ditangkap dengan

Kab. Kepulauan Aru. http//:http://www.bkpmd-

tujuan komersil. Kegiatan penangkaran adalah usaha yang tepat untuk me-

maluku.com/indonesia/index.php? option=com_content&task=section&id=17&Itemid=68 [diakses tanggal 12 Mei 2011 pukul 23.35]

lestarikan satwa ini dan menjadi jawaban untuk menjawab keinginan para pecinta ular untuk memiliki jenis ini. Si ular

23

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


PUSTAKA PERILAKU ULAR TAHUN 1997 - 2005 Tidak banyak peneliti yang mengkhususkan diri pada ular, atau minimal fokus utama penelitian pada ular. Dibawah ini disajikan daftar publikasi yang berhubungan dengan prerilaku ular. Sekitar 70% dari publikasi yang tercatat pada database milik MDK ditulis oleh Rick Shine, professor Evolutionary Biology pada University of Sydney, Australia. Publikasi Rick Shine dari tahun 2003—2011 bisa dilihat pada http://sydney.edu.au/ science/biology/shine/publications/. Banyak dari publikasi yang ada pada webistenya bisa didownload secara utuh. Aubret, F., X. Bonnet, R. Shine and S. P. Maumelat. 2005. Lourdais, O., R. Shine, X. Bonnet and F. Brischoux. 2006. Energy expenditure for parental care may be trivial for Sex differences in body composition, performance and brooding pythons, Python regius. Animal Behaviour 69: behaviour in the colombian rainbow boa (Epicrates 1043-1053. cenchria maurus, boidae). Journal of Zoology 269 (2006): 175-182. Aubret, F., X. Bonnet, D. Pearson and R. Shine. 2005. How can blind tiger snakes (Notechis scutatus) forage successfully? Australian Journal of Zoology 53: 283-288. Bertona, M. and M. Chiaraviglio. 2003. Reproductive biology, mating aggregations, and sexual dimorphism of the argentine boa constrictor (boa constrictor occidentalis). Journal of Herpetology 37(3): 510-516. Bonnet, X., D. Bradshaw, R. Shine and D. Pearson. 1999. Why do snakes have eyes? The (non-)effect of blindness in island tiger snakes (Notechis scutatus). Behav Ecol Sociobiol 46: 267-272. Isaac, L. A. and P. T. Gregory. 2004. Thermoregulatory behaviour of gravid and non-gravid female grass snakes (Natrix natrix) in a thermally limiting highlatitude environment. J. Zool., Lond. 264: 403–409. Kardong, K. V., T. L. Kienne and E. K. Johnson. 1997. Proximate factors affecting the predatory behaviour of the red spitting cobra, Naja mossambica pallida. Journal of Herpetology 31(1): 66-71.

Moore, I. T., M. P. Lemaster and R. T. Mason. 2000. Behavioural and hormonal responses to capture stress in the male red-sided garter snake, Thamnophis sirtalis parietalis. Animal Behaviour 59: 529–534. Nilson, G., C. Andrén, Y. Ioannidis and M. Dimaki. 1999. Ecology and conservation of the milos viper, Macrovipera schweizeri (werner, 1935). AmphibiaReptilia 20: 355-375. O’Donnell, R. P., N. B. Ford, R. Shine and R. T. Mason. 2004. Male red-sided garter snakes, Thamnophis sirtalis parietalis, determine female mating status from pheromone trails. Animal Behaviour 68: 677-683. Pearson, D., R. Shine and A. Williams. 2003. Thermal biology of large snakes in cool climates: A radio-telemetric study of carpet pythons (Morelia spilota imbricata) in south-western Australia. Journal of Thermal Biology 28 (2003): 117-131.

Pfrender, M., R. T. Mason, J. T. Wilmslow and R. SHINE. 2001. Thamnophis sirtalis parietalis (red-sided garKustiarto, H. A., A. Priyono and L. N. Ginoga. 2003. Pertersnake) male-male copulation. Herpetological Review tumbuhan dan perilaku makan ular sanca hijau 32(1): 52. (Chondropython viridis) di kandang penangkaran.In: M. D. Kusrini, A. Mardiastuti and T. Harvey (eds) Konser- Phillips, B. L. and R. Shine. 2006. An invasive species induces rapid adaptive change in a native predator: Cane vasi amfibi dan reptil di indonesia. Prosiding seminar toads and black snakes in Australia. Proc. R. Soc. B hasil penelitian departemen konservasi sumberdaya hutan. Bogor 8 mei 2003. Bogor, Institut Pertanian Bo273: 1545-1550. gor: 172-178 pp. Shetty, S. and R. Shine. 2002. Activity patterns of yellowLlewelyn, J., R. Shine and J. K. Webb. 2006. Time of testing affects locomotor performance in nocturnal versus diurnal snakes. Journal of Thermal Biology 31(2006): 268-273.

24

lipped sea kraits (Laticauda colubrina) on a Fijian island. Copeia 2002(1): 77-85. Shetty, S. and R. Shine. 2002. The mating system of yellow -lipped sea kraits (Laticauda colubrina: Laticaudidae). WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Herpetologica 58(2): 170-180. Shine, R., M. M. Olsson, I. T. Moore, M. P. LeMaster and R. T. Mason. 1999. Why do male snakes have longer tails than females? Proc. R. Soc. Lond. B 266: 21472151. Shine, R., M. M. Olsson, M. P. Lemaster, I. T. Moore and R. T. Mason. 2000. Effects of sex, body size, temperature and location on the antipredator tactics freeranging gartersnake (Thamnophis sirtalis, colubriade). Behavioral Ecology 11(3): 239-245. Shine, R., D. O'Connor and R. T. Mason. 2000. Female mimicry in garter snakes: Behavioral tactics of "shemale" and the males that court them. Can. J. Zool 78: 1391-1396. Shine, R., M. M. Olsson, i. T. Moore, m. P. Lemaster, m. Greene and r. T. Mason. 2000. Body size enhances mating success in male garter snakes. Animal Behaviour 59: F4-F11.

843-850. Shine, R. and S. Li-xin. 2002. Arboreal ambush site selection by pit-vipers Gloydius shedaoensis. Animal Behaviour 63(565-576). Shine, R., L.-x. Sun, m. Fitzgerald and M. Kearney. 2002. Accidental altruism in insular pit-vipers (Gloydius shedaoensis, viperidae). Evolutionary Ecology 16: 541548. Shine, R., B. Phillips, H. Waye, M. L. and R. T. Mason. 2003. The lexicon of love: What cues cause sizeassortative courtship by male garter snakes? Behav Ecol Sociobiol 53: 234-237. Shine, R. 2003. Reproductive strategies in snakes. Proc. R. Soc. Lond. B 270: 995-1004. Shine, R., m. J. Elphick and E. G. Barrott. 2003. Sunny side up: Lethally high, not low, nest temperatures may prevent oviparous reptiles from reproducing at high elevations. Biological Journal of the Linnean Society 78: 325-334.

Shine, R., M. M. Olsson and R. T. Mason. 2000. Chastity belts in gartersnakes: The functional significance of Shine, R. and L.-X. Sun. 2003. Attack strategy of an ammating plugs. Biological Journal of the Linnean Society bush predator: Which attributes of the prey trigger a pit70: 377–390. viper’s strike? Functional Ecology 17: 340–348. Shine, R., D. O'Connor and R. T. Mason. 2000. The probShine, R., t. Langkilde and R. T. Mason. 2003. Confusion lem with courting a cylindrical object: How does an within ‘mating balls’ of garter snakes: Does misdirected amorous male snake determine which end is which? courtship impose selection on male tactics? Animal Behaviour 137: 727-739. Behaviour 66: 1011-1017. Shine, R, P. Harlow, M. P. Lemaster, i. T. Moore and R. T. Mason. 2000. The transvestite serpent: Why do male garter snakes court (some) other males? Animal Behaviour 59: 349–359.

Shine, R., T. Langkilde and R. T. Mason. 2003. The opportunistic serpent:Male garter snakes adjust courtship tactics to mating opportunities. Behaviour 140: 15091526.

Shine, R., D. O’Connor, M. P. Lemaster and r. T. Mason. 2001. Pick on someone your own size: Ontogenetic shifts in mate choice by male garter snakes result in size-assortative mating. Animal Behaviour 61: 11331141.

Shine, R., T. Langkilde and R. T. Mason. 2004. Courtship tactics in garter snakes: How do a male's morphology and behavior influence his mating success? Animal Behaviour 67: 477-483.

Shine, R. and S. Shetty. 2001. The influence of natural selection and sexual selection on the tails of sea-snakes (Laticauda colubrina). Biological Journal of the Linnean Society 74: 121-129. Shine, R., L.-X. Sun, M. Kearney and M. Fitzgerald. 2002. Thermal correlates of foraging-site selection by chinese pit-vipers (Gloydius shedaoensis, viperidae). Journal of Thermal Biology 27: 405-412. Shine, R., L.-X. Sun, m. Fitzgerald and M. Kearney. 2002. Antipredator responses of free-ranging pit vipers (Gloydius shedaoensis, viperidae). Copeia 2002(3): 25

Shine, R., G. P. Brown and M. J. Elphick. 2004. Field experiments on foraging in free-ranging water snakes Enhydris polylepis (homalopsinae). Animal Behaviour 68: 1313-1324. Shine, R., R. P. O’donnell, T. Langkilde, M. D. Wall and R. T. Mason. 2005. Snakes in search of sex: The relation between mate-locating ability and mating success in male garter snakes. Animal Behaviour 69: 1251-1258. Shine, R., T. Langkilde, M. WALL and R. T. MASON. 2005. Alternative male mating tactics in garter snakes, Thamnophis sirtalis parietalis. Animal Behaviour 70: 387396. WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Shine, R., M. Wall, T. Langkilde and R. T. Mason. 2005. Battle of the sexes: Forcibly inseminating male garter snakes target courtship to more vulnerable females. Animal Behaviour 70: 1133-1140.

Vincent, S. E., R. Shine and G. P. Brown. 2006. Does foraging mode influence sensory modalities for prey detection in male and female filesnakes, Acrochordus arafurae? Animal Behaviour 70: 715-721.

Shine, R., J. K. Webb, A. Lane and R. T. Mason. 2005. Mate location tactics in garter snakes: Effects of rival males, interrupted trails and non-pheromonal cues. Functional Ecology 19: 1017-1024.

Webb, J. K., G. P. Brown and R. Shine. 2001. Body size, locomotor speed and antipredator behaviour in a tropical snake (Tropidonophis mairii, colubridae): The influence of incubation environments and genetic factors. Functional Ecology 15: 561-568.

Shine, R., T. Langkilde, M. Wall and R. T. Mason. 2006. Temporal dynamics of emergence and dispersal of garter snakes from a communal den in Manitoba. Wildlife Research 33: 103-111.

Whitaker, P. B. and R. Shine. 1999. Responses of freeranging brownsnakes (Pseudonaja textilis : Elapidae) to encounters with humans. Wildlife Research 26: 689-704.

Shine, R., J. K. Webb, A. Lane and R. T. Mason. 2006. Flexible mate choice: A male snake’s preference for larger females is modified by the sizes of females encountered. Animal Behaviour 71: 203-209.

Whitaker R, P. B., K. Ellis and R. Shine. 2000. The defensive strike of the eastern brownsnake, Pseudonaja textilis (elapidae). Functional Ecology 14: 25-31.

Sues, L. and R. Shine. 1999. Morelia amethistina (Australian scrub python). Male-male combat. Herpetological Review 30(102).

Zuffi, M. A. L. 1999. Activity patterns in a viviparous snake, Vipera aspis (l.), from Mediterranean central italy. Amphibia-Reptilia 20: 313-318.

Komodo, Evolusi, dan Tim Jessop Sekilas beliau lebih terlihat seperti turis. Rambutnya urak-urakan, gayanya yang santai dan suka guyon, dengan mengenakan celana surfer dan kemeja lapang membuatnya terlihat seperti sedang wisata. Tetapi setelah mendengarkan ceritanya mengenai penelitian komodo, jelas bahwa beliau bukanlah turis biasa. Dr. Tim Jessop dari University of Melbourne, Australia sudah lama berkecimpung di bidang herpetofauna, antara lain bekerja dengan kadal, penyu, dan komodo sejak tahun 2002 untuk penelitian postdocnya. Beberapa waktu yang lalu Adininggar UlHasanah (AU) dari Warta Herpetofauna sempat bertemu Dr. Jessop di Lambusango, Buton. Berikut adalah sedikit cerita beliau (TJ) mengenai pengalamannya mempelajari komodo. AU: Bagaimana mulai bekerja dengan herpetofauna? TJ: Pada awalnya tidak sengaja. Saya lebih tertarik pada pertanyaan, seperti pertanyaan mengenai fisiologi dan mencari satwa yang tepat (untuk dipelajari). AU: Bagaimana reptil membantu Anda menjawab pertanyaan tersebut? TJ: Reptil dapat diaplikasikan untuk menjawab banyak pertanyaan ekologi dan evolusi. Kelimpahannya tinggi dan relatif mudah ditangkap.Reptil juga polyphyletic, 26

artinya berasal dari berbagai garis dari nenek moyangnya. Sehingga dapat dibilang memiliki keanekaragaman yang tinggi dalam cara hidupnya, seperti reproduksi, bahkan system sosialnya. Mereka adalah model yang baik untuk melihat dasar dari pertanyaan rumit tersebut yang kita coba jawab dengan burung dan mamalia tetapi juga sudah berevolusi di reptil. Mereka (reptil) adalah awal yang baik untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. AU: Mengapa memilih komodo? TJ: Saya mendaftar untuk dua fellowship penelitian postdoc yang sangat berbeda. Salah satunya tentang ikan dengan fenomena polimorfisme, lainnya adalah untuk penelitian komodo. Awalnya saya memilih yang pertama tetapi tidak menyukainya. Posisi di Komodo ditawarkan kembali dan saya berkesempatan mengambilnya. Saya pindah ke Bali tahun 2002. Saya sangat beruntung bekerja dengan orang-orang yang sangat berpengalaman, Jeri (Imansyah) dan Deni (Purwandana) yang pernah bekerja dengan Pak Putra Sastrawan dari Universitas Udayana tentang komodo, dan kami memulai project ini yang sampai saat ini masih mereka jalankan. WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


AU: Komodo adalah satwa dilindungi dan hidup di kawasan yang juga dilindungi. Kenapa masih perlu perhatian banyak? TJ: Saya pikir kekhawatiran awal tentang komodo adalah walau mereka hidup di kawasan dilindungi, setidaknya beberapa populasi, pemahaman kita mengenai kondisi populasi tersebut masih terbatas. Jika melihat peta Taman Nasional Komodo (TNK) jelas terlihat ada dua pulau besar dan dua pulau kecil. Pulau kecil sangat rawan kepunahan. Selain itu, walau pulau-pulau tersebut adalah kawasan TN, belum tentu komodo 100% aman. Masih ada dampak dari manusia yang dapat menurunkan populasi komodo. Contohnya perburuan liar satwa mangsa komodo seperti rusa, pembabatan hutan, kebakaran, hal-hal ini juga berdampak terhadap komodo. Dengan minimnya penelitian tentang pulau-pulau kecil ini kita tidak tahu kondisi populasi komodo disitu. Mereka bisa menjadi punah. Contohnya di Padar di TNK yang punah walau berada di dalam kawasan TN. Xmungkin karena perburuan liar rusa di pulau. Jadi masih mungkin ada dampak dari manusia terhadap jenis ini (komodo). Selain itu meraka adalah flagship species untuk Indonesia, dan belum banyak informasi mengenai mereka. Penting untuk mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Juga, ini adalah komodo, kadal terbesar di dunia dan mereka adalah jenis yang menarik dan mengagumkan. AU: Apa kesalahpahaman terbesar tentang komodo? TJ: Menurut saya seperti halnya dengan reptil lain. Reptil mendapat reputasi jelek dari banyak orang. XYang selalu mengejutkan saya adalah komodo sebenarnya sangat sensitif terhadap manusia, mereka akan lari dari Anda dan tidak mau ditangkap. Menurut saya jangan melihat komodo sebagai predator galak dan jahat, tetapi melihatnya sebagai kadal besar yang menarik yang hanya terdapat di lima pulau terpencil di Indonesia. AU: Kita sering mendengar tentang nominasi komodo sebagai New 7 Wonders of the World. Apa konsekuensi jika TNK benar-benar terpilih? TJ: Tidak dapat dipungkiri bila TNK terpilih maka akan ada dampak positif dan negative. Salah satu yang positif adalah lebih banyaknya perhatian dan fokus sebagai kawasan konservasi flagship. Perlu diingat bahwa saat ini TNK sudah menjadi suatu kawasan konservasi penting dengan status Warisan Dunia. Jadi, di atas kertas, TNK seharusnya adalah salah satu kawasan paling dilindungi dengan sumberdaya terlengkap di Indonesia. Mungkin kasusnya tidak demikian, tapi saya pikir kalau memang

27

terpilih maka secara tidak langsung lebih banyak perhatian tertuang untuk menjaga pulau-pulau ini. Suatu sisi negatif mungkin semakin banyak turis. Semakin banyak orang yang masuk dalam habitat komodo, semakin tinggi lalu lintas kapal di daerah terumbu karang sekitar pulau, dan mungkin semakin banyak polusi untuk taman nasional. Tetapi jika dapat dikelola dengan sejalan maka (pemilihan 7 Wonders) bisa menjadi sesuatu yang positif bagi komodo. AU: Anda bekerjasama peneliti Indonesia. Apakah Anda merasa sudah menurunkan kegiatan ini kepada mereka? TJ: Karena mereka sudah lama bekerja dengan komodo, jelas bahwa mereka sangat mampu, memiliki keahlian tinggi, dan dapat melakukan (penelitian ini) dengan baik. Saya lihat project komodo dijalankan oleh ahli dari Indonesia. Saya pikir ada tantangan bagi staf Indonesia. Sebagai seseorang yang hidup di negara berkembang, saya merasa telah mendapat banyak kesempatan dan saya harap akan lebih banyak peneliti Indonesia, khususnya peneliti muda, yang memperoleh beasiswa untuk belajar di luar dan kembali ke Indonesia dengan pengetahuan yang mereka peroleh. Saya melihat pentingnya pembangunan kapasitas. Saya pikir tidak perlu adanya ekspatriat yang menjalankan project-project di Indonesia. Ekspat saya pikir penting untuk memberi masukan. Tetapi pada akhirnya ini adalah negara Anda dan Anda harus memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas terhadapnya. Tetapi Anda juga butuh kesempatan yang mungkin tidak ditawarkan (disini) dan itu yang kami coba lakukan di project komodo ini untuk menawarkan pendidikan masters di Malaysia atau Australia dan ini adalah suatu permulaan untuk meningkatkan kualitas pekerjaan ini. Menurut saya masih ada celah dalam pengetahuan menjalankan proyek serupa dengan baik. Seperti yang tadi disebutkan, pulau adalah suatu sistem kompleks. Ini membutuhkan banyak informasi dan pengetahuan, karena Anda tidak hanya berurusan dengan ekologi, tetapi juga dengan evolusi, sehingga Anda harus memiliki pemahaman kedua aspek ini untuk dapat mengelola populasi pulau dengan baik juga keanekaragaman di negara ini. Saya berharap herpetologis Indonesia tidak hanya mengkhawatirkan dirinya dengan ekologi saja tapi mereka juga belajar mengenai evolusi untuk dapat mencoba memahami gambaran luas dan bagaimana setiap komponennya masuk dalam gambar besar tersebut. Adininggar U. Ul-Hasanah Dept. Konservasi Biodiversitas Tropika Fakultas Kehutanan IPB

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Ikon Satwa Nasional 2011

Leptophryne cruentata

Tschudi, 1838)

(

sungai. Katak api memiliki bentuk jari yang unik, ujung jarinya kecil dengan bantalan (pad) sedikit membengkok ke bawah. Diduga bentuk kaki seperti ini memudahkan Katak api untuk memanjat diding batu ataupun tanah di tepi sungai, karena kebanyakan individu ditemukan pada lubang yang berada di sisi kanan dan kiri sungai yang jauh dari permukaan air. Katak api berukuran kecil sampai sedang dengan ukuran jantan antara 22,027,8 mm dan betina 31,0-46,0 mm . Memiliki warna dasar hitam dengan bercak merah dan kuning. Warna merah lebih dominan sampai ke bagian ventral tubuh dan kaki belakang. Terkadang Leptophryne cruentata. Dokumentasi Tim KSHE-Fahutan IPB corak pada bagian punggung berbentuk jam pasir. Namun demikian ada juga individu yang berwarna hitam tanpa corak Dalam rangka menyambut hari puspa dan merah atau kuning dan ada juga yang berwarna satwa nasional tanggal 5 November 2011, pemerinhitam dengan corak merah dan kuning. tah RI mengumumkan penetapan puspa dan satwa Katak api merupakan jenis yang aktif pada nasional yaitu Bunga Tetepok (Nymphoides indica) malam hari. Pada siang hari hampir semua individu dan Katak Api (Leptophryne cruentata). Untuk yang ditemukan sedang beristirahat dan diam di satwa, inilah kali pertama katak diangkat menjadi dalam lubang ditepi sungai, atau bersembunyi ikon satwa nasional. Katak api atau juga dikenal pada bebatuan dan kayu lapuk di tengah sungai. dengan nama kodok merah ini merupakan endemik Katak jantan yang bersuara umumnya bersembunyi Jawa, ditemukan di dekat sungai beraliran deras di diantara dedaunan dataran tinggi. Oleh karena habitatnya spesifik, tidan tumbuhan yang dak heran jenis ini hanya ditemukan pada daerah berada di badan air, alami yang terjaga. namun ada juga Penyebaran katak api ini berada di Taman individu yang Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP)Jawa bersuara diatas Barat. Namun demikian sebuah laporan Kurniati dari batu. LIPI pada tahun 2003 menyatakan bahwa Sumber tulisan: Leptophryne cruentata juga dapat ditemukan di Cikeris, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kurniati, H. 2003. Kodok merah Leptopryne cruenSayangnya sampai saat ini tidak ada laporan lebih tata ditemukan di taman lanjut mengenai keberadaaannya di Gunung Salak. nasional gunung halimun Sementara monitoring berkala yang dilakukan oleh jawa barat. Fauna IndoTNGP dan Fakultas Kehutanan IPB menunjukkan nesia 5(2): 71-74. bahwa sampai saat ini ada dua populasi yang Hasil penelitian tim Fakulmasih bertahan di TNGP. Populasinya yang rendah tas Kehutanan IPB dari tahun 2003-2011 membuat katak ini masuk dalam Daftar Merah IUCN sebagai kritis (Critically endangered). Katak api merupakan jenis yang semi akuatik. Jenis ini umumnya ditemukan tidak jauh dari 28

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.