Warta herpetofauna edisi januari 2006

Page 1

media informasi dan publikasi dunia amfibi dan reptil Edisi IV – Januari 2006


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006

Hallo pembaca… Waktu begitu cepat berlalu, tanpa kita sadari kalender lama tercampak sudah. Memasuki tahun 2006 ini, kembali Indonesia diguncang berbagai bencana alam. Hampir semua, bila dirunut kembali, disebabkan oleh ulah manusia jua. Warta Herpetofauna kembali menyapa para pembaca. Tahun ini Warta akan hadir tiga kali yaitu bulan Januari, Mei dan September 2006. Dengan semangat baru kami mencoba menyajikan berbagai cerita dan berita seputar permasalahan herpetofauna. Sekali lagi, kami mohon bantuan para pemerhati herpetofauna untuk tak bosan-bosan mengirimkan tulisan karena Warta ini adalah salah satu sarana kita untuk saling berbagi. Selamat membaca…….

Warta Herpetofa una

Alamat Redaksi Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil Indonesia Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan – IPB Telpon : 0251-627394 Faks 0251-621947 Email : rhacophorus_reinwardtii@yahoo.com

media informasi dan publikasi dunia amfibi dan reptil

Mari bergabung di mailinglist : herpetologist_indonesia@yahoogroups.com

Penerbit : K3AR Publikasi Pimpinan redaksi : Mirza Dikari Kusrini Redaktur : Anisa Fitri Muhammad Yazid Fathoni Untoro Berkat kerjasama : REDAKSI MENERIMA SEGALA BENTUK TULISAN,FOTO, GAMBAR, KARIKATUR, PUISI ATAU INFO LAINNYA SEPUTAR DUNIA AMFIBI DAN REPTIL. BAGI YANG BERMINAT DAPAT MENGIRIMKAN LANGSUNG KE ALAMAT REDAKSI

2- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006

Katak-katak pendatang haram pesaing spesies lokal Penurunan populasi katak di beberapa tempat di dunia lebih dari satu dekade terakhir membuat para ahli merasa prihatin dengan keberadaan katak di alam. Walaupun demikian, tidak semua jenis terancam punah. Beberapa jenis malah dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Alih-alih populasinya menurun, mereka menginvasi daerah lain dan menjadi ancaman bagi keberadaan jenis-jenis lokal. Ada banyak jalan ke Roma. Ada banyak jalan untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain. Para pendatang haram ini bisa saja secara terbawa oleh manusia baik secara tidak sengaja atau sengaja diintrodusir, atau terbawa oleh proses alami. Yang pasti, bagaimanapun caranya sang imigran gelap ini tiba, begitu dia menjejaki kakinya di daerah yang cocok untuk berkembang biak maka dipastikan populasinya akan melimpah. Salah satu contoh katak yang senang bermigrasi bisa jadi adalah katak sawah Fejervarya cancrivora. Katak ini memang diketahui mempunyai penyebaran yang luas di Indo-China, mulai dari Hainan sampai Filipina, Sulawesi, Nusa Tenggara bahkan di Irian (Iskandar, 1998). Penyebaran di Irian ini termasuk introdusir karena sebelumnya tidak pernah ditemui jenis ini. Hal yang sama juga berlaku pada kodok buduk Bufo melanostictus. Sebelum tahun 50-an, para peneliti menyatakan bahwa penyebaran Bufo melanostictus di Indonesia hanya terbatas di pulau Sumatera dan Jawa. Bahkan van Kampen, peneliti Belanda yang banyak menggeluti masalah herpet di Indonesia tidak memasukkan Jawa Timur sebagai daerah penyebaran jenis ini. Namun di bulan Juli 1958, Church, menemukan Bufo melanostictus di Banyuwangi dan bulan Agustus 1958 menemukannya di Negara, Bali Barat. Penemuan jenis ini oleh Church ditulis dalam journal sebagai The invansion of Bali by Bufo melanostictus. Saat ini B. melanostictus tidak hanya ditemukan di Negara tapi sudah menyebar ke seluruh daerah Bali dan pulaupulau lain. Penyebaran B. melanostictus ini tampaknya sudah menyebar sampai ke Irian Jaya. Tahun 2001 sebuah artikel di Gatra memuat berita tentang ditemukannya B. melanostictus di Irian. Tidak puas hanya

menginvasi Irian, sang katak bahkan menjelajah sampai ke Australia. Kedatangan sang kodok buduk yang ngumpet dalam satu sudut kontainer dari Indonesia ke Queensland Utara dan ditemukan oleh petugas karantina pada tahun 2002 sampai masuk headlines koran the Cairns Post. Kegundahan Australia karena takut diserang oleh kodok buduk antara lain disebabkan pengalaman mereka menghadapi kodok tebu Bufo marinus. Kodok berukuran besar yang lebih buduk daripada si kodok buduk Indonesia ini aslinya berasal dari Amerika Tengah dan Selatan. Kodok buduk ini terutama memakan serangga dan diyakini ampuh untuk sebagai pembasmi hama berbagai tanaman. Tahun 1930-an Bufo marinus diintrodusir ke Australia dan Hawaii sebagai pemakan hama tebu. Oleh karena itu dia dikenal juga sebagai kodok tebu (cane toad). Bulan Februari 1937 oleh sang penguasa dari Australia kodok tebu diintrodusir ke Keravat, East New Britain, sebuah pulau dekat pulau utama New Guinea yang merupakan bagian dari Papua Nugini. Selanjutnya pada tahun 1939, pemerintah Papua Nugini kemudian memasukkan sang kodok ke pulau utama. Pada tahun 1972, para peneliti memetakan penyebaran B. marinus di Papua Nugini. Kodok ini ternyata di temukan hampir di semua daerah di Papua Nugini dengan ketinggian 0-300 m di atas permukaan laut, yaitu di kota-kota di Papua Nugini seperti di Lae, Port Moresby dan Raul, serta di hutan-hutan tropis di perbatasan Papua Nugini dan Irian Jaya (Zug et al., 1975). Mengingat suksesnya penyebaran Bufo marinus di Australia – yang notabene lebih besar dari pada pulau Irian - maka bukan tidak mungkin kodok ini sebenarnya sudah masuk ke daerah-daerah lain dalam lingkup Irian Jaya. Kodok tebu kini dianggap hama di Australia. Sang kodok yang memiliki kelenjar racun di kulitnya ini tidak disukai oleh predator. Bahkan kecebongnya pun tidak disukai karena mengandung racun. Dengan jumlah telur yang mencapai ribuan sekali keluar, populasi kodok tebu tidak terkendali lagi. Kodok tebu juga dianggap sebagai ancaman bagi hewan di Australia. Tak terbilang banyaknya anjing peliharaan yang masuk rumah sakit hewan atau mati karena secara sengaja atau tidak sengaja memakan si kodok. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa ular phyton dan buaya dapat mati teracuni karena memakan kodok ini. Oleh karena itu, membawa masuk kodok tebu dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya di Australia termasuk kategori kriminal. Di Hawai, permasalahan bukan saja dari Kodok tebu tapi katak-katak jenis lain. Adalah Coqui (Eleutherodactylus coqui) dari Puerto Rico dan Eleutherodactylus planirostris dari Karibia yang kini membuat pusing penduduk Hawai. Dari kedua jenis ini yang paling dianggap menyebalkan adalah Coqui karena memiliki suara yang melengking. Nama Coqui sendiri berasal dari

3- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 panggilan berbiak (mating call) yang terdiri dari dua not melengking "co-qui" (ko-kee') dan memiliki kekuatan suara mendekati 100 desibel pada jarak setengah meter (HEAR, 2000). Masalahnya sang katak tidak berbunyi sendirian tapi dalam kelompok. Alhasil pada musim berbiak banyak orang tidak bisa tidur dibuatnya. Coqui menyebar seiring dengan penyebaran tanaman hias dari Amerika Selatan (Kraus et al., 1999) dan juga oleh para herpetoculturist yang ingin mengembangbiakan jenis ini untuk akuarium mereka. Amerika Selatan bisa jadi merupakan salah satu penyumbang penting penyebaran jenis-jenis katak eksotik. Salah satu jenis yang juga berasal dari Amerika Selatan adalah katak lembu Rana catesbeiana. Di Indonesia katak ini khusus diintroduksi untuk dibudidayakan untuk konsumsi. Di Amerika Utara, jenis ini dianggap sebagai hama dan penyebar luas di alam (Hayes dan Jennings, 1986; Adams, 1999). Rana catesbeiana yang berukuran besar (ukuran katak dewasa bisa mencapai lebih dari 10 cm diukur dari ujung dubur sampai moncong) merupakan predator dan dituding sebagai penyebab turunnya populasi katak berkaki merah Rana aurora (Moyle, 1973; Lawler et al., 199). (Oleh : Mirza D. Kusrini, Email : mirza_kusrini@yahoo.com) Sumber: Adams, M. J. 1999. Correlated factors in amphibian decline: Exotic species and habitat change in western Washington. Journal of Wildlife Management 63(4): 1162-1171. Church, G. 1960. The invasion of Bali by Bufo melanostictus. Herpetologica 16: 15-2. Gatra. 2001. WWF Teliti Jenis Kodok Aneh di Manokwari. Diakses dari Gatra.com. Jum’at, 27-04-2001 16:28:10. Hawaiian Ecosystems at Risk Project (HEAR). 2000. Alien Caribbean Frogs in Hawaii: problematic frogs trouble people, environment. www.hear.org/AlienSpeciesInHawaii/spec ies/frogs/index.html Hayes, M. P. and M. R. Jennings. 1986. Decline of ranid frog species in western north america: Are bullfrogs (Rana catesbeiana) responsible? Journal of Herpetology 20: 490 - 509. Lawler, S. P., D. Dritz, T. Strange and M. Holyoak. 1999. Effects of introduced mosquitofish and bullfrogs on the threatened California red-legged frog. Conservation Biology 13(3): 613-622. Moyle, P. B. 1973. Effects of introduced bullfrogs, Rana catesbeiana, on the native frogs of the San Joaquin valley, California. Copeia 1973: 18-22. Zug, G.R., E. Lindgren and J.R. Pippet. 1975. Distribution and Ecology of the marine

toad Bufo marinus in Papua New Guinea. Pacific Science 29 (1): 31-50.

mengenal REPTIL

Di Kampus IPB Darmaga Kegiatan pengamatan dan monitoring keberadaan reptil di Kampus IPB Darmaga dilaksanakan dalam rangka untuk melihat keragaman dan kelimpahan jenis yang ada. Hal ini berkaitan dengan perkambangan kampus yang semakin pesat. Dengan makin banyaknya pembangunan gedung-gedung baru yang menyebabkan semakin berkurangnya habitat dan ruang gerak bagi satwa tersebut. Sementara itu kita tahu bahwa keberadaan satwa ini di alam juga sangat penting. Dengan dilakukan kegiatan ini diharapkan agar pembangunan IPB ke depannya tidak melupakan faktor lingkungan dan keberadaan habitat satwa di kampus. Beberapa tempat yang di sukai oleh reptil diantaranya Danau LSI dan sekitarnya, Danau Rektorat dan sekitarnya, kolam-kolam, tegakan : karet rektorat, Al-Huriyah, Bambu, Semak-semak sekitar kolam perikanan, lahan basah Fapet, Arboretum Fahutan, Arboretum Rektorat, Tegakan Akasia, dan masih banyak tempat yang tidak begitu spesifik. Jenis-jenis yang dapat kita jumpai di Kampus IPB yaitu untuk jenis-jenis ularnya adalah Bungarus candidus, Bungarus fasciatus, Maticora intestinalis, Ahaetula prasina, Dendrelaphis pistus, Dendrelaphis formosus, Cylindrophis ruffus, Trimeresurus macrops, Ophiophagus hannah, Naja sputatrix, Elaphe flavolineata, Pareas carinatus, Elaphe radiata, Python reticulatus, Rhabdophis subminiatus, Hemalopsis buccata dan Agistrodon rhodostoma Sedangkan untuk jenis-jenis kadal adalah Mabuya multifasciata, Takydromus sexlineatus, Bronchocela cristatella, Lygosoma sp, Cosymbotus platyurus, Gekko gecko, Varanus salvator dan Draco volans.

Jika di totalkan hasil tersebut masih jauh dari jumlah jenis yang ditemukan pada tahun

4- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 1991 dengan jumlah 37 jenis. Jenis-jenis yang tersebut diatas bukan merupakan hasil akhir dari monitoring ini. Sampai saat inipun kegiatan monitoring masih berlangsung. (Oleh : Anisa Fitri, Email : anisa_fitri@yahoo.com)

Berbagai Jenis Herpetofauna Buton Sangat menyenangkan memang jalanjalan tapi gratis!!! Itu yang saya lakukan di Pulau Buton Sulawesi Tenggara. Berawal dari ingin tau tentang seperti apa sih pulau lain selain Jawa akhirnya saya lulus seleksi dalam pemilihan “Volunter ke Sulawesi” dalam rangka Operation Wallecea. Yippi!! Di pulau Buton terdapat Suaka Margasatwa Lambusango dan Cagar Alam Kakenauwe. Disana saya ikut bantu (namanya juga volunteer!!!) scientist scientist yang bernama Bjorn Lardner yang melakukan penelitian ato dengan kata lain cari data herpetofauna di pulau Buton. Pengamatan herpetofauna berada di Camp Lapago (Suaka Margasatwa Lambusango). Menurut pengamatan langsung: camp berdiri dekat dengan sungai, dengan lokasi dibawah lembah Kawasan hutan Lambusango mempunyai luas 28.510 ha yang terletak di Kabupaten Dati II Buton diperuntukkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi suaka alam berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) telah disahkan oleh Mentrei Pertanian pada tanggal 1 September 1982 dengan SK No.639/Kpts/9/Um/1982. Secara geografis terletak antara 050 13` – 050 24` dan 1220 47` – 1220 56` BT. Secara administrasi pemerintahan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kapontori, Lasalimu dan Pasarwajo sedangkan secara administratif kehutanan termasuk wilayah RPH Pasarwajo (BKPH Buton Barat), RPH Lasalimu dan RPH Kapontori (BKPH Buton Timur), KPH Buton. Potensi flora dan fauna cukup tinggi, Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan didalam kawasan antara lain kayu besi (Mitocideros petiolata), kuma (Palaquium obovatum), wola (Vitex copassus), bayam (Intsia bijuga), cendrana (Pteroscarpus indicus), bangkali (Anthocephallus macrophyllus), kayu angina (Casuarina rumpiana), sengon (Paraserianthes falcataria) dan rotan (Callamus spp.). Sedangkan satwaliar yang berhabitat di dalam kawasan antara lain : anoa, kera hitam, rusa, kus-kus, sapi liar biawak, merpati hutan putih, dan abu-abu, musang Sulawesi, serindit Sulawesi dan lain-lain. Metode yang dipakai oleh scientist adalah pitfall trap (ato dengan kata lain jebakan dengan lubang). Trap ini dipasang dalam grid di sekitar camp Lapago. Jumlah titik trap 25 yang

ditempatkan sesuai dengan mikro habitat dari herpetofauna, sebagai contoh dekat dengan jalan setapak, di daerah dengan ketinggian/ kelerengan, dan dekat dengan sungai. Trap yang dimaksud adalah menempatkan ember kedalam tanah, satu pit trap terdiri dari lima ember dengan jarak antar ember adalah 5 meter. Antar ember ditempatkan plastik secara horizontal ditengah ember untuk menghalangi jalan satwa dan mengantarkannya ke dalam ember. Warna ember divariasikan menjadi 2 warna yaitu merah dan hitam. Dengan variasi ini dimaksudkan untuk mengetahui mana yang lebih banyak terdapat satwa apakah di hitam atau merah. Untuk trap ini data yang dicatat adalah nomor trap. Waktu, cuaca, jenis yang didapatkan, dan urutan ember. Selain pitfall trap tadi dilakukan juga metode searching (bahasa Indonesianya mencari). Pencarian ini dilakukan dalam 2 waktu yaitu pada siang hari (pada waktu pengecekan trap) dan malam hari. Lokasi pencarian herpetofauna difokuskan pada sungai yang berada di sekitar Gambar.1 Pitfall Trap camp Lapago. Panjang ( Sumber: OPWALL 2005) sungai yang di jalani untuk pencarian satwa herpetofauna ± 400 m. Selain di sungai searching juga dilakukan didalam hutan disekitar grid. Waktu pengamatan untuk searching dimalam hari ini dilakukan pada pukul 19.00 – 21.00 WITA. Dari pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan dua metode itu, saya dapat menemui berbagai jenis herpetofauna. Diantaranya : Amfibi : Rana chalconota, Bufo celebensis, Limnonectes modestus, Limnonectes gruniens, Rhacophorus monticola, Oreophryne sp.. Ular : Calamria nucholis, Calamaria sp.1, Calamaria sp.2 (jarang), Ahaetulla prasina, Python reticulates, Amphiesma celebica, Boiga irregularis, Psammodynastes pulverulentus, Rhabdophis chrysargoiddes, Xenochoris trianguligarta dan Tropidolaemus wagleri. Kadal : Eutropis rudis, Eutropis grandis, Sphenomorphus variegates, Sphenomorphus temminkai, Dibamus novaeguinae dan Lipinia quadrivittata. Kura-kura : Cuora amboinensis Seneng banget dengan uang dari orang lain saya bisa mendapatkan ilmu selain itu juga dapat pengalaman yang tidak semua orang mengalaminya. Melihat keanekaragaman jenis Heroetofauna yang ada di Kawasan Hutan Lambusango. (Oleh: Nanda Dwanasuci, Email : kolekbiru@yahoo.com)

5- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006

Yang Mestinya dibawa Jika Pergi Kelapangan Banyak persiapan yang harus dilakukan jika kita hendak pergi ke lapang untuk suatu perjalanan ilmiah. Seiring berjalannya waktu, proses packing menjadi semakin mudah dan tidak memakan waktu sebanyak yang kita perlukan pada awal suatu perjalanan. Daftar bawaan adalah sekretaris yang setia bagi yang membawa lebih banyak barang daripada yang sanggup diingat. Jas hujan, boots, buku catatan lapangan, senter kepala, dan kantung kain sudah merupakan peralatan standar yang harus dibawa untuk suatu perjalanan koleksi herpetofauna. Di samping itu, snake stick dan sarung tangan kulit juga perlu ditambahkan jika memang tersedia. Jika carrier telah terisi dengan pakaian secukupnya dan peralatan yang akan digunakan di lapang dan semangat sudah dipompakan ke dalam dada, dan harapan untuk melihat keanekaragaman reptilia dan amfibia sudah tergambar di kepala, mungkin masih ada satu hal yang sering terlupakan. Adalah bekal pesan praktis mengenai pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang berkelanjutan, yang malah mungkin tak terpikirkan. Ini sangat penting untuk dibawa serta ke lapang, karena selalu ada kemungkinan untuk bertemu penduduk setempat yang tinggal di dalam kawasan taman nasional, misalnya. Pertanyaan-pertanyaan akan timbul dalam benak penduduk yang melihat aktifitas menangkap fauna. Apa yang akan diperbuat dengan hewan-hewan yang ditangkap? Banyak penduduk yang beranggapan bahwa koleksi yang kita lakukan adalah untuk keperluan pengobatan atau konsumsi. Biasanya ular ditangkap untuk obat penyakit kulit atau daging katak adalah alternatif sumber protein. Alangkah bijaksana jika kita menyisihkan sedikit waktu kita dalam perjalanan koleksi untuk membagikan pengetahuan tentang penggunaan sumberdaya alam hayati yang berkesinambungan. Pembicaraan mengenai hal ini dapat terjadi dalam suatu kesempatan yang sangat singkat, seperti menanyakan arah suatu lokasi atau beristirahat sejenak di gubuk peladang. Pengalaman saya menjelajahi bagian utara Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya beberapa waktu yang lalu, telah mengajarkan saya untuk berinteraksi dengan masyarakat di desa terpencil. Pada suatu saat saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan seorang pemburu biawak di Pulau Salibabu, Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Saya datang bersama kolega saya untuk minta bantuannya menangkap Biawak Air (Varanus salvator) untuk kami jadikan voucher specimen koleksi MZB-LIPI di Cibinong, Jawa

Barat. Kami memberitahukan kepada pemburu ini bahwa hanya lima ekor biawak yang kami perlukan. Dengan bangga si pemburu amatir ini mengatakan bahwa ia telah menangkap lebih dari 300 ekor biawak sejak dari awal ia mulai menjalankan kegemarannya berburu ini. Ia menambahkan bahwa saat ini tidak banyak biawak yang berkeliaran di pulau kecil di laut Sulawesi ini, dibandingkan ketika ia mulai berburu beberapa tahun yang lalu. Saya sampaikan padanya bahwa populasi suatu fauna dapat menurun karena perburuan yang berlebihan. Ia membalas pernyataan saya dengan menyatakan bahwa biawak di pulau Salibabu tidak akan habis. Saya tidak habis mengerti bagaimana si pemburu ini bisa mengatakan hal ini sementara ia baru saja menyatakan tidak melihat biawak sebanyak yang ia lihat beberapa tahun yang lalu. Saya berpikir tidak akan banyak gunanya berdebat dengan si pemburu ini, karena ia sedang diliputi semangat yang menggelora untuk membuktikan kehebatannya dalam berburu. Dari peristiwa inilah saya berpikir bahwa saya perlu menjelaskan pekerjaan saya sebagai peneliti dan tugas saya untuk membantu menjaga kelestarian fauna Indonesia. Tidak banyak waktu saya untuk berbincang-bincang lebih lanjut mengenai masalah pelestarian dengan si pemburu biawak ini,sehingga saya berpikir bahwa mungkin akan lebih berkesan jika saya membawa poster tentang pelestarian alam yang dapat saya jadikan semacam hadiah untuknya. Namun demikian, pernyataan langsung yang tegas perlu dilontarkan karena akan menjadi pembuka jalan untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat yang belum mengetahui pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam hayati. Saatnya untuk membuktikan bahwa pelestarian sumberdaya alam dapat dilakukan semua orang, sekalipun hanya pesan singkat ketika melakukan perjalanan lapangan. Evy Arida/Peneliti LIPI (Oleh : Evy Arida_MZB)

Melihat satwa HERPETOFAUNA Betung Kerihun Kegiatan SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) - program tahunan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) - tahun ini bekerjasama dengan Tropenbos International Indonesia (TBI Indonesia). Kegiatan serupa dilaksanakan juga tahun 2004 lalu di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Kegitan ini diikuti oleh beberapa Kelompok Pemerhati dibawah naungan HIMAKOVA. Salah satu kegiatannya yaitu studi keanekaragaman dan habitat herpetofauna. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 5 Juli – 12 Juli 2005 oleh Kelompok Pemerhati Herpetofauna

6- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 dan berlokasi di DAS Mendalam khususnya pada Trail Mentibat, Jalur Batas Taman Nasional dangan Hutan Lindung serta di aliran Sungai Menjulung. Selain itu data juga dikumpulkan dari beberapa tim herpet yang tergabung dengan tim lain di DAS Sibau, DAS Embaloh dan DAS Kapuas. Metode pengambilan data yang digunakan dengan mengamati satwa secara langsung di habitatnya. Habitat yang diamati dibagi kedalam dua bagian yaitu habitat terrestrial (darat) dan habitat akuatik (perairan). Pengambilan data dilakukan selama 3 hari berturut-turut pada kedua habitat. Pengambilan data juga dilakukan pada siang dan malam hari. Di perairan jalur sepanjang 400 m di awali dari muara Sungai Menjulung yang bertemu dengan DAS Mendalam. Jalur sepanjang 400 m di buat menuju ke arah hulu Sungai Menjulung. Pada habitat darat jalur yang digunakan juga sepanjang 400 m. Lokasi awal pengamatan di darat adalah Jalur Batas Taman Nasional dengan Hutan Lindung akan tetapi karena kondisi topogarfi yang curam dan berbahaya lokasi pengamatan darat dipindahkan ke Jalur Trail Mentibat. Cara mengambil satwa dari habitat terestrial yaitu dengan membalik-balik serasah maupun batuan, mencari di batang-batang pohon, dan diatas tanah. Adapun di perairan dengan mengamati di celah bebatuan, di dalam air, maupun di dedaunan di sekitar sungai. Untuk reptil, tidak menggunakan metode trap akan tetapi dengan mengamati secara langsung dibatang pohon ataupun di sela-sela batang pohon yang rubuh.

Hasil pengamatan di TNBK ini mendapatkan 25 jenis katak dan 10 jenis reptil. Jenis katak yang didapat yaitu Leptobrachium montanum, Leptobrachium sp, Leptolalax gricilis, Ansonia leptopus, Bufo juxtasper, Bufo quadriporcatus, Pedostibes hosii, Pelophryne sp1, Pelophryne sp2, Rana chalconota, Rana glandulosa, Rana hosii, Rana picturata, Meristogenys whiteheadi, Limnonectes kuhlii, Fejervarya limnocharis, Staurois latopalmatus,

Staurois tuberilinguis, Polypedates sp., Rhacophorus bimaculatus, Rhacophorus sp., Nycticalus pictus, Rana ibanorum, Tropidophorus sp, dan Leptolalax pictus. Sedangkan jenis reptil yang didapat adalah Cytrodactylus consobrinus, Boiga dendrophilla, Boiga jaspidea, Xenodermus javanicus, Xenochrophis trianguligerus, Spenomorphus sp., Tomistoma schlegelii, Varanus salvator, Doglania suplana, dan Cyclemis sp. Dari hasil pengamatan tersebut dan banyaknya jenis yang ditemukan dapat diambil kesimpulan bahwa potensi herpetofauna sangat besar di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Sampai saat ini masih banyak lokasi yang belum terdeteksi keberadaan herpetofaunanya dan menunggu untuk dikunjungi dan diambil datanya. Lokasi yang dikunjungi sangatlah indah dengan sungai jernih yang mengalir tenang dan dangkal. Sehingga memungkinkan kita dapat bermain air dan berenang di dalamnya. Camp kami merupakan camp milik taman nasional dan cukup nyaman ditempati. Camp dibangun dari kayu dengan ketinggian 0,5 meter dari tanah dan terbuka di sisi kanan kirinya. Ketika bangun pagi, kita akan disambut dengan sinar matahari yang bersinar dengan cerah dan kita bisa langsung mandi di tepi sungai dan akan terasa segar memuat kita semakin mengagumi kebesaran Tuhan. (Oleh : Septiantina DR, Email : sepdya@yahoo.com)

Spesimen Penyu Dijual Bebas di Pangandaran Penyu merupakan satwa reptil dari famili testudinata yang hidup di lingkungan perairan laut. Famili ini dicirikan dengan tubuhnya yang ditutupi oleh cangkang yang sangat kuat yang disebut dengan karapas (cangkang punggung) dan plastron (cangkang perut). Karena keindahan cangkangnya tersebut satwa ini banyak mendapatkan ancaman dari para pemburu liar. Dari 7 jenis penyu di dunia 6 jenis diantarannya terdapat di perairan Indonesia yaitu Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Lekang (Lipidochelys olivacea), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Tempayan (Caretta caretta), dan Penyu Pipih (Natator depessus). Pantai pangandaran merupakan ciri pantai dengan topografi yang landai dengan pasir putih yang lembut. Kondisi ini sangat mendukung kehidupan penyu sebagai habitat bertelur. Sehingga daerah tersebut sering ditemukan penyu mendarat untuk bertelur, terutama pada pantai yang termasuk ke dalam kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Penyu memiliki pola kehidupan yang unik, satwa ini memiliki pola migrasi dengan navigasi yang sangat kuat. Walaupun satwa ini telah mengembara ke laut lepas untuk mencari

7- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 makan, namun pada saat berkembangbiak mereka akan datang ke perairan yang dangkal untuk melalukan perkawinan. Dan saat musim bertelur penyu jantan akan kembali ke laut lepas sedangkan penyu betina akan naik ke pantai untuk meletakkan telurnya. Dengan cara navigasi yang kuat penyu mampu kembali ke pantai yang sama secara periodik. Kondisi inilah yang membuat populasinya semakin menurun dari tahun ke tahun. Para pemburu biasanya menangkapnya saat naik ke pantai sehingga jumlah betina di alam menurun akibatnya populasi penyu secara keseluruhan akan mengalami penurunan drastis. Seperti halnya daerah peneluran lainnya, pantai pangandaran juga tidak luput dari para pemburu penyu. Selain menangkap induknya para pemburu juga mengambil telurtelurnya untuk dijual. Dengan alasan perekonomian mereka mau mengorbankan kekayaan alam nusantara demi orang-orang yang berduit. Penyu memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, hampir seluruh bagian tubuh penyu dapat dimanfaatkan. Penyu dan telurnya umumnya dijual untuk kebutuhan konsumsi karena diyakini memiliki kasiat untuk obat. Selain itu, induk penyu ada juga yang di buat opsetan (spesimen) yang dijual sebagai hiasan. Hanya dengan modal uang Rp.450.000,- (boleh ditawar) kita dengan mudah dapat membeli spesimen Penyu Lekang dengan ukuran lebar kerapas ± 50 cm yang dijual oleh para pedagang kaki lima di JL Bulak Muara kawasan wisata pantai pangandaran. Para pedagang mengatakan bahwa para pembeli umumnya adalah wisatawan yang banyak datang pada musim liburan. Pembeli umumnya lebih meminati jenis Penyu Sisik karena memiliki corak sisik karapas yang indah atau yang mereka sebut dengan nama Penyu Kembang. Harganya lebih mahal dari pada Penyu Lekang. Menurut pedagang setempat (penjual spesimen penyu) saat ini sangat sulit mendapatkan penyu di alamnya. Karena jumlah penyu yang mendarat di pantai pangandaran mengalami penurunan yang sangat drastis. Menurut pedagang, penyu-penyu tersebut ditangkap saat mendarat di pantai pangandaran yang merupakan kawasan Cagar Alam /Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran. Untuk menyelamatkan penyu dari kepunahan pemerintah telah menetapkan seluruh jenis penyu di Indonesia dalam kategori satwa dilindungi dan secara internasional penyu di masukkan ke dalam Appendiks I CITES (Convention on International Trade of Endagered Spesies of Flora and Fauna), yang berarti jenis ini tidak boleh diperdagangkan sama sekali. Namun, tetap saja spesies ini mengalami ancaman nyata menuju kepunahan. Status perlindungan Penyu di Indonesia adalah sebagai berikut:

No 1

Jenis Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)

2

Penyu Hijau (Chelonia mydas)

3

Penyu Lekang (Lipidochelys olivacea)

4

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)

5

Penyu Tempayan (Caretta caretta)

Status Perlindungan CITES : Appendiks I Nasional :Dilindungi SK Menteri Pertanian No.327/kpts/Um/5/197 8 Daerah : Belum ada CITES : Appendiks I Nasional : Dilindungi PP RI No.7 tahun 1999 Daerah : SK Bupati Kab Badung Bali No.672/1996 tentang Pembatasan Ukuran Penangkapan CITES : Appendiks I Nasional : Dilindungi SK Menteri Pertanian No.716/kpts/Um/10/19 80 Daerah : Belum ada CITES : Appendiks I Nasional : Dilindungi SK Menteri Kehutanan No.882/kpts-II/1992 Daerah : Belum ada CITES : Appendiks I Nasional : Dilindungi SK Menteri Pertanian No.716/kpts/Um/10/19 90

CITES : Appendiks I Nasional : Dilindungi SK Menteri Pertanian No.327/kpts/Um/5/197 8 Daerah : Belum ada Sumber : WWF Indonesia Bali Office, 1998. 6

Penyu Pipih (Natator depressus)

(Oleh : Fathoni Untoro, Email : mr.detektif@plasa.com)

sekilas B E R I T A HABIBIE AWARD DIBERIKAN KEPADA PENELITI KATAK DAN KIMIA BAHAN ALAM (Sumber : Kompas, Sabtu, 5 November 2005) Jakarta, KOMPAS – Meneliti dan mengoleksi katak sejak 1972 – semasa kuliah di Departemen Biologi ITB-hingga menjadi guru besar di almamaternya, Prof Dr. Djoko Yjchjono Iskandar (55) berhasil menemukan beragam spesies baru amfibi ini dari berbagai wilayah Indonesia. Dengan fokus utama penelitian pada Limnonectes (katak batu) doktor bidang genetika

8- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 molekul dari Universite des Sciences et Techniques du Languedoc Montpelier Perancis ini membuktikan bahwa Sulawesi dulunya adalah tujuh pulau terpisah. “Kelompok katak batu merupakan yang paling sulit ditemukan di Asia tenggara. Tetapi, sangat menarik dari segi genetika klasik atau kromosom, biogeografi, dan molekuler,”ujarnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan jenis katak di Sulawesi berkerabat sangat erat dengan Filipina bukan dengan Kalimantan, Maluku atau Nusa Tenggara, seperti yang diduga selama ini. Ditemukannya hubungan erat antara katak Semenanjung Sulawesi Selatan dan Tenggara, merupakan hal yang kontroversial karena dapat mengubah pandangan evolusi geologi dan biogeografi Sulawesi. Koleksi kataknya dari Sulwesi lebih dari 20 jenis berukuran 15-200 mm dengan berat 800 gram. DI Sulwesi ia menemukan katak berukuran 40 mm berwarna coklat suram, satu-satunya katak di dunia yang melahirkan kecebong. Katak ini merupakan hasil evolusi alam Sulawesi Utara yang sangat kering. Di Papua ia menemukan katak berukuran 9,5 mm sebagai salah satu katak terkecil di dunia. Ia juga mengenalkan metode evaluasi kesehatan lingkungan lewat keragaman amfibi. Djoko terpilih menerima Habibie Award 2005 atas prestasi dan konsistensinya. Karyanya mengenai katak yang menjaga telur dan kecebong menjadi karya ilmiah terbaik tahun 2000 dan mendapat Kennedy Award 2001. Djoko yang juga Wakil Dekan I Pascasarjana ITB telah menulis lebih dari 50 karya ilmiah tingkat internasional. Habibie Award juga diberikan kepada Prof Sjamsul Arifin Achmad PhD (71), Guru Besar Luar Biasa bidang kimia organil bahan alam di ITB. Selama 35 tahun berkiprah di bidang keilmuan itu, lebih dari 80 spesies tumbuhan tropika bernilai ekonomi tinggi ditelitinya. Ia berhasil menemukan ratusan senyawa kimia metabolit sekunder.

INIKAH AKHIR BAGI KATAK ?

(Jamur yang mematikan telah menyerang amfibi) Sumber : NATIONAL GEOGRAPHIC Indonesia, Edisi Januari 2006) “Kepunahan terakhir seperti ini, terjadi ketika dinosaurus lenyap dari muka Bumi. Kita tahu, dampaknya sangat luar biasa bagi planet ini” (Joe Mendelson, Kebun Binatang Atlanta) Sejak puluhan tahun lalu para ilmuwan menyadari rentannya populasi amfibi di dunia. Namun penelitian yang dinyatakan dalam

Global Amphibia Assesment – dikumpulkan oleh Conservation Internasional dan koleganya – menunjukkkan hasil yang mengagetkan. Dari 5.700 spesies katak, kodok, salamander dan caecilia – amfibi mirip cacing – yang dipantau, sepertiganya nyaris terancam kepunahan dan 168 diantaranya telah punah. Sebagian besar kepunahan itu baru terjadi dalam 20 tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah, dan ini sudah diduga, hilangnya habitat. Namun penyebab yang kurang begitu dikenal adalah munculnya penyakit yang baru saja teridentifikasi. Penyakit yang bersumber dari jamur Chytrid ini terbukti merupakan pembunuh paling cepat. Jamur yang menyebar di Amerika dan sebagian wilayah Australia itu, menyerang kulit dan mengganggu keseimbangan air ditubuh hewan ini. “Dalam empat bulan, sebagian besar dari 64 spesies katak di wilayah ini terinfeksi dan punah, “ kata Karen Lips dari Southern Illinois University mengenai lokasi riset jangka panjangnya di Panama bagian tengah. “Bahkan spesies yang jarang kami temui pun sekarat terinfeksi jamur. Ereka jatuh bergelimpangan dari pohon atau bermunculan dari dalam tanah,“ katanya. “Hal ini belum pernah terjadi.“ Para ilmuwan dari Kebun Binatang Atlanta dan Kebun Raya Atlanta pun melakukan terobosan baru dengan menangkapi amfibi sebanyak mungkin sebelum penyakit ini membunuh dan menyebabkan kepunahan. “Kami harus meletakkan katak sehat di kebun binatang atau fasilitas lainnya selama penyakit ini belum tertanggulangi,“ujar Joe Mendelson dari Kebun Binatang Atlanta. Saat berada di lokasi riset di Panama, ia menambahkan, “Seluruh amfibi di punggung gunung di sanan akan musnah oleh penyakit. Itulah sebabnya amat penting untuk membuat daftar hewan mana yang bisa diselamatkan dan mana yang tidak. Hanya itu yang dapat kami lakukan.“ Tak ada yang tahu asal jamur itu, dan kenapa menyerang spesies tertentu, dan bagaimana menanggulanginya. Semua benua telah diserang, kecuali di Bumi belahan utara dan bagian Australia. – Jennifer S. Holland Bagaimana jamur menyebar? Jamur Chytrid kemungkinan menyebar ke penjuru dunia melalui katak bercakar dari Afrika, yang diekspor untuk penelitian medis. (Pada tahun 1930-an katak jenis ini digunakan pada tes kehamilan : Urin wanita hamil disuntikkan ke dalam seekor katak maka katak itupun bertelur). Kemungkinan lain : Katak lembu (bullfrog) dari Amerika Selatan diekspor hidup-hidup ke AS, untuk diambil daging pahanya. Daftar jenis Amfibi yang terancam : 1. Agalychis annae (Katak pohon bersisi biru), Kosta Rika – TERANCAM PUNAH –

9- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 2.

Bufo periglenes (Kodok emas), Kosta Rika – PUNAH – 3. Rhinoderma darwinii (Katak Darwin), Cile, Argentina – RENTAN – 4. Eleutherodactylus glanduliferoides (Katak La selle grass), Haiti – KRITIS – 5. Hyla fimbrimembra (Katak pohon – fringe-limbed tree frog), Kosta Rika, Panama – TERANCAM PUNAH – 6. Dendrobates granuliferus (Katak beracun granular), Kosta Rika, Panama – RENTAN – 7. Atelopus varius (Katak harlequin), Kosta Rika, Panama – KRITIS – 8. Atelopus zeteki (Katak emas Panama), Panama – KRITIS9. Phyllomedusa lemur (Katak lemur), Kosta Rika, Kolombia, Panama – GENTING – 10. Bolitoglossa lignicolor (Salamander), Kosta Rika – RENTAN –

sempat menyita penyu-penyu itu juga turut menghadiri ritual ini.(DNP/Muhamad Takbir)

sekilas KABAR PENELITIAN HERPETOFAUNA DI DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA IPB Laboratorium Zoologi FMIPA IPB untuk tahun ajaran 2004/2005 telah meluluskan 3 Sarjana Sain dengan karya ilmiah menggunakan subjek herpetofauna. Mereka adalah: 1. Suhaerudin (G34101050). Posisi filogeni Leucocephalon yuwonoi dalam Testudines (Reptilia). Pembimbing Achmad Farajallah dan Awal Riyanto. Lulus 23 September 2005 Abstrak : Saat ini semua spesies kura-kura menghadapi masalah penurunan populasi yang sebagian besar disebabkan oleh perburuan liar dan kerusakan lingkungan. Leucocephalon yuwonoi merupakan kurakura endemik sulawesi yang menghadapi permasalah tersebut. Spesies ini ini diperdagangkan secara internasional yang utamanya untuk konsumsi. Sehingga diperlukan suatu langkah untuk mendata informasi secara genetik maupun posisi filogeninya. Hubungan filogeni antar spesies kura-kura sangat komplek dan untuk posisi filogeni L. yuwonoi masih banyak diperdebatkan. Dalam penelitian ini posisi filogeni L. yuwonoi dianalisis menggunakan data runutan nukleotida gen Cyt b genom mitokondria. Sampel yang digunakan adalah seekor kurakura berasal dari Bangkir dan dua ekor dari Moutong. Berdasarkan runutan nukleotidanya L. yuwonoi yang berasal dari Moutong terpisah dari L. Yuwonoi yang berasal dari Bangkir. Hubungan filogeni memperllihatkan bahwa L. yuwonoi berkerabat dekat dengan Notochelys platynota. Perbedaan jarak genetik antara L. yuwonoi Moutong1 dan L. Yuwonoi Moutong2 sebesar 18.5%, L. yuwonoi Moutong1 dan L. yuwonoi Bangkir sebesar 18.6%, sedangkan L. yuwonoi Moutong2 dan L. yuwonoi Bangkir sebesar 7.1%.

SEJUMLAH PENYU UNTUK UPACARA AGAMA YANG DISITA Sumber: Liputan6, SCTV, 03 Januari 2006 Makassar - Disadur kembali dari Indonesian Nature Conservation newsLetter (INCL) Sebanyak 80 ekor penyu disita Kepolisian Sektor Kota Makassar, Sulawesi Selatan, di sekitar Jalan Gunung Latimojong, belum lama ini. Padahal, puluhan ekor penyu itu akan dilepaskan umat Buddha dalam menyambut Tahun Baru. Akibat penyitaan ini, umat Buddha di Makassar terlambat melaksanakan ritual Tahun Baru. Polsi menyita 80 ekor penyu ini karena tanpa dilengkapi surat izin. Selain itu, polisi menduga hewan langka yang dilindungi ini akan diselundupkan ke luar Sulsel. Biksu Bhante Aggadipo dengan didampingi sejumlah umat Buddha dari Vihara Girinanaga kemudian mendatangi kantor polisi. Mereka meyakinkan polisi bahwa penyu yang disita akan dilepas dalam upacara ritual agama. Polisi akhirnya berusaha menyelesaikan suratsurat dokumen hewan yang dilindungi itu. Proses penyelesaian yang cukup lama ini membuat ritual pelepasan penyu-penyu sebagai lambang penyebaran energi atau chi bagi penganut Buddha terlambat hingga siang hari. Tiga ekor penyu juga mati. Setelah berkas izin selesai, penyu-penyu langka ini dibawa ke tempat penangkaran sementara di Vihara Girinaga. Adapun upacara pelepasan penyu dilangsungkan di Pantai Kayu Bangkoa Makassar. Kepala Kepolisian Resor Makassar Barat Ajun Komisaris Besar Polisi Sumdadi yang

2. Evi Rizky Amelia (G34101008). Analisis Keragaman Genetik Labi-labi (Amyda cartilaginea) Berdasarkan Genom Mitokondria. Pembimbing Achmad Farajallah dan RR Dyah Perwitasari. Lulus 26 September 2005. Abstrak : Amyda cartilaginea termasuk ke dalam Ordo Testudinata, Subordo Cryptodira dan Famili Trionychidae. Amyda cartilaginea dilapoprkan

10- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 telah mengalami penurunan populasi yang diakibatkan oleh pengaruh manusia dan lingkungan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keragaman genetik sepseis tersebut dengan menggunakan penanda DNA melalu pendekatanb teknik Polymerase Chain Reaction -Restriction Fragment Length Polymorphis (PCR-RFLP). Teknik tersebut dilakukan untuk mengetahui keragaman genetik mtDNA dengan menggunakan sepasang primer 577 dan 578. Daerah yang diamplifikasi ialah daerah pengontrol yang diapit oleh gen tRNA Pro dan tRNA Phe berdasarkan runutan acuan Dogania subplana. Produk Amplifikasi yang dihasilkan sebesar 500 pasang basa dan 710 pasang basa. Produk tersebut dipotong dengan menggunakan lima macam enzim restriksi, yaitu HhaI (GCG C), HaeIII (GG CC), AluI (AG CT), MboI ( GATC) dan DraI (TTT AAA). Dari 39 sampel yang dianalisis ditemukan 1 haplotipe. Haplotipe 2 menyebar pada beberapa wilayah (Kalimantan, Sumatera dan Jawa), sedangkan haplotipe lainnya menyebar pada sampel dengan wilayah tertentu. Dari 1 haplotipe diperoleh keragaman nukleotida total A. cartilaginea sebesar 6.1% 3. Cynthia Sari Puspa (G34101070). Posisi Filogenetik Carettochelys insculpta (Reptilia: Testudinata). Pembimbing Achmad Farajallah dan Rika Raffiudin. Lulus 15 Oktober 2005. Abstrak : Carettochelys insculpta merupakan kurakura air tawar endemik di daerah Papua bagian selatan dan Australia utara. Hingga saat ini posisi filogenetik C. insculpta belum jelas. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa C. insculpta berkerabat dekat dengan famili Trionychidae, tetapi beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa C. insculpta tidak berkerabat dekat dengan famili tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis posisi filogenetik C. insculpta dalam ordo Testudinata dengan menggunakan karakter 12S rRNA, 16S rRNA, dan gabungan kedua gen tersebut. Sampel DNA diambil dari tiga individu C. insculpta yang berbeda. Dua spesies yang digunakan sebagai outgroup adalah Alligator mississippiensis dan Iguana iguana . Analisis filogenetik dilakukan dengan metode Neighbor-Joining dengan model tes Felsenstein 1981 (F81). Pohon filogenetik hasil analisis gen 12S rRNA bersifat politomi, sedangkan hasil analisis filogenetik berdasarkan gen 16S rRNA dan gabungan 12S rRNA dan 16S rRNA menunjukkan bahwa C. insculpta berada

diantara famili Cheloniidae dan Trionychidae. Satu mahasiswa lagi dari angkatan mereka yang belum lulus, yaitu Deris (G34101047) dengan judul penelitian "Beberapa spesies cicak di Bandung dan Pandeglang" dibawah bimbingan Achmad Farajallah dan Bambang Suryobroto. Mahasiswa tersebut sedang menunggu ujian akhir. Karya ilmiah lengkap (file pdf) bisa diperoleh dengan mengirimkan e-mail ke achamad@indo.net.id Untuk tahun 2005/2006, ada lima mahasiswa yang akan melakukan penelitian dengan subjek herpetofauna dengan tema penelitian: 1. Organisasi daerah pengontrol genom mitokondria labi-labi (1mahasiswa) 2. Preferensi makanan cicak dan tokek (3 mahasiswa) 3. Asosiasi serangga dan cicak (1 mahasiswa) Semoga bermanfaat. Achmad Farajallah

Laboratorium Zoologi Departemen Biologi FMIPA IPB Gedung Zoologi dan Biokimia Lantai II Kampus Gunung Gede IPB Jalan Raya Pajajaran Bogor 16143 T. +251 328391 F. +251 328391/345011

PELATIHAN PETUGAS TN. GUNUNG HALIMUN-SALAK Pada tanggal 25 – 26 November yang lalu Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan&Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB melaksanakan pelatihan singkat metode pengenalan dan survey katak bagi petugas Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dengan dukungan dana dari The Wildlife Trust. Tiga belas orang petugas yang terdiri dari 2 skrikandi dan 11 arjuna mengikuti pelatihan yang dilaksanakan di Kampus IPB Darmaga dan Wana Wisata Gunung Bunder. Pelatihan dimulai dengan kuliah kelas mengenai keanekaragaman katak di Jawa dan permasalahannya dan dilajutkan dengan uraian singkat survey katak di lapang dan cara mengidentifikasi katak. Usai shalat Jum’at peserta dan para tutor dari KPH melanjutkan perjalanan ke Gunung Bunder untuk melakukan pengamatan malam. Peserta dibagi menjadi 4 kelompok dimana tiap kelompok melakukan pengamatan terpisah di ekosistem sungai dan daratan sekitar Gunung Bunder. Tidak kurang dari 11 jenis katak berhasil dijumpai para peserta antara lain Rana chalconota, Rana hosii, Limnonectes kuhlii, Rhacophorus javanus, Rhacophorus reiwardtii, Polypedates leucomystax, Huia masoni, Microhyla achatina, Bufo asper, Bufo melanostictus, dan Fejervarya limnocharis.

11- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006

MENETASNYA TELUR PYTHON DI KAMPUS FAHUTAN IPB

Nangka, habitat darat sekitar camping ground, dan kombinasi sungai dan sawah. Adapun jenis-jenis satwa herpet di Curug Nangka dan sekitarnya yang dijumpai adalah :Amfibi ; Bufo asper, Bufo melanostictus, Rana chalconota,Rana erythraea, Rana hosii,Rana nicobariensis, Limnonectes macrodon, Limnonectes kuhlii, , Huia masonni, ,Rhacophorus javanus, Philautus sp. Ular ; Trimeresurus sp, Xenodermus javanicus, Pareas carinatus, Kadal : Mabuya multifasciata, Taxydermus sexlineatus, Cyrtodactylus sp.

SUKSESI KPH 2006 Setelah Diklat KPH 2005 yang telah dilaksanakan di Curug Nangka berjalan dengan lancar, kemarin tanggal 13 Januari 2006 KPH melaksanakan suksesi. Berdasarkan musyawarah ada 4 calon. Dua calon : Reza Widyananto dan Boby Darmawan mengundurkan diri. Dua calon yang bersedia menjadi ketua M. Irfansyah Lubis dan Feri Irawan. Dan berdasarkan hasil kesepakatan bersama untuk kepengurusan 2006 – 2007 di percayakan kepada M. Irfansyah Lubis. (Selamat menunaikan tugas ya Lubis..... semoga KPH tetap jaya dan tambah maju aja ya......)

PENJUALAN HERPETOFAUNA DI LAPANGAN BANTENG JAKARTA Pada tanggal 18 Oktober 2005 seorang angota KPH memperoleh 2 ekor telur phyton dari seorang kerabat. Telur ini ditemukan di bantaran sungai Ciliwung, dimana sarang ular yang berada di bawah serasah bambu telah diacak-acak oleh anjing. Telur kemudian disimpan di laboratorium katak di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan&Ekowisata. Setelah 8 hari (26 Oktober 2005), satu telur menetas diikuti oleh telur yang satu lagi beberapa hari kemudian. Satu dari dua anak python ini dipelihara selama beberapa hari, setelah itu dilepaskan ke alam bebas. Sementara satu ekor lagi dipelihara dalam terrarium berukuran 24x55 cm. Kini anak python ini telah berumur 2 bulan dan telah ganti kulit 2 kali.

DIKLAT KPH 2005 Pelaksanaan kegiatan praktek Diklat (Pendidikan dan Latihan) Kelompok Pemerhati Herpetofauna “Python” Himakova, tahun 2005 bertempat di Wana Wisata Curug Nangka, Ciapus, Bogor. Kegiatan yang dilaksanakan pada Jum’at – Minggu (9 – 11 Desember 2005) dengan jumlah peserta sebanyak 13 orang berjalan dengan lancar. Pelaksanaan praktek dibagi kedalam 3 lokasi yang mencakup habitat darat dan air, yaitu Sungai yang menuju Curug

Pada tanggal 27 Agustus 2005 beberapa anggota KPH (Kelompok Pemerhati Herpetofauna) melakukan perjalanan menuju pameran Expo Flora dan Fauna di kawasan Lapangan Banteng Jakarta. Pameran tersebut memamerkan sejumlah flora dan fauna dari Indonesia maupun mancanegara. Pameran ini diselenggarakan dari tanggal 25-27 Agustus 2005. Lapangan banteng merupakan kawasan seluas 10 ha yang sebagian wilayahnya digunakan sebagai sarana olahraga dan sebagian lagi merupakan taman kota yang sering digunakan sebagai sarana penyelenggaraan pameran. Pada lokasi yang banyak menyimpan sejarah sejak tahun 1623 ini, kami menanyakan kepada sejumlah pedagang mengenai informasi jenis-jenis herpetofauna yang diperdagangkan dan berapa harga yang sesuai pada setiap jenisnya. Dari beberapa pertanyaan didapatkan hasil: Tuatara (dewasa) Rp. 3.000.000,-, Carpet Phtyon (juvenil) Rp. 850.000,-, Ball Phtyon (terlihat pada gambar di atas) Rp. 1.500.000,-, Kura-kura Tanah dari Madagaskar Rp. 5.000.000,-, Kura-kura dari Thailand Rp. 1.000.000,-, Yellow Mud Turtle sepasang Rp. 500.000,-, Buaya (juvenil) ukuran panjang

12- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 sampai ekor 1 meter seharga Rp. 1.500.000,-, Chameleon Rp. 1.500.000,-, Chameleon moncong panjang Rp. 1.300.000,-, Katak irian Rp. 250.000,-, Tomato Frog Rp. 500.000,-, Labi-labi (albino) Rp. 2.000.000,-, Salamander Tiger Rp. 250.000,- hingga Rp. 70.000,-, Eastern Rattle Snake (Amerika) Rp. 4.500.000,Condrophyton viridis (juvenil) Rp. 350.000,hingga Rp. 450.000,-, dan Ular Wagler (Sumatera) Rp. 250.000,-. Tidak hanya herpetofauna, satwa lain seperti Rangkong, Alap-alap, Elang Laut, Elang Hitam, Kera Ekor Panjang, Lutung, Kucing Hutan, Musang, Bajing dan lain-lain, dijual disana. Namun masih banyak pula jenis tidak dapat kami dapatkan informasinya, karena tidak ingin diungkapkannya tentang identitas dan cara didapatkannya jenis-jenis satwa tersebut. Selain itu penjual merasa resah ketika mendapatkan pengunjung yang hanya menanyakan jenis, asal, harga dan pengambilan foto. Kondisi demikian ini menunjukkan indikasi bahwa satwa-satwa ini diperoleh dengan cara tidak sah (ilegal). Untuk itu, disarankan jika ingin mencari informasi serupa dari tempat-tempat seperti ini diperlukan pendekatan terlebih dahulu atau mencoba untuk membeli satwa tersebut, agar tidak terkesan seperti investigator. (Oleh : Reza Widyananto, Email : reddpud@yahoo.com)

PUSTAKA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAKAN/PERILAKU PAKAN PADA REPTIL DAN AMFIBI Catatan: hampir semua pustaka ini koleksi dari Mirza D. Kusrini. Bila ada yang memerlukan, silahkan hubungi mirza_kusrini@yahoo.com.

Atmowidjojo, A. H. and Boeadi. 1988. Food prey on the stomach content of frogs. Biotrop Spec. Publ. 32: 77-80. Babb, R. D., G. L. BRradley, T. C. Brennan and A. T. Holycross. 2005. Preliminary assessment of the diet of Gyalopion quadrangulare (Serpentes: Colubridae). The Southwestern Naturalist 50(3): 390-392. We describe the diet of the thornscrub hooknosed snake (Gyalopion quadrangulare) using prey remains removed from the alimentary tracts of museum specimens. Diet consisted of small arthropods, including 9 (31%) insects, 9 (31%) spiders, 8 (28%) scorpions, and 3 (10%)that could not be identified further. Insects included 7 orthopterans (both crickets and grasshoppers) and 2 that we could not identify further. We identified half of the scorpions as Diplocentrus spitzeri. Prey class frequencies are dependent on geographic distribution, but independent of sample source (stomach vs. intestine/feces). Snakes that ate different prey classes did not differ significantly in snout-vent length. Bennett, D. 2000. Preliminary data on the diet of juvenile Varanus exathematicus (Sauria: Varanidae) in the coastal plain of Ghana. Herpetological Journal 10: 75-76. Bennett, D. 2002. Diet of juvenile Varanus niloticus (Sauria: Varanidae) on the Black Volta river in Ghana. Journal of Herpetology 36(1): 116-117.

Oleh : TASYA OCTAVIANTI berasal dari SD Amalia Ciawi, Juara I Menggambar Tingkat Sekolah Dasar Kategori Tingkat Kelas 1 - 3 dalam acara Sahabat Katak 2004

Bonnet, X., R. Shine, G. Naulleau and C. Thiburce. 2001. Plastic vipers: Influence of food intake on the size and shape of gaboon vipers (Bitis gabonica). J. Zool., Lond. 255: 341-351. Repeated measurements of captive-born Gaboon vipers Bitis gabonica from an inbred stock examined the degree to which an animal's size and shape are affected by food intake. We also used the level of asymmetry

13- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 percent volume, and relative percent volume. Juvenile T. scripta fecal contents comprised >70% plant matter, while adult males and females had equal proportions of plant and animal matter in their feces. Percent volume and relative percent volume for T. scripta fecal samples did not differ between males and females, or between females and juveniles; however, I detected significant differences between males and juveniles and early (May-June) and late (July-August) samples. Overall the diversity of food items in the diet of T. scripta was large (Shannon index = 2.50) and the diversity of items expanded from early (Shannon index = 1.19) to late season (Shannon index = 2.72). Females consumed more mollusks than males, and males and females consumed more bryozoans than juveniles. I found Mollusks and bryozoans only in late season samples. Pseudemys concinna was herbivorous, specializing on epiphytic filamentous algae of the genera Cladophora and Oedogonium, with no differences in the frequencies of occurrence between males, females, and juveniles.

in dorsal coloration as an index for possible genetic (inbreeding?) effects. Both of these factors, and the interaction between them, affected phenotypes of the young snakes. Snakes raised with abundant food differed from their less well-fed siblings not only in size, but also in body mass relative to snout-vent length, head length relative to snout-vent length, head width relative to head length, and fang length relative to jaw length. Hence, our data show that body proportions (including the feeding apparatus) can be influenced by the environment after birth. Boquimpany-Freitas, L., C. F. D. Rocha and M. Van Sluys. 2002. Ecology of the horned leaffrog, Proceratophrys appendiculata (Leptodactylidae), in an insular atlantic rainforest area of southeastern Brazil. Journal of Herpetology 36(2): 318-322. Burke, R. L. and R. J. Mercurio. 2002. Food habits of a New York population of Italian wall lizards, Podarcis sicula (Reptilia, lacertidae). Am. Midl. Nat. 147: 368–375. We studied the food habits of the Italian wall lizard, Podarcis sicula, that was introduced to Long Island, New York in 1966. We recovered 436 prey items from 96 lizards. There was no significant relationship between the percentage of lizards without prey items and date of capture. On average, females had significantly more prey items per lizard, lower overall prey diversity and lower prey evenness, than did males. This suggests important differences in foraging habits between the sexes. We found remarkably high similarity between prey species diversity for the Long Island and two of four European populations. There was no correlation between prey size and either head width or snout-vent length of the lizards. Dreslik, M. J. 1999. Dietary notes on the redeared slider ( Trachemys scripta) and river cooter ( Pseudemys concinna) from southern Illinois. Transactions of the Illinois State Academy of Science 92(3 and 4): 233-241. The primary focus of this study was to ascertain the presence of sexual, seasonal, or ontogenetic differences in the diets of Trachemys scripta and Pseudemys concinna captured at Round Pond, Gallatin County, Illinois, between 17 May 1994 and 30 August 1995. I collected feces from T. scripta and P. concinna and separated the contents into eleven dietary categories for T. scripta and two for P. concinna. I quantified fecal volume by water cc displacement, then described each dietary category by frequency of occurrence,

Hidayat, J. W., M. Hadi and Jumari. 1998. Penggunaan katak sawah (Rana spp.) dalam pengendalian hama padi: Laporan penelitian. Semarang, Jurusan Biologi Universitas Diponogoro: 23. Guna mengetahui potensi katak sebagai pengedali hama serangga dilakukan percobaan di persawahan Kelurahan Sambirejo, Gayamsari, Semarang. Dua petak berukuran masing-masing 100 m2 diberi pagar, dimasukkan katak 25 ekor, setiap 2 minggu dipantau. Sampel serangga diambil dengan jaring pada padi yang berumur 7 hari setelah tanam, kemudian pada 10 rumpun padi terpilih dihitung serangganya. Jenis serangga yang dimakan katak diketahui melalui pembedahan isi saluran pencernaan katak. Data kelimpahan jenis yang diperoleh dianalisis struktur komunitasnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum dijumpai 32 jenis serangga. Species yang memiliki indeks kelimpahan relatif terbesar adalah wereng coklat, Nilaparvata lugens 29.7% dan semut 10.9%. Sejumlah 7 dari spesies yang ada merupakan musuh alami serangga hama, yang terbanyak Paederus fusciped (2.3%). Hasil analisis struktur komunitas menunjukkan bahwa petak perlakuan memiliki lebih banyak spesies dan mempunyai kestabilan lebih tinggi. Hasil analisis isi saluran pencernaan menunjukkan Lepidoptera dan Orthoptera paling banyak ditemukan. Dapat dikatakan bahwa katak sawah mampu mengurangi serangga hama dan menstabilkan komunitas hama padi.

14- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 Hartdegen, R., D. Chiszar and J. B. Murphy. 1999. Observations on the feeding behavior of captive black tree monitors, Varanus beccari. Amphibia-Reptilia 20: 330-332. Hirai, T. and M. Matsui. 2001. Food habits of an endangered Japanese frog, Rana porosa brevipoda. Ecological Research 16: 737–743. We examined the diet of an endangered frog, Rana porosa brevipoda inhabiting rice fields of western Japan, by forced regurgitation of stomach contents. The frog diet consisted of a wide variety of arthropods, and ants, beetles, dipterans, bugs, orthopterans, and spiders, which were especially prominent. These prey taxa were also collected in large numbers by sweep-net samplings made in the frog habitat, and relative abundances of prey taxa in frog diet and those in sweep samples were found to be significantly correlated. Aquatic forms did not contribute much to the frog diet, but were found to be taken more frequently and in larger numbers in irrigated fields than in drained fields. These findings suggest that prey availability around frog habitat is very important to regulate the food items of R. p. brevipoda. On the other hand, terrestrial components of frog habitats are indicated to be important because the frog highly depended on terrestrial invertebrates. From these results, we consider it imperative to preserve terrestrial components linked with aquatic environments to conserve biodiversity in rice field ecosystems. Hirai, T. and M. Matsui. 2002. Feeding relationships between Hyla japonica and Rana nigromaculata in rice fields of Japan. Journal of Herpetology 36(4): 662–667. We examined feeding relationships between Hyla japonica and Rana nigromaculata in rice fields of central Japan, where they forage syntopically. Hyla japonica and recently metamorphosed Rana nigromaculata overlapped greatly in body size and took prey of similar size and type. However, H. japonica foraged in rice fields during its breeding season (May to July), whereas R. nigromaculata began metamorphosis later in July. Therefore, they seldom coexisted and seemed to partition food resources temporally. By the following spring, R. nigromaculata froglets grew larger than adult H. japonica and used different food resources, suggesting food resources were partitioned by body size. These patterns of food partitioning, which were consistent in two study sites where the dominant species differed, may account for coexistence of H. japonica and

R. nigromaculta throughout their wide distributions. Huey, R. B. and E. R. Pianka. 1977. Pattern of niche overlap among broadly sympatric versus narrowly sympatric Kalahari lizards (Scincidae: Mabuya). Ecology 58: 119-128. Jaafar, I. H. 1994. The life history, population and feeding biology of two paddy field frogs, Rana cancrivora Gravenhorst and R. limnocharis Boie, in Malaysia. Doctor of Philosophy Thesis. Faculty of Science and Environmental Studies, University Pertanian Malaysia, Malaysia. 228 pp. Di dalamnya terdapat bagian mengenai analisis pakan. Kam, Y., T. Chen, J. Yang, F. Yu and K. Yu. 1998. Seasonal activity, reproduction, and diet of a riparian frog (Rana swinhoana) from a subtropical forest in taiwan. Journal of Herpetology 32(3): 447-452. Kurniati, H. 1998. Kebiasaan makan empat jenis katak rana asal Kelila, kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya (Food habit of four species rana from Kelila, Jayawijaya district, Irian Jaya). BIOTA III(2). Legler, J. M. and L. J. Sullivan. 1979. The application of stomach-flushing to lizards and anurans. Herpetologica 35(2): 107-110. Lima, A. P., W. E. Magnusson and D. G. Williams. 2000. Differences in diet among frogs and lizards coexisting in subtropical forests of Australia. Journal of Herpetology 34(1): 40-46. Lindeman, P. V. 2003. Sexual difference in habitat use of texas map turtles Emydidae (Graptemys versa) and its relationship to size dimorphism and diet. Canadian Journal of Zoology 81(7): 11851192. Losos, J. B., M. R. Gannon, W. J. Pfeiffer and R. B. Waide. 1990. Notes on the ecology and behavior of Anolis cuvieri (Lacertilia: Iguanidae) in Puerto Rico. Caribbean Journal of Science 26(12): 65-66. The lizard genus Anolis, comprising approximately 300 species, is among the largest vertebrate genera. A great deal of research has been conducted on the biology of these lizards, particularly in the West Indies, but little is known about the larger species (> 100 mm snout-vent length [svl]; see, e.g., Scott et al., 1976; Trivers, 1976; Dalrymple, 1980). The Puerto Rican giant anole, A. cuvieri Merrem, is no exception; little is known other than information on diet and predatory behavior (Rand and Andrews, 1975; Perez-Rivera, 1985). Here we provide

15- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 data, collected during the summer of 1988, on movement patterns, home range, and diet of the “lagarto verde” in the Luquillo Mountains, Puerto Rico. Mumpuni, I. Maryanto & Boeadi. 1990. Studi Pakan Katak Microhyla achatina (Tschudi) dan Hylarana chalconota (Schlegel) di Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Biologi Dasar I. Puslitbang-LIPI. Bogor. Hal : 108-112 Olesen, J. M. and A. Valido. 2003. Lizards as pollinators and seed dispersers: An island phenomenon. TRENDS in Ecology and Evolution 18(4): 177-181. Although it is well established that many insects, birds and mammals serve as important pollinators and seed dispersers of flowering plants, the role of lizards in these processes has traditionally been considered as rare and less important. However, recent work shows both that their role as mutualistic agents has been underestimated and also reveals a striking pattern – that pollination and seed dispersal by lizards is most common on islands. We argue that this island phenomenon occurs because island lizards reach very high densities (density compensation) and experience a lower predation risk than do those on the mainland and, consequently, can expand their diet to include nectar, pollen and fruit. Although further empirical evidence is needed to confirm this explanation, such relationships could be ideal systems with which to study fundamental ecological problems, such as niche shifts, ecological release and competition. Powell, R., P. J. J. S. and M. A. Rice. 1990. Ecological observations of Hemidactylus brookii haitianus Meerwarth (Sauria: Gekkonidae) from Hispaniola. Caribbean Journal of Science 26(12): 67-70. Hemidactylus brookii haitianus Meerwarth is found on Cuba, Hispaniola, and Puerto Rico (Schwartz and Henderson, 1988). Successful colonizers, they function as human commensals, often inhabiting manmade structures in high densities, Pence and Selcer (1988) observed similar densities in Hemidactylus turcicus (Linnaeus) from Texas and suggested that, since the lizards are nocturnal and essentially restricted to human habitations, reduced contact with or an absence of predators or competitors may be responsible. No previous ecological information on New World populations of H. brookii Gray has been published. Here we report on food habits, reproduction, and

frequencies of tail autotomy in samples from Hispaniola. Ramirez, J., R. C. Vogt and J.-L. VillarrealBenitez. 1998. Population biology of a neotropical frog (Rana vaillanti). Journal of Herpetology 32(3): 338-344. We studied the population dynamics, food habits, and growth of a population of Rana vaillanti in a permanent lake in Southern Veracruz, Mexico from April 1984 through March 1985. We collected frogs five consecutive nights each month, after which we measured, marked, stomach flushed, and released them on the same night. We captured 1851 frogs, 608 of which were recaptured at least once. The population size estimate, 1622, did not vary greatly throughout the year. Adults composed the greatest proportion of the population (41.5% males, 52.4% females, 6.1% subadults). Average life expectancy was estimated to be eight months. Females grew faster than males and attained larger sizes. Rana vaillanti is a sit and wait predator with a diverse diet including birds, fish, and conspecifics. They consume a higher proportion of invertebrates than vertebrates, principally insects (Coleoptera and Odonata) and spiders. Rivas, J. A., C. R. Molina and T. M. Ávila. 1996. A non-flushing stomach wash techniques for large lizards. Herp Review 27(2): 72-73. Stomach flushing has been proved useful in the study of lizard diets, but the techniques have varied from one study to another (Legler and Sullivan, 1979; Shine, 1986; Henle, 1989a; 1989b; James, 1990). We carried out a study of food habits in green iguanas (Iguana iguana) at Hato Masaguaral (a cattle ranch), Guárico, Venezuela (8º 34' N, 67º 35' W), and present the technique we used to recover stomach contents without killing or injuring the animals. Shine, R., Ambariyanto, P. S. Harlow and Mumpuni. 1998. Ecological traits of commercially harvested water monitors, Varanus salvator, in Northern Sumatra. Wildlife Research 25: 437447. An important step towards evaluating ecological sustainability of resource use is to understand the characteristics of that resource. Indonesian populations of the Asian water monitor (Varanus salvator) have been heavily exploited over several decades for the reptile skin industry. We visited two cities in northern Sumatra (Rantauprapat and Cikampak) to gather information on the sizes, sexes, reproductive status and food habits of harvested specimens. Data on 399 lizards showed that monitors in northern

16- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 Sumatra are similar in most respects to those studied previously in southern Sumatra (Palembang), despite the considerable distance between the two areas and the significant difference in climates. Male water monitors mature at a smaller size than females, but grow to larger body sizes. Harvesting is concentrated on adult males, and adult plus juvenile females. Reproduction occurs year-round, but at a lower intensity in drier months (March and June). Females produce multiple clutches of 6–17 eggs each year. These lizards eat a wide variety of prey, including commensal vertebrates (e.g. rats, chickens) as well as invertebrates (e.g. insects, crabs). The numbers of stomach parasites (spirurid nematodes, Tanqua tiara) were higher in juvenile lizards than in adults, and varied between our two sampling sites. Our results suggest that water monitors exhibit relatively little morphological or ecological divergence over broad areas within Sumatra, hence simplifying the task of developing appropriate management systems for the commercial harvest. Shine, R., P. S. Harlow, J. S. Keogh and Boeadi. 1998. The influence of sex and body size on food habits of a giant tropical snake, Python reticulatus. Functional Ecology 12(248-258). Simmons, P. M., B. T. Greene, K. E. Williamson, R. Powell and J. S. Pamerlee Jr. 2005. Ecological interactions within a lizard community on Grenada. Herpetologica 61(2): 124-134. In June 2002, we studied the natural history of Ameiva ameiva and sympatric anoles, Anolis aeneus and A. richardii, in an altered habitat on Grenada to test three predictions regarding intraspecific interactions in Ameiva, intrageneric interactions between anoles, and interfamilial interactions between Ameiva and anoles. Our data generally supported our first prediction that characteristics of an insular population of A. ameiva would essentially mirror those described for other insular populations of West Indian congeners, were less supportive of our second prediction that structural habitat use and diets would indicate interspecific resource partitioning between anoles, and strongly supported our third prediction that anoles would spend less time on the ground when Ameiva were active. Based on tests that indicated that Ameiva were predators of anoles, we suggest that predator-avoidance is the most parsimonious explanation for the apparent adjustments in foraging strategy.

Sluys, M. V., C. F. D. Rocha and M. B. Souza. 2001. Diet, reproduction, and density of the leptodactylid frog Zachaenus parvulus in an Atlantic rain forest of Southeastern Brazil. Journal of Herpetology 35(2): 322-325. Sugiri, N. 1979. Beberapa aspek biologi kodok batu (Rana blythi) Boulinger, Ranidae, anuraamphibia) di beberapa wilayah Indonesia dan kedudukan taksanya. PhD thesis. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 188 pp. Di dalamnya terdapat bagian mengenai pakan kodok batu. Tomas, J., F. J. Aznar and J. A. Raga. 2001. Feeding ecology of the loggerhead turtle Caretta caretta in the western mediterranean. J. Zool., Lond. 255: 525-532. We studied the feeding ecology of juvenile loggerhead turtles Caretta caretta in the western Mediterranean based on the contents of the digestive tract of 54 turtles (range of CCL: 34Âą69 cm) seized in Barcelona (Spain) in 1991. Turtles had been captured in fishing trawls, but specific information about dates and localities is not available. Despite this limitation, we obtained interesting evidences about the foraging strategies of loggerheads, with potentially important conservation implications. We report 33 new taxa in the diet. Results indicated that western Mediterranean loggerheads feed in an opportunistic way. Numerically, fish made up the most important prey group, followed by pelagic tunicates, crustaceans, molluscs and other invertebrates. The importance of fish as a food resource has been rarely reported, and several lines of evidence indicated that fish were possibly consumed as discarded bycatch. This raises the question over whether or not western Mediterranean fisheries are an important food source for juvenile loggerheads. The number and diversity of prey increased with turtle size, this may reflect the lack of prey selectivity of juvenile loggerheads coupled with a higher retention of food remains in larger turtles. Discounting prey that could be consumed as discarded by-catch, dietary data suggest that most, if not all, loggerheads of our sample were captured in neritic habitats. However, many turtles contained remains of both pelagic and benthic-demersal prey. These observations support the existence of an intermediate neritic phase in loggerheads' developmental shift from pelagic oceanic to benthic neritic foraging habitats, as previously suggested. During this phase, loggerheads would feed upon both pelagic and benthic prey. Vitt, L. J., S. S. Sartorius, T. C. S. Avila-Pires, P. A. Zani and M. C. Esposito. 2005. Small in a big world: Ecology of leaf-litter geckos in new world

17- -


Warta Herpetofauna / Edisi IV – Januari 2006 tropical forests. Herpetological Monographs 19(2005): 137–152. We studied the ecology of four species of closely related leaf litter geckos, Coleodactylus amazonicus, C. septentrionalis, Lepidoblepharis xanthostigma, and Pseudogonatodes guianensis in tropical rainforests of Brazil and Nicaragua. All are found in leaf litter of undisturbed tropical forest where mean hourly surface temperatures vary from 23.5–29.1 C. Surface temperatures, where individual C. amazonicus were found, averaged 27.4 C and air averaged 29.9 C. Coleodactylus amazonicus was the smallest species and L. xanthostigma was the largest. The latter was the most different morphologically as well. Tail loss rates varied from 45.5–81.8% among species. All four species ate very small prey items, largely springtails, homopterans, termites, small insect larvae, and spiders. Nevertheless, considerable differences existed among species. Some variation existed among populations of C. amazonicus. Prey size was correlated with lizard SVL within and among species. All four species are typically the smallest species in their respective lizard assemblages. Small body size may have consequences for predation. Partially due to small body size, these lizards are vulnerable to extirpation resulting from effects of tree removal on thermal attributes of their leaf litter environment. Waringer-loschenkohl, A. and M. Schager. 2001. Algal exploitation by tadpoles – an experimental approach. Internat. Rev. Hydrobiol. 86(1): 105–125. This study examined the exploitation of several species of algae and other organisms by Rana dalmatina larvae, by comparing nutrient contents and pigment degradation of food algae to faeces and changes in larval weight. Tadpoles gained weight when fed Oscillatoria limosa mats collected from the field. The high in-organic content of the Oscillatoria mats, combined with gut peristalsis, may have faciliated the cracking of the tough cell walls. When fed Cladophora and Spirogyra, ash-free dry weight and protein content of tadpole faeces decreased whilst chlorophylldegradation products increased in the faeces relative to the food. With Scenedesmus as food, pigment degradation occurred after gut passage. Tadpoles tended to gain weight when fed Scenedesmus or Aphanizomenon. The epipelic diatoms, Gongrosira, and the planktonic flagellates Cryptomonas and Chlamydomonas were exploited only in

traces. Food was better exploited after repeated gut passage, as evidenced by reductions in organic contents, proteins and carbohydrates in the faeces. Wymann, M. N. and M. J. Whiting. 2002. Foraging ecology of rainbow skinks (Mabuya margaritifer) in southern africa. Copeia, 2002(4): 943–957. We determined group composition and foraging mode in a wild population of rupicolous rainbow skinks (Mabuya margaritifer) on rocky outcrops in a humid savannah of South Africa and examined diet, sexual dimorphism, and life-history traits in museum material. We also field-tested lizards for prey chemical discrimination. Males were larger than females in both body and head size. Both sexes reached maturity at 68 mm SVL, and females produced clutches of 2–9 eggs. Males excluded other males from their home range but shared overnight crevices with 1–4 females and 1–6 juveniles. Mabuya margaritifer were ambush foragers when only the amount of time spent moving (8%) was considered; however, other variables such as moves per minute (1.3) and average speed (0.01 m/s) suggest an intermediate foraging mode between active and ambush foraging for the population studied. Lizards spent most time on rock (81.5%) but also moved into vegetation (7.9%) and along the rockvegetation interface (10.6%). Both sexes spent similar amounts of time in these microhabitats and were observed feeding in all three. Diet was dominated by termites, and overlap in prey types between sexes was high. In experimental tests for prey chemical discrimination, lizards tongue-flicked rarely, giving no indication of an ability to discriminate prey chemicals. Also, lizards observed in the field during focal observations performed few tongue-flicks. Based on these results, sexual dimorphism is best explained by sexual selection via male contest competition and not by ecological niche divergence.

R e d a k s i ju g a m e n e r im a k r it ik d a n s a r a n m e m b a n g u n d e m i k e m a ju a n w a r t a in i k e d e p a n n ya .

18- -


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.