Patra energy review 6th edition

Page 1

PATRA ENERGY REVIEW 6th edition MAJALAH KEENERGIAN HMTM “PATRA” ITB 2016


Available On issuu.com/hmtmpatraitb

Check out also: https://medium.com/@kajian.patra

patraprovokatif2015.tumblr.com


Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan “PATRA” ITB

1


EDITORIAL

C

2

O

N

T

R

I

B U T O R S DR / Dharmawan Raharjo (12213008) YPAS / Yusuf Pradana Aji Surya (12213013) IK / Iqbal Kurniawan (12213059) FHB / Farhad Hamid Bayagub (12213084) PRS / Prayudha Rifqi Safiraldi (12213092) MNA / Mahdi Nurianto Ahmad (12213102) MAN / Muhammad Aulia Nabigha (12212003) MRPGMRMT / Mohammad Radja Polem GMRMT (12212007) AS / Arif Somawijaya (12212065) KAAW / Kurnia Agung Arief Wijaya (12212102)


D E S I G N & (12213011) Diandra Aulia \ DA (12213076) Adjie Wirandhana \ AW

L A Y O U T

3


TA

P

R

A

K

A

Sektor energi di Indonesia memang tidak lagi menjadi penyumbang utama bagi pendapatan negara, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa sektor ini lah yang membuat roda perekonomian negeri tetap bergerak. Kedepannya sektor energi, khususnya industri minyak dan gas, akan tetap memegang peranan penting dan selalu menarik untuk dibahas. Segala kontroversi dan masalah yang terjadi di dalamnya pun membutuhkan kajian dari berbagai disiplin ilmu. Baiknya aspek teknis tidak menjadi jaminan kelancaran industi ini. Aspek ekonomi, lingkungan, dan juga politik harus pula ikut mendukungnya. Maka, tak jarang masalah yang menjadi isu di dalam industri migas tak kunjung usai dan berlarut – larut dalam penyelesaiannya. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” kata salah satu sastrawan terbaik yang pernah ada, Pramoedya Ananta Noer. Tentunya kita tidak hanya menulis untuk kepuasan diri sendiri. Karena sejatinya, tulisan merupakan tempat menyampaikan ide, gagasan, dan juga solusi dari permasalahan yang ada. Tulisan merupakan lukisan dari pikiran dan ucapan lisan. Banyak sekali isu energi di Indonesia, khususnya di industri minyak dan gas, yang sedang menanti solusinya. Mulai dari masalah geopolitik yang membawa Indonesia kembali mengaktifkan keanggotannya di OPEC, fluktuasi harga minyak dunia, pemanfaatan sumber energi lain seperti migas non-konvensional dan panas bumi, hingga kesiapan pertamina dalam melakukan nasionalisasi blok – blok migas Indonesia. Patra Energy Review hadir sebagai wadah menulis bagi anggota HMTM “PATRA” ITB khususnya anggota divisi kajian energi untuk ikut serta memberikan solusi bagi kemajuan industri minyak dan gas bangsa.

Ketua Divisi Kajian Energi Muhammad Aulia Nabigha

4


Kedaulatan Energi Untuk Kemandirian Bangsa

5


TABLE OF Editorial

2

Prakata

4

Table of Contents

6

ARTICLE Go East, Go Deeper

10

PRS-AW

Nasionalisasi dan Kesiapan Pertamina

18

MNA-AW

Optimasi Pemanfaatan Gas Bumi Nusantara

24

KAAW-AW

Prospek “Sumur Rakyat” Sebenarnya Untuk Siapa?

34

AS-AW

Manusia dan Energi MRPGMRMT-AW

40


CO NTENTS

47

Pemanfaatan CBM dalam Meningkatkan Ketahan Energi Nasional YPAS-DA

54

Membedah Fluktuasi Harga Minyak Dunia DR-DA

62

Masih Ideal-kah Sistem Kontrak Migas di Indonesia? FHB-DA

71

Kupas Tuntas Keputusan Indonesia Bergabung Kembali dengan OPEC MAN-DA

78

General Outlook of Geothermal Energy in Indonesia IK-DA


PER Kedaulatan Energi Untuk Kemandirian Bangsa



Go E a s t Go Deeper!

Prayudha Rifqi Safiraldi

Karakteristik Indonesia Timur yang berbeda dengan Indonesia Barat menyebabkan banyak sekali tantangan-tantangan yang harus kita kerjakan untuk tetap mengeksplorasi cadangan-cadangan baru sehingga produksi nasional dapat tetap terjaga.


Status Quo Indonesia merupakan negara yang memiliki luas 1,9 juta km2 dengan duapertiga wilayahnya merupakan lautan. Luasnya wilayah Indonesia merupakan tantangan besar bagi kita untuk mengembangkan potensi kekayaan alam yang ada. Potensi-potensi tersebut harus dicari agar dapat dimanfaatkan guna membangun negeri. Agaknya memang klise jika masyarakat kerap menganggap bahwa negara ini memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetapi mengapa masih banyak ditemukan rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan? Ya! Indonesia memang kaya, tetapi sayangnya kita tidak pandai untuk mengelolah kekayaan itu. Industri minyak dan gas bumi nasional selalu memainkan peran yang sangat penting, baik sebagai sumber pendapatan pemerintah maupun sebagai sumber energi bagi perekonomian nasional. Sesuai dengan perannya tersebut, industri migas tumbuh dan mencapai tingkat yang tinggi dengan berproduksinya lapangan Minas secara maksimum pada awal dekade 1970-an. Hal tersebut dibarengi dengan harga minyak yang mengalami kenaikan dengan cukup drastis akibat situasi konflik di Timur Tengah, sehingga semakin merangsang peningkatan produksi dalam negeri. Periode 1970-an hingga 1990-an ditandai dengan ketergantungan yang tinggi dari perekonomian nasional atas pendapatan dari minyak bumi

dan juga gas bumi dalam bentuk Liquified Natural Gas (LNG). Kebutuhan yang besar akan pendapatan nasional tersebut memicu produksi migas dalam tingkat kapasitas maksimum yang seringkali jauh diatas tingkat produksi optimum. Puncak kedua dari produksi minyak bumi nasional dicapai pada sekitar pertengahan 1990-an dengan berproduksinya secara penuh proyek injeksi uap lapangan Duri. Sayangnya selama periode 1990 s.d awal 2000-an eksplorasi tidak dilakukan secara masif sehingga tidak ditemukan lagi lapangan besar baru. Akibatnya pada tahun 2004, Indonesia telah menjadi net importir karena konsumsi minyak dalam negeri lebih besar daripada produksinya. Pentingnya Eksplorasi Konsumsi energi yang tidak sebanding dengan ketersediaan sumber energi menempatkan Indonesia dalam kondisi krisis energi. Ancaman krisis energi yang dihadapi Indonesia saat ini merupakan imbas tidak adanya penemuan cadangan minyak dan gas bumi baru. Eksplorasi pun memegang peran kunci untuk meningkatkan cadangan migas nasional agar permasalahan krisis energi bisa dihindari dan Indonesia mampu mandiri dalam penyediaan energi. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk menggairahkan kegiatan penemuan resources baru. Mulai dari memberikan insentif kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) eksplorasi, memperbaiki

Annual Report SKK Migas 2014

11


Annual Report SKK Migas 2014

infrastruktur, memberikan jaminan keamanan wilayah eksplorasi, hingga penyederhanaan perizinan untuk melakukan kegiatan eksplorasi. Usaha tersebut membuahkan hasil dengan meningkatnya investasi kegiatan eksplorasi di wilayah kerja eksplorasi dalam menemukan cadangan (reserves) migas yang baru. Investasi mengalami peningkatan sampai pada tahun 2011. Tetapi, sejak 2012 sampai dengan 2014 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan investasi ini tidak boleh dibiarkan terjadi secara lama. Pemerintah harus mencari cara agar KKKS terus tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor eksplorasi. Ditambah lagi, harga minyak yang jatuh sejak awal semester 2014 membuat tantangan untuk mengeksplorasi cadangan baru akan semakin besar. Pentingnya peningkatan kegiatan eksplorasi akan berdampak positif bagi prospek pengembangan sektor hulu migas di masa mendatang, serta menjaga ketersediaan energi untuk generasi mendatang. Saat ini berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia memiliki total recoverable resource migas nasional mencapai 37.025 MMstboe (million stock tank barrel of oil equivalent). Dengan jumlah empat terbesar berada di wilayah

12

Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Papua. Untuk meningkatkan status dari Resources menjadi Proven Resources dibutuhkan peningkatan program eksplorasi secara lebih intensif. Idealnya untuk satu setara barel migas yang diproduksikan segera tergantikan oleh satu setara barel migas yang ditemukan. Perbandingan penemuan cadangan baru terhadap cadangan yang terproduksikan disebut sebagai Reserves Replacement Ratio (RRR). Grafik diatas adalah grafik Reserve Replacement Ratio untuk minyak dan gas bumi sejak tahun 2007 s.d 2013. Go East, Go Deeper Wilayah Indonesia terdiri atas tiga bagian yaitu, Indonesia bagian barat, tengah, dan timur. Saat ini sebagian besar kegiatan eksplorasi dan produksi migas nasional berada di Indonesia bagian barat dan bagian tengah. Sekitar 91% kegiatan eksplorasi serta produksi tersebut berada di wilayah Indonesia barat dan tengah. Oleh karena itu, masa depan hidrokarbon negara ini bergantung pada kegiatan eksplorasi di bagian timur Indonesia. Terdapat tujuh cekungan belum terekplorasi (frontier basin) yang terletak di Indonesia timur, yaitu Flores & Tukang Besi Basin; Buru, West Buru & South Sula Basin; North Halmahera, East, South & North Obi Basin; Misool, Seram, South Seram, W. Weber,


Weber & Tanimbar Basin; Waipongan Basin; Akimegah Basin; dan Sahun Basin. Cekungan berproduksi (mature basin) yaitu Salawati Basin dan Bintuni Basin. Sedangkan baru-baru ini ditemukan lapangan gas yang cukup besar di sebelah selatan Pulau Tanimbar yaitu Lapangan Abadi-Masela pada Timor Basin. Banyaknya cekungan yang belum tereksplorasi ini merupakan kesempatan yang sangat besar bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia Timur. Karakteristik Indonesia Timur pada dasarnya

Tangguh, Teluk Bintuni, Papua Barat. Lapangan ini telah berproduksi sejak tahun 2002 dengan produksi rata-rata 460 MMSCFD dan 1000 barel kondensat per hari. Cekungan di Indonesia timur rata-rata berada di wilayah laut dalam (kedalaman lebih dari 1000 m). Biaya untuk menyewa rig jenis semi-submersible saja sekitar $300.000/ hari dan biaya pengeboran satu sumur dapat mencapai $100 juta. Karena besarnya jumlah biaya yang dibutuhkan, kontraktor me-

sdm.go.id

tidak sama dengan Indonesia Barat. Umur pengendapan batuan di wilayah timur Indonesia lebih tua dibandingkan wilayah barat, sehingga lebih banyak ditemukan gas bumi dibandingkan dengan minyak bumi. Studi yang telah dilakukan oleh SKK Migas sendiri merperkirakan terdapat cadangan gas bumi mencapai 55 tscf (trillions of standard cubic feet) di wilayah Indonesia timur. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan potensi minyak bumi yang hanya 656 MMstb (million of stock tank barrel). Beberapa lapangan gas besar telah ditemukan seperti Lapangan

merlukan cara-cara pengembangan yang berbeda untuk mengembangkan lapangan di Indonesia Timur agar efisien dan ekonomis. Berdasarkan data SKK Migas, sebanyak 12 KKKS migas asing merugi hingga US$ 1,9 miliar akibat kegagalan mengeksplorasi 16 blok di laut dalam Indonesia selama 20092013. Di antara KKKS yang gagal itu adalah Exxon Mobil Corp., Statoil ASA, Conoco Phillips, Talisman Energy Inc., Marathon Oil Corp., Tately NV, Japan Petroleum Exploration Co., CNOOC Ltd., Hess Corp., Niko Resources Ltd., dan Murphy Oil Corp.

13


Namun potensi penemuan cadangan yang besar tetap ada dengan ditemukannya lapangan gas tangguh dan lapangan gas abadi dengan proven (cadangan terbukti) yang cukup besar. Rencana Pengembangan Lapangan (Plant of Development/PoD-1) telah disepakati dengan pemerintah pada tanggal 6 Desember 2010 dengan produksi LNG sebesar 2,5 Mtpa dan produksi kondensat sebesar 8.400 BOPD selama masa produksi 30 tahun dengan perkiraan recoverable reserve (cadangan gas terambil) sebesar 4,6 tcf dan kondensat sebesar 91,02 MMbo. Dengan asumsi harga gas $4/MMBTU (1000 cf = 1 MMBTU) dan harga kondensat $35/barel, serta pembagian PSC 70:30, maka Return On Investment (ROI) dari lapangan ini sekitar $6,45 miliar. Bandingkan dengan biaya investasi yang hanya $1,9 miliar itu. Jadi, pada dasarnya investasi di Indonesia Timur masih cukup menguntungkan meskipun memiliki resiko yang sangat besar.

Annual Report SKK Migas 2014

Tantangan dan Solusi Tentunya dalam mengembangkan lapanmasih sangat minim. Karena minimnya gan di Indonesia Timur terdapat tantangan infrastruktur ini, ongkos eksplorasi menkhusus. Tantangan tersebut pertama adalah jadi sangat tinggi. Pemerintah harus dapat sebagian wilayah cemeningkatkan infrastrukkungan Indonesia tur agar investor tertarik Timur merupakan mengembangkan usaha wilayah laut dalam. di Indonesia Timur. Selain Biaya investasi yang tujuannya untuk kegiadibutuhkan juga lebtan migas, infrastruktur ih besar. Dalam hal juga dapat berguna untuk ini pemerintah dapat meningkatkan taraf hidup memberikan insenmasyarakat. Ketiga, regutif bagi KKKS yang lasi yang belum menarik ingin mengembanginvestor. Pengembankan wilayah kerja di gan lapangan di wilayah Indonesia Timur. Setimur sangat jauh berbelain itu, pemerintah da dengan wilayah barat. juga dapat meniru Infrastruktur wilayah pemerintah Malaysia barat sudah siap pakai, yang menghilangkan sedangkan infrastruktax untuk pengemtur di Indonesia Timur Annual Report SKK Migas 2014 harus bangan deepwater. dibangun lagi. Kedua, infrastruktur wilayah Indonesia Untuk mengembangkan lapangan gas

14


tangguh saja, KKKS perlu membangun fasilitas LNG terlebih dahulu. Mungkin saja revisi PSC (Production Sharing Contract) khusus untuk wilayah Indonesia Timur menjadi solusinya sembari pemerintah menyiapkan infrastruktur wilayah Indonesia Timur. Keempat, tantangan birokrasi yang tak kalah penting. Sebagai gambaran pada tahun 2013 perizininan di Direktorat Jenderal Migas (Ditjen Migas) saja mencapai 104. Perizininan tersebut pada tahun 2015 telah dipangkas 60% menjadi hanya 42 perizinan. Tetapi tetap saja, 42 perizinan merupakan jumlah yang tidak sedikit dan investor sangat mengeluhkan perizinan yang cukup menyulitkan ini. Belum lagi ditambah dengan perizinan yang berada diluar Ditjen Migas. Penyederhanaan perizinan merupakan hal yang sangat urgent agar investor tidak merasa disusahkan dengan urusan administrasi.

Minyak dan gas bumi merupakan komoditas penting sebagai pemenuhan kebutuhan energi serta memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini ditandai dengan pendapatan negara yang masih sangat besar bergantung terhadap sektor migas. Sektor ini juga memberikan multiplier effect dalam pembangunan nasional. Sudah menjadi cita-cita kita bersama agar Indonesia berdaulat dalam pemenuhan kebutuhan energi. Eksplorasi Indonesia bagian timur merupakan salah satu pintu untuk mencapai kemandirian energi tersebut. Memang tidak mudah untuk melalui jalan itu. Tetapi usaha yang besar serta dengan semangat yang tinggi tidak akan membohongi kita semua dan pasti akan memberikan hasil.

Yakinlah, Indonesia bisa! Go East, Go Deeper!

15



BP harus membayar denda sebesar 18.7 milliar USD (atau sekiitar 254 triliun IDR) pada kasus tumpahan minyak di Gulf of Mexico pada tahun 2010.


NASIONALISASI dan Kesiapan Pertamina Mahdi Nurianto Ahmad

E

mas hitam, itulah kata yang sering orang sebut untuk benda hitam dan cair ini, minyak bumi. Nilai jual serta permintaan yang tinggi menjadi dasar bagi semua orang untuk saling berebut memiliki dan menguasai benda cair nan lengket ini. Dari zaman dahulu hingga saat ini, sering terjadi pertempuran antarwarga maupun antarnegara, orang asing maupun orang pribumi untuk memperebutkan emas hitam ini. Bagaimanakah kondisi negara kita, Indonesia? Menurut, Presiden Konferensi Serikat Pekerja Migas Indonesia, Faisal Yusra, sekitar 85 persen industri migas saat ini sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing.

18

Hanya sebagian kecil yang sahamnya didominasi oleh pertamina, sebagai perusahaan milik negeri. Berdasarkan data pada laporan tahunan SKK Migas 2014, jumlah cadangan minyak terbukti Indonesia sebesar 3.62 miliar barel (0.2% cadangan dunia) dan cadangan gas alam sebesar 100.26 triliun kaki kubik (1,7% cadangan dunia). Saat ini produksi minyak kurang dari 800 ribu barrel per hari, sedangkan konsumsinya sebesar 1.6 juta barel per hari. Artinya produksi dalam negeri hanya bisa memenuhi kurang dari setengah kebutuhan perharinya dan cadangan yang ada hanya bisa memenuhi kebutuhan dalam kisaran waktu 10 tahun.


Kesiapan Pemerintah

Annual Report SKK Migas 2014

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kondisi industri migas di negeri kita ini sangat mengkhawatirkan! Dengan cadangan yang sedikit, sudah sepatutnya kita memaksimalkan migas ini untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Namun, dapat dilihat bahwa sebagian besar saham industri migas di Indonesia didominasi oleh asing. Hal ini tentu sangat mengherankan. Pertamina, yang merupakan BUMN Indonesia, tidak dominan dalam kepemilikan saham industri migas di negeri sendiri. Di lain sisi, terdapat berbagai peluang bagi Pertamina. Dalam kurun waktu 2015 - 2024 terdapat 32 blokmigas yang akan habis masa kontraknya. Berdasarkan data yang diberikan oleh penasihat Ahli Kepala SKK Migas, Haposan Napitupulu, produksi dari 32 blok migas tersebut setara dengan 72,5 persen produksi migas nasional. Saat ini, Pertamina menduduki posisi kedua setelah chevron sebagai perusahaan dengan produksi minyak terbesar di Indonesia. Kesempatan yang sama tidak akan datang kembali dalam kurun waktu yang singkat! Maka dari itu, Pemerintah dan Pertamina perlu membuat strategi nasionalisasi yang matang. Namun, ada satu keraguan yang sering terdengar baik dari pemerintah maupun masyarakat. Siapkah Pertamina mengemban tugas yang begitu besar untuk mengelola lapangan yang habis masa kontraknya dengan total produksi setara dengan 72.5 persen produksi nasional?

Pemerintah, sebagai pembuatan kebijakan, sangat menentukan terealisasinya nasionalisasi pada kesempatan besar ini. Pemerintah dapat memberikan kondisi dan lingkungan yang menjanjikan untuk melakukan nasionalisasi ataupun membuat Pertamina siap dalam mengelola sebagian besar lapangan migas yang ada di Indonesia melalui regulasi-regulasi yang dibuatnya. Beberapa waktu lalu, Menteri ESDM, Sudirman Said, menetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2015 tentang Pengolahan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang akan berakhir kontrak kerjasamanya. Penetapan ini sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi minyak dan gas bumi serta menjaga kelangsungan investasi pada wilayah kerja migas. Selain itu, peraturan menteri ini juga membahas mengenai transfer data dan tata cara peralihan kontrak untuk Pertamina serta kontraktor. Peraturan ini sungguh sangat penting dalam upaya nasionalisasi lapangan-lapangan migas yang ada di Indonesia. Peraturan ini, secara tidak langsung, telah menunjukkan dukungan pemerintah untuk mendukung Pertamina dalam upaya menasionalisasi lapangan-lapangan migas yang ada di Indonesia.


Peraturan ini, secara tidak langsung, telah menunjukkan dukungan pemerintah untuk mendukung Pertamina dalam upaya menasionalisasi lapangan-lapangan migas yang ada di Indonesia. Satu yang terpenting dan perlu diingat, pola pikir yang pro kepentingan nasional dari pemerintah dan semangat nasionalisasi harus hadir di setiap keputusan kontrak baru.

Kesiapan Pertamina Dalam hal kesiapan Pertamina, telah ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pertamina mampu dan sanggup dalam mengoperasikan sebagian besar lapangan-lapangan migas di Indonesia. Saat ini, Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan asal Indonesia yang berhasil masuk pada daftar 500 perusahaan terbesar global tahun 2013 (Fortune Global 500), yang dirilis majalah Fortune. BUMN ini berhasil menduduki posisi 122 dari 500 perusahan terbesar di seluruh dunia. Selain satu-satunya perusahaan Indonesia yang masuk dalam daftar Fortune 500, Pertamina juga merupakan perusahaan pertama dari Indonesia yang masuk daftar tersebut. Peringkat tersebut didasarkan pada beberapa faktor penting, seperti pendapatan, laba, dan aset.

20

Dari data Fortune, Pertamina meraup pendapatan 70,924 miliar dollar AS. Sementara itu, laba Pertamina tercatat 2,761 miliar dollar AS dan aset 40,882 miliar dollar AS. Aset yang dimiliki PT Pertamina (Persero) sebesar Rp 310 triliun. Hal ini menjadikan Pertamina sebagai BUMN ke-4 dengan aset terbesar di Indonesia (Sumber: Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, 2 feb 2010). Dari bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas, telah jelas bahwa Pertamina, secara finansial maupun secara potensial, mampu dan siap dalam mengoperasikan dan mengembangkan lapangan-lapangan migas yang ada di Indonesia. Dengan performa finansial dari Pertamina yang terbilang cukup mapan, maka tentu akan berkorelasi dengan performa teknis dalam mengeksekusi pekerjaannya. Dengan pengelolaan yang baik, performa teknis akan lebih efektif dan lebih efisien. Argumen di atas dapat dibuktikan dari kinerja Pertamina yang baik di beberapa blok yang dikelola. Meskipun pada dasarnya, sifat dan kesulitan setiap sumur tentu berbeda-beda, namun keberhasilan ini harus kita apresiasi dan menjadi bukti bahwa performa teknis Pertamina selalu terus

m e m b a i k . Keberhasilan pertama dapat dilihat dari meningkatnya produksi minyak lapangan Sangasanga-Tarakan Kalimantan Timur. Dari data yang dihimpun dari Senior Vice President Upstream Business Development PT Pertamina, Slamet Riyadi, produksi pada tahun 2008 yang semula hanya 4.300 BOPD (Barrel Oil per Day), menjadi rata-rata 5.400 BOPD pada tahun 2010. Selain itu, keberhasilan berikutnya adalah keberhasilan dalam mengembangkan Lapangan Limau di Sumatera Selatan. Pada tahun 2007, produksi rata-rata dari lapangan tersebut adalah sekitar 6000 BOPD. Namun, pada tahun 2010, produksinya mencapai sekitar 12.000 BOPD. Selanjutnya, keberhasilan dalam pengelolaan Lapangan ONWJ (Offshore North West Java) dan WMO (West Madura Offshore) juga merupakan sebuah bukti yang nyata bahwa performa teknis Pertamina terus membaik. Sejak lapangan ONWJ dan WMO yang sebelumnya dikelola oleh BP dan Kodeco diambil alih oleh Pertamina, produksi minyak dari tahun ke tahun terus meningkat. Untuk lapangan ONWJ, produksiya naik 21 ribu barrel per hari menjadi 30 ribu


barrel per hari. Sedangkan pada lapangan WMO, Pertamina menargetkan kenaikkan produksi dari yang semula 13.400 barrel per hari menjadi 40.500 per hari dalam lima tahun ke depan. Kedepannya performa Pertamina harus semakin baik. Dengan mengurangi persentase dividen yang harus dikembalikan kepada Negara dan mengalihkannya untuk kegiatan pengembangan perusahaan. Saat ini dividen yang wajib dikembalikan kepada pemerintah terlalu besar, hal itu menyebabkan Pertamina minim dana untuk melakukan pengembangan perusahaanya. Ditambah lagi Pertamina banyak dihutangi perusahaan Negara lain seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hal tersebut membuat neraca keuangan Pertamina semakin tidak sehat. Sudah sepantasnya Pertamina dimasukan kedalam non-listed public company sehingga neraca keuangannya dapat diawasi bersama sama. Pertamina juga perlu mengembangkan bagian riset nya. Seperti kebanyakan Negara Negara berkembang, Pertamina lebih fokus kepada kegiatan operasional di lapangan. Sehingga kegiatan riset nya semakin tertinggal. Kedepannya Pertamina perlu

membuat pusat riset yang berkerjasama dengan universitas universitas dalam negeri dan juga pemerintah.

Resiko Turunnya Produksi pada Masa Transisi Industri migas sangat erat kaitannya dengan risiko yang sangat besar terutama dalam hal eksplorasi. Dalam hal ini, modal yang harus dikeluarkan sangat besar dan belum tentu modal yang dikeluarkan dapat kembali ataupun mendapatkan untung. Saat ini kegiatan eksploitasi migas juga memperlukan teknologi dan penguasaan teknologi yang tinggi. Contohnya adalah di blok Mahakam. Menurut Gde Pradnyana, Deputi Operasional BP Migas, blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia dengan rata-rata produksi sekitar 2200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dengan cadangan sekitar 27 trilliun cubic feet (tcf).Banyak ahli yang menyatakan bahwa Blok Mahakam adalah blok yang sulit. Struktur pada reservoir Blok Mahakam sangatlah sulit dan rumit untuk dikembangkan. Dengan beralihnya kekuasaan blok tersebut di tangan Pertamina, dikhawatirkan produksi akan menurun karena minimnya pengetahuan

Pertamina pada lapangan terkait. Terlebih lagi dimasa akhir kontrak, kontraktor membuat pusat riset yang berkerjasama dengan universitas universitas dalam negeri dan juga pemerintah. Resiko Turunnya Produksi pada Masa Transisi Industri migas sangat erat kaitannya dengan risiko yang sangat besar terutama dalam hal eksplorasi. Dalam hal ini, modal yang harus dikeluarkan sangat besar dan belum tentu modal yang dikeluarkan dapat kembali ataupun mendapatkan untung. Saat ini kegiatan eksploitasi migas juga memperlukan teknologi dan penguasaan teknologi yang tinggi. Contohnya adalah di blok Mahakam. Menurut Gde Pradnyana, Deputi Operasional BP Migas, blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia dengan rata-rata produksi sekitar 2200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dengan cadangan sekitar 27 trilliun cubic feet (tcf).Banyak ahli yang menyatakan bahwa Blok Mahakam adalah blok yang sulit. Struktur pada reservoir Blok Mahakam sangatlah sulit dan rumit untuk dikembangkan. Dengan beralihnya kekuasaan blok tersebut di tangan Pertamina, dikhawatirkan produksi akan menurun karena minimnya pengetahuan Pertamina pada lapangan terkait.

21


Terlebih lagi dimasa akhir kontrak, kontraktor sebelumnya enggan melanjutkan investasi jika tidak ada kepastian mendapatkan participating interest dalam kontrak selanjutnya. Hal itu membuat kemungkinan produksi turun di akhir masa kontrak sangat besar.

Geopolitik dalam Nasionalisasi Aset Migas Indonesia Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, minyak selalu diperebutkan oleh banyak negara. Tentu hal ini sangat berkaitan dengan geopolitik yang ada di dunia ini. Dengan diberlakukannya nasionalisasi lapangan migas di Indonesia, secara langsung ataupun tidak langsung, akan sangat mempengaruhi kondi-

Namun, bila kita terus memikirkan tentang kekhawatiran ini, tentu Pertamina akan selamanya tidak maju. Dengan tidak diberikannya Pelaut ulung tak akan terbentuk di laut yang banyak lapatenang. Begitu juga dengan Pertamina, Perngan migas, tamina tidak akan menjadi perusahaan yang tentu keahlian mendunia bila tidak diberi kesempatan untuk dan pengalamenghadapi tantangan yang besar man Pertamina dalam menangani dan mengembangkan lapangan si politik di tIndonesia, di Asia Tenggara tidak akan berkembang. Walau terataupun di dunia. Melakukan nasionalisasi dapat kekhawatiran, dengan lapanlapangan migas di Indonesia secara masif gan dikelola oleh Pertamina, maka akan berpengaruh pada keberlanjutan investaPertamina dapat belajar dan kemusi asing terutama pada lapangan-lapangan dian semakin ahli dan semakin proeksplorasi. Perusahaan asing tentu akan khafessional dalam mengelola lapangan watir akan keberlanjutan industri migas yang yang lebih besar dan lebih menantang mereka investasikan di wilayah Indonesia. lagi.Solusi lain yang dapat dijalankan Contoh yang paling nyata adalah nasionalisaadalah participating interest minimal si yang dilakukan oleh Negara Venezuela dan disetiap lapangan migas baru di InArab Saudi. Pemerintah disana sangat gencar donesia, seperti brazil di daerah laut dalam menasionalisasi lapangan-lapangan dalamnya. Hal tersebut tentu akan migas yang ada di wilayah kedaulatannya. Hal mengurangi kekhawatiran produksi ini menyebabkan investasi asing di wilayah menurun di akhir masa kontrak karena tersebut menjadi kurang menarik untuk dilakminimnya investasi yang dikeluarkan. sanakan. Tentu hal ini tidak kita inginkan, karena kegiatan eksplorasi di daerah timur membutuhkan dana yang sangat besar dan resiko yang tinggi. Tentu saja Pertamina dan Pemerintah membutuhkan dana dan sharing resiko untuk melanjutkan kegiatan eksplorasi guna meningkatkan cadangan yang terus terkuras.

“

22

“


Nasionalisasi akan menjadi hal yang sangat penting dalam kurun waktu 10 tahun kedepan. Peningkatan participating interest Pertamina di setiap lapangan adalah harga mati. Walaupun secara geopolitik akan membuat perusahaan asing enggan untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia. Dibagian itu lah pemerintah harus ikut campur dan turut bermain. Pemerintah perlu menggelar karpet merah dengan memberikan berbagai insentif fiskal berupa penambahan split PSC serta keringanan pajak dan insentif non fiskal berupa kemudahan pengurusan perizinan. Dengan demikian, Nasionalisasi ataupun peningkatan participating interest pada lapangan migas yang sudah berjalan dapat dilakukan dan kegiatan eksplorasi tetap menarik bagi investor asing.

T

A H U K A K A M U ?

H

Dibutuhkan

23.5 ton

bahan organik untuk membentuk

1 liter minyak

23


Optimasi Pemanfa atan

Gas Bumi

Nusantara

“

Kurnia Agung Arief W

Dalam langkah menyeimbangkan neraca gas di Indonesia, perlu diambil langkah yang konkret untuk meningkatkan suplai dan mengoptimalisasi kebutuhan

“

24

P

ernyataan bahwa Indonesia merupakan negara kaya minyak yang sering kita dengar sehari-hari tidak sepenuhnya benar. Namun ketika berbicara tentang kekayaan gas bumi, bisa dibilang bangsa ini memang kaya. Cadangan Gas bumi Indonesia saat ini berkisar pada angka 103.3 Trillion Cubic Feet (TCF). Dengan jumlah cadangan tersebut, Indonesia kini berada pada urutan ke-14 dari Negara dengan jumlah cadangan gas terbesar. Sayangnya, negeri ini belum bisa memanfaatkan serta mengelola potensinya dengan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bayangkan saja, disaat kondisi neraca gas dalam negeri defisit sekitar 40 persen dari produksi nasional Indonesia malah terjebak ekspor jangka menengah hingga panjang. Padahal gas bumi merupakan sumber energi yang lebih bersih dan memiliki manfaat yang sangat luas antara lain, sebagai sumberdaya pembangkit listrik, bahan baku industri, penambah nilai industri, bahan bakar transportasi, dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Gas bumi dapat digunakan untuk menjadi bahan bakar pembangkit listrik. Dibandingkan dengan pembangkit listrik dengan sumber batubara dan BBM, pembangkit listrik dengan bahan bakar gas lebih murah dan lebih bersih. Dengan bahan bakar gas juga pembangkit listrik lebih responsif terhadap fluktuasi beban listrik. Saat ini di Indonesia,


terdapat bangkit

beberapa listrik tenaga

pemgas.

Namun, suplai gas di Indonesia sendiri masih banyak kendala untuk mencapai pembangkit listrik yang telah dibangun. Akibatnya, sebagian pembangkit listrik

Oleh karena itu, gas bumi dapat diolah sedemikian rupa menjadi LNG yang mudah ditransportasikan dengan kapal atau truk. Pengolahan ini dapat mengurangi pembuatan jaringan pipa yang rumit. LNG merupakan gas bumi yang dicairkan untuk

Bahan DJBIM Tata Kelola Gas 2015

menggunakan BBM Diesel yang lebih mahal untuk mensubtitusi pasokan gas yang kurang. Pemanfaatan gas bumi tidak segampang pemanfaatan minyak bumi. Untuk mencapai konsumen, minyak bumi hanya perlu ditrasnportasikan melalui truk, kapal tanker atau bahkan cukup dimasukan kedalam jerigen saja. Sementara itu, gas bumi memerlukan pipa dari lapangan gas atau minyak untuk digunakan langsung oleh masyarakat atau industri. Karena masyarakat dan industri cukup tersebar, maka pipa harus memiliki jaringan yang rumit yang menghubungkan semua konsumen.

memudahkan transportasi. Gas bumi yang diekspor ataupun diimpor di Indonesia berbentuk LNG. LNG biasanya memiliki komponen methana. LNG sendiri dikompresi hingga volume yang lebih rendah daripada CNG. LNG kemudian dapat ditransportasikan di dalam wadah berbentuk bola yang tahan tekanan tinggi. LNG ketika mencapai terminal distribusi akan digaskan kembali untuk didistribusikan ke industri, masyarakat, atau pembangkit listrik. LNG juga dapat diolah menjadi CNG untuk digunakan pada kendaraan.


Kebutuhan dan Ketersediaan Gas Bumi di Indonesia Dalam memperkirakan ketersediaan atau supply gas di Indonesia, terdapat beberapa macam supply yaitu existing supply , project supply, dan potential supply. Existing supply adalah perkiraan volume gas bumi yang mampu dipasok dan dialirkan dari lapangan minyak dan gas bumi yang sedang berproduksi (on-stream). Indonesia saat ini sedang memproduksikan gas sebesar 2,8 TCF pertahun. Project supply merupakan suplai yang diekspetasi akan ada di masa depan. Adapun project supply ini berdasarkan tahapan persetujuannya terdiri dari Project Supply On going, Project Supply Confirmed dan Project Supply Floating Storage & Regasificaton Unit (FSRU). Potential supply merupakan pasokan gas yang rencana pengembangan lapangannya belum diajukan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tapi telah terindikasi memiliki cadangan terbukti yang diperkirakan ekonomis untuk diproduksi. Dalam menghitung kebutuhan ditinjau dari perjanjian kontrak dibagi menjadi tiga tahap yaitu contracted, committed, dan potential. Contracted demand merupakan volume kebutuhan gas bumi berdasarkan perjanjian jual-beli gas (PJBG) atau gas supply agreement (GSA). Demand ini akan terus berlangsung selama jangka waktu yang telah

26

ditentukan dalam kontrak. Committed demand merupakan volume kebutuhan gas bumi berdasarkan kapasitas infrastruktur terpasang yang belum dapat dipenuhi karena belum memiliki PJBG atau GSA. Potential demand merupakan kebutuhan yang dihitung berdasarkan angka pertumbuhan kebutuhan energi dan poporsi gas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional sebesar 22 persen pada 2025. Setelah dihitung, kementerian ESDM yakin bahwa dengan potensi cadangan gas sebesar 170 TCF dan produksi 2,87 tcf pertahun, Indonesia akan bertahan suplai gasnya selama 59 tahun lagi. Namun, pada kenyataannya tingkat produksi tersebut belum tentu memenuhi kebutuhan dalam negeri saat ini. Hal ini dapat dilihat pada neraca gas berikut ini:

SKKMigas.go.id

Dapat dilihat pada grafik diatas jika kita menggunakan acuan project supply dan committed demand, maka kita akan melakukan import gas pada tahun 2017. Adapun jika kuota eksport diperhitungkan, Indonesia sudah mengalami defisit neraca gas. Karena itulah dibutuhkan langkah optimasi dalam menyelesaikan permasalahan ini.


Langkah Optimasi Penggunaan Gas di Indonesia

a

Dalam langkah menyeimbangkan neraca gas di Indonesia, perlu diambil langkah yang konkret untuk meningkatkan suplai dan mengoptimalisasi kebutuhan. Hasil kajian yang dilakukan mahasiswa dari HMTM “PATRA� ITB memberikan beberapa solusi yang memungkinkan. Meniadakan Kontrak Ekspor Baru dan Melakukan Demand Preference Sejak tahun 2003 Indonesia mulai mengimpor gas untuk memenuhi kebutuhan. Di sisi lain, saat Indonesia mengimpor gas, 40% dari produksi gas diekspor ke luar negeri. Optimasi penggunaan gas bumi harus dilakukan untuk mencapai kemajuan ekonomi yang optimal diantaranya mengurangi ekspor gas bumi. Dengan mengurangi ekspor kita dapat memfokuskan penggunaan gas untuk kebutuhan dalam negeri. Langkah priotas kebutuhan ini disebut dengan Demand Preference. Pertimbangan dalam pembentukan skala prioritas ini berdasarkan keberadaan substituent dan multiplier effect yang dihasilkan. Demand preference yang diusulkan adalah: Industri (Bahan baku) > Sumber Energi Pembangkit Listrik > Sumber Energi Industri > Eksport Jika kita ingin mengutamakan sektor pengguna gas maka yang perlu didahulukan secara berturut-turut yaitu Industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, pembangkit listrik, bahan bakar Industri dan ekspor. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan gas di sektor transportasi dan gas rumah tangga dapat diabaikan dalam

Demand Preference ini karena hanya berkontribusi 0,15% dari total pemakaian. Dapat dilihat Industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku lebih dprioritaskan daripada pembangkit listrik. Hal ini dikarenakan pembangkit listrik memiliki subtitusi pengganti gas seperti batu bara, surya, BBM, dan lain-lain. Sementara industri yang memanfaatkan gas sebagai bahan baku tidak memiliki bahan baku utama selain gas. Suatu kontrak ekspor gas tidak dapat ditiadakan begitu saja karena hal ini telah menjadi kesepakatan kedua belah pihak. Langkah yang paling memungkinkan ialah mentiadakan kontrak ekspor baru sehingga tingkat ekspor akan menurun dalam beberapa tahun mendatang. Sudah seharusnya kita memandang gas sebagai penambah nilai suatu barang melalui industri, bukan sebagai komoditas.

Pembentukan Badan Penyangga

b

Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, harga gas di Indonesia sangat bervariatif dan cukup mahal. Hal ini disebabkan jaringan pipa di Indonesia tidak mencukupi untuk wilayahnya yang luas. Masalah lainnya adalah suatu lapangan gas biasanya tidak dapat langsung diproduksikan jika tidak ada pembeli. Mengapa? Berbeda dengan minyak yang mudah disimpan, gas jauh lebih sulit untuk ditampung ketika keluar dari sumur sehingga gas biasanya dialirkan langsung menuju pembeli. Dengan badan penyangga yang berbentuk BUMN, harga gas dapat diratakan dan infrastruktur gas berupa pipa dapat dibangun oleh badan penyangga ini. Penyamarataan harga gas ini tentunya akan mendukung pembangunan dan ekonomi di daerah-daerah terpencil di

27


Indonesia. Badan penyangga ini juga sebaiknya dapat menghubungkan produsen migas dengan pihak pembeli. Dengan adanya badan penyangga ini, kontrak gas akan semakin mudah terealisasikan sehingga sumur gas di lapangan dapat cepat dibuka, meningkatkan pasokan gas. Pembentukan badan penyangga ini sudah direncanakan oleh pemerintah. Rencananya, yang akan menjadi badan penyangga adalah merger BUMN dari Pertagas dan PGN.

c

Realisasi dan Akselerasi Pemanfaatan CBM

Di industri minyak dan gas dikenal minyak dan gas non-konvensional sebagai salah satu sumber energi baru. Contoh gas non-konvensional antara lain gas metana batu bara atau coal bed methane(CBM), tight gas sands, shale gas, dan hydrates gas. Meski mendapat sebutan non-konvensional, minyak dan gas jenis ini tetap merupakan produk alam. Namun yang membuat hidrokarbon ini berbeda di antaranya karena posisi keberadaannya di dalam perut bumi yang berbeda sehingga metode produksinya berbeda. juga

US Energy Information & Administration

Di Indonesia, cadangan CBM cukup tinggi. Dengan jumlah potensi 453 TCF, Indonesia menempati kedudukan 10 besar dunia dalam hal jumlah cadangan CBM. Sejak ditandatanganinya CBM PSC pertama pada 27 Mei 2008 hingga akhir 2012, sudah terdapat 54 CBM PSC yang disetujui


oleh pemerintah. Namun, sampai saat ini belum ada lapangan CBM yang diproduksikan secara komersial. Laju produksinya pun hanya sekitar 0.5 MMSCFD. Sementara rencana pemerintah ialah 500 MMSCFD. Dengan kata lain realisasi pemanfaatan CBM hanya 0.1% dari rencana yang sudah ditetapkan. Faktor yang menyebabkan permasalahan ini adalah Kelangkaan peralatan penunjang operasi, Tumpang tidih lapang terutama dengan lahan KP Batu Bara, lamanya proses dewatering, Kurangnya tenaga kerja handal, dan harga jual CBM dan bagi hasil yang dirasa kurang menguntungkan bagi kontraktor. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkret dalam pengembangan CBM di Indonesia. Langkah pertama adalah memproduksi rig khusus operasi CBM untuk mencegah kelangkaan perlatan penunjang operasi. Langkah kedua ialah memberikan UU dan prosedur pemetaan yang jelas suatu lapangan batu bara dan CBM untuk mencegah tumpang tidih lapang. Langkah ketiga ialah menghilangkan pajak terhadap kontraktor pada tahap dewatering sehingga kontrak lebih menarik bagi kontraktor. Dewatering ini merupakan produksi air pada tahap awal pengembangan lapangan CBM yang dapat memakan waktu dua sampai tujuh tahun. Langkah keempat adalah melakukan pelatihan intensif dan berkala untuk tenaga kerja Pertamina dalam pengoperasin lapangan CBM. Selain itu, memprioritaskan program LPDP bagi mahasiswa yang melakukan studi mengenai unconventional hydrocarbon dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja di masa yang akan datang. Langkah terakhir ialah memberikan insentif lebih dan membentuk modifikasi sistem PSC khusus dalam lapangan CBM atau hidrokarbon non konvensional lainnya


d

Pemanfaatan Gas yang akan di-Flare

Dalam produksi minyak, biasanya terdapat gas yang ikut terproduksi bersama minyak. Gas yang terproduksi akan dipisah dari minyak dan kemudian dibakar langsung oleh kontraktor pada jarak yang aman. Proses pembakaran gas ini disebut dengan flaring. Flaring bertujuan agar gas yang berbahaya tidak dilepas begitu saja ke lingkungan dan membahayakan manusia di sekitarnya. Namun, flaring tetap memberikan dampak negative terhadap lingkungan. Hasil pembakaran gas akan menghasilkan kontaminan berupa CO2, CO, sulphur, dan H2S. Kontaminan ini dapat menurunkan kualitas tanah di sekitar lapangan dan juga berdampak negatif bagi manusia. Di Indonesia, jumlah gas yang di-flare mencapai lebih dari 200 MMSCFD. Biasanya kontraktor lebih memilih membakar gas yang dihasilkan dari produksi minyak dengan alasan ekonomi. Gas yang dihasilkan dapat mengandung berbagai macam kontaminan sehinngga perlu berbagai peralatan separator mahal untuk menghasilkan gas bumi yang dapat dijual. Selain itu, gas yang terproduksi tidak selalu konstan. Oleh

30

karena itulah kontraktor lebih memilih untuk membakar hasil gas yang ada. Regulasi baru perlu ditetapkan untuk mengurangi jumlah gas yang di-flare seperti memberikan denda penalti untuk setiap pembakaran gas. Selain itu, pemerintah sebaiknya dapat menjamin pembelian gas yang akan di-flare sehingga kontraktor dapat memutuskan untuk menjual flare gas. Apabila gas yang akan diflare jumlahnya terlalu sedikit untuk ditrasnportasikan jarak jauh , maka sebaiknya gas tersebut dimanfaatkan secara insitu utilization. Insitu Utilization ialah memanfaatkan gas di daerah sekitar lapangan dengan cara menyebarkannya ke rumah tangga atau menggunakannya untuk pembangkit listrik sendiri.


e

Ekspansi Bisnis Pertamina

Dalam penambahan suplai gas Indonesia, Pertamina sebaiknya melakukan ekspansi ke lapangan gas di luar negeri. Pertamina dapat melakukan ekspansi ke luar negeri dan kemudian menerapkan metode swapping. Dengan metode ini, Pertamina dapat meneruskan perjanjian kontrak ekspor dengan mengirimkan gas bukan dari Indonesia, namun dari lapangan milik Pertamina di dekat Negara pembeli. Hal ini dapat mengurangi biaya transportasi dan meningkatkan suplai yang ada di Indonesia. Selain ekspansi di luar negeri, Pertamina sebaiknya mulai mengambil bagian dari Blok Natuna. Blok Natuna merupakan blok memiliki cadangan gas yang besar. Pemanfaatan blok ini dapat memberikan Indonesia suplai gas jangka panjang.

Itulah rekomendasi dalam mengoptimasi pemanfaatan gas di Indonesia. Namun, sebagai pengguna gas pun kita wajib ikut berkontribusi dalam rangka menyelesaikan masalah defisit neraca gas ini. Mindset penghematan energi sudah seharusnya tertanam ke dalam diri kita semua sejak dini. Indonesia kaya akan gas bumi dan merupakan rahmat dari Tuhan yang diberikan kepada kita. Tergantung diri kita sendiri bagaimana caranya untuk memanfaatkan rahmat ini untuk menjadikan Indonesia ini kaya, bukan hanya kaya energi, tapi benar-benar kaya.


Amerika hanya memiliki penduduk sebesar 4 persen populasi dunia, tetapi mengkonsumsi 25 persen produksi crude oil dunia perharinya.


Apabila seluruh produksi jagung dan kacang kedelai Amerika Serikat diubah menjadi corn-ethanol dan soy-biodiesel, hal tersebut hanya memenuhi 12 persen kebutuhan gasoline dan 6 persen kebuTuhan diesel.


Arif Somawijaya

“

Prospek

Sumur Rakyat “

Sebenarnya Untuk Siapa

?

Sumur rakyat merupakan istilah yang sering digunakan untuk mature wells (sumur-sumur tua) yang dikelola oleh masyarakat. Sumur rakyat biasanya terletak di daerah yang agak terpencil dan dioperasikan dengan teknologi yang sederhana dan tradisional. Fenomena sumur rakyat ini sedang menjadi topik pembicaraan hangat di blok Cepu. Blok Cepu adalah wilayah kontrak minyak dan gas bumi yang meliputi wilayah Kabupaten Bojonegoro - Jawa Timur, Kabupaten Blora - Jawa Tengah, dan Kabupaten Tuban - Jawa Timur. Pada awalnya blok Cepu ini digunakan sebagai wahana pendidikan untuk Akademi Migas Cepu, namun setelah adanya penemuan terbaru cadangan minyak dalam jumlah yang sangat besar (2 milliar barrel menurut seorang konsultan Amerika) blok Cepu menjadi blok yang diperebutkan oleh banyak pihak.

S e ja ra h

B

lok Cepu

Blok

C epu

merupakan salah satu ladang minyak tertua di dunia yang sejarahnya sudah dimulai saat Belanda masih menjajah Indonesia sekitar tahun 1870. Keberadaan minyak di Blok Cepu memiliki sejarah yang panjang. Guru Besar Teknik Geologi ITB Prof. R.P. Koesoemadinata menjelaskan, sebelum Perang Dunia II daerah Blok Cepu dikuasai Shell, yang menemukan lapangan gas Balun-Tobo. Pada tahun 1965, terjadi pemindahtanganan kepemilikian dari Shell ke Lemigas (Lembaga Penelitian Minyak dan Gas), lalu berpindah lagi ke Pertamina Unit III pada tahun 1980. Pada 23 Januari 1990 Humpuss Patra Gas (HPG) menjalin kontrak kerja sama dalam bentuk technical assistance (TAC) dengan Pertamina untuk jangka waktu 20 tahun (1990-2010). Bapak Koeseomadinata menuturkan bahwa HPG menguasai 100 persen working interest (semacam saham atau hak pengelolaan). Kemudian HPG menggandeng Ampolex Ltd, sebuah perusahaan minyak dari Australia, dalam pengelolaan lapangan Cepu pada tahun 1995 dengan kesepakatan 49% saham milik Ampolex dan HPG masih menjadi operator blok Cepu. Drama berlanjut ketika HPG menjual seluruh sahamnya kepada Exxon Mobil (Ampolex diakuisisi oleh Mobil Oil diakuisisi oleh Exxon sehingga muncullah Exxon Mobil) karena krisis finansial yang terjadi di tahun 1998. Setelah melalui proses panjang, padat

34

17 September 2005 dilakukan penandatanganan kontrak kerjasama antara Pemerintah dengan Exxon. Akhirnya, pada tanggal 15 Maret 2006 ditandatangani Joint Operation Agreement (JOA) yang dituangkan dalam struktur kerja yang disebut dengan Cepu Organization Agreement. Dalam perjanjian tersebut disebutkan pemerintah akan mendapatkan 85 persen, Pertamina dan Exxon Mobil 15 persen, dengan pembagian Pertamina 45 persen dan Exxon Mobil 45 persen. Adapun Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah mendapatkan pembagian Participating Interest sebesar 10 persen. Selain itu, sebagaimana tertera dalam perjanjian, pembagian keuntungan baru akan dilakukan setelah dipotong terlebih dahulu oleh dana cost recovery.

Pro Kontra Blok Cepu

Jatuhnya pengelolaan Blok Cepu ke Exxon Mobil memunculkan pertanyaan dari berbagai pihak. Salah satunya berasal dari kelompok yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Rakyat Penyelamat Blok Cepu (GRPBC). Menurut GRPBC, Blok Cepu harus dikelola negara. Drajat Wibowo, seorang anggota DPR RI yang juga salah satu anggota GRPBC, mengatakan jika Pertamina yang mengelola Blok Cepu maka Negara akan mendapatkan 51 trilyun rupiah per tahun. Tapi bila dikelola Exxon Mobil, pemerintah hanya akan mendapatkan 30 trilyun rupiah per tahun. Menurut Dradjat, potensi kerugian itu bisa


ditekan jika pengelolaan Blok Cepu diserahkan kepada Pertamina, karena DPR dan pemerintah masih memiliki kewenangan untuk mengawasinya secara langsung. ”Lebih sulit jika pengawasan itu dilakukan kepada pihak asing,” katanya. Ekonom ini menilai hitung- hitung ekonominya lebih menguntungkan jika Blok Cepu dikelola Pertamina, baik dari sisi biaya eksplorasi maupun eksploitasi. Dalam 85 persen bagian pemerintah, menurut Dradjat, sebenarnya ada kandungan pajak sebesar 44 persen sehingga yang dibagi itu sesungguhnya cuma 56 persen sehingga yang dibagi menjadi kecil. Pendapat Drajat dibantah Rizal Mallarangeng. Selaku Chief Negotiator dalam perundingan Exxon dengan Pertamina, Rizal menjelaskan bahwa pihak Indonesia secara keseluruhan memperoleh hasil (adjusted split) yang jauh lebih besar ketimbang skema kerja sama sebelumnya, yaitu 93,25 persen pada harga minyak saat ini. Rizal mengatakan bila harga minyak melorot ke tingkat sangat rendah, misalnya US$ 30 per barel, Indonesia masih menikmati porsi yang besar, yaitu 86,5 persen. Artinya, perolehan Exxon dapat diturunkan dari 20 persen menjadi 6,7-13,5 persen. Dengan hitungan tersebut, menurut Rizal, pendapatan kasar negara mencapai Rp 25 trilyun per tahun. Jika ditinjau dari sisi regulasi, pemerintah mengeluarkan PP No. 34 Tahun 2005 yang mengantikan PP No 35 tahun 2004 tentang Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dalam perubahan PP tersebut, pemerintah menyatakan antara lain: “dalam hal adanya kepentingan yang mendesak, dapat dilakukan pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok kontrak kerja

sama”. PP ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak terlalu memikirkan untung-rugi bagi penerimaan negara, tetapi justru memudahkan kehadiran Exxon Mobil untuk mengelola Blok Cepu lebih lama, hingga 30 tahun.

Na s i b Pend ud u k Loka l

Bila di tingkat nasional terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah, Pertamina, dan Exxon Mobil yang kecenderungannya dimenangkan kekuatan asing, lantas bagaimana dinamika yang terjadi di tingkat lokal? Sejak harga BBM naik, banyak warga kabupaten Bojonegoro yang mengais rezeki di ladang minyak yang berbentuk sumur berdiameter 20 sentimeter sepanjang satu setengah meter bekas peninggalan perusahaan Belanda ini. Rakyat Wonocolo kemudian melakukan pembersihan sumur atau work over dengan cara-cara rakyat dan tradisional pada sumur-sumur tua tersebut. Sumur yang telah bersih kemudian ditimba dan hasilnya kemudian disetorkan ke Pertamina dengan harga yang sudah disepakati. Hingga saat ini, kelangsungan pengelolaan sumur peninggalan Belanda tersebut masih terus dilakukan. Setiap hari rakyat

Bojonegoro mengais rejeki dengan menimba cairan berlumpur cokelat kehitaman selama 12 jam. Dalam sehari, satu sumur bisa menghasilkan minyak mentah antara 2 hingga 10 drum. Di wilayah Blok Cepu ini, banyak terdapat sumur minyak bekas. Di Wonocolo terdapat 44 buah. Di Hargomulyo ada 18 buah. Di Beji ada 12 buah. Sumur-sumur tersebut menjadi mata pencaharian utama bagi para warga. Sekilas terlihat sumur-sumur rakyat ini membantu para warga untuk mendapatkan rezeki namun mari kita lihat realitanya. Seiring dengan dimulainya eksplorasi di Blok Cepu, masyarakat sangat berharap nasibnya menjadi lebih baik. Akan tetapi pada realitanya masyarakat kurang mendapatkan “semburan” kesejahteraan dari semburan minyak yang keluar di wilayah yang menjadi ladang penghidupan mereka. Sumur-sumur rakyat ini kurang dalam pengelolaan dan pengawasan oleh operator Blok Cepu. Pertamina sebagai salah satu pemilik saham blok Cepu cukup kewalahan dalam mengelola blok Cepu. Melihat begitu menggiurkannya bisnis ini mendorong banyaknya praktek pengeboran sumur ilegal (illegal drilling).

www.jawapos.com

35


Tercatat dari 550 sumur minyak, hanya 250 yang memiliki izin. Selebihnya ilegal. Karena statusnya yang ilegal ini, kondisi sumur-sumur yang ada cukup memprihatinkan. Selain merugikan negara, kegiatan penambangan ilegal ini juga sangat merusak lingkungan. Berdasarkan laporan di sekitar lokasi pertambangan banyak tumpahan miyak yang berceceran karena tidak adanya saluran pembuangan limbahnya. Selain itu, untuk memasukkan rig ke dalam hutan, para penambang banyak yang menebang pohon di sekitar lokasi. Lebih parahnya lagi, tak tampak satu pun perlengkapan keamanan yang dikenakan para pekerja selain topi. Bahkan, beberapa di antara penambang itu terlihat mengisap rokok dengan cuek. Padahal, aktivitas itu jelas dilarang keras di lokasi pertambangan mana pun. Untuk menguras isi bumi itu, para investor mendatangkan peralatan modern dari berbagai negara secara tersembunyi. Muhammad Baron, Public Relation Manager Pertamina EP, mengatakan bahwa dulu pada awalnya para investor gelap tersebut hanya mengebor sumur baru saja, sekarang hasilnya mulai disuling sendiri dan dijual langsung ke pasar. “Masuknya pemodal besar dengan rig modern itu murni kejahatan karena tidak ada izin dari Dirjen migas, pemerintah daerah, termasuk pemegang wilayah kerja pertambangan (WKP), yaitu Pertamina,’’ katanya. Saat media mengonfirmasi keterangan dari Pertamina tersebut, salah satu petugas pengawas di lapangan migas Wonocolo mengakui, sejak dua tahun terakhir, banyak investor baru yang masuk. Dengan semakin banyaknya penambang, otomatis jumlah produksi ladang migas juga semakin melimpah. Pertamina yang mendapat amanat undang-undang untuk menyerap hasil tambang rakyat lewat mitra koperasi unit desa (KUD) yang ditunjuk juga mulai kewalahan.

36

Akibatnya, mulai April lalu, Pertamina memtuskan untuk mengurangi ongkos angkut dari Rp 4.160 menjadi Rp 2.726 per jerigen. Menurut petugas pengawas tersebut keputusan itulah yang juga mendorong banyak penambang lebih memilih menyuling minyak sendiri daripada disetor ke KUD-KUD yang ditunjuk Pertamina. Hal ini karena hasil penyulingan berupa solar dan minyak tanah bisa dijual lebih mahal di pasar. Untuk Solar dapat dijual dengan harga Rp 5.000 per liter, sedangkan di SPBU Rp 6.900. Menurut petugas pengawas tersebut keputusan itulah yang juga mendorong banyak penambang lebih memilih menyuling minyak sendiri daripada disetor ke KUD-KUD yang ditunjuk Pertamina. Hal ini karena hasil penyulingan berupa solar dan minyak tanah bisa dijual lebih mahal di pasar. Untuk Solar dapat dijual dengan harga Rp 5.000 per liter, sedangkan di SPBU Rp 6.900.

S

o

l

u

s

i

Pengambilalihan Pengelolaan dari KUD ke Pertamina

1

Menyikapi situasi tersebut, sekarang Pertamina EP dan Pemkab Bojonegoro mulai bersikap tegas dengan mengambil alih pengelolaan sumur tua oleh KUD. Tujuannya yaitu untuk mengendalikan pengeboran ilegal dan pencemaran lingkungan yang semakin luas. DPRD dan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur sepakat menolak keberadaan paguyuban penambang sumur minyak mengelola lapangan sumur minyak tua di Kecamatan Kedewan. Setelah pengelolaan berada di tangan Pertamina, seharusnya manajemen keuangan dan pemain yang masuk akan lebih transparan karena perizinan lebih mudah diawasi. Begitu pun dengan hak dan kewajiban pihak yang terlibat akan menjadi lebih jelas. Diharapkan jika dikelola Pertamina, produktivitas akan meningkat karena hasil penyulingan minyak akan menjadi jelas akan diproses lebih lanjut ke mana.


Kepala Dinas ESDM Kabupaten Bojonegoro Agus Supriyanto mengatakan, semua hal yang berhubungan dengan pengambilalihan pengelolaan sedang dipersiapkan, termasuk ketika masa transisi siapa yang mengelola sumur tersebut. Sebab, produksi harus terus berjalan karena menyangkut hidup orang banyak. Selain itu, sumur ilegal harus dilegalkan dan itu butuh persetujuan d a r i Kementerian ESDM, pemerintah daerah, SKK Migas, kontraktor, DPRD, dan Muspida Bojonegoro. Pihaknya berkomitmen, saat peralihan itu, SDM menjadi prioritas. Pemkab akan tetap mempekerjakan penambang, bahkan memberikan pelatihan agar pengelolaan semakin produktif dan aman. Pada 15 Juni 2015 Pertamina EP dan Paguyuban Penambang Tradisional melakukan sosialisasi pengambilalihan pengelolaan sumur minyak tua di wilayah Wonocolo, Kabupaten Bojonegoro. Manajer Legal and Relations Asset 4 Pertamina EP, Sigit Dwi Aryono mengatakan, selain sosialisasi juga dilakukan pembinaan terkait operasional pengelolaan sumur tua kepada para penambang. Koordinasi ini dilakukan agar tidak terjadi gejolak sosial di tengah masyarakat.

2

Penertiban Pengangkut BBM ilegal

Humas Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, Jawa Tengah, Aulia Arbiani, menjelaskan penertiban “perengkek” minyak atau pengangkut bahan bakar minyak (BBM) sulingan bersepeda motor akan digalakkan untuk memperbaiki sistem pengelolaan dan pengawasan di blok Cepu. Penertiban, dilakukan sejak 15 Desember 2015 dan dilakukan secara persuasif dengan mengingatkan kepada “perengkek” bahwa kegiatannya itu ilegal.

Para “perengkek” ini diberi penjelasan bahwa produksi minyak mentah lapangan sumur minyak tua seharusnya disetor ke Pertamina. Kalau mereka mengolahnya sendiri berarti ilegal dan melanggar hukum. Pertamina EP menjamin hak penambang tradisional tidak ada yang berkurang ketika melakukan pengelolaan sumur tua. Dalam perjanjian ini, Pertamina EP juga mewajibkan penambang tradisional untuk mengelola lingkungan secara lebih baik agar kerusakan lingkungan di Wonocolo bisa diperbaiki secara bertahap.

Seiring dengan dimulainya eksplorasi di Blok Cepu, masyarakat sangat berharap nasibnya menjadi lebih baik. Akan tetapi pada realitanya masyarakat kurang mendapatkan “semburan” kesejahteraan dari semburan minyak yang keluar di wilayah yang menjadi ladang penghidupan mereka.

37


“

Operator-operator blok Cepu memiliki kewajiban untuk menjamin kegiatan penambangan di blok Cepu sesuai dengan standar keselamatan dan tidak mencemari lingkungan karena itu langkah Pertamina untuk mengambil alih pengelolaan sumur tua di blok Cepu merupakan langkah yang baik namun hal ini tentu perlu diikuti dengan sosialisasi dan koordinasi untuk menghindari gejolak di sekitar lokasi penambangan.

“

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa prospek sumur rakyat khususnya di Blok Cepu belum bisa dilepaskan pengawasannya dan pengelolaannya ke warga sekitar sendiri karena pada realitanya hanya beberapa pihak elit yang mendapat semburan kesejahteraan dari ladang minyak di atas tanah rakyat tersebut. Operator-operator blok Cepu memiliki kewajiban untuk menjamin kegiatan penambangan di blok Cepu sesuai dengan standar keselamatan dan tidak mencemari lingkungan karena itu langkah Pertamina untuk mengambil alih pengelolaan sumur tua di blok Cepu merupakan langkah yang baik namun hal ini tentu perlu diikuti dengan sosialisasi dan koordinasi untuk menghindari gejolak di sekitar lokasi penambangan.

www.potretjatim.com

38


Tahukah Kamu?

Turkmenistan memberikan seluruh pengendara mobil 120 liter bensin gratis setiap bulannya


Manusia dan Energi Manusia dan energi adalah eksistensi yang tidak terpisahkan. Selain karena semua yang ada di alam semesta ini terbuat dari materi dan semua materi adalah energi yang termampatkan, energi juga adalah apa yang membuat manusia begitu berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Manusia bisa memanipulasi energi dalam hampir semua bentuk sesuai kehendaknya sedangkan spesies makhluk hidup lainnya hanya mampu menggunakan energi seperlunya untuk bertahan hidup. Kemampuan inilah yang memungkinkan manusia menguasai bumi, mencapai tingkat kemakmuran yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, dan sekaligus berpotensi akan memusnahkan banyak kehidupan di muka bumi ini, termasuk dirinya sendiri. Mengapa bisa demikian? Mari kita ikuti kisah Mohammad Radja Polem Geunta manusia dan energi dari titik yang pal- Melodia Rhapsodia Moritza Thaher ing awal.

40


Revolusi Agrikultur

Manusia modern muncul sekitar 200.000 tahun yang lalu. Nenek moyang kita menghabiskan hari-harinya dengan penuh keterbatasan dan kelangkaan. Mereka selalu kelaparan. Bercocok tanam belum berkembang. Satu-satunya cara untuk mendapatkan makanan, yaitu salah satu bentuk energi, ialah dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Akan tetapi metode ini sangat terbatas. Kekayaan suatu wilayah akan tumbuh-tumbuhan dan binatang yang bisa dimakan akan menentukan seberapa lama para nenek moyang kita bisa menetap di wilayah tersebut untuk mengumpulkan makanan. Ketika makanan yang bisa dikumpulkan di wilayah tersebut habis, mereka harus berpindah

ke wilayah lainnya. Ketidak pastian sumber makanan selalu menghantui mereka. Kesukaran mendapatkan energi dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan seperti ini membuat bertahan hidup saja sulit, apalagi membangun peradaban. Semua itu berubah sekitar 188.000 tahun kemudian. Sejak 12.000 tahun yang lalu manusia berhasil bebas dari penjara kelaparan ini. Revolusi Neolitik atau Revolusi Agrikultur menyediakan jalan keluar dari kehidupan penuh kelangkaan makanan bagi para nenek moyang kita. Manusia berhasil mengembangkan bercocok tanam. Berbagai daerah di belahan bumi mulai mengembangkan agrikultur. Agrikultur juga memungkinkan nenek moyang kita untuk menciptakan surplus bahan makanan.

41


Gambar 1 - Manusia mulai bercocok tanam (6thsocialstudiesmcginty.blogspot.co.id)

Gambar 2 - Wilayah-wilayah yang mengembangkan agrikultur secara independen (Diamond, 1999)

Gambar 3 - Tren temperatur rata-rata permukaan bumi dalam 100.000 tahun terakhir (Steffen et al, Springer-Verlag 2004)

42

Berbagai daerah di belahan bumi mulai mengembangkan agrikultur. Agrikultur juga memungkinkan nenek moyang kita untuk menciptakan surplus bahan makanan. Pada masyarakat masa berburu dan mengumpulkan makanan, setiap orang bertanggung jawab untuk mencari makanan. Pada masa setelah Revolusi Agrikultur, ternyata cukup sebagian dari masyarakat saja yang bertanggung jawab untuk memproduksi makanan. Surplus yang dihasilkan oleh sebagian masyarakat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini menghasilkan dua implikasi. Implikasi pertama: surplus makanan memungkinkan kegiatan beternak. Binatang-binatang yang didomestikasi (sapi, kambing, domba, babi, kuda, dsb) selain bisa menjadi sumber energi tambahan. Binatang ini bisa menggarap ladang, menjadi moda transportasi barang dan orang, atau dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya. Konsekuensinya adalah manusia bisa menghemat energi dan memiliki lebih banyak waktu luang karena sebagian pekerjaan mereka sudah tergantikan oleh energi dari hewan-hewan ini. Implikasi kedua: Tidak semua orang harus menjadi penghasil makanan. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, setiap orang harus menjadi pemburu atau pengumpul makanan. Pada masa agrikultur, tidak semua orang harus menjadi petani. Hal ini membuat sisa populasi selain petani bisa mengambil peran lain, seperti pandai besi, pedagang, pemuka agama, tentara, pemimpin, dan lain-lain. Ketika sudah terjadi pembagian kerja dan stratifikasi sosial seperti ini, peradaban telah lahir. Surplus energi, atau pada kasus ini adalah surplus makanan pada khususnya, adalah bagian yang sangat penting dalam membangun peradaban. Pertanyaannya adalah mengapa semua ini butuh waktu sampai 188.000 tahun? Karena baru sejak 12.000 tahun yang lalu iklim dunia menjadi stabil hingga sekarang. Data geologis pada gambar 3 menunjukkan fluktuasi temperatur rata-rata permukaan


bumi baru stayang lalu. Setemperatur berdalam selang Ketidak stabimemungkinkan spesies hewan sulit untuk beyang terus mestabil. Agriberkembang di

bil sejak sekitar 12.000 tahun dangkan sebelum masa itu, fluktuasi dengan sangat drastis waktu yang cukup singkat. lan temperatur ini tidak akan agrikultur berkembang karena dan tumbuhan akan sangat radaptasi dengan lingkungan nerus berubah dengan tidak kultur tidak mungkin bisa tengah keadaan seperti ini. Kestabilan temperatur yang dinikmati peradaban manusia selama 12.000 tahun ini sebenarnya adalah anomali yang baru saja terjadi. Berdasarkan tren historis, seharusnya interval waktu yang sedang berlangsung pada saat ini seharusnya juga mengalami fluktuasi temperatur drastis. Tapi yang terjadi adalah periode kestabilan yang tidak pernah ada sebelumnya. Peradaban manusia hanya bisa terjadi karena agrikultur bisa berkembang di tengah anomali ini. Andaikata yang terjadi sesuai dengan tren historis, yaitu temperatur yang selalu berfluktuasi drastis, maka perkembangan umat manusia hanya akan berjalan di tempat, tidak jauh beda dengan spesies hewan lainnya.

Gambar 4 - Suasana pabrik di masa revolusi industri (american-industrial-revolution.weebly.com)

Revolusi Industri

Revolusi agrikultur adalah sebuah gebrakan yang memungkinkan peradaban manusia lair dengan menghasilkan surplus energi. Akan tetapi semua energi itu bersumber dari makanan yang menyuplai tenaga ke otot, baik manusia maupun hewan. Sebanyak apapun surplus energi yang dihasilkan oleh agrikultur, penerapan energi itu ke berbagai pekerjaan akan dibatasi oleh batas kekuatan otot manusia dan hewan. Perkembangan peradaban manusia setelah revolusi agrikultur cenderung flat. Akan tetapi revolusi industri mengubah semua itu. Revolusi industri memungkinkan manusia untuk memanfaatkan mesin untuk mengerjakan banyak hal, terutama hal-hal yang membutuhkan kekuatan lebih besar daripada yang tersedia pada kekuatan otot manusia dan hewan.

Gambar 5 - Populasi, konsumsi energi total, dan konsumsi energi per kapita secara global saat revolusi industri (Ehrlich et al, 2012)

Gambar 6 - Bauran energi global dalam skala absolut (International Energy Agency)

43


Mesin-mesin ini bisa memanfaatkan bahan bakar fomakanan dan bahan bakar tradisional seperti kayu sil seperti batu bara untuk melakukan kerja. Memanbakar. Setelah revolusi industri, bauran energi globfaatkan mesin uap Thomas Newcomen dan berbagai al didominasi oleh batu bara, minyak, dan gas bumi. versi mesi lanjutan yang sudah ditingkatkan efisienGambar 6 menunjukkan besar konsumsi energi sinya, kegiatan ekonomi umat manusia terakselerasi tiap sumber secara absolut, sementara Gambar 7 dengan dramatis. Ditemukannya internal combusmenunjukkan data yang sama secara relatif, yaitu tion engine membuat minyak dan gas juga mulai dalam persentase. Dapat ditarik kesimpulan bahwa mendapat tempat dalam membanketiga jenis bahan bakar inilah yang jiri dunia dengan energi. Surplus melahirkan peradaban modern. energi pada revolusi industri begitu besar hingga membuat surplus Bunuh Diri energi pada revolusi agrikultur Sekilas tampak bahwa keberhasimenjadi tidak ada apa-apanya. lan umat manusia memanfaatkan Surplus energi ini memungkinkan energi sisa organisme jutaan tahun banyak inovasi terjadi, mulai dari yang lalu yang tertimbun ribuan produksi makanan yang semakin kaki di bawah permukaan bumi meningkat, meningkatnya standar adalah pencapaian yang membuat hidup manusia, perkembangan manusia makmur tiada tara. Pada obat-obatan sehingga bisa meGambar 7- Bauran energi global dalam skala awalnya memang dianggap denekan angka kematian, dan mikian. Namun ternyata semua relatif (International Energy Agency) masih banyak lagi. Kombinasi kemakmuran yang tiba-tiba faktor-faktor ini membuat popmuncul ini datang tidak tanpa ulasi manusia di bumi melepengorbanan. Seperti yang kita dak. Sebelum revolusi industahu, pembakaran bahan bakar tri, pertumbuhan penduduk fosil melepas karbon dioksida dunia berkisar 0.1% per tahun. ke atmosfer. Sudah menjadi Menjelang revolusi industri di pemahaman publik bahwa hal pertengahan tahun 1700-an, ini adalah buruk. Yang jarang populasi manusia berada pada disadari publik adalah: seberaangka 700 juta jiwa. Pada 1800, pa buruk? Mari kita tinjau haangka ini menjadi 1 milyar jiwa. Gambar 8: Konsentrasi CO2 di atmosfer dari sil penelitian terkini. Data dari Pada 1900, populasi manusia core es dan pengukuran langsung (Mauna Loa) core es dari daerah kutub berna(Frieldi, et al. 1994) menjadi 1.6 milyar jiwa, pertumma Vostok merekam partikel CO2 buhan sebesar 100% dari awal yang tersuspensi di udara selama revolusi industri. Pada saat awal abad ke-21, populasi 400.000 tahun terakhir. Partikel CO2 ini terperangkap manusia menjadi 6 milyar jiwa. Ini adalah pertumbudalam lapisan es. Lapisan es tersebut akan bertambah han sebesar 400% hanya dalam rentang waktu seratebal seiring dengan waktu. Dengan memakai prinsip tus tahun. Selain itu,total konsumsi energi dan kongeologi, dapat disimpulkan bahwa lapisan es yang sumsi energi per kapita juga meningkat signifikan. lebih dalam akan merekam konsentrasi CO2 atmosfer Sangat kontras bila dibandingkan dengan masa-masa pada zaman yang lebih lampau daripada lapisan es pra-revolusi industri. Semua kemajuan ini hanya diyang lebih dangkal. Dengan demikian dapat dipemungkinkan oleh bahan bakar fosil seperti batu bara, takan fluktuasi konsentrasi CO2 di atmosfer terhadap minyak, dan gas bumi. Sumber energi global sebelum waktu. Data temperatur bumi pada masa lampau revolusi industri didominasi oleh biomassa, yaitu

44


dapat ditentukan dengan menghitung rasio ini dari lapisan es paling dalam hingga paling dangkal. Kombinasi data konsentrasi CO2 dan temperatur ini ditunjukkan oleh gambar 9. Sebagaimana terlihat pada grafik tersebut, ada korelasi yang sangat kuat antara konsentrasi CO2 di atmosfer dan temperatur. Seberapa serius dampak dari peningkatan temperatur global ini? Apabila dampaknya “hanya� melelehnya es di kedua kutub bumi dan naiknya permukaan laut sehingga memaksa kita untuk mengevakuasi kota-kota pesisir yang tenggelam, mungkin tidak terlalu berbahaya untuk eksistensi umat manusia secara keseluruhan. Akan Gambar 9: Fluktuasi temperatur dan konsentrasi CO2 di atmosfer tetapi kalau kita melihat kembali ke bagian awal tuselama 400.000 tahun terakhir (J.R. Petit, J.Jouzel, et.al.,1999) lisan ini, kita bisa lihat bahwa revolusi agrikultur terjadi ketika temperatur permukaan bumi stabil di rentperadaban manusia mati dengan menyia-nyiakan ang tertentu, dan sebenarnya hal itu adalah anomali anomali kestabilan temperatur selama 12.000 tahun ketika melihat tren historisnya secara keseluruhan. terakhir yang dianugerahkan kepada manusia. HaLalu kita tinjau revolusi industri yang membuat kita nya akan ada dua epilog dari cerita dilematis ini: melepas karbon dioksida secara besar-besaran ke peradaban manusia menemui ajalnya karena tematmosfer bumi mulai membuat temperatur rata-rata peratur permukaan bumi kembali mengikuti tren permukaan bumi perlahan-lahan bergeser dari renthistoris yang fluktuatif atau umat manusia ang temperatur yang memungkinkan agrikultur bisa berhasil menemukan jalan keluar dari berkembang. Ketika kestabilan ini secara tiba-tiba terperangkap karbon ini. Bagaimausik, maka kekacauan akan terjadi. Suplai makanan, na caranya untuk keluar yang oleh peradaban modern diperlakukan taken for dari perangkap granted karena mudah sekali mendapatkannya, akan karbon ini? lenyap karena tumbuh-tumbuhan sumber makanan manusia tidak bisa bertahan hidup di tengah perubahan tersebut. Saat surplus energi ini lenyap, peradaban manusia juga akan ikut lenyap. Bahan bakar fosil, yang sebelumnya membuat peradaban manusia hidup dan makmur, ternyata menjadi idak ada salahnya apabila manusia selalu haus sesuatu yang juga akan energi apabila kita sudah mengatasi perangkap akan membuat karbon ini, angan sampai kita salah langkah

“

T

J

karena mengejar pertumbuhan ekonomi atau kepentingan nasional jangka pendek saja dengan mengorbankan kesejahteraan umat manusia jangka panjang

“45


Epilogue Umat manusia berada pada persimpangan jalan paling menentukan sepanjang sejarah peradabannya. Di antara revolusi agrikultur dan revolusi industri, surplus energi tidak menimbulkan masalah yang serius untuk keberlangsungan eksistensi manusia. Setelah revolusi industri, manusia mulai masuk ke dalam perangkap karbon ini. Apabila manusia bisa menemukan suatu cara untuk keluar dari perangkap karbon, peradaban bisa berlangsung dengan cara seperti setelah revolusi agrikultur di mana surplus energi menghasilkan perkembangan peradaban tanpa masalah yang mengiringinya. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan bentuk-bentuk energi terbarukan yang rendah karbon atau tanpa karbon sama sekali. Akan tetapi banyak sekali halangan sebelum bentuk-bentuk energi ini bisa diadopsi semasif bahan bakar fosil, yaitu mulai dari permasalahan teknologi, insentif, hingga political willpower. Semua masalah ini bisa diatasi apabila kita memiliki paradigma bahwa bahan bakar fosil hanyalah energi transisi yang berperan sebagai jembatan yang akan mengantarkan manusia ke era keberlimpahan energi yang sebenarnya alih-alih menganggap bahan bakar fosil adalah bentukan energi yang paling sempurna. Apa manfaat dari mengetahui semua ini untuk kita yang notabene masih hidup di tengah-tengah kejayaan zaman karbon? Hal yang paling penting dalam mengambil keputusan adalah konteks yang komprehensif. Ketika kita banyak berbicara tentang hidrokarbon nonkonvensional, sumur rakyat, optimasi gas, skema Production Sharing Contract, cara agar kepentingan nasional bisa diperjuangkan di sektor migas, rencana eksplorasi laut dalam, atau fluktuasi harga minyak dunia, seringkali kita hanya berpikir pada kerangka acuan here and now. Selama ini kita sering berpikir tentang bagaimana semua kajian teknologi atau kebijakan bisa menguntungkan Indonesia (here) selama beberapa puluh tahun ke depan (now). Ruang lingkup kajian energi memang difokuskan pada ranah demikian, akan tetapi kita wajib sadar akan lokasi subset yang kecil tersebut di tengah-tengah perjuangan manusia dalam mengejar energi. Kita harus sadar bahwa peradaban manusia salah satunya ditopang oleh surplus energi. Kita juga harus sadar bahwa metode yang tersedia saat ini untuk manusia dalam mengejar surplus energi tersebut akan mengakhiri peradaban manusia pula. Dengan konteks yang komprehensif, kita akan mejadikan setiap langkah pengembangan energi fosil ini menjadi langkah untuk lepas landas menuju zaman pasca karbon. Tidak ada salahnya apabila manusia selalu haus akan energi apabila kita sudah mengatasi perangkap karbon ini, Jangan sampai kita salah langkah karena mengejar pertumbuhan ekonomi atau kepentingan nasional jangka pendek saja dengan mengorbankan kesejahteraan umat manusia jangka panjang . We can’t afford to win the battle but lose the war.


Pemanfaatan

Coal Bed Methane

dalam Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional oleh : Yusuf Pradana Aji Surya Sampai saat ini Indonesia masih mengalami kendala dalam memenuhi kebutuhan energinya. Konsumsi energi yang selalu naik dari tahun ke tahun tidak diimbangi dengan supply energi yang cukup. Sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam neraca energi Indonesia. Konsumsi energi yang terus meningkat mencapai kebutuhan energi dalam juta ton oil equivalent. Kondisi ini bertambah parah dengan tingginya ketergantungan terhadap energi hidrokarbon. Ketergantungan terhadap energi hidrokarbon terutama minyak sangatlah tinggi yaitu sebesar 96% (minyak bumi 48%, gas 18%,dan batubara 30%) dari total konsumsi energi nasional (Outlook Energi 2014), sedangkan upaya untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan belum berjalan sesuai rencana, artinya target yang sebelumnya telah dicanangkan untuk penggunaan energi baru terbarukan belum tercapai. Saat ini Indonesia sedang mengalami penurunan cadangan energi hidrokarbon yang terjadi secara terus menerus serta masih minimnya penemuan cadangan baru semakin mempersulit kondisi Indonesia.

Ditambah lagi dengan keterbatasan infrastruktur energi yang menyebabkan masyarakat tidak mendapatkan akses energi secara optimal, salah satu contohnya dapat dilihat dari peta persebaran kilang LPG di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia rentan terhadap krisis global. Secara sederhana energi hidrokarbon dapat dibagi menjadi dua, yaitu hidrokarbon konvensional dan hidrokarbon non-konvensional. Sebagian besar energi hidrokarbon yang digunakan di Indonesia adalah hidrokarbon konvensional. Hidrokarbon konvensional adalah hidrokarbon yang telah bermigrasi dari batuan induk dan terperangkap dalam suatu jebakan hidrokarbon. Sedangkan hidrokarbon non-konvensional secara geologis berbeda

47


dengan hidrokarbon konvensional. Hidrokarbon non-konvensional tidak mengikuti aturan yang berlaku pada hidrokarbon konvensional. Petroleum system-nya bisa jadi tidak lengkap atau tidak ada sama sekali. CBM tidak terjebak secara closure. Gas hydrate bahkan bisa jadi bebas dari proses geologis sama sekali, perangkapnya termodinamis, bukan geologis. Beberapa literatur dan pakar menyatakan bahwa potensi hidrokarbon non-konvensional ini lebih tinggi daripada hidrokarbon konvensional.

(sumber: www.oilandgasinfo.ca)

Namun dalam memanfaatkan hidrokarbon non-konvensional diperlukan teknologi tinggi dan biaya yang mahal sehingga untuk saat ini dibeberapa negara menjadi kurang ekonomis. Berbagai sumber menyatakan bahwa tingkat konsumsi energi di masa depan akan terus meningkat sehingga

dibutuhkan supply yang lebih besar pula. Salah satu sektor yang dapat menjadi tambahan supply energi yang cukup besar di Indonesia adalah gas. Berdasarkan buku Peta Jalan Gas Nasional yang diterbitkan oleh Kementrian ESDM, neraca gas Indonesia menunjukkan grafik seperti di bawah ini. Grafik berikut menunjukkan bahwa konsumsi yang terus meningkat namun produksi terus menurun (diagram batang menunjukkan demand dan diagram garis menunjukkan supply). Produksi gas terus menurun karena eksploitasi yang terus dilakukan tanpa diimbangi dengan penemuan cadangan baru. Penurunan produksi ini juga mengikuti profil suatu reservoir yang semakin tua maka gaya dorongnya akan semakin menurun sehingga produksi gas juga menurun. Sehingga diperlukan suatu solusi agar produksi dapat memenuhi tingginya kebutuhan. Salah satu solusinya adalah dengan memanfaatkan hidrokarbon non-konvensional, yaitu Coal Bed Methane (CBM) CBM adalah suatu bentuk gas alam yang tersimpan di batubara. Kandungan utama dalam CBM tidak lain adalah gas methane, sedikit bercampur dengan gas hidrokarbon dan nonhidrokarbon serta air. CBM terbentuk bersama air, nitrogen dan karbondioksida ketika material organiktertimbun dan berubah menjadi batubara karena panas dan proses kimia selama waktu

Peta Jalan Kebijakan Gas 2014-2030

48


geologi yang sering disebut dengan coalification. Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada kedalaman dan kualitas batubara. Semakin dalam lapisan batubara tertimbun maka tekanan formasi akan semakin besar maka semakin tinggi nilai energi dari batubara tersebut dan semakin banyak pula kandungan CBM. Semakin dalam lapisan batubara, semakin sedikit volume air dalam rekahan namun semakin saline airnya. Volume gas biasanya meningkat dengan rank batubara, seberapa dalam lapisan batubara dan tekanan reservoir. Bersamaan dengan pematangan batubara dari peat ke antrasit, fluida yang terkandung di dalamnya juga ikut tertransformasi. Rank peat dan lignite mempunyai porositas dan kandungan air yang tinggi, dan memproduksi methane biogeniksuhu rendah dan sedikit fluida lain. Saat batubara matang menjadi tipe bituminous, air tertekan keluar, porositas menurun dan pembentukan methane biogenic menurun, karena temperatur meningkat diatas range tumbuh bakteri. Pada waktu yang bersamaan panas yang tinggi memecah materi organik kompleks untuk menghasilkan methane.

Tabel Pematangan Batubara

Indonesia memiliki potensi CBM yang cukup besar, menurut konsultan energi Advances Resources International pada 2003 bahwa Indonesia memiliki 11 cekungan CBM. Berikut ini adalah persebaran potensi CBM di Indonesia dalam satuan TSCF (trillion standard cubic feet). Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Advances Resources International pada tahun 2003 cadangan

CBM Indonesia merupakan yang terbesar ke-6 di dunia, dengan jumlah 453.3 TSCF. Satu micro-particle coal ketika dibuka menjadi lembaran-lembaran luasnya bisa mencapai satu lapangan sepakbola. Sehingga tidak mengherankan jika suatu lapangan CBM yang kecil dapat memiliki cadangan yang relatif besar.

Ilustrasi micro-particle CBM(Slide Kuliah TM4020 2015-2016)t

Kegiatan Pemanfaatan Rencana pengembangan CBM sebenarnya telah ada di Indonesia. Regulasi yang mengatur tentang hidrokarbon nonkonvensional telah dibuat sejak tahun 1998. Secara umum, pengusahaan CBM di Indonesia mengacu pada rejim Migas. Karenanya, UU No 22 Tahun 2001 dan PP No.35 Tahun 2004 masih menjadi acuan umum, terutama mengenai bentuk dan pola PSC, di mana masing-masing blok CBM harus dikelola oleh satu badan hukum usaha. Perihal tatacara penawaran wilayah kerja pun mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No.35 tahun 2008, perihal tatacara penawaran WK migas. Peraturan Menteri No.36 Tahun 2008 merupakan peraturan lain yang menjadi acuan dalam regulasi pengeolaan CBM, peraturan ini merupakan revisi dari Peraturan Menteri No.33 Tahun 2006. Permen tersebut direvisi menyusul adanya berbagai persoalan terkait dengan tumpang tindih

49


Road Map Pengembangan dan Pemanfaatan CBM di Indonesia (sdm.go.id)

antara WK Migas dengan KP Batubara. Perubahan signifikan dari Permen 33 ke 36 adalah menyangkut persyaratan KP Batubara yang mendapatkan prioritas pertama dalam pengusahaan CBM di wilayah kerja yang tumpang tindih. Gambar di atas merupakan gambaran garis besar kegiatan yang telah, sedang dan akan dilakukan dalam upaya pemanfaatan CBM. Berdasarkan data dari ESDM pada tahun 2015, seharusnya Indonesia mampu memproduksi 500 MMSCFD CBM. Namun kenyataannya hingga saat ini Indonesia hanya dapat memproduksi gas dari sumur CBM sebesar 0.5 MMSCFD. Tentu saja hal ini menunjukkan adanya gap antara keadaan sebenarnya dengan keadaan ideal yang diinginkan dalam road map pengembangan dan pemanfaatan CBM.

Hambatan dan Rekomendasi Maka dari itu, dalam tulisan ini saya akan mencoba memetakan tantangan yang dihadapi dan rekomendasi untuk mempercepat dan meningkatkan pemanfaatan CBM di Indonesia.

50

1

Kelangkaan pada Peralatan Penunjangan Operasi

Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo, mengatakan bahwa kelangkaan pada peralatan penunjang operasi merupakan hambatan utama pengembangan CBM. Contohnya rig sederhana yang dilakukan dalam pengeboran CBM langka. Berdasarkan data dari ESDM pencanangan “Tahun Pemboran� oleh SKK Migas pada tahun 2013 sekitar 412 sumur CBM ditargetkan dapat dibor hingga tahun 2015, namun ketersediaan rim pemboran CBM yang ada di Indonesia belum bisa mencukupi. Sebagai salah satu langkah solusinya, balitbang ESDM menargetkan produksi 20 rig sederhana tiap tahunnya. Nantinya rig sederhana ini akan digunakan untuk pemboran CBM. Kementerian perindustrian harus bisa mendorong industri-industri dalam negeri untuk ikut membantu kemajuan dalam pemanfaatan sumber energi nonkonvensional satu ini. Jika dilihat dari data kebutuhan jumlah sumur diatas, maka


jumlah 20 rig per tahun masih kurang. Jumlah idealnya harus mampu memenuhi kebutuhan tersebut dengan jangka waktu tertentu.

2

Tumpang tindih lahan

Tumpang tindih lahan masih menjadi kendala utama pengembangan CBM, terutama tumpang tindih pemakaian lahan dengan PKP2B/ KP Batu Bara. Menurut Pedoman Pengembangan CBM yaitu dalam hal PKP2B/KP Batu Bara terlebih dulu melakukan eksploitasi di lahan tersebut, maka KKKS CBM dapat menggunakan sebagian lahan eksploitasi tersebut untuk lokasi lokasi pemboran eksplorasi, atau fase pilot percontohan CBM dengan luas sesuai kebutuhan standar teknis, keselamatan dan lingkungan. Dalam hal KKKS CBM terlebih dahulu melakukan drilling atau membangun infrastruktur pada lahan tersebut, maka PKP2B/KP Batu Bara tidak diperbolehkan untuk mengeksploitasi batu bara pada lahan tersebut atas dasar pertimbangan keteknikan, keekonomian, HSE dan sebagainya. CBM dan batubara tidak dapat dieksploitasi bersamaan. Karena eksploitasi batubara dilakukan dengan penambangan terbuka menyebabkan gas methaneakan terlepas ke udara. Sehingga disini harus dipilih salah satu antara pemanfaatan CBM atau eksploitasi batubara. Maka sudah sepantasnya pemerintah memetakan daerah dengan cadangan batubara yang besar dan melakukan kajian untuk menentukan daerah mana saja yang lebih ekonomis untuk dilakukan penambangan terbuka dan daerah mana yang lebih ekonomis untuk dimanfaatkan secara teknis migas (CBM).

3

Biaya Pengembangan yang Lebih Tinggi

Dibandingkan dengan gas alam, CBM memiliki periode produksi yang lebih lambat. Umumnya produksi terbesar

terjadi pada periode tahun produksi ke-2 hingga ke-7. Sedangkan lama periode produksi pada kisaran 10 hingga 20 tahun. Lebih pendek jika dibandingkan dengan gas alam yang bisa mencapai 30 hingga 40 tahun. Perhitungan biaya kasarnya, menurut Bapak Wiratmaja, biaya untuk eksplorasi satu sumur CBM sekitar US$ 600 ribu, lebih rendah dari biaya untuk eksplorasi minyak atau gas yang rata-rata US$ 1 juta. Namun berbeda dengan sumur konvensional, flow rate produksi CBM untuk satu buah sumur sangat rendah sehingga dibutuhkan lebih banyak sumur untuk mencapai suatu jumlah produksi yang ekonomis. Hal ini membuat biaya produksi menjadi lebih tinggi Melihat besarnya biaya dalam pengembangan CBM, diperlukan beberapa insentif fiskal maupun nonfiskal. Insentif dalam bentuk fiskal dapat berupa keringanan pajak dan insentif non fiskal dapat berbentuk simplifikasi birokrasi. Dengan sumber dari ESDM yang merujuk pada kegiatan serupa di Amerika Serikat, semula dunia usaha enggan memproduksi CBM namun dengan memberikan kredit investasi CBM pada para pengembang usaha prospeknya semakin cerah.

4

Kurangnya Tenaga Kerja Handal

Pemanfaatan lapangan CBM memerlukan keahlian khusus yang lebih tinggi dibandingkan lapangan migas konvensional.Contohnya, pada sumur CBM akan lebih efektif jika menggunakan sumur horizontal maka tenaga kerja dalam negeri harus mampu melakukan pemboran horizontal. Saat ini tenaga kerja dalam negeri masih kurang untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pemanfaatan. Kementerian ESDM sudah memberikan pelatihan-pelatihan mengenai hal tersebut. Diharapkan kegiatan pelatihan ini dapat ditingkatkan frekuensinya untuk membentuk SDM yang cakap untuk memanfaatkan sumberdaya CBM Indonesia.

51


“CBM merupakan solusi yang cukup menjanjikan bagi kemandirian energi bangsa.�

Peta Persebaran CBM di Indonesia

5

Butuh Ilmu dan Teknologi yang Lebih Tinggi

Reservoir CBM biasanya dangkal dan melebar secara lateral. Hal ini membuat pemboran dengan model sumur vertikal kurang menarik secara ekonomis karena pasti dibutuhkan sumur yang lebih banyak. Oleh karena itu, pemboran horizontal dengan membuat cabang-cabang menjari harus diterapkan. Hal ini pun dihalangi oleh tantangan, yaitu dangkalnya reservoir. Dangkalnya reservoir membuat jari-jari kelengkungan sumur makin kecil dan hal ini terhitung sulit untuk dilakukan. Semakin kecil jari-jari kelengkungan maka membutuhkan peralatan dan teknik khusus sehingga

membutuhkan biaya yang lebih besar. Belum lagi proses dewatering yang membutuhkan waktu lama dan tekanan yang sangat kecil dari reservoir CBM yang membuat biaya kompresi yang mahal. Oleh karena itu, untuk efisiensi penggunaan kompresor, sumur produktif yang sudah mencapai jumlah yang banyak dapat menggunakan satu kompresor saja. Solusi yang dapat digunakan untuk tantangan di atas adalah dengan heat injection. Dengan heat injection, difusivitas dari batuan dapat diperbesar. Selain itu mobilitas dari gas pada suhu tinggi akan lebih baik. Solusi ini dapat digunakan untuk mengatasi terlalu panjangnya periode dewatering. Jika heat injection ini dapat dikombinasi dengan injeksi gas CO2 dan gas N2 efek yang dihasilkan bisa saja lebih signifikan.

Dengan melakukan rekomendasi dari lima tantangan diatas, Pemerintah Indonesia dapat mengoptimalisasi pemanfaatan CBM dalam rangka mengurangi defisit neraca gas dan meningkatkan ketahanan energi nasional.

52


Perusahaan minyak Belanda yang berlogo kerang, Shell, dahulu merupakan perusahaan keluarga yang menjual kerang dan barang – barang antik lain untuk cinderamata


MEMBEDAH FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA Dharmawan Raharjo Komoditas minyak dunia telah mengalami eskalasi harga yang cukup drastis dari pertama kali dikomersialisasikan oleh Drake di Titusville. Pun begitu, tak secuil perkara global juga memicu depresiasi harga komoditas minyak yang saat ini menjadi bahan bakar utama dalam berbagai sektor pembangunan ekonomi. Perubahan tren kenaikan atau penurunan yang dinamis dan tak terprediksi inilah yang disebut sebagai fluktuasi harga. Pencetus volatilitas pasar inilah yang akan dijadikan bahasan hangat dalam perjalanan cerita kali ini.

54

“Fluktuasi harga merupakan hal yang sangat sulit untuk diperkirakan, hal terbaik adalah mempersiapkan diri ketika ada kesempatan besar untuk berubah�


Oil Shortage Pertama Pada tahun 1973 berlangsung perang Yom Kippur antara Israel, Mesir dan Syria. Pemerintah Amerika Serikat sebagai aliansi Israel melakukan intervensi dengan mengirimkan peralatan perang ke Israel. Dukungan ini menyebabkan Israel mempunyai posisi yang kuat di medan perang. Kejayaan pasukan Israel dan sekutu tidak berlangsung lama, karena pada saat itu Amerika Serikat sangat bergantung kepada impor minyak dari negara timur tengah. Untuk menggulingkan kemenangan saat itu, Arab Saudi sebagai sekutu dari pihak arab

melakukan manuver strategis yakni sangsi ekonomi berupa embargo ekspor minyak ke USA. Embargo tersebut menyebabkan oil shortage di USA yang seketika memicu melambungnya harga minyak USA dari $3 per barrel menjadi $12 per barrel. Hal ini menyebabkan kekacauan ekonomi dunia saat itu karena barang baku pokok menjadi mahal. Embargo Arab Saudi ini menyebabkan Amerika Serikat menyerah dan merekomendasi Israel untuk melakukan negosiasi dengan Mesir dan Syria. Oil shortage merupakan situasi dimana besaran kebutuhan melampaui kemampuan pasokan. Menurut teori Economic Equilibrium, ekonomi sebagai satu keseluruhan cenderung mengarah kepada keseimbangan.

55


Grafik Fluktuasi Harga Minyak Bumi dari tahun 1970 hingga 2007 (www.wtrg.com/prices.htm)

Teori ini menjelaskan bahwa shortage menyulut kenaikan harga yang berdampak pada depresiasi demand. Pada akhirnya kenaikan harga akan mendepak shortages sehingga menciptakan equilibrium yang baru. Huru hara 1973 menimbulkan konsekuensi eskalasi harga sebagai bagian dari teori ekonomi tersebut. Berbicara mengenai fluktuasi harga, faktor yang pemicu secara umum hanya jaminan ketersedian supply dan demand. Namun faktor yang menyebabkan disrupsi penjaminan itu yang menjadi sangat krusial untuk ditelaah karena divergensi penyebab yang sangat tidak terprediksi. Faktor pemicu fluktuasi ini secara umum dapat dibagi menjadi tiga faktor utama yakni:

1. TEKNIK Faktor teknik secara garis besar mempertimbangkan kemampuan produksi suatu lapangan seperti terjadinya gangguan produksi. Gangguan ini dapat berupa menurunnya kapabilitas pengaliran akibat bencana, kerusakan reservoir maupun hal teknis lainnya sehingga menyebabkan kenaikan harga minyak.

56

Hal teknis juga dapat bepengaruh pada penurunan harga minyak seperti pengembangan teknologi horizontal drilling dan hydraulic fracturing.

Fracking menstimulasi penurunan harga minyak dunia saat ini Pada Juni 2014, minyak mengelami kemerosotan harga. Faktor utama yang menyebabkan hal ini terjadi adalah melimpahnya kuantitas minyak yang beredar di pasaran. Melimpahnya minyak diakibatkan oleh tambahan suplai dari USA dan OPEC untuk tidak menurunkan jumlah produksinya. Kebijakan ini adalah reaksi negara Arab Saudi terhadap perkembangan teknologi fracking USA ini. Teknologi fracking memungkinkan minyak yang berada pada reservoir yang sulit diambil dapat diproduksikan. Fracking adalah metode stimulasi sumur untuk menciptakan permeabilitas pada suatu tight reservoir. Sebelum teknologi ini ditemukan, reservoir yang memiliki permeabilitas rendah biasanya tidak dilakukan pengembangan lapangan. Breakthrough teknologi perekahan


ini telah memungkinkan sumber daya besar yang selama ini tersimpan dapat diambil. Sebagai gambaran, potensi tight reservoir ini jauh lebih besar dari reservoir konvensional. Sebagai imbas perkembangan fracking, Amerika dapat memproduksi shale gas, shale oil sehingga mengurangi depedensinya terhadap impor minyak dan menaikkan kuantitas minyak yang berada dipasaran. Arab Saudi sebagai negara yang memiliki cadangan minyak terbesar kedua di dunia bereaksi dengan fenomena ini dengan malah menambah minyak di pasaran. Pasalnya, keberadaan teknologi fracking secara masif dapat mengganggu posisi OPEC sebagai organisasi pengekspor minyak terbesar di dunia. Seperti yang disebutkan sebelumnya, fracking adalah teknologi yang mahal karena membutuhkan harga minyak yang tinggi agar dapat ekonomis dilakukan. Konsekuensi dari kebijakan OPEC ini mengakibatkan teknologi fracking sulit berkembang sehingga OPEC, khususnya Arab Saudi dapat menjaga posisinya di pasar minyak.

Bencana alam menyebabkan peningkatan harga minyak

namun juga merembet kepada ekspektasi spekulan. Menurut Dr. Naini, yang dijelaskan oleh Benny Lubiantara dalam bukunya Dinamika Industri Migas, aksi spekulan secara empirik dapat mendorong perubahan harga minyak namun tidak dapat dijadikan satu satunya tersangka. Pada tahun 2008, ekonomi global mengalami kelesuan. Resesi ini berimbas pada berkurangnya demand minyak di beberapa akibat dari menurunnya aktivitas ekonomi. Kecendurangan harga minyak yang naik pada awal tahun 2008 yang kemudian terjun bebas adalah salah satu konsekuensi dari aktivitas para spekulan. Pada awalnya mereka berpresepsi bahwa kecenderungan harga minyak naik dan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat merupakan potensi windfall profit yang besar. Sehingga, mereka berekspektasi bahwa kedepannya harga minyak akan terus naik dan terjadi pertumbuhan demand terhadap minyak. Namun, realitas mengatakan bahwa pada pertengahan tahun 2008 muncul berbagai opini negatif dari pergerakan kondisi ekonomi. Situasi ini mengubah ekspektasi spekulan sehingga mereka mengambil untung dengan posisi menjual. Hal ini menyebabkan anjloknya harga komoditas minyak ke $34 per barrel pada desember 2008 yang pada sebelumnya $140 per barrel pada juli 2008.

Badai Katrina pada Agustus 2015 menyebabkan terganggunya suplai minyak karena matinya aktivitas downstream akibat rusaknya infrastruktur listrik untuk distribusi minyak dan natural gas. 1/10 suplai “Fluktuasi harga merupakan hal minyak Amerika hilang karena lebih dari dua puluh rig platform tenggelam. Hal ini yang sangat sulit untuk diperkiraadalah salah satu yang tak terprediksi tejakan, hal terbaik adalah memperdi, namun secara langsung mengakibatkan instabilitas harga. Untuk pertama kalin- siapkan diri ketika ada kesempatan ya harga minyak WTI menyentuh harga besar untuk berubah.� tertingginya yakni $70 dollar per barrel.

2. EKONOMI Kelesuan ekonomi & fluctuation advanced theory Minyak merupakan komoditas yang diperdagangkan secara paper market maupun physical market. Keberadaan ini menyebabkan minyak tidak lagi hanya bergantung pada teori ekonomi supply dan demand saja,


3. POLITIK Terganggunya eksploitasi migas Dalam konteks politik antar negara, ketegangan maupun perang adalah faktor utama pemicu naiknya harga minyak. Negara akan menyerang sektor strategis semacam industri migas yang menjadi core business pada beberapa negara. Saat domain ini dilumpuhkan, bisa saja dapat terjadi disrupsi suplai minyak di pasaran. Bercermin pada perang Iraq dan Kuwait yang berperang karena slant drilling Kuwait pada daerah Iraq. Iraq membakar 700 sumur produksi kuwait yang menyebabkan hilangnya 6 juta barrel minyak per hari saat itu. Karena kuwait merupakan anggota OPEC yang turut mengekspor minyak, hal ini menyebabkan harga minyak seketika melonjak tinggi akibat berkurangnya pasokan. Perang juga biasanya berkaitan dengan kondisi geopolitik dan penggunaan kekuasaan. Contohnya saja pada kasus 1973, Arab Saudi menggunakan embargo sebagai senjata ekonomi untuk melumpuhkan Amerika Serikat yang mengakibatkan meningkatnya harga minyak di negara tersebut. Faktor-faktor ini dapat terjadi secara bersamaan, dan didalamnya dapat mengandung komponen yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Adaptasi Indonesia terhadap fluktuasi suplai dan harga minyak Berdasarkan data tahun 2010, memenuhi kebutuhan energi Indonesia, pangsa pasar energi minyak masih menduduki peringkat nomor satu dalam bauran energi nasional yakni berkisar 39%. Kuantitas annual demand Indonesia pada saat itu sebesar 1080 Million BOE yang artinya Indonesia membutuhkan kurang lebih 422 juta barrel oil per tahun. Dengan asumsi produksi rata-rata hulu minyak Indonesia tahun 2010 sebesar 900 ribu bph, maka nominal tersebut hanya menyumbang pemenuhan kebutuhan sekitar 330 juta barrel per tahun. Perhitungan tersebut jauh dari fakta kebutuhan saat itu sehingga mengharuskan Indonesia mengimpor dari luar negeri.

58

Indonesia Energy Outlook 2010, Pusdatin ESDM

Kondisi terus menjadi semakin parah karena disparitas suplai dan permintaan Indonesia saat ini diprediksi terus memiliki pergerakan trend yang saling berlawanan. Selain itu akibat dari fleksibilitas energi minyak, kedepannya porsi bauran energi itu pun akan semakin bertambah. Bertambahnya konsumsi Indonesia terhadap minyak berimbas terhadap eskalasi dependensi suplai. Sedangkan pasar minyak seperti yang kita telah telah sebelumnya tergolong kepada pasar yang tidak stabil. Fakta bahwa Indonesia ternyata bergantung pada pasar yang berfluktuasi menunjukkan bahwa, secara keamanan energi, kondisi Indonesia patut dibilang rawan terhadap gangguan. Situasi ini dapat saja dimanfaatkan oleh pihak asing untuk secara strategis menyerang Indonesia apabila suatu waktu terjadi kontroversi trans-nasional. Oleh sebab itu, adaptasi terhadap fluktuasi pasar ini harus berfokus pada peningkatan keamanan energi.

BP Statistical Review 2013


Menurut Daniel Yergin, ada dua prinsip besar yang harus dipatuhi dalam konteks menjaga ketahanan keamanan energi yakni diversifikasi suplai dan resiliensi. Yergin menjelaskan bahwa diversifikasi adalah metode pengurangan dampak yang hanya berfokus pada multipasokan. Sedangkan resiliensi dimaknai sebagai marginal security as a buffer system. Dalam tulisan ini, kedua prinsip Yergin akan dikembangkan dan dikorelasikan terhadap kondisi Indonesia sehingga ditemukan kebijakan strategis keenergian untuk meningkatkan pertahanan keamanan negara.

1

Diversifikasi Suplai

Pendekatan kebijakan diversifikasi dapat dilakukan melalui dua cara, yang pertama adalah diversifikasi bauran energi nasional dengan mempertimbangkan ketersedian sumber daya dan memprioritaskan pengembangan sustainable energy. Kebijakan untuk melakukan transformasi optimistis pemerintah Indonesia untuk melakukan penghematan porsi minyak dengan peningkatan eksploitasi geothermal dan energi terbarukan lainnya adalah suatu langkah positif dalam upaya melepaskan sedikit dependensi terhadap minyak. Kedua adalah mengimplementasikan praktik multiplikasi pasokan. Hal ini jauh dari isu fluktuasi harga minyak, namun cukup jitu dalam mengamankan pasokan keamanan energi. Intensi praktik ini ialah mengurangi probabilitas dampak kelangkaan energi akibat distrupsi suplai dibandingkan hanya satu sumber saja dengan metode penyediaan alternatif. Saat ini sekitar 50% konsumsi BBM Indonesia bergantung pada impor minyak Singapura. Hal ini merupakan kondisi yang sangat rentan, karena apabila terjadi pertikaian antara Singapura dan Indonesia, Singapura akan dengan mudah memenangkan pertikaian dengan memboikot pasokan BBM ke Indonesia.

2

Resiliensi

Negara harus mampu bertahan apabila gangguan pasokan benar benar terjadi dengan menyediakan buffer system. Kondisi ini disebut nation’s resiliences. Resiliensi utamanya datang dari faktor kantong penyediaan alternatif seperti strategic petroleum reserves, kapasitas produksi minyak tertahan, pemulihan peralatan cadangan. Keberadaan komponen ini akan meningkatkan kapabilitas negara dalam mengatasi kegagalan suplai sementara. Fokus terhadap kapasitas produksi minyak tertahan sangat tidak relevan terhadap kondisi Indonesia karena produksi minyak saat ini sudah sangat maksimal bahkan untuk meningkatkannya membutuhkan tekonologi yang lebih tinggi seperti EOR. Sangat berbeda dengan negara pengekspor seperti Arab Saudi yang memiliki spare production capacity yang sangat besar sehingga mereka dapat dengan mudah meningkatkan produksi minyaknya dengan hanya membuka choke production sumur. Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia dapat menerapkan kebijakan lain yakni pembangunan Strategic Petroleum Reserves yang merupakan tangki penyimpanan yang sangat besar dimaksudkan untuk digunakan saat keadaan darurat. Negara-negara besar di dunia seperti Amerika bahkan memiliki SPR setara 90 hari demand dengan debit penyediaan lebih dari empat juta bph. China pun juga sedang gencar mengembangkan SPR saat ini. Inisisasi kebijakan pembangunan SPR Indonesia saat ini adalah momentum yang tepat karena didukung oleh rendahnya harga minyak dunia. Dengan begitu, Indonesia dapat menyerap minyak murah dunia dan mengambil kesempatan untuk meningkatkan ketahanan keamanan energi dengan biaya yang jauh lebih murah.

59



FUN FACT Perusahaan minyak Saudi Aramco tidak hanya memiliki lapangan onshore dan offshore terbesar, tetapi juga menjadi perusahaan paling berharga saat ini. Saudi Aramco mengatakan memiliki asset sebesar 1.25 – 7 triliun USD atau lebih besar dari Apple dengan asset sebesar 700


MASIH IDEAL KAH

SISTEM KONTRAK MIGAS DI INDONESIA?

Oleh : Farhad Hamid Bayyagub

High risk, high cost dan high technology merupakan tiga hal yang sangat menggambarkan keberjalanan industri minyak dan gas (migas). Berdasarkan Undang – Undang 22 Tahun 2001 dan sistem kontrak yang digunakan saat ini, minyak dan gas yang terperangkap di bawah permukaan bumi dimiliki oleh Negara. Namun tiga hal diatas membuat pemerintah membutuhkan kerja sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama(KKKS) dalam proses eksplorasi dan eksploitasinya. Maka dari itu, sistem kontrak migas yang mengatur kerjasama antara pemerintah dan KKKS menjadi salah satu aspek fundamental dalam keberjalanan industri migas di setiap negara. Indonesia memiliki sejarah keberjalanan sistem kontrak migas yang cukup menarik. Bangsa ini telah menggunakan berbagai bentuk skema pengelolaan migas yang ada. Pada tahun 1899, ketika Belanda masih menjadi penguasa kolonial, Indonesia menganut sistem konsesi. Dalam sistem ini, kontraktor diberikan keleluasaan untuk mengelola minyak dan gas bumi, mulai dari eksplorasi, produksi hingga penjualannya. Pemerintah sama sekali tidak terlibat di dalam manajemen operasi pertambangan migas, termasuk dalam menjual minyak dan gas yang dihasilkan. Jika operasi berhasil menemukan cadangan yang ekonomis untuk diproduksikan, kontraktor hanya berkewajiban membayar royalti, sejumlah pajak dan bonus kepada Pemerintah. Model pengelolaan kedua adalah model kontrak karya. Model ini diterapkan dengan terbitnya UU No.40 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan

62

Gas Bumi yang sekaligus mengakhiri keberjalanan sistem konsesi di negeri ini. Dalam kontrak karya, sumber daya migas adalah milik negara. Status perusahaan diturunkan dari pemegang konsesi menjadi kontraktor negara. Pada sistem ini, negara dan perusahaan berbagi hasil penjualan migas. Meskipun perusahaan tidak lagi menjadi pemegang konsesi, kendali manajemen masih berada di tangan mereka. Peran pemerintah terbatas pada kapasitas pengawasan. Tidak seperti model konsesi, model kontrak karya ini hanya berlaku dalam periode yang relatif singkat, antara tahun 1960 – 1963. Skema Production Sharing Contract (PSC) pertama kali berlaku tahun 1966 saat PERMINA menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). Kontrak ini tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia. Penerapan PSC di Indonesia


Skema Production Sharing Contract (PSC) pertama kali berlaku tahun 1966 saat PERMINA menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). Kontrak ini tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia. Penerapan PSC di Indonesia dilatarbelakangi oleh keinginan supaya negara berperan lebih besar dengan mempunyai kewenangan manajemen kegiatan usaha hulu migas. PSC dibuat dengan referensi model usaha petani penggarap yang banyak dipraktikkan di nusantara. Negara adalah pemilik “sawah” yang mengamanatkan pengelolaan lahan kepada “petani penggarap”. Dalam bisnis hulu migas, “petani penggarap” ini adalah KKKS baik nasional maupun asing. Penggarap ini menyediakan semua modal dan alat yang dibutuhkan. Semua pengeluaran ini tentunya harus disetujui pemilik sawah, karena modal tersebut akan dikembalikan kelak saat panen. Penggantian ini dikenal dengan istilah cost recovery yang hanya akan diberikan ketika pemilik lahan telah menyetujui pengembangan sawahnya.Jika tidak, semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh penggarap (kontraktor migas). Saat “panen” tiba, produksi akan dikurangkan terlebih dahulu dengan modal yang harus dikembalikan, baru kemudian dibagi antara pemilik sawah dengan penggarap sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Skema PSC yang lahir di tahun 1966 bertujuan meningkatkan peran negara dalam pengelolaan sumber daya migas yang ada di Indonesia. Sistem konsesi dan kontrak karya yang digunakan sebelumnya dirasa belum memenuhi amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

“Hampir 50 tahun sistem PSC telah berjalan, tetapi beberapa hal masih perlu dievaluasi seperti fleksibilitas serta keberpihakannya terhadap Pertamina sebagai National Oil Company”


Dengan adanya sistem PSC, negara mempunyai kuasa untuk menentukan jalannya operasi pengelolaan migas yang ada di Indonesia. Sehingga sistem PSC diharapkan dapat meningkatkan investasi dalam bidang migas sekaligus memenuhi kebutuhan konsumsi migas di dalam negeri dan memberikan andil yang lebih besar terhadap APBN.

Kondisi harga minyak dunia yang fluktuatif juga mempengaruhi kinerja eksplorasi. Sejak turunnya harga minyak dunia hingga US$ 40 / barel pada akhir tahun 2014 hingga sekarang, investasi dalam bidang eksplorasi menurun secara drastis. Padahal masih banyak cekungan di Indonesia yang belum di eksplorasi, terutama di Indonesia bagian timur. Hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah dalam membentuk sistem atau paket kebijakan yang lebih menarik bagi investor pada kondisi saat ini.

Bagaimana sistem kontrak yang digunakan Negara lain?

SKKMigas.go.id

Skema PSC terbukti cukup berhasil pada periode 1970 hingga 2010 dalam aspek peningkatan investasi pada WK eksplorasi. Tetapi sejak tahun 2012 hingga sekarang, investasi dalam bidang eksplorasi terlihat semakin menurun dibandingkan tren pada periode sebelumnya yang cenderung meningkat.

Pembahasannya bisa dimulai dari Negara tetangga kita, Malaysia. Pada awalnya Malaysia belajar sistem PSC dari Indonesia. Hingga saat ini mereka sudah melakukan beberapa perubahan agar lebih cocok dengan kondisi negaranya. Sistem pengelolaan migas di Malaysia didasarkan atas bentuk Bussiness to Bussiness (B2B) dimana Petronas lah yang memiliki kontrak dengan KKKS lain. Begitu pula yang dahulu digunakan Indonesia saat berlakunya UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang mengatur Pertamina sebagai pemegang kuasa kontrak. Model kontrak PSC Malaysia juga berevolusi mengikuti tuntutan perubahan, mulai dari PSC 1976, kemudian PSC 1985, Deepwater PSC dan Revenue over Cost (R/C) yang diperkenalkan pada tahun 1997.


Dalam R/C PSC, nilai R/C ratio menjadi komponen yang fundamental dalamsistem pengelolaan migas di Malaysia yaitu:

Terdapat beberapa gan diterapkannya

keuntungan sistem ini,

denyaitu:

1. PROGRESIF Dalam sistem PSC ini, jika nilai R/C rendah (pengeluaran lebih rendah dibanding pemasukan) maka kontraktor akan mendapat presentase profit yang lebih besar. Tetapi jika R/C tinggi, maka Petronas yang akan mendapatkan profit lebih.

Brazil mengombinasikan regulasi lama dan baru untuk membentuk sistem kontrak yang terbaik bagi negara mereka. Pada tahun 2012, Kongres Brazil mengesahkan 3 dasar hukum baru mengenai kontrak migas: Law 12276/2010 mengenai Onerous Assignment, Law 12304/2010 mengenai PPSA (Pré-sal Petróleo S.A. [Pre-Salt Petroleum Co.]) dan Law 12351/2010 mengenai Production Sharing System (PSS). Selain itu, Law 9478/1997 yang mengatur sistem konsesi tetap berlaku di Brazil.

2. Self-adjusting Bentuk keuntungan yang didapat akan dapat menyesuaikan langsung dengan berbagai perubahan yang terjadi misal adanya kenaikan harga minyak dunia sehingga berpengaruh langsung terhadap indeks R/C.

3. RE-InVESTMENT Dengan melakukan investasi kembali, maka lebih banyak cost yang dikeluarkan sehingga R/C ratio menjadi lebih kecil. Nilai ini akan membuat profit yang lebih banyak bagi kontraktor, sehingga secara tidak langsung R/C ratio meningkatkan re-investment.

4. Cost Effectiveness Adanya available unused cost yang besarnya dibagi berdasarkan indeks R/C dimana porsi untuk kontraktor lebih besar dibandingkan dengan contractor profit oil split. Jadi ini semacam insentif bagi kontraktor untuk melakukan cost saving. Selain Malaysia, kita dapat menengok salah satu Negara Amerika Latin yang begitu berhasil mengelola aset migasnya, yaitu Brazil. Baru-baru ini, Brazil menemukan cadangan migas yang cukup besar pada suatu area khusus yang dinamakan pre-salt area membuat negara tersebut merekonstruksi kembali sistem kontrak migas di negara mereka.

Peluang Investasi Sektor ESDM, 2011

Sejak terbitnya Law 9478/1997 atau yang biasa disebut dengan Petroleum Law, Pemerintah Brazil membentuk suatu badan yang bernama Agência Nacional de Petróleo, Gás Natural e Biocombustíveis (ANP) dan juga menetapkan sistem konsesi dalam eksplorasi dan produksi migas. ANP merupakan lembaga independen yang bertujuan melaksanakan peraturan – peraturan dalam industri migas, melakukan kontrak serta mengawasi keberjalanan kontrak yang sudah disepakati dalam industri migas. Sejak tahun 2010, terjadi pergeseran tata kelola migas di Brazil sehingga ada beberapa model kontrak yang berlaku di Brazil:

1

Konsesi

Sistem konsesi di Brazil digunakan pada suatu lapangan dengan risiko eksplorasi yang bersifat sedang atau tinggi, lebih spesifik lagi pada semua cekungan sedimen kecuali pre-salt area dan strategic area. Proses yang digunakan sama dengan sistem konsesi biasa, dimana kontraktor memegang kuasa atas lahan sedangkan negara hanya menerima pajak dan/atau royalti.

65


www.ccop.or.th

2

Production Sharing Contract

Production sharing system berlaku pada pre-salt area atau area lain yang dianggap strategis oleh ANP. Dalam sistem ini, ada beberapa stakeholder yang berperan yaitu: ANP, Petrobras, PPSA dan juga International Oil Company (jika memenangkan tender). Dalam sistem ini, ANP akan membuka tender untuk menentukan perusahaan pengelola suatu blok migas. Jika Petrobras memenangkan tender maka Petrobras mendapatkan hak pengelolaan 100% sedangkan jika oil company lain yang memenangkan tender maka setidaknya 30% saham pada lapangan tersebut dimiliki oleh Petrobras. PPSA berperan sebagai tangan kanan pemerintah untuk melakukan pengawasan pada pengelola lapangan tersebut. Jika tidak ditemukan cadangan hidrokarbon yang ekonomis, maka perusahaan tersebut tidak akan mendapatkan kompensasi dari negara. Tetapi jika ada penemuan yang bersifat komersial, maka negara akan memberikan cost recovery berdasar aktivitas eksplorasi serta berbagai kompensasi lain sesuai sistem PSC di Brazil.

66

3

Onerous Transfer of Rights Agreement

Berdasarkan keputusan ini, pemerintah Brazil menetapkan Petrobras untuk melakukan eksplorasi dan produksi untuk beberapa lapangan dalam pre-salt area yang belum dikelola sebelumnya. Tetapi persetujuan ini dibatasi hingga dicapainya produksi sebesar 5 milyar barel. Petrobras bertanggung jawab atas seluruh pengeluaran dalam pengembangan lapangan tersebut dan tetap berkewajiban untuk membayar royalti dan pajak ketika ditemukan cadangan yang komersial. Status quo yang ada di Indonesia sudah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sistem tata kelola migas yang cukup baik. Tetapi, sistem tata kelola migas ini masih bersifat tidak luwes dan terkesan tidak berpihak kepada Pertamina sebagai National Oil Company (NOC). Indonesia sebagai pionir dalam sistem PSC perlu melakukan beberapa pembenahan sehingga didapatkan sistem tata kelola kontrak migas yang lebih baik. Beberapa hal yang yang dapat dilakukan sebagai pembenahan antara lain:


Pertama, Indonesia tetap mempertahankan PSC sebagai sistem kontraknya, karena sistem ini merupakan titik tengah antara keterlibatan pemerintah dan daya tarik bagi investor. Namun seiring berjalannya waktu, diperlukan beberapa poin tambahan agar daya tarik bagi investor bisa meningkat. Sebagai contoh, sistem H/C Ratio yang digunakan di Malaysia dapat diadaptasi di Indonesia. Melihat kondisi industri migas yang fluktuatif akibat perubahan harga minyak dunia setiap hari. Dengan adanya sistem yang sejenis dengan H/C Ratio, maka nilai bagi hasil akan ditentukan berdasarkan revenue dan cost perusahaan pada suatu periode dan dapat disesuaikan dengan kondisi internasional. Kedua, pemberian insentif guna mendorong eksplorasi dan pengembangan lapangan khususnya di daerah timur Indonesia. Bentuk insentifnya dapat berupa kenaikan presentasi split bagi KKKS yang mengembangkan lapangan dengan kesulitan lebih tinggi seperti di daerah timur. Insentif seperti ini bisa meningkatkan daya tarik bagi investor untuk melakukan eksplorasi di daerah Timur Indonesia, sehingga potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik. Ketiga, pemberian participating interest(PI) minimum bagi Pertamina di setiap WK baru. PI minimum tersebut bernilai 20% dengan

rasionalisasi 10% lebih besar dari PI maksimal BUMD dan total PI nasional sebesar 30% seperti yang didapatkan Petrobras di Brazil. Dengan begitu, tidak ada lagi kekhawatiran investasi menurun yang akan berimbas pada penurunan produksi di masa akhir kontrak. Kebutuhan akan energi semakin meningkat tiap tahunnya. Di sisi lain, cadangan migas yang ada semakin menipis. Eksplorasi di daerah yang kurang dipandang sebelumnya menjadi salah satu tantangan untuk masa mendatang. Sayangnya, eksplorasi yang ada belum berjalan dengan semestinya. Lantas, haruskah kita berpangku tangan pada keadaan? Aspek formal dan legalitas yang perlu untuk dibenahi. Reformasi tata kelola migas menjadi salah satu urgensi tertinggi. Jika kita hanya berpaku pada sejarah yang menyatakan Indonesia sebagai pionir PSC, maka selamanya kita tak akan menjadi yang terdepan. Pemerintah harus bergegas! Pertahankan yang sudah baik dan perbaiki yang kurang. Niscaya, bumi pertiwi akan mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Majulah Indonesiaku!

brazil-economy-and-markets.blogspot.co.id

67



fun fact Panjang pipa distribusi natural gas di Amerika Serikat setara dengan 7 – 8 kali jarak bumi ke Bulan


“Jangan sampai keputusan aktifnyakembali Indonesia di OPEC menjadi boomerang di masa mendatang, khususnya ketika rapat pemangkasan kuota produksi dan harga minyak kembali tinggi. Kita akan berada di kondisi serbasalah. Ya, seperti domba berbulu serigala di kandang singa�.


KUPAS TUNTAS

KEPUTUSAN INDONESIA BERGABUNG KEMBALI DENGAN OPEC Oleh : M. Aulia Nabigha Pada tahun 1962, produksi minyak yang tinggi dan kebutuhan minyak yang masih rendah membawa Indonesia menjadi negara ketujuh yang bergabung dengan Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Indonesia bergabung tepat setelah Qatar (1961) dan lima negara pendiri, yaitu Saudi Arabia, Iran, Irak, Kuwait, dan Venezuela. Hingga saat ini Indonesia merupakan satu – satunya negara ASEAN yang pernah tergabung di dalam “kartel” minyak terbesar ini. OPEC sendiri dibentuk di Baghdad pada September 1960 ketika terjadi masa transisi ekonomi internasional dan geopolitik yang diikuti dengan dekolonisasi besar – besaran. Saat itu berdirinya OPEC bertujuan untuk untuk mengurangi dominasi “Seven Sister” companies di industri minyak global yang dinilai sangat merugikan negara – negara kaya minyak tersebut. Singkat cerita, bangsa ini memang pernah mengalami era keemasan di industri minyak. Sang Garuda pernah dua kali mencapai puncak produksinya, yaitu pada tahun 1977 dan 1995 dengan produksi minyak lebih dari 1.6 juta barrel. Ya, setara dengan kebutuhan minyak kita saat ini. Bahkan pada tahun 1977 surplus minyak kita lebih dari 75 persen. Saat itu kebutuhan kita hanya sekitar 400 ribu barrel per hari, sedangkan produksinya 1.6 juta barrel lebih. Kebutuhan yang semakin tinggi membuat surplus minyak kita terus berkurang, hingga akhirnya surplus minyak sebanding dengan kebutuhan dalam negeri pada tahun 1994. Sejak tahun 1998 terjadi penurunan produksi yang signifikan dan konsisten, sebaliknya kebutuhan dalam negeri terus meningkat tajam. Kedua hal tersebut akhirnya membawa Indonesia menjadi negara net importer minyak pada tahun 2004. Import minyak yang semakin besar akhirnya mendesak pemerintah membekukan keanggotaan Indonesia di OPEC pada tahun 2008.

71


Grafik Produksi Konsumsi dan Surplus Minyak Indonesia (selasar.com)

Berdasarkan statuta OPEC, Chapter II, Article 7, mengenai membership, OPEC memiliki tiga jenis keanggotaan, yaitu: founder members, full members, dan associate members. Founder members meliputi 5 negara yang hadir dalam konferensi pertama OPEC. Sedangkan Full members merupakan founder members dan negara net-eksporter minyak yang memiliki “ketertarikanâ€? yang sama, disetujui oleh ž full members dan seluruh founder members. Negara net-eksporter yang tidak memenuhi syarat menjadi full member dapat menjadi associate member dengan syarat disetujui oleh ž full members dan seluruh founder members.Yang pasti, dari ketiga jenis keanggotaan yang diatur didalam statute OPEC mewajibkan setiap anggotanya memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama, yaitu menjaga kestabilan harga minyak untuk mengamankan efisiensi, menjaga keekonomian dan supply kepada konsumen, pendapatan yang tetap (sesuai target) kepada produsen, dan keuntungan yang adil kepada investor. Sebuah tujuan atau misi yang sangat tepat untuk negara net-eksporter minyak. Pertanyaannya, masih samakah ketertarikan dan tujuan Indonesia dengan OPEC?

72

Kita sama-sama tahu bahwa negara ini secara resmi telah mengaktifkan kembali keanggotannya di OPEC. Aktifnya keanggotaan tersebut terhitung sejak sidang OPEC ke-168 di Vienna pada tanggal 4 Desember 2015. Memang, bukan kali pertama jika ada sebuah negara yang pernah membekukan keanggotannya kembali menyatakan ketertarikannya dan mengaktifkan status keanggotaannya. Setidaknya Ekuador pernah melakukannya lebih dulu. Namun, motif keluarmasuknya Ekuador dan Indonesia di OPEC sangatlah berbeda. Ekuador membekukan status keanggotannya di OPEC karena dua alasan, yaitu: Pertama, Ekuador mengatakan tidak sanggup untuk membayar fee membership sebesar 2 juta euro per tahun. Kedua, Ekuador menginginkan kuota produksi minyak yang lebih besar, tetapi terkendala dengan kuota produksi yang sudah diberikan OPEC kepada setiap negara. Ketika Ekuador bergabung dengan OPEC, negara tersebut memang memiliki tren produksi ya meningkat setiap tahunnya. Hingga pada tahun 1992, kapasitas produksi negara tersebut melebihi kuota produksi yang ditetapkan oleh OPEC. Maka, pada tahun 1992 Ekuador membekukan status keanggotannya.


Grafik Produksi Minyak Ekuador (US Energy Information & Administration)

“

NO COUNTRY MAY BE ADMITTED TO ASSOCIATE MEMBERSHIP WHICH DOES NOT FUNDAMENTALLY HAVE INTERESTS AND AIMS SIMILAR TO THOSE OF MEMBER COUNTRIES Memang benar, sejak tahun 1992 hingga 2006 produksi penerus suku Inca ini meningkat hingga 70 persen atau 200 ribu barrel perharinya. Sebaliknya, Sang Garuda mebekukan status keanggotannya di OPEC karena produksi dalam negerinya terus menurun hingga tidak mampu menopang kebutuhan rakyatnya sendiri dan menjadi negara net-importer. Lalu, apa yang menjadi alasan Ekuador untuk kembali mengaktifkan keanggotannya di OPEC? Pada tahun 2006, terjadi tren penurunan produksi minyak di negara tersebut. Menurut kabar yang beredar, presiden yang baru terpilih pada saat itu, Rafael Correa, tidak terlalu menerima kehadiran International Oil Companies (IOC) yang menyebabkan produksi minyak negaranya menurun. Namun, kabar lain mengatakan bahwa Ekuador sengaja menurunkan produksinya untuk mempersiapkan diri kembali masuk ke OPEC. Penurunan produksi, kenaikan konsumsi, ataukah sudah ada kesepakatan kuota produksi baru?

“

Entahlah, yang pasti pemerintah yang baru memiliki keputusan bebeda dan memilih untuk bergabung kembali dengan OPEC pada tahun 2007. Status Ekuador pada saat itu adalah net-eksporter, sangat wajar ketika Ekuador memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama dengan OPEC. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia mengaktifkan kembali keanggotannya dengan alasan ingin dekat dengan negara produsen minyak dan mendapatkan minyak secara langsung dari produsen dengan harga yang lebih murah. Sebuah alasan yang sebetulnya bisa dipenuhi dengan cara lain yang lebih pantas. Indonesia memang masih melakukan eksport minyak hingga saat ini, tetapi hal itu bukan dikarenakan neraca minyak kita positif. Kegiatan ekspor minyak masih berlangsung karena Indonesia merupakan negara kepulauan, jarak geografis antara produksi domestik dan pusat permintaan mendorong kegiatan ekspor impor dengan alasan keekonomian pengiriman.

73


Selain itu, tidak semua minyak hasil produksi dalam negeri dapat diolah di kilang – kilang tua dalam negeri. Minyak – minyak berat dengan kompleksitas tinggi yang tidak dapat diolah akhirnya di eksport dan akan di “tukar tambah� dengan minyak yang cocok dengan kilang dalam negeri. Sistem PSC yang kita gunakan saat ini pun mempersilahkan bagian bagi hasil kontraktor untuk di eksport. Maka, sangat mengherankan jika alasan Indonesia masih melakukan ekspor minyak dijadikan alasan untuk bergabung dengan OPEC, karena sejatinya setengah dari kebutuhan minyak perhari negara ini bergantung dari impor negara lain.

Pertanyaannya tetap sama, masih samakah tujuan dan ketertarikan Indonesia dengan OPEC? Tentu tidak, sudah menjadi rahasia umum jika anggota OPEC sebagai negara net-eksporter lebih menyukai harga minyak yang tinggi. Sebaliknya, Indonesia sebagai negara net-importer lebih menyukai harga minyak dunia yang rendah. Saat ini pun OPEC belum memangkas kuota produksinya untuk menaikan harga minyak karena beberapa alasan, seperti ingin mematikan bisnis shale di Amerika dan takut kehilangan pasar. Belum lagi masalah kuota produksi, ketika supply perlu ditingkatkan maka OPEC akan membagi jatah kenaikan produksi dari setiap membernya. Tentu saja Indonesia tidak bisa ikut ambil bagian disana. Memenuhi kebutuhan diri sendiri saja belum mampu. Sebaliknya apabila supply minyak perlu diturunkan untuk meningkatkan harga minyak dunia, OPEC akan mengatur besaran penurunan produksi setiap negara yang bergabung didalamnya.Lalu, apakah kita perlu ikut memangkas produksi dalam negeri yang sudah defisit ini? Sungguh ironi jika bangsa ini memang perlu meningkatkan defisit produksinya.

74

Bergabungnya kembali Indonesia dengan OPEC ditakutkan dapat menumbuhkan rasa aman yang berlebihan atas supply impor minyak. Hal tersebut dapat meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap satu sumber energi dan mengesampingkan diversifikasi dan konservasi. Hal itu tentu saja akan melemahkan ketahanan energi bumi pertiwi. Berdasarkan ketertarikan dan tujuannya, justru jauh lebih pas jika Indonesia bergabung dengan kubu oposisi, yaitu International Energy Agency (IEA). IEA adalah organisasi yang bertujuan untuk memastikan ketersediaan, keekonomisan, dan energi bersih bagi anggotanya. IEA didirikan pada tahun 1973/1974 sebagai respons terhadap krisis minyak pada saat itu. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi jika ingin menjadi anggota IEA, antara lain: satu, harus menjadi anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Dua, negara net importer minyak yang memiliki cadangan siap pakai minyak mentah dan/atau produk yang setara selama 90 hari. Tiga, berkomitmen untuk mengurangi konsumsi minyaknya sebesar 10 persen.


Setidaknya, ketiga syarat diatas jauh lebih masuk akal dan baik secara jangka panjang untuk Indonesia. Berdasarkan publikasi Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Indonesia sudah menjadi associate member IEA terhitung sejak 17 November 2015. Indonesia disahkan menjadi associate member bersamaan dengan dua Negara lain, yaitu China dan Thailand. Dengan menjadi associate member, Indonesia berhak mengikuti rapat IEA, mendapatkan training and capacity building, mendapatkan kesempatan bekerja sebagai secondee di sekretariat IEA, mendapatkan jaringan teknologi energi, program efisiensi energi, keamanan energi, data dan statistik energi, analisis kebijakan energi, dan mengikuti ministerial meeting selanjutnya. Kini Indonesia resmi menjadi satu – satunya negara yang memiliki keanggotaan di dalam dua organisasi energi besar yang sering dianggap memiliki tujuan yang berbeda dan cenderung berlawanan, yaitu IEA dan OPEC. Indonesia memang belum menjadi anggota OECD yang menjadi salah satu syarat menjadi anggota penuh IEA, tetapi sudah menjalin kerjasama yang baik. Jika memungkinkan dan menguntungkan, bisa saja kita bergabung dengan OECD menyusul Negara tetangga kita, Malaysia. Untuk syarat kedua Indonesia sudah menjadi negara net-importer, tetapi cadangan siap pakai crude oil dan/atau product setaranya hanya untuk 18 hari. Namun, jauh lebih memungkinkan untuk menambah cadangan tersebut menjadi 90 hari dibandingkan mengusahakan Indonesia kembali menjadi negara net-eksporter minyak. Memiliki cadangan siap pakai sebesar itu juga sangat baik untuk ketahanan energi bangsa ini. Komitmen pengurangan konsumsi minyak sebesar 10 persen pun sangat baik. Kita butuh diversifikasi!

“Based on the initial agreement, we are due to increase oil exports to Indonesia and build a refinery and a power plant in Indonesia,” Nobakht told reporters in a press conference in Tehran on May 5, 2015. Tidak bergantung pada satu sumber energi saja! Sedangkan OPEC cenderung tidak senang dengan diversifikasi. Hal tersebut akan mengurangi ketergantungan negara lain terhadap minyak, yang mengakibatkan turunnya permintaan, dan berakhir dengan penurunan harga minyak dunia serta pendapatan negara anggota OPEC. Maka, usaha peningkatan status keanggotaan Indonesia di IEA menjadi anggota penuh, merupakan hal baik yang perlu dilakukan. Jika alasan Indonesia mengaktifkan kembali keanggotannya di OPEC adalah untuk mendapatkan minyak secara langsung dari produsen, hubungan bilateral antarnegara saja sudah cukup. Memangnya kita mau beli minyak ke seluruh negara yang bergabung di OPEC? Tentu saja tidak! Toh, hubungan antar negara yang tergabung di OPEC pun tidak bisa dikatakan baik. Sudah lama terbentuk dua kubu yang sangat jelas di dalam OPEC, yaitu kubu negara teluk yang dipimpin oleh Arab Saudi dan kubu “negara garis keras” yang dipimpin oleh Iran. Peperangan antar sesama anggota pun tak jarang terjadi, Irak dan Iran pernah berperang pada tahun 1980-1988 yang disusul dengan Perang Teluk I antara Irak dan Kuwait pada tahun 1991. Dewasa ini pun hubungan Arab Saudi dan Iran sedang tidak baik, secara resmi Arab Saudi sudah memutuskan hubungan diplomatis dengan Iran.Jadi, hubungan bilateral antarnegara sudah sangat cukup! Saat ini pun Indonesia sudah bisa membeli langsung minyak ke negara produsen, seperti Arab dan Iran. Maka, yang sebenarnya perlu dilakukan pemerintah Indonesia adalah meningkatkan dan mengintensifkan hubungan bilateral dengan negara-negara produsen minyak untuk mendapatkan minyak dengan harga yang lebih murah. Indonesia perlu memanfaatkan lebih keanggotannya di Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dimana mayoritas Negara yang tergabung di dalam OPEC juga tergabung di dalam OKI. Mengintensifkan hubungan bilateral dengan negara produsen minyak dan melakukan usaha peningkatan status keanggotaan Indonesia di IEA merupakan hal yang lebih tepat. Jangan sampai keputusan aktifnya kembali Indonesia di OPEC menjadi bumerang di masa mendatang, khususnya ketika rapat pemangkasan kuota produksi dan harga minyak kembali tinggi. Kita akan berada di kondisi serba salah. Ya, seperti domba berbulu serigala di kandang singa.

75


[John D. Rockefeller] Merupakan pionir industry minyak Amerika Serikat, memiliki kekayaan sebesar 336 milliar USD (setara dengan 1.4 triliun USD saat ini) pada saat kematiannya atau 15 kali lipat lebih kaya dari Bill Gates saat ini.



General Outlook

of

GEOTHERMAL ENERGY IN INDONESIA Oleh : Iqbal Kurniawan Indonesia merupakan negara yang dilewati cincin api atau ring of fire terpanjang di dunia. Selain member potensi gempa yang lebih besar, hal itu tentu saja memberikan potensi energy panas bumi (geothermal) yang besar pula.Berdasarkan data yang tercantum dalam paper yang berjudul “Geothermal Resources and Reserves In Indonesia: An Updated Revision� yang ditulis oleh A. Fauzi pada tahun 2015, negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia ini memiliki potensi geothermal sebesar 29 GWe (Giga Watt Electricity). Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi terbesar di dunia (40% dari potensi geothermal dunia).

78


Cukup pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tiap tahunnya menjadikan semakin besarnya konsumsi energi masyarakat dari tahun ke tahun dengan laju 7% per tahun (Kuliah Teknik Geothermal, 2015). Hal itu merupakan suatu hal yang patut mendapatkan fokus khusus oleh semua orang terutama yang bergerak dalam bidang keenergian. Munculnya isu lingkungan, terutama pemanasan global, merupakan suatu tantangan tersendiri mengingat kenyataan pemenuhan kebutuhan energi saat ini didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil. Hal tersebut tentu membuat cadangan energi fosil yang pada dasarnya tidak terbarukan semakin menipis. Besarnya potensi geothermal di negara tercinta ini menjadikannya sebagai secercah harapan dalam menjawab berbagai persoalan yang muncul tersebut terutama dalam pemenuhan energi listrik. Terdapat beberapa alasan yang sangat mendasar agar pemanfaatan energi geothermal perlu dilakukan secara masif demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Beberapa alasan tersebut antara lain:

Besarnya Potensi Panas Bumi Indonesia Besarnya potensi panas bumi di Indonesia (~29 GWe) bisa menjadi jawaban dari: (1)mega proyek 35000 MW yang dicanangkan pemerintah saat ini; (2) permasalahan rasio elektifikasi (yang saat ini berada pada level 86,4%).


Ya! Potensinya begitu besar! Sumatera merupakan pulau dengan potensi geothermal terbesar, yakni sebesar 45,18% (13.206 MWe) dari total potensi nasional, diikuti Jawa 37,15% (10.859 MWe), dan Sulawesi 11,39% (3.328 MWe). Namun, apabila ditinjau dari segi pengembangan lapangan, hampir 85% installed capacity dibangun di Pulau Jawa. Sumber daya alam seperti geothermal kondisi total potensinya selalu berubah seiring penemuan Resources and Reserves yang baru. Hingga saat ini, Indonesia sudah mengalami 3 fase penaksiran sumber daya dan cadangan geothermal yang dimulai pada tahun 1980-an sampai sekarang. Taksiran pertama mengestimasi sumber daya geothermal adalah sejumlah 16.000 MWe (Radja, 1990) yang kemudian direvisi oleh Pertamina sebesar 20.000 MWe pada tahun 2000. Lalu, pada tahun yang sama, pemerintah mempublikasikan sumber daya geothermal Indonesia sebesar 27.000 MWe pada World Geothermal Congress (WGC). Pada 2013, Badan Geologi Indonesia menyatakan total potensi geothermal sebesar 29.000 MWe.

Geothermal Merupakan Sumber Energi yang Dapat Diandalkan

Sumber: Statistik PLN Tahun 2014

Dewasa ini sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik didominasi penggunaan batu bara, minyak, dan gas. Penggunaan panas bumi sebagai pembangkit listrik, secara langsung akan menjadikan salah satu solusi dalam rangka penghematan cadangan ketiga energi tersebut. Hal tersebut tentu sangat baik karena geothermal bersifat reliable sebagai pembangkit listrik dalam artian dapat digunakan setiap waktu. Selain itu, Dengan menggunakan perawatan yang tepat, energi panas bumi ini akan menjadi sumber energi yang berkelanjutan.

Geothermal adalah Sumber Energi Ramah Lingkungan

Geothermal merupakan energi bersih dan terbarukan yang bisa membantu Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 16% pada tahun 2025 (Holm et al, 2010). Emisi yang dihasilkan energi geothermal memang relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan energi Fosil yang marak digunakan saat ini. Penggunaan Geothermal tentu saja mendukung komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi sebesar 26% sampai 40% dengan bantuan internasional.


Pertanyaanya, bagaimana kondisi pemanfaatan Geothermal di Indonesia? Perlu diakui, saat ini Sang Garuda belum memanfaatkan energi geothermal secara maksimal. Sebagai sumber energi pembangkit listrik, kapasitas terpasang yang baru digunakan berkisar pada 1.34 GWe atau 4.5% dari total potensi yang tersedia. Bandingkan dengan Negara tetangga kita, Filipina, yang dapat memanfaatkan 27 persen potensinya atausetara dengan 1.87 GW. Saat ini lapangan dengan kapasitas terbesar di Indonesia adalah lapangan Cibeureum Salak dengan kapasitas total sebesar 377 MWe, diikuti Darajat dengan 271 MWe, dan Wayang Windu sebesar 217 MWe. Saat ini pemerintah mencangkan program pembangunan yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), rencananya kapasitas terpasang listrik pada tahun 2025 adalah sebesar 115 GWe di mana porsi dari geothermal sendiri rencananya 9,5 GWe, tetapi setelah dievaluasi menjadi 6,5 GWe atau 5% dari energy mix (Abadi PoerSumber: Ruggero, Bertani. 2015. Geothermal Power Generation in nomo, 2015). Secara detail, wilayah the World 2010-2014 Update Report. kerjadan kapasitas terpasang dari pemanfaatan geothermal dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Sumber: Saptadji, Nenny dan Berian, Heru. 2015. 03 Utilisasi Panas Bumi_NMS & HB 2015 rev. Bandung.

81


Lalu, mengapa pemanfaatan energi geothermal di Indonesia belum optimal?

Hal apa saja yang menghambat pengembangannya? Berikut adalah hal – hal yang dapat menghambat pengembangan sumber energi geothermal dan juga rekomendasi solusi yang dapat dilakukan.

Proses Perizinan yang Rumit

Pada umumnya, lokasi geothermal berada di hutan lindung ataupun hutan konservasi. Hal tersebut membuat proses perizinan menjadi lebih rumit. Contohnya, ketika kementrian ESDM telah mengeluarkan izin pengembangan lapangan, tetapi kementrian kehutanan tidak memberikan izin dengan alasan adanya potensi kerusakan lahan dan ekosistem. Contoh lainnya, ketika terjadi perbedaan keputusan perizinan antarapemerintah pusat dan pemerintah daerah. Maka dari itu sistem perizinan satu pintu perlu dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014, perizinan satu pintu merupakan pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. Hal tersebut tentu saja akan mempercepat proses pengurusan perizinan, lebih efisien dan murah bagi kontraktor, transparan, dan mengurangi potensi kesalahan informasi yang diterima setiap lembaga terkait.

82

Tingginya Tingkat Ketidakpastian

Tingginya ketidakpastian ekonomi dalam bidang geothermal selalu menjadi kendala bagi para calon pengembang lapangan. Kendala-kendala tersebut biasanya diakibatkan oleh: tingginya capital expenditure yang harus dikeluarkan dari mulai fase pencarian (eksplorasi) hingga fase eksploitasi, relatif lebih lamanya break event point (apabila dibandingkan dengan industri migas), dan ketidakpastian harga jual yang bergantung pada lokasi di mana lapangan tersebut ada. Perumusan kebijakan baru berupa asuransi eksplorasi patut dilakukan mengingat tingginya risiko kehilangan modal pada fase tersebut. Nantinya pemerintah akan mengganti sebagian atau keseluruhan dana yang digunakan pada eksplorasi yang gagal tergantung kesepakatan dengan kontaktor.

Penolakan dari Masyarakat Sekitar Proyek

Pengembangan lapangan geothermal sejatinya merupakan proyek berskala besar baik dari segi fisik maupun nonfisik yang menyebabkan masyarakat acapkali khawatir terhadap hal tersebut. Kegelisahan tersebut pada umumnya berupa ancaman kelangsungan hidup yang disebabkan kekhawatiran masyarakat terhadap bencana dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Hal tersebut tentu pada akhirnya akan berubah menjadi sebuah penolakan. Oleh karena itu, sosialisasi yang jelas baik teknis maupun non teknis, merupakan suatu solusi yang penting dilakukan oleh pelaku industri dan pemerintah untuk mengatasi kesalahpahaman yang menyebabkan terjadinya penolakkan dari masyarakat.


Harga jual yang (masih) Kurang Kompetitif

Harga jual listrik yang dibangkitkan oleh panas bumi akan memiliki nilai yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan harga listrik yang dibangkitkan dengan menggunakan bahan bakar konvensional, seperti batubara. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya capital expenditure yang dikeluarkan untuk membangkitkan listrik dari energi yang memiliki emisi rendah tersebut. Contohnya pada bulan Juli 2015 harga listrik yang dibangkitkan dari panas bumi dijual sekitar 9,6 sen dollar AS per KWh sementara yang dihasilkan menggunakan batu bara dijual sekitar 8,2 sen dollar AS per KWh, beberapa IPP (Independent Power Producer) bahkan menganggap harga tersebut masih lebih rendah jikalau mereka ingin mendapatkan laba yang cukup. Akibat harga yang relatif lebih mahal, listrik yang dihasilkan dari panas bumi akan mengalami sedikit kendala dalam hal pemasaran yang berupa kurangnya permintaan pasar. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah diberikannya insentif fiskal berupa tax holiday hingga neraca keuangan kontraktor positif atau balik modal. Insentif lain dapat berupa pembelian wajib oleh PLN pada setiap pembangkit listrik yang dihasilkan dari tenaga panas bumi sesuai dengan harga keekonomian dengan pertimbangan tertentu.

“Ketinggian merupakan suatu implikasi dari perbuatan berani untuk mengatasi problema yang terjadi, sejatinya hal itulah yang harus dilakukan Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan energi panas bumi.�

83


FUN FACT Pada tahun 2010 produksi minyak dunia setara dengan 5.7 terawatts, sedangkan pemanfaatan solar cell hanya 3.4 gigawatts atau 1 per 1500 nya.


HMTM “PATRA” ITB mengucapkan terimakasih kepada

sebagai sponsor

PATRA Energy Review edisi ke-6


Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan “PATRA� Institut Teknologi Bandung


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.