"... seperti biasa tapi tak biasa. Sungguh luar biasa. Cuma ada tiga di dunia. Dimanakah wajah kotaku yang dulu indah?. Tergantikan tuntutan zaman..."
Sepenggal lirik lagu dari Tamasya menjadi theme song untuk menggambarkan kondisi gumuk di Kabupaten Jember. Salah satu ciri khas kota yang mulai dipertanyakan keberadaannya di era moderen seperti sekarang. Hal ini disebabkan eksploitasi besar-besaran dan tak terkendali semakin marak akhir-akhir ini. Menurut sejarahnya, formasi gumuk di Jember diyakini sebagai bekas aliran lava dan lahar dari kawah gunung Raung. Aliran ini lalu tertutup oleh bahan vulkanik yang lebih muda. Sampai ketebalan puluhan meter yang berasal dari gunung Raung sekarang. Kemudian terjadi erosi pada bagian-bagian yang lunak, yang terdiri atas sedimen vulkanik lepas selama kurang lebih 2000 tahun. Lalu, menghasilkan bentukan topografi gumuk hingga terlihat seperti saat ini (Verbeek dan Vennema, 1936). Apa
sebenarnya
fungsi
keberadaan
gumuk?
Bukankah lebih baik kandungannya dikeruk kemudian dijual, jadi masyarakat bisa diuntungkan dari segi ekonomi. 2
Pendapat tadi tak salah memang, tapi apakah gumuk bisa muncul dan lahir kembali? Tentu tidak. Lalu, ketika gumuk benar-benar habis, apa yang akan terjadi sampai-sampai muncul gerakan untuk menyelamatkan gumuk? Menurut beberapa sumber, gumuk ternyata punya fungsi dalam siklus ekologi. Fungsi gumuk-gumuk itu tak hanya sebatas sebagai pemanis kontur Jember saja, tapi lebih dari itu. Sebagai tandon hujan sekaligus filter air bersih saat kemarau tiba. Sebagai paru-paru kota, juga berfungsi sebagai lahan konservasi bagi sekawanan satwa kecil macam burung, kera dan mamalia kecil lainnya. Jember, bisa dikatakan sebagai daerah lembah, karena terletak diantara dua perbukitan besar yaitu Argopuro dan Gumitir. Kondisi geografis inilah yang membuat Jember berpotensi mengalami cuaca ekstrem berupa angin puting beliung, yang beritanya beberapa waktu lalu bisa kita lihat di layar kaca. Disinilah fungsi dari gumuk-gumuk kecil itu, sebagai pemecah konsrentrasi laju angin agar bisa sedikit terkurangi. Seperti yang dikatakan Priyo, pegawai Kantor Lingkungan Hidup Jember. "Mengkhawatirkan, kehilangan gumuk di daerah Jember dapat menyebabkan siklus banjir 3
lima tahunan terjadi lagi, hal ini disebabkan serapan utama air yang ada di daerah Jember hilang." (Studi gumuk Jember Palapa MIPA UNEJ). Selain itu, salah satu situs berita online
-
beritajatim.com menyebutkan salah satu wilayah perumahan di kabupaten Jember airnya sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Hal ini karena sumur-sumur warga sudah tercemari oleh bakteri e-coli. Semakin jelas saja peran dan fungsi keberadaan gumuk bagi masyarakat sekitarnya. Dilatarbelakangi keprihatinan akan kondisi gumuk di Jember
itulah
membuat
sekelompok
pemuda-pemudi
kemudian
kegiatan berorientasi penyelamatan gumuk.
Beranggotakan sejumlah komunitas yang ada di Jember seperti Pers Mahasiswa Jember, YGV (Young Gun Veins), Cak Oyong (Pemilik Sekolah Bermain), dan RZ Hakim (Mas Bro aktivis lingkungan) sepakat menggelar acara bertema SAVE GUMUK. SAVE GUMUK, nama yang mewakili harapan mereka agar gumuk-gumuk yang ada saat ini khususnya di Jember dipertahankan keberadaannya alias 'disimpan'. Acara diskusi mengenai pentingnya keberadaan gumukpun dilakukan. Acara ini diharapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk 4
mempertahankan dan menyelamatkan keberadaan gumuk yang mulai habis tergerus moderenisasi. Respon masyarakat terkait acara ini cukup positif. Hal ini terbukti setelah acara SAVE GUMUK pertama (28/9/2013) di gumuk gunung batu, muncul tanggapan positif dari komunitas lainnya. Menurut Teguh (sekjend PPMI Jember 2012-2014) sekaligus koordinator acara, tanggapan positif tersebut berupa keikutsertaan komunitas lainnya dalam menggulirkan isu SAVE GUMUK dengan mengadakan acara penggalangan dana untuk membeli gumuk. Menurut Teguh, kegiatan pembelian gumuk ini atas nama komunitas penyelamatan gumuk yang tergabung dalam SGC (Save Gumuk Community). Setelah pembelian gumuk, komunitas ini akan mengelola gumuk, memaksimalkan fungsi dan mempertahankan keberadaan gumuk. Memaksimalkan seperti apa? Gumuk akan dikelola sesuai dengan keinginan pelestarian alam. Membuat gumuk menjadi lebih produktif dengan dipelajari ekosistem yang ada, bahkan muncul wacana bahwa gumuk akan dijadikan lahan eco tourism. "Yang masih menjadi dilema disini masalah batuan yang ada di gumuk Jember yang masih memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjadi sumber ekonomi masyarakat. Hal itu 5
kemudian tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat mengenai pelestarian gumuk.", sambung Teguh. Terkait SAVE GUMUK, gerakan ini memiliki beberapa macam konsep, diantaranya 'Koin Untuk Gumuk' yang nantinya digunakan untuk membeli gumuk. ''Nantinya gumuk dijadikan lebih produktif seperti penjelasan di atas. Selain itu, mungkin mempertahankan kondisi gumuk yang sudah dibeli. Ketika gumuk tersebut dibiarkan seperti apa adanya, masyarakat
masih
bisa
memanfaatkannya.
Seperti
menjadikan gumuk sebagai lahan pertanian dan penyimpanan cadangan air di wilayah tersebut'', sambung Teguh. Selain itu gerakan ini juga membantu donasi gumuk lewat penjualan kaos SAVE GUMUK yang nanti dana tersebut akan dialirkan untuk membantu program konservasi penyelamatan gumuk. Selamatkan aset kota kita! Selamatkan Gumuk! Salam SAVE GUMUK! []
*Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik 'Budaya' Buletin Demokrasi Ecpose (Buldokc) No.56 Februari 2014
6
“Dia akan dianggap manusia ketika dia bisa me-manusia-kan manusia-manusia lainnya�
Era teknologi semakin maju pesat. Hampir di semua sendi kehidupan kini tak ada yang luput dari cumbuan mahluk satu ini. Mulai dari yang namanya komputer sampai yang lagi 'booming'
di
gerombolan
kanca-kancaku
sekarang,
smartphone kalo ndak salah. Terus, kenapa dengan smartphone, teknologi, dan segala tetek bengeknya? Kalau masalah tiga hal diatas tadi aku ndak ada masalah. Tapi, efeknya itu lho, njancuk'i. Asulah pokok'e. Kemajuan pesat teknologi tadi akhirnya mewabah ke hampir semua kanca-kancaku. Lha yang nggarai aku misuhmisuh kui begini, ketika mereka asik dengan smartphone dan sekutunya tadi mereka jadi lupa diri. Kanca-kancaku yang tadinya sering ketemu, kumpul bareng (tapi ndak kumpul kebo), ngopi sekarang berubah. Bukan tiba-tiba jadi ndak pernah ngopi. Ngopinya tetep, tapi forum ngopinya tadi jadi beku. Kaku. Mati. Terus, ndak salah juga kan aku ngomong ASU!! kalau sudah begini keadaannya.
8
Yang namanya teknologi, gadget, dan kroni-kroninya ini selayaknya membantu kerja manusia toh? Akhirnya terkait situasi semacam ini muncul begini 'teknologi itu bisa mendekatkan yang jauh'. Ungkapan itu sama sekali ndak meleset memang. Tapi, akhirnya ada ungkapan yang lebih mathuk. Begini, 'teknologi itu mendekatkan yang jauh, sekaligus menjauhkan yang dekat. Ya, aku rasa itu hal yang paling tepat terkait relita yang aku alami sendiri. Lha, kalau sudah di tempat ngopi terus manungso-manungsonya podho meneng (diam), terus gae opo ngopi bareng? Aku kembalikan ke kalimat di awal tadi. Kalau manungso (manusia) mau dianggap manungso, yo mbok ya'o (ya seharusnya) memanusiakan manusia lainnya. Ini hanya realita sempit yang coba saja ejawantahkan dan saya bingkai. Apa kalian merasakan hal yang sama? Atau kalian malah bagian dari golongan yang saat kumpul bareng kanca-kancamu lebih asik ber-bbm, ber-line, ber-sms atau ber-ber yang lain daripada ngobrol dengan kawan kalian? Saat kalian melakukan hal-hal yang asosial macam contoh diatas, apakah kalian pantas menyebut diri kalian manungso alias manusia?
9
Monggo dipikir, karo nyruput kopi yo ra popo. Dan jangan lupa juga RENUNGKAN!! []
10
Pada akhirnya, sedikit banyak saya mulai menemukan tujuan dalam mengisi ruang virtual ini. Bukan soal menghegemoni orang lain atau sebagai ajang eksistensi diri. Ini hanya soal merawat ingatan. Secuil cara saya untuk menolak lupa dan dikangkangi zaman, memunguti kembali ingatan-ingatan yang berserak tak karuan. Mungkin, tujuan mulia lainnya hanya sedikit berbagi kisah serta secuil pengalaman pribadi. Sebuah keinginan yang sederhana. Hal lain mengenai konsistensi. Ruang yang mulai terlupakan
dengan
dalih
'kesibukan',
'tugas
yang
memberatkan' serta musuh paling bebal dan masih saja sulit untuk ditundukkan 'kemalasan' dan 'kebanyakan alasan'. Saya rasa akhirnya ini hanya soal 'mau' lalu direalisasikan segera. Sekali lagi ini hanya soal 'mau' lalu 'laku'. Karena tak pernah ada hal yang dianggap 'nyata' bila tak ada rupa (materiil) - kalau tak salah begitu dhawuh simbah Marx. Mari Me-Nyata lewat 'Mau' lalu 'Laku'.[]
12
'Ngopi oleh pahala yo ngene iki'. Celetukan salah seorang pemuda disampingku. Hahahaha.... Kalian mungkin bertanya.
Celetukan
tadi
keluar
dari cocot salah
satu
pengunjung warung kopi. Terus, apa yang jadi dasar celetukannya?
Jadi,
disini
merupakan
salah
satu
tempat ngopi di kota ini. Bukan kafe elit, bahkan jauh dari kata mewah. Ini cuma halaman parkir stasiun radio di kotaku. Aneh, mungkin buat kalian yang belum pernah kesini. Kalau main ke Jember coba mampir kesini. Prosalina. Ya, seperti yang kubilang tadi halaman parkir radio ini setiap malam disulap jadi tongkrongannya pemuda-pemudi. Nah, kembali ke ngopi yang berpahala. Kok, bisa ngopi berpahala? Sepintas kemudian aku baru ngeh. Di stasiun radio ini tiap malam di bulan ramadhan ini dijadikan medan laga buat umat-umat yang getol baca ayatayat suci milik-Nya. Lomba Tilawatil Qur'an. Ya...ya... bener juga soal 'ngopi berpahala' tadi. Kalau ndak salah (berarti bener cuk), mendengar orang baca Qur'an saja sudah berpahala, apalagi baca. He.. he.. he.. he.. aku ndak nyuruh kalian baca Qur'an lho, masalah itu sih kembali ke pribadi masing-masing wae. Kalo sedikit dibahas, enak juga kalo tiap nyangkruk ngopi terus didendangkan ayat Tuhan macam 14
begini. Mungkin, bisa jadi pahala kita sedikit-sedikit bakal bertambah. Hwa.. hwa.. ha.. ha.. Menggok sedikit.
Dua kanca di
depanku
lagi
asik ngrasani capres-cawapres. Asyuu!!! media begitu gila sepertinya menyihir penikmatnya. Korbannya ya sohibsohib di depan hidung saya ini. Gak salah sih pemuda-pemudi pada sering ngompol (Ngobrol Politik) akhir-akhir ini. Malah, baguslah berarti mereka ya ndak sekedar mbulet masalah kuliah-tugas-seminar, dan tugas akhir. Se-enggak-nya mereka masih sedikit aware-lah sama tempat dimana mereka cari makan dan berbuat macem-macem selama ini. Terus, sakjane tulisan iki cerito opo? Tak perlulah kalian pikir terlalu dalam. Aku pikir ini merupakan awal, salah satu usahaku supaya tak hilang dipecundangi zaman. Toh, jangan lupa simbah pram juga pernah dhawuh begini: '... dan bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan'. Ya begitulah, tak perlu dipikir dalam-dalam toh ini cuma diary kecil. Selamat buat pak Joko yang akhirnya kepilih jadi orang nomer satu di negara ini. Kalau kanca-kanca apes kesasar
disini,
aku
cuma
bisa
bilang selamat menikmati, meski ini bukan berkatan tahlilan.
15
Satu
lagi, nyomot gaya
simbah
dalang
Tejo, Maturnuwun cuk!! Hwe..he..he..he..[]
16
edan
Sudjiwo
Jember Tiga Belas Februari 2015 3:06 dini hari. Mataku masih saja tak mau dikatupkan, efek kopi yang ku tenggak hari ini mungkin. Seingatku hari ini dua gelas kopi sudah masuk di lambungku. Pertama, pagi tadi sebelum diriku ‘berurusan’ dengan birokrasi kampus untuk mengurusi penundaan pembayaran biaya kuliah. Lalu, yang kedua kalinya baru saja tandas sekitar sejam lalu sebelum tandasnya si-hudi menuju alam baka eh, salah maksudnya alam mimpinya. Ah, semoga dia memimpikan hal diharapkannya. Bermimpi tentang kegalauan dan segala tetek bengek jalan yang harus dia tempuh dengan ‘si-dia’ yang menurutnya bakal menemui ‘persimpangan’ yang takkan bisa dihindari, begitu kalau ndak salah. Tak tau berapa jam tadi kita bicara panjang lebar berbagai masalah mulai bahasan mengenai saya yang masih saja setia dengan yang namanya ‘lupa’. Ya, saya ndak paham kenapa saya mengidap ‘eSeMeS (Short Memory Syndrome)’. Yang saya ingat hanya dari saya SD dulu saya sering sekali lupa membawa perlengkapan sekolah, lupa kalau hari itu ada ulangan harian sampai hampir selalu lupa mengerjakan tugas. Akibatnya ya bisa ditebak, setiap ada siswa yang dihukum maju kedepan kelas karena tidak mengerjakan tugas, sosok saya hampir selalu muncul disana. 18
Hal yang memalukan sebenarnya, tapi saya memilih untuk menceritakannya kini agar saya ingat suatu hari nanti. Seperti tagline blog yang beberapa hari lalu saya baca ‘saya pelupa maka saya menulis’ begitu katanya. Lalu, obrolan berpindah ke hmmm apa tadi yah? Ah, sial saya lupa lagi. Yang saya ingat kita membicarakan masalah karya, seperti apa sih sebenarnya karya itu?. Beberapa yang saya ingat lagi karya itu ya hasil alias buah dari pemikiran. Lalu, pemikiran yang seperti apa? Yah, tergantung karya seperti apa yang dihasilkan. Ibarat seorang seniman rupa, mereka dikatakan berkarya bila dia menghasilkan seni rupa, seperti desain, lukisan, gambar, sketsa dan lain sebagainya. Terus, bagaimana dengan petani dan nelayan? Apakah mereka juga tidak
berkarya?
Kalau
dalam
konteks
ini
‘karya’
mereka ya apa yang mereka lakukan. Kalau nelayan ya melaut dengan keahliannya melihat arah angin kek, merajut jala, ataupun membuat perahu. Kalau mereka petani ya mereka mulai dari memilih benih yang bagus, menanam benih, mengairi lahan sawahnya, hingga bagaimana mereka memanen padi mereka. Setelahnya, mmmm ah sial saya mulai lupa lagi. Oh iya, dalam pembicaraan ini saya di cap layaknya Mario Teguh 19
oleh si-Hudi. Ya, benar Mario eh, Bapak Mario Teguh yang itu. Pria setengah baya yang muncul setiap minggu di salah satu stasiun televisi swasta negeri ini. Alasannya simple sih, ini karena sebelumnya saya mencoba memberikan motivasi buat dia
segera
merampungkan
tugas
akhirnya
(baca:
skripsweet).Hwahahahahahaha‌ sok bijak sekali ya, padahal saya juga masih sedang tenggelam tak berdaya dalam kemalasan.
Kemudian
pembicaraan
melebar
kearah
organisasi yang sempat kita diami bersama tempo hari. Dia bercerita kalau beberapa waktu lalu dia di-curhati oleh adik tingkatnya di organisasi kalau kawan-kawannya disana mulai sulit diajak bekerja sama. Masing-masing person sibuk dengan dirinya masing-masing, yang bisa diajak sharing pemikiran hanya satu-dua orang. Belum lagi soal mengayomi adik-adik maba yang menimba ilmu disana. Lalu, saya tanya apa yang dia katakan. Dia hanya jawab, yaseperti itulah hal yang dirasakan di kepengurusan yang lalu, dimana pengurus yang lama juga cukup dibuat pusing untuk meng-upgrade skill adikadik mereka. Ah, sudahlah saya rasa kita tak perlu terlalu jauh megarahkan mereka, toh waktu bakal mengajarkan pada mereka banyak hal.
20
Meski sudah ngobrol banyak hal ngalor-ngidul saya masih ndak paham obrolan ini mau dibawa kemana. Tapi, seperti tagline salah satu acara televisi swasta yang lain ‘asikin aja’ hwahahahahaha‌ Setelahnya, dia mulai bermainmain dengan keahliannya. Menggunakan analogi-analogi yang sering kali sulit saya tangkap maksudnya. Tapi, lama kelamaan saya mulai paham dia mulai mengarahkan pembicaraan untuk mengorek informasi pribadi saya. Ah, kawan sudah lama kita berkawan, sedikit banyak saya paham bagaimana gelagatmu dan apa yang ingin kamu cari dari obrolan-obrolan yang kau utarakan. Lalu, dengan bahasa bersayap pula saya ibaratkan perbincangan ini adalah sebuah pertandingan dua klub sepak bola, dirimu mulai menusuk masuk wilayah pertahananku. Tapi, kusampaikan sekali lagi kalau saya sebagai pelatih saya sudah paham betul bagaimana taktik timmu. Kamu akan melakukan umpan lambung langsung menuju penyerang yang kamu plot di area pertahananku. Tapi, kukatakan sekali lagi saya sudah kenal tipe permainan timmu kawan. Maka, untuk pertandingan ini saya lebih memilih strategi bertahan, menempatkan pemain-pemain belakang yang tangguh di area depan gawang untuk mengantisipasi umpan yang langsung diarahkan ke jantung pertahananku. Ahahahahaha‌ 21
Dengan sok bijak juga dia akhirnya menyarankan saya untuk menulis. Menulis apa? Dia menyarankan coba sekarang kau bayangkan dirimu jalan dari kampus keluar menyusuri jalan Jawa lalu berbelok ke jalan Kalimantan, Danau Toba, lalu melewati Jalan Riau berbelok ke kanan kembali melintasi Jalan Jawa hingga akhirnya kembali ke kampus. Ah, untuk apa?,keluhku kemudian. Saya akhirnya hanya menceritakan saja saya berjalan menyusuri Jalan Jawa disana ada SMPN 3 Jember lalu jejeran toko di kanan kirinya, belok ke kanan kearah jalan Kalimantan ada sebuah masjid bernama Sunan Kalijaga persis di depan ruko dimana Macapat CafĂŠ berdiri. Perjalanan dilanjutkan berjalan kearah jalan Mastrip, disana berdiri Politeknik Negeri Jember (Polije) kemudian beberapa meter setelahnya dulu ada sebuah rental pengetikan yang sering saya datangi bersama ayah saya untuk sekedar belajar mengoperasikan komputer. Perjalanan dilajutkan kemudian beberapa
puluh
meter
dari
sana
terdapat
sebuah
perempatan. Dari sana perjalanan berbelok ke kanan kearah jalan riau, di jalan ini ada salah satu cafĂŠ yang dulu sering jadi tempat nongkrongku bersama kawan-kawan yang lain, Arongan cafĂŠ namanya. Lalu, beberapa meter dari sana di kanan jalan ada warung kopi juga yang cukup familiar 22
Kampoeng Mbah Giman namanya, ada memori yang menarik segaligus menjijikan disini, oleh sebab itu saya tak berniat untuk menceritakannya secara detail disini. Oh bukan, saya tak akan menceritakannya sama sekali. Cukup. Perjalanan mencari kitab suci berlanjut. Eh, ndak cari kitab
ding maklumlah
saat
ini
jam netbook si-hudi
menunjukkan jam 4.28 pagi, jadi mohon dimaklumi lah saya juga manusia biasa yang juga butuh istirahat (baca:tidur). Perjalanan berlanjut dan berbelok kearah jalan jawa untuk kemudian kembali ke tempat yang ‘katanya Kampus Hijau’. Ya, itu yang dikatakan di halaman awal website kampus terbesar di kota kecil ini. Whooooaaaammmmssss…… ah, kelopak mata saya sudah mulai minta saling dijodohkan. Sudahlah, tak perlu diteruskan. Ingat kata bang Rhoma, begadang jangan begadang kalau tidak ada kopinya hwahahahahaha…. Ya benar, sahabat setia ini sudah tandas sejak beberapa jam yang lalu. Okelah sekedar menyalin kalimat si- ‘bayu skak’ di setiap akhir video-video ‘ge-je’nya: “Daaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa………….”[]
23
“Orang boleh setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” – Pramoedya Ananta Toer – Menulis. Yah, salah satu hal yang bisa dibilang kegiatan yang menyulitkan mungkin. Banyak alasan terlontar saat orang akan mulai menulis. Mulai dari tidak paham tata bahasa lah, yang bilang ndak tau apa yang mau ditulis dan banyak alasan-alasan lainnya. Termasuk saya, yang sering dibingungkan hal-hal remeh macam begini. Tapi, saya akhirnya sedikit teringat kata salah seorang kawan, begini kalau tidak salah: “nulis yo nulis ae” (menulis ya menulislah saja). Dengan dasar asumsi itu akhirnya saya mulai menulis lagi. Apa sih enaknya nulis? Orang-orang yang memilih bergelut dengan tulisan kadang dipandang melankolis, menye-menye, dan anggapan minor lainnya. Tapi, coba kalian lihat, napoleon bonaparte sempat berujar: “lebih baik menghadapi seribu tentara daripada berhadapan dengan sebuah pena”. Lihat, betapa kerennya sebenarnya memilih jalan untuk bercumbu dengan tulisan. Dari kutipan bonaparte tadi, asumsi menulis dekat dengan hal menyemenye jadi rontok kan? Muncul lagi pernyatan begini, aku ndak bisa nulis. Ah, pernyataan konyol apalagi ini. Hal ini wajar terlontar dari mulut seoang lulusan SD atau malah orang yang belum pernah sekalipun mengecap dunia pendidikan. Tapi anehnya, ini terlontar dari mulut seorang mahasiswa. Aneh bukan? Tak peduli ia punya latar belakang semacam apa, tapi setidaknya sudah lebih dari sembilan tahun dia melakoni ritus yang dinamakan me-nu-lis.Saat hal ini dilemparkan pada yang 25
bersangkutan, dia malah bingung, lalu melempar pertanyaan balik apa yang harus aku tulis?. Bagi saya – masih terdoktrin kata si Tohan, sekali lagi nulis yo nulis ae (menulis ya, tulis saja). Pun, banyak hal yang bisa ditulis kan? Pengalaman sehari-hari macam diary atau bagi yang hobby mendengar musik review saja musik-musik yang sering kalian dengar. Masalah nanti ada yang baca atau tidak, ah itu urusan belakang, yang penting nulis. Coba baca lagi kutipan di awal tulisan ini. Kalau masih meragukan ‘kekuatan’ tulisan, coba saja bayangkan kerajaan-kerajaan di Indonesia jaman bahela. Bayangkan jika mereka tidak susah-susah mengukir batu yang beratnya ndak ketulungan. Ya, kita ndak akan belajar sejarah. Hahahahaha Bukan semacam itu menjawabya. Jikalau hal itu tidak terjadi pasti kita tidak tahu siapa kita sebenarnya, bahasa kerennya kehilangan jati diri. Menulis juga bentuk melawan pada lupa dan alpa. Kenapa? Ini pendapat saya pribadi yang sering lupa, tulis saja segala hal, apa saja, kalau di kemudian hari kita melewatkan sesuatu, tinggal kita cari lagi saja tulisan-tulisan kita terdahulu. Kalau bingung media penyimpanan, ayolah ini sudah jamannya internet, banyak ruang di dunia maya yang bisa dijadikan sarana penyimpanan. Termasuk halaman macam begini. Ah, sudahlah saya tak mau bicara, eh menulis panjang lebar. Mulai saja menulis. Tak akan ada yang menyalahkan, kita bakal menulis apa saja,pokok’e nulis. Salam.[]
26
Bernafaslah nak, selagi bisa. Bernafaslah selagi pohon-pohon disini belum tumbang karena perkasanya mesin dari Negara-negara maju itu. Hirup nak, hirup yang puas udara yang masih perawan ini sebelum karbon dari cerobong dan pantat-pantat kendaraan mencekik kerongkonganmu. Berpetualang dan jejakkan kaki mungilmu diatas tanah lembab dan guguran daun ini nak, selagi ia belum menjelma aspal yang panas dan beton keras. Sebab nanti kaki kecilmu akan terluka. Basuhlah wajahmu sekaligus ceburkan dirimu di sungai yang jernih itu nak. Berenang dan menarilahlah bersama ikan-ikan disitu nak, sebab tak lama lagi air sungai itu akan keruh digantikan limbah, sampah, dan segala kotoran dari tangan-tangan yang tak bertanggungjawab. Mari sini nak. Pandanglah segera langit biru diatas sana. Lihat betapa gembiranya awan berarak menggoda didepan gagahnya silangit biru. Sebab itu tak akan lama karna asap-asap pabrik para konglomerat itu akan menggantinya dengan abu-abu dan hitam. Ah, kenapa kau menangis nak? Janganlah bersedih. Busungkan dadamu kuatkan hatimu karena inilah dunia, nak. Segala busuk dan rusak ini karena mahluk yang bernama ‘manusia’. Iya, nak ma-nu-sia. Mahluk yang bangga akan derajat dan pikirannya. Tapi, katanya ada yang berjuang mempertahankan kelangsungan bumi ini? Bukankah mereka juga ma-nu-sia? Bukan nak, itu hanya dongeng belaka. Mereka yang katanya berjuang demi alam ini hanya bualan, sebab mereka lebih butuh uang daripada pepohonan. Mereka lebih sayang emas ketimbang air bersih yang jelas-jelas mereka butuhkan.
28
Lalu, secara tiba-tiba mereka mati. Mati di tanah mereka sendiri. Mati karena terinjak sepatu seorang petualang yang katanya mencintai alam.
29