ULASAN BUKU ROHANI Reaching Out Without Dumbing Down - Marva Dawn Marva Dawn adalah seorang teolog yang juga praktisi musik di gereja Lutheran. Ia memimpin paduan suara dan menyusun liturgi untuk ibadah di gerejanya. Maka menulis tentang worship adalah menulis sesuatu yang sangat dekat dengan hatinya. Di dalam pembukaan bukunya dia menulis bahwa buku ini ditulis terutama untuk gereja2 liturgical di Amerika karena worship wars paling berkecamuk adalah di dalam gereja2 itu.
Ada banyak tekanan dari berbagai pihak untuk membuang sama sekali liturgi, lagu himne, dan segala hal yang berbau ‘tradisional’ dari dalam ibadah. Dengan sangat baik, Dawn menjelaskan bagaimana culture di sekitar kita sudah mempengaruhi kita untuk menjadi konsumen di dalam gereja. Dan gereja berlomba untuk memenuhi kebutuhan konsumen tanpa pernah bertanya apa dampaknya.
Dawn menjelaskan pentingnya mengembalikan worship ke posisi yang semula yaitu sebagai ibadah kepada Tuhan. Worship bukan untuk manusia, bukan untuk kesenangan kita, bukan untuk ‘menarik orang baru’, tapi untuk menyembah Tuhan.
Walaupun pendekatan dia boleh disebut dari sisi ‘tradisionalis’ tapi berulang kali Dawn mengulang bahwa dia tidak menentang segala usaha menjadikan worship kontemporer. Yang dia tentang adalah mengambil mentah2 semua ajakan untuk membuat worship menjadi kontemporer dan relevan dengan membuang semua elemen tradisi dan litugi di dalam gereja tanpa memikirkan konsepnya, dampaknya, dan maksudnya.
Buku ini membuat saya makin yakin kita perlu memperbarui ibadah di dalam gereja kita masing2. Tapi kita harus berpikir dengan keras, menganalisa culture di sekitar kita, memikirkan makna tiap elemen liturgi, menggali kekayaan tradisi gereja dan memikirkan bagaimana itu mendidik jemaat, dan mengevaluasi apakah kita setia pada Tuhan sambil melakukan semuanya. Banyak gereja berpegang pada ‘asal lagu himne, asal liturgi tradisional’. Banyak gereja sebaliknya ‘asal kontemporer, asal anak muda suka’. Dua2nya sering tidak berpikir dengan baik apakah worship mereka setia kepada Tuhan dan relevan dengan culture. Bagi Dawn, kita harus 'Reaching Out' dengan memikirkan bagaimana worship kita relevan tapi jangan 'Dumbing Down' dengan mengikuti pola dunia yang membodohkan.
Satu2nya kekurangan buku ini, menurut saya dia banyak mengulang2 point yang seharusnya sudah jelas. Tapi terlepas dari itu, ini buku yang sangat baik. Bukan hanya untuk mereka yang terlibat
dalam pelayanan worship tapi bagi semua orang Kristen untuk membuat kita berpikir tentang ibadah kita dan juga kritis terhadap berbagai hal di dalam culture kita. Highly recommended!
Silence - Shusaku Endo “Silence� - Pertama kali saya berkenalan dengan novel ini adalah ketika GKY Green Ville mementaskannya dalam sebuah drama pada tahun 2006. Beberapa waktu lalu saya menemukan novel ini di perpustakaan TTC dan begitu mulai membacanya, saya tidak bisa tidak membacanya sampai habis.
Shusaku Endo menulis novel ini dengan latar belakang periode sejarah di Jepang yang disebut sebagai ‘abad kekristenan’. Kekristenan dibawa masuk ke Jepang oleh Basque Francis Xavier pada tahun 1549. Pekerjaan misi itu berkembang sehingga pada tahun 1579 diperkirakan sudah ada 150.000 orang Kristen di sana. Tetapi pada tahun 1597, Hideyoshi, salah seorang tokoh pemersatu Jepang, memerintahkan eksekusi mati 26 orang misionaris Kristen. Walaupun begitu, pekerjaan misi masih bisa dilanjutkan. Tetapi, kemudian di bawah pemerintahan Ieyasu, penerus Hideyoshi, penganiayaan menjadi perintah resmi. Itulah pukulan mematikan bagi kekristenan di Jepang di saat sudah ada 300.000 orang Kristen dari 20 juta populasi orang Jepang. Akhirnya di bawah pemerintahan para penerus Ieyasu, perburuan atas orang Kristen dan khususnya para imam menjadi sangat sistematik dan kejam untuk menghapus habis kekristenan dari Jepang.
Pada mulanya, cara eksekusi yang paling lazim adalah dengan membakar orang Kristen hidup-hidup. Lama kelamaan, cara eksekusi dirancang sedemikian rupa supaya orang Kristen tidak tahan dan murtad. Salah satunya adalah dengan menggantung orang Kristen di dalam sumur. Seluruh tubuh orang itu akan diikat erat dengan tali sampai batas dada (satu tangan dibiarkan bebas untuk memberi tanda ingin murtad) dan dia digantung terbalik ke dalam sumur yang penuh berisi kotoran. Untuk memberikan jalan keluar bagi darah maka dahinya diberi sayatan tipis dengan pisau dan darah akan menetes perlahan dari luka itu. Mereka yang kuat bisa bertahan lebih dari seminggu sebelum mati, tetapi banyak yang tidak bisa bertahan lebih dari satu atau dua hari. Cara ini sangat efektif membuat orang Kristen menyangkal Yesus.
Sampai tahun 1632, bagaimanapun beratnya penganiayaan, belum ada satupun misionaris yang menyangkali Yesus. Tetapi, berita buruk pun kemudian tiba: Christovao Ferreira menyangkal Yesus di sumur penyiksaan itu. Sangat mengejutkan karena Ferreira adalah salah seorang pimpinan misionaris! Lebih mengejutkan lagi diberitakan bahwa kemudian Ferreira bekerja untuk pemerintah Jepang! Sekelompok misionaris kemudian datang untuk menebus kesalahan Ferreira tetapi mereka segera tertangkap dan satu persatu juga menyangkal Yesus karena tidak tahan dengan penyiksaan.
Kekristenan memang tidak menghilang dari Jepang, tetapi masa penyiksaan itu menjadi masa yang sangat kelam bagi banyak orang Kristen. Dengan latar belakang inilah, Shusaku Endo berulang kali di dalam novelnya melontarkan pertanyaan yang sangat tajam: Mengapa Allah terus berdiam diri? Why is God continually silent?
Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang imam bernama Rodrigues. Diceritakan bahwa dia datang ke Jepang untuk menebus kesalahan Ferreira dan dia tidak percaya bahwa Ferreira sudah murtad. Rodrigues sudah bertekad kuat bahkan untuk mati martir di Jepang. Tetapi, satu hal yang terus menggoncangkan dia di sana adalah dia melihat kehadiran dirinya ternyata bukan menolong orang Jepang tetapi menyusahkan mereka. Dia ingin melayani mereka tetapi justru karena dialah maka banyak orang Kristen yang mati dibunuh. Sebagian mati dibunuh karena menyembunyikan dia dan sebagian lagi mati dibunuh karena ia, Rodrigues, tidak mau menyangkal Yesus.
Momen paling menentukan adalah ketika dia dibawa ke penjara yang sangat gelap dan di sana dia mendengar suara “dengkuran” yang kuat. Ferreira yang bekerja untuk Jepang mendatangi dia dan mengajak dia menyangkal Yesus. Dengan tekad yang masih kuat, dia terus menolak. Sampai akhirnya Ferreira memberitahu dia bahwa itu bukan suara “dengkuran” melainkan suara orang Kristen yang kesakitan di dalam sumur penyiksaan karena Rodrigues tidak mau menyangkal Yesus. Ferreira bercerita bahwa dulu dia berada di posisi yang sama seperti Rodrigues, lalu dia berkata (saya terjemahkan):
“Mendengar erangan itu sepanjang malam aku tidak mampu lagi memuji Tuhan. Aku tidak murtad karena aku digantung di dalam sumur. Selama tiga hari, aku yang berdiri di hadapanmu ini digantung di dalam sumur penuh kotoran, tetapi aku tidak mengucapkan satu kata pun yang mengkhianati Allahku. Alasan aku murtad… apakah engkau siap? Dengar! Aku ditempatkan di sini dan mendengarkan suara orang-orang yang untuknya Allah tidak berbuat apa-apa. Allah tidak melakukan apapun. Aku berdoa dengan seluruh kekuatanku; tetapi Allah tidak melakukan apa-apa.”
Malam itu juga, akhirnya Rodrigues mengikuti ajakan untuk murtad dengan menginjak lukisan wajah Yesus di depan para penyiksanya. Dan Shusaku Endo berkata, waktu itu “Fajar menyingsing. Dan jauh di sana ayam pun berkokok.”
Novel ini sangat menggugah hati dan pikiran saya. Dua hal yang terus terpikir oleh saya:
1. Penderitaan mereka. Apakah saya punya hati untuk melayani Tuhan seperti para misionaris itu? Atau apakah saya punya hati untuk setia kepada Tuhan seperti orang-orang Kristen di Jepang itu? Masalah keberanian, daya tahan untuk disiksa, dan sebagainya, jelas saya tidak punya! (Hanya
berharap Tuhan akan memberikan kekuatan pada waktunya). Tetapi, apakah saya punya hati untuk setia seperti itu? Ah… hidup saya melayani Tuhan hari ini terlalu nyaman dibanding mereka. Dengan cara apa saya memikul salib hari ini?
2. Mungkinkah Tuhan berdiam diri seperti yang digambarkan Shusaku Endo dalam novelnya? Pertanyaan itu berulang kali dia tanyakan, “Why God remains silent?” Saya bertanya-tanya bagaimana jika saya berada dalam situasi seperti itu dan Tuhan diam…??? Pertanyaan ini menggelitik saya selama beberapa waktu. Tetapi, pertanyaan yang lebih penting kemudian muncul: Mungkinkah Tuhan diam? Sangat diam? Sampai saya dibiarkan dalam kesunyian yang sangat panjang? Saya kira tidak! Ketika membaca Perjanjian Baru, saya menemukan situasi yang berbeda. Tak pernah Tuhan begitu diamnya sampai tidak ada lagi kesadaran kita akan kehadiran Tuhan.
Mungkinkah itu juga yang dipikirkan oleh Shusaku Endo? Di satu sisi, dia mengajak kita berpikir dan merasakan pergumulan orang Kristen ketika Tuhan ‘diam’. Di sisi lain, dia mengajak kita melihat bahwa Tuhan tidak diam. Karena di akhir dari novelnya, dia menaruh sebuah ucapan di mulut Rodrigues - yang pernah melakukan tindakan murtad tetapi masih terus setia kepada Tuhan dalam hatinya:
“But our Lord was not silent. Even if he had been silent, my life until this day would have spoken of him.” (Tetapi Tuhan kita tidaklah diam. Bahkan sekalipun Dia diam selama ini, hidupku sampai hari ini sudah berbicara tentang Dia). A Grief Observed - C.S. Lewis Saya tidak punya harapan apapun ketika mulai membaca buku ini. Saya membacanya hanya karena ini adalah tulisan C.S. Lewis. Titik. Tapi begitu membaca kata pengantar yang ditulis oleh anak tirinya, saya mulai terpikat. Buku ini ditulis Lewis setelah kematian istrinya, Helen, dan merupakan catatan pergumulannya untuk menerima dan mengatasi duka yang menghancurkan hidupnya. Seperti dikatakan anak tirinya, yang membuat buku ini lebih luar biasa adalah karena penulisnya adalah orang luar biasa, dan wanita yang diratapinya adalah wanita luar biasa.
Lewis adalah cendekiawan yang sangat luar biasa, kemampuannya berpikir, menghafal, dan berdebat, membuat dia terisolasi dari kebanyakan orang. Helen mungkin adalah satu-satunya wanita yang pernah dia temukan yang kemampuan intelektualnya menyaingi dia. Helen pernah menikah dengan seorang novelis dan memiliki dua orang putra sebelum bercerai. Ketika menulis sebuah buku, Helen berkenalan dengan Lewis dan mereka menjadi akrab. Awalnya Lewis tidak ingin memperdalam hubungan mereka. Tetapi kenyataan bahwa dia akan segera kehilangan Helen karena penyakit kanker memaksa Lewis mengakui perasaannya. Mereka pun menikah. Anak tirinya berkomentar, "hampir terlihat seperti kejam bahwa kematian [Helen] tertunda cukup lama untuk
[Lewis] bertumbuh mencintai dia sepenuhnya sehingga dia memenuhi dunia [Lewis] sebagai karunia terbesar yang Tuhan berikan kepadanya, dan kemudian dia mati dan meninggalkan [Lewis] sendirian di tempat yang diciptakan oleh kehadirannya dalam hidup [Lewis."
Tidak heran, Lewis mengalami kehilangan dan duka yang sangat besar dan bahkan keraguan akan Tuhan. Menarik bagaimana dia melukiskan itu (saya terjemahkan):
Sementara itu, dimana Allah? Ini adalah salah satu kenyataan yang menggoncangkan. Ketika engkau bahagia, begitu bahagia sehingga engkau tidak merasa membutuhkan Dia, begitu bahagia sehingga engkau tergoda untuk merasa klaim-klaim-Nya atasmu sebagai interupsi, jika engkau ingat dirimu dan berbalik kepada-Nya dengan syukur dan pujian, engkau akan -atau rasanya seperti- disambut dengan tangan terbuka. Tetapi pergilah kepada-Nya ketika kebutuhanmu sangat mendesak, ketika semua pertolongan sia- sia, dan apa yang kau temukan? Pintu yang dibanting di hadapanmu, dan suara pintu dipalang dua kali dari dalam. Setelah itu, sunyi. Engkau boleh berbalik pergi. Makin lama engkau menunggu, makin tegas kesunyian itu. Tidak ada cahaya pada jendela-jendela. Mungkin itu rumah kosong. Pernahkah rumah itu dihuni? Kelihatannya pernah. Dan kelihatannya itu sama kuatnya seperti kenyataannya. Apa artinya? Mengapa Dia begitu hadir sebagai pemegang kendali pada saat kemakmuran dan begitu tidak hadir sebagai pertolongan pada saat kesesakan?
Buku ini membuka wawasan saya akan kedukaan, kesepian, cinta, dan keraguan. Ada banyak hal menarik yang diungkapkan oleh dia. Lewis tidak pernah punya jawaban untuk semua pertanyaannya, tetapi akhirnya dia mendapatkan kekuatan untuk mengatasi dukanya dan percaya kepada Tuhan.
Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit Pionir Jaya dengan judul: Mengupas Duka. Saya belum pernah melihat versi terjemahannya walaupun ada beberapa teman yang berkomentar bahwa terjemahannya tidak enak dibaca. Saran saya baca dulu beberapa halaman sebelum membeli, atau jika bisa, bacalah yang versi bahasa Inggris.
Running With the Giants - John C. Maxwell Baru saja selesai membaca buku ini. Bukan buku yang ‘berat’ hanya berupa perenungan yang mudah dan cepat dibaca. Saya sendiri membacanya dalam waktu sekitar 90 menit. Isinya menarik. Maxwell mengambil gambaran dari surat Ibrani:
Karena kita mempunya banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita meninggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. (Ibr 12:1)
Dia mengumpamakan kita sedang berada dalam arena perlombaan lari. Ada banyak penonton di sekeliling arena itu yang memberi semangat kepada kita. Dan kemudian, satu demi satu, ada 10 orang yang bergantian keluar dari kerumunan penonton itu, menghampiri kita, dan dalam waktu singkat memberi nasehat pada kita apa yang harus dilakukan dalam perlombaan itu. 10 orang yang keluar dan khusus memberi nasehat mereka pada kita adalah 10 tokoh dalam Perjanjian Lama.
Bagi saya 10 tokoh pilihan Maxwell sangat menarik: Nuh, Ester, Yusuf, Musa, Ribka, Abraham, Nehemia, Pelayan perempuan di rumah Naaman, Daud dan Yonatan.
Pilihan tokoh-tokoh di dalam buku ini memperlihatkan bahwa hidup itu kompleks dan tidak bisa dilihat dari 1 sisi. Alkitab memberikan kita banyak cerita dan kita tidak bisa mengerti apa yang Tuhan mau hanya dengan 1 atau beberapa cerita. Demikian pula ada banyak pengajaran dalam Alkitab dan kita tidak bisa mengerti apa yang Tuhan mau hanya dengan mengambil 1 atau beberapa ayat. Celakanya orang Kristen seringkali seperti itu. Kita suka mengambil bagian yang mendukung pikiran kita dan tidak mempedulikan bagian lainnya.
Misalnya ada orang yang mengatakan “Bukankah Tuhan merancang yang baik bagi saya? Bukankah Tuhan mau saya bahagia?” tanpa dia melihat apa yang dikatakan bagian lain dari Alkitab tentang kedaulatan Tuhan, tentang apa yang baik menurut Tuhan dan tentang apa itu kebahagiaan dalam Tuhan.
Atau ada orang yang berselingkuh menolak untuk memutuskan hubungan dengan selingkuhannya dan mengatakan “Saya tidak mau menyakiti dia, bagaimana kalau sampai dia bunuh diri karena saya, saya berdosa!” Tanpa dia lihat bagian lain Alkitab yang menentang ketidaksetiaan dan tanpa memikirkan apakah dia sedang berbuat baik kepada pasangan selingkuhannya itu.
Atau yang seringkali saya dengar dan juga pernah saya singgung dalam blog ini “Kita semua harus memberi yang terbaik, saya tidak suka kalau pelayanan sembarangan seperti ini!” Tanpa kita pernah memikirkan ada bagian lain yang meminta kita melayani bersama, menegur dengan sopan, dan mementingkan kesatuan.
Keseimbangan seperti ini yang coba dirangkum dalam buku Maxwell ini. Waktu membaca tentang Daud kita diingatkan untuk berani mendobrak batasan hidup kita, mengambil langkah besar menjadi pemimpin. Tapi waktu membaca tentang Yonatan kita diingatkan untuk berani melihat realita kemampuan kita dan membiarkan orang yang lebih mampu untuk menjadi pemimpin. Waktu
membaca tentang Nuh atau Ester kita diingatkan akan sesuatu yang besar yang mereka lakukan, tapi waktu membaca tentang pelayan perempuan di rumah Naaman kita diingatkan akan hal-hal kecil yang perlu kita lakukan. Waktu membaca tentang Musa kita diingatkan akan keberanian meninggalkan zona aman dengan percaya pada Tuhan, tapi waktu membaca tentang Nehemia kita diingatkan untuk berani minta bantuan.
Hidup ini kompleks. Tuhan sudah memberikan tuntunan-Nya. Tapi menangkap kompleksitas tuntunan Tuhan membutuhkan kerendahan hati untuk mau mengerti Firman-Nya dan menerima Firman-Nya.