Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Page 1

MENJAJAKI OPSI REFORMASI DI BIDANG PEMBAGIAN URUSAN Laporan Akhir Disusun oleh Dr. Gabriele Ferrazzi

28 Maret 2008


DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN 1. Konteks studi secara keseluruhan 2. Ruang lingkup dan metodologi studi 3. Struktur laporan I. POKOK-POKOK DALAM KERANGKA SAAT INI 1. Perubahan kerangka pembagian urusan di Indonesia 2. Elemen-elemen utama dalam tatanan saat ini II. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN TINDAKAN YANG DIPERLUKAN 1. Tatanan secara keseluruhan: asas pemerintahan, peran dan struktur 2. Kerangka hukum/mekanisme untuk penyesuaian yang sedang berjalan 3. Peran gubernur dan propinsi 4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan 5. Kriteria pembagian urusan 6. Urusan konkuren 7. Formulasi urusan 8. Urusan wajib/standar pelayanan minimum 9. Urusan pilihan/hak inisiatif 10. Urusan kecamatan 11. Urusan desa 12. Wujud pengorganisasian dari pembagian urusan 13. Pembagian urusan di daerah-daerah khusus 14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan 15. Proses pembagian urusan III. KESIMPULAN KESELURUHAN

iv 1 1 2 4 5 5 10 12

Lampiran 1: Kutipan Kerangka Acuan Kerja Lampiran 2: Narasumber Utama Lampiran 3: Tipologi Urusan/Tugas Desentralisasi Lampiran 4: Tugas pembantuan vs Tugas Dekonsentrasi dalam Draf PP Lampiran 5: Opsi-Opsi Peran Tingkat Propinsi Lampiran 6: Kriteria Pembagian Urusan Lampiran 7: Perbandingan Urusan antara Daerah-Daerah Biasa dan Aceh

57 59 60 62 64 66 68

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

12 16 21 23 25 27 30 32 36 39 40 42 44 48 49 55

ii


DAFTAR SINGKATAN Bappenas CIDA DAK DAU Depkeu Depdagri DRSP DSF FPPD GTZ Pemda PMD PP SPM USAID WB

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Canadian International Development Agency Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Umum Departemen Keuangan Departemen Dalam Negeri Democratic Reform Support Program (Didanai oleh USAID) Decentralization Support Facility (Fasilitas Pendukung Desentralisasi) Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa Deutche Gesellschaft FĎ‹r Technische Zusammenarbeit GmbH Pemerintah Daerah Pemberdayaan Masyarakat Desa Peraturan Pemerintah Standar Pelayanan Minimal United States Agency for International Development World Bank (Bank Dunia)

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

iii


RINGKASAN EKSEKUTIF Pembagian urusan di Indonesia masih tetap menghadapi berbagai tantangan yang timbul, antara lain, dari sejumlah pembaruan yang terjadi pada kurun waktu 20042007, yaitu periode sejak dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004. Kesadaran akan adanya tantangan-tantangan tersebut menjadi latar belakang keputusan Pemerintah Indonesia dalam menerima usulan berbagai donor untuk melaksanakan suatu studi yang bertujuan mendalami kemajuan yang telah dicapai, mengidentifikasi hambatan yang masih tersisa, juga peluang untuk membuat kerangka pembagian urusan yang lebih kuat stabil dan efektif. Studi tersebut dimaksudkan untuk membantu pemerintah RI dalam menjajaki berbagai arah baru reformasi di bidang pembagian urusan. Istilah pembagian urusan dalam studi ini mengacu kepada sebuah konsep yang cukup luas, dimana didalamnya tercakup tatanan secara meyeluruh dari peranan masingmasing tingkat pemerintahan juga susunan yang spesifik dari pembagian urusan. Kuat atau tidaknya suatu kerangka pembagian urusan ditentukan oleh pemilihan yang seksama dari elemen-elemen yang sesuai dengan konteks lokal, terutama bagaimana elemen-elemen tersebut membangun suatu tatanan yang logis dan konsisten. Dalam proses analisanya, studi ini menggunakan pendapat para akademisi dan pemangku kepentingan lain, baik dalam hal substansi maupun pendekatan pengembangan kapasitas yang diperlukan untuk membangun jaringan kebijakan yang tepat di masa yang akan datang. Selain itu, indikasi mengenai peranan yang bisa dimainkan oleh para donor juga dimuat pada pembahasan masing-masing isu yang ada dalam laporan utama, dan pada bagian akhir ikhtisar ini dalam bentuk yang lebih ringkas.

HASIL TEMUAN UTAMA Proses perkembangan kerangka kerja pembagian urusan sejak periode pra otonomi melalui dua tahapan reformasi sampai dengan saat ini menunjukkan bahwa kemajuan yang dicapai tidak selalu berjalan secara linier. Di satu sisi, tatanan yang ada saat ini sudah lebih canggih dibanding sebagian besar negara berkembang atau bahkan negara maju lain. Tatanan tersebut sudah memperjelas tiga asas antarpemerintahan (yang juga dikenal sebagai ―modes of decentralization‖), yaitu desentralisasi (devolved functions), tugas pembantuan (agency tasks), dan tugas dekonsentrasi (deconcentration tasks). Selain itu, daerah kabupaten/kota ditunjuk untuk bertanggungjwab atas sebagian besar pelayanan dasar (general purpose local government). Kerangka pembagian urusan ini, selain bertujuan untuk menjelaskan tugas yang harus dilakukan pemerintah daerah, juga menetapkan tingkat prestasi minimal khusus yang harus dicapai (Standar Pelayanan Minimal - SPM). Perlu juga diakui bahwa selama dua periode reformasi, konsultasi antarorganisasi tingkat pusat dan pemerintah daerah menjadi semakin intensif. Namun demikian, hanya terdapat sedikit kemajuan dalam hal kejelasan dan peraturan perundang-undangan yang berkelanjutan. Salah satu indikator kelemahan ini adalah penyimpangan yang terus menerus dilakukan jajaran instansi sektoral pusat terhadap

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

iv


UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan. Salah satu kelemahan terbesar yang ada hingga saat ini adalah kurangnya perhatian pada aspek hukum dan aspek lain yang merupakan bagian dari tatanan pembagian urusan. Tatanan pembagian urusan merupakan landasan dasar bagi hubungan antara tingkat pusat dan daerah, dan harus diperhatikan keterkaitannya dengan kerangka hukum, pembagian teritorial, pembagian peran pada masing-masing tingkat pemerintahan, struktur organisasi, pendanaan dan aspek pemerintahan lainnya. Masih banyak tugas yang harus dijalankan dalam upaya membenahi pembagian urusan, sebagaimana diuraikan dalam ringkasan penjelasan hasil temuan di bawah ini. 1. Tatanan Secara Keseluruhan Untuk dapat diterapkan dengan baik, definisi mengenai asas pemerintahan haruslah konsisten mulai dari tingkat undang-undang dasar (atau tugas pembantuan) sampai dengan tingkat undang-undang dan peraturan pemerintah. Akan tetapi definisi yang ada dalam peraturan perundangan Indonesia mengenai asas pemerintahan masih belum sepenuhnya menampilkan konsistensi antarperaturan perundangan. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, dikhawatirkan pengesahan rancangan peraturan yang sedang disusun berkaitan dengan tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi akan menambah kerancuan yang ada. Ketidakjelasan dalam hal pembiayaan dan struktur organisasi (khususnya menyangkut peran ganda gubernur) dapat menimbulkan konsekuensi yang serius dari segi efisiensi dan akuntabilitas. ď † Suatu amandemen terhadap undang-undang dasar akan dapat memberikan definisi lebih jelas mengenai asas pemerintahan desentralisasi, prinsip pokok yang berfungsi sebagai panduan dalam melaksanakan desentralisasi dan menetapkan hirarki/peranan antar tingkat pemerintahan; panduan tersebut seharusnya dicerminkan dalam peratuan perundangan yang selaras. ď † Penetapan rancangan peraturan tentang tugas dekonsentrasi/pembantuan sebaiknya menunggu adanya amandemen konstitusional (atau paling tidak undang-undang pemerintahan daerah). 2. Kerangka hukum/mekanisme penyesuaian Dalam kerangka desentralisasi tahun 1999 dan 2004, Indonesia menggunakan undang-undang pokok (organic law) untuk menyusun prinsip pembagian urusan dan menguraikan berbagai urusan umum. Sebuah peraturan pemerintah kemudian digunakan untuk menyediakan rincian urusan (PP Nomor 38 Tahun 2007 yang sedang berlaku). Meskipun kepemilikan kementerian sektoral atas PP Nomor 38 Tahun 2007 (melalui berita acara masing-masing) sudah jelas, Pemerintah RI masih belum bisa menyelaraskan UU mengenai pemerintah daerah dengan UU sektoral (misalnya pernyataan resmi dari masing-masing kementerian untuk menyetujui teks rancangan undang-undang). Selain itu, belum terdapat ketentuan yang memadai untuk meningkatkan tatanan pembagian urusan. Walaupun PP Nomor 38 Tahun 2007 sudah membahas mekanisme ―urusan sisa‖, PP ini masih kurang terperinci dan tidak nampak menjanjikan.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

v


 Mengingat kesulitan yang dihadapi berkaitan dengan tatanan yang ada saat ini, Pemerintah RI perlu memperjelas kerangka hukum pembagian urusan yang akan dianut di masa depan. Hal ini meliputi tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tatanan baru yang diinginkan (misalnya urutan revisi hukum organik dengan peraturan perundangan di bidang pembagian urusan, atau penataan menyeluruh terhadap urusan pada instrumen sektoral).  Konflik hukum mengenai pembagian urusan perlu dipetakan dengan mengandalkan kombinasi pendekatan bottom up (dimotori oleh pemerintah daerah) dan centrally driven (dimotori oleh pemerintah pusat) untuk melihat instrumen sektoral terkait urusan pemerintahan yang perlu disesuaikan.  Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perlu menjalin kerjasama yang erat dengan pihak/badan nasional yang dapat menyediakan upaya dan penekanan lebih kuat pada bidang harmonisasi sektoral.  Perlu dikembangkan mekanisme untuk menangani urusan yang belum terdaftarkan dan urusan yang perlu dialihkan secara dinamis ke atas atau ke bawah, dari satu tingkat pemerintahan ke tingkat yang lain. 3. Peranan gubernur dan pemerintah propinsi Berbeda dengan pernyataan awal resminya, revisi terbaru peraturan mengenai pembagian urusan tidak secara signifikan menjelaskan dualitas ‖propinsi vs. Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat‖ ataupun memperkuat peranan gubernur di bidang tersebut. PP Nomor 38 Tahun 2007 justru memberikan peranan yang memberatkan pemerintah daerah propinsi (dalam bentuk Urusan Desentralisasi) berkaitan kabupaten/kota nyaris untuk semua urusan, yang mencakup pembinaan, monitoring dan evaluasi, fungsi pengendalian, koordinasi, perencanaan, dan penyelesaian konflik. Sementara itu, sebuah rancangan peraturan tentang peranan gubernur sedang dipersiapkan, yang nampaknya akan bertentangan dengan pengaturan (ulang) pembagian urusan yang ada sekarang.  Dibutuhkan visi yang jelas mengenai peranan propinsi/gubernur, dengan mempertimbangkan kelebihan/kekurangan semua pilihan pokok berkaitan asas pemerintahan yang digunakan; opsi yang ada perlu dipertimbangkan dengan baik (lihat Lampiran 5). 4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan Prinsip ―money follows functions‖ (pendanaan mengikuti pembagian urusan) memang dengan jelas tercantum dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah, namun pada praktiknya diabaikan. Dana dekonsentrasi yang jumlahnya terus meningkat digunakan untuk mendanai urusan daerah; pengalihan penggunaan dana dekonsentrasi menjadi DAK yang lebih sesuai dengan bentuk otonomi sepertinya masih belum diterapkan secara signifikan. Jumlah besaran DAU and DAK juga tidak berhubungan (kecuali secara kebetulan) dengan biaya sesungguhnya yang dibutuhkan pemerintah daerah untuk menjalankan tugasnya sesuai kinerja yang diharapkan. Selain itu, biaya berkaitan pencapaian SPM perlu diperhitungkan dengan seksama dan diterjemahkan menjadi norma belanja daerah yang dapat diintegrasikan ke dalam mekanisme Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

vi


penyerahan dana ke daerah. Mekanisme pendanaan dari donor secara off-budget (tidak tercatat dalam anggaran), dan praktik seleksi daerah penerima makin mempersulit upaya menyeimbangkan antara kebutuhan akan pelayanan dengan pendanaan dalam negeri. Upaya untuk menetapkan input (dana) juga membuat proses perencanaan/penganggaran daerah menjadi lebih rumit (dengan adanya ambiguitas pengelompokan biaya) dan kaku.  Perlu kerangka hukum yang lebih rinci dan tegas tentang upaya mencapai keseimbangan antara aspek urusan dan pendanaan.  Perlu upaya yang lebih intensif untuk menghitung biaya yang diperlukan oleh pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan dasar dan untuk mencerminkan biaya tersebut dalam mekanisme transfer (penyerahan dana) ke daerah.  Proyek-proyek donor perlu mengalokasikan sumber daya (keuangan, bantuan teknis) sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan pada tingkatan yang berbeda-beda. Kecuali untuk bantuan darurat, pendanaan donor untuk investasi pemerintah daerah sebaiknya hanya diberikan secara on-budget (dengan persetujuan pusat) dan hanya sebagai percontohan dengan maksud menyesuaikan mekanisme keuangan pusat-daerah agar kaitannya antar urusan dan pembiayaan semakin kuat. 5. Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan Pada umumnya, kriteria pembagian urusan yang ada dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 sudah cukup baik (dari sisi eksternalitas, efisiensi, akuntabilitas), walaupun faktor ―kapasitas administratif‖ masih belum muncul. Sebagian besar penjelasan kriteria tersebut masih sangat kurang penjelasannya dan secara umum tidak diterapkan secara transparan.  Sebaiknya kriteria pembagian urusan disesuaikan, agar mencakup ―kapasitas administratif‖ dan memperjelas akuntabilitas.  Untuk menunjang transparansi dan akuntabilitas, ke depannya dalam penerapan kriteria pembagian urusan, agar disusun dokumentasi keputusan yang disediakan bagi pihak yang membutuhkan. 6. Konsep urusan konkuren (concurrent functions) Urusan konkuren di Indonesia (baru-baru ini istilahnya disesuaikan menjadi ―urusan bersama‖) mencerminkan prinsip bahwa di luar sejumlah urusan eksklusif pemerintah pusat, semua urusan lainnya ―dibagi‖, dengan pengertian bahwa sebagian urusan ditangani pemerintah pusat dan sebagian sisanya oleh pemerintah daerah. Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian yang digunakan dalam praktik internasional, dan mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman. Selain itu, PP Nomor 38 Tahun 2007 memuat beberapa urusan yang sama rumusannya baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Karena istilah ‖konkuren‖ sepertinya tidak berlaku pada tatanan ini, sulit untuk mengetahui apakah kesamaan rumusan ini merupakan suatu kesalahan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

vii


atau disengaja dengan maksud yang jelas, dan apabila disengaja, konsep/argumen apa yang yang dapat menjelaskannya. Terdapat dua opsi yang dapat dipertimbangkan:  Opsi A: Menerapkan urusan konkuren yang konsisten dengan praktik internasional, apabila dianggap perlu.  Opsi B: Apabila urusan konkuren, dalam pengertian internasional, dipandang tidak sesuai, maka sebaiknya konsep urusan konkuren dihapuskan saja (demikian juga dengan ‘urusan bersama‘). 7. Perumusan urusan Kelemahan perumusan urusan sepertinya terdapat di aturan hukum pokok, khususnya dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Kelemahan ini menimbulkan batu sandungan yang juga banyak terdapat di negara lain, misalnya penggunaan yang ambigu dari istilah ―skala‖ untuk menjelaskan sifat urusan dan penggunaan mandat organisasi tingkat pusat sebagai titik awal dari pembagian urusan. Selain itu, rumusan tersebut masih memiliki kaitan yang lemah dengan kerangka/tatanan urusan yang lebih besar di bidang asas pemerintahan, konstruksi general competence versus ultra vires, dan urusan bersifat wajib versus pilihan.  Agar dipertimbangkan upaya peningkatan kapasitas individu/unit dalam Kemendagri untuk menggalakkan praktik yang baik di bidang pembagian urusan (misalnya antarkementerian sektoral), khususnya dalam perumusan urusan. 8. Urusan wajib/Standar Pelayanan Minimal (SPM) Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1999, urusan wajib dan SPM telah diperjelas dan mulai ‖disosialisasi.‖ Ketentuan tentang SPM sekarang sudah diintegrasikan dengan baik dalam kerangka hukum (mengenai proses perencanaan, penganggaran, monitoring dan evaluasi, laporan pertanggungjawaban), dan sedang diambil langkah-langkah untuk menyusun petunjuk operasional SPM. Kendatipun demikian, rancangan daftar urusan wajib/SPM kementerian sektoral menunjukkan pengertian yang berbeda-beda antar instansi sektoral. Hal ini berarti masih diperlukan koordinasi untuk menyatukan persepsi atas peranan dan kinerja pemerintahan daerah, terutama konsensus mengenai ruang lingkup SPM yang terkait dengan urusan wajib (apakah semua urusan wajib membutuhkan SPM?); pembedaan prinsip urusan wajib dengan urusan pilihan, dan perbedaannya dalam standar penerapannya; urusan wajib mana sajakah yang benar-benar wajib (mengingat berbagai daftar urusan yang panjang dan ambigu dalam PP Nomor 38 Tahun 2007).  Sepertinya konsep urusan wajib/SPM perlu dibenahi agar instansi sektoral dapat menyusun usulan konsep urusan wajib/SPM yang kuat, yaitu dapat diukur/dilaporkan, sesuai dengan kapasitas administratif setempat, dan dengan biay yang terjangkau.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

viii


 Tujuan dari sejumlah kementerian sektoral untuk melaksanakan pengembangan kapasitas di daerah yang berkaitan dengan pencapaian SPM mendapat respon positif dari para donor. Dalam hal ini, perlu juga diberikan perhatian khusus pada kementerian sektoral itu sendiri.  Pembentukan secara formal kelompok kerja SPM yang sempat akan dibentuk di bawah Permanent Secretariat of the Joint Working Group for Decentralization mungkin dapat direalisasikan sekarang. Pokja ini dapat membantu donor untuk mendukung Pemerintah RI dan pemerintahan daerah sesuai prinsip harmonisasi dan kesesuaian (alignment). 9. Urusan pilihan/hak inisiatif Urusan pilihan mulai diperkenalkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, dan dicantumkan ulang, dengan rumusan yang agak samar, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007; urusan ini harus dirinci dan diatur dalam peraturan daerah paling lama satu tahun setelah PP Nomor 38 Tahun 2007 disahkan; sehingga pemerintah daerah mau tidak mau harus membuat daftar urusan tersebut secara jelas sebelum mulai menjalankannya. Banyak pertanyaan terbuka yang muncul dengan diberlakukannya konsep urusan pilihan, terutama pertanyaan mengenai perbedaan urusan pilihan dengan urusan wajib. Nampaknya definisi urusan pilihan yang diterapkan di Indonesia berbeda dengan definisi internasional, dan dinilai membatasi pemerintah daerah untuk memperluas struktur organisasinya. Oleh karena itu, definisi tersebut bukanlah alat yang sesuai untuk memperkenalkan ―hak inisiatif‖ dalam pelaksanaan urusan.  Konsep urusan pilihan yang ada saat ini sebaiknya tidak digunakan karena tidak secara langsung berkaitan dengan urusan pemerintahan secara intrinsik, dan tidak terlalu bermanfaat untuk mengatasi masalah struktur organisasi yang luas (organizational excesses).  Urusan pilihan dapat dikembangkan melalui suatu konsep yang sesuai arti internasional, yang dapat meningkatkan otonomi pemerintah daerah melalui ―hak inisiatif‖ 10. Urusan tingkat kecamatan Berbagai kajian terbaru menunjukkan bahwa pergeseran peran Camat/kecamatan memperlemah struktur ini, dan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota pada umumnya belum sepenuhnya memberdayakan tingkat administratif (dekonsentrasi) ini. Terdapat konsensus yang luas bahwa pemerintah kecamatan seharusnya diberdayakan dengan lebih optimal, khususnya dalam hal penyediaan pelayanan. Berkaitan dengan hal ini, sudah mulai dilakukan diskusi mengenai berbagai pilihan mendasar; apakah akan mempertahankan kerangka kecamatan yang kini berlaku, atau dibutuhkan suatu intervensi dari pemerintah pusat.  Penjajakan peranan kecamatan sebaiknya dapat diselesaikan tepat waktu untuk dimasukkan dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Perlu dipertimbangkan dengan tuntas dua pilihan pokok; apakah perlu memberikan pedoman bagi kabupaten/kota agar memaksimalkan fungsi kecamatan, atau apakah

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

ix


diperlukan penetapan daftar urusan kecamatan (secara rinci) oleh pemerintah pusat.  Apabila pemerintah mempertahankan bentuk/mandat kecamatan sebagai perpanjangan kabupaten/kota, perlu dipertimbangkan penghapusan kriteria ―jumlah minimal kecamatan‖ sebagai salah satu ketentuan pemekaran kabupaten/kota. 11. Urusan tingkat pemerintah desa UUD ‘45 tidak menyinggung pengaturan otonomi desa, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 72 Tahun 2005 mencantumkan bahwa kabupaten/kota harus mendelegasikan tugas ke tingkat desa. Namun walaupun Kemendagri telah mengeluarkan peraturan untuk hal ini, hanya terdapat sedikit kemajuan dalam prosesnya, bisa jadi karena peraturan tersebut masih kurang jelas. Sepertinya terdapat sedikit titik terang dari hasil upaya perumusan kebijakan yang difasilitasi suatu LSM, namun Kemendagri masih belum memberikan tanggapan yang pasti terhadap usulan ini. Tetapi usulan ini pun masih perlu diperjelas serta dijabarkan lebih lanjut, dan masih menghadapi pilihan kebijakan yang mendasar yang sama sebagaimana dihadapi dalam pemberdayaan tingkat kecamatan.  Opsi A: Mempertahankan pendekatan di mana kabupaten memainkan peranan utama dalam mengatur kerangka pemerintahan desa (termasuk tugas pembantuan dari kabupaten kepada desa), dengan melaksanakan upaya peningkatan agar sistem ini dapat berjalan sesuai harapan.  Opsi B: Menempatkan desa sebagai tingkat pemerintahan otonomi ketiga, sesuai dengan studi yang dikembangkan oleh PMD/FPPD, di mana desa diberikan (berdasarkan undang-undang/peraturan) serangkaian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang desa sepenuhnya, sementara sebagian urusan yang merupakan urusan turunan dari tingkat kabupaten/kota harus dinegosiasi dengan kabupaten/kota. 12. Kesesuaian organisasi dengan pembagian urusan Peraturan tentang struktur organisasi daerah yang diterapkan selama dasawarsa terakhir cenderung mempersempit peluang untuk menyesuaikan bentuk organisasi pemerintah daerah dengan beban urusan. Masih belum dapat dipastikan apakah PP Nomor 41 Tahun 2007 akan dapat menyeimbangkan dengan baik nilai keseragaman/ekonomis (yang ditekankan oleh pemerintah pusat) dan mengintegrasikannya dengan beban kerja urusan dan karakteristik daerah setempat dan pengguna pelayanan di daerah tersebut. Kerangka desentralisasi yang berlaku saat ini masih kurang menyentuh upaya restrukturisasi instansi sektoral yang sudah menyerahkan sebagian wewenang ataupun yang beralih peran. Sejauh ini, dorongan untuk melaksanakan restrukturisasi berasal dari Menpan. Namun, masih saja terjadi pembengkakan instansi di tingkat pusat yang jauh melebihi fungsinya, antara lain dipicu oleh mudahnya akses terhadap dana dekonsentrasi dan DAK.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

x


Aspek lain yang juga penting adalah kurangnya kejelasan dalam berbagai rancangan (draft) peraturan perundangan mengenai peran propinsi dan gubernur. Jika pemilihan asas pemerintahan tidak tepat, dapat menimbulkan kompleksitas dalam cakupan unit pelaksana sehingga akan menghambat akuntabilitas.  Diperlukan upaya yang lebih intensif untuk memandu restrukturisasi instansi sektoral di tingkat pusat sejalan dengan penurunan kegiatan dekonsentrasi dan peningkatan dukungan strategis bagi pemerintah daerah.  Peranan pemerintah propinsi perlu diperjelas dalam hal hubungan unit desentralisasi (devolusi/otonomi) dengan unit/wakil perpanjangan pemerintah pusat (dekonsentrasi).  Diperlukan klarifikasi hak instansi sektoral untuk membentuk unit dekonsentrasi dan kewajiban menjadikan gubernur sebagai wakil pemerintah.  Perlu diberikan jaminan bahwa pemerintah daerah akan mendapat insentif/arahan untuk membentuk organisasi daerah yang efisien, mendorong pembentukan daerah yang sesuai dengan beban urusan dan karakteristik setempat. 13. Pembagian urusan di daerah otonomi khusus Indonesia telah membentuk empat daerah propinsi dengan status khusus, dua di antaranya dengan status otonomi khusus, yaitu Papua (UU No. 21 Tahun 2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (UU No. 11 Tahun 2006). Kekhususan dua daerah ini, berkaitan dengan urusan pemerintahan, tidak terlalu menonjol di tengah berbagai hal yang diatur dalam undang-undang otonomi khusus. Bahkan dari beberapa aspek terlihat bahwa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan otonomi khusus berlaku, namun pada beberapa bagian sistem hukum (atau pandangan resmi) lainnya, sistem yang bersifat umumlah (UU 32/2004 dan PP 38/2007) yang berlaku. Aceh, dengan dukungan oleh pemerintah pusat, memprakarsai upaya untuk memperjelas kerangka asas pemerintahan dengan mengkombinasikan peraturan pemerintah (dengan penanggungjawab Kemendagri, dalam hal peranan pemerintah pusat di Aceh) dengan serangkaian Qanun sektoral Aceh yang membagi urusan pemerintah antar tingkat propinsi dengan kabupaten/kotanya. Papua belum sampai tahap klarifikasi/penyesuaian kerangka hukum, dan masih menunggu proses evaluasi status otonomi daerahnya sebelum dibuat perubahan hukum lebih lanjut.  Undang-undang otonomi khusus perlu dikaji untuk menilai apakah terdapat kejelasan ketentuan dalam UU No. 32/2004 yang berlaku, dan ketentuan apa dalam undang-undang otonomi daerah yang menimpa/menggantikan atau menambah hal baru terhadap ketentuan dalam UU No. 32/2004 tersebut. Kajian ini juga perlu menilai kejelasan atas pembagian urusan antara tingkat propinsi dan tingkat di bawahnya, atau mekanisme untuk mencapai pembagian tersebut.  Diskusi tentang aspek pembagian urusan perlu diperluas terutama untuk halhal yang dapat digunakan untuk menjaga persatuan nasional, secara khusus mengenai peranan pemerintah pusat dalam menentukan standar berkaitan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

xi


urusan yang diberikan kepada daerah, terlepas dari rezim otonomi daerah yang berlaku.  Sebaiknya pemerintah pusat memberikan perhatian lebih terhadap upaya Aceh untuk menangani pembagian urusan antara pemerintah propinsi dengan kabupaten/kota (dan untuk menyetujui suatu forum sebagai mekanisme konsultasi yang sedang berlanjut mengenai kebijakan pemerintah yang mempengaruhi Aceh), untuk menilai sejauh mana proses dan tatanan hukum dapat dijadikan contoh bagi propinsi lain.  Mengingat pentingnya pembagian urusan, evaluasi pengalaman otonomi Papua perlu menekankan peranan MPR dan evolusi dalam penataan daerah. 14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan Penataan daerah (territorial reform) merupakan salah satu aspek yang ditangani dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Terdapat sejumlah kekhawatiran terhadap kemampuan daerah baru/calon daerah baru dalam memikul beban urusan pemerintahan. Sudah dilakukan sejumlah pembahasan mengenai kemungkinan menetapkan ambang batas jumlah penduduk untuk menghindari ketidakmampuan daerah menjalankan fungsi pemerintahannya, namun masih belum jelas sejauh mana dukungan para pembuat kebijakan terhadap hasil pembahasan ini.  Agar dipertimbangkan ambang batas jumlah penduduk kabupaten/kota untuk menghindari keterbatasan daerah dalam menjalankan urusan yang diberikan secara seragam kepada semua daerah.  Bagi daerah otonomi khusus, perlu dipertimbangkan untuk memberikan wewenang menyelenggarakan penataan daerah agar urusan pemerintahan dapat diselaraskan dengan skala daerah yang ditetapkan. 15. Proses pembagian urusan Dalam dasawarsa terakhir ini, dapat dikatakan sudah ada tiga tahapan reformasi atau pembaruan peraturan perundangan yang mengatur masalah otonomi daerah, termasuk upaya untuk merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Walaupun terdapat sejumlah perbedaan ‖proses‖ pendekatan, sebagian besar proses utamanya tetap sama. Baik pengalaman maupun kemampuan Indonesia dan internasional masih kurang dimanfaatkan dengan optimal, dan proses konsultasi juga masih dikelola dengan buruk. Selain itu, para ahli Indonesia yang mampu menyumbangkan pikiran seputar isu pembagian urusan baru sedikit dan jaringannya masih kurang kuat –masih belum ada jaringan tingkat kebijakan (policy network) untuk bidang ini. Sejumlah ahli yang direkrut untuk mendukung upaya penyusunan kebijakan pemerintah pun sepertinya masih belum berhasil sepenuhnya menghubungkan upaya kebijakan pemerintah dengan kegiatan diseminasi/ karya akademis mereka sendiri.  Diperlukan proses perumusan dan pengembangan kebijakan yang lebih sistematis dan tidak tergesa-gesa, dengan memperhatikan pengembangan gagasan/ pembahasan yang lebih spesifik, dengan persiapan data empiris (dari Indonesia dan negara lain) yang lebih baik dan dengan menjajaki opsi kebijakan secara tuntas. Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

xii


ď † Perlu dipertimbangkan untuk mengelola proses pembagian urusan melalui komisi pemerintah, atau komisi khusus nonpemerintah yang dapat bekerja secara lebih intensif dan lebih leluasa dalam mengumpulkan masukan dan partisipasi pemangku kepentingan. Kemungkinan lain yang dapat dipertimbangkan adalah pendekatan di mana sejumlah ahli (diluar para ahli yang disebutkan diatas) didorong untuk menyusun masukan yang matang dan siap digunakan oleh pemerintah. ď † Diperlukan strategi jangka panjang untuk memperkuat jaringan tingkat kebijakan (policy network) bidang otonomi daerah, khususnya tentang isu politis-administratif yang terbukti bermasalah (pembagian urusan, peranan berbagai tingkat pemerintahan, peranan ganda kepala daerah, pembinaan daerah, pemekaran daerah, daerah otonomi khusus). Kelompok sasaran dapat terdiri dari lembaga akademis, penelitian, dan organisasi yang mewakili pemerintah daerah.

IMPLIKASI BAGI DONOR Para donor telah, atau sedang, mendukung hampir semua upaya pembaruan dengan lima belas tema terkait pembagian urusan yang telah dibahas di atas. Dukungan tersebut mengalami pasang surut dalam tiga periode reformasi, dan menghasilkan sejumlah keberhasilan maupun hasil yang kurang dapat dimanfaatkan Pemerintah RI. Hal-hal itu merupakan dinamika yang sudah biasa ditemui dalam pemberian bantuan teknis. Merujuk pada hal tersebut, pengalaman dalam bidang reformasi yang luas ini menunjukkan bahwa dukungan lembaga donor akan dapat lebih efektif jika diberikan secara konstan atau menyeluruh (misalnya bekerja sama melalui proyek lintassektoral/bantuan teknis di antara lembaga donor), atau ditawarkan dalam bentuk yang berbeda. Secara khusus, pengalaman ini menyarankan bahwa pergeseran pendekatan mungkin dibutuhkan, dengan melakukan investasi jangka panjang untuk para pelaku Indonesia yang dapat membentuk jaringan kebijakan, dengan menghindari kelemahan yang ditimbulkan oleh bantuan teknis langsung dari donor dalam hal penerimaan dan keberlanjutan. Para lembaga donor menunjukkan minat mendukung pembentukan jaringan kebijakan pribumi yang berkembang di Indonesia di masa lalu namun masih belum berhasil, terutama disebabkan oleh penetapan orientasi yang berjangka pendek dan masih kurang mengambil pelajaran dari pengalaman Indonesia maupun negara lain di masa lalu. Meskipun gagasan untuk melibatkan pihak perantara untuk mendukung kebijakan semakin dapat diterima oleh para donor, dan sampai tahap tertentu sudah diterapkan, masih belum pasti apakah para donor berminat untuk memberikan komitmen dengan jangka waktu yang lebih panjang yang akan dibutuhkan untuk mendukung jaringan tersebut. Para akademisi dan pemangku kepentingan lain tampaknya memberikan tanggapan yang cukup baik mengenai pembentukan jaringan kebijakan di bidang ini. Penerimaan dan peran serta mereka hendaknya jangan diterima begitu saja; terkadang minat tersebut lebih mencerminkan pendapat pribadi dan bukan pandangan lembaga/institusi. Selain itu, hal tersebut juga sangat tergantung pada hubungan khusus dengan lembaga donor. Keinginan untuk mengembangkan jaringan kebijakan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

xiii


ini di kalangan Kemendagri dan organisasi-organisasi pemerintah lain juga merupakan suatu isu tersendiri. Kecenderungan untuk menggunakan perantara mungkin karena adanya praktik pemilihan selektif orang-orang yang berasal dari lembaga-lembaga yang sudah diunggulkan (favorit), di mana keterlibatan mereka cenderung didanai lembaga donor secara hands-off (tanpa campur tangan lembaga donor tersebut). Meskipun hal tersebut patut diwaspadai, tetap diperlukan adanya dialog tentang perspektif jangka panjang untuk mencapai kemajuan di bidang kebijakan ini.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

xiv


PENDAHULUAN 1.

Konteks studi secara keseluruhan

Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain1, pengalaman di bidang desentralisasi menunjukkan bahwa pembagian urusan antar tingkatan pemerintah bukanlah hal yang mudah. Kerangka desentralisasi telah mengalami dua periode perubahan (tahun 1999 dan 2004) dengan tujuan memperjelas peran dan tanggung jawab, dan kini upaya yang ketiga sedang berlangsung. Meskipun proses yang dijalani mungkin tidak mudah, pembagian urusan pemerintahan yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik sangat penting bagi keberhasilan desentralisasi pemerintahan. Dalam melaksanakan upaya ketiga ini, Indonesia dapat meningkatkan peluang keberhasilannya dengan belajar dari pelaksanaan reformasi sebelumnya juga dengan memperhatikan pengalaman negara-negara lain. Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 memperkenalkan beberapa perubahan yang berani mengenai ―siapa yang melakukan apa‖ dalam rangka melaksanakan desentralisasi dan reformasi yang lebih luas. Namun, kerangka desentralisasi ini masih memiliki beberapa kelemahan dalam tatanan pembagian urusan secara umum, dari segi struktur dan penjabaran komponen-komponennya. Para pelaksana di daerah juga belum siap melaksanakan tatanan baru yang berani ini, sehingga ketegangan antara berbagai tingkat pemerintahan meningkat dalam waktu singkat sebagai akibat dari kesalahan pengertian dan berbagai kesenjangan dalam kerangka tersebut. Konflik-konflik di bidang perikanan, kehutanan, pendidikan dan berbagai bidang lainnya timbul2 sehingga semakin mendorong dilakukannya perubahan dalam undang-undang kerangka desentralisasi — sebagai akibat dari situasi yang semakin memuncak, diterbitkanlah PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan3 sebagai penjabaran dari ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hasil tinjauan terhadap revisi kerangka desentralisasi tahun 2004 yang dilaksanakan oleh pemerintah dan proyek-proyek dukungan para donor mengungkapkan bahwa masih terdapat beberapa tantangan besar dalam hal pembagian urusan – sebagian bahkan berasal dari ketentuan-ketentuan yang baru itu sendiri4. Karena menyadari bahwa revisi ini belum sepenuhnya mengatasi kesenjangan-kesenjangan dan kelemahan-kelemahan dalam kerangka awal maka Pemerintah Republik Indonesia (RI) telah menerima tawaran para donor untuk melaksanakan suatu studi guna mendalami kemajuan yang telah dicapai, hambatan-hambatan yang masih tersisa dan peluang-peluang untuk membuat kerangka pembagian urusan yang lebih kuat, stabil dan efektif (lihat Kerangka Acuan Kerja untuk studi ini dalam Lampiran 1). Hasil studi ini berguna bagi Pemerintah Indonesia maupun 1

Konferensi Tingkat Menteri Se-Asia Timur tentang Penegakan Hukum Kehutanan dan Tata Pemerintahan, di Bali, Indonesia (2001), Deklarasi Tingkat Menteri tanggal 11-13 September 2001; hal 1. 2 Lihat, misalnya, Kerangka Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir: Tinjauan Penting dan Rekomendasi, Pengelolaan Samudera dan Pesisir, Jilid 49, Butir 1-2, Hal 68-92, oleh Dirhamsyah D. (2006). 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 4 Lihat DRSP (2006). Inventarisasi Upaya Reformasi di Bidang Desentralisasi di Indonesia – Laporan Utama, yang disusun untuk Kelompok Kerja Donor di Bidang Desentralisasi.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

1


para donor yang ingin mendukung upaya-upaya berkelanjutan Pemerintah Indonesia di bidang desentralisasi. Studi ini dipandu oleh staf GTZ - Advisory Support Services for Decentralization5, dan didanai oleh Decentralization Support Facility/DSF; studi ini termasuk dalam bidang fokus DSF ―Penguatan Kerangka Lintas Pemerintah‖ (Strengthening Intergovernmental Framework). Studi ini dilaksanakan melalui kerjasama yang erat dengan para mitra yang sangat penting; Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Bappenas dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), untuk memastikan terjaganya relevansi dan mendukung pembangunan kapasitas instansi-instansi tersebut di bidang pembagian urusan. Secara spesifik, studi ini mengemukakan kekuatan dan kelemahan dari tatanan pembagian urusan saat ini berdasarkan isi kebijakan dan peraturan maupun tanggapan stakeholder (lihat Lampiran 2 tentang daftar narasumber utama yang memberikan informasi untuk studi ini). Hasil analisa ini diharapkan akan bermanfaat bagi proses revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang diperkirakan akan berlangsung sampai akhir tahun 2008. Meskipun telah dilakukan untuk ketiga kalinya dalam periode reformasi Indonesia, revisi tersebut kemungkinan belum akan mencapai hasil yang sempurna dan lengkap. Oleh karena itu, studi ini juga memberikan perspektif untuk jangka waktu yang lebih panjang agar dapat lebih memperkuat dan menyelaraskan kerangka kebijakan dan kerangka hukum, dan studi ini juga mendorong dukungan multi-donor yang lebih selaras (harmonized) dalam mendukung tujuan-tujuan yang berjangka lebih panjang tersebut. Studi ini melibatkan sejumlah pembahasan dengan tim yang ditunjuk pemerintah berkenaan dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Sebuah laporan awal telah disampaikan kepada Pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 2007. Sebuah presentasi disampaikan kepada para donor DSF pada pertengahan November yang lalu, dan sebuah presentasi terpisah disampaikan kepada para stakeholder Indonesia dan sejumlah donor pada akhir bulan November. Kesempatan untuk mengulas draft laporan tersebut diberikan di akhir bulan Desember. Draft laporan ini digunakan dalam rangka pembahasan ASSD tentang revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan khususnya isu Standar Pelayanan Minimum pada bulan Maret 2008. Draft laporan ini juga digunakan oleh USAID-DRSP untuk mendukung kegiatannya dengan mitra utama pemerintah di bidang pemekaran wilayah (territorial reform). Selain itu, staf Bappenas juga telah menunjukkan minatnya untuk memanfaatkan draft laporan ini untuk memainkan peran mereka dalam mendukung otonomi daerah. Draft akhir laporan ini akan disebarluaskan kepada pihak pemerintah, donor dan para stakeholders. 2.

Ruang lingkup dan metodologi studi

Studi ini meninjau perkembangan pembagian urusan sejak era pra-desentralisasi (berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah) sampai awal era reformasi tahun 1999 serta revisi baru-baru ini yang mencapai puncaknya melalui PP Nomor 38 Tahun 2007 (yang menjabarkan revisi yang dimuat dalam UU Nomor 32 Tahun 2004). 5

Suatu kerjasama antara Kementerian Federal di Bidang Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ), yang diimplementasikan melalui GTZ, dengan Departemen Dalam Negeri. GTZ menyediakan dukungan bagi Depdagri dan badan-badan lain di tingkat pusat dalam menginisiasi dan melembagakan pembuatan kebijakan secara partisipatif dan transparan di bidang desentralisasi dan pemerintahan daerah. GTZ telah cukup lama memberikan dukungan kepada Pemerintah Indonesia di bidang pembagian urusan.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

2


Pembagian kewenangan pendapatan pemerintah tidak dibahas (hal ini diperlakukan secara terpisah dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah) tetapi kesesuaian antara urusan pemerintahan dengan pembiayaan akan sedikit disinggung. Istilah pembagian urusan (functional assignment) digunakan dalam studi ini karena konsepnya lebih luas daripada ―pembagian belanja pemerintah‖ (expenditure assignment); istilah pembagian urusan lebih cenderung mencakup tatanan keseluruhan peran dan jenis urusan di antara berbagai tingkat pemerintahan dan mempertegas kegiatan-kegiatan yang mungkin tidak membutuhkan dana dalam jumlah besar namun sangat penting bagi tata kelola pemerintahan (misalnya pengaturan perdagangan). Pembagian urusan meliputi sejumlah elemen, dan sesuai atau tidaknya elemen-elemen tersebut perlu dilihat dari pilihan elemen-elemen yang spesifik serta kesesuaian di antara elemen-elemen yang dipilih (keseluruhan tatanannya). Studi ini memeriksa tatanan secara keseluruhan beserta elemen-elemen utamanya: 1. Tatanan secara keseluruhan (asas pemerintahan, peran dan struktur) 2. Kerangka hukum dan mekanisme untuk penyesuaian yang masih berjalan 3. Peran gubernur dan pemerintah provinsi 4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan 5. Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan 6. Konsep urusan-urusan konkuren 7. Perumusan urusan 8. Urusan wajib/Standar Pelayanan Minimum 9. Urusan pilihan/hak inisiatif 10. Urusan ditingkat pemerintah kecamatan 11. Urusan ditingkat pemerintah desa 12. Kesesuaian organisasi dengan urusan 13. Pembagian urusan di daerah-daerah otonomi khusus 14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan 15. Proses pembagian urusan dan peningkatan kapasitas yang diperlukan Berdasarkan temuan-temuan yang terkait dengan status kerangka dan proses pengembangan kebijakan yang diterapkan, maka disarankan agar diambil upaya-upaya peningkatan kapasitas yang dapat memperkuat pembuatan kebijakan di bidang ini. Karena pembagian urusan bersifat kompleks maka akan lebih baik jika dibentuk jaringan akademisi/pakar di bidang ini, di Indonesia, untuk mendukung Pemerintah dalam upayaupayanya di masa mendatang. Oleh karena itu, studi ini memanfaatkan pendapat-pendapat para akademis baik tentang isu substantif maupun pendekatan peningkatan kapasitas yang diperlukan untuk mengembangkan jaringan kebijakan (policy network) di masa mendatang. Studi ini juga mencakup pandangan-pandangan asosiasi pemerintah daerah dan uraian mengenai peluang-peluang untuk melaksanakan peningkatan kapasitas para pelaksana dalam merealisasikan kebijakan dan ketentuan-ketentuan hukum tentang pembagian urusan. Selain itu, disinggung juga peran dukungan dari para donor. Dalam studi ini, dilakukan analisa terhadap perangkat hukum yang ada, media massa (untuk mencakup pembahasan/diskusi yang lebih luas), pertemuan-pertemuan baik individu maupun kelompok, dengan narasumber utama/stakeholder untuk memastikan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

3


pendapat-pendapat tentang isu-isu substantif dan prosedural, serta dua lokakarya untuk mempresentasikan hasil-hasil temuan. 3.

Struktur laporan

Laporan terbagi menjadi tiga bagian di mana bagian pertama menjelaskan konteks historis dan tatanan yang ada saat ini. Kemudian kajian mengenai kelima belas pokok pembagian urusan; setiap bagian mencakup sebuah isu tertentu dan diawali dengan latar belakang praktik internasional kemudian dilanjutkan dengan status di Indonesia dan ditutup dengan rekomendasi. Dalam sub-bagian yang terakhir, kemungkinan peran para donor diidentifikasi sejauh dipandang relevan.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

4


I. POKOK-POKOK DALAM KERANGKA SAAT INI 1. Perubahan kerangka pembagian urusan di Indonesia Sebelum era reformasi (berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), proses desentralisasi di Indonesia berjalan dengan lamban dan dekonsentrasi menjadi asas pemerintahan yang dominan. Peningkatan pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan berbagai cara di berbagai sektor. Desentralisasi seringkali ditujukan ke tingkat provinsi, dengan harapan agar urusan pemerintahan dapat berjenjang sampai ke tingkat kabupaten/kota—namun pada praktiknya, pergerakannya sampai ke tingkat kabupaten/kota berjalan sangat lambat. Perubahan kerangka pembagian urusan sejak masa pra-desentralisasi sampai reformasi periode kedua, diuraikan lebih lanjut di Tabel 1. Tabel tersebut memperlihatkan kelanjutan pengaturan secara sentralisasi dan desentralisasi, perubahan-perubahan penting dalam reformasi periode pertama dan revisi atau penjabaran dalam periode reformasi yang kedua. Kemajuan yang dicapai tidak selalu bersifat linier, beberapa gagasan yang berani ada yang sempat dicoba lalu ada yang dibatalkan dan ada yang diterapkan dengan tingkat keberhasilan yang beragam. Pengalaman di daerah memberikan umpan balik yang berharga mengenai pokok-pokok yang dinilai sukses dan aspek yang perlu ditinjau ulang. Banyak diskusi diadakan untuk membahas urusan-urusan yang seharusnya berhubungan dengan sektor atau tingkat pemerintahan tertentu. Pembahasan ini kadangkala tidak hanya terbatas pada lingkup organisasi pemerintah pusat namun jarang difokuskan pada tatanan secara keseluruhan sebagaimana yang diuraikan dalam elemen-elemen kolom sebelah kiri Tabel 1. Tinjauan yang lebih luas ini menjadi bidang tugas pejabat Departemen Dalam Negeri yang didukung oleh beberapa masukan dari kalangan akademisi dan donor. Bahkan dalam lingkup yang sempit ini, tidak terlalu banyak dilakukan kajian terhadap model terdahulu dan opsi-opsi yang ada saat ini dari pengalaman luar negeri dan kalaupun dilakukan, pelaksanaannya tidak berkelanjutan. Reformasi desentralisasi periode pertama mulai dilaksanakan dalam suasana politik yang kurang mendukung dan ditengah masalah disintegrasi bangsa. Asosiasi pemerintah daerah masih belum terbentuk, atau tidak bersifat independen. Gaya konsultasi yang digunakan masih merupakan warisan Orde Baru. Sumber daya akademis terbatas dan sering ditunggangi kepentingan pemerintah. Reformasi merupakan urusan yang tidak terbuka dan dilaksanakan dengan tergesa-gesa6. Hasilnya adalah tatanan yang mengejutkan, terutama karena memberikan wewenang yang sangat besar kepada kabupaten/kota, namun tidak menyediakan pengaturan sistem pembiayaan dan pengawasan yang semestinya agar tatanan tersebut efektif. Memang diakui bahwa ―euforia otonomi‖ tercipta ketika sebagian besar Bupati/Walikota yang diberikan kuasa dan kebebasan menganggap otonomi sebagai bukti bahwa mereka dengan tegas berkuasa atas ―kerajaan kecil‖ mereka sendiri. Tidak lama kemudian, mulai timbul ketegangan antar berbagai tingkat pemerintahan karena mereka memperebutkan kekuasaan atas urusan-urusan yang menguntungkan. Pada saat yang sama, timbul kekhawatiran bahwa urusan di bidang pelayanan dengan biaya tinggi 6

Patut diperhatikan bahwa salah satu proyek dukungan donor (Dukungan GTZ untuk Tindakan Desentralisasi) digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan masukan; pengaruhnya terhadap formulasi akhir UU Nomor 22 Tahun 1999 lebih terbatas daripada akses yang tidak pernah ada sebelumnya ke penyusunan undang-undang yang diusulkan tim.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

5


tidak mendapatkan perhatian yang memadai dan bahwa konsep ―urusan wajib‖ yang disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 penjabarannya masih kurang jelas untuk membantu membimbing pemerintah daerah. Reformasi periode kedua merupakan upaya untuk meluruskan persepsi pemerintahpemerintah daerah yang masih belum sesuai, dan mempererat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Pembagian urusan ―sisa‖ yang bersifat kabur diganti dengan daftar positif urusan wajib, dan ketentuan Standar Pelayanan Minimum yang terkait diperkuat.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

6


Tabel 1: Perubahan kerangka pembagian urusan sejak tahun 1974 Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5 Tahun 1974)

Reformasi babak pertama (UU No. 22 Tahun 1999)

Prinsip/fokus/kriteria desentralisasi

―Nyata‖ (sesuai dengan kapasitas/situasi daerah) dan ―bertanggung jawab‖ (terdiri dari hak dan kewajiban) dengan menekankan otonomi pada daerah tingkat dua (kabupaten/kota). Desentralisasi berdasarkan kriteria ―efisiensi‖ dan ―efektivitas‖.

―Otonomi luas‖ ditambahkan kepada ―nyata‖ dan ―bertanggung jawab‖, dengan tetap menekankan otonomi pada kabupaten/kota. Provinsi memiliki otonomi yang ―terbatas‖.

―Otonomi seluas-luasnya‖ – dengan pembagian urusan berdasarkan kriteria efisiensi, eksternalitas dan akuntabilitas.

Konsep politik/hukum mengenai desentralisasi (devolusi)

Desentralisasi adalah penyerahan urusan dari pemerintah pusat (eksekutif), atau daerah tingkat yang lebih tinggi, ke daerah – menjadi urusan daerah itu sendiri.

Desentralisasi adalah penyerahan urusan dari pemerintah pusat (eksekutif) ke daerah otonom dalam kerangka NKRI

Desentralisasi adalah penyerahan urusan dari pemerintah pusat (eksekutif) ke daerah – untuk mengatur dan mengelola – dalam kerangka NKRI.

Asas pemerintahan

Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi dan tugas pembantuan

Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi dan tugas pembantuan

Peran kepala daerah

Kepala pemerintah daerah dan kepala wilayah (wakil pemerintah pusat-CG); di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Kepala pemerintah daerah dan (untuk Gubernur) kepala wilayah (sebagai wakil pemerintah pusat). Bupati/Walikota tidak lagi berperan ganda.

Kepala pemerintah daerah dan (untuk Gubernur) kepala wilayah (sebagai wakil pemerintah pusat). Serupa dengan reformasi sebelumnya.

Hirarki antara tingkat-tingkat pemerintahan daerah

Tercermin dalam mekanisme yang bersifat berjenjang untuk mendesentralisasikan urusan-urusan. Terdapat dalam peran ganda kepala daerah (garis komando dari Presiden turun kepada kepala daerah).

Penolakan yang tegas terhadap gagasan hirarki di antara tingkat pemerintahan; menimbulkan kekacauan (dan euforia otonomi) – mengabaikan elemenelemen kerangka lain yang memang mencerminkan bentuk hirarki (misalnya, Gubernur bertindak sebagai wakil Pemerintah Pusat).

Penjelasan mengenai penolakan hirarki dihapuskan namun peran antara tingkat-tingkat pemerintahan daerah sebagian besar masih tidak jelas atau tidak konsisten – hirarki terlihat dengan jelas dalam peran pengawasan, pembinaan, koordinasi dan perencanaan provinsi terkait dengan tingkat kabupaten/kota (PP No. 38 Tahun 2007).

Tatanan secara keseluruhan dari pembagian urusan

Undang-undang menetapkan peraturan pemerintah sebagai mekanisme penyerahan urusan secara spesifik; intinya suatu konstruksi “ultra vires”; provinsi

Urusan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi disusun, dan urusan ―sisa‖ untuk pemerintah kabupaten/kota (bentuk radikal dari

Berpotensial dilihat sebagai ―general competence‖ dibarengi dengan daftar positif: urusan untuk pemerintah pusat disusun dan juga urusan wajib untuk pemerintah provinsi dan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32 Tahun 2004)

7


Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5 Tahun 1974) dan kabupaten/kota terikat dengan urusan yang secara spesifik diserahkan kepada mereka.

Reformasi babak pertama (UU No. 22 Tahun 1999) ―general competence‖ untuk tingkat ini).

Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32 Tahun 2004) pemerintah kabupaten/kota. Namun, karena ―urusan pilihan‖ tidak sejalan dengan konsep internasional maka struktur ini tampaknya akan kembali ke “ultra vires”.

Pelaksanaan/kinerja yang diharuskan

Tidak jelas ... ad hoc melalui sistem pemantauan/ pengawasan

Urusan wajib dan standar pelayanan minimum mulai diterapkan namun tidak cukup penjabarannya dan tidak koheren.

Urusan wajib dan standar pelayanan minimum ditekankan. Dilengkapi dengan urusan ―pilihan‖. Semua ini masih belum cukup koheren.

Tugas dekonsentrasi

Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat, atau Kepala Wilayah (sebagai wakil pemerintah pusat) atau kepala unit dekonsentrasi kepada para pejabat pemerintah pusat di daerah.

Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada instansi vertikal atau Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Definisi dalam undang-undang kerangka tidak konsisten; Menurut UU No. 32 Tahun 2004, pelimpahan wewenang dapat dilakukan kepada instansi vertikal atau Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, tetapi menurut UU No. 33 (mengenai keuangan) hanya dapat dilakukan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Tugas pembantuan

Tugas dari pemerintah pusat, atau pemerintahan daerah yang lebih tinggi, kepada pemerintahan daerah (di mana pemerintahan daerah merupakan gabungan dari kepala daerah sebagai eksekutif dan legislatif daerah). Juga dari pemerintah pusat dan pemerintahan daerah kepada tingkat desa (dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 1979).

Penugasan oleh pemerintah pusat kepada daerah dan desa, dan oleh daerah kepada desa [provinsi tidak dapat memberikan tugas kepada kabupaten/kota]

Pemerintahan daerah merupakan entitas penerima tugas (PP No. 38 Tahun 2007, pasal 161.c). Pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada tingkat yang lebih rendah.

Hubungan pembiayaan

Secara garis besar terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1974 tetapi tidak ada hubungan yang jelas dengan urusan (kecuali dalam tugas pembantuan).

Pembiayaan secara garis besar diuraikan dalam UU No.22 Tahun 1999 dengan penjabaran dalam UU NO. 25 Tahun 1999. Inkonsistensi dan ketidakjelasan hubungan antara urusan dan pembiayaan.

Pembiayaan secara garis besar diuraikan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dengan penjabaran dalam UU No.33 Tahun 2004; Inkonsistensi dan ketidakjelasan hubungan antara urusan dan pembiayaan. Dekonsentrasi masih sangat dipraktekkan dalam kenyataan.

Mekanisme penyesuaian pembagian urusan dari waktu ke

Peraturan pemerintah untuk urusanurusan dan daerah-daerah secara spesifik;

Urusan sisa untuk kabupaten/kota berarti tidak dibutuhkan mekanisme

Konsep ―urusan sisa‖ untuk urusan yang tidak disebutkan dalam PP No. 38 Tahun 2007.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

8


waktu

Urusan pemerintah desa

Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5 Tahun 1974) provinsi harus menyerahkan sebagian urusan. Prakteknya, perkembangan urusan provinsi berlangsung lambat dan penerusan ke kabupaten/kota hampir diabaikan.

Reformasi babak pertama (UU No. 22 Tahun 1999) (meskipun diterapkan proses ―pengakuan‖ yang berlebihan dan membingungkan). Tidak ada mekanisme yang jelas untuk menyesuaikan daftar urusan pemerintah pusat/provinsi.

Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32 Tahun 2004) Menetapkan kriteria (sama seperti urusan-urusan yang dicantumkan) untuk menentukan tingkat pelaksana urusan dan harus mendapatkan persetujuan Depdagri atas urusan-urusan tersebut. Tidak membedakan antara urusan wajib dan urusan pilihan, atau menjelaskan prosesnya.

Dibahas tersendiri dalam UU No. 5 Tahun 1979; membutuhkan perda. Urusan rumah tangga disebutkan namun tidak jelas dan juga tugas pembantuan yang tidak jelas dari tingkat mana.

Pemerintahan desa diletakkan dibawah undang-undang tentang pemerintah daerah; urusan-urusan termasuk yang bersifat ―asli‖, yang bukan diambil oleh tingkat yang lebih tinggi, dan tugas pembantuan dari tingkat yang lebih tinggi, terutama kabupaten (kota tidak disebutkan).

Bersifat asli, urusan diserahkan berdasarkan peraturan dan tugas pembantuan dari semua tingkat yang lebih tinggi (termasuk kota).

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

9


Reformasi desentralisasi periode kedua mengenai pembagian urusan agak berlarut-larut dengan peraturan pemerintah pokok (PP Nomor 38 Tahun 2007) yang menguraikan daftar urusan secara spesifik baru dikeluarkan tiga tahun setelah ditetapkannya undangundang yang mewadahinya. Ada yang berpendapat bahwa reformasi periode kedua hanyalah penyesuaian reformasi sebelumnya; yang lain berpendapat bahwa reformasi periode kedua ini merupakan kebalikan dari reformasi progresif sebelumnya. Satu hal yang jelas, yaitu bahwa reformasi periode kedua tidak mengatur pembagian urusan dalam arti yang utuh. Berbagai elemen kerangka desentralisasi atas pembagian urusan tidak diuraikan secara lengkap dan beberapa elemen masih kurang diperhatikan. Laporan ini menguraikan setiap elemen penting dari pembagian urusan dalam Bab II. Tetapi, sebagai latar belakang pembahasan tersebut, ada gunanya untuk membahas atau meringkas elemen-elemen utama tatanan pembagian urusan yang ada saat ini pada bab berikut ini. 2. Elemen-elemen utama dalam tatanan saat ini Gambar 1 (Tatanan Pembagian Urusan di Indonesia dalam UU Nomor 32 Tahun 2004) memperlihatkan bahwa beberapa perubahan penting dari tatanan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 ke UU Nomor 32 Tahun 2004 saat ini merupakan penjelasan urusan-urusan wajib (konsep awalnya dimuat dalam UU Nomor 22 Tahun 1999) dan tambahan urusanurusan pilihan. Selain itu, tugas-tugas pembantuan pada dasarnya mempunyai beberapa kemungkinan lain yang berasal dari setiap tingkat ke tingkat di bawahnya. Pada UU Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah provinsi tidak dapat menyerahkan tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten/kota; ini merupakan bagian dari ―penolakan‖ terhadap hirarki yang secara eksplisit dicantumkan dalam undang-undang tersebut. Peran ganda gubernur dipertahankan dalam kerangka saat ini. Sehingga, gubernur dianggap sebagai aparat dekonsentrasi pemerintah pusat, disamping sebagai kepala pemerintah provinsi. Bupati/Walikota tetap memegang peran tunggal (kepala pemerintah daerah). Dalam kerangka saat ini, urusan rumah tangga dari provinsi dan kabupaten/kota mencakup urusan wajib maupun pilihan. Daftar awal yang luas (dan tidak terlalu jelas) terdapat dalam undang-undang itu sendiri7, dan daftar urusan yang terinci dicantumkan dalam peraturan pemerintah secara terpisah yaitu PP Nomor 38 Tahun 2007.8 Tatanan di atas dijabarkan dengan lebih baik daripada yang banyak ditemukan di negaranegara berkembang atau maju. Tatanan ini mempertegas tiga asas pemerintahan: urusan desentralisasi, tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi.9 Tatanan ini berupaya memperjelas apa harus dilakukan oleh pemerintah daerah, dan tatanan ini juga menetapkan standar kinerja (minimum) yang spesifik dalam penyediaan pelayanan dasar. 7

Yang seharusnya memperlihatkan bahwa urusan-urusan tersebut berasal dari ―negara‖ dan bukan hanya pemerintah pusat – berbeda dengan definisi desentralisasi yang terdapat dalam undang-undang yang sama. 8 Dengan konstruksi ini, urusan sendiri daerah dapat dianggap berasal dari pemerintah pusat – yang bertentangan dengan pendapat bahwa urusan-urusan tersebut berasal dari negara melalui undang-undang (seperti yang tampaknya juga dituntut dalam Undang-Undang Dasar). 9 Istilah-istilah ini digunakan dalam bahasa Indonesia: urusan desentralisasi, tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

10


Dalam hal ini, tatanan ini menjadi dasar yang menjanjikan untuk upaya yang lebih rinci yang diperlukan untuk melengkapinya. Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab berikutnya, tatanan yang tampaknya cukup kuat ini masih mempunyai masalah pada beberapa elemen atau aspek. Gambar 1: Tatanan Pembagian Urusan di Indonesia dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Urusan Pemerintah Pusat

Urusan Pemerintah Daerah (pasal 11.3)

(pasal 10.4) Urusan Wajib

Daerah

Nasional

Pelaksanaan Langsung

Dekonsentrasi

Departemen Kementerian Negara Lembaga NonDepartemen

(psl 228)

Urusan Pilihan

Tugas pembantuan

(pasal 13/14)

(psl 37)

Tugas pembantuan (pasal 2)

Lembaga Vertikal Gubernur (sbg wakil Pemerintah Pusat)

Provinsi Kabupaten/Kota

Desa

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

11


II. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN TINDAKAN YANG DIPERLUKAN Pada pembahasan masing-masing masalah diuraikan latar belakang praktik internasional, yang diikuti dengan uraian atau analisa situasi di Indonesia dan akhirnya opsi-opsi kebijakan atau tindak lanjut yang diperlukan. 1. Tatanan secara keseluruhan: asas pemerintahan, peran dan struktur Praktik Internasional Asas pemerintahan desentralisasi Tiga asas pemerintahan klasik telah secara luas dikutip dalam berbagai literatur: dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan devolusi. Dengan membatasi pembahasan hanya pada bidang pemerintahan (dengan struktur negara kesatuan) maka asas pemerintahan dapat dipahami sebagai10:  Dekonsentrasi adalah pelimpahan tugas-tugas administratif oleh kantor pemerintah pusat kepada wakil-wakil atau kantor-kantor cabangnya yang tersebar di wilayah nasional dalam pola fungsional/administratif yang sesuai kebutuhan organisasi tersebut.  Tugas pembantuan adalah tugas yang diserahkan kepada pemerintahan daerah atau kepada instansi khusus/semi-otonom yang akan dilaksanakan atas nama pemerintah/organisasi pusat yang memberikan tugas tersebut. Instansi penerima tugas secara demokratis bertanggung jawab kepada warganya tetapi juga harus melaporkan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada instansi pemberi tugas.  Devolusi adalah penyerahan urusan, kuasa dan sumber daya yang diperlukan kepada pemerintahan daerah (termasuk dewan daerah/DPD) yang mempunyai otonomi yang luas dan secara demokratis bertanggung jawab kepada warga-warganya. Pelaporan diarahkan terutama kepada dewan daerah, namun juga kepada pemerintah pusat. Perbedaan yang lebih rinci dapat dilihat dalam Lampiran 3 (Tipologi urusan/tugas terdesentralisasi). Peran/hirarki pemerintah daerah di berbagai tingkatan Berbagai pilihan dimungkinkan jika terdapat lebih dari satu pemerintah daerah. Dalam sistem federal, unit-unit formatif adalah unit-unit yang lebih dominan dibandingkan dengan pemerintah daerah di negara-negara kesatuan. Unit-unit tersebut seringkali mempunyai yurisdiksi tunggal atas pemerintah daerah bawahannya (seperti di Amerika Serikat dan Kanada) atau yurisdiksi bersama (seperti di Jerman dan India). Di negaranegara kesatuan, terdapat berbagai hubungan hirarki di antara pemerintah-pemerintah daerah. Sebagian besar pengawasan/pembinaan dapat berasal dari tingkat pemerintah daerah yang lebih tinggi. Hal ini dapat melekat pada sistem pemerintahan daerah itu sendiri (misalnya daerah-daerah di Italia dan propinsi-propinsi di Filipina) atau dapat ditetapkan sebagai pelaksanaan tugas atas nama pemerintah pusat/negara (misalnya governorates di Yaman dan propinsi-propinsi di Kamboja) – pada dasarnya, inilah yang 10

Lihat contohnya Rondinelli (1981). Banyak perbaikan atau penyimpangan dari definisi Rondinelli dapat ditemukan, dan mode-azas pemerintahan yang disajikan dalam bagian ini diberikan oleh Gabriele Ferrazzi.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

12


dimaksud dengan tugas pembantuan. Dapat dikatakan bahwa di negara-negara kesatuan, khususnya yang sangat memperhatikan masalah persatuan dan kesatuan bangsa, pemerintah pusat ingin menangani secara langsung semua tingkat pemerintah daerah, dan akan mendelegasikan peran pengaturan dan pengawasan kepada pemerintah daerah yang lebih tinggi hanya jika hal tersebut dianggap tidak mengancam kepentingan nasional. Opsi untuk memberikan peran ganda kepada pemerintah daerah atau pejabat/politisi tertentu di tingkat daerah (di mana selain orientasi pemerintah daerah, juga terdapat perwakilan pemerintah pusat di daerah) merupakan salah satu mekanisme yang memungkinkan dilaksanakannya pendelegasian seraya tetap melakukan pengawasan. Belum terdapat survei dalam literatur yang tersedia mengenai pola-pola tata kelola pemerintahan yang berfokus pada masalah hirarki antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sulit untuk mengidentifikasi praktik-praktik yang baik dalam bidang ini. Tampaknya ada berbagai pendekatan yang dapat diterapkan dan pilihan pendekatan tersebut harus berhubungan dengan stabilitas politik keseluruhan dan tuntutan otonomi dari semua tingkat pemerintah daerah. Secara khusus, pemerintah pada tingkatan lebih rendah dapat diberikan wewenang untuk berperan dalam menetapkan kerangka bagi tingkat-tingkat pemerintahan yang lebih rendah dan membina mereka, asalkan peranan ini tidak berpotensi mengancam pemerintah pusat. Struktur urusan pemerintah daerah Salah satu cara pembagian urusan adalah dengan membuat daftar terperinci mengenai apa yang dapat atau harus dilakukan oleh pemerintah daerah (daftar ―positif‖). Tindakan ini memberikan kejelasan dan merinci batas-batas kewenangan pemerintah daerah sebagaimana yang tercantum dalam daftar sehingga tindakan pemerintah daerah selain yang tercantum dalam daftar adalah ―ultra vires‖ (di luar batas hukum). Daftar positif dapat dilengkapi dengan daftar ‗negatif‘; apa yang berada diluar wewenang pemerintah daerah. Bahkan sekalipun prinsip ultra vires tidak secara eksplisit disebutkan sebagai pola yang dianut, penggunaan sebuah daftar urusan dapat membuat pemerintah daerah berhatihati karena secara implisit memahami bahwa mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak tercantum dalam daftar tersebut. Di negara-negara OECD di mana sistem desentralisasi telah lama dianut, ataukah di mana pemerintah lokal merupakan titik tolak bagi tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, urusan-urusan yang diberikan kepada pemerintah daerah cenderung bersifat sangat luas, secara de facto. Dalam kasus-kasus tertentu, pola ini juga terlihat secara de jure (misalnya swatantra di beberapa daerah dari negara bagian AS). Namun, selama beberapa dekade, konstruksi ultra vires umumnya menjadi dominan sejalan dengan perkembangan pemerintahan, menjadi lebih formal dan lebih terpusat. Baru selama dua dekade terakhir kecenderungan ini menjadi terbalik. Tinjauan terhadap pembagian urusan baru-baru ini dilakukan di seputar dunia yang menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih fleksibel (misalnya propinsi-propinsi di Kanada, negara-negara bagian di Australia dan pemerintah lokal di Inggris). Di banyak negara, pemerintah daerah tingkat tertentu, yang secara skala memadai, ditargetkan menjadi tingkat penyedia utama pelayanan publik, dan berbagai upaya dilakukan untuk memastikan bahwa tingkat pemerintahan tersebut dapat berfungsi sebagai ―pemerintahan untuk tujuan umum‖ (general purpose local government) yang diberikan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

13


kuasa untuk memenuhi berbagai kebutuhan warganya.11 Ketentuan ini lebih banyak disertai dengan konstruksi urusan ―general competence‖, yang berarti bahwa urusanurusan tidak dicantumkan secara rinci melainkan secara garis besar untuk memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada pemerintah daerah bertindak dalam memenuhi mandatnya. Meskipun general competence tampaknya cukup berpengaruh, konstruksi ini kadangkala salah dimengerti. Konstruksi ini umumnya ditemukan dalam undang-undang pokok tentang pemerintah daerah/desentralisasi, tetapi undang-undang ini biasanya berdampingan dengan sejumlah undang-undang lain (misalnya undang-undang sektoral, undang-undang pengadaan barang/jasa dan undang-undang perencanaan) yang mewajibkan atau melarang urusan/pelayanan dan menetapkan standar kinerja. Sehingga pada praktiknya, negara-negara OECD dengan general competence sebenarnya mempunyai gabungan/hibrida antara konstruksi general competence dan konstruksi ultra vires. Status di Indonesia Seperti yang diperlihatkan Gambar 1 dalam bab pembuka, Indonesia menerapkan beberapa asas pemerintahan yang serupa dengan ―model internasional.‖ Urusan devolusi di Indonesia (yang juga disebut urusan ―desentralisasi‖) berhubungan dengan urusan wajib dan pilihan. Meskipun lebih sesuai dengan model internasional, kerangka yang ada saat ini menghadapi masalah-masalah sebagai berikut:

11

Tidak ada kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan skala yang memadai, tetapi pemerintah daerah ―untuk tujuan umum‖ yang menyediakan sejumlah pelayanan penting (pendidikan dasar, perawatan kesehatan primer/preventif, air bersih dan sanitasi, jalan daerah) mulai realistis bila jumlah penduduk perkotaan (yang cukup padat) melebihi 10.000 jiwa. Efisiensi diyakini lebih mudah dicapai ketika jumlah penduduk mencapai 100.000 jiwa atau lebih.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

14


Tugas Pembantuan yang Lenyap Terdapat perubahan pemahaman tentang tugas pembantuan dalam satu dekade terakhir; tugas pembantuan sekarang dianggap sebagai tugas yang diberikan/dibiayai secara ad hoc atau sementara, dan praktiknya, tidak lagi dipergunakan secara umum seraya desentralisasi dan dekonsentrasi menjadi dominan. Dalam PP Nomor38 Tahun 2007, hanya sedikit tugas pembantuan yang dicantumkan12. Urusanurusan yang tercantum dalam PP 38 yang seharusnya jelas merupakan tugas pembantuan tidak dinyatakan secara eksplisit (misalnya membantu ujian nasional). Sebuah rancangan peraturan pemerintah yang baru (versi Oktober 2007) menyejajarkan tugas pembantuan dengan tugas dekonsentrasi sehubungan dengan asal tugas, pembiayaan, pelaporan dan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan lembaga legislatif daerah (lihat Lampiran 4). Hal ini akan semakin membingungkan dan mungkin akan menghambat upaya untuk menemukan solusi bagi dilema ―propinsi vs. gubernur sebagai wakil pemerintah pusat‖.

 Definisi dekonsentrasi berbeda dalam undang-undang utama (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Keuangan)  Tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi sekarang sulit dibedakan.  UUD sendiri menetapkan pandangan yang menyesatkan mengenai tugas pembantuan, yaitu bahwa pemerintah daerah dapat mengatur tugas pembantuan. Istilah ini seharusnya hanya digunakan untuk ―pemilik‖ dari urusan tersebut, bukan untuk penerima tugas pembantuan.  Dalam pelaksanaannya, dekonsentrasi cenderung dipergunakan untuk mendanai urusan-urusan yang seolah-olah telah diserahkan kepada pemerintah daerah.13  Peran ganda gubernur mendukung tugas desentralisasi maupun dekonsentrasi namun menyebabkan kebingungan karena peran masing-masing tidak dapat dibedakan. Kebingungan tersebut mengakibatkan usulan aksi yang mengancam otonomi di tingkat propinsi (lihat Pasal 3 untuk pembahasan yang lebih lengkap).

Jika dilihat dari struktur urusan maka konstruksinya telah berubah dari ultra vires selama masa sentralisasi menjadi bentuk radikal general competence dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 (untuk tingkat kabupaten/kota), dan kembali lagi ke ultra vires dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 (untuk tingkat propinsi maupun kabupaten/kota). Perubahan terakhir ke ultra vires tampaknya memungkiri prinsip ―otonomi seluasluasnya‖ dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, sebuah prinsip yang dapat dikatakan mirip dengan ―subsidiarity‖. Sulit mengerti bagaimana konstruksi ―seluas-luasnya‖ dapat dibangun atas struktur yang sebenarnya ultra vires. Belum jelas apakah maksud pembuat kebijakan di Indonesia adalah untuk beralih dari prinsip konstitutional ―otonomi seluasluasnya‖ ke bentuk yang ketat ultra vires, atau apakah perubahan tersebut muncul secara tidak disengaja. Usulan Tindak Lanjut ☞ Untuk jangka menengah dan panjang, amandemen UUD mungkin akan dapat membantu memperjelas definisi ketiga general competence dan prinsip-prinsip utama

12

Lampiran PP Nomor 38 Tahun 2007 memperlihatkan sedikit urusan di bidang kesehatan dan pengelolaan tanah yang menjadi tugas pembantuan secara eksplisit. 13 Data mengenai bagian dana dekonsentrasi sulit diperoleh meskipun dana tersebut jumlahnya signifikan. Misalnya, Dinas Hortikultura di Aceh Tamiang baru-baru ini memperkirakan bahwa dana dekonsentrasi mencapai 30 persen dari belanja di sektor hortikultura di kabupaten tersebut.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

15


yang membimbing desentralisasi, yang diikuti dengan penyesuaian yang cocok dalam undang-undang untuk menyelaraskan definisi/penerapan. Untuk memperjelas asas pemerintahan, sebaiknya draft peraturan pemerintah mengenai tugas dekonsentrasi/pembantuan yang belum selesai, ditunda dulu sampai dilakukan tinjauan terhadap prinsip-prinsip yang mendefinisikannya (sebaiknya ditetapkan dalam konstitusi atau revisi UU Nomor 32 Tahun 2004). Dengan demikian peraturan pemerintah tersebut tidak perlu direvisi lagi tak lama setelah disahkan. Penting untuk memeriksa makna, kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan hirarki antara tingkat-tingkat pemerintah daerah, dengan mengacu pada asas pemerintahan yang spesifik. Konstruksi ultra vires saat ini cukup menjanjikan dari segi urusan wajib/Standar Pelayanan Minimum. Konstruksi ini dapat dibuat lebih fleksibel (lebih menyerupai ―general competence‖) melalui penyesuaian yang cermat terhadap kategori urusan pilihan, agar selaras dengan makna umum istilah tersebut dalam konteks internasional.

Praktik internasional kurang memberikan bimbingan yang jelas di bidang-bidang tersebut di atas. Namun, para donor dapat membantu dengan memfasilitasi proses yang mempunyai legitimasi dan memberikan sejumlah pandangan dan membagi pengalaman untuk dibahas. Kemungkinan, upaya-upaya yang didukung para donor di bidang pembiayaan, struktur organisasi dan pengawasan/peran propinsi/gubernur tidak akan membuahkan hasil jika tatanan dasarnya tidak dibenahi dan dijabarkan secara memadai. 2. Kerangka/mekanisme hukum untuk penyesuaian yang sedang berjalan Praktik internasional Kebanyakan negara mengakui bahwa pembagian urusan seharusnya berlangsung secara stabil namun juga dinamis seraya terjadi perubahan kondisi dari tahun ke tahun. Kerangka hukum yang digunakan sangat berbeda di tiap-tiap negara, namun ada konsensus mengenai praktik yang baik dalam hal ini. Piagam Eropa menyatakan14: ―Wewenang dan tanggung jawab dasar dari aparat lokal ditetapkan berdasarkan undang-undang dasar atau undang-undang. Namun, ketentuan ini tidak menghalangi aparat lokal diserahkan wewenang dan tanggung jawabnya yang spesifik sesuai dengan undang-undang.‖ Urusan-urusan yang ditetapkan secara konstitusional sudah umum di negara-negara federal, antara pemerintah federal dengan unit-unit formatifnya. Beberapa negara federal juga mencantumkan urusan pemerintahan daerah dalam undang-undang dasarnya, seperti di India. Negara-negara dengan struktur federal semu (misalnya Afrika Selatan) atau struktur kesatuan (misalnya Italia) juga menetapkan sebagian urusan pemerintahan daerah dalam undang-undang dasar. Di tingkat undang-undang, urusan-urusan dari suatu pemerintah daerah tertentu umumnya ditemukan dalam undang-undang pokok (dalam Gambar 2 disebut UU Pemerintahan 14

Piagam Eropa tentang Pemerintah Daerah Mandiri Strasbourg, 15.X.19

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

16


Daerah/LGA). Namun, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2, ada sejumlah undangundang lain yang juga mengatur urusan-urusan, terutama undang-undang sektoral. Peraturan yang tingkatannya lebih rendah juga sering digunakan untuk memberikan perincian dan tingkat kinerja yang diharapkan. Gambar 2: Tatanan hukum yang mempengaruhi pembagian urusan

Undang-Undang Dasar

UU Perencanaan Pemda

UU Keuangan Pemda

LGA

UU Sektor

UU Kepegawaian

Peraturan: perencanaan

Peraturan: pemilihan

Peraturan: pengawasan

Peraturan yang lebih rendah

Jika urusan-urusan ditetapkan dalam undang-undang, tidak banyak kerangka di dunia yang cukup jelas mengatur mekanisme penyesuaian dalam hal desentralisasi ataupun (re)sentralisasi lebih lanjut. Kejelasan mengenai masalah-masalah ini akan membantu menentukan ekspektasi dan memfasilitasi desentralisasi atau sentralisasi lebih lanjut. Sistem di Indonesia selama masa Orde Baru menggunakan peraturan-peraturan pemerintah, dan berbagai kemungkinan muncul di mana urusan-urusan pemerintahan pada dasarnya diserahkan dengan beberapa cara; kepada propinsi untuk dilaksanakan, atau kepada propinsi untuk diteruskan ke kabupaten/kota, atau diserahkan kepada propinsi dan kabupaten/kota. Kelemahan yang umum ditemui dalam sistem hukum di negara-negara berkembang adalah kurangnya keselarasan antara undang-undang pokok dengan undang-undang sektoral. Undang-undang sektoral tidak langsung disesuaikan dengan undang-undang pokok (atau peraturan pelaksanaannya). ―Keterlambatan Desentralisasi Sektoral‖ ini mempunyai ciriciri yang disajikan dalam kotak di bawah ini. Negara-negara seperti Yaman, Ghana, Kamboja dan India (beberapa negara bagiannya) telah mengalami keterlambatan ini. Keterlambatan Desentralisasi Sektoral Suatu negara yang mempunyai ketentuan-ketentuan konstitusional atau undang-undang pokok yang relatif progresif mengenai pemerintah daerah masih mungkin untuk memiliki kementeriankementerian sektoral yang:  Berbeda dalam memahami terminologi desentralisasi  Dengan sadar atau tidak, telah memilih dekonsentrasi, dan kadang-kadang menggunakan istilah yang lebih umum desentralisasi untuk memaksudkan dekonsentrasi.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

17


 Melampaui pemerintah daerah – ―langsung ke lembaga di daerah/rakyat‖ (misalnya transfer kapitasi kepada sekolah)  Merasa enggan melaksanakan inovasi; uji coba/percontohan merupakan akomodasi adhoc pada tekanan kelompok/donor  Mempertahankan kontradiksi/fragmentasi hukum antara UU Pemerintah Daerah dan instrumen sektoral mengenai peraturan pembagian urusan dan pengadaan barang/jasa  Tidak menunjukkan bagaimana mereka akan menyusun kembali hubungan-hubungan vertikal  Belum melaksanakan restrukturisasi kementerian agar sejalan dengan urusan-urusan sisa di tingkat pusat  Tidak memiliki rencana sektor untuk mengadakan desentralisasi atau hubungan dengan rencana desentralisasi yang lintas sektor  Mempunyai wacana internal yang terfragmentasi/kerja sama yang rendah dengan stakeholder.

Status di Indonesia Harmonisasi instrumen hukum sektoral dengan undang-undang pokok mengenai pemerintahan daerah Dalam kerangka tahun 1999 maupun 2004, Indonesia telah menggunakan undang-undang organik untuk menjabarkan prinsip-prinsip pembagian urusan dan mempertegas beberapa urusan umum. Peraturan pemerintah kemudian digunakan untuk menyediakan rinciannya (Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007). Namun, undang-undang sektoral juga berlaku yang kadang-kadang mengaburkan arti pembagian urusan atau mempunyai formulasi yang lebih bersifat terpusat daripada undang-undang pokok mengenai pemerintahan daerah. Beberapa undang-undang sektoral dikeluarkan sebelum undangundang pokok sedangkan undang-undang lainnya yang dikeluarkan setelah undangundang pokok kurang mengindahkan undang-undang pokok. Meskipun undang-undang pokok mengenai pemerintahan daerah mencantumkan ketentuan yang tampaknya mengharuskan agar undang-undang lain dan peraturan-peraturan disesuaikan dengan undang-undang pokok, keabsahan ketentuan tersebut masih dipertanyakan. Prinsip-prinsip hukum dapat digunakan untuk mendukung keunggulan undang-undang pokok maupun undang-undang sektoral. Pada akhirnya, ini menjadi dinamika politik di antara berbagai organisasi tingkat pusat yang menentukan hasil-hasilnya. Kabinet di Indonesia, karena sejumlah alasan, masih jauh dari ‗kompak‘, dan Kemendagri sendiri tidak dapat memberlakukan kebijakan lintas sektoral yang jelas. Hal ini pertanda yang kurang baik bagi upaya harmonisasi hukum. Sejauh ini, belum ada kesepakatan strategi yang jelas untuk mengharmonisasi undangundang sektoral dengan daftar sektoral yang terdapat dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Namun, Kemendagri meminta ke-31 kementerian/lembaga untuk memberikan informasi tentang instrumen hukum yang perlu disesuaikan dan urutan prioritas yang akan disesuaikan (diselaraskan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 & PP Nomor 38 Tahun 2007). Pendekatan ini belum mendapatkan tanggapan secara resmi dari lembaga-lembaga tingkat pusat tersebut sehingga Kemendagri mempertimbangkan pendekatan yang langsung berhubungan dengan daerah. Di sepuluh propinsi, upaya dilakukan untuk menilai apakah dukungan dan arahan dari departemen sektoral sesuai dengan urusan-urusan dalam PP 38. Kemudian, hasil-hasil penilaian akan disampaikan kepada pemerintah. Temuantemuan ini diharapkan akan mendorong tindakan oleh organisasi yang bersangkutan – yaitu penyesuaian instrumen-instrumen hukum yang tidak sejalan.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

18


Selanjutnya, Kemendagri berharap bahwa ketentuan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 (pasal 10) yang mengatur batas waktu dua tahun bagi kementerian-kementerian untuk menetapkan ―norma, standar, prosedur dan kriteria‖ akan mendorong kementeriankementerian untuk mengeluarkan pedoman yang memperkuat pembagian urusan. Jika dalam batas waktu yang ditentukan, norma, standar, prosedur dan kriteria tersebut belum ditetapkan maka pemerintah daerah dapat melaksanakan urusan-urusan apapun berdasarkan instrumen hukum yang ada. Sayangnya, persyaratan yang terakhir disebutkan ini membuat situasinya kembali kepada keadaan semula di mana revisi-revisi dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan sektoral. Baru-baru ini, ketua tim revisi UU 32 dari Kemendagri menjelaskan bahwa PP Nomor 38 Tahun 2007 untuk sementara waktu akan tetap berlaku dan bahwa ringkasan peraturan ini akan disusun dan dimasukkan dalam revisi undang-undang sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 bab ini, pendekatan ini diragukan efektivitasnya karena membiarkan pertentangan antara undang-undang komprehensif (omnibus) tentang pemerintahan daerah dengan beberapa undang-undang sektoral (tidak jauh berbeda dengan pertentangan antara peraturan pemerintah omnibus dengan beberapa undang-undang sektoral). Meskipun kelihatannya ringkasan yang disederhanakan tersebut membawa pengaruh yang baik bagi semua pihak yang membutuhkan penjelasan dan arahan, namun kondensasi demikian (yang dilakukan oleh tim revisi) menyingkirkan proses komunikasi dan negosiasi yang diperlukan dengan lembaga-lembaga sektoral jika formulasi baru tersebut ingin diterima oleh mereka. Penyesuaian pembagian urusan yang masih berjalan Penyesuaian urusan dari waktu ke waktu, dilakukan dengan cara yang tidak lazim dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Tidak terdapat ketentuan mengenai instrumen hukum untuk melaksanakan perubahan-perubahan lain di bidang pembagian urusan, tetapi ada beberapa ketentuan yang tampaknya relevan:  UU Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai ―mekanisme‖ evaluasi dan penggabungan untuk menangani situasi di mana urusan-urusan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.  PP Nomor 38 Tahun 2007 menambahkan ―mekanisme‖ yang tidak disebutkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004; mekanisme ini adalah mekanisme ―urusan sisa‖ di mana urusan-urusan yang tidak disebutkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 akan diserahkan menurut kriteria yang sama seperti yang dipergunakan untuk pembagian urusan yang disebutkan dalam PP, dan pemerintah pusat (Kemendagri) perlu melakukan penetapannya.  Mekanisme yang paling luas penjabarannya untuk pembagian dan perubahan urusan sebenarnya dapat ditemukan antara kabupaten/kota dan desa meskipun dalam praktiknya mekanisme tersebut belum banyak digunakan. UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 72 Tahun 2005 memperbolehkan kabupaten/kota memberikan tugas pembantuan kepada desa. Mekanisme yang digariskan dalam Permendagri 30/2006 pada dasarnya merupakan pelaksanaan yang seragam, yang meliputi semua urusan yang harus dibagikan dan mencakup semua desa (penyesuaian tampaknya dapat dilakukan). Namun, ada kemungkinan untuk menambah urusan lain secara ad hoc (berdasarkan permintaan desa). Jika dalam waktu dua tahun desa tidak dapat menangani urusanurusan tersebut maka beberapa atau semua urusan dapat ditarik kembali; caranya hal ini dilakukan akan ditentukan dalam peraturan daerah.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

19


Mekanisme penarikan kembali dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 berlaku untuk kegagalan pemerintahan daerah yang sangat parah, bukan untuk penyesuaian inkremental dalam urusan-urusan yang spesifik. Secara politik, mekanisme ini tidak layak diterapkan. Mekanisme yang lebih dapat diterima secara politik memungkinkan memindahkan urusanurusan, yang bersifat sementara maupun permanen, dari kabupaten/kota ke tingkat propinsi. Dengan adanya laju pemekaran daerah yang pesat di Indonesia (dan penyusutan luas wilayah/ukuran penduduk yang diakibatkannya) maka mungkin ini waktunya jika mekanisme demikian dapat menawarkan jalan keluar dari inefisiensi dan ketidakefektifan pembagian urusan di beberapa daerah. Mekanisme ―urusan sisa‖ yang terdapat dalam kerangka bukan hanya tidak lengkap melainkan juga tidak berhubungan dengan kategori urusan wajib atau pilihan. Pemerintah daerah sendiri berinisiatif ingin menambah ―urusan sisa‖; namun tampaknya tidak mungkin bagi pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif demikian. Masih belum jelas bagaimana pemerintah daerah atau pusat akan menerapkan kriteria untuk menentukan tingkat pemerintahan mana yang akan melaksanakan urusan sisa tersebut. Usulan Tindak Lanjut ☞

Dengan mempertimbangkan diskusi dan keputusan-keputusan yang dicapai baru-baru ini, akan bermanfaat bagi stakeholder jika Pemerintah RI secara luas mengkomunikasikan sikapnya (seperti yang baru-baru ini didiskusikan oleh tim revisi UU 32) mengenai hal-hal berikut ini: o kapan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan kira-kira akan diubah; o apa saja ruang lingkup revisi jika UU 32 diubah sebelum PP Nomor 38 Tahun 2007 diubah o apakah PP Nomor 38 Tahun 2007 akhirnya akan digantikan dengan PP omnibus yang baru, atau; o apakah akan ada upaya untuk mencantumkan urusan-urusan (pusat dan daerah) secara utuh dalam undang-undang sektoral. Pendekatan bawah-atas (bottom-up) yang diusulkan oleh Kemendagri untuk memeriksa konflik instrumen sektoral dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 dapat berguna dan patut dipertimbangkan sebagai alternatif atau pelengkap untuk penyelesaian yang lebih langsung dari tingkat pusat. Ada dua kemungkinan sebagai berikut: o Daerah-daerah percontohan didukung selama sekitar setahun (selama siklus kegiatan tahunan) untuk menilai sektor-sektor tertentu, dengan bantuan dari para donor yang aktif dalam menyediakan dukungan yang relevan di daerah. Temuantemuan dari instrumen sektoral yang bertentangan diajukan melalui berbagai saluran: asosiasi pemerintah daerah, Kemendagri, Forum Pemerintah IndonesiaDonor yang lebih luas. Fasilitasi diberikan kepada departemen-departemen sektoral dalam menyesuaikan undang-undang/peraturan agar selaras (atau menemukan kompromis) dengan PP Nomor 38 Tahun 2007. o Departemen-departemen sektoral diberikan dukungan dalam mengidentifikasi instrumen-instrumen yang perlu disesuaikan melalui Kemendagri dan dukungan donor. Kegiatan ini membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan jika digunakan tenaga

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

20


ahli sektoral. Tugas ini dapat dilaksanakan secara internal. Tetapi jika mereka kurang berminat, tugas ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak di luar departemen. Selanjutnya, fasilitasi diberikan kepada departemen-departemen sektoral dalam menyesuaikan undang-undang/peraturan agar selaras (atau mencapai kompromi) dengan PP Nomor 38 Tahun 2007. Kedua strategi di atas akhirnya akan mengandalkan kemauan departemen sektoral untuk mengadakan perubahan yang diperlukan terhadap instrumen-instrumen hukum mereka. Dukungan, dorongan dan tekanan mungkin diperlukan dalam beberapa kasus untuk melaksanakan perubahan-perubahan ini, mungkin dengan: o Mengembangkan strategi dengan organisasi-organisasi yang diharapkan akan memfasilitasi pembuatan kebijakan atau undang-undang mengenai otonomi daerah (Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah); o Meminta keikutsertaan Presiden atau Wakil Presiden dan Kabinet; o Meminta dukungan dari DPR agar mereka mendukung undang-undang yang direvisi. Apapun kemungkinan di atas, urusan-urusan yang dicantumkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 mungkin perlu disederhanakan dan dirundingkan kembali. Suatu mekanisme perlu dikembangkan untuk menangani urusan-urusan yang belum tercantum dari waktu ke waktu dapat ditetapkan menjadi urusan daerah. Kemungkinan-kemungkinan ini mencakup: o Perubahan undang-undang pokok jika urusan-urusan tersebut akan dicantumkan di dalamnya; o Perubahan undang-undang sektoral jika urusan-urusan tersebut akan dicantumkan di dalamnya; o Peraturan pemerintah (per sektor atau gabungan) sebagai tindakan ad hoc dan sementara, dengan asimilasi yang terjadi sesekali dalam undang-undang (memanfaatkan revisi yang dibuat untuk alasan-alasan lain). Penting untuk menjajaki mekanisme formal dan praktis di mana urusan-urusan dapat relatif mudah diubah di antara tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota. Hal ini hendaknya mempertimbangkan adanya asimetri – sesuai dengan tingkat kapasitas. Sistem tersebut khususnya diperlukan di daerah-daerah dalam hinterland, terutama ketika pemekaran daerah menghasilkan daerah-daerah berukuran sangat kecil dengan kapasitas administratif yang minim (misalnya Papua).

3. Peran gubernur dan propinsi Praktik internasional Secara konsep, peran ganda yang diberikan kepada beberapa pemerintah daerah/pejabat/politisi dapat dianggap sebagai memanfaatkan dua asas pemerintahan, salah satunya adalah devolusi. Tidak selalu dapat diketahui apa asas lain, apakah tugas dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Keputusan atas pilihan ini dapat mempunyai dampak yang signifikan atas pembiayaan, organisasi dan hubungan akuntabilitas, tetapi pilihan tersebut tidak selalu dibuat secara jelas. Jika kepentingan pemerintah pusat/negara dinyatakan di tingkat pemerintah daerah melalui tugas pembantuan maka tingkat pemerintahan tersebut menerimanya sebagai ―pemerintah‖

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

21


(yang diartikan komponen eksekutif maupun legislatif); dana dapat berasal dari sistem pendapatan asli daerah dan transfer secara umum, atau menyertai setiap tugas secara khusus. Tetapi dalam semua kasus, dana ini akan masuk dalam anggaran pemerintah daerah yang bersangkutan. Pengaturan ini memperlihatkan bahwa pertanggungjawaban sebagian diarahkan kepada pemerintah daerah (yaitu DPRD), sehingga tidak sepenuhnya diarahkan kepada tingkat yang memberikan tugas (dalam hal ini Pemerintah Pusat). Sebaliknya, penggunaan dekonsentrasi berarti pengaturan di luar anggaran pemerintah daerah. Selain itu, pilihan ini menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai peran fundamental pemerintah daerah; umumnya pemerintah daerah tidak ingin menganggap dirinya hanya, atau bahkan terutama, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.15 Oleh karena itu, pada umumnya para pejabat individu (yang dipilih atau diangkat), dan bukan ―pemerintah/an lokal‖ secara keseluruhan, dipercayakan dengan peran ganda yang menggabungkan peran desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi. Jika tugas desentralisasi maupun dekonsentrasi ini cukup berat maka para pejabat ini kemungkinan membutuhkan staf pelaksana sehingga memperumit struktur organisasi dan akuntabilitas. Status di Indonesia Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 diharapkan oleh sebagian stakeholder (misalnya asosiasi pemerintah kabupaten/kota) untuk mempertegas peran propinsi/gubernur, untuk memperkuat posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat – dan memberlakukan (kembali) bentuk otonomi yang dipersempit untuk propinsi (serupa dengan UU Nomor 22 Tahun 1999). Kenyataannya hal ini tidak terjadi. Pertama-tama, undang-undang dasar tidak membedakan peran jenis otonomi - tingkat propinsi atau kabupaten/kota keduanya diberikan otonomi ―seluas-luasnya‖. Selanjutnya, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, pemerintah propinsi sebagai daerah otonom mempunyai tugas yang berat terhadap kabupaten/kota di hampir semua sektor, berupa pengawasan, pemantauan dan evaluasi, fungsi kontrol, koordinasi, perencanaan dan penyelesaian konflik. Mengingat wacana sebelumnya maka yang menarik adalah bahwa peran-peran ini diberikan kepada pemerintah propinsi sebagai urusan desentralisasi (devolusi). Meskipun asas pemerintahan menimbulkan beberapa persoalan penting di bidang akuntabilitas khususnya bagi pemerintah pusat - negara kesatuan, alternatif untuk konstruksi ini mempunyai lebih banyak masalah dalam berbagai aspek. Opsi untuk memperkuat gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dewasa ini lebih sulit dijustifikasi daripada di masa lalu mengingat adanya perubahan ke sistem pemilihan kepala daerah secara langsung; opsi ini juga tidak cocok dengan harapan menjadi kepala daerah lebih bertanggungjawab kepada pemilih. Opsi ini mungkin paling tidak sesuai jika diterapkan di Aceh dan Papua yang menginginkan dikuranginya pengendalian dari pusat. Secara umum, banyak terjadi kesalahpahaman dan kekacauan mengenai peran ganda gubernur. Bahkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, terminologi peran ganda ini tidak jelas dengan istilah ―gubernur‖ yang ambigu (misalnya pasal 128, 130). Dalam menentukan model yang akan digunakan, penting untuk menggunakan istilah-istilah 15

Sebenarnya pemerintah daerah adalah perwujudan negara di daerah. Meskipun demikian, hanya perspektif Marxist yang menyangkal peran bermakna dari wujud negara di daerah dalam menanggapi politik daerah; yang penting di sini adalah bahwa wujud negara di daerah menganggap dirinya mempunyai identitas dan sederajat otonomi.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

22


dengan cermat dan konsisten. Perhatian khusus perlu diberikan dalam menyusun draft peraturan saat ini mengenai peran gubernur, untuk menghindari pertentangan dengan PP Nomor 38Tahun 2007; sebagai alternatif, draft peraturan yang sedang disusun maupun PP Nomor 38 Tahun 2007 perlu dirumuskan bersamaan, berdasarkan kerangka yang lebih jelas mengenai asas pemerintahan/peran pemerintah daerah di berbagai tingkat. Usulan Tindak Lanjut ☞

Dibutuhkan visi yang jelas mengenai peran tingkat propinsi/gubernur yang memperhitungkan kelebihan dan implikasi dari berbagai asas pemerintahan, misalnya akuntabilitas, pengaturan organisasi dan keuangan. Lampiran 5 menyajikan ringkasan mengenai opsi dan implikasi dasar. Opsi-opsi ini perlu dibahas secara memadai mengingat seriusnya implikasi politik dari pilihan yang dibuat. Perlu lebih cermat dalam menggunakan istilah, dengan menentukan makna/pemakaian yang disepakati (istilah-istilah lebih jelas di masa lalu): o Gubernur, Bupati/Walikota hendaknya menjadi istilah yang tidak mengesankan eksklusivitas pada jabatan yang mereka miliki; o Kepala Daerah hendaknya secara otomatis berhubungan dengan urusan otonomi dan tugas pembantuan yang dipercayakan kepada pemerintah daerah; o Kepala Wilayah hendaknya secara otomatis merujuk kepada wakil pemerintah pusat di daerah (dekonsentrasi).

4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan Praktik internasional Prinsip ―money follow function‖ memang telah secara luas dipahami namun seringkali dilanggar. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kesenjangan ini, dan sebagian penyebab mempunyai justifikasi. Misalnya, untuk memulai proses desentralisasi, diberikan dana kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (misalnya kotamadya di negara-negara Amerika Selatan dan komune di Kamboja) tanpa kejelasan apa urusan yang menjadi tanggung jawabnya (arahan yang maksimal berupa suatu menu dari mana pemerintah daerah dapat memilih investasinya). Diharapkan (pernah diharapkan) masa ―pelatihan‖ ini akan menghasilkan pendekatan yang lebih terlembaga di mana pemerintah daerah secara permanen bertanggung jawab atas pelayanan, berdasarkan uraian yang lebih jelas mengenai pembiayaan yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tersebut. Kesenjangan antara dana dan fungsi semakin diperparah dengan penerapan transfer dana berdasarkan rumus tertentu, dimana dana yang disediakan tidak sesuai dengan realisasi kebutuhan pengeluaran pemerintah daerah; proksi yang digunakan (misalnya ukuran jumlah penduduk, indeks kemiskinan dan indeks biaya) memang membantu pemerataan secara horisontal tetapi kurang membantu mencocokkan antara beban pembiayaan untuk kebutuhan pelayanan (pada tingkat/kualitas yang diharapkan) dengan pendapatan. Jika desentralisasi dilakukan dengan proses politik yang tergesa-gesa maka tidak ada waktu untuk secara memadai menghitung biaya atas urusan-urusan yang didesentralisasi kepada pemerintah daerah (misalnya Indonesia). Negara cenderung menghindari memperhitungkan biaya kegiatan untuk menyesuaikan sistem pembiayaan pemerintah

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

23


daerah. Namun, akhir-akhir ini sikap tersebut mulai berubah dengan adanya tekanan untuk menghitung biaya pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG) – di mana belanja pemerintah daerah menjadi semakin penting. Selain itu, pembiayaan digunakan sebagai sarana untuk mengendalikan pemerintah daerah, seringkali karena kerangka kinerja dan fungsi pengawasan belum ditetapkan dengan baik; pembiayaan digunakan sebagai alat pengendalian ―default.‖ Hal ini menyebabkan lonjakan jumlah hibah bersyarat (sektoral) dengan tujuan khusus di banyak negara. Syaratsyaratnya cenderung terletak pada input (program dan proyek yang dapat didanai atau jumlah yang dapat dibelanjakan); arahan ini dapat sangat menghambat dan melemahkan otonomi/kebijakan pemerintah daerah. Sektor-sektor mana yang akan mendapatkan hibah dan berapa besar hibahnya ditentukan oleh dinamika politik di tingkat pusat. Kesesuaian antara urusan dan pembiayaan bukan ditentukan oleh perspektif pemerintah daerah yang berupaya memberikan perhatian kepada seluruh urusan desentralisasi dan pengharapanan yang menyertai urusan-urusan tersebut. Status di Indonesia Berdasarkan beberapa ketentuan dasar dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, pembiayaan pemerintah daerah dituangkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. Prinsip ―money follow function‖ sebenarnya telah dinyatakan secara eksplisit dan dijelaskan mengeni kecukupan dana untuk melaksanakan fungsi/urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Bagian-bagian tertentu tidak dapat memenuhi tujuan ini, sebagian karena:  Dana dekonsentrasi masih digunakan untuk membiayai urusan-urusan yang secara hukum merupakan urusan pemerintah daerah; dana ini bahkan jumlahnya terus bertambah16, sehingga mencerminkan persepsi yang sangat berbeda di antara instansiinstansi pemerintah pusat mengenai asas pemerintahan yang harus dipergunakan.  Upaya-upaya untuk mempercepat pembangunan di Papua mengandalkan pendanaan yang pada dasarnya merupakan mekanisme pembiayaan dekonsentrasi17.  Pengalihan dana dekonsentrasi menjadi dana alokasi khusus (DAK), sebagaimana ditentukan dalam kebijakan pemerintah, tampaknya masih belum terjadi secara signifikan.  Besarnya jumlah agregat DAU dan DAK tidak berhubungan (kecuali kebetulan) dengan kebutuhan biaya pelayanan pemerintah daerah pada tingkat kinerja yang diharapkan.  Biaya untuk Standar Pelayanan Minimum masih belum diperhitungkan dengan seksama dan diterjemahkan menjadi norma-norma belanja yang dapat diintegrasikan kedalam mekanisme transfer.  Mekanisme off-budget untuk bantuan donor dan praktik-praktik penyeleksian daerah semakin mempersulit upaya menyesuaikan kebutuhan pelayanan dengan pembiayaan di seluruh negeri. 16

Data Departemen Keuangan memperlihatkan bahwa Departemen Pendidikan membutuhkan Rp 48 triliun dalam TA 2008 – angka ini sangat tidak seimbang dengan kebijakannya yang mengatur urusan-urusan dan pembiayaan sistem universitas. Kunjungan Konsultan ke lapangan di Aceh memperlihatkan bahwa sektorsektor lain mendapatkan aliran dana dekonsentrasi yang signifikan; pejabat Dinas Hortikultura di Aceh Tamiang memperkirakan bahwa 30 persen dana yang diterima di kabupaten tersebut di subsektor hortikultura berasal dari aliran dana dekonsentrasi. 17 Lihat penjelasan Bappenas dalam Cendrawasih Pos (2007). Rp 17-18 Triliun untuk Papua Direalisasikan 2008-Menteri PPN/Ka. Bappenas Minta Dikelola dengan Baik, 12 Juli http://www.cenderawasihpos.com/detail?id=1645&ses

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

24


 Kecenderungan untuk menentukan input (dana) membuat proses penganggaran menjadi lebih rumit (karena ambiguitas kategori biaya) dan kaku (lihat kotak di bawah ini).  Penilaian dan pembahasan mengenai pengeluaran yang terserap untuk ―pelayanan publik/pembangunan‖ dibandingkan dengan yang diserap untuk ‗birokrasi‘ kurang menyentuh dan tidak membantu dalam menetapkan fokus pada urusan-urusan yang sedang dilaksanakan dan tingkat kinerjanya. Menetapkan Target Belanja Dalam tahun-tahun terakhir, para pembuat kebijakan tingkat pusat berupaya untuk menyelesaikan ketimpangan belanja dengan memperbaiki target belanja sektoral. Target sektor pendidikan tercantum dalam undang-undang dasar sebesar 20 persen dari anggaran belanja (untuk tingkat pusat/daerah). Penyokong sektor kesehatan hampir berhasil dalam menetapkan target yang serupa – 10 persen dalam hal ini; untuk sementara target ini masih belum resmi. Penyokong masalah perempuan mendesak untuk mendapatkan alokasi 5 persen untuk ―gender‖. Target-target ini masih tidak jelas dan semuanya mengancam otonomi daerah dan kinerjanya.

Usulan Tindak Lanjut ☞ UU Nomor 33 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya perlu direvisi dan dijabarkan untuk memperjelas bagaimana keseimbangan antara urusan dan pembiayaan dapat dicapai. ☞ Diperlukan upaya yang lebih intensif dalam menghitung biaya yang diperlukan pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan dasar dan kebutuhan biaya tersebut perlu tercermin dalam mekanisme transfer ke daerah. ☞ Perlu ditetapkan tolok ukur yang peka terhadap teknologi dan kondisi di daerah untuk memnunjukkan ketika penyediaan suatu pelayanan sudah dianggap efisien (misalnya biaya untuk mendidik anak sekolah dasar, biaya pengangkutan sampah) – menggantikan penilaian yang menyesatkan atau yang bersifat global (misalnya belanja ―aparatur daerah‖). ☞ Sejumlah strategi perlu dikembangkan untuk menjelaskan kepada stakeholder kekurangan dalam menetapkan target pendanaan sektor, dengan memfokuskan pada target output dan outcome yang diinginkan dan sarana yang sesuai untuk mencapai target ini. ☞ Mekanisme pengalokasian sumber daya (dana, bantuan teknis) proyek-proyek donor sebaiknya mempertimbangkan urusan-urusan yang diserahkan ke berbagai tingkat. ☞ Mekanisme pengalokasian sumber daya (dana, bantuan teknis) proyek-proyek donor sebaiknya mempertimbangkan urusan-urusan yang diserahkan ke berbagai tingkat. Kecuali untuk bantuan darurat, pendanaan donor untuk investasi pemerintah daerah sebaiknya hanya diberikan secara on-budget (dengan persetujuan pusat) dan hanya sebagai mode percontohan dengan maksud menyesuaikan mekanisme pembiayaan pusat-daerah untuk memperkuat hubungan urusan dan pembiayaan. 5. Kriteria pembagian urusan Praktik internasional Kebutuhan untuk menetapkan proses penyesuaian yang terus berjalan untuk pembagian urusan lebih mendesak di negara-negara yang memutuskan untuk menggunakan konstruksi ultra vires. Yang jelas dibutuhkan adalah memfasilitasi desentralisasi, tetapi

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

25


kadang-kadang diperlukan juga re-sentralisasi urusan-urusan atau mengidentifikasi urusan yang tidak diantisipasi sebelumnya. Sebaliknya daripada konstruksi ultra vires, mandat general competence memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif, meskipun hal ini mungkin dibatasi oleh undang-undang/peraturan yang lebih tinggi (yang juga dapat diberlakukan untuk menghentikan tugas yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah daerah jika kinerjanya buruk). Seperti disebutkan sebelumnya, sebagian besar kasus, general competence dalam undang-undang tentang ―pemerintahan daerah‖ dilengkapi dengan daftar sektoral yang strukturnya lebih bersifat ultra vires; sehingga secara umum menciptakan konstruksi campuran. Dalam konstruksi ultra vires maupun konstruksi campuran, praktik yang baik adalah praktik yang memperlihatkan bagaimana penyesuaian akan dilakukan dengan menetapkan instrumen hukum dan prosedur utama (misalnya mekanisme konsultasi). Kemanapun arah pergerakan urusan-urusan, beberapa negara yang menjalani desentralisasi merasa cocok untuk menetapkan kriteria yang akan mengatur ―siapa yang melakukan apa‖. Prinsip umum yang dulu pernah diterapkan di Eropa, yaitu prinsip ―subsidiarity‖ sekarang mulai diterapkan di Eropa dan mulai menjalar ke negara-negara lain. Prinsip ini mengatur agar urusan/tugas yang bersangkutan harus dilaksanakan oleh yurisdiksi terkecil yang dapat melakukannya secara efektif dan efisien. Istilah terakhir ini tentu saja sifatnya sangat luas sehingga perlu dibuat lebih spesifik. Daftar kriteria internasional yang digunakan untuk pembagian urusan tidak banyak tersedia, dan proses penerapan kriteria tersebut (siapa yang mengatur dan bagaimana bobot kriteria atau bagaimana trade-off dilakukan) bahkan kurang transparan. Kriteria yang paling sering dikutip adalah efek limpahan (spillovers) dan efisiensi/ekonomi, 18 tetapi kapasitas pemerintah daerah juga menjadi tema yang sering muncul. Lampiran 6 menyajikan beberapa contoh kriteria yang dipromosikan/digunakan. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan kriteria ini masih jauh dari pelaksanaan yang hanya bersifat ‗mekanik‘; sehingga memberi banyak celah untuk menafsirkan bagaimana kriteria ini dapat diterapkan dengan cara yang terbaik. Daftar yang disusun di negara tertentu oleh pihak yang berkepentingan ataupun tidak berkepentingan, dengan menggunakan kriteria yang sama, kemungkinan besar akan sangat beragam. Status di Indonesia Penerapan kriteria tidak transparan Dalam pembahasan yang mengarah kepada penyusunan PP Nomor 38 Tahun 2007, para pejabat dari Kemendagri dan Depdiknas telah sampai kepada kesimpulan bahwa pendidikan SLTA selama tiga tahun harus menjadi urusan propinsi –- namun pada pembahasan tingkat Menteri justru diputuskan bahwa urusan ini justru menjadi urusan kabupaten/kota. Tidak ada keterangan untuk menjelaskan apakah hal ini bersifat sementara atau merupakan keputusan akhir. Dalam kasus menara komunikasi, pemberian ijin untuk mendirikannya diserahkan ke

18

Lihat Ferrazzi G. (1998), Kriteria Pengalihan Urusan ke Pemerintah Daerah: Penyeleksian dan Penerapan dalam Inisiatif Desentralisasi Indonesia, thesis doktoral yang tidak diterbitkan, University of Guelph.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

26


pemerintah kabupaten/kota – sekali lagi, tidak ada catatan ataupun notulen pembahasan yang dapat menjelaskan eksternalitas yang dihadapi. Pada praktiknya, setidaknya seorang gubernur (Sumatera Utara19) telah mengambil inisiatif untuk mengarahkan sektor swasta dalam menentukan lokasi/pembagian menara-menara tersebut. Di Kanada, pemerintah tingkat federal-lah yang menyetujui pendirian menara-menara komunikasi. Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan yang terdapat dalam PP Nomor 38 tahun 2007 secara umum sudah cukup baik (eksternalitas, efisiensi dan akuntabilitas), meskipun pada beberapa bagian kriteria tersebut tidak dijelaskan dengan baik. Secara khusus, akuntabilitas mungkin perlu dianggap sebagai kriteria implisit yang menguntungkan penyerahan urusan pada daerah – yang digantikan (overridden) apabila terdapat trade-off dengan efisiensi ekonomi. Mengingat adanya keragaman daerah, maka hilangnya konsep ―kapasitas administratif‖ sepertinya aneh. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyalahgunaan kriteria ―kapasitas administratif‖ selama masa Orde Baru (di mana kapasitas administratif cenderung digunakan sebagai dalih untuk menunda desentralisasi), tetapi kemungkinan besar hilangnya konsep tersebut tidak dilakukan dengan sengaja, atau semata-mata karena kelalaian. Dengan mempertimbangkan pembagian urusan di Indonesia yang cenderung seragam, dengan beragamnya tingkat kapasitas, maka ketiadaan kriteria ini mungkin perlu ditinjau kembali. Karena sepertinya tidak masuk akal untuk mengharapkan Kabupaten Supiori di Papua (dengan populasi 12.500 jiwa) untuk melaksanakan urusan yang sama dengan Kabupaten Bogor (populasi 4 juta). Karakteristik lain dari pengalaman yang ada di Indonesia adalah kurangnya dokumentasi (sehingga mengakibatkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas) dalam penerapan kriteria-kriteria di atas. Meskipun berbagai acara pertemuan diadakan dengan melibatkan pemerintah dan pihak-pihak luar, keputusan akhir tidak dilengkapi dengan alasan yang jelas. Untuk sebagian besar urusan, hal ini tidak menjadi masalah karena banyak orang dengan sendirinya memahami mengapa sebagian urusan tetap dipertahankan oleh pemerintah pusat (misalnya kebijakan luar negeri, tenaga nuklir, penetapan standar pelayanan dasar) dan mengapa sebagian urusan harus berada di tangan kabupaten/kota (pendidikan dasar dan perawatan kesehatan dasar). Tetapi untuk beberapa urusan ―antara‖/yang diperebutkan, mungkin akan sangat bermanfaat jika pembahasan dan pemikiran yang menghasilkan keputusan tersebut di dokumentasikan. Usulan Tindak Lanjut ☞ ☞

Mungkin sebaiknya kriteria pembagian urusan perlku disesuaikan agar dapat lebih menjelaskan akuntabilitas dan mencakup ―kapasitas administratif‖. Dalam penerapan kriteria di masa mendatang, mungkin sebaiknya disediakan dokumentasi dari keputusan-keputusan yang dibuat dan menyediakan data ini kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

19

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (2007). Operator Secara Umum Mendukung dan Menyambut Positif Gubsu: Seluruh Operator Sudah Harus Sesuaikan Diri dengan ―Menara Bersama‖, Jumat, 02 November. http://www.sumutprov.go.id/lengkap.php?id=134

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

27


6. Urusan konkuren Praktik internasional Prinsip pembagian urusan yang bersifat konkuren dapat mengacu pada dua situasi yang berbeda: 1. Salah satu urusan dapat dilaksanakan oleh lebih dari satu tingkat pemerintahan secara simultan (misalnya daftar urusan konkuren untuk tingkat federal dan negara bagian di Malaysia dan India). 2. Salah satu urusan dapat diambil oleh suatu tingkat pemerintahan jika urusan tersebut belum diambil oleh tingkat pemerintahan yang lain atau tidak melanggar kepentingan tingkat pemerintahan yang lain (biasanya tingkat yang lebih tinggi; misalnya pertanian dan imigrasi dalam daftar konstitusional propinsi-federal Kanada). Konteks yang pertama adalah pendekatan yang cukup umum yang mencakup sebagian dari seluruh urusan pemerintahan, biasanya sebagian kecil sampai sedang. Terlalu banyak konkurensi dianggap dapat menimbulkan kesulitan dalam menentukan peranan dan pertanggungjawaban. Dalam konteks yang kedua, konkurensi membuka ―peluang‖ untuk melaksanakan suatu urusan daripada menjalankan urusan secara bersama-sama. Biasanya, tingkat pemerintah yang lebih rendah diperbolehkan untuk mengambil suatu urusan jika tingkat yang lebih tinggi belum mengaturnya dengan cara yang menghalangi tingkat yang lebih rendah untuk mengambilnya. Masih diperdebatkan apakah pengambilan urusan yang bersifat sementara dan dikerjakan oleh kedua tingkatan (namun secara berurutan) dapat disebut ―konkuren‖. Jika mekanisme ini memberikan perlindungan kepada pemerintah yang tingkatnya lebih rendah untuk mempertahankan posisinya ketika pemerintah tersebut adalah yang pertama menguasai urusan maka pada dasarnya ini sama dengan ―hak inisiatif‖ (lihat Pasal 9 dalam bab ini). Status di Indonesia Indonesia mempunyai definisi sendiri mengenai urusan-urusan konkuren. Istilah konkuren ternyata dipergunakan untuk menggambarkan prinsip yang lebih luas – selain dari sejumlah urusan yang merupakan wewenang ekslusif pemerintah pusat, maka semua urusan lain (maksudnya di sini ―sektor‖ atau ―urusan yang sangat luas‖) ―dibagi-bagikan‖ dalam arti bahwa ada bagian-bagian yang diserahkan kepada pemerintah pusat dan ada yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemahaman ini, dan cara perumusan secara khusu pemahaman ini, memiliki beberapa kekurangan antara lain:  Arti konkuren di Indonesia adalah sekedar cara lain untuk menegaskan prinsip yang eksklusif (―kelima urusan ini hanya dimiliki oleh pemerintah pusat dan sisanya dibagibagikan - yaitu merupakan urusan konkuren‖). Dalam pengertian ini, konkuren mempunyai makna yang tidak terlalu signifikan.  Arti yang diberikan kepada konkuren di Indonesia menimbulkan kebingungan karena bertentangan dengan penggunaan internasional yang lazim – di Indonesia konkuren berarti akan ada pembagian urusan tertentu yang lebih mendetail di antara beberapa tingkat, bukan dipegang secara simultan oleh berbagai tingkatan.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

28


 Penerapan konsep ini terganggu oleh kecenderungan untuk melihat urusan secara luas yang terdiri bagian-bagian yang dapat ditempatkan di semua tingkat (pusat, propinsi, kabupaten/ kota) – kemungkinan demikian memang wajar untuk urusan seluas ―sektor‖ tetapi tidak selalu demikian bila urusan didefinisikan secara lebih sempit.  Perujukan ―Urusan konkuren‖ pada beberapa bagian dalam daftar PP Nomor 38 Tahun 2007 tidak jelas (lihat bagian 3 ―Otonomi Daerah‖. Administrasi Keuangan Daerah (8)). Ironisnya, ketika perumusan urusan wajib dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 di mana daftar untuk propinsi dan kabupaten/kota sama persis, menunjukkan persepsi klasik mengenai urusan konkuren; semua tingkat dapat melaksanakan urusan konkuren. Namun, peraturan pelaksanaannya memperlihatkan bahwa sebenarnya bukan itu maksudnya – makna konkuren hanya dilihat sebagai indikasi bahwa suatu sektor atau urusan yang luas dapat dibagi-bagikan antar tingkatan pemerintahan; bagian-bagian tersebut tidak dimiliki bersama. Apakah urusan-urusan ini dimaksudkan bersifat konkuren? Dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, beberapa urusan di tingkat propinsi dan kabupaten telah disusun dengan formulasi yang persis sama. Misalnya, kutipan dari lampiran Pekerjaan Umum:  Pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria (NSPK). [perumusan digunakan untuk tingkat propinsi maupun kabupaten/kota] Dalam kasus-kasus lain, perbedaan urusan antara kedua tingkat tersebut sulit untuk dipahami:  Penyediaan air minum di daerah-daerah yang ditimpa bencana alam atau kekeringan pada skala propinsi  Penyediaan air minum di daerah-daerah yang ditimpa bencana alam atau kekeringan pada skala kabupaten/kota Dalam kasus kedua, sulit untuk melihat bagaimana kedua tingkat pemerintahan tersebut samasama terlibat. Mungkin mereka terlibat namun dengan peranan yang berbeda.

Belum dapat dipastikan apakah Indonesia ingin mengadopsi makna konkurensi internasional. PP Nomor 38 Tahun 2007 mencantumkan beberapa urusan yang penjelasannya persis sama untuk tingkat propinsi dan kabupaten/kota (lihat kotak di atas). Karena tidak ada pengantar atau ketentuan utama yang menjelaskan apakah hal ini merupakan salah satu segi dari tatanan pembagian urusan, maka jawaban untuk pertanyaan diawal paragraf ini masih belum terjawab. Wacana resmi juga tidak dapat banyak membantu dalam menjawab pertanyaan ini karena dibutuhkan pemahaman mengenai makna internasional dari istilah ini. Beberapa pakar memang memiliki pemahaman yang cukup mendalam, misalnya Profesor Bhenyamin Hoessein dan Profesor Eko Prasojo pernah menyatakan bahwa urusan konkuren dapat menciptakan duplikasi (bilamana urusan dianggap menarik) atau kevakuman (bilamana urusan dianggap membebani secara keuangan).20 Upaya revisi untuk menangani dampak yang semakin meluaas dari kejanggalan ini, istilah ―konkuren‖ diganti dengan istilah ―bersama‖. Pilihan kata ini menekankan prinsip yang dianut oleh para pejabat Kemendagri bahwa tidak ada urusan pemda yang ―independen‖. Peru bahan tersebut masih tidak menjelaskan apakah urusan tertentu (spesifik) harus dilaksanakan hanya oleh satu tingkat pemerintahan, atau apakah urusan tersebut

20

Hoessein, Bhenyamin dan Prasojo, Eko (2007), Konsep Pembagian Kewenangan (Urusan) Antar Tingkat Pemerintahan, disebarluaskan pada sesi Kemendagri untuk revisi UU Nomor 32 Tahun 2004, Oktober 2007.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

29


dilaksanakan oleh lebih dari satu tingkat ―secara konkuren‖ (terlaksana atau terjadi pada waktu yang sama).21 Usulan Tindak Lanjut ☞

Dua opsi dapat dipertimbangkan: o Opsi A: Menerapkan urusan konkuren sesuai dengan praktik internasional, bila diperlukan. Namun, tampaknya belum ada kebutuhan atau permintaan untuk melakukan hal ini. o Opsi B: Jika urusan konkuren, menurut praktik internasional, dianggap tidak sesuai, maka sebaiknya istilah ‗urusan konkuren‘ dihapuskan saja (demikian juga dengan istilah ―urusan bersama‖). Tindakan ini tidak akan mempengaruhi bagian-bagian yang lain dari kerangka hukumnya dan akan membantu mencegah kebingungan. Jika pemikiran bahwa tidak ada urusan ―independen‖ di tingkat daerah dianggap perlu dipertahankan, maka hal ini dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya dalam pembukaan pasal tentang penjelasan peraturan pemerintah.

Mungkin ada baiknya jika pada proses merumuskan ‗urusan konkuren‘ agar istilah dan konsepnya dapat selaras dengan yang berlaku secara internasional, diadakan serangkaian diskusi yang melibatkan para stakeholder Indonesia (terutama kalangan akademisi) dengan lembaga donor. Sehingga para stakeholder Indonesia dapat menilai apakah istilah yang digunakan dan konsep yang diterapkan untuk ‗urusan konkuren‘ sudah sesuai dengan kondisi Indonesia. 7. Formulasi urusan Praktik internasional Terdapat berbagai rumusan dalam daftar-daftar urusan yang diadopsi di seluruh dunia. Beberapa prinsip yang dapat diambil dari konstruksi dan pengalaman penerapannya, antara lain:  Mengetahui kapan urusan-urusan perlu dibagi-bagikan; untuk menghindari konkurensi yang tidak diinginkan atau memberikan bagian-bagian urusan yang tidak cocok kepada tingkat pemerintahan bersangkutan;  Meskipun demikian, sebisa mungkin mempertahankan urusan tetap utuh (tambahkan sejumlah perkecualian jika hal ini dapat membantu mempertahankan agar rumusan tetap utuh);  Menghindari menyamakan urusan-urusan dengan ―proyek‖ — ‗urusan‘ adalah mandat dasar dan stabil yang menghasilkan proyek/program yang banyak berubah dari waktu ke waktu;  Menghindari membatasi wewenang berdasarkan nilai proyek/ kegiatan; pengadaan (procurement) harus dikemas dengan fungsi substantifnya;  Urusan yang bersifat pengelolaan hendaknya bersifat implisit atau digunakan sebagai rujukan global; 21

Definisi ―konkuren‖ dalam kamus online Merriam Webster, http://m-w.com/dictionary/concurrent

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

30


 Menghindari penggunaan istilah ―skala‖ atau bahkan ―tingkat‖ karena istilah-istilah ini dapat menimbulkan beragam penafsiran, atau tidak menambahkan informasi apapun;  Urusan-urusan hendaknya bukan sekadar cerminan mandat organisasi yang ada sebelumnya. Dengan menjaga urusan-urusan tetap utuh, pemerintah akan lebih mudah bertanggung jawab dan menjadi efisien (misalnya belanja modal dan pemeliharaan seimbang), dan daftar urusan akan lebih mudah dipahami. Kemudahan untuk dipahami dapat ditingkatkan jika norma/standar dan peran pengawasan dibuat menyeluruh untuk semua urusan terkait daripada menyusunnya untuk setiap urusan ―substantif‖ yang kecil. Contoh penggunaan yang aman dari kata “skala”/ “tingkat” ―Penangkapan ikan dalam yurisdiksi pemerintah kabupaten‖ di mana ini telah disebutkan di bagian lain. ―Penyediaan bandara yang berskala kotamadya‖ di mana ketentuan sebelumnya telah disebutkan mengenai bandara mana yang berskala tersebut (berdasarkan lokasi fasilitas dan daerah tujuan/status). ―Jalan yang berskala propinsi‖ di mana istilah teknis ini telah umum dan dipahami secara luas (misalnya jalan arteri yang menghubungkan ibukota-ibukota kabupaten).

Perbedaan antara tingkat-tingkat dapat digunakan sebagai ―skala‖ tetapi umumnya jika dimensi skalanya telah ―distandarisasi‖. Istilah skala hendaknya tidak digunakan untuk membedakan urusan-urusan yang berkaitan dengan kelompok-kelompok sasaran yang berbeda. Misalnya, jika penempatan staf ahli menjadi urusan tingkat propinsi dengan lingkup ―skala propinsi‖, maka hal ini akan menimbulkan dua kemungkinan interpretasi: menyangkut semua staf di semua tingkat sampai tingkat propinsi, atau hanya menyangkut staff dari propinsi tertentu. Urusan dan institusi seringkali dicampur-adukkan atau dikacaukan. Institusi harus mengikuti urusan; mencerminkan cara-cara pelaksanaan urusan yang praktis/efisien. Kurang tepat untuk memulai dari struktur tingkat pusat, membekukan mandat yang ada dan kemudian maju ke tugas mencari urusan yang sesuai untuk SNG yang lebih berorientasi pada implementasi. Pendekatan ini tentu menimbulkan inefisiensi akibat struktur tingkat pusat yang terlalu besar dan peningkatan peran/fungsi SNG yang tumpang tindih atau diragukan. Status di Indonesia Penggunaan kata ―skala‖ sebagai istilah untuk penjelasan terlalu banyak ditemukan dalam PP 38/2007. Misalnya, di sektor kesehatan, mungkin cocok untuk menyatakan bahwa propinsi maupun kabupaten/kota mengadakan surveilans terhadap penyakit menular menurut skala; surveilans dapat dilakukan pada umumnya di tingkat kabupaten/kota dengan protokol yang distandarisasi ketika intervensi tingkat propinsi dilakukan – biasanya dalam situasi darurat. Namun, model ini mungkin tidak berguna untuk sejumlah masalah lain; misalnya dalam surveilans kekurangan gizi. Dalam hal ini, kabupaten berupaya untuk waspada terhadap ancaman kekurangan gizi dan secara mandiri mempunyai sarana untuk menyelesaikan masalah ini tanpa menyertakan peranan propinsi—yang dapat menciptakan duplikasi karena hampir tidak ada keuntungan dengan melihat tantangan ini sebagai berskala propinsi dan menanganinya dengan cara yang

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

31


berbeda/melengkapi di tingkat tersebut (tidak seperti untuk penyakit-penyakit menular yang mewabah dengan cepat di mana koordinasi yang tepat waktu oleh propinsi di antara kabupaten-kabupaten dapat sangat berguna). PP 38/2007 dikatakan, oleh para pejabat pemerintah sendiri, sesuai dengan kebutuhan organisasi, dalam arti bahwa organisasi kementerian sektoral yang turun sampai ke tingkat direktorat atau lebih rendah, berupaya melihat mandatnya tercermin dalam daftar pemerintah pusat, dan kemudian dalam daftar pemerintah daerah agar dapat menyerahkan tugas-tugasnya ke daerah-daerah. Sampai pada taraf ini, daftar yang terlalu terperinci dihasilkan; daftar yang mungkin berisi urusan-urusan yang tidak perlu lagi atau yang tidak harus lagi mencantumkan komponen tingkat pusat; atau daftar yang berisi urusan/tugas duplikat di tingkat daerah hanya untuk ―mengimbangi‖ unit-unit di tingkat pusat. Dalam revisi UU 32/2004, tim revisi berupaya membuat daftar yang lebih sederhana dan secara konseptual menggunakan urusan-urusan sebagai titik tolak, bukan mandat organisasi yang lama dan terlalu terperinci (tugas pokok dan fungsi/tupoksi). Maka, beberapa daftar sektoral telah dipadatkan untuk memperlihatkan bagaimana hal ini dapat dilakukan. Tampaknya ini terlihat sebagai fokus dari tim revisi, berkaitan dengan pembagian urusan. Meskipun penting untuk memperbaiki formulasi daftar-daftar ini, yang pertama harus disepakati adalah bahwa PP 38/2007 akan direvisi, atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbeda mengenai urusan-urusan. Dan kerangka/arsitektur yang lebih besar yang menjadi wadah bagi instrumen pengganti tersebut juga harus dipersiapkan (misalnya azas pemerintahan, kompetensi umum vs ultra vires, wajib vs pilihan). Usulan Tindak Lanjut ☞

Perspektif jangka panjang mungkin diperlukan untuk meningkatkan kapasitas individu/unit dalam lingkungan Kemendagri yang bertugas untuk mempromosikan praktik-praktik yang baik di bidang pembagian urusan, khususnya dalam merumuskan urusan-urusan (termasuk menerapkan kriteria, memilih azas pemerintahan, membagi-bagikan urusan dan menyederhanakan urusan-urusan yang ada). Ini dapat terdiri dari: o Mengidentifikasi individu-individu yang berpotensi memainkan peran yang lebih besar dan memberi mereka dukungan yang spesifik; o Meningkatkan jaringan kerja di lingkungan Kemendagri yang dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan praktik-praktik yang baik; o Bekerja langsung dengan departemen-departemen sektoral untuk meningkatkan kapasitas dalam merumuskan urusan-urusan. Para donor telah memberikan dukungan yang terbatas dalam penyusunan PP 25/2000, dan bantuan difokuskan pada kementerian yang bertanggung jawab atas reformasi administrasi. Sampai saat ini, belum ada rencana dukungan lebih lanjut. Pengalaman yang didapatkan dari penyusunan kerangka tahun 2000 dapat berguna dalam orientasi untuk jangka yang lebih panjang seperti yang diperlihatkan di atas. 8. Urusan wajib/standar pelayanan minimum Praktik internasional

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

32


Wajar diakui bahwa terdapat berbagai jenis praktik di bidang pembagian urusan internasional. Namun berbagai pola juga nampak. Banyak negara mempunyai kebijakan/kerangka hukum yang menekankan atau mewajibkan beberapa urusan pada SNG. Untuk urusan seperti ini, terutama yang diterapkan dalam rangka pelayanan dasar, norma-norma/standar-standar ditetapkan (seringkali melalui instrumen sektoral; peraturan perundang-undangan) untuk menentukan kinerja yang diharapkan dari SNG. Kedudukan dan tingkat pelaksanaan standar-standar ini sangat bervariasi dari segi hukum dan praktik. Salah satu aspek yang menimbulkan konsern dalam menerapkan standar pelayanan minimum adalah kecukupan dana untuk memenuhi standar pelayanan minimum – yaitu, bagaimana menghindari mandat-mandat yang tidak didanai. Konsern lain yang terkait dengan penerapan urusan wajib adalah bagaimana pemerintah daerah diberikan keleluasaan yang cukup – agar pemerintah daerah mempunyai tingkat otonomi yang signifikan. Ini dapat dicapai dengan menyusun secara cermat harapanharapan kinerja atas urusan-urusan wajib (misalnya sedapat mungkin berorientasi pada output dan bukan input/penetapan tingkat pengeluaran) dan dengan memperbolehkan pemerintah daerah menjalankan juga urusan-urusan yang bersifat kedaerahan yang dinilai layak dan dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan sumber daya yang dimilikinya. Status di Indonesia Sejak pertama kali diperkenalkan dalam kerangka tahun 1999, urusan wajib (UW) dan Standar Pelayanan Minimum (MSS) telah dijabarkan dan disosialisasikan. Ketentuanketentuan mengenai Standar Pelayanan Minimum (SPM) sekarang telah dicantumkan secara lengkap dalam kerangka perundang-undangan (untuk perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi, dan laporan pertanggungjawaban). Secara khusus, PP 65/2005 menjadi pilar yang kuat untuk kerangka SPM, penopang yang masih dalam tahap pemberlakuan melalui peraturan-peraturan di bawahnya. Sebuah ―Tim Konsultasi‖ antar kementerian telah dibentuk untuk mengkaji usulan-usulan sektoral dalam menetapkan SPM; tinjauan yang mereka lakukan akan dicantumkan dalam rekomendasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Jika rekomendasi DPOD mendapatkan dukungan maka para menteri menindaklanjutinya dengan surat keputusan untuk menetapkan SPM. Tim Konsultasi telah mengadakan rapat22 namun belum membahas usulan-usulan (proposal) dan baru berfungsi secara penuh di awal tahun 2008 (ketika Kemendagri telah selesai membuat anggaran operasionalnya). Kemendagri melaporkan bahwa tujuh departemen/lembaga telah mengajukan usulan urusan wajib/SPM (termasuk bidang kesehatan dan lingkungan, yang mendapatkan perhatian dari Tim Konsultasi di akhir tahun 2007). Draft daftar yang telah disusun sebelumnya menyingkapkan berbagai pemahaman atau pandangan tentang UW/MSS. Departemen Kesehatan menganggap daftar usulan UW/SPM siap untuk ditinjau dan merupakan perbaikan dari daftar sebelumnya. Depkes telah melaksanakan pemeriksaan data secara sampel dan penghitungan biaya untuk memperbaiki daftarnya (lebih disederhanakan agar SPM layak dan terjangkau menurut pandangannya). 22

Tim Konsultasi bertemu dalam sebuah breakfast meeting yang difasilitasi oleh GTZ-ASSD pada tanggal 28 November 2007. Tiga anggota berEselon I dan beberapa anggota berEselon II/III (Tim Teknis) ikut dalam pertemuan; pertemuan ini cukup berhasil namun kerja keras untuk memfasilitasi/mengkaji usulanusulan sektoral masih menunggu.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

33


Pandangan Departemen Pendidikan tentang UW/SPM Tidak ada sifat mendesak dari Departemen Pendidikan untuk mengajukan SPM karena mereka menganggap bahwa prioritas departemen adalah menyusun standar pendidikan yang lebih besar yang berasal dari Undang-Undang No. 20 tentang Pendidikan Nasional. Selain itu, standar pendidikan ini tampaknya dapat dicapai hanya jika pemerintah pusat/daerah meningkatkan anggaran pendidikan dari 12% menjadi 20% sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Departemen Pendidikan khususnya ingin mendorong kemandirian unit-unit pelaksana (sekolah) dan mengharapkan peningkatan dana alokasi khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi yang langsung ditransfer ke sekolah-sekolah. Tantangan yang dihadapi Departemen Pendidikan adalah meminta agar daerah mengerti peran fasilitatif bersama (dengan Pemerintah Pusat) di bidang pendidikan, dengan mengatasi kesalahpahaman yang menimbulkan tuntutan yang tidak masuk akal untuk mendapatkan otonomi (misalnya penolakan ujian nasional oleh Sumatera Utara).

Departemen Pendidikan menyatakan bahwa ia tidak akan mengajukan daftar sampai tahun 2008, dan sikapnya ini memperlihatkan bahwa Departemen Pendidikan menganggap standar pendidikan nasional yang lebih luas sebagai prioritasnya. Sikap ini merupakan bagian dari pandangan yang lebih luas mengenai otonomi seperti yang terlihat dari sudut pandang Departemen Pendidikan (lihat kotak di atas) yang memperlihatkan bahwa masih banyak pembahasan dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan pandangan dan pendekatan terhadap peran dan kinerja pemerintah daerah. Agenda Departemen Kesehatan untuk SPM Depkes bermaksud memetakan kapasitas pemerintah daerah di bidang sistem data, perhitungan biaya, perencanaan dan penganggaran dengan lebih terperinci dan mengembangkan tanggapan yang cocok terhadap apa yang akan menjadi kebutuhan-kebutuhan yang sangat berbeda di antara daerah-daerah dalam penerapan SPM. Perangkat lunak sedang dikembangkan untuk membantu daerah-daerah dalam melaksanakan perhitungan biaya untuk mengatasi kesenjangan SPM. Perhatian khusus akan diberikan kepada daerah-daerah yang sangat lemah, misalnya Papua, namun pendekatan yang tepat masih belum disusun – fleksibilitas dalam mencapai SPM diakui penting dalam hal ini. Untuk semua daerah, Depkes berniat mendukung, bukan menghukum.

Bagi departemen-departemen yang mendapatkan persetujuan DPOD untuk daftar SPM yang mereka ajukan, maka selanjutnya dibutuhkan upaya yang besar untuk memberlakukan SPM dalam kegiatan perencanaan, penganggaran dan pemantauan pemerintah daerah. Niat Depkes dituangkan dalam kotak di atas. Kemendagri juga berharap dapat meningkatkan kegiatan sosialisasi namun pendekatan dan anggaran untuk tahun 2008 masih disusun dan belum dapat diserahkan kepada Konsultan. Untuk standar yang dikembangkan secara konsisten dan disetujui di semua sektor maka proposal harus mengikuti pedoman yang terdapat dalam PP 65/2006, khususnya hubungan SPM dengan urusan wajib yang berorientasi pada pelayanan dasar. Dengan adanya PP 38/2007, maka dapat disampaikan hal-hal berikut ini sehubungan dengan UW/SPM:  Urusan wajib dalam PP 38/2007 hanya terikat pada pelayanan dasar (Pasal 7(1)), sehingga tampaknya menghapuskan kemungkinan urusan wajib yang bukan merupakan pelayanan dasar.  Pasal 7(2) bertentangan dengan ketentuan sebelumnya karena menyusun sektorsektor/urusan-urusan yang bukan pelayanan dasar dari segala aspek (misalnya persatuan bangsa dan politik).

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

34


 Isi dari PP 38/2007 menyusun Urusan Wajib yang bersifat sektor, dengan demikian meneruskan kelemahan dalam UU 32/2004 mengenai hal ini.  PP 38/2007 tidak mengatur ―penanaman modal daerah‖ – undang-undang khusus urusan ini akan mengaturnya. Tidak diberikan penjelasan atas perkecualian ini (sebenarnya arsitektur ini lebih baik- semua undang-undang ―sektoral‖ perlu diselaraskan dengan pembagian urusan yang diputuskan secara politis).  Sektor-sektor yang tercantum dalam bagian utama PP 38/2007 tidak dibedakan menurut sifat wajib atau pilihan. PP 38/2007 tidak dapat memantapkan hubungan UW - SPM. Daftar di bidang kesehatan dalam peraturan ini cukup berbeda dengan daftar yang mengatur UW/SPM – yang sekarang ada di hadapan Tim Konsultasi. Tantangan utama saat ini di bidang SPM adalah menyetujui SPM yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan relevansi, kemampuan untuk ditelusuri (data/pelaporan), dan keterjangkauannya. Belum ada keputusan mengenai metode pembiayaan; apakah keuangan daerah saat ini akan menutupi biaya-biayanya, atau apakah ada sumber daya tambahan yang berasal dari tingkat pusat – dan bagaimana tata kerjanya. Salah satu kemungkinan adalah peningkatan DAK karena seharusnya diperbesar dengan adanya pengalihan dari dana dekonsentrasi. Dana dari donor dapat melengkapi dana-dana ini. Kemungkinan untuk menyusun norma-norma pengeluaran SPM dalam DAU telah diusulkan tetapi sejauh ini hampir tidak ada penjajakan. Meskipun beberapa departemen mengharapkan kelanjutan/peningkatan dana dekonsentrasi, hal ini merupakan arah kemunduran – SPM seharusnya tidak menjadi dalih para departemen sektoral untuk mempertahankan atau meningkatkan dana dekonsentrasi, yang didasarkan atas pemikiran yang salah bahwa SPM paling baik kalau dicapai melalui investasi yang langsung diarahkan oleh pusat. Usulan Tindak Lanjut ☞

Tampaknya perlu meninjau kembali dasar konseptual urusan wajib dan urusan pilihan: o Mengubah konsep dari definisi yang berbasis sektoral o Menghapuskan pembatasan ―pelayanan dasar‖ untuk urusan-urusan wajib. o Menyusun daftar yang hanya terdiri dari urusan-urusan wajib dan memperlakukan urusan-urusan pilihan secara terpisah (lihat Bab 9) o Menyesuaikan pendekatan norma dan standar yang mencerminkan sifat urusan wajib (misalnya pelayanan dasar versus kegiatan pemda lainnya). ☞ Penting bagi lembaga-lembaga sektoral untuk menyusun proposal yang kuat kepada Tim Konsultasi/DPOD dari segi pertanggungjawaban berdasarkan kemampuan SPM untuk ditelusuri, kapasitas administratif dan keterjangkauan. Khususnya, perhatian perlu diberikan kepada penghitungan biaya SPM yang mencerminkan kebutuhan/norma pengeluaran pada transfer dari pusat dengan cara-cara yang mendorong pemerintah daerah menggunakan sumber daya keuangannya untuk mengatasi kesenjangan SPM. Setidaknya, skema pembiayaan jangan sampai menciptakan insentif-insentif yang berlawanan di tingkat daerah (yaitu ―semakin banyak kesenjangan SPM berarti semakin banyak transfernya‖).

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

35


☞

Tujuan dari beberapa menteri untuk mengembangkan peningkatan kapasitas yang signifikan terkait dengan penerapan SPM layak mendapatkan dukungan dari donor. Ini membutuhkan: o Pembinaan dari Kemendagri dan departemen-departemen mengenai penerapan SPM yang sesuai dengan peraturan-peraturan pengelolaan keuangan. o Peningkatan upaya untuk mencapai semua kabupaten/kota secara merata dengan dukungan teknis/pelatihan melalui saluran-saluran/pendekatan-pendekatan pelayanan yang terlembaga. o Penyesuaian atau intensifikasi proyek daerah yang mendapatkan dukungan donor (LGSP, ALGAP, GLG, dan sebagainya). o Penyelarasan proyek-proyek investasi sektoral relevan yang didanai donor dengan penempatan OF/MSS. ☞ Dukungan juga dibutuhkan di tingkat pusat, terutama di bidang pembiayaan (lihat Pasal 4). Pada tahun 2008, kemungkinan terdapat kebutuhan dan permintaan bantuan teknis dari proyek-proyek donor yang saat ini dilibatkan dalam pengembangan kebijakan dan desentralisasi untuk membantu menyusun proposal-proposal yang kuat kepada Tim Konsultasi/DPOD. Para donor mungkin dapat mempertimbangkan suatu pembagian tugas agar upaya GTZ-ASSD (yang diarahkan pada DDN) dilengkapi dengan dukungan kepada instansi sektoral. ☞ Dengan ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman DSF-Pemerintah RI barubaru ini, maka kelompok kerja SPM dapat diresmikan. Kelompok kerja ini tadinya dibentuk di bawah Sekretariat Tetap Kelompok Kerja Gabungan Desentralisasi. Kelompok kerja ini dapat membantu donor untuk mendukung berbagai partner dan daerah dengan cara yang harmonis dan disesuaikan (aligned). Dukungan donor dalam urusan wajib terutama disediakan pada saat dimulainya pembahasan tentang SPM. Sebagian dukungan disediakan selama proses revisi undangundang yang melahirkan UU 32/2004, tetapi sebagian besar input donor untuk tujuan ini tidak dimanfaatkan. Sedikitnya sudah dua tahun tidak ada bantuan donor di bidang pembagian urusan diartikan secara lebih luas. Sejumlah donor telah mendukung upaya Pemerintah RI di bidang SPM sejak tahun 2002. Ada juga donor yang bekerja di tingkat daerah untuk membantu pemerintah daerah mengunakan SPM dalam proses perencanaan/ penganggaran. GTZ terlibat di tingkat pusat dan demikian pula sesekali juga USAID-LGSP dan CIDA-GRSII. Efektivitas bantuan dari mereka terganggu oleh kurangnya koordinasi Pemerintah Indonesia. 9. Urusan pilihan/hak inisiatif Praktik internasional Jika suatu negara memilih untuk menetapkan urusan wajib untuk SNG, maka pilihan ini memperlihatkan bahwa kesempatan harus diberikan kepada SNG untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang ditetapkan sebagai urusan wajib. Apa yang murni dilakukan berdasarkan inisiatif SNG dapat disebut sebagai urusan pilihan; urusan pilihan yang menjadi pelengkap bagi urusan wajib ini akan meningkatkan otonomi daerah mengingat urusan wajib agak membatasi diskresi daerah (tingkat pembatasan bergantung pada tingkat dan sifat harapan kinerja yang dilekatkan pada urusan wajib).

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

36


Berbagai negara telah menggunakan urusan pilihan, secara eksplisit maupun implisit. Misalnya, Kamboja pada prinsipnya mengizinkan komune untuk melaksanakan urusanurusan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan jika urusan-urusan ini diusulkan terlebih dahulu dan disetujui oleh lembaga tingkat pusat—ini adalah bentuk kebijaksanaan tingkat daerah yang kurang lazim dan mengingkari formulasi urusan komune berbasis general competence. Di beberapa negara, arsitektur urusan mencakup ketentuan yang dapat disebut ―hak inisiatif‖; hal ini khususnya berguna untuk melengkapi daftar positif yang bersifat wajib (secara eksplisit atau sebaliknya), yang dapat menimbulkan sikap membatasi diri yang berlebihan di pihak pemerintah daerah. Ketentuan mengenai ―hak inisiatif‖ ini mendorong SNG melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak dijabarkan dalam daftar positif. Filipina adalah salah satu negara yang menganut konstruksi ini. Beberapa negara lebih memilih untuk menyusun urusan pilihan, membuka formulasi dengan istilah-istilah seperti ―mungkin‖, ―dapat‖ atau kata-kata kewajiban yang lembut seperti ―sampai pada taraf ketika dana tersedia‖. Keuntungan dari menyusun daftar ini adalah bahwa daftar tersebut memperluas ruang lingkup SNG untuk bertindak. Namun bahayanya adalah bahwa daftar tersebut juga dianggap sebagai bagian dari konstruksi ultra vires – tidak ada hal lain di luar apa yang ―mungkin‖ dilakukan akan dianggap memungkinkan. Selain itu, istilah ―mungkin‖ dapat memaksudkan cara yang sopan untuk memperlihatkan apa yang harus dilakukan oleh SNG, bukan pilihan. Untuk menghindari perangkap ini, lebih baik menetapkan ketentuan hak inisiatif, atau formulasi general competence (meskipun hal ini biasanya hanya cocok untuk satu tingkat pemerintahan – di mana sebagian besar pelayanan dasar disediakan). Perlu diperhatikan bahwa tidak ada urusan pilihan dalam arti mutlak; minimal kegiatan SNG harus sesuai dengan kerangka hukum yang lebih tinggi (misalnya, tidak diskriminatif, sesuai dengan KUHP, dan sebagainya). Urusan pilihan adalah urusan yang jelas bersifat kedaerahan, muncul dari kreativitas dan prioritas SNG dan dilaksanakan jika sumber dayanya memungkinkan, setelah adanya tekad bulat untuk mengurus usaha inti dari SNG. Urusan pilihan merupakan prioritas daerah, tetapi tidak menggantikan apa yang menjadi urusan prioritas tertinggi SNG, yang ditetapkan sebagai urusan wajib SNG. Dalam konteks pemerintah daerah multilevel, urusan pilihan/ketentuan hak inisiatif idealnya dilengkapi dengan aturan-aturan untuk memutuskan siapa yang benar-benar berhak untuk maju dalam suatu kegiatan tertentu jika dua tingkat pemerintahan bersaing untuk melakukannya. Mungkin terdapat peraturan yang mengizinkan kedua tingkatan tersebut untuk melaksanakan jenis kegiatan tertentu. Sulit mendapatkan informasi mengenai pengaturan seperti ini, tetapi praktik-praktik yang baik dapat dibayangkan. Misalnya, jika pendekatan paralel atau gabungan (konkurensi) tidak praktis maka yang pertama maju diberikan preferensi, atau jika kegiatan belum dimulai, maka tingkat tertentu mungkin dapat diberikan prioritas umum (misalnya tingkat pemerintahan yang ditetapkan sebagai pemerintah daerah yang ―general purpose‖). Status di Indonesia Urusan pilihan diperkenalkan dalam Undang-Undang 32/2004, dan ditegaskan kembali dalam PP 38/2007. Urusan pilihan kurang dijelaskan dengan definisi ―urusan yang ada di lapangan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sesuai dengan kondisi, keunikan dan potensi dari daerah yang bersangkutan‖. Urusan pilihan harus ditetapkan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

37


dalam peraturan pemerintah daerah dalam jangka waktu setahun setelah dikeluarkannya PP 38/2007, yang memaksa pemerintah daerah untuk membuatnya eksplisit a priori, bukan kapan mereka akan menentukannya. Peraturan daerah tersebut harus merujuk kepada lampiran PP 38/2007 yang rupanya menyusun urusan pilihan – secara seragam untuk semua pemerintah daerah. Hasil-hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:  Definisi urusan pilihan dalam bagian utama undang-undang/peraturan kurang baik; urusan pilihan dikaitkan dengan sektor-sektor, bukan didefinisikan berdasarkan siapa yang mengambil inisiatif.  Norma/standar urusan pilihan tidak dibedakan dalam hal apapun dari norma/standar urusan wajib.  Peraturan-peraturan tidak konsisten sehubungan dengan siapa yang menentukan urusan pilihan; tampaknya peraturan-peraturan tidak disusun ketika pemerintah daerah ingin menentukannya. Jika maksudnya adalah memperbolehkan adanya fleksibilitas/ perluasan otonomi maka konsepnya mungkin perlu direvisi. Konsepnya harus jelas berfokus pada formulasi ―hak inisiatif‖. Selain itu, beberapa aturan mungkin perlu disusun untuk menentukan tingkat propinsi dan kabupaten/kota yang menerima urusan pilihan. Alasan untuk Urusan Pilihan Kemendagri khususnya merasa bahwa pemerintah daerah tidak dapat dipercaya untuk membentuk organisasi sesuai dengan beban kerja yang dituntut untuk menjalankan urusan-urusan. Ancaman ini semakin nyata bagi sektor-sektor unggulan – sektor ekonomi khususnya. Sebaliknya, sektorsektor yang memberikan pelayanan dasar sebagai urusan wajib barangkali tidak memiliki peluang perilaku yang tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti ini. Oleh karena itu, pesan kepada daerah adalah bahwa daerah harus (lebih) hati-hati dalam membuat pilihan struktur urusan di sektorsektor ekonomi – sesuai dengan potensi daerah; ―tidak perlu ada departemen pertanian di suatu kota‖ adalah ilustrasi yang sering dinyatakan oleh Kemendagri.

Namun tampaknya para pembuat peraturan mungkin telah menggunakan kategori urusan ini untuk mencegah daerah-daerah menetapkan sendiri struktur organisasi mereka. Argumen yang mereka kemukakan adalah bahwa mengembangkan organisasi untuk urusan pilihan dapat menjadi sia-sia karena urusan pilihan bergantung pada keadaan sebenarnya di daerah – sehingga struktur organisasi bersifat opsional – demikian bunyi argumen tersebut (lihat kotak di atas). Argumen yang terfokus pada organisasi ini tidak dikemukakan secara konsisten dalam kerangka hukum (tentang struktur organisasi), dan hanya menimbulkan kebingungan dalam pembahasan tentang urusan-urusan. Karena menimbulkan kebingungan seperti ini maka tampaknya konsep yang ada sekarang perlu ditahan dulu agar cara-cara lain dapat mendorong penyusunan struktur organisasi23 secara bertanggung jawab. Selanjutnya, pembahasan hendaknya mengarah kepada unsurunsur arsitektur yang memperbolehkan campuran antara general competence dan ultra vires; yaitu, kerangka yang memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan selain yang dituntut dalam urusan wajib.

23

Peraturan Pemerintah 41/2007 baru saja dikeluarkan untuk mengatasi masalah ini.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

38


Tindakan yang diusulkan ☞

Konsep urusan pilihan saat ini perlu dihapuskan karena tidak berhubungan erat dengan urusan-urusan dan tidak berguna dalam mencegah struktur organisasi yang berlebihan. Gagasan urusan pilihan yang lebih diakui secara internasional perlu diupayakan (misalnya memperkenalkan ―hak inisiatif‖ yang jelas) dengan: o Mengubahnya dari definisi urusan pilihan yang bersifat sektoral menjadi definisi yang terkait dengan ruang lingkup dan inisiatif; o Menghapuskan keharusan bagi tingkat yang lebih tinggi untuk mengakui urusanurusan pilihan atau bagi pemerintah daerah untuk menetapkannya a priori; o Memberlakukan aturan main untuk memastikan keharmonisan antara tingkattingkat yang menjalankan urusan pilihan; o Menyesuaikan pendekatan norma dan standar yang mencerminkan sifat dari urusan pilihan (berbeda dengan urusan wajib).

10. Urusan kecamatan Praktik internasional Pemerintah daerah yang berada pada tingkat lebih tinggi dapat memilih untuk mempunyai hubungan langsung dengan tingkat di bawahnya atau dapat menengahi hubungan ini melalui badan/lembaga khusus. Entitas-entitas ini memperluas jangkauan pemerintah daerah dan bertindak sebagai sumber informasi dan sarana pemersatu. Salah satu contoh adalah ―wilayah pembangunan‖ administratif yang digunakan dalam hubungannya dengan pemerintahan daerah di Nigeria. Status di Indonesia Sejumlah faktor telah mendorong pembuat kebijakan dan stakeholder untuk mengkaji kembali peran tingkat kecamatan. Perubahan Camat dari tokoh utama di kecamatan (bertanggung jawab kepada Presiden) menjadi perangkat daerah kabupaten/kota mengurangi peran camat tersebut, tetapi hal ini bukan harapan dari masyarakat yang tetap bertahan pada persepsinya. Tuntutan terhadap Camat meningkat sedangkan wewenangnya berkurang karena ia tidak lagi berperan sebagai pengawas dan pembina tradisional. Hasil studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan dukungan USAID DRSP memperlihatkan bahwa sebagian besar kecamatan sekarang hanya membuat rekomendasi kepada kabupaten/kota, terutama tentang prosedur catatan sipil. Studi ini merekomendasi bahwa seyogyanya Camat/kecamatan berperan dalam perencanaan tata ruang dengan mengkoordinasikan unit-unit pemerintahan dan LSM; menyediakan pelayanan dasar, menyelesaikan konflik, dan melayani sebagai pusat informasi24.

24

PSPPP, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (2007), Temuan sementara studi tentang Kecamatan, Oktober, USAID-DRSP

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

39


Temuan-temuan awal studi ini mengemukakan kemungkinan bahwa peran tersebut dapat ditingkatkan dalam konstruksi saat ini, di mana Camat adalah perangkat daerah kabupaten/kota. Namun, yang penting konstruksi ini agar25: - tidak menimbulkan keseragaman; daerah perkotaan hendaknya dapat mengurangi atau meniadakan kecamatan — daerah pedesaan hendaknya dapat menambah jumlah kecamatan dan memperkuatnya. - tidak menghindari kecocokan struktur kecamatan dengan struktur tradisional di daerahdaerah tersebut bila suatu campuran struktur dikehendaki. Di manapun letak kecamatan, ada konsensus yang cukup luas bahwa tingkat kecamatan harus lebih dimanfaatkan, khususnya dalam penyediaan pelayanan 26. Kemungkinan untuk mendorong pelayanan ke bawah sampai ke tingkat ini diperlihatkan dengan adanya inovasi pelayanan satu pintu yang mencapai kecamatan Aceh Besar dan Aceh Barat 27, di mana beberapa jenis izin dapat dikeluarkan, misalnya izin lokasi usaha dan perdagangan. Beberapa kabupaten telah mengambil langkah-langkah untuk secara formal mendelegasikan tugas-tugas kepada kecamatan. Namun, formulasi ini seringkali memaksudkan ―koordinasi‖ atau ―rekomendasi‖; tidak jelas dalam hal ini berapa besar wewenang yang dimiliki Camat/kecamatan, khususnya dalam hal melaksanakan dan mengarahkan pemberian pelayanan28. Jika konstruksi saat ini akan dipertahankan maka tantangan bagi pembuat kebijakan tingkat pusat adalah menentukan bagaimana kabupaten/kota dapat didorong untuk menjajaki berbagai pengaturan dan mendelegasikan pelayanan penting dan tugas-tugas lain kepada kecamatan. Satu alternatif, sebuah pendekatan yang lebih bersifat sentralistik, adalah menyerahkan tugas kepada tingkat kecamatan langsung berdasarkan peraturan pemerintah pusat. Kelemahannya adalah dapat menciptakan pendelegasian tugas yang seragam ke daerah-daerah yang tidak cocok atau tidak dapat diterapkan. Tindakan yang diusulkan ☞

Upaya untuk menjelaskan peran kecamatan hendaknya dapat mencapai kesimpulan pada waktu yang tepat untuk mempengaruhi revisi UU 32/2004. Penting untuk memastikan apakah benar-benar ada peluang dalam konstruksi saat ini untuk meningkatkan peran/urusan kecamatan, dengan mempertimbangkan dua opsi utama (atau opsi-opsi lain) yang tersedia untuk memastikan agar pendelegasian tugas ke kecamatan dapat bermanfaat. Kedua opsi tersebut adalah:

25

PSP3-IPB (2007). Posisi Institusi Kecamatan dalam Tata Pemerintahan Daerah Sekarang dan Ke Depan (Isyu Kritikal dan Pelajaran dari Lima Kabupaten Studi) 26 Lihat, misalnya, catatan dari Tim Revisi UU 32/2004 tentang peran kecamatan dan desa, Oktober 2007. 27 AIPRD-LOGICA (2007) Panduan Pelayanan Satu Pintu – Inovasi Pelayanan Administrasi di Kecamatan. AusAID. 28 Peraturan Bupati Karangasem Nomor 30 Tahun 2004 tentang Uraian Tugas Kecamatan di Kabupaten Karangasem; Peraturan Bupati Karangasem Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pelimpahan Sebagian Wewenang Bupati kepada Camat untuk Menangani Sebagian Urusan Otonomi Daerah Kabupaten Karangasem.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

40


o Bimbingan kepada kabupaten/kota (misalnya, model perda) yang memperlihatkan bagaimana struktur kecamatan dapat disusun dan mandat dapat diberikan melalui pendelegasian dari kabupaten/kota. o Daftar minimum urusan kecamatan yang ditetapkan oleh tingkat pusat Jika pemerintah memilih untuk mempertahankan proses formasi kecamatan yang sebagian besar berada di bawah pengawasan kabupaten/kota maka perlu dipertimbangkan untuk menghapuskan ―jumlah minimum kecamatan‖ sebagai salah satu ketentuan pemekaran wilayah karena penggunaan persyaratan ini dapat menyebabkan lonjakan jumlah kecamatan daripada yang diperlukan atau aturan yang lebih ketat mengenai formasi kecamatan dari pemerintah pusat untuk menghindari kecamatan ―fiktif‖ yang dibentuk hanya untuk mempermudah pemekaran daerah. Kedua skenario ini tidak diinginkan.

11. Urusan desa Praktik internasional Ada beragam cara bagaimana negara-negara memperlakukan tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Mereka dapat menjadi ―otonom‖ atau bergantung pada tingkat SNG yang lebih tinggi. Kadang-kadang, tingkat-tingkat pemerintahan ini diakui dalam undangundang dasar, atau hanya disebutkan sebagai cakupan yurisdiksi yang diserahkan kepada unit-unit formatif federal (misalnya di Kanada). Banyak negara harus menghadapi tantangan keragaman luasnya dan kapasitas tingkat desa (misalnya, komune di Kamboja dapat bervariasi jumlah penduduknya dari 500 sampai 50.000 jiwa). Kesesuaian pembagian urusan desa harus dilihat dari karakteristik desa dan posisinya dalam sistem administratif politik multi level. Status di Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyinggung sifat otonomi untuk tingkat desa, dan UU 32/2004 dan PP 72/2005 menetapkan bahwa kabupaten/kota perlu mendelegasikan tugastugas (tugas pembantuan) kepada desa-desa. Hampir tidak ada kemajuan dalam pendelegasian ini di kebanyakan kabupaten/kota meskipun adanya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan ini. Di akhir tahun 2006, Kemendagri mengeluarkan peraturan (Peraturan Menteri No. 30/2006) sesuai dengan ketentuan dalam PP 72/200529. Beberapa observasi yang penting mengenai peraturan ini adalah sebagai berikut:  Peraturan ini menyediakan daftar (menu) urusan positif yang dapat ―ditransfer‖ namun memuat pernyataan yang janggal bahwa semua sektor dapat diserahkan kepada desa untuk mengatur – hal ini jelas tidak mungkin.  Tidak jelas apakah kabupaten/kota dapat ‗mentransfer‘ urusan atau sebagian urusan yang bersifat wajib (bagi kabupaten/kota tersebut).  Perbedaan antara urusan ―yang ditransfer‖ dan tugas pembantuan yang diserahkan oleh kabupaten/kota kurang ditegaskan.

29

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

41


Dalam rangka revisi UU 32/2004, sebuah Naskah Akademik telah disusun oleh Kemendagri (PMD) dengan bantuan dari jaringan forum LSM yang berurusan di bidang tata kelola pemerintahan desa (FPPD). Teks kebijakan ini memuat undang-undang tersendiri untuk tata kelola pemerintahan dan urusan-urusan desa berdasarkan prinsip pengakuan dan penyerahan wewenang30. Secara spesifik, ditawarkan adanya tiga kemungkinan jenis urusan di tingkat desa sebagai berikut: (a) (b) (c)

Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara Kewenangan melekat yang diserahkan Tugas pembantuan dari pemerintah pusat, yang juga disebut kerjasama urusan konkuren.

Kewenangan asal-usul akan diserahkan hanya jika unsur ―adat‖ dicantumkan dalam struktur tata pemerintahan desa. Untuk kewenangan melekat, tampaknya desa harus memilih dari ―daftar positif‖ sesuai dengan kepentingan/kapasitasnya. Tugas pembantuan diikuti dengan dana, staf dan fasilitas; tugas pembantuan dapat ditolak jika tidak disertai hal-hal tersebut. Selain prinsip pembiayaan tugas pembantuan yang disebutkan di atas, mekanisme pembiayaan ADD (sebelumnya dari tingkat kabupaten) akan tetap dilanjutkan tetapi dananya berasal langsung dari APBN (dari amplop pemerintah daerah). Kategori dana ―percepatan‖ juga diperkenalkan agar desa dapat mengejar ketertinggalannya. Belum ditentukan bagaimana dana ini akan diatur/didistribusikan—hubungan dengan urusan tidak dijelaskan. Skema urusan yang diusulkan untuk desa sebagaimana yang terlihat dalam naskah akademik, menimbulkan beberapa masalah atau pertanyaan:    

Bagaimana caranya ―pengakuan‖ dapat dilakukan untuk Kewenangan Asal-Usul? Dari mana asal Kewenangan Melekat? Apakah pemerintah daerah sekarang dapat menyerahkan tugas-tugas kepada desa? Bagaimana konkurensi dapat dicapai (untuk urusan-urusan yang menjadi fokus kerja sama kabupaten-desa)?  Apakah konsep tugas pembantuan cocok (sesuai dengan konsep secara umum)?31  Bagaimana ADD atau Dana Percepatan yang ditentukan dalam APBN dapat memenuhi kebutuhan ―kewenangan melekat‖ atau urusan-urusan lain? Usulan Tindak Lanjut ☞

30 31

Opsi A: Mempertahankan pendekatan di mana kabupaten tetap dominan dalam kerangka tata pemerintahan desa saat ini (termasuk tugas pembantuan), dengan upaya untuk membuat perbaikan sesuai dengan kebutuhan, sehubungan dengan urusanurusan desa, dan melaksanakannya secara efektif seperti yang dimaksudkan. Opsi B: Menjadikan desa sebagai tingkat ketiga pemerintahan otonom, seperti yang tersirat dalam naskah akademik yang disusun oleh PMD/FPPD, di mana urusan yang

PMD (Kemendagri), Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Desa, 30 Agustus 2007. Misalnya, pendekatan partikularistik (mikro) untuk mendanai tugas pembantuan bisa jadi terlalu kaku.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

42


diperluas dijamin untuk desa, dan mungkin sejumlah urusan tambahan akan dirundingkan dengan kabupaten. USAID-DRSP sedang membantu Kemendagri dalam upaya ini meskipun menghadapi fragmentasi dan penurunan intensitas upaya dalam bulan-bulan terakhir. Bantuan masih terus dibutuhkan meskipun upaya ini tampaknya sudah cukup berhasil seperti yang diharapkan. 12. Wujud pengorganisasian dari pembagian urusan Praktik internasional Ungkapan desentralisasi yang sering terdengar ―uang mengikuti urusan‖ mempunyai imbangan yang sama-sama berlaku ―bentuk mengikuti urusan‖. Arahan ini sesuai dengan desentralisasi sehubungan dengan struktur pemerintah pusat maupun daerah. Struktur pemerintah daerah disesuaikan untuk melaksanakan urusan-urusan baru. Penyesuaian organisasi dilakukan untuk menyesuaikan kembali besaran departemen-departemen sesuai dengan urusan yang telah diserahkan dan peran mereka yang baru. Yang sering terjadi adalah bahwa rancangan/kerangka hukum desentralisasi hanya menangani urusan-urusan yang diserahkan, dan melupakan implikasi pada organisasi pemerintah pusat. Namun secara luas diakui bahwa keberhasilan desentralisasi bergantung juga pada pelaksanaan penyesuaian organisasi pemerintah pusat yang memadai dan tepat waktu. Pengalaman negara-negara yang melakukan desentralisasi, di mana departemen-departemen pusat menolak perubahan (misalnya Filipina) menimbulkan inefisiensi yang besar di tingkat pusat dan ketidaksiapan departemen-departemen untuk mengemban perannya yang baru. Status di Indonesia Untuk struktur daerah, beberapa organisasi dasar dan jenis organisasi diatur dalam Undang-Undang 32/2004, yang dilengkapi dengan perincian tentang jumlah/komposisi unit pelaksana daerah (Dinas) dan unit-unit teknis yang akan dikelola oleh pemerintah daerah menurut ―faktor-faktor tertentu‖ (dijelaskan dalam penjelasan tentang volume pekerjaan, luas daerah dan jumlah penduduk). Pendekatan umum ini masuk akal. Namun, karena khawatir terhadap struktur organisasi yang berlebihan, maka peraturan-peraturan pelaksanaan di masa lalu telah mempersempit pilihan pemerintah daerah untuk mengorganisasi dirinya sesuai dengan urusan-urusan yang harus mereka laksanakan. Sebuah peraturan yang baru (PP 41/2007) baru saja dikeluarkan. Peraturan ini mengizinkan terbentuknya 12-18 Dinas dan 8-12 unit teknis, tergantung pada ukuran dan anggaran daerah. Tidak jelas apakah bentuk arahan ini akan berhasil dalam mengimbangi nilai keseragaman/ekonomi (yang ditekankan oleh pusat) dengan penyesuaian daerah terhadap beban kerja dan karakteristik spesifik daerah dan penguna jasa. Seperti yang terjadi di banyak negara yang menjalani desentralisasi, tidak ada ketentuan dalam kerangka perundang-undangan mengenai desentralisasi untuk mereorganisasi departemen-departemen yang telah menyerahkan urusan-urusan atau mengubah perannya. Diharapkan perubahan ke pengambilan kebijakan dan pengawasan dengan lebih memanfaatkan tingkat propinsi di bidang pengawasan akan cukup berhasil mengubah organisasi dan staf dari beberapa departemen. Desakan untuk melakukannya telah datang

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

43


dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), tetapi secara umum hal ini belum mempercepat proses reformasi. Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan telah berupaya memfokuskan desentralisasi melalui suatu unit khusus atau tenaga ahli Menteri. Namun, tugas unit ini kurang dipahami oleh unit-unit lini dan unit-unit lain dari sekretariat jenderal sehingga membatasi efektivitasnya. Tampaknya, unit-unit ini hanya berfokus pada tingkat daerah, bukan sekaligus pada tingkat daerah dan departemen. Beberapa pendekatan tampaknya dapat berhasil dalam menyelaraskan desentralisasi dengan pekerjaan mereorganisasi departemen. Kuncinya adalah mendapatkan dukungan pimpinan dan orang-orang terampil yang ditugaskan untuk memfasilitasi proses reorganisasi. Masalah yang juga sama pentingnya adalah kurang jelasnya berbagai peraturan mengenai peran propinsi dan gubernur yang sedang disusun. Sifat, ruang lingkup dan besaran unit pelaksana dapat menjadi rumit dan kurang akuntabel jika pilihan yang dibuat ternyata salah. Azas pemerintahan yang diterapkan dan bagaimana azas-azas ini saling berhubungan harus jelas. Sebagaimana disebutkan di atas ―bentuk mengikuti urusan‖. Tindakan yang diusulkan ☞

☞ ☞

Dibutuhkan upaya tambahan untuk mengarahkan reorganisasi tingkat pusat seraya kegiatan dekonsentrasi berkurang dan dukungan strategis kepada pemerintah daerah diintensifkan. Peran tingkat propinsi perlu diperjelas untuk memahami bagaimana unit-unit yang didesentralisasi (didevolusi/ otonom) berhubungan dengan perangkat pemerintah pusat (dekonsentrasi). Hak departemen untuk membentuk unit-unit dekonsentrasi dan kewajibannya untuk menggunakan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat perlu diperjelas. Upaya perlu dibuat untuk memastikan bahwa pemerintah daerah diberikan insentif/instruksi untuk menjadi organisasi daerah yang efisien dengan mendorong penyesuaian organisasi daerah dengan beban urusan dan karakteristik lokal.

13. Pembagian urusan di daerah-daerah khusus Praktik internasional Perlakuan khusus terhadap daerah-daerah telah menjadi ciri pembangunan bangsa dalam dua abad terakhir dan mungkin lama sebelumnya (ini telah menjadi ciri dari Kekaisaran Romawi, misalnya). Apa yang membedakan daerah-daerah ini dari yang lainnya, bentuk pemerintahan nasionalnya apapun, adalah aspek ―desentralisasi asimetris‖ di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Pengaturan asimetris ini dapat ditemukan di negaranegara kesatuan maupun federal. Beberapa kesepakatan berfokus terutama pada masalah budaya, tetapi sudah lazim terjadi gabungan faktor-faktor pendorong dan segi-segi dominan dalam kesepakatan-kesepakatan ini. Beberapa contohnya adalah:  Daerah Basque di Spanyol – negara kesatuan (politik, budaya)  Propinsi Quebec di Kanada – negara federal (politik, budaya)  Aceh di Indonesia – negara kesatuan (politik, ekonomi, budaya).

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

44


Pemerintah daerah bersangkutan pada umumnya mempunyai urusan pemerintahan dasar yang sama dengan yurisdiksi yang serupa (ditambah segi-segi khusus) tetapi mungkin mempunyai sebutan khusus yang menunjukkan perbedaan status (misalnya Regione Autonoma Trentino-Alto Adige di Italia). Undang-undang khusus umumnya digunakan untuk mengatur urusan-urusan khusus yang diserahkan kepada daerah-daerah ini. Aspek umum yang ditemukan di negara-negara ini adalah upaya untuk menyeimbangkan permintaan perlakuan khusus dengan tuntutan unit-unit lain untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan mempertahankan persatuan dan identitas bangsa. Menghalangi tuntutan daerah khusus dapat menimbulkan gagasan untuk memisahkan diri/irredentist. Sedangkan membiarkan perbedaan yang terlalu besar dapat menyebabkan daerah-daerah lain merasa diperlakukan tidak adil (misalnya dalam masalah fiskal) dan mendorong mereka untuk melakukan tuntutan yang serupa. Selain itu, ada yang khawatir bahwa perlakuan berupa memberikan otonomi ―yang berlebihan‖ dalam kasus apapun dapat dimanfaatkan sebagai batu loncatan untuk memisahkan diri. Status di Indonesia Indonesia juga telah menetapkan undang-undang khusus untuk mengatur status khusus beberapa daerah, berdasarkan ketentuan undang-undang dasar. Meskipun reformasi desentralisasi tahun 1999 telah difokuskan pada tingkat kabupaten/kota, status atau otonomi khusus telah diberikan kepada daerah propinsi berikut ini:    

Propinsi Yogyakarta – Undang-Undang 3/1950 tentang Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta32 Propinsi Papua – Undang-Undang 21/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Propinsi Papua33 Propinsi Aceh – Undang-Undang 18/2001 tentang Daerah Propinsi Khusus Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; diikuti oleh Undang-Undang 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh Propinsi Jakarta – Undang-Undang 34/1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta34

Semua ketentuan dalam UU 32/2004 berlaku bagi daerah-daerah khusus selama tidak digantikan dengan undang-undang tentang status khusus. Namun, hanya undang-undang tentang Aceh yang dikeluarkan setelah Undang-Undang 32/2004. Karena alasan urutan ini maka undang-undang tentang Aceh diharapkan dapat menunjukkan bagaimana undangundang tersebut mengalami perubahan dari kerangka umum (UU 32/2004). Perbedaan Pembagian Urusan untuk Aceh Perbedaan-perbedaan karena adanya status khusus dapat berasal dari urusan-urusan yang biasanya tidak diberikan kepada propinsi/kabupaten/kota atau dari wewenang untuk menyerahkan urusan-urusan di antara tingkat-tingkat di suatu daerah. Perbedaanperbedaan tersebut dapat mencapai apa yang International Crisis Group sebut sebagai 32

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Belakangan, terjadi pemekaran propinsi namun legalitasnya masih diperdebatkan 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta 33

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

45


―otonomi khusus untuk Aceh yang secara kualitatif berbeda dengan otonomi untuk propinsi-propinsi lain‖35. Hasil perbandingan antara UU 32/2004 dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh (UUPA) memperlihatkan situasi yang agak rumit dan tidak jelas dalam arti apa sebenarnya yang kekhasan Aceh dan tingkat mana aspek khas meletak di Aceh (Lampiran 7). Karena daftar urusan dalam UUPA dijabarkan secara lebih luas daripada dalam UU 32/2004 tetapi tidak mencakup sebanyak yang ditemukan dalam PP 38/2007 (yang dikeluarkan setelah UUPA), maka dibutuhkan peraturan tindak lanjut untuk menentukan urusan-urusan lain apa yang ditemukan di Aceh. Sebenarnya tidak ada peraturan seperti ini yang ditetapkan dalam UUPA, tetapi, sebagai pendekatan pragmatis, maka pemerintah pusat mengumumkan akan mengeluarkan peraturan tersebut. Ketika pertama kali dibahas, Gubernur menunjukkan reaksi negatif yang keras terhadap usulan ini karena peraturan pemerintah tersebut dinilai telah melampaui yurisdiksi ―eksklusif‖ pemerintah pusat dengan mencakup bidang-bidang di semua sektor pemerintahan. Ini dinilai sebagai campur tangan oleh mereka yang mengerti bahwa Aceh mempunyai yurisdiksi total atas sektorsektor yang tidak diakui sepenuhnya oleh pemerintah pusat sebagai miliknya. Kesalahpahaman yang terjadi selama pembahasan ini memperlihatkan betapa pemerintah pusat harus berhati-hati dalam merancang arsitektur pembagian urusan, dalam hal meningkatkan kesadaran tentang ruang lingkup wewenang pemerintah pusat dalam urusan propinsi yang ―biasa‖ dan propinsi otonomi khusus. Urusan-urusan yang tercantum dalam UUPA pada umumnya diserahkan kepada tingkat propinsi maupun kabupaten/kota36. Hal ini dapat menimbulkan masalah jika konkurensi diharapkan diminimalisir. Oleh karena itu, pemerintah Aceh sendiri berinisiatif untuk membagikan urusan-urusan di antara tingkat propinsi dan kabupaten/kota melalui serangkaian Qanun propinsi sektoral. Instruksi Gubernur No. 12/2007 menetapkan program pengaturan untuk membahas sektor-sektor utama dalam sidang DPRD 2007/2008 secara bertahap. Instruksi ini memerintahkan agar unit propinsi yang menyusun draf Qanun berkonsultasi dengan tingkat kabupaten, di bawah koordinasi sekretaris pemerintah daerah propinsi. Diharapkan Aceh juga akan mempersiapkan mekanisme untuk menyesuaikan urusanurusan dari waktu ke waktu, karena mekanisme ―urusan sisa‖ dalam PP 38 tampaknya tidak berlaku bagi Aceh. Revisi UU 21/2001 untuk Papua Departemen Dalam Negeri mulai memproses evaluasi otonomi daerah Papua, yang dilaksanakan sebagian besar melalui universitas Satyawacana (Salatiga). Universitas Cendrawasih juga diharapkan dapat berperan, tetapi rincian ini belum disampaikan kepada Konsultan. Juga tidak jelas apakah evaluasi ini merupakan prasyarat untuk merevisi undang-undang, atau apakah revisi maupun evaluasi sama-sama berjalan. Bagaimanapun juga, proses revisi masih belum ditetapkan meskipun Kemendagri sudah mulai membahas apa saja yang tercakup dalam revisi ini. 35

ICG (2007) Aceh: Komplikasi Pasca Konflik, Rekomendasi dari International Crisis Group, Laporan Tingkat Asia No. 139—4 Oktober, Halaman ii. 36 Satu-satunya izin eksplisit untuk menentukan pembagian urusan di antara tingkat-tingkat pemerintahan adalah untuk Syari‘at Islam – akan dilakukan melalui Qanun Aceh (dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat).

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

46


Revisi undang-undang ini kemungkinan mengundang banyak perdebatan. Beberapa stakeholder akan bersikeras agar undang-undang ini diberlakukan secara penuh sebelum membuat perubahan-perubahan apapun – alasannya adalah bahwa jika harus ada evaluasi maka evaluasi tersebut seharusnya berfokus pada kekurangan yang ditemukan dalam pelaksanaan undang-undang ini. Ada yang merasa bahwa undang-undang ini telah terbukti gagal37. Yang lain merasa bahwa tidak ada undang-undang ―otonomi daerah‖ yang dapat menampung aspirasi rakyat Papua – hanya kemerdekaan dapat menjawab tuntutan Papua. Jelas terbentuknya Papua Barat dan dikeluarkannya Instruksi Presiden 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat 38 telah memperumit situasi politik, dan semakin mempersulit Rakyat Papua untuk mengembangkan dasar dan kedudukan yang sama mengenai bentuk otonomi yang diinginkan. Instruksi Presiden itu sendiri melemahkan ketentuan-ketentuan tentang otonomi dari UU 21/2001 dalam menetapkan dana yang mengalir melalui departemen-departemen sektoral dengan gaya dekonsentrasi, untuk urusan-urusan yang seharusnya menjadi urusan pemerintah daerah Papua. Secara khusus, peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dipersoalkan mengingat adanya propinsi baru dan kemungkinan sejumlah propinsi baru lain yang akan dibentuk. Tidak jelas apakah MRP perlu melaksanakan peran politik tambahan untuk mempertahankan keutuhan identitas bagi rakyat Papua atau apakah undang-undang baru hanya perlu menerima ―fakta di lapangan‖ yang dipromosikan oleh pemerintah pusat, sehingga semakin memarjinalkan MRP. Dalam revisi undang-undang tersebut, masalah pembagian urusan menjadi penting. Pememeriksaan surat kabar cukup untuk mengetahui berita utama masalah ini. Upaya propinsi Papua untuk melarang penjualan kayu gelondongan keluar dari propinsi berdasarkan pemahamannya tentang UU 21/2001 menandaskan baik kemungkinankemungkinan maupun tantangan-tantangan yang dihadapi39. Dalam hal ini, para pelaku di tingkat pusat berpendapat bahwa UU 41/1999 tentang kehutanan berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia, sedangkan para pemimpin adat di Papua menegaskan bahwa apa yang membuat Papua istimewa adalah kepemilikan kolektif adat (suku) atas hutan, dan bahwa ini adalah pemahaman yang berasal dari status khusus yang diberikan dalam UndangUndang 21/2001. Akan tetapi, UU 21/2001 tidak banyak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ―khusus‖ sehubungan dengan pembagian urusan di Papua. Undang-Undang ini mengatur berbagai kewajiban secara eksplisit, dalam arti bahwa Papua diharapkan dapat melestarikan bahasa dan mempromosikan budayanya serta tujuan-tujuan kesejahteraan umum lainnya. Tetapi, undang-undang ini tidak mengatur urusan-urusan spesifik yang dimiliki Papua seperti halnya propinsi atau kabupaten/kota yang lain. Namun, undang-undang ini mengizinkan para pemuka adat untuk berperan dalam beberapa aspek dari proses pengadilan – sama seperti wewenang syariat Islam yang diberikan kepada Aceh. Undang-undang ini juga membuat Papua bertanggung jawab atas semua jenjang pendidikan dalam norma-norma 37

Berita Daerah (2007). Inpres Percepatan Pembangunan Harus Direalisasikan, Selasa, 21 Agustus, http://www.Kemendagri.go.id/konten.php?nama=BeritaDaerah&op=detail_berita_daerah&id=904 38 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat. 39 Suara Pembaruan (2007), Larangan Jual Kayu Gelondongan – Pemprov Papua Dinilai Salah Menafsirkan UU Otsus, Jumat, 23 November, hl. 12

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

47


yang ditetapkan pemerintah pusat. Undang-undang ini meminta propinsi Papua untuk menetapkan standar kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah Papua harus tunduk kepada standar kesehatan nasional – sebuah pertanyaan yang juga pernah muncul dalam kasus Aceh ketika PP tentang urusan pemerintah pusat untuk Aceh dibahas. Melalui ketentuan yang ganjil, undang-undang otonomi daerah secara tegas menyatakan bahwa pengawasan terhadap kabupaten/kota adalah peran pemerintah pusat yang dapat diserahkan kepada Gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat. Maka dalam hal ini, Undang-Undang 21/2001 jelas lebih bersifat sentralistis daripada untuk propinsi lainnya yang sebagian besar diberikan peranan ini (mungkin karena kelalaian) melalui urusan yang didefinisikan secara sektoral dalam PP 38/2007. Usulan tindakan ☞

Undang-undang daerah khusus perlu ditinjau kembali untuk melihat apakah ada kejelasan dalam hal apa ketentuan UU 32/2004 itu berlaku dan ketentuan-ketentuan mana dari undang-undang otonomi daerah yang menggantikan atau menambah ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut. Juga perlu dijelaskan mengenai pembagian urusan antara tingkat propinsi dan tingkat-tingkat di bawahnya, atau bagaimana pembagian ini harus ditentukan. Pembahasan perlu diperluas mengenai apa yang dapat meningkatkan persatuan bangsa dalam pembagian urusan, dan khususnya apa peran pemerintah pusat dalam menetapkan standar urusan yang diserahkan kepada daerah, apapun sistem otonomi. Pemerintah pusat perlu memberikan perhatian khusus kepada upaya-upaya Aceh untuk mengalokasikan urusan-urusan antara tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota (dan untuk menyepakati forum konsultasi mengenai kebijakankebijakan tingkat pusat yang berlaku bagi Aceh), untuk melihat apakah proses dan arsitektur hukum dapat menjadi model yang berguna bagi propinsi-propinsi lain juga. Mengingat pentingnya pembagian urusan maka evaluasi pengalaman otonomi di Papua hendaknya memperhatikan: o Apa yang khusus sehubungan dengan urusan Papua dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain; o Bagaimana karakter khusus ini telah direalisasikan dalam praktik; o Taraf sampai di mana pendanaan dan segi-segi lain dari otonomi telah sesuai dengan urusan-urusan; o Bagaimana MRP telah dapat melaksanakan urusan-urusannya; o Bagaimana lonjakan jumlah propinsi akan membantu atau menghambat urusan MRP yang ditetapkan dan pelaksanaan urusan pengelolaan sumber daya; o Apakah ada prospek untuk memperkuat/mengubah MRP agar dapat berfungsi di semua sektor pemerintahan yang relevan untuk mengimbangi pemekaran Papua menjadi propinsi-propinsi, dengan bertindak sebagai badan pemersatu untuk ―Papua‖. Maka, urusan-urusan akan diperankan masing-masing oleh MRP, propinsi dan kabupaten/kota atau bagian-bagian wilayah lainnya sebagaimana yang ditetapkan di Papua (lihat Pasal 14 mengenai pemekaran wilayah)

14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

48


Praktik internasional Struktur penataan daerah umumnya dipengaruhi sejumlah faktor, termasuk kemampuan calon SNG untuk mempertahankan pembagian urusan yang ditetapkan untuk tingkat pemerintahan tersebut. Dalam beberapa kasus, tingkat baru ditetapkan, dan jumlah unit yang terbentuk ditentukan, antara lain, berdasarkan beban urusan yang harus mereka laksanakan40. Status di Indonesia Reformasi penataan daerah, atau setidaknya pemekaran daerah dengan pola yang lebih terarah, sedang diupayakan sebagai bagian dari revisi UU 32/2004. Meskipun terdapat masalah bahwa beberapa daerah baru tidak dapat mengemban urusan-urusan yang terkait dengan tingkat kabupaten/kota, tidak banyak dilakukan pembahasan mengenai ketidakmampuan daerah-daerah kecil, misalnya kabupaten Supiori di Papua dengan jumlah penduduk 12.500 jiwa, untuk memenuhi harapan kinerja di tingkat pemerintahan ini. Papua mempunyai 10 kabupaten sebelum era desentralisasi, dan sekarang mempunyai 30 kabupaten (dengan memperhitungkan kedua propinsinya), dan masih ada banyak usulan untuk pemekaran41. Tuntutan ini berasal dari ―bawah‖ dan jawabannya berasal dari tingkat nasional (terutama DPR). Propinsi-propinsi yang ada sejauh ini hanya bersikap pasif. Sikap pasif propinsi ini agak sulit dipahami karena mereka memiliki otonomi khusus. Diharapkan bahwa propinsi-propinsi ini mempunyai wewenang untuk mengatur struktur pemerintahan daerahnya sendiri dan menyesuaikan urusan-urusan dengan skala dan hirarki yang dipilih. Dengan demikian, kabupaten di Papua dapat memiliki urusan yang sangat berbeda dengan kabupaten di Jawa. Hasil diskusi para pejabat pemerintah pusat memperlihatkan kemungkinan menerapkan patokan jumlah penduduk untuk mengatasi kapasitas yang tidak memadai dalam melaksanakan urusan-urusan, namun belum jelas seberapa besar dukungan yang diberikan kepada opsi ini oleh para pembuat kebijakan. Usulan Tindakan ☞

Perhatian yang serius perlu diberikan kepada penerapan patokan jumlah penduduk kabupaten/kota untuk menghindari terbentuknya daerah-daerah yang tidak dapat melaksanakan urusan-urusan yang telah diserahkan kepada semua kabupaten/kota secara seragam. Untuk daerah-daerah yang berstatus otonomi khusus, patut dipertimbangkan untuk memberdayakan daerah tersebut dalam mengatur pembagian daerah sendiri dan menyesuaikan urusan-urusan dengan skala/hirarki yang dipilih.

40

Lihat Ferrazi, G. (2007) Pengalaman Internasional di bidang Reformasi (Pemekaran) Wilayah – Implikasinya terhadap Indonesia, draft awal, Program Dukungan Reformasi Demokratis (DRSP) USAID, Januari. 41 Beberapa kabupaten baru telah terbentuk di awal tahun 2008 yang belum termasuk dalam ke-30 kabupaten ini.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

49


15. Proses pembagian urusan Praktik internasional Kualitas pembagian urusan sangat bergantung pada kualitas proses yang digunakan untuk mencapainya. Pengalaman di beberapa negara memperlihatkan bahwa ketertinggalan desentralisasi sektoral terjadi ketika salah satu bagian pemerintahan membuat kemajuan yang cepat di bidang desentralisasi dengan harapan sektor-sektor akan menyusul. Penyesuaian yang cepat oleh departemen lini di pusat jarang terjadi. Untuk mengatasi ketertinggalan desentralisasi sektoral ini, perlu diadakan dialog yang dapat menghasilkan pemahaman yang memadai di antara para stakeholder untuk menetapkan prinsip-prinsip dasar dan menyepakati arsitektur perundang-undangan secara keseluruhan (di mana urusan-urusan disusun, apa saja jenis urusannya, peran apa yang akan diberikan kepada tingkat-tingkat pemerintahan). Kunci dari pembagian urusan yang legitimat dan dapat diterapkan adalah keterlibatan stakeholder utama, di antaranya, tentu saja, departemen/lembaga non-departemen di pusat (disingkat D/LND). D/LND pada umumnya mengkhawatirkan hal-hal berikut:  Kesenjangan kapasitas – ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menghadapi tantangan karena rendahnya kapasitas mereka.  Gangguan pelayanan – karena tantangan kapasitas dan transisi, pemberian pelayanan dapat mengalami hambatan.  Ketidaksesuaian dengan tujuan pusat – karena kurangnya waktu atau pengalaman dalam menyesuaikan hubungan vertikal, atau kerangka pemerintahan daerah yang terlalu serba boleh, akibatnya upaya-upaya pemerintah daerah kurang sejalan dengan tujuan-tujuan pusat.  Kecurigaan atas Departemen yang bertanggung jawab untuk pemerintahan daerah – kadang-kadang terdapat kekhawatiran di antara D/LND bahwa departemen yang bertanggung jawab untuk pemerintahan daerah mempromosikan desentralisasi sebagai cara untuk menggeser pengawasan dari sektor-sektor pelayanan spesifik dan meningkatkan pengawasan di ―sektor pemerintahan daerah‖ yang dia memiliki sendiri. Masalah-masalah ini seringkali beralasan dan harus diselesaikan secara konstruktif. Jika ketidaksesuaian D/LND dengan kebijakan pusat di bidang desentralisasi dibiarkan berlarut-larut maka hal ini akan mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap upaya desentralisasi dan terhadap seluruh lingkungan perumusan kebijakan di Indonesia. Secara khusus, hasil-hasil yang tidak diinginkan berikut ini dapat terjadi: -

-

-

Penggunaan secara tidak efisien sumber daya sektoral yang terbatas karena adanya stagnasi penyesuaian/inovasi dalam pengaturan pemberian pelayanan di sektor yang tertinggal. Hasil-hasil desentralisasi kurang optimal di sektor/jasa yang telah memprakarsai desentralisasi karena kurangnya sinergi dengan sektor/jasa terkait (misalnya pengambilan keputusan masih bersifat vertikal untuk jasa-jasa terkait; jumlah minimum staf/sumber daya administratif di pemerintah daerah tidak tercapai). Tekanan yang tidak sehat di antara para pengambil kebijakan.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

50


-

Kontradiksi berkelanjutan antara ketentuan hukum dan kenyataan di lapangan, atau ketentuan-ketentuan hukum yang bertentangan dalam kerangka hukum Pemerintahan Daerah dan kerangka hukum ―sektoral‖ yang menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan hukum dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Ketertinggalan sektoral kadangkala dapat berubah menjadi keuntungan karena sektor yang maju dapat menjadi ―percontohan‖ dan kemudian model bagi sektor yang lain, melalui pendekatan berjenjang secara sektoral. Namun, ketertinggalan sektor yang berkepanjangan dan tidak dimanfaatkan dalam persiapan hanya akan mendatangkan kerugian seperti yang disebutkan di atas. Minat D/LND untuk berperan dalam percontohan atau kebijakan yang berskala nasional sangat bergantung pada pimpinan dalam departemen itu sendiri. Pada saat yang sama, suatu badan diperlukan untuk memastikan hubungan lintas D/LND. Beberapa urusan bersifat lintas departemen. Maka penting bagi SNG untuk menerima berbagai urusan secara terpadu. Hal ini dapat ditetapkan di awal proses pembagian urusan yang mencakup suatu dialog/pembicaraan pengembangan kebijakan lintas departemen. Departemen yang menangani pemerintahan daerah, perencanaan, keuangan atau pendayagunaan aparatur negara dapat ditugaskan untuk memfasilitasi dialog dan pengembangan kebijakan bersama ini; pilihannya dapat bergantung pada hubungan yang telah terjalin berdasarkan kepercayaan dan kapasitas. Dalam lingkungan departemen itu sendiri, mungkin perlu membentuk semacam organisasi untuk melaksanakan pembagian urusan, yang bersifat sementara atau permanen. Beberapa opsi dapat dipertimbangkan, dan opsi yang dipilih harus cocok dengan D/LND bersangkutan untuk mencapai hal-hal berikut ini:  Analisa lintas unit dan dialog dalam lingkungan D/LND  Arus informasi dari tingkat teknis sampai politik dalam lingkungan D/LND  Kerja sama dengan berbagai kementerian koordinator dan komite koordinasi antar departemen. D/LND dapat memilih salah satu, atau kombinasi dari yang berikut ini:  Titik fokus (focal point); seseorang yang bertanggung jawab penuh untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan internal dan menjadi penghubung teknis dengan dialog/pembahasan kebijakan lintas sektor dan stakeholder. Ia hendaknya seorang pejabat senior, dengan jabatan wakil menteri atau sekretaris jenderal, atau staf ahli yang memiliki keahlian di bidang teknik dan politik.  Unit kebijakan departemen yang ada yang diberikan fungsi staf (bukan lini) dan mampu memetik informasi, pandangan dan dukungan dari unit-unit lini.  Kelompok kebijakan desentralisasi yang baru dengan peranan seperti diuraikan di atas.  Forum stakeholder sektoral; organisasi formal atau informal yang menghubungkan D/LND dengan stakeholder bersangkutan. Tidak ada cara terbaik untuk menentukan struktur organisasi internal untuk desentralisasi, tetapi pasti akan lebih menguntungkan jika mendapatkan dukungan dari orang-orang yang cukup dihormati dalam posisi/struktur ini.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

51


Dialog internal dan eksternal dapat ditingkatkan melalui sejumlah upaya yang membentuk suatu Strategi Komunikasi mengenai desentralisasi untuk D/LND, misalnya:  Pamflet yang menjelaskan struktur tugas D/LND untuk desentralisasi atau inisiatif spesifik.  Website atau halaman yang disediakan dalam website departemen untuk menjelaskan organisasi, rencana kerja, inisiatif, kemajuan dan acara-acara.  Mekanisme umpan-balik (misalnya telepon, email) yang terkait dengan organisasi atau focal person yang ditugasi menangani desentralisasi.  Sesi orientasi internal perlu disediakan bagi staf D/LND untuk memahami pendekatan, rencana kerja dan hal-hal lain yang terkait dengan upaya-upaya desentralisasi dari D/LND. Secara khusus, pertemuan ini perlu menjelaskan apa yang diharapkan dari setiap unit yang bersangkutan dalam lingkungan D/LND dan peluang-peluang yang disediakan untuk memberikan kontribusi atau mencari keterampilan dan pengetahuan. Selain para pejabat departemen (D/LND), dialog pada waktunya juga perlu mencakup pemerintah daerah dan asosiasinya, asosiasi profesi yang relevan (misalnya guru, petugas kesehatan), pakar dari lembaga penelitian dan pendidikan tinggi, LSM dan organisasi swasta yang terlibat dalam pemberian pelayanan atau advokasi. Dibutuhkan kecermatan dalam menjelaskan bagaimana para pelaku eksternal akan berpartisipasi dalam pelaksanaan rencana kerja desentralisasi sektoral. Salah satu langkah yang berguna adalah mengidentifikasi stakeholder, dan perlu mengantisipasi bahwa akan ada perbedaan pendapat mengenai siapa yang hendaknya berpartisipasi, atau di posisi mana mereka hendaknya berpartisipasi. Isi rencana kerja percontohan D/LND:  Memperkuat atau membentuk susunan organisasi internal D/LND untuk meningkatkan/membimbing desentralisasi/percontohan.  Pekerjaan diagnostik yang perlu dilakukan, dan lokasinya.  Rapat internal yang penting untuk mendapatkan dukungan dan memulai kegiatan-kegiatan utama.  Partisipasi dalam kegiatan CD lintas sektor.  Rapat laporan kemajuan di lingkungan departemen.

Dalam pelaksanaan desentralisasi yang kompleks ini, semakin sulit untuk menyusun rencana kerja yang dapat berlangsung selama jangka waktu yang ditetapkan. Namun, jika suatu rencana kerja dapat disesuaikan, hal ini dapat membantu mempertahankan fokus pada target tahapan pencapaian (milestones). Barangkali sangat sulit bagi D/LND atau kementerian koordinator itu sendiri menunjukkan jadwal waktu yang tepat untuk desentralisasi sektor. Maka kebijakankebijakan dibuat secara ad hoc karena adanya tekanan-tekanan politik yang mereka terima. Jangka waktu yang realistis perlu ditetapkan, biasanya selama satu atau dua tahun, yang memberikan cukup waktu untuk menjajaki pengaturan saat ini, mengembangkan dan menjajaki opsi-opsi, dan membuat keputusan-keputusan. Mungkin perlu untuk melaksanakan beberapa kegiatan percontohan, atau menentukan tahapan urusan lintas sektor atau dalam sektor.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

52


Status di Indonesia Jika upaya yang dilakukan sekarang untuk merevisi UU 32/2004 dihitung, maka reformasi otonomi daerah sudah mengalami tiga babak (termasuk pembagian urusan) selama sepuluh tahun terakhir. Salah satu pertanyaan yang masuk akal, yang diajukan oleh stakeholder dan donor pendukung42, adalah apakah telah ada peningkatan dalam pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyusun (kembali) kebijakan, dalam hal ini tentang pembagian urusan. Asumsi yang mendasari pertanyaan ini adalah bahwa kualitas dan keberlanjutan kebijakan desentralisasi sangat bergantung pada ketepatan proses yang diterapkan. Ketepatan proses ditentukan oleh kualitas masukan, partisipasi dan legitimasi. Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam proses sejauh ini masih belum signifikan dan masih mengalami kekurangan dalam beberapa hal. Dalam reformasi babak kedua (untuk menyusun UU 32/2004), terjadi interaksi yang signifikan dengan departemen-departemen sektoral, lebih signifikan daripada ketika menyusun UU 22/1999 (khususnya PP 25/2000). Barangkali hal ini menjelaskan lamanya waktu yang dibutuhkan (tiga tahun) antara undang-undang tersebut dan penjelasannya berupa PP 38/2007. Kemendagri menunjuk kepada ―kepemilikan‖ departemen sektoral dengan menjelaskan bahwa setiap menteri/pimpinan lembaga menandatangani berita acara untuk menyetujui daftar urusan-urusan yang akhirnya melahirkan PP 38/2007. Juga harus diakui bahwa beberapa asosiasi pemerintah daerah ikut dalam diskusi tingkat sektoral meskipun lebih sebagai pengamat daripada sebagai peserta. Beberapa departemen sektoral juga dapat menunjuk kepada konsultasi yang mereka adakan dengan stakeholder sektoral (selain acara-acara yang difasilitasi Kemendagri). Dalam mempersiapkan ketentuan pembagian urusan untuk undang-undang itu sendiri, para donor (khususnya GTZ, dan juga UNDP, CIDA dan USAID) berupaya menyediakan masukan, meskipun partisipasi para donor ini hanya sesekali dan bersifat ad hoc. Perbaikan proses di atas tampaknya kurang memadai atau kurang dimanfaatkan untuk mencapai kemajuan substantif. Rasanya aneh melihat kualitas arsitektur pembagian urusan dalam UU 32/2004 dan PP 38/2007 tidak jauh lebih baik daripada konstruksi bermasalah yang terdapat dalam UU 22/1999 dan PP 25/2000. Ada perubahan dari struktur residual menjadi daftar positif untuk kabupaten/kota, dan upaya untuk menerapkan/memperkuat konsep yang mungkin berguna. Tetapi secara umum, hasilnya tidak memuaskan. Kelemahan yang satu digantikan dengan kelemahan yang lain. Kajian ini sebagian juga dilakukan oleh pejabat pemerintah yang menganggap daftar dalam PP 38/2007 sulit untuk diterapkan. Maka diperkirakan bahwa revisi UU 32/2004 akan dirancang dengan memetik pelajaran dari dua babak sebelumnya. Memang pada tahap perencanaan para donor (terutama GTZ) memberikan dukungan dalam memfasilitasi prosesnya. Upaya dilakukan untuk memperluas partisipasi dan mempersiapkannya dengan baik. Konferensi daerah pada tanggal 18 Juni (di Semarang)43 dan 26 Juli (di Lombok)44 merupakan awal yang baik, dan 42

Pertanyaan ini diajukan dalam acara presentasi temuan awal studi ini kepada Decentralization Support Facility, 21 November 2007. 43 DDN/GTZ, Forum Diskusi Kajian Isi Kebijakan dan Penggalian Fakta Penerapan Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Hotel Grasia, Semarang, 18 Juli 2007. 44 DDN/GTZ, Penggalian Fakta dan Aspirasi Daerah untuk Penyempurnaan Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Hotel Jayakarta, Senggigi, Lombok, 26 Juli 2007.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

53


telah didokumentasikan dengan baik meskipun diskusi-diskusi tersebut kurang dipersiapkan atau dilaksanakan dengan baik. Proses penggunaan keahlian khusus untuk mendefinisikan dengan tepat topik-topik dan kemungkinan-kemungkinan peningkatan reformasi tidak lama kemudian terhenti sehingga pada bulan November 2007 tim inti tampaknya harus menyusut menjadi tim Kemendagri yang kecil. Tim ini segera menyusun formulasi hukum untuk menggantikan formulasi UU 32/2004, dan tidak melakukan penjajakan kemungkinan-kemungkinan melalui forum yang cocok berdasarkan masukan empiris dan konseptual yang telah dipersiapkan dengan baik. Tim ahli yang terlibat sejak pertengahan tahun 2007 ini hanya digunakan sesekali dan tanpa pemahaman yang jelas mengenai ruang lingkup, output, waktu pelaksanaan dan proses yang akan digunakan. Yang juga menjadi masalah adalah bahwa para ahli ini tampaknya memisahkan peranan mereka dalam tim ahli pemerintah dari peran akademis/pelayanan mereka sendiri. Akibatnya, dialog/presentasi yang diadakan di luar proses revisi kurang mencerminkan pembahasan yang diadakan dalam tim revisi sehingga hilang kesempatan untuk menyampaikan kemungkinan-kemungkinan dan memberi tim pandangan-pandangan baru tentang gagasan-gagasan revisi yang muncul45. Dari sisi positifnya, Kemendagri tampaknya mengurungkan niatnya untuk segera melaksanakan revisi yang awalnya dijadwalkan akan selesai pada bulan Desember 2007. Sekarang direncanakan bahwa kegiatan tinjauan/pengembangan kebijakan lebih lanjut akan dilaksanakan pada tahun 2008 dan, karena tahun 2009 akan ada pemilu, maka reformasi yang kemungkinan diselesaikan setelah pemilu telah diberitahukan. Jadwal pelaksanaan yang lebih lambat ini lebih disukai agar ada cukup waktu untuk memperhatikan banyak masalah yang perlu diselesaikan. Tindakan yang diusulkan ☞

Tinjauan kebijakan dan pengembangan kebijakan perlu dilakukan secara lebih ―tenang‖ dan sistematis, dengan tingkat kespesifikan yang lebih tinggi, persiapan informasi empiris (Indonesia dan internasional) dan opsi-opsi kebijakan yang dibahas. Perlu diperhatikan pengelolaan proses kebijakan pembagian urusan melalui satuan tugas khusus pemerintah, atau komisi khusus yang dapat bertindak dengan lebih intensif dan fleksibel dalam mendapatkan masukan dari ahli dan partisipasi stakeholder. Selain itu, calon pelaku (di luar kelompok ahli yang kecil yang saat ini digunakan) perlu didorong untuk melakukan upaya di bidang-bidang revisi tertentu dan menyumbangkannya kepada pemerintah. Strategi jangka panjang dibutuhkan untuk memperkuat jaringan kerja yang menangani masalah-masalah otonomi daerah, khususnya masalah-masalah politikadministratif yang telah terbukti bermasalah (pembagian urusan, peran dari tingkattingkat pemerintahan, peran ganda dari kepala daerah, pengawasan, pemekaran

45

Hal ini terlihat jelas di seminar yang diadakan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 22 November 2007, di mana ahli dari universitas yang sama dilibatkan dalam merevisi UU 32/2004. Permasalahan penting yang dibahas dalam revisi tersebut (hirarki antara tingkat-tingkat pemerintahan, memperkenalkan ―masa persiapan‖ untuk pemekaran wilayah) tidak disebutkan dalam seminar yang dipromosikan sebagai fokus pada hubungan antara tingkat pemerintahan dan pemekaran wilayah.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

54


wilayah, otonomi daerah khusus). Kelompok-kelompok sasaran meliputi antara lain lembaga-lembaga akademis dan penelitian, serta pemerintah daerah. Para donor telah bersedia mendukung jaringan kebijakan asli Indonesia di masa lalu, tetapi belum mencapai banyak keberhasilan, terutama disebabkan oleh orientasi jangka pendek dan kurangnya pembelajaran dari upaya-upaya di masa lalu atau upaya-upaya di negaranegara lain. Meskipun gagasan menggunakan perantara untuk mendukung kebijakan semakin banyak diterima, dan sampai taraf tertentu memang digunakan, namun masih belum jelas apakah para donor berminat dengan komitmen dalam jangka yang lebih panjang yang dibutuhkan untuk mendukung jaringan-jaringan tersebut. Penerimaan jaringan-jaringan di lingkungan Kemendagri ini dan organisasi-organisasi pemerintah lainnya juga harus dipertanyakan. Penggunaan secara selektif individu-individu yang berasal dari lembaga-lembaga akademis yang disenangi dan partisipasi mereka, didanai oleh donor, melalui pendekatan lepas tangan (hands-off approach), dapat menjadi cara yang diinginkan untuk menggunakan perantara.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

55


III. KESIMPULAN KESELURUHAN Perubahan besar telah dibuat di bidang pembagian urusan sejak dimulainya era reformasi di Indonesia. Segi positifnya mencakup komitmen kepada tiga azas pemerintahan, yang sesuai dengan praktik internasional. Kabupaten/kota telah menjadi tingkat pemerintahan yang bersifat ―general purpose‖ yang bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan dasar. Selain itu, upaya telah dibuat untuk mengidentifikasi urusan-urusan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dan untuk mendefinisikan tingkat kinerja pemberian pelayanan dasar. Peningkatan konsultasi di seluruh organisasi sektoral pemerintah pusat dan dengan pemerintah daerah juga telah dilakukan. Namun, kemajuan yang dicapai masih sedikit dalam hal kejelasan dan aturan yang berkelanjutan sebagaimana yang diperlihatkan oleh penyimpangan yang berkepanjangan oleh D/LND terhadap undang-undang organik tentang desentralisasi dan peraturan pelaksanaanya tentang pembagian urusan. Kelemahan yang besar adalah kurangnya perhatian kepada aspek hukum dan aspek lain dari arsitektur pembagian urusan. Arsitektur pembagian urusan merupakan aspek dasar dari hubungan antar-pemerintahan dan harus dilihat dalam hubungannya dengan kerangka hukum, penataan daerah, peran antara tingkat-tingkat pemerintahan, struktur organisasi, pendanaan dan segi-segi lain dari tata pemerintahan. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki pembagian urusan. Beberapa opsi untuk pekerjaan ini telah diidentifikasi dalam laporan ini, dari segi kebijakan maupun pekerjaan persiapan/proses yang diperlukan. Beberapa perbaikan dapat dilakukan dalam upaya saat ini untuk merevisi undang-undang organik mengenai desentralisasi/pemerintahan daerah (Undang-Undang 32/2004 dan PP 38/2007), tetapi perspektif jangka panjang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah fundamental, khususnya terkait dengan amandemen konstitusi dan penyelarasan kerangka hukum. Dibutuhkan dialog dan pekerjaan analisa yang besar, termasuk menggunakan pengalaman Indonesia (seperti pendekatan masalah Aceh yang sekarang sedang berlangsung) dan perbandingan dengan praktik-praktik internasional untuk menyediakan dasar bagi pemahaman bersama tentang konsep-konsep utama, mencapai kesepakatan dan merumuskan aturan-aturan secara berkelanjutan. Para donor telah terlibat dalam mendukung pembagian urusan. Dalam tahun-tahun terakhir, dukungan mereka telah berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun awal desentralisasi di mana urusan wajib dan standar pelayanan minimum menjadi fokus utama dukungan donor. Penyerapan input donor cukup tinggi pada suatu waktu (khususnya dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2002) dan sangat rendah di waktu-waktu lain (seperti dalam merumuskan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007). Para donor telah dan sedang mendukung seluruh kegiatan reformasi yang diuraikan berdasarkan ke-lima belas tema terkait dengan pembagian urusan. Dukungan donor mengalami pasang surut selama tiga periode reformasi, ada yang berhasil dan ada yang kurang ditanggapi di kesempatan lain. Hal ini sudah biasa dalam bantuan teknis. Pengalaman dalam bidang reformasi yang luas ini memperlihatkan bahwa dukungan donor dapat lebih efektif jika diberikan secara lebih konstan atau menyeluruh (misalnya bertindak bersama-sama melalui proyek sektoral/bantuan teknis dan dari seluruh donor),

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

55


atau diberikan dalam bentuk yang berbeda. Secara khusus, pengalaman ini memperlihatkan bahwa perubahan pendekatan mungkin dibutuhkan di mana dilakukan investasi jangka panjang pada para pelaku Indonesia yang dapat membentuk jaringan kebijakan, dengan menghindari kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan oleh bantuan teknis langsung para donor dalam hal akseptabilitas dan keberlanjutan. Para donor telah bersedia mendukung jaringan kebijakan asli Indonesia di masa lalu, tetapi belum mencapai banyak keberhasilan, terutama disebabkan oleh orientasi jangka pendek dan kurangnya pembelajaran dari upaya-upaya di masa lalu di Indonesia atau negaranegara lain. Meskipun gagasan menggunakan perantara untuk mendukung kebijakan semakin banyak diterima oleh para donor, dan sampai taraf tertentu memang digunakan, namun masih belum jelas apakah para donor berminat dengan komitmen dalam jangka yang lebih panjang yang dibutuhkan untuk mendukung jaringan-jaringan tersebut. Kaum akademis Indonesia dan pemangku kepentingan lain tampaknya memberikan tanggapan yang cukup baik mengenai membentuk jaringan kebijakan di bidang ini. Namun, penerimaan dan partisipasi mereka hendaknya jangan dianggap sebagai suatu hal yang memang sudah seharusnya terjadi. Kadang-kadang minat yang besar diperlihatkan oleh mereka sebagai individu, bukan lembaga, dan minat ini bergantung pada hubungan khusus dengan para donor. Keinginan untuk mengembangkan jaringan-jaringan ini oleh Kemendagri dan organisasi-organisasi PI lainnya juga menjadi masalah. Penggunaan secara selektif individu-individu yang berasal dari lembaga-lembaga akademis yang disenangi dan partisipasi mereka, didanai oleh donor, melalui pendekatan lepas tangan (hands-off approach), dapat menjadi cara yang diinginkan untuk menggunakan perantara. Meskipun adanya pengingat-pengingat ini, dialog tentang perspektif jangka panjang masih diperlukan untuk membuat kemajuan di bidang kebijakan ini.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

56


Lampiran 1: Kutipan Kerangka Acuan Kerja Latar Belakang Telah dilakukan penyempurnaan pembagian urusan melalui revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang melahirkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, khususnya PP No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan antara pusat dan daerah. Segi-segi progresif dari kerangka ini (yang terkait dengan pembagian urusan) mencakup konsep urusan wajib dan urusan pilihan, dan penjabaran yang lebih lengkap mengenai hubungan antara urusan wajib dan standar pelayanan minimum. Secara luas diakui bahwa beberapa tantangan masih tetap ada, khususnya tantangan berikut ini:  Tipologi utama urusan (desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi) perlu dikembangkan secara lebih konsisten  Urusan wajib dan urusan pilihan perlu lebih diperjelas  Pendelegasian kepada desa-desa perlu ditangani lebih sepenuhnya  Mekanisme yang ada untuk dialog dan penyesuaian perlu ditingkatkan  Beban urusan untuk kabupaten/kota perlu dipertimbangkan untuk membentuk daerahdaerah yang mengurangi ukuran rata-rata secara drastis  Pembagian urusan di Aceh dan Papua perlu diperjelas dan diperlakukan secara khusus.  Kerangka hukum perlu lebih diperkuat dari segi jenis dan jumlah/kekuatan instrumen hukum yang dipergunakan, untuk memastikan kepatuhan dan keselarasan. Tantangan-tantangan di atas merupakan daftar awal dan daftar yang perlu diresmikan dan disesuaikan pada tahap awal studi. Tujuan Studi Tujuan dari penjajakan ini adalah untuk menilai kerangka pembagian urusan saat ini yang memperlihatkan elemen-elemen progresif yang perlu dipertahankan dan disempurnakan serta perubahan-perubahan yang diperlukan untuk memberikan kejelasan dan membuat kerangka tersebut lebih efektif. Studi ini diharapkan dapat membentuk upaya reformasi dalam konteks revisi UU No. 32 Tahun 2004 yang sedang berlangsung dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2008. Pendekatan Studi Studi ini diadakan oleh seorang konsultan internasional yang memahami situasi desentralisasi di Indonesia dan masalah pembagian urusan di Indonesia dan negara-negara lain. Tujuan studi adalah untuk mengetahui kemajuan yang dicapai di Indonesia dan perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan pembagian urusan secara tepat. Oleh karena itu, konsultasi yang erat perlu dilakukan dalam studi ini, dan peluang diberikan kepada pejabat pemerintah RI untuk menjelaskan dan mengomentari kerangka saat ini dan bersama-sama memeriksa kemungkinan perbaikan untuk masa mendatang.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

57


Karena kompleksitas pembagian urusan, diusulkan agar dibentuk suatu jaringan akademis/tenaga ahli di bidang ini di Indonesia untuk mendukung upaya Pemerintah RI dalam upaya-upayanya di masa datang. Studi ini akan mengikutsertakan individu-individu yang diseleksi dan mempertimbangkan potensi untuk terus mengembangkan jaringan demikian di masa datang. Studi ini juga mencakup pandangan-pandangan dari asosiasi pemerintah daerah dan menjelaskan peluang-peluang untuk melaksanakan pembangunan kapasitas semua pelaksana dalam mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dan kebijakan mengenai pembagian urusan. Peran dukungan donor juga diuraikan. Proyek ASSD yang didukung GTZ akan menyediakan bimbingan bagi studi ini dan mendukung studi ini di bidang logistik dan bantuan seminar yang akan diselenggarakan pada bulan Februari 2008. Daftar Awal Narasumber Penting Pemerintah Indonesia:      

Direktorat Urusan Pemerintahan Daerah, Kemendagri Direktorat Penataan Daerah dan Otonomi Khusus, Kemendagri Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Kemendagri Deputi Bidang Otonomi Daerah, Bappenas Anggota tim penyusun PP 38/2007 dari Pihak Pemerintah Pejabat Pemerintah Daerah Aceh/Papua

Pemangku kepentingan lainnya:    

Akademisi berbasis universitas (UI, UGM, STPN) Asosiasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota Anggota tim penyusun PP 38/2007 dari Pihak Non-Pemerintah Penasihat bantuan teknis donor yang terkait dengan pembagian urusan

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

58


Lampiran 2: Narasumber Utama Pemerintah Pusat I Made Suwandi Direktur Urusan Pemerintahan Daerah – Kemendagri Dedi Koespramoedya Direktur Bidang Otonomi Daerah, Bappenas Son Diamar Staf Ahli Bappenas/Anggota Tim Penyusun Revisi UU 32/2004 Hasudungan Hutauruk Kepala Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri Herbert Siagian Staf Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri Prabowo Staf Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri Herry Yuherman Direktur Bidang Tata Wilayah dan Otonomi Khusus, Kemendagri Safrizal Z.A. Kepala Sub-Direktorat Bidang Otonomi Khusus, Kemendagri M. Dwidjo Susono Wakil Ketua Unit Desentralisasi, Depkes Tri Tarayati Subseksi Analisa dan Tatacara Kerja, Depkes Asosiasi Pemerintah Daerah Rusfi Yunairi Direktur Kerjasama dan Advokasi APEKSI Rudi Hauter Ahli CIM, ADEKSI Pembagian Urusan Otonomi Daerah Mawardi Ismail Rektor – Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Anwar Muhammad Wakil Kepala Dinas Pendidikan NAD May Bernhard Ketua Tim ALGAP II (Penasihat bidang hukum Gubernur) Adriana Elizebeth Peneliti, LIPI Narasumber Penting Terkait dengan Masalah Pembagian Urusan Bhenyamin Hoessein Dosen & Ketua Studi Kesarjanaan Ilmu Pemerintahan, UI Eko Prasojo Dosen dan Kepala Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI Roy Salomo Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI Irfan Ridwan Maksum Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI Koswara Kertapradja Dosen Ilmu Politik/Pemerintahan Universitas Satyagama Siti Zuhro Peneliti, LIPI Elke Rapp Manajer Program Desentralisasi USAID-DRSP Martha Gutierrez Principal Advisor for Advisory Service Support for Decentralization (GTZ) Erita Nurhalim Advisor untuk Advisory Service Support for Decentralization (GTZ) Susanne Lubis-Sproesser STC untuk Advisory Service Support for Decentralization (GTZ)

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

59


Lampiran 3: Tipologi Urusan/Tugas Desentralisasi46 Aspek pelayanan

Tugas Dekonsentrasi

Instrumen

SK Menteri dan Surat Edaran

Sumber dan penerima wewenang

Dari Departemen, ―didelegasikan‖ kepada berbagai cabangnya

Pendanaan

Dari departemen kepada cabangcabangnya langsung (tidak terlihat dalam anggaran pemerintah daerah)

Staf

Staf cabang adalah PNS pusat, bagian dari Departemen. Tugasnya meliputi koordinasi dengan pemda.

Keleluasaan struktur organisasi internal

Cabang-cabang disusun oleh Departemen, meskipun seringkali disetujui di tingkat kabinet atau lembaga yang lebih tinggi. Bervariasi namun biasanya dibatasi oleh kementerian, melalui peraturan, prosedur, standar dan instruksi. Dapat juga berupa bimbingan ad hoc. Dari cabang kepada kantor pusat D/LND

Keleluasaan Pelaksanaan

Pelaporan/ Pertanggungjawaban

Tugas pembantuan/ yang didelegasikan UU, peraturan, keputusan pemerintah, atau keputusan menteri/surat edaran Dari badan perwakilan atau departemen/lembaga kepada pemerintahan daerah atau lembaga khusus Dari entitas pemberi tugas kepada pemerintahan daerah/lembaga khusus. Dalam kasus tertentu, tugas didanai dari transfer yang lebih luas yang dianggap cukup untuk menutupi tugas yang didelegasikan Pemda/lembaga khusus mempunyai staf sendiri, tetapi bekerja menurut kerangka pusat. Dapat menggunakan tenaga yang diperbantukan dari pemerintah pusat.

Daerah/lembaga khusus dapat membentuk unit-unit dalam kerangka pusat dan menangani tugas pada/dalam lingkungan unit-unit yang dipilih

Urusan Desentralisasi Undang-Undang Dasar, UU dan peraturan terkait

Dari negara atau badan perwakilan tingkat pusat kepada pemerintahan daerah Penerima urusan (melalui pajak/retribusi lokal atau block grant atau grant yang dibarengi persyaratan)

Pemda mempunyai staf sendiri tetapi bekerja menurut kerangka pusat; keleluasaan yang besar dalam mempekerjakan, memberhentikan, ukuran lembaga, dsb. Juga dapat menggunakan tenaga yang diperbantukan dari pemerintah pusat yang pada dasarnya diperlakukan sebagai staf pemerintah daerah Daerah dapat membentuk unit-unit dalam kerangka pusat, dan menangani urusan pada unit-unit yang dipilih

Sangat dibatasi oleh kebijakan, prosedur dan standar yang ditentukan oleh entitas pemberi tugas; keleluasaan pelaksanaan dalam beberapa kasus.

Banyak keleluasaan, tetapi dapat sedikit dibatasi oleh standar nasional.

Terutama kepada entitas pemberi tugas, tetapi juga kepada dewan daerah dan

Terutama kepada masyarakat yang menerima urusan melalui dewan

46

Dikembangkan oleh Ferrazzi (2007), berdasarkan penjabaran sebelumnya tentang tipologi dasar azas pemerintahan (misalnya laporan dukungan sektoral Yaman yang diserahkan melalui UNCDF/UNDP, lihat Ferrazzi 2006).

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

60


Aspek pelayanan

Tugas Dekonsentrasi

Tugas pembantuan/ yang didelegasikan masyarakat

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

Urusan Desentralisasi daerah atau secara langsung; pertanggungjawaban vertikal tetap ada dan pada prinsipnya lebih ditekankan selama tahap awal desentralisasi.

61


Lampiran 4: Tugas Pembantuan vs Tugas Dekonsentrasi dalam Draft PP Aspek Kriteria penyeleksian tugas

Ruang lingkup tugas

Entitas pemberi tugas

Entitas penerima

Jadwal konfirmasi

Organisasi Pelaksana

Uraian tugas pembantuan dalam draft PP Eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi, serta hubungan yang serasi antara tingkat-tingkat pemerintahan Untuk pemerintah pusat : Harus di luar daftar eksklusif pusat; tidak dapat dibebankan kepada APBD (jika dari pusat); Untuk pemerintah provinsi: Harus dari daftar urusan provinsi Dari pemerintah kabupaten/kota (K/K): Harus dari daftar urusan K/K. Pemerintah pusat (dan departemen/lembaga dengan persetujuan Presiden atas tugastugas yang akan diserahkan kepada desa) Pemerintah provinsi Pemerintah Kabupaten/kota Dari pemerintah pusat: kepada daerah atau desa (tetapi juga menyebutkan pemerintah daerah dan pemerintah desa) Dari provinsi: kepada kabupaten/kota atau desa (tetapi juga menyebutkan pemerintah kabupaten/kota) Dari pemerintah K/K: kepada Desa Departemen/Lembaga menyatakan paling lambat pertengahan Maret untuk tahun anggaran berikutnya – diajukan ke Musrenbangnas. Departemen/Lembaga memberitahukan gubernur, bupati/walikota atau kepala desa pertengahan Juni dan mengesahkannya dalam peraturan menteri –dikirim kepada gubernur, bupati/walikota atau kepala desa pertengahan Desember Unit kerja (SKPD) provinsi atau

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

Uraian tugas dekonsentrasi dalam draft PP Eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi, serta hubungan yang serasi antara tingkat-tingkat pemerintahan Kegiatan non-fisik Tidak dapat dibebankan kepada APBD

Pemerintah Pusat

Gubernur sebagai wakil pusat Lembaga Vertikal Pegawai pemerintah pusat di daerah

Untuk tugas gubernur, Departemen/Lembaga menyatakan paling lambat pertengahan Maret untuk tahun anggaran berikutnya— diajukan ke Musrenbangnas. Departemen/ Lembaga memberitahukan gubernur pertengahan Juni dan mengesahkannya dalam peraturan menteri –dikirim kepada gubernur pertengahan Desember

Unit kerja provinsi sebagaimana

62


Pengaturan Pembiayaan

Peran DPRD

Pelaporan

kabupaten/kota sebagaimana yang ditetapkan masing-masing oleh Gubernur atau Bupati/ Walikota; kepala desa untuk tugas-tugas yang diterima oleh desa Dari APBN-dilaksanakan oleh daerah dan desa Dari APBD provinsi – dilaksanakan oleh kabupaten/kota dan desa (tetapi juga menggunakan istilah pemerintah kabupaten/kota) Dari APBD kabupaten/kota – dilaksanakan oleh desa Diberitahukan oleh Gubernur/Bupati/Walikota setelah DPR menyetujui RKAKL (ketika RAPBD sedang disusun) dan mempersiapkan untuk melaksanakan tugas. Kepada entitas pemberi tugas

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

yang ditetapkan oleh Gubernur

Dari APBN – dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil pusat Dari anggaran lembaga – dilaksanakan oleh lembaga vertikal

Diberitahukan oleh Gubernur setelah ia menerima RKA-KL yang telah disetujui oleh DPR (ketika RAPBD sedang disusun) dan mempersiapkan untuk melaksanakan tugas-tugas. Pelaporan triwulan dan tahunan oleh kepala unit kerja provinsi kepada Gubernur dan Departemen/Lembaga yang membiayai – mengenai pencapaian target dan aspek-aspek finansial. Gubernur mengumpulkan laporan dan mengirimkannya kepada Kemendagri dan Depkeu serta Bappenas. Laporan tahunan dilampirkan dalam Laporan Pertanggungjawaban Anggaran Tahunan yang dikirim kepada DPRD

63


Lampiran 5: Opsi-Opsi Peran Tingkat Provinsi Opsi 1. Gubernur satusatunya tokoh politik di tingkat provinsi

2. Tumpang tindih peran diselesaikan untuk kepentingan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan azas pemerintahan dekonsentrasi

Konfigurasi - Parlemen Provinsi dihapuskan - Gubernur adalah wakil dari tingkat pusat - Hanya ada urusan tingkat pusat dan tingkat kabupaten/kota

- Dekonsentrasi dipertahankan yang berarti Gubernur tetap sebagai wakil pemerintah pusat (CG) - Gubernur memperoleh aparat dekonsentrasi sendiri - Dinas dibatasi hanya pada urusan otonomi provinsi yang dipersempit -Unit dekonsentrasi didanai dari APBN

3. Tumpang tindih peran diselesaikan untuk kepentingan provinsi sebagai badan otonom dan penerima tugas dari pusat melalui azas pemerintahan tugas pembantuan

4. Pertanggung-jawaban

- Dekonsentrasi dipertahankan hanya untuk memaksudkan lembaga-lembaga vertikal yang terutama responsif terhadap kantor pusat - Provinsi/Gubernur sebagai pelaku yang ―otonom‖ berperan dominan - Gubernur sebagai wakil CG dipertahankan untuk tugas-tugas khusus (pengangkatan, dsb) tetapi tidak disebut sebagai dekonsentrasi - Tidak ada unit dekonsentrasi khusus di bawah Gubernur - Pusat memberikan tugas penting (misalnya pengawasan) sebagai tugas pembantuan - Hanya ada urusan tingkat pusat

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

Keterangan Kelihatan aneh jika Gubernur dipilih langsung padahal ia tidak mempunyai peran ―otonomi daerah‖ Mengharapkan reaksi politik yang kuat dari anggota DPRD provinsi saat ini dan provinsiprovinsi dengan identitas provinsi yang kuat Kebanyakan dinas menjadi kecil dibandingkan dengan unit-unit dekonsentrasi (sebenarnya, lembaga vertikal akan dibentuk kembali – di bawah Gubernur sebagai wakil pusat Peran DPRD terbatas pada tinjauan anggaran provinsi yang dikecilkan dan tidak mempunyai peran di kabupaten/kota Dinas tidak efisien dan tekanan terdapat pada unit-unit dekonsentrasi karena penyelesaian beberapa urusan sulit dicapai Kemungkinan besar akan ada reaksi politik yang kuat dari anggota DPRD provinsi saat ini dan provinsi-provinsi dengan identitas provinsi yang kuat Peran Gubernur sebagai wakil pusat yang telah dikurangi perlu diberikan sebutan lain untuk menghindari kerancuan dengan azas dekonsentrasi yang berdiri sendiri (instansi vertikal). Menuntut agar tugas-tugas didanai dari sumber APBD – transfer dana dekonsentrasi diperlukan misalnya menjadi DAU/DAK atau berupa penyerahan pajak daerah

 Masih perlu menyelesaikan j

64


Opsi politik melalui dewan Kabupaten/Kota yang diproyeksikan di tingkat provinsi

Konfigurasi dan tingkat kabupaten/kota - Sebagian urusan ditangani melalui kesepakatan (dinamis) di tingkat provinsi dengan pertanggungjawaban kepada dewan provinsi – yang beranggotakan para pengurus dewan kabupaten

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

Keterangan peran ganda gubernur; gubernur dapat bertanggung jawab kepada dewan provinsi atas urusanurusan yang ditangani untuk kepentingan kabupaten/kota, dan juga bertanggung jawab kepada pemerintah pusat atas tugastugas yang diserahkan secara vertikal. Kompleksitas urusan provinsi sendiri vs tugas yang diserahkan oleh pusat tidak ada lagi. ďƒ˜ Susunan organisasi tersendiri untuk tugas-tugas dari pusat masih dibutuhkan.

65


Lampiran 6: Kriteria Pembagian Urusan Kriteria yang ditinjau oleh ACIR (USA) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Minimalisasi limpahan (spillovers) Maksimalisasi skala ekonomis Kecukupan luas geografis Kemampuan Hukum dan Administratif Kecukupan Urusan Pengendalian dan aksesibilitas konstituen Maksimalisasi partisipasi warga sesuai dengan kinerja yang memadai

Sumber: Advisory Commission on Intergovernmental Relations, Performance of Urban Functions: Local and Areawide, September 1963

Kriteria yang diusulkan oleh ACIR (Australia) Kriteria Umum:

1. Persatuan Bangsa 2. Koordinasi 3. Nilai yang lebih penting 4. Multi-fungsionalitas Daya Tanggap 5. Daya tanggap 6. Komunitas 7. Aksesibilitas Pemerataan dan Keadilan 8. Keadilan sosial 9. Redistribusi 10. Pemerataan 11. Keseragaman 12. Portabilitas Efisiensi: 13. Mobilitas 14. Stabilisasi 15. Internalisasi 16. Skala ekonomis 17. Persatuan daerah Sumber: Advisory Council for Inter-government Relations, Towards Adaptive Federalism – A Search for Criteria for Responsibility Sharing in a Federal System, Dinas Penerbitan Pemerintah Australia, Canberra, 1981.

Kriteria yang diusulkan oleh Komite Penasihat di Ontario (Kanada) 1.

2. 3. 4. 5.

Sampai pada taraf di mana redistribusi penghasilan menjadi program atau tujuan pelayanan, maka pengelolaan kebijakan/pelayanan dan pembiayaan program hendaknya menjadi tanggung jawab provinsi. Tingkat keterlibatan dalam pengelolaan kebijakan/pelayanan untuk setiap tingkat pemerintahan perlu ditetapkan menurut jenis dan tingkat limpahan (spillovers). Pelayanan hendaknya dihasilkan di tingkat pemerintahan yang dapat melakukannya dengan cara yang paling ekonomis. Pelayanan hendaknya diberikan di tingkat pemerintahan yang dapat melakukannya dengan cara yang paling efektif. Tingkat keterlibatan dalam pengelolaan kebijakan/pelayanan untuk setiap tingkat pemerintahan hendaknya diatur menurut tingkat kepentingan atau kebutuhan standar.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

66


Sumber: Pemerintah Ontario, Laporan Komite Penasihat kepada Menteri Urusan Perkotaan mengenai Hubungan Keuangan Provinsi-Kota, 1991.

Kriteria yang dirumuskan di bawah binaan Bank Dunia 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Skala ekonomis Lingkup ekonomis (paket pelayanan publik yang menghasilkan konsekuensi lain) Limpahan manfaat/biaya Jarak ke penerima manfaat Preferensi konsumen Evaluasi ekonomi pilihan sektor

Sumber: Shah, A. (1994). The Reform of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies, Policy and Research Series # 23, The World Bank, Washington D. C.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

67


Lampiran 7: Perbandingan Urusan antara Daerah-Daerah Biasa dan Aceh47 UU 32/2004 dan PP 38/2007

UU 11/2006 (UUPA)

Komentar

―Seluas-luasnya‖ – untuk daerah,

―Seluas-luasnya‖ ditujukan kepada

Serupa; tidak jelas apakah nuansa yang dimaksud untuk

tanpa membedakan tingkat daerah

masyarakat Aceh

memperlihatkan perbedaan

Urusan eksklusif

Urusan luar negeri, keamanan,

Urusan-urusan yang bersifat

Perubahan pertama berpotensi membuka bidang urusan

pemerintah pusat

pertahanan, kehakiman; moneter/fiskal

nasional; urusan luar negeri,

secara luas, bergantung pada definisi ―bersifat nasional‖;

nasional, dan agama

keamanan; pertahanan, kehakiman;

penjelasannya mempersempit dan kemudian memperlebar

moneter/fiskal nasional, dan urusan

cakupan – sehingga membuka peluang bagi pemerintah pusat

keagamaan tertentu

untuk memaksudkan apapun yang diinginkannya; ini tidak

Prinsip Otonomi

ada dalam MoU Helsinki. Beberapa urusan keagamaan diizinkan berada di tangan pelaku daerah (lihat mode di bawah). MOU menyerahkan ―kebebasan beragama‖ kepada pemerintah pusat ―sesuai dengan Konstitusi‖. Keterlibatan

Urusan eksklusif pemerintah pusat

Sebagian kewenangan dapat

Tampaknya bertentangan dengan pernyataan eksklusivitas

daerah/desa dan

sebagian dapat diserahkan sebagai

ditransfer ke Aceh atau pemerintah

karena menggunakan istilah urusannya sendiri

Gubernur dalam

tugas pembantuan kepada

daerah kabupaten/kota. Dapat

(menyerahkan). Dalam mentransfer atau menggunakan

48

urusan eksklusif

dewan/pemerintah daerah atau desa .

diserahkan sebagai tugas pembantuan

model perbantuan, penerimanya adalah eksekutif bukan

pemerintah pusat

Dapat mendelegasikan sebagian

kepada Aceh atau kabupaten/kota

gabungan dewan/eksekutif – tidak ada penjelasan untuk

kepada wakil pemerintah pusat di

atau pemerintah gampong. Dapat

perbedaan ini. Tidak jelas apakah istilah-istilah yang berbeda

47

Untuk menjaga fokus pada para pelaku daerah, maka perbandingan ini tidak mencakup perlakuan lembaga vertikal pemerintah pusat. Istilah dewan/pemerintah memaksudkan ―pemerintahan‖ yang terdiri dari gabungan unsure legislatif dan eksekutif. Dalam sistem di Indonesia, pemerintah didefinisikan sebagai kepala eksekutif dan anggota-anggota pelaksanaan eksekutif. Di banyak negara OECD, istilah ―pemerintah‖ mencakup unsur legislatif maupun eksekutif. Dewan dan badan legislatif memaksudkan hal yang sama dalam analisa ini. 48

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

68


daerah.

mendelegasikan sebagian urusan

(kewenangan dan urusan) dalam UUPA ada artinya sendiri.

kepada Gubernur sebagai wakil

Aceh berperan dalam urusan luar negeri (dikonsultasikan).

pemerintah pusat di daerah.

Sebenarnya, untuk setiap hal yang diputuskan oleh undang-

Perjanjian internasional yang

undang atau instrumen administratif yang berlaku bagi Aceh,

berlaku bagi dewan/pemerintah Aceh

ada kewajiban untuk berkonsultasi dengan DPRA (undang-

akan diadakan melalui konsultasi

undang) atau Gubernur (instrumen administratif kebijakan).

dengan/dengan pertimbangan dari

Perlu diperhatikan bahwa MOU menyebut ―izin‖ untuk hal-

Dewan Aceh (DPRA). Undang-

hal di atas; bukan hanya konsultasi.

undang nasional yang mempengaruhi dewan/ pemerintah Aceh akan dibuat melalui konsultasi dengan DPRA. Kebijakan administratif yang mempengaruhi dewan/ pemerintah Aceh akan dibuat melalui konsultasi dengan Gubernur. Keterlibatan

Sebagian dapat diserahkan sebagai

daerah/desa dan

tugas pembantuan kepada

mengenai apakah ada suatu arti dalam ungkapan urusan

Gubernur dalam

dewan/pemerintah daerah atau desa.

―eksklusif‖. Karena itu, kesenjangan yang jelas dalam UUPA

urusan-urusan non-

Sebagian dapat mendelegasikannya

ini mungkin memperlihatkan bahwa tampaknya tidak perlu

eksklusif pemerintah

kepada Gubernur sebagai wakil CG di

membedakan antara eksklusif dan non-eksklusif.

pusat

daerah.

Pengawasan peran

pemerintah pusat menetapkan norma,

pemerintah pusat menetapkan norma,

Konstruksinya serupa dengan daerah-daerah lain. Tidak jelas

pemerintah pusat

standar dan prosedur untuk urusan

standar dan prosedur untuk urusan

mengapa dewan tidak termasuk dalam target pengawasan.

dalam urusan di

yang dilaksanakan oleh daerah. Dapat

yang dilaksanakan oleh Aceh dan

daerah

mendelegasikan pengawasan terhadap

pemerintah kabupaten/ kota. Dapat

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

Tidak dibahas

Formulasi Undang-Undang 32 menimbulkan pertanyaan

69


kabupaten/kota kepada Gubernur

mendelegasikan pengawasan

sebagai wakil pemerintah pusat

terhadap kabupaten/kota kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Kriteria pembagian

Eksternalitas, efisiensi dan

Eksternalitas, efisiensi dan

Dari ketentuan ini diharapkan bahwa pembagian urusan yang

urusan

akuntabilitas, mempertimbangkan

akuntabilitas, mempertimbangkan

sama dapat terjadi di Aceh seperti di provinsi atau

hubungan yang harmonis antara

hubungan yang harmonis antara

kabupaten/kota lainnya.

tingkat-tingkat dewan/pemerintah.

tingkat-tingkat dewan/pemerintah.

Prinsip dalam

Diatur dan diurus oleh

Diatur dan diurus oleh Aceh dan

Tidak jelas mengapa tugas pembantuan tidak disebutkan

melaksanakan urusan

dewan/pemerintah daerah berdasarkan

dewan/pemerintah kabupaten/kota.

dalam UUPA, tetapi mungkin ini hal yang baik, karena UU

daerah sendiri

prinsip otonomi dan tugas

32/2004 (dan UUD) memberikan kesan bahwa daerah dapat

pembantuan.

mengatur tugas-tugas pembantuan yang diserahkan kepadanya oleh tingkat yang lebih tinggi (formulasi ini juga dapat dipahami bahwa mereka melaksanakan tugas otonom dan menyerahkan tugas pembantuan kepada tingkat yang lebih rendah – tetapi penafsiran yang pertama juga dapat seperti ini)

Pembagian urusan

Semuanya diatur dalam UU 32/2004

Pembagian urusan syariat Islam

Tampaknya izin yang eksplisit untuk pembagian urusan

antara tingkat

dan PP 38/2007

antara dewan/ pemerintah Aceh dan

antara tingkat provinsi dan kabupaten/kota hanya diberikan

provinsi dan

dewan/pemerintah kabupaten/kota

kepada daerah khusus pemerintahan ini.

kabupaten/kota

dilakukan melalui Qanun Aceh (dapat difasilitasi oleh pemerintah pusat)

Jenis Urusan

Untuk tingkat provinsi dan

Untuk tingkat provinsi dan

Kesan secara umum serupa antara UU 32/2004 dan UUPA,

kabupaten/kota:

kabupaten/kota:

tetapi PP 38/2007 mungkin tidak berlaku bagi Aceh. Daftar

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

70


Urusan wajib

Urusan wajib

dasar urusan wajib yang sama; Aceh kehilangan butir

Urusan pilihan

Urusan pilihan

terakhir yang memperbolehkan OF lain yang dapat

Urusan sisa (dalam PP 38)

Beberapa urusan kabupaten/kota

dicantumkan dalam kerangka hukum. Selain itu, Aceh

yang ―tidak didefinisikan‖

mempunyai lima OF keagamaan yang tidak dimiliki

Beberapa urusan

provinsi-provinsi lain; juga kabupaten/kota, tetapi kurang

Perincian urusan wajib dan pilihan

provinsi/kabupaten/kota yang

butir kelima ―ibadah haji‖. Urusan wajib yang terkait dengan

terdapat dalam Peraturan Pemerintah

―tidak didefinisikan‖ dan tidak

pertanahan lebih diperinci dalam UUPA. Pada dasarnya,

(PP 38/2007 saat ini).

diserahkan

definisi urusan pilihan untuk kedua tingkatan sama-sama

Daftarnya serupa di antara tingkattingkat tersebut.

Mekanisme urusan sisa kurang

Perincian urusan wajib dan pilihan

tidak jelas/bermasalah seperti daerah-daerah lain. Perbedaan

dijabarkan.

terdapat dalam Qanun Aceh dan

penting adalah penjabaran daftar yang disusun dengan tidak

Qanum kabupaten/kota masing-

baik ini akan dilakukan oleh masing-masing pemerintah

masing untuk daftar Aceh dan

daerah di Aceh. Sulit untuk memahami bagaimana hal ini

kabupaten/kota – terkait dengan

akan efektif; mungkin dihasilkan daftar urusan yang

kerangka hukum yang ada.

sepotong-sepotong jika provinsi dan kabupaten/kota tidak

Tampaknya ―urusan sisa‖ tidak ada

melakukan ini bersama-sama untuk menjamin cakupan dan

untuk Aceh karena dalam PP 38

kelengkapannya.

relevansinya dengan Aceh tidak

Yang paling membingungkan adalah, dengan tidak

jelas.

berlakunya PP 38/2007 bagi Aceh, bagaimana urusan untuk pemerintah provinsi Aceh akan dibedakan dengan urusan pemerintah pusat. Tantangan ini dapat sedikit diatasi dengan penyusunan beberapa urusan kabupaten/kota dalam UUPA (misalnya madrasah, bandara dan pelabuhan laut) dan hal-hal lain yang tidak diserahkan di antara tingkat-tingkat (menarik wisatawan dan investor, dan persetujuan atas investasi dan impor/ekspor serta beberapa bidang lain); tidak jelas

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

71


mengapa hal-hal ini dinyatakan secara eksplisit padahal halhal ini milik dari daerah Aceh, dan bagaimana sektor-sektor lain dapat dibuat eksplisit. Selain itu, tidak jelas mengapa ada urusan yang diserahkan atau tidak diserahkan secara spesifik dan apakah urusan-urusan tersebut bersifat wajib atau pilihan. Karena ―urusan sisa‖ tampaknya tidak berlaku bagi Aceh, tidak ada mekanisme dalam UUPA untuk menyesuaikan pembagian urusan dari waktu ke waktu. Standar Pelayanan

Berhubungan dengan urusan wajib dan

Digunakan formulasi bermakna-

Sangat sedikit yang dikatakan dalam UUPA tentang standar

Minimum

tunduk kepada PP 65/2005 dan

ganda yang sama dari UU 32/2004

pelayanan minimum (SPM). Jika pembagian urusan wajib

instrumen-instrumen turunannya.

yang menghubungkan SPM dengan

(yang disertai dengan SPM) akan berbeda dengan daerah-

urusan wajib, untuk dilaksanakan

daerah lain maka hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai

secara bertahap, dan akan diatur

apakah instrumen departemen untuk SPM masih tetap

dalam peraturan pemerintah. PP

berlaku dalam arti umum. Jika demikian maka mungkin

65/2005 tidak membedakan antara

ketentuan-ketentuan khusus perlu dibuat untuk urusan

daerah-daerah.

spesifik yang ada di Aceh. Apapun kasusnya, Aceh dapat mencantumkan SPM dalam Qanun sesuai dengan urusan spesifik di Aceh.

Ketentuan untuk

UU 32/2004 merujuk kepada otonomi

(lihat kolom ini secara keseluruhan)

Tidak jelas mengapa dalam formulasi ini (pasal 270),

daerah-daerah

khusus Provinsi Istimewa Nanggroe

Kewenangan untuk pemerintah Aceh

formulasi berkaitan secara spesifik dengan pemerintah dan

dengan status khusus

Aceh Darussalam; undang-undang

akan diatur dalam Qanun Aceh.

tidak dengan dewan, tetapi formulasi tersebut menegaskan

tersebut berhubungan dengan hal ini

Kewenangan untuk pemerintah Aceh

bahwa PP 38/2007 tidak berlaku dan bahwa daerah-daerah

kecuali undang-undang lain secara

akan diatur dalam qanun

tersebut harus menyortir urusan (kewenangan)nya sendiri

spesifik mengatur daerah ini. Dalam

kabupaten/kota

(diharapkan hal ini akan dibahas bersama-sama).

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

72


PP 38/2007, dewan/pemerintah provinsi NAD diatur oleh kerangka hukum yang mengatur otonomi khusus. Penetapan Zona

Berkaitan dengan kegiatan

Pemerintah wajib menyertakan

Serupa, tetapi MOU mengharuskan adanya izin dari

Khusus

kepentingan nasional dan penetapan

pemerintah Aceh dan/atau

DPRA/Gubernur masing-masing berdasarkan undang-undang

ini meliputi daerah-daerah.

pemerintah kabupaten/kota dalam

atau peraturan yang berlaku bagi Aceh.

penetapan zona.

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan

73


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.