Provincial Governance Strengthening Program Decentralization and Local Governance Transformation Cluster Democratic Governance Unit
Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi Catatan dari Tiga Daerah tentang Penguatan Provinsi
2011
Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi: ke Arah Penguatan Provinsi Sebuah laporan studi oleh Harry Seldadyo dengan dukungan Andika Pambudi dan Wahyudi Romdhani.
PGSP Project Graha Mandiri Lantai 21 Jl. Imam Bonjol No.61, Menteng, Jakarta Pusat 10310 Indonesia Telp : 6221 391 7284, 391 8554 Fax : 6221 315 3461 PGSP Paper Series No.1—Maret 2011 c 2011 ISBN: 978-602-98635-1-2
Pernyataan: Tulisan ini bukan merupakan pandangan resmi BAPPENAS, UNDP, DSF, maupun mitra-mitra PGSP terkait. PGSP adalah proyek pengembangan kapasitas tata pemerintahan yang dikembangkan oleh BAPPENAS dan UNDP dengan dukungan DSF.
Catatan Penghidang dari GM21 Laporan ini memberi kerangka teoritik bagi Project Document ‘Provincial Governance Strengthening Programme’ Pemerintah Indonesia dan UNDP Governance Unit, serta justifikasi, konfirmasi, dan akomodasi empirik hasil Technical Assessment di Gorontalo, Bangka-Belitung, dan Nusa Tenggara Timur pada NovemberDesember 2009. Semuanya diorganisasikan dalam satu tema ‘Penguatan Provinsi’. Ribuan, malahan jutaan, terima kasih dihaturkan kepada seluruh pihak yang ikut terlibat hingga Laporan bisa berbentuk seperti sekarang ini. Mengingat panjangnya daftar terima kasih itu, ia disajikan dalam bagian yang disediakan khusus untuknya. Tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan laporan ini. Jakarta, Maret 2011 Penulis
Ucapan Terima Kasih: Tulisan ini tidak akan mungkin terselesaikan tanpa saran, masukkan, dan ide berharga dari Winarni Monoarfa (Kepala Bappeda Prov. Gorontalo), Remi Karaya (Sekretaris Bappeda Prov. Gorontalo), Sagita Wartabone (Kasubag Sarana Perekonomian Setda Prov Gorontalo), Soegarenda (Kepala BPS Prov. Gorontalo), Yosef P Koton (Widyaiswara Prov. Gorontalo), Sulastri Husain (Kasubag Program Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Prov. Gorontalo), Nazalyus (Kepala Bappeda Prov. Bangka Belitung), Imam Mardi Nugroho (Sekretaris Daerah Prov. Bangka Belitung), Salim (Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov. Bangka Belitung), H.A Fernandez (Sekretaris Bappeda Prov. NTT), Daiman (Ketua Sekretariat Bersama Bappeda Prov. NTT), Marius (Kabid PP II Bappeda Prov. NTT), dan Sony Z Libing (Kasubid Data, Informasi, dan Analisis Bappeda Prov. NTT).
Daftar Isi Bab 1
Catatan Pembuka • Desentralisasi dalam Konteks • Beberapa Konsekuensi • Organisasi Laporan
Bab 2
Penguatan Provinsi: Sebuah Kerangka Kerja • Justifikasi • Kerangka Kerja ? Kerangka Hukum dan Kebijakan ? Perencanaan dan Penganggaran ? Inovasi Tatakelola
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bangka Belitung: Membangun Sinergi dari Lada • Konteks • Revitalisasi Lada: Titik Masuk ke Penguatan Provinsi Gorontalo: Integrasi Data untuk Penguatan Provinsi • Konteks • Integrasi Data: Menuju Penguatan Provinsi Nusa Tenggara Timur: Tatakelola untuk Penguatan • Konteks • Pembenahan Tatakelola untuk Penguatan Provinsi
...............
1 1 4 10
...............
13 13 18 23 23 24
...............
27 27 29
...............
35 35 38
...............
43 43 45
Bab 6
Agenda Lintas-Provinsi • Perundangan dan Peraturan • Perencanaan dan Penganggaran • Inovasi Tatakelola
...............
49 50 51 53
Bab 7
Catatan Penutup
...............
57
...............
59
Daftar Pustaka
Daftar Tabel Tabel 2.1. Provinsi: Besaran dan Jarak 2008
...............
16
...............
17
...............
19
...............
26
Daftar Gambar Gambar 2.1. Kinerja Kabupaten-Kota dan Jarak terhadap Jakarta Gambar 2.2. Relasi Provinsi dan Kabupaten-Kota Gambar 2.3. Kerangka Kerja Penguatan Provinsi
Bab 1
Catatan Pembuka Desentralisasi dalam Konteks Indonesia menandai reformasi politik di akhir 1990-an dan diteruskan di tengah 2000-an dengan agenda radikal: desentralisasi.1 Desentralisasi ini mencakup tiga arena sekaligus, yakni administrasi, fiskal, dan politik. Kendati desentralisasi pernah menjadi agenda tatanegara Indonesia2 , format yang radikal seperti ini baru diluncurkan setelah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka. Dua buah undangundang (UU 22 tentang relasi administrasi dan politik serta UU 25 mengenai relasi fiskal) dikenalkan pada Mei 1999, sedangkan revisinya (UU 32 dan 33) digelindingkan lima tahun kemudian pada Oktober 2004. Ini untuk menggantikan UU tentang pemerintahan daerah bernuansa sentralistik yang telah seperempat abad berlaku (UU 5/1974).3 Desentralisasi sendiri, kendati justified bagi tujuan efisiensi
1 Beberapa pihak menyebutnya sebagai ‘big bang’. Hofman dan Kaiser (2002) menggunakan istilah ini untuk perubahan di sektor fiskal. Fitrani, et al (2005) menyebut istilah yang sama untuk menggambarkan transisi ekonomi dan politik. Seldadyo et al. (2009) memakai term ini untuk peledakan jumlah pembentukan yurisdiksi kabupaten-kota baru. Akan tetapi Kumorotomo (2008) beranggapan bahwa, khusus di sektor fiskal, desentralisasi ini tidak terlalu revolusioner karena adanya kesinambungan beberapa skema saat ini dengan skema masa lalu. 2 Eksperimen tentang bingkai hubungan pusat-daerah melalui federalisme telah dikenal di paruh akhir 1940-an. Walau demikian, eksperimen ini tidak berlangsung lama sejalan dengan menguatnya pandangan kubu republikan relatif terhadap kubu federalis mengenai negara kesatuan. Lihat Frinkelstein (1951). Sebuah tanggapan atas artikel ini diterbitkan setahun kemudian oleh Jaquet. Lihat Jaquet (1952). 3 Seri UU tentang pemerintahan daerah sejak Proklamasi adalah UU 1/1945, 22/1948, 1/1957, dan 18/1965. Pada masa kolonial sempat pula dikenalkan UU pemerintahan daerah melalui Decentralisatie Wet 1903.
1
2 alokasi fungsi-fungsi berbagai lapis pemerintah4 seperti tertuang dalam the decentralization theorem (Oates, 1972; 1999), sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari suatu negara dengan karakter demografi, etnik, dan geografi yang besar dan heterogen (Stegarescu, 2005; Treisman, 2006) seperti Indonesia. Ini berarti bahwa desentralisasi adalah pilihan rasional dengan justifikasi yang kuat. Desentralisasi ini terhitung fenomenal mengingat perbedaan keadaan yang siginifikan jika dibandingkan dengan keadaan di masa sebelumnya. Dari sisi administrasi, desentralisasi membuka ruang wewenang daerah dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan yang jauh lebih longgar dibandingkan dengan apa yang diberikan oleh rezim sebelumnya. Ruang wewenang itu diberikan kepada daerah dengan cakupan keseluruhan urusan pemerintahan, kecuali enam urusan yang berada dalam ruang wewenang pemerintah pusat —politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Metodologi perencanaan dan pengambilan kebijakan pembangunan dirombak sebagai penyesuaian bagi kerangka baru hubungan antarpemerintah. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang berjenjang tetapi sekaligus secara normatif mengawinkan proses bottom-up dan top-down dikenalkan.5 Organisasi pemerintah pusat di daerah —kantor-kantor wilayah dan departemen vertikal— dilikuidasi untuk mengimbangi otonomi yang telah diberikan kepada daerah. Walau demikian, UU desentralisasi 1999 maupun revisinya tahun 2004 tetap membuka celah bagi operasi pemerintah pusat untuk melakukan pelimpahan wewenang melalui mekanisme dekonsentrasi serta penugasan melalui mekanisme tugas pembantuan kepada pemerintah daerah.6 Desentralisasi ini memberi titik tekan berbeda pada pemerintah-pemerintah daerah. Ruang wewenang yang lebih besar diletakkan pada pemerintah di lingkup kabupaten-kota daripada di provinsi.7 Titik tekan desentralisasi pada kabupaten4
UU desentralisasi sendiri menetapkan bahwa tujuan desentralisasi adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui (1) peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peranserta masyarakat, serta (2) peningkatan daya saing daerah. 5 Dalam skala dan alur perencanaan yang bertingkat, Musrenbang selalu memiliki limitasi dalam menampung aspirasi dari bawah. Acapkali dikeluhkan bahwa semakin tinggi jenjang Musrenbang yang harus ditapaki semakin banyak aspirasi dari bawah yang tidak mampu ditampung. 6 Kendati Peraturan Pemerintah (PP) 7/2008 telah mengatur pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Ramses M dan Bakry (2008) menilai bahwa masih dibutuhkan formulasi yang lebih tegas lagi bagi pelaksanaannya, karena PP ini tidak secara eksplisit menampakkan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. 7 Menarik untuk dicatat bahwa UU Pemerintahan Daerah yang lama, yakni UU 5/1974, juga memberikan titik tekan yang sama sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat 1, “Titik berat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II.” Hanya saja, dalam bangunan hirarki yang bertingkat menurut UU ini, pemilihan pemimpin wilayah oleh DPRD di tingkat kabupaten-kota harus mendapatkan persetujuan pemimpin wilayah di tingkat provinsi (Pasal 16 Ayat 1 dan 2).
3 kota ini merujuk pada penetapan yurisdiksi ini sebagai ujung tombak pelayanan publik seturut dengan argumentasi ‘closer to voters’. Walau juga dicatat bahwa dalam desentralisasi ini beberapa provinsi mendapat perlakuan tersendiri — Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota (UU 29/2007), Jogjakarta (UU 3/1950, 32/2004)8 dan Aceh (UU 44/1999) sebagai Daerah Istimewa, serta Papua, Papua Barat (UU 21/2001), dan Aceh (UU 11/2006) sebagai Daerah Otonomi Khusus— secara keseluruhan ‘otonomi penuh’ diberikan pada pemerintahan kabupaten-kota dengan teritori yurisdiksi yang lebih sempit, sedangkan ‘otonomi terbatas’ ada pada provinsi dengan teritori yurisdiksi yang lebih luas.9 Dari sisi fiskal, penerimaan maupun pengeluaran, pemugaran diarahkan pada tujuan-tujuan perimbangan keuangan vertikal antara pusat dan daerah serta horisontal antara satu daerah dengan daerah lain. Sumber-sumber penerimaan pemerintah pusat yang berasal dari daerah diorganisasikan ke dalam pos-pos Dana Bagi Hasil Pajak (DBH-P) dan Sumber Daya Alam (DBH-SDA). Ini kemudian dipantulkan ke dalam pos-pos pengeluaran ke daerah melalui formula Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam serta formula dua macam dana alokasi, yakni Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada saat yang sama, ruang daerah untuk menciptakan sumber-sumber penerimaan sendiri juga diberikan melalui formula Pendapatan Asli Daerah (PAD).10 Statistiknya mudah dicandra bahwa melalui formula-formula ini penerimaan daerah di masa desentralisasi jauh lebih besar dibandingkan dengan di masa sebelumnya. Malahan, perkembangan tahunan total transfer pusat ke daerah sejak desentralisasi digelindingkan memperlihatkan gelagat yang menaik.11 Ini berarti daerah memiliki ruang gerak anggaran yang lebih longgar, kendati proporsi alokasi antara belanja pembangunan dan belanja pegawai masih merupakan persoalan serius. Di arena politik, berbasis pada pembentukan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang independen, desentralisasi juga telah mengubah cara bagaimana Selain itu, dalam menjalankan tugasnya, pemimpin wilayah di tingkat ini bertanggung jawab kepada pemimpin wilayah di tingkat yang lebih tinggi (Pasal 78). Di atas semuanya, perbedaan yang mencolok termaktub dalam spirit sentralisasi yang melekat dalam UU ini. 8 Sejauh laporan ini ditulis belum ada pengaturan khusus mengenai keistimewaan Jogjakarta selain yang tertera dalam UU 32/2004 itu. 9 Rasyid (2007) menyatakan ‘otonomi penuh’ merujuk pada absennya operasi pemerintah pusat di kabupaten-kota, kecuali melalui sejumlah urusan yang diatur undang-undang. ‘Otonomi terbatas’ mengacu pada peluang yang terbuka bagi operasi pemerintah pusat di provinsi. 10 Kumorotomo mencatat bahwa DAU sesungguhnya adalah metamorfosis dari Subsidi Daerah Otonom (SDO), sedangan DAK dari bantuan Inpres yang pernah dikenal pada masa Orde Baru. Dalam konteks ini desentralisasi fiskal tidaklah bersifat radikal. Lihat, Kumorotomo (2008). 11 Walau demikian, ini mesti ditelisik lebih teliti lagi mengingat pertambahan belanja daerah per yurisdiksi (provinsi dan kabupaten-kota) menunjukkan kecenderungan penurunan dari waktu ke waktu. Lihat Seldadyo et al (2009).
4 pemimpin pemerintahan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dipilih dan ditetapkan. Pemimpin daerah dipilih secara langsung, sedangkan anggota DPRD dipilih melalui suatu sistem daftar terbuka. Termasuk dalam hal ini adalah perombakan mekanisme pertanggungjawaban antara pemimpin atau wakil rakyat terpilih dan konstituen pemilih. Ini berarti gubernur, selazim bupati, walikota, dan anggota DPRD, secara politik dipilih oleh dan bertanggung jawab langsung pada konstituen pemilih.12 Dalam format seperti ini, evaluasi atas pencapaian visi-misi akan diuji kembali dalam mekanisme reguler pemilihan lokal itu sendiri. Beberapa pihak menyebut perubahan ini sebagai perbaikan kualitas demokrasi di daerah (Marjian, 2006; Mandica, 2008), kendati demokrasi di daerah harus dibaca lebih daripada sekedar pemilihan langsung yang bebas dan adil atau partisipasi dalam pengambilan suara (Pratikno, 2005).
Beberapa Konsekuensi Keleluasaan ruang wewenang pemerintahan daerah di sisi administrasi dan fiskal yang dikombinasikan dengan sistem pemilihan langsung oleh dan pertanggungjawaban pada konstituten pemilih di sisi politik bukan tanpa konsekuensi organisasional. Pertama, di tingkat empiri setiap entitas pemerintahan daerah praktis berdiri relatif independen satu sama lain. Ini bukan hanya terjadi antara kabupaten-kota satu dengan yang lain dalam satu provinsi, bahkan juga antara kabupaten-kota dengan provinsi itu sendiri. Provinsi dan kabupaten-kota menjadi entitas-entitas pemerintahan yang terpisah dengan dinamikanya masing-masing. Kendati keduanya bertanggung jawab pada konstituen yang sama (Sudarmo dan Sudjana, 2009), tidak ada jaminan bahwa gubernur dan bupati-walikota secara politik berasal dan ditopang oleh partai yang sama —sebagaimana juga terjadi perbedaan antara partai pemenang Pemilu di lingkup provinsi dan kabupatenkota. Walhasil, arah gerak pembangunan daerah amat ditentukan oleh visi dan misi —lalu menjadi program kerja— setiap kepala daerah terpilih dan partai pemenang pemilihan lokal, baik di lingkup provinsi maupun di kabupaten-kota. Keadaan di atas lebih diperumit lagi oleh kalender pemilihan kepala daerah (Pilkada) provinsi dan kabupaten-kota yang belum tentu berlangsung dalam tem12
Pengecualian terjadi untuk DKI Jakarta dan DI Jogjakarta yang membentuk dua pola pemilihan. Di DKI Jakarta walikota dan bupati serta wakilnya diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi, sedangkan gubernur dan wakil gubernur ditentukan berdasarkan hasil pemilihan langsung (UU 29/2007). Sementara itu, di DI Jogjakarta gubernur diangkat dari garis keturunan Sultan Jogjakarta dan wakilnya dari garis keturunan Paku Alam, sedangkan bupati dan walikota serta wakilnya ditentukan berdasarkan hasil pemilihan langsung (UU 22/2004).
5 po bersamaan. Ini membuat penyelenggaraan pemerintahan di daerah berjalan dalam siklus kalendernya masing-masing. Visi-misi suatu yurisdiksi yang secara potensial —bahkan juga aktual— berbeda dengan visi-misi yurisdiksi yang lain diimplementasikan dalam siklus pelaksanaan mandat yang berbeda-beda pula. Bahkan, bukan hal aneh jika visi-misi kabupaten-kota digelindingkan dalam intensitas dan kecepatan yang berbeda dengan visi-misi provinsi yang menaunginya. Tidak mengherankan jika perbedaan arah gerak pembangunan antarkedua lingkup pemerintahan ini menjadi konsekuensi logisnya. Ini menegaskan lagi kenyataan bahwa masing-masing lingkup pemerintahan berdiri relatif independen satu sama lain. ‘Otonomi’ pada kenyataan praktis menjadi ‘independensi’ dalam pengertian ‘berjalan tanpa koordinasi’.13 Kedua, khususnya sebelum pemberlakuan PP 19/2010, bangunan hirarki yang tegas (explicit hierarchy ) dalam relasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten-kota tidak terbentuk. Sedikitnya, ada ketaksaan (ambiguity ) dalam relasi hirarki gubernur dan bupati-walikota itu14 —justru di tengah peran ganda yang harus dimainkan oleh gubernur. Di tingkat normatif, pada status gubernur sebagai kepala wilayah provinsi dengan teritori yurisdiksi yang meliputi kabupaten-kota, misalnya, UU 32/2004 (Pasal 2) dengan tegas menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.” Tetapi, itu tidak serta-merta menciptakan jenjang tegas di antara kedua pemerintah subnasional ini. Dalam kenyataan empirik frasa ‘daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah’ tidak diterjemahkan ke dalam suatu hubungan bertingkat antarkeduanya. Setara itu, status gubernur sebagai ‘wakil pemerintah pusat di daerah’ mengalami ketaksaan serupa pula. Undang-undang yang sama (Pasal 37) menyebutkan, “Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.” Seharusnya ini berarti pemerintah kabupaten-kota menjadi subordinat pemerintah pusat melalui ‘wakil’-nya di provinsi. Walau begitu, ‘wakil pemerintah pusat’ tetap tidak menjadi kenyataan positif bagi terbentuknya bangunan hirarki di daerah.15 13
Pengertian ‘independensi’ ini tidak serupa-sebangun dengan pengertian yang ditemui dalam literatur tentang seccession —semisal dalam Barktus (1999). 14 Ini bermula dari Pasal 4 Ayat 2 UU 22/1999 yang menegaskan ketiadaan hirarki antara provinsi dan kabupaten-kota. Kendati UU revisinya tidak lagi secara tegas menyebutkan hal itu dan beberapa pasal secara implisit bahkan menyiratkan hubungan hirarkis, di dalam praktekpraktek pemerintahan keseharian spirit kesejajaran hubungan terus terbawa. Kumorotomo (2008) bahkan beranggapan bahwa UU 32/2004 memang mengembalikan hubungan hirarkis provinsi dan kabupaten-kota. Lihat diskusi berikutnya pada teks yang dirujuk oleh catatan kaki ini. 15 Menarik untuk dicatat bahwa Pasal 122 UU yang sama menyatakan bahwa gubernur —atas
6 Kerumitan manajerial terjadi ketika gubernur dihadapkan pada tugas (1) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupatenkota, (2) koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di daerah provinsi dan kabupaten-kota, dan (3) koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten-kota (UU 32/2004, Pasal 38, termasuk turunannya berupa Peraturan Pemerintah 38 dan 50-2007). Di sini pembinaan, pengawasan, dan koordinasi ini harus dijalankan di tengah independensi relatif kabupaten-kota terhadap provinsi dan di dalam ketiadaan relasi hirarki provinsi dan kabupaten-kota. Kesulitan gubernur untuk menyertakan bupatiwalikota dalam pertemuan-pertemuan tingkat provinsi (Pratikno, 2005) adalah sebuah contoh. Absennya laporan, tembusan laporan, atau bahkan mekanisme pelaporan kegiatan bupati-walikota kepada gubernur (Kaloh, 2007) juga merupakan contoh kesulitan yang serupa. Kerumitan ini meninggi tatkala gubernur dihadapkan pula pada tugas pemantauan dan evaluasi kegiatan pemerintah pusat yang dilakukan di kabupaten-kota melalui mekanisme Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EPPD) berdasarkan perintah PP 6/2008.16 Dapat dikatakan spirit dasar UU desentralisasi itu sendiri telah menciptakan hubungan kesejajaran dan independensi antarlingkup pemerintahan yang selanjutnya melahirkan kerumitan-kerumitan organisasional di tingkat daerah. Rapatrapat provinsi yang melibatkan kabupaten-kota bukan hal yang tak lazim terjadi, tetapi ‘daya ikat’ hasil rapat-rapat semacam itu sebagai suatu kekuatan koordinasi relatif longgar. Di Bangka Belitung, sebagaimana pula di provinsi-provinsi lain, rapat-rapat serupa ini merupakan kegiatan reguler tiga bulanan, tetapi efektivitasnya banyak diragukan. Pertemuan antardinas teknis kedua lingkup pemerintahan pun belum tentu berimplikasi pada pembentukan program kerja yang lebih koordinatif. Ini terjadi karena kepala-kepala dinas kabupaten-kota harus menghadapkan hasil-hasil pertemuan semacam ini pada otoritas bupati-walikota. usul bupati-walikota— juga memiliki tugas untuk mengangkat dan memberhentikan sekretaris daerah kabupaten-kota, tetapi sekretaris daerah ini bertanggung jawab kepada bupati-walikota (Pasal 121). Juga menarik untuk dicatat bahwa sekretaris daerah ini, selain membantu bupatiwalikota dalam penyusunan kebijakan, juga memegang tongkat komando koordinasi kerja dinas dan lembaga teknis daerah (Pasal 121) dan tongkat komando koordinasi pembinaan jajaran birokrasi di daerahnya (Pasal 122). Tetapi, sekali lagi, ini tidak berarti terbangun hubungan hirarkis provinsi dan kabupaten-kota. Ini berbeda dengan sekretaris daerah provinsi yang diangkat oleh presiden dan hubungan hirarkis eksplisit yang terjadi antara pemerintah pusat dan provinsi. 16 Selain itu, hal potensial yang segera menjadi aktual adalah tumpah-tindih area kerja. Di tingkat UU, Sudarmo dan Sudjana (2009) mencatat tujuh kesamaan dari 11 urusan wajib dalam UU 32/2004 antara provinsi dan kabupaten-kota yang bermuara pada tumpang-tindih kerja di tingkat implementasi —kesehatan, pendidikan, lingkungan, kependudukan dan catatan sipil, pengembangan koperasi dan usaha kecil, pertanahan, serta penanaman modal. Ini terjadi manakala interaksi antara provinsi dan kabupaten-kota minimal.
7 Secara organisasional tugas-tugas semacam itu akan berjalan jika dua situasi dapat terjadi. Pertama, status, peran, wewenang, dan tanggungjawab itu diletakkan dalam bingkai hubungan hirarkis, karena koordinasi, pembinaan dan pengawasan, serta pemantauan dan evaluasi yang berbasis hirarki terhitung lebih cost-efficient (Kochen dan Deutsch, 1974). Kedua, peran dan tanggungjawab itu berhimpun dalam kondisi saling-ketergantungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten-kota, sebab kebutuhan koordinasi, pembinaan dan pengawasan, serta pemantauan dan evaluasi adalah fungsi dari saling-ketergantungan antarunit di dalam organisasi (Chisholm, 1992). Bagi kepentingan koordinasi, pembinaan dan pengawasan, serta pemantauan dan evaluasi, kebutuhan atas hirarki dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang bersifat supply-pushed (top-down). Sementara itu, kebutuhan atas saling-ketergantungan bersifat demand-driven (bottom-up). Saat ini keduanya luput menjadi kenyataan positif dan definitif. Patut dicatat, dalam perspektif UU 32/2004, status, peran, wewenang dan tanggungjawab provinsi seperti diungkap itu bersifat atributif, sehingga ia melekat pada kedudukan gubernur. Namun, dalam keadaan taksa-jenjang dan nir-ketergantungan antara provinsi dan kabupaten-kota, pertanyaan yang laik dikemukakan ialah bagaimana koordinasi, pembinaan, dan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi diimplementasikan? Sejauh ini sejumlah provinsi mengandalkan figur kepemimpinan gubernur yang kuat dan visioner untuk melakukan fungsi-fungsi itu.17 Dalam wacana publik, umpamanya, provinsi Gorontalo acap disebut (pernah) memiliki gubernur dengan karakter kepemimpinan yang kuat dan visioner (Lihat, misalnya, Pranadji (2008)). Ini sejalan dengan temuan von Luebke (2009) tentang relasi antara kepemimpinan pemerintah dan mutu tatakelola daerah. Ia menunjukkan bahwa mutu tatakelola daerah lebih ditentukan oleh mutu kepemimpinan pemerintah (supply-side pressures) daripada tekanan yang muncul dari masyarakat (demand-side pressures). Dalam studi itu von Luebke itu menerangkan bahwa keadaan ini terjadi karena mutu kepemipinan pemerintah secara politik mampu menarik dukungan pemilih.18 Laporan ini tidak memungkiri bahwa karakter kepemimpinan mampu menjembatani kerumitan-kerumitan organisasional antara provinsi dan kabupaten-kota. Kendati demikian, itu tidak cukup mengingat hingga derajat tertentu kepemim17
Strategi lain adalah dengan menggunakan kekuatan fiskal. Di sini provinsi menyediakan dana khusus bagi kabupaten-kota, khususnya pada sektor-sektor yang mendapat prioritas provinsi. Alokasi dana semacam ini adalah celah yang bisa diterobos untuk membangun harmoni perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, yang dimungkinkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 13/2006. Melalui alokasi dana ini kesejajaran gerak dan arah pembangunan antara provinsi dan kabupaten-kota dapat dibangun. 18 Grindle (2007) untuk kasus di Meksiko juga menjelaskan gelagat serupa mengenai relasi kompetisi politik, motivasi kepemimpinan, dan perbaikan mutu tatakelola pemerintah daerah.
8 pinan galibnya bertumpu pada kapasitas individual sehingga berdayajangkau terbatas untuk direplikasi antarindividu dan antarwaktu. Replikasi antarindividu akan berhadapan perbedaan karakter antarindvidu. Sementara itu, replikasi antarwaktu berhadapan dengan durasi kewenangan seseorang dalam jabatan pemimpin yang terbatas, sehingga jaminan kesinambungan pada periode kewenangan berikutnya juga menjadi terbatas. Lagi pula, sifat sebagai issu individual menjadikan kepemimpinan bukan sebagai issu struktural-formal —jika tidak dapat dikatakan bersifat ad hoc. Tetapi jika kepemimpinan hendak dijadikan issu yang lebih struktural daripada personal, jelas dibutuhkan usaha-usaha yang lebih sistematis — jangka pendek, tengah, dan panjang— untuk melembagakan sistem ke arah pembentukan kepemimpinan yang berkarakter kuat dan visioner. Pertanyaan yang perlu diajukan saat ini adalah ruang apa yang tersedia untuk memaksimumkan status dan peran serta wewenang dan tanggungjawab provinsi? Inisiatif-inisiatif apa yang bisa dikembangkan di tingkat mikro provinsi dan kabupaten-kota selain advokasi bagi revisi UU 32/2004 di tingkat makro? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat dikembangkan pula sebagai wacana antisipasi apabila terjadi revisi dalam aturan yang ada. Baru-baru ini ada perkembangan menarik tentang respon pemerintah pusat mengenai kedudukan gubernur. Sebuah PP tentang tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, PP 19/2010. Peraturan ini dalam banyak hal telah mengakomodasi kerumitan-kerumitan organisasional yang disebut di depan. Pertama, selain mengatur hubungan koordinatif gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan instansi vertikal dan antarinstasi vertikal, PP ini mengatur hubungan koordinatif gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan kabupaten-kota dan antarkabupaten-kota. Kedua, PP juga mengatur hubungan gubernur dalam konteks pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten-kota. Ketiga, hubungan gubernur dalam koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di provinsi dan kabupaten-kota. Esensi terpenting dalam seluruh hubungan yang diatur oleh PP ini adalah dinyatakannya bangunan hubungan hirarki yang eksplisit antara provinsi dengan kabupaten-kota. Dalam bangunan hirarki ini, gubernur diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi —dan penghargaan— atas kinerja serta pelaksanaan kewajiban dan sumpah (janji) bupati-walikota. Mekanisme hubungan hirarkis ini mengambil bentuk rapat kerja reguler setiap empat bulan serta rapat kerja yang dijalankan menurut kebutuhan. Rapat kerja reguler dilakukan bagi kepentingan Musrenbang provinsi serta pemantauan dan evaluasi program-program pembangunan. Sementara itu, rapat kerja berbasis kebutuhan diselenggarakan bagi urusan-urusan yang menjadi kewenangan kabupaten-kota serta issu-issu kerjasama ataupun sengketa antarkabupaten-kota.
9 Hingga derajat tertentu, PP ini secara potensial mampu memberi sumbangan pada proses penguatan tatakelola provinsi melalui penegasan status, peran, wewenang, dan tanggungjawab provinsi. Paling sedikit, PP ini terarah pada pengembangan sinergi hubungan antarpemerintah dari sisi kebutuhan yang bersifat supply-pushed (yakni kebutuhan akan hirarki) dan kebutuhan yang bersifat demand-driven (kebutuhan berbasis ketergantungan) sebagaimana didiskusikan di depan. Ini mengacu pada apa yang disebut Evans (1996) sebagai ‘kelengkapan dalam kelekatan’ (complementarity with embeddedness) —suatu hubungan yang saling mendukung melalui pembagian kerja yang jelas dalam bentuk jalinan ikatan antarlingkup atau tingkatan pemerintahan yang berbeda. Dalam analogi proses produksi, Evans menggambarkan bahwa kelengkapan atau komplementaritas adalah dasar bagi interaksi produktif, sementara kelekatan atau embeddedness berperan sebagai mekanisme untuk merealisasikan potensi bagi kemanfaatan bersama (the potential for mutual gain). Dengan perspektif ini penguatan tatakelola provinsi dibaca sebagai upaya yang saling mengisi —jadi bukan suatu relasi yang bersifat ‘untung-buntung’ (zero-sum)— antara provinsi dan kabupatenkota dengan manfaatkan potensi yang ada untuk kemaslahatan bersama. Dalam pandangan Ostrom (1996), suatu coproduction synergy lebih dapat tercipta di dalam kerangka hubungan yang bersifat komplementaritas daripada substitusi. Penguatan tatakelola provinsi ini meliputi tiga arena kerja, yakni (1) pembentukan kerangka hukum, (2) harmonisasi perencanaan dan penganggaran, serta (3) penciptaan inovasi tatakelola pemerintahan untuk outcome pembangunan yang lebih baik. Dalam pembentukan kerangka hukum, direkomendasikan suatu seri kebijakan yang lebih mempertegas status dan peran serta wewenang dan tanggung jawab gubernur dan pertaliannya dengan pemerintah pusat serta pemerintah kabupaten-kota. Beberapa varian yang termasuk di dalamnya adalah revisi UU 32/200419 , pembentukan aturan turunannya hingga penyelarasan ke tingkat peraturan daerah (Perda), sosialisasi dan advokasi, serta ragam kegiatan terkait. Dalam harmonisasi perencanaan dan penganggaran, integrasi perencanaan antarlingkup pemerintahan, penguatan partisipasi masyarakat, penetapan orientasi perencanaan pada perbaikan mutu pembangunan manusia dan penurunan kemiskinan, serta inisiatif-inisiatif yang paralel menjadi rekomendasi laporan ini. Sementara itu, dalam inovasi tatakelola, beberapa ragam inisiatif juga direkomendasikan, seperti perbaikan kapasitas birokrasi, mutu pelayanan publik, termasuk eksperimen-eksperimen lain yang bisa membangkitkan dan memperteguh koordinasi antarlingkup pemerintahan.
19
Hingga laporan ini ditulis, proses revisi UU 32/2004 masih berlangsung.
10
Organisasi Laporan Spirit laporan ini berada dalam semesta diskusi itu. Ia diarahkan kepada tujuan untuk mencari, membahas, dan mengusulkan langkah-langkah alternatif yang dapat memaksimumkan status dan peran serta wewenang dan provinsi. Ini didasarkan pada kombinasi tiga sumber informasi yang dipakai dalam penyusunan laporan ini, yaitu (1) lokakarya dan (2) wawancara mendalam dengan pemangkukepentingan20 , serta (3) sumber-sumber sekunder seperti Dokumen Proyek Pemerintah Indonesia dan UNDP ‘Provincial Governance Strengthening Program’ (PGSP), rencana turunannya, dan literatur terpaut. Secara khusus laporan ini menampilkan deskripsi dan diskusi tentang tiga provinsi, yakni Gorontalo, Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa irisan issu dapat menjelaskan mengapa tiga provinsi ini mendapatkan perhatian tersendiri. Pertama, dari sisi administrasi, Gorontalo dan Bangka Belitung adalah provinsi bentukan baru hasil pemekaran di rezim desentralisasi yang dibayangkan menghadapi tantangan manajerial-administrasi yang kurang-lebih serupa. Kedua, secara geografis, Bangka Belitung dan NTT adalah ‘provinsi kepulauan’21 dengan geografi persoalan pembangunan yang tak jauh berbeda. Ketiga, dalam perspektif mutu pembangunan manusia, Gorontalo dan NTT berada di dalam cluster Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang sama. Keempat, provinsi-provinsi ini adalah yurisdiksi yang dekat dengan perbatasan antarnegara —Gorontalo dengan Filipina, Bangka Belitung yang tak jauh dengan Malaysia dan Singapura, sedangkan NTT dengan Timor Leste dan Australia— dengan tantangan geopolitik tersendiri. Setelah bagian pendahuluan ini, Laporan akan menampilkan perkembangan sosial-ekonomi provinsi-provinsi sejak desentralisasi. Ini diikuti diskusi tentang ketiga provinsi kasus, sebelum rekomendasi dan lampiran kegiatan untuk penguatan peran provinsi ditampilkan. Sebuah epilog akan menutup laporan ini.
20
Lokakarya dan wawancara dilangsungkan pada tanggal 16-20 November 2009 di Gorontalo, 30 November 4 Desember 2009 di Bangka Belitung, dan 7-11 Desember di Nusa Tenggara Timur. 21 Tentang ‘provinsi kepulauan’ dibahas khusus di bagian-bagian selanjutnya.
11
Disharmoni Terjadi Sepanjang Masa. . .
Polemik dan konflik antarkepala daerah sering menghantui sepanjang sembilan tahun perjalanan Banten menjadi provinsi. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten belum bisa menemukan formulasi yang tepat untuk membina hubungan baik dengan kabupaten-kota. Ketidakselarasan itu bisa dilihat dari frekuensi ketidakhadiran bupati-walikota dalam kegiatan yang dilaksanakan Pemprov Banten. Moment di mana semua bupati-walikota berkumpul bersama gubernur dalam suatu acara sulit ditemukan, sekalipun dalam sebuah rapat koordinasi. Hampir setiap tahun, saat penyusunan Rancangan APBD (RAPBD) Banten, polemik antarkepala daerah terjadi. Bupati-walikota kerap mengancam akan menolak program pemerintah provinsi karena usulan mereka tentang besaran dana bantuan tunai tidak terpenuhi. Pertikaian itu terakhir kali terjadi pada September 2009 saat Pemprov Banten menyusun RAPBD 2010. Bupati dan wali kota mengancam memboikot semua kebijakan yang dikeluarkan gubernur, karena pemprov merencanakan menurunkan nilai bantuan keuangan menjadi Rp 5 miliar per kabupaten-kota dari Rp 20 miliar di masa sebelumnya. Semua kepala daerah yang tergabung dalam Forum Komunikasi Bupati-Walikota se-Banten itu sepakat untuk menolak bekerjasama dengan pemprov dan memboikot program pembangunan yang menjadi kebijakannya. Kesepakatan itu diserahkan secara resmi dalam bentuk surat kepada gubernur. Selain itu, bupatiwalikota pun terkadang tidak segan menunjukkan perlawanan di depan publik. Bupati Serang Taufik Nuriman, misalnya, beberapa kali menolak kebijakan gubernur. Pertengahan tahun lalu, dia menolak bantuan keuangan Rp 5 miliar dari pemprov untuk pembangunan jalan lingkar Pasar Induk Rau yang pengerjaan dilakukan tanpa tender. Lemahnya koordinasi juga terlihat dari banyaknya proyek pembangunan pemerintah pusat ataupun pemprov di kabupaten-kota yang terbengkalai. Selain tak tepat sasaran, proyek pemprov juga sering kali tidak dibutuhkan kabupaten-kota, bahkan tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mantan anggota DPRD Banten asal Tangerang, Ansor, membenarkan hal itu. Ia mencontohkan pembangunan RSUD Balaraja yang terbengkalai akibat tarik-menarik kepentingan antara pemprov dan Pemerintah Kabupaten Tangerang. “Sebenarnya proyek itu didanai pemerintah pusat, tetapi ada tarik-menarik antara provinsi dan kabupaten tetang siapa yang berhak mengerjakan. Tahun 2005 pemerintah provinsi memutuskan membangun proyek itu sendiri, namun akhirnya proyek itu terbengkalai.”
Dicuplik dengan penyesuaian dari Kompas, 27 Januari 2010
12
Senator Bertanya, Kenapa Kepala Daerah ‘Nggak’ Akur
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempertanyakan kurang harmonisnya hubungan gubernur dengan bupati-walikota. “Saat ini hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten-kota kurang baik. Para kepala daerah seakan langkah-melangkahi,” kata anggota DPD asal Bangka Belitung (Babel) Tellie Gozeli saat raker dengan Mendagri Gamawan Fauzi di Gedung DPD kemarin. Tellie menduga hubungan tak harmonis antarkepala daerah ini disebabkan oleh sistem pemilihan langsung gubernur, bupati, dan walikota. Tellie berharap ada langkah konkret pemerintah pusat untuk menyelesaikan disharmoni ini. Menanggapi hal itu, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, disharmoni hubungan kota itu terjadi karena pemahaman tentang tidak adanya hubungan hirarki antara provinsi dengan kabupaten-kota, padahal Pasal 2 Ayat 4 UU 32/2004 menegaskan bahwa adanya hubungan antara provinsi dengan pemerintah daerah kabupatenkota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Oleh karena pemahaman keliru itu, lanjut Gamawan, pemerintah kabupaten-kota cenderung kurang berkenan atas pelaksanaan peran Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam melakukan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan kabupaten-kota. “Kurangnya pemahaman ini mengakibatkan beberapa bupati atau walikota melakukan hubungan langsung dengan pemerintah pusat tanpa mengindahkan peran koordinasi gubernur. Peran ini seharusnya dilakukan oleh gubernur,” kata bekas Gubernur Sumatera Barat itu. Lebih lanjut dijelaskan, kelemahan utama pelaksanaan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten-kota adalah tidak adanya dukungan anggaran dan perangkat wilayah bagi peran gubernur itu. Untuk mengatasi disharmoni hubungan ini perlu dilakukan upaya penguatan peran gubernur. Saat ini, katanya, pemerintah tengah memfinalisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan tugas, wewenang dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.
Dicuplik dengan penyesuaian dari http://bataviase.co.id/node/65086 21 Januari 2010
Bab 2
Penguatan Provinsi: Sebuah Kerangka Kerja Justifikasi Bab sebelum ini mendiskusikan hal-hal dasar yang terjadi dalam desentralisasi dan konsekuensinya. Catatan penting yang diperlihatkan di sana adalah desentralisasi telah membawa ruang otonomi yang luas bagi daerah dari segi administrasi, fiskal, dan politik. Ini semua kemudian bermuara pada independensi suatu yurisdiksi atas yang lainnya; tidak hanya antarkabupaten-kota dalam satu provinsi, tetapi juga antara kabupaten-kota dengan provinsi. Seiring itu, desentralisasi juga membawa ketaksaan hirarki antara provinsi dan kabupaten-kota —bahkan secara empirik kedua pemerintah subnasional ini memerankan dirinya masih-masing dalam kedudukan yang sejajar. Dengan kata lain, bab lalu mencatat mengapa koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi oleh provinsi sukar terjadi secara optimal. Provinsi berada dalam status, peran, wewenang, dan tanggung-jawab yang mengambang, justru di tengah atribusi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan kepala wilayah provinsi yang meliputi kabupaten-kota. Hingga tingkat tertentu PP 19/2010 berusaha memperbaiki situasi ini Bab ini memberi justifikasi bagi suatu kerangka kerja mengenai inisiatif untuk penguatan provinsi. Sebelum mendiskusikan lebih rinci kerangka kerja penguatan provinsi, bagian awal bab ini lebih dulu membentangkan justifikasi bagi pentingnya suatu status, peran, wewenang, dan tanggung-jawab provinsi yang lebih benderang. Justifikasi ini datang dari rentang kendali geografi dan administrasi lebar, yang hampir tidak mungkin dikendalikan oleh satu pengambilan kebijakan yang terpusat. Indone13
14 sia terlalu besar dipandang dari kacamata Jakarta. Dengan luas wilayah yang hampir dua juta km2 dan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, pemerintah pusat harus membagi perhatian berimbang kepada 33 provinsi, yang ibukotanya terbentang antara 90 hingga hampir 4000 km —atau rata-rata 1259 km— jauhnya dari ibukota negara. Ini sulit dilakukan karena satu provinsi melingkupi lima hingga 30-an kabupaten-kota, 40 sampai 600-an kecamatan, dan lebih dari 250 hingga 8500-an desa. Kata lainnya, pemerintah pusat dituntut untuk membagi perhatian berimbang kepada hampir 500 kabupaten-kota, lebih dari 6000 kecamatan, serta tak kurang dari 75 ribu desa (Tabel 2.1). Kerumitan ini meninggi seturut variasi geografi yurisdiksi subnasional: dataran rendah, pegunungan, dan kepulauan.22 Secara administratif kesulitan juga tak kurang. Kabupaten-kota otonomi baru hasil pemekaran terus terbentuk. Ini meledak dari 314 yurisdiksi saat UU 1999 belum dibuat, padahal provinsi yang melingkupinya bertambah sedikit saja. Tambahan pula, pemerintah subnasional memiliki variasi jumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan nomenklatur yang juga beragam. Dalam hal terakhir ini, kerumitan manajerial terlihat pada implementasi Peraturan Pemerintah (PP) 41/2007 tentang OPD. Perumpunan OPD yang berazas ‘miskin struktur, kaya fungsi’ diterjemahkan ke dalam penggabungan beberapa sektor pembangunan ke dalam satu dinas daerah. Walau demikian, tidak ada jaminan bahwa nomenklatur OPD di kabupaten-kota sama dengan apa yang ada di provinsi. Penting dicatat di sini bahwa perbedaan nomenklatur selalu memiliki implikasi manajemen, administrasi, dan penganggaran searah dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) OPD. Dalam limitasi kapasitas birokrasi daerah, situasi ini menciptakan kerumitan tersendiri dalam koordinasi. Rentang kendali yang lebar itu dipersulit oleh fakta ketimpangan antardaerah yang hampir persisten (Akita dan Alisjahbana, 1995; 2002) dan gelagat konvergensi regional tidak terjadi secara siginifikan (Hill et al, 2008; 2009). Luar Jawa, lebih khusus lagi di wilayah timur Indonesia, praktis kalah cepat dalam perkembangan sosial-ekonomi dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa atau di sisi barat Indonesia. Malahan, empiri menunjukkan bahwa semakin jauh kabupatenkota dari pusat pengambilan keputusan, semakin buruk kinerja pembangunan yang ditampilkannya (Gambar 2.1). Pendapatan per kapita kabupaten-kota relatif terhadap pendapatan per kapita domestik (2006) dan IPM (2006) menunjukkan gelagat menurun seturut dengan jauhnya jarak dari Jakarta. Tingkat kemiskinan (2006) mencolok ketika ibukota provinsi menjauh dari Jakarta. Sebaliknya, ia memudar saat yurisdiksi kabupaten-kota dekat dengan ibukota negara. 22
Dua provinsi yang digambarkan (NTT dan Bangka Belitung) dalam laporan ini menyebut diri sebagai ‘provinsi kepulauan’.
15 Situasi di atas diperburuk pula dengan mutu tatakelola ekonomi kabupaten dan kota, utamanya kabupaten dan kota yang jauh dari pusat pengambilan kebijakan. Panel terakhir Gambar 2.1 memperlihatkan mutu tatakelola ekonomi kabupaten dan kota yang diukur melalui suatu indeks dalam selang 0-100 (KPPOD, 2007) —makin besar indeks, makin baik mutu tatakelola. Indeks ini adalah kombinasi dari sembilan komponen tatakelola ekonomi, yakni akses lahan usaha dan kepastian usaha, izin usaha, interaksi pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas bupati-walikota, biaya transaksi, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian sengketa, serta kualitas peraturan daerah. Diagram pencar bivariat pada gambar itu menunjukkan bahwa hubungan yang terbalik antara tatakelola dengan jarak dari pusat pengambilan kebijakan cenderung terjadi. Ada tanda-tanda bahwa kabupaten-kota yang jauh dari Jakarta tidak mampu menampilkan mutu tatakelola ekonomi yang baik, padahal tatakelola ekonomi merupakan salah satu variabel penting dalam pembentukan daya saing daerah. Dengan juga mengingat faktor lain penentu kinerja daerah,23 fakta ini membawa pesan tentang pentingnya pusat pengambilan keputusan untuk selalu dekat dengan target-target penetapan kebijakan di kabupaten-kota. Seirama dengan argumentasi di atas, ini patut dibaca sebagai upaya memperpendek rentang kendali dari pusat ke kabupaten-kota, karena pemerintah provinsi dapat didudukkan di antara kedua entitas pemerintahan ini. Selain itu, pemerintah provinsi —dilihat sebagai suatu ‘pemerintah di lapis kedua’— dapat memainkan peran sebagai kanal penghubung antara pemerintah di tingkat pusat dan di kabupaten-kota. Manakala ketaksaan hirarki dan independensi provinsi dan kabupaten-kota menjelaskan mengapa koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi tidak berjalan optimal, rentang kendali administrasi dan geografi memberi argumentasi bagi pentingnya suatu inisiatif penguatan provinsi untuk menjalankan tugas-tugas itu. Jadi, penguatan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi tidak perlu dipandang dan dirancang sebagai upaya pelemahan atau penggerogotan otonomi kabupaten-kota, tetapi justru harus diteropong sebagai upaya harmonisasi relasi provinsi dan kabupaten-kota.
23
Ada sejumlah faktor lain yang turut berperan sebagai penjelas capaian daerah. Untuk issu ini, lihat, misalnya, Seldadyo, et al (2009).
16 Tabel 2.1. Provinsi: Besaran dan Jarak 2008 Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Luas Area 57.956 72.981 42.013 87.024 50.058 91.592 19.919 34.624 16.424 8.202 664 35.378 32.801 3.133 47.800 9.663 5.780 18.572 48.718 147.307 153.565 38.744 204.534 13.852 61.841 46.717 38.068 11.257 16.787 46.914 31.983 97.024 319.036 1.910.931
Kab. 18 28 12 9 9 11 9 12 6 5 1 17 29 4 29 4 8 8 20 12 13 11 10 11 10 21 10 5 5 9 7 9 28 400
Kot. 5 8 7 2 2 4 1 2 1 2 5 9 6 1 9 4 1 2 1 2 1 2 4 4 1 3 2 1 0 2 2 1 1 98
Jumlah Kec. Desa 276 6.424 417 5.855 175 965 151 1.622 128 1.346 217 3.122 117 1.438 204 2.365 40 360 59 351 44 267 620 5.877 573 8.574 78 438 662 8.506 154 1.535 57 714 116 917 286 2.836 175 1.868 120 1.51 151 1.981 136 1.42 150 1.58 147 1.733 304 2.953 201 2.098 66 619 66 602 73 906 112 1.062 136 1.286 368 3.416 6579 76.546
Pop. 4.294 13.042 4.763 5.189 2.788 7.122 1.642 7.391 1.123 1.453 9.146 40.918 32.626 3.469 37.095 9.602 3.516 4.364 4.534 4.249 2.057 3.447 3.095 2.208 2.438 7.805 2.075 972 1.032 1.321 960 730 2.057 228523
Jarak 1.823 1.415 1.067 949 622 429 531 191 458 902 0 118 408 429 668 92 954 1.054 1.913 747 1.221 1.364 1.361 2.131 1.66 1.397 1.757 1.952 1.658 2.845 2.614 3.049 3.773 1.259
Luas (km2 ). Penduduk (000). Jarak (km; Jakarta-ibukota provinsi; konversi latitude-longitude). Sumber: Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Maret 2009. BPS.
17
GAMBAR 2.1. Kinerja Kabupaten-Kota dan Jarak terhadap Jakarta Sumbu tegak pada panel atas kiri dan kanan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan kemiskinan, panel bawah kiri dan kanan adalah nisbah PDRB per kapita kabupaten-kota terhadap PDB per kapita domestik dan tatakelola ekonomi. Sumbu datar adalah logaritma jarak antara Jakarta dengan ibukota kabupaten —diukur dari status latitude dan longitude masing-masing. Berbagai sumber.
18
Kerangka Kerja
Luasnya rentang kendali administrasi dan geografi memerlukan suatu bangunan relasi antarentitas pemerintah yang tertentu. Bangunan yang menciptakan hubungan sinergi antara satu entitas pemerintah dengan entitas pemerintah lain tampaknya amat relevan. Bangunan ini memetakan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab setiap entitas pemerintah yang berada di dalamnya, selain juga menggambarkan bagaimana interaksi antarentitas itu terjadi. Namun demikian, sebelum menapaki diskusi yang lebih jauh tentang bangunan itu, ragam istilah yang dipakai dalam keseluruhan laporan ini, yakni ‘status’ dan ‘peran’ serta ‘wewenang’ dan ‘tanggung jawab’, perlu didefinisikan lebih dulu. Laporan ini mendefinisikan ‘status’ sebagai posisi relatif suatu entitas pemerintahan yang didiskusikan di antara pelbagai entitas pemerintahan lainnya. Status suatu entitas pemerintahan dijajarkan dengan ‘peran’ yang dimainkannya, yang dalam hal ini terdefinisi sebagai keputusan dan tindakan yang diambil oleh suatu entitas pemerintahan dalam posisi relatifnya itu. Jadi, ‘status’ berdimensi statik, sedangkan ‘peran’ berdimensi dinamik. Sementara itu, istilah ‘wewenang’ dalam laporan ini dipakai untuk menggambarkan kekuasan yang secara legitimate dipegang oleh suatu entitas pemerintahan, sedangkan ‘tanggung jawab’ adalah beban yang diberikan kepada entitas pemerintahan itu yang setimbang dengan kekuasaan legitimatenya. Berpegang pada pengertian ini, status, peran, wewenang, dan tanggung jawab adalah sebuah frasa tunggal yang tidak terpecah. Penguatan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi ialah suatu rancangan inisiatif yang diarahkan bagi pemantapan tugas-tugas koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi provinsi yang diperintahkan tegas oleh undang-undang. Apa yang menjadi tantangan dalam inisiatif penguatan provinsi ini ialah pengembangan suatu sinergi hubungan antarentitas pemerintah. Laporan ini mengikuti Evans (1996) yang membaca sinergi sebagai suatu ‘kelengkapan dalam kelekatan’ (complementarity with embeddedness) antara pemerintah provinsi dan kabupten-kota —bahkan juga pemerintah pusat. Di sini ‘kelengkapan’ atau ‘komplementaritas’ dikedepankan karena setiap entitas pemerintahan mempunyai tupoksi yang berbeda-beda, tetapi perbedaan ini tidak menjadikan hubungan antarentitas pemerintah bersifat independen satu sama lain. Sebaliknya, ia justru saling mengisi sehingga satu entitas bergantung dan menjalinlekat pada entitas yang lain (embedded) untuk mencapai tujuan bersama. Sebagaimana diungkap sebelumnya, ‘kelengkapan dalam kelekatan’ ini bukanlah suatu relasi yang bersifat ‘untung-buntung’ (zero-sum).
19
Sketsa Teoritik Sketsa ini mengadopsi kerangka teori Ostrom (1996) mengenai coproduction —yang bisa dijajarkan dengan complementarity with embeddedness oleh Evans (1996). Berbasis pada teori produksi, Ostrom menyatakan bila sumbangan suatu pihak tergantikan sepenuhnya oleh sumbangan pihak lain (strictly substitutable), maka tidak ada potensi apapun untuk membangun suatu hubungan yang sinergis. Sktesa amat sederhana berikut menggambarkan keadaan itu.
Provinsi
Provinsi
Sumbu tegak pada Gambar 2.2 adalah sumbangan provinsi, sementara sumbu datar ialah kontribusi kabupaten-kota. Di panel kiri, C1 , C2 dan C3 mewakili tiga tingkat capaian yang dapat direngkuh oleh kombinasi kontribusi provinsi dan kabupatenkota. Jika kontribusi provinsi seluruhnya dapat digantikan oleh sumbangan dari kabupaten-kota, maka tidak ada cara apapun untuk membangun hubungan coproduction. Alih-alih, keputusan untuk menghasilkan suatu capaian tertentu akan tergantung hanya pada biaya yang dibayar oleh provinsi terbanding dengan biaya oportunitas yang dihadapi oleh kabupaten-kota.
P2
(K1,P2)
C2 C1
C2 A1
C3
A2 Kabupaten-Kota
P1
(K2,P1)
K1
C1
A2
A1 K2
Kabupaten-Kota
GAMBAR 2.2. Relasi Provinsi dan Kabupaten-Kota Jika biaya yang dibayar provinsi ini lebih kecil daripada biaya oportunitas yang dihadapi oleh kabupaten-kota —seperti digambarkan oleh garis kendala anggaran A2 — maka capaian yang paling efisien terjadi pada saat ia sepenuhnya hanya digerakkan oleh provinsi. Capaian C2 oleh provinsi diraih dengan mengerahkan seluruh kompetensi dan kapasitasnya.
20
... Sebaliknya, bila biaya oportunitas yang dihadapi oleh kabupaten-kota lebih murah daripada biaya yang harus dibayar provinsi untuk capaian itu —digambarkan oleh garis kendala anggaran A1 — maka capaian yang efisien seluruhnya berada di tangan kabupaten-kota. Situasi yang digambarkan ini menjadi ‘ini atau itu’ (either-or ), karena sifat substitusi sumbangan pihak yang satu terhadap yang lain.
Namun, manakala kontribusi provinsi dan kabupaten-kota bersifat saling melengkapi (complementary ), sebagaimana dipresentasikan oleh panel kanan, capaian terbaik dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumbangan masing-masing pihak, yakni dengan menemukan kombinasi tertentu sumbangan provinsi dan kabupatenkota. Berbeda dengan keadaan sebelumnya, sekarang potensi untuk melakukan sinergi hubungan akan muncul. Dalam upaya pencapaian C1 , menemukan kombinasi sumbangan kedua entitas ini lebih dibutuhkan daripada menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada salah satu entitas semata. Jika biaya oportunitas kabupaten-kota untuk memberikan sumbangan lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang dibayar provinsi —sebagaimana tergambar dalam garis anggaran A1 — maka kombinasi sumbangan yang paling efisien yang dapat ditemukan adalah P1 (untuk besaran sumbangan provinsi) dan K2 (untuk nilai sumbangan kabupaten-kota). Situasi sebaliknya terjadi untuk kombinasi P2 dan K1 . Dalam kondisi seperti tergambarkan itu, hubungan sinergi dalam coproduction atau complementarity with embeddedness tercipta antara provinsi dan kabupatenkota, karena tidak terjadi kontribusi yang bersifat either-or. Pada saat yang sama, masing-masing entitas memberi sumbangan seturut dengan kapasitas dan kompetensinya.
Sumber: Ostrom, Elinor (1996), ‘Crossing the Great Divide: Cooproduction, Synergy, and Development’, World Development Review, 24(6): 1073-1087. Evans, Peter (1996), ‘Government Action, Social Capital, and Development: Reviewing the Evidence on Synergy’, World Development, 24(6): 1119-1132.
21 Pandangan Evans ini sejajar dengan gagasan Ostrom (1996) mengenai ‘coproduction’, yang dalam konteks laporan ini diterjemahkan sebagai relasi antarentitas pemerintahan yang berbeda tetapi masing-masing memberi kontribusi dengan tumpuan kompetensi dan kapasitasnya untuk mencapai tujuan yang didefinisikan bersama. Jadi, ‘coproduction’ tidak merujuk pada hubungan di mana setiap entitas pemerintahan secara terpisah melakukan kegiatan yang sama. Mengambil fondasi dari teori ekonomi mikro, Ostrom menghadapkan konsep komplementaritas berlawanan dengan substitusi. Dalam hal yang pertama (komplementaritas), terdapat pilihan kombinasi optimum atas sumbangan masing-masing pihak sehingga potensi sinergi bisa direalisasikan. Tetapi pada yang kedua (substitusi), situasi yang terjadi bersifat ‘ini atau itu’ (‘either-or ’), sehingga tidak ada manfaat yang bisa dipanen jika coproduction dilakukan. Setara dengan Evans, substitution versi Ostrom itu bisa dipandang sebagai peristiwa ‘untung-buntung’. Penting untuk dicatat, pilihan atas komplementaritas atau substitusi ini sangat tergantung pada sifat atau karakter sumbangan masing-masing pihak, yakni apakah sumbangan setiap pihak tergantikan secara penuh oleh sumbangan pihak lain (strictly substitutable) atau tidak. Dalam kenyataan empirik, provinsi dan kabupaten-kota memiliki kekhasan kompetensi dan kapasitas sendiri-sendiri untuk disumbangkan, sehingga substitusi penuh itu agak mustahil terjadi dan coproduction atau complementarity with embeddedness menjadi pilihan efisien. Pertanyaannya sekarang ialah bangunan organisasi seperti apa yang dapat mengadopsi prinsip-prinsip ini? Sejalan dengan diskusi sebelumnya, sinergi dalam complementarity with embeddedness atau coproduction bisa dilakukan melalui pertemuan dua arah antara supply-pushed dan demand-driven. Supply-pushed merujuk pada kebutuhan pembentukan suatu hirarki antara provinsi dan kabupaten-kota —jadi ia bernuansa top-down. Hirarki berfungsi untuk memastikan bahwa setiap entitas pemerintahan (provinsi dan kabupaten-kota, bahkan juga pemerintah pusat) berada dalam status, peran, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. Sebaliknya, setiap status, peran, wewenang, serta tanggungjawab dipastikan ada pemegang kendalinya. Selazimnya sebuah hirarki, ini semua berjalan di atas rel yang bersifat commanding, karena suatu entitas pemerintah (dalam hal ini kabupaten-kota) menjadi subordinat yang lain (provinsi). Walhasil, relasi yang berbasis hirarki adalah relasi struktural yang di dalamnya provinsi memegang commanding power sebagai atributnya. Walau demikian, mengingat ia bernaung di bawah sebuah rezim desentralisasi, commanding power provinsi ini tetap tidak dapat menutupi, mendominasi, atau bahkan meniadakan prinsip otonomi kabupaten-kota.24 Dengan kata lain, di bawah commanding power 24
Laporan ini tidak menganggap hirarki dan otonomi sebagai dua istilah yang kontradiktif — kehadiran yang satu meniadakan yang lain— sepanjang commanding power dalam hirarki tidak
22 provinsi, setiap kabupaten-kota memberi sumbangan bagi pencapaian tujuan yang didefinisikan bersama sejalan dengan kapasitas otonominya masing-masing. Sementara itu, demand-driven mengacu pada kebutuhan saling-ketergantungan antarkedua entitas pemerintahan ini —oleh karenanya ia berwajah bottom-up. Pada relasi yang berdiri di atas kebutuhan saling-ketergantungan, tugas-tugas koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi provinsi atas kabupaten-kota tidak dijalankan oleh dorongan yang bersifat commanding, tetapi oleh kebutuhan akan pencapaian visi dan tujuan ataupun target bersama di atas keragaman kapasitas, kompetensi, dan sumber daya. Keragaman kapasitas, kompetensi, dan sumber daya ini membuat setiap entitas pemerintah saling-tergantung. Ini senada dengan argumentasi Griffin (2008) yang menyebut bahwa semakin tinggi saling-ketergantungan terjadi antarunit organisasi, semakin besar pula kebutuhan akan koordinasi. Jadi alasan pokok bagi kebutuhan akan koordinasi adalah salingketergantungan. Jika dalam bangunan hirarkis relasi yang terjadi bersifat struktural, dalam bangunan yang bersendi saling-ketergantungan relasi yang terbentuk bersifat resiprokal.25 Relasi timbal-balik antarentitas pemerintahan ini tidak lain adalah sebuah bangunan yang didirikan di atas azas complementarity with embeddedness atau coproduction. Inisiatif-inisiatif apa yang laik dikembangkan dan eksperimen-eksperimen apa yang bisa dijalankan di atas azas complementarity with embeddedness atau coproduction adalah pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang penting diajukan bagi rancangan penguatan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi ini. Secara keseluruhan inisiatif-inisiatif atau eksperimen-eksperimen kerja yang dapat diturunkan ke dalam tiga area, yakni (1) pembentukan kerangka hukum dan kebijakan bagi penguatan peran provinsi, (2) penguatan proses perencanaan dan penganggaran, (3) penciptaan praktek-praktek tatakelola inovatif. Di dalam tiga area ini terdapat serangkaian aktivitas yang dijalankan di tingkat nasional dan di tingkat provinsi. Di atas semuanya, pertanyaan paling penting untuk diajukan adalah ke arah mana tiga area penguatan provinsi ini akan berakhir? Sudah barang tentu peningkatan mutu tatakelola provinsi harus terpantulkan secara gamblang pada perbaikan mutu pelayanan masyarakat untuk akhirnya menuju peningkatan mutu pembangunan manusia sebagai ultimate goal-nya.
dipandang dan dijalankan sebagai suatu autocracy. 25 Teori klasik Thompson (1967) membedakan saling-ketergantungan ke dalam (pooled interdependence), sequential interdependence, dan reciprocal interdependence. Kendati dalam relasi provinsi dan kabupaten-kota semua bentuk saling-ketergantungan ini dapat terjadi, bentuk yang terakhir —reciprocal interdependence— dipandang lebih sesuai karena setiap unit organisasi memenuhi kebutuhan setiap unit yang lain.
23
Kerangka Hukum dan Kebijakan Pembentukan kerangka hukum dan kebijakan dibutuhkan untuk menegaskan bentuk relasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten-kota —termasuk juga pemerintah pusat. Relasi ini paling kurang memuat pembedaan yang tegas dan definitif mengenai status, peran, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing entitas pemerintahan —sehingga tumpang-tindih tentang itu dapat dibawa ke titik hampa. Penegasan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab berguna untuk membangun sinergi dengan complementarity with embeddedness atau coproduction antara provinsi dan kabupaten-kota, juga pemerintah pusat. Kerangka hukum dan kebijakan ini mengambil bentuk revisi atas UU 32/2004 dan aturan turunannya hingga sinkronisasi dan harmonisasi peraturan daerah di yurisdiksi subnasional. Di antara rangkaian issu yang ada, issu mengenai hirarki eksplisit hubungan antara provinsi dan kabupaten-kota relevan ditempatkan sebagai issu sentral dalam revisi itu. Dalam konteks relasi pemerintah pusat dan daerah, kerangka hukum dan kebijakan penting untuk mendefinisikan kembali bentuk dan mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Perencanaan dan Penganggaran Bersamaan dengan gagasan pembedaan tegas status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi, inisiatif penguatan proses perencanaan dan penganggaran yang mengawinkan prinsip-prinsip top-down dari pusat ke daerah dan bottom-up dari daerah ke pusat memiliki justifikasi kuat. Provinsi tidak hanya berperan sebagai mediating agent, tetapi juga sebagai pemandu dalam koordinasi dan integrasi perencanaan nasional, provinsi, dan kabupaten-kota baik dalam perspektif sektoral maupun spasial. Tidak pula kalah pentingnya, provinsi menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan. Dipandang sebagai kesatuan pemangku-kepentingan pembangunan yang terintegrasi, masyarakat sipil —seturut kapasitas dan portofolionya— juga didudukkan dalam format sinergi dengan complementarity with embeddedness atau coproduction. Dengan kata lain, integrasi perencanaan dan penganggaran ini diteropong dari tiga sudut: tujuan, proses, dan aktor yang terlibat. Kombinasi relasi berbasis hirarki dan relasi berbasis saling-ketergantungan dapat dipakai di sini untuk, misalnya, perencanaan dan penanggaran untuk perbaikan pelayanan publik melalui penetapan standar pelayanan minimum serta peningkatan IPM.
24
Inovasi Tatakelola Inisiatif-inisiatif dalam tatakelola mendapat ruang lebar dalam rancangan penguatan provinsi. Ini meliputi pelbagai kerjasama provinsi dengan kabupaten-kota sebagai rangkaian eksperimen untuk membangkitkan relasi saling-ketergantungan di tengah ketaksaan hirarki antarkeduanya di beragam sektor kesejahteraan, termasuk pula sektor-sektor prioritas daerah. Sebagai suatu complementarity with embeddedness atau coproduction, eksperimen kerjasama ini ditopang oleh seri kegiatan reformasi birokrasi, baik di sisi perangkat lunak (mental-kultural, norma, etika) maupun perangkat keras yang menaunginya (institusi, organisasi). Bersandar pada perangkat lunak dan keras ini, reformasi birokrasi ini diletakkan dalam dua perspektif, yakni reformasi yang berorientasi ke dalam (inward orientation) dan yang berorientasi ke luar (outward orientation). Orientasi ke dalam mengacu pada tindakan perbaikan efisiensi dan efektivitas kerja di dalam keseluruhan sistem organisasi birokrasi, sedangkan orientasi ke luar merujuk pada peningkatan pelayanan birokrasi pada masyarakat luas. Akhirnya, sebagaimana juga di dalam perencanaan dan penganggaran, partisipasi masyarakat sipil menjadi bagian dari complementarity with embeddedness atau coproduction itu. Bagian-bagian berikut mendiskusikan ragam usulan kegiatan yang bisa diletakkan dalam kerangka kerja laporan ini. Usulan-usulan itu dikoleksi dan dipilih dari rangkaian lokakarya provinsi dan wawancara mendalam di tiga provinsi. Tentu saja lokakarya provinsi dan wawancara mendalam juga menampilkan ragam usulan kegiatan lain, tetapi di dalam bingkai PGSP —atau juga kerangka kerja laporan ini— usulan-usulan itu tidak dapat diakomodasi secara memadai. Sejumlah usulan berada di luar bingkai ini, utamanya karena complementarity with embeddedness atau coproduction antarpihak sukar ditonjolkan. Beberapa yang lain luput untuk masuk dalam rekomendasi akibat kaitan dengan tagline provinsi yang menaunginya gagal didemonstrasikan. Yang lainnya lagi tersingkir sebab ia terlalu teknis dan jauh dari issu-issu tatakelola. Dengan demikian, apa yang disajikan dalam laporan ini adalah rekomendasi yang memenuhi tiga kriteria di atas, yakni (1) berada dalam kerangka complementarity with embeddedness atau coproduction antarpihak, (2) terpaut kuat dengan prioritas provinsi sehingga ia dapat menjadi tagline provinsi, serta (3) bukan kegiatan dengan sifat teknis yang terlalu kental yang membuat bobot tatakelola pudar atau bahkan hilang. Walau begitu, sebagai bagian dari upaya pendokumentasian, usulan-usulan itu tetap diinventarisasi di dalam lampiran laporan ini. Sebagai rangkuman, muara akhir seluruh usulan kegiatan ini adalah terciptanya pelayanan masyarakat yang jauh lebih baik dan peningkatan mutu pembangunan manusia (Gambar 2.3). Dengan kata lain, penguatan provinsi adalah
25 jembatan menuju perbaikan pelayanan masyarakat yang berakhir pada perbaikan mutu pembangunan manusia, karena penguatan provinsi patut menghasilkan outcomes yang dapat dirasakan di tingkat masyarakat. Jembatan ini dibangun di atas tiga fondasi, yakni kerangka hukum, perencanaan dan penganggaran, dan inovasi tatakelola, yang di dalamnya terdapat untaian kegiatan dua tipe kegiatan, yakni kegiatan-kegiatan yang berlangsung di setiap provinsi dan kegiatan-kegiatan yang menaungi seluruh provinsi sebagai cross-cutting issues. Pendekatan atau titik masuk kegiatan-kegiatan di setiap provinsi bersifat khas yang tergantung pada karakeristik provinsi, kendati substansi kegiatan dalam mengambil tema yang serupa sebagaimana d캐elaskan di bab-bab setelah ini.
26
Perbaikan Mutu (Pembangunan) Manusia
Peningkatan Pelayanan Masyarakat
Penguatan Peran, Status, Wewenang, dan Tanggung Jawab Provinsi
Kerangka Hukum
Perencanaan Penganggaran
Inovasi Tatakelola
Aktivitas Tingkat Nasional
Aktivitas Tingkat Nasional dan Provinsi
Aktivitas Tingkat Nasional dan Provinsi
Gambar 2.3. Kerangka Kerja Penguatan Provinsi
Bab 3
Bangka Belitung: Membangun Sinergi dari Lada Konteks Bangka Belitung (Babel) adalah provinsi muda, tapi memiliki sejarah ekonomi yang relatif panjang. Dibentuk oleh UU 27/2000, tak lama setelah reformasi politik nasional bergulir, Bangka Belitung sejak jaman kolonial diwarnai oleh dinamika ekonomi pertambangan timah dan perkebunan lada. ‘Billiton Maatschappij’, sebuah perusahaan Belanda untuk ekplorasi timah, pernah beroperasi di sini sejak 1850, sebelum berhenti lebih dari 100 tahun kemudian ketika Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di akhir 1950-an (Heidhues, 1991). Ekonomi lada, kendati awal perkembangannya sukar ditelusuri secara persis, juga sering disebut telah menggeliat sejak jaman perdagangan kolonial. Lada putih Muntok terkenal luas menyaingi lada hitam Lampung dalam perdagangan internasional selama bertahun-tahun, bahkan mungkin sejak awal abad ke-20.26 Wahid (1996) mencatat bahwa pada tahun 1913 produksi lada dari kedua tempat ini memasok sekitar 60 persen produksi lada Indonesia —bahkan, di tahun 1938, pasokan itu mencapat 90 persen. Ekonomi pertambangan-penggalian dan pertanian-perkebunan —bersama dengan manufaktur dan jasa perdagangan— memang tercatat menjadi penyumbang utama ekonomi Bangka Belitung. Sejak Bangka Belitung berubah status menjadi provinsi, sekitar 40 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ditopang oleh sektor-sektor primer ini, yang di dalamnya juga diisi oleh pendatang 26
Ditambah dengan hamparan pantai berpasir putih, Bangka Belitung sering dipandang dalam ‘tiga putih’: timah putih, lada putih, dan pasir putih.
27
28 baru kelapa sawit. Sumbangan sektor manufaktur yang tiap tahun mencapai 20an persen, tigaperempatnya pun berasal dari sektor logam dasar yang terkait kuat dengan pertambangan-penggalian.27 Namun demikian, lada, sawit, dan timah bukanlah sektor-sektor yang berdiri terpisah. Oleh karena sektor-sektor ini bertumpu pada ketersediaan lahan, dinamika di satu sektor bergerak mengikuti perkembangan sektor-sektor lain. Dalam ekonomi lada, misalnya, perluasan areal perkebunan sawit maupun penambangan timah harus dibayar dengan penyusutan areal perkebunan lada. Ketika Bangka Belitung baru berdiri sebagai sebuah provinsi, tidak kurang dari 60 ribu hektar lahan dipakai untuk budidaya lada. Tahun 2008, angka ini menyusut setengahnya dengan areal panen yang menciut pula. Produksi pun setali tiga uang. Sekitar 60 ribu ton lada mampu diproduksi pada awal 2000-an. Tetapi kemampuan produksi ini mengerdil hingga 15 ribu ton menjelang akhir tahun 2000-an. Ekspor juga begitu. Di awal berdirinya provinsi ini, sekitar 30 ribu ton lada mampu diekspor. Tahun-tahun berikutnya kemampuan ini menurun cepat hingga ke angka 10 ribuan ton. Di tahun 2008, ekspor lada Bangka Belitung hanya 8000-an ton. Di lain pihak, areal sawit rakyat yang di awal 2000-an baru meliputi lahan seluas 1000 hektar, di 2008 melonjak begitu tinggi menjadi 24 ribu hektar.28 Ini belum menghitung perkebunan sawit swasta menengah-besar yang juga menunjukkan gejala menaik di tengah absennya perkebunan menengah-besar lada. Beberapa faktor lain juga melincinkan jalan ke arah penyusutan peran lada. Di tingkat pasar, harga komoditas ini berfluktuasi dengan kecenderungan melorot sehingga memberi insentif negatif bagi produksi. Pergerakan tahunannya pun bisa berlangsung dalam selang harga yang ekstrim, antara Rp 20.000-100.000 per kilogram.29 Di tingkat produksi, penyakit kuning dan busuk pangkal telah menjadi kendala rutin. Monografi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat tentang tanaman lada 14 tahun lalu telah melaporkan dua penyakit yang lazim ditemukan 27 Sektor jasa perdagangan juga mengambil porsi besar. Sektor ini memberi andil yang kuranglebih setara dengan porsi pertanian-perkebunan dalam PDRB. Secara keseluruhan, kendati di dalamnya hanya ada satu-dua komoditas dominan, tampaknya ekonomi Bangka Belitung disangga oleh tiga kaki yang berdiri relatif imbang: primer, sekunder, dan tersier. Komposisi sedemikian itu sedikit-banyak bisa menjelaskan posisi provinsi ini yang relatif baik dalam dua outcomes pembangunan yang paling kentara: mutu pembangunan manusia dan kemiskinan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007 provinsi ini masuk dalam di tersil pertama urutan terakhir dari seluruh provinsi Indonesia dengan 72 poin. Sementara itu, dalam hal kemiskinan Bangka Belitung juga duduk di tersil pertama urutan tengah dengan 16 persen populasi miskin. 28 Data sebagaimana dikutip Kompas, 8 Februari 2010, halaman 40. Lihat juga http://www.babelprov.go.id/daftar_berita?q=/node/464, dirujuk tanggal 18 Februari 2010. 29 Kompas, loc.cit.
29 di Indonesia ini (Mustika, 1996; Manohara dan Kasim, 1996). Kelangkaan tegakan penopang rambatan tanaman juga menjadi problem lain. Tegakan ini semakin sulit didapat sejalan dengan berkurangnya areal hutan tempat tegakan itu tumbuh dan berkembang. Di tingkat petani, pilihan untuk bergelut menjadi petani lada harus berhadapan dengan pilihan lain, baik untuk menjadi petani sawit ataupun penambang timah. Ekonomi sawit memang tengah marak dalam beberapa tahun terakhir ini, sedangkan ekonomi timah menjanjikan kembalian hasil yang jauh lebih cepat. Bagi Bangka Belitung lada putih Muntok lebih dari sekedar komoditas pertanian. Jejak sejarahnya yang panjang (dapat) menjadikan lada putih Muntok sebagai ‘flag carrier ’ provinsi ini di kancah internasional. Tampak ada issu positioning —dan bahkan branding— di sini, apalagi jika diingat bahwa Bangka Belitung juga tengah berusaha masuk dalam pasar turisme internasional. Tagline ini berperan penting untuk mempertahankan memori pasar. Kendati timah juga dapat memainkan peran yang serupa, ciri alami yang melekat di dalamnya menjadikan kedua komoditas ini tetap berbeda dalam positioning dan branding Bangka Belitung jangka panjang. Issunya kini adalah melakukan perbaikan, terobosan, dan inovasi untuk mengembalikan kejayaan historis lada Bangka Belitung.
Revitalisasi Lada: Titik Masuk ke Penguatan Provinsi Lada Muntok memang masih ada, tetapi memudar pamornya. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah provinsi melakukan satu seri kegiatan khusus untuk mengembalikan pamor lada di bawah tajuk ‘Revitalisasi Lada’.30 Di sisi teknis, ini meliputi distribusi bibit kepada petani di enam kabupaten —Bangka, Bangka Selatan, Bangka Tengah, Bangka Barat, Belitung, dan Belitung Timur. Tetapi ‘Revitalisasi Lada’ terlalu sempit jika diterjemahkan semata sebagai pembagian bibit gratis kepada petani. Topangan di sisi lain jelas diperlukan. Saat ini, di sisi legal, sebuah tim yang terdiri dari pemerintah provinsi melalui Bappeda serta Dinas Pertanian dan Perkebunan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Balai Sertifikasi Pengujian Mutu (BSPM), dan Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI) tengah menyiapkan dokumen pendukung bagi penerbitan hak paten atas lada putih Muntok. Pematenan lada putih Muntok dapat dibaca sebagai bagian dari geographical indication (GI) mengenai asal, mutu, dan reputasi komoditas, 30
‘Revitalisasi Lada’ di Bangka Belitung juga merupakan bagian dari ‘Revitalisasi Pembangunan Rempah’ di tingkat nasional oleh Departemen Pertanian.
30 yang dalam kancah perdagangan internasional GI semakna dengan ‘merek-dagang’ (trademark) suatu produk buatan. Masih ada rangkaian kegiatan lain dalam ‘Revitalisasi Lada’ yang tengah dilakukan pemerintah Bangka Belitung, tapi apa yang juga perlu diperkuat di sini adalah penataan sisi kelembagaan (institutional arrangement). Penataan kelembagaan adalah upaya memetakan, mendefinisikan, dan menegaskan status, peran, dan tanggung jawab masing-masing pihak, karena setiap pihak memiliki kompetensi dan kapasitas berbeda yang secara komplementer dapat dipakai bagi ‘Revitalisasi Lada’. Dalam perspektif PGSP, penataan kelembangaan tidak hanya diletakkan dalam konteks relasi dengan pemangku-kepentingan di ranah swasta (eksportir, pedagang, dan petani), tetapi juga didudukkan dalam konteks sinergi provinsi dan kabupaten-kota untuk memanggil kembali kejayaan historis lada Muntok. Hubungan dengan ranah swasta tidak mungkin diabaikan, karena lada adalah tanaman komersial biasa yang tunduk pada hukum-hukum ekonomi investasi, produksi, dan perdagangan dalam mekanisme pasar. Hubungan semacam ini menuntut pemerintah untuk siap melakukan debottlenecking atas issu-issu di seputar infrastruktur kebijakan dan aturan serta infrastruktur fisik. Pada saat yang sama dibutuhkan pula pasangan yang sepadan dengan debottlenecking, yakni penciptaan rangkaian stimulus investasi, produksi, dan perdagangan. Investasi, produksi, dan perdagangan adalah ranah kompetensi dan kapasitas sektor swasta sejalan dengan karakternya. Sementara itu, debottlenecking dan penciptaan stimulus merupakan ruang kompetensi dan kapasitas pemerintah —karena status, peran, wewenang, serta tanggung jawab yang melekat padanya— untuk melebarkan jalan masuk bagi investasi, produksi, dan perdagangan. Di dalam relasi antarjajaran provinsi sendiri ‘Revitalisasi Lada’ bukanlah sebuah area kerja sektor pertanian yang terisolasi, tapi suatu gugus kerja yang sektorsektor pendukungnya saling melekat dan melengkapi. Bappeda tentu memiliki kompetensi dan kapasitas di area pemetaan, penyusunan data, dan perencanaan tataruang serta penetapan anggaran. Dinas Perdagangan memiliki kompetensi dan kapasitas lain, semisal di area tataniaga pasca produksi dan promosi. Beberapa sektor lain tentu tak kurang perannya. Studi-studi kebijakan ke arah penetapan peraturan dan kebijakan daerah tentang lada bisa disebut sebagai contoh lain. Lebih jauh daripada itu, apa yang menarik untuk disimak di sini adalah posisi pasar lada putih Muntok di tingkat internasional yang dapat dijadikan sebagai kanal promosi tak langsung bagi pariwisata Bangka Belitung. Ini memperlihatkan bahwa ‘Revitalisasi Lada’ tidak dapat dipandang dan diperlakukan secara soliter, karena kaitan antarsektor amat tegas terlihat di sini.
31 Dalam relasi provinsi dan kabupaten-kota ‘Revitalisasi Lada’ berhadapan dengan soal-soal di tingkat lapangan —di ranah kompetensi dan kapasitas kabupaten-kota. Pasokan atau balikan (feed-back) informasi dari dan implementasi kebijakan di tingkat lapangan adalah contoh-contoh kompetensi dan kapasitas kabupaten-kota. Bagaimanapun, lada diproduksi dari kabupaten-kabupaten, sehingga pelibatan kabupaten bukan hanya diperlukan, tapi justru melekat secara atributif dalam status, peran, wewenang, dan tanggung jawab kabupaten. Sementara itu, provinsi pada dirinya juga melekat kapasitas dan kompetensi sendiri yang khas. Provinsi dalam ‘Revitalisasi Lada’ sebagai tagline Bangka Belitung dituntut untuk menjalankan tugas-tugas koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi. Apa yang sekali lagi terlihat di sini adalah penataan kelembagaan membutuhkan penciptaan sinergi atas status, peran, dan tanggung jawab berdasarkan kompetensi dan kapasitas masing-masing pihak. Diteropong melalui kerangka kerja laporan ini, ‘Revitalisasi Lada’ adalah sebuah model eksperimentasi mengenai penguatan tatakelola provinsi dalam bingkai coproduction atau complementarity with embeddedness, karena ia melibatkan pelbagai ragam, sektor, dan tingkatan pemangku-kepentingan —pemerintah provinsi, kabupaten-kota, dan swasta— dengan kompetensi dan kapasitasnya masingmasing. ‘Revitalisasi Lada’ dapat ditilik sebagai sebuah exercise untuk mendefinisikan, merencanakan, dan mengorganisasikan tujuan-tujuan yang ditetapkan bersama. Dengan kata lain, ini merupakan noktah masuk ke arah pemantapan fungsi-fungsi provinsi yang lebih luas, seperti koordinasi, pembinaan, dan pengawasan serta monitoring dan evaluasi. Lebih dalam lagi, mengingat kaitannya dengan kompetensi dan kapasitas, penataan kelembagaan jelas perlu disokong oleh kegiatan pemetaan dan pengembangan dua elemen itu —sebelum penyusunan bentuk dan bangunan relasi organisasional dilakukan. Dalam konteks laporan ini, kompetensi institusional dilihat sebagai area kewenangan dan tanggung jawab yang bersifat atributif pada status dan peran suatu institusi, baik karena alasan-alasan legal-formal maupun karakteristik khas inherent yang ada pada suatu institusi. Pada basis legalistik formal, umpamanya, pemerintah secara umum memiliki kompetensi dalam penyusunan kebijakan dan menyelenggarakan fungsi-fungsi turunan dari kebijakan itu. Sektor swasta, sebagai contoh lain, karena karakteristik inherent-nya memiliki kompetensi dalam investasi, produksi, dan perdagangan. Hal senada secara khusus juga bisa ditelusuri pada kompetensi pemerintah provinsi dan kabupaten-kota ataupun organisasi masyarakat sipil. Laporan ini juga memandang kapasitas sebagai kemampuan substansial, manajerial, dan teknikal suatu institusi untuk menjalankan kompetensinya itu. Ini
32 berarti kompetensi menyaratkan suatu tingkat kapasitas tertentu untuk dipenuhi. Berdasarkan acuan ini, pemetaan kompetensi dan kapasitas institusional diperlukan untuk mempertelakan institusi-institusi yang terlibat berdasarkan area kewenangan dan tanggung jawab serta kemampuan substansial, manajerial, dan teknikal masing-masing institusi. Jadi, langkah pertama penataan kelembagaan adalah pemetaan kompetensi dan kapasitas institusional setiap pihak yang berpotensi untuk terlibat. Dalam banyak keadaan, kekurangan kapasitas untuk menjalankan suatu kompetensi merupakan issu-issu riil yang senantiasa muncul. Oleh karena itu, suatu kegiatan pengembangan kapasitas diperlukan sebagai langkah lanjut dalam penataan kelembagaan. Pengembangan kapasitas adalah suatu cara untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan substantif, manajerial, dan teknis —juga tak kalah penting: mentalitas— untuk menjalankan kompetensi yang melekat dalam organisasi. Ini dijalankan di bawah rujukan peta kompetensi dan kapasitas yang perlu diproduksi lebih dulu, sehingga anasir kapasitas apa dan di dalam organisasi mana secara persis bisa disasar. Walau demikian, pengembangan kapasitas tidaklah bersifat statis, karena seturut waktu tantangan kompetensi yang dihadapi berkarakter dinamis. Dalam suatu masa kapasitas tertentu dianggap cukup untuk menjawab tantangan kompetensi saat itu. Namun, searah dengan perjalanan waktu, ragam, keluasan, dan kedalaman persoalan pembangunan berubah, sehingga tuntutan kompetensi juga berubah. Tahun 2006, misalnya, studi PSKK UGM memetakan posisi indeks tatakelola keseluruhan Bangka Belitung di kisaran angka 0,41 yang sejajar dengan Papua tapi jauh berada di bawah provinsi baru Gorontalo (0,53). Ini meliputi indeks partisipasi, transparansi, pengendalian korupsi, efektivitas pemerintah, rule of law, kapasitas menyampaikan aspirasi, kualitas peraturan daerah, dan stabilitas politik.31 Tetapi, saat wawancara dan lokakarya dilakukan pada akhir 2009, sejumlah narasumber melaporkan bahwa telah terjadi perbaikan berarti pada beberapa dimensi tatakelola. Dengan kata lain, pengembangan kapasitas bukanlah sebuah one-spot action, tetapi suatu tindakan terencana dengan implementasi yang reguler.32 Selanjutnya adalah pemilihan bangunan relasi antarpihak. Dalam diskusi di muka laporan ini dua pilihan tersedia, yakni apakah suatu bangunan hirarkis perlu dibentuk atau bangunan berbasis saling-ketergantungan yang perlu didirikan. Pilihan-pilihan ini sendiri bersifat lokal. Maksudnya ialah eksperimen-eksperimen apa yang dianggap efektif bagi pencapaian tujuan akan ditentukan secara lokal, 31
http://kemitraan.or.id/governance-center/governance-report/launchinggovernance-assesment-2006/ 32 Tahun 2008 sebetulnya Kemitraan juga mengeluarkan indeks sejenis, tetapi secara metodologi survey 2006 dan 2008 tidak dapat dibandingkan.
33 karena pilihan apapun yang diambil prinsip-prinsip coproduction selalu bisa diterapkan. Pembedanya terletak pada sifat interaksi antarpihak, yakni apakah diinisiasi oleh suatu commanding power tertentu atau kesadaran akan kebutuhan interaksi. ‘Dewan Lada’ tampaknya relevan dijadikan titik simpul bangunan relasi antarpihak ini. Penataan kelembagaan menjadi lebih lengkap manakala masyarakat sipil dilibatkan secara aktif. Tujuannya ialah untuk membangun kontrol atas mandat politik yang telah diberikan. ‘Revitalisasi Lada’ —atau program apapun— berada di bawah payung mandat politik yang diberikan oleh publik kepada penyelenggara pembangunan. Organisasi masyarakat sipil dapat memainkan peran dalam mewakili, menjembatani, dan membuka akses bagi publik untuk memantau, menilai, serta memberi pendapat atas proses pembangunan yang tengah berlangsung —salah satu dimensi democratic governance. Tentu saja organisasi masyarakat sipil akan berhadapan juga dengan issu kompetensi dan kapasitas. Oleh karenanya, pemetaan —yang lalu diikuti oleh pengembangan— kompetensi dan kapasitas masyarakat sipil tetap menjadi bagian penting dalam keseluruhan proses penataan kelembagaan. Akhirnya, secara keseluruhan ‘Revitalisasi Lada’ penting dinyatakan bukan hanya sebagai pembangunan agribusiness semata yang mencakup kegiatan-kegiatan teknis di garda pra-produksi, produksi, dan pasca produksi, tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan penataan dan pengembangan di garda kelembagaan. Secara khusus, PGSP lebih sesuai untuk memberi perhatian pada hal yang terakhir. Penataan dan pengembangan kelembagaan dalam ‘Revitalisasi Lada’ dalam perspektif PGSP adalah sebuah noktah eksperimen bagi inisiatif-inisiatif penguatan provinsi yang lebih luas, seperti koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi.
34
‘Revitalisasi Lada’ untuk Penguatan Provinsi ‘Revitalisasi Lada’ adalah sebuah kegiatan pembangunan agribisnis yang mencakup kegiatan-kegiatan teknis di garda pra-produksi, produksi, dan pasca produksi. Pada saat yang sama, ‘Revitalisasi Lada’ membutuhkan dukungan di sisi kelembagaan, karena ini dapat dijadikan noktah masuk bagi tugas-tugas koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta evaluasi dan monitoring yang lebih luas. Dalam perspektif penguatan provinsi, ‘Revitalisasi Lada’ adalah sebuah eksperimen pengembangan relasi kelembagaan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten-kota dan pemerintah pusat, termasuk juga dengan kalangan swasta dan masyarakat sipil. Penataan kelembagaan ‘Revitalisasi Lada’, dalam perspektif penguatan provinsi, didefinisikan dalam tiga kelompok kegiatan: 1. Pemetaan kompetensi dan kapasitas Pemetaan kompetensi dan kapasitas adalah upaya untuk mempertelakan institusi-institusi yang terlibat dalam ‘Revitalisasi Lada’ berdasarkan area kewenangan dan tanggung jawab serta kemampuan substansial, manajerial, dan teknikal masing-masing institusi. 2. Pengembangan kapasitas Pengembangan kapasitas adalah cara untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan substantif, manajerial, dan teknis untuk menjalankan kompetensi yang melekat dalam organisasi di bawah rujukan peta kompetensi dan kapasitas yang dihasilkan. 3. Pengembangan aturan dan kebijakan Pengembangan aturan dan kebijakan pemerintah adalah tindakan untuk (a) menciptakan rangkaian stimulus dan (b) melakukan debottlenecking atas issu-issu penghambat pergerakan investasi, produksi, dan perdagangan. Suatu seri kegiatan yang terencana dan definitif perlu disusun untuk menjabarkan penataan kelembagaan ‘Revitalisasi Lada’ di tingkat praktis. Kelemahan dan kekuatan ataupun kegagalan dan kesuksesan penataan kelembagaan dalam ‘Revitalisasi Lada’ kelak dapat dimanfaatkan sebagai pelajaran penting bagi kegiatan multistakeholder di sektor lainnya. Perbaikan IPM dan penerapan standar minimum pelayanan publik adalah kegiatan multistakeholder di sektor lain yang dapat dijadikan contoh.
Bab 4
Gorontalo: Integrasi Data untuk Penguatan Provinsi Konteks Dibentuk lewat UU 38/2000 Gorontalo dengan sigap membangun dan mengembangkan sejumlah terobosan kelembagaan melalui beberapa seri kebijakan dan penganggaran. Sebagai yurisdiksi baru, Gorontalo mengelola momentum desentralisasi dengan meletakkan tatakelola pemerintahan sebagai salah satu issu sentral pembangunan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika capaian indeks tatakelola Gorontalo, sebagaimana dilaporkan oleh Kemitraan (2008)33 , mampu bertengger di atas rata-rata provinsi lain se-Indonesia, yakni 5,5 berbanding dengan 5,1. Dipayungi oleh visi sebagai ‘Provinsi Inovasi’, paket-paket pemugaran dan pembaruan tata-kelola pemerintahan digelindingkan secara serial. Pembuatan sistem insentif (‘Tunjangan Kerja Daerah’, TKD) berbasis kinerja bagi birokrat yang dilengkapi dengan instrumen penilaian kinerja adalah sebuah contoh. Penataan organisasi pemerintahan dan penghapusan retribusi daerah34 (Muhammad, 2008) bisa disebut sebagai contoh-contoh yang lain. Apa yang menarik dalam hal ini adalah inovasi-inovasi itu dilakukan di atas dasar observasi dan analisis yang memadai. Tunjangan Kerja Daerah, misalnya, 33
http://www.kemitraan.or.id/govindex/ Tak kurang dari 15 jenis retribusi kini ditetapkan bertarif nol rupiah. Tetapi ini tidak berarti sebagai langkah pencabutan perda, karena substansi aturan yang ditetapkan masih relevan. 34
35
36 ditelurkan berdasarkan pengamatan mengenai kinerja birokrasi dan besaran renumerasi yang ada (Muhammad, 2008).35 Contoh lain adalah penetapan sasaran pembangunan mutu manusia yang mengacu pada peta IPM dengan disagregasi kabupaten-kota dan kecamatan. Peta ini berisi status mutu pembangunan manusia dengan elaborasinya di dalam sektor pendidikan dan literasi, kesehatan, serta kehidupan yang layak (Bappenas dan Pemprov Gorontalo, 2010). Peta lain mengenai kapasitas 10 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan provinsi juga telah berhasil dibuat. Peta ini berisi tujuh issu pokok, yaitu sumber daya manusia, organisasi, keuangan, kepemimpinan, koordinasi, akuntabilitas, serta pengetahuan dan keterampilan, yang dihadapkan pada empat kapasitas fungsional pemerintah provinsi, yakni perumusan visi atau orientasi kebijakan, perencanaan dan penyusunan program, implementasi, serta monitoring dan evaluasi (Suryaningrat dan Dewi, 2010). Peta, observasi, dan analisis persoalan pembangunan sebagaimana digambarkan di atas senantiasa merujuk pada kebutuhan akan ketersediaan, kelengkapan, dan aksesibilitas, serta mutu data sebagai fondasi penting bagi perencanaan dan pengambilan keputusan kebijakan. Kebijakan tanpa data akan kehilangan arah karena data memainkan empat fungsi. Pertama, data berfungsi untuk menggambarkan posisi masa lalu dan masa kini, serta kecenderungan pergerakan ke arah masa depan. Di sini data berperan sebagai tongkat pembimbing yang memberikan arah bagi pengambilan keputusan. Kedua, data bisa dipakai untuk memotret persoalan dan melihat potensi penyelesaiannya. Ini karena data menyajikan gambaran situasi yang terukur dan dapat dikalkulasi. Ketiga, sifatnya yang terukur dan dapat dikalkulasi membuat data juga bermanfaat bagi penyedia pegangan atas pilihan-pilihan kebijakan, selain menetapkan urutan dan menentukan prioritas kebijakan yang perlu diambil. Pada saat yang sama, keempat, data juga memainkan peran dalam memilih dan memilah sasaran kebijakan. Sasaran kebijakan ini bisa berupa wilayah spasial, wilayah administratif, ataupun rumah tangga yang berada dalam cluster geografi tertentu. Dalam konteks inilah data lebih dari sekedar angka-angka, karena ia berada dalam kedudukan penting bagi kegiatan-kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan. Di tingkat daerah data dengan spesifikasi tertentu juga menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Di tengah regim tatakelola yang terdesentralisasi,36 dae35 Tunjangan Kerja Daerah ini memuat dua kelompok komponen, yakni disiplin dan prestasi kerja. Sejak dikenalkan pada tahun 2004, bobot komponen prestasi kerja terus ditingkatkan relatif terhadap komponen disiplin. Pada 2007, misalnya, porsi komponen prestasi kerja telah mengambil porsi 60 persen dalam penilaian kinerja birokrasi. Lihat, Muhammad (2008). 36 Hull (2001) mencatat kekhawatiran dalam sistem perstatistikan nasional yang dihadapkan
37 rah memiliki target-target pembangunan tertentu yang berbeda satu sama lain. Akibatnya, jenis, cakupan, dan kedalaman data serta intensitas pengumpulan data amat bergantung pada dinamika kebutuhan data dan dinamika pembangunan daerah. Hingga derajat tertentu, spesifikasi seperti itu membuat karakteristik data di tingkat daerah berbeda dengan karakteristik data di tingkat nasional. Di tingkat nasional jenis, cakupan, dan kedalaman data serta intensitas pengumpulan data harus terbakukan (standardized) dan terbanding (comparable) antardaerah, tetapi di tingkat daerah keunikan bisa dan patut dimunculkan. Walau begitu, ini tidak dapat dan tidak perlu berarti bahwa pengembangan sistem data di tingkat daerah mengabaikan kebutuhan data di tingkat nasional, utamanya pada jenis data yang terbakukan dan terbanding itu. Lebih lanjut, setara dengan dua kebutuhan di atas itu adalah kebutuhan akan disagregasi data. Data yang terdisagregasi patut menjadi keunggulan sistem data di tingkat daerah. Sama seperti jenis, cakupan, kedalaman, dan intensitas pengumpulan data, disagregasi ini membedakan karakterisitik data di tingkat daerah untuk kebutuhan pembangunan daerah dengan karakterisitik data di tingkat nasional. Ini berarti sistem data di tingkat daerah bukanlah duplikasi dari apa yang ada di tingkat nasional. Disagregasi ini dapat disusun menurut struktur yurisdiksi administrasi pemerintahan —kabupaten-kota, kecamatan, hingga desa dan dusun— atau menurut struktur spasial tertentu, bahkan rumah tangga by name and by address. Disagregasi data amat membantu proses pengambilan kebijakan untuk menetapkan dan menajamkan sasaran ke arah yang jauh lebih spesifik seiring dengan persoalan yang dipresentasikan oleh data itu. Dari segi permintaan, tiga kebutuhan yang disebut di atas bersifat riil, utamanya bagi SKPD provinsi dan kabupaten-kota sejalan dengan tupoksinya. Dari segi penawaran, kebutuhan ini bukan tidak bisa dipasok, karena sumber data sesungguhnya ada atau bisa dibangkitkan dari masing-masing SKPD provinsi dan kabupaten-kota. Persoalannya saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan dua kebutuhan yang pertama —yakni (1) ketersediaan, kelengkapan, aksesibilitas, dan mutu data dan (2) jenis, cakupan, kedalaman, dan intensitas pengumpulan data— dengan kebutuhan yang terakhir untuk penetapan sasaran kebijakan. Dikawinkan dengan sektor yang mendapat prioritas provinsi, inisiatif integrasi data ini menjadi semakin justified. Di Gorontalo sektor-sektor pertanian dan pendidikan mendapat tempat penting dalam agenda pembangunan daerah. Di sektor pertanian pangan, misalnya, pada issu desentralisasi khususnya manajemen data Badan Pusat Statistik (BPS) di pusat dan daerah. Tetapi pembangunan sistem data daerah dalam diskusi ini berada di luar konteks itu. Sistem data daerah dalam diskusi ini adalah sistem data yang unik bagi kebutuhan daerah.
38 suatu sistem data spesifik, umpamanya, tentang kewaspadaan pangan yang mengintegrasikan produksi, konsumsi, surplus atau defisit pangan dengan disagregasi yang rinci hingga unit makro (wilayah) maupun mikro (rumah tangga) merupakan ‘peta status pangan’ yang penting bagi pengambilan kebijakan. Pangan memiliki tautan kuat dengan kemiskinan —pengeluaran pangan masih mendominasi total kebutuhan rumah tangga miskin. Di Gorontalo, kendati banyak kemajuan telah dicatat, kemiskinan masih relatif persisten. Provinsi ini masih berada di kuantil bawah provinsi-provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi. Di sektor pendidikan Gorontalo juga masih menghadapi masalah serius. Di banyak indikator pendidikan Gorontalo berada di lapis bawah capaian pendidikan se-Sulawesi atau se-Indonesia. Di dalam Gorontalo sendiri disparitas antarkabupaten-kota dalam hal lama sekolah, partisipasi sekolah, putus sekolah, infrastuktur pendidikan, atau akses pada pendidikan juga terjadi. Informasi seperti ini membutuhkan pemutakhiran yang reguler. Pada saat yang sama, indikator lain ataupun indikator baru yang belum pernah ada perlu disusun mengikuti kekhasan dan dinamika kebutuhan setempat. Indikator tentang karakteristik, ketersediaan, dan distribusi tenaga pendidik laik mendapat catatan khusus. Informasi tentang tenaga administrasi pendidikan juga tak kalah penting. Bahkan, record mengenai kualitas infrastruktur sekolah yang tidak ditangkap oleh sistem data yang lazim ada sekarang perlu mendapat aksentuasi tersendiri. Dengan demikian, suatu sistem data yang membeberkan secara rinci kondisi pendidikan amat membantu penyusunan kebijakan di sektor ini. Lokakarya dan wawancara pada November 2009 di Gorontalo meletakkan integrasi data sebagai kebutuhan setempat.
Integrasi Data: Menuju Penguatan Provinsi Gagasan integrasi data ini harus dibaca sebagai hubungan coproduction antarpihak pemegang kompetensi dan kapasitas atas data di sektor-sektor itu —pertanian pangan dan pendidikan. Hubungan ini tercipta dari inisiatif-inisiatif kegiatan untuk mencapai tujuan yang didefinisikan bersama. Serupa seperti ‘Revitalisasi Lada’ di Bangka Belitung, ini adalah sebuah eksperimen yang dapat dijadikan titik masuk bagi tatakelola provinsi yang lebih luas. Di dalam sektor-sektor yang terpetakan secara baik, inisiatif integrasi data adalah miniatur peta hubungan antarpihak dalam konteks penguatan provinsi. Apa yang dibutuhkan di sini, di tingkat awal, adalah identifikasi para pihak dengan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. Identi-
39 fikasi para pihak ini adalah cara untuk memetakan lengkap seluruh pemangkukepentingan berdasarkan kompetensi dan kapasitasnya. Merujuk pada posisi atau statusnya, peran, wewenang, dan tanggung jawab didistribusikan dalam format yang tidak mutually exclusive. Ini artinya satu pihak tidak kehilangan eksistensi dan keterlibatannya akibat kehadiran pihak lain, tetapi menjalin-lekat (embedded) sebagai suatu hubungan complementary. Bahasa yang sejajar dengan itu di laporan ini, ialah coproduction dalam kekhasan setiap pihak yang tak tergantikan oleh pihak lain. Sektor yang menjadi pusat perhatian —dalam hal ini pertanian pangan dan pendidikan— berdiri di garda depan. Secara organisasional sektor-sektor ini direpresentasi oleh dinas-dinas terpaut, yakni Dinas Pertanian serta Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga. Badan Pusat Statistik sudah barang tentu berada dalam status, peran, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda tetapi sama pentingnya. Bappeda juga tak kehilangan ruang, karena dirijen perencana kebijakan daerah selalu berkepentingan pada data. Dalam kompetensi dan kapasitasnya masing-masing, organisasi-organisasi ini tidak hanya bernaung di lingkup yurisdiksi provinsi, tetapi juga berdiri tegak di lingkup kabupaten-kota. Dengan kata lain, kabupaten-kota adalah juga pemain utama dalam integrasi data yang tak kalah penting. Dikembalikan pada kerangka kerja yang dibangun sejak awal, ini adalah model penguatan provinsi yang mendudukkan kabupaten-kota dalam bangku yang strategis. Mengingat sistem data yang digagas bersifat spesifik, identifikasi mengenai status, peran, wewenang, dan tanggung jawab para pihak juga harus spesifik. Spesifikasi itu tertuang dalam tiga kebutuhan yang disebut di depan, sehingga identifikasi ini perlu dirancang sedemikian rupa untuk mampu menjawab siapa dalam kompetensi dan kapasitas apa berurusan dengan (1) ketersediaan, kelengkapan, aksesibilitas, dan mutu data, (2) jenis, cakupan, kedalaman, dan intensitas pengumpulan data, serta (3) disagregasi data untuk penetapan sasaran kebijakan. Hasil dari identifikasi ini adalah sebuah peta kompetensi dan kapasitas para pihak yang mampu menjawab tiga kebutuhan itu. Gorontalo diuntungkan karena tinjauan atas kapasitas umum (10) SKPD pernah diinisiasi (Suryaningrat dan Dewi, 2010). Untuk memenuhi kebutuhan aktor-aktor terpaut yang lebih spesifik lagi, aktivitas sejenis dengan penajaman khusus tampak relevan di sini. Terlepas dari hal-hal teknis —penyiapan infrastruktur pengumpulan dan penyimpanan data— yang berada di luar bingkai PGSP, langkah lanjut pasca identifikasi spesifik mengenai kompetensi dan kapasitas para pihak adalah pengembangan kapasitas. Ada banyak definisi mengenai apa yang disebut pengembangan kapasitas (Lusthaus, Adrien, dan Perstinger, 1999). Tetapi, sama seperti pengem-
40 bangan kapasitas di Bangka Belitung, pengembangan kapasitas di sini didefinisikan sebagai upaya mendekatkan kemampuan substantif, manajerial, dan teknis —juga mentalitas— setiap pihak dengan kompetensinya masing-masing, baik karena kompetensi yang tertuang secara legal-formal maupun karena karakteristik yang melekat padanya. Dalam banyak praktek pembangunan, pengembangan kapasitas cenderung bersifat ad hoc dan minor. Akibatnya, ia tidak masuk dalam circle utama programprogram reformasi birokrasi, selain tak bersinambung secara terencana dengan ukuran-ukuran target yang jelas. Oleh karena itu, ia perlu diimbangi oleh pengetahuan mengenai dinamika eksternal untuk terus-menerus diakomodasi ke dalam organisasi di tingkat internal. Dalam perspetif Lusthaus, Adrien, dan Perstinger di atas, pengembangan kapasitas dibaca sebagai suatu iterative framework. Ini artinya apa yang berubah dapat dipantau dan direspon untuk dilakukan penyesuaian kapasitas secara sinambung. Berikutnya adalah menetapkan arsitektur hubungan antarpihak. Arsitektur ini adalah rupa yang tampak dalam hubungan antarpihak, yang diturunkan dari tujuan dan kebutuhan bersama. Sepanjang relasi coproduction bisa dijamin, pilihan arsitektur organisasi yang berbasis hirarki atau berbasis saling-ketergantungan akan tergantung pada perspektif setempat. Tetapi suatu simpul bagi relasi antarpihak yang terlibat menjadi bagian kunci dari arsitektur ini, karena di sanalah integrasi data bermuara. Tentu saja mengingat ini merupakan relasi coproduction antarpihak, dukungan di basis legal senantiasa dibutuhkan untuk menjamin interaksi antarpihak dan kelancaran aliran informasi yang digelindingkannya. Walau begitu, selain bersifat sebagai penjamin, dukungan di basis legal dapat pula bersifat imperatif bagi para pihak yang terlibat —yang sudah barang tentu dijajarkan dengan kompetensi para pihak itu sendiri. Di bawah payung tatakelola yang demokratis dan transparan, keterlibatan masyarakat sipil bukan hanya tak terelakkan tetapi juga menjadi bagian yang inherent. Dalam issu kewaspadaan pangan atau pendidikan, sebagai sektor-sektor yang dipilih bagi eksperimen integrasi data ini, masyarakat sipil adalah watch dog yang cakap. Sebagai narasumber bagi verifikasi data, masyarakat sipil — utamanya dari kalangan akademik (universitas), think tank groups, pengamat dan peneliti, kelompok advokasi, atau bahkan khalayak pengguna umumnya— merupakan watch dog yang mumpuni. Penting untuk digarisbawahi, apa yang juga krusial di sini sekarang adalah bagaimana membuat data tidak menjadi pasif. Data pasif adalah data dengan tingkat kemutakhiran yang kadaluwarsa, tertinggal di belakang pergerakan pembangunan yang berjalan. Data pasif seperti ini tidak (bisa) dipakai sebagai infor-
41 masi bagi penyusunan kebijakan dan pengukuran capaian. Itu sebabnya pemutakhiran data selalu menjadi issu yang relevan dari masa ke masa, karena pembangunan sistem data perlu diselaraskan dengan perkembangan riil yang terjadi. Jika keselarasan pengambilan kebijakan dan pemutakhiran data terjadi secara iteratif, birokrasi Gorontalo berarti tengah membangun kebiasaan atau tradisi ‘governing by numbers’. Governing by numbers adalah tatakelola provinsi dengan basis informasi yang terukur dan accountable karena checks and balances dilakukan dengan rujukan data. Akhirnya, integrasi data kewaspadaan pangan dan pendidikan memiliki dua tombak nilai. Pertama, ia menuntun pembuatan kebijakan ke arah yang terdefinsi secara persis. Kedua, ia memotret capaian kebijakan di sektor-sektor ini. Nilai yang pertama penting bagi perencanaan pembangunan, sedangkan nilai kedua perlu bagi pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di sektor-sektor itu. Dalam konteks penguatan provinsi, governing by numbers di sektor pangan dan pendidikan adalah sebuah noktah eksperimen coproduction untuk masuk ke dalam tugas-tugas provinsi dalam koordinasi, pembinaan, pengawasan, monitoring, serta evaluasi yang lebih luas.
42
‘Integrasi Data’ dalam PGSP Integrasi data adalah sebuah kegiatan strategis yang merekam fakta-fakta pembangunan ke dalam suatu bank informasi. Ini dapat dikerjakan dari inisiatif-inisiatif sederhana yang secara bertahap dapat dikembangkan ke arah sistem informasi pembangunan terpadu. Sifat strategisnya dapat ditilik dari pilihan-pilihan sektor yang diambil, baik karena sektor-sektor itu merupakan prioritas maupun karena keterlibatan antaranasir pembangunan daerah. Dalam perspektif PGSP, integrasi data adalah sebuah miniatur eksperimen bagi tugas-tugas koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta evaluasi dan monitoring yang lebih lebar. Integrasi data mengandung dimensi penataan kelembagaan. Oleh karenanya, seturut kerangka PGSP, ia dielaborasi ke dalam tiga kelompok kegiatan: 1. Identifikasi kompetensi dan kapasitas para pihak Identifikasi ini adalah upaya untuk memetakan kemampuan substansial, manajerial, dan teknikal yang dihadapkan pada area kewenangan dan tanggung jawab para pihak. 2. Pengembangan kapasitas Pengembangan kapasitas bisa diterjemahkan sebagai upaya untuk mendekatkan kemampuan substansial, manajerial, dan teknikal para pihak dengan tuntutan kompetensi. 3. Pembangunan arsitektur hubungan para pihak Arsitektur ini memberi petunjuk mengenai simpul aliran informasi yang datang dari para pihak dan dÄłajarkan dengan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab para pihak itu. Melalui pilihan sektor strategis pertanian pangan dan pendidikan, suatu seri kegiatan yang lebih detail perlu dirancang untuk mengelaborasi tatakelola dalam inisiatif integrasi data. Kelemahan dan kekuatan ataupun kegagalan dan kesuksesan dalam eksperimen tatakelola ini kelak dapat dipakai sebagai pengalaman empirik penting bagi kegiatan multistakeholder di sektor lainnya.
Bab 5
Nusa Tenggara Timur: Tatakelola untuk Penguatan Konteks Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang relatif lama berdiri. Bersama dengan dua provinsi lain di Gugus Sunda Kecil —Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB)— ia dibentuk berdasarkan UU 64 yang dikeluarkan pada tahun 1958. Kendati usia pembentukannya relatif tua, tidak serta-merta persoalan-persoalan pembangunan di provinsi ini bisa diselesaikan. Pemerintah, juga masyarakat sipil, NTT menghadapi tantangan-tantangan pembangunan yang amat keras dan serius. Indeks Pembangunan Manusia provinsi ini memang naik cukup berarti dalam 15 tahun terakhir ini, tapi NTT tak pernah keluar dari posisi di tiga terbawah liga IPM provinsi se-Indonesia bersama NTB dan Papua. Pendapatan per kapita provinsi ini hanya seperempat dari pendapatan per kapita rata-rata provinsi se-Indonesia. Kemiskinan memang menurun belakangan ini, tapi masih cenderung tinggi — seperempat populasi yang tinggal di NTT masih tergolong miskin. Melalui telaah data panel, Hill, Resosudarmo, dan Vidyattama (2008, 2009) menempatkan NTT sebagai provinsi dengan kategori ‘sangat miskin’ di antara seluruh provinsi Indonesia sejak 1975. Persoalan-persoalan ini berada dalam geografi alami NTT yang tak menguntungkan. Sumber daya alam NTT tidak selimpah Kalimatan Timur, Riau, atau Papua, karena sektor kehutanan dan penggalian menyumbang sangat terbatas sementara migas tidak ada. Tidak banyak arable land yang bisa dieksplorasi lebih intensif. Kendati beberapa jenis tanaman pangan ditemui di dataran rendah, kurang daripada dua persen areal yang dapat ditanami ini bisa dialiri jaringan 43
44 irigasi.37 Dalam lingkungan semi-arid, curah dan panjang hujan tahunan amat bervariasi, sehingga mempengaruhi produksi pertanian (Fox, 1999). Tidak heran jika wilayah-wilayah kering yang sukar dikultivasi kerap dijumpai —apalagi dengan kombinasi ekstrim rugged mixed volcanic dan limestone rock (Fisher, Moeliono, dan Wodicka, 1999). Tambahan pula, banyak wilayah-wilayah yang terisolasi dari interaksi dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi-sosial. Juga tak ketinggalan, ada sejumlah besar pulau-pulau kecil berpenduduk yang tak mudah dirangkai oleh suatu jaringan transportasi fisik.38 Untuk menjawab tantangan-tantangan itu, banyak program pembangunan dikembangkan. Ini dijalankan tidak hanya oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat setempat, tetapi juga melalui kerjasama bilateral atau multilateral. Malah dikatakan, hampir tidak ada lembaga internasional yang bekerja di Indonesia tidak mempunyai program kerjasama pembangunan di NTT.39 Bergerak di sektor-sektor yang langsung bersentuhan dengan masyarakat —pertanian, peternakan, kehutanan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur desa, air bersih, usaha kecil atau kredit mikro— tidak sedikit dari lembaga-lembaga itu juga membuka kantor-kantor di ibukota provinsi atau kabupaten.40 Ini semua memerlukan topangan kuat tatakelola pemerintahan. Banyak studi menunjukkan tatakelola pemerintahan yang baik mampu membawa dampak pada penurunan kemiskinan (Chong and Calderón, 1997; Gupta, Davoodi, dan Alonso-Terme, 1998), perbaikan tingkat kematian bayi, dan pemulihan tingkat putus sekolah (Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton, 1999; Gupta, Davoodi, dan Tiongson, 2001), peningkatan pendapatan (Li et al., 2000), promosi pertumbuhan ekonomi (Seldadyo, Nugroho, dan de Haan, 1997) —persoalan-persoalan yang sangat relevan dalam konteks NTT. Malahan, tatakelola yang baik dinilai lebih superior dalam mengatasi persoalan-persoalan pembangunan daripada geographical endowment (Rodrik, Subramanian, dan Trebbi, 2004). Pemerintah sendiri 37
http://www.idrc.ca/imfn/ev-27968-201-1-DO_TOPIC.html Dalam bentang 4,7 juta hektar, terdapat sedikitnya 560 pulau di provinsi ini yang terbagi ke dalam tiga kelompok besar, yakni kelompok pulau-pulau Sumba, Flores, dan Timor (Gadas, 1999) 39 Untuk mendapatkan perbandingan kasar bagaimana NTT mendapat perhatian dalam diskursus kebijakan dan penelitian, Google Schoolar —mesin pencari scholarly literature di internet— bisa dipakai. Mesin itu melaporkan 2290 hasil telusur untuk istilah ‘Nusa Tenggara Timur’ dan 1570 hasil telusur untuk ‘East Nusa Tenggara’. Bandingkan ini dengan Bangka Belitung (594 hasil telusur) dan Gorontalo (1790), walau masih jauh lebih kecil daripada ‘West Papua’ (4020), ‘Irian Jaya’ (17.200) atau beberapa kombinasi yang relevan. Penjelajahan tanggal 26 Februari 2010. 40 Pemerintah Provinsi NTT mengorganisasikan kantor-kantor ini dalam suatu wadah nonstruktural ‘Sekretariat Bersama’ —berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 108/Kep/HK/2004, 21 April 2004— di Bappeda. 38
45 masih memainkan peran dominan secara ekonomi. Dalam lima tahun terakhir ini sekitar seperlima pergerakan ekonomi di NTT disangga oleh pemerintah melalui belanjanya.41 Kata lainnya, tatakelola pemerintahan menemui justifikasinya di dalam penguatan provinsi. Namun demikian, tatakelola pemerintahan yang baik menuntut pemugaran seluruh aspek sektor publik. Grindle (2004) mencatat bahwa pemugaran ini meliputi (1) institusi yang menyusun dan mengelola aturan main, (2) struktur pengambilan keputusan yang menentukan prioritas masalah untuk harus diselesaikan, (3) alokasi sumber daya yang merespon masalah itu, (4) organisasi yang mengelola sistem manajemen dan administrasi, (5) sumber daya manusia yang menggerakkan manajemen dan administrasi itu, dan (6) interaksi pemerintahmasyarakat dalam arena birokrasi dan politik. Jadi tatakelola dalam sudut pandang ini adalah tindakan untuk memadankan aspek-aspek pemerintahan dengan tujuan-tujuan pembangunan yang merupakan preferensi masyarakat —yang dalam hal ini dikristalisasi ke dalam visi-misi provinsi. Pemadanan ini berarti menggerakkan birokrasi untuk lebih dekat dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga akuntabilitas pemerintah lebih terjamin. Lokakarya di Kupang pada Desember 2009 mencatat aspek-aspek ini untuk dijadikan kegiatan penguatan provinsi.
Pembenahan Tatakelola untuk Penguatan Provinsi Dalam konteks NTT, penguatan provinsi dijalankan melalui beberapa seri inisiatif. Penyusunan institusi —dalam pengertian rules of the game yang dapat berupa peraturan daerah— yang mempertegas relasi provinsi dan kabupaten-kota dipandang sebagai salah satu kegiatan penting. Rules of the game ini secara prinsip berisi pengaturan tentang status, peran, wewenang, dan tanggung jawab, serta hubungan di antara unit-unit pemerintahan di provinsi dan kabupaten-kota. Untuk itu telaah awal yang seksama mengenai dimensi-dimensi hukum, administrasi, dan manajemen pemerintahan menjadi amat relevan. Alignment dengan produk-produk hukum, administrasi, dan manajemen pemerintahan di tingkat nasional adalah juga bagian dari telaah ini. Selain itu, rangkaian dialog dengan pemangku-kepentingan tertaut juga penting mendahului penyusunan rules of the game ini, sebelum semuanya diakhiri dengan kegiatan diseminasi dan sosialisasi. 41
World Bank, Australian Indonesia Partnership, dan Sofei (2009) melaporkan 30 persen dari belanja pemerintah dipakai untuk administrasi pemerintahan. Sisanya terbagi tak merata untuk pendidikan (25 persen), infrastruktur (17 persen), dan kesehatan (sembilan persen).
46 Di sini suatu policy forum dapat dibangun untuk mewadahi seluruh proses dialog, diseminasi, dan sosialisasi. Tujuannya ialah agar seluruh proses ini berlangsung transparan dan agar kepentingan setiap pemangku-kepentingan dapat dinegosiasi dan diakomodasi. Setara itu, penataan organisasi pemerintahan ke arah format yang lebih sesuai dengan pencapaian visi-misi provinsi perlu pula diberi ruang memadai. Sejauh ini visi-misi provinsi diterjemahkan ke dalam pembangunan empat sektor, yakni pertanian (jagung), kehutanan (cendana), peternakan (sapi), dan koperasi. Sudah barang tentu penataan ini membawa implikasi organisasional pada dinasdinas provinsi dan kabupaten-kota yang bekerja di dalam sektor-sektor itu. Ini berarti sejumlah penyesuaian jelas dibutuhkan. Lingkupnya mencakup penyesuaian pada (1) arsitektur, ukuran (size), dan fungsi organisasi, (2) alokasi sumber daya aparatur, dan (3) alokasi anggaran. Arsitektur, besaran, dan fungsi organisasi dirancang sedemikian rupa untuk meraih tujuan pencapaian visi-misi; bukan sebaliknya. Di dalamnya struktur pengambilan keputusan perlu dipertelakan dengan gamblang, karena ini menyangkut apa yang dalam laporan ini dinyatakan sebagai kompetensi. Tentu saja ini membutuhkan penetapan dan penjabaran tupoksi yang definitif dan terukur. Dalam kenyataan empirik, tupoksi biasanya terdefinisi dengan baik. Tetapi apakah ia terukur atau tidak —yakni apakah capaiannya (fulfillment) bisa dipantau dan dievaluasi secara cermat— adalah issu di tingkat empirik yang perlu mendapatkan jawaban. Dalam hal alokasi sumber daya aparatur ke dalam setiap unit kerja di empat sektor prioritas provinsi, orientasi pada upaya pencapaian visi-misi adalah norma bakunya. Sumber daya aparatur ditampung dan didistribusikan ke dalam organisasi yang arsitektur, ukuran, dan fungsinya sejalan dengan kebutuhan pencapaian visi-misi provinsi. Jika pada hal di atas fulfillment menjadi issu empiriknya, di sini ‘kesesuaian kapasitas’ adalah issu empiriknya. Dalam kerangka kerja laporan ini, upaya menyesuaikan alokasi sumber daya aparatur dengan arsitektur, besaran, dan fungsi organisasi diartikan sebagai upaya mendekatkan kapasitas birokrasi ke arah kompetensinya. Manakala kesesuaian itu tidak terpenuhi, senjang yang ada perlu ditimbun oleh kegiatan pengembangan kapasitas sumber daya aparatur — termasuk kapasitas mental dan kultur birokrasi— yang selanjutnya berimplikasi pada pengembangan kapasitas organisasi. Pada saat yang bersamaan, alokasi sumber daya anggaran juga menjadi anasir penting dalam keseluruhan proses penataan organisasi yang berorientasi pada pencapaian visi-misi. Ini mengingat anggaran adalah energi bagi pencapaian visi-misi. Program ‘Anggur Merah’ (Anggaran untuk Rakyat Menuju Sejahtera)
47 yang sekarang ada perlu dikonfirmasi berdasarkan perspektif ini, yakni apakah anggaran dialokasikan sebangun dengan tujuan pencapaian visi-misi provinsi. Jika konfirmasi ini gagal, ‘Anggur Merah’ kehilangan sinergi dengan empat sektor prioritas provinsi. Lebih buruk lagi, ia kehilangan sinergi dengan kabupaten-kota. Jadi, issu penting yang perlu dijawab dalam penataan organisasi ini adalah bagaimana arsitektur, ukuran, dan fungsi organisasi yang dihadapkan pada alokasi sumber daya aparatur dan anggaran bergerak seirama dengan pencapaian visi-misi provinsi. Organisasi, aparatur, dan anggaran adalah fungsi dari visi-misi organisasi. Artinya, visi-misi yang menentukan bagaimana cara dan alat pencapaiannya dikonsolidasi. Manakala ketiga lingkup penataan organisasi itu tidak terkonsolidasi dengan pencapaian visi-misi, penataan organisasi tidak mungkin dapat terkonfirmasi secara riil. Dalam bahasa yang lebih lugas, kegagalan akan terjadi apabila pencapaian visi-misi provinsi tidak ditransformasikan secara definitif dan terukur ke dalam organisasi, aparatur, dan anggaran. Penting pula untuk dicatat, konfirmasi keberhasilan itu perlu diletakkan dalam konteks status, peran, wewenang, dan tanggung jawab kabupaten-kota serta relasinya dengan provinsi. Ini dibutuhkan untuk menghindari duplikasi wewenang dan tanggung jawab, karena status dan peran kedua provinsi dan kabupatenkota berbeda tegas. Visi-misi provinsi efektif terjelma secara riil jika sinergi dengan kabupaten-kota terjadi dalam format hubungan complementary with embeddedness, karena —sekali lagi— ada status, peran, wewenang, dan tanggung jawab yang unik dalam kabupaten-kota yang tidak bisa diambil sepenuhnya (strictly substituted) oleh provinsi, dan sebaliknya. Akhirnya, senafas dengan argumentasi Grindle yang dicuplik di atas, interaksi pemerintah-masyarakat sipil perlu mendapat ruang dalam keseluruhan tatakelola provinsi. Ruang itu tidak dibuka bagi kepentingan formalistik, tetapi tercipta genuine dalam seluruh konstruksi hubungan pemerintah-masyarakat sipil. Masyarakat sipil —karena status, peran, wewenang, dan tanggung jawabnya yang khas— berada dalam relasi coproduction dengan pemerintah untuk mencapai visi-misinya. Jadi, partisipasi masyarakat sipil adalah konsekuensi logis dari upaya penerapan tatakelola sektor publik yang baik.
48
‘Pemugaran Tatakelola’ dalam PGSP
Pemugaran tatakelola provinsi adalah kebutuhan untuk pencapaian tujuan-tujuan pembangunan secara efektif. Suatu seri kegiatan perlu disusun sebagai cermin pemugaran itu. Pada prinsipnya, pemugaran ini upaya untuk mencari keselarasan visi-misi provinsi dengan organisasi, aparatur, dan anggaran. Semuanya diletakkan dalam relasi sinergi dengan kabupaten-kota di bawah format complementarity with embeddedness.
Seri kegiatan pemugaran tatakelola provinsi mencakup tiga kelompok besar: 1. Penyusunan aturan lokal tentang penguatan peran provinsi. Ini dimulai dari telaah dimensi hukum, administrasi, dan manajemen pemerintahan, dialog parapihak, serta diseminasi dan sosialisai hasilnya. Penyelesaran dengan produk-produk kebijakan di atasnya adalah bagian dari inisiatif ini. Suatu ‘forum kebijakan’ dapat dibentuk untuk mewadahi seluruh proses ini. 2. Penataan organisasi Ini meliputi penyesuaian sisi (1) arsitektur, ukuran, dan fungsi organisasi, (2) alokasi sumber daya aparatur, dan (3) alokasi anggaran dengan sisi tujuan pencapaian visi-misi. Senjang di antara tiga sisi ini membutuhkan suatu tindakan pengembangan kapasitas upaya untuk mendekatkan kapasitas birokrasi dengan tuntutan kompetensinya. Pengembangan kapasitas ini tidak hanya mencakup dimensi substansi, manajemen, dan teknis, tetapi juga meliputi dimensi mental dan kultur birokrasi.
Melalui pilihan empat sektor prioritas provinsi —pertanian (jagung), kehutanan (cendana), peternakan (sapi), dan koperasi— suatu seri kegiatan yang lebih detail perlu dibangun untuk menerjemahkan inisiatif pemugaran ini ke dalam ujud yang lebih riil. Kelemahan dan kekuatan ataupun kegagalan dan kesuksesan yang ditemui dalam eksperimen tatakelola ini kelak dapat dipakai sebagai pengalaman empirik penting bagi kegiatan multistakeholder lainnya.
Bab 6
Agenda Lintas-Provinsi Penguatan provinsi pada prinsipnya adalah upaya peningkatan kompetensi dan kapasitas provinsi untuk melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta pemantauan dan evaluasi pembangunan. Ini merujuk pada status, peran, kewenangan, serta tanggung jawab provinsi yang secara atributif berada di tangannya. Di tengah independensi dan ketaksaan hirarki antaryurisdiksi subnasional yang tercipta dalam desentralisasi, tugas-tugas ini hanya dapat berjalan dalam dua kondisi. Pertama, ada relasi yang tercipta dalam format hirarki di antara yurisdiksi subnasional. Kedua, ada relasi yang terbentuk atas dorongan kebutuhan akan saling-ketergantungan antaryurisdiksi subnasional. Kondisi yang pertama dapat dikategorikan sebagai pendekatan supply-pushed atau top-down, sedangkan yang kedua demand-driven atau bottom-up. Mengingat masing-masing yurisdiksi memiliki status, peran, kewenangan, serta tanggung jawab atributif yang unik dan satu sama lain tidak sepenuhnya saling-tergantikan, kedua relasi ini patut dibingkai dalam kerangka coproduction atau complementary with embeddedness. Inisiatif tingkat provinsi yang dipresentasikan sebelumnya berada di dalam bingkai hubungan itu. Pada pokoknya inisiatif itu adalah eksperimen tatakelola multipihak yang melibatkan entitas pemerintahan yang berbeda, baik pada aras sektoral (dinas, badan, atau satuan perangkat kerja), maupun —yang lebih penting— pada aras ‘tingkatan’ yurisdiksi (provinsi dan kabupaten-kota). Inisiatif itu dimulai dari kasus atau eksperimen tertentu yang dirancang untuk menerjemahkan visimisi provinsi (common goals) ke dalam prioritas-prioritas kegiatan. Setiap inisiatif itu bersifat khas karena adanya perbedaan latar belakang keadaan, karakterisitik internal, maupun visi-misi provinsi, kendati tak ditutup kemungkinan akan adanya suatu cross-learning antara satu provinsi dengan provinsi lainnya. Berbeda dengan tiga bab terdahulu, bab ini secara khusus menyajikan apa yang secara potensial bisa dikerjakan sebagai rekomendasi agenda lintas-provinsi. 49
50 Term ‘lintas-provinsi’ ini dibaca dalam tiga pengertian. Pertama, agenda itu berada di level makro nasional tetapi mempunyai dampak di tingkat daerah. Kedua, agenda itu berada di level meso yang bersifat ‘antarprovinsi’ dan muncul karena persamaan latar belakang dan karakterisitik daerah, serta tujuan yang hendak digapai. Ketiga, agenda itu berada di level mikro daerah tetapi mengandung muatan yang sama untuk dikerjakan di daerah-daerah yang berbeda. Seluruh agenda ini dibaca, diletakkan, dan didiskusikan ke dalam tiga arena kerja PGSP, yakni (1) perundangan dan peraturan, (2) perencanaan dan penganggaran, serta (3) inovasi tatakelola pemerintahan. Perundangan dan peraturan berperan penting dalam menentukan efektivitas tatakelola (Shleifer dan Vishny, 1997). Sementara itu, perencanaan dan penganggaran diperlukan untuk menetapkan gugus prioritas kegiatan dan meminimumkan pendekatan yang bersifat adhoc dan sepotong-sepotong (piecemeal) (Premchand, 1994). Inovasi dibutuhkan sebagai respon pemerintah karena adanya tekanan publik, munculnya issu-issu pembangunan yang makin kompleks, serta usaha penyesuaian kebijakan dan kapasitas dengan perkembangan issu-issu itu (Alberti dan Bertucci, 2006).
Perundangan dan Peraturan Desentralisasi jelas membutuhkan payung perundangan dan peraturan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Sebagaimana disajikan dalam diskusi di muka, eksperimen desentralisasi pasca reformasi politik telah menghasilkan pembentukan seri UU di tahun 1999 yang kemudian direvisi oleh seri UU di tahun 2004. Saat ini dinamika empirik menuntut kembali revisi atas seri UU yang dikeluarkan tahun 2004. Di antara sejumlah issu yang mengemuka dalam revisi ini, beberapa issu dapat dimunculkan sebagai bagian dari penguatan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi. • Penegasan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi dan kabupatenkota dalam dimensi administrasi, fiskal, dan politik. Issu ini menyangkut penegasan bangunan relasi administrasi dan fiskal antaryurisdiksi yang dijajarkan dengan agenda desentralisasi politik (pemilihan kepala daerah dan DPRD). Diskusi di bab awal laporan ini menunjukkan ada ketaksaan, kalau tak dapat disebut kekosongan, hirarki —dan bahkan tercipta independensi— di antara yurisdiksi subnasional yang melahirkan kerumitan-kerumitan dalam pelaksanaan tugas koordinasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi. Dua bangunan relasi dapat diambil sebagai opsi, yakni relasi yang berbasis
51 hirarkis dan relasi yang berbasis kebutuhan akan saling-ketergantungan. Payung besar dari issu ini adalah status, peran, wewenang, dan tanggung jawab gubernur sebagai kepala wilayah dan wakil pemerintah pusat. • Penegasan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi dan kabupatenkota dalam mekansime devolusi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dalam beberapa keadaan, mekanisme devolusi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang dijalankan di bawah payung UU sektoral seringkali berbenturan dengan mekansime desentralisasi, sehingga penyelarasan perundangan dan peraturan menjadi agenda penting yang dapat dicatat di sini. Ini meliputi issu-issu yang menyangkut pendirian badan-badan, komisi-komisi, dan unit-unit pelayanan teknis pemerintah pusat di daerah (UU sektoral versus PP 41/2007) serta pendayagunaan sumber daya sektoral —kehutanan, pertambangan dan penggalian, pelabuhan, termasuk penyediaan energi listrik— oleh daerah. • Penyelarasan UU dengan aturan-aturan di bawahnya. Agenda ini meliputi pembuatan, peninjauan, sinkronisasi, dan harmonisasi atas PP, kepmen, dan perda sebagai turunan UU desentralisasi yang direvisi. Walau begitu, hal penting yang tak dapat diluputkan setelah pengesahan suatu UU baru adalah penyusunan cetak biru aturanaturan turunannya di tingkat pemerintah pusat agar dapat direspon oleh daerah dan stakeholder terpaut dalam bentuk peninjauan, sinkronisasi, dan harmonisasi aturan-aturan di bawahnya. Cetak biru ini selazimnya menginformasikan secara terbuka muatan, jadwal (termasuk kecepatan dan intensitas penyusunan), sosialisasi, dan implementasi pelbagai aturan turunan akibat pengesahan UU baru itu. Agenda-agenda yang lebih praktis tentang dialog publik, ‘uji sahih’, ataupun sosialisasi dan diseminasi, termasuk studi-studi yang teraut dengan perundangan dan peraturan itu, adalah implikasi lanjutan yang juga dapat dikerjakan. Ini dapat dilakukan di tingkat nasional, ‘antarprovinsi’, provinsi, bahkan kabupaten-kota.
Perencanaan dan Penganggaran Perencanaan dan penganggaran adalah dua proses dalam pembangunan yang saling bertaut, karena proses yang satu menentukan proses yang lain. Kendati
52 demikian, perencanaan dan penganggaran tidak dapat berdiri secara soliter. Dari sisi aktor pemangku-kepentingan, keduanya menyaratkan keterlibatan dan membawa dampak pada pemangku-kepentingan yang relevan. Dari sisi muatannya, perencanaan dan penganggaran pembangunan penting untuk mengakomodasi issuissu yang berkembang di tengah masyarakat. Itu sebabnya proses perencanaan dan penganggaran menuntut transparansi dan akuntabilitas penyusunnya, baik bagi kepentingan checks and balances maupun peningkatan mutu dan legitimasi perencanaan dan penganggaran itu sendiri. Penguatan provinsi adalah juga penguatan proses perencanaan dan penganggaran yang melibatkan aktor-aktor dan mengagendakan muatan yang mengakomodasi issu-issu yang berkembang. Beberapa agenda yang laik mendapat perhatian di tingkat provinsi didaftarkan seperti berikut. • Penguatan provinsi sebagai mediator proses perencanaan dan penganggaran untuk mengakomodasi issu-issu di tingkat masyarakat dan target-target kabupaten-kota, provinsi, dan nasional. Sebagai second-tier government provinsi berada dalam kedudukan yang unik. Dalam kedudukan sebagai pemimpin wilayah, provinsi harus melakukan kristalisasi aspirasi masyarakat konstituen dan menyeleraskannya dengan target-target kabupaten-kota. Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat, provinsi juga harus mengakomodasi targettarget nasional untuk juga diintegrasikan ke dalam keseluruhan target provinsi. Dalam perspektif inilah status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi sebagai mediator perencanaan dan penganggaran perlu mendapat penguatan yang memadai. • Peningkatan kapasitas perencanaan dan penganggaran yang mengintegrasikan issu-issu lintas-kabupaten-kota dan lintas-sektor. Kabupaten-kota dalam status, peran, wewenang, dan tanggung jawabnya melimitasi perencanaan dan penganggaran dalam area yurisdiksinya sendiri. Limitasi ini memaksa issu-issu antaryurisdiksi berdiri di luar jangkauan kabupaten-kota. Hal serupa juga terjadi ketika perencanaan dan penganggaran ditilik secara sektoral. Issu-issu lintas-sektor akan terlimitasi untuk diakomodasi oleh sektor-sektor yang terlibat. Dua keadaan ini membentuk ruang kompetensi tersendiri bagi provinsi, karenanya ia harus diisi oleh kapasitas provinsi yang memadai dalam perencanaan dan penganggaran. Suatu ‘forum perencanaan kebijakan daerah’ bagi pembentukan joint planning yang melibatkan para perencana pembangunan tampak menarik untuk dijadikan area peningkatan
53 kapasitas ini, karena di dalam forum ini ada pertukaran pengalaman dan pengetahuan. • Pengembangan mekanisme pelibatan para pihak dalam proses perencanaan dan penganggaran, Selazimnya dalam tatakelola pemerintahan yang transparan dan accountable, partisipasi masyarakat sipil menjadi bagian yang tak terpisahkan. Partisipasi ini penting bagi kepentingan checks and balances maupun peningkatan mutu dan legitimasi perencanaan dan penganggaran daerah. Mekanisme perencanaan yang ada, seperti Musrenbang, perlu memberi ruang yang lebih longgar lagi bagi partisipasi masyarakat sipil ini di setiap jenjang perencanaan. • Penajaman muatan perencanaan dan penganggaran yang berorientasi pada peningkatan mutu pembangunan manusia dan pencapaian target-target MGDs. Perencanaan dan penganggaran bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat baik secara ekonomi maupun secara sosial. Ini dapat dilihat dari capaian peningkatan mutu pembangunan manusia dan pengurangan kemiskinan secara bearti. Identifikasi faktor-faktor pembentuk mutu pembangunan manusia dan sumber-sumber penyebab kemiskinan amat menolong perencanaan dan penganggaran untuk memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia dan menurunkan kemiskinan. Identifikasi ini menajamkan orientasi perencanaan dan penganggaran ke arah issu-issu pembangunan yang substansial. Saat ini pelbagai variasi dokumen perencanaan yang amat bernilai telah disusun di berbagai tingkatan. Secara siklikal dokumen-dokumen itu dievaluasi dan dimutakhirkan melalui proses-proses yang juga telah terjadwal reguler. Apa yang dipresentasikan sebagai rekomendasi pada bagian ini bukanlah upaya untuk memberikan alternatif baru atas apa yang telah dijalankan, tapi usaha untuk memperkuat seluruh proses penyusunan perencanaan itu melalui tiga cara, yaitu (1) meningkatkan mutu perencanaan, (2) menguatkan legitimasi proses dan hasil perencanaan, serta (3) menajamkan target-target perencanaan.
Inovasi Tatakelola Inovasi telah menjadi tuntutan tak terelakkan dalam pembangunan daerah. Daerah harus mencari pelbagai metodologi untuk membuat perencanaan dan peng-
54 anggaran pembangunan berlangsung efektif tapi juga efisien —bahkan terkadang di tengah kekosongan payung hukum yang menaunginya. Terobosan-terobosan metodologi perlu diagendakan dan diujicobakan. Beberapa di antaranya potensial dilakukan di tingkat provinsi dan beberapa yang lain pada tingkat lintas-provinsi. Semuanya didaftarkan seperti berikut. • Pengembangan standar layanan minimum Selain barang-barang publik, pemerintah memproduksi juga jasa-jasa publik. Standardisasi produksi jasa-jasa ini pada prinsipnya memastikan bahwa publik terlayani oleh mutu yang sama di kabupaten-kota manapun di dalam setiap provinsi, bahkan juga hingga ke tingkat yurisdiksi yang terkecil. Ini meliputi sektor pendidikan, kesehatan, dan utilitas (air, listrik, energi), bahkan juga sektor ekonomi. Pengalaman memperlihatkan beberapa penyediaan jasa publik dikerjakan atau dikerjasamakan oleh sektor swasta, tetapi ini tidak berarti bahwa ada mutu layanan yang bervariasi secara ekstrim. Apa yang tampaknya dibutuhkan di sini adalah suatu paket kebijakan berbasis riset untuk mengalokasikan anggaran, membangun organisasi, menyertakan para pihak, serta menetapkan muatan dan tatacara layanan sektor publik. • Pengembangan model reformasi pelayanan publik Ini merupakan suatu intervensi untuk mempengaruhi organisasi, kondisi kerja, dan kinerja aparat pelayan publik. Intervensi ini sendiri bukanlah tujuan, tetapi cara untuk mencapai tujuan. Maksudnya ialah tujuanlah yang menentukan bangunan, cara, dan ukuran organisasi bekerja serta kualitas kondisi kerja —yang keduanya lalu tampak dalam ujud kinerja aparat. Itu berarti tidak ada satu ‘model tunggal terbaik’ yang dapat dirujuk sebagai resep jitu, tetapi alat ukurnya jelas bisa dilihat pada dampak yang dihasilkannya, baik secara langsung dalam efektivitas pemerintahan (output) maupun tak langsung dalam indikator-indikator kesejahteraan provinsi dan kabupaten-kota (outcome). Setiap provinsi, juga kabupaten kota, penting mengagendakan pengembangan model ini. • Pengembangan mekanisme pemantauan dan evaluasi Pemantauan dan evaluasi bukanlah proses residual dalam keseluruhan proses pembangunan, karena dari keduanya status capaian pembangunan dideteksi dan diketahui. Oleh karenanya, suatu mekanisme
55 pemantauan dan evaluasi yang melibatkan para pihak yang relevan menempati posisi yang penting. Mekanisme ini juga perlu dilengkapi oleh monitoring tools sebagai perangkat bersama yang dapat dipakai oleh para pihak untuk melihat dan menelaah capaian untuk selanjutnya dipakai bagi perbaikan, perombakan, ataupun penajaman suatu kegiatan pembangunan. • Kerjasama antarprovinsi Kerjasama bisa lahir dari banyak faktor, yang satu di antaranya ialah tujuan bersama. Tujuan ini mengikat peserta kerjasama untuk mengorganisasikan diri dan menyusun rangkaian kegiatan dengan arah orientasi yang terdefinisi jelas. Kerjasama antarprovinsi kepulauan dapat dijadikan ilustrasi mengenai hal ini. Diikat oleh tujuan bersama, yakni mendapatkan pengakuan yuridis pemerintah pusat atas provinsi kepulauan, dua provinsi dalam laporan ini —Bangka Belitung dan NTT— bersama lima provinsi lain membentuk sebuah jaringan kerja provinsi kepulauan dan melakukan pelbagai kegiatan untuk mencapai tujuan itu.
56
Provinsi Kepulauan: Kerjasama Berorientasi Tujuan Daerah-daerah kepulauan secara empirik menghadapi persoalan dalam penyediaan sarana pelayanan dasar, layanan pemerintahan, sarana tranportasi laut dan udara yang berdampak pada isolasi wilayah, mahalnya biaya tranportasi, dan aksesibilitas masyarakat, selain juga dalam ketergantungan fiskal pada pemerintah pusat, disparitas ekonomi antardaerah, serta kualitas sumberdaya manusia. Berdasarkan itu, pemda tujuh provinsi —Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Maluku— bertemu di Ambon pada tanggal 10 Agustus 2005 untuk mengeluarkan Deklarasi Ambon. Deklarasi ini intinya ‘meminta Pemerintah Indonesia agar mewujudkan pengakuan yuridis terhadap provinsi kepulauan melalui berbagai regulasi yang dibutuhkan untuk mempercepat proses pembangunan daerah, demi terwujudnya kesejahteraan rakyat’. Provinsi kepulauan di sini didefinisikan sebagai ‘provinsi dengan paling sedikit dua kabupaten atau kota kepulauan yang memiliki luas wilayah lautan terluas’. Deklarasi ini ditindaklanjuti oleh penyelenggaraan Seminar Nasional Provinsi Kepulauan di Jakarta Desember 2005. Salah satu kesimpulannya menegaskan tentang ‘pentingnya prinsip negara kepulauan untuk diadopsi dan dijabarkan menjadi prinsip provinsi kepulauan’. Dalam seri rapat kerja gubernur provinsi kepulauan di Ternate sejak 18 Maret 2008 hingga Januari 2009, berhasil dilahirkan Kesepakatan Ternate yang mengubah forum gubernur ini menjadi ‘badan’. Di samping itu, kesepakatan ini juga meminta penyusunan amandemen terhadap tiga UU, yakni UU 32/2004, 33/2004, dan 27/2007. Rapat kerja ini dilanjutkan lagi dengan rapat koordinasi di Kupang tanggal 11-12 November 2009. Dalam rapat ini ditelurkan Deklarasi Kupang dengan beberapa issu penting, di antaranya adalah mendesak pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan di tujuh provinsi kepulauan di empat bidang (kelautan, pariwisata, energi, dan bidang sosial), merevisi UU 32/2004 dan 33/2004, serta melakukan kerjasama bidang perhubungan laut dan pariwisata dalam bentuk paket wisata bersama. Atas dorongan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, ketujuh provinsi sepakat menghapus retribusi perikanan yang dinilai membebani pelaku usaha. Cara pandang mengenai provinsi kepulauan sesungguhnya adalah penegasan ulang atas cara pandang wilayah laut dan darat sebagai suatu kesatuan. Ini merujuk pada Deklarasi Djuanda mengenai Perairan Indonesia dalam kesatuan wilayah laut dan darat sesuai ‘Prinsip Negara Kepulauan’ (Archipelagic State Principles) dan filosofi ‘Tanah-Air’. Dengan Prinsip Negara Kepulauan ini Indonesia mengikuti pelaksanaan seri Konferensi Hukum Laut Internasional III 1971-1982 yang melahirkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Bab 7
Catatan Penutup Desentralisasi telah melahirkan banyak harapan bagi pembangunan daerah. Tetapi, sejumlah persoalan masih tersisa atau bahkan muncul bersamaan dengan introduksi desentralisasi ke dalam sistem tatakelola Indonesia. Laporan ini menunjukkan kerumitan-kerumitan organisasional yang muncul ketika, dalam desentralisasi, provinsi dan kabupaten-kota berdiri relatif independen satu sama lain. Independensi ini muncul sejalan dengan pemberian ruang otonomi lebih luas yang kepada kabupaten-kota dan penerapan sistem pemilihan umum langsung yang membuat kepala daerah harus bertanggung-jawab secara langsung kepada pula konstituen. Pada saat yang sama, UU Desentralisasi tidak cukup eksplisit menegaskan relasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten-kota. Pasal-pasal pokok yang berkenan dengan itu hanya menyiratkan, tidak menyuratkan, hubungan hirarkis antara kedua entitas pemerintahan ini. Akibatnya, dalam praktek administrasi dan manajemen otonomi daerah, timbul ketaksaan —kalau tak dapat disebut— kekosongan hirarki. Gagasan penguatan provinsi berangkat dari fakta-fakta itu. Tetapi kebutuhan akan peran provinsi yang lebih kuat juga dijustifikasi secara empirik bahwa suatu pemerintah di level tengah diperlukan untuk menjembatani relasi pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten-kota yang terpencar sedemikian luasnya. Lagi pula, bukti-bukti juga menunjukkan adanya kemerosotan kinerja kabupatenkota ketika ia semakin jauh dari pusat pengambilan keputusan. Oleh karena itu, menghadirkan wakil pemerintah pusat di daerah, yakni pemerintah provinsi, bisa diberi makna sebagai upaya mendekatkan jarak pusat pengambilan keputusan ke kabupaten-kota. Dalam perspektif inilah, provinsi membutuhkan topangan untuk dikuatkan dalam status, peran, wewenang, dan tanggung-jawabnya. Kebutuhan topangan ini meninggi ketika di saat yang sama pemerintah provinsi adalah juga kepala, koordinator, pembina, pengawas, pemantau, dan penilai pembangunan 57
58 daerah. Topangan itu datang dari tiga arah, yakni perundangan dan peraturan, perencanaan dan penganggaran, serta inovasi tatakelola, sehingga terbentuk relasi sinergis antara pemerintah di tingkat subnasional. Pertanyaannya sekarang ialah dalam bingkai hubungan seperti apa agar relasi provinsi dan kabupaten-kota menjadi sinergi? Laporan ini menggunakan kerangka coproduction —yang dapat dilihat pula sebagai complementarity with embeddedness— untuk menelaah hubungan itu. Laporan ini memberi bingkai teoritik bagi inisiatif-insiatif yang digagas oleh tiga provinsi PGSP. Dalam keadaan lain, laporan ini memberi pula justifikasi empirik mengapa suatu eskperimen tatakelola perlu dikembangkan. Dari tiga provinsi yang ditelaah, Bangka-Belitung menjadikan program intersektoral ‘Revitalisasi Lada’ sebagai inisiatif eksperimen penguatan tatakelola provinsi. Selain berdimensi historis, lada juga bisa dieksplorasi untuk dijadikan sebagai ‘alat pemersatu’ provinsi dan kabupaten-kota mengingat keduanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Gorontalo menetapkan integrasi data kewaspadaan pangan dan pendidikan sebagai insiatif coproduction bersama kabupatenkota. Ini sejalan dengan fakta kemiskinan yang masih terlihat jelas di kabupatenkota sementara konsumsi pangan merupakan komponen utama dalam pengeluaran masyarakat miskin. Ide yang paralel juga terjadi pada sektor pendidikan, utamanya ketika infrastruktur fisik dan non-fisik pendidikan perlu dipantau dan diintervensi melalui kebijakan yang tersasar dengan baik. Nusa Tenggara Timur memilih pemugaran tatakelola provinsi. Ini untuk menopang sejumlah program sektoral yang dijalankan di provinsi, kabupaten-kota, kecamatan, hingga ke desa oleh lembaga-lembaga lokal, bilateral, serta multilateral. Akhirnya, sejumlah agenda juga direkomendasikan untuk dikerjakan di tingkat ‘lintas-provinsi’. ‘Lintas-provinsi’ ini mencakup (1) tingkat nasional (makro) dengan agenda yang berdampak di tingkat daerah, (2) ‘antarprovinsi’ (meso) dengan agenda kerjasama karena persamaan latar belakang dan karakterisitik daerah, serta tujuan kegiatan, juga (3) di dalam setiap provinsi (mikro) dengan muatan agenda yang sama. Dengan menggunakan arena kerja PGSP, agenda-agenda itu dikategorisasi ke dalam (1) arena perundangan dan peraturan, (2) arena perencanaan dan penganggaran, serta (3) arena inovasi tatakelola.
Daftar Pustaka Alberti, Adriana dan Guido Bertucci (2006), ‘Replicating Innovations in Governance: An Overview’, dalam Innovations in Governance and Public Administration: Replicating What Works, Department of Economic and Social Affairs United Nations, New York. Akita, Takahiro dan Armida Alisjahbana (2002), ‘Regional Income Inequality in Indonesia and the Intial Impact of the Economic Crisis’, Bulletin of Indonesia Economic Studies 38(2): 201-223. Bappenas dan Pemprov Gorontalo (2010), Pembangunan Provinsi Gorontalo: Perencanaan dengan Indkes Pembangunan Manusia, forthcoming. Bartkus, Viva Ona (1999), The Dynamic of Secession, Cambridge University Press, Cambridge. Chisholm, Donald (1992), Coordination Without Hierarchy: Informal Structures in Multiorganizational Systems, University of California, Berkeley. Chong, Alberto and Calderón, Cesar (1997), Institutional Change and Poverty, or Why Is It Worth It to Reform the State? Mimeograph, World Bank. Evans, Peter (1996), ‘Government Action, Social Capital, and Development: Reviewing the Evidence on Synergy’, World Development, 24(6): 11191132. Fisher, Larry, Ilya Moeliono, dan Stefan Wodicka (1999), ‘The Nusa Tenggara Uplands, Indonesia: The Multiple-Site Lessons in Conflict Management’, dalam Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural Resource Management, Daniel Buckles (ed.), International Development Research Centre dan World Bank Insitute, Kanada. 59
60 Fitrani, Fitria, Bert Hofman, dan Kai Kaiser (2005), “Unity In Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralising Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41(1): 57-79. Fox, Jeff (1999), ‘Land-use and Land-cover Change in Nusa Tenggara Timur, Indonesia’, dalam Fire and Sustainable Agricultural and Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia, Prosiding International Workshop Northern Territory University, Jeremy Russell-Smith, Greg Hill, Siliwoloe Djoeroemana and Bronwyn Myers (eds.), Darwin, Australia, 13Ű15 April 1999. Frinkelstein, Lawrence S. (1951), ‘The Indonesian Federal Problem’, Pacific Affairs 24(3): 284-295. Griffin, Ricky (2008), Fundamental of Management, Houghton Mifflin Company, Boston. Grindle, Merilee Serrill (2007), Going Local: Decentralization, Democratization, and the Promise of Good Governance, Princeton University Press, Princeton. Grindle, Merilee (2004), ‘Good Enough Governance: Poverty Reduction and Reform in Developing Countries’, Governance: An International Journal of Policy, Administration and Institutions 17(1): 525-548. Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and Erwin Tiongson. 2001, ‘Corruption and the Provision of Health Care and Education Services’, dalam The Political Economy of Corruption, Arvind K. Jain (ed.), Routledge Press, New York. Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and Rosa Alonso-Terme. 1998, Does Corruption Affect Income Inequality and Poverty?’, IMF Working Paper No 76. Jaquet, L.G.M (1952), ‘The Indonesian Federal Problem Reconsidered’, Pacific Affairs 25(2): 170-175. Heidhues, Mar F. Somers (1991), ‘Company Island: A Note on the History of Belitung’, Indonesia 51-April: (1-20). Hill, Hal, Budy P. Resosudarmo, dan Yogi Vidyattama (2008), ‘Indonesia’s Changing Economic Geography’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 44(3): 407-435. Hill Hal, Budy P. Resosudarmo, and Yogi Vidyattama (2009), ‘Economic Geography of Indonesia: Location, Connectivity, and Resources’, dalam Reshaping
61 Economic Geography in East Asia, Yukon Huang and Alessandro Magnoli Bocchi (eds.), The World Bank, Washington. Hofman, Bert dan Kai Kaiser (2002), The Making of the Big Bang and its Aftermath: A Political Economy Perspective. Paper disajikan dalam konperensi berjudul ‘Can Decetralization Help Rebuild Indonesia?’, The International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta Georgia, Mei. Hull, Terence H. (2001) ‘Counting for Democracy: Development of National Statistical Systems in a Desentralised Indonesia’, Bulletin of Indonesia Economic Studies 37(1): 253-258. Kaloh, J. (2007), Mencari bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta. Kochen, Manfred dan Karl W. Deutsch (1974), ‘A Note on Hierarchy and Coordination: An Aspect of Decentralization’, Management Science — Theory Series 21(1): 106-114. Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, and Pablo Zoido-Lobaton. 1999, Governance Matters, World Bank Policy Research Working Paper No. 2196. Kumorotomo, Wahyudi (2008), Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Lusthaus, Charles, Marie-Héléne Adrien, dan Mark Perstinger (1999), Capacity Development: Definitions, Issues and Implications for Planning, Monitoring and Evaluation, Universalia Occasional Paper 35, September. Mandica, Notrida G.B. (2008), ‘Dampak Pemilihan Kepala Daerah pada Proses Demokratisasi’, Jurnal Ilmu Pemerintahan 26: 24-37. Manohara, Dyah dan Rusli Kasim (1996), ‘Tanaman Lada: Penyakit Busuk Pangkal Batang dan Pengendaliannya’, Monograf 1, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bakai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Marijan Kacung (2006), Demokratisasi di Daerah: Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung, Pustaka Eureka dan PusDeHam, Surabaya. Muhammad, Fadel (2008), Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah, Elex Media Komputindo, Jakarta.
62 Mustika, Ika (1996), ‘Tanaman Lada: Penyakit Kuning Lada dan Pengendaliannya’, Monograf 1: 1-11, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bakai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Oates, Wallace E. (1972), Fiscal Federalism, Harcourt Brace Jovanovich Inc., New York. Oates, Wallace E. (1999), ‘An Essay on Fiscal Federalism’, Journal of Economic Literature 37(3): 1120-1149. Ostrom, Elinor (1996), ‘Crossing the Great Divide: Cooproduction, Synergy, and Development’, World Development Review, 24(6): 1073-1087. Pranadji, Tri (2008), ‘Membedah Gorontalo sebagai Calon “Bintang Timur” Pertanian’, Analisis Kebijakan Pertanian 6(3): 222-238. Pratikno, (2005), ‘Exercising Freedom: Local Autonomy and Democracy in Indonesia 1999Ű2001’, in Maribeth Erb, Priyambudi Sulistiyanto dan Carole Faucher (eds), Regionalism in Post-Suharto Indonesia, RoutledgeCurzon, New York. Premchand, A (1994), Government Budgeting and Expenditure Controls: Theory and Practice, IMF, Washington. Ramses M., Andy dan La Bakry (2008), ‘Pengaturan Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah.’ Jurnal Ilmu Pemerintahan 26: 83-94. Rasyid, Ryaas (2007), ‘Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya.’ dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, LIPI Press, Jakarta. Rodrik, Dani, Arvind Subramanian, and Francesco Trebbi (2004), ‘Institutions Rule: The Primacy of Institutions Over Geography and Integration in Economic Development’, Journal of Economic Growth, 9(2): 131-165. Seldadyo, Harry, Emmanuel Pandu Nugroho, dan Jakob de Haan (2007), ‘Governance and Growth Revisited’, Kyklos 60(2): 279-290. Seldadyo, Harry, Deli Sopian, Denny Julian, Retno Handini, Rullan Rinaldi, dan Wahyudi Romdhani (2009), Creation of New Jurisdictions and People’s Welfare: In Search of Alternatives, UNDP, BAPPENAS, DSF.
63 Shleifer, Andrei and Robert W. Vishny (1997), ‘A Survey of Corporate Governance’, Journal of Finance 52(2): 737-783. Slamet Riyadhi Gadas (1999), ‘Forest Land and Fire Management in East Nusa Tenggara’, dalam Fire and Sustainable Agricultural and Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia, Prosiding International Workshop Northern Territory University, Jeremy Russell-Smith, Greg Hill, Siliwoloe Djoeroemana and Bronwyn Myers (eds.), Darwin, Australia, 13Ű15 April 1999. Stegarescu, Dan (2005), Costs, Preferences, and Institutions: An Empirical Analysis of the Determinants of Government Decentralization, Zentrum f¨r Europäische Wirtschaftsforschung GmbH, Discussion Paper No. 05-39. Sudarmo, Sri Probo dan Brasukra Sudjana (2009), ‘The Missing Link: The Province and Its Role in Indonesia’s Decentralization’, UNDP Indonesia Policy Issues Paper, Mei. Suryaningrat, Abdi dan Catur Utami Dewi (2010), Peninjauan Kapasitas/Strategi Pengembangan Kapasitas: Tinjauan Kapasitas 10 SKPD Pemerintah Provinsi Gorontalo, Bappenas, Pemprov Gorontalo, dan UNDP, forthcoming. Thompson, James D. (1967), Organizations in Action: Social Science Bases of Administrative Theory, McGraw-Hill, New York. Treisman, Daniel (2006), ‘Explaining Fiscal Decentralisation: Geography, Colonial History, Economic Development and Political Institutions’, Commonwealth & Comparative Politics 44(3): 289-325. von Luebke, Christian (2009), ’The Political Economy of Local Governance: Findings from an Indonesian Field Study’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 45(2): 201-230. Wahid, Pasril (1996), ‘Tanaman Lada: Sejarah Perkembangan dan Daerah Penyebarannya’, Monograf 1: 1-11, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bakai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. World Bank, Australian Indonesia Partnership, dan Sofei (2009), Analisa Pengeluaran Publik Nusa Tenggara Timur. Laporan Akhir 2009.
64