Encouraging alternative livelihoods to reduce deforestation

Page 1

Encouraging alternative livelihoods to reduce deforestation Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

and Climate Partnership (KFCP). Within six months Bangun Aspar was producing higher quality rubber and was able to sell it directly to factories in larger quantities and for more than double the price he had received previously. The field school was established by KFCP to demonstrate ways to reduce greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation, or REDD+, in Indonesia. Indonesia’s deforestation rate is one of the highest in the world. These schools are helping to reduce this by encouraging sustainable livelihood options that can generate higher incomes while lessening the need to cut down trees for agricultural expansion. The school is training rubber farmers in how to sustainably manage peatlands and to make a living without depleting natural resources.

Bangun Aspar is a rubber plantation farmer from Mantangai Hulu village, Central Kalimantan, and a father of six. Like many in Mantangai Hulu, Bangun Aspar supports his family by collecting latex from rubber trees, which is then sold to local rubber factories. Rubber tapping has been the primary source of income for Bangun Aspar’s family for generations. Rubber trees grow plentifully in the Mantangai region, where there is heavy rainfall and fertile soil. Although rubber plantations grow in almost every corner of the region, rubber farming is not yet a thriving source of financial gain for farmers. Farmers still struggle to access information and technology to support good quality rubber production. For years, Bangun Aspar struggled to provide for his family as his low quality rubber did not provide sufficient income to cover their household costs. Things started to improve though when he attended a Rubber Field School run through the Kalimantan Forests

“Rubber tapping is central to livelihoods in this region. People in our village have been tapping rubber for generations, but our ancestors didn’t teach us how to produce and process good quality products, or how to make enough money from our farming. Now we are learning practical skills and can better support our wives and children,” said Bangun Aspar. “With these new skills, I now have the confidence to sell Iarge quantities of processed rubber directly to factories. I am making Rp. 18,000 per kilo instead of Rp. 5,000 as before (at the time of writing). I am cutting out the middleman and saving myself a lot of money.” The Rubber Field School organised for Bangun Aspar and other farmers to go to a local rubber factory and learn directly from factory workers what is needed to produce good quality latex. “We now know the standards that the manufacturer wants and expects. This practical information is invaluable for me and my fellow farmers”.


Mendorong mata pencaharian alternatif untuk mengurangi penebangan hutan Bangun Aspar adalah seorang petani perkebunan karet dari desa Mantangai Hulu, Kalimantan Tengah, dan merupakan ayah dari enam orang anak. Seperti keluarga lainnya di Mantangai Hulu, Bangun Aspar menghidupi keluarganya dengan cara mengumpulkan getah karet dari pohonnya, yang kemudian dijualnya ke pabrik-pabrik karet setempat. Penyadapan tanaman karet sudah menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga Bangun Aspar selama beberapa generasi. Pohon karet banyak tumbuh di wilayah Mantangai, yang mana wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi dan tanahnya subur. Meskipun perkebunan karet tumbuh hampir diseluruh wilayah ini, pertanian karet belum menjadi sumber pendapatan yang menguntungkan bagi para petani. Mereka masih berjuang untuk memperoleh akses terhadap informasi dan teknologi untuk mendukung kualitas produksi karet yang baik. Selama bertahun-tahun, Bangun Aspar berjuang untuk menghidupi keluarganya karena karet miliknya yang bermutu rendah tidak dapat memberikan penghasilan yang cukup untuk memenuhi biaya-biaya rumah tangganya. Sekarang situasi menjadi lebih baik sejak dia menghadiri Sekolah Lapang Karet yang dilaksanakan melalui program Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP). Dalam waktu enam bulan, Bangun Aspar mulai menghasilkan karet dengan mutu yang lebih baik dan dapat dijual langsung ke pabrik dengan kuantitas yang lebih banyak dan harga dua kali lipat dari yang pernah dia terima sebelumnya.

masyarakat untuk memilih mata pencaharian yang lebih berkesinambungan, yang dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan mengurangi penebangan pohon untuk memperluas tanah pertanian. Sekolah ini melatih petani karet mengenai cara mengelola lahan gambut secara berkesinambungan dan cara memperoleh penghasilan tanpa menghabiskan sumber daya alam. “Penyadapan karet merupakan bagian pusat mata pencaharian di wilayah ini. Masyarakat di desa kami telah menyadap karet sejak lama tapi nenek moyang kami tidak mengajarkan bagaimana cara memproduksi dan mengolah produk dengan mutu bagus, atau cara memperoleh penghasilan yang cukup dari kegiatan pertanian kami. Sekarang kami belajar keterampilan praktis dan dapat memberikan nafkah yang lebih baik kepada istri dan anak-anak kami,” kata Bangun Aspar. “Dengan keterampilan baru ini, saya sekarang memiliki kepercayaan diri untuk menjual karet olahan dalam jumlah besar langsung ke pabrik-pabrik. Saya dapat menjual karet Rp. 18.000 per kilo dimana sebelumnya hanya Rp. 5.000 (pada saat cerita ditulis). Saya menghilangkan kebutuhan akan perantara dan dapat menghemat banyak uang”.

Sekolah lapang ini didirikan oleh KFCP untuk mendemonstrasikan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari penebangan dan degradasi hutan di Indonesia.

Sekolah lapang karet ini juga dirancang untuk Bangun Aspar dan petani lainnya agar dapat mengunjungi pabrik karet lokal dan belajar secara langsung dari pekerja pabrik tentang hal-hal yang diperlukan untuk memproduksi karet yang berkualitas baik.

Angka penebangan hutan di Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di dunia. Sekolah ini membantu mengurangi masalah tersebut dengan cara mendorong

“Sekarang kami tahu standar yang diinginkan dan diharapkan oleh produsen. lnformasi praktis ini sangat berharga bagi saya dan rekan-rekan petani lainnya”.

Pembangunan Tanpa Merusak Lingkungan | Development Without Destruction of the Environment


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.