Derap sample

Page 1

Persembahan untuk Almamater

derap kampus perjuangan | 1


Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Unmdang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). derap kampus perjuangan | 2


DERAP KAMPUS PERJUANGAN Perjuangan Tak Kenal Henti

TIM DERAP derap kampus perjuangan | 3


Lembar Penerbit

derap kampus perjuangan | 4


-Mengenang Perjuangan Dewan Mahasiswa ITS-

“Demi Kebenaran Kami Rela Berkorban� Kutipan spanduk Nostalgia DM ITS 1976-1977

derap kampus perjuangan | 5


Sambutan Rektor Alhamdulillah, akhirnya selesai jugalah buku berjudul “Derap Kampus Perjuangan”. Buku yang bercerita tentang sejarah perjuangan mahasiswa ITS dalam membela negara Republik Indonesia, untuk meneguhkan jati diri bangsa… dari ketidakadilan… dari kediktatoran… dari ketergantungan kepada negara asing……….! Sejarah memang selalu harus dikenang dan direnungi, baik dari setiap kesalahan langkah yang harus dihindari, maupun dari setiap kebenaran sikap yang harus dijunjung dan dilanjutkan di kemudian hari demi masa depan yang lebih baik. Satu sikap kuat yang dimiliki oleh mahasiswa tempo dulu dan jarang dimiliki oleh mahasiswa sekarang adalah kemandirian dan kedewasaan. Sungguh sangat memprihatinkan melihat suasana pendaftaran mahasiswa baru ITS, dalam setiap kali pendaftaran ulang mahasiswa baru dari tahun ke tahun, sebagaian besar dari mereka bahkan hampir semua selalu diantar/didampingi oleh orang tua mereka, bahkan untuk sekedar membeli jaket almamater sekalipun. Sebagai anggota sivitas akademika ITS, mahasiswa harus telah menjadi insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di ITS, untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional. Semua mahasiswa harus aktif mengembangkan potensi diri dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/ atau penguasaan, pengembangan dan pengamatan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/ atau profesional. Semua mahasiswa telah berhak memiliki kebebasan

derap kampus perjuangan | 6


+

akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik. Oleh karena itu, sungguh sangat diharapkan agar semua mahasiswa ITS tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah diperolehnya untuk melanjutkan studinya di kampus yang merupakan kebanggaan nusa dan bangsa. Setiap mahasiswa ITS harus menggunakan setiap kesempatan yang dimiliki untuk senantiasa memutakhirkan diri, dengan senantiasa meningkatkan kemampuan akademik dan softskill-nya, penuh dengan karya-karya dan prestasi. Sebagai persiapan menjadi pemimpin bangsa ini. Setiap mahasiswa harus menyadari bahwa masa depan bangsa ini berada di pundak mereka. Kesadaran ini sangat penting untuk menjaga kontinuitas kepemimpinan bangsa. Kesinambungan kepemimpinan bangsa kita tidak boleh putus dan senantiasa harus lebih baik dari sebelumnya. Perlu diingat bahwa salah satu ciri pemimpin yang baik adalah menganggap hidupnya sebagai proses belajar yang tiada henti untuk mengembangkan lingkaran pengetahuan mereka. Di saat yang sama, mereka juga menyadari betapa lingkaran ketidaktahuan mereka juga membesar. Mereka terus belajar dari pengalaman. Mereka tidak segan mengikuti pelatihan, mendengarkan orang lain, bertanya, ingin tahu, meningkatkan ketrampilan dan minat baru. Dengan cara begitu, kita semua yakin dan optimis bahwa di masa datang kita akan mendapati pemimpin-pemimpin negara kita ini adalah lulusan-lulusan ITS yang cerdas, amanah, dan kreatif (CAK), serta jujur (anti korupsi), santun dan mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Untuk itu, marilah kita bersama, semua elemen bangsa, seluruh elemen kampus ITS tercinta, bahu membahu mewujudkan cita-cita mulia ini. Vivat Mahasiswa‌..Vivat ITS‌!!! Surabaya, 10 November 2014 Rektor ITS, Prof. Dr. Ir. Tri Yogi Yuwono, DEA

derap kampus perjuangan | 7


sambutan ketua umum ika its Membicarakan mahasiswa berarti membicarakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mengapa demikian? Gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional. Lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, yang kemudian kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tak lepas dari peranan para mahasiswa Indonesia yang kala itu kuliah di sekolah kedokteran STOVIA. Beberapa tahun kemudian, para mahasiswa Indonesia yang kuliah di Eropa membentuk wadah perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan nama Perhimpunan Indonesia. Wadah ini antara lain dimotori oleh Mohammad Hatta. Hadirnya Boedi Oetomo dan Perhimpunan Indonesia ini adalah suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya. Seringkali generasi ini disebut sebagai Angkatan 1908. Seperti kita bisa baca dalam berbagai buku sejarah, pergerakan kemahasiswaan Indonesia terus berlanjut dengan turut dalam lahirnya Sumpah Pemuda 1928. Menjelang kemerdekaan pun, para pemuda dan mahasiswa turut andil dalam mempercepat kemerdekaan. Selepas kemerdekaan, peranan mahasiswa tetap besar dalam menentukan arah nasib bangsa. Kita bisa catat bagaimana peranan Angkatan 1966 ketika menggulingkan Orde Lama, maupun gerakan Angkatan 1998 yang menumbangkan Orde Baru. Dalam rentang panjang sejarah kemahasiswaan Indonesia tersebut, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tentu saja turut berperan. Mahasiswa ITS turut berkontribusi dalam pergerakan nasional kemahasiswaan. Apalagi, derap kampus perjuangan | 8


ITS adalah perguruan tinggi teknik pertama yang didirikan setelah era kemerdekaan. Kebanggaan ini, yang dibungkus dengan semangat kepahlawan 10 Nopember, selalu mewarnai kiprah mahasiswa ITS ketika ikut dalam pergerakan nasional kemahasiswaan. Lalu, siapakah yang mencatat peran mahasiswa ITS tersebut? Tidak banyak. Karena itulah, hadirnya buku “Derap 10 Nopember� buah karya mahasiswa ITS patut diapresiasi. Upaya pendokumentasian dan penulisan ini patut diancungi jempol. Buku ini adalah bagian dari catatan panjang peranan penting mahasiswa dalam sejarah Indonesia. Adanya buku ini, akan mempermudah berbagai kalangan yang ingin mencari referensi tentang sejarah kemahasiswaan ITS, khususnya pada era terbentuknya Keluarga Mahasiswa (KM) ITS pada tahun 1960 hingga masa Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) pada tahun 1983. Tanpa buku semacam ini, maka peranan mahasiswa ITS hanya akan tersiar dari mulut ke mulut, dan kemudian hilang dilupakan oleh sejarah. Para pelaku sejarah yang ditulis dalam buku ini, selepas kuliah, lalu bernaung dalam Ikatan Alumni (IKA) ITS. Beberapa di antaranya pun hingga kini masih aktif dalam berbagai kegiatan IKA ITS. Mereka masih bersemangat membesarkan nama ITS untuk Indonesia, seperti ketika mereka masih mahasiswa. IKA ITS memang didirikan untuk mengonsolidasikan dan mengoptimalkan segenap potensi alumni ITS, agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara. Hingga saat ini, ITS telah meluluskan lebih dari 80 ribu alumni, yang tersebar di dalam dan luar negeri. Banyak alumni ITS yang telah berhasil menduduki posisi-posisi penting di berbagai perusahaan, baik di dalam maupun luar negeri, serta di instansi-instansi pemerintahan, lembaga politik, dan lembaga negara lainnya. Sebagai salah satu organisasi alumni perguruan tinggi teknologi terbesar di Indonesia, IKA ITS memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat besar, untuk terus meningkatkan peran dan kontribusinya dalam pembangunan nasional. Semoga buku ini kian menginspirasi para mahasiswa ITS untuk lebih giat berkarya. Melalui karya-karyanya itulah, nama ITS akan makin di kenal dalam percaturan nasional maupun internasional. Selamat membaca. Jakarta, 10 November 2014 Dr. Ir. Irnanda Laksanawan, MSc.Eng.

derap kampus perjuangan | 9


KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr Wb. Syukur Alhamdulillah, setelah perjuangan yang cukup panjang, buku berjudul Derap Kampus Perjuangan ini berhasil terbit sesuai dengan waktu yang direncanakan. Buku bertema pergerakan mahasiswa ITS ini lahir dengan harapan mahasiswa ITS dapat mengetahui, mempelajari dan mengambil hikmah dari dinamika organisasi kemahasiswaan sejak ITS berdiri tahun 1957-1983. Selama ini, tidak banyak perbicangan ataupun diskusi yang mengulas tema serupa. Hasilnya, banyak kisah menarik yang tenggelam, tidak tersampaikan dan hilang ditelan jaman. Karena itu, melalui buku ini, penulis mencoba menyusun kepingan-kepingan puzzle dari para pelaku sejarah lintas generasi menjadi satu rangkaian cerita. Dari sini akan tergambar jelas bagaimana tekad, loyalitas, dan keberanian mahasiswa jaman dulu dalam menyampaikan aspirasi dan membela kepentingan bangsa. Pada kesempatan ini, kami sampaikan terima kasih kepada para narasumber yang telah menyediakan waktu untuk membagi kisahnya. Rasa terima kasih kami tujukan kepada segenap pimpinan dan kru ITS Online yang mendukung terbitnya buku ini. Kepada seluruh pihak yang berkenan mendukung penerbitan buku ini, kami ucapkan apresiasi yang setinggi-tingginya. Tak ada kata yang sempurna, kami mohon maaf bila terdapat kesalahan. Walaupun kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk menjaga keakuratan data dan informasi. Akhirnya buku ini memang kami persembahkan sebagai kado ulang tahun ITS ke-54. Semoga buku ini bisa menjadi benang penyambung sejarah pergerakan mahasiswa yang hampir hilang. Kami juga berharap para pembaca mampu mengambil inspirasi dan semangat dari para tokoh-tokoh sejarah. Wassalamu’alaikum Wr Wb. Surabaya, 10 November 2014 Tim Derap

derap kampus perjuangan | 10


DAFTAR ISI kata Sambutan KATA Pengantar daftar isi MAKNA prolog BAGIAN 1

Cikal Bakal Organisasi Mahasiswa 1960-1970 Senat Mahasiswa, Cikal Bakal Student Government Pertentangan Ideologi, Pancasila Vs Komunis Souvenir ITS Pertama dan Menarik

BAGIAN 2

Student Government 1971-1978 Student Government MALARI Dewan Mahasiswa 1976/1978 Bergejolak Mahasurya, Mahasiswa Berjiwa Militan Baliwerti Beraksi Aksi Bina Graha Harun Ditangkap, Banyak Intel Mengintai Harun Ditangkap, Bagaimana dengan Aktivis Lain? Dewan Masjid

BAGIAN 3

Era NKK / BKK 1979-1983 Redup Terang Dewan Mahasiswa Dilema Skorsing Anas Rosjidi Djalal, Penutup Catatan Dewan Mahasiswa Masa Orientasi Mahasiswa (MOM) Ikatan Mahasiswa Teknologi Indonesia

derap kampus perjuangan | 11


PROFIL

Tokoh-Tokoh yang Berpengaruh Tiap Era Muhammad Sholeh : Pejuang yang Kesepian Moestahid Astari : Mahasiswa yang Jadi Wakil Rakyat Sjamsul Bahri : Sang Nasionalis yang Anti Komunis Harun Alrasyid : The Man Behind The Gun

EPILOG NARASUMBER PROFIL TIM DERAP

derap kampus perjuangan | 12


MAKNA JUDUL DERAP KAMPUS PERJUANGAN Menurut KBBI, derap bermakna suara tiruan bunyi kaki orang berjalan cepat. Namun, kami menginterprestasikan derap itu bergerak.

Kampus perjuangan rasanya tidak perlu dijelaskan lagi. Kampus perjuangan itu tentulah ITS dengan segala dinamika pergerakan mahasiswanya.

derap kampus perjuangan | 13


PROLOG BUKU INDONESIA, CINTAKU Hari Ini Kita Berbicara Tentang Engkau, Indonesia Selalu Begitu, Kusebut Namamu Dengan Penuh Rindu Sebab Engkau Seperti Gadis Tetangga Yang Pernah Kukenal Cantik, Anggun, dan Kaya Raya Mungkin Pernah Kau Ingat Aku Termangu Menatapmu Kala Itu Di Hatiku Tersimpan Seribu Tanda Tanya Mungkinkah Engkau Terlalu Banyak Berduka, Indonesia Terlihat Matamu Yang Sebening Malam, Berselimut Titik Hujan Kau Kenang Hutanmu Tergadai Kepada Pedagang Entah Kau Tengok Lautmu, Adakah Masih Milikmu? Dan Korupsi, dan Penyalahgunaan Wewenang, dan Ketidakadilan Dan Beberapa Pertanyaan Lagi Yang Mungkin Takkan Pernah Terjawab Indonesia, Kini Aku Harus Berbicara Tentang Keajaiban Sebab Sekarang Aku Harus Berdiri di Sini Untuk Membuktikan Bahwa Masih Ada Nilai-Nilai Kebenaran? Kebenaran Menurut Siapa? Benarkah Kebenaran Hanyalah Untuk Segolongan? Benarkah Kebenaran Hanya Milik Penguasa? Apakah Salah Bila Harus Mengatakan Bermacam Ketimpangan Apakah Menghina Bila Harus Mengatakan Bermacam Fakta Indonesia, Aku Menangis Untukmu Kulalui Malam-Malam Mingguku Dengan Menatap Wajahmu Engkau Semakin Layu, Dan Aku Tak Kuasa Menolongmu Sebab Hari-Hariku Yang Resah, Terhalang Dengan Berbagai Fitnah Aku Berteriak Bagai Ombak Tapi Suaraku Tenggelam Di Balik Jubah Kekuasaan Aku Mengalir Seperti Sungai Tapi Dibuatkan Terusan Serta Beberapa Bendungan Tanpa Diingat, Lambat Laun Pasti Akan Sampialah Aku Ke Muara Indonesia, Aku Cinta Kau *Anas Rosjmaidi Dikutip Dari Buku Menggugat Pemerintahan Otoriter

derap kampus perjuangan | 14


derap kampus perjuangan | 15


derap kampus perjuangan | 16


BAGIAN 1 Cikal Bakal Organisasi Mahasiswa (1960-1970)


Seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan. Ingatan tak pernah solid dan stabil. Ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah. Dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah, kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning. Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah, ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati. (Goenawan Mohamad, Origami, 16 Agustus 2012)

derap kampus perjuangan | 18


} DE

RAP ~ 01

Senat Mahasiswa, Cikal Bakal Student Government “Bukan hanya antar-jemput dosen yang ingin mengajar, mahasiswa juga membuat rancangan pembelajaran sendiri. Dulu, belajar dan mengajar itu beda tipis,� ujar Anggraini, mahasiswa FTS angkatan kedua


Embrio Student Government

T

ahun 1957, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya berdiri dengan nama Yayasan Perguruan Tinggi Teknik (YPTT) 10 Nopember. Hanya terdapat dua fakultas yaitu Fakultas Teknik Sipil (FTS) dan Fakultas Teknik Mesin (FTM). Jumlah mahasiswa kala itu hanya mencapai 50-an.

Dengan status masih seumur jagung, perkuliahan di ITS masih ala kadarnya, jauh dari kata ideal. Akibatnya, banyak mahasiswa yang tidak fokus dengan kuliah. Mayoritas mereka bekerja sambil kuliah. Bak bayi baru lahir, tak banyak cerita yang dapat digali dalam pergerakan mahasiswa kala itu. Lantaran belum banyak pula mahasiswa yang tertarik mengurus hal lain selain aktivitas akademik dan pekerjaan yang mereka lakukan. Minimnya jumlah mahasiswa juga berpengaruh terhadap organisasi kemahasiswaan ITS. Meski demikian, di antara mereka yang sedikit itu masih ada yang memikirkan sebuah pergerakan. Mereka mendirikan Senat Mahasiswa yang merupakan cikal bakal keberadaan student government di ITS. Tak banyak aktivitas yang dilakoni anggota Senat Mahasiswa saat itu. Hampir semuanya bersinggungan dengan aktivitas untuk membangun sistem perkuliahan ideal. Seperti membantu dosen menyiapkan ruang kelas hingga membuat kurikulum pendidikan secara mandiri. YPTT 10 Nopember yang baru berdiri berimplikasi pada kualitas pendidikan yang serba minimal dan terbatas. Sampai-sampai mahasiswa ikut turun langsung menangani hal-hal teknis di bidang akademik.

Gambar 1 Perpelonocoan mahasiswa baru


“Bukan hanya antar-jemput dosen yang ingin mengajar, mahasiswa juga membuat rancangan pembelajaran sendiri. Dulu, belajar dan mengajar itu beda tipis,� ujar Anggraini, mahasiswa FTS angkatan kedua ketika ditemui. Di bidang non akademik, Senat Mahasiswa juga disibukkan oleh ritual perpeloncoan yang menjadi agenda tahunan. Sejak awal, perpeloncoan menjadi interaksi pertama mahasiswa baru dengan mahasiswa lama untuk saling bersosialisasi. Terlebih, kegiatan ini bersifat legal. Sehingga, nyaris tak pernah diganggu oleh pihak birokrasi. Semua tetap dianggap on the track. Senat Mahasiswa juga memiliki tugas tak tertulis sebagai penghubung mahasiswa dengan para pengurus yayasan. Peran ini muncul secara otomatis karena sulitnya koordinasi antara peserta didik dan pihak birokrasi. Jarak antara fakultas dan rektorat yang tak sedekat sekarang juga menjadi pemicunya. Apalagi, organisasi mahasiswa saat itu belum memiliki struktur dan sistem yang matang. Sehingga perannya lebih banyak sebagai kurir informasi pihak birokrasi. Walau terlihat sederhana, kegiatan Senat Mahasiswa menjadi embrio organisasi mahasiswa ITS yang lebih matang di masa mendatang.

Satu Suara untuk Dewan Mahasiswa Setelah belajar merangkak, mahasiswa ITS tidak mau kalah berlari dengan pergerakan mahasiswa kampus lain. Sehingga mereka mencoba untuk melakukan transformasi dari Senat Mahasiswa menjadi Dewan Mahasiswa. Hingga tahun 1960, lembaga eksekutif mahasiswa skala kampus masih belum terbentuk. Hanya saja, Koordinator Senat Mahasiswa dua fakultas berada di tangan Muladi. Tugasnya, sebatas memperlancar koordinasi antara Senat Mahasiswa FTM dan FTS. Keadaan ini berlaku hingga pembentukan tiga fakultas baru, yakni Fakultas Teknik Elektro (FTE), Fakultas Teknik Kimia (FTK) dan Fakultas Teknik Perkapalan (FTP). Bersamaan dengan itu, Senat Mahasiswa tiga fakultas dibentuk. Namun, Koordinator Senat Mahasiswa belum resmi menerima ketiganya. Pertengahan tahun 1961, seluruh perwakilan Senat Mahasiswa lima fakultas melakukan konsolidasi pembentukan Dewan Mahasiswa. ‘’Waktu itu saya ikut berdiskusi di Kampus derap kampus perjuangan | 21


ITS Simpang Dukuh,’’ jelas Achmad Moestahid Astari, mahasiswa FTK angkatan kedua yang saat itu menjadi anggota Senat Mahasiswa FTK. Menurut Moestahid, pembentukan Dewan Mahasiswa merupakan instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Peraturan Menteri Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). “Kalau rincian nomornya saya lupa, yang jelas kemunculannya hampir bersamaan dengan kesepakatan rapat senat,” ujar Moestahid. Diskusi juga membahas rancangan pembentukan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Dewan Mahasiswa ITS hingga ada legal aspeknya. Di penghujung tahun 1961, Dewan Mahasiswa ITS diresmikan oleh Senat Mahasiswa dari lima fakultas. Organisasi ini menjadi sebuah badan yang menaungi seluruh organisasi intra-universiter di ITS. Dewan Mahasiswa berperan sebagai badan eksekutif tertinggi di tataran institut sekaligus sebagai representasi mahasiswa ITS terhada­­­p pihak-pihak di luar ruang lingkup kampus. Sebagai pelengkap organisasi, turut disahkan AD/ART Dewan Mahasiswa ITS. Walaupun baru, Dewan Mahasiswa ITS sudah resmi menjadi anggota dari Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Sebuah badan tingkat nasional yang menaungi Dewan Mahasiswa di seluruh penjuru Indonesia. Lewat MMI, seringkali Dewan Mahasiswa ITS mempelajari kondisi Dewan Mahasiswa yang telah lebih dulu eksis dalam pergerakan nasional di kampus lain, seperti kepada Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Sistem dan Struktur Dewan Mahasiswa ITS Pertama Ketua Umum Dewan Mahasiswa kala itu tidak ditetapkan berdasarkan pemilihan umum, tetapi dicalonkan. Ada dua parameter yang digunakan, yaitu berdasarkan angkatan tertua dan kompetensi yang dimiliki seperti kemampuan memimpin. Berdasarkan kesepakatan yang dilakukan, akhirnya Tri Widodo, mahasiswa angkatan 1957 terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa. Struktur organisasi Dewan Mahasiswa juga masih sederhana. “Yang saya ingat ada Ketua Umum, Ketua I dan II, Sekretaris I dan II, serta Bendahara I dan II,” jelas Abdul Ghaffar, Bendahara Dewan Mahasiswa era 1964. Ketua I memiliki fokus ke eksternal organisasi sedangkan Ketua II memiliki fokus ke internal organisasi, begitu pula sekretaris dan bendahara. Ghaffar masih ingat, saat itu Dewan Mahasiswa ITS juga dibantu oleh beberapa unit kerja. Yaitu Sie Pengajaran, Keputrian, Kerderap kampus perjuangan | 22


ohanian, Kemahasiswaan, Hubungan Masyarakat, Usaha & Dana serta beberapa unit kerja lain yang sesuai dengan kebutuhan para pengurus Dewan Mahasiswa kala itu. Seluruhnya mengurus hal-hal yang bersifat teknis. Tiga tahun berlalu, masa jabatan Tri Widodo akhirnya selesai. Mandat sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa diserahkan kepada Bondan, mahasiswa FTM. Dinamika Dewan Mahasiswa ITS tahun 1964 pun dimulai. Sayangnya, tak banyak informasi yang dapat diurai soal era ini. Sebab, kepengurusan hanya berjalan selama satu tahun saja. Padahal, menurut Moestahid, hingga enam tahun ke depan (19651970), waktu normal satu periode kepengurusan Dewan Mahasiswa ITS sama dengan tiga tahun.

Leadership Training Course (LTC) Walaupun usia Dewan Mahasiswa ITS waktu itu masih belum genap satu tahun, namun Tri Widodo sempat menginisiasi sebuah pelatihan manajerial. Kegiatan ini diberi nama Leadership Training Course (LTC) yang sukses menarik animo banyak mahasiswa untuk mengikutinya. Aktivis jaman dulu menyebut LTC lebih dari sekedar pelatihan. Kegiatan ini justru dimaknai sebagai sebuah fase pembentukan karakter kepemimpinan mahasiswa ITS. Secara filosofi, LTC dianggap sebagai pelatihan yang menghasilkan generasi pelopor pergerakan mahasiswa era orde baru. “LTC ini menjadi senjata kita untuk mengembangkan kompetensi softskill mahasiswa ITS,� terang Buchori Nasution mahasiswa FTM.

Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNas) Dalam menunjang pengembangan generasi muda, sejak era orde lama pemerintah Indonesia telah menghelat Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNas). Kegiatan tahunan ini diikuti oleh mahasiswa dari seluruh Indonesia. Meskipun masih merupakan kampus baru, ITS telah aktif terlibat dalam kompetisi ini sejak berbentuk YPTT. Delegasi ITS pada beberapa cabang olahraga termasuk dalam jajaran yang diunggulkan, seperti tim voli dan tim Judo. Kontingen voli ITS masuk dalam kategori pemain yang berkualitas. Mereka bahkan sering mewakili Indonesia dalam berbagai kompetisi nasional hingga internasional. Bagi ITS, tantangan POMNas bukan soal pertandingan, tapi tentang partisipasi. Kondisi keuangan yang pas-pasan membuat konderap kampus perjuangan | 23


tingen ITS seringkali terancam gagal berangkat, seperti POMNas tahun 1960 yang digelar di Medan. Bukan mahasiswa ITS namanya jika tidak bertindak nekad. Bersama dengan Dewan Mahasiswa, kontingen ITS rela menguras keringat demi berangkat ke POMNas. ‘’Saya dan beberapa mahasiswa sampai njoget di Kapasari, ikut rombongan Ngesti Pandowo,’’ ujar Anggraini. Dari hasil kerja keras itu, mereka mendapat dana sebesar 2 juta rupiah. Untuk menghemat biaya perjalanan, mereka menyiasati dengan menumpang kapal milik Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Biayanya ditanggung dari hasil mereka mengamen. Kontribusi ITS dalam POMNas sangat terlihat ketika gawe besar itu dilaksanakan di Jawa Timur, tepatnya di Surabaya. ITS menjadi kontributor terbesar, meskipun bukan sebagai peserta. “Saya langsung yang mengarahkan panitia asal ITS, jadi bisa dibilang saat itu kita merasa seperti tuan rumahnya sendiri,“ papar Moestahid. Mahasiswa ITS sendiri dengan sukarela membantu pelaksanaan POMNas hingga tuntas. POMNas tak hanya soal olahraga semata. Ajang ini menjadi jalan pertukaran informasi mahasiswa antar kampus. Bahkan koordinasi dan komunikasi soal pergerakan mahasiswa se-Indonesia juga dilakukan saat POMNas digelar. Maklum, transportasi dan komunikasi yang terbatas membuat pola koordinasi antar lembaga mahasiswa beda kampus semakin lambat. Rupanya, pemerintah membaca gerak-gerik mahasiswa. Mereka menganggap bahwa tindakan mahasiswa sebagai bentuk ancaman terhadap kestabilan negara. Secara sepihak, POMNas ini diberhentikan dengan dalih pemerintah kekurangan dana untuk menyelenggarakan kegiatan.

Kudeta Rektor ITS Oleh Mahasiswa Tragedi penurunan dr Angka Nitisastro adalah satu kisah menarik yang terjadi di era 1964. Hal ini diawali pasca berubahnya status YPTT 10 Nopember menjadi ITS. Siapa yang mengira bahwa mahasiswanya sendiri yang menggulingkan dr Angka dari jabatannya sebagai Rektor ITS. Awalnya, mahasiswa mempermasalahkan kedudukan dr Angka sebagai rektor. Mereka merasa tak puas bila dr Angka yang akan menandatangani ijazah kelulusannya. “Mosok, sarjana teknik ijazahnya ditandatangani oleh seorang dokter umum?” gugat Buchori mahasiswa FTM. Karena itu, Buchori bersama beberapa kawannya berniat underap kampus perjuangan | 24


tuk menggulingkan dr Angka. Mereka ingin Rektor ITS adalah orang yang memiliki gelar insinyur. Suara mahasiswa ini tidak hanya disampaikan di tingkat institut saja, tetapi juga kepada Departemen PTIP. Menurut mereka, negosiasi adalah jalan paling efektif menggolkan misi tersebut. Rupanya, proses penggulingan ini tidak mudah. Apalagi hampir semua urusan penting berada di Jakarta. Tentu ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terlebih status mereka masih mahasiswa. Bukhori memutar akal. Bagaimanapun ia ingin rencananya ini berhasil. ‘’Akhirnya, kami meminta bantuan beras dari Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM). Kita ngemis di sana,” Buchori berkisah. Rencana ini terbilang logis. YUBM yang sekarang dikenal dengan Badan Urusan Logistik (BULo) memang memberikan jatah beras bagi mahasiswa rantau. Buchori akhirnya mendaftarkan kawankawannya yang hidup merantau di Surabaya agar mendapatkan jatah beras tersebut. “Dari YUBM kami mendapatkan beras dengan nilai setengah dari harga pasaran untuk setiap kilogram,” paparnya. Bantuan beras yang didapat tidak langsung dikonsumsi. Beras tersebut lantas dikumpulkan dalam garasi kemudian dijual kembali dengan harga yang sama dengan harga pasaran. “Malah saya ingat yang bukan rantauan juga saya daftarkan sebagai penerima jatah beras. Sehingga beras di garasi sampai menumpuk banyak sekali,” terangnya sambil tertawa lepas. Uang hasil penjualan beras itu digunakan untuk membiayai proses politik. Tujuannya adalah menemui Menteri Departemen PTIP guna memperlancar keinginan mereka. Kerja keras Buchori dan kawan-kawan membuahkan hasil. “Akhirnya sang menteri berhasil kita hasut,” ujarnya. Gugatan mereka diterima, dr Angka pun dipaksa lengser sebelum masa jabatannya berakhir.

derap kampus perjuangan | 25


// DE

RAP 02 ~

Pertentangan Ideologi, Pancasila Vs Komunis Kejadian tersebut tidak direncanakan, tidak diinginkan, tapi terjadi. Yah, mau tidak mau ITS memang harus dibersihkan dari PKI�


Aksi Kritisi Walikota, PKI Terusik

P

Saya memang anti komunis, dengar nama PKI saja sudah benci luar biasa”

erebutan tampuk kepemimpinan dimulai, pemerintah Indonesia dikudeta. Entah karena nafsu perseorangan atau memang paham Pancasila yang sudah dirasa tidak lagi ideal oleh sebagian orang. Yang jelas, tahun 1965 Indonesia kembali bergolak. Dan hanya satu nama yang sering disebut yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Akar cabang dari PKI telah meluas. Organisasi yang berideologi komunis telah merambah di berbagai kalangan. Sebut saja Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), organisasi ekstra kampus yang merekrut mahasiswa yaitu Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi), dan Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo). Mulanya, desas desus PKI di kalangan mahasiswa ITS hanya dibahas oleh segelintir orang saja. Namun, semakin lama gerak-gerik beberapa mahasiswa yang terlibat dalam organisasi bentukan PKI mulai mencurigakan. Bukan bermaksud menghakimi, tapi hanya sebagai bentuk pengawasan. ‘’Ditakutkan paham komunis akan terbawa masuk kampus,’’ ujar Sjamsul Bahri, mahasiswa FTM. Awal tahun 1965 kampus ITS masih adem ayem. Mulai dari kegiatan kuliah, kaderisasi, aktivitas Dewan Mahasiswa, dan Senat Mahasiswa masih berjalan lancar. Sampai Oktober 1965, PKI bukanlah organisasi terlarang. Justru, paham komunisme digaungkan sebagai falsafah nasional bersama agama dan nasionalisme. Banyak sekali organisasi berbasis komunis yang turut membangun negeri, termasuk tokoh nasional berhaluan kiri. ITS sendiri tidak benar-benar bersih dari PKI. Ada juga sivitas akademika ITS yang diduga terlibat keanggotaan PKI. Memang, PKI masih dalam masa jayanya. Beberapa posisi strategis dalam masyarakat justru berada di tangan tokoh PKI. Begitu pula di ITS, Wakil Ketua Tata Usaha salah satu fakultas dengan jelas mengakui bahwa mereka merupakan bagian dari PKI. Jika dalam lingkup mahasiswa, salah satu Sekretaris Umum Dewan Mahasiswa ITS kala itu bahkan ada yang merupakan anggota dari organisasi yang berideologi komunis. Situasi di ITS mulai memanas ketika Walikota Surabaya periode 1964/1965, Murachman SH, yang termasuk anggota dari PKI mengungkapkan pernyataan ketidaksetujuannya dengan perpeloncoan. Padahal, kala itu perpeloncoan merupakan ritual rutin kepada mahasiswa derap kampus perjuangan | 27


baru oleh senior tingkat atas. “Orang yang melakukan perpeloncoan itu patut untuk ditangkap layaknya tukang copet dan pantas digebukin,” ujar Moestahid mengulangi pidato Murachman. Rupanya pernyataan, Layaknya tukang copet hingga pantas untuk digebukin sangat melukai dan merendahkan mahasiswa ITS dan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair). “Jelas kami marah dan tidak terima. Begitu pun Ketua Masa Perkenalan Mahasiswa (Mapram) Unair yang merasa direndahkan. Demolah solusinya,” cerita Ketua Mapram ITS kala itu. Dengan semangat membara ala mahasiswa, Moestahid dengan beberapa rekannya di ITS dan Unair mengadakan apel di daerah Embong Malang. Untuk menambah massa yang ikut berdemo, mereka pun mengajak mahasiswa baru dari masing-masing universitas. Usai apel, mereka bergerak menuju kantor Walikota Surabaya. Tak disangka, aksi demo tersebut menjadi bahan pemberitaan skala nasional. Terlebih, hal ini sering dikaitkan dengan keanggotaan Murachman sebagai antek dari PKI. Sontak pemberitaan tersebut mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Buntutnya, Moestahid beserta Ketua Mapram Unair dipanggil ke Jakarta untuk mengklarifikasi aksi demo tersebut. Di sana mereka menemui tentara Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) yang menangani soal PKI. Moestahid tidak telalu kaget mendengar kabar tersebut. Jelas saja, kala itu PKI masih berkuasa (dominan). “Saat dipanggil ya saya bertingkah lugu saja,” imbuh Moestahid seraya tersenyum getir. Beruntung, ia tak sempat diinapkan di dalam jeruji besi. Ia langsung dipulangkan setelah berjam-jam menjelaskan kronologi kejadian. Walaupun begitu, masih ada mahasiswa ITS yang merasakan ketidaksukaannya terhadap PKI karena pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan. Seperti halnya Sjamsul. “Dulu saya pernah direndam dalam kolam lebih dari 30 jam oleh kawanan PKI. Bahkan saya pernah diarak keliling daerah dengan hanya memakai celana saja,” kenang Sjamsul jengkel. G30S/PKI Berlangsung, Mapram Aman 30 September 1965, terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh Jenderal Republik Indonesia oleh PKI. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah Gerakan 30 September (G30S/PKI). Peristiwa yang dianggap sebagai kudeta dari PKI untuk menggantikan paham (falsafah Pancasila) negara Indonesia. Beruntung, kejadian tersebut terjadi jauh di ibu kota, sehingga Surabaya pun tenang. “Tidak ada kejadian apa-apa di Surabaya, “ derap kampus perjuangan | 28


terang Made Arya Djoni, mahasiswa FTM kala itu. Di ITS sendiri, peristiwa tersebut bersamaan dengan pelaksanaan Mapram. Meski begitu, Mapram tetap berlangsung dengan lancar. Diadili dengan Darah, Jeruji Besi dan Diskriminasi Catatan kelam akan selalu membekas di penghujung pemerintahan orde lama. Tidak terhitung banyaknya nyawa yang terenggut paksa. Mereka yang terjerat sebagai pelaku atau yang hanya sekedar menjadi simpatisan komunis, di akhir tahun 1965 harus didiskriminasi, diintimidasi, hingga dilenyapkan. Bahkan, bagi mereka yang sudah dilabeli PKI, seolah hanya menunggu waktu untuk mati. PKI yang membawa ideologi komunisnya memang memiliki struktur organisasi yang rapi. PKI mulai menanamkan ideologi tersebut kepada masyarakat awam lewat berbagai organisasi masyarakat (ormas). Bahkan jaring-jaring PKI menelusup hingga akhirnya masuk ke badan pemerintahan maupun partai politik lain. Sebut saja Partai Nasional Indonesia (PNI) yang terkenal dengan nasionalismenya tibatiba pecah menjadi dua, yakni PNI Ali Surachman atau akrab dengan sebutan PNI Asu dan PNI Osa–Osep. PNI Asu ternyata disinyalir memiliki konsep ideologi komunis mirip dengan PKI. Jaring-jaring ideologi tersebut juga turut menjerat perguruan tinggi, tak terkecuali di ITS. Mereka berbentuk organisasi ekstra kampus (ormek) seperti CGMI, Gerwani dan beberapa ormek lainnya. Tidak hanya itu, bahkan terdapat antek-antek PKI di jajaran dosen dan birokrat kampus. Sesuai mandat dari pemerintah kala itu, PKI harus dimusnahkan, baik itu akarnya, batangnya, daunnya, ataupun setangkai tunasnya yang baru muncul. Mereka harus musnah, minimal didiskriminasi. Menindaklanjuti keberadaan PKI ini, Dewan Mahasiswa ITS kala itu membentuk tim screening. Tim ini bertugas untuk mengindentifikasi mahasiswa yang terlibat PKI atau bukan. Agenda tersebut merupakan kerjasama yang dilakukan antara Dewan Mahasiswa ITS dengan pihak birokrasi. Moestahid, ialah salah satu lakon dari mahasiswa ITS yang turut berperan dalam agenda tersebut. Daftar  nama mahasiswa yang diduga bagian dari PKI diberikan oleh marinir. Dengan segera, Dewan Mahasiswa ITS yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Khamim sigap mengadakan konsolidasi untuk membahas hal tersebut. Kurang dari enam bulan Dewan Mahasiswa ITS sibuk menyeleksi nama-nama yang tertera dalam daftar tersebut. Pembersihan antek PKI dimulai dari Kampus Simpang Dukuh ITS. Tiap mahasiswa yang masuk dalam daftar dipanggil satu per satu derap kampus perjuangan | 29


untuk diinterogasi lebih lanjut terkait hubungannya dengan PKI. Tak sedikit dari mahasiswa yang memang aktif di PKI tidak hadir dalam proses screening tersebut. Namun, ada pula mahasiswa yang hadir dalam screening dan dengan tegas mengakui keterlibatannya pada organisasi yang diduga merupakan bagian dari PKI. Sehingga dengan kesadaran penuh, mahasiswa itu langsung menyatakan pengunduran dirinya dari ITS sebelum ‘dipecat’ secara paksa. Proses penenentuan mahasiswa antek PKI tak lepas dari rasa saling curiga antar rekan sejawat. Mereka saling tuduh berdasarkan emosi pribadi. Dewan Mahasiswa ITS dibuat kelimpungan. Alih-alih membersihkan ITS dari PKI, malah dikhawatirkan akan membuat fitnah. Karena itu, Dewan Mahasiswa ITS menganalisa dengan seksama agar tidak terjadi fitnah. Tiap mahasiswa berusaha membersihkan nama mereka dari PKI. Hal itu lantaran status sebagai PKI merupakan sesuatu yang hina dan terkucilkan. Bahkan, seseorang lebih memilih disebut sebagai pelacur daripada diduga sebagai bagian dari PKI. Pernah suatu kali Sjamsul yang saat itu termasuk bagian dari Senat Mahasiswa dan rekannya berjalan bersama. Dari kejauhan tampak seorang wanita sedang berjalan sendirian. Dengan sikap menyelidik rombongan mahasiswa itu mendekati si perempuan. kutan.

“Heh! kon Gerwani yo?” “Bukan mas. Saya bukan Gerwani,” dengan mimik muka keta“Lah terus lapo malem-malem di jalan sendirian?” “Saya biasa mbalon mas. Bukan PKI,” jawab wanita tersebut.

Penyelidikan Dewan Mahasiswa ITS tidak sebatas pada interogasi langsung untuk meminimalkan kesalahan dalam menentukan status seseorang. Layaknya detektif, penyelidikan juga dilakukan dengan mengikuti mahasiswa yang tercantum dalam daftar yang dicurigai. Bahkan sampai silsilah keluarga dari mahasiswa tersebut turut diteliti. “Semua mahasiswa yang dianggap menjadi bagian dari PKI terutama CGMI langsung kita buntuti. Kalau di luar CGMI benar-benar kita selidiki agar tidak salah orang,” terang Sjamsul. Proses seleksi ini pun dilakukan agar vonis dijatuhkan kepada orang yang tepat. “Ini menyangkut nasib orang tersebut seterusnya, jadi kami lakukan penyelidikan ini dengan serius dan sungguh-sungguh,” imbuhnya. Dalam proses screening terdapat tiga kategori mahasiswa yang menjadi pedoman dari screener untuk mengelompokkan mahasiswa tersebut, diantaranya: Kategori A : Mahasiswa yang terlibat langsung dan aktif di derap kampus perjuangan | 30


kegiatan PKI. Kategori B : Mahasiswa yang aktif di organisasi yang disinyalir PKI, namun tidak terlibat langsung di kegiatan PKI. Kategori C : Mahasiswa yang sekedar ikut-ikutan Sanksi yang dikenakan untuk setiap kategori itu pun berbeda. Kategori A mendapatkan sanksi tiada ampun (tertinggi/terberat), yakni mati. Tentunya bukan Dewan Mahasiswa ITS yang berwenang untuk mengakhiri hidup mahasiswa kategori A. Dewan Mahasiswa ITS hanya bertugas menentukan dan mengelompokkan mahasiswa yang dicurigai. Meski begitu, Dewan Mahasiswa ITS tetap harus bekerja keras, sebab hal itu menyangkut keberlangsungan hidup seseorang. Siapa yang berhak membunuh orang-orang yang diduga PKI tak diketahui secara pasti. Pasalnya, perlawanan terhadap PKI saat itu memang merupakan pergerakan atas nama masyarakat. Sehingga pembunuhan antek-antek PKI telah menjadi hal yang lumrah. Menurut Moestahid, ada sebuah organisasi pemuda bernama Ansor yang terkenal mudah melumuri tangannya dengan darah PKI. Sungai Brantas turut menjadi saksi tubuh-tubuh kaku tak bernyawa yang tidak beridentitas. Sebagian besar mayat antek-antek PKI dibuang ke sana. Entah itu anggota PKI yang sesungguhnya atau bukan, namun itulah yang terjadi pada masa tersebut. Sedangkan untuk kategori B sedikit lebih ringan. Jeruji besi Pulau Buru menjadi peraduan mereka. Sedikit beruntung bagi mereka yang termasuk dalam kategori C karena hanya menjadi tahanan kota. Mereka juga diganjar dengan hukuman tidak bisa mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) selamanya. Hal tersebut menjadi beban mental ketika bersosialisasi dengan masyarakat. Dari pihak dosen dan pegawai yang dicurigai menjadi antekantek PKI, birokrasi ITS melakukan screening secara langsung. Proses screening dipimpin oleh Kolonel Marseno Wirjoesaputra, Rektor Kedua ITS. Penyelidikan para birokrat tersebut bersifat terbuka, sehingga tetap ada komunikasi antara pihak birokrasi dengan mahasiswa. “Screening ini merupakan inisiatif menyeluruh antara pihak birokrasi dan mahasiswa,” jelasnya. Sama halnya dengan Dewan Mahasiswa ITS, Marseno mendapat data sivitas akademika ITS yang dicurigai antek-antek PKI dari marinir. Tentara saat itu membuat daftar keanggotaan dari perhimpunan yang diduga berideologi layaknya PKI. Screening ini memang tidak pandang bulu, terkesan sepihak dan egois dari pihak pembuat daftar. “Yang didaftar sudah pasti terlibat, walaupun dia non aktif, tetap ada sanksi tersendiri,” jelas Marseno. Dengan kata lain, setiap individu yang terdaftar sudah pasti akan terkena sanksi. derap kampus perjuangan | 31


Marseno juga tidak bisa mempertahankan mereka yang terbukti terlibat dengan PKI. “Kita tidak bisa mempertahankan mereka, kalau dipertahankan nama ITS yang akan jelek. Karena antek-antek PKI memang tidak boleh menjadi dosen, mahasiswa, dan karyawan di ITS,” urai Marseno. Yang membuat Marseno merasa tidak tega adalah ketika mengeluarkan karyawan yang telah mengabdi bertahun-tahun. Bahkan ia sudah hampir pensiun. “Mereka yang dikeluarkan tidak mendapatkan pesangon,” jelasnya lagi. Usai proses screening, daftar nama mahasiswa yang telah terjaring oleh Dewan Mahasiswa ITS juga diberikan kepada birokrasi. Tanpa basa-basi, seluruh mahasiswa yang masuk dalam daftar hitam itu mengakhiri masa perkuliahannya lebih cepat, tanpa ada toga menyertainya. Jumlah mahasiswa, dosen, ataupun pegawai yang dikeluarkan dari ITS setelah operasi screening tidak banyak. “Untuk dosen dan pegawai hanya sekitar satu sampai dua orang. Sementara untuk mahasiswa sebagian besar berasal dari CGMI,” ujar Marseno menambahkan. Meski telah melakukan screening dengan seksama, tetapi tidak menjamin kebebasan ITS dari oknum PKI. Pasalnya, melawan PKI sama halnya dengan melawan ideologi yang tak bisa mati. Moestahid menerangkan bahwa mungkin saja ada beberapa mahasiswa yang berhubungan dengan PKI namun terlihat seperti mahasiswa biasa. Karena screening tersebut sebatas melihat pergaulan sehari-hari dan tidak semua mahasiswa diselidiki dengan membuntuti segala aktivitas yang dilakukan. KTP Bertanda OT, Didiskriminasi Sampai Mati Tidak terbayangkan, mahasiswa pemilik identitas PKI semakin sulit menghadapi hidupnya. Bahkan, setelah dikeluarkan paksa dari kampus, mereka harus menerima hukuman sosial dalam hidup bermasyarakat. Mental hancur, masa depan suram bagi mereka yang masih punya kesempatan hidup. Ironisnya, pemerintah menandai Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka dengan predikat OT alias Organisasi Terlarang. Ialah dia, kawan Sjamsul. Hidupnya pahit tanpa warna. Sjamsul mengungkapkan bahwa kawannya itu bahkan dikeluarkan dari kampus. “Tetap saja kasihan, dengan KTP yang berlabel OT pasti akan sulit mencari pekerjaan,” kenang Sjamsul, pilu. Bertahun-tahun pemuda berlabel OT ini hidup tidak tenang. Hingga embel-embel OT yang didapatkan pada KTP-nya dihapuskan. Bagi siapapun, kenangan tersebut bukanlah sebuah memori yang inderap kampus perjuangan | 32


dah. Terutama bagi Sjamsul yang benar-benar anti komunis. Kemarahan Sjamsul atas PKI memaksanya berlumuran darah orang-orang tersebut. “Rasa penyesalan pasti hadir, namun lebih untuk menjadi pelajaran ke depan,” ungkapnya datar. Meski memilukan, di sisi lain Sjamsul menerima bahwasanya ikhtisar sejarah bukanlah untuk dicaci keberadaannya, tetapi untuk pembelajaran khususnya untuk bangsa ini. ITS Tak Menerima Mahasiswa Tahun 1966, kondisi Indonesia masih belum ideal akibat G30S/PKI. Akibat peristiwa itu, kampus menjadi lebih sepi, tidak banyak aktivitas yang dilakukan oleh sivitasnya. Jangankan kegiatan mahasiswa, kegiatan belajar mengajar juga tak ada wujudnya. Bahkan di tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan kebijakan bagi seluruh perguruan tinggi untuk tidak menerima mahasiswa baru dalam satu periode. Salah satu yang terkena dampak peraturan ini adalah Suprapti. Ia harus menunggu satu tahun lamanya sebelum diterima sebagai mahasiswa FTM angkatan 1967. Ketika ia mengisi lembar daftar ulang, Prapti dicecar dengan beberapa pernyataan soal keikutsertaannya terhadap organisasi ekstra kampus. Prapti menduga bahwa ini merupakan salah satu cara ITS agar unsur PKI tidak lagi kembali.

SouVEnIRITS, PERTAMA DAn MEnARIk Memiliki berbagai barang berlogo universitas bisa jadi hal yang membanggakan. Tidak heran, jika saat ini banyak inovasi yang diperkenalkan. Mulai tas, jaket, kaos, gantungan kunci hingga alat tulis. Mereka saling bersaing untuk merebut hati mahasiswa. Namun, sebenarnya tren itu sudah ada sejak akhir tahun 1960-an. Adalah Mochammad Moenir, sosok yang membumikan jenis souvenirtersebut di ITS. Tidak mudah untuk membuat janji dengan pria setengah baya ini. Maklum, pekerjaannya sebagai konsultan perkapalan sangat menyita sebagian waktunya. Namun, ketika penulis bertemu dengannya, ia menyambut ramah. Dengan suka cita ia berkisah soal pengalamannya mengelola souvenirkhas ITS. ‘’Ide itu muncul waktu Mapram ITS,’’ katanya mengawali. Waktu itu, satu minggu pertama semua mahaderap kampus perjuangan | 33


siswa ITS wajib menyeragamkan rambut mereka. Satu gundul semua gundul. Istilahnya, sama rata-sama rasa. Sayangnya, waktu seminggu tersebut tidak cukup untuk membuat rambut mahasiswa tumbuh. “Jadinya kan jelek. Karena itu, saya terpikir untuk berbisnis topi. Agar menarik saya kasih logo ITS. “ jelas Moenir. Fungsi jelas, untuk menutup kepala-kepala gundul mahasiswa baru. Gayung bersambut. Sesuai dengan perkiraannya, topi tersebut mempunyai nilai tambah. Dari situ, Moenir getol berinovasi. Barang lain seperti, tas, sabuk, gantungan kunci mulai dicobanya. Yang fenomenal adalah sepatu berlogo ITS. ‘’Waktu itu saya ditegur, masak logo ITS ditaruh di kaki,’’ ujarnya sambil mengenang. Hal itu pun dibenarkan oleh Tjuk Sukardiman, salah satu rekan Moenir. Banyak macam barang yang dulu diproduksi oleh Moenir. ‘’Dulu kalau ada mahasiswa ITS yang berjilbab, pasti dibuatkan jilbab berlogo ITS,’’ guyon Tjuk yang ditemui di kesempatan yang berbeda. Ketenaran souvenirITS jaman itu tidak hanya dalam kampus saja. Bisnis ini mulai dikenal di Universitas Airlangga. ‘’Prosesnya dari mulut ke mulut,’’ lanjut mantan Direktur PT. PAL ini. Rupanya mahasiswa universitas lain juga menginginkan produk yang sama. Tentu, dengan logo kampus masing-masing. Semakin melebarnya, bisnis ini juga tidak lepas dari keikutsertaan Moenir dalam berbagai aktivitas Dewan Mahasiswa. ‘’Dulu saya juga ajak dia kalau rapat ke universitas lain. Jadi dia koordinasi di luar, saya di dalam,’’ jelas Tjuk. Hasilnya, souvenir karya Moenir ini menyebar ke kampus seantero nusantara. Setiap mata yang melihat seolah tersihir untuk memiliki benda serupa. Sejak saat itu, Moenir pun melayani pesanan mulai dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, hingga manado dan Denpasar. Dari tahun ke tahun, mahasiswa ITS semakin akrab dengan aksesoris buatan Moenir. Karena itu, Dewan Mahasiswa ITS itu tertarik menjual produk buatannya. Karena itu, ia pun sempat dipercaya untuk mengelola toko Dewan Mahasiswa ITS. derap kampus perjuangan | 34


BAGIAN 2 STUDENT GOVERMENT (1970-1978)


#DE

RAP 03 ~

STUDENT GOVERMENT Hati nian semakin perih Melihat nyata kebengkokan Mendengar sayup rintihan kelaparan Merasakan sentakan kewenangan Kabut semakin kelabu di awang-awang Menanti tersembulnya mentari pagi Yang mampu menyemarakkan kesegaran Sehingga bibir mungil itu bisa tersenyum Dan dengan resah mulutnya mengucap : ‘’oh! Indonesiaku’’ (Gerakan Moral Mahasiswa, Pledoi Muhammad Sholeh, hal 119)


Lahirnya AD/ART, Kuatkan KM ITS

M

eski Senat Mahasiswa sudah berdiri sejak 1957 dan disusul terbentuknya Dewan Mahasiswa ITS tiga tahun kemudian, tetapi keberadaannya belum memiliki status hukum yang kuat. Dengan usia yang masih seumur jagung, hampir semua sivitas akademika ITS saat itu masih membangun pondasi perkuliahan yang ideal. Gagasan Student Government muncul pada awal tahun 1960 yang bertujuan untuk merancang sistem Senat Mahasiswa. Sayangnya, gagasan itu menguap tanpa hasil. Penyebabnya adalah peristiwa G30S/ PKI yang memicu vakumnya Student Government di ITS. Teror terkelam dalam sejarah negara Indonesia itu memberi dampak berantai hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Di ITS, efeknya berujung pada kekosongan kegiatan perkuliahan selama lebih dari satu tahun. “Nyaris selama dua tahun tidak ada kegiatan mahasiswa di kampus,” ungkap Tjuk Sukardiman, founder AD/ ART KM ITS. Kekosongan itu membangunkan kesadaran mahasiswa untuk segera mendirikan organisasi intra universiter yang berlandaskan dasar hukum, bukan asal pasang nama saja. Kesadaran ini ternyata juga terjadi di seluruh KM kampus lain di Indonesia. Efek jera akibat teror G30S/PKI membuat Dewan Mahasiswa ITS kala itu berpikir untuk merumuskan AD/ART yang rapi, sistematis, dan bebas dari unsur politik praktis. Awal tahun 1971 di Pacet, untuk kali pertama Dewan Mahasiswa ITS mengadakan kongres KM ITS. Kongres ini memiliki tujuan untuk menyusun AD/ART KM ITS. “Seluruh anggota Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa ITS hadir dalam kongres tersebut,” ujar Tjuk yang juga mewakili Senat Mahasiswa FTP. Setelah melalui diskusi, rapat dan pengajuan rancangan berulang kali, tepat pada 2 Januari 1971, AD/ART KM ITS disahkan secara resmi oleh Rektor ITS, Prof Soemadijo. Selain mahasiswa, peresmian itu juga dihadiri oleh karyawan, dosen, pejabat kampus, dan anggota YPTT 10 Nopember. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut bukan sebatas seremonial belaka. Hal pokok dan fundamental dari AD/ART KM ITS yang disepakati bersama menyebutkan bahwa kedudukan KM ITS adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Keluarga Besar ITS. Yang terdiri dari Pimpinan Institut atau Senat Institut, Organisasi Karyawan, Organisasi Orang Tua Mahasiswa dan juga KM ITS. Konsekuensi logis dari statuta tersebut menjadikan kedudukan KM ITS saat itu independen dan sejajar dengan pihak birokrasi jenjang manapun, termasuk dengan Rektor ITS. “Mahasiswa saat itu derap kampus perjuangan | 37


juga memiliki hak untuk menerima atau menolak rektor yang terpilih,” ungkap Tjuk.

Wajah Baru Student Government Kehadiran AD/ART membawa perubahan yang cukup signifikan. Sebelumnya, organisasi mahasiswa di ITS bagaikan sebuah negara tanpa struktur. Majelis Permusyawatan Mahasiswa (MPM) ITS adalah poin dasar yang membedakan Student Government era tahun 70-an dengan sebelumnya. Kalau sekarang, MPM ITS adalah Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) ITS. Sehingga, ada empat elemen penting dalam format baru Student Government. Yakni, Dewan Mahasiswa ITS dan Senat Mahasiswa sebagai fungsi eksekutif dan MPM serta Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) ITS sebagai fungsi legislatif. MPM dan Dewan Mahasiswa ITS adalah lembaga di tingkat institut, sementara BPM dan Senat Mahasiswa berada di tingkat fakultas. ITS memiliki tujuh Senat Mahasiswa yang terdiri dari Senat Mahasiswa FTM, FTS, FTE, FTK, FTP, FTA dan FIPIA. Demikian pula dengan BPM. Terdapat tujuh BPM yang mewakili masing-masing fakultas. Anggota BPM setiap fakultas berasal dari komisaris tiap tingkat. ‘’Bukan angkatan, karena dulu setiap tingkat bisa terdiri lebih dari satu angkatan. Kan perkuliahan belum teratur,’’ ujar Tjuk menegaskan. Karena itu, jumlah total anggota BPM mencapai sepuluh orang di tiap fakultasnya. Secara internal, mereka akan memilih ketua dan fungsionaris lain. Para Ketua BPM ini kemudian berkumpul di MPM ITS. Anggota MPM ITS berjumlah 14 orang yang terdiri dari ketua dan sekretaris BPM di tiap fakultasnya. ‘’MPM ITS itu tugasnya meminta pertanggungjawaban Dewan Mahasiswa ITS dalam hal keuangan dan juga pelanggaran AD/ART,’’ ujar Mohammad Djamil, anggota MPM asal FIPIA. AD/ART yang baru diresmikan memuat perubahan sistem pemilihan Senat Mahasiswa. Pada versi sebelumnya, anggota Senat Mahasiswa dari masing-masing fakultas ditunjuk langsung oleh komisaris angkatan melalui sebuah musyawarah. ‘’Dalam proses penentuan, selalu dilakukan musyawarah. Tidak pernah voting,’’ tambah Tjuk. Sedangkan pada peraturan yang baru, Ketua Senat Mahasiswa dipilih langsung oleh BPM. Prosesnya, setiap tingkat mengajukan calon Ketua Senat Mahasiswa untuk dipilih melalui pemilihan umum yang digelar oleh BPM. Ketua BPM dan Ketua Senat Mahasiswa terpilih akan dilantik langsung oleh dekan masing-masing fakultas. Hal ini disebabkan kaderap kampus perjuangan | 38


rena Senat Mahasiswa maupun BPM di fakultas merupakan organisasi resmi yang diakui oleh pihak birokrasi. Perubahan juga terjadi pada sistem pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS. Sistem lama memilih Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS berdasarkan hasil kesepakatan Ketua Senat Mahasiswa seluruh fakultas. Sedangkan peraturan yang baru menyebutkan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS dipilih melalui sidang MPM. AD/ART KM ITS ini juga mengatur alur kerja Dewan Mahasiswa ITS. Jika ada aktivitas atau kegiatan di luar ITS, Dewan Mahasiswa ITS wajib melapor ke MPM ITS. ‘’Peraturan ini khusus untuk kegiatan yang di luar program kerja. Kalau yang sudah masuk, ya nggak usah,’’ ujar Muhajir Manan, Ketua MPM ITS tahun 1976. Isu organisasi ekstra universiter juga dibahas dalam AD/ART KM ITS. Pembahasan ini sebagai wujud konsistensi KM ITS untuk menjaga kemurnian serta independensinya tanpa ditumpangi kepentingan pihak luar. Muhajir menceritakan bahwa peraturan ini sempat menuai protes. ‘’Tapi kami punya dasar kuat. Pertama, KM ITS hanya mengakui organisasi sesuai AD/ART. Sedangkan organisasi ekstra universiter tidak masuk di dalamnya. Kedua, jika dibiarkan, bakal ada friksi,’’ lanjut Muhajir.

Kontroversi Ketua Umum Dewan Mahasiswa Memahami sejarah Dewan Mahasiswa ITS, tentu tidak akan melewatkan cerita tentang Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan tentang siapakah orang yang menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS pertama? Jika dilihat dari kisah awal terbentuknya Dewan Mahasiswa ITS pada tahun 1961, ketua pertama adalah Tri Widodo. Tapi jika ditinjau dari AD/ART KM ITS, bisa jadi Zainal Abidin dan Sjamsul Bahri adalah Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS yang pertama. Perumusan AD/ART KM ITS memang diinisiasi pada era kepemimpinan Zainal Abidin. Menjelang eranya selesai, rumusan AD/ ART tersebut berhasil disahkan. ‘’Karena itu, Zainal juga dikukuhkan lagi sesuai dengan AD/ART yang sudah selesai dibuat,’’ ujar Tjuk, Ketua BPM FTP pertama ini. Usai masa jabatan Zainal Abidin berakhir, tampuk kepemimpinan Dewan Mahasiswa ITS lantas berpindah ke Sjamsul Bahri. Inilah Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS pertama yang proses pemilihannya berlangsung sesuai dengan AD/ART KM ITS. Sejak disahkan tahun 1971, AD/ART KM ITS ini berhasil mencetak empat generasi Dewan Mahasiswa ITS. Mulai dari Sjamsul derap kampus perjuangan | 39


Bahri, Budi A Adiputro, Petrus Purwadi hingga yang terakhir Harun Alrasyid.

Menentang Kebijakan PR 200 Student Government yang dimotori oleh Dewan Mahasiswa ITS berperan dalam setiap hal yang berkaitan dengan mahasiswa. Begitu pula ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyebabkan 90 persen mahasiswa ITS terancam drop out (DO). Kala itu, eksistensi Dewan Mahasiswa ITS terus berkembang seiring berjalannya waktu. Zaman dahulu memang tidak bisa disamakan dengan zaman sekarang. Terlebih, jika dilihat dari rentang waktu kelulusan mahasiswa. Jika sekarang banyak mahasiswa mengejar lulus tepat waktu berpredikat dengan pujian, tidak dengan dahulu. “Dahulu, daya tampung mahasiswa baru sedikit, tidak bisa ditambah, karena banyaknya mahasiswa abadi yang belum wisuda,� ungkap Tjuk tertawa getir. Kondisi tersebut sempat dibiarkan cukup lama hingga akhirnya keluarlah Peraturan Rektor Nomor 200 (PR 200). Isinya mengenai aturan bahwa mahasiswa tingkat dua yang sudah lebih dari lima tahun masa studi tidak bisa melanjutkan pendidikan sarjana. Mereka terpaksa lulus dengan ijazah sarjana muda. Peraturan itu tentu ditentang banyak mahasiswa yang merasa dirinya terancam. Tjuk menuturkan bahwa peraturan tersebut dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi yang sebenarnya. Benar saja, jika peraturan tersebut diberlakukan, akan terjadi DO mahasiswa berjamaah. Sejumlah mahasiswa menganggap terlambatnya masa studi bukan sepenuhnya salah mereka. Kala itu sistem perkuliahan masih belum sempurna. Mahasiswa menyayangkan beberapa dosen yang sering tidak hadir untuk mengajar. Tentu, PR 200 merupakan kebijakan strategis yang ditetapkan dalam rangka menaikkan angka partisipasi belajar. Artinya, kampus harus bisa menambah daya tampung mahasiswa baru. Sementara kapasitas kampus untuk menampung mahasiswa baru semakin habis karena banyak mahasiswa abadi. Untuk itulah peraturan tersebut diberlakukan. Akibatnya, hampir semua mahasiswa kala itu dituntut untuk kuliah lebih ngoyo. Tjuk mengenang pembicaraannya kepada rektor dalam mempertimbangkan peraturan tersebut sebelum diberlakukan. Menurutnya, akan ada 90 persen mahasiswa yang terancam DO. “Karena ketika itu banyak sekali yang belum tingkat III padahal sudah kuliah bertahuntahun,� ungkapnya. derap kampus perjuangan | 40


Dalam kalimatnya kepada rektor ITS, Tjuk mengatakan, Kami sangat menyetujui kebijakan pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan kapasitas daya tampung PT dengan menerapkan batas studi mahasiswa tidak lebih dari 5 tahun. Namun demikian apabila diterapkan, wahai Pak rektor, bahwa 90 persen mahasiswa akan DO dan kosonglah kampus. Untuk menguatkan pendapatnya, Tjuk mengumpulkan daftar nama mahasiswa yang terancam DO jika peraturan ini diberlakukan. Data yang terkumpul kemudian diserahkan kepada rektor. Rektor menyadari dan memahami hal tersebut. Akhirnya, berkat aksi mahasiswa, rektor menolak peraturan tersebut diberlakukan di ITS.

Krisis Rektor Sukses dengan PR 200, eksistensi Student Government kembali diuji. Tahun 1973, bertepatan dengan pemilihan rektor menggantikan Prof Ir Soemardijo, tersebar kabar yang mengatakan bahwa calon rektor bukan berasal dari ITS. Mekanisme pemilihan rektor waktu itu langsung dipilih oleh presiden. ‘’Sebenarnya jika ada calon dari ITS, pasti diutamakan,’’ terang Tjuk. Sayangnya, kondisi saat itu tidak ideal. Tidak ada satu pun pihak ITS yang berminat untuk mengajukan diri sebagai rektor. Kabar burung tersebut membuat geram KM ITS. Mereka merasa tidak rela jika yang menjadi rektor bukanlah seseorang yang tahu betul seluk beluk kampus perjuangan ini. Tidak tinggal diam, Student Goverment menunjukkan perannya. Musyawarah akbar dilakukan. Beberapa pihak telah dibujuk langsung untuk mau mencalonkan diri sebagai rektor. Sebagian memilih mempertimbangkannya, namun tidak sedikit pula yang menolak dan menawarkan beberapa nama lain. Puncaknya, Keluarga Besar ITS melakukan musyawarah akbar yang diikuti oleh seluruh sivitas akademika yang bertempat di Pandaan. Dewan Mahasiswa ITS menjadi wakil dari elemen mahasiswa. Sementara dari Senat Institut diwakili rektor dan jajarannya. Hadir pula keluarga karyawan yang diketuai oleh Burwono. Selain itu, Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) turut hadir untuk mengikuti musyawarah tersebut. Musyawarah berlangsung selama tiga hari. Mewakili Dewan Mahasiswa ITS, Tjuk Sukardiman dan Sjamsul Bahri menyampaikan penolakannya. Musyawarah berlangsung alot, hingga akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa ITS menolak keras apabila rektor berasal dari luar ITS. Penolakan tersebut berbuah manis. Akhirnya, Mahmud Zaki, terpilih menjadi Rektor ITS menggantikan Soemadijo. derap kampus perjuangan | 41


Era Baru Pergerakan Lambat laun sikap kritis mahasiswa ITS semakin tampak. Tepat di tahun ketujuh kepemimpinan Presiden Soeharto, mahasiswa mencium adanya indikasi penyalahgunaan jabatan oleh beberapa pejabat pemerintah. ‘’Saya pernah ikut menjadi salah satu konseptor Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pemerintah. Jadi, saya tahu bagaimana kecurangan itu dilakukan,’’ ungkap Sjamsul. Dalam program Repelita tersebut, ia menjumpai adanya kasus penyelewengan bahan bangunan seperti semen. Akibatnya, komposisi beton menjadi berbeda dengan perhitungan awal. Pengurangan komposisi bahan baku menyebabkan kerangka bangunan tidak kuat. Mengetahui fakta tersebut, mahasiswa langsung bergejolak. Tidak hanya ITS, tetapi juga mahasiswa seluruh Indonesia. Menanggapi hal ini, Dewan Mahasiswa seluruh Surabaya memutuskan untuk berkonsolidasi. Hasil pertemuan tersebut lantas menginisiasi adanya Konferensi Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia. Gagasan ini akhirnya terselenggara di Bali pada awal tahun 1972. Sebanyak 40 Dewan Mahasiswa dari seluruh Indonesia datang untuk berdiskusi. Diskusi tersebut dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri dan beberapa petinggi Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Riuh. Begitulah Sjamsul mendefinisikan suasana diskusi yang membahas permasalahan negara tersebut. Setiap Dewan Mahasiswa saling berebut dan tidak mau kalah dalam berargumen. Akibatnya, output yang diharapkan dari diskusi tersebut tidak tercapai. ‘’Padahal, targetnya pemerintah mau mendengarkan aspirasi mahasiswa,‘’ Samsul menjelaskan. Usai diskusi, kejadiannya justru berbalik. Pejabat pemerintah berniat untuk membentuk Kesatuan PTN dalam bentuk unity. Mendengar hal tersebut, dengan lantang, Sjamsul menyerukan keberatannya. ‘’Mahasiswa kembali ditipu dengan dalih penyatuan PTN yang dinaungi oleh satu pemimpin. Padahal, hal itu meninabobokan mahasiswa dengan mengontrol satu pemimpin,’’ lanjutnya menggebu. Pendapat Sjamsul cukup beralasan. Pasalnya, kepengurusan Dewan Mahasiswa bersifat terbatas oleh waktu. Jika kesatuan PTN tetap diberlakukan akan membuat mahasiswa semakin diam dan tidak bergerak. Apalagi masa belajar dari mahasiswa tiap PTN pun berbeda. Kala itu, sebagian besar mahasiswa adalah angkatan tahun ke lima dan yang lain sudah menyandang status sarjana muda. Penolakan ini mendapat respon dari pemerintah. Para pejabat teras merasa was-was terhadap aktivitas mahasiswa. Terlebih lagi, saat mereka tahu bahwa Samsul aktif berorasi dan mengajak mahasiswa lain derap kampus perjuangan | 42


untuk bergerak mengkritisi pemerintah. Gerak gerik Sjamsul pun diawasi. Memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah adalah salah satu agenda Dewan Mahasiswa ITS kala itu. Namun, bukan berarti mereka tidak mengurus kegiatan internal. Justru, keduanya berjalan beriringan. Salah satu perjuangan internal kampus yang diusahakan Dewan Mahasiswa ITS adalah pembangunan fasilitas mahasiswa. ‘’Tahun 1971, masing-masing mahasiswa ditarik iuran sebesar Rp 2500. Hasilnya digunakan untuk membangun poliklinik oleh Dewan Mahasiswa ITS. Waktu itu, sudah ada dokter yang bertugas tiap hari,’’ kata Sajmsul. Di tahun yang sama, dana mahasiswa yang terkumpul juga digunakan untuk membangun asrama mahasiswa di Ketabang Kali. Pembangunan asrama tersebut juga didukung oleh YPTT 10 Nopember yang diketuai H Yahya Hasyim. Jangan bayangkan, pembangunan asrama akan seperti sekarang. Kemampuan dana yang terbatas memaksa mahasiswa ikut turun tangan. ‘’Kami ikut mendesain, hingga turun langsung dalam proses pembangunan,’’ lanjutnya.

derap kampus perjuangan | 43


DE RAP 04 // MALARI

@

Situasi berubah kacau. Ratusan tentara yang tadinya berjajar rapi mulai mengarahkan senjatanya ke atas, siap siaga akan menembak. Tidak lama kemudian terdengar desing peluru bergantian, memekakkan telinga. Tembakan peringatan seketika berubah menjadi serangan membabi buta.

derap kampus perjuangan | 44


Dominasi Produk Jepang

T

ahun 1973, produk asal Jepang mulai mendominasi pasar domestik. Investasi produk Jepang berkembang pesat di sebagian besar wilayah Indonesia. Jika dibiarkan, dikhawatirkan akan menggeser eksistensi produk lokal dan mematikan usaha rakyat.

Pertengahan Januari, tersebar kabar bahwa Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, berkunjung ke Indonesia. Kedatangannya menyulut keresahan akan bertambahnya persentase dominasi produk Jepang di Indonesia. Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang tidak boleh menginjakkan kaki di tanah air. Sebab, para mahasiswa kecewa melihat mudahnya pemerintah Indonesia menerima produk luar negeri. Beberapa kampus mulai menggelar diskusi membahas permasalahan ini, tak terkecuali ITS. Ternyata, pemerintah bergerak lebih cepat. Mencium adanya pergerakan mahasiswa yang dilakukan tiap kampus, secara serentak Ketua Umum Dewan Mahasiswa seluruh perguruan tinggi diundang ke Jakarta. Mereka diminta untuk menemui Presiden di Istana Negara. Sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS saat itu, Sjamsul bertolak ke Jakarta. Ia pergi bersama Djaelani yang menjabat sebagai Ketua I Dewan Mahasiswa ITS. Perjalanan Surabaya-Jakarta mereka tempuh dengan menggunakan kereta api. Rombongan tiba di Jakarta tepat sehari sebelum kedatangan Tanaka. Kala itu, suasana ibu kota masih tentram, seakan tidak akan terjadi sesuatu. Sesampainya di ibu kota, mahasiswa UI tengah mengadakan kumpul komunal untuk mempersiapkan sebuah gerakan guna menanggapi kedatangan Tanaka ke Indonesia. “Tapi saya belum mengerti betul apa kegiatan yang ada di sana,” kenangnya. Pada saat bersamaan, mahasiswa Trisakti berkumpul di sekitar kampus di kawasan Bilangan, Grogol, Jakarta. Sementara itu, Budi A Adiputro, Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS 1974/1975 menceritakan pada bulan Desember 1973, ia diundang ke sebuah konferensi mahasiswa. Acara tersebut dibalut dalam bentuk Latihan Nasional Kepemimpinan Dewan Mahasiswa (LNKDM) di Jakarta. Ia bertandang ke ibu kota bersama Sumantri, salah satu staf Dewan Mahasiswa. Mereka mewakili Dewan Mahasiswa ITS dalam pelatihan tingkat nasional tersebut. ‘’Periode Dewan Mahasiswa ITS waktu itu sudah mau selesai. Jadi saya yang berangkat,’’ terangnya menjelaskan alasan penunjukannya mewakili ITS dalam LNKDM. Tak disangka, konferensi tersebut berisi pematangan konsep derap kampus perjuangan | 45


untuk menentang kedatangan PM Jepang. Rencananya, aksi tersebut akan menggerakkan mahasiswa seluruh Indonesia ketika Tanaka bertandang ke Indonesia. 12 Januari 1974, tiga hari sebelum peristiwa itu terjadi, Budi menuju ke Puncak, Bogor untuk berkumpul dengan Ketua Umum Dewan Mahasiswa se-Indonesia. Sementara di Jakarta, dalam waktu bersamaan dilakukan persiapan gerakan untuk mengoreksi kepemimpinan Soeharto, terutama terkait dengan dominasi produk Jepang. 14 Januari 1974, satu hari menjelang peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari), perwakilan Dewan Mahasiswa ITS menyusul berangkat ke Jakarta. Mereka berkumpul di Bina Graha untuk bertemu Presiden Soeharto. Kala itu, Ketua LNKDM sekaligus pengurus Dewan Mahasiswa UI, Dipo Alam menjadi koordinator kegiatan pertemuan. Tak kurang dari seratus mahasiswa berkumpul. Pagi itu juga, Presiden Soeharto bersedia menemui mahasiswa. Namun, mahasiswa gagal menyampaikan aspirasi. Kharisma Soeharto mampu meredam amarah mereka. ‘’Hampir semua mahasiswa terpukau melihat pesona Soeharto. Sangat kebapakan kepada kami. Kami yang tadinya marah, hanya bisa diam,’’ ujar Budi mengenang.

Pagi Datang dan Malapetaka itu Terjadi Jakarta, 15 Januari 1974, hari ketika Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) terjadi. Sekitar pukul 08.00 pagi, Tanaka tiba di Bandara Halim Perdanakusuma. Ribuan mahasiswa menyambut kedatangan Tanaka. Pun dengan ribuan pasukan bersenjata pemerintah. Penjagaan ketat tentara menghadang rombongan mahasiswa. Alhasil, mereka gagal menerobos masuk pangkalan udara. Tak surut langkah, ribuan mahasiswa beralih ke jalan. Motif mahasiswa saat itu murni khawatir jika pertemuan Tanaka dengan Soeharto adalah untuk kerjasama investasi produk Jepang di Indonesia. Disinyalir hal itu bisa mematikan produsen produk dalam negeri. Tak disangka, aksi ini justru berujung kerusuhan. Situasi berubah kacau. Ratusan tentara yang tadinya berjajar rapi mulai mengarahkan senjatanya ke atas, siap siaga akan menembak. Kemudian, suara peluru terdengar bergantian, memekakkan telinga. Awalnya hanya tembakan peringatan, namun beberapa saat kemudian berubah menjadi tembakan membabi buta. Waktu itu, Sjamsul dan Djaelani masih di Jakarta. Pun dengan Budi dan Sumantre meski berbeda rombongan. Sjamsul dan Djaelanilah yang mengikuti pergerakan mahasiswa menyambut PM Tanaka di bandara. derap kampus perjuangan | 46


Praktis, mereka menjadi saksi peristiwa berdarah itu. Keduanya memilih untuk tinggal di dalam hotel dan hanya mengamati situasi yang ada. Beruntung, hotel paling murah yang mereka tempati tidak terkena dampak dari kejadian tersebut. Lekat dalam ingatan Sjamsul, bagaimana rintihan minta tolong terdengar samar di sana-sini. Di seberang tempatnya menginap, beberapa perempuan tampak lari terbirit-birit keluar dari gedung seraya berteriak ketakutan. Bahkan, beberapa di antaranya hanya berbalut handuk. ‘’Mungkin saking takutnya,’’ cerita Sjamsul. Kondisi Jakarta porak-poranda. Darah berceceran bak lautan merah. Kepulan asap mengepul di sudut-sudut kota. Tak terhitung jumlah korban yang tewas maupun luka-luka. Ribuan mobil dan motor dirusak dan dibakar. Tak terhitung jumlah bangunan yang dijarah dan dirusak. Kerusuhan yang terjadi di DKI membuat Soeharto takut akan terjadi sesuatu dengan Tanaka jika Perdana Menteri ini tetap di Indonesia. Tidak berpikir lama, Presiden Soeharto segera mengantar Tanaka ke Bandara Halim Perdanakusuma. Seketika itu pula, sang Perdana Menteri kembali ke negeri sakura. Budi yang kala itu juga di Jakarta, merasakan kondisi yang sama, ketakutan dimana-mana. ‘’Tak ada pilihan. Saya lari. Nggak tahu kemana,’’ jelas Budi. Ia masih ingat betul, mahasiswa yang tadinya berkumpul menjadi satu, tercerai berai. Ada oknum mahasiswa yang melakukan aksi bakar-bakaran. Sebagian mahasiswa lain kebingungan, mereka justru tidak tahu terhadap apa yang terjadi. Sebab, hal tersebut di luar konsep kegiatan yang telah disepakati. “Setelah saya lulus dan bekerja, saya baru tahu kalau peristiwa Malari itu didomplengi oleh pihak lain. Tidak murni mahasiswa,” terang Budi. Jakarta memanas, lain dengan Surabaya. Kota Pahlawan masih tenang seolah tidak terusik dengan tragedi Malari. Tidak ada huru-hara seperti di ibu kota. Tepat 15 Januari 1974, mahasiswa ITS juga berkumpul, tapi dalam rangka menggelar seminar yang bertema Dominasi Produk Jepang di Indonesia . Tidak ada aksi turun ke jalan. Meski begitu, untuk antisipasi, mahasiswa mengadakan penjagaan ketat. Tokoh-tokoh mahasiswa waktu itu, seperti Muchayat, Made Joni, dan aktivis lain menjaga parkiran gedeg di Kampus Baliwerti. Tujuannya untuk mengawasi akses mahasiswa yang keluar masuk kampus. Mereka menjaga agar tidak ada pengaruh dari luar yang menyulut amarah mahasiswa ITS untuk melakukan demonstrasi. Peristiwa kerusuhan Malari mereda, Sjamsul yang saat itu masih di Jakarta, menduga ada hal yang tidak beres. Ada sesuatu yang mengusiknya untuk mencari tahu. Ia lantas berdiskusi dengan beberaderap kampus perjuangan | 47


pa tentara yang dikenalnya. Alih-alih mendapatkan jawaban, tentara itu justru menyarankan agar keduanya kembali ke Surabaya. Mereka setuju. Keesokan harinya, bersama Djaelani, Sjamsul pun meninggalkan hotel. Mereka heran ketika keadaan tiba-tiba sudah kembali normal seperti biasa. Pasalnya, masyarakat sipil yang meninggal jumlahnya lumayan banyak. “Seperti disulap, kondisi jalanan yang kemarin kacau balau hingga mayat bergelimpangan, sudah tertata seperti sediakala,� kenang Sjamsul tertawa getir. Ternyata, Sjamsul berubah pikiran, ia belum ingin kembali ke Surabaya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berpisah dengan Djaelani. Sjamsul berpesan kepada Djaelani bahwa ia akan melihat keadaan mahasiswa di kampus lain. Sementara Djaelani kembali ke Surabaya. “Jika saya tidak segera kembali ke Surabaya dalam jangka waktu 3 sampai 4 hari ke depan, segera adakan sidang umum pengangkatan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS,� pesannya kala itu. Setelah berpisah dengan Djaelani, Sjamsul bergegas menuju UI. Ia mencari tahu kejadian Malari yang sebenarnya. Sayangnya, kampus UI saat itu telah sepi dari aktivitas. Melihat hal tersebut, Sjamsul segera bertolak ke Yogyakarta untuk menemui Dewan Mahasiswa UGM. Tiba di UGM, Sjamsul berdiskusi dengan beberapa anggota Dewan Mahasiswa di sana untuk mencari tahu penyebab utama kejadian Malari. Mereka berspekulasi bahwa peristiwa tersebut terjadi akibat adanya oknum tertentu dari luar mahasiswa yang sengaja menyulut kerusuhan. Genap tiga hari di Yogyakarta, Sjamsul kembali ke Surabaya. Kedatangannya disambut haru oleh rekan-rekan lainnya. Mereka lega melihat Sjamsul dalam keadaan baik-baik saja. Sesampainya di kampus, ia langsung diminta menemui Rektor ITS untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi di Jakarta. Tak hanya itu, ia bolak-balik menemui beberapa tentara di Surabaya untuk menjelaskan terkait spekulasinya bahwa bukan mahasiswa yang menyebabkan peristiwa Malari. Bahkan, Sjamsul membantu menyebarkan informasi terkait adanya peristiwa Malari ke media internasional lewat Australian Broad Casting (ABC).

derap kampus perjuangan | 48


^^ DE

RAP 05 DEWAN MAHASISWA 1976/1978 bergejolak The man behind the gun, setiap peristiwa punya tokohnya masing-masing.

00

derap kampus perjuangan | 49


Polemik Pemilu Dewan Mahasiswa ITS 1976/1977

T

ahun 1976, AD/ART KM ITS telah stabil dan mulai diterapkan dengan baik. Integrasi dan kesatuan KM ITS seolah mendarah daging di dalam diri mahasiswa. Sebab, baik KM maupun Dewan Mahasiswa ITS mampu menjawab student need dan student interest para mahasiswa. Pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS dilakukan berdasarkan aturan AD/ART KM ITS. Pertama, dilakukan open recruitment calon Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS melalui BPM masing-masing fakultas. Selanjutnya, dilakukan uji kelayakan atau fit and proper test. Ketika itu, Harun dicalonkan oleh Senat Mahasiswa FTP. Selain Harun, dua calon lain yaitu I Gde Sudanta dari FTS dan Muchayat dari FTK. Di tengah gejolak pemilu tersebut, sempat terjadi kontroversi di KM ITS. Hal itu bermula ketika jabatan Budi Atmadi Adiputro usai, posisi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS beralih ke tangan Petrus Purwadi yang berasal dari FTP. Sayangnya, kepemimpinannya tak bertahan lama. Petrus diturunkan sebelum masa jabatannya berakhir. Muhajir, Ketua MPM 1976/1978, menuturkan latar belakang penurunan Petrus karena terlalu mengistimewakan mahasiswa asal FTP. Dahulu, hampir semua mahasiswa fakultas yang terletak di Bilangan Basuki Rahmat ini adalah laki-laki. Karena itu, mereka cenderung menganggap dirinya merasa paling pintar, paling kompak, dan paling kuat. Sehingga di setiap acara, mahasiswa FTP selalu mendominasi. ‘’Kecuali pada pertandingan olahraga. Kalau yang itu mereka selalu kalah,� gurau Muhajir. Ketidakmampuan Petrus dalam bekerja sama dengan fakultas lain juga dianggap menjadi penyebab ia digulingkan. Untuk mengisi kekosongan ini, Rianto, yang dulu berstatus sebagai anggota MPM ITS dipercaya untuk menjadi caretaker hingga pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS selanjutnya. Track record Petrus yang kurang bagus rupanya berimbas pada calon Dewan Mahasiswa ITS dari kubu FTP. Pemilihan berikutnya, Harun Alrasyid, mahasiswa FTP yang mencalonkan diri pun ditolak. Alasannya, mahasiswa masih trauma dengan kepengurusan Petrus. Ada ketakutan jika Harun akan sama halnya dengan Petrus.

derap kampus perjuangan | 50


Gambar 1 Pelantikan Ketua DM Periode 76-77 Harun Al Rasyid, Rianto Menandatangani, Edigom Berdiri Menyaksikan

Hal itu diperparah dengan adanya tuduhan dari fakultas lain bahwa jika Harun terpilih, maka akan menimbulkan dominasi kepentingan FTP dalam Dewan Mahasiswa ITS. Selama ini MPM mampu menjaga kampus dari dominasi organisasi ekstra universiter, maka seharusnya MPM bisa mencegah dominasi dari satu fakultas saja. Setiap ada aksi pasti ada reaksi. Begitu dominasi FTP muncul, maka FTM dan FIPIA pasti tidak terima. Karena masing-masing punya mahasiswa senior yang kompeten. Namun, Muhajir membantah. Baginya, MPM tidak boleh menyamaratakan orang. “Petrus ya Petrus. Harun ya itulah Harun dengan karakter khasnya. Dia itu teguh pendiriannya. Nggak mau disetir seniornya di FTP. Ini terbukti dari diskusi yang pernah dilakukan. Berbeda dengan Petrus,’’ lanjut Muhajir. Pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS tahun 1976 berlangsung penuh pertimbangan. Awalnya dari FTS yang akan ditunjuk. Namun, terjadi perdebatan di jajaran MPM. Hingga akhirnya terpilihlah Harun sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS. Doktrin soal dominasi FTP pun melemah. “Kalau doktrin itu lahirnya dari FTP, kita yang akan sikat FTP,” ungkapnya dalam forum tersebut. Muhajir pun berpesan kepada Harun, ”Kejadian kemarin jangan sampai terulang, mandeg di tengah jalan. Mahasiswa senior di ITS memang kebanyakan dari FTP, tapi bukan berarti bisa didominasi,” ungkapnya kepada Harun. Meskipun Harun tidak pernah menjadi pengurus Dewan Mahasiswa ITS, kapabilitasnya cukup tinggi. Pengalamannya sebagai Ketua Pekan Orientasi Studi Mahasiswa (Posma) cukup menjadi bekal untuknya. Setelah para calon melakukan diskusi panel, dilanjutkan dengan fit and proper test. Kemudian, Harun dipanggil oleh MPM dan diumumkan sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS terpilih. Harun merupakan orang yang tergolong netral. Di era kepemimpinannya, ia tetap melibatkan orang-orang yang berasal dari organisasi ekstra universiter sebagai fungsionaris Dewan Mahasiswa ITS. derap kampus perjuangan | 51


Mohammad Sholeh misalnya, ia didapuk sebagai Sekretaris Umum Dewan Mahasiswa ITS. Meski ia adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Begitu pula dengan Unggul Roseno yang merupakan aktivis Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS).

Kisah Ini Disebut Mahasiswa Bertanya Awal kepemimpinan Harun, suhu politik Indonesia sedang memanas. Soeharto kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk kali ketiga. Hal tersebut, membuat mahasiswa di Indonesia bereaksi terhadap perkembangan politik yang terjadi. Mahasiswa ingin membangun kehidupan masyarakat yang demokratis. Sehingga, jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang, mereka akan langsung bereaksi. Aspirasi mahasiswa disampaikan melalui demonstrasi damai pada event-event tertentu. Atau bisa juga melalui diskusi dengan pejabat tinggi. Pada masa itu, Ketua Umum Dewan Mahasiswa antar perguruan tinggi rutin berkoordinasi. ITS bersama UI, ITB, UGM, IPB dan perguruan tinggi lain terus melawan praktik pemerintah yang tidak sejalan dengan ide demokrasi. Salah satu momen penting yang dilakukan mahasiswa adalah pengajuan kritik keras terhadap pola kampanye yang dilakukan partai politik. ‘’Kita melakukan suatu manuver yang kita kenal sebagai aksi Mahasiswa Bertanya,’’ ujar Harun Alrasyid. Dikenal demikian, lantaran mahasiswa mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam membina pola kampanye partai. Saat itu, pemerintah cenderung membiarkan partai politik melakukan kampanye yang membodohkan masyarakat. Bentuk kampanye yang dimaksud seperti mengadakan pesta dangdut. ‘’Bahkan, tidak ada pencerahan tentang visi dan misi mengenai rencana mereka ke depan jika terpilih. Makanya, kita protes keras,’’ lanjut Harun. Salah satu cara protes yang dilakukan adalah dengan mengirim delegasi ke Gubernur dan Panglima Kodam (Pangdam). Aktivitas semacam itu sangat berisiko. Hal ini lantaran bentuk pemerintahan Presiden Soeharto yang otoriter atau lebih dikenal dengan pemerintahan tangan besi. Praktis, tidak ada elemen masyarakat yang berani melakukan manuver kecuali mahasiswa. ‘’Pak Harto tahun 1976 itu bukan Pak Harto tahun 1998. Dia masih muda, masih kuat, cengkeramannya masih sangat tangguh. Tidak ada kekuatan yang berani secara terang-terangan menunjukkan resistensi terhadap pola pemerintahan Pak Harto. Yang berani hanya mahasiswa,’’ kata Harun menjelaskan. derap kampus perjuangan | 52


Ikrar Mahasiswa 28 Oktober 1977, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia berkumpul di Bandung. Mereka berkoordinasi mengadakan forum yang melahirkan sebuah nota kesepakatan berlabel Ikrar Mahasiswa. “Ada tiga hal yang disampaikan. Pertama, melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila dengan konsekuen. Kedua, menuntut DPR/ MPR menggelar sidang istimewa terhadap pelanggaran UUD 1945 dan Pancasila yang dilakukan Soeharto. Serta yang ketiga, bertekad tetap menggalang kesatuan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat,� ujar Harun. Tindakan itu dipilih karena mahasiswa menganggap rezim Soeharto sudah terlalu melenceng dari UUD 1945. Contohnya, dalam UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden hanya boleh menjabat selama dua periode saja. Tetapi waktu itu, Soeharto sudah mencalonkan untuk kali ketiga. Selain itu, mahasiswa merasakan adanya gejala nepotisme. Dinasti Soeharto mulai merintis kastil keluarga Cendana. Mereka mulai dominan dalam beberapa industri nasional. Misalnya, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) hingga Bandara Soekarno-Hatta. Anak-anak Soeharto bertindak sebagai kontraktornya. Kisah soal Ikrar Mahasiswa ini turut diamini oleh Djawahir Adnan. Sejak dilantik menjadi Dewan Mahasiswa ITS, Harun rutin melakukan koordinasi dengan pengurus Dewan Mahasiswa di luar Surabaya terutama di Jakarta dan Bandung. Menjelang pemilu legislatif untuk memilih anggota MPR pada Mei 1977, pertemuan antar Dewan Mahasiswa semakin rutin digelar di berbagai kota seperti Yogyakarta, Jakarta, Padang dan Bandung. “Ikrar Mahasiswa ini adalah awal dari hegemoni mahasiswa melawan Soeharto,� ujar Djawahir.

Dewan Mahasiswa Lanjutkan Kepengurusan Memasuki akhir tahun 1977, kondisi politik nasional kian membara. Senada dengan itu, pergerakan mahasiswa juga makin bergelora. Faktor utamanya, mahasiswa takut jika Soeharto akan menang lagi dalam Pemilu 1978 dan kembali menguasai Indonesia. Padahal, jika hal itu terjadi akan menyalahi ketentuan UUD 1945. Namun, Soeharto berkelit. Menurutnya, jabatan periode tahun 1966-1971 itu hanya jabatan pengganti. Ia baru menjabat sebagai Presiden tahun 1971-1976. Sehingga, ia merasa layak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tahun 1978. derap kampus perjuangan | 53


Di tengah panasnya suhu politik dan pergerakan mahasiswa, pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS periode berikutnya sengaja tidak dilaksanakan. Satu kepengurusan Dewan Mahasiswa ITS seharusnya bergulir dari November ke November. Padahal saat itu sudah memasuki Desember 1977. Pada saat yang sama, mobilitas Dewan Mahasiswa ITS sangat tinggi. Dalam waktu satu bulan, mereka bisa tiga kali bertolak ke Jakarta untuk berkoordinasi. Lima Perguruan Tinggi besar, USU, UI, ITB, IPB dan ITS menyusun rencana besar untuk melancarkan sebuah misi mahasiswa seluruh Indonesia. Sehingga sangat tidak mungkin untuk melakukan suksesi. Hal tersebut memaksa MPM mengeluarkan surat mandat untuk Dewan Mahasiswa ITS. Isinya kepengurusan Dewan Mahasiswa ITS periode 1976/1977 akan melanjutkan kepengurusan hingga kondisi memungkinkan untuk diadakannya pemilihan ketua umum baru Dewan Mahasiswa ITS. Alhasil, Harun yang seharusnya telah mengakhiri kepengurusan pada tahun 1977, harus diperpanjang hingga waktu yang tidak ditentukan. Keputusan ini dipilih agar Pemilu ITS tidak disusupi oleh oknum luar. Mahasiswa sangat takut jika pergerakan mahasiswa menjadi tidak murni alias didomplengi oleh kepentingan lain. “Dulu susah sekali mencari orang yang netral,� ungkap Muhajir, Ketua MPM ITS kala itu. Penolakan terhadap organisasi ekstra kampus bagi ITS adalah prinsip. Sudah ada kesepakatan mahasiswa soal ini. MPM ITS juga punya kebijakan untuk menolak keberadaan organisasi ekstra universiter di ITS. Meski demikian, sesekali ITS sempat kecolongan. Pernah ada organisasi yang menggunakan nama Komisariat ITS untuk kepentingan golongan tertentu.

derap kampus perjuangan | 54


DE } RAP 06 BALIWERTI BERAKSI 10 Nopember 1977, Ribuan mahasiswa kembali berkumpul. Jika Ganesha sudah membara, kini giliran Baliwerti yang beraksi.

\\\\\\\

derap kampus perjuangan | 55


T

ak kurang dari 3000 mahasiswa merapatkan diri dalam peringatan Hari Pahlawan 1977. Mereka akan berziarah ke Tugu Pahlawan sambil menyuarakan isi hati.

Dalam aksi ini, Harun Alrasyid, Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS menunjuk Unggul Roseno sebagai koordinator aksi. Dulu, menggelar aksi dengan ribuan massa seperti itu bukanlah hal mudah. Tapi Unggul tak boleh gagal. Ia harus menjamin aksi ini berjalan, bagaimanapun caranya. Strategi mulai dipersiapkan. Konsep long march beberapa kali disempurnakan. Intinya, mahasiswa hanya ingin melakukan aksi. Sehari sebelumnya, 9 Nopember 1977, Unggul dipanggil Laksusda Komkamtib. Namun, Harun melarangnya pergi. Menurut Harun, ini sudah urusan Dewan Mahasiswa tetapi Unggul bersikukuh akan tetap pergi. ‘’Lek kon sing ketangkep, terus piye?’’ ujar Unggul kepada Harun. Berangkatlah Unggul bersama Sholeh memenuhi panggilan Laksusda Komkamtib. Pukul 20.00 malam, mereka tiba. Kedatangan mereka disambut tatapan penuh curiga. Unggul menyeringai. Ia hanya peduli pada amanah untuk melancarkan aksi. Gambar 1 Ribuan Mahasiswa yang Bersiap untuk Aksi Baliwerti

derap kampus perjuangan | 56


Gambar 1 Perwakilan ketua SM dan DM seluruh Indonesia melakukan long March

Diawali sedikit basa-basi, Unggul mulai dicecar berbagai pertanyaan yang menyudutkan. Ada saja yang ingin mereka ketahui. Mulai dari motivasi politik, alasan menerjunkan ribuan mahasiswa, hingga siapa yang membiayai aksi ini. ‘’Terakhir saya diancam akan ditahan,’’ kata Unggul. “Jika bapak menahan saya, pasti akan ada masalah besar. Saya tidak bertanggung jawab jika terjadi kekacauan” tegas Unggul sedikit mengancam. Sementara di Kampus Baliwerti ITS, koordinasi tetap berjalan. Ada kecemasan terhadap Unggul dan Sholeh yang tak kunjung datang. Meski begitu, aksi ini akan tetap dilaksanakan, walaupun Unggul tidak kembali. Apalagi sebelum berangkat Unggul sempat berpesan, ’’Lak aku gak mbalek, piye carane aksi iki tetep mlaku.’’ Satu jam, dua jam, hingga pagi menjelang Unggul tak kunjung dibebaskan. Ia tak bergeming. Paksaan Laksusda Komkamtib untuk menghentikan aksi hanya angin lalu baginya. Tak kunjung selesai, Unggul angkat bicara. ”Lebih baik Bapak melepaskan saya. Karena hanya saya yang bisa menghentikan dan menarik mundur mereka kembali,” tegas Unggul. Akhirnya, Unggul dan Sholeh dilepaskan. Sebagai gantinya, mereka menjadi orang paling bertanggung jawab terhadap aksi tersebut. Keduanya, lantas bergegas menuju kampus. 10 Nopember 1977, ribuan mahasiswa derap kampus perjuangan | 57


bergerak. Menyemut tertib dengan karangan bunga di tangan. Aksi Baliwerti ini menjadi gerakan mahasiswa terbesar kedua setelah peristiwa Malari 1974. Baliwerti dipilih karena lokasinya yang dianggap lebih dekat dengan Tugu Pahlawan. Jika terlalu jauh, mereka takut akan disusupi layaknya Malari. Berdasarkan kesepakatan, rombongan hanya boleh berjalan hingga perempatan jalan besar sebelum Tugu Pahlawan. Selanjutnya, hanya perwakilan tiap perguruan tinggi saja yang diperbolehkan masuk ke halaman Tugu Pahlawan untuk meletakkan karangan bunga. Sebagai koordinator, Unggul memberi instruksi seluruh pasukan untuk menaiki salah satu mobil panser. Sementara yang lain hanya bisa menunggu di perempatan jalan dengan penjagaan yang luar biasa ketat. Menurut Harun, aksi ini mampu melahirkan suatu statement bersama. “Semangat kepahlawanan akan selalu mewarisi generasi muda (mahasiswa, red),’’ ujar Harun bersemangat. Raga bergetar. Acara yang bermodal swadaya ini berhasil bubar dengan tertib, tanpa bentrokan. Bagi mereka inilah aksi sesungguhnya dari para pembenci kebrutalan. Mereka hanya ingin nyekar. Titik.

Aksi Duduk Gerakan mahasiswa tahun 1977 ibarat bola salju, makin lama makin besar. Protes terhadap pencalonan Soeharto menjadi presiden terus menyeruak. Pada masa itu, Soeharto menjadi calon presiden tunggal. Padahal, mahasiswa menginginkan adanya calon lain. Usai menggelar aksi Baliwerti pada 10 Nopember 1977, Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Surabaya secara rutin mengadakan pertemuan seminggu sekali. Mereka merecanakan untuk mengadakan kegiatan sebagai peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember 1977. “Koordinator Dewan Mahasiswa se-Surabaya akhirnya sepakat mengadakan kegiatan peringatan HAM dengan Unair sebagai tuan rumahnya,” ungkap Djawahir Adnan. Selain ITS dan Unair, beberapa mahasiswa kampus lain di Jawa Timur seperti UB, IAIN Surabaya, Unej, dan IKIP Surabaya juga turut serta. Acara diskusi ini menghadirkan Harun Alrasyid (Ketua Dewan Mahasiswa ITS), Agil Haji Ali (Ketua Dewan Mahasiswa UB), serta Toni Hartono (Ketua Dewan Mahasiswa Unair) sebagai panelis. Diskusi yang hanya berlansung beberapa saat ini pun melahirkan sebuah deklarasi yang disebut Deklarasi Surabaya. Isinya berupa tuntutan mahasiswa terhadap pemerintah agar melaksanakan Declaration of Human Right yang dicetuskan oleh PBB. Dalam Declaration of Human Right terdapat hak-hak warga negara sebagai bagian dari hak derap kampus perjuangan | 58


asasi manusia. Usai menggelar diskusi panel, ratusan mahasiswa antar perguruan tinggi ini berencana menuju gedung DPRD Surabaya. Tujuannya untuk menyampaikan hasil diskusi mereka kepada sang wakil rakyat. Tak disangka, baru sampai di depan kampus, ratusan Pasukan anti Huru-Hara (PHH) bersenjata lengkap telah siap siaga menghadang. Mahasiswa tak boleh lewat, tak boleh meninggalkan tempat. Spontan, mahasiswa pun langsung duduk di tempat mereka berdiri. Tak lama kemudian, beberapa pemimpin aksi mengambil peran. Mereka melakukan orasi di depan para pasukan militer untuk menyuarakan aspirasi. Aksi berlangsung hampir lima jam. Mahasiswa belum bergeming dari tempat duduk. Begitupun dengan PHH yang enggan bergerak dari posisi mereka. “Beberapa teman sampai ada yang mencoba mengganggu tentara. Ada yang digelitikin biar bisa ketawa, ada yang diganggu. Tapi mereka tetap dalam posisi siap,” lanjut Djawahir. Akhirnya, menjelang pukul tiga sore, mahasiswa bubar dengan sendirinya tanpa ada bentrokan dengan PHH. Namun, meskipun bubar dengan tertib, penjagaan yang dilakukan PHH masih ketat. Bahkan, hingga pulang dari Unair, Djawahir dan beberapa rekannya mendapat pengawalan dari pihak militer.

Peringatan Tritura: Aksi Mau Bubar, PHH Menyerbu Semua kegiatan mahasiswa tidak pernah ada yang dilandasi dengan kekerasan. Setiap aksi murni dilakukan untuk memperjuangkan idealisme mahasiswa yang mengedepankan pemikiran dan pendapat. Aksi pun selalu berakhir dengan damai. Namun tak begitu dengan aksi pada peringatan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) 10 Januari 1978. Tanpa alasan yang jelas, PHH menyerbu dan memukuli mahasiswa yang beraksi. Padahal, mahasiswa hanya melakukan demonstrasi yang berpusat di IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya). Menurut Harun, aksi ini digelar dadakan. Semua berawal dari acara membaca puisi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya. Setiap universitas mengirimkan delegasinya. Ide peringatan Tritura tiba-tiba tercetuskan. “Kebetulan, saat itu mahasiswa ITS banyak yang berbondong-bondong menghadiri pagelaran budaya yang dihelat oleh IAIN,” ujarnya. Persiapan untuk aksi itupun minim. Rapat digelar dan aksi langsung dilaksanakan. “Ayo mlaku nang IKIP ae rek, untuk orasi lagi,” sambung Djawahir pada kesempatan yang berbeda. Gagasan ini diwujudkan dengan menggelar long march menderap kampus perjuangan | 59


} DE

RAP 07 = AKSI BINA GRAHA

Hanya ada dua misi yang diusung. Membicarakan perkembangan negara pada segala aspek dan meminta Presiden Soeharto untuk tidak bersedia dicalonkan lagi pada Pemilu 1978. (Menggugat Pemerintahan Otoriter, 1978)

^^

derap kampus perjuangan | 60


Perjuangkan Keinginan sampai Titik Darah Penghabisan

A

khir 1977, kondisi politik nasional semakin memanas. Lebih lagi, saat itu menjelang detik-detik berlangsungnya Pemilihan Umum (Pemilu) presiden RI 1978. Gejolak protes Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia pun kian membara mengingat Soeharto masih menjadi kandidat tunggal. Tepat tanggal 24 Desember 1977, Harun Alrasyid dan Djawahir Adnan, pemimpin Dewan Mahasiswa ITS kala itu berangkat ke Jakarta untuk merancang sebuah aksi bersama pimpinan Dewan Mahasiswa empat perguruan tinggi lainnya. Di antaranya ialah Dewan Mahasiswa UI, ITB, IPB, dan USU. Rencananya mereka akan melakukan penyusupan ke Bina Graha, tempat kerja presiden pada awal tahun 1978 untuk menyampaikan aspirasi. Setelah seminggu di Jakarta melakukan persiapan, Harun dan Djawahir kembali ke Surabaya. Hal itu dilakukan guna mendinginkan suasana sebelum aksi akbar yang sesungguhnya dilakukan. Minggu kedua Januari 1978, Harun kembali lagi ke Jakarta. Dengan pertimbangan tertentu, Djawahir tak diikutkan. Namun, Mohammad Sholeh yang merupakan wakil Harun di jajaran pengurus Dewan Mahasiswa ITS sebagai pengganti. Kali ini, rancangan aksi yang sudah dipersiapkan beberapa minggu sebelumnya benar-benar akan dilaksanakan. Sejak 14 Januari 1978, perwakilan-perwakilan Dewan Mahasiswa itu tak berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tujuannya, agar keberadaan mereka tidak mudah terlacak. Perjalanan dimulai dari Bogor. Di IPB, mereka bertemu dengan Rektor IPB, Prof Ahmad Satari. Rupanya, pak rektor sangat mendukung rencana mahasiswa ini. ‘’Orangnya sangat demokratis,’’ kenang Harun. Usai dilepas oleh Rektor IPB, mereka segera bertolak ke daerah Puncak, Bogor. Mereka melewatkan setengah malam di sana. Sesaat setelah mereka pergi, Rektor IPB ditemui intel. Ternyata, sejak awal gerakgerik para mahasiswa ini telah diikuti intel. Selanjutnya, para aktivis ini bergerilya ke Kuningan. Tepatnya menuju penginapan mahasiswa. Dari Kuningan mereka melancarkan aksi ke Bina Graha lalu kembali ke Puncak, Bogor. Sesuai skenario, tanggal 18 Januari 1978 adalah puncak aksi. Inilah saat dimana mereka menargertkan untuk bertemu dengan RI 1, Presiden Soeharto. Pukul 10.00 pagi WIB, Bina Graha dijaga ketat. Maklum, di dalam sedang digelar rapat nasional. Layaknya menteri negara, rombongan para aktivis nyelonong masuk tanpa permisi. Menderap kampus perjuangan | 61


gendarai mobil VW Combi warna kuning plat merah milik Dewan Mahasiswa UI, mereka melewati barisan Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) yang berjaga di pintu masuk dengan mudah. Sayangnya, para mahasiswa nekat ini gagal mecapai target. Ketika sampai dihalaman Bina Graha mereka ketahuan dan membuat heboh forum. Presiden pun akhirnya meninggalkan Bina Graha dengan alasan keamanan. ‘’Waktu kami masuk, Presiden Soeharto sudah pergi. Kami hanya bertemu dengan Letnan Jendral TNI Alamsjah Ratoe Perwiranegara, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) kala itu,’’ ujar Harun. Walau hanya bertemu Alamsjah, mereka tak berubah pikiran. Mereka tetap meminta Presiden Soeharto agar mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. “Itu luar biasa, pada waktu itu tidak terbayang ada elemen masyarakat yang berani bicara seperti itu di depan umum,” ungkap Harun menggebu. Alamsjah sendiri bersikap netral ketika ditemui. Ia tidak memberikan tanggapan. Hanya ia menerima aspirasi mahasiswa yang datang ke Bina Graha. “Pada saat itu adalah pertama kalinya ada mahasiswa yang berani ke Bina Graha (tempat kerja presiden, red),” ujar Harun menirukan Alamsjah. Gebrakan para mahasiswa ini ternyata direkam oleh media nasional. Keesokan harinya, Koran Sinar Harapan menjadikan headline ucapan Mohammad Sholeh, Keyakinan ini akan kami perjuangkan, kalau perlu dengan darah dan air mata. Headline tersebut menjadi pemicu ditangkapnya para pentolan Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia yang turut serta dalam aksi. Tak hanya sampai di situ, beberapa koran nasional yang mempublikasikan aksi ini ikut merasakan imbasnya. Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Hari menerima surat larangan terbit selama satu bulan. Sementara Harun dan Sholeh berjuang di Jakarta, Hanief Djauhari diminta mengontrol kondisi kampus. Suasana di kampus pada saat itu tenang-tenang saja. Akhirnya, Hanief sempat dipanggil Rektor ITS untuk membicarakan hal-hal yang terkait kegiatan mahasiswa. Ia tidak sendiri. Semua anggota Dewan Mahasiswa ITS yang tengah berada di Surabaya turut dipanggil. Rupanya, Rektor ITS pada waktu itu, Prof Mahmud Zaki telah mendapat perintah dari Pangdam 8 Brawijaya, Letnan Jenderal TNI Witarmin. Hanief masih ingat, tidak hanya Rektor ITS yang datang. Dekan dari semua fakultas juga turut hadir. Ia dicecar pertanyaan soal apa tujuan dan bentuk kegiatan mahasiswa. Intinya, Mahmud Zaki meminta agar mereka tidak mengadakan demonstrasi. Hanief yang didaulat sebagai juru bicara pun menanggapi instruksi Rektor ITS untuk tidak berdemo. ‘’Yang terhormat Rektor ITS derap kampus perjuangan | 62


dan para anggota Senat ITS. Kami para mahasiswa ini punya kewajiban moril untuk mengingatkan apabila pemerintah sudah melanggar UUD Negara, kami menyampaikan aspirasi hanya untuk kepentingan Negara dan Rakyat Indonesia. Karena Dewan Mahasiswa ITS ini usianya pendek, Dewan Mahasiswa ITS ini hanya ngomong-ngomong saja setelah itu selesai kalau sudah nggak menjabat. Dewan Mahasiswa ITS punya periode masa jabatan, setelah itu kami akan kuliah lagi sebagai mahasiswa. Oleh karena itu, kami mohon dengan hormat kepada Rektor, janganlah kami dilarang untuk demo dan janganlah kami diberi sanksi akademik karena telah menyampaikan aspirasi sebagai mahasiswa. Dalam hal ini, kami anggota Dewan Mahasiswa tidak mendapat keuntungan apa-apa kecuali bertambah lama berstatus menjadi mahasiswa,� ungkap Hanief dalam pidatonya. Harapan Hanief pun terpenuhi. Harun, Sholeh dan para aktivis Dewan Mahasiswa ITS lainnya tidak mendapat sanksi akademik dikeluarkan dari ITS. Padahal waktu itu, banyak universitas yang mengeluarkan para mahasiswanya. Tanggal 21 Januari 1978, penangkapan para aktivis mulai dilakukan. Awalnya, hanya ada sepuluh mahasiswa yang masuk dalam daftar. Kemudian dilakukan penangkapan secara besar-besaran di seluruh Indonesia. Di Surabaya sendiri ada sekitar 300 orang yang ditangkap. Rupanya, motif penangkapan itu adalah untuk membungkam pergerakan mahasiswa yang mulai menganggu pemerintah. Tak hanya aktivis mahasiswa, beberapa aktivis nasional seperti Syahrir dan Munir juga ditangkap. Penahanan mereka dilakukan bersamaan dengan penangkapan para aktivis.

derap kampus perjuangan | 63


DE RAP // 08

^^

HARUN DITANGKAP, BANYAK INTEL MENGINTAI Pulang dari aksi Bina Graha, Harun merasa akan segera ditangkap. Rupanya benar, penangkapan mahasiswa FTP ini telah menjadi salah satu agenda pokok Laksusda Komkamtib. Pengintaian terhadap Harun dilakukan. Ada yang tampak, ada pula yang diam-diam. Bahkan, tukang becak di depan rumah Harun nyatanya adalah intel.

derap kampus perjuangan | 64


Cicak, Polisi Jadi Mahasiswa

A

da satu intel yang diingat betul oleh Harun. Cicak, sapaannya. Nama aslinya adalah Imam Hidayat, mahasiswa FTP. Cicak sebenarnya adalah polisi, namun ia ditugaskan untuk mengintai pergerakan mahasiswa di ITS. Menariknya, seluruh mahasiswa tahu, kalau Cicak itu polisi. Harun dan anggota Dewan Mahasiswa ITS juga terbuka kepadanya. Meski demikian, Harun juga merahasiakan beberapa informasi penting. Misalnya terkait soal aksi. ‘’Kami kan juga ingin memberikan kejutan kepada pemerintah,’’ jelasnya. Pernah suatu hari, Harun sedang berkomunikasi dengan Dewan Mahasiswa Unair lewat telepon dari ruang Dewan Mahasiswa ITS. Dulu, Dewan Mahasiswa ITS mempunyai ruang sendiri. Ada fasilitas telepon yang diberikan tetapi diparalel dengan telepon yang ada di ruang rektor. Waktu sedang menelepon, Harun merasa ada yang janggal. Ia seperti sedang disadap. Sebab, volume telepon yang masuk berkurang dan lebih pelan dari biasaya. Penasaran, ia segera bertindak. Setelah perbincangan usai, Harun tidak lantas menutup gagang teleponnya. Menurut Harun, jika ada yang mengintai, maka ketika si penyadap meletakkan gagang telepon, maka akan terdengar bunyi kling dari telepon paralelnya. Ternyata benar, terdapat bunyi kling. Harun merasa heran. Padahal sudah petang dan karyawan rektorat pasti sudah pulang. Ia bersama Djawahir akhirnya turun untuk memastikan. Seluruh ruangan di rektorat saat itu sudah gelap. Semua lampu mati. Hanya ada satu ruangan sekertaris rektor yang memiliki telepon paralel dengan telepon sekertariat Dewan Mahasiswa ITS yang masih menyala. Harun pun bertanya pada penjaga gedung rektorat tapi dibilang tidak ada orang yang masuk. “Ternyata penjaga itu takut juga dengan ancaman Cicak,” ungkap Harun. Tak percaya, Harun dan Djawahir memutuskan untuk melihat langsung ke dalam ruangan. Mereka membuka pintu ruangan dan mencoba masuk ke dalam. Harusnya pintu terkunci, tapi itu tidak. Keyakinan mereka berdua kian kuat. Ketika masuk, ia menangkap basah Hidayat alias Cicak ada di dalam ruangan dan bersembunyi di balik pintu. “Kon ojo macem-macem Cak. Tak celukno arek-arek, digepuk i mati, kon,” ujar Djawahir menirukan kalimat Harun saat mengancam Imam. “Aku ngerti iki tugasmu, tapi ojo sampek ketemon ngene.” lanjut Djawahir menirukan Harun. Akan tetapi, bagi Harun, usaha Cicak untuk mendapatkan inderap kampus perjuangan | 65


formasi patut diacungi jempol. “Pastinya dia sudah menunggu sangat lama untuk mendapatkan momen saya berkomunikasi dengan Dewan Mahasiswa universitas lain,’’ terang Harun. Harun menambahkan. beberapa kali Cicak sebenarnya juga ikut rapat pengurus Dewan Mahasiswa ITS namun ia biarkan saja. Tidak hanya itu, Harun pernah mendapat laporan dari petugas TU bahwa Cicak sering datang pagi-pagi ke ruang Dewan Mahasiswa ITS. Tujuannya, hanya sekadar untuk mengumpulkan draft, catatan, atau notulen bekas rapat pengurus di tempat sampah. “Ya saya biarkan saja. Biarkanlah, kan itu sudah tugas dia,” terang harun. Selain sebagai polisi, sosok Cicak sebenarnya cukup terkenal. Ia adalah pemain klub sepak bola asal Surabaya, Persebaya. Bahkan, kalau FTP sedang bermain sepak bola, Cicak juga turut serta. Walaupun intel, hubungan Cicak dengan mahasiswa lainnya berlangsung normal. Ia tetap mahasiswa biasa. Selain Cicak, Harun juga mencurigai petugas TU baru di sekretariat Dewan Mahasiswa ITS. Meskipun sudah diakui oleh petugas TU lama kalau dia adalah saudaranya yang magang, Harun tidak percaya. Ia punya keyakinan kalau petugas TU itu adalah polisi. Ada kegiatan spionase lainnya yang terjadi. Yakni, soal keberadaan oknum mahasiswa ITS yang datang ke DPR. Dengan mengatasnamakan ITS, mereka menyatakan dukungan ke Soeharto. ‘’Sempat bikin heboh. Jelas ini merusak citra Dewan Mahasiswa ITS. Kami menyesalkan kejadian itu,’’ tutur Hanief.

Momen Penangkapan Harun Menjadi motor pergerakan tahun 1977 bukan tanpa resiko. Harun selaku Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS tahu betul akan hal itu. Termasuk ancaman kurungan yang mungkin diterimanya. Sejak Desember 1977, Laksamana Sudomo, panglima Komkamtib, orang paling berkuasa di Indonesia dalam bidang keamanan berulang kali mengingatkannya. Namun Harun tak pernah gentar. Rasanya, memperjuangkan idealisme mahasiswa jauh lebih penting. Isu penangkapan Harun kian santer pada bulan Januari. Ia masuk dalam daftar nama sepuluh tokoh mahasiswa yang dicari. Sebelum ditangkap, Harun menyempatkan diri mampir ke kediaman Anas Rosjidi, Sekretaris Senat Mahasiswa FTE. Ia berpesan agar Anas mau meneruskan perjuangannya. Hari penangkapan Harun pun tiba. Kala itu ia baru pulang dari rapat di IKIP Surabaya. Dalam perjalanan, secara tiba-tiba Cicak menghentikan laju kendaraannya. Ia digeledah. Isi tas dan mobilnya diperiksa. derap kampus perjuangan | 66


Tak lama setelah tiba di rumah, seorang intel Komando Resort Militer (Korem) Kapten Iskandar datang ke rumah Harun. Ia bermaksud menjemput Harun dengan sedan. Harun menolak dengan alasan tanpa surat penangkapan. Kapten Iskandar berdalih, Kalau mau surat penangkapan, berarti kamu harus mau dijemput menggunakan mobil patroli polisi. Bagi Harun, itu lebih baik. Setengah jam kemudian, Kapten Iskandar kembali. Harun dijemput dengan mobil patroli. Berdasarkan surat penangkapannya, Harun ditahan atas dasar pelanggaran PNPS nomor 11 tahun 1963 tentang tindakan Makar. Waktu itu, pasal tersebut merupakan pasal paling terkenal. “Pasal itu pasal karet. Bisa dipakai untuk kasus apa saja. Padahal banyak ahli hukum yang meminta agar pasal itu dicabut,” jelas Harun. Keluarga Harun sendiri rupanya sudah siap jika Harun ditangkap. Mereka menyadari posisi Harun sebagai aktivis. Justru, para tetangganya yang heboh. ‘’Orang tua saya tidak pernah marah atau melarang saya. Mereka tahu saya aktivis. Padahal tiap semester saya selalu minta uang untuk membayar SPP,’’ ujar Harun menjelaskan.

derap kampus perjuangan | 67


//DE

RAP 09 HARUN DITANGKAP, BAGAIMANA DENGAN AKTIVISLAIN? eringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978 menjadi titik nadir bagi kebebasan aksi mahasiswa. Pemerintah menganggap mahasiswa sudah melewati batas. Teror dan pengekangan terhadap mahasiswa mulai dilakukan. Panser-panser tak ragu lagi menerobos wilayah kampus. Mahasiswa merasa terintimidasi. Baik yang terlibat maupun yang tidak, sama takutnya. Dari ITS, ada tujuh nama yang tercatat dalam data Detasemen Polisi Militer (Denpom). Di antaranya, Harun, Sholeh, Hanief, Muhajir, Unggul, Hermanto, dan Bambang Sukaton.

derap kampus perjuangan | 68

^^


Dalam Pelarian

2

0 Januari 1978 terjadi penangkapan massal para aktivis di Jakarta dan Bandung. Para Ketua Dewan Mahasiswa yang berdomisili di kedua kota tersebut dan turut serta dalam aksi Bina Graha diamankan. Sehari setelahnya, Surabaya menjadi kota berikutnya yang menjadi target pembersihan. Beberapa aktivis Dewan Mahasiswa ITS menjadi target penangkapan, termasuk Harun Alrasyid dan rekan-rekannya. Sore, 21 Januari 1978, kos-kosan Sholeh dan Djawahir didatangi oleh Letnan Ridwan, Komandan Komkamtib bersama beberapa pasukan. Saat Letnan Ridwan tengah mencari-cari sosok Sholeh, Djawahir pun keluar kamar. Letnan Ridwan pun bertanya terhadap Djawahir. “Sholeh-nya ada?” tanya Letnan Ridwan. “Sholeh belum pulang Pak,” jawab Djawahir sekadarnya. “Kemana dia?” sambung Letnan Ridwan. “Ya nggak tahu,” sahut Djawahir. “Kapan pulangnya?” lanjut pertanyaan Letnan Ridwan merasa belum puas. “Ya nggak tahu,” balas Djawahir lagi. Usai percakapan singkat tersebut, Letnan Ridwan bersama pasukannya menunggu Sholeh di depan kos-kosan mereka berdua. Sementara Djawahir langsung menuju rumah Harun untuk menginformasikan jika Sholeh sedang dicari Komkamtib. Sesampainya di rumah Harun, Djawahir semakin cemas. Ia tak berhasil bertemu dengan Harun karena sudah lebih dulu dijemput oleh Komkamtib. “Saya hanya bertemu kakak Harun, namun langsung diusir karena masih banyak intel yang berada di sekitar rumahnya,” cerita Djawahir. Djawahir akhirnya menghubungi teman-teman aktivis lain untuk mengatur siasat. Achwan Hadi, Hanief, dan teman-temannya berjaga di setiap gang yang mengarah ke kos-kosan Djawahir dan Sholeh. Niatnya, menghadang Sholeh agar tidak langsung pulang karena dikhawatirkan tertangkap oleh Komkamtib. Sementara itu, menghilangnya Sholeh ternyata untuk menghadiri rapat tertentu. Aksi Bina Graha yang melibatkan Harun dan Sholeh ternyata melukai hati Dewan Mahasiswa kampus lain di Surabaya. Mereka merasa ITS telah berkhianat karena tidak melibatkannya saat melakukan aksi Bina Graha. “Untuk aksi seperti ke Bina Graha, nggak mungkin lah kita membawa massa banyak,” terang Djawahir. Sehingga, saat itu Dewan Mahasiswa se-Surabaya menggelar rapat sendiri tanpa melibatkan Dewan Mahasiswa ITS untuk membaderap kampus perjuangan | 69


has hukuman yang pantas bagi Dewan Mahasiswa ITS. “Namun, Sholeh tetap datang ke rapat meskipun tidak diundang,” sambung Djawahir. Menjelang pukul 22.00, Sholeh melenggang dengan santai di salah satu gang yang mengarah ke kosannya. Kawan yang berjaga di sana langsung menghadang Sholeh dan mengajaknya kabur sesegera mungkin. Sholeh bingung, tetapi ia memilih untuk menurut. Rumah Hanief Djauhari, Ketua III Dewan Mahasiswa ITS yang terletak di Jalan Untung Suropati menjadi tujuan pertama pelarian. Sesampainya di rumah Hanief, Djawahir memberanikan diri untuk menghubungi Rektor ITS, Mahmud Zaki via telpon. “Pak, Harun ditangkap,” lapor Djawahir “Sudah tahu,” jawab rektor. “Sholeh juga dicari pak,” lanjut Djawahir. “Iya sudah tahu, saudara juga dicari. Tapi jangan ke kampus lo ya. Saya nggak mau ada tentara masuk kampus,” terang Zaki kemudian mengakhiri percakapan. Di rumah Hanief, para aktivis bersembunyi di kandang ular. Sempat beristirahat sebentar di sana, namun akhirnya mereka memilih untuk pergi malam itu juga karena khawatir jika rumah Hanief digeledah oleh Komkamtib. “Pas di rumah, Sholeh masih sempat menulis rencana untuk aksi lanjutan, seperti menyebarkan poster dan penggembosan ban di jalan,” ujar Hanief melengkapi cerita Djawahir. Keluar dari rumah Hanief, para aktivis segera mencari lokasi persembunyian lain. Achwan Hadi, satu-satunya aktivis dalam kelompok tersebut yang tidak masuk target penangkapan bergerak cepat. Ia menghubungi Amin Budiman, pengurus Dewan Mahasiswa ITS seksi publikasi dan dokumenatsi yang sedang kerja praktek di sebuah proyek pembangunan gedung untuk meminta bantuan. Mereka pun akhirnya diijinkan untuk menginap di bedeng proyek dekat kampus Cokro tempat Amin kerja praktik. Bermalam di bedeng proyek, tak lantas membuat Djawahir, Sholeh, Muhajir, Hanief, dan Achwan nyenyak tidur. Semalaman mereka tidak tidur untuk membuat poster. Achwan, yang tak berstatus daftar pencarian orang bertugas mencari peralatan dan sebagai distributor poster. “Ya dia yang membagikan poster-poster itu ke mahasiswa yang ada di kampus Manyar, Baliwerti dan kampus lainnya untuk ditempel,” lanjut Djawahir. Keesokan harinya, mereka pun mencari tempat persembunyian lain. Rombongan tersebut sempat pergi ke Surabaya Bolling Centre untuk menyusun strategi. Di sana mereka bertemu dengan Dewan mahasiswa IKIP dan IAIN Surabaya. Akhirnya, Djawahir dan kawan-kawan menuju tempat tinggal Maskuroh, Bendahara Dewan Mahasiswa ITS untuk meminta bantuan tempat tinggal. Dari Maskuroh inilah para aktivis mengenal Harianti derap kampus perjuangan | 70


yang akhirnya memberikan tempat tinggal yang layak di rumahnya. Beberapa hari kemudian, Unggul Roseno, salah satu aktivis yang juga masuk target penangkapan ikut bergabung. Ia baru saja pulang dari kerja praktik di luar kota dan lansung ikut tinggal bersama Djawahir dan kawan-kawan di rumah sahabat Maskuroh. Di sana, mereka kembali mengatur rencana. Akhirnya, Unggul dan Achwan ditugaskan untuk menemui rektor ITS guna mengabarkan kondisi mereka. Sementara Sholeh dan yang lainnya tetap melaksanakan protes melalui pembuatan poster. ‘’Kalian ini bikin repot saya saja, kegiatan mengajar dan rektor saya sangat terganggu. Di telepon intel, dipanggil Korem dan Pangdam. Lantas, bagaimana proses belajar mengajar bisa tenang jika seperti ini?” ujar Mahmud Zaki saat ditemui Unggul dan Achwan. Mahmud Zaki kemudian masuk ke ruang tengah. Secara diam-diam, Unggul dan Achwan mengintip. Pak rektor terlihat berusaha menghubungi seseorang. “Intel pikir kami,’’ ujar Unggul. Benar saja, saat kedua mahasiswa tersebut menguping pembicaraan Mahmud Zaki di telepon, mereka mendengarkan sesuatu yang sama sekali tidak diharapkan. ‘’Pak, di rumah saya ada dua mahasiswa yang anda cari, silahkan ditangkap,” ujar Unggul menirukan ucapan rektor ITS kala itu. Mendengar percakapan tersebut, mereka memutuskan untuk kabur. Tanpa permisi, Unggul dan Achwan meninggalkan kediaman Mahmud Zaki menuju warung kopi terdekat. Vespa yang mereka kendarai disembunyikannya di antara rumput liar. Beberapa saat kemudian, datanglah mobil putih dengan bak terbuka yang memasuki pekarangan rumah Mahmud Zaki. Mereka terlihat kelimpungan mencari-cari dua anak yang disebutkan Mahmud Zaki. “Betul, dari tadi dua anak itu di rumah saya!” teriak Mahmud Zaki. Sementara itu, Achwan Hadi dan Unggul hanya tertawa terbahak di warung kopi. Mereka mulai mengatur strategi lain. Pasalnya, rektor sudah tidak bisa dijadikan tempat berlindung. 25 Januari 1978, Hermanto, Ketua I Dewan Mahasiswa ITS yang tadinya berada di Solo kembali ke Surabaya. Tiba-tiba, ia mengabarkan akan menyerahkan diri. Alasannya, Paman Hermanto yang seorang Kepala Pengadilan Negeri di Surabaya diancam akan dicabut jabatannya jika Hermanto tidak menyerahkan diri. Mendengar hal ini, Achwan dan Unggul pergi ke terminal Joyoboyo untuk menjemput Hermanto. Mereka tak ingin Hermanto ditangkap dulu. Hermanto diajak ke rumah Harianti yang beberapa hari sudah alih fungsi menjadi markas mereka.

derap kampus perjuangan | 71


Menyerahkan diri atau Mati Beberapa hari terkatung, para anggota Dewan Mahasiswa ITS ini akhirnya memilih mundur. Mereka takut jika tertangkap akan dipukuli. Tak ingin salah langkah, Djawahir mencoba menghubungi seniornya, Banteng Sukarnoto. ‘’Mas Banteng ya opo iki? Kita ini takut kalau digrebek dan dipukuli. Wes arek-arek ape nyerahno diri ae,” ujar Djawahir pasrah. “Wes. Ngomongo rektor ae. Syaratnya, kalian diserahkan oleh rektor di kampus dan yang nangkap gak oleh pakai seragam,” terang Djawahir menirukan saran Banteng. 27 Januari 1978, mereka sepakat untuk menyerahkan diri ke Komkamtib. Untuk kesekian kalinya, mereka menghubungi Mahmud Zaki dan mengatakan kesediaannya untuk menyerahkan diri dengan syarat yang mereka sebutkan. Proses penyerahan diri dilalui dengan haru. Ratusan mahasiswa berkumpul di Gedung Rektorat untuk melepas para pemimpin mereka yang akan di penjara dalam kurun waktu berbeda. Rentangnya antara 3-12 bulan. Tanpa tuntutan, tanpa pembelaan, dan tanpa peradilan. Sesampainya di Denpom, mereka diabsen satu per satu untuk dijebloskan ke dalam jeruji besi. Ketika nama Djawahir disebut, Letnan Ridwan terkejut. “Lo, kamu ini Djawahir?” tanyanya sambil memperhatikan Djawahir. “Iya, Pak,” jawab Djawahir polos. “Kamu kan yang dulu saya tanya Sholeh di kos atau tidak. Kamu kok nggak bilang kalau kamu Djawahir!” sahutnya. “Lah, bapak nggak nanya,” ungkap Djawahir lebih polos lagi. Letnan Ridwan terdiam. Pada saat itu, penyerahan diri boleh dilakukan di kampus atau di rumah. Berbeda dengan teman-temannya, Muhajir lebih memilih untuk ditangkap di rumah daripada di kampus. Awalnya, Muhajir ikut bersembunyi bersama para aktivis lain. Namun, kabar dari ayah Muhajir merubah keputusannya. “Ada perintah dari komandan disuruh menyerahkan diri kamu jir,” ungkap ayahnya kepada Muhajir. “Kalau harus bapak yang menyerahkan, saya tidak mau, saya memilih dijemput saja,” jawab Muhajir dengan santainya. Ketika penangkapan Muhajir, warga di sekitar kampung ribut dan mengira ia diculik. Setelah Muhajir ditangkap, ayahnya diberi sanksi. Jabatannya sebagai anggota Komando Distrik Militer (Kodim) Angkatan Darat dinonaktifkan. Hal ini membuatnya terpukul.

derap kampus perjuangan | 72


14 Bulan dalam Sel Idealisme dan keberaniannya untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa harus dibayar dengan 14 bulan di balik sel. Walau begitu, Harun tak pernah menyesal. Bukankah selalu ada harga mahal untuk sebuah perjuangan? Harun tidak hanya dipenjara tapi disel. Dulu, antara penjara dan sel, jelas berbeda. ‘’Dijebloskan ke sel berarti diisolasi, dilarang bersosialisasi. Kalau dipenjarakan masih bisa beraktivitas,’’ terang Harun. Dalam sel ukuran 1,8 x 2,5 meter, Harun ditempatkan. Sendiri dan terisolasi. Masa tahanannya jauh lebih lama dari pidana yang dilakukan tentara. “Kalau tentara yang melakukan tindakan pidana, paling lama 14 hari dimasukkan ke dalam sel. Sedangkan saya satu tahun dua bulan,” lanjutnya. Sel pertama yang dihampirinya adalah Kompi Polisi Militer (Kipom). Jumlahnya hanya ada satu blok, yang berisi enam sel. Tak ada penghuni lain, kecuali Harun. Awalnya, Ketua Umum Dewan Mahasiswa IKIP, IAIN, dan Unair juga ditempatkan di sana. Namun hanya sebentar kemudian dilepaskan. “Mereka tidak diadili. Hanya saya dan Sholeh yang diadili,” jelasnya. Miris. Jika musim hujan, sel tempat Harun tinggal pasti bocor. Ia pun harus rela tidur bersama tetesan air. Karena bagaimanapun ia mengubah posisi tidurnya, tetap saja kebasahan. “Begitulah kerasnya di dalam sel, bisa dibayangkan betapa ngeri-nya itu.” lanjutnya. Tiga bulan di Kipom, Harun dipindahkan ke sel Batalyon 507. “Sel Batalyon 507 ini ngeri sekali. Siang malam gelap terus. Nggak ada cahaya sama sekali,” ujarnya. Untungnya, Harun mendapat kesempatan menyalakan tiga lilin untuk menerangi buku dan Al-Quran yang dibacanya setiap hari. Sekitar satu bulan ia ditahan di sel ini. Kemudian dipindahkan lagi ke Arteri Pertahanan Udara (Arhanud) milik TNI Angkatan Darat. Selama empat bulan Harun berada di sel ini. Terakhir Harun dikembalikan lagi ke sel Kipom selama enam bulan. Menurut cerita, Sholeh ditempatkan di Denpom. Kontra dengan Harun, Sholeh bisa beraktivitas dengan normal. Bisa berolahraga seperti tenis dan ping-pong. Yang jelas, selama masa penahanan, mereka tak dijinkan untuk saling bertemu. Harun sendiri baru bisa mendapat kunjungan setelah tiga bulan masa tahanan. Caranya tidak mudah. Mereka yang akan berkunjung harus ke Denpom. Selanjutnya, Harun dibawa ke Denpom untuk menemui pengunjung, kemudian dikembalikan lagi ke Kipom jika kunjungan selesai. Ketika dalam sel, Harun lebih banyak memperdalam ilmu agama dan pengetahuan. Ia mengaji Al-Quran dan membaca buku kiriderap kampus perjuangan | 73


man kawan-kawannya. Namun, ia justru buta dengan aktivitas pergerakan. ‘’Saya lupa berapa jumlah bukunya, yang jelas banyak,’’ ujar Harun tertawa.

Satu Penjara ke Penjara Lain Mereka yang tadinya bebas, harus mampu menahan diri. Pasalnya, ruang gerak menjadi terbatas. Persis burung masuk dalam sangkar. Unggul, Djawahir, Muhajir, Hanief dan anggota Dewan Mahasiswa lain yang ikut menyerahkan diri mengalami proses yang sama dengan Harun. Mereka berpindah dari satu sel ke sel lain. Dari yang nyaman hingga mengerikan. Unggul bercerita jika awalnya ia ditahan di Denpom selanjutnya di pindahkan ke Batalyon 507. Penjara yang sempit memaksa Unggul harus berbagi tempat dengan tahanan lainnya yang sebagian besar merupakan para tentara yang nakal-nakal. Tidur beralaskan tikar seadanya, sekedar untuk membaringkan badan. ‘’Menyeramkan, soalnya tahanannya para militer,’’ ujarnya. Beberapa bulan kemudian, ia dikembalikan ke Denpom. Tidak lama di Denpom, Unggul dipindahkan lagi ke Batalyon 516. ‘’Kalau ini lebih mirip guest house para perwira yang ada TV di dalamnya,’’ kenang Unggul. Sayangnya, ia hanya tinggal beberapa minggu saja. Terakhir, Unggul dipindah ke penjara Kalisosok. Kondisi bangunan peninggalan Belanda ini tidak terawat. Menurut Unggul, inilah yang pantas disebut penjara. Sementara, Hanief Djauhari memiliki kisah unik lain semasa berada dalam terali besi. Sama seperti Unggul, beberapa kali penjaranya berpindah-pindah. Awalnya, ia ditahan di DR II Batalyon 507 yang bertempat di Brawijaya. Di Batalyon 507, ada sel khusus untuk desersi, yakni khusus untuk tahanan yang nakal-nakal. Bersamaan dengan Hanief, ditahan juga mantan Ketua Dewan Mahasiswa UB, Agil Haji Ali dan mantan Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Surabaya, Suparman. Mereka ditempatkan dalam ruangan 1 x 2 meter. Batalyon 507 memang terkenal ketat. Pemberian ijin sangat terbatas, misalnya ijin kamar mandi yang hanya diberikan dua kali kesempatan. Sehingga, kalau kebelet untuk yang ketiga kalinya, mau tidak mau mereka harus buang air lewat jendela. ‘’Nif, kita ini di penjara sungguhan ya!’’ gurau Agil Haji Ali suatu ketika. ‘’iya, Bang, kayaknya kita di penjara sungguhan. Masak kencing aja nggak boleh!’’ sahut Hanief berbagi ironi. derap kampus perjuangan | 74


Sepuluh hari di Batalyon 507 adalah hari-hari terberat bagi Hanief. Makanan di penjara ini tidak bersahabat. ‘’Ukuran nasi kucing, tapi nasinya keras. Hari pertama nggak termakan. Hari kedua cuma dikit. Lama lama termakan juga. Hari keempat habis. La wong, nggak ada makanan,’’ ujarnya berkisah. Terakhir, Hanief dipindah ke Denpom Tegal Sari. Meski menakutkan, penjara ini lebih longgar. “Saya bisa berinteraksi, baca buku, agak bebas lah,’’ pungkas Hanief. Setelah satu bulan, Achwan Hadi menyerahkan dir ke Denpom. Di sana, ia bertemu dengan Sholeh. Mereka pun berbincang. “Lho, kon lapo neng kene?,” tanya Sholeh “Iyo, aku wedi. Gak penak neng njobo dewean,” jawab Achwan. “Lek kon neng kene, sopo sing ngurusi arek-arek neng njobo?” lanjut Sholeh. Dua minggu setelah Achwan menyerahkan diri, diketahui Bambang Sukaton juga menyerahkan diri.

derap kampus perjuangan | 75


BAGIAN 3 ERA NKK/BKK (1979-1985)

derap kampus perjuangan | 76


//DE

RAP 10 REDUP TERANG DEWAN MAHASISWA Penangkapan Harun Alrasyid spontan membuat Dewan Mahasiswa kalang kabut. Banyak yang mempertanyakan eksistensi Dewan Mahasiswa. Organisasi yang lahir dari aspirasi independen mahasiswa tentu tak ingin dilupakan.

derap kampus perjuangan | 77


H

ari itu di bulan Mei 1978, tujuh aktivis kampus perjuangan dibebaskan. Sudah hampir empat bulan lamanya Achwan Hadi, Djawahir Adnan, Hanief Djauhari, Unggul Roseno, Muhajir Manan, Hermanto dan Bambang Sukaton ditahan. Sayangnya, Harun dan Sholeh bernasib kurang beruntung. Mereka harus mendekam lebih lama di penjara lantaran posisi mereka sebagai motor penggerak pergerakan mahasiswa ITS. Praktis, selama Harun ditangkap, kursi pimpinan Dewan Mahasiswa ITS kosong. Belum sempat menikmati hari-hari bebas selepas dari penjara, Achwan Hadi bersama aktivis-aktivis yang tersisa mulai menyusun strategi. Mereka harus mempertahankan keberadaan Dewan Mahasiswa ITS selama pemimpinnya masih meringkuk di dalam penjara. Apapun yang terjadi. Alhasil, Achwan Hadi, Ketua III Dewan Mahasiswa didaulat menjadi Penanggung Jawab (PJ) Dewan Mahasiswa ITS. Penunjukkan Wawan, panggilan akrab Achwan Hadi, dilakukan tanpa prosesi khusus layaknya pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS.

Lahirnya Pasukan Penyelamat

“Waktu itu Komando Konsolidasi ibarat pasukan penyelamat.“ Suatu hari di pertengahan tahun 1978, Wawan mengumpulkan perwakilan mahasiswa dari setiap Senat Mahasiswa di ITS. Mereka hendak menyusun strategi untuk menyelamatkan Dewan Mahasiswa ITS. Siasat itu lantas melahirkan gagasan yang dikenal dengan istilah Komando Konsolidasi. Wawan mengangkat Ibnu Rubiyanto sebagai panglimanya. Sang panglima tentu tidak sendiri, ia berjuang bersama para pasukannya yang telah tersebar di setiap Senat Mahasiswa di ITS. Beberapa mahasiswa yang diketahui ikut berperan dalam misi ini antara lain Musyafiq dari FTM dan Dwi Sutjipto dari FTK. Konsepnya sederhana saja. Orang-orang yang terlibat di dalam tubuh Komando Konsolidasi berperan sebagai motor penggerak di setiap organisasi Senat Mahasiswanya. Pada tataran Senat Mahasiswa, Komando derap kampus perjuangan | 78


Konsolidasi bernama Panglima Komando Wilayah Pertahanan Kampus atau biasa disingkat Pangkowilhan. Komando Konsolidasi mengemban fungsi vital. Pasukan ini ada untuk menjalankan fungsi sementara Dewan Mahasiswa ITS yang sedang mengalami vacuum of power. Misi utamanya adalah untuk menggalang solidaritas mahasiswa, mengumpulkan massa dan mempersatukan kekuatan untuk melawan kebijakan pemerintah yang sudah jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Keberadaannya, diharapkan dapat menghidupkan lagi pergerakan mahasiswa yang hampir sekarat. Kelahiran Komando Konsolidasi sendiri sebenarnya bersifat inkonstitusional. Sebab proses pembentukannya yang tidak memiliki dasar hukum tertulis dalam AD/ART KM ITS. Meski demikian, Komando Konsolidasi tetap mendapat restu dari para aktivis kampus.

Ketika ‘Si Kuning’ Kembali Berkuasa Pemilu tahun 1978 yang digelar kembali memenangkan Partai Golongan Karya (Golkar) dengan perolehan suara lebih dari 60 persen. Lagilagi Soeharto menduduki kursi presiden untuk kali ketiga. Mahasiswa geram, tetapi tak dapat berbuat banyak. Beruntung, ITS masih memiliki Komando Konsolidasi yang memberikan secercah harapan bagi KM ITS. Geliat pergerakan mahasiswa kembali nampak.

NKK/BKK Tuntutan mahasiswa pada aksi tahun 1977 ternyata tidak seluruhnya gagal. Salah satu yang berhasil ialah tuntutan untuk mengembalikan ABRI pada rakyat melalui program ABRI Masuk Desa. Alih-alih Soeharto berhasil dituntut turun, Dewan Mahasiswa malah dibredel lantas dibungkam. Aksi Bina Graha menjadi titik nadir dari pengekangan kebebasan mahasiswa. derap kampus perjuangan | 79


Gambar 1 Harun memberikan arahan sebelum aksi

Pemerintah mulai takut. Mereka menganggap demonstrasi mahasiswa adalah bentuk dari politik praktis. Tepat 21 Januari 1978, Dewan Mahasiswa semakin sulit bernafas. Pemerintah menetapkan peraturan resmi SKEP-02/KOPKAM/I/1978. Peraturan tersebut berisi larangan terhadap mahasiswa untuk ambil bagian dalam kebijakan berpolitik di dalam pemerintah. Mimpi buruk Dewan Mahasiswa berlanjut. Tak lama setelah itu, muncul instruksi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Prof Dr D A Tisna Amidjaya, No 001/DJ/inst/1978 mengenai penataan kembali lembaga kemahasiswaan di perguruan tinggi. Lalu disusul oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Dr. Daoed Joesoef yang mengeluarkan perintah baru berupa Keputusan Menteri No 156/11/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Implementasi dari NKK adalah Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Badan tersebut menjadi pengganti dari Dewan Mahasiswa yang telah dinonaktifkan. Sistem ini dipandang sebagai usaha untuk m emutus urat nadi kebebasan mahasiswa dalam berorganisasi. Ditambah lagi, BKK yang berusaha mengawinkan secara paksa antara unsur mahasiswa dan dosen dalam satu atap organisasi. Konsep ini dianggap berpotensi meracuni independensi aspirasi mahasiswa. Senat Mahasiswa sendiri bernasib lebih beruntung. Di statuta NKK/BKK hanya Dewan Mahasiswa yang dibekukan. Pihak birokrasi masih berbaik hati membiarkan BPM dan Senat Mahasiswa terus akderap kampus perjuangan | 80


tif di lingkungan kampus. Mahasiswa resah sebab mereka tidak ingin generasi selanjutnya lahir sebagai penerus yang minus jiwa kepemimpinannya. Generasi yang hanya jadi penurut apa kata pemerintah dan tidak lagi merasa perlu melayangkan kritik apalagi menyalurkan aspirasi publik. Keresahan tersebut dituangkan dalam surat protes yang berisi keberatan mahasiswa terhadap pemberlakuan NKK/BKK. Surat tersebut ditulis resmi dengan mengatasnamakan Dewan Mahasiswa dan ditujukan kepada para pihak birokrasi. Dalam surat tersebut tercantum dua poin utama. Poin pertama berisi penolakan tegas Dewan Mahasiswa terhadap konsep NKK. Sedangkan poin kedua merupakan permohonan agar institusi ITS mau mendesak pemerintah agar mencabut surat keputusan konsep NKK. Surat ini ditandatangani oleh 14 perwakilan mahasiswa pada tanggal 4 Desember 1979. Layaknya menggarami lautan, perjuangan mahasiswa tersebut sia-sia belaka. Apalah daya mahasiswa dibandingkan kekuatan pemerintahan yang otoriter kala itu. Sekali memerintah, harus tetap terlaksana.

Aksi Nasional Tolak NKK/BKK Ibarat tiada gading yang tak retak. Mahasiswa percaya ada jalan lain untuk menggugurkan NKK/BKK. Kalau gagal menghasut prajuritnya, kenapa tak mencoba menggempur rajanya? Lagi-lagi, aksi menentang NKK/BKK ini adalah kehendak para mahasiswa. Bulan Mei 1979, ratusan mahasiswa menyemut dari kampus UI, Salemba menuju ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Sepulang dari gedung DPR mereka bergerak menuju tiga titik, gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bina Graha dan Mahkamah Agung (MA). Sehari sebelum menggelar aksi, para aktivis berkumpul di Jakarta. Rombongan ITS sendiri berangkat menggunakan kereta api dari Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Panglima Komando Konsolidasi ITS, Ibnu Rubianto bertugas mengumpulkan massa. Enam gerbong telah siap mengantarkan rombongan menuju ibu kota. Bersama rombongan, turut derap kampus perjuangan | 81


Gambar 1 Berfoto bersama dibelakang gerbong kereta sebelum erangkat ke Jakarta

serta Harun Alrasyid, Djawahir Adnan, Achwan Hadi, Djawahir Adnan, MZA Djalal dan Djuwono Hadi Susanto. Sore harinya, ribuan aktivis mahasiswa seluruh Indonesia berkumpul di kampus Salemba UI. Saking banyaknya, mereka berjubel di setiap ruangan. Beberapa di antaranya ada yang sampai nekat menaiki atap kampus. Lain lagi dengan beberapa perwakilan dari setiap kampus, mereka sengaja berkumpul di ruangan tertutup. Saat itulah mereka membuat skenario kejutan. Menjelang matahari terbit diskusi menghasilkan satu kata mufakat. Jumlah Ketua Umum Dewan Mahasiswa yang ikut serta pada aksi di Jakarta sekitar 50 orang. Mereka berasal dari Dewan Mahasiswa perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang masih eksis. Sebelum rombongan berangkat pada keesokan hari, Harun bersama para Ketua Umum Dewan Mahasiswa se-Indonesia melakukan pembagian tugas. Demikian dengan rombongan ITS. Djalal, Djawahir, Abdul Aziz, Djuwono berkoordinasi sendiri menjelang keberangkatan. Djawahir dan Djalal menuju Bina Graha. Sementara, Djuwono dan Abdul Aziz menjadi koordinator lapangan dan memimpin rombongan ITS beraksi ke gedung DPR/MPR. Waktu itu, yang bisa menggulingkan presiden dari kursi kekuasaannya hanyalah beberapa instansi saja, di antaranya presiden itu sendiri, Dewan Pertimbangan Agung, DPR dan MA. Mereka berharap tiga lembaga tinggi negara itu mau mendengar aspirasi mahasiswa yang mewakili rakyat Indonesia. Sisanya, sepuluh orang berusaha menerobos masuk istana untuk menemui Soeharto. “Kita masuk saja membawa mobil pick up sambil duduk di belakang, bersama tiga mobil lainnya,� jelas Djalal, PJ aksi dari ITS. Akhirnya, rombongan berhasil menyelinap hingga halaman depan istana. Namun, di sana mereka dihadang oleh Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Limajaya, Norman Sasongko. Pertemuan dengan RI satu pun kandas di akhir penantian. Mahasiswa dipukul mundur dari istana. Mereka pun kembali kepada rombongan yang tengah menuju Senayan. derap kampus perjuangan | 82


Gambar 1 konsolidasi bersama di universitas Indonesia

Mahasiswa Lempari Kayu, Satu Helikopter Jatuh Perjalanan pulang dari gedung DPR RI ke UI Salemba sebenarnya dapat berlangsung aman. Namun, insiden terjadi saat helikopter milik Kepolisian terbang berkeliling di atas kerumunan mahasiswa di Jalan Kuningan. Helikopter itu terbang sangat rendah, hingga deru mesinnya terdengar memekikkan telinga. Terpaan angin yang dihasilkan baling-baling helikopter menerbangkan debu jalanan Jakarta. Mahasiswa yang sedang dalam perjalanan pulang itu pun merasa terdesak. Diperlakukan demikian, beberapa demonstran naik pitam. Pada saat itu, di kanan-kiri jalan terdapat proyekproyek pembangunan, sehingga banyak kerikil dan balok kayu. Merasa terdesak, mahasiswa memunguti kerikil di pinggir Jalan Kuningan. Serpihan kerikil dilayangkan hingga mengenai baling-baling. Lemparan pertama, helikopter masih bertahan di posisinya. Lemparan berikutnya, mahasiswa pun memungut balok-balok kayu dan melemparnya ke arah helikopter. Disusul lemparan-lemparan selanjutnya yang bertubi-tubi. Tiba-tiba, helikopter oleng. Kerumunan menyingkir, menghindari badan heli yang menghantam aspal jalan. Helikopter meledak. Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam barisan mahasiswa. “Saya dan Djalal sampai terlempar ke dalam sungai,� cerita Djuwono. Semangat pemuda memang tidak ada matinya. derap kampus perjuangan | 83


Gambar 1 Aksi jalan kaki dari Senayan ke Salemba

Insiden jatuhnya helikopter tak menyurutkan niat mahasiswa menuju gedung DPR dan MPR. Sesampainya di sana mereka langsung masuk ke dalam gedung untuk menyampaikan aspirasi kepada para Ketua DPR dan MPR yang tengah menggelar rapat paripurna. Mereka meminta NKK/ BKK dicabut. Tuntutan tersebut didukung oleh Ny. Walandau dari PDI dan Sulaiman Fadli dari PPP. Melalui hak interpelasi DPR, keduanya berusaha meminta dukungan dari anggota DPR lain. Sayangnya, hanya 40 tanda tangan saja yang berhasil dikumpulkan. Jumlah tersebut masih belum cukup untuk mengabulkan tuntutan mahasiswa. Aksi jalan kaki dari Senayan ke Salemba sebenarnya hanya kamuflase. Sekali lagi, tujuannya memang menentang kebijakan NKK/BKK. Namun, ada lagi misi yang lebih penting. Mahasiswa ingin menggagalkan rencana Soeharto untuk mencalonkan diri kembali sebagai Presiden RI di Pemilu tahun 1982. “Kami tidak ingin Presiden Soeharto melanjutkan kepemimpinannya. Kami rasa itu sudah tidak relevan,� kata Djalal.

derap kampus perjuangan | 84


} DE

RAP 11 DILEMA SKORSING Sekali lagi, mahasiswa gagal menuntut Soeharto mundur. Rombongan mahasiswa ITS bertolak pulang ke Surabaya. Sesampainya di kota pahlawan, Ibnu Rubianto spontan menggelar LKKDM dadakan. Pelatihan mencetak kader aktivis KM ITS ini berlangsung di kampus Manyar.

derap kampus perjuangan | 85


Anas Rosjidi Gantikan Posisi Harun “Sebenarnya tidak ada orang yang mau menjadi aktivis. Katanya, mereka punya kesibukan masing-masing,” (Anas Rosjidi)

M

enjelang akhir tahun 1979, Komando Konsolidasi kembali merapatkan barisan. Mereka bersiap menggelar misi terakhir Komando Konsolidasi pada awal tahun 1980. Namanya ‘Apel Akbar dan Pelantikan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS’. Tanggal 12 Januari 1980, apel akbar KM ITS ini digelar di Baliwerti. Ratusan mahasiswa menghadiri acara tersebut. Pada hari itu, Harun menanggalkan jabatannya sekaligus menandai bubarnya Komando Konsolidasi. Pada saat yang sama dilakukan juga serah terima jabatan Ketua Umum Dewan mahasiswa ITS dari Harun ke Anas. Sebelum apel akbar digelar, sepertinya sudah ada kesepakatan di antara para aktivis mengenai pengganti Harun. Anas menjadi calon tunggal akibat ketakutan di kalangan mahasiswa. Pihak birokrasi melarang adanya Dewan Mahasiswa di tataran kampus. Tersebar kabar bahwa mahasiswa yang berani menduduki kursi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS akan dikenakan sanksi skors. Kabar tersebut spontan mempengaruhi kondisi psikologis mahasiswa. Menghidupkan Dewan Mahasiswa ITS sama artinya dengan mengorbankan status mahasiswa. Kondisi ini menimbulkan pilihan yang sulit bagi mahasiswa. Mereka mengatakan, hidup segan matipun enggan. “Berhubung sudah tidak ada lagi yang berani menjadi ketua, akhirnya saya dicalonkan,” kata Anas. Dengan kata lain, Anas memilih menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS karena kondisi. “Siapa juga yang mau menjadi derap kampus perjuangan | 86


ketua kalau sudah pasti akan dikenakan sanksi?” lanjutnya. Anas paham pilihan untuk memimpin Dewan Mahasiswa ITS menggiringnya pada konsekuensi rumit. Mahasiswa FTE ini tengah mengemban amanah untuk memperjuangkan Dewan Mahasiswa ITS agar tetap hidup. Mempertahankan Dewan Mahasiswa ITS sama artinya dengan menghidupkan idealisme mahasiswa sekaligus mengajarkan idealisme tersebut kepada generasi selanjutnya. Tanpa proses pemilihan yang ideal, Anas diminta menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS. Ia dipilih oleh sebagian MPM. Tapi tidak dipilih dengan cara yang bisa dikatakan benar. Aksi saling tunjuk akhirnya berujung pada sontakan “Anas wae,” ujarnya sambil menirukan gaya mahasiswa pada waktu pemilihannya. Kabar soal Anas yang terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS terdengar sampai telinga pihak birokrasi. Di bawah kendali Anas, Dewan Mahasiswa ITS sedikit lebih frontal. Publikasi dilakukan besar-besaran di setiap sudut kampus. Alhasil, pihak birokrasi mulai bergerak, tanda mereka mulai terusik. Selang beberapa hari, Rektor ITS, Prof Mahmud Zaki meminta mahasiswa Teknik Elektro ini datang menghadapnya. Sebenarnya Anas bukan sosok yang asing bagi Zaki. Ia cukup mengenal perangai Anas selama mengajar di Jurusan Teknik Elektro ITS. Keduanya lantas terlibat dalam sebuah perbincangan serius namun diselingi suasana akrab di dalamnya. “Sudah kamu mundur saja Anas,” bujuk Zaki kepada Anas. “Tapi saya tidak mau Pak, ini sudah keputusan teman-teman,” jawab Anas. “Tapi kalau kamu tidak mundur, kamu bisa diskors karena ini sudah peraturan,” lanjut sang rektor. “Ya silahkan saja Bapak skors, tapi bisa jadi ada demonstrasi di sini,” balas Anas bernada mengancam. “Ya sudah ndak papa,” ujar Zaki. Anas nekat. Sementara sebagai rektor, Zaki tegas menjalankan peraturan kampus. Perbincangan berakhir dengan pemberlakuan sanksi skorsing terhadap Anas selama sepuluh bulan. Siapa terkena skorsing, maka mereka tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di kampus. Surat penskorsan sudah di tangan. Anas menghadapi posisi rumit. Padahal, tinggal selangkah lagi ia berhak menyandang gelar insinyur di depan namanya. Beruntung, rektor masih memberikan kesempatan kepada Anas untuk menyelesaikan tugas akhir selama ia diskors. “Saya sudah mau tugas akhir, tinggal lulus saja, tapi karena tiba-tiba menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS, akhirnya molor nggak karuan,” kata Anas. Keputusannya mempertahankan eksistensi Dewan Mahasiswa ITS membawa Anas ke dalam posisi serba sulit. Namun Anas tidak derap kampus perjuangan | 87


sendirian, Djawahir selaku Sekretaris Umum Dewan Mahasiswa ITS juga terkena imbasnya. Tak mau tebang pilih, Zaki menjatuhkan skors kepada Djawahir selama enam bulan lamanya. Tidak terima, Djawahir menghadap Zaki untuk melayangkan protes. “Bagaimana ini Pak, kok saya diskors?” tanya Djawahir kepada rektor. “Masih untung kamu cuma saya skors, karena perintahnya dipecat (Drop Out, red),” begitu Zaki menjawab tuntutan protes dari Djawahir. Anas dan Djawahir dilarang masuk kampus. Kegiatan mahasiswa kembali vakum. Khusus untuk Anas, sanksi lain menanti. Ia masih harus dipenjara selama tiga minggu karena terbukti mempertahankan jabatan sebagai ketua umum. Anas tidak merasa takut dengan penahanannya. Mungkin karena selama menjadi mahasiswa, ia tinggal bersama mantan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di asrama militer. Pikirnya, di sana tidak akan diapa-apakan karena sudah biasa tinggal dengan tentara. Selanjutnya, Dewan Mahasiswa ITS lagi-lagi mengalami kekosongan. Menunggu pengganti yang siap menghidupkan kembali aspirasi KM ITS.

Dewan Mahasiswa Bayangan Dewan Mahasiswa dianggap oleh birokrasi sebagai organisasi bayangan karena mereka berdiri tanpa ada persetujuan. Sayangnya mahasiswa tidak sepakat. Dewan Mahasiswa ITS tetaplah Dewan Mahasiswa ITS. Tidak ada istilah Dewan Mahasiswa ITS bayangan. “Dewan Mahasiswa ITS berjalan sesuai dengan AD/ART KM ITS, yang memilih juga mahasiswa bukan bayangan. Jadi ya namanya tetap Dewan Mahasiswa ITS dong, bukan Dewan Mahasiswa ITS bayangan,” gurau Amir Hamzah, Pembantu Umum Dewan Mahasiswa ITS. Sudah menjadi rahasia umum jika pihak birokrasi kampus kala itu tidak mengakui legalitas Dewan Mahasiswa ITS. Meski demikian, Dewan Mahasiswa ITS tetap leluasa menjalankan program kerjanya. Syaratnya hanya satu, tidak ada demonstrasi yang bernadakan protes kepada pemerintah di luar kampus. Kondisi ini dinilai mahasiswa cukup rumit, terlebih lagi siapapun yang terlibat dalam Dewan Mahasiswa ITS akan dikenakan skors.

IMBAS NKK/BKK

“Dewan Mahasiswa kehilangan aliran dana” derap kampus perjuangan | 88


Ketika Dewan Mahasiswa ITS kehilangan legalitasnya, pengaruh NKK/BKK sedikit demi sedikit mulai terasa. Hal yang paling kentara adalah soal aliran dana dari rektorat untuk Dewan Mahasiswa ITS. Sebelum adanya aturan NKK/BKK, institut secara rutin memberikan dana kepada Dewan Mahasiswa ITS. Sumber dana berasal dari beberapa persen iuran rutin Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) mahasiswa tiap semester. Setelah NKK/BKK, anggaran tersebut tidak ada lagi. Situasi ini justru membangkitkan kreativitas mahasiswa. Salah satu caranya adalah dengan menghimpun dana pribadi. Dengan demikian, swadaya loyalis anggota Dewan Mahasiswa ITS sering menjadi solusi. Hal itu dilakukan supaya program-program Dewan Mahasiswa ITS tetap berjalan. Skenario lain jika dana yang dibutuhkan cukup besar, mereka meminta kepada alumni yang masih loyal. Program kerja yang dulunya menjadi karakteristik dewan berangsur memudar, seperti Pekan Orientasi Mahasiswa (Posma). Kegiatan kaderisasi yang menjadi ciri khas ITS ini porak-poranda. “Kegiatan internal kita hanya bersifat konsolidasi. Kita lebih banyak aksi keluar,� ujar Djalal, Ketua III Dewan Mahasiswa ITS. Sarana dan prasarana Dewan Mahasiswa juga disegel. Sekretariat Dewan Mahasiswa ITS yang berada di Kampus Cokroaminoto ditutup. Hingga akhirnya Dewan Mahasiswa terpaksa memindahkan sekretariat ke kampus Manyar sekaligus menumpang di sekretariat Senat Mahasiswa FTS.

Lahirnya Koran Aspirasi KM ITS Skorsing terhadap Anas dan Djawahir membuat Dewan Mahasiswa ITS geram. Baru satu bulan dilantik, kedua aktivis tersebut harus menepi dari aktivitas pergerakan dalam kurun waktu yang cukup lama. Otomatis, hal tersebut membuat Dewan Mahasiswa ITS kembali mengalami kekosongan pemimpin. Dalam kondisi seperti itu, Achwan Hadi kembali muncul. Ia ditugaskan menjadi PJ Dewan Mahasiswa ITS selama belum ada pengganti Anas. Wawan pun menjadi aktivis pergerakan yang mampu menjadi PJ Dewan Mahasiswa ITS sebanyak dua kali. Ketika kembali memimpin Dewan Mahasiswa ITS, aksi pertama yang dilakukan Wawan ialah melakukan protes atas keputusan skorsing Anas dan Djawahir. Ia menggerakkan mahasiswa ITS untuk menempelkan berbagai poster bernada perlawanan terhadap rektor di dinding Kampus Cokroaminoto. Berlanjut pada aksi-aksi berikutnya, kegiatan yang dilakukan derap kampus perjuangan | 89


Wawan masih tetap berbau penolakan NKK/BKK. Diawali dengan rapat konsolidasi antar Senat Mahasiswa hingga aksi demonstrasi di depan kantor-kantor lembaga pemerintahan. Puncaknya, ketika Dewan Mahasiswa ITS meresmikan Koran Aspirasi. Kala itu, Wawan mencoba cara lain untuk melakukan pergerakan mahasiswa yaitu melalui media jurnalistik kampus. Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Mahasiswa ITS No 05-S/Kpts/DM-ITS/ IX/1980, Wawan menunjuk Agus Pamudji sebagai Ketua Umum Pers Mahasiswa KM ITS. Bulan Agustus 1980, Koran Aspirasi terbit untuk kali pertama. Kontennya terdiri dari beberapa rubrik seperti Fokus Utama, Sorotan, Pandangan Kita, dan Opini. Namun, yang paling menyita perhatian ialah rubrik Fokus Utama. Bagian yang menjadi inti koran Dewan mahasiswa ITS tersebut berisi tentang rencana Dewan Mahasiswa se-Indonesia membentuk Badan Komunikasi Mahasiswa Indonesia (BKMI). Terbitnya Koran Aspirasi menjadi langkah berani dari Dewan Mahasiswa ITS. Padahal, status dari Dewan Mahasiswa sendiri sudah tidak diakui. Setelah tercetak, koran tersebut dijual kepada mahasiswa ITS seharga Rp. 50 per eksemplar. Tak hanya lingkup ITS, Koran Aspirasi juga didistribusikan ke Dewan Mahasiswa lain seperti DM Unair dan IKIP Surabaya. Penyebaran koran tersebut bertepatan dengan kedatangan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI, Abdul Ghafur T Idris ke kampus Unair. Menpora pun membaca Koran Aspirasi KM ITS. Sontak, informasi dalam koran tersebut menyulut kemarahan petinggi negara. Mereka segera menghubungi Rektor ITS untuk memberikan instruksi agar para penanggung jawab koran segera mendapat ‘pelajaran’. Sesuai dugaan, tak lama setelah itu, surat keputusan skorsing turun. Wawan, Agus Pamudji, Djuwono Hadi Susanto, Adhek Abimanyu, dan beberapa mahasiswa lain juga mendapat skorsing.

Skorsing Cup, Cara Kreatif Tolak NKK/BKK Banyaknya aktivis pergerakan mahasiswa yang mendapatkan skors berimbas pada kondisi internal Dewan Mahasiswa ITS. Mobilitas derap kampus perjuangan | 90


Dewan Mahasiswa ITS mulai menurun. Sebab, hanya segelintir aktivis saja yang tersisa sebagai penggerak. Tokoh-tokoh seperti Anas, Djawahir, Wawan, Djuwono hingga Agus Pamudji tidak dapat berbuat banyak akibat skorsing. Sementara Harun dan Sholeh sudah tidak lagi ikut campur terlalu dalam. Tak tahan dengan kondisi tersebut, Wawan terinspirasi membuat satu aksi. Mahasiswa yang masih berstatus sebagai PJ Dewan Mahasiswa ini mengusulkan aksi protes dalam bentuk yang lebih kreatif. Ia menggagas perlombaan sepak bola antar fakultas di lingkungan ITS yang dikenal dengan nama Skorsing Cup. Perlombaan tersebut sekaligus sebagai tandingan kegiatan Pekan Olahraga dan Kesenian (Porseni) Mahasiswa yang digelar oleh BKK. Skorsing Cup diketuai oleh Djalal. Kegiatan ini dilaksanakan selama seminggu, terhitung sejak 21 Oktober 1980 di Lapangan Perusahaan Jawatan Kereka Api (PJKA) di daerah Pacar Keling. Nama Skorsing Cup dipilih lantaran panitia yang terlibat merupakan aktivis mahasiswa yang sedang menjalani sanksi skorsing. ‘’Dananya mandiri. Hasil iuran seikhlasnya,’’ ujar Djuwono, salah satu panitia yang terlibat. Menurutnya, kegiatan ini sangat sukses di kalangan mahasiswa. Akan tetapi, salah satu yang menarik dari Skorsing Cup adalah proses pencarian lokasi pertandingan. Bukan hal mudah mendapatkan ijin kala itu untuk mengadakan suatu acara di tempat umum. Segala kegiatan yang digelar di luar harus seijin kepolisian. ‘’Gimana cara kita bisa menggunakan lapangan PJKA. Itu yang dipertanyakan polisi,’’ kata mahasiswa FTS ini menirukan. Ternyata, panitia waktu itu menggunakan pendekatan kepada para penjaga lapangan. Harga sewa lapangan dibayar lima kali lipat dari harga sewa semestinya. Syaratnya, urusan pinjam meminjam ke polisi diserahkan kepada penjaga lapangan. ‘’Kok iso Dju?,’’ tanya semua panitia kepada Djuwono yang kala itu ditunjuk sebagai penanggung jawab penyewaan tempat. Djuwono pun menyahut, ’’Lho, calon pemimpin iku yo kudu iso. Sing penting carane, cuk!!”. ‘’Jancuk, koen iku iso ae, mbujuki wong,’’ ujar Wawan sambil tertawa. Untuk mempublikasikan kegiatan ini, panitia memasang spanduk bertuliskan Skorsing Cup KM-ITS. Spanduk tersebut dipasang di atas pintu gerbang lapangan PJKA, menghadap ke Jalan Pacar Keling. Begitu pertandingan memasuki hari kedua, panitia mendapatkan surat panggilan dari polisi. Djuwono sebagai aktor dibalik proses pinjam lapangan diminta untuk bertanggung jawab oleh panitia yang lain. Hari berikutnya, ia mendatangi panggilan polisi tanpa pengawaderap kampus perjuangan | 91


lan. ‘’Saya naik becak sendiri. Soalnya nggak ada yang mau diajak. Podo wedi kabeh,’’ katanya. Djuwono berkisah, dirinya langsung diinterogasi seputar kronologis perijinan peminjaman lapangan. Polisi mempertanyakan mengapa panitia tidak meminta ijin polisi. Padahal turnamen tersebut mendatangkan keramaian. Lebih dari itu, polisi juga meminta agar pertandingan dihentikan sebelum mendapat ijin dari kepolisian. Dengan santai Djuwono menjawab bahwa ia sudah ijin bahkan menyewa lapangan. Tak terima dengan tanggapan Djuwono, polisi bersikeras untuk menghentikan kegiatan. ‘’Pak Polisi, saya nggak tanggung jawab lho kalau nanti anak-anak mainnya pindah ke jalan. Ya, jalan Pacar Keling,’’ kata Djuwono. Perundingan alot ini akhirnya berakhir. Waktu itu, Djuwono diminta untuk menemui komandan polisi, Letnan Kolonel (Letkol) Rahmat. Rupanya, putra dari Letkol Rahmat, Didik Budi Mudjono merupakan mahasiswa FTS ITS. Sebelum memberikan arahannya, Djuwono memotong dan mengatakan bahwa Didik turut serta dalam kepanitiaan tersebut. Padahal sebenarnya tidak. Tak ayal, hal ini membuat si komandan terperanjat dan memberikan solusi. ‘’Kegiatan dapat berjalan tetapi spanduk Skorsing Cup harus diturunkan,’’ kenangnya. Djuwono pun menyanggupi. Sepulang dari kantor polisi, ia melaporkan kepada panitia yang lain. ‘’Lek ngono Dju, spanduke dipasang ning ngisor ae,’’ ujar Wawan menanggapi laporan Djuwono. Pada hari keempat pelaksanaan, spanduk diturunkan dan dipasang di pagar sehingga tetap terlihat. Memasuki hari kelima, datang lagi surat panggilan yang ditujukan langsung kepada Djuwono. Ia kembali menghadap pihak kepolisian di hari berikutnya. Sesampainya di sana, ia dicecar berbagai pertanyaan. Terutama soal pencopotan spanduk yang diperintahkan kepadanya. ‘’Mana spanduknya?’’ tagih polisi kepada Djuwono. ‘’Lha, Bapak kan minta diturunkan,’’ sahut Djuwono. ‘’Iya, sekarang di mana?’’ ‘’Sudah kami turunkan. Kami pasang di bawah, nempel pagar.’’ katanya berkelit. ‘’Bukan itu maksud saya. Maksudnya, diturunkan itu, digulung dan dibawa kesini,’’ jawabnya. ‘’Walah, Pak, hari ini sudah final dan berakhir,’’ jawab Djuwono.

derap kampus perjuangan | 92


} DE

RAP 12 DJALAL, PENUTUPAN CATATAN DEWAN MAHASISWA

derap kampus perjuangan | 93


Pembentukan MPM Terakhir

P

enunjukkan Wawan sebagai PJ Dewan Mahasiswa ITS untuk kali kedua memang menjadi solusi untuk sementara. Namun, hal tersebut tidak dapat dilakukan untuk waktu yang lama. Sebab, Wawan sendiri sudah memasuki tahap akhir perkuliahan. Ia akan segera lulus. Di samping itu, Dewan Mahasiswa ITS juga memerlukan regenerasi demi keberlangsungan di masa mendatang.

Selama tiga hari sejak 10 Oktober 1980, para anggota BPM mengadakan rapat di Batu, Malang. Rapat berlangsung tertutup guna membentuk MPM. MPM dipersiapkan untuk melakukan pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS periode 1980-1981. Tepat 12 Oktober 1980, Priyo Sutopo mahasiswa FTK secara resmi ditunjuk sebagai Ketua MPM ITS periode 1980-1981. Ia dibantu oleh Agus Pamudji mahasiswa FIPIA sebagai Sekretaris Umum.

Suksesi Terakhir Dewan Mahasiswa ITS Setelah dibentuk, MPM langsung bergerak cepat. Priyo Sutopo dan Agus Pamudji segera membentuk panitia pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS. Mereka juga mendeklarasikan persyaratan bagi setiap mahasiswa yang ingin mencalonkan diri sebagai ketua umum. “Calon harus WNI, pancasilais, anggota KM ITS, tak pernah terkena sanksi organisatoris dan sebagainya,� ujar Priyo Sutopo, Ketua MPM ITS periode 1980-1981 yang diambil dari surat kabar Semesta edisi Desember 1980. Langkah pertama yang dilakukan panitia pemilihan ketua umum ialah melakukan seleksi dan verifikasi setiap calon ketua. Tiga nama aktivis mencuat setelah proses verifikasi selesai. Di antaranya Djalal dan Agus Razak. Djalal akhirnya lolos pada tahap berikutnya dan menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITS. Djalal tidak bekerja sendiri ketika menjadi leader Dewan Mahasiswa ITS. Yuliar, mahasiswa FTE menjabat sebagai Sekretaris Umum. Hengki Sunaryo yang juga dari FTE menjabat sebagai Ketua I Dewan Mahasiswa. Sementara Agus Razak dan Adhek Abimanyu menempati posisi Ketua II dan III Dewan Mahasiswa. Djalal resmi dilantik 9 November 1980. Keesokan harinya, ia melaksanakan tugas perdananya yakni menghadiri acara wisuda ITS. derap kampus perjuangan | 94


Djalal memimpin Dewan Mahasiswa ketika kondisi politik nasional masih memanas. Protes mahasiswa terhadap statuta NKK/ BKK belum reda. Demonstrasi mahasiswa di berbagai tempat terus bergelora. Gedung-gedung DPR dan DPRD seakan tak pernah sepi dari spanduk mahasiswa bertuliskan keluhan terhadap pemerintahan yang diktator. Di sisi lain, isu Pemilu tahun 1982 mulai menjadi buah bibir. Terlebih lagi, rencana Soeharto meneruskan dinasti kepemimpinannya bukan isapan jempol belaka. Sehingga forum dan konsolidasi Dewan Mahasiswa tingkat nasional intens digelar di berbagai tempat. Mulai dari Jakarta, Surabaya, Bandung dan beberapa kota-kota lainnya di Indonesia. Kejadian berbau protes politik lainnya juga marak terjadi. Teror bom, SARA, dan bentrokan di berbagai daerah selalu menghiasi headline surat kabar setiap hari. Anehnya, pemerintah acap kali melancarkan tuduhan terhadap mahasiswa atas segala peristiwa tersebut. “Banyak di antara kita yang dicari, diinterogasi dan ditangkap satu persatu,” jelas Djalal.

Perlawanan Tak Pernah Mati Perpindahan estafet kepemimpinan Dewan Mahasiswa ITS ke tangan Djalal memunculkan secercah harapan bagi KM ITS. Banyak yang berharap, naiknya Djalal sebagai komandan baru aktivis mahasiswa, mampu menjaga eksistensi Dewan Mahasiswa ITS yang sudah mulai kendor. Perlawanan terhadap NKK/BKK muncul kembali di berbagai wilayah kampus. Penyegelan kampus Balewerti tahun 1980 menjadi salah satunya. Mahasiswa melarang kegiatan belajar-mengajar sebelum kebijakan tersebut dicabut. Aksi itu berlangsung kurang lebih selama satu minggu. Pernah juga dilakukan penggembokan ruang kelas di kampus Cokroaminoto ketika para tentara sedang melakukan inspeksi di sekitar halaman kampus. ‘’Kami yang di dalam teriak-teriak, ngolokngolok para tentara yang berada di luar,’’ cerita Amien Laila, salah satu aktivis mahasiswa. Kampus Manyar tak ketinggalan melakukan protes. Seluruh mahasiswa FTS kompak menggelar aksi mogok belajar. Tempelan kertas berisi penolakan NKK/BKK terpampang di tembok, pohon, pintu hingga papan tulis. Namun yang paling parah, pembakaran di dalam kampus. Kala itu, mahasiswa sudah cukup gerah dengan ketidakpedulian pihak birokrasi dan pemerintah. Mereka membuat sedikit sensasi. Para penghuni Baliwerti menutup setiap celah pintu masuk menuju kampus. derap kampus perjuangan | 95


Lalu, mereka membuat asap seolah-olah terjadi kebakaran. “Padahal yang dibakar waktu itu hanya sampah,” tutur Amien sembari tersenyum. Hal tersebut ternyata menimbulkan kehebohan sesaat. Mahmud Zaki didampingi Kolonel Agus Sasmito mendatangi tempat kejadian. Mobil pemadam kebakaran sampai dipersiapkan guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. “Kami nggak pernah takut,” lanjut Amien. Di sisi lain, aksi penolakan NKK/BKK di luar kampus juga tidak kalah seru. Hampir di setiap momen hari-hari besar nasional, mahasiswa ITS selalu melakukan aksi demonstrasi. “Entah hari apapun itu, asalkan momen hari besar kita selalu turun ke jalan,” cerita Djalal. Konsolidasi antar ketua Dewan Mahasiswa yang masih eksis juga diintensifkan. Isu yang dibahas di setiap pertemuan juga tetap. Menggelar aksi bersama penolakan NKK/BKK, serta menyoroti kebijakan pemerintah yang semakin diktator. Sayangnya, konsolidasi yang dilakukan kerap kali jauh dari ideal. Mata-mata militer seakan tak pernah berkedip mengamati gerakgerik para pimpinan mahasiswa. Karena itu, rapat lebih sering digelar secara estafet. Bergantian di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Tak ketinggalan, daerah lain seperti Malang, Solo dan Semarang turut ambil peran. Tentu tidak mudah melakukan rapat secara estafet. Banyak kendala yang menghambat proses konsolidasi. Salah satunya peristiwa penangkapan Djalal akibat peristiwa Solo. Djalal ditengarai menjadi salah satu oknum dibalik aksi akbar tersebut. “Upaya penangkapan sebetulnya sudah ada sejak rapat dewan di Jakarta. Namun, Djalal baru berhasil ditangkap pas di Surabaya,” kata Amir Hamzah. Kejadian tersebut akhirnya menggagalkan agenda rapat akbar para Ketua Umum Dewan Mahasiswa yang saat itu dijadwalkan di ITS. Kerap menggelar aksi, tak menjadikan Dewan Mahasiswa ITS selalu menjadi leader. Terkadang, aktivis mahasiswa ITS juga mengikuti aksi di kampus lain. “Ketika Dewan Mahasiswa kampus tetangga menginisiasi aksi turun jalan, kami tidak pernah tutup mata dan turut berpartisipasi,” lanjut Amir. Aksi di UGM bersama seluruh Dewan Mahasiswa se-Indonesia akhir tahun 1981 menjadi aksi terakhir penolakan NKK/BKK. Pada saat itu, mahasiswa menggelar forum untuk mengatasi acuhnya pemerintah terhadap aspirasi mahasiswa. Forum tersebut menyepakati aksi golput pada Pemilu 1982. Keputusan tersebut tertulis hitam di atas putih dan ditandatangani oleh seluruh Ketua Umum Dewan Mahasiswa se-Indonesia.

Strategi Kolaborasi Program derap kampus perjuangan | 96


Aksi menentang NKK/BKK memang masih terus digalakkan. Perjuangan mahasiswa di berbagai daerah juga tak pernah padam. Namun, lambat laun perjuangan hanya sekedar pergerakan. Tak ada hasil konkret yang didapatkan. Alotnya diplomasi dengan penguasa menjadi penyebabnya. Hal ini memaksa pimpinan Dewan Mahasiswa harus berpikir logis. Masalah BKK juga pelik. Tekanan pemerintah kepada birokrasi ITS tak pernah kendur. Petinggi di ITS dinilai lamban menjalankan instruksi. Padahal beberapa kampus lain telah berhasil. Namun, mahasiswa juga keukeuh, tak mau menjalankan program BKK. Tak ingin berlarut, Djalal mencoba melunak. Ia memberikan sedikit celah untuk berdialog dengan BKK yang diwakili oleh Muchayat, dosen FTK. Hasilnya, lahir sebuah kesepakatan yang menjadi solusi bagi kedua belah pihak. “Kami menyebutnya program simbiosis mutualisme,” jelas Bupati Jember tersebut. Dalam kesepakatan, program kerja Dewan Mahasiswa yang sejalan dengan agenda BKK dilebur menjadi satu. Djalal menyebut program tersebut sebagai acara Dewan Mahasiswa ketika berhadapan dengan mahasiswa. Sementara Muchayat, membuat laporan pertanggungjawaban atas program yang sama untuk disampaikan kepada pimpinan BKK. “Saya tidak peduli dengan laporan ke atas. Yang penting Dewan Mahasiswa dapat dana dan bisa menjalankan segala aktivitasnya,” tutur Djalal. Kolaborasi juga coba dilakukan Djalal dengan pihak birokrasi kampus. Meskipun statusnya sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa tidak diakui secara resmi, namun Djalal mempunyai kartu As. Sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa yang diakui oleh mahasiswa, ia mampu mengendalikan mahasiswa. Waktu itu, rektorat sedang kalang kabut mencari sosok yang dapat mengendalikan sikap mahasiswa. Banyak aksi protes mahasiswa yang dilakukan di area kampus. Pimpinan ITS khawatir, banyak fasilitas kampus yang akan dirusak. Dalam kondisi seperti itu, Djalal menawarkan diri sebagai sosok yang dicari. Ia bersedia membantu rektorat untuk mengendalikan sikap mahasiswa supaya tidak melakukan perusakan fasilitas kampus. Namun demikian, ia pun juga menyertakan beberapa syarat yang harus dipenuhi rektorat. Di antaranya, tidak ada perlakuan subjektif terhadap seluruh mahasiswa ITS, mahasiswa kurang mampu harus tinggal di asrama dan pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang membutuhkan. “Strategi tersebut cukup efektif untuk mengatasi kebuntuan organisasi internal mahasiswa dan institut,” lanjut Djalal.

Akhir Dewan Mahasiswa ITS derap kampus perjuangan | 97


(Ketika Para Aktivis Meninggalkan Kampus) Maret 1982 menjadi salah satu hari paling bersejarah di ITS. Bak negara yang kehilangan pahlawan, ITS pun mengalami hal serupa. Para aktivis yang selalu menjadi motor pergerakan mahasiswa akan segera mengakhiri masa studinya. Ya, empat mahasiswa paling populer di ITS kala itu akan di wisuda. Mereka adalah Harun, Sholeh, Djalal dan Djuwono. Harun dan Sholeh di wisuda setelah menjalani masa tahanan selama 15 bulan. Djuwono lulus setelah mampu fokus menyelesaikan tugas akhirnya. Sementara, Djalal meninggalkan kampus dengan kebimbangan akan eksistensi Dewan Mahasiswa ITS. “Saya ingat betul, menjelang besok wisuda, malamnya masih berkumpul membahas keberlangsungan Dewan Mahasiswa,” tutur Djalal. Djalal seharusnya wisuda November 1981. Namun, saat itu kondisi Dewan Mahasiswa ITS kurang stabil sehingga ia memperpanjang masa jabatannya hingga Maret 1982. Ketika wisuda, mahasiswa ITS memberikan kado spesial bagi para aktivis. Apalagi waktu wisuda tersebut juga bersamaan dengan peresmian kampus ITS Sukolilo. Mahasiswa menyemut di depan rektorat menyambut keluarnya para aktivis yang baru menyandang gelar insinyur. Hampir 2000 mahasiswa tumplek blek di kampus Sukolilo. Mereka membawa spanduk bertuliskan Nostalgia DM-ITS 76/77. Harun berorasi untuk kali terakhir. Intinya, ia berpesan agar mahasiswa tetap berani berjuang membela kebenaran. ‘’Konsistensilah jadi orang muda. Karena tidak ada elemen bangsa lain yang mampu melakukan koreksi terhadap pemerintah selain mahasiswa,’’ nasehat Harun ke mahasiswa. Di sisi lain, estafet kepemimpinan Dewan Mahasiswa ITS jatuh ke tangan Hengky Sunaryo. Ia memang tidak dipilih melalui pemilihan resmi, hanya sekedar penunjukan langsung oleh beberapa aktivis. Di tangan Hengky, tidak banyak diketahui sejauh apa sepak terjang Dewan Mahasiswa ITS. Hingga akhirnya, Dewan Mahasiswa ITS menghilang dan hanya menyisakan cerita bagi para pelakunya.

derap kampus perjuangan | 98


} DE

RAP 13 MASA ORIENTASI MAHASISWA Sejatinya mahasiswa tak bisa disamakan dengan siswa. Berjalanlah ia ketika harus berjalan, berlarilah ia ketika harus berlari. Tak ada yang mengarahkan, hanya dituntut melangkah lebih menuju kemandirian sebagai seorang mahasiswa.

derap kampus perjuangan | 99


Berbagai cara dilakukan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa baru dalam mengenal seluk beluk dunia mahasiswa. Tidak berbeda di ITS, tradisi ini dikembangkan turun-temurun. Menariknya, dari seluruh kampus di Indonesia, mungkin hanya ITS saja yang menerapkan kebijakan pengaderan dua kaki. Birokrasi memberikan peraturan yang mengontrol batasan pengaderan, namun dalam pelaksaannya diserahkan sesuai dengan selera jurusan masing-masing. Pro-kontra pengaderan sama halnya dengan pro -kontra kenaikan harga BBM. Kembang kempis, fluktuasi sesuai musimnya. ‘’Bagi yang peduli, ia bisa memilih berkontribusi, bagi yang tidak, ya tentu acuh dan tidak mau tahu,� kata Paulus Andrianto, mahasiswa FTP mengawali kisahnya. Di era 1960-an, pengaderan ITS lebih dikenal dengan sebutan perpeloncoan. Jumlah mahasiswanya pun tidak banyak. Sehingga, kegiatan ini dilakukan bersama oleh seluruh mahasiswa fakultas. Menurut mahasiswa yang akrab disapa Chin, ia mengalami perpeloncoan selama dua minggu pada saat menjadi mahasiswa baru (maba) di tahun 1961. Agenda tersebut merupakan kegiatan rutin Dewan Mahasiswa ITS yang dilakukan seizin pihak birokrasi. Sejarah perpeloncoan ITS berawal dari mahasiswa FTM dan FTS angkatan pertama yang merupakan pindahan dari universitas lain seperti ITB dan UGM. Memanfaatkan pengalaman orientasi yang pernah didapat, mereka menerapkan hal yang sama terhadap teman satu angkatan. Sukses di tahun pertama, sudah pasti proses perpeloncoan tersebut diterapkan pada junior di tahun berikutnya. Berbeda dengan beberapa fakultas baru, seperti FTP, FTE dan FTK, seluruh maba dipelonco oleh senior dari FTM dan FTS. Kegiatan itu dilakukan serentak. Perpeloncoan diawali dengan upacara pembukaan. Maba diperintahkan untuk datang di pagi buta berpakaian standar pelatihan dengan caping sebagai pelindung kepala. Tidak hanya itu, sebagai identitas, setiap junior dipaksa menggunakan kalung yang bertulis nama panggilan. Misalnya saja kapal keruk jika ia berasal dari FTP. Beratnya perpeloncoan layaknya latihan militer. Kegiatan ini dimulai sejak pukul 04.00 pagi hingga dini hari. Dari baju yang awalnya putih ketika berangkat, sampai berwarna coklat saat pulang. Usai mengikuti perpeloncoan seharian penuh, penugasan untuk hari berikutnya menanti. Sialnya, sedikit waktu yang harusnya digunakan beristirahat, justru habis digunakan untuk menyelesaikan tugas. Hampir setiap waktu ada saja tugas yang diinstruksikan senior. Misalnya, untuk junior laki-laki harus pelontos di hari kedua. Tentu sulit mencari tukang cukur yang buka dini hari, sehingga akal pun bicara dengan memanfaatkan kerabat dekat untuk membabat habis rambut mereka. Ketika itu, apapun yang dikatakan senior seolah menderap kampus perjuangan | 100


jadi maklumat absolut untuk dilakukan oleh para junior. Meski cukup mengerikan, Chin menganggap bahwa kegiatan tersebut menarik karena dilakukan secara terstruktur. Bahkan, terdapat buku panduan yang dibuat khusus untuk seluruh maba. ‘’Dulu enak. Lha wong saya digojlok, diapain saja, tapi tetap menyenangkan,” kenang Chin. Menurut Chin, perpeloncoan memang identik dengan permainan fisik dan mental. Siapa saja yang berani melawan senior, hukuman siap menanti. Hukumannya konyol, misalnya diperintahkan untuk teriak kencang di atas pintu beton kampus layaknya orang gila. “Banyak fisiknya, tapi selesai ya sudah, tidak saling sentimentil,” cerita Chin seraya tertawa. Menariknya, terdapat tim pengawas dan keamanan yang juga berasal dari mahasiswa senior. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi agar tidak ada senior yang melampaui batas. Pernah ada kejadian senior mengencingi juniornya. Walau tidak secara langsung, hal itu tentu sudah kelewat batas dan di sanalah mereka berperan. Perpeloncoan diakhiri dengan pesta. Misalnya FTS, junior laki-laki dipaksa berdandan menyerupai perempuan untuk menari bersama senior mereka. ‘’Positifnya, kita jadi solid satu sama lain meski berasal dari fakultas yang berbeda, bahkan dengan seniornya,’’ cerita Chin.

Transformasi Mapram Setelah tahun 1962, perpeloncoan berganti nama menjadi Masa Perkenalan Mahasiswa (Mapram). Ahmad Moestahid Astari, mahasiswa FTK didapuk sebagai Ketua Mapram pertama oleh Tri Widodo, Ketua Dewan Mahasiswa ITS kala itu. “Dulu, pihak birokrasi secara resmi menitipkan maba kepada kita (Dewan Mahasiswa, red),” ungkap Moestahid. Prosedurnya, Rektor ITS menyerahkan mahasiswa baru pada Ketua Dewan Mahasiswa ITS. Selanjutnya, Ketua Dewan Mahasiswa ITS menyerahkan seluruhnya pada Ketua Mapram. Sama seperti perpeloncoan, Mapram diawali dengan upacara pembukaan. Usai diresmikan, mulailah senior menyerbu perlahan. Bak macan keluar dari kandang, mereka siap menerkam siapa saja yang ada dihadapannya. Jumlahnya pun lebih banyak dari jumlah maba itu sendiri. Sering junior dihujani teriakan lantang tak jelas. Sementara, mereka hanya dapat merunduk takut. Jika berani menoleh, bisa-bisa satu tamparan sepatu melayang kepadanya. Layaknya perpeloncoan, pelaksanaan mapram menuntut kreativitas peserta dalam berpakaian. Seluruh junior wajib menggunakan derap kampus perjuangan | 101


pakaian tak wajar dengan tutup kepala berbahan daun pandan. Pakaian itulah yang akan digunakan selama mapram berlangsung. Moestahid menjelaskan bahwa ada alasan mengapa maba ‘dihabisi’ dengan berbagai perintah tak lazim. Prinsipnya hanya satu: Yo opo carane kudu iso, kudu wani, kudu berhasil (Bagaimana pun caranya harus bisa, harus berani, harus berhasil). Tentunya dengan cara yang positif. “Ya, supaya mereka bisa berfikir di tengah tekanan seperti itu,” ungkapnya. Adapun kisah Buchori Nasution, mahasiswa FTM yang pernah menjadi peserta Mapram mengaku, aksi seniornya cukup beragam dan aneh. Misalnya saja, senior memerintahkan juniornya untuk bermain adu tongkat. “Jadi, tongkat mereka saling pukul-memukul hingga patah. Kalau sudah patah, duel masih harus dilanjutkan dengan merebut tongkat dari peserta lain,’’ ujar Buchori. Pernah pula, maba diminta bahu membahu menuju atap kampus tanpa menggunakan tangga untuk menguji kekompakkan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi. Aksi ini diberikan guna menguji adrenalin maba. “Jadilah aksi akrobatik ala mahasiswa,” ingat Buchori sembari tertawa. ‘’Intinya dalam Mapram, jika ada mahasiswa yang tidak bisa menangis, harus bisa dibuat sampai menangis bagaimana pun caranya,” tuturnya. Pernah juga ada mahasiswa yang disundut (disulut, red) rokok oleh senior. Tak ada yang berani melawan. Cerita lain datang dari ingatan Sudjud Darsopuspito. Mahasiswa FTM ini pernah melakukan hal menjijikan karena diperintahkan oleh seniornya. “Suatu hari, kami pernah dipaksa menyikat gigi memakai bongkol jagung,” kenangnya. Menggelikan, seluruh maba harus menggosok gigi dengan bongkol jagung yang sama secara bergantian. Setali tiga uang dengan Sudjud, Hanief Djauhari juga berkisah satu pengalaman uniknya selama dikader. “Kami dapat perintah untuk membawa kecoa laki-laki dan perempuan,’’ ujar mahasiswa FTP ini. Usai dipenuhi, justru hal tersebut menimbulkan masalah, lantaran panitia menanyakan bagaimana ia tahu jenis kelamin dari kecoa tersebut, tentu tidak ada satupun yang tahu. Hanief mengaku bahwa panitia Mapram bekerja sangat maksimal. ‘’Pernah berpura pura mendapat surat dari birokrasi dan peserta diminta bubar. Tapi, sekitar 600 meter dari Baliwerti, seluruh peserta diminta kembali dengan angkat sepeda di atas kepala,‘’ sambungnya. Bagi maba, terdapat sensasi ketakutan tersendiri ketika mereka berniat tidak mengikuti kegiatan Mapram. Karena jika tidak lulus, maba tidak bisa menjalani kehidupan layaknya aktivis kampus dan tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Mereka hanya diperkenankan untuk kuliah saja. Alhasil, semua maba terpaksa mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. derap kampus perjuangan | 102


“Kalau dia tidak bisa ikut hari ini karena sakit, jadi harus ikut tahun depan,” sambungnya. Karena itu, nyaris tak dikenal apa itu istilah boikoter seperti lazimnya dikenal dewasa ini. Puas dengan kegiatan siksa-menyiksa, Mapram ditutup dengan malam keakraban. Suka, duka, dan air mata tumpah ruah di sana. Suasananya tidak menakutkan seperti sebelumnya. Kehangatan bersama senior begitu terasa. “Saat penutupan dengan api unggun, semua menangis saling memaafkan dan terasa dekat sekali dengan senior,” ungkap Buchori. Tidak ada dendam, semua terbayarkan dengan kedekatan mereka pasca gelaran makrab terlaksana. Selanjutnya, kehidupan kuliah berjalan normal. Beberapa senior malah justru diminta untuk meminjamkan buku dan menjadi tutor untuk mata kuliah yang dianggap sulit. Diakuinya, itulah salah satu bagian terindah dari seluruh masa Mapram yang berat. “Perasaan itu terbawa terus sampai sekarang,” tuturnya. Sama halnya dengan perpeloncoan, Mapram diakui juga memberikan dampak positif. Selama seminggu, maba menjadi lebih dekat antar satu dengan yang lainnya. Sebab, mereka merasakan penderitaan bersama, tidur bersama, makan bersama, dan melakukan banyak hal lainnya secara bersama-sama, termasuk ketika diberi hukuman. “Mapram telah terbukti dapat mempererat rasa solidaritas dan juga dapat menumbuhkan rasa cinta almamater,” jelasnya. Senada dengan Buchori, Hanief menjelaskan saat kegiatan selesai, seluruh panitia menyampaikan permintaan maafnya. Pada malam terakhir, digelar api unggun. ‘’Di sanalah kami merasakan adanya keluarga mahasiswa. Waktu itu kami sampai nangis ketika menyanyikan lagu syukur,’’ ujarnya mengenang.

Mapram Terakhir, Mahasiswa Baru Terluka “Pada saat kejadian tersebut, seharusnya Mapram dilaksanakan selama satu minggu, tapi saat saya menjadi maba, mapram hanya dilaksanakan dua hari saja karena terdapat insiden yang kemudian mahasiswa dibubarkan paksa,” kenang Harun. Harun Al-Rasyid adalah salah satu mahasiswa baru sebagai peserta Mapram yang juga menjadi saksi hidup kejadian tersebut. Mulailah Harun berkisah. “Waktu rektor menyerahkan maba ke Dewan Mahasiswa ITS, kemudian dilanjutkan pada Ketua Panitia Mapram, para kakak tingkat itu berteriak mati kalian! mati kalian!” Kala itu, rektor juga tahu betapa mengerikannya Mapram. Namun, karena mapram adalah hak mahasiswa, rektor tidak dapat berbuat banyak. Ketika mapram secara resmi dibuka, komandan panitia derap kampus perjuangan | 103


langsung berteriak tunduuuuk! Seluruh maba tidak diperbolehkan mengangkat kepala sedikitpun dari sore sampai malam. Jika ada satu saja yang berani, tamparan tangan senior dari belakang siap menghujam. “Apalagi kepala kita dulu kan di-botakin, makanya ketika di-tempeleng, di-tabok atau bahkan dipukul pakai sandal jepit rasa sakitnya membekas lama,” kenang Harun jengkel. Tidak hanya itu, ketika maba diperintahkan merunduk, saat itu pula petasan berukuran jumbo berterbangan di atas kepala hingga memekakkan telinga. Tetap saja, tidak ada maba yang berani melawan atau hanya sekedar mengangkat kepala. “Rasanya, kita jadi orang paling hina di dunia waktu itu,” tuturnya. Sama seperti cerita sebelumnya, Harun juga mendapatkan perintah yang tak wajar. Misalnya saja dikomando untuk memakan cacing dengan mata tertutup. Mau tidak mau, mereka memakannya. “Padahal ya itu mie yang agak basah jadi kalau dipegang benar dikira cacing, mata kami ditutup jadi tidak tahu,” ujar Harun. Imbasnya, banyak maba yang menangis, mual hingga muntah-muntah. Barulah ketika penutup mata dibuka mereka sadar bahwa yang dimakannya adalah mie bukan cacing sungguhan. Tidak hanya uji kekompakan dan ketahanan saja, Mapram juga mengharuskan maba untuk mengenal Peran Fungsi Mahasiswa (PFM), Dewan Mahasiswa ITS, dan MPM. ‘’Kami diwajibkan meminta tanda tangan dari Ketua Dewan Mahasiswa ITS dalam waktu 2 hari. Ini bukan hal yang mudah, karena mereka tidak pernah ada di kampus. Nyarinya kemana ya nggak tahu kita,” kisah Harun. Kedisiplinan juga menjadi poin penting dalam pelaksanaan Mapram. Jika terlambat, maba akan mendapat hukuman yang beragam. Satu hukuman yang tidak bisa Harun lupakan adalah diminta untuk mengukur jarak dari pintu kelas hingga lapangan dengan menggunakan batang korek api. “Pertanyaan yang diajukan adalah berapa batang korek yang dibutuhkan. Senior tetap saja menyalahkan kami, padahal mereka juga tidak tahu berapa jumlah sebenarnya,” jelas Harun. Walau dilaksanakan dengan seizin birokrasi, pelaksanaan Mapram sangat tertutup bagi khalayak luar. “Saking tidak bolehnya dilihat orang, kampus ITS ditutup pake gedeg keliling sebagai pagar,” ungkap Harun. Untuk datang dalam kegiatan tersebut peserta tidak diperbolehkan untuk naik kendaraan sendiri, apalagi diantar. Beberapa senior disebar untuk mengintai siapa saja yang membawa kendaraan untuk kemudian dipanggil dan dihukum. Sayangnya, Mapram kali ini berakhir tragis dan hanya berlangsung dua hari. Hal ini bermula dari kecerobohan senior yang berbuah kepanikan. Ketika seluruh peserta berkumpul, senior yang melihat tong berisi air tanpa berfikir panjang menyiramkannya kepada peserta. Tak derap kampus perjuangan | 104


disangka, air tersebut bukan sekedar air biasa, melainkan limbah hasil praktikum yang berbahaya. Akibatnya, beberapa mahasiswa terluka. “Kita masih maba, sehingga tidak tahu pasti berapa banyak mahasiswa yang terluka. Kita pun juga tidak tahu seberapa parah luka yang mereka alami,” kenang Harun. “Tidak lama, ambulans datang dan korban diangkut bergilir ke rumah sakit,” lanjutnya. Kejadian inilah yang menjadi alasan bahwa Mapram tidak diperbolehkan pada tahun berikutnya. Peraturan ini berlaku di seluruh perguruan tinggi se-Indonesia. “Gara-gara ITS, Mapram dilarang di seluruh Indonesia,” jelas Harun.

Posma, Wajah Baru Mapram Berakhir, bukan berarti tidak dilanjutkan. Dirasa butuh untuk memperkenalkan kehidupan kampus kepada maba, Mapram berubah wajah menjadi Pekan Orientasi Mahasiswa (Posma). Posma pertama kali digelar pada tahun 1972, tepat satu tahun setelah Mapram ditiadakan. Kala itu, kegiatan Posma tidak diserahkan kepada mahasiswa, melainkan dipegang oleh birokrasi ITS dan dosendosen pengajar. Otomatis, kegiatannya pun tidak seseram Mapram. Posma versi ini hanya bertahan beberapa tahun saja. Selanjutnya, Posma diberikan kembali kepada mahasiswa. Kala itu, Budi Atmadi diamanahi mengomandoi gelaran Posma untuk kali pertama versi mahasiswa. ‘’Posma ini kegiatan paling pretisius. Karena di sinilah senior membentuk brand image ITS,’’ terang Budi. Kegiatan ini dianggap sebagai suatu aktivitas yang menunjukkan bahwa ini lho saya arek ITS. Bagi Budi, tujuan dari kegiatan ini untuk menunjukkan eksistensi kader ITS hasil pelonco di kawasan Indonesia timur. “Ide ini tidak kontekstual, namun memberikan keyakinan bahwa ITS akan menjadi institusi yang besar dan diperhitungkan,” ungkap Budi. Selanjutnya, pada pelaksanaan Posma tahun 1976, Harun Alrasyid ditunjuk sebagai pimpinan tertingginya, tetapi bukan sebagai pelaksananya. “Ada ketua pusat, ada pelaksana harian yang melaksanakan acara,” kenang Harun. Meskipun sudah kembali ke tangan mahasiswa, kegiatan Posma sudah tidak seseram Mapram. Agendanya dirancang lebih menyenangkan dari pada agenda Mapram. “Ya, meskipun kegiatan gojlok-gojlokan itu masih tetap ada, tapi sudah tidak separah ketika saya masuk dulu,” tutur Harun. Waspada dengan kejadian sebelumnya, kontak fisik dikurangi selama Posma. Kegiatan yang dilakukan pun hanya dari pagi hingga sore. “Semua kegiatan sifatnya hanya senang-senang saja,” jelas Harun. derap kampus perjuangan | 105


Saat Mapram, maba tidak ada yang berani menolak perintah karena bisa terkena pukulan atau tendangan. Di Posma, mahasiswa yang menolak perintah seniornya hanya didiamkan saja. Posma berlanjut hingga tahun 1977. Pada tahun 1978, Dewan Mahasiswa ITS dibekukan, begitupun dengan kegiatan Posma. Seluruh kegiatan kemahasiswaan diambil alih oleh birokrasi.

derap kampus perjuangan | 106


PROFIL

To k o h - t o k o h B e r p e n g a r u h Tiap Era

derap kampus perjuangan | 107


Muhammad sholeh Pejuang yang Kesepian

S

elama menjadi aktivis pergerakan mahasiswa, Muhammad Sholeh dikenal vokal mengkritisi penyimpangan kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto saat itu. Tanpa basa-basi, Sholeh menunjuk satu per satu kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keyakinannya. Mohammad Sholeh adalah alumni Jurusan Teknik Sipil ITS angkatan 1972 (S-15). Lelaki kelahiran Surabaya ini dikenal sangat suka berorganisasi. Sejak duduk di bangku SMA Negeri 6 Surabaya, Sholeh sudah terlibat aktif dalam kepengurusan Pemuda Muhammadiyah. Dalam organisasi otonom Muhammadiyah tersebut, Sholeh terakhir kali dipercaya menjabat Ketua Cabang Bubutan. Saat menjadi mahasiswa, kegemarannya berorganisasi dituangkan dalam berbagai aktivitas kepanitiaan di ITS dan Senat Mahasiswa. Sholeh tercatat pernah menjabat Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil 1975-1976. Setelah pemilihan Dewan Mahasiswa di ITS, Sholeh kembali dipercaya menjadi Sekretaris Umum, dengan Harun Alrasyid sebagai Ketua. Di luar kampus, Sholeh juga aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selama menjadi aktivis pergerakan mahasiswa, Sholeh dikenal vokal mengkritisi penyimpangan kebijakan pemerintahan Soeharto saat itu. Tanpa basa-basi, Sholeh menunjuk satu per satu kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keyakinannya. Dia pun terlibat langsung dalam perencanaan untuk menentang kebijakan yang menurutnya tidak berpihak kepada rakyat. Pada pertemuan Dewan Mahasiswa se-Indonesia pada 28 Oktober 1977 di ITB, bersama Harun Alrasyid, Sholeh turut menjadi salah seorang penandatangan Ikrar Mahasiswa. Dalam ikrar tersebut, mahasiswa mendesak agar MPR meminta pertanggung jawaban Presiden RI Soeharto atas pelanggarannya terhadap UUD 1945 yang telah dilakukan. Mahasiswa juga menuntut dikembalikannya ABRI kepada derap kampus perjuangan | 108


rakyat. Dalam pertemuan tersebut, disepakati pula bahwa aksi besarbesaran sebagai tindak lanjut pertemuan, pada 10 November 1977. Sholeh yang mewakili Dewan Mahasiswa ITS menyambut hangat ditunjuknya ITS sebagai tuan rumah aksi tersebut. Rencana tersebut kemudian direalisasikan dengan melakukan longmarch dari kampus Baliwerti ke Tugu Pahlawan. Pada 19 Januari 1978, bersama Dewan Mahasiswa ITB, UI, IPB, dan USU, Sholeh menerobos Istana Negara Jakarta hingga ke depan Bina Graha, Sholeh dkk berniat menemui Presiden Soeharto menyampaikan tuntutan agar Soeharto tidak mencalonkan diri lagi sebagai presiden. Keinginan untuk bertemu tersebut ditolak Presiden Soeharto. Dia hanya mengutus Alamsyah Ratuperwiranegara. Namun Sholeh dkk dengan tegas menolak utusan Soeharto. Dia memilih menggelar jumpa pers di halaman Bina Graha. Sholeh yang memang dikenal dengan gaya bicaranya yang lepas, melontarkan satu kalimat yang membuat merah telinga penguasa saat itu, Keyakinan ini akan kami perjuangkan, kalau perlu dengan darah dan air mata. Dua hari setelah peristiwa tersebut, pemerintah menggunakan tangan. Pelaksana Khusus Kopkamtibda mulai menangkapi para aktivis Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia. Namun Sholeh dan beberapa rekan lain dari ITS masih bisa melarikan diri. Dalam pelarian, Sholeh terus melancarkan aksi-aksi penggalangan opini melalui selebaran dan poster dari kampus ke kampus. Namun karena ruang geraknya semakin dipersempit, Sholeh akhirnya memilih menyerahkan diri melalui Rektor ITS yang saat itu dijabat Prof. Mahmud Zaki, MSc. Sholeh kemudian diadili di PN Surabaya dengan tuduhan menghina Presiden. Namun bukan berarti sikap kritis Sholeh luntur. Dalam pledoinya yang berjudul “Menggugat Pemerintahan Otoriter”, Sholeh banyak mengungkap data-data perilaku korup para pejabat, serta ketidakadilan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sholeh kemudian divonis 2 tahun penjara. Dalam banding dia memperoleh keringanan hukuman menjadi 1,5 tahun penjara. Sholeh akhirnya bebas dari penjara setelah Mahkamah Agung (MA) merevisi hukumannya menjadi 1 tahun. Sholeh pernah mendapat tawaran untuk mengajukan grasi kepada presiden demi menghapus status eks narapidana yang disandangnya. Namun sekali lagi dengan tegas Sholeh menolaknya. Dia berkeyakinan bahwa dirinya tidak pernah melakukan kesalahan selain memperjuangkan keyakinannya. Sekeluar dari penjara, Sholeh kembali ke kampus untuk menyelesaikan studinya dan lulus pada 1982. Bersama sejumlah rekannya, Sholeh mendirikan sebuah perusahaan kontraktor. Dia pun terlibat dalam sejumlah organisasi profesi seperti AKLI dan Gapensi maupun derap kampus perjuangan | 109


HIPMI. Meskipun begitu, gejolak batin Sholeh untuk terlibat aktif dalam politik tetap menyala. Sekitar tahun 1988 Sholeh pernah menyatakan keinginan menjadi calon anggota legislatif melalui PPP. Namun keinginan itu ditolak PPP karena status Sholeh yang eks narapidana politik. Hasratnya baru menemukan tempat setelah masuk Golkar satu tahun kemudian. Dia sempat menjabat sebagai wakil bendahara DPD Golkar Jatim. Aktivitasnya terhenti total akibat penyakit stroke yang menyerangnya sejak 1997. Pada eranya, Sholeh sangat dikenal di kalangan aktivis pergerakan mahasiswa di seluruh Indonesia. Pada masa inilah nama ITS berkibar dalam kancah pergerakan mahasiswa yang sebelumnya didominasi ITB dan UI. Semangat yang menyala-nyala, gaya bicara yang lugas, serta keteguhan pada keyakinan, membuat Sholeh mendapat tempat istimewa di kalangan aktivis mahasiswa Indonesia. Sebagai pribadi, Sholeh yang merupakan anak tunggal juga dikenal sangat setia dan peduli terhadap kawan. Namun kenyataan tragis mesti diterimanya. Di ujung perjalanan, Sholeh menghembuskan nafas terakhirnya dalam kesendirian, tanpa teman, tanpa saudara. Setelah koma selama empat bulan di Surabaya, Sholeh meninggal di Semarang, jauh dari kawan-kawan seperjuangannya. Dia dimakamkan di salah satu desa di Demak, Jawa Tengah, tanpa karangan bunga, tanpa air mata.

Sumber: http://www.alumniits. com/index.php/berita/14fokus/338-pejuang-yangkesepian

derap kampus perjuangan | 110


A. Moestahid Astari

MAHASISWA YANG JADI WAKIL RAKYAT

“

Sepertinya memang sudah ditakdirkan saya masuk ITS,� kenangnya sembari tersenyum mengingat perjalanannya semasa mahasiswa. Walaupun telah berusia lebih dari setengah abad, ingatan Achmad Moestahid Astari masih segar akan rekam jejaknya saat masuk di ITS hingga menjalani segenap aktivitas akademik hingga non akademik di kampus perjuangan.

Moestahid kala itu gagal menempuh ujian masuk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Hingga pada akhirnya membuat ia melangkahkan kaki di ITS pada awal tahun 1961, tepat satu tahun pasca diresmikannya kampus tersebut sebagai Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Mengingat kisahnya saat masih menyandang status mahasiswa, bak membuka lembaran-lembaran kenangan yang sulit dihilangkan. Bagaimana tidak, 17 tahun memang waktu yang cukup lama ia habiskan sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Kimia ITS. Ketika itu, memang masih belum ada aturan yang jelas mengenai masa studi mahasiswa di kampus. Alhasil, Moestahid ‘betah’ berlama-lama menjadi mahasiswa sejak tahun 1961 hingga 1978. Ketika menginjakkan kaki di ITS, masa orientasi kampus pun ia alami. Senat Mahasiswa FTK yang menyambutnya, karena badan eksekutif skala institut masih belum terbentuk. Senat sendiri telah ada sejak Yayasan Perguruan Tinggi Teknik 10 Nopember mulai berdiri. Setelah satu tahun berjalan dan mengemban titel sebagai mahasiswa ITS, organisasi mahasiswa tingkat institut pun dibentuk. Kesepakatan pembentukan Dewan Mahasiswa ITS tersebut dilakukan berdasarkan hasil musyawarah seluruh Senat Mahasiswa yang ada di ITS. Pun demikian, ada lagi cerita lain yang diingat Moestahid. Ia mengaku saat itu pengaderan di ITS masih belum greget. Pasalnya, selain mengikuti masa orientasi di dalam kampus, Moestahid turut mengikuti pengaderan yang dilaksanakan oleh organisasi ekstra universiter. Moestahid memilih Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS) sebagai batu loncatannya untuk dapat terus beraktivitas di luar kampus. Lantas, dibandingkanlah keduanya oleh Moestahid. Keaktifannya membuat Moestahid memiliki banyak relasi di dalam dan di luar kampus. Khususnya di luar, relasi tersebutlah yang derap kampus perjuangan | 111


dapat memberikan informasi kepadanya terkait perkembangan pergerakan di luar kampus. “Perkembangan kaderisasi di ITS sebenarnya juga merupakan campur tangan dari kaderisasi yang dilakukan oleh organisasi luar kampus,” imbuhnya. Berlatar belakang organisasi ekstra universiter, memacu Moestahid untuk turut ‘bergerak’ di dalam kampus. Tak ayal, sejumlah organisasi mahasiswa ia ikuti, salah satunya Senat Mahasiswa. Di pertengahan tahun 1961, seluruh perwakilan dari Senat Mahasiswa melakukan rapat untuk membentuk Dewan Mahasiswa ITS. Moestahid yang saat itu sudah menjadi anggota Senat Mahasiswa turut berdiskusi dengan Senat Mahasiswa fakultas lain di Simpang Dukuh. “Saya ingat betul saat kami rapat penentuan itu sekaligus membuat AD/ ART Dewan Mahasiswa ITS sehingga ada legal aspeknya,” kenangnya. Berdasar hasil rapat tersebut, akhirnya dibentuklah Dewan Mahasiswa ITS. Moestahid menerangkan dibentuknya Dewan Mahasiswa ITS bertujuan untuk membentuk sebuah organisasi yang cakupan organisasinya berada dalam lingkup yang lebih luas yakni ITS. Selain itu, Dewan Mahasiswa ITS pun berfungsi sebagai representatif ITS terhadap pihak luar, bukan lagi terpisahkan oleh ego tiap fakultas. Di saat yang bersamaan, Dewan Mahasiswa ITS pun langsung bergabung dengan Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Sejak bernaung dalam nama Dewan Mahasiswa ITS, semua mahasiswa merasakan kepemilikan jiwa yang satu dibawah birunya kampus ITS. Sejak saat itu, embel-embel organisasi ekstra universiter tidak diperkenankan masuk ITS atas kesepakatan bersama. Beranjak dari Senat Mahasiswa FTK, Moestahid bergabung dengan Dewan Mahasiswa ITS. Ketua Dewan Mahasiswa ITS yang pertama dijabat oleh Tri Widodo. Saat itu, masih belum ada pemilihan umum untuk menentukan siapa Ketua Dewan Mahasiswa ITS. Sehingga calon yang dipilih berdasarkan mahasiswa dengan tingkat angkatan masuk paling tinggi. Tri Widodo sendiri merupakan mahasiswa yang telah berkuliah di ITS sejak tahun 1957. Dalam pembentukannya, struktur organisasi Dewan Mahasiswa ITS pun dilakukan secara sederhana. Hal tersebut disebabkan karena masih terbatasnya pengetahuan mahasiswa dalam bidang kesekretariatan. Di sisi lain, kecintaan Moestahid dalam bidang olah raga membuatnya menekuni bidang tersebut saat menjadi pengurus Dewan Mahasiswa ITS. Acara olah raga terbesar yang berhasil ia selenggarakan yakni Pekan Olah Raga Mahasiswa ITS (POMITS). Acara berskala nasional tersebut diikuti setidaknya oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Namun, lantaran ITS masih belum memiliki fasilitas olah raga yang memadai sehingga POMITS diselenggarakan di gelanggang olah raga yang berada di luar kampus ITS. Pun demikian, cabang olah raga yang diperlombakan juga beragam, di antaranya sepak bola, voli, derap kampus perjuangan | 112


basket, dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, Moestahid pun ikut terlibat dalam mengonsep kegiatan-kegiatan bernadakan kaderisasi atau yang lebih dikenal kala itu sebagai Masa Pengenalan Mahasiswa (Mapram). Sejak Dewan Mahasiswa ITS terbentuk, barulah kaderisasi mahasiswa ITS berjalan terstruktur dan mulai diberlakukan bagi mahasiswa baru. Meski begitu, Moestahid tidak memungkiri bila konsep dari Mapram sedikit banyak ia adaptasi dari proses kaderisasi yang ada di organisasi ektra kampus seperti GMS. Selain aktif di POMITS dan Mapram, Moestahid juga turut menjadi konseptor dalam gelaran bertajuk Leadership Training Course (LTC). Ia optimis kegiatan tersebut dilakukan untuk menanamkan jiwa kepemimpinan di dalam diri mahasiswa ITS. Menginjak tahun 1963, serangkaian kegiatan dan aktivitas mahasiswa berjalan yang salah satunya merupakan buah dorongannya. Keaktifan tersebut dikatakannya turut meningkatkan pemikiran kritis akan tindak tanduk birokrasi di ITS. Penentangan mahasiswa terhadap birokrasi ITS pada masa kepemimpinan rektor dr Angka adalah yang paling nyaring bunyi pergolakannya. Saat itu, dr Angka dengan berani bermaksud membeli tanah di daerah Sukolilo seluas 167 hektar. Sayangnya, mahasiswa berpikir bahwa hal tersebut tidaklah benar. Sebab, fasilitas kampus yang tersebar di beberapa tempat seperti Ketabang Kali dan Simpang Dukuh masih tergolong kurang memadai. Aksi protes pun dilakukan oleh sejumlah mahasiswa saat itu untuk menghentikan pembelian lahan oleh birokrasi ITS. Mendengar aksi protes mahasiswa, birokrasi tetap keukeuh mengerjakan program yang mereka canangkan. Namun, pada akhirnya mahasiswa sendiri yang menyesalkan aksi konyolnya tersebut. “Saat itu, kami menuntut agar fasilitas kami diperbaiki. Namun, ya untunglah birokrasi berpikiran untuk jangka panjang. Berbeda dengan kami yang berpikiran jangka pendek karena hanya mau fasilitas yang memadai,� terang Moestahid. Kembali mengenang masa lalunya, tepatnya ketika meletus peristiwa G30/S PKI, Moestahid ingat saat itu ia tak tahu-menahu soal gerakan tersebut. Menurutnya, tidak banyak hal yang berubah di ITS saat kejadian tersebut berlangsung di Jakarta. Namun, usai mengetahuinya Moestahid pun geram. Dengan sigap, ia beserta sejumlah rekannya membentuk tim khusus pengganyangan gerakan yang bermaksud menggantikan Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara Indonesia itu. Dijelaskannya, tim tersebut merupakan tim ekstra kampus yang bertugas membantu penumpasan orang-orang yang disinyalir terlibat dalam aktivitas PKI di Surabaya. Tim tersebut mulai dibentuk sejak tanggal 4 Oktober 1965. Sederap kampus perjuangan | 113


dangkan peresmiannya sendiri berawal dari nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Pengganyangan G30S/PKI yang diresmikan oleh Sri Utomo, mahasiswa ITS yang juga aktivis pergerakan di wilayah Surabaya saat itu. Namun, pada akhirnya berganti nama menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Berbagai bentuk pencarian anggota PKI mulai dilakukan. Tak hanya berkutat di organisasi ekstra kampus, Moestahid turut berperan dalam tim screening PKI di dalam kampus ITS. Ia membantu Dewan Mahasiswa ITS dalam mencari mahasiswa yang terjerat dalam sistem keanggotaan PKI. Nyatanya, G30S/PKI memang tidak bisa langsung menghilang begitu saja dari benak masyarakat Indonesia terutama mereka para pewaris idealisme mahasiswa. Pun sampai sekarang bendera merah putih setengah tiang sering terlihat berkibar kala memperingati tanggal bersejarah itu. Moestahid pun tetap melakukan pergerakan bersama dengan organisasi ekstra kampusnya untuk mengantisipasi pergerakan PKI. Hingga pada akhir tahun 1965, Moestahid melakukan pertemuan mahasiswa se-Indonesia di Jakarta dalam rangka pembubaran Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Menurutnya, organisasi ini punya visi dan misi yang sama dengannya, menghapuskan PKI di bumi nusantara. “Kenapa kita tidak melakukan arak-arakan besar-besaran mahasiswa Indonesia ke Istana negara agar PKI dihapuskan?� usul Moestahid kepada rekan-rekannya yang berasal dari PPMI. Perjalanan Moestahid ke ibu kota tidak sia-sia, idenya untuk pembubaran PPMI kala itu disambut baik oleh anggota PPMI itu sendiri. Segala hal terkait dalam ide pembubaran pun dibahas pada tanggal 25 Oktober 1965. Pergerakan cepat dan aksi besar menjadi fokus Moestahid kala itu. Setelah persoalan di Jakarta selesai Moestahid langsung kembali ke kampung halamannya di kota pahlawan Surabaya. Tekad Moestahid bulat kala itu untuk menghimpun mahasiswa Surabaya untuk bergerak menyusun konsep penentangan terhadap PKI sekaligus berupaya untuk menumpasnya. Gerakan ini pun berlanjut pada 31 Desember 1965 dengan ditandai perhelatan rapat akbar. Belakangan, rapat inilah yang ditengarai menjadi tonggak sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia yang merumuskan Tiga Tuntutan Rakyat atau yang akrab dikenal dengan istilah Tritura kala itu. Berikut ini merupakan isi dari Tritura yang disampaikan mahasiswa kepada pemerintah : (1) Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya (2) Perombakan kabinet Dwikora (3) Turunkan harga sandang-pangan Rumusan Tritura ini pun di deklarasikan pada tanggal 10 derap kampus perjuangan | 114


Januari 1966 di halaman depan gedung DPR-Gotong Royong. Namun, sayangnya mahasiswa Surabaya tidak dapat berbicara banyak pada saat itu. Aksi besar-besaran yang telah direncanakan oleh mahasiswa pimpinan Moestahid itu kandas lantaran tak memperoleh ijin. Kala itu, mahasiswa akhirnya hanya melakukan apel saja. Tak ketinggalan, pemanggilan 15 tokoh mahasiswa pelaku aksi oleh pihak militer menjadi penutup cerita Moestahid di ibukota. Usai peristiwa tahun 1965 tersebut, Moestahid terus aktif dalam berbagai kegiatan baik di dalam maupun luar kampus. Namun, tetap saja kontribusinya memajukan kegiatan di ITS tidak dapat dipungkiri. Saking aktifnya dalam ranah sosial dan politik, pada tahun 1969, Moestahid dipanggil untuk membantu menjalankan roda pemerintahan negara dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) Tingkat I Jawa Timur. Tak pelak, kegiatannya dalam ranah sosial politik itu membuatnya sedikit lupa akan statusnya sebagai mahasiswa ITS. Pun begitu, ia mengaku masih tetap membayar SPP sehingga tidak akan pernah ‘ditendang’ oleh ITS. “Dahulu masih belum ada kejelasan mahasiswa harus lulus kuliah selama berapa tahun,” ungkapnya seraya tertawa. Menurutnya, malah banyak keuntungan yang ia bisa berikan kepada ITS selama menjabat sebagai anggota dewan. Misalnya saja pembangunan fasilitas olah raga yang ada di ITS. Bahkan, prestasinya yang baik saat menduduki kursi di DPR pun membuatnya dipercaya untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1971. Walaupun vakum dalam kegiatan di kampus selama menjadi anggota DPR, DPRD, dan MPR, ia masih saja sering menjadi pemateri dalam kegiatan LTC. Menurutnya, moral force tetap harus ditegakkan. Hal tersebut perlu diteruskan kepada generasi selanjutnya karena mahasiswa harus aktif secara moral dan ikut bertanggung jawab. Hingga menjelang akhir tahun 1978, ia sadar akan statusnya sebagai mahasiswa yang tak kunjung lulus. Dekan Fakultas Teknik Kimia ITS kala itu akhirnya memanggil Moestahid untuk segera kembali ke kampus dan menyelesaikan studinya. Mengetahui hal tersebut, Moestahid pun mengajukan cuti kantor untuk menyelesaikan kuliahnya saat itu. “Ya, di rumah ini waktu masih kosong dahulu saya mengerjakan tugas dan meminta bantuan teman-teman yang lain,” kenangnya saat ditemui di kediamannya yang berada di kawasan Darmo Surabaya Barat. Selepas mengerjakan tugas akhir, pria bertubuh gempal ini akhirnya diijinkan mengikuti sidang skripsi di tahun 1978. Seraya tersenyum, ia pun menyangka bahwa dosen-dosennya sudah terlalu lelah mengurusi dirinya yang tak kunjung lulus itu. “Ya, akhirnya saya lulus juga setelah belasan tahun,” terang Moestahid. Setelah mendapat derap kampus perjuangan | 115


gelar sarjana, Moestahid pun kembali pada pekerjaan lamanya sebagai anggota legislatif.

derap kampus perjuangan | 116


Syamsul Bahri SANG NASIONALIS YANG ANTI KOMUNIS

U

sianya sekarang sudah tak lagi muda. Sehingga wajar jika garis wajahnya menyisakan banyak cerita. Rambutnya pun kini memutih, kacamata yang dikenakan menjadi bukti bahwa sorot matanya tidak setajam puluhan tahun lalu. Namun, tidak begitu dengan peristiwa yang masih melekat dalam ingatannya.

Sjamsul Bahri mengawali perjalanannya sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Mesin (FTM) ITS tahun 1964. Saat itu, bara semangat sebagai generasi muda tertanam dalam dirinya. Tak heran, jika ia sangat menggebu ketika ditanyai pengalamannya sebagai mahasiswa. Genap satu tahun di ITS, Sjamsul terlibat aktif dalam Senat Mahasiswa FTM. Menginjak tahun 1965, aktivitas mahasiswa ITS semakin banyak. Baik dalam organisasi intra maupun ekstra kampus. Berbagai organisasi underbow partai juga turut dimeriahkan oleh mahasiswa ITS. Organisasi ekstra kampus underbow partai cukup menjamur kala itu. Organisasi ini merambah dalam barisan ideologi yang beragam. Mulai dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Indonesia, dan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang menjadi payung bagi mahasiswa berideologi komunis. Sebagai mahasiswa yang dekat dengan ideologi nasionalis, Sjamsul menjadi sangat sensitif dengan yang namanya Partai Komunis Indonesia. Idealisme itu melekat dalam dirinya, hingga suatu hari peristiwa G30S/PKI pecah di Indonesia. G30S/PKI yang pertama kali diketahui meletus di Jakarta, informasinya sampai juga ke Surabaya setelah beberapa hari kemudian. Tentu Sjamsul tak tinggal diam mendengarnya. Ia lantas ikut bergerak dalam penumpasan PKI di kawasan Surabaya dan sekitarnya. Memang benar, instruksi pemusnahan PKI sudah beredar di penjuru kota pahlawan. Bukan main-main, peran yang Sjamsul pun cukup beresiko. Bergabung dengan tentara penumpasan PKI, ia akhirnya ikut membasmi orang-orang yang mempunyai hubungan dengan organisasi laten derap kampus perjuangan | 117


tersebut.

Bergerak Demi Kemajuan Bangsa Bukan Sjamsul namanya bila tidak turut berpikir kritis akan kemajuan Indonesia. Berbagai pandangan akan ekonomi Indonesia pun selalu ia utarakan saat masih menjadi mahasiswa. Aksi kritik terhadap pemerintah pun kerap ia lakukan dalam forum-forum mahasiswa. Menurutnya, waktu itu sistem ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Soeharto kurang menguntungkan bagi masyarakat miskin. Pemikiran kritis tersebut ia peroleh dari berbagai macam buku sosial-ekonomi yang ia baca. “Bukan hanya buku kuliah saja yang dibaca, namun karena dahulu sistem yang berjalan sangat lambat maka saya bisa membaca buku bacaan lain di luar bidang saya,” terang Sjamsul. Sandiwara ekonomi yang berlangsung kala itu menjadi topik yang cukup hangat dan kerap didiskusikan. Konsep yang dipakai waktu itu disebut Trickle Down Economic. Alhasil, Sjamsul merasa konsep tersebut terlihat sebagai permainan para pengusaha besar saja untuk menguasai perdagangan. Sayangnya, makna tersebut ditutupi dengan dalih pemerintah terkait pemerataan ekonomi dengan konsep ekonomi ke bawah yang dibiayai pengusaha besar. Ibarat tetesan oli, hanya segelintir penguasa saja yang dapat merasakan hal tersebut. Sedangkan hanya sedikit sekali imbas yang diberikan kepada pedagang golongan menengah ke bawah. “Sedangkan saat menetesi dengan minyak, pemerataan uang dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Sayangnya, dalam jumlah uang yang diterima merata, tetapi tipis,” cerita Sjamsul. Sepak terjang Sjamsul menjadi alasan utama kenapa ia dipilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa ITS periode 1970-1974. Selama memimpin Dewan Mahasiswa ITS, ia didampingi oleh Wakil Ketua 1, Kresnayana Yahya, Wakil Ketua 2, Banteng Sukarnoto dan Wakil Ketua 3, Muhammad Djaelani. Menurut Sjamsul, Kresnayana itu pendiam namun analisanya begitu tajam. Berbeda dengan Djaelani yang memiliki pemikiran bagus dan dapat bekerjasama dengan baik. “Nah, kalau alm. Banteng, tubuhnya yang besar akan membuat siapa saja takut duluan ketika melihatnya. Kalau saya sendiri tinggal orasi dan negosiasi sajalah,” kenang Sjamsul tertawa. Pergerakan Sjamsul beserta rekan-rekan Dewan Mahasiswa ITS turut merambah ke tingkat pemerintah kota Surabaya. Beberapa surat kritikan dilayangkan menuntut adanya perbaikan dalam pembangunan. Hasilnya, berbagai pembangunan yang dilakukan pemerderap kampus perjuangan | 118


intah terus dipantau. Contohnya, seperti pembuatan aspal yang mudah ‘lepas’ karena campuran bahan yang tidak seimbang. Hal itu pun mengindikasikan adanya praktik korupsi di tubuh pemerintahan. Kritik tersebut membuat Sjamsul, Kresnayana, dan Djaelani dilibatkan dalam proyek Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I oleh pemerintah. Mereka terlibat dalam proyek pengelompokan desa di Jawa Timur yang bekerjasama dengan Universitas Airlangga dan IKIP Surabaya. “Saat itu kami mengelompokkan desa di Jawa timur menjadi desa minus, desa setengah minus, dan desa surplus,� ujar Sjamsul. Pergerakan mahasiswa tentu tidak dapat berjalan tanpa adanya dana. Begitu pula yang dirasakan Sjamsul. Kala ia menjabat, pendanaan Dewan Mahasiswa ITS benar-benar dilakukan secara mandiri. Ia harus berjualan dari satu bazar ke bazar yang lain untuk mendapatkan pemasukan dana sebagai biaya untuk menjalankan roda organisasi Dewan Mahasiswa ITS. Selama menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITS, Sjamsul terus menyuarakan aspirasi rekan-rekannya. Sejumlah pertemuan antar Dewan Mahasiswa tingkat nasional kerap ia ikuti. Bersama Sritomo Wignjosoebroto, Sekretaris Dewan Mahasiswa ITS kala itu, Sjamsul mengumpulkan 40 Dewan Mahasiswa se-Indonesia. Mereka diajak berdiskusi dengan Menteri Dalam Negeri dan beberapa pejabat Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) RI. Rentang waktu kepemimpinan yang cukup lama, membuat Sjamsul harus mengikuti isu seputar produk luar negeri yang beredar cepat di Indonesia. Pasalnya, forum diskusi terkait hal tersebut kerap dilakukan untuk menyadarkan mahasiswa. Gerakan diskusi nasional yang dilakukan semua Dewan Mahasiswa tersebut akhirnya tercium oleh pemerintah pusat. Sjamsul beserta Ketua Dewan Mahasiswa lain diundang ke Jakarta untuk melakukan pertemuan dengan presiden di istana negara. Tak disangka, ternyata di saat itu pula peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) pecah. Setelah itu, satu persatu rangkaian peristiwa pun dirasakan oleh Sjamsul. Mulai dari aksi hingga harus keluar masuk penjara karena kritik terhadap pemerintah yang dianggap berlebihan. Rehat dari Ketua Dewan Mahasiswa ITS, Sjamsul kembali berkutat dengan kegiatan akademik. Sebelum merampungkan kuliahnya, Sjamsul mempersunting adik tingkatnya di FTM, Suprapti. Sjamsul berpendapat, mahasiswa saat ini sangat beruntung karena semuanya berjalan serba cepat. Namun, ia juga tidak menyalahkan masa lalu ketika kegiatan akademiknya berjalan lambat. Pasalnya, ia menjadi banyak tahu tentang kebobrokan pemerintah dan siap untuk mengkritisinya bila ada hal yang salah. Ibarat sebuah layar yang sangat besar, Sjamsul mengisi hariderap kampus perjuangan | 119


harinya yang senantiasa bergerak dan terus menambah ilmu pengetahuan di bidang apapun. Tidak hanya berkutat dengan masalah teknik, sejumlah buku psikologi hingga sosial politik pun telah habis dilahapnya. Berbeda dengan masa sekarang yang diberikan layar yang sempit, namun diberikan semuanya dengan mudah. “Layar yang saya maksud di sini itu adalah waktu kita untuk menempuh pendidikan strata satu,� terangnya sambil terkekeh.

derap kampus perjuangan | 120


Harun Alrasyid THE MAN BEHIND THE GUN

S

ebuah senapan tidak akan mampu memuntahkan peluru tanpa ada yang menarik pelatuknya. Begitu pun dengan Dewan Mahasiswa ITS di era tahun 1977. Kala itu, jika diibaratkan seperti senapan, lesatan peluru pergerakan nyaris tak terlihat tanpa ada sosok berpengaruh dibaliknya. Untungnya, Harun Alrasyid muncul sebagai sosok sentral pergerakan mahasiswa tahun 1977/1978. Dialah sang penarik pelatuk senapan Dewan Mahasiswa ITS.

Sangat pemberani. Itulah karakter kuat yang melekat pada sosok Harun. Karakter itu juga yang mengantarkan Dewan Mahasiswa ITS menjadi salah satu poros pergerakan Dewan Mahasiswa Indonesia. Lahir di Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan tahun 1952, Harun dibesarkan dalam sebuah keluarga yang menjunjung tinggi asas demokrasi. Meskipun ayahnya, dr Susmoyo Djoyosugito, berprofesi sebagai dokter militer, keluarga Harun tak pernah memaksakan kehendak anakanaknya. Kedua orangtuanya pun selalu memberikan kebebasan penuh terhadap apa yang diputuskan Harun. Hal yang paling utama adalah kemandirian untuk menentukan dan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Hingga sejarahnya di masa lampau yang sering berpindah tempat tinggal dan sekolah, membuat Harun muda menjadi pribadi yang cepat beradaptasi, pandai bergaul, supel, dan penuh percaya diri. Di tahun 1971, Harun mulai menapaki kampus ITS. Berbeda dengan mahasiswa baru lainnya, ia sudah mulai aktif berorganisasi di Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) ITS. Selanjutnya di tahun 1973, Harun langsung dipercaya untuk menjadi sekretaris Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Perkapalan (FTP). Ia lalu memulai aktivitas lain ketika periode 1976 memasuki awal tahunnya. Saat itu, ia pernah didapuk mulai dari menjadi Ketua Panitia Mapram hingga Ketua Dewan Mahasiswa ITS. Hebatnya, jabatan tersebut diraihnya meski tak pernah sekalipun terlibat dalam kepengurusan Dewan Mahasiswa ITS. Ya, MPM ITS memang secara sah memilih Harun sebagai pimpinan tertinggi Dewan Mahasiswa ITS di penghujung tahun 1976. Pada masa tersebut, Harun menghantarkan Dewan Mahasiswa ITS ke titik puncak pergerakannya. Memang benar, karakter orang yang memegang senjata juga menentukan ke mana arah dan keakuratan peluru yang akan dilesatkan. Hal itu pula yang dialami derap kampus perjuangan | 121


Dewan Mahasiswa ITS. Apalagi, suhu politik di tahun 1977 memanas lantaran ‘ritual’ Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia kembali bergulir. Seperti diketahui, hanya orang setengah waras saja yang berani mengatakan: “Soeharto jangan jadi presiden!” lantas melarangnya mencalonkan diri kembali. Kalau mengutip perkataan Harun, “Jangan dibayangkan sosok Soeharto jaman dahulu seperti sekarang ini, dahulu sedang kuat-kuatnya otoritas Soeharto,” ungkap Harun menggebu. Wajar saja, sebagian besar penduduk negeri ini memang sudah mengetahui ‘mitos’ penculikan orang-orang setengah waras itu. Pada akhirnya, mereka pun tak akan menanyakan kapan orang-orang itu akan kembali. Tetapi apa yang membuat Harun tergerak untuk melakukan pergerakan di bawah tekanan itu merupakan sebuah kepercayaan sebagai orang muda tanpa keterikatan dengan pihak manapun. Baginya, orang muda yang mendapatkan pendidikan cukup baik, semisal mahasiswa ITS, telah dididik untuk paham bahwa ada yang salah di negeri ini. Karena itu, ia merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu. Harun berkisah mahasiswa kala itu selalu bereaksi terhadap perkembangan politik di Indonesia. Tujuannya hanya satu, mahasiswa ingin membangun kehidupan masyarakat yang demokratis. Sehingga jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang mereka akan langsung bereaksi. Sejak saat itu, Harun pun berkali-kali melancarkan aksi, mulai dari aksi bertajuk Mahasiswa Bertanya, hingga Aksi Duduk yang berlangsung di kampus Unair. Hingga puncaknya ketika dilayangkan peringatan kepada Presiden Soeharto agar tidak mencalonkan diri kembali menjadi presiden. Aktivitas itulah yang kemudian membuatnya harus mendekam di dalam penjara selama lebih dari 1 tahun lamanya. Pasca keluar dari penjara, Harun pun masih aktif mengikuti berbagai macam aksi yang menolak kebijakan yang tidak pro dengan kepentingan rakyat. Salah satunya adalah aksi menolak NKK/BKK di kampus UI Salemba, Jakarta. Saat itu, ia berorasi di depan ratusan massa yang sevisi dengannya. Selang beberapa waktu kemudian, muncul lagi hal yang menghebohkan. Namun, kali ini bukan karena ulah Harun, melainkan aksi tak terduga dari sang penguasa. Presiden Soeharto dengan sengaja mengirimi Harun sebuah kartu ucapan lebaran bertuliskan “Mohon Maaf Lahir Batin”. Kurang lebih, seperti itulah pengaruh Harun yang seringkali menyita perhatian publik, tak terkecuali elit penguasa. Lulus di tahun 1981, Harun langsung masuk daftar hitam alias black list oleh pemerintah Indonesia, ia tidak diizinkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, jauh sebelum hari kelulusan Harun tiba, terdapat permintaan dari Departemen Perhubungan Laut derap kampus perjuangan | 122


yang akan menjadikan 30 orang lulusan FTP sebagai pegawai baru. Sialnya, meski Harun adalah salah satu dari tujuh lulusan FTP kala itu, hanya ke-6 rekannya saja yang diterima lantaran tidak terkena stempel black list. Akhirnya, ia bergabung dengan sebuah perusahaan galangan kapal di wilayah Surabaya. Harun memulai debut kariernya di PT ANTASENA. Di perusahaan milik pemerintah ini, dia terlibat dalam beberapa proyek yang cukup besar. Di antaranya pembuatan kapal inspeksi milik Departemen Pekerjaan Umum berbobot 3500 ton, pembangunan empat landing craft milik TNI Angkatan Laut dan juga untuk pembuatan sebuah kendaraan tempur. Tiga tahun bekerja di DPS, Harun memutuskan untuk keluar dan memulai hidup barunya dengan bertani selama satu tahun. Namun, tak lama berselang, ia pun dipanggil ke Jakarta untuk bekerja di PT. Indospec Asia, perusahaan yang bergerak di bidang jasa inspeksi dan sertifikasi teknik. Hingga puncaknya pada tahun 1989, ia memutuskan untuk mengambil alih PT. Mafhindo Utama yang juga bergerak dibidang serupa dengan perusahaannya sebelumnya.

derap kampus perjuangan | 123


WARNA LAIN

M e r a j u t M o s a i k ya n g Te r p i sah

derap kampus perjuangan | 124


WARNA 1 Souvenir ITS, Pertama dan Menarik Memiliki berbagai barang berlogo universitas bisa jadi hal yang membanggakan. Tidak heran, jika saat ini banyak inovasi yang diperkenalkan. Mulai tas, jaket, kaos, gantungan kunci hingga alat tulis. Mereka saling bersaing untuk merebut hati mahasiswa. Namun, sebenarnya tren itu sudah ada sejak akhir tahun 1960-an. Adalah Mochammad Moenir, sosok yang membumikan jenis souvenir tersebut di ITS. Tidak mudah untuk membuat janji dengan pria setengah baya ini. Maklum, pekerjaannya sebagai konsultan perkapalan sangat menyita sebagian waktunya. Namun, ketika penulis bertemu dengannya, ia menyambut ramah. Dengan suka cita ia berkisah soal pengalamannya mengelola souvenir khas ITS. ‘’Ide itu muncul waktu Mapram ITS,’’ katanya mengawali. Waktu itu, satu minggu pertama semua mahasiswa ITS wajib menyeragamkan rambut mereka. Satu gundul semua gundul. Istilahnya, sama rata-sama rasa. Sayangnya, waktu seminggu tersebut tidak cukup untuk membuat rambut mahasiswa tumbuh. “Jadinya kan jelek. Karena itu, saya terpikir untuk berbisnis topi. Agar menarik saya kasih logo ITS. “ jelas Moenir. Fungsi jelas, untuk menutup kepala-kepala gundul mahasiswa baru. Gayung bersambut. Sesuai dengan perkiraannya, topi tersebut mempunyai nilai tambah. Dari situ, Moenir getol berinovasi. Barang lain seperti, tas, sabuk, gantungan kunci mulai dicobanya. Yang fenomenal adalah sepatu berlogo ITS. ‘’Waktu itu saya ditegur, masak logo ITS ditaruh di kaki,’’ ujarnya sambil mengenang. Hal itu pun dibenarkan oleh Tjuk Sukardiman, salah satu rekan Moenir. Banyak macam barang yang dulu diproduksi oleh Moenir. ‘’Dulu kalau ada mahasiswa ITS yang berjilbab, pasti dibuatkan jilbab berlogo ITS,’’ guyon Tjuk yang ditemui di kesempatan yang berbeda. Ketenaran souvenir ITS jaman itu tidak hanya dalam kampus saja. Bisnis ini mulai dikenal di Universitas Airlangga. ‘’Prosesnya dari mulut ke mulut,’’ lanjut mantan Direktur PT. PAL ini. Rupanya mahasiswa universitas lain juga menginginkan produk yang sama. Tentu, dengan logo kampus masing-masing. derap kampus perjuangan | 125


Semakin melebarnya, bisnis ini juga tidak lepas dari keikutsertaan Moenir dalam berbagai aktivitas Dewan Mahasiswa. ‘’Dulu saya juga ajak dia kalau rapat ke universitas lain. Jadi dia koordinasi di luar, saya di dalam,’’ jelas Tjuk. Hasilnya, souvenir karya Moenir ini menyebar ke kampus seantero nusantara. Setiap mata yang melihat seolah tersihir untuk memiliki benda serupa. Sejak saat itu, Moenir pun melayani pesanan mulai dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, hingga manado dan Denpasar. Dari tahun ke tahun, mahasiswa ITS semakin akrab dengan aksesoris buatan Moenir. Karena itu, Dewan Mahasiswa ITS itu tertarik menjual produk buatannya. Karena itu, ia pun sempat dipercaya untuk mengelola toko Dewan Mahasiswa ITS.

derap kampus perjuangan | 126


WARNA 2 Mahasurya, Mahasiswa Berjiwa Militan Jika menilik sejarahnya, ITS sempat dipimpin oleh seorang rektor berpangkat kolonel, yakni Marseno Wirjoesaputra. Kala itu, keberadaannya membuka hubungan baik nan sinergis antara ITS dengan Marinir TNI Angkatan Laut Indonesia. Salah satunya terlihat dari kemudahan mahasiswa dalam menggunakan alat-alat para tentara seperti labolatorium dan fasilitas untuk pratikum. Jiwa marinir yang lekat dengan angkatan laut ini membawa mahasiswa turut serta dalam beragam pelatihan militer. Hal tersebut selaras dengan program pemerintah yang mengintruksikan mahasiswa seluruh perguruan tinggi untuk mengikuti pelatihan militer. Memang sifatnya tidak wajib. Namun, ITS yang sebagian besar mahasiswanya adalah laki-laki antusias dan bersedia untuk dilatih jiwa militannya. Lantas, bagaimana bagi mahasiswa perempuan yang minoritas? Jangan anggap karena judulnya pelatihan militer, mahasiswi tak boleh mengikutinya. Tercatat, tujuh mahasiswi FTA mengikuti pelatihan ini. Karena itu, Korps Komando Operasi (KKO) baret ungu memberikan pelatihan militer untuk mahasiswi ITS. Mahasurya, begitu sebutan untuk program tersebut. Kegiatan ini merupakan pelatihan militer yang sering dikaitkan dengan Resimen Mahasiswa (Menwa). Euforianya sungguh dielukan. Bertempat di Gunung Sari, lokasi ini dianggap paling relevan untuk melatih jiwa kepemimpinan, baik fisik maupun mental. Abdul Ghaffar misalnya. Tahun 1967, ia merupakan salah satu mahasiswa yang turut mengalami pelatihan ini. Bersama kawan lainnya, ia menghabiskan akhir pekan untuk latihan baris berbaris dan bela diri. “Latihan ini dilakukan sebulan penuh,� kenangnya. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa dibagi berdasarkan beberapa tingkatan. Jika dulu, disebutnya tingkat satu sebagai propadis satu, selanjutnya propadis dua, sarjana muda, sarjana satu dan sarjana dua. Setiap tingkatnya, materi yang diberikan berbeda. Lain Ghaffar, lain lagi Happy Ratna. Mahasiswi FTA ini tak ketinggalan dalam pelatihan ala militer meski dirinya seorang perempuan. “Datang pukul 06.00 pagi pulang pukul 20.00 malam,� kenangnya. Happy mengungkapkan bahwa selama pelatihan seluruh mahasiswa diajari menembak, bongkar pasang senjata, dan latihan fisik lainnya. Khusus pelatihan memegang senjata, hanya diberikan kepada beberapa mahasiswa yang tinggal di asrama. derap kampus perjuangan | 127


Kala itu, instruksi nasional ini berujung pada ajang survival mahasiswa di alam bebas. “Mahasiswa dilepas tanpa bekal, ya seolaholah dalam situasi perang,� ujarnya. Dalam keadaan serba terbatas inilah mahasiswa dituntut untuk tetap bertahan hidup bagaimanapun caranya. Namanya saja mahasiswa, tentu mereka bukanlah seseorang yang akan mati konyol di alam bebas. Banyak dari mereka yang mencari cara dengan meminta bantuan kepada warga sekitar, “Warga yang kasihan biasanya ngasih makan dan minum kepada kami,� terang Happy, tertawa. Ia menyimpulkan bahwa mahasiswa ITS bermental baja dengan fisik tangguh disertai disiplin dan kecerdasan.

derap kampus perjuangan | 128


WARNA 3 DEWAN MASJID “Lawan itu dosen-dosen atau pimpinan yang melarang keg Tahun 1981, empat tahun berlalu, sejak diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) suasana pergerakan mahasiswa masih sepi. Nyaris musnah karena berbagai ancaman dan ultimatum. Kala itu, tak banyak pilihan yang dapat dilakukan mahasiswa. Apalagi sudah tidak ada lagi tokoh yang mampu menjadi figur perjuangan mahasiswa atau setidaknya tokoh yang berkeinginan meneruskan perjuangan para pendahulunya. Walau begitu, tak seluruh mahasiswa hanya berdiam diri. Mereka yang merasa bosan memilih untuk menyalurkan minat melalui beragam aktivitas lain. Misalnya, melalui kegiatan keagamaan. Salah satu kelompok yang cukup populer di masa itu adalah Dewan Masjid. Mereka bergerak atas kesamaan keyakinan beragama dan berasal dari beragam jurusan serta lintas angkatan. Beberapa tokoh tersebut antara lain, Djoko Sungkono, Muhammad Nuh, Daniel M Rosyid, Hery Achmad, Agus Salim, Ahmad Zaky, Sjamsul Bahri, Abdullah Shahab, Edy Wahyudi, dan Yasidi Para anggota Dewan Masjid ini memilih asrama lama ITS (sekarang Medical Center ITS, red) sebagai markas. Alasannya sederhana, karena sebagian besar anggota mereka tinggal di asrama. Sehingga, koordinasi dapat terjalin dengan lebih mudah. Nilai-nilai perjuangan Dewan Masjid ini lebih banyak mengadopsi Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Hal ini lantaran anggota Dewan Masjid sebagian besar juga aktivis HMI. Saat asrama baru selesai dibangun, mereka turut pindah ke gedung baru. Waktu itu, semua penghuni asrama lama menempati blok D bangunan asrama ITS saat ini. Sejak kepindahan tersebut, mereka semakin intens melakukan kegiatan. Bahkan, ruang musala lantai dua yang digunakan penghuni asrama sekarang merupakan buah perjuangan para punggawa Dewan Masjid. Di sanalah pergerakan Dewan Masjid jilid dua dimulai. Di musala ini selalu didengungkan azan rutin lima kali dalam sehari. Dalam perjalanannya, mereka menggelar Taklimul Islam, sebuah forum yang mengkaji berbagai persoalan seputar dunia keislaman. Panduan yang digunakan adalah buku Tauhid karya Imanuddin, dosen Institut Teknologi Bandung (ITB). ‘’Bukunya tidak tebal, hanya sekitar 50 halaman,’’ terang Amien Laila ketika ditemui di kediamanderap kampus perjuangan | 129


nya. Taklimul Islam ini bertujuan untuk mengisi pengetahuan keagamaan mahasiswa. Terkadang, mereka juga menggelar kajian dengan tema nasional. Untuk itu, beberapa narasumber hebat dari luar ITS diundang seperti Amien Rais dan Fuad Amsari. ‘’Atau sederhananya, mahasiswa diajari agar mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana yang benar dan yang salah,’’ sambungnya. Tak hanya soal kajian saja, mereka juga menggelar kunjungan ke perguruan tinggi lain. Masjid Salman ITB, salah satunya, karena dianggap telah sukses terlebih dulu menggelar kegiatan serupa. Kegiatan yang dilakukan juga semakin berkembang. Kala itu, Muhammad Nuh, mahasiswa FTE yang menjadi Koordinator Dewan Masjid menginisiasi kegiatan mengajar ngaji dan wiridan bersama warga sekitar. Acara ini dilakukan terkonsentrasi pada lokasi lokasi tertentu di dalam kampus. Seperti musala di Gelanggang Olah Raga (GOR) ITS, musala FMIPA, dan Masjid Manarul Ilmi (MMI) yang dibangun sejak tahun 1976 hingga 1993 ini. Bahkan, salah satu ruangan di kampus Baliwerti juga merupakan sentra aktivitas keagamaan mahasiswa saat itu. Totalitas para aktivis masjid ini memang diakui tanpa batas. Apalagi pada peringatan Hari Besar Agama Islam. Berbagai kegiatan tetap mereka lakukan. Seperti menggelar pameran busana muslimah & buku-buku yang menjadi isu sentral pergerakan kala itu. Melalui kegiatan tersebut, sebenarnya mereka sedang berusaha membangun opini publik melalui gelaran ini. Tujuan besarnya adalah menggalang dana untuk membangun masjid ITS dan kampanye agar mahasiswi muslim ITS menggunakan jilbab. Memang, waktu itu jumlah mahasiswa perempuan di ITS terbilang langka. Jumlah muslimah yang sudah berkerudung baru sedikit. “Bisa dipastikan, era 1978-1979 jumlahnya tidak lebih dari satu atau dua orang saja,” ulas Amien. Karena itu, para inisiator pergerakan Dewan Masjid ini pernah mempunyai cita-cita, yaitu sangat ingin melihat ITS seperti taman bunga suatu saat nanti. ‘’Maksudnya, para mahasiswi muslimnya mengenakan jilbab yang beraneka warna. Prof Muhammad Nuh sempat bercanda ke saya. sekarang cita-cita itu sudah terwujud,’’ kenangnya. Dalam kegiatan tersebut, mereka turut membagikan beberapa buletin karya punggawa Dewan Masjid. “Di halaman depannya ada foto bangunan MMI yang terbengkalai dan foto mahasiswi berjilbab,” ujar Daniel M Rosyid dalam kesempatan berbeda. Meski berlatar kegiatan agama, tetapi aktivitas Dewan Masjid melalui Taklimul Islam mendapat pantauan ketat dari birokrasi ITS dan pemerintahan. Untuk pemerintahan, pemantauan dilakukan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) dan Komando Keamanan dan Ketertiban derap kampus perjuangan | 130


(Komkamtib) dari Pemerintah Kota Surabaya. Pembantu Rektor III kala itu, Fathurrokhim Murtado, menurut Amien, merupakan tokoh birokrasi yang paling sering menentang kegiatan kemahasiswaan, termasuk gerak-gerik Dewan Masjid. ‘’Ada saja ulah beliau untuk mengagalkan aktivitas kami,’’ terangnya. Dalam beberapa kali kesempatan rapat koordinasi, Komkamtib dengan sigap pernah mengebrek markas (asrama ITS, red). Menurut mereka, rapat tersebut dicurigai sebagai sarana untuk melakukan perlawanan. Demi menggelar kegiatan keislaman di ITS, Hery Achmad menuturkan bahwa para punggawa Dewan Masjid rela tidak pulang saat bulan Ramadhan. Mereka bergantung kepada bahan pangan yang tersedia di asrama saat itu. Hal tersebut, menuai kemarahan PR III ITS. Dua anggota Dewan Masjid, Hery Achmad dan Edy Wahyudi diminta menemui Pembantu Rektor III. Mereka pun diusir dari asrama. “Pokoknya, seluruh penghuni asrama di Blok D harus mengosongkan kamarnya dan pindah ke tempat lain di luar wilayah ITS,’’ ujar Hery Achmad menirukan. Tak ayal, sekitar 20 mahasiswa tersebut terpaksa harus hengkang. Perjalanan Dewan Masjid pun berlanjut ke jilid berikutnya. Akibat pengusiran, tersebut para anggota Dewan Masjid harus mencari tempat tinggal baru. Namun, berkat bantuan rekanan Djoko Sungkono akhirnya mereka mendapat kontrakan yang berada di daerah Ndeles (sekarang depan kampus Universitas Pembangunan Bangsa (UPB)) milik anggota DPR RI. Beruntungnya, satu kompleks rumah berbentuk huruf L tersebut mampu memuat keseluruhan mahasiswa. ‘’Pusat kegiatan mahasiswa pun berpindah di sana,’’ tambah Amien. Perjuangan Mendirikan MMI Tahun 1982, para anggota Dewan Masjid mulai mengelar ibadah salat jumat berjamaah di ITS. Karena dahulu belum ada masjid, shalat jumat dilakukan di GOR ITS. ‘’Ya gitu, tiap jumat pagi musti kami bersama-sama menyapu, mengepel, dan menggelar tikar supaya bisa digunakan untuk shalat jumat,’’ cerita Amien. Kegiatan tersebut, seringkali digagalkan oleh Fathurrokhim Murtado. Tetapi prinsip mereka untuk shalat jumat bersama akan terus digelar selama masih ada jamaah yang datang. Secara konsisten mereka mengusahakan untuk menghadirkan khotib (penceramah, red) dari luar ITS. ‘’Kami ini paling sering mengundang Pengurus Kantor Wilayah (Kanwil) Agama Jawa Timur, Ustadz Sobirin. Namun, si ustadz tak pernah datang,’’ kata Amien. Saat itu, birokrasi memang getol menghadang kedatangan para khotib derap kampus perjuangan | 131


walaupun harus menghubungi mereka satu per satu. Tujuannya hanya satu, agar mereka tidak jadi mengisi khutbah di ITS. Namun, bukan mahasiswa ITS kalau hal seperti ini tidak bisa diatasi. Dewan Masjid menyiasatinya dengan mengganti khotib tersebut dengan para anggota Dewan Masjid. Nuh dan Djoko adalah dua anggota yang paling sering menggantikan Ustad Sobirin. ‘’Jadi, setiap diperkenalkannya Ustadz Sobirin kepada jamaah, yang muncul malah Prof Muhammad Nuh. Sampai-sampai Prof Muhammad Nuh dijuluki Ustad Sobirin sama teman-teman,’’ canda Amien. Daniel M Rosyid menceritakan pengalaman berbeda. Ketika itu, Dewan Masjid mengundang Ir Muhammad Sahirul Alim, alumni Teknik Nuklir Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta sebagai khotib jumat. Karena hampir setiap khutbah Ir Muhammad Sahirul Alim dihadang oleh birokrasi ITS, maka hampir setiap hari jumat pula punggawa Dewan Masjid mengelabui birokrasi. Waktu itu, takmir masjid mengatakan kepada jamaah bahwa khotib yang seharusnya mengisi khutbah berhalangan hadir, sehingga di antara para jamaah ada yang diminta untuk menjadi khotib pengganti. Lalu seketika itu pula munculah Ir Muhammad Sahirul Alim. “Kalau begitu tidak ada yang protes dan tahu kan bahwa identitas sebenarnya khotib pengganti tersebut adalah Ir Muhammad Sahirul Alim?” paparnya. Beberapa waktu kemudian, pusat aktivitas keagamaan berpindah dari GOR ke bangunan baru MMI yang belum rampung. “Ya, alasannya karena kita mau bangunan masjid yang terbelengkalai itu menjadi pusat perhatian seluruh sivitas akademika ITS,” jelas Djoko. Bahkan, mereka mengumumkan shalat jumat pertama yang diselenggarakan di MMI. Mahasiswa secara terang-terangan melakukan hal tersebut. Kala itu, keinginan mahasiswa mempunyai masjid sendiri sudah sangat besar. Namun, berbanding terbalik dengan pemikiran birokrasi. Mereka belum memiliki niatan untuk mewujudkannya. Niatan mulia mereka mendapat dukungan dari Agus Salim, Dekan FMIPA. “Beliau sangat mendukung kegiatan mahasiswa dan memberikan saran kepada kami untuk melakukan shalat tahajud tujuh malam tanpa putus guna melancarkan rejeki,’’ ujar Hery Achmad. Saran itu pun ditindaklanjuti serius oleh para mahasiswa. Setiap malam mereka saling membangunkan sesamanya untuk menggelar salat malam bersama. Tak hanya itu, mereka juga yang berusaha melobi para petinggi rektorat untuk menyegerakan pembangunan MMI. Meski minim respon, mereka pantang menyerah, akhirnya disepakati lobbying dengan para kontraktor yang kala itu juga tengah gencar melaksanakan aktivitas pembangunan berbagai gedung di ITS. “Kalau ada sisa material bolehlah kami minta untuk dibuat tiang pancang MMI,” pinta Djoko derap kampus perjuangan | 132


kepada kontraktor-kontraktor tersebut. Menurutnya, karena ini rumah Allah ya uangnya juga dari Allah. ‘’Yang saya yakin itu kita hanya berusaha mengumpulkan bantuanbantuan tersebut,’’ lanjutnya. Namun, yang lebih utama adalah segera memulai pelaksanaan pembangunan. Usaha mereka berbuah, hingga akhirnya satu per satu tiang pancang berhasil dibangun dengan bantuan sukarela para kontraktor. Saat itu, bagian yang paling siap untuk digunakan hanya sisi lantai dua MMI yang kini diperuntukkan bagi jamaah wanita. Alasannya, di bagian itulah yang luas areanya paling kecil. “Saat itu sekeliling bangunan masih ditutupi terpal untuk menghindarkan jamaah dari kondisi hujan maupun cuaca terik,” lanjut Djoko. Lambat laun, kemajuan pembangunan MMI pun meningkat pesat. Tidak hanya bantuan dari sekolompok orang atau perusahaan, melainkan juga atas nama pribadi. “Ada yang menyumbang 10.000 USD bahkan 100.000 USD, tapi yang kami anjurkan adalah bantuan berupa material bangunan seperti marmer, pasir, dan lain-lain,” terangnya. Ada juga bantuan dari Kedutaan Besar Uni Emirat Arab dan Asian Development Bank yang berkunjung ke ITS dan memberikan bantuan untuk pembangunan masjid. “Ini juga berkat bantuan pihak lain, terutama Sjamsul dan Mahmud Zaki,” tutup Djoko.

derap kampus perjuangan | 133


WARNA 4 Ikatan Mahasiswa Teknologi Indonesia (IMTI) Biarlah kami beraksi, karena kami butuh berbakti untuk negeri. Gelora semangat mahasiswa pada akhir orde lama memang sangat tinggi. Berbagai aksi diluncurkan untuk menyuarakan tuntutan nurani mahasiswa. Baik itu melalui organisasi intrakampus maupun lewat organisasi ekstrakampus. Semangat jiwa muda mahasiswa tidak hanya soal aksi dan kritisasi terhadap pemerintah saja. Soal pengembangan ilmu juga menjadi perhatian. Walaupun kenyataannya saat itu, aktivitas perkuliahan sebagai hal dasar masih jauh dari kata teratur. Hal tersebut tidak menyurutkan semangat mahasiswa untuk menginisiasi berdirinya forum kesatuan mahasiswa teknik Indonesia. Gagasan ini menjadi perbincangan menarik di tengah isu orde baru yang kian panas. Tahun 1971, ITS bersama perwakilan ITB, UNSRI, UI, UB, dan Unhas menjadi pendiri forum akademik yang diberi nama, Ikatan Mahasiswa Teknologi Indonesia (IMTI). Sebelum IMTI berdiri, sebenarnya sudah ada organisasi keprofesian yaitu Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang diketuai oleh Akbar Tandjung. Namun, organisasi tersebut merupakan kumpulan dari berbagai organisasi ekstra univisiter yang tak sesuai dengan ideologi mahasiswa ITS. “Kita punya misi tersendiri. Dari dulu, ITS tidak sepakat jika ada organisasi ekstra univesiter masuk kampus. Karena itu, ITS mendukung saat ada usulan pembentukan IMTI,’’ ujar Tjuk Sukardiman, salah satu saksi berdirinya IMTI. Musyawarah besar IMTI digelar tahun 1970 di Malang dengan UB sebagai tuan rumah. IMTI menjadi organisasi keprofesian pertama mahasiswa bentukan organisasi internal kampus. Lahirnya IMTI kemudian mengisnpirasi berdirinya Ikatan Mahasiswa Pertanian Indonesia (IMPI) tiga bulan kemudian, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI), dan organisasi keprofesian lainnya. Dewan Mahasiswa ITB menjadi ketua IMTI pertama pada periode 1971-1972. Kedudukan ini bukan dipegang secara perseorangan tetapi atas nama Dewan Mahasiswa. ITS sendiri menjabat sebagai Ketua IMTI pada tahun kedua yaitu periode 1972-1973. ‘’Waktu itu, saya yang menjadi Sekjen IMTI,” ungkap Tjuk. Selain Tjuk, terdapat pula tokoh lain yang turut serta dalam pendirian IMTI, yakni Kresnayana Yahya. Kresna menerangkan bahwa IMTI tidak hanya berfungsi sebagai organisasi, melainkan sebagai pengikat antar mahasiswa sebidang. Seperti kerja sama mahasiswa teknologi Indonesia dalam pembangunan Indonesia. Kerja sama tersebut dikemas dalam bentuk diskusi yang diselenggarakan di Malang. derap kampus perjuangan | 134


Waktu itu, ITS dan UB didapuk sebagai tuan rumah. ‘’Saya menjadi pemimpin komisi di salah satu sesinya,’’ ujar Kresnanyana. Peran ITS dalam IMTI tidak main-main. ITS juga menjadi pengagas proyek listrik masuk desa. Program ini kemudian menjadi agenda kegiatan dari IMTI. Selain itu, ada pula program pembangunan waduk. Pasalnya, sempat beberapa kali terjadi banjir besar di Jawa Timur. ‘’Jelas sekali, kegiatan mahasiswa kala itu dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan membantu pengembangan kemakmuran bangsa ini,’’ lanjut Kresnayana. Masih terkait banjir, IMTI juga pernah mengadakan lomba bertema Tindakan Dan Cara Mengatasi Banjir Kali Brantas Di Jawa Timur. “Lomba ini menjadi perhatian secara nasional. Gubernur Jawa Timur, Moch Noer bahkan bersedia membiayai penyelenggaraan lomba. Dirjen Pendidikan waktu itu, Dr Washington Napitupulu dan Prof Dr Makagiangsar juga menyempatkan hadir,” lanjutnya. Selama tiga tahun berdiri, IMTI berhasil memberikan jalan lain bagi mahasiswa untuk mendekati pemerintah. Lewat diskusi dan karya ilmiah, IMTI berhasil mengurangi aksi-aksi mahasiswa yang berujung pada kontak fisik antara mahasiswa dan pasukan keamanan negara. Sayangnya, usia IMTI tidak panjang. Pecahnya peristiwa Malapetaka Sebelas Januari (Malari) menjadi titik akhir IMTI. ‘’Sejak saat itu, kegiatan mahasiswa mulai dikontrol. Pergerakan IMTI perlahan memudar,’’ kenang Kresnayana. Walau sebentar, IMTI berdampak positif terhadap KM ITS. Misalnya pada peristiwa Malari, hampir semua Dewan Mahasiswa di Indonesia dibubarkan paksa oleh pemerintah. Namun, tidak dengan Dewan Mahasiswa ITS. ‘’Lha wong, waktu itu ITS sedang mengadakan seminar tentang dominasi modal asing. Saya yang menjadi moderator,’’ kata Tjuk tanpa ragu. Hingga proses penulisan buku ini, tidak pernah ada tanggal dan tahun atau kisah yang jelas terkait pembubaran IMTI. Para pelaku IMTI hanya menuturkan IMTI memudar setelah pecahnya Malari dan akhirnya menghilang. Masih terkait banjir, IMTI juga pernah mengadakan lomba bertema Tindakan Dan Cara Mengatasi Banjir Kali Brantas Di Jawa Timur. “Lomba ini menjadi perhatian secara nasional. Gubernur Jawa Timur, Moch Noer bahkan bersedia membiayai penyeleggaraan lomba. Dirjen Pendidikan waktu itu, Dr Washington Napitupulu dan Prof Dr Makagiangsar juga menyempatkan hadir,” lanjutnya. Selama tiga tahun berdiri, IMTI berhasil memberikan jalan lain bagi mahasiswa untuk mendekati pemerintah. Lewat diskusi dan karya ilmiah, IMTI berhasil mengurangi aksi-aksi mahasiswa yang berujung pada kontak fisik antara mahasiswa dan pasukan keamanan negara. Sayangnya, usia IMTI tidak panjang. Pecahnya peristiwa derap kampus perjuangan | 135


Malapetaka Sebelas Januari (Malari) menjadi titik akhir IMTI. ‘’Sejak saat itu, kegiatan mahasiswa mulai dikontrol.

derap kampus perjuangan | 136


Galeri

Fo t o - f o t o ya n g m e n g i n g a t kan kita

derap kampus perjuangan | 137


derap kampus perjuangan | 138


derap kampus perjuangan | 139


EPILOG Detik jam tak kan mampu berbalik arah, Memutar masa dalam rumitnya perjalanan insan manusia, Terinjaklah dia tinggal, kemudian menghilang. Begitu kebanyakan masa lalu. Hingga kini, kau dan aku punya ribuan cerita. Jika detik ini tinggal, artinya kita punya ribuan lembar putih yang disebut esok, untuk siap terinjak begitu saja, atau justru bisa diatur timbul maka tak terinjak, sebagai sebuah Sejarah, kemudian dikenang.

derap kampus perjuangan | 140


NARASUMBER Buku ini disusun untuk bisa mengumpulkan kembali kepingan sejarah masa lampau hasil perjuangan mahasiswa ITS. Selama proses pengerjaannya banyak sekali bantuan, saran, dan kritik yang membangun dan motivasi yang diberikan kepada penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada narasumber, yaitu: ● Abdul Ghaffar ● Ahmad Moestahid Astari ● Ali Yusa ● Amien Laila ● Amir Hamzah ● Anas Rosjidi ● Bambang J Pramono ● Buchori Nasution ● Budi A Adisaputro ● Daniel M Rosyied ● Djawahir Adnan ● Djoko Sungkono ● Djuwono Hadi Susanto ● Hanafi Pratomo ● Hanief Djauhari ● Harun Alrasyid ● Heri Achmad ● Herman Sasongko ● Irnanda Laksanawan ● Kol Laut Ir Marseno W ● Kresnayana Yahya ● M Djaelani ● M Z A Djalal ● Made Arya Djoni ● Mahmud Zaki ● Mochammad Moenir ● Mohammad Nuh ● Muhajir Manan ● Mujaman ● Mukayat ● Musfil A.S ● Paulus Andrianto● Sjamsul Bahri● Sentot ● Sri Amiranti ● Sritomo Wignjosoebroto ● Sudjud ● Suprapti ● Syarifuddin ● Tjuk Sukardiman ● Unggul Roseno ● Yasidi ● ● dan kepada para narasumber yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu

derap kampus perjuangan | 141


derap kampus perjuangan | 142


ALI MUSTOFA Penulis Kata tak dapat lagi menggambarkan rasa. Setiap langkah yang kami berikan untuk menggali cerita dari narasumber menjadi kenangan yang tak terlupakan. Menyatukan kepingan cerita masing-masing pelaku sejarah memberi pengalaman berharga yang menakjubkan. Bayangkan, kami menjadi orang pertama yang tahu tentang kisah perjalanan pergerakan mahasiswa ITS. Dari munculnya embrio organisasi mahasiswa pertama di ITS hingga pengebirian ideologi mahasiswa akibat statuta NKK/BKK. Tentu tak mudah mendapatkannya. Menyusuri satu persatu narasumber dari ujung timur sampai ujung barat pulau jawa pernah kami lakukan. Naik turun motivasi dalam menyusun kisah pernah kami rasakan. Namun, semuanya terbayar lunas setelah dua tahun berlalu. Terbitnya buku ini menjadi jawaban dari jerih payah seluruh tim. Akhirnya, ucapan terima kasih saya berikan kepada seluruh anggota Tim Derap dan semua pihak yang membantu. Semoga buku ini bisa bermanfaat.

HARIS SANTIKA Penulis

Langit tidak akan runtuh ketika keadilan diteriakan Lantang ketika menantang, memang harus disuarakan Jejak gerak mahasiswa dulu takkan mati Masih ada suara-suara mu di rekaman kami Masih ada penulisan prolog hingga epilog dibuku ini Pun mahasiswa sekarang, derap kan langkah mu untuk cita cita bangsa Buat bangga ibu pertiwi Terima kasih sudah memberikan pembelajaran berharga dalam pembuatan buku ini. Terima kasih untuk bapak-bapak narasumber yang telah menuangkan pengalamannya pada jiwa kami. Tak bisa digambarkan semangatnya ketika masih menyandang predikat mahasiswa. Semangat yang benar benar 10 Nopember. Sekali lagi, terima kasih pak !

derap kampus perjuangan | 143


JAHARANI Penulis

‘Hanya’ butuh keyakinan dan kemauan untuk menuntaskan buku ini. Terima kasih, tim derap atas waktu dua tahun yang kalian luangkan untuk menyusun kepingan sejarah ini. Terima kasih juga untuk para narasumber inspiratif yang berkenan berbagi cerita kepada kami. Akhirnya, saya persembahkan buku ini untuk ITS.

ELIKA TANTRI Penulis

Tiada kata yang mampu menjelaskan diorama masa lalu, Begitu saja, musnah sudah mereka tertelan waktu. Namun, bukanlah kami jika diam begitu saja. Berusaha menguak masa lalu bernama sejarah, untuk dimengerti bahwa alasan kau disini sebagai mahasiswa adalah usaha besar mereka dalam memperjuangkan idealisme mahasiswa, juga Indonesia ! Alhamdulillah, bersama tim, buku ini berhasil membuat saya turut berDerap dalam semangat para aktivis ITS terdahulu. Dua tahun berlalu. Potongan-potongan kisah dari saksi perubahan, kami tulis hingga kalimat dapat bercerita. Petiklah yang baik, jadilah jiwa muda yang berapi-api sesuai masanya ! Terimakasih tim Derap, dan Selamat Membaca !

derap kampus perjuangan | 144


A. MARSHA ALVIANI Penulis

Ibarat layar televisi, kehidupan saat ini dan dulu memiliki perbedaan ukuran. Mahasiswa tempo doeloe memiliki layar yang cukup besar dalam menjalani kehidupannya di kampus. Semua berjalan serba lambat dan hal-hal kecil pun dapat terlihat jelas. Begitu pula sifat kritis akan pergolakan pemerintahan era tersebut. Berbeda dengan saat ini di mana layar yang disediakan jauh lebih kecil. Semua hal pun dapat diakses dan dijalani dengan proses yang cepat dan instan. Namun, pemikiran kritis mahasiswa akan hal-hal kecil tetap harus tetap dimiliki. Buku ini membuat saya belajar banyak akan pola pergerakan mahasiswa tempo doeloe. Karena kejadian itu pasti berulang, dan kita harus mempelajari sejarah agar dapat mengatasi suatu permasalahan.

FIRMAN FAQIH NOSA Penulis

Tahun 2013, buku ini direncanakan terbit untuk kali pertama. Hasilnya, kandas di tengah jalan. Hilang dihempas kesibukan. Namun, satu tahun setelahnya, tim ini kembali berkumpul. Menyusun asa yang dulu sempat hilang. Saat itu, hasilnya lebih melegakan. Ternyata, semangat itu benar-benar belum padam. Semangat untuk berbagi kisah mengenai betapa berharganya arti sebuah perjuangan mahasiswa kala itu. Mendorong generasi muda untuk segera menyingkapnya. Bukan tanpa tujuan, memang sudah menjadi tugas sejarah mengajarkan kita dengan ceritanya. Lastly, we make it team! Thanks for this whole 2 years.

derap kampus perjuangan | 145


ARINDA NUR LATHIFAH Penulis

Ibarat layar televisi, kehidupan saat ini dan dulu memiliki perbedaan ukuran. Mahasiswa tempo doeloe memiliki layar yang cukup besar dalam menjalani kehidupannya di kampus. Semua berjalan serba lambat dan hal-hal kecil pun dapat terlihat jelas. Begitu pula sifat kritis akan pergolakan pemerintahan era tersebut. Berbeda dengan saat ini di mana layar yang disediakan jauh lebih kecil. Semua hal pun dapat diakses dan dijalani dengan proses yang cepat dan instan. Namun, pemikiran kritis mahasiswa akan hal-hal kecil tetap harus tetap dimiliki. Buku ini membuat saya belajar banyak akan pola pergerakan mahasiswa tempo doeloe. Karena kejadian itu pasti berulang, dan kita harus mempelajari sejarah agar dapat mengatasi suatu permasalahan.

FIFI ALFIANA ROSYIDAH Penulis

Kepingan-kepingan puzzle ini akhirnya tersusun. Tidak ada kata lelah dalam menyusun kepingannya karena dibantu oleh rekan-rekan yang super. Perjalanan keluar kota Surabaya pun harus ditempuh saat ritme akademik mulai berjalan dengan cepat. Namun, perjalanan tersebut menorehkan cerita tersendiri. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua untuk kembali mengenang dan memotivasi diri kita akan semangat aktivis mahasiswa tempo dulu. Selamat membaca!

derap kampus perjuangan | 146


FIQLY FIRNANDI R Layouter

Tanpa-Nya mozaik ini takan pernah menyatu. Semangat 10 Nopember yang coba direkonstruksi dalam sebuah untaian kata, kini dapat dinikmati oleh khalayak pembaca. Selamat Membaca !

IAN WIHDAN ARRIJAL Desainer

Senang sekali bisa ikut bergabung dalam tim ini. Semoga kisah-kisahnya dapat menginspirasi kalian. Keep Smile. Selamat Membaca !

derap kampus perjuangan | 147


derap kampus perjuangan | 148


derap kampus perjuangan | 149


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.