Regionalisme Arsitektur: Harmonisasi Continuity and Change Arsitektur Jawa

Page 1

REGIONALISME ARSITEKTUR harmonisasi ‘continuity and change’

ARSITEKTUR JAWA

AHMAD SAIFUDIN M

|

ARISSA SUKARDI


AHMAD SAIFUDIN M. | ARISSA SUKARDI

REGIONALISME

ARSITEKTUR

HARMONISASI ‘CONTINUITY AND CHANGE’

ARSITEKTUR JAWA

kata pengantar Jarwa Prasetya Sih Handoko


Regionalisme Arsitektur Harmonisasi “Continuity and Change” ARSITEKTUR JAWA Copyright © 2018

Diterbitkan oleh: UII PRESS Email: uiipress@uii.ac.id Cik Di Tiro No. 1, Terban, Gondokusuman 55223 Yogyakarta

Penulis Penyunting Layout Sampul

: Arissa Sukardi Ahmad Saifudin Mutaqi : Ahmad Saifudin Mutaqi : Arissa Sukardi : Arissa Sukardi

Cetakan Pertama, 2018 ISBN: 978-602-450-245-4

Hak cipta dilindungi Undang - Undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apapun (termasuk fotokopi) tanpa izin tertulis dari penerbit dan/ penulis.

2


3

DAFTAR ISI

3 4 5

6

14

28

36

55 57 58 59 61

Daftar Isi Prakata Penulis Prakata Ketua Prodi PPAr

1 2 3 4

regionalisme dalam arsitektur regionalisme dalam perancangan formalisme regionalisme arsitektur ‘continuity and change� Catatan Akhir Kajian Daftar Gambar Daftar Tabel Kepustakaan Ucapan Terima Kasih


PRAKATA ARISSA SUKARDI

Buku ini adalah bagian dari hasil pengembangan mata kuliah Seminar Desain Arsitektur yang merupakan mata kuliah wajib pada program studi Pendidikan Profesi Arsitek di Universitas Islam Indonesia. Pembahasan pada buku bermula ketika saya mengikuti kegiatan studio tersupervisi dan mendapatkan proyek untuk membuat kantor kelurahan sebagai sebuah identitas pada suatu wilayah daerah, yaitu daerah Kabupaten Ngawi yang mana identitas tersebut akan diterapkan pada empat lokasi yang berbeda pada suatu daerah yang sama yang didasari oleh konsep prototype. Buku ini berfokus pada Arsitektur Jawa yang berangkat dari hasil perencanaan proyek tersebut, dimana didalamnya membahas bagaimana perubahan – perubahan yang dilakukan pada konsep Arsitektur Jawa untuk mencapai sebuah harmonisasi dalam suatu lingkungan yang disisi lain tetap bisa menjadi suatu cerminan bangunan pelayanan dan jasa di daerah Jawa. Perubahan – perubahan itulah yang nantinya menjadi sebuah alat untuk mengkonfirmasi kembali bahwa Arsitektur Jawa tidak statis atau dinamis. Buku ini terbagi menjadi empat bagian, dimulai dari bagian pendahuluan dan bagian sisanya sebagai bagian pembahasan. Bagian pertama terdiri dari urgensi permasalahan yang akan diangkat dalam hasil perencanaan Kantor Kelurahan di Kabupaten Ngawi. Bagian kedua membahas tipologi dalam Arsitektur Jawa beserta fungsi – fungsi ruang serta elemen – elemen bangunan yang ada didalamnya. Bagian ketiga akan membahas bentuk adaptasi - adaptasi regionalisme pada suatu perancangan. Kemudian buku ini ditutup oleh intisari kajian teori dengan fakta pada hasil perencanaan kantor kelurahan di Kabupaten Ngawi yang dilakukan dengan studi komparatif pada tatanan bangunan, pola ruang dan elemen bangunan. Harapannya buku ini bisa menjadi dasar pejelasan bahwa arsitektur adalah sebuah ilmu terapan yang adaptif dan dapat mengikuti perkembangan zaman dengan tetap mengutamakan kepentingan pengguna dan kaidah - kaidah arsitektur. Semoga buku ini dapat menjadi trigger untuk saya dalam mengeluarkan buku - buku arsitektur lainnya. Yogyakarta, Januari 2018 Arissa Sukardi

4


5

PRAKATA JARWA PRASETYA

Beragam topik dalam design research yang dituangkan dalam format buku akan memberi kemudahan bagi pembaca untuk memahami alur pikir kritis para penulis dan penyuntingnya. Peneliti melakukan tinjauan kritik arsitektur atas karya rancangan para arsitek professional dimana peneliti terlibat sebagai bagian dari proses perancangan itu sendiri. Peneliti memperoleh kesempatan untuk mengkritisi proses perancangan, hasil rancangan dan metoda perancangan. Kritik arsitektur membahas tentang bagaimana karya-karya arsitektur dipahami dan dinilai kualitasnya. Theorizing the praxis membahas tentang bagaimana praktek-praktek perancangan arsitektur direeksikan dalam teori. Penulisan dan presentasi laporan membahas tentang cara mempresentasikan laporan dalam bentuk verbal dan nonverbal. Dengan lahirnya buku ini maka peneliti, Ahmad Saifudin Mutaqi, IAI AA dan Arissa Sukardi yang mengangkat judul Harmonisasi Arsitektur Jawa: Gerakan Regionalisme pada Perancangan Tipologi Kelurahan ingin memaparkan hasil kajiannya dalam format yang lebih mudah dipahami dan menyenangkan. Kajian kritis rancangan berupa Kritik Arsitektur dilakukan dalam beragam cara, antara lain: (1) Kritik Arsitektur Normatif adalah mengkritisi suatu karya arsitektur sesuai dengan norma atau ketentuan yang ada. (2) Kritik Arsitektur Penafsiran adalah mengkritisi suatu karya arsitektur dengan cara menafsirkan berdasarkan analogi-analogi. Hasilnya akan meningkatkan emosi bagi pendengar setelah itu terpengaruh atau menolak analogi-analogi tersebut. (3) Kritik Arsitektur Deskriptif adalah mengkritisi suatu karya arsitektur dengan cara mendeskriptifkan berdasarkan kenyataan atau fakta. Dalam buku ini memaparkan kedalam kajian, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif, atau bahkan spekulasispekulasi teori berdasarkan pengalaman empiric peneliti sebagai penulis. Selamat atas lahirnya gagasan baru melalui kajian kritis dengan pendekatan Kritik Arsitektur dan selamat membaca bagi para pembaca yang budiman. Jarwa Prasetya Sih Handoko, IAI, GP Program Studi Pendidikan Arsitek Universitas Islam Indonesia


REGIONALISME DALAM ARSITEKTUR

1


7

Masyarakat mempunyai tradisi membangun rumahnya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kebiasaan masyarakat dalam suatu kelompok budaya yang tidak berubah dalam jangka waktu yang relatif lama menjadikan bentuk bangunan dan ruang yang mereka ciptakan tetap dapat melayani kebiasaan-kebiasaan tersebut dengan makna yang mendalam. Dalam kebiasaan tersebut masyarakat tidak membutuhkan kehadiran seorang arsitek untuk membantu mereka mewujudkan rumah tinggalnya. Masyarakat mengenal rumah mereka secara turun temurun dengan kebiasaan-kebiasaan yang tetap meskipun perubahan perilaku berkehidupan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam bukunya, Rudofsky yang berjudul Architecture Without Architects: A Short Introduction to Non-pedigreed Architecture (1964) menyatakan tentang arsitektur rumah sebagai berikut: “It is pointless for experts to discuss the finer points of residential architecture as long as we do not consider how its occupants sit, sleep, eat, bath, wash themselves and want to dress [...]. The house has to become again what it was in the past: an instrument for living rather than a machine for living.�

regionalisme dalam arsitektur


regionalisme dalam arsitektur

Dalam perkembangannya, arsitektur tradisional rumah tinggal mengalami peru-

bahan terutama dikarenakan tuntutan fungsi ruang dalam kehidupan berumah-tangga, teknologi bahan dan konstruksi, dan tuntutan karakter sosial yang berbeda. Era arsitektur moderen pun tak terelakan untuk tumbuh berkembang meninggalkan masa lalunya dan meninggalkan ciri dan sifat-sifat yang khas. Gerakan modern dipercaya sebagai sesuatu yang baru dan segala bentuk klasik tidak diterima oleh para arsiteknya. Pada umumnya arsitektur modern sengaja menciptakan pandangan yang mencerminkan ide tentang masyarakat industri, berdasarkan kesederajatan dan biasanya mempunyai sikap untuk memperbaiki hal-hal yang dianggap salah di masa lalu. Para arsitek kemudian bekerja menciptakan karya arsitektur yang disebut sebagai Arsitektur Moderen. Dalam prosesnya penerimaan masyarakat tidak serta merta menerima kehadiran gerakan moderen dalam arsitektur ini. Sangat ironis apabila gerakan modern ini menolak keberadaan tradisi klasik karena ternyata banyak juga karya arsitektur modern yang terdapat unsur tradisi aristektur klasik di dalamnya. Usaha untuk menghilangkan tradisi tersebut tampaknya cukup sulit dan memang tidak pernah berhasil secara sempurna. Secara umum prinsip dasar arsitektur modern yang dapat dilihat dari ciri khas yang menandainya, antara lain : Arsitektur modern bertumpu pada kehandalan teknologi temuan baru saat itu (baja dan beton). Adanya penggunaan bahan hasil pabrikasi untuk penutup atau kulit bangunan. Karena adanya revolusi industri yang banyak menyebabkan penggunaan bahan-bahan pabrik menjadi tren saat itu. Bahan-bahan yang banyak digunakan pada saat itu yaitu bahan-bahan baru seperti baja, beton dan kaca. Sistem firmitas atau sistem kekokohan, dimana tiang dan lantai merupakan satu kesatuan atau saling mengikat, ada pondasi dan penghubung lantai dasar sebagai pengikat konstruksi. Jadi pada arsitektur modern ini lebih menonjolkan pada bentuk-bentuk yang dianggap kokoh. Terdapat sistem grid pada denah, tidak mempunyai pusat tertentu dan bentuknya biasanya asimetri. Disini denah sudah lebih kaya akan bentuk dan tidak berbentuk simetris seperti pada denah-denah bangunan beraliran klasik sebelumnya. Dan tidak mempunyai pusat-pusat tertentu. Selalu ada bukaan-bukaan (lubang-lubang) karena pada saat itu arsitek sudah mulai memikirkan bagaimana menciptakan bangunan yang sehat yang diantaranya dengan menggunakan banyak bukaan-bukaan (lubang-lubang) sebagai sirkulasi udara agar udara lebih nyaman di dalamnya.

8

Alam dipinjam (dipasang) agar telihat sebagai ornamen tapi tidak men-


jadi bagian dari bangunan. Di bangunan-bangunan modern penggunaan tana-

9

man-tanaman hias merupakan pengganti dari ornamen-ornamen estetis yang terdapat pada bangunan aliran sebelumnya. Adanya kontak dengan alam baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Alam disini mulai diperhatikan kembali sebagai unsur yang penting baik itu sebagai penunjang kenyamanan maupun kesehatan lingkungan bangunan. Ada keinginan akan sebuah lingkungan yang sehat, jarak antar bangunan berjauhan. Telah saya jelaskan diatas bahwa arsitek beraliran modern mulai kembali memperhatikan kesehatan bangunan salah satunya juga dengan cara memperjauh jarak antar bangunan disamping juga sebagai penambah unsur keindahan dari bangunan itu sendiri lepas dari bangunan-banguna lain disekitarnya.

Dari waktu ke waktu perubahan terus terjadi secara gradual setahap demi setahap

hingga tampil sebagai bangunan moderen dimasanya. Para arsitek tetap bekerja melayani kebutuhan masyarakat akan rumah tinggalnya ditengah pro kontra atas perkembangan arsitektur moderen sedemikian rupa hingga kemudian lahir kombinasi arsitektur tradisional dengan kebaruan (modernisasi). Kenyataan ini masih tetap terdapat pro kontra di masyarakat terutama pada hasil akhir penampilan arsitektur bangunan yang dapat dibaca secara visual oleh yang melihatnya. Sebagian masyarakat menganggap perubahan tersebut sebagai perusakan nilai arsitektur tradisional dan sebagian yang lain menilai perubahan sebagai perbaikkan. Proses perubahan ini berlangsung hingga lahir kebaruan lain lagi yang kemudian disebut sebagai Arsitektur Tradisional Modern, yakni suatu proses dalam perkembangan secara bertahap dari arsitektur purna modern (post modern).

Jenks (1977) menyatakan bahwa bangunan tradisional tetap dapat dirasakan

seperti karakter bangunan tradisional, pada intinya purna modern berusaha menghadirkan yang lama dalam bentuk universal. Charles Jencks yang dikenal sebagai tokoh gerakan arsitektur purna modern (post modern architecture) mengidentifikasikan bahwa arsitektur purna modern memiliki karakter atau ciri-ciri sebagai berikut : Aspek warna dan tekstur menjadi elemen desain yang prioritas melekat dalam ruang dan bentuk. Aspek dekorasi, ornamen dan elemen-elemen menjadi kelengkapan proses desain dengan melakukan transformasi atas yang kuno. Aspek masa lalu (the past) dengan menonjolkan fungsi-fungsi simbolis dan historical dalam bentuk dan ruangnya. regionalisme dalam arsitektur


regionalisme dalam arsitektur

Seiring perkembangan arsitektur purna moderen dikenal pula arsitektur regional-

ism yang tumbuh dengan semangat memperbaiki keadaan dengan tetap mengikatkan diri kepada budaya setempat, iklim dan teknologi yang ada pada konteknya. Wondoamiseno (1991) dalam bukunya Regionalisme Dalam Arsitektur Indonesia menyatakan bahwa regionalisme sebagai sebuah harapan dalam menemukan arsitektur yang baik bagi konteks Indonesia yang memiliki keberagaman arsitektur tradisional. Untuk mengenal bagaimana ciri regionalisme dalam arsitektur dapat dibaca dengan melihat contoh-contoh nyata bangunan yang mempunyai ciri tradisional yang kuat dalam persepsi visual namun bangunan tersebut hadir sebagai bangunan layanan publik. Dengan demikian maka yang menjadi ciri utama regionalisme adalah menyatunya arsitektur tradisional dengan arsitektur modern. Bangunan Kyoto International Conference Hall adalah contoh "Japan Style" yang paling meyakinkan karya rancangan arsitek Jepang, Sachio Otani. Sebuah kompleks yang luas dengan danau, dalam sebuah taman yang terpisah oleh bukit dari jalan Kyoto. Sachio Otani memenangkan sayembara ini di antara para peserta lain, para bintang arsitek Jepang. Yang memberikan keseluruhan rancangan dalam kesatuan yaitu karakter Jepang yang luar biasa, melalui pilihan bentuk trapezoidal. Setiap kolom muncul dari tanah atau danau, setiap dinding atau belustrade, baik di dalam maupun di luar, membentuk sudut dua puluh dua derajat terhadap arah vertikal.

Gambar 1.1 Kyoto International Conference Hall Sumber: http://abarchitects.blogspot. co.id/2013/11/regionalisme-dalam-arsitektur.html

10


11

Contoh lain adalah Lombok Intan Laguna Hotel, karya arsitek Ridwan Tamtomo,

Adishakti, Dwijanto di Lombok. Bangunan hotel selalu ditantang untuk menampilkan ciri tertentu. Ciri fisik merupakan salah satu ciri yang sangat dibutuhkan untuk sebuah hotel, agar hotel menarik, mudah diingat dan mudah dikenal. Salah satu bangunan yang mempunyai ciri khas di Lombok adalah lumbung padi tradisional yang bernama "alung"; bentuknya sangat unik, sehingga mudah dikenal dan diingat.

Gambar 1.2 Lombok Intan Laguna Sumber: http://abarchitects.blogspot. co.id/2013/11/regionalisme-dalam-arsitektur.html

Pada Lombok Intan Laguna Hotel, tiruan bentuk "alung" ditata berundak pada

bangunan hotel yang mempunyai kemiringan. Hal ini merupakan penggambaran "alung" yang berseret di sebuah bukit. Penambahan beberapa bagian atau elemen "alung" di tempat-tempat lain, akan lebih memberi keutuhan rancangan secara keseluruhan.

Dalam pandangan Budihardjo (1997), regionalisme yang harus dilihat bukan se-

bagai suatu ragam atau gaya melainkan sebagai cara berfikir tentang arsitektur, tidaklah berjalur tunggal tetapi menyebar dalam berbagai jalur. Taksonomi Regionalisme selengkapnya adalah sebagai berikut:

Gambar 1.3 Taksonomi Regionalisme Arsitektur Sumber: (Ozkan, 1985)

regionalisme dalam arsitektur


regionalisme dalam arsitektur

Pola turunan atau derivatif yang oleh Broadbent sebagai Typologic Design mungkin

merupakan tahapan yang harus dilalui untuk kemudian melangkah ke pola transformatif. Arus Regionalisme yang transformatif akan merangsang kreativitas dan inovasi arsitek agar bisa menciptakan karya arsitektur yang modern bila perlu dengan teknologi canggih dan bahan bangunan kontemporer, tetapi sekaligus juga menimbulkan getar-getar budaya (cultural resonances) yang menyiratkan kesinambungan dengan keadiluhungan warisan masa silam (Budihardjo, 1997). Sedangkan Suha Ozkan membagi Regionalisme menjadi dua bagian yaitu : Concrete Regionalism Meliputi semua pendekatan kepada ekspresi daerah/regional dengan mencontoh kehebatannya, bagian-bagiannya, atau seluruh bangunan di daerah tersebut. Apabila bangunan-bangunan tadi sarat dengan nilai spiritual maupun perlambang yang sesuai, bangunan tersebut akan lebih dapat diterima di dalam bentuknya yang baru dengan memperlihatkan nilai-nilai yang melekat pada bentuk aslinya. Hal lain yang penting adalah mempertahankan kenyamanan pada bangunan baru, ditunjang oleh kwalitas bangunan lama. Abstract Regionalism Hal yang utama adalah menggabungkan unsur-unsur kwalitas abstrak bangunan, misalnya massa, solid dan void, proporsi , sense of space, pencahayaan, dan prinsip - prinsip struktur dalam bentuk yang diolah kembali.

Dalam pendekatan perancangan arsitektur, regionalisme dapat berfungsi sebagai

ungkapan ‘identitas bentuk’ dan juga dapat menjadi ‘sikap kritis’ dalam perancangan arsitektur. Dalam pendekatan identitas bentuk yang populer ini mengasumsikan bahwa bentuk-bentuk tertentu menyandang peran untuk menampilkan ciri daerah tertentu. Sejalan dengan peran arsitektur sebagai media komunikasi populer yang dirumuskan oleh Robert Venturi dan kawan-kawan. Dalam Learning from Las Vegas, bentuk ini sering menjadi penanda yang tidak harus terkait dengan apa yang didalamnya. Pendekatan ini sering dikritik sebagai reproduksi artifisial atas bangunan lokal yang otentik dan dengan mudah dapat ditempelkan di mana saja (seperti atap gonjong pada rumah makan Padang). Kemudahan mereproduksi bentuk arsitektur seringkali menjadikan peran arsitektur sebagai identitas kawasan kehilangan keasliannya.

Dilain sisi gerakan regionalisme sering kali dipandang sebagai terbelakang (ber-

orientasi ke masa silam, tanpa memiliki visi ke depan) dan sempit (hanya berkutat pada satu daerah dan tidak memiliki kontribusi dalam lingkup yang lebih luas). Alexander Tsoniz dan Liane Lefaivre mengajukan istilah Critical Regionalisme untuk menyebut regionalisme

12


yang progresif, berkinerja baik (high performance) serta memiliki relevansi ekonomis, ekolo-

13

gis dan sosial dengan tantangan masa kini. Dan Keneth Frampton dalam bukunya ‘Six Points for an Architecture of Resistance’ (1983) merumuskan Critical Regionalism sebagai suatu teori tentang bangunan yang di satu sisi menerima peran potensial arsitektur modern untuk membebaskan arsitektur dari berbagai kungkungan tapi menentang untuk sepenuhnya terserap dalam sistem konsumsi dan produksi modern. Frampton merumuskan lebih lanjut ciri-ciri Critical Regionalism, sebagai berikut: »»Lebih mementingkan papan (place) yang bersifat konkret ketimbang ruang (space) yang abstrak »»Lebih mementingkan keterkaitan dengan bentang alam (topography) ketimbang bentuk bangunan (typology) »»Lebih mementingkan teknik-teknik membangun yang estetis (architectonic) ketimbang tampilan bentuk (scenographic) semata »»Lebih mementingkan yang alami (natural) ketimbang yang buatan (artificial) »»Lebih mementingkan yang dapat dirasakan dengan aga dan peraba (tactile) ketimbang yang visual semata.

regionalisme dalam arsitektur


REGIONALISME DALAM PERANCANGAN

2


15

Perencanaan pembangunan yang dilakukan dalam suatu wilayah pedesaan atau

wilayah kelurahan juga merupakan bagian dari realisasi perencanaan dan pembangunan nasional. Untuk dapat merealisasikan hasil yang sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut, maka berbagai potensi sumber daya harus digali, dikembangkan, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya baik alam maupun manusianya, sumber daya manusia menjadi salah satu alat untuk dapat mengembangkan potensi alam secara maksimal sehingga perlu ditingkatkan agar tujuan dari perencanaan dan pembangunan tersebut dapat tercapai sesuai harapan. Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil yang setingkat dengan desa dimana Lurah sebagai Kepala Kelurahan memegang peranan yang menentukan (Gunena, 2013).

Dalam sebuah proses pembangunan, perencanaan merupakan sebuah kegiatan

yang mengikat. Faktor penentu suksesnya sebuah pembangunan dapat ditinjau dari perencanaan yang matang (Sanoff, 1992). Dalam hal ini arsitek ditunjuk secara langsung atau mengikuti sebuah kompetisi untuk melakukan sebuah proses perencanaan pembangunan. Pemilik berperan penting menentukan jenis – jenis pekerjaan yang akan kerjakan oleh arsitek. Perencanaan dikatakan sebagai perencanaan yang baik apabila dalam perencanaan tersebut melibatkan semua pihak yang terkait pada proyek tersebut, baik dari pemilik, pengguna dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam prosesnya seringkali sebuah perencanaan pembangunan, pengguna tidak dilibatkan secara langsung dalam tahapan pemrograman rancangan. Sehingga timbul perbedaan pemikiran proses akhir perencanaan pembangunan. regionalisme dalam perancangan


regionalisme dalam perancangan

Begitu juga halnya dengan proyek perencanaan Kantor Kelurahan di Kabupaten

Ngawi sebagai proyek bangunan gedung negara dimana pemilik berkeinginan mewujudkan pattern keseragaman pada bentuk arsitektur. Perancangan Kantor Kelurahan menggunakan pendekatan konsep prototype secara fungsi maupun fisik bangunan. Disisi lain terdapat adanya keinginan untuk menjadikan bangunan kantor tersebut sebagai bangunan arsitektur hasil karya budaya manusia yang dipengaruhi oleh lokalitas setempat, yaitu menghidupkan kembali citarasa tradisional bangunan khas Jawa seperti hadirnya fungsi bangunan pendopo yang menjadi ciri khas bangunan masyakarat Jawa dan dapat menjadi identitas bagi kantor kelurahan di Kabupaten Ngawi. Pendekatan rancangan ini diharapkan menghasilkan bangunan yang bersifat abadi, melebur atau menyatu antara yang lama dengan yang baru, sesuai dengan bentuk regionalisme.

Karakter regionalisme yang memiliki apresiasi besar pada ciri kedaerahan dida-

lamnya sebagai sebuah pendekatan ekspresi regional atau ekspresi kedaerahan yang menggabungkan unsur – unsur bangunan di daerah tersebut, sebagai wujud regionalisme yang merupakan bentuk pendekatan arsitektur kontekstual. Dalam penerapannya, konsep prototype dapat dikatakan berhasil apabila permasalahan yang akan diselesaikan dalam desain memiliki konteks yang sama. Sementara untuk kasus perencanaan kantor kelurahan ini, keberadaan eksisting tiap lokasi memiliki permasalahan konteks tapak dan lingkungan yang berbeda – beda. Secara umum perbedaan tersebut dipengaruhi oleh karateristik site, kebutuhan ruang, orientasi bangunan, iklim, dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang mendasari pentingnya pengaplikasian strategi desain serta respon terhadap lokalitas yang dapat menghadirkan citra aksen pada suatu daerah tertentu.

Harmonisasi Lingkungan

Harmonisasi lingkungan perlu dilakukan untuk menciptakan keselerasan terhadap

suatu lingkungan itu sendiri, dengan memperhatikan kontekstual wilayah bangunan itu berada sehingga bangunan baru dapat lebih menghargai, menjaga serta melestarikan suatu “tradisi� atau budaya yang telah berlangsung sejak dulu. Dengan demikian bangunan baru akan lebih menyatu dengan karakter bangunan yang sudah ada dari pada menyaingi karakter bangunan sebelumnya (Alhamdani, 2010). Konsep continuity and change sebagai sebuah konsep yang berdasar pada kontektualisme, yaitu bentuk adaptasi dengan menganalisa serta memahami unsur – unsur sifat dan kualitas tempat atau kawasan perkotaan untuk mengembangkan unsur-unsur baru dengan tetap mempertahankan sifat dan karakter dari kawasan tersebut (Stone, 2012). Konsep ini memberikan makna bahwa arsitektur selalu berkembang sebagai bentuk keberlanjutan serta adaptif terhadap perubahan budaya dan kebutuhan masyarakatnya.

16


Melihat dari latar belakang tersebut pada kasus perencanaan kantor kelurahan di Kabu-

17

paten Ngawi diatas dapat dipertanyakan tentang bagaimana tingkat adaptabilitas arsitektur Jawa merespon fungsi-fungsi moderen agar tetap hadir sebagai arsitektur regionalisme? Paling tidak ada tiga persoalan arsitektur yang membutuhkan solusi, antara lain: »»Bagaimana perubahan tatanan bangunan sebagai bentuk adaptasi terhadap keadaan bentuk site dan lokasi yang berbeda? »»Bagaimana perubahan pola ruang sebagai bentuk adaptasi terhadap kebutuhan pengguna di setiap lokasi ? »»Bagaimana perubahan bentuk dan fungsi sebagai bentuk adaptasi terhadap ciri bangunan tradisional Jawa ?

Vernakular vs Regionalisme Modern

Regionalisme yang apresiatif pada ciri kedaerahan yang kemudian terbagi sesuai

dengan taksonominya yaitu secara derivatif dan juga transformatif. Sifat derivatif arsitektur regionalisme dapat digolongkan pada arsitektur vernakular. Arsitektur vernakular adalah gaya arsitektur yang dirancang berdasarkan kebutuhan lokal, ketersediaan bahan bangunan, dan mencerminkan tradisi lokal. Definisi luas dari arsitektur vernakular adalah teori arsitektur yang mempelajari struktur yang dibuat oleh masyarakat lokal tanpa intervensi dari arsitek profesional. Arsitektur vernakular bergantung pada kemampuan desain dan tradisi pembangunan lokal. Namun, sejak akhir abad ke-19 telah banyak arsitek profesional yang membuat karya dalam versi gaya arsitektur vernakular ini. Istilah vernakular berasal dari kata vernaculus di Bahasa Latin, yang berarti ‘domestik, asli, pribumi’, dan dari Verna, yang berarti ‘budak pribumi’ atau ‘budak rumah-lahir’.

Dalam linguistik, vernakular mengacu pada penggunakan bahasa tertentu pada

suatu tempat, waktu, atau kelompok. Dalam arsitektur, vernakular mengacu pada jenis arsitektur yang asli pada waktu atau tempat tertentu (tidak diimpor atau disalin dari tempat lain). Arsitektur vernakular ini paling sering digunakan untuk bangunan tempat tinggal. Arsitektur vernakular memiliki konsep yang sangat terbuka dan komprehensif. Arsitektur vernakular merupakan istilah yang juga merepresentasikan arsitektur primitif atau asli, arsitektur adat, arsitektur leluhur atau tradisional, arsitektur pedesaan, arsitektur etnis, arsitektur informal, atau arsitektur tanpa arsitek. Arsitektur vernakular tidak dapat disamakan dengan arsitektur tradisional, meskipun ada hubungan di antara keduanya. Namun ketika gagasan desain yang bersifat derivatif sebagai pendekatan desain, proses perancangan melibatkan para arsitek yang bekerja dengan pola derivatif, dan sebenarnya mereka meniru atau memelihara bentuk arsitektur tradisi atau vernakular, untuk fungsi bangunan baru regionalisme dalam perancangan


regionalisme dalam perancangan

atau modern. Dalam hal ini kita melihat tiga kecendrungan, yakni: Tipologis, dimana arsitek berusaha untuk mengelompokkan bangunan vernakular, kemudian memilih dan membangun salah satu tipe yang dianggap baik untuk kepentingan baru. Interpretif atau interpretasi, dimana arsitek berusaha untuk menafsirkan bangunan vernakular kemudian membangunnya untuk kepentingan baru. Konservasi, dimana perancang berusaha untuk mempertahankan bangunan lama yang masih ada, kemudian menyesuaikannya dengan kepentingan baru.

Sedangkan gagasan arsitektur regional yang bersifat transformatif, tidak lagi se-

kedar meniru bangunan lama. Tetapi berusaha mencari bentuk-bentuk baru, dengan titik tolak ekspresi bangunan lama baik yang visual maupun abstrak. Gagasan arsitekur yang bersifat visual dapat dilihat dari usaha pengambilan elemen-elemen bangunan lama yang yang dianggap baik, menonjol atau ekspresif untuk di ungkapkan kepada bangunan baru. Pemilihan elemen yang dianggap baik ini disebut eklektik. Kemudian pastiche, atau mencampur-baurkan beberapa elemen bangunan baik modern maupun tradisional, beberapa diantara desain bangunan seperti ini juga dapat menimbulkan kesan ketidakserasian. Sedangkan reinterpretatif, adalah menafsirkan kembali bangunan lokal itu dalam versi baru. Pencarian dan penafsiran bentuk-bentuk arsitektur tradisi ini pernah di kritik oleh arsitek Jepang Kenzo Tange, yang hanya akan melahirkan monster-monster arsitektur lokal. Namun tidak dapat disangkal bahwa, pola transformasi adalah salah satu cara untuk menciptakan arsitektur modern yang dapat merangsang kreativitas arsitek untuk menciptakan karya arsitektur baru dan modern, tetapi masih memperlihatkan karakter arsitektur lokal dari masa silam. Secara umum, pola transformasi dapat diartikan perubahan bentuk lama ke bentuk baru.

Arsitektur Tradisional Jawa

Arsitektur Jawa sebagian besar diterapkan pada bangunan rumah tinggal se-

dangkan sebagian yang lain diterapkan pada bangunan monumen luhur, peribadatan, makam, pasar, atau sejenis bangunan yang lekat dengan kehidupan sehari – hari suku bangsa Jawa. Klasifikasi tipologi arsitektur jawa dibagi menjadi pembagian ruang dan karakter atap, dimana bentuk bangunan dibagi atas beberapa susunan yang dimulai dari tingkatan yaitu tajug (masjid), joglo (golongan ningrat), limasan (golongan menengah), kampung (rakyat biasa) panggang pe (rakyat biasa). Pembagian tersebut untuk membedakan kedudukan sosial ekonomi dari pemilik bangunan rumah tinggal tradisional Jawa (Cahyandari, 2015).

18


19

Bangunan rumah tradisional Jawa dapat ditinjau dalam dua skala, yaitu skala

horisontal dan vertikal. Skala horisontal berisi tentang pembagian ruangnya, sedangkan skala vertikal berisi tentang pembagian 3 elemen dasar yang membentuk bangunan rumah seperti yang akan dijelaskan dibawah ini (Djono, Utomo, & Subiyantoro, 2012). Didalam bangunan rumah tradisional Jawa biasanya memiliki 3 elemen dasar bangunan yaitu; »»Kaki terdiri atas pondasi (bebatur), lantai (jerambah/jogan) dan umpak »»Badan terdiri atas tiang (saka/sakaguru), pintu, dinding, ventilasi, dan jendela. »»Kepala terdiri atas rangka atap, langit – langit dan penutup atap (empyak)

rumah panggang pe rumah joglo kampung limasan tajug

Gambar 2.1 Rumah Tinggal Tradisional Jawa Sumber: (Wulan, Aryani, Triswanti, Dwi, Mahendra, & Lucky, 2011)

Tampaknya bangunan kantor kelurahan merupakan salah satu bangunan gedung

negara yang seringkali kehadirannya memberikan karakter atau ciri khusus pada daerah tertentu. Sebagai sebuah bentuk bangunan tentu masing – masing memiliki karakteristik tersendiri. Bangunan sendiri terbentuk dari bagian – bagian seperti jendela, pintu, dinding, atap dan sebagainya yang merupakan elemen – elemen dari bangunan itu sendiri. Bentuk atap bangunan utama biasanya menjadi identitas dari bentuk bangunan sehingga lebih mudah dikenali. Pada Pulau Jawa sendiri menurut hasil identifikasi atap bangunan dengan jenis Joglo merupakan bentuk yang paling banyak dipakai pada kantor kelurahan (Suryaning, 2012).

Penjelasan dan gambar dibawah ini menjelaskan karakteristik bangunan kelura-

han mencirikan bangunan tradisional Jawa terutama Joglo yang dapat sekaligus menjadi wadah untuk masyarakat sekitar dalam melakukan aktivitas birokrasi dan bermasyarakat sehingga karakteristiknya terbentuk dari cerminan budaya lokal. regionalisme dalam perancangan


regionalisme dalam perancangan

Gambar 2.2 Jenis Bangunan Kantor Kelurahan Sumber: (Suryaning, 2012) dimodifikasi

Selain elemen bangunan, terdapat elemen arsitektur lain yang juga sering dijadikan

sebagai ornamen pada bangunan tradisional jawa. Diantaranya adalah ragam – ragam hias. Pada bagunan tradisional jawa ragam hias terbagi menjadi ragam hias fauna, ragam hias flora, ragam hias alam dan ragam hias religi. Ragam hias flora memiliki arti keindahan dan kebaikan dengan karakteristik berwarna merah, kuning (emas) juga hijau. Ragam hias ini juga memiliki makna suci pada bangunan tradisional Jawa (Cahyandari, 2015). Makna kekuatan dan keberanian serta mencegah bencana juga kejahatan terdapat pada ragam hias fauna yang biasanya terletak pada elemen non struktur atau struktur yang atas di pintu masuk ruangan utama atau sakral juga dan diatas bangunan tradisional Jawa (Cahyandari, 2015). Sedangkan untuk peran semesta dan Tuhan ditekankan pada ragam hias alam dengan kosmologi dualism (laki – laki perempuan, siang-malam) orientasi, dan topografi yang ditransformasikan dalam wujud simbol air, sinar, gunung, awan dan matahari.

Pendopo dalam bangunan Jawa

Pendapa atau pendopo (dari bahasa Jawa: pendhåpå, berasal dari bahasa San-

skerta mandapa, yang berarti “bangunan tambahan”) adalah bagian bangunan yang terletak di muka atau depan bangunan utama. Berbagai jenis bangunan dari rumah tradisional di wilayah Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Bali, dan Pulau Kalimantan diketahui bahwa memiliki pendapa merupakan hal yang “wajib”. Struktur ini kebanyakan dimiliki rumah besar atau keraton, letaknya biasanya di depan dalem, bangunan utama tempat tinggal penghuni rumah. Pendapa biasanya berbentuk bangunan tanpa dinding dengan tiang/pilar yang banyak. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat menerima tamu.

20


21

Namun, karena pendopo biasanya besar, bangunan ini difungsikan pula sebagai tempat pertemuan, latihan tari atau karawitan, rapat warga, dan sebagainya (Wikipedia, 2017).

Arsitektur Jawa bermula dari bangunan tradisional rumah tinggal masyarakat jawa

yang biasa disebut omah. Pendopo sendiri sebagai perantara ruang yang menjembatani menuju ruang yang lebih privat. Secara tegas pola hunian masyarakat Jawa terbagi atas dua kutub, depan dan belakang dimana pendopo menjadi pengikat keberadaan rumah – rumah disekelilingnya dalam konteks lingkungan yang juga digunakan sebagai tempat pertemuan keluarga besar (Tjahjono, 1985 dalam Yudirianto, 2008).

Sesuai dengan kegunaannya pendopo di bagi menjadi beberapa ragam fungsi,

sebagai berikut: (Santoso, 2000 dalam Yuridianto, 2008) »»Sebagai ruang yang berproses, kehadiran pendopo menjadi ruang untuk sosial/ gathering place merupakan rangkaian proses dari ruang yang bersifat abstrak (batas imajiner) menuju ruang konkret (batas fisik). »»Sebagai ruang apresiasi budaya, kehadiran pendopo sebagai ruang bagi warga dengan strata sosial manapun untuk datang dan menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Aktivitas ini memperkuar struktur keberadaan tiga ruang karena pertunjukkan wayang kulit ini dibagi menjadi 3 bagian ruang, yaitu pendopo sebagai bagian luar, peringgitan sebagai bagian tengah, dan dalem sebagai bagian dalam. »»Sebagai ruang sosial, menjadi ruang penerima tamu atau ruang penunggu menjadikan sifat ruang pada arsitektur Jawa menjadi lebih cair ditemukan pada pendopo. Pendopo bisa memiliki fungsi dilain waktu menjadi ruang pertunjukan sosial budaya. Pola aktivitas ini mendekonstruksi fungsi sebelumnya, dengan setting yang berbeda dengan ruang yang sama menghasilkan fleksibilitas ruang dalam budaya Jawa. »»Sebagai ekspresi otoritas kekuasaan, karakter ini biasanya terdapat pada lingkungan keraton ketika raja menerima tamu di pendopo sebagai wujud kekuasaan raja. Fungsi ini sendiri terjadi pada pendopo yang menjadi satu bagian dalam integral dari lingkungan kraton secara keseluruhan.

regionalisme dalam perancangan


regionalisme dalam perancangan

Gambar 2.3 Ragam Fungsi Pendopo Sumber: (Yudirianto, 2008)

Terdapat beberapa kriteria arsitektur yang dibutuhkan agar bangunan beserta

lingkungannya mampu mencapai target atau tujuan yang disepakati bersama. Kriteria tersebut merupakan pertimbangan umum yang mendasari proses perencanaan dan perancangan, beberapa kriteria tersebut adalah: »»Fungsional »»Memenuhi standar bangunan yang ditetapkan »»Aspek Estetika »»Aspek Biaya »»Aspek Konstekstual Lingkungan

Untuk dapat memenuhi kebutuhan kriteria tersebut maka perlu adanya perha-

tian terhadap beberapa aspek terkait dengan proses perancangan yang akan dilakukan. Dibawah ini adalah kajian terkait dengan aspek fungsional, estetika, serta aspek kontekstual lingkungan terkait dengan pembahasan permasalahan proyek yang akan diangkat.

Konsep Continuity and Change

Continuity berasal dari kata kontinuitas dimana dalam arsitektur kontinuitas atau

berkelanjutan ini sebagai konsep yang berdasar pada kontektualisme, yaitu bentuk adaptasi dengan menganalisa serta memahami unsur – unsur sifat dan kualitas tempat atau kawasan perkotaan untuk mengembangkan unsur-unsur baru dengan tetap mempertahankan sifat dan karakter dari kawasan tersebut. Change yang berarti perubahan, dimana perubahan dalam arsitektur merupakan suatu pergeran atau perkembangan sebuah objek atau bentuk yang diakibatkan oleh suatu kebutuhan perkembangan, baik perkembangan zaman,

22


23

perubahan budaya maupun perubahan ekonomi sehingga menyebabkan suatu objek dapat menjadi berubah (Stone, 2012).

Continuity and change merupakan sesuatu yang saling mendukung dan tidak saling

berlawanan, kehadirannya memiliki peran penting satu sama lain sebagai upaya pelestarian bangunan bersejarah. Menjaga agar tidak terjadi perubahan terhadap budaya yang dibawa oleh leluhur dirasa penting akan tetapi pertimbangan akan suatu perubahan yang sesuai dengan konteks, waktu tempat dan kelayakan juga tidak bisa terlupakan sehingga continuity and change menjadi salah satu upaya dalam mempertahankan budaya lama atau bangunan dimana terjadi perubahan karena mengalami pembaruan akibat meningkatnya kebutuhan pengguna bangunan itu sendiri. Akan tetapi skala dan penampilan dari perubahan bangunan jangan sampai mengucilkan atau melecehkan keunikan bangunan yang asli. Agar nilai sejarah bangunan lama tidak hilang begitu saja, continuity and change memiliki peran sebagai penerus dengan memberi perubahan agar bangunan baru tetap hidup dengan tetapm memiliki ciri lama (Fram & Weiler, 1984). Salah satu contoh bentuk yang menganut teori ini dimana perubahan terjadi mengikuti perkembangan jaman adalah perkembangan arsitektur rumah tradisional kudus seperti gambar dibawah ini:

Gambar 2.4 Arsitektur Kudus Sebelum Islam (atas) dan Arsitektur Kudus Masa Perkembangan Islam (bawah) Sumber: (Sardjono, Eko, Galih, & Eddy, 2010)

Gambar diatas menunjukkan perubahan yang terjadi pada arsitektur rumah tras-

disional Kudus sebelum Islam masuk dan ketika masa perkembangan Islam, perubahan yang terjadi dikarenakan komposisi dalam masyarakat berkembang menjadi tatanan yang lebih kompleks. Begitu pula ketika memasuki masa kejayaan sosial ekonomi bangunan dibuat menjadi lebih kompleks, ornamen – ornamen semakin rumit dan menjadi lebih halus menghiasi seluruh permukaan dinding rumah dan lain sebagainya. Kemudian memasuki masa surut dalam sosial ekonomi, rumah-rumah Kudus mulai menjadi obyek yang bermasalah. regionalisme dalam perancangan


regionalisme dalam perancangan

Keberadaan rumah – rumah tradisional Kudus tak lagi dapat didukung oleh masyarakat karena kondisi sosial ekonomi mereka. Ketersediaan material kayu jati yang semakin langka. Elemen – elemen bangunan mulai diganti dengan yang lebih murah dan awet karena mulai rusak. Alasan kepraktisan serta biaya menjadikan bangunan baru tidak lagi menerapkan prinsip – prinsip bangunan tradisional secara utuh, namun secara keseluruhan bangunan tidak mengalami perubahan.

Gambar 2.5 Arsitektur Kudus Masa Kejayaan Sosial Ekonomi (atas) dan Arsitektur Kudus Masa Surut (bawah) Sumber: (Sardjono, Eko, Galih, & Eddy, 2010)

Adaptasi untuk Harmonisasi

Bentuk fisik dan morfologi dapat dilihat dari hubungan antar bangunan dengan

tapaknya (site), hal tersebut melibatkan hubungan khusus suatu bangunan dengan lingkungannya sehingga muncullah adaptasi kontekstual dalam berarsitektur. Konteks dapat diartikan secara lebih luas sebagai bagian dari suatu lokasi dalam kawasan atau wilayah tertentu (Widati, 2015) dengan ini secara umum kontekstual didefinisikan sebagai hubungan yang menyatukan bagian – bagiannya, secara khusus untuk menunjukkan hubungan yang harmonis antara bangunan dan lingkungannya.

Kontekstual dalam arsitektur selalu berkaitan dengan material yang nyata atau

tidak nyata (konseptual, spritual, dan sebagainya) sebagai bentuk elemen fisik dan simbolis. Kontekstual dalam arsitektur dibagi menjadi dua bagian, kontras dan harmonis. Kontras dapat menjadi strategi desain yang paling berpengaruh dan menjadi identitas serta citra aksen pada suatu area kota jika diaplikasikan dengan baik. Sebaliknya, dapat menimbulkan kekacauan atau merusak jika diaplikan dengan cara yang salah atau sembarangan.

Harmonisasi lingkungan perlu dilakukan untuk menciptakan keselerasan terhadap

suatu lingkungan itu sendiri, dengan memperhatikan kontekstual wilayah bangunan itu berada sehingga bangunan baru dapat lebih menghargai, menjaga serta melestarikan suatu

24


25

“tradisi” atau budaya yang telah berlangsung sejak dulu. Dengan demikian bangunan baru akan lebih menyatu dengan karakter bangunan yang sudah ada dari pada menyaingi karakter bangunan sebelumnya (Alhamdani, 2010).

Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Ching (2000) dimana terdapat prin-

sip – prinsip tambahan yang dapat dipakai untuk menciptakan tatanan dalam suatu komposisi arsitektur yang merupakan suatu kondisi dimana setiap bagian dari seluruh komposisi saling berhubungan dengan bagian lain dengan tujuan menghasilkan suatu susunan yang harmonis. Penataan tanpa variasi dapat mengakibatkan adanya sifat monoton dan membosankan, variasi tanpa tatanan menimbulkan kekacauan. Sebuah bangunan dapat hadir bersama – sama secara konseptual dan perseptual dalam keseluruhan tatanan menjadi sebuah kesatuan yang menimbulkan keharmonisan menggunakan alat visual yang memungkinkan bentuk – bentuk dan ruang – ruang yang bermacam – macam berdasarkan prinsip – prinsip penataan ruang antara lain (Ching, 2000): »»Sumbu, dibentuk oleh dua titik dalam ruang dimana bentuk – bentuk dan ruang dapat tersusun dalam sebuah paduan simetris dan seimbang oleh garis. »»Simetri, keseimbangan bentuk – bentuk serta ruang yang sama sisi dan berlawanan terhadap suatu garis atau bidang pembagi ataupun terhadap titik pusat serta sumbu pada suatu susunan. »»Hirarki, penekanan kepentingan atau keutamaan suatu bentuk atau ruang menurut ukuran, wujud atau penempatannya, relatif terhadap bentuk – bentuk atau ruang – ruang lain dari suatu organisasi. »»Irama, mempersatukan ciri pengulangan berpola atau motif formal dalam bentuk sama atau pergantian unsur atau modifikasi dalam suatu pergerakan. »»Datum, keteraturan dan keseimbanganya berguna untuk mengumpulkan, mengukur dan mengorganisir suatu pola bentuk – bentuk dan ruang – ruang pada sebuah garis, bidang atau volume. »»Transformasi, prinsip bahwa konsep arsitektur, struktur atau organisasi dapat diubah melalui serangkaian manipulasi dan permutasi dalam merespon suatu lingkup atau kondisi yang spesifik tanpa kehilangan konsep atau identitasnya. regionalisme dalam perancangan


regionalisme dalam perancangan

Gambar 2.6 Pengembangan Denah dalam Transformasi Sumber: (Ching, 2000)

Dalam prakteknya para arsitek menurut Wondoamiseno (1991), untuk penerapan

regionalisme arsitektur terdapat tiga syarat utama untuk mendapatkan kesatuan dalam komposisi arsitektur, sebagai berikut: »»Dominasi, adanya satu yang menguasai keseluruhan bagian komposisi. Dominasi dapat dicapai dengan menggunakan warna, material, maupun obyek-obyek pembentuk komposisi itu sendiri. »»Pengulangan, mengulang bentuk, tekstur, warna ataupun proporsi dapat dilakukan dalam komposisi, pengulangan juga dapat dilakukan dengan berbagai repetisi atau irama agar tidak terjadi kesenadaan (monotone). »»Kesinambungan dalam komposisi, adanya garis imaginer yang menghubungkan perletakan obyek-obyek pembentuk komposisi.

Berdasarkan kajian yang telah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa arsi-

tektur Jawa sendiri sebenarnya memiliki beragam jenis bentuk sesuai dengan klasifikasinya masing – masing, hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan dari setiap pengguna. Akan tetapi arsitektur Jawa sendiri telah memiliki pola – pola tertentu dalam perancangan rumah tradisional, terutama pada elemen bangunannya. Pola – pola tersebut yang dalam perkembangan jaman mulai banyak berubah dari pola – pola sebelumnya, karena terjadinya perubahan bentuk, makna, serta fungsi yang akan diadaptasi.

26


27

Pola transformasi sebagai salah satu cara yang dapat merangsang kreativitas arsitek untuk menciptakan karya arsitektur baru dan modern tetapi masih memperlihatkan karakter arsitektur lokal dari masa silam dikritik oleh arsitek Jepang Kenzo Tange karena hal tersebut hanya akan melahirkan monster - monster arsitektur lokal.

regionalisme dalam perancangan


FORMALISME REGIONALISME ARSITEKTUR

3


29

Pada praktek pembangunan, pendekatan regionalisme pernah dijadikan alat

politik pemerintah untuk menyeragamkan produk arsitektur. Suasana politik yang tengah berkembang pada masa pasca Perang Dunia ke II ditandai oleh negara-negara baru yang berpihak kepada Amerika dan sekutunya. Negara-negara tersebut mengadopsi politik ekonomi kapitalis dengan pasar bebasnya simbol-simbol fasisme yang ada seperti misalnya bangunan-bangunan bergaya arsitektur klasik barat mulai ditinggalkan dan digantikan dengan bangunan bergaya arsitektur modern sebagai simbol industrialisme. Kegelisahan terhadap pengaruh modernisme dan globalisme yang berlebihan, yang sering dikaitkan dengan sistem ekonomi kapitalis dan gejala konsumerisme masyarakat berpengaruh terhadap arsitektur sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dan identitas manusia. Teori sosial yang banyak diaplikasikan pada bidang ekonomi dan media, sebagai kritik terhadap pembangunan kapitalisme barat yang cenderung berlebihan dan berkhayal untuk membuat dunia yang seragam dan berada dalam kekuasaannya. Tak terkecuali juga dalam paradigma arsitektur regionalisme, ia mengalami masa-masa absurd karena kooptasi kekuasaan politik melindasnya. Frampton mengambil analogi teori Frankfirter Schule Adorno dan Horkheimer dan meneruskan terminologi yang dicetuskan oleh tokoh Tzonis Lefaivre (1993), berpendapat arsitektur modern telah menjelma menjadi paham tunggal atau dogma arsitektur internasional akibat dari penggunaan teknologi dalam arsitektur secara berlebihan di tahun 1970, arsitektur seakan-akan hanya menjadi sculpture teknologi layaknya permainan lego. formalisme regionalisme arsitektur


formalisme regionalisme arsitektur

Masjid ABM Pancasila

Fakta inipun melanda Indonesia dengan hadirnya Masjid Yayasan Amal Bhakti Pan-

casila. Dibangun pada era Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, masjid ini dibangun memiliki kisah sejarah yang menarik, masjid ini padanya awalnya dibangun bukan atas dasar kebutuhan umat Muslim pada waktu itu, akan tetapi sebagai implementasi kebijakan Presiden Soeharto pada masa itu. Dilansir dari laman resmi Direktoral Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama RI, masjid yang memiliki tipe khas ini merupakan inisiatif Presiden Soeharto yang sesuai dengan amanat sila pertama Pancasila untuk memajukan kehidupan umat beragama di Indonesia. Pada tanggal 17 Februari 1982, diawali dengan mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP), kemudian berupaya agar bahu-membahu mengumpulkan sumbangan atau sedekah secara sukarela untuk pembangunan tempat ibadah di nusantara untuk menumbuhkembangkan semangat gotong-royong di kalangan dermawan Muslim. Alhasil program tersebut pun sukses terlaksana. Sebanyak 999 unit masjid berhasil dibangun di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah Masjid Jami Baitul Khalik atau yang lebih dikenal dengan Masjid Muslim Pancasila ini (Yuanita, 2015). Telah dibangun 999 unit masjid sejak februari 1982 hingga tahun 2009. Ukuran masjid YAMP terdiri dari 3 macam tipe yaitu: (ARS, 2013) »»Tipe 15, dengan dimensi 15m x 15m »»Tipe 17, dengan dimensi 17m x 17m »»Tipe 19, dengan dimensi 19m x 19m

Gambar 3.1 Masjid Yayasan Muslim Amal Bakti Pancasila

30

Sumber: : http://simas.kemenag.go.id/


Berbagai kelompok masyakarat yang tersebar di seluruh wilayah provinsi di Indo-

31

nesia membangun masjid – masjid tersebut, seperti: »»Kompleks Lembaga Pendidikan/Pondok Pesantren sebanyak 200 unit. »»Kompleks Kantor/Perumahan KORPRI sebanyak 159 unit. »»Kompleks Kantor/Perumahan Angkatan Bersenjata RI sebanyak 61 unit. »»Pemukiman Transmigrasi sebanyak 10 unit »»Pemukiman Masyarakat Umum dimana ada lokasi – lokasi yang sulit dicapai atau daerah terpencil karena sangat jauh dari akses trasnportasi sebanyak 569 unit.

Pada pengembangan tipologi bangunan masjid yang monokultur akan sulit untuk

disebut regionalisme derivatif yang berorientasi pada vernakularitas arsitektur kontekstual. Kekuatan sosok bentuk atap Arsitektur Jawa mendominasi kehadirannya pada konteks lokasi yang diyakini mepunyai keragaman atau multikulturalitas arsitekturnya.

Gedung Rektorat UI

Contoh kasus berikutnya adalah regionalisme arsitektur pada bangunan tinggi

pada kawasan Kampus Terpadu Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Gedung rektorat universitas Indonesia dibangun pada tahun 1984-1987, hasil perancangan dari Prof. Gunawan. Gedung ini berhasil tampil sebagai wakil kampus UI dengan aura simbolik yag jelas dan kuat. Gedung rektorat universitas Indonesia mempunyai 4 tiang utama sebagai penyangga atap dan bisa disebut dengan bangunan candi. Gedung rektorat ini mempunyai 4 bangunan pendamping berbentuk seperti pendopo yang direncanakan sebagai lembaga atau ruang pameran atau galeri. Berdasarkan ketentuan pemerintah setempat, batas bangunan pemerintahan pada waktu itu mencapai 8 lantai. Adaptasi bangunan – bangunan tradisional ke dalam bangunan bertingkat banyak, menunjukkan arah baru dari perkembangan Arsitektr regional di Indonesia.

Gambar 3.2 Gedung Rektorat UI Sumber: http://arsitektur-unila.blogspot. co.id/2013/04/6-gedung-rektorat-universitas-indonesia. html

formalisme regionalisme arsitektur


formalisme regionalisme arsitektur

Tinggi per lantainya 4,2 meter sehingga jika seluruh lantai dijumlahkan bisa men-

capai 40 meter. Pada lantai teratas ditopang oleh atap yang berbentuk runcing yang mempunyai filosofi sebagai central list yang mempunyai arti sebagai bentuk analisis yang memusat dan memanjang. Untuk bagian memusat mengadopsi bentuk dari kerajaan-kerajaan yang terkenal di pulau Jawa. Untuk bagian memanjang merupakan bentuk bangunan fakultas dan bagian memusat merupakan pusat administrasi. Bangungan yang terdiri dari banyak lantai ini punya konsep desain serta gaya arsitektur yang menarik, meski punya susunan konstruksi yang agak rumit.

Penggunaan dinding yang hanya berupa jendela kaca ini tentu akan memberi efek

yang sangat menguntungkan yaitu sistem pencahayaan alami bisa berjalan lebih maksimal sehingga dapat menghemat penggunaan energi listrik untuk memberi penerangan pada ruang yang berada di dalam. Kemudian atap yang ada di bagian paling atas dari masing-masing ruang juga dibuat secara terpisah, menggunakan bentuk atap limas seperti yang sering diaplikasikan pada bangunan gaya joglo yang ada di daerah Jawa. Namun bagian puncak atap ini tidak berbentuk lancip, melainkan terpotong pada bagian atasnya dan membentuk bidang kotak yang datar. Penjelasan singkat diatas menunjukkan Gedung Rektorat UI memiliki beberapa pola tertentu. Pola – pola tersebut dalam penerapannya sesuai dengan pendekatan Regionalisme yang menekankan pada pengungkapan desain yang merujuk ke spesifikasi tempat asal dan usur budaya lokal dimana ciri utama regionalisme adalah menyatunya Arsiitektur Tradisional dan Arsitektur Modern. (Udhernetwork, 2013)

Wisma Dharmala

Gedung Wisma Dharmala Sakti dirancang oleh arsitek kenamaan asal Amerika

Serikat, Paul Rudolph pada 1982, bangunan itu sendiri oleh Paul Rudolph diberikan semboyan sebagai bangunan ‘Health Of Future’ yaitu sebuah bangunan yang peduli dengan kesehatan mental dan fisik penghuninya. Wisma Dharmala Sakti ini membuat balkon serta teras yang tersebar merata di setiap lantai, sehingga memungkinkan adanya sinar matahari dan udara segar yang masuk kedalam ruangan. Bangunan megah ini dibangun dan dianggap sebagai salah satu proyek yang paling sukses dari Paul Rudolph. Bangunan ini memiliki periode akhir karirnya dan merangkum banyak dari desain patung modern hingga ide-ide yang ia dikembangkan selama bertahun-tahun di banyak skenario eksplorasi lainnya. Desain bangunan Wisma Dharmala Sakti ini menerapkan konsep Tropis Vernakular. Arsitek mengkombinasikan berbagai potensi alami yang tersedia di lingkungan site berada, dan memanfaatkan untuk membantu life cycle bangunan. Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai

32


dengan perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya. Latar belakang indo-

33

nesia yang amat luas dan memiliki banyak pulau menyebabkan perbedaan budaya yang cukup banyak dan arsitektur merupakan salah satu parameter kebudayaan yang ada di indonesia karena biasanya arsitektur terkait dengan sistem sosial, keluarga, sampai ritual keagamaan. ‘Arsitektur tradisional Indonesia menawarkan berbagai solusi terhadap masalah-masalah iklim yang hangat dan lembab. Unsur pemersatu keragaman adalah langit-langit’ (Paul Rudolph)

Gambar 3.3 Intiland Tower ‘Wisma Dharmala’ Sumber: http://niningmasitoh.blogspot. co.id/2016/10/kupas-bangunan-hijau-wisma-dharmala.html

Dalam konteks ini, Rudolph merancang suatu sistem tata arsitektur mengemulasi

keindahan atap tradisional daerah ini dari Jakarta. Memasukkan atap dalam dan overhang dengan spandrels dari 45 derajat. Dua kolom kembar milik struktur dan lintas menghubungkan ujung proyeksi ini, pemikiran ini diyakini Rudolph kolom yang berdekatan menciptakan proporsi yang lebih baik dan memberikan kekuatan dan arah pandang. Dalam Dharma, ini kolom kembar dijamin dalam basis lintas, mirip dengan penguatan diagonal terkenal Hong Kong & Shanghai Bank of Norman Foster.

Sebagai bangunan yang berada di wilayah tropis, Paul Rudolph telah berhasil

menerapkan konsep fasad gedung ‘Wisma Dharmala Sakti’ ramah lingkungan. Dan pemasangan kanopi tambahan serta sirip-sirip kanopi Wisma Dharmala Sakti ini membuktikan bahwa konsep dan fasad bangunan gedung tinggi di Indonesia bukan berarti tidak bisa menerapkan konsep Arsitektur Tropis. Arsitektur tropis adalah konsep yang masih dapat diaplikasikan pada gedung/ bangunan tinggi seperti formalisme regionalisme arsitektur


formalisme regionalisme arsitektur

pada desain Wisma Dharmala Sakti. Serta usaha pemasangan kanopi tambahan pada beberapa unit gedung untuk beradaptasi dengan iklim tropis setempat. Wisma Dharmala Sakti memiliki gaya arsitektur regionalisme transformatif (post modern), sehingga bangunan ini menjadi landmark bangunan disekitarnya. Dari bentuknya bangunan ini

terlihat tidak

monoton dengan permainan kanopi dan overhang pada

fasadnya.

Sama seperti dua contoh preseden diatas, dimana masjid yayasan muslim amal

bakti pancasila sebagai contoh pertama merupakan contoh bentuk paket proyek pemerintah yang membatasi bentuk varian dalam pembuatan masjid karena telah tercipta bentuk – bentuk yang harus diadaptasi diberbagai daerah. Sedangkan gedung rektorat UI merupakan contoh yang bisa dikatakan cukup baik sebagai bentuk adaptasi regionalisme karena mengaplikasikan beberapa pola dari arsitektur tradisi onal kedalam perencanaan bangunannya, sehingga terciptanya varian baru yang lebih menimbulkan identitas terhadap perancangan sesuai dengan perkembangan zamannya. Tiga contoh kasus bangunan di atas menunjukkan betapa cairnya pendekatan regionalisme arsitektur diterapkan dalam rancangan. Masing-masing dapat menunjukkan ciri khas yang kuat akan konteks dengan kualitas yang berbeda-beda.

34


35

Seperti pernyataan Wondoamiseno bahwa: “Regionalisme Arsitektur adalah sebuah harapan memperbaiki peradaban dan keadaban.�

formalisme regionalisme arsitektur


"CONTINUITY AND CHANGE"

4


37

Kajian studi kasus ini untuk merespon regionalisme arsitektur terutama pada Ar-

sitektur Jawa. Proyek studi kasus ini merupakan proyek rehabilitasi menyeluruh Kantor Kelurahan yang ada di Kabupaten Ngawi, sebagai bangunan dengan fungsi perkantoran dan fasilitas pelayanan jasa proyek ini menggunakan konsep prototype pada desainnya karena di Kabupaten Ngawi hanya terdapat 4 daerah kelurahan, yaitu Karang Tengah, Margomulyo, Pelem dan Ketanggi. Penulis diberi tugas untuk mengerjakan Kantor Kelurahan Karangtengah dan Kelurahan Margomulyo. Harapannya dengan konsep tersebut dapat menjadi sebuah identitas bagi kantor kelurahan di Kabupaten Ngawi. Agar perencanaan ini menjadi efisien maka disesuaikan dengan konsep bangunan tradisional Jawa Timur, dimana bangunan tersebut dirancang sedemikian rupa hingga dapat mencerminkan bangunan warisan budaya khas Jawa Timur.

Setiap lokasi merupakan kawasan dengan lingkungan yang padat penduduk dan

berhubungan langsung dengan masyarakat. Seperti kantor pelayanan publik di lingkungan pulau Jawa lainnya, owner dalam hal ini adalah pihak Pemerintah Kabupaten Ngawi yang diwakili oleh Bupati Kabupaten Ngawi menginginkan adanya tambahan fasilitas publik yang dapat digunakan oleh karyawan dan staff serta masyarakat sekitar dalam bentuk pendopo. Owner ingin menghidupkan kembali citarasa tradisional khas Jawa dengan pemilihan ornamen – ornamen pada bangunan serta penggunaan material pada fasad bangunan yang menjadi kekuatan tersendiri bagi ketradisionalan sebuah bangunan. continuity and change


continuity dan change

Gambar 4.1 Peta Lokasi Kantor Kelurahan Karangtengah Sumber: (Google Map, 2017) dimodifikasi

Gambar 4.2 Peta Lokasi Kantor Kelurahan Margomulyo Sumber: (Google Map, 2017) dimodifikasi

Gambar 4.3 Peta Lokasi Kantor Kelurahan Pelem Sumber: (Google Map, 2017) dimodifikasi

Gambar 4.4 Peta Lokasi Kantor Kelurahan Ketanggi Sumber: (Google Map, 2017) dimodifikasi

38


Lokasi Kantor Kelurahan

39

Lokasi kantor kelurahan ini berada di lokasi yang berbeda, untuk Kelurahan Ka-

rangtengah berada di Jalan Trunojoyo No. 46, Karangtengah, Kabupaten Ngawi, dengan luas lahan berukuran 385 m². Jumlah karyawan dan staff yang ada dikantor Kelurahan Karangtengah tersebut total berjumlah 15 orang dengan satu orang lurah, satu orang sekretaris lurah, empat orang KASI dan sembilan orang staff. Kelurahan Margomulyo merupakan kelurahan dengan dimensi luas lahan terbesar diantara 4 lokasi, memiliki ukuran sebesar 810 m² berada di Jalan Brawijaya No. 29, Margomulyo, Kabupaten Ngawi. Untuk data jumlah karyawan memiliki jumlah yang sama dengan Kelurahan Karangtengah karena sistem struktur organisasi yang dimiliki oleh kantor kelurahan Kabupaten Ngawi seragam.

Sedangkan untuk Kelurahan Pelem memiliki lahan yang cukup unik, berlokasi di

Jalan Monginsidi No. 29, Pelem, Kabupaten Ngawi dengan luas lahan sebesar 620 m² kelurahan ini menghadap dua muka jalan. Pada bagian utara jalan monginsidi dan pada jalan kyai mojo pada bagian barat. Pada site ini merupakan kawasan terpilih yang memiliki atap cagar budaya yang tidak boleh dibongkar. Pada bagian selatan terdapat rumah warga sedangkan bagian timur merupakan area pemakaman. Terakhir adalah Kelurahan Ketanggi berada di Jalan Kyai Mojo No. 10, Ketanggi, Kabupaten Ngawi dengan luas lahan sebesar 375 m² kelurahan ini adalah kelurahan dengan luasan terkecil diantara tiga lokasi kelurahan lainnya.

Hasil Kajian Rancangan

Pada era Orde Baru (1966-1998), pemerintah Indonesia “menganjurkan” supaya

bangunan – bangunan pemerintah dibangun dengan ciri – ciri kedaerahan. Anjuran ini diasosiasikan untuk merancang bangunan – bangunan beton modern yang memiliki atap – atap menyerupai rumah – rumah adat. (Sopandi, 2013). Setelah melalui tahap proses perencanaan diskusi dengan berbagai pihak terkait menghasilkan rancangan dengan desain prototype yang sama untuk empat lokasi yang berbeda, hasil rancangan itu terdiri dari bangunan pendopo dan kantor kelurahan itu sendiri. Dibawah ini adalah hasil rancangan dari desain kantor kelurahan tersebut.

Dibawah ini merupakan gambar hasil rancangan pada empat kelurahan. Jenis ba-

ngunan tradisional yang disebut pendopo ini sendiri biasa digunakan oleh kantor – kantor pemerintah seperti di kelurahan, kecamatan, dan balai – balai pertemuan. Sedangkan untuk bangunan kantor berada dibelakang pendopo untuk menunjukkan pendopo sebagai central dan point interest pada site tersebut.

continuity and change


continuity dan change

Gambar 4.5 Hasil Rancangan Empat Kelurahan Sumber: (PT. SunCons, 2016) dimodifikasi

40


Komponen Tata Bangunan

41

Skema dibawah menunjukkan bentuk strategi dari elaborasi komparatif terhadap

arsitektur Jawa dan regionalisme itu sendiri terhadap sebuah komponen ruang, dimana penelitian diarahkan pada suatu wadah dan kegiatan sesuai pada analisis yang akan dilakukan.

Gambar 4.6 Pemetaan Strategi Analisis Komponen Ruang

Selanjutnya, seperti yang diungkapkan Mangunwijaya (1988), “Segala yang ber-

sifat intim atau keramat disebut dalem (dalam) atau petanen (tempat sang tani) dan yang luar, yang bergaul dengan masyarakat diberi nama Pelataran atau njaba (halaman luar). Di dalam pelataran terjadilah dialog (pergaulan) antara penghuni rumah dari dalem dengan masyarakat yang diluar. Disitu dibangun Pendopo yang artinya bangunan tambahan, tempat tuan rumah bertemu dengan tamu-tamunya. Begitu juga penataan dalem yang sakral dan pendopo yang profan menunjukan betapa serasi dialektik antara hubungan vertikal ke Tuhan dengan yang horisontal ke sesama manusia.�

Tidak lain menurut Ronald (2005), bangunan terbagi menjadi beberapa ruang,

dari ruang kelas paling luar hingga paling belakang sesuai dengan gambar dibawah ini.

Gambar 4.7 Diagram Susunan Rumah Tradisional Jawa Sumber: (Tjahjono, 1999)

Teori yang digunakan pada rancangan bangunan ini arsitektur jawa sebagai ba-

ngunan tradisonal yang terbagi atas dua komponen utama pelataran atau njaba (halaman luar) dan juga dalem (dalam) dimana pendopo yang berarti bangunan tambahan adalah tempat pemilik rumah bertemu dengan tamu – tamunya ataupun tempat diadakannya pesta untuk masyarakat. Pendopo memiliki peran dan bermakna sebagai sumbu “semesta� disekitarnya. Pringgitan sebagai ruang peralihan area publik dan privat yang berfungsi sebagai tempat pertunjukkan wayang kulit apabila ada perayaan seperti acara khitanan, perkawinan, ruwatan dan lainnya. Sedangkan bangunan kantor sebagai dalem untuk tempat sang pemilik bangunan melakukan aktivitas lainnya. Bagian belakang rumah atau dalem disebut senthong. Pembagian senthong sendiri biasanya terdapat pada dalem ageng continuity and change


continuity dan change

dimana terdiri dari tiga petak ruangan yang berukuran sama besar. Sethong kiwa dan senthong tengen di sisi kanan dan kiri adalah tempat tidur anggota keluarga pria dan wanita, senthong tengah merupakan area paling privat bagi pemilik rumah tradisional jawa sebgai tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga (Santosa, 2000). Selain itu, menurut Prijitomo dalam Santosa (2000) menemukan bahwa sebagian besar rumah Jawa disusun dengan pengorganisasian linier yang tampak pada dominasi sumbu memanjang rumah yang berklimaks pada suatu rumah kecil dibagian belakang.

Pengertian praktis mengenai susunan dan tata arsitektur antara wilayah dalam dan

luar menunjukkan nilai budaya yang cukup tinggi, dimana pada skala horisontal pembagian ruang rumah terdiri dari lima ruang, dalem berada tepat ditengah terdiri dari ruang gandhok kiri dan gandhok kanan yang diapit oleh bagian depan yaitu pendhapa dan pringgitan serta diapit oleh ruang gadri dan pawon. Pembagian ruang tersebut menunjukkan keterbukaan bermasyarakat dan keintiman aktivitas lainnya memperoleh kesatuan yang harmonis sehingga dapat tercapai dengan seimbang.

Gambar 4.8 Susunan Rumah Tradisional Jawa Sumber: (Tjahjono, 1999) dimodifikasi

Seperti yang sudah di jelaskan pada kajian tentang Arsitektur Jawa sebelumnya,

Arsitektur Jawa yang ada di Indonesia sebagian besar diterapkan pada bangunan rumah tinggal. Menurut Ronald (2005), Arsitektur Jawa ini sendiri berkembang dengan masuknya bangsa Belanda yang mulanya melakukan kegiatan ekonomi perdagangan lalu melakukan intervensi dalam bidang sosial-budaya, politik dan keamanan. Kegiatan – kegiatan yang dilakukan kemudian memerlukan dukungan seperti sarana ruang dan gedung serta

42


lingkungan disekitarnya yang berbeda dengan kegiatan hidup seperti layaknya berumah

43

tangga. Hal itulah yang membuat berubahnya fungsi utama bangunan dari rumah menjadi bangunan lain.

Tabel 4.1 Matriks Tatanan Bangunan Arsitektur Jawa pada Kantor Kelurahan

Mereka mulai membangun gedung perkantoran, tempat rekreasi, terminal angku-

tan, gedung pertahanan dan pergudangan serta pabrik. Awalnya Arsitektur Jawa pada dasarnya secara keseluruhan menyangkut perihal ruang, bentuk bangunan, sistem struktur, dan seni ornamen kemudian bergeser hanya sebatas bentuk atap saja, bahkan lebih sempit lagi hanya atas tipe limasan atau atap joglo. kecil (1-2)

Tabel 4. 2 Kategori Perubahan pada Tatanan Bangunan

Perubahan Tatanan Bangunan cukup besar sedang (2-3) (3-4) Margomulyo (3.0) Karangtengah (3.1) Pelem (3.1) Ketanggi (3.4) 25% 75%

besar (4-5)

Tabel diatas memperlihatkan tatanan bangunan empat lokasi didominasi peruba-

han bentuk dan tatanan pada kelurahan Karangtengah, Pelem dan Ketanggi. Akan tetapi pola yang sama menurut teori arsitektur jawa yang telah dijabarkan sebelumnya masih dapat ditemukan. Seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

continuity and change


continuity dan change Gambar 4.9 Perbedaan Tatanan Bangunan pada Kelurahan di Kabupaten Ngawi

Ketanggi

Perubahan yang paling besar dan terlihat adalah pada Kantor Kelurahan Ketang-

gi. Pengorganisasian tatanan bangunan masih tetap bisa dilakukan secara linier, akan tetapi arah hadap tidak bisa menerus dari main entrance seperti lokasi yang lain sesuai dengan tatanan bangunan tradisional Jawa. Perubahan yang terjadi pada Kelurahan Ketanggi dipengaruhi oleh kondisi site dengan main entrance eksisting yang tidak memungkinkan adanya pengaplikasian paten dari konsep tata bangunan tradisional Jawa seperti dahulu, dimana pada Kelurahan Ketanggi kedudukan pendopo dan kantor sebagai dalem adalah sejajar, pedopo bukan lagi menjadi bangunan sentral sebagai “penerima tamu�.

Karangtengah dan Pelem Perubahan pada Kantor Kelurahan Karangtengah dan Kantor Kelurahan Pelem mengalami perubahan dengan skor yang sama karena jumlah bentuk dan tatanan bangunan yang dihilangkan lebih besar daripada dua kelurahan lainnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi dimensi site yang tidak memungkin adanya pengaplikasian secara penuh terhadap komponen tatanan bangunan Arsitektur Jawa.

Margomulyo Kelurahan Margomulyo sendiri mengalami perubahan dengan skala sedang, perubahan ini termasuk perubahan dengan skala terendah daripada tiga kelurahan lainnya. Kantor Kelurahan Margomulyo ini memiliki luasan site yang paling besar dari ketiga site lainnya dengan bentukan site persegi panjang menyebabkan pengorganisasian tatanan bangunan secara linier lebih bisa diaplikasikan didalamnya.

44


Pola Ruang Arsitektur Jawa

45

Gambar skema pemetaan dibawah ini menunjukkan bentuk strategi dari elaborasi

komparatif terhadap arsitektur Jawa dan regionalisme terhadap sebuah pola ruang, dimana penelitian diarahkan pada sebuah respon serta makna terkait penelitian.

Gambar 4.10 Pemetaan Strategi Analisis Pola Ruang

Menurut Sopandi (2013), Pendapa atau pendopo adalah bagian paling publik

pada sebuah rumah jawa yang biasanya digunakan bagi fungsi – fungsi publik dan seremonial. Pendopo dalam bentuk dan artian yang lengkap hanya terdapat pada rumah – rumah golongan atas. Pada kasus – kasus tertentu pendopo dapat berbentuk lain dan kadang ditutup dengan dinding dan difungsikan menjadi ruang – ruang. Untuk hasil rancangan kantor kelurahan dan pendopo ini sendiri merupakan hasil rancangan prototype dengan satu desain yang sama. Sehingga pola ruang yang akan dianalisis mewakili dari empat lokasi yang berbeda. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, data jumlah karyawan atau pengguna memiliki jumlah yang sama dengan kelurahan lainnya karena sistem struktur organisasi yang dimiliki oleh kantor kelurahan Kabupaten Ngawi seragam.

Dibawah ini menunjukkan bahwa denah rumah tradisional jawa mengikuti bentukan

pola grid yang bila ditarik garis – garis imajiner maka akan terlihat seperti bangunan tradisional Jawa pada umumnya.

Gambar 4.11 Hasil Rancangan Pendopo Empat Kelurahan di Kabupaten Ngawi

continuity and change


continuity dan change

Bentuk denah pendopo biasanya adalah bentuk persegi, beberapa berbentuk bujur sangkar atau segi empat tergantung pada bentuk atapnya, bentukan simetris pada rumah tradisional jawa juga mencerminkan keseimbangan baik secara tampak maupun denah, seperti gambar dibawah ini:

Potongan

RUMAH BENTUK JOGLO Denah

Potongan

Variasi 3

Denah

Variasi 2

Gambar 4.12 Perbedaan Denah Pendopo

RUMAH BENTUK LIMASAN Variasi 1

Sumber: (Hidayatun, 1999)

Gambar 4.13 TAMPAK DEPAN

TAMPAK SAMPING

Wujud Bentuk Simetris Pendopo Kelurahan

Secara konseptual bentuk ini sendiri memiliki arti filosofis dimana menyiratkan suatu

bentuk geometri sebagai ungkapan dari makro kosmos (dunia). Sedangkan makna secara fungsional, ruang terbuka atau transparan dengan persegi ini melambangkan tuan rumah siap menerima siapa pun yang datang kepadanya. Sehingga ada sinkronisasi secara filosofis dalam makna fungsi maupun bentuk.

46


47

Arsitektur tradisional Jawa juga bisa mengalami perubahan kebudayaan karena

modifikasi dalam ide – ide yang disetujui secara sosial oleh warga masyarakat yang mendukungnya. Akan tetapi makna yang terkandung dalam pendopo itu sendiri merupakan seperangkat model yang tidak mudah berubah karena dasar pemikiran mereka adalah prinsip. Pendopo selalu identik dengan bangunan yang terbuka. Keterbukaan itu ditandai dengan ruang tertutup yang menggunakan pintu kaca secara menyeluruh, sehingga pada bentuk fisik dan dekorasi menjadi sedikit berubah, tetapi makna bahwa pendopo sebagai bagian dari “rumah paling depan� yang menunjukkan transparansi dan kejujuran tetaplah sama.

Adanya suasana guyub rukun ditunjukkan dari cerminan gaya hidup orang Jawa

pada Pendopo. Hal ini menunjukkan betapa manusia Jawa mempunyai keterikatan dalam kekerabatan yang sangat tinggi, sehingga dicerminkan dalam bentuk kerukunan. (Suseno, 1983). Sehingga kehadirannya memiliki peran yang cukup besar untuk memenuhi konsep kerukunan.

Dalam rumah tradisional Jawa menurut Ronald (2005), arah hadap ruang rumah

mempunyai hubungan dengan arah utara-selatan di satu sisi dan timur-barat di sisi yang lain; arah utara-selatan biasa dijumpai pada rumah kebanyakan, sedang arah timur-barat hanya dapat ditemukan pada rumah bangsawan. Selain itu, ruang dalam sistem rumah Jawa mengenal perletakan berdasarkan situasi kuadran.

Gambar 4.14 Pembagian Rumah Jawa Berdasarkan Kuadran

continuity and change


continuity dan change

Dalam sistem perletakan ini terlihat bahwa bagian kanan dari pemilik rumah menjadi bagian yang lebih utama daripada bagian kiri, hal ini menjelaskan bahwa kepentingan umum lebih diutamakan dari pada kepentingan individu. Sehingga proporsi bagian umum menjadi lebih besar daripada bagian individu. Hal tersebut menjelaskan terjadinya penerapan prinsip hierarki dalam pola penataan ruangnya.

Gambar 4.15 Zonasi Ruang Berdasarkan Kuadran Sumber: (PT. SunCons, 2016) dimodifikasi

Gambar diatas menerangkan bahwa yang menjadi salah satu pertimbangan

dalam

peren-

canaan kantor kelurahan yang prototype di Kabupaten Ngawi untuk empat kelurahan adanya kebutuhan pengguna yang menyebabkan penyesuaian tata letak ruang. Untuk itu perencanaan kantor kelurahan ini dengan fungsi – fungsi ruang pada klasifikasi publik diletakkan pada daerah atau bagian yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Seperti yang telah dijabarkan pada tabel disamping berikut:

48

Tabel 4.3 Pola Ruang Arsitektur Jawa pada Kantor Kelurahan


49

Setelah menelaah kajian, tabel diatas menjelaskan pola ruang arsitektur jawa

memiliki pengaruh besar dalam sebuah perencanaan terutama untuk kepentingan umum dan analisis diatas menunjukkan mayoritas masih didominasi oleh kedudukan pola yang sama (tidak berubah). Penyesuaian tata letak ruang diatas tidak mempengaruhi tampilan dari bentuk bangunan tradisional Jawa secara garis besar itu sendiri. Sehingga tidak bergeser/berubahnya nilai – nilai terkait pandangan hidup manusia Jawa terhadap prinsip kerukunan, kekerabatan dan kesejahteraan. Dengan demikian tidak berubah pula pedoman hidup manusia Jawa yang dipandang sebagai kebudayaan.

Elemen Bangunan

Diagram pemetaan pada gambar dibawah menunjukkan bentuk strategi dari

elaborasi komparatif pada arsitektur Jawa dan regionalisme terhadap elemen bangunan, dimana penelitian diarahkan pada sebuah keseimbangan antara estetika dan fungsi bangunan itu sendiri.

Gambar 4.16 Pemetaan Strategi Analisis Elemen Bangunan

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian kajian terdapat beberapa elemen

rumah tradisional Jawa terutama bangunan pendopo, elemen – elemen juga berperan sebagai pembentuk ruang, ruang dalam pendopo selain terbuka juga tidak mengandung banyak hiasan dimana ornamen atau keindahan secara visualnya hanya sedikit kecuali pada tiang soko guru (empat tiang utama ditengah ruang) yang didukung oleh susunan balok dengan sebutan tumpangsari, pada bagian inilah banyak dijumpai ukiran dan warna yang mengandung makna simbolik. Sistem struktur sebagai tiang utama (soko guru) merupakan bagian yang disimbolkan sebagai kepala rumah tangga yang mempunyai tanggung jawab utama menegakkan rumah tangganya. (Ronald, 2005). Struktur tiang berperan sebagai penopang struktur utama dan juga sebagai tumpuan atap. Bagian bawah soko guru ditopang umpak atau bebatur dari bahan batu, dan pada bagian atap terdapat penutup atap atau biasa disebut empyak.

Gambar dibawah ini menunjukkan beberapa elemen yang ada didalam pendopo

pada perencanaan Kantor Kelurahan.

continuity and change


continuity dan change

Gambar 4.17 Elemen Bangunan Pendopo Sumber: (PT. SunCons, 2016) dimodifikasi

Berbagai perubahan dalam perencanaan terjadi dipengaruhi oleh beberapa hal,

seperti pada halnya pendopo kantor kelurahan di Kabupaten Ngawi ini.

Sama halnya dengan pola ruang, pada elemen bangunan hasil rancangan kantor

kelurahan dan pendopo ini secara bentuk dan fungsi merupakan hasil rancangan prototype dengan satu desain yang sama untuk empat lokasi kelurahan. Sehingga elemen bangunan yang akan dianalisis mewakili dari empat lokasi yang berbeda. Perubahan kecil sedang (1-2) (2-3) Pendopo

Elemen Bangunan cukup besar besar (3-4) (4-5) Kantor Kelurahan Â

Tabel 4.4 Kategori Perubahan pada Elemen Bangunan

Tabel diatas juga menunjukkan hasil penilaian berdasarkan elemen bangunan

pada pendopo serta bangunan kantor kelurahan. Dimana perubahan terbesar dialami oleh bangunan kantor kelurahan begitu pula pendopo itu sendiri.

Perubahan – perubahan ini sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi anggaran

yang tersedia dari pihak pemerintah sehingga perlu adanya improvisasi terhadap desain. Berikut penjelasan – penjelasan terkait perubahan pada elemen bangunan:

50


51

Tabel 4.5 Matriks Elemen Bangunan Arsitektur Jawa

continuity and change


continuity dan change

Pondasi

Bebatur atau pondasi yang pada tipologi bangunan tradisional jawa terdiri atas

susunan bata yang berfungsi sebagai penahan bangunan utama dan meninggikan serta menyamakan permukaan jerambah/jogan (lantai) sehingga air atau kotoran yang berasal dari permukaan tanah tidak masuk kedalam bangunan secara fisik mulai berubah menggunakan pondasi batu kali yang diperkuat dengan balok beton.

Lantai

Begitu pula yang dialami oleh Jerambah, secara tradisional jerambah hanya ter-

buat dari urugan tanah atau pasir yang diperkeras. Sedangkan yang terjadi pada pendopo ini adalah setelah tanah atau pasir urug selesai diperkeras kemudian dilapisi plesteran kemudian setelah diplester ditambahkan dengan memasangkan ubin / keramik lantai.

Umpak

Umpak adalah batu penyangga saka atau cagak (tiang) yang dipasang setelah

proses bebatur (pondasi) selesai dan diletakkan diatas bebatur (pondasi). Pada rancangan kantor kelurahan ini umpak hanya terdapat didalam bangunan pendopo, pada rumah tradisional jawa memiliki motif – motif tertentu. Akan tetapi pada pendopo ini hanya batu tanpa ukiran motif seperti bangunan tradisional jawa khas lainnya.

Kolom / Tiang

Cagak atau saka atau tiang memiliki peran yang sama dalam perancangan baik

kantor kelurahan maupun pendopo itu sendiri. Sedangkan elemen saka guru dan tumpang sari mengalami sedikit perubahan dikarenakan tidak terdapat ornamen – ornamen seperti yang terdapat pada pendopo tradisional Jawa umumnya dan material yang digunakan pun telah berubah, pada bangunan tradisional Jawa biasa menggunakan kayu akan tetapi pada pendopo kantor kelurahan ini menggunakan kolom beton dengan finishing seperti kayu. Akan tetapi secara fungsi, bentuk, dan makna saka masih memiliki peran yang sama hingga sekarang. Untuk kantor kelurahan sendiri sebagai “rumah� dalam suatu pelataran elemen saka guru dan tumpangsari sendiri ditiadakan.

Dinding

Pendopo pada bangunan tradisional Jawa memiliki makna transparan, hal tersebut

ditunjukkan dengan tidak adanya elemen dinding ataupun pintu pada bangunan pendopo. Hasil rancangan ini menyajikan sesuatu yang berbeda. Kesan transparansi ditunjukkan dengan menghadirkan kaca keliling beserta pintu bermotif ornamen Jawa. Penambahan

52


53

Gambar 4.18 Umpak pada Pendopo Kantor Kelurahan Sumber: (PT. SunCons, 2016) dimodifikasi

Gambar 4.19 Soko Guru dan Tumpangsari pada Pendopo Kantor Kelurahan Sumber: (PT. SunCons, 2016) dimodifikasi

Gambar 4.20 Dinding pada Pendopo Kantor Kelurahan Sumber: (PT. SunCons, 2016) dimodifikasi

jendela kaca dan pintu secara fisik/wujud menambah daftar bangunan pendopo tradisional yang sudah jarang ditemui. continuity and change


continuity dan change

Pintu dan Jendela

Gambar dibawah menjelaskan adanya kesan tradisional melalui material yang

digunakan pada elemen jendela dan pintu yang menggunakan frame berbahan kayu. Jendela jalusi menghadirkan nuansa yang identik dengan ketradisionalan Jawa.

Atap

Untuk atap sendiri pada bangunan pendopo menggunakan jenis atap joglo dan

pada kantor kelurahan menggunakan jenis atap limasan yang menyesuaikan denah persegi panjang, identitas bangunan tradisional Jawa secara fisik pada bangunan pendopo. pendopo tidak menggunakan empyak sedangkan kantor kelurahan hanya terdapat pada lantai 2 dengan material yang berbeda.

Selain itu empyak atau penutup atap yang terletak dibawah genteng tepatnya

dibawah usuk atau diatas usuk pada kedua bangunan ini kehadirannya mengalami sedikit perubahan karena pada pendopo tidak menggunakan empyak sedangkan kantor kelurahan hanya terdapat pada lantai 2 dengan material yang berbeda.

Gambar 4.21 Pintu dan Jendela pada Kantor Kelurahan Sumber: (PT. SunCons, 2016) dimodifikasi

Gambar 4.22 Atap pada Pendopo dan Kantor Kelurahan

54

Sumber: (PT. SunCons, 2016) dimodifikasi


55

CATATAN AKHIR KAJIAN Berdasarkan hasil analisis sebelumnya maka tolak ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut menjelaskan bahwa:

Komponen Tatanan Bangunan

Perubahan terjadi sebesar 75% pada skala cukup besar terdiri atas lokasi Kelu-

rahan Karangtengah, Kelurahan Pelem, dan Kelurahan Ketanggi. Skala sedang sebesar 25% terdiri atas Kelurahan Margomulyo. Hal tersebut menjelaskan besarnya perubahan yang terjadi pada komponen tata bangunan Arsitektur Jawa. Hasil tertinggi diraih oleh Kelurahan Ketanggi dikarenakan kondisi site dengan main entrance eksisting yang tidak memungkinkan adanya pengaplikasian secara linier dengan arah hadap menerus dari main entrance sehingga perlu adanya perubahan pada tatanan bangunannya.

Pola Ruang

Hasil rancangan kantor kelurahan dan pendopo dengan konsep prototype menye-

babkan rancangan tersebut menjadi satu rancangan yang diaplikasikan pada empat lokasi berbeda. Pola ruang pada perencanaan kantor kelurahan di empat lokasi yang berbeda ini menjelaskan bahwa terdapat simplikasi terkait keinginan dari user dan klien terhadap sebuah hasil rancangan yang menginginkan adanya adaptasi penuh dari arsitektur Jawa. Perubahan pada pola ruang bangunan kantor sebagai dalem itu sendiri hanya terdapat perubahan pada skala kecil menandakan mayoritas masih didominasi oleh pola yang sama pada Arsitektur Jawa.

Elemen Bangunan

Seperti pola ruang, elemen bangunan hasil rancangan kantor kelurahan dan pen-

dopo ini secara bentuk dan fungsi merupakan hasil rancangan prototype dengan satu desain yang sama untuk empat lokasi kelurahan. Perubahan terbesar dialami oleh bangunan kantor itu sendiri dengan skala cukup besar dimana terdapat elemen – elemen bangunan Arsitektur Jawa yang dihilangkan pada bangunan ini. Sedangkan pada bangunan pendopo terdapat perubahan – perubahan bentuk elemen terkait perwujudan dari keinginan klien sendiri yang disesuaikan dengan biaya yang tersedia untuk perencanaan ini dengan skala kategori sedang.


Continuity and Change

Bangunan tradisional Jawa pada hasil perencanaan Kantor Kelurahan di Kabu-

paten Ngawi mengalami beberapa perubahan (change) tetapi masih didominasi keajegan (continuity) oleh pengadaptasian bangunan tradisional jawa itu sendiri terutama pada bentuk fisik bangunan maka nilai arsitektur tradisionalnya pun masih terasa.

Berdasarkan kajian tersebut, hasil perencanaan kantor kelurahan ini telah melaku-

kan prinsip – prinsip penataan untuk mendapatkan suatu susunan yang harmonis sesuai konteks lokasi dan nilai lokalitas (regionalism). Dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut adalah adanya perubahan terkait aturan – aturan dalam perencanaan Arsitektur Jawa itu sendiri, karena Arsitektur Jawa yang telah memiliki pakem atau aturan tertentu dalam perencanaan jelas membentuk hasil yang cenderung kaku atau pola yang masif sehingga regionalisme berperan melenturkan kekakuan dari bentuk arsitektur tersebut dengan tetap mengindahkan kaidah – kaidah arsitektur pada identitas regional.

Perencanaan kantor kelurahan di empat lokasi yang berbeda ini menjelaskan ba-

hawa keinginan dari user dan klien mengenai hasil rancangan yang menginginkan adanya adaptasi penuh dari arsitektur Jawa itu sendiri masih belum dapat terwujud seutuhnya dan hasil presentase memberikan konfirmasi bahwa arsitektur jawa perlu diikuti dengan adaptasi beberapa hal terutama terkait penyesuaian terhadap keterbatasan biaya dan ketersediaan industri yang ada di masa sekarang ini sehingga penampilan bangunan dapat menganut unsur keselarasan dan keserasian dengan kondisi sekarang. Sehingga nilai – nilai lokal bukanlah nilai lawas yang harus dilenyapkan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai – nilai modern di era pembangunan ini. Dengan begitu maka akan hadir varian – varian adaptif terkait nilai – nilai lokalitas yang ada pada perancangan.

56


57

DAFTAR GAMBAR 10 11 11

Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3

Kyoto International Conference Hall Lombok Intan Laguna Taksonomi Regionalisme Arsitektur

19 20 22

Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3

Rumah Tinggal Tradisional Jawa Jenis Bangunan Kantor Kelurahan Ragam Fungsi Pendopo

23 24 26

Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6

Arsitekur Kudus Sebelum Islam dan Arsitektur Kudus Masa Perkembangan Islam Arsitektur Kudus Masa Kejayaan Sosial Ekonomi dan Arsitektur Kudus Masa Surut Pengembangan Denah Dalam Transformasi

30 31 33

Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3

Masjid Yayasan Muslim Amal Bakti Pancasila Gedung Rektorat UI Intiland Tower ‘Wisma Dharmala’

38 38 38 38 40 41 41 42 44 45 45 46 46 47 48 49 50 53 53 53 54 54

Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Gambar 4.17 Gambar 4.18 Gambar 4.19 Gambar 4.20 Gambar 4.21 Gambar 4.22

Peta Lokasi Kantor Kelurahan Karangtengah Peta Lokasi Kantor Kelurahan Margomulyo Peta Lokasi Kantor Kelurahan Pelem Peta Lokasi Kantor Kelurahan Ketanggi Hasil Rancangan Empat Kelurahan Pemetaan Strategi Analisis Komponen Ruang Diagram Susunan Rumah Tradisional Jawa Susunan Rumah Tradisional Jawa Perbedaan Tatanan Bangunan pada Kelurahan Kabupaten Ngawi Pemetaan Strategi Analisis Pola Ruang Hasil Rancangan Pendopo Empat Kelurahan Kabupaten NgawiPPerbedaan Denah Pendopo Wujud Bentuk Simetris Pendopo Pembagian Rumah Jawa Berdasarkan Kuadran Zonasi Ruang Berdasarkan Kuadran Pemetaan Strategi Analisis Elemen Bangunan Elemen Bangunan Pendopo Umpak pada Pendopo Kantor Kelurahan Soko Guru dan Tumpangsari pada Pendopo Kantor Kelurahan Dinding pada Pendopo Kantor Kelurahan Pintu dan Jendela pada Kantor Kelurahan Atap pada Pendopo dan Kantor Kelurahan


DAFTAR TABEL 43 43 48 50 51

58

Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5

Matriks Tatanan Bangunan Arsitektur Jawa pada Kantor Kelurahan Kategori Perubahan pada Tatanan Bangunan Pola Ruang Arsitektur Jawa pada Kantor Kelurahan Kategori Perubahan pada Elemen Bangunan Matriks Elemen Bangunan Arsitektur Jawa


59

KEPUSTAKAAN Alhamdani, M. (2010). Strategi dan Aplikasi Pendekatan Kontekstual dalam Perancangan Karya Arsitektural Renzo Piano (tesis). Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada. ARS. (2013, March 06). Pembangunan Masjid Oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Retrieved October 23, 2017, from H.M Soeharto Menggapai Tinggal Landas : http://soeharto.co/999-masjid-yayasan-amal-baktimuslim-pancasila Cahyandari, G. O. (2015). Tata Ruang dan Elemen Arsitektur Pada Rumah Jawa di Yogyakarta Sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas Dalam Rumah Tangga. Ching, F. D. (2000). Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Tatanan Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. Curtis, W. (1985). “Regionalisme in Architecture”, dalam Regionalisme in Architecture. Singapura: Robert Powel, Concept Media. Djono, Utomo, T., & Subiyantoro, S. (2012, Oktober 3). Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa. Humaniora, XXIV, 269-278. Ekomadyo, S. A., & Sutan, H. (2012). Isu, Tujuan, dan Kriteria Perancangan Pasar . Temu Ilmiah IPLBI 2012. Fram, & Weiler. (1984). Continuity with Change, Planning for Conservation of Man-made Heritage. Toronto and Charlettetown. Gunena, A. (2013). Peran Lurah Dalam Pembangunan Infrastruktur di Kelurahan Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe. Vol 5, No 1. Hidayatun, M. I. (1999 ). “PENDOPO DALAM ERA MODERNISASI” Bentuk, Fungsi dan Makna Pendopo pada Arsitektur Tradisional Jawa dalam Perubahan Kebudayaan. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 27 No.1. Mangunwijaya, Y. (1998). Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi - Sendi Filsfatnya Beserta Contoh - Contoh Praktis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama . Ozkan, S. (1985). Regionalisme within Modernisme, dalam Regionalism in Architecture. Singapura: Robert Powel, Concept Media . Ronald, A. (2005). Nilai - Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sanoff, H. (1992). Integrating Programming, Evaluation and Participation in Design (Routledge Revivals): A Theory Z Approach. Routledge. Santosa, R. B. (2000). Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya . Sardjono, A. B., Eko, B., Galih, P. W., & Eddy, P. (2010). Arsitektur dalam Perubahan Kebudayaan Sopandi, S. (2013). Sejarah Arsitektur: Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama . Stone, S. (2012). Continuity in Architecture. Conference Proceedings. . London: Manchester School of Architecture, University of East London, Docklands Campus. Suryaning, S. (2012). Karakteristik Bangunan Kantor Kelurahan di Kota Surakarta. Simposium Nasional RAPI XI FT UMS - 2012. Suseno, F. M. (1983). “Etika Jawa” Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia .


KEPUSTAKAAN Tjahjono, G. (1999). Indonesian Heritage (Vol. Architecture) . Heritage Court: Archipelago Press. Udhernetwork. (2013, April 17). 6 Gedung Rektorat Universitas Islam Indonesia . Retrieved October 23, 2017, from Arsitektur Unila : http://arsitekturunila.blogspot.co.id/2013/04/6-gedung-rektorat-universitas-indonesia.html Widati, T. (2015, Juli). Pendekatan Kontektual dalam Arsitektur Frank Llyod Wright. Jurnal Perspektif Arsitektur, X. Wikipedia. (2017 , Januari ). Wikipedia: Pendapa . Retrieved Oktober 21, 2017, from Wikipedia Ensiklopedia Bebas : https://id.wikipedia.org/wiki/Pendapa Wondoamiseno, R. (1991). Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia: Sebuah Harapan. Yogyakarta: Yayasan Rupadatu. Wulan, E. S., Aryani, L., Triswanti, L., Dwi, Y., Mahendra, R., & Lucky. (2011). Rumah Tradisional Pagerngumbuk, Wonoayu. Jawa Timur: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran� Jawa Timur. Yuanita, P. (2015, July 28). Masjid Muslim Pancasila: Simbol Islam di Tengah Keberagaman. Retrieved October 23, 2017, from Dream.co.id Muslim Lifestyle : https://www.dream.co.id/jejak/masjid-muslim-pancasilasimbol-islam-di-tengah-keberagaman-150728y.html Yudirianto, A. (2008). Transformasi Pendopo Alih Rupa & Fungsi Fasilitas Sosial Budaya Pada Ruang Perkotaan (Studi Penerapan:Taman Krida Budaya Malang) . Bandung : Institut Teknologi Bandung .

60


61

UCAPAN TERIMA KASIH

Buku ini tidak akan pernah terwujud tanpa dukungan dan bantuan dari sahabat, teman - teman, dan pihak - pihak yang menginspirasi yang mungkin tidak dapat disebutkan satu persatu disini. Terimakasih kepada Pak Ahmad Saifudin yang sudah bersedia menjadi partner dan sudah banyak memberikan kritik dan masukan atas segala pandangannya serta meluangkan waktu sehingga buku ini dapat tercipta sedemikian rupa. Teman - teman dalam institusi program studi PPAr yang tidak pernah berhenti memberi dukungan dan menemani dalam proses dengan hiburannya: Kiki, Riyan, Amel, Fauri, Shafrina, Betri, Amalia, Wulan, Desti, Fira, Ferzie, Randy, Izar, Dodo, Rini, Mba Lina, dan Mba Ima. Teman - teman konsultan PT. Suncons yang sudah bekerja sama dengan sangat baik: Pak Wan, Pak Wisnu, Pak Barito, Mas Rendra, Mas Oni, Deni, Mas Nur, Mba Hasni, Mba Rina, Mas Ari, dan pihak - pihak PU di Kabupaten Ngawi. tak lupa kedua orang tua dan keluarga yang di sayangi Penulis, semoga kalian selalu dalam lindungan-Nya. Yogyakarta, Januari 2018 tercipta dari kerinduan, terimakasih karena setiap sudut kotamu selalu memberikan makna dan cerita menarik untuk terus menjadi semangat hidupku.




Buku ini merupakan sebuah dasar penjelasan singkat dimana arsitektur merupakan bentuk hasil karya budaya manusia yang salah satu pengaruhnya berasal dari budaya pada masyarakat setempat. Dimana dari waktu ke waktu budaya sendiri dapat berkembang dan menyesuaikan pada kondisi kebutuhan pengguna sehingga terjadinya suatu perubahan. Arsitektur dapat menyajikan citarasa tradisional dalam bentuk bangunan untuk menjadi sebuah ciri khas masyarakat pada suatu daerah. Paparan buku ini disajikan secara tematik dimulai dari setiap aspek yang paling mempengaruhi terjadinya perubahan pada Arsitektur Jawa. Sajian diagram dan gambar yang mudah dipahami, buku ini diharapkan dapat memudahkan penyerapan oleh para pembaca baik arsitek atau non arsitek untuk memperkaya pengetahuan pada arsitektur tradisional di Indonesia.

AHMAD SAIFUDIN M | ARISSA SUKARDI Universitas Islam Indonesia Press Universitas Islam Indonesia Jl. Cik Di Tiro No. 1 Terban UII PRESS Gondokusuman, Kota Yogyakarta 55223 No. Telp (0274) 513091


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.