Majalah Baruga

Page 1

Baruga

Edisi 20 / Februari 2012

Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Konflik Dalam Keberagaman Majalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNHAS ISSN : 0135 - 0766


SALAM REDAKSI

Manusia akan selalu berhadapan dengan kejatuhan. Tak ada di antara kita yang tak melaluinya. Saat belajar berjalan, kita akan selalu terjatuh. Secara bersamaan kita juga belajar menguatkan kedua kaki hingga akhirnya bisa berdiri kembali dan kemudian melangkah lagi. Langkah-langkah awal kita pastilah masih tertatihtatih, sesekali jatuh tapi kita tetap tak takluk. Kita menginginkan perjalanan mulus tanpa hambatan, namun dengan demikian kita tidak akan belajar apa-apa. Justru dari kejatuhan kita belajar banyak. Melalui kejatuhan, kita belajar bagaimana bertahan agar tetap tegak, belajar hingga langkah-langkah kita semakin kuat. Pada akhirnya kejatuhan mengenalkan kita akan arti kebangkitan dan perjuangan. Hal ini juga dialami oleh Baruga, tidaklah mudah untuk melaluinya tanpa kekuatan dan perjuangan. Berbagai masalah membuat goyah, namun hal ini menjadi pelajaran berharga, hingga saat inipun kami masih belajar, mencoba menjadi lebih baik dan berusaha memberikan yang terbaik. Syukur Alhamdulillah, kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya Majalah Baruga Edisi ke-20 bisa terbit. Pada edisi ini, redaksi mengangkat tema tentang “Konflik Dalam Keberagaman.� Soal yang hingga hari ini masih menjadi teror bagi kemajemukan masyarakat Indonesia. Banyaknya fenomena konflik di beberapa daerah, baik karena persoalan ekonomi, politik hingga SARA, semakin menguatkan bahwa kita masih memiliki kerja-kerja yang belum selesai. Kita masih belum menangkap arti dari hidup bersama. Akhir kata, segenap kru berharap apa yang Baruga sajikan dalam edisi ini bisa bermanfaat untuk pembaca. Selamat Membaca Redaksi

2

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati


EDITORIAL “Gerombolan manusia meskipun agamanya berwarna macam-macam, meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacam-macam, asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama, itu adalah bangsa” (Ir.Soekarno) Ungkapan Soekarno di atas menimbulkan pertanyaan, jika bangsa itu dilandaskan kehendak untuk hidup bersama apa benar penduduk negeri ini masih pantas disebut sebgai suatu bangsa? Pertanyaan ini pantas dilontarkan jika mengingat perjalanan usia negeri ini tidak pernah lepas dari cerita konflik berbau SARA. Tahun 2011 kemarin Makassar pun diguncang dengan konflik yang mengatas namakan etnis dan suku. Beberapa hari sempat mencekam di beberapa wilayah. Lalu akhirnya seperti penggalan-penggalan cerita klasik mengenai konflik dalam catatan sejarah negeri ini, “perbedaan” selalu saja menjadi kambing hitam. Ironis memang jika mengingat semboyan bangsa kita adalah Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu. Keberagaman semestinya dianggap sebagai modal kekayaan negeri ini, tapi sebaliknya malah seolah menjadi racun, menggerogoti secara perlahan. Entah apa yang akan dikatakan Almarhum KH Abdulrahman Wahid alias Gus Dur sang Bapak Pluralisme jika menyaksikan fenomena ini tak kunjung hilang dalam lembaranlembaran kisah perjalanan usia Ibu Pertiwi. Mantan orang nomor satu negeri ini pernah berujar tentang suatu hikmat: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” Gus-Dur. Sungguh sayang kalimat bijak Gus Dur sepertinya tidak berhasil membuat jiwa negeri ini -yang tersusun dari jiwa-jiwa kecil kita- sebagai pemilik ‘rumah’ tersentuh. Entah kita terjangkiti penyakit apa? Mungkinkah ini rasisme? etnosentrisme? atau stereotyping? atau faktor lain? Beberapa mungkin akan menjawab dengan berbagai teori dan kajian pustaka atau sekadar berbekal kepedulian untuk menemukan akar masalah, namun sebagian besar sepertinya hanya mampu angkat bahu, karena jika banyak yang peduli konflik pasti ––bisa dihindari. Stereotip dalam keberagaman memang bukanlah hal asing seperti halnya udara yang kita hirup. Telah banyak kajian dan bahasan mengenai permasalahan ini namun toh hal sama terus terulang. Namun satu hal penting perlu diingat jika keberagaman selalu dipandang sebagai masalah maka yang timbul bukannya kehendak untuk hidup bersama melainkan perpecahan, jika demikian, pantaskah kita disebut sebagai suatu bangsa? (Satriani)

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

3


Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Penanggung Jawab Ahmad Syarif (Ketua KOSMIK) Pemimpin Redaksi Satriani Tahir Redaktur Pelaksana Dewi Suryaningsih Redaktur Foto Fheny Angrainy

Liputan Utama

Konflik dalam Keberagaman

6

Fotografer KIFO KOSMIK Redaktur Khusus Rizka Hidayanti, Janisa Pascawati,Lili Sukriana, Maydelin Tandipuang, Indah Elsa Putri, Reporter Erbon Syahputra, Prisnady Ramadansyah, Nurmalasari, Meike Lusye Karolus, Nurmihailoa Nabiu, Agni Riskika Destivani, Ayu Adriani, Hajir Muis, Isma Ariyani, Yohanis Kiding, Icecubo Editor Rizka Layouter Azwar Marzuki

Liputan Khusus

Tawuran (bukan) Ritual Tahunan

10

Wawancara

12

Komunikator dapat menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik Opini

Kita yang (Tak) Selesai Mencari Pemimpin Indonesia?

4

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

15 18


DAFTAR ISI

20 Komunitas M

Figur Artikel Teknologi Budaya Kampus

Jejak Prestasi Resensi Fotografi

22 26 30 34 39 48 50 52 54

a’raga bukan hanya sekedar permainan yang lahir dari kebudayaan Bugis-Makassar. Ma’raga juga berisi pesan-pesan religius yang mengilhami jiwa manusia. Ya, Ma’raga adalah permainan jiwa yang menggugah siapa siaja.

42 Jelajah Negeri D i tempat ini, kita akan menyaksikan para perempuan penempa besi. Peralatan seperti parang, spatula, dan peralatan rumah tangga lainnya adalah hasil kerja mereka, kerja yang biasanya dikerjakan oleh kaum adam. Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

5


Liputan Utama Konflik dalam Keberagaman Konflik mudah terjadi, namun sulit dihindari. Sikap egaliter masyarakat sangat dibutuhkan.

T

ahun 2011 kemarin menjadi masa ujian bagi multikulturalisme di Indonesia. Di Makassar konflik yang mengatasnamakan etnis berkecamuk dan sempat menimbulkan situasi mencekam dimana-mana bahkan menjadi headline di berbagai media nasional. Sejak proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, sejarah mencatat sejumlah cerita mengenai konflik yang mengatasnamakan perbedaan. Bahkan saat ini pun konflik antarsuku, ras, maupun agama masih saja menjadi teror yang mencekam. Padahal, Indonesia adalah negara yang menganut paham pluralisme. Oleh karenanya, perbedaan suku, etnis, dan agama seharusnya mengindahkan keanekaragaman di antara kita. Kita berbeda, tapi tidak untuk terpecah pelah. Sayangnya, isu perbedaan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) malah menjadi isu yang paling sensitif di antara kita. Konflik memang tidak bisa dihindari dengan adanya keberagaman. Seringkali benturan terjadi ketika kebiasaan yang ada di satu kebudayaan, berbeda dengan kebudayaan yang lain. Misalnya saja, ketika suatu kaum mendatangi satu tempat. Kemudian kaum tersebut melakukan kebiasaan sesuai kebudayaan yang dibawanya.

6

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Tanpa disadari, kebiasaan tersebut ternyata berbeda dengan kebiasaan yang dianut oleh kebudayaan yang terlebih dulu ada di tempat tersebut. Hal ini bisa menimbulkan benturan diantara kedua kaum tersebut. Hingga memicu adanya konflik. Konflik ini hadir disebabkan tidak adanya rasa toleransi dan saling menghargai di antara kedua kaum tersebut. Kaum yang lebih dulu ada bisa jadi terlalu menganggap kebudayaannya yang lebih tinggi daripada kebudayaan yang baru dibawa oleh kaum pendatang tersebut. Kaum pendatang sendiri bisa jadi tidak memperhatikan adanya perbedaan yang mendasar dari kebiasaan yang dibawanya hingga menimbulkan adanya gesekan dan memicu konflik. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Dr. Muhammad Farid, M.Si, selaku Dosen Komunikasi Antar Budaya. “Benturan ini akan terjadi ketika ada anggapan bahwa kebudayaan yang satu lebih hebat daripada budaya orang lain. Cenderung menganggap enteng etnis lain. Biasanya akan ada kesewenangan hingga akhirnya memicu adanya konflik.” Konflik tidak selamanya hadir dari sesuatu yang besar. Konflik bisa hadir dari sesuatu hal kecil yang dianggap sepele. Menimbulkan keretakan dalam hubungan individu

di dalam masyarakat. Kepentingan pribadi ini kemudian melibatkan kepentingan kaum untuk mendukung harga dirinya. Setelah itu, kaum menjadi terprovokasi dan terjadi benturan yang lebih besar dan membentuk konflik antara dua kaum. Seharusnya, konflik ini tidak akan meluas jika individu-individu tersebut bisa menyelesaikan konfliknya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan Dr. Muhammad Farid, M.Si “Konflik yang tidak diredam akan lebih luas. Konflik dimulai dari masalah kecil, kemudian meluas dan bertambah besar. Begitu ada masalah, mencuat lagi, besar lagi. Hampir setiap hari terjadi konflik hanya karena persoalan kecil. Hanya persoalan salah pengertian, jadinya membawa nama daerah.” Sebagian masyarakat Indonesia sepertinya belum benar-benar memahami pluralisme dalam hidup berbangsa dan bernegara. Belum benar-benar memahami motto nasionalis kita “Bhineka Tunggal Ika” bahasa Jawa Kuno yang dalam bahasa Indonesia bisa berarti “Beraneka Satu Itu”. Hal ini bermakna, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu-kesatuan. “Kita berbeda. Tapi, kalau itu kita pahami sebenarnya tidak akan terjadi apa-apa. Kurang


sxc.hu

Liputan Utama

“...kita Indonesia, kita menghargai perbedaan. kita tahu perbedaan bisa memunculkan kebersamaan. Kalau rasa menghargai itu dipupuk sejak awal”

dipahami kalau kita berbeda satu sama lain. Selalu membawa bahwa sukunya yang terbaik, etnisnya yang terbaik. Melecehkan etnis yang lain. Akhirnya, etnis lain tidak mau dilecehkan. Etnis lain juga punya harga diri,” tambah Dr. Muhammad Farid, M.Si.

Belum Menerima Perbedaan

P

erbedaan etnis di tengah masyarakat memang dapat

diterima namun rentan sekali untuk terpecah. Masih segar dalam ingatan kita mengenai peristiwa-peristiwa yang sempat heboh beberapa waktu silam. Mulai tragedi Makassar Town Square baru-baru ini yang membuat masyrakat beretnis Timor kena sweeping sampai tragedi Kumala dimana pelemparan dan penjarahan bagi toko-toko yang dimiliki masyarakat beretnis cina terjadi. Hardy, seorang laki-laki keturunan etnis tionghoa, merasakan benar dampak itu. Meski rumahnya tidak mendapat lemparan atau tokonya dijarah tapi efek yang ditimbulkan dari peristiwa itu terasa baginya. “Di Makassar, perbedaan itu masih ada. Diskriminasi dengan etnis masih kental terasa,” ujar mahasiswa Universitas Kristen Atma Jaya Makassar ini. Menurut Hardy, diskriminasi itu ia rasakan ketika ia di Makassar, namun ketika ia harus pindah ke Manado untuk melanjutkan SMA-

nya, perbedaan itu justru tidak ia dapatkan,” Kalau kita bersekolah di sekolah negeri kan orang cina sering didiskriminasi, tapi waktu di Manado saya tidak merasakan itu padahal di sana saya bersekolah di sekolah negeri. Dalam bergaul dengan orang Manado sendiri tidak ada bedanya padahal kami berbeda etnis,” tuturnya.

Budaya Sipakatau Meredam Konflik

untuk

S

uku Makassar-Bugis sendiri memiki budaya sipakatau. Yaitu, menghormati dan menghargai harkatnya sebagai sesama manusia. Dengan hal ini sepatutnya kita bisa meredam konflik yang ada di antara kita. Saling menghargai sesama umat manusia. Sebagai manusia, kita tentu ingin dihargai oleh manusia yang lain. Untuk dihargai itulah kita juga perlu menghargai orang lain sebagaimana kita ingin dihargai. Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

7


sxc.hu

Liputan Utama

Tokoh masyarakat juga sangat berperan dalam penyelesaian konflik yang ada di masyarakat. Tokoh masyarakat diharapkan bisa menyadarkan masyarakat tentang bahaya konflik yang bisa saja memecah persatuan di antara kita. Beruntung masyarakat Sulawesi Selatan masih menghargai dan mendengarkan apa yang dikatakan tokoh masyarakat disini. Contohnya saja, H.M.Yusuf Kalla. Wakil Presiden RI pada periodenya yang berasal dari tanah Sulawesi Selatan. Dr.Muhammad Farid, M.Si mengatakan, “Di Sulawesi Selatan, tokoh masyarakat masih dihargai. Siapapun itu masih didengar. Itulah peran tokoh masyarakat sebagai pemersatu di antara kita.” Keberadaan tokoh masyarakat ini, adalah mulai berkurangnya jumlah tokoh-tokoh ini. Keberadaan tokoh baru dibutuhkan. “Dalam kehidupan modern, dimana penghargaan mulai runtuh, kita masih memiliki adanya penghargaan tersebut,” tambah Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unhas. Konflik bisa dicegah, meski tak

8

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

“Keberagaman adalah sesuatu yang natural sehingga yang diperlukan adalah toleransi dan rendah hati untuk mendengarkan orang lain,”

bisa dihindari. Kita mesti menanamkan paham egaliter dalam diri kita. Dimana kita memandang diri kita sederajat dengan orang lain. Jadi, tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Di luar dari pada itu, kita juga mesti saling menghargai satu-sama lain. Sebagaimana, Dr.Muhammad Farid M.Si. mengatakan, “Masing-masing harus menghargai. Setiap etnis menghargai etnis yang lain. Terutama jika berada di tempat tertentu. Tetap dia punya budaya, silahkan dilakukan tapi harus menghargai yang lain. Kita Indonesia, kita menghargai

perbedaan. kita tahu perbedaan bisa memunculkan kebersamaan. Kalau rasa menghargai itu dipupuk sejak awal” Selain mengenai konflik perlu juga dipahami bahwa keberagaman suatu kekayaan seperti yang dinyatakan oleh Dosen Jurusan Sastra Arab Supha Atthana “Keberagaman adalah sesuatu yang natural sehingga yang diperlukan adalah toleransi dan rendah hati untuk mendengarkan orang lain,”ungkap Direktur Iranian Corner ini. Perbedaan menurutnya tidak bisa dihindari inilah dinamika ruang kemanusiaan yang terjadi. Kalau tidak ada keberagaman tidak ada dinamika kehidupan, yang diperlukan adalah logika yang bisa dipakai dalam keberagaman, perbedaan sebagai ujian untuk memilih dan memilah yang baik dan benar, perbedaan sifat tidak lantas menjadikan sekelompok orang menjadi anarkis. Perbedaan seharusnya menjadikan seseorang belajar, sopan santun bukan implikasi dari kebenaran dan bukan bersifat memaksa. (Rizka,Meike,Anni,Mifda)


Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

9


Liputan khusus

Tawuran (bukan) Ritual Tahunan Kurangnya solidaritas antarfakultas menyebabkan tawuran tiap tahun terjadi. Akankah ini menjadi tradisi?

H

ampir di seluruh Indonesia konflik antar kelompok terus terjadi. Konsep mengenai perbedaan yang akhirnya menimbulkan pandangan umum yang negatif terhadap kelompok tertentu. Dalam lingkungan pendidikan perbedaan dapat memicu terjadinya konflik. Kerap kali perbedaan mengakibatkan perseteruan antarfakultas. Tawuran seolah menjadi ritual tahunan terutama pada saat tahun ajaran baru. Bulan September menjadi momen terjadi tawuran. Hal ini pada akhirnya secara tidak langsung menanamkan persepsi bagi mahasiswa yang baru masuk mengenai tawuran dan akhirnya kultur bagi sebagian mahasiswa. Dari tahun ke tahun penyebabnya selalu dari hal kecil hingga berakhir dangan aksi saling lempar batu dan kerikil yang akhirnya disaksikan seluruh Indonesia melalui kotak kecil yang disebut televisi. Hal ini membawa dampak yang buruk bagi citra Unhas dan pada akhirnya menimbulkan stereotip atau pandangan negatif bahwa orang-orang Makassar doyan tawuran. Fenomena ini sangat ironis jika mengingat bahwa pelaku tawuran

10

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

adalah kaum intelektual yang seharusnya mampu meyelesaikan masalah dengan cara yang elegan serta mampu berfikir dan menimbang lebih bijaksana mengenai dampak dari penyelesaian masalah dengan kekerasan. Stereotip antarfakultas telah tertanam dan menjadi kultur bagi para pelaku tawuran. Melihat fenomena ini, timbul pertanyaan tentang krisis seperti apa yang melanda hingga masalah tawuran ini tak kunjung bisa diselesaikan. Menurut Dosen Sastra Arab Supha At’thana “Mahasiswa seharusnya semakin baik cara befikir dengan banyak menambah referensi. Dalam dunia modern saat ini revolusi intelektual tidak bangga dan terkooptasi pada latar belakang studi mereka.” Diperlukan cara pandang kosmopoli sehingga mahasiswa tidak memandang remeh tidak memandang hanya dari latar belakang studi. “Mahasiswa perlu untuk melakukan inovasi sehingga yang dipikirkan bagaimana memiliki berbagai dimensi dari sudut pandang mahasiswa,” tambahnya. Menurut Ketua BEM Fakultas Perikanan Indar Wijaya, selama ini tawuran di Unhas seolah-olah dia-

“Mahasiswa perlu untuk melakukan inovasi sehingga yang dipikirkan bagaimana memiliki berbagai dimensi dari sudut pandang mahasiswa,”

gendakan khusus setiap tahun yang diakibatkan rasa solidaritas antar sesama fakultas yang menimbulkan arogansi fakultas. “Tawuran di Unhas apapun permasalahanya harus diselesaikan dengn cara intelektual bukan dengn cara kekerasan,” tegasnya. Drs. Mursalim M.Si Dosen Ilmu Komunikasi Unhas mengungkapkan bahwa perang antarfakultas terjadi karena kuatnya rasa perbedaan dan kurangnya komunikasi antara mahasiswa dari fakultas yang bertikai. Menurutnya, hal yang menyebabkan hal tersebut, sistem pengad-


Liputan Khusus

Muhammad Idham Ama

eran mengedepankan pembentukan karakter dan menimbulkan rasa kebersamaan dan saling mengenal. Fenomena tawuran merugikan pihak baik civitas akademika. Freddy, Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional mengatakan bahwa tawuran yang selama ini terjadi berdampak buruk bagi citra mahasiswa Unhas karena mendapat generalisasi dari pihak-pihak luar yakni disamakan dengan mereka yang terlibat. Dan secara langsung tawuran yang terjadi pun berdampak pada terganggunya perkuliahan serta memberikan tekanan psikologis dihantui rasa waswas dan khawatir tawuran kembali terjadi. Bukan hanya itu, tiga bulan berlalu sejak tawuran di Unhas terjadi

banyak dampak yang dirasakan civitas akademika. Bukan hanya dampak dari segi materi, tetapi juga dari proses perkuliahan hingga pemindahan lokasi perkuliahan. Pada Press Release 15 November 2011 yang dibuat oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kehutanan Unhas juga disebutkan kerugian-kerugian yang dialami. Dicantumkan dua bangunan (sekretariat BEM dan sekretariat Biro Khusus Panduan Alam Lingkungan BEM Kehutanan Sylva Indonesia Unhas) terbakar. Selain itu dicantumkan pula dua sepeda motor dan fasilitas perkuliahan yang terbakar. Akibat terjadinya tawuran, mahasiswa Fakultas Teknik angkatan 2011 dipindahkan ke kampus Baraya. “Kebijakan pemindahan

tersebut dilakukan agar mengurangi gesekan lagi antarfakultas,” tutur Dr Ing Ir Wahyu H Piarah M.S,.ME selaku Dekan Fakultas Teknik Unhas. “Tahun depan 2012 juga akan langsung kami tempatkan di kampus Gowa,” jelas Wahyu. Ini tentunya juga sebagai langkah menghindari terjadinya kembali tawuran. Kerugian tersebut tentunya tidak akan ada jika tawuran tidak terjadi. Masih terdapat banyak cara, untuk menyusun kembali “puzzle” keretakan antara mahasiswa Unhas. Salah satunya inovasi dimensi pandangan mahaisiswa. Tentunya, usaha birokrasi dan seluruh civitas akademika menjadi penopangnya. Dosa masa lalu cukup menjadi kenangan. (Jejen,Mimi,Mifdah) Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

11


Wawancara

Komunikator dapat menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik

D

alam lingkungan sosial (masyarakat) terdapat individu-individu dan kelompok yang memiliki latar belakang sosial, ekonomi, budaya,dan pendidikan yang berbeda-beda. Keberagaman tersebut membuka ruang untuk lahirnya sebuah konflik. Robbin mendefinisikan konflik dalam 3 pandangan, salah satu pandangannya ialah pandangan hubungan manusia ( the Human Relations view). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok masyarakat. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok masyarakat pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Salah satu unsur yang terdapat di dalam kelompok masyarakat adalah budaya. Di dalam dinamika budaya terdapat konflik dan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang dapat dikontrol dengan baik, akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat melahirkan konflik.

12

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Konflik antar budaya berkaitan dengan perasaan ‘lebih’ dari kelompok lain, menyangkut ciri-ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan dan sebagainya. Konflik menjadi situasi yang wajar dalam lingkungan masyarakat, tidak satupun masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik antar anggota maupun antar kelompok. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Bagaimana pandangan akademisi yang berlatar pendidikan komunikasi dalam melihat konflik antar budaya ? berikut wawancara khusus bersama Bapak DR. Iqbal Sultan : Bagaimana proses lahirnya suatu budaya ? Budaya lahir karena keinginan masyarakat untuk maju dan mengalami perubahan. Keinginan untuk suatu kemajuan dan perubahan yang kemudian mendorong lahirnya suatu budaya. Tingkat ataupun keberagaman kebudayaan tergantung dari sifat individu atau kelompok dalam masyarakat. Terdapat kelompokkelompok masyarakat yang memiliki budaya tinggi, dalam artian lebih

terbuka, dan adapula kelompok masyarakat yang lebih tertutup dan tidak dinamis. Bagaimana sifat dari suatu individu maupun kelompok dalam menghasilkan suatu budaya ? Individu maupun kelompok dalam suatu masyarakat memiliki tingkat keberagaman budaya yang lebih tinggi, namun bukan berarti individu atau kelompok dalam masyarakat yang sifatnya lebih tertutup tidak memiliki budaya. Individu atau kelompok dalam suatu masyarakat yang tertutup juga memiliki budaya sifatnya lebih statis atau tidak dinamis. Bagaimana bapak memandang konflik antar budaya ? Terkadang konflik memicu kita untuk melakukan langkah-langkah pembelajaran yang baik, namun apabila suatu konflik tidak dapat terkontrol dengan baik dan tidak dapat terselesaikan akan mengarah pada hal-hal yang lebih buruk. Apabila konflik dimaknai sebagai suatu perbedaan yang harus dipahami, integrasi dari berbagai budaya dapat


Wawancara

Dewi Suryaningsih

lebih kuat. Apa yang menjadi pemicu konflik ? Kebudayaan berkaitan dengan kelompok dan komunitas yang bersifat homogenitas maupun yang bersifat heterogen. Kelompok maupun komunitas masing-masing memiliki kebiasaan komunal, nilai dan aturan yang berbeda-beda. Perbedaanperbedaan tersebut kemudian menjadi salah satu faktor yang berpotensi melahirkan suatu konflik. Perbedaan yang kecil sekalipun jika diperuncing dapat menjadi pemicu terjadinya konflik. Bagaimana pendapat bapak dengan etnosentrisme ? Etnosentrisme, paham yang men-

ganggap budaya sendiri lebih baik dari budaya orang lain juga menjadi bibit-bibit pemicu konflik. Individu atau kelompok budaya yang berpaham etnosentrisme cenderung ‘menutup mata’ terhadap realitas yang ada disekitar mereka. Misalnya orang bugis dengan budaya siri’nya atau budaya malunya, menganggap bahwa orang bugis lebih baik dari suku-suku lainnya karena memiliki budaya malu, padahal kan orang lain (tidak mengenal dia suku apa) juga pastilah memiliki budaya seperti ini. Bagaimana solusi yang dapat bapak tawarkan ? Ya, etnosentrisme dapat dijadikan sebagai alat penyatu bukan sebagai pemicu konflik. Sebagaimana yang saya katakan tadi, orang bugis

dengan budaya siri’-nya. Budaya malu itu diaplikasikan untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, malu untuk merampok, malu untuk korupsi. Ya etnosentrisme dapat dimanfaatkan untuk pencapaian hal yang lebih baik. Memberikan kemajuan bukan untuk merendahkan orang lain. Konflik dan integrasi menjadi dua point yang terus ada dalam pembahasan kita, Bagaimana pandangan bapak terhadap konflik dan integrasi ? Integrasi merupakan upaya yang tidak semata atau sesederhana dalam kalimat “ehh kamu harus berintegrasi.” Ada langkah-langkah tertentu untuk memupuk kesadaran awal dalam mengintegrasi. Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

13


Wawancara

sxc.hu

memiliki perbedaan, perbedaan cara pandang, pemahaman akan suatu realitas, dan lain-lainnya. Nah, peran komunikasi disini ialah bagaimana agar perbedaan-perbedaan tersebut mesti dicari persamaan-persamaan yang masih tersembunyi dan harus ditonjolkan, karena dalam komunikasi kita berangkat dari pemahaman yang sama.

Langkah-langkah apa yang bapak maksud ? misalnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu mewadahi keinginan dua belah pihak yang saling bertentangan, dua budaya yang sedang terlibat konflik. Nah disini peran pemerintah sangat diperlukan. Melakukan pembinaan dan tetap menjaga agar kedua belah pihak tidak ‘terkurung’ oleh perbedaan-perbedaan yang selalu dipertentangkan. Konflik juga bisa dipicu karena ketidak puasan dari salah satu kelompok, hal tersebut juga harus menjadi perhatian untuk seorang mediator dalam penyelesaian suatu konflik. Perlu diingat bahwa konflik bisa melepaskkan diri kita dengan orang lain. Konflik dapat memecah integarasi. Ada dua hal, ya, kalau tidak bersatu pastilah bercerai. Jadi integrasi merupakan bentuk keinginan untuk menyelesaikan konflik

14

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Peran komunikasi antar budaya ? Konflik dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi kita untuk melakukan hak yang lebih baik, namun apabila konflik tidak dapat terkontrol dan tidak terselesaikan akan berdampak pada hal-hal yang buruk. Konflik akan selalu ada, karena latar belakang individu maupun kelompok di dalam suatu masyarakat

Jadi, komunikasi antar budaya yang merupakan pendekatan dari bidang ilmu komunikasi berperan penting dalam pemecahan suatu konflik pak ? Iya, orang-orang yang telah belajar komunikasi khususnya komunikasi antar budaya harus mampu menjadi komunikator yang bisa menjadi seorang mediator dalam pertikaian antar individu, kelompok-kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Yang tadi seperti saya bilang, orang-orang komunikasi selalu start dari kesamaan, apabila telah ada kesamaan makna dalam cara pandang, maka konflik dapat dikontrol dengan baik. (Dewi)

Nama : Dr.H. M. Iqbal Sultan, M.Si. Kelahiran : Wajo, 10 Desember 1963 Pendidikan : S3 Ilmu Komunikasi Unhas Pekerjaan : Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Ketua Konsentrasi Massa PPs Fisip unhas Alamat : Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea BG 35 Makassar


Opini

K i t a y a n g ( Ta k ) S e l e s a i Oleh : Harwan A.K.

K

onfucius, seorang pemikir besar sebelum Cina terbentuk, memandang keluarga sebagai cerminan ideal negara. Dalam keluarga orang muda menghormati oang tua demikian juga orang tua menyayangi yang muda. Demikianlah moral paling dasar, sikap dalam menghadapi keseharian. Setelah rezim Mao Tse Tung berkuasa, ajaran ini dicap sebagai tradisi feodal, banyak kuilkuil Konghucu dirusak dan dijarah. Cina menyaksikan bagaimana revolusi kebudayaan membungkam masa lalu yang dianggap sebagai kontra revolusioner. Beberapa tahun sebelumnya, Pu Yi Sang Kaisar yang telah kehilangan karisma dan kuasa dikarantina oleh rezim Mao, dari darah biru menjadi warga biasa. Sang kaisar adalah artefak hidup masa lalu, harus didisiplinkan demi terbentuknya Cina, demi komunisme yang menjadi dasar bagi republik. Feodalisme adalah aib masa lalu, harus dilompati, dilupakan, diberangus. Milan kundera dalam novelnya The Book of Laughter and Forgetting menuliskan tragedi seperti ini dengan ironis. Ketika rezim baru berkuasa ia akan menghapus ingatan

akan rezim sebelumnya. Demikianlah sekali lagi sejarah kekerasan suatu rezim dicatat, yang berbeda tak akan punya tempat. Di Indonesia, the founding father, Soekarno mengimajinasikan Majapahit bersama Bhineka Tunggal Ika sebagai rujukan dan cita-cita. Indonesia kemudian dipetakan berdasarkan bentang kekuasaan kerajaan tersebut di masa lampau. Semua perbedaan harus dirampungkan, ditundukan dalam imaji geografis. Seolah-olah berada dalam satu kawasan membuat perbedaan-perbedaan ini akan meluruh. Ibarat sekeping mata uang, dibalik gagasan kesatuan, keragaman masyarakat Indonesia mulai dari etnis, budaya hingga keyakinan juga terdapat hantu-hantu destruktif yang justru mengancam keragaman itu sendiri. Begitu halnya Soeharto, bapak dari Orde Baru, imajinasi kesatuan diteruskan dalam berbagai strategi. Tapi sejarah resmi versi pemerintah, sengaja tak mencatat sisi gelap dari orde ini. Apa yang dialami oleh masyarakat Aceh, Papua dan Timor Timur diputarbalikkan dalam bahasa separatis dan disintegarasi. Lewat ba-

hasa, kuasa dipraktikkan, dominasi dilanggengkan. Bhineka tunggal ika kemudian dihidupkan dalam tafsir yang memandang perbedaan itu harus diikat, disatukan, dan ditundukkan oleh kuasa negara. Setelah 32 tahun, kuasa Orde Baru runtuh. Di akhir hidupnya, sang bapak pembangunan sukses luar biasa pun setelah kejatuhannya, bertolak belakang dengan nasib Pu Yi, sang kaisar terakhir Cina. Beragam tuduhan kejahatan atas pelanggaran hak dan kemanusiaan tak cukup membawanya menjadi pesakitan di meja hijau. Lalu kita juga akan melupa dalam bentuk pemaafan terhadapnya, pelupaan model ini berbeda dari apa yang dituliskan oleh Kundera. Bangsa ini mungkin tak cukup jujur dengan masa lalunya. Ketakutan, trauma dan kritik dari berbagai sudut atas kungkungan rezim-rezim sebelumnya, Indonesia didefinisikan ulang dan kita pun melalui bibir para elit arus bawah diperkenalkan pada zaman reformasi. Kembali, kita membangun harapan bahwa kita berada di rel yang benar. Kran-kran demokrasi yang disumbat dibuka. Tak ada lagi Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

15


Opini

menara pengawas, pembredelan juga ketakutan mengkritisi para elit negara. Kebebasan demikian mungkin menjadi loncatan paling mumpuni yang dilakukan di masa reformasi. Di sisi yang lain, kebebasan juga membebaskan hasrat-hasrat necrophilia yang terpendam oleh represi rezim sebelumnya. Tentang nasib kuil-kuil Konghucu di Cina juga pernah, bahkan kerap terjadi di negeri ini. Munculnya kekuatan sipil melalui ormas-ormas yang mengatasnamakan kemurnian, kesucian dan kebenaran membentuk hukum yang berada di luar negara sekaligus mendelegitimasi payung ketunggalan tersebut. Melalui kelompok ini, the other diciptakan kemudian diposisikan sebagai suatu penyangkalan kemurnian. The other menjadi pembeda sekaligus penegas batas antara hitam dan putih, benar dan salah. Mereka yang minoritass belum tentu menjadi the other, sebab the other adalah mereka yang tak punya daya, posisi dan kelasnya didefinisikan, dicengkram, oleh pemilik kuasa. Kita bisa berhitung dan menarik kesimpulan betapa hanya sedikit orang yang menguasai kekayaan negeri ini. Kelompok ini juga menguasai kehidupan orang-orang yang jumlahnya jauh lebih besar dari mereka. The other adalah mereka yang berada jauh dari akses kekuasaan dan modal. Aktor-aktor di luar negara ini membentuk cita-cita dan melegetimasi dirinya sendiri. Pancasila sebagai asas bersama dan payung kesatuan serta cita-cita kemakmuran alhasil menjadi mitos. Saat kelompokkelompok ini menjadi dominan, benih konflik turut disemai. Konflik kemudian membangkitkan kembali pertanyaan gagasan

16

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

kesatuan the founding fathers, mempertanyakan keragaman dimana kita tumbuh dan terlanjur dihidupi oleh berbagai ritualnya, ritual bhineka tunggal ika. Tak ada masalah dengan bernostalgia akan masa lalu. Tapi menjadi sesuatu lelucon jika kita tak pernah memiliki masa lalu yang diagungkan tersebut. Masa lalu kemudian hanya dongeng indah yang menyembunyikan kekerasan dibaliknya. Perusahaan-perusahaan tambang multinasional, organisasi massa, badan-badan dunia beserta kebijakan globalnya, NGO (Non Government Organization), media, kondisi global

hingga masyarakat internasional sebagai aktor-aktor lainnya haruslah menjadi perhatian ketika meneropong kebijakan-kebijakan negara. Persoalannya kemudian dimana kebijakan negara berpihak? Kasus yang terjadi di Mesuji bisa menjadi contoh bagaimana aktor selain negara turut andil dalam terbentuknya kekerasan. Kasus ini juga menunjukkan permasalahan-pemasalahan yang diambil oleh rezim orde baru belumlah dituntaskan pada masa pasca reformasi. Ketimpangan kebijakan negara memiliki andil besar membuat potensi konflik menjadi sesuatu


sxc.hub

Opini

yang nyata.. Bagi Jacques Bertrand dalam bukunya Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia konflik disebabkan oleh akses terbatas terhadap institusi negara. Hal ini didominasi oleh kelompok dan etnis tertentu. Sementara para pemilik tanah sesungguhnya terpinggirkan. Kebijakankebijakan yang diambil juga pada akhirnya tak berpihak pada mereka. Ketika reformasi mulai bergulir, desentralisasi -sebagai jalan keluar terhadap dominasi pusat- menjadi agenda mendesak. Otonomi daerah seolah menjadi solusi, tapi tak cukup,

malah tak menyentuh esensi persoalan kita. Ironisnya, kita kembali disodori paradoks kebijakan Negara yang tak berpihak pada masyarakat bawah serta laku korup para elit politik nasional hingga lokal. Almarhum Cak Nur pernah berujar, “kita harus belajar hidup tanpa negara�. Ia mungkin lelah dengan negara yang seharusnya melindungi hak-hak warganya justru menjadi biang masalah. Pasca reformasi kemudian hanya semboyan tanpa merasakan sakit oleh luka di masa lalu. Kekerasan kemudian bisa menjadi modal ketika akses terhadap modal ekonomi, politik, status dan simbolik hanya monopoli sebagian orang. Ranah yang timpang ini akan membentuk habitus kekerasan pada arus bawah. Di zaman pasca reformasi, ketika yang kecil semakin terpinggirkan, ketika para elit kekuasaan masih tak kenyang memakan hakhak mereka, konsekuensinya bangsa ini tak akan pernah utuh sebagaimana imajinasi the founding fathers. Pada saat itu juga kesatuan hanyalah mitos. Kita susah menghindari, bahwa menjadi manusia Indonesia adalah laku kepasrahan. Martin Heidegger, tokoh eksistensialis Jerman, membahasakannya dengan keterlemparan. Kita lahir sebagai warga negara melalui sekian banyak ritual dari akta kelahiran hingga lagu kebangsaan. Identitas sebagai warga negara terbentuk. Kita tak punya pilihan selain menerimanya. Perlahan dan pasti kita dibiasakan juga membiasakan hidup bersama identitas ini. Menjadi Indonesia bukanlah seperti palu di tangan para tukang kayu. Palu sedari dulu tak pernah keluar dari fungsinya, tak punya masa lalu dan masa depan kecuali jika dile-

katkan pada kenangan atau simbol tertentu. Sementara Indonesia selalu bergelimang sejarah dan visi akan masa depan. Indonesia selalu berada dalam waktu, ranah pendefinisian dan dihidupkan dalam praktik, kadang menjadi mapan, tak terjawab, menggantung mengabur bahkan menyakitkan. Dalam keterlemparan, kita melihat kekerasan juga turut serta dalam keseharian manusia. Saat melacak sejarah, dalam lisan, tulisan dan ingatan, horor berdarah juga berada di sana, Kekerasan menjadi rezim menakutkan, membayangi seolah takdir dan kita tak dapat mengelak dari cengkeramannya. Lantas apakah kemudian takdir sebagai manusia Indonesia harus dikutuk? Bagi Heidegger, manusia harus mencebur dalam keterlemparan, menghayatinya, dan menemukan dirinya lewat pemahaman tentang makna berada didalamnya. Melalui penghayatan inilah ia menemukan ketidakberesan, ketimpangan, sekaligus mencipta palu untuk mendobrak mitosmitos yang terlanjur mendominasi pintu kebenaran. Saatnya menolak untuk patuh, karena kita tidak sedang Menunggu Godot -sebagaimana drama Samuel Beckett- yang tak kunjung tiba. Theodore Friend dalam bukunya Indonesian Destinies mungkin benar bahwa �making indonesia was not easy.� Suatu kesimpulan betapa kompleksnya permasalahan di negeri ini. Kita mungkin terjebak dalam kuldesak. Meski demikian harapan harus diperbaharui dan keyakinan bahwa kita memiliki kekuatan untuk menemukan jalan keluar. Setidaknya menjadi saksi bahwa sesungguhnya manusia bukanlah serigala. Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

17


Opini

Mencari Pemimpin Indonesia? Oleh : Rahmad M. Arsyad

I

ndonesia belum juga beranjak dari situasi krisis. Mulai dari krisis pangan, bahan bakar, dan terutama krisis kepemimpinan dari level Negara sampai Kepala Daerah. Tengok saja berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, ada pemimpin partai berkuasa yang sedang berusaha dijatuhkan dari partainya, ada kepala daerah yang legitimasinya hangus terbakar bersama kantor Bupatinya. Ada pula mantan pemimpin dunia perbankan yang dijadikan tersangka. Mungkin saja segera menyusul Presiden yang dijatuhkan dari puncak kekuasaanya. Apa yang terjadi sebenarnya ? mengapa negeri ini belum bisa menemukan sosok pemimpin yang sabdanya diikuti, yang prilakunya menjadi hukum bagi warga negaranya ? Ada baiknya kita berkaca pada sosok pemimpin Cina, Mao Tse Tung, yang menjadi peletak kebangkitan Cina pada masa lalu, yang kini negeri tersebut tampil sebagai negara super power dan berhasil keluar dari masamasa suram krisis masa lalunya. Apa yang dilakukan oleh ketua Mao ketika kemiskinan mendera warganya? ketika sekutu utama dari cina yakni uni sovyet memandang rendah negeri tirai bambu kala itu, dan julukan sebagai negara gagal datang kepada Cina. Bahkan secara sarkasitik Uni soveyet mengeluarkan peryataan yang melukai seluruh rakyat dan pemimpin Cina ‘ meskipun rakyat Cina harus berbagi satu

18

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

celana dalam untuk dua orang, Cina tidak pernah mampu membayar hutangnya’ ungkap seorang pemimpin Sovyet kala itu. Penghinaan yang dilancarkan Sovyet tersebut, spontan membuat Mao mengambil sikap yang sungguh luar biasa. Bukannya sibuk melakukan klarifikasi dan berbagai apologi melalui angka statistik dan propaganda keberhasilan pemerintahanya, Mao justru bangkit dan menjadikan penghinaan tersebut sebagai sebuah momentum untuk manyatukan kekuataan bersama satu milyar rakyatnya, agar secara bersama-sama bisa lepas dari jaring kemiskinan. Melalui kebijakan sederhana namun mampu memberikan kontribusi secara besar, Mao menunjukan kualitas kepemimpinanya dengan langkah mengajak setiap warga negaranya untuk menyumbangkan satu butir beras; ‘ya! satu butir beras untuk setiap anggota keluarga setiap kali mereka akan memasak’. Jika satu anggota keluarga terdiri atas tiga orang maka cukup disisihkan tiga butir beras. Beras yang disisihkan dari satu milyar penduduk cina akan menghasilkan satu milyar butir beras setiap hari. Hasilnya dikumpulkan kepada pemerintah untuk dijual, uangnya dipakai membayar hutang kepada negara pemberi hutang dengan dada yang membusung tanpa memelas meminta penundaan utang. Akhirnya Cina bisa melepaskan

diri dari ketergantungan, penghinaan, pelecehan, dan terutama meyakinkan pada mereka bahwa pemimpin mereka adalah sosok yang layak dipuja dan dihormati.Cerita tentang Mao dan kebijakanya sebenarnya mengigatkan kita tentang fungsi dan tugas seorang pemimpin adalah mereka yang berani mengambil keputusan pada saat yang tepat, pemimpin dipilih karena ia dipercaya berbeda dengan yang lainya, mereka yang mampu bertindak dan menggerakan bukan mereka yang senantiasa lari dari masalah dan mencari kambing hitam dibalik kegagalanya. Krisis Pagan, Krisis Kepemimpinan Negara agaimana mungkin negara yang pernah didengungkan dengan swasembada berasnya yang dikenal dengan luas dan basis pertanian agarisisnya seperti Indonesia justru sampai saat ini masih mengipor beras yang dari tahun ketahun jumlahnya terus naik diatas 1,5 juta ton ? Sementara negara sekecil Vietnam yang menjadi suber import beras indonesia sebanyak 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta (Data BPS 2011) hanya memiliki luas daratan 331.653 km² yang berarti 1/6 luas daratan Indonesia yang mencapai 1.922.570 km². Jika pemerintah berdalih dengan alasan besarnya jumlah penduduk atau produksi pertanian kita masih rendah, itu justru membuktikan

B


Kebanggaan ekonomi dan politik tidak ada lagi, dan justru semakin menelanjangi kegagalan menyediakan pangan untuk rakyat yang akan memacu kemarahan publik bahwa selama ini pemerintah tidak pernah serius membangun kedaulatan pangan dalam negeri, hal ini semakin terbukti dengan konversi lahan yang akhir-akhir ini menyulut konflik diberbagai daerah. Dimana bukanya serius menggerakan program intensifikasi pertanian, pmerintah justru lebih memilih kekuasan modal yang sifatnya jangka pendek yang mengubah lahan pertanian menjadi lapangan golf atau program investasi bagi para penggusaha besar yang hanya mengguntungkan segelintir orang. Bukan hanya pengelolaan pangan yang berada di daratan yang membuat kita semakin percaya bahwa kualitas kepemimpinan negeri ini bermasalah. Lautan kita yang sungguh luas tak mampu pula dioptimalkan dengan baik, panjang pantai indonesia 81.000 km atau 14% garis pantai seluruh dunia, di mana 2/3 wilayah Indonesia berupa perairan laut tapi sampai saat ini kita masih mengimpor garam industri hingga 100 persen dengan jumlah berkisar 100-200 ribu ton. Persoalan laut dan daratan ini, semakin membuktikan kegagalan kepemimpinan dalam menggurusi negeri ini dan kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa mandiri. Harapan kita masih jauh dari apa yang dicitacitakan kita sebagai sebuah bangsa

pulpitsets.com

Opini

yang termaktup dalam undangundang dasar 1945 yakni menjadi bangsa yang berdaulat, cerdas dan sejahtera. Mengubah Paradigma Kepemimpinan, Mencari Pemimpin Indonesia elajar dari kisah Mao harusnya telah menyadarkan kita tentang tujuan sebuah kepemimpinan. Saat ini para pemimpin yang menjadi pengelola negeri ini masih berkutat pada ‘power oriented’orentasi kekuasaan semata, bukan berbicara menyangkut ‘achievement oriented’ yakni kepemimpinan yang berbasis prestasi. Sehingga berbagai isu politik yang dominan adalah berkutat pada sirkuit pertarungan elit dan kekuasaan. Hal tersebut semakin diperparah oleh mental kepemimpinan yang menghuni sumber distribusi kekuasaan seperti partai politik yang terbukti gagal dalam melahirkan cetak biru kualitas kepemimpinan yang

B

mumpuni. Pola seleksi dan rekrutmen yang bermasalah sampai pada orentasi kekuasaan yang lebih fokus untuk memperkaya diri sendiri dengan berbagai prilaku korup menjadi lebih dominan ketimbang membangun kekuatan bangsa. Melihat realitas yang terjadi sepertinya sudah waktunya kita memikirkan melakukan sebuah proses pergantian kepemimpinan yang lebih cepat, yang mampu membawa bangsa ini keluar dari jeratan krisis yang terjadi. Dengan catatan kepemimpinan yang dilahirkan benar-benar mampu menggerakan dan berpihak kepada rakyat untuk sama-sama keluar dari ketergantungan yang selama ini ada. Pemimpin yang percaya kedaulatan bisa diwujudkan dengan menjadi teladan yang berani berpikir dan bertindak, demi kedaulatan dan kehormatan bangsa di darat maupun laut. Mereka yang berani menjadikan kritik sebagai sarana untuk bangkit bukan justru sibuk memberi klarifikasi akan kegagalanya. Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

19


Komunitas

Imam Mubin

Komunitas Pa’raga PERSERA Payung Sa’bea

Mempertahankan budaya Ma’raga yang kental nilai religius Ma’raga bukan hanya sekedar permainan yang lahir dari kebudayaan Bugis-Makassar. Ma’raga juga berisi pesanpesan religius yang mengilhami jiwa manusia. Ya, Ma’raga adalah permainan jiwa yang menggugah siapa siaja.

20

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

B

ila melihat atraksi ma’raga (gerakan melakukan sepak raga) kita dapat langsung membayangkan kalau pada masa lalu kita sudah mempunyai jagoan freestyle sepakbola layaknya Ronaldinho atau Lionel Messi, malahan mungkin atraksi yang mereka lakukan tidak bisa dilakukan oleh kedua pesohor sepak bola diatas. Meraka mampu memainkan bola yang terbuat dari rotan dengan berbagai posisi dan gaya, seperti dengan telapak kaki, sambil duduk, menggunakan siku,

hingga menggunakan formasi tingkat tiga, yaitu gerakan membentuk tingkatan manusia sambil terus memainkan bola raga hingga pemain yang berada paling atas telah berdiri di posisinya. Gerakan inilah yang sekarang pada setiap penampilannya membuat penonton cemas bercampur kagum menyaksikan kepiawaian para pa’raga memadukan seni, kemampuan fisik, dan nuansa religius. Dahulu saat masa penetrasi agama islam di kesultanan gowa, Ma’raga adalah media efektif un-


Komunitas

tuk melakukan penyebaran islam. Sampai saat ini nuansa islam sangat kentara dalam permainan ini seperti prosesi pengukuhan dilakukan saat malam 17 ramadhan dan setiap kali melakukan atraksi ma’raga, para pemainnya kerap melafalkan ”Lailahaillalah” dengan nada yang teratur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsentrasi permainan yang tingkat kesulitannya sangat tinggi. Salah satu komunitas Pa’raga yang ada di makassar adalah Persatuan Sepak Raga (Persera) Payung Sa’bea yang berada di kampung Bontoa, Kelurahan Parangloe, Kecamatan Tamalanrea. Komunitas Payung Sa’bea didirikan oleh mendiang Dg. Nuddin Sullang pada tahun 1982. Saat ini Payung Sa’bea dibina oleh Syamsuddin, seorang Guru olahraga di SD inpres Bera 2 kampung bontoa dan mempunyai sekitar 40 orang anggota. Para pa’raga ini telah dilatih sejak usia dini sejak kira-kira berumur 10 tahun supaya tubuh mereka bisa lebih lentur dalam melakukan gerakan. Misalnya saja Anwar tertarik ikut komunitas ini sejak kelas 3 SD. Sekarang ia sudah duduk di bangku kuliah dan merupakan salah satu anggota yang paling senior, menurutnya gerakan yang paling susah untuk dikuasai adalah menendang bola menggunakan telapak kaki. Komunitas Pa’raga ini biasanya tampil, jika ada undangan pejabat dalam pembukaan sebuah acara, pesta rakyat atau diutus menjadi duta budaya mewakili daerah untuk ajang lokal, nasional bahkan internasional. Prestasi yang pernah diukir oleh Payung Sa’bea adalah Juara 1 Festival Olahraga Traditional se-Indonesia di Jakarta tahun 2001. Bahkan sebelumnya diundang tampil di luar

Rahmawaty La’lang

negeri seperti Jerman,Belanda dan singapura. Untuk melengkapi keindahan seni pa’raga tersebut, dalam setiap pementasan lengkap dengan pakaian adatnya yang dikenal dengan songkok passapu, baju tutup dan lipa sabbe (sarung) yang terbuat dari kain sutera. Keberlangsungan olahraga rakyat ini, kini bergantung kepada kita untuk terus melestarikan atraksi tradisional yang mengharumkan nama daerah di pentas nasional maupun mancanegara. Dukungan pemerintah juga dirasa oleh Haji Syamsuddin masih kurang terutama masalah dana “itu ji dibayarki kalau di panggil ki tampil” ujarnya, untuk membiayai oprasional dengan berharap dari uang ketika mereka tampil tidaklah

cukup dirasakan oleh Syamsuddin. Di sisi lain, secara tidak langsung juga menggiatkan olah raga yang menggunakan bola yang terbuat dari rotan ini. Tujuan jangka panjang beliau adalah membuat ma’raga menjadi olahraga yang di pertandingkan secara nasional. Kini di tengah banyaknya permainan moderen membuat ma’raga hampir kekurangan generasi. Anak muda zaman sekarang lebih tertarik dengan permainan hedonis daripada tradisi rakyat yang telah berakar dalam kebudayaan kita. Namun, meski ma’raga tak populer di kalangan anak muda tetapi kelangsungannya selalu hadir pada generasi-generasi berikutnya yang mewarisi permainan jiwa ini. (cubo) Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

21


Figur

Imam Mubin

Hj. Syamsuddin, Pembina PERSERA Payung Sa’bea

TONGKAT GENERASI KETIGA PA’RAGA

T

radisi budaya sesungguhnya merupakan kekayaan yang sangat bernilai. Dari sanalah kita terbentuk dan mengakar untuk menentukan pandangan hidup. Kita pun dituntut untuk melestarikannya sebagai satu bentuk tanggung jawab generasi. Di Sulawesi Selatan ini, tradisi budaya yang layak untuk dilestarikan selalu. Salah satunya adalah seni dan olahraga tradisional Pa’Raga. Eksistensi budaya ini patut dijaga. Sayangnya generasi muda saat ini lebih

22

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

cenderung terbawa arus budaya moderen dan nyaris melupakan tradisi budaya lokal. Di zaman ini, memang sulit mempertahankan budaya lokal ditengah gempuran budaya-budaya asing yang terbawa oleh arus zaman. Oleh karenanya dibutuhkan komitmen untuk menjaga agar tradisi dan harta kita yang sangat berharga ini tetap lestari. Salah satu sosok yang patut dihargai karena memiliki komitmen tersebut adalah Bapak Syamsyuddin. Seorang Pa’Raga yang sudah mewarisi dan

melestarikan tradisi ini hingga generasi ketiga dalam keluarganya. Syamsyuddin, seorang guru PNS yang tinggal di daerah Parangloe, Makassar, merupakan salah satu pelestari budaya Pa’Raga di Sulawesi Selatan. Pa’Raga merupakan seni olahraga tradisional asli Sulawesi Selatan. Memainkan sebuah bola kayu dengan beranggotakan 12 orang, terbagi menjadi 6 pemain bola dan 6 lain memainkan musik. Beliau lahir di Makassar tepatnya tanggal 2 Mei 1966 dan mulai men-


Figur

genal Pa’ Raga sejak masih duduk di kelas 3 SD, kala itu ia berumur 7 tahun. Ketertarikannya tidak lepas dari faktor kedekatan dengan sanak keluarga yang juga adalah pewaris Pa’Raga pada saat itu. Pada awalnya, kelompok Pa’Raga ini terbentuk pada tahun 1982. Dibentuk oleh Daeng Nuddin Sullang yang adalah orang Bontoa asli (nama tempat di Makassar). Syamsyuddin adalah generasi ketiga pewaris dan pelestari budaya Pa’Raga. Kesadaran akan semakin kurangnya orang-orang yang tergerak untuk melestarikan budaya ini membuat Bapak berumur 45 tahun ini memilih untuk berdiri kokoh mempertahankan seni olahraga tradisional ini di tengah amukan era globalisasi. Paparannya bahwa sejak terjun dalam budaya seni Pa’Raga ini pada kelas 3 SD, Pak Syamsyuddin kemudian baru bisa memetik sedikit kemahiran ketika di bangku sekolah SMP. Bisa dibayangkan butuh bertahun-tahun untuk menguasainya. Dimana salah satu gerakan yang paling susah menurut beliau adalah menaikkan raga/bola dari kaki hingga bersarang di atas kepala yang terikat oleh passapu’. Keseharian Syamsyuddin selain sebagai kepala rumah tangga adalah guru olahraga di SD Inpres 2 Bera, kelurahan Bontoa. Bila ada pepatah yang mengatakan “Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”, maka itulah yang diterapkan Bapak Syamsyuddin. Sembari mengabdi selama 32 tahun sebagai guru hingga sekarang, beliau juga tak hentihentinya mengajarkan Pa’Raga ini untuk anak muridnya di sekolah. Adapun kelompok yang dibina oleh Syamsyuddin ini bernama

Kelompok Pa’Raga Payung Sabbea. Bertempat di kelurahan Parangloe, kecamatan Tamalanrea. “Alhamdulilla sampai sekarang anggotanya sudah ada sekitar 40an orang termasuk anak-anak SD yang dilatih sedini mungkin karena badan mereka masih lentur”, ucap Pak Syamsyuddin saat ditanyai di rumahnya di daerah Parangloe. Dengan ketabahan dalam memimpin serta membina anak-anak dan pria muda dalam mendalami dunia Pa’Raga, tak lupa juga selalu memberikan mereka nasehat-nasehat membangun dalam rukun islam. Latihan tiga kali seminggu, dan biasanya bertempat di pelataran mesjid “Dalam permainan dekat rumah Syamsyuddin. Bapak yang memiliki Pa’Raga, ada warisan yang empat orang anak ini kini menuntut kita untuk tidak memegang peranan pent- menyombongkan diri. Apaling di kelompok Pa’Raga agi bila sudah mahir dalam sebagai pelatih dan pembina. Ditegaskan pula bahwa bermain raga. ia akan selalu mewariskan tradisi budaya ini kepada anak laki-lakinya sebagai Pa’Raga muda. Dimana banyak hal terbukti dari setiap kompetisi yang diikuti dan hasilnya memang selalu yang bisa didapatkannya. “Dalam permainan Pa’Raga, ada membanggakan, yaitu juara 1. Terwarisan yang menuntut kita untuk bilang sejak 6 kali kompetisi, beliau tidak menyombongkan diri. Apala- dan kelompoknya selalu bertengger gi bila sudah mahir dalam bermain di posisi atas. Selain kompetisi olahraga, Syamraga. Itu kalau bisa dibuang jauhjauh sikap sombong itu, tidak baik syuddin juga sering mengikuti festiuntuk diri sendiri dan orang lain!” val-festival olahraga tradisional. Betutur Syamsyuddin yang begitu se- berapa di antaranya adalah Festival mangat dalam bercerita soal Pa’Raga. Olahraga Tradisional di Jakarta pada Kemahiran beliau pada masa tahun 2001, di Jerman-Siangapuramudanya sebagai seorang Pa’Raga Belanda pada tahun 1992 juga dalam Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

23


Komunitas

“Dalam seni olahraga Pa’Raga, selain skill yang dilatih, terangkai juga tujuan lain yaitu proses penyebaran agama islam. Proses itu berlangsung disaat mereka saling duduk berbagi cerita”.

Imam Mubin

rangka Festival Olahraga Tradisional, dan di kota Sidrap dalam rangka seleksi PON XIV. Pak Syamsyuddin sempat mengatakan, “Dalam seni olahraga Pa’Raga, selain skill yang dilatih, terangkai juga tujuan lain yaitu proses penyebaran agama islam. Proses itu berlangsung disaat mereka saling duduk berbagi cerita”. Dalam perjalanan sejarahnya, banyak cerita yang kemudian muncul mengenal asal muasal “raga” yang dipakai dalam permainan tradisional ini. Raga atau bola itu sendiri yang dipakai dalam olahraga tradisonal ini disebutkan bahwa asalnya berasal dari tanah Goa, Sulawesi Selatan. Bukan dari tempat lain. Kelihaian beliau dalam menjelas-

24

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

kan segala sesuatu mengenai Pa’Raga memang tidak bisa dipungkiri. Sebut saja penjelasan singkat mengenai permainannya. Satu kelompok pemain Pa’Raga terdiri dari 12 orang. 6 orang yang memainkan raga/bolanya dan 6 anggota lain memainkan alat musik berupa gendang, tawatawa, dan calun-calun/gong. Sedang kostum yang dipakai para Pa’Raga terdiri dari beberapa bagian. Mulai dari Passapa (kain pengikat di kepala), Passa’be (sarung dalam seni Pa’Raga), Boricci (celana pendek), dan Baju Pa’Raga. Bila ditanya soal kesulitan-kesulitan yang dialami sampai sekarang, beliau hanya menjawab dengan sangat polos mengenai masalah dana. Entah itu untuk keperluan dan/

atau pemeliharaan alat-alat dan juga pemenuhan hal material mereka. Buah karya tangan Bapak Syamsyuddin ternyata menuai tanggapan positif dari masyarakat sekitar. Banyak anak-anak kecil dari warga sekitar yang ikut ambil bagian dalam mempelajari tradisi Pa’Raga ini. Didukung pula oleh aktifnya kelompok yang dibina beliau dalam mengikuti setiap kegiatan dan undangan yang datang. Lain halnya pun dengan dukungan dari pemerintah kota setempat khususnya bidang pariwisata. Mereka juga support dengan adanya kelompok yang dikembangkan oleh Pak Syamsyuddin. Satu hal yang tak terlupakan adalah misi dan sekaligus harapan dari Syamsyuddin selaku pembina dan pelatih yaitu menjadikan Pa’Raga ini tercium sampai kancah nasional atau bahkan tingkat internasional. Seiring berjalannya waktu kemudian salah satu usaha dalam merangkai misi itu secara perlahan adalah dengan penerbitan sebuah buku mengenai Pa’Raga yang berisi mengenai sejarah, panduan, dan segala sesuatu tetang Pa’Raga ini. Penyebaran dan pengenalan Pa’Raga pun bisa berkembang tanpa harus terkendala oleh dimensi ruang dan waktu. (Tian)


Galery Film dan Foto Karya Anak KOSMIK

Kunjungi http://www.kifokosmik.com Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

25


Artikel

BELAJAR DARI NEGERI CINA

Wuxia : Representasi Heroisme dalam Identitas Kultural Tionghoa Oleh : Dodi Kurniawan

Anda tahu tokoh Wong Fei Hung ,Yo Ko , atau soal kungfu dan biksu sakti dari biara shaolin ? Anda tau komik : tapak sakti, tiger wong , atau kungfu boy ? Itulah bagian dari suatu hal yang disebut : WUXIA ….

C

ina memiliki sejarah panjang , mulai dari berkuasanya dinasti-dinasti feodal hingga pada revolusi yang mengubah Cina menjadi negara “ tirai bambu”. Semua sejarah ini terekam dalam bentuk tradisi lisan dan tulisan . tradisi chuanqi (prosa-romansa) pada masa dinasti Tang (618-907). Berkembang lebih jauh di masa dinasti Ming dan Qing, kemudian dari tradisi inilah berkembang wuxia (novel-silat).Beberapa dekade kemudian wuxia pun mengalami berbagai perkembangan, pada mulanya pola bertuturnya

26

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

masih sangat tradisional dan sangat ideal, lalu menjadi lebih realistis dan lebih logis, (paling tidak wuxia punya logika tersendiri yang mungkin bagi orang-orang yang tidak paham budaya Tionghoa akan menganggapnya sebagai hal yang tidak masuk akal ) wuxia modern baru benar-benar muncul sebagai sebuah literatur populer pada tahun 1920-an. Seperti kebudayaan barat mendefinisikan fiksi dengan makhluk aneh dan peri dalam cerita atau dongeng, maka fiksi wuxia dalam kebudayan tionghoa mendifinisikan fiksi dalam genre mereka melalui wujud konkret seorang pendekar tanpa tanding dengan kemampuan melayang di udara dan jurus-jurus saktinya . Sejak perang dunia ke-II tradisi sinema sudah dibawa dari Cina ke Hong Kong Selama era 30-an ini selain film-film adaptasi opera beberapa genre baru bermunculan yakni, perang (propaganda anti Jepang) serta silat atau yang lazim disebut wuxia. Sejak industri film dipindahkan ke hongkong , praktis Hong Kong selama beberapa waktu menjadi surga bagi para pelaku industri asal Shanghai. Studio-studio besar

seperti, Grandview, Tian Yi, Universal, dan Nanyue didirikan namun tidak bertahan lama, kemudian studio film legendaries Shaw Brothers dan Golden Harvest pada beberapa dekade berikutnya. Maraknya studio film, sudah barang tentu berimplikasi pada meningkatnya distribusi produk budaya secara massal dalam hal ini produksi film hongkong, terutama genre wuxia, sejak didirikannya dua “raksasa”perfilman Hong-kong yaitu Shaw Brothers Studio dan Golden Harvest, karena distribusi yang luas wuxia tidak lagi menjadi milik orang cina saja, uxia perlahan menjelma menjadi sebuah genre film transnasional, bahkan kemudian diakui secara internasional dan bahkan berpengaruh besar dalam filmfilm produksi Hollywood beberapa dekade kemudian (lihat film : KILL BILL, THE MATRIX, DRAGON BALL dll) Kata wuxia dalam bahasa Cina, terdiri dari dua karakter huruf. Yang pertama adalah Wu, digunakan untuk mendeskripsikan segala sesuatu yang berhubungan dengan martial arts, perang, atau militer. Karakter


Devianart.com

Artikel

kedua adalah Xia, mengacu pada para tokoh yang ditemukan dalam fiksi wuxia dan juga sinonim untuk ksatria dan segala kode falsafah keksatriaan yang melingkupinya. Beberapa variasi terjemahan telah dilakukan atas karakter ini termasuk kata pahlawan, pendekar, pengelana, prajurit, atau ksatria Cerita silat atau wuxiá (secara harfiah berarti pahlawan ilmu beladiri) adalah sub-genre dari semi-fantasi dan cerita silat dalam literatur, televisi dan dunia perfilman. Di Indonesia tidak seperti di dunia pada umumnya, di mana wuxia didominasi oleh penokohan orang-orang dan budaya Tiongkok, (cerita silat di Indonesia banyak dibangun atas unsur-unsur lokal, menciptakan suatu genre (apa-

bila tidak dikatakan baru) tersendiri dari saudaranya wuxia) Cerita silat secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah manifesto kultural dari kerinduan masyarakat akan sosok dan nilai-nilai kepahlawanan yang mereka yakini membela kepentingan dan kelemahan mereka seperti kerinduan masyarakat di hutan Sherwood akan sosok Robin Hood atau orang betawi akan sosok si Pitung. Identitas kultural mereka sebagai etnis menjadi perekat dan penguat perasaan itu Menjadi menarik kemudian bahwa identitas kultural semacam itu hampir dimiliki oleh semua bangsa di penjuru dunia dengan karakteristik beragam. Epos dan cerita kepahlawanan selalu saja men-

jadi bagian menarik dari sejarah sebuah bangsa. Mengapa ? karena tiap bangsa selalu punya “ pahlawan “ dan “ kepahlawanan”-nya sendiri . “ Pahlawan” ini menjadi representasi dari nilai-nilai identitas cultural milik satu bangsa atau etnis di seluruh dunia ,”pahlawan” atau “ Sosok Heroik” merupakan representasi dari harapan-harapan masyarakat akan kondisi sosial yang lebih baik dari saat ini . Ironi yang kemudian kerap terjadi adalah beberapa dari masyarakat kita cenderung melepaskan identitas kulturalnya, mereka cenderung tercerabut jauh dari nilai-nilai yang mengikatnya dalam satu identitas cultural yang utuh disebabkan oleh betapa kerasnya deru mesin –mesin Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

27


freewebs.com

Artikel

budaya/media massa mencampuraduk dan kemudian mereproduksi segala rupa budaya dalam satu wadah dan mencekoki khalayak dengan hasil campur-aduk yang semrawut ini : Pop Culture. Baudrillard bahkan mengungkapkan bahwa media dengan mudahnya menyatukan masyarakat dalam satu tahapan … dan ditahapan berikutnya masyarakat atau khalayak ini dilepas dan dilebur begitu saja dalam batas-batas geografis, kultural, religi, politik dan sosial yang kemudian terlihat bias .Masyarakat yang “ menghambur “ ini kemudian menjadi bias identitas kulturalnya : Manusia menjadi tidak “ Manusiawi lagi “. Paling tidak , inilah sebagian kecil realitas yang meng-ironi dari sebuah

28

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

revolusi budaya, hasil dari kapitalisme dan demokrasi, ketika budaya menjadi industri, ketika sekat-sekat budaya semakin hilang batasnya, orang indonesia tidak lagi bangga mengenakan kain batik. Budaya seakan tinggal menjadi sebuah mesin yang dituntut menghasilkan produkproduk kebudayaan kapitalisme, maka hasilnya perlahan tapi pasti nilai –nilai kemanusiaan terkikis oleh naluri mengonsumsi dan berimplikasi pada penumpulan akal budi . Mengapa ? karena kita tak lagi memiliki pedoman dalam menjalani hidup kita. Kita kehilangan identitas kemanusiaan kita . Anda khawatir atau tak peduli?... Apapun jawaban anda, realitasnya kemudian adalah kita seka-

rang sedang mengalaminya dan anda bukan satu-satunya orang yang khawatir atau tidak peduli akan realitas mengerikan itu. Paling tidak di berbagai penjuru dunia masih banyak orang khawatir dengan kondisi super-ngeri itu, akan jadi bagaimana kondisi sebuah bangsa atau etnis ketika masyarakat atau individu dalam etnis itu sendiri masih gamang dengan kondisi serta identitas kulturalnya sendiri : Orang Jawa tidak lagi bisa berbahasa jawa tapi lebih fasih berbahasa korea misalnya. Kondisi macam ini bukan tidak dapat diselesaikan pasti ada solusi untuk setidaknya mengurangi efek negatif dari “ krisis budaya” ini. Cina telah menawarkan suatu solusi tepat dalam menyelesaikan persoalan ini,


solusi cerdas dan cukup membantu menata kembali identitas kelokalan mereka yang sempat “ biasâ€? . Hal ini, mau tidak mau, mesti diakui sebagai keberhasilan Cina dalam membangun benteng kokoh dari serbuan kapitalisme budaya, yang kemudian jadi luar biasa. Justru proses pembentengan diri ini menjadi sebuah trend dalam tradisi sinema dan sastra. Terdapat beberapa ratus film dan novel silat yang kemudian menjadi populer diseluruh dunia bahkan salah satu novel Wuxia klasik berjudul Return Of The Condor Heroes diterjemahkan dan dibuat komik dalam bahasa Jerman. Cina telah berhasil menghayati nilai-nila heroisme dalam tradisi kultural mereka menjadi sebuah nilai-nilai universal yang dapat diterima diseluruh dunia. Hal ini tidak lepas dari bagaimana mereka menghormati dan menghargai tradisi dan sejarahnya. Dan walhasil ‌.? Hingga saat ini “ orang Cinaâ€? tetap menjadi orang Cina dimanapun mereka berada. Wuxia telah sanggup membentuk benteng kokoh bagi identitas kelokalan mereka sebagai sebuah etnis, sebagai sebuah bangsa , dan bahkan sebagai sebuah negara yang utuh. Meski modernisasi terus melanda Cina namun hal ini tidak membuat mereka kehilangan identitas ke-Cina-annya Lalu bagaimana dengan negeri ini? Sepertinya sudah cukup untuk bernostalgia dengan segala macam perasaan bangga tentang kebesaran dan kekayaan negeri ini yang sudah disuntikkan ke benak kita sejak bangku sekolah dasar lewat pelajaran PPKN . Negeri ini sedang gamang, kehilangan identitas, kehilangan jati diri sebagai sebuah nations : kita

m.flikie.com

Artikel

mungkin masih merasa sebagai seorang Indonesia,tapi secara esensi ke-indonesiaan kita telah terkikis, dahulu ketika ada upacara bendera dimanapun itu kita akan singgah dan turut memberi hormat pada bendera negara tapi sekarang ? orang etnis tertentu pasti tetap merasa sebagai bagian dari etnis tersebut , tapi soal memahami nilai-nilai ke-etnis-annya ? belum tentu . Mungkin sebab utamanya adalah kita telah dijajah oleh kapitalisme yang sesungguhnya kita bangun dan suburkan sendiri lewat industri budaya massa. Kita jauh lebih membanggakan kesalahan-kesalahan konyol itu daripada sekedar berusaha mencari solusi untuk menyelesaikannya , kita jadi skeptis dan pesimis melihat masa depan karena kita tak punya nilai untuk dijadikan pedoman. Semua nilai itu sudah

teridealisasi oleh budaya posmodernisme di mana ruang-ruang sosial dipersempit sehingga kita seakan malas untuk sekedar menyapa tetangga sebelah dipagi hari saat ingin berangkat ke kantor. INI KONYOL BUNG .!!! Apakah kita ingin kehilangan identitas kita sebagai sebuah bangsa ? Apa kita ingin kita kehilangan identitas cultural kita ? Apa kita ingin pasrah menghadapai dominasi dari penjajahan budaya yang dilakukan oleh kapitalis busuk? Anda hanya perlu menjawabnya dengan bersegera bertindak .!!! saat ini juga . # Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu komunikasi UNHAS angkatan 2008 # Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

29


Teknologi

File Sharing: Pelanggaran Hak Cipta dan Konsekuensi Data Digital

“D

ownload” kata yang sangat akrab bagi pengguna internet. Download atau unduh adalah salah satu tools paling sering digunakan dalam proses penjelajahan di dunia maya. Download juga menjadi kata kunci paling sering digunakan dalam pencarian pada mr. Google. Untuk apa? Yah! Untuk mencari server penyedia layanan penyimpanan data (file sharing), dan tentu untuk mengunduh data-data yang tersedia di server penyimpanan tersebut. Film, musik, gambar, dan banyak hal lain yang tersedia di dalamnya, ditambah lagi layanan “download ini banyak yang bersifat free atau gratis, namun adapulah yang berbayar. Semua orang dapat mengakses atau mengunduhnya, bermodalkan seperangkat komputer, laptop, atau bahkan HP (telpon genggam) . Sekalipun dapat melakukan proses pengunduhan, namun tentu dengan satu syarat pasti; hardware atau gadget itu terkoneksi atau terhubung dengan layanan penyedia jasa internet (broadband, wi-fi, provider). Begitu banyak tawaran menyenangkan oleh jasa gratis ini, namun tenyata file sharing meninggalkan beberapa persoalan, khususnya pada

30

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

masalah legalitas dan pelanggaran hak cipta. Tentu saja pada kasus pengunduh data berbayar hal ini bukanlah masalah, karena kebanyakan data-data tersebut bersifat legal. Yang menjadi masalah, pengguna lebih banyak mencari unduhan free. Namun “free” disini merupakan data yang telah berlabel Copyrights sebagai tanda perlindungan hak cipta yang diakui secara international oleh World Trade Organization(WTO). Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dengan hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena ia bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya. Men-download konten yang memiliki hak cipta telah menjadi persoalan di setiap negara di dunia. Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, Pasal 1 butir 1 berbunyi; “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak

ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,” Dari undang-undang di atas jelas bahwa mengunduh konten yang memiliki “hak cipta” adalah ilegal dan mungkin menjurus pada pelanggar hak cipta. Mengunduh jelas merupakan proses penggandaan. Namun apakah pengguna secara otomatis dapat disalahkan, tentu saja “tidak”. Karena pada dasarnya semua data berbasis digital dapat digandakan, bagaikan sebuah virus penyakit yang berkembang dengan cepat menyebar dan semakin banyak, data pun seperti itu. Dan itu tidak bisa diselesaikan dengan aturan hak cipta atau undang-undang yang ada, namun merupakan tanggung jawab pengembangan teknologi “anti” pembajakan yang tentu sangat sulit untuk diwujudkan. Masalah sebenarnya adalah apakah file sharing ini merugikan atau menguntungkan? Dilansir dari detik. com sebuah artikel yang berjudul “2 juta lagu bajakan di unduh tiap harinya” ! Luar biasa bukan “pembajakan” tersebut, dan lanjut lagi menghasilkan kerugian yang di tak-


Teknologi

sir mencapai Rp 4 Triliun bagi industri musik indonesia. Namun ternyata dari musik ilegal industri musik masih mendapat sekitar Rp 1 Triliun keuntungan. Maka bisa kita bayangkan keuntungan yang akan di dapatkan oleh segelintir orang di industri ini jika tidak ada “pembajakan� yang di anggap sebagai kejahatan pelangaran hak cipta tadi. Industri pun sebenarnya tidak mengalami kerugian besar. Pemeritahan Swiss mengadakan penelitian tentang legalitas men-download dan hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa undang-undang tersebut tidak dibutuhkan karena pemegang hak cipta tidak benar-benar terkena dampak dari tindakan tersebut. Dilansir pula pada megindo.net bahwa: “di Swiss diperkirakan 30% warganya men-download konten ba-

jakan. Namun anehnya mereka mengalokasikan dana hiburan secara berimbang bahkan lebih tinggi dari orang yang tidak mendownload konten bajakan. Menurut pendapat mereka aspek positif dari pembajakan adalah banyak pihak di industri media contohnya, musisi mendapatkan kemudahan dalam mengiklankan karyanya.� Maka muncul kritikan-kritikan terhadap hak cipta, secara umum dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas, demi mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Kelompok ke dua berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar

sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu kehadiran model baru masyarakat informasi. Jika melihat keberhasilan proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya monopoli sistem sewa berlandaskan hak cipta. Produkproduk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyaratan lisensinya, yang dirancang untuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi semacam itu disebut copyleft atau lisensi perangkat lunak bebas. Teknologi yang ada seharusnya dipakai untuk hal-hal yang baik bukan untuk membuat filter atau blokade. (Lili & Hajir) Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

31


sxc.hu

Teknologi

Mengenal Lebih Dekat Search Engine

Z

aman telah jauh berubah semuanya saling terhubung dengan dunia digital, tempat dan waktu bukan lagi menjadi masalah untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain. Dengan adanya internet semua informasi yang kita butuhkan tersedia untuk diakses. Melalui mesin pencari seperti google dan yahoo, kita tinggal mengklik kata kunci informasi yang kita butuhkan kemudian mesin pencarian web tersebut bekerja dan memunculkan sepuluh site pada setiap halaman yang mengandung informasi yang kita butuhkan. Bisa saja tulisan yang kita buat melalui blog kita yang tampil di halaman google tersebut.Menulis di blog memang berbeda dengan menulis di buku tulis. Tapi pada prinsipnya sama. Blog dan buku tulis digunakan untuk menulis. Hanya saja menulis di blog akan segera dibaca banyak orang karena sifatnya online.Tulisan pada blog yang awalnya diniati sebagai ‘experience sharing’ kemudian

32

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

berkembang meluas menjadi ‘knowledge sharing’. Situasi diatas tadi memberikan banyak kesempatan dan pengalaman interaksi yang begitu luas dan mendalam. Interaksi disini adalah komunikasi baik melalui medium on-line communications baik via email, dan blog comments, blog-commenting pada sederet kategori group bloggers, dan komunitas online seperti mailing list (Yahoogroups, Googlegroups) dan terus sampai masuk pada jejaring media sosial.Interaksi tersebut itu mulai menjadi intensif seiring dengan mendalamnya tulisan (Blog posting) yang mengedepankan ‘readers benefit’ yaitu manfaat bagi pembaca, perihal apa yang penting untuk diketahui oleh bloggers dan pembaca blog. Tanpa kita sadari ada banyak penulis blog yang memanfaatkan situasi ini untuk dijadikan lahan bisnis yang begitu menggiurkan.Bloggerblogger saling bersaing agar tulisannya bisa masuk dihalaman terdepan

mesin pencarian google. Melalui tulisan ini, penulis mencoba berbagi bagamana cara agar tulisan kita dapat juga masuk dalam search engine. Semakin banyak pengunjung blog kita maka semakin besar peluang kita dalam menghasilkan uang. berikuiini beberapa tips atau hal-hal yang mempengaruhi kenapa blog kita bisa berada di urutan atas hasil pencarian search engine: 1. Coba ketikkan alamat URL blog kitadi google search kemudian tekan Enter. Jika blognya muncul berarti sudah ke indeks di google tapi mungkin masih kalah bersaing dengan yang lain. Dan jika blog kita tidak muncul berarti belum keindex di google. Coba daftarkan blogmua di http://google.com/addurl. 2. "Title Blog", jika membuat blog tentunya kita disuruh untuk membuat title blog. Title blog ini sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap hasil pen-


Teknologi

6. Blog dilengkapi dengan berbagai aksesoris seperti banner animasi dan flash, pemasangan kalender, jam, ip addres checker, aplikasi pemutar musik dan video, iklan bertebaran dimanamana, kebanyakan photo serta aksesoris lain yang tidak berhubungan dengan tema blog. Itu akanmembuat blog menjadi berat, dan juga blog kita akan kelihatan seperti pasar tradisional. Usahakan membuat desain blog yang membuat pembaca nyaman dan cepat mengakses blog kita. Cara mengecek kecepatan akses blog kita dengan cara membuka layanan google pada: https://developers.google. com/pagespeed/ 7. Menebalkan, memiringkan atau memberikan underline pada judul postingan juga membantu kita bersaing pada halaman pertama google. 8. "Promosikan blog", promosikan blog ke banyak web/blog, forum, situs-situs promosi gratis,

media jejaring social. Karena semakin banyak link blog kita tersebar maka akan semakin sering pula spider searh engine mengunjungi blog. 9. �Blogwalking� , melakukan kunjungan ke blog-blog lain dengan memberikan jejak blog kita seperti comment pada tulisan mereka sehingga terjadi aktivitas saling berkunjung antar sesama blogger. 10. Menulislah dengan gaya sendiri, tidak perlu meniru gaya menulis orang lain. Cobalah untuk menemukan gaya tulisan sendiri, dengan begitu kita mempunyai karakteristik, dan keunikan tersendiri di mata pembaca. Beberapa tips sederhana diatas sudah sangat membantu kita dalam bersaing untuk bisa masuk pada halaman pertama google. Sebenarnya masih banyak cara yang yang lebih spesifik itu bisa kita pelajari dengan bantuan google juga tentunya. Selamat mencoba.(rizved)

netregistry.com

carian di search engine 3. "Title Postingan". Title postingan ini juga hampir sama pentingnya dengan title blog. Dalam membuat title postingan atau judul postingan hendaknya dipikirkan betul, bayangkan kira2 judul apa yang paling cocok untuk postinganmu. Juga bayangkan kira2 jika km mencari artikel tentang postingan tersebut, keyword apa yang akan diketikkan di dalam search engine. Bayangkan seperti itu. 4. “Tema Blog�, buatlah sebuah blog dengan tema yang spesifik misalnya kita menyukai olahraga, maka isilah blog kita dengan informasi-informasi olahraga jangan mencampurkan dengan topic lain 5. "Update Blog", sering-seringlah mengupdate blog setidaknya dalam satu minggu itu sekali ato dua kali. Menulis blog secara rutin dan berkala akan disukai google menurut pengalaman dari blogger-blogger.

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

33


Budaya Catatan dari Negeri Sakura

Imajinasi Kaum Muda Jepang dalam Seijin no Hi Oleh : M.Thaufan Arifuddin

M

enuliskan kisah pemuda akan menghadirkan harapan revolusioner. Harapan yang aktif menggeliat, seperti filosofi “becoming� dari Erich Fromm (pemikir kritis-humanis), yang menghadirkan dinamisasi rasa dan aksi manusia untuk mencintai dan dicintai, menghargai dan dihargai, serta menyayangi dan disayangi di semesta raya. Tulisan ini ingin memaparkan kisah haru-biru para pemuda di Jepang yang baru saja melewati hari libur nasional di Jepang yaitu Seijin no Hi pada Senin, 09/01/2012. Di Jepang, lazimnya setiap Senin kedua di bulan Januari para pemuda yang menginjak usia 20 tahun (hatachi) akan berkumpul untuk merayakan hari libur Seijin no Hi sebagai momentum menuju kedewasaan dan kematangan hidup. Tak ayal di sekeliling kota di Jepang termasuk Tokyo, Yokohama, dan Nagoya terlihat para pemuda dengan bangga beramai-ramai berjalan kaki mengenakan pakaian tradisional Jepang. Perempuan tampil cantik menawan menggunakan sejenis Kimono yang disebut Furisode dipadukan dengan sandal Jepang yang dinamai Zori, sedang pria memakai sejenis kimono gelap yang dikenal sebagai Hakama. Namun sebagai buah dari

34

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

kemoderenan Jepang, banyak juga para pemuda pria yang memakai jas modern dipadukan dengan dasi. Perayaan Seijin no Hi ini dikenal sebagai Seijin-shiki ketika para pemuda yang telah mengenakan pakaian tradisional Jepang berkumpul di pagi hari untuk mendengar pidato formal dan sosialisasi tentang “cara menjalani masa muda� di gedung pemerintah setempat. Momentum ini juga menjadi tanda yang mengindikasikan bagi setiap pemuda Jepang bahwa mereka telah boleh mengikuti Pemilu, meneguk minum-minuman keras, dan mengisap rokok di tempat yang diperbolehkan. Para pemuda Jepang sangat menikmati perayaan ini dan terlihat riang-gembira. Mereka menjadikan perayaan ini sebagai saat tepat membangun resolusi di masa muda. Misalnya Miura, salah seorang di antara kerumunan gadis yang merayakan Seijin-shiki, ketika ditanya tentang keinginannya di usia seperti ini, dia menjawab ingin bekerja (Shigoto). Seijin-shiki dapat dilihat sebagai fenomena kebudayaan di Jepang ketika para pemuda diberikan ruang untuk berkontemplasi dalam suasana yang menyenangkan untuk menjadi pribadi yang rasional, disiplin, pekerja keras, dan mencintai tradisi

Jepang. Walaupun, mereka cenderung terlihat hedonistis dengan berdandan mewah dan bersenang-senang, namun sesungguhnya keceriaan mereka dalam perayaan Seijin-shiki merepresentasikan performance ekonomi Jepang yang berkilau, yang memberikan mereka keleluasaan dan kesenangan untuk melukis mimpi dan imajinasi masa depan dalam meraih kehidupan yang lebih baik. Sebab mereka adalah generasi muda Jepang yang memiliki akses ekonomi yang luas dan akan menjadi generasi produktif, pekerja keras, andal, dan profesional untuk membangun negeri Sakura. Imajinasi masa depan kaum muda di Jepang dapat dilihat dari fakta bahwa negara maju dengan usia produktif (15-64 tahun) yang cenderung menurun 1,02% (844.000 orang ) pada 2009 adalah salah satu negara termakmur dengan perekonomian terbesar di peringkat ke-2 dunia setelah Amerika Serikat, dengan pencapaian PDB Nominal sekitar US$ 4,5 triliun dan perekonomian terbesar ke-3 dunia setelah AS dan RRC dalam keseimbangan kemampuan berbelanja di 2008. Jepang juga memiliki standar hidup yang tinggi di peringkat ke-8 dalam Indeks Pembangunan Manu-


devianart.com

Budaya

sia dan upah kerja per jam tertinggi di dunia. Bagaimana dengan pemuda di Indonesia? Di Indonesia, para pemuda cenderung didefinisikan secara ideologis dan tunduk pada kekuasaan politis. Secara ideologis, pemuda Indonesia diterjemahkan hanya secara historis sebagai peletak dan penggerak revolusi kemerdekaan, ketika mereka berkumpul dari berbagai pulau di nusantara dan bersumpah setia pada 28 Oktober 1928 untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa Indonesia. Walaupun imajinasi pemuda Indonesia diperbaharui setiap tanggal 28 Oktober sebagai hari Sumpah Pemuda, tetapi peran mereka di masa sekarang hilang dan hanya sebagai komoditas politik. Disorientasi para pemuda Indonesia yang cenderung hedonistis dan

akhirnya apatis dengan arah bangsa disebabkan oleh pelemahan karakter pemuda oleh kenaifan struktur kekuasaan dan kebijakan politis. Alih-alih memperjelas dan membangun karakter pemuda dengan penalaran yang jernih serta akses yang baik dan merata, status konstitusional saja menjadi problematik. Dalam Undang-Undang Nomor 40/2009 tentang kepemudaan jelas mengartikan pemuda mulai usia 16 hingga 30 tahun, namun dalam UU Nomor 23/3003 tentang Perlindungan anak menyatakan usia di bawah 18 tahun masih dikategorikan anakanak. Celakanya, UU Pemilu malah menyeruduk dengan mengikutkan usia 17 tahun dalam Pemilu tanpa ada kejelasan apakah di usia itu masih anak-anak atau telah menjadi pemuda. Hal ini bukan hanya harus

diperjelas demi keadilan tetapi juga karena masa muda harus disadari dengan penuh tanggung jawab dan bukan komoditas politik sehingga menjadi karakter pemuda Indonesia. Lebih jauh, sudah seharusnya pemuda didefinisikan berdasarkan kehendak zaman mereka, keberlanjutan sejarah, dan peran mereka dalam orientasi hidup yang jelas. Negara pun selayaknya telah menyediakan akses ekonomi yang luas agar menjadi imajinasi ruang kreativitas dan profesionalitas mereka kelak. Mungkin dengan cara ini, hari Sumpah Pemuda akan dirayakan pemuda Indonesia lebih bermakna seperti imajinasi Kaum Muda Jepang dalam Seijin no Hi sebagai titik kembali menjadi rasional, disiplin, pekerja keras, dan mencintai tradisi.

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

35


Budaya

Maydelin

Yang Nyaris Terlupakan : Museum Karaeng Pattingaloang

S

ebagai putra-putri daerah, kita patut bangga dengan segala budaya yang dimiliki Kota Daeng. Banyak sosok luar biasa dari negeri Angin Mammiri yang diakui oleh dunia termasuk yang tidak asing adalah Sultan Hasanuddin yang dijuluki ayam jantan dari Timur. Namun mungkin tidak banyak dari kita yang mengetahui bahwa ada lagi sosok hebat yang lahir di tanah ini dengan kemampuan menguasai tuju bahasa dan mendapat pengakuan Pemerintah

36

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Hindia-Belanda karena kecerdasan dan kepandaiannya. Sosok tersebut adalah Karaeng Pattingaloang,yang tidak lain adalah guru dari Sultan Hasanuddin, namanya diabadaikan pada sebuah museum yang tidak sepopuler tempat-tempat lain, Museum Karaeng Pattingaloang, wujud penghargaan dan penampung warisan sejarah yang nyaris terlupakan. Sejuk dan rindang. Dua kata ini serasa sangat menggambarkan suasana ketika saya memasuki kawasan

Kompleks Somba Opu di bilangan Jalan Daeng Tata, Makassar. Menelusuri jalanan di dalam kompleks ini seakan bertamasya ke berbagai tempat di Provinsi Sulawesi Selatan. Rumah-rumah penduduk di kawasan ini semakin menambah kesan hangatnya masyarakat Makassar. Senyum ramah dan sapaan bermakna mengiringi langkahku menuju ke tempat yang lebih dalam lagi di sudut kompleks ini. Dari jauh terlihat bangunan asri


Budaya

“Museum ini sudah berdiri sejak awal tahun 1990, jadi usianya kini sudah lebih dari 20 tahun nan hijau yang berdiri dengan kokoh. Museum Karaeng Pattingalloang. Begitu tulisan yang kubaca di papan hijau di depan bangunan ini. Walaupun dari luar dapat terlihat bahwa usia bangunan ini sudah tidak muda lagi, namun kesan kuat tetap nampak. Di depan bangunan itu terpamer sebuah meriam hasil rekonstruksi oleh H. Muchtar Ibrahim Daeng Naba, seorang siswa STM (kini dikenal dengan istilah SMK) Pembangunan pada tahun 1991. Meriam dengan panjang sekitar 2 meter ini sungguh elok, apalagi setelah direkonstruksi oleh Daeng Naba yang berupa penambahan roda dan dudu-

Maydelin

kan dari besi. Saya pun melangkahkan kaki menuju tangga bangunan ini dan langsung disambut senyum ramah para petugas UPTD Benteng Somba Opu Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka mempersilahkanku duduk dan mempertemukanku dengan Kepala UPTD, H.A.Hasnul. Beliau menyambutku ramah dan kami pun mulai berbincang-bincang. “Museum ini sudah berdiri sejak awal tahun 1990, jadi usianya kini sudah lebih dari 20 tahun. Pada hari libur, biasanya ramai dikunjungi anak sekolah maupun mahasiswa, juga orang-orang yang ingin meneliti tentang museum ini,” ujar Hasnul ketika aku menemui beliau di ruangannya, Kamis, 15 Desember 2011 yang lalu. Beliau bercerita lebih lanjut tentang keadaan museum ini yang memang masih perlu perbaikan, khususnya di bidang keamanan. “Keamanannya masih kurang, mungkin perlu ditambahkan kamera CCTV,” katanya.

Setelah berbincang-bincang sejenak, aku pun undur diri untuk masuk melihat-kihat isi museum. Beliau lalu memanggil seorang pegawainya untuk menemaniku. Ketika memasuki ruangan lantai 1 museum, saya langsung takjub. Sudah lama sekali tak berkunjung ke museum, sehingga kunjungan kali ini benar-benar mengobati rasa rindu terhadap karya seni dan budaya masyarakat Makassar. Di dalam museum, terdapat berbagai etalase kaca yang berisikan bermacam-macam benda yang ditemukan di kawasan Kompleks Somba Opu. Mulai dari batu bata yang berisikan jejak-jejak, peluru serta artefak-artefak kuno lainnya, dan juga tampilan berbagai pakaian adat dari suku-suku yang ada di Sulawei Selatan. Ada satu hal yang menarik perhatianku. Sebuah lukisan tampak di langit-langit lantai 1. Dengan ukuran kurang lebih 2x3 meter , tergambar lukisan Benteng Somba Opu pada zaman dahulu yang dikenal se-

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

37


Budaya

“...setelah Perang Gowa_belanda pada tahun 1699, akhirnya lahirlah perjanjian Bongaya dan penghancuran Benteng Somba Opu...� bagai salah satu bandar niaga teramai di Asia ketika itu. Lukisan ini juga menggambarkan betapa jayanya kota Makassar yang merupakan salah satu kota bertaraf internasional yang disegani. Jika ingin melihatnya dengan jelas, selain dengan menengadahkan kepala ke atas, dapat juga melihatnya menggunakan cermin berukuran besar yang berada di tangah ruangan, yang memantulkan gambar lukisan detail.

38

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

“Lewat lukisan ini dapat terlihat jelas bagaimana jayanya Kerajaan Gowa. Tetapi setelah Perang Gowa_belanda pada tahun 1699, akhirnya lahirlah perjanjian Bongaya dan penghancuran Benteng Somba Opu ini,�ungkap Abdul Rahim, Kasubag.UPTD Pengelola Somba Opu. Beliau juga menjelaskan tentang penamaan museum ini. Dinamakan Museum Karaeng Pattingalloang karena ini merupakan bentuk apresiasi terhadap sosok Karaeng Pattingaloang yang memang dikenal cerdas dan pandai, bukan saja di Kerajaan Gowa, tapi juga sampai ke Belanda. Bahkan kabarnya pemerintah Hindia Belanda pernah memberikan penghargaan berupa Globe untuk tokoh cerdas tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan jelas di dalam museum. Pada dinding museum terdapatbingkai yang berisi tulisan yang menjelaskan tentang Karaeng Pattingaloang. Tulisan tersebut dibuat oleh Prof. Mr. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid yang adalah mantan Rektor Universitas 45. Tulisan ini pernah dibacakan pada acara baca Puisi Pahlawan pada 10 November 1993. Menelisik lebih jauh, di dalam museum terdapat berbagai batuu bata dengan bermacam motif. Ada yang berlubang-lubang dengan corak tersendiri yang jika diperhatikan mungkin berhubungan dengan penghitungan hari baik-buruk yang menjadi kepercayaan masyarakat

pada masa itu. Lalu ada juga ang bermotif menyerupai binatang, seperti kaki ayam ataupun ekor ular. Ini juga sungguh menarik perhatianku. Bagaimana bisa sehingga binatang tersebut sampai tercetak di batu bata ? Penelusuran pun kulanjutkan ke lantai 2 museum ini. Ternyata masih banyak benda di sini. Benda yang dipamerkan kebanyakan adalah tembikar dan keramik atau porselin yang ditemukan ketika Dr. Muchtar Paeni sedang melakukan ekskavasi di sekitar situs benteng Somba Opu mulai tahun 1989. Berbagai jenis dan ukuran serta bentuk gerabah dan keramik yang dipamerkan merupakan hasil karya masyarakat Kerajaan Gowa maupun hasil pertukaran dengan pedagang yang datang ke Bandar Makassar. Benda-benda tersebut ada yang dipakai dalam upacara adat yang digelar di lingkup Kerajaan Gowa. Setelah melihat seluruh koleksi di museum Karaeng Pattingalloang, saya merasa sangat puas. Senyum ramah kembali kudapat ketika menuruni anak tangga dan hendak berpamitan pulang. Ketika berjalan ke depan halaman museum ini, terlihat sebuah papan bertuliskan nama-nama bulan yang digunakan di Sulawesi selatan sebelum tahun 1520. Tampak nama 12 bulan bertuliskan huruf lontara. Saya lalu meneruskan perjalanan. Ketika sampai di depan kompleks museum, saya membalikkan badan, memandangi museum itu sekali lagi. Sungguh peninggalan budaya yang menarik. Anda pun harus mengunjungi tempat ini. (Idel)


Kampus

Muhammad Idham Ama

KOIN UNTUK WC SOSPOL

S

ekelompok mahasiswa berjalan menyusuri koridor dari arah FIS VIII menuju ruang kuliah di FIS IV. Beberapa bangunan dengan rapi berjejer di sepanjang lorong. Sejauh mata memandang terlihat kesibukan mahasiswa. Tak ada abaaba secara tegas yang diberikan kepada setiap mahasiswa yang berlalu lalang di sepanjang koridor, dengan refleks dan sigap, mereka menutup hidung. Aroma tak sedap menusuk penciuman. Udara dingin menembus tulang seantero warga Tamalanrea, tak terkecuali untuk seluruh warga FISIP. Rinai hujan membasahi kampus UNHAS. Koridor FISIP bertaburan mahasiswa dengan kesibu-

kannya masing-masing. Koridor FISIP sedang ramai. Ramai dengan mulai lagi bergeraknya Mahasiswa menyambut hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang tepat diperingati pada hari Sabtu, 10 Desember. Rekaman gambar dengan berbagai keadaan yang berhasil diabadikan sedang−betul-betul−meramaikan koridor. Berbagai potret tentang semakin buramnya arti dari sesuatu yang sepakat disebut Hak Asasi Manusia. Keramaian koridor tidak hanya terhenti pada deretan gambar yang berbaris rapi di dinding. Di atas sebuah kursi, di perempatan koridor yang membelah fakultas disalah satu sudutnya bertengger sebuah kardus.

Kardus bekas tersebut disulap menjadi “celengan”. Salah satu sisinya bertuliskan “KOIN UNTUK WC SOSPOL”. Sejak hari kamis, 1 Desember 2011. Sudah tidak terhitung lagi ada berapa pasang mata yang membiarkan sejenak waktunya untuk melirik ke arah kotak yang bertengger dengan rapi dan memecah jalan di koridor FISIP tersebut. Kotak “KOIN UNTUK WC SOSPOL” digerakkan oleh sekelompok Mahasiswa SOSPOL angkatan 2008 yang mengaku berasal dari Forum Mahasiswa Ingin Buang Air. Forum ini terbentuk atas dasar ketidaknyamanan yang timbul dan berlarut-larut dari keberadaan WC Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

39


Kampus

yang jauh dari harapan seperti tidak layak pakai dan berbau. Sungguh, Aroma mencengkram itu pun semakin menakutkan dari hari ke hari. Kegusaran indera penciuman pun semakin menjadi-jadi. Andi Mardaya (22) salah seorang mahasiswa dari Jurusan Sosiologi yang juga merupakan perwakilan dari Forum Mahasiswa Ingin Buang Air secara tidak langsung mengakui bahwa keberadaan kardus yang bertuliskan “KOIN UNTUK WC SOSPOL” tersebut merupakan sebuah gerakan yang menjadi bukti tidak puasnya mahasiswa terhadap ketersediaan sarana dan pra sarana yang terdapat di fakultas. Ada banyak ide yang ditawarkan dari beberapa warga FISIP untuk menyadarkan banyak pihak kalau keadaan WC tersebut betul-betul sudah sangat mengganggu seperti usulan mengamen untuk mengumpulkan dana. Akan tetapi, ide pemasangan kardus inilah yang dipilih. “Kita main di wilayah SOSPOL saja daripada main di luar”,ungkapnya. Kardus “KOIN UNTUK WC SOSPOL” diharapkan mampu mendapat respond positif dari seluruh warga FISIP, terlebih untuk pihak birokrat fakultas. Saat ditanya mengenai respond dari warga FISIP secara keseluruhan, semenjak bertenggernya kardus terebut, Daya begitulah pria berkulit coklat, dengan postur tubuh sedang biasanya akrab disapa mengatakan bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh Forum Mahasiswa Ingin Buang Air tersebut mendapat respond positif. Jumlah rupiah yang menghiasi kardus itu pun kian hari kian bertambah. Daya menegaskan bahwa tidak ada kesan pemaksaan di dalamnya. “Tidak ada target yang dipatok”, katanya. Berapapun hasil

40

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

yang didapatkan, rencananya pada Senin, 12 Desember hasil yang didapatkan tersebut akan diperlihatkan kepada pihak Rektorat. Ditambahkannya, Forum Mahasiswa Ingin Buang Air langsung melakukan pertemuan dengan pihak Rektorat karena menurutnya pihak Fakultas dalam hal ini Wakil Dekan II dinilai lamban dalam menyelesaikan masalah WC SOSPOL yang sudah tidak layak pakai, “Namun jika tidak ada tindak lanjut dari pihak birokrat kampus, kami sendiri yang akan mengerjakan WC SOSPOL dengan dana yang telah terkumpul”. Fadly, mahasiswa Ilmu Komunikasi ini mengatakan bahwa dirinya merasa begitu terganggu dengan keadaan WC SOSPOL saat ini. “Yah..terganggu lah. Mulai dari bau yang kurang mengenakkan, ditambah susah nyari tempat buang air. Imbasnya yaaa bisa mengganggu proses perkuliahan lah” ujarnya. Hal senada pun diungkapkan oleh Vian. Mahasiswa Jurusan Administrasi yang baru saja menginjakkan kaki di dunia “permahasiswaan” ini mengatakan bahwa WC SOSPOL kurang terawat. Saat ditanya sebab musababnya, dengan tegas lelaki berkulit cokelat ini berkata “hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dari pihak fakultas mengenai sarana kampus. Tapi, kesalahan tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada pihak fakultas. Dari mahasiswa sendiri, seharusnya bisa menyadari akan pentingnya merawat kebersihan dan kenyamanan sarana umum,

“...jika tidak ada tindak lanjut dari pihak birokrat kampus, kami sendiri yang akan mengerjakan WC SOSPOL.” seperti WC”, tutupnya. Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda Prof. DR. Supriadi Hamdat, MA selaku Wakil Dekan II FISIP UNHAS yang bertanggung jawab pada sarana dan prasarana mengatakan bahwa salah satu hambatannya adalah keterbatasan dana, dimana sesungguhnya masalah WC sudah diprogramkan untuk direhabilitasi, hanya saja dilakukan secara bertahap. “Tahap pertama dilakukan pada ruang perkuliahan yang saat ini sudah berjalan sedangkan yang berkaitan dengan toilet sesungguhnya rehabilitasi total baru akan


Kampus

dilaksanakan pada 2012 di FIS IV dan VIII” ungkapnya. Hal tersebut disampaikan beliau setelah melakukan peninjauan langsung dimana memang tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukannya “tambal sulam” pada WC SOSPOL melainkan harus dilakukan perbaikan total. Diduga saluran WC tersebut sudah mampet dan bak airnya lebih tinggi sehingga sering tergenang dan menyebabkan bau tidak sedap menyeruak di sekitar koridor. Pertemuan pun dilakukan dengan Wakil Rektor II khusus untuk membicarakan hal ini yang telah menjadi berita disalah satu media cetak di Makassar. Dari hasil pertemuan tersebut, pihak rektorat berjanji membiayai sekaligus membenahi toilet di FIS. Terkait dengan anggapan yang mengatakan bahwa pihak fakultas yang dinilai lamban dalam menye-

lasaikan masalah WC SOSOPOL, Wakil Dekan II ini mengatakan bahwa sebenarnya ada hal yang tidak dimengerti oleh mahasiswa tentang mekanisme keuangan, dimana dalam hal merehabilitasi sesuatu itu memiliki tahapan-tahapan dan tidak serta merta seperti itu oleh karena itulah pimpinan fakultas dengan sangat antusias telah melakukan upayaupaya strategis dengan tetap mengingatkan dan terus meminta pihak rektorat untuk menindaklanjuti masalah ini. “Jadi bukan fakultas ini lamban atau apa tapi sudah berusaha hanya persoalannya untuk mekanisme seperti itu ada tahapannya tidak semudah membalikkan telapak tangan”, tangkasnya. Anggaran untuk rehabilitasi total WC FIS IV dan VII sebenarnya sudah ada di tahun 2012 dimana anggarannya tidak mungkin dilakukan untuk sekarang, hanya saja untuk tahun 2011 pihak fakultas terlebih dahulu memprioritaskan perbaikan pada WC akademik. Rencananya untuk tahun 2012 selain WC FIS IV dan VIII, wc yang dimanfaatkan sebagai gudang juga diperintahkan untuk difungsikan kembali. “Kalau bisa mudah-mudahan itu yang paling terbaik di FISIP sekaligus di UNHAS”, harapnya. Menurut beliau, persoalan sesungguhnya adalah kesabaran dalam menunggu waktu, bukan berarti fakultas pasif karena pada bulan lalu pihak fakultas telah meninjau

namun karena revisi anggaran yang besar tidak memungkinkan untuk dilakukannya perbaikan untuk tahun ini. Selanjutnya terkait dengan Cleaning Service sesungguhnya merupakan wewenang pihak rektorat dalam menempatkan di fakultas masing-masing tapi pihak fakultas tetap bisa mendapatkan rincian tugas masing-masing cleaning service. “Kedepannya akan ditempatkan petugas khusus untuk membersihkan toilet agar tidak bau”. Sekali lagi, Wakil Dekan II menekankan bahwa pernyataan yang menyatakan bahwa Fakultas lamban tidaklah benar karena ini hanya masalah kesabaran, dimana peninjauan 5 bulan lalu telah dilakukan hanya saja anggaran untuk rehab total tidak ada dengan pertimbangan pemborosan jika dilakukan “tambal sulam” pada toilet SOSPOL. Salah satu kesimpulan yang telah dibuat pada saat itu “kedepannya akan dibuatkan bak penampungan baru sekaligus merehab wc atas bawah supaya lebih fungsional, lebih indah, lebih nyaman, dan juga lebih harum” tambahnya. Dana yang terkumpul senilai Rp. 205000 dari aksi Forum Mahasiswa Ingin Buang Air ini akhirnya diserahkan kepada pihak pengelolah Fakultas. Meskipun hasilnya tidak seberapa namun dengan gabungan dana dari pihak rektorat perbaikan toilet pun dilaksanakan. Entah karena anggaran yang memang baru dicairkan nyaris bersamaan dengan aksi atau karena pihak yang terkait merasa tersindir dengan aksi Forum Mahasiswa Ingin Buang Air ini. Apapun alasannya adalah tugas seluruh warga untuk menjaga toilet agar tetap nyaman untuk digunakan. (ayu-indah) Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

41


Jelajah Negeri

Imam Mubin

MEMOTRET SINJAI: dari Taman Purba Hingga Gunung Perak

S

iap, satu... dua.. tiga... Begitulah aba-aba manajer Klub kine dan Fotografi (KIFO) periode 2008-2009, Hariandi Hafid, ketika memotret peserta hunting yang telah selesai berkemas dan bersiap menuju lokasi hunting. Kali ini, beberapa tempat di kabupaten Sinjai menjadi subjek yang dipilih dengan mengambil tema “hunting wisata kabupaten Sinjai”. Berdasarkan jadwal, pemotretan dilaksanakan selama tiga hari (11-13 november 2011). Kegiatan semacam ini telah menjadi

42

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

agenda tahunan yang dilakukan setiap periode kepengurusan. Kabupaten Sinjai yang menjadi tempat tujuan terletak pada posisi 5 19’ 30” sampai 5 36’ 47” Lintang Selatan dan 119 48’ 30” sampai 120 0’ 0” Bujur Timur di bagian timur Sulawesi Selatan. Perjalanan menuju kabupaten ini dapat ditempuh melalui dua jalur yang berbeda dari kota Makassar. Jalur maros-bone-sinjai dapat ditempuh dengan rentang waktu tujuh jam perjalanan. Sedangkan, jalur gowa-sinjai dapat ditem0

0

0

0

puh selama enam jam perjalanan. Kami memilih jalur pertama sebagai jalur keberangkatan dan jalur kedua sebagai jalur pulang. Namun, jalur apapun yang akan kita tempuh menawarkan kesenangan yang sama, pemandangan indah dan perbukitan hijau yang tersaji hampir disepanjang perjalanan. Setelah berpamitan dan doa bersama, rombongan meninggalkan kota Makassar pada pukul empat sore. Sebagian menggunakan kendaraan bermotor beroda dua dan sebagian lain-


Jelajah Negeri

nya dengan menggunakan mobil. Pukul sepuluh malam lewat kami tiba di kabupaten Sinjai. Papanpapan PKK yang terpasang hampir di setiap rumah yang bertuliskan sinjai bersatu menyambut kedatangan kami. Berisikan perkenalan kepada yang membacanya bahwa masyarakat Sinjai adalah masyarakat yang �bersatu�. Selain papan tadi, kita juga akan mendapati sejumlah tugu yang tersebar di beberapa ruas jalan sebagai lambang pembangunan kabupaten Sinjai . Pada hari pertama, para peserta mengunjungi rumah adat Karampuang yang terletak di sebelah utara kabupaten Sinjai. Perjalanan menuju tempat ini ditempuh selama 1 jam dari Gojeng dengan menggunakan kendaraan bermotor. Di sini kami didampingi oleh seorang pemandu dari Dinas Pariwisata kabupaten sinjai. Ia menemani kami menuju rumah kepala adat masyarakat Karampuang. Sayangnya beliau sedang berada di kebun hingga kami tak sempat bertemu. Di rumah kami disambut oleh istri dan anaknya. Ketika pertama kali memasuki rumah, kita langsung mendapati dapur dengan peralatan masak tradisional khas masyarakat Karampuang. Diruangan tempat menjamu tamu, terdapat sebatang tiang yang terbungkus kain putih berukir. Tiang ini merupakan pusar rumah (posi’ bola) sebagai simbol tiang utama dari rumah. Rumah adat ini juga dibangun tanpa menggunakan paku. Seusai berbincang dengan penduduk Karampuang dan mengabadikan momen-momen di sana, para peserta kembali ke kota Sinjai dan selanjutnya menuju ke tempat lain di kabupaten ini.

Azwar Marzuki

Taman purba Gojeng, merupakan lokasi pemotretan ke dua. Terletak tak jauh dari kota Sinjai dan dapat ditempuh selama 15 menit. Ketika memasuki pintu gerbang taman, tak akan terlihat kesan purba dari tempat ini. Hal tersebut dikarenakan pintu ini terbuat dari be-

ton. Demikian halnya jalan setapak masuk, juga menggunakan beton. Di dalam taman banyak terdapat ayunan dan lenggak-lenggok yang tersebar di setiap sudutnya. Sisi purba dari taman akan kita saksikan ketika menapaki anak-anak tangga jalan setapak yang menuju ke Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

43


Jelajah Negeri

puncak tempat ini. Saat berada di puncak, kita dapat melihat sejumlah batu yang tersusun berjejer menyerupai kuburan. Kita juga dapat menyaksikan landscape kota Sinjai dan pulau-pulau yang terletak di sebelah luar kabupaten Sinjai. Tak terasa malam hampir tiba, tapi semangat para peserta tak surut untuk melanjutkan pemotretan. Begitu meninggalkan Gojeng, perjalanan berlanjut menuju tempat bernama Lappa, lokasi pelelangan ikan yang sangat ramai di kota Sinjai. Seperti tempat pelelangan ikan di tempat lain, di sini kita juga akan bertemu hamparan ikan yang melimpah ruah, hiruk pikuk penjual dan pembeli ikan, buruh nelayan, dan juragan-juragan kapal. Kita juga dapat melihat kerlapkerlip lampu kapal yang bersandar di sekitar lokasi pelelangan. Ikan-ikan di tempat ini merupakan hasil tangkapan dari laut Flores, Raha, hingga Maluku. Saking larutnya mengabadikan momen di lokasi pelelangan, rombongan hunting terlambat kembali ke kota Sinjai. Karena semangat

44

Azwar Marzuki

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

hunting yang menggebu-gebui, perjalanan dilanjutkan menuju kebagian barat kota sinjai. Gunung Perak merupakan nama desa yang terletak dipegunungan. sekaligus menjadi lokasi terakhir pemotretan. Letaknya yang cukup tinggi membuat suhu di desa ini begitu dingin, terasa di kulit hingga tulang. Perjalanan dilakukan di malam hari. Rombongan menuju desa ini terbagi dua. Rombongan pertama yang terlebih dahulu menginap di rumah pak desa, Yunus. Rombongan ke dua menginap di rumah panre’ (penempa) besi bernama Amir. Ia adalah pimpinan dari kelompok pandai besi di gunung perak. Mayoritas penduduk Gunung Perak berprofesi sebagai petani, sayur merupakan tanaman utama mereka. Di sini rombongan menemui banyak hal yang menarik. Hal menarik pertama, pemandangan hamparan padi yang tersusun dari puncak hingga lereng gunung, tak kalah indah dengan terasering di Bali. Selain itu, aktivitas masyarakat, khususnya kaum perempuan, sangat sayang untuk

tidak diabadikan. Di tempat ini, kita akan menyaksikan para perempuan penempa besi. Peralatan seperti parang, spatula, dan peralatan rumah tangga lainnya adalah hasil kerja mereka, kerja yang biasanya dikerjakan oleh kaum adam ini. Melakukan aktifitas sebagai wanita pandai besi bukan berarti mereka melupakan tugas utama mereka sebagai ibu rumah tangga seperti memasak dan menghidangkan makanan di meja makan. Selain membuat peralatan tadi, di tempat menempa besi yang panas itu mereka manfaatkan sebagai tempat untuk menanak nasi, memasak sayur, serta kegiatan dapur lainnya. Sungguh suatu pengabdian yang sangat hebat. Tak terasa waktu menunjukkan pukul tiga sore. Puas rasanya bercengkrama dengan masyarakat Gunung Perak yang sangat ramah. Tak terasa perjalanan tiga hari di kabupaten Sinjai segera berakhir. Hunting pun ditutup dengan foto bersama tokoh masyarakat dari Gunung Perak. (ERBON)


Jelajah Negeri

Sartriani Tahir

TANA TORAJA: NEGERI DI ATAS AWAN Perjalanan ke Toraja bukan tentang bagaimana waktu terbunuh, bukan tentang bagaimana lelah terkuras, tapi lebih kepada sebuah proses untuk menemukan Negeri di atas Awan

U

dara malam cukup menusuk malam itu, tanggal 23 Desember 2011. Sisa hujan beberapa jam sebelumnya masih terasa. Daundaun yang masih bertengger erat di dahan pohon, bahkan yang sudah meranggas pun masih basah. Seakan memberi tanda bahwa hujan sempat menyapa. Koridor KOSMIK (Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi), Universitas Hasanuddin cukup padat dengan kerumunan anak manusia dengan segala remeh temehnya. Bukan untuk mengikuti proses perkuliahan tentunya sudah terlalu malam dan proses perkuliahan pun tengah be-

rada di ujung semester. Mereka,kami berkumpul untuk memulai perjalanan ke Tana Toraja, sebagai rangkaian Diskusi Nasional dengan tema “Penguatan Internal Lembaga dalam Era Demokrasi� yang terlaksana oleh kerja sama antara IMIKI (Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia), KOSMIK UNHAS, dan HIMAKOM UNIFA. Beberapa mahasiswa Ilmu Komunikasi yang berasal dari berbagai almamater yang berbeda berkumpul malam itu, mencoba menciptakan kehangatan dengan berbagai perbincangan yang alot, paling tidak untuk diri mereka masing-masing. Pemberitahuan dan doa yang terpanjat menjadi ceremony yang dilakukan sebelum akhirnya kami naik ke Bus. Ya, tiga bus berbaris dengan gagah malam itu. Perjalanan dimulai setelah jarum jam betul-betul melenggang pasti melewati pukul 22.00 WITA. Bagi sebagian orang,

ini sudah menjadi waktu yang paling empuk untuk menghabiskan waktu bersama bantal tentunya. Tapi, tidak untuk malam ini. Berbagai aktifitas dilakukan untuk menikmati perjalanan. Meskipun, mayoritas memilih untuk menikmati perjalan di alam mimpi. Ya, untuk sebagian orang menikmati hawa malam yang dingin di luar sana yang mencoba merasuk ganas melalui AC dalam bus serta merasakan gerakan bus yang sudah mulai mengikuti lekukan jalan yang mulai tidak berperasaan dengan mata yang terpejam, jauh lebih menyenangkan. Namun untuk sebagian lagi, tidak demikian halnya. Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Enrekang. Hingga keesokan harinya, saat langit mulai terang, dan bagian paling ujung Kabupaten Enrekang bersiap melepas kami, seakan memberi isyarat untuk mengucap salam saat badan bus mulus meleBaruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

45


Jelajah Negeri

wati sebuah gerbang yang bertuliskan ”Tana Toraja”. Selamat datang di Bumi Lakipadada. “Kenapa kalian senang sekali lihat kabut, padahal itu tandanya dingin”, kalimat itu yang diucapkan oleh Pipi, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi UNHAS. Perkataanya merupakan ketidak setujuan atas pemandangan kabut yang sedari tadi, saya dan teman saya puji. Maklum saja, dia adalah seseorang yang sulit bersahabat dengan udara dingin. Ya, matahari yang belum nampak sempurna di langit Tana Toraja pagi itu, membuat kabut nampak jelas. Menyelinap masuk di sela-sela ranting pohon yang berbaris rapi di sisi kiri maupun kanan. Seakan memberi isyarat bahwa jalan yang kami lalui ini adalah milik mereka, kami berada di tengah-tengah, mungkin saja, mereka siap menelan kami. Kabut, pohon dengan perpaduan warna alam tercipta begitu mempesona pagi itu. Sesuatu yang sangat sulit ditemukan di kota-kota besar saat ini. Bagaimana tidak, pohon-pohon digantikan posisinya oleh gedunggedung yang dengan gagah menantang langit. Roda bus terus berputar, hingga memasuki daerah Makale. Di tempat inilah, para rombongan mahasiswa Ilmu Komunikasi akan menginap hingga tanggal 27 Desember. Pada sore hari, setelah melepas lelah dengan melanjutkan tidur yang sempat terpotong, kami pun bersiap melanjutkan kegiatan yang telah dijadwalkan. Sore disambut dengan hujan yang mengguyur dengan santainya. Agenda selanjutnya adalah diskusi nasional. Langkah kami mencoba bersahabat dengan rintik-rintik hujan yang membuat genangan air

46

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

di atas aspal disepanjang jalan dari wisma menuju aula tempat diskusi. Sambil sedikit berlari kecil, menantang dingin. Diskusi berlangsung hingga waktu melewati pukul 20.00 WITA. Suasana ramai, mewarnai Makale. Langit malam yang gelap, tiba-tiba berubah menjadi lautan warnawarna cerah dengan suara ledakan kembang api di mana-mana. Sangat indah. Danau buatan di tengah kota menjadi pusat keramaian. Ya, pesta kembang api menjadi rangkaian seremonial menyambut perayaan Hari Natal, yang jatuh pada keesokan harinya, 25 Desember. Toraja memang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen. Tapi jangan salah, meskipun mayoritas Kristen, tingkat peghargaan terhadap orang-orang di luar keyakinan mereka juga tetap tinggi. 25 Desember 2011, perjalanan ke beberapa tempat di Tana Toraja dimulai. Londa menjadi pilihan pertama, tempat yang digunakan sebagian masyarakt Tana Toraja sebagai kuburan. Memasuki Londa kita akan menyaksikan bebatuan curam yang membentuk jalan menghubungkan pintu gerbang dan gua tempat menyimpan peti mati berisi mayat. Di tempat ini, pemandangan peti mati dan tulang belulang manusia yang mengisi celah-celah di dinding gua adalahl hal biasa. Suatu tradisi dan kepercayaan masyarakat Toraja yang

telah diwariskan dari leluhur mereka. Sebelum memasuki bibir gua, peti mayat yang dimasukkan ke dinding gua dengan ketinggian berbeda-beda juga nampak dengan jelas. Ketinggian tempat penyimpanan peti mayat merupakan isyarat tentang status sosial dari mahluk Tuhan yang berpulang lebih dulu itu. Perjalanan kedua, dilanjutkan ke Ke’te Kesu. Di Ke’te Kesu, orangorang yang datang berkunjung disuguhi dengan pemandangan Rumah Tongkonan yang berbaris rapi di sisi kiri maupun kanan. Rumah Tongkonan, merupakan rumah adat khas Tana Toraja. Di depan rumah Tongkonan, terdapat lumbung padi. Bentuknya hampir mirip dengan rumah Tongkonan, namun ukuran-


Jelajah Negeri

nya sedikit lebih kecil. Saat langkah diperpanjang, sekitar beberapa meter dari barisan Rumah Tongkonan, dengan anak tangga yang menyambut ramah akan mengantarkan kita ke kumpulan tulang belulang manusia. Seakan memberi isyarat, bahwa waktu akan menemani perjalanan kita dan membuat kita sampai di penghujung jalan dengan melepaskan segala identitas yang kita bangga-banggakan selama ini. Perjalanan ketiga, dilanjutkan ke pasar Rantepao. Seperti biasa, dalam setiap rangkaian perjalanan, cinderamata khas seakan menjadi barang utama yang harus dibawa pulang. Di sinilah tempatnya. Pasar Rantepao, menjual berbagai pernak-pernik dan makanan khas Toraja. Jangan heran

kalau banyak wisatawan yang datang dan menjadikan pasar ini sebagai tempat yang juga wajib dikunjungi saat ke Tana Toraja. Perjalanan terakhir, dilakukan keesokan harinya, 26 Desember. Selepas waktu dhuhur, perjalanan dimulai ke Batutumonga oleh beberapa rombongan. Lokasi Batutumonga ternyata tidaklah dekat dengan tempat di mana perjalanan dimulai. Hampir sekitar dua jam, akhirnya sampai juga di lereng gunung Sesean. Dari semua rangkaian perjalanan, perjalanan ke Batutumonga inilah yang memacu adrenalin. Jalan yang tidak terlalu lebar dan sedikit berlubang menjadi warna tersendiri. Di tengah perjalanan, nampak kerumunan orang berjalan memasuki jalan setapak menuju tanah lapang. Langkah terhenti di tempat ini. Ternyata, ada ritual serangkaian dengan upacara kematian Rambu Solok, yaitu Ma’passilaga Tedong. Di tempat ini, masyarakat berkumpul untuk menyaksikan kerbau yang beradu. Kerbau merupakan binatang yang yang dianggap suci oleh suku Toraja. Perjalanan dilanjutkan, dengan pakaian yang mulai basah karena hujan dan rentetan peristiwa diluar dugaan yang terjadi. Jalan menuju Batutumonga, betul-betul menantang. Terasering nampak jelas dari

atas. Ya, semakin roda angkutan umum yang kami gunakan berputar maka akan semakin tinggi pula jalan yang kami lewati. Jurang yang curam di sisi kiri dan kanan menegaskan itu. Cuaca dingin semakin menusuk. Selanjutnya, pemandangan yang akan sangat sulit dan bisa saja tidak mungkin ditemukan di daerah lain adalah adanya beberapa batu alam dengan ukuran yang cukup besar yang dijadikan sebagai kuburan. Jadi, masyarakat setempat menggunakan batu alam ini sebagai tempat untuk memasukkan mayat di dalamnya. Untuk satu batu alam yang besar itu bisa digunakan sebagai kuburan untuk beberapa mayat, yang berasal dari satu keluarga. Perjalanan yang cukup lama, dengan kondisi jalan yang tidak biasa, cukup membuat rentetan pertanyaan hinggap dengan sendirinya. “Apami mau dilihat nanti sampai di atas ini?�, “dimanami ini ujungnya kasian?� beberapa teman, mulai angkat bicara dengan logat Makassar yang khas. Tak berselang lama kemudian, roda kendaraan berhenti berputar. Akhirnya sampai juga. Dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, dingin begitu menusuk di tempat ini. Dari Batutumonga, pemandangan indah nampak dengan jelas. Meski sedikit berselimut kabut, tapi pemandangan akan hamparan sawah, barisan rapi pepohonan, dan yang paling penting adalah hamparan kota Rantepao itu masih nampak jelas. Keringat dingin yang sempat bercucuran akibat jalan yang tidak berprasaan, terbayar sudah. Di tempat ini, langit nampak dekat, awan seakan berada sejajar dengan tanah, tepat diatas jurang yang curam. Layaknya, sebuah negeri di atas awan. (Ayu Adriyani) Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

47


Jejak

48

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati


Jejak

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

49


Prestasi

UNHAS saingi IPB dan UI Seni Tari UNHAS berjaya di Turki

P

ada juli 2011 Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Tari Unhas menorehkan prestasi luar biasa hingga ke kanca Internasional. Dalam kompetisi tersebut UKM Seni Tari Unhas yang merupakan satu-satunya wakil dari Indonesia berhasil meraih honorable Price The 25th International Golden Karagoz Folk Dance Competition, dilaksanakan di Kota Metropolitan Bursa Turki dari tanggal 7 – 12 juli 2011, dan dirangkaikan dengan peringatan 50th International Bursa Festival. Acara ini disponsori eleh kementerian Kebudayaan Turki dan UNESCO selaku anggota dari International Organization of Folk Art (IOV) dengan tujuan mempertemukan berbagai bangsa-bangsa dengan budaya yang berbeda untuk saling memahami satu sama lain, dan menciptakan perdamaian, persahabatan antar bangsa melalui seni dan budaya. Event ini adalah yang ke 25 kalinya dilaksanakan di Bursa, dan menjadi ajang kompetisi paling ber-

50

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

gensi di dunia karena dihadiri oleh penari-penari professional tingkat dunia dari berbagai Negara. Jumlah Negara yang hadir kali ini adalah sebanyak 33 negara diantaranya: Azerbaijan, Bosnia Herzegovina, Bulgaria, Chencen Republic, Djibouti, China, Chuvash Republic, Indonesia (UNHAS), France, Georgia, Croatia,. India, Ireland, Scotland, Italy, Montenegro, Khazakhstan, Kosovo, Costa Rica, Turky, Latvia, Lithuania, Hungary, Macedona, Mexico, Egypt, Nigeria, Poland, Romania, Russian Federtion, Senegal, Slovakia, Slovenia, Sudan, Thailand, Venezuela, dan Greece Yunani. UKM Seni Tari Unhas, berhasil sebagai Juara IV, atau Honorable Price dengan hadiah uang sebesar 1000 Euro. Dalam kompetisi tersebut hanya 6 gelar juara yang diberikan dengan kata lain 29 negara lainnya tidak mendapat gelar apapun . oleh karena itu mendapat Honorable Price adalah prestasi luar biasa dalam kompetisi ini.

P

emberdayaan perempuan memiliki potensi strategis untuk menjadi ujung tombak penjagaan kelestarian lingkungan pesisir. Langkah strategis yang bisa diterapkan berupa metode pelibatan perempuan sebagai subjek dan bukan objek, dengan adanya peran-peran seperti fasilitator, motivator, rubbish watcher, dan creativity group. Solusi tersebut ditawarkan oleh tiga orang mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hal ini ditawarkannya melalui karya tulis mereka pada Pimnas XXIV yang diselenggarakan pada 18-22 Juli lalu. Ketiga mahasiswa ini adalah A. Husnul Hatimah, Sitti Marwah, dan Nely Fadrianis. Mereka berhasil merampas posisi kedua kategori Penunjang bidang Lingkungan. Juara pertama dimenangkan oleh mahasiswa IPB, sementara posisi ketiga diraih oleh mahasiswa UI. Sebuah kebanggaan bagi Unhas meskipun belum semaksimal yang diharapkan. Setidaknya ketiga juara yang berhasil diraih bisa menjadi pendorong untuk lebih lagi di Pimnas selanjutnya. Terkhusus lagi bagi mahasiswa Fakultas Ilmu sosial


Prestasi

dan Ilmu Politik, setidaknya kemenangan yang diraih akan menumbuhkan semangat baru bagi Pimnas selanjutnya. Ketiga Mahasiswa HI ini memang patut untuk kita acungi jempol. Karya mereka yang berjudul “Pemberdayaan Perempuan dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Pesisir di Sulawesi Selatan” ini seharusnya mampu menempati juara satu. “hanya saja ada kesalahan teknis saat kami presentasi, smart Art di power point kami tidak bisa terbuka, untung saja teman kami yang sementara presentasi mampu menutupinya” ujar Marwah. Ini memang pertama kalinya mereka turut serta dalam kegiatan PIMNAS namun karena semangat yang besar akhirnya di kesempatan pertama ini mereka sudah mampu memberikan yang terbaik. “semoga apa yang kami raih bisa memotivasi teman-teman yang lain untuk lebih baik lagi, setidaknya mampu lolos sampai tahapan PIMNAS itu sudah merupakan sebuah kebanggaan besar karena telah melewati tahapan-tahapan penyeleksian yang diikuti oleh sedikit orang, “ ungkap Neli. Kerusakan lingkungan di Sulsel telah mencapai kondisi kritis. Data dalam tinjauan pustaka menunjukkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan laut sampai sebesar sekitar 30 ton dari tahun 2007 ke tahun 2008. Penurunan daya dukung lingkungan laut ini, banyak dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat pesisir. UNEP (1990) mengungkapkan dalam Dahuri R..et al (2001) sebagian besar (80%) bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land basic activities). Sejauh ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya termasuk

melalui penetapan regulasi dan program-program lingkungan yang dicanangkan bukan hanya di tingkat provinsi tetapi hingga ke tingkat daerah kabupaten/kota. Upaya tersebut faktanya tidak maksimal sebab data menunjukkan kerusakan yang terjadi di beberapa daerah malah semakin parah. Ketidakefektifan upaya ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tidak ketatnya pengawasan terhadap regulasi yang ditetapkan, pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan belum merata, dan pelibatan masyarakat masih sangat kurang, khususnya perempuan. Potensi dan keterkaitan yang erat antara perempuan dan lingkungan pesisir, seharusnya menjadikan mereka salah satu suara yang patut didengar dalam upaya menjaga kelestarian pesisir.

KORPALA GOES TO DARWIN

U

niversitas Hasanuddin kembali menorehkan sebuah prestasi. Kali ini, prestasi dating dari UKM Korps mahasiswa Pecinta Alam (KORPALA). Pada tanggal 11 oktober sampai tanggal 21 november 2011 kemarin, sebanyak kurang lebih 8 orang anggota KORPALA berhasil melakukan ekspedisi hingga ke kota Darwin, Australia. Delapan orang anggota tersebut terbagi menjadi 2 tim,

yakni tim darat dan tim laut. Menurut pimpinan ekspedisi, Abdul Jalal, ekspedisi Darwin ini telah dipersiapkan selama kurang lebih dua tahun, yakni sejak tahun 2009 kemarin. Tujuan dari ekspedisi ini sendiri yakni untuk mendata wilayah- wilayah mana saja yang pernah disinggahi langsung oleh nelayan- nelayan Sulawesi Selatan sehingga dapat dicatat dalam sejarah nelayan Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan. Abdul jalal yang ditemui di Sekretariat UKM KORPALA juga menjelaskan, Darwin dipilih dalam ekspedisi ini, selain untuk mempromosikan budaya Sulawesi selatan, juga karena dahulu, nenek moyang Sulawesi berlayar hingga ke Darwin untuk mencari nafkah. Ekspedisi Darwin ini melalui rute yang cukup panjang, dimulai dari pulau galesong, Jeneponto, bulukumba (tepatnya di tanaberu), kotabenteng, bahuluang, pulasi, tanajempea (tepatnya di pulaubembe), lanjut melalui pulau takabonerate, momera, larahtuka, kupang, dan terakhir mendarat di kota Darwin Australia. “Pihak Universitas mensponsori penuh kegiatan ekspedisi ini, baik materil maupun yang non materil”, ujar mahasiswa jurusan teknik sipil ini. Melalui ekspedisi ini diharapkan dapat memperkenalkan budaya Sulawesi Selatan di dunia internasional, serta dapat membangun semangat pemuda Sulawesi untuk lebih menghargai kerja keras para nenek moyang kita terdahulu yang mencari nafkah hingga ke negeri seberang. Pria angkatan 2008 ini juga menambahkan bahwa ekspedisi semacam ini akan diadakan kembali namun masih diperlukan perencanaan yang matang pula. (Ciko,Sari, Anni & Ayu) Baruga Edisi 20 / Februari 2012 Satu Mata Hati Satu Kata Hati

51


Resensi

Almanya Kategori Tahun produksi Sutradara Cast

: Komedi : 2011 : Yasemin Samdereli : Demet Gul, Vedat Erincin, Lilay Huser, Denis Moschhitto

B

agaimana jika anda dilahirkan dan dibesarkan di negara lain, bukan di negara orang tua anda? Apakah identitas asal orang tua anda masih anda miliki atau mengabur? Pertanyaan-pertanyaan ini divisualkan Yasemin Samdereli melalui kehidupan keluarga Turki yang bermigrasi ke Jerman. Sejak awal benturan identitas ditunjukkan melalui

52

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

pertanyaan sang cucu, “apakah aku orang Jerman atau Turki?�. Melalui cerita sang cucu perempuan, dikisahkan tentang awal mula migrasi yang dilakukan sang kakek dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik. Beberapa tahun kemudain sang kakek mengajak serta istri dan ketiga anak mereka. Ketika keluarganya menginjakkan kaki untuk pertama kali, terutama sang istri, mereka merasa demikian terasing. Mulai dari bahasa hingga budaya. Tahun berlalu, ia dan keluarganya akhirnya resmi berganti warga negara dari Turki menjadi Jerman. Istrinya juga telah betah hidup di negara yang dulunya asing. Demikian pula anakanak dan cucunya. Sang kakek sendiri, meski telah berganti kewarganegaraan ia masih tetap hendak pulang ke kampung halamannya yang akhirnya sekeluarga mereka berlibur di kampung halaman mereka senditri. Benturan identitas dalam film ini disajikan dengan lelucon yang menghibur di sepanjang film. Almanya mengajak kita melihat realitas pekerja imigran yang perlahan menjadi bagian atau masyarakat yang dulunya dilihat berbeda dengan mereka. Hal ini juga menyisakan konflik pada diri tokoh-tokohnya. Utamanya menyangkut identitas etnik asal mereka. Sang kakek diposisikan sebagai tokoh yang terus mengingatkan jati diri keluarganya. Pada akhirnya identitas bukan soal di mana tempat kita lahir dan dibesarkan, melainkan juga berkaitan dengan nostalgia dan sejarah. Perjalanan pulang ke Turki kemudian menguatkan identitas yang semula terkikis dan mengabur.

LILA LILA Kategori Tahun produksi Sutradara Cast

F

: Komedi : 2009 : Alain Gsponer : Henry Hubchen, Hanna Herzsprung, Daniel Bruhl

ilm Lila Lila berkisah tentang seorang pria bernama David Kenn yang mencintai seorang perempuan. Namun ia tak memiliki kemampuan


Resensi

dalam bidang sastra, bidang yang sangat diminati oleh Marie, perempuan pujaannya. Alhasil ia sama sekali tak dianggap oleh sang gadis. Suatu hari ia menemukan naskah novel di dalam laci meja yang dibelinya di pasar loak. Penemuan ini menjadi titik awal bagaimana kehidupannya berubah 360 derajat. Ia mendapat perhatian perempuan pujaannya. Naskah yang diterbitkan atas namanya laris manis dipasaran. Meski demikian, ia berhadapan dengan pertentangan moral dalam dirinya. Pertentangan ini memuncak saat ia bertemu dengan seorang pria yang mengaku sebagai penulis asli naskah yang ditemukannya. Keberuntungan yang telah didapatkan terancam oleh kehadiran pria ini, termasuk kedekatannya dengan Marie. Film yang dibalut dengan komedi romantis ini mengangkat konflik keaslian sebuah karya, moral hingga seluk beluk dunia penerbitan yang juga tak lepas dari kompetisi. Beragam cara dan tindakan dilakukan oleh para penerbit untuk mendapatkan pengarang yang karyanya laku dipasaran. Sastra pada akhirnya juga terkait soal duit. Tidak hanya soal isi atau cerita didalamnya. Demikianlah jatuh bangunnya suatu genre juga tergantung dari selera pasar. Jika hari ini, pembeli menyukai kisah romantis maka pengarang dalam genre ini yang akan dihidupkan. Sastra kemudian tidak hanya menjadi kuasa pengarang tapi juga penerbit dan para pembeli. Pengarang harus menyerahkan diri mereka ke tangan pembeli karya-karya mereka. Jadi dimana posisi pengarang kemudian? Entahlah, bisa jadi memang ada di tangan pasar dan pembeli.

Vincent Will Meer Kategori Tahun produksi Sutradara Cast

A

: Road Movie : 2010 : Ralf Huettner : Katharina Mueller, Heino Ferch, Johanne Allmayer

da tidak di dunia ini, kehidupan yang berjalan mulus tanpa lika-liku? Mungkin tidak untuk film ini yang lika-likunya sama dengan jalan yang di lalui Vincent dengan kedua temannya Marie dan Alexander. Keluarga dengan konflik yang terjadi antara seorang ayah dengan anak semata wayangnya yang mengidap penyakit (Sindrom taurett) serta

kedua temannya yang juga mengidap penyakit. Pertentangan dalam film ini dimulai antara ketidakcocokan Vincent dengan ayahnya. Hingga suatu ketika, ia bersama Marie yang telah mengambil kunci mobil dari seorang dokter, berencana untuk meninggalkan Jerman. Tak disangka dalam pelariannya mereka terpaksa membawa serta Alexader yang berniat melaporkan aksi mereka atas mobil sang dokter. Maka dimulailah pelarian yang kemudian diketahui oleh sang ayah dan dokter. Sejak awal Vincent merindukan ibunya yang bercerai dengan sang ayah sejak ia kecil. Tujuan pelariannya adalah menemukan sang ibu. Bertiga mereka melintasi Austria hingga akhirnya tiba di Italia, negara tempat ibunya berada. Di sini pelarian berakhir dan Marie dengan bulemia yang dideritanya harus menjalani perawatan. Sementara ia sendiri harus kembali ke Jerman setelah berhasil terkejar oleh sang ayah. Pada akhirnya, Vincent berdamai dengan sang ayah dan memutuskan untuk tetap mencari ibunya. Hampir keseluruhan film ini diwarnai oleh aksi kejar-kejaran antara mereka dengan sang ayah yang berpasangan dengan sang dokter. Sebagaimana Almanya, perjalanan dalam film ini menjadi sesuatu yang mencairkan perbedaan di antara tokoh-tokohnya. Film ini mempunyai makna beragam dari berbagai konflik yang juga penuh dengan bumbu komedi dan drama. Kekuatan gambar yang ditampilkan membuat film ini seolah berlari mengikuti alur konflik ke sebuah solusi yang jawabannya ada di benak penonton. (Paris)

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

53


_Deep Blue Sea F :4 S : 1/1000 ISO : 400

54

Edisi 20 / Februari 2012

Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Imam Pratama


Fotografi

Ice Cubo _Smoking Time F :2 S : 1/2500 ISO : 100

_Cahaya Kecil Marwan Paris F : 5,6 S : 1/20 ISO : 1600 Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 2012

55


kosmik.web.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.