Merakitsampah

Page 1

Sedang pada Jam Ini, Manusia Berusaha Mati-matian agar Tidak Terlihat Nelangsa.



Pengantar Kumpulan Sedang pada Jam Ini, Manusia Berusaha Mati-matian agar Tidak Terlihat Nelangsa berisikan beberapa sampah saya di blog merakitsampah.wordpress.com dalam rentang Januari – September 2013. Rentang ini dipilih tanpa alasan yang jelas, jika tidak ingin disebut tidak punya alasan. Saya selalu kesulitan dalam membuat judul. Maka judul kumpulan ini saya curi dari sampah berjudul Pada Sebuah Tanda Baca. Satu dari sedikit sampah yang menghiasi blog saya. Halaman blog saya pertama kali diisi pada Desember 2010. Bulan yang sama, tahun yang sama saat saya membuatnya. Kini, hampir tiga tahun sejak blog itu dibuat. Dengan usianya yang ringkih, saya belum berpikir untuk mengganti nama blog menjadi technopreneurwannabe.wordpress.com atau ceritadewasa.wordpress.com. Ada saran yang lebih baik? Terima kasih kepada LPM Journal yang telah memaksa saya merekatkan sampah-sampah ini pada lembar-lembar kertas. Terima kasih kepada apapun, yang membuat saya menulisnya. Kepada siapapun yang berkenan, selamat membaca kumpulan ini. Tabik.

Ilham Bagus Prastiko



Daftar Isi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Manusia-manusia yang Menanggalkan Sayapnya ‌di Taman Kita Kotak Kecil Tengah Malam Cinta yang Mengerikan Pihhh!!! Di Langit Yang Sama Jika Urung Kau Mekarkan Sang Suara, Angin-angin Miskin Kemuning Selat Kesepian Ketiadaan Cahaya Dua Pasang Rindu Puisi Murung Pada Sebuah Tanda Baca Kursi Kayu Mega‌ Seharusnya Rahasia Kita Sempurna

1 2 3 4 7 10 12 14 15 16 17 18 19 21 22 23 24



Manusia-manusia yang Menanggalkan Sayapnya Kepala sedari tadi tertopang tangan. Menggelayutkan tatap pada apapun yang tertera di jalan. Di luar sana, matahari seakan tak pernah lengah. Sepatu kecil berwarna merah muda tidur tengkurap di keranjang bambu milik seorang pemulung. Mana ada yang tahu, di akhir kayuh, sepatu merah muda itu akan kembali pada pemiliknya atau tidak. Seorang perempuan melambai. Angkutan yang aku tumpangi berhenti. Pikiran sedari tadi tengadah. Seperti menunggu hujan sedang aku sendiri menggigil kedinginan. Yang ditunggu itu bisakah datang bergegas? Aku menunggu di balik jendela. Sore melemparkan apa saja ke udara. Hembus, daun, nama-nama yang terlupa, terpelanting jatuh. Hanya wangi tubuhmu yang berhasil aku selamatkan. Di dalam angkutan tua ini, hanya ada aku dan manusia-manusia yang menanggalkan sayapnya. “Kiri, Pak,� kataku. Kini, aku melihat manusia-manusia yang pura-pura memiliki sayap di punggungnya. Ingatkan aku menjadi salah satunya.

(18/9. Di rumah, plastik-plastik bertuliskan 2Ă—1 dihadiahkan.)

1


‌di Taman Kita Tidak ada kesempurnaan di taman kita. Seekor kupu-kupu bersayap cemerlang melenggangkan tubuh. Matahari tinggi, bunga sepatu menekuni bayangannya sendiri. Ranting dilenakan hembus nafas. Pada seorang gadis kecil yang tergesa-gesa bernyanyi, sang bunga terpetik. Jelita, ujarnya lentik.

Matahari meninggalkan pesan. Untuknya, hujan di tepi hati. Bangku panjang di tepi kolam bersama sehelai daun kesepian. Dimana kita kini? Langitnya dihanyutkan gumpalan awan pekat masam. Sehelai daun kesepian yang terkoyak pasrah dalam sajak-sajak yang dibacakan rintik.

Telah sampai pesan matahari. Daun kesepian yang tak pernah dimintanya untuk kembali. Di taman ini, nyanyian dan sajak telah diusaikan sebelum kita datang. Gugur bunga sepatu oleh gadis kecil. Kesepian yang menggelepar di usang rerumputan.

Sudah kukatakan tidak ada kesempurnaan di taman kita. Roman kita berbayang. Mengotori kolam.

(1/8. Mengawali Agustus berteman dengan Hem – Things Are Not Perfect in Our Yard.) 2


Kotak Kecil Tengah Malam Sebuah kotak kecil menawarkan tengah malam padaku. Lewat sebuah nyanyian. Barangkali menyenangkan, senandung dinding: membahana. Kotak kecil membahasa‌kan jarak yang sama sekali tak samar. Melengangkan pikiran. Sebuah nama baru saja dibisikkan. Pada detik-detik kosong yang mempersilahkan, senandung ini menjadi lengkap.

Pintu tertutup rapat. Seolah bersuluk pada pepat waktu. Melantaikan rindu sebagai alas. Pada dingin tertambat, tengah malam bergegas. Menidurkan cemas yang lelah menjuntai. Di balik jendela, kabut tak nampak. Barangkali tersesat.

Tengah malam seperti arus sungai picisan yang membasuh. Senandung seperti laun, diri yang dipautkan. Senandung seperti lebat, diri yang dihanyutkan.

Kotak kecil pada detik-detik terakhir nyanyian. Pada tengah malam yang lain, semoga namamu kembali dibisikkan. Diputar ulang.

(2/8. Rabbit Song album milik Hem.) 3


Cinta yang Mengerikan It's a terrible love that i'm walking with spiders It's a terrible love that i'm walking in Ini memang cinta yang mengerikan. Pada hujan yang terlampau rintik. Pada daun yang kian enggan menetap di ringkih ranting pohon melati. Pada rentaku yang tersamar pada embun jelang pagi. Pada pagi yang diinjak kasar matahari. Lagi. Lagi. Cinta yang mengerikan ini tak jua lelah berjalan. Tanpa stasiun pemberhentian. And I can't fall asleep without a little help It takes a while to settle down my shivered bones Wait til the panic sets Seharusnya kamu ingat bagaimana kamu mengacak-acak mataku agar lekas siuman. Membuka tirai dan tuas jendela seperti orang berkesibukan. Ah, aku ingin menulis puisi, sajak, apa saja. Apapun selain membasuh muka dan ingatan. Pada cinta yang mengerikan.

Aku melihatmu, dalam seekor kupu-kupu. Aku melihatmu dalam mata seekor kupu-kupu. Dalam bening yang sesekali berkilatan. Berpendar diterpa riang sang terik. Aku menikmati diriku di dalam elok matamu. Bahkan ketika butir air berlabuh di ujungnya.

4


Aku melihatmu, dalam seekor kupu-kupu. Aku melihatmu dalam mata seekor kupu-kupu. Mengurai cerita di gelombang rambutmu yang ranum kecoklatan. Diterpa angin nan membelah bercabang. Aku hinggap di sana. Menunggu cerita. Cerita darimu, dari telinga seekor kupu-kupu.

Aku melihatmu, dalam seekor kupu-kupu. Aku melihatmu dalam mata seekor kupu-kupu. Berdiam di balik rimbun, rumput mengunggun. Di antara tumbuh kembang kawanan bunga. Rumput mungil nan bergoyang pelan, tersapu udara. Arak-arakan awan nan putih gempal. Seperti menyanyikan kehadiranmu

Bibirku ingin meluap tanya. Sudikah kamu? Mengapa kamu sendirian, cantik? “Sssssttt‌ Jangan keras-keras.â€? Ah, manisnya bibir itu ketika bersuara. Dan aku melayang rendah ke lembab itu. Bibirmu. Menciummu, lembut, lewat bibir seekor kupu-kupu.

5


Bibirmu menggumam, bergerak lambat, lantas berbisik lagi, “Esok, kalau aku datang lagi, aku sudah menjadi sepertimu.” “Dan ketika itu, ketika aku sudah menjadi sepertimu, aku yang akan terbang. Hinggap di rambutmu. Merendah. Menyinggahi bibirmu.” Maka hanya satu tanyaku yang tak pernah sempat. Mengapa kita harus saling berbisik di taman? Di taman surga ketika aku dan kamu.

Catatan: Kupu-kupu, manusia, dan taman terinspirasi dari Pagi Bening Seekor Kupu-kupu… pada kumpulan cerpen Potongan Cerita di Kartu Pos karya Agus Noor. “Diterpa angin nan membelah bercabang” tertera dengan sengaja. Diambil dari lirik tembang Angin Pujaan Hujan (Payung Teduh). Pada tembang itu, “Angin berhembus bercabang”.

6


Pihhh!!!

Pihhh!!! Seharusnya, jika aku benar, itu suara yang nyaring dari sembab bibirmu. Untukku, yang tidak hidup. Selekasnya, jika aku benar, aku meraih lengkung ludahmu. Dengan mata, hidung, telinga. Jika aku beruntung, seharusnya aku bisa memungutnya kemudian. Membersihkan lelehannya dengan lidah. Seperti cokelat hadiah. Darimu, untukku yang tidak hidup. ‌ Pihhh!!! Pihhh!!! Cuihhh!!! ‌ Aku menyeret sepasang kaki jauh-jauh dari kerumunan. Jauh di belakang, pencar cahaya kembang api membumbung, membalap di langit. Aku melewati gang kecil kumuh yang semakin malam semakin panjang. Dipukuli berandalan, bangun, mengusap darah di kepala, berjalan lagi. Mudah, seperti mimpi. bertemu kawanan anjing, mengoyak kaki, tangan. Mereka bosan melihatku diam, anjing-anjing itu berkemas, melenggang pergi. Tidak ada yang bisa diambil dariku selain sekepal nasi di saku kanan jaketku. Mereka mengabaikannya. Sekepal nasi yang lusa berumur satu pekan. Aku bangun, mengelus pelan kedua lengan yang basah. Entah liur, entah darah. Sama saja. Menjahit sebentar celana panjangku yang koyak besar di balik dengkul. Kebetulan jika tiba-tiba di sampingku muncul penjual jarum dan benang nan pendiam. Rasanya dia tahu aku akan membutuhkan dagangannya. Lima menit dari sekarang, seharusnya aku ditampar sampai pingsan oleh pemabuk gila di seberang jalan dengan sebotol bir. Lalu dia akan menangis malu mengingat istrinya yang sedang menghangatkan sup setiap pemabuk itu pulang. Di meja makannya, setiap dia pulang, selalu ada dua

7


mangkuk kotor, dua kursi keluar dari induk meja, saling berhadapan. Dua gelas dengan sedikit sisa jus mangga. Pemabuk itu benci mangga. Dia benci sup. Lalu aku dipeluknya. Diajak berenang di bantaran kali. Lalu dia akan terseret arus yang hitam. Terbawa sampai rumah. Tentu dia tidak pernah sempat berpamitan. Dia ingin lekas bertemu istrinya, yang sedang menghangatkan sup untuknya. Setelah perginya, aku akan terduduk lama di atas batu. Memandang kali dan apapun yang mengapung di atasnya. Surat cinta, boneka beruang madu, uang kertas seratusribuan, koran kuning, manekin, foto mesra pejabat dengan penyanyi dangdut. Tubuh pejabat dengan penyanyi dangdut itu juga diam mengapung di kali ini. Perutnya gendut. Aku akan membuat puisi, atau sajak. Apapun tentang cinta. Seperti biasa, agar aku lekas lupa. Maaf jika tidak terbaca. Aku baru ingat, dua jari kananku dipinjam kawanan anjing tadi. Apa boleh buat.

Ini mungkin aku, di hadapan sepasang sepatu tua, yang sedang nyinyir pada hujan segelap ini. Aku menurutsertakanmu. Beradu keras dengan gunung berbatu. Berjingkat pelan, melenggang keluar dari cekikan sang guru. Berlari dari ganas taring anjing. Lain waktu, aku mengajakmu membaca buku di wahana parkir, menciumi reruntuhan kembang Kamboja. Aku tahu, hidungku tidak sebangir milikmu.

Aku ingat, kamu mengantarkanku bersua penjaja kopi. Kamu memakiku yang gemar tertawa sendiri.

8


Di teduh pohon Kamboja itu aku masih bersamamu. Seorang pemuda gagah dan seorang gadis anggun, di balik pohon Kamboja. Entah bercumbu mesra, entah berlomba air mata. Dan entah apakah mereka mengakhirinya dengan rayuan yang selalu romantis di teduh pohon Kamboja. Aku dan sepatuku ada di sana. Meneguk kopi yang dingin tanpa aba-aba. Membaca buku yang entah apa.

Aku penat. Ingin lekas beristirahat. Sepatuku juga. Penat, menanti pemiliknya seperti mereka, seorang pemuda gagah dan seorang gadis anggun, di balik pohon Kamboja. Mereka, yang entah bercumbu mesra, mereka yang entah berlomba air mata. Mereka yang entah, apakah mengakhirinya dengan rayuan yang selalu romantis di teduh pohon Kamboja.

Sepatuku penat. Ingin lekas beristirahat.

9


Di Langit Yang Sama

‌ Guarda questa terra che. che gira insieme a noi. A darci un po' di sole.

Mighty Sun‌ Mighty Sun‌

Mempertanyakan waktu yang menemukan diri pada tidak biasa. Seolah petang ini segelas teh hangat yang dinanti. Sunyi yang mendesah di bibir mendinginkannya lekas. Di luar sana, manusia berjamaah meneteskan air mata sebagaimana percakapan yang deras. Riuh di batas lampau dan esok hari. Lalu ketika aku terlelap, kunang-kunang berdiam melaun, membasuh wajah lelah entah darimana datang. Aku berharap bisa bermimpi. Bertiga, mempersilahkan langit menaruh hati. Canto Della Terra.

10


Jarak itu pada matamu nan sayu. Pada rambutmu nan tergulung ombak. Dan puisi-puisi yang tak pernah berhenti membuat kita bertemu-tatap, menggerakkan jari untuk menemukan senyum di halaman selanjutnya. Puisi yang membuat kita duduk berdua. Di langit yang sama.

(10 Februari 2013, 01:28, mengapa tiba-tiba Andrea Bocelli mencukupkan diri? Menemaniku mengais dini hari, tanpamu yang entah.)

11


Jika Urung Kau Mekarkan Kalau indra perasanya meminta begitu. Kalau yang berdetak, semestinya 70 kali setiap 60 ini menjadi entah. Kalau indra perasamu meminta begitu. Maka perbolehkan aku untuk mengangguk mau. Mau, kalau indra perasaku mempersilahkan begitu.

Selangkah, selangkah lagi, selangkah setelah langkah yang tak selesai. Banzai, semoga sampai. Ucapkan padamu setiba matahari. Selelah lari. Esok, atau kapan yang tak pernah berencana tumbang warna. Asal binarmu pada “Sang”, tak redup di ibu kota. Tempat namamu tertaut di antara pencakar, pada awal mula.

Wa…. Tak sampai ufuk namamu ku eja. Lalu silahkan mereka menggema di hadap layar. Blablablabla…. Asal lisanmu pada “Sang”, tak putus di ibu kota.

12


Asal coretmu pada “Yang�, tak kau hapus sepulangnya. Ceritakan padaku, pencerita. Halaman, yang jika kamu seorang penulis, memilih epilognya sendiri.

Aku pikir, apalah epilog itu jika bibirmu gamang. Dan aku, kemudian ingin berpikir, apalah epilog itu jika senyummu urung kau mekarkan.

(Tertanggal 9 Februari yang tertinggal di tanggal ini. Apa aku akan tahu betapa peluhmu tak sebentar mengering di ibu kota? Semoga aku punya cara yang lebih bijaksana daripada sekadar

13


Sang Suara, Angin-angin Miskin Dalam suka atau duka, kaya atau papa, sampai kematian memisahkan, memisah jiwa raga kita‌ Sang Suara itu terngiang. Bukan lagi dari kepala yang jarang menyimpan apa-apa. Rasanya malam, tepatnya di jalanan yang aku rutuki ini, suara itu terus terdengar. Sayup pada mulanya, kemudian angin-angin yang miskin beranjak. Menyelinapkannya di pepohonan, memupuknya di lubang-lubang jalan, membiaskannya di lampu-lampu, merekatkannya di papan reklame yang tumbuh liar. Bulan setengah hidup. Peluhnya berupa cahaya-cahaya samar, menetes di gumpalan awan yang muram, menimpaku hingga berbayang. Sang Suara yang terngiang di benak jalanan. Sang Suara yang menyerang sendiriku di bahunya, bersandar pada tiang-tiang dengan cat terkelupas. Puisi-puisi yang sempat tertulis berlepasan dari tua pendarnya. Sang Suara menemukannya berserak, mengumpulkan puingnya. Puisi-puisi yang dirapikan Sang Suara itu, puisi-puisi yang tidak pernah bisa utuh lagi maknanya. Sampai kematian memisahkan, memisah jiwa raga kita. Kita‌puisi-puisi yang tidak pernah bisa utuh lagi maknanya, dan aku yang sendiri di bahu jalanan. Yang bersandar di tiang-tiang. Sang Suara itu‌ bukankah manusia seharusnya bernafas? Sebentar lagi gelap melenggang. Arak-arakan datang memanggul terang. Sang Suara, angin-angin miskin, bukalah jendela. Sambutlah. Dalam suka atau duka, kaya atau papa.

(17/7, Melancholic Bitch – 7 Hari Menuju Semesta, tidak ada hari sisa untuk kita berdua.) 14


Kemuning Berlompatanlah, hap hap hap‌ Sungai Sawah-sawah berkawanan Kamu merebah di sauh Ikan-ikan berendam di hangat arus air Aku terduduk di atas kerbau, meniup seruling berukir nama Pemberian sang kekasih

Senandungkan pagi, seindah bulir-bulir kemuning di hamparan, katamu Secantik riak air di himpit batu-batu abu Seteduh caping di kepala petani-petani Sebening embun di kaki anak-anak yang berkejaran

Aku dan kamu berlompatan, hap hap hap Sekali lagi Sungai Sawah-sawah berkawanan Aku merebah di sauh Ikan-ikan berteduh Di bawah eceng gondok yang terapung Kamu luwes menari di atas lumpur Seperti tidak ada seorangpun memperhatikan saat jingga langit-langitnya

Sedang seruling ini kamu beri nama Senja.

15


Selat Kesepian Sepi. Tangan kiriku menopang berat kepala. Detik-detik jam tangan merambat, menyinggahi cuping telinga. Keadaan ini, seperti aku sedang diberitahu kalau hidup ini diberi waktu. Bukankah ini sangat menyakitkan. Setiap manusia dengan jam tangan terpasang di pergelangan tangannya nampak seperti tengah menghitung hidupnya sendiri. Mengawasi hidupnya sendiri: apa yang akan datang, apa yang akan pergi. Lihat, bulan sedang terang meski langit terjangkit mendung. Aku terus mengawasi, apakah sebentar lagi awan-awan akan menghalangi pendarnya. Seperti itulah yang aku pikirkan sekarang. Mungkin bulan jengah juga melihatku sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya. Mungkin alangkah lebih baiknya jika jarum penunjuk detik tidak perlu ada. Suara itu, sangat menyakitkan. Pesawat melintas di samping bulan. Sorotnya berkedip-kedip. Apakah lampu di badan pesawat itu akan redup suatu hari? Pasti tidak enak rasanya, melihat pesawat melintas terburu-buru, di atas kepala manusia tanpa berkedip-kedip, memberitahu keberadaannya. Bagaimana rasanya, jika suatu hari manusia mendapati sinar bulan berkedipkedip? Dan di setiap kedipnya, yang semburat beraneka warna. Seperti lampu disko. Apakah akan menyenangkan? Dan begitu tersadar dari lamun, bibirku pecah. Kesadaran, yang entah disadari atau tidak. Kursi-kursi menjeritkan kekosongan.

(20/7, selat kampus bersama halaman-halaman Norwegian Wood)

“Mana bisa disebut revolusi kalau mereka hanya menghambur-hamburkan istilah yang tidak dipahami oleh rakyat biasa?�-Midori

16


Ketiadaan Cahaya Kamu yang di hadapanku ini, sudah silau pada riuhnya bunga-bunga api di akhir pekan. Yang menyayat-nyayat wajahmu. Seperti telaga yang dijerang nyala-nyala lilin. Pada setiap lelehnya, aku melihat keputus-asaan ditenggelamkan. Andai sebelumnya aku tahu, telaga itu tidak berdasar.

Seperti matamu, dimana aku pernah tenggelam di dalamnya. Tempat yang tidak pernah habis aku telusuri ruang-ruangnya. Seperti lentera yang tidak pernah redup, aku sampai kini tidak menemukan jalan keluar. Pintu itu, katamu, gelap-pekat.

Cahaya-cahaya hidup dalam ketidakhidupanmu Mengenalkanmu pada nyala-nyala silau. Dan kamu sendirian, menyungging senyum pada hampa udara.

Percepat datangku, datangmu, pada ketiadaan cahaya. Ketiadaan ketika kita berdua.

(21/7, Death Cab for Cutie – Lightness) You shouldn't think what you're feeling‌

17


Dua Pasang Rindu Rindu yang tergeletak di teras itu, milik siapa? Dua pasang kaki Langit tanpa binar kembang api Bercengkerama Mendengarkan suara-suara Ketika tidak, mata akan menderaskan cerita dalam tatap Entah rindu untuk siapa, pernah kutemukan di dasarnya yang gelap Dua pasang sepatu lekat berdebu Bulan malu-malu, jika dudukku tengah bersanding denganmu Lantas siapa bernafas, rindu itu terikat bersama helai udara Tinggi-rendahnya seperti nyanyian di tepi bukit Tangan-tangan terlipat Bukan dingin Pertemuan usai, siapa ingin? Rindu yang terbengkalai di teras itu, milikmu? Menetes bersama peluh di sayu wajah ayu Jari telunjuk bergerak, pelan, seperti menuliskan sebuah nama Andai saja rindu mempunyai nama‌ Sungguh, bisa jadi rindu yang berserakkan di teras itu milikku Akan kupunguti pecah-pecahannya Kususun sebisanya Sampai sepasang kakimu kembali di sepi teras itu Bolehkah aku datang? Siapa tahu, rindu-rindu yang yang tergeletak di teras itu, bukan lagi milik siapa-siapa‌

(27/7, Selat. Katanya, “rindu� menjadi syarat.)

18


Puisi Murung Nyalanya begitu saja Aku berpuisi di bawah cahaya-cahaya belia yang tergelincir pada angin tua Terbata dalam semilir Terkantuk, bibir pena menjerit-jerit Halaman kertas berbaris yang mulai usang Sepertiku, sayang‌

Semut berdoa, nyamuk diterbangkan nyanyian Seperti, menjadi manusia adalah hal yang paling menjanjikan Kukatakan kepadamu, cemasku telanjang di kamar mandi yang pucat dingin Tergenang di air diam Setiap pagi buta, kecemasan itu mengguyur tubuhku Menjaga agar ketidakwarasanku tetap segar Kecemasan yang lekat itu pasti kukembalikan. Tepat pada baris terakhir puisi ini

Dinding mengaduh‌ Embun-embun keruh‌ Bait-bait ini hampir selesai ketiga gelap terbunuh.

19


Bernyanyi… Berpuisi… Huruf-huruf letih dari penyair murung

Cemas, harum tubuhmu semakin jauh… Sayang… Apakah baik-baik saja jika puisi ini tak utuh?

(29/7. Ada yang mengiring, menggiring, Sheila on 7 – Tentang Hidup. )

20


Pada Sebuah Tanda Baca Angin sedang senggang. Ada yang menetes di kolam. Di sini gelap. Dia tidak tahu apakah tengah tertidur atau tidak. Di hamparan sawah, seekor kunang-kunang tengah tersesat. Nyalanya terputus-putus. Sedang pada jam ini, manusia berusaha mati-matian agar tidak terlihat nelangsa.

Gesa disisipkan pada huruf-huruf nan rapat. Raganya meniti sebuah kalimat. Pada sebuah tanda baca, langkahnya berjeda.

Barangkali, dia kembali bertengkar dengan puisi.

(6/8. Sela-sela Selasa) “Hey, the clouds hang heavy in the sky.� (Hem – Redwing)

21


Kursi Kayu Sebuah kursi kayu menghadap fajar. Untukmu, jika datang waktu belajar.

Kamu tak ingin usai melingkar peluk dengan gulita. Dimana gelisah terlipat rapi, disembunyikan rapat. Dengar, nafasnya terengah.

Rebahnya berupa anyaman, celah-celah yang membacakan cerita sebagaimana bunga tidur. Sikunya menua pada halaman-halaman terbuka yang kamu gemari. Hari nanti.

Dalam lelap tertidur sebentar lagi, ada yang pelan-pelan mengecup keningmu. Ada yang diam-diam menyunggingkan senyum untuk lelapmu. Membisikkan aksara entah apa. Udara nampak menguping.

Untukmu, jika datang waktu bersandar. Angin menggoyang pelan kursi kayu ini. Mengusir sunyi.

(7/8)

22


Mega‌ Setiap yang pernah dilengkungkan di bibir seorang manusia; rerumputan di mega-mega. Jingga berkedip-kedip, menggoda perangaiku. Ada yang mengosongi kursi pada lelahnya yang kesekian kali. Meninggalkan kertasnya terhunus mata pena-menggelincirkan darah ke kata-kata sebelumnya. Sayang, ajarkan aku mengeja lamunan yang kerap dia alamatkan. Yang kerap aku buang di perapian. Sudahkah pernah dia temukan menjelma arang?

23


Seharusnya Rahasia Kita Sempurna Mari memulainya kembali. Kita bisa merangkai kata pertama di atas sini. Meski kita tahu kita belum pernah pergi kemana-mana. Yang sepinya tak terekam mata. Yang hiruk-pikuknya diam di telinga. Barangkali ada binar-binar belia berlarian di langit. Sesosok renta meniupkan peluit, membariskan laku cahaya mereka. Ada yang menangis. Memanggil-manggil nama ibunya. Mungkin kita buta-tuli. Jika memang demikian, seharusnya rahasia kita sempurna.

(9/9. Selat Ungu. Faust, kamukah itu?)

24


25


Tuangkanlah, barang sesendok: keruh gula, juga bubuk-bubuk cerita dalam toples. Gelas ini hampir penuh oleh jingga yang jerang, yang mengepulkan awan. Maka tuangkanlah, selagi sore masih ada di pikiran.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.