Ruang Publik yang Inklusif

Page 1

Ruang Publik yang Inklusif Oleh Kastrat IMA FTUI 2021

Ruang Publik sejatinya memang diperuntukkan oleh seluruh masyarakat, baik kalangan atas maupun kalangan bawah, sebagai wadah interaksi sekaligus mobilitas warga tanpa memandang bulu. Sudah seharusnya ruang publik dibuat senyaman dan seaman mungkin bagi seluruh penggunanya. Mengidentifikasi pengguna jalan bisa menjadi langkah awal dalam merancang ruang publik yang ideal sehingga penyesuain kebutuhan tiap-tiap penggunanya bisa dilakukan, melihat keadaan ruang publik sekarang ini, hampir sebagian besar rancangan ruang publik hanya berfokus ke kendaraan mobil dan motor. Pengguna jalan seperti pejalan kaki, pesepeda, dan kendaraan umum tidak terlalu diperhatikan, dapat dilihat bagaimana trotoar yang ada sebagian besar rusak dan dimensinya yang terlalu kecil sehingga sangat berbahaya. Jembatan penyebrangan jalan juga memiliki tangga curam sehingga berbahaya dan tidak ramah untuk lansia dan disabilitas. Hal-hal tersebut membuat ruang publik tidak lagi diperuntukkan untuk semua orang, tetapi hanya untuk orang-orang tertentu saja. Selain itu ketidaknyamanan ruang publik ini mengakibatkan masyarakat enggan untuk berlama-lama atau bahkan menggunakan fasilitas yang tersedia di sana. Contohnya, trotoar yang hancur dan tidak rata membuat orang akan lebih malas untuk berjalan kaki atau menggunakan kendaraan umum karena akses untuk perjalanannya yang dianggap tidak aman. Terdapat empat kriteria yang bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu ruang publik dapat dikatakan bagus atau tidak, pertama ruang publik harus mudah diakses oleh semua orang, mulai dari pejalan kaki, pengemudi kendaraan pribadi atau kendaraan umum hingga disabilitas, selain itu kota yang saling terkoneksi akan memudahkan pengguna untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Aspek ini bisa dinilai dari tingkat kemacetannya, penggunaan sebagai tempat transit, aktivitas pejalan kaki, dan pola tempat parkir yang tersedia. Kedua pengguna bisa bebas dan nyaman beraktivitas disana, ruang publik yang memiliki pemandangan yang indah, bersih, hijau, dan aman akan memiliki daya tarik lebih


tinggi dibandingkan ruang publik yang kotor dan gersang, lalu ruang publik yang masih bisa digunakan untuk sekedar bersantai dan duduk-duduk. Aspek ini bisa dinilai dari data lingkungan, data kejahatan, keadaan bangunan disana, dan tingkat sanitasi. ketiga orang-orang tertarik untuk beraktivitas di sana, muncul aktivitas yang menyenangkan, bermanfaat, dan ramah lingkungan akan mengikat masyarakat untuk bergabung dan beraktivitas disana dalam waktu yang lama, hal ini akan berkaitan dengan kriteria ruang publik yang bagus terakhir yaitu ruang publik harus bersifat umum sehingga bisa memunculkan interaksi dan tidak menyisihkan golongan-golongan tertentu. Hal ini akan berdampak pada image dari ruang publik itu sendiri, yang mungkin awalnya suram dan jarang orang lewati berubah menjadi nyaman dan ramai. Aspek untuk menilai hal tersebut adalah pola penggunaan lahan, nilai dari properti, tingkat sewa, dan penjualan pada daerah tersebut. Untuk ruang publik yang interaktif dapat dinilai dari, jumlah pengguna jalan, penggunaan jalan saat menjelang malam hari, dan angka pengguna wanita, anak-anak, dan orang tua. Ketika ruang publik sudah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk disinggahi atau sekedar digunakan maka terdapat hal yang salah dari ruang publik tersebut. Sekarang ini ruang publik hanya dikhususkan untuk orang-orang tertentu saja, demi meningkatkan keamanan dan kenyamanan pengguna maka beberapa aspek dari ruang publik ini dihilangkan. Tidak ada lagi kursi yang nyaman untuk diduduki dalam waktu lama dengan alasan untuk mengurangi tunawisma tidur di kursi tersebut, dibangun jembatan penyeberangan jalan dengan anak tangga dengan alasan agar lebih aman dan mengurangi kecelakaan, atau jalan sepeda yang dihapuskan karena dianggap berbahaya untuk pengendara sepeda itu sendiri, dan lain-lainnya. Alhasil ruang publik tidak lagi menjadi inklusif karena hanya menguntungkan untuk pihak-pihak tertentu saja. Fenomena di atas biasa disebut dengan hostile architecture atau defensive architecture. Hostile architecture bisa didefinisikan dengan strategi desain yang ditujukan untuk membatasi aktivitas penggunanya, hal ini biasanya digunakan untuk menghindari kejahatan, orang tunawisma, dan tindak kriminal lain. walaupun terdengar mampu untuk membuat ruang publik lebih nyaman, ternyata praktik di


lapangan berkata sebaliknya, hostile architecture berdampak untuk pengguna lainnya yang mungkin pada awalnya tidak termasuk dalam daftar orang yang dihindari. Hostile architecture sendiri mulai terdengar pada abad ke-19 di Inggris, gerakan ini dimulai untuk menghindari orang untuk buang air sembarangan di jalanan, lalu berlanjut ke alat berduri yang berada di bagian jendela digunakan untuk menghindari burung-burung liar buang air. Hal ini jelas jauh berbeda dengan bentuk hostile architecture yang sekarang. Tetapi tak bisa dinafikan bahwa arsitektur tidak berdiri sendiri, maksudnya arsitektur akan tetap dipengaruhi oleh tekanan sosial, ekonomi, dan politik, dimana hal ini yang bisa menjadi salah satu alasan mengapa bentuk dari hostile architecture berubah sejauh ini. Manusia sendiri juga membutuhkan tempat yang nyaman dan aman untuk beraktivitas sehingga kasus-kasus kejahatan harus diminimalisir. Tekanan politik, sosial, dan ekonomi ditambah keinginan manusia untuk mendapat tempat yang aman adalah jawaban mengapa akhirnya bentuk hostile architecture menjadi seperti ini. Setelah kejadian-kejadian teror di luar negri yang menyebabkan pembatasan aktivitas di ruang publik membuktikan bahwa hostile architecture bisa menjadi salah satu solusi akhirnya diterapkan di Indonesia. Muncullah tempat duduk yang tidak nyaman di pemberhentian kendaraan umum, jalan trotoar yang sangat sempit, akses ruang publik yang minim, tidak ada interaksi antara manusia hanya untuk memuaskan salah satu pihak dengan berlindung di balik kata ‘keamanan publik’.

Hostile Architecture pada Transportasi Umum Pentingnya peran transportasi dalam pembangunan negara, tampaknya masih diwarnai dengan karakteristik transportasi Indonesia yang dihadapkan pada kualitas pelayanan yang rendah, dan kuantitas atau cakupan pelayanan yang terbatas. Seperti pada gambar dibawah ini.

Di stasiun Tanah Abang terdapat kursi duduk seperti ini. Jika kita melihat secara sekilas, kita bisa merasakan bahwa saat kita duduk akan membuat sedikit tidak nyaman untuk


menunggu kereta datang. Gerutu-gerutu akan hadir bagi penumpang yang sedang menunggu kedatangan kereta. Namun disisi lain, pemerintah membuat kursi seperti ini mungkin bermaksud untuk menghindari penggunaan yang berlebihan seperti dijadikan tempat tidur untuk homeless people sehingga bisa saja menghilangkan fungsi asli dari kursi tersebut. Ini sangat memicu pro kontra bagi publik, siapa yang menjadi prioritas dalam penggunaan ruang publik? Apakah hanya untuk mengusir homeless people? Selain itu apakah benar kursi ini untuk khalayak umum? Atau hanya orang-orang tertentu saja?. Kita sebagai warga juga mementingkan dan menuntut kenyamanan di ruang publik ini. Selain itu menurut saya, kalau memang dijadikan tempat tidur, homeless people hanya menggunakan tempat ini saat malam hari ketika orang - orang telah berhenti beraktifitas. Di siang hari, stasiun akan ramai dipakai oleh khalayak umum, tidak hanya homeless people. Tidak ada salahnya mengutamakan kenyamanan publik untuk duduk sehingga dapat melancarkan aktivitas mereka. Hostile itu memang diperlukan untuk tujuan tertentu tetapi jangan sampai mengorbankan kenyamanan warga dalam beraktivitas.


Pro Kontra dalam Hostile Architecture Seperti yang telah dibahas sebelumnya, hostile architecture membatasi pergerakan dan aktivitas manusia. Pembatasan aktivitas tersebut dapat dilihat sebagai keuntungan dan kekurangan. Hostile architecture dapat ditemukan di berbagai tempat, terutama di perkotaan dengan tingkat tunawisma yang tinggi. Bagi kelompok yang ber-privilege atau masyarakat pada umumnya, berjalan melalui tempat yang diberi alat berduri mungkin menganggapnya sebagai alat untuk meningkatkan keamanan. Bagi kelompok tunawisma, alat berduri tersebut merupakan sebuah kekurangan. Dengan dipasang alat tersebut, kelompok tunawisma akan sulit untuk berteduh dan beristirahat. Selain tempat yang diberi alat berduri, terdapat banyak contoh implementasi hostile architecture yang terselubung di daerah perkotaan. Penyiram air yang dipasang di suatu tempat yang tidak memerlukannya merupakan salah satu contohnya. Penyiram air tersebut merugikan tunawisma dan juga orang yang ingin melewati area yang dipasang penyiram air. Contoh lain yang sering ditemukan di pinggir jalanan perkotaan adalah bangku yang diberi sekat dan handle. Bangku dengan desain tersebut disebut kerugian oleh kelompok tunawisma karena pada malam hari, bangku tersebut biasa dijadikan tempat untuk beristirahat. Namun bangku bergaya hostile architecture terkadang memang diperlukan. Pada tahun 2011, warga yang tinggal di daerah Central London merasa resah karena bangku perkotaan sering dijadikan tempat transaksi narkoba dengan menyelipkannya di sisi yang retak atau dibagian bawah bangku. Maka dari itu, bangku bangku di sekitar London diganti dengan camden bench. Bangku ini didesain untuk dapat mengurangi tindak kriminal dan perilaku anti sosial. Bangku ini dapat mencegah terjadinya transaksi jual beli narkoba karena tidak ada celah untuk menyembunyikan narkoba tersebut. Bangku ini juga dapat mencegah pencurian tas karena slot di setiap sisi bangku memungkinkan orang untuk menyimpan tas di belakang kaki mereka. Bangku ini juga self-cleaning karena dirancang sedemikian rupa agar kotoran, tanah dan air mengalir kebawah karena bentuknya yang agak miring dan tidak terdapat celah.


Bangku camden didesain oleh Dean Harvey yang memang mendukung gaya hostile architecture. Menurut Harvey, desain hostile architecture dapat mencegah tunawisma tidur dan menyampah sembarangan serta mengurangi transaksi narkoba. Tidak hanya itu, hostile arch merupakan alat keselamatan publik yang melindungi para tunawisma dari bahan kimia pembersih keras yang digunakan oleh kota. Pemilik bisnis juga bergantung padanya untuk mencegah pengemis yang mengusir pelanggan. Mengenai argumen Harvey, banyak yang bisa dibantah. Menggunakan hostile arch tidak serta merta mencegah orang berkeliaran, karena orang hanya bisa berdiri atau bersandar. Dan itu pasti tidak akan mengurangi narkoba; orang tidak perlu duduk untuk menukar obat dengan uang tunai. Ya, menerapkan arsitektur ini akan mengurangi orang-orang tunawisma dari tidur di ruang publik, tetapi itu kejam untuk dilakukan ketika tidak ada tempat lain bagi mereka untuk pergi. Menyebutnya sebagai 'alat keamanan publik' bagi para tunawisma hanya menghina, ketika banyak arsitektur yang bermusuhan membuat mereka tidak memiliki tempat yang baik untuk pergi yang terlindung. Dan jika pemilik bisnis kehilangan bisnis karena pengemis, ada solusi lain yang dapat mereka coba daripada menggunakan arsitektur yang tidak bersahabat. Mereka dapat berinvestasi di tempat penampungan tunawisma dan dapur umum, atau menelepon tempat penampungan lokal dan meminta mereka untuk membantu situasi mereka.


Contoh Hostile Architecture di Universitas Indonesia Secure Parking pada Universitas Indonesia Hostile Architecture bisa ditemukan dimana saja, Universitas Indonesia juga tidak terlepas dari desain yang bertujuan untuk mengurangi pengguna di dalamnya. Hal ini bisa langsung dilihat ketika ingin memasuki area Universitas Indonesia. UI sendiri memiliki beberapa pintu masuk, maka dari itu sangat banyak pengguna jalan yang masuk ke area UI walaupun hanya untuk mengambil jalan pintas. Sehingga saat pagi hari cukup sering terjadi penumpukan pada pintu masuk karena jumlah pengendara yang masuk banyak sedangkan jalan untuk masuk ke area UI yang sempit. Hal ini yang menjadikan secure parking di UI sebagai salah satu bentuk hostile architecture karena tujuannya untuk mengeksklusifkan area tertentu. Berdasarkan pihak universitas sendiri, tujuan diadakannya secure parking ini untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di area kampus. Dikutip dari tempo.co, Rektor UI tahun 2019, Muhammad Anis, Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai greenmetric, ia ingin area kampus menjadi lebih hijau dan terbebas dari polusi, sehingga ketika mahasiswa ingin berjalan kaki atau bersepeda tidak perlu menggunakan masker karena kualitas udaranya yang sudah bagus. Namun setelah dilakukannya kebijakan ini, protes mulai bermunculan bukan hanya dari mahasiswa namun penduduk yang tinggal di dekat area UI, bahkan ojek pangkalan di dalam kampus. Hal yang paling mendasari adanya protes ini ialah, kemacetan yang muncul karena waktu yang dibutuhkan untuk mengambil tiket dari mesin. Akhirnya penumpukan tidak dapat dihindari di semua titik pintu masuk UI sampai jarak puluhan meter dari pintu masuknya. Walaupun pada tahap uji coba belum dilakukan sistem berbayar, unjuk rasa dari pihak mahasiswa dan warga tetap berjalan, dengan membuahkan hasil ditundanya uji coba secure parking ini. Merujuk pada kajian yang dilakukan oleh BEM FTUI dan IMS pada tahun 2019, berdasarkan perhitungan tingkat pelayanan jalan (LoS) dijelaskan bahwa


keputusan diadakannya parkir berbayar untuk mengurangi kendaraan pribadi di area kampus masih belum diperlukan atau tidak mendesak. Sehingga memang akan lebih baik jika uji coba ini tidak diberlanjutkan. Bollard Bollard adalah tiang pendek yang digunakan sebagai pelindung atau perimeter arsitektur. Ketika dipasang terutama sebagai pemandu visual, bollard memandu lalu lintas dan sebagai penanda batas. Sebagai elemen arsitektur, mereka hadir dalam berbagai bentuk dan gaya untuk menonjol secara visual dalam pengaturannya. Bollard juga dapat dibangun untuk memblokir serangan kendaraan, melindungi orang dan properti. Pos keamanan ini mungkin memiliki elemen dekoratif atau dipilih untuk melengkapi lanskap, tetapi pertimbangan utamanya adalah ketahanan terhadap kekuatan benturan. Bollard dapat dibuat dari hampir semua bahan, tergantung pada fungsinya yang dibutuhkan, tetapi bahan yang paling umum adalah logam, batu, semen, atau plastik.

Bollard sebenarnya menjadi salah satu bentuk hostile architecture yang umum untuk ditemukan. Bollard bertujuan untuk menghalangi kendaraan agar tidak melintas di atas trotoar. Tidak hanya itu, bollard juga dapat menjadi penanda bahwa suatu jalan


tidak dapat dilewati. Namun, dengan adanya bollard justru menghambat mobilisasi bagi sebagian orang, salah satunya orang-orang yang menggunakan kursi roda. Tidak sesuai dengan tujuan awal dari adanya hostile architecture, beberapa jenis bollard justru dijadikan tempat bersandar atau duduk oleh orang-orang yang perlu menunggu di bahu jalan.

Contoh Hostile Architecture di Jalan Margonda Depok JPO Masih di area Jalan Margonda, hostile architecture ini berupa JPO (jembatan penyeberangan orang). JPO merupakan bangunan jembatan yang diperuntukkan untuk menyeberang pejalan kaki dari satu sisi jalan ke sisi jalan yang lainnya. Namun, JPO

yang ditemukan di Jalan Margonda ini dapat dikategorikan sebagai hostile architecture karena strukturnya yang sangat tertutup dan adanya ketidaksesuaian pada konstruksinya apabila disandingkan dengan pedoman yang ada. Fasilitas yang bertujuan untuk memberi “keamanan” bagi orang-orang yang ingin menyeberang jalan ini justru membahayakan penggunanya. Fasilitas ini dapat dikatakan membahayakan karena struktur yang terlalu tertutup memperbesar kemungkinan terjadinya tindakan kriminal dan justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi penggunanya. Hal ini bahkan sebenarnya sudah ditetapkan dalam pedoman yang


dibuat oleh Kementerian PUPR. Untuk sarana umum, apabila sebuah sarana dibuat dalam bentuk “terowongan”, tertulis bawa sarana tersebut harus dilengkapi dengan penerangan yang memadai, yang jelas tidak terwujud dalam pembangunan JPO ini. Hal ini tentu ditujukan atas dasar keamanan dan kenyamanan bagi pengguna fasilitas tersebut. Tidak hanya itu, struktur dari JPO tersebut juga tidak memenuhi standar dari fasilitas pejalan kaki yang harus memenuhi aspek aksesibilitas, yang berarti fasilitas tersebut juga harus dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk oleh pengguna dengan berbagai keterbatasan fisik. JPO seharusnya memiliki lebar minimum dua meter dengan kelandaian tangga maksimum 20º untuk memenuhi kebutuhan pengguna dengan keterbatasan fisik dan tentunya memaksimalkan kenyamanan dan keamanan yang dirasakan pengguna fasilitas tersebut. Selain struktur JPO-nya sendiri, akses untuk menggunakan JPO mengharuskan penggunanya untuk melewati sebuah tempat yang sangat tertutup, sempit, dan gelap. Dengan begitu, keamanan pengguna JPO lagi-lagi berkurang karena di tempat tersebut seringkali dijadikan tempat duduk dan berbincang sekelompok orang, baik siang, maupun malam hari. Keadaan ini tidak hanya ditemui di beberapa akses menuju JPO, tapi sebagian jalan secara keseluruhan, terutama di area gang-gang kecil yang kekurangan penerangan. Keadaan tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya tindakan kriminal, mulai dari pencurian sampai kekerasan seksual yang saat ini semakin marak terjadi di berbagai daerah. Bollard Tidak jauh berbeda dengan hostile architecture yang berada di lingkungan Universitas Indonesia, di Jalan Margonda juga dapat ditemukan sejumlah bollard yang masih kurang efektif dalam penggunaannya. Seperti pada gambar, bollard tersebut terlihat seperti bollard lainnya yang membantu menghalangi kendaraan untuk melewati suatu jalan atau mengurangi kemungkinan dampak dari tabrakan. Namun,


apabila dilihat lagi bollard ini tidak dapat menghalangi kendaraan atau mengurangi kemungkinan dampak tabrakan seperti tujuan awalnya.

Bollard tersebut dapat dikatakan tidak efektif karena posisinya yang berada di pojok samping sebuah jalan terbuka yang sebenarnya dapat dikatakan tidak memberi dampak apapun. Selain posisinya yang dapat dikatakan janggal, standar internasional untuk jarak antar-bollard sendiri sebenarnya 3-5 kaki atau sekitar 1-1,5 meter. Standar tersebut sebenarnya digunakan untuk bollard yang diletakkan di area trotoar dengan tujuan melindungi pejalan kaki. Untuk bollard yang diletakkan tidak di area trotoar dan bertujuan untuk menghalangi kendaraan atau mengurangi kemungkinan dampak tabrakan biasanya memiliki ukuran yang lebih besar dan tidak permanen. Sementara itu, bollard pada gambar terlihat permanen dan tidak dapat dipindahkan. Oleh karena itu, penggunaan bollard tersebut dapat dikatakan tidak efektif. Trotoar Selain dari fasilitas yang ada di jalan, dapat pula ditemukan beberapa “jalan” atau trotoar yang semakin lama semakin mengecil sampai akhirnya tidak lagi terdapat trotoar yang dapat digunakan untuk pejalan kaki. Walaupun hal ini terdapat di tikungan jalan dan mungkin memiliki maksud untuk memperbesar sudut tikungan agar tidak terlalu tajam, tetapi justru membahayakan pejalan kaki. Hal tersebut


muncul karena dengan diterapkannya sistem tersebut, tidak ada lagi batasan peruntukan jalan yang jelas bagi pengguna kendaraan dan pejalan kaki.

Dibuatnya sistem trotoar tersebut menyalahi peruntukan dan aturan yang dibuat mengenai trotoar. Berdasarkan pedoman teknis fasilitas pejalan kaki yang dibuat oleh Kementerian PUPR, lebar efektif lajur pejalan kaki (trotoar) berdasarkan kebutuhan satu orang adalah 60 cm dengan lebar ruang gerak tambahan sebesar 15 cm untuk bergerak tanpa membawa barang. Dengan begitu, total lajur untuk dua orang pejalan kaki berpapasan tanpa bersinggungan sekurang-kurangnya adalah 150 cm. Tidak hanya dari segi ukuran, dibuatnya sistem tersebut juga menyalahi beberapa aspek dalam pembuatan trotoar. Aspek-aspek tersebut mencakup; 1) mengurangi konflik antara pejalan kaki dan kendaraan; 2) menyediakan akses bagi pejalan kaki; 3) meningkatkan visibilitas antara kendaraan dan pejalan kaki. Pot


Selanjutnya, hostile architecture ini berada di Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat. Sekilas area ini hanya terlihat seperti jalan yang diberi pot tanaman agar tidak dapat dilewati kendaraan. Namun, hostile architecture seperti ini dapat dikatakan hostile karena adanya pengurangan penggunaan fasilitas yang ada. Biasanya, lahan seperti itu digunakan sebagai pemberhentian bus untuk mengangkut atau menurunkan penumpang. Dengan adanya pot-pot tanaman di tempat itu, beberapa kegiatan juga ikut terhambat. Penggunaan pot tanaman terkesan sebagai solusi temporal untuk masalah yang dicoba untuk diselesaikan. Hal ini tentu tidak ideal, karena selain secara visual kurang berestetika dan terkesan seadanya, hal ini dapat merugikan pengguna jalan. Idealnya, penggunaan ruas jalan dapat dimaksimalkan, dan masalah yang muncul dapat diselesaikan secara lebih profesional dan tidak merugikan pengguna jalan. Zebra Cross

Terdapat pula bentuk lain dari hostile architecture yang mungkin tidak disadari oleh sebagian besar orang. Terdapat di area Jalan Margonda, penyeberangan pejalan ini mendorong orang yang akan menggunakan penyeberangan pejalan tersebut untuk menginjak tanaman selama menunggu. Padahal, apabila dilihat lagi, sebenarnya penyeberangan pejalan tersebut dapat sedikit dipindahkan dari posisinya yang sekarang untuk menghindari adanya kemungkinan merusak tanaman. Tidak hanya itu, dengan posisi tersebut, penyeberang jalan juga tidak akan nyaman menunggu di


tengah-tengah tanaman atau bahkan biasanya penyeberang jalan justru malah menunggu di bahu jalan yang sebenarnya dapat terbilang berbahaya bagi penyeberang jalan dan pengguna kendaraan bermotor. Pengguna jalan juga dapat tersandung oleh tanaman yang ada. Hal ini dapat membahayakan pengguna jalan karena mereka akan terlalu terfokus memperhatikan di mana mereka harus menapak dari pada memperhatikan jalanan di sekitar mereka. Idealnya, penyeberangan pejalan ini memiliki permukaan yang rata. Apabila diperhatikan lebih lanjut, dapat dilihat pula bahwa zebra cross dari ujung yang satu dan lainnya tidak benar-benar lurus. Hal ini juga dapat mendistraksi pengguna jalan dan dapat berakibat fatal apabila mereka tidak memperhatikan sekelilingnya. Hal ini sangat disayangkan karena kesalahan ini merupakan kesalahan yang sederhana dan seharusnya tidak dilakukan, namun berpotensi untuk membahayakan pengguna jalan. Idealnya, sebelum melakukan pengecatan zebra cross telah dilakukan perhitungan yang matang agar kedua zebra cross tersebut terhubung dengan sempurna.

Guiding block

Selain itu, pada Jalan Margonda, didapati banyak sekali guiding block/jalan pemandu untuk penyandang tuna netra yang rusak, tidak lengkap, atau tidak tersambung. Hal ini tentu dapat memunculkan rasa kebingungan dan ketidakamanan


bagi para penyandang tuna netra. Pada gambar diatas, terlihat adanya guiding block di ujung trotoar tersebut, namun tidak pada trotoar di belakangnya. Hal ini dapat membahayakan para penyandang tuna netra, terutama karena di tengah-tengah trotoar tersebut terdapat tiang besi. Jika tidak hati-hati, mereka dapat menabrak tiang tersebut karena tidak adanya guiding block yang menunjukkan jalan untuk berbelok. Lebih-lebih, di bagian kanan trotoar tersebut, terlihat adanya sebuah lubang. Hal ini tentu berpotensi untuk melukai pengguna trotoar. Pengguna jalan yang iseng juga dapat membuang sampah ke dalamnya, yang mana dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran air di dalamnya. Idealnya, tentu saja, lubang tersebut segera diperbaiki dan ditutup. Gambar diatas hanya merupakan salah satu contoh dari banyaknya trotoar yang tidak baik kualitasnya di Jalan Margonda. Penyebab masalah tersebut pun beragam, mulai dari masyarakat yang kurang tertib menggunakan trotoar (baik para pengguna motor yang naik ke trotoar akibat kemacetan maupun pada pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya di trotoar). Oleh karena itu, diperlukan edukasi bagi masyarakat dan juga ketegasan penertiban area trotoar.

Pedoman dalam Pembangunan Fasilitas Pejalan Kaki Berdasarkan pedoman yang dibuat oleh Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), fasilitas pejalan kaki harus memenuhi beberapa prinsip. Prinsip-prinsip tersebut meliputi; a) memenuhi aspek keterpaduan sistem, dari penataan lingkungan, sistem transportasi, dan aksesibilitas antar kawasan; b) memenuhi aspek kontinuitas, yaitu menghubungkan antara tempat asal ke tempat tujuan, dan sebaliknya; c) memenuhi aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan; d) memenuhi aspek aksesibilitas, di mana fasilitas yang direncanakan harus dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk oleh pengguna dengan berbagai keterbatasan fisik. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan sebagai “standar” dari dibuatnya sebuah fasilitas, terutama fasilitas pejalan kaki.


Daftar Pustaka

Bader, A. (2020). Hostile architecture: our past, present, & future?. Crit. Washington: American Institute of Architecture Students. Carey, C. A. (2017). Anti-homeless ordinances in american cities. Proceedings of Urban Affairs Association (UAA) 2017 Annual Conference, Boston. Carr, M. M. (2020). Urban hostility: CPTED, hostile architecture, and the erasure of democratic public space. https://doi.org/10.15760/honors.913 Chellew, C. (2019). Defending suburbia: exploring the use of defensive urban design outside of the city centre. Canadian Journal of Urban Research , 28(1)(19). De Fine Licht, K. (2017). Hostile Urban Architecture: A critical discussion of the seemingly offensive art of keeping people away. Etikk i Praksis - Nordic Journal of Applied Ethics, 11(2), 27. https://doi.org/10.5324/eip.v11i2.2052 Essex Design Guide. (2019). Successful criteria for public open spaces. Retrieved July 17, 2021, from https://www.essexdesignguide.co.uk/ design-details/landscape-and-greenspaces/successful-criteria-for-public-open-spaces/ Johnson, I. M. (2019). Characterizing the effects of hostile architecture on the health goals of houseless elders. Innovation in Aging.. https://doi.org/10.1093/geroni/ igz038.2077 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2018). Pedoman perencanaan teknis fasilitas pejalan kaki. Pedoman Teknis Bidang Jalan.


Kozlova, L., & Kozlov, V. (2018). Ten quality criteria of the public spaces in a large city. MATEC Web of Conferences, 212, 04012. https://doi.org/10.1051/matecconf/ 201821204012 Newman, O. (1972). Defensible space: crime prevention through urban design. New York: Macmillan. Project for Public Spaces. (2018). What makes a successful place?. Retrieved July 17, 2021, from https://www.pps.org/article/grplacefeat Starolis, H. (2020). Hostile architecture: the death of urban spaces. Crit. Washington: American Institute of Architecture Students.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.