KAUM PROLETAR SEMUA NEGERI BERSATULAH!
Y.W. STALIN
MARXISME DAN MASALAH NASIONAL
PENERBIT INDONESIA PROGRESIF 1979
Keterangan Penerbit Terjemahan karya Y.W. Stalin Marxisme dan Masalah Nasional ini dikerjakan menurut teks yang dimuat dalam Y.W. Stalin, Kumpulan Karya, edisi Rusia, Badan Penerbit Literatur Politik Negara, Moskow, 1949, Jilid II. Keterangan-keterangan pada akhir buku ini diterjemahkan dari keteranganketerangan yang terdapat dalam Kumpulan Karya Y.W. Stalin edisi Rusia dan Inggris Jilid II dan dari buku-buku lain.
ISI
MARXISME DAN MASALAH NASIONAL I. II. III. IV. V. VI. VII.
Bangsa Gerakan Nasional Penyajian Soal Otonomi Kebudayaan Nasional Bund, Nasionalismenya, Separatismenya Orang-Orang Kaukasus, Konferensi Kaum Likwidator Masalah Nasional di Rusia
KETERANGAN
MARXISME DAN MASALAH NASIONAL1
Periode kontra-revolusi di Rusia tidak hanya membawa "guntur dan halilintar", tetapi juga kekecewaan terhadap gerakan
dan
ketidakpercayaan
kepada
kekuatan-
kekuatan bersama. Selama percaya kepada "hari depan yang cemerlang", orang-orang berjuang bersama-sama, tak pandang kebangsaan: masalah-masalah bersama di atas
segala-galanya.
Tetapi
apabila
kebimbangan
merayap ke dalam hati, maka orang mulai pergi berceraiberai, masing-masing ke kemah nasionalnya sendiri — biarlah masing-masing mengandalkan hanya pada diri sendiri! "Masalah nasional" di atas segala-galanya. Bersamaan
dengan
itu
di
dalam
perombakan-perombakan
serius
ekonomi.
tidaklah
Tahun
1905
negeri
dalam sia-sia:
terjadi
kehidupan sisa-sisa
perhambaan di desa mendapat satu pukulan lagi. Serentetan panenan yang baik sesudah paceklik dan kemudian tibanya kemajuan industri telah mendorong maju kapitalisme. Diferensiasi di desa dan pertumbuhan kota-kota, perkembangan perdagangan serta jalan-jalan komunikasi maju selangkah besar. Ini terutama berlaku bagi daerah-daerah perbatasan. Tetapi ini tidak bisa
tidak mempercepat proses konsolidasi ekonomi bangsabangsa di Rusia. Yang tersebut belakangan itu pasti tergerak. . . . "Rezim konstitusionil" yang ditegakkan pada masa itu berjalan ke arah yang sama yaitu menggugah bangsabangsa. Perkembangan surat kabar dan literatur pada umumnya, kemerdekaan tertentu pers dan lembagalembaga kebudayaan, bertambah banyaknya teater rakyat, dsb, tak syak lagi membantu memperkuat "perasaanperasaan nasional". Duma dengan kampanye pemilihannya dan fraksi-fraksi politiknya memberikan kesempatankesempatan memberikan
baru
bagi
gelanggang
penggiatan baru
bangsa-bangsa,
yang
luas
bagi
pemobilisasian bangsa-bangsa. Dan gelombang menaik nasionalisme yang militan, serentetan tindakan represi dari pihak "yang berkuasa" sebagai pembalasan terhadap daerah-daerah perbatasan karena "kecintaan" mereka "pada kemerdekaan" — membangkitkan gelombang balasan nasionalisme dari bawah, yang kadang-kadang beralih menjadi sovinisme kasar. Menghebatnya zionisme 2) di kalangan orang-orang Yahudi,
tumbuhnya
Islamisme 3)
di
sovinisme kalangan
di
Polandia,
orang-orang
PanTatar,
menghebatnya nasionalisme di kalangan orang-orang Armenia, orang-orang Jorjia dan orang-orang Ukraina, kecenderungan umum dari orang filistin ke arah antiSemitisme
—
kesemuanya
ini
adalah
kenyataan--
kenyataan yang sudah umum diketahui. Gelombang nasionalisme mendekat dengan semakin kuat, dengan mengancam akan menelan massa buruh. Dan semakin surut gerakan pembebasan, maka semakin semarak bermekaran bunga-bunga nasionalisme. Pada saat yang sulit ini pada sosial-demokrasi terletak misi yang luhur — menangkis nasionalisme, melindungi massa dari "wabah" umum. Karena sosial-demokrasi, dan hanya sosial-demokrasilah, yang dapat melakukan ini, dengan mempertentangkan nasionalisme dengan senjata internasionalisme yang teruji, dengan kesatuan dan tak terbagi-baginya perjuangan klas. Dan semakin kuat gelombang
nasionalisme
itu
maju
mendekat, maka
semakin lantanglah seharusnya suara sosial-demokrasi untuk persaudaraan dan kesatuan kaum proletar semua bangsa di Rusia. Dan dalam hal ini dituntut keteguhan yang istimewa dari kaum sosial-demokrat di daerahdaerah perbatasan, yang memasuki hubungan langsung dengan gerakan nasionalis.
Tetapi tidak semua kaum sosial-demokrat terbukti memenuhi tugas itu — dan terutama kaum sosialdemokrat di daerah-daerah perbatasan. Bund 4), yang dulu menekankan tugas-tugas bersama, sekarang mulai menonjolkan
tujuannya
sendiri
yang
khas,
yang
nasionalis tulen: keadaannya sudah sebegitu jauh sampai ia menyatakan "perayaan hari Sabat" 5) dan "pengakuan atas bahasa Yiddi" 6) sebagai pokok perjuangan di dalam kampanye pemilihannya * . Bund diikuti oleh Kaukasus; sebagian dari kaum sosial-demokrat Kaukasus yang dulu bersama-sama kaum sosial-demokrat Kaukasus lainnya menolak
"otonomi
kebudayaan-nasional",
sekarang
mengajukannya sebagai tuntutan terdekat ** . Kita tidak berbicara lagi tentang konferensi kaum likwidator7) yang
secara
diplomatik
mengukuhkan
kegoyangan-
kegoyangan nasionalis***. Tetapi dari sini jelaslah bahwa pandangan -pandangan sosial-demokrasi Rusia mengenai masalah nasional belum jelas bagi semua kaum sosial demokrat. *
Lihat “Laporan Konferensi Ke-IX Bund”. Lihat “Pengumuman Konferensi Agustus”. *** Ibid. **
Teranglah, diskusi secara serius dan dari segala segi mengenai masalah nasional diperlukan. Diperlukan pekerjaan bersama dan tak kenal lelah dari kaum sosialdemokrat yang konsekwen melawan kabut nasionalisme tak peduli dari mana juga datangnya.
I BANGSA Apakah bangsa itu? Bangsa adalah pertama-tama kesatuan, kesatuan tertentu orang. Kesatuan ini bukanlah rasial dan bukan kesukuan. Bangsa Italia sekarang ini terbentuk dari orang-orang Roma, German, Etruski, Yunani, Arab, dsb. Bangsa Perancis terbentuk dari orang-orang Galia, Roma, Briton, German, dsb. Begitu juga halnya dengan orang-orang Inggris, Jerman, dll. yang terbentuk menjadi bangsa dari orang-orang berbagai macam ras serta suku bangsa. Jadi, bangsa bukanlah kesatuan orang secara rasial dan bukan secara kesukuan, melainkan kesatuan orang yang membentuk diri menurut sejarah. Di pihak lain, tak syak lagi bahwa negara-negara besar Cyrus atau Alexander tidak bisa disebut bangsa, meskipun negaranegara itu juga terbentuk menurut sejarah, terbentuk dari bermacam-macam suku bangsa serta ras. Negara-negara itu
bukan bangsa, melainkan kelompokan-kelompokan puak yang kebetulan dan kendor ikatannya, yang pecah-belah atau bergabung bergantung pada kemenangan atau kekalahan penakluk ini atau penakluk itu. Jadi, bangsa bukanlah kelompokan yang kebetulan dan bukan kelompokan yang berumur pendek, melainkan kesatuan orang yang stabil. Tetapi tidak setiap kesatuan yang stabil merupakan bangsa. Austria dan Rusia adalah juga kesatuan-kesatuan yang stabil, tetapi tak seorangpun menamakannya bangsa. Apa yang membedakan antara kesatuan nasional dengan kesatuan negara? Antara lain yalah bahwa kesatuan nasional tak terbayangkan tanpa bahasa bersama, sedang bagi negara bahasa bersama tidak mutlak. Bangsa Ceko di Austria dan bangsa Polandia di Rusia tidak akan mungkin tanpa bahasa bersama bagi masingmasing, sedang keutuhan Rusia dan Austria tidak merintangi adanya serentetan bahasa di dalamnya. Sudah barang tentu yang kita maksud ialah bahasa percakapan rakyat dan bukan bahasa-bahasa pemerintahan resmi. Jadi, kesatuan bahasa adalah salah satu ciri khas bangsa.
Ini tentu saja tidak berarti bahwa lain-lain bangsa selalu dan di mana-mana berbicara dalam bahasa yang berlainan, atau bahwa semua yang berbicara dalam satu bahasa yang sama mesti merupakan satu bangsa. Bahasa yang sama bagi setiap bangsa, tetapi tidak mesti bahasa yang berlainan bagi lain-lain bangsa. Tidak ada bangsa yang sekaligus berbicara dalam berbagai bahasa, tetapi ini belum berarti bahwa tidak mungkin dua bangsa berbicara dalam satu bahasa! Orang Inggris dan orang Amerika Utara berbicara dalam satu bahasa, akan tetapi mereka tidak merupakan satu bangsa. Begitu juga halnya dengan orang Norwegia dan orang Denmark, orang Inggris dan orang Irlandia. Tetapi mengapa, misalnya, orang Inggris dan orang Amerika Utara itu tidak merupakan satu bangsa kendatipun bahasa mereka yang sama itu? Pertama-tama karena mereka tidak tinggal bersama-sama, tetapi tinggal di wilayah yang berlainan. Bangsa hanya terbentuk sebagai hasil pergaulan yang lama dan teratur, sebagai basil hidup bersama orang-orang turun-temurun. Tetapi hidup bersama dalam jangka waktu lama tak mungkin tanpa wilayah yang sama. Orang Inggris dan orang Amerika dulu menghuni satu wilayah, Inggris, dan merupakan satu
bangsa. Kemudian, sebagian orang Inggris pindah dari Inggris ke wilayah baru, ke Amerika, dan di sini, di wilayah baru itu, lama-kelamaan, merupakan diri bangsa baru, bangsa Amerika Utara. Wilayah yang berbeda menuju pembentukan bangsabangsa yang berlainan pula. Jadi, kesatuan wilayah adalah salah satu ciri khas bangsa. Tetapi ini belum semuanya. Kesatuan wilayah dengan sendirinya belum menciptakan bangsa. Untuk ini, selain itu, diperlukan ikatan ekonomi dalam negeri yang menyatukan bagian yang terpisah-pisah dari bangsa itu menjadi satu keutuhan. Antara Inggris dengan Amerika Utara tak ada ikatan demikian itu, dan karenanya merupakan dua bangsa yang berbeda. Tetapi orang Amerika itu sendiri tidak sepatutnya dinamakan bangsa seandainya berbagai penjuru Amerika yang terpisah-pisah tidak bertalian satu sama lain dalam satu keutuhan ekonomi, berkat pembagian kerja di antara mereka, berkat perkembangan jalan-jalan komunikasi, dsb. Ambillah misalnya orang Jorjia. Orang Jorjia sebelum masa Reform mendiami wilayah yang sama dan berbicara dalam satu bahasa. Sekalipun demikian, mereka, secara hakiki, tidak merupakan satu bangsa, karena mereka, dengan terpecahpecah menjadi sejumlah daerah kekuasaan raja kecil yang
tidak
berhubungan
melaksanakan
satu
kehidupan
dengan
lainnya,
ekonomi
yang
tidak sama,
dapat selama
berabad-abad melakukan perang satu dengan lainnya dan saling membangkrutkan, masing-masing mengadu-domba orang Persia dengan orang Turki. Persatuan yang berumur pendek dan secara kebetulan dari daerah-daerah kekuasaan raja kecil yang kadang-kadang berhasil dilaksanakan oleh seseorang raja yang mujur paling banter hanya mencakup bidang administrasi secara dangkal, dengan cepat pecah karena tingkah raja-raja kecil itu dan sikap masa bodoh kaum tani. Tetapi juga tidak bisa lain di Jorjia yang berkeping-keping di bidang ekonomi. . . . Jorjia muncul sebagai bangsa baru pada paro kedua abad ke-19, ketika keruntuhan perhambaan serta pertumbuhan kehidupan ekonomi negeri, perkembangan jalan-jalan
komunikasi
dan
timbulnya
kapitalisme,
mengadakan pembagian kerja di antara daerah-daerah di Jorjia, menghancurkan sama sekali pengisolasian ekonomi daerah-daerah kekuasaan raja-raja kecil dan mengikatnya menjadi satu keutuhan. Begitu juga halnya dengan bangsa-bangsa lainnya yang telah melalui
tingkat
feodalisme
dan
telah
mengembangkan
kapitalisme di negerinya. Jadi, kesatuan kehidupan ekonomi, pertalian ekonomi,
adalah salah satu ciri khas bangsa. Tetapi inipun belum semuanya. Selain semua yang telah disebut di muka, masih perlu memperhatikan wajah spirituil manusia yang bergabung menjadi bangsa. Bangsa-bangsa berbeda satu dengan lainnya bukan hanya menurut syaratsyarat hidup mereka, tetapi juga menurut wajah spirituil, yang menampakkan
diri
dalam
kekhususan-kekhususan
kebudayaan-nasional. Jika Inggris, Amerika Utara dan Irlandia, yang berbicara dalam satu bahasa, walaupun demikian merupakan tiga bangsa yang berlainan, maka dalam hal ini tidak kecil peranan yang dimainkan oleh sifat kejiwaan yang khas yang berkembang di negeri-negeri mereka turuntemurun sebagai akibat syarat-syarat eksistensi yang tidak sama. Sudah barang tentu, dengan sendirinya sifat kejiwaan atau — sebagaimana dinamakan lain — "watak nasional" adalah sesuatu yang tak dapat ditangkap bagi seorang peninjau, tetapi karena ia menyatakan diri dalam kekhasan kebudayaan yang umum bagi bangsa itu maka ia dapat ditangkap dan tak dapat diabaikan. Tak perlu dikatakan lagi kiranya bahwa "watak nasional" tidak merupakan barang sesuatu yang ditetapkan sekali dan untuk
selama-lamanya, tetapi berubah bersama dengan syarat-syarat kehidupan; tetapi karena ia ada pada setiap saat tertentu, maka ia meninggalkan bekas pada wajah bangsa. Jadi, kesatuan sifat kejiwaan, yang tercermin dalam kesatuan kebudayaan, adalah salah satu ciri khas bangsa. Demikianlah kita telah selesai membicarakan semua ciri bangsa. Bangsa
adalah
kesatuan
stabil
orang-orang,
yang
terbentuk menurut sejarah, yang timbul atas dasar kesatuan bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi dan sifat kejiwaan yang tampak dalam kesatuan kebudayaan. Dalam hal ini dengan sendirinya jelas bahwa bangsa, seperti juga setiap gejala sejarah, tunduk pada hukum perubahan, mempunyai sejarahnya, awal dan akhirnya. Harus ditekankan bahwa tidak satupun dari ciri-ciri tersebut di atas
jika
diambil
secara
sendiri-sendiri
cukup
untuk
mendefinisi bangsa. Tambahan pula: cukup satu saja dari ciriciri itu tidak ada maka bangsa itu sudah tidak lagi menjadi bangsa.
Orang mungkin membayangkan adanya orang-orang yang mempunyai "watak nasional" yang sama namun walaupun demikian tak dapat dikatakan bahwa mereka merupakan satu bangsa, jika mereka berdiri sendiri-sendiri secara ekonomi, menghuni wilayah-wilayah yang berlainan, berbicara dalam bahasa yang berlainan, dsb. Demikianlah, misalnya, orang Yahudi Rusia, Galisia, Amerika, Jorjia dan orang Yahudi Tanah Pegunungan Kaukasus, yang menurut pendapat kami, tidak merupakan satu bangsa. Orang mungkin membayangkan orang-orang dengan kesatuan wilayah dan kehidupan ekonomi, namun walaupun demikian mereka tidak merupakan satu bangsa karena tanpa kesatuan bahasa dan "watak nasional". Demikianlah, misalnya, orang Jerman dan orang Latvia di kawasan Baltik. Akhirnya, orang Norwegia dan orang Denmark berbicara dalam satu bahasa, tetapi mereka tidak merupakan satu bangsa karena tidak adanya ciri-ciri lainnya. Hanya apabila semua ciri ini ada bersama-sama maka akan kita dapati suatu bangsa. Bisa tampak bahwa "watak nasional" itu bukan salah satu ciri melainkan satu-satunya ciri esensiil bangsa, tambahan lagi
semua ciri lainnya pada hakekatnya merupakan syarat-syarat perkembangan bangsa, dan bukan ciri-cirinya. Pandangan demikian ini dipertahankan, misalnya, oleh R. Springer dan, terutama, oleh O. Bauer, ahli-ahli teori sosial-demokrat tentang masalah nasional yang terkenal di Austria. Marilah kita teropong teori mereka tentang bangsa. Menurut Springer "bangsa adalah persatuan orang -orang yang berfikiran sama dan berbicara dalam bahasa yang sama". Ia adalah "kesatuan kebudayaan dari kelompok orang modern yang tidak lagi terikat pada 'tanah'" * (kursif dari kami). Jadi, "persatuan" dari orang-orang yang berfikiran sama dan berbicara dalam bahasa yang sama, tak peduli betapa terasingnya mereka itu satu sama lain, tak peduli di manapun mereka hidup, adalah suatu bangsa. Bauer lebih jauh lagi. "Apakah bangsa itu?" tanyanya. "Apakah kesatuan bahasa yang menyatukan orang-orang menjadi bangsa? *
Lihat R. Springer Masalah Nasional, terbitan Obstyestwenaya Polza, 1909, hlm. 43.
Tetapi orang Inggris dan orang Irlandia‌ berbicara dalam bahasa yang sama, namun demikian tidak merupakan satu rakyat; orang-orang Yahudi sama sekali tidak mempunyai bahasa yang sama sekalipun demikian merupakan suatu bangsa"**. Jadi apakah bangsa itu? "Bangsa adalah kesatuan watak yang relatif". Tetapi apakah watak itu, dalam hal ini watak nasional? Watak nasional adalah "jumlah ciri yang membedakan orangorang dari satu bangsa dengan orang-orang dari bangsa lainnya, kompleks sifat-sifat jasmaniah dan spirituil yang membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya*". Bauer tentu saja tahu bahwa watak nasional itu tidak jatuh dari langit, dan karenanya ia menambahkan: "Watak orang-orang itu ditentukan tidak lain dan tidak bukan
**
Lihat O. Bauer Soal Nasional dan Sosial-Demokrasi, terbitan Serp, 1909 hlm. 1-2. * Lihat O. Bauer Soal Nasional dan Sosial-Demokrasi, terbitan Serp, 1909, hlm. 6.
oleh nasib mereka", bahwa... "bangsa tidak lain tidak bukan kesatuan nasib" yang pada gilirannya ditentukan "oleh syaratsyarat di mana orang menghasilkan sarana hidup dan mendistribusikan barang-barang hasil kerja mereka"**. Dengan demikian sampailah kita pada definisi yang paling "lengkap", sebagaimana dinyatakan Bauer, tentang bangsa. "Bangsa adalah seluruh totalitas orang-orang yang diikat menjadi
suatu kesatuan
watak
berdasarkan
kesatuan
nasib"***. Jadi, kesatuan watak nasional berdasarkan kesatuan nasib, tetapi tidak mesti berhubungan dengan kesatuan wilayah, bahasa atau kehidupan ekonomi bersama. Tetapi kalau begitu lalu apa yang masih tinggal dengan bangsa itu? Kesatuan nasional apa yang bisa terdapat di antara orang-orang yang di bidang ekonomi terasing satu dengan lainnya, menghuni lain-lain wilayah dan turun-temurun berbicara dalam lain-lain bahasa?
**
Ibid., hlm. 2. Ibid., hlm. 24-25.
***
Bauer berbicara tentang orang-orang Yahudi sebagai suatu bangsa, meskipun mereka "sama sekali tidak mempunyai satu bahasa yang sama"*, tetapi "kesatuan nasib" apa dan pertalian nasional apa yang ada, misalnya, di antara orang-orang Yahudi Jorjia, Daghestan, Rusia dan Amerika yang sama sekali terpisah satu dengan lainnya, hidup di lain-lain wilayah dan berbicara dalam bahasa-bahasa yang berbeda? Orang-orang Yahudi tersebut di atas tak dapat diragukan melakukan kehidupan ekonomi dan politik yang sama dengan orang-orang Jorjia, Daghestan, Rusia dan Amerika, hidup dengan mereka dalam suasana kebudayaan yang sama; ini tak boleh tidak meninggalkan bekas pada watak nasional mereka; jika masih ada scsuatu yang sama pada mereka, maka sesuatu itu adalah agama mereka, asal-usul mereka yang sama dan beberapa
sisa
peninggalan
watak
nasional
mereka.
Kesemuanya ini tak bisa tidak. Tetapi bagaimana orang dapat berbicara secara serius bahwa upacara-upacara keagamaan yang sudah membatu dan sisa-sisa kejiwaan yang memudar itu mempengaruhi "nasib" orang-orang Yahudi tersebut secara lebih
kuat
daripada
lingkungan
sosial-ekonomi
dan
kebudayaan yang hidup yang melingkungi mereka? Dan hanya atas persangkaan inilah orang bisa berbicara tentang orang*
Lihat O. Bauer Soal Demokrasi dan Sosial-Demokrasi, terbitan Serp, hlm. 139.
orang Yahudi pada umumnya sebagai satu bangsa. Kalau begitu apa bedanya bangsanya Bauer dengan "jiwa nasional" yang mistik yang sepenuhnya berdiri sendiri dari kaum spiritualis? Bauer menarik garis pemisah yang tak dapat dilintasi antara "ciri yang membedakan" dari bangsa-bangsa (watak nasional) dengan "syarat-syarat" hidup mereka, dengan memisahkan yang satu dari lainnya. Tetapi apakah watak nasional itu jika bukan
pencerminan
syarat-syarat
hidup,
jika
bukan
penggumpalan kesan-kesan yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya? Bagaimana orang dapat membatasi diri pada watak
nasional
saja,
dengan
mengasingkan
serta
menceraikannya dari bumi yang melahirkannya? Selanjutnya, apakah sebetulnya yang membedakan bangsa Inggris dengan bangsa Amerika Utara pada akhir abad ke-18 dan pada awal abad ketika Amerika Utara masih bernama "Inggris Baru"? Sungguh bukan watak nasional, sudah barang tentu: karena orang-orang Amerika Utara berasal dari Inggris, membawa serta ke Amerika selain bahasa Inggris juga watak nasional Inggris dan, sudah barang tentu, tidak bisa begitu cepat menghilang, meskipun di bawah pengaruh syarat-syarat baru pada mereka sudah sewajarnya berkembang watak
mereka yang khas. Namun, kendatipun watak mereka yang sedikit atau banyak sama, mereka pada waktu itu sudah merupakan bangsa yang berbeda dengan Inggris! Teranglah, "Inggris Baru" sebagai suatu bangsa pada waktu itu berbeda dengan Inggris sebagai bangsa bukan karena watak nasional yang khusus, atau bukan karena watak nasional melainkan karena lingkungan, syarat-syarat hidup, yang berbeda dengan yang di Inggris. Dengan demikian jelas bahwa sebenarnya tidak ada ciri tunggal bangsa yang membedakan. Hanya ada sejumlah ciri, yang di antaranya ketika membandingkan bangsa-bangsa, kadang-kadang satu ciri (watak nasional), kadang-kadang ciri lainnya (bahasa), kadang-kadang ciri yang ketiga (wilayah, syarat-syarat ekonomi) terpampang lebih menonjol. Bangsa merupakan kombinasi semua ciri ini diambil bersama-sama. Pandangan Bauer, yang mengidentikkan bangsa dengan watak nasional,
menceraikan
bangsa
dari
dasarnya
dan
mengubahnya menjadi sesuatu kekuatan yang tak kelihatan, yang sepenuhnya berdiri sendiri. Jadinya bukan bangsa yang hidup dan aktif, melainkan sesuatu yang mistik, yang tak dapat ditangkap dan gaib. Karena, saya ulangi, bangsa apa agaknya, misalnya, bangsa Yahudi yang terdiri dari orang-orang Yahudi Jorjia, Daghestan, Rusia, Amerika dan orang-orang Yahudi
lainnya, yang anggota-anggotanya tidak mengerti satu sama lain
(berbicara
dalam
bahasa-bahasa
yang
berlainan),
mendiami bagian-bagian bola bumi yang berlainan, tak pernah melihat satu sama lain, tak akan bertindak bersama-sama, baik di masa damai maupun di masa perang?! Tidak, bukan untuk "bangsa-bangsa" di atas kertas semacam itu
bahwasanya
sosial-demokrasi
menyusun
program
nasionalnya. Ia hanya dapat mengingat bangsa-bangsa yang riil, yang bertindak dan bergerak, dan karenanya mendesak supaya diingat. Bauer terang mencampur-adukkan bangsa, yang merupakan kategori sejarah, dengan suku bangsa, yang merupakan kategori etnografi. Akan tetapi rupanya Bauer sendiri merasakan kelemahan pendiriannya. Sementara pada awal bukunya menyatakan secara tegas orang-orang Yahudi sebagai suatu bangsa*, pada akhir bukunya Bauer mengkoreksi diri dengan menegaskan bahwa
"pada
memungkinkan
*
umumnya mereka
Lihat bukunya hlm. 2.
masyarakat
(orang-orang
kapitalis Yahudi)
tidak
bertahan
sebagai suatu bangsa"** dengan mengasimilasikan mereka dengan bangsa-bangsa lain. Sebabnya, tampaknya, ialah bahwa "orang-orang Yahudi tidak mempunyai wilayah pemukiman yang tersendiri"***, sedang orang-orang Ceko, misalnya, mempunyai wilayah demikian itu yang menurut Bauer harus bertahan sebagai bangsa. Pendeknya: sebabnya ialah tidak adanya wilayah. Dengan
berargumentasi
demikian,
Bauer
hendak
membuktikan bahwa otonomi nasional tak dapat merupakan tuntutan kaum buruh Yahudi*, tetapi dengan begitu ia dengan tak disengaja membantah teorinya sendiri yang menyangkal bahwa kesatuan wilayah sebagai salah satu ciri bangsa. Tetapi Bauer meneruskan lebih lanjut. Pada awal bukunya ia secara tegas menyatakan bahwa "orang-orang Yahudi sama sekali tidak mempunyai bahasa yang sama, namun demikian merupakan suatu bangsa"**. Tetapi belum lagi sampai pada halaman 130 ia sudah berubah sikap dan menyatakan dengan sama tegasnya bahwa "tak ragu lagi, bangsa apapun tak
**
Ibid., hlm. 389. Ibid., hlm. 388 * Lihat bukunya hlm. 396. ** Ibid., hlm. 2. ***
rnungkin tanpa bahasa yang sama"*** (kursif dari kami). Bauer di sini hendak membuktikan bahwa "bahasa adalah alat terpenting pergaulan manusia"****, tetapi bersamaan itu pula dengan tak disengaja ia membuktikan sesuatu yang dia tidak bermaksud membuktikannya yaitu: tak beralasannya teorinya sendiri tentang bangsa, yang menyangkal arti penting kesatuan bahasa. Jadi, teori yang dijahit dengan benang idealistis membantah diri sendiri.
***
Ibid., hlm. 130 Ibid., hlm. 130
****
II GERAKAN NASIONAL Bangsa bukanlah hanya kategori sejarah saja melainkan juga kategori sejarah zaman tertentu, zaman kapitalisme yang sedang
menaik.
Proses
likwidasi
feodalisme
dan
perkembangan kapitalisme bersamaan itu pula adalah proses penyusunan orangorang menjadi bangsa. Demikianlah halnya, misalnya, di Eropa Barat. Orang-orang Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan orang-orang lainnya terbentuk menjadi bangsa pada waktu masa jaya kapitalisme yang menang atas perpecahan feodal. Tetapi pembentukan bangsa di situ bersamaan itu pula berarti pengubahannya menjadi negaranegara nasional yang berdiri sendiri-sendiri. Bangsa Inggris, bangsa Perancis dan bangsabangsa lainnya adalah bersamaan itu juga negara Inggris, negara Perancis dan negara-negara lainnya. Irlandia, yang berada di luar proses ini tidak mengubah gambaran umum. Di Eropa Timur keadaannya berjalan agak lain. Sedang di Barat bangsa-bangsa
berkembang
menjadi
negara,
di
Timur
terbentuk negara-negara multi-nasional, negara-negara yang
terdiri dari beberapa bangsa. Begitulah Austria-Hongaria, Rusia. Di Austria orang-orang Jerman ternyata yang paling maju di bidang politik — mereka memikul kewajiban mempersatukan bangsa-bangsa Austria menjadi negara. Di Hongaria yang paling sesuai untuk keorganisasian negara ialah orangorang Magyar — inti bangsa-bangsa Hongaria — dan merekalah yang mempersatukan Hongaria. Di Rusia peranan sebagai pemersatu bangsa-bangsa dimainkan oleh orang-orang Rusia Raya, yang dikepalai oleh birokrasi militer aristokratis yang terbentuk menurut sejarah, kuat dan terorganisasi baik. Begitulah keadaannya di Timur. Cara pembentukan negara yang khas ini dapat berlaku hanya dalam syarat feodalisme belum dilikwidasi, dalam syaratsyarat kapitalisme berkembang lemah, ketika bangsa-bangsa yang telah didesak ke latar belakang belum dapat mengkonsolidasi diri di bidang ekonomi menjadi bangsa-bangsa yang integral. Tetapi kapitalisme juga mulai berkembang di negara-negara Timur. Perdagangan dan jalan-jalan komunikasi berkembang. Kota-kota besar muncul. Bangsa-bangsa mengkonsolidasi diri di bidang ekonomi. Kapitalisme, yang mendobrak ke dalam kehidupan tenteram bangsa-bangsa yang didesak ke latar belakang membangkitkan serta mereka. Perkembangan pers
dan teater, aktivitas Reichsrat (di Austria) dan Duma (di Rusia) membantu mempertebal "sentimen-sentimen nasional". Kaum intelektuil yang telah lahir diresapi "ide-ide nasional" dan bertindak ke arah yang sama. . . . Tetapi bangsa-bangsa yang didesak ke latar belakang dan telah sedan akan kehidupan berdiri sendiri, sudah tak dapat lagi membentuk diri menjadi negara-negara nasional yang berdiri sendiri: mereka menjumpai perlawanan yang kuat sekali di atas jalan mereka dari pihak lapisanlapisan yang memerintah dari
bangsa-bangsa
yang berkuasa,
yang sudah
lama
memegang kekuasaan negara. Mereka terlambat !. . . Demikianlah orang-orang Ceko, Polandia, dll., membentuk diri menjadi bangsa-bangsa di Austria; orang-orang Kroat, dll., di Hongaria; orang-orang Latvia, Lithuania, Ukraina, Jorjia, Armenia, dll., di Rusia. Apa yang di Eropa Barat (Irlandia) merupakan kekecualian di Timur menjadi kebiasaan. Di Barat, Irlandia menjawab keadaan yang luar biasa itu dengan gerakan nasional. Di Timur, bangsa-bangsa yang sudah bangun pasti akan menjawab dengan cara yang sama. Dengan demikian timbullah keadaan yang mendorong bangsabangsa yang masih muda di Eropa Timur itu berjuang.
Perjuangan mulai dan berkobar-kobar pada hakekatnya bukan diantara bangsa-bangsa secara keseluruhan, melainkan antara klas-klas yang memerintah dari bangsa-bangsa yang berkuasa dengan klas-klas yang memerintah dari bangsa-bangsa yang telah didesak ke latar belakang. Perjuangan itu biasanya dilakukan oleh burjuasi kecil kota dari bangsa yang tertindas melawan burjuasi besar dari bangsa yang berkuasa (orang-orang Ceko dan orang-orang Jerman), atau oleh burjuasi desa dari bangsa yang tertindas melawan tuan-tuan tanah dari bangsa yang berkuasa (orang-orang Ukraina di Polandia), atau oleh seluruh burjuasi "nasional" dari bangsa-bangsa yang tertindas melawan kaum bangsawan yang memerintah dari bangsa yang berkuasa (Polandia, Lithuania dan Ukraina di Rusia). Burjuasi merupakan pelaku utama. Masalah pokok bagi burjuasi yang masih muda itu ialah pasar. Tujuannya ialah menjual barang-barangnya dan keluar sebagai pemenang dalam persaingan dengan burjuasi dari bangsa lain. Dari sinilah keinginannya untuk menjamin bagi dirinya pasar "sendiri", pasar "dalam negeri". Pasar adalah sekolah pertama di mana burjuasi belajar nasionalisme.
Tetapi keadaannya biasanya tidak terbatas pada pasar saja. Birokrasi setengah feodal dan setengah burjuasi dari bangsa yang berkuasa campur tangan dalam perjuangan itu dengan metode-metodenya
sendiri
yaitu
"membendung
dan
mencegah". Burjuasi dari bangsa yang berkuasa — tak peduli apakah ia burjuasi besar atau burjuasi kecil — dapat memukul saingannya
dengan
"Kekuatan-kekuatan"
lebih bersatu
"cepat" dan
dan
"menentukan".
mulailah
serentetan
tindakan pembatasan terhadap burjuasi "asing", tindakantindakan yang beralih menjadi represi. Perjuangan berpindah dari bidang ekonomi ke bidang politik. Pembatasan terhadap kemerdekaan
bergerak,
pembatasan
hak
pengekangan
milik,
penutupan
terhadap
bahasa,
sekolah-sekolah,
pembatasan-pembatasan keagamaan, dst., begitu menghujani kepala "saingan". Sudah barang tentu, tindakan-tindakan demikian itu dimaksudkan tidak hanya untuk kepentingan klas-klas burjuis dari bangsa yang berkuasa, tetapi juga untuk mengejar, boleh dibilang, tujuan-tujuan kasta yang khas dari birokrasi yang memerintah. Tetapi dilihat dari segi hasilhasilnya hal itu sama saja: klas-klas burjuis dan birokrasi dalam hal ini bergandengan tangan — sama saja, apakah soalnya mengenai Austria-Hongaria atau mengenai Rusia. Burjuasi dari bangsa yang tertindas, yang digencet dari segala jurusan, sudah sewajarnya bangkit bergerak. Ia berseru
kepada "saudara-saudara setanah air lapisan bawah" dan mulai
bergembar-gembor
tentang
"tanah
air",
dengan
menyatakan bahwa usahanya sendiri adalah usaha seluruh rakyat. Ia merekrut untuk dirinya sendiri suatu tentara dari kalangan "saudara-saudara setanah air" untuk kepentingan . . . "tanah air". Juga "lapisan-lapisan bawah" itu tidak selalu bersikap masa bodoh terhadap seruan-seruan, dengan berhimpun di bawah panjinya : represi dari atas mengenai mereka juga dan menimbulkan ketidakpuasan mereka. Dengan demikian mulailah gerakan nasional. Kekuatan gerakan nasional ditentukan oleh besar kecilnya keikutsertaan massa luas bangsa, proletariat dan kaum tani, di dalamnya. Apakah proletariat berhimpun di bawah panji nasionalisme burjuis — ini bergantung pada tingkat perkembangan kontradiksi-kontradiksi klas, pada kesedaran dan tingkat keterorganisasian
proletariat.
Proletariat
yang
sedar
mempunyai panjinya sendiri yang teruji, dan baginya tidak ada gunanya berhimpun di bawah panji burjuasi. Mengenai kaum tani, keikutsertaan mereka dalam gerakan nasional bergantung pertama-tama pada watak represi. Jika represi
itu
mengenai
kepentingan-kepentingan
"tanah",
sebagaimana yang terjadi di Irlandia, maka massa tani yang luas segera berhimpun di bawah panji gerakan nasional. Di pihak lain jika, misalnya, di Jorjia tak ada nasionalisme antiRusia yang sedikit serius, maka hal itu pertama-tama karena di sana tidak ada tuan Rusia atau borjuasi besar Rusia yang memberikan bahan makanan bagi nasionalisme demikian itu dikalangan Massa. Di Jorjia terdapat nasionalisme antiArmenia, tetapi itu karena disana masih ada borjuasi besar Armenia yang dengan mengalahkan borjuasi kecil Jorjia yang masih belum terkonsolidasi itu, mendorong yang tersebut belakangan ke nasionalisme anti-Armenia. Bergantung pada faktor-faktor itu maka gerakan nasional atau mengambil watak massal, dengan makin lama makin tumbuh (Irlandia, Galisia), atau berubah menjadi serentetan bentrokan kecil, yang merosot menjadi heboh dan "perjuangan" untuk papan nama (beberapa kota kecil di Bohemia). Isi gerakan nasional, sudah barang tentu, tidak bisa sama di mana-mana: ia sepenuhnya ditentukan oleh berbagai macam tuntutan yang diajukan oleh gerakan. Di Irlandia gerakan itu mempunyai watak agraria; di Bohemia berwatak "bahasa"; di sini orang menuntut persamaan hak warganegara dan kemerdekaan beragama, di sana — pegawai dari bangsanya
"sendiri", atau parlemennya sendiri. Dalam tuntutan-tuntutan yang bermacam-macam itu tidak jarang nampak berbagai macam ciri yang mencirikan bangsa pada umumnya (bahasa, wilayah, dll.). Patut diperhatikan bahwa di manapun tidak pernah dijumpai tuntutan yang berdasarkan "watak nasional" yang meliputi segala-galanya dari Bauer. Dan ini bisa dimengerti: "watak nasional" dengan sendirinya tak dapat ditangkap dan, sebagaimana tepat dikatakan J. Strasser, "seorang politikus tak dapat berbuat apapun dengannya"*. Demikianlah pada umumnya bentuk-bentuk serta watak gerakan nasional. Dari apa yang telah dikatakan itu jelas bahwa perjuangan nasional dalam syarat-syarat kapitalisme yang sedang menaik adalah perjuangan klas-klas burjuis di antara mereka sendiri. Kadang-kadang burjuasi berhasil menarik proletariat ke dalam gerakan nasional, maka perjuangan nasional itu ke luar mengambil watak "seluruh rakyat", tetapi itu hanya ke luar. Pada hakekatnya ia selalu tetap burjuis, yang terutama menguntungkan dan dikehendaki burjuasi. Tetapi ini sama sekali tidak berarti bahwa proletariat tidak
*
Lihat tulisannya DerArbeiter und die Nation, 1912, hlm. 33.
boleh berjuang melawan politik penindasan nasional. Pembatasan terhadap kemerdekaan bergerak, pencabutan hak pilih, pengekangan bahasa, penutupan sekolah-sekolah dan represi lainnya mengenai kaum buruh tidak kurang, jika tidak lebih, daripada burjuasi. Keadaan yang demikian itu hanya dapat
menghambat
perkembangan
secara
bebas
dari
kekuatan-kekuatan spirituil proletariat dari bangsa bawahan. Orang
tak
dapat
berbicara
secara
serius
tentang
perkembangan sepenuhnya dari bakat-bakat intelek buruh Tatar atau Yahudi, jika ia tidak diperkenankan menggunakan bahasa ibu dalam rapat-rapat dan ceramah-ceramah, jika sekolah-sekolahnya ditutup. Tetapi politik represi nasionalis berbahaya juga bagi usaha proletariat dari segi lain. Ia mengalihkan perhatian lapisanlapisan luas dari soal-soal sosial, soal-soal perjuangan klas, ke soal-soal nasional, soal-soal "bersama" dari proletariat dan burjuasi. Dan ini menciptakan tanah yang baik bagi pengkhotbahan palsu tentang "keharmonisan kepentingan", bagi
penyembunyian
kepentingan-kepentingan
klas
proletariat, bagi pembudakan spirituil kaum buruh. Dengan ini diletakkan halangan serius bagi usaha persatuan kaum buruh semua bangsa. Jika sebagian besar kaum buruh Polandia sampai kini berada dalam perbudakan spirituil dari kaum
nasionalis burjuis, jika mereka sampai kini menjauhkan diri dari gerakan buruh internasional, ini adalah terutama karena politik
anti-Polandia
"pemerintah
yang
yang
berabad-abad
berkuasa"
menciptakan
lamanya
dari
tanah
bagi
perbudakan ini dan menghalangi pembebasan kaum buruh dari perbudakan itu. Tetapi politik represi tidak berhenti di sini saja. Tidak jarang politik itu beralih dari "sistim" penindasan ke "sistim" mengadu domba bangsa-bangsa, ke "sistim" pembantaian dan pogrom8). Sudah barang tentu, sistim yang tersebut belakangan itu tidak terdapat di mana-mana dan tidak selalu mungkin, tetapi di mana
mungkin
kemerdekaan
—
dalam
elementer
syarat-syarat
tidak
jarang
tidak berskala
adanya yang
mengerikan dengan mengancam menenggelamkan usaha persatuan kaum buruh dalam darah dan air mata. Kaukasus dan Rusia selatan memberikan tidak sedikit contoh. "Memecah dan menguasai" — itulah tujuan politik adu domba itu. Dan di mana politik demikian itu berhasil, ia merupakan kejahatan yang terbesar bagi proletariat, merupakan penghalang yang paling serius bagi usaha persatuan kaum buruh semua bangsa dalam negara. Tetapi kaum buruh berkepentingan akan penggabungan sepenuhnya dari semua kawannya menjadi satu tentara
internasional, berkepentingan akan pembebasan mereka yang cepat dan secara pasti dari perbudakan spirituil burjuasi, dan akan perkembangan sepenuhnya serta secara bebas dari kekuatan-kekuatan spirituil rekan-rekan mereka, tak peduli dari bangsa apa mereka itu. Karena itu kaum buruh berjuang dan akan berjuang melawan politik penindasan nasional dalam segala bentuknya, dari yang paling halus sampai pada yang paling kasar, begitu juga melawan politik adu domba dalam segala bentuknya. Karena
itu
sosial-demokrasi
di
semua
negeri
memproklamasikan hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri. Hak menentukan nasib sendiri artinya: hanya bangsa itu sendiri yang berhak menentukan nasibnya sendiri, tak seorangpun berhak campur tangan dengan kekerasan dalam kehidupan
bangsa,
lembaga-lembaga
merusak
lainnya,
sekolah-sekolahnya
merombak
adat-istiadat
serta dan
kebiasaannya, mengekang bahasanya, mengurangi hak-haknya. Ini, sudah barang tentu, tidak berarti bahwa sosial-demokrasi akan menyokong semua adat istiadat serta lembaga bangsa tanpa kecuali. Dalam berjuang menentang kekerasan terhadap
bangsa, ia akan mempertahankan hanya hak bangsa itu sendiri menentukan
nasibnya
sendiri,
bersamaan
dengan
itu
beragitasi menentang adat-istiadat serta lembaga-lembaga yang merugikan dari bangsa itu guna memungkinkan lapisanlapisan pekerja dari bangsa tersebut membebaskan diri dari adat-istiadat serta lembaga-lembaga itu. Hak menentukan nasib sendiri berarti — suatu bangsa bisa mengatur
hidupnya
menurut
kehendaknya.
Ia
berhak
mengatur hidupnya atas dasar otonomi. Ia berhak mengadakan hubunganhubungan federasi dengan bangsa-bangsa lain. Ia berhak memisahkan diri sama sekali. Bangsabangsa berdaulat, dan semua bangsa mempunyai hak sama. Ini, sudah tentu, tidak berarti bahwa sosial demokrasi akan menyokong setiap tuntutan bangsa. Bangsa bahkan berhak untuk kembali ke tata tertib lama, tetapi ini belum berarti bahwa sosial-demokrasi akan menyetujui keputusan demikian itu dari satu atau lain lembaga bangsa tertentu. Kewajibankewajiban sosial-demokrasi, yang membela kepentingankepentingan proletariat, dan hak-hak bangsa, yang terdiri dari berbagai klas, adalah dua hal yang berbeda. Dalam
memperjuangkan
menentukan
nasib
sendiri,
hak
bangsa-bangsa
sosial-demokrasi
untuk
bertujuan
mengakhiri
politik
penindasan
nasional,
tidak
memungkinkannya, dan dengan itu menggerowoti perjuangan di antara bangsa-bangsa, menumpulkannya, menguranginya sampai sekecil-kecilnya. Inilah yang secara hakiki membedakan politik proletariat yang sedar dengan politik burjuasi, yang berusaha memperdalam serta meniup-niup perjuangan nasional, memperpanjang serta mempertajam gerakan nasional. Oleh karena itulah proletariat yang sedar tak dapat berhimpun di bawah panji "nasional" burjuasi. Oleh karena itulah apa yang dinamakan politik "nasional evolusioner" yang diajukan oleh Bauer tidak bisa menjadi politik proletariat. Usaha Bauer untuk menyamakan politik "nasional evolusioner"nya dcngan politik "klas buruh modern"* adalah usaha untuk menyesuaikan perjuangan klas kaum buruh dengan perjuangan bangsa-bangsa. Nasib gerakan nasional, yang pada hakekatnya adalah gerakan burjuis, sudah sewajarnya berhubungan dengan nasib burjuasi. Ambruknya gerakan nasional secara pasti hanya mungkin
*
Lihat buku Bauer, hlm. 166.
dengan ambruknya burjuasi. Hanya dalam dunia sosialisme dapat ditegakkan perdamaian yang sepenuhnya. Tetapi dalam rangka kapitalismepun orang mungkin mengurangi perjuangan nasional sampai sekecil-kecilnya, menggerowotinya secara fundamentil,
membikinnya
semaksimal
mungkin
tidak
merugikan bagi proletariat. Ini dibuktikan bahkan misalnya oleh
contoh
Swiss
dan
Amerika.
Untuk
itu
perlu
mendemokrasikan negeri dan memberi kesempatan kepada bangsa-bangsa untuk berkembang secara bebas.
III PENYAJIAN SOAL Bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri secara bebas. Ia berhak mengatur kehidupannya menurut yang dikehendakinya tanpa, sudah barang tentu, menginjak-injak hak-hak bangsabangsa lain. Ini tak dapat dibantah. Tetapi bagaimana persisnya ia harus mengatur kehidupannya sendiri, bagaimana seharusnya bentuk-bentuk konstitusinya di masa depan, jika kepentingan-kepentingan mayoritas bangsa dan, pertamatama, kepentingan-kepentingan proletariat harus diingat? Bangsa berhak mengatur kehidupannya secara otonom. Ia bahkan berhak memisahkan diri. Tetapi ini belum berarti bahwa ia harus melakukan itu dalam segala keadaan, bahwa otonomi atau pemisahan, di mana-mana dan selalu akan menguntungkan bagi suatu bangsa yaitu bagi mayoritasnya, yaitu
bagi
lapisan-lapisan
pekerja.
Orang-orang
Tatar
Transkaukasus sebagai bangsa bisa bersidang, kita katakan saja, dalam Parlemen mereka dan, tunduk kepada pengaruh bey-bey9) serta mullah-mullah10) mereka, memulihkan tata tertib lama, memutuskan memisahkan diri dari negara.
Menurut arti fasal tentang penentuan nasib sendiri mereka sepenuhnya berhak untuk itu. Tetapi apakah ini akan demi kepentingan lapisan-lapisan pekerja bangsa Tatar? Dapatkah sosialdemokrasi bersikap acuh tak acuh melihat bey-bey dan mullah-mullah memimpin massa dalam usaha memecahkan masalah nasional? Tidakkah seharusnya sosial-demokrasi campur tangan dalam usaha itu dan dengan cara yang pasti mempengaruhi kehendak bangsa? Tidakkah ia seharusnya tampil dengan rencana kongkrit untuk pemecahan soal tersebut, rencana yang paling menguntungkan bagi massa Tatar? Tetapi pemecahan yang bagaimanakah yang akan paling dapat disejalankan dengan kepentingan-kepentingan massa pekerja? Otonomi, federasi atau pemisahan? Kesemuanya ini adalah masalah-masalah yang pemecahannya bergantung pada syarat-syarat sejarah yang kongkrit yang melingkungi bangsa tertentu. Tambahan pula. Syarat-syarat, seperti juga segala sesuatu, berubah, dan keputusan yang tepat bagi saat tertentu bisa ternyata sama sekali tak dapat diterima bagi saat lain. Pada pertengahan abad ke-19 Marx menjadi pendukung
pemisahan diri Polandia Rusia, dan ia benar, karena pada waktu itu soalnya ialah tentang pembebasan kebudayaan yang lebih tinggi dari kebudayaan yang lebih rendah yang membinasakannya. Dan soalnya pada waktu itu bukan hanya soal teori, bukan soal akademis, melainkan soal praktek, soal kehidupan itu sendiri. . . . Pada akhir abad ke-19 kaum Marxis Polandia sudah menyatakan
menentang
pemisahan
diri
Polandia,
dan
merekapun benar, karena selama lima puluh tahun yang terakhir telah terjadi perubahan-perubahan yang mendalam dalam segi pendekatan Rusia dan Polandia secara ekonomi dan kebudayaan. Lagi pula, selama masa itu soal pemisahan diri telah berubah dari tema praktek menjadi tema perdebatan akademis, yang merangsang paling-paling hanya orang-orang intelektuil di luar negeri. Ini sudah barang tentu tidak menutup kemungkinan timbulnya situasi dalam dan luar tertentu di mana soal pemisahan diri Polandia bisa masuk lagi dalam acara. Dari sini jelas bahwa pemecahan masalah nasional mungkin hanya dalam hubungan dengan syarat-syarat sejarah dalam perkembangannya.
Syarat-syarat
ekonomi,
politik
dan
kebudayaan
yang
melingkungi bangsa tertentu merupakan satu-satunya kunci bagi pemecahan soal bagaimana seharusnya satu atau lain bangsa mengatur kehidupannya dan bagaimana seharusnya bentuk-bentuk konstitusinya di masa depan. Dalam hal ini mungkin bahwa bagi masing-masing bangsa diperlukan pemecahan khusus mengenai masalah itu. Jika di manapun diperlukan cara mengajukan soal secara dialektis maka di sinipun, dalam masalah nasional, diperlukan cara demikian itu. Karena itu kita harus dengan tegas menyatakan menentang satu cara "pemecahan" masalah nasional yang sangat luas tersebar tetapi juga sangat sembarangan, yang asal mulanya dari Bund. Yang kita maksudkan yalah cara yang mudah dengan menunjuk kepada sosial-demokrasi Austria dan Slav Selatan*, yang katanya sudah memecahkan masalah nasional dan kaum sosial-demokrat Rusia harus begitu saja meniru pemecahan itu. Dalam hal ini dikira bahwa apa saja yang, katakan saja, benar bagi Austria adalah juga benar bagi Rusia. Faktor yang paling penting dan menentukan hilang dari pandangan dalam hal ini: syarat-syarat sejarah yang kongkrit di Rusia pada umumnya dan dalam kehidupan masing-masing bangsa di dalam lingkungan Rusia pada khususnya.
*
Sosial Demokrasi Slav Selatan bekerja di bagian selatan Austria.
Dengarlah, misalnya, apa yang dikatakan oleh seorang Bundis yang terkenal, W. Kossovski: “Ketika dalam Kongres Ke-IV Bund didiskusikan segi prinsipiil masalah itu (yang dimaksud yaitu masalah nasional — Y. St.), pemecahan masalah nasional yang salah seorang peserta kongres menurut semangat resolusi Partai Sosial-Demokrat Slav-Selatan mendapat persetujuan umum"*. Sebagai hasilnya "kongres dengan suara bulat menerima" . . . otonomi nasional. Dan itulah semuanya! Tidak ada analisa mengenai kenyataan Rusia, tidak ada penjelasan mengenai syarat-syarat hidup orang-orang Yahudi di Rusia: mula-mula meniru pemecahan Partai Sosial-Demokrat Slav-Selatan, kemudian "menyetujui" dan akhirnya "dengan suara bulat menerima". Begitulah kaum Bundis mengajukan serta "memecahkan" masalah nasional di Rusia. . . . Tetapi sebenarnya Austria dan Rusia menyajikan syarat-syarat yang sama sekali berlainan. Ini juga menerangkan mengapa
*
Lihat W. Kossovski Masalah-Masalah Bangsa, 1907. Hlm. 16-17.
sosial-demokrasi di Austria, yang menerima program nasional di Briinn (1899)11) dalam semangat resolusi Partai SosialDemokrat Slav-Selatan (betul, dengan beberapa amandemen yang tak berarti), mendekati soal itu dengan cara yang, boleh dibilang, sama sekali tidak secara Rusia dan, sudah barang tentu, memecahkannya tidak secara Rusia pula. Pertama-tama penyajian soal. Bagaimana soal itu diajukan oleh para ahli teori Austria tentang otonomi kebudayaan-nasional, komentator-komentator program nasional Brunn dan resolusi Partai Sosial-Demokrat Slav-Selatan, Springer dan Bauer? "Kami biarkan di sini tanpa jawaban", kata Springer, "soal mungkinkah negara multi-nasional pada umumnya dan apakah bangsa-bangsa di Austria khususnya diharuskan membentuk satu keutuhan soal-soal ini akan kami anggap terpecahkan. Bagi yang tidak setuju dengan kemungkinan dan keharusan terscbut, penyelidikan kita sudah barang tentu akan tak berdasar. Tema kami berbunyi: bangsa-bangsa ini diharuskan hidup bersamasama;
bentuk-bentuk
hukum
bagaimana
yang
akan
memungkinkan mereka hidup sebaik-baiknya?"(kursif dari Springer)*.
*
Lihat Springer Masalah Nasional, hlm. 14.
Jadi, keutuhan negara Austria sebagai titik tolak. Bauer mengatakan hal yang sama: "Kami bertolak dari dugaan bahwa bangsa-bangsa di Austria akan tetap dalam uni negara yang itu juga di mana mereka sekarang hidup dan menanyakan bagaimana bangsabangsa di dalam uni ini akan mengatur hubungan-hubungan di antara mereka sendiri dan hubungan mereka semua dengan negara"**. Sekali lagi: keutuhan Austria adalah yang pertama-tama. Dapatkah
sosial-demokrasi
Rusia
mengajukan
soal
itu
demikian? Tidak, tidak bisa. Dan ia tidak dapat karena sejak semula ia berpegang pada pendirian tentang hak bangsabangsa menentukan nasib sendiri, yang karenanya bangsa mempunyai hak untuk memisahkan diri. Bundis Goldblatt pun dalam Kongres Ke-II Sosial Demokrasi Rusia mengakui bahwa sosial-demokrasi Rusia tak dapat menolak pendirian hak menentukan nasib sendiri. Inilah yang dikatakan Goldblatt pada waktu itu: "Terhadap hak menentukan nasib sendiri, orang tak dapat
**
Lihat Bauer Soal Nasional dan Sosial Demokrasi, hlm. 399.
mengajukan
keberatan
apapun.
Jika
sesuatu
bangsa
memperjuangkan kebebasan, itu tidak boleh ditentang. Jika Polandia tidak ingin memasuki 'perkawinan yang sah' dengan Rusia, maka tidak seharusnya kita mencampurinya". Semuanya itu demikian. Tetapi dari sini jelas bahwa titik tolak kaum sosial-demokrat Austria dan Rusia bukan hanya tidak sama, tetapi bahkan sama sekali bertentangan. Lalu, bisakah orang berbicara tentang kemungkinan meniru program nasional orang-orang Austria? Selanjutnya. Orang-orang Austria berniat mewujudkan "kemerdekaan bangsa-bangsa" dengan jalan reform-reform kecil-kecilan,
dengan
langkah
lambat-lambat.
Ketika
mengusulkan otonomi kebudayaan nasional sebagai suatu tindakan praktis, mereka sama sekali tidak mengharapkan perubahan
radikal,
tidak
mengharapkan
gerakan
pembebasan demokratis, yang pada mereka tidak ada perspektifnya. Sedang kaum Marxis Rusia menghubungkan masalah "kemerdekaan bangsa-bangsa" dengan kemungkinan perubahan radikal, dengan gerakan pembebasan demokratis,
dengan
mengharapkan
tidak
mempunyai
reform-reform.
Dan
ini
dasar
untuk
secara
hakiki
mengubah hal-hal mengenai kemungkinan nasib bangsabangsa di Rusia.
"Sudah tentu", kata Bauer, "sulit untuk beran ggapan bahwa
otonomi
nasional
merupakan
basil
suatu
keputusan besar, basil suatu tindakan yang berani. Austria selangkah
demi selangkah
akan berkembang menuju
otonomi nasional, melalui proses yang lambat dan pedih, melalui perjuangan yang berat, yang karenanya perundangundangan serta pemerintahan akan berada dalam keadaan lumpuh yang kronis. Tidak, bukan dengan jalan tindakan legislatif yang besar, melainkan melalui sejumlah besar undang-undang yang dikeluarkan bagi satu-satu provinsi, satu-satu komunita, akan tercipta konstitusi baru" * . Springer mengatakan hal yang sama. "Saya tahu betul", tulisnya, "bahwa lembaga-lembaga macam ini (yaitu, organ-organ otonomi nasional — Y. St.) tidak diciptakan dalam satu tahun atau sepuluh tahun. Reorganisasi pemerintahan Prusia saja memerlukan waktu yang lama.... Orang-orang Prusia memerlukan waktu dua puluh tahun lamanya untuk 'menegakkan secara pasti lembaga-lembaga administrasi mereka yang pokok. Karena itu jangan berfikiran bahwa saya tahu berapa lama dan berapa
*
Lihat Bauer Soal Nasional, hlm. 422.
banyak kesulitan yang dihadapi Austria" **. Semuanya itu sudah jelas sekali. Tetapi dapatkah kaum Marxis Rusia tidak menghubungkan masalah nasional dengan "aksi-aksi tegas yang berani"? Dapatkah mereka mengharapkan
reform-reform
sebagian-sebagian,
mengharapkan "sejumlah besar undang-undang tersendirisendiri" sebagai
jalan untuk merebut "kemerdekaan
bangsa-bangsa"? Tetapi jika mereka tidak bisa dan tidak seharusnya berbuat demikian, maka tidakkah jelas dari sini bahwa
metode-metode
perjuangan
serta
perspektif-
perspektif orang-orang Austria dan orang-orang lainan sama sekali? Bagaimana mungkin dalam keadaan demikian itu mereka membatasi diri pada otonomi kebudayaannasional yang berat sebelah dan setengah-setengah dari orang-orang Austria itu? Salah satu: atau orang-orang yang menganjurkan supaya meniru itu tidak mengharapkan "aksi-aksi yang tegas dan berani" di Rusia, atau mereka mengharapkan aksi-aksi yang demikian itu tetapi "tidak tahu apa yang mereka perbuat". Akhirnya, Rusia dan Austria menghadapi tugas-tugas terdekat yang sama sekali berbeda, karenanya menuntut
**
Lihat Springer Masalah Nasional, hlm. 281-282.
metode pemecahan masalah nasional yang berbeda pula. Austria hidup dalam syarat-syarat parlementerisme, dalam keadaan
sekarang
perkembangan
di
tanpa
Austria parlemen.
tak
mungkin
Tetapi
ada
kehidupan
parlementer dan perundangundangan di Austria tidak jarang menjadi mandek sama sekali karena bentrokanbentrokan yang sengit di antara partai-partai nasional. Ini juga menerangkan krisis politik yang kronis yang sudah lama diderita Austria. Karena itu masalah nasional di Austria merupakan poros kehidupan politik, masalah eksistensi.
Karena
itu
tidaklah
mengherankan
kalau
politikus-politikus sosial-demokrat Austria pertama-tama berusaha bagaimanapun juga memecahkan masalah konflik nasional, berusaha memecahkan, tentu saja, berdasarkan parlementerisme yang sudah ada, dengan cara parlementer. ... Tidaklah demikian di Rusia. Di Rusia pertama-tama "tidak ada parlemen, alhamdulillah" 12). Kedua — dan ini yang pokok — poros kehidupan politik Rusia bukanlah masalah nasional melainkan masalah agraria. Karena itu nasib masalah Rusia dan, jadi, "pembebasan" bangsabangsa juga, di Rusia berhubungan dengan pemecahan masalah agraria, yaitu dengan penghancuran sisa-sisa feo-
dalisme, yaitu dengan pendemokrasian negeri. Ini juga menerangkan mengapa di Rusia masalah nasional tidak merupakan masalah yang berdiri sendiri dan menentukan, tetapi merupakan bagian dari masalah umum dan yang lebih penting, masalah pembebasan negeri. "Kemandulan parlemen Austria", tulis Springer, "adalah justru karena kenyataan bahwa setiap reform melahirkan kontradiksikontradiksi di dalam partai-partai nasional yang merusak persatuan mereka, karena itu para pemimpin partai-partai itu dengan hati-hati menghindari segala sesuatu yang berbau reform. Kemajuan di Austria pada umumnya mungkin hanya jika kepada bangsa-bangsa diberikan kedudukan hukum yang tak dapat dicabut; ini akan membebaskan mereka dari keharusan senantiasa mempertahankan barisan tempur dalam parlemen dan akan memungkinkan mereka mengalihkan perhatian ke pemecahan masalah-masalah ekonomi serta sosial"*. Bauer mengatakan hal yang sama. "Perdamaian nasional perlu pertama-tama bagi negara. Negara sama sekali tidak dapat membiarkan perundang-undangan
*
Lihat Springer Masalah Nasional, hlm. 36.
mandek karena soal yang sangat bodoh tentang bahasa, karena pertengkaran yang sekecil-kecilnya di antara orang-orang yang sedang naik darah mengenai perbatasan nasional, atau mengenai setiap sekolah baru"**. Semuanya ini jelas. Tetapi tidak kurang jelasnya bahwa di Rusia masalah nasional berada pada bidang yang sama sekali lain. Bukan masalah nasional melainkan masalah agraria yang menentukan nasib kemajuan di Rusia. Masalah nasional adalah masalah yang kurang penting. Jadi, terdapat penyajian soal yang berbeda, perspektifperspektif dan metode-metode perjuangan yang berbeda, tugas-tugas terdekat yang berlainan. Tidakkah jelas bahwa dalam keadaan demikian hanya orang-orang birokratis yang "memecahkan" masalah nasional tanpa mengingat ruang dan waktu, yang dapat mencontoh Austria dan meniru program. Sekali lagi: syarat-syarat sejarah yang kongkrit sebagai titik tolak, penyajian masalah secara dialektis sebagai satu-satunya cara menyajikannya yang tepat — itulah kunci pcmecahan masalah nasional.
**
Lihat Bauer Soal Nasional, hlm. 401.
IV OTONOMI KEBUDAYAAN NASIONAL Di atas sudah kita bicarakan tentang segi formil program nasional Austria, tentang alasan-alasan metodologi, yang karenanya kaum Marxis Rusia tidak dapat begitu saja mengambil contoh sosial-demokrasi Austria dan menjadikan programnya sebagai program mereka sendiri. Sekarang marilah kita bicarakan program itu sendiri menurut hakekatnya. Jadi, apa program nasional kaum sosial-demokrat Austria itu? Program itu dinyatakan dengan dua patah kata: otonomi kebudayaan-nasional. Ini berarti, pertama, bahwa otonomi itu tidak diberikan, kita katakan saja, kepada Bohemia atau Polandia yang didiami terutama oleh orang-orang Ceko dan orang-orang Polandia, tetapi kepada orang-orang Ceko dan orang-orang Polandia pada umumnya, tak pandang wilayah, tak peduli daerah mana dari Austria yang mereka diami.
Itulah sebabnya otonomi ini dinamakan otonomi nasional dan bukan otonomi wilayah. Ini berarti, kedua, bahwa orang-orang Ceko, orang-orang Polandia, orang-orang Jerman, dll., yang terpencar-pencar di berbagai penjuru Austria, secara perseorangan, sebagai orang-seorang, diorganisasi menjadi bangsa-bangsa yang integral dan, sebagai bangsa-bangsa demikian, merupakan bagian negara Austria. Jika demikian Austria tidak akan merupakan uni daerah-daerah otonom, tetapi suatu uni bangsa-bangsa otonom, yang disusun dengan tidak pandang wilayah. Ini berarti, ketiga, bahwa lembaga-lembaga nasional yang harus diciptakan untuk tujuan ini bagi orang-orang Polandia, orang-orang Ceko, dll., tidak akan mengurus soalsoal "politik" melainkan soal-soal "kebudayaan" saja. Soalsoal khusus politik akan dipusatkan dalam parlemen seAustria (Reichsrat). Itulah sebabnya otonomi ini dinamakan juga otonomi kebudayaan, otonomi kebudayaan-nasional. Dan inilah teks program yang diterima oleh sosial-demokrasi
Austria dalam Kongres Brunn pada tahun 1899*. Sesudah menyebutkan bahwa "persengketaan nasional di Austria
menghambat
kemajuan
politik",
bahwa
"pemecahan masalah nasional secara pasti . . . pertamatama adalah keperluan kebudayaan", bahwa "pemecahan itu mungkin hanya di dalam masyarakat yang sungguhsungguh demokratis, yang dibangun atas dasar hak pilih umum, langsung dan sama", program itu meneruskan: "Pemeliharaan
serta
pengembangan
kekhususan-
kekhususan nasional * dari bangsa-bangsa Austria hanyalah mungkin berdasarkan persamaan hak penuh dan dengan tidak adanya segala penindasan. Karena itu pertama-tama harus ditolak sistim sentralisme negara birokratis dan juga hak-hak istimewa feodal dari satu-satu wilayah. Di bawah syarat-syarat ini, dan hanya di bawah syarat-
*
Wakil-wakil Partai Sosial Demokrat Slav-Selatan juga memberikan suara setuju. Lihat Perdebatan Mengenai Soal Nasional Dalam Kongres Brunn, 1906. Hlm. 72. * Dalam terjemahan Rusia dari M. Panin (lihat buku Bauer terjemahan Panin), “kekhususan-kekhususan nasional” diterjemahkan dengan “kepribadian nasional”. Panin tidak tepat menterjemahkan bagian ini. Kata “kepribadian” tidak terdapat dalam teks Jerman, dimana disebut nationalen Eigenart, yaitu kekhususan-kekhususan yang jauh daripada sama.
syarat ini saja, baru bisa ditegakkan tata tertib nasional di Austria sebagai pengganti pertikaian nasional, yaitu menurut prinsip-prinsip berikut: 1. Austria harus diubah menjadi sebuah negara federasi demokratis bangsa-bangsa. 2. Sebagai pengganti wilayah-wilayah mahkota yang historis harus dibentuk korporasi-korporasi 13) yang berpemerintahan-sendiri yang dibatasi secara nasional, dan di setiap korporasi itu pembuatan undang-undang serta administrasi berada di tangan parlemen-parlemen nasional yang dipilih atas dasar pemungutan suara secara umum, langsung dan sama. 3. Daerah-daerah yang berpemerintahan-sendiri dari satu bangsa yang sama bersama-sama membentuk satu uni nasional yang tunggal, yang akan mengurus urusan-urusan nasionalnya secara otonom sepenuhnya. 4. Hak-hak bangsa minoritas dijamin oleh undang-undang khusus yang dikeluarkan oleh Parlemen Kerajaan". Program itu diakhiri dengan seruan untuk solidaritas semua
bangsa di Austria*. Tidaklah sukar untuk melihat bahwa dalam program itu masih terdapat beberapa sisa "teritorialisme", tetapi pada umumnya ia merupakan rumusan otonomi nasional. Bukan tanpa alasan bahwa Springer, agitator pertama otonomi kebudayaan nasional,
menyambutnya
dengan
gairah**.
Bauer
juga
menyetujuinya, menamakannya suatu "kemenangan teori"*** bagi otonomi nasional; hanya saja, untuk lebih jelas lagi, ia mengusulkan supaya fasal 4 diganti dengan rumusan yang lebih tegas, yang menerangkan perlunya "penyusunan bangsa minoritas di dalam setiap daerah yang berpemerintahan sendiri menjadi korporasi umum" untuk mengurus urusanurusan sekolah serta urusan-urusan kebudayaan lainnya****. Demikianlah program nasional sosial-demokrasi Austria. Marilah kita periksa dasar-dasar ilmiahnya. Baiklah
kita
memperkuat
*
lihat
bagaimana
otonomi
sosial-demokrasi
Austria
kebudayaan-nasional
yang
Verbanlungen des Gesammtparteitages di Brunn, 1899. Lihat Springer Masalah Nasional, hlm. 286. *** Lihat Soal Nasional, hlm. 549. **** Ibid., hlm. 555. **
dikhotbahkannya itu. Baiklah kita berpaling kepada ahli-ahli teori otonomi kebudayaan-nasional, kepada Springer dan Bauer. Titik tolak otonomi nasional adalah konsepsi tentang bangsa sebagai uni orang-orang terlepas dari wilayah tertentu. "Bangsa",
menurut
Springer,
"pada
dasarnya
tidak
berhubungan dengan wilayah"; bangsa adalah "uni otonom orang-orang"*. Bauer juga berbicara tentang bangsa sebagai "kesatuan orangorang" "yang tidak diberi kekuasaan eksklusif di sesuatu daerah tertentu"**. Tetapi orang-orang yang merupakan suatu bangsa tidak selalu hidup dalam satu massa yang kompak — sering kali mereka terbagi menjadi kelompok-kelompok dan dalam bentuk demikian tertebar di tengah-tengah organisme-organisme nasional asing. Kapitalismelah yang menggiring mereka ke berbagai daerah dan kota untuk mencari nafkah. Tetapi ketika memasuki wilayah-wilayah nasional asing dan di situ *
Lihat Springer Masalah Nasional, hlm. 19. Lihat Soal Nasional, hlm. 286.
**
merupakan minoritas, kelompok-kelompok ini mengalami penderitaan karena bangsa-bangsa mayoritas lokal dalam arti pembatasan-pembatasan terhadap bahasa mereka, sekolahsekolah mereka, dll. Dari sinilah timbulnya konflik nasional. Dari sinilah "ketidak-cocokan" otonomi wilayah. Satu-satunya jalan ke luar dari situasi demikian itu, menurut pendapat Springer dan Bauer, ialah mengorganisasi minoritas-minoritas dari bangsa tertentu yang terpencar-pencar di berbagai bagian negara menjadi satu uni nasional umum antar-klas. Hanya uni demikianlah,
menurut
pendapat
mereka,
yang
dapat
melindungi kepentingan-kepentingan kebudayaan bangsabangsa minoritas, dan hanya itulah yang sanggup mengakhiri pertikaian nasional. "Perlu", kata Springer, "memberikan kepada bangsa-bangsa organisasi yang tepat, memberi mereka hak-hak serta kewajiban"*.... Sudah barang tentu, "undang-undang mudah dibuat, tetapi apakah ia berdaya guna seperti yang diharapkan darinya".... "Jika ingin membuat undang-undang bagi bangsabangsa maka terlebih dulu perlu menciptakan bangsa-bangsa itu sendiri"**.... "Tanpa menyusun bangsa-bangsa, maka tidak mungkin menciptakan hak-hak nasional serta melenyapkan
*
Lihat Masalah Nasional, hlm. 74. Ibid., hlm. 88-89.
**
pertikaian nasional"***. Bauer berkata dalam semangat yang sama ketika ia mengemukakan, sebagai "tuntutan klas buruh", penyusunan minoritas-minoritas menjadi korporasi umum berdasarkan prinsip pribadi"****. Tetapi
bagaimana
mengorganisasi
bangsa?
Bagaimana
menentukan seseorang termasuk bangsa ini atau bangsa itu? "Kebangsaan", kata Springer, "akan ditentukan oleh sertifikat; setiap orang yang bertempat tinggal di sesuatu daerah harus menyatakan masuk bangsa yang mana di daerah itu"*. "Prinsip pribadi itu", kata Bauer, "mensyaratkan bahwa penduduk
terbagi
menjadi
bangsa-bangsa
atas
dasar
pernyataan secara bebas dari warganegara-warganegara dewasa", dan untuk itu "harus dipersiapkan daftar nasional"**. Selanjutnya.
***
Ibid., hlm. 89. Lihat Soal Nasional, hlm. 552. * Lihat Masalah Nasional, hlm. 226. ** Lihat Soal Nasional, hlm. 368. ****
"Semua orang Jerman di distrik-distrik yang sama jenis secara nasional", kata Bauer, "kemudian semua orang Jerman yang dimasukkan dalam daftar nasional di distrik-distrik dwijenis, merupakan bangsa Jerman dan memilih Dewan Nasional"***. Demikian juga halnya dengan orang-orang Ceko, Polandia, dsb. "Dewan Nasional", menurut Springer, "adalah parlemen kebudayaan bangsa, yang diwajibkan menetapkan prinsip-prinsip dan mcnyetujui dana-dana, yang diperlukan bagi pembinaan pendidikan nasional, kesusasteraan nasional, seni dan ilmu, bagi pembangunan akademi, museum, galeri, teater, dll."****. Demikianlah pengorganisasian suatu bangsa dan lembaga sentralnya. Dengan menciptakan lembaga-lembaga antar-klas demikian itu Partai Sosial-Demokrat Austria, menurut pendapat Bauer, berusaha keras untuk "menjadikan kebudayaan-nasional . . . milik seluruh rakyat dan dengan demikian mempersatukan semua anggota bangsa menjadi kesatuan kebudayaan-na-
***
Ibid., hlm. 375. Lihat Masalah Nasional, hlm. 234.
****
sional"*(kursif dari kami). Orang bisa berpendapat bahwa semuanya itu hanya berkaitan dengan Austria raja. Tetapi Bauer tidak setuju. Ia dengan tegas menyatakan bahwa otonomi nasional wajib juga bagi negaranegara lain yang terdiri dari beberapa bangsa seperti Austria. "Di negara multi-nasional", menurut Bauer, "proletariat dari semua bangsa mempertentangkan politik nasional klas-klas yang bermilik, politik perebutan kekuasaan, dengan tuntutan otonomi nasional"**. Kemudian, dengan tak kentara mengganti hak menentukan nasib sendiri dari bangsa-bangsa dengan otonomi nasional, ia meneruskan: "Jadi otonomi nasional, hak menentukan nasib sendiri dari bangsa--bangsa, tak dapat tidak akan menjadi program konstitusionil proletariat dari semua bangsa yang hidup di negara multi-nasional"***. Tetapi ia meneruskan lebih lanjut. Ia percaya dengan *
Lihat Soal Nasional, hlm. 553. Ibid., hlm. 337 *** Ibid., hl. 333. **
mendalam bahwa "uni nasional" antar-klas yang "disusun" olehnya dan oleh Springer akan merupakan suatu prototipe masyarakat sosialis di masa depan. Karena ia tahu bahwa "sistim masyarakat sosialis . . . akan membagi umat manusia menjadi masyarakat-masyarakat yang batasnya ditentukan secara nasional"*, bahwa di bawah sosialisme akan terjadi "pengelompokan
umat
manusia
menjadi
masyarakat-
masyarakat nasional otonom"**, bahwa "dengan demikian, masyarakat sosialis niscaya akan merupakan suatu gambaran yang pusparagam dari uni orang-orang secara nasional dan korporasi-korporasi teritorial"***, bahwa karena itu "prinsip sosialis tentang bangsa adalah sintesis tertinggi prinsip nasional dan otonomi nasional"****. Cukup agaknya. . . . Demikianlah
argumentasi
otonomi
kebudayaan-nasional
dalam karya-karya Bauer dan Springer. Pertama-tama yang menyolok mata ialah penggantian yang sama sekali tak dapat difahami dan sama sekali tak dapat
*
Lihat Soal Nasional, hlm. 555. Ibid., hlm. 556. *** Ibid., hlm. 543. **** Ibid., hlm. 542. **
dibenarkan dari hak menentukan nasib sendiri bangsa-bangsa dengan otonomi nasional. Salah satu di antara dua: atau Bauer tidak mengerti hak menentukan nasib sendiri, atau ia mengerti tetapi
karena
sesuatu
sebab
dengan
sengaja
mempersempitnya. Karena tiada ragu bahwa: a) otonomi kebudayaan-nasional mensyaratkan keutuhan negara multinasional, sedang hak menentukan nasib sendiri berada di luar bingkai keutuhan itu; b) hak menentukan nasib sendiri memberikan
kepada
suatu
bangsa
semua
hak
yang
sepenuhnya, sedang otonomi nasional memberikan kepadanya hanya hak-hak "kebudayaan". Ini pertama-tama. Kedua, di masa depan sepenuhnya mungkin pengkombinasian situasi dalam dengan luar, di mana satu atau lain bangsa mengambil keputusan untuk keluar dari suatu negara multinasional, misalnya dari Austria — tidakkah kaum sosialdemokrat
Ruthenia
dalam
Kongres
Partai
di
Brunn
mengumumkan kesediaannya mempersatukan "dua bagian" dari rakyat mereka menjadi satu kebulatan?* Kalau begitu bagaimana dengan otonomi nasional yang "tak terelakkan bagi proletariat dari semua bangsa"? "Pemecahan" masalah macam apa itu yang secara mekanis menjejal bangsa-bangsa ke dalam tempat tidur Procrustes14) dari keutuhan negara? *
Lihat Perdebatan Mengenai Masalah Nasional Dalam Kongres Partai di Brunn, hlm. 48.
Selanjutnya. Otonomi nasional bertentangan dengan seluruh jalannya perkembangan bangsa-bangsa. Ia memberi semboyan supaya
mengorganisasi
bangsa-bangsa;
tetapi
dapatkah
bangsa-bangsa itu disatupadukan secara dibuat-buat jika kehidupan, jika perkembangan ekonomi merenggut segenap kelompok-kelompok dari bangsa-bangsa itu dan memencarmencarkan kelompok-kelompok ini ke berbagai daerah? Tiada ragu pula bahwa pada tingkat-tingkat awal kapitalisme bangsabangsa bersatu-padu. Tetapi tiada ragu pula bahwa pada tingkat-tingkat lebih
tinggi
kapitalisme dimulai
proses
pemencaran bangsa-bangsa, proses pemisahan diri serentetan kelompok dari bangsa-bangsa, pergi mencari nafkah, dan kemudian bermukim secara tetap di daerah-daerah lain negara; selama proses ini pemukim-pemukim tersebut kehilangan hubungan-hubungan lama, memperoleh hubungan-hubungan baru di tempat-tempat baru, dan turun-temurun memperoleh adat-kebiasaan baru serta cita rasa baru dan, mungkin, juga bahasa
baru.
Timbul
pertanyaan:
mungkinkah
orang
mempersatukan kelompok-kelompok yang telah menjadi begitu terasing satu sama lain menjadi satu uni nasional yang tunggal? Di mana simpai wasiat yang dengan bantuannya orang bisa mempersatukan apa yang tak dapat dipersatukan? Dapatkah dibayangkan "mempersatukan menjadi satu bangsa", misalnya, orang-orang Jerman di kawasan Baltik dan orang-
orang Jerman di Transkaukasus? Tetapi jika semua itu tak terbayangkan dan tak mungkin, maka, kalau begitu, apa bedanya otonomi nasional dengan utopi kaum nasionalis lama, yang berusaha memutar mundur roda sejarah? Tetapi kesatuan bangsa berkurang tidak hanya karena perpindahan tempat tinggal. Kesatuan bangsa itu berkurang juga dari dalam, disebabkan oleh menajamnya perjuangan klas. Pada tingkat awal kapitalisme orang masih berbicara tentang "kesatuan kebudayaan" proletariat dan burjuasi. Tetapi dengan berkembangnya
industri
besar-besaran
dan
dengan
menajamnya perjuangan klas maka "kesatuan" ini mulai mencair. Orang tak dapat berbicara secara serius tentang "kesatuan kebudayaan" bangsa ketika kaum majikan dan kaum buruh dari satu bangsa yang sama itu juga tidak lagi mengerti satu sama lain. Orang bisa berbicara tentang "kesatuan nasib" apa bilamana burjuasi haus perang, sedang proletariat menyatakan "perang terhadap perang"? Dapatkah satu uni nasional antar-klas dibentuk dari unsur-unsur yang begitu berkontradiksi? Sesudah itu, dapatkah orang berbicara tentang "penyatuan
semua
anggota
bangsa
menjadi
kesatuan
kebudayaan-nasional"?* Tidakkah jelas bahwa otonomi nasional itu berkontradiksi dengan seluruh jalannya perjuangan
*
Lihat Bauer Soal Nasional, hlm. 553.
klas? Tetapi baiklah kita andaikan sejenak bahwa semboyan "organisasilah
bangsa"
adalah
semboyan
yang
dapat
dilaksanakan. Orang masih bisa memahami para parlementarir nasionalis-burjuis yang berusaha "mengorganisasi" suatu bangsa untuk memperoleh kelebihan suara. Tetapi sejak kapan kaum sosial-demokrat mulai menyibukkan diri dengan "mengorganisasi" bangsa, "menyusun" bangsa, "menciptakan" bangsa? Kaum sosial-demokrat macam apa yang dalam zaman sangat menajamnya perjuangan klas mengorganisasi uni-uni nasional antar-klas? Hingga kini, Partai Sosial-Demokrat Austria, dan juga setiap partai sosial-demokrat lainnya, mempunyai satu tugas: mengorganisasi proletariat. Tetapi tugas itu rupanya sudah menjadi "usang". Sekarang Springer dan Bauer mengajukan tugas "baru", yang lebih interesan: "menciptakan", "mengorganisasi" bangsa? Kaum Sosial-Demokrat macam apa yang dalam zaman sangat menajamnya perjuangan klas mengorganisasi uni-uni nasional antar-klas? Hingga kini, Partai Sosial-Demokrat Austria dan juga setiap partai social-demokrat lainnya, mempunyai satu tugas: mengorganisasi Proletariat. Tetapi tugas itu rupanya
sudah menjadi “using”. Sekarang Springer dan Bauer mengajukan tugas “baru”, yang lebih interesan: “menciptakan”, “mengorganisasi” bangsa. Akan tetapi, logika mewajibkan: barang siapa menerima otonomi nasional mesti menerima pula tugas "baru" ini, tetapi menerima yang terakhir ini berarti meninggalkan pendirian klas, menempuh jalan nasionalisme. Otonomi kebudayaan-nasional Springer dan Bauer adalah bentuk nasionalisme yang diperhalus. Dan ini sama sekali bukan peristiwa kebetulan bahwa program nasional kaum sosial-demokrat Austria mewajibkan orang menaruh perhatian pada "pemeliharaan serta pengembangan kekhususan-kekhususan nasional rakyat-rakyat". Coba pikir: "memelihara" "kekhususan-kekhususan nasional" orang-orang Tatar Transkaukasus seperti penderaan diri pada pesta-pesta "Syakhsei
Wakhsei"!
"Mengembangkan"
"kekhususan-
kekhususan nasional" orang-orang Jorjia seperti "hak balas dendam"! . . . Fasal demikian itu sudah pada tempatnya dalam program yang sepenuhnya nasionalis burjuis, dan jika ia terdapat dalam program kaum sosial-demokrat Austria itu karena otonomi
nasional
mentolerir
fasal-fasal
demikian
itu,
ia
tidak
bertentangan dengan fasal-fasal itu. Tetapi jika otonomi nasional itu tidak cocok bagi masa sekarang, maka akan lebih tidak cocok lagi bagi masa depan, bagi masyarakat sosialis. Ramalan Bauer mengenai "pembagian umat manusia menjadi masyarakat-masyarakat secara
nasional"*
yang
dibantah
ditentukan oleh
batas-batasnya
seluruh
jalannya
perkembangan umat manusia modern. Sekat-sekat nasional sedang dirobohkan dan ambruk, bukannya diperkokoh. Sudah dalam
tahun-tahun
"perbedaan-perbedaan kepentingan
berbagai
40-an
Marx
nasional rakyat
menyatakan serta
sekarang
bahwa
pertentangan sudah
semakin
melenyap", bahwa "kekuasaan proletariat akan semakin mempercepat
pelenyapannya"15).
Perkembangan
manusia
selanjutnya, yang dibarengi pertumbuhan secara raksasa produksi kapitalis, pencampurbauran bangsa-bangsa serta penyatuan orang di wilayah-wilayah yang semakin luas — dengan tegas membenarkan fikiran Marx. Keinginan Bauer untuk mengemukakan masyarakat sosialis
*
Lihat awal bab ini.
sebagai "gambaran yang pusparagam dari uni orang-orang secara nasional dan korporasi-korporasi teritorial" merupakan suatu usaha yang takut-takut untuk mengganti konsepsi Marx tentang sosialisme dengan konsepsi Bakunin yang direvisi. Sejarah sosialisme menunjukkan bahwa setiap usaha demikian itu mengandung unsur-unsur kegagalan yang tak terhindarkan. Kita tidak perlu lagi berbicara tentang sesuatu "prinsip sosialis tentang kebangsaan" yang disanjung-sanjung oleh Bauer yang, menurut pendapat kami, merupakan penggantian prinsip sosialis tentang perjuangan klas dengan "prinsip kebangsaan" burjuis. Jika otonomi nasional itu berpangkal pada prinsip yang meragukan demikian itu, maka harus diakui bahwa ia hanya bisa membawa kerugian saja bagi gerakan klas buruh. Benar, nasionalisme yang demikian ini tidak begitu jernih, karena ia dengan mahir dipertopeng dengan ungkapanungkapan sosialis, tetapi ia lebih-lebih lagi merugikannya bagi proletariat. Nasionalisme yang terbuka selalu dapat diatasi: tidak sulit untuk melihatnya. Jauh lebih sukar berjuang melawan nasionalisme yang dikamuflase dan di belakang karnuflasenya tak dapat dikenali. Dengan berlindung di belakang perisai sosialisme, ia menjadi kurang mudah terkena dan menjadi lebih ulet. Jika tertanam di kalangan kaum buruh, ia meracuni suasana dengan menyebarkan ide-ide saling curiga
dan isolasi yang merugikan di kalangan kaum buruh berbagai bangsa. Tetapi kerugian yang ditimbulkan otonomi nasional tidak habis dengan ini. Ia menyiapkan dasar tidak hanya bagi isolasi bangsa-bangsa, tetapi juga bagi pecahnya gerakan buruh yang bersatu.
Ide
otonomi
nasional
menciptakan
prasyarat
psikologis bagi perpecahan partai buruh yang bersatu menjadi partai-partai
tersendiri-sendiri
yang
dibangun
menurut
kebangsaan. Sesudah pecahnya partai, pecah pula serikatserikat buruh, maka sebagai akibatnya isolasi sepenuhnya. Dengan begitu terpecahlah gerakan klas yang bersatu menjadi anak-anak sungai nasional yang terpisah-pisah. Austria, tanah air "otonomi nasional", memberikan contoh yang paling menyedihkan tentang gejala ini. Partai SosialDemokrat Austria yang dulunya bersatu sudah sejak tahun 1897 (Kongres Partai di Wimberg16)) mulai pecah menjadi partai-partai yang terpisah-pisah. Sesudah Kongres Partai di Brunn (1899), yang menerima otonomi nasional, perpecahan itu semakin menghebat. Akhirnya, keadaan telah sedemikian rupa sehingga sebagai ganti partai internasional yang bersatu sekarang terdapat enam partai nasional, yang di antaranya Partai Sosial-Demokrat Ceko bahkan tidak mau berhubungan apapun dengan Partai Sosial-Demokrat Jerman.
Tetapi partai-partai itu berhubungan dengan serikat-serikat buruh. Di Austria, baik dalam partai-partai maupun dalam serikat-serikat buruh, pekerjaan utama dipikul oleh pekerjapekerja sosial-demokrat itu-itu juga. Karena itu bisa dikuatirkan bahwa separatisme di dalam partai akan membawa separatisme di dalam serikat-serikat buruh, bahwa serikat-serikat buruh akan pecah pula. Demikianlah yang terjadi: serikat-serikat buruh juga terpecahbelah menurut kebangsaan. Sekarang tidak jarang keadaannya bahkan sampai sedemikian jauh sehingga kaum buruh Ceko mematahkan pemogokan kaum buruh Jerman, atau bersatu dengan burjuis Ceko menentang kaum buruh Jerman dalam pemilihan-pemilihan kotapraja. Dari sini nampak bahwa otonomi kebudayaan nasional tidak memecahkan
masalah
nasional.
Tambahan
pula:
ia
memperuncing serta mengusutkannya dengan menciptakan dasar yang menguntungkan bagi perusakan persatuan gerakan buruh, bagi isolasi kaum buruh menurut kebangsaan, bagi pengintensifan perselisihan di antara mereka. Demikianlah hasil panen otonomi nasional.
V BUND, NASIONALISMENYA, SEPARATISMENYA Di atas sudah kita katakan bahwa Bauer, yang mengakui perlunya otonomi nasional bagi orang-orang Ceko, orangorang Polandia, dsb., namun demikian menentang otonomi demikian itu bagi orang-orang Yahudi. Atas pertanyaan: "haruskah klas buruh menuntut otonomi bagi rakyat Yahudi?", Bauer menjawab bahwa "otonomi nasional tak dapat merupakan tuntutan kaum buruh Yahudi"*. Menurut Bauer, sebabnya
yalah
bahwa
"masyarakat
kapitalis
tidak
memungkinkan mereka (orang-orang Yahudi — Y.St.) bertahan sebagai suatu bangsa"**. Pendeknya: bangsa Yahudi tidak ada lagi — jadi, untuk siapa menuntut otonomi nasional. Orang-orang Yahudi sedang diasimilasi. Pandangan mengenai nasib orang-orang Yahudi sebagai bangsa demikian ini bukan pandangan baru.
*
Lihat Soal Nasional, hlm. 381, 396. Ibid., hlm. 389.
**
Ia telah dinyatakan oleh Marx sudah dalam tahun-tahun 40an*17), yang dimaksud terutama orangorang Yahudi Jerman. Ia diulangi oleh Kautsky dalam tahun 1903**, dengan yang dimaksudkan orang-orang Yahudi Rusia. Sekarang is sedang diulang oleh Bauer dalam hubungan dengan orangorang Yahudi Austria, tetapi dengan perbedaan bahwa dia tidak menyangkal masa kini tetapi masa depan bangsa Yahudi. Bauer menerangkan ketidakmungkinan mempertahankan orang-orang Yahudi sebagai suatu bangsa dengan kenyataan bahwa
"orang-orang
Yahudi
tidak
mempunyai
daerah
pemukiman yang tersendiri"***. Penjelasan ini pada pokoknya benar, tetapi tidak menyatakan seluruh kebenaran. Soalnya pertama-tama ialah bahwa di kalangan orang-orang Yahudi tidak terdapat lapisan yang luas dan stabil yang berhubungan dengan tanah, yang secara wajar memaku bangsa, yang tidak hanya menjadi sebagai kerangkanya, tetapi juga sebagai pasar "nasional". Dari 5-6 juta orang Yahudi Rusia, hanya 3-4% berhubungan dengan pertanian dengan satu atau lain cara. Sisanya yang 96% berdagang, bekerja dalam industri, dalam badan-badan di kota, dan pada umumnya tinggal di kota, dan
*
Lihat K. Marx “Masalah Yahudi�, 1906. Lihat K. Kutsky, “Pembantaian Kisyinyov dan Masalah Yahudi�, 1903. *** Lihat Soal Nasional, hlm. 388. **
lagi tersebar di Seluruh Rusia, tidak merupakan mayoritas di satu guberniapun. Jadi, dengan bertebaran di daerah-daerah bangsa lain sebagai bangsa-bangsa minoritas, orang-orang Yahudi biasanya mengabdi bangsa-bangsa "asing" baik sebagai industrialis dan pedagang maupun sebagai orang-orang pekerja merdeka, sudah sewajarnya menyesuaikan diri dengan "bangsa-bangsa asing" itu dalam hal bahasa, dsb. Kesemuanya ini, dalam hubungan dengan meningkatnya pencampurbauran bangsa-bangsa yang khas bagi bentukbentuk kapitalisme yang sedang berkembang, menuju pengasimilasian orang-orang Yahudi. Penghapusan "batas pemukiman" orang Yahudi hanya bisa mempercepat proses asimilasi. Karena itu masalah otonomi nasional bagi orangorang Yahudi Rusia bersifat agak aneh: orang mengusulkan otonomi bagi bangsa yang hari depannya diingkari dan yang eksistensinya masih harus dibuktikan! Sekalipun demikian, Bund mengambil pendirian yang aneh serta goyah ketika dalam Kongresnya yang Ke-VI (1905) menerima "program nasional" dalam semangat otonomi nasional.
Dua keadaan telah mendorong Bund mengambil langkah ini. Keadaan yang pertama ialah eksistensi Bund sebagai organisasi buruh sosial-demokrat Yahudi dan hanya Yahudi saja. Bahkan sebelum tahun 1897 pun grup-grup sosial-demokrat yang bekerja di kalangan kaum buruh Yahudi bertujuan menciptakan "organisasi khusus buruh Yahudi" * . Dalam tahun 1897 itu juga mereka mendirikan organisasi demikian itu dengan bergabung membentuk Bund. Itu pada masa sosial-demokrasi Rusia sebagai kcseluruhan sebenarnya belum ada. Sejak waktu itu Bund terus tumbuh dan meluas, dengan semakin menonjol pada
latar
belakang
hari-hari
suram
bagi
sosial-
demokrasi Rusia. . . . Tetapi kemudian tibalah tahuntahun 1900-an. Mulailah gerakan buruh massal. Sosialdemokrasi Polandia tumbuh dan menarik kaum buruh Yahudi ke dalam perjuangan massa. Sosial demokrasi Rusia tumbuh dan menarik buruh-buruh "Bund" ke pihaknya. Kerangka nasional Bund, yang tanpa basis teritorial, menjadi sempit. Bund menghadapi masalah: atau meleburkan diri ke dalam gelombang internasional umum, atau mempertahankan eksistensinya yang berdiri *
Lihat Bentuk-Bentuk Gerakan Nasional, dsb., diterbitkan oleh Kastelyanski, hlm. 772.
sendiri sebagai suatu organisasi ekstra-teritorial. Bund memilih yang terakhir. Dengan demikian terciptalah "teori" Bund sebagai "satusatunya wakil proletariat Yahudi". Tetapi untuk membenarkan "teori" yang aneh ini dengan sesuatu cara yang "sederhana" menjadi tidak mungkin. Diperlukan sesuatu macam alas "prinsipiil", pembenaran "prinsipiil". Otonomi kebudayaan-nasional justru menjadi alas demikian itu. Maka Bund menyambarnya, meminjamnya dari kaum sosial-demokrat Austria. Sekiranya orang-orang Austria tidak mempunyai program demikian itu maka Bund akan mengarang-ngarangnya
untuk
membenarkan
secara
"prinsipiil" eksistensinya yang berdiri sendiri. Demikianlah, sesudah usaha yang takut-takut dalam tahun 1901 (Kongres Ke-IV), Bund secara pasti menerima "program nasional" dalam tahun 1905 (Kongres Ke-VI). Keadaan yang kedua ialah kedudukan khas orang-orang Yahudi sebagai bangsa-bangsa minoritas tersendiri di dalam bangsa-bangsa mayoritas lain yang kompak di
daerah-daerah
integral.
Sudah
kita
katakan
bahwa
kedudukan ini menggerowoti eksistensi orang-orang Yahudi sebagai bangsa dan menempatkan mereka di atas jalan asimilasi. Tetapi ini adalah proses obyektif. Secara subyektif,
dalam
kepala
orang-orang
Yahudi,
ia
membangkitkan reaksi dan mengajukan soal jaminan hakhak bangsa minoritas, jaminan terhadap asimilasi. Dengan mengkhotbahkan daya hidup "kebangsaan" Yahudi, Bund tidak bisa tidak menyetujui "jaminan". Dan, setelah mengambil pendirian demikian itu, ia tidak bisa tidak menerima otonomi nasional. Karena jika Bund dapat mencekau sesuatu otonomi juga, maka hanyalah otonomi nasional, yaitu otonomi kebudayaan nasional; tidak mungkin ada persoalan otonomi teritorial-politik bagi orang-orang Yahudi, karena orang-orang Yahudi tidak mempunyai wilayah integral tertentu. Adalah khas bahwa Bund sejak semula menekankan watak otonomi nasional sebagai jaminan bagi hak-hak bangsabangsa minoritas, sebagai jaminan bagi "perkembangan secara bebas" bangsa-bangsa. Juga tidak kebetulan bahwa wakil Bund dalam Kongres Ke-II
Partai
Sosial-Demokrat
Rusia,
Goldblatt,
merumuskan otonomi nasional sebagai "lembaga-lembaga
yang menjamin mereka (yaitu, bangsabangsa — Y.St.) dengan
kebebasan
penuh
bagi
perkembangan
kebudayaan" * . Kepada fraksi sosial-demokrat dalam Duma IV juga diajukan usul yang serupa oleh para pendukung ide-ide Bund. . . . Dengan demikian Bund mengambil pendirian otonomi nasional yang aneh itu bagi orang-orang Yahudi. Di atas kita sudah meninjau otonomi nasional pada umumnya. Peninjauan itu menunjukkan bahwa otonomi nasional menuju nasionalisme. Di bawah akan kita lihat bahwa Bund telah sampai pada titik akhir demikian itu juga. Tetapi Bund memandang otonomi nasional juga dari segi khusus, dari segi penjaminan hak-hak bangsa-bangsa minoritas – dan bukan hanya bangsa minoritas Yahudi – mempunyai arti yang serius bagi sosial-demokrasi. Jadi, "lembaga-lembaga yang menjamin" bangsa-bangsa dengan
"kebebasan
penuh
bagi
perkembangan
kebudayaan" (kursif dari kami — Y.St.). Tetapi apakah "lembaga-lembaga yang menjamin", dsb. itu?
*
Lihat Notulen Kongres Ke-II, hlm. 176.
Pertama-tama itu adalah "Dewan Nasional" dari Springer dan Bauer, sesuatu seperti Diet18) untuk urusan kebudayaan. Tetapi dapatkah lembaga-lembaga ini menjamin suatu bangsa dengan "kebebasan penuh bagi perkembangan kebudayaan"? Dapatkah sesuatu Diet untuk urusanurusan kebudayaan menjamin suatu bangsa terhadap represi nasionalis? Bund berpendapat, bisa. Tetapi sejarah membuktikan sebaliknya. Pada satu waktu di Polandia Rusia terdapat Diet, Diet politik, dan ia sudah barang tentu berusaha menjamin kebebasan
untuk
"perkembangan
kebu dayaan" bagi
orang-orang Polandia, tetapi ia bukan hanya tidak berhasil dalam hal itu, malah ia sendiri menyerah di dalam perjuangan yang tidak berimbang menentang syaratsyarat politik umumnya di Rusia. Di Finlandia sudah lama ada Diet, yang juga berusaha melindungi bangsa Finlandia terhadap "pelanggaranpelanggaran", tetapi banyakkah yang tercapai olehnya ke arah itu — semua orang dapat melihatnya.
Memang, Diet tidak sama, dan tidaklah begitu mudah mengatasi Diet Finlandia yang diorganisasi secara demokratis
sebagaimana
halnya
mengatasi
Diet
Polandia yang aristokratis. Tetapi walaupun demikian, yang menentukan bukanlah Diet itu sendiri, melainkan tata tertib umumnya di Rusia. Jika di Rusia sekarang terdapat tata tertib social dan politik ke -Asia-an kasar yang sama sebagaimana di masa lampau, dalam tahun tahun pembubaran Diet Polandia, maka keadaan akan jauh lebih jelek bagi Diet Finlandia. Tambahan pula, politik "pelanggaran-pelanggaran" terhadap Finlandia bertambah dan tidak dapat dikatakan bahwa ia telah mengalami kekalahan. . . . Jika demikian halnya dengan lembaga-lembaga lama yang terbentuk menurut sejarah — Diet-Diet politik — lebih-lebih lagi Diet-Diet yang masih muda, lembagalembaga yang masih muda, terutama lembaga-lembaga yang begitu lemah seperti Diet-Diet kebudayaan, tak akan dapat menjamin perkembangan bebas bangsa. Jelaslah, soalnya bukan "lembaga-lembaga", melainkan tata tertib umum dalam negeri. Jika di dalam negeri tak ada demokrasi maka juga tidak ada jaminan untuk
"kebebasan penuh bagi perkem bangan kebudayaan" bangsa-bangsa. Orang dapat mengatakan dengan pasti bahwa semakin demokratis suatu negeri maka semakin sedikitlah
"pelanggaran-pelanggaran"
terhadap
"kebebasan bangsabangsa" dan semakin besar pula jaminan-jaminan
untuk
mencegah
"pelanggaran-
pelanggaran". Rusia adalah negeri setengah Asia dan karena itu di Rusia politik "pelanggaran-pelanggaran" tidak jarang mengambil bentuk yang sekasar-kasarnya, bentuk-bentuk pogrom. Dengan sendirinya di Rusia "jaminan-jaminan" itu berkurang menjadi sekecil mungkin. Jerman sudah merupakan negeri Eropa dengan sedikit-banyak kemerdekaan politik. Tidak mengherankan kalau di sana politik "pelanggaran-pelanggaran" tidak pernah mengambil bentuk pogrom. Di Perancis, sudah tentu, lebih banyak lagi "jaminan", karena Perancis lebih demokratis daripada Jerman. Kita tidak perlu lagi menyebut Swis di mana, berkat kedemokratisannya yang tinggi, meskipun burjuis, bangsabangsa hidup bebas, tak peduli apakah mereka itu merupakan
minoritas atau mayoritas. Jadi, Bund mengambil jalan yang salah ketika ia menyatakan bahwa "lembaga-lembaga" itu dengan sendirinya dapat menjamin perkembangan kebudayaan yang penuh bagi bangsa-bangsa. Dapat
dikatakan
bahwa
Bund
sendiri
menganggap
pendemokrasian di Rusia sebagai prasyarat bagi "penciptaan lembaga-lembaga" dan jaminan-jaminan bagi kebebasan. Tetapi ini tidak benar. Dari "Laporan Konferensi Ke-VIII Bund"19) terlihat bahwa Bund berfikir ia dapat memperoleh "lembaga" berdasarkan tata tertib yang sekarang di Rusia, dengan jalan "pembaruan" komunita20) Yahudi. "Komunita", kata salah seorang pemimpin Bund dalam konferensi
tersebut,
"bisa
menjadi
kebudayaan-nasional di masa depan.
inti
otonomi
Otonomi kebudayaan-
nasional adalah bentuk pelayanan sendiri bangsa-bangsa, bentuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan nasional. Di dalam bentuk komunita itu tersembunyi isi yang sama. Ini adalah mata-mata rantai dari satu rantai, tahap-tahap dari satu evolusi"*.
*
Laporan Konferensi ke-VIII Bund, 1911, hlm. 62.
Bertolak
dari
memperjuangkan
sini
konferensi
"pembaruan
memutuskan
komunita
Yahudi
perlu dan
pengubahannya dengan jalan legislatif menjadi lembaga duniawi", yang diorganisasi** secara demokratis (kursif dari kami — Y.St.). Jelaslah bahwa Bund menganggap sebagai syarat serta jaminan bukanlah
pendemokrasian
Rusia,
melainkan
"lembaga
duniawi" dari orang-orang Yahudi di masa depan, yang diperoleh dengan jalan "pembaruan komunita Yahudi", boleh dibilang, dengan jalan "legislatif", melalui Duma. Tetapi sudah kita lihat bahwa "lembaga-lembaga" tanpa tata tertib demokratis dalam seluruh negara dengan sendirinya tak dapat menjadi "jaminan". Nah,
tetapi,
bagaimana
keadaannya
di
bawah
sistim
demokratis di masa depan? Tidakkah "lembaga-lembaga kebudayaan" khusus "yang menjamin", dsb., akan diperlukan juga di bawah demokratisme? Dalam hal ini bagaimana keadaannya, misalnya, di Swis yang demokratis itu? Adakah di Swis lembaga-lembaga kebudayaan khusus seperti "Dewan
**
Ibid., hlm. 83, 84.
Nasional"nya Springer? Tidak, di sana tidak ada. Tetapi tidakkah
kcpentingan-kepentingan
kebudayaan
dari,
misalnya, orang-orang Italia yang di sana merupakan minoritas, menderita karenanya? Mengenai itu tidak terdengar sesuatu apapun. Dan itu dapat dimengerti pula: demokrasi di Swis membuat segala "lembaga" kebudayaan khusus yang katanya "menjamin", dll., menjadi tidak diperlukan lagi. Jadi, tak berdaya di masa kini, tidak diperlukan di masa depan
—
demikianlah
lembaga-lembaga
otonomi
kebudayaan-nasional, demikianlah otonomi nasional. Tetapi ia menjadi lebih merugikan lagi apabila ia dipaksakan pada suatu "bangsa" yang eksistensi serta hari depannya masih disangsikan. Dalam keadaan demikian itu para pendukung otonomi nasional terpaksa melindungi serta mengawetkan semua kekhasan "bangsa" itu, tidak hanya yang berguna tetapi juga yang merugikan, asalkan "menyelamatkan
bangsa"
dari
asimilasi,
asalkan
"memelihara"nya. Bund secara tak terelakkan pasti menempuh jalan yang berbahaya ini. Dan memang ia menempuh jalan itu. Yang kita maksudkan yalah resolusi-resolusi yang terkenal dari
konferensi-konferensi
Bund
yang
terakhir mengenai
"Sabat", "bahasa Yiddi", dsb. Sosial-demokrasi berjuang untuk memperoleh bagi semua bangsa hak menggunakan bahasa mereka sendiri, tetapi Bund tidak puas dengan ini — ia menuntut supaya "dengan kegigihan istimewa" membela "hak-hak bahasa Yahudi" (kursif dari kami — Y.St.) * , tambahan lagi Bund sendiri dalam pemilihan untuk Duma IV memberikan "pilihannya kepada mereka (yaitu, para pemilih) yang menyanggupi membela hak-hak bahasa Yahudi"**. Bukan hak umum semua bangsa menggunakan bahasa mereka sendiri, melainkan hak khas bahasa Yahudi, bahasa Yiddi! Biar kaum buruh masingmasing bangsa berjuang pertama-tama
untuk
bahasanya
sendiri:
orang-orang
Yahudi berjuang untuk bahasa Yahudi, orang-orang Jorjia untuk bahasa Jorjia, dst. Perjuangan untuk hak umum semua bangsa adalah soal nomor dua. Kalian boleh mengakui juga boleh tidak mengakui hak semua bangsa tertindas menggunakan bahasa mereka sendiri; tetapi jika kalian telah mengakui hak bahasa Yiddi, maka tahulah: Bund akan memberikan suara untuk kalian, Bund akan *
Lihat Laporan Konferensi ke-VIII Bund, hlm. 85. Lihat Laporan Konferensi ke-IX Bund, 1912, hlm. 42.
**
"memilih" kalian. Tetapi lalu apa bedanya Bund dengan kaum nasionalis burjuis? Sosial-demokrasi berjuang untuk ditetapkannya satu hari istirahat wajib dalam seminggu, tetapi Bund tidak puas dengan ini, ia menuntut supaya "proletariat Yahudi" "dengan jalan legislatif" "dijamin hak merayakan Sabat, dengan meniadakan paksaan merayakan hari lainnya"*. Perlu dipertimbangkan bahwa Bund akan mengambil satu "langkah maju" lagi dan menuntut hak merayakan semua hari raya Yahudi kuno. Dan jika, celaka buat Bund, kaum buruh Yahudi telah membuang prasangkaprasangka dan tidak mau merayakan hari-hari raya ini, maka Bund dengan agitasinya untuk "hak merayakan Sabat", akan mengingatkan mereka pada Sabat, akan menanamkan pada mereka, boleh dikatakan, "semangat ke-Sabatan". . . . Karena itu dapat dimengerti sepenuhnya "pidato-pidato berapi-api" para orator dalam Konferensi Ke-VIII Bund
*
Lihat Laporan Konferensi ke-VIII Bund, hlm. 83.
yang menuntut "rumah-rumah sakit Yahudi", tambahan lagi tuntutan ini didasarkan pada alasan bahwa "seorang pasien merasa lebih kerasan di tengah-tengah orangorangnya sendiri", bahwa "seorang buruh Yahudi akan merasa tidak senang berada di tengah-tengah kaum buruh Polandia, ia akan merasa senang berada di tengah-tengah pemilik-pemilik toko Yahudi" ** . Memelihara apa saja yang bersifat Yahudi, mengawetkan semua kekhususan nasional orang-orang Yahudi, sampai pada
kekhususan-kekhususan
yang
nyata-nyata
merugikan proletariat, memisahkan orang-orang Yahudi dari segala sesuatu yang tidak bersifat Yahudi, bahkan sampai mendirikan rumah-rumah sakit khusus — sampai sejauh itulah merosotnya Bund! Kawan
Plekhanov
seribu
kali
benar
ketika
ia
mengatakan bahwa Bund "menyesuaikan sosialisme dengan nasionalisme". Tentu saja, WI. Kossovski dan Bundis-Bundis sebangsa dia dapat mencaci Plekhanov sebagai seorang demagog * 21) — kertas akan tahan dengan apa saja yang tertulis di atas nya — tetapi mereka yang mengenal kegiatan-kegiatan Bund tidak ** *
Ibid., hlm. 68. Lihat Nasya Zarya, No 9-10. Hlm. 120.
sukar untuk mengerti bahwa orang-orang yang berani ini betul-betul takut mengatakan yang sebenarnya mengenai diri mereka sendiri dengan bersembunyi dibelakang kata keras "demagogi". . . . Tetapi karena berpegang pada pendirian demikian itu mengenai masalah nasional, maka Bund wajar kalau dalam
soal organisasi
juga
pasti
mengambil jalan
mengasingkan kaum buruh Yahudi, jalan pembentukan kuria-kuria 22)
nasional
di
dalam
social-demokrasi.
Demikianlah pasti logika otonomi nasional! Dan memang Bund beralih dari teori "satu-satunya perwakilan" ke teori "demarkasi nasional" kaum buruh. Bund menuntut supaya sosial-demokrasi Rusia "di dalam struktur organisasinya membuat demarkasi menurut bangsa-bangsa" **23. Dari "demarkasi" ia mengambil suatu "langkah maju" ke teori "pengasingan". Bukan tanpa alasan bahwa dalam Konferensi Ke-VIII Bund terdengar pidato-pidato bahwa "dalam pengasingan itu terletak eksistensi nasional" *. Federalisme di bidang organisasi mengandung unsur-unsur ** *
Lihat Pengumuman Tentang Kongres Ke-VII Bund Lihat Laporan Konferensi Ke-VIII Bund, hlm. 72.
(23),
hlm. 7.
disintegrasi dan separatisme. Bond menuju separatisme. Dan, memang, tiada tempat lain lagi yang dapat ia tuju. Eksistensinya itu sendiri sebagai organisasi ekstratcritorial mendorongnya ke jalan separatisme. Bund tidak memiliki satu wilayah integral tertentu; ia bekerja di wilayah-wilayah
"asing",
sedang
sosial-demokrasi
Polandia, Latvia dan Rusia tetangga adalah kolektifkolektif teritorial-internasional. Tetapi akibatnya yalah bahwa setiap peluasan dari kolektif-kolektif ini berarti "kerugian"
bagi
Bund
dan
penyempitan
lapangan
kegiatannya. Salah satu di antara dua: atau seluruh sosial-demokrasi Rusia harus dibangun kembali atas dasar federalisme nasional — maka Bund memperoleh kemungkinan "merebut" proletariat Yahudi untuk dirinya sendiri; atau prinsip teritorial-internasional dari kolektifkolektif ini tetap berlaku — maka Bund harus dibangun kembali
atas
dasar
internasionalisme,
sebagaimana
terjadi dalam sosial-demokrasi Polandia dan Latvia. Ini juga menerangkan mengapa Bund sejak semula menuntut "pereorganisasian sosial-demokrasi Rusia atas dasar federal"*.
*
Lihat Mengenai Otonomi Nasional Dan Reorganisasi Sosial-Demokrasi Rusia Atas Dasar Federal, 1902, diterbitkan oleh Bund.
Dalam tahun 1906 Bund, yang mengalah kepada desakan persatuan dari bawah, memilih jalan tengah dengan masuk sosial-demokrasi Rusia. Tetapi bagaimana ia masuk
sosial-demokrasi
Rusia
itu?
Sedang
sosial-
demokrasi Polandia dan Latvia menggabungkan diri untuk bekerja bersama secara damai, tetapi Bund menggabungkan diri dengan tujuan melakukan perang untuk federasi. Inilah yang dikatakan oleh Medem, pemimpin kaum Bundis, pada waktu itu: "Kita menggabungkan diri bukan demi hidup tenang bahagia, melainkan untuk berjuang. Hidup tenang bahagia tidak ada, dan hanya orang -orang sebangsa Manilov 24) yang dapat mengharapkan hidup tenang bahagia di masa dekat. Bund harus masuk Partai dengan dipersenjatai dari kepala sampai kaki" ** . Adalah salah kalau menganggap itu sebagai niat jahat Medem. Soalnya bukan niat jahat, melainkan pendirian khas Bund, yang karenanya ia tidak bisa tidak berjuang melawan sosial-demokrasi Rusia, yang dibangun atas dasar internasionalisme. Dalam berjuang melawannya itu
**
Bund
wajar
kalau
melanggar
Nashe Slowo, No. 3, Wilno, 1906, hlm. 24.
kepentingan-
kepentingan kesatuan. Akhirnya, keadaannya sampai demikian rupa sehingga Bund secara formil memutuskan hubungan
dengan
sosial
demokrasi
Rusia,
dengan
melanggar peraturan dasar dan dalam pemilihan untuk Duma IV bergabung dengan kaum nasionalis Polandia menentang kaum sosial-demokrat Polandia. Bund rupanya berpendapat bahwa pemutusan hubungan adalah jaminan yang sebaik-baiknya bagi kegiatannya yang bebas. Jadi "prinsip" "demarkasi" di bidang organisasi menuju separatisme, menuju pemutusan hubungan sepenuhnya. Dalam berpolemik dengan Iskra25) lama mengenai federalisme, Bund suatu ketika menulis: "lskra hendak meyakinkan kita bahwa hubungan-hubungan federal antara Bund dengan sosial-demokrasi Rusia pasti melemahkan hubungan di antara mereka. Kita tak dapat membantah pendapat ini dengan menunjuk kepada praktek di Rusia, karena alasan sederhana saja bahwa sosialdemokrasi Rusia berdiri tidak sebagai gabungan federal. Tetapi kita dapat menunjuk kepada pengalaman yang sangat mengandung pelajaran dari sosial-demokrasi di
Austria yang berwatak federal berdasarkan keputusan Kongres Partai pada tahun 1897" * . Itu ditulis dalam tahun 1902. Tetapi kita sekarang berada dalam tahun 1913. Sekarang kita
mempunyai
baik
"praktek"
Rusia
maupun
"pengalaman sosial-demokrasi Austria". "Praktek" Rusia dan "pengalaman sosial-demokrasi Austria" itu berbicara apa? Marilah kita mulai dengan "pengalaman yang sangat mengandung pelajaran dari sosial-demokrasi Austria". Sejak sebelum tahun 1896 di Austria terdapat partai sosial-demokrat yang bersatu. Pada tahun itu orangorang Ceko dalam Kongres Internasional di London untuk pertama kalinya menuntut perwakilan yang tersendiri dan dikabulkan. Pada tahun 1897, dalam Kongres Partai di Wina (di Wimberg), partai yang bersatu itu secara formil dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan suatu liga federal dari enam "grup sosial-demokrat" nasional. Selanjutnya "grup-grup" ini berubah menjadi partai--
*
Otonomi Nasional, dsb., 1902, hlm. 17, diterbitkan oleh Bund.
partai yang berdiri sendiri-sendiri. Partai-partai itu lamakelamaan putus hubungan satu dengan lainnya. Sesudah partai kemudian pecahlah fraksi dalam parlemen — "klub-klub" nasional dibentuk. Lalu menyusul serikatserikat buruh yang juga pecah menurut bangsa. Sampai koperasi-koperasipun terkena, dan perpecahan koperasikoperasi itu diserukan kepada kaum buruh oleh kaum separatis Ceko *26. Kita tidak usah berbicara lagi tentang hal bahwa agitasi separatis melemahkan rasa setia kawan kaum buruh dengan tidak jarang mendorong mereka ke jalan pematahan pemogokan. Jadi, "pengalaman yang sangat mengandung pe lajaran dari sosial-demokrasi Austria" berbicara kontra-Bund dan pro-lskra lama. Federalisme dalam partai Austria telah menuju separatisme yang sangat tidak patut, menuju penghancuran kesatuan gerakan buruh. Telah kita lihat di atas bahwa "praktek di Rusia" mengatakan demikian juga. Kaum separatis Bundis, seperti juga kaum separatis Ceko, telah memutuskan hubungan dengan sosial-demokrasi Rusia yang umum. Adapun *
serikat-serikat
buruh,
serikatserikat
Lihat kata-kata yang dikutip dari brosur Waneck des Separatismus, hlm. 29.
(26
buruh
) dalam Dokumente
Bundis, dari semula mereka diorganisasi menurut prinsipprinsip kebangsaan, artinya, serikat-serikat buruh itu direnggut dari kaum buruh bangsa-bangsa lain. Pengasingan sepenuhnya, pemutusan hubungan sepenuhnya — itulah yang ditunjukkan oleh "praktek" federalisme "Rusia". Tidaklah
mengherankan
kalau
pengaruh
keadaan
demikian itu atas kaum buruh ialah melemahkan rasa setia kawan mereka dan mendemoralisasi mereka; dan lagi proses yang tersebut belakangan itu juga menyusup ke dalam Bund. Yang kita maksudkan ialah semakin seringnya bentrokan-bentrokan antara kaum buruh Yahudi
dengan
kaum
buruh
Polandia
karena
pengangguran. Inilah macam pidato yang terdengar dalam Konferensi Ke-IX Bund mengenai hal itu: "... Kita anggap kaum buruh Polandia, yang mendesak kita, sebagai pogromis-pogromis, sebagai orang-orang kuning, kita tidak mendukung pemogokan-pemogokan mereka, kita patahkan pemogokan-pemogokan mereka itu. Kedua, kita jawab pendesakan dengan pendesakan: sebagai jawaban terhadap tidak diperbolehkannya buruh -buruh Yahudi masuk pabrik, kita tidak memperbolehkan buruh -buruh Polandia berada dekat bangku kerja.... Jika kita tidak
menangani sendiri soal ini maka kaum b urub akan mengikuti orang lain" * (kursif dari kami — Y. St.). Demikianlah mereka berbicara tentang setia kawan dalam konferensi Bundis. Orang tak dapat pergi lebih jauh daripada itu di jalan "demarkasi" dan "pengasingan". Bund telah mencapai tujuan: ia menarik garis batas pemisah di antara kaum buruh
berbagai
bangsa
sampai
pada
perkelahian,
pematahan pemogokan. Tidak bisa lain: "jika kita tidak menangani sendiri soal ini maka kaum burub akan mengikuti orang lain". . . . Kekacauan gerakan buruh, demoralisasi dalam barisanbarisan sosial-demokrasi — ke situlah federalisme Bund menuju. Dengan demikian, ide otonomi kebudayaan nasional, suasana yang diciptakannya, telah terbukti lebih-lebih lagi merugikannya di Rusia daripada di Austria.
*
Lihat Laporan Konferensi Ke-IX Bund, hlm. 19.
VI ORANG-ORANG KAUKASUS, KONFERENSI KAUM LIKWIDATOR Di atas sudah kita bicarakan tentang kegoyangan-kegoyangan sebagian kaum sosial-demokrat Kaukasus yang tidak tahan "wabah" nasionalis. Kegoyangan-kegoyangan ini terungkap dalam hal bahwa kaum sosial-demokrat tersebut di atas mengikuti,
walaupun
itu
aneh,
jejak
Bund,
dengan
memproklamasikan otonomi kebudayaan-nasional. Otonomi daerah bagi seluruh Kaukasus dan otonomi kebudayaan-nasional bagi bangsa-bangsa yang merupakan bagian Kaukasus — demikianlah cara kaum sosial-demokrat itu, yang sambil lalu harus dikatakan menggabungkan diri dengan kaum likwidator Rusia, merumuskan tuntutan mereka. Dengarlah pemimpin mereka yang sudah diakui, N.27) yang bukan tidak terkenal itu. "Semua tahu bahwa Kaukasus sangat berbeda dengan guberniagubernia tengah, baik mengenai komposisi ras penduduknya maupun mengenai wilayah dan perkembangan pertaniannya. Eksploitasi dan pengembangan materiil daerah demikian itu
memerlukan pekerja-pekerja lokal, ahli-ahli kekhususan lokal, yang sudah terbiasa dengan iklim serta kebudayaan lokal. Perlu agar
semua
undang-undang
yang
ditujukan
untuk
mengeksploitasi wilayah lokal dikeluarkan di tempat dan dilaksanakan oleh kekuatan setempat. Maka itu, dalam kewenangan badan pusat pemerintahan-sendiri Kaukasus termasuk pembuatan undang-undang mengenai masalahmasalah setempat.... Dengan demikian, fungsi pusat Kaukasus berupa pembuatan undang-undang yang ditujukan untuk mengeksploitasi ekonomi wilayah setempat, untuk mencapai kemakmuran materiil daerah"*28. Jadi — otonomi daerah bagi Kaukasus. Jika kita menyimpang dari argumen-argumen N. yang agak kacau dan tidak ada ujung-pangkalnya itu, maka harus diakui bahwa kesimpulannya tepat. Otonomi daerah bagi Kaukasus, yang berlaku dalam bingkai konstitusi negara yang umum, yang juga tidak dipungkiri oleh N. — sebenarnya perlu karena kekhususan-kekhususan komposisinya serta syarat-syarat kehidupannya. Ini diakui juga oleh sosial demokrasi Rusia, yang
pada
Kongresnya
yang
Ke-II
memproklamasikan
"pemerintahan-sendiri daerah bagi daerah-daerah perbatasan *
(28),
Kita lihat surat kabar Jorjia Cweni Tskhovreba (Kehidupan Kita) 12, 1912.
No.
yang menurut syarat-syarat kehidupan dan komposisi penduduknya berbeda dengan daerah-daerah Rusia sendiri". Martov, ketika mengajukan fasal ini untuk didiskusikan dalam Kongres Ke-II, mengemukakan alasan-alasan bahwa "maha luasnya Rusia dan pengalaman pemerintahan kita yang terpusat memberi alasan kepada kita untuk menganggap perlu serta efektif adanya pemerintahan-sendiri daerah bagi
kesatuan-kesatuan
besar
seperti
Finlandia,
Polandia, Lithuania dan Kaukasus". Tetapi dari sini jelas bahwa pemerintahan-sendiri daerah perlu diartikan sebagai otonomi daerah. Tetapi N. meneruskan lebih lanjut. Menurut pendapatnya,
otonomi
daerah
bagi
Kaukasus
"hanya
meliputi satu segi dari persoalannya". "Hingga
kini
perkembangan
kita materiil
hanya
berbicara
kehidupan
lokal.
tentang Tetapi
perkembangan ekonomi suatu daerah dibantu tid ak hanya oleh aktivitas ekonomi saja tetapi juga oleh aktivitas spirituil, aktivitas kebudayaan".... "Bangsa yang kuat dalam kebudayaan adalah kuat di bidang ekonomi juga".... "Tetapi perkembangan kebudayaan bangsa -
bangsa hanyalah mungkin di dalam bahasa nasional".... "Karena itu semua soal yang berkaitan dengan bahasa ibu adalah soal-soal kebudayaan nasional. Soal-soal demikian itu ialah soal-soal pendidikan, pengadilan, gereja, kesusasteraan, seni, ilmu, teater, dsb. Jika perkembangan materiil suatu daerah mempersatukan bangsa-bangsa,
maka
mencerai-beraikan
hal-hal
mereka
dengan
masing-masing
dari
sendiri-sendiri.
Aktivitas-aktivitas
berhubungan
dengan
mereka
kebudayaan-nasional
di
wilayah
menempatkan
lapangan
kegiatan
macam
pertama
tertentu"....
"Tidak
demikian halnya dengan hal-hal kebudayaan-nasional. Hal-hal ini tidak berhubungan dengan wilayah tertentu tetapi dengan eksistensi suatu bangsa tertentu. Nasib bahasa Jorjia menarik perhatian seorang Jorjia, tak peduli di mana ia tinggal. Adalah kebo dohan besar mengatakan
bahwa
kebudayaan
Jorjia
hanya
bersangkutan dengan orang-orang Jorjia yang bertempat tinggal di Jorjia. Ambillah, misalnya, gereja Armenia. Orang-orang Armenia dari berbagai tempat dan negara bagian ambil bagian dalam menyelenggarakan urusanurusannya. Di sini wilayah tidak memainkan peranan apapun. Atau, misalnya, pembangunan museum Jorjia tidak hanya menarik perhatian orang-orang Jorjia di Tiflis tetapi juga orang-orang Jorjia di Baku, Kutais, St.
Petersburg, dll. Jadi, pengurusan dan pimpinan atas semua urusan kebudayaan-nasional harus diserahkan kepada bangsa-bangsa yang bersangkutan itu sendiri. Kita memproklamasikan otonomi kebudayaan -nasional bagi bangsa-bangsa Kaukasus" * . Pendeknya: karena kebudayaan adalah bukan wilayah dan wilayah bukanlah kebudayaan, maka diperlukan otonomi kebudayaan-nasional. Itulah semua yang dapat dikatakan N. demi kepentingan otonomi kebudayaannasional. Disini
kita
tidak
akan
menyinggung
lagi
otonomi
kebudayaan nasional pada umumnya: diatas kita sudah membicarakan wataknya yang negative. Kita hanya mau menyebutkan bahwa otonomi kebudayaan nasional yang tidak cocok pada umumnya, juga tidak mempunyai arti dan nonsen dilihat dari sudut syarat-syarat Kaukakus. Dan inilah sebabnya: Otonomi kebudayaan-nasional itu mensyaratkan bangsabangsa yang sedikit-banyak maju, dengan kebudayaan
*
Lihat surat kabar Jorjia Cweni Tskhovreba, No. 12, 1912.
dan kesusasteraan yang maju. Tanpa syarat-syarat ini otonomi itu kehilangan segala artinya, menjadi nonsen. Tetapi di Kaukasus terdapat sejumlah suku bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan yang primitif, mempunyai
bahasa
tersendiri,
tetapi
tanpa
kesusasteraannya sendiri; dan lagi suku-suku bangsa yang berada dalam keadaan peralihan, sebagian terasimilasi, sebagian lagi terus berkembang. Bagaimana mentrapkan otonomi kebudayaan-nasional pada mereka? Apa yang harus dilakukan dengan suku-suku bangsa demikian itu? Bagaimana
"mengorganisasi"
mereka
menjadi
uni
kebudayaan-nasional yang tersendiri-sendiri, yang pasti dimaksudkan olch otonomi kebudayaan nasional? Apa
yang
harus
dilakukan
dengan
orang-orang
Mingrelia, orang-orang Abkhasia, orang-orang Adzyaria, orang-orang Swanctia, orang-orang Lesghia, dst., yang berlain-lainan
bahasanya
tetapi
tidak
memiliki
kesusasteraan mereka sendiri? Harus digolongkan ke dalam bangsa-bangsa mana mereka itu? Dapatkah mereka "diorganisasi" menjadi uni-uni nasional? Sekitar "urusan-urusan
kebudayaan"
apa
mereka
harus
"diorganisasi"? Apa yang harus dilakukan dengan orang-orang Osetia,
yang di antaranya orang-orang Osetia Transkaukasus menjadi
terasimilasi
(tetapi
masih
jauh
daripada
terasimilasi) oleh orang-orang Jorjia, sedang orang-orang Osetia Cis-Kaukasus sebagian diasimilasi oleh orang-orang Rusia,
sebagian
lagi
terus
berkembang
dengan
menciptakan kesusasteraan mereka sendiri? Bagaimana seharusnya "mengorganisasi" mereka menjadi satu uni nasional yang tunggal? Ke dalam uni nasional mana orang harus menggolongkan orang-orang Adzyaria, yang berbahasa Jorjia, tetapi yang kebudayaannya adalah kebudayaan Turki dan yang menganut agama Islam? Haruskah mereka "diorganisasi" terpisah dari orang-orang Jorjia berhubungan dengan urusan keagamaan dan "diorganisasi" bersama dengan orang Jorjia berhubungan dengan urusan kebudayaan lainnya? Dan bagaimana dengan orang-orang Kobuletia? Dan orang-orang Ingusy? Dan orang-orang Ingiloi? Otonomi macam apa yang mengeluarkan sejumlah suku bangsa dari daftar? Tidak, ini bukanlah pemecahan bagi masalah nasional ini adalah buah khayalan kosong.
Tetapi baiklah kita mengiakan yang tidak mungkin dan mengandaikan bahwa otonomi kebudayaan nasional dari N. kita itu sudah dilaksanakan. Ke mana ia menuju, apa akibatnya?
Ambillah,
misalnya,
orang-orang
Tatar
Transkaukasus, dengan persentase melek huruf mereka yang paling rendah, dengan sekolah-sekolah mereka di bawah pimpinan para mullah yang maha kuasa, dengan kebudayaan mereka diresapi oleh semangat keagamaan. . . . Tidaklah sukar untuk mengerti bahwa "mengorganisasi" mereka menjadi suatu uni kebudayaan nasional akan berarti menempatkan mereka di bawah pimpinan para mullah, akan berarti menyerahkan mereka kepada kekuasaan sepenuhnya para mullah yang reaksioner, akan berarti menciptakan benteng baru bagi pembudakan spirituil atas massa Tatar oleh musuh mereka yang terjahat. Tetapi sejak kapan kaum sosial-demokrat melakukan sesuatu yang menguntungkan kaum reaksioner? Memisahkan orang-orang Tatar Transkaukasus di dalam uni kebudayaan-nasional yang akan menempatkan massa di bawah perbudakan kaum reaksioner yang paling jahat —
masa
kaum
likwidator
Kaukasus
tidak
memproklamasikan sesuatu yang lebih baik?
dapat
Tidak, ini bukanlah pemecahan bagi masalah nasional. Masalah nasional di Kaukasus dapat dipecahkan hanya dengan memasukkan bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa yang kasep ke dalam arus umum kebudayaan yang tinggi. Hanya pemecahan demikianlah yang bisa merupakan pemecahan progresif dan bisa diterima sosial-demokrasi. Otonomi dacrah di Kaukasus dapat diterima juga karena ia memasukkan perkembangan
bangsa-bangsa kebudayaan
yang
kasep
yang
umum,
ke ia
dalam akan
membantu mereka keluar dari batok pengisolasian diri bangsa kecil, ia akan mendorong mereka maju dan memudahkan mereka mencapai manfaat kebudayaan yang tinggi. Tetapi sebenarnya otonomi kebudayaan nasional berlaku ke arah yang langsung berlawanan, karena ia mengunci bangsa-bangsa di dalam batok lama mereka, mengikat mereka pada taraf perkembangan kebudayaan yang lebih rendah, menghalangi mereka meningkat ke taraf kebudayaan yang lebih tinggi. Dengan demikian otonomi nasional melumpuhkan segi-segi positif otonomi daerah, mengubah otonomi daerah menjadi nol.
Justru itulah sebabnya maka tipe otonomi campuran yang mengkombinasikan otonomi kebudayaan nasional dengan otonomi daerah seperti yang diusulkan oleh N. juga tidak cocok. Pengkombinasian yang tidak wajar ini tidak memperbaiki
tetapi
memperburuk
keadaan,
karena
kecuali menahan perkembangan bangsa-bangsa yang kasep ia mengubah otonomi daerah menjadi gelanggang konflik di antara bangsa-bangsa yang diorganisasi menjadi uni-uni nasional. Jadi, otonomi kebudayaan-nasional, yang pada umumnya tidak cocok, akan berubah menjadi suatu usaha yang tidak masuk akal, yang reaksioner di Kaukasus. Demikianlah
mengenai
otonomi
kebudayaan-
nasionalnya N. beserta konco-konconya orang Kaukasus yang sefikiran. Apakah kaum likwidator Kaukasus akan meng ambil "suatu langkah maju" dan apakah akan mengikuti jejak Bund mengenai soal organisasi juga masa depan yang akan menunjukkan. Sampai sekarang dalam sejarah sosial-demokrasi federalisme dalam organisasi selalu mendahului otonomi nasional dalam program. Kaum sosial-demokrat
Austria
sudah
sejak
tahun
1897
menjalankan federalisme dalam organisasi, dan baru dua tahun kemudian (1899) menerima otonomi nasional. Kaum Bundis pertama kali mulai bicara dengan tegas tentang otonomi nasional dalam tahun 1901, sedang federalisme dalam organisasi mereka praktekkan sudah sejak tahun 1897. Kaum likwidator Kaukasus memulai dari akhir, dari otonomi nasional. Jika mereka terus mengikuti jejak Bund, maka mereka harus lebih dulu merobohkan seluruh gedung organisasi yang sekarang, yang didirikan sudah pada akhir tahun 90-an atas dasar intcrnasionalisme. Tetapi begitu mudah menerima otonomi nasional yang masih belum dimengerti kaum buruh, namun begitu sukar merobohkan suatu gedung yang telah dibangun bertahun-tahun
dan
yang
telah
dipelihara
serta
dipupuk oleh kaum buruh dari semua bangsa di Kaukasus. Usaha Herostratis 29) ini begitu dimulai, kaum buruh akan terbuka matanya dan melihat hakekat nasionalistis otonomi kebudayaan nasional. -----------------------
Sedang orang-orang Kaukasus memecahkan masalah nasional menurut cara biasa, dengan jalan perdebatan lisan dan diskusi tertulis, Konferensi se-Rusia kaum likwidator telah mereka-reka cara yang sama sekali luar biasa. Cara yang sederhana dan mudah. Dengarlah ini: "Setelah mendengar pemberitahuan delegasi Kaukasus tentang perlunya mengajukan tuntutan otonomi nasional, maka konferensi ini, dengan tidak menyatakan pendapat mengenai hakekat tuntutan ini, menyatakan bahwa pentafsiran yang demikian itu mengenai fasal dalam program, yang mengakui hak setiap bangsa menentukan nasib
sendiri,
tidak
berlawanan
dengan
arti
yang
setepatnya dari program". Jadi, pertama-tama "tidak menyatakan pendapat mengenai hakekat" persoalannya, dan kemudian "menyatakan". Suatu metode yang orisinil.. . . "Menyatakan" apa konferensi yang orisinil itu? Bahwa
"tuntutan"
otonomi
kebudayaan-nasional itu
"tidak berlawanan dengan arti yang setepatnya" dari program, yang mengakui hak bangsa-bangsa menentukan
nasib sendiri. Marilah kita periksa dalil ini. Fasal tentang menentukan nasib sendiri berbicara tentang
hak-hak
bangsa-bangsa.
Menurut
fasal
ini
bangsa-bangsa berhak tidak hanya berotonomi tetapi juga memisahkan diri. Soalnya ialah tentang menentukan nasib sendiri dalam politik. Siapa yang hendak ditipu oleh kaum likwidator ketika mereka berusaha menyalah tafsirkan
secara
serampangan
hak
bangsa-bangsa
menentukan nasib sendiri dalam politik ini yang sudah lama diakui oleh seluruh sosial demokrasi internasional? Atau
barangkali
dengan otonomi
membela
kaum diri
likwidator dengan
kebudayaan-nasional
mulai
mengelak
sofisme 30: "tidak
katanya,
berlawanan
dengan" hak-hak bangsa-bangsa? Artinya, jika semua bangsa di negara tertentu setuju untuk mengatur hidup mereka atas dasar otonomi kebudayaan nasional, maka mereka, jumlah bangsa-bangsa tertentu itu, sepenuhnya berhak berbuat demikian dan tak seorangpun bisa memaksakan dengan kekerasan bentuk kehidupan politik yang lain pada mereka. Ini adalah baru dan juga pintar. Tidakkah seharusnya ditambahkan bahwa bangsa-bangsa,
berbicara
secara
umum,
berhak
menghapuskan
konstitusinya sendiri, menggantinya dengan sistim tirani, kembali pada tata tertib lama karena bangsa, dan hanya bangsa itu sendiri, berhak untuk menentukan nasibnya sendiri? Kita ulangi: dalam artian ini baik otonomi kebudayaan-nasional maupun kereaksioneran nasional apapun "tidak berlawanan" dengan hak-hak bangsabangsa. Itukah yang hendak dikatakan oleh konferensi yang terhormat itu? Bukan, bukan itu. Ia secara terus terang mengatakan bahwa otonomi kebudayaan-nasional "tidak berlawanan" bukan
dengan
hak-hak
bangsa-bangsa,
melainkan
"dengan arti yang setepatnya" dari program. Soalnya di sini ialah program dan bukan hak-hak bangsa-bangsa. Ini juga dapat dimengerti. Jika seandainya ada sesuatu bangsa menegur konferensi kaum likwidator, maka konferensi itu mungkin langsung menyatakan bahwa bangsa berhak berotonomi kebudayaan nasional. Tetapi bukan suatu bangsa yang telah menegur konferensi itu melainkan suatu "delegasi" dari kaum sosial-demokrat Kaukasus — kaum sosial-demokrat yang jelek, benar,
tetapi tokh kaum sosial-demokrat. Dan yang mereka tanyakan apakah
bukan otonomi
hak-hak
bangsa-bangsa,
kebudayaan-nasional
melainkan
berkontradiksi
dengan prinsip-prinsip sosial-demokrasi, apakah ia tidak "berlawanan" dengan "arti yang setepatnya" dari program sosial-demokrasi. Jadi, hak-hak bangsa-bangsa dan "arti yang setepatnya" dari program sosial-demokrasi — bukanlah satu hal yang sama. Teranglah bahwa ada tuntutan-tuntutan yang, dengan tidak berlawanan dengan hak-hak bangsa-bangsa, bisa berlawanan
dengan
"arti
yang
setepatnya"
dari
program. Misalnya. Dalam program kaum sosial-demokrat terdapat fasal tentang kebebasan memeluk agama. Menurut fasal ini setiap kelompok orang berhak menganut agama apa raja: katolisisme, agama Gereja Ortodoks, dsb. Sosialdemokrasi akan berjuang menentang setiap bentuk represi terhadap agama, menentang pengejaran terhadap orang-orang Gereja Ortodoks, orang-orang Katolik dan orang-orang
Protestan.
Apakah
ini
berarti
katolisisme, protestantisme, dsb., "tidak
bahwa
berlawanan
dengan arti yang setepatnya" dari program? Tidak, tidak berarti demikian. Sosial-demokrasi akan selalu memprotes pengejaran terhadap katolisisme dan protestantisme, ia akan selalu membela hak bangsa-bangsa menganut agama apapun, tetapi bersamaan dengan itu ia, dengan bertolak dari pengertian yang tepat mengenai kepentingan-kepentingan proletariat, akan melakukan agitasi dan menentang baik katolisisme, protestantisme maupun
agama
Gereja
Ortodoks
untuk
mencapai
kemenangan pandangan dunia sosialis. Dan ia akan melakukan itu karena protestantisme, katolisisme, agama Gereja Ortodoks, dsb., tiada ragu "berlawanan dengan arti yang setepatnya" dari program, yaitu dengan kepentingan-kepentingan proletariat yang difahami secara tepat. Begitu juga halnya dengan menentukan nasib sendiri. Bangsa-bangsa berhak mengatur hidup mereka menurut kehendak mereka, mereka berhak memelihara setiap lembaga nasional mereka, baik yang merugikan maupun yang berfaedah — tak seorangpun dapat (tak seorangpun berhak!)
campur
tangan
dengan
kekerasan
dalam
kehidupan suatu bangsa. Tetapi ini belum berarti bahwa social demokrasi tidak akan berjuang serta beragitasi
menentang
lembaga-lembaga
bangsa-bangsa
yang
merugikan, menentang tuntutan-tuntutan bangsabangsa yang
tidak
berkewajiban
layak.
Sebaliknya,
melakukan
agitasi
sosial-demokrasi demikian
itu
dan
mempengaruhi kemauan bangsa-bangsa supaya bangsabangsa itu mengatur hidup mereka dalam bentuk yang paling
sesuai
dengan
kepentingan-kepentingan
proletariat. Justru karena itulah social demokrasi, di samping
memperjuangkan
hak
bangsabangsa
untuk
menentukan nasib sendiri, bersamaan itu pula akan melakukan agitasi, misalnya, menentang pemisahan diri orang-orang Tatar, dan menentang otonomi kebudayaannasional bagi bangsa-bangsa Kaukasus karena keduaduanya, sementara tidak berlawanan dengan hak-hak bangsa-bangsa ini, tetapi berlawanan dengan "arti yang setepatnya" dari program, yaitu dengan kepentingankepentingan proletariat Kaukasus. Teranglah, "hak-hak bangsa-bangsa" dan "arti yang setepatnya" dari program adalah dua bidang yang sama sekali berlainan. Sedang "arti yang setepatnya" dari program proletariat,
menyatakan yang
dirumuskan
kepentingankepentingan secara
ilmiah
dalam
program proletariat, maka hak-hak bangsa-bangsa bisa menyatakan kepentingan-kepentingan sembarang klas —
burjuasi, kaum bangsawan, kaum pendeta, dsb. — bergantung pada kekuatan-kekuatan serta pengaruh klasklas ini. Di sini kewajiban-kewajiban kaum Marxis, di sana hak-hak bangsa-bangsa yang terdiri dari berbagai klas. Hak-hak bangsa-bangsa dan prinsip-prinsip social demokratisme
juga
bisa
"berlawanan"
atau
tidak
"berlawanan" satu sama lain, seperti, kita katakan saja, piramida Kheops bisa berlawanan atau tidak berlawanan dengan konferensi yang terkenal dari kaum likwidator itu. Dua hal itu betul-betul tak dapat diperbandingkan. Tetapi dari hal itu jelas bahwa konferensi yang terhormat itu dengan cara yang sangat tak dapat dimaafkan mengacaukan dua hal yang sama sekali berbeda. Hasilnya yang diperoleh bukan pemecahan masalah nasional melainkan ketidak-masuk-akalan, yang oleh karenanya hak-hak
bangsa-bangsa
demokrasi
"tidak
dan
prinsip-prinsip
berlawanan"
satu
sama
sosiallain
—
karenanya, setiap tuntutan bangsa dapat dipadukan dengan kepentingan-kepentingan proletariat; karena itu tidak ada satu tuntutanpun dari suatu bangsa yang memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri akan "berlawanan dengan arti yang setepatnya" dari program! Mereka tidak menghiraukan logika. . . .
Karena ketidak-masuk-akalan inilah maka lahir resolusi yang mulai sekarang terkenal dari konferensi kaum likwidator, menurut resolusi itu tuntutan otonomi kebudayaan-nasional "tidak berlawanan dengan arti yang setepatnya" dari program. Tetapi konferensi kaum likwidator tidak hanya melanggar hukum-hukum logika. Ia
juga
melanggar
kewajibannya
terhadap
sosial-
demokrasi Rusia dengan mengukuhkan otonomi kebudayaan-nasional. Ia melanggar "arti yang setepatnya" dari program dengan cara sangat pasti, karena sudah umum diketahui bahwa Kongres Ke II, yang menerima program
itu,
dengan
kebudayaan-nasional.
tegas
Inilah
menolak
yang
otonomi
dikatakan
dalam
kongres tersebut mengenai hal ini: "Goldblatt (Bundis) : . Saya memandang perlu didirikannya lembaga-lembaga
khusus
yang
menjamin
kebebasan
perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa, dan itulah sebabnya saya mengusulkan supaya pada paragraf 8 di tambahkan — dan diciptakannya lembaga-lembaga yang akan menjamin mereka dengan kebebasan sepenuhnya
bagi perkembangan kebudayaan' " (ini, sebagaimana diketahui,
adalah
rumusan
Bund
mcngenai
otonomi
kebudayaannasional. — Y. St.). Martinov menunjukkan bahwa lembaga-lembaga umum harus disusun sedemikian rupa sehingga menjamin kepentingan-kepentingan khusus juga. Tidaklah mungkin menciptakan lembaga khusus apapun yang menjamin kebebasan bagi perkernbangan kebudayaan bangsa-bangsa. Yegorov: Mengenai soal bangsa kita hanya dapat menerima usul-usul negatif, yaitu kita menentang setiap pembatasan terhadap bangsa. Tetapi kita, sebagai kaum sosial-demokrat, tidak berkepentingan apakah bangsa ini atau bangsa itu akan berkembang sedemikian itu. Ini adalah suatu proses yang spontan. Koltsov: Para utusan dari Bund selalu merasa tersinggung apabila nasionalisme mereka disebut-sebut. Sementara itu amandemen yang diajukan oleh utusan dari Bund bersifat nasionalis tulen. Dari kita dituntut tindakantindakan ofensif semata-mata untuk mendukung bahkan bangsa-bangsa yang sedang melenyap". Kesudahannya
"amandemen
Goldblatt
ditolak
oleb
mayoritas lawan tiga". Jadi, teranglah bahwa konfcrensi kaum likwidator itu "berlawanan dengan arti setepatnya" dari program. Ia melanggar program. Sekarang kaum likwidator sedang berusaha membenarkan diri
sendiri
Stockholm 31),
dengan yang
menunjuk
katanya
kepada
Kongres
mengukuhkan
otonomi
kebudayaan-nasional. Demikianlah, W. Kossovski menulis: "Seperti diketahui, menurut persetujuan yang diterima dalam Kongres Stockholm, Bund diperkenankan mempertahankan program nasionalnya (sampai ada keputusan mengenai masalah nasional dari kongres umum Partai). Kongres ini mengakui bahwa otonomi kebudayaan-nasional bagaimanapun
tidak
berkontradiksi
dengan
program
umum Partai" * . Tetapi usaha-usaha kaum likwidator itu sia-sia. Kongres di
Stockholm
bahkan
tidak
berfikiran
untuk
mengukuhkan program Bund — ia hanya setuju untuk membiarkan
*
persoalan
itu
Nasya Zarya, No. 9-10, 1912, hlm. 120.
menggantung
untuk
sementara waktu. Kossovski yang berani itu tidak cukup mempunyai
keberanian
untuk
mengatakan
seluruh
kebcnaran. Tetapi fakta-fakta itu berbicara sendiri. Inilah fakta-fakta itu: "Sebuah amandemen diajukan oleh Galin: “Masalah program
nasional
dibiarkan
menggantung
karena
kongres tidak meninjaunya”. (Setuju — 50 suara, menentang — 32.) Suara: apa itu artinya — menggantung? Ketua: Jika kita mengatakan bahwa masalah nasional dibiarkan mcnggantung, itu artinya bahwa Bund bisa mempertahankan kcputusannya mengenai soal ini sampai kongres yang akan datang" ** (kursif dari kami — Y. St.). Sebagaimana orang maklum, kongres bahkan "tidak meninjau" soal program nasional Bund — ia benar-benar membiarkannya "menggantung", dengan membiarkan Bund sendiri memutuskan nasib programnya sampai kongres umum yang akan datang. Dengan kata-kata lain: Kongres Stockholm menghindari soal itu dengan tidak
**
Lihat Nasye Slowo, No. 8, 1906, hlm. 53.
memberikan penilaian mengenai otonomi kebudayaannasional dengan satu atau lain cara. Tetapi konferensi kaum likwidator dengan sangat tegas berusaha memberikan penilaian mengenai
soal itu,
mengakui otonomi kebudayaan-nasional bisa diterima dan mengukuhkannya atas nama program Partai. Perbedaannya menyolok mata. Dengan demikian, kendatipun segala akal-akalan, konferensi kaum likwidator itu tidak mendorong maju masalah nasional selangkahpun. Berbelit-belit di hadapan Bund dan kaum likwidatornasional Kaukasus — itulah yang dapat ia lakukan.
VII MASALAH NASIONAL DI RUSIA Bagi kita tinggal menyarankan suatu pemecahan yang positif mengenai masalah nasional. Kita bertolak dari hal bahwa masalah ini dapat dipecahkan hanya dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan situasi sekarang di Rusia. Rusia berada dalam masa peralihan, ketika kehidupan yang
"normal",
kehidupan
"konstitusionil"
belum
ditegakkan, ketika krisis politik belum dipecahkan. Harihari badai dan "kerumitan" berada di hadapannya. Dari sinilah timbulnya gerakan, gerakan masa sekarang dan masa
mendatang,
yang
tujuannya
yalah
mencapai
pendemokrasian sepenuhnya. Dalam hubungan dengan gerakan inilah masalah nasional harus ditinjau. Jadi, pendemokrasian negeri sepenuhnya adalah dasar dan syarat bagi pemecahan masalah nasional.
Dalam memecahkan masalah itu harus diingat bukan hanya situasi dalam negeri melainkan situasi luar negeri. Rusia terletak di antara Eropa dan Asia, di antara
Austria
dan
Tiongkok.
Pertumbuhan
demokratisme di Asia tak terelakkan. Pertumbuhan imperialisme di Eropa tidak kebetulan. Di Eropa menjadi sesak bagi kapital, dan ia sedang mendesak menyerbu ke negeri-negeri asing mencari pasar-pasar baru,
tenaga
kerja
murah,
lapangan-lapangan
penanaman modal baru. Tetapi hal ini membawa kerumitan-kerumitan di luar negeri dan peperangan. Tak seorangpun dapat mengatakan bahwa Perang Balkan 32) adalah akhir dan bukan awal kerumitankerumitan. Karena itu mungkin sekali terdapat suatu kombinasi situasi dalam dan luar negeri di mana satu atau lain bangsa di Rusia merasa perlu mengajukan dan memecahkan soal kebebasannya. Dan sudah barang tentu bukan urusan kaum Marxis untuk membuat rintangan-rintangan dalam hal demikian itu. Tetapi dari sini jelas bahwa kaum Marxis Rusia tida k bisa tanpa hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri. Jadi, hak menentukan nasib sendiri adalah unsur yang perlu dalam pemecahan masalah nasional.
Selanjutnya. Bagaimana dengan bangsa-bangsa yang berhubung dengan satu atau lain sebab lebih suka berada di dalam bingkai satu keseluruhan? Sudah kita lihat bahwa otonomi kebudayaan nasional tidak cocok. Pertama, ia dibuat-buat dan tak dapat dilaksanakan, karena ia mengusulkan di kumpulkannya secara
dibuat-buat
bangsa
orang-orang yang oleh
kehidupan, kehidupan yang nyata, diceraikan serta dipencarkan ke berbagai penjuru negara. Kedua, ia membangkitkan
nasionalisme,
karena
ia
menuju
pendirian yang menyetujui "pendemarkasian" orang menurut
kuria
nasional,
menuju
pendirian
"pengorganisasian" bangsa-bangsa, menuju pendirian "pemeliharaan"
serta
penanaman
"kekhususan-
kekhususan nasional" — hal yang sama sekali tidak cocok dengan sosial-demokrasi. Bukanlah peristiwa kebetulan bahwa kaum separatis Morawia dalam Reichsrat, sesudah memisahkan
diri
dari
wakil-wakil
sosial-demokrat
Jerman, bersatu dengan wakil-wakil burjuis Morawia dalam satu, boleh dibilang, "kolo" 33) Morawia. Juga bukanlah peristiwa kebetulan bahwa kaum separatis dari Bund telah membikin diri mereka terperosok ke dalam nasionalisme dengan menyanjung-nyanjung "Sabat" dan
"bahasa Yiddi". Di Duma belum ada wakil-wakil Bundis, tetapi di daerah Bund terdapat suatu komunita klerikal 34) reaksioner
Yahudi,
yang
dalam
"lembaga-lembaga
pimpinan"nya Bund menyelenggarakan, sementara ini, "kumpulan"
kaum
buruh
dan
burjuis
Yahudi * .
Demikianlah logika otonomi kebudayaan-nasional. Jadi, otonomi nasional tidak memecahkan masalah. Bagaimana jalan keluarnya? Satu-satunya pemecahan yang tepat yalah otonomi daerah, otonomi
bagi
kesatuan-kesatuan
yang
sudah
begitu
terkristalisasi seperti Polandia, Lithuania, Ukraina, Kaukasus, dll. Keunggulan otonomi daerah berupa, pertamatama, dalam hal bahwa otonomi daerah itu tidak berurusan dengan khayalan
tanpa
wilayah,
tetapi
berurusan
dengan
penduduk tertentu yang mendiami wilayah tertentu. Kemudian, ia tidak membagi-bagi orang menurut bangsa, ia tidak memperkokoh sekatsekat nasional — sebaliknya, ia
merobohkan
sekatsekat ini
dan
mempersatukan
penduduk sedemikian rupa sehingga membuka jalan bagi *
Lihat Laporan Konferensi Ke-VII Bund, bagian penutup resolusi tentang komunita.
pembagian
macam
Akhirnya,
ia
lain,
pembagian
memberikan
menurut
kemungkinan
klas. untuk
menggunakan dengan cara yang sebaik-baiknya kekayaan alam di daerah dan mengembangkan tenaga-tenaga produktifnya
tanpa
menunggu
keputusan-keputusan
pusat umum — fungsi-fungsi yang bukan merupakan ciri khas bagi otonomi kebudayaan-nasional. Jadi, otonomi daerah adalah unsur yang perlu dalam pemecahan masalah nasional. Tak ragu bahwa tidak satupun dari daerah-daerah itu merupakan keseragaman nasional yang kompak, karena masing-masing minoritas.
di
dalamnya
Demikianlah
terdapat
halnya
bangsabangsa
dengan
orang-orang
Yahudi di Polandia, orang-orang Latvia di Lithuania, orang-orang Rusia di Kaukasus, orangorang Polandia di Ukraina, dst. Karena itu bisa dikuatirkan minoritas minoritas
itu
akan
ditindas
oleh
bangsa-bangsa
mayoritas. Tetapi kekuatiran itu beralasan hanya jika negeri tetap berada dalam tata tertib lama. Berilah demokratisme yang penuh kepada negeri, maka hilanglah segala alasan untuk kuatir. Diusulkan supaya minoritas-minoritas yang terpencar-
pencar itu diikat menjadi satu uni nasional yang tunggal. Tetapi yang diperlukan minoritasminoritas bukan uni yang dibuat-buat, melainkan hak-hak yang nyata di tempat-tempat mereka. Apa yang dapat diberikan oleh uni demikian itu kepada mereka tanpa pendemokrasian sepenuhnya? Atau: apa perlunya uni nasional dengan adanya pendemokrasian sepenuhnya? Apakah yang terutama menggelisahkan bangsa minoritas? Suatu minoritas merasa tidak puas bukan karena tidak ada uni nasional tetapi karena tidak ada hak untuk menggunakan
bahasa
ibu.
Perkenankanlah
ia
menggunakan bahasa ibu, maka akan hilanglah ketidakpuasan itu dengan sendirinya. Suatu minoritas merasa tidak puas bukan karena tidak ada uni yang dibuat-buat melainkan karena ia tidak memiliki sekolah-sekolahnya sendiri. Berilah ia sekolahsekolahnya sendiri maka akan lenyaplah segala alasan bagi ketidakpuasan itu. Suatu minoritas merasa tidak puas bukan karena tidak ada uni nasional, melainkan karena tidak ada kebebasan berkeyakinan
(kebebasan
beragama),
kebebasan
bergerak, dll. Berilah ia kebebasan-kebebasan ini, maka ia tak akan lagi merasa tak puas. Jadi,
persamaan
hak
bangsa-bangsa
dalam
segala
bentuknya (bahasa, sekolah, dsb.) adalah unsur yang perlu dalam
pemecahan
masalah
nasional.
Karena
itu,
diperlukan undang-undang negara yang didasarkan atas pendemokrasian
negeri
sepenuhnya,
yang melarang
semua hak istimewa nasional tanpa kecuali dan setiap macam rintangan atau pembatasan terhadap hak-hak bangsa-bangsa minoritas. Inilah dan hanya inilah yang dapat menjadi jaminan yang nyata dan bukan jaminan di atas kertas bagi hak hak minoritas. Orang bisa memperdebatkan atau tidak memperdebatkan adanya
pertalian
logis
antara
federalisme
dalam
organisasi dengan otonomi kebudayaan nasional. Tetapi orang tak dapat membantah kenyataan bahwa yang tersebut
belakangan
menciptakan
suasana
yang
menguntungkan federalisme yang tak terbatas, yang berkembang menjadi perpecahan sepenuhnya, menjadi separatisme. Jika orang-orang Ceko di Austria dan orangorang Bundis di Rusia, yang mulai dengan otonomi dan
kemudian
beralih
ke
federasi,
berakhir
dengan
separatisme, maka dalam hal ini tidak bisa diragukan lagi peranan besar telah dimainkan oleh suasana nasionalis yang
sudah
sewajarnya
kebudayaan-nasional. bahwa
otonomi
disebarkan
Bukanlah
nasional
oleh
peristiwa
dan
otonomi kebetulan
federalisme
dalam
organisasi bergandengan tangan. Ini juga bisa dimengerti. Dua-duanya menuntut demarkasi menurut bangsa. Duaduanya
mensyaratkan
organisasi
menurut
bangsa.
Kesamaannya tidak bisa diragukan. Bedanya hanya dalam hal bahwa di sana penduduk pada umumnya dibagi-bagi, sedang di sini kaum buruh sosial-demokrat yang dibagibagi. Kita tahu menuju ke mana demarkasi di antara kaum buruh menurut bangsa itu. Percerai-beraian partai buruh yang bersatu, pembagian serikat-serikat buruh menurut bangsa, peruncingan perselisihan nasional, pematahan
pemogokan
nasional,
demoralisasi
sepenuhnya dalam barisan-barisan sosial demokrasi — itulah hasil-hasil federalisme dalam organisasi. Sejarah sosial-demokrasi di Austria dan kegiatan-kegiatan Bund di Rusia dengan ekspresif membuktikan hal ini. Satu-satunya obat untuk ini ialah organisasi atas dasar
internasionalisme. Mempersatukan setempat-setempat kaum buruh dari semua bangsa di Rusia menjadi kolektif-kolektif yang tunggal dan integral, mempersatukan kolektifkolektif ini menjadi satu partai yang tunggal — itulah tugas kita. Dengan sendirinya bisa dimengerti bahwa struktur partai demikian itu tidak meniadakan tetapi mensyaratkan otonomi yang luas bagi daerah-daerah di dalam partai integral yang tunggal. Pengalaman Kaukasus menunjukkan seluruh ketepatan tipe organisasi demikian itu. Jika orang-orang Kaukasus telah berhasil mengatasi perselisihan nasional antara kaum buruh Armenia dengan kaum buruh Tatar, jika mereka telah berhasil mengamankan penduduk dari kemungkinan pembantaian dan tembak-menembak, jika di
Baku,
dalam
kaledoskop 35)
kelompok-kelompok
nasional itu, konflik-konflik nasional sekarang tidak mungkin lagi, jika di sana orang berhasil menarik kaum buruh ke dalam satu arus gerakan yang perkasa, maka dalam hal ini tidak kecil peranan yang dimainkan oleh struktur internasional dari sosial-demokrasi Kaukasus.
Tipe organisasi tidak hanya mempengaruhi pekerjaan praktis. Ia meninggalkan kesan yang tak terhapuskan pada seluruh kehidupan mental kaum buruh. Buruh melaksanakan tumbuh
kchidupan
secara
spirituil
organisasinya, dan
mendidik
di
sini
diri.
ia
Dan
demikianlah, dengan bergerak di dalam organisasinya dan dengan saban-saban bertemu di situ dengan kawankawan dari bangsa-bangsa lain, dengan bersama-sama mereka
melakukan
perjuangan
bersama
di
bawah
pimpinan suatu kolektif bersama, ia menjadi sangat mendalam diresapi ide bahwa kaum buruh pertamatama adalah anggota satu keluarga klas, anggota tentara sosialisme yang bersatu. Dan hal ini tidak bisa tidak mempunyai arti pendidikan yang maha besar bagi lapisan-lapisan luas klas buruh. Karena itu tipe organisasi internasional merupakan sekolah perasaan kekawanan, mcrupakan agitasi yang sangat besar untuk kepentingan internasionalisme. Tetapi tidaklah demikian halnya dengan organ isasi menurut
bangsa.
Dengan
mengorganisasi
diri
berdasarkan kebangsaan, maka kaum buruh mengunci diri di dalam batok nasional, dengan menyekat satu sama lain dengan sekat-sekat organisasi. Yang ditekankan bukan
apa yang umum di antara kaum buruh melainkan apa yang membedakan mereka satu dengan lainnya. Di dalam organisasi tipe ini buruh itu pertama-tama adalah anggota bangsanya:
seorang
Yahudi,
seorang
Polandia,
dst.
Tidaklah mengherankan kalau federalisme nasional dalam organisasi
mendidik
pada
kaum
buruh
semangat
pengasingan nasional. Karena itu tipe organisasi nasional merupakan sekolah kepicikan nasional dan kemandekan. Dengan demikian, kita menghadapi dua tipe organisasi yang berbeda secara prinsipiil: tipe yang berdasarkan kepaduan internasional dan tipe yang berdasarkan "demarkasi" secara organisasi dari kaum buruh menurut bangsa. Usaha-usaha mendamaikan dua tipe itu hingga kini tidak berhasil. Peraturan dasar kompromi dari Partai Sosial Demokrat Austria yang disusun di Wimberg dalam tahun 1897 menggantung di awang-awang. Partai Austria ambruk berantakan, dengan menyeret serta serikatserikat
buruh.
"Kompromi"
ternyata
bukan
hanya
khayalan, melainkan juga merugikan. Strasser betul ketika ia mengatakan bahwa separatisme mencapai
kemenangannya yang pertama pada Kongres Partai di Wimberg" * . Begitu pula halnya di Rusia. "Kompromi" dengan federalisme Bund yang terjadi pada Kongres Stockholm berakhir dengan kegagalan sama sekali. Bund menggagalkan kompromi Stockholm. Sudah sejak harihari pertama setelah Kongres Stockholm, Bund menjadi penghalang dalam menuju penggabungan kaum buruh setempat-setempat di dalam satu organisasi yang tunggal, yang di dalamnya termasuk kaum buruh semua bangsa. Dan Bund dengan ngotot meneruskan taktik separatisnya, kendatipun dalam tahun 1907 dan 1908 sosial-demokrasi Rusia beberapa kali menuntut supaya persatuan akhirnya diwujudkan dari bawah dikalangan kaum buruh semua bangsa 36) . Bund, yang mulai dengan otonomi nasional di bidang
organisasi,
dalam
kenyataannya
beralih
ke
federalisme, berakhir hanya dengan perpecahan sama sekali, berakhir dengan separatisme. Dan dengan putus hubungan
dengan
sosial-demokrasi
Rusia,
ia
menimbulkan kericuhan dan keadaan kacau dalam sosialdemokrasi Rusia. Baiklah kita ingat akan peristiwa Yagiello 37), misalnya. Karena itu jalan "kompromi" harus ditinggalkan karena
*
Lihat tulisannya Der Arbeiter und die Nation, 1912.
ia berupa khayalan dan merugikan. Satu di antara dua: atau federalisme Bund, dan kalau begitu sosial-demokrasi Rusia harus mengalihkan haluan atas dasar "demarkasi" di antara kaum buruh menurut bangsa-bangsa; atau tipe organisasi internasional, dan kalau begitu Bund harus mengalihkan haluan atas dasar otonomi kewilayahan menurut pola sosial-demokrasi Kaukasus, Latvia dan Polandia, dengan membuka jalan bagi usaha persatuan langsung kaum buruh Yahudi dengan kaum buruh bangsa-bangsa lainnya di Rusia. Tidak
ada
jalan
tengah:
prinsip
menang,
dan
tidak
"berkompromi". Jadi, prinsip persatuan internasional kaum buruh adalah unsur yang perlu dalam memecahkan masalah nasional. Wina, Januari 1913 Pertama kali dimuat dalam majalah Proswesceniye 38; No. 3-5, Maret-Mei 1913 Tertanda : K. Stalin
*****************************
KETERANGAN:
1
Artikel "Marxisme Dan Masalah Nasional" ditulis pada akhir
tahun 1912 dan awal tahun 1913 di Wina ; pertama kali dimuat dalam majalah Proswesceniye (Pencerahan), No. 3-5, 1913 dengan judul "Masalah Nasional Dan Sosial Demokrasi" dengan tanda tangan K. Stalin. Dalam tahun 1914 artikel Y.W. Stalin itu diterbitkan oleh Pcnerbit Priboi, St. Petersburg, sebagai brosur tersendiri berjudul Masalab Nasional Dan Marxisme. Atas perintah Menteri Dalam Negeri brosur itu ditarik dari semua perpustakaan umum dan ruang-ruang baca. Dalam tahun 1920 karya itu dimuat lagi oleh Komisariat Rakyat untuk Urusan Bangsa-Bangsa dalam Kumpulan Artikel Y.W. Stalin mengenai masalah nasional (Balai Penerbit Negara, Tula). Dalam tahun 1934 artikel tersebut dimasukkan dalam buku : Y. Stalin, Marxisme Dan Masalah Nasional Dan Kolonial. Kumpulan Artikel Dan Pidato. Lenin, dalam artikelnya "Program Nasional PBSDR", ketika
menunjukkan
sebab-sebab
yang
membuat
masalah
nasional menonjol pada periode itu, menulis: "Keadaan ini dan prinsip-prinsip
program
nasional
social-demokrasi,
sudah
disoroti akhir-akhir ini di dalam litcratur teori Marxis (dalam hal ini pertama-tama menonjol artikel Stalin)". Dalam bulan Februari 1913 Lenin menulis kepada Maxim Gorki: "Pada kita ada seorang Jorjia yang sangat mengagumkan yang telah mulai menulis
sebuah
artikel
bcsar
untuk
Proswesceniye
sesudah
mengumpulkan semua bahan dari Austria dan bahan-bahan lain". Ketika mendengar bahwa ada usul supaya artikel tersebut dianggap sebagai bahan diskusi, Lenin tegas berkeberatan dan menulis: "sudah tentu, kita mutlak menentang. Artikel itu sangat balk. Soal ini urgen dan kita tak akan mengalah sedikitpun dalam pendirian prinsipiil kepada sampah Bundis". (Arsip Institut MarxEngels-Lenin). Segera sesudah Stalin ditangkap, dalam bulan Maret 1913,
Lenin
menulis
kepada
redaksi
Sotsial-Demokrat:
"...
Penangkapan-penangkapan di kalangan kita sangat berat, Koba sudah diambil.... Koba telah berhasil menulis sebuah artikel panjang (untuk tiga nomor Proswesceniye) tentang masalah nasional. Bagus! Kita harus berjuang untuk kebenaran menentang kaum separatis dan kaum oportunis di kalangan Bund dan di kalangan kaum likwidator". (Arsip Institut Marx-Engels-Lenin). Zionisme — suatu aliran nasionalis reaksioner dari burjuasi Yahudi yang mempunyai pengikut-pengikutnya di kalangan kaum intelektuil dan lapisan-lapisan buruh Yahudi yang paling terbelakang. Kaum zionis berusaha mengasingkan massa buruh Yahudi dari perjuangan umum proletariat. 2
3
Pan-Islamisme — ideologi keagamaan dan politik reaksioner yang
timbul di Turki pada paro kedua abad ke-19 di kalangan tuan tanah, burjuasi dan kaum pendeta dan kemudian meluas ke kalangan klasklas yang bermilik dari bangsa-bangsa Islam lainnya. Pan-Islamisme mengkhotbahkan persatuan semua bangsa yang menganut agama Islam menjadi satu keseluruhan. Dengan bantuan Pan-Islamisme
klas-klas yang berkuasa di kalangan bangsa-bangsa Islam berikhtiar memperkuat
kedudukan
mereka
dan
mencekik
gerakan
revolusioner rakyat pekerja di Timur. 4
Bund — Serikat Buruh Umum Yahudi Lithuania, Polandia dan
Rusia, sebuah organisasi burjuis kecil oportunis, didirikan dalam tahun 1897 pada Kongres di Wilno.
Ia melakukan
kegiatan-kegiatannya terutama di kalangan tukang-tukang Yahudi di daerah-daerah barat Rusia. Bund masuk PBSDR pada Kongres I PBSDR dalam bulan Maret 1898. Pada Kongres Ke-II PBSDR kaum Bundis menuntut supaya Bund diakui sebagai satu-satunya wakil proletariat Yahudi. Setelah Kongres menolak nasionalisme di bidang organisasi ini, Bund meninggalkan Partai. Dalam
tahun
1906,
sesudah
Kongres
Ke-IV
(Kongres
Penyatuan), Bund masuk lagi menjadi anggota PBSDR. Kaum Bundis
terus-menerus
mcnyokong
kaum
Mensyewik
dan
melakukan perjuangan yang tak henti-hentinya menentang kaum Bolsyewik. Kendatipun secara formil masuk PBSDR, namun Bund merupakan sebuah tipe organisasi nasionalis burjuis. Bertentangan dengan tuntutan program Bolsyewik akan hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri, Bund mengajukan tuntutan otonomi kebudayaan-nasional. Selama Perang Dunia I (1914-1918) ia mengambil pendirian kaum sosial-sovinis. Dalam tahun 1917 Bund menyoko ng Pemerintah
Sementara kontra-revolusioner dan berjuang di pihak musuh Revolusi Sosialis Oktober. Selama Perang Dalam negeri
anggota-anggota
Bund
yang
terkemuka
menyatukan diri dengan kontra-revolusi. Dalam pada itu di kalangan anggota-anggota biasa Bund terjadi perubahan yaitu setuju kerja sama dengan kekuasaan Sovyet. Ketika kemenangan diktatur proletar atas kontra-revolusi dalam negeri dan intervensi asing nampak jelas, Bund menyatakan bahwa ia meneruskan
perjuangannya
menentang
tidak
kekuasaan
Sovyet. Dalam bulan Maret 1921 Bund memutuskan membubarkan
diri
dan
sebagian
dari
anggota-
anggotanya masuk PKR (B) atas dasar peraturan masuk Partai biasa. Di antara mereka terdapat orang-orang bermuka dua yang masuk Partai dengan maksud memecahnya
dari
dalam.
Mereka
ini
kemudian
ditelanjangi sebagai musuh rakyat. Bund merupakan pusat nasionalisme dan separatisme dalam gerakan klas buruh Rusia. Pendiriannya yang burjuis nasionalis dikritik pedas oleh lskra Lenin. Kaum Iskra-is Kaukasus sepenuh hati mendukung Lenin dalam perjuangannya menentang Bund.... Sabat — hari istirahat keagamaan (hari Sabtu) yang dimuliakan oleh orang Yahudi. 5
Bahasa Yiddi — suatu bentuk bahasa Jerman lama (dengan kata-kata yang dipinjam dari banyak bahasa modern) yang digunakan orang -orang Yahudi di atau dari Eropa tengah dan Eropa timur. 6
Yang dimaksud ialah apa yang dinamakan konferensi "Agustus" kaum likwidator, yang dilangsungkan dalam bulan Agustus 1912 di Wina. Konferensi tersebut diadakan sebagai tandingan Konferensi Praha kaum Bolsyewik. 7
8
Pogrom — pembunuhan massal yang terorganisasi ter hadap kelompok minoritas, terutama terhadap bangsa Yahudi. 9
Bey — gelar pegawai tinggi
10
Mullah — nama pangkat alim ulama.
11
Brunn Parteitag, Kongres Briinn, Partai Sosial -Demokrat Austria diselenggarakan pada tanggal 24 -29 September 1899. Resolusi tentang masalah nasional yang diterima oleh kongres ini dikutip oleh Y. W. Stalin dalam bab berikutnya dalam karya ini. 12
"Alhamdullilah, di sini kita tidak mempunyai pa rlemen" — kata-kata yang diucapkan W. Kokovtscv, Menteri Keuangan tsar (kemudian Perdana Menteri), di Duma Negara pada tanggal 24 April 1908. 13
Korporasi — badan hukum.
14
Procrustes — penyamun di Attica (Yunani) yang menempatkan para korbannya di tempat tidur besi dan jika badan para korbannya itu lebih pendek atau lebih panjang daripada tempat tidur itu, maka diregangkan atau dipotong nya kaki mereka. Artinya, menyesuaikan sesuatu dengan suatu ukuran secara paksa. 15
Lihat Bab II Manifes Partai Komunis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels (Penerbit Indonesia Progresif, 1973).
16
Kongres Wina (atau Kongres Wimberg — menurut nama hotel tempat bersidangnya kongres) Partai SosialDemokrat Austria diadakan pada tanggal 6-12 Juni 1897. 17
Yang dimaksud yalah sebuah artikel Karl Marx yang berjudul "Zur Judenfrage" ("Masalah Yahudi"), dalam tahun 1844 dimuat dalam Deutsch-Franzosische Jahrbficher. (Lihat Marx/Engels, Gesamtausgabe, Erste Abteilung, Band 1, Halbband I). 18
Diet — Reichstag, parlemen.
19
Konferensi Kc -VIII Bund diselenggarakan dalam bulan September 1910 di Lwov. 20
Komunita — suatu kelompok masyarakat yang anggotaanggotanya bertempat tinggal di suatu tempat di bawah satu pemerintah dan mempunyai warisan kebudayaan serta seja rah yang sama ; masyarakat, himpunan, persaudaraan. 21
Dalam sebuah artikel yang bcrjudul "Satu Konferensi Pemecah Lagi", yang dimuat dalam surat kabar Za Partiyu, 2 (1)) Oktober 1912, G. W. Plekhanov mengutuk Konferensi "Agustus" kaum likwidator dan menamakan pendirian kaum Bundis dan kaum sosial-demokrat Kaukasus sebagai penyesuaian sosialisme kepada nasionalisme. Kossovski, pemim pin kaum Bundis, dalam sepucuk surat kepada majalah kaum likwidator Nasya Zarya mengkritik Plekhanov. 22
Kuria — dalam beberapa sistim pemilihan burjuis: tingkatan/golongan pemilih yang dibentuk berdasarkan pembagian para pemilih menurut pangkat, harta milik. 23
Kongres Ke-VII Bund diselenggarakan di Lwov pada akhir bulan Agustus dan awal bulan September 1906. 24
Manilov — seorang tokoh dalam novel Gogol Jiwa Jiwa Mati, yang melambangkan orang yang lemah kemauan, pengkhayal, tukang bual yang tak berdaya, suka puas.
25
Iskra (Percikan Api) — surat kabar Marxis illegal seRusia yang pertama didirikan oleh Lenin dalam tahun 1900, Nomor pertama Iskra Lenin terbit pada tanggal 11 (24) Desember 1900 di Leipzig, sesudah itu diterbitkan di Munich, London (mulai bulan April 1902) dan, mulai dengan musim semi tahun 1903, di Jenewa . Grup-grup dan comite-comite PBSDR yang mendukung garis Iskra Lenin diorganisasi di sejumlah kota Rusia, termasuk St. Petersburg dan Moskow. Di Transkaukasus ide-ide yang dipropagandakan oleh Iskra dipertahankan oleh surat kabar illegal Brdzola (Perjuangan), organ sosial-demokrasi revolusioner Jorjia. (Mengenai peranan dan anti penting Iskra lihat Sejarah PKUS (B), Kursus Singkat, Penerbit Yayasan Pembaruan, Jakarta 1955, hlm. 28-30). 26
Karl Wanek — seorang sosial-demokrat Ceko yang mengambil pendirian yang terang-terangan sovinis dan separatis. 27
Nama samaran Noah Yordania, pemimpin kaum Mensyewik likwidator Jorjia.
28
Cweni Tskhovreba (Kehidupan Kita) — surat kabar harian yang diterbitkan oleh kaum Mensyewik Jorjia di Kutais mulai tanggal I sampai 22 Juli 1912. 29
Herostratis — berasal dari kata Herostratos, nama seorang Yunani yang ria (congkak) yang dalam tahun 356 S.M. membakar kuil Artemis di Ephese, hanya dengan maksud supaya tetap tak terlupakan, tetap tenar namanya. 30
31
Sofisme — argumentasi yang menyesatkan.
Kongres Partai Stockholm — Kongres Ke-IV (Penyatuan) PBSDR diadakan pada tanggal 10-25 April (23 April-8 Mei) 1906. (Mengenai Kongres Stockholm, lihat Sejarah PKUS (B),
Kursus Singkat, Penerbit Yayasan Pembaruan, Jakarta 1955, hlm. 97-99). 32
Yang dimaksud ialah Perang Balkan yang pertama, yang pecah dalam bulan Oktober 1912 antara Bulgaria, Serbia, Yunani dan Montenegro di satu pihak dengan Turki di pihak lain. 33
"Kolo" (kata Polandia yang berarti lingkaran) — nama gabungan dari wakil-wakil partai nasionalis Polandia dalam Duma Negara Rusia tsar dan sampai pada tahun 1918 dalam parlemen-parlemen Jerman dan Austria-Hongaria. 34
Klerikal — penganut klerikalisme, yaitu politik yang menyokong pengaruh kaum pendeta dalam soal-soal politik dan kebudayaan.
35
Kaledoskop — kaca pembaguskan ; pergantian yang cepat.
36
Lihat resolusi-resolusi Konferensi Ke-IV (Konferensi "Ke-III SeRusia") PBSDR yang diselenggarakan pada tanggal 5-12 November 1907, dan resolusi-resolusi Konferensi Ke-V (Konferensi "Se-Rusia 1908") PBSDR, yang diadakan pada tanggal 21-27 Desember 1908 (3-9 Januari 1909). (Lihat Resolusi Dan Keputusan KongresKongres, KonferensiKonferensi Dan Sidang-Sidang Pleno Comite Central PKUS (B) Bagian I, edisi Rusia ke-6, 1940, hlm. 118, 131). 37
E.Y. Yagiello — seorang anggota Partai Sosialis Polandia (PPS) dipilih untuk Duma Negara IV dari Warsawa oleh blok yang terbentuk dari Bund dan Partai Sosialis Polandia dengan kaum nasionalis burjuis lawan kaum social demokrat Polandia. Dengan suara 7 likwidator Mensyewik lawan 6 Bolsyewik, fraksi SosialDemokrat dalam Duma menerima sebuah resolusi bahwa Yagiello diterima sebagai anggota fraksi tersebut. 38
Proswesceniye (Pencerahan) — bulanan Bolsyewik yang diterbitkan secara legal di St. Petersburg, nomor pertama keluar dalam bulan Desember 1911. Majalah ini dipimpin oleh Lenin melalui surat-menyurat secara tetap dengan para anggota dewan
redaksinya yang berada di Rusia (M.A. Sawelyev, M.S. Olminski, A.I. Elizarowa). Ketika Y.W. Stalin berada di St. Petersburg ia ambit bagian yang aktif dalam pckcrjaan majalah itu. Proswesceniye rapat berhubungan dcngan Pravda. Dalam bulan Juni 1914, menjelang Perang Dunia I, ia dilarang terbit oleh pemerintah. Satu nomor rangkap keluar dalam musim rontok tahun 1917. ********* ****KUNJUNGI HTTP://WWW.INDOMARXIST.CO.NR**** *******