3 minute read

Potret Sekolah-Sekolah di Pedalaman Indonesia

Next Article
Cloze Up

Cloze Up

Dari kekurangan siswa, hingga nasib tenaga didik yang kurang sejahtera, sekolah-sekolah di pedalaman terpencil di Indonesia memiliki persoalan yang unik satu sama lain.

Pendidikan adalah hak asasi manusia untuk seluruh anak Indonesia. Namun, masih ada anak-anak di daerah terpencil yang belum bisa mendapatkan pendidikan layak. Sebagian besar kendala adalah jarak dan infrastruktur. Anak-anak di dusun terpencil Yogyakarta cukup beruntung bisa mengenyam pendidikan formal sekolah dasar, namun anak-anak lain di wilayah Timur tidak seberuntung itu. Pendidikan masih bergantung pada dekat jauhnya pusat kota.

Advertisement

Kekurangan Siswa, Tapi Tetap Berdiri

SDN Wonolagi berlokasi di daerah terpencil, di wilayah Desa Ngleri, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Yogyakarta. Sekolah ini khusus diperuntukkan bagi warga dusun Wonolagi yang lokasinya jauh dari pusat kota. Untuk masuk ke Dusun Wonolagi dari Desa Ngleri, kita harus melewati jalan menanjak yang berada di tengah ladang dan hutan sejauh 5 kilometer. Meskipun begitu, jalan tergolong baik untuk dilewati.

Terhitung hingga tahun 2019, sekolah ini tidak mendapatkan murid kelas satu. Selain karena faktor wilayah, di Dusun Wonolagi memang tidak ada anak usia 7 tahun atau lulusan taman kanakkanak. Menurut Kompas, sekolah ini hanya memilki 11 orang siswa. Mereka adalah siswa kelas II sebanyak 4 orang, siswa kelas III sebanyak 3 orang, dan kelas IV sebanyak 4 orang. ini sempat tidak menerima siswa baru karena akan disatukan dengan sekolah lain. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak memperbolehkan. Berapa pun siswa yang ada, sekolah harus tetap berdiri dan beroperasi. Meski daerah terpencil dan murid sedikit, tak ada perbedaan cara pengajaran dengan sekolah lain di sini.

Pendidikan Bagi AnakAnak Pedalaman Papua

Papua memiliki cerita yang berbeda. Saat ini, pendidikan di daerah pedalaman Papua masih mengalami ketertinggalan. Pengalaman Diana Cristian Da Costa Ati menjelaskan ketertinggalan itu. Ia adalah seorang guru di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Papua.

Menurut Cristina, sekitar November 2018, anak-anak di sekolah ini sama sekali tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia. Seperti dikutip dari Kompas.com, mereka menyebutkan warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora. Siswa kelas VI pun tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga tak bisa melafalkan Pancasila.

Setelah melalui kegiatan belajar mengajar, Cristina bercerita, anak-anak sudah bisa menyanyikan lagu nasional. Beberapa anak pun sudah bisa memahami Bahasa Inggris tingkat dasar. Ia percaya bahwa dengan tekad dan niat yang kuat, anak-anak pedalaman Papua bisa mengenyam pendidikan dasar.

Gaji yang Jauh dari Layak

Di sisi lain, penghasilan Cristina dari mengajar di SD Inpres Kalbusene tidak mencukupi kehidupan sehari-harinya. Ia menulis surat terbuka untuk Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Di dalam suratnya, gaji sebesar Rp3,8 juta habis untuk beli air dan minyak tanah. Harga minyak tanah Rp10 ribu/liter dan bensin Rp30rb/liter. Lalu, ia masih harus membeli air mineral seharga Rp100.000 per karton karena masih sulitnya mendapat air bersih di tempatnya ia bekerja.

Para guru di wilayah ini pun hanya bisa memilih mengambil gaji dua bulan sekali. Uang sewa perahu untuk mencapai kota harganya sangat mahal. Cristina berharap, pemerintah memberikan perhatian lebih soal pendidikan di pedalaman Papua, termasuk kesejahteraan gurunya, sehingga anak-anak yang berada di ujung timur Indonesia bisa mendapatkan pendidikan setara dengan saudara lainnya di negeri ini.

Tidak ada sekolah resmi di Dusun Ambatunin

Permasalahan berbeda dialami anakanak di sebuah dusun terpencil di Kalimantan. Tidak ada sekolah formal di Dusun Ambatunin, sebuah dusun terpencil di Desa Uren, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Dari Kabupaten Balangan, dusun ini berjarak lima jam perjalanan dengan kendaraan roda dua, diselingi jalan kaki untuk mendaki. Kondisi jalan pun dianggap ekstrem, hanya ada jalan setapak dari bebatuan dan harus melewati hutan. Sekolah terdekat dari dusun ini berada di Dusun Hampang, yang jaraknya enam jam berjalan kaki. Kendaraan roda dua pun terbatas. Karena minim akses pendidikan, sejumlah penduduk usia sekolah tidak bisa baca tulis. Sejak akhir tahun 2019, mereka kedatangan guru sukarelawan yang memberikan pendidikan baca tulis.

Meskipun begitu, itu saja tidak cukup. Proses belajar mengajar tidak dilakukan di ruang kelas. Mereka dibuatkan satu tempat belajar, hanya beratapkan terpal yang tiap sisinya diikat ke batang pohon. Sejumlah kursi dan meja dibuat dari kayu seadanya. Pembelajaran pun hanya dilakukan dua minggu sekali, dengan waktu belajar terbatas.

Dijanjikan Sekolah yang Layak

Ketika musim hujan, akses menuju desa kadang tidak memungkinkan untuk ditempuh. Siswa pun terlambat datang dan guru kunjung pun terpaksa datang tidak sesuai dengan jadwal. Tidak adanya sekolah dasar di Dusun Ambatunin sudah mendapat perhatian dari Dinas Pendidikan Balangan pada awal tahun 2020, namun semua masih dalam proses.

Anak-anak di Dusun Ambatunin masih harus menunggu hingga sekolah dasar kelak berdiri. Kepada Tribunnews.com, Kepala Dinas Pendidikan Balangan Sulaiman Kurdi mengaku, pemerintah setempat berencana mendirikan sekolah kecil, paling tidak satu ruang belajar terlebih dulu. Mereka juga berencana membangun rumah dinas dan kelengkapan bangunan lainnya. [IM]

This article is from: