Dialog Budaya Pekan Budaya Sumbar 2012
PERLU FORUM KOMUNIKASI BUDAYA MULTI KULTURAL Kesatuan Indonesia menjadi istimewa karena bersepakatnya sejumlah suku bangsa. Kebudayaan Nasional disepakati sebagai puncakpuncak kebudayaan daerah (suku bangsa) yang ada. Akulturasi antar budaya etnis yang melahirkan produk budaya baru dalam masyarakat Indonesia yang multi kultural. Hubungan multi kultural ini sudah terjadi bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Kebudayaan Minangkabau, dalam hubungan dengan suku bangsa lain, juga mengalami hal demikian. Bahkan tidak hanya dengan suku bangsa yang berada dalam wilayah Indonesia, tapi juga dengan etnis dan kebudayaan pendatang dari luar.
21
/Desember 2012
Kebudayaan Minangkabau yang dinamis dan terbuka membuat pergaulannya dengan kebudayaan lain bisa berjalan dengan baik. Etnis lain yang datang dan kemudian berdiam di dalam wilayah kebudayaan Minangkabau diterima dengan baik seperti Nias, Jawa, Batak, India, Cina dan Sunda. Dalam wilayah kebudayaan Minangkabau, terutama di daerah perkotaan, telah terbentuk masyarakat multi kultural. Masyarakat multi kultural ini pada gilirannya akan melahirkan produk budaya yang dihasilkan oleh proses akulturasi. Ronggeng di Pasaman atau wayang berbahasa Minang di Dharmasyraya bisa diambil sebagai contoh hasil akulturasi budaya tersebut.
Masalah itulah yang dibicarakan dalam Dialog Budaya yang berlangsung di Guest House Bupati Solok, Kamis, 6 September 2012. Nara sumber dalam dialog ini adalah Prof. Dr. Afrizal, MA, guru besar Universitas Andalas, yang menyampaikan Dinamika Hubungan Antar Suku Bangsa di Provinsi Sumatera Barat: Suatu Gagasan Regulasi Konflik Antar Kelompok Etnis yang Demokratis dan Urgensinya; Drs. Muasri, kepala Museum Adityawarman (mewakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat) dengan makalah Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pembinaan Kebudayaan Suku Bangsa di Provinsi Sumatera Barat; dan Drs. Nurmatias, Kepala Balai Penelitian Nilai
/Desember 2012
23
lingkungannya. Dialog budaya yang diikuti oleh 100 peserta ini merekomendasikan perlunya dibentuk suatu Forum Komunikasi Budaya Multi Kultural, sehingga hubungan antar etnis menghasilkan produk budaya positif dalam akulturasi yang terjadi. Rekomendasi ini akan disampaikan sebagai bagian dari deklarasi Koto Baru yang akan dibacakan pada penutupan Pekan Budaya. (brm) Kesenian Tradisional: Eksistensi dan Perkembangannya Eksistensi kesenian tradisional dan perkembangannya adalah topik yang menjadi perbincangan para peserta dialog budaya sesi kedua. Dalam sesi ini tampil rektor dan guru besar ISI Padang Panjang, Prof. Dr. Mahdi Bahar, S.Kar, M.Hum yang memaparkan Eksistensi Kesenian Tradisional dan
Budaya Padang, yang menyampaikan Interaksi Sosial Masyarakat Minangkabau dengan Etnis lain di Sumatera Barat. Dialog Budaya ini merupakan kegiatan Balai Penelitian Nilai Budaya Padang, yang penyelenggaraannya diintegrasikan dengan Pekan Budaya Sumatera Barat 2012 di Koto Baru, Kabupaten Solok. Dialog Budaya merupakan bagian dari Duduak Baropok, yang menggelar dialog ninik mamak, dialog alim ulama, dialog pemuda, dan dialog budaya. Rekomendasi dan rumusan ke empat dialog ini akan dilewakan dalam Deklarasi Koto Baru, sebagai nilai plus dari pelaksanaan Pekan Budaya Sumbar 2012 di Kabupaten Solok. Duduak Baropok ini dibuka secara
24
/Desember 2012
bersamaan di gedung Solok nan Indah oleh Bupati Solok, H. Syamsu Rahim. Dalam Dialog Budaya sesi pertama ini mengemuka halhal positif dari pergaulan kebudayaan Minangkabau dengan etnis/kebudayaan lain yang datang ke Minangkabau/Sumatera Barat. Hubungan antar budaya suku bangsa ini telah pula melahirkan produk budaya seperti gamaik . Gamaik dibuat bersama oleh etnis Minang, Tionghoa, India dan Nias yang ada di Padang. Lebih unik lagi, gamaik ini merupakan kreasi baru dari musik Portugis. Keberadaan gamaik memperlihatkan keharmonisan hubungan antar suku bangsa di Minangkabau. Di masa mendatang, masyarakat multi kultural
Pelestariannya; pelaku dan aktivis seni tradisi Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto dengan makalah berbahasa Minang berjudul Maju Mundurnyo Kesenian di Sumatera Barat; dan praktisi jurnalistik S. Metron M yang menyampaikan makalah bertajuk Seni Tradisi dalam Perspektif Media Masa: Menerabas Sekat Sekat Ilusi. Mahdi Bahar yang menyampaikan pemikirannya melalui in fokus dan peragaan memainkan alat perkusi Minangkabau yang sudah dibuat dengan teknologi yang baru, secara panjang lebar memaparkan posisi, eksistensi dan fungsi seni tradisi dalam masyarakat Minangkabau. Menurut Mahdi, tidak mungkin kita hanya sekedar mengulang apa yang sudah diwariskan para perintis di masa lalu. Pelestarian seni tradisi justru dilakukan dengan cara mengembangkan dan menafsirkan baru sesuai
dengan kebutuhan zaman. Pelestarian bukan berarti jalan di tempat. Pelestarian seni tradisional sekaligus merupakan cerminan dinamika perjalanan kebudayaan itu sendiri. Dalam kesempatan itu, Musra Dahrizal, yang lebih dikenal dengan panggilan Mak Katik, menyampaikan pandangannya sekait perkembangan dan maju mundurnya kesenian tradisional Sumatera Barat dalam beberapa dekade terakhir. Dalam makalah yang dituliskan dalam bahasa Minangkabau itu, Mak Katik, yang baru saja pulang dari Universitas Manoa Hawaii untuk mengajar randai ini mengatakan, seni tradisi bisa bertahan dan berkembang sebagai akibat dari kebutuhan masyarakatnya. Bila suatu masyarakat budaya tak berhasil meredam pengaruh kebudayaan asing, bukan tak mungkin kesenian yang
adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, meskipun sekarang baru ditemukan di beberapa kota seperti Padang, Sawahlunto, Dharmasyraya dan Pasaman Barat. Setiap etnis tentu berupaya mempertahankan adat dan budayanya, karena hal itu merupakan identitas dan kebanggaan, dan kebutuhan untuk mewariskan kepada generasi yang baru. Di samping itu, sangat penting untuk menjaga hubungan antar budaya yang berdiam dalam satu wilayah dengan mempertimbangkan keberadaan budaya setempat sehingga potensi konflik dapat diredam. Kebudayaan Minangkabau, dengan perangkat adat dan budayanya, bisa menerima kehadiran etnis dan budaya lain sebagai bagian dari
/Desember 2012
25
mereka miliki akan habis dan tergerus. Di Sumatera Barat, peranan pemerintah, sekolah dan perguruan tinggi seni, pelajaran muatan lokal, ninik mamak dan lembaga adat sangat menentukan maju mundurnya kesenian tradisional Minangkabau. Di lain pihak, akulturasi budaya juga mempengaruhi perkembangan dan keberadaan seni tradisi. Nara sumber ketiga, S. Metron M, mengetengahkan perspektif media masa terhadap seni tradisi. Pekerja seni yang mantan redaktur Harian Padang Ekspress ini, menyorot penempatan publikasi kegiatan seni di media masa. Menurutnya, berita seni sering ditaruh dimana mata pembaca tidak sempat menjangkaunya. Sering berada di halaman belakang, paling bawah pula. Harus diakui pula, kemampuan wartawan untuk menulis lokalitasnya, terutama untuk seni belumlah mumpuni. Di sisi lain, tidak semua pelaku seni tradisi menyadari pentingnya peran media sebagai jembatan antara seni dan masyarakatnya. Diperlukan kiat tersendiri untuk mendekati pelaku seni tradisi. Tulisantulisan tentang seni tradisi Minangkabau atau etnis lain yang ada di Sumatera Barat baru dalam bentuk berita atau manusianya, jarang ada tulisan yang komprehensif. Karena itu, kita perlu meminta kebijakan redaksi media yang lebih luas, terutama untuk tontonan seni budaya. Peserta forum dialog budaya, yang terdiri dari pemuka masyarakat, guruguru BAM, seniman dan budayawan Kabupaten Solok menanggapi dialog ini dengan cukup antusias. Yang terutama menjadi sorotan adalah pengajaran seni budaya khususnya seni tradisi di sekolahsekolah. Ada beberapa masalah menyangkut materi pengajaran, penasehat profesional, minat siswa terhadap seni tradisi, praktek pelajaran seni tradisi, dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru seni budaya dan guru BAM. Dialog Budaya ini merekomendasikan agar program pembelajaran seni budaya Minangkabau di sekolah-sekolah memerlukan regulasi yang jelas, kurikulum dan materi yang lebih teruji. Forum dialog juga menegaskan bahwa sudah waktunya Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pelajaran muatan lokal dengan tujuan peningkatan kualitas, standarisasi materi dan peningkatan mutu tenaga pengajar. (brm)
26
/Desember 2012
REVITALISASI NILAI DAN PERANAN PEMANGKU ADAT BAGI PENGUATAN KETAHANAN NASIONAL DI SUMATERA BARAT
Ancaman dan gangguan terhadap pemenuhan kesejahteraan bangsa dan menciptakan kekuatan terhadap keamanan dan pertahanan sistem kehidupan negara selalu beriringan dengan perubahan yang terjadi.
Ketahanan budaya penting diciptakan. Ketahanan budaya menawarkan kondisi dinamis dalam menggerakkan seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk sosial budaya sendiri. Memperkuat ketahanan budaya di daerah sebagai bagian ketahanan nasional, Korem 032/ Wirabraja Sumatera Barat melaksanakan seminar sehari untuk menganalisis dan merumuskan pemikiran dalam pengutan ketahanan budaya nasional di Sumatera Barat. Seminar dilaksanakan bekerjasama dengan SAGA, dengan topik: “Revitalisasi Nilai dan Peranan Pemangku Adat bagi Penguatan Ketahanan Nasional di Sumatera Barat�. Sasaran Seminar, terumus pemikian revitalisasi nilai dan peranan pemangku adat dalam penguatan ketahanan nasional di Sumatera Barat. Perserta diupayakan dari unsur antara lain: Pemangku Adat dari KAN, LKAAM, Pemda Sumbar/ Kab/ Kota, DPRD/ DPR RI, Perguruan Tinggi, Mass Media, Makorem/ Makodim, Babinsa, Bhabinkamtibmas, Lurah, Walna/ Bamus/ wali kampung/ jorong. Nara sumber meliputi para pakar adat/ budayawan, antropolog, sosiolog, hukum, Polri dan TNI. Pelaksanaan seminar sehari ini, dilatari pemikiran dalam berbagai perspektif terutama perspektif kebudayaan dan ketahanan negara. Dalam
perspektif geostrategi, hakikat ketahanan nasional adalah kondisi dinamis merwarnai seluruh aspek kehidupan (tri gatra - alamiah dan panca gatra kehidupan sosial) serta kemampuan, keuletan dan ketangguhan bangsa dalam menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dari/ luar negeri, untuk menjamin identitas, integritas dan keberlanjutan (kelangsungan) hidupnya, guna mencapai tujuan nasional. Mewujudkan ketahanan nasional secara strategis setidaknya dilakukan melalui pengelolaan dan penyelenggaraan tiga komponen program strategis yakni (1) peningkatan kesejahteraan, (2) penguatan pertahanan dan (3) keamanan sistem kehidupan negara. Memacu Pembangunan Budaya di Era Global Ancaman dan gangguan terhadap pemenuhan kesejahteraan bangsa dan menciptakan kekuatan terhadap keamanan dan pertahanan sistem kehidupan negara selalu beriringan dengan perubahan yang terjadi. Menhan RI Purnomo Yusgiantoro dalam berbagai kesempatan sering mengamanatkan, di era globalisasi ini “kalau tidak hatihati akan dapat memengaruhi jati diri bangsa�. Apalagi di era globalisasi dengan perkembangan triple-T global
/Desember 2012
27
Indonesia bagian dari masyarakat dunia, tak dapat mengelak dari tuntutan perubahan dan pengaruh global. Pengaruh negatif global itu, di antaranya terlihat semakin maraknya isu keamanan yang berimplikasi terhadap kehidupan nasional (Zaitul Ikhlas Sa'ad, dkk, 2006). Kasus terakhir “aksi teror di Solo yang mengakibatkan anggota kepolisian meregang nyawa, dan peristiwa di Depok dengan ditemukannya tiga senjata
28
/Desember 2012
api (senpi), bom aktif dan sejumlah bahan peledak di lokasi peledakan bom, Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara Jalan Nusantara Beji Depok, 9 September 2012. Mirisnya lagi, aksi teror tidak lagi dilakukan kaum dewasa tapi sudah merambah para pemuda seperti aksi teror di Solo. Tidak dapat dipungkiri lagi dari data kepolisian, aksi terorisme dan radikalisme tersebut jelas-jelas melibatkan kaum muda yang masih belasan tahun hingga 20-an tahun” (Kolonel inf Drs.Amrin, Padek, 3 Okt 2012:1).
“
Indonesia bagian dari masyarakat dunia, tak dapat mengelak dari tuntutan
“
itu (telekomunikasi, transprtasi dan tourism) pengaruhnya sarat dengan ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan) terhadap sistem kehidupan negara (Yulizal Yunus, dkk., 2000). Seiring dengan perkembangan situasi global dan dinamika lingkungan masyarakat yang semakin dinamis Pangdam I/BB Mayjen TNI Lodewijk F. Paulus dan juga sumber Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono selalu mengamanatkan optimalisasi peran dan tugas TNI bersama rakyat kedepan semakin berat dan sangat kompleks, betapa pembangunan nasional di daerah harus lebih dipacu, lebih berhasil dan berdaya guna dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan nasional. Tentang perwujudan kesejahteraan masyarakat ini di berbagai kesempatan sering diamanatkan pula oleh Ketua DPD RI H. Irman Gusman S.E., MBA., sebagai bagian dari perjuangan DPD RI berorientasi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional.
perubahan
dan pengaruh global
Koordinasi Sinergis dan Integratif Ancaman keamanan seperti aksi teroris dan atau intoleransi lainnya (seperti tindak kekerasan dan konflik di antara kelompok masyarakat baik kelompok keagamaan, etnis, suku, dan kelompok kepentingan politik yang membawa perseteruan di antara kelompok masyarakat), di samping bencana yang sering terjadi, berimplikasi menggoyahkan ketahanan nasional. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dalam sambutan tertulis dibacakan Staf ahli Menhan Bidang Keamanan Mayjen TNI Hartind Asrin, dalam Pertemuan Ilmiah ke-41 IAGI, di Hotel Melia Purosani Jogjakarta, 18 September 2012, menyebutkan bahwa dalam menghadapi berbagai ancaman ini, diperlukan upaya mewujudkan strategi ketahanan nasional yang dalam prakteknya memperkuat koordinasi
sinergis dan integratif dari seluruh stakeholder (para pihak) dalam memperkuat fungsi pertahanan dan keamanan sistim kehidupan nasional. Juwono Sudarsono Mantan Menhan RI pernah menegaskan dalam mengantar Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, bahwa “penting penguatan pertahanan dalam menghadapi sejumlah isu keamanan, pemerintah melaksanakan fungsi pertahanan dalam rangka penegakan kedaulatan nasional, menjaga keutuhan wilayah NKRI dan melindungi keselamatan bangsa dari setiap ancaman dari luar maupun dalam negeri. Justru “pertahanan negara itu merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara diselenggarakan untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman dan gangguan baik yang datang dari luar maupun yang timbul di dalam negeri” (Peraturan Menteri Pertahanan, Nomor : Per/03/M/II/2008). Sinergitas Tali Tigo Sapilin dan Pemuda Paga Nagari Provinsi Sumatera Barat bagian dari wilayah NKRI harus kuat menangkal segala bentuk gangguan dan ancaman keamanan termasuk aksi teroris, intolerasi, bencana dsb. Komandan Korem 032/ Wirabraja Kolonel inf. Drs. Amrin dalam tulisannya di Teras Utama Padek (3 Oktober 2012:1), mengisyaratkan perlu “sinergisitas mencegah terorisme di Sumatera Barat” dalam kerangka rencana strategis mengantisipasi potensi ancaman yang ada. Justru, kata Amrin, “selaku warga masyarakat Indonesia dan masyarakat Sumbar khususnya, kita harus selalu mewaspadai kejadian aksi teroris tersebut. Mengingat Provinsi Sumbar sangat luas wilayahnya, daerah
lintasan yang strategis untuk dijadikan tempat persembunyian atau penyiapan aksi terorisme oleh kelompok-kelompok tertentu”. Antisipasi, jangan terjadi aksi terorisme yang mulai merambah generasi muda itu secara “preventive defence”, disebut Amrin “dapat dilakukan melalui pemberdayaan fungsi deteksi dini dan cegah dini”. Harapan yang lebih besar dari perspektif geostrategi tercapai hakikat ketahan nasional di daerah di antaranya seluruh warga masyarakat mampu mawas diri ke dalam dan membina seluruh aspek alamiah dan aspek sosial sebagai landasan kehidupan nasional di daerah dalam seluruh kehidupan yakni 8 unsur aspek kehidupan nasional seperti yang ditetapkan Lemhannas terdiri dari Aspek Tri Gatra – Alamaiah: (1) letak dan kedudukan geografi, (2) keadaan dan kekayaan alam dan (3) keadaan dan kemampuan penduduk; dari Aspek Panca Gatra – Kehidupan Sosial: (1) ideologi, (2) politik, (3) ekonomi, (4) sosial budaya dan (5) pertahanan dan keamanan (Yulizal Yunus, 2012:4). Sesungguhnya Sumatera Barat dengan subkultur Minangkabau, amat kaya dengan norm yang bersumber dari petatah (pepatah) petiti serta punya jaringan peranan SDM dalam “mamaga nagari” (memelihara pertahanan dan keamanan wilayah subkultur inti Minangkabau). Jaringan SDM dalam mamaga nagari itu setidaknya ada tiga unsur di garda terdepan: (1) pemuda, (2) dubalang bagian perangkat penghulu (urang nan-4 jini dalam pemangku adat) dan (3) fungsionaris Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin. Fungsi pemuda di Minangkabau adalah parik paga dalam nagari. Fungsi pemangku
adat dalam unsur urang nan-4 jinih (orang 4 jenis) ada dubalang, berfungsi menjaga pertahanan dan keamanan dengan bekal nilai fungsi dan posisi tagak di pintu mati, dalam prakteknya berpantang surut kebelakang dalam memadamkan huru hara (bagian aksi intolerasi dan atau aksi teroris). Karena mengingat pentingnya fungsi dubalang dalam unsur pemangku adat urang nan4 jinih, maka sebelumnya dalam perkembangan Polda di Sumatera Barat, pernah dibentuk Barisan Dubalang Paga Nagari yang berbasis dari lembaga kaum/ suku, kemudian disusul Polmas oleh Polda Sumbar didukung Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), dan sekarang dibekali dengan “Pemberdayaan Hukum Adat dalam Pemeliharaan Keamanan, Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat” dalam tahap perumusan buku pedoman kearah Perda Sumbar kerjasama Polda dan LKAAM. Seperti itu pula fungsi dan peranan fungsionaris Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin, amat strategis bersinergi dalam memperkuat sistem hankam (pertahanan dan keamanan). Fungsionaris itu ialah tiga unsur/ tuanku: (1) ninik mamak, (2) alim ulama, dan (3) cadiak pandai. Fungsi secara umum tiga fungsionaris ini adalah fatwa pada ulama, perintah pada ninik mamak dan teliti pada cadiak pandai. Dengan fungsi ini Ninik mamak dapat berperan dalam aspek pertahanan dan keamanan kaum/ kamanakan (masyarakat) secara “preventive defence” memiliki sistem nilai yang dapat memproteksi terjadinya intolerasi (tandakan kekerasan, huru hara, aksi teroris lainnya). Nilai itu, yakni: jauh diulangi-ulangi, dakek dikandano, malam didang-dang, siang diliek-liek. Artinya
/Desember 2012
29
kamanakan dan wilayah kaum sukunya selalu 24 jam di bawah pengawasan ninik mamak, dalam keadaan tertentu ninik mamak bisa meminta fatwa ulama dan memerintahkan hasil fatwa ulama itu untuk dilaksanakan anak kamanakan (masyarakat). Justru fungsi alim ulama memberi fatwa, dan fatwa itu diperintahkan ninik mamak untuk dilaksanakan anak kamanakan (masyarakat). Sebagai penyeimbang apakah kebijakan (fatwa ulama yang diperintahkan ninik mamak untuk dilaksanakan itu) di situ pula fungsi cadiak pandai, yakni meneliti (melihat aspek mana dari fatwa/ kebijakan yang dijalankan itu yang merugikan dan atau yang menguntungkan masyarakat) sehingga masyarakat adat tetap dalam asas taat hukum dan terbentuk budaya hukum. Di Sumatera Barat dalam subkultur Minangkabaunya, nilai serta fungsi dan peranan fungsionaris Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin, bersama dubalang dalam unsur pemangku adat urang nan-4 jinih, dan unsur pemuda, dahulu sangat vital dalam mengantisivasi ancaman dan gangguan pertahanan dan kemanan wilayah subkultur dan kaum suku. Sekarang dimungkinkan dapat direvitalisasi dan disinergitaskan dengan nilainilai baru dan kelembagaan masyarakat yang ada sekatang, akan menjadi ampuh dalam penguatan ketahanan nasional di daerah Sumatera Barat. Kata, Amrin diberdayakan kembali semaksimal mungkin dalam mengantisipasi potensi berbagai ancaman keamanan serta ketertiban masyarakat. Kelembagaan dan elemen masyarakat dan pemerintah kembali dilibatkan sesuai fungsi dan peran masing-masing seperti Limbago Adat semua tingkatan, Kerapatan Adat Nagari (KAN),
30
/Desember 2012
aparat babinsa, bhabinkamtibmas, lurah/ wali nagari/ wali jorong/ wali kampung serta aparat negara yang berada di wilayah nagari, secara bersamasama bersatu padu, bersinergi melaksanakan upaya “preventive defence” dalam upaya cegah dan deteksi dini setiap potensi ancaman dan gangguan di wilayahnya. Komandan Korem 032/ Wirabraja Kolonel inf. Drs. Amrin, menceritakan dalam dalam rangka “preventive defence” tersebut, sebelumnya di Sumbar pernah dilaksanakan kesepakatan, 31 Mei 2012 lalu di aula Rangkayo Basa Padang. Diadakan apel gabungan babinsa/ bhabinkamtibmas/ lurah/ wali nagari/ ketua KAN se-Sumbar dihadiri juga Gubernur Sumbar, ketua DPRD Sumbar, Kapolda beserta Danrem. Tujuan apel adalah memberdayakan kembali, kebersamaan, kekompakan dalam deteksi dan cegah dini di tingkat kelurahan/ nagari sebagai wahana menyamakan visi, serta mengembangkan wawasan, dan menyamakan persepsi dan interprestasi terhadap hal-hal yang menonjol di bidang kamtibmas. Sekaligus”sharing informasi” untuk saling memahami kekurangan dan kelemahan dalam mengatasi berbagai permasalahan aktual terkait pembangunan daerah, sehingga diperoleh kesamaan sikap dan tindakan di lapangan.***
/Desember 2012
31
Ulasan
B
Awali dari Ketahanan Nasional dari Nagari Merujuk Pengalaman Ikatan Keluarga Sungai Naniang IKSN, Padang
“Semakin jauh merantau, kerinduan terhadap kampung halaman itu semakin kuat dan mendarah-daging
�
32
/Desember 2012
incang-bincang mengenai konsep kebersamaan di tengah masyarakat urban lebih sering ditekankan pada kesadaran memiliki kampung halaman. Semakin jauh merantau, kerinduan terhadap kampung halaman itu semakin kuat dan mendarah-daging. Ini di antara penyebab bermunculannya organisasi-organisasi nagari/kampung. Semangat yang mendasarinya, harus ada ikatan terkecil dari sebuah sistem sosial, untuk memudahkan koordinasi mobilitas sosial. Saga Edisi ini memantau kegiatan organsisasi Ikan Keluarga Sungai Naniang (IKSN) Padang. "Apapun persoalannya, persatuan Sungai Naniang harus tetap ada. Terserah apakah pertemuan itu dilaksanakan sekali sebulan, sekali dua bulan, sekali tiga bulan," ujar Mayor Afrizal Sain, selaku penasihat IKSN Padang, Minggu, (04/11) di rumahnya yang bertempat di Ganting, saat temu silaturrahim perantau Sungai Naniang yang juga dihadiri oleh kalangan pelajar dan pemuda. Menurutnya, membangun Negara mesti dimulai dengan keteraturan dari lapis terbawah masyarakat. Setelah keluarga, di ranah Minang dikenal taratak, koto, dan nagari. Ditambahkannya, wawasan kebangsaan, ketahanan nasional, akan berjalan lancar kalau unit terkecil dari masyarakat itu sudah teratur. Organisasi kampung/ nagari yang ada di Padang mesti berpikir seperti itu. Berhimpun untuk menjalin keteraturan, bukan untuk memupuk semangat primordialisme atau sukuisme. Ini juga berarti mambantu pemerintah untuk menjaga keamanan. Keinginan untuk mempertemukan persatuan orang rantau ini juga ditegaskan oleh Dr. Marganof selaku ketua IKSN, dia menyatakan
menyokong pertemuan perantau Sungai Naniang sekali sebulan. Akan diadakan pengajian, diskusi mengenai hal-hal seputar nagari, dan lain-lain. Menurutnya, semangat untuk berkumpul itu harus ada dan dimiliki setiap individu." "Kalau mati kita di rantau, tempat mengadukan persoalan yang paling dekat adalah kepada sanak famili kita sekampung. Selain mempererat tali silaturrahim kita menjadi tahu dengan orang kampung kita yang sebelumnya tidak kita kenal. Selain itu, kita juga bisa saling memahami, apa cita-cita bersama kita selaku anak nagari, bahkan selaku orang Minang," tegas Joni Hardijon, salah seorang pemuda Sungai Naniang. Catatan Saga, semangat cinta kampung halaman ini sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di dalam diri orang Minang. Contoh lain, perantau Sulik Air Solok, juga memiliki ikatan perantau Sulik Air, bahkan telah menyumbangkan berbagai bentuk sumbangan pembangungan untuk kampung halaman. Ikatan perantau Minang ternyata tidak hanya berpusat di Indonesia. Bahkan di Mesir menurut pengakuan pelajar Minang yang pernah kuliah di sana, Ikatan Pelajar Indonesi tertua di Mesir itu adalah ikatan pelajar Minang. Australia juga memiliki perkumpulan orang Minang di sana, ujar Hasmi, penyelenggara beasiswa kerjasama Indonesia dan Australia, Jumat (09/11) di RRI Padang. Muncul semangat cinta kampung halaman dan berdirinya perkumpulanperkumpulan perantau minang ini, menyatakan bahwa orang minang memiliki semangat yang komunal, mamak ilang, mamak dicari, mande hilang, mandeh dicari. [Alizar Tanjung]
Semangat memikirkan kampung halaman tetap tumbuh dalam diri masyarakat perkotaan walaupun budaya pragmatisme dicurigai sedang mewabahi jiwa sosial mereka. Kehidupan kota dianggap lebih cenderung individual. Tetapi, dari pantauan Saga, masih ada hasrat untuk berkumpul dan bercengkrama sesama orang kampung. Di kota Padang yang rata-rata penduduknya berasal dari berbagai daerah Kota/ Kabupaten di Sumatera Barat, kondisi ini terasa dan terlihat pada beberapa organisasi atau perkumpulan masyarakat berdasarkan daerah asal masingmasing.
/Desember 2012
33
KOLOM
TA N PA N A G A R I MINANGKABAU MUSNAH Oleh ZAITUL IKHLAS SA'AD RAJO INTAN (Dosen STISIP Padang, Dewan Pakar Bundo Kanduang Sumbar dan Staf Ahli Ketua DPD RI)
D
ari perspektif tanggung jawab, Sumatera Barat tanpa nagari, dijamin eksis. Minangkabau tanpa nagari pasti musnah. Justru yang mengurus Sumatera Barat banyak, mulai dari Peresiden, Gubernur, Bupati/ Walikota, Lurah/ Walinagari. Lalu siapa yang mau mengurus Minang. Bagi keberlanjutan Minang, nagari harus diurus. Pernah hal ini penulis paparkan pada Rapat Koordinasi Pemerintahan Nagari SeSumatera Barat di Padang, 23 Oktober 2012. Penulis justru melihat nagari merupakan inti (substansi) Minang. Beda nagari pemerintahan dengan nagari substansi Minang. Nagari pemerintahan diurus walinagari, nagari inti Minang siapa yang mengurus. Andai nagai tak terurus dan kehilangan substansi Minang, apakah Sumatera Barat masih punya karakteristik? Secara faktual pengambil kebijakan lebih memandang nagari sebagai aspek komuditi ketimbang aspek jati diri Sumatera Barat. Fakta ini justru harus menjadi bahan kajian dan renungan bagi elit yang merasa orang Minang. Kajian difokuskan kepada Nagari, Pemerintahan Nagari, Format Otonomi Nagari dari Perspektif Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebut “hak asal usul”
34
/Desember 2012
yang secara substansial “memberi penguatan spesifikasi nagari sebagai daerah istimewa” (YY Dt. Rajo Bagindo, 2012). Juga dalam fenomena otonomi daerah dengan sistem kembali ke nagari dengan fenomena RUU Desa yang liput SAGA September 2012 nagari tagaduah lagi, penting memahami konsep Nagari, dan formulasi pemerintahan nagari, hidup banagari dan babaliak ka nagari seperti menjadi kajian SAGA September 2012. Keistimewaan nagari teramati dalam berposisi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas subkultur dan wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat adat, yang dari perspektif asal-usul dan adat istiadat, harus diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena menjadi amanat UUD 1945. Nagari dari Perspektif UUD 1945, Daerah yang bersifat Istimewa. Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya, kedudukan daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : Daerah otonom, daerah administatif dan daerah istimewa. Pada daerah otonom diterapkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.
Sedangkan pada daerah istimewa (kerajaan dan daerah kecil yang mempunyai susunan asli) sebagaimana disampaikan Soepomo, negara dituntut menghormatinya dan setiap aturan negara mesti menghormati hak asal-usul daerah itu. Keberadaan daerah istimewa bukan diberi atau dibentuk, melainkan diakui (rekognisi). Sesuai Penjelasan UUD 1945 dan pendapat Soepomo, masyarakat adat masuk ke dalam pengorganisasian daerah istimewa ini. Pemerintahan nagari sebagai bagian dari sistem pemerintahan Indonesia dapat lagi diperkuat secara formal keberadaannya. Peluang tersebut dapat dibaca dalam pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 yang manyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. Atas dasar itu, sudah sepantasnya pemerintahan nagari sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, perlu didorong pengakuan dan pengaturannya di tingkat UU, tidak cukup dengan hanya diatur dalam peraturan daerah sebagaimana halnya saat
ini. Format otonomi nagari dalam perspektif UUD 1945, tidak salah dilakukan antara aspek pemerintahan dan aspek adat. Keistimewaan Nagari dalam pandangan UUD 1945 terletak pada paduan /kombinasi adat dengan pemerintahan. Unsurnya ada Pemerintah Nagari (Eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (Legislatif), Pengadilan Nagari (Yudikatif), personilnya terdiri dari unsur tali tigo sapilin, tunggku tigo sajarangan dan Dewan Pertimbangan Nagari (KAN dan MUNA) yang dalam prakteknya melaksanakan undang, adat dan syarak. Nagari dari perspektif geneologis matrilineal yang diwadahi limbago adat: paruik, jurai, kaum suku/ kampung, adalah hal yang berkaitan dengan asal usul, bagian dari jati diri dan kehormatan seseorang anak nagari di Minang. Suasana suku lebih terasa di nagari dibanding teritorial. Justru nagari dari perspektif historis pembentukannya mulai dari asal usul sampai penemuan lahan baru/ daerah baru pembuatan taratak, dusun, koto (yang menjadi sentra kampung/ suku) dan nagari “tetap mempertahankan budaya supra suku” (YY Dt.Rajo Bagindo, 2006). Karena demikian nagari merupakan subkultur yang mengandalkan kekuatan budaya tanpa mengabaikan kekuatan kesatuan wilayah. Faktor geneologis inilah yang membentuk nilai-nilai kekerabatan dan kekeluargaan. Ini bagian dari identitas keistimewaan nagari dan hidup orang Minang. Karenanya “hakikat nagari bagi orang Minang adalah identitas hidup dan intisari kehidupan berbudaya. Tidak dapat seseorang dikatakan orang Minang, jika ia tidak dapat menunjukan nagari asalnya” (Nursyirwan Effendi, 2012). Nagari dari perspektif teritorial, mempunyai kawasan dengan batas wilayah, ketika nagari dibuat dikukuhkan dengan sumpah satie nenek moyang untuk
mempertahankannya “tidak diubah salamo awan putiah salamo gagak hitam”. Karena nagari memiliki kekayaan atau pusako (adat/ immaterial dan ulayat/ wilayah/ material/ pisik). Nagari dari perspektif kultur, hidup di (ba) nagari adalah kehidupan yang berpedoman/ bersandarkan nilai-nilai budaya Minang, yaitu perpaduan antara norma-norma adat dengan ajaran agama disebut dalam filosofi ”adat basandi syarak, syarak basandi kitab kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai” (ABS – SBK). Spirit hiduik banagari inilah yang melahirkan rasa kebersamaan, rasa gotong royong, rasa soliditas dan solideritas. Nagari dari perspektif administrasi pemerintahan (Pemerintahan Nagari),adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari dan badan Permusyawaratan Nagari berdasarkan asal usul Nagari di Wilayah Propinsi Sumatera Barat yang berada alam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perda Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Bab I Pasal I ayat 1 diperbaiki dengan Perda Sumbar No. 9 Tahun 2000 mengamanat sistem administrasi, pelayanan dan pembangunan yang secara substansial menerapkan nilai adat “saciok bak ayam, sadanciang bak basi.Sakabek bak siriah, sarumpun bak sarai. Tarampai samo kariang, tarandam samo basah. Mandapek samo baruntuang, kahilangan samo marugi”. Pengayaan tata kelola nagari ini dapat ditelusuri dalam regulasi tata kelola administrasi nagari dari UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 10 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 3 Tahun 2005, UU. No. 8 Tahun 2005, PP No. 25 Tahun 2000, PP No. 72 Tahun 2005, PP No. 73 Tahun 2005, PP No. 79 Tahun 2005, Kepmen No. 63 Tahun 1999, Permen No 73 Tahun 2005 dll. Dari perspektif hukum adat (Babaliak ka Nagari) Nagari sebagai
kesatuan hukum masyarakat hukum adat. Yang menjadi dasar adat adalah "Limbago Nan Sapuluah”, terdiri dari Cupak Nan Duo (Cupak Usali dan Cupak Buatan), Undang Nan Ampek (Undang-Undang Luhak Rantau/ Luhak Bapangulu, Rantau Barajo, Undang-Undang Pembentukan Nagari/ Nagari baampek suku - dalam suku babuah paruik - kampuang banantuo rumah gadang batunganai, Undang–Undang Dalam Nagari, dan Undang-Undang Nan 20 (Pidana Adat), dan Kato Nan Ampek (Kato Pusako, Kato Dahulu, Kato Buatan, Kato Kamudian). Karenanya dalam memformulasikan dan pelaksanaannya, perlu adanya aturan atau payung hukum, berupa undang-undang, Peraturan Pemerintah, Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota, Pergub, Perbub/Perwako maupun Peraturan Nagari tentang status, fungsi, kewenangan dan tata kerja antar lembaga yang ada di Nagari, sehingga semua lembaga yang ada di Nagari dapat berdaya guna dan berhasil guna secara efektif, profesional dan porposional. Demikian pula perlunya ditumbuhkembangkan prinsipprinsip keterbukaan, akuntabilitas berdasarkan musyawarah mufakat sesuai dengan budaya Minang serta menghindari adanya proses pengambilan keputusan bersadarkan kalah menang dan voting sebagai sisi jelek demokrasi Barat versus sistim musyawarah Minang. Sebagai solusi, format Nagari yang efektif dan mandiri akan terwujud, semestinya Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintahan Nagari itu sendiri, memiliki komitmen, konsisten, konsekuen dan kontiniunitas. Justru kendala dan problema tentang Nagari dan Pemerintahan Nagari bermunculannya lebih banyak disebabkan oleh faktor sikap/ kemauan (political will) bukan hanya pada kemampuan (Sumber Daya Manusia).***
/Desember 2012
35
Khasanah
SEJARAH NAGARI
Pembentukan Nagari Pada Lahan Baru OLEH: YY DT. RAJO BAGINDO
T
idak ditemukan dalam sejarah pengembangan wilayah budaya Minang, membentuk nagari dalam nagari. Bahkan dengan karakteristik inklusivisme dan norm adaptatif orang Minang “ di mano bumi dipijak di situ langik dijujung/ tibo di kandang kabau mangoek/ tibo di kandang kambing mambebek, di mano ayia disauk di situ rantiang dipatah..“, tidak pernah terdengar orang rantau Minang di dunia membuat
36
/Desember 2012
perkampungan Minang, justru mereka lebur dengan orang-orang di mana rantau mereka hunyi. Karakter inklusifisme orang Minang ini, memproteksi pemekaran nagari. Nagari dibuat bila wilayah hunyian sudah sempit, lalu dicari lahan baru, berladang, membuat taratak dan membuat pondok kediaman. Ketika nagari baru bermula dari taratak dibuek (didirikan) didirkan di atas lahan baru. Di situ disusun struktur baru dalam
masyarakat adat. Susunan masyarakat pada nagari Minangkabau mulo dibuek (mulai didirikan) berproses dari paruik, jurai, suku, kampung dan nagari, berhubungan dengan lahan/ wilayah baru tak berpenduduk. Bermula dari taratak, taratak menjadi dusun. Dusun menjadi koto. Koto sebagai wilayah pusat perkampungan. Kampungkampung bergabung sepakat menjadi nagari baru. Artinya pembuatan nagari
baru bukan membagi wilayah nagari yang telah ada. Tetapi bermula dari mencari lahan baru karena ruang hidup (lebensraum) sudah sempit. Tak ada lagi lahan mendirikan rumah, tak cukup lagi sawah ladang yang ada untuk kaum (paruik – suku). Lalu KK (Tunganai/ saudara lelaki tertua) diikuti beberapa keluarganya dalam satu suku atau banyak suku mencari lahan baru. Mereka berpisah dengan kampung asalnya meninggalkan sanak saudaranya yang lain separuik atau sesuku. Di lahan baru itu mereka berladang, meneroka sawah dan mendirikan rumah. Saat itu dimulai proses pengembangan wilayah (resort) perkampungan baru sbb.: 1. Taratak. Prosesnya bermula dari orang di kampungkampung pada satu nagari lama. Dari perspektif ekonomis, mereka pindah dan membuka lahan baru berladang jauh dari nagarinya untuk memenuhi kebutuhan hidupannya. Dari perspektif geostrategis, ruang hidup mereka di nagari lama sudah merasa sempit dan perlu perluasan wilayah. Mereka membuka lahan baru jauh dari nagarinya. Mereka membangun pemukiman disebut Taratak. Mereka membuat rumah, meneroka sawah, mengolah ladang dan mengatur kebutuhan hidup dan sosial budaya mereka. Setidaknya mereka terdiri dari dua suku. Pertalian dengan kampung asal usul masih kuat
dan utuh. Mereka masih bermamak dan berpenghulu andiko ke kampung asalnya sebagai kepala keluarga dalam masyarakat adat. 2. Dusun. Berproses dari Taratak. Ketika wilayah Taratak berkembang, jumlah penduduk bertambah pindah ke sana, rumah semakin bertambah, maka wilayah itu diproses penduduknya menjadi Dusun. Syarat menjadi dusun itu setidaknya ada 3 suku. Warga dusun ini masih bermamak ke kampung lama tempat asal usulnya. 3. Koto dan Nagari. Lahirnya Koto berproses dari Dusun. Ketika itu dusun telah punya penduduk yang cukup rapat dan terus bertambah menjadi 4 suku. Mereka terus memperluas perkampungan di sekitar wilayah itu. Mereka meneroka sawah dan membuka lahan kering berladang. Mereka mendirikan perkampungan baru dan menjadi banyak kampung yang berpusat pada Koto. Kampung-kampung dari daerah pusat itu bersama-sama mereka membuat nagari. Kampungkampung baru menjadi nagari baru merupakan keberlanjutan hidup paruik baranak pinak dan berkembang menjadi jurai. Di nagari baru ini saudara perempuan yang banyak dalam kaum sesuku mendirikan rumah berdekatan/ mengelompok. Di sini tempat kediaman tetap yang baru bagi paruik yang berpisah
dari keluarga di kampung lama. Hubungan selanjutnya tetap erat, diatur kesatuan geneologis (suku – tali darah) yang tidak dibatasi teritorial kampung lama dan baru. Di sini mereka menetapkan struktur baru pemerintahan di wilayah nagari baru, KK (tunganai), penghulu andiko, tuo kampung/ jorong, penghulu 4 suku dst. Dapat dicatat, Taratak, Dusun, Koto bukanlah struktur nagari tetapi proses pengembangan wilayah menuju terbentuknya kampung baru sebagai wilayah utama nagari. Yang menjadi struktur wilayah nagari adalah (1) Kampung/ Koghong (Korong/ Jorong) dan (2) Nagari. Nagari lama tidak dapat dibagi/ dipecah meskipun luas karena sudah menjadi wilayah subkultur dan persekutuan hukum. Budaya Minang tidak baik mendirikan kampung – nagari dalam kampung – nagari. Apakah kearifan lokal (local genius) Minang seperti ini, Minang tidak menuntut sebagai daerah istimewa, di samping memang kuat tekan luar yang tak tersongsong arus Minang. Namun yang jelas, budaya Minang kalau ingin membuat kampung harus membuka lahan baru jauh dari kampung induk meski harus menguatkan tali hubungan darah. Setidaknya budaya (kode prilaku) Minang tak mau bikin kampung di tengah kampung seperti ini dapat menyertai (menengahi?) polemik wartawan senior
/Desember 2012
37
Marthias Pandoe (Padang Ekspres, Jum'at 24 Okt 2008) dan pakar budaya Suryadi (Padang Ekspres Selasa 28 Okt 2008) tentang orang Minang ke mana pun Merantau tidak pernah membuat kampung Minang di kota/ negeri rantau seperti Kampung Jawa, Cina, Keling, Nias, Bugis dan kampung lainnya yang ada di kota-kota besar. Sebab itu pula pemekaran nagari memasuki wilayah pro kontra.Yang kental geneologis dan budaya adatnya pasti tak mau (kontra) dan longgar mengantarkan prinsip setuju (pro).
Balabuah batapian Babalai ba musajik Bagalanggang bapamedanan
Sistim pemerintahan nagari: struktrur, sarana dan aset ekonomi Secara umum pemerintah nagari di Minang diatur dengan UndangUndang Nagari (bagian dari UU nan-4 Minang). Yang diatur tidak saja struktur tetapi juga sistem pemerintahan nagari yang mandiri, dieksplisitkan dalam rukun, syarat dan syiar nagari. 1. Rukun nagari, nilainya dalam undang-undang dalam bentuk petatah sbb.: Rang gadih mangarek kuku Pangarek pisau sarawik Pangabuang batang tuonyo Batangnya ambiak ka lantai Nagari baampek suku Dalam suku babuah paruik Kampuang bamamak ba nan tuo Rumah dibari batunganai (anak gadis memotong kuku Pemotongnya pisau serawik Pemotong batang tuanya Batangnya diambil untuk lantai Nagari harus ada 4 suku Dalam suku ada keturunan se perut Kampung punya mamak dan punya ketua kampung Rumah ada lelaki sulung) Nagari sebagai wilayah subkultur, sejak dahulu sudah
38
/Desember 2012
memiliki alat kelengkapan pemerintahan. Struktur pertama dari bawah rumah batunganai sebagai Kepala Keluarga (saudara lelaki tertua/ mamak tertua dalam paruik). Kedua bamamak yakni mamak kaum sebagai penghulu andiko/ dipilih dari Tunganai, ketiga kampung ba nan tuo yakni Tuo Kampung (Kepala Jorong) dipilih dari penghulu andiko, keempat kepala tali darah (suku) dipimpin datuk atau penghulu suku nan-4 di nagari. Struktur ini terlihat pada petatah (tata pemerintahan) dalam Undang Undang Nagari Minang di atas. Pertama penghulu 4 suku, kedua tuo kampung, ketiga penghulu andiko, keempat kepala keluarga/ tunganai/ mamak paruik yang tertua. Dari petatah tadi juga terbaca sistim pemerintahan, kerukunan nagari otoritas 4 suku, tuo kampung, penghulu andiko, dan tunganai/ anak lelaki sulung yang berfungsi sebagai KK dengan tugas sebagai pengawas harta benda kaumnya. Penghulu 4 suku memilih ketua KN (Kerapatan Nagari), ketua kerapatan nagari langsung menjadi Kapalo Nagari (Penghulu Palo). Struktur ini berkembang sesuai kelarasan dan demokrasi Minang yang dianut nagari, nanti dijelaskan dalam perubahan sistim pemerintahan nagari. 2. Syarat nagari Balabuah batapian Babalai ba musajik Bagalanggang bapamedanan (punya jalan dan tepian
tempat mandi Punya balai-balai tempat bermufakat dan punya masjid Punya gelanggang tempat bersilat uji ketangkasan) Butir Undang Undang Nagari ini mengariskan sarana dan prasarana pisik sebagai syarat vital harus dimiliki Nagari. Sarana dan prasarana vital itu: (1) jalan, (2) pemandian, (3) balai-balai/ gedung pertemuan (tempat musyawarah), (4) masjid, (5) gelanggang (tempat latihan bela diri) dan (6) pemakaman Nagari. 3. Syiar nagari Rangkiang nan tinggi manjulang Sawah nan bapiring bapamatang Ameh jo perak nan batahia batimbang Kabau jo bantiang nan banyak di padang (rangkiang yang tinggi menjulang Sawah luas punya petakan dibatasi pematangnya Emas dan perak banyak Kerbau dan jawi banyak di padangnya) Butir Undang Undang Nagari ini mengatur sarana prasarana serta aset ekonomi nagari disebut sebagai dapat menghidupkan syiar (semarak) nagari yang menunjukan kesejahteraan rakyat dan aman kemakmuran. Sarana dan aset ekonomi nagari itu yang mesti diadakan: (1) rangkiang (lumbung gabah/ beras), (2) lahan basah (sawah), (3) masyarakat memiliki perhiasan (emas dan perak), memiliki ternak (kerbau dan jawi) serta padang rumput tempat
pengembalaannya. Simpul kecil struktur, sistim dan sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari dapat dieksplisitkan dalam 8 butir sbb.: (1) Babalai – bamusajik: punya rumah adat tempat bersidang membuat mufakat dan masjid untuk tempat beribadat dan pusat budaya ABS-SBK dengan aplikasi SMAM (Syara' Mangato – Adat Mamakai). (2) Basuku – banagari: punya 4 suku, struktur tertinggi nagari yang punya otoritas memberikan jaminan berkembangannya suasana kehidupan bernagari. (3) Bakorong – bakampuang: punya korong (lingkaran inti)/ jorong) kampung sebagai bagian wilayah utama nagari. 4) Bahuma – babendang: punya rumah gadang tempat berteduh paruik dan punya penerangan kampung yang cukup. (5) Balabuah – batapian : punya prasarana jalan untuk mengakses nagari dan punya tepian tempat pemandian. Sekarang tepian mungkin sebagian sudah dipindahkan ke dalam rumah dalam bentuk kamar kecil/ kamar mandi yang indah yang sifatnya privat, menggusur dan tak menganggap penting lagi pemandian yang komunal (milik kaum). (6) Basawah – baladang : punya aset ekonomi nagari sawah – ladang yang luas termasuk perhiasan (emas dan perak) dan ternak (kerbau dan jawi) dengan padang
pengembalaan. (7) Bahalaman – bapamedanan : rumah kediaman punya halaman dan gelanggang pemainan anak nagari atau sasaran silat. (8) Bapandam – bapakuburan : punya komplek pemakaman nagari tempat berkubur anak nagari).
/Desember 2012
39