Saga 1 (1 41)

Page 1


Padang Today PT. PADANG RUANGMEDIA INFORMATIKA

POKOK PADANG Beranda

Solusi

Layanan

Produk

Support

Hubungi Kami

Nahkoda Baru Diterbitkan oleh

PT. Alammedia Nusantara

Komisaris, Direksi, Staf dan Karyawan

Padang Today PT. PADANG RUANGMEDIA INFORMATIKA

Mengucapkan

Selamat atas Terbitnya

Pimpinan Umum

Sutan Zaili Asril Wakil Pimpinan Umum/Pimpinan Redaksi

Yulizal Yunus Staf Khusus

Wistian Yoetri Sekretaris Redaksi

Faisal Zaini Dahlan Redaktur : Zelfeni Wimra M. Ibrahim Ilyas Fatris MF Arjuna Nusantara Tata Letak & Perwajahan

Rolly Fardinan Rafii Hidayatullah Nazari Periklanan/Promosi

Hartomi Keuangan

Retik Selvira

MAJALAH ANALISIS DAN PEMIKIRAN

Office : Jl. Tarandam III No.13 Padang-Sumatera Barat Telp. Fax. 0751-32834 E-mail- saga.minangkabau@gmail.com

lhamdulillah, berbagai kalangan menyambut gembira munculnya SAGA kembali setelah “tertidur” cukup lama, hampir sepuluh tahun. Pada Juni 2002, SAGA terbit perdana dan bertahan hingga empat edisi. Ombak terlalu besar –konon begitu kata para nakhoda waktu itu- yang membuat SAGA terpaksa melempar sauh untuk menghentikan pelayaran sementara, dan ternyata berlangsung hingga satu dasawarsa. Kegembiraan dan rasa syukur itu tentunya lebih kami rasakan para anak buah kapal baru, ketika SAGA saat ini benar-benar telah berada di tangan sidang Pembaca. “Mempertahankan lebih sulit dari pada memulai”, demikian kata pepatah. Kesulitan itu kini lebih berada di pundak kami “generasi baru SAGA”,istilah yang diberikan Sutan Zaili Asril dalam bincang-bincang sore di Kantor Redaksi beberapa waktu lalu. Beruntunglah kami tidak memulai dari nol. Alhamdulillah, SAGA tetap di bawah komando kapten kapal Sutan Zaili Asril, dan kini Yulizal Yunus menjadi nakhoda baru menggantikan Wistian Yoetri yang diminta sebagai Staf Khusus. Pak Yuyu, begitu sang nakhoda baru ini biasa dipanggil, adalah redaksi generasi pertama. Sosok akademisi, agamawan, budayawan, sejarawan, dan jurnalis ini dipercaya memimpin anak buah kapal generasi muda dalam melanjutkan pelayaran. Bersamanyalah kami,Faisal (Faisal Zaini Dahlan), Bram (Muhammad Ibrahim Ilyas), Wimo (Zelfeni Wimra), Fatris (Fatris Mohammad Faiz), dan Arjuna (Arjuna Nusantara) mendayung SAGA kembali. Keberanian dan optimisme menjadi key word kami.

A

Bukankah SAGA berlayar di samudera berpotensi luar biasa. Sumatera Barat dikenal sebagai daerah “industeri otak”, istilah yang pernah dipopulerkan Emil Salim dan Hasan Basri Durin tempo dulu. Kehebatan “urang awak” di berbagai sektor, tak disangsikan. Politikus, ekonom, akademisi, cendikiawan, agamawan, budayawan, negarawan, diplomat, penegak hukum, dan seterusnya, adalah peran-peran yang biasa digeluti anak nagari. Kecemerlangan pemikiran, kepiawaian berdiskusi,dan ketajaman analisis bahkan tidak hanya dimiliki para elit. Rakyat badarai di lapau kopi ikut mengupas tuntas berbagai isu aktual dari soal lokal hingga global. Sayangnya, tradisi oral atau maota ini belum sebanding dengan tradisi tulis. Di sinilah salah satu peran SAGA dalam mewadahi dan menterjemahkan cilotehciloteh itu dalam bahasa jurnalistik agar fokus dan sistematis.

Ciri dan karakter khas SAGA tentunya tetap dipertahankan, meski di sana-sini ada inovasi. Ia tetap mengacu pada komitmen yang diembannya –seperti dirumuskan para pendiriyakni sebagai majalah analisis dan pemikiran. SAGA diharapkan jadi basis kultural pemikiran bagi siapa saja dan dari latar belakang apa saja, sebagai upaya kontinyu reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal Minangkabau. Ia juga mengemban tugas luhur, sebagai jembatan hati bersilaturrahim sesama anak nagari, baik di daerah maupun perantauan. Untuk maksud itulah SAGA kami dedikasikan. Karenanya, kontribusi dan kerjasama yang baik dari kita semua sangat kami harapkan. Selamat menikmati, semoga karya bersama ini bisa menjadi SAGA nan basaga, lidi ijuk yang liat, tajam, sekaligus menjadi andalan, Amin.


SAGA UTAMA [ Dialog Pakar ] 14 ULASAN [ Nagari Istimewa ] 28 KOLOM [ Nursyirwan Effendi ] 26 ULASAN [ Pelopor ] 30 KHASANAH [ Nagari ] 38 SENI [ Sang Tetangga ] 42 OPINI [ Sutan Zaili Asril ] 52 SAGA KHUSUS [ Tanah Ulayat ] 56 SELINGAN [ Tradisi Pemuda ] 62 LEHA [ Analisa Naskah Klasik ] 74 BINTANG DI LANGIK MINANG [Mohammad Natsir ] 86

Komisaris, Direksi, Staf dan Karyawan Harian Umum

Rakyat Sumbar Sebenar-benarnya Koran Sumbar

Mengucapkan

Selamat atas Terbitnya MAJALAH ANALISIS DAN PEMIKIRAN

Suku Anak Dalam dari Minangkabau [?]

11


KEHIDUPAN

DR. Fadlan Maalip, SKM

Tuanku Bosa XIV

Kanjeng Raden Haryo Husodo Diningrat

Energi Iman untuk Kesehatan

E

6

nergik di usia 70 tahun bagi banyak orang adalah impian. Fadlan Maalip telah menikmati impian itu. Ia masih energik, malah lebih, setelah tumor sebesar telur ayam keluar dari hidungnya. Suatu hari, pagi mulai mengambang di Nagari Talu. Kabut menyelimut nagari yang seperti di dalam kawah besar di bawah Gunung Talamau itu. Usai shalat subuh, Fadlan menikmati nuansa pagi bersama permasuri, Ismiar. Dia adalah seorang raja, penerus dari Raja Talu Tuanku Bosa XIV. Selain seorang raja, ia juga dokter, pejabat kesehatan dengan jabatan terakhir Direktur Utama Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Soeharso, Surakarta, Solo. Bukan itu saja, ia juga seorang tokoh pendidikan kesehatan. Ia memimpin Yayasan dan Perkumpulan Baiturrahim, membawahi lembaga pendidikan Sekolah Tinggi Kesehatan Baiturrahim (STIKBA) Jambi, rumah sakit, juga lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, SLTP dan SLTA. Kini, usianya memasuki 76 tahun. Baru saja melalui a n g k a keramat, 75 t a h u n . S e b u a h b u k u biografi bertajuk, T a l u Pangkal T a l i , Indonesia Ujung Kata,

/September 2012

75 Tahun Fadlan Maalip Tuanku Bosa, diluncurkan di Talu dalam acara yang meriah Peresmian Rumah Gadang Talu. Buku yang ditulis, Yulizal Yunus, dkk. tersebut merekam jejak perjalanan Fadlan, sejak kecil hingga dewasa, sampai pula ia kembali ke Talu. Pada buku itu, juga termaktub bagaimana Fadlan memainkan peran kepemimpinan, sebagai pejabat, dokter, direktur, raja, pengusaha, hingga ia disemat Kanjeng Raden Haryo Husodo Diningrat oleh keraton Solo. “Puncak pencapaian kehidupan bagi saya adalah, hidup terus dilatih untuk menerima tantangan, target, juga mengambil hikmah dari kegagalan,” ungkap Fadlan ketika bercakapcakap tentang filosofi hidupnya. Ia tak menampik, banyak kegagalan telah menjadi pengalaman berharga. Tetapi, tekad untuk mencapai sesuatu, digapai, diterobos, membutuhkan energi luar biasa hebat yang didasari oleh spiritualitas. “Orang akan sehat, jika ia terus berpikir sehat. Berpikir luas. Alam takambang jadi guru. Jangan pernah sedikitpun merusak bathin dengan iri, dengki, amarah. Susunlah kehidupan dengan cara berpikir yang tertib. Tetapi tetaplah berani untuk kreatif membaca kemungkinan. Bukankah, hidup kita, apa yang kita pikirkan itu?” ujar raja yang murah senyum dengan rambut yang memutih ini. Fadlan seorang dokter yang tidak pernah membuka praktek secara kontinue. Ia pernah mencobanya, tapi terhenti karena kesibukan sebagai pejabat. Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ia mengabdi di Olak Kemang, Jambi Seberang, 1971. Sebuah daerah pinggir kota yang sering terputus akses, sebelum dibangun jembatan yang melintasi Sungai Batang Hari. Setelah di Olak Kemang, Fadlan mendapat kesempatan menjadi Kepala Dinas Kesehatan di Kabupaten Sarolangun Bangko, Jambi, 1974. Kini, kabupaten itu sudah

bercerai. Jadi dua. Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin. Habis mengabdi di kabupaten, yang dulunya daerah terpencil, dianggap daerah buangan, Fadlan akhirnya masuk ke Kanwil Kesehatan Provinsi Jambi. Banyak jabatan yang diamanah kepadanya. Seterusnya, ia dipercayakan ke Solo, menjadi orang nomor satu di RSO Soeharso. RSO Soeharso, di tangan Fadlan mengalami titik balik. Ketika RSO Soeharso rebah kuda oleh keadaan, bangkit dengan gairah baru. Banyak kemajuan yang diraih, hingga mendapat penghargaan dari Menteri Kesehatan R.I. Hingga ia pensiun di Solo, 2002. Fadlan menoreh banyak kenangan yang patut dibagi. RSO Soeharso berubah status menjadi rumah sakit pendidikan, yang makin dilengkapi fasilitas. Pendapatan dari rumah sakit ini kembali signifikan. Jaringan kerja sama makin luas. Citra makin membaik setelah sekian lama terpuruk, tak menjadi pilihan berobat bagi masyarakat setempat. “Kunci sukses tiada lain keikhlasan dalam menjalani kehidupan, menelusuri secara dinamis dan harmonis setiap tujuan yang ingin kita capai. Dasar keikhlasan adalah emosional spiritual dan intelektual question,” ungkap kakek enam cucu ini. Fadlan memang merasakan bagaimana manfaat dari pelatihan ESQ yang telah dijalani, hingga ia menjadi penasehat Korwil ESQ Provinsi Jambi. ESQ baginya adalah sebuah jalan untuk memahami keberadaan manusia sebagai makhluk dari Sang Khalik. Baginya, begitu banyak tersingkap ilmu dari pencapaian pemahaman spiritual, ilmu tersebut memang khazanah yang patut jadi dasar dari seluruh ilmu pengetahuan hari ini. Fadlan memang seorang dokter. Sejak muda adalah aktivis kesehatan masyarakat

yang memperhatikan kesehatan. Namun demikian, bukan berarti ia tidak terbebas dari penyakit. Pernah sakit cacar waktu kecil, Fadlan memasuki tahun 2000, ia diserang tumor di otak. Serangan hebat yang tak disangka. Bulan Februari 2000, ada dua rapat di Jakarta. Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas), di Puncak dan di Cipayung. Fadlan baru menyadari tidak makan obat hipertensi yang biasanya dimakan satu kali dalam satu hari. Tiba-tiba, setelah keluar dari rumah saudaranya menuju mobil, kaki kanannya tidak dapat dikontrol. Selalu terlempar ke kanan waktu diinjak. Fadlan tidak menceritakan kepada siapapun. Ia masih menduga, ini masalah obat yang belum dimakan, akan hilang sendiri nanti setelah istirahat. Namun kejadian serupa juga terulang ketika turun dari mobil. Melihat gejala ini makin kerap terjadi, Fadlan langsung istirahat, tidur. Berharap akan kembali normal seperti biasa. Bangun tidur, ternyata belum hilang dan terasa kesemutan. Fadlan memutuskan check up, segera menelpon Rumah Sakit Metropolitan Medical Center RS (MMC) di Kuningan. Fadlan minta dihubungkan dengan dokter ahli ginjal hipertensi, kakak kelasnya di FKUI. Sayang, tak bisa datang ke hotel ketika diminta, pasien tak bisa ditinggalkan. Dokter pun minta Fadlan datang. Atas permintaan Fadlan, dokter mengirim Ambulan 119 menjemput. Staf hotel kaget melihat ambulance besar masuk ke hotel menjemput pasien, Fadlan memang tidak memberi tahu staf hotel. Tim kesehatan dari MMC menjemput ke lantai III, membawa Fadlan dengan kursi roda, di depan lift ditunggu Brankar. Selanjutnya, dibawa menuju ambulance. Pegawai hotel pun ada yang ikut ke hotel. Sampai di MMC, Fadlan langsung dirawat untuk observasi dan pemeriksaan lengkap. Hasil diagnosa, Fadlan mengalami Tr a n s i e n t I s c h e m i c A t t a c k ( T I A ) , penyumbatan darah otak sesaat dengan gejala ringan. Biasanya juga sembuh sendiri. Gejala yang Fadlan rasakan besoknya memang hilang, namun hasil citiscan kepala, membuat dokter dan Fadlan kaget. Ditemukan tumor sebesar telur ayam di bawah otak, tempatnya di hypo phise, yang telah menekan chiasma optikum, persilangan saraf mata. Hasil citiscan dilanjutkan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) di RS Pertamina. Hasilnya diketahui letak persis serta ukuran tumor, begitu pula dengan kondisi penekanan saraf mata. Bagian mata ditemukan, lapangan pandangan mata kiri dan kanan hanya 30 – 40 persen saja lagi. Teman yang memeriksa menyatakan, jangan berharap terlalu banyak perbaikan lapangan pandangan sehabis dioperasi, karena penekanan sudah terlalu lama. Kemungkinan tidak dapat kembali normal seperti sebelumnya. Yang sedikit mengembirakan, diagnose menyatakan tumor tersebut

termasuk ademona (tumor jinak). Tumor ini juga menekan syaraf mata yang menyebabkan buta permanen! Proses panjang mengangkat tumor itu akhirnya berjalan sukses di Singapura. Sebagai seorang dokter, Fadlan banyak mengambil hikmah dari proses tersebut. “Saya terima kasih tak terhingga dengan Prof. Tanaka, dr. Hilman, yang dibantu oleh ahli bedah syaraf di RSCM. Dan juga kepada Prof. Timothy Lee Kam Yiu dari National University Hospital (NUH) Singapura. Akhirnya saya masih dapat meneruskan pengabdian,” ungkap putra Talu, Pasaman Barat, yang lahir 5 Juli 1942 ini. Menurut pengakuan Fadlan, pelayanan prima dan teknologi yang mendukung adalah kunci dari sukses sebuah rumah sakit. Fadlan bersyukur, operasi berjalan sukses. Beberapa fakta membuat Fadlan harus banyak berterima kasih kepada Allah SWT. Tentu saja, kepada seluruh kerabat, teman sejawat dan handai taulan yang telah mendoakan keselamatan nyawanya dalam menempuh operasi di Singapura. Fadlan masih ingat beberapa catatan penting usai operasi. Pada saat melapor ke bagian keuangan RS NUH, Fadlan disodori rincian biaya. Secara khusus dijelaskan, semua dokter menolak menerima honor mereka. Totalnya, lebih dari Rp60 juta. Uang tersebut dikembalikan ke kartu kredit. Alhamdulillah. Padahal, tak satupun dari delapan dokter yang bekerja dikenal Fadlan, kecuali Prof. Timothy. Sehari sehabis operasi, Fadlan menelepon H. A. Roni Umar, Ketua Masjid Baiturrahim Jambi, mengabarkan operasi sukses. Roni Umar menceritakan, pada hari Jumat, pada waktu operasi, semua jemaah shalat Jumat ikut mendoakan kesembuhan Fadlan. Sebelum shalat dimulai, Roni Umar telah mengumumkan perihal Ketua Yayasan Baiturrahim sedang berobat di Singapura. Usai shalat Jumat, tidak seperti biasa, bubar. Jemaah duduk khidmat ikut berdoa untuk Fadlan. Puteri Fadlan, Ismelia sedang hamil tua. Dokter memprakirakan, melahir pertengahan Juli. Mungkin karena cemas, saat dioperasi, tanggal 7 Juli ketuban pecah dini. Akhirnya terpaksa dilakukan operasi Caesar. Maka cucu kedua Fadlan, anak pertama Ismelia, lahir pada hari operasi Fadlan, 7 Juli. Kemudahan jalan dibuka oleh Yang Maha Kuasa. Satu rombongan yang berangkat ke Singapura ditarik pindah dari hotel ke rumah dinas Kepala Perwakilan BI Singapura. Delapan orang boyongan ke rumah, kawan Uni Masnun yang kepala perwakilan tersebut. Operasi berjalan sukses. Dua hari setelah operasi Fadlan keluar. Menginap di perwakilan, tanggal 10 tiga hari setelah post

operasi sudah naik ferry ke Batam. Sampai di Hang Nadim, naik pesawat F50 Merpati ke Jambi. Di Jambi, Fadlan menginap di hotel Novotel, supaya tidak ada yang mengunjungi. Fadlan ingin istirahat dulu, hanya ditemani cucu pertama, Herza Fadlinda. Prof. Timothy tidak member antibiotic sama sekali, namun sesampai di Jambi ia

STIKBA JAMBI

makan antibiotic setelah konsultasi dengan dr. Hilman. Seorang keponakan di Jambi bertanya, kenapa kepala Fadlan utuh? Rambut tidak ada bekas sama sekali? Pertanyaan yang lugu. Kerusakan mata yang menurut ahli mata irreversible ternyata sembuh total, kembali seperti semula. Setelah beberapa bulan operasi, setidaknya dua kali Fadlan menerima telepon dari pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta, menanyakan, cara Fadlan mendapatkan keringanan biaya karena ada sejawat yang mau operasi di Singapura. Fadlan menjawab, sama sekali tidak tahu, kenapa itu bisa terjadi. Alasan apa adanya, karena tidak pernah mengurus atau meminta keringanan biaya. Dan tidak satupun pejabat RS NUH yang dikenal. Fadlan bersyukur operasi telah berjalan baik. Allah telah menetapkan jalan terbaik, juga biaya yang dikeluarkan. Bahkan, dr. Tanzil, ahli mata menetapkan mata irreversible ternyata kenyataannya berbalik. Mata menjadi lebih baik. Beberapa kali control kesehatan ke Singapura, semuanya menunjukkan hasil yang mengembirakan. HIngga dianjurkan tidak perlu control lagi. Tapi Fadlan berjanji, kalau ada perjalanan ke Singapura dan Malaysia, ia akan singgah ke Prof. Timothy. “Doa dan cinta kasih adalah energi untuk menghalau rasa sakit, penyakit. Kodrat kehidupan ini memang sudah ditakdirkan, ada sakit, ada sehat, ada malam ada siang. Kita manusia, hanya perlu menghadapi dengan cara berpikir yang sehat pula,” jelas Fadlan. (Abdullah Khusairi)

/September 2012 7


EDITORIAL

RUU DesaERSUS V

B

elum lagi selesai kerja besar mendudukkan apa dan bagaimana idealnya wujud sebuah Nagari sebagai bentuk pemerintahan terendah di Sumatera Barat, ternyata di Jakarta sudah dirancang produk perundang-undangan baru yang dinilai berbagai kalangan menyimpan bom waktu untuk “menggerus” Nagari. Rancangan Undang-Undang Desa (RUU Desa) yang disusun Kementerian Dalam Negeri itu, dinilai mengancam eksistensi dan keberlanjutan Nagari. Berbagai elemen masyarakat pun bagai tersengat lebah. Tidak hanya dilakukan penolakan terhadap RUU kontroversial itu, tetapi ninik mamakpun sampai-sampai berdemo di DPR RI. Bahkan ,RUU itu dijawab dengan sebuah tuntutan yang membuat Jakarta tersentak juga. Bumi Minangkabau menuntut “Nagari Istimewa” yakni agar Negara memberi hak-hak istimewa kepada Nagari untuk mengatur dirinya sendiri sebagaimana yang telah diberikan kepada Yogyakarta dan Aceh meski pada tingkat pemerintahan terendah. Tuntutan ini memiliki landasan hukum yang kuat, yakni konstitusi Negara, UUD 1945 Pasal 18. LKAAM, KAN, dan unsurunsur masyarakat lain ternyata benar-benar berang. Gayung pun bersambut, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat baik Gubernur maupun DPRD menyatakan mendukung LKAAM. Begitu pula anggota DPR RI dan DPD RI asal Sumatera Barat memberi dukungan. Para akademisi pun memberi argumentasi penguatan. Tidak hanya bergerak di Sumatera Barat dan Jakarta, beberapa tokoh LKAAM melakukan passing over, melintas batas ke masyarakat hukum adat lain di Nusantara. Merasa senasib, tokoh-tokoh dari berbagai lembaga adat budaya itupun membuat “posko” di Jakarta. Tetapi entah sengaja diredam, jadinya “genderang perang” yang telah ditabuh para tokoh adat ini nyaris tak terdengar di pentas perpolitikan. Akibat RUU Desa ini, bisa jadi isu “pusat-daerah” yang telah sekian lama hilang dari memori kolektifmasyarakat, bisa jadi akan memanas lagi. Apa lagi jika

8

/September 2012

Nagari Istimewa

menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan yang ditakdirkan Sang Pencipta bersuku-suku dan berbangsabangsa. Pluralitas dan heterogenitas itu bukan untuk dilebur apalagi dengan jalan kekerasan, tetapi justru menjadi khazanah kekayaan peradaban manusia sebagai jalan lita'arofu, meminjam istilah al-Qur'an. Yaitu untuk interaksi dalam relasi kemanusiaan. Toh, ide penyatuan dan penyeragaman sungguh telah ketinggalan zaman. Salah satu karakteristik era postmodernisme yang berlangsung saat ini adalah pengakuan, penghargaan bahkan penyetaraan atas pluralitas, termasuk adat dan budaya yang beragam. Ide penyeragaman adalah sisa-sisa modernisme yang sudah usang dibuang zaman. Meski dari pernyataan beberapa tokoh tergambar begitu tajam polemik ini, namun tidak tepat pula jika emosi semata yang dikedepankan sementara rasionalitas ditumpulkan. Apa dan bagaimana sesungguhnya rencana regulasi itu serta apakah sampai seburuk itu dampaknya terhadap nagari, tentu perlu dikaji secara holistik-komprehensif. Sebagai produk perundang-undangan, RUU sudah melalui serangkaian kajian yang didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara. Latar sejarah dan pemikiran munculnya RUU bisa dilihat dari Naskah Akademik yang disusun. Dengan demikian, kita tidak terjebak pada polemik dan debat kusir yang tidak berpijak pada masalah yang sesungguhnya atau bergeser dari substansi sehingga hasilnya tidak solutif. Emosi seringkali menggeneralisir persoalan dan melihatnya semata hitam putih. Dalam konteks RUU Desa, di samping mengkaji pasal demi pasal berikut penjelasannya, Naskah Akademik yang dijadikan landasan juga perlu dilihat ulang dalam rangka membaca utuh baik semangat maupun tujuan dari regulasi tersebut. Hal penting lainnya adalah menyiapkan konsep “Nagari Istimewa” yang diusulkan sebagai solusi dari ketimpangan RUU Desa. Pada tataran filosofis, istilah “Nagari

Istimewa” yang dimunculkan “terasa” bisa menjadi jawaban tepat untuk konteks Sumatera Barat. Tetapi agar istilah itu menjadi bermakna, tidak menjadi slogan kosong semata, bisa pula dijadikan kajian. Apalagi sebagai regulasi, diperlukan konsep yang matang hingga sampai ke tataran teknis implementatif kelak di lapangan. Jika tidak, ia hanya sebatas mimpi indah di siang bolong, menambah deretan mimpi-mimpi lain yang hingga kini belum begitu nyata berwujud. Istilah “Kembali ke Nagari” dan “Kembali ke Surau” misalnya, oleh banyak pihak disebut-sebut tidak lebih dari sekedar keindahan semantik yang terjadi di aras polemik pemikiran ketimbang konsep utuh dan berwujud hingga ke aras teknis yang bisa terimplementasikan dalam kehidupan riil masyarakat Sumatera Barat. Meski begitu, kearifan semua pihak mutlak diperlukan agar kebaikan bersama bisa diwujudkan dan mudarat yang lebih besar tidak terjadi. Sejarah Sumatera Barat sudah cukup kenyang dengan pertentangan pusat-daerah ini. Ranah Minang pernah menjadi poros pemberontakan melawan kesewenang-wenangan pemerintah pusat di masa Orde Lama. Sejarah membuktikan, jika konflik terjadi sesungguhnya tidak ada pemenang maupun yang kalah. Kedua belah pihak hanya membangun sebuah peradaban yang penuh permusuhan dan dendam kesumat yang pada saatnya akan meletus menjadi tragedi kemanusiaan. Karena itu, baik dalam upaya menolak RUU Desa, maupun memperjuangkan alternatif tuntutan Nagari Istimewa, yang perlu dibangun adalah semangat musyawarah untuk mufakat demi kebaikan bersama. Pepatah mengajari kita cara bijak menyelesaian masalah. Bak maelo rambuik dalam tapuang, rambuik jan putuih nan tapuang ndak taserak. Ending yang dituju pun sesuai dengan prinsip lamak di awak, katuju di urang. Bukankah indak ado kusuik nan indak salasai? Begitu nenek moyang mengajari kita []

inang Suko Mananti /September 2012

9


Suku Anak Dalam dari Minangkabau [?] Keberadaan Suku Anak Dalam yang hidup nomaden di hutan Bukit Barisan Sumatera masih ditanyakan asal-usulnya. Selain sistem kekerabatan mereka yang matrilineal, hukum dan perundang-undangan mereka memiliki kesamaan dengan kekerabatan dan hukum perundang-undang Masyarakat Minangkabau. dalam dongeng dan cerita, Suku Anak Dalam mengaku berasal dari keturunan kerajaan Pagaruyung. Benarkah Suku Anak Dalam yang dipanggil dengan “Kubu� tersebut adalah orang-orang yang terbuang dari Pagaruyung?

8

/September 2012

/September 2012

9


Dokumenter

Bersama Orang Rimba Sumatera Oleh : Fatris MF

12

/September 2012

lama keluar laki-laki menyandang senapan yang masih menyisakan asap panas di pemicunya. Lelaki itu bernama Isa. Ia telah melumpuhkan babi Mereka adalah sekelompok manusia yang hidup di hutan Sumatera, hutan Bukit Barisan yang melintang dari Sarolangun Jambi hingga Dharmasraya Sumatera Barat. Hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu ceruk bukit ke lembah gunung lainnya yang jauh dan susah dijangkau. Mereka berburu babi, ular, kijang, kancil; memetik hasil hutan, membuat 'rumah' seadanya, kawin, beranak, dan berbahagia. Mereka hidup komunal, berkelompok. Tapi mereka berburu sendiri-sendiri. Bersenjatakan tombak dan senapan rakitan sendiri yang keakuratannya sangat diragukan. Mereka berburu mengendap-endap di sela pohon dan lilitan akar rotan, menembak dengan jarak dekat. Jika berburu memakai tombak, seorang lelaki harus mengahabiskan tenaga ekstra untuk bertarung dengan babi, sebab dengan satu tombakan, babi tidak serta-merta langsung tumbang dan terjungkal. Mesti ditambah dengan beberapa sabetan golok. Lelaki-lelaki Suku Anak Dalam punya tatapan yang dingin—saya rasa. Sedang perempuannya lebih suka bergelut di genah, bercerita, mencari kutu yang punya habitat tersendiri di rambut mereka, dan kemudian tertawa-tawa memperlihatkan gigi mereka yang kuning dan hitam. Setelah berhari-hari di rimba, akhirnya mereka dekat juga dengan saya, tertawa bersama sambil menyalakan api dengan tungku seadanya. Eko memberikan obat pada beberapa bocah yang terjangkit TBC. “Dulu di hutan ini semua penyakit ada obatnya,

Foto : Fatris M

“Kita harus menginap di kampung ini.” Setelah itu saya diam, gelap mulai mengambang di pedusunan Banai, sekitar 450 kilometer dari Kota Padang ke arah timur. Setelah berjam- jam diguncang mobil, lelah sepertinya sudah tidak bisa ditawar. Jalan tanah yang kuning, licin, dan jurang terjal menanti. 60 kilometer tanpa lampu, tanpa sinyal seluler. Jika saja mobil ini mogok, kepada siapa hendak mengadu? Ah, pikiran saya terlalu ciut untuk perjalanan seperti ini. Tapi saya telah merasa tenang mendengar keputusan Eko untuk menginap di dusun itu. Beberapa lelaki duduk bergerombol di warung kecil dengan cahaya lampu minyak tanah seadanya. Bermain domino, mengusir kesunyian dengan susunan batu domino yang dihempaskan sekenanya. Hujan tidak kunjung reda. Besok pagi perjalanan akan kami lanjutkan. Mobil dengan gardan ganda yang kami tumpangi tak sanggup lagi melewati jalanan yang licin, melintasi sungai yang arusnya kian tinggi dan deras. “Ke sana kita nanti,” ujar Rio. Lelaki tegap dengan kalung coklat melingkari leher itu menunjuk lapisan bukit yang jauh dan hijau, kabut tipis yang perlahan diusir sinar matahari. Pagi tanpa kopi, kami melintasi jalan licin lagi, menyeberang sungai, menyibak belukar. Jejak hewan rimba masih begitu kentara di jalan tanah yang digerus hujan, sebuah pertanda bahwa kami bertiga telah cukup jauh masuk ke dalam rimba Bukit Barisan. Beberapa anak tanpa pakaian dengan tatapan kosong mengikuti kami. Saya benar-benar telah berada di antara Suku Anak Dalam. Perempuan-perempuan muda dengan pakaian seadanya menggendong anak, menatap tak senang kepada saya. Barangkali karena saya orang baru, orang luar yang mereka sebut dengan 'orang terang'. Tapi tidak kepada Rio, yang telah cukup lama berdampingan dengan mereka di rimba ini. Saya masih memperhatikan kalung yang dikenakannya dari dekat. Ia merasa risih. “Ini kalung sebalit sumpah,” katanya. Kalung tanda penghormatan Suku Anak Dalam. Belum satupun lelaki yang saya temui memiliki kalung seperti itu, termasuk anak suku. Siapa yang memakai kalung semacam itu adalah orang yang layak dipercaya. Ah, saya tidak tahu makna apa selanjutnya. layak dipercaya. Ah, saya tidak tahu makna apa selanjutnya. Anak-anak itu masih menatap saya dengan melotot. Sebagian dari mereka memakai caond, cawaik, kain yang diikat untuk memutup kemaluan, sebagian lain tanpa pakaian apaapa.“Duar!” Suara tembakan menyentak kesunyian seketika. Kencang. Semua terdiam, saya berdegup. Kemudian terdengar teriakan dari jauh, “oi”. Teriakannya pendek sekali. Spontan, semua anak-anak dan beberapa wanita tertawa. Saya belum mengerti. Bujang Paibo yang kelihatan masih berusia remaja dan dua lelaki lainnya berjalan tergesa menuju arahsuara teriakan tersebut. Nun, ke arah jurang sana. Tak berapa

ada penangkalnya. Hutan memberikan apa segala yang baik bagi kami,” begitu seorang perempuan tua yang tak memiliki nama mengeluh tentang cucunya yang sakit. Sekarang hutan telah mulai menipis dan tumbuhan obat telah sulit dicari.

Beberapa anak lelaki membawa parang berjalan ke arah rimba yang cukup lebat. Mereka berangkat mencari jerenang (dragon blood). Jerenang merupakan hasil hutan yang harganya cukup mahal di pasaran dunia. Di perkampungan cukong membeli dengan harga 1 juta per kilonya. Tak lebih. Pencarian jerenang kadang makan waktu berhari-hari lamanya. Dikumpulkan sedikit demi sedikit, yang kemudian dijual ke cukong. Hutan Sumatera termasuk penghasil jerenang terbesar di dunia setelah Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Begitu menurut cukong. Jerenang ini juga yang membuat Suku Anak Dalam tergila-gila dengan harta benda moderen yang dimiliki orang kampung: motor dan telepon genggam. Padahal di tengah rimba raya seperti ini, jangankan sinyal seluler, listrik pun entah berapa puluh kilometer dari sini. Tapi mereka memiliki telepon genggam. Yang jelas, itu adalah alat penangkal kesunyian rimbaraya. Yang berguna dari telepon genggam mereka hanyalah program untuk mendegarkan lagu, lagu-lagu pop Minang yang diuploadkan konter penjual ponsel di pasar perkampungan yang jauh di sana. Matahari mulai redup. Cahaya keemasan seperti jarum yang datang menghujan dari sela-sela dedaunan. Malam mulai datang bagai selimut raksasa. Hanya ada kilau kunang-kunang. Hanya ada cericit suara jangkrik. Daun-daun gugur yang jatuh dari pohon besar terasa begitu terdengar, suara ranting yang dipatahkan binatang malam jelas sekali di pendengaran. Malam hanya batas kelam, selebihnya hanyalah sangsai, hanyalah kemurungan yang kosong dalam gelap dan pekat. Membuka atau menutup mata sama saja. Dalam gelap tidak ada yang bisa dilihat. Di saat begini, kau akan merasa kian dekat dengan penguasa semesta, sang pemilik jagad raya, sedekat kegelapan dan dirimu sendiri. Malam datang lebih cepat di hutan Banai. Dan pagi lebih lama tiba. Anak-anak Suku Anak Dalam tidur tanpa lampu. Mereka tidur di genah yang berbeda dengan orang tua. Rata-rata perempuan suku ini melahirkan banyak anak. Idar, misalnya. Umurnya kira-kira belum sampai 30 tahun, namun dari rahimnya telah lahir 9 orang anak yang dilahirkan tanpa pertolongan persalainan. Suku Anak Dalam tidak memiliki pengetahuan tentang kalender, hanya berpatokan pada pepohonan. “Saya lahir ketika pohon durian itu masih sebesar ini,” kata seorang laki-laki sambil memegang paha mengandaikan besarnya pohon. Sekarang pohon tersebut sudah satu meter diameternya. Berapakah umurnya, saya tidak tahu pasti. Hanya mengira-ngira saja. Anak-anak terlahir, mereka tidak bernama. Suku Anak Dalam jarang memiliki nama. Dan kalaupun orang tua mereka sempat memberi nama, nama mereka unik-unik dalam pendengaran manusia di kota. Nama mereka kadang diambil dari bagian tumbuhan seperti Bungo Durian atau Gadih Bungo. Atau terkadang nama diambil dari sifat dan watak pemiliknya seperti Bujang Pamenan, Iroih, Panyiram. Namun, ada juga nama-nama seperti Isa, Yusuf, Ferdian, dan Dewi. Akan tetapi lebih banyak di antara anak-anak itu tidak memiliki nama, walau usia mereka telah remaja atau tua. Menghabiskan hari-hari bersama Suku Anak Dalam tidaklah membosankan seperti di bangku kuliah dulu. Mereka mengajari saya tentang tumbuhan apa yang boleh dimakan dan yang tidak, apa yang boleh ditebang dan tidak. Bahkan ada jenis kayu yang tidak boleh ditebang, dan kalau ditebang ikan-ikan di sungai akan mati. Air akan teracuni oleh getah kayu itu. Dan ternyata getah kayu tersebut sangat beracun. Dan saya, mengajari mereka cara memasak dengan bumbu biar terasa lezat, sebab masakan mereka tidak pernah memakai bumbu selama ini.

Penciuman dan pendengaran mereka sangat tajam—kecuali terhadap bau badan karena mereka hampir tidak pernah mandi. Mereka bisa saja mengetahui gerak babi dari kejauhan atau dengus harimau yang tidak boleh diganggu. Dan yang pasti, Suku Anak Dalam di hutan Banai tidak mencuri. Hal ini termasuk yang tidak dibolehkan dalam tatanan kehidupan mereka: mencuri, memperkosa, membunuh, dan perilaku biadab lainnya. Mereka mempercayai Tuhan dengan ungkapan sederhana: di mano ado bungo di sano ado dewo, di mana ada bunga di sana ada dewa. Mereka juga mempercayai roh dan kekuatan gaib, semisal dalam upacara kematian yang mereka sebut “Malangun”. Upacara ini adalah upacara di mana mereka berbenah untuk mencari tempat yang baru. Menurut mereka, jika ada di antara anggota suku yang meninggal di tempat yang selama ini mereka tinggali berarti tempat itu sudah dikutuk, tidak layak lagi ditinggali. Dan mereka pun akan berjalan hampir enam bulan lamanya. Berpindah-pindah. Mencari tempat bermukim yang baru. Dengan cara seperti itu maka tempat tinggal dan rimba mereka akan diberkati. “Jika kita punya pikiran yang sama, berarti kita dari moyang yang sama,” begitu Panyiram tua berkata suatu saat. Saya mengaminkan, toh kita dari keturunan manusia pertama. Menurut pengakuan mereka, mereka adalah keturunan keluarga Pagaruyung, sebuah kerajaan Minangkabau yang konon pernah termasyur di bagian tengah Sumatera. Hal ini tercermin dari kehidupan mereka yang matrilineal sebagaimana orang Minangkabau. Tapi entahlah. Banyak versi tentang asal-usul mereka yang berperawakan kulit sawo matang, rambut agak keriting, dan memiliki telapak kaki tebal ini. Ada pula yang mengatakan, Suku Anak Dalam merupakan kelompok Melayu Tua, satu generasi kedatangan dengan Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak. Kelompok Melayu Tua yang merupakan eksodus gelombang pertama Yunan (dekat lembah sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia Selatan tahun 2000SM. Mereka kemudian tersingkir, lari ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi sekitar tahun 2000/3000SM. Ini rambutan, makanlah!” Idar datang dengan senyum terbuka menyeringai, memamerkan giginya yang somplak di sana-sini dan hitam. Senyum yang begitu sederhana, sesederhana kehidupan ia dan anak-anaknya di rimba belantara ini. Tak berapa bulan lagi, ribuan hektar hutan Banai akan ditebang habis. Buldozer dan alat pengerat kayu akan saling meraung di dalam rimba Banai ini. Hutan Banai akan dijadikan lahan perkebunan, kayu dan rotan akan rebah dan berganti dengan komoditi perkebunan karet dankelapa sawit yang kurang ramah itu. Dan mereka, Anak Suku Dalam itu musti pindah, entah ke rimba jauh manalagi. Barangkali “malangun” tidak lagi diperingati sebagai sebuah tradisi untuk perpindahan mereka karena kematian saudara mereka, tetapi 'upacara' untuk hutan yang telah tiada. (Fatris MF)

Foto : Fatris M

Kehidupan

/September 2012

13


SAGA UTAMA

Dialog Pakar

MINANG MENUNTUT

NAGARI ISTIMEWA DICANTUMKAN DALAM RUU DESA

Perlu Musyawarah Besar Merumuskan Formulasi Pemerintahan Nagari Setangkup dengan Adat, Agar Tak Berlangsung Ambigu Kronis Pengantar

N

agari tagaduah lagi. Rasa tagaduah itu seiring dengan wacana Rencana Undang-Undang (RUU) Desa yang menuai kontroversi di berbagai daerah di Nusantara, terutama di Sumatera Barat. Pasalnya formulasi pemerintahan nagari dirasakan semakin ambigu kronis, jarak dari adat yang memberi sifat istimewa pada nagari sebagai inti subkultur Minangkabau. Karenanya orang Minang menuntut nagari sebagai daerah istimewa dipelopori LKAAM se-Sumatera Barat sampai ke DPR RI, DPD RI dan Kementerian Dalam Negeri RI. Secara kategoris, mungkin maksud Pemerintah menawarkan RUU itu sebagai solusi dari belum optimalnya fungsi desa sebagai ujung tombak pemerintahan di tingkat terendah. Sebenarnya di sisi lain diskursus mengenai Desa cukup sering, jauh sebelum RUU ini diusulkan. Berbagai regulasi produk perundang-undangan dan kebijakan publik lainnya sudah beberapa kali disahkan dan diimplementasikan misalnya UU 5/1979 tentan Pemerintahan Desa yang pernah memarjinalkan fungsi nagari, kemudian dicabut lagi dengan regulasi baru, terakhir UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI tentang Desa, menyusul RUU Desa sekarang. Berbagai pihak menilai bahwa regulasi itu belum mampu menjawab persoalan substansial mengenai Desa dan atau nama lain, terkait dengan otonomi dan sifat istimesa yang dimilikinya. Versi Pemerintah, RUU Desa yang tengah diajukan ke DPR RI inilah sebagai jawaban untuk lebih mendudukkan posisi dan fungsi Desa dan atau nama lain sekaligus upaya optimalisasi pemberdayaannya sebagai pemerintahan terendah dalam sistem tata pemerintahan NKRI. Terlepas dari persoalan menyangkut Desa, ternyata RUU itu juga dinilai banyak kalangan sangat potensial menggerus keberadaan berbagai kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang ada, akibat penyeragaman format, sistem dan mekanismenya versi Desa. Padahal konstitusi sendiri mengakui eksistensi selain Desa, yakni dari filosofi hak asal usul dan kesatuan masyarakat hukum adat, terutama Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, dan sebutansebutan lainnya di berbagai daerah. Zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen yang banyaknya sekitar 250 buah ini mempunyai susunan asli dan punya spesifik, karenanya pasal 18 UUD 1945 menggariskan sebagai daerah yang bersifat istimewa. Menyikapi munculnya RUU ini berbagai kalangan di Sumatera Barat seperti tadi

14

/September 2012

LKAAM disusul akademisi, praktisi/ Wali Nagari dan sebagainya menyataan menolak. Bahkan lebih dari itu, LKAAM telah mengajukan tuntutan agar pemerintahan dan pemerintah memberikan hak istimewa kepada Nagari sebagaimana amanah konstitusi (UUD 1945) sendiri. Membicarakan ketergaduhan nagari menyusul wacana RUU Desa tadi, terutama terkait dengan dampaknya terhadap eksistensi dan keberlanjutan Nagari di Sumatera Barat, SAGA mengadakan Diskusi Terbatas, di Ruang Redaksi SAGA, Selasa 7 Agustus 2012. Diskusi menghadirkan para pihak yang dinilai berkompeten. Hadir sebagai nara sumber dalam diskusi ini M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu (Ketua LKAAM Sumatera Barat), Nursyirwan Effendi (Guru Besar Antropologi UNAND sekarang Dekan FISP Unand dilantik 24 Agustus 2012), M. Yani dan Zainuddin S. (Biro Pemerintahan Setdaprov Sumbar), Asraferi Sabri (Wali Nagari Pasia, IV Angkek Canduang Agam, Ketua Forum Wali Nagari/ Forwana Agam), Fadlan Maalip Tuanku Bosa XIV (Pucuk Adat/ Ketua KAN Nagari Talu), Asnawi Bahar (Ketua KADIN Sumbar) dan Hartomi. Hadir juga Pemred SAGA Yulizal Yunus beserta Tim Redaksi; Faisal Zaini Dahlan (sebagai moderator), Muhammad Ibrahim Ilyas, Zelfeni Wimra dan Fatris Mohammad Faiz. Diskusi alot dan menarik itu, memperlihatkan kekayaan pemikiran tentang Minang ke depan terutama tentang nagari dan pemerintahannya, dapat disimak berikut ini. Dampak Serius RUU Desa: Nagari Terbelah Dalam pandangan M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, RUU Desa memang mengancam eksistensi dan keberlanjutan Nagari di Sumatera Barat. Menurutnya, RUU ini hanya merupakan copy paste dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 yang melakukan penyeragaman model Desa administratif terhadap seluruh pemerintahan terendah. Regulasi produk Orde Baru ini tidak hanya melakukan penyeragaman dengan istilah Desa, tetapi juga seluruh lembaga kemasyarakatan di tingkat terendah turut menjadi seragam dan korporatis, seperti LKMD, PKK, Karang Taruna, P3A, Dasa Wisma, dan sebagainya. Dampak lebih lanjut dari RUU Desa (jika disahkan menjadi Undang-undang) menurut Ketua LKAAM Sumatera Barat ini, akan memecah belah Nagari menjadi desa-desa kecil. Inilah yang terjadi ketika UU Nomor 5 Tahun 1979 diberlakukan tempo hari. Akibat pemberlakuan regulasi tersebut menurut hasil penelitian Universitas Andalas, selama 23 tahun perubahan dari Nagari ke Desa telah terjadi perubahan yang sangat dahsyat terhadap tatanan sosial kemasyarakatan di Sumatera Barat. Kekacauan dan perubahan geneologis matrilinial serta geneologis teritorial telah terjadi. Secara geneologis matrilinial, kerukunan antar suku terganggu sebab peran pemangku adat mengalami marjinalisasi dalam sistem pemerintahan Desa. Demikian pula pusako tinggi cenderung semakin banyak mengalami peralihan hak kepada pihak lain. Status tanah ulayat

ulayat,yakni ibu tertua dalam lembaga paruik, mamak kepala waris, dan mamak kepala kaum suku (Pangulu). Prinsip “kamanakan barajo jo mamak, mamak barajo jo pangulu, pangulu barajo jo nan bana, nan bana berdiri sendirinyo” akan tergerus dan pelan-pelan hilang dari masyarakat. Begitu pula kekacauan dan perubahan geneologis teritorial berlangsung selama kurun waktu itu. Batas wilayah menjadi kacau dengan berubah dan terbelahnya Nagari menjadi Desa dan Jorong. Perubahan ini berbuntut pula pada wilayah kewenangan pemuka adat yang mengalami split atau terpecah. Hal seperti ini jugalah yang akan terjadi manakala rencana regulasi itu diundangkan menjadi produk hukum yang mengikat di seluruh wilayah NKRI. Menurut M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, kekacauan dan perpecahan itu tidak hanya terjadi di tingkat lokal, tetapi juga sesungguhnya berimbas pada tingkat nasional. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibangun di atas warna-warni keragaman yang dimiliki oleh daerah-daerah. Semboyan Bhinneka Tunggakl Ika yang menjadi prinsip dasar NKRI sebagai dua pilar dari empat pilar kehidupan berbangsa mengakui dengan kesadaran yang mendalam bahwa kekuatan bangsa ini terjalin dari persatuan keragaman dan perbedaan yang menjadi kekayaan bangsa itu. Di samping ada bentuk kesatuan masyarakat Desa di Jawa dan Bali, ada pula Nagari di Minangkabau, Marga dan Dusun di Palembang, Gampong dan Keucik di Aceh, dan sebagainya. Ketika dilakukan penyeragaman, maka kekayaan ini menjadi rapuh dan tentu mengancam kesatuan yang telah terbangun dengan susah payah selama ini. Rasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap warisan adat budaya daerah masing-masing sebagai bagian dari NKRI akan luntur manakala semuanya sudah diseragamkan, diserupakan, dan disewarnakan. Menurutnya, mestinya justru negara mengakui hak asal-usul dan kekhasan masyarakat hukum adat tersebut dalam regulasi (UndangUndang), sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 18, bukan malah menggerusnya. Untuk itu ia mengusulkan tuntutan Nagari Istimewa untuk menjawab RUU Desa tersebut. Dalam RUU itu, tuntut Ketua Umum LKAAM, mesti ada klausul yang menjelaskan keistimewaan Nagari di Sumatera Barat yang membedakannya dengan sistem pemerintahan terendah lainnya. Sebab, tidak bisa dibantah bahwa memang sistem Nagari yang dimiliki oleh budaya Minangkabau tidak bisa disamakan dengan Desa di Jawa dan Bali. Karena itu menurutnya penamaan RUU ini pun bermasalah, dengan menamakannya sebagai RUU Desa. Ia mengusulkan –mengingat keragaman yang dimiliki daerah- nama “RUU Pemerintahan Terdepan” atau “RUU Pemerintahan Terendah” lebih tepat sehingga bisa mewadahi keragaman yang ada. Usul ini menurutnya telah disampaikan kepada Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri yang mengusulkan RUU tersebut, dan sejauh ini usul itu diapresiasi. Namun mengingat proses dan mekanisme regulasi telah sampai ke DPR RI, maka usul itu disarankan Gamawan lebih tepat diperjuangkan di tingkat lembaga legislatif itu. Komitmen dan semangat mempertahankan kekhasan budaya dalam kesatuan berbangsa dan bernegara ini menurut M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu juga dimiliki oleh daerah-daerah yang memiliki kesatuan masyarakat hukum adat yang lain. Untuk memperkuat komitmen dan menyatukan visi misi telah dibuka semacam Posko Perjuangan Lembaga Adat Nusantara (LAN) di Jl. Kramat - Jakarta. Bentuk Pemerintahan Nagari Tak Jelas Asraferi Sabri, Wali Nagari Pasia IV Angkek Agam, mengemukakan pandangan yang tidak jauh berbeda mengenai RUU Desa ini. Ketika membaca RUU tersebut, menurut pandangannya rencana regulasi itu ternyata tidak lebih hanya sekedar “mereformulasi” UU Nomor 5 Tahun 1979 yang telah dibatalkan, ketimbang solusi Asraferi Sabri penyelesaian masalah. Ironisnya, selama inipun dengan regulasi terbaru (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah) “Nagari” hanya sebatas “merek” saja, sementara substansinya tetap Desa. RUU Desa yang sedang diajukan ke DPR RI ini menambah deretan panjang ketidakjelasan bentuk pemerintahan terendah di negeri ini. Menurut Sekretaris Forwana (Forum Wali Nagari) se Kabupaten Agam ini, dari sisi substansi juga terjadi pergeseran yang fundamental dalam sistem pemerintahan versi RUU ini. Dalam RUU Desa ini wewenang Kepala Desa begitu besar mencakup kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Kepala Desa menjadi penguasa tunggal di wilayahnya. Jika sebelumnya Bamus (Badan Musyawarah Desa) bersama Kepala Desa merupakan unsur Pemerintahan Desa sebagai penyelenggara pemerintahan, dalam RUU ini istilah Pemerintahan Desa hilang dan yang ada hanya Pemerintah Desa (BAB V Pasal 23 RUU Desa). Unsur masyarakar yang terwakili dalam BPD (Badan Permusyawaratan Desa) versi RUU ini hanyalah berkedudukan sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan yang berfungsi sebagai penampung dan penyalur aspirasi masyarakat serta memberi masukan, saran, dan penyempurnaan dalam “perumusan” regulasi yang “ditetapkan” oleh Kepala Desa (Pasal 49 RUU Desa). Dalam regulasi ini, di Desa tak ada lagi Pemerintahan, hanya yang ada Pemerintah, dan sistem seperti ini tidak bisa diterima. Dari klausul ini jelas bahwa fungsi BPD bukanlah semacam badan legislatif yang turut menentukan UU sebagaimana diemban oleh Bamus dalam sistem Pemerintahan Desa saat ini. Tidak saja dalam fungsi penentu kebijakan, Kepala Desa juga –dalam RUUbertugas, memiliki wewenang, dan memiliki kewajiban sebagai “hakim perdamaian Desa” dengan keputusannya yang bersifat final dan mengikat bagi fihak-fihak terkait (Pasal 24 Ayat 5 dan 6 RUU Desa). Ketentuan ini tentunya tidak dapat diberlakukan dalam konteks alam Minangkabau karena bertentangan dengan kearifan lokal cara dan mekanisme peyelesaian sangketa adat yang secara historis fungsi dan kewenangan kerapatan nagari (kini KAN) . Asraferi juga mengharapkan agar konsep Nagari Istimewa yang dituntut oleh LKAAM harus jelas dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai pemerintahan dan pemerintah terendah dalam sistem tata pemerintahan NKRI. Keistimewaan yang diminta mesti duduk persoalannya, sebab secara substansi yang diharapkan adalah menyatunya (setangkup) antara fungsi pemerintahan adat dan pemerintahan NKRI, tidak ada kesan dualisme atau dikotomi sebagaimana yang cenderung terjadi selama ini. Sebab keduanya tidak bisa dipisahkan dalam konteks sebagai anak nagari berbudaya Minangkabau yang memiliki sistem dan kekhasan tersendiri di satu sisi, serta sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan terendah dalam NKRI. Ia berharap juga agar berbagai lembaga kemasyarakatan yang dimunculkan di Nagari harus sejalan dengan semangat penguatan peran adat dan budaya lokal di nagri. Nagari Tagaduah, Lantaran Peran Negara Menguasai Guru Besar Antropologi Universitas Andalas, Nursyirwan Effendi secara tegas menyebut bahwa sejak zaman Belanda hingga kini Nagari selalu “digaduah” yang membuat kita repot karena terkait dengan hal-hal yang prinsipil menyangkut aspek sosial budaya, ekonomi, dan seterusnya. RUU Desa yang tengah diajukan sekarang inipun tetap “manggaduah” Nagari. Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik UNAND ini menggarisbawahi bahwa peran Negara vis a vis dengan masyarakat bangsa ini adalah dalam peran mengatur, bukan menguasai. Karena itu hendaknya pemerintah tidak menganggap kesatuan-kesatuan masyarakat adat sebagai komunitas kecil yang dikuasai dan dapat diubah. Dibandingkan dengan zaman kolonial Belanda, menurutnya saat ini Nagari hanya menang nama karena memang ada pengakuan secara legal tentang nama Nagari. Tetapi di zaman Belanda, Nagari menang isi, karena meski tidak diakui secara legal nama Nagari, namun sistem Nagari itu secara substansi berjalan dengan baik, adat diserahkan ke ninik mamak dan agama kepada ulama. Menurut Nursyirwan, tampaknya pemahaman konstalasi politik pemerintahan hanya melihat Nagari tidak lebih dari sekedar urusan

/September 2012

15


Menurut Nursyirwan, tampaknya pemahaman konstalasi politik pemerintahan hanya melihat Nagari tidak lebih dari sekedar urusan pemerintahan semata. Padahal lebih dari itu, Nagari adalah satu unit sosio politik tradisional yang lahir dari kekhasan mencerna alam lingkungan yang ada di alam sekitarnya. Unit sosio politik yang khas ini bukanlah hasil tiruan dari orang lain, bukan jiplakan dari orang Jawa, Aceh, Papua, dan Nursyirwan Effendi seterusnya. Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang spesifik dan memiliki kekuatan identitas di samping kekuatan sosial. Spesifikasi inilah yang tampaknya tidak dimengerti oleh pembuat regulasi . Nagari sebagai kesatuan yang memiliki hak asal-usul sejak awal telah memiliki sistem tersendiri. Anak Nagari punya wakil-wakil dari tiap suku yang terkait dengan sistem keturunan, dan kemudian merekalah yang membuat dan mengatur sistem sosial kemasyarakatan sendiri. Realitas sosio historis Nagari ini khas dan berbeda dengan sistem pemerintahan lain yang justru membuat sistem dulu baru kemudian diaplikasikan pada masyarakat. Selain itu menurut Nursyirwan, RUU Desa yang dibuat saat ini karena tidak berangkat dari kondisi riil daerah seperti Sumatera Barat, maka daerah yang berbudaya Minangkabau ini tidak memerlukannya. Regulasi itu terlalu modern sehingga tidak sesuai dengan konteks daerah jika diterapkan. Sebagai konstalasi sosial budaya, kondisi Nagari saat ini memprihatinkan. Anak Nagari sudah cenderung tidak menunjukkan rasa memiliki terhadap Nagari dengan segala komponen sosial budayanya. Fenomena pemekaran Nagari misalnya, merupakan hal serius dalam konteks ini. Dari 543 buah Nagari pada awalnya di zaman Belanda, kini berubah menjadi 748 Nagari. Perubahan ini tentunya membawa permasalahan tersendiri dari berbagai aspek adat budaya lokal di samping aspek kehidupan masyarakat lainnya. Demikian pula pada aspek ekonomi, Nagari menurut Nursyirwan memiliki sistem ekonomi kerakyatan. Di dalamnya hidup sejumlah anak Nagari yang bergantung kehidupannya pada ekonomi lokal, sebagai pelaku ekonomi mandiri. Karena itu tidak banyak Nagari yang berhasil menjadi sasaran empuk para investor. Mereka hidup dengan segala kebebasan yang diberikan alam Nagari. Sangat ironis membayangkan bagaimana jadinya jika Nagari hilang. Kalau ini yang terjadi, tentunya mengancam eksistensi dan keberlanjutan keMinangkabauan itu sendiri. Nursyirwan mengkritisi RUU Desa yang menurutnya banyak memuat kata sosial budaya tetapi tidak memiliki rumusan yang jelas mengenai formulasi pemerintahan terendah yang pas dengan nagari yang bersifat istimewa. Lebih lanjut menurut antroplog alumni Faculty of Sociology Universitat Bielefeld Deutschland Germany ini, Minangkabau dengan keunikan yang dimilikinya bisa diusulkan sebagai salah satu warisan budaya dunia (world heritage) yang diakui dan dilindungi. Keunikan tersebut tidak kalah dari warisan budaya lain di tanah air yang telah memperoeh pengakuan dari Unesco. Demikian pula warisan budaya “alam takambang jadi guru” sebenarnya bisa diusulkan sebagai bioetik yang mendapat pengakuan dunia. Inilah sebagian keistimewaan dan keunikan milik Minangkabau yang mmestinya diapresiasi oleh pemerintah. Fenomena Pemekaran dan Realitas Internal Nagari Sendiri Menurut M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, dalam konteks adat budaya Minangkabau, mestinya Nagari tidak begitu saja bisa dimekarkan karena terkait dengan adat salingka Nagari. Namun dalam realitanya selama ini telah berlangsung pemekaran Nagari dengan berbagai alasan. Terkait fenomena ini, Asraferi Sabri mempertanyakan sejauh mana fungsi Adat Salingka Nagari itu tercermin dalam M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu kehidupan riil masyarakat kita. Bahkan

16

/September 2012

konsesus dan filosofi Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) sendiripun mulai pudar dari kehidupan sehari-hari. Karena itu menurutnya, semangat kembali ke Nagari Istimewa itu harus difokuskan ke mana arahnya. Apakah yang dimaksud adalah Nagari dalam konteks hukum adat, ataukah Nagari dalam konteks wilayah pemerintahan. Mendudukkan konteks Nagari Istimewa itu sendiri menurut Asraferi sudah cukup dilematis. Saat ini ada 748 buah Nagari hasil pemekaran dari 543 buah Nagari, sementara jumlah Kerapatan Adat Nagari (KAN) berjumlah 520 buah. Konsekuensinya, jika disinerjikan antara Nagari dalam konteks hukum adat dengan Nagari dalam konteks wilayah pemerintahan, maka akan terjadi ada satu KAN mewadahi 2 atau 3 Nagari. Bisakah bekerjasama 2 atau 3 Nagari itu dalam satu KAN? Inilah menurutnya contoh kasus kongkrit ketika Adat Salingka Nagari tidak diatur sesuai tatanan Nagari, dan ini merupakan tantangan tersendiri bagi ide Nagari Istimewa. Realitas selama ini menurut Asraferi masih terbatas pada sloganslogan dan wacana. ABS-SBK tampaknya hanya baru berupa filosofi dan janji yang belum terisi, demikian pula kembali ke surau. Sistem matrilineal juga hanya sebatas identitas. Demikian pula lembaga yang ada di Nagari, belum sepenuhnya sesuai dengan tuntunan. KAN saat ini cenderung bukan lagi sebagai Kerapatan Adat Nagari, tetapi “Kerapatan Adat Negara”, bukan limbago, tetapi lembaga. KAN yang ada sekarang yang cenderung memperlihatkan kesan organisasi bentukan baru dikangkangi Peraturan Daerah (Perda) khususnya tentang Pokok-pokok Pembentukan Nagari. Karena itu, ada Perda yang mengintervensi dalam menggariskan keanggotaan KAN terdiri dari urang nan ampek jinih (penghulu, manti, malin dan dubalang), bukan para datuk dan penghulu serta perangkatnya saja. Bahkan dalam LKAAM sendiri ada pengurus yang bukan datuk dan penghulu. Ternyata begitu banyak persoalan internal Nagari sendiri yang mesti didudukkan sebelum melangkah lebih jauh, seperti yang diungkap Asraferi tadi. Belum lagi masalah luhak dan rantau yang memiliki perbedaan dalam adat dan budaya. Menurutnya jika ditelusuri benar, maka wilayah yang benar-benar Minangkabau itu hanyalah Luhak Nan Tigo saja, karena wilayah rantau sudah beragam seperti Pesisir Selatan dan Pasaman. Sedangkan di daerah rantau ini sudah banyak intervensi nilai baru, bahkan ada terkesan Nagari tidak berpenghulu. Pertanyaannya, apakah kita akan menyamakan sistem antara Luhak dan Rantau ini? Jika tidak, bagaimana format Nagari di wilayah rantau tersebut? Menurutnya, jika sulit mencari solusi antara luhak dan rantau, bisa saja format Nagari Istimewa itu difokuskan ke daerah luhak saja terlebih dahulu, sedangkan untuk rantau ditunda sementara mencari format pemerintahan nagari yang cocok di luhak dan rantau. Selain itu, Asraferi juga mengkritisi rencana bantuan anggaran dari pemerintah sebesar 1 milyar per Desa, karena kepastiannya masih dipertanyakan. Menurutnya, rencana itu justru menjadi bahan bagi politisi dalam memuluskan RUU Desa, padahal di samping kepastian yang belum jelas juga dampaknya terhadap pemekaran Nagari sangat besar karena tergiur dengan rencana anggaran/ kue pembangunan itu di samping menciptakan peluang berbagi kekuasaan. Muncul dan

berkembanglah anggapan bahwa kita akan sangat rugi jika tidak memanfaatkan UU Desa tersebut. Contoh Alternatif dari Talu Menyinerjikan Pemerintahan Nagari dan Adat Pucuk Adat Nagari Talu, Fadlan Maalip Tuanku Bosa XIV, masih memiliki optimisme yang besar terhadap Nagari. Berdasarkan pengalaman empiris beliau sebagai Pucuk Adat merangkap Ketua KAN selama lima tahun di Nagari Talu, sinergisme antara adat dengan pemerintahan terendah sangat kental di nagarinya. Wali Nagari tidak bisa berbuat apaapa kalau tidak mendapat persetujuan dan dukungan dari pucuk adat. Menurutnya, kekuasaan yang dimiliki pucuk adat itu tidak digunakan untuk menghambat program pemerintahan terendah tersebut, tetapi justru Fadlan Maalip Tuanku Bosa XIV memperkuatnya. Pengalaman Fadlan Maalip Tuanku Bosa XIV Pucuk Adat yang juga Ketua KAN Nagari Talu sinergi dan pembagian hak wewenang antara kedua unsur itu berjalan di N a g a r i n y a . Pemerintah Nagari dalam melaksanakan t u g a s d a n tanggungjawabnya dibantu oleh para Kepala Jorong. Namun aparatur pemerintahan ini tidak bisa begitu saja keluar masuk ke kampung-kampung karena kampung dipimpin oleh Datuk nan-16 dan Penghulu nan-8. Di sinilah terlaksananya pembagian tugas dan wewenang dalam melayani kepentingan masyarakat. Jika ada sesuatu yang terjadi di kampung menyangkut urusan publik yang perlu diselesaikan, maka akan diurus secara adat. Urusan yang terkait dengan adat akan diteruskan kepada KAN, sementara yang menyangkut bukan adat akan diteruskan kepada Wali Nagari. Menurutnya, mekanisme seperti ini cukup membanggakan sebagai anak Nagari Minangkabau. Karena itu, meskipun kurang menguasai adat, tetapi pantang bagi kaum adat jika disebut tidak tahu jo nan ampek (kato/ jalan mandata, mandaki, menurun dan malereng). Sebuah malu besar bagi orang Minang jika dikatakan tidak tahu jo adat. Berdasarkan pengalamannya sebagai Pucuk Adat Nagari Talu, sebagai wilayah kesatuan hukum adat, menurut Fadlan bisa saja dilakukan penyelesaian masalah hukum dengan adat. Di Talu sudah ada Mutual of Understanding (MOU) dengan pihak Kepolisian di samping sudah disebut dan diterbitkan buku “Adat Salingka Nagari Talu”. Menurutnya, daerah-daerah menjerit karena hak Datuk sebagaimana menurut ketentuan adat diambil alih oleh pihak pemerintahan. Fenomena yang terjadi di lapangan, seperti kata pepatah ka hutan babungo kayu, sekarang kayu menjadi pemasukan negara. Ka sungai babungo pasia, sekarang menjadi galian C dan menjadi PAD Kabupaten. Namun di Talu menurut beliau, pengambilan kayu ke hutan bisa dilakukan atas izin pucuk adat dan dilegalisir pihak Dinas Kehutanan. Meski demikian, uang hasil penjualan kayu diterima oleh Wali Nagari yang kemudian diserahkan

ke Lembaga Pucuk Adat. Aturan tersebut berjalan dengan baik di Nagari Talu dan tanah ulayat masih utuh. Justru di Talu sudah ada sistem, mekanisme dan struktur menyinergikan pemerintahan nagari dan adat. Pucuk Adat Nagari Talu yang juga Bendahara Umum LKAAM Sumatera Barat ini juga memfungsikan pemuka adat dalam persoalan hukum. Menurutnya, kita harus menghargai hukum adat. Munculnya lembaga kerjasama antara aparat keamanan dan kaum adat, seperti BKKBM, perlu dikaji lebih lanjut mengingat persoalan keamanan dalam Nagari harus dilaporkan ke badan tersebut, mestinya menjadi urusan dalam Nagari lebih menjadi wewenang kaum adat. Prinsipnya adalah, harus ada kesepahaman antara kedua pihak (pemerintah dengan kaum adat) yang tidak saling merugikan dan tumpang tindih. Beliau mencontohkan kasus Perda Tanah Datar yang tidak disahkan dengan alasan tidak sesuai dengan pola pemerintahan sekarang. Mestinya kasus ini dijadikan introspeksi bersama dalam melihat lebih lanjut hubungan adat dan pemerintah. Membangun Ekonomi Nagari Seiring dengan tuntutan menjadikan Nagari Daerah Istimewa, Asnawi Bahar, Ketua KADIN Sumatera Barat mengatkan bahwa Nagari memiliki potensi ekonomi yang besar. Menurutnya, terkait pengembangan ekonomi di daerah selama ini terdapat persoalan yang cukup menyulitkan. Persoalan itu menyangkut ketidakjelasan status pertanahan sehingga Asnawi Bahar membuat investor atau pihak-pihak yang ingin ikut mengembangkan ekonomi Nagari menjadi ragu. Akibatnya potensi sektor ekonomi yang dimiliki Nagari belum dikembangkan secara optimal. Sektor pertanian misalnya, meski merupakan terbesar tetapi dalam perkembangan hari ini justru memberi angka kemiskinan yang besar, sehingga perlu peningkatan dan pemberdayaan. Ketika upaya peningkatan dan pengembangan ingin dilakukan, maka kejelasan status tanah seperti tanah ulayat misalnya menjadi keharusan, tidak saja dari segi regulasi perundang-undangan juga dari segi tata aturan adat. Menurut Asnawi, Nagari adalah kebanggaan kita bersama. Namun pekerjaan besar kita adalah memikirkan dan melakukan apa serta bagaimana memberdayakan kebanggaan kita itu. Termasuk mendudukkan eksistensinya antara konteks pemerintahan terendah di satu sisi dan adat (subkultur) di sisi lain. Ketika keduanya berjalan bersandingan dan tidak terjadi dualisme, menurutnya tidak akan memunculkan banyak masalah. Tetapi jika terjadi tarik menarik dua kepentingan berbeda, maka akan terjadi masalah-masalah serius. Baginya, permasalahan yang fundamental terkait dengan pemberdayaan Nagari ini adalah kejelasan regulasi yang bisa memberi jaminan bagi para pihak pengembangan. Karena selama ini masalah pertanahan yang terkait adat budaya cukup meragukan para pihak pengembangan nagari mekipun persoalannya bukan semata itu saja. Apalagi mengingat masa depan generasi berikutnya yang mesti dijelaskan hak dan kewenangannya dalam bentuk regulasi perundangundangan. Jika tidak, tentunya akan menjadi persoalan yang berlarutlarut dan tetap menjadi salah satu penghambat pengembangan dan pemberdayaan Nagari. Menurutnya, ia tidak terlalu mempermasalahkan ke mana arah regulasi yang akan diundangkan, apakah dilebur atau disetarakan, karena stressing point baginya adalah bagaimana perekonomian Nagarti bisa diberdayakan, dan untuk itu Nagari harus diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Untuk formulasi yang paling ideal menurutnya tentu harus ada duduk bersama semua unsur dan politisi terkait, semacam seminar atau lainnya. Esensi, Substansi dan Formulasi Pemerintahan Nagari Perlu Dirumus Segera Terkait dengan kondisi riil internal Nagari tadi, kembali Nursyirwan Effendi mempertanyakan eksistensi Nagari, apakah hanya tinggal plang nama saja. Demikian pula bagaimana realita

/September 2012

17


Saga Utama

nagari pada saat ini, apakah sebagai alat pembangunan atau alat kehidupan orang Minang? Menurutnya hal itu tidak jelas karena walau bagaimanapun, sistem pemerintahan juga adalah bagian dari kepentingan Nagari. Sementara jika dibandingkan dengan masa lalu, relatif tidak ada masalah karena yang dibangun adalah pemahaman tentang Nagari, bukan formalisasi Nagari sebagaimana yang berkembang saat ini. Nursyirwan mengajak kita untuk membuktikan, apa kekuatan masyarakat dengan otonomi daerah yang kemudian melahirkan sistem Nagari di Sumatera Barat. Lagi-lagi menurutnya, sekali lagi kita (Nagari) hanya menang di nama, esensi (isi) dan substansi (inti) kalah. Kondisi ini beda dengan zaman Belanda, sehingga Belanda tidak “mencikaraui” Nagari sampai ke dalam, bahkan soal adat dan agama diserahkan mengurusnya kepada masyarakat adat dan agama. Lebih lanjut menurut Guru Besar Antropologi ini, persepsipersepsi tentang nagari ini harus dikembalikan ke pemahaman yang riil tentang nagari. Nagari yang seperti apa, semua rumusan yang dirujuk bisa dijadikan acuan. Nagari seperti yang disampaikan Ketua LKAAM sudah merupakan rumusan Minangkabau. Namun formulasi yang aplikatif dan disepakati bersama tentang Nagari Minangkabau itu sangat mendesak untuk dirumuskan bersama. Dalam proses perumusan formulasi ini tidak perlu didahului oleh perdebatan yang tidak fokus, heboh berbicara dengan versi masing-masing, karena bisa jadi Nagari yang sesungguhnya justru bukan yang dipolemikkan itu. Karena pada ntataran realitas saat ini, ada Nagari nyang telah “direcoki” perundang-undangan dan ada juga yang masih sangat dipengaruhi dan sesuai tatanan adat yang diwarisan nenek moyang. Untuk merumuskan formulasi pemerintahan nagari ini mestinya perlu diselenggarakan Musyawarah Besar agar tidak terjadi lagi “ambigu kronis” pemerintahan nagari sebagaimana yang berlangsung saat ini. Tentang wacana yang mengapung saat ini bahwa ada potensi bagi Nagari yang berada di pinggiran kota dengan sistem masyarakat yang tidak lagi agraris tetapi cenderung modern akan berubah jadi kelurahan, menurut Asraferi tentu akan mengacaukan tatanan. Bagaimana di sebuah Kabupaten ada Nagari, Kelurahan, dan Desa? Dengan kondisi demikian bagaimana kita akan memperjuangkan Nagari dalam konteks Undang-Undang? Beliau khawatir sementara kita memperjuangkan keistimewaan Nagari dalam konteks RUU Desa, ternyata RUU Desa sendiri semangatnya lain. Mencari Formulasi Pemerintahan Nagari Istimewa di Perjuangkan ke DPR RI M. Yani dari Biro Pemerintahan Setdaprov Sumbar sendiri masih menyangsikan bagaimana sesungguhnya bentuk Nagari Istimewa yang kita inginkan tersebut. Hal ini menurutnya menjadi pertanyaan pemerintah pusat, yakni apanya yang istimewa. Kiranya jawaban untuk pertanyaan mendasar ini perlu kita berikan. Menanggapi M. Yani ini, Ketua LKAAM M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu justru menganggap pertanyaan itu sudah ketinggalan karena pihaknya telah jauh melakukan berbagai hal untuk memperjuangkan Nagari Istimewa ini kepada pemerintah pusat. Maksudnya adalah, kembali utuh kepada Nagari, bukan meminta provinsi istimewa. Itu yang disampaikan pihaknya dalam dengan pendapat dengan Pansus RUU Deasa di DPR RI dan juga dengan pihak-pihak lain. Meski ada bergema dalam rapat pansus ide untuk mengusulkan provinsi betul yang istimewa –dari pada tanggung-tanggung meminta Nagari Istimewa- tapi “itu kan batea-tea”, jelas beliau. Mentawai misalnya, kata beliau, jelas beda dengan nagari-nagari di Kabupaten lain di Sumatera Barat. Ada 250 Zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali, Dusun dan Marga di Palembang, Nagari di Minangkabau adalah daerah yang

18

/September 2012

LKAAM

dianggap istimewa (sebagaimana disebutkan dalam konstitusi). Daerah-daerah inilah yang mestinya diberikan status Istimewa. Menurut M. Sayuti Dt. Rajo Penghulu, hingga saat ini daerahdaerah yang berhak diistimewakan itu, belum diatur oleh pemerintah secara jelas. Artinya, kerja pemerintah pusat belum selesai. Jika memang pemerintah pusat tidak mampu, menurutnya bisa saja diserahkan pada daerah. Menanggapi pernyataan Ketua LKAAM ini, Zainuddin S dari Biro Pemerintahan Setdaprov Sumatera Barat mengusulkan penyelesaian dengan cukup mencantumkan dalam RUU Desa satu klausul bahwa pengaturan pemerintahan terendah di masing-masing daerah dilakukan oleh Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah lah yang membuat Peraturan Daerah tentang pemerintahan terendah sesuai dengan kondisi sosio kultural yang rill di daerah masing-masing. Sekilas usul ini tepat dan rasional. Tetapi pertanyaannya, bukankah desentralisasi yang menjadi dasar pemberian otonomi maupun wewenang pengaturan sendiri pemerintahan terendah oleh negara (pemerintah pusat) harus diatur oleh Undang-Undang?. SAGA-02f

Prinsip “kamanakan barajo jo mamak, mamak barajo jo pangulu, pangulu barajo jo nan bana, nan bana berdiri sendirinyo” akan tergerus dan pelanpelan hilang dari masyarakat.

[?]

/September 2012

19


wilayah kesatuan hukum adat tersebut. Pada UUD 1945 Amandemen PertamaKeempat dalam Penjelasan Pasal 18 II berbunyi: “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daeraah itu akan mengingati hakhak asal-usul daerah tersebut”. Kalimat ini menegaskan bahwa NKRI harus mengakui keberadaan desa-desa di Indonesia yang bersifat beragam dengan tidak menyamaratakan begitu saja dengan sistem desa. Keistimewaan Nagari sebagaimana diakui oleh konstitusi itulah yang diminta oleh LKAAM kepada pemerintah, agar kesatuan masyarakat hukum adat Minangkabau bisa mengatur dirinya sendiri sesuai kearifan lokal khas yang

20

/September 2012

dimilikinya. LKAAM telah melayangkan surat mohon rekomendasi usulan Nagari bersifat istimewa ini kepada DPRD Provinsi Sumatera Barat Nomor 070/LKAAM-SB/II/2012 Tanggal 20 Februari 2012. Surat yang sama dikirim pula kepada Gubernur Sumatera Barat dengan Nomor /LKAAM-SB/II/2012 Tanggal 20 Februari 2012. Surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum itupun mendapat jawaban dari DPRD Provinsi Sumatera Barat. Melalui surat Nomor 162/299/Persid-2012 Dewan mendukung upaya yang dilakukan oleh LKAAM dalam memperjuangkan penguatan status dan kedudukan nagari di Sumatera Barat. Surat yang ditandatangani oleh Ir. H. Yulteknil, MM selaku Ketua DPRD juga menyampaikan agar pokok-pokok pikiran dan rekomendasi yang diusulkan oleh LKAAM Sumatera Barat tersebut disampaikan kepada pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri. Seperti anjuran DPRD tersebut, LKAAM menyurati Menteri Dalam Negeri melalui surat Nomor 160/LKAAM-SB/IV/2012 Tanggal 27 April 2012. Surat tersebut di samping

menyampaikan dukungan dan rekomendasi DPRD agar usul tentang nagari diteruskan ke Mandagri, juga meminta kesempatan tatap muka dengan Mendagri untuk menyampaikan aspirasi masyarakat hukum adat Sumatera Barat dan berharap aspirasi itu dapat diakomodir ke dalam perubahan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut. Seperti yang telah disampaikan oleh M. Sayuti, Mendagri merespon baik usul yang disampaikan, namun karena RUU Desa (sebagai wujud perubahan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004) sudah berada di tangan DPR RI, maka usul itu disarankan agar disampaikan kepada lembaga legislatif itu saja. Tampaknya LKAAM masih menunggu proses yang berlangsung di lembaga legislatif tersebut. Yang jelas LKAAM sudah menyatakan penolakan dan bahkan “berdemo” untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Tetapi sejauh mana aspirasi itu didengar oleh wakil rakyat, kita masih menunggu. Karena, ketika berita ini diturunkan, justru anggota dewan terhormat itu sedang berlanglangbuana studi banding mengenai desa ke Brazilia!

/September 2012

21


Saga Utama

SEJARAH NAGARI

ebijakan “kembali ke nagari” sebagai strategi

yang bertali darah dilihat dari garis ibu. Namun suku tidak

pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat

merupakan satu persekutuan hukum, karena suku dapat

mengundang pembicaraan hangat publik. Tidak saja

berpencar di lain wilayah. Artinya suku tidak terikat dengan

pasalnya disebut-sebut implementasinya setengah hati, bahkan

teritorial, tetapi diikat tali darah dari garis ibu. Karenanya di

disebut sebagai “lebih parah”, paradoksal dan dehumanisasi.

mana saja suku yang merasa satu kesatuan masyarakat yang

K

sama merasa setali darah (badusanak).

Parodoksal, teramati, dulu ketika pemerintahan desa melaksanakan UU 5/1979 dan Perda Sumar No.13/ 1983, nagari tidak pecah dan kelembagaan adat esksis, sekarang di era

4. Kampung, adalah kelanjutan dari paruik. Paruik berkembang

Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo

menjadi jurai. Di samping paruik dan jurai berkembang lagi

otonomi daerah melaksanakan UU 22/ 1999 diganti dengan UU

kesatuan matrilineal baru seperti tadi disebut suku.

32/ 2004 plus UU 08/2005 dan Perda 09/2000 direvisi Perda

Merekamendirikan rumah berdekatan. Kelompok rumahyang se-paruik, se-jurai dan se-suku disebut kampung.

02/2007, justru nagari lama menjadi pecah dan dibagi dalam

5. Nagari, adalah kelanjutan dari paruik, jurai, suku dan

beberapa nagari disebut dengan istilah pemekaran. Dehumanisasi, teramati, niat pemekaran nagari hendak

kampung. Bila di kampung lama sudah habis tanah

memudahkan urusan dan pelayanan warga, justru menghadang

mendirikan rumah, keluarga besar sawah dan lahan kering

bahaya besar, ibarat meninggalkan bom waktu untuk anak cucu

sempit, maka mereka mencari lahan baru. Lahan baru itu dibersihkan (ditatak) menjadi Taratak. Bagian dari anggota

di nagari dan bisa meledak 5-10 tahun yang akan datang.

......kembali ke nagari ketahanannya menjadi kuat terpelihara integritas, identitas dan keberlanjutan nagari itu, justru sebaliknya nagari digambarkan sebagai disintegrasi mengancam identitas dan keberlanjutannya terutama sebagai subkultur Minangkabau terdesak dengan pilihan pemekaran yang diwadahi Perda.

Kembali ke nagari dan terjadi pemekaran nagari bagaimanapun ini sebuah kebijakan. Permasalahanya bukan pada

ingin pindah ke wilayah baru itu. Taratak berkembang menjadidusun. Dusun memiliki wilayah pusat bernama Koto.

kebijakan saja, tetapi meliputi sistim kebijakan itu yakni: kebijakan itu sendiri, lingkungan kebijakan dan pelaku

Pertama nagari faktor geneologis, kedua susunan masyarakat

masyarakatnya. Karenanya nagari pernah disebut Belanda

Mereka yang se paruik, sejurai atau sesuku mendirikan rumah

kebijakan. Dapat digarisbawahi pandangan Dunn (2001:67)

nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang, ketiga

sebagai Republik Kecil, seperti negara kecil yang merdeka

pula berdekatan, lalu munculan perkampungan baru. Lama

masalah kebijakan bukan saja eksis dalam fakta di balik kasus

sejarah pembentukan kampung baru dan nagari, keempat sistim

memiliki kesatuan negara dan kewarganegaraan.

tetapi banyak terletak pada para pihak/ pelaku (stakeholder)

pemerintahan nagari (struktur dan perkembangannya, sarana

kebijakan. Artinya pelaku kebijakan sering menjadi persoalan.

prasarana, dan aset nagar), kelima pro kontra pemekaran nagari

Dapat dipahami nagari Minang itu wilayah subkultur dan

caniago dsb. Akhirnya bersama-sama para tuo kampung mendirikan nagari.

era otoda dan banyak lagi hal penting tentang nagari yang

historisnya, tidak membagi wilayah pemerintahan yang luas,

kemudian tak dapat dihindari tuntutan memecah nagari yang

menarik dibicarakan dalam upaya pemahamannya secara

tetapi bermula dari keharusan pengadaan lahan baru, kemudian

disebut pemekaran itu.

komprehensip.

dilahan baru itu diproses menjadi nagari (terdiri banyak

Nagari Minang: Geneologis dan teritorial persekutuan

kampung dan sekurangnya 4 suku).

masyarakat dan swasta. Masalah itu muncul ketika matrik stakeholder itu kabur dan tidak teraplikasikan sharing power

hukum republik kecil Nagari Minang dominan faktor geneologis (pertalian darah).

Sebelum menjelaskan proses orang Minang membentuk kampung baru ke arah proses pembuatan nagari baru, dijelaskan

ketiga stakeholders utama itu di nagari. Fenomena ini diikuti

Beda dengan desa Jawa, lebih dilihat dari faktor teritorial

susunan masyarakat Minang.

timbulnya pertanyaan besar, yakni lahirnya kebijakan, siapa

(wilayah). Suasana suku lebih terasa di nagari Minang dibanding

Susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam

yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, apakah kebijakan

teritorial. Sungguh pun demikian nagari yang merupakan sub

geneologis

berposisi blamming the victims (ketidakadilan sosial)?.

kultur (budaya khusus) Minang tidak mengabaikan wilayah.

Susunan (organisasi) masyarakat Minang di nagari dapat

Fenomena ironis dan menjadi isu otoda di Sumatera Barat

Nagari memiliki batas-batas wilayah nagari yang kuat

dijelaskan dalam organ sbb.:

dengan sistim kembali ke nagari itu, fokusnya berada antara

ditetapkan dengan sumpah satia moyang- puyang ketika nagari

1. Paruik, sudah mempunyai persekutuan hukum. Kelompok

fakta - ideal geneologis dan teritorial nagari. Idealnya kembali ke

baru dibuat. Dalam nagari itu tak setapak pun tanah tak bermilik:

nagari ketahanannya menjadi kuat terpelihara integritas, identitas

milik komunal mulai dari ulayat nagari/ rajo, ulayat suku/ kaum/

dan keberlanjutan nagari itu, justru sebaliknya nagari

penghulu, sampai milik wakaf dan milik privat yakni ulayat

Perkembangan paruik itu, memicu timbulnya keharusan

digambarkan sebagai disintegrasi mengancam identitas dan

pribadi/ berlaku hukum faraidh (Islam). Nagari merupakan

membelah dirimenjadi satu kesatuan yang berdiri sendiri,

keberlanjutannya terutama sebagai subkultur Minangkabau

persekutuan hukum. Persekutuan hukum yang dimaksud

inilah disebut dengan jurai.

terdesak dengan pilihan pemekaran yang diwadahi Perda.

persekutuan warga yang terikat dengan satu kesatuan di mana

LKAAM sebagai bagian stakeholders utama dari unsur masyarakat adat, perlu menjelaskan kembali “pemahaman tentang nagari” dalam bebarapa dua silang pandang/ pendapat yang menjebak pro kontra.

/September 2012

paruik ini merupakan satu keluarga besar (famili). 2. Jurai, berasal dari paruik yang sudah berkembang.

3. Suku, merupakan pertumbuhan dan perkembangan

warga antara satu sama lain memandang sama dalam seluruh

selanjutnya setelah jurai. Organ masyarakat suku ini

aspek kehidupan.

merupakan kesatuan-kesatuan matrilineal baru di samping

Sebagai satu persekutuan hukum, ada kekuasaan, ada pemimpin yang bertindak atas nama atau kepentingan kesatuan

kelamaan kampung menjadi banyak. Ada disebut kampung kampai, kampung sikumbang, kampung panai, kampung

wilayah pemerintahan. Tumbuhnya nagari dari persepketif

Tak kecuali dalam pelaksanaan kembali ke nagari yang

Pelaku kebijakan (stakeholders) utama adalah pemerintah,

22

paruik atau jurai atau se suku dalam kampung lama ada yang

paruik asalnya

; Nagari sebagai pesekutuan hukum subkultur Minang tidak dapat mengabaikan faktor teritorial (wilayah). Penetapan wilayah nagari ini pun dahulu dengan sumpah satia moyang – puyang. Batas wilayah itu ditetapkan sejak nagari baru dibangun di atas lahan yang baru di luar nagari yang sudah ada (nagari lama). Dibatasi dengan alam, bukik nan badinding sailiran aliran sungai dan juga ada bendera pohon tua, seperti batang durian, batang jambu keling (duat) dsb. /September 2012

23


Saga Utama

24

/September 2012

WAWANCARA


KOLOM

“

Oleh Nursyirwan Effendi Ketua Asosiasi Antropolog Indonesia (AAI), Guru Besar Universitas Andalas dan Dekan FISIP, Padang.

Upaya melestarikan nagari sama artinya mempertahankan identitas asli Minangkabau demi keberlanjutan kebudayaan Minangkabau

Melestarikan Nagari, Mempertahankan Minangkabau H

akikat nagari bagi orang Minangkabau adalah identitas hidup dan intisari kehidupan berbudaya. Tidak menjadi Minangkabau seseorang, bila ia tidak dapat menunjukkan nagari asal mula (procreation) tempat ia lahir atau daerah asal (asa) nenek moyangnya dan bila ia tidak dapat menentukan tujuan (orientation) diri sebagai orang Minangkabau di nagarinya. Konstruksi keminangkabau-an berawal dari nagari melalui sistem kekerabatan suku yang disimbolisasi dengan nagari baampek suku, dan juga berakhir di nagari, yang disimbolisasi dengan pandam pakuburan. Pemahaman inilah yang dimaksud dengan proses konstruksi dari masyarakat bayangan (imagined society) yang pernah dikemukakan oleh Anderson (1991) yang sangat cocok bagi orang Minangkabau. Secara fisik, orang Minangkabau meskipun tidak lagi hidup di Alam Minangkabau, tetapi konstruksi bayangan kehidupannya dengan nagari asalnya atau nagari asal dari nenek moyangnya masihlah tetap melekat, meskipun kadarnya mungkin sudah setipis balon dalam perasaan atau jiwanya. Rasanya tidak banyak masyarakat di dunia ini yang begitu kental bayangan integritas kehidupannya yang merujuk ke entitas asal usul, seperti halnya nagari bagi orang k Minangkabau. e Kenapa demikian? tidnaagnaapa ber k l ri Jawabnya, sederhana, karena nagari telah me kugemaagi memberikan segalanya nggat bagi anak keturunan dari k k e nagari tersebut. Nagari Meinhidaun tar menyediakan tata sosial angpan berbasis kekerabatan, b dewau ka nagari memberikan arah dan landasan kepemimpinan ini?asa kolektif yang arif berbasis adat, nagari menyediakan harta benda dan kekayaan berbasis ekonomi yang komunal, nagari menyediakan hak teritorial, dan

26

/September 2012

nagari memberikan rasa kebanggaan personal untuk integrasi sosial. Secara ideal, nagari menyediakan segala nilai dasar kehidupan (universal values) untuk menata ke-minangkabau-an. Secara praktis, nagari menjadi arena yang dinamis untuk proses sosial, politik, ekonomi dan agama. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa nagari adalah segalanya bagi seluruh eksistensi Minangkabau. Lalu, kenapa nagari tidak lagi bergema kuat menggetarkan kehidupan Minangkabau dewasa ini? Agaknya ada sejumlah alasan yang mungkin untuk itu. Pertama, nagari secara struktural sejak dulu sampai sekarang „acok digaduah�. Di era kolonial Belanda berlanjut di era reformasi dewasa ini, nagari sering mengalami intervensi. Pada masa pemerintahan Belanda, nagari secara umum masuk ke dalam komando sistem administratif Belanda dan sistem ekonomi politik kolonial. Pemerintah Belanda waktu itu berupaya mengutak atik organisasi politik tradisional di nagari, misalnya mengangkat wali nagari pilihan kolonial Belanda. Nagari juga pernah menjadi ajang konflik antara kelompok ortodok Islam dengan kaum tradisionalis. Di era kemerdekaan, intervensi berlanjut kepada perubahan struktur pemerintahan nagari ke pola pemerintahan desa, melalui pemberlakuan UU no. 5/1979. Akibat intervensi ini nagari tercerai berai, sebagian besar jorong menjadi desa. Posisi nagari menjadi dualis, antara kepentingan pemerintahan adat dan pemerintahan administratif nasional. Pada tahun 1980an, intervensi dilakukan oleh Pemerintah propinsi untuk meredam perselisihan fungsi pemerintahan adat dan pemerintahan desa dalam nagari melalui keberadaan Perda 13/1983. Dengan Perda ini, kondisi dualisme nagari sedikit moderat, yakni dengan ditetapkannya nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, dan KAN diakui sebagai satu-satunya lembaga adat yang mewakili masyarakat adat. Pasca derap reformasi nasional ditahun 1998, pemerintah nasional mengeluarkan peraturan baru tentang otonomi daerah, UU No. 22/1999 junto UU 32/2004. Undang-undang ini kembali memberikan peluang bagi pemerintah untuk mengintervensi pemerintahan terendah di masyarakat, termasuk nagari. Lembaga organisasi nagari difokuskan kepada peran pemerintahan nagari, yakni wali nagari dan badan musyawarah.

Intervensi tersebut dilakukan demi kepentingan otonomi daerah yang desentralistis. Pemerintah propinsi Sumatera Barat menyikapinya dengan mengeluarkan Perda 9/2000 junto Perda 2/2007 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Perda ini mencoba dengan lebih arif menempatkan posisi nagari dari kondisi dualisme kepada kondisi tunggal. Artinya, nagari dianggap sebagai satu-satunya sistem pemerintahan terendah bagi masyarakat Minangkabau. Namun prakteknya terjadi selisih kepentingan antara Wali Nagari dan ketua Kerapatan Adat Nagari. Konflik dalam nagari terjadi pada level pemimpin. Mulai tahun ini, nagari kembali akan digaduah oleh rencana penerapan undangundang baru tentang desa, yang masih merupakan RUU tentang Desa. Kedua, Akira Oki (1947) berpendapat dari hasil risetnya bahwa ekonomi kapitalis dan pasar telah berkontribusi besar dalam perubahan kebudayaan Minangkabau, khususnya untuk pengelolaan harta komunal di nagari pasca kolonial Belanda dan Jepang. Kalau diamati secara cermat, sudah lama gaya hidup masyarakat nagari berubah karena pengaruh perkembangan ekonomi material yang diperkenalkan oleh penjajah dulu. Faktanya, tanah ulayat sebagai ikatan kolektif ekonomi kerakyatan, telah hancur, sejalan dengan pecah berkepingnya kepemilikan tanah ulayat menjadi kepemilikan individu sebagai saluran untuk memperjualbelikan tanah komunal tersebut. Aturan adat bahwa tanah ulayat hanya boleh dipagang gadai karena tiga perkara adat, tidak lagi digubris. Cita-cita keberadaan nagari yang bukan saja mempersatukan unit-unit genealogis dalam satu teritorial nagari, tetapi juga untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat nagari melalui pengelolaan harta benda dan kekayaan nagari secara ulayat seperti hutan, sungai, tanah dan sebagainya, tidak lagi berkesan. Banyak nagari sudah menjadi lahan eksploitasi tambang mineral, hutan dan perkebunan yang peruntukannya tidak lagi untuk memakmurkan anak nagari secara menyeluruh. Ketiga, dalam semangat otonomi daerah semenjak tahun 2000an, pemerintahan nagari dan kerapatan adat dalam nagari dewasa ini telah tumpul sebagai lembaga yang mampu menjaga kelangsungan persatuan dan kebanggaan identitas nagari asli Minangkabau. Hal ini terjadi karena orientasi pemerintahan nagari adalah bukan untuk kepentingan melestarikan nilai adat dan memberi peran besar kepada lembaga kerapatan adat, melainkan semata kepada pelaksanaan administrasi pemerintahan dan kepentingan birokrasi formal yang telah diatur oleh negara. Unit terkecil yang melaksanakan kontrol terhadap kehidupan adat dalam nagari, yaitu kelompok-kelompok matrilineal, yaitu suku,

kaum, dan paruik, tidak lagi sepenuhnya berperan, karena lembaga induknya, kerapatan adat, semakin tidak berkuku. Hukum adat, atau adaik salingka nagari, yang berlaku spesifik pada setiap nagari tidak lagi populer. Lalu apa solusi untuk duduak tagaknyo nagari di Minangkabau yang awalnya berjumlah 543 buah yang kemudian berkembang lebih dari 600 buah dewasa ini? Apakah nagari akan tetap menjadi lahan intervensi birokrasi formal atau terus melorotnya kebanggaan identitas budaya Minangkabau ini? Ada dua gagasan, yakni melakukan upaya mendefinisi ulang nagari di Minangkabau secara bersamasama oleh para pemangku adat dan anak nagari. Kedua, berupaya menjaga eksistensi nagari secara menyeluruh melalui pelestarian yang sungguh-sungguh, yakni memasukkan nagari sebagai salah satu warisan dunia (the world heritage). Gagasan pertama sangat krusial, karena faktanya pengertian ideal tentang nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat tidak dapat lagi diimplementasikan secara penuh dan tidak berdampak signifikan bagi pembentukan jati diri anak nagari. Upaya mendefinisi ulang bisa jadi juga memformat ulang eksistensi nagari yang disesuaikan dengan kondisi kehidupan dalam nagari dewasa ini yang semakin kompleks mulai dari level individu, keluarga, kaum, dan suku. Agaknya, upaya ini tidak perlu ditanggapi secara pesimis, atau mungkin negatif, karena tidak ada larangan untuk menciptakan pembaharuan melalui cara-cara yang masih diterima, yaitu konsensus sosial. Mungkin upaya ini akan mendapat kesulitan, karena tingkat persatuan orang Minangkabau juga sedang lemah. Namun, upaya bisa saja dimulai, demi tujuan yang baik untuk semua. Gagasan kedua sangat strategis, karena akan menjadi alat secara global menjadikan nagari sebagai bagian dari kepentingan masyarakat dunia untuk melestarikannya. Nagari dapat dimasukkan sebagai bentuk warisan dunia melalui faktor peninggalan artefak, misalnya ragam rumah gadang dan lokasi (sites). Apabila telah menjadi salah satu situs warisan dunia, nagari dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dunia, melalui jalur pariwisata. Sementara di dalam nagari, seluruh anak nagari akan terdorong secara sungguh-sungguh mempertahankan wujud nagari se-asli mungkin, yang berarti ikut melestarikan Minangkabau secara keseluruhan. Dengan demikian, upaya melestarikan nagari sama artinya mempertahankan identitas asli Minangkabau demi keberlanjutan kebudayaan Minangkabau.(*)

/September 2012

27


Ulasan

S

28

/September 2012

/September 2012

29


Ulasan

PELOPOR

SEORANG TOKOH PELOPOR IRMANEKONOMI GUSMAN KREATIF DAN PENEGAK ETIKA BISNIS Berbuka bersama Ketua DPD RI Irman Gusman di Pangeran Beach Hotel, 12 Agt 2012

sumber imajinatif pengembangan usaha kreatif berangkat dari bentuk persaingan dagang pasar tradisional di samping modern.

A

da banyak hal yang menarik dari perjalanan Irman Gusman sebagai Ketua DPD RI ke daerah. Kalau tidak hadir di berbagai forum daerah, pasti ia turun ke lapangan melihat geliat seluruh aspek kehidupan masyarakat terutama ekonomi dan perkembangan kesejahteraan masyarakat, kegiatan pendidikan, aktifitas sospol di samping enjoy berkumpul bersama unsur kelembagaan masyarakat, birokrat dan politisi. Kemajuan daerah menjadi obsesinya setiap saat. Salah satu misal, kunjungannya Minggu 12 Agustus 2012. Malamnya Irman Gusman bersama anggota DPD RI lainnya Alirman Sori, Ema Yohanna, Kepala Pusat Data dan Informasi DPD RI Zul Evi Astar serta timnya Zaitul Ikhlas Saad, dan Dedi dan lain-lain. mengundang berbagai unsur daerah dan aktor pembangunan di antaranya kelembagaan masyarakat, birokrat dan politisi berbuka bersama di Pangeran Beach Hotal Padang. Tak sekedar berbuka, bagi Irman ini bagian dari event memperteguh silaturrahim dan memperkuat komitmen membangun daerah, sepertinya malam itu ia mengalihkan perhatian lebih besar mengajak pemda fokus mengembangkan pelabuhan Teluk Bayur. Siangnya meninjau Pasar Alai Padang, untuk mengetahui lonjakan harga sembako menjelang Idul Fitri 2012. Dalam kunjungan tersebut yang disertai Gubernur Sumbar Irwan Prayitno,

30

/September 2012

Wakil Gubernur Sumbar Muslim Kasim, Walikota Padang Fauzi Bahar, Irman Gusman mencatat sembako (sembilan kebutuhan pokok) relatif lebih stabil dibanding tahun 2011. Kalau ada kenaikan harga, itu terjadi pada barang-barang impor saja. Perjalanan Irman Gusman ke lapangan seperti ke pasar itu, tidak saja sebagai langkah yang amat penting untuk mengetahui prilaku pasar dan melihat situasional kesejahteraan masyarakat, tatapi tak kalah pentingnya dalam skala besar untuk mengatur stategi pengawasan dalam menegakkan etika dagang (bisnis). Tidak pula kalah maknanya Irman meninjau pasar untuk meninjau situasinoal pasar dalam melihat kekayaan

Anggota DPD RI Emma Yohana dan Ketua Bundo Kanduang Sumbar Prof. DR. Ir. Raudha Thaib serta pengurus lainnya

Irman teramati termasuk tokoh yang mempelopori pengembangan ekonomi kreatif. Semangat ide ekonomi kreatif itu dibangun atas landasan semangat entrepreneurship yang kuat. Justru ekonomi kreatif bagian dari hal yang subtantif lahir dari semangat entrepreneurship luar biasa. Tentang etika bisnis, justru Irman lulusan Fakultas Ekonomi Unkris (1987) dan Master of Business Administration Jurusan Marketing pada Graduate School of Business, University of Bridgeport, Connecticut, AS (1987), sudah sejak lama menganjurkan penegakan etika bisnis. Pemikiran ini diseiringkan dengan gerakan gencar Indonesia memerangi KKN yang sebenarnya memiliki konotasi etika dimaksud. Ia memandang Indonesia ke depan memerlukan lembaga etika bisnis. Irman memandang, pentingnya kehadiran lembaga etika bisnis tersebut bertugas

untuk menyelesaikan persoalan etika, merumuskan kode etik nasional, melakukan evaluasi terhadap kode etik lembaga-lembaga bisnis, profesi, dan organisasi lainnya, ditinjau dari sudut hak asasi manusia. Lembaga ini pun, katanya, bertugas menyelesaikan sengketa akibat pelanggaran kode etik dan pemberian sanksi sosial terhadap pelanggar kode etik dalam bentuk komisi etika atau mahkamah etika nasional. Etika bisnis yang kelihatannya lebih ringan untuk dijalankan ketimbang penegakan hukum, menurut Irman seharusnya dapat diwujudkan bersama. Karena selain bersifat kesadaran pribadi, etika bisnis lebih merupakan "tanggung jawab moral" terhadap diri sendiri, masyarakat, masa depan, dan Tuhan. Karenanya Irman mengingatkan bila penegakan etika bisnis tidak ada, jangan berharap pemulihan ekonomi akan dicapai. Kata kunci pemulihan ekonomi nasional adalah penegakan etika bisnis dalam setiap strata kehidupan masyarakat. "Ini perlu political will and courage dari para pemimpin, tokoh masyarakat, untuk memulai menegakkan etika bisnis dalam lingkungan masing-masing", pernah ditegaskan Irman. Tentang semangat entrepreneurship dan ekonomi kreatif, Irman Gusman sebagai politisi muda yang ceras dan ekonom besar di mana saja forumnya dalam memberikan pemikiran penguatan kesejahteraan rakyat tak kurangmemberi penekanan “pentingnya membangun semangat entenpreneurship, terutama di kalangan generasi muda”. Justru semangat entrepreneurship yang tinggi melahirkan ide dan praktek ekonomi kreatif kuat. Irman dalam perjalan hidupnya sebagai ekonomi, teramati punya pengalaman dalam melahirkan terobosanterobosan baru dan kuat pada bidang ekonomi kreatif ini. Bersamaan dengan

upaya pemenuhan kebutuhan yang didasarkan pada intelektual, keahlian, talenta, dan gagasannya yang orisinal. Dari catatan Dr. I G. W. Murjana Yasa, SE., MSi, ekonomi kreatif itu merupakan proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian dan bakat individu mejadi prosuk yang dapat dikomersiilkan. Pengembangan pola pikir ekonomi kreatif

(8) permainan kreatif, (9) musik, (10) seni pertunjukan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak, (13) radio dan televise dan(14) riset & pengembangan.Beruntung Indonesia, baru-baru ini ada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai ganti nomenklatur sebelumnya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Terlepas apakah ide ekonomi kreatif

Bupati PESSEL Nasrul Abit, Anggota DPD RI Alirman Sori dan Bupati Tanah Datar Shodiq Pasadigu beserta Guspardi Gaus

dapat dikemas dari pengertian industri kreatif. Creative industries are those industries which have their origin in individual creativity, skill and talent, and which have a potensial for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content (UK Creative Industries Taskforce, 1998). Dalam prakteknya ekonomi kreatif dalam bentuk produk yang berasal dari proses kreatif menurut Murjana memiliki ciri-ciri: (1) siklus hidup yang singkat, (2) memiliki catatan ini Yurnaldi wartawan Kompas, justru mencatat pula, bahwa Irman sebagai pemilik gagasan bisnis kreatif. Ia menulis: ”gagasan bisnis yang kreatif dan orisinal merupakan ciri utama kiprah Irman dalam dunia bisnis. Salah satunya adalah mengantarkan perusahaannya, PT Kopitime DotCom Tbk, sebagai perusahaan jasa teknologi informasi dan Internet pertama di Indonesia yang tercatat (listing) di lantai bursa, Bursa Efek Jakarta (BEJ), menjadi perusahaan publik”. Ekonomi kreatif itu merupakan bagian kegiatan ekonomi yang aktifitasnya efektif sebagai resiko relatif tinggi, (3) memiliki margin tinggi, (4) memiliki keanekaragaman yang tinggi, (5) memiliki, (6) persaingan yang tinggi dan (7) mudah ditiru. Sedangkan sektor ekonomi kreatif, berdasarkan klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (BPS, Jakarta, 2006 dalam Murjana), ada 14 (empat belas) kelompok industri kreatif yang dianalogkan menjadi basis pengembangan ekonomi kreatif, yakni: (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) pasar seni dan barang antik, (4) kerajinan, (5) desain,

terinspirasi Irman dengan perusahaannya PT Kopitime DotCom Tbk sebagai salah satu perusahaan e-commerce di Indonesia termasuk di Asia, di samping berbagai kegiatannya memimpin banyak perusahaan dan membantu UKM memperluas pangsa pasar ke luar negeri lewat akses internet dengan biaya relatif murah, namun yang jelas Indonesia sudah ada satu kementerian khusus yang mengurus ekonomi kreatif ini. Di antara Tugas dan Fungsi Kementerian ini merumuskan, penetapan, dan melaksanakan kebijakan di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif. Kedudukannya berkaitan dengan tugasnya menyelenggarakan urusan di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Irman seorang ekonom dan politisi asset bangsa, sudah sejak lama sebenarnya mempraktekkan gagasan dan pemikiran ekonomi kreatif. Irman Gusman menawarkan pemikiran ini dalam berbagai forum ekonomi, pernah ditawarkan dalam Musyawarah Nasional Tarjih Ke-26 PP Muhammadiyah di Padang sekitar Oktober

Irman teramati termasuk tokoh yang mempelopori pengembangan ekonomi kreatif. Semangat ide ekonomi kreatif itu dibangun atas landasan semangat entrepreneurship yang kuat.

2003 dengan sangat mengesankan dan patut ditindaklanjuti. Bersambung ke hal..89 /September 2012

31


ULASAN Ulasan

INVESTIGASI

DARI PENGALAMAN SUMBAR MENGGALANG INVESTASI KERJASAMA DENGAN NEGARA BAGIAN BAVARIA - JERMAN

Berhadapan dengan Prosedur Pelaksanaan dan Konsultan Asing

Mandeh Resort Menunggu Investor

“ “

M

ochtar Naim, mantan anggota DPD RI, bersama Yulizal Yunus Pemimpin Redaksi SAGA berkunjung dan bertemu secara tak resmi dengan Suhermanto Raza Kepala Biro Administrasi Pembangunan dan Kerjasama Rantau, di Kantornya Jl. Sudirman Padang, 2 Agustus 2012. Pertemuan, sengaja hendak bertanya kondisi kerjasama Provinsi Sumatera Barat dengan Negara Bagian Bavaria Jerman Barat. Ingin informasi untuk memposisikan diri ingin berpartisipasi terutama sekaitan dengan perwujudan gagasan perencanaan pendirian Universitas Internasional Islam Mohammad Natsir (UIIMN) dalam wilayah Sumatera Barat dengan sharing investor, yang menjadi buah pikir Mochtar, dkk. Dari pembicaraan ada kesan menarik di antaranya: tentang pelaksanaan kerjasama yang dinilai tidak gampang, dan kedua keterlibatan konsultan asing dalam mendisain dan pengarah investasi. Pelaksanaan Kerjasama Tentang pelaksanaan kerjasama tak segampang membuat kerjasama, terkesan dari pembicaraan Suhermanto Raza, banyak prosedur yang mesti diikuti. Prosesnya panjang juga mulai dari yang ketek sampai prosedural nasional dalam era otonomi sekarang, kata Suhermanto Raza menjawab pancingan Mochtar bahwa kerjasama Sumbar dan Provinsi Bavaria Jerman di atas kertas terlihat sudah bagus. Selain itu kita memang harus menyiapkan konsep matang. Situasi daerah yang rawan bencana (investor takuik gampo), juga situasi Eropa sekarang yang sedang mengalami krisis turut menjadi kajian strategis kalau tidak menjadi faktor penghambat. Jerman sendiri pun sekarang serba sulit, meskipun satu di antara Negara yang masih stabil dan tidak banyak terimbas krisis ekonomi. Perancis pun goyang. Karenanya Jerman diminta fokus dan konsentrasi turut menyelamatkan Eropa. Sesungguhnya kata Mochtar dalam krisis seperti sekarang ini ada peluang. Dimungkinkan dalam situasi Eropa krisis saat ini banyak yang ingin kaluar. Bagaimana mereka kita gaet dan dimanfaatkan. Karena kata Suhermanto, yang dapat kita manfaatkan,

32

/September 2012

kita gaet juga. Itu pun tidak terlepas dari hubungan baik. Justru sebenarnya sudah ada yang sudah kita kerjakan, di antaranya kegiatan kerjasama pemberdayaan SDM, dan itu pun dijampuik anta ke Jerman, kata Suhermanto yang juga berpengalaman dalam PR sebagai Ka. Biro Humas Kantor Gubernur di samping pengalamannya dalam pemerintahan nagari. Diinformasikan, Sumatera Barat punya banyak potensi yang mungkin dikembangkan, baik bersama pemerintah (pusat), Pemda, lembaga masyarakat serta investor dalam/ luar negeri. Sumbar sudah membuat kerjasama dengan Pemerintah Negara Bagian Bavaria Jerman. Sudah melewati beberapa tahap kerjasama, yang pada tahap awal yang dapat diperoleh setidaknya (lihat juga Sumbarprov.go.id) sbb.: 1. 2.

3.

4. 5.

Pemerintah Negara Bagian Bavaria sangat serius dalam melakukan hubungan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Kerjasama antar kedua belah pihak dapat dimulai dengan kerjasama B to B sebelum pada akhirnya berujung kepada kerjasama G to G yang nantinya akan diperkuat dengan MoU atau LoI. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat didorong untuk melaksanakan even (dapat berupa pameran) internasional di bidang investasi agar pertemuan langsung yang lebih teknis dengan para investor dari Negara Bagian Bavaria dapat dilaksanakan. Pihak KBRI di Jerman mendukung penuh pelaksanaan kerjasama kedua belah pihak. Peluang program pendidikan dan pelatihan sangat terbuka dan dapat dimanfaatkan oleh perguruan tinggi, aparatur pemerintah dan masyarakat yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Peluang pendidikan dan pelatihan tersebut antara lain: a. Training program bagi aparatur pemerintah khususnya dalam bidang energi yang akan dilaksanakan pada tahun 2012 di Jerman. Pelaksanaan training program selama di Jerman akan difasilitasi sepenuhnya oleh Pemerintah Negara Bagian Bavaria Jerman. Selain itu juga Pemerintah Bavaria bersedia mengirimkan technical expert untuk mengembangkan penerapan teknologi di bidang energi, infrastruktur, pariwisata, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, apabila dibutuhkan oleh Sumatera Barat b. Dalam rangka memperingati 60 tahun hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Jerman, maka Pemerintah Republik Federal Jerman memberikan

peluang beasiswa Program Doktor untuk Indonesia bagi 5000 orang dan diharapkan Sumatera Barat mendapatkan prioritas dalam memanfaatkan peluang ini. 6. Pengembangan renewable energy (geothermal, hydro power, biomass, solar cell dan lainnya) sangat mungkin dilakukan terutama dengan adanya dukungan dari pihak Jerman (Pemerintah dan Investor Negara Bagian Bavaria) 7. Kualitas pendidikan di Negara Bagian Bavaria dapat kita manfaatkan dengan melakukan kerjasama antar perguruan tinggi dan peluang untuk terlaksananya kerjasama ini sangat terbuka lebar. 8. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, sesuai harapan Duta Besar RI hendaknya dapat memanfaatkan setiap moment pertemuan bisnis, dengan mendorong pengusaha dari Sumatera Barat untuk dapat berpartisipasi Suhermanto Raza, mencatat, investor mau bekerjasama ada kepentingan dan saling menguntungkan. Mereka tak mau rugi, kita pun tak mau rugi. Hal seperti itu disebut Mochtar adalah hal yang lumrah. Tapi kita terus menggaet mereka. Karena bagaimana pun kita memerlukan tenaga ahli dari luar. Mereka punya skill dan serius. Saya, kata Mochtar punya pengalaman sebagai tenaga ahli pengembangan Pasaman Barat dulu bersama Jerman. Wah luar biasa, mereka full. Seperti itu juga pengalaman kerjasama Indonesia - Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) Jerman. “Benar sekali Bapak”, kata Suhermato. “Profesor di Luar Negeri itu mengajar penuh, mungkin beda dengan di perguruan tinggi kita yang justru banyak memerankan asisten. Hanya saja mereka itu sekali 1-2 tahun mereka keluar negeri, dipasilitasi, sesungguhnya mereka bukan saja refreshing, tetapi juga kerja keras untuk riset, menulis dan menyampaikan hasil laporan untuk penguatan bidang guru besar mereka”. Demikian pula investor asing, mereka bekerja keras dan sungguh. Lima tahun ke depan sebenarnya banyak peluang investasi. Dari jepang misalnya, mereka sudah sering melakukan suvey sering. Namun masih ditemukan trend ketidak cocokan beriiringan dengan peluangan berinvestasi itu. Ada factor keuntungan dan ada factor kenyamanan berinvestasi, karena bagainama pun diketahui Sumbar satu di antara daerah rawan bencana gempa. Apakah juga factor ini Sumbar diposisikan sebagai daerah penyangga dalam pengembangan investasi. Belum lagi faktor ketidaktuntasan pemaknaan otonomi, membuat urusan dan proses kerjasama luar negeri itu lebih mudah. Sepertinya lebih lumayan rancak era sentralisasi dulu tidak banyak dan tak rumit urusan seperti kerjasama luar negeri ini.

berinvestasi, diharuskan konsultan mereka terlebih dulu bergerak dan bekerja, setelah itu baru investasi dijalankan. “Fenomena ini satu di antara faktor tersendatnya investasi untuk pengembangan Pariwasata Agroturisme dan Bahari Mandeh Resort di Pesisir Selatan”, kata Suhermanto Raza. Padahal Mandeh Resort ini satu di antara unggulan Nasional di daerah Sumbar di samping dua lainnya di Indonesia yakni Bunaken dan Biak sejak tahun 1998. Selain hambatan keharusan penyediaan pembiayaan untuk konsultan asing itu, terkesan mereka tidak saja bekerja bidang konsultansi teknis pelaksanaan investasi dari Negara mereka, tetapi juga konsultan asing itu mereka ingin mendisain sendiri. Praktek ini tidak saja mengkhawatirkan tidak terakomodasinya kepentingan masyarakat sejalan dengan adat dan budaya lokalnya, juga sering pula, dalam pelaksanaan investasi, masyarakat setempat di mana investasi itu dilaksanakan sering mengabaikan kepentingan local, dan masyarakat tidak punya kekuatan memberikan control. Fenomena ini, sering mengundang pandangan miring dari masyarakat setempat, sepertinya investasi tidak berpihak pada rakyat. Bahkan lebih dari itu pemerintah pun tertuduh, berpihak pada investor dan terkesan politis. Mochtar, awak lebih mengemuka urusan politik, urusan rakyat belakangan. Bahkan pula pemerintah terkesan berpihak ke kapitalis investor, belum berpihak kepada rakyat. Tanah rakyat misalnya tidak dianggap modal. Didorong untuk dilepaskan. Rumitnya pusaka tinggi yang di dalam adat Minang tidak boleh dijual dan tak boleh digadai, harus dilepas, disertipikat. Trend ini mengancam tanak pusaka tinggi Minang, dan rakyat pemangku pemilik lahan, nanti bisa gigit jari. Kalau tidak pula begitu investor merasa disulitkan. Padahal bisa sharing. Investor membawa modal dana, tanah rakyat “pusaka tinggi” Minang modal yang menanti. Dikawinkan dua investasi ini menjadi sharing modal dan berbagi keuntungan, kenapa ini tidak bisa, Mochtar seperti menggugat. Fenomena ini direspon Suhermanto Raza,”barangkali cara-cara ini yang haru kita rubah dan kita perbaiki” untuk peningkatan sharing kerjasama dengan berbagai pihak dalam/ luar negeri di masa dating di Sumatera Barat. (SAGA-01).

Konsultan Asing Kesan berikutnya, yang juga menjadi rumit dalam pengisian dan pelaksanaan kerjasama asing adalah juga faktor konsultan. Memang dapat dipahami, konsultan asing itu diperlukan bagi pemberi arah terutama bidang teknis dalam pelaksanaan investasi. Sesungguhnya kita juga perlu belajar, bagaimana Negara asing membesarkan para konsultannya seiring dengan program investasi dan penanaman modal asing. Konsultan saling menghidupkan dengan Negara. Negara sepertinya menjadikan konsultan sebagai EO dunia. Namun kata Suhermanto Raza, sulitnya bagi kita adalah persyaratan konsultan. Artinya dalam pelaksanaan investasi asing dalam rangkaian kerjasama, kita disyaratkan membiayai konsultan asing itu. Biayanya tidak murah. Penyediaan dana konsultan ini saja, kita sudah dibenturkan pada sebuah problema sulit dalam penganggaran. Lebih dari itu, investasi apapun programnya termasuk pengembangan resort dari Negara manapun di dunia yang akan menanamkan modalnya atau ingin berinvestasi, mereka punya kebijakan mensyaratkan, sebelum dilakukan persetujuan

/September 2012

33


KOLOM

Mochtar Naim

KAN DAN ABS-SBK SERTA UNSUR BUDAYA LUAR YANG MASUK KE ALAM MINANGKABAU

P

ERDA Provinsi Sumatera Barat No. 2 Thn 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari mengakui bahwa di samping Pemerintahan eksekutif yang dipimpin oleh Wali Nagari dengan dibantu oleh Sekretaris Nagari dan perangkat lainnya, ada BAMUS NAGARI – Badan Permusyawaratan Nagari. Bamus Nagari ini adalah sayap legislatif-konsultatif dari pemerintahan Nagari yang merupakan “perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah nagari sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Nagari (Pasal 1 butir (11) Ketentuan Umum). Mengenai keanggotaan Bamus, Pasal 12 menjelaskan: “Anggota Bamus Nagari terdiri dari unsur Ninik Mamak/tokoh adat/kepala suku, Alim Ulama/Tokoh Agama, Cadiak Pandai/Cendekiawan, Bundo Kanduang/Tokoh Perempuan dan komponen masyarakat lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam Nagari bersangkutan dengan mempertimbangkan representasi Jorong yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.” Masa jabatannya 6 tahun dan dapat dipilih kembali utk sekali jabatan lagi. Jumlah anggota dari 5 sampai maksimum 11 orang (Pasal 12 butir (4), sepadan dengan besar-kecilnya wilayah dan jumlah penduduk Nagari. Lalu Perda yang sama juga mengakui keberadaan KAN (Kerapatan Adat Nagari) yang adalah: “Lembaga Kerapatan dari Ninik Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako dan pusako” (Pasal 1 butir (13) Ketentuan Umum). Ketika kita mempersiapkan Seminar (Kongres) Kebudayaan Minangkabau Th 2010 bulan Agustus yl, kita di samping menoleh ke belakang dengan berupaya menyelamatkan dan melestarikan semua yang baik-baik yang kita warisi dari nenek moyang kita, kitapun harus menghadap ke depan untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan yang penuh galau dan penuh risiko dan tantangan. Tantangan itu datang dari berbagai sisi: internal dan eksternal; lokal, nasional, regional maupun global. Kita harus tanggap dan menyiapkan diri untuk menghadapi segala macam tantangan itu, ke depan. Yang jelas, sejak kita merdeka ini, yang

34

/September 2012

sudah pula berjalan selama lk 2/3 abad, kita bukan kita saja lagi, tapi bahagian dari Indonesia yang lebih luas yang kita perjuangkan bersama. Kita bahagian dari NKRI dan pada gilirannya bahagian pula dari masyarakat dunia. Sendirinya norma-norma dan nilai-nilai sosial-budaya yang kita pakai sekarang ini tidak lagi hanya bertumpu kepada adat dan agama yang kita anut dan tuangkan ke dalam filosofi hidup ABS-SBK itu semata, seperti selama ini, tetapi juga semua norma-norma dan nilai-nilai yang masuk, baik nasional, regional maupun global, yang seyogyanya bernilai positif dan konstruktif dan saling isimengisi dan saling melengkapi satu sama lain untuk menuju ke masa depan. Namun dalam kenyataannya, bukan saja bahwa yang masuk, baik nasional, regional maupun global, tidak selalu serasi dengan yang menanti yang semula ada; apalagi kalau sumber nilai dan dasar filosofinya tidak pula sama antara yang masuk dan yang menanti itu. Karena yang masuk biasanya lebih superior dan lebih dominan dari yang menanti, kecenderungannya lalu, yang masuk lebih bersifat mengintervensi dan bahkan mengkooptasi nilai-nilai luhur dari yang menanti. Ketidak serasian dalam kondisi yang tidak seimbang itu menyebabkan kita cenderung untuk selalu mencari jalan selamat, yaitu dengan berdiplomasi “panca-muka.” Keluarlah tameng budaya yang dipusakai selama ini: 'Iyokan nan di urang, lalukan nan di awak.' 'Tibo di kandang kabau malanguah, tibo di kandang kambiang mangembek.' 'Walau harimau nan di dalam, kalua kambiang juo nan dinampakkan.' dan sebagainya. Rentangan sejarah yang sudah panjang ke belakang dari sukubangsa Minangkabau ini dengan jelas memperlihatkan kecenderungan watak yang seperti ini. Soalnya karena mereka tidak pernah jaya dalam memenangkan pertempuran; tidak memiliki kekuatan yang padu, baik fisik maupun sosial-budaya. Mereka boleh dikata mengabaikan kekuatan fisik-militer itu. Sejarah militer sejak dari dahulu masih di zaman beraja-raja, lalu ke masa kolonial dan ke masa kemerdekaan sekarang ini, orang Minang tidak memiliki kekuatan dan ketahanan fisik militer; karenanya kalah terus. Makanya muncullah

budaya diplomasi panca-muka itu, demi penyelamatan diri. Hal ini lebih dirasakan karena orang Minang bukanlah sukubangsa yang medioker, yang gampang tunduk dan gampang pula diatur-atur. Sebaliknya mereka adalah suku-bangsa yang cerdas, yang padanannya adalah orang Yahudi atau Cina nun di seberang sana itu. Dan ini adalah pula karena mereka memiliki budaya egaliter, bertuan ke diri sendiri, tidak mengenal hirarki, dan hidup dalam bersuku-suku, bernagari-nagari. Apalagi, tidak kurangnya, budaya adat yang selama ini diwarisi secara turun-temurun dan asli Minangnya, adalah tidak magis, tidak animistis, dan tidak pula sensual-emosional, tetapi logis, rasional, kritis, dengan berguru kepada alam: Alam takambang jadikan guru. Kebetulan pula, agama yang masuk dan diterima sebagai satu-satunya oleh warga masyarakat adalah pula Islam, yang juga logis dan rasional, di samping cantelan ajarannya yang kuat secara metafisikal-transendental ke Langit Tinggi itu. Pertemuan dan perpaduan antara Adat dan Islam inilah yang kemudian dibuhul menjadi ABS-SBK, dan menjadi filosofi hidup orang Minangkabau. Bagaimanapun, dalam proses penserasian dan pengintegrasian antara Adat dan Syarak itu maka yang menjadi patokan pokok adalah Syarak, karena syarak memiliki sumbersumber nilai transendental yang merujuk langsung kepada wahyu Ilahi, yaitu Al Quranul Karim; sementara Adat adalah hasil olahan buah pikiran manusia semata, dengan berguru kepada alam itu. Konsekuensinya, Adat akan terbagi dua: yang serasi dengan Syarak, dan yang tak serasi dengan Syarak. Yang serasi dipakai dan disesuaikan; yang tidak serasi dibuang. Yang serasi dinamakan Adat islamiyah; yang tidak serasi Adat jahiliyah. Sendirinya, ABS-SBK menempatkan Syarak di atas Adat – bukan sejajar – dan rujukan finalnya adalah Kitabullah, Al Quranul Karim. Sekarang, dengan kita mengikrarkan kembaliuntuk berpegang teguh pada filosofi hidup “ABSSBK” (Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah), yang menjadi tema pokok dari SKM 2010, di samping menekankan pembangunan daerah Sumatera Barat yang berbasiskan Nagari, dengan juga memasukkan paradigma pembangunan

juga dengan paradigma ranah dan rantau, dsb, kita perlu serasikan dan sinkronkan kedudukan dan peran KAN berhadapan dengan filosofi hidup ABS-SBK yang akan kita perkuat dan kukuhkan dalam Kongres itu nanti, yang sekaligus dalam rangka menatap ke masa depan itu. Dengan filosofi hidup ABS-SBK, yang sebenarnya sudah ada di tengah masyarakat kita sejak dua abad ke mari ini, yakni sejak usainya Perang Paderi di bagian awal dari Abad ke 19 yl, kita perlu melihat dan mendudukkan kembali mengenai sistem kepemimpinan dalam masyarakat kita yang mulai bergeser dengan bermacam intervensi dan kooptasi dari berbagai sistem nilai yang lebih dominan yang masuk, baik nasional, regional maupun global itu. Yang jelas, kehadiran filosofi hidup ABSSBK sejak semula juga dibarengi dengan sistem kepemimpinan yang disepakati bersama, yaitu TTS: “Tungku nan Tigo Sajarangan, Tali nan Tigo Sapilin.” Yang artinya, di samping unsur kepemimpinan Ninik Mamak yang melambangkan kepemimpinan Adat, juga berbarengan dengan unsur kepemimpinan Alim Ulama yang melambangkan kepemimpinan Agama. Karena tungku tiga sejarangan, maka untuk penigainya, kitapun mengenal unsur kepemimpinan Cerdik Pandai yang melambangkan kepemimpinan Intelektual yang merujuk kepada cara berfikir yang runut, rasional dan logis, yang unsurnya banyak ditemukan di pemerintahan dan dunia pendidikan. Rasanya, SKM 2010 tinggal mengukuhkan dari barang yang telah ada itu, karena tidaklah gampang untuk mencarikan rumusan alternatif yang lain yang menggambarkan watak dan kepribadian serta filosofi dasar dari orang dan masyarakat Minangkabau kecuali yang sudah terbuhul dalam ABS-SBK dan TTS itu. Namun, yang jadi masalah selama ini adalah, baik filosofi hidup ABS-SBK maupun sistem kepemimpinan TTS itu sepertinya jalan sendiri-sendiri; tidak pernah ada penjabaran dan petunjuk pelaksanaannya, dan tidak pula duduk bagaimana sesungguhnya hubungan integratif dan koordinatif antara komponenkomponen yang ada di dalamnya itu. Sehingga jadilah nasib ABS-SBK dan TTS itu seperti halnya dengan Pancasila sekarang yang tidak ada penafsiran dan penjabarannya, dan bahkan di zaman Orde Baru dilarang untuk mengeluarkan penafsiran yang resmi dari Pancasila itu. Akibatnya orang melakukan penafsiran sendiri-sendiri yang bisa sejalan tapi juga bisa tidak sejalan, atau malah berantukan antara satu sama lain, tergantung kepada kemana kelok loyangnya. Dengan ABS-SBK, okelah kalau hubungan fungsional antara Adat dan Syarak berada dalam tatanan yang hirarkis vertikal, di mana 'Syarak mengata, Adat memakai,' 'Syarak bertelanjang, Adat bersesamping,' dsb. Tetapi, seperti diuraikan

di atas, bukankah dalam perjalanan sejarahnya sampai ke hari ini, Minangkabau dan Sumatera Barat itu tidak hanya dikendalikan oleh ABSSBK saja tetapi tak kurangnya juga oleh peraturan-peraturan dan ketentuan perundangundangan yang datang dari pemerintahan nasional, baik di zaman kolonial dahulu maupun dan apalagi sekarang ini, yang bahkan juga ikutikut mengatur tentang kedua aspek Adat dan Syarak itu sendiri? Kita rasanya belum pernah mendudukkan ini secara tuntas dan pas. Kita selama ini lebih bersikap menerima apapun yang datang dari luar dan dari atas itu tanpa mempertanyakan, cocok atau tak cocok, sesuai atau tak sesuai dengan pola dasar filosofi hidup ABS-SBK itu. Sekali lagi, sikap menerima atau masa bodoh seperti itu, adalah karena orang Minang dan masyarakat Minang menempatkan diri lebih sebagai obyek yang diatur daripada subyek yang seyogyanya harus turut mengatur. Minimal, seperti sikap Syarak tarhadap Adat dalam konteks ABS-SBK itu, sikap yang dipakai untuk berhadapan dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan dari luar itu, seyogyanya, yang baik dan sejalan dengan ABSSBK dipakai, yang buruk dibuang. Namun, apapun peraturan dan ketentuan yang datang dari luar, dan dari atas, diterima begitu saja. Apalagi ada pula adagium sebaliknya yang berlaku secara nasional: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yang datang dari atas. Di sinilah terletak supremasi dari kekuasaan pusat yang rada otokratik terhadap daerahdaerah, kecuali kalau daerah berani menentangnya, seperti yang diperlihatkan oleh Aceh dan Papua. Di kedua daerah itu, demi menjaga kekhasan daerah yang bisa berbeda dengan yang lain-lainnya, dan dengan pusat sendiri, mereka mempertahankannya dengan mendapatkan hak istimewa bagi daerahnya masing-masing - walau melalui jalan perjuangan yang panjang dan berliku-liku. Kalau tidak, di balik kata NKRI maka tersembunyi isyarat sebagai peringatan: Jangan coba-coba menantang matahari! Keseragaman lebih diutamakan dari keragaman. NKRI adalah “negara kesatuan,” bukan “negara persatuan.” Sementara kita dihadapkan pada kenyataan geo-kultural, yang wilayah, penduduk dan latar-belakang sosialbudaya yang begitu luas dan beragam sebagai negara kepulauan dan negara ke 4 terbesar di dunia. Alangkah idealnya jika SKM 2010 ini, karenanya, tidak hanya sekadar bersua-sua, dan kangen-kangenan, tetapi mendudukkan hubungan-hubungan fungsional-struktural ini secara fundamental, baik ke dalam antara Adat dan Syarak, maupun keluar dengan undangundang formal sebagai bernegara yang juga berlaku efektif di wilayah Sumatera Barat dan norma-norma global yang masuk bagaikan tak bersekat. Sikap kita, sekurangnya, silahkan apapun yang masuk, baik yang nasional maupun global, selagi dan selama tak bertentangan dengan kaidah dasar ABS-SBK itu. Artinya, adat dan syarak dijaga jangan sampai terlanda begitu

saja. Untuk itulah kita perlu menjadikan Minangkabau dan nagari-nagari yang ada di dalamnya sebagai “kesatuan masyarakat hukum adat” yang dijamin oleh UUD1945 melestarikannya (Pasal 18B ayat (2). Artinya juga, kalau Yogya, Bali, Aceh dan Papua bisa, kenapa kita tidak bisa? Bukankah kita juga memiliki kesamaan hak di antara berbagai macam-ragam sukubangsa yang bersatu dalam kesatuan NKRI. Khusus mengenai posisi KAN (Kerapatan Adat Nagari) dalam menatap ke masa depan, yang keberadaannya dilestarikan oleh Perda No. 2 th 2007 itu, kitapun perlu merujuk dan melakukan reviu ulang. Ketika Nagari dan Minangkabau ini dikendalikan oleh semata Adat, dan belum terlaksana prinsip ABS-SBK itu, bisalah dimengerti kalau semua urusan apapun yang terjadi dalam masyarakat adat di Minangkabau ditangani oleh Kerapatan Adat Nagari atau lembaga lainnya yang sejalan sebelum itu. Tetapi dengan ABSSBK, kita telah menempatkan Adat di bawah payung Syarak, dan di atasnya itu Kitabullah, Al Quranul Karim. Sendirinya, karena masalah-masalah yang timbul di Nagari tidak hanya masalah adat semata, atau syarak semata, dsb, tetapi juga adalah masalah kehidupan yang kompleks dan saling terkait antara satu sama lain, maka tidak pas lagi kalau semua-semua itu ditangani dan dibebankan hanya kepada para ninik-mamak saja lagi. Tetapi kepada Kerapatan Bersama dari Tungku Nan Tigo Sajarangan: Ninik Mamak beserta Alim Ulama dan Cerdik Pandai. Malah, belakangan ini juga bergulir keharusan unsur wanita dan pemuda juga diikut sertakan. Dalam arti lain, masalah kehidupan yang makin kompleks itu tidak mungkin hanya dilihat dari kaca mata adat dan oleh pemimpin adat semata. Perlu kacamata yang komprehensif dan integral dengan melibatkan unsur kepemimpinan TTS yang lain-lainnya kendati masalahnya masalah adat sekalipun. Keabsahan dari pelestarian KAN untuk menanangi sendirian dan secara sepihak semua masalah yang sifatnya kompleks dan saling terkait itu, menjadi tidak relevan dan bahkan tidak valid lagi, jika kita ingin mengedepankan filosofi hidup ABS-SBK yang jelas saling terkait antara adat, agama dan berbagai segi kehidupan sosial-budaya dalam masyarakat Minang itu. Alasan bahwa dalam kepemimpinan Adat juga dikenal fungsionaris keagamaan yang namanya Imam, Khatib, Qadi, Bilal, Malin, Manti, dsb itu, tidak dapat lagi dipertahankan karena lembaga Alim Ulama atau Majelis Ulama yang sekarang ada sampai ke tingkat Nagari sekalipun tidak ada dan tidak masuk ke dalamnya. Mereka ada di luar tatanan Adat itu dan dengan

/September 2012

35


Khasanah bentukan organisasi tersendiri yang bahkan bertali sampai ke tingkat nasional. Kita sekarang lalu diuji, tetap bertahan dengan mempertahankan KAN yang semata diisi oleh unsur Ninik Mamak seperti pasal 28 Perda No. 2 th 2007 itu, atau menjadikan KAN menjadi bersifat integratif dan koordinatif dengan memasukkan unsur MU, Cendekiawan, Bundo Kanduang dan unsur Pemudanya. Lalu, karenanya, KAN secara struktural harus bertukar bentuk menjadi seperti yang diusulkan dalam SKM2010, yaitu Majelis Adat dan Syarak, atau nama lain yang lebih disepakati, agar supaya lebih sinkron, dan lebih serasi dengan filosofi hidup ABS-SBK itu. Yang menarik, lembaga legislatifkonsultatif BAMUS Nagari yang diciptakan melalui Perda No. 2 th 2007 itu justru lebih menggambarkan keterwakilan dari seluruh unsur kepemimpinan yang hidup dalam masyarakat Nagari, di mana termasuk wakil-wakil dari unsur Ninik-Mamak, AlimUlama, Cerdik-Pandai, Bundo Kanduang, Pemuda, dengan juga memperhatikan keterwakilan Jorong dari unsur-unsur terkait. Sisi-sisi inovatif, kreatif dan konstruktif dari lembaga KAN justeru terletak pada kesediaan dan kesukarelaan kita untuk menyeseuaikannya dengan tuntutan filosofi hidup ABS-SBK dan sekaligus tuntutan

P

zaman ke masa depan. Kalau ada usul perubahan yang akan dilakukan melalui jalur SKM2010 ini, a.l. adalah itu; yakni penyesuaian struktural dan fungsional dari lembaga KAN untuk disesuaikan dengan tuntutan filosofi hidup ABS-SBK dan tuntutan zaman itu, yang intinya adalah integralisasi dan sinkronisasi serta keterpaduan sistem kepemimpinan di bumi Minangkabau dengan memasukkan ketiga unsur kepemimpinan TTS yang jika perlu ditambah lagi dengan unsur kepemimpinan Bundo Kanduang dan Pemuda. Opsi yang terbuka kelihatannya adalah, atau KAN hanyalah semata organisasi fungsional dari para ninikmamak, sebagaimana MU, Bundo Kanduang dan sekian banyak organisasi kepemudaan dan kecendekiaan sesuai dengan bidang professinya masing-masing. Atau KAN dilebur dan diintegrasikan menjadi Majelis Adat dan Syarak (atau nama integratif manapun yang disepakati dalam SKM2010 nanti), yang, sejalan dengan filosofi hidup ABS-SBK itu, memasukkan unsur-unsur kepemimpinan yang hidup dalam masyarakat, yaitu TTS ditambah unsur kepempinan Bundo Kanduang dan Pemuda. Pada tingkat analisis berikutnya, bagaimanapun, juga tidak kurangnya diperlukan integralisasi, sinkronisasi serta keterpaduan antara sistem internal yang

bertumpu pada filosofi budaya ABS-SBK itu dengan sistem eksternal yang masuk secara nasional maupun global karena Sumatera Barat maupun Minangkabau adalah bahagian yang integral dari semua itu. Di hadapan kita terbentang pilihan-pilihan yang bisa kita pilih, apakah dengan model Aceh, Papua ataupun Yogya, yang prinsipnya sistem nasional dan global yang masuk juga memberi tempat kepada sistem lokal dan primordial yang telah dari semula ada. Ini tentunya juga memerlukan pemikiran dan penjabaran lebih jauh: seperti apa bentuknya nanti itu jika kita memang ingin hendak menempatkan ABS-SBK sebagai filosofi hidup dari sukubangsa Minangkabau seperti sukubangsa Melayu lain-lainnya, di mana Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah. Akan lebih akomodatif kalau orientasi kenegaraan kita ke masa depan lebih diarahkan kepada “Persatuan” daripada “Kesatuan” dengan mengingat kondisi geopolitiko-kultural negara kita ini yang pluralistis dan relatif sangat beragam.*** .

ara sahabat dan murid Nasruddin Hoja benar-benar galau dengan peristiwa yang menimpa kuda kesayangan Mursyid mereka itu. Satu-satunya kendaraan milik Nasruddin yang dititipkan kepada mereka hilang dicuri maling, ketika Sufi Besar itu berziarah ke luar kota. Sesampai Nasruddin kembali di Baghdad, mereka tidak bisa menyembunyikan ketakutan dan kebingungan. “Apa yang terjadi pada kalian? Katakanlah!”, kata Sang Mullah. “Wahai kekasih Allah, peristiwa ini bukan menimpa kami, tetapi menimpa Tuan. Kuda milik Tuan hilang dicuri maling. Tolong maafkanlah kami wahai Mullah”, kata salah seorang murid memberanikan diri. Namun betapa kagetnya mereka ketika Nasruddin setengah berteriak mengucapkan, “Alhamdulillaaah...”. Berkali-kali Sang Mullah memuji Tuhan. Para sahabat dan murid Nasruddin heran dan menyangka Sang Mullah salah dengar. “Wahai kekasih Allah, kuda Tuan dicuri orang, mengapa Tuan bersyukur?” tanya mereka. Dengan lugas Nasruddin menjawab, “Wahai sahabat dan murid-muridku, ketahuilah, aku bersyukur karena ketika kuda itu dicuri orang, untunglah aku sedang tidak mengendarainya. Bayangkan, jika aku sedang di atasnya, tentu aku akan ikut hilang dicuri juga”. Para sahabat dan murid Sang Mullah saling pandang, berusaha untuk memahami maksud dari Sufi besar ini. (Dikembangkan F. Katik Batuah dari Nasruddin Hoja, Humor Para Sufi).

36

/September 2012

Presentasi Koleksi Budaya Benda MUSEUM ADITYAWARMAN IKON SUMBAR

B

enda budaya bagaimana pun hambatannyan penting diselamatkan, karena identitas dan jati diri bangsa. Penyelamatan itu dimungkinkan ada faktor internal benda budaya ada juga faktor eksternal. Faktor internal, masih banyak benda budaya yang masih berada di tangan kolektor masyarakat tradisional yang mereka tidak tahu cara memeliharanya. Faktor eksternal masih ada rayuan agen asing hendak menjuang benda budaya, sehingga masih ada benda budaya yang masih mengalir keluar negeri terutama sekali manuskrip dan naskah klasik lainnya. Pada posisi ini terasa penting fungsi Museum Adityawarman. Justru Museum adityawarman ini awal mula dibangun dan diresmikan 16 Maret 1977 oleh Prof. Dr. Syarif Thayeb ketika itu Menteri P dan K R.I. masa era Gubernur Harun Zain, punya ide dasar ingin mengembangkan kesadaran pemeliharaan warisan budaya di Sumatera Barat sebagai salah satu usaha untuk membendung mengalirnya benda – benda warisan budaya daerah ini keluar negeri. Sekarang Museum Adityawarman dengan gaya bangunan type rumah gadang merupakan UPTD dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat, kepala Dinas Burhasman. UPTD berdiri anggun pada areal lk.2,6 hektar dengan luas bangunannya 2.854,8 m2 di Jl. Diponegoro No.10 Padang, dipimpin (sebangai Kepala UPTD) Drs. Muasri ini sudah boleh dibanggakan. Dapat dirasakan Museum ini sudah merupakan icon Sumatera Barat dalam pemeliharaan dan pelestarian budaya benda (tangible) bagian dari kekayaan khazanah terutama pada subkultur Minangkabau. Dra. Riza Mutia, Kasi P3 Museum Adityawarman ketika berdialog dengan SAGA menekankan, Museum Negeri ini,

khusus memelihara, melestarikan dan mempresntasikan budaya kusus benda. Sekarang, Museum ini, katanya, sudah mempunyai koleksi yang cukup besar. Terakhir dihitung sampai tahun 2011 sejumlah 6134 koleksi. Koleksi sebanyak itu meliputi 10 jenis koleksi, yakni: (1) Geo logika/Geografika, (2) Biologika, (3) Etnografika, (4) Arkeologika, (5) Historika, (6) Numismatika/Heraldika, (7) Filologika, (8) Keramologika, (9) Seni Rupa dan (10) Teknologika (rincian koleksi lihat tabel). Peminat melihat koleksi budaya benda di Museum ini cukup menggembirakan. Tidak saja di Museum tetapi juga pada event penting agenda tahunan seperti pameran, benda budaya ini cukup diminat. Banyak event penting dilaksanakan, terutama sekali budaya yang mencerminkan dan yang sarat dengan norm ABS-SBK (adat basandi syara’ – syara’ basandi Kitabullah). Misinya adalah mempresntasikan nilai didik (edukasi) bagi

masyarakat, terutama pengayaan nilai bagi tenaga kependidikan, siswa, mahasiswa, guru dan dosen tak kecuali sejarawan dan budayawan serta seniman. Riza menyebut di antara pameran dan diskusi tahun ini yang menarik mendapat perhatian masyarakat budaya adalah pameran “ragam hias dalam warisan budaya” Mei 2012 yl. Riza memaparkan berbagai program yang akan dilaksanakan tahun ini, di antaranya: Museum masuk sekolah yang dilakukan dalam bentuk lawatan kepada guru dan siswa di sekolah, diskusi pendidikan dan museum oktober mendatang, atraksi budaya dalam bentuk penampilan kesenian, lomba pidato, lomba melukis koleksi museum untuk anak SD, lomba duta museum untuk siswa SLTA, lomba deskripsi koleksi untuk mahasiswa dsb dilakukan sept – november yang akan datang.

/September 2012

37


Khasanah

SEJARAH NAGARI

/September 2012

39


40

/September 2012

/September 2012

41


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.