BaLiquid Concept - Lingkara

Page 1

By Indra Widi

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


BaLiquid / artCipelago Fotografi Minimalis Bali dalam 10R Minimalis adalah cara/gaya, memaksimalkan kesederhanaan untuk memperoleh tujuan/keinginan tertentu, dari mengekspos esensi atau identitas subjek, dengan menghilangkan banyak bentuk non-esensial, fitur atau konsep. Dalam pengertian yang telah dipahami cukup lampau, minimalis juga diterjemahkan sebagai karya dengan minimnya obyek, dengan cara melepaskan aturan estetika, atau acuan konsep tertentu. Dalam banyak referensi, Minimalis merupakan gagasan pemikiran yang terfokus menjadi sebuah bentuk tunggal pada geometrik dasar, pencahayaan, keseimbangan kecerahan warna, tone, dan kontras, untuk meningkatkan estetika visual – dan lain sebagainya. Cara menampilkan minimalis dalam fotografi, tidak berarti, harus selalu menampilkan visual dengan ruang kosong lebih lebar, atau menjadikan sepinya obyek suasana visual yang berada di dalamnya. Minimalis dalam fotografi kali ini, mencari kemungkinan-kemungkinan yang beda, baik secara perwujudan ide visual dan display. Obyektifitas dan Subyektifitas berpikir adalah “sebuah Liquid” yang mengalir sederhana dan perlahan secara global. Visual Fotografi disini, merupakan sebuah pemampatan konsep, ide, dan gagasan tertentu, yang disederhanakan, dalam banyak simbol ataupun yang lainnya. Gagasan lokal dan regional dalam wilayah dan kultur Bali, merupakan eksplorasi fotografi secara Minimalis dari yang pernah ada dan jenuh. Fotografi sangat mumpuni untuk mengeksplorasinya secara tepat, dan Fotografi Minimalis akan menjadi apresiasi yang bisa terlihat sangat sibuk dan juga rumit. Perwujudan Fotografi dalam wilayah kajian Antropologi akan lebih mendorong dan terpacunya kemungkinan eksplorasi bentuk-bentuk baru. Pendekatan kepada wilayah penulisan Sastra atau apresiasinya juga merupakan studi banding yang efektif. Pemaparan dalam konsep landsekap Arsitektural atau Visual Seni Rupa, menjadi acuan yang primer. Minimalis tentang Bali, diharapkan tidak 'hanya' memberikan ruang komposisi harmonis semata 'apik' saja, yang kosong, tanpa isi yang lebih dalam, karena 'Bali' adalah sebuah 'konsep' dalam banyak ruang pemikiran. Konsep “Liquid” adalah sebuah Kultur yang dinamis dan terasimilasi ke dalam banyak bentuk, dan Bali adalah sebagai aliran sumber kelokalan 'eye camera/local culture' dari ide kreatifitasnya. Ada apa disana, apa yang bisa dikupas, bagaimana diterjemahkan dalam visual dan verbal -selain 'sebuah dekorasi' semata), dari kesederhanaan yang minim, menjadi sebuah kemasifan visual Fotografi? Lingkara PhotoArt Gallery Bali, mencari bentuk-bentuk baru tersebut, dalam perwujudan fotografi serial (minimal 10 karya Fotografi). Hal tersebut dimaksudkan agar dalam mencapai perwujudan visual Fotografi Minimalis tersebut, tidak lagi sekedar 'menemukan' penggalan-penggalan obyektifitas dan waktu. Namun juga, diharapkan, sudah menjadi sebuah 'penemuan' yang akan dan terus digali secara kesinambungan, untuk maksud dan tujuan tertentu, dalam berbagai macam studi dan pendekatan keilmuan tertentu. Perwujudan karya dalam cetak (LAB/Traditional Chromogenic Prints/C-print) pada kertas foto 10R (baik warna ataupun hitam-putih), dimaksudkan untuk pendekatan kepada pengenalan dunia 'Archieve' dalam Fotografi yang 'lampau'. Ukuran kertas 10R adalah sebuah Fotografi yang 'Vintage', yang diharapkan pameran kali ini bermaksud untuk pembelajaran kembali kepada 'ruh fotografi' yang telah lampau tersebut.

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


Sumber Kajian Minimalis dalam berbagai konsep definitif: Minimalis adalah salah satu konsep hidup yang membebaskan jiwa manusia dan hati manusia dari harta benda. Hal ini memungkinkan kita kebebasan untuk mengarahkan fokus kita terhadap kegiatan lebih bermakna. Minimalis adalah cara untuk melarikan diri ekses dari dunia di sekitar kita - ekses konsumerisme, harta benda, kekacauan, memiliki terlalu banyak yang harus dilakukan, terlalu banyak utang, terlalu banyak gangguan, terlalu banyak suara. Tapi terlalu sedikit makna. Minimalis adalah cara menghindari non-esensial untuk fokus pada apa yang benar-benar penting, apa yang memberi makna pada hidup kita, apa yang memberi kita sukacita dan terlalu bernilai/rumit. Joke:

One of my friends wrote this on a whiteboard: "MINIMALISM: Design or style in which the simplest and fewest elements are used to create MAXIMUM effect."...then my boyfriend came along and drew a picture of the male reproductive organs underneath. Definition of MINIMAL ART abstract art consisting primarily of simple geometric forms executed in an impersonal style. Rhymes with MINIMAL ART

conceptual art, for the most part, kinetic art, optical art,performance art, practical art.

To describe a style characterized by an impersonal austerity, plain geometric configurations and industrially processed materials. Minimalism derives its name from the minimum of operating means. Minimalist painting is purely realistic—the subject being the painting itself. the Minimalist elimination of complex compositional relations and subtle nuances of form, which they believed to be essential qualities of modernist. Source: Moma / Christopher WantFrom Grove Art Online Š 2009 Oxford University Press

Noun (sometimes initial capital letter): in music, A reductive style or school of modern music utilizing only simple sonorities, rhythms, and patterns, with minimal embellishment or orchestrational complexity, and characterized by protracted repetition of figurations, obsessive structural rigor, and often a pulsing, hypnotic effect. Source: http://dictionary.reference.com/browse/minimalism

Support for the minimalist conjecture comes in part from the widely held belief that it’s hard for elliptic curves to have many rational points. After all, rational numbers are a decided minority on the number line. Source: https://www.simonsfoundation.org/quanta/20130709-mathematicians-shed-light-on-minimalist-conjecture/

Minimalism describes movements in various forms of art and design, especially visual art and music, where the work is set out to expose the essence or identity of a subject through eliminating all non-essential forms, features or concepts. Minimalism is any design or style in which the simplest and fewest elements are used to create the maximum effect. Source: https://en.wikipedia.org/wiki/Minimalism

The term Minimalist is often applied colloquially to designate or suggest anything which is spare or stripped to its absolute essentials. It has its origins with an art critic seeking to describe what he saw, but has also been used to describe such diverse genres as plays by authors such as Samuel Beckett, films by director Robert Bresson (the narratives of Raymond Carver), the simple musical works of composer Philip Glass (the art installations of Sol LeWitt), the German Bauhaus art movement and even the cars designed by Colin Chapman and the educational principles of John Carroll among others. This paper considers why understanding of the concept is not only necessary but also useful. The principle of Minimalism is proposed as being a useful theoretical tool which supports a more differentiated understanding of reduction, and thus creates a standpoint that allows the definition of simplicity in its various aspects. Source: http://www.academicjournals.org/jfsa/PDF/Pdf2011/June/vanEenoo.pdf

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


From its inception, and continuing to this very day, conceptual art has been entangled in controversy by those who stake claims to its foundational moment. This phenomenon is highly paradoxical given that, as with avant-garde practice in general, the emergence of conceptual art was the result of complicated processes of selection, fusion, and rejection of antecedent forms and strategies. Claims for the clarity and purity of the foundational lineage of conceptual art, therefore, should be considered with skepticism, since they are so limited, confusing, and often explicitly constructed in order to promote a particular, partial legacy. Of course, this is not uncommon in the history of modern art, but it is remarkably blatant at the moment of conceptual art. Source: http://uncopy.net/wp-content/uploads/2012/09/alberro-stimson-conceptualart.pdf

Language, Truth, and Logic is a work of philosophy by Alfred Jules Ayer, published in 1936 when Ayer was 26 (though it was completed when Ayer was 25). It was crucial in bringing some of the ideas of the Vienna Circle and the logical empiricists to the attention of the English-speaking world. In this book, Ayer defines, explains, and argues for the verification principle of logical positivism, sometimes referred to as the "criterion of significance" or "criterion of meaning". Ayer explains how the principle of verifiability may be applied to the problems of philosophy. Source:: http://en.wikipedia.org/wiki/Language,_Truth,_and_Logic Source: http://www.fphil.uniba.sk/fileadmin/user_upload/editors/kfdf/sylabus/sabela/texty/Ayer.pdf

Visual Culture Visual Culture as an academic subject is a field of study that generally includes some combination of cultural studies, art history, critical theory, philosophy, and anthropology, by focusing on aspects of culture that rely on visual images. Among theorists working within contemporary culture, this field of study often overlaps with film studies, psychoanalytic theory, gender studies, queer theory, and the study of television; it can also include video game studies, comics, traditional artistic media, advertising, the Internet, and any other medium that has a crucial visual component. The field’s versatility stems from the range of objects contained under the term “visual culture,” which aggregates “visual events in which information, meaning or pleasure is sought by the consumer in an interface with visual technology.” The term “visual technology” refers any media designed for purposes of perception or with the potential to augment our visual capability. Source: http://en.wikipedia.org/wiki/Visual_culture http://www9.georgetown.edu/faculty/irvinem/theory/Mirzoeff-What_is_Visual_Culture.pdf http://www.nicholasmirzoeff.com/Images/Mirzeoff_visuality.pdf http://www.nicholasmirzoeff.com/Images/Mirzeoff_visuality.pdf http://analepsis.files.wordpress.com/2011/08/104915 217-mirzoeff-nicholas-ed-the-visual-culture-reader.pdf http://www.sagepub.com/upm-data/28936_Smith___Chapter_One.pdf

Visual culture seeks to blend the historical perspective of art history and film studies with the case-specific, intellectually engaged approach characteristic of cultural studies. The transcultural experience of the visual in everyday life is, then, the territory of visual culture. Source: http://www.sagepub.com/upm-data/28936_Smith___Chapter_One.pdf

Despite its status as contested discipline, art historiography may be of assistance to visual culture studies in answering the call for a fundamental reconsideration of the prolific picture category of visual imagery within the broad image domain. As a strategy of ideological resistance, reconsideration of this category is essential in order to counter entrenched tendencies such as popular "picture theories of visual perception", the pervasive "picturalising" of non-pictorial image categories and ocularcentrism’s ideological authority. Source: http://www.imageandnarrative.be/inarchive/issue08/dirkvandenbergh.htm

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


Theories of Visuality/Theories of Materiality In recent years theories of visuality and materiality have become central to debates in the humanities. Poststructuralism has prompted reconsiderations of representation and reality, changing the parameters of objects of study. This has resulted in new relationships of words to images and objects, as well as innovative conceptual tools available to interpret all three. In this interdisciplinary seminar we will examine the phenomena of cultural production and consumption of a range of media in different times and places, asking how images and objects function, and how they mediate what we see and experience. Through shared readings, student presentations, and written projects, we will consider issues of form, representation, and knowledge, and the politics of ascribing meaning and value. Source: http://pages.wustl.edu/mii/seminar-theory-methods/theories-visualitytheories-materiality

An image is an image is an image? – understanding visuals and using the right terms: image, Picture, Bild, and visuals everybody knows what an image is, or at least we think we do. The obvious question “What is an image?” has not deterred two reknowned visual scholars from publishing an essay and a book on that very topic. In fact, the meaning of the word “image” depends on the disciplinary angle with which term is approached, but also on the particular language used. Source: http://www.visualcompetence.org/files/papers_5_scoms_07-2_Mueller.pdf

The title of this book is deceptively – and deliberately – simple: Culture, Heritage and Representation. In it, we explore some of the ways in which the past has been constituted in the present, with visual culture highlighted as a key medium for communicating and understanding it. Each contribution grapples with this intersection in its own way:some are theoretical and speculative, others comparative and suggestive, and some still are rooted in fine-grained analyses of distinct case-studies. This combination allows the volume to speak to a broad readership, addressing the kinds of issues we believe a range of scholars will be interested in – performativity, hyper-reality, virtuality, non-representational theory and popular memory – whilst also detailing the intricacies of case studiesranging from Greece, the United states, the united Kingdom, Israel and the Western Front. Source: http://www.ashgate.com/pdf/SamplePages/Culture_Heritage_and_Representation_Intro.pdf

The basic definition of semiotics or semiology as a "science of signs" is of little value in explaining this field which has dominated recent critical inquiry in many disciplines. The easiest introduction to the semiotic analysis of images is still Judith Williamson's Decoding Advertisements (1978) even if the examples used are embarrassingly out of date. Source: http://w3.gril.univ-tlse2.fr/Proimago/LogiCoursimage/semiotic.htm

The author examines the past, present and future of machinima, hereby defined as an art form in transition. Although both socially and culturally embedded in gaming cultures, machinima could expand well beyond gaming, as it represents a successful example of convergence of filmmaking, animation and games development. Although the medium has a strong artistic potential, the future trajectory of machinima will remain indelibly tied to games development, reflecting gaming and internet cultures. The author predicts that machinima will further evolve in line with developing curatorial expertise in its presentation to wider audiences and positioning within the digital arts movement. Source: http://98.131.80.43/home/wp-content/uploads/2011/06/Journal-of-Visual-Culture-2011-Harwood-6-12.pdf Source: http://terpconnect.umd.edu/~mgk/courses/spring2002/759/bib.html

In this age when images gradually maintain their supremacy, cinemas, newspapers, magazines, books, posters, computer screens, television screens, clothes and even restaurant menus have been enclosed with images as it has never been before. In mass communication, the written culture has been step by step superseded by an audiovisual culture. ‘Reading’ has increasingly weakened against ‘watching and listening’. Obviously, an emphasis on visual messages does not mean that words are less important than images. The most powerful and meaningful messages are combined with words and pictures equally (Lester, 2000: x). Considering the rapid developments in technology, we come face to face with an era widely dominated visually. Source:http://akademik.maltepe.edu.tr/~osmanurper/g%F6rselimajy%F6n/visual%20semiotics%20how%20still%20images %20mean.pdf

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


Gillian Rose – Visual Metodologies Rose's current research interests lie broadly within the field of visual culture. She is interested in the ways social subjectivities and relations are pictured or made invisible in a range of media, and how those processes are embedded in power relations. She also has long-standing interest in feminist film theory and in Michel Foucault's and feminist accounts of photography in particular. Written from a Marxist and radical feminist perspective, Feminism & Geography stimulated a series of debates within geography about the nature of how geographic knowledge is constructed. Rose is known for defining identity as "how we make sense of ourselves" and explained how we each have different identities on different scales, for example, someone's local identity is probably different than their global identity. She also describes sense of place as the process of infusing a place with "meaning and feeling." Source: https://en.wikipedia.org/wiki/Gillian_Rose_(geographer) http://booklens.com/gillian-rose/visual-methodologies http://www.ashgate.com/pdf/SamplePages/Visuality_Materiality_Ch1.pdf http://www.waikato.ac.nz/__data/assets/pdf_file/0004/149260/ElaineBliss.pdf http://www.jstor.org/discover/10.2307/29764218?uid=3737496&uid=2&uid=4&sid=21102498987781 http://library.mpib-berlin.mpg.de/toc/z2011_2252.pdf http://kerouac.english.wwu.edu/~eng371/pdf/visualmethodologies.pdf

>>>> Other source, search keywords: >>>> This Visual Culture, is not intended as a "comic" or "social theory of visuality," but in a more interactive and interdisciplinary sense. It is looked after determining role of visual culture within a broader cultural spectrum and highlighted the moments where the visual space for social interaction and defintion for example, race , gender or sexual identity is. "One photograph alone no longer shows the truth." - The visualization of the existence Source: http://playground.0religion1.com/2011/nicolas-mirzoeff-%E2%80%93-what-is-visual-culture/

Painting is the art of inclusion, photography is the art of exclusion Look to the past for ideas and inspiration but not for rules or justification for what you should be doing in the field today. You would seem to have some negative perspective toward narrow dof. That is fine. But, if I were going to bolster my positive feelings toward it, I would look to Impressionists like Renoir who gloried in blur. I went to a Renoir exhibit a year ago. It showed just a handful of his large portraits. Looking as closely as I could, in one portrait, the only strong, solid lines were in the two eyes of the subject. Some artists, like Seurat, provided more of a pixel level view with a collection of dots making the scene. No strong lines whatsoever. In recent movies, I see shallow dof techniques used more and more. In some cases, like in Scorcese's 3D Hugo, the effect is fantastic. In others, it can be annoyingly obvious and disconcerting. I think it is best to judge such things on a case-by-case basis. Like the old saying "Painting is the art of inclusion, photography is the art of exclusion ". Source: http://www.cambridgeincolour.com/forums/thread30060.htm

Depth of Field: Essays on Photography, Mass Media, and Lens Culture by A. D. Coleman "Depth of Field's eleven essays, written between 1978 and 1996, display A. D. Coleman's very original thinking on a wide range of subjects covering the interaction of photographic technology with aesthetics, ethics, communication and history. Derral Cheatwood and Clarice Stasz bring the lesson home: "The belief that there is an external, constant and absolute reality which can be recorded, measured, or analyzed with photography or sociology -- and is therefore independent of the activity of the two fields -constitutes the reality fallacy." Source: http://www.nearbycafe.com/artandphoto/cspeed/reviews/depth.html Source: http://www.nearbycafe.com/artandphoto/cspeed/projects/ADColemanCV.pdf

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


PhotoResearcher: In our opinion, we must re-think the notion and understanding of photography magazines, not only in formal and historical aspects but also in conceptual terms. The role ofthe photography magazine has to be an agile and indispensable medium of, and for, the communication of photography. And, not only between the different agents involved in photography, but also as an indispensable element for the definitive consolidation, legitimization and recognition of photography as something much more than a mere graphic document or, as Rosalind Kraussstated, a ‘metalanguage’ of art, and beyond the eternal (sometimes nonsensical) debate about the similarities between photography and reality. Ultimately, as LizWellssaid in her paper, there are many photographs, and many magazines should exist to publish all of those photographs. With this understanding of photography, it is obvious that the notion of photography magazines hasto evolve at the same time. Historic models have their importance and relevance – we are here because of them – but they cannot determinate the future. We must build on the ruins but not ruin. Source: http://www.donau-uni.ac.at/imperia/md/content/studium/kultur/zbw/eshph/photoresearcher/photoresaercher_no12_.pdf

Through the Objective Lens:

The ethics of expression and repression of high art in photojournalism

Peggy J. Bowers Art and photojournalism exist in what Susan Sontag has termed “febrile rivalry.” Their moral and epistemological battles concern authenticity, truth, and the nature of reality. Despite this, photojournalism consciously or unconsciously attempts to emulate the painter’s techniques and sensibilities. The constraints of the photojournalistic professional identity, however, mean that artistic affinities are repressed, at great emotional and ethical peril to the photographers themselves as well as to the detriment of the people whom they serve. Using numerous examples of photojournalism and of art from the Renaissance through the early twentieth century, this paper will examine how photojournalism mimics art in terms of staging, composition and explicit reference to specific genres and works of art, examining the ethical implications of photojournalism as a repressed art form. Source: http://ac-journal.org/journal/pubs/2008/Special%20Edition%2008%20-%20Aesthetics/Article_5.pdf

TRUTH IN PHOTOGRAPHY: PERCEPTION, MYTH AND REALITY IN THE POSTMODERN WORLD BY LESLIE MULLEN Photography was originally considered a way to objectively represent reality, completely untouched by the photographer’s perspective. However, photographers manipulate their pictures in various ways, from choosing what to shoot to altering the resulting image through computer digitalization. The manipulation inherent to photography brings to light questions about the nature of truth. All art forms manipulate reality in order to reveal truths not apparent to the uncritical eye. Photography today is largely seen as a postmodern art form, and postmodernism states that truths do not necessarily last, but instead truths alter and shift with changes in culture. Modernism, however, states that some truths do last, and these truths reflect basic, universal conditions of humanity. These lasting truths are often expressed in mythic themes and archetypes. Science, journalism and art make use of the connection between myth and truth, most notably, in the mythic archetype of form: beauty. Scientific, news, artistic and documentary photography all use the archetype of beauty as a connection to truth. Beauty, however, is based on the beliefs of a culture, and does not necessarily define truth. In the end, both postmodernism and modernism havetheir place in photographic philosophy. Understanding of photographic truth, like all other truths, depends on an understanding of culture, belief, history, and the universal aspects of human nature. Source: http://etd.fcla.edu/etd/uf/1998/amd0040/Leslie.pdf

READING PHOTOGRAPHS: The intelligibility of the photograph is no simple thing: photographs are texts inscribed in terms of what we may call 'photographic discourse,' but this discourse, like any other, engages discourses beyond itself, the 'photographic text,' like any other, is the site of a complex intertextuality, an overlapping series of previous texts 'taken for granted' at a particular cultural and historical conjuncture. Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


It is not without significance that Adams is referring here to the concept of "beauty in photography," so the title of his book, and as far as the aesthetics of form is concerned, one cannot but agree with him. Documentary, however, is not only about form, which is exactly why sincerity and biography do matter. As Stott says: "The heart of documentary is not form or style or medium, but always content. "Furthermore, documentarists stress feelings,"... they believe that a fact to be true and important must be felt. This is not to say that form in documentary is without relevance, this is only to say that documentary aims, primarily, at being true, not at being beautiful. Yet what is true is often beautiful. Source: http://www.icce.rug.nl/~soundscapes/VOLUME07/Reading_photographs.shtml

Aesthetics OR Originality?

In spite of the ambiguous definition of aesthetics, we show in this paper that there exist certain visual properties which make photographs, in general,more aesthetically beautiful. Of interest to us is the fact that many of these photographs are peer-rated in terms of two qualities, namely aesthetics and originality. According to the Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Aesthetics means (1) “concerned with beauty and art and the understanding of beautiful things”, and (2) “made in an artistic way and beautiful to look at”. A more specific discussion on the definition of aesthetics can be found in [16]. As can be observed, no consensus was reached on the topic among the users, many of whom are professional photographers. Originality has a more specific definition of being something that is unique and rarely observed. The originality score given to some photographs can also be hard to interpret, because what seems original to some viewers may not be so for others. Depending on the experiences of the viewers, the originality scores for the same photo can vary considerably. Thus the originality score is subjective to a large extent as well. Source: http://infolab.stanford.edu/~wangz/project/imsearch/Aesthetics/ECCV06/datta.pdf

Lens Culture: Identifying a group’s culture—that shared reference system that guides and is reflected in group members’ behaviour—is not a simple task, and requires a range of methodological tools. The classic form of qualitative research, with roots in anthropology and sociology, is often known as ethnography or naturalistic enquiry. Ethnography is in fact, a research strategy that draws on a range of both qualitative and quantitative methods, and seeks to understand the ‘cultural lens’ through which members of a group perceive their world. Anthropologists have traditionally used a qualitative research approach to study culture, and such an approach is well suited to many of the complex questions confronting researchers interested in quality and culture. More than just a set of data collection methods, qualitative research is an approach which seeks to understand events, actions, norms and values from the perspective of the people who are being studied (what anthropologists refer to as the ‘emic’ approach). Culture is a complex and multi-faceted concept, and its study requires conceptual models and research methods that can reflect this complexity and which acknowledge the existence of multiple views and voices. Culture is defined as ‘an “attribute”, something the organization “has”, along with other attributes such as structure and strategy’. Culture is seen as an independent variable that can be manipulated through management interventions. http://intqhc.oxfordjournals.org/content/16/5/345.full

Anthropology literally means ‘the study of human beings’, while cultures are patterns of human behaviour and knowledge that every human learns as a member of a society. Cultural Anthropology focuses on how these cultural patterns shape our experiences. http://www.victoria.ac.nz/st_services/careers/resources/career_publications/career_view/cultural_anth_sociology.pdf

The cultural lens is a programming and an analytical tool that assists policy makers and development professionals to evaluate, understand and use positive cultural values, structures and resources in their programming and planning processes. It can enhance the objectives of programming successfully and efficiently with strong community acceptance and possession. The Lens was designed to create awareness of cultural dimensions, issues, and factors in development programmes. It proposes an analytical framework with questions in five thematic areas (Context of the programme, Diversity of perspectives, Access and participation, Cultural heritage, Economics of culture and creativity), providing a step-by-step method for analyzing programmes in the light of cultural diversity. The Lens allows for the gradual identification of possible options for improving the programme under analysis while respecting and promoting cultural diversity. The uses of evaluation must be understood from an organizational culture perspective. A case is made for grounding evaluation use within a cultural framework. http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/The%20Cultural%20Diversity%20Lens_Pedagogical%20guide.pdf

http://cultureblog.deanfosterassociates.com/ http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ev.1567/abstract

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


Orisinalitas DOF sebagai pembentuk Kualitas Estetika dan Kultur: Berbagai acuan definisi DOF – Depth of Field: http://en.wikipedia.org/wiki/Depth_of_field http://www.cambridgeincolour.com/forums/thread30060.htm http://www.lightstalking.com/dof/DOF.pdf

Kaitan dan Dasar Pemikiran: Pada dasarnya, DOF adalah pemilihan kedalaman ruang tajam, dan juga rentang jarak melihat/memandang, yang diikuti pada pilihan diafragma / lensa / background / ISO, dan lain sebagainya. Pada sistem analog/manual fotografi, definisi tersebut pernah menjadi dasar, namun sudah dinyatakan usai dan lampau. Pada sistem digital definisi DOF berkembang secara teknis hingga effect lain yang ditimbulkannya. Pemilihan DOF juga terletak pada pemilihan jenis/bentuk pewarnaan, cahaya, tektur, shade, tone, atau pilihan kompleksitas dan kesederhanaannya. Salah satu petunjuk besarnya seperti, penyampaian estetika yang dianalisa melalui: pilihan area fokus, pilihan ekspresi, pilihan kualitas dan jenis pencahayaan (alami atau buatan), dan lain sebagainya. Penyajian tersebut dianulir sebagai peta sebuah kualitas dan identitas kultur sosial tertentu. Pilihan rentang jarak dan fokus tertentu menimbulkan efek topik subyektifitas pada pembicaraan strata tertentu. Dalam rumus proyeksi, keorisinalan bahasa fotografi, sudah dan sangat mempertegas keberadaan analisa-analisa tersebut. 'What do you see is what will you get' adalah slogan besar dalam rumus kinerja fotografi dan kajian bahasanya sendiri. Dan inilah interpretasi rumus proyeksi tersebut: Apa yang dilihat (dari obyek), adalah merupakan proyeksi, itu akan peroleh dan dapatkan. Apa yang terlihat, adalah merupakan interaksi, itu yang akan di-rasa-kan. Apa yang dipandang, adalah merupakan apresiasi, itu yang akan sampaikan (subyek). Sebuah sinergi bolak-balik kesinambungan, dari obyek menjadi subyek, dari visual yang memerlukan verbal, dan dari mata yang melihat menjadi pikiran yang memikirkan. Penjelasan tersebut masih pada pembicaraan yang sangat mendasar, sebelum berbicara efek dari kamera. Pilihan pembicaraan definitif Seni yang berkepanjangan, dan bahkan menjadi hal 'tidak terdefinisikan', menjadi hal yang kurang menarik lagi. Keindahan, menjadi hal yang subyektif dan kosong tanpa sebuah analisa dan kajian berpikir. Analisa DOF yang terstruktur-matematis pada fotografi sudah menjadi pilihan di banyak studi dasar tentang estetika, presepsi visual, hingga menjadi perilaku konotatif sebagai sarana provokatif pembentuk kultur. Pilihan DOF menjadi sangat penting untuk melakukan penekanan identitas visual fotografi itu sendiri, dan juga efek yang akan menjadi kajian. Kajian visual fotografi adalah membicarakan tentang 'Isi' dan 'Konten', setelah membicarakan tentang teknis 'Keindahan' itu sendiri. The range of scene depths that appear focused in an image is known as the depth of field (DOF). Conventional cameras are limited by a fundamental trade-off between depth of field and signal-to-noise ratio (SNR). For a dark scene, the aperture of the lens must be opened up to maintain SNR, which causes the DOF to reduce. Also, today's cameras have DOFs that correspond to a single slab that is perpendicular to the optical axis. In this paper, we present an imaging system that enables one to control the DOF in new and powerful ways. Our approach is to vary the position and/or orientation of the image detector during the integration time of a single photograph. Even when the detector motion is very small (tens of microns), a large range of scene depths (several meters) is captured, both in and out of focus. Our prototype camera uses a micro-actuator to translate the detector along the optical axis during image integration. Using this device, we demonstrate four applications of flexible DOF. First, we describe extended DOF where a large depth range is captured with a very wide aperture (low noise) but with nearly depth-independent defocus blur. Deconvolving a captured image with a single blur kernel gives an image with extended DOF and high SNR. Next, we show the capture of images with discontinuous DOFs. For instance, near and far objects can be imaged with sharpness, while objects in between are severely blurred. Third, we show that our camera can capture images with tilted DOFs (Scheimpflug imaging) without tilting the image detector. Finally, we demonstrate how our camera can be used to realize nonplanar DOFs. We believe flexible DOF imaging can open a new creative dimension in photography and lead to new capabilities in scientific imaging, vision, and graphics. http://ieeexplore.ieee.org/xpl/login.jsp?tp=&arnumber=5432211&url=http://ieeexplore.ieee.org/iel5/34/5639101/05432211.pdf?arnumber=5432211

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


Text illustration in Visual Photography: Sebuah definitif fotografi kini lebih menarik bila dikaji dan diamati, bahwasanya sebuah visual fotografi adalah sebuah sistem illustrasi tulisan/teks. Membuat visual fotografi atau memperolehnya, merupakan kumpulan identitas teks yang cukup rumit. Sebuah hasil Fotografi, terdapat data tersebut dan hendaknya dikupas secara detil dalam banyak pendekatan verbal ataupun cara berbahasa. Data tersebut terdapat di dalam EXIF. Pemahaman data visual tersebut merupakan deskripsi naratif visual fotografi itu sendiri. Data, merupakan Konten dasar teknis Fotografi, yang diperoleh dalam banyak perwujudan karya fotografi. Data, bisa berwujud sebuah metodelogi penelitian. Stories are often accompanied with pictures. Classic tales of folklore were illustrated with beautiful sketches before the advent of the camera. We always associate historic characters we have read about with pictures we have seen in books. Stories written for children ought to be decorated by pictures to sustain a child’s interest, for a picture is worth a thousand words. In modern times, pictures are used everywhere, from newspapers, magazines and Web sites to movie banners, in order to punctuate the effect of stories surrounding the pictures. Often the pictures themselves become more important than the accompanying text. In such scenarios, a key task is to choose the best pictures to display. Story Picturing, aptly called, denotes the process of depicting the events, happenings, and ideas conveyed by a piece of text in the form of a few representative pictures. http://infolab.stanford.edu/~wangz/project/imsearch/story/ACMT05/joshi.pdf http://www.inescporto.pt/~fcoelho/web/_media/files/ecir12.pdf http://www.google.com/paets/US20080285860

Estetika, dalam dunia seni dan fotografi, mengacu pada prinsip-prinsip alam dan apresiasi keindahan. Menilai keindahan dan kualitas estetika lainnya foto-foto adalah tugas yang sangat subyektif. Oleh karena itu, tidak ada standar sepakat untuk mengukur nilai estetika. Terlepas dari adanya aturan tegas, fitur tertentu dalam foto diyakini, untuk menyenangkan manusia. Menyimpulkan kualitas estetika gambar menggunakan konten visual, studi kepada ekstraksi fitur visual tertentu berdasarkan intuisi bahwa orang, dapat membedakan antara estetis menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pengklasifikasian akan otomatis, yang akan dibangun menggunakan mesin vektor dukungan dan pohon klasifikasi. Regresi linear pada istilah polinomial fitur juga diterapkan untuk menyimpulkan peringkat numerik estetika dan mencoba untuk mengeksplorasi hubungan antara emosi yang membangkitkan imej pada orang, dan konten tingkat rendah mereka. Potensi aplikasi termasuk pengambilan foto berbasis konten dan fotografi digital. http://130.203.133.150/viewdoc/summary;jsessionid=1B0041668D32DE95C77CDBDD2ABAF541?doi=10.1.1.81.5178 http://www.academia.edu/2802716/Evaluating_Visual_Aesthetics_in_Photographic_Portraiture

Pada definitif Fotografi yang berdasarkan kepada perekaman awal, Konsep, tidaklah diperlukan sama sekali. Visual obyek berasal dari Mata, Konsep itu datang ketika terjadi imbas proyeksi lanjutan, yang berasal dari intuisi, imajinasi, pengalaman, dan tujuan tertentu. Orisinalitas fotografi berasal dari kamera/alat dan proyeksi itu sendiri, sedangkan, Estetika ditinjau dari sebuah Pemikiran tertentu. Namun, orisinalitas fotografi, bukanlah sebuah manipulasi visual dan juga isinya, karena ini untuk menjaga definisi fotografi tersebut untuk tetap menjadi genre-nya sendiri. Tantangan Fotografi yang dari 'menemukan obyek' dan kemudian melakukan berbagai pendekatan banyak analogi tertentu, adalah orisinalitas yang selalu menarik. Membawa obyek tersebut ke dalam analogi visual dan verbal tertentu dalam sebuah konsep/pemikiran, bukanlah dimaksudkan dengan 'mengada-adakan'/super-hiperbolik-kan obyek tersebut, dalam tingkat kewajaran dari 'penemuan' tersebut. Pengkajian kembali tentang DOF sebagai sebuah solusi akan genre fotografi itu sendiri. Menjadikan Indentitas, dalam visual fotografi merupakan kajian Isi dan Konten. History, bukanlah lagi dipahami sebagai sebuah kebakuan Jurnalistik. Pendokumentasi Sejarah merupakan mengidentifikasian rentang waktu, pada obyek, sosialita, yang 'ditemukan' dalam perjalanan, yang dilihat, diamati, dan dipelajari, dari sudut pandang tertentu. Pilihan Fokus tertentu adalah prioritas kajian sadar dan transparan. Pilihan pendokumentasian tersebut adalah pilihan sebuah DOF. Pilihan diafragma, lensa, cahaya,dan lain sebagainya, adalah sebuah gagasan teknis awal, inilah Konsep sebuah Fotografi, yang hendak diwujudkan, dan selalu disebut-sebut itu. Ketika memilih DOF sempit, maka ketajaman dan kedalaman area lain (yang juga pembicaraannya) akan terfokus pada satu titik/topik, dan sementara yang lainnya, dikaburkan/dihindari. Pilihan DOF tersebut akan terbawa menjadi sebuah interpretasi dan apresiasi kepada banyak hal, serta kajian sosialita tertentu. Demikian juga ketika pilihan DOF terjadi pada f. 22, maka semakin banyak detil dan kualitas teks/cerita dalam fotografi tersebut, muncul dan menjadi banyak topik pembicaraan. Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


Pilihan pencahayaan juga menjadi bahasan pembentuk citra/imej fotografi. Pencahayaan dan pemilihan 'angle' merupakan penegasan yang sangat obyektif. Pengaruh pencahayaan juga mempengaruhi konten fotografi itu sendiri. Minimalis dalam Fotografi, bukan berarti memilih bukaan selebar mungkin untuk mendapatkan DOF sempit, karena keidentikan 'sempit' yang berarti 'minim'. Pilihan minimnya mempergunakan cahaya (low-Light), akan menimbulkan kemisterian, demikian juga sebaliknya, pilihan mempergunakan banyak cahaya (hi-Light), bisa menimbulkan 'ke-eforia-an', dari isi dan konten fotografi tersebut. Minimalis dalam kajian DOF merupakan kajian Teknis yang menjadi faktor pembentuk Konsep. Namun, dari semua kajian, kata 'minimalis' merupakan 'kata pinjaman' dari definitif studi yang lain, seperti arsitektur, seni musik, seni rupa. Minimalis dalam Fotografi, bisa berarti sebutan karena 'pemampatan' informasi, dikarenakan sebuah sifat aktif, untuk mengajak pemirsa berdialog dengan karya dan fotografernya. Minimnya obyek, menjadi pilihan yang mudah untuk mendapatkan kriteria minimalis tersebut. Namun, sibuknya visual juga merupakan tantangan yang menarik untuk menciptakan karya minimalis dalam Fotografi. Konten/Isi dari visual Minimalis dalam Fotografi merupakan sifat aktif yang tersembunyi/bahkan disembunyikan, tergantung bagaimana illustrasi visual teks tersebut bisa dikuasai. Ada cerita dibalik fotografi tersebut, dan fotografi wajib mengetahuinya, walau tidak harus detail, namun obyektifitas yang berubah menjadi subyektifitas tersebut, harus ada kearifan studi pada satu hal. Ekspresi pribadi, sudah menjadi hal yang kurang menarik saat ini, namun kajian sosialita yang mencakup banyak orang, merupakan tantangan untuk dipelajari dan di eksplorasi pada kajian kultur tertentu. Mencakup strata sosial tertentu, berarti mengacu kepada bentuk komunikasi visual tertentu pula. Komunikasi, menyangkut kepada kajian Bahasa (SemanticSemiotik) tertentu. Identitas, merupakan komunikasi identifikasi kepada obyek menjadi subyek. BaLiquid: Bali dalam Kultur Minimalis Fotografi 10R, merupakan kajian lokal kultur Bali dari berbagai macamnya, yang mencerminkan kegamblangan, dan orang mengerti, bahwa hasil fotografi ini berasal-akar dari Bali. Memaparkan dan menyampaikannya dalam visual yang 'minim' diharapkan bisa memaksimalkan eksplorasi illustrasi teks di dalam sebuah fotografi. Teknis: DOF adalah dasar munculnya Konsep dasar pemikiran perwujudan karya untuk kajian tertentu, dan untuk mendapatkan sebuah Identitas apresiasi visualnya. Liquid, adalah konsep/kajian terkini penyebutan proses/aliran dinamika terhadap asimilasi (urban) sebuah lingkungan Kultur Sosialita tertentu. Pencapaian maksimal kajian studi Kultur di Bali dalam tampilan konsep visual yang minimalis, dalam eksplorasi ukuran cetak foto 10R. Dan lalu, apakah istilah 'R' tersebut?

Lalu, ketika identitas 'minimalis' diterapkan ke dalam Fotografi, pengidentifikasian yang bagaimana sehingga fotografi bisa menjadi identitasnya sendiri? Pada pemahaman yang lampau, Fotografi sudah mempunyainya, yakni Fotografi bentuk Tunggal dan Essai (foto serial). Fotografi bentuk Essai, menjadi pilihan yang abadi, karena adanya bentuk pendokumentasian yang dilakukan secara historikal berkesinambungan. Memilih fotografi berdasarkan urutan waktu, tempat, dan kriteria lain, menunjukkan telah terjadi studi awal dari pengidentifikasian subyek. Menempatkannya berdasarkan kata kunci di dalam sebuah folder merupakan kinerja archieve yang menarik. Fotografi bentuk Tunggal, biasanya merupakan pilihan terbaik dari hasil kolektif atau memungkinkan menjadi foto yang diperoleh hanya satu-satunya. Dan hasilhasil tersebut merupakan hasil kolektif data primitif yang paling dasar. Minimalis dalam Fotografi sangat luas dan fleksibel, mengingat bahwa kompleksitas tersebut bisa saja lepas dari kaidah-kaidah geometrikal (Seni Rupa). Dalam definisi landscape arsitektural, minimalis dikaji dalam pengaturan komposisi ruang dan dimensi obyek. Namun pada era digital, dan sebagian besar pengamat fotografi serius, menolak mempergunakan kata 'komposisi' karena bisa menjadi sebagai kata kerja yang mengarahkan kepada pengaturan/penyusunan kembali (dekonstruktif), dan untuk definisi kemurnian fotografi itu sendiri, hal tersebut dihindari dan ditolak. Fotografi memakai kaidah teknis DOF, yang berisi kajian-kajian: Proporsi. Proporsi tentang perhitungan yang diperlukan pada pemakaian cahaya, lensa, diafragma, pilihan angle, dan sebagainya, hingga proporsi perwujudan karya fotografi agar tetap genre dan fotografis. Minimalis dalam Fotografi menjadi sebuah keadaan/situasi aktif pemaparan archieve, kesadaran untuk memampatkan isi-konten, menciptakan suasana komunikasi tertentu, melalui sebuah narasi ilustrasi hasil fotografi pada Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


kajian tertentu, untuk memicu keberhasilan komunikasi kepada pemirsa. Bahkan, pemakaian: Tanda dan Simbol, dalam fotografi bisa diabaikan, mengingat fotografi adalah hasil visual yang kompleks. Sederhana (simple), dipahami bukan sebagai penyederhanaan, karena menjadi konotatif, bukan dipahami juga dalam keadaan menjadi pemicu tercipta banyaknya ruang kosong dan sepi. Istilah komposisi 'ruang kosong', bisa membantu pengertian lebih lanjut, namun dalam fotografi yang kaya dengan visual obyek, bisa saja akhirnya menjadi disebut minimalis, walau tidak terdapat ruang kosong sekalipun. Dalam fotografi, ruang kosong tersebut bisa hanya sebuah 'imajinatif' dikarenakan perbandingan proporsi kedalaman rentang perspektif visual. Kekayan perspektif visual pada fotografi bisa saja 'tidak ada ruang kosong', bahkan sangat penuh, berisi, dan sibuk, namun tetap bisa tampil minimalis. Semua itu bisa dikaji ulang dan dianalisa melalui Fokus, dalam pilihan DOF. Fokus merupakan kajian tinjauan kepada suatu konsep, melalui bahasa dan tanda, melalui visual foto/gambar/ilustrasi dalam proporsi kedalaman rentang perspektif imej, yang bisa 'dimanfaatkan'. Fotografi adalah Fotografi, bukan sebuah Seni Rupa, walau mempunyai wujud dan bentuk (pada akhirnya juga menjadi dilihat), namun cahaya adalah kunci tegas, bahwa fotografi mempunyai sesuatu kajian besar kepada materialnya yang tidak bisa dilihat, diraba, disentuh dan dipegang, secara solid. Fotografi yang menjadi dasar dan lampau, yang hingga kini masih diyakini akan selalu abadi adalah bentuk fotografi Jurnalistik -bahkan Seni Rupa-pun disini tidak dibicarakan. Keorisinalan fotografi dan memotret, hingga mencetaknya dengan masih tetap 'fotografis', adalah sebuah kata kunci genre fotografi itu sendiri. Istilah munculnya 'Foto Salon' kini mulai kurang menarik, dikarenakan faktor 'mengada-adakan' peristiwa pemotretan, dikarena banyak faktor yang mempengaruhi untuk tujuan tertentu yang arahnya selalu 'deconstructif moments'. Persinggungan dengan Seni Rupa adalah hal yang menarik, karena 'kebebasan' berkarya yang unlimited. Dan persinggungan yang sangat menjadi perhatian publik, adalah pertemuan antara: teknis, gagasan teknis, konsep teknis, -fotografi, yang perwujudannya dipertemukan dalam wilayah dan kajian Kultur dan Estetika. Fotografi dan Kamera, adalah alat/tools, sedangkan Kultur dan Estetika, adalah kajian studi dan pemikiran. Dari sinilah semua berawal. Seni Rupa, bahkan dijadikan sebagai substansial alat/tools display dari Fotografi itu sendiri. Bahkan, pembicaraan Fotografi dalam wilayah Seni Rupa, menjadi lebih dominan dan menguasai ruang kajiannya sendiri. Persamaannya adalah, pembicaraan yang sama, dalam wilayah Kultur dan Estetika itu sendiri. Teknis Proporsi, DOF, dan Cahaya, adalah 'kepunyaan' fotografi, sedangkan Komposisi, Bentuk, Pigment, adalah 'kepunyaan' Seni Rupa. Ketika membicarakan Estetika dan Kultur, baik Fotografi maupun Seni Rupa, masing-masing mempunyai kajian, jalur, cara, dan alirannya sendiri-sendiri, yang bisa 'bertemu' hanya sebagai 'rupa/bentuk' dalam sebuah display, di sebuah ruang tertentu. Inilah titik pembicaraan disebutnya Fotografi adalah/bagian dari Seni Rupa, -padahal tidak sama sekali. Bahkan kini, banyak dikaji ulang dan disebutkan bahwa: Mata, dan Cahaya, adalah teknologi pembentuk Estetika dan Kultur yang paling kuno, melalui alat yang disebut: Fotografi -yang kemunculannya paling muda. Jikalau diyakini bahwa Antropologi, (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9), adalah studi yang tertinggi dan terkuno dalam wilayah studi Kultur dan Estetika, Fotografi adalah Ilmu Teknologi yang menjadi sarananya. Dan sistem Proyeksi yang dipergunakan Fotografi, adalah studi/teknologi yang paling alami dan primitif serta fraktal, sebagai pembentuk dan penghadir kehidupan. http://historyofanthropology.eu/hoa.pdf http://www.eolss.net/Sample-Chapters/C04/E6-21-01-01.pdf http://en.wikipedia.org/wiki/Stereographic_projection https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_camera

Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


Ditulis dan disusun oleh: Indra Widi, untuk presentasi dan studi fotografi Minimalis-Kultur, di Lingkara PhotoArt Gallery Bali - 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.