EDISI 90 JUNI - JULI 2013 www. bakti.or.id
MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA
Profil Ekosistem Tentukan Prioritas Investasi CEPF di Wallacea Topang Keluarga untuk Selamatkan Ibu dan Anak
Rumah Tunggu Bergegas Dorong Replikasi Memulihkan Gizi Buruk di Bone Bolango Gorontalo
Daftar Isi 3 Editor
MILA SHWAIKO VICTORIA NGANTUNG Forum KTI ZUSANNA GOSAL ITA MASITA IBNU Events at BaKTI SHERLY HEUMASSE Smart Practices Info Book & Design Visual & Layout
Redaksi
SUMARNI ARIANTO ICHSAN DJUNAID
PERTANYAAN DAN TANGGAPAN Jl. H.A. Mappanyukki No. 32 Makassar 90125 Sulawesi Selatan - Indonesia T. +62 411 832228, 833383 F. +62 411 852146 E. info@bakti.or.id
5
Sekilas Pandang tentang Jaminan Kesehatan-Sistem Jaminan Sosial Nasional Health Insurance-National Social Security System (JK-SJSN) at a Glance
7
Topang Keluarga untuk Selamatkan Ibu dan Anak
9
Memulihkan Gizi Buruk di Bone Bolango Gorontalo
11
www.bakti.or.id SMS BaKTINews 085255776165 E-mail: baktinews@bakti.or.id Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook : www.facebook.com/yayasanbakti BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia. Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia. BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.or.id dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet. BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas. BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia. BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakti.or.id and can be sent electronically to subscribers with internet access.
Meningkatkan Kesadaran tentang HIV/AIDS di Papua Indonesia Growing HIV/AIDS awareness in Indonesia’s Papua region
13
Profil Ekosistem Tentukan Prioritas Investasi CEPF di Wallacea Ecosystem Profile Preparation Will Determine Future CEPF Investment Priorities in Wallacea Mewujudkan Hidup yang Bersih dan Sehat: Memodifikasi Arisan Mebel Menjadi “Arisan Jamban” Creating Clean and Healthy Living:Modifying a Furniture Arisan to Become an “Arisan for Latrines”
BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.
Rumah Tunggu Bergegas Dorong Replikasi
16 17 18
Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia Siap Melaju!
20
Anggota Parlemen Perempuan KTI, Harapan dan Realitas
24
Forum Kepala Bappeda Provinsi Se-KTI Menapak Gagasan Jelang RPJMN 2015-2019
26
Ragu Penyu Belimbing di Persimpangan Jalan
29
Profil LSM
30
Kegiatan di BaKTI
Mengumpulkanapa yang bisa voor beking rumah
CeleBio
Informasi Buku
MENJADI PELANGGAN BaKTINews Subscribing to BaKTINews Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email baktinews@bakti.or.id atau SMS 085255776165.
BERKONTRIBUSI UNTUK BaKTINews BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua). Panjang artikel adalah 1.000 - 1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris, ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat. BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style. Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.
Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja. To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to baktinews@bakti.or.id or SMS to 085255776165. For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.
BaKTINEWS DITERBITKAN OLEH YAYASAN BaKTI DENGAN DUKUNGAN PEMERINTAH AUSTRALIA DAN PEMERINTAH KANADA / BaKTINEWS IS PUBLISHED BY THE BaKTI FOUNDATION WITH SUPPORT OF THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA AND THE GOVERNMENT OF CANADA PANDANGAN YANG DIKEMUKAKAN TAK SEPENUHNYA MENCERMINKAN PANDANGAN YAYASAN BaKTI MAUPUN PEMERINTAH AUSTRALIA. / THE VIEWS EXPRESSED DO NOT NECESSARILY REFLECT THE VIEWS OF YAYASAN BaKTI, THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA AND THE GOVERNMENT OF CANADA.
Canadian International Development Agency
1
News
JUNI - JULI 2013
Agence canadienne de ~ developpement international
Edisi 90
B
erbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran akan HIV/AIDS di provinsi Papua, Indonesia, yang merupakan daerah dengan tingkat infeksi tertinggi, dan Papua Barat yang pelan tapi pasti, kata pekerja sosial dan badan-badan pemerintah. “Masyarakat di sana percaya bahwa HIV/AIDS adalah kutukan dari Tuhan, namun itu tidak lagi menjadi persepsi umum,” Setyo Warsono, juru bicara badan pemerintah Komisi AIDS Nasional, kepada IRIN. Sejak 2005, dilaporkan bahwa infeksi HIV telah meningkat di kedua provinsi tersebut setiap tahunnya, dengan 535 kasus di Papua Barat dan 3.028 di Papua pada tahun 2012, dimana tingkat infeksi telah melampaui angka rata-rata nasional. Di Papua, kasus-kasus baru berjumlah dua kali lipat lebih dari 687 di tahun 2009 menjadi 2.499 di 2010. Tanah papua (sebutan setempat yang memasukkan baik provinsi Papua maupun Papua Barat), 2.000 km ke timur dari Jakarta, memeliki tingkat IPM terendah dari 33 provinsi di Indonesia. Menurut laporan tahun 2012 dari Joint UN Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), Tanah Papua
Efforts to raise awareness of HIV/AIDS in the Indonesian provinces of Papua, which has among the country’s highest rates of infection, and West Papua are making steady though slow progress, say aid workers and government officials. “People there believed that HIV/AIDS was a curse from God, but that’s no longer the general perception,” Setyo Warsono, a spokesman for the government’s National AIDS Commission (KPA), told IRIN. Since 2005, reported HIV infections have increased in both these provinces annually, with 535 new cases reported in West Papua and 3,028 in Papua in 2012, where infection rates have outpaced the national average. In Papua new cases more than doubled from 687 in 2009 to 2,499 in 2010. Tanah Papua (a local term that includes both Papua and West Papua provinces), 2,000km east of Jakarta, has some of the lowest levels of human development of Indonesia’s 33 provinces, according to the government. According to a 2012 report from the Joint UN Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), Tanah Papua was experiencing a low-level HIV epidemic, with a prevalence of 2.4 percent among the general population (versus a national average of 0.3 percent). About 30,000 people (22,210 in Papua and 7,160 in West Papua) are estimated to be living with HIV today.
Meningkatkan Kesadaran tentang HIV/AIDS di Papua Indonesia Growing HIV/AIDS awareness in Indonesia’s Papua region
3
News
JUNI - JULI 2013
Edisi 90
mengalami epidemik HIV tingkat rendah, dengan prevalensi 2,4 perden dari total populasi (versus ratarata nasional 0,3 persen). Sekitar 30.000 orang (22.000 di Papua dan 7.160 di Papua Barat) saat ini diperkirkan hidup dengan HIV.
“Masyarakat di sana percaya bahwa HIV/AIDS adalah kutukan dari Tuhan, namun itu tidak lagi menjadi persepsi umum”
Menjangkau mereka lebih awal Prevalensi HIV dari masyarakat berumur antara 1524 tahun di Papua adalah3 persen. Di tahun 2010, Pemerintah Provinsi Papu, bekerja sama dengan UNICEF, mengeluarkan sebuah kebijakan untuk mengintegrasikan edukasi tentang HIV di sekolahsekolah di Provinsi Papua, termasuk pengembangan kurikulum, pelatihan guru, dan dukungan terhadap kebijakan HIV pada tingkat Kabupaten. Lebih jauh, sebanyak 876 guru di 58 Sekolah Menengah Pertama dan 47 Sekolah Dasar telah mengikuti pelatihan tersebut. ”Dari tidak ada guru sekolah yang mengajarkan tentang HIV, kini kami berhasil meningkatkan jumlahnya,” kata Margaret Sheehan, pimpinan UNICEF di Jayapura, ibukota provinsi Papua. ”Namun masih ada keraguan dari sejumlah guru untuk bicara mengenai bagaimana HIV ditularkan melalui hubungan seksual. Diperlukan lebih banyak kerja-kerja senisitif bagi guru-guru tersebut untuk merasa lebih nyaman.” UNICEF berencana untuk memasukkan edukasi HIV ke dalam program training berikutnya untuk guru-guru di daerah perdesaan melalui kemitraan dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun dengan 38 persen anak berusia 7 – 15 yang tidak bersekolah dan dengan proporsi provinsi tertinggi angka putus sekolah secara nasional, para pekerja badan bantuan kini berupaya keras untuk menjangkau generasi muda. UNICEF menawarkan pelatihan keterampilan hidup bagi generasi muda dan komunitas Kristiani di daerah dimana para pemimpin jemaat dihormati dalam komunitas dan anak-anak mudanya aktif dalam kelompok-kelompok di dalam gereja. KPA Provinsi Papua menggunakan radio, televisi, dan tim sepakbola setempat (karena anak-anak muda Papua suka sekali sepak bola) untuk mendiseminasikan informasi dan edukasi HIV.
Mengakses daerah terpencil Caritas Australia bekerja dengan NGO setempat untuk melatih sukarelawan mitra pelatih, juga untuk menyebarluaskan pesan-pesan pencegahan penularan HIV melalui radio dan beragam konser di Kabupaten Merauke, Papua. Bagi kordinator program LSM di Indonesia, Terry Russell, infrastruktur yang buruk di perdesaan adalah satu dari tantangan terbesar dalam meningkatkan kesadaran tentang HIV. “Desa-desa terpencil tidak bisa dijangkau dengan telepon genggam, jadi harus dilakukan kunjungan, dan seringkali kondisi jalanan ke daerah tersebut sangat buruk akibat cuaca, atau jembatan yang putus, jadi prosesnya bisa sangat memakan waktu,”ungkapnya. Di tahun 2011, pemerintah membantuk sebuah unit di Papua dan Papua Barat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di daerahdaerah terpencil Papua, dimana elbih dari satu juga masyarakat asli Papua bermukim. Perkembangan Walaupun lambat, tetap ada perkembangan, ungkap para petugas pekerja badan bantuan pembangunan. ”Di tahun 2005, orang dengan HIV/AIDS di Merake dijauhi oleh keluarganya, namun sekarang lebih banyak yang bisa diterima keluarga dan lebih banyak lagi yang bersedia menjalani tes HIV/AIDS,” ujar Russel. Di tahun 2008, sekitar 5.000 orang di Tanah Papua menjalani tes HIV; hingga 31 Mei tahun ini, angkat tersebut naik menjadi 31.443 orang. Sheehan dari UNICEF mengatakan pesan-pesan tentang HIV yang dipasang di papan iklan dan televisi sekarang lebih jelas. Di masa lalu, pesan dari para pemimpin Papua di papan-papan iklan menyebutkan ”Kami tidak mau HIV”, poster-poster sekarang lebih mengangkat pesan-pesan pencegahan HIV yang lebih peka terhadap anak muda. Menurut Warsono dari KPA, hingga 2013 pemerintah telah membentuk komisi-komisi lokal untuk melanjutkan peningkatan penyadaran tentang HIV pada 19 dari 29 Kabupaten di Papua, dan di seluruh 13 Kabupaten di Papua Barat.
News
JUNI - JULI 2013
Reaching them early HIV prevalence among people aged 1524 in Tanah Papua is 3 percent. In 2010 the Papua provincial government, in partnership with UN Children’s Fund (UNICEF), introduced a decree to integrate HIV education in schools in Papua Province, which included curriculum development, teacher training and HIV policy support at the district level. So far, 876 teachers in 58 secondary schools and 47 primary schools have received the training. “From zero teachers in schools teaching HIV awareness, we’ve increased the level markedly,” said Margaret Sheehan, UNICEF’s chief of office in Jayapura, the capital of Papua Province. “But there’s still a degree of reluctance from teachers to talk about how HIV can be transmitted through sex. More sensitization work still needs to take place so teachers feel more comfortable.” UNICEF plans to incorporate HIV education into an upcoming training programme for teachers in rural areas in partnership with the Papua and West Papua governments. But with 38 percent of children aged 7-15 out of school, and the highest provincial proportion of out-ofschool children nationwide, aid workers are looking elsewhere to reach youths. UNICEF is offering life-skills training at youth and Protestant church clubs in a part of the country where church leaders are esteemed in the community and most youths participate in church groups. The Papua provincial KPA is using radio,TV and a wellknown local football team (given young people’s love of football in the province) to disseminate HIV education.
Accessing remote areas Caritas Australia is working with a local NGO to train volunteer peer educators, as well as broadcasting HIV prevention messages through the radio and concerts in the Papuan district of Merauke. For the NGO’s programme coordinator in Indonesia, Terry Russell, poor rural infrastructure has been one of the biggest barriers to spreading HIV education. “Remote villages have no mobile phone contact, so pre-visits are necessary, and often roads have worsened due to weather or a bridge being down, so the process can be very time-consuming,” he said. In 2011, the government set up a unit in Papua and West Papua to accelerate infrastructure development in Papua’s remote areas, where more than one million indigenous Papuans live, according to local media. Progress Though slow, progress has been steady, say aid workers. “In 2005, people with HIV/AIDS in Merauke were shunned by their families, but now many more are accepted and many more are willing to undergo HIV/AIDS testing,” said Russell. In 2008 some 5,000 people in Tanah Papua were tested for HIV; as of 31 May this year, that figure has risen to 31,443. U N I C E F ’s S h e e h a n s a i d H I V m e s s a g e s o n government-sponsored billboards and TV ads are now clearer. Whereas in the past there were billboards of leaders saying “We don’t want HIV”, posters now feature youths with HIV-prevention messages. According to the KPA’s Warsono, as of 2013 the government has set up local commissions to continue raising awareness about HIV in 19 of Papua’s 29 districts, and in all of West Papua’s 13 districts.
INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION
Publikasi ini bersumber dari : http://www.irinnews.org/report/98245/growing-hiv-aidsawareness-in- indonesia-s-papua-region
Edisi 90
4
AIPHSS AUSTRALIAN INDONESIA PARTNERSHIP FOR HEALTH SYSTEMS STRENGTHENING
Sekilas Pandang tentang Jaminan KesehatanSistem Jaminan Sosial Nasional Health Insurance-National Social Security System (JK-SJSN) at a Glance
D
alam pelaksanaan SJSN, Indonesia memilih asuransi sosial dengan mewajibkan setiap penduduk yang menerima upah melakukan pembayaran iuran, sedangkan mereka yang miskin dan tidak mampu mendapat bantuan iuran dari pemerintah. Layanan perorangan yang dijamin adalah semua layanan atas indikasi medis mencakup upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan. Fasilitas kesehatan yang memproduksi layanan yang akan dibeli oleh BPJS adalah fasilitas kesehatan milik pemerintah dan atau swasta.
Apa itu BPJS? Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS kesehatan akan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. Jaminan kesehatan yang disiapkan melalui BPJS adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iuran yang dibayar oleh pemerintah.
Siapa saja yang menjadi peserta BPJS Kesehatan? Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Peserta BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah Penerima Bantuan Kesehatan (PBI) Jaminan Kesehatan yakni merka fakir miskin dan orang yang tidak mampu dan cacat total tetap sebagaimana UU SJSN yang iurannya di bayari pemerintah.
5
News
JUNI - JULI 2013
In implementing SJSN, Indonesia chose social insurance by requiring every resident who receives wages to pay insurance fees, while those who are poor and not able will receive contributions and assistance from the government. Individual services guaranteed are all services on medical indications including efforts to improve health, disease prevention, treatment and recovery. The health facilities providing services that will be purchased by BPJS are both government and private health facilities. What is BPJS (Social Security Provider)? BPJS is a public agency established to implement the social security program. It consists of the BPJS for Health and the BPJS for Manpower. The BPJS for Health is expected to commence on 1 January 2014. The health insurance provided by BPJS is in the form of health protection for participants to access health care benefits and protection to meet the basic needs of health care. It is provided to every person who has paid fees or whose contributions are paid by the government. Who are the participants of BPJS for Health? All Indonesian citizens must become the participants of health insurance managed by BPJS. This also applies to foreigners who have worked in Indonesia at least for 6 months and already pay health insurance fees. BPJS participants are divided into two groups. The first group is Contribution Assistance Recipients (PBI) including the poor, near poor and totally disabled persons as stipulated in SJSN Law whose contributions are paid by the government. The second group is Non PBI participants, consisting of wage workers and their family members, as well as non- wage workers and their family members. Wage workers are people who work and receive wages or salaries, such as: civil servants, members of the Indonesia Armed Forces, police, state officials, non-civil servant government employees, and private employees, and other who meet the criteria as wage workers. Non-wage workers are people who are independent workers. Edisi 90
Kelompok yang kedua adalah Peserta bukan PBI, termasuk didalamnya pekerja penerima upah dan aggota keluarganya, pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, serta bukan pekerja dan anggota keluarganya. Pekerja penerima upah adalah setiap orang yang bekerja dan pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah seperti: Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Polri, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri, Pegawai swasta dan pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja penerima upah. Pekerja bukan penerima upah adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri. Bukan pekerja adalah setiap orang yang tidak bekerja tapi mampu membayar iuran jaminan kesehatan, mereka termasuk didalamnya adalah: investor, pemberi kerja, penerima pension, veteran, perintis kemerdekaan atau bukan pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja penerima upah. Kepersertaan BPJS Kesehatan diberlakukan wajib kepada seluruh warga negara Indonesia meskipun yang bersangkutan telah memiliki jaminan kesehatan lain. Ditargetkan dimulai pada tanggal 1 Januari 2014 dan paling lambat tahun 2019 seluruh penduduk Indonesia sudah menjadi peserta BPJS kesehatab yang dilakukan secara bertahap. Iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Besar iuran Jaminan Kesehatan atau sejumlah uang yang wajib dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan / atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan sesuai kesepatan dan keputusan pemerintah bagi penerima upah dan peserta bukan pekerja yang memiliki anggota keluraga lebih dari lima orang termasuk peserta, dibayar oleh peserta dengan ketentuan sebagai berikut. 1 Sebesar Rp. 22.200,- (dua puluh dua ribu dua ratus rupiah) per orang per bulan, bagi peserta yang menghendaki pelayanan di ruang perawatan kelas III 2 Sebesar Rp. 40.000,- (empat puluh ribu rupiah) per orang per bulan, bagi peserta yang menghendaki pelayanan di ruang perawatan kelas II 3 Sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per orang per bulan bagi peserta yang menghendaki pelayanan di ruang perawatan kelas I.
Manfaat atau faedah yang diterima peserta dan keluarga Setiap peserta berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud terdiri atas manfaat medis dan manfaat non medis. Manfaat medis tidak termasuk manfaat akomodasi dan ambulans. Manfaat ambulans hanya diberikan kepada pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan Pemerintah dan Pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelenggaran pelayanan kesehatan untuk pelaksanaan program jaminan kesehatan. Pemerintah dan pemerintah daeraha dapat memberikan kesempatan kepada swasta untuk berperan serta memenuhi ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, beriorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien serta efisiensi biaya. Kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan dilakukan secara menyeluruh meliputi pemenuhan standard mutu fasilitas kesehatan, memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai standard yang ditetapkan serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta. Ketentuan mengenai penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan BPJS. Dalam melaksnakan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan jaminan kesehatan, Menteri Kesehatan RI berkoordinasi dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN berberan selaku dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
News
JUNI - JULI 2013
Non workers are people who don’t work but are able to pay health insurance tuition. Included in this group are: investors, employers, pension recepients/ former state officials with pension rights, veterans, and pioneers of independence) or other non-workers who can meet the criteria as wage workers. The membership of Health BPJS for all Indonesian citizens is complusory even if they already have other health insurance. The membership of BPJS will be implemented gradually starting from 1 January 2014. By 2019, at the latest, it is expected that all Indonesian citizens will be covered under BPJS for Health membership. Health Insurance Tuition The rate of health insurance tuition or the amount of money that must be paid regularly by participants, employers, and/or the government (according to the agreement and decisions of the Indonesian government for wage worker participants and non-wage worker ones who have family members more than five persons including the participants themselves), are paid by the participants as follows. 1 Rp. 22,200,- (twenty thousand rupiahs) per person per month, for participants who wish to have healthcare treatment in class III 2 Rp. 40,000,- (forty thousand rupiahs) per person per month, for participants who wish to have healthcare treatment in class II 3 Rp. 50,000,- (fifty thousand rupiahs) per person per month, for participants who wish to have healthcare treatment in class I Benefits for participants and their families Each participant is entitled to health insurance benefits for personal health services, including promotive, preventive, curative and rehabilitative services, medicines and medical consumable materials according to the necessary medical needs. The benefits of health insurance as referred to consist of medical and non-medical benefits. The medical benefits do not include family accommodation or ambulance costs. Ambulance benefits are only given to referral patients from health facilities who meet certain conditions set by BPJS. Availability of health facilities and health service delivery The government and local governments are responsible for the availability of health facilities and the delivery of health services for the implementation of the health insurance program. The government and local governments may provide opportunities for the private sector to contribute to the availability of health facilities and meeting health service delivery needs. Health care services for insurance participants must pay attention to the quality of service, patient safety, effectiveness, and comply with the needs of patients and cost efficiency. Quality control of the health insurance will be performed comprehensively including enforcing the standard of quality of health facilities, ensuring that processes run according to health standards set, and monitoring of health outcomes for participants. The provisions concerning the application of the quality control system are defined in the BPJS regulation. In conducting monitoring and evaluation of health care service delivery, the Ministry of Health willcoordinate with the National Social Security Council (DJSN). The DJSN assists the President in formulating public policies and synchronizing the implementation of the National Social Security System.
INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION Untuk informasi lebih lanjut mengenai program AIPHSS, Anda dapat menghubungi : Syalomi Natalia, AIPHSS Communication Officer melalui email : Syalomi_Natalia@aiphss.org Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai definisi, keanggotaan, manfaat, prosedur komplain dan FAQ, Anda dapat mendonwload Buku Saku BPJS melalui website www.sehatnegeriku.com/ buku-saku-bpjs atau melalui wesbsite www.aiphss.org Edisi 90
6
AIFDR AUSTRALIA-INDONESIA FACILITY FOR DISASTER REDUCTION
Topang Keluarga untuk Selamatkan Ibu dan Anak OLEH RENDY DJAUHARI
M
eningkatkan ketahanan perempuan terhadap bencana, k hususnya pada masa k ritis saat kesiapsiagaan bencana, ketahanan pangan dan finansial serta pemberdayaan masyarakat merupakan komponen kunci program Delsos, “Topang Keluarga untuk Selamatkan Ibu dan Anak�
Program inovatif ini mendukung 360 perempuan kepala rumah tangga di 13 desa di dua kecamatan di Flores Timur, telah memperjuangkan tidak hanya upaya pengurangan hilangnya nyawa melalui peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, tapi juga berfokus pada peningkatan ketahanan mereka melalui perbaikan ketahanan pangan dan finansial, sehingga mereka dapat segera bangkit kembali bila bencana terjadi. Delsos, sebuah organisasi pengembangan masyarakat yang dikelola Keuskupan Larantuka di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang didukung oleh Australia dan Indonesia untuk mengimplementasi proyek melalui dukungan dana hibah Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) yang bekerja untuk membantu mengurangi dampak bencana terhadap kelompok masyarakat rentan. AIFDR adalah kemitraan antara AusAID dan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Indonesia. Pada tahap awal berjalannya proyek ini, Delsos membantu untuk memfasilitasi pembentukan Community Disaster Response (CDR)-Komunitas Tanggap Darurat khusus perempuan untuk memastikan keterwakilan suara perempuan yang akan meningkatkan keamanan dalam masyarakat. Dampak positif kelompok perempuan yang saling membantu dan menolong satu sama lain ini langsung terlihat. Para perempuan kini memiliki rasa percaya diri yang meningkat, memperoleh rasa hormat dari masyarakat desa dan mampu lebih baik mendukung dan merawat keluarga mereka.
Pemberdayaan Masyarakat Kisah Mama Rubiah Lela Mama Rubiah Lela (usia 40) tinggal di desa Lama Au, Pulau Lembata di Kecamatan Ile Ape Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Suaminya bekerja di Malaysia selama lebih dari tiga tahun, meninggalkannya bersama dua anak (umur 6 dan 7 tahun) yang harus dibesarkan sendirian. Tidak seperti desa lainnya di Larantuka yang didominasi penganut Katolik, desa Lama Au adalah desa muslim. Ketika Delsos memperkenalkan program ke desanya, Mama Rubiah awalnya ragu mengingat Delsos dikelola oleh Keuskupan Larantuka. Selama tahap awal program, tim Delsos secara jelas menunjukkan bahwa program ini terbuka bagi semua agama tanpa diskriminasi serta tak punya agenda lain dibelakangnya. Mama Rubiah setuju untuk bergabung, dan bahkan terpilih menjadi Ketua dari kelompok Community Disaster Response (CDR) – Komunitas Tanggap Darurat khusus perempuan di desanya.
7
News
JUNI - JULI 2013
Edisi 90
Bergabung dalam program ini telah membuka banyak peluang bagi Mama Rubiah untuk lebih aktif di tingkat desa. Sebelum bergabung dengan kelompok CDR, penduduk desa tak menganggap keberadaan dirinya karena statusnya sebagai orang tua tunggal. Peran Mama Rubiah sebagai ketua kelompok telah membangkitkan kepercayaan masyarakat kepadanya, dan ia menjadi peserta aktif dalam pertemuan warga. Baru-baru ini,
Mama Rubiah terpilih sebagai anggota musyawarah desa, dan setiap keputusan yang dibuat oleh desa selalu dikonsultasikan dengannya. “Keterlibatan saya di kelompok CDR telah membantu saya berkomunikasi dengan semua orang di desa, dan perbaikan keterampilan saya berkomunikasi memberikan tambahan manfaat bagi program Delsos,”ujar Mama Rubiah.
Memperbaiki Ketahanan Finansial Kisah Mama Elizabeth Kemuka Mama Elizabeth Kemuka (usia 53) lahir di Desa Lama Wolo, Pulau Lembata di Kecamatan Ile Ape Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur. Hidup terasa begitu sulit bagi Mama Elizabeth, sebab kecamatan itu merupakan salah satu daerah paling kering di provinsi ini. Mama Elizabeth tidak pernah menikah, namun ia mengangkat anak tetangganya yang berumur 8 bulan, sekitar delapan tahun lalu, ketika ibunya meninggal dunia. Mama Elizabeth bekerja untuk keluarganya, terutama bergantung pada ladang garam dan beberapa pekerjaan lainnya. “Sekarang saya ditemani oleh seorang anak laki-laki, karena saya hidup tanpa sanak keluarga. Apa saja saya lakukan, karena saya tidak hanya dapat bergantung pada ladang garam saja. Kadang saya membantu orang membersihkan lahan, merapihkan taman, apa saja yang bisa saya kerjakan.” Ujar Mama Elizabeth.“Dulu saya punya kebun sayur kecil, namun semuanya mati karena air disini mengandung belerang. Belakangan saya khawatir kepada anak saya, apa yang akan terjadi padanya kalau saya meninggal atau saya tak bisa bekerja karena sakit?”ujarnya. Mama Elizabeth bergabung dengan program Delsos bersama sekitar 15 janda dari desanya. Dia merupakan salah satu perempuan pertama yang dibantu Delsos untuk membuka tabungan, yang membantu meningkatkan ketahanan finansial. Sebelumnya, perempuan ini tak memenuhi syarat untuk membuka tabungan di bank karena lokasi tempat tinggal yang terpencil dan kemampuan keuangan mereka. Tetapi melalui
Delsos yang bekerjasama dengan dua lembaga keuangan mengubah kondisi tersebut. Kini, mereka termasuk salah satu dari sedikit perempuan yang punya tabungan di desa ini. Berkat program Delsos, kini saya punya tabungan. Sebelum saya bergabung dengan program ini, saya bahkan tak tahu apa itu bank” ungkap Mama Elizabeth. “Program ini telah sukses mengajarkan masyarakat pentingnya memiliki tabungan daripada menyimpan di dalam rumah, yang mungkin akan hilang saat bencana terjadi di desa,”tambahnya.
Meningkatkan ketahanan pangan Kisah Mama Yuliana Kartini dan Mama Maria Rosalia Mama Maria Kartini (usia 32) dan Mama Maria Rosalia (usia 33) tinggal di Desa Waimatan, Pulau Lembata Kecamatan Ile Ape Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur. Kedua suami mereka bekerja di luar provinsi, meninggalkan para istri yang mengharuskan mereka membesarkan anak-anak sendirian. Mama Yuliana mempunyai seorang anak, sementara Mama Maria mempunyai 3 anak yang berusia 4-10 tahun. Sejak suami mereka meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan 3 tahun lalu, komunikasi diantaranya sangat sulit. Suami kami kadang mengirimkan uang. Namun itu jauh dari cukup, bahkan hanya untuk memberi makan anak-anak kami”ujar mereka. Mama Yuliana dan Mama Maria termasuk diantara perempuan termuda yang dibantu Delsos yang memberi dukungan kepada perempuan kepala keluarga. Delsos membantu 28 perempuan kepala keluarga di Desa Waimatan, daerah yang rawan gempa bumi, tanah longsor dan tsunami. Baik Mama Yuliana dan Mama Maria dipilih sebagai peserta utama yang menerima pelatihan kesiapsiagaan bencana dan penanaman kebun sayur di Kecamatan Larantuka pertengahan 2012 lalu. Lewat lokakarya tersebut, mereka belajar banyak keterampilan baru termasuk teknik penanaman sayur di lahan kering, perkebunan organik, memelihara ternak dan pelatihan kesiapsiagaan bencana. Setelah kembali ke desa, dengan pengawasan dan dukungan dari Delsos, mereka berbagi pengetahuan baru kepada perempuan lain di desa mereka.
News
JUNI - JULI 2013
Kami sangat bangga menjadi anggota program Delsos di desa kami. Kini kami mengurangi ketergantungan pada bantuan orangtua. Kini kami dapat menanam sayuran sendiri, dapat memelihara ternak tanpa bantuan orangtua. Kini, kami bahkan mengetahui apa yang harus dilakukan apabila ternak kami sakit. Kami merasa lebih mandiri sekarang,”ungkap mereka.
INFORMASI LEBIH LANJUT Penulis adalah Senior Public Affairs Officer (AusAID Indonesia) dan dapat dihubungi di alamat e-mail : Rendy.Djauhari@ausaid.gov.au Edisi 90
8
Memulihkan Gizi Buruk di Bone Bolango Gorontalo OLEH MILAWATY
B
ILLUSTRASI CHANNO DJUNAED
one Bolango adalah sebuah daerah yang tergolong baru di wilayah paling timur di Provinsi Gorontalo. Sebagai kabupaten yang tergolong masih belia, Bone Bolango terus menggenjot pembangunan di berbagai sektor. Dengan luas hampir seperenam luas Provinsi Gorontalo, kelautan perikanan dan pertanian merupakan sektor dominan yang terdapat di daerah ini. Topografi wilayah yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi dan dilalui oleh beberapa Daerah Aliran Sungai memang memberikan potensi yang besar bagi areal per tanian. Sementara beberapa kecamatan lainnya yang berbatasan langsung dengan laut serta yang berada di tepi Teluk Tomini sepanjang 80 km juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap bidang kelautan dan perikanan. Kemudahan akses transportasi ke ibukota provinsi sangat membantu proses pemasaran serta pengangkutan hasil produksi kedua sektor tersebut. Tidak mengherankan pertumbuhan ekonomi di daerah ini terus bertumbuh yang diikuti dengan menurunnya angka kemiskinan dengan cepat. Meminjam pendapat Kartasasmita y a n g m e ny a t a k a n b a h wa k o n d i s i kemiskinan dapat disebabkan oleh rendahnya derajat kesehatan, tak dapat disangkal bahwa meski selama beberapa tahun terakhir ini tingkat kemiskinan Bone Bolango turun dengan cepat, namun hingga tahun 2010 tingkat kemiskinan di daerah ini masih tetap berada di persen tase 17,65 persen. D erajat kesehatan di daerah ini memang masih memerlukan perhatian khusus akibat masih belum tercapainya beberapa target cakupan pelayanan kesehatan. Salah satu permasalahan kesehatan di daerah yang berpopulasi 142 ribu jiwa ini adalah status gizi. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Bone Bolango, “Gizi buruk dan
9
News
JUNI - JULI 2013
Edisi 90
gizi kurang di Bone Bolango berada di bawah Standar Pelayanan Minimal (SPM). Gizi buruk berkisar 1,5 persen di bawah SPM nasional, sementara gizi kurang berkisar 15 persen di bawah SPM nasional”. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) dalam laporannya menyatakan bahwa masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat yang bisa terjadi pada semua kalangan umur. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multi faktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor terkait. Penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi, meskipun sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan pengadaan pangan (Depkes, 2009). Ditilik dari kondisi di lapangan, pemecahan masalah gizi memang tidak selalu berupa pengadaan pangan. Hal ini dapat terlihat di Bone Bolango. Meskipun pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango telah berupaya memberikan intervensi berupa pemberian makanan tambahan namun kasus kurang gizi dan gizi buruk masih terus berulang. Tak ingin kondisi itu terus memburuk, tahun 2007 Pemerintah Daerah Bone Bolango, dengan leading sector Dinas Kesehatan, akhirnya mendirikan Theurapeutic Feeding Centre (TFC) atau Panti Pemulihan Gizi. TFC adalah pusat perawatan balita gizi buruk dengan perawatan serta pemberian makanan anak secara intensif dan adekuat sesuai usia dan kondisinya yang memberikan pelayanan 24 jam kepada balita gizi buruk, dengan melibatkan peran serta orang tua, khususnya ibu, agar dapat mandiri ketika kembali ke rumah. Perawatan di TFC meliputi tiga aspek yaitu aspek medis, nutrisi dan keperawatan. TFC di Bone Bolango merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan yang pembentukannya didasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 48 Tahun 2007. Awalnya TFC masih memanfaatkan Ruang Perawatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah, RSUD Toto Kabupaten Bone Bolango. Pada tahun 2009, melalui Proyek Desentralisasi Layanan Kesehatan 2, pemerintah kabupaten menganggarkan pembangunan fisik untuk gedung Panti Pemulihan Gizi melalui kegiatan Pengembangan Puskesmas sebagai Pusat Pemulihan Gizi Buruk dengan jumlah anggaran tak kurang dari 252 juta rupiah. Dalam pelaksanaan operasional kegiatan,TFC Bone Bolango dilengkapi dengan mobil operasional sehingga jika status gizi buruk atau bayi atau balita sudah berada di bawah garis merah maka petugas akan datang dan membawa pasien ke TFC. “Tantangannya adalah banyak ibu yang tidak mau membawa anaknya ke TFC. Kami berupaya memberi penjelasan bahwa akan lebih baik bila anak yang mengalami kekurangan gizi dapat dirawat di TFC. Anak dapat kembali ke rumah bila masa kritisnya lewat, nanti petugas gizi di puskesmas yang akan melanjutkan perawatannya”. Kesulitan yang ada bukan hanya sebatas pada pemahaman ibu pasien yang masih kurang mengenai prosedur perawatan dan penanganan gizi, namun juga keengganan mereka untuk ikut diinapkan di TFC dengan berbagai alasan, seperti jauh dari keluarga, terlantarnya anggota keluarga yang lain, dan alasan lainnya. Selama berada di TFC pasien gizi buruk akan dipulihkan selama satu bulan. Tak ada biaya yang dikeluarkan keluarga pasien. Seluruh biaya terkait pemulihan gizi pasien sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah daerah. Anggaran yang disediakan bagi pasien sebesar 50 ribu rupiah per hari per pasien yang terdiri dari pembelian obat-obatan, makanan dan susu, jasa dokter, dan jasa perawat. Dengan lama perawatan sebulan maka total biaya pemulihan per pasien sebesar 1,5 juta rupiah. Selama masa pengobatan dan pemulihan tersebut, ibu pasien mendapatkan pelatihan cara meracik makanan bergizi “Ibu pasien dilatih bagaimana meracik makanan bergizi untuk bayi sehingga jika pasien sudah diperbolehkan pulang, sang ibu sudah memiliki pengetahuan untuk melanjutkan perawatan di rumah’, ungkap Kepala Dinas Kesehatan Bone Bolango. Setelah satu bulan atau tingkat keberhasilannya mencapai 80 persen dari berat badan ideal, perawatan selanjutnya diambil alih oleh puskesmas yang akan terus memantau perkembangan gizi
News
JUNI - JULI 2013
“Ibu pasien dilatih bagaimana meracik makanan bergizi untuk bayi sehingga jika pasien sudah diperbolehkan pulang, sang ibu sudah memiliki pengetahuan untuk melanjutkan perawatan di rumah” pasien hingga status pasien sebagai gizi buruk dicabut. Pengelolaan TFC di Bone Bolango dinilai cukup berhasil sehingga mengundang minat dari pemerintah daerah lain untuk melihat bagaimana pengelolaan panti pemulihan gizi di daerah ini. Terhitung cukup banyak daerah yang telah datang melihat TFC Bone Bolango, diantaranya Pemerintah Kabupaten Siak dari Provinsi Riau, Asia Development Bank (ADB) Manila, Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Bulungan dari Provinsi Kalimantan Timur, dan beberapa pemerintah kabupaten/kota lainnya. Di balik keberhasilan TFC, sebenarnya masih terdapat sejumlah ganjalan. Berdasarkan data yang ada, dari 148 balita yang terkena gizi buruk dalam kurun tahun 2010 - 2010, 63 diantaranya mendapatkan perawatan di TFC. Tidak semua dari pasien gizi buruk mendapatkan perawatan di TFC. Selain karena masih belum kuatnya peran masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan yang telah disediakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango, faktor anggaran juga masih dirasakan kurang.“Kalau bicara anggaran pasti masih kurang. Dana itu kan peruntukannya untuk merawat balita beserta keluarganya dan penjaganya, jadi dana itu digunakan untuk membeli susu dan makanan. Jika banyak pasien yang dirawat, ya tentu anggaran yang diberikan akan terasa kurang”, ungkap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango, Mengantisipasi masalah pertama dari kendala tersebut di atas, keluarga pasien yang tidak ingin membawa keluarga mereka ke TFC, pihak puskesmaslah yang akan mengambil alih peran tersebut. Puskesmas di wilayah pasien yang nantinya akan memantau perkembangan status gizi pasien. Sementara untuk masalah anggaran, sebagai Unit Pelaksana Teknis, besar kecilnya anggaran yang diterima TFC tergantung dari pencapaian dan keberhasilan target setiap tahun. Di tahun 2010, alokasi dana TFC mencapai 88 juta rupiah yang kemudian meningkat di tahun berikutnya sebesar 112 juta rupiah. Di tahun 2012 anggaran tersebut kembali meningkat hingga mencapai 123 juta rupiah. Berdasarkan hal tersebut maka semakin baik pencapaian dan keberhasilan target maka anggaran yang dikucurkan bagi kelangsungan TFC juga akan semakin meningkat, seiring dengan prioritas pembangunan Kabupaten Bone Bolango yang salah satunya memasukkan kesehatan sebagai program prioritas.
INFORMASI LEBIH LANJUT
Penulis adalah anggota tim peneliti “Kajian Potret Pemekaran Daerah : Implikasinya bagi Pelayanan Publik di Sektor Pendidikan dan Kesehatan di Sulawesi” pada Bidang KMKPOA Pusat Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II Lembaga Administrasi Negara (PKP2A II – LAN). Penulis dapat dihubungi di email mylaffayza@ymail.com
Edisi 90
10
LINGKUNGAN
Profil Ekosistem Tentukan Prioritas Investasi CEPF di Wallacea Ecosystem Profile Preparation Will Determine Future CEPF Investment Priorities in Wallacea OLEH TRI SUSANTI
T
he Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) atau Dana Kemitraan Ekosistem Kritis secara resmi menunjukkan perhatiannya pada penyelamatan kawasan penting bagi keragaman hayati Indonesia dan Timor-Leste, Wallacea. Terhitung sejak 1 Juni 2013, CEPF memulai penyusunan Profil Ekosistem untuk kawasan Wallacea. Profil Ekosistem akan menunjukkan wilayah prioritas untuk aksi penyelamatan, sekaligus menjadi pedoman bagi CEPF dalam mengucurkan dana hibah senilai USD 5-juta (setara Rp50-miliar) selama lima tahun mendatang. Hibah tersebut akan diberikan kepada organisasi non-pemerintah untuk mendukung upayaupaya konservasi di wilayah Wallacea. CEPF merupakan inisiatif kerjasama l'Agence Française de Développement, Conservation International, the European Union, the Global Environment Facility, the Government of Japan, the MacArthur Foundation dan World Bank. Salah satu tujuan CEPF adalah untuk mendorong agar masyarakat luas terlibat dalam konservasi keanekaragaman hayati. Strategi CEPF difokuskan pada konservasi spesies yang terancam secara global, kawasan-kawasan prioritas, dan koridor konservasi-daerah yang menghubungkan habitat-habitat kunci tumbuhan dan hewan. Melalui dukungannya, CEPF juga berharap dapat memberi sumbangsih pada pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi masyarakat. “CEPF memberikan kucuran dana dan bantuan teknis bagi organisasi non-pemerintah seperti organisasi nirlaba, institusi p e n d i d i k a n , d a n s e k to r s w a s t a , u n t u k m e l e s t a r i k a n keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat, sebagai komponen penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat,” ujar Daniel Rothberg, grant director for region CEPF. Kawasan Wallacea Kawasan Wallacea meliputi kepulauan nusantara di sebelah timur Bali hingga sebelah barat Papua (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara) serta Timor-Leste. Wallacea dipilih dalam program ini karena kaya keragaman hayati. Namun, keragaman hayati tersebut terancam pengrusakan, pemanfaatan berlebihan, dan invasi jenisjenis asing. Wallacea juga terkenal dengan jenis-jenis endemis alias khas yang tidak dijumpai di tempat lain, tetapi sebagian di antaranya telah masuk dalam daftar jenis terancam punah World
11
News
JUNI - JULI 2013
On June 1, 2013 the Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) announced the start of development of the Ecosystem Profile for Wallacea, in Indonesia and Timor-Leste. When completed, the report of the ecosystem profile process will identify conservation priority areas where action is needed, as well functioning as a guide for CEPF in the disbursement of up to US$ 5 million (equivalent to IDR 50 billion) in grants over the next five years. Grants will be awarded to civil society organizations (CSOs) to enable them to engage in conservation activities in the region CEPF is a joint initiative of l'Agence Française de Développement, Conservation International, the European Union, the Global Environment Facility, the Government of Japan, the MacArthur Foundation and the World Bank. A fundamental goal is to ensure civil society is engaged in biodiversity conservation. CEPF’s strategy is focused on the conservation of globally threatened species, priority conservation areas and conservation corridors–areas that connect the key habitats of plants and animals. Through its efforts, CEPF aims to contribute to poverty alleviation and sustainable economic development at community level. "CEPF provides funding and technical assistance to CSOs such as nongovernmental organizations, academic institutions, and the private sector to conserve biodiversity and healthy ecosystems, which are essential to ensuring human welfare," said Daniel Rothberg, CEPF’s grant director for region. The Wallacea region includes the islands of the Indonesian archipelago located to the east of Bali and west of Papua (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara) and Timor-Leste. Wallacea has been chosen to be a part of this program because of its rich biodiversity, and because its wildlife and natural resources are threatened by conversion, over-exploitation, and invasive species. It is home to endemic species that are not found anywhere else in the world, but many of them are already classified as in danger of extinction by the World Conservation Union (IUCN). Wallacea "Wallacea has incredible biodiversity that needs to be preserved. Unfortunately, investment in conservation in the region is still far less than in other regions in Indonesia, such as Sumatra and Borneo," said Agus Budi Utomo, Executive Director of Burung Indonesia (BirdLife Indonesia Association). “The CEPF program will bring much needed additional support for Edisi 90
ILLUSTRASI CHANNO DJUNAED
Conservation Union (IUCN). “Wallacea memiliki keragaman hayati luar biasa yang perlu dilestarikan. Sayangnya, investasi untuk konservasi di kawasan ini masih kalah jauh dibanding kawasan lain di Indonesia, misalnya Sumatera dan Kalimantan,” tutur Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia. Menurut Agus, program CEPF akan membawa tambahan pendanaan yang sangat dibutuhkan, dan Profil Ekosistem yang dikembangkan akan memastikan bahwa dukungan tersebut digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang paling mendesak dan penting. Burung Indonesia merupakan organisasi yang bertindak sebagai koordinator konsorsium tim penyusun profil. Tim penyusun profil juga berasal dari organisasi Wildlife Conservation Society, BirdLife International, Samdhana Institute, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Penyusunan profil akan selesai sebelum pertengahan 2014. Selama enam bulan ke depan, tim akan mengkaji aspek sosial, ekonomi, serta ekologi kawasan di Wallacea, yang mencakup wilayah daratan maupun perairan laut dekat pantai. Uniknya, proses ini menggabungkan hasil analisis ilmiah dengan pengetahuan dan aspirasi masyarakat. CEPF sangat mendorong keikutsertaan masyarakat setempat, pemerintah daerah, dan segenap pihak yang dapat menyumbang data mengenai wilayah ini. Karena itu, selama penyusunan profil berjalan, masyarakat diberi kesempatan menyalurkan aspirasinya melalui website www.wallacea.org, laman facebook Profil Ekosistem Wallacea, maupun surat. Selain itu, para pemangku kepentingan diundang memberi masukan melalui workshop yang rencananya digelar pada Juli hingga September 2013. Workshop akan diadakan di beberapa daerah di Indonesia dan di Timor-Leste. Pengumuman dimulainya proses penyusunan Profil Ekosistem ini disambut baik oleh masyarakat dan pemangku kepentingan di Wallacea. “Jika dilakukan dengan benar, kami berharap proyek ini dapat menjadi landasan model pembangunan yang lebih memiliki perspektif kepulauan, serta mementingkan aspek keselamatan warga maupun produktivitas dan jasa lingkungan,” kata Tjatur Kukuh, direktur eksekutif Santiri Foundation, salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kawasan timur Indonesia.
News
JUNI - JULI 2013
conservation in Wallacea, and the Ecosystem Profile which we are developing will help make sure that these funds are spent on the most urgent and important priorities”. Burung Indonesia is the coordinator of the consortium of organizations that will prepare the profile. The other members of the team are the Wildlife Conservation Society, BirdLife International, the Samdhana Institute and the Center for Coastal and Marine Resources Studies, Bogor Agricultural University. The preparation of the Wallacea ecosystem profile will be completed before mid-2014, with the team compiling data on the social, economic and ecological aspects of Wallacea, including both land and in-shore marine areas, over the next six months. The process uniquely combines scientific analysis with community knowledge and aspirations, and strongly encourages the participation of local people, local Governments and anyone with knowledge of the region. People will be able to contribute to the development of the Ecosystem Profile through workshops in the region, by communicating directly with Burung Indonesia, or by commenting on draft documents which will be posted on the website www.wallacea.org as soon as they are available. They can also follow the process through the Profil Ekosistem Wallacea Facebook page. The announcement of the launching of the ecosystem profile process was welcomed by a representative of communities and stakeholders in Wallacea. “Done well, we hope that this project will become the basis of a model of development which takes into account the specific needs of small islands, and which emphasizes the importance of community livelihood security, productive ecosystems and environmental services,” said Tjatur Kukuh, Executive Director of Santiri Foundation, an NGO based in eastern Indonesia.*
INFORMASI LEBIH LANJUT
Informasi selengkapnya tentang CEPF dapat dilihat di / Further information on CEPF available on the website www.cepf.net Facebook : https://www.facebook.com/ProfilEkosistemWallacea E-mail : cepfwallacea@burung.org
Edisi 90
12
ACCESS PHASE II THE AUSTRALIAN COMMUNITY DEVELOPMENT AND CIVIL SOCIETY STRENGTHENING SCHEME
D
itinjau dari perkembangan sarana fisik milik desa, Lalemba - sama seperti kebanyakan desa lainnya di Muna - sepertinya tidak mengalami banyak perubahan dibandingkan dengan masa tiga atau lima tahun yang silam. Namun, gerak aktivitas masyarakat-nya menceritakan hal yang lain: Lalemba saat ini sedang mengalami gairah yang luar biasa. Gairah perkembangan itu dibangkitkan oleh kader-kader Posyandu. Setiap bulan, pada “Hari Posyandu,” gedung Posyandu selalu diramaikan oleh kedatangan para ibu, baik yang sedang hamil maupun yang menggendong anak. Ibu-ibu yang tengah hamil datang untuk memeriksakan kehamilan mereka, sementara yang lainnya bermaksud untuk memantau perkembangan kesehatan bayi atau balita yang mereka sayangi. Senyuman para kader Posyandu Lalemba yang bersemangat menyambut ibu-ibu tersebut. Semangat itulah yang tampak membedakan kader-kader Posyandu pada saat sekarang dengan masa sekitar tahun 2000, ketika Posyandu tidak lagi memperoleh perhatian besar baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Di luar kegiatan rutin bulanan yang dilangsungkan di gedung Posyandu, para kader aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan lain, seperti: pembudidayaan tanaman dan pengolahan obat-obatan tradisional, pengolahan kebun atau pekarangan, pengembangan makanan pendamping (MP) ASI, penyuluhan kepada warga agar menerapkan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), dan sebagainya. Kaum perempuan khususnya, dan seluruh warga desa umumnya, sangat senang dengan perkembangan Posyandu desa mereka saat sekarang, dan karenanya mereka pun turut aktif pada kegiatan rutin bulanan atau kegiatan-kegiatan lain yang disebutkan di muka. Tulisan singkat ini akan menyajikan cerita tentang PHBS, khususnya pembangunan jamban, di Desa Lalemba yang didukung oleh program ACCESS Phase II. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dan Arisan Jamban Penerapan PHBS yang semakin merasuk ke hati masyarakat merupakan salah satu perubahan yang menonjol terjadi di Desa Lalemba setelah para kader Posyandu mengalami pemulihan semangat. Seluruh warga dengan sukacita mengkampanyekan dan menerapkan “cuci tangan dengan sabun sebelum menghidangkan dan menyantap makanan.” Agar halaman rumah tidak kotor akibat sampah yang berserakan, maka warga desa - dengan dimotori oleh para kader Posyandu - mulai memisahkan sampah organik dengan yang anorganik. Lebih jauh, sampah organik kemudian dimanfaatkan oleh kelompok pemuda desa menjadi pupuk bokashi padat. Namun, ada satu capaian atau perubahan lain yang terhitung cukup spektakuler: rumah tangga yang belum memiliki jamban, satu demi satu, mulai membangun jamban keluarga dengan mendayagunakan modal sosial dalam bentuk arisan jamban. Sebelum arisan jamban dipraktikkan, para warga kerap menggunakan alasan bahan yang mahal sebagai penyebab keengganan mereka membangun jamban keluarga. Apalagi, mengacu kepada klasifikasi tingkat kesejahteraan warga Desa Lalemba yang diperoleh pada saat
13
News
JUNI - JULI 2013
Mewujudkan Hidup yang Bersih dan Sehat:
Memodifikasi Arisan Mebel Menjadi “Arisan Jamban” Creating Clean and Healthy Living: Modifying a Furniture Arisan to Become an “Arisan for Latrines” OLEH JOHNLY E. P. POERBA Edisi 90
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Lalemba, mayoritas warga berada pada kategori “prasejahtera” (gamblangnya: miskin) dan “sejahtera I,” dengan besaran pendapatan antara 300 - 750 ribu rupiah per bulan dan 750 -900 rupiah per bulan. Dalam situasi yang demikian, alasan tersebut tentu saja tampak masuk akal. Bagaimanakah pembangunan jamban melalui sistem arisan itu berlangsung di Lalemba?. Arisan jamban bisa berlangsung lantaran rentetan pengembangan kapasitas yang dialami oleh kader-kader Posyandu dan kejelian mereka memodifikasi dan menerapkan sistem gotong-royong yang terkandung di dalam arisan. Pengembangan kapasitas kaderkader Posyandu terutama diberikan oleh CD Bethesda, dalam bentuk pelatihan/lokalatih di dalam kelas dan bantuan teknis di lapangan, dan kemudian dilanjutkan dengan pendampingan oleh staf community organizer Lambu Ina dan staf ACCESS. Pengembangan kapasitas ini menggugah kesadaran para kader Posyandu untuk berbuat sesuatu bagi desa mereka. Betapa banyak pengetahuan dan keterampilan sudah mereka peroleh, seperti pengetahuan dan keterampilan mengelola Posyandu, membudidayakan tanaman obat dan mengolahnya menjadi obat-obatan tradisional, mengembangkan makanan pendamping ASI, sehingga, menurut mereka, kinilah saatnya, mereka membagikan pengetahuan dan keterampilan itu kepada sesama warga desa. Sementara itu, dalam kecamuk pikiran, para kader mencari cara yang bisa masuk ke dalam akal para warga untuk membiayai pembangunan jamban keluarga. Jelas, bila mengandalkan pendapatan dan tabungan bulanan keluarga, pembangunan jamban itu akan membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa diwujudkan. Akhirnya, dari diskusi dengan fasilitator CD Bethesda, mereka melihat bahwa model arisan mebel yang dilangsungkan oleh para ibu bisa dimodifikasi menjadi arisan jamban. Seiring dengan itu, modifikasi arisan ini merupakan upaya untuk membuktikan bekerjanya pendekatan pembangunan masyarakat berbasis kekuatan atau asset-based community development approach. Langkah-langkah untuk melaksanakan arisan jamban adalah sebagai berikut: Perkenalan gagasan dan penyadaran kritis: sebagai tindak-lanjut kesepakatan di kalangan kader Posyandu Desa Lalemba, para kader memperkenalkan dan mendiskusikan gagasan arisan jamban dan PHBS di kalangan warga desa. Dalam diskusi, para kader mengingatkan warga tentang kejadian luar biasa yang terjadi pada 2010 yang lalu, di mana wabah diare menyerang 22 warga desa dan mengakibatkan 2 orang meninggal dunia. Warga desa yang terserang wabah diaera ini termasuk ke dalam 18 keluarga. Sebanyak 10 warga sempat dibawa ke rumah sakit, namun 2 di antaranya (seorang ibu berusia 42 tahun dan seorang anak berusia 2 tahun) akhirnya tak tertolong. Kejadian itu nyata sekali muncul karena masyarakat tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat: mereka membuang hajat di jamban cemplung yang tidak tertutup atau di sembarang tempat. Di samping wabah diare, kebiasan hidup yang kotor juga membuat anak-anak menjadi pelanggan penyakit gatal-gatal. Langkah mengungkit kenangan terhadap tragedi diare itu rupanya cukup menggugah sebagian masyarakat. Penjelasan para kader Posyandu dan staf lapangan Lambu Ina di berbagai pertemuan formal dan non-formal membuat warga kini paham bahwa kejadian luar biasaitu dapat menyerang kembali bila mereka masih meneruskan kebiasaan hidup tidak bersih. Mereka kini mengakui perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk membangun jamban, sebagai sebuah investasi di bidang kesehatan, yang nilainya lebih tinggi daripada investasi harta-benda. Kepala desa, perangkat desa, dan tokoh masyarakat mendukung upaya para kader, sehingga sejumlah 33 keluarga akhirnya tertarik bergabung dalam “program” pembangunan jamban keluarga melalui arisan jamban.
News
JUNI - JULI 2013
Judging from the development of the village owned physical infrastructure, Lalemba is the same as most other villages in Munait seems like not much has changed in the last 3 or 5 years. However, the activities of the community tell a different story- Lalemba is currently experiencing a tremendous amount of excitement. This excitement has been motivated by the posyandu cadre. Every month on “Posyandu day”, it’s always busy at the posyandu building with the arrival of expectant mothers and mothers carrying babies. Expectant mothers come for pregnancy check-ups and mothers come to monitor the health developments of their beloved babies or toddlers. The smile of the posyandu cadre enthusiastically welcomes these women. It is this noticeable enthusiasm that now distinguishes these posyandu cadres compared to back in the period around 2000 when the posyandu didn’t get much notice from the central or local governments. The posyandu cadre are busy arranging other activities like cultivating medicinal plants and processing them into traditional medicines, maintaining gardens, developing complementary feeding, educating citizens to apply PHBS (Clean and Healthy Living Habits) in addition to the routine monthly activities at the posyandu. The entire village and in particular the women in the community are very happy with the current developments at the posyandu in their village and because of this, they actively participate in the routine monthly activities or any other activities that they have been informed about. This brief paper will present the story of PHBS, in particular the construction of latrines in Lalemba village that was supported by the ACCESS Phase II program. PHBS (Clean and Healthy Living) and Arisan for Latrines The community have increasingly applied PHBS in their lives, which is a significant change that has occurred in Lalemba village since the revival of the posyandu cadre’s enthusiasm. All citizens have willingly and happily campaigned “wash your hands with soap before serving and eating food” as well as applying it in their own lives. Citizens who have been led by the posyandu cadre havestart ed to separate waste into organic and inorganic so that their yards are not dirty as a result of rubbish strewn everywhere. Furthermore, a village youth group has utilised the organic waste to make compost. There has been another quite spectacular achievement or change. Latrines have been built one by one in households with no toilet by utilising social capital in the form of “arisan for latrines”. Previous to the arisan for latrines, families were often reluctant to build a family toilet due to the reason that building materials were too expensive. Moreover, at the time of developing the Village midTerm Development Plan (RPJMDes) the majority of Lalemba citizens were in the pre-prosperous (clearly poor) and level 1 (able to meet some needs but not all) welfare categories with incomes between 300 - 750 thousand rupiah per month and 750 - 900 thousand rupiah per month.Thus, their reasoning did make sense. How can the construction of latrines using an arisan system work in Lalemba? The“arisan for latrines” has worked due to the capacity building of the posyandu cadre and their foresight to modify and apply a system of gotong royong (an Indonesian concept of mutual and cooperative assistance within a community) within the arisan. The posyandu cadre capacity building was predominantly provided by CD Bethesda in the form of trainings/seminars in the classroom and technical assistance in the field, which was followed up with mentoring from Lambu Ina field staff and ACCESS staff. This capacity building raised the awareness of the posyandu cadre and prompted them to do “something” for their village. They said that it is time to share the vast knowledge and skills that they acquired on managing posyandu, cultivating medicinal plants and processing them into traditional medicines, developing foods for complementary feeding with their fellow citizens in their community. The cadre searched for a way that would be acceptable to the community to finance the construction of the family latrines. Obviously, relying on a family monthly income or savings to build a latrine would require a very long time. Eventually, through discussions with the CD Bethesda facilitators they decided that the arisan for furniture model that was implemented by community women could be modified to become an arisan for latrines. The arisan modification was also an attempt to put an assets-based community development approach into proof. Steps taken to initiate the arisan for latrines were as follows. The first step is introduction to ideas and critical awareness: as
Edisi 90
14
Langkah berikutnya adalah pengorganisasian, dalam hal ini pembentukan kelompok arisan. Meski kesadaran tentang perilaku hidup bersih dan sehat sudah cukup berkembang, dan dukungan pemerintah desa dan tokoh masyarakat sangat besar, pengorganisasian warga-atau lebih tepatnya: pembentukan kelompok arisan-bukanlah sebuah perkara gampang. Para warga yang sudah mendaftarkan diri menjadi anggota kelompok arisan jambanmasih khawatir dengan kemampuan mereka membayar angsuran bulanan pada masa mendatang. Kekhawatiran itu muncul pada saat anggota-anggota kelompok arisan membahas aturan main kelompok, yang antara lain meliputi besaran angsuran bulanan, jangka waktu arisan, dan sanksi terhadap kelalaian membayar angsuran. Sama seperti kebanyakan penduduk desa lainnya, mereka tampak memerlukan pembuktian - berdasarkan praktik - bahwa arisan jamban bisa berjalan dengan lancar. Dapat dimengerti jika anggota kelompok arisan akhirnya menyusut menjadi 11 keluarga. Di tengah penyusutan anggota kelompok, dukungan pemerintah desa kepada kader-kader Posyandu amatlah besar, sehingga arisan jambanini tidak hanya tinggal sebagai gagasan. Berdasarkan permintaan kader Posyandu, Kepala Desa memfasilitasi pertemuan antara Posyandu dan pengurus Koperasi PGRI Kecamatan Lawa.Tujuan pertemuan adalah untuk mendiskusikan keinginan kader Posyandu meminjam dana koperasi sebesar 20 juta rupiah, yang kemudian akan digulirkan kepada 11 anggota kelompok arisan jamban. Kader Posyandu dan anggota kelompok ingin secepatnya membangun jamban dengan mempertimbangkan bahwa harga bahan bangunan seringkali meningkat secara tidak terduga, dan ketersediaannya, khususnya bahan-bahan yang didatangkan dari luar Pulau Muna, cepat menipis. Pertemuan berlangsung dengan lancar. Para pengurus koperasi yang mendengar keseriusan kader-kader Posyandu mendukung gagasan pembangunan jamban keluarga, dan setuju untuk memberikan pinjaman tanpa bunga. Kini setiap bulan, kader-kader Posyandu menyerahkan pengembalian pinjaman kepada Posyandu secara bersama-sama sebesar tak kurang dari 1,75 juta rupiah. Jumlah ini berasal dari 11 anggota arisan, dan masing-masing anggota mengumpulkan 150 ribu rupiah.
15
News
JUNI - JULI 2013
follow up to the Lalemba village posyandu cadre agreement, the cadre introduced and discussed the notion of arisan for latrinesand PHBS with the village community. The cadre reminded citizens of the extraordinary incident in 2010 when there was an outbreak of diarrhoea that affected 22 people in the community and caused 2 deaths. The 22 residents were from 18 families. 10 citizens were taken to hospital and 2 of them, a mother aged 42 and her child aged 2 years old died. The incident clearly occurred because the community’s living habits were not clean and healthy. They defecated in an open long drop toilet or actually in any place. In addition to diarrhoea outbreaks, dirty living habits also made the children susceptible to skin disease. The memory of the diarrhoea tragedy really awakened some of the community. Information from the posyandu cadre and Lambu Ina field staff in various formal and nonformal meetings meant that the community understood that the “extraordinary incident” may occur again if they continue to live as they did. They now recognise clean and healthy living habits, including the construction of latrines as an investment in health, which is worth more than material investments. The head of the village, village officials and community figures were supportive of the cadre efforts and some 33 families were ultimately interested in joining the construction of family latrines program through arisan for latrines. The second step is organizing or establishment of the arisan groups. although awareness on clean and healthy behaviour has developed and there is tremendous support from the village government and community figures, community organising-or more precisely, the establishment of arisan groups-is not an easy thing. Citizens who had signed up to become members of the “arisan for latrines” groups worried if they would be able to pay the monthly instalments in the future. This concern arouse when the arisan group members discussed group regulations including the monthly arisan instalment amount, arisan time frames and sanctions for not paying the arisan amount. Just like most other villagers, they seemed to need proof-based on practice-that the arisan for latrines could indeed run smoothly. Thus, it is understandable that the arisan group members eventually shrank to become 11 families. Amid the shrinking number of group members, support from the village government to the posyandu cadre was so overwhelming that the arisan for latrines was able to go ahead. Based on the request of the posyandu cadre, the village head facilitated a meeting between the posyandu and the Lawa Subdistrict Teachers Association (PGRI) Cooperative. The purpose of the meeting was to discuss the posyandu cadre’s desire to borrow 20 million rupiah of cooperative funds, which would then be rolled over to the 11 members of the arisan for latrines group. The posyandu and group members wanted to build the latrines as quickly as possible due to the fact that prices of building materials often increase unexpectedly and materials, particularly those brought in from outside of Muna island, are sold out quickly. The meeting went well. The cooperative management, who saw the seriousness of the posyandu cadre, supported the idea of constructing family latrines and agreed to loan the funds without interest. Now, the posyandu cadre repay the cooperative the joint loan repayments of 1,75 million rupiah. About 150 thousand rupiah were collected from each of the 11 group members.
INFORMASI LEBIH LANJUT
Penulis adalah Koordinator ACCESS di Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk mengetahui informasi mengenai program ACCESS Tahap II, Anda dapat menghubungi Widya P Setyanto (Media & Communication Officer ACCESS) Jl. Bet Ngandang I, No.1 xx, Sanur Bali | Indonesia Tel (+62) 361 288428 | Fax (62) 361 287509 | MP (+62) 811 380 8925 E: ryan@access-indo.or.id W: www.access-indo.or.id Australian Community Development and Civil Society Strenghtening Scheme (ACCESS) Phase II Australian Aid managed by IDSS on behalf of AusAID
Edisi 90
A
khir September 2012, Dokter Juliana Ratuanak tampil di atas Panggung Inspirasi Festival Forum KTI mempersembahkan Praktik Cerdas Rumah Tunggu : Kehamilan dan Kelahiran yang Lebih Aman di Maluku Tenggara Barat. Hampir setahun sejak memperkenalkan inisiatif yang terpilih sebagai Praktik Cerdas, Dokter Juliana Ratuanak berbagi kisah dengan BaKTINews tentang perkembangan Praktik Cerdas tersebut. Apa saja perkembangan Praktik Cerdas Rumah Tunggu sejak presentasi di Forum KTI ? Masih berjalan dengan baik. Sudah direplikasi ke Saumlaki dan sementara akan di sosialisasikan di sana bersama dengan pak Camat dan Timnya sampai ke ketua RT dan RW. Namun seiring dengan perjalanannya, kami menemukan tantangan baru saat pasien dari Rumah Tunggu dirujuk ke Rumah Sakit. Berbeda dengan pasien yang dirujuk ke Puskesmas, biasanya semua prosedur dapat berjalan dengan baik di sana.Tetapi saat pasien dirujuk ke Rumah Sakit, petugas di sana sepertinya kurang mampu untuk menangani. Sepertinya perlu pelatihan bagi petugas Rumah Sakit. Akhir Mei kemarin, saya dihubungi oleh Tupperware She Can, sebuah program televisi yang mengangkat profil perempuan-perempuan inspiratif dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka melihat video tentang Rumah Tunggu yang diupload BaKTI ke Youtube dan lalu datang kemari untuk mengambil gambar mengangkat profil saya ke dalam acara tersebut. Apakah Rumah Tunggu kini menjangkau daerahdaerah baru? Praktik Cerdas Rumah Tunggu telah direplikasi di Saumlaki dan saat ini sedang dalam tahap sosialisasi. Kami turut membantu Pemerintah Kecamatan dan timnya dalam kegiatan sosialisasi tersebut. Apa saja kegiatan baru yang telah dilakukan Rumah Tunggu? Saya sangat terinspirasi melaksanakan kegiatan tersebut diatas setelah mengikuti forum KTI. Bagi saya, Forum KTI adalah sebuah forum yang sangat inspiratif dan memacu orang untuk melahirkan ide. Bayangkan, hanya selang seminggu sejak kembali dari Festival Forum KTI, saya nekat ikut membangun jejaring kesehatan sampai tingkat Bayi dan Balita. Lalu kemudian kami juga melakukan kegiatan berupa arisan WC, kegiatan pemulihan gizi dan lain-lain. Sekarang yang harus kami pikirkan adalah bagaimana menata model pelaskanaannya sambil melihat kelemahannya. Sambil jalan tidak boleh berbangga namun terus membenahi dan dievaluasi hingga semua berhasil. Saya juga mengembangkan pendampingan kepada Lansia dalam bentuk kelas menenun. Kami berencana mengadakan pelatihan menenun dan menghasilkan barang-barang lain yang bernilai ekonomis. Saya berharap kelompok ini bisa dilanjutkan menjadi Koperasi Lansia. Kami juga akan bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan dalam upaya membangun Rumah Pangan Lestari dan pemulihan gizi secara swadaya. Kami juga tengah dalam tahap pembentukan Koperasi Nelayan dan arisan untuk membangun jamban keluarga di setiap rumah dalam wilayah empat desa.
menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan mulai mendekati Bupati dan jajaran Pemerintah Kabupaten untuk mengajak mereka bertindak sebagai leading institution dalam berbagai program kami. Ke mana saja Ibu berbagi inspirasi Praktik Cerdas Rumah Tunggu? Akhir Februari tahun ini saya ke Ambon dan berbicara di acara Diskusi Praktik Cerdas. Dalam waktu dekat, saya akan memenuhi undangan dari Kota Manado untuk kegiatan yang sama. Bersama beberapa Praktik Cerdas, kami juga berbagi inspirasi di acara yang diselenggarakan Kinerja USAID di Papua pada bulan Mei lalu yang bertema Menggali Praktik Cerdas untuk Papua Sehat. Dari Maluku Tenggara juga mengundang kami dan tertarik untuk mereplikasi Praktik Cerdas ini di sana. Demikian juga dengan Dinas Kesehatan di Pulau Buru tertarik untuk mengundang kami ke sana. Apakah ada perubahan dalam pekerjaan atau dalam diri Ibu yang dirasakan sejak mengikuti Festival Forum KTI? Selepas Forum KTI, saya menemukan bahwa saya terinspirasi dan menjadi sadar bahwa saya bisa melakukan banyak hal baru. Saya tidak takut dipindahtugaskan kemana saja karena saya bekerja pakai hati. Hati saya yang menggerakkan saya bukan aturan, jabatan dan lain-lain. Saat saya menemukan jati diri saya ini, saya tidak takut lagi menghadapi tantangan dan persoalan apapun. Selama saya masih hidup di tanah kelahiran saya, saya akan terus berkarya. Bila saya bisa membuat orang tersenyum, hati saya akan senang Dalam setahun ke depan, apa ide-ide baru yang ingin dilakukan? Di akhir tahun ini kami akan melakukan sesuatu yang besar juga yaitu mengumpulkan masyarakat untuk bicara tentang kesehatan di Gugus Tanimbar Utara. Saat ini juga bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Koperasi untuk bagaimana membina kelompok-kelompok yang sementara kami dampingi.
PRAKTIK CERDAS TERKINI
Rumah Tunggu Bergegas Dorong Replikasi
Apakah ada mitra kerja baru? Kami terus membangun jejaring baru, khususnya dengan BPMD di tingkat Desa hingga keluarga. Tanpa jejaring kesehatan, kegiatan kami tidak akan berjalan efektif. Kami juga
Dokter Juliana Ratuanak, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tenggara Barat
News
JUNI - JULI 2013
Edisi 90
16
FORUM KTI WILAYAH SULAWESI UTARA
Mengumpulkan apa yang bisa voor beking rumah OLEH JEFRI PASINAUNG
17
News
JUNI - JULI 2013
D
esa Mantehage III Tinongko terletak di Pulau Mantehage yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. Penduduk Desa ini sebagian besar adalah suku Sangihe dan bekerja sebagai nelayan dan petani. Karena mampu melakoni dua mata pencaharian ini, masyarakat setempat pun bangga dengan slogan kalao kadara ore yang berarti di laut dan di darat bisa (hidup). Kemampuan bertani dan melaut yang dimiliki warga Pulau Mantehage disebabkan karena pulau tempat mereka bermukim sangat dipengaruhi oleh musim ikan yang melimpah dan musim angin barat dimana gelombang laut tinggi dan masyarakat tidak bisa mencari ikan sehingga harus berladang. Sebagaimana tipik al masyarak at yang bermukim di pulau-pulau kecil di Indonesia, warga Desa Tinongko adalah masyarakat miskin. Karena kemampuan ekonomi yang terbatas, tentu saja sulit bagi warga Tinongko untuk membangun rumah tinggal permanen. Dibutuhkan upaya bertahuntahun untuk membangun sebuah rumah. bahkan ada yang sampai kerangka kayunya (kusen dan lainya) lapuk rumahnya tidak pernah terbangun. Harga bahan bangunan di daerah kepulauan sekitar Desa Tinongko memang meroket. Terutama setelah ditetapkannya Bunaken sebagai Taman Nasional pada tahun 1991. Mengapa demikian? Karena sejak saat itu, pemanfaatan batu karang dan pasir laut sebagai bahan bangunan sudah tidak diperbolehkan lagi. Walhasil, untuk membangun sebuah rumah, warga harus membeli semua bahan bangunan dari toko. Karena bahan bangunan mulai dari batu, pasir, kerikil, semen, besi dan bahan lainnya harus didatangkan dari ibukota Provinsi Sulawesi Utara, Manado, harganya pun menjadi sangat mahal. Bila harga batu untuk membuat pondasi rumah di Manado adalah 450 ribu rupiah per dump truck maka harganya di Tinongko bisa mencapai satu juta rupiah! Ini karena adanya tambahan biaya transportasi perahu sekitar 350 ribu rupiah dan sewa gerobak atau pedati sebesar 200 ribu rupiah. Mencoba mengatasi tantangan ini, pada tahun 2010 warga Desa Tinongko kemudian membentuk kelompok yang bertujuan bergotong royong dalam membangun rumah tinggal permanen. Kelompok itu dinamakan sesuai tujuan mereka, Mapalus Beking Rumah. Adalah Hengki Pilat, Jantje Karauan, Girus Teywilang, dan Hediron Pilat yang berinisiatif mengajak sebelas warga lain untuk bergabung dalam kelompok ini. “Di Tinongko, pe’susah skali mo beking rumah kalo cuma sandiri, mala ada yang sampe mati nda dapa beking rumah”, tutur Jantje Karauan. “Jadi kita pikir-pikir, mungkin kalo torang kase baku tambah itu yang kurang-kurang akan jadi lebe, noh kalu so lebe torang so boleh beking rumah”, lanjutnya. Dalam kelompok Mapalus Beking Rumah, setiap anggota membantu menyediakan bahan bangunan atau uang bagi seorang anggota yang akan membangun rumah. Anggota-anggota yang menerima bantuan dalam setahun dipilih dengan cara diundi pada setiap awal tahun. Hal ini dilakuan agar semua anggota bisa membuat perencanaan dan memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan.
Edisi 90
Pelaksanaan Mapalus dilakukan sebulan sekali selama satu hari. Setiap anggota wajib hadir dalam setiap kegiatan pekerjaan. Anggota yang berhalangan hadir dapat digantikan oleh orang lain yang memiliki kemampuan setara dengan anggota yang digantikan. Anggota yang telah menerima bahan bangunan wajib mengganti bahan bangunan yang diterima dengan bahan bangunan yang sama kepada anggota yang memberi bantuan. Apabila penggantian bahan dilakukan dalam bentuk uang tunai, maka harga bahan bangunan ditetapkan sesuai dengan harga yang berlaku di desa. Pertemuan ibadah dilakukan setiap memulai dan menyelesaikan sebuah pekerjaan. Ibadah tersebut dilakukan di rumah penerima bantuan kerja dan dirangkaikan dengan kegiatan mengevaluasi hasil pekerjaan bersama. Untuk menyelenggarakan pertemuan ibadah, setiap anggota memberikan sumbangan sebesar 5 ribu rupiah untuk pengganti biaya konsumsi. Keberadaan kelompok Mapalus Beking Rumah ini jelas terasa manfaatnya. “Kalu nyanda iko mapalus, kita nda mo dapa beking rumah bagini deng kita pe pekerjaan cuma tukang nae kalapa (tukang panjat kelapa)”, tutur Girus Teiwilang sambil menunjuk rumahnya yang hampir rampung sambil tersenyum bangga. Rumah itu dibangun seluruhnya dengan bantuan tenaga dan bahan bangunan dari anggota Mapalus Beking Rumah. Melihat manfaat yang diperoleh, dalam tiga tahun anggota kelompok Mapalus Beking Rumah telah bertambah menjadi 25 orang. Salah satu keberhasilan kelompok Mapalus Beking Rumah dalam menjalankan kegiatannya adalah kedisiplinan. Anggota yang melanggar ketentuanketentuan kelompok akan dikeluarkan dari keanggotaan dan wajib mengganti semua bantuan bahan bangunan yang sudah diterima selama menjadi anggota. Selain meringankan beban warga dalam membangun rumah, Mapalus Beking Rumah ternyata mampu memutuskan ketergantungan warga terhadap pasir laut dan terumbu karang yang tentu saja pengambilannya dapat mengganggu ekosistem pantai dan ekosistem terumbu karang. “Jadi secara tidak langsung, torang juga menjaga kelestarian sumber kehidupan masyarakat pulau” tutur Adi Sodayang yang sekarang ditunjuk sebagai Koordinator Kelompok Mapalus Beking Rumah. Dibalik keberhasilan warga Tinongko mengatasi tantangan dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik, mereka ternyata harus berhadapan dengan fakta bahwa kini mereka tidak lagi mendapatkan layanan Jaminan Kesehatan Masyarakat atau JAMKESMAS karena tidak lagi dikategorikan warga miskin. Hal ini terjadi karena salah satu kategori warga miskin yang berhak mendapatkan JAMKESMAS adalah kondisi rumah yang masih berlantaikan tanah. Padahal JAMKESMAS pun sangat dibutuhkan warga, terutama bila harus berobat dan dirawat di rumah sakit. Fakta tersebut kemudian menjadi dilema bagi warga Tinongko yang ingin membangun rumah. Saat ini anggota Kelompok Mapalus Beking Rumah tengah berupaya untuk mencari jalan keluar agar anggotanya tetap dapat menerima JAMKESMAS. Mereka berharap kategori warga miskin khusus untuk daerah mereka dapat ditinjau kembali karena walaupun telah menikmati rumah yang lebih layak huni, mereka sendiri masih tetap bergelut dengan masalah perekonomian yang menghimpit.
Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia
Siap Melaju! OLEH RIO ABDUL FATTAH
K
elembagaan kuat dan rencana strategis yang mantap adalah dasar penting bagi sebuah organisasi untuk berdiri, berjalan, bahkan berlari. Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia telah selesai berbenah dan siap menghasilkan produk pengetahuan dan inovasi yang keren untuk Indonesia. Akhir Juni dan awal Juli silam, JiKTI menyelesaikan rangkaian roadshow ke 12 provinsi di Kawasan Timur Indonesia untuk mendiskusikan kelembagaan baru JiKTI, Rencana Strategis JiKTI 2013, dan Sosialisi ’Stock of Knowledge’. Tiga kota terakhir yang dikunjungi dalam roadshow tersebut adalah Kupang, Mataram dan Makassar. Berikut laporan dari tiap kota untuk Anda
PELAKSANAAN ROADSHOW JIKTI DI KUPANG, NTT
Roadshow Kupang, Nusa Tenggara Timur, 24 Juli 2013 Aula Lantai 2, Universitas Kristen Artha Wacana Roadshow dihadiri oleh Anggota JiKTI Nusa Tenggara Timur dan beberapa dari NGO lokal di Kupang serta perwakilan Bappeda Provinsi NTT. Roadshow dibuka oleh Pokja Forum KTI Nusa Tenggara Timur, Prof. Dr. Mien Ratoe Oedjoe, M.Pd yang menerangkan mengenai JiKTI sebagai salah satu sub-forum selain Forum Kepala Bappeda dari Forum KTI yang diinisasi oleh BaKTI. Menurut ibu Mien, JiKTi merupakan inisiasi yang diperlukan dalam peningkatan penelitian lokal dan melembagakan para peneliti lokal di KTI agar menjadi partner pemerintah dalam membangun kebijakan pembangunan berbasis pengetahuan dan penelitian.
INFORMASI LEBIH LANJUT
Penulis bekerja pada Forum Pemerhati Taman Nasional Bunaken dan dapat dihubungi melalui email: jepasinaung@yahoo.co.id PRESENTASI "STOCK OF KNOWLEDGE DARI DAVID SHIRLEY DAN NAMIRA ZAHRA
News
JUNI - JULI 2013
Edisi 90
18
Roadshow Mataram, Nusa Tenggara Barat, 26 Juni 2013, Aula Pertemuan Kantor Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat. Roadshow di Mataram dimulai dengan audiensi informal ke Kepala Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dr. H. Rosiyadi H. Sayuti, M.Sc, yang menyambut baik kedatangan tim JiKTI ke Mataram dan memberikan sambutan positif pada pelaksanaan diskusi penguatan jaringan JiKTI. Roadshow dibuka secara resmi oleh Pokja Forum KTI Nusa Tenggara Barat, Dr. Husni Muadz yang menerangkan mengenai JiKTI sebagai salah satu sub-forum selain Forum Kepala Bappeda dari Forum KTI yang diinisasi oleh BaKTI. Roadhsow dihadiri oleh Anggota JiKTI Nusa Tenggara Barat, serta beberapa perwakilan dari lembaga peneliti lokal dan perwakilan dari Bappeda Nusa Tenggara Barat.
Pelatihan Peneliti Pemula/Junior JiKTI Metodologi Penelitian Makassar, 2-3 Juli 2013 Pelatihan Peneliti Pemula KTI merupakan salah satu ekstraksi dari kerangka program utama JiKTI, yaitu Program Pengembangan Kapasitas SDM Peneliti. Program ini lebih diarahkan untuk meningkatkan kapasitas peneliti, yaitu dalam hal memberikan fasilitasi dalam pelatihan yang mencakup dua aspek berikut, yaitu Penguasaan pada metodologi penelitian, dan penyusunan laporan penelitian. Pelaksanaan Pelatihan Peneliti Pemula KTI dilaksanakan selama dua hari di Hotel Tree, Panakkukang, Makassar. Pelatihan yang diikuti oleh 26 orang peneliti dari 12 provinsi KTI. Dalam pelaksanaan Pelatihan Peneliti Pemula KTI, Bekti Andari dan Dani Alfah dari Survey Meter menjadi fasilitator pelatihan dimana pelatihan diberikan dalam dua paradigma metodologi yaitu metode penelitian kualtiatif dan perspektif gender yang dibawakan oleh Bekti Andari dan metode penelitian kuantitatif yang dibawakan oleh Dani Alfah. Diskusi dan pelatihan yang berlangsung dalam dua hari memfokuskan pada pengembangan pemahaman dari para peserta peneliti mengenai kedua metodologi penelitian tersebut.
PROF. HUSNI MUADZ MEMBUKA PELAKSANAAN ROADSHOW PENGUATAN JARINGAN JIKTI DI MATARAM
PRESENTASI MENGENAI KETERKAITAN JIKTI DAN BAKTI OLEH KOORDINATOR INTERIM JIKTI, MADJID SALLATU
PENGANTAR PELATIHAN OLEH KOORDINATOR INTERIM JIKTI, BAPAK MADJID SALLATU SEKALIGUS MEMBUKA PELAKSANAAN PELATIHAN
Pelatihan Peneliti Madya/Senior KTI Penyusunan Policy Briefs Makassar, 4-5 Juli 2013 Pelatihan Peneliti Madya dilaksanakan secara paralel dengan Pelatihan Peneliti Pemula KTI. Pelatihan Peneliti Madya juga merupakan salah satu ekstraksi dari kerangka program utama JiKTI, yaitu Program Pengembangan Kapasitas SDM Peneliti. Program kali ini lebih diarahkan bagi para peneliti KTI dalam hal ini yaitu kepada peneliti madya KTI dengan memberikan fasilitasi berupa pelatihan dalam penulisan policy briefs dan melakukan advokasi hasil-hasil penelitian. Pelatihan Peneliti Madya bertujuan untuk meningkatkan penguasaan dan pemahaman para peneliti madya mengenai penulisan policy briefs. Policy briefs adalah media yang menguraikan alasan untuk memilih alternatif kebijakan tertentu atau tindakan yang diambil dalam perdebatan suatu kebijakan, dengan bentuk laporan sederhana. Pelatihan diikuti oleh para peneliti madya dari 12 provinsi KTI, berikut para Focal Point JiKTI di setiap provinsi KTI. Total peserta dari Pelatihan Peneliti Madya adalah 34 peserta. Arie Sudjito, yaitu sosiolog dari REI dan Universitas Gadjah Mada dan Tim Mann dari The Asia Foundation bertindak sebagai instruktur penulisan policy briefs dalam penelitian kali ini. Tim Mann memberikan penjelasan penuh mengenai Struktur, Proses, dan Metode dalam Penyusunan Policy Briefs, sedangkan Arie Sudjito memaparkan presentasi dan penjelasan mengenai Negosiasi Ruang antara Penelitian dan Kebijakan, serta Strategi Advokasi.
BPK DANI ALFAH MEMBERIKAN PENJELASAN MENGENAI METODE PENELITIAN KUANTITATIF DI HARI PERTAMA PELATIHAN PENELITI PEMULA
PROF. WILLI TOISUTA, KETUA DEWAN PEMBINA YAYASAN BAKTI MEMBERIKAN SAMBUTAN DALAM PEMBUKAAN PELATIHAN PENELITI MADYA
INFORMASI LEBIH LANJUT
jikti@bakti.or.id
19
News
JUNI - JULI 2013
TIM MANN MEMAPARKAN PENJELASAN MENGENAI PROSES PENYUSUNAN POLICY BRIEFS Edisi 90
PROGRAM MAMPU MAJU PEREMPUAN INDONESIA UNTUK PENANGGULANGAN KEMISKINAN
ANGGOTA PARLEMEN PEREMPUAN KTI, HARAPAN DAN REALITAS PENGALAMAN ORGANISASI VS TINGKAT PENDIDIKAN
PENGANTAR Wilayah penelitian berada di wilayah program yaitu di 3 Provinsi di KawasanTimur Indonesia yaitu Provinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone), Provinsi Maluku, dan Provinsi NTB (Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur). Mendasari pemilihan wilayah program/penelitian ini adalah karena DPRD Kabupaten Bone dengan jumlah anggota perempuan 9 orang dari jumlah total 45 orang anggota (20%), tapi berhasil memelopori lahirnya beberapa peraturan daerah dan kebijakan yang berpihak pada perempuan, sehingga bisa dijadikan pembelajaran bagi DPRD yang lain. Kemudian prosentase keterwakitan perempuan di DPRD Provinsi Maluku cukup signikan dengan 14 orang perempuan dari total 45 orang anggota DPRD (31%) namun belum dapat menghasilkan suatu produk legislasi atau kebijakan yang pro-poor dan sensitif konik dengan gender perspektif. Lalu jumlah Anggota DPRD perempuan di Kota Mataram hanya 3 orang dari total 35 orang anggota hanya (8%), dapat ditelusuri untuk dijadikan ukuran korelasi antara kehadiran perempuan di parlemen dan produksi kebijakan yang pro perempuan, sekaligus memetakan sebab kurangnya angka keterwakilan perempuan tersebut.
KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN Jumlah dan persentase Anggota Parlemen Perempuan (APP) di DPRD pada setiap wilayah penelitian belum memenuhi ketentuan "Afrmative Action" sebanyak 30% kecuali Provinsi Maluku sebanyak 31,1 persen. Hal ini kemungkinan dikarenakan kuatnya budaya patriarkhi dan rendahnya keterlibatan perempuan sebagai pengurus partai. GAMBAR 1 JUMLAH ANGGOTA DPRD PADA 4 WILAYAH PENELITIAN
92 ,2
68,9 31 ,1
8,0 Lombok Timur
News
Provinsi Maluku JUNI - JULI 2013
Kab. Bone
PRODUK LEGISLASI PRO PEREMPUAN & PENDUDUK MISKIN Keterwakilan APP dalam memperjuangkan kaum perempuan dan penduduk miskin telah menunjukkan kinerja yang baik, namun belum maksimal. Jumlah Peraturan Daerah (Perda) terkait upaya peningkatan kesejahteraan perempuan dan penduduk miskin dinilai masih terlalu sedikit dibanding total perda yang dihasilkan. Rendahnya kegiatan APP dalam menghasilkan produk legislasi yang pro perempuan dan penduduk miskin karena sebagian besar APP belum paham bagaimana melaksanakan fungsi legislasi secara sistematis mulai tahap inisiasi (muncul gagasan dalam masyarakat), tahap sosiopolitis (pematangan dan penajaman gagasan), dan tahap yuridis (penyusunan rumusan hukum dan pengundang-undangan). TABEL 1 PRODUK LEGISLASI APP PADA EMPAT WILAYAH PENELITIAN JUMLAH NAMA PERDA JUMLAH PRODUK LEGISLASI PRO POOR DAN WILAYAH PRODUK PRO POOR DAN SURVEY LEGISLASI PRO PEREMPUAN PRO PEREMPUAN Kab. Bone
354
1*
1. Perda Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis, dan Perda No. 11 Tahun 2009 tentang pemberantasan buta aksara. 2. Usulan Perda tentang Pemberdayaan Perempuan
Kota Mataram
31
4
1. Perda No. 3 Tahun 2012 tentang Pembentukan lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, 2. Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak dari tindak kekerasan,
91 ,4
91 ,4 17 ,8
Tingkat Pendidikan Anggota Parlemen Laki-laki (APL) dan APP yang umumnya Sarjana (Sl), bukanlah faktor penentu keberhasilan dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya. Pengalaman organisasi anggota DPRD jauh lebih penting ketimbang tingkat pendidikan. Namun pengalaman organisasi ditambah tingkat pendidikan yang tinggi, lebih "memungkinkan" anggota DPRD melaksanakan tugas dan fungsinya dengan efektif. Tingkat pengalaman berorganisasi yang rendah khususnya bagi APP tercermin dari ketidakmampuan berinteraksi, mengemukakan pendapat, dan memperjuangkan kaum perempuan dan penduduk miskin.
8,6 Kota Mataram
Edisi 90
20
3. Perda No. 5 Tahun 2012 tentang Penanggulangan anak jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Mataram, 4. Perda No. 6 Tahun 2012 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kota. Lombok Timur
4
Provinsi Maluku
4
1. Perda No. 11 Tahun 2010 tentang retribusi jasa umum termasuk pelayanan kesehatan yang menegaskan keringanan dan pembebasan pembayaran bagi keluarga tidak mampu (miskin). 2. Penyusunan Perda tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga ** 3. Rancangan draft Perda tentang pendidikan gratis*** 4. Perda No.7 Tahun 2007 tentang Perlindungan Buruh/Pekerja Informal di Kabupaten lombok Timur. 1. Peraturan Oaerah No. 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Maluku. 2. Ranperda tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. 3. Ranperda tentang HIV/AIDS 4. Ranperda tentang perlindungan orang miskin dalam pengelolaan wilayah pesisir.
KETERANGAN *masih usulan, belum ditindaklanjuti **perda belum diterbitkan ***dalam proses pembahasan
PERAN APP TERKAIT FUNGSI PENGANGGARAN Porsi alokasi anggaran untuk pembelanjaan program dan kegiatan yang pro perempuan dan penduduk miskin masih relatif kecil. Penyebabnya adalah (1) keterbatasan anggaran yang tersedia, (2) keterbatasan APP dalam mengangkat isu gender, kurang pemahaman tentang perencanaan dan penganggaran yang responsive gender (PPRG), serta penyusunan penganggaran yang pro poor (P3B) . lni mengindikasikan pemahaman anggota parlemen tentang PPRG dan P3B perlu ditingkatkan. GAMBAR 1 PORSI ALOKASI ANGGARAN UNTUK PEMBELANJAAN KEGIATAN PRO PEREMPUAN DAN PRO PENDUDUK MISKIN
1,5
pelaksanaan kesehatan gratis melalui kerjasama antara LSM dan masyarakat. Di Kota Mataram, anggota DPRD mengawasi pelaksanaan program dan kegiatan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan perempuan bersamasama dengan SKPD terkait. Di Lombok Timur fungsi pengawasan APP berjalan efektif dan mengungkap kasus rendahnya pelayanan puskesmas karena kekurangan tabung oksigen.
KENDALA YANG DIHADAPI ANGGOTA PARLEMEN PEREMPUAN Ada dua faktor kendala yang dihadapi oleh APP dalam menjalankan tupoksinya di DPRD yaitu (1) faktor internal individu (baik APP maupun APL) maupun internal kelembagaan DPRD, (2) faktor eksternal. Faktor penyebab yang paling utama berasal dari terbatasnya kapasitas individu APP (lihatTabel 2).
PENINGKATAN KAPASITAS ANGGOTA PARLEMEN PEREMPUAN YANG PERNAH DIIKUTI APP telah mengikuti berbagai jenis peningkatan kapasitas dalam menjalankan ketiga fungsi DPRD namun karena waktu yang terbatas, penguasaan materi belum optimal. Bentuk penguatan kapasitas yang dimaksud adalah Bimbingan Teknis (Bintek), pelatihan, studi banding, dan sosialiasi berbagai perangkat perundang-undangan dan peraturan terkini terkait dengan fungsi legislasi, penganggaran, maupun pengawasan. APP di semua lokasi penelitian belum pernah mengikuti pelatihan atau Bintek tentang perencanaan dan penganggaran konsisten dan penyusunan perencanaan dan penganggaran yang pro poor dan responsif gender.
HUBUNGAN APP DENGAN ORGANISASI PEREMPUAN (KAUKUS PEREMPUAN POLITIK, KAUKUS PEREMPUAN PARLEMEN DI TINGKAT KABUPATEN, PROVINSI DAN NASIONAL, LSM/ORNOP, MASYARAKAT SIPIL)
Kaukus Perempuan Politik dan Kaukus Parlemen Perempuan sangat mempengaruhi kapasitas APP, namun baru ada di Ka bu paten Bone dan Provinsi Maluku. Kaukus Perempuan Politik di Kabupaten Bone terbentuk sejak tahun 2005 namun belum memiliki struktur organisasi yang jelas dan anggotanya bukan parlemen perempuan. Di Provinsi Maluku, Kaukus Perempuan Parlemen terbentuk pada tahun 2012 dan telah melakukan kegiatan dengan melibatkan APP. Kaukus Perempuan Politik telah terbentuk di sana namun tidak aktif sehingga tidak berkontribusi terhadap peningkatan kapasitas APP. Hubungan Kaukus Perempuan Politik/Parlemen di Kab. Bone Kota Mataram Lombok Timur Provinsi Maluku daerah dengan di tingkat pusat juga beIum m a k s i m a l k a re n a m a s i h re n d a h ny a Porsi Anggaran Pro Perempuan Porsi Anggaran Pro Penduduk Miskin frekuensi pertemuan antar kedua organisasi tersebut. Di Lombok Timur, sejak tahun 2009 baru Sumber : Perda APBD 2012 untuk masing-masing wilayah survey dilakukan satu kali pertemuan dengan Kaukus Perempuan Parlemen di tingkat pusat.
0,89
0,63
0,86
0,74
0,21
0,07
0,16
PERAN APP TERKAIT FUNGSI PENGAWASAN
Bentuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh APP tergantung pada isu yang berkembang di daerah masingmasing. Di Kabupaten Bone, APP melakukan pertemuan formal dan informal terkait pengaduan masyarakat tentang pengendapan dana pendidik an gratis, pengawasan
21
News
JUNI - JULI 2013
KERJASAMA ANGGOTA PARLEMEN PEREMPUAN DENGAN LSM/ORNOP APP secara aktif bekerja sama dengan LSM/Ornop dalam menyelesaikan permasalahan terkait perempuan dan kemiskinan. Kerjasamanya adalah dalam memberi masukan tentang isu krusial dalam masyarakat terkait pemberdayaan Edisi 90
TABEL 2 KENDALA YANG DIHADAPI ANGGOTA PARLEMEN PEREMPUAN EKSTERNAL
INTERNAL
APP Terbatasnya Kapasitas diri: di DPRD 1. Kurangnya rasa percaya diri untuk mengemukakan gagasan di depan publik (orang banyak). Kab. Bone 2. Kurang mampu mengidentifikasi dan mengemas isu. 3. Kurang paham prosedur pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan. Keterbatasan kelembagaan DPRD: 1. Perda inisiasi yang digagas oleh anggota DPRD perempuan "agak sulit" terealisasi akibat tidak adanya dukungan dari fraksi mayoritas oleh karena adanya kepentingan yang berbeda 2. Dukungan yang kurang dari anggota DPRD laki-laki tentang persoalan perempuan, 3. Tingkat pemahaman yang berbeda antar anggota DPRD perempuan karena berasal dari partai yang berbeda. APP Terbatasnya Kapasitas diri: di DPRD 1. Keterbatasan menyusun rancangan peraturan daerah dan keterbatasan pemahaman rancangan APBD, Kota Mataram 2. Tidak semua APPmemahami perangkat-perangkat perundang-undangan yang melindungi kepentingan perempuan, termasuk pemahaman yang menyeluruh tentang kesetaraan gender. 3. Terbatasnya kemampuan untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 4. Terbatasnya kemampuan "melobby" dan tawar menawar dibandingkan dengan APL, sehingga tidak cukup kuat dalam proses pembahasan di DPRD. Keterbatasan kelembagaan DPRD : 1. Ketersediaan anggaran, 2. Padatnya jadwal dari APP "tertentu" sehingga tidak semua rapat-rapat rutin dapat diikuti.
APP di DPRD Kabupaten Lombok Timur
APP di DPRD Provinsi Maluku
Terbatasnya Kapasitas diri: 1. Manajemen kasus dan kemampuan menyusun regulasi masih terbatas termasuk mengidentifikasi dan mengemas issu. Keterbatasan kelembagaan DPRD: 1. APL memegang aturan agama dan memandang bahwa perempuan tidak perlu terlibat penuh dalam kegiatan organisasi, dan 2. Alokasi anggaran yang masih terbatas Terbatasnya Kapasitas diri: 1. Kurangnya kepercayaan diri untuk mengemukakan argumentasi di depan publik, 2. Kemampuan yang terbatas untuk mengidentifikasi dan mengemas isu gender, 3. Kemampuan bernegoisasi dan melaksanakan jejaring masih terbatas, 4. Kemampuan yang terbatas dalam menyusun rancangan peraturan daerah dan membaca anggaran dengan cepat. Keterbatasan kelembagaan DPRD : 1. Dukungan yang kurang dari APL tentang persoalan perempuan, 2. Tingkat pemahaman yang berbeda di antaraAPP karena berasal dari partai berbeda.
perempuan dari aspek ekonomi, aspek politik, pendidikan dan perlindungan anak, penanganan dan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, memberi bantuan kepada desa miskin termasuk perbaikan infrastruktur, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan .
KEBUTUHAN PENINGKATAN KAPASITAS ANGGOTA PARLEMEN PEREMPUAN APP masih perlu meningkatkan kapasitasnya terutama dalam hal kebijakan yang berpihak kepada perempuan dan penduduk miskin. Penelitian ini mengidentikasi 14 kebutuhan dimana 4 diantaranya adalah kebutuhan utama (Li hat label 3).
HARAPAN MASYARAKAT TERHADAP ANGGOTA DPRD PEREMPUAN Harapan masyarakat terhadap APP dalam menjalankan tupoksinya cukup besar dan beragam termasuk (1) Membuat Perda yang mengatur peningk atan kesejahteraan perempuan dan penduduk miskin dan melakukan sosialisasi secara intensif perda tentang Penghapusan KORT dan Perda Perlindungan anak. (2) Melakukan pengawasan secara kontinyu terhadap program pemerintah terutama pengawasan anggaran
News
JUNI - JULI 2013
1. Tidak adanya sanksi tegas kepada SKPD ketika masih ada program/kegiatan yang telah disetujui tetapi tidak terealisasi sehingga mempengaruhi kinerja DPRD. 2. Sebagian besar anggota DPRD perempuan belum mampu secara maksimal menyuarakan aspirasi masyarakat oleh karena selain keterbatasan kapasitas dan kurangnya dukungan internal disebabkan pula oleh banyaknya kritik dari pihak eksternal. 3. Belum adanya kajian akademik (academic paper) secara reguler ketika masih ada masalah yang ditemukan terkait dengan peran anggota DPRD perempuan yang belum maksimal 4. Tidak ada staf ahli yang mendampingi para anggota DPRD laki-laki maupun perempuan dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari yang cukup padat. 1. Terbatasnya staf ahli yang disediakan terkait dengan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan sehingga untuk menindaklanjuti suatu hal terkait dengan pelaksanaan fungsi DPRD, lebih memilih untuk tidak berkomentar atau tidak merespon. 2. Komunikasi yang tidak kontinu dengan para aparat pemerintah daerah (SKPD), 3. Dukungan yang belum maksimal dari masing-masing SKPD terkait untuk bersama-sama mencari solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan, 4. Belum dimilikinya kemampuan untuk bernegosiasi, utamanya dengan APL untuk mengakomodasi program/kegiatan yang berpihak pada perempuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, 5. Belum maksimalnya dukungan dari pihak keluarga untuk memberikan waktu yang "lebih banyak" dalam menjalankan fungsi DPRD, 6. Kurangnya kepedulian dari beberapa pihak terhadap masalah yang terkait dengan perempuan dan masyarakat miskin, 7. Kurangnya koordinasi dengan SKPD terkait. 1. Kurang dukungan dari SKPD dan tokoh masyarakat 2. Koordinasi dengan SKPD yang terbatas 3. Orientasi sebagian SKPD yang berbeda dengan DPRD
Belum maksimalnya komitmen antara legislatif dan eksekutif dalam mendukung pelaksanan fungsi DPRD Provinsi Maluku
untuk program yang bersentuhan langsung dengan kepentingan penduduk miskin dan perempuan, (3) Meningkatkan proporsi anggaran untuk penduduk miskin dan anggaran untuk pemberdayaan perempuan atau responsif gender, seperti anggaran TABEL 3 IDENTIFIKASI KEBUTUHAN ANGGOTA DPRD PEREMPUAN DALAM UPAYA PENINGKATAN KAPASITAS NO. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN
DPRD KB KM KLT PM
1 Strategi mengidentifikasi dan mengemas isu, terutama isu gender 2 Kemampuan berkomunikasi, termasuk didalamnya Communication Skill dan Public Speaking 3 Teknik Lobbying 4 Strategi membangun kepercayaan diri 5 Fasilitasi tenaga teknis dan staf ahli 6 Dukungan data dari LSM dan Perguruan Tinggi serta SKPD 7 Pelatihan/bimbingan teknik terkait dengan kajian legislasi/legal drafting, penganggaran dan pengawasan 8 Pendidikan dan pelatihan yang pro rakyat dalam upaya mengkreasi kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat miskin 9 Peningkatan kemampuan untuk menangani kasus konstituent baik secara individu maupun secara kolektif 10 Diskusi/dialog dengan berbagai organisasi masyarakat 11 Kemampuan untuk melaksanakan jejaring dalam rangka membangun aliansi bersama 12 Peningkatan cara berfikir yang sistematis 13 Analisis anggaran yang responsif gender pada setiap dapil KETERANGAN : KB = Kab. Bone KM = Kota Mataram KLT = Kab. Lombok PM = Provinsi Maluku
Edisi 90
22
pendidikan untuk pemberantasan buta aksara terutama perempuan, putus sekolah, pemberdayaan perempuan khususnya pendidikan politik, jaminan kesehatan yang akurat, dan sebagainya .
PENGETAHUAN UMUM MASYARAKAT TENTANG ANGGOTA PARLEMEN PEREMPUAN CAPP) Masyarakat telah mengenal APP di daerahnya, namun belum mengetahui dengan baik pendidikan dan jabatannya. Sebagian besar responden menyatakan mengenal anggota legislatif perempuan di daerahnya namun tidak semuanya dapat menyebutkan nama APP. Pengetahuan responden tentang APP pada dapil di wilayahnya cukup rendah. Hal ini terjadi di Mataram, Lombok Timur dan Ambon, dimana lebih dari 50% responden menyatakan tidak kenal dengan APP. Di Kabupaten Bone sebanyak 68,7 persen responden menyatakan kenal dengan APP (Lihat Gambar 5). TABEL 4 PENGETAHUAN RESPONDEN TENTANG PARLEMEN PEREMPUAN
73,1 Kenal APP
41,8
67,2 50,7
43,3
Tahu Tahu Pendidikan APP Jabatan APP
Kenal APP
Ambon
Mataram
86,6 32,8 Kenal APP
50,7
Tahu Tahu Pendidikan APP Jabatan APP
57,7 31,3
17,9
Tahu Tahu Pendidikan APP Jabatan APP
Kenal APP
10,4
Tahu Tahu Pendidikan APP Jabatan APP
Kab. Bone
Lombok Timur
GAMBAR 5 PENGETAHUAN RESPONDEN TENTANG APP DARI DAPIL DI 4 WILAYAH
47,8% 52,2%
% 49,8% % 68,7 31,3% 50,7
Kab. Bone
Ambon
Mataram
41,8% 58,2% KENAL
TIDAK KENAL
Lombok Timur
TEMU KONSTITUEN Kurangnya pengetahuan tentang APP dari dapil di wilayahnya erat kaitannya dengan intensitas pertemuan APP dengan konstituentnya. APP memang melakukan temu konstituen baik formal maupun tidak formal, namun pertemuan tersebut dinilai belum maksimal. Rata-rata 75,15% responden di LombokTimur, Mataram, dan Ambon menyatakan temu konstituen masih tidak atau kurang memadai. Di Lombok Timur dan Mataram, APP tidak melakukan temu konstituen dengan alasan tidak ada waktu, mungkin dianggap tidak penting. Di Bone, APP hanya datang sebentar untuk bersilaturahmi dan masih harus menunjungi banyak dapil lainnya. APP juga dinilai kurang inisiatif dalam menjalin komunikasi. Faktor utama penyebab masyarakat mengharapkan peran maksimal APP adalah kurangnya sosialisasi kepada masyarakat dari setiap fungsi yang telah dilakukan.
23
News
JUNI - JULI 2013
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI APP telah menjalankan tiga fungsi DPRD, namun implementasinya belum maksimal terutama terkait peningkatan kesejahteraan perempuan dan penduduk miskin. Penyebabnya adalah rendahnya kapasitas APP serta rendahnya dukungan dalam lingkungan organisasi (APL) dan dukungan lingkungan di luar organisasi. Anggota DRPD perempuan telah mengikuti berbagai jenis pelatihan dan bimbingan teknis, namun masih memerlukan pelatihan tentang perencanaan dan penganggaran (termasuk perencanaan dan penganggaran yang responsive gender-PPRG), mengidentiď€ kasi dan mengemas isu termasuk isu gender, merancang peraturan daerah, memahami perencanaan dan anggaran yang pro poor, dan pelatihan public speaking. Efektivitas Pelaksanaan Fungsi DPRD (Legislasi, Penganggaran, Pengawasan), tidak ditentukan oleh banyaknya jumlah APP. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya perempuan dan penduduk miskin sangat tergantung pada k apasitas dan k apabilitas APP dan buk an banyaknya jumlah APP. Dengan jumlah anggota perempuan hanya 4 dari 46 total anggota DPRD Kabupaten Lombok Timur, mereka mampu mempengaruhi eksekutif dalam mengalokasikan anggaran untuk penyediaan tabung oksigen. Di Kota Mataram, APP mampu menghasilkan 4 perda terkait dengan peningkatan kesejahteraan perempuan dan penduduk miskin. Sebaliknya di Ka bu paten Bone yang jumlah APP lebih banyak, kinerja dan hasilnya relatif masih kurang dibanding dengan Kabupaten lain yang mempunyai jumlah anggota DPRD yang lebih sedikit Harapan masyarakat terhadap anggota parlemen perempuan dalam menjalank an tupoksinya masih cukup besar. Perda yang dihasilkan oleh parlemen perempuan masih sangat terbatasjumlahnya dan belum diketahui oleh masyarakat luas karena kurangnya sosialisasi dan kurang intensifnya APP berkunjung ke wilayah konstituent. APP juga dinilai masih kurang dalam melaksanakan pengawasan dan penganggaran. APP diharapk an dapat (1) menjadwalk an kunjungan teratur ke dapil untuk mengidentiď€ kasi permasalahan gender dan kemisk inan, (2) menyusun rencana program dan kegiatan yang menjadi solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat, (3) mengkomunikasikan secara intensif rencana program dan kegiatan yang telah disusun, (4) memperjuangkan peningkatan porsi alokasi anggaran yang responsif gender, (5 melakukan sosialisasi intensiftentang produk hukum yang dihasilkan termasuk produk hukum tentang isu genderdan pengentasan kemiskinan.
INFORMASI LEBIH LANJUT
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Program Mampu, anda dapat menghubungi : Lusia Palulungan, Program Officer Mampu - BaKTI email : lpalulungan@bakti.or.id
Edisi 90
FORUM KTI
Forum Kepala Bappeda Provinsi Se-KTI
Menapak Gagasan Jelang
RPJMN 2015-2019 Bagian I
P
ara Kepala BAPPEDA Provinsi se-kawasan timur Indonesia kembali bertemu dalam Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI di Jakarta pada 28 Juni silam. Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI kali ini berfokus pada dua hal, yakni Praktik Cerdas dan Riset Desentralisasi. Forum Kepala Bappeda adalah sebuah forum yang berfokus pada usaha peningkatan koordinasi pembangunan antar-pemerintah provinsi juga antara pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, serta untuk berbagi praktik cerdas dalam bidang perencanaan pembangunan. Sesuai namanya, Forum ini beranggotakan para Kepala Bappeda Provinsi dari dua belas provinsi di KTI. Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI kali ini adalah yang kesembilan kalinya diadakan dan menjadi pertemuan yang unik, karena selain mendiskusikan persiapan penyusunan RPJMN 2015 – 2019 antara para Kepala BAPPEDA dan dengan BAPPENAS, dan isu-isu terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN, para Kepala BAPPEDA juga berkesempatan mendengarkan inspirasi dari tiga Praktik Cerdas BaKTI: Rumah Tunggu untuk Kehamilan dan Kelahiran yang Lebih Aman di Maluku Tenggara Barat; Upaya Terpadu Memberantas Malaria di Halmahera Selatan; dan Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat.
News
JUNI - JULI 2013
Melalui Pertemuan kali ini, Para Kepala Bappeda provinsi se-KTI juga mendapat kesempatan yang sangat baik untuk memberi masukan pada proses teknokratis penyusunan Buku III RPJMN 2015-2019: Pembangunan Berdimensi Kewilayahan serta mendengarkan hasil riset dari Public Expenditures and Revenue Analysis (PERA) yang didanai oleh AIPD (Australia Indonesia Partnership for Decentralization) dan Kajian Sulawesi Development Diagnostic (SDD) terkait Pengembangan Infrastruktur dan Pertumbuhan Inklusif di Sulawesi yang didukung oleh Bank Dunia dan CIDA. Selain itu akan ditampilkan pula beberapa praktik cerdas seperti Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM). Fokus Utama Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI Salah satu target yang ingin dicapai dalam pertemuan ini adalah bagaimana Bappeda Provinsi Se-KTI dapat memberikan masukan terhadap penyusunan RPJM 2015-2019 khususnya Buku III. Terdapat tiga hal yang menjadi fokus Kepala Bappeda Provinsi Se-KTI. Yang pertama adalah program prioritas masingmasing provinsi dan program bersama antar provinsi dalam satu pulau, ada ada pulau besar di KTI. Khususnya fokus pada pelayanan dasar masyarakat: pendidikan dan kesehatan serta program pengembangan ekonomi dengan memasukkan kabupaten yang paling tertinggal. Contohnya di Gorontalo dari total lima kabupaten, masih ada tiga kabupaten yang tertinggal. Hal ini menjadi perhatian para Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI sehingga dapat signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia secara nasional. Fokus utama kedua adalah sinergitas, sinkronisasi dan harmonisasi. Khususnya dalam hal bagian mana yang diintervensi oleh pemerintah pusat dan bagian mana yang akan diintervensi oleh Pemerintah Daerah. Terdapat sembilan kewenangan Pemerintah Provinsi, limabelas kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan enam kewenangan Pemerintah Nasional. Hal tersebut menjadi perhatian besar para Kepala BAPPEDA Provinsi untuk proses pembahasan untuk masukan RPJMN. Fokus utama ketiga adalah perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dan konsisten pada keunggulan masingmasing daerah yang berbasis pada komoditi unggulan masingmasing daerah. Persiapan RPJMN 2015-2019 Salah satu pembahasan menarik dari Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI adalah persiapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015 – 2019. Terkait persiapan RPJMN ini, BAPPENAS saat ini sedang menyiapkan rancangan RPJMN 2015-2019 dan melakukan beberapa kajian akademik. Selanjutnya, masukan dari Pemerintah Daerah sangat dipelrukan, terutama untuk
Edisi 90
24
memperkuat beberapa aspek terkait isu-isu strategis daerah yang diperkirakan akan menjadi penting dalam lima tahun mendatang. Satu pertimbangan sehubungan persiapan RPJMN 2015 – 2019 adalah momen penting pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2014 yang akan datang. Tentu saja RPJMN 2015 – 2019 nantinya akan juga dipengaruhi oleh visi dan misi Presiden yang terpilih. Besar harapan, visi dan misi calon Presiden dapat searah dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Indonesia. Dalam hubungannya dengan Forum Kepala BAPPEDA, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah BAPPENAS, Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA. berharap forum ini dapat membicarakan mengenai proses teknokratik penyiapan rancangan RPJMN 2015-2019 dan kelak dapat memberi masukan terkait isu strategis daerah penting. Bagi BAPPENAS, sebagaimana diungkapkan Max Pohan, Pemerintah Provinsi menjadi pusat penyusunan blue print pembangunan secara lengkap pada tingkat provinsi. Ada elemen yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Nasional di dalamnya dan juga ada elemen tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten / Kota. “Momentum strategis penyiapan RPJMN 2015-2019 terutama Buku III jangan hanya menjadi ajang pengusulan isu saja. Mari kita mengusulkan secara utuh apa yang menjadi kebutuhan daerah, lalu kita cari seperti apa upaya kolaborasinya dan diskusikan dalam forum yang intensif difasilitasi oleh Forum KTI”, usul Kepala BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Wayan Darmawa, MT, menanggapi harapan dari Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah BAPPENAS tersebut.
“Diskusi Forum Kepala Bappeda Provinsi Se-KTI sangat intellectual stimulating dan high profile discussions” Willi Toisuta Masyarakat Ekonomi ASEAN Isu hangat yang juga mengemuka dalam Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI adalah Keterhubungan ASEAN atau ASEAN Connectivity. Secara nasional, Indonesia perlu meningkatkan daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (Pasar Tunggal ASEAN) 2015. Sejalan dengan itu, pemerataan pembangunan tetap perlu dijalankan dengan menjaga momentum pertumbuhan dan memperbaiki distribusi pembangunan. Terdapat elemen yang penting yakni aset dan sumber daya yang telah dimiliki oleh masing-masing daerah untuk
25
News
JUNI - JULI 2013
meningkatkan daya saing. Dalam presentasinya, Max Pohan mengingatkan bahwa daya saing nasional dibentuk oleh daya saing antar daerah dan sinergi (keterkaitan) antar daerah. “Kita beranjak meninggalkan keunggulan komparatif atau daya saing berbasis input, menuju ke keunggulan kompetitif yakni daya saing berbasis efisiensi dan inovasi”,ujarnya. Terkait kesiapan Indonesia menghadapai Pasar Tunggal ASEAN 2015, para Kepala BAPPEDA Provinsi se-KTI juga diingatkan untuk tidak hanya meningkatkan keunikan dan k eunggulan daerah masing-masing, tetapi juga menghubungkannya dengan keunikan dan keunggulan daerah lain.“Sinergi antar daerah bisa dilakukan dengan koridor-koridor sebagai upaya mewujudkan keterkaitan antar daerah”, jelas Max Pohan. “Kita harus lebih fokus pada penguatan SDM dan teknologi yang berarah pada daya saing dan inovasi”,imbuhnya.
Pemerintah Nasional dan Pemerintah Daerah serta antar Pemerintah Daerah perlu bekerjasama untuk meningkatkan efektifitas pengembangan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia Jujur diakui bahwa sebagian besar Pemerintah Daerah di kawasan timur Indonesia, masih belum siap menghadapai Keterhubungan ASEAN 2015. Hal ini terutama disebabkan masih banyak keterbatasan terutama dalam hal sumberdaya manusia dan infrastruktur. “Jika ada kebijakan nasional yang memprioritaskan pembangunan KTI, maka upaya mengejar ketertinggalan dan persiapan ini bisa lebih baik”, tutur Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Dr. Ir. Sudirman Habibie, M.Sc. Bagi Pemerintah Daerah, salah satu isu penting dalam menghadapi Keterhubungan ASEAN adalah pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Pemerataan pembangunan memang telah sering diwacanakan, hanya saja prosesnya masih tertatih-tatih. Terkait pertumbuhan pembangunan, peran wilayah Sulawesi dalam perekonomian nasional cenderung meningkat meskipun peran Nusa Tenggara, Maluku dan Papua cenderung stagnan. Dari sisi nasional, perlu ada affirmative policies untuk mendukung pemerataan pembangunan ini. “Tentu kita juga perlu melihat kemungkinan-kemungkinan lain, tanpa harus selalu menunggu APBN”,ujar Max Pohan.
INFORMASI LEBIH LANJUT
Sekretariat Forum KTI Email : eiforum@bakti.or.id
Edisi 90
Gunung-gunung, lembahlembah yang penuh misteri Hutan dan lautpun membisu selalu.......
D
emikian bunyi sebagian petikan bagian syair lagu Tanah Papua. Lagu ini menunjukkan begitu banyak misteri yang terkandung dalam alam Bumi Cenderawasih. Misteri dapat diartikan sebagai sesuai yang belum terungkap, belum dikaji, sekaligus dapat diekspresikan sebagai kekayaan
Tidak jarang para petinggi Tanah Papua kerap menyatakan bahwa proses pembangunan yang dijalankan harus didasarkan pada azas konservasi. Papua Barat dinyatakan sebagai Provinsi Konservasi dan Raja Ampat sebagai Kabupaten Konservasi. Demikan juga dengan Kabupaten Tambrauw yang menjadikan konservasi serbagai salah satu misi pembangunan. Konsep konservasi juga terlihat dari berbagai dokumen perencanaan pembangunan (RPJMD dan Restra SKPD) baik di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi. Konservasi versus Pembangunan Sepertiga luas wilayah Papua Barat adalah wilayah konservasi yang tersebar pada berbagai tipe geografis dan ekosistemnya. Pendekatan pengelolaannya sangat bervariasi dan bergantung pada karakteristik ekosistem sebagai penyangga makluk hidup dan target dari kegiatan konservasi (organisme). Ada yang dekelola sebagai taman nasional (Teluk Cenderawasih), Cagar alam dan suaka margasatwa (Raja Ampat,
LINGKUNGAN
Ragu Penyu Belimbing di Persimpangan Jalan sumberdaya alam Papua yang luar biasa banyaknya. Lagu Tanah Papua mengusik rasa penasaran banyak orang untuk mencari makna kata misteri itu. Lagu Tanah Papua dapat menjadi dasar proses pembangunan yang melibatkan pemerintah, masyarakat, pengusaha, dan para organisasi non pemerintah yang bekerja bagi kemajuan tanah ini. Apalagi hampir di setiap acara formal lagu tersebut kerap dinyayikan saat pembukaan acara.
News
JUNI - JULI 2013
OLEH RONI BAWOLE, RIDWAN SALA, THOMAS F. PATTIASINA, FERAWATI RUNTUBOI, DAN ALBERTUS GIRIK ALLO Tambrauw), Taman Wisata Alam (Manokwari), bahkan beberapa daerah telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut daerah, KKLD, (Raja Ampat, Kaimana) dan dalam proses usulan untuk Kabupaten Tambrauw (KKLD dengan bentuk pengeloaan sebagai taman pesisir). Penetapan tersebut menunjukan kesungguhan daerah dalam upaya pelestarian dan perlindungan kawasan beserta organisme yang hidup didalamnya. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan konservasi, pada Edisi 90
26
tingkat elit, masih sebatas slogan atau retorika semata. Sebaliknya, pada tingkat pengelola, upaya konservasi masih menemui kendala termasuk pendanaan, komitmen rendah dari masyarakat yang dalam implemensi kegiatan sering tidak konsisten dalam menjalankan kesepakatan yang dibuat sebelumnya, termasuk rendahnya tatakelola konservasi. Kegiatan pembangunan kerap berseberangan dengan upaya konservasi. Salah satu contohnya adalah kegiatan pembangunan jalan Trans-Papua Barat jalur pantai utara yang bersinggungan langsung dengan pantai peneluran penyu belimbing. Jarak antara jalan dan pantai peneluran hanya sekitar 3-10 meter di Pantai Peneluran Batu Rumah yang adalah kawasan utama peneluran penyu Belimbing di Jamursba-Medi. Sayangnya pantai di daerah tersebut sering mengalami abrasi yang cukup parah dan jalan tersebut terancam terkikis oleh hempasan ombak. Konsekuensi selanjutnya adalah pembangunan tanggul sebagai penahan ombak. Tanggul penahan ombak jelas akan merombak total ekosistem dan bentang pantai peneluran penyu Belimbing dan bisa mengakibatkan penyu yang terancama punah ini tidak dapat lagi bertelur di sana. Bila sudah demikian kondisinya, mau dikemanakan penyu Belimbing di Tambrauw? Konservasi Penyu Belimbing di Jamursba-Medi Sejak Tahun 1982 upaya konservasi telah dilakukan mulai dari pengamanan kawasan hingga kegiatan pengelolaan yang melibatkan masyarakat. Saat itu Menteri Pertanian Republik Indonesia mengeluarkan SK No. 820/Kpts/Um/11/1982 yang menetapkan Jamursba Medi sebagai kawasan Cagar Alam; suatu status perlindungan yang sangat ketat dan secara legalformal harus dilengkapi dengan rencana pengelolaan. Dalam perjalanannya, Jamursba-Medi mengalami perubahan status menjadi suaka margasatwa (SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 891/kpts-II/1999). Namun demikian, secara faktual perubahan status tersebut tidak memberikan makna berarti dalam kegiatan pengelolaannya. Saat ini populasi penyu Belimbing yang bertelur di Pasifik telah mengalami penurunan drastis. Hal yang sama terjadi di Terengganu Malaysia. Pantai Jamursba Medi dan Wermon di wilayah Kepala Burung Papua beruntung karena masih menjadi tempat bertelur populasi penyu Belimbing terbesar di Pasifik. Bayangkan, jumlah sarang telur penyu Belimbing di Jamursba Medi berkisar 1.865-3.603 per tahun dan di Wemon 1.508-2.760 per tahun (Dutton et al. 2007). Angka ini merupakan nilai tertinggi di kawasan pantai peneluran Melanesia. Tidak mengherankan bila Pemerintah Kabupaten Tambrauw menjadikan penyu Belimbing sebagai maskot dalam logo kabupaten. Masa puncak peneluran di pantai Jamursba Medi terjadi antara Bulan Maret sampai September, dan di Wermon terjadi pada bulan Oktober hingga Maret. Jika data dari kedua bentang pantai ini disatukan, masa bertelur penyu Belimbing di sana berlangsung sepanjang tahun. Jika pengelolaan konservasi pantai bertelur penyu Belimbing di Kabupaten Tambraw dapat dilakukan dengan baik, kawasan ini dapat menjadi warisan dunia dengan menjadi habitat hidup penyu terbesar di dunia. Sama halnya dengan reptil raksasa Komodo yang masih hidup di habitatnya di Nusa Tengara Timur. Sayangnya, walau menjadi pantai tempat bertelur favorit bagi penyu Belimbing, Jamursba-Medi terjadi penurunan yang signifikan dalam 27 tahun terakhir. Bila di tahun 1984 terdapat 14.522 sarang telur penyu Belimbing, maka di tahun 2011 hanya terdapat 1.532 sarang di Jamursba-Medi. Saat ini dibawah kordinasi Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua Barat, terdapat empat lembaga yang bekerja untuk pelestarian penyu di Jamursba-Medi. Keempat lembaga tersebuta dalah WWF, Yayasan Penyu Laut Indonesia, Universitas Negeri Papua, dan Pemerintah Kabupaten Trambrauw. Sementara itu, secara global masyarakat internasional mulai menginisiasi pembentukan jaringan kerja untuk menyelematkan habitat bertelur penyu Belimbing di sana.
27
News
JUNI - JULI 2013
Jamursba Medi
Wermon
Tambrauw Sorong
PAPUA BARAT Tiap tahunnya, penyu belimbing datang dan membuat sekitar 3.603 sarang dan bertelur di wilayah Jamursba-Medi dan 2.760 sarang dibuat di Wermon, wilayah kepala Burung, Papua Barat. Win-Win Solution Kegiatan pembangunan sering berseberangan dengan upaya konservasi. Banyak pelaku pembangunan acapkali berpikir bahwa konservasi merupakan antitesis dari kegiatan pembangunan. Sebaliknya, kadang juga para penganut paham konservasionisme terjebak dalam upaya perlindungan semata sehingga aspek sosial-ekonomi yang bermuara pada kesejahteraan dan keadilan terabaikan. Dilema ini harus dipecahkan melalui solusi yang dapat memenangkan semua pihak dalam implemetasi pembangunan. Konservasi tetap merupakan bagian penting dari semua proses-proses kegiatan pembangunan. Konservasi jangan dilihat dari makna fisik semata yang terkait dengan penetapan, pemantapan dan pengamanan kawasan semata, tetapi harus dimaknai lebih jauh. Namun penting dilihat dari perubahan perilaku setiap pelaku pembangunan yang menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem dimana kita hidup di dalamnya. Pada tingkat pengambil kebijakan, pendekatan dual approach yang menekankan pada keseimbangan antara pembangunan dan lingkungan. Integrasi konservasi dan pembangunan penting untuk menjadi pilihan dalam memecahkan masalah-masalah lingkungan saat ini. Pendekatan ini tidak hanya menekankan pada lingkungan sebagai pusat pembangunan tetapi juga kegiatan perekonomian sebagai pendukung. Dengan demikian kita tidak serta-merta juga mengakomodir aspek perekonomian sebagai pusat dan lingkungan sebagai pendukungnya. Karena saat ini Kabupaten Tambraw sedang giat mempersiapkan diri sebagai kabupaten konservasi, maka sudah waktunya untuk melakukan kegiatan pembangunan yang bersifat non-ekstraktif terhadap sumberdaya alam, terutama kegiatan yang dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah ekowisata. Ekowisata memperhatikan aspek pelestarian alam dan masyarakat setempat dengan tetap memberikan keuntungan bagi masyarakat tanpa harus melakukan ekstraksi sumberdaya alam. Masyarakat Tambraw dapat belajar dari berbagai pengalaman dari berbagai daerah yang sukses mengembangkan ekowisata sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Sebagai alternatif, pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah Integrated Land-S ea Scape. Pendek atan ini mengedepankan keterpadauan kegiatan ekonomi antara kegiatan di darat dan lautan. Ini terutama ditunjang dengan fakta bahwa masyarakat Papua yang bermukim di daerah pesisir umumnya bekerja sebagai petani dan nelayan. Upaya manajemen dan konservasi, bagaimanapun caranya, harus digalakkan secara terus-menerus untuk memastikan keberlanjutan hidup penyu Belimbing. Masa depan salah satu reptil tertua di dunia ini sangat ada di tangan kita.
INFORMASI LEBIH LANJUT
Penulis adalah staf dosen Universitas Negeri Papua Manokwari dan Focal Point JiKTI Papua Barat dan dapat dihubungi melalui email: ronibawole@yahoo.com Edisi 90
APA
IDEMU?
PUNYA IDE YANG MAMPU MENGATASI MASALAH SOSIAL DI INDONESIA? IDE INOVASI SOSIAL KAMU BRILIAN DAN SIAP MEREALISASIKANNYA? SPONSORS
IKUTKAN IDE KAMU DI KOMPETISI AUSAID INDONESIAN SOCIAL INNOVATOR AWARD DAN MENANGKAN PENGHARGAAN:
PENGHARGAAN AUSAID INDONESIAN SOCIAL INNOVATOR Merupakan ide terbaik dan paling berpotensi untuk menciptakan transformasi sosial di Indonesia. Hadiah: uang Rp. 30 juta, ruang kerja selama setahun, dan mentoring, semua untuk bantu merealisasikan idemu!
91.8 fm bali
PENGHARGAAN KOPERNIK SERVING THE LAST MILE
PENGHARGAAN PEOPLE’S CHOICE
Merupakan ide yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat paling marjinal yang tinggal di daerah terpencil di Indonesia.
Ditentukan oleh suara terbanyak dari pengunjung yang datang ke acara ?nal kompetisi.
Hadiah: uang Rp. 5 juta untuk bantu merealisasikan idemu!
✓ APA SYARATNYA? 1 Kamu harus berkewarganegaraan Indonesia, atau memiliki rekan tim WNI 2 Ide inovasi kamu untuk mengatasi permasalahan sosial di Indonesia
Hadiah: uang Rp. 2,5 juta untuk bantu merealisasikan idemu
PENGHARGAAN INNOVATE FOR GOOD 10 peserta kompetisi (individu berusia 18-30 tahun) dengan ide terbaik akan mengikuti konferensi eksklusif bersama Microsoft Innovate for Good (I4G) di Jakarta.
IDE KAMU HARUS TENTANG SALAH SATU ATAU GABUNGAN DARI BIDANG-BIDANG BERIKUT
3 Ide kamu tidak mengandung kampanye politik dan agama 4 Ide kamu tidak melanggar hukum Temukan formulirnya di www.kopernik.info/innovatoraward/id/ Kamu bisa isi formulirnya secara online, atau dikirimkan ke surel socialinnovator@kopernik.info, atau kirimkan melalui pos ke
PERTANIAN PENDIDIKAN ENERGI DAN LINGKUNGAN KESEHATAN
Kopernik, PO Box 1902, Ubud, Bali 80571.
TEKNOLOGI INFORMASI Kirimkan idemu sebelum tanggal 22 Agustus 2013, pukul 11:59:59 WITA Di akhir kompetisi, para finalis akan kami undang ke Bali untuk mempresentasikan ide mereka di hadapan dewan juri.
AIR DAN SANITASI
KIRIMKAN IDE KAMU SEKARANG!
PROFIL LSM
CeleBio
Langkah Awal Membangun Jaringan Ekowisata OLEH EDYSON MANEASA
P
agi itu langit cerah dan lautan yang tenang mengiringi perjalanan kami ke Desa Lihunu di pulau Bangka kecamatan Likupang Timur kabupaten Minahasa Utara propinsi Sulawesi Utara. Ini merupakan perjalanan kami dalam mengemban misi untuk mengaktifkan kembali Daerah Perlindungan Laut yang pernah menjadi benteng bagi perlindungan terumbu karang sebagai tempat ikan mencari makan dan berkembang biak untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat pesisir dan sekitarnya. Tim kami terdiri dari Sonny mewakili WCS – Marine, Maxi Lahading Ketua Kelompok DPL Bahoi, Hans Lahamendu Ketua Kelompok Ekowisata desa Bahoi, dan saya mewakili CELEBIO. Dengan menggunakan perahu fiberglass tujuan perjalanan kali ini adalah ke desa Lihunu dan pada siang harinya akan dilanjutkan ke desa Talise kecamatan Likupang Barat. Misi perjalanan kami, selain untuk mengaktifkan kembali DPL yang pernah eksis pada awal 2000-an, juga untuk memperkenalkan kegiatan ekowisata kepada masyarakat di kepulauan dan semoga bisa dikembangkan di desa mereka yang memiliki kekayaan potensi alam yang lebih beragam. Sepuluh tahun belakangan ini wilayah perairan Lihunu menjadi lokasi penyelaman favorit di pulau Bangka dan sekitarnya. Namun keuntungan dari meningkatnya aktivitas wisata di wilayah ini tidak dirasakan langsung oleh masyarakat Lihunu. Karena itulah maka kami berniat mengajak masyarakat untuk mengembangkan usaha ekowisata sehingga mereka juga bisa meningkatkan pendapatannya dari aktivitas wisata. Sekitar 40 menit perjalanan dari pantai Bahoi, perahu kami telah merapat di jembatan desa Lihunu. Sambutan yang ramah diperlihatkan oleh ketua kelompok DPL dan masyarakat lainnya. Kamipun langsung diajak ke rumah Hukum Tua. Di rumah inilah kegiatan pelatihan akan dilaksanakan. Sebanyak 17 peserta mengikuti pelatihan dengan serius menyimak materi tentang ekowisata, perbedaan ekowisata dengan wisata masal, dan hal-hal yang harus dipersiapkan desa untuk membangun ekowisata berbasis DPL dan contoh pengelolaan ekowisata di wilayah pesisir. Setelah itu pak Maxi yang dikenal juga dengan Opa Gaul berbagi pengalaman tentang keberhasilan mereka mempertahankan DPL selama 10 tahun. Pak Maxi juga berbagi suka duka membangun ekowisata Bahoi yang kini ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara. Setelah makan siang kami melanjutkan perjalanan ke arah barat laut menuju Desa Talise. Perjalanan menuju Talise kami tempuh dengan tabah setelah ombak setinggi satu meter menghantam perahu dan hujan keras membuat kami basah kuyup. Di tengah cuaca buruk itu, tiba-tiba seekor ikan paus
29
News
JUNI - JULI 2013
muncul pada jarak sekitar sepuluh meter disisi kiri perahu. Ukurannya yang hampir sebesar perahu yang kami tumpangi membuat motoris langsung tancap gas untuk menghindari mamalia laut yang sedang asyik keluar masuk air sambil sesekali menyemburkan air ke udara. Setelah menempuh perjalanan yang mendebarkan selama 1 jam 15 menit akhirnya kami merapat di dermaga Talise. Walaupun hujan turun deras, pelatihan yang kami adakan di Kantor Desa dihadiri oleh 17 peserta yang dengan antusias mengikuti pelatihan. Di Talise, kami mengunjungi Opa Amos yang memiliki ketrampilan membuat anyaman dari Ginto dan tali bekas pengikat kardus atau bagasi. Anyaman Opa Amos menjadi cinderamata yang kami beli untuk dipromosikan bersama-sama dengan cinderamata dari Bahoi. Cahaya bulan purnama menaungi kami saat meninggalkan Talise menuju Bahoi. Cahayanya yang lembut menyinari pulau Bangka dan membasuh keletihan fisik kami setelah seharian beraktivitas. Dalam hati kami berdoa semoga pelatihan ini bisa membuka jalan bagi pengembangan ekowisata di desa-desa lain di pesisir utara Kabupaten Minahasa Utara. Tentang CeleBio Perkumpulan Celebes Biodiversity adalah sebuah lembaga sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang Konservasi Sumber Daya Alam. CeleBio didirikan untuk berperan aktif melaksanakan dan mengembangkan penelitian, pembelajaran, pengorganisasian, perlindungan, pemberdayaan masyarakat dalam melestarikan dan mengelola sumber daya alam secara lestari dan berk esinambungan dalam mendukung perekonomian masyarakat. Tujuan didirikannya Celebes Biodiversity adalah terciptanya pembangunan manusia dan lingkungan secara adil dan seimbang. Visi Celebes Biodiversity adalah keanekaragaman hayati Sulawesi dikenal, dicintai dan dikelola dengan bijaksana demi mendukung pembangunan manusia dan lingkungan.
INFORMASI LEBIH LANJUT Untuk memulai kerja sama dengan CeleBio, Anda bisa berkunjung ke kantor CeleBio : Jl. Sea Lingk. IV No. 8 Kel. Malalayang I, Kec. Malalayang, Kota Manado Sulawesi Utara Telp: (0431) 833434 Email: informasi@celebio.org
Edisi 90
KEGIATAN DI BaKTI
14 Juni 2013 Inspirasi BaKTI - Google Earth sebagai Alat Informasi bagi Pengambil Kebijakan dalam Perbaikan Kebutuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) John Duff,Deputi Direktur Program BASICS-CIDA berbagi inovasi Program BASICS-CIDAdalam menggunakan Google Earth sebagai alat informasi bagi pengambil kebijakan dalam perbaikan Standar Pelayanan Minimal (SPM), dalam diskusi Inspirasi BaKTI yang diadakan di Kantor BaKTI Makassar. Dalam paparannya Pak John mengatakan bahwa para pengambil kebijakan khususnya eksekutif dan legislatif memerlukan informasi komprehensif yang jelas dan mudah dipahami untuk membuat keputusan alokasi anggaran untuk perbaikan SPM. Kadang waktu menjadi kendala untuk menyajikan informasi yang sudah dianalisis bagi pengambil kebijakan. Bila informasi ini disajikan dalam penjelasan lisan atau tertulis yang rumit, tabel angka atau grafik, ada risiko para pengambil kebijakan ini hanya menyerap sebagian informasi saja. Penyajian data spasial adalah metode yang terbuktiefektif cepat dalam menyampaikan konsep kepada para pengambil kebijakan. GIS dan Google Earth saat ini merupakan alat yang dapat menampilkan informasi dengan cepat dan sederhana dalam bentuk tiga dimensi dengansedikit pengetahuan bagi operator atau bahkan belum pernah ada pelatihan sebelumnya. BAPPEDA Sulawesi Utara sedang dalam proses membangun kembali kapasitas perencanaan tata ruang sebagai dampak dari penggunaan alat Google Earth ini. BAPPEDA sendiri memberikan dukungan kuat untuk lebih menyebarkan alat 'Google Earth'di masa yang akan datang. Hadir dalam acara ini 31 peserta yang berasal dari pemerintah daerah, NGO/CSO dan akademisi.
20 Juni 2013 NEWS CAFE "Sharing hasil survei Kapasitas dan kinerja anggota parlemen perempuan dan harapan masyarakat" Yayasan BaKTI melalui Program AusAID-MAMPU (Maju Perempuan Indonesia) menggelar acara News Café, ruang diskusi informal untuk berbagi dan berdiskusi mengenai isu-isu pembangunan antara media, pemerintah, parlemen, CSO dan masyarakat, yang bertempat di Kantor BaKTI Makassar. News Café kali ini mengangkat tentang hasil survei terhadap kapasitas dan kinerja anggota parlemen perempuan serta bagaimana harapan masyarakat, yang dilakukan di 3 lokasi yakni Kabupaten Bone - Sulawesi Selatan, Provinsi Maluku, Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur – NTB. Berdasarkan hasil survei ditemukan antara lain kurangnya rasa percaya diri Anggota Parlemen Perempuan (APP) untuk mengemukakan gagasan di depan orang banyak, rendahnya kapasitas dalam mengidentifikasi dan mengemas isu, kurangnya pemahaman tentang prosedur pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan. Sementara, untuk harapan masyarakat antara lain ditemukan bahwa anggota parlemen perempuan (APP) dianggap belum menjalankan tugasnya dengan baik dan masih belum memperjuangkan program terutama untuk perempuan. Dalam diskusi ini, menanggapi hasil survei, ada masukan dari salah satu anggota parlemen perempuan di Kota Makassar yang menyatakan bahwa mereka sebenarnya sudah banyak ”berbuat” untuk masyarakat, hanya saja kinerja mereka selama ini tidak sampai informasinya di masyarakat. Tak kurang dari 25 peserta hadir dalam diskusi ini berasal dari anggota legislatif, akademisi, media, dan aktivis NGO.
News
JUNI - JULI 2013
Edisi 90
30
INFO BUKU The Coral Triangle Penulis Alya B. Honasan dan Marc-Antoine Dunais
Penerbit ADB, Global Environment Facility dan WWF
ISBN 978-92-9092-261-2
The Coral Triangle adalah hamparan seluas enam juta kilometer persegi tanah dan laut yang meliputi perairan Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste. Wilayah ini merupakan pusat keanekaragaman laut, rumah bagi satwa liar yang luar biasa dan populasi manusia yang besar, serta sumber ekonomi penting. Buku ini menampilkan wajah, tempat, dan satwa liar yang membuat daerah ini menjadi tempat yang benar-benar luar biasa, sekaligus rentan yang harus dilestarikan. Buku ini mencakup lebih dari 400 foto-foto menakjubkan mendokumentasikan kehidupan dan kematian, warna warni ikan dan hewan megah di tengahtengah terumbu karang yang kaya.
Potensi Penyediaan Pinjaman Lunak ke Daerah untuk Pembangunan Infrastruktur Penulis Dr. B. Raksaka Mahi, Masrizal, M.Soc.Sc dan dr. Fauziah Zen
Penerbit Kementrian Keuangan Republik Indonesia dan AIPD
Deskripsi fisik xvi + 110 Hal, 14.8 x 21 cm
Pembangunan infrastruktur daerah tidak dipungkiri akan mendorong roda ekonomi sektor lain. Namun seringkali keuangan daerah didominasi oleh belanja pegawai sehingga porsi untuk belanja infrastruktur terbatas hingga kadang defisit. Untuk menutupi defisit ini pemerintah pusat memungkinkan daerah untuk melakukan pinjaman. Peluang ini masih belum dimanfaatkan optimal oleh pemerintah daerah karena beberapa faktor. Oleh sebab itu pemerintah mengeluarkan pinjaman berupa pinjaman lunak. Untuk mekanisme/prosedur kebijakannya didasarkan pada hasil penelitian yang tertuang dalam buku ini.
Alih Pengalaman Penerapan SPM Pendidikan dan Kesehatan di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara Penerbit Program BASICS
Deskripsi fisik
viii + 131 Hal, 15 x 21 cm
Buku ini merupakan dokumen alih pengalaman dari program BASICS yang merupakan uraian tentang perjalanan program BASICS-CIDA sejak diluncurkan pada tahun 2009-2012. BUku ini memuat praktik cerdas dan pembelajaran yang dapat dipetik selama kegiatan program berlangsung baik untuk sektor pendidikan maupun sektor kesehatan yang dijalanjan di provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara.
Jurnal Perempuan: Agama & Seksualitas ISSN 1410-153x
Deskripsi fisik 167 Hal; 15 x 23 cm
Dengan mengangkat tema Agama dan Seksualitas, Jurnal Perempuan mengangkat sosok Prof. Dr. Jurnalis Uddin (ahli anatomi) dengan bahasan khusus mengenai Agama dan Ilmu Kedokteran. Dalam hal ini tentang sunat perempuan. Selain itu Jurnal Perempuan juga melakukan wawancara eksklusif bersama Andy Yentriyani, Ketua SubKomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan mengenai Kendali Tubuh Perempuan dalam Peraturan Daerah yang Diskriminatif serta bahasan penting dan menarik lainnya.
BaKTI mengucapkan terima kasih kepada AIPD, BASICS dan ADB atas sumbangan buku-bukunya untuk perpustakaan BaKTI. Buku-buku tersebut diatas tersedia di Perpustakaan BaKTI. Perpustakaan BaKTI berada di Kantor BaKTI Jl. H.A. Mappanyukki No. 32, Makassar Fasilitas ini terbuka untuk umum setiap hari kerja mulai dari jam 08:00 – 17:00.