Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-20

Page 1


Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015


Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

Editor: Aris Santoso Kontributor: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015

Tim Penulis: x Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini | Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi x Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana Widimulyani, Repelita Tambunan | Ketimpangan Akses Kesehatan x Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko | Lingkungan x Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad Miqdad | Konflik dan Kerentanan x Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik, Erickson Sidjabat | Mengatasi Kesenjangan x Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo | Pembiayaan Pembangunan x Mike Verawati | Pencapaian MDGs


Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015 Tim Penulis: Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini, Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana Widimulyani, Repelita Tambunan, Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko, Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad Miqdad, Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik, Erickson Sidjabat, Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo, dan Mike Verawati Editor: Aris Santoso Perancang isi: Handoko Perancang sampul: Bakkar Wibowo PERPUSTAKAAN NASIONAL. Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-8384-61-2 13 x 19 cm; x + 112 halaman, © Kemitraan, Jakarta, Cetakan pertama, Maret 2013 Diterbitkan oleh: Kemitraan (The Partnership for Governance Reform) Jl. Wolter Monginsidi No.3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Tel: +62 21-7279-9566 Fax: +62 21-720-5260/720-4916 Website: http://www.kemitraan.or.id INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu. Jakarta Selatan, 12540 Indonesia. Tel: +62 21 7819734, 7819735 Fax : +62 21 78844703 Website: http://www.infid.org/

Dicetak oleh: INSISTPress Jalan Raya Kaliurang Km.18, Dukuh Sempu, Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta 55582, Indonesia Tel: +62 274 8594 244. Faks:: +62 274 896 403. Email: press@insist.or.id | Web: http://blog.insist.or.id/insistpress

KATA PENGANTAR

Millennium Development Goals (MDGs) sebagai agenda pembangunan dunia jangka panjang yang dimulai sejak tahun 2000 akan segera berakhir tahun 2015 atau tinggal 2 tahun lagi. Pada tahun 2012, Sekjend Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki Moon telah menunjuk 3 orang sebagai ketua bersama untuk menyusun Agenda Pembangunan Pasca-MDGs yakni Perdana Menteri Inggris David Cameron, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Liberia Ellen Jhonson Sirleaf. Ketiga ketua ini akan memimpin 23 High Level Panel Eminent Persons (HLPEP) yang terdiri dari pakar dibidangnya masing-masing dari seluruh dunia untuk bersama-sama menyusun agenda pembangunan pascaMDGs (Post-2015 Development Agenda). Penulisan paper masyarakat sipil Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 bertajuk ”Ketidakadilan, Kesenjangan dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015” ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa masyarakat sipil di Indonesia telah dan terus bekerja pada bidangnya masingmasing untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs v


maupun pada sektor lain yang tidak secara langsung terkait dengan MDGs namun sangat berpengaruh terhadap pencapaian MDGs di Indonesia. Selain hal tersebut, dalam beberapa kali Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia selalu memberikan klaim bahwa upaya pembangunan milenium berada pada jalur yang sudah benar (on the track), seperti dapat dilihat dalam Laporan Pencapaian MDGs tahun 2004, 2007, 2009, 2010 dan 2011. Namun laporan lembaga internasional juga seringkali memberikan warning kepada Indonesia. Salah satunya adalah Laporan UNESCAP tahun 2006 yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk 10 negara di kawasan Asia Pasifik yang berada pada posisi mengkhawatirkan dalam pencapaian MDGs. Dalam laporan Human Development Report, peringkat Human Development Index Indonesia makin memburuk. Jika di tahun 2006, Indonesia berada pada peringkat 107, di tahun 2007-2008 merosot ke peringkat 109, tahun 2009 berada di peringkat 111, pada tahun 2010 naik menjadi 108, namun pada tahun 2011 turun lagi menjadi 124. Hal ini menunjukkan bahwa betapa berat langkah menuju pencapaian MDGs di tahun 2015. Terkait dengan Agenda Pembangunan Pasca-2015, Kemitraan bersama dengan INFID telah diberikan mandat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk menjadi convener dalam pelibatan secara lebih luas suara dari vi

masyarakat sipil di Indonesia. Sebagai salah satu upaya menindaklanjuti hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 telah menyusun kertas posisi sebagai usulan dari masyarakat sipil di Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 terutama pada bidang-bidang: Ketimpangan, Kesehatan, Konflik dan Kerawanan Sosial, Lingkungan Hidup, Demokrasi dan Tata Pemerintahan yang Baik, dan Pembiayaan Pembangunan. Kertas Posisi yang ada dihadapan para pembaca ini adalah kerjasama dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebut satu persatu. Kepada para penulis kami ucapkan benyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyajikan tulisan terbaiknya bagi laporan masyarakat sipil ini Semoga buku yang disusun berdasarkan bukti-bukti nyata dilapangan dan temuan-temuan dari masyarakat sipil ini berguna dan mampu menghadirkan sudut pandang yang berbeda dan bermanfaat pula sebagai salah satu sumber dalam penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015 guna pemenuhan hak dasar warga negara di Indonesia.

Jakarta, Maret 2013 Wicaksono Sarosa, Ph.D Direktur Eksekutif Kemitraan

vii


DAFTAR ISI

Daftar Isi

~ix

Kata Pengantar

~v

Pendahuluan

~1

I. II.

viii

Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi ~7 Ketimpangan Akses Kesehatan

~19

III.

Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konflik Berkepanjangan ~41

IV.

Konflik dan Kerentanan : Konflik Sosial Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian ~73

V.

Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan Bagi Kelompok Rentan ~75

VI.

Pembiayaan: Melipatgandakan Alokasi Bagi Kelompok Rentan ~93

ix


Ketidakadilan, Kesenjangan dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015

Pendahuluan Pada tahun 2000 telah disepakati deklarasi yang ditandatangani 198 negara, yang menyatakan rangkaian keamanan, Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yang kemudian menelurkan delapan target Milenium Development Goals (MDGs). Dapat dikatakan MDGs merupakan kesepakatan yang belum sempurna, namun tetap memberi dampak besar bagi negara dan masyarakat dunia, misalnya untuk meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan.1 Dikatakan tidak sempurna karena dalam penyusunannya kurang memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang secara riil dihadapi masyarakat. Adapun Millenium Development Goals (MDGs) sendiri terdiri dari delapan tujuan besar pembangunan, yaitu: (1) Memberantas kemiskinan kelaparan (2) Mewujudkan pendidikan dasar (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (4) Menurunkan 1

x

Heru Prasetyo, Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar dan Pemutaran Film WRI, Desember 2012

1


angka kematian anak (5) Meningkatkan kesehatan ibu (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya (7) Memastikan pelestarian lingkungan (8) Mendorong pembangunan berkelanjutan Masyarakat internasional telah menetapkan 2015 sebagai tenggat waktu bagi MDGs, dengan sasaran pokoknya adalah pengentasan kemiskinan global. Target utama tersebut telah diprioritaskan oleh banyak pemerintah, lembaga pembangunan, donor dan aktoraktor pembangunan lainnya sejak tahun 2000. Gugus tugas PBB untuk pasca 2015 mengusulkan peta jalan menuju Pembangunan Pasca 2015 yang baru. Hampir semua upaya yang sedang berlangsung dirancang untuk mengumpulkan masukan yang akan memberi input langsung pada perumusan kerangka kerja pembangunan global pasca 2015, yang kemungkinan akan diadopsi dan diimplementasikan oleh semua negara. Tetapi tidak ada upaya konkrit untuk memastikan atau mendorong proses di level negara yang akan mendukung kerangka pembangunan global pasca 2015.2 Pada bulan Maret 2013, Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi pertemuan HLP (High Level Panel). Output dari 2

2

Pada bulan Juli 2013, Sekretaris Jenderal PBB menunjuk sebuah panel beranggotakan 26 orang yang akan memberikan masukan dan nasihat terkait dengan agenda pembangunan global pasca-2015. Para panelis berasal dari pemerintah, sektor swasta, akademisi dan masyarakat sipil, yang menjadi anggota dalam kapasitas pribadi mereka. Panel tersebut diketuai bersama oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Inggris Perdana Menteri David Cameron. Panel ini disebut High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda (HLP).

HLP ini akan menjadi laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB yang merekomendasikan visi dan bentuk agenda pembangunan pasca 2015. HLP akan mempertimbangkan temuan dari berbagai konsultasi yang dikoordinasikan oleh PBB dalam menulis laporannya. HLP akan didukung oleh tim independen yang direkrut melalui konsultasi langsung dengan tiga co-chairs dari Panel. Laporan akan disampaikan pada Sidang Majelis Umum PBB ke-68, September 2013. Pertanyaannya sekarang: model pembangunan seperti apa yang akan dipromosikan oleh pemerintah (Indonesia) pada skema pembangunan berkelanjutan pasca-2015? Dekade-dekade pembangunan di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa model pembangunan yang dipilih oleh pemerintah Indonesia adalah model pembangunan yang eksploitatif dan merusak, serta berbasis pada pemberian konsesi-konsesi usaha kepada korporasi yang seringkali menyebabkan munculnya berbagai konflik sosial. Makalah bersama CSO ini diperuntukkan sebagai salah satu bahan advokasi Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia untuk Pembangunan Pasca-MDGs. Kelompok ini akan secara rutin mengkampanyekan ke berbagai kalangan dan menyampaikan hasil-hasil kajian kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Percepatan Pembangunan (UKP4) Indonesia dan kepada Co-Chair High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) for Post 2015 Development Agenda. Di dalam HLPEP inilah, Presiden Indonesia bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf duduk sebagai co3


chair di HLPEP yang ditunjukkan oleh UN. Selama ini pemerintah Indonesia selalu menyatakan optimisme mengenai pembangunan dengan indikatorindikator kuantitatif. Keberhasilan Indonesia mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat krisis finansial global diakui oleh institusi keuangan internasional sebagai bentuk kokohnya fundamental ekonomi Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini, tingkat investasi juga menjadi kata kunci yang selalu disampaikan oleh pemerintah Indonesia untuk memperlihatkan keberhasilan pembangunan. Namun gambaran cerah tentang pembangunan di Indonesia, belum mencerminkan realitas yang sebenarnya. Masyarakat sipil (CSO) Indonesia tidak menemukan bukti-bukti yang memadai bahwa pertumbuhan yang inklusif dan menjamin pemerataan telah terjadi. Fakta-fakta peningkatan kekayaan segelintir orang dan kesenjangan yang ekstrim, telah memberi keyakinan, bahwa harus ada perubahan dalam orientasi pembangunan. Pada semua aspek dan sektor kehidupan masyarakat, yang menonjol adalah kesenjangan/ketimpangan yang terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan yang dianut, buruknya tata kelola pemerintahan, serta praktik demokrasi yang parsial (prosedural, transaksional, elitis). Ketimpangan adalah bukti kegagalan konsep pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Oleh karena itu, semua upaya dan langkah pembangunan mesti 4

dimaksudkan untuk menghapus ketimpangan ini. CSO mendesak agar perspektif pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan mesti beralih pada pembangunan berkelanjutan dengan tujuan mengakhiri ketimpangan. Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan komponen penting dalam menentukan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) baik di tingkat nasional maupun lokal. Secara sederhana, Good Governance ini dimaknai sebagai pengelolaan pemerintahan yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas dan rule of law serta bersifat responsif dan partisipatoris. Aktualisasi Good Governance ini akan menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pada gilirannya akan mempercepat proses pencapaian tujuan negara, yaitu menyejahterakan rakyat. Di sisi lain, Good Governance ini juga merupakan perwujudan prinsip kedaulatan rakyat (dari, oleh dan untuk rakyat). Oleh karenanya Good Governance seharusnya menjamin, melindungi serta memperkuat hak-hak rakyat. Singkatnya, Good Governance merupakan prasyarat utama bagi tercapainya MDGs di Indonesia, sebagai negara yang masuk dalam kategori tingkat korupsi tinggi. Good Governance menjadi tantangan utama baik di tingkat nasional mau pun daerah. Untuk mewujudkan Good Governance, diperlukan sumber daya aparatur birokrasi pemerintah yang berdedikasi dan berkualitas. Tetapi sayangnya, sumber daya aparatur 5


birokrasi pemerintah dalam melakukan pengintegrasian MDGs, melalui mekanisme perencanaan teknokratis masih terbatas dalam hal kemampuan. Antara lain adalah keterbatasan kemampuan mereka dalam mengakomodir aspirasi masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, mendefinisikan permasalahan, merumuskan berbagai kebijakan publik yang sesuai kebutuhan masyarakat, menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif, mengimplementasikan kebijakan dan peraturan, serta berempati dalam melayani kepentingan publik. Keterbatasan kapasitas aparatur birokrasi ini juga berakibat pada terjadinya alokasi sumber daya yang tidak efektif. Masih banyak alokasi anggaran yang tidak diarahkan untuk program atau kegiatan yang dapat menjawab akar masalah kemiskinan. Selain memang dalam pengalokasian anggaran, proporsi belanja langsung masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Sehingga program/kegiatan yang disusun pemerintah belum mampu mendukung untuk tercapainya target-target MDGs. Komitmen pemerintah untuk mendorong upaya percepatan MDGs, secara nyata bisa diukur dari ketersedian pembiayaan dalam APBD, bagi masyarakat miskin, rentan dan perempuan. Oleh karena itu, budget tracking atau penelusuran anggaran menjadi penting untuk mengenali masalah-masalah dalam penganggaran. Penelusuran anggaran dilakukan untuk menghasilkan analisis data yang dapat menggambarkan informasi anggaran yang tersedia bagi para pihak untuk melihat secara jelas dari 6

mana anggaran berasal dan bagaimana anggaran tersebut dibelanjakan. Tujuan lainnya, memastikan realisasi kebijakan alokasi anggaran sesuai dengan prosedur, regulasi dan efisien secara teknis dan efektif secara operasional atau sesuai dengan tujuan pada saat perencanaan anggaran di susun untuk peruntukan pada kegiatan dan program. Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian MDGs di Indonesia selama ini, seringkali dihadapkan pada persoalan lemahnya pengarusutamaan program-program berkait MDGs antarkementerian/lembaga, serta terbatasnya alokasi anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa target MDGs di Indonesia, misalnya pada sektor kesehatan (kematian ibu dan anak) dan penanggulangan HIV/AIDS akan sulit dicapai pada tahun 2015. I.

Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi

Bagian ini akan mengulas kondisi terkini yang terjadi di Indonesia terkait dengan problematika pelaksanaan demokrasi prosedural dan pemenuhan demokrasi substansial. Kemitraan melalui Partnership Governance Index (PGI) pada tahun 2008 melakuan survei terhadap 33 provinsi di tingkat provinsi dengan melibatkan enam prinsip good governance, yaitu participation, fairness, accountability, transparency, efficiency dan effectiveness di empat arena, yaitu pemerintah (political office), birokrasi, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. Secara umum rata-rata nilai PGI di 33 provinsi adalah 5,11 dengan 7


masing-masing skor rata-rata per arena adalah 4,95 untuk pemerintah, 5,61 untuk birokrasi, 4,97 untuk masyarakat sipil dan 4,79 untuk masyarakat ekonomi. Berdasar dimensi prinsip good governance yang berkaitan dengan tingkat keterbukaan pemerintah (Open Government), pemerintah memperoleh skor 5,04 untuk partisipasi, 6,69 untuk akuntabilitas dan 4,26 untuk transparansi. Sementara birokrasi memperoleh skor 3,78 untuk partisipasi, 6,55 untuk akuntabilitas dan 3,79 untuk transparansi. Di antara ketiga prinsip tersebut, yang cenderung memperoleh skor kurang bagus adalah transparansi sehingga menunjukkan bahwa tingkat transparansi pemerintah dan birokrasi Indonesia senantiasa harus selalu ditingkatkan. Sementara itu, skor akuntabilitas terlihat terbaik di antara prinsip lain. Hal ini dikarenakan PGI hanya menggunakan indikator akuntabilitas secara prosedural, seperti audit BPK yang secara umum telah dipatuhi oleh sebagian besar provinsi meskipun berada dalam kualitas cukup. Survei Failed State Index/FSI atau Index Negara Gagal 2012, yang dipublikasikan oleh Fund for Peace menetapkan Indonesia sebagai “warning” beresiko sebagai negara gagal. Indonesia memang menunjukkan perkembangan ke arah membaik, apabila dibandingkan FSI Index pada tahun 2011. Dalam survei tersebut Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 177 negara yang sebelumnya pada 8

tahun 2011 Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 177 negara. Dalam kategori tersebut, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya menuju negara gagal. Indonesia memang tidak sendiri, bahkan negara seperti Cina dan India berada kelompok “warning” seperti Indonesia di urutan 76 dan 78. Sedangkan negara Asia Tenggara yang berada pada kelompok “warning” adalah Filipina urutan 58 Malaysia urutan 111 sedangkan Thailand pada urutan 84. Kemudian Fund for Peace juga mengadakan penelitian berdasarkan 13 indikator, yang merupakan rincian dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial di negara tersebut. Berdasarkan 13 indikator itu hasilnya dibagi menjadi empat kriteria yakni negara-negara yang masuk kategori alert, warning, moderate, dan sustainable. Negara-negara yang masuk kategori alert adalah Somalia, Congo, Sudan, Zimbabwe, dan Afganistan. Untuk Asia Tenggara yang masuk kategori ini adalah Myanmar dan Timor Leste. Evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abu Bakar, menyimpulkan bahwa mayoritas pegawai negeri sipil tak memiliki kompetensi yang memadai. “Dari 4,7 juta PNS yang ada, hanya lima persen yang memiliki kompetensi. PNS di Indonesia sebenarnya terbagi dalam dua kelompok, yaitu struktural dan fungsional. Sayangnya, kelompok fungsional ini tak diisi oleh tenaga ahli di bidangnya”. Kritik lebih keras juga datang dari Prof. Dr. Eko 9


Prasodjo (Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), bahwa dari hasil pengamatannya selama berkecimpung dalam praktik keilmuan birokrasi di Indonesia, “Saya bisa katakan 80 persen PNS kita tidak berkompeten dan bermoral rusak. Ini kenyataan,� kata Eko Prasodjo. Pada era reformasi ini, perubahan sistem sudah dilakukan meskipun belum tuntas. Di antaranya dengan sistem renumerasi, penggajian berdasarkan kinerja, kompetensi, dan bidang kerja. Perubahan ini diberlakukan di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat penghasil pendapatan negara seperti, Bea- Cukai dan Pajak. Tapi ternyata masih ada juga pegawai pajak yang masih korup, meskipun gaji resminya bahkan 10 kali lipat dari PNS biasa. Di sisi lain, jabatan fungsional umum di lingkungan pemerintahan dinilai masih banyak diisi orang-orang yang tidak kompeten. Hal ini dapat terjadi tidak lain karena rekrutmen dan promosi jabatan didasarkan pada faktor politis dan pertemanan dan bukan melihat pada kompetensinya. Untuk meningkatkan kompetensi pegawai tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyusun 10 langkah reformasi birokrasi yang diantaranya menyelenggarakan Uji Kompetensi PNS secara nasional untuk menyaring PNS yang kompeten. Selain masalah pengarusutamaan program dan keterbatasan anggaran, sebenarnya masalah besar yang 10

lebih sulit dihadapi Indonesia saat ini mengenai efektivitas program dan anggaran yang berkait dengan MDGs itu sendiri. Sebab jika dilihat dari trend anggaran bagi programprogram MDGs di tiap kementerian –walaupun belum sebanding dengan tantangan yang harus diselesaikan– kecenderungannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya bidang kesehatan, rata-rata pertumbuhan anggaran khususnya Kesehatan Ibu dan Anak sebesar 14 persen selama periode 2006-2012, bahkan 2010-2011 sempat mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 38,6 persen.3 Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan tidak ada kemajuan berarti, sehingga terkesan anggaran yang telah digelontorkan untuk program-program MDGs terkesan terbuang sia-sia. Menyoal efektivitas anggaran memang sangat ditentukan pada bagaimana cara pemerintah sebagai pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara, yang dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup menarik meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang memahami governance sebagai tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan 3

Lihat Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Alternatif 2013, Menuju Anggaran Konstitusional.

11


rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan perannya dengan baik. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.4 Good governance pada akhirnya tidak terbatas pada menjalankan wewenang dengan baik semata, yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Oleh karenanya, konsep good governance akan selalu didasarkan pada tiga pilar, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.5 Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di 4

5

12

Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998. Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003), hal.3

dalam Konstitusi Indonesia khususnya Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 karena konstitusi mensyaratkan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keterbukaan tersebut oleh pemerintah dijawab dengan diterbitkannya UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi, tujuan utama UU KIP menjamin hak masyarakat untuk mengetahui setiap rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Bagi pemerintah diharapkan akan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.6 Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/ daerah kepada pemerintah adalah pekerjaan yang sulit dan hampir mustahil walaupun konstitusi dan undang-undang telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang 6

Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

13


berkarakter dilayani, bukan melayani. Apalagi dokumen anggaran baik di tingkat pusat (kementerian/lembaga) maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai dokumen rahasia yang “diharamkan� dibagi ke publik. Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran tersebut sampai saat ini memang masih menjadi akar tidak efektifnya program-program pembangunan di Indonesia (termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat sama sekali tidak dapat melakukan kontrol terhadap setiap program yang disusun dan dilaksanakan pemerintah. Wajar jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun sebagian besar anggaran masih dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat (birokrasi) mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain.7 Ambil contoh salah satu program MDGs, khususnya menyangkut kematian ibu dan anak yang ada di Kementerian Kesehatan, hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75 persen) hanya dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dan seterusnya).8 7 8

14

Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun Anggaran 2012, Anggaran Tersandera Birokrasi dan Elit Politik. Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun FITRA 2012 menyatakan: ...program pembinaan KIA dan reproduksi masih satu atap di dalam Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Dalam rencana anggaran Kementerian Kesehatan, hanya dialokasikan sebesar Rp 30 milyar untuk program pelayanan kesehatan anak, dan Rp 31,59 milyar untuk program pembinaan pelayanan kesehatan dan reproduksi. Sungguh ironis, dengan alokasi yang hanya sebesar Rp 30 milyar pada program pelayanan kesehatan anak sebagian besar habis untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dll) hingga mencapai Rp 21,5 milyar (72persen dari total anggaran program

Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satusatunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses penganggaran memasuki internal elit, sebab dalam forum tersebut semuanya sudah bersifat tertutup, sehingga tidak bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung. Dari proses tersebut sudah dapat diketahui jika derajat partisipasi yang ditawarkan dalam forum musrenbang sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi terlebih negosiasi.9 Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan

9

pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang terjadi pada program pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar habis untuk perjalanan dinas mencapai Rp 24 milyar (76persen). Program untuk pengembangan anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan terisolasi, dan Surveilans Kesehatan Anak. Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan derajat partisipasi masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah ketika memasuki tahapan lebih tinggi.Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.

15


oleh pemerintah, masalah rendahnya derajat partisipasi masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran itu sendiri. Hal ini menjadi hal yang sangat krusial yang belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil studi Open Budget Index, dinyatakan bahwa rendahnya derajat transparansi Indonesia karena salah satunya tidak adanya Citizen’s Budget sebagai salah satu produk untuk “melek anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran. Dari pengalaman melakukan penelusuran anggaran di 8 (delapan) wilayah program pencapaian MDGs melalui Good Governance yang di laksanakan oleh tiga lembaga, yaitu ACE, Kapal Perempuan dan JARI10 yang di dukung oleh Kemitraan, tergambar bahwa ketidaktepatan dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran daerah akan berpengaruh langsung pada tingkat keberhasilan pencapaian MDGs di wilayah tersebut. Sumber Pendapatan daerah (seperti di Kebumen, Maros dan Lombok Timur) dari tahun 2009 - 2011, selalu didominasi oleh Dana Perimbangan, hal ini menandakan kemandirian fiskal daerah rendah atau ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi. Seumpama dana perimbangan dihilangkan atau dikurangi dengan 10

16

Program Pencapaian MDGs melalui Good Goverment (Januari 2010-Juni 2012) di laksanakan oleh ACE, Kapal Perempuan dan JARI di dukung oleh kemitraan, di 8 Kabupaten/ kota, di 8 Propinsi (Kebumen-Jawa Tengah, Kupang-Nusa Tenggara Timur, Barito Kuala-Kalimantan Selatan, Padang Panjang-Sumatera Barat,Mamuju- Sulawesi Barat, Kubu Raya-Kalimantan Barat, Lombok Timu-Nusa Tenggara Barat, Maros-Sulawesi Selatan)

signifikan, hampir pasti stabilitas perjalanan pembangunan daerah akan sangat terganggu. Selain juga ditemukan alokasi anggaran di pemerintah daerah masih jauh dari mencukupi untuk upaya-upaya pencapaian MDGs, kemampuan dalam membiayai kegiatan untuk pencapaian MDGs sangat kecil. Karena Pendapatan daerah dari Dana Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum lebih banyak dialokasikan untuk membayar belanja pegawai, lalu Dana Alokasi Khusus kegiatannya sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Analisis FORMASI Kebumen menyatakan bahwa : “Anggaran Kabupaten belum berpihak kepada masyarakat hal ini terlihat dari komponen belanja yang didominasi oleh belanja tidak langsung yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan untuk masyarakat sedang belanja tidak langsung alokasinya lebih banyak didominasi untuk membayar gaji / belanja pegawai, maka tergambarkan bahwa anggaran lebih banyak untuk membayar gaji birokrasi dari pada untuk melaksanakan pembangunan” Rekomendasi Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, idealnya sudah menjadi hak konstitusional rakyat untuk mengetahui dan memperoleh semua informasi mengenai semua pospos anggaran di APBN. Informasi yang tidak sekedar data/ angka makro, melainkan terperinci sebagaimana yang terdokumentasi dalam dokumen “satuan 3”11.Langkah 11

Satuan 3 adalah dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan

17


ini bisa dilakukan pemerintah dengan mengumumkan semuapos anggaran yang tercantum dalam APBN melalui media secara terbuka yang bisa diakses publik.Langkah semacam ini akan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan anggaran. Sebab, rakyat bisa secara langsung menilai, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan semua pos mengenai kemana sesungguhnya uang rakyat tersebut dibelanjakan, siapa pengguna anggarannya, dan sejauh mana hasil yang dicapai. Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya menyediakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat selama proses penyusunan anggaran, misalnya dengan mengagendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin dan kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah nihil, demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu diarahkan dan siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah pelaksanaan anggaran sudah sesuai aturan. Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan BPK dan hasil temuan lapangan baik daerah maupun pusat. Praktek yang terjadi selama ini, seringkali hasil pemeriksaan keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme

internal di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana independensi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya. II. Ketimpangan Akses Kesehatan Dalam tinjauan sektor kesehatan selalu digunakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender. Perspektif HAM merujuk pada hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang bersifat universal. HAM tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau bahkan negara lain. HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan dan melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial dan bahasa serta status lain. Sedangkan perspekti gender akan membantu kita melihat secara jelas perbedaan-perbedaan, serta mampu menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan gender equality. Gender equity adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, serta memastikan adanya kesamaan dalam perlakuan (fairness) terhadap perempuan dan laki-laki. Gender equality adalah sebuah konsep yang menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara

Iingkup Satuan Kerja lingkup Kementerian/Lembaga Negara.

18

19


untuk mengaktualisasikan hak-hak dan potensinya sebagai manusia agar dapat menyumbangkan serta mendapatkan manfaat dari program-program yang tersedia serta kebijakan-kebijakan yang ada. Gender equality merupakan bentuk pengakuan terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki, serta menghargai peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender equity adalah strategi yang digunakan untuk memperoleh gender equality. Gender equity adalah sebuah cara untuk mencapai hasil, sementara gender equality adalah hasil yang ingin dicapai. Dalam hubungannya dengan perspektif gender, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada tahun 1984 menjadi UU no. 7 tahun 198412. Pengaturan ini diperkuat lagi pada tahun 1992, melalui sidang ke-11 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang melahirkan Rekomendasi Umum Nomor 19 yang menyatakan : “Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. Rekomendasi umum ini juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai: tindak kekerasan yang secara 12

20

Bahan ajar tentang hak perempuan: UU no. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Yayasan Obor, 2007.

langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya”. Rekomendasi tersebut di atas menunjukkan ketimpangan terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Deklarasi dan Program Aksi Wina13 (Tahun 1993: Bagian 1, Ayat 18) yang menyebutkan: “Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil dan ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan international, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”. Permasalahan kesehatan akan dilihat dengan kerangka berpikir yang menggunakan perspektif HAM dan gender agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai bagaimana kondisi kesehatan dan pengaruh upaya-upaya yang telah dilakukan bagi kehidupan masyarakat, baik lakilaki maupun perempuan di Indonesia. Kesehatan sangat penting bagi pembangunan, karena merupakan prasyarat serta indikator sekaligus hasil sebuah 13

Ibid

21


capaian kemajuan dalam pembangunan sebuah negara. Perhatian terhadap masalah kesehatan dengan menghargai dan melindungi hak asasi setiap warga, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menjadi kekuatan yang berpotensi mendorong kemajuan dalam upaya memenuhi prioritas pembangunan, termasuk disini penyelesaian permasalahan ketimpangan gender, kesehatan, ketahanan pangan dan ketersediaan air serta anggaran seluruh aspek kesehatan agar dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, tulisan atau ulasan mengenai kesehatan adalah perlu karena sesuai dengan pasal 12 International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights (1966)14, bahwa kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi dan seksualitas) sangat penting dalam pengembangan potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai hak-hak asasi yang wajib dipenuhi. Selama masih ditemukan permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, seperti belum terselenggaranya dengan baik pelayanan kesehatan bagi masyarakat atau belum terpenuhinya bagi semua warga pengadaan air bersih, maka pembahasan mengenai permasalahan kesehatan di Indonesia masih sangat relevan dan beralasan kuat untuk menjadi perhatian dalam agenda Paska 2015. Indonesia sendiri telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan nasional sebesar 13,33 persen (2010) menuju target 14

22

Diambil dari web site Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm

8-10 persen pada tahun 2014.15 Harapannya dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dapat memberi dampak pada perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1989, menjadi 18,4 persen pada tahun 2007 sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015.16 Dalam dua dasawarsa terakhir Indonesia telah membuat kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi yang ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi kekurangan gizi pada anak balita dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 21,6 persen pada tahun 2000. Angka prevalensi tersebut meningkat kembali menjadi 24,5 persen pada tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi anak balita kekurangan gizi kembali menurun menjadi 18,4 persen.17 Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menjadi 17,9 persen.18 Dengan melihat kecenderungan ini diharapkan target MDG sebesar 15,5 persen dapat tercapai pada tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 adalah menurunnya prevalensi kekurangan gizi (terdiri dari gizi-kurang dan gizi-buruk) menjadi kurang dari 15 15 16 17 18

Laporan MDGs Bappenas, 2010, hal.5 Ibid Riskesdas 2007 Riskesdas 2010

23


persen.19 Gizi buruk juga menjadi penyebab utama kematian bayi. Separuh kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi yang buruk. Dimana anak kurang memiliki daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi misalnya ISPA dan diare. Dampak langsung lainnya adalah generasi gagal tumbuh. Kekurangan gizi yang terjadi sejak masa janin dan masa balita akan menyebabkan berat bayi lahir rendah, anak kecil, pendek dan kurus. Disamping gagal tumbuh, anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap umur (TB/U) yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin. Dimana ini akan mempengaruhi prestasi sekolah dan keberhasilan pendidikan. Dalam jangka panjang, masalah gizi pada awal kehidupan akan menurunkan produktivitas. Literatur terkini mengungkapkan bahwa kekurangan dan kelebihan gizi pada usia dini akan menyebabkan gangguan metabolik, khususnya metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein. Ini merupakan faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus type 2 dan stroke pada usia dewasa. Dalam Undang-Undang Nomor 36/ 2009 tentang 19

24

Ibid

Kesehatan, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan pembinaan gizi adalah tercapainya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui: perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan PHBS ( perilaku hidup bersih dan sehat ), serta peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pemerintah memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin. Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antarprovinsi dan antara desa-kota. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Masih ada 15 provinsi dimana prevalensi anak pendek di atas angka nasional, dan untuk prevalensi anak kurus. Kondisi gizi balita di desa cenderung lebih buruk daripada kota. Masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (6–12 tahun), usia pra remaja (13–15 tahun), usia remaja (16–18 tahun), dan kelompok ibu hamil, khususnya ibu hamil di pedesaan. Akar masalah gizi adalah kemiskinan yang sangat terkait dengan ketersediaan bahan pangan, pola makan dan kurangnya pengetahuan tentang gizi seimbang serta belum optimalnya program yang ada dalam mengatasi penyebab masalah gizi kurang, stunting20, maupun gizi lebih. 20

Stunting adalah Kondisi dimana seorang anak memiliti tinggi badan

25


Dengan berbagai pendekatan dan proyek, pemerintah telah berupaya untuk mengatasi beberapa masalah gizi dan memenuhi ketercukupan gizi orang miskin. Namun masih juga ditemukan banyak kasus gizi buruk, kesenjangan antara antar provinsi maupun antara desa-kota. Beberapa tantangan yang dapat diungkap adalah sebagai berikut: 1. Sempitnya pemahaman tentang masalah gizi baik di pemerintahan maupun di masyarakat umum sehingga program penanggulangan gizi buruk cenderung kurang strategis. Hal ini dibuktikan dengan pilihan program dalam rencana aksi daerah pangan dan gizi cenderung ditentukan oleh sektor yang mengkoordinasikan pembuatan rencana aksi daerah tersebut. 2. Koordinasi dan kolaborasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih belum berjalan baik sehingga perencanaan, implementasi dan pemantauan program tidak berjalan lancar. 3. Ketidaksesuaian antara dokumen rencana aksi pangan dan gizi terutama di tingkat provinsi dengan dokumen perencanaan pembangunan yang lain seperti RPJMD, rencana strategis daerah, rencana kerja tahunan dan anggaran. 4. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait implementasi kebijakan tentang gizi misalnya UU 36 tentang Kesehatan 2009 dan PP 33 / 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. dibawah normal anak seusianya akibat kekurangan asupan gizi.

26

5. Pendekatan keproyekan di bidang gizi yang kurang terintegrasi di tingkat desa menjadi kendala dalam mendorong partisipasi dan kemandirian warga untuk mengambil peranan tingkat akar-rumput. 6. Pembinaan terhadap posyandu termasuk kadernya yang dianggap strategis dalam program perbaikan gizi ibu dan anak belum mendapat perhatian dalam rencana aksi nasional maupun daerah Hambatan dan tantangan yang ada memang cukup memberi dampak pada pencapaian target MDGs. Berikut rekomendasi untuk mencapai taget pemenuhan gizi seimbang untuk masyarakat antara lain: 1. Penguatan program gizi yang sudah ada mulai dari perencanaan, implementasi dan pemantauan untuk setiap komponen program (input – proses – output – outcome) di setiap tingkatan administrasi (mulai dari tingkat nasional hingga desa). 2. Integrasi pembangunan gizi menjadi bagian dari pembangunan di tingkat desa dalam kerangka pemberdayaan daripada keproyekan. 3. Melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal perencanaan dan pengganggaran pembangunan gizi pemerintah. 4. Pemerintah perlu mengembangkan konsep pemantauan efektivitas kebijakan yang lebih independen yang melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan 27


perguruan tinggi. 5. Integrasi pembinaan yang bisa dilakukan oleh Pokjanal posyandu perlu diaktifkan dengan melibatkan sektor pemerintah terkait secara lebih luas. 6. Membangun koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik antara pusat dan daerah , antar instansi, sektor dan program agar memberikan dampak yang signifikan. 7. Pendidikan bagi para kader posyandu tentang gizi yang utuh termasuk pemantauan dan penimbangan ibu hamil, sangat penting untuk ditingkatkan terusmenerus. Sejak deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948, bangsa-bangsa di dunia sepakat untuk menjamin standar hidup dan hak hidup yang sama kepada semua bangsa dan setiap orang. Artinya setiap manusia, termasuk manusia yang baru lahir, berhak untuk dijamin kesehatannya dan mendapatkan hidup yang layak. Hal ini menjadi landasan dimasukannya target penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) ke dalam salah satu target MDGs. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia masih cukup tinggi dimana lebih dari 500 balita (0-5 tahun) meninggal setiap harinya secara rata-rata. Tahun 1990 AKB sebesar 68 per 1000 kelahiran hidup (KH). Menurut data terakhir, AKB menjadi 34/1000 KH dan AKBa 44/1000 KH.21 Meskipun ada penurunan sejak tahun 1990, penurunan ini masih jauh 21

28

SDKI 2007

dari target MDG tahun 2015 dimana AKB diharapkan turun menjadi 23 dan AKA AKABA 32 per 1000 kelahiran hidup. Sebagian besar dari penyebab kematian bayi dan balita terjadi pada bayi baru lahir / neonatal ( umur 0 – 28 hari ). Masalah neonatal ini biasanya meliputi asfiksia ( kesulitan bernapas saat lahir ), bayi berat lahir rendah ( BBLR ), diare dan komplikasi prenatal. Jika diperbandingkan dengan negara tetangga, kasus kematian balita di Indonesia pertahun sangat tinggi yakni berjumlah 200.000 per tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya 3.694 dan Filipina yang memiliki 85.400 kasus kematian balita. Penyebab kematian utama anak balita di Indonesia adalah: diare, pneumonia, malaria ( di daerah endemis malaria ) dan campak. Sebenarnya, penyebab kematian ini bisa dicegah dengan imunisasi, deteksi dini, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta penanganan yang cepat dan tepat. Akar masalah dari rendahnya kualitas hidup bidang kesehatan adalah kemiskinan yang menyebabkan sulitnya mengakses layanan kesehatan, kondisi hidup yang kurang layak, ketersediaan pangan dan tingkat pengetahuan yang kurang memadai. Komplikasi ini harusnya dapat dicegah, namun terkendala banyaknya tantangan dan hambatan, diantaranya: 1. Tidak adanya sistem pencatatan kelahiran, kematian, penyebab kematian yang baik. 2. Masyarakat kurang mampu tidak dapat mengakses 29


pelayanan kesehatan dasar. Terlambat mendapat penanganan medis menyebabkan hampir 70persen kematian anak balita. 3. Kurangnya cakupan imunisasi yang dapat mencegah sebagian besar penyakit menular. 4. Kesenjangan fasilitas dan layanan kesehatan antar wilayah di Indonesia menimbulkan perbedaan signifikan dalam upaya penurunan AKB.

kematian yang mampu diimplementasikan oleh staf pemerintah di tingkat daerah. 3. Mendorong program imunisasi dan pola hidup sehat untuk mencegah penularan penyakit 4. Pemerataan pembangunan kesehatan di wilayah terpencil. 5. Ketersedian layanan kesehatan yang memadai dan mudah dijangkau oleh ibu dan balita.

5. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait implementasi kebijakan tentang kesehatan anak.

6. Memastikan adanya 1 bidan yang tinggal di 1 desa terutama di wilayah terpencil.

6. Rendahnya kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan tenaga kesehatan

7. Pemerintah perlu mengembangkan konsep pemantauan efektivitas kebijakan yang lebih independen yang melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan perguruan tinggi.

7. Berbagai kebijakan tentang perbaikan kesehatan gizi, diantaranya UU Kesehatan No.36 / 2009 pasal 142 serta PP 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, belum mampu melindungi kepentingan ibu dan bayi. Untuk mempercepat pencapaian target penurunan AKB di Indonesia, beberapa solusi dan rekomendasi yang dapat dilakukan, antara lain: 1. Perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, termasuk anggaran pembangunan bidang ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana untuk meningkatkan status gizi masyarakat. 2. Adanya sistem pencatatan bagi setiap kelahiran dan 30

Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI/MMR, Maternal Mortality Rate) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target pencapaian MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan telah cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.22 22

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010, hal. 66

31


Berdasarkan angka di atas diketahui bahwa target penurunan AKI di Indonesia bahkan belum mencapai setengah angka yang diharapkan. Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7 persen pada tahun 2002 menjadi 77,34 persen pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3 persen pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih antarwilayah masih merupakan masalah. Data Susenas tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi sebesar 98,14 persen di DKI Jakarta sedangkan terendah sebesar 42,48 persen di Maluku.23 Untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan, diperlukan pelayanan antenatal (antenatal care/ANC), yang juga akan menjamin ibu dalam melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Sekitar 93 persen ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa kehamilan. Terdapat 81,5 persen ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru 65,5 persen yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan. Dari data yang dijelaskan di atas, ternyata masih banyak ditemukan tantangan dan kendala selama proses 23

32

Ibid, hal. 67

penurunan AKI di Indonesia : 1. Terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas, terutama bagi penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). 2. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama bidan. 3. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan ibu. 4. Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil. 5. Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan tingginya unmet need. 6. Pengukuran AKI masih belum tepat, karena sistem pencatatan penyebab kematian ibu masih belum adekuat Selanjutnya pemerintah juga kurang memperhatikan kebutuhan remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Dalam pelayanan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, dikatakan target pemenuhannya hanyalah cakupan desa siaga aktif, padahal banyak kebutuhan promosi kesehatan yang menjadi kebutuhan masyarakat, khususnya remaja dalam mendapatkan pendidikan kesehatan. Promosi kesehatan yang menjadi salah satu pelayanan mulai dari Puskesmas belum memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan 33


kesehatan reproduksi remaja. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ternyata berdampak positif terhadap tingginya kasus KTD (kelahiran tidak diinginkan), baik oleh remaja maupun perempuan yang telah menikah.24 Ketidaktahuan ini berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang tidak aman. Sebagai contoh mereka mengkonsumsi jamu, obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid. Tidak sedikit yang menggunakan cara fisik seperti melompat dan sejenisnya untuk menggugurkan kandungan, sebagian bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak aman untuk mengakhiri KTD dan tidak mengetahui cara terbaik. Belum adanya layanan pemulihan haid yang aman dari pemerintah memunculkan banyak praktik aborsi tidak aman, di samping tidak adanya fasilitas bagi remaja atau ibu yang mengalami KTD dan ingin konsultasi untuk mengakhiri dengan cara aman. Stigma masyarakat, bahkan petugas kesehatan, justru memojokkan posisi dan kondisi ibu yang mengalami KTD, padahal bisa jadi mereka yang mengalaminya merupakan korban yang tidak menghendaki kehamilan tersebut. Jika diteliti lebih dalam, praktik pemulihan haid dan aborsi yang tidak aman akan menimbulkan kerugian bagi kesehatan reproduksi perempuan, lebih parah lagi mereka bisa sampai mengalami kematian. Tidak heran jika di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi karena minimnya fasilitas 24

34

Hasil Penelitian PKBI Pusat, Fakta Kebutuhan Perempuan Terhadap Layanan Pemulihan Haid di 13 Kota tahun 2008 – 2011. Dipresentasikan saat Diseminasi hasil penelitian PKBI tanggal 18 Desember 2012

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi untuk perempuan. Terkait isu HIV/AIDS, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV dan AIDS relatif cepat, hal ini diungkapkan oleh UNAIDS dalam laporannya HIV in the ASIA and the Pacific “Getting to Zero�, pada tahun 2011. Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987. Sampai dengan September 2012 kasus HIV/AIDS tersebar di 341 dari 497 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia (atau sekitar 71 persen). Provinsi pertama yang menemukan kasus HIV/AIDS adalah Bali di tahun 1987, sedangkan provinsi terbaru yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.25 Tahun 2005 jumlah kasus HIV di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 859 kasus dan hampir selalu meningkat setiap tahunnya, hingga tahun 2012 menjadi 15.372 kasus. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan September 2012 sebanyak 92.251 kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi di DKI Jakarta (21.775 kasus), diikuti Jawa Timur (11.994 kasus), Papua (9.447 kasus), Jawa Barat (6.640), dan Sumatera Utara (5.935 kasus). Kementerian Kesehatan juga memilah kasus AIDS dari tahun 2005 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak (4.774 kasus), tahun 2006 (3.439 kasus), tahun 2007 (4.434 kasus), tahun 2008 (5.134 kasus), tahun 2009 (5.458 kasus), tahun 2010 (6.476 kasus). Jumlah kumulatif 25

KEMENKES, Laporan HIV/AIDS Twiwulan III, 2012.

35


kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan September 2012 sebanyak 39.434 kasus.26 Selanjutnya Kementerian Kesehatan RI melaporkan kasus HIV tersebut dari kategori usia dan jenis kelamin. Dari Juli sampai dengan September 2012 jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.489 kasus. Prosentase kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 2549 tahun (73,7persen), diikuti 20-24 tahun (15,0persen) dan umur kurang lebih 50 tahun (4.5persen). Rasio kasus HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Prosentase heteroseksual (50,8persen), penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun (9,4persen), dan laki laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki lain (7 persen). Untuk kasus AIDS sejak Juli sampai September 2012 jumlah kasus baru yang dilaporkan sebanyak 1.317 kasus. Prosentase tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (40,7persen), diikuti 20-29 tahun (29,0persen) dan 40-49 tahun (17,3persen). Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2.1. Jumlah kasus tertinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta (648), Jawa Tengah (140), Bali (102), Jawa Barat (80) and Kepulauan Riau (78). Prosentase faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (81,9persen), pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (7.2persen), dari ibu (positif HIV) ke anak (4,6persen), dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki lain (2,8persen).27 26 27

36

Ibid. KEMENKES, Laporan HIV/AIDS Twiwulan III, 2012

Dari data tersebut di atas dapat dibaca bahwa kasus HIV/AIDS meningkat setiap tahunnya. Tidak hanya pada kaum laki-laki tetapi juga pada perempuan. Kerentanan perempuan terhadap HIV disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya ketimpangan gender yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku seksual suami atau pasangan seksualnya. Kurangnya pengetahuan serta akses untuk mendapatkan informasi dan pelayanan pengobatan kesehatan seksual, kesehatan reproduksi serta HIV/AIDS juga menjadi penyebab tingginya kasus pada perempuan. Upaya mencegah penularan HIV dilakukan dengan program Preventing Mother To Child Transmission (PMTCT), ditujukan kepada ibu rumah tangga, perempuan pekerja seks, perempuan pengguna narkoba suntik dan buruh migran dengan memperhatikan HAM dan layanan yang sensitif gender. Layanan PMTCT terdiri dari empat strategi, yaitu: (a) mencegah penularan HIV pada perempuan usia produktif, (b) mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif, (c) mencegah penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya, (d) memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarga.28 Hingga akhir tahun 2011, layanan PMTCT telah tersedia di 90 rumah sakit rujukan yang terdapat di ibukota provinsi dan kota-kota besar, serta telah diakses oleh 1.862 28

Laporan HIV/AIDS, KEMENKES, 2011.

37


perempuan dengan HIV di Indonesia. Namun demikian rumah sakit yang merupakan rujukan layanan PMTCT belum semua melakukan penatalaksanaan medis dan manajemen yang baik kepada perempuan terinfeksi HIV.

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) 2010-2014 memiliki target untuk meningkatkan akses air minum bagi 70 persen penduduk pada akhir 2014.

Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia (MDGs) tahun 2010 disebutkan terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV baru. Sepanjang periode 1996 sampai dengan 2006, angka kasus HIV meningkat sebesar 17,5persen dan diperkirakan bahwa ada sekitar 193.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV di Indonesia. Epidemi AIDS umumnya terkonsentrasi pada populasi berisiko tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia dengan estimasi nasional untuk prevalensi orang dewasa dengan AIDS 0,22persen pada tahun 2008. Papua dan Papua Barat mengalami pergeseran ke generalized epidemic dengan prevalensi 2,4persen pada usia 15-49 tahun. Sementara itu, jumlah kumulatif kasus AIDS terus meningkat. Ditemukan 19.973 kasus pada tahun 2009, artinya lebih dari dua kali lipat jumlah kumulatif pada tahun 2006 sebesar 8.194.29

Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk kondisi stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) dan menyediakan akses sistem pengelolaan limbah untuk 90 persen penduduk. Dalam hal pengelolaan sampah, pemerintah memiliki target 80 persen rumah tangga di perkotaan memiliki akses terhadap pengelolaan sampah serta menurunkan luas genangan (potensi banjir) sebesar 22.500 hektar di 100 kawasan strategis kota.30

Kemudian berkenaan dengan air dan sanitasi, bahwa tujuan tujuh target ke-10 dalam MDGs ialah menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan, serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. Dalam upaya pencapaian target MDGs tersebut, Pemerintah Indonesia 29

38

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2010,

Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari 24,81persen (1993) menjadi 51,19 persen (2009). Pada praktiknya, pencapaian penyediaan sarana air bersih dan sanitasi belum mampu dicapai, baik dalam target MDGs maupun RPJMN. Hingga tahun 2012 capaian sarana air minum masih di angka 44,19 persen dan cakupan akses pengelolaan air limbah masih 55,53persen. Hal yang sama juga terjadi untuk drainase (55 persen dari target 100 persen) dan pengelolaan sampah (42,9 persen dari target 80 persen).31 (lihat lampiran, grafik 7: Target dan Pencapaian Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi). 30 31

RPJMN 2010 - 2014 Bappenas, 2012

39


Kondisi diatas terjadi karena beberapa faktor, diantaranya: (1) belum memadainya perangkat peraturan yang mendukung penyediaan air minum dan pengelolaan sanitasi (2) masih terbatasnya lembaga yang kredibel dan profesional (3) kualitas perencanaan penyediaan layanan air minum dan pengelolaan sanitasi masih rendah, serta (4) terbatasnya pendanaan untuk mendukung seluruh aspek penyediaan air minum dan pengelolaan sanitasi.32 Rekomendasi bagi pelayanan kesehatan pasca 2015: 1. Memasukan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan kesehatan reproduksi) terlebih untuk perempuan, kelompok difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan (DTPK) ke dalam indicator SPM 2. Mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi di Puskesmas untuk semua warga, termasuk fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan pemulihan haid yang aman 3. Membentuk peer conseling untuk remaja di setiap jenjang pendidikan terkait kesehatan reproduksi 4. Menghapus praktik aborsi tidak aman karena akan meningkatkan peluang tingginya AKI di Indonesia 5. Melakukan pendekatan cultural kepada masyarakat untuk bisa merubah pola pikir agar menganggap 32

40

Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-67, 2012

permasalahan kespro, khususnya kespro remaja merupakan masalah bersama sehingga tidak lagi menekannya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konflik Berkepanjangan Persoalan atau krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terjadi di level nasional tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi politik global dimana korporasi, lembaga keuangan, termasuk negara di dalamnya saling berkolaborasi demi pelanggengan kekuasaannya. KTT Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro (Rio +20) dan KTT Perubahan Iklim COP 18 di Doha menegaskan, bagaimana pengaruh korporasi semakin menguat dalam penentuan berbagai kebijakan negara yang seharusnya bertanggung jawab melindungi warga negara dan lingkungan hidupnya. KTT Rio +20 menjadi titik balik yang mengecewakan bagi masyarakat sipil dunia dan menjadi satu catatan sejarah terburuk inkosistensi pemerintahan negara-negara, yang pada dua dekade sebelumnya, telah mencanangkan upaya global mewujudkan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. KTT Rio +20 menampilkan ketidakpedulian para pemimpin-pemimpin negara maju dalam mendorong agenda pembangunan berkelanjutan.33 33

Para pemimpin tersebut menyerahkan kepemimpinan untuk agenda pembangunan berkelanjutan ini kepada korporasi. Dalam pertemuan KTT Rio +20 ini lebih dari 1000 perwakilan bisnis besar hadir dan dengan kekuatan lobby yang luar biasa berhasil memasukkan kepentingankepentingan mereka dalam KTT ini.

41


Sementara Pertemuan COP ke-18 dari United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) KTT Perubahan Iklim di penghujung tahun 2012 lalu juga masih menunjukkan hal yang mengecewakan. Perjanjian iklim global kali ini diselenggarakan di tengah pesimisme, bahwa proses negosiasi akan membawa resolusi untuk mengatasi perubahan iklim secara adil, terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim. Salah satu hal yang menjadi pembahasan utama adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (offset), dimana negara-negara industri Annex-1 dengan gencarnya mendorong perdagangan karbon dengan skema offset sementara negara-negara non-Annex-1 menolak dengan tegas.34 Pemerintah Indonesia dalam konferensi kali ini justru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar dengan skema offset (perdagangan karbon) sebagaimana yang diinginkan oleh negara-negara industri.35 Negaranegara industri tanpa keraguan menunjukkan keengganan melaksanakan kewajiban penurunan emisi, padahal untuk mencegah memburuknya dampak perubahan iklim terutama bagi negara-negara berkembang dan miskin, penurunan emisi oleh negara-negara industri maju adalah suatu keharusan. Tantangan ini membutuhkan strategi baru untuk pembangunan pasca 2015. Kita harus mendapatkan 34 35

42

atau setidaknya tidak menyatakan dukungan secara eksplisit. Lihat: http://www.mongabay.co.id/2012/12/05/lupakan-masalahkehutanan-ri-malah-dagang-karbon-di-doha/

suatu visi baru pembangunan secara menyeluruh, berdasarkan pada filosofi yang selaras dengan alam. Hal ini membutuhkan suatu transformasi sosial yang mendalam yang mengharuskan redistribusi radikal atas kepemilikan, akses dan kontrol atas sumber daya produktif dalam mencapai kehidupan yang lebih bermartabat. Juga dibutuhkan reorientasi produksi dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan potensi manusia dalam batas-batas lingkungan ketimbang memaksimalkan keuntungan jangka pendek. Pembaharuan tata kelola sumber-sumber kehidupan dan ruang hidup harus disertai dengan perubahan yang mendasar pada sistem pendukungan dan desentralisasi kewenangan. Tata kelola sumber daya alam kepulauan Indonesia dalam konsepsi pembangunan berkelanjutan, harus bisa menjamin kedaulatan pangan, kecukupan air, kemandirian energi dan keberlanjutan mata pencaharian dalam kerentanan perubahan iklim dan bencana ekologi. Pembangunan harus mampu menjamin keadilan sosio-lanskap, penghormatan terhadap keberagaman, kemandirian dan kemartabatan budaya komunitas. Pembangunan berkelanjutan harus diletakkan sebagai kebutuhan dan aspirasi manusia kini dan masa depan. Karena itu prinsip HAM seperti hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak atas pembangunan dapat membantu memperjelas arah dan orientasi perumusan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Secara lebih kongkrit tidak bisa disangkal bahwa hak manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan 43


baik, menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian dari HAM. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan bahwa proses pembangunan haruslah memajukan martabat manusia, dan tujuan pembangunan adalah demi kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan untuk kesejahteraan manusia secara adil merata Pendekatan pembangunan selama ini cenderung mengutamakan kawasan perkotaan dari pedesaan, sehingga kawasan pedesaan tertinggal jauh dari pembangunan perkotaan. Pendekatan pembangunan juga cenderung mengutamakan wilayah daratan dari lautan, sehingga pembangunan kelautan sangat tertinggal dan cenderung menjadi obyek penyelesaian masalah darat (misalnya sampah dan limbah). Bagi masyarakat lokal, tata kelola sumberdaya alam (laut dan daratan) tidak sekedar bagaimana mereka mengelola sumber kebutuhan fisik, melainkan juga terkait dengan ruang hidup dan sumber inspirasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban mereka. Pengelolaan SDA yang terkotak-kotak dalam wilayah administrasi yang kecil-kecil seringkali lebih sempit daripada ekosistem serta menimbulkan konflik antardaerah. Padahal daya dukung SDA per daerah administratif tidak mampu mendukung pembangunan dan kehidupan jangka panjang, sehingga diperlukan kerjasama antardaerah untuk mencapai kesejahteraan bersama dan keberlanjutan sistem penyangga kehidupan. Begitu juga pendekatan pengelolaan SDA yang sektoral seperti pertanian, kehutanan, pertambangan, 44

industri dan kelautan, penyebab terjadinya perebutan SDA, dan tumpang tindihnya kebijakan di antara sektor-sektor tersebut. Dari segi keadilan sosial, kebijakan-kebijakan yang ada bersifat atas-bawah (top-down) dan tidak memperhatikan budaya setempat. Kebijakan pengelolaan SDA selama ini cenderung bersifat sentralistik, elitis, paternalistik dan eksploitatif, sehingga menimbulkan kerusakan SDA dan lingkungan hidup serta kesenjangan ekonomi dan sosial antar pusat dan daerah, antara kelompok masyarakat, antarsektor dan antarkawasan. Terkotak-kotaknya wilayah ekosistem ke dalam wilayah administrasi dan sektoral menyebabkan banyak kelompok masyarakat setempat terganggu kehidupan ekonominya.36 Pendekatan pembangunan saat ini cenderung seragam, sementara kemajemukan sosial budaya adalah kenyataan, sehingga pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Hal ini menyebabkan pembangunan tidak efektif, tidak efisien dan boros, serta menimbulkan banyak konflik sosial. Negara tidak mengakui dan memberi ruang bagi penguasaan SDA oleh masyarakat, baik secara individual maupun komunal, khususnya kepemilikan pada hutan alam, sumber daya mineral dan kawasan perairan laut. Hal ini menyebabkan konflik akibat klaim negara atas 36

Seperti masyarakat pemburu dan peramu, peladang berpindah dan nelayan tradisional; serta terganggu kebudayaannya seperti sistem pengetahuan, mata pencarian hidup, teknologi, religi, institusi dan norma-norma sosialnya.

45


penguasaan SDA dengan masyarakat secara individual maupun komunal. Padahal model pengelolaan SDA yang selama ini dipraktikkan oleh rezim yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang dirasakan oleh semua makhluk hidup.

rakyat. MP3EI tidak disusun untuk mengkoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan.37 Hal ini bukan saja bertentangan dengan komitmen pemerintah.

Keadaan ini semakin diperparah karena UU terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia saling bertentangan dan tidak sinkron, baik dengan peraturan yang lebih tinggi maupun dengan sesama UU maupun peraturan di bawah UU. Sedikitnya ada lima undang-undang yang secara sistematis telah memberikan kewenangan yang luas, bahkan terlampau luas, kepada pemerintah atas sumber-sumber agraria, namun kewenangan yang ada tidak dibarengi dengan semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yaitu; Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undangundang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.

Dalam MP3EI tidak terlihat visi nasionalismenya, dan kepentingan siapa yang diusung karena tidak mencerminkan kebutuhan rakyat. Untuk menopang MP3EI kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti: UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Perpres No. 3/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Kalimantan dan Perpres No. 13/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Sumatera. Regulasi ini mengindikasikan semakin kuatnya tekanan modal dan negara dalam upaya menggunakan sumber daya alam guna kepentingan ekonomi semata dan kurang menempatkan posisi masyarakat maupun implikasinya bagi masyarakat dalam kawasan dan sekitar kawasan hutan.

Di tengah situasi carut-marutnya kebijakan tersebut kemudian hadir Perpres 3/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai kelanjutan dari pertemuan Infrastructur Summit di Bali yang masih mengutamakan ekstraksi SDA dimana ternyata tidak memiliki safeguard dan sangat membahayakan bagi lingkungan dan keselamatan 46

Lebih dari 91 persen konflik sumber daya alam di Indonesia terjadi antara masyarakat dengan perusahaan. Pemicu utamanya adalah pertentangan klaim wilayah antara masyarakat dengan pemegang izin. Tidak hanya menelan harta, konflik perebutan sumber daya alam telah merenggut korban jiwa dan sumber kehidupan utama masyarakat. Konflik sumber daya alam sebagai salah satu wilayah dengan pelanggaran HAM yang paling serius di Indonesia. Hingga saat ini, para pelaku kekerasan dan 37

sementara UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diabaikan

47


pembunuhan tidak tersentuh oleh proses hukum yang memadai. Penghancuran lingkungan juga disebabkan oleh industri tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya pelemahan regulasi di sektor tambang. Upaya perlindungan dari ancaman pertambangan hanya menjadi diskursus di meja diskusi dan seminar, sementara rakyat lingkar tambang terus menjadi korban. Bukti pelemahan regulasi tersebut, misalnya, dibiarkannya Newmont membuang limbah tailing ke laut yang secara fakta telah merusak ribuan mata pencarian nelayan di Teluk Senunu. Padahal secara legal izin pembuangan tailing sudah berakhir, namun Pemerintah melalui KLH memperpanjang izin pembuangan limbah.38 Tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang, impor limbah B3, dan seterusnya. Ditengah aturan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012 kembali mengeluarkan Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih banyak mengandalkan data swapantau perusahaan (Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan). Perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat 38

48

Hal ini diperkuat dengan diperbolehkannya perusahaan membuang limbah tambang ke laut Teluk Senunu oleh putusan PTUN Jakarta Pusat. Sementara Oseanografi LIPI, tidak mau mengungkapkan hasil penelitian di bawah laut tersebut. Alasan penelitian dibiayai dan hak cipta jadi milik perusahaan tambang.

baik (emas, hijau, biru) karena aturan yang mengatur kejahatan lingkungan lemah dan mengandalkan informasi sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat menggugat perusahaan atas tindak pengerusakan lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut untuk membungkam kritik. Sampai hari ini, 121.74 juta hektar (setara 88 persen) kawasan hutan belum dipastikan batasnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan yang ada selama ini, yang dijadian alasan pemerintah untuk mengusir rakyat, adalah ilegal dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Padahal ada masalah besar, sebab dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak tersebut, terdapat sedikitnya 33.000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan. Kerusakan lingkungan sangat terkait dengan pengelolaan hutan dan perkebunan yang menjadi masalah perusak lingkungan yang tertinggi. Hal tersebut dikarenakan kebijakan di tingkat nasional antara lain dengan keluarnya PP Nomor 60 dan PP Nomor 61 tahun 2012 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Kedua PP ini menjadi alat pemutihan atas izin-izin yang terlanjur diberikan untuk usaha pertambangan dan usaha perkebunan yang melanggar tata ruang dan peraturan kehutanan.39 Selain pemberian izin perambahan hutan 39

Saat ini PP tersebut sedang dalam proses untuk diajukanan dalam judicial

49


yang mencapai 30 juta hektar (per juni 2012), Kementerian Kehutanan juga memproses pelepasan kawasan hutan mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi yang menjadi sasaran ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang.40

Sumber: Forest Watch Indonesia 2011 Pelepasan kawasan hutan besar-besaran di Riau, Kalteng, Maluku dan beberapa provinsi lain disamarkan dengan penunjukan kawasan hutan di Papua yang mencapai 6 juta hektar. Tidak berlebihan bila kecurigaan muncul bahwa penataan ruang yang diwajibkan kepada seluruh daerah ditunggangi oleh pengusaha perkebunan dan 40

50

review ke Mahkamah Agung Ada hal yang menarik pada review kawasan hutan ini, dimana luas pelepasan kawasan hutan yang diajukan oleh 22 gubernur dengan dalih penyesuaian tata ruang ini sama persis dengan jumlah kawasan hutan yang beralih fungsi yakni seluas 12.357.071 hektar. Persamaan luas yang persis pada perubahan fungsi dan peruntukan ini, menunjukan bahwa pengeluaran keputusan tersebut tidak berdasarkan pertimbangan dampak penting dan daya dukung lingkungan melainkan permainan angka tabulasi oleh kelompok tertentu dalam kementerian kehutanan atau bersama DPR RI, ketika merumuskan rekomendasi keputusan pelepasan kawasan hutan.

pertambangan untuk meloloskan kepentingannya melalui usulan review kawasan hutan ini. Selain modus operandi dengan memanfaatkan proses tata ruang, Kementerian Kehutanan juga telah melepaskan kawasan hutan untuk perkebunan secara langsung hingga 5 juta hektar dan proses izin prinsip untuk perkebunan pada kawasan HPK sebesar 1 juta hektar serta izin pinjam pakai untuk pertambangan yang mencapai 3 juta hektar meliputi izin eksplorasi, prinsip dan produksi. Bila dicermati pada pemberian izin pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, maka pemerintah Indonesia telah mengalokasikan peruntukan kawasan hutan Indonesia kepada pengusaha hingga 50,4 juta hektar atau 38.4 persen dari luas hutan Indonesia.41 Politik pengelolaan hutan yang transaksional oleh rejim SBY-Boediono melalui moratorium kawasan hutan melalui penerbitan PIPIB (peta indikatif penerbitan izin baru) yang setiap 6 bulan mengalami revisi. Pada modus ini kita melihat bahwa proses moratorium yang seharusnya dijalankan untuk menertibkan pengelolaan kawasan hutan dan penyelesaian konflik, justru mengalami penyimpangan dengan dikeluarkannya beberapa wilayah dari PIPIB pada setiap revisinya. Setidaknya selama tiga kali revisi PIPIB, Menteri Kehutanan telah mengakui pengelolaan oleh pihak ketiga terhadap kawasan hutan seluas 4,2 juta hektar, justru mengabaikan kewajibannya untuk melakukan penegakan hukum dan sanksi kepada pihak ketiga yang sudah berada dalam kawasan hutan. 41

Lihat Environmental Outlook WALHI 2013

51


Menariknya, moratorium selama dua tahun yang menjadi andalan pemerintah ini, terbukti tidak mampu mengatasi carut marutnya pengelolaan sumber daya alam di sektor kehutanan. Moratorium yang sangat singkat ini dinilai oleh WALHI dan organisasi lingkungan lainnya menjadi kemubaziran karena dia tidak dapat menyelesaikan problem pokok kehutanan yakni tata kelola kehutanan yang tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan, dan konflik tenurial di sektor kehutanan yang tidak terselesaikan. Tingginya konflik kehutanan menunjukan bahwa buruknya tatakelola hutan di Indonesia. Ini juga bisa diartikan bahwa, tata kelola kehutanan Indonesia masih berpihak kepada kepentingan pemodal, bukan rakyat yang sumber kehidupannya salah satunya ada di hutan. Bencana Ekologis dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Bencana ekologis merupakan sebuah bencana yang diakibatkan oleh salah urusnya negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Tahun 2012, WALHI mencatat telah terjadi 503 kali banjir dan longsor yang menewaskan 125 orang. Sedangkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang tahun 2012 telah memusnahkan hutan, kebun dan lahan seluas 11.385 Hektar. Pencemaran dan pengrusakan lingkungan, ditambah dengan land use change (alih fungsi lahan) semakin menghabisi sumber pangan petani. Degradasi dan ancaman keberlangsungan produksi pangan terjadi di 52

berbagai daerah oleh berbagai faktor. WALHI mencatat bahwa ancaman terhadap sumber-sumber pangan rakyat terjadi akibat alih fungsi lahan, pencemaran, degradasi dan kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pembukaan pertambangan, perkebunan besar, pariwisata, industri dan pembangunan infrasturuktur di areal tanaman pangan dan atau daerah penyangganya. Jawa sebagai produsen pangan terbesar terancam oleh maraknya industri, infrastruktur besar dan perumahan yang dibangun di atas lahan pertanian. Hal ini seperti terjadi dibasis pertanian rakyat di Bekasi, Karawang, Subang (industri dan pemukiman dan infrastruktur), Bogor (perumahan mewah, vila dan pariwisata), Sukabumi (industri dan pemukiman), dan Sumedang (Waduk). Hal serupa banyak terjadi di Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Di luar Jawa, jumlah lahan terkonversi dan atau kehilangan daya dukung lingkungannya disebabkan oleh izin dan usaha pertambangan (Maluku Utara, NTT, Bengkulu, Sumatera barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Aceh, Bangka Belitung). Selain konversi lahan, trend perubahan jenis tanaman pangan kepada jenis tanaman perkebunan seperti sawit dan tanaman kayu industri juga marak terjadi. Akibat pengutamaan penggunaan SDA kepada pengusaha juga berakibat merebaknya konflik agraria dan SDA. Di Indonesia, konflik agraria telah membuat keprihatinan banyak pihak karena seringkali konflik tersebut menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Dalam 53


setiap penanganan konflik agraria yang ada, pemerintah lebih banyak berkutat pada unsur-unsur pidana dalam penanganan konflik, namun akar persoalannya tertinggal jauh di belakang tanpa penyelesaian sehingga konflik setiap saat dapat meletup kembali. Kejadian konflik agraria yang berulang dan meluas dengan jumlah korban yang terus meningkat telah memberikan kesaksian kepada publik bahwa konflik agraria adalah konflik yang paling tinggi frekuensinya di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir ini, grafik kejadian konflik agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan. Jika di tahun 2010 terdapat sedikitnya 106 konflik agraria di berbagai wilayah, kemudian di tahun 2011 terjadi peningkatan drastis, yaitu 163 konflik agraria, yang ditandai dengan tewasnya 22 petani/warga di wilayah konflik tersebut, maka sepanjang tahun 2012 ini, KPA mencatat terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK) dalam konflikkonflik yang terjadi.

di sektor pertambangan (11 persen); 20 kasus di sektor kehutanan (4persen); 5 kasus di sektor pertanian tambak/ pesisir (3persen); dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1 persen).

Dengan melihat pada catatan KPA, sepanjang pemerintahan Presiden SBY, sejak tahun 2004 hingga sekarang, telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah tanah air. Konflik ini telah menewaskan 44 orang, areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, dan melibatkan 731.342 KK. Dalam sepanjang kekuasaannya tercatat 941 orang ditahan, 396 luka-luka dan 63 diantaranya mengalami luka serius karena peluru aparat.

Sementara catatan kekerasan terhadap petani sepanjang tahun 2012, adalah 156 petani ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tercatat 3 orang telah tewas dalam konflik agraria. Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi di sektor perkebunan (45 persen); 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur (30 persen); 21 kasus 54

55


dengan tingkat resiko yang tinggi, dan proses pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memberikan alternatif sumber penghidupan yang lain.

Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012 Mengenai siapa aktor perusak lingkungan, berdasarkan analisis yang dilakukan WALHI, bahwa aktor perusak lingkungan hidup yang tertinggi adalah korporasi terutama yang berinvestasi di sektor tambang dan perkebunan. Kedua, adalah pemerintah. Dan ketiga adalah kombinasi antara korporasi dan pemerintah, serta terakhir adalah dari masyarakat. Temuan ini juga semakin memperkuat CSO untuk terus mendesak tanggungjawab korporasi terhadap kejahatan lingkungan yang telah dilakukan. Dari data di atas terlihat adanya kolaborasi korporasi dan pengurus negara yang memperkuat analisis sebelumnya bahwa persoalan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keterikatan atau konsolidasi yang semakin menguat antara kepentingan modal dengan kekuasaan. Sedangkan masyarakat sebagai pelaku ditemukan pada tambang-tambang inkonvensional 56

Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012 Data ini sekaligus mematahkan asumsi atau stigma bahwa aktor perusak lingkungan adalah orang miskin, bahwa kemiskinan sebagai penyebab dari kerusakan lingkungan. Masih berdasarkan hasil riset media dari WALHI, disebutkan, bahwa sasaran protes yang dilakukan oleh masyarakat sipil yang sebagian besar dilakukan oleh LSM/ NGO dan masyarakat adalah pemerintah, hal ini terkait dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pengurus 57


negara baik di tingkat nasional maupun daerah. Desakan perubahan menjadi agenda utama yang terus didorong oleh aksi protes masyarakat. Hal ini menunjukkan relasi antara kebijakan yang dikeluarkan negara dengan persoalan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat. Kebijakan justru menjadi legitimasi bagi korporasi untuk melakukan kejahatan dengan “stempel� dari pemerintah melalui perundang-undangan, regulasi dan pemberian izin. Sasaran protes berikutnya adalah korporasi atau perusahaan di wilayah konsesinya, yang menjadi sasaran protes warga. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat mulai “melek� dengan hak-haknya dan juga mulai mengerti dengan hukum, dan mulai paham dengan akar persoalan yang dialami, juga mengetahui siapa aktor dan kepentingannya.42 Ini tidak bisa dilepaskan dari kerjakerja yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk terus menerus melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat melalui pengorganisasian di kampung-kampung. Melihat dari fakta-fakta krisis dan berbagai peristiwa bencana ekologis yang terjadi, kita tidak mungkin menunggu waktu yang lebih lama untuk menghentikan 42

58

Dengan informasi yang semakin terbuka, rakyat juga semakin tahu dengan hak-haknya, termasuk hak atas lingkungan. karena itulah, dimana-mana dari ujung timur sampai ujung barat negeri ini, perlawanan rakyat terjadi untuk menyuarakan keadilannya, termasuk didalamnya keadilan ekologis. Menariknya, semangat perlawanan para pembela lingkungan dan hak asasi manusia itu juga tidak berkurang di tengah lemahnya negara melindungi para pembela lingkungan dan HAM. dalam catatan WALHI misalnya, selama tahun 2012, tidak kurang dari tujuh orang aktifis dikriminalisasi,mendapat tindak kekerasan dan lain-lain, ini belum termasuk dengan pembela lingkungan yang berasal dari masyarakat korban.

jatuhnya korban yang semakin banyak dan meluas. Krisis ini harus segera dipulihkan di tengah negara yang abai dan kejahatan korporasi yang semakin menguat berkelindan dengan penguasa. Angka-angka kerusakan lingkungan, korban bencana ekologis dan korban pembangunan bukanlah sekedar angka-angka statistik. Angka-angka tersebut merepresentasikan wajah korban, wajah warga negara yang dicerabut hak-haknya, bahkan oleh pemimpin negaranya sendiri. Kerusakan lingkungan telah merampas hak hidup manusia. Bencana ekologis dan kerusakan lingkungan hidup telah menurunkan kualitas hidup manusia. Tingginya angka kemiskinan akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan akibat bencana ekologis tersebut atau bencana yang ditimbulkan, akibat salah urusnya pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. WALHI mendefinisikan keadilan ekologis sebagai sebuah hak untuk mendapatkan keadilan antargenerasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, laki-laki maupun perempuan, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran lingkungann hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Keadilan ekologis adalah sebuah perjuangan keseimbangan alam dan manusia tanpa penguasaan untuk kepentingan intra dan antargenerasi. Hak atas lingkungan hidup menekankan pentingnya tanggungjawab negara untuk memberikan jaminan 59


terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap penegakan hukum dan kemauan politiknya. Perwujudan hak atas lingkungan hidup akan menjadi prasyarat penting bagi upaya perlindungan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat. Hak atas lingkungan juga harus dibarengi dengan penghormatan terhadap hak dasar lainnya seperti hak partisipasi politik, hak mendapatkan informasi, hak menentukan nasib sendiri dan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, tanpa itu penegakan terhadap hak atas lingkungan sebagai hak asasi rakyat akan menjadi mustahil. Isu lingkungan saat ini sudah dipromosikan oleh banyak pihak, termasuk oleh pelaku perusak lingkungan sendiri seperti dengan menggunakan isu pembangunan berkelanjutan. Saat ini isu penyelamatan lingkungan hidup telah dibajak oleh sistem ekonomi kapitalisme melalui berbagai kebijakan negara, yang tetap mengacu dan berbasis pasar yang semakin menyingkirkan hak-hak dasar rakyat. Isu perubahan iklim dan krisis global lainnya kemudian justru mendorong isu lingkungan hidup menjadi sebuah “oppotunity� bagi korporasi dengan tetap berbasiskan pada sistem perdagangan internasional yang akan semakin memperkuat perampasan tanah-tanah rakyat. Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan dan krisis kedaulatan, maka pada seluruh cerita model pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harusnya menggunakan tiga hal mendasar dan semuanya harus didefinisikan menurut korban terbesar dan siapa yang 60

paling tersubordinasi dalam pembangunan yaitu; (1). bagaimana jaminan keselamatan rakyatnya (2). bagaimana jaminan atas kesejahteraan dan produktivitasnya, dan (3). bagaimana jaminan atas keberlanjutan dari fungsi pelayanan alamnya. Negara harusnya mengambil peran aktif untuk menuntut tanggungjawab atas kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh aktor di luar negara. Ini mensyaratkan negara tidak boleh lagi ada didalam kendali aktor besar di luar negara (non state actor). Rekomendasi Dalam berbagai kesempatan selalu disebutkan bahwa kepentingan rakyat merupakan salah satu hal yang diperjuangkan pemerintah dalam pembangunan, namun melihat dari berbagai regulasi dan kenyataan yang ada, fasilitasi kepentingan rakyat yang masih sangat minim. Pengalaman menginisiasi Sistem Hutan Kerakyatan (SHK), memfasilitasi beberapa desa untuk mengakses skema kelola hutan desa memberikan gambaran betapa lemahnya dukungan aparatus di tingkat pemerintah terhadap hal ini. Alasan utama yang hampir selalu terlontar dari aparatus kehutanan adalah ketidakpercayaan mereka akan kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan, mereka lebih yakin bahwa apabila hutan dikelola oleh perusahaan maka akan mendatangkan keuntungan besar, dan rakyat cukup hanya menjadi buruh-buruh di perusahaanperusahaan tersebut. Jika melihat dari isu secara nasional maupun wilayah, 61


selama tidak ada perubahan fundamental dari arah dan model pembangunan, maka fakta krisis lingkungan hidup yang terjadi pada tahun 2012 di Indonesia, masih akan terus berlangsung pada tahun 2013 dan seterusnya. Prediksi ini bukan tanpa argumentasi yang kuat, namun dilandasi atas situasi politik dan penegakan hukum lingkungan yang sampai saat ini masih jauh dari harapan. Sebagai bagian dari agenda transformatif maka pemerintah dan lembaga-lembaga internasional ditantang untuk melepaskan diri dari model pembangunan saat ini dan melakukan reformasi yang lebih berarti yang benar-benar memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. Berkomitmen untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan sejati yang diletakkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, kesetaraan, penentuan nasib sendiri, dan sosial, gender dan keadilan ekologis. Saat ini, kerangka kerja pembangunan Paska 2015 sebagai kelanjutan dari MDGs, sedang disiapkan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah, kelompok masyarakat sipil dan PBB. Belajar dari pengalaman MDGs, kerangka kerja Paska 2015 membutuhkan perubahan paradigma pembangunan baik dari sisi proses maupun substansi. Paling tidak, pembangunan pasca 2015 harus memenuhi kriteria: x Kebijakan yang mendukung Sistem Hutan Kerakyatan: memberdayakan masyarakat sekitar hutan, revitalisasi industri kehutanan berbasis komunitas/masyarakat 62

x Pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca menata ulang hubungan Indonesia dengan negara maju x Meminta negara-negara maju untuk memenuhi komitmen Monterrey Consensus dan Doha Declaration terkait dengan target ODA yaitu 0,7 persen GNI dan mematok sebesar 0,15 – 0,20persen untuk dialokasikan ke negara kurang berkembang (LDCs/less developed countries) selambat-lambatnya tahun 2015. x Pemerintah Indonesia (5 tahun ke depan) harus mencapai tax ratio rata-rata negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income country) yaitu 20-24 persen terhadap PDB. Dengan ini Indonesia akan mampu membiayai pembangunan tanpa banyak bergantung dengan utang dan ODA. x Perubahan untuk dan memperluas penggunaan energi terbarukan III. Konflik dan Kerentanan : Konflik Sosial Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian Bagian ini bertujuan untuk memberikan analisis penerapan framework MDGs sebagai model pembangunan di Indonesia yang tidak mempertimbangkan faktor kerawanan geografis, sosial dan politik. Klaim kesuksesan pencapaian MDGs seperti yang dilaporkan oleh Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, telah berhasil meningkatkan pendapatan GDP lebih dari 1 dollar 63


sehari, namun mengapa enam rangking utama kemiskinan justru berada di daerah rawan konflik seperti Papua (32persen), Papua Barat (31,9persen), NTB (19,7persen), pascakonflik Maluku (23 persen), NTT (21,2persen), dan Aceh (19,6persen), yang memiliki sejarah konflik kekerasan seperti persoalan determinasi diri, otonomi khusus, kebebasan beragama, dan konflik antar kampung. Penyebab konflik pada umumnya tidak tunggal. Persoalan hubungan antar etnik dan agama, kesenjangan ekonomi, krisis kelembagaan politik, krisis keamanan, dan degradasi nilai sosial budaya, diduga berkontribusi pada terjadinya konflik di Maluku, Poso, Kalimantan Barat, Aceh dan Papua. Sebuah intervensi pembangunan pada daerah yang pernah mengalami konflik tentu harus mempertimbangkan situasi konflik dan perdamaian, bagaimana program intervensi pembangunan dijalankan, dan kebijakan-kebijakan baik ditingkat nasional dan daerah peka terhadap konflik. Secara sederhana konflik di Indonesia dikategorikan menjadi dua, yaitu konflik sumber daya alam (SDA) dan konflik sosial. Konflik SDA biasa juga disebut sebagai konflik agraria yang meliputi wilayah perkebunan, perhutanan, dan perkotaan dan pembangunan infrastruktur, sudah dibahas di bagian sebelumnya. Sementara konflik sosial meliputi konflik bernuansa agama dan etnik, tawuran, pertikaian antar kampung, konflik sumber ekonomi. Dalam mengatasi berbagai konflik di atas pemerintah 64

menjadikan isu penanganan konflik ini bagian dari agenda visi dan misi pembangunan Indonesia yang damai dan berkeadilan yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014 dengan menjadikan penanganan pasca konflik menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Alih-alih menyelesaikan konflik, sepanjang tahun 2008-2010, berdasarkan hasil monitoring Institut Titian Perdamaian, insiden konflik dan kekerasan semakin banyak yaitu 4.021 kali. Jika dibagi pertahun, terjadi sekitar 1.340 insiden setiap tahunnya, yang berarti jika diratarata, terjadi 3,6 kali insiden setiap harinya. Kekerasan rutin seperti tawuran, pengeroyokan, serta penghakiman massa menempati rangking paling tinggi dengan total 62, 1 persen dari total konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Disusul konflik berbasis isu politik sebesar 13, 9 persen, konflik berbasis isu sumberdaya ekonomi 8,3 persen, konflik berbasis isu sumberdaya alam 7,8 persen, konflik berbasis isu agama dan etnis 2,2persen, dan konflik antaraparat negara 0,8 persen (Tim Institut Titian Perdamaian, 2011). Pada tahun 2011, tidak terjadi pergeseran secara signifikan mengenai ranking konflik dan varian kekerasan yang paling tinggi. Tahun 2011, kekerasan rutin mencapai 1310 kali, atau 74 persen insiden dari total 1767 insiden konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia. Yang cukup mengejutkan, tawuran menyumbang angka yang cukup fantastis, yaitu 501 kali insiden atau 28persen. Berdasarkan 65


pihak yang terlibat, kelompok terpelajar yang diwakili oleh mahasiswa dan siswa sekolah, menjadi aktor kekerasan yang paling banyak. Basis data monitoring ini adalah sumber berita media massa di 33 provinsi yang dikomparasikan dengan enam media nasional. Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, kekerasan rutin selalu tampil sebagai penanda bagi konflik komunal yang sangat massif. Dalam berbagai konflik komunal yang terjadi, pada mulanya didahului kekerasan rutin yang dianggap lumrah. Di Kalimantan Barat, perkelahian sekelompok pemuda Dayak dan Madura meluas menjadi konflik komunal. Di Poso dan Ambon, dibuka dengan perkelahian antar pemuda, yang sebelumnya juga biasa terjadi, namun secara cepat meningkatkan level mobilisasi orang, pada suatu momen dan ruang yang sudah sedemikian dimungkinkan oleh ketersediaan prasyarat konflik kekerasan. Masalahnya, artikulasi politik kita belum secara meyakinkan mengalami pergeseran pola patronase dan solidaritas tradisional ke ikatan yang kontraktual dan dewasa. Momen-momen elektoral dalam pilkada di berbagai daerah masih banyak menampilkan kekerasan sebagai ekspresi konflik, hal yang menjelaskan mengapa konflik berbasis isu politik menempati ranking tinggi dalam monitoring konflik dan kekerasan berbagai lembaga selama ini. Dasar pemikiran ini pula yang dijadikan sebagian kalangan untuk mengevaluasi, bahkan cenderung mengusulkan ditiadakannya pemilihan langsung kepala daerah. Salah satu daerah yang pernah menjadi narasi konflik politik 66

cukup lama adalah Maluku Utara, yang imbasnya masih terasa dengan maraknya tawuran antarkampung di Ternate sebagai sentral kekuasaan. Patut dicatat, konflik sangat berpengaruh pada meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan yang berhasil didokumentasikan oleh Komnas Perempuan pada kurun waktu 1998-2010 mencatat sejumlah 1.503 kasus kekerasan seksual dari 3.283 kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik seperti Aceh, Poso, Maluku, Papua, Timor Leste, Tragedi 65, dan Mei 1998. Sampai sekarang korban kekerasan seksual di daerah konflik kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, serta cenderung dilupakan. Kasus kekerasan seksual merambah ke daerah yang lebih luas. Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2011, menemukan 110.468 kasus kekerasan terjadi pada perempuan dalam ikatan pernikahan dan ada 1.405 kasus kekerasan dalam pacaran. Tingginya angka kekerasan pada perempuan tentu saja akan menjadi penghalang pencapaian gol ketiga dalam MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Konflik-konflik kekerasan yang terjadi selama ini di Indonesia juga menunjukkan adanya aspek kesejarahan dan memiliki korelasi yang kuat dengan proses pembangunan dan perkembangan arus modal, terutama di sektor eksploitasi sumber daya alam. Petaka kemanusiaan ini juga telah berdampak pada kerugian yang tak terhitung, baik secara material maupun non-material. Ribuan nyawa 67


tak berdosa melayang, ratusan ribu orang lainnya harus mengungsi, tercerabut (uprooted) dari tempat asal mereka, tempat dimana mereka pernah hidup secara turun-temurun untuk waktu yang tidak sebentar. Konflik yang terjadi juga meluluhlantakkan hasil pembangunan dan jerih payah masyarakat dalam sekejap serta mengubur impian dan harapan ribuan orang yang menjadi korban. Selain itu, konflik sosial telah mengakibatkan jurang pemisah yang sangat tajam antara pemeluk agama (misal antara Islam dan Kristen) dan antara kelompok masyarakat pendatang dan pribumi (antara warga baru dan warga lama di perbatasan Indonesia dan Timor Leste). Ketimpangan kekuasaan dan otoritas dalam dan di antara organisasiorganisasi atau kelompok-kelompok sosial yang diakumulasi oleh adanya kesenjangan ekonomi, konspirasi politik, pola pikir, sentimen primordialisme, politik, ideologi, doktrin dan lain-lain adalah Horizontal Inequalities yang menjadi sumber utama terjadinya konflik sosial di Indonesia. Konflik dapat digambarkan dalam bentuk yang berputar (cyclical) dimana tingkatan intensitas konflik selalu berubah dari satu titik ke titik yang lain, yaitu meningkat dari kondisi yang (relatif ) stabil dan damai menuju kondisi krisis dan peperangan yang kemudian juga akan menurun menuju sebuah kondisi perdamaian yang bersifat relatif. Dinamika siklus konflik ini menjadi pegangan bagi para pekerja perdamaian dan para ilmuwan yang banyak melakukan penelitian di bidang konflik untuk menyususn berbagai strategi mitigasinya. 68

Gambar 1.1 menjelaskan berbagai fase atau siklus konflik. Fase-fase ini dibagi dalam beberapa fase, yaitu fase sengketa (dispute), fase krisis (crisis), fase kekerasan terbatas (limited violence), fase kekerasan massal (massive violence), fase pengurangan (abatement) dan fase penyelesaian (settlement).43 Fase-fase ini bisa terjadi berulang-ulang dengan berbagai variasi “pertumbuhan� dan selesainya konflik yang sangat tergantung kepada dinamika yang terjadi di lapangan. Gambar 1.1 Siklus Konflik dalam Kurva Tertutup Tingkat Intensitas Konflik Perang / Kekerasan Masal Krisis Konflik Terbuka Perdamaian Tak Stabil Perdamaian Stabil

Durasi Konflik Fase Awal

Fase Pertengahan

Fase Akhir

Untuk mempermudah strategi intervensi, pemahaman terhadap konteks wilayah menjadi penting. Dengan mencermati berbagai kejadian konflik kekerasan yang 43

CEWS, the Center for International Studies and the Department of International Relations at the University of Southern California, 1995

69


pernah terjadi di seluruh wilayah Indonesia, maka wilayahwilayah di Indonesia bisa dipetakan dalam kategori wilayah sebagai rawan konflik, wilayah konflik dan wilayah pascakonflik. Merebaknya berbagai konflik dan kekerasan saat ini menarik perhatian pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga negara untuk sampai pada kesimpulan reflektif, kembali memprioritaskan isu konflik pada RPJMN berikut. Prioritisasi ini mulai ditunjukan melalui berbagai kebijakan yang terhitung baru diterbitkan seperti lahirnya UU No.7 tahun 2012 tentang PKS (Penanganan Konflik Sosial), program-program pembangunan perdamaian yang melekat ke berbagai unit atau bidang khusus penanganan konflik di beberapa kementerian dan lembaga negara, berbagai Peraturan Daerah (Perda) tentang pembangunan peka konflik, serta yang terakhir dan menuai banyak kritik adalah Inpres No.2 tahun 2013 tentang Tim Terpadu Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Lahirnya sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan isu konflik di atas, bagi pegiat perdamaian, belum menggeser substansi konflik yang jauh lebih kompleks, tidak sekadar pada isu keamanan dan tanggap darurat pasca bencana sosial. Dalam kata lain, kebijakan-kebijakan tersebut memiliki problem secara paradigmatik, strategi maupun pendekatan dalam menyikapi konflik. Implikasinya adalah semakin memberi ruang intoleransi, mengedepankan “strategi pemadam kebakaran� dan tidak mendorong partisipasi masyarakat. Sehingga wajar apabila konflik 70

sosial dan sumber daya alam terus berjalan tanpa adanya penyelesaian yang tuntas. Wilayah rawan konflik sosial bisa dimaknai sebagai wilayah yang rentan dengan gangguan berbagai tindak kekerasan, baik berkenaan dengan isu politik, sosial, ekonomi, budaya maupun berkenaan dengan masalah agraria (natural resources). Pada umumnya sebagian besar wilayah Indonesia adalah masuk kategori wilayah rawan konflik. Hal ini ditandai dengan mudahnya terjadi kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia berkenaan dengan menyeruaknya isu-isu tersebut , tak terkecuali di Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Ketika di sebuah wilayah rawan konflik telah terjadi pengerahan massa besar-besaran di wilayah yang diperebutkan yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dan pembelahan sosial di masyarakat yang berbasis pada sumber daya politik, ekonomi dan sosial-budaya, maka wilayah tersebut masuk ke dalam kategori wilayah konflik. Di dalam situasi ini, selain terjadi kekerasan yang reguler dan sistematis, fungsi-fungsi juga pemerintahan lumpuh dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan tidak bekerja. Dengan menggunakan perspektif CEWS (Conflict Early Warning System), maka wilayah ini masuk dalam fase kekerasan terbatas dan kekerasan masif. Dalam kekerasan terbatas, perbedaan antar kelompok menguat dan usaha untuk melakukan klaim atau penguasaan terhadap sumber daya yang ada tidak lagi dilakukan dengan menggunakan caracara damai dan menggunakan mekanisme penyelesaian resmi yang ada tetapi dilakukan dengan menggunakan kekerasan yang sistematis dan reguler. Kedua belah pihak meyakini bahwa penggunaan 71


kekekerasan adalah mekanisme yang sah untuk dilakukan demi menyelesaikan persengketaan yang ada daripada penggunaan mekanisme penyelesaian yang resmi dan damai. Yan penting untuk dicatat di dalam fase kekerasan terbatas ini adalah bahwa meskipun tindak kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak terjadi secara sistematis dan reguler, tetapi tidak semua tindak kekerasan bisa dijustifikasi penggunaannya. Penggunaan kekuatan militer hanya ditujukan secara spesifik terhadap mereka yang terlibat konflik kekerasan, misalnya untuk menghancurkan kekuatan pemberontak tetapi pada saat yang sama tetap melindungi mereka yang terjebak di daerah konflik. Wilayah pascakonflik adalah kategori ketiga dari tiga kategori wilayah berdasarkan situasi konflik yang terjadi. Di wilayah ini, tindak kekerasan yang reguler, terukur dan tanpa batas tidak lagi bisa ditemui tetapi pada saat yang sama roda pemerintahan belum bisa berjalan dengan normal. Fasilitasfasilitas penting untuk menjalankan roda pemerintahan dan fasilitas-fasilitas layanan umum mengalami kerusakan akibat konflik kekerasan yang terjadi sebelumnya. Kehidupan sosial ekonomi masih terseok-seok dan secara sosial-politik masih terjadi segregasi yang cukup tajam antar pihak-pihak yang sebelumnya terlibat konflik kekerasan. Dalam perspektif CEWS, wilayah ini masuk dalam kategori fase abatement (pengurangan) dan fase settlement (penyelesaian). Dalam fase abatement, pertentangan dan 72

penggunaan kekerasan oleh para pihak yang berkonflik tidak lagi terjadi. Namun, sifat dari berhentinya pertentangan dan penggunaan kekerasan ini hanyalah temporer, dan kemungkinan untuk berubah lagi menjadi konflik kekerasan terbatas maupun massif, masih mungkin terjadi. Pada saat yang sama, apabila pada fase ini terjadi usaha-usaha untuk membangun atau membangun kembali institusi-institusi resmi pemerintahan yang ada di wilayah pascakonflik yang dilakukan secara bersama-sama oleh kedua belah pihak yang sebelumnya berkonflik, maka fase ini dinamakan fase penyelesaian. Rekomendasi Pendekatan yang bertujuan menyambungkan hubungan sosial yang retak, dan dalam waktu bersamaan juga diharapkan mengatasi kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan dan membangun perdamaian berkelanjutan. Pendekatan rekonsiliatif dan transformatif yaitu menjawab persoalan kebenaran, terkait dengan apa yang diingat dan bagaimana mengingatnya, keadilan (apa yang bisa dilakukan saat ini untuk menyeimbangkan relasi), dan pengampunan dan perdamaian (menentukan faktor-faktor untuk memulai hubungan yang baru dan memperkuat satu dengan yang lain). Sehingga model intervensi harus selalu memperhatikan kebutuhan menyatukan kembali pihakpihak yang berkonflik dan mengarah pada perubahan pada perdamaian yang positif. Politik, keamanan dan pembangunan saling ber73


hubungan. Situasi konflik dan tidak aman akan memperberat ongkos pembangunan, tidak ada penghasilan dan meningkatkan ketimpangan. Masyarakat di daerah konflik meletakkan keamanan sebagai prasyarat penting untuk memulai kehidupan mereka dan bekerja seperti semula. Intervensi pembangunan yang tidak peka konflik bisa berkontribusi pada korupsi, perilaku predator di kalangan elit dan konflik kekerasan. Sehingga perlu memastikan apakah pembangunan memiliki dampak yang positif pada perubahan di masyarakat. Oleh karenanya menjalin kerjasama multisektor di tingkat internasional, nasional dan lokal sangat penting dengan menggunakan pendekatan hak dan rekonsiliasi, dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Meskipun tidak banyak perempuan yang terlibat dalam perjanjian formal perdamaian, tetapi banyak sejarah mencatat perempuan-perempuanlah yang memulai untuk syiar perdamaian. Memperkuat kapasitas perdamaian perempuan akan mempercepat transformasi relasional di dalam keluarga dan komunitas. Ini karena perempuan memiliki semangat mempertahankan kehidupan, sehingga daya lentingnya jauh lebih besar. Karakter komunal perempuan banyak membantu mempercepat proses tranformasi pada suami dan anak-anak mereka, kemudian sangat niscaya mengubah cara pandang komunitas. Potensi ini perlu diinstitusikan ke dalam organisasi untuk melakukan perubahan cultural dan struktural. UNR (UN Resolution) 1325 yang diturunkan ke dalam 74

Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Penanganan Konflik akan lebih mensistematisasi peran perempuan dalam pembangunan. Unsur penting lain adalah pemberian keadilan dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual selama konflik kekerasan, agar para korban bisa kembali hidup “normal� dan berkarya di masyarakat. IV. Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan Bagi Kelompok Rentan Kesenjangan adalah kosekuensi logis dari penerapan rezim ekonomi yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai paradigma, yang memikirkan kemudian pemerataannya setelah ada yang dibagi. Strategi pembangunan Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang sebenarnya tidak banyak bergeser dari trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan. Kalau di masa Orba, pertumbuhan ekonomi dijaga dengan stabilitas politik, kemudian pemerataan dilaksanakan dengan cara topdown. Sekarang sebenarnya nyaris sama namun lebih kacau. Stabilitas dijaga dengan demokrasi yang masih prosedural, sementara hasil pertumbuhan dihabiskan untuk ekonomi biaya tinggi, serta birokrasi tidak efektif dan produktif. Dan yang paling parah, merajalelanya korupsi sehingga tidak ada yang dibagi ke rakyat. Dengan demikian persoalan inequality adalah persoalan sejauh mana keperpihakan politik para penguasa terhadap rakyat yang memilihnya. 75


Keterbatasan ruang dan akses orang miskin dalam bidang ekonomi di pedesaan memaksanya untuk pergi ke perkotaan guna bekerja di pabrik. Hal itu disebabkan – salah satunya -- karena lambatnya pertumbuhan pasar rakyat sebagai tempat masyarakat melakukan aktivitas ekonomi, dan makin kencangnya laju perkembangan pasar modern (hypermart). Pertumbuhan gerai minimart dan hypermart mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008. Sementara jumlah pasar rakyat dalam kurun lima tahun cenderung stagnan. Meski pemerintah telah berupaya mengatasinya melalui kebijakan dan program pengembangan UMKM, seperti fasilitas permodalan bagi UMKM melalui KUR, dana bergulir, program kemitraan BUMN (PKBL), permodalan melalui PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, dan seterusnya. Namun program tesebut dinilai kalangan masih jauh dari harapan. Salah satunya, tergambar sekitar 79 persen masyarakat miskin Indonesia tidak memiliki akses pada layanan keuangan formal. Hanya 21persen penduduk yang berhubungan dengan layanan keuangan formal, yakni 19 persen berhubungan dengan bank dan 2 persen dengan layanan keuangan formal lain. Dalam tataran implementasi pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) terdiskriminasi dalam strategi pembangunan dibanding usaha besar. Oleh karenanya, pemerintah perlu mendorong pengembangan 76

UMKM yang terintegrasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Sektor ini memiliki jumlah partisipan yang cukup besar, yaitu 53 juta pelaku usaha mikro, 60 persen diantaranya adalah perempuan (Kemenkop dan UMKM 2010). Usaha ini juga yang banyak dimasuki kelompok miskin dan rentan miskin. Sehingga pemerintah bisa menanggulangi kemiskinan bagi sekitar 23 persen penduduk Indonesia. Kenyataannnya, meskipun penyebaran program pengembangan UMKM terdapat di sejumlah kementerian, baik yang ada di bawah kementerian ekonomi, seperti Kementerian Koperasi dan UMKM, maupun yang ada di bawah wewenang Menko Kesra (seperti Kementrian Sosial). Termasuk Kementrian Dalam Negri, salah satu contohnya program SPP (simpan pinjam perempuan) yang diberikan kepada kelompok perempuan miskin. Namun program pada dua kementrian tersebut tidak bersinegi dengan program pengembangan UMKM di bawah Kementerian Koperasi dan UMKM, yang jelas lebih fokus kepada “peningkatan kapasitas� pengusaha. Catatan suram juga terjadi pada para penyandang disabilitas atau penyandang cacat, yang merupakan komunitas atau kelompok masyarakat yang termarjinalkan dan terdiskriminasi di hampir seluruh hak-haknya sebagai sesama manusia, maupun sebagai warganegara. World Health Organization (WHO) memperkirakan ada sekitar 10 persen dari populasi penduduk atau sekitar 23 juta orang. Angka yang tidak sedikit untuk komunitas warga negara 77


yang tidak mendapatkan perhatian dengan adil dan benar. Sampai saat ini, perspepsi umum terhadap penyandang disabilitas masih dalam cara pandang “normal� dan “tidak normal� yang menguatkan potensi diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Sejatinya ia ditempatkan sebagai subyek dalam segala urusan masyarakat akan menjauhkan potensinya untuk terlibat menyelesaikan masalah serta akan terus menjadi beban bagi berbagai pihak. PBB telah mengeluarkan kebijakan Convention on the Right of Persons with Dissability (CRPD) pada Desember tahun 2006 yang mendorong negara-negara yang menandatanganinya untuk meratifikasi serta mengimplementasi di negaranya. Indonesia meratifikasi konvensi CRPD dengan disahkannya Undang-undang No. 19 tahun 2011 pada bulan November 2011, serta tercatat dalam lembar negara RI tahun 2011 No.107, membuka era baru bagi para penyandang disabilitas diseluruh dunia yang mengusung kesetaraan hak (right) bagi para penyandang disabilitas dari berbagai aspek kehidupan Sayangnya isu disabilitas tidaklah menjadi suatu isu yang dibahas tersendiri dalam MDGs, sejak dicanangkannya namun menjadi cross cutting. Jika kita ingin mengevaluasi keberhasilan MDGs 2000 - 2015 dalam konteks isu disabilitas sangat sulit, karena hanya menjadi bagianbagian kecil dari delapan kategori yang dicanangkan serta sangat bergantung bagaimana pemerintah negara masingmasing dalam memandang, apakah isu disabilitas menjadi perhatian dalam melaksanakan serta mencapai delapan 78

kategori yang diamanahkan. Pemerintah Indonesia, cenderung tidak memasukan secara khusus isu disabilitas dalam program MDGs, namun lebih pada melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan seperti UUD 1945, Undang-Undang No. 04 tahun 1997 tentang penyandang cacat (saat ini sedang pembahasan RUU pengganti sesuai Undang-undang No.19 tahun 2011) dan beberapa perangkat Peraturan Menteri yang ada. Akibatnya penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 23jutaan menjadi kelompok yang benar-benar termajinalkan dan terdiskriminasi. Ditahun 2011 PBB menerbitkan suatu Formula Disabilitas dalam MDGs, dimana dalam empat tahun sisa implementasi MDGs, diharapkan isu disabilitas terimplementasi dalam bentuk kebijakan maupun pelaksanaan dengan pengintegrasian program MDGs yang sedang berjalan dengan isu disabilitas dari tahun 2010 sampai berakhirnya MDGs 2015, serta pasca 2015. Sebagai kelompok yang terdiskriminasi dari berbagai kehidupan, keberadaan penyandang disabilitas sangatlah sulit untuk mendapatkan akses pekerjaan, serta pemberdayaan diri yang berujung pada ketidakmampuan dalam hal ekonomis yang memiskinkan. Angkatan kerja produktif penyandang disabilitas sangat sulit mendapatkan pekerjaan walau perangkat kebijakan seperti UndangUndang No.04 tahun 1997, dalam petunjuk pelaksanaannya mempersyaratkan keberadaan satu penyandang disabilitas 79


untuk 100 pekerja dalam suatu perusahaan. Hal ini boleh dikatakan tidak berjalan, walau sanksi atas tidak dilaksanakannya cukup jelas dan tegas. Dan ini kembali berawal dari persepsi serta kepedulian penentu kebijakan di Perusahaan dalam pola rekrutment tenaga kerja. Di samping itu, jika kita berbicara tingkat pendidikan dan kemampuan kerja penyandang disabilitas amatlah rendah. Karena akses untuk mendapatkan pendidikan sangatlah sulit dan berliku, belum lagi keberadaan balaibalai latihan tenaga kerja yang sering tidak memberikan kemampuan berdasarkan apa yang dibutuhkan pasar kerja. Mentalitas penyandang disabilitas sebagai objek yang harus dikasihani, dan objek charity semakin membuat terpuruknya kondisi penyandang disabilitas yang selalu berharap dari belas kasih orang lain. Program Sekolah Inklusi diharapkan bisa menjawab ketersediaan Sekolah bagi penyandang disabilitas, namun hal ini masih butuh perjuangan panjang dengan sejumlah problematik yang ada didalamnya seperti: aksesibilitas infrastuktur, ketersedian guru bantu khusus, ketersediaan dana pendukung, belum lagi kesiapan inklusif dalam artian sebenarnya. Termasuk persepsi lingkungan sekolah yang juga harus kondusif menerima penyandang disabilitas. Pendanaan program BOS contohnya, menyamaratakan pendanaan sebesar Rp 150 ribu / siswa /bulan. Sementara kebutuhan bagi siswa seorang tunanetra berkisar Rp 300 ribu per bulan, sedangkan untuk siswa 80

tunagrahita Rp 650 ribu per bulan. Dari gambaran ini bagaimana cara menutupi kekurangan operasional pendidikan bagi penyandang disabilitas tentulah hal ini menjadi problem tersendiri. Rasio kebutuhan guru bantu khusus sangat tak berimbang dengan jumlah penyandang disabilitas pada usia sekolah. Belum lagi masih banyak guru bantu khusus yang ada, keberadaannya masih menjadi guru honorer selama bertahun-tahun padahal keberadaan mereka sangat dibutuhkan. Realitas yang lebih berat dihadapi wanita dengan penyandang disabilitas mengalami multidiskriminasi dalam hal gender dan psikologis. Kesetaraan gender tampak masih sedikit memperjuangkan keberadaan wanita penyandang disabilitas. Contohnya dalam satu pasal Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan: “Bahwa laki-laki boleh menikah lagi atau menceraikan isterinya apabila isteri tersebut mengalami disabilitas�. Hal ini mengakibatkan posisi perempuan penyandang disabilitas mengalami multidiskriminasi, dalam hal mengekspresikan hak-hak berkeluarga, seksualitas dan hak reproduksi. Multidiskriminasi yang dihadapi wanita penyandang disabilitas karena mereka merupakan perempuan, penyandang disabilitas, dan miskin. Miskin dalam hal berbagai akses kehidupan yang mestinya menjadi hak wanita penyandang disabilitas itu sendiri. Mengutip Buku Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, dari almarhum Mansour Fakih, bahwa perbedaan gender (gender differences) sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak 81


melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi masalah, ternyata perbedaan gender melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni, marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereoptip negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Dalam hubungannya dengan isu gender, yang akhirakhir ini semakin kuat gaungnya, perlakuan dan asumsi pemerintah maupun masyarakat terhadap penyandang dissabilitas perempuan masih bias gender. Artinya bahwa eksistensi penyandang dissabilitas perempuan masih ‘dianggap’ belum memiliki kemampuan bila dibandingkan dengan laki-laki. Terlihat adanya subordinasi dan marginalisasi terhadap penyandang disabilitas perempuan, terbaca dalam publikasi Economic Social Commission for Asia Pasific (ESCAP) : “Di antara para perempuan, penyandang disabilitas perempuan dipandang sebagai inferior (rendah), begitu pula di antara penyandang disabilitas yang lain terutama laki-laki. (Women and Girls with Disabilities in The Asia and Pasific Region, ESCAP, 1995). Demikian pula pada kelahiran anak penyandang disabilitas, dianggap menjadi petaka bagi keluarga. Pola pandang sebagai petaka bahkan kesialan terbentuk karena 82

persepsi bahwa dissabilitas adalah dosa, kutukan akibat suatu kesalahan dan tak jarang hal ini menjadi konflik berkepanjangan bagi suatu keluarga. Penerimaan anak yang lahir sebagai penyandang disabilitas, sangat sulit bahkan tak jarang dibuang oleh keluarganya karena tak siap dengan kondisi yang ada. Ketidaksiapan dalam menerima kelahirannya sering mengakibatkan perlakuan, perawatan menjadi tak manusiawi yang berujung pada kematiaan sang bayi. Ketimpangan juga terjadi pada akses pendidiksan bagi perempuan. Secara umum akses perempuan dan anak perempuan terhadap pendidikan lebih kecil dari laki-laki. Hal ini dibuktikan dari data yg menunjukkan bahwa jumlah anak perempuan dan laki-laki yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan dasar. Jumlah anak perempuan yang berhasil menyelesaikan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), setara dengan jumlah anak laki-laki yang berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat SD. Namun jumlah anak perempuan yang berhasil lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) lebih kecil dari jumlah anak laki-laki yang lulus SLTP. Fenomena itu berlanjut pada tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), anak perempuan yang berhasil lulus (SLTA), jauh lebih sedikit dari jumlah anak laki-laki. Perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki yang berhasil lulus dari sekolah SLTP dan SLTA di pedesaan menunjukkan 83


ketimpangan yang lebih besar ketimbang di perkotaan, untuk jenjang pendidikan yang sama. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan gender (gender gap) dalam kesempatan memperoleh pendidikan, serta menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar ketimpangan gender pada jenjang tersebut.. Akses untuk meningkatkan kualitas sebagai pendidik juga menunjukkan adanya ketimpangan kesempatan antara guru di pedesaan dan di perkotaan. Guru di perkotaan lebih memiliki akses lebih besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan daripada guru yang tinggal di pedesaan. Ketimpangan tersebut semakin tajam seiring dengan kebijakan sertifikasi mutu pendidik yang diberlakukan oleh pemerintah. Karena guru di perkotaan lebih mudah memenuhi persyaratan peningkatan mutu sebagai pendidik, dibandingkan guru yang tinggal di pedesaan. Guru perempuan di pedesaan dan di jenjang pendidikan SD hampir rata-rata tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan mutu sebagai pendidik ataupun pesryaratan sertifikasi pendidik. Begitu pula jumlah perempuan yang buta huruf lebih banyak dari jumlah laki-laki yang buta huruf. Di pedesaan, jumlah perempuan yang buta huruf hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang buta huruf. Sedangkan di perkotaan, selisihnya lebih sedikit. Kemudian jumlah perempuan yang tidak cakap berbahasa resmi negara (bahasa Indonesia) lebih besar dari pada jumlah laki-laki. Jika dibandingkan antara perkotaan dan pedesaan 84

menunjukkan bahwa di pedesaan lebih banyak penduduk yang tidak cakap berbahasa Indonesia dibandingkan dengan penduduk di perkotaan, yang umumnya bisa berbahasa Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Akses perempuan terhadap Sumber Daya Alam (SDA), terutama akses terhadap tanah, juga lebih kecil dari pada laki-laki. Rendahnya akses perempuan terhadap SDA – terutama tanah- disebabkan oleh pembakuan peran dalam keluarga berdasarkan ajaran agama, budaya dan peraturan perundang-undangan. Pembakuan peran laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah menjadi dasar bagi pemberian hak atas tanah bagi laki-laki. Sementara hak atas tanah bagi perempuan menjadi lebih kecil atau sama sekali tidak memiliki hak atas tanah, karena perempuan ditempatkan sebagai pihak yang menjadi tanggungan lakilaki. Dalam komunitas masyarakat adat, tidak dikenal hak atas tanah bagi perempuan. Hal ini dibuktikan dengan realitas, bahwa semua hak atas tanah ulayat adalah milik laki-laki dalam komunitas tersebut. Di samping itu, negara memiliki peran besar dalam pengabaian hak atas tanah bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan sertifikasi tanah masyarat dalam kebijakan tata kelola pertanahan, misalnyadalam program sertifikasi hak atas tanah transmigran hanya atas nama Kepala Keluarga. Akses perempuan terhadap sumber-sumber permodalan untuk usaha melalui perbankan, juga lebih kecil daripada 85


laki-laki. Hal ini terjadi karena perempuan tidak memiliki aset untuk jaminan/anggunan untuk memperoleh pinjaman permodalan dari bank. Disamping itu standard prosedur yang harus dipenuhi untuk memperoleh kredit tidak ramah terhadap perempuan, karena rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi. Akses permodalan untuk usaha tani yang dilakukan perempuan jauh lebih kecil dari akses permodalan untuk usaha industri kecil. Jumlah uang yang dapat dipinjam oleh perempuan petani untuk usaha tani tidak sesuai dengan kabutuhan dana yang harus disediakan untuk pertanian. Di samping itu, tata cara pembayaran kredit pertanian yang diberlakukan sama dengan usaha industri kecil, yaitu membayar secara bulanan, bukan berdasarkan perolehan hasil panen, mengakibatkan perempuan petani terjebak pada praktik menggali utang untuk menutup utang sebelumnya. Dalam hal pendidikan bagi anak-anak, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan standar pelayanan minimal bidang pendidikan sebagai upaya secara terbuka untuk meningkatkan layanan dan akses pendidikan di seluruh negeri. Namun kenyataan menunjukkan bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia mulai SD hingga SMA/ SMK masih belum melewati mutu Standar Pelayanan Minimum. Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah Standar Pelayanan Minimum, 48,89 persen pada posisi Standar Pelayanan Minimum, hanya 10,15 persen yang memenuhi standar 86

nasional pendidikan, dan 0,65 persen rintisan sekolah bertaraf internasional.44 Bukti lain di Sulawesi Selatan pemerintah daerah belum siap memenuhi SPM pendidikan dasar45. Kemunculan kebijakan standar pelayanan minimal (SPM) bidang pendidikan yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia ketika persoalan daya tampung sekolah menengah pertama belum terselesaikan dengan baik sehingga makin memperjelas fakta seperti masih adanya anak yang harus berjalan kaki lebih jauh dari yang distandarkan oleh SPM dan bahkan anak dan keluarganya malah memilih sekolah yang lebih jauh daripada sekolah yang terdekat yang sebetulnya secara jarak tempuh memenuhi SPM mengingat alasan kualitas layanan pendidikan sekolah. Tujuan pamungkas pendidikan bisa mengacu pada realisasi diri manusia secara penuh sehingga tujuan pendidikan lebih berkaitan dengan tugas-tugas untuk meneliti potensi-potensi yang ada dalam diri manusia dan membuat proyek yang membantu manusia supaya dapat merealisasikan potensi dirinya secara penuh46. Persoalan ketidakmampuan daya tampung SLTP termasuk pada jenjang berikutnya, diikuti dengan adanya persoalan memarginalkan anak-anak yang berada di desa-desa terpencil atau wilayah-wilayah yang sulit dijangkau, anak44 45

46

Dikutip dari http://balitbangnovda.sumselprov.go.id/berita/129 berita tanggal 13 Agustus 2012 Disampaikan dalam Seminar Nasional setengah hari dalam rangkaian kegiatan Fajar Institute Pro-Otonomi (Fipo) di Hotel Sahid, Makassar, Sabtu (30/6/2012) Dikutip dari : Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Berkarakter. Jakarta: Grasindo

87


anak dari keluarga yang tidak memiliki kemampuan pembiayaan pendidikan anak dan anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan-kecerdasan lain. Seharusnya tidak perlu ada kompetisi dalam mengakses pendidikan. Pendidikan adalah hak anak maka ada pihak-pihak yang seharusnya memenuhi hak ini bukan menciptakan kompetisi dalam mengakses pendidikan. Hal positif sudah digagas oleh Pemerintah Indonesia melalui kebijakan SD dan SMP satu atap yang telah diujicobakan di beberapa wilayah di Indonesia. Dengan cara seperti itu seluruh anak yang menyelesaikan pendidikan kelas 6 dapat ditampung seluruhnya di kelas 7 yang setara kelas 1 SMP/SLTP. Kebijakan ini perlu diupayakan menyeluruh di wilayah Indonesia, khususnya di daerah-daerah terpencil yang memiliki tingkat kesulitan akses yang tinggi. Kebijakan seperti ini akan membantu meniadakan upaya pungutanpungutan yang beragam tujuan alokasinya. Rekomendasi : Bidang kesejahteraan melalui UMKM 1) Negara perlu mendorong pengembangan UMKM yang terintegrasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional sebagai salah satu solusi untuk penanggulangan kemiskinan. 2) Negara perlu mendorong tumbuh kembang lembaga koperasi, karena dapat berperan sebagai lembaga penyalur pembiayaan usaha mikro kecil, peningkatan kapasitas, akses market, dsb. Selain itu, koperasi secara 88

kelembagaan dimiliki seluruh anggota, sehingga berpeluang besar bagi banyak orang. 3) Berkaitan dengan program bantuan permodalan usaha pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan terkait fasilitasi permodalan UMKM, seperti perlunya penyederhanaan birokrasi dan prosedur dalam penyaluran permodalan usaha. 4) Pemerintah perlu memberikan program peningkatan kapasitas bagi pelaku usaha yang telah mendapat dana bergulir, berupa aspek pendampingan yang terdiri dari (pelatihan produksi, manajemen usaha, informasi sumber permodalan usaha, hingga penciptaan akses pasar ). Untuk melaksanakannya pemerintah bermitra dengan pihak terkait (koperasi, perbankan,LSM,mahasiswa, perusahaan, dsb). 5) Program penanggulangan kemiskinan perlu memberlakukan kuota keterlibatan perempuan dalam partisipasi, akses, pengambilan keputusan dan kontrol yang berkaitan dengan program-program pengembangan usaha. 6) Negara perlu mengefektifkan peran lembaga yang telah ada, seperti TKPK Nasional/Daerah sebagai lembaga yang berwenang melakukan koordinasi nasional dan daerah secara integratif. Kelompok Disabilitas 1. Rasio tenaga kerja disabilitas. Kebijakan alokasi 89


1persen penyandang disabiltas tidak berjalan kecuali di perusahaan asing. Harus proporsional dalam menentukan rasio ketersediaan lapangan kerja bagi penyandang dissabilitas mengingat komposisi jumlahnya yang mencapai 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia. 2. Fasilitas dan infrastuktur yang aksesibel sesuai amanah CRPD yang sudah di Undang- Undang kan. 3. Partisipasi dalam pemilu. Hak politik penyandang disabilitas merupakan Hak Asasi Manusia, yang mendapatkan hak politik termasuk aksesibilitas terhadap perangkat dan pendukung yang berhubungan dengan Pemilihan Umum, keterwakilan pada lembagalembaga negara dan hak sebagai warga negara untuk menjadi pemimpin pada tingkatan apapun sesuai dengan ekspetasi penyandang disabilitas. Hilangkan terminologi sehat “jasmani dan rohani� atau “normal dan tidak normal�. 4. Integrasi dalam masyarakat. Terciptanya kesetaraan bagi penyandang disabilitas pada akhirnya terintegrasi pada suatu tatanan masyarakat yang inklusif dalam harmoni, dinamis, saling menghargai dan menerima. Kesetaraan dan Keadilan Gender 1. Pengurangan Kemiskinan dan keberlanjutan Pembangunan akan terwujud apabila ketimpangan Kesetaraan dan keadilan Gender dihapuskan. 90

Karenanya, visi, prinsip dan agenda Pembangunan Paska MDG 2015 harus mengintergasikan pengarus utamaan gender yang mencakup keseteraan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan bagi laki-laki dan perempuan. 2. Partisipasi penuh dan sejati dari kaum perempuan dalam pembangunan dan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang substantif akan terwujud bila secara terencana dilakukan program pemberdayaan perempuan, termasuk di dalamnya memberlakukan kebijakan Tindakan Khusus Sementara (Temporary Special Measurement). 3. Upaya pemberdayaan perempuan hanya dapat mencapai hasil yang bermakna apabila segala kondisi dan situasi yang mengakibatkan kerentanan perempuan terhadap segala tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM hanya akan terwujud apabila perempuan memiliki pengetahuan dan informasi serta kesadaran kritis terhadap hak-haknya. Untuk itu perlu dilakukan pendidikan kritis tentang HAM dan Keadilan Gender bagi perempuan, serta peningkatan kepemimpinan perempuan agar perempuan dapat menyuarakan dan melakukan pembelaan terhadap kepentingannya. 4. Data terpilah gender yang akurat, dan kecakapan perencana pembangunan untuk menggunakan data tersebut dalam perumusan perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran perlu ditingkatkan. 91


Akses Pendidikan 1. Pembangunan bidang pendidikan kedepan harus memiliki tujuan pada realisasi diri manusia secara penuh sehingga tujuan pendidikan lebih berkaitan dengan tugas-tugas untuk meneliti potensi-potensi yang ada dalam diri manusia dan membuat proyek yang membantu manusia supaya dapat merealisasikan potensi dirinya secara penuh. Tujuan pendidikan demikian seharusnya dialami oleh seluruh anak tanpa terkecuali dengan segala sarana dan prasarana pendukungnya. Hal seperti ini merupakan mandat bagi negara untuk dipenuhi. 2. Terkait agenda pembangunan pasca 2015 maka perlu adanya pengutamaan pada akses kepada tempat layanan pendidikan dengan kualitas merata di seluruh negeri bagi semua anak khususnya anak yang beresiko termarginalkan oleh pembangunan bidang pendidikan tanpa dihambat oleh masalah pembiayaan pendidikan. 3. Persoalan akses layanan pendidikan akan teratasi bila negara menyelenggarakan pembangunan bidang pendidikan yang mengembangkan operasi layanan pendidikan yang sejalan tujuan pendidikan yang membantu manusia supaya dapat merealisasikan potensi dirinya secara penuh termasuk pengembangan semua potensi kecerdasan anak.

92

V.

Pembiayaan: Melipatgandakan Alokasi Bagi Kelompok Rentan

Pembiayaan pembangunan merupakan salah satu pembicaraan terhangat dalam dinamika pembangunan global. Mengingat pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas kesehatan, akses terhadap pendidikan, pembangunan infrastuktur dan lainnya memerlukan pendanaan yang besar dan berkesinambungan. Tidaklah mungkin jika negara-negara miskin harus membiayai sendiri program pembangunannya, sementara pendapatan negaranya sangat kecil. Karenanya pembiayaan pembangunan menjadi tanggung jawab berbagai aktor, baik negara maupun non-negara. Namun dalam perkembangannya, selalu muncul tarik-menarik kepentingan, antara negara maju dengan negara berkembang-miskin, serta dengan lembaga multilateral dan perusahaan multinasional, terkait peran dan tanggung jawab yang harus dipikul bersama dalam hal pembiayaan pembangunan bagi negara berkembang dan miskin. Idealnya, tiap manusia harus menjadi dan dijadikan subyek sekaligus obyek pembangunan tetapi ini perkara yang sangat sulit diwujudkan. Bila relasi sama-sama menjadi subyek sekaligus menjadi obyek dapat terwujud, maka peluang bagi individu-individu untuk menghasilkan pendapatan secara mandiri, bersosialisasi dan berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan akan terbuka lebar. Kondisi inilah yang memungkinkan terwujudnya, jika meminjam 93


istilahnya Amartya Sen, pembangunan sebagai langkah pembebasan. Namun, idealisasi tersebut nampaknya masih ‘jauh panggang dari api’. Banyak praktik pembangunan yang justru menjadi medium dari penindasan manusia atas manusia lainnya. Agenda pembangunan pasca 2015 perlu bertumpu pada aspirasi negara berkembang dan miskin. Sebagaimana kita tahu, selama ini, MDGs bertolak dari rumus sederhana, yaitu, ODA ditambah dengan mobilisasi sumber dana dalam negeri, plus Good Governance, akan mampu menjadi pilar dan instrumen bagi tercapainya MDGs. Dalam rumus itu, dicanangkan iuran ODA negara maju akan sebesar 100 miliar dolar per tahun. Mobilisasi sumberdaya dalam negeri artinya, perolehan pajak yang terus meningkat dan kemudian dialokasikan untuk membiayai target-target MDGs. Asumsi tersebut kiranya tidak berjalan. Baik karena ketidakpatuhan maupun karena arti pentingnya yang keliru yaitu MDGs disederhanakan menjadi dana dari negara maju (MDGs= donorising and dolarising) (Vandermortele, 2012) Rumus tersebut diatas kiranya sudah tidak cocok untuk digunakan pasca 2015. Karena beberapa fakta: (a) ODA tidak bisa menjadi satu-satunya sumber karena jumlahnya yang tidak signifikan terutama bagi negara menengah seperti Indonesia, Brazil, dan sebagainya (b) sumber lain seperti pajak lebih signifikan baik masa kini maupun 5-10 tahun ke depan (c) selain pajak, sumber pendanaan yang meningkat adalah remitansi dari buruh migran, baik 94

bagi negara menengah maupun negara-negara miskin. (Greenhill dan Prizzon, 2012) Bantuan pembiayaan pembangunan harus mengedepankan nilai dan prinsip “financing for development based on human rights� yang artinya bantuan pembangunan tidak boleh digunakan untuk mendukung pembiayaan atas praktik-praktik yang melanggar HAM dan harus digunakan untuk pemenuhan hak-hak dasar hidup manusia (rights based approach) seperti makanan, pendidikan dan kesehatan baik untuk laki-laki maupun perempuan secara integral. Prinsip-prinsip pokok yang menjadi landasan bagi aktor-aktor pemberi bantuan pembiayaan pembangunan dalam menyalurkan uang dan keahliannya di berbagai negara. Sebab bilaa tidak berdasarkan prinsip yang kuat, maka bantuan pembangunan akan disalahgunakan oleh penguasa negara tertentu dengan cara dikorupsi, atau melakukan penindasan kepada rakyatnya dengan dalih pembangunan Bantuan pembangunan juga harus menjadi alat untuk menegakkan martabat dan identitas (baik secara individu maupun secara kolektif ), sehingga dana yang ada diarahkan untuk mendukung terlaksananya perlindungan HAM, jaminan sosial dan keadilan sosial serta dialokasikan untuk memerangi eksklusi sosial dan diskriminasi. Tak kalah penting juga mencerminkan upaya untuk membenahi keadilan hubungan Utara dan Selatan, yaitu dengan mengoreksi berbagai institusi dan praktik yang 95


selama ini merugikan negara miskin dan berkembang, antara lain melalui pembenahan rejim perpajakan internasional. Termasuk Mengimpelemtasikan prinsip-prinsip efektifitas dan akuntabilitas bantuan (aid accountability and effectiveness), bahwa bantuan pembiayaan pembangunan harus dibelanjakan secara efektif dengan berpegang pada prinsip Paris Declaration dan Busan Parthnership. Maka mulai dari perencanaan dan implementasi harus didasarkan kepada kebutuhan dan kemampuan negara miskin dan berkembang. Tabel 1: Prinsip-Prinsip Dasar Efektifitas Bantuan Pembangunan Monterrey

Paris Declaration

Busan Partnership

Consensus 1) Mobilizing

2ZQHUVKLS

2ZQHUVKLS RI

domestic

Partner

development

resources;

countries

priorities by

exercise

developing

international

effective

countries;

ÀRZV

leadership

3) Promoting

over their

results (impact

international

development

on eradicating

trade as an

policies, and

poverty and

engine for

strategies and

reducing

development;

co-ordinate

inequality, on

development

sustainable

actions

development,

2) Attracting

96

2) Focus on

Monterrey

Paris Declaration

Busan Partnership

Consensus 4) Increasing

2) Alignment:

and on

international

Donors base

enhancing

¿QDQFLDO DQG

on partner

developing

technical

countries’

countries’

cooperation for

national

capacities)

development;

development

5) Sustainable

3) Inclusive

strategies,

development

GHEW ¿QDQFLQJ

institutions and

partnerships;

and external

procedures;

debt relief; and

3) Harmonisation:

6) Enhancing the

4) Transparency

Donors’ actions

and

coherence and

are more

accountability

consistency of

harmonized,

to each other.

the international

transparent

monetary,

and collectively

¿QDQFLDO DQG

effective;

trading systems.

4) Managing for Results; 5) Mutual Accountability.

(Sumber: OECD, UN, Open Forum, Better Aid etc., 2012) Prinsip-prinsip Bantuan: x Menghargai dan memenuhi komitmen global terkait pembiayaan pembangunan: 97


Negara maju (anggota DAC-OECD) harus memenuhi target besaran ODA (official development assistance) sebesar 0,7persen dari total GNI untuk mendorong pencapaian MDGs. Bagi negara yang belum memenuhinya, anggaran untuk bantuan pembangunan harus naik secara terus-menerus agar paling lambat pada 2015 mencapai terget tersebut. x Mengalokasikan dana bantuan pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan barang publik (public goods): Dana bantuan pembangunan harus di-earmark untuk dialokasikan bagi penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan barang publik (air bersih, energi dan lainlain) x Mengalokasikan dana kepada CSO’s:

biayaan luar negeri. Pembiayaan domestik bersumber dari masyarakat, korporasi dan pemerintah (pajak dan pendapatan negara bukan pajak). Dalam sistem pembiayaan pembangunan internasional, pembiayaan luar negeri meliputi: bantuan (ODA, donasi dari yayasan swasta nonprofit dan pembiayaan dari NGOs internasional), investasi asing, perdagangan internasional, utang luar negeri, pengampunan utang dan remittance. Yang penting untuk digarisbawahi adalah: (a) bantuan pembangunan tidak selalu berupa uang namun juga meliputi bantuan teknis, seperti keahlian dan SDM (b) bantuan pembangunan tidak hanya dalam skema hibah, namun juga skema pinjaman/utang yang berbunga dan harus dikembalikan. Tabel 2: Sistem Pembiayaan Pembangunan Internasional

Dana bantuan pembangunan harus di-earmark untuk kelompok masyarakat sipil. Dukungan kepada CSO’s harus menjadi prinsip sebab CSO’s merupakan aktor pembangunan yang sangat signifikan. Dengan prinsip-prinsip seperti di atas, diharapkan dana bantuan pembangunan akan secara signifikan membantu negara miskin dan berkembang keluar dari ‘jebakan’ kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan dan informasi. Secara umum, sumber-sumber pembiayaan pembangunan meliputi: pembiayaan domestik dan pem98

(sumber: Katseli & Carey, OECD) 99


Skema bantuan pembiayaan pembangunan di atas, terkhusus hibah bilateral (ODA) dan multilateral, telah memicu lahirnya kritik dari berbagai kalangan. Sebab, pendekatan “standar-ganda” tetap dipraktikkan oleh negaranegara maju dalam memberikan bantuan. Di satu sisi sebagai wujud dari solidaritas kemanusiaan, tetapi di sisi lainnya berfungsi untuk merangkul kawan dan menundukkan lawan politik. Patut dicatat, bantuan pembangunan juga menerima pujian dari berbagai kalangan.47

menerima bantuan harus terus dimajukan. Monterrey Consensus dan Doha Declaration juga mengamatkan bahwa negara-negara maju harus mengalokasikan ODAnya untuk negara berkembang sebesar 0,7persen dari total GNI (Gross National Income) selambat-lambatnya tahun 2015, dan untuk tahun 2010 sekurang-kurangnya mencapai 0,5 persen. Lalu mematok (earmarking) sebesar 0,15 – 0,20 persen untuk dialokasikan secara khusus ke negara kurang berkembang (LDCs/less developed countries).

Salah satu prasyarat agar MDGs dapat tercapai adalah adanya kontribusi negara‐negara maju dalam memberikan bantuan pembangunan (ODA) untuk membantu negara‐ negara berkembang mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan target MDGs.

Laporan DAC (Development Assistance Committee) OECD merilis laporan bahwa rata-rata total ODA anggota DAC baru 0,31persen per/GNI (2011). Baru lima negara (Denmark, Luxembourg, Belanda, Norwegia dan Swedia) yang total ODA-nya di atas 0,7persen per/GNI. Rendahnya ODA menunjukkan bahwa komitmen negara-negara maju dalam kontribusinya terhadap pembangunan internasional masih rendah. Meskipun sebagian besar negara Eropa dan Amerika Serikat dalam tiga tahun terakhir mengalami krisis ekonomi, itu tidak dapat dijadikan alasan pembenaran, sebab ODA didasarkan pada prosentase terhadap GNI bukan berdasarkan nominal yang tetap.

Sejatinya, sebagai sudah ada berbagai kesepakatan atau komitmen global untuk mendorong efektivitas bantuan pembangunan. Diawali dari Monterrey Consensus (2002), Roma Declaration (2003), Paris Declaration on Aid Effectiveness (2005), Doha Declaration (2008), sampai Busan Partnership for Effective Development Cooperation (2011). Monterrey Consensus menegaskan bahwa kerjasama pembangunan yang efektif (mencapai target MDGs) di antara Negara-negara maju yang berperan sebagai kreditor/ donor dan negara-negara berkembang sebagai mitra yang 47

100

Bahagijo, S., Hoelman M.B., et al. (2012). Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok-Kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia, Yayasan TIFA, Jakarta, Juli.

101


Grafik 1: Prosentase dan Jumlah ODA 2011

Sumber: DAC-OECD, 2012 Dalam laporan United Nations High Level Debate on Financing for Development (Desember 2011), hampir semua panelis sepakat bahwa ODA dan Foreign Direct Investment (FDI) gagal secara efektif mengatasi meningkatnya kesenjangan. Anwarul K Chowdhury, Duta Besar UN untuk Negara-negara Miskin dan Kepulauan, menyatakan masalah terbesar dalam pengelolaan ODA dan FDI adalah uang yang mengalir ke negara berkembang tidak pernah bertahan lama dan kembali diinvestasikan lagi ke negara maju. Kritik berbagai kalangan juga ditanggapi secara serius oleh Jeffrey Sachs. Dia menyatakan bahwa kritik terhadap bantuan luar negeri sesuatu yang salah. Argumen Sachs mengacu pada data-data yang menunjukkan bahwa angka 102

kematian rata-rata di banyak negara miskin menunjukkan penurunan yang tajam dan bantuan program jaminan kesehatan memerankan peran penting dalam pencapain tersebut. Kira-kira sedunia ada 12 juta balita mati pada 1990, pada tahun 2010 angka ini turun menjadi 7,6 juta. Masih cukup tinggi, namun pencapaiannya cukup baik, aid works it saves lives.48 Secara sederhana dapat kita ambil poin utamanya; jumlah bantuan pembangunan resmi masih belum sesuai dengan konsensus internasional, pengelolaan bantuan pembangunan resmi belum transparan dan akuntabel, serta belum mempertimbangkan suara penerima bantuan sehingga bantuan kurang efektif mengatasi permasalahan rakyat di negara miskin-berkembang. Terlepas dari perdebatan di atas, bantuan pembangunan resmi sudah berjalan 6 dekade lebih. Di satu sisi dikritik dan di sisi lain dipuji-puji. Pajak juga merupakan salah satu isu paling hangat dalam perdebatan kebijakan di berbagai negara di dunia, sehingga pajak menjadi isu transnasional. Ini tidak terlepas dari fungsi pajak yang menjadi sumber utama pendapatan negara untuk memutar roda pemerintahan khususnya dalam pembiayaan pembangunan. Namun, sistem perpajakan sedang menghadapi dilema. Di satu sisi diandalkan sebagai sumber penerimaan negara terbesar dan paling berdaya lanjut (sustainable), di sisi lain sistem perpajakan menghadapi tekanan politis dan masih tingginya praktik 48

Sachs, Jeffrey. (2012). Aid Works, Project Syndicate New York, 12 Mei.

103


penghindaran dan pengelakan pajak di level domestik maupun internasional.

Chart 1: 20 Negara dengan Arus Keuangan Haram Tertinggi

Penghindaran dan pengelakan pajak lintas negara melalui praktik transfer pricing menjadi penyumbang utama atas illicit financial flows dari negara berkembang dan miskin ke negara-negara maju. Transfer pricing merupakan cara penghindaran dan pengelakan pajak secara kolosal dan global, antar-korporasi transnasional yang sejenis atau antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha sejenis dengan jalan melakukan transaksi barang atau jasa dengan harga yang tidak wajar. Misanya Coca-Cola company di Amerika Serikat membeli barang atau jasa kepada Coca-Cola di Prancis dengan harga yang tidak wajar untuk tujuan-tujuan tertentu (Tax Juctice Network/TJN, 2012).

Kurun 2001-2010 (US$ Miliar)

Illicit capital flows bersumber dari praktik bisnis kotor, ekonomi informal dan adanya juridiksi yang mendukung praktik pelarian pajak, misalnya masih banyaknya negaranegara yang masuk kategori tax havens (Fuest dan Riedel, 2012). Di bawah ini adalah daftar dua puluh negara berkembang yang arus keuangan ilegalnya tertinggi di dunia.

Sumber: GFI, 2012.

104

Peta sebaran tiap-tiap kawasan atas praktik illicit financial flows dari negara-negara berkembang sebagi berikut: kawasan Asia (61 persen), kawasan Western Hemisphere (15 persen), Timur Tengah dan Afrika Utara/ MENA (10 persen), kawasan Eropa (7 persen), kawasan Sub-Sahara Afrika (6 persen). Dari prosentase yang ada, terlihat jelas bahwa kawasan Asia menjadi kawasan ‘tersubur’ dari praktik haram ini.

105


Chart 2: Sebaran Arus Keuangan Haram Antar Kawasan (GFI, 2012)

basis pemajakan (tax base); dan tingkat kesadaran dan partisipasi publik dalam membayar pajak masih rendah. Kinerja pemerintah dalam memungut pajak belum optimal, tidak ada perluasan basis pemajakan (tax base) dan tingkat kesadaran dan partisipasi publik dalam membayar pajak masih rendah.49 Chart 3: Tax Ratio Indonesia vs Negara Miskin

Di Indonesia, permasalahan perpajakan tidak kalah pelik dengan perpajakan internasional. Kertas kerja Komisi Anggaran Independen (2012) dan Prakarsa Policy Review (2012) berhasil mengidentifikasi beberapa permasalahan pokok perpajakan Indonesia: Pertama, tax ratio (per-GDP) Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak pernah mencapai 14persen. Pada tahun 2007 (12,4 persen), 2008 (13,3 persen), 2009 (11,0persen), 2010 (11,3persen), 2011 (11,8), 2012 (12,7persen). Tahun 2013 diproyeksikan menjadi 12,8persen (Kemenkeu, 2012). Dibandingkan dengan negara-negara sebaya (lower middle income countries), tax ratio Indonesia sangat rendah dan jauh tertinggal dengan negara lain. Bahkan negara miskin tax ratio-nya sudah berada di kisaran 14,3persen. Rendahnya tax ratio menunjukkan: kinerja pemerintah dalam memungut pajak belum optimal; tidak ada perluasan 106

Sumber: IMF, 2011; APBN 2012, Prakarsa Policy Preview, 2012. Kedua, sumber penerimaan pajak masih belum mencerminkan asas keadilan. Struktur penerimaan PPh dalam realisasi APBN 2010 menunjukkan PPh Pasal 21 (PPh pegawai/karyawan) mencapai Rp 55,3 trilyun (18,6persen dari total penerimaan pajak) dan PPh Pasal 25/29 Pribadi (non pegawai/karyawan) hanya Rp 3,6 trilyun (1,2persen dari total penerimaan pajak). Hal ini jelas tidak adil karena 49

Budiantoro, Setyo & Prastowo, J. (2012). Rasio Pajak Rendah Utang Makin Menumpuk: Rasio Pajak Negara Miskin Lebih Tinggi dari Indonesia, Prakarsa Policy Review, Edisi #2, Prakarsa Jakarta.

107


orang pribadi usahawan yang seharusnya masuk kategori individu kaya (high wealth individuals) justru kontribusinya tidak signifikan. Di sini kita dapat disimpulkan sedikitnya jumlah orang pribadi usahawan yang terdaftar sebagai wajib pajak berpengaruh pada tingkat penerimaan pajak.50 Ketiga, masih tingginya praktik illicit financial flows dari Indonesia sehingga menghilangkan potensi penerimaan pajak. Di Indonesia, praktik transfer pricing yang acap terjadi adalah dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat biaya (cost centre), pemanfaatan tax havens country atas nama rezim kerahasiaan keuangan internasional (financial secrecy) sebagai tempat mengontrol bisnis dan memarkir laba melalui mekanisme subdebt (pinjaman melalui subsidiary di tax haven country), dan treaty shopping (penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda/tax treaty) yang merugikan Indonesia.51 Untuk mendorong kemandirian dan tidak terlalu tergantung dengan investasi dan bantuan asing, maka peningkatan tabungan domestik dan peningkatan penerimaan pendapatan harus ditingkatkan secara terusmenerus. Di sisi lain, efektifitas belanja pemerintah juga harus ditekankan sehingga belanja pembangunan makin besar volumenya dan pemborosan untuk belanja pegawai makin rendah. Sehingga, pemerintah Indonesia mampu memberikan pembiayaan kepada aktor-aktor pembanguan dalam negeri, termasuk kepada kelompok masyarakat sipil. 50 51

108

ibid ibid

Lembaga swadaya masyarakat transnasional, misalnya CARE, Oxfam, MÊdecins Sans Frontières dan Save the Children, masing-masing mengelola dana tahunan lebih dari US$ 500 juta dan mendistribusikannya secara luas melebihi jangkauan wilayah yang digarap oleh PBB.52 Kegiatan filantropi ke depannya akan makin meningkat dan memerankan peran penting dalam membantu negaranegara berkembang. Selain itu, yang perlu dilirik adalah remittances, dana yang dibawa masuk oleh pekerja migrant dari negara lain ke negaranya asalnya. Trennya terus naik dan sangat signifikan pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan di negara miskin-berkembang (van der Mensbrugghe, 2009). Dari 2000- 2010 volume remitansi meningkat lebih dari 3 kali, dari US$ 132 milyar (2000) menjadi US$ 440 milyar.53 Pembiayaan pembangunan memang membutuhkan dana yang besar. Jika mengacu pada perhitungan Bappenas mengenai pembiayaan tujuan MDGs untuk pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, Indonesia membutuhkan Rp. 1.275 trilyun (US$ 141 milyar). Angka yang tidak sedikit, tetapi jika saja pajak beres maka budget sebesar itu dengan mudah dapat disediakan oleh negara 52

53

Desai, Raj M. & Kharas, H. (2010), Democratizing Foreign Aid: Online Philanthrophy and International Development Assistance, “Journal International Law and Politics�, The Institute for International Law and Justice (IILJ) - New York University School of Law. van der Mensbrugghe, D. & Roland-Holst D. (2009). Global Economic Prospects for Increasing Developing Country Migration into Developed Countries, Human Development Research Paper 2009/50, UNDP Research Paper, October.

109


Rekomendasi Dari pemaparan dan temuan di atas, bagian ini merekomendasikan beberapa hal yang harus (dapat) dijadikan landasan tindak di level global dan domestik terkait perubahan sistem pembiayaan pembangunan. Kepada Lembaga/Negara Pemberi Bantuan Pembangunan: a. Menagih negara-negara maju untuk memenuhi komitmen Monterrey Consensus dan Doha Declaration terkait dengan target ODA yaitu 0,7persen GNI dan mematok sebesar 0,15 - 0,20persen untuk dialokasikan ke negara kurang berkembang (LDCs/less developed countries) selambat-lambatnya tahun 2015 b. Meminta negara maju yang ODA-nya sudah mencapai 0,7 GNI agar terus meningkatkannya sampai 1persen GNI (2020) dan memberikan perhatian khusus kepada middle income countries untuk meningkatkan kapasitas c. Menutup “tax havens” secara global tanpa pengecualian. Meminta negara-negara maju untuk secara serius mendorong isu ini goal dalam tiap forum internasional (G-20, UN, OECD, APEC, ASEAN, dan lain lain); d. Menerapkan “tobin tax” (pajak transaksi jual beli mata uang) dengan besaran pajaknya 0,50persen - 1persen pada tiap transaksi; e. Menyatakan ‘perang’ secara global terhadap praktik illicit financial flows dengan melakukan penindakan 110

hukum atas praktik transfer pricing yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional. Kepada Pemerintah Indonesia: a. Pemerintah Indonesia menaikkan perolehan pajak dan tax ratio rata-rata negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income country) yaitu 20-24persen PDB. Dengan ini Indonesia akan mampu membiayai pembangunan tanpa banyak bergantung dengan utang dan ODA; b. Meningkatkan jumlah wajib pajak pribadi kaya dan wajib pajak pribadi/karyawan menjadi 50 juta wajib pajak dalam dua tahun ke depan; meningkatkan jumlah wajib pajak badan menjadi 5 juta wajib pajak badan dalam dua tahun ke depan; c. Memberikan insentif PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) kepada perempuan kepala rumah tangga (woman headed household), pekerja usia non-produktif dan kaum difable; d. Menaikkan cakupan lapisan penghasilan (tax bracket) dari tarif PPh 30persen bagi penghasilan di atas Rp 500 juta/tahun ditambah bagi lapisan berikutnya di atas Rp 2 milyar – Rp 5 milyar/tahun dikenai tarif 35persen dan di atas Rp 5 milyar/tahun dikenakan tarif pajak 40persen. e. Menghapus Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian 111


Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Penghasilan Badan (PMK-Tax Holiday); f.

Pajak

Menindakan tegas administratur, pegawai dan pejabat pajak yang melakukan tindak korupsi dan praktik suap-menyuap perpajakan;

g. Memberikan skema pembiayaan pembangunan kepada LSM, misalkan alokasi kepada lembaga bantuan hukum, organisasi perempuan, lembaga advokasi lingkungan hidup dan organisasi antikorupsi dan antidiskriminasi sebagainya yang memberikan.

***

112


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.