TABLOID INSTITUT EDISI 68

Page 1


TABLOID

LAPORAN UTAMA

WAWANCARA KHUSUS

Butuh Pendidikan Berkualitas Tanpa Harus Gadai Beras

Di Balik Predikat Mabna Terbaik Perusahaan Itu Bernama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

MENYUARAKAN KEBEBASAN, KEADILAN, DAN KEJUJURAN
OPINI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

SALAM REDAKSI

PEMBACA YANG BUDIMAN, di tengah polemik inflasi negara ini yang kian terasa, beban ekonomi juga menimpa pemuda yang baru beranjak dari bangku sekolah menengah. Lonjakan Uang Kuliah Tunggal terasa mencekik setiap insan. Mahalnya biaya pendidikan saat ini tak tentu sepadan dengan fasilitas yang didapat.

Melalui Tabloid Institut Edisi ke-68, LPM Institut menggaet mahasiswa sebagai unsur yang terdampak dalam hal ini. Tertuang dalam liputanliputan LPM Institut serangkai keluhan mahasiswa dan pandangan akademisi hingga praktisi terkait lonjakan biaya pendidikan yang terjadi.

Tak hanya itu, pelbagai hal yang mengganjal hati dalam kehidupan kampus turut masuk dalam tabloid ini. Tersaji bagi para pembaca setia Tabloid Institut, bukan berita sembarang yang kami bawakan. Semua berita dalam Tabloid Institut telah melalui proses panjang, mulai pembahasan, peliputan, hingga kurasi terperinci.

Mari berenang dalam lautan fakta dan data tentang kampus Islam di perbatasan Jakarta. Selamat berenang, moga bersenang kemudian.

SELAMAT DATANG DI KAMPUS (PENUH) PERJUANGAN!

TIM PENYUSUN

KIRIM ISU SEPUTAR KAMPUS

+62 895-3313-45122

institutblog@gmail.com

Wan Muhammad Arraffi | Kontributor: Muhammad

Id’ha Nuraini, Mutya Sunduz Arrizki, Inda Bahriyuhani

Pemimpin Umum: Ibrahim Haikal Putra Abadi | Sekretaris & Bendahara Umum: Desy Rahayu | Pemimpin Redaksi : Shaumi Diah Chairani | Wakil
Pemimpin Redaksi: Nabilah Saffanah | Reporter: Ibrahim Haikal Putra Abadi, Shaumi Diah Chairani, Wan Muhammad Arraffi , Della Syawliyah, Desy Rahayu | Penyunting: Shaumi Diah Chairani, Nabilah Saffanah, Wan Muhammad Arraffi | Desain Visual & Tata Letak: Nabilah Saffanah, Fajri Hasan | Infografik: Shaumi Diah Chairani,
Arifin Ilham, Hailen Ummul Choiriah, Rizka
Yana Syafry Aliya Mahasiswi Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UKT Menggila, Camaba Pupus Mimpi Sarjana

Lonjakan UKT menjadi pukulan telak bagi para mahasiswa baru. Cita-cita besar mereka terhalang biaya kuliah yang tinggi.

Tak terbayang dalam benak Intan—bukan nama sebenarnya— keinginannya menaikkan taraf hidup keluarga tak berjalan mulus. Uang Kuliah Tunggal (UKT) tinggi cukup memberatkan orang tuanya yang tak punya pekerjaan tetap.

Sedari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), keinginan terbesar Intan hanyalah berkuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) terbaik di Indonesia itu membuatnya jatuh hati.

Bak mendapat durian runtuh, Maret 2024, harapan Intan mulai terwujud. UIN Jakarta menerimanya di Program Studi (Prodi) Biologi lewat jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Berkas-berkas pendaftaran ulang ia siapkan dengan penuh semangat, termasuk surat pernyataan kesanggupan membayar UKT. Intan terpaksa membubuhi tanda tangan bermaterai pada surat itu meskipun belum mengetahui besaran UKT yang didapatkannya.

“Mau nggak mau kita harus ngisi,” keluh Intan lewat sambungan telepon, Selasa (30/4).

Senja menemani Intan membuka penetapan UKT, Jumat (19/4). Matanya membulat sempurna kala melihat angka tertera di hadapan. Kelompok 7, nominal Rp7,8 juta menunggu untuk dilunaskan segera. Dirinya harus merogoh kocek lebih dalam. Sungguh di luar ekspektasinya. Pasalnya, ia berpatokan pada UKT tahun sebelumnya.

Merasa keberatan, Intan mengajukan penurunan UKT. UIN Jakarta menurunkan UKT-nya satu kelompok. Meskipun begitu, ia masih berpikir panjang untuk melakukan pembayaran.

Sebenarnya, Biologi bukanlah pilihan utama Intan. Ia memimpikan menjadi pengajar anak-anak lewat Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) di UIN Jakarta. Namun apalah daya, SNBP hanya membuka pendaftaran prodi umum saja.

Kebimbangan masih menyelubungi hati Intan. Masa empat tahun berkuliah bukanlah waktu yang singkat. Ia bingung, melanjutkan pembayaran atau menyerah dengan keadaan. Namun, keputusan besar itu harus diambil secepatnya. Intan hanya punya waktu dua pekan hingga tenggat pembayaran UKT berakhir pada Kamis (2/5).

Dua hari menjelang tenggat pembayaran usai, Intan masih ragu untuk melanjutkan. Sebagian keluarga mendorongnya melakukan pembayaran, sebagian lainnya kurang sepakat. “Meskipun banyak perguruan tinggi lain, tapi peluang aku untuk mendaftar semakin sempit,” ujarnya.

Usut punya usut, Intan juga terdesak kebijakan terkait penerimaan mahasiswa baru pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No. 62 Tahun 2023. Hal itu tercantum dalam pasal 10 ayat (3) berbunyi:

“Calon Mahasiswa yang diterima pada seleksi nasional berdasarkan prestasi tidak dapat mendaftar pada seleksi nasional berdasarkan tes dan seleksi secara mandiri oleh PTN”.

Kendati keuangan keluarga kurang

mencukupi, akhirnya Intan tetap melanjutkan pembayarannya. Intan memikirkan dampak buruk yang akan terjadi pada dirinya dan sekolah bila tidak melanjutkan. Peluang semacam itu belum tentu datang padanya dua kali, apalagi jalan Intan untuk masuk ke semua PTN sudah tertutup rapat.

Tak seberuntung Intan, nampaknya nasib baik belum berpihak pada keluarga Sekar—bukan nama sebenarnya. Impian Sekar untuk kuliah bersama adiknya di UIN Jakarta, sebut saja Rama kandas seketika.

Rama lolos Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SPAN PTKIN) awal April 2024. UIN Jakarta menerimanya sebagai mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI).

Sekar lolos di UIN Jakarta lewat jalur yang sama pada tahun sebelumnya. Mulanya, Sekar mendapat UKT kelompok 4 sebesar Rp2,8 juta. Merasa tak cukup mampu, Sekar mengajukan banding UKT. Sekar beruntung, UKT-nya turun satu kelompok menjadi Rp2,7 juta.

“Walaupun turunnya cuma seratus, setidaknya kelompoknya udah turun, ada harapan untuk daftar beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP), meski aku gak dapat sih waktu itu,” kelakarnya, Selasa (21/5).

Berbekal pengalamannya yang terbilang beruntung itu, Sekar merekomendasikan UIN Jakarta sebagai pelabuhan selanjutnya bagi pendidikan Rama. Di sisi lain, menjadi mahasiswa UIN Jakarta merupakan keinginan Rama sendiri.

Dalam bayangan Sekar, Rama akan lebih terurus saat kuliah di UIN Jakarta karena ada dirinya. “Soalnya dia dekat banget sama aku, jadi pengin kuliah di sini juga,” tuturnya.

Tak disangka rekomendasinya itu akan ia sesali. Pertengahan Maret 2024, UIN Jakarta menaikkan besaran UKTnya. Sekar belum mengetahui informasi itu, Rama pun terlanjur mendaftar dan memilih UIN Jakarta. Setelah lolos seleksi dan mendaftar ulang, mereka terkejut mendapati UKT Rama sebesar Rp6,5 juta per semesternya.

Sekar kecewa dengan keputusan Rektor UIN Jakarta. Ia bertanya-tanya mengapa adiknya mendapat UKT kelompok 6. Padahal, berkas pendaftaran ulang yang mereka ajukan sama persis. “Menurut aku gak worth it banget buat jurusan agama,” katanya dengan nada kesal.

Bagi Sekar, tak masuk akal dengan pendapatan keluarga Rp4 juta per bulan mendapat UKT tinggi. Ayahnya memang seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun ibunya tidak bekerja. Sementara, tiga orang adiknya masih duduk di bangku sekolah. Semua kebutuhan keluarga cuma mengandalkan gaji ayahnya.

“Untuk kebutuhan sehari-hari aja itu belum cukup, cuma dicukup-cukupin aja,” lirihnya.

Sekar sempat meminta adiknya mengajukan banding UKT. Kakak kelas mereka yang kuliah di UIN Jakarta turut dihubungi untuk membantu penurunan UKT Rama. Nahas, usaha itu tak membuahkan hasil. Banding UKT yang Rama ajukan ditolak. Sejak awal, ayah Sekar memang sudah pesimis soal aju banding UKT ini. “Kalau pun turun, palingan nggak akan turun drastis,” ujar Sekar menirukan perkataan ayahnya.

Ekspektasi Rama mendapat biaya kuli-

ah yang lebih murah di PTN luntur kala itu. Malahan, nominal itu lebih tinggi dibandingkan biaya kuliah Perguruan

Tinggi Swasta (PTS) yang ia tahu cukup mahal. Dengan berat hati, adiknya membatalkan keinginan berkuliah di UIN Jakarta agar tidak membebani orang tua. “Toh tempat belajar itu sama saja, tergantung kitanya,” ucap Sekar berusaha menguatkan diri.

Kenaikan UKT Cekik Mahasiswa Per tanggal 28 Maret, Rektor UIN Jakarta, Asep Saepudin Jahar menetapkan UKT Tahun Akademik 2024/2025 untuk maba melalui Keputusan Rektor Nomor 512 Tahun 2024. Setelah Keputusan Menteri Agama Nomor 368 Tahun 2024 tentang UKT PTKI terbit, UIN Jakarta merevisi surat penetapan UKT tersebut. Keputusan Rektor Nomor 521a Tahun 2024 tentang UKT Program Sarjana ditandatangani rektor pada 2 April 2024.

Kenaikan UKT yang signifikan menjadi buah bibir civitas academica, khususnya mahasiswa. Rektor pilihan Kementerian Agama (Kemenag) itu mencatatkan rekor kenaikan UKT tertinggi dalam setengah dekade terakhir.

Fakultas Sains dan Teknologi misalnya, persentase kenaikan UKT pada 2024 mencapai angka 8%, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, kenaikan UKT ada di 2019 dan 2021, namun kenaikannya hanya sebesar 2%. Spesifik pada prodi Biologi—pilihan Intan, UKT mengalami kenaikan sebesar 18% atau setara dengan Rp800 ribu.

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) menunjukkan kenaikan tak kalah mencengangkan. Pada 2020, rata-rata kenaikan UKT di fakultas tersebut hanya 18%. Persentase kenaikannya membengkak hingga 43% atau setara dengan Rp1,5 juta pada 2024. Bahkan pada prodi Pendidikan PAI—calon prodi Rama, persentase kenaikan UKT mencapai 51%. Nampak tak mau ketinggalan, Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDIKom) punya gambaran kenaikan UKT yang lebih epik. Rata-rata kenaikan UKT fakultas itu mencapai 58%. Bahkan, rata-rata kenaikan UKT pada prodi Kesejahteraan Sosial menyentuh angka Rp2,4 juta. Kenaikan UKT kelompok tujuh Prodi Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) dan Manajemen Dakwah (MD) juga naik hampir dua kali lipat dibanding tahun 2023.

Hulu SK Rektor Terbuat Bermula dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tertaut dalam pasal 84 dan 85 tentang pendanaan Perguruan Tinggi. Dua pasal tersebut menjadi tatanan ide-

al yang berlanjut menjadi tatanan aksi melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 7 tahun 2018 tentang Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri. UIN Jakarta sebagai PTN Badan Layanan Umum (BLU) mendapat suntikan dana setidaknya dari tiga aspek: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bisnis yang dikelola pihak kampus, dan UKT. Mudahnya, ketika suatu fakultas memerlukan fasilitas dan perawatan operasional pendukung belajar mengajar yang semakin banyak maka biayanya akan semakin tinggi. APBN dan hasil bisnis kampus akan dikerahkan menjadi suntikan dana operasional. Sisanya, baru dibebankan ke mahasiswa dengan perhitungan yang sesuai dengan pedoman sebagaimana UU Nomor 12 dan PMA Nomor 7.

Kepala Pusat Informasi dan Humas UIN Jakarta, Zaenal Muttaqin menjabarkan bila UKT merupakan hasil perhitungan dengan memperhatikan PMA Nomor 7. “Biaya Fakultas Ushuluddin dengan Fakultas Dakwah pasti berbeda karena Fakultas Dakwah ada biaya perawatan laboratorium,” terangnya, Jumat (31/5). Dalam PMA 7 Pasal 2 tersebut, terdapat empat poin yang menjadi pertimbangan dalam penentuan UKT. Mulai dari Biaya Operasional Perguruan Tinggi (BOPT), indeks mutu PTKN – program studi, indeks pola pengelolaan keuangan, dan indeks kemahalan wilayah. Rampung perhitungan, tutur Zaenal, Rektor mengeluarkan SK sebagai bentuk penetapan UKT. Hal ini turut dilakukan oleh semua Rektor PTKN. Kemudian SK Rektor tersebut diteruskan ke Kemenag untuk ditetapkan dan disahkan menjadi Keputusan Menteri Agama (KMA). Dalam hal ini, KMA Nomor 368 tahun 2024.

Bukan Fenomena Baru Lonjakan UKT di berbagai perguruan tinggi Indonesia bukan fenomena baru. Guru Besar Politik Universitas Indonesia, Cecep Darmawan turut menyoroti biaya UKT yang selalu naik berlipat ganda setiap tahun. Padahal, hak atas pendidikan berlaku bagi seluruh warga negara sebagaimana tercantum dalam amanat UUD 1945.

“Kebijakan UKT harus diterapkan secara proporsional dan berkeadilan. Pemerintah dan perguruan tinggi negeri harus memiliki good will untuk membebaskan biaya pendidikan tinggi bagi mahasiswa dari kelompok rentan,” kritik Cecep (Lihat “Mahalnya Uang Kuliah Tunggal di Menara Gading” Kompas.id, 13 Juli 2023).

Mahasiswa UIN Jakarta memaksa masuk Gedung Rektorat saat aksi kenaikan UKT, Rabu (22/5).

Kritik di atas ditulis sebagai respons atas tingginya angka calon mahasiswa yang mengundurkan diri karena terkendala finansial. Akan tetapi, tidak ada perubahan sampai sekarang. Terbaru, UKT Universitas Soedirman (Unsoed) bahkan naik sebesar tiga hingga lima kali lipat dari tahun sebelumnya (Lihat “Kenaikan UKT Unsoed Dinilai Memberatkan, BEM Minta Evaluasi” Kompas.id, 25 April 2024).

Kata Para Pejabat

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan, prinsip UKT tidak memberatkan mahasiswa. “Prinsipnya UKT itu tidak boleh memberatkan mahasiswa. Jadi nanti Pak Rektor akan terus berkoordinasi dengan kami terkait dengan UKT. Sekali lagi, prinsipnya UKT tidak boleh memberatkan mahasiswa,” kata Yaqut.

Terpisah, Rektor UIN Jakarta Asep Saepudin Jahar mengaku sudah memperhatikan asas keadilan dan keterjangkauan akses pendidikan tinggi bagi para mahasiswa dan keluarga. “Penyesuaian UKT dilakukan dengan tetap memperhatikan asas keadilan dan keterjangkauan pendidikan tinggi sesuai amanat Undang-Undang Pendidikan Tinggi sehingga para mahasiswa dan keluarga dari berbagai lapisan mengaksesnya,” ucapnya.

Sejak diberlakukannya UKT pada 2017 lalu belum pernah ada kenaikan signifikan. Hal tersebut diungkapkan oleh Mohammad Ali Irfan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan. “Kondisi ini berdampak atas nilai perolehan UKT untuk kegiatan biaya langsung dan biaya tidak langsung dimana kondisi kebutuhan dasar untuk operasional yang didasarkan atas harga kebutuhan pokok operasional PTKIN meningkat signifikan,” pungkasnya.

HBagaimana Mahasiswa UIN Jakarta Memandang Fasilitas Kampus?

asil jajak pendapat Litbang Institut mencoba merekam bagaimana mahasiswa memandang kepuasan fasilitas di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Responden merupakan mahasiswa UIN Jakarta dari sebelas fakultas, delapan kelompok Uang Kuliah Tunggal (UKT), lima angkatan (2018, 2020, 2021, 2022, 2023), dan enam jalur masuk (SNMPTN/ SNBP, SBMPTN/SNBT, SPAN-PTKIN, UM-PTKIN, SMM PTN-Barat, SPMB-Jalur Mandiri UIN Jakarta).

Melansir dari laman resmi UIN Jakarta, jumlah keseluruhan mahasiswa UIN Jakarta yaitu 32.249 orang. Sementara itu, secara spesifik Mahasiswa Sekolah Pascasarjana berjumlah 650. Berdasarkan pengurangan tersebut, seluruh mahasiswa Program Sarjana UIN Jakarta berjumlah 31.599 orang.

Mahasiswa dari berbagai fakultas UIN Jakarta berpartisipasi dalam survei kecuali Fakultas Kedokteran (FK). Responden terbanyak berasal dari Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKes), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKom), Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan (FITK).

Responden diminta menilai kepuasan akan fasilitas di UIN Jakarta menggunakan skala tipe Likert. Skor 1 menunjukkan sangat tidak puas, 2 tidak puas, 3 puas, dan 4 sangat puas.

Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Institut pada 27 April–14 Mei 2024, responden tidak puas dengan fasilitas UIN Jakarta. Dari skala kepuasan 4, rata-rata kepuasan responden terhadap fasilitas mendapat nilai 2,3.

Pada indikator sarana, rata-rata responden mengaku puas dengan poin 2,8. Responden penelitian merasa puas dengan sarana yang disediakan UIN Jakarta. Sarana yang dimaksud merupakan fasilitas di dalam kelas serta koleksi buku dan jurnal di dalam perpustakaan.

Lalu, rata-rata responden tidak puas dengan indikator prasarana dengan poin 2,2. Responden menilai tidak puas dengan masjid/musala di kampus, lahan parkir, dan jalur pejalan kaki. Kebersihan masjid/musala mendapatkan nilai 2,3, ketersediaan dan akses lahan parkir memiliki nilai 2, serta kenyamanan pejalan kaki memiliki nilai 2,2.

Sementara itu, rata-rata responden merasa tidak puas dengan fasilitas prasarana yang disediakan pihak kampus. Prasarana yang dinilai paling buruk oleh responden yaitu toilet, fasilitas olahraga, dan kinerja lift di gedung kampus. Kebersihan dan kenyamanan toilet serta kelayakan fasilitas olahraga mendapat nilai 1,6. Sementara itu, kinerja lift di gedung

kampus mendapat nilai 1,9. Begitupun dengan indikator layanan yang diberikan kampus rata-rata responden tidak puas dengan nilai 2,4. Layanan yang dinilai buruk oleh responden yakni tata usaha fakultas, petugas keamanan, dan keterbukaan informasi kampus. Keterbukaan informasi kampus mendapat nilai 2,1. Pelayanan yang diberikan petugas keamanan maupun kebersihan mendapat nilai 2,4. Dari keseluruhan penilaian, bisa disimpulkan bahwa responden tidak puas dengan fasilitas UIN Jakarta, khususnya dengan fasilitas prasarana, dan layanan. Toilet, fasilitas olahraga, dan lift merupakan tiga aspek yang mendapat skor kepuasan terendah.

Shaumi Diah Chairani, Muhammad Arifin Ilham (Kontributor), Mutya Sunduz Arizki (Kontributor)
Della Syawliyah, Shaumi Diah Chairani

Butuh Pendidikan Berkualitas Tanpa Harus Gadaikan Beras

Biaya pendidikan di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tengah mengalami lonjakan. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi terjadi di Universitas Soedirman (Unsoed), Universitas Sumatera Utara (USU), hingga Universitas Indonesia (UI). Kondisi yang sama juga dialami oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam berita Institut bertajuk “Asa Terpenggal Uang Kuliah Tunggal”, para calon Mahasiswa Baru (Maba) mengalami kebimbangan sebab mendapat besaran UKT tak sesuai dengan kondisi finansial. Beragam upaya pun dilakukan keluarga guna membiayai biaya pendidikan, seperti menjual barang berharga hingga mencari pinjaman dana sana-sini.

Berkaitan dengan itu, penelitian “Kapitalisasi Pendidikan dan Aksestabilitas Belajar” pada 2021 menyoroti beberapa kasus putus sekolah di Indonesia lima tahun terakhir. Dunia pendidikan saat ini dianggap sudah berorientasi pada profit, pemasukan, dan keuntungan sehingga tak lagi bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Institut berkesempatan melakukan wawancara khusus terkait kapitalisasi pendidikan, termasuk kaitannya dengan pendidikan inklusif dan kualitas pendidikan. Wawancara dilakukan melalui Whatsapp, Kamis (9/5), dengan Panji Mukillah Ahmad. Ia merupakan salah satu perintis Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) dan sempat mengkritik persoalan UKT melalui bukunya “Kuliah Kok Mahal?”.

Apa kapitalisasi pendidikan memengaruhi kesetaraan akses terhadap pendidikan bagi mahasiswa?

Motif kapitalisme adalah profit, sementara profit hanya dapat diperoleh dari transaksi komoditas. Tatkala penyelenggaraan pendidikan menggunakan corak kapitalisme, maka pendidikan merupakan komoditas/barang dagangan yang diperjual-belikan dengan alat tukar senilai, salah satunya uang. Akses pada pendidikan tinggi ditentukan dari ketersediaan uang seseorang. Artinya, akses pendidikan menjadi tidak setara antara yang memiliki dan tidak memiliki uang. Namun, penyelenggara pendidikan juga menjaga citra agar tidak tampak serakah dengan hanya menerima orangorang yang memiliki uang banyak. Hal itu dibuktikan dengan ketersediaan beasiswa maupun keringanan. Lantaran ha-

nya citra belaka, besaran keduanya tidak akan bisa menjangkau seluruh rakyat miskin dan rentan yang ingin mengakses pendidikan, karena memang tidak pernah dimaksudkan demikian.

Lebih lanjut, kapitalisasi pendidikan juga menjadi faktor yang mendorong terjadinya disparitas sosial. Sebab, disparitas akses pendidikan merupakan salah satu aspek di dalamnya. Selama komersialisasi pendidikan masih berlangsung, maka disparitas sosial akan tetap ada.

Bagaimana menilai apakah lembaga pendidikan yang dikelola secara komersial memprioritaskan kualitas pendidikan atau profitabilitas?

Aspek penilaiannya adalah apakah penyelenggaraan pendidikan tersebut bermuara pada tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa? Seperti: adakah kebebasan berpendapat di kampus? Bagaimana kesejahteraan dosen dan pekerja kampus? Apakah masih ada pekerja kebersihan kampus yang dikontrak secara outsourcing? Apakah dosen dikekang oleh rutinitas dan formalitas akademik belaka sehingga menjauh dari pengabdian masyarakat? Apakah kampus berdampak signifikan pada penyelesaian problem-problem sosial? dan sebagainya.

Apa bukti empiris bahwa kapitalisasi pendidikan dapat meningkatkan kualitas pendidikan?

Tergantung pemaknaan yang dimaksud “kualitas” pendidikan tersebut. Jika yang dimaksud pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang membuat kampus-kampus memiliki air mancur megah, mobil baru rektor, elevator, gedung baru yang didanai politisi korup bergelar doktor kehormatan, dan setelan jas mahal para guru besar, maka iya, berarti penerapan kapitalisme pada pendidikan telah meningkatkan kualitas pendidikan.

Namun bila “kualitas” yang dimaksud mengacu pada tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang maknanya adalah terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu mentalitas kolonial dan feodal. Maka pendidikan yang bercorak kapitalisme di Indonesia hari ini tidaklah berkualitas.

Bagaimana gelar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) mempengaruhi konsep komersialisasi pendidikan di perguruan tinggi?

PTN-BH pada intinya adalah privati-

sasi pendidikan, yaitu menjadikan institusi pendidikan menjadi beroperasi seperti halnya institusi privat/swasta seperti korporasi. Salah satu prinsip pengelolaan PTN-BH adalah efisiensi. Pengertian efisiensi ini harus menggunakan kacamata bisnis, yaitu cost sekecil-kecilnya dan revenue sebesar-besarnya. Komersialisasi pendidikan pada PTN-BH memengaruhi perguruan tinggi dalam pengaturan atas cost dan revenue mereka.

Sebagai contoh, cost sekecil-kecilnya adalah gaji dosen kecil, dan pekerja kebersihan dan keamanan menggunakan skema outsourcing—mempekerjakan pihak ketiga. Selain itu, ada pula fasilitas yang kurang memadai, penolakan permohonan keringanan UKT, dan sebagainya.

Sementara itu, contoh revenue sebesar-besarnya adalah menaikkan uang kuliah, termasuk UKT, uang pangkal, dan pungutan-pungutan lain. Ada juga yang berkaitan erat dengan politik seperti menerima “hibah” dari politisi untuk ditukarkan dengan gelar honoris causa serta turut mendukung rancangan undang-undang yang menguntungkan oligarki.

Apa peran pemerintah dalam memastikan bahwa pendidikan tetap memenuhi standar kualitas yang ditetapkan meski telah dikomersialisasi?

Justru komersialisasi pendidikan itu sendiri-lah yang harus dihapuskan, karena tidak akan memenuhi standar kualitas berdasarkan konstitusi. Negara harus ambil peran sepenuhnya dalam pendanaan pendidikan, dan masyarakat dilarang dipungut biaya. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan pun perlu disesuaikan kepada tujuan konstitusional, bukan tujuan profit.

Lalu, tidak segala di dunia ini harus dijadikan komoditas. Pendidikan, terutama pendidikan publik, semestinya bukan komoditas. Ini menjadi amanat konstitusi. Artinya regulasi di bawah konstitusi UUD 1945 yaitu undang-undang dan peraturan di bawahnya harus direvisi supaya menjadi sesuai dengan amanat konstitusi. Artinya UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi harus direvisi.

Apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pilihan pendidikan bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya pendidikan yang tinggi?

Yang bisa dilakukan adalah menggratiskan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi, lalu disesuaikan kuotanya dengan rakyat miskin dan rentan miskin untuk mengenyam pendidikan. Misal, saat ini jumlah rakyat miskin adalah 9,5% dan rakyat rentan miskin adalah 28,5%.

Artinya pemerintah harus menyediakan 38% kuota bagi rakyat miskin dan rentan miskin di sekolah maupun kampus.

Tentu jumlah ini bisa disesuaikan lagi dengan jumlah rakyat miskin dan rentan miskin di daerah yang berbeda-beda. Terbukti bahwa dengan pendidikan gratis, semisal di jenjang sekolah dasar dan menengah, angka partisipasi pendidikan menjadi tinggi. Maka bila pendidikan gratis juga diterapkan di pendidikan tinggi, akan meningkatkan partisipasi pendidikan di pendidikan tinggi pula.

Mimpi di Tengah Kapitalisasi Pendidikan

Di tengah gemuruh kapitalisasi pendidikan, Aku bermimpi, terbang di angkasa yang tak terbatas. Mimpi-mimpi kecilku menggelayut di antara bintang-bintang, Menari-nari di antara debu-debu kosmik.

Aku ingin meraih ilmu sebanyak mungkin, Tapi kapitalisme menggenggam erat tanganku. Uang menjadi ukuran segalanya, Sementara mimpi-mimpi terjebak dalam kandangkandang birokrasi.

Namun, aku tak akan menyerah. Aku akan menulis puisi-puisi tentang mimpi, Mengukir kata-kata di langit malam, Sebagai perlawanan terhadap kapitalisasi yang menggurita.

Mimpi-mimpi adalah bintang-bintang yang tak terpadamkan, Mengajakku untuk terus berjuang. Meski kapitalisme mencoba memadamkannya, Aku akan terus menari di tengah gelapnya malam.

Karena di tengah kapitalisasi pendidikan, Mimpi adalah api yang tak bisa dipadamkan. Dan aku akan terus mengejar cahayanya, Hingga mencapai puncak ilmu dan kebijaksanaan.

Karya: Nyi Kembang Arum*
Ibrahim Haikal Putra Abadi
Taman Anak Pesisir, Pantai Wika Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Foto diambil pada Minggu (30/7/2023).

Sukar Informasi di Menara Gading Ciputat

Sepekan setelah Idulfitri, Nurma Nafisa Faradilla berbaring sembari menggulir media sosial di kamar pribadi rumahnya, Depok, Jawa Barat. Perjalanan pulang dari kampung halaman beberapa hari sebelumnya cukup menguras tenaga. Malam itu, Jumat (19/4), ia berniat mengistirahatkan diri selagi masa liburan.

Sebuah notifikasi menyembul di layar ponsel, seketika mengusik istirahat Nurma. Salah satu alumni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Journo Liberta—organisasi kampus yang diikutinya—mengirimkan dokumen pemberitahuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terbaru. Ia tersentak kaget usai menelaah isinya, UKT Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta—kampus tempatnya berkuliah—melonjak. Kenaikannya bahkan mencapai dua kali lipat dari besaran tahun sebelumnya di beberapa program studi (Prodi).

Puluhan notifikasi kembali datang dari grup Whatsapp berbeda. Rumornya, mahasiswa lama juga terdampak oleh besaran UKT baru. Bermodal skeptis, Nurma berusaha mengulik kebenaran informasi itu.

Mulailah Nurma berselancar mencari Surat Keputusan (SK) Rektor yang mendasari keputusan kenaikan UKT. Sebagai awak pers mahasiswa, tentulah ia tak mau ketinggalan untuk mewartakan informasi ini sesegera mungkin. Nihil, tidak ada informasi resmi dari kampus tentang penetapan UKT baru.

Tak lama, Pemimpin Redaksi LPM Journo Liberta itu mendapat pencerahan. Seorang kakak tingkat mengirimkannya SK Rektor Nomor 512 Tahun 2024 tentang UKT Program Sarjana Tahun Akademik 2024/2025. Usut punya usut, kenaikan UKT hanya berlaku untuk Mahasiswa Baru (Maba) sebagaimana tercantum dalam aturan Rektor UIN Jakarta tersebut.

“Awalnya yang tersebar tuh pengumuman kenaikannya dulu, belum ada SK-nya,” keluh Nurma, Senin (27/5).

Setelah menelaah kembali SK tersebut, Nurma menemukan fakta bahwa penetapan UKT telah dilakukan tiga pekan sebelumnya. Timbul rasa kecewa akan arus informasi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) ternama itu yang tergolong lamban. Sebab, bukan sekali dua kali Nurma merasakannya.

“Di situ kan tertulis tanggal 28 Maret, sedangkan mahasiswa baru menerima SK kenaikan UKT itu setelah lebaran,” kritiknya.

Tak terelakkan, gelombang dari kendala itu menyebabkan penyebaran berita tentang kenaikan UKT di media yang Nurma pimpin terhambat. Sebab, penyebaran informasi yang cepat memerlukan aspek keterbukaan informasi publik yang tinggi pula. “Keterbukaan informasi di UIN Jakarta bisa dibilang masih sangat minim,” nilainya, Jumat (25/4).

Minim Keterbukaan Informasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengatur bahwa semua informasi publik harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh pengguna informasi publik—civitas academica dalam konteks kampus. Meski begitu, beberapa informasi dapat dikecualikan jika berkaitan dengan hak-hak pribadi, membahayakan negara, rahasia jabatan atau memang belum didokumentasikan.

Salah satu tujuan keterbukaan informasi publik, yaitu mengetahui alasan pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Selain itu, bersandar pada UU KIP, civitas academica berhak memperoleh informasi publik dengan cepat, biaya ringan, dan cara sederhana.

Selaras dengan Nurma, Zararah Azhim Syah juga melontarkan kritik serupa. Ia menilai penyebaran informasi kenaikan UKT melalui pesan Whatsapp tergolong tidak efektif. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum itu berharap kampus tercintanya memiliki media sosial atau laman web informasi publik sendiri.

“Seharusnya ada Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) atau perkumpulan peraturan perundang-undangan yang ada di UIN Jakarta, isinya SK Rektor, AD/ART UIN Jakarta, peraturan tingkat dekanat hingga peraturan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) maupun Senat Mahasiswa (Sema),” harapnya, Senin (22/4).

Pada dasarnya, UIN Jakarta memiliki situs web Layanan Informasi Publik Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Kolom informasi yang ditampilkan sesuai dengan UU KIP, yakni informasi wajib berkala, informasi tersedia setiap saat, dan informasi serta-merta. Ada pula kolom informasi yang dikecualikan seperti yang diatur dalam undang-undang.

Ketika Institut menelusuri laman web PPID, beberapa tautan mengarah pada laman fakultas atau laman biro-biro di UIN Jakarta. Ada pula beberapa tautan aturan yang tidak ditampilkan datanya.

Kepala Pusat Informasi dan Humas, Zaenal Muttaqin berterus terang bahwa laman PPID baru pulih kembali tahun ini. Web lama tidak bisa digunakan lagi dan tidak ada aset cadangan dari pengurus lama. “Iya, karena web lama hancur. Udah gak bisa diapa-apain,” tulisnya melalui WhatsApp, Sabtu (25/5).

Per Mei 2024, Humas UIN Jakarta yang dipimpin Zaenal baru berfokus untuk mengembangkan kembali laman web PPID. Sebelumnya mereka tengah berfokus membangun laman web UIN Jakarta berbahasa Arab dan Inggris.

“Ya mohon dimaklumi, stafnya sama. Tapi web yang diurus dua,” katanya.

Zaenal juga mengungkapkan, laman PPID hanya memuat SK yang berkaitan dengan keterbukaan informasi dan laporan keuangan UIN Jakarta. Tidak semua informasi UIN Jakarta termaktub di sana, melainkan diserahkan kepada unit masing-masing.

“Kayak (informasi) kepegawaian di Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian (AUK), keuangan di web Biro Perencanaan dan Keuangan (PK), dan akademik di Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama (AAKK),” terangnya ketika ditanyai tentang kelengkapan informasi di laman web PPID.

Institut kemudian menelusuri laman web masing-masing biro yang disebutkan. Akan tetapi, ada beberapa jenis SK Rektor yang tidak terkumpul dalam satu laman. Dalam laman Biro AUK misalnya, hanya ada SK Rektor tentang UKT Tahun Akademik 2023/2024 di sana, sementara SK Rektor tentang UKT terbaru belum dipublikasi.

Enggan Berdialog dengan Mahasiswa Ketika tidak ada informasi publik menyoal alasan di balik hadirnya kebijakan tertentu, mahasiswa mengajukan jalan pintas seperti audiensi maupun unjuk rasa. Melalui pertemuan dengan pihak rektorat, perwakilan mahasiswa berharap bisa menyampaikan aspirasi dan mendapat kejelasan terkait kebijakan tertentu.

Upaya semacam itu kerap dilakukan mahasiswa, tak terkecuali Zararah. Tatkala ia menjadi Departemen Advokasi Internal Dema Universitas (Dema-U), kampus mengeluarkan kebijakan bahwa mahasiswa semester 9 dan 10 membayar UKT penuh.

Perkara itu jelas berbeda dengan keringanan yang diberikan saat rektor sebelumnya menjabat. Ia pun mengajukan audiensi dengan Wakil Rektor (Warek) Bidang Administrasi Umum, Imam Subchi. Namun, tak kunjung ada penjadwalan audiensi dari pihak rektorat.

“Jajaran rektorat ini seperti orde baru seakan-akan menyembunyikan informasi yang seharusnya tidak perlu disembunyikan,” sarkasnya.

Kesulitan serupa kerap dirasakan mahasiswa lain ketika ingin meminta tanggapan pihak rektorat perihal UKT. Institut merangkum respons Rektor Asep Saepudin Jahar beserta jajarannya menanggapi berbagai permasalahan UKT di UIN Jakarta.

Berdasarkan data yang Institut himpun, terdapat tiga kebijakan UKT yang menuai kontra di kalangan mahasiswa sejak awal kepemimpinan Rektor Asep Saepudin Jahar.

Kebijakan yang dimaksud yaitu pem-

bayaran penuh UKT Semester 9 dan 10, penghapusan cicilan UKT, dan penaikan UKT Tahun Akademik 2024/2025. Dalam tiga permasalahan itu pula mahasiswa berupaya mengajukan audiensi, wawancara, maupun unjuk rasa ke pihak Rektorat UIN Jakarta.

Asep memberikan pernyataan publik perihal UKT satu kali selama kepemimpinannya. Pernyataan yang dimaksud termuat dalam artikel bertajuk “Penyesuaian Tarif UKT Perhatikan Asas Keadilan dan Keterjangkauan Akses Pendidikan Tinggi” yang termuat di web UIN Jakarta.

Ketika ada kebijakan pembayaran UKT penuh bagi semester 9 dan 10, Asep sempat menemui dan mengarahkan mahasiswa untuk memberikan hasil kajian keberatan pembayaran UKT kepada Kepala Biro (Kabiro) AUK. Selebihnya, rektor pilihan Kementerian Agama (Kemenag) itu tidak menanggapi pengajuan audiensi maupun aduan keberatan administratif yang diajukan mahasiswa tentang kenaikan UKT 2024.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum Imam Subchi memberikan pernyataan terkait permasalahan UKT sebanyak empat kali dalam artikel, momen audiensi, maupun unjuk rasa. Namun, ia menolak berkomentar ketika Institut meliput penghapusan cicilan UKT.

Kepala Biro (Kabiro) Perencanaan Keuangan Mohamad Ali Irfan dua kali memberikan pernyataan tentang permasalahan UKT. Pertama saat diwawancarai Institut tentang penghapusan cicilan UKT, pernyataan lainnya termuat dalam web UIN Jakarta tentang kenaikan UKT. Artikel kenaikan UKT di web UIN Jakarta juga mencantumkan pernyataan jajaran rektor lainnya, antara lain Warek Bidang Akademik, Warek Bidang Kemahasiswaan, dan Warek Bidang Kerja Sama dan Kelembagaan. Selain itu, pernyataan Kabiro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama.

Pertemuan Tak Nyaman dan Tak Membawa Hasil

Audiensi yang dinanti-nantikan antara mahasiswa dengan pihak rektorat akhirnya tiba. Zararah bersama perwakilan Tim Advokasi Dema-U punya harapan besar saat audiensi bersama Kabiro AUK itu berlangsung: adanya keringanan UKT bagi mahasiswa semester 9 dan 10. Memasuki pintu ruangan audiensi, mereka diminta meninggalkan barang bawaan termasuk ponsel di luar ruangan. Suasana kian mengejutkan. Satu per satu tas yang dibawa, digeledah dengan teliti supaya tak ada ponsel yang lolos.

“Setakut itukah kita (mahasiswa) merekam pembicaraan di dalam, apa yang mereka tutup-tutupi?” ungkapnya heran. Dialog pun terjadi antara Kabiro AUK dengan mahasiswa, meskipun dalam hati Zararah merasa dongkol. Mereka menyerahkan hasil kajian tentang keberatan UKT Mahasiswa Semester 9 dan 10 yang rektor minta dalam pertemuan beberapa hari sebelum itu.

Menoleh ke belakang sedikit, Rektor Asep memang sempat menemui Zararah dan rekan-rekannya. Dalam pertemuan singkat itu, mahasiswa menyampaikan keterangan dari Kemenag bahwa SK Rektor UIN Jakarta juga bertentangan dengan surat edaran Kemenag.

“Nah di situ Prof. Asep menerima

Informasi terkait UKT acap kali tak sampai secara utuh ke mahasiswa. Tak ada pengunggahan informasi berkala di web PPID dan pihak rektorat hanya memberi jawaban normatif.
Ruang Humas dan Publikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terletak di Kampus 1. Foto diambil pada Jumat (24/5).

kita sekitar 15–20 menit. Ia mengatakan, ‘Iya, oke, nanti kita kaji ulang. Masa saya sejahat itu sama mahasiswa?’. Tapi ujung-ujungnya itu hanya angin-angin surga untuk meredam kemarahan kita. Bisa dilihat, setelah itu gak ada perubahan sama sekali,” lengkapnya.

Di sejumlah aksi unjuk rasa mahasiswa, tutur Zararah, sosok Ali Munhanif juga sering kali muncul. Ali datang membawa pesan-pesan normatif, sebuah upaya meredakan gejolak emosi yang membara di kalangan mahasiswa. Namun, pernyataannya juga sering berakhir

EDITORIAL

Sejumlah kampus tengah menaikkan UKT yang memicu respons penolakan dari mahasiswa, tak terkecuali UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kenaikan UKT Mahasiswa Baru (Maba) Tahun Akademik 2024/2025 yang mencangkup seluruh prodi merupakan barang anyar. Mari menilik kebijakan lima tahun ke belakang, kenaikan UKT hanya terjadi di prodi tertentu dengan besaran yang tidak signifikan. Kenaikan UKT UIN Jakarta beredar di kalangan mahasiswa bersamaan dengan penetapan UKT maba jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Para calon maba belum mempersiapkan biaya kuliah sesuai besaran UKT baru, sebab mereka menggunakan referensi biaya tahun sebelumnya dalam pemilihan prodi ketika mendaftar.

Di sisi lain, kelompok UKT yang para calon maba dapatkan acap kali tak sesuai dengan kondisi finansial. Pontang-panting mereka dan keluarganya mencari dana tambahan dan meminjam sana sini dalam waktu singkat. Bahkan, segelintir maba terpaksa merelakan mimpinya karena tak sanggup membayar. Miris, mengapa hal semacam itu harus terjadi di negara yang menjamin hak pendidikan bagi seluruh warga negara?

Kenaikan UKT Tahun Akademik 2024/2025 bukan satu-satunya isu kontroversial menyangkut biaya kuliah di UIN Jakarta sepanjang kepemimpinan Rektor Asep Saepudin Jahar. Sejak terpilih pada Maret 2023, Asep menerbitkan dua kebijakan lain yaitu pembayaran penuh UKT semester 9 dan 10, serta penghapusan cicilan UKT. Mahasiswa yang kesulitan secara ekonomi tentulah

tanpa tindak lanjut nyata. “Ujungnya di pengaplikasiannya tidak ada,” lanjut Zararah.

Zararah memiliki pandangan kritis terkait kehadiran perwakilan pihak rektorat saat demonstrasi maupun dalam audiensi formal. Menurutnya, tidak cukup hanya melihat setiap pertemuan ini sebagai kasus terpisah. Ia mendesak agar civitas academica merenungkan seluruh rangkaian kepemimpinan Rektor Asep Saepudin Jahar.

Pertanyaan besarnya dalam benaknya adalah, apakah suara mahasiswa benar-benar didengar, atau semua ini hanya bagian dari prosedur formal yang hampa?

Pakar Komunikasi Buka Suara

Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKom), Andi Faisal Bakti menegaskan, UIN Jakarta sebagai lembaga negara sudah sepatutnya memiliki informasi yang dirahasiakan. Selain pejabat tertentu, publik tidak boleh mengetahui suatu informasi sebab akan memicu kritik yang merugikan kampus.

Meski begitu, Andi menyarankan, informasi yang bersifat publik disebarluaskan dengan konsisten dan kompatibel melalui laman PPID UIN Jakarta. Informasi yang tersebar harus utuh dan tidak boleh menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di benak civitas academica.

“Semoga UIN Jakarta bisa semakin menyempurnakan informasi publik lagi,”

harapnya melalui telepon, Rabu (24/4). Terkait pengajuan audiensi atau wawancara ke jajaran rektorat, Andi menilai, memang ada sistem birokrasi yang sifatnya sentralistik dan desentralistik. Jika suatu lembaga menganut sistem desentralistik, kreativitas unit-unit di dalamnya akan lebih berkembang dalam menjawab persoalan.

Di sisi lain, lanjut Andi, sistem sentralistik akan membuat suatu informasi lebih utuh dan seirama karena semua kebijakan telah dimusyawarahkan di tingkat rektorat. Hal itu akan berdampak pada kurangnya pemahaman akan suatu kebijakan di unit-unit bawah.

“Saya pikir sistem sentralistik lebih bertanggung jawab. Akan lebih baik kalau memang ada SOP-nya,” ungkapnya. Ke depannya, Andi menganjurkan agar mahasiswa menyampaikan aspirasinya melalui cara-cara yang lebih efektif seperti audiensi. Sebab istilah demo memiliki konotasi yang buruk, seolah-olah pihak kampus akan dimarahi, di-bully, atau diteriaki. Sementara itu, percakapan dalam alur audiensi lebih tertata serta dinilai lebih mengedepankan tata krama.

“Terkadang apa yang dipikirkan mahasiswa juga telah dipikirkan di tingkat rektorat maupun dekanat, namun belum turun pemikirannya dalam bentuk kebijakan. Terkadang juga sudah ada kebijakan tapi belum meluas implementasinya,” tutup Andi.

merasa terbebani.

Dihantam persoalan demi persoalan UKT, mahasiswa kerap berupaya mengomunikasikan keresahannya melalui audiensi maupun unjuk rasa ke para pimpinan UIN Jakarta. Meski begitu, tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa. Pihak rektorat tutup telinga dengan aspirasi mahasiswa. Asep dan jajarannya justru mempertebal narasi “Orang miskin dilarang kuliah” dengan tetap memberlakukan ketiga kebijakan UKT.

Ya, memang setiap kebijakan yang dibuat selalu memiliki landasan aturan dan pertimbangannya tersendiri. Namun, pernahkah rektor melibatkan mahasiswa dalam setiap pengambilan keputusan? Sudahkah (lebih) memperhatikan kondisi lapangan atau mendengar aspirasi mahasiswanya sendiri?

Tentu saja yang kita inginkan bersama adalah kemajuan kampus tercinta. Jika kenaikan UKT diiringi dengan perbaikan fasilitas kampus dan peningkatan kesejahteraan civitas academica, hampir tidak mungkin mahasiswa memprotes kebijakan tersebut habis-habisan. Namun, faktanya masih banyak mahasiswa yang tak puas dengan fasilitas-fasilitas yang tersedia. Masih ada setumpuk pekerjaan rumah untuk kampus yang berambisi menjadi PTN-BH ini.

Sebagai mahasiswa, apakah kita akan duduk manis menerima kebijakan-kebijakan tersebut begitu saja? Ataukah kita perlu terus mengawasi setiap pengambilan kebijakan? Masing-masing dari kalian pasti memiliki jawabannya.

DI BALIK PREDIKAT MABNA TERBAIK

Julukan asrama terbaik tak sejalan dengan yang dirasakan mahasantri Mabna Syekh Nawawi. Ma’had Al Jami’ah selaku pengelola terkendala dengan kurangnya dana dari UIN Jakarta.

“Walaupun biayanya murah, yang rusak tetap harus diperbaiki,” ujar Salam—bukan nama sebenarnya, salah seorang mahasantri di Mabna Syekh Nawawi, Kamis (25/4). Mabna Syekh Nawawi merupakan salah satu asrama di bawah pengelolaan Ma’had Al Jami’ah.

Ma’had Al Jami’ah sendiri adalah pesantren mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembentukan pesantren itu berawal dari perubahan nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta menjadi UIN pada Mei 2002.

Perubahan identitas tersebut menimbulkan kekhawatiran tergesernya keilmuan agama sebagai inti pembelajaran oleh ilmu umum. Akibatnya, UIN Jakarta akan kehilangan peran tradisional sebagai pencetak ulama yang berwawasan keilmuan, kemodernan, dan keindonesiaan yang mumpuni.

Demi mencegah hal tersebut, UIN Jakarta mempersiapkan Ma’had Al Jami’ah sebagai wadah pendidikan non-formal mahasiswa. Pesantren mahasiswa itu bertujuan mencetak mahasantri—sebutan mahasiswa dalam Ma’had—yang unggul dari segi akhlak maupun akademik. Mulanya, istilah Ma’had Al Jami’ah belum ada. UIN Jakarta hanya memiliki satu gedung Ma’had Ali sebagai pesantren mahasiswa. Saat itu, ada pula satu asrama putra (Aspa) serta satu asrama putri (Aspi) yang berfungsi sebagai tempat penginapan semata. Pada tahun 2016, UIN Jakarta menggabungkan Ma’had Ali dengan dua asrama tersebut lalu menamainya dengan Ma’had Al Jami’ah. Ma’had Al Jami’ah menerapkan semua kurikulum serta program pembinaan sebagaimana Ma’had Ali. Selanjutnya, UIN Jakarta menambahkan beberapa gedung asrama guna menyukseskan program tersebut.

Kini, gedung asrama itu terdiri dari Mabna Syekh Nawawi, Mabna Syekh Abdul Karim, serta Mabna Sultan Hasanuddin untuk mahasantri putra. Terdapat juga Mabna Syarifah Khadijah, Mabna Syarifah Muda’im, dan Mabna Syarifah Fatimah bagi mahasantri putri. Di antara keenam asrama tersebut, mahasiswa mengenal Mabna Syekh Nawawi sebagai asrama terbaik.

Pangkat yang tersemat pada Mabna Syekh Nawawi bukan tanpa sebab. Hal itu lantaran fasilitasnya paling lengkap dibanding kelima asrama lainnya. Namun, kenyataannya sedikit memprihatinkan. Sebab, tidak semua fasilitas di Mabna Syekh Nawawi bekerja secara optimal. Bahkan, beberapa fasilitas tidak tersedia.

Kenyataan itu terjadi pada Salam. Ia menyebut tidak bisa menggunakan sebagian kamar mandi serta toilet di asrama. Penyebabnya, ember penampung air serta gayung tidak ada di kamar mandi ataupun toilet tersebut. Terkadang, mahasantri harus membelinya sendiri.

Selain itu, Salam melanjutkan, beberapa kamar mandi dan toilet tidak memiliki pintu. Bahkan, beberapa toilet sudah tidak memiliki jamban yang berfungsi. Akibatnya, kamar mandi dan toilet terbengkalai sehingga tak layak guna. Sebelumnya, air di asrama juga sempat macet beberapa bulan. Setelah pengurus melakukan pengeboran tanah, barulah air lancar kembali. Kala itu, tak jarang para mahasantri menumpang di kamar mandi mahasantri lainnya, bahkan terkadang

mandi di masjid. “Harus pintar-pintar cari air buat mandi,” ungkap Salam. Salam juga cukup terganggu dengan kurangnya kebersihan Mabna Syekh Nawawi. Asrama yang memiliki luas sekitar lima ratus meter persegi itu hanya mempunyai satu petugas kebersihan. Hal itu membuat pembersihan asrama tidak maksimal. Alhasil, tempat sampah akhir penuh dan tak terkelola hingga berhari-hari. “Kadang suka keinjek kalo jalan. Apalagi musim hujan, baunya nyengat banget,” jelas Salam. Salam mengaku beberapa mahasantri memang suka buang sampah sembarangan. Namun, kebiasaan buruk mahasantri disertai dengan minimnya tenaga kebersihan tetap tak akan meningkatkan kebersihan asrama. Sejatinya, mahasantri melakukan kerja bakti setiap Sabtu untuk membersihkan asrama. Kerja bakti itu sudah di luar jadwal piket mahasantri di kamar masing-masing. Salam merasa hal itu belum cukup, sebab sampah selalu

di kamar mahasantri beberapa kali. Ia mengaku hal tersebut sangat mengganggu. Namun, kini sudah tak pernah terjadi semenjak kebersihan asrama lebih terjaga.

Menyoal fasilitas, Galih menyebut koneksi Wireless Fidelity (Wi-Fi) tidak merata. Wi-Fi tidak menjangkau sebagian kamar mahasantri sehingga mereka harus mencari tempat yang terkoneksi. Asrama yang terdiri dari tiga lantai itu hanya memiliki satu Wi-Fi di setiap lantainya.

Kamar mahasantri tak hanya minim jangkauan Wi-Fi, Galih juga menyoroti beberapa kamar yang mengalami kerusakan pada lampu penerangannya. Terkadang, mahasantri terpaksa membeli sendiri lampu kamarnya. Terdapat juga ranjang-ranjang tak layak pakai di beberapa kamar.

Lain halnya dengan pernyataan seorang mudabbir—pendamping mahasantri di Mabna Syekh Nawawi, Safrul

ada setiap harinya.

“Kalo mahasantri ikut bersihin setiap hari jadi nggak efektif, mereka kan juga kuliah,” ungkap Salam.

Selain itu, beberapa langit-langit asrama juga sudah berlubang. Hal itu tak kunjung mendapat perbaikan hingga saat ini. Setelah melaporkan fasilitas yang rusak, terang Salam, mereka harus menunggu beberapa hari, terkadang beberapa minggu hingga pengelola asrama melakukan perbaikan.

Kasur asrama turut jadi sorotan. Pasalnya, kasur tersebut merupakan bekas tempat tidur mahasantri sebelumnya, bahkan sudah bertahun-tahun. Beberapa kasur sudah dekil dan mengeluarkan aroma tak sedap. “Jadi harus pake seprai. Kalo nggak, nggak bakalan kuat,” pesannya.

Untuk hal itu, Salam tidak terlalu mempermasalahkan. Menurutnya, itu sudah sesuai dengan biaya asrama yang berada pada angka Rp3,5 juta per tahun. Bahkan, ia menggolongkan biaya Mabna Syekh Nawawi sudah murah untuk sebuah asrama dengan segala fasilitasnya. Namun, ia tetap berharap semua fasilitas dapat beroperasi secara optimal.

Mahasantri Mabna Syekh Nawawi lainnya, sebut saja Galih, turut menyampaikan hal serupa.

Kepada Institut, Galih menyebut terdapat beberapa area tak terpakai di Mabna Syekh Nawawi. Area tersebut meliputi dapur, serta lokasi untuk menjemur pakaian di dalam asrama. Kini, area tersebut jadi tempat kotor yang terbengkalai. “Nggak enak aja dilihat,” kata Galih lewat pesan Whatsapp, Senin (29/4).

Sebab kurangnya kebersihan asrama, Galih sempat menemui tikus berkeliaran

Pemeliharaan fasilitas asrama dilakukan setiap ada pengaduan. Mudabbir di masing-masing asrama akan mengecek kerusakan fasilitas setiap minggunya. Kerusakan yang terjadi akan langsung diperbaiki. Namun, perbaikan fasilitas terhambat kurangnya dana di Ma’had Al Jami’ah.

Suryadinata mengatakan, biaya asrama mahasantri akan masuk ke dana UIN Jakarta. Dana tersebut turun setelah Ma’had Al Jami’ah memberikan Rancangan Anggaran Biaya (RAB) untuk segala kebutuhannya. UIN Jakarta memberikan dana Rp700 juta setiap tahun. Penggunaan dana itu mencakup keperluan acara rutin dan program pembinaan mahasantri, honorarium pegawai, serta pemeliharaan Ma’had.

Suryadinata mengaku anggaran tersebut belum cukup untuk seluruh keperluan Ma’had Al Jami’ah. Pengelola Ma’had harus bisa berhemat agar cukup untuk kebutuhan satu tahun sehingga beberapa kerusakan fasilitas belum dapat tertangani. Kekurangan ini terjadi sebab kerusakan fasilitas lebih banyak dari anggaran pemeliharaan yang diajukan pihak Ma’had ke UIN Jakarta. Janggalnya, hal ini terjadi setiap tahun.

“Kerusakan itu bisa terjadi secara tiba-tiba,” jelas Suryadinata saat Institut menanyai soal ketidaksesuaian anggaran yang diajukan dengan kerusakan fasilitas Ma’had Al Jami’ah.

Untuk dana tersebut, Ma’had Al Jami’ah lebih memprioritaskan pada pemeliharaan Mabna Syarifah Muda’im. Sebab, asrama putri itu adalah bangunan paling lama dan paling banyak mahasantrinya. Namun, pemeliharaan tetap akan mendahulukan asrama lain yang lebih darurat perbaikan.

Haizi. Ia menyebut tak ada kerusakan fasilitas yang begitu parah. Fungsi beberapa fasilitas tidak optimal lantaran usia pemakaian terbilang sudah cukup lama. “Lemari keropos, kasur kempes, itu cuma karena faktor usia,” kata Haizi, Minggu (5/5).

Katanya, kamar mandi dan toilet yang tak terpakai lantaran mahasantri tidak menggunakannya, bukan lantaran kondisinya yang tidak layak. Mahasantri hanya menjadikan satu ruang kamar mandi sebagai pusat kegiatan bersih-bersihnya.

Saat terjadi kerusakan di asrama, mahasantri akan melapor kepada mudabbir. Nantinya, laporan tersebut akan diteruskan kepada pengelola asrama. Haizi menjelaskan, pengelola asrama merespons cepat laporan yang masuk. Namun, terkadang realisasi perbaikan tersebut cukup lama. “Bisa dua hari, bisa seminggu, bisa juga lebih lama, tapi kadang bisa juga lebih cepat dari itu,” ujarnya.

Kepala Ma’had Al Jami’ah, Suryadinata membenarkan pengakuan para mahasantri itu. Ia mengakui beberapa fasilitas memang tidak layak. Ma’had Al Jami’ah dengan enam asramanya memiliki daya tampung 1200 mahasantri. Saat ini, Ma’had hanya mampu menampung sekitar 900 mahasantri. “Beberapa ranjang memang sudah tak layak pakai,” kata Suryadinata saat ditemui di kantornya, Senin (6/5).

Suryadinata juga menyebut adanya kebocoran di beberapa titik di asrama. Tak hanya itu, air yang macet merupakan masalah besar yang juga kerap terjadi. Begitu pun dengan kurangnya fasilitas Wi-Fi yang sering menghambat aktivitas belajar mahasantri.

“Pembagian dana untuk setiap gedung berdasarkan jumlah mahasantri. Kegiatan mahasantri juga disesuaikan dengan anggaran yang sudah ditetapkan untuk masing-masing asrama,” tuturnya. Kepada Institut, Suryadinata mengatakan bahwa Ma’had bisa mengajukan kekurangan dana yang terjadi. Namun, laporan itu terkadang mendapat respons yang cukup lama dari Rektorat UIN Jakarta. Bahkan, sempat tak ada respons. Soal keberhasilan, hal itu tergantung ketersediaan dana di UIN Jakarta. “Untung-untungan. Kalau dana ada, ya dikabulkan. Kalau nggak, ditunda dulu sampai tahun depan,” ujarnya.

Menanggapi permasalahan-permasalahan tersebut, Suryadinata sudah berencana meminta anggaran yang lebih banyak ke UIN Jakarta. Kedepannya, ia juga berniat menaikkan biaya asrama setelah semua permasalahan fasilitas terselesaikan. “Kami terus berusaha agar fasilitas asrama layak digunakan dan minim kerusakan,” ungkapnya.

Di samping itu, Suryadinata berkeinginan menambah gedung-gedung asrama. Ia berharap semua mahasiswa baru (Maba) berada dalam pembinaan Ma’had Al Jami’ah. Akan tetapi, daya tampung asrama saat ini tak cukup bagi maba yang mencapai tujuh ribu mahasiswa.

Mabna Syekh Nawawi, asrama mahasiswa putra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terletak di Jalan Legoso, Ciputat. Foto diambil pada Sabtu, (9/5).
Muhammad Arifin Ilham (Kontributor)

Angan-Angan Pusat Perpustakaan

Pusat Perpustakaan menyediakan fasilitas penunjang kegiatan akademik mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Impian peningkatan fasilitas dirancang guna memenuhi visi dan misi.

Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan salah satu prasarana yang terdapat di Kampus 1 UIN Jakarta. Perpustakaan ini memiliki berbagai fasilitas di dalamnya, seperti peminjaman buku, ruang membaca dan ruang diskusi, hingga koleksi referensi.

Kepala Pusat Perpustakaan UIN Jakarta, Agus Rifai menyebutkan Pusat Perpustakaan memiliki visi besar untuk menjadikan perpustakaan sebagai rumah akademik bagi civitas academica UIN Jakarta, terutama mahasiswa. Pihaknya juga telah membuat rencana untuk membangun Pusat Perpustakaan demi tercapainya visi tersebut.

Dalam rancangannya, pertimbangan aspek layanan fisik, koleksi, dan lingkungan digunakan untuk membangun Pusat Perpustakaan. “Maka dari itu kami punya beberapa prinsip dasar untuk membangun Perpustakaan UIN ke depan,” ujar Agus, Selasa (30/4).

Pertama, dari segi aspek fisik. Agus ingin Pusat Perpustakaan menjadi tempat yang nyaman untuk memenuhi berbagai keperluan mahasiswa. Baik keperluan belajar, diskusi, berbagi ilmu, bahkan bersantai. Agus menilai Pusat Perpustakaan

UIN Jakarta harus mengubah paradigma pengembangan fisik tata ruang gedung dan semacamnya. Menurutnya, paradigma perpustakaan harus mengikuti pola perilaku mahasiswa yang memasuki masa Milenial dan Generasi Z. Salah satu contoh yang diterangkan oleh Agus, yakni kebiasaan membaca buku Generasi Z. Menurutnya, anakanak zaman sekarang sudah terbiasa dengan digitalisasi sehingga kurang akrab dengan gaya membaca konvensional. Adanya kebiasaan tersebut membuat Agus berpikir jika hal ini menjadi tantangan bagi perpustakaan.

Tantangan yang dimaksud bukan hanya pemenuhan kebutuhan sumber bacaan bagi mahasiswa, tetapi eksistensi dari ruang bacaan yang tersedia di gedung Pusat Perpustakaan. “Kalau mahasiswa semua kebutuhannya sudah digital, lalu buat apa ruang fisik perpustakaan?” tuturnya. Berkaca dari kebiasaan mahasiswa yang hobi mengerjakan tugas di kafe, Agus menyadari kebutuhan mahasiswa akan tempat bertugas yang nyaman. Guna menciptakan suasana yang nyaman bak kafe, Agus ingin perpustakaan ini punya desain interior yang tak kalah nyaman. “Pelan-pelan secara bertahap, lantai satu dan lantai empat mulai kami ubah,” terang Agus.

Tidak hanya itu, Agus juga berkeinginan menyediakan mesin penjaja otomatis di perpustakaan agar mahasiswa bisa sesekali menikmati kudapan jika bosan. “Misal ingin baca lama, tapi terasa lapar, enak kalau ada mesin penjaja otomatis. Tinggal kasih tempat duduk di luar,” ucapnya.

Lalu, jika mahasiswa terbiasa menjaga kebersihan area perpustakaan setelah adanya mesin penjaja otomatis, Agus berencana membuat kafe di Pusat Perpustakaan. “Mudah-mudahan (terwujud). Saya sudah mengomunikasikan dengan pusat bisnis, sebelum kita punya kafe sesungguhnya,” tukasnya.

Selain itu, Agus juga memperhatikan komponen-komponen penyokong nilai

tambah aspek fisik, seperti stopkontak, televisi, dan jaringan nirkabel atau WiFi. Lainnya, pengembangan ruang-ruang tambahan juga diperhatikan, seperti ruang presentasi dan diskusi. “Saya ingin mahasiswa ke sini, mau belajar, diskusi, mau presentasi dengan kawannya, ada semua. Gratis,” tambahnya. Kedua, aspek koleksi. Agus menyadari harus ada perubahan aksesibilitas koleksi dari fisik menjadi digital. Beberapa koleksi yang sudah tersedia secara digital yakni jurnal elektronik dan buku elektronik. Layanan digital tersebut dapat diakses melalui aplikasi Perpustakaan UIN Jakarta.

Adanya aplikasi ini juga menyadarkan Agus akan masifnya kebiasaan mahasiswa terhadap digitalisasi. “Pasca Covid-19, kami menyadari perilaku mahasiswa terhadap digital sangat intens perubahannya,” tukasnya.

Selanjutnya upaya peningkatan kemampuan aplikasi juga turut diperhatikan, seperti rancangan desain antarmuka pengguna dan penambahan koleksi buku elektronik per eksemplar secara bertahap. Menyoal ketersediaan buku yang terbatas di aplikasi, hal itu berada di bawah aturan pihak penyedia. Sistemnya seperti meminjam buku di perpustakaan, bergantian. “Mereka terikat dengan hak cipta. Jadi, yang dapat dibeli per eksemplar, bukan per judul,” jelasnya.

Ketiga, aspek lingkungan dan teknologi. Dalam membangun aspek lingkungan yang ideal, Agus mempertimbangkan kualitas pustakawan di dalamnya. Jika dari segi fisik sudah nyaman, maka peran pustakawan akan jadi nilai tambah. “Mahasiswa dapat konsultasi dengan pustakawan ketika kesulitan, baik konsultasi riset atau mengakses katalog dan lainnya,” tuturnya.

di sana bisa langsung pindai,” tukasnya. Tentunya, semua cita-cita Agus akan lebih mudah tercapai jika anggaran mencukupi. Agus mengungkapkan, untuk mendapat anggaran per satu tahun harus membuat daftar rencana pekerjaan setahun sebelumnya. Belum lagi harus melewati birokrasi keuangan dan sebagainya.

Bicara tentang anggaran, Agus mengaku adanya keterbatasan untuk membuat ulang desain tangga di perpustakaan. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi kebiasaan pemakaian lift. “Ingin saya desain, tapi terbentur keterbatasan anggaran,” ungkapnya.

Agus juga terpikirkan untuk membuat layanan peminjaman buku mandiri, seperti di beberapa perpustakaan lainnya. Namun, ia mempertimbangkan harga mesin Anjungan Peminjaman Mandiri (APM) yang mencapai Rp500 juta per unit. “Kalau besok sudah terdigitalisasi, buat apa mesin peminjaman mandiri lagi?” katanya.

Terkait jumlah anggaran, pihak Pusat Perpustakaan berupaya mencukupi anggaran yang tersedia untuk pemenuhan fasilitas. Walaupun terbatas, pihak perpustakaan ingin bisa meningkatkan layanan yang ada secara bertahap. Namun begitu, pihaknya juga selalu meyakinkan para petinggi UIN Jakarta jika fasilitas memadai, Pusat Perpustakaan akan lebih banyak didatangi mahasiswa.

Masalah peningkatan fasilitas, Pusat Perpustakaan harus mengesampingkan anggaran pembangunan dari anggaran berlangganan jurnal. Karena dengan keterbatasan yang ada, Pusat Perpustakaan harus memprioritaskan langganan jurnal yang memakan biaya sebesar Rp1 miliar. “Kalau ditanya kurang (anggarannya), ya kurang,” pungkasnya.

Sementara itu, Institut telah berupaya

Akan tetapi, Dewi mengeluhkan beberapa fasilitas yang tersedia, seperti tata ruang dan tempat duduk perpustakaan yang bisa dibuat lebih nyaman. Selain itu, Dewi juga mendapati beberapa pendingin ruangan kadang tidak menyala, banyak buku usang, serta kursi yang rusak. “Mungkin konsepnya bisa dibikin lebih nyaman seperti Perpustakaan Gandaria, Jakarta Selatan,” ucap Dewi, Rabu (15/5). Dirinya juga mengeluh terhadap sistem pendaftaran keanggotaan yang berlangsung lama sehingga tidak bisa langsung meminjam buku. Kurangnya ketersediaan stopkontak serta bisingnya pengunjung kerap mengganggu. “Pengunjung di ruang skripsi justru lebih berisik dari ruang yang lain,” imbuhnya. Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Ahmad Faid Ridho Asrofin merasa kurang puas terhadap pelayanan staf Pusat Perpustakaan. Menurutnya, para staf di sana kurang ramah dan kurang informatif. “Di loker penitipan aja kayak dibiarin gitu,” katanya, Kamis (16/5).

Belum lagi urgensi pembaruan dan revitalisasi fasilitas penunjang pemustaka. “Banyak kursi yang sudah tua dan usang. Kalau perlu banyakin tempat duduk santai supaya lebih nyaman untuk berlama-lama di perpustakaan,” saran Faid. Membandingkan dengan Perpustakaan Nasional, Faid menyarankan agar Pusat Perpustakaan memiliki ruang fasilitas privat untuk individu dan ruang diskusi. Ditambah mesin APM agar lebih mudah dalam mengembalikan buku. Faid berharap, akan ada revitalisasi fasilitas dan peningkatan pelayanan staf Pusat Perpustakaan. Dirinya juga menyarankan agar media sosial Pusat Perpustakaan dibuat lebih aktif dan menarik. “Karena saya kalau butuh informasi ten

Inda Bahriyuhani (Kontributor)
Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terletak di Kampus 1 dan terdapat 7 lantai yang dapat digunakan oleh mahasiswa sebagai penunjang kegiatan perkuliahan dan organisasi di lantai 7. Foto diambil pada Jumat (24/5).

Belajar tentu keharusan yang tak boleh diabaikan, namun merugilah jika belajar disempitkan semata perkuliahan.

- Najwa Shihab -

Lama Diperbarui, Penelitian Civitas Akademika Sebatas

minim pembaruan data.

Direktori Staf Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan situs web berisi data informasi para Staf UIN Jakarta. Informasi terkait biodata, riwayat pendidikan, pengabdian, hasil penelitian, penghargaan, dan hasil karya termuat di dalamnya.

Berdasarkan pengamatan Institut, data Direktori Staf UIN Jakarta banyak yang tidak diperbarui. Hal ini dibenarkan oleh Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Siti Nurul Azkiyah yang juga merasakan dampaknya. “Penelitian saya di direktori staf tidak tercatat dengan baik,” ungkapnya ketika ditemui Institut di ruangan Dekan FITK lantai dua Sabtu (24/2).

Kepala Program Studi (Kaprodi) Fisika, Tati Zera menjelaskan, data direktori staf harus diperbarui secara individu pada akunnya di Academic Information System (AIS). Selanjutnya, sistem UIN akan memperbarui setelah disetujui oleh unit terkait. “Jika direktori tidak diperbarui akan berdampak pada kenaikan pangkat staf itu sendiri,” jelasnya, Rabu (24/4).

Tati mengeluhkan sulitnya mendapat persetujuan dari unit yang berwenang untuk memperbarui data. “Sebenarnya seperti mengisi KRS, ketika staf UIN belum melakukan pembaruan data maka, belum bisa melakukan kenaikan pangkat,” ungkapnya.

Dosen Fakultas Sosial dan Ilmu Poli-

tik Kesep Kasyfiyullah mengaku tidak peduli dengan administrasi UIN Jakarta. Menurutnya, apabila membutuhkan direktori staf untuk data pribadi bisa merepotkan apabila data tidak diperbarui. “Saya pribadi tidak merasa dirugikan atas sistem direktori staf yang tidak diperbarui, saya lebih merasa dirugikan dengan posisi dosen tidak tetap yang saya miliki,” ungkapnya, Sabtu (25/5).

Bagi para Dosen Tidak Tetap (DTT) jarang memanfaatkan direktori staf. Ketika Kesep melakukan penelitian, hal itu bertujuan untuk memperkaya curriculum vitae saja. “Saya gak memperbarui direktori staf, sewaktu-waktu saja akan saya perbarui jika benar-benar dibutuhkan,” sebutnya.

Dosen Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Iis Geulis Musdaliah —bukan nama sebenarnya— mengaku sudah pernah memperbarui data diri nya dalam direktori staf namun, dinilai kurang praktis. Pihak kampus memberikan pemberitahuan kepada para dosen untuk memperbarui data diri di direktori staf. “Seingat saya, kampus memberikan pemberitahuan kepada para dosen sebanyak satu kali untuk memperbarui data diri di direktori staf,” terangnya, Senin (27/5).

Banyaknya data yang harus diisi dan verifikasi yang membuat Iis merasa kesulitan saat memperbarui situs web tersebut. Kurangnya waktu untuk mempelajari pembaruan direktori staf menjadi penghalang Iis untuk melakukan pembaruan. “Sepertinya antara sistem yang tidak diperbarui atau memang saya yang tidak memiliki waktu untuk memperbarui data diri saya,” sebutnya.

Pengelola situs web Pusat Informasi dan Pangkalan Data (Pustipanda), Arif Richiawan Mustafa mengatakan direktori staf merupakan tanggung jawab staf sendiri. Seluruh Sumber Daya Manusia (SDM) yang sudah memiliki Surat Keterangan Menteri Agama (SK Menag) atau SK Rektor dapat dimasukkan ke dalam direktori. “Tidak ada dampak signifikan ketika direktori tidak diperbarui, tapi dapat mengurangi kredibilitas yang diberikan UIN Jakarta kepada publik,” ungkapnya, Senin (29/4).

Pustipada bertugas menyediakan rumah informasi (Domain) untuk direktori staf UIN Jakarta. Pembaruan direktori staf otomatis terhubung jika individu memperbarui dan secara kewenangan berada di unit kepegawaian UIN Jakarta. “Setelah divalidasi oleh unit-unit yang bersangkutan akan secara otomatis direktori staf akan diperbarui,” tuturnya.

Perusahaan Itu Bernama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tanggal 28 Maret 2024 kemarin, rektor mengeluarkan kebijakan menaikkan UKT untuk mahasiswa baru tahun ajaran 2024/2025. Sayangnya, di SK kenaikan UKT tidak dilampirkan alasan atau pertimbangan yang mendasari keputusan tersebut. Saya juga mencoba mencari alasan atau pertimbangan di balik kebijakan itu, tapi tetap tidak menemukannya.

Mungkin alasan rektor menaikkan UKT untuk calon mahasiswa baru berhubungan dengan misinya menjadikan UIN Jakarta sebagai

Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang ditargetkan terealisasi di awal tahun 2025 mendatang. UIN mungkin memang memiliki misi “baik”. Tapi pertanyaannya adalah, apakah keputusan menaikkan UKT menimbang rata-rata penghasilan mahasiswa yang berkuliah di UIN Jakarta?

Seandainya begini: rata-rata penghasilan orang tua mahasiswa UIN Jakarta di bawah angka lima juta, apakah

adil jika kampus menuntut mahasiswanya untuk membayar uang sebesar tujuh juta?

Saya tidak mengatakan bahwa kampus menuntut biaya yang tidak berimbang dengan rata-rata penghasilan orang tua mahasiswa yang berkuliah di UIN Jakarta. Saya hanya ingin mengatakan, keputusan untuk menaikkan biaya UKT semestinya didasarkan pada pertimbangan yang melihat rata-rata penghasilan orang tua mahasiswa. Beberapa kali saya menemukan mahasiswa yang menggadaikan barangnya untuk membayar UKT, atau bahkan mengambil cuti karena tidak sanggup membayar UKT. Lalu yang lebih parah, terpaksa putus kuliah karena tidak sanggup dengan beban bayaran yang ditetapkan. Masalahnya, beban biaya yang mencekik tidak berimbang dengan kualitas yang ada, meskipun itu tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran untuk mematok biaya tinggi pada mahasiswa. Itu sama saja menerapkan logika bisnis ke dalam lembaga pendidikan. Itu sama saja membangun perusahaan dengan kedok

universitas.

Apa bedanya kampus sebagai lembaga pendidikan dengan perusahaan properti elit yang “tidak mengizinkan” orang-orang miskin untuk berbelanja di perusahaan tersebut? Sementara misi yang dikejar adalah mendistribusikan pendidikan berkualitas secara merata kepada masyarakat. Mematok biaya yang tinggi sama saja tidak mengizinkan mereka yang tidak mampu untuk berkuliah.

Ada berapa banyak orang yang terpaksa tidak lanjut menduduki bangku kuliah karena tidak sanggup membayar biaya yang tinggi?

Ada berapa banyak mahasiswa/i yang harus menyaksikan ketidakmampuan orang tuanya untuk membayar kuliah?

Tidak terbayang bagaimana jadinya jika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi PTN-BH. Pengelolaan ekonomi akan sepenuhnya ada di kendali penuh kampus. Mau tidak mau, kampus harus memutar otak untuk mempertahankan eksistensinya secara ekonomi. Mau tidak

mau, kampus harus menerapkan logika bisnis ke dalam tubuh kelembagaannya. Kampus akan menjadi perusahaan properti sesuai dengan arus permintaan pasar. Properti yang dijual mereka sebut sebagai pendidikan. Mereka yang mempunyai uang dapat membeli properti tersebut. Sementara mereka yang tidak mampu, “Silakan cari perusahaan properti yang lebih sesuai dengan kapasitas ekonomi anda dan jangan berbelanja di sini”. Kampus akan mencari investorinvestor untuk pemasukan mereka. Kampus akan mematok harga tinggi kepada mahasiswa-mahasiswa mereka. Kampus akan memberhentikan mereka yang tidak sanggup bayar. Kampus tidak akan mengizinkan yang miskin untuk belajar. “Orang miskin dilarang sekolah”.

*Penulis merupakan Mahasiswa Magister Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam,

OPINI
Direktori Staf seyogyanya dapat menjadi sumber akurat terkait informasi akademisi dan staf kampus. Namun, Direktori Staf UIN Jakarta justru
Hailen Ummul Choiriah (Kontributor)
Oleh: Ishlah Muhammad*
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Direktori Staf yang berisikan informasi para staf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dianggap kurang lengkap dan tidak diperbarui. Foto diambil pada Jumat (7/6).

Gerak Lamban Birokrasi Surat-Menyurat Kemahasiswaan

Sebagian UKM mengeluhkan proses surat-menyurat yang memakan waktu cukup lama. Lambannya proses surat-menyurat menghambat kegiatan UKM.

*Semua data diambil per 24 Mei 2024

Sekretaris Umum Teater Syahid, Annisa Dinda Rahmasari mengajukan surat izin kegiatan di luar kampus untuk agenda Binarasa, Kamis (21/12). Saat itu, ia hanya melampirkan surat pengantar izin kegiatan di luar serta lampiran berupa susunan acara dan kepanitiaan. Ia tak ingat ada persyaratan lain untuk perizinan kegiatan di luar kampus.

Kala itu, masa libur kuliah menjelang tiba dan kegiatan di Teater Syahid sedang padat, karena itulah Dinda sempat lupa sedang memproses surat di kemahasiswaan. Dua belas hari kemudian, Rabu (3/1), ia meminta sekretaris acara untuk mengecek persuratan itu kembali. Rupanya, persyaratan surat perizinan kegiatan di luar kampus yang ia kumpulkan tidak lengkap. Dinda baru teringat persyaratan lengkapnya setelah diinfokan oleh sekretaris acaranya itu. Ia segera mengumpulkan persyaratan yang kurang seperti Term of Reference (TOR), surat izin tempat kegiatan, dan surat pernyataan persetujuan dari orang tua bermaterai Rp10 ribu.

Dalam kurun waktu dua hari, ia dan rekannya meminta tanda tangan pemilik lahan tempat kegiatan dilangsungkan. Ia juga memproses ulang surat izin orang tua sebab sebelumnya belum disertai materai. Setelah semuanya persyaratan terkumpul, Dinda kembali mengajukan surat perizinan ke kemahasiswaan pada Jumat (5/1).

Dinda kembali mendapatkan revisi kelengkapan surat dari kemahasiswaan, Senin (8/1). Ia diminta merevisi surat izin tempat dari pemilik tempat dan mencantumkan kolom tanda tangan dari Wakil Rektor (Warek) Kemahasiswaan di TOR. Pada hari yang sama, sekretaris acara langsung merevisi surat tersebut. Sehari kemudian, surat yang telah direvisi kembali dinaikkan ke kemahasiswaan.

Surat perizinan tersebut kembali direvisi pada lampiran surat pernyataan persetujuan orang tua. Revisian itu, lanjut Dinda, harus mencantumkan nama orang tua di bawah tanda tangan orang tua. Sekretaris acara yang mengecek surat saat itu mendapat omelan dari salah satu staf kemahasiswaan. “Kamu ngerti hukum gak sih, ini ada materainya tapi gak ada namanya,” ujar Dinda menirukan gerutu

masuk–diterima berdasarkan lima surat terakhir yang diajukan UKM. KMM Riak masih menempati posisi pertama dengan durasi surat masuk–diterima paling lama, yaitu 63 hari. Disusul Pramuka di posisi kedua dengan durasi 25 hari. Teater Syahid turut singgah di posisi ketiga dengan rentang waktu 21 hari.

Sekretaris Umum Teater Syahid, Dinda mengeluhkan proses revisi surat yang memakan waktu lama dan berulangulang. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya panduan persuratan dari Kemahasiswaan. “Peraturannya sering berubah-ubah dan mendadak,” ungkap Dinda, Selasa (23/4).

Lain halnya dengan kisah Dinda, Sekretaris Umum UKM Pramuka, Farihat Nur Hafidzotul Aulia mengaku jarang mendapat revisi saat menyurat ke Kemahasiswaan. Surat yang ia ajukan ke Kemahasiswaan biasanya melampirkan proposal atau TOR.

“Kita sebenarnya yang mengganjal itu bukan surat-menyurat, ya. Kalau kita tuh terkait pelantikan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang ngaret,” ujar Farihat, Kamis (25/4).

Tak hanya itu, dirinya mengeluhkan larangan untuk menyelenggarakan acara di akhir pekan. Menurut Inaroh, mahasiswa yang aktif organisasi memanfaatkan akhir pekan untuk menggelar kegiatan di luar hari kuliah. “Siapa sih yang gak mau UKM-UKM maju, tapi dari pimpinannya sendiri (kemahasiswaan) itu membatasi aktivitas,” sindirnya. Berangkat dari data yang Institut dapat berdasarkan lima surat terakhir yang diajukan UKM, 31 surat berstatus diterima, 13 surat berstatus ditarik, 10 surat berstatus tidak diketahui. Dari total 54 surat yang diajukan, tidak ada satu pun surat yang berstatus ditolak.

Sekretaris PSM, Intan Cahya Amanda mengatakan, revisi berulang memperlambat penerimaan surat yang dibutuhkan segera. Ketika menindaklanjuti surat rekomendasi mengikuti kompetisi yang telah diajukan, lanjut Intan, pihak kemahasiswaan mengatakan surat tersebut masih diproses.

staf itu.

Mau tidak mau, Dinda dan sekretaris acara harus menuliskan satu per satu nama orang tua di surat tersebut. Setelah surat izin orang tua diserahkan kembali ke kemahasiswaan, ia bisa bernafas lega sebab tak ada revisian lagi.

Pengalaman surat-menyurat itu membuat Dinda yang notabene mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) mengeluh. Proses surat-menyurat yang panjang acap kali mengharuskannya bolak-balik ke kampus satu.

Berkaca dari kisah Dinda, Institut telah mengumpulkan data surat-menyurat berdasarkan lima surat terakhir yang diajukan UKM ke kemahasiswaan.

Rata-rata jarak surat masuk–diterima di kemahasiswaan, yaitu 10 hari. KMM (Komunitas Musik Mahasiswa) Riak meraih rata-rata durasi paling lama dari surat masuk–diterima. KMM Riak harus menunggu kepastian surat yang diajukan sekitar 27 hari.

Selvi, Sekretaris KMM Riak, pernah mengalami dua kasus kehilangan pada surat yang sama di kemahasiswaan. Kala itu, ia sedang mengajukan surat penurunan dana ke Kemahasiswaan. Surat pengantar beserta Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTJB) dilampirkan. Saat dicek kembali, surat pengantar itu hilang sehingga ia membuat kembali surat tersebut. Setelah dilampirkan surat baru, surat itu kembali hilang tanpa jejak.

“Kayaknya suratnya keselip gitu deh, kata ibu (salah seorang di kemahasiswaan),” ucap Selvi, Kamis (25/4).

Pengalaman yang dialami Selvi turut dirasakan oleh Foreign Languages Association (FLAT). Sekretaris FLAT, Dhimas Surya Pratama sering mengalami kehilangan surat di kemahasiswaan. Dhimas bercerita, dirinya telah mengisi daftar hadir dan data surat masuk di kemahasiswaan. Saat ia kembali ke kemahasiswaan, surat yang telah ia lampirkan hilang. Dhimas mengalami kejadian yang sama sebanyak tiga kali.

“Kita mau gak mau bikin surat lagi, masukin ulang lagi.” keluh Dhimas, Selasa (23/4).

Grafik “Jarak Surat Masuk-Diterima (Dalam Hari)” menunjukkan durasi surat

Apabila data lima surat terakhir dipisah berdasarkan durasi revisi, KMM Riak masih setia di posisi pertama dengan durasi 16 hari. Berikutnya, KPA Arkadia dengan durasi 14 hari. LPM Institut tampaknya tak ingin kalah dan menyusul di posisi ketiga dengan durasi delapan hari. Dari sepuluh surat yang direvisi, tujuh di antaranya adalah surat peminjaman tempat.

Sekretaris Umum KPA Arkadia, Mitha Amalia mengeluhkan proses suratmenyurat peminjaman tempat yang mengharuskan adanya proposal. Tahun sebelumnya, kata Mitha, proses suratmenyurat tersebut tidak memerlukan proposal. “Sebelumnya hanya suratnya aja, kan. Tiba-tibanya di-note-nya (keterangan revisi) meminta lampiran proposal yang sudah ditandatangani,” tutur Mitha, Rabu (24/4).

Sekretaris Hiqma, Inarotudduja— kerap disapa Inaroh—turut mengalami lika-liku yang sama. Saat ingin menyelenggarakan Festival Seni Islami Nasional, Inaroh dimarahi salah satu pihak kemahasiswaan karena sering mengajukan surat peminjaman tempat untuk acara tersebut. “Bukannya justru bagus ya aktif gitu,” kata Inaroh, Sabtu (27/4).

“Sampai sekarang gak ada kepastian surat tersebut dan kita belum dikasih surat rekomendasi itu untuk mendaftar kompetisi,” jawab Intan, Kamis (25/4). Kasus yang lain, ia pernah tidak menindaklanjuti surat yang direvisi oleh kemahasiswaan. Intan mengatakan, surat tersebut direvisi karena agenda yang dilangsungkan tidak mengandung unsur musik. “Surat tersebut tidak ditindaklanjuti dan kami mengajukan surat lagi untuk agenda pentas akustik,” ujarnya, Senin (29/4).

Pada Rabu (29/5), Institut mendapat kabar, kemahasiswaan sudah menyiapkan Petunjuk Teknis Kegiatan Ormawa dan Program Kerja 2024. Petunjuk teknis tersebut digunakan sebagai panduan pembuatan surat ke kemahasiswaan. Pranata Komputer Ahli Muda Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama, Samsudin mengirimkan panduan itu ke Grup Whatsapp Ormawa TA 2024 pada Jumat (31/5).

“Salam kawan-kawan Ormawa, ini terlampir Petunjuk Teknis Kegiatan dan File Program Kerja Ormawa dan folder setiap UKM untuk kegiatan ormawa. Silahkan gunakan sebaik mungkin,” tulisnya.

Wan Muhammad Arraffi

Lika-Liku Raih Peringkat Penelitian Internasional

Meski banyak tantangan yang dihadapi, penelitian UIN Jakarta meraih peringkat dunia di beberapa klaster. Capaian tersebut mendorong kampus untuk menggapai World Class University.

Penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta berhasil menduduki peringkat tinggi pada Scimago Rankings 2024. Riset bidang filsafat, sejarah, dan studi-studi agama berhasil mengantar UIN Jakarta pada peringkat ketiga klaster Arts and Humanities.

Penelitian UIN Jakarta memimpin Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dalam beberapa klaster. Klaster Econometrics and Finance mendapat peringkat ke-33 di Indonesia, Business, Management and Accounting peringkat ke-40, serta Earth and Planetary peringkat ke-23. Sementara itu, klaster Physics and Astronomy menduduki peringkat ke-11, Psychology peringkat ke-4, dan Social Science peringkat ke-16.

Ketua Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen), Siti Ummu Masruroh menjelaskan, UIN Jakarta lebih unggul dibanding PTKIN lainnya dari segi Sumber Daya Manusia (SDM). Meski begitu, peringkat penelitiannya masih lebih rendah dibandingkan seluruh universitas di Indonesia.

Guna mendorong para dosen melakukan penelitian, UIN Jakarta memberikan sejumlah insentif sebagai bantuan penelitian. Ada pula dana lain yang diberikan sebagai apresiasi terhadap penelitian yang dihasilkan.

Dana Bantuan dan Apresiasi Penelitian Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 mengatur tentang pemberian dana bantuan penelitian oleh kampus. Pasal 2 ayat 1a mengatur tentang pemberian bantuan penelitian berupa Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan Bantuan Layanan Umum (BLU). Minimal 30% BOPTN digunakan untuk pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terkait penelitian.

Apresiasi juga diberikan kepada peneliti yang sudah menerbitkan jurnal berupa insentif publikasi sesuai Standar Biaya Keluaran (SBK) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). SBK tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pertanggungjawaban Anggaran

Penelitian atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Siti menerangkan, besaran insentif yang diberikan kepada dosen peneliti tergantung pada klaster yang diteliti. Selain itu, tingkat jurnal Scopus dan tingginya indeks sitasi memengaruhi besaran imbalan. “Hal lain yang

lanjut Siti.

Siti juga menyayangkan mahasiswa yang belum bisa mengajukan riset pribadi maupun riset kolaborasi dengan dosen karena belum ada standar yang mengatur hal tersebut. Padahal, ia melihat potensi mahasiswa untuk belajar dan mengulik sebuah ilmu dengan dosen

berpengaruh pada insentif yakni outcome yang dicapai dari hasil penelitian dan tingkatan jurnal. Quartile 1 (Q1) adalah tingkat tertinggi internasional,” jelas Siti, Jumat (26/4).

Beragam upaya telah dilakukan guna mendorong peningkatan kuantitas penelitian di UIN Jakarta. Kendati demikian, masih ada kendala-kendala yang ditemui dalam perjalanannya, seperti kurangnya anggaran serta minimnya partisipasi mahasiswa dalam riset.

Ragam Problem dalam Penelitian Puslitpen menyediakan sebuah aplikasi

Sistem Informasi Arsip Penelitian dan Publikasi (SIAPP) guna memublikasikan data peneliti dan hasil penelitiannya. Jika dosen tidak melakukan penelitian dalam jangka waktu tertentu, peringatan akan muncul dalam laman dosen tersebut.

Siti menyayangkan jumlah peneliti dan dosen yang tidak seimbang dengan jumlah anggaran. Pemberian anggaran belum merata kepada seluruh dosen yang mengajukan penelitian. “Perbandingan antara dosen yang mengajukan dengan yang diterima kurang lebih hanya 50%,”

sebagai pemandunya. Maka dari itu, dosen wajib menggandeng mahasiswa yang berkapasitas untuk melakukan riset sebagai asisten peneliti.

Selaras dengan Siti, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M), Amelia Fauzia juga mengalami hambatan dalam mengelola data penelitian. Lanjut Amelia, hambatan tata kelola data masih belum maksimal sehingga belum memudahkan dalam pendataan informasi penelitian. Selain itu, digitalisasi yang dilakukan oleh LP2M masih memerlukan banyak proses.

“Program pendataan belum terintegrasi secara baik. Untuk mendukung Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), kami akan mengupayakan kategorisasi peneliti untuk memudahkan peningkatan kapasitas,” tutur Amelia. Meski banyak rintangan yang dihadapi, LP2M dan Puslitpen terus berkomitmen mengembangkan kuantitas dan kualitas penelitian di UIN Jakarta. Sebab, penelitian merupakan salah satu indikator dalam pencapaian World Class University (WCU).

Ambisi World Class University LP2M berkomitmen menerapkan skema penguatan ekosistem, yakni penelitian dan pengabdian masyarakat. Program dari penguatan ekosistem tersebut yaitu menguatkan penelitian pada mahasiswa dan memprioritaskan internasionalisasi.

Amelia Fauzia mengatakan, skema tersebut dapat menargetkan UIN Jakarta masuk dalam World Class University WCU pada tahun 2045. LP2M mengusahakan penelitian UIN Jakarta dapat memperoleh pemeringkatan kampus tingkat dunia atau Quacquarelli Symonds (QS). “ QS adalah salah satu indikator standar dunia yang jelas untuk kita capai,” jelas Amelia, Jumat (26/4). LP2M berkolaborasi dengan Puslitpen UIN Jakarta telah mengeluarkan Pedoman Penelitian Tahun Anggaran 2024. Pedoman itu berisi panduan dalam menjadikan UIN Jakarta sejajar dengan universitas kelas dunia di tahun 2032 yakni perbaikan kualitas akademik, tenaga pengajar, staf administrasi, dan promosi kampus. Selain itu, peningkatan kuantitas dan kualitas penelitian, pengabdian masyarakat, serta publikasi ilmiah merupakan fokus utama untuk mencapai WCU.

Lanjut Amelia, program LP2M harus terintegrasi dengan melakukan rencana skema yang konsisten. Penelitian yang dilakukan perlu menghasilkan dampak kepada masyarakat. “Setiap peneliti berfungsi menangani sebuah persoalan yang belum terjawab. Setelah fungsi tersebut terlaksana, pengabdian kepada masyarakat bisa dilakukan,” ujar Amelia. Program LP2M lainnya yang mendukung internasionalisasi yakni Travel Grants Conference. Program tersebut memberikan fasilitas kepada peneliti untuk bisa mempresentasikan hasil riset di forum internasional. LP2M mendorong adanya kolaborasi riset dan publikasi. Kolaborasi tersebut dilakukan bersama peneliti dari pihak luar yang bisa memperluas jangkauan sitasi. “Kalau tidak ada melakukan kolaborasi berarti tidak ada upaya peningkatan kualitas. Potensi untuk disitasi pun rendah,” katanya. Rizka Id’ha Nuraini (Kontributor)

KAMPUSIANA
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menduduki peringkat 3, melampaui Universitas Gadjah Mada dan UIN Sunan Gunung Djari Bandung menurut situs Scimago, Kamis (23/5/2024)

Minim Variasi Kudapan di Kampus PPG

Kepincangan antara Kampus Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan kampus lain UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telihat jelas dari fasilitasnya, baik dari internal maupun eksternal kampus. Salah satunya minim akan tempat makan bagi mahasiswa. Beda halnya dengan tempat makan kampus lain yang difasilitasi baik oleh UIN Jakarta, kampus PPG termarginalkan. Kantin yang ada di kampus tersebut tidak layak, wilayah sekitarnya juga sepi pedagang kaki lima dan toko-toko. Para mahasiswa PPG merasa pilihan makanan di kantin tidak bervariasi. Di sisi lain, mereka harus menempuh perjalanan jauh untuk membeli makanan di luar. Selain itu, mahasiswa membutuhkan kantin yang bagus untuk berkegiatan dengan nyaman. “Saya berharap pihak kampus lebih memperhatikan fasilitas PPG supaya para mahasiswa bisa berdiskusi dan mengerjakan tugas di kantin,” keluh Asyrafil Akmal, salah seorang Mahasiswa Manajemen Pendidikan, Senin (29/4).

Nantikan masa pendaftaran Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut, menjadi penyalur aspirasi dan suara para warga. Menghimpun kebenaran, menggerakkan kejujuran.

Fajri Hasan (Kontributor)

Corong Kampanye HAM di Kampus

Amnesty UIN Jakarta berikan wadah bagi mahasiswa yang tertarik isu HAM. Kampanye jadi agenda utama guna membangun kesadaran kolektif.

Pentingnya mahasiswa menyoroti isu Hak Asasi Manusia (HAM) mendorong terbentuknya Amnesty Chapter Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Komunitas berdiri pada 2020 atas inisiasi beberapa mahasiswa UIN Jakarta angkatan 2017 dan 2018 yang memiliki ketertarikan dengan isu HAM. Memasuki tahun keempat Amnesty Chapter UIN Jakarta tetap eksis dalam menyebarluaskan isu hak asasi manusia di ranah kampus.

Menciptakan masa depan di mana HAM dapat dinikmati semua orang menjadi misi besar Amnesty International Indonesia. Begitupun dengan Amnesty Chapter UIN Jakarta yang merupakan gerakan akar rumput di ruang lingkup kampus. Komunitas itu bertujuan membangun kesadaran kolektif di kampus tentang pentingnya penegakan, penghormatan, dan perlindungan terhadap HAM.

Selaras dengan misi tersebut, program kerja Amnesty Chapter UIN Jakarta berfokus pada edukasi dan kampanye mengenai isu HAM. Metode yang digunakan pun beragam, mulai dari penyebaran konten digital, penyelenggaraan forum diskusi dan seminar, hingga penerbitan buku tentang HAM.

Amnesty UIN Jakarta belakangan mengunggah hasil survei “UIN Jakarta Belum Sepenuhnya Ramah Difabel” guna memberi gambaran pemenuhan hak-hak difabel di kampus. Komunitas juga pernah meluncurkan dua buku ber-

tajuk “Ayat-Ayat Nestapa: Noktah Hitam Pelanggaran Hak Asasi Manusia” dan “Menggugat Angkara: Catatan Reflektif Dinamika Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Ada pula dua film dokumenter bertitel “Demanding Justice for Southeast Asian Migrant Worker in Develop Country” dan “Hari Internasional Anti Penghilangan Paksa 2021” yang diluncurkan.

Film dokumenter yang bertajuk “Demanding Justice for Southeast Asian Migrant Worker in Develop Country” merupakan project international pertama Amnesty UIN Jakarta secara mandiri. Sebelum itu pada 2020, Amnesty UIN Jakarta menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia untuk pembuatan video dokumenter tentang World Earth Day yang diselenggarakan oleh Universitas Belgia.

Ketua Amnesty Chapter UIN Jakarta, Firda Amalia mengaku pihaknya beberapa kali dihubungi untuk terlibat dalam upaya advokasi beberapa isu terkini dalam kampus. Melalui media sosial khususnya mention Instagram misalnya. Namun, hal semacam itu belum pernah dilakukan.

“Untuk advokasi, kita sendiri belum pernah, karena dari tingkat Amnesty International Indonesia (pusat) belum pernah mengadvokasi kasus HAM. Untuk saat ini pokok kegiatan Amnesty Chapter UIN Jakarta adalah melakukan kampanye dan edukasi terkait HAM,” jelas Firda, Sabtu (27/4).

Celonyta Callista, salah anggota Amnesty Jakarta menjelaskan bahwa sebel-

umnya ia tidak mengetahui keberadaan komunitas tersebut. Setelah mengetahuinya, ia segera mendaftarkan diri sekitar Desember 2021. “Awalnya aku cuma tahu Amnesty International Indonesia saja, sampai salah satu Kakak Tingkat (Kating) menawarkan aku untuk gabung di komunitas ini,” jelas Callista, Jumat (3/5).

Alasan Callista bergabung dengan Amnesty Chapter UIN Jakarta karena dirinya memang tertarik dengan isu-isu HAM, khususnya penegakan HAM pada perempuan dan anak-anak. Ia juga menuturkan, perempuan di Indonesia saat ini sudah mendapatkan hak pendidikan, di mana sebelumnya perempuan cenderung dilarang untuk bersekolah tinggi-tinggi.

“Walau begitu, masih ada saja lingkungan yang menganggap bahwa pendidikan bagi perempuan itu tidak penting,”

Melokal dengan Jurnalistik

Judul

Penulis

Penerbit

Tahun

Cetakan

Buku Parade Hantu Siang Bolong merupakan kumpulan reportase jurnalistik yang mengangkat isu seputar lokalitas nusantara. Tersaji cerita legenda, magis, dan mitos yang erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia.

kata Callista, Jumat (3/5).

Fariz Naufal, anggota Amnesty Chapter UIN Jakarta lainnya turut menyampaikan alasannya bergabung. Bukan atas dasar ketertarikan semata, Fariz mengaku butuh untuk tetap berada dalam barisan orang-orang yang membentengi HAM. Ketika sudah menjadi bagian dari Amnesty Chapter UIN Jakarta, ia mengaku terkesan dengan pengalaman yang didapatkannya. Salah satu pengalaman mengesankan adalah saat penyusunan buku Ayat-Ayat Nestapa yang mengisahkan situasi penegakan hak mahasiswa pada berbagai universitas di Indonesia. “Saat itu menjadi pengalaman berharga bagi kami, khususnya saya,” jelas Fariz, Selasa (30/4).

KRITIK &

Tabloid Insitut Edisi LXVIII Juni 2024

Siang Bolong

Titah AW

Halaman Parade Hantu

Buku Peringatan

2020

Pertama

247 Halaman

Reportase yang dituliskan dalam buku ini menjadikan wajah baru dalam proses peliputan ataupun diskusi jurnalistik. Selain itu, sang penulis—Titah AW dalam bukunya, Parade Hantu Siang Bolong seperti membuktikan bahwa karya jurnalistik tidak hanya berupa berita terkini yang cepat, akurat, bahkan kaku. Dengan mengangkat isu, cerita, atau mitos sekalipun yang menjadikan pembaca menikmati sejenak kejadian kehidupan sekitar. Titah dalam bukunya seolah memberitahu bahwa pemberitaan jurnalistik tidak hanya berfokus pada objektivitas data, tetapi juga objektivitas kejadian dari peristiwa. Reportase ini tentu menjadi berbeda dari reportase biasanya. Ia mencoba mencari cara untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan memasukkan fenomena-fenomena absurd tersebut ke dalam data jurnalistik. Terbukti dalam salah satu reportase yang berjudul Bagaimana Mereka Memakamkan Bapak yang Penghayat, cerita tersebut menerangkan sebuah penganut aliran kepercayaan Kapribaden ketika menjadi penghayat satu-satunya dalam desa. Ketika penganut keper-

cayaan Kapribaden meninggal di tengah mayoritas masyarakat berkeyakinan Islam. Masalah perbedaan tradisi pemakaman bisa teratasi dengan adanya sikap keterbukaan dan kompromi dalam meyakini aliran kepercayaan masing-masing. Penulisan dikemas secara detail sesuai dengan kejadian sebenarnya. Hal tersebut merupakan bukti Indonesia memiliki ragam aliran kepercayaan yang mana kita bisa hidup berdampingan dengan sikap toleransi.

Dari buku ini, reportase-reportase yang disajikan sangat beragam terutama tentang tradisi dan budaya. Seperti Kesurupan massal di Banyumas, Golek Garwo alias cari jodoh secara massal, sampai Budaya Knalpot Blombang yang menjadi tradisi pada masa-masa kampanye politik. Bagian akhir buku ini juga, tentang tema yang sering terjadi di Jogja yakni Klith dan Info Cegatan Jogja. Penulisan cerita ditulis sangat luwes sehingga bisa dibaca semua khalayak di Indonesia.

Dalam buku ini, tiap-tiap perjalanan reportase Titah disajikan sangat mengalir, juga terasa personal dan mirip karya fiksi. Hanya saja yang dituliskan sesuai dengan yang terjadi di lapangan dan melalui proses peliputan jurnalistik. Penulis menggunakan padanan bahasa daerah dan Indonesia yang menjadikan buku ini layak disebut buku lokal.

Desy Rahayu
Della Syawliyah
RESENSI BUKU
Sejumlah lembaga mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Mimbar Bebas bertemakan “Football is Humanity” yang dilatarbelakangi oleh Tragedi Kanjuruhan (1/10/2022)

KETENTUAN MEDIA PARTNER

Mengirimkan proposal kerjasama ke surel institutperusahaan@gmail.com atau menghubungi Instagram @lpminstitut

Memilih paket kerjasama yang ditawarkan LPM Institut

Penandatanganan kontrak kerjasama

Melaksanakan kesepakatan kerjasama dengan ketentuan yang telah disepakati

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.