Rizal Assalam GAMBAR: REPUBLIKA.CO.ID
Apa yang politis dari gerakan mahasiswa? Apakah gerakan mahasiswa merupakan gerakan moral atau gerakan politik? Seberapa signifikan gerakan mahasiswa secara politis? Apa makna independen dan netral dalam gerakan mahasiswa?
T
ulisan Suryadi Rajab (1991), “Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru”1 ternyata masih relevan melihat diskursus mengenai Pilpres 2014 yang berkembang di lingkungan Kampus UI dan dalam kaitannya dengan gerakan mahasiswa pasca Orde Baru. Hal ini terutama terkait perdebatan antara wacana menolak netral dan Capres pelanggar HAM dari pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa dan Alumni UI (30 Mei 2014) dengan wacana netralitas dan independen serta menolak politisasi dari pernyataan sikap BEM UI dan BEM se-UI (30 Mei 2014). Rajab dalam tulisannya menguraikan mitos-mitos gerakan mahasiswa yang dikonstruksikan oleh negara (Orde Baru) terhadap gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dikonstruksikan—yang juga menandai awal mula pewacanaan— sebagai gerakan moral, bukan sebagai gerakan politik. Mahasiswa diibaratkan sebagai resi, agent of social change, kelompok intelektual pembaruan, dan seterusnya. Pada intinya, gerakan mahasiswa diartikan bebas dari kepentingan politik.
Suryadi Rajab, Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru, Majalah Prisma, No.10, Tahun 1991. Untuk versi online, bisa diakses melalui http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/search/label/opini?updated-max=2013-0914T08:24:00-07:00&max-results=20&start=20&by-date=false 1
Hal yang perlu dicatat mengenai mitos-mitos tersebut adalah mengenai konteks yang melatarbelakanginya. Negara Orde Baru berupaya secara sistematis untuk meredam setiap kekuatan-kekuatan oposisi yang berpotensi mengancam ‘stabilitas politik’. Konteks saat itu menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memiliki kekuatan politik yang signifikan, misalnya, untuk menggalang opini publik dan melakukan aksi besar, seperti pada Peristiwa Malari tahun 1974, Gerakan Mahasiswa (Gema) tahun 1977-1978. Kekuatan signifikan gerakan mahasiswa tersebut kemudian direspon oleh Negara Orde Baru melalui kebijakan Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978. Kebijakan NKK/BKK merupakan upaya depolitisasi, deideologisasi dan deormasisasi kampus, serta meredam aktivitas politik mahasiswa secara umum.2 Singkatnya, untuk mencegah radikalisasi gerakan mahasiswa. Apa yang mengikuti setelah NKK/BKK dijalankan adalah berkembangnya tuduhantuduhan terhadap gerakan mahasiswa. Setiap aktivitas organisasi mahasiswa yang dianggap keluar dari ‘Skenario 66’3 dituduh ‘ditunggangi’ atau ‘dipolitisasi’. Kritik diperbolehkan sejauh kritik itu ‘bersifat konstruktif’ dan tidak mengancam stabilitas politik. Dalam istilah Rajab, gerakan mahasiswa ketika itu tak ubahnya seperti Macan Ompong. GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN POLITIK Untuk mengatakan gerakan mahasiswa memiliki signifikansi politik berarti menempatkan gerakan mahasiswa dalam bingkai gerakan politik. Ketika seseorang memposisikan gerakan mahasiswa sebatas pada gerakan moral, maka sama saja dengan mereduksi signifikansi politik gerakan mahasiswa. Signifikansi itu sendiri tidak lain bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan politik. Selain itu, gerakan mahasiswa dapat menjadi kekuatan ekstra parlementer, ketika fungsi representasi formal tidak berjalan karena terkooptasi oleh kepentingan elite. Betul bahwa gerakan mahasiswa sejatinya tidak berorientasi pada kekuasaan, seperti manuver yang dilakukan partai politik. Namun, yang perlu digarisbawahi dan diberi penekanan adalah bahwa gerakan mahasiswa selalu bersinggungan Ibid. Lihat juga Dody Rudianto, Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional, Jakarta: Golden Terayon Press, 2010, hlm 17. 3 ‘Skenario 66’ ini merujuk pada gerakan mahasiswa Angkatan 1966 yang menjadi komponen aliansi segitiga antara perwira Angkatan Darat, teknokrat dan mahasiswa yang menjadi penyokong berdirinya Negara Orde Baru, di mana mahasiswa dikonstruksikan sebagai gerakan moral, sebagai resi yang tak memiliki kepentingan politik (kekuasaan). Sehingga setiap aktivisme di luar konstruksi tersebut dianggap menyimpang. Lihat Suryadi Rajab, Op.cit. 2
dengan politik, sepanjang ia mengangkat isu-isu kenegaraan, mengorganisir massa, berorientasi untuk mempengaruhi kebijakan publik, atau menyoal keberlangsungan demokrasi. Artinya, makna ‘politik’ tidak sesempit pada pengertian berorientasi pada kekuasaan secara praktis. Sederhananya, sejauh isu yang diangkat menyangkut hajat hidup orang banyak—misalnya keberlangsungan demokrasi—maka ia menjadi ‘politis’. Dengan demikian, jargon ‘tolak politisasi kampus’ cukup merefleksikan mitosmitos mahasiswa yang dikonstruksikan oleh Negara Orde Baru seperti yang dipaparkan oleh Rajab dalam uraian singkat di atas. Artinya, hegemoni Negara Orde Baru masih tersisa dalam cara kita berpikir—sebagaimana mitos-mitos yang dikonstruksikan oleh Negara Orde Baru masih lestari hingga saat ini melalui tuduhan-tuduhan ditunggangi atau dipolitisasi. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh Rajab, tuduhan-tuduhan tersebut merupakan strategi ganda yang khas digunakan penguasa mana pun untuk mendapatkan legitimasi atau sebaliknya untuk men-delegitimasi gerakan perlawanan.4 Agak menggelikan ketika seseorang menggunakan jargon ‘tolak politisasi kampus’ tanpa paham konteks yang melatarbelakangi kemunculannya. Penulis sepakat bahwa gerakan mahasiswa tidak boleh berorientasi pada “politik” yang kita pahami selama ini (yang tentunya sangat dangkal) yang artinya bersinggungan secara langsung dengan kepentingan politik praktis—misalnya manuver-manuver partai politik. Maka, jargon ‘tolak politisasi kampus’ harusnya berpangkal pada problem orientasi tersebut, namun juga sembari menyadari bahwa gerakan mahasiswa bersifat politis, terutama ketika mengusung isu keberlangsungan demokrasi. EPILOG Gerakan mahasiswa di era Reformasi ini harus menempatkan diri pada bingkai demokratisasi. Hal ini berarti keluar dari mitos-mitos gerakan moral dan apolitis. Sejatinya isu-isu yang diusung dalam gerakan mahasiswa sangat kental unsur politisnya. Dalam relevansinya dengan Pilpres 2014 ini, misalnya, ancaman terhadap keberlangsungan demokrasi semakin jelas dengan adanya wacana bangkitnya Orde Baru dengan kecenderungan fasismenya. Apa yang dapat dilakukan oleh gerakan mahasiswa dalam konteks ini adalah antisipasi dan membangun kesadaran publik. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Ridha, “terdapat keharusan melakukan antisipasi atas apa yang potensial untuk 4
Ibid.
mencegahnya menjadi aktual: dalam arti penolakan atas kebangkitan ide Orde Baru menjadi suatu keharusan.�5 Dengan merujuk pada antisipasi tersebut, konsekuensi logisnya berarti menolak netral—sebagaimana Pilpres ini hanya diikuti oleh dua calon. Hal ini bukan berarti gerakan mahasiswa menjadi tidak independen, juga bukan berarti gerakan mahasiswa menjadi juru bicara kampanye salah satu kandidat. Melainkan melihat pada kondisi objektif yang melingkupi pembacaan atas potensi-potensi setiap Capres. Jadi, apa yang tidak independen dari sikap menolak netral? Apa yang ‘dipolitisasi’ ketika mahasiswa dengan kesadarannya sendiri bergerak merespon ancaman keberlangsungan demokrasi? Sekali lagi, menolak netral merupakan konsekuensi logis ketika Pilpres 2014 ini hanya menyisakan satu-satunya alternatif selain ancaman fasisme. Artinya, pilihan yang tersedia untuk disikapi bagi gerakan mahasiswa hanyalah: demokrasi atau barbarisme. 6 (ed: DDA) Bacaan lanjutan: Rajab, Suryadi. Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru. Majalah Prisma, No.10, Tahun 1991 Rudianto, Dody. Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional. Jakarta: Golden Terayon Press, 2010 Ridha, Muhammad. Menuntut Logika yang Lebih! Pemilu 2014 dan Respon Taktis Politik Marxis Indonesia. Diakses dari http://indoprogress.com/2014/04/menuntut-logika-yang-lebih-pemilu-2014dan-respon-taktis-politik-marxis-indonesia/
Muhammad Ridha, Menuntut Logika yang Lebih! Pemilu 2014 dan Respon Taktis Politik Marxis Indonesia, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/04/menuntut-logika-yang-lebih-pemilu-2014-danrespon-taktis-politik-marxis-indonesia/ pada tanggal 31 Mei 2014 pukul 10.59 WIB 6 Simak uraian menarik dari Iqra Nugraha, Demokrasi atau Barbarisme, dapat diakses dari http://indoprogress.com/2014/05/demokrasi-atau-barbarisme/ 5