ALIANSI MAHASISWA DAN ALUMNI UI UNTUK DEMOKRASI
IQRA’!
(SEMAR UI - UILDSC - HMI FISIP UI - GARDA DEPAN SASTRA UI KB UI - ILUNI UI JAKARTA)
BACA, BACA, BACA!
1
AADH (Ada Apa Dengan HAM) Robie Kholilurrahman
K 2
ata Fadli Zon, “Rakyat tidak makan HAM, tapi makan nasi.” Benarkah begitu? Dan mengapa Ia (sebagai Waketum Partai Gerindra, Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, dan sekaligus Pendamping Setia Prabowo) sampai mengeluarkan pernyataan seperti itu? Lalu kata beberapa
orang, “HAM itu produk Barat.” So what? ‘Karena kita bangsa Timur jadi sebaiknya kita tidak menerapkan nilai-nilai yang datang dari Barat karena bertentangan dengan tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat kita’, begitukah? Sedangkan kata kawanku, “Kenapa HAM? Kenapa tidak korupsi? Atau
kejahatan yang lainnya?” Menurutmu, kenapa? Sementara temanku yang lain bilang, “Ngomongin hak melulu, kewajibannya juga dong!” Oke mari kita mulai diskusi tentang HAM ini. Sebenarnya, Ada Apa dengan HAM?
HAM = Hubungan Negara – Warganegara
M
ari kita dudukkan persoalan terlebih dahulu. Apa yang kita maksud dengan HAM? Sederhananya,
ia mencakup hak-hak yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Tidak semua orang sepakat, hak-hak apa saja yang menjadi bagian
dari HAM. Namun setidaknya, kita dapat merujuk ke Kovenan HAM yang disepakati di PBB. Kovenan ini memberikan
garis dasar atau standar bersama semua Negara untuk mengakui hak apa saja yang harus ada dan dipenuhi sebagai penghargaan atas kemanusiaan. Lantas, dari mana seorang manusia mendapatkan HAM-nya? Apakah dari sono-nya? Sederhananya, karena ia bernegara—atau setidaknya dianggap demikian, sebagai warga dari suatu negara, oleh pihak-pihak yang memenuhi HAM-nya. Jadi, diskusi tentang HAM tidak bisa dikeluarkan dari konteks diskusi tentang hubungan antara negara dengan warga negara. Negara—sebagai sebentuk hubungan sosial—seperti apa yang kita inginkan, yang kita bangun bersama? Ada sebuah anekdot tentang sebuah negara antah berantah yang
3
sentralistik dan otoriter. Alkisah, pagi itu seperti biasanya ada antrean panjang untuk mengambil jatah roti harian dari negara. Antreannya panjang sekali, hingga Madun, yang datang belakangan, kesal dan mengutarakan keluh kesahnya ke sesama pengantri. Ia mempertanyakan sentralisme yang berlangsung di negaranya tersebut, hingga untuk makan roti saja mereka harus mengantri sepanjang ini! “Aku mau pergi membunuh Raja,” ujarnya kepada Sulam, pengantri di depannya. Beberapa ketika Madun sudah pergi. Namun ternyata Ia kembali lagi. “Cepat sekali kau membunuh Raja?” “Boroboro. Antrian roti ini masih mending: antrian untuk membunuh Raja jauh lebih
panjang!“ Apakah kita mau masa bodoh tentang HAM, yang penting bisa makan, seperti kata sang pendamping Prabowo di atas? Dengan kata lain, masa bodoh tentang apa-apa saja bagian dari kehidupan kita yang diurus dan diatur oleh negara, dan apa saja yang tidak—sekali lagi yang penting bisa makan, seperti yang terjadi di Antah Berantah di atas. Kisah di atas ada di negara antah berantah. Negara ikut campur sangat dalam hingga persoalan makan sehari-hari saja ditentukan. Tapi ada kisah lain, di sebuah negara lain. Di negara yang lain ini, negara ternyata ikut campur hingga persoalan ideologi politik dan agama warganya! Negara manakah itu? Silakan tebak sendiri.
4
HAM Sipol dan HAM Ekosob
P
ersoalan HAM berarti persoalan tentang apa yang perlu lagi harus, dan apa yang tidak perlu lagi tidak boleh, diurus oleh negara. Di sini lah konteks klasifikasi HAM Sipil-Politik (Ekosob) dan HAM Ekonomi-SosialBudaya (Ekosob) berada. Kovenan Internasional tentang kedua rezim HAM ini sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 dan 12 tahun 2005. Dua rezim HAM ini, yang merupakan sebuah kesatuan, tidak bisa dicabut dari konteks historis-politik di PBB. Perumusan HAM Sipol dipromotori Amerika Serikat dan negara-
negara Bok Barat, sementara perumusan HAM Ekosob dipromotori Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur. Jadi, HAM sedari awalnya bahkan sejak dirumuskan di PBB, bukanlah monopoli “Barat”. Berkembangnya pemikiran tentang HAM di negara-negara Eropa, sejatinya adalah sebuah kebetulan sejarah belaka. HAM Sipol terdiri dari aspek-aspek kehidupan yang tidak boleh diurus dan diatur oleh negara, sehingga seorang warganegara harus dijamin kebebasannya. Misalnya pilihan kepercayaan dan orientasi seksual. Hak-hak lainnya termasuk misalnya hak untuk menyatakan pendapat di muka publik
dan hak berserikat dan berkumpul. Karena itu, untuk menegakkan HAM Sipol, pada dasarnya tidak dibutuhkan penganggaran atau perencanaan yang rumit. Negara hanya perlu melepas tangan. Sedangkan HAM Ekosob berkebalikan, di sini negara justru dituntut peran aktifnya sehingga bersifat programatik dan gradual. Di antara HAM Ekosob adalah hak atas air, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan kesehatan, dan lainnya. Kewajiban negara secara umum berkaitan dengan HAM ada tiga yaitu memenuhi, menghormati, dan melindungi.
5
HAM Datang Dari Mana?
S
eperti disebut di atas, HAM adalah persoalan hubungan antara negara dan warga negara. Mengapa kita mau menjadi warga negara Indonesia? Benarkah pernyataan ini? Apakah kita pernah punya kebebasan untuk memilih kewarganegaraan? Kelahiran kita sudah dicatatkan oleh kedua orang tua ke kantor kelurahan bahkan sebelum kita pernah mendengar kata “HAM”, “Indonesia”, apalagi nama negaranegara lain yang siapa tahu kita sebenarnya ingin dilahirkan di sana. Lebih dalam lagi, apakah kita pernah bisa memilih, mau bernegara atau tidak? Negara sebagai kartu— KTP, SIM, KK, NPWP, dll—kita bisa memilih untuk punya kartu-kartu itu atau tidak, dengan kata lain, bernegara atau tidak. Namun, negara sebagai tambahan harga (pajak) dari semua barang dan jasa yang kita beli? Bisakah kita misalnya membeli sebotol a*ua di
tukang rokok pinggir jalan, lalu meminta harga yang lebih murah karena menolak membayar bagian dari harga yang menjadi pajak negara? Namun, negara sebagai pengelola segala sumber daya alam yang ada di bawah dan atas tanah tempat kita berpijak? Bisakah kita mengelola minyak mentah atau gas alam secara mandiri, tanpa berurusan sama sekali dengan negara? Singkatnya, kita terpaksa bernegara. Lantas apakah kita ‘menyerahkan’ kebebasan kita tersebut kepada negara, secara cuma-cuma? Di sini lah HAM hadir, dari kenyataan ini. Sederhananya, sebagai ganti dari keterpaksaan kita bernegara-lah kita mendapatkan sederet hak-hak yang harus dipenuhi kepada kita oleh negara, yang disebut HAM. Negara mengambil pajak dari semua transaksi ekonomi yang kita lakukan. Negara juga dalam porsi yang besar mengelola dan mengatur pengelolaan sumber daya alam: isi bumi yang ada di bawah kaki kita; tanah air kita. Sebagai gantinya,
negara menjamin keberadaan barang publik: infrastruktur, pertahanan, udara, air, tanah, pendidikan, kesehatan, termasuk kebebasan. Karena itu, adalah lucu untuk mempertanyakan kewajiban kita di samping hak kita dalam konteks ini. Hubungan antara warga negara dan negara ini tidaklah terjadi atas dasar persetujuan satu pihak dengan yang lainnya (negara sebagai sebentuk hubungan sosial, sesungguhnya terdiri dari para warga negara itu sendiri), perumusan poinpoin apa saja yang menjadi hak dan yang menjadi kewajiban antara kedua belah pihak. Tentunya, lebih lucu lagi adalah pembahasan tentang “hak negara”, seperti misalnya tercantum pada Manifesto Partai Gerindra halaman 34: “Siapa saja yang berikrar menjadi bagian dari organisasi negara dengan sendirinya harus menghormati hak negara.”
Hanya Orang Hidup yang Bisa Menikmati HAM Seperti telah disinggung di atas, secara garis besar HAM dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu HAM Sipol yang cara pemenuhannya adalah sejauh mungkin negara pasif dari urusan warganegara, dan HAM Ekosob yang cara pemenuhannya sebaliknya, jauh mungkin negara aktif mengurusi warganya. Pemenuhan
HAM Sipol mewujud di antaranya dengan kebebasan pers, kebebasan beragama, demokrasi politik, proses hukum yang transparan, serta supremasi sipil atas militer. Sedangkan HAM Ekosob mewujud di antaranya dalam sekolah dan berobat gratis, akses terhadap air dan udara bersih, ketersediaan fasilitas sosial-fasilitas umum, tingkat pengangguran yang rendah, dan tempat tinggal yang
layak. Siapakah yang bisa menikmati HAM? Warga negara, titik. Ini berarti terlepas dari etnis, orientasi seksual, kepercayaan, ideologi, dan lain-lain. Selama ia adalah warga negara, siapapun, ia bisa menikmati HAM. Inilah yang dimaksud dengan hak sipil, yaitu penghormatan status utama kita sebagai
warga negara sebelum identitas-identitas lain. Hanya warga negara yang bisa menikmati HAM, sehingga orang yang mati, hilang, atau diganggu kebebasannya sebagai warga negara yang dilindungi hukum (diculik, disekap, disiksa, diperbudak, dll.), tidak bisa menikmati HAM. Karena itulah, pelanggaran terhadap kebebasan mendasar sebagai warga negara ini dianggap sebagai Pelanggaran HAM Berat. Pelanggaran HAM Berat terdiri dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang termasuk genosida misalnya membunuh atau memindahkan secara paksa
anggota suatu kelompok etnis, ras, bangsa,atau agama. Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah serangan sistematik yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil. Misalnya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, perampasan kemerdekaan fisik, perkosaan, dan penghilangan paksa. Jadi, ada apa dengan HAM? HAM termasuk tapi tidak selalu berarti serumit proses pengadilan terhadap kejahatan perang di level internasional, atau sekontroversial penyelanggaraan festival kelompok gay di negara berpenduduk mayoritas islam. HAM adalah
kehidupan sehari-hari kita (sekolah, berobat, transportasi publik, mandi, minum, dll). HAM adalah orang-orang di sekitar kita (tetangga atau kawan yang berbeda agama atau etnis, kawan kita yang kritis dan memprotes pemerintah, orang tua atau paman kita yang terlibat di dunia politik praktis, termasuk: para martir gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orba yang anti-HAM). Lantas, masih bilang HAM tidak penting? Tanyakan pada hati nurani, bukan pada rumput yang bergoyang! (Ed: DDA)