Sosrokusuman zine

Page 1

Zine Tentang Kampung Sosrokusuman



Penulis: Cibele Poggiali Arabe Awanda B Destia Tim Riset: Cibele Poggiali Arabe Fitriani Dwi Kurniasih Dokumentasi: Warga Sosrokusuman Tim SURVIVE! Garage Cibele Poggiali Arabe Dhziya Ussuha Syaddat M Habibi Karyanto

Penerjemah: Awanda B Destia Kurasi Gambar: Rachmad Afandi Nur Seto Setiawan Cibele Poggiali Arabe Fitriani Dwi Kurniasih Desain & Layout: Nur Seto Setiawan Desain Cover: Rachmad Afandi

Hak cipta dilindungi kemanusiaan TENTANG RUMAHKU Di terbitkan pertama kali di Yogyakarta, Oktober 2017 166 halaman Oleh SURVIVE! Garage bekerjasama dengan Jogja InterKultur Jogja Biennale Parallel Event 2 November - 10 Desember 2017 Jogja Contemporary Jl. Nitiprayan No. 99, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul Yogyakarta 55182

zine ini bisa kamu download bebas dengan scan QR code ini atau unduh di link berikut http://bit.ly/sosrokusumanzine

Selamat membaca dan berbagi...



Welcome to Sosrokusuman! by Cibele Poggiali Arabe If you are reading this, you are one of the lucky ones that get to discover the life hidden behind the façades of one of the busiest streets of downtown Yogyakarta. In the midst of the noise and movement of Mataram street to the East and famous Malioboro to the West, come on in and dare to explore the ins and outs of Sosrokusuman with us… We are quite a few to invite you on this unexpected and unusual experience… an ordinary one at first sight, which soon reveals itself extraordinary if you see it through the eyes of those who put their hearts in the next pages… From West Java and since long a Jogja natural, comes Fitri… with her talent and experience in local social realities, she is part of the beginning of this discovery… joined by Cibele, an engaged non-academic researcher from Brazil, they get together where their interests meet, on the desire to make visible what nobody is looking at... Kampung Sosrokusuman starts then unveiling itself little by little to them. Part of the same wish, comes the motivated community of artists Fitri is part of: SURVIVE! Garage… with a multi-skilled team, they have been promoting art expression connected to social causes since 2009. Bayu, Epang, Rachmad, Awan, Galih, Sulton, Habibi, Wanda and Fahmi bring to our project a whole lot of possibilities and enthusiasm to work with the people of Sosrokusuman. Women and men, old and young, teenagers and children… they are the main actors in our program and they all join us inside these next pages. Here, they tell you about their feelings and aspirations, the history and stories of their kampung, so unnoticed and yet so close to one of the most visited places in Jogjakarta, Malioboro street. Among them, Mbah Ledjar, the greatest story teller of all.

iv


Mbah Ledjar was a great man, artist, humanist, friend, environmentalist, and a remarkable “dalang” (puppeteer) in Indonesia. In his never-ending motivation to make a positive change, Mbah Ledjar got mainly known for adapting and reviving the traditional “wayang kulit” (leather puppet theater) through the traditional and wide-known Kancil folktales, creating the “wayang kancil” (animal puppet theater). Educating children and adults about human character, social and environmental issues, the wayang kancil was only one of Mbah Ledjar's ways to speak up and pass his message. He was also a fierce activist for his kampung, Sosrokusuman, and even in his old body a few weeks before this zine got ready, it was refreshing to hear the strength that stayed unbreakable in his voice. During our project, Mbah Ledjar passed away, and we dedicate this zine to him and his energetic spirit of experimentation, daring to innovate, act, and create. May the strength in his voice never be silenced, in each one of us that can still speak for ourselves. This zine is part of two months full of visits to the neighborhood, talks, “arisans” (neighborhood meetings), participation on events, workshops and mural painting in kampung Sosrokusuman. Supported by the association Jogja Interkultur, who is in the origins of the existence of this project, we all bring the results of this collaboration to Jogja Contemporary, for the art exhibition Jogja Biennale in November-December 2017. Here, the “land” is in the center of the subject, and Sosrokusuman comes to speak together with a community in West Kalimantan and in relation to Brazil, the invited country for this year's event. Wherever you come from, in or out of Indonesia, Jogja or Sosrokusuman, the voices in this zine might vibrate in unison with yours, with somebody that you know, or a place not far away from where you live.

v


We invite you to take these voices home and to your heart, and afterwards go see for yourself the world of Sosrokusuman… or rediscover it with new eyes, make new connections, talk to the person in front of you, your neighbor, those who pass by your warung or parking lot, or those from the parking lot you leave your motorcycle… Communicate. With a friend that works in the mall not far away, or the people in your own neighborhood… Life is everywhere, behind Malioboro mall or behind your hotel, and we are all concerned in the end, part of the same reality, as far away as they might seem. This zine is then an invitation to speak up your Voice, your message, and, especially, listen to the other, open your eyes to what is just in front of you, or behind… Whatever our situation is, whatever our wishes and desires are, we still do have a voice, and can use it… our voices will not only bring us closer to our ideal world – a possible one –, but will also help bring us closer together. In a world where individualism and the speed of life are increasing, take a moment to stop. Look around you. Read. Inform yourself… and believe in the power of what we can do together. Welcome, to the world of Sosrokusuman! - their world, your world, our world.

vi


Selamat Datang di Sosrokusuman! oleh Cibele Poggiali Arabe diterjemahkan Awanda B Destia Jika Anda membaca ini, Anda adalah salah satu yang beruntung yang bisa menemukan kehidupan yang tersembunyi di balik bangunan salah satu jalan tersibuk di pusat kota Yogyakarta. Di tengah kebisingan dan kesibukan jalan Mataram di bagian Timur, dan Malioboro yang terkenal di bagian Barat, masuk dan mari menjelajah seluk beluk Sosrokusuman bersama kami. Kami mengundang Anda dalam pengalaman tak terduga dan tidak biasa ini. Namun terkesan biasa pada pandangan pertama. Merekna akan mengungkapkan jati dirinya yang luar biasa jika Anda melihat melalui pandangan orang-orang yang menaruh hatinya di halaman-halaman berikutnya. Datang dari Jawa Barat dan sudah lama menetap di Jogja, Fitri dengan bakat dan pengalamannya dalam realitas sosial lokal. dia adalah bagian dari awal penemuan ini. Bergabung dengan Cibele, seorang peneliti non-akademis yang berasal dari Brasil, mereka bergabung dalam ketertarikan yang sama, pada keinginan untuk melihat apa yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Perlahan kampung Sosrokusuman mulai memperlihatkan jati dirinya kepada kita. Dengan keinginan yang sama, datanglah sebuah komunitas seniman dimana fitri menjadi bagiannya, SURVIVE! Garage dengan tim multi-terampilnya. Telah mempromosikan art expression yang terhubung dengan realitas sosial sejak 2009. Bayu, Epang, Rachmad, Awan, Galih, Sulton, Habibi, Wanda dan Fahmi, membawa proyek kami dalam banyak kemungkinan serta antusias untuk bekerja sama dengan masyarakat Sosrokusuman. Wanita dan pria, tua dan muda, remaja dan anak-anak mereka adalah aktor utama dalam program kami dan mereka semua bergabung dengan kami. Di sini, mereka menceritakan tentang perasaan, aspirasi, sejarah dan cerita tentang kampung mereka, yang disadari atau tidak sebenarnya begitu dekat dengan salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi di Yogyakarta, jalan Malioboro. Di antara mereka, Mbah Ledjar adalah seorang pencerita yang hebat dari semuanya.

vii


Mbah Ledjar adalah seorang pria hebat, seniman, humanis, teman, pemerhati lingkungan, dan dalang yang luar biasa di Indonesia. Dengan motivasi yang tiada henti untuk membuat perubahan positif, Mbah Ledjar dikenal karena mengadaptasi dan menghidupkan kembali "wayang kulit" tradisional melalui cerita rakyat "Kancil" yang terkenal, menciptakan "wayang kancil" (teater boneka binatang). Mendidik anak-anak dan orang dewasa tentang karakter manusia, masalah sosial dan lingkungan, wayang kancil hanyalah salah satu cara Mbah Ledjar untuk berbicara dan menyampaikan pesannya. Dia juga seorang aktivis untuk kampung halamannya, Sosrokusuman. Bahkan dengan tubuhnya yang sudah renta dia memotivasi kami dengan kata-katanya yang kuat dan penuh semangat. Selama proyek kami, Mbah Ledjar meninggal dunia, dan kami mempersembahkan zine ini kepadanya dan semangat eksperimenya yang energik, berani berinovasi, bertindak, dan menciptakan. Semoga kekuatan dalam suaranya tidak pernah hilang dan terus menginspirasi kita untuk terus berjuang atas diri sendiri. Zine ini merupakan bagian dari dua bulan penuh kunjungan ke lingkungan sekitar, obrolan, "arisan" (pertemuan rutin warga), partisipasi dalam acara, workshop dan lukisan mural di kampung Sosrokusuman. Didukung oleh perhimpunan Jogja Interkultur yang awalnya bisa membuat proyek ini terwujud. Lalu kami membawa hasil kolaborasi ini ke Jogja Contemporary untuk pameran seni Biennale Jogja pada bulan November-Desember 2017. Di sini, "tanah" berada di tengah subjek, dan Sosrokusuman datang untuk berbicara bersama dengan sebuah komunitas di Kalimantan Barat dan dalam kaitannya dengan Brasil, negara yang diundang untuk acara tahun ini.. Dari mana pun Anda datang, di dalam atau di luar Indonesia, Jogja atau Sosrokusuman, suara-suara di zine ini akan menggetarkanmu serta orang-orang disekitarmu.

viii


Kami mengundang Anda untuk membawa suara-suara ini ke rumah dan ke dalam hati Anda, lalu lihatlah sendiri dunia Sosrokusuman atau kamu bisa menemukannya kembali dengan pandangan baru, membuat hubungan baru, berbicara dengan orang di depanmu, tetanggamu, orang-orang yang lewat depan warung atau tempat parkir. Berkomunikasi Dengan teman yang bekerja di mall tidak jauh dari rumah atau orang-orang di lingkungan Anda sendiri. Kehidupan ada dimana saja, di belakang mall Malioboro atau di belakang hotel Anda dan kita semua prihatin pada akhirnya, menjadi bagian dari kenyataan yang sama, sejauh seperti yang terlihat. Zine ini kemudian menjadi ajakan untuk menyampaikan Suara Anda, pesan Anda, dan terutama mendengarkan yang lain, membuka pandangan Anda terhadap apa yang ada di depanmu, atau di belakangmu. Apapun situasi kita, apapun keinginan kita, kita masih punya suara, dan bisa menggunakannya. Suara kita tidak hanya akan membawa kita lebih dekat ke dunia ideal kita - yang mungkin - tapi juga akan membantu mendekatkan kita. Di dunia di mana individualisme dan kecepatan hidup meningkat, luangkan waktu sejenak untuk berhenti. Lihatlah ke sekeliling Anda. Amati. Beritahu dirimu sendiri dan percaya pada kekuatan apa yang bisa kita lakukan bersama. Selamat datang, ke dunia Sosrokusuman! - dunia mereka, duniamu, dunia kita.

ix


DAFTAR ISI

iv

Welcome to Sosrokusuman

13

Sekilas Tentang Sosrokusuman

41

Suara Dibalik Bising Kota

96

Mural Bersama Warga

128

Kartunis Dari Sosrokusuman

139

Selamat Jalan Ki Dalang Mbah Lejdar Subroto

x




SEKILAS TENTANG SOSROKUSUMAN Bagaimana sebuah lapangan tenis menjelma menjadi beragam bentuk dan memberi arti bagi semua orang.


Gang ini berada di wilayah RW 06 Sosrokusuman.

Makam Mbah Dalang terletak di tengah pemukiman warga.

14


TENTANG RUMAHKU oleh Awanda B Destia “Silahkan mbak mas masuk saja lihat-lihat banyak kaos nya, mari mbak mas silahkan” ajak seorang bapak yang sedang lewat, menyuruh kami untuk masuk melihat-lihat salah satu toko kaos yang berada di gang tersebut. Kami tidak mengiyakan ajakan bapak tersebut dan hanya balas tersenyum lalu beliau pun kembali berjalan menyusuri gang sempit tersebut. Gang tersebut persis seperti gang-gang kampung lain yang berada disekitaran kawasan malioboro, sempit, sesak dengan jajaran toko souvenir khas Malioboro serta hotel-hotel beragam kelas, mulai dari kelas melati sampai kelas tiga. Kalau saja tidak ada nama penerang antara satu gang dan lainnya mungkin kita akan menyebutnya setelah bangunan yang paling terkenal di depan gang tersebut misalnya “ituloh gang yang disebelah mall kota” dst. Mari masuk ke salah satu gang-gang itu. Lewat jalan samping mall Malioboro menyusuri jajaran gerobak dorong, angkringan atau tukang es kelapa muda dan rumah makan padang yang sudah menjelma menjadi tempat parkir motor pengunjung Malioboro. Setelahnya kita akan melihat hotel-hotel kelas tiga yang berada di kanan dan kiri jalan. Jika tidak diperhatikan dengan baik akan sulit mengenali rumah pribadi pada daerah tersebut. Sosrokusuman nama daerah tersebut terkenal akan penginapan murah serta aksesnya. Terletak persis diantara dua jalan utama tujuan pariwisata Jogja yaitu jalan Malioboro pada bagian Barat dan jalan Mataram pada bagian Timur. Nama Sosrokusuman sendiri menurut sejarahnya diambil dari nama salah seorang tumenggung Sosrokusumo yang dulu menghuni daerah tersebut. seperti halnya kampung yang berada di kawasan Malioboro yang menggunakan nama pangeran atau pejabat sebagai nama tempat. Namun sejarah penamaan itu justru tidak diyakini oleh warga sendiri. Warga lebih meyakini legenda Ki Dalang sebagai sejarah lahirnya kampung Sosrokusuman. Konon Mbah Dalang merupakan seorang dalang tersohor pada masa itu. Legenda itu semakin diperkuat manakala Mbah Dalang “Emoh dipindah” dari pesareannya waktu penggusuran dilakukan. Entah mana yang benar yang jelas kampung Sosrokusuman sudah berdiri sejak Belanda masih ada di kota ini.

15


Aktivitas warga di lapangan tenis.

Tahun 1933 ketika perumahaan pertama dibangun di Sosrokusuman oleh Bumiputera. Sosrokusuman bukanlah kampung yang kita kenal hari ini, kecil, sesak dan dipenuhi dengan hotel disetiap sisinya. Sosrokusuman masih merupakan daerah luas yang di isi oleh rumah-rumah bergaya Eropa sehingga sering dijuluki dengan Kota Baru kecil. Pada waktu itu pihak Bumiputera sengaja membangun rumah-rumah tersebut untuk ditinggali oleh para pegawai pribumi Bumiputera, sementara Kota Baru waktu itu di isi oleh orangorang Belanda. Sekarang kampung luas itu sudah tidak ada lagi tergantikan oleh bangunan toko, mall, hotel yang semakin lama semakin menekan rumahrumah penduduk. Bahkan rumah-rumah pun kebanyakan sudah berubah fungsi menjadi motel atau hotel-hotel melati. Hal ini sebenarnya turut didukung dengan perencanaan daerah kampung penyangga kawasan Malioboro. Kawasan tersebut dibagi kedalam empat kategori : 1. Wisata & Budaya (Cokrodirjan & Ledok Macanan), 2. Ekonomi (Suryatmajan & Sosrokusuman), 3. Penataan kawasan kumuh (Gemblakan), 4. Sentra Kerajinan (Sepanjang jalan Mataram). 16


Tahun 2008 ketika Visit Indonesia mulai digalakan pemerintah kota Yogyakarta secara besar-besaran mengeluarkan izin untuk pembangunan motel serta hotel-hotel melati bagi warga kampung. Sejak saat itu industri perhotelan mulai subur di kampung Sosrokusuman. Bermodal rumah pribadi warga mengubahnya menjadi penginapan sederhana dan nyaman. Walau sederhana penginapan-penginapan ini di lengkapi dengan fasilitas yang memadai seperti tempat tidur, kamar mandi, pendingin ruangan, ruang tamu serta pelayanan yang ramah. Harga yang ditawarkan cukup murah untuk sebuah penginapan di daerah Malioboro berada dikisaran seratus hingga tiga ratus ribu rupiah per malam, harga ini tentu berbeda jauh dengan hotel-hotel bintang lima yang berada di kawasan utama Malioboro yang berkisar tujuh ratus sampai satu juta rupiah per malam. Ini tentu saja membuat penginapan di kampung Sosrokusuman menjadi incaran wisatawan dengan budget terbatas tetapi ingin hotel yang dekat dengan Malioboro. Perkembangan ini turut memicu usaha lain seperti tempat parkir, toko souvenir serta kedai makan. Perubahan yang terjadi pada Kampung Sosrokusuman ternyata tidak melulu membuat warga merasa menderita ataupun terpojok banyak warga yang juga merasa terbantu secara ekonomi.

Gang kampung berada di wilayah RW 05.

17


Kembali ketika perumahan pertama dibangun oleh Bumiputera turut juga dibangun sebuah lapangan tenis. Entah sejak kapan lapangan tersebut digunakan sebagai pusat kegiatan warga pagi hari lapangan tersebut digunakan oleh warga lansia untuk senam bersama. Ketika sore datang anakanak mengambil alih lapangan tenis untuk mereka gunakan bermain bola, petak umpet, layangan atau permainan apapun yang mereka inginkan sementara para ibu memanfaatkannya untuk menyuapi sang anak sembari mengobrol. Ketika tujuh belasan datang lapangan itu berubah menjadi arena lomba, pasang saja tali maka jadilah arena lomba makan kerupuk. Tawa, candaan serta kelakar hadir setiap kali ada peserta yang gagal menghabiskan kerupuk atau bahkan yang memakannya dalam sekali gigit. Sore datang waktunya membagikan hadiah lomba, anak-anak yang siang tadi memenangkan lomba sudah siap dengan memakai kaos bergambar tokoh kartun favorit mereka ataupun pilihan terbaik dari sang ibu. Sementara yang tidak menang berada di pinggir lapangan sambil sesekali “ngece� temannya karena ia tidak ikut mendapat hadiah. Sore berganti senja lapangan itu mulai dipenuhi warga yang datang dari dua RW, suasana semakin meriah oleh acara lanjutan berupa pentas anak diselingi obrolan serta canda mengenai kejadian lucu yang terjadi waktu lomba siang tadi. Ketika lebaran idul fitri datang lapangan digunakan sebagai tempat “salaman� warga RW 05 dan RW 06, saling memeluk, berjabat dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak kepada para tetangga menjadi ritual tahunan yang sakral dan khidmat. Beda kalau idul adha datang lapangan tenis dipenuhi merahnya darah hewan qurban. Para lelaki bersama-sama memotong hewan qurban lalu mengulitinya untuk kemudian dibagi lagi dalam potongan-potongan kecil. Tambir-tambir penuh potongan daging qurban berjejeran di lapangan tersebut, kemudian tambir-tambir itu dibawa menuju ke balai RW guna pembagian untuk warga. Di balai desa warga sudah mengantri dan menunggu jatah “girik"-nya masing-masing. Di lapangan tenis para pemuda dan bapak-bapak panitia qurban membersihkan jatah dagingnya dirumah yang berada tepat di depan lapangan tenis, sementara di dalam rumah pemudi dan ibu-ibu bersama-sama memasak daging tersebut. Warga duduk dilantai rumah sambil mengoper satu satu piring berisi daging matang masakan para ibu dan pemudi.

18


Suasana Idul Adha di Sosrokusuman.

19


Sekali lagi mari kita ingat apa yang paling terkenal dari kampung Sosrokusuman selain hotelnya yang murah yakni lahan parkir. Kalau kamu pernah berjalan-jalan sebentar ke Sosrokusuman kamu pasti menemukan dua atau tiga tempat parkir motor yang letaknya hanya 200 meter dari mall Malioboro. Tidak perlu lahan terbuka cukup memanfaatkan bangunan bekas rumah makan atau bahkan gudang maka jadilah tempat parkir. Usaha ini juga mulai berkembang pesat manakala pihak Malioboro memutuskan untuk memusatkan areal parkir menjadi di terminal Abu Bakar Ali. Sehingga banyak warga sekitar malioboro yang akhirnya membuka tempat parkir seadanya khusus bagi pengunjung yang tidak mau parkir terlalu jauh. Salah satunya yang terdapat di kampung Sosrokusuman, persis di sebelah balai RW terdapat sebuah gudang yang akhirnya dimanfaatkan menjadi tempat parkir. Ini mampu menampung setidaknya tiga puluh motor lebih, jika sedang ramai bahkan bagian depan balai digunakan sebagai tempat parkir motor. Sadar akan potensi ini warga kampung dari kedua RW pun sepakat untuk membuka lapangan tenis tersebut menjadi lahan parkir yang dikelola oleh POKJA (Kelompok Kerja) kampung Sosrokusuman. Dibukanya lahan parkir ini selain menjadi pemasukan bagi kampung juga memberikan serta penghasilan bagi pemuda kampung yang tidak bekerja.

20


Lomba tujuh belasan-an di lapangan tenis.

21


Dimana lapangan tenis itu berada? Sebenarnya kamu bisa menemukannya dengan mudah bila melalui jalan Mataram. Masuk jalan Pasar Kembang lalu memutari jembatan kewek dan masuk ke jalan Mataram, setelah melewati deretan penjual sepatu maka berjalanlah pelan, diantara deretan penjual oleh-oleh khas Jogja terdapat sebuah gang agak besar bertuliskan Kampung Sosrokusuman RW 05 masuk saja sampai mentok maka kamu akan menemukan lapangan tenis tersebut. Tapi itu tiga tahun yang lalu, sekarang baru mau masuk gang saja sudah dicegati satpam berseragam sipil yang akan langsung datang menghampiri sambil bertanya “Mau kemana ya? Ada keperluan apa?� katanya dengan arogan. Kalau dijawab mau jalan-jalan saja malah langsung dilarang dengan dalih bahwa di sana sudah jalan buntu, tidak bisa masuk karena itu adalah proyek. Padahal kalau dilihat dari jauh kita masih bisa melihat tiga rumah bergaya Eropa mirip seperti bangunan rumah di Kota Baru, serta sebuah tempat yang sudah ditutupi seng sehingga tidak jelas sebenarnya bangunan apakah itu. Benar itu adalah bentuk baru dari lapangan tenis, tidak bisa dibayangkan bahwa dulu pernah ada kegiatan disana. Tidak lagi bisa kita lihat anak kecil bermain disana atau ibu-ibu sedang berkumpul apalagi lomba tujuh belasan. Lapangan tenis serta rumah bergaya Eropa di sekitarnya menjelma menjadi bangunan yang suram dan dingin tidak lagi bisa kita rasakan kehangatan tawa serta canda warga disana.

Upacara hari Kemerdekaan RI di lapangan tenis Sosrokusuman.

22



Tahun 2016 ketika Bumiputera memutuskan untuk menjual lapangan tenis tersebut warga kampung Sosrokusuman menentang keras hal tersebut karena lapangan tersebut adalah ruang publik satu-satunya yang dimiliki warga. Namun tidak ada yang bisa dilakukan Bumiputera karena kontrak sudah ditanda tangani dengan salah satu Mall. Hal yang disesalkan warga adalah ikut terbelinya jalan disekitar lapangan tenis yang mengakibatkan terputusnya akses jalan bagi warga yang tinggal disekitar lapangan tenis dengan warga lainnya . Warga tidak tinggal diam mereka mengupayakan berbagai cara dari mulai demo hingga menempuh jalur hukum tetapi pengadilan justru memenangkan pihak Mall. Warga hanya bisa menyaksikan dengan pilu bahwa satu-satunya ruang publik mereka telah hilang digeser pembangunan.

24



Bagai urat nadi lapangan tenis menjelma jiwa bagi warga kampung Sosrokusuman. Paska hilangnya lapangan tenis warga kampung Sosrokusuman seperti kehilangan semangat kebersamaan. Tidak ada lagi senam dipagi hari, tidak ada lagi lapangan bermain disore hari, tidak ada lagi “salaman� diwaktu lebaran, tidak ada lagi lomba tujuh belasan.

26


Sekarang semua kegiatan kumpul warga hanya terfokus di balai RW itupun kalau sedang ada acara penting saja semisal arisan kalau tidak ya tidak ada kumpul-kumpul. Warga akhirnya lebih senang beraktivitas di wilayahnya sendiri. Perlahan kesenangan berkativitas di lapangan tenis itu mulai bias, namun warga selalu mengingat bagaimana bahagianya mereka saat masih memilikinya. 27


28


29




32


Malam Tirakatan di Sosrokusuman.

33


Aktivitas di gang Sosrokusuman.

Kegiatan mural bersama dengan warga di gang kampung Sosrokusuman Yogyakarta

34



36


Beberapa kegiatan arisan warga Sosrokusuman.

37



Balai RW Sosrokusuman.


Gang RW 05 Sosrokusuman.


S U A RA DIBALIK BISING KOTA Warga Sosrokusuman akan bercerita kepada kita melalui surat, puisi, dan gambar.


WORKSHOP ZINE SOSROKUSUMAN


43


Proses warga membuat zine hari pertama di balai RW.

44


Sosialisasi dengan warga tentang pengertian dan fungsi zine.

45


Workshop zine hari ke dua di balai RW Sosrokusuman.

46


Warga sangat antusias dan mulai membuat zine dengan menggunakan cara masing-masing.

47


48



50


51


52


53


54


55


56



58


59


60


61


62


63




66



68


69


70


71






76


77


78


79


80






85




88



90


91


92


93


94


95


MURAL BERSAMA WARGA



Sketsa dari salah satu anak Sosrokusuman untuk mural di spot pertama.

98


Dengan sketsa masingmasing, warga mulai mebuat mural di gang kampung.

99



Kolaborasi mural dengan anak-anak Sosrokusuman di spot kedua.

101



Anak-anak begitu semangat untuk memainkan kuasnya.


Mural di spot ketiga, gang Sosrokusuman.



106


Kolaborasi ibu dan anak Sosrokusuman.

107


108


109


110


Gambar boleh semangat tapi makan jangan lupa.

111



Hasil karya mural kolaborasi bersama warga Sosrokusuman.








120


121







127


KARTUNIS DARI SOSROKUSUMAN


Robertus Budi Wuryanto adalah warga Sosrokusuman yang memiliki kegemaran menggambar kartun. Beberapa karyanya sering dimuat dalam artikel maupun koran. Dalam project mural ini, Pak Budi juga turut menorehkan karya di tembok ganggang Sosrokusuman. Berikut adalah beberapa karya kartun dari Pak Budi.

129


130


131


132


133


134


135


136


137


138


SELAMAT JALAN KI DALANG Mbah Ledjar Subroto


140


Cibele, tim SURVIVE! Garage bersama Ibu Lastri (putri mbah Lejdar). Sanggar Wayang Kancil Mbah Ledjar Jl. Mataram, Yogyakarta.

141


KI LEDJAR FROM SOSROKUSUMAN In our first day of visit to Sosrokusuman, we met Mbah Ledjar, as he is usually referred to. At first sight, a man in an old body, moving slowly and apparently weak. As we sat down and started talking, he revealed to us a strong, firm, enthusiastic voice… one that does not have the habit of reeling to express itself. That made it clear to us that, inside him, he had a fire burning… the fire of life, of courage, of intensity and of the desire to follow a righteous way. A way which, whenever non-existent, he would want to invent. He was Ki Ledjar Subroto. That is what we knew about him then. A remarkable shadow theatre puppeteer, teacher and puppet maker in Indonesia, well-known for his “wayang kancil” creation. The fact that he lived in “forgotten” Sosrokusuman was one more reason that fed our desire to talk about this place. Despite all his contributions and international recognition, we quickly noticed that Ledjar and his accomplishments still also went largely unheard of, or forgotten, in Yogyakarta, and Indonesia… Ki Ledjar was a puppeteer not like any other. His talent, lay in his ability to innovate, create, experiment, dare and, always, adapt. THE WAYANG KANCIL MASTER Born in 1938, Ledjar grew up immersed in a surrounding embossed by the arts and was guided since a little boy to the world of puppeteering. That was also a time when puppetry was a favorite pastime and it was easy for him to get fond of working with puppets. It was in 1980, seeing that Indonesians were losing interest in puppetry and seeking a way for people to fall in love with puppets again, that he first gave life to the “wayang kancil” puppet theater. Combining the long-lived Kancil (“mouse deer”) folk tales, already very familiar to Indonesians, with the traditional shadow leather puppet theater wayang kulit, Ledjar found a way to pass his message. 142


He removed the screen to allow for direct communication between puppeteer and audience; included realistic scenery; simplified the musical accompaniment; played in accessible, child-friendly language; and reduced numbers of scenes and duration (a typical story lasting under an hour) – as opposed to the 6 hours of a standard wayang kulit performance. Plus, a deer, a tiger, an orangutan, an elephant, a palm tree and other animals from the Kancil tales transformed from leather and brought right in to Yogyakarta… Wayang in a whole new concept. And Kancil as well. The stories he would embody through that same voice talking to us in his house, gave a contemporary educational twist to the traditional Kancil fables. Most of the plays involved ethical issues, environmental lessons about deforestation, pollution, recycling and other current themes in Java. In the one where the mouse dear steals the cucumber from a farmer, for example, Ledjar would talk about the reasons why such an animal might have had to do that… as the forest he was supposed to live in was being destroyed by men. That format enabled the translation of political and scientific discourse making it more accessible for children, and adults. “Later, I realized that a puppet is a good medium to give information and to educate people, especially if the puppeteer is able to spark their interest with the show,” he once said in an interview. His desire to communicate with the public showed itself as a priority, as opposed to the need to strictly adhere to the conventions of “traditional” performance. Passing forward information and inciting reflection, all with a good dose of humour, Ledjar transformed his passion for puppets in a tool for his activist spirit and hunger for promoting a positive change. Ledjar was somebody that knew how to follow the natural living flow of changes in culture and that, at the same time, could preserve the essence of Indonesian cultural heritage.

143


LIFE WITHIN THE PUPPETS Ledjar's youthful spirit of experimentation and innovation brought life to other forms of puppets and performances, depending on the different places and contexts he would find himself. on request, he made Japanese samurai warriors puppets for a Japanese puppeteer named Ryuh Matsumoto, in order for him to perform the Javanese legend of Jaka Tarub; he also created puppets for a performance that he called “William of Orange”, in the Netherlands, where he made wayang designs according to the faces of characters found in the historical epic of William's battle taken from paintings that are already hundreds of years old, and in which he played with a combination of pop orchestra and traditional gamelan. Later on, he even started contributing to his grandson's Nanang creation of digital animation from wayang performances, what they named “Wayang Animasi” (“Animation Wayang”). Ki Ledjar believed that puppetry can be an educational vehicle for children and adults to understand about not only the environment, but also history or Javanese ethics, in a fun and more accessible way. His “historical puppets” also extended to Wayang Diponegoro, representing Indonesia's revolutionary struggle and the arrest of Diponegoro; Wayang Sultan Agung, telling about the conflict between Sultan Agung and the VOC under Jan Pieterszoon Coen; and Wayang Jaka Tarub, designed within the framework of cooperation of wayang theatre and kethoprak theatre (with humans) in Yogyakarta. From 2006, he also started performing a revisited Wayang Revolusi, a puppet theatre created in 1947 as a means of propaganda in the fight against the Netherlands, where popular wayang play was the ultimate means for addressing large groups with the message of the revolution.

144


Ledjar was definitively an eclectic man in his art and expression. He also introduced the Wayang Wajah, in which one could order a wayang figure with the face of a family member, friend, or acquaintance, of their favorite pet, or even one's own face – even Barak Obama adhered to the idea. These portrait puppets were not only novelty souvenir items but used to be included in performances. Other than that, Ledjar also created Wayang Topeng masks made out of used or waste materials, in a humoristic expression and in animal shapes. In addition to his great creations and educational-motivated contributions, in 2008-2009 Ledjar participated in a mural project in Yogyakarta, where the aim was to cover walls and viaducts with wayang stories as street art. He also started to make large wayang figures paintings for manifestations in Yogyakarta. Finally, Ledjar contributed to the events of the earthquake in 2006 and Merapi eruption in 2010, performing regularly in the regions affected, resulting in a trauma healing effect on children and parents from those areas. MBAH LEDJAR FROM SOSROKUSUMAN During his life living in Sosrokusuman, Ledjar was no different than in his engagement as a puppeteer. As we discovered the world of Sosrokusuman, we also discovered another Ledjar… Mbah Ledjar. Talking to the people, reading archives and seeing videos about the kampung (“neighborhood”), Mbah Ledjar was always present as an active and high spirited member of the community, organizing art workshops with the kids, participating in events, meetings and protests to resist the occupation of their land by the expansion of hotels, which started back in 1993 with the implementation of Malioboro Mall.

145


Back in our first day at the kampung, as we spoke to him about our desire to create a project to talk about Sosrokusuman, his enthusiasm was increasingly motivating for us. He wanted to contribute, to talk to us, to do something, anything. And he did. More than he might have realized, since that was the only long conversation we could have with him. On the 23rd of September 2017, in the middle of our project in the neighborhood, Mbah Ledjar passed away. Today, mbah Ledjar still proves to us very powerfully how art can be used to express messages , to act, and to reconnect people. May Mbah Ledjar's strong voice continue to echo through and with the new voices of Sosrokusuman. A voice that wants to speak up. A voice that still exists despite the new realities that arrive and sometimes invade the neighborhood. A voice that can still find new ways of expression: through the new public spaces and possibilities of communication with each other, with the flow of people passing by the new numerous parking lots, warungs or hotels; through the new connections to create with your neighbor; and through the new subjects to talk about to your friend in Yogyakarta. There is still a way. As Mbah Ledjar clearly shows to all of us, adaptation is the key. Then, comes the motivation to keep on believing, creating and innovating. He was a man that today leaves us inspired. Us, we still are a whole bunch that, together, can make the difference.

146


“Wayang”, in Javanese language, means shadow. Coming from the the same-meaning word “bayang”, in standard Indonesian, the word also means “imagination”. that, precisely, might be the legacy of Mbah Ledjar, who shows us that behind the shadow, of a moment, a situation or an impasse, there is always hope in imagination. Imagination that feeds creativity, and the belief that we can act towards what we wish for our lives – and with what we already have.

147


KI LEDJAR DARI SOSROKUSUMAN oleh Cibele Poggiali Arabe diterjemahkan Awanda B Destia Pada hari pertama kunjungan kami ke Sosrokusuman, kami bertemu dengan Mbah Ledjar, seperti biasanya. Kesan pertama yang kami lihat adalah, seorang pria dalam tubuh tua, bergerak perlahan dan rupanya lemah. Saat kami duduk dan mulai berbicara, dia bicara dalam suara yang kuat dan tegas, terdengar antusias serta ekspresif. Hal itu menjelaskan kepada kami bahwa, di dalam dirinya, dia memiliki api yang menyala... api kehidupan, keberanian, intensitas dan keinginan untuk mengikuti jalan yang benar. Jika tidak ada jalan maka dia akan menemukannya. Dia adalah Ki Ledjar Subroto. Itulah yang kami ketahui tentang dia saat itu. Seorang dalang yang menakjubkan, guru dan pembuat wayang di Indonesia, terkenal dengan penampilan kreasi wayang kancilnya. Fakta bahwa ia tinggal di Sosrokusuman yang terlupakan, memberikan alasan bagi kami untuk lebih membicarakan tempat ini. Terlepas dari semua kontribusinya dan pengakuan internasionalnya, kami dengan cepat menyadari bahwa Ledjar dan prestasinya juga belum pernah terdengar, atau terlupakan, di Yogyakarta, dan Indonesia. Ki Ledjar adalah dalang yang tidak seperti yang lainnya. Bakatnya, ada dalam kemampuannya berinovasi, menciptakan, bereksperimen, berani dan, selalu beradaptasi. MAESTRO WAYANG KANCIL Lahir pada tahun 1938, Ledjar dibesarkan dalam ligkungan seni dan dibimbing sejak kecil ke dunia dalang. Pada waktu itu permainan wayang merupakan permainan favorit sehingga mudah bagi ia untuk menyukai wayang.

148


Pada tahun 1980, ia melihat bahwa orang Indonesia mulai kehilangan minat pada wayang. Ia lalu mencari jalan agar o ra n g k e m b a l i m e n c i nt a i waya n g, p e r t a m a i a menghidupkan lagi per tunjukan wayang kancil. Menggabungkan cerita kancil lama ("kancil"), yang sudah sangat akrab bagi orang Indonesia dan Malaysia, dengan wayang kulit. Ledjar menemukan cara untuk menyampaikan pesannya. Dia melepaskan layar (geber), memungkinkan komunikasi langsung antara dalang dan penonton; memberikan pemandangan yang realistis; iringan musik yang disederhanakan; dimainkan dalam bahasa yang mudah diakses dan ramah anak; dan mengurangi jumlah adegan dan durasi (cerita khas yang berlangsung kurang dari satu jam) - berlawanan dengan 6 jam pertunjukan wayang kulit standar. Plus, seekor rusa, seekor harimau, orangutan, seekor gajah, pohon palem dan hewan lainnya dari kisah Kancil yang berubah dari kulit dan dibawa ke Yogyakarta. Wayang dalam konsep yang baru. Dan juga kisah Kancil . Kisah-kisah yang akan dia ceritakan melalui suara yang sama yang berbicara dengan kami di rumahnya di Sosrokusuman, memberikan sentuhan pendidikan kontemporer pada kisah Kancil tradisional. Sebagian besar drama melibatkan isu etika, pelajaran lingkungan tentang deforestasi, polusi, daur ulang dan tema terkini lainnya di Jawa. Di salah satu pertunjukan diceritakan kancil itu mencuri mentimun dari seorang petani, misalnya, Ledjar akan membicarakan alasan mengapa hewan semacam itu harus melakukannya... karena hutan yang seharusnya ia tinggali dihancurkan oleh manusia. Format itu memungkinkan penerjemahan wacana politik dan ilmiah sehingga lebih mudah diakses anak-anak, dan orang dewasa.

149


“Kemudian, saya menyadari bahwa wayang adalah media yang baik untuk memberikan informasi dan mendidik, terutama jika dalang dapat memicu minat mereka dengan pertunjukannya," setelah dia mengatakan dalam sebuah wawancara. Keinginannya untuk berkomunikasi dengan masyarakat sebagai prioritas, sebagai lawan dari pertunjukan "tradisional". Menyampaikan pesan serta memancing refleksi diri semua dilakukan dengan "guyonan" yang sesuai, Ledjar merubah gairahnya dari wayang sebagai alat menjadi media untuk mempromosikan perubahan positif. Ledjar adalah seseorang yang tahu bagaimana hidup mengikuti arus perubahan dan disaat yang sama tetap mempertahankan inti kebudayaan Indonesia. HIDUP BERSAMA WAYANG Jiwa muda Ledjar yang bersemangat dalam eksperimen dan inovasi membawa kehidupan wayang dan pertunjukan ke bentuk lain, tergantung tempat dan konteks dimana ia berada. Atas permintaan seorang "dalang" dari jepang bernama Ryuh Matsumoto, ia membuat wayang berupa prajurit Samurai Jepang, untuk sebuah pertunjukan dari Jawa ia membuat legenda Jaka tarub; ia juga membuat pertunjukan wayang yang diberi nama "William from Orange", di Belanda, di mana ia membuat desain wayang sesuai dengan wajah karakter yang ditemukan dalam sejarah epik pertempuran William diambil dari lukisan yang sudah ratusan tahun, dan di mana ia bermain dengan kombinasi pop orkestra dan tradisional gamelan. Ia Bahkan memberikan kontribusi kepada cucunya Nanang sebagai pembuat animasi digital dari pertunjukan wayang yang dinamakan Wayang Animasi (Animation Wayang).

150


Ki Ledjar percaya bahwa Pedalangan dapat menjadi cara memberikan pelajaran untuk anak-anak dan dewasa untuk memahami tidak hanya lingkungan, tetapi juga sejarah atau etika jawa, menyenangkan dan lebih mudah diakses lewat "wayang sejarah" misal wayang Diponegoro, mewakili Perjuangan revolusioner Indonesia lalu ada bagian penangkapan Diponegoro; wayang Sultan Agung, menceritakan tentang konflik antara Sultan Agung dan VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen; dan wayang Jaka tarub, dirancang dalam kerangka kerja sama pertunjukan wayang dan kethoprak di Yogyakarta. Dari 2006, ia juga mulai memainkan ulang sebuah pertunjukan Wayang Revolusi, sebuah pertunjukan wayang yang diciptakan pada 1947 sebagai sarana propaganda melawan Belanda, dimana pada waktu itu kelompok orang yang memainkan wayang disebut sebagai pembawa pesan revolusi oleh Belanda. Ledjar adalah seorang yg kreatif dan inovatif. Ia juga memperkenalkan Wayang Wajah, di mana kamu dapat memesan wayang dengan gambar wajah sendiri, atau wajah dari anggota keluarga, teman, atau kenalan, maupun hewan peliharaan kesayangan, bahkan barak Obama membuat potret dirinya. Wayang potret yang tidak hanya sekedar suvenir tetapi juga digunakan dalam pertunjukan. Selain itu, ledjar juga membuat Wayang Topeng yang terbuat dari limbah rumah tangga, dalam ekspresi lucu dan bentuk hewan.

151


Selain itu kreasi besar serta kontribusi dalam pendidikan seperti, pada 2008-2009 Ledjar berpartisipasi dalam proyek mural di Yogyakarta, di mana Tujuannya adalah untuk menghias dinding dan jembatan dengan cerita wayang sebagai bagian dari seni jalanan, dengan mulai menggambar figur wayang yang besar sebagai manifestasi kota Yogyakarta. Kemudian, kontribusi ledjar terhadap kejadian gempa pada tahun 2006 dan erupsi Merapi pada tahun 2010, membuat pertunjukan secara teratur di daerah yang terkena dampak, untuk menyembuhkan efek trauma pada anak-anak dan orang tua dari daerah tersebut. MBAH LEDJAR DARI SOSROKUSUMAN Selama hidupnya ia tinggal di Sosrokusuman, Mbah Ledjar tidak berbeda dari warga lain, selain profesinya sebagai dalang. seperti kita menemukan dunia sosrokusuman, kami juga menemukan sisi lain Ledjar... Mbah Ledjar mengobrol dengan orang-orang, membaca arsip dan melihat video tentang kampung, Mbah Ledjar selalu hadir aktif dan bersemangat tinggi dalam pengorganisasian seni lokakarya dengan anak-anak, berpartisipasi dalam acara, pertemuan dan protes melawan perluasan Hotel diatas tanah mereka, yang dimulai sejak 1993 dengan pembangunan oleh mall Malioboro. Kembali di hari pertama kami di kampung, seperti yang kami bicarakan kepadanya tentang keinginan kami untuk membuat proyek yang berbicara tentang Sosrokusuman, ia sangat antusias sehingga semakin memotivasi kami. Ia ingin berkontribusi, mengobrol dengan kami, untuk melakukan sesuatu, atau apa pun. Dan dia telah melakukannya. Lebih dari yang ia sadari. Itu merupakan satu-satunya percakapan kami dengan dia. Pada tanggal 23 September 2017, di tengah-tengah proyek kami, Mbah Ledjar meninggal dunia.

152


Mbah Ledjar masih membuktikan kepada kita bagaimana seseorang dapat menggunakan seni untuk mengekspresikan satu pesan, untuk bertindak, dan untuk menyambungkan kembali orang-orang... mungkin suara mbah Ledjar akan terus menggema melalui suara suara baru di Sosrokusuman. Suara yang ingin berbicara. Suara yang masih ada meskipun realitas baru tiba dan kadang-kadang menyerang lingkungan. Suara yang masih bisa menemukan cara-cara baru berekspresi: melalui ruang publik baru dan kemungkinan untuk berkomunikasi satu sama lain, melalui lalu lalang orang-orang yang lewat tempat parkir, warung atau hotel yang semakin banyak; melalui hubungan baru antara kamu dan tetanggamu dan melalui hal baru yang kamu ceritakan kepada teman mu di Yogyakarta, masih ada cara. Mbah Ledjar jelas menunjukkan kepada kita semua, adaptasi adalah kunci. Kemudian, datang motivasi untuk terus percaya, menciptakan dan berinovasi. Dia adalah seorang pria yang hari ini meninggalkan kami. Mengilhami kami, bersama-sama, dapat membuat perbedaan. "wayang", dalam bahasa Jawa, berarti bayangan. Berasal dari kata "bayang", dalam standar bahasa Indonesia, kata tersebut sama artinya dengan "imajinasi". Ini adalah warisan Mbah Ledjar, yang menunjukkan bahwa dibalik bayangan, dari situasi sulit atau jalan buntu, selalu ada harapan dalam imajinasi. Imajinasi yang melahirkan kreativitas, dan keyakinan bahwa kita dapat bertindak untuk hidup kita dan dengan apa yang sudah kita miliki.

153


154


155


156



Wayang kancil karya mbah Ledjar.

158



160


161



163






Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.