Buku antologi cerita kita

Page 1

Ant ol ogi Pr osaPer sembahanSast r aI nggr i sA2013

(Cerita K ita)

awal ny abukui ni t ak begi ni . menj adi begi ni kar enasemuat akl agi samadenganawal ny a. sel ai nkami dant uhan, adasat uor angl agi y ang past i paham

Bukui ni bukanhany asebagai bent ukapr esi asi t er hadapkar y asast r a, t et api j ugamembuat ki t amengapr esi asi di r i sendi r i bahwaki t ay ang bel aj arsast r asudahsehar usny amenghasi l kan kar y adanber kont r i busi dal amGer akanL i t er asi . L agi pul a, apaar t i ger akant anpaadany a t i ndakany angr i i l .

(Cerita K ita)

SebuahAnt ol ogiPr osaPer sembahanSast r aI nggr i sA2013

#Sa t u T a h u n Ge r a k a n L i t e r a s i


orang bilang jurusan sastra bisa apa lalu kami mulai ambil pena orang bilang anak sekarang tak bisa sendiri lalu kami mulai berdiri orang bilang coba mana karya bukumu? ini. kami beri satu. yang akan tumbuh seribu apalah orang bilang


S

ekilas pandang Layaknya sebuah cerita yang selalu menyimpan rahasia,

You don't need to waste your time for reading this book until you realize you waste your time that you never read this book.

selalu ada pengorbanan dalam setiap gores tulisan

Ulinuha

Layyin

Those from hate, love, and sorrow may fuse in several sheets showing us this is life. One story completes each other.

I hope this set of printed sheets of stories will inspire everyone who reads it.

Gine. Toxic.

Story of my life. Ita

Wakhidatul Sisca Putri Anggraini

It was an amazing moment when I had a chance to write a story and published as a book. It's also interesting to read about my friends' stories. This book is very readable! Imroatul Mufidah


Buku ini walaupun swasembada, tapi harapannya bisa jadi mahakarya. Selain dendam di-PHP, kehausan akan literasi jadi alasan buat kita bikin gerakan pembukuan.

Thanks to God and friends who always stay by my side in this process. Finally, our first book can be published. I hope all of us can maintain this creativity and publish second, third, and other books. Love.

Asaf

Frida Anjani

This is one of the best moments in my life. I wrote a story, so did my friends. We created the incredible book, that's awesome. Thank you, Literature A :)

READ this book! See whether you cry or laugh Ny

Merr

Inspirasi merupakan percikan ide-ide yang awalnya tidak pernah terbayangkan. Buku ini membuktikan salah satu inspirasi dari Sastra Inggris A 2013 dalam membuat Gerakan Literasi.

Never ending story! Benarbenar membuat addicted sejak pertama mulai membaca buku ini. Bagaikan aliran air terjun yang terus mengalir deras, begitulah gambaran dari buku ini. Unik, menyegarkan, dan inspiratif. #HidupGerakanLiterasiUnesa

^^ K-Ningrum LutfiNoetic


Buku ini yg berjudul "Cerita Kita" tercipta karena keadaan yg memaksa setelah melalui proses tidak-penepatan-janji oleh seseorang. Berisi tentang segala kenangan setiap orang yang telah memberikan secercah harapan dan tujuan bagi diri mereka sendiri dan juga semoga untuk orang lain. Berisi hal-hal yang membuat orang lain tergerak dan termotivasi untuk meneruskan hidup ke level berikutnya. Tanpa terciptanya buku ini, mungkin keutuhan dan kebersamaan kami "para pembuat" tidaklah begitu kuat, dan berkat doktrin serta penghasutan secara terus menerus oleh sang pencetus ide ini, akhirnya buku ini dapat diwujudkan kembali menjadi sebuah hal baru. Selamat membaca. Galih Jati

Buku pertama ya, masih banyak kekurangan tapi tetap menyuguhkan tulisan yang baik, sangat inspiratif. Kemal

Salah satu cara sublimasi nyata calon sastrawan dengan memunculkan karya. Fanilla L

Gebrakan perdana para mahasiswa Sastra Inggris A 2013 akibat "curhatanterpaksa-yang-disia-sia" dan akhirnya membuat jiwa literasi itu muncul. M. P. Anjani


B

erbaris laman

Berbaris nama 1 Cerita Kita 2 Nahrul “Rumah Kedua” 3 Herlis Pratiwi “Resep Manjur!” 11 UNYIL “Mengubah Pesimis Jadi Optimis” 17 Imroatul Mufidah “Terima Kasih, Dis” 24 Ita “Bekerja Keras Demi Masa Depan” 35 Sri Lestari “Arti Sebuah Pertemanan” 38 Nurhidayah “Speaking ?!” 43 Nugtella “Sister School Program” 47 Ulinuha “Teman-Temanku, Inspirasiku” 51 Kemal “Tidak Sedang Tidak-Tidak” 56 Gine. Toxic. “Hati-Hati Kesandung, Udah Kesandung!” 59


M. P. Anjani “‘Sahabat’ Penyemangat" 64 LutfiNoetic "Aku dan Bayanganku" 70 K-Ningrum “Kelapangan Hati” 75 Fanilla Latter “"The Power of Emak" 83” Laurena "Jangan Meremehkan Orang Lain" 88 Frida Anjani "Aku Mau ke Mana??" 92 LRA “Kita Bertiga” 98 M. T. Herlina "Perjuangan 600 Ribu" 102 Revicho "Investasi Sikat Gigi" 109 Ny "Nafas-Nafas Jogja" 117 Asaf "Dia, Saat Mereka Berkata" 127 Prita Dyah "Ku Tak Lagi Meyalahkanmu, Benang Merahku" 135

Merr "Bapak Profesor" 142 Layyin "Life is Struggle" 147 ins uj "dengan huruf kecil aku ceritakan" 152 Galih Jati “Harga Mati untuk Derajat Orang Tua” 163 Wakhidatul Sisca "Angel-ku yang Cantik" 172


B

erbaris nama

Penyunting naskah & penata letak Insani Ursha Penyunting pendamping Farah Masyitha Penyelaras aksara Mayank Putri & Lutfiatul Ilmiyah Sampul depan Galih Jati & Insani Ursha Sampul belakang Galih Jati, Kemal Alaydrus, Esti Ayu Isi cerita penghuni Sastra Inggris A 2013

t

erima kasih terbesar

Bapak seantero Inggris Unesa Much. Khoiri


t

erdapat 4 huruf dalam 1

huruf pertama: C, E, R, dan K “Cerita Kita� 1 lilin menyiratkan satu tahunnya Gerakan Literasi yang diumumkan 17 Februari 2015 lalu namun tak kunjung berujung Selamat melanjutkan lembaran demi lembaran! Selamat membaca cerita kita


Rumah Kedua Banyak sudah tempat yang kusinggahi di Kota Pahlawan ini untuk kujadikan tempat yang bisa kusebut “rumah�, di tahun keduaku telah kutemukan rumah ketigaku. Aku harus beranjak dari rumah keduaku karena sejumlah alasan, dan semua itu bermula di suatu pagi, Sulton, teman kost-ku mendapat pesan dari seorang temannya, Siro, yang berisi ajakan untuk menyewa sebuah rumah di salah satu celah sempit di tengah perkampungan dekat kampusku. Siro telah mengajak dua orang temannya, dan aku pun diajak olehnya, total ada lima orang yang bersedia mendiami rumah kontrakan itu. Beberapa jam telah berlalu dan hari sudah mulai gelap, Sulton dan aku bergegas menuju rumah kost temanku untuk melihat keadaan rumah yang akan kami diami, aku tak tahu mengapa ia sangat bersemangat kali ini, mungkin lantaran ia ingin meringankan biaya hidupnya karena tempat kost kami sebelumnya memiliki tarif yang cukup mahal. 3


Tepat setelah libur semester pertama, kami mendiami rumah itu. Aku sekamar dengan Sulton dan Siro, di kamar sebelah ada Riki dan Faruk. Tak butuh waktu lama untukku membaur dengan dua orang teman baruku. Awalnya semua berjalan dengan baik, kami berlima bisa saling mengakrabkan diri. Namun, selang beberapa bulan salah satu teman kami mulai berulah, Sulton,

membawa

teman

wanitanya

ke

rumah.

Sebenarnya hal itu wajar saja tapi yang membuatnya menjadi persoalan adalah dia mengajak teman wanitanya singgah di salah satu kamar. Secara tidak tertulis, kami berlima menyepakati satu peraturan bahwa jika salah satu dari kami mengajak teman wanita, ia tidak boleh menginjakkan kaki di anak tangga, apalagi menapakkan kaki di lantai dua. Hal itu pun aku terapkan, jika ada teman wanita yang singgah, aku hanya memperbolehkan dia bersandar di depan rolling door, kalau pun ia ingin masuk, aku hanya mempersilakannya menginjakkan kaki di lantai pertama saja dan pintu rumah aku biarkan terbuka agar tidak timbul prasangka buruk dari warga 4


sekitar. Kami semua memperlakukan hal yang sama pada teman wanita kami, kecuali satu teman kami yang tidak mengindahkan peraturan itu. Pada kejadian pertama, kami berempat masih bisa memaklumi. Tapi setelah beberapa bulan berlalu, Sulton makin menjadi. Dulu dia hanya mengajak temannya sebulan sekali atau dua kali, saat itu malah dia lakukan hampir tiap minggu. Masih kuingat pesan darinya sebelum mengajak teman wanitanya, “Rul, sewa kamar, yo? Hehehe.� Aku lupa berapa kali ia mengirim pesan bernada sama,

aku

juga

lupa

berapa

kali

aku

sudah

mengingatkannya. Setiap kali aku pulang, kulihat ketiga temanku berkumpul di depan rumah, dan dengan mudahnya aku mengetahui alasan mengapa mereka melakukannya. Kami berempat pun mulai merasa tidak nyaman karena kehadiran wanita tersebut—apalagi kami tinggal di lingkungan yang masih saling peduli serta menjunjung tinggi nilai dan norma sosial—karena sejumlah warga sudah mengingatkan, mereka mulai resah dan merasa tidak nyaman karena melihat wanita 5


keluar masuk pintu rumah kami. Oleh karena itu, aku berusaha mengingatkan teman sekamarku namun ia tetap bergeming, ia berdalih bahwa hal itu bukanlah masalah karena ia merasa warga sekitar tidak memperhatikan gerak-geriknya selama ini. Sebenarnya, yang membuat kami merasa tidak nyaman bukan hanya ketidakpeduliannya terhadap lingkungan sekitar, tapi ia juga hanya memiliki sedikit rasa kepedulian pada rumah kami, salah satunya dalam hal kebersihan. Namun, itu bukanlah hal baru buatku, aku sudah mengenalnya selama beberapa bulan dan aku bisa memakluminya, tapi lain halnya jika dihadapkan pada tiga temanku, mereka tidak tahan dengan kelakuan Sulton. Kami berempat pun bergantian mengingatkan dia, tetap tidak ada hasil. Akhirnya, tiga temanku mulai bersikap dingin terhadap Sulton. Hanya aku yang menjaga sikapku karena begaimanapun ia tetap temanku, kami saling kenal sejak masa ‘perploncoan’ mahasiswa baru dan kami sudah banyak melewati masa-masa bersama, baik susah maupun senang. Ia akhirnya memutuskan untuk tinggal 6


sementara di rumah kontrakan temannya, mungkin karena ia sudah merasa kalau kehadirannya sudah tak diharapkan. Ia hanya mampir ke rumah bila ingin mengambil beberapa helai pakaian atau sekadar menyegarkan diri dengan membilas air di sekujur tubuhnya. Tak lama kemudian, sekitar dua bulan, ia kembali ke rumah. Aku tak tahu mengapa ia tak pernah ke rumah temannya lagi, dia tak pernah menceritakan hal tersebut, tapi aku dengar kabar kalau ia telah mengalami konflik di rumah temannya, mungkin disebabkan oleh permasalahan yang sama seperti di rumah kami. Setelah dua bulan tak singgah, sikap ketiga temanku tak kunjung berubah, apalagi Faruk, tak sepatah kata pun terlontar dari mulutnya yang ditujukan pada Sulton, begitu pun sebaliknya. Hal itu karena mereka berdua memiliki kepribadian yang sama: Sama-sama keras kepala. Ketiga temanku berpikir dengan cara mendiamkan Sulton, maka ia akan sadar akan kesalahannya dan masalah segera usai. Kenyataannya, tidak. Sulton masih melakukan 7


kebiasaan lama dan keadaan semakin rumit. Masa kami untuk mendiami rumah tersebut juga segera habis. Hingga suatu malam, kami berempat, aku, Faruk, Siro dan Riki, berkumpul untuk membahas masalah kelangsungan rumah kontrakan. Muncul dua pilihan, beranjak dari rumah tersebut dan mencari tempat baru tanpa Sulton atau tetap tinggal juga

tanpa

sulton,

pada

intinya

mereka

tidak

menginginkan keberadaan Sulton lagi. Kami pun memilih pilihan kedua, karena kami masih nyaman tinggal di rumah tersebut jika tidak ada Sulton, jadi secara tidak langsung mereka berniat ‘mengusir’ Sulton, tapi mereka tidak mau mengutarakan langsung, mereka menitipkan pesannya padaku agar kusampaikan pada Sulton. Mereka berdalih bahwa aku adalah orang terdekatnya jadi dia akan bersedia meninggalkan rumah kami. Aku pun menolak, karena menurutku lebih baik hal itu dibicarakan bersama secara baik-baik, tapi mereka bertiga tetap tidak mau.

8


Pada akhirnya, aku terpaksa menyampaikan maksud dari ketiga temanku, meski terasa berat di bibir tapi aku harus kulakukan demi kebaikan bersama. Sayangnya, hasil yang aku peroleh tidak sesuai harapan, ia tetap tidak mau beranjak dari rumah sebelum ketiga temanku menyampaikan unek-unek mereka secara langsung. Sialnya, mereka juga masih belum bersedia merundingkan bersama. Masalah ini pun semakin berlarut-larut, dan tanpa sepengetahuanku Sulton dan Faruk saling berkomunikasi, sepertinya terjadi kesalahpahaman antara mereka dan keduanya pun memutuskan untuk meninggalkan rumah. Masa sewa rumah pun tinggal dua hari, dua orang sudah beranjak, kami tidak bisa menemukan penggantinya karena waktu yang sangat mendadak. Lantaran uang yang tidak cukup, kami semua memutuskan untuk tidak memperpanjang masa sewa kontrakan. Kuhubungi semua temanku untuk menanyakan apakah ada tempat kosong di kost-nya, dan kebetulan di salah satu kost temanku ada kamar kosong. Esoknya, aku memindahkan semua 9


barangku ke sana. Tak ada lagi yang namanya rumah kedua. Memang tak mudah menyatukan lima kepala dalam satu atap, apalagi di antara lima kepala tersebut memiliki banyak macam kepribadian. Tidak ada orang yang benar secara kesuluruhan, setiap orang pasti punya kecacatan dalam setiap tindakan, jika ingin menjaga hubungan dengan orang lain ia harus mengedapankan rasa toleransi dan tenggang rasa. Nahrul

10


Resep Manjur! Pada saat aku masih di sekolah dasar, bahasa Inggrisku sangatlah jelek. Ya, jelek dan aku tidak bohong. Mungkin alasan utamanya karena aku tidak mendapatkan buku paket Bahasa Inggris saat aku kelas 3, di mana itulah sebenarnya titik awal murid-murid SD pertama kalinya diperkenalkan pelajaran ini. Bukan karena aku tak mampu membeli, malah sebenarnya aku sudah membayar uang buku tetapi sampai detik ini Pak Guru bahasa Inggis, sebut saja Pak Budi, belum memberikan bukunya padaku. Permasalahan yang simpel sebenarnya, aku bisa saja membeli lagi buku yang sama di toko buku, tetapi sayang tidak ada yang menjual buku seperti itu di tokotoko buku di daerahku. Aku sudah berulang kali dan tiada bosan menanyakan kapan bukuku akan diberikan, tetapi Pak Budi juga sudah berulang kali dan tiada bosan mengatakan dia lupa memesankan bukunya. Mungkin karena aku dulu begitu lugu dan pemalu jadi aku menurut dan nunut saja pada Guru dan tak pernah sedetik pun 11


terlintas di benakku untuk mencoba memfotokopi bukunya. Oh, silly little me. Sampai akhirnya tak terasa tahun ajaran telah berganti dan aku pun akan naik kelas 4. Dan selama setahun aku di kelas 3, aku sama sekali tidak bergantung pada buku paket Bahasa Inggris. Setiap pelajaran Bahasa Inggris, aku terpaksa berbagi dengan teman sebangkuku yang sudah mendapatkan bukunya. Akan menyenangan jika seandainya teman sebangkuku adalah teman yang baik, pengertian akan kondisiku, juga rajin menabung, dan tidak sombong. Tapi apa boleh buat, teman sebangku waktu itu adalah seorang anak laki-laki bertubuh tinggi besar, berambut semir pirang, berpenampilan sangar, dan bergaya preman pasar yang sebelumnya pernah tiga tahun tidak naik kelas. Untung-untung jika ia mau berbagi buku denganku, saling berinteraksi saja kami jarang lakukan. Untuk menatap matanya pun aku tak kuasa dan tak ada nyali apalagi memintanya untuk meminjami buku. “Tak ingin cari mati aku,� pikirku galau. Jadilah selama setahun itu aku meletakkan nasib nilai Bahasa 12


Inggrisku di tangannya. Jika ia sedang berbaik hati maka ia akan membagi bukunya denganku (meskipun ia akan menggerutu sepanjang pelajaran). Tapi lain ceritanya jika ia sedang badmood, melihat ke arahku pun tidak. Itulah sebabnya dulu aku sangat tidak tertarik pada pelajaran yang berbau bahasa Inggris. Sampai lulus sekolah dasar pun tak ada secuil minatku untuk belajar bahasa Inggris. Nilai terendahku saat ujian nasional sudah

bisa

dipastikan

pelajaran

bahasa

Inggris.

Terkadang iri rasanya melihat beberapa temanku piawai dalam pelajaran satu itu, ingin rasanya bisa seperti mereka, tapi ah, biar saja toh aku sudah muak dengan bahasa Inggris. Memasuki sekolah menengah pertama, aku ternyata masuk ke dalam kelas unggulan di salah satu SMP favorit di daerahku. Keinginan untuk (setidaknya) mempelajari dasardasar bahasa Inggris tak disangka-sangka dan tiba-tiba muncul dalam benakku. Entah kenapa muncul keinginan seperti itu—mungkin karena melihat teman-teman lihai dan nyaman dalam menggunakan bahasa Inggris. Akhirnya,

13


sedikit demi sedikit aku mulai fokus dan bersungguhsungguh belajar. Bukan lagi hanya sekadar masuk kuping kanan keluar kuping kiri, it is not that bad, sadarku menyadarinya. Perlahan-lahan aku mulai menyukai bahasa Inggris. Aku tertarik dengan struktur kalimatnya yang beraturan, cara pelafalan katanya yang berbeda, kosa kata yang beragam, dan hal-hal lain yang membuatku ingin mempelajari lebih dalam. Apalagi saat kakak pertamaku mendapat kesempatan untuk pergi ke Inggris sebagai wakil Indonesia dalam pertemuan mahasiswa sedunia EYP. Di situlah turning point-ku. Mendengar cerita kakak tentang bagaimana hidup sementara di sana, bagaimana serunya bertemu dengan orang-orang dari segala penjuru dunia, dan berkomunikasi dengan mereka menggunakan bahasa Inggris, menggugah hatiku untuk mengeksplor bahasa Inggrisku. Mimpi dan cita-citaku berubah sejak itu. Aku ingin seperti kakak. Bukan, aku ingin melebihi kakak. Aku ingin pergi ke Inggris, mempelajari segala budaya yang ada di sana, bertemu dan berkomunikasi dengan orang-orang dari segala penjuru dunia, saling berbagi cerita dan pengalaman.

14


Dan jika Tuhan mengizinkan, aku berharap sekali untuk melanjutkan pendidikan sembari mengenalkan budaya Indonesia ke sana. Sejak saat itu aku mulai lebih giat lagi belajar bahasa Inggris, mengikuti kompetisi bahasa Inggris, meski terkadang aku tidak menjadi juara tapi semua itu aku jadikan pengalaman dan pelajaran untuk lebih baik ke depannya. Hingga bahasa Inggris yang membawaku untuk kuliah di jurusan Sastra Inggris Unesa ini. Meskipun terkadang beberapa orang beranggapan, “Apa masih jaman kuliah Bahasa Inggris? Kupikir sudah terlalu banyak orang melakukannya. Mau jadi apa ke depannya jika mengambil jurusan seperti itu?� Anggapan dan ekspresi yang menunjukkan pemikiran seperti itu yang kadang kala tampak pada beberapa orang ketika aku menjawab di mana dan jurusan apa yang kuambil. Tapi aku akan tetap menjawab dengan bangga bahwa aku berkuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya.

People can talk whatever they want. People will judge. Let them be. But I never let them falter my steps 15


to my dreams. Because this is my own choice. This is my life not theirs. Aku jadikan pendapat-pendapat itu sebagai motivasiku untuk mengembangkan diri, terus berjuang menggapai mimpi-mimpi, dan membuktikan bahwa jurusan Sastra Inggris Unesa tidaklah seperti yang mereka pikirkan. Begitulah asal mulanya aku mulai menyukai, bukan, mencintai bahasa Inggris. Benar kata orang, “Jika kamu ingin berhasil maka kamu harus menyukai apa yang kamu lakukan terlebih dahulu lalu bersungguh-sungguh memperjuangkannya.� Terlihat sepele dan sering diabaikan memang. But

how can you expect more from it when you don’t really like what you do? It doesn't work that way. You have to love it first. Seberapa pun kamu mencoba, jika kamu tidak benar-benar menyukainya maka hal itu tidak akan maksimal seperti yang kamu harapkan. Herlis Pratiwi

16


Mengubah Pesimis Jadi Optimis Kisah kesuksesan ini ketika aku masih SMP di sebuah sekolah negeri di kota Malang, tepatnya di MTs.N Malang 3 dan sekarang aku sudah mahasiswa Sastra Inggris di Universitas

Negeri

Surabaya.

Ini

adalah

kisah

perjuanganku meraih kemenangan untuk mewakili Indonesia sebagai juara. Ketika itu aku masih duduk di kelas 2, berusia 13 tahun, sangat polos, dan lugu. Bisa dibilang remaja seusiaku lebih menyibukkan bermain ketimbang belajar, hampir separuh waktu belajar kuselingi bermain. Aku sangat nakal tapi cerdik, bila malas belajar di kelas, aku main game atau sekadar membuka Friendster. Maklum, zaman itu belum ada Facebook, Twitter, atau Blackberry Messenger. Namun aku juga suka mencari tulisan yang membuatku tidak jenuh. Suatu hari, tanpa sengaja aku membuka berita tentang kyai dari Jombang yang bernama Syekh Puji. Beliau adalah kyai yang menikahi gadis belia di bawah 17


umur, padahal gadis itu lebih pantas memanggilnya kakek atau opa, bukan kang mas atau abi. Pernikahan mereka menjadi pro kontra di masyarakat. Aku sempat jengkel dengan pernyataan Syekh Puji yang menganggap bahwa di Islam diperbolehkan, faktanya anak di bawah umur dilindungi undang-undang negara. Wajarlah, Syekh Puji harus memenuhi panggilan polisi karena masyarakat menilai itu tindak pelecehan serta mencemarkan ajaran agama. Padahal beliau seorang kyai. Tapi komentar itu tidak hanya aku simpan dalam hati, aku menulis di buku harianku loh. Kebetulan seminggu setelah aku menulis komentar itu di buku harian, guru ITku mengenalkan kami dengan Blogger, dan setiap siswa wajib membuat blog pribadi. Aku memulai membuat blog meski belum canggih dalam mendesainnya. Dengan blog sederhana itu, aku memosting tulisanku tentang Syekh Puji dan kuberi judul “Pernikahan Syekh Puji yang Abnormal�. Alhasil, guruku membaca dan membagikannya ke blog lain sehingga banyak yang berkomentar serta memberi dukungan pada tulisanku. 18


Pasca kejadian itu, guru IT-ku memintaku mengikuti perlombaan web blog tingkat ASEAN yang diikuti semua pelajar dan mahasiswa se-Asia Tenggara, perlombaan diselenggarakan oleh lembaga RELC di Singapura. Aku sempat menolak, karena dalam perlombaan ini harus menggunakan bahasa Inggris, dan aku tidak begitu pintar dalam berbahasa Inggris, terutama kelemahanku pada

grammar. Meskipun perlombaan ini diadakan secara online, tetap saja aku tidak percaya diri. Dengan sabarnya, guruku tetap membujuk akan membimbingku. Beliau mengatakan, “Jangan takut kalah, tapi carilah pengalaman.� Akhirnya aku setuju. Ada beberapa tema yang disajikan dalam perlombaan ini, culture, art, sport,

education yang berhubungan dengan negara masingmasing peserta. Aku masih begitu ingat tema yang aku pilih

adalah

culture. Kebetulan tanteku sebulan

sebelumnya baru menikah, jadi kuusung judul “Pernikahan Adat Jawa di Indonesia�. Foto-foto pernikahan Tante kujadikan bahan artikel blog. Satu per satu foto 19


menceritakan prosesi pernikahan. Mulai ijab qabul sampai seserahan. Perlombaan ini berlangsung selama 3 bulan, setiap peserta harus saling berkomentar di blog lawan termasuk juri. Aku minder waktu itu, karena lawanku dari Brunei Darussalam sangat detail dalam desain blog dan artikelnya.

Sempat

sih aku mengeluh ke guru

bimbinganku kalau aku capek harus pulang setiap hari pukul 18. Aku merasa hampir tidak ada waktu bermain dengan teman-teman dan aku merasa kesulitan karena artikel harus kubuat dalam bahasa Inggris. Bayangkan ya, aku sangat tidak suka bahasa Inggris waktu itu, bahasa yang aneh, sulit, lucu aja kalau denger orang ngomong pakai bahasa itu. Tapi guruku tetap membantuku, setiap pertengahan pelajaran aku diizinkan untuk tidak ikut, justru harus fokus pada lomba ini. Aku merasa mau mati. Bagaimana tidak, kalau aku kalah, aku akan ketinggalan materi selama 3 bulan dan nilaiku merosot. Pasti orang tuaku akan marah, semua fasilitas akan diambil. Berbagai

20


alasan selalu kulontarkan, alasan cucian di rumah banyak lah, setrika numpuk lah, apa lah. Sampai guruku menjawab, “Engkok lek kamu menang, uange iso digawe nyewa pembantu,” bujuknya dengan logat Jawa yang kental. “Nanti kalau kamu menang, uangnya bisa buat nyewa pembantu.” Tapi aku selalu mencibir di belakangnya, kesal. Ingin bermain dimarahin, malah disuruh fokus ke lomba, pokoknya bikin jenuh. Akhirnya aku lelah dan cuek di detik-detik terakhir perlombaan. Entah iseng-iseng, kubuka artikelku ternyata ada komentar dari juri, “Great picture.” Sontak aku bersemangat bahwa ada harapan menang walau hanya beberapa persen. Masih teringat seminggu setelah lomba ditutup, temanku menelepon kalau aku menjadi juara 1 mewakili Indonesia. Awalnya sih nggak percaya, pukul 21 aku diantar kakak ke warnet melihat pengumuman. Ya Allah, aku diam termenung dan tidak berkedip. Kaget. Keesokan harinya, aku tanyakan pada guruku dan beliau menyanggah, “Siapa bilang kamu menang, itu salah 21


ketik. Wong artikelmu jelek kalau dibanding musuhmu.� Sudah kuduga pasti cuma mimpi, ya sudah aku minta izin untuk masuk laboratorium bahasa Arab mengikuti pelajaran selanjutnya. Tiba-tiba di tengah pelajaran, aku diminta Kepala Sekolah datang ke kantornya, ketika aku masuk, sudah banyak wartawan dari berbagai koran dan majalah pendidikan, aku heran. Ternyata guru pembibingku juga sudah ada di sana, rupanya beliau hanya menggoda supaya aku cemas. Lalu aku mulai diwawancarai bagaimana perjalananku bisa menjadi juara. Dari situ aku yakin bahwa aku memang harus mengembangkan potensi, mengubah jiwa pesimis menjadi jiwa yang optimis, berani mencoba dan tidak menyerah sebelum bertanding. Karena prestasiku ini, aku berhasil diterima SMA favorit di kotaku dan aku juga menjuarai kompetisi resensi novel. Setelah itu aku mengikuti beberapa perlombaan web blog lagi dan terus melanjutkan hobiku sebagai penulis. Aku yakin sekalipun aku berasal dari 22


desa, suatu hari aku bisa menjadi seorang penulis yang karyanya akan dibaca dan diminati oleh semua, itu kenapa aku berusaha dan berjuang masuk di Universitas Negeri Surabaya jurusan Sastra Inggris. Semoga saja rasa tidak sukaku terhadap bahasa Inggris mengubahku menjadi

mencintainya

dan

bersungguh-sungguh

mempelajari supaya aku bisa mewujudkan keinginanku. Inilah prestasiku, dan aku berharap ini menjadi kesuksesanku kelak yang akan disambut senyuman dan tangis bahagia orang tuaku. Aku akan terus berkarya, hingga nanti aku bisa menerbitkan satu karangan tulisanku yang bisa dibaca oleh kalian. Semoga kisahku ini bisa menjadi inspirasi bahwa sesuatu yang tidak mungkin dengan dukungan orang-orang yang menyayangi kita bisa menjadi nyata dan menambah semangat kita. UNYIL

23


Terima Kasih, Dis

I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light —Hellen Keller Kalimat dari Hellen Keller memang sangat benar adanya. Seburuk apapun kondisi seseorang memang akan lebih baik jika ada seorang teman di sampingnya. Sifat alami manusia sebagai makhluk sosial memang membuat keberadaan seorang teman begitu berarti bagi setiap orang. Tak ada satu pun manusia di dunia ini yang ingin hidup seorang diri tanpa adanya teman. Sekuat apa pun seseorang ia tetap membutuhkan setidaknya seorang teman sebagai tempat dia berbagi banyak hal yang tentu saja tak bisa ia simpan seorang diri. Karena pada hakikatnya manusia tidak bisa berkompromi dengan kesendirian. Mereka memang tidak pernah menang dengan kesepian dan kesenjangan di jiwa mereka. Cerita tentang teman memang tidak pernah ada habisnya. Setiap orang pasti punya teman yang unik yang kemudian diikuti dengan cerita yang unik pula. Di sini, aku 24


akan bercerita tentang salah satu teman berpredikat unik. Bukan teman geng, bukan teman nge-mall, bukan teman ngerumpi, juga bukan teman hidup pastinya. Teman nyastra. Yahhh, aku paggil dia “teman nyastra�. Dia adalah Ardis Prasilla. Lebih tepatnya, Muhammad Ardis Prasilla. Tapi dia gak mau ada nama Muhammad di depan namanya, dia merasa belum dan tidak pantas memakai nama Kanjeng Nabi yang sangat dimuliakan itu. Dia yang sekarang ini merasa tidak cukup baik menggunakan nama “kekasih Allah� di depannya. Sudah terlihat belum, dia nyastra banget pemikirannya? Ardis. Di mata orang yang baru kenal ataupun tidak begitu dekat, memang tampak seperti pria liar, ugal, brandal, dan label negatif lainnya. Tato di mana-mana, rokok tak pernah lepas dari tangannya, cara dia berpakaian, cara dia menyampaikan sesuatu, cara dia melampiaskan amarah. Semua yang dilakukannya salah di mata banyak orang. Dia pelanggar aturan, dia perusak. Aku pun juga berpendapat yang sama dengan mereka, beberapa tahun yang lalu, Ardis memang tampak buruk di 25


mataku. Iya, beberapa tahun lalu. Sebelum Tuhan memberikanku waktu dan kesempatan untuk mengenal lebih dekat dengan makhluk spesial satu ini. Iya, dia spesial karena dengan apa adanya dia, dia bisa mengubah cara pandangku tentang banyak hal. Dia spesial karena dia berjasa cukup besar dalam membantuku bisa membuat kata-kata biasa menjadi lebih indah untuk dijadikan puisi. Yah, dia cukup membantu dalam perkuliahan Sastraku ini. Dan dia spesial karena dia menjadi satu-satunya temanku yang kujadikan bahan di tulisanku ini. Well, kembali ke awal lagi. Ardis. Iya, tulisan ini membahas tentang dia. Ardis ini temanku sejak SMP. Seingatku dia baru masuk ke sekolahku saat kelas 2 SMP. Dia pindahan dari Kediri. Pada saat itu dia terlihat biasa saja. Dia sama dengan teman lelaki di kelasku pada umumnya. Hanya saja, dia bisa main gitar dan punya grup band yang entah apa namanya aku gak begitu ingin tahu. Sejak SMP dia memang sudah terkenal nakal. Predikat sebagai anak pindahan yang “harusnya� anteng memang 26


berhasil dia jalankan tapi ya cuman beberapa hari aja. Setelah itu dia menjelma menjadi anak yang nakalnya naudzubillah. Bahkan aku berulang kali menyesali nasibku yang harus satu sekolah bahkan satu kelas dengannya. Namun, hubungan kami cukup dekat setelah kami samasama menjadi anggota OSIS di SMP tersebut. Setelah lulus, aku dan Ardis tidak pernah lagi berkomunikasi. Bertahun-tahun. Dan hubungan kami baru terjalin setelah kami punya aplikasi BBM kami pun berteman di sana. Yah, lagi-lagi aku dibantu oleh perkembangan teknologi. Pada awalnya hanya say hi saja, tanya kabar dan basa-basi-busuk lainnya. Semakin lama, Ardis ini menarik perhatianku karena dia seringkali menulis kata-kata indah di status BBM-nya. Aku menyukai hampir semua tulisannya. Iya, hampir semua. Ardis cukup pandai menerjemahkan perasaannya ke dalam tulisan. Oleh karena itu aku sering ‘memanfaatkan’ kepandainya dalam mengerjakan tugas-tugasku ataupun hanya meng-kamuflase-kan kegalauanku. 27


“Dis, aku oleh tugas gae puisi, gaekno kalimat pertamane tentang iki.� (Dis, aku dapat tugas puisi, bikinin kalimat pertamanya tentang ini.) “Dis, aku kangen arek iki, gaekno kalimate po o ben gak ngetarani.� (Dis, aku kangen anak ini, bikinin kalimatnya dong biar gak kentara.) Hahaha Ardis ini mungkin sebal juga karena selalu kukacaukan hidupnya. Berkat bantuannya juga, aku kini sedikit belajar bagaimana mengungkapkan kata lewat tulisan indah. Ardis ini susah ditebak. Ia jarang mengungkapkan apa yang di pikirannya secara langsung. Ia menulis semua hal dalam puisi. Ia menulis puisi tentang Tuhan, ia menulis puisi patah hati, ia menulis puisi

cinta

yang

menggebu-gebu,

ia

menulis

kekecewaanya pada pemerintah, ia menulis puisi ibu, dan banyak lagi. Dan ini adalah beberapa puisi karyanya sebagai pembuktian semua ucapanku di atas hahaha.

28


Hari berganti hari Waktu berganti waktu Musim berganti musim Sampai jarum jam patah satu persatu Aku masih saja aku Yang terus terpatri oleh senyummu Kamu juga masih kamu Yang membawa pelangi di pelupuk mataku Aku ranting lemah yang nyaris patah Aku daun kering yang digerogoti tanah Aku peradaban bodoh jaman batu Awal mula kita bertemu Karena senyummu Berkali-kali aku menunda memotong urat nadi Karena senyummu Aku tak pernah berhasil bunuh diri

Engkau sempat jadi keramaian di kesepian Sempat jadi bingung yang tertemukan Sempat jadi basmalah yang teraminkan Sempat jadi cinta yang sekedar di lamunkan Sesempat sempatnya aku memandangmu tak memandang Sesempat sempatnya jadi kesakitan bagian bahagiamu Lalu, aku sudah temukan kita yang baru Engkau dengan sebuah bahu, aku dengan ingatan tentangmu Sementara aku mencarimu dalam kafir Engkau muncul dalam getir Maafkan aku Cahaya yang Maha Cahaya

29


Ardis itu liar, tapi cerdik. Dia bisa mengubah pemikiranku dengan tulisan-tulisan yang dia buat. Dia selalu punya pandangan sendiri tentang Tuhan. Dia selalu berkata dia sedang mencari Tuhan. Dan dia sedang menunggu Tuhan menghampirinya, dia percaya Tuhan tapi belum menemukan cara untuk mengimaninya. Seperti saja ketika aku mengeluh tentang ini itu, dia membuat kalimat tentang kuasa Tuhan. Kecintaannya pada Tuhan. Ketika aku merasa disakiti dia menuliskan kalimat seperti ini:

Bagiku luka seperti iman, begitu kunikmati aku percaya Tuhan mencintaiku lebih dalam. Aku yakin siapa saja yang membaca kalimat itu pasti akan merasakan sensasi di dalam hati mereka. Mereka merasa lebih kuat menghadapi apa pun masalah mereka. Aku hampir tidak percaya satu kalimat bisa menguatkanku sebegitu dalamnya. Meskipun terlihat kuat, terlihat bisa menyemangati temannya, dia juga makhluk yang sama dengan manusia lainnya. Ardis yang 30


kelihatannya strong

ini adalah galuers sejati yang

sedang mencari jodoh terbaiknya hehehe. “Fid,” dia memanggilku Fidah “aku kenalno koncomu po o aku lagi jomblo iki.” Hahaha. “Fid, aku kenalin temenmu aku lagi jomblo ini.” Selain itu, Ardis ini juga teman yang selalu memancingku untuk berdebat. Dia selalu punya pendapat yang 180 derajat berbeda dengan pandangan hidupku. Misalnya saja bagaimana dia memandang sistem politik dan pemerintahan di negeri yang kacau balau ini. Diriku sendiri beranggapan jika sebagai warna negara yang baik aku berkewajiban untuk mendukung pemerintah dalam banyak hal. Sementara Ardis? Dia bahkan tak pernah merasa punya sistem politik di negara ini. Jika kami mendebatkan hal ini, dia dengan entengnya selalu berkata,

Aku cukup berterima kasih pada air di bumiku, tanah yang kupijak juga langit yang memayungiku. Aku selalu saja menyerah ketika dia mengucapkan kalimat seperti itu. Karena dia memang juga tak pernah 31


mau kalah. Dia selalu bersikeras dengan pandangannya. Selain itu, dia juga bisa men¬g-skak mat¬-ku dengan kalimat jitunya. Seperti pada waktu ketika kami sedang berdebat kecil yang berujung besar akhirnya hahaha. Waktu itu, kami membahas tentang gaya remaja cewek zaman sekarang. Pada awalnya kami hanya membahas tentang gaya berpakaian, gaya berdandan hingga bagaimana mereka bergaya yang belum sesuai ucapannya atau yang biasa dipanggil “cabe-cabean”. Entah bagaimana malah kami membahas wanita yang hidup di pelacuran. Iya. Kami membahas tentang PELACURAN! Ardis memang bisa saja diajak berdebat tentang apa saja. Saat itu, aku bilang padanya, “Aku gak habis pikir ae, Dis, wedok kok gadue harga diri ngunu. Kerjo seng lebih terhormat lo akeh, Dis, uwong kok murah ngunu.” Aku utarakan isi otakku. “Aku gak habis pikir aja, Dis, perempuan kok gak punya harga diri gitu. Kerja yang lebih terhormat lho banyak, Dis, orang kok murah.” 32


Tapi Ardis menjawab dengan pandangannya, yang sekali lagi, berbeda dengan apa yang ada di pikiranku, “Awakmu iku ojok cepet memvonis wong koyok ngunu, awakmu gak ngerti opo seng nggarai dee dadi koyok ngunu, koen iku wedok, haruse sakno karo mereka, gak malah maido koyok ngunu.� GUBRAK! “Kamu itu jangan cepet memvonis orang begitu, kamu gak ngerti apa yang bikin dia gitu, kamu itu perempuan, harusnya kamu kasian sama mereka, gak malah menghina begitu.� Malu sendiri aku. Aku bingung harus jawab apa lagi hehehe. Iya, temanku yang satu ini selalu saja punya cara untuk

mengajakku

berdebat,

untuk

membantuku

mengerjakan tugas, untuk mengubah pandanganku tentang

sesuatu.

mengekspresikan

Dia

memang

kegundahannya,

cukup

cerdas

kemarahannya,

kesukaanya. Ardis yang berandal ini bisa membuka mataku tentang banyak hal. Dia yang ugal ini bisa membantuku mengerjakan tugas tentang puisi. Ardis yang nakal ini bisa menuliskan puisi yang luar biasa indahnya. Muhammad Ardis Prasilla, terima kasih sudah 33


menjadi partner nyastra yang asyik. Terima kasih sudah membantu berpuisi ria, terima kasih sudah mau diganggu setiap saat. Terima kasih, Dis. Imroatul Mufidah

34


Bekerja Keras Demi Masa Depan Bagi mahasiswa yang masih bergantung dari biaya orangtua memanglah tidak terlalu

punya beban, tapi

kadang kala kita harus tahu, di balik orangtua yang bisa membiayai kita, di sana ada perjuangan dan kerja keras. Namaku Ita. Aku hanya memiliki ibu dan satu kakak laki-laki. Ayahku telah meninggal 15 tahun lalu saat aku berumur 5 tahun. Tidak mudah bagi ibuku, yang seorang

penjahit,

menafkahi

keluarga

termasuk

membiayai kuliahku. Kadang aku berpikir, ingin rasanya memiliki pekerjaan paruh waktu untuk meringankan ibu dalam membiayai kami, tapi ketidaksetujuan kakak dan ibu membuang keinginanku. Mereka menginginkanku untuk fokus pada kuliah. Ibu yang tahu kesulitan dalam jurusan yang aku ambil, mengatakan lebih baik aku belajar lebih giat lagi, jangan mengecewakan, dan selalu bekerja keras bila ingin sukses di kemudian hari. Itulah yang selalu aku ingat. Kehidupanku di kampus sama seperti yang lain, tapi ada kelemahanku di sini: Aku susah untuk memahami

35


pelajaran lebih cepat. Itulah yang selalu dikhawatirkan Ibu terhadapku. Kadang aku berpikir aku salah mengambil jurusan. Tapi, temanku berpikiran lain. Menurutnya, tidak ada orang yang salah mengambil jurusan jika ia yang memilih sendiri dan tanpa paksaan. Menurutku, ada benarnya juga. Sekarang tinggal aku melatihnya agar bisa mencapai semaksimal mungkin dan tidak mengecewakan ibu. Dalam kelas yang hanya berjumlah 22 murid, aku selalu mengamati setiap anak di sana. Mereka pintar, bahkan dalam urusan speaking, mereka jago-jago. Aku merasa minder dan tidak mampu, yang selalu aku pikirkan adalah aku tidak mampu. Tapi, tidak bagi temanku yang selalu mendukungku, menyemangati aku agar tidak menyerah di tengah jalan. Aku mengerti maksud mereka, aku juga tidak akan mundur di tengah-tengah. Mereka teman yang baik yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Mereka selalu mengajariku seusai kuliah, aku senang mempunyai mereka sebagai temanku. Tidak hanya pintar, tapi baik terhadap semua orang. Memang tidak mudah bagiku mengharuskan diri seperti mereka, tapi apa salahnya mencoba.

36


Hingga suatu hari perasaan malasku mulai kambuh. Malas belajar, malas mengerjakan tugas, malas apa pun yang berhubungan dengan kuliah. “Apa yang harus aku lakukan?� Pikirku. “Aku harus mengejar semuanya kembali, setiap apa yang aku pelajari harus aku ulangi lagi. Aku harus bangkit. Tidak boleh seperti ini, tidak boleh gagal dan mengecewakan ibu di sana.� Dari tekad inilah, aku mulai belajar entah itu sendiri atau berkelompok. Ibu, aku akan menunjukkan padamu suatu hari nanti bahwa aku bisa, dan aku akan menjadi orang sukses. Aku mengerti, menjadi ibu sekaligus ayah tidaklah mudah, tapi Ibu bisa dan aku tahu Ibu adalah orangtua yang hebat. Untuk teman-temanku, juga tanpa kalian aku tidak akan bisa, kalian menginspirasiku untuk menjadi pintar seperti kalian. Semester 6 telah dimulai, bukanlah hasil yang aku cari, tapi bagaimana aku bisa membuktikan kepada semua kalau aku bisa berada di antara kalian. Semoga saja.

Ita

37


Arti Sebuah Pertemanan Saya

memiliki

sebuah

kisah

yang

dapat

menginspirasi diri saya maupun orang lain. Kisah ini sendiri bukanlah kisah dari para tokoh masyarakat melainkan dari kehidupan saya sendiri. Kisah ini dimulai ketika saya berada di kelas X SMA swasta di sekitar Lamongan.

Saya bukanlah

penduduk

asli daerah

Lamongan, bahkan juga bukan kelahiran Indonesia. Saya lahir dan dibesarkan di Malaysia, bisa dibilang saya anak dari orang perantauan. Setelah 16 tahun berada di negeri seberang, saya harus pulang ke negeri orang tua saya, Indonesia. Tepatnya, Jawa Timur. Dikarenakan orang tua saya sudah tidak

memiliki

pekerjaan

di

Malaysia,

mereka

memutuskan pulang untuk menjadi petani di sawah yang mereka peroleh dari hasil jerih payah mereka di negara tetangga. Waktu itu saya sudah lulus SMP dan saya harus merelakan study di sana.

38


Saya merasa paling pintar dan sempurna dalam semua pelajaran karena saya pikir sekolah yang saya masuki adalah sekolah swasta dan pelajarannya lebih mudah—selain Sejarah dan PKn yang saya belum bisa kuasai. Ternyata, saya salah besar. Semua mata pelajaran lumayan susah buat saya. Banyak rumus-rumus dan kata-kata yang harus saya pelajari lebih dalam. Ketika ujian juga, selain Bahasa Inggris dan Matematika, semua nilai saya di bawah rata-rata. Dari pengalaman saya itulah, saya lebih giat belajar dan akhirnya ketika ujian datang lagi, saya dapat nilai di atas rata-rata. Semester demi semester, saya jadi lumayan terkenal di sekolah baru saya hingga sekolah sebelah. Mungkin dikarenakan saya orang Malaysia yang pindah ke Indonesia. Banyak anak dari adik kelas hingga kakak kelas ingin dekat dengan saya. Ada juga yang membenci saya, karena selalu dekat dengan semua teman bahkan para guru. Terkadang, ketika saya duduk sendiri dan merenung, saya mungkin bukan siapa-siapa dan tidak mungkin terkenal jika saya tidak memperkenalkan diri di 39


aula ketika menjalani MOS. Saya juga tidak meminta semua orang mengenal saya dan saya juga tidak mau menjadi orang terkenal. Misalkan saya hanya anak SMA yang lahir di negara ini, mungkin saya tidak akan diperlakukan secara spesial begini. Saya juga bertanyatanya pada diri sendiri. Apakah teman-teman yang saya kenal selama ini tulus atau hanya ingin berteman dengan orang yang dianggap terkenal saja? Suatu saat, saya merasa banyak teman-teman menghindar dari saya dan saya menanyakan kepada salah satu teman yang tidak pernah menghindari saya. Dia bilang bahwa teman-teman mendapat berita jika saya mengejar-ngejar kakak kelas karena saya ingin memoroti harta kakak kelas tersebut. Saya hanya bisa tertawa mendengar berita itu. Saya bilang ke teman saya bahwa saya tidak pernah suka dengan kakak kelas yang dituduhkan oleh mereka. Saya memang mengenalnya, namun sebatas kakak saja. Saya juga bukan tipe gadis yang centil lalu memoroti harta orang lain. Walaupun saya tidak tahu siapa yang menyebarkan berita tersebut, 40


tetapi saya, teman saya, dan si kakak kelas menjelaskan ke semua anak SMA dengan cerita sebenarnya. Barangkali 80% anak-anak percaya dengan penjelasan kami dan 20% sisanya masih percaya dengan berita tidak jelas itu. Saya sangat bersyukur atas kejadian ini. Jika tidak, saya mungkin tidak tahu teman yang tulus dan tidak. Saya juga bisa membedakan teman yang mengenal saya dari sifat-sifat saya. Saya juga tidak memarahi teman-teman saya yang mudah terpancing dengan berita burung itu. Bahkan saya sudah memaafkan mereka sebelum mereka meminta maaf. Hubungan kami semua mulai membaik kembali. Pertanyaan yang selama ini menyelimuti benak saya sudah terjawabkan. Tidak semua orang bisa tulus berteman dengan saya. Mungkin hanya beberapa orang— dan bahkan bisa saja hanya satu orang—yang tulus berteman tanpa melihat popularitas, harta, penampilan, dan segala macam. Saya hanya ingin mempunyai teman yang tidak munafik serta saling memotivasi. Saya lebih 41


nyaman membicarakan sesuatu tentang kehidupan sekolah, asmara, atau entah lainnya pada teman dibanding pada orang tua saya yang sangat cuek dengan kehidupan anaknya. Kejadian ini, menjadi pelajaran yang sangat berharga tentang sebuah pertemanan. Teman bisa membuat hidup kita berwarna. Teman adalah orang kedua yang patut saya hargai dan saya percayai. Tanpa teman, saya mungkin tidak tahu seperti apa bentuk ketulusan dan kepercayaan. Teman mungkin tidak selamanya berada di samping kita. Tetapi, teman akan selalu ada di saat kita senang maupun sedih walau hanya via mobile

phone untuk berkomunikasi. Sri Lestari

42


Speaking?! Pengalaman ini saya dapat ketika saya lulus dari sekolah menengah atas dan memutuskan lanjut ke jenjang lebih tinggi yaitu kuliah. Ketika mendaftar ke perguruan tinggi, saya ingin sekali diterima di Universitas Negeri Surabaya atau kerap disebut Unesa dan mengambil jurusan English Literature. Suatu hari saat pengumuman tiba, saya terkejut sekaligus senang karena impian saya diterima di Unesa terwujud. Ketika saya mulai menerima ilmu di kampus, saya syok. Ternyata, semua dosen menjelaskan dalam bahasa Inggris. Awalnya saya kesulitan. Sewaktu SMA, saya tidak terbiasa berbicara bahasa Inggris. Bahkan saat guru menjelaskan materi juga jarang menggunakan bahasa Inggris. Jadi saya gelagapan saat mengalami hal ini di bangku kuliah. Kebingungan saya tidak cukup di situ. Saat mendapatkan mata kuliah Sentence Writing, saya juga mendapatkan

berbagai

kesulitan.

Apalagi

tentang 43


grammar-nya. Dari SD hingga SMA, saya paling tidak suka dengan

yang

namanya

grammar.

Guru

sedang

menjelaskan, saya hanya mendengar dari telinga kanan ke telinga kiri. Pada saat inilah saya merasa sangat tertinggal dari teman-teman. Saya sempat berpikir saya salah ambil jurusan. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa pun yang terjadi harus bisa dilewati. Saya meminta tolong teman untuk mengajarkan materi dan menjelaskan ulang sampai saya benar-benar mengerti. Akhirnya, usaha saya membuahkan hasil. Saya sudah selangkah lebih maju. Sedikit lega karena bisa mengejar ketertinggalan. Dari situ saya sadar bahwa saya harus berusaha lebih keras dalam belajar. Dan tidak ada usaha yang akan siasia. Selain itu, saya juga harus memperbaiki dan sering-sering berlatih berbicara dalam bahasa Inggris. Saya sangat senang dengan program ESC (English

Speaking Community). Karena dari situlah saya bisa sering belajar cara berbicara langsung menggunakan bahasa Inggris. Dengan begitu, secepatnya saya akan 44


terbiasa dengan suasana ini. Menurut saya program tersebut sangatlah penting dan berguna bagi mahasiswa untuk menambah skill mereka dalam speaking. Program ini biasanya dilaksanakan setelah selesai jam kuliah. Namun terkadang di saat ada jam kosong, kami manfaatkan untuk ESC. Semenjak saya terus berusaha, saya mulai terbiasa dengan hal-hal di kampus. Mulai dari penjelasan dosen yang menggunakan bahasa Inggris sampai

speaking. Saya juga sudah lebih mengerti grammar. Dari pertama saya yang tidak tahu kapan harus menggunakan

present tense, past tense, past perfect tense, dan sebagainya. Sampai-sampai pernah saat Writing ceroboh sehingga harus merevisi. Awalnya bingung, setelah saya teliti lagi, ternyata saya salah dalam penggunaan

grammar. Beruntungnya saya mempunyai teman-teman baik hati yang mau mengajari saya sampai bisa. Jadi, jika mengalami hambatan dalam belajar, saya belajar bersama mereka dan saling berbagi ilmu. 45


Jika jenuh, saya akan mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Terkadang main game atau sekadar main ke kos teman. Menurut saya otak pun perlu istirahat. Jadi kalau kalian lelah belajar, beristirahatlah untuk mengumpulkan tenaga, baru belajar lagi. Saya kira cerita di atas merupakan salah satu pengalaman saya saat kali pertama menginjakkan kaki di Unesa hingga sekarang. Saya merasa sangat senang bisa belajar di sini. Saya harus tetap belajar lebih rajin lagi agar sukses dalam menuntut ilmu dari sekarang sampai nanti kelulusan datang. Nurhidayah

46


Sister School Program Hingga hari ini masih terkenang bayang-bayang hari itu. Hari di mana saya yang tertutup membuka diri untuk memperluas wawasan dan limpahan pengalaman. Tiga tahun lalu saya hanyalah seorang siswa biasa tanpa prestasi. Jika pun ada, itu pun saat SMP, saya dipredikati sebagai murid teladan. Namun itu bukanlah fokus cerita ini, jadi mari kita kembali ke jalan yang benar. Seperti yang saya akui pada baris ketiga, saya tidak memiliki pencapaian akademik

maupun non-

akademik. Hal tersebut melahirkan sebuah ‘kompleks’ dalam benak yang mengakibatkan saya merasa iri terhadap teman-teman yang berpretasi. Saya masih duduk di bangku kelas 2 dan saya mendengar tentang program Sister School yang akan diadakan pihak sekolah saya dan sekolah di Malaysia. Singkatnya, program tersebut seperti program pertukaran pelajar di mana sekolah kami mengirim beberapa perwakilan siswa untuk belajar di SMA yang berada di Malaysia. Sekolah yang 47


dimaksud adalah Kolej Islam Sultan Alam Shah sebuah

boarding school berbasis Islam. Biasanya kita kenal dengan istilah “pondok pesantren�. Awalnya saya tidak begitu tertarik dikarenakan biaya yang sangat mahal sekitar tujuh juta rupiah. Namun, karena dorongan Ibu— yang juga seorang guru BK—saya putuskan to give it a

shot. Kebetulan Ibu juga mengikuti tur tersebut. Walaupun saya telah memutuskan untuk ikut, masih ada perasaan bersalah karena faktanya tur itu akan memakan jutaan rupiah. Sebuah jumlah yang cukup besar bagi seorang siswa seperti saya. Ditambah lagi, saya memiliki kesusahan untuk bersosialisasi dengan peserta lain karena banyak yang berasal dari generasi atas. Untungnya, ada seseorang dari satu generasi meskipun beda kelas. Setidaknya saya tidak terlalu canggung. Tentu saja, program ini bukan hanya perjalanan cuma-cuma.

Sebagai

peserta,

kami

diwajibkan

mempertontonkan sebuah pertunjukan tradisional yang ditujukan kepada pihak Kolej Islam Sultan Alam Shah 48


sebagai suatu prosesi pertukaran seni budaya. Maka dari itu, jauh sebelum jadwal keberangkatan, kami dibimbing pihak sekolah untuk berlatih memainkan gamelan. Jika diperhatikan dari kemampuan kami, saya merasa kewajiban tersebut sangat berat. Selain tidak adanya keahlian bermusik (dalam hal ini, gamelan) kami juga tidak memiliki waktu senggang yang cukup dikarenakan proses pembelajaran kami padat dan para siswa kelas tiga sudah mempersiapkan diri untuk UN. Namun, setelah menjalani beberapa kali latihan, ternyata gamelan tidak sesulit yang kami kira. Bisa dibilang kami mudah beradaptasi dengan alat musik dan penyelarasan nada-nadanya. Hari demi hari berlalu. Terkadang beberapa hal tidak berjalan mulus. Salah satunya, keterlambatan peserta. Hingga akhirnya mencapai puncak para guru pembimbing kami geram. Kami mendapat jatah kata-kata pedas. Kami pun menyadari kesalahan kami dan berjanji tidak akan mengulangi. Latihan pun berlangsung seperti biasa hingga jadwal keberangkatan ke Malaysia. 49


Tiba di Malaysia, tepat di hari yang sama saat kami berangkat. Kami menginap di Kolej Islam Sultan Alam Shah 4 hari 3 malam. Hari pertama acara pengenalan sekolah hingga hari ketiga. Di hari terakhir kami pun bersiap-siap untuk menampilkan performa kami. Kami bersemangat walau sedikit was-was dengan penampilan kami nanti. Hingga semua itu kacau ketika kami tampil. Ternyata gamelan Malaysia berbeda dengan yang ada di Indonesia. Ada instrumen yang tidak ditemukan di gamelan Malaysia sedangkan pihak Kolej tidak memiliki

set

gamelan

Indonesia.

Sehingga

kami

malah

menyanyikan lagu-lagu yang seharusnya dibawakan oleh sinden-sinden sekolah kami. Suasananya terasa aneh ketika tampil. Tentu saja teman-teman juga merasakan hal yang sama. Kerja keras, keringat, dan air ludah guru terbuang percuma. Namun, hal ini menjadi kenangan yang istimewa bagi kami. Pasalnya, kami telah menjadi keluarga dekat semenjak pelatihan gamelan tesebut. Nugtella 50


Teman-Temanku, Inspirasiku Memasuki

dunia

perkulihan

memang

tak

semudah bayangan. Awal masuk kuliah di Unesa ini aku sudah harus mengikuti sejenis ospek yang biasa disebut PKKMB. Hal tersebut harus aku lalui selama seminggu, mulai Subuh hingga menjelang Magrib. Tidak hanya harus bangun

pagi-pagi,

kami

juga

harus mengerjakan

bermacam tugas dari kakak-kakak senior—yang katanya tugas-tugas itu melatih mental kita sebelum bertemu tugas-tugas yang sesungguhnya dari para dosen. Aku sempat berpikir pentingkah hal seperti ini kulakukan? Apa untungnya buatku? Aku juga merasa belum siap kuliah dan bosan, tak seperti teman-teman baruku yang begitu giatnya. Di saat aku bermalas-malasan mengikuti PKKMB, justru teman-teman baruku dari berbagai daerah di Jawa bahkan dari luar Jawa harus pergi ke Surabaya hadir di PKKMB. Jauh dari orang tua, rajin mengerjakan tugas, bahkan aktif. Sedangkan aku? Anak asli Surabaya 51


yang rumahku hanya satu jam dari Unesa masih bermalas-malasan berangkat pagi buta ke kampus. Aku melihat wajah semangat mereka di pagi hari, dan itu bertahan sampai sore hari nanti. Meskipun mereka mengeluh kalau mereka lelah, namun aku bisa melihat kalau mereka senang melakukan semua itu, seperti ada semangat tertentu dalam diri mereka. Hari terakhir PKKMB, semua teman baruku menceritakan pengalaman mereka selama di daerah asalnya dan semangat mereka berkuliah. Aku mendengar cerita mereka dan aku sedikit tersadar. Mereka bercerita bahwa salah satu semangat mereka untuk berkuliah di Surabaya untuk mengubah nasib ingin mendapat masa depan cerah. Mati-matian berjuang mendapatkan kursi di kampus ini, mati-matian mendapatkan restu orang tua, bukan karena orang tua mereka tidak tega anaknya merantau, tapi karena dana dan kebutuhan ekonomi tidak cukup. Kutertawakan diriku sendiri, merasa bahwa betapa beruntungnya aku namun tak sadar akan hal itu. 52


Aku hanya perlu menunggu pengumuman SNMPTN dan tidak perlu mengikuti tes-tes lain untuk masuk di kampus ini. Tinggal mengendarai motor selama satu jam dan bisa bertemu orang tuaku tiap hari. Tidak perlu menunggu dan harus berlama-lama duduk di bus untuk sampai kampus. Betapa lucunya aku ini, bermalasmalasan dan selalu merasa kurang. Hari pertama aktif perkuliahan, kami sebagai mahasiswa baru sudah harus memasuki kelas dan bertemu para dosen. Aku merasa gugup dan sedikit canggung karena para dosen berbicara menggunakan bahasa Inggris. Namun aku merasa tak hanya aku saja yang merasakan hal tersebut, teman-teman sekelas juga merasakan hal sama. Aku berpikir mungkin kemampuan kami sama rata dan bahkan mungkin aku lebih pintar dari mereka karena mereka berasal dari pedesaan dan aku berasal dari Surabaya yang cenderung sistem pendidikan kota lebih maju dari pada di desa. Jadi aku merasa santai saja, belum ada saingan untuk mendapatkan IPK tinggi.

53


Minggu demi minggu berlalu, satu semester berlalu begitu cepat. Aku pun mulai mengenal temanteman sekelasku. Semua pemikiranku di awal perkuliahan berubah. Mereka yang awalnya aku anggap biasa-biasa saja ternyata luar biasa. Keluarbiasaan mereka mungkin tertutup dengan sifat mereka yang sopan dan santun. Aku yang awalnya menyepelehkan mereka, menjadi kagum. Mereka dari luar kota atau cenderung pedesaan bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi dariku. Mereka berusaha dengan keterbatasan mereka, jauh lebih rajin dalam belajar, seakan-akan mereka berakting bahwa kemampuan mereka standar, padahal mereka bisa mendapatkan nilai tingi saat ujian. Aku belajar dari teman-temanku untuk menjadi anak yang lebih mandiri dan tidak menyepelehkan hal sekecil apa pun, karena dari hal kecil dapat berdampak besar. Aku yang mengganggap mereka tidak ada apaapanya di depanku, justru mereka mengajariku bahwa aku bukan siapa-siapa dan terlihat kecil di depan mereka. Mungkin ini salah satu bukti bahwa kalimat “don’t judge 54


the book by its cover� itu benar adanya. Aku berharap teman-temanku yang kini inspirasiku tidak berubah, selalu rendah hati, walau mereka memiliki banyak ilmu. Sekalipun mereka berhasil menempuh masa depan yang cerah, aku berharap mereka selalu menjadi dirinya sendiri dan tidak tepengaruh oleh keadaan maupun orang lain. Ulinuha

55


Tidak Sedang Tidak-Tidak Cerita ini bermula saat saya sedang duduk di bangku SMA, tepatnya kelas 2 SMA. Saat itu hampir setiap bulan saya melihat orang tua saya bertengkar. Sebagian besar masalahnya sih karena uang gaji Ayah beberapa bulan ini berkurang. Kami memang keluarga kurang mampu. Ayah hanya buruh pabrik dan Ibu hanya ibu rumah tangga. Itulah kenapa orang tua saya sangat bingung jika pendapatan berkurang. Setelah hampir 3 bulan di tanggal yang hampir sama, mereka selalu bertengkar. Namun itu adalah pertengkaran terbesar mereka. Saya menanyakan pada Ibu yang sebenarnya terjadi. Ibu menceritakan panjang lebar soal gaji Ayah yang tiap bulan berkurang. Ibu menduga bahwa uang gajian telah dikurangi untuk kepentingan

yang

tidak-tidak.

Setelah

itu,

saya

mendatangi Ayah mendengarkan ceritanya. Mendengar cerita ayah, saya sangat terkejut. Ayah saya mengaku bahwa uang yang diambil dari gajinya itu 56


digunakan untuk menyumbang ke yayasan yatim piatu di kota saya. “Kene gak opo-opo, Nak, dadi wong gak duwe, tapi ojo sampek lali sedekah, mbantu sing luwih kurang tinimbang awak dewe.� Lalu Ayah memberikan tanda bukti di mana dia telah memberikan bantuan. “Kita gak apa-apa, Nak, jadi orang gak punya, tapi jangan sampe lupa sedekah, bantu yang lebih membutuhkan dibanding kita.� Setelah mendengar penjelasan Ayah, saya kembali menemui Ibu dan memberi tahu bahwa Ayah tidak melakukan hal yang tidak-tidak, tetapi Ibu masih tidak percaya. Sengaja tidak saya beri tahu apa yang sebenarnya terjadi karena dilarang Ayah, ada kejutan untuk Ibu di hari ulang tahunnya. H-1 ulang tahun Ibu tiba. Saya, adik, dan Ayah menyusun rencana untuk memberi kejutan nanti malamnya. Tepat pukul 00.00, adik saya mengetuk pintu kamar Ibu. Saya dan Ayah sudah bersiap-siap membawa kue dan sebatang lilin yang menyala. Pada waktu ibu saya 57


membuka pintu kamar, kami langsung keluar dan menyanyikan

lagu

Selamat

Ulang

Tahun.

Ayah

menceritakan apa yang terjadi dengan persoalan uang gaji yang berkurang. Ayah bercerita panjang lebar dan menunjukkan

tanda

bukti yang

dimilikinya.

Saat

mendengar cerita dari Ayah, Ibu tampak terharu. “Aku bangga dadi bojone sampean, Yah,” lalu ibu menangis. “Aku bangga jadi istrimu, Yah.” Sontak aku tertawa keras, “Opo, rek, kok mboten romantis blas ngoten kata-katae.” Hehehe, itu adalah sebuah celetukan spontanitas. “Apaan. Kok nggak romantis sama sekali kata-katanya.” Semenjak itu saya bertambah kagum dengan Ayah, dia bekerja keras banting tulang, tak lupa bersedekah,

juga

tahu

bagaimana

caranya

membahagiakan keluarga. Bagi saya beliau adalah sosok yang sangat menginspirasi. Aku bangga dadi puterane

panjenengan, Yah. Kemal

58


Hati-Hati Kesandung, Udah Kesandung! Mencoba kabur dari tradisi ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Kadang walaupun sebuah tradisi itu kolot tapi bisa membangun masyarakat yang lebih baik daripada mereka yang ingin menjadi bagian dari orang Barat. Kalau menanyakan tentang moral, sebenarnya Indonesia itu di urutan keberapa? Lebih baikkah kita ketimbang mereka? Memang banyak sekali pertanyaan yang bisa aku jawab sendiri dan kalau harus bertanya pada orang lain pasti merasa malu pada awal hingga akhir. Sebenarnya bukanlah orang yang berani diriku ini, bukanlah orang yang patuh, bukanlah pula orang yang baik. Aku beranggapan bahwa aku bukan orang yang sama seperti orang di sekelilingku. Pernahkah kamu merasa seperti semen Tiga Roda? Di Indonesia tapi milik orang asing? Iya, benar, itu tidak salah, aku selalu memiliki pikiran seperti itu dalam diriku. Aku merasa apa yang orang lain lakukan di sini tidaklah sejalan dengan apa 59


yang aku inginkan. Iya, benar, tidak salah, aku ingin lingkungan ini seperti di Barat di mana orang cuek dengan yang dilakukan orang lain, jadi aku bisa melalukan apa yang aku mau tanpa khawatir komen pedas. Kamu pasti sudah tahu apa yang aku maksud? Tapi jangan mikir keluar batas. Aku yakin semua ada batasnya, tapi negara kita batasnya berhenti di 3 sedangkan di barat berhenti di 10. Ayahku juga sudah menasihati kalau aku perempuan jadi harus jaga diri. Malam itu membuat senyumku tertutup oleh butiran kata-kata yang terlalu bijak. Setiap nasihat yang baik kebanyakan aku rasa kolot. Sebenarnya kenapa aku ini? Kalau orang lain tahu apakah mereka akan men-

judge-ku? Aku punya pikiranku sendiri, aku juga punya hatiku sendiri, aku gak pernah pinjem hati orang lain. Tapi kalau kamu merasa aku salah, ya, itu gak masalah. Mungkin sangat konyol kalau aku harus bilang aku ingin keluar dari negara ini karena mereka bukan yang aku inginkan. Kedengaran sadis? Padahal aku juga belum tahu bagaimana jika itu benar yang terjadi kalau orang-orang 60


yang aku anggap suit padaku ternyata orang yang jahat dan dapat merusakku? Apalagi ketika aku lihat dan dengar sendiri orang Barat bilang, “I love Indonesia, people are nice and friendly.� Nah, lho! Terus apa yang aku pertanyakan? Kenapa mereka cinta Indonesia, lha wong aku sebagai orang Indonesia aja gak merasa seperti itu. Ada lagi pertanyaan, sebenarnya kita kulit coklat bisa rasis gak? Jujur? Kalo aku? Wah itu sedikit mustahil untuk diungkap, tapi aku yakin kamu tahu jawabannya. Demikianlah orang juga akan membenciku karena sudah kubilang aku bukan orang baik, benarkan? Kembali

lagi

ke

awal.

Kenapa

aku

mempertanyakan moral? Karena itu yang disinggung ayahku. Karena kita punya peraturan agama yang menjaga kita dari keterpurukan moral sedang di Barat adalah liberty maka kamu tahu sebagai remaja usia akhir aku ingin melalukan apa yang aku ingin, aku ingin melepas semua peraturan, aku ingin mereka cuek padaku dan tidak membicarakan kalau aku melakukan sesuatu yang wow. Betapa bodohnya pikiranku ini. Tapi, sebentar! 61


Aku lihat teman-temanku yang pintar dan berwawasan (lebih) tinggi dariku, betapa simpelnya orang-orang itu. Semakin terlihat jelas betapa masih bodohnya aku. “Desire”. Kata yang indah tapi merusak. Jika belum siap maka jangan melakukan, pikir dulu! Jelas ayahku benar, jelas aku salah. Sebagai orangtua ayah ingin yang terbaik bagi anaknya. Tapi sebagai anak kamu tidak tau apa yang terbaik untuk ayahmu. Mungkin aku memang kecewa rencanaku gagal, tapi ayah yang baik tidak akan membiarkan anaknya menjadi mainan untuk dipermainkan sesaat. Benarkan? Ini aku baru buka mata. Aku mungkin kecewa pada awalnya setelah ayah bicara seperti itu padaku— melarangku berbuat sesuatu—tapi aku akan lebih kecewa lagi kalau dipermainkan. It’s like someone sucks

all your blood and you are just dying but he’s gone . Gak bisa bayangkan kalau itu beneran terjadi. Aku gak berani bicara sama ayah, itu ideku bukan ide dia, ini salahku, bukan salah dia, tapi ayah menilai negatif ke dia bukan ke aku. Terus gimana, nih? Aku ini 62


emang goblok atau gak pintar sih? Tahan! Tahan! Dari sini mari kita ambil kesimpulan. Apa yang kita omong dan rencanakan harusnya dipikir dulu, ini kalo pikiran negatif dilimpahkan ke orang lain gak masalah, tapi kalo pikiran negatif dilimpahkan ke seseorang yang kamu kasihi cuma gara-gara salah planning, ya, kasihan si dia jadi dapat nilai -30 dong di depan calon mertua hahahaha. Sampun. Gine. Toxic.

63


‘Sahabat’ Penyemangat Hai, Ini tulisan pertamaku yang mungkin akan dibukukan. Harapan yang sudah lama terpendam akhirnya terwujud. Bisa dibilang aku baru saja terjun di dalam dunia tulis-menulis. Semoga saja aku tidak menyerah dan segera naik ke permukaan. Tulisan ini adalah sepotong perjuanganku selama beberapa tahun terakhir, cukuplah sebagai tempat berkeluh kesah. Tapi tenang, “curhatku� ini tetap happy ending kok. Check this out! Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Mayank Putri Anjani, biasa dipanggil Mayank. Bukan anak

seleb atau pejabat, namun dengan bangga kuberitahukan bahwa aku adalah anak seorang ibu rumah tangga yang rela kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan ayah yang bekerja sebagai pelaksana proyek yang mau menerima pekerjaan apa pun saat tidak dapat job. Banyak tetangga yang berkata bahwa orangtuaku sangat beruntung memiliki anak sepertiku. Baik, penurut, pintar, dan selalu dapat bantuan sekolah karena prestasi 64


yang kubuat. Bahkan kuliah pun aku menerima beasiswa Bidikmisi tanpa harus mendaftar. Namun, mereka semua tidak tahu tentang perjuanganku selama ini. Mereka tidak tahu bagaimana orang tuaku sangat sering spot jantung akibat ulahku. Bukan, bukan ulahku. Tapi ‘sahabat’-ku. Sejak kecil, aku sangat sering keluar masuk klinik dan rumah sakit dengan bermacam penyakit. Hal itu menyebabkan aku tidak bisa melakukan banyak hal seperti yang dilakukan teman-temanku. Bahkan baru bermain keluar sebentar saja, Ibu sudah menjemput untuk pulang. Jika liburan tiba, kuhabiskan waktu di rumah bermain dengan Ibu. Karena memang aku anak pertama dan belum memiliki saudara. Cerita ini bermula kala usiaku 7 tahun. Ibu datang ke tempat tetanggga meneriakiku dari pinggir jalan bermaksud mengajakku pulang. Namun, Ibu tidak menyeberang, dengan alasan aku memang sudah ingin pulang. Saat aku menyeberang, sebuah sepeda motor melaju kencang dan menabrakku hingga aku tergulingguling sampai di depan Ibu. Aku masih sadar, tapi tidak 65


menangis, bahkan tidak merasa sakit. Malah Ibu dan para tetangga yang menangis melihat kondisiku sungguh mengkhawatirkan. Akhirnya, aku dibawa ke dokter. Kata dokter aku hanya luka luar saja, hanya perlu diberi salep dan semua sembuh. Namun, justru itulah awal kedatangan ‘sahabat’-ku ini. 2 tahun kemudian, kelas 5 SD, tepat hari Senin. Aku bertugas menjadi pembaca UUD di hadapan seluruh warga SDN Sroyo, Bojonegoro. Setelah aku membacakan UUD dan kembali ke barisan para petugas, aku terjungkal ke belakang. Aku pingsan! Semua gelap. Sadarku kembali menguasai saat aku berada di kantor guru. Kata guruguru, mungkin aku kurang enak badan dari awal. Aku percaya saja. Karena memang itu pingsan perdanaku. Namun, kejadian pingsan terus dan terus berulang bahkan aku sampai dilarang mengikuti upacara atau kegiatan yang terlalu berat. Padahal sebelumnya aku adalah anak yang aktif. Mengikuti berbagai kegiatan seperti pramuka, paduan suara, dan marching band. Sejak itu, aku selalu minder dan merasa berbeda dari yang lain. 66


Namun Ibu dan Ayah selalu menyemangati. Mereka bilang meskipun mereka belum tahu tentang penyakitku, mereka yakin aku akan sembuh. Meskipun aku tahu bila setelah berkata begitu, Ibu akan menangis di belakangku. Saat aku menginjak SMP pun keadaan tidak berubah. Tiap upacara bendera dan Olahraga aku selalu mundur teratur. Kondisiku sangat lemah. Sehingga nilaiku dalam pelajaran Olahraga tidak sebagus lainnya. Aku makin terpuruk. Merasa tidak bisa apa-apa. Tapi beruntung, aku sudah mengenal olahraga catur yang memang tidak perlu berdiri. Aku terus berlatih sampai aku menjuarai tingkat provinsi yang membuat sekolahku bangga. Sehingga sekolahku membebaskan biaya LKS satu semester, memberikan bantuan, dan menjamin nilai Olahragaku paling tinggi di antara teman-teman. ‘Sahabat’ yang berada di tubuhku yang belum kuketahui identitasnya itu, semakin lama semakin manja dan selalu membuatku dibawa ke rumah sakit. Lebihlebih saat di SMA, tubuhku sempat kejang dan sesak napas. Beberapa teman bahkan mengira aku kesurupan 67


(mereka terlalu percaya dengan film-film misteri sepertinya). Setelah menjalani segala macam cek kesehatan, ditemukanlah fakta bahwa aku mengidap

skoliosis. Tidak terlihat memang. Tapi sakitnya cukup membuatku berteriak histeris. Sakit itu terus mendera sampai aku diterima di Unesa ini. Bahkan pada saat pre-test Penjas yang mengharuskan siswanya berlari keliling lapangan atletik lima putaran, aku pingsan dan kaku di lapangan. Walhasil, Pak Vega, selaku dosen, melarangku untuk ikut berlari (lagi). Rasa tidak percaya diri dan mulai menyerah dengan keadaan makin terasa saat aku harus istirahat di rumah satu bulan penuh. Apalagi dokter sudah menyarankan operasi tulang belakang. Untungnya rencana itu gagal karena aku mencoba bertahan. Bayangkan saja, untuk operasi membutuhkan biaya jutaan rupiah. Untuk kuliah saja aku sangat bergantung dengan Bidikmisi. Sempat aku disarankan untuk mundur dari penerimaan beasiswa oleh bagian kemahasiswaan dikarenakan aku berkata bahwa aku sudah frustasi dan tidak bisa mempertahankan IPK yang terlanjur tinggi.

68


Satu-satunya semangatku hanya harapan orang tua yang selalu berkata, “Kamu nanti yang akan jadi tulang punggung keluarga, kamu yang akan menyekolahkan adikmu dan merawat kami saat kami tua.� Itulah kekuatanku. Terus mengejar mimpi dan harapan mereka. Menjadi seperti yang mereka mau. Dan berjanji untuk selalu membanggakan mereka. Semester 2 dan 3 kulalui dengan tertatih. Setelah tertinggal begitu lamanya, aku mencoba bangkit. Berhasil! Meskipun nilai sedikit turun, tapi IPK-ku masih diatas 3,5. Di akhir semester 3 pun saat UAS kulalui dengan mengerjakan ujian bersandar bantal. Banyak yang menertawai karena aku membawa bantal ke kampus. Semua kujawab dengan senyuman. Hasilnya? IPK-ku tetap keukeuh ditempatnya. Sekarang aku justru merasa sebagai perempuan istimewa dan hamba yang lebih disayang oleh Tuhanku. Kelainan tulang belakang bukan berarti tidak bisa jadi tulang punggung yang baik kan?

M. P. Anjani

69


Aku dan Bayanganku Aku mempunyai sebuah bayangan hidup. Dia adalah kakakku. Dia pintar dan pandai dalam segala hal, menurutku. Ya, kami saudara kembar. Hidup kami seakan tak terpisahkan sejak kecil. Bayangkan! Sejak kami TK hingga menempuh pendidikan sekolah menengah atas, kami selalu berada di sekolah yang sama. Semua orang tahu bahwa dia adalah kakakku. Bahkan karyawan sekolah seperti tukang kebun, petugas kebersihan, dan pak satpam mengenalnya. Karena berada di sekolah yang sama, kami selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Sejak SD misalnya, ketika dia berada di peringkat tiga sebagai murid terbaik dari the best ten seangkatanku, aku berada di tingkat lima. Selalu ada seseorang yang menjadi penghalang di antara kami yaitu teman yang berada di peringkat empat. Ketika mengikuti tes ujian masuk Madrasah Tsanawiyah atau SMP, dia masuk dan berada di peringkat tiga terbaik sedangkan aku di urutan kelima lagi. Lagi-lagi ada penghalang diantara kami. 70


Untungnya, kami selalu berada di kelas yang berbeda. Tak pernah terbayangkan dalam benakku jika kami berada dalam kelas yang sama. Suatu ketika ada sebuah kejadian di kelas. Di mana tak sedikit dari teman-teman dan para guru membanding-bandingkanku dengannya. Pada awalnya tak ada masalah yang berarti buatku. Tapi seiring berjalannya waktu, mereka tetap melakukan hal yang sama. Terkadang hal itu membuatku jengkel, meskipun tidak sepenuhnya. Ceritanya, waktu itu salah satu teman berkata padaku, ketika ada lomba imathoh atau yang biasa dikenal dengan cerdas cermat, ia memintaku untuk ikut menjadi perwakilan kelas. “Ayolah, kamu ikut ya. Kamu pasti bisa seperti kakakmu itu. Ini demi kelas kita bersama juga.� Pada awalnya aku menolak. Bukan karena tidak bisa tapi karena aku memang tidak sedang berminat untuk berpastisipasi hari itu. Sementara di sisi lain, rasanya aku mulai merasa lelah akan perlakuan mereka 71


ini. Ya, membanding-bandingkanku dengannya lagi. Aku bosan. Kami memang serupa, tapi tak bisa disamakan begitu saja, bukan? Kembali ke cerita, untuk mengikuti lomba itu, setiap kelas harus ada perwakilan tiga anak sebagai tim peserta. Ingin rasanya aku menolak, meskipun pada akhirnya mau tak mau aku pun menerima dan berusaha semampuku. Namun, memang tak bisa dipungkiri bahwa hasil akhirnya sesuai prediksi banyak orang bahwa kakakku—alias bayangan hidupku itu—juga turut berpastisipasi mewakili kelasnya. Dengan persiapan yang matang, aku dan kedua temanku telah mempersiapkan diri untuk bertanding. Hasilnya? Tentulah kelas kakakku yang menang. Meski tidak menyabet juara pertama, at

least kami sudah mengerahkan kemampuan sebaik mungkin. Di luar kegiatan sekolah dan kawan-kawan, aku biasanya selalu berada tak jauh darinya. Baik ketika aku dirundung

72

banyak

masalah

ataupun

kesulitan


mengerjakan tugas, aku selalu meminta pendapat dan solusi darinya. Entahlah, seakan tak ada tempat lain yang kutuju atau mungkin, karena aku benar-benar mengandalkannya. Sebagai

seorang

adik

yang

baik,

aku

sungguh

menghormatinya. Tapi terkadang ada perbedaan pendapat akan hal sepele, bisa-bisa menyulut api pertengkaran di antara kami. Tak jarang kami memiliki cara pandang yang tak sama, dan hal itu membuatku belajar untuk memahami berbagai masalah menggunakan kacamata dengan sudut pandang berbeda. Menarik memang, karena hasil akhir yang didapat pun tak sama. Ingin rasanya aku dapat berdiri di atas bayanganku sendiri, tanpa sekalipun menyusahkan bayangan hidupku itu. Atau kalau bisa dapat mengunggulinya sekali saja. Singkat cerita, suatu hari ketika aku mendaftar beasiswa Bidikmisi untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Aku pernah membayangkan,

bagaimana rasanya kami kuliah di perguruan tinggi yang berbeda? Apa aku bisa hidup tanpa merepotkannya? 73


Ternyata takdir berkata lain. Kakakku gagal masuk mendapatkan beasiswa itu, sedangkan aku diterima lewat jalur undangan dan beasiswa Bidikmisi ke sebuah universitas yang berbeda dengannya. Ya, dia diterima di salah satu perguruan tinggi Islam di Surabaya melalui jalur prestasi. Pada akhirnya aku bisa berdiri sendiri dengan kemampuanku. Kutantang diriku sendiri bahwa aku pasti bisa hidup mandiri untuk mengatasi masalahku tanpa harus dibandingkan dengan bayanganku lagi. LutfiNoetic

74


Kelapangan Hati Banyak kisah yang menelurkan inspirasi penting untuk mengubah keadaan manusia. Inspirasi berasal dari ide-ide ataupun semangat yang dapat memotivasi diri sendiri. Hidup kadang tak adil, ya itu pasti pernah kita rasakan atau alami. Banyak hal yang terjadi di dunia ini berbeda dari harapan dan keinginan kita. Tapi mau protes atau menyalahkan keadaan pun percuma saja. Karena satu-satunya

pilihan

terbaik adalah

untuk

tetap

melanjutkan hidup dan memperjuangkan yang ada. Tentu kita tahu, tidak semua orang dapat menerima keadaan kita. Memaksa orang lain untuk menyukai kita bukankah jalan terbaik agar kita dapat diterima. Menjadi orang lain juga bukan solusi agar semua orang dapat menerima keadaan kita dengan baik. Suatu hal yang pasti tidak akan luput dari keseharian kita adalah difitnah dan dizalimi orang lain. Itulah suatu keadaan yang pernah aku rasakan. Kadang 75


aku sudah berhati-hati dan berbuat baik dalam segala hal. Namun kebaikan dan prestasi tidak selamanya dapat dukungan dan penghargaan. Ternyata di balik kehidupan yang aku jalani ada juga yang mencibir, kemudian memfitnah, dan menzalimi diri ini dan keluargaku. Hal itu membuatku down dan hampir merasa stressed. Orangorang yang suka memfitnah itu ternyata bukan hanya memfitnah, tapi ia juga meneror dan menyakitiku lahir dan batin. Terlepas selain dari seorang kekasih yang munafik, tetangga yang aku pikir akan menjadi keluarga ternyata bisa menjadi munafik juga, menjadi serigala berbulu domba. Tetangga yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh kedua orang tuaku. Peristiwa pahit ini baru kualami, rasanya sakit dada ini tiba-tiba sesak. Bila disakiti oleh orang yang bukan tetangga, sahabat, atau lawan, itu masih lumrah dan tak akan melukai hati, namun bila yang menyakiti tetangga dekat sendiri, itu rasanya sakit merasuk di dada.

76


Ternyata apa yang dia lakukan sangat bertolak belakang saat di belakangku. Sungguh betapa munafik dirinya, dia mengada-ngada hal yang tidak benar, yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya dan apa saja yang telah ia dapatkan. Dengan rasa tak bersalah sedikit pun, ia memfitnah kedua orang tuaku di depan orang tua kekasihku. Dari situlah yang membuat semua keadaan semakin runyam. Dari awal hubunganku dengan kekasihku yang sudah cukup lama aku jalani, harus kandas di tengah jalan hanya karena difitnah. Sebelumnya aku berusaha untuk meyakinkan kedua orang tuaku agar mengizinkanku saat itu. Butuh waktu untuk meyakinkan kedua orang tuaku terutama ayahku. Mungkin karena ayahku sudah mengetahui seluk beluk dari keluarga pasanganku dan mungkin ada satu alasan yang benar-benar membuat ayahku tidak mengizinkan aku dekat dengannya. Restu orang tua dalam segala apa pun apalagi dalam menjalin hubungan dengan pasangan adalah suatu yang sangat penting, supaya orang tua bisa memantau dan tidak 77


membiarkan anaknya terjerumus ke dalam hal yang tidak diinginkan. Setelah beberapa tahun aku menjalin hubungan dengan kekasihku, (sebut saja namanya AAAA) dan dengan keteguhanku, akhirnya aku mengantongi restu dari kedua orang tuaku dan kedua orang tua AAAA. Orang tuaku mulai welcome kepada AAAA sudah mulai membicarakan hubungan yang lebih serius. Beberapa bulan setelah merasa tenang karena sudah mengantongi restu, tiba-tiba AAAA memberi kabar yang sangat tidak mengenakkan. Dia bilang kalau ibunya tidak begitu suka sama aku apalagi sama ayahku dengan alasan jarak rumahku dengan rumah AAAA terlalu dekat hanya tetangga desa saja dan katanya keluargaku akan memanfaatkan keluarga AAAA. Shocked jelas yang aku rasakan setelah mendengar kata-kata seperti itu. Keluarga AAAA termasuk keluarga yang cukup mapan dalam hal materi, namun kedua orangtuaku tidak akan pernah memiliki pemikiran semacam itu. Aku langsung tanya kepada kedua orang tuaku mengapa mereka 78


merestui hubunganku dengan AAAA, apa karena materi atau karena apa. Karena pertanyaanku itu mungkin orang tuaku merasa kalau aku kurang yakin kepada keputusan mereka. Dari penjelasan yang Ayah berikan bahwa mereka memberi restu bukan karena materi melainkan karena keteguhanku yang mampu meyakinkan hati orang tuaku dan mereka menginginkan aku bahagia, bukan tekanan. Karena omongan yang tidak benar itu aku mencoba untuk menyelidiki siapa yang memberi semua omong kosong itu. Padahal orang tuaku tidak pernah gembargembor atas hubunganku dengan AAAA. Beberapa hari lalu aku mendapatkan cerita dari salah seorang sahabatku yang menjadi langganan di salon kecantikan ibu AAAA. Dia mendapatkan kabar bahwa ibu AAAA mendapat beritaberita tentang aku dan keluarga dari tetanggaku yang secara kebetulan tetanggaku itu teman dari ibu AAAA. Secara

tidak

langsung,

orang

tua

AAAA

hanya

mendengarkan cerita palsu dari orang lain tanpa melihat bagaimana keadaan yang sebenarnya dan hanya bisa nge-

judge sesuka hatinya. 79


Pada akhirnya pun AAAA mulai mempercayai apa yang dibilang oleh orang tuanya dengan sifat yang tidak seperti biasanya kepadaku. Dari situ aku mulai berbicara serius kepada AAAA, daripada dia memiliki hati kotor untuk memercayai semua fitnah itu, aku lebih baik mengutarakan apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku cerita semua alasan orang tuaku menyutujui hubungan itu, bukan karena kekayaan yang mereka inginkan, melainkan

kebahagiaan

anaknya

untuk

menjalani

kehidupkan ke depan dengan orang yang benar-benar ia merasa nyaman ketika bersamanya. Sebelum rumor fitnah itu menyebar di telinga kedua orang tuaku, aku lebih baik menjauh dari AAAA dan keluarganya. Yang jelas aku lebih memilih nama baik kedua orang tuaku, aku tidak ingin melukai hati kedua orang tuaku karena memilih pasangan yang salah dan membiarkan fitnah itu berkelanjutan. Tetanggaku itu sering datang kerumah dan sering melihat AAAA main ke rumahku, mungkin dari situlah yang membuatnya bikin omongan yang enggak bener tentang 80


keluargaku dan disampaikan kepada orangtua AAAA. Kini aku hanya bisa ikhlas, tegar, dan sabar menghadapi kondisi seburuk apa pun itu. Dan menjaga nama baik keluargaku.

Don’t believe easily to other people, kadang orang yang kamu rasa nyaman pun untuk mencurahkan semua masalahmu dan memberi nasihat yang baik pun akan menjadi yang terburuk juga di belakangmu. Yakin Allah yang akan membalas, Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar. Hanya Allah-lah satu-satunya Penolong dan Pelindung Sesungguhnya, tidak akan terjadi sesuatu kecuali dengan izin Allah Swt. Baik berupa musibah maupun nikmat. Walaupun bergabung jin dan manusia seluruhnya untuk mencelakakan kita, demi Allah tidak akan jatuh satu helai rambut pun tanpa izin-Nya. Begitu pun sebaliknya, walaupun bergabung jin dan manusia menjanjikan akan menolong atau memberi sesuatu, tidak pernah akan datang satu sen pun tanpa izin-Nya. Matimatian kita ikhtiar dan meminta bantuan siapa pun, tanpa izin-Nya tak akan pernah terjadi yang kita 81


harapkan. Maka, sebodoh-bodoh kita adalah orang yang paling berharap dan takut kepada selain Allah Swt. Itulah biang kesengsaraan dan biang menjauhnya pertolongan Allah Swt. Ketahuilah, makhluk itu “La haula wala quwata

illa billahil ‘aliyyil ‘azhim” tiada daya dan tiada upaya kecuali pertolongan Allah Yang Maha Agung. Asal kita hanyalah dari setetes sperma, ujungnya jadi bangkai, ke mana-mana membawa kotoran. Allah menjanjikan dalam surah Al-Thalaq ayat 2 dan 3,

Barang siapa yang bersungguh-sungguh mendekati Allah (bertaqwa), niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar bagi setiap urusannya, dan akan diberi rezeki dari tempat yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal hanya kepada Allah, niscaya akan dicukupi segala kebutuhannya. K-Ningrum

82


The Power of Emak Orang baik akan diperlakukan baik pula oleh orang lain, katanya. Entah mengapa, sampai sekarang, deretan kata tersebut belum pernah menjamah di kehidupanku. Contohnya, aku dikelilingi orang-orang baik, namun mereka lebih sering diperlakukan kurang baik. Tak pelak, hal itu memunculkan suatu pandangan skeptis bagiku, di mana orang baik lebih sering mendapat perlakuan buruk dari sekitarnya. Aku melenguh. Menyilangkan kedua kakiku sembari menghirup asap vanilla latte yang tengah aku pegang pada petang kali ini, aku sedang asyik bercumbu dengan seri kedua The Maze Runner ketika ibuku masuk ke kamarku dan duduk di sampingku. Kudengar ia tengah menghela napas berat, indikasi bahwa ia tengah mengalami sesuatu yang cukup pelik. Kuletakkan cangkir

vanilla latte tanpa menutup buku yang aku pegang. Aku sedang memasang telinga dengan seksama, karena— biasanya—Ibuku akan bercerita secara spontan. 83


“Itu, loh, Mbak.” Kalimat tersebut keluar begitu saja. Aku mengernyit, tidak memahami apa yang ia ucapkan. “Apa, Buk?” Mataku masih tertuju pada buku yang masih aku pegang, seolah aku tengah menikmati deretan kalimat yang tertuang di halaman delapan puluh tujuh— padahal tidak sama sekali. “Ibuk ini salah apa yo, Mbak?” Lagi-lagi aku hanya termangu, tidak mengerti apa yang beliau ucapkan. Dapat kudengar embusan napas Ibu yang sedikit tersengal. “Ibuk ini, mesti nurut sama nenekmu, tapi sudah dari dulu tantemu ngelawan sama Nenek. Heran, lho, Mbak. Sampai sekarang—“ Suara ketukan pintu menginterupsi perkataan ibuku. Dengan cekatan, aku melangkahkan kaki ke ruang tamu untuk melihat siapa yang bertamu selarut ini. Sesaat setelah pintu terbuka, ada dua orang wanita paruh baya

yang

terlihat

tidak

senang.

Mereka

berdua

berkerudung, namun salah satunya terlihat tidak niat memakai kerudung—karena leher dan telinga terlihat jelas, apalagi rambutnya.

84


“Permisi, ini rumah Ibu Sofi?” Si perempuan bertubuh tambun dengan kerudung yang cukup rapi bertanya dengan mata jelalatan mengitari ruang tamu. Kedua alisku bertaut, merasa risih dengan ketidaksopanan perempuan ini. Aku sampai harus menahan diri agar tidak memutar bola mataku, pertanda bahwa aku jengah. Lagi pula, aku tidak pernah mengingat Ibu memiliki teman dengan dandanan norak seperti dua perempuan ini. “Iya, Bu. Ada apa?” Sebenarnya batinku muak, tidak biasanya aku harus berpura-pura baik pada orang yang tidak pantas diperlakukan dengan baik. “Anu, Dek,” kali ini, perempuan berkerudung aneh berbicara padaku. “Kami mau menagih utang ke Ibumu, janjinya mau dibayar empat bulan yang lalu, tapi sampai sekarang kok belum dibayar,”

Hah, utang apaan, aku mengernyit. Belum sempat aku menanyakan berapa jumlahnya, terdengar suara Ibuku dari belakang. “Oh, Mbak Ina. Ada apa, Mbak?” Loh, Ibu kenal sama

orang ini, lagi-lagi aku berbicara dalam hati. 85


“Itu, Mbak, saya mau nagih utang seragam. Kemarin adiknya sampean minta seragam dua kodi ke saya, katanya mau dijual lagi sama sampean, soalnya lagi butuh uang buat kuliah.” Oh, jadi itu. Sekarang aku mengerti. Ini pasti ulah Tanteku

yang-sudah-tidak-dianggap-oleh-saudaranya.

Seketika, dapat kurasakan dadaku bergemuruh, dan seluruh wajahku seperti terbakar. Dapat kulihat reaksi dari Ibuku yang hanya mengelus-elus dada sembari menggelengkan kepala. “Nggenah ae (yang benar saja), Mbak. Saya kuliah nggak bayar, kok.” Tawa mengejek keluar dari bibir si perempuan tambun, “Alasan, nggak mau ngaku kalau punya utang.”

Jika kedua perempuan ini tidak segera pergi dari rumah, sudah pasti aku tak bisa mengendalikan ucapanku. Dengan cepat, aku menutup pintu tepat di wajah mereka dengan dentuman yang cukup keras. Lantas, si perempuan tambun mengucapkan kata-kata

86


yang

tidak

sepatutnya

diucapkan

oleh

seorang

perempuan dewasa. “Gendeng. Nggateli. Kalau saja membunuh itu halal, Buk, wes mati wedok iku!” Aku berkata seperti orang kesetanan. Herannya, Ibuku hanya diam, tidak menunjukkan kekesalan sedikit pun. Aku beranjak menuju kamarku, kemudian menenggak sisa latte yang telah dingin—tanpa sempat memikirkan efek samping akibat meminum latte dingin. Ibuku, yang tak kusadari telah berbaring di atas ranjangku, terlihat telah tertidur. “Kalau sampean diperlakukan jahat sama orang,” lah,

kirain udah tidur, batinku, “terus sampean balas sama jahat juga, berarti sampean tidak ada bedanya sama orang jahat, Mbak.” Belum sempat aku membuka mulut untuk merespon, dengkuran halus terdegar dari deru napas ibuku.

Aku beranjak pergi ke dapur, membuat secangkir

vanilla latte instan, kemudian mengambil The Scorch Trial yang tergeletak di sisi ranjang, dan membuka halaman delapan puluh tujuh yang tadi belum rampung kubaca. Fanilla Latter 87


Jangan Meremehkan Orang Lain Pada suatu hari tepatnya hari Sabtu, saya diajak teman untuk berenang karena libur kuliah. Ketika sudah mulai lelah kami pun memutuskan segera balik pulang. Dan lapar pun melanda. Langsunglah kami masuk ke sebuah rumah makan, yang tadinya bermaksud memilih menu makanan, malah terkejut kami dibuatnya. Betapa mahal harga yang tertera di sana. Tetapi teman saya menanggapi dengan santai, “Kita sudah memesan, tidak mungkin kembali.� Makanan pun tiba dan kami menyantapnya dengan lahap. Di ujung ruangan saya lihat seorang anak baru saja masuk. Seorang diri, berpakaian biasa, duduk di kursi di sisi kanan saya. Dia pun memanggil salah satu pelayan. Tak lama, seorang pelayan perempuan menghampirinya, memberikan buku menu. Pelayan tersebut agak heran mengapa anak kecil itu berani masuk ke dalam rumah makan yang mahal, padahal dari penampilannya, pelayan itu tidak yakin kalau si anak kecil mampu membayar. 88


“Berapa harga es krim yang diberi saus stroberi dan cokelat?” “Lima puluh ribu.” Anak kecil itu memasukkan tangan ke dalam saku celana

lalu

mengambil

beberapa

receh

dan

menghitungnya. “Kalau es krim yang tidak diberi saus?” Si pelayan mengerutkan kening. “Dua puluh ribu.” Sekali lagi anak kecil itu mengambil receh dari dalam saku celana dan lagi-lagi mengitung. “Kalau aku pesan separuh es krim tanpa saus stroberi dan cokelat berapa?” Kesal dengan kelakuan pembeli kecil itu, pelayan ketus, “Sepuluh ribu!” Si anak tersenyum. “Baiklah aku pesan itu saja, terima kasih!” Pelayan itu mencatat pesanan, menyerahkan pada bagian dapur, lalu kembali sambil membawa es krim. 89


Anak itu tampak gembira dan menikmati es krim yang hanya separuh harga dengan sukacita. Dia melahap es krim sampai habis. Kemudian si pelayan kembali datang memberikan nota pembayaran. “Semua sepuluh ribu, bukan?� Tanya anak itu lalu membayar es krim pesanannya dengan setumpuk uang receh. Wajah sang pelayan tampak masam karena harus menghitung ulang receh-receh itu. Tiba-tiba sang anak mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari saku celana belakangnya, “Dan ini tips untuk anda!� Ujar sang anak sambil menyerahkan uang tersebut ke si pelayan. Tidak hanya si pelayan, saya dan teman saya pun terkejut. Si anak kecil hanya tersenyum memandang si pelayan ketika pelayan menerima uangnya. Tak lama kemudian, ia langsung meninggalkan rumah makan mahal itu. Begitu pula kami. Di sepanjang perjalanan, saya dan teman saya masih keheranan dengan anak kecil tadi. Bagaimana 90


mungkin anak sekecil berpakaian sesederhana itu memilih rumah makan mahal? “Mungkin anak kecil itu salah masuk rumah makan?� Tebak teman saya yang langsung saya iya-kan. Sesampainya di rumah, saya merenung sejenak dan saya menyimpulkan, adakalanya kita jangan melihat apa yang melekat pada tubuh seseorang sebagai penilaian, sebab kita tidak pernah tahu seseorang yang kita remehkan itu bisa jadi merupakan pengantar rezeki tak terduga. Laurena

91


Aku Mau ke Mana?? Mau kemana? Ini adalah salah satu pertanyaan yang mengerikan saat kita sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Bukan hanya dipusingkan dengan ujian sekolah dan ujian nasional tetapi juga dipusingkan dengan mau ke mana atau mau ngapain. Semua anak SMA pasti berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi karena jaman sekarang ijazah SMA tidak akan laku untuk melamar pekerjaan. Maka dari itu, semua anak SMA pasti kebingungan ke mana mereka mau melanjutkan sekolah begitu pun denganku. Ada

sebuah

program

yang

diadakan

oleh

pemerintah untuk para siswa yang ingin masuk ke universitas tanpa tes, tetapi menggunakan nilai rapor sebagai pertimbangan. Nama program itu adalah SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Program tersebut berlangsung sebelum ujian nasional. Aku pun mencoba peruntungan di sana.

92


Saat aku mau mendaftar SNMPTN, sebuah kabar datang, sungguh booming. Kabar itu tentang seseorang yang bisa memberi kita nasihat untuk masuk ke perguruan tingi mana. Saat itu hampir semua murid dari SMA favorit di kotaku pergi ke sana. Termasuk temantemanku. Sebenarnya aku tidak tertarik, tetapi karena mereka mengajakku—walaupun sekadar main-main— akhirnya aku ikut. Kubawa buku rapor untuk dilihat oleh orang-pemberi-nasihat itu. “Ini antri sembako apa mau konsultasi?” Tanyaku pada teman-teman, karena yang kulihat memang antrian yang begitu panjang. Mereka hanya tertawa sambil menunggu giliran kami masuk. Setelah kira-kira 30 menit akhirnya giliran kami. Satu per satu dari kami berkonsultasi. Dan sampailah giliranku. Pertama orang tersebut melihat nilai-nilai raporku dari kelas 10 dan mulai berbicara. “Kamu anak IPA ya?” “Iya, Mas, aku anak IPA.”

93


“Kamu pengen masuk jurusan apa? Kalo yang di prodi IPA kelihatannya agak susah.” Entah bertanya, entah memprediksi. “Engak kok, Mas, aku pengen masuk jurusan Bahasa enggak yang berhubungan dengan IPA, aku mau jurusan Sastra Inggris.” “Kamu mau masuk universitas mana?” “Aku ngga ngerti mau masuk mana,” jawabku yang memang kenyataannya aku kebingungan. “Yaudah, bagaimana kalo kamu masuk Undip aja?” Setelah dia memberi nasihat itu aku pun hanya mengangguk dan mengiyakan apa yang dia ucapkan. Keesokan harinya saat aku dan teman-teman berkumpul, kami hanya ketawa-ketawa dengan apa yang kami lakukan kemarin. Banyak dari mereka yang enggak percaya termasuk aku. Akhirnya kami mengisi form SNMPTN sesuai dengan apa yang kami inginkan. Dari awal aku memang berencana dan ingin masuk jurusan English Literature. Waktu SNMPTN kami memiliki kesempatan memilih 4 jurusan di 2 universitas berbeda. Kuisi form -ku dengan jurusan Ahli Gizi dan English

94


Literature Universitas Gadjah Mada dan English Literature Universitas Negeri Malang. Aku memilih kedua universitas tersebut sebenarnya karena UGM dari hometown -ku lebih dekat. Pengumuman SNMPTN pun datang. Tetapi, sayangnya aku enggak lolos pada seleksi ini. Sedikit kecewa memang, karena aku tahu teman sekelasku yang nilainya tidak lebih bagus dariku diterima di universitas dan jurusan yang aku pilih. Ini tidak adil. Bagaimana pun aku menerima bahwa SNMPTN itu adalah tentang keberuntungan dan saat ini aku belum terlalu beruntung untuk bisa lolos. Setelah pengumuman itu, aku langsung kebingungan karena mau tidak mau aku harus mengikuti seleksi selanjutnya, SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Seleksi ini merupakan seleksi tulis dan berdasarkan kemampuan kita di akademik. Aku pun harus berusaha keras untuk ini. Karena jurusanku waktu SMA adalah IPA dan jurusan yang ingin kutuju bagian dari prodi IPS, jadi mau ngga mau aku harus mempelajari IPS dari awal yang kenyataannya selama 3 tahun terakhir aku hanya berkutat dengan Biologi, Fisika, Kimia, dan teman-

95


temannya. Satu bulan setengah semuanya aku siapkan untuk tes ini.

Pada saat SBMPTN aku memilih 3 universitas berbeda, tetapi jurusan yang sama, yaitu English

Literature, salah satunya Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Untuk tes ini banyak pilihan tempat, tetapi aku menentukan pilihan di Yogyakarta yang menurutku kota yang jauh lebih dekat dari kotaku dibanding dengan Surabaya dan Malang. Untung saja di Jogja ada mbak sepupuku yang berkuliah di sana. Sehari sebelum tes, aku diantar Mbak melihat lokasi tes yang berada di kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Jogja sungguh besar, aku pun harus menghafal jalan sendiri karena mbakku besoknya tidak bisa mengantarkan. Keesokan harinya, aku sampai tujuan dan melaksanakan tesku dengan lancar. Alhamdulillah. Saat tes aku sempat melihat beberapa anak yang ada di sebelahku. Betapa aku shocked dengan lembar jawaban mereka. Lembar jawaban mereka hampir penuh tapi milikku malah banyak yang kosong. 96


Setelah pusing-pusing dengan SBMPTN, tinggal waktuku untuk menunggu pengumuman di rumah. Saat aku dan seluruh keluargaku berkumpul, tidak sengaja kami ngobrol dan membahas kuliahku. “Frida, gimana tesmu kemaren?” Ayahku bertanya. “Alhamdulillah lancar, Yah, tapi enggak tau hasilnya nunggu aja dulu.” “Semoga lolos ya, Nak, soalnya Ayah enggak mampu kalo biayai di universitas swasta,” nadanya sedih. “Iya, Ayah, Frida yakin bisa kok.” Aku tersenyum padanya. Mencoba sedikit menghibur. Aku pun berpikir keras. Hanya ini satu-satunya kesempatanku untuk berkuliah, hanya tes ini yang bisa mengubah hidupku. Aku berdoa setiap hari sampai akhirnya pengumuman tiba. Alhamdulillah aku diterima di jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Semua

anggota

keluargaku

menangis

bahagia

bersamaku. Frida Anjani

97


Kita Bertiga Saat itu, aku duduk di bangku kelas 3 SMA, tepatnya di salah satu SMA Negeri yang ada di Sidoarjo. Aku sangat sibuk dengan ujian praktik dan ujian sekolah. Detik-detik

ujian

nasional

pun

terasa

sangat

menegangkan. Hari berlalu sangat cepat. Tak terasa, sudah 4 hari aku dan teman-temanku melewati ujian itu. Saat ujian nasional dan ujian praktik terselesaikan, liburan pun tiba.

Yeah, liburan yang membuat semua siswa kelas 3 SMA harus menunggu hasil dari ujian-ujian itu. Tepat 27 Mei 2013, pengumuman diedarkan, dan pada hari itu pula bertepatan dengan pengumuman jalur SNMPTN. Di mana jalur tersebut adalah sesuatu yang selalu dinanti oleh semua murid tingkat akhir, seperti halnya dengan menunggu pengumuman UN. “Ibaratnya sih, kayak dapat rezeki gitu deh kalau lolos melalui jalur ini, yah Alhamdulillah sekali ‌ hehe,â€?

98


ujar Iky. Dia adalah sahabatku yang sangat baik dan pintar. Pengumuman jalur SNMPTN pun di depan mata. Aku dan 2 orang temanku menunggu bersama di masjid sekolah. Aku, Anes, dan Iky sama-sama menunggu. Tepat pukul 4 sore, satu per satu dari kami mulai melihatnya di

website. Dan ... hanya dua orang dari kami yang lolos. Iky, dia masuk perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang dia inginkan. Yeah, Sistem Informasi. Dan

alhamdulillah, aku sendiri lolos ke universitas pilihanku juga. Tapi ada yang kurang, saat melihat hasil Anes. Anes, dia adalah sahabatku yang sangat baik dan pintar. Pada saat pengumuman, Anes lah yang tidak lolos. Aku dan Iky seketika terkejut bahwa di antara kami bertiga, hanya Anes yang harus berjuang kembali untuk mendapatkan dan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang dia inginkan melalui tes selanjutnya, SBMPTN. Tak terasa, tes SBMPTN pun tiba. Aku dan Iky menemani Anes. Detik demi detik pun berganti, tak 99


terasa pula tes yang dilaksanakan pada hari itu hanya selesai dalam hitungan jam. Dua jam, waktu yang harus Anes selesaikan untuk mengerjakan soal tersebut. Pengumuman dari hasil tes pun akan diumumkan sebulan setelahnya. Dan ... tiba saatnya di mana hasil SBMPTN diumumkan. Di sore hari, aku mencoba untuk melihatkan hasil tes Anes. Dia meminta tolong padaku. “Lak,” begitulah Anes memanggilku. Elak. “minta tolong, liatin hasil tesku ya, aku masih di rumah sakit jengukin nenek,” ujarnya via telepon. Dengan rasa penasaran, cemas, aku mulai melihatnya dan ... rasa cemasku kini berubah kagum, melihat pencapaian Anes. Dia lolos di perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang sangat dia idam-idamkan. Lokasinya tepat di daerah Malang, dengan jurusan Pendidikan Dokter. Dengan rasa haru pun aku langsung meneleponnya, “Anesss selamat ya! Kamu lolos! Sekali lagi selamat!”

100


“Kamu serius, Lak? Alhamdulilah, Ya Allah. Thanks, ya, buat semua doanya!� Keesokan harinya, aku, Iky, dan Anes pun bertemu dan berbagi cerita. Di situ aku belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Kegagalan hanyalah sebuah kesuksesan yang tertunda.

Never give up on something. Try, try, and try again till you get what you want. Hal itulah yang sangat menginspirasiku, saat aku gagal dalam perjalanan meraih kesuksesan. Meskipun aku gagal tahun kemarin dalam suatu seleksi yang berkaitan dengan cita-citaku, aku yakin pasti akan ada yang lebih baik dari yang terbaik untuk kucapai nantinya. Amin ‌. LRA

101


Perjuangan 600 Ribu

Life is never easy as tongue speaks a word. Life is too complicated and unpredictable. We can’t guess, we can’t ask for something, we can’t repeat our past and time just walks away to future time. Life is like puzzle. If you can’t arrange it well, it’ll be trouble. Aku adalah seorang yang beruntung karena dapat merasakan bagaimana menjalani kehidupan kampus. Aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan jalan beasiswa Bidikmisi. Dari sinilah aku mampu mengenyam bangku pendidikan tinggi karena aku berasal dari keluaraga yang tidak berada atau boleh dibilang miskin. Aku yang berasal dari desa dengan pekerjaan orang tuaku yang hanya sebagai buruh serabutan tidak akan mampu mengenyam pendidikan tinggi tanpa adanya beasiswa. Aku merasa sangat beruntung dari sekian banyak siswa di sekolahku yang mendaftar, namaku tercantum ke dalam 15 siswa yang diterima di perguruaan tinggi negeri. Aku merasa senang 102


karena bisa membahagiakan kedua orang tuaku dengan segala prestasi yang aku punya di sekolah dulu. Meskipun aku belum mampu meringankan beban kedua orang tuaku namun setidaknya aku bisa kuliah tanpa meminta biaya dari mereka. Aku tidak ingin membuat mereka memiliki beban yang banyak karena adikku juga masih berada di bangku sekolah dasar. Dengan adanya beasiswa Bidikmisi, aku mendapat keringanan untuk kuliah tanpa harus membayar uang SPP atau UKT karena telah dibiayai oleh pemerintah. Selain itu, aku juga masih mendapat biaya hidup sebesar 600 ribu rupiah setiap bulannya. Dari uang itulah aku berusaha keras untuk bertahan hidup di kota Surabaya menjalani kehidupanku sebagai mahasiswa. Banyak hal yang telah aku alami selama hampir 2 tahun aku kuliah di sana. Mulai dari yang menyenangkan sampai yang sangat menyedihkan. Aku harus bertahan hidup dengan uang yang jumlahnya sangat kecil itu sampai bulan berikutnya. Jika tidak, bisa-bisa tidak akan makan di akhir bulan nanti. Sedikitnya 200 ribu 103


kusisihkan untuk membayar sewa kost yang aku tempati. Belum lagi keperluan lain tak terprediksi. Belum lagi awal semester harus membeli buku-buku pelajaran. Dan terkadang di awal semester, uang Bidikmisi tidak bisa cair tepat waktu atau malahan akan cair sebulan bahkan dua bulan berikutnya. Apabila aku tidak bisa menabung barangkali aku akan jadi gelandangan pinggir kota. Dari sinilah aku harus bisa pintar-pintar mengatur keuangan. Karena aku tidak mendapat pemasukan lain selain dari uang Bidikmisi. Pemasukan pun mungkin hanya akan aku dapat bila liburan tiba karena saat itu kugunakan waktuku bekerja di pabrik dekat rumah untuk packing mainan anak-anak. Meskipun hasilnya tidak besar, namun aku cukup senang karena bisa belajar mencari uang sendiri. Kebanyakan orang akan berpikir jika menjadi mahasiswa Bidikmisi itu enak, tidak perlu memikirkan soal uang, hanya perlu belajar dan kuliah dengan baik. Namun tahukah mereka betapa banyak perjuangan dan pengorbanan yang harus dialami mahasiswa Bidikmisi 104


sepertiku? Tahukah mereka saat uang bulanan tak kunjung cair? Tahukah mereka bagaimana rasanya harus menahan lapar dan dahaga demi bertahan hidup? Mereka yang berpikiran pendek seperti itu tidak akan mengerti jika mereka tidak mengalaminya sendiri. Ya, okelah, mungkin sebagian besar mahasiswa Bidikmisi memang tidak semiskin diriku jadi mereka bisa meminta uang dari orang tuanya jika kehabisan uang bulanan. Agaknya, aku juga bisa seperti itu, tapi itu tidak akan aku lakukan kerena prinsip hidupku adalah hidup itu tidak semudah membalikkan

telapak

tangan.

Semua

itu

butuh

perjuangan, pengorbanan, usaha, derita, serta doa. Namun, beruntunglah aku karena aku mempunyai teman-teman yang baik. Saat aku kekurangan ataupun kehabisan uang, aku bisa meminjam pada mereka yang punya uang lebih dan aku akan mengembalikannya setelah uang bulan berikutnya cair. Dua tahun aku menjadi mahasiswa aku merasa jika Allah selalu berada di sisiku. Kapan pun saat aku merasa kesulitan yang luar biasa aku selalu ditunjukkan jalan yang benar oleh-Nya. 105


Saat aku butuh uang untuk berobat ke rumah sakit, saat aku butuh uang untuk membayar kost, saat aku butuh uang untuk membeli buku, saat itu pula selalu ada jalan yang ditunjukkan Allah untukku. Selalu ada saja orang yang meminjamiku uang. Meski adakalanya aku merasa putus asa namun aku selalu ingat nasihat dari orang yang paling berarti dalam hidupku, orang yang paling aku sayang. “Allah itu sayang pada semua hamba-Nya. Saat kamu mendapat ujian, itu tandanya Allah sayang sama kamu. Jika kamu bisa melalui ujian itu maka akan dinaikkan derajatmu. Allah pasti bakal menunjukkan jalan terbaik-Nya untukmu. Percayalah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.� Dan memang benar. Dari apa yang aku alami memang begitu adanya. Allah selalu membantuku saat aku membutuhkan-Nya dan juga membimbingku agar selalu menjadi orang yang berbakti kepada kedua orangtuaku.

106


Dengan uang 600 ribu aku menyambung hidupku. Berbeda sekali dengan teman-temanku. Mereka bisa mendapatkan apa pun yang mereka mau karena terlahir dari keluarga yang sangat berada dan tidak perlu hidup susah sepertiku. Namun dari sinilah aku belajar apa arti kehidupan sebenarnya. Aku senang, aku bangga terlahir dari keluarga yang tidak berada karena aku dapat belajar untuk mengharagai apa pun karunia Allah, belajar bersabar dan mengarungi kerasnya kehidupan. Sebaiknya, janganlah bangga dengan harta yang orang tua kita karena harta itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa, suatu saat nanti harta itu kembali pada-Nya. Jika suatu hari nanti harta itu lenyap maka hanya akan ada penyesalan di dalam hati. Itulah mengapa aku lebih memilih hidup menderita di masa mudaku saat ini agar nanti ketika aku tua aku dapat mengajarkan bagaimana menjalani

kehidupan

kepada

anak

cucu

serta

mengajarkan nila-nilai yang baik pada mereka. Karena dari sinilah aku belajar menjalani susahnya hidup.

107


Not only is there often a right and wrong, but what goes around does come around. There is always a day of reckoning. The good among the great understand that every choice we make adds to the strength or weakness of our spirits—ourselves, our souls. That is every human’s life work: to construct an identity bit by bit, to walk a path step by step, to live a life that is worthy of something higher, lighter, more fulfilling, and maybe even everlasting. —Donald Van de Mark M. T. Herlina

108


Investasi Sikat Gigi

“Rev, aku mau daftar jadi calon ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan yang baru. Kita kan udah kenal akrab dari semester satu, aku tau potensimu dan aku percaya kamu orang yang cocok jadi wakilku. Mau nggak bantu aku bareng-bareng ‘bangun’ jurusan di periode ini?” —Muhammad Nur Ebes, 20 tahun, mahasiswa

Seluruh siklus hidupku berubah sejak aku menyetujui kalimat teman-akrab-sejak-semester-satuku, Ebes. Dulu aku cuma akademisi yang menganut sistem 5D

di

kampus,

datang-duduk-dengar-dapat

nilai

memuaskan-diteruskan pulang. Aku tidak pernah benarbenar terlibat dalam kehidupan organisasi kampus yang menurutku rumit. Bayangkan saja ya, menurut informasi yang aku peroleh dari kakak kelas yang turut berkecimpung dalam dunia organisasi, rutinitas mereka dalam satu hari benar-benar super padat dan tidak menentu. Pukul 7 pagi sampai 5 sore mereka harus ada 109


di kampus untuk urusan kuliah dan “tetek bengeknya�. Pukul 5 sore sampai selesai adalah waktu untuk mengurus organisasi. Baca dengan benar ya, aku menulis “sampai selesai� tanpa keterangan waktu karena selesainya kegiatan mereka di luar perkuliahan tidak menentu sampai pukul berapa. Belum lagi jika di selasela perkuliahan mereka ada surat tugas untuk urusan mendadak seputar organisasi, jika diumpamakan, waktu luang adalah barang yang hampir tidak mampu mereka beli. Ya, sekarang, dari anak ibu yang suka disuruh bantu-bantu, aku menjadi mahasiswa anggota organisasi intra-kampus yang kadang sampai tidak tahu di mana harus tidur atau ganti baju. Aku bukanlah anak yang terlahir dari keluarga kaya yang bisa menyisihkan beberapa ratus ribu rupiah untuk biaya satu ruangan dengan tempat tidur, lemari, dan kamar mandi. Juga sayangnya, bukan dari keluarga yang bertempat tinggal dekat dengan kampus. Beginilah aku, mahasiswa

110


nomaden dengan banyak kegiatan yang berpindah dari satu kamar kost teman ke rumah teman yang lain. Sehubungan dengan aku harus berpindah-pindah, tentu saja baju, buku, perlengkapan kuliah sampai peralatan mandiku juga harus ikut berpindah-pindah. Satu yang membuatku takut adalah sikat gigiku tertinggal entah di kamar kost teman yang mana saat aku sedang berada di kamar kost atau rumah teman yang lain. Aku takut sekali pagi-pagi datang ke kampus tanpa gosok gigi. Aku benci saat aku tidak punya kesempatan untuk terlebih dahulu menggosok gigi. Karena itulah, aku membeli beberapa sikat gigi untuk aku investasikan di beberapa kamar kost/rumah temanku. Dan, selalu saja ada cerita lucu yang membuatku terharu tentang investasi sikat gigiku.

Cerita pertama. Tempat: Kamar kost Rossa Setyowati, Dukuh Kupang 27 no. 3 Waktu:

Pertengahan Februari 2015 pukul 23.30 111


Malam itu, aku baru saja pulang dari diskusi organisasi bersama Ebes di kampus. Sebelumnya aku sudah menghubungi temanku, Rossa untuk menumpang tidur di kamar kost-nya. Rossa adalah temanku semasa SMA yang kuliah di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya jurusan Ilmu Kedokteran, kami akrab sekali seperti saudara. Sudah berkali-kali aku menginap di sana dan dia senang-senang saja. Kebetulan sekali Rossa juga baru pulang dari mengerjakan laporan-laporan praktikum dengan temannya. Kami sama-sama lelah dan ngantuk. Rossa ingin sekali mandi karena gerah. Aku mencoba merayunya untuk istirahat sebentar agar aku bisa memakai kamar mandi untuk menggosok gigi. Tapi, Rossa bersikeras ingin segera mandi. “Aku takut ketiduran,� ujarnya. Akhirnya aku menyerah. Saat Rossa masuk kamar mandi, aku mengambil sikat gigiku yang aku letakkan di rak depan kamar mandi, mengolesinya dengan pasta gigi, dan membawanya

ke

atas

tempat

tidur.

Sembari

membaringkan badan di atas kasur, aku meneriaki Rossa 112


agar mempercepat proses mandinya. Namun, entahlah yang salah siapa, ritual mandi Rossa atau aku yang diserang rasa kantuk hebat, karena esok paginya aku bangun dengan sikat gigi berbusa di mulutku. Aku melihat ke arah Rossa di sebelahku, yang juga baru bangun dari tidurnya, ia hanya cengengesan. “Maaf nggak bangunin, abis kamu tidurnya pules banget kalo pakek sikat gigi.�

Cerita kedua. Tempat: Kamar kost Amalia Diena Nurhayati, Babatan gang 1A no. 6 Waktu:

Awal Mei 2015 pukul 14.00

Siang yang terik di kamar kost temanku, Diena. Aku baru sadar jika waktu itu aku belum sempat membeli sikat gigi baru untuk aku investasikan di kamar kost Diena. Diena sudah paham semua cerita tentang “investasi sikat gigi�-ku, dimana saja aku menginap dan meletakkan satu sikat gigi, ia tau. Aku segera pamit pada Diena untuk pergi membeli sikat gigi di supermarket 113


terdekat. Tiba-tiba Diena menahan tanganku dan menyuruhku duduk di atas kasur. Ia membuka lemari, mengeluarkan satu kotak berisi belasan sikat gigi yang diperolehnya gratis dari salah satu hotel tempatnya berlibur dengan keluarga minggu lalu. Belasan sikat gigi itu diberikannya padaku, “Aku punya banyak persediaan sikat gigi untuk kamu investasikan di sini. Ambil aja berapa jumlah yang kamu butuhkan, aku senang kamu menginvestasikan sikat gigi di sini. Semakin banyak kamu investasikan, semakin sering aku nggak merasa kesepian.�

Cerita ketiga. Tempat: Rumah Insani Ursha Jannati, Kapas Madya 1D no. 82 Waktu:

Jumat, 03 Juli 2015 pukul 21.33

Insani, “Rev, sudah banyak yang ngumpulin tugas

cerita Sir Slam nih. Kamu nggak mau nulis cerita gitu biar bebanku mengingatkanmu dan teman-teman yang belum 114


ngumpulin berkurang. Inget ini udah tanggal berapa? Pokoknya tanggal 7 udah harus ada di emailku!� Waktu:

Sabtu, 04 Juli 2015 pukul 13.00

Hari itu adalah hari kesekian aku menginap di rumah Insani untuk keperluan “mencari uang selama bebas kuliah�, membantu memotong-motong kain untuk bahan mukena jualan ibunya. Insani berkali-kali sudah memberi wejangan, rayuan, bahkan bentakan untuk segera mengerjakan tugas menulis cerita dari Pak Slamet. Tapi aku memang tidak kunjung punya ide cerita hidup mana yang akan aku usung. Namun, hari Sabtu itu, saat aku berada di dalam kamar mandi rumah Insani untuk menggosok gigi, momen di mana aku mengambil sikat gigi, mengoleskan pasta gigi yang berbau daun

mint, kemudian perlahan menggosokkannya pada gigigigiku, aku memperoleh ide untuk menulis sesuatu tentang aku yang menginvestasikan beberapa sikat gigi di banyak tempat. Inspirasiku kali ini keluar saat aku

115


menggosok gigi. Aku bisa menulis cerita ini karena benda sekecil dan sesederhana sikat gigi. Apa yang aku tulis di empat-lima halaman Microsoft Word ini bukan atas dasar meyakinkan kalian para pembaca bahwa aku menyesal meng-iya-kan ajakan Ebes akhir semester 3 lalu, bukan, sungguh bukan seperti itu. Aku senang dan bersyukur atas proses hidup yang aku pilih, karena dengan ajakan itu duniaku benarbenar berbeda, tidak monoton, dan hidupku lebih bermanfaat setidaknya untuk orang-orang di lingkungan kampus. Bukan juga untuk membuat kalian para pembaca merasa iba terhadapku yang harus berpindah-pindah tempat setiap harinya dan membeli beberapa sikat gigi, bukan, sungguh bukan tentang itu. Investasi sikat gigi membuatku selalu lebih merindukan teman-temanku, karena sekarang, saat aku menggosok gigi di dalam kamar mandi rumahku sendiri, aku mengingat semuanya .... Revicho

116


Nafas-Nafas Jogja “Selamat pagi, Sancaka. Senang bertemu denganmu hari ini.” Kuharap aku tidak sedang bermimpi karena dalam waktu lima jam ke depan aku akan tiba di kota impian. Kota yang membuatku tak mampu memimpikannya dengan mata tertutup: Jogja.1 Kupandangi lembaran tiket kereta api di tanganku, mengelusnya, lalu tersenyum. Khayalanku mulai beranjak dari tubuh yang sedang duduk di bangku nomor 8D, gerbong 5, kereta api Sancaka Pagi/83. Aku bisa merasakan energi yang terisi penuh ada dalam diriku. Efek tiket kereta api ini seketika sama dengan narkotika yang katanya menghilangkan akal dan membuat penikmatnya ‘melayang’. Aku semakin masuk dalam khayalanku, menikmati fantasi yang kuciptakan sendiri tentang Jogja hingga aku mengabaikan teman yang duduk di sampingku dan dua anak kecil yang berlarian “nafas” penulisan tidak baku dari “napas”

117


riang di dalam gerbong. Kali ini otakku benar-benar berlebihan mengkhayalkannya, tapi aku pasrah saja menikmati. Barangkali tubuhku butuh kompensasi atas beberapa waktu lalu yang sengaja kugunakan untuk ‘mengikat’ jiwa dari kesenangan berlebih. Perjalanan ke Jogja untuk yang pertama kali ini bukan sekadar ajang liburan. Di usia yang mulai terlepas dari masa remaja, liburan, hiburan, dan segala macam kesenangan perlahan kubatasi. Aku pun menyadari diriku menjadi seorang penakut. Aku mulai takut dengan ‘dunia’. Takut mendapati diriku

larut

dalam

kesenangan

sementara banyak orang di luar sana ‘merangkak’. Bergelut dengan peluh. Suasana kota metropolitan yang kusaksikan sejak kecil turut membuatku penat. Dan kesenjangan di sana-sini suatu ketika membuat batinku lelah. Ingar-bingar kota yang tak ada habisnya hanyalah kekosongan yang dimanipulasi, tak ada keluhuran dan tak akan menyisakan apa-apa. Karena itulah aku begitu menginginkan Jogja, kota yang kudengar sangat ramah dan masih memegang kuat budayanya yang luhur. 118


Jogja bernama resmi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari situs yang kubaca, Yogyakarta berasal dari kata “ayodya� yang artinya aman, tenteram, damai, dan sejahtera, serta “karta� yang artinya kota. Keistimewaan kota Jogja terbukti tak hanya pada namanya, tapi juga suasana yang tercipta. Di malam pertama ini, aku memulainya dengan berjalan santai di jalanan Malioboro. Ramai, tapi entah kenapa kali ini aku bisa merasakan ketenangan di dalam keramaian. Di tepi jalan, deretan andong dan Pak Kusir yang berpakaian adat Jawa lengkap dengan blangkon-nya ramah menyapa dan menawarkan jasa pada setiap pengunjung. Aku masih memutuskan berjalan kaki agar bisa menyelinap di sela-sela keramaian dan merasakan desakan yang biasanya selalu ingin kuhindari. Perjalananku berujung di alun-alun, pusat kota yang disebut 0 kilometer Jogja, tempat bersantainya banyak jenis manusia di malam hari. Aku merasa puas karena kekagumanku pada Jogja tak hanya sebatas pada apa yang kudengar tentangnya. Aku menyaksikan sendiri malam ini, Jumat, 29 Januari 2016. Di era yang sudah 119


modern, masyarakat Jogja masih bisa memegang teguh budaya. Perekonomian yang disandingkan dengan budaya bagiku sangat mengagumkan karena bermatapencaharian tak harus mengorbankan jati diri (budaya). Para ‘pengusaha jalanan’ berhamburan mulai dari pedagang kerajinan tangan, tukang becak, kusir andong hingga pengamen yang aku lebih senang menyebutnya musisi—musisi jalanan. Di antara riuhnya malam, dua orang

pria

berusia

empat-puluhan

terlihat

asyik

menyenandungkan lagu-lagu yang belum pernah kudengar. Mungkin itu adalah lagu-lagu yang terkenal di eranya. Satu dari mereka berkemeja coklat dengan celana coklat yang serasi, bersepatu dan berambut klimis sebahu. Satu lagi berkaos hitam dengan rompi dan celana jeans yang juga serasi, bersepatu pantofel hitam dan berambut gondrong ala seniman. Jarinya lincah memetik gitar sembari bibirnya meniup harmonika. Sesekali mereka menyapa pengunjung yang berlalu-lalang dan mengajak bernyanyi. Di antara hentakan kaki para musisi itu aku melihat kotak kecil berwarna hijau. Isinya adalah uang 120


yang diberikan para pengunjung dengan sukarela. Para musisi beserta pengunjung terlihat sangat melebur dan menikmati, bahkan keduanya sudah seperti bintang besar yang sedang bermain di hadapan para penggemarnya. Bernyanyi, berjoget tanpa memedulikan jumlah uang yang terkumpul di dalam kotak. Malam yang begitu syahdu dan akan selalu kurindukan. Di hari kedua, agendaku adalah ke tempat-tempat bersejarah

seperti

Museum

Vredeburg,

Keraton

Yogyakarta dan Taman Sari. Yang paling mengejutkan adalah saat berada di Taman Sari. Mendengar namanya kukira tempat ini berupa taman yang dipenuhi bunga, tapi aku salah. Taman Sari adalah tempat yang dijadikan pemandian sultan dan para dayang pada zaman dahulu. Sekilas tak ada yang menarik. Bentuknya sama seperti kolam renang anak-anak yang sangat luas dan dangkal. Setelah melewatinya, aku semakin tidak tertarik karena tak ada hal selain kolam luas itu. Aku memang kurang suka tempat berair. Tak lama aku dan temanku memutuskan untuk kembali ke penginapan karena hari 121


telah sore dan matahari begitu terik. Namun saat menuju pintu keluar, seorang penjaga menawarkan jasa untuk memandu kami melihat-lihat kampung di sekitar Taman Sari yang masih termasuk peninggalan bersejarah. “Kalau mau saya temani berkeliling supaya tau apa saja yang menjadi peninggalan sultan dan sejarahnya. Setelah selesai, akan saya antar menuju pintu keluar yang berbeda dengan ini. Bayar seikhlasnya saja.� Begitu kata perempuan setengah tua yang berdiri di samping penjaga taman dengan terbata-bata. Aku kaget dan hanya bisa menelan ludah. Tadinya kupikir yang akan memandu adalah Pak Penjaga itu, tapi ternyata perempuan yang awalnya kukira pengemis atau orang gila karena pakaiannya lusuh dan kusam. Temanku bertanya dan aku pun langsung mengiyakan tawaran itu meski tubuhku sudah sangat lelah. Hatiku terkoyak oleh kekurangan yang ada pada perempuan itu. Ia tak mampu berbicara seperti orang normal. Aku bahkan hanya bisa menangkap sedikit dari penjelasannya yang begitu detail. Sambil menahan tangis, aku dan temanku berjalan di 122


belakangnya dan hanya mengiyakan setiap perkataan seolah kami paham. Lebih dari tiga puluh menit kami berkeliling dan selama itu pula aku mengabaikan setiap titik yang kami lalui. Aku masih terdiam, tak berpikir apaapa sambil kakiku terus berjalan. Aku seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. Perasaan iba sekaligus kagum memenuhi dadaku. Banyak informasi penting yang tak dapat kami tangkap, tapi kami tak menyesal. Di pintu keluar, temanku memberikannya sejumlah uang. Aku melihat raut muka penuh syukur saat menerima uang yang

langsung

dimasukkannya

ke

saku

celana.

Seberpalingnya perempuan itu, aku menghela napas yang sangat panjang. Bersyukur sekali bertemu dengan sosok sepertinya. Keesokan harinya, tibalah saat malam terakhirku di Jogja. Agenda terakhir di malam terakhir adalah membeli oleh-oleh bakpia dan kaos Dagadu yang menjadi ciri khas kota ini. Aku dan temanku menunggu, namun gerimis tak reda juga. Akhirnya pukul 21.00 kami mencari becak di sekitar penginapan dan segera menuju toko bakpia. 123


Malam yang gerimis membuat jalanan Malioboro tak sepadat biasanya. Apalagi ini adalah malam Senin. “Plastik di depan mau saya tutup, Mas? Biar ndak kena hujan. Kasian mbaknya.” “Nggak usah. Aku mau ngevideoin jalan.” Aku berkata lirih pada temanku. “Oh ndak usah, Pak. Anaknya seneng kecipratan,” kata temanku pada Pak Becak. Duduk berdua di dalam becak, melewati jalanan kota yang sepi dan gerimis menjadi momen romantis untuk sebuah malam terakhir. Saat perjalanan kembali dari toko bakpia, hujan semakin deras. Pak Becak berhenti dan langsung menutup plastik di depan kami tanpa bertanya lagi. Pelan-pelan ia kayuh becaknya. Saat kutengok ke belakang, Pak Becak itu tak memakai jas hujan dan setengah badannya sudah basah. Aku memberi kode pada temanku untuk menyuruh Pak Becak memakai jas hujan. “Loh, Pak, kok ndak dipakai jas hujannya? Sampean berhenti dulu, Pak, pakai jas hujannya, deres ini.”

124


“Halah ndak usah, Mas, ribet. Hujan begini aja kok,� jawab Pak Becak sambil terus mengayuh becaknya. Aku benar-benar tak tega. Kupandangi terus wajah yang dibasahi air hujan itu. Usianya sekitar empat puluh tahun, kulitnya sawo matang, memakai kemeja usang, celana pendek selutut, dan sandal jepit yang usang juga. Ini sudah terbilang larut untuk jam mencari nafkah, tapi ia masih berjuang untuk dua puluh ribu rupiah. Jumlah yang sangat kecil bahkan tak berharga untuk sebagian orang. Setibanya di gang penginapan, temanku memberinya uang lebih. Jumlah uang itu memang tak sebanding dengan kerja kerasnya, tapi ia terlihat sangat bersyukur. Kuharap ia langsung pulang ke rumah karena hari benar-benar telah larut. Sambil berjalan ke arah penginapan, aku teringat sosok bapakku di rumah. Tak bisa kubayangkan seandainya ia bekerja hingga pulang selarut ini dalam keadaan basah kuyup, lalu menyodorkan uang hasil kerjanya. Mungkin air mataku akan menambah basah bajunya.

125


Empat hari tiga malamku di Jogja sangatlah berkesan. Bahkan setelah ini, Jogja akan tetap menjadi impian meski telah berhasil kucapai. Aroma kota Jogja yang terkenang akan selalu menenangkan karena dipenuhi nafas-nafas yang darinya tersimpan rasa ikhlas dan syukur. Pagi ini aku meninggalkan Jogja dengan segala ketidakrelaan. Senin, 1 Februari pukul 12.00 aku tiba di Stasiun Gubeng. Kucari becak, lalu menuju tempat makan favoritku di Jalan Kertajaya. “Terima kasih, Sancaka, telah mengantarkanku kembali ke ‘dunia nyata’.” Ny

126


Dia, Saat Mereka Berkata Saat hati ini bergelut tentang siapa seseorang yang menginspirasi diri, kutautkan hatiku pada seorang hamba yang tak jauh dari kehidupanku. Sungguh, saat itu, keputusan yang ia ambil adalah hal luar biasa dan menggetarkan hati mungil ini. Seseorang ini akan selalu ada di hatiku, walau ia telah tiada. Andreas Isnantanto, ayah kekasihku, ayahku. Dia seorang kristiani tulen, putra seorang pastur gereja di Purwokerto. Siapa sangka seorang non-muslim berwajah garang ini, berhati begitu bersih dan lembut. Saat

kali

pertama

aku

berkunjung

ke

kediamannya, kubayangkan ia takkan menyukaiku karena wajahnya sekali pun tak menampakkan senyum. Ia sedang bersantai di teras memandangi bunga yang terangkai di sekeliling rumahnya. Kudatang mendekat, tak kusangka sesuatu mengejutkan terjadi. “Ini ya yang namanya Ayu? Aku pernah bertemu mata ini.� Pertanyaannya begitu mengejutkan. 127


“Maaf, Pak?” kubalik bertanya. “Ya. Dulu saya pernah punya murid di SD. Matanya ya mirip kamu ini.” Ia memandangiku tepat di wajahku. Wajah kami hanya berjarak sekian inci, seolah ia sedang menginterogasi seorang teroris yang baru mengebom JW. Marriot dan memaksaku mengaku sebagai pelaku. “Ayah ….” Kekasihku seolah mengingatkannya untuk sedikit mundur menghindari merahnya wajahku saat itu. “Saya ingat benar nama murid itu, Siti Fatimah, putranya Bapak Anshor. Dia murid yang berkesan,” lanjutnya. Aku terperangah membuka mulutku dan segera kututup setelah menyadari bahwa murid itu adalah mamaku. Kupejamkan mataku sejenak, dan membukanya tiga detik kemudian. Saat seperti itu pun aku masih mampu menghitung berapa detik mataku terpejam, sungguh sakti.

128


“Murid itu sebenarnya adalah mama saya …, Pak.” Seketika aku mengidap broca’s aphasia dan tak ada lagi yang bisa kuungkapkan. Sejenak bungkam. Diam dan suram. “Oh, ya? Ya Tuhan … pantas saja mirip sekali mata itu. Benar ternyata, kamu mewarisi mata mamamu. Mulai sekarang panggil saya ayah.” Ia membela diri. “Ya, Ayah.” Aku hanya tersenyum simpul setengah tak percaya. Tak lama setelah kejadian itu, ia terserang sakit. Sakit diabetes yang dideritanya semakin parah dari hari ke hari. Suatu ketika, di hari Sabtu, masih kuingat jelas hari itu. Mamaku mengunjunginya. Terekam jelas mamaku bercerita sepulang dari kediamannya. “Mama nggak nyangka, Pak Andreas separah itu. Tubuhnya dulu kekar sekarang kurus tinggal tulang. Kakinya dulu besar, sekarang seperti kena polio. Mama bingung, itu kena diabetes apa polio.” Mama mengoceh entah berniat melawak atau memang begitu adanya.

129


“Mama … bisa-bisanya di saat seperti ini,” sanggahku. “Luka di kakinya juga kok gitu ya, Yu? Sampek kelihatan tulangnya. Katanya di bagian kulit luar tulang ekornya juga kelihatan. Ya Allah …, guruku. Semoga diberi kesembuhan.” Ku tengok wajah mama terlihat bersedih. Suatu ketika, aku teringat dua hari sebelum ayah pergi meninggalkan keluarganya dan aku ke Banyuwangi, ayah terbaring di kamarnya. Kamar itu tak terlalu besar namun nuansa hijau membuat mata sejuk seiring menatap sekelilingnya. Suasana indah itu berubah ketika keindahan mulai sirna dan berganti luka yang dikirim oleh Tuhan. Saat kumasuki kamarnya, baru kusadari bau luka basah yang sangat menyengat. Tak kuasa batinku namun apa

daya.

Kupaksakan

masuk

ke

kamarnya,

kusampingkan egoku. Obat-obat pembersih luka dan penawar sakit berjajar di meja biru dekat lemari. Di bawah kasur kutemukan pispot dan selang yang terhubung pada kelaminnya.

130


Ia menyambutku, “Ayu, sayang. Suapin ayah, ya?” Dengan merengek seperti balita ia pun menggenggam tanganku. “Pasti, Ayah.” Kuteteskan air mata. Kusuapi ayah penuh iba. “Suatu hari nanti, kau harus menikah dengan putraku. Berjanjilah.” Matanya tajam menatap bola mataku, seraya wasiat itu mengalir ke dalam darahku, menyusuri saluran nadiku, menggertak venaku. “Ayah?” “Berjanjilah!” Suaranya mulai meninggi. “Ayu … berjanji.” Kukatakan dengan suara halus. Kuharap malaikat mendengarnya, mencatatnya sebagai niatan suci. Sekilas mengenang saat itu. Masih dapat kubayangkan wajahnya yang pilu. Selang dua bulan, ayah mengunjungi rumah saudaranya, Tante Jujuk—seorang terapis alternatif—dalam rangka berobat. Pasiennya pun datang dari segala kalangan.

131


Banyuwangi, di sana tempat Ayah menghabiskan sisa usianya. Selama Ayah pergi, yang bisa kulakukan hanyalah meneleponnya. Sebenarnya tidak juga. Aku meminta kekasihku untuk meneleponkan Tante Jujuk agar dia bisa memberikan teleponnya pada Ayah. Terkadang susah untuk sekedar mengatakan, “Ayah ... Ayu kangen.� Alasannya sangat bervariasi. Sungguh alibi yang brilian hingga sangat susah bagiku dan kekasihku menghubunginya.

Tante sibuk lah, nanti saja lah, tunggu ya, tante ada pasien, aduh Ayahnya lagi tidur, aduh nanti dulu ya tante ada tamu, dan lain sebagainya. Aku sampai hafal kata-katanya. Saat itu, tepat 24 Februari 2013, aku berhasil menghubungi ayah. Tante-sejuta-alasan itu akhirnya memberikan teleponnya pada ayah. Saat itu, kekasihku berada di sampingku. Kami meneleponnya saat di rumahku. Perasaan kami berdua berubah aneh seketika. Aku pun berpikir ada yang tak biasa. Tapi apa?

132


“Ayah? Selamat pagi. Ayah sehat?” Suaraku mungkin terdengar bersuka. Benar saja,

setelah

berminggu-minggu, baru sekarang bisa kuhubungi. Bagaimana mungkin aku tak bahagia? “A-aaa … aaa ... uu … aaaa ... aaaa ...,” jawabnya. Benarkah ini ayah? Pikirku. “Ayah, bicaralah. Ini Ayu ... Ayu kangen. Bicaralah, kumohon.” Isak tangis mengalir dari pelupuk mata. “A ... yaa ... aa ... a … aaaa ....” “Nak, maaf. Ayahnya sudah tak bisa lagi bicara.” Tante Jujuk langsung saja menutup teleponnya.

Marahku membuncah saat itu. Wanita itu! Tak bisakah membiarkanku sebentar saja bercengkrama melalui telepon dengan ayah?! Banyak yang ingin kutanyakan. Aku hanya menangis. Begitu juga kekasihku. Keesokan

harinya,

kuterima

berita

dari

kekasihku yang menangis di seberang sana bahwa Ayah meninggal dalam keadaan Islam. Tepat malam hari sebelum ia meninggal dunia, ia melafalkan dua kalimat Syahadat dituntun seorang kyai. Ayah melafalkan dengan 133


lancar, sangat fasih. Bagaimana mungkin? Pagi-pagi saat aku meneleponnya, Ayah tak bisa bicara. Menyebut namaku pun tak bisa. Tante

Jujuk

merekam

momentum

Ayah

mengucapkan dua kalimat suci itu. Bagaimana tak menangis aku menontonnya. Yang aneh adalah setelah selesai melafalkan. Ayah kembali tak mampu bicara. Suatu

hikmah

besar

datang

menghampirinya.

Subhanallah. Terima kasih, Tuhan, Kau telah memberi hidayah padanya. Pada ayahku. Asaf

134


Ku Tak Lagi Meyalahkanmu, Benang Merahku Namaku Prita Dyah Nindita. Sekadar info, usiaku 20 tahun. Aku seorang mahasiswa SASTRA INGGRIS. Kenapa dipertebal? Inilah kata kunci cerita hidupku. Semester 1, mahasiswa baru sering disebut maba, apakah yang terjadi? Saat kali pertama tapak kaki menyentuh kota Surabaya tercinta dengan hiruk pikuknya ini hanya 1 yang ada di benak, “Apakah aku bisa bertahan disini?� Pertanyaan sebenernya yang sampai saat ini masih selalu kupertanyakan. Dengan modal nekat dan selembar kertas keterangan diterima SNMPTN kujalani hidupku di sini hari demi hari. Di semester awal perkuliahan berlangsung Senin sampai Jumat, pagi sampai sore. Tidak ada aktivitas lain yang berarti, belajar enggan IPK pun memprihatinkan. Sangat tidak menarik kan? Sungguh memalukan. Semester 2, saat-saat inilah setan mulai semakin banyak bertebaran. Kuliah bodoh, kuliah berasa beban 135


ber-ton-ton, beberapa jam di kampus serasa beberapa tahun. Akhirnya hasrat ingin piknik mulai muncul. Jalanjalan, pindah mall sana-sini karena berusaha santai supaya gak gila memikirkan kuliah. Suatu ketika aku membaca sebuah kutipan bahwa anak yang banyak liburan lebih kreatif di sekolah. Aku coba trik tersebut sembari menjalani aktivitas perkuliahan. Walaupun kedengarannya saran yang sedikit sesat tapi nyatanya itu terbukti pada nilai akademikku. Entah karena faktor keberuntungan

atau

aku

memang

makin

pinter.

Alhamdulilah IPK naik dikit. Semester 3, dunia perkuliahan pastinya tidak akan semakin mudah justru semakin susah. Stressed pun melanda berkepanjangan, yang terjadi bukan rajin belajar justru tetap terbelenggu dalam merenungi nasib karena

gabisa pinter. Setiap hari susah fokus, kebingungan mau berbuat apa, istilah Jawanya “plonga-plongo koyo kebo�. Eh ... kok jadi ngrendahin kebo, padahal masih mending kebo gak nyusahin orang tuanya bisa nyari makan sendiri. Sudah bisa ditebak pasti alhasil IPK anjlok ke lembah 136


jurang. Sedih? Ya jelas banget, mengecewakan sekali jadi anak gak berguna. Semester

4,

selain

masalah

perkuliahan

bertambah satu lagi masalah, perekonomian orang tua lagi mengalami kekacauan. Merasa bersalah gagal membanggakan kedua orang tua yang telah susah payah hanya

ingin

melihat

anaknya

sukses.

SUKSES?

Membahas tentang sukses, inilah yang harus dipikir sedini mungkin apalagi saat itu aku benar-benar harus mandiri supaya meringankan sedikit beban orang tua. Namun, melihat keadaanku saat itu yang tidak biasa diharapkan. Sebenarnya, banyak lowongan kerja sebagai pengajar Bahasa Inggris. Tetapi aku belum percaya diri, merasa belum cukup ilmu. Jadi cara lain harus ditemukan . Suatu hari saat libur panjang, kami mahasiswa dari Banyuwangi yang berkuliah di Unesa berkumpul. Bertemulah dengan teman-teman lama seperjuangan. Sebuah obrolan menarik dengan mahasiswa Ilmu Olah Raga membuatku enggan lekas pulang. Dia bercerita 137


tentang pekerjaannya. Dia bekerja paruh waktu di sebuah sekolah renang. Setelah panjang lebar mendengar ceritanya, aku mengajukan diri jika ada lowongan minta info. Bayangan sudah mantap sekali, aku mulai berangan jadi pelatih renang seperti apa rasanya, dalam benak, “Hmmm ‌ pasti ini keren.â€? Kurang lebih sebulan kemudian aku mendapat info. Dengan modal pengalaman dahulu pernah ikut klub renang dan sertifikat selam. Aku coba mengajukan lamaran kerja tanpa syarat tersurat apa pun seperti CV dan semacamnya. Kata bos, “Hal terpenting adalah kinerja nyata kita mumpuni atau tidak.â€? Usai diwawancarai, aku langsung dites bagaimana caraku mengajarkan anak untuk berenang. Seusai kelas berakhir aku dipanggil kembali dan dinyatakan diterima. Senangnya melebihi ketika IPK naik sebab kerjanya berkaitan dengan renang dan itulah yang udah dari dulu jadi kegemaranku. Sebulan aku telah bekerja datanglah masa gajian, semangat menggebu saat membuka amplop. Namun kenyataan berkata lain. Kudapatkan gaji 138


sama sekali tidak sepadan dengan beratnya pekerjaan. Ternyata aku digaji hanya Rp25.000 untuk per sesinya yakni durasi satu jam. Dapat dibayangkan jauhnya perjalanan PP selama 30 menit naik motor kemudian aku harus basah kuyub dan panas-panasan. Belum juga resiko menjaga

keselamatan

anak

saat

berenang,

ikut

mendampingi ke sana ke mari itu melelahkan. Tidak mau berlama-lama dibodohi, kuputuskan untuk keluar. Kebutuhan masih tak terelakkan dan harus tetap dipenuhi setidaknya untuk sesuap nasi harus dibeli. Modal nekat mulai membara lagi. Aku buat usaha sendiri semacam sekolah renang namun masih pakai sistem

private. Beruntungnya setelah aku cerita rencana ini kepada teman kos yang juga anak Olahraga dia memberikan kontak kenalannya yang ingin berlatih renang. Sebenernya aku masih ragu, tetapi kalau tidak dimulai mau kapan lagi. Aku mulainya dengan itikad hanya ingin membanggakan kedua orang tuaku. Aku promosikan jasaku lewat media sosial dan online seperti blog, OLX, BBM, dll. Kuperbarui semua pengetahuanku mengenai 139


berenang dan selam lewat artikel dan video di YouTube karena aku sudah hampir 3 tahun berhenti berlatih. Ditambah juga dengan pengalaman ketika di kolam melihat guru renang lainnya bagaimana teknik mengajar terbaiknya, mencuri sedikit ilmu dari mereka, insya Allah halal. Membuat

usaha

memang

tidak

semudah

kelihatannya. Banyak sekali kendala. Diragukan karena dari basic bukan anak Olahraga, orang banyak bertanya, “Mahasiswa Sastra Inggris kok ngajar renang, Mbak, apa ya mungkin bisa.� Sering dibohongi klien, susah mengatur jadwal antara kerja-kuliah, terkadang juga dapat cacian dari pengajar lain, dan lain-lain. Marah, bingung, malu campur aduk rasanya. Kendala pasti ada, tenang saja Tuhan tidak mungkin diam, kuncinya telaten dan jujur dalam bekerja berusaha se-profesional mungkin. Jika kita tulus dan ikhlas mengerjakan sesuatu akan membawa kebahagiaan bukan lagi dianggap sebuah beban. Menuju semester 5, kini Alhamdulilah klienku semakin banyak. Hasilnya pun sudah jauh lebih baik 140


dibanding dengan gaji awalku. Cukup untuk bertahan hidup di ranah perantauan. Ini sungguh nikmat Tuhan Yang Amat Agung. Aku dapat berbagi rezeki dengan teman yang sekarang sudah kujadikan rekan kerjaku. Mohon doanya ya, teman, semoga hasilnya barokah. Ini bukan pamer, aku berharap kisah hidupku menjadi motivasi bagi pembaca, hal buruk belum tentu buruk bagi kita. Sejatinya keterpurukan itulah yg membangkitkanku dari keputusasaan. Karena kursi penguasa tidak sematamata diberikan (jika terjadi pun 1 banding 1000) perlu perjuangan untuk dapat duduk di singgasana tertinggi dan untuk jadi raja atau ratu tidak perlu menunggu tua. Prita Dyah Nindita

141


Bapak Profesor Universitas Negeri Surabaya adalah tempat di mana aku melanjutkan pendidikan demi mewujudkan cita-cita. Memang bukan satu-satunya tempat untuk mendapatkan

ilmu,

tetapi

di

sanalah

aku

memperjuangkan apa yang patut untuk diperjuangkan. Tidak hanya ilmu, teman baru, atau bahkan pengalaman yang bisa aku dapatkan, melainkan juga sebuah ‘kenangan’ yang menjadi salah satu penyemangat untuk terus berjuang meraih cita-cita tanpa kenal lelah. Jika tidak salah, tiap hari Rabu setelah kelas

Intensive Course di gedung T8, aku berpapasan dengan salah satu dosen yang menggunakan kursi roda sebagai alat untuk membantu beliau mengajar. Ternyata dia adalah seorang profesor, yang aku ketahui dari temantemanku, Profesor Suwono. Hari demi hari berlalu dan bertemu dengan beliau sudah menjadi salah satu rutinitas di hari Rabu. Rasa penasaran pun muncul, tetapi tertahan begitu saja. Mungkin karena aku belum 142


mengenal

beliau.

Hingga

muncul

perasaan

lain,

bagaimana bisa beliau mengajar dengan keadaan yang demikian? Beliau terlihat begitu sabar dan keinginan mengabdi sekaligus berbagi ilmu kepada mahasiswanya, begitu kuat. Suatu hari, setelah UAS semester 2, di jurusanku didakan

kegiatan

baru,

ESC

(English

Speaking

Community), semacam TOEFL atau IELTS. Kegiatan ini menjadi salah satu prasyarat agar bisa mengambil skripsi nantinya. Semua dosen berkewajiban menjadi penguji saat tes ESC berlangsung. Pada hari tes ESC—entah itu kebetulan atau apa—penguji untuk kelasku adalah Prof. Suwono. Aku dan teman-teman menunggu beliau selama beberapa jam namun tak kunjung datang. Hampir saja aku dan temanteman mati bosan, untungnya beliau datang juga bersama sang istri, mengendarai mobil yang tiap hari setia menemani beliau. Beberapa anak dari kami bermaksud membantu, tetapi Prof. Suwono dan istrinya tidak mau.

143


Sungguh momen yang langka. Meski dalam keadaan terbatas, beliau tidak mau merepotkan orang lain. Waktu tes pun dimulai, kami berlatih dan berdoa agar semua berjalan lancar sesuai harapan. Ketika giliranku memasuki ruangan, beliau memberiku beberapa kertas dan aku disuruh mengambil salah satunya. Setelah itu, beliau menanyakan beberapa hal padaku dan aku menjawabnya dengan perasaan yang dag dig dug

duuaaarrr! Beliau bertanya tentang kota kelahiranku, Sidoarjo, aku pun menjelaskannya secara detail. Di waktu yang sama kuperhatikan beliau seksama, tangan beliau sedikit gemetar, aku tak tahu apa penyebabnya. Sambil tersenyum,

beliau

menanggapi

jawabanku

hingga

selesailah waktuku bersama beliau. Aku kembali berkumpul bersama teman-teman. Selanjutnya, salah satu temanku, Prita, masuk ke dalam ruangan untuk melaksanakan tes yang sama. Tak berapa lama Prita pun keluar dan membawa pesan pada kami bahwa Prof. Suwono meminta agar salah satu dari kami memanggilkan 144

istrinya

dikarenakan

beliau

sudah


waktunya minum obat. Segera aku bergegas mencari istri beliau, setiap sudut kampus kutelusuri, tapi tak juga kutemukan. Aku takut, pikiranku sudah melanglang buana entah ke mana. Akhirnya, aku temui Prof. Suwono. “Yasudah tidak apa-apa, terima kasih ya,� sahut profesor dengan raut wajah yang tetap tegar, usai kukatakan aku tak menemukan istri beliau di mana pun. Tak lama setelah itu, kulihat istri Prof. Suwono, segera kuhampiri sekaligus menyampaikan amanah dari sang suami. Aku ingat jawaban istri Prof. Suwono, “Maaf, Nak, tadi saya ke musala, salat zuhur, terima kasih sudah mengingatkan.� Allah Maha Besar, terenyuh rasanya melihat senyum beliau. Segera setelah itu istri Prof. Suwono masuk dan memberikan obat. Semenjak kejadian itulah aku merasa malu dengan diriku sendiri, Allah sudah memberikanku semua hal tanpa kekurangan tapi kenapa aku masih merasa tidak cukup. Usiaku masih muda, pikiranku tidak terganggu oleh apa pun, fisik juga masih kuat menopang 145


segala macam ujian, tetapi terkena kerikil saat berjalan saja sudah mengeluh minta ampun. Sedangkan Prof. Suwono, beliau memiliki keterbatasan, namun tak sedikit pun terlintas di benak beliau untuk mundur bahkan mengeluh. Pengabdian, kesabaran, dan cinta beliau pada mahasiswanya membuktikan bahwa beliau benar-benar seseorang yang memiliki hidup luar biasa. Dan sejak saat itu aku tidak membiasakan diri untuk mengeluh, berusaha sendiri untuk mengerjakan segala sesuatu, jika bisa kulakukan sendiri kenapa harus meminta bantuan? Aku pun berusaha mencintai, menghargai, serta menjaga apa yang sudah menjadi milikku. Terima kasih, Bapak Profesor, mungkin Allah memiliki cara lain untuk mengetuk setiap pintu hati umat-Nya, atas kehendak-Nya, Bapak Profesor menjadi perantara dalam menyadarkanku agar tidak putus asa bagaimanapun keadaan yang akan aku lalui, bersemangat meraih cita-cita demi membanggakan orang tua adalah wajib. Merr 146


Life is Struggle Sejak beberapa bulan awal aku masuk kuliah, aku sudah ditawari mengajar. Memang di awal aku masih canggung dan belum percaya diri, namun karena kurangnya uang Bidikmisi untuk membiayai hidup dan membayar kost—apalagi aku tidak mendapatkan dana tambahan dari orang tua seperti teman-temanku— kuputuskan

menerima

pekerjaan

tersebut

demi

menambah pemasukanku. Kini sudah hampir setahun setengah aku menjalani pekerjaan sebagai guru les anak TK sampai dengan SMP di rumah teman pamanku, beliau berprofesi sebagai dosen di berbagai universitas di Surabaya, beliau bernama Tuti Hariyanti. Beliau selalu memberi aku semangat dan kadang menambah uang gajiku. Sempat meninggalkan

aku

lelah

pekerjaan

ini

ingin bila

menyerah teringat

dan segitu

banyaknya murid yang berbeda kelas dan berbeda mata pelajaran, bahkan adakalanya mereka terlalu bandel dan 147


aktif

buatku.

Mungkin

saat

itu

semangat

dan

kesabaranku sudah mulai melemah. Namun, dengan adanya semangat belajar mereka, kelucuan mereka, dan tawa canda mereka mampu membangkitkan semangat mengajarku dan membuatku menikmati manis pahitnya mengajar. Di saat-saat itulah aku mulai berintrospeksi, barangkali inilah yang dirasakan guru-guru yang pernah mengajarku,

mereka

juga

mengalami

kejenuhan,

kejengkelan dengan beberapa murid yang bandel. Dari situ aku tahu bagaimana rasanya dan susahnya menjadi seorang guru. Pernah suatu hari aku sedang tidak fit. Aku terserang demam dan flu. Selain itu, aku juga memiliki tanggungan tugas-tugas yang menggunung yang esok hari adalah deadline-nya. Hari itu aku ingin tidak masuk, hampir saja mengirim pesan kepada pemilik bimbingan belajar bahwa aku tidak dapat mengajar hari itu. Akan tetapi salah satu pengajar yang sudah berada di tempat, mengirim pesan padaku kalau murid-muridku ada ulangan esok hari dan mereka membutuhkan tenagaku. Usai 148


membaca pesan tersebut, mulai kusingkirkan ego, bergegas mengajar. Namun, aku masih memunyai cobaan lain. Temanku yang biasa mengantarkanku sedang sakit pula. Dan dalam kondisi seperti inilah aku sering menyalahkan diriku sendiri karena aku belum bisa mengobati trauma untuk mengendarai motor setelah setahun lalu aku mengalami kecelakaan dengan sebuah mobil. Di sini aku mulai cemas dan mencari teman lain yang bersedia mengantarku. Hampir setengah jam aku menghubungi teman-teman, fortunately mbak kost-ku datang dan dia bersedia mengantarkan. Sampai di sana, mereka semua sudah bersiap menerima materi. Hari semakin malam, beberapa murid masih sibuk dengan tugas-tugas mereka dan salah satu murid malah terlalu malas untuk mengerjakan tugasnya meski dia punya kepandaian yang cukup. Dia selalu bergantung. Hampir semua nomor soal yang dia kerjakan, dia tanyakan. Padahal aku sedang pusing, flu, demam, PMS, dan juga kepikiran tugas-tugas yang sudah menunggu di kost yang belum satu pun aku lirik. 149


Untungnya tak jadi kuluapkan amarahku dalam atmosfer ruangan yang begitu tenang. Aku berusaha menenangkan diri, dan membuat murid ini agar mau mengandalkan kemampuannya

sendiri.

Akhirnya,

dia

selesaikan

tugasnya. Waktu berganti dan waktu mengajarku pun telah usai. Segera kukembali ke kost dengan diantar salah seorang pengajar yang ada di sana. Sampai di kost badanku menggigil lagi dan saat itu pula perut masih kosong belum terisi karena seharian belum ada nasi atau makanan apa pun yang mampu dicerna oleh lambungku. Sebisa

mungkin

kutetap

membuka

mata

dan

menegakkan badan di depan layar laptop lanjut mengerjakan tugas-tugas. Otakku rasanya masih kosong belum ada ide yang masuk, belum ada inspirasi yang mampu ditangkap. Sambil menunggu ide yang datang, aku mengisi perut dengan sebungkus nasi harga 5 ribu. Mungkin kelaparan yang aku alami tadi adalah salah satu penyebab macetnya kinerja otakku, karena setelah 150


selesai makan, ide mengalir begitu aja. Jemariku mulai lincah memainkan keyboard laptop yang ada di depan mataku. Tanpa kusadari waktu telah menunjukkan 01.00. Tak terasa aku sudah hampir menyelesaikan tugastugasku. Mata mulai terasa berat seperti ada beban yang menggantung, badanku mulai lelah, dan obat yang tadi aku cerna juga mulai terserap dan tersebar hampir ke seluruh aliran darahku. Kini mulai kututup si kotak merah jambu—laptopku—dan kubaringkan badan di atas kasur dan bantal yang selama ini telah menjadi drugs-ku. Kupejamkan mata berharap semoga hasil kerjaku malam itu mendapatkan hasil yang baik dan hari esok aku sudah dalam keadaan fit kembali. Layyin

151


dengan huruf kecil aku ceritakan aku nggak pernah paham sama kehidupanku sendiri di sebelah mananya yang mampu menginspirasi orang lain. andai itu benar, ceritaku menginspirasi, mungkin sekarang aku nggak akan duduk di depan laptop dengan hati dongkol karena dipaksa mengingat masamasa kelam itu. aku nggak pernah paham kenapa dari sekian milyar jiwa manusia tuhan memilihku. kalau dia mampu menciptakan 1 bill gates, 1 steve jobs, pasti dia mampu menciptakan 1000 bill gates dan 1000 steve jobs, kan? iya kan, tuhan? tapi tuhan malah menciptakan aku. aku nggak pernah paham kenapa untuk berlutut di hadapan-mu kami harus kau takuti neraka, siksa, dan dosa. bukankah bila kami sangat cinta maka sudah cukup alasan untuk tidak-tidak menuruti-mu? banyak yang aku nggak paham, tuhan. tapi aku juga nggak paham kapan kita akan bertemu. * 152


“tak tunggu sampe besok jam empat sore lek kalian masih di rumah ini ... lihaten!!!� teriakan itu masih terngiang jelas di otakku. di bayanganku. di tiap dentuman gendang telingaku. aku tidak akan pernah lupa dan tidak berniat melupakan kemarahan bapak malam itu. kemarahan yang tidak masuk akal. kemarahan yang menyebabkan seseorang ingin muntah. seseorang itu aku. sedetik setelah kalimat itu diteriakkan, aku berjanji tidak akan pernah mensyukuri hidup karena dihadirkan di tengah keluarga yang kacaubalau dan bapak yang tidak pantas kusebut bapak. aku marah besar. “oke, mil, besok pulang sekolah kita langsung kabur nggak usah balik ke sini. kamu pulang jam berapa?� “jam tiga sore, mbak ....� mil—milla, adik pertamaku yang hanya berjarak 2 tahun dan biasa kusebut my partner in crime. kami menangis berdua di kamar kala itu. berusaha tetap mengindahkan hidup, tapi

153


tidak juga menemukan sebelah mana yang indah. makanya kami ikuti saja alur yang ada. terserahlah. tengah malam aku dan milla menggeledah lemari bak maling yang dipacu waktu subuh. mana-mana baju yang pantas dibawa dan barang apa saja yang akan membantu. dua tas sudah penuh sesak dan kami menghentikan niat untuk menambah bawaan lagi. “terus kita mau ke mana, mbak?” “ke mana aja. aku wes nggak mau di rumah ini. kamu masih mau, ta? yowes aku tak pergi sendiri.” “nggak. males. aku yo benci bapak.” “pol!”

nggak lagi-lagi aku temui bapak. terakhir sudah. aku nggak sudi lagi. bagiku, hubungan darahku dan milla dengan bapak, berhenti mengalir malam itu. beberapa pekan setelah ulang tahun keenam belasku.

“kamu mau bunuh mama lek kamu pergi ninggalno rumah ini?! ha?! iya?! kamu mau bunuh mama???” drama. 154


drama pagi sudah mencuat-cuat dari dalam ruang tamu rumah bapak. iya, rumah bapak. sudah tidak mungkin aku bilang, “rumahku.� itu murni rumah bapak dan sayangnya pemilik rumah telah mengusir kami berdua semalam. sial. bisa-bisanya kami ketahuan, kalau di dalam tas ada belasan baju yang siap kami bawa kabur. batal sudah semua rencana bebasku. berjam-jam drama itu dimainkan, mama masuk ke ruang tengah membiarkan kami di ruang tamu, semacam yakin dua anaknya ini sudah membatalkan segala niat ‘pindah rumah’. padahal tidak. diam-diam aku dan milla membuka pagar. berjalan sebisa kami berjalan hingga berhenti di satu titik: rumah honk, teman se-geng. buyar sudah sebaskom air mata yang sepanjang jalan aku tahantahan. aku cerita semua-semuanya pada honk, mama, dan papa honk. rumah itu jadi ajang bimbingan konseling dadakan. segalanya sudah baik, meski tidak membaik. suasana sudah adem ayem, malahan aku ngakak sana155


sini bersama teman-teman se-geng—yang langsung meluncur karena tadi siang dikabari honk kalau keadaan si ins sedang genting—aku ceritakan kronologi tragedi berjudul “pengusiran seorang bapak kandung terhadap dua anak perempuannya� itu. karena hal sesepele laptop rusak dan toh bukan hasil ulah ngglatik kami. sudah. itu saja. itu saja penyebab kenapa kami diusir yang merembet ke mana-mana. itulah kenapa aku bilang sejak awal: tidak masuk akal. mereka bilang otak bapakku sedang semrawut akibat pensiun dini beberapa bulan lalu. otak yang biasa dipakai merancang pembuatan kapal mulai dari pesiar hingga selam itu mendadak harus stuck berbulan-bulan. tapi kan tetap saja. sekarang alibinya dampak pensiun dini, lhah dulu aku kelas 3 sd dipecut sabuk kulit karena tidak bisa menyelesaikan matematika pecahan itu apa?! dulu bersumpah tuhan itu fiktif karena lagi-lagi mama tak diberi anak laki-laki itu apa?! gemar menempeleng anak perempuannya sendiri yang baru berumur 2 bulan karena

156


tidak berhenti menangis itu juga apa?! memang dasarnya dia pemarah, otoriter, main tangan.

“pokoknya aku nggak suka punya bapak itu!� satu kalimat pertama dan terakhir kulontarkan pasca teman-teman mencoba beralasan logis tentang perlakuan bapak. aku tahu maksud mereka menenangkan, mengerem keinginan grusah-grusuh-ku untuk pergi dari rumah. tapi tetap saja mentah-mentah aku tampik karena kejenuhanku juga sama logisnya. entah pantasnya kusebut apa hari itu. bertubi-tubi dirundung kesialan. mama menjemput ke rumah honk. kaget memang, sangat kaget. menjadi tidak, kala aku tahu ternyata mama ditelepon papa honk bahwa kami ada di sana. perang hebat. drama lagi-lagi. lagi-lagi drama. pasrah. aku dan milla menuruti mama. pulang ke rumah. sekali lagi,

pulang ke rumah.

157


semalam suntuk air mataku mengucur. bersamaan dengan mengucurnya pemikiran bagaimana kalau aku manfaatkan saja tali yang mama simpan dalam lemari. daripada dianggurkan begitu, lebih baik untuk pengantar kematianku. langsung kususun rapi rencana, sebelum perkara ini berlarut-larut membuatku kalut ... gila. pikirku, pukul 2 dini hari nanti akan kubuka pintu kamar mandi, kuikat tali di sisi ruangan yang sudah kubidik, kupasang alarm barangkali aku tertidur, dan kutulis pesan terakhir agar polisi tak usah rempong-rempong mencari siapa pelaku pembunuhan berencana itu. karena jawabannya hanya satu: ya aku. pukul 2 sudah tiba, aku terbangun lebih dulu dari alarmku. oh, bukan terbangun. memang belum tidur. gemetaran aku persiapkan semua. apa yang bakal terjadi. apa yang bakal terjadi. apa? satu kakiku sudah turun dari kasur. siap disusul kaki sebelahnya. belum buyar gemetaran tanganku, malah telepon genggam yang bergetar. penanda pesan singkat masuk.

158


ins, aku nggak tau kenapa aku mendadak puingiiiiin ngirim sms ini. aku sudah tidur, tapi kepikiran nangismu tadi. makanya aku langsung ngetik ini. meski aku nggak tau rasanya jadi kamu, tapi kamu harus tau lek kami semua sayaaaaaang sama kamu. apa pun masalahmu, ingeto ini semua pasti berakhir. kami akan selalu siap meluk kamu. wes, jangan nangis terus (aku tau kamu pasti belum tidur kan). sekarang tidur dan lupain semua. besok kamu nginep rumahku aja. ingeto masih banyak yang sayang kamu .... tangisku pecah. aku sesenggukan.

aku peluk telepon genggamku karena tidak bisa kupeluk langsung pengirim pesan singkat itu: fre. salah satu dari mereka yang tadi sore menemaniku di rumah honk, yang selalu ada saat aku ingin mereka ada. * sekarang umurku 21. 159


5 tahun sudah berlalu. hubunganku dengan bapak memang tak seburuk waktu itu namun juga tak sebaik waktu aku mendapat sepeda baru dan peringkat satu. bila kuingat masa enam-belas-tahun-nan-kelam lumayan konyol rupanya. aku pernah berada di titik se-tak karuan itu. bagai mayat hidup yang luntang-lantung. tidak makan 4 hari 4 malam pun aku pernah rasakan. tidak makan dalam arti harfiah. ya tidak makan. sebiji kacang tanah pun tidak. apalagi sesuap nasi. dulu aku tak sudi makan nasi hasil kerja bapak. aku bisa menghidupi diriku sendiri. aku bisa hidup sendiri. aku bisa semuanya sendiri. terlalu lama aku punya bapak tapi tak punya bapak. orang bilang mati bunuh diri masuk neraka. kenapa apa-apa pada takut neraka, sih? kalau dunia toh sama panasnya. logikanya, kalau bapakku sendiri saja jahat apalagi orang lain?

apa sih “bapak� itu?

160


rasanya aku ingin bilang ke tuhan, “i would choose either i were never born on this earth or i was born but killing all humans then live alone. there is no in-between.�

killing all humans then live alone killing all humans then live alone .... aku masih bertanya-tanya andai tali itu sungguhan mengekang leherku kencang. bagaimana. apakah bapak akan menyesali semua ketidakdewasaannya atau justru beruntung karena hilang sudah satu tanggungan? bila malaikat kanan kiriku saja tidak tahu, apalagi aku. karena semua tersimpan rapi dalam sebuah kata yang sering kita sebut sebagai,

misteri.

semisteri perasaanku terhadap bapak. hingga sekarang.

161


letakkan aku di kerumunan penghantam maka tidak sesenti pun aku tumbang letakkan aku di tanah gersang maka tidak sedetik pun aku kelaparan letakkan aku di tengah ombak lautan maka tidak sekaki pun aku tenggelam tapi letakkan aku pada sebuah papan. bertuliskan:

apakah kamu sayang bapak? sudah kupastikan ... aku gelagapan. ins uj

162


Harga Mati untuk Derajat Orang Tua Terlahir dalam keluarga kecil dengan kehidupan sederhana walaupun tak diberkahi kekayaan melimpah, bagiku merupakan sebuah berkah tersendiri. Aku tak menyalahkan takdir ataupun Sang Pencipta akan hal ini karena menurutku Yang Maha Kuasa memiliki suatu rencana tersendiri untukku maupun keluargaku. Aku begitu menyayangi kedua orang tuaku dan juga adik kecilku yang kini masih duduk di bangku 6 SD. Terlebih lagi, aku sangat menghormati dan mengagumi Bapak, sesosok penjaga kehidupan keluargaku, yang usianya sudah tak lagi muda dengan tubuh yang tak lagi kekar layaknya masa muda dulu. Namun, Bapak masih tetap memperjuangkan hidupnya untuk menghidupi kami bertiga hingga aku bisa seperti sekarang ini. Ketika aku beranjak dewasa dan memasuki bangku perkuliahan, inilah kenapa aku sadar betapa besar pengorbanan Bapak untukku dan keluarga kecil ini. Tiap pagi bahkan sebelum matahari membumbung tinggi, 163


Bapak sudah menuntun sepeda tua keluaran 70-an yang masih terawat untuk berangkat kerja. Sebenarnya kami punya sebuah motor pemberian salah satu kerabat, awalnya, kupikir itu bisa Bapak gunakan. Tapi beliau menolak secara halus yang bahkan jawabannya sampai membuat batinku menangis. Aku sangat ingat akan perkataannya waktu itu walaupun itu disampaikan melalui Ibuk. “Gak usah. Kata bapakmu pakai itu motor buat kuliah, lagian naik sepeda lebih cepet gak kena macet. Bapak gak mau kuliahmu terganggu karena kelelahan di jalan naik sepeda.� Batinku bahagia namun serasa teriris dan aku hanya bisa menunduk terdiam mengiyakan keteguhannya. Sungguh membuat dadaku sesak sesesak-sesaknya karena aku tahu sendiri seberapa jauh jarak yang Bapak tempuh setiap hari. Aku tahu di mana tempat Bapak bekerja dan itu berjarak 12,5 km dari tempat kami tinggal yang artinya Bapak harus menempuh sejauh 25 km pulang pergi, padahal aku sendiri tak sampai setengah 164


jalan sudah menyerah karena kelelahan saat pertama mencoba bersepeda seperti Bapak. Sejak saat itu, aku bertekad

untuk

tidak

membuat

Bapak

semakin

menderita. Apalagi terbebani oleh biaya kuliahku yang tak murah bagi orang seperti kami. Aku adalah anak pertama dan aku merasa memiliki tanggung jawab besar demi kelangsungan hidup keluarga ini. Apalagi aku memiliki adik yang harus kujaga saat Bapak sudah merasa lelah bekerja dan memutuskan beristirahat. Siapa lagi yang akan memikul tugas ini selain diriku sendiri walaupun begitu berat. Kupikir Bapak sangatlah tangguh dan hebat, apa aku sanggup melampauinya? Bukan, ini bukan masalah bisa atau tidak, tapi harus. Aku harus melampaui Bapak. Tak banyak yang bisa kulakukan sebagai seorang mahasiswa untuk meringankan beban Bapak kecuali kerja sambil kuliah. Awalnya, aku membicarakan hal ini dengan Ibuk. Dalam keluarga kami berlaku sistem: Kalau seorang anak akan berpendapat dalam suatu hal maka ia harus menyampaikan pada Ibuk dahulu agar bisa didiskusikan 165


dengan Bapak. Setelah mencapai kesepakatan, barulah Ibuk yang menyampaikan pada anak-anaknya. “Bicaralah pada bapakmu sendiri nanti sore setelah dia pulang kerja. Begitu katanya,� jelas Ibu pasca kubeberkan niatanku. Tapi bukannya membuatku lega, malah semakin gugup. Sungguh itu jawaban penuh tekateki yang tak mengenakkan. Sore itu ketika aku mau beranjak mandi, aku mendengar bunyi sepeda tua Bapak. Melihat Bapak yang baru pulang sungguh menyakitkan. Sangat menyakitkan bahkan, sampai membuatku susah bernapas saking sesaknya. Dengan tubuh tuanya itu Bapak menyandarkan sepeda setelah menempuh perjalanan panjang hari itu. Bahkan baju yang Bapak kenakan sudah sangat basah seperti selepas bermandikan air hujan, padahal itu bukan air hujan, melainkan keringat dari tubuhnya.

Astaga, Tuhan, aku sudah tak sanggup lagi melihat ini. Aku tak sanggup, aku tak sanggup. Bapak

duduk

bersandar

sambil

mengibas-

ngibaskan topi bermaksud mengurangi rasa panas. 166


Malahan dengan napas terengah Bapak masih bisa tersenyum setelah kuambilkan air minum.

Tuhan, aku harus segera melampaui Bapak agar Bapak tidak menderita terus, lagi-lagi aku membatin. Tak lama setelah Bapak menyelesaikan makannya, Bapak duduk di kursi panjang teras rumah. Was-was, kuhampiri Bapak lalu duduk di sebelahnya. Kami terdiam sejenak karena aku sendiri sangat bingung harus mulai dari mana. “Mau ngomong apa?” Pertanyaan bapak menyentak kesadaranku. “Eh? Mm, aku ngomong dengan Ibuk kalau aku mau ker—” “Gak!” Belum kuselesaikan kalimatku, Bapak sudah memotong. “Buat apa kamu kerja?! Tugasmu sekarang kuliah, gak usah mikir uang, Bapak masih sanggup buat biayain kuliahmu!” Tegas Bapak layaknya sang diktator.

167


“Tapi aku pengen bisa cari uang sendiri dan gak bergantung sama Bapak. Aku kasihan lihat Bapak pulang kelelahan tiap hari,” aku berusaha meyakinkannya. “Gak. Punya hak apa kamu buat ngasihani Bapak. Kalau kamu punya waktu untuk itu, belajar sana.” Bapak pun pergi meninggalkanku secara sepihak. Benar kata Ibuk, harga diri Bapak begitu tinggi. Membuatku semakin nekat. Dua hari setelahnya, bersamaan dengan ujian akhir semester pertamaku, aku pergi ke sana ke mari mencari kerja, tapi sangat susah ada yang mau menerima mahasiswa dengan jadwal begitu padat. Sudah seminggu aku menunggu, tetap saja tak kunjung ada pekerjaan yang cocok dengan jadwal kuliahku. Setelah sekian lama—mungkin sekitar 3 pekan— aku mendapatkan pekerjaan, sebagai penjaga toko yang letaknya tak jauh dari rumah. Barangkali pemilik toko itu kelelahan mengelola sendiri karena sudah tua makanya beliau menerimaku. Toko itu menjual berbagai barang elektronik mulai dari VCD, TV, sampai lemari es. Setiap 168


harinya pasti ada pembeli yang datang. Toko yang cukup ramai, kupikir. Aku bekerja di sana sudah sebulan lamanya

dan

merasa

cukup

nyaman.

Namun,

dibandingkan dengan Bapak, aku ini tidak ada apaapanya. Hari yang kutunggu–tunggu pun tiba. Hari gajian. Aku baru tahu betapa mendebarkannya menunggu uang gaji hasil kerja sendiri. Meski tak banyak yang bisa kudapatkan, itu mampu membantu Bapak agar tidak terlalu lelah mencari uang. Di pihak lain, ternyata begitu banyak godaan setelah mencapai suatu penghasilan. Banyak sekali teman-teman kelasku yang mengajak jalan-jalan, nonton, atau bahkan sekadar makan. Sukses membuatku tergiur, tapi tiap kulihat isi dompet aku selalu teringat Bapak, teringat perjuangan Bapak, yang kembali mengiris hatiku. Kuteguhkan keyakinan dan kuberikan gaji pertamaku kepada Ibuk. Ibuk terlihat senang dengan pencapaianku karena aku sudah mampu mencari uang sendiri.

169


“Jangan lalai karena kamu sudah bisa cari uang sendiri. Tapi Ibuk bangga sama kamu, Ibuk pikir ini akan sedikit

membantu

untuk

kuliahmu.”

mendengarnya. “Tapi ingat, jangan

Aku

senang

sampai

hal ini

mengganggu kuliahmu. Karena derajat kami, para orangtua, akan naik atau tidak itu tergantung keberhasilan anak.” Itulah kalimat Ibuk yang cukup menggetarkan hatiku. Keesokan paginya, aku lihat Bapak sudah mau berangkat kerja. Bapak tidak mengatakan apa-apa padaku maupun Ibuk, tapi aku yakin Bapak senang karena terlihat dari wajah yang jauh lebih cerah dibanding biasanya. Aku cukup yakin dengan pemikiranku itu karena sehari sebelum aku memberikan gaji pada Ibuk, aku telah menunjukkan hasil nilaiku selama satu semester pada Bapak dan Ibuk, IP-ku 3,67 dan kupikir itu cukup memuaskan. “Le, Tole, ke sini bentar.” Sungguh kaget tiba-tiba Bapak memanggilku. “Iya, Pak?” “Kalau kamu sudah merasa lelah kamu boleh istirahat. Dan kalau kamu dihadapkan pada pilihan yang sulit mintalah tolong pada Yang Maha Kuasa. Yakinlah Tuhan

170


akan menolongmu. Kalau kuliahmu terganggu, Bapak tidak akan mengijinkanmu kerja, kamu lebih hebat dari yang Bapak perkirakan.�

“Iya, Pak, ini baru dimulai,� begitu terangku kepada Bapak yang hanya ditanggapi senyuman lantas bergegas pergi. Aku sungguh bangga dengan Bapak, tidak hanya tangguh, tapi sangat peduli dengan keluarga kecil ini. Apa yang ada dalam benakku adalah aku harus segera sukses dan lulus dengan nilai baik lalu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang serta harus mampu menaikkan derajat orang tuaku. Tidak mudah memang, tapi juga tidak mustahil. Tak apa bagiku jika memang aku harus mengorbankan kebahagiaan dan kesenangan masa muda demi derajat kedua orang tuaku. Karena derajat orang tua adalah harga mati untukku. Aku harus melampaui bapakku. Galih Jati

171


Angel-ku yang Cantik Awal liburan semester dua-ku telah tiba. Semua mahasiswa mungkin sedang menikmati liburannya dengan bekerja atau berwisata. Namun, aku hanya ‘berlibur’ di rumah sakit. Ibuku sakit dan tak kunjung sembuh. Resep dokter langganan yang biasa sembuhkan sakit lambungnya, entah kenapa tidak bereaksi kali ini. Kami sekeluarga pun memutuskan pergi ke rumah sakit lain. Setelah tes darah lengkap, Ibu pulang bersama bapak membawa hasil laboratorium. Yang aku ingat Ibu bilang, “Yok opo iki, Mbak Acis?” sambil menangis. “Gimana ini, Mbak Acis?” Beliau menyodorkan hasil tes padaku. Aku bertanya ada apa tapi tidak ada respon dan beliau hanya mengusap air matanya. Aku melihat hasil lab dan kaget setengah mati. Setelah membaca kertas bertuliskan,

Diagnosa: Leukemia atau diagnosa banding infeksi bakteri berat; Saran: BMA. 172


Seketika aku lemas dan teringat pada beberapa bulan lalu. Sahabatku, Agnes, serta abi dari sahabatku lainnya, Afri, meninggal akibat kanker. Ya Allah, apa semua ini? Kucoba cek ulang dan semuanya normal kecuali

white blood cell yang sedikit melebihi batas normal dan hemoglobin di bawah normal. Aku berusaha menenangkan Ibu. Setelah itu, cepat-cepat kucari di internet tentang leukemia dan apa arti “BMA�. Ternyata, BMA adalah Bone Marrow Aspiration. Artinya Ibu harus segera tes sumsum tulang belakang untuk membuktikan apakah benar leukemia atau bukan. Dulu, Agnes sampai lemas dan kesakitan akibat tes itu. Dan apakah ibuku harus merasakan sakit yang sama? Aku menangis sepanjang malam. Dari diagnosis jenis kankernya, itu termasuk leukemia akut dan hanya bisa bertahan sekitar enam bulan. Betapa kagetnya aku membuat air mataku mengalir semakin deras.

No, God. I love my mom. Don't take her back to You. 173


Akhirnya, kuputuskan memberitahu Bapak atas apa yang aku baca di internet dan mendorong beliau untuk cepat membawa Ibu ke rumah sakit terbaik untuk tes sumsum tulang belakang. Mendengar hal itu, beliau kaget tidak percaya separah itukah Ibu. Bapak mengeluh perutnya sakit dan keluar masuk kamar mandi. Begitulah respon tubuh beliau saat mendengar sesuatu yang buruk dan membuatnya sedih. Beliau tidak berhenti menangis. "Yok opo iki, Nak. Yok opo ibukmu? Sakno ibukmu, Nak. Bapak gak isok nek gak onok ibukmu. Opo tomboe, Nak? Tolong dolekno nang internet yok opo, Nak," Bapak memohon sambil kami menangis bersama. “Gimana ini, Nak? Gimana ibumu? Kasihan ibumu, Nak. Bapak nggak bisa kalau nggak ada ibumu. Apa obatnya, Nak? Tolong lihatkan di internet.� Di situlah cerita kami dimulai. Air mata, perjuangan, kesedihan, dan doa mengiringi langkah kami dalam menyembuhkan Ibu. Ibu adalah orang yang menurut kami baik. Ibu sangat suka mendalami ilmu agama. Beliau telah memutuskan menutup aurat. Beliau suka sekali 174


dengan Al-Quran, bahkan hafal beberapa juz yang berhasil membuatku kagum. Bersedekah adalah hobinya. Semua tetangga kami sangat menghormati dan menyayangi beliau. Bahkan beberapa dari mereka terpengaruh untuk salat dan mengaji bersama karena ingin seperti beliau yang sangat lurus terhadap agama. Kami sekeluarga suka berbagi ilmu. Jika sore hari, aku, Ibu, Bapak, adek, dan Mbah membicarakan tentang kehidupan, agama, dan berbagai macam hal yang tidak sengaja menjadi topik pembicaraan yang asyik. Dalam keluarga, aku ibarat pemain ludruk. Akulah pencipta humor yang berhasil membuat semua orang tertawa. Banyak orang yang iri dengan keharmonisan keluarga kami. Aku banyak mengajari Ibu tentang berbagai hal, seperti bagaimana seharusnya seorang istri, seorang Ibu, bagaimana menjalani hidup, bagaimana hidup dalam bertetangga, bagaimana kewajiban seorang istri pada suami, dan tentang kepemimpinan.

175


Jika ditanya siapa orang di balik semua ini, akan kujawab, “Bayu Anggoro bin Sahit.� Ya, dialah pasanganku yang mengajarkanku banyak hal seperti apa yang aku tahu sekarang. Aku mengagumi dan mencintainya. Sekitar tujuh kali Ibu keluar masuk rumah sakit. Dan akulah teman setianya. Aku rela menghabiskan liburan tiga bulanku hanya untuk menunggui Ibu di rumah sakit. Aku jarang pulang ke rumah. Ibu manja sekali waktu sakit. Beliau hampir mendapatkan semua perhatian dari orang-orang terdekatnya. Fisiknya memang tidak terlihat seperti sakit, namun sering mengeluh sakit di bagian perut dan panas di seluruh tubuh. Beliau sangat senang sekali jika aku menemaninya. Karena aku selalu mengajak beliau bercanda sampai beliau benar-benar tertawa. Mbak Acis. Bisa dibilang panggilan sayang Ibu padaku. Aku senang sekali jika Ibu memanggilku begitu. Bisa kurasakan kasih sayangnya yang besar yang tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun. She is my angel. Namun, ada satu kekurangan beliau. Beliau adalah orang 176


yang suka panik, tidak bisa tenang jika sesuatu yang buruk terjadi. Saat sakit beliau sering membuatku sedikit marah karena kepanikannya, suka mikir yang tidak-tidak. Entah berapa liter air mata yang telah beliau keluarkan. Saat opname yang ketujuh, kondisi Ibu tak kunjung membaik. Sayangnya aku sudah masuk kuliah. Jadi tidak bisa menemani Ibu di rumah sakit. Tiap jam kuliah berakhir, aku ngebut menuju rumah sakit. Aku sudah kangen sama angel-ku yang cantik. Kondisi beliau terlihat semakin buruk. Sulit bicara, makan, bahkan minum pun karena tenggorokannya sakit. Mata ibu merah. Tubuhnya bengkak karena harus terus diinfus. Aku menyuapinya untuk makan dan minum perlahan. Aku sedih melihat semua itu, tapi aku yakin ibu akan sembuh. Ibu terus menangis dan meminta pulang. Namun kami tidak mengizinkannya. Ibu bilang ingin meninggal di rumah saja. Saat itu aku pikir Ibu hanya panik karena seluruh tubuhnya sakit. “Buk, tadi di kampus ada anak wisuda. Mereka sama keluarganya. Buk, aku pengen banget, Buk, wisuda 177


sama Ibuk. Makane pean cepet sembuh biar bisa lihat wisudaku,

Buk,”

ceracauku

sambil

menangis

di

sampingnya. Namun beliau hanya membalas dengan senyuman. Esok harinya sebelum aku harus pulang karena menunggu arisan di rumah, aku ajak Ibu untuk seka dan gosok gigi. Setelah gosok gigi, Ibu berkaca di cermin, “Mbak Acis, mataku kok merah yo, Mbak Acis?” Aku hanya menjawab mungkin itu efek obat karena aku sudah menanyakan semua keluhan Ibu pada suster. Aku pun mengambil

air

hangat

dan

menyeka

tubuhnya.

Mengajaknya duduk menonton televisi tapi beliau menolak dan memilih berbaring. Setelah sampai di rumah, tiba-tiba hatiku tidak enak. Aku menelepon Bapak dan menanyakan kabar Ibu, “Pak, tolong jogoen Ibu, Pak. Ajak en orange bercanda ben gak sedih dan lupa sama penyakitnya,” air mataku keluar begitu saja. “Pak, tolong jaga Ibu, Pak. Ajak orangnya bercanda biar nggak sedih dan lupa sama penyakitnya.”

178


Bapak hanya bilang Ibu tidak apa-apa dan aku disuruh mendoakan. Aku pun menangis di tempat tidur dan memutar koleksi laguku yang mengisahkan tentang “ibu�. Entah kenapa rasanya aku ingin kembali ke rumah sakit. Benar firasatku. Bapak balik menelepon dan bilang Ibu tidak sadar. Aku ngebut ke rumah sakit bersama Pakde dan adek. Seketika kumenangis dan kuciumi

angel-ku yang cantik yang hanya terbaring dan bernapas dengan alat bantu. Aku ambil air wudu dan membacakan beliau surat Yaasin. Bapak melakukan hal yang sama, menangis juga. Namun semua itu hanya berlangsung 1 jam. Suara napas beliau yang tadinya bisa kudengar, tiba-tiba menghilang. Aku coba mengecek nadinya, ternyata sudah tak berdetak. Aku menyuruh bapak secepat mungkin memanggil dokter atau suster atau siapa pun yang ada. Aku kalap. Benar. Ibu baru saja pergi meninggalkan kami. Semua berteriak dan menangis. Aku hanya bingung, 179


secepat itukah Ibu pergi? Tinggal beberapa bulan lagi Ibu akan menginjak usia 38 tahun. Dan menurutku, itu usia yang masih sangat muda. Beliau hanya menemaniku 20 tahun lebih 3 bulan, bahkan hanya menemani adek 9 tahun lebih 1 bulan. Dokter telah menutup seluruh tubuh Ibu dengan kain putih untuk dimasukkan ke ambulans. Aku selalu bersama Ibu dan bahkan menolak jemputan Bayu. Aku hanya ingin bersama Ibu terakhir kali. Di ambulans aku hanya diam dan melamun. Seakan tidak percaya apa semua ini benar-benar nyata ataukah mimpi. Gang rumahku sudah dipenuhi orang. Mereka semua berjalan di belakang ambulans memberi penghormatan terakhir pada Ibu. Aku melihat Bayu berada di barisan terdepan bersama neneknya. Mirip sekali bagai upacara pernikahan, sayangnya ... justru pemakaman. Semua orang berteriak dan memelukku. Aku hanya bisa menangis dan membalas pelukan mereka erat. Aku berusaha untuk melihat Ibu yang sudah dibaringkan, namun orang-orang melarang karena takut aku akan tidak 180


kuat. Kucoba melepas tarikan mereka lalu mencium pipi, kening, dan bibir Ibu tapi aku malah ditarik kembali. Aku masih merasa belum puas. “Aku pengen cium Ibuk, aku pengen cium Ibuk sekali lagi,� tangisku. Aku pun berhasil menciumi Ibu lagi. Aku berusaha sekuat mungkin. Aku ingin merawat Ibu terakhir kali. Kuambil kerudung di dalam lemari untuk ikut memandikan Ibu. Namun sekali lagi, orang-orang melarang karena takut aku tidak kuat. Aku tidak pedulikan itu. Ini kesempatan terakhirku! Aku tidak mau menyia-nyiakan ini semua. Kudengar semua orang memuji kecantikan Ibu saat dimandikan. Semua orang bilang Ibu seperti sedang tidur, bukan seperti orang meninggal yang pucat pasi. Dalam hati aku menyuruh Ibu bangun. Aku ingin kebesaran Allah membangunkan Ibuku lagi. Tapi itu sia-sia. Tangan Ibu jatuh di tanganku saat kumandikan. Aku menangkapnya dan memeganginya. Sentuhan itu seolah Ibu sedang bilang bahwa beliau tidak ingin berpisah denganku.

181


Aku selalu berada di barisan terdepan dalam mengafani, menyalatkan, dan memakamkan Ibu. Sekali lagi, kembali kuciumi kening, pipi, dan bibirnya. Aku sangat ingin Ibu tahu aku begitu mencintainya. Aku bahkan terus berharap Ibu bangun saat pelan-pelan tubuhnya dimasukkan ke liang lahat. Aku sempat membenci Tuhan. Aku ingin Ibu tetap hidup. Bahkan sampai saat ini, aku tetap memohon pada Tuhan untuk menghidupkan Ibuku kembali, karena yang aku percaya, tidak ada yang tidak mungkin untuk-Nya. Meski semua orang akan bilang aku gila. Wakhidatul Sisca Putri Anggraini

182


terima kasih sudah menghabiskan antologi ini bukti kami tidak hanya cetak skripsi sekalipun di luar sana lebih banyak yang menginspirasi namun di dalam sini, tetap ... #gerakanliterasi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.