Jakarta 32ºC 2012 - Post Event Catalogue

Page 1

POST-EVENT

i


ii


pOST-event:

i


ii


pOST-event:

editor

Asep Topan

Š Yayasan ruangrupa 2012 iii


pOST-event:

Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved © Yayasan ruangrupa Jakarta, Indonesia 2012 Penyunting Editor Asep Topan Penulis Writers Ellena Ekarahendy, Leonhard Bartolomeus, Manshur Zikri, Nastasha Abigail, Natya Sekar Arum, Renal Rinoza, Rizki Ramadan, Robin Hartanto Penerjemah Translator Umi Lestari, Pitoresmi Pujiningsih Pimpinan Produksi Production Manager Andang Kelana Ilustrasi Sampul Cover Illustration Angga “Acip” Cipta Rancangan & tata letak isi Design & Content Layout Aditya Fachrizal Hafiz “GOOODIT” Diterbitkan oleh Published by Yayasan ruangrupa Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 6 Jakarta Selatan 12820 Indonesia T/F. +62 21 8304220 E. info@jakarta32c.org W. jakarta32c.org F. facebook.com/jakarta32c T. twitter.com/jakarta32c Penerbitan ini didukung oleh This publication supported by Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta Ministry of Education and Culture Republic of Indonesia, Jakarta Cetakan Pertama First Edition, November 2012 Post-Event: Jakarta 32°C Jakarta: Yayasan ruangrupa xvi + 176 halaman isi content pages 17,6 x 25 cm ISBN:

iv


#jkt32c v


vi


vii


Kata Sambutan

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Era persaingan global saat ini menuntut seseorang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dapat terus dikembangkan. Ketika pendidikan formal tak mampu menyediakan kedua hal tersebut, pendidikan nonformal menjadi alternatif yang layak dicoba. Selama lima tahun terakhir, Jakarta 32°C telah menjadi alternatif yang menyegarkan dengan mengadakan berbagai workshop di bidang seni dan budaya visual. Rangkaian pelatihan tersebut dipandu oleh para praktisi yang kompeten di bidangnya. Hasil workshop dipresentasikan dalam pameran bersama karya-karya mahasiswa lain se-Jakarta. Pameran ini menjadi ajang apresiasi dan sekaligus menjadi titik awal bagi mereka yang berniat serius menekuni bidang seni. Kami berharap, semoga penyelenggaran workshop dan pameran ini dapat menjadi laboratorium pelatihan dalam mengembangkan bakat mahasiswa pada umumnya, dan menjadi tempat lahirnya seniman-seniman muda Indonesia yang berkarakter dan berkualitas pada khususnya. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang telah mencurahkan pikiran dan tenaga dalam penyelenggaraan workshop dan pameran. Selamat berkarya dan terus semangat. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 1 Oktober 2012 Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Drs. Sulistyo Tirtokusumo, M.M. viii


Foreword

Assalamu’alaikum Wr. Wb. In this globalisation era, a person who has knowledge and skill which can be developed is required. When formal education was not able to provide those things, informal education became an alternative. Over the last five years, Jakarta Jakarta 32°C had been being the fresh alternative event, holding various workshops in arts and visual culture. The workshop series were facilitated by competent practitioners in their field. The workshop results were presented in the exhibition of university students in Jakarta. This exhibition became a site of appreciation and also the starting point for those who intended to pursue art seriously. We hope this workshop and exhibition can be the training labs in developing student’s talent in general, and be the birthplace of young Indonesian artist who has special character and quality. On this occasion, we would like to thank all participants, who fully concern in this workshop and exhibition. Congratulations and keep the spirit! Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 1 Oktober 2012 Director of Art Affair Ministry of Education and Cultural Affairs Republic of Indonesia

Drs. Sulistyo Tirtokusumo, M.M.

ix


Pengantar

Penerbitan buku pasca-kegiatan Jakarta 32°C ini dimaksudkan untuk membaca kembali kegiatan-kegiatan workshop dalam Jakarta 32°C 2012. Pertama kalinya, kami, Komplotan Jakarta 32°C menerbitkan sebuah buku yang berisi ulasanulasan dari para penulis muda yang kami undang. Seperti biasa dalam perhelatan dua tahunan ini, semenjak 2004 hingga sekarang selain hanya mengadakan pameran, Jakarta 32°C selalu mengadakan kegiatan workshop yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa lintas disiplin sebagai laboratorium mahasiswa dalam bereksperimentasi. sadar bahwa pola berpikir, tingkat kesadaran, dan asupan informasi dalam berkarya juga penting dan sebanding dengan pencapaian teknis dan hasil akhir. Dan hal ini tidak akan dapat terjadi jika pemahaman ini tidak ditumbuhkan sejak awal. Untuk itulah kegiatan workshop ini diselenggarakan. Pada 2012 ini, ada tujuh kegiatan workshop yang berbeda bersama seniman terpilih menjadi pemateri, dengan proses kegiatannya yang berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Seniman dipilih berdasarkan fokus berkarya masingmasing, di antaranya adalah; Irwan Ahmett (Seni Rupa Publik), The Secret Agents (Fotografi), Bagasworo Aryaningtyas & Syaiful Anwar (Video Eksperimental), Anggun Priambodo (Video Bunyi), (Komunikasi Visual Berbasis Cetak), oomleo (Seni Digital dan Interaktif), serta Ardi Yunanto & Iswanto Hartono (Arsitektur). Demikian, semoga buku ini dapat memberi “lowongan-lowongan”—seperti tema workshop Jakarta 32°C 2012— baru, baik dalam segi kritis maupun kegiatanya sendiri ke depannya. Salam,

Ketua Jakarta 32°C Andang Kelana

x


Introduction

Publishing Jakarta 32°C post-event book is intended to reread all this event workshop activities. This is the first time for us, the gang of Jakarta 32°C, publishing a book contained many reviews from the invited young writers. Usually, this biennial event - since 2004 untill now, is not only holding an exhibition, but also a workshop which was attended by multi-discipline students as their experiment laboratory. We are aware that thingking pattern, consciousnees level and information intake are important as well as technical achievement and the result in order to make an artwork. This consciousness will not happen if it is not followed by understanding since the beginning. For that reason, this workshop was held. This year, there are seven workshops facilitated by the elected artists and went on for a month. The artists selection were based on their focus, there are; Irwan Ahmeet (Public Space Art), The Secret agents (Photography), Bagasworo Aryaningtyas & Syaiful Anwar (experimental Video), Anggun Priambodo (Sound Video), Popo (Print-Based Visual Communication Design), oomleo (Digital and Interactive Art), and Ardi Yunanto & Iswanto Hartono (Architecture). We hope this book will give another new “vacancies” - like the theme in Jakarta 32°C 2012 workshop, both critically and for the next event. Regard,

Chairman of the Jakarta 32°C Andang Kelana

xi


Daftar Isi Contents

Kata Sambutan viii Foreword ix Pengantar x Introduction xi Catatan Editorial Editorial Notes Workshop Workshop Seni Rupa Publik Public Art Workshop Citizen Tactics: Mencari Surga di Jakarta Citizen Tactics: Looking for a Piece of Paradise in Jakarta Workshop Fotografi Photography Workshop Mempekerjakan Fotografi Merekam Interpretasi Tentang Profesi Employing Photography to Record Interpretation of Profession Workshop Video Eksperimental Experimental Video Workshop Lowongan Video Eksperimental Experimental Video Vacancy Workshop Video Bunyi The Sound Video Workshop Harmonisasi Bunyi di tengah Bisingnya Kota Jakarta Sound Harmonization in the mids of Jakarta's Noise Workshop Komunikasi Visual Berbasis Cetak Visual Communication Workshop Multi Aksi: Menciptakan Peluang di Jakarta 32°C Multi Action: Creating Opportunities in Jakarta 32°C Workshop Seni Digital dan Interaktif Digital Art and Interactive Workshop ‘Menghidupkan’ Jakarta Dalam Ruang Digital ‘Turning’ Jakarta in Digital Space Workshop Arsitektur Workshop on Architecture Seruan Sembunyi-Sembunyi The Hidden Exclamation Menengok Gerakan Mahasiswa dan Geliat Seni Mahasiswa In A Glance: Student Movement and Their Action in Art xii

1 3 8 9 13 17 24 25 29 33 40 41 45 49 56 57 61 65 70 71 75 79 86 87 93 97 104 105 109 113 125 131


Beruntung Karena Menyimpang: Sebuah Catatan Tentang Pendidikan dan Pekerjaan Deviant Luck: A Note on Education and Work Mendidik Yang Terdidik Educating the Educated

139 143 149 153

Biografi Singkat Pemateri Workshop Short Biography of Workshop Facilitator Biografi Singkat Penulis Short Biography of Writers Catatan Penjurian Pemenang Karya Terbaik Jakarta 32째C 2012 Notes on the five best artworks of Jakarta 32째C 2012

156 156 161 161 166 168

Ucapan Terima Kasih Thanks To

173 173

xiii


xiv


xv


xvi


Catatan Editorial oleh

Asep Topan

Tujuan utama penerbitan buku ini ialah menyajikan hasil karya-karya Workshop Jakarta 32°C 2012 dan proses berjalannya kegiatan tersebut. Selain menyajikan foto-foto karya serta dokumentasi selama kegiatan ini berlangsung, buku ini juga memuat esai-esai yang menampilkan wacana kritis tentang setiap workshop yang telah dilaksanakan. Tujuh orang penulis muda terus mengikuti selama kegiatan workshop berlangsung dan menyajikan pengamatan mereka terhadap workshop yang dilaksanakan melalui esai tersebut. Semua penulis merupakan alumni workshop tahunan ruangrupa, yaitu workshop penulisan kritik seni rupa dan budaya visual. Pembahasan rinci mengenai karya-karya yang dihasilkan selama workshop, disajikan dengan balutan kritik yang tertuju pada pelaksanaan masing-masing workshop yang mereka amati. Oleh karenanya, tulisan mereka bukan sekedar deskripsi atau narasi mengenai pelbagai kejadian yang mereka saksikan dan ikuti selama workshop berlangsung, lebih dari itu, mereka menganalisa sejauh mana workshop tersebut berdampak pada peserta, serta masyarakat luas pada umumnya. Selain esai mengenai workshop, buku ini juga memuat tulisan dari Mirwan Andan mengenai isu lowongan pekerjaan – yang menjadi tema besar Workshop Jakarta 32°C ini– dalam kaitanya dengan dunia pendidikan di Indonesia. Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bagaimana ketidakterkaitan antara pekerjaan dan pendidikan di negeri kita ini. Pada esai lainnya, Leonhard Bartolomeus lebih spesifik lagi membicarakan mengenai pendidikan seni rupa di Indonesia. Seperti dalam tulisan Mirwan Andan, Barto –begitu ia disapa­– juga membahas fenomena pendidikan bagi mahasiswa/i seni rupa yang tidak berkaitan dengan apa yang mereka kerjakan. Dalam hal ini ia mengaitakannya dengan gelaran Jakarta 32°C yang diikuti oleh mahasiswa/i dari berbagai disiplin ilmu –bukan hanya mahasiswa/i seni rupa. Membicarakan Jakarta 32°C tak pernah lepas dari mahasiswa, aktivisme dan budaya visual. Renal Rinoza Kasturi, dari Komunitas Djuanda, memberikan uraian yang runut mengenai aktivisme mahasiswa ini pada tulisannya di dalam buku ini. 1


Tulisan Renal Rinoza Kasturi menjabarkan perkembangan aktivisme mahasiswa sejak 1950-an hingga yang paling mutakhir. Aktivisme dalam bentuk kesenian pun tak luput ia bahas dalam tulisan ini, menguatkan argumen bahwa kesenian sejatinya tidak terpisahkan dari konteks sosial politik zamannya. Penjabaran mengenai gerakan moral mahasiswa dihadirkan dalam esai yang membentuk sebuah linimasa, kejadian demi kejadian ditulis beruntun, berdasarkan waktu kejadiannya. Dimulai dari berdirinya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), Seniman Indonesia Muda (SIM) di tahun 1940-an, serta Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), hingga yang teranyar ialah tumbuhnya organisasi atau kelompok seni mahasiswa yang berjejaring. Renal juga sedikit menyinggung mengenai peranan medium video sebagai alat perjuangan bagi aktivisme mahasiswa, yang juga berperan besar terhadap demokratisasi media di Indonesia. Pada bagian terakhir, terdapat tulisan yang menyajikan rilisan 5 karya terbaik selama penyelenggaraan pameran Jakarta 32°C 2012. Berisi kriteria penilaian dari para juri, serta daftar karya-karya yang terpilih sebagai 5 karya terbaik. *** Posisi workshop dalam penyelenggaraan Jakarta 32°C 2012 kali ini sedikit berbeda, jika kita memutar kembali ingatan pada gelaran Workshop Jakarta 32°C sebelumnya. Dengan peluncuran buku ini, ada upaya yang lebih serius dan intens dari Komplotan Jakarta 32°C dan ruangrupa untuk mensejajarkan posisi workshop ini dengan penyelenggaraan pameran Jakarta 32°C 2012 sebagai acara utama. Hal ini sebetulnya telah terlihat pada pameran yang diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia, 22 September hingga 8 Oktober 2012 tersebut. Karya-karya hasil workshop secara kuantitas jelas melebihi jumlah karya peserta pameran hasil kurasi tim artistik Jakarta 32°C 2012 melalui jalur pendaftaran melalui website resmi Jakarta 32°C. Namun, penerbitan buku ini menjadi semacam penegasan kesejajaran tersebut. Karena selain berisi data-data karya hasil workshop, buku ini juga dilengkapi dengan esai-esai kritik dari para penulis muda yang mendampingi selama workshop berlangsung, seperti yang telah disebutkan di atas. Hal ini tidak terdapat dalam gelaran Jakarta 32°C sebelumnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada segenap teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam rangkaian acara pada gelaran Jakarta 32°C 2012, serta kerja keras mereka yang memperlancar penerbitan buku ini. Semoga manfaat dari buku ini dapat terasa oleh publik yang lebih luas. Salam.

2


Editorial Notes by Asep

Topan

The main purpose of this publication is presenting the artworks and the process of Jakarta 32°C 2012 Workshop. This book is not only providing the documentation of artworks and the process, but also containing essays which gave a critical discourse about every workshop that has been implemented. Seven young writers followed the workshop activities and presented their observations through the essays. All writers are the alumni of ruangrupa annual workshop, Writing in Art and Visual Culture Criticism Workshop. Detailed explanation about the artworks that made during workshop is presented through bandage criticism and focusing on workshop they observed. Therefore, their writing is not only a description or narration about the event, but also more than that - they analyzed the impact to participants and public in general further. In addition to essays about workshop, this book also contains Mirwan Andan writing on the issue about the jobs - as the big theme in Jakarta 32°C Workshop - and its relation to education in Indonesia. In that writing, he explained on how education and working in our country are not closely related. In the other essay, Leonhard Bartolomeus specifically talked about art education in Indonesia. Barto, his nickname, also discussed the same thing like in Mirwan Andan writing about a phenomenon on education for art student, which has no relation with their future job. In this case, he related the Jakarta 32°C event which was participated by multi-disciplinary student. If we talked about Jakarta 32°C, we could not be separated issue on student activism and visual culture. Renal Rinoza Kasturi from Djuanda Community gave in order description regarding student activism in his writing. Renal Rinoza Kasturi described the student’s activism progress since 1950 era to the most recent one. Art activism also appeared in his writing, it strengthened the true art could not be separated from political and social context. He presented the explanation about students morality movement in timeline order, wrote one to another based on the historic event. He started from Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia Indonesia Picture Experts Association), Seniman Muda Indonesia (SIM - Indonesian 3


Young Artists), Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), up to the latest one in the art organization, group, or arts based on the networking. Renal also discussed the function of video for the shake of students struggle and also its position in the media democratisation in Indonesia. Lastly, there are the articles that presented the five best artworks in the exhibition. It contained the criteria of judgment from the judges and a list of selected artworks. *** This workshop position in 32째C 2012 event is a bit different if we look back at the previous events. Through this book launching, there is a more serious and intense effort from the Gang of Jakarta 32째C along with ruangrupa to align workshop position and the exhibition. It had seen in the exhibition that was held at National Gallery of Indonesia, September 22 to September, 2012. The artworks from workshop were exceed the number of exhibition from participants that were curated by artistic team of Jakarta 32째C based on the alignment in our official website. However, this book publication will be the affirmation of this alignment. This book not only contained the database of artworks from workshop, but also equipped with criticism from the young writers who followed all the workshop series, just like mentioned above. This thing was never happened in the previous event. Finally, I thank to all of our friends who participated in Jakarta 32째C 2012 event series, especially to their hard work to make this publication happen. Hopefully, this book can be used and added knowledge for wider public. Regard.

4


5


6


7


Workshop Seni Rupa Publik bersama

Irwan Ahmett

Ada beberapa hal yang menjadi ketakutan Irwan Ahmett sebelum melakukan workshop bersama mahasiswa. Beberapa pengalaman terdahulu seputar kebiasaan mereka yang sulit untuk berkomitmen menjadi satu alasan bahwa workshop ruang publik kali ini dibuat dengan jadwal yang sangat ketat dan dilakukan secara intensif. Pelaksanaan workshop dan jalannya diskusi benar-benar dilakukan di ruang publik menambah perspektif baru bagi partisipan terhadap tema yang dihadapkan. Konsekuensi dari pola intensif tersebut menjadikan setiap peserta dapat mengenal lebih mendalam karakter dan minatnya. Setelah dirasa solid sebagai sebuah tim, maka langkah selanjutnya adalah mengolah gagasan dan melakukan proses tukar pikiran dalam mempersiapkan hingga mengeksekusi karya. Proses diskusi yang demikian intens menghasilkan keterkaitan antara satu ide dengan yang lainnya. Hal ini telah menghapus batasan bahwa ide yang dihasilkan adalah milik bersama. Untuk itu perlu dikemas dalam satu wadah yang dapat mewakili semangat proyek workshop kali ini. Nama Log Out dipilih sebagai bentuk ‘sindikat’ yang dapat lebih mudah melakukan aksi karena dihilangkannya identitas personal. Kekuatan individu diubah menjadi semangat kolektif untuk merancang persekongkolan di ruang publik. Pola kerja dalam kelompok yang lebih kecil dirancang agar memudahkan eksekusi dan pembagian keahlian yang berbeda tiap individu. Pemilihan media online dimaksimalkan untuk mensosialisasikan dan mengupdate bahkan menjadi media informasi bagi setiap anggota yang terlibat. Selain prosesnya dapat diikuti oleh publik, juga mengajak publik untuk berkontribusi dalam setiap proyek yang dibuat.

8


Public Art Workshop with

Irwan Ahmett

Irwan Ahmett, the facilitator, was scared on several things before doing this workshop. Having knowledge from his past experience that some students were hard to make a commitment made him making this workshop had a tight schedule and very intensive. He made this workshop is done in public space, so it gave new perspectives for participants during workshop. The consequences of this intensive pattern made each participant can recognize their character and interest deeper. Considering as a solid team, the next step was processing the ideas and comparing notes during the work execution. Such an intensive discussion makes relevance between one idea to another. It has removed an assumption that the ideas belong together. As it is, one coordination is needed to represent this workshop spirit. The name “Log Out” is chosen as a “syndicate” so it makes an easier way to get into action by eliminating their personal identity. Individual strength turns into collective spirit to make a conspiracy in the public space. Work pattern in smaller group is designed to facilitate the execution and the division based on each individual skill. Online media is maximized to be the tool to socialize, update, even being an information media for each participant. Not only the public can be joining the process, but also contributing any created project.

9


Log Out Corps #1st tactic – Kata kaos Public Performance Grafis

Log Out Corps #2nd tactic – Message From God Public Performance Video, Multimedia

Log Out Corps #3rd tactic – Parkcar Public Performance Video, 3 menit 45 detik

Log Out Corps #4th tactic - Shaping Umbrella Public Performance Video, 5 menit 12 detik

Log Out Corps #5th tactic - Cutting banner Public Performance Video 4 menit 8 detik, Instalasi

10


Log Out Corps #6th tactic – Plangtown Public Performance Video, Instalasi

Log Out Corps #7th tactic - Maaf Jakarta Public Performance Video, 1 menit 25 detik

Log Out Corps #8th tactic - Media Kota Public Performance Grafis

Log Out Corps #9th tactic - Very very important Fish Public Performance Video, 4 menit 22 detik

Log Out Corps #10th tactic - Kaos cetak Grafis T-Shirt, Instalasi

11


12


Citizen Tactics: Mencari Surga di Jakarta oleh

Ellena Ekarahendy

“Buat gue, workshop ini adalah sebuah perjalanan spiritual� — Kmpot, anggota sindikat. Di tengah kompleksitasnya, Jakarta menyediakan begitu banyak kemungkinan untuk membebaskan diri dari jalur yang telah digariskan oleh sistem kehidupan di Jakarta, untuk bertahan hidup dengan (dan dalam) kebahagiaan. Melalui workshop Seni Rupa Publik sebagai bagian dari rangkaian Workshop Jakarta 32oC 2012, Irwan Ahmett, seniman yang banyak bereksperimen dengan proyek-proyek seni rupa publik menyodorkan gagasan intervensi urban bertajuk Citizen Tactics. Tiga belas orang mahasiswa yang berasal dari beragam disiplin ilmu menantang dirinya untuk membebaskan diri dari pola stereotipikal itu. Melalui proyek ini, pola kehidupan kota yang stereotipikal, monoton, dan membosankan dicela serta dicari celahnya lewat pendekatan kritik dan sindiran yang jenaka dan begitu humanis. Menamakan sindikat sebagai Log Out Corps, para peserta: Akses, Asbak, Beerk, Bulan, Cepak, Gen9z, Helos, Ipoks, Jamer, Kmpot, Oehat, Tiada, Xerox, dan Yahut menyusun begitu banyak ide-ide seni rupa publik yang spontan dan jenaka di tengah kota Jakarta. Dalam pertemuan-pertemuan intensif sepanjang 27 Agustus hingga 9 September 2012, sindikat ini menghasilkan 10 hasil karya seni rupa publik yang sebagian besar menjadi sebuah bentuk kritik bagi beragam kondisi di Jakarta. Pada eksekusinya, taktik-taktik dilakukan mulai dari yang tingkat resiko paling kecil hingga yang paling besar. Taktik-taktik yang dilakukan Log Out Corps menuntut strategi, spontanitas, sekaligus interaksi dan komunikasi yang begitu lihai. Kata Kaos adalah taktik pertama dari Log Out Corps dengan melibatkan para anggota sindikatnya untuk merangkai kata-kata dari kaos yang mereka kenakan. Dalam eksekusinya di Bundaran HI, para anggota juga mengajak orang di luar sindikat dengan kaos yang bertuliskan kata-kata unik untuk bergabung. Hasil dari taktik pertama ini adalah kalimat-kalimat jahil yang menyentil kecenderungankecenderungan gaya hidup urban di Jakarta: (1) Anjing, mediocre taste like farted (2) Burn you idol! Smell it?, (3) Gue anak Jakarta looking for paradise, (4) Gue anak 13


Jakarta no money no honey, bete anjing, (5) He just farted | Bequiet, (6) Burn your free space!, dan (7) Bete anjing security! Bete Anjing Security! muncul hampir tanpa perencanaan. Sebagaimana yang disampaikan Iwang, sapaan akrab Irwan Ahmett, di awal persiapan eksekusi taktik ini, “ruang publik di Jakarta hanya menjadi milik dua pihak: pemodal dan negara”, seorang petugas meminta para anggota sindikat membubarkan diri dari area air mancur Bundaran HI karena dianggap tidak memiliki ijin. Dengan spontan anggota sindikat membentuk sapaan dari kausnya yang bersandingan dengan seragam si petugas. Bete Anjing Security! adalah sebuah kritik yang lugas tidak hanya terhadap politisasi ruang publik yang didominasi modal dan kekuasaan, tapi juga terhadap Sindrom-Megalomaniak-Berseragam yang bukan perkara baru lagi diindap oleh para aparat keamanan berseragam yang culas kala bertugas. Taktik kedua: Messages From God (1 & 2). Messages From God 1, hadir mengintervensi pola keseharian petugas kebersihan dan keamanan di pusat perbelanjaan yang monoton. Sebuah parasut dengan pesan-pesan yang lekat dengan kondisi Jakarta diterbangkan ke dalam pusat perbelanjaan tanpa diketahui siapa pengirimnya – serupa pesan dari Yang Di Atas. Hal serupa juga dilakukan di sebuah jembatan penyeberangan dengan para pejalan kaki yang menjadi targetnya di Messages From God 2. Pesan-pesan Tuhan yang diterbangkan lewat balon gas meninggalkan beragam mimik wajah dari para penerima pesan. Intervensi ini juga menyelak pola individualitas orang-orang Jakarta yang terlalu tinggi di tengah rutinitasnya masing-masing. Tactic ketiga: Park Car. Ketika pejalan kaki di Jakarta serupa anak tiri yang dengan sengaja dijahati dengan trotoar yang dibiarkan beralih fungsinya ke dalam kompromi-kompromi ekonomi oleh para pedagang maupun pekerjaan-pekerjaan umum, Log Out Corps merespon kondisi trotoar yang padat dan malfungsi tersebut lewat teknik parkour yang seadanya. Mengarungi rintangan trotoar di sepanjang Matraman lewat proyek Park Car merepresentasi semrawutnya trotoar yang memacu adrenalin penggunanya untuk berjibaku dengan begitu banyak rintangan penuh resiko dan membahayakan saat melintas. Shaping Umbrella merupakan taktik keempat dalam workshop ini. Jika warga Jakarta terbiasa mengadu urat di padatnya jalanan, proyek Shaping Umbrella mengajak untuk bermain-main dengan kemacetan. Di tengah antrian kendaraan, para anggota sindikat berjalan beriringan sambil memegang payung-payung aneka warna, mengitari kendaraan-kendaraan yang berbaris mengantri di lampu lalu lintas. Shaping Umbrella mencoba memunculkan kemungkinan sisi keriaan untuk mengintervensi kesuntukan di tengah jalanan Jakarta yang selalu tersendat lewat permainan sederhana. “The best things in this world are free.” - Demikian teks di sebuah slide yang ditampilkan Iwang pada pertemuan workshop hari ke-1. Slogan ini menyublim menjadi ideologi Log Out Corps dalam melakukan proyek-proyek intervensi publiknya. Melalui taktik kelima, Cutting Banner, Log Out Corps menghadirkan kemungkinan-kemungkinan dalam memaknai ‘free’ sebagai ‘gratis’ dan ‘bebas’ lewat media yang bertebaran di ruang publik. Cutting Banner adalah taktik mengumpulkan huruf-huruf yang dipotong oleh para anggota sindikat dari beragam banner yang tersebar di ibukota, mulai dari kawasan Kemang, Cengkareng, dan Tomang. Cutting Banner menjadi sebuah kritik terhadap bertebarannya banner dan spanduk di ruang publik Jakarta, terutama yang berorientasi komersial dan politis, tanpa publik diberikan pengetahuan mengenai legalitas pemasangan, seperti ijin dan masa berlakunya. 14


Yang menjadikan proyek ini semakin menarik adalah sebuah rekaman percakapan yang terjadi antara seorang anggota sindikat, Jamer, yang tertangkap petugas saat memotong huruf dari sebuah banner pembangunan gedung di kawasan Tomang. Audio tersebut merekam politik ruang dan media yang terjadi di ruang publik dan menjadi sebuah catatan akan pentingnya taktik negosiasi di ruang publik. Jakarta kota plang: dari jasa sedot WC, guru les, penyewaan tenda, pengasuh bayi, hingga pembesaran alat vital. Pemasangan plang-plang yang serampangan – yang sudah tidak bisa kita deteksi lagi legalitas pemasangannya di ruang publik – direspon oleh para anggota sindikat lewat taktik keenam bernama Plangtown, yang mereposisi beragam plang-plang ke dalam konteks-konteks yang tidak biasa, membangun makna baru dari informasi-informasi jasa yang ada dengan cara yang pintar dan jenaka. Dalam taktik ketujuh, seorang anggota sindikat yang juga seorang pendatang dari luar kota Jakarta, berdiri di sebuah bus kota untuk menyalami satu per satu penumpang di dalamnya meminta maaf karena telah ikut berkontribusi dalam sesaknya Jakarta. Sebagai sebuah permintaan maaf yang tulus dari seorang pendatang, Maaf Jakarta, sebuah proyek seni rupa publik yang begitu satirikal terhadap rasa malu dan bersalah yang seringkali termunculkan di ruang Jakarta dalam konteks yang begitu artifisial. Media Kota merupakan proyek kedelapan yang mengintervensi sebuah peringatan di bawah billboard besar iklan provider yang berbunyi: “MEDIA INI DALAM PENGAWASAN PETUGAS DAN KAMERA CCTV SERTA DILINDUNGI HAK CIPTA. SEGALA BENTUK PERUSAKAN DAPAT DIANCAM DENGAN HUKUM PIDANA” menjadi: “KOTA INI DALAM PENGAWASAN PETUGAS DAN KAMERA CCTV SERTA DILINDUNGI HAK CIPTA. SEGALA BENTUK PERUSAKAN DAPAT DIANCAM DENGAN HUKUM PIDANA.” Media Kota menghadirkan subversi terhadap perlindungan dan pengawasan yang dilakukan oleh petugas di ruang publik yang jauh lebih bertanggung jawab dalam melindungi sekotak media yang disewa oleh pemodal di ruang publik ketimbang seluruh kota sebagai sebuah organisme. Taktik kelima: VVIF (Very Very Important Fish). Berawal dari sebuah pengamatan bahwa begitu komunikatifnya simbol bendera kuning yang disematkan kendaraan yang beriringan hingga diprioritaskan melaju di jalan, sindikat Log Out Corps menempuh jarak sekitar 16 KM untuk menyelamatkan seekor ikan dari habitat asalnya yang memprihatinkan di sebuah sungai kotor di Manggarai menuju rumah baru yang asri di daerah Depok. Seperti memperlakukan manusia, si ikan menjadi entitas yang begitu krusial dengan dibawa berarak oleh anggota sindikat yang mengibarkan bendera kuning di kendaraan mereka untuk bisa melestarikan hidupnya ke habitat yang lebih layak tinggal. Proyek Very Very Important Fish menjadi sebuah kritik yang begitu tajam dalam merespon kondisi lingkungan, terutama sungai di Jakarta yang dengan segala kompromi warganya. Di titik ini, kecenderungan warga untuk hanya mau menilai hayati dari sudut pandang kebutuhan manusia saja disentil dengan perjuangan yang dilakukan oleh anggota sindikat untuk menyelamatkan si ikan istimewa yang secara pragmatis mungkin tak berpengaruh ke kehidupan keseharian mereka secara langsung. VVIF menjadi sebuah refleksi yang menohok para warga dalam bersikap di tengah sumber daya alam yang secara mendasar

15


mempengaruhi keberlangsungan hidupnya. Sebab, sebagaimana tercantum dalam arsip dokumentasi proyek VVIF ini : “Jika pohon terakhir telah ditebang, jika hewan terakhir telah diburu, jika sungai terakhir mulai tercemar, jika ikan terakhir telah ditangkap, maka manusia akan sadar bahwa uang bukanlah segalanya!” Kaos Cetak, merupakan taktik kesepuluh atau yang terakhir dalam workshop ini. Melalui Kaos Cetak, pola-pola dari besi-besi selokan sampai rantai pengaman dijiplakkan ke media kaos. Proyek ini merekam celah-celah infrastruktur di ruang publik Jakarta yang nampak kumuh dan jorok juga terabaikan menjadi sebuah alat permainan yang menyenangkan – sekaligus memunculkan celah artistik. Seluruh karya seni rupa publik Log Out Corps yang telah diuraikan di atas terarsip dalam bentuk digital di: log-out-corps.tumblr.com. Yes, the best things in this world are truly free! Jika workshop kesenian lain akan cenderung menyentuh sisi lain kesenian para pesertanya, workshop Citizen Tactics lebih menyerupai sebuah lokakarya spiritual terutama kaitannya dalam berkehidupan di Jakarta. Proses pemikiran, pematangan, hingga eksekusi proyek-proyek seni rupa publik mendekatkan para peserta dengan entitas di luar dirinya dengan begitu ideal, begitu lepas dari tuntutan dan tekanan sistem yang telah lama harus dituruti dalam hidup keseharian. Workshop Citizen Tactics menjadi jembatan dalam menemukan jalan merasai kebahagiaan sebagai sebuah proses. It’s likely a pursuit of happiness. “Perjalanan hidup gue selama 20 tahun terjungkirbalikkan lewat workshop 2 minggu bareng Mas Iwang (Irwan Ahmett)!” imbuh Kmpot. Maka tak berlebihan jika Iwang sampai bercanda, “Di sini gue sebenernya sih berdakwah, bukan kasih materi.” Barangkali memang tepat untuk mengatakan bahwa workshop Citizen Tactics serupa perkumpulan ibadah urban. Setidaknya bagi para peserta, pemahaman baru yang didapat sepanjang workshop yang intens dilakukan sepanjang 2 minggu tersebut membentuk pola kebiasaan baru dalam meng-ada-kan dirinya di setiap tempat di Jakarta. Manusia, waktu, kebiasaan, benda, dan tempat menjadi entitas yang saling hidup lewat interaksi yang organis satu dengan lainnya. Bagi para peserta, Iwang sebagai fasilitator workshop ini telah menjadi sumber pengetahuan yang ilmunya tak mungkin ditemukan di tempat lain. Lewat seni rupa publik yang dibagikan Iwang selama workshop, para anggota sindikat diajak untuk memaknai posisi dirinya sebagai seniman untuk berada di pinggir, yakni sebagai entitas yang memunculkan begitu banyak kemungkinan dari para subyek yang ikut serta dalam proyek-proyek seninya untuk melanjutkan kehidupan lewat kritik, sindiran, maupun permainan. “Sebab perkara berkesenian adalah perkara menyikapi kehidupan,” ujar Iwang. Oleh karena itu, Log Out Corps dimaksudkan untuk menjadi sindikat yang proyeknya tidak berhenti sampai lokakarya dan pameran berakhir. Hingga tulisan ini dibuat, jumlah karya Log Out Corps masih terus bertambah, dan sindikat masih membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk bergabung dalam untuk bermainmain dengan segala kemungkinan untuk ‘log out’ dari brengseknya tuntutan kehidupan di kota Jakarta lewat ide-ide intervensi publik yang jahil dan spontan – to be looking for paradise in Jakarta.

16


Citizen Tactics: Looking for a Piece of Paradise in Jakarta by

Ellena Ekarahendy

“To me, this workshop is a spiritual journey” — Kmpot, syndicate member. In the midst of its complexity, Jakarta provides many possibilities to free one’s self from the path outlined by Jakarta’s way of life, in order to survive with (and in) happiness. Through Public Art workshop as part of the Jakarta 32oC 2012, Irwan Ahmett, an artist experimenting with countless public art projects, encouraged the idea of urban intervention called Citizen Tactics. Thirteen students from different disciplines have challenged themselves to break free from that stereotypical pattern. The stereotypical, monotonous, and boring pattern of the city life are mocked and dissected through witty and humane critical approach and satires in this project. Calling the syndicate as Log Out Corps, the participants are: Akses, Asbak, Beerk, Bulan, Cepak, Gen9z, Helos, Ipoks, Jamer, Kmpot, Oehat, Tiada, Xerox, and Yahut. They have composed numerous public art idea, which are spontaneous and witty in downtown Jakarta. From intensive meetings throughout August 27 to September 9, 2012, this syndicate had produced 10 public artworks, mostly intended as critic for varied conditions in Jakarta. In the execution of the idea, these tactics had started from the lowest risk to the greatest. Log Out Corps ​​ had undertaken the tactics with astute strategy, spontaneity, interaction and communication. 17


Kata Kaos (Shirt’s Word) is the first tactic of the Log Out ​​Corps, involving the members to compose the words on the shirts they wore. Executing the idea at Bundaran HI (Hotel Indonesia roundabout), the members also invited passerbys with unique words on their shirts to join them. The results of this first tactic was nosy sentences that flicked the urban lifestyle trends in Jakarta:(1) Anjing [Bastard], mediocre taste like farted (2) Burn you idol! Smell it? (3) Gue anak Jakarta [I am a Jakarta boy] looking for paradise, (4) Gue anak Jakarta [I am a Jakarta boy] no money no honey, bete anjing [I am bored, Bastard] (5) He just farted | Bequiet, (6) Burn your free space! And (7) Bete anjing security! [security bastard, I am pissed!] Bete Anjing Security! came up almost unplanned. As stated by Iwang, a nickname for Irwan Ahmett, at the early preparation for the execution of this tactic, “public spaces in Jakarta belongs only to two parties: the capitalists and the state”. It was because a security officer asked the members of the syndicate to clear from the fountain area of Bundaran HI area because of permission issue. It made the members nearby the uniformed security formed a greeting from their shirt, spontaneously. Bete Anjing Security! was a straightforward critique not only on the politicization of public space dominated by capital and power, but also on ‘uniform-megalomaniac-syndrome’ that is a common phenomenon among security officers who act wickedly on their duty. The second tactic: Messages From God (1 & 2). Messages From God 1 intervened the monotonous pattern in the life of the janitor and security staff in the malls. A parachute attached with messages about the condition of Jakarta flown into the malls without anyone knowing the sender - similar to the message from The High Above. The parallel was done on a crossing bridge, targeting pedestrians in Messages From God 2. It was God’s messages passing above them in hot air balloon, left the recipients with diverse faces. This intervention was also mocking the excessive individuality of the Jakartans amidst their own routines. The third tactic: Car Park. A pedestrian’s fate in Jakarta is similar with bullied stepchildren who are deliberately harmed when the merchants and public works switch the function of the pavement into economic compromises. Log Out​​ Corps responded this dense and malfunctioned pavement using humble parkour techniques. Navigating along the sidewalk obstacles in Matraman through Car Park project represents the chaotic pavement that pumped up the pedestrians’ adrenaline to fight so many risky and harmful hindrances as it passed. Shaping Umbrella was the fourth tactic in this workshop. If the Jakartans are constantly struggling in crowded streets just to enjoy their rights to walk, Shaping Umbrella project invited these people to play around in the bottlenecked traffic. In the middle of queuing vehicles, the syndicate members went hand in hand while holding colorful umbrellas, circling them at traffic lights. Shaping Umbrella tried to bring the possibility of joy to intervene the bad mood in the jammed streets of Jakarta with simple and cheerful game. “The best things in this world are free.” It was the inscription on a slide that Iwang showed at day 1 meeting workshop. The slogan was sublimed into the ideology of Log Out Corps in doing public intervention projects. Through tactic #5, Cutting Banner, Log Out Corps ​​ presented possibilities to understand ‘free’ as ‘no charge’ and ‘free’ as ‘liberty’ through scattering media in public. Cutting Banner is a tactic to collect letters cut by the members of the syndicate from various banner, from Kemang, Cengkareng, and Tomang. Cutting Banner becomes a critique of jumbling banners in Jakarta public space, particularly the commercial and political 18


oriented ones, without any licenses and expiry information about the installation legality. What made the project even more appealing is the recording of a conversation by the member of the syndicate, Jamer, who got caught by security staff while cutting letters from a banner on a Tomang building. That audio recorded the politic of media and space occurs in the public, noting the importance of negotiation tactics in public. Jakarta advert city: toilet plumbing service, tutors, tent rental, sitters, up to penis enlargement. The haphazard signpost Installation in which legality can no longer detected - responded by members of the syndicate through sixth tactic named Plangtown by repositioning various advertising into unusual context, constructed new meaning from the information about service providers in a clever and witty manner. In the seventh tactics, a member of the syndicate who is also a newcomer from outside of Jakarta, hopping onto a public transportation to greet its passengers, one by one, apologizing for having participated in the density of Jakarta. As a sincere apology from a newcomer, I’m sorry Jakarta, is a public art project that is satirical towards shame and guilt that often arise in Jakarta in a context that is so artificial. Media Kota is the eighth project in its intervention on a warning at the bottom of a large GSM provider billboard, saying: “MEDIA INI DALAM PENGAWASAN PETUGAS DAN KAMERA CCTV SERTA DILINDUNGI HAK CIPTA. SEGALA BENTUK PERUSAKAN DAPAT DIANCAM DENGAN HUKUM PIDANA” ("MEDIA IS UNDER SURVEILLANCE CAMERA AND AUTHORITIES AND COPYRIGHTED. ANY form of vandalizING WILL BE DEALING with CRIMINAL LAW”) Turned into: KOTA INI DALAM PENGAWASAN PETUGAS DAN KAMERA CCTV SERTA DILINDUNGI HAK CIPTA. SEGALA BENTUK PERUSAKAN DAPAT DIANCAM DENGAN HUKUM PIDANA. “THE CITY IS UNDER CONTROL OF authorities AND SURVEILLANCE CAMERAS AND COPYRIGHTED. ANY form of vandalizING WILL BE DEALING with CRIMINAL LAW." Media City presented the subtext of protection and supervision carried out by authorities in public spaces that considered to be much more responsible in protecting a piece of media box rented by investors in the public rather than protecting the entire city as an organism. Tactic Five: VVIF (Very Very Important Fish). Initiated from the observation, it was concluded that the yellow flag waving along speeding vehicle is very communicative. Thus, Log Out Corps syndicate went through 16 km to save a fish from its sickening habitat in a dirty river of Manggarai to a lush new home in Depok. Treated humanlike, the fish became a significant entity brought by the marching members of the syndicate waving yellow flags on their vehicles in order to preserve the fish’s life into a more decent living habitat. Very Very Important Fish project is a sharp criticism, responding environmental conditions, particularly rivers in Jakarta with all its citizen’s compromises. At this point, people’s tendency to assess biodiversity from the human’s need perspective alone gets criticized using the struggle waged by the members of the syndicate to save the special fish that pragmatically may not directly affect their daily lives. VVIF becomes a striking reflection for the residents on how to act upon natural 19


resources that profoundly impacting their survival. Because, as stated in the VVIF documentation archive: “Only when the last tree has been cut down; only when the last animal has been poisoned; only when the last river has been poisoned; only when the last fish has been caught; only then will you find that money is not everything.” Kaos Cetak or Printed T-Shirt is the tenth tactic or the last in this workshop. Through Shirt Print, patterns of iron sewer and safety chain are pasted to the shirts. This project recorded vile and squalid infrastructure gaps in visible Jakarta public spaces to become a fun game tool – as well as raising the artistic gap. The entire works of Log Out ​​Corps public art described above were digitally archived in http://log-out-corps.tumblr.com. Yes, the best things in this world are truly free! While other art workshop tends to touch the other artsy side of the participants, Citizen Tactics’ is more like a spiritual one, especially on its relation with Jakarta living. The thought process, maturation, up to the execution of the project ideally enclosed the participants with entities outside themselves, free from systemic demand and pressure that must be followed forever in everyday life. Citizen Tactics workshop is bridging the happiness path as a process. It’s likely a pursuit of happiness. “My 20 year of life journey has been turned upside down by this 2 week workshop with Mas Iwang (Irwan Ahmett),” Kmpot added. It is not an exaggeration, however, if Iwang joked, “I actually do preaching here instead of presenting workshop material.” Perhaps it is more appropriate to say that Citizen Tactics workshop is similar with urban worship gatherings. At least for the participants, the new understanding gained during the 2 weeks of intense workshop had shaped a new pattern in existing themselves at any place in Jakarta. Human, time, habits, objects, and places becoming entities that are mutually thriving by interacting with one another. For the participants, Iwang as the workshop facilitator has become the source of knowledge whose wisdom cannot be found anywhere else. Through public art that Iwang distributed during the workshop, the syndicate members are invited to interpret their position as an artist on the edge, as the entity that surfacing numerous possibilities of the subjects participating in their art projects to continuously living through criticism, satire, as well as games. “Because art is a matter of addressing matters of life,” said Iwang. Therefore, the Log Out Corps is intended to be a syndicate whose project does not stop even the workshop and the exhibition end. As of this writing, the number of Log Out ​​Corps artworks are still rising, and the syndicate is still opening the opportunity for students to come and play with any possibilities in order to ‘log out’ from the stupid demands of life in the city through the ideas of public intervention that are both nosy and spontaneous - to look for a paradise in Jakarta.

20


21


22


23


Workshop Fotografi bersama

The Secret Agents

Dalam workshop ini, para peserta diminta untuk mengeksplorasi fungsi dari medium fotografi sebagai perekam kenyataan, dan sekaligus juga ketidaknyataan. Para peserta diajak untuk bermain-bermain dengan kemampuan medium fotografi dalam memproduksi citraan yang berkaitan dengan pekerjaan masyarakat kota di masa depan. Mereka diminta untuk berimajinasi dalam menghadirkan peluangpeluang kerja baru bagi masyarakat kota, baik itu yang bersifat fiksi maupun non fiksi. Workshop Fotografi ini merupakan sebuah kerja eksperimental, yaitu bagaimana strategi para peserta dalam melihat dan mengenali masyarakat berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupannya di kota melalui medium fotografi. Selain itu juga untuk terus mencoba bermain-main dengan medium fotografi untuk bisa melihat kembali kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan oleh fotografi dan untuk dapat menciptakan kesadaran visual melalui fotografi. Setiap karya bisa saja menggunakan segala teknik dalam seni rupa, selama itu semua berdasarkan medium fotografi. Proses pembuatan karya pun dilakukan dengan cara memotret lewat segala kemungkinan teknis dan perangkatnya seperti penggunaan berbagai jenis kamera seperti SLR, compatible camera, atau digital camera dan pembuatan karya dikerjakan secara individu. Dalam workshop ini, sedikitnya terdapat 8 kali pertemuan sebagai sarana diskusi/brainstorming bersama diantara semua peserta selama proses kerja berlangsung. Hal ini diperlukan untuk membahas segala hal yang berhubungan dengan pertukaran gagasan, pematangan konsep dan masalah teknis kerja.

24


Photography Workshop with

The Secret Agents

In this workshop, the participants are asked to explore the function of photography, to record the reality and simultaneously unreality. The participants are invited to play with the photography ability to produce the future of our urban society image. They are asked to use their imagination to bring new job opportunities to the citizens, whether fiction on non-fiction. Photography workshop is an experimental work, how the participants are challenged to see and recognize different kind of profession and the way of citizen life through photography as its media. Besides that, they are asked to keep playing with the possibilities and to make a visual consciousness through photography. Each work can be made with all kinds of visual art techniques, as long as it used photography as the medium. Each participant made their work by seeking any possibilities on techniques and camera types such as using SLR, compatible camera, digital camera to capture what’s on their minds. At least, there are eight times of discussions or brainstorming during this workshop and working process. This workshop is needed to discuss anything such as brainstorming on ideas, finalizing the draft and the technical problem.

25


Adhitya Mandala Putra Universitas Mercu Buana Sol Patu Modern Fotografi Instalasi

Aditya Fachrizal Hafiz a.k.a Gooodit Institut Kesenian Jakarta Sexy Sibuk Fotografi Art Book

Haritsah Almudatsir Universitas Negeri Jakarta Spirit Gatot Kaca Fotografi Ukuran Bervariasi

26


Satrio Hadi Pranata Universitas Mercu Buana Odong-Odong Fan Club Fotografi Ukuran Bervariasi

Vini Fazriani Universitas Bina Nusantara Sabda Metropolitan Fotografi Poster, Performance

Zainul Arifin a.k.a Saprol STIKOM Interstudi Dental Girl Fotografi Kalender

27


28


Mempekerjakan Fotografi Merekam Interpretasi Tentang Profesi oleh

Rizki Ramadan

Apa jadinya kalau sebuah workshop fotografi tidak menghadirkan kamera sama sekali di tiap pertemuannya. Hal itulah yang terjadi di Workshop Fotografi Jakarta 32°C 2012 ini. Karena peserta terseleksi sudah dianggap menguasai, setidaknya dasarnya, maka workshop yang mengambil tempat di markas ruangrupa, Tebet, Jakarta ini mengesampingkan mentah-mentah urusan teknis fotografi dan fokus ke hal penting lainnya yang terjadi dari kegiatan fotografis: berinterpretasi dan menciptakan citra visual atas sebuah isu, membingkai realita menjadi sebuah wacana –entah fiksi mau pun nonfiksi– pada karya-karya hasil akhir workshop ini. Ya, workshop yang digelar dalam delapan kali pertemuan pada periode 27 Juli–13 Agustus 2012 ini dipenuhi oleh sesi diskusi berbagi gagasan dan interpretasi. Karena pada Jakarta 32°C kelima ini yang menjadi tema adalah ‘Lowongan”, maka workshop memilih untuk menyoroti masalah ‘pekerjaan’ yang ada di kota Jakarta. Ultra Vocation, begitulah The Secret Agents, duo seniman Indra Ameng – Keke Tumbuan selaku mentor memberi tajuk dari workshop fotografi ini. Total tujuh peserta aktif mengikuti workshop ini, mereka adalah mahasiswa terpilih yang berasal dari Universitas Mercubuana, Institut Kesenian Jakarta, Universitas Bina Nusantara dan Universitas Negeri Jakarta. Lantas, karena lewat workshop ini para peserta akan menghasilkan karya, maka sejak pertemuan awal pun mereka sudah mulai diarahkan untuk memilih jenis pekerjaan yang akan diangkat menjadi tema karya. 29


Setidaknya, delapan pertemuan itu terbagi menjadi dua sesi. Pertama, sesi perkenalan dan pemanasan di pertemuan pertama hingga ketiga. Mentor mengajak peserta untuk mendeskripsikan suatu profesi berdasarkan objek-objek visual yang dapat merepresentasikannya. Misalnya saja, Vini, peserta dari Binus membawa microphone sebagai benda yang paling mewakili seorang motivator dan Haritsah Almudatsir dari UNJ, membawa tanda pengenal dan buku catatan sebagai penanda profesi jurnalis. Lalu, masih dari sesi pemanasan, guna memperkaya referensi visual, tiap peserta diminta mengumpulkan foto-foto dari media massa untuk disatukan menjadi sebuah foto berseri. Lewat proses tersebut peserta pun secara tidak langsung belajar untuk mengkurasi karya, sebuah proses penting sebelum akhirnya mereka mengkurasi karya mereka sendiri. Sesi kedua ialah pembicaraan konsep dan teknis pembuatan karya akhir. Sejak pertemuan keempat, workshop selalu riuh dengan gagasan-gagasan yang seru tentang calon karya tiap peserta. Perubahan konsep pun tak bisa terelakkan seiring diskusi dan riset lapangan silih berganti berlangsung. Posisi dua mentor pada workshop pun patut kita soroti. Pasalnya, alih-alih menghujani para peserta dengan materi-materi dan pemahaman, Ameng dan Keke justru terasa lebih sebagai pendamping yang memoderasi. Dengan sangat baik, mereka merangsang tiap peserta untuk berekspresi dan berwacana. Apa yang mentor lakukan adalah memberi suplemen ide guna memperlancar proses tersebut. Bukan mendikte. Lalu, setelah pertemuan ketujuh pada 13 Agustus 2012, peserta pun sudah mulai mengeksekusi karyanya masing-masing. Pada beberapa kesempatan, mentor pun ikut turun ke lapangan mendampingi para peserta. Dari tujuh peserta yang hampir rutin mengikuti tujuh pertemuan, enam peserta pun sukses menyelesaikannya dan mempresentasikannya di pertemuan kedelapan. Sementara satu peserta menyatakan diri menyerah untuk mengeksekusi konsepnya. Serentak, karya enam mahasiswa dipamerkan di Galeri Nasional pada 22 September –8 Oktober 2012. Seperti apakah wacana pekerjaan dan keprofesian di kota ditampilkan dalam karya tiap peserta? Mari kita ulas satu per satu. Pertama, Satrio Hadi Pranata atau akrab disapa Rio dari Universitas Mercubuana, menampilkan Odong-odong Fan Club. Berdasarkan riset yang dilakukannya di sejumlah daerah di Jakarta, Rio meyuguhkan delapan rupa odongodong. Ada yang berupa mainan tunggangan berbentuk mobil-mobilan dan tokoh kartun, ada juga yang berbentuk bianglala mini. Lewat foto-foto odong-odong tanpa awak garapan Rio ini kita pun akan sadar betapa kini odong-odong adalah sebuah fenomena baru. Jika beberapa tahun lalu wahana-wahana permainan seperti ini hanya bisa ditemui di pusat perbelanjaan dan tempat hiburan, maka lewat tangan-tangan kreatif para pencari peluang bisnis, permainan-permainan tersebut menjadi ringkas dan portable, siap dinikmati seluruh anak-anak di daerah pemukiman sub-urban sekalipun. Selanjutnya dari Aditya Mandala Putra, masih dari Universitas Mercubuana, dengan judul Sol Patu Modern. Apa yang kalian bayangkan ketika mendengar profesi tukang sol sepatu? Bisa jadi dua kotak yang dipikul, perkakas yang jumlahnya tak memadai kotak, dan pastinya, pria bertopi dengan handuk mengalungi lehernya yang berkeliling sambil berujar “sol patu’’.

30


Menganggap profesi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat perkotaan namun prihatin dengan perkakasnya yang sederhana dan kurang modern, Adhitya mengabulkan imajinasi tentang profesi tukang sol sepatu yang kekinian lewat karya-karyanya. Seolah memanfaatkan ilmu periklanan yang ia peroleh di kampus, Adhitya merangkum foto-fotonya dalam bentuk poster iklan. Foto perkakas-perkakas terbaru dan mulus tersimpan rapih di dalam tas khusus yang mudah dibawa ditampilkan dalam poster. Profesi sol sepatu pun terlihat begitu trendi, apalagi nomor telepon, akun Twitter dan Facebook juga tertera di situ. Lantas, agar nuansanya lebih terasa, perkakas-perkakas sesungguhnya pun dihadirkan di ruang pamer sebagai instalasi. Sexy Sibuk merupakan karya Aditya Fachrizal Hafiz dari Institut Kesenian Jakarta. Pemuda yang lebih dikenal dengan nama Gooodit ini menilik sistem keprofesian yang tak jarang dianut oleh masyarakat kota, yaitu pekerja lepas alias freelancer. Tak sulit untuk Gooodit melakukan riset sekaligus eksekusi, karena subjek yang ditampilkannya adalah dirinya sendiri. Dengan judul Sexy Sibuk, sekaligus Gooodit seolah ingin menyebut bahwa kesibukan seorang freelancer itu seksi, menarik untuk disimak. Betul saja, lewat karya fotografi yang ditampilkan dalam bentuk buku, Gooodit menampilkan fotofoto first-person-point of view segala macam rutinitasnya dalam keseharian. Mulai dari bertemu klien, mendesain, mengantar barang dagangan, mengerjakan urusan perkuliahan, hingga gambaran dirinya membeli kopi di mini market dan nonton TV di rumah. Bentuk penyajiannya di media buku pun membawa sensasi tersendiri untuk para penyimaknya. Sequence dari lembar ke lembar karya ini menjadi seperti jurnal visual, kita dibuat ikut merasakan perpindahan-perpindahan Gooodit di kesehariannya. Sementara itu, Vini Faziriani dari Universitas Bina Nusantara menampilkan Sabda-sabda Metropolitan. Vini adalah peserta yang sejak awal workshop sudah tertarik untuk mengulas fenomena profesi motivator di perkotaan. Namun, berdasarkan riset-riset yang dilakukannya, walau sudah yakin dengan tema besarnya itu sejak awal, konsep karya akhir yang diajukan Vini tetap berubah-ubah. Hingga akhirnya sampai pada sebuah gagasan bahwa sebenarnya, motivator itu tak mesti berdasi, tak mesti punya tampilan karismatik dan berasal dari kalangan intelektual. Setiap orang adalah motivator. Vini memotret sejumlah orang dari profesi-profesi yang bukan kelas atas dengan pose khas motivator profesional ketika sedang mengeluarkan petuahnya. Lantas, di setiap foto pada karya ini juga disematkan satu kalimat motivasi dari subjek yang difoto. Tak berhenti di situ, sebagai pemanis, saat pameran sudah berlangsung Vini pun memotret beberapa pengunjung dengan kamera instan lalu meminta untuk menuliskan nama, pekerjaan serta motto hidupnya. Sama seperti odong-odong, jasa penyembuhan penyakit mulut dan gigi berlabel Ahli Gigi pun merambak di perkotaan sebagai alternatif dari layanan serupa yang tarifnya jauh lebih tinggi. Fenomena itulah yang direspon oleh Zainul Arifin alias Saprol dari Interstudi dengan judul Dental Girl. Kalau selama ini stigma yang bermunculan tentang Ahli Gigi ini selalu miring dan tak jarang negatif, lewat medium fotografi Saprol pun merombaknya. Saprol

31


mewujudkan imajinasinya akan layanan dari profesi yang tak jarang juga disebut tukang gigi ini. Wanita-wanita muda nan cantik dihadirkan di antara ruang dan peralatan pengobatan yang sederhana dan seadanya itu. Citra tukang yang identik dengan pria pekerja keras pun sirna. Seketika, suasana ruang pengobatan pun terasa begitu menyenangkan tak kalah dengan ruang dokter gigi di rumah sakit. Lantas, untuk memperkuat keistemawaan para dental girls ini, karyakarya Saprol pun ditampilkan dalam medium kalender. Persis seperti perlakuan yang diberikan pada foto-foto wanita model cantik nan sensual dan keindahan pemandangan alam. Terakhir, Haritsah almudatsir dari Universitas Negeri Jakarta menampilkan karya berjudul Spirit Gatot Kaca. Kalau ada pertanyaan siapakah orang penting dalam pembangunan kota Jakarta, maka kuli bangunan mesti berada di deretan atas jawaban. Dengan semangat dan seluruh daya juangnya, kuli bangunan juga ikut menumbuhkan gedung-gedung pencakar langit penanda kehebatan kota. Ya, profesi kuli bangunan itulah yang diresahkan oleh Haritsah Almudatsir. Bagi Haritsah, para kuli bangunan itu memiliki spirit serta karakter yang sama dengan salah satu jagoan di dunia pewayangan kita, Gatot Kaca. Lewat karyanya, ditampilkan sosok si otot kawat tulang besi ini tengah melakukan pekerjaan kuli bangunan: mengaduk semen, memotong besi, hingga memasang keramik pada dinding. Tak lupa juga, ritual menenggak minuman penambah tenaga sambil ngaso di tempat peristirahatan pun ditampilkan gambarannya. Menariknya, untuk memperkuat konsepnya itu, Haritsah pun menyajikan foto-fotonya tersebut dalam bingkai yang terbuat dari materi seperti alumunium yang ia pesan secara khusus di toko bingkai. Rasanya, tak berlebihan jika kita menyebut workshop fotografi ini sukses. Proses ‘penggodokan’ dalam waktu pertemuan yang singkat tak membuat karya akhir para peserta ikut ringkas dan dangkal. Proses adu gagasan yang gencar serta interaktif membuat periode workshop yang singkat ini menjadi begitu padat materi. Pastinya, buah berupa karya akhirnya pun jadi penuh isi.  Sesuai dengan tema Lowongan Pekerjaan yang diusung, workshop ini juga berhasil mempekerjakan kekuatan-kekutan yang dimiliki oleh fotografi untuk merekam interpretasi tentang realita keprofesian di perkotaan. Mengarsipkan aneka rupa odong-odong sebagai inovasi wahana hiburan alternatif,  merekam kesibukan seorang freelancer di kesehariannya, menciptakan citra baru atas layanan jasa tukang gigi dan tukang sol sepatu, mengungkap keberadaan motivator-motivator handal tak berdasi, serta menghadirkan cerita fiksi gatot kaca di pembangunan kota.  Dengan pendekatan fotografis yang ditawarkan para peserta, bukan tidak mungkin, setelah menyimak dengan seksama karya-karya, para pengunjung pun pulang dengan segenap pemikiran baru tentang keprofesian di kota ini.

32


Employing Photography to Record Interpretation of Profession by

Rizki Ramadan

What would happen if a photography workshop conducted without any camera at all? That was what happened in Jakarta Photography Workshop 32°C 2012. Since the selected participants are considered to have mastered the basic at the very least, the workshop took place at ruangrupa Tebet, Jakarta, had ruled out the technical matters and focused on more important things within photographic activities: interpreting and creating visual images about an issue, framing reality into a discourse—either fiction or nonfiction—as the outcomes. Indeed, the workshop that held in eight meetings since July 27 to August 13, 2012 was filled with numerous idea sharing and interpretation into sessions of discussion. Since the theme of the fifth Jakarta 32°C is ‘Vacancy’, the workshop highlighted the problem of ‘employment’ in Jakarta. Ultra Vocation had become the title of the workshop given by The Secret Agents, the artist duo of Indra Ameng and Keke Tumbuan. Totaling seven artists actively participating in the workshop, they were selected from Interstudi, Mercubuana University, Jakarta Art Institute (IKJ), Bina Nusantara University (Binus) and State University of Jakarta (UNJ). It is only natural for the participants to make a project as the end result of a photography workshop. Therefore, they had been directed to choose the type of job that will be the theme. 33


The meetings divided into two sessions. First were introduction and warming up sessions at the first to the third meeting. The mentors encouraged the participants to describe a profession based on visual objects that could represent them. For example, Vini, a participant from Binus, brought a microphone that highly represented a motivator, while Haritsah Almudatsir of UNJ brought an ID and a notebook that represented a journalist. Moving to warming up session, all participants were asked to collect photographs from mass media and merged them into photo series in order to enrich their visual reference. Through the process, participants will indirectly learn to curate a work, an important process before curating their own work. The second session was discussing the concept and technique for their final project. Since the fourth meeting, the workshop was always bustling with exciting ideas about prospective work from each participant. Changes in the concept were inevitable, as the result of discussions and field research coming and going. The two mentors were worth highlighted. Instead of showering the participants with materials and comprehension, Ameng and Keke were in fact acting more like moderating companions. They stimulated each participant well to express and making discourse. What they did was giving idea supplements to smooth out the process. Not to dictate. Furthermore, in the seventh meeting held on August 13, 2012, the participants started to execute their projects. The mentors also got their hands dirty assisting the participants on several occasions. Of the seven participants who attended almost all of the seven meetings, six of them had successfully finished the project and making their presentation at the eighth meeting. One participant gave up in executing the concept. The work of six students had finally had their exhibition at the National Gallery on September 22 to October 8, 2012 simultaneously. How did the discourse of work and professionalism in the city featured in their project? Let us review them one by one. First, Satrio Hadi Pranata or Rio from Mercubuana University. He featured Odong-odong Fan Club. Based on his research in a number of areas in Jakarta, Rio presented eight-way odong-odong (a static, amusement ride onboard the bicycledriven ride – trans.). Shaped in the form of toy ride cars and cartoon characters, there was also a mini Ferris wheel. Through Rio’s photographs of unmanned odong odong, it could trigger one’s awareness about new phenomenon. Few years ago such ride could only be found in shopping center and amusement parks. Through the creative hands of business opportunity seekers, these rides had become compact and portable, ready welcome all children enjoy the fun even those at the sub-urban housing complex. Next was Aditya Mandala Putra’s project from the Mercubuana University entitled Sol Patu Modern. What can you imagine from a professional cobbler? It could be two shouldered boxes with overflowing, various tools inside, and of course, a man wearing a felt hat with a towel hung around his neck yelling "sol patu!." Taking it as a highly sought-after professional by the urban people yet concerned about their traditional and less modern tools, Adhitya imagined about modern cobbler through his contemporary works. Applying his advertising knowledge acquired in campus, Adhitya summarized his pictures in the form of advertorial poster. Photos of the modern and shiny tools 34


tucked neatly inside a special bag that is easy to carry as displayed in the poster. Cobbler as a profession looks so cool, equipped with phone numbers, Twitter and Facebook accounts that listed there. In order to feel the ambience, the actual instruments were presented as an installation in the showroom. Sexy Sibuk is the project of Hafiz Fachrizal Aditya from Jakarta Art Institute. The young man known as Gooodit covered a professional system that often shared by the urban people: a freelancer. It wasn’t too hard for Gooodit to do the research and executed it, since he himself was the subject. By calling it Sexy Sibuk (a pun coined from the classification or section of an office – trans.), Goodit wanted to tell us that being a freelancer is sexy and interesting to be observed. Sure enough, through photographic work featured in a book form, Gooodit was featuring first-person point of view photos of his daily routine. He has to meet with clients, making the design, delivering merchandises, doing campus assessments, up to picturing himself buying coffee at a mini mart and watching TV at home. How it presented into a book brought a unique sensation to his readers. Sequences from sheets of his work felt like a visual journal, as we were made to feel Gooodit’s movement in his daily life. Meanwhile, Vini Faziriani from Bina Nusantara University featuring Sabdasabda Metropolitan (The words of Metropolitan). Since the beginning of the workshop, Vini was interested in the idea to present about the phenomenon of motivator profession in urban life. However, her research and her faith towards the grand theme since that very beginning could not keep Vini from changing the concept. Until she came up with the idea that in fact motivator does not wear a tie, doesn’t have to be necessarily charismatic appearance nor coming from intellectual circles. Everyone is a motivator. Vini took some pictures of the professionals who don’t belong to the upper class, posing as typically professional motivators while preaching their wisdom. On each of every photo displayed, she pinned a motivational proverb from the photographed subject. She didn’t stop there. As sweetener, in the ongoing exhibition, Vini took some pictures of the visitors using instant cameras and asked them to write down their name, occupation, and motto of their life. The same with odong-odong, dental and mouth healing services labeled as Dental Experts has mushrooming in urban areas as an alternative to a similar, credential service with much higher rate. That was responded by Zainul Arifin alias Saprol from Interstudi with Dental Girl. Saprol deconstructed the stigma of Dental Experts that were skewed and often negative through the medium of photography. He incarnated his imagination about this profession that frequently called as tooth artisan. Pretty and young ladies presented between the space and humble medical tools. Craftsman image that identical with a hard-working man has vanished. Instantly, the atmosphere of the treatment room feels very pleasant, no less than a dentist room in the hospital. Moreover, to strengthen the elegance of those Dental Girls, Saprol’s project was presented as a calendar. Such treatment is the same, as if they are pretty and sexy models that are usually pictured alongside the nature’s beauty as their background. Finally, Haritshah Almudatsir from UNJ featured the project entitled Spirit Gatot Kaca. If a question arises about the most important people in the development 35


of Jakarta, construction workers must have been at the top row of the answer. With their fighting spirit and fighting power, they contributed the role in growing the skyscrapers, marking the city’s greatness. Indeed, that’s the profession presented by Haritsah Almudatsir. To Haritsah, construction workers have the same spirit and character as one of our wayang champions, Gatot Kaca. The project displayed these iron-boned, wire-muscled characters doing their work: mixing the cement, cutting steel, putting on the ceramic tiles on the wall. The energy-drink ritual while resting at the resort was also shown in the picture. Interestingly, in order to reinforce that concept, Haritsah also presented these pictures in a frame made from materials such as aluminum that specifically ordered from the frame shop. It was not an exaggeration if we call this photography workshop a success. The formulation process in short-timed meetings did not make the participants’ projects compact and shallow. The process of interactive and vigorous idea contests had made this workshop dense with materials. Surely, it resulted in fruitful content of works. In conform to the “Vacancy” theme; the workshop had managed to employ photography’s strengths to record the realities of professions in the city. Archiving various odong-odong as an innovative yet alternative entertainment, recording a freelancer’s daily business, recreating a new image about dental services and cobbler, revealing the existence of no-tie motivators, and fictioningt Gatot Kaca in the middle of the city buildings. Through photographic approach offered by the participants, it is possible that the visitors, after carefully examining their art projects, will go home with a whole new idea about professions in the city.

36


37


38


39


Workshop Video Eksperimental bersama

Syaiful Anwar dan Bagasworo Aryaningtyas

Kerja Rodi, ialah Istilah yang digunakan semasa pemerintahan kolonial masih berkuasa di Indonesia. Suatu istilah yang sulit dikatakan karena banyak mengandung nilai sejarah, bagaimana pribumi harus dipaksa bekerja untuk kepentingan kolonial saat itu. Nama inilah yang menjadi tema awal dari workshop Video Eksperimental yang diselenggarakan oleh Jakarta 32°C 2012. Selama workshop video ini, para mahasiswa lebih di ajak melihat bermacammacam fenomena pekerjaan yang marak hadir di Jakarta. Dan bagaimana para peserta workshop ini meresponya hingga menjadi sebuah karya video. Gambaran tentang mencari sebuah pekerjaan mungkin bisa dikatakan sangatlah sulit. Bukan karena persaingan yang sengit antara para pelamar, akan tetapi pekerjaan merupakan ‘pendamping’ hidup dari diri setiap individu masing-masing. Keinginan bekerja sesuai yang diinginkan dari setiap masing-masing individu terkadang harus buyar di tengah jalan karena belum tentu si pekerjaan yang diimpikan tersebut “mengiginkan” kita. Tak sedikit pula dari semasa berkampus, individu mendapatkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan apa yang dipelajari saat masa bangku kuliah. Karena tuntutan kebutuhanlah akhirnya dia harus menjalani sebuah pekerjaan yang memang bukan apa yang diimpikannya. Dalam workshop ini, para pastisipan juga bisa memproduksi karya videonya yang bersifat fiksi. Bahwa pekerjaan itu memang tidak ada dalam artian yang sebenarnya. Kesulitannya dalam workshop video kalian adalah partisipan asing dengan istilah eksperimental dalam medium video, selama proses workshop berlangsung dan presentasi karya. Pada awalnya, workshop Video Eksperimental ini diikuti oleh sebelas partisipan, namun selama proses workshop berjalan sebagian partisipan terpaksa mengundurkan diri karena adanya kesibukan masing-masing. Selama dua minggu workshop ini berlangsung, para partisipan mencoba membongkar fenomena pekerjaan yang hadir di Jakarta untuk dijadikan karya videonya.

40


Experimental Video Workshop with

Syaiful Anwar and Bagasworo Aryaningtyas

Corvee is a term that was used in Indonesia in the colonial era. It is beyod description because its historic value, how the indiginous forced to work for the shake of colonial benefit in that time. Therefore, this term was used as the first theme in the workshop of experimental video which hold by Jakarta 32°C 2012. During this workshop, the students are asked to see many phenomenon about job as the common issue in Jakarta. Then as participants they are asked to respond this issue into a video. The image about getting a job probably is hard to define. It is not because the fierrce competion among the applicants, but, how the work becomes a ‘companion’ of life for every individuals. The desire to get the ‘dream job’ sometimes be dispersed in the middle of the process, might be that the ‘dream job’ is not wanting us. Also, there are many students who get a proper job fit with their discipline during their study program. Due to demands, they should do their job although they do not want it. In this workshop, the participants can create a video works which are fiction - the job is not exist in the real life. The difficulty during the workshop is that the participants were not familiar with ‘experimental’ term through video as the medium. During the process there are several participants draw back. There were eleven participants in the beginning. As the process going, some participants are drawing back due to their own activities. During two weeks of the worksho, the participants were trying to open up the issue about job in Jakarta, then make it to be a showcase video.

41


Abi Rama Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jendela-Jendela Windows Video, 4 menitt,

Ario Fazrien Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Patung Terakhir Video, 3 menit

Denny Darmawan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta Panas Video, 4 menit

Indra Komara Nugraha Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Ereksi MLM Video, 5 menit

Luthfi Fawwaz El Maghribi Universitas Al-Azhar JAJA Video, 9 menit

42


Yoyo Wardoyo Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kalong Video, 6 menit

Nastiti Dewanti Universitas Indonesia Tamasya Video, 5 menit

43


44


Lowongan Video Eksperimental oleh

Manshur Zikri

Jakarta 32°C 2012, yang mengusung tema ‘Lowongan’—“pekerjaan yang terluang, yang bisa diartikan juga sebagai kesempatan kerja atau peluang”1—adalah sebuah usaha untuk merespon terpaan visual-visual kota (yang hadir atas nama kapital) melalui karya-karya visual (yang sengaja diciptakan atas semangat perlawanan dan kesadaran sosial). Pada usaha itulah, video, sebagai medium audiovisual yang mempunyai potensi sebagai senjata perlawanan karena sifatnya yang memasyarakat—mencair dan tidak berjarak—memainkan perannya. Wajar kemudian, bahkan menjadi satu keharusan, workshop video menjadi salah satu agenda utama dalam rangkaian workshop yang diadakan oleh festival ini. Pada Workshop Video Eksperimental yang dihelatkan Jakarta 32°C 2012, digagas sebuah kerangka pemikiran tentang respon personal para partisipan tentang mimpi dunia pekerjaan—peserta workshop diajak untuk bermimpi, berfantasi, dan merespon tentang pilihan pekerjaan—dengan demikian berjudul “Kerja Rodi”2, dan dilaksanakan selama 10 hari sebelum perhelatan pamerannya sendiri. *** Workshop tersebut menghasilkan 7 karya, yang (minimal) diharapkan dapat menyulut api, yakni (1) Jendela-Jendela Windows karya Abi Rama; (2) Ereksi MLM karya Indra Komara; (3) JAJA (Warung) karya Luthfi Fawwaz El Maghribi; (4) Tamasya karya Nasiti Dewanti; (5) Patung Terakhir karya Ario Fazrien; (6) Kalong karya Yoyo Wardoyo; dan (7) Jakarta Panas karya Denny Darmawan. Abi Rama, melalui karya video Jendela-Jendela Windows menampilkan rentetan footage-footage kota yang dekat dengannya, seperti lingkungan kontrakan, tempat nongkrong, situasi di jalanan, yang berganti-ganti di dalam frame. Abi memainkan materi footage tersebut sehingga menyajikan sebuah visual di mana seolah kamera bergerak dari satu jendela ke jendela yang lain, dan menangkap 45


ruang-ruang di balik jendela ke dalam frame. Visual-visual yang kita lihat ialah aktivitas warga masyarakat sehari-hari. Luthfi Fawwaz juga menampilkan footage berganti-ganti, tetapi lebih fokus pada barang-barang produk industri yang dijajakan di warung, seperti produk kemasan sachet, makanan kaleng, rokok, dan sebagainya. Transaksi di warung juga materi yang ditampilkan di sela-sela visual produk-produk tersebut. Namun, permainan medium yang dilakukan oleh Luthfi Fawwaz dalam JAJA (Warung) ialah memadukan rentetan visual tersebut dengan sebuah percakapan transaksi judi bola antara si JAJA dan teman-temannya. Materi fotografi menjadi andalan Nasiti Dewanti pada karyanya videonya, Tamasya Keluarga. Sebuah aksi menyusun visual-visual antropologis tentang bidang usaha (dagang) yang menjamur di kota, seperti bengkel, warung kaki lima, penjual bakso, dan juga rumah makan, yang dipadu dengan iringan sebuah percakapan keluarga tentang jalan-jalan dan sesekali menyinggung keadaan ekonomi mereka. Sedangkan Jakarta Panas yang dibuat oleh Denny Darmawan, menyajikan footage yang merekam keseharian kota Jakarta siang hari yang riuh rendah oleh oleh aktivitas di jalan: transportasi umum, aktivitas pedagang, pejalan kaki, dan lainnya. Karya ini menangkap satu aspek ‘kesesakan’ kota di bawah ‘panas’ yang, secara psikologis, memunculkan ‘kegerahan’ penonton yang menyimaknya. Sedangkan ‘patung’ yang bergerak-gerak seperti robot di depan sebuah gedung menjadi objek ambilan Ario Fazrien pada karya Patung Terakhir. Dari awal hingga akhir, karya ini memain-mainkan materi footage dari aksi performans yang dilakukan oleh si ‘patung’ yang bertingkah seperti prajurit, dengan mengulang adegan, memecah gambar, melakukan distraksi dan menyisipkan gambar-gambar patung asli yang bertebaran di Jakarta. Gambar-gambar yang dipecah secara vertikal (lebih tepatnya dipotong-potong) bergerak terus-menerus dan berulangulang dari kiri ke kanan. Ereksi MLM, karya Indra Komara, menyajikan sebuah rekaman audio dari presentasi yang dilakukan oleh agen MLM dalam mempengaruhi orang-orang yang sedang mendengarkannya. Ketika didengar lebih jeli, akan terasa kesan bahwa si agen begitu antusias dan semangat, dan semakin ‘terangsang’ untuk memamerkan kepiawaiannya memberikan bujuk rayu. Rekaman percakapan ini dihadirkan dengan tampilan gambar, yang diadoposi dari sebuah game ponsel bernama snake, di mana ketika dia berhasil memakan umpan, tubuhnya semakin panjang. Video berakhir ketika si ular tidak lagi menemukan jalan keluar karena kepanjangan tubuhnya memenuhi kotak tempatnya bergerak. Yang terakhir, karya video Yoyo Wardoyo, Kalong ialah sebuah karya dokumenter yang menampilkan aktivitas sebuah angkutan umum kota yang beroperasi malam hari, jurusan Pasar Minggu-Depok, yang sering dikenal dengan sebutan ‘angkot kalong’. Karya ini bermain-main dengan layer dalam frame, di mana setiap layer-layer kecil hilang dan muncul sesuai tempo yang diatur berdasarkan permainan audio dalam proses editing. Tujuh karya video tersebut merupakan hasil dari sebuah lokarkarya visual tentang video eksperimental. Pertanyaannya, apakah mereka telah berhasil menghasilkan sebuah karya visual yang dibayangkan sebagaimana karya video eksperimental yang ideal? Terdapat dua kecenderungan yang dapat dilacak dari tujuh karya video tersebut, di mana bisa dipahami bahwa ke tujuh pengkarya mencoba menghadirkan sebuah tafsiran atas masalah ‘kerja’ dan ‘pekerjaan’ melalui eksperimentasi visual. 46


Pertama adalah kecenderungan untuk bermain-main dengan medium gambarnya sendiri agar menghasilkan satu bahasa estetika tertentu. Pada karya video JAJA (Warung), Tamasya Keluarga, Ereksi MLM, pembuat karya menekankan sinkronisasi antara visual dan audio. Cara yang menggabungkan dua elemen berbeda ini sering digunakan para seniman video untuk memberikan sebuah statement: tampilan visual yang tidak ‘nyambung’ dengan substansi audio justru dilihat mampu menghasilkan sebuah gagasan baru yang dimaksud oleh si seniman. Namun demikian, hal tersebut tidak tercapai tanpa didukung oleh pemahaman penonton tentang referensi apa yang ditontonnya. Karya Luthfi menjadi sebuah representasi dari salah satu ‘aktivitas’ masyarakat yang mencoba mencari peluang-peluang keuntungan di tengah membanjirnya kolonisasi industri, melalui produk, yang merambah hingga ke pelosok ruang-ruang masyarakat; Nasiti sedang membuat esai tentang usaha-usaha warga yang menghidupkan roda perekonomian masyarakat; sementara Indra, mencoba menyindir agen-agen MLM yang tak ubahnya seperti tukang obat dan akhirnya mengalami kesialan sendiri seperti ular rakus yang terjebak oleh tubuhnya yang terus saja memanjang akibat tamak. Sementara itu, pada karya Jendela-Jendela Windows, Patung Terakhir, Kalong dan Jakarta Panas, permainan medium gambar lebih diutamakan. Langkah ini bisa dilihat sebagai satu usaha untuk melakukan pembongkaran atas objek karya videonya sendiri. Gambar-gambar dimainkan, dipotong, dipilah, terkadang ‘dihancurkan’, diobrak-abrik, lantas kemudian disusun kembali menurut tata aturan yang berbeda, dengan tujuan untuk membicarakan objek gambar yang diambil untuk memancing bahasan-bahasan baru yang imajinatif tentang isu yang sedang didiskusikan di dalam karya. Kecenderungan yang kedua ialah terkait pemilihan objek yang diangkat dan direkam pada tujuh karya video tersebut. Para seniman videonya lebih memilih objek dan ruang yang sangat dekat dengan keseharian mereka. Namun demikian, kedekatan ini tak memberi pengaruh karena karyanya justru kurang bersifat ‘investigatif’, dalam artian ‘mampu menyajikan hal-hal baru yang tidak diketahui publik’. Alih-alih merekonstruksi representasi visual bersifat kebaruan, sebagai hasil dari dekonstruksi persoalan atau visual-visual yang sebelumnya ada, ketujuh karya hanya berhenti pada titik mendeskripsikan apa yang telah ada dan dikenal masyarakat. Akhirnya, api yang disulut kurang efektif untuk membangunkan masyarakat yang tertidur. Lebih jauh dari itu, perlu pula dipahami tentang bagaimana proses berkarya dari video eksperimental yang sejatinya menjadi ajang ‘uji-coba’ melalui medium video, untuk menghasilkan sebuah temuan-temuan baru. Tuntutan ini kemudian akan menghantarkan pemahaman tersendiri tentang video eksperimental. *** Eksperimental dipahami sebagai sebuah langkah yang bersifat ‘melakukan uji coba’ untuk tujuan menemukan hal-hal baru yang lebih bernilai guna. Ada kecenderungan untuk memadukan atau menyilangkan premis satu dengan premis lain, untuk memunculkan sebuah gagasan baru, baik untuk mendukung gagasan yang telah ada maupun justru menyanggahnya. Dan dengan demikian, eksperimental, sejatinya, adalah usaha-usaha yang dilakukan manusia dalam hidupnya, melalui cara-cara berbeda, bersifat kebaruan, untuk tujuan yang baru pula. 47


Melalui jabaran ini, dikedepankan gagasan tentang seni, dalam hal ini video eksperimental, yang mana pelekatan kata ‘eksperimental’ kemudian dikarakterisasikan dengan pengabaian aturan-aturan linear, pendayagunaan beragam teknik yang abstraktif, ‘menyimpang’ dari fokus, dan sajian atau kemasannya berbeda dari praktik-praktik yang ada pada ranah mainstream. Pengertian ini diambil untuk mencapai tujuannya, yakni menempatkan ‘pembaca karya’ (viewer) pada garis hubungan yang lebih aktif, kritis, dan bijaksana terhadap karyanya sendiri.3 Namun, soal ‘eksperimental’ tidak berhenti hanya di situ. ‘Eksperimental’ harus dipahami pula sebagai satu proses berkarya yang berlandaskan pada aksi observasional yang holistik. Hasil dari ‘kegiatan eksperimen’ ialah untuk mempertanyakan kembali hipotesis yang telah dirumuskan dan kemudian menghadirkan satu tesis baru yang tegas. Dengan demikian, ‘eksperimental’ tidak hanya mempersoalkan bagaimana sebuah medium dimainkan, tetapi juga tentang ‘bermain-main’ dalam proses pembuatannya. Video eksperimental, dengan kata lain, selain dapat dilihat dari pengulikan dan penemuan bahasa estetika visual pada karyanya, juga dipahami dari proses pembuatan karya yang mengandung esensi eksperimental; penelusuran insipirasi-inspirasi yang belum tersentuh untuk mendapatkan ide-ide baru berbarengan dengan aksi berkaryanya yang memunculkan dampak-dampak baru atau mempengaruhi lingkungannya untuk bergerak, atau minimal menjadi kritis, sesuai dengan gagasan yang diusung karya. Namun demikian, sepertinya karya-karya video dari Workshop Video Eksperimental Jakarta 32°C tahun ini, kurang melakukan ‘kerja rodi’ untuk mencoba menjawab pertanyaan itu. Observasi dan riset lapangan yang kurang dari cukup terlihat jelas dari kualitas penyampaian, masih berada di permukaan, tidak ada visual baru yang mengejutkan (selain otak-atik melalui teknologi editing), dan tak pula berpeluang memunculkan diskusi-diskusi baru, seperti misalnya pemaknaan kembali istilah ‘lowongan’ yang diangkat oleh Jakarta 32°C 2012. Pada akhirnya, untuk menjadi alat kritik masyarakat, atau setidaknya penyulut jiwa kritis masyarakat pun, karya yang dimaksud belum memiliki kekuatan yang signifikan. Sebab, paling tidak jika kita mencoba menariknya pada konteks kehidupan sosial, pendapat Chernyshevsky (1906) tentang seni layak untuk dikutip: Seni… menyebarluaskan sejumlah besar pengetahuan di kalangan massa pembaca, dan yang lebih penting lagi, membiasakan mereka dengan konsep-konsep yang digarap oleh ilmu pengetahuan.4 Dengan kata lain, seni seharusnya mencerdaskan dan menyadarkan masyarakat, demikian pula halnya dengan karya video eksperimental. Terlepas dari itu semua, tujuh karya video eksperimental itu tetap harus mendapat apresiasi. Karena setidaknya, para mahasiswa telah mau memilih cara alternatif yang lebih elegan dan cerdas untuk melakukan perlawanan wacana, melakukan protes terhadap masyarakatnya sendiri, masyarakat yang terjebak oleh sistem amburadul yang kemudian tercetak menjadi wajah kota kita. — Catatan Kaki 1 Asep Topan. 2012. “Pengantar Workshop”. Katalog Pameran Jakarta 32 C 2012. Hlm. 44 2 Katalog Pameran Jakarta 32°C. Hlm. 54. 3 Diakses dari Wikipedia Bahasa Inggris, http://en.wikipedia.org/wiki/Experimental_film, tanggal 5 September 2012. 4 Plekhanov, G.V. 1957. Art and Social Life. Penerjemah: Samandjaja. Moscow: Foreign Language Publishing House. Hlm. 2. Diakses dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/plekhanov/seni. pdf, tanggal 11 November 2012.

48


Experimental Video Vacancy by

Manshur Zikri

Jakarta 32°C 2012 carried out the theme of ‘Vacancy’ is an effort to respond the visual exposure of the city (presented in the name of the capitals) with visual works (that deliberately created on the spirit of resistance and social awareness). “Vacancy” itself could be interpreted as “vacant jobs” or job opportunity or simply a chance.1 Video as the medium of visual audio has the potential of becoming resistance weapon due to its popularity in community—being liquid and close—is playing that role. Naturally, it is a necessity that video workshop must be included in the main agenda in series of workshops organized by the festivity. In Experimental Video Workshop conducted in Jakarta 32°C 2012, framework was initiated about personal responses of the participants on the world of a dream job. The participants were invited to fantasize and responded about employment options. Thus the term Kerja Rodi [Forced Labor]2 and done for 10 days before the exhibition was even started. *** The workshop had resulted to 7 works that could, at the very least, spark a fire. They are (1) Jendela-Jendela Windows [Windows of Windows] by Abi Rama; (2) Ereksi MLM [Multi Level Marketing Erection] by Indra Komara; (3) JAJA (Warung) [Stall] by Luthfi Fawwaz El Maghribi; (4) Tamasya [Excursion] by Nasiti Dewanti; (5) Patung Terakhir [The Last Statue] by Ario Fazrien; (6) Kalong [The Bat] by Yoyo Wardoyo; and (7) Jakarta Panas [Jakarta Heat] by Denny Darmawan. Through his work of Jendela-Jendela Windows, footages of closed by environment are captured. The surrounding of the rented house, hangout places, situation on the streets, they change constantly in the frame. Abi plays a visual in which the camera is moving from one window to another, capturing the spaces behind them in a frame. Visuals we viewed were the living activities by the commoners. 49


Luthfi Fawwaz is also featuring constantly changing footages, yet focusing more on industrial product items displayed in a stall. They are packaging products in sachets, canned food, cigarettes, and so on. Transactions in that stall are also shown amidst the visuals of such products, serving as sidelines. Yet, the medium playing done by Luthfi Fawwaz in JAJA (Warung) [JAJA is a pun coined from “going around the area selling something” and a boy’s name – trans] are combining visual sequences of soccer gambling transaction between JAJA and his friends. Nasiti Dewanti had presented the video project entitled Tamasya Keluarga [Family Excursion] with photography materials becoming the strong point. It was an act of arranging anthropologically visuals about business (trading) that is mushrooming the city, such as mechanic workshop, pavement cafes, meatball seller, and also restaurants. This visual was accompanied by a family conversation discussing an excursion and mentioned their economics circumstances once in a while. Jakarta Panas [Jakarta Heat] made by Denny Darmawan presented footages of Jakarta’s daily, boisterous afternoon on the street: public transportation, vendors activities, pedestrians, and so forth. It captured an aspect of “stuffiness” of the city under the “heat” that would psychologically emerge the “hot” for anyone watching it. A robotic-like moving ‘sculpture’ in front of a building had become the captured object for Ario Fazrien in his project entitled Patung Terakhir [The Last Statue]. From the beginning to the end, this work was playing around footage materials from a performer presented by the ‘sculpture’ pretending to be a soldier. Ario repeated the scenes, splitting images, doing the distractions and inserting images of real sculptures around Jakarta. Vertically cut images are moving continuously, repetitively, from left to right. Ereksi MLM [Multi Media Marketing Erection] by Indra Komara presents audio record of a presentation done by an MLM agent in influencing people who are listening. Should one pays more attention, the impression is an enthusiastic and spirited person, and becomes more ‘aroused’ to show off his talent in persuading people. This audio recording is presented with images adopted from a Snake game on a mobile phone. If the snake is managed to eat the bait, its body will become longer. The video ends when the snake could no longer find its way out since its body fully filling the box. The last is the video project made by Yoyo Wardoyo entitled Kalong [Bat]. It is a documentary presenting the activity of a nighttime public transportation; the one with Pasar Minggu-Depok bound and often called ‘angkot kalong’ [bat bus]. The works plays around layers in frame, in which the smaller layers continuously disappearing and reappearing based on the tempo set by audio game on the editing process. Seven of those projects are the result of a visual workshop about experimental video. The question arises: are they succeeded in embodying a visual project concept into an ideal experimental video work? There are two tendencies that could be traced from these seven projects. We are aware that those seven artists had tried to present the interpretation around the matters of ‘work’ and ‘occupation’ through visual experimentation. The first is the tendency to play with the medium itself to produce particular aesthetic language. In the video of JAJA (Warung), Tamasya Keluarga, Ereksi MLM, the artists are emphasizing the synchronization between visual and audio. The method in combining two different elements is frequently used by the video artists 50


to give a statement: ‘disconnected’ visual and audio substance is seen to be able to emerge new idea intended by the artist. However, it could not be achieved without the spectators’ understanding around the references of what they are watching. Luthfi’s work becomes a representation of the community’s ‘activity’ that tried to seek the benefiting chances amidst the flooding industrial colonization through the products penetrating empty spaces in communities, far and wide. Nasiti is making an essay about the citizens’ efforts in trying to turn the economics wheel. Indra is satirically mocking the charlatan MLM agent and eventually meets his misfortune just like a greedy snake trapped by its own ever-expanding body. In the mean time, in the works such as Jendela-Jendela Windows, Patung Terakhir, Kalong and Jakarta Panas, images get greater portion. This step could be seen as one of the efforts to deconstruct one’s own artwork. The images are played, cut, sorted, and sometimes ‘destroyed’, ransacked, and reassembled following different regulations. This process has the objective to discuss the imagery objects taken to provoke new, imaginative discussions towards the issues presenting in the project. The second tendency is related to the selection of objects emerged and recorded in seven videos. The artists prefer to choose the object and space that are closely related to their daily lives. However, proximity doesn’t count much since there is lack of “investigative” ambience. It means that ‘being able to present new idea that the public did not know before.’ Rather than reconstructing visual representation with the nature of freshness—as the result of deconstructing issues or deconstructing previously existed visuals—these videos stopped at the descriptive point in which public have already known. Eventually, the fire that had sparked is not quite effective to wake up the sleeping society. Furthermore, it is necessary to understand on how the creating process works. As for this experimental video, it is a mere “try out” to produce new findings. This demand will later on deliver its own understanding about experimental video. *** Exsperimental is understood as a trial measure for the purpose of discovering new findings, more valuable, and more feasible. There is a tendency to combine or crossing one premise to another, to come up with a new idea, to support the existing idea or even to refute it. Thus, experimental in its essence is the efforts done in one’s life, through different ways, with freshness of nature, for the purpose of a new one. Through this explanation, the idea of ​​art is put forward, in this case is the experimental video. The word ‘experimental’ itself then characterized by the waive of linear rules, utilizing various abstractive techniques, ‘deviate’ from the focus, whose presentation or packaging are differs from the practices that exist in the mainstream. This understanding is taken to achieve its goal of placing ‘works’ readers’ (viewer) on more active, critical, and thoughtful towards his or her own work.3 The matter of ‘experimental’ does not stop there. ‘Experimental’ should be understood as a creative process based on holistic observations. The result of the ‘experiment activity’ is to re-questioning the formulated hypothesis and to present a firm and new hypothesis. Thus, ‘experimental’ is not merely about how medium be toyed with, but also about ‘playing around’ in the creating process. In other words, experimental video not only be seen from the contemplation and 51


the finding of their visual aesthetics language, but also be understood from the creative process that contains the essence of experimental; tracking down the inspiration that are untouched to get new ideas at the same time with the that emerges new effects towards their environment to move, to be critical at the very least, in accordance with the idea carried out the work. However, it seems that video works from the Experimental Video Workshop of this year’s Jakarta 32°C is lacking in doing the ‘forced labor’ in pursuing the answer to such question. Observation and field research that is less than adequate is obvious from the delivery quality that remains only on the surface without surprising new visual (except by tilting the editing technology). It doesn’t have the chance to open new discussion as how to make ‘Vacant’ be newly interpreted as the theme raised by Jakarta 32°C. in the end, to become a tool of social critics, or even to flick the sparks to the critical souls, the aforementioned works don’t hold any significant power. To say it the least, if we tried to pull on the context of social living, the idea of Chernyshevsky (1906) about art is quotable: Art ... disseminates a large amount of knowledge among the masses of readers, and more importantly, familiarize them with the concepts produced by science.4 In other words, art should educate and enlighten the public, as well as with experimental video work. Separated from them all, those seven experimental videos should be appreciated. At least these students had choose more elegant and smart alternative to resist against the battle of discourse, protesting their own kinds who are trapped by haphazard system that are eventually printed as the face of our city. — Endnotes 1 Asep Topan. 2012. “Pengantar Workshop”. Katalog Pameran Jakarta 32 C 2012. p. 44 2 Katalog Pameran Jakarta 32°C. p. 54. 3 Accessed from English version of Wikipedia on September 5, 2012, http://en.wikipedia.org/wiki/ Experimental_film. 4 Plekhanov, G.V. 1957. Art and Social Life. Translator: Samandjaja. Moscow: Foreign Language Publishing House. p. 2. Accessed from http://www.marxists.org/indonesia/archive/plekhanov/seni. pdf, on November 11, 2012.

52


53


54


55


Workshop Video Bunyi bersama

Anggun Priambodo

Sejak ruangrupa membuat nama workshop musik video dengan tema lowongan, saya mulai berpikir musik apa yang punya tema “lowongan/pekerjaan”? Sedikit dan cukup mengada-ada jika memaksakan para peserta untuk kerja dan mencari ide dari tema musik terlebih dahulu, sebab akan jadi terlalu mudah nantinya, padahal yang penting adalah konten videonya. Tema besarnya harus kita rumuskan terlebih dahulu, bukan karena terpaku dengan lirik musiknya, jadi sempit nanti, padahal bisa muncul banyak ide dari para peserta. Karena itu, merubah nama workshop ini dengan Workshop Video Bunyi “Pekerjaan Dari Bunyi” terasa lebih afdol. Terserah diartikan bagaimana yang penting mereka bisa bebas berkhayal dgn tema lowongan yang disangkutpautkan dengan bunyi dari pekerjaan itu, dan medium video itu sendiri. Ada 4 video dari kelompok dan perseorangan, mereka membuat video Pawang Bunyi, oleh Efi Sri Handayani, video Si Palang oleh Zaqia Ramallah (Liza) dan Hayiza Oktariza (Ayi), lalu video Sahur on The Sky yang dibuat oleh Ramjaneo Chery Pasopati, dan yang terakhir video Macam-Macam Pekerjaan Macam-Macam, pembuatnya adalah The Youngrrr (Dyantini Adeline dan Yovista Ahtajida. Panjangnya workshop yang awalnya hanya seminggu menjadi 3 minggu, karena proses mematangkan ide lebih diutamakan. Selalu mengasikkan bertemu anak muda yang bersemangat mencari ide kreatif. Masing-masing membawa ide dan terus dikembangkan secara bersama-sama. Kelompok lain bisa memberi masukan di saat presentasi ide, shooting awal, hingga offline editing yang dilakukan secara terbuka. Setiap kelompok jadi bisa belajar dari kelompok lainnya.

56


The Sound Video Workshop with

Anggun Priambodo

Since ruangrupa made music video workshop with ‘vacancy’ as the theme, I started thinking what kind of music which grabbed this theme? Well, it’s only few and I think it will be exaggerating if I ask the participant to find from the music theme first - it will be a piece of cake. In my opinion, the most important thing is the content of the video. The big theme must be formulated first - it will limits the theme if we start from the lyrics. As a matter of fact, a lot of ideas arise when I change the music video workshop into the sound video workshop. The concept “Work of Sound” seemed more acceptable. The next thing was it depended on how participants develop their ideas and imagination based on the “vacancy” theme and the relation with the sound video as its medium. There are four videos from group or individual: Pawang Bunyi by Efi Sri Handayani, Si Palang by Zaqia Ramallah (Liza) and Hayiza Oktariza (ayi), Sahur on The Sky made by Ramjaneo Chery Pasopaty and the last one is video Macam-Macam Pekerjaan Macam-Macam by Youngrrr (Dyantini Adeline and Yovista Ahtajida. The length of the workshop was originally only a week, but it needed three weeks because of the finalizing the idea and concept process. I was so excited to meet new young people, who are eager finding creative ideas. Each brings the ideas and continue to develop it together. The workshop had several activities such as brainstorming the idea, video shooting, and an open offline editing. Each group can learn from other group.

57


The Youngrrr (Yovista Ahtajida & Dyantini Adeline) Universitas Indonesia Macam Macam Pekerjaan Macam Macam Video, 3 menit 21 detik

Efi Sri Handayani Institut Kesenian Jakarta Pawang Bunyi Video, 4 menit 17 detik

Hayisa Oktariza & Liza Universitas Negeri Jakarta & Institut Kesenian Jakarta Si Palang Video, 5 menit

Ramjaneo Chery Pasopati Universitas Indonesia Sahur On The Sky Video, 4 menit 41 detik

58


59


60


Harmonisasi Bunyi di tengah Bisingnya Kota Jakarta oleh

Nastasha Abigail

Pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan apabila tidak dikerjakan. Tetapi bersyukurlah bagi warga kota yang sudah memiliki profesi, sebab kurangnya lowongan pekerjaan di Jakarta dapat menimbulkan kegundahan bagi para pengangguran. Kegundahan tersebut bisa menjadi pemicu untuk melakukan sesuatu, bahkan menghasilkan sebuah karya untuk merespon fenomena yang sedang terjadi. Jakarta 32°C 2012 mengumpulkan mahasiswa/i membahas isu yang relevan ini melalui tujuh workshop. Salah satunya adalah workshop Video Bunyi. Workshop Video Bunyi melewati dua proses seleksi alam. Pertama diawali dengan pergeseran tema oleh pemateri—Anggun Priambodo. Berdasarkan kesepakatan bersama, tema Video Musik berubah menjadi Video Bunyi. Tujuannya supaya para peserta workshop dapat berpikir lebih liar dalam merumuskan tema besar Jakarta 32°C 2012: “Lowongan Pekerjaan” tanpa terpaku pada karya musik yang sudah ada. Kedua, terkikisnya jumlah peserta workshop yang awalnya berjumlah 13 orang, namun hanya tersisa enam peserta yang serius menyelesaikan workshop Video Bunyi sampai akhir. Dari keseluruhan peserta workshop inilah, kemudian terbentuk empat kelompok yang menghasilkan masingmasing satu karya video. Karya video dari Zaqia Ramallah dan Hayiza Oktariza, Si Palang (2’54”) dan karya dari Ramjaneo Chery Pasopati Sahur on The Sky (4’41”) merupakan instrumen untuk penelitian dan kritik sosial. Hal-hal di sekitar kita banyak yang sebetulnya penting namun disepelekan. Mungkin karena faktor keterbiasaan yang dimaklumi, sehingga membentuk rasa ketidakpedulian. Kalau ketidakpedulian sudah terjadi maka bisa menjadi sumber kelalaian yang berbahaya. Kerjasama antara dua mahasiswi lintas strata (S1 dan S2), Zaqia Ramallah dan Hayiza Oktariza berhasil mengungkapkan cerminan mutlak akan ketidakpedulian pemerintah atas sarana transportasi publik. Selain itu juga mengkritisi para pengguna jalan yang tidak bertanggung jawab, bahkan untuk keselamatan diri mereka sendiri. 61


Zaqia dan Hayiza menyadari banyak sekali palang pintu kereta api di Jakarta yang tidak tertutup rapat. Keadaan ini membuat pengguna kendaraan bermotor maupun pejalan kaki bisa menerobos palang pintu. Merespon kelalaian tersebut, mereka mengerahkan beberapa rekan performer untuk melengkapi fungsi palang pintu kereta. Delapan orang performer mewarnai tubuh mereka dengan cat warna merah putih seperti warna palang pintu kereta. Para performer berdiri bergandengan tangan menutup celah yang ada dengan tubuh mereka, ketika mereka mendengar bunyi ‘ting-tong-ting-tong’ penanda kereta api akan segera lewat. Tugas mereka adalah membuat barikade untuk menghalau para penguna jalan yang ingin menerobos lewat. Kelangsungan karya ‘Si Palang’ bisa terlaksana apabila ada sekelompok orang yang memiliki banyak sekali waktu luang, bersedia bekerja tanpa bayaran demi mencegah terjadinya kecelakaan setiap harinya. Atau setidaknya, fungsi video ini bisa diteruskan sebagai kritik yang bisa menjadi tamparan. Confucius pernah berujar seperti ini: Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life. Mungkin apa yang disampaikan Confucius tidaklah sekeras tamparan, melainkan sebuah wejangan, bahwa bekerja dengan perasaan senang juga akan mengurangi beban. Seperti apa yang ingin dikemukakan oleh Ramjaneo Chery Pasopati melalui karyanya bahwa bekerja itu tidak sematamata untuk kebutuhan akan uang. Abraham Maslow telah mengungkapkan dalam teorinya, bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk merealisasikan potensi-potensi dalam dirinya untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri. Ini membuktikan bahwa manusia tidak hanya bereaksi terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya, tapi untuk mencapai sesuatu yang lebih. Sahur On The Sky adalah video profil seorang Marbot Masjid. Profesi yang juga berhubungan dengan bunyi. Abdul Kosim alias Bang Komeng adalah seorang Marbot Masjid yang selama bulan Ramadhan mendapatkan tugas khusus membangunkan warga di sekitar masjid Asaadah untuk sahur. Profesi ini menjadi unik ketika Bang Komeng menggali potensi dalam dirinya, berperan sebagai ‘penyiar’. Beliau menggunakan mikrofon dan pengeras suara masjid untuk menyapa warga sekitar dan membacakan kiriman salam yang masuk ke telepon genggamnya lewat sms. Beliau memang tidak memutarkan pesanan lagu, tetapi beliau memimpin tadarusan. Setiap hari ia menerima hampir seratus sms. Isinya mulai dari kiriman salam sampai dengan pantun-pantun jenaka. Di tengah karut marut Jakarta yang masih menyisakan setengah juta masyarakat pengangguran, tanpa pekerjaan, Bang Komeng memiliki definisi lain dari bekerja. Bukan sekedar berkegiatan, mengisi waktu, tanpa berharap imbalan, namun beliau bertujuan untuk memberikan hiburan bagi warga sekitar dan tentunya bagi dirinya sendiri. Bang Komeng sudah melakukan pekerjaannya ini sejak tahun 2005 dan akan terus melakukannya dengan sukarela, sepanjang hidupnya. Banyak penonton ikut tertawa pada saat video Sahur On The Sky ini ditayangkan di depan para peserta workshop lainnya. Membuktikan bahwa perasaan senang pun bisa menular walaupun melalui medium video. Dua karya video lainnya adalah karya The Youngrrr, Macam-Macam Pekerjaan Macam-Macam (3’3”) dan karya Efi Sri Handayani, Pawang Bunyi (4’17”). Kedua video tersebut menggambarkan alternatif gagasan dan respon terhadap kurangnya jumlah lapangan pekerjaan di Jakarta. Berangkat dari imajinasi dan kepekaan terhadap peluang yang bersumber dari suara manusia, sepasang kekasih 62


yang menyebut diri mereka The Youngrrr (Yovista Ahtajida & Dyantini Adeline) menciptakan profesi baru yang berhubungan dengan bunyi. Mereka menggunakan suara sebagai identitas pekerjaan. Ada lima jenis pekerjaan baru yang mereka tampilkan dalam video ini. Pertama, “Translator Bahasa Binatang” yaitu profesi untuk seseorang yang mengerti bahasa binatang dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam video ini dicontohkan bagaimana penerjemah bahasa binatang menceritakan pengalamannya bertemu Koala yang sedang sakit perut. Kedua, “Pengacara Benda Mati” yang bertugas memberikan advokasi kepada benda mati yang tertindas, misalnya mengatasi kasus pembelaan terhadap kanebo kering yang selalu menjadi bahan olok-olokan dan identik dengan sesuatu yang garing, tidak lucu, tidak fleksibel, atau anti-sosial. Ketiga, “Dubber Klakson” bekerja menggantikan bunyi klakson kendaraan dengan kalimat-kalimat yang dianggap ramah lingkungan seperti, “Permisi..Mau lewat nih!”. Keempat, “Tabib Ruqyah Kuliner” mempunyai tugas yang sama dengan tabib ruqyah pada umumnya (pengusir roh jahat) namun dengan konsentrasi yang lebih spesifik. Tabib Ruqyah Kuliner bertugas mengusir zat-zat jahat dan berbahaya dalam makanan. Dalam video ini ditampilkan proses ritual pengeluaran MSG dari Mie Instan. Kelima, “Death Organizer” yaitu penyelenggara acara khusus untuk prosesi pemakaman manusia. Menawarkan pelayanan mulai dari persiapan kain kafan karya perancang ternama, sampai penggotongan jasad ke liang lahat. Semuanya dapat dipesan sesuai dengan keinginan pelanggan. Memang sebagian di antara ide-ide tersebut terasa masih jauh untuk bisa diwujudkan. Namun apabila ‘kenek’ sudah menjadi sebuah profesi unik yang lazim dan memasyarakat, jangan-jangan jenis lapangan pekerjaan baru yang diciptakan oleh The Youngrrr juga bisa menjadi penting, seiring dengan berkembangnya zaman serta angka pengangguran yang semakin meningkat. Situasi kepepet memang bisa memicu kreativitas. Ide-ide baru pun bermunculan sebagai alternatif pekerjaan. Sebut saja ‘Jasa Antar-Jemput Jelangkung’, ‘Polisi Tuyul’, atau bahkan ‘Tukang Tambal Sundel Bolong’. Mungkin kita akan tertawa atau bertanya-tanya seandainya mengetahui ternyata pekerjaan tersebut benar-benar ada. Di luar itu, masyarakat Jakarta sepertinya sudah terbiasa dengan kehadiran Pawang Hujan, padahal sebetulnya semua profesi tersebut ada benang merahnya yaitu berasaskan kepercayaan. Ibukota Jakarta yang notabene merupakan kota modern, tetap tidak terlepas dari kepercayaan akan hal-hal takhayul yang tersebar secara turun-menurun. Buktinya profesi Pawang Hujan terus merebak, seiring dengan banyaknya acara yang diselenggarakan di luar ruangan pada musim hujan. Alternatif profesi serupa ditawarkan oleh Efi Sri Handayani, seorang mahasiswi Fakultas Film dan Televisi IKJ. Efi mencetuskan sebuah jenis pekerjaan baru yaitu Pawang Bunyi. Pawang Bunyi lahir karena kebisingan kota Jakarta. Sistem kerjanya seperti pawang hujan, namun objek yang dialihkan adalah bunyi. Pawang Bunyi mengalokasikan suara-suara bising yang ada di Jakarta ke tempat lain. Lokasi pembuangan suara-suara mengganggu tersebut terletak di pegunungan dan persawahan yang sepi. Peralatan yang digunakan terbuat dari potongan batang kayu dan biji-biji dari buah yang dikeringkan. Alat tersebut dinamakan “Kayu Anti Suara”. Dengan melakukan sejumlah gerakan ritual pembuangan, kebisingan Jakarta pun bisa dialihkan ke tempat lain dan ketenangan kota Jakarta bisa dinikmati. Jadi daripada menjadi seorang Pawang Hujan—profesi yang musiman, 63


Efi menawarkan sesuatu yang lebih baru, yaitu menjadi seorang Pawang Bunyi, di kota Jakarta yang rawan sepi. Setiap peserta workshop Video Bunyi terlibat dalam proses diskusi yang cukup intens. Saling menanggapi gagasan, bertukar pikiran dan informasi. Anggun Priambodo memfasilitasi dan juga membantu mengarahkan hal-hal yang bersifat teknis. Hasil karya video keempat kelompok mahasiswa/i memang menghibur dan mengundang gelak tawa. Tapi di balik lelucon yang ditampilkan tersirat keseriusan dan keprihatinan mereka akan salah satu problema yang relevan dengan kelanjutan tahapan hidup mereka, yaitu persaingan dalam mencari pekerjaan di Jakarta.

64


Sound Harmonization in the mids of Jakarta's Noise by

Nastasha Abigail

All kinds of heavy works will be easy if we did not do it. Do praise the lord for those who have a job because the less vacancies will make the unemployment feel restless. Actually, this kind of feeling can be the trigger to make something, even more to make an artwork to respond the recent phenomena. As for that, 32°c 2012 gathers all students university to discuss this relevant issue through seven workshops. Sound Video Workshop was one of them. This workshop went through two process of nature selection. Firstly, Anggun Priambodo as the lecturer change the theme. According to the agreement, Music Video theme was changed into Sound Video. The purpose was to make the participants can develop their wild imagination to formulate the big theme in Jakarta 32°C 2012: “Job Vacancy” - without having a burden for the previous one. Secondly, the participants were decrease, from 13 people into six people; they really wanted to undergo this workshop into the end. After that, this workshop was dividing the groups into four - each group, one video. Based on the result, Si Palang (2’54”), a video from Zaqia Ramallah and Hayiza Oktariza, and Sahur on The Sky (4’41”), a video grom Ramjaneo Cherry Passopaty, can be the project-based research and criticism toward society. There are so many important things around us, but we ignored it. Maybe it is because our intolerant habits that made us became ignorant. If it happened, it can be the source of dangerous carelessness. The cooperation between undergraduate and master students, Zaqia Ramallah and Hayiza Oktariza, is success to reveal our government ignorance for public transportation issue. Besides that, their work also criticized all the irresponsible people who somehow ignoring their safety. Zaqia and Hayiza realized that there were so many railroad crossbars in Jakarta which are not firmly closed. This condition made the riders or the pedestrians easily can pass over the crossbars. To respond this kind of carelessness, they assembled several performances as the complement of the 65


crossbars. Eight performers were coloring their body with red and white, just like the color of the crossbars. The performers were standing while holding their hands to cover the area with their body. When the sound of the trains coming, they make a barricade to separate the riders who trying to breakthrough the cross. ‘Si Palang’ continuity can be carried out if there are people who have much plenty time, voluntarily working to prevent the daily accident. At least, this video can be a criticism. Confucius once had said: Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life. What Confucious said probably is not as strong as a slap, but as a piece of advice that working with happiness can reduce the burden. It is just like Ramjane Chery Pasopati said through his work that working is not only to pursue the money need. Just like Abraham Maslow had said in his theory that everyone has strong needs to make his potentials on account to get selfactualization. It concludes that every man is not only reacting around his/her situation, but also wanting to get something more. Sahur On The Sky is a profile video about a mosque muezzin. This profession has relation with the sounds. Abdul Kosim aka Bang Komen is a mosque muezzin who always waked other people up in near Asaadah mosque during Ramadhan. This profession becomes unique when Bang Komeng explores his potential to act like an announcer. He used a microphone and mosque megaphone to accost people and read greetings which entering his cell phone by SMS. He does not play the song request, but he leads the Koran reading. He receives almost a hundred messages every day. The contains start from greetings and limericks. Through this profession, Bang Komeng offers other working definition to enliven the Jakarta condition which leaves half a million of unemployment. Working based on Bang Komen’s profession is not only spending the time without reward, but also entertaining the people and certainly himself. Bang Komeng had been doing this job since 2005 and will be doing it voluntarily in his life. After this video was played, many of workshop participants laughed. It means that through the video happiness can be contagious. The other videos are Macam-Macam Pekerjaan Macam-Macam (3’3”) made by The Youngrrr and Sri Handayani’s video Pawang Bunyi (4’17”). Both videos show alternative idea and a response to the lack of job opportunities in Jakarta. Couple which called themselves as The Youngrrrr (Yovista Ahtajida & Dyantini Adeline) make new profession connected with sounds as the result of their imagination and sensitivity about a chance based on human voices. They used sounds as job identity. There are five new professions in this video. The first is ‘Animal Language Translator’, a profession for someone who can understand and translate the animal language into Bahasa. In this video, we can see how the translator tell his experience, meeting a koala which has stomachache. The second one is “Lawyer for Inanimate objects”; he is in charge of providing advocacy for the oppressed inanimate objects, such as addressing cases of defense against dry chamois that always be bullied because he represents something that crisp, not funny, not flexible, or anti-social. Third, “Horn Dubber” works as a dubber who gives human voice sound to the horn with environmentally friendly sentences like “Excuse me .. Coming through ya!”. Fourth, “Culinary Ruqyah Physician” has the same task with a physician ruqyah in general (evil exorcist) but with a more specific concentration. The duty is to repel evil and dangerous substances in food. In this video, there 66


is the ritual of how to throw MSG in Instant Noodles. Fifth, “Death Organizer” is organizing a special event for the shroud renowned designer, to burying the body into the grave. Everything can be ordered according to customer desires. Indeed some among these ideas are still much to be accomplished. However, if the ‘kenek’ has become a common and unique profession socialized, lest types of new jobs created by the Youngrrr could also be important, through the time pass and the insanity development in unemployment society. Creativity can be triggered through destitute situations. New ideas usually emerge as an alternative in this time. ‘Jelangkung Shuttle’, ‘Tuyul Police’, even ‘Sundel Bolong plumbers’ are alternative professions for Indonesian ghosts. Probably we will laugh or wonder if those professions really exist. Not only that, Jakartanese also seems familiar with ‘rain handler’. In fact, all those professions are based on belief as their thread. Sound Handler was born in the middle of Jakarta noise and chaos.The work system like Rain handler, but the object is the sound. Sound Handler alocates the noise from Jakarta to other places. Landfill sites of disturbing noises are located in the mountains and desolate rice fields. “Anti Sound Wood”, that is the tool to move the sound. By performing some rituals, the Jakarta noise can be transferred to other places then the people can feel the tranquility. So, instead of being Rain Handler – a seasonal profession, Sound Handler can be alternative profession in Jakarta which never be quiet, as offered by Efi. Sound Handler was born in the middle of Jakarta noise and chaos. The work system like Rain handler, but the object is the sound. Sound Handler allocates the noise from Jakarta to other places. Landfill sites of disturbing noises are located in the mountains and desolate rice fields. ‘Anti Sound Wood’, that is the tool to move the sound. Through performing some rituals, the Jakarta noise can be transferred to other places then the people can feel the tranquility. So, instead of being Rain Handler - a seasonal profession, Sound Handler can be alternative profession in Jakarta which never be quiet, as offered by Efi. Sound Video workshop participants always involved in the intense discussion every day. They give feedback and share the idea and information. Anggun Priambodo facilitated and helped only in technically concept. The result of the four groups of students are entertaining and making the people laugh a lot. But behind its jokes, it implies their serious concern about the competition of finding a job as one of relevant problems to their live.

67


68


69


Workshop Komunikasi Visual Berbasis Cetak bersama

Popo

Pada workshop ini, peserta diajak untuk melakukan riset, pembacaan lingkungan, serta brainstorminguntuk menciptakan ‘lowongan’ profesi baru yang belum pernah ada di Jakarta sebelumnya. Profesi ini harus dapat melakukan lebih dari satu hal dan bisa dilakukan oleh masyarakat umum. Artinya, walaupun pekerjaan yang nantinya muncul dalam proses riset hanyalah fiktif, tetapi secara logika bisa diterima dan dilakukan layaknya pekerjaan-pekerjaan yang pernah ada. Pemilihan media berbasis cetak (dalam hal ini poster) memang dipilih sebagai bentuk kampanye/promosi dari masing-masing profesi. Poster merupakan salah satu bentuk media komunikasi visual yang ongkos produksinya masih bisa terjangkau oleh rakyat biasa. Bahkan sebuah kertas fotokopian pun dapat menjadi media promosi yang efektif. Selain sifatnya yang ekonomis, poster dipilih agar peserta dapat lebih bereksplorasi dengan berbagai macam elemen grafis. Huruf, warna, serta citraan menjadi elemen penting yang harus diperhatikan. Proses kreatif memang pada akhirnya menjadi bagian paling penting dari workshop ini. Bagaimana para peserta berargumen tentang pekerjaan yang menurut mereka penting, interaksi ketika proses desain berjalan, dan bagaimana diantara mereka saling memberi masukan, menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa. Profesi-profesi yang muncul sebagai hasil akhir dari workshop ini memang bukanlah sebuah solusi permanen dari masalah yang ada di Jakarta. Namun, setidaknya dapat menjadi pemantik ide, bagi mereka yang sedang bingung untuk bertahan hidup di Jakarta. Asal mereka siap untuk melakukan banyak hal dalam satu profesi sekaligus, dengan kata lain: multi aksi.

70


Visual Communication Workshop with

Popo

In this workshop, participants are asked to do some research, look at the environment, then create new ‘job vacancy’ that never existed in Jakarta before. These professions should cover many common people activities. Although all research-based profession only fiction, but logically they can be accepted and be done like professions that were existed before. Printed-based media (poster) is chosen as the campaign or promotional form for each profession. Poster is one of visual communication media form that the production cost still affordable for common people. Even, a photocopied paper can be an effective media campaign. Not only poster is cheap economically, but also chosen so the participants can explore all kinds of graphic elements. Font, color, and imagery are important elements that must be considered. This creative process did eventually become the most important thing in this workshop. How the participants argued about their important work and idea, interaction when the process works, and how they were giving some advice for one another become an extraordinary experience. Professions are emerging as the result of this workshop is not a permanent solution to the problem in Jakarta. However, at least it can be lighter idea, for those who are confused to survive in Jakarta. Originally they were prepared to do a lot of things in one profession at a time, in other words: multi action. The fiction professions as the last result in this workshop is not a permanent solution to solve the problem in Jakarta. However, at least it can be a starter for those who are confused to survive in Jakarta. As long as they are ready to do many activities in one profession, in another word: multi action, they can survive.

71


Bunga Fatia Universitas Multimedia Nusantara Jobaran Poster Wheatpaste

Jayu Julie Astuti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dukun Racing Poster Wheatpaste, Twitter, dan Hotline

M. Reza Universitas Negeri Jakarta Bang Komuk Poster Wheatpaste, Twitter, dan Hotline

72


M. Rizal Abdillah STIKOM Interstudi Wahana Rekreasi Banjir Grafis

Ritter Willy Putra Universitas Multimedia Nusantara Polufree Mix Media

Sopiyan Hadi Universitas Mercu Buana “Mas Jose� Poster

73


74


Multi Aksi: Menciptakan Peluang di Jakarta 32°C oleh

Leonhard Bartolomeus

”Terkadang, mencari pacar lebih mudah dibanding mencari kerja.” — (dikutip dari pembicaraan antara supir kopaja dengan keneknya) Kondisi perekonomian di Jakarta yang sulit kadang membuat sebagian orang mudah frustasi. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, sulitnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup, serta biaya kehidupan sosial yang mahal menjadi beberapa faktor penyebabnya. Padahal bagi jutaan manusia yang berkelindan di sekitarnya, Jakarta adalah kota impian. Kota di mana mereka akan mendapatkan sukses; kota di mana rejeki mengalir bak air sungai; kota dengan sejuta kesempatan untuk hidup lebih layak. Walau demikian sulit, kadang tekanan-tekanan tersebut menjadi pendorong untuk berpikir lebih kreatif. Melihat peluang-peluang baru. Menciptakan lowonganlowongan kerja alternatif. Bukan hanya sekedar mengemis dan meminta-minta, tetapi hidup dengan layak dan berguna. Maka kemudian, muncullah profesi-profesi baru di tengah masyarakat. Dari ojek payung, tukang tambal ban, timer penjaga perempatan, joki jalur 3 in 1, angkutan ‘batman’, dan masih banyak lainnya. Proses mencipta peluang ini kemudian direspon oleh Popo dan beberapa orang mahasiswa peserta Workshop Jakarta 32°C 2012. Dalam Workshop Komunikasi Visual Berbasis Cetak bertajuk ‘Multi Aksi’ ini, peserta yang merupakan mahasiswa aktif di Jakarta, diajak untuk melakukan riset, melakukan pembacaan terhadap 75


perilaku, serta melakukan pemikiran kreatif untuk menciptakan peluang baru. Mereka diajak untuk mengumpulkan beberapa pekerjaan yang ada di Jakarta, untuk kemudian dicampuradukkan menjadi sebuah pekerjaan atau profesi yang baru. Konsep yang ditawarkan oleh enam peserta dalam workshop ini memang agak nyeleneh. Walaupun terlihat tidak serius, dalam beberapa hal apa yang dilakukan oleh Popo dan kawan-kawannya ini mungkin dapat memberikan solusi dalam mengatasi masalah lowongan kerja. Sebab, seperti dalam pengantar workshop ini, warga Jakarta boleh jadi hanya membutuhkan satu profesi yang bisa melakukan banyak pekerjaan. Pemilihan medium poster sebetulnya cukup ganjil, mengingat masih banyak medium berbasis cetak lainnya yang mungkin dapat lebih mengetengahkan ide dan konsep para peserta dengan baik. Akan tetapi nampaknya ini adalah strategi tersendiri dari Popo selaku pemateri, untuk mendorong para peserta berpikir lebih kreatif. Penggunaan elemen-elemen visual, pemilihan huruf, serta komposisi halaman sengaja diarahkan kepada bentuk-bentuk iklan ‘murah’ yang kerap kali muncul di koran atau pun pinggiran jalan. Hal ini tentu saja menghasilkan gambargambar yang dapat membuat kita tersenyum simpul. Multi Aksi: Dari joki sampai bensin wangi Profesi sebagai joki, yang bertugas menggantikan posisi orang lain, menjadi pekerjaan yang paling banyak dipilih oleh peserta workshop ini. Bunga Fatia memilih profesi JOBARAN, kependekan dari Joki Baca Koran. Dalam poster buatannya, digambarkan seorang pria, dengan kacamata besar sedang tersenyum dan berdiri di depan tumpukan koran yang amat banyak. Pada bagian bawah gambar tercantum tulisan yang mendeskripsikan pekerjaan laki-laki tersebut. Bisa bacain koran dengan jelas, baca koran kemarin setengah harga, bisa isiin TTS, dan sebagainya. Sebagai sebuah iklan, yang dilakukan Bunga cukup cerdik rasanya. Ia bukan hanya mencipta profesi baru, namun juga dapat mengkritik pola kehidupan masyarakat yang semakin malas untuk membaca dengan alasan tidak punya banyak waktu. Masih mengenai pola hidup di Jakarta yang serba cepat dan instan juga menuntut perlakuan yang sama pada bidang transportasi. Tampaknya sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Jakarta tanpa macet sama juga seperti sayur tanpa sayuran. Pergerakan masyarakat yang semakin cepat tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, sehingga macet menjadi santapan warga setiap hari, baik pengguna sepeda motor atau mobil. Hal ini disadari betul oleh Sopiyan Hadi. Maka ia pun menawarkan profesi JOSE, Joki Sewaan. Layaknya joki lain, Ian dalam poster rancangannya menawarkan jasa untuk mengatasi kegalauan dalam berkendara. Deskripsi yang dihadirkan lewat ilustrasi seorang (pria) yang mengenakan perlengkapan bak pembalap, lengkap dengan helm di kepalanya, dengan latar belakang suasana jalan di Jakarta rasanya cukup memberikan penjelasan terkait fungsi dari JOSE ini. Dari tampilan dan informasi yang ada di posternya, kita dapat menarik pengertian bahwa joki ini bertugas menggantikan pengemudi (sepeda motor) yang sudah lelah dengan kondisi jalan di Jakarta. Tengok keterangan di bagian bawah poster itu. Jago selapselip, hafal seluruh jalan di Jakarta, menguasai segala jenis kendaraan, serta menjamin keselamatan dan juga profesional. Masih sebelas-duabelas dengan profesi ojek, hanya saja JOSE tidak mempunyai kendaraan. 76


Karya Ian, bisa dibilang sebuah kritik sosial terhadap pemerintah yang tidak mampu menyediakan transportasi dengan layak. Alih-alih meninggalkan sepeda motor dan mengguakan kendaraan umum, Ian lebih memilih untuk mencari orang untuk mengendarai sepeda motornya. Masih berhubungan dengan jasa dan kendaraan bermotor namun bukan sebagai joki, melainkan sebagai orang pintar alias dukun. Jayu Julie menampilkan sosok supranatural Ki Djoko Racing. Beliau ini, dalam pemikiran Jayu adalah orang pintar yang punya spesialisasi menemukan mobil/sepeda motor yang telah hilang. Lewat tampilan visual posternya, Jayu berhasil menciptakan ‘gangguan’ visual bagi mereka yang melihat. Poster itu dihiasi dengan latar belakang motif kotak-kotak berwarna kuning disertai dengan tipografi berwarna merah. Simbolisasi kewaspadaan dan kekuatan sang dukun sepertinya. Dan ini yang paling menggangu, maaf, wajah sang dukun yang sangat eye-catching. Dengan kacamata hitam besar bak Ian Kasela dan kumis lebat di wajahnya, alih-alih menggunakan blangkon atau kain batik, sebagai penutup kepala ia gunakan kantong kresek hitam. Seakan belum cukup, Jayu menambahkan dua bendera kotak-kotak hitam di belakangnya; Bukannya terlihat mistis dan berwibawa, Ki Djoko Racing malah terlihat seperti maling motor kelas teri. Layanan jasa memang menjadi jenis usaha yang paling mudah untuk dilakukan. M. Reza, dalam karya posternya menawarkan pekerjaan BANG KOMUK, spesialis dalam hal keprok nyamuk. Di tengah-tengah lingkungan Jakarta yang semakin padat dan kumuh, nyamuk menjadi musuh paling menyebalkan, apalagi ketika malam menjelang. Peluang inilah yang dilihat oleh Reza sebagai ladang mencari rejeki. Sambil memegang semprotan nyamuk di tangan kanan dan raket listrik di tangan kiri, ia bergaya bak Rambo. Penggunaan warna gradasi abu-abu (grayscale) cukup menandakan bahwa profesi ini bukan sesuatu yang mahal. Hampir serupa dengan fotokopian jasa sedot wc atau penjualan cartridge printer bekas. Informasi yang ditampilkan Reza juga sangat jelas. Orang pasti dapat menerka apa yang dikerjakan oleh Bang Komuk ini. Apa yang ditawarkan Reza, dapat kita pandang sebagai sebuah pembacaan atas fenomena kelas sosial di Jakarta. Sebab profesi yang ia tawarkan mungkin hanya laku pada warga kelas menengah ke bawah. Bagi mereka yang tinggal di gang-gang sempit dan kumuh, dengan lingkungan kotor. Maka bolehlah kita bertanya, mungkinkah mereka yang tinggal di rumah-rumah mewah, yang tidurnya diselimuti hawa dingin pendingin ruangan membutuhkan jasa bang Komuk? Berbeda dengan peserta lain yang menawarkan jasa sebagai bentuk utama profesinya. Ritter Willy Putra, mencoba sesuatu yang lain. Ia memilih menampilkan barang. Namanya POLUFREE, bensin eceran dalam botol yang terbuat dari bahanbahan alami dan ramah lingkungan serta memiliki aroma yang menyegarkan. Dalam tagline di posternya, Ritter menuliskan bahwa produk itu menjadi satu-satunya solusi untuk mengatasi polusi di Jakarta. Pada gambar keterangan instalasinya, Ritter menggambarkan bensin eceran itu punya wangi yang khas. Masing-masing warna mencerminkan wanginya, hijau (bio greentea), pink (rosemax), ungu (lavender plus), biru (fresh extra), dan kuning (super lemon). Kotornya udara Jakarta akibat asap kendaraan bermotor mungkin salah satu alasan kenapa produk ini diciptakan. Alih-alih mengurangi jumlah kendaraan atau menambah ruas jalan, Ritter mencoba membuat orang lebih menikmati kemacetan mereka. Dengan wangi yang beraneka ragam, produk ini sepertinya dapat

77


membuat udara kota jakarta sedikit lebih menyegarkan dan rasanya kemacetan bukan lagi sesuatu yang menyebalkan, tapi dapat dinikmati dengan tarikan napas dalam-dalam. Multi Aksi, sekedar fiksi? Kelima karya serta pekerjaan yang ditawarkan oleh kelima peserta dalam workshop ini memang belum tentu bisa dipraktekkan dalam kehidupan sebenarnya. namun, upaya mereka untuk mencari celah perekonomian di tengah-tengah sempitnya Jakarta harus diapresiasi. sebab, harus diakui bukan perkara mudah untuk menciptakan lowongan kerja baru yang memiliki daya jual di masyarakat. Layanan jasa menjadi pilihan yang dominan dan paling mudah untuk dieksplorasi. Namun sayang, hal itu sedikit menimbulkan kesan monoton karena dari empat peserta, semuanya menggunakan model usaha jenis tersebut. Hanya satu orang yang tampil dengan produk barang. Memang selain mudah dilakukan (karena menggunakan manusia sebagai pusat usahanya), layanan jasa paling cocok untuk kehidupan di kota-kota metropolitan. Di mana penduduknya tak lagi punya waktu untuk mengerjakan satu hal remeh, bahkan membaca koran sekalipun. Dari sisi visual, poster-poster yang mereka tampilkan memiliki pesan dan makna yang jelas. Penggunaan elemen-elemen visual yang tepat, sangat mendukung deskripsi masing-masing profesi, dan turut membantu publik dalam melakukan pembacaan karya. Persoalan tampilan dan penggunaan kata yang terlihat sederhana, unik, ataupun pasaran sepertinya merupakan bagian dari strategi komunikasi. Artinya, kesederhanaan dan bentuk-bentuk unik yang mereka tampilkan memang bertujuan untuk menarik perhatian mata. Popo yang juga dosen Desain Komunikasi Visual, tentu telah paham betul dengan siasat ini. Sebagai sebuah proyek berpikir kritis yang dilakukan oleh mahasiswa, hasil yang diberikan dalam workshop ini tidak terlalu mengecewakan. Seluruh karya dieksekusi denga baik dan terlihat memiliki konsep yang matang. Mungkin, satu hal lagi yang dirasa kurang dalam workshop ini adalah jumlah karya dan peserta yang hanya sedikit. Terlepas dari kesepakatan mengenai jumlah peserta, dengan jumlah karya dan peserta lebih banyak, tentu akan memberikan lebih banyak tawaran pekerjaan-pekerjaan kreatif yang niscaya dapat menjadi pemicu bagi masyarakat untuk terus berusaha di tengah-tengah sempitnya ruang ekonomi kota. Dari sana tentu bukan mustahil jika ‘mencipta’ pekerjaan sama mudahnya dengan mencari pacar dan pekerjaan Multi Aksi tidak lagi sekedar fiksi.

78


Multi Action: Creating Opportunities in Jakarta 32°C by

Leonhard Bartolomeus

“Sometimes, looking for a girlfriend is easier than looking for a job.” — (Quoted from conversation between Kopaja driver and his kenek) The hard condition of economical aspect in Jakarta makes some people easily getting frustrated sometimes. The raise of basic needs price, the difficulty of finding a good job, as well as the expensive cost of social life become some factors why people getting frustrated. Yet, for millions of people who interacted in this city, Jakarta is a city of dreams. This is the city where they wanted to be success, the city where fortune flows like a water in the river and the city with a million opportunities to get a better life. Nevertheless, somehow those pressures motivate them to think more creatively. They can see new opportunities. They can create alternative jobs. Instead of begging over and over again, they will make their life more useful and meaningful. Therefore, new professions are appearing in society. Several of those ‘alternative jobs’ that can be seen in Jakarta nowadays are umbrella rental, motorcycle tire, intersection time keeper, two-in-one jockey lane, ‘Batman’ transport and many more. The process of creating these opportunities is responded by Popo and some of Jakarta 32°C participants. In the Print-Based Visual Communication Workshop 79


entitled “Multi Aksi” (Multi Action), the participants who came from several universities in Jakarta are invited to conduct research, do the behavior reading, and thinking creatively to create new opportunities. They are asked to gather some professions in Jakarta then combining their findings into a new job or profession. The concept offered by the six participants in this workshop is out of the box. Although they seem only playing around with the concept; in some cases, what is done by Popo and his friends may be able to provide a solution to overcome issue on vacancy. Well, it can be said - based on the introductory of this workshop, probably Jakarta residents simply need one profession that can do a lot of things Actually, using poster as the medium is quite odd since there are many other print-based medium that might be better to accommodate the idea and concept from the participants. But, it seems that this is Popo’s strategy as facilitator to encourage participants to think more creatively. The use of visual elements, typography and page composition are intentionally directed toward ‘cheap’ advertising form that often appears in the newspapers or in the roadside advertisement. Of course this one produces the images that can make us smile. Multi Action: From jockeys to gasoline fragrant Profession as a jockey who replaces other people’s position in an activity becomes the most applicative job chosen by the participants in this workshop. Bunga Fatia, one of participants, chooses JOBARAN (Joki Baca Koran - Indonesian acronym), jockey to read newspapers. In her poster, she portrays a man with big sunglasses smiling and standing in front of stacks of newspapers. Below the man, there are words describing his profession: Bisa bacain koran dengan jelas, baca koran kemarin setengah harga, bisa isiin TTS (Can read newspaper clearly, read yesterday newspaper half price only, filling out crossword puzzles) and so on. As an ads, what Bunga did is quite clever. She is not only creating a new profession, but also criticizing the society pattern that increasingly becomes lazy to read because they do not have much time (as their accuse). Another issue in this workshop is the demand on equal treatment in transportation as the result of Jakartanese way of life, which is so rapid and practical. Apparently, it was a common knowledge that Jakarta without traffic jam means a poem without its rhymes. The faster movement of the people are not followed by the adequate infrastructure, so people and both for car and motorcycle rider must go through it every day. Sopiyan Hadi knows this matter very well. He offers JOSE, Joki Sewaan (Rented Jockey). Like the other jockeys, in his poster design Ian offers a service to solve the problem for riders. The description through the images of a man wearing gear like a racer completed with a helmet with Jakarta street atmosphere as the background can give good explanation of these JOSE function. Through the visual images and information in the poster we can assume that this jockey is to replace the rider who exhausted by the condition in Jakarta roads. Just pay attention in the information at the bottom of the poster: Jago selap-selip, hafal seluruh jalan di Jakarta, menguasai segala jenis kendaraan, serta menjamin keselamatan dan juga profesional (good at slipping, memorizing the entire street in Jakarta, mastering all types of vehicles, ensuring your safety and professional). This profession is the same as ojek, but JOSE does not have any vehicle. Arguably, Ian’s work is a social criticism toward the government, which is not able to provide viable transportation. Instead of leaving motorcycle then start using public transportation, Ian prefers to find someone to be the rider. 80


The next work is still about providing service and motorcycle topic - not as a jockey, but as a shaman. Jayu Julie portrays Ki Djoko Racing, the supra-natural figure. According to Jayu, Ki Djoko Racing is a shaman who specialized to find a car or motorcycle that has been lost. Through the poster visualization, Jayu succeeded in creating ‘visual nuisance; for those who passed by. The poster background decorated with yellow plaid along with red typography. Perhaps it symbolizes the shaman power. The most disturbing, though, is the shaman’s face that is very eye-catching. He wears a big black sunglasses like Ian Kasela and has bushy moustache in his face, instead of using blangkon or batik cloth, he uses a black plastic-bag as his cap. As if not enough, Jayu adds two black plaid flags in his back; instead of looks mystical and majestic, Ki Djoko Racing even looks like a petty thief. It seems that providing services has become a kind of business that is easiest to do. The poster by M. Reza portrays BANG KOMUK, a specialist in hitting mosquitoes. As we know, mosquitoes become the most annoying enemy in the midst of Jakarta neighborhood and slums which are getting crowded every day, especially when the nigh comes. Reza sees this situation as opportunity to get more money. Bang Komuk depicted like a Rambo who holds the mosquito spray in his right hand and an electrical racket in his left hand. The use of gray scale sufficiently indicates that this profession is ‘cheap’. This profession is almost similar with photocopy service, toilet suction, or used-cartridges printer seller. Reza also provides very clear information. People can easily guess what will be done by Bang Komuk. We can view what offered by Reza as criticism toward social class phenomenon in Jakarta. The profession offered perhaps only used by lower middle class citizens. Bang Komuk only used by those who live in the narrow and seedy alleys in the filthy neighborhood. According to this issue, we can ask: is it possible for those who live in mansions which covered by air-conditioning service will use Bang Komuk? Some of the works mention above are providing professional service as the main concept. Unlike the others, Ritter Willy Putra tries different concept. He chooses to provide a product. His product is called POLUFREE, retail gasoline in the bottles made from natural ingredients and eco-friendly and has refreshing scent. Ritter writes this product is the only solution to solve pollution in Jakata as the tag-line. Ritter also describes that this retail gasoline has a distinctive fragrance. Each color reflects the fragrance: green (bio green tea), pink (rose-max), purple (lavender plus), blue (extra fresh), and yellow (super lemon). The pollution in Jakarta caused by motor vehicles emissions may be the reason that this product created. Instead of reducing the number of vehicles or adding more roads, Ritter tries to make people enjoy the congestion. With a wide range of fragrance, this product seems to make the air become fresh and the traffic jams is no longer annoying, people can deal with it. Multi Action, mere fiction? All of the works and jobs offered by the five participants in this workshop are not necessarily can be practiced in our real life. However, their effort to find the hope amid the narrowness of the city should be appreciated. We must admit that it is not easy to create new jobs which has a value for society. Based from the works, it seems that services dominate the theme and are the easiest to be explored. Unfortunately, this one makes the works seem monotone 81


because the four participants used ‘service’ as their idea. It is only one person who used the product. It can be seen that ‘service’ is a lot easier to choose because it used human as the center of the business, providing service best suited in metropolitan cities, where the people no longer have time to do one small thing, even though reading newspaper. From the visual aspect, their posters have a obvious message and meaning. The use appropriate elements strongly supports the description of each professions and helps the public to read it. Problem on visual and using the works that look simple, unique, or commonly used seems to be part of the communication strategy. It means that simplicity and uniquness in their works intended to attract public attention. Popo who is the lecturer in Visua Communication Design subject would have been aware of this trick very well. As a critical thinking project undertaken by the students, the results in this workshop is not too disappointing. The entire works are well executed and has a mature concept. Perhaps, the lack of this workshop is the few numbers of work and participant. Apart from the number of participants agreement, with more of participants and amount of works, of course there a lot of alternative jobs that will be offered and it can be a trigger for people to keep trying in solving the vacancy problems. From this perspective, it is possible to ‘create’ jobs as easy as to find a girl/boyfriend, then jobs in Multi Action is not mere a fiction.

82


83


84


85


Workshop Seni Digital dan Interaktif bersama

oomleo

Workshop ini diawali dengan berbagi teknis dan karya - output dari apa saja yang pernah oomleo buat; pixel art, line-art, animasi dengan format .gif, sound, video, dll.; kemudian membagi dan memilah ketertarikan para peserta workshop berdasarkan materi/teknis yang akan diberikan; menyingkirkan beberapa materi minor yang dirasa kurang peminat; memfokuskan kepada bahasan karya visual -semisal pixel art, line art, animasi .gif, cinemagraph, dan infografis. Peserta workshop diharapkan memilih teknis dan output karya yang akan dipresentasikan kelak; sementara, oomleo hanya berbagi data, acuan, teknis, kemampuan, taktik, yang kemungkinan bisa diterapkan pada saat eksekusi karya berlangsung. Peserta workshop diarahkan untuk menggali ide serta taktik dengan memanfaatkan kelemahan kemampuan yang mereka miliki. Sehinggga bisa mempermudah eksekusi ide berdasarkan kemampuan tersebut (maupun jalan pintas membuat karya visual yang dikehendaki). Jika tidak memungkinkan untuk mencipta karya menggunakan pola kerja workshop, peserta dapat memanfaatkan kemampuan dasar yang ada untuk selanjutnya menjembatani ide dan konsep yang berhasil dihimpun selama workshop berlangsung. Tanpa paksaan dengan konsep keseluruhan workshop; peserta workshop dibebaskan dari beban berat “tema workshop”, namun diwajibkan memiliki cara tersendiri memelintir ide yang ada, dan kemudian berusaha menyambung-nyambugkan dengan “tema workshop”. Kemampuan dan taktik jitu mencipta karya visual yang mampu membuat orang berdecak kagum dengan karya yang dihasilkan; bukan berdasar proses, teknis, kemampuan dan sebagainya. Namun murni “hasil akhir”.

86


Digital Art and Interactive Workshop with

oomleo

The workshop begins with presentation on techniques and works - output on what oomleo has done; pixel art, line-art, gift animation, sound, video, etc..; then those are divided and chosen based on participants interest; eliminated several minor materials; focused on visual work arrangement - for example: pixel-art, line-art, gift animation, cinemagraphs, and infographic. The participants be expected to choose the technique and what kind of result they want to present; while, oomleo only shared the data, references, techniques, skills, tactics which are applicable during execution process. The participants are directed to dig the idea as well as the tactics by using their weaknesses. It makes them easier to carry the idea based on their skill (it can be a shortcut also). If it is not possible to make a work of art during workshop, participants can use their basic skill to merge the idea and concept. Without compulsion by ‘overall concept of the workshop’, the participants are free from big burden of ‘big issue on workshop’, but they were required to have their own twisting between ideas and the “theme of the workshop”. Their scope skill and tactics to create an artwork make people amazed without thinking about their technical skills and so on, but their “pure result”.

87


Abi Rama Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Web Interaktif: Stereoscopy, 3D Anaglyph (seri) .gif (graphic Interchange format)

Aditya Putra Institut Kesenian Jakarta Cop and Robber Web Interaktif: Line Art gif (graphic Interchange format)

Ariandy Prabowo Universitas Negeri Jakarta Pembunuh bayaran Web Interaktif: Pixel Art .gif (graphic Interchange format)

88


Astri Purnamasari Institut Kesenian Jakarta Pungli Kegemaran Polisi (seri) Web Interaktif: Animasi, Line Art .gif (graphic Interchange format)

Brian Suryajaya Universitas Taruma Negara Idle jobs (seri) Web Interaktif: Line Art .gif (graphic Interchange format)

Dalu Kusma Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sikat Peluang (seri) Web Interaktif: Sinemagraf .gif (graphic Interchange format)

Efrin Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Abu-abunya Jakarta Web Interaktif: Line Art, Infografis .gif (graphic Interchange format)

89


Fadiza Afifah Universitas Indonesia Web Interaktif: Animasi, Pixel Art, Sinemagraf (seri) .gif (graphic Interchange format)

Febrian Anugrah Universitas Indonesia Jakarta Sumber Lapangan Kerja (seri) Web Interaktif: Poster Infografis gif (graphic Interchange format)

Moh. Namuz Aldo Nugraha STIKOM Interstudi Hiburan Alternatif Web Interaktif: Pixel Art, Poster gif (graphic Interchange format)

Muchlis Fachri Universitas Negeri Jakarta Cat Duck Salemba Web Interaktif: Line Art gif (graphic Interchange format)

90


Nuzul Lutfiansyah Universitas Paramadina Proses cepat, syarat mudah Web Interaktif: Animasi Pixel Art, Poster (seri) .gif (graphic Interchange format)

Yoyo Wardoyo Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Peluang Barang Web Interaktif: Animasi Line Art, Stiker (seri) .gif (graphic Interchange format)

91


92


‘Menghidupkan’ Jakarta Dalam Ruang Digital oleh

Natya Sekar Arum

Berkarya dalam era digital, selain memberi ruang atas kreativitas pada dunia seni yang baru, juga memiliki tantangannya tersendiri. Kecanggihan komputer serta banyaknya piranti lunak yang bermunculan menguji seniman-seniman yang ada, membanjiri mereka dengan segala kemudahan yang dapat menggerus ideologi. Pilihan kemudian jatuh kepada para perupanya itu sendiri—apakah ia ingin terus tenggelam dalam buaian teknologi, diam terlena mengikuti ombak; atau justru berenang melawan arus, bergerak dan tetap berdampingan dengan apa yang ada di sekitarnya? Gagasan inilah yang coba diangkat dalam workshop buatan Komplotan Jakarta 32°C tahun ini. Bersama oomleo, seorang seniman digital muda ibukota, workshop dengan tajuk “Workshop Seni Digital dan Interaktif” yang dilaksanakan pada awal Agustus lalu dan berlangsung selama dua pekan tersebut, terbukti mampu memikat 13 orang mahasiswa lintas disiplin, dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Yang menarik dari workshop ini adalah, selain dikemas secara dua arah di mana interaksi antar pembicara dengan partisipan berlangsung seru dan mengarah ke dalam berbagi kemampuan—oomleo selaku pemateri juga menekankan kepada penguasaan teknis dan ketertarikan yang dimiliki dari tiap peserta sehingga mereka memiliki kebebasan untuk berkarya dengan ciri khas masing-masing. Kendati workshop yang mulanya direncanakan terbagi ke dalam tiga sesi seperti visual, audio, serta audio-visual—hingga akhirnya dikerucutkan menjadi kajian visual saja—nyatanya tidak menghalangi ketigabelas mahasiswa tersebut untuk menggarap karya-karya yang bervariasi. ‘Lowongan’ ditunjuk sebagai tema besar yang nantinya akan menghubungkan sekaligus mengkategorikan keseluruhan hasil karya dari tiap peserta. Bagaimana mereka kemudian merespon hal ini dari perspektif yang berbeda-beda merupakan pengalaman segar yang tidak kalah atraktif untuk disimak. Diawali dengan yang keseharian, partisipan seperti Abi Rama dari IISIP dan Brian Suryajaya dari Universitas Tarumanagara mengutarakan ketertarikannya terhadap hal-hal yang sering terjadi lewat karya-karya mereka. 93


Bisa dikatakan Abi adalah salah satu yang lebih berani bereksperimen dengan seni digital dibanding dengan partisipan lainnya. Ia memilih membuat karya yang tidak diajarkan oleh pemateri, seperti teknik dalam membuat ilusi 3D dalam sebuah gambar yang disebut anaglif, juga karya gerak yang berupa penggabungan dari dua buah gambar bernama stereoskopik GIF. Kedua jenis karyanya menunjukkan adegan-adegan yang sudah tidak asing ditemui di Jakarta, seperti pengendara motor serta bajaj yang lalu lalang di jalan raya. Pengemasan tema dalam teknik yang terbilang baru membuat karya menjadi lebih menarik untuk dilihat. Kacamata tiga dimensi hadir sebagai pelengkap untuk mendapatkan pengalaman visual yang maksimal. Brian sendiri adalah partisipan yang paling bersemangat dalam berkarya karena menyumbangkan sebanyak 16 karya sinemagraf (teknik yang digunakan untuk menampilkan sebuah gambar diam dengan beberapa pergerakan minor di dalamnya). Idenya mengkhususkan pada figur mahasiswa dengan segala kegiatan yang mungkin mereka lakukan di kala senggang, dari bermain gitar sampai menonton video porno di layar komputer. Beberapa yang disuguhkannya menghibur, beberapa terasa begitu dekat dengan kita yang sedang atau pernah mengenyam bangku kuliah. Lowong di sini ditanggapi dengan sesuatu yang ‘terluang’—persepsinya menarik, tetapi kemudian rasanya karya hanya menjadi sebatas pendokumentasian atas kegiatan mahasiswa yang ‘kurang kerjaan’. Jika memperhatikan Jakarta lebih dalam sebagai kota terpadat pertama di Indonesia yang tidak kunjung mampu menyejahterakan masyarakatnya—tidak salah memang jika memotret kehidupan para warga yang mayoritas berasal dari kelas menengah ke bawah untuk dijadikan fokus utama dalam berkarya mengenai ibukota. Keberadaan beragam profesi dari yang kerap terpinggirkan hingga yang paling absurd mewarnai Jakarta dan dikutip dengan unik oleh beberapa peserta seperti Aditya Putra Priono dari IKJ (Institut Kesenian Jakarta), Dalu Kusma dan Yoyo Wardoyo dari IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Politik, Febrian Anugrah dari UI (Universitas Indonesia), Moh. Namuz Aldo Nugraha dari STIKOM Interstudi, dan Nuzul Lutfiansyah dari Universitas Paramadina. Dari karyanya Camera Junkie dan Balada Balerina yang berupa line art, Didit memainkan figur profesi yang biasa ditemui, namun terasa asing. Di sini, ia bermain pada pekerjaan yang tampaknya hanya berupa kiasan atas apa yang telah ada. Camera Junkie mengemas pekerjaan fotografer yang sedang bersiap memotret di atas tiang. Balada Balerina menampilkan sosok patung Liberty yang menari balet. Melihat karya ini seperti mengusik indra kita, bahwa ada yang salah dari apa yang sudah biasa dilihat. Dalu, dalam serinya yang bersubjek Sikat Peluang mencoba mengelaborasi bagaimana para warga Jakarta mampu menciptakan kesempatan tersendiri dalam mencari nafkah meski tidak bermodalkan ijazah yang memadai, yang ditampilkan dengan sinemagraf. “Tukang-tukang” yang dihadirkan bervariasi—mulai dari yang kerap kita jumpai seperti tukang parkir, hingga yang kemunculannya jarang diketahui seperti tukang es kocok keliling. Selain menjadi fakta pembuka mata untuk melihat realitas sederhana Jakarta, karya ini seakan menyuarakan bahwa kejelian diperlukan dalam mencari secercah peluang untuk bertahan hidup di tengah bobroknya sistem pemerintahan Jakarta. Lain pula dengan Yoyo dan animasi line art-nya yang berjudul Pindahan. Ia memancing kita dengan ide-ide usilnya—membawa kita akan kesempatankesempatan yang sejujurnya jarang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. 94


Ia menyadarkan kita pada kenyataan bahwa apapun yang ada di dalam rumah bisa dijadikan suatu bentuk layanan jasa keliling—mulai dari mesin cuci hingga rental game keliling. Sejenak, kita akan tertarik pada kecerdikannya untuk mengungkapkan bahwa dalam keterdesakan ekonomi, semua hal sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin menjadi peluang untuk menambah pemasukan. Febrian tampil berbeda dalam kategori ini. Dengan kelebihannya pada data dan rujukan yang terperinci juga dilengkapi dengan visual yang sangat atraktif, ia mampu menggiring audiens untuk memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan pekerjaan pinggiran ibukota—sambil tetap menggandeng para penonton untuk merasakan bahwa optimisme untuk tinggal di Jakarta masih ada dan begitu besar. Hal ini tercermin dalam karyanya yang berupa seri poster infografik bernama Jakarta Lapak Kerja. Dalam Kontras, sebuah animasi line art, dengan gamblang ia menyindir fenomena ‘pekerjaan ganda’ yang sangat bertentangan demi menambah sesuap nasi. Dari kesekian karya yang ditampilkan, dapat terlihat jelas bahwa kedua seri ini mempunyai konsep yang paling matang—mulai dari konsistensi ide hingga eksekusi. Adalah sesuatu yang sangat mungkin jika akhirnya karya ini menjadi referensi pembuka wacana baru dari berbagai lingkup ilmu karena penuturannya yang detail dan naratif. Aldo sendiri membuat sebuah karya seni piksel non-animasi bernama Hiburan Alternatif dengan abang odong-odong sebagai tokoh utamanya. Merujuk pada deskripsi karya, kehadiran anak-anak yang acapkali disebutkan justru absen dari pandangan. Padahal, karya akan lebih dapat dimengerti, apalagi ide menarik untuk diwujudkan. Karya lainnya, yang berjudul Kiat, dihadirkan dengan gagasan yang berbeda—bahwa sudah selayaknya pekerjaan dilakukan dengan cepat dan sigap. Kali ini, meski pada akhirnya konsep masih terasa kurang matang, namun hasil akhir dari karyanya patut diberi cengiran lebar karena ide ditanggapi dengan unik dan tidak biasa. Syarat Mudah dan Proses Cepat adalah dua buah karya yang disuguhkan oleh Ijul dalam teknik animasi piksel. Ia menyindir bagaimana cara praktis untuk mendapatkan sesuatu tanpa rumit telah banyak beredar di kalangan masyarakat kita—dalam karya ini, adalah pekerjaan kredit motor dan tukang loak. Sama seperti milik Didit, keduanya menggelitik dengan absurditas yang ada, walau bisa dibilang bahwa konsep karya masih terasa ‘mengambang’. Figur pekerja seni terkenal seperti musisi pun tidak luput untuk menjadi bahan perbincangan dari para seniman muda ini. Sosok yang ada dimodifikasi kemudian diberi teks dengan ide jahil seperti yang dilakukan oleh Muchlis Fachri dari UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dan Febrian. Jika Febrian menyuguhkan poster vektor rupa musisi Indonesia dengan dandanan ala band rock ternama Amerika, dengan pembacaan nyeleneh yang merupakan penggabungan judul lagu dari masing-masing musisi—maka Muchlis menghadirkan instalasi polaroid dengan serenceng foto-foto berupa karya line art dengan caption yang sama humornya dengan Febrian. Sayang, beberapa caption yang ada dalam karya ini terkesan kurang maksimal jika ingin melucu. Tidak lengkap jika berbicara mengenai Jakarta tanpa melibatkan tingkat kejahatan yang tinggi serta penegakan hukum yang semrawut di dalamnya. Tengok saja karya-karya Ariandy Prabowo dari UNJ (Universitas Negeri Jakarta) serta Efrin dari IISIP (Institut Seni dan Ilmu Politik) dalam kriminalitas—dan Fadiza Afifah dari UI (Universitas Indoneisa) juga Astri Purnama Sari dari IKJ (Institut 95


Kesenian Jakarta) pada hukum yang berlaku. Sementara itu, Didit memasukkan unsur keduanya dalam konflik antara pencuri dan polisi dengan karyanya, Cop and Robber. Disajikan sebagai animasi piksel, Ari menceritakan ironi penyewaan jasa menghabisi nyawa orang yang justru menjadi senjata makan tuan bagi penggunanya sendiri. Dalam karya dengan judul Pembunuh Bayaran, ia menawarkan sisi gelap dari kekuasaan politik uang yang dapat digunakan untuk mengabulkan permintaan siapapun, untuk siapa pun. Sebuah pemikiran yang menarik untuk mengangkat pekerjaan ini karena nyatanya praktik serupa sudah umum dilakukan oleh orangorang yang berkuasa di negara kita. Lain halnya dengan Efrin yang menampilkan kriminalitas dari sudut pandang komedi. Dengan media animasi line art, ia menampilkan dengan jenaka perbedaan antar maling, jambret dan copet yang juga diselipi dengan fakta tentang tingkat kejahatan di Jakarta yang tampaknya menurun sekian persen. Pembacaannya dibuat ringan, sehingga siapa pun yang melihatnya akan tertarik untuk mencermati karya lebih dalam. Adiz, dalam karyanya yang berkisar tentang aktivitas di meja hijau, menghadirkan Kerjaan di Ruang Sidang dalam bentuk animasi piksel dan TOK! KEBERATAN! dalam sinemagraf. Di sini, ia menjelaskan singkat kualifikasi yang diperlukan untuk bekerja di meja hijau dengan uraian yang jenaka dibalik susunannya yang berima, di mana hal ini menjadi kontras dengan uraiannya yang berupa sindiran atas profesi yang ada itu sendiri. Dalam TOK! KEBERATAN!, terdapat beberapa figur yang sering ditemui dalam ruang pengadilan, seperti hakim ketua dan para penegak hukum. Hadir sebagai karya line art lainnya adalah milik Astri dengan judul Pungli Kegemaran Polisi. Ia menyindir bagaimana praktek penegakan hukum sering disalahgunakan untuk mendapatkan pemasukan sampingan. Gambar lalu diberi teks percakapan sebagai komedi satir yang diselipkan di antara rambu lalu lintas dan atribut berkendara. Terlepas dari banyaknya karya yang ditawarkan, workshop ini mampu memberi variasi pilihan akan seni digital yang patut diapresiasi oleh para penikmat seni ibukota kita saat ini. Penggambaran kondisi sosial-ekonomi di Jakarta dengan segala permasalahannya yang dibungkus dalam beragam media digital jelas membawa kita pada pengalaman visual yang ‘bermain’ dan bisa terbilang unik sekaligus istimewa—membuatnya menarik untuk diamati lebih dalam tanpa tendensi untuk menggurui audiensnya atau pun memaksakan solusi tertentu. Sekalipun pada kenyataannya beberapa hasil karya dirasa kurang memiliki konsep yang matang dan kurang mengeksplorasi ranah interaktif yang merupakan bagian dari judulnya—pandangan baru yang tercipta tentang Jakarta sukses terekam dalam ruang digital, dan setidaknya, telah berhasil memberi warna baru dalam menyikapi Jakarta di era serba teknologi yang ada saat ini. Semoga dengan adanya workshop ini pula, kesadaran untuk berkarya dalam era digital yang didasari pada pengetahuan komprehensif atas media yang ada, dapat menjadi bekal yang baik bagi para seniman muda ini untuk melanjutkan perjalanannya di tahun-tahun yang akan datang.

96


‘Turning’ Jakarta in Digital Space by

Natya Sekar Arum

Making an artwork in this digital age is not only giving a space of creativity for the new world of art, but also having its own challenges. The sophistication of the computer and the emerging software challenged the artists - it gave them all the convenience that can polish their ideology. The artists should choose two things - do they want to sink into the technology lullaby, soundly asleep following the waves; or swimming against the tide, moving and still co-exist along with everything surround them? Kompolotan Jakarta 32° C tries to appoint this idea in this year workshop. Along with oomleo, young digital artist of Jakarta, they made a workshop that attracted 13 students across disciplines from various universities in Jakarta entitled “Digital and Interactive Art Workshop” - that was held in the beginning of August and lasted for two weeks. The interesting things from this workshop are not only packaged in two-ways direction that made a good interaction between the facilitator and participants and lead to share the abilities of each person, but also oomleo as the facilitator pointed to their own abilities and interests so they were free to choose their own style. At first this workshop was planned to be divided into three sections: visual, audio and audio-visual, then, only a visual section existed and this made the thirteen participants still making various artworks. ‘Vacancy’ as the big theme in all the workshops will be the things that relating all the artworks from participants. How they respond this theme from various perspectives became the new experience that is no less attractive to see. Starting from everyday life experience, Abi Rama from IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Politik) and Brian Suryajaya from Tarumanagara University expressed their interest through their artworks. It could be said that Abi was the braver one having experiment with digital art than other participants. He chose to make an artwork which haven’t be taught by the facilitator, like anaglyph - making 3D illusion technique in a photograph, and GIF stereoscopic - mixing two photos into motion artwork. His artworks showed 97


common scenes in Jakarta such as motorcycle and bajaj (motor pedicab) were passing on the street. It is interesting because the way Abi packaged his artworks was new. Abi also added three-dimensional glasses as a complement for the audience to get the best visual experience. Brian is the most energetic person in the workshop because he made 16 cinegraphic artworks (cinegraphic is a technique to show a stand photo that has several minor motion in it). His idea focused on student plenty time activities, start from playing guitar to watching a porn in computer. Some of his works are entertaining, some felt so close for those whoever or never attending the college. ‘Vacant’ here is responded with something ‘really vacant’ - interesting perception, but in the end, it felt only a mere documenting artworks. If you look deeper on Jakarta as the most populous city in Indonesia which not able to give prosperous live for its citizen, it is not wrong if you focused to capture the life of the people who mostly belong to the low middle class citizen. Some participants such as Aditya Putra Priono from IKJ (Institut Kesenian Jakarta), Dalu Kusma and Yoyo Wardoyo from IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Politik), Febrian Anugrah from UI (Universitas Indonesia), Moh. Namuz Aldo Nugraha from STIKOM Interstudi and Nuzul Lutfiansyah from Paramadina University captured the existence of various marginalized professions in Jakarta, start from the unique one to the most absurd one. Through line art Camera Junkie and Balada Balerina, Didit captured common professional figure then make it as a stranger. He played on the job that usually seen as metaphor. Camera Junkie presented a photographer who had got ready to work in the electric pole. Balada Balerina presented Liberty Statue dances a ballet. This work seemed disturbing our sense, we realize that there is something wrong with what we usually see. Dalu in Sikat Peluang series tried to elaborate on how the Jakarta citizen could make their own opportunities to seek a job without appropriate certificate through cinegraphic. He presented various “craftman”, start from parker to iced-shake seller who rarely known. This artwork not only became an eye opener to see the simple facts in real Jakarta, but also as a voice to say that we used to be clever to seek opportunities in order to survive in the middle of abominable government system of Jakarta. Yoyo with his line art Pindahan seemed a bit different. He triggered us with his ‘annoying’ idea which carried us to see opportunities that we never thought before. He made us aware to the fact that everything in our house can be rented, such as washing machine and mobile game rental as the examples. We will be interested in his idea that during economical problem happening, all things actually can be rented maximally to increase the income. Febrian appeared to be different in this category. Through his strength on database and references that equipped with very attractive visual, he could bring the audiences to understand about what really happened in the outskirts of Jakarta - and he tried to catch the audience attention that there is a big optimism to keep stay in Jakarta. It reflected in the infographic poster series entitled Jakarta Lapak Kerja. In Kontras, a line art animation, he clearly criticized ‘double job’ phenomenon as the way to get an income. These artworks had the most mature concept than his other works - from the consistency of the idea to execution. It is possible if these artworks can be references to open new discourse because the way it spoke are detail and narrative. 98


The next is Aldo. He made non-animation pixel artwork entitled Hiburan Alternative, showed odong-odong (children’s plaything like a vehicle with three wheels) driver as the main character. Referring to the description, the child playing odong-odong are absents from the view. If he put captured the children, his artworks is more understandable because his idea is unique. The other artwork entitled Kiat that was presented with many different ideas: It is proper that a job quickly and swiftly done. At this time. Although the concept is minus, the result should be given a thumb up because he offered unique and unusual idea. Syarat Mudah and Proses Cepat are Ijul’s artworks which used pixel animation technique. Through these works, he criticized on how people in our society always be practical and do not want “complicated” things, for example, motor creditor and junk dealer. Like Didit’s artworks, the works show the absurdity, although the concept seemed “artificial”. Famous figure like musicians also became the topic to be talked by these young artists. The figures are modified and the text was added, just like Muchlis Fachri from UNJ (Universitas Negeri Jakarta) and Febrian did. Febrian presented Indonesia musician who wore American rock band make-up - below the vector poster, he added eccentric text based on the amalgamation of each musician’s lyrics. While Muchlis presented Polaroids installation using lineart technique and its caption as funny as Febrian’s poster. Unfortunately, some captions in this artworks are not funny enough. It is not complete if we talked about Jakarta without talking about its high levels of crime and the disorganized law enforcement. Just look at the artwork made by UNJ (Universitas Negeri Jakarta) student, Andriady Prabowo, and Astri Purnama from IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Politik) about criminality, and Fadiza Afifah, UI (Universitas Indonesia) student, and Astri Purnama Sari from IKJ (Institut Kesenian Jakarta) about law enforcement. Meanwhile, Didit puts those issues on conflict between a cop and a robber in his work Cop and Robber. The next is Ari with his pixel animation which told an irony of a hitman who experienced a boomerang effect. In his artwork Pembunuh Bayaran, he offered the dark side of the money politics power which can be used to grant any request for anyone. It is an interesting thought because he shown this practice that in fact commonly done by powerful people in our country. About criminality, Efrin gave comical perspective in her artwork. Using lineart animation, she humored the differences between the thief, the snatcher and the pickpocket and gave the fact about decreasing percentage of the crime rate in Jakarta. People will be interested to look deeper into the artwork because the way she presented it was so soft. In Kerjaan di Ruang Sidang, a pixel animation, and a cinegraphic TOK! KEBERATAN!, Adiz told the activities in the court. In these artworks, she explained playfully about qualifications needed to work in the court briefly - while it was so contrast with the description that satirized the profession. In TOK! KEBERATAN!, there are some figures that encountered in the courtroom, such as the judge and law enforcement apparatus. The other lineart artwork is made by Astri entitled Pungli Kegemaran Polisi. She teased the practice of the apparatus that misused to add the income. She also added conversation texts between the traffic signs and driving attributes, made this artwork be a satirical comedy.

99


Regardless of the number of the artworks, this workshop could cave various options about digital art which should be appreciated by the Jakarta art lover nowadays. The depiction of social-economy class in Jakarta with all the problems appeared in digital media brought use the ‘playful’ visual experience and it could be said unique and special - made it more interesting to observe without a tendency to patronize or impose a particular solution to the audience. Despite the fact that some artworks were artificial, having immature concept, and did not explore the interactive space creatively, this workshop at least could open new perspective about Jakarta in digital space and gave new color to response Jakarta in this digital era. Hopefully, through this workshop, an awareness to create an artwork in digital era will be based on comprehensive knowledge about the existed media, and it could be a model for young artists to continue their journey in the ‘art’ road.

100


101


102


103


Workshop Arsitektur bersama Ardi

Yunanto dan Iswanto Hartono

Workshop arsitektur mengajak peserta untuk membuat karya yang membahas dinamika profesi sektor “informal� di ruang publik Jakarta. Karya tersebut dapat berupa konsep, rancangan, maupun produk jadi, yang tak menggantungkan harapan pada pihak yang seharusnya mengurus ruang publik, namun dapat langsung diterapkan oleh para pekerja informal yang dibahas sebagai bentuk kritik yang kreatif. Satu orang peserta dalam workshop ini memilih jembatan penyeberangan sebagai ruang perhatiannya. Jembatan penyeberangan, seperti yang kita tahu, seringkali digunakan oleh pedagang kaki lima untuk berjualan. Dagangan mereka menyempitkan area berjalan namun juga diminati oleh pejalan kaki yang suka mengonsumsi barang-barang printilan murah-meriah itu. Keberadaan mereka tak patut secara hukum, barangkali pula secara fungsi ruang, namun mereka tak jarang dimanfaatkan oleh aparat kota, sehingga mereka yang tak memiliki pilihan lain untuk berjualan secara layak itu tidak pernah merasa benar-benar aman untuk berjualan. Silvia membuat loker di sebuah jembatan penyeberangan di daerah Cawang, di depan Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Selatan, berbentuk kotak sederhana dengan tanaman di atasnya, yang menyerupai tempat tanaman yang sudah tak terpakai di beberapa titik jembatan tersebut. “Loker Hijau� itu dibuat agar para pedagang kaki lima bisa menyembunyikan barang-barang dagangannya bila dirazia. Barang-barang itu pun bisa diinapkan untuk diambil kembali keesokan harinya oleh mereka: aman tersembunyi di bawah tanaman. Sebuah loker yang berkamuflase sebagai tempat pot tanaman, sembari menambah kehijauan ruang kota.

104


Workshop on Architecture with

Ardi Yunanto and Iswanto Hartono

Workshop on architecture invites participants to make a work of art that discussed the dynamic movement of “informal” profession in public space of Jakarta. The work may include concept or design, as well as finishing the product which does not rely on the government whose duty maintaining the public space - but the work can be directly applied by informal workers as a kind of creative form of criticism. One of the workshop participants has chosen pedestrian bridge as her study. We know that pedestrian bridge in Jakarta usually used by street vendors to sell something. Although some people like to buy cheap merchandise sold by them, the pedestrian bridge gets narrow due to their stall. Their existence against the law, and perhaps against the space public function also; but sometimes their existence misused by the apparatus - having no other options to sell properly and still haunted by insecurity. Silvia, one and only participant, makes lockers, simple compartments with plants on the top looks like unused-flower-pots around pedestrian bridge in Cawang area, in front of the Christian University of Indonesia, South Jakarta. This “Green Locker” is made for the street vendors so they can hide their goods when sweeping happens. They can take their goods which hideous safe under the plants in the next morning. It is very double functions locker - it can be a camouflage and adding more green space in the city.

105


Silvia Adityavarna Universitas Tarumanagara Loker Hijau Instalasi dan konsep rancangan, 2012 Lokasi: Jl. Mayjen Sutoyo, Cawang, depan Universitas Kristen Indonesia

106


107


108


Seruan SembunyiSembunyi oleh

Robin Hartanto

“Waktu itu saya berpikir bahwa pedagang kaki lima di atas jembatan sebenarnya punya potensi untuk bersembunyi (dari tramtib) dengan cara meng-kamuflase-kan diri mereka sebagai pejalan kaki biasa pada umumnya.” — Silvia Adityavarna, peserta Workshop Arsitektur Jakarta 32°c 2012 Entah itu kontradiksi, ironi, atau barangkali suratan takdir. Yang jelas, sial bagi mereka. Pedagang kaki lima yang sering kita anggap liar karena berjualan di tempat-tempat ilegal, sebetulnya adalah pedagang yang sama, yang mempermudah hidup kita dengan sebatang rokok atau sebotol teh dingin yang siap sedia setiap saat. Sementara itu, tramtib yang mengusir para pedagang kaki lima dalam berbagai operasi penggusuran, adalah tramtib yang sama, yang menerima setoran uang keamanan dari mereka. Di antara tujuh workshop yang serempak diadakan oleh Jakarta 32°c 2012, Workshop Arsitektur adalah yang paling mewah. Dua fasilitator untuk membimbing satu peserta; lima ratus ribu rupiah untuk membangun satu karya; seribu kata (yang saya tulis) untuk membahas satu gagasan. Tetapi, toh karya arsitektur memang punya tanggung jawab yang sedikit lebih besar daripada karya seni lainnya: ia perlu menghadirkan nilai guna yang jelas. Karya arsitektur tidak bisa asyik sendiri seperti proyek Logout Corps, yang para sindikatnya jumpalitan untuk menyelamatkan ikan yang terdampar di sungai keruh. Celakanya, dalam kitab suci arsitektur modern, ruang yang steril adalah surga. Mereka dan juga para pekerja informal lainnya—tokoh yang sebetulnya ada karena kebutuhan kita—selalu menjadi tersangka utama pengotor ruang kota, dan selalu jadi target pentungan sang penjaga ketentraman dan ketertiban, bukan para pembeli atau pengguna jasa mereka. Memang tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pekerja informal seperti pedagang kaki lima menciptakan ruang-ruang yang liar, alias “kotor”. Tetapi, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa kita membutuhkan mereka. Beruntunglah dunia ini masih ada orang-orang yang punya selera humor tinggi. “Kamu tidak pernah tahu”, 109


ucap James Joyce, penulis novel Ulysses, kepada Siegfried Giedion, seorang pujangga dan penggawa arsitektur modern, “betapa indahnya kotoran”.1 Apa yang Silvia Adityavarna buat kemudian, bisa jadi hal yang biasa bagi banyak orang. Setelah melalui proses asistensi berkali-kali dengan fasilitator workshop, alumnus jurusan arsitektur Universitas Tarumanagara ini menggagas ruang bagi para pedagang kaki lima di jembatan penyeberangan menuju Halte Transjakarta Cawang UKI (Universitas Kristen Indoneisa), untuk menyembunyikan barang dagangan. “Site ini dipilih karena isu sosial yang kuat atas pedagang kaki lima. Pernah kejadian, mahasiswa UKI ikut berkelahi dengan tramtib untuk membela para pedagang kaki lima yang memang banyak berseliweran,” tutur Silvia. “Kebetulan di jembatan penyeberangan itu ada pot-pot tanaman dari baja yang dicat putih, yang walaupun seharusnya berfungsi sebagai pot tanaman, tidak ada satu pun yang berisi tanaman.” Walaupun Joyce membicarakan soal rancangan rumah minimalis yang terlalu bersih, hal senada sebenarnya berlaku pada kota. Seperti kata Ardi Yunanto dan Farid Rakun—keduanya penggiat ruangrupa—dalam sebuah esai,2 para pekerja informal sebetulnya adalah “keniscayaan yang genting”—satu hal yang kita semua terlalu tahu dan terlalu dekat, sampai-sampai pengetahuan itu larut dalam kedekatan. Genting memang tidak selalu penting, tetapi ia adalah akar dari kreativitas. “Semangat kreatif selamanya berada dalam saat genting, menjelang sesuatu yang berbeda, yang baru, datang menerabas”,3 tutur Goenawan Mohamad, seorang esais ternama. Lantas, para pekerja informal sebetulnya adalah para pekerja kreatif yang tak kalah dengan para penggagas industri kreatif. Mereka mencari celah-celah yang tak terduga di dalam kota yang sudah sangat sesak, lalu merajut kehidupan mereka. Loker Hijau —begitulah nama karya yang ia buat, yang menggambarkan tempat penyimpanan dengan kedok pot-pot tanaman—memang bukan karya heroik, sebagaimana umumnya karya arsitektur ideal yang, dalam angan-angan sang perancang, mampu memberikan solusi atas segala masalah sampai semua senang. Silvia tidak hendak menyelesaikan benang kusut permasalahan pedagang kaki lima, terutama berkaitan dengan produksi ruang liar yang mengganggu kenyamanan pejalan kaki maupun “kebersihan” ruang kota. Loker Hijau juga bukan gagasan arsitektural yang spektakuler. Membuat loker adalah hal yang biasa. Membuat loker yang seolah adalah pot tanaman, adalah hal yang tidak luar biasa amat. Apalagi ketika yang dilakukan Silvia adalah meniru lalu memodifikasi desain pot yang sudah ada. Mungkin itu yang sering luput dari pikiran para penata ruang kota, bahwa para pekerja informal adalah keniscayaan yang genting. Lagi pula, genting adalah perkara waktu. Mereka sudah cukup sibuk mengurusi ruang, apalagi kalau ditambah urusan waktu—aspek yang tidak bisa dicermati sekelebat mata. Jeremy Till, seorang profesor arsitektur di Inggris, bukan sedang meromantisasi kotoran lalu membanggakan segala hal yang dekil, ketika ia mengingatkan pentingnya kotoran sebagai jejak kehidupan. Pesan yang ia maksud, jauh lebih penting daripada itu: untuk mensituasikan arsitektur di dalam dan melalui waktu.4 Tetapi, ada yang lebih utama dari segala yang bukan-bukan tadi: bahwa karya tersebut berpihak dan benar-benar mempunyai nilai guna bagi subyek yang ia kaji—para pedagang kaki lima. Di kota yang memang sedari awal tidak ideal, ketidakberpihakan adalah mustahil; Silvia memilih untuk hanya memihak para

110


pedagang kaki lima, orang-orang yang terpaksa menjebakkan diri dalam sistem ganda para pelaku kebijakan. Loker Hijau memang barang arsitektur yang biasa, tetapi strategi bagi pedagang kaki lima untuk berkamuflase menjadi pejalan kaki biasa adalah ide yang segar, juga sebuah sindiran lugas kepada sistem yang berlaku. Apalagi ketika, berdasarkan obrolan Ardi Yunanto dengan pedagang kaki lima di lokasi tersebut, gagasan tersebut membuat para pedagang lain menyadari kemungkinankemungkinan lain yang tak pernah mereka pikirkan sebelumnya, seperti mengubah pot-pot tanaman yang memang sudah ada menjadi loker mereka. Ketika itu, pengakuan atas sebuah karya oleh para pakar yang mumpuni, tidak lagi penting. Karya tersebut mempunyai perspektif yang tegas. Sayangnya, memang tidak mudah bagi empunya kuasa kota kita saat ini untuk melihat pun mendengar kemungkinan-kemungkinan lain. Ketika pada akhirnya sistem yang ada memang sulit diubah, tak ada salahnya jika kita lalu berseru sambil sembunyi-sembunyi. — Catatan Kaki 1 James Joyce seperti yang dikutip dari Jeremy Till, Architecture Depends. (Cambridge: The MIT Press, 2009), hal. 101. 2 Ardi Yunanto dan Farid Rakun (ed.), Gerilya Urban: Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010. (Jakarta: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara, 2010), hal. 30. 3 Goenawan Mohamad, “Gelanggang,� Majalah Tempo (10 September 2012). 4 Jeremy Till, Architecture Depends. hal. 104.

111


112


The Hidden Exclamation by

Robin Hartanto

“That time, I was thinking that vendors at pedestrian bridge have a chance to hide from the apparatus by acting like ordinary pedestrians” — Silvia Adityavarna, Architecture Workshop participant Jakarta 32°c 2012 I do not know whether it is contradiction, irony, or destiny. O, poor them! Street vendor, which is usually regarded as illegal, selling the products in an appropriate place, actually is the same seller who make our life easier by selling our needs such as a cigarette or an iced-tea bottle. Meanwhile, the apparatus who drive the vendor away in various eviction, is the same apparatus who accept the ‘security money’ from hawkers and street vendors. Architecture workshop is the most extravagant workshop in Jakarta 32°C 2012. There are two facilitators for one participant; five hundred thousand rupiah to make one artwork; one hundred words (that I made) to discuss one idea. Well ... the fact is architectural work has more responsibility than other artworks: it should have an obvious value. Architectural work cannot be based on playing imagination only like a Logout Crops project in which its syndicate flips to rescue stranded fish on the muddy river. Unfortunately, based on modern architecture Holy Bible, the only sterile space is heaven. The street vendor and other informal workers - people who exist to fill our needs - always be the main actor who pollute our city space, and always be the target of eviction by the apparatus who keep the peace and stability, not targeted by their consumers. It is undeniable that informal worker like street vendor existence made the spaces became “unclean” and untidy. But we cannot deny the fact that we need them. Fortunately, there are a lot of people who have a big sense of humor. James Joyce, Ulysses writer, once has stated to Siegfried Giedion, a poet and a critic of architecture, ‘You don’t know how wonderful dirt is.1 What Silvia Adityavarna did can be “common” thing for others. After the long process of assisting by with the facilitators, the alumni of Architecture Study in 113


Tarumanagara University had an idea for street vendors in pedestrian bridge to go Transjakarta Cawang UKI (Universitas Kristen Indonesia) shelter, making an applied-flowerpot to hide their products. “This site was chosen because strong social issue on the street vendor. Once had happened, UKI’s students fought the apparatus to help the street vendors that mill around here,” Silvia has said. “There are a lot of white-coloured-pots which are used as flower pot, but it was useless,” Silvia added. Joyce had said that minimalist house design is too clean, it actually applied for the city. Like Ardi Yunanto and Farid Rakun,2 ruangrupa actuator, had said in an essay, informal worker actually is ‘urgent needs’ - one thing that we know and really close with us, and this knowledge dissolve by our closeness. Emergencies is not always important, but it is the root of creativity. "Creative spirit always be in a crucial moment, towards something different, something new, comes breakthrough”,3 said Gunawan Mohammad, a prominent essayist. According to this quotation, the informal workers actually are creative workers, similar with the creator of creative industries. They are looking for unexpected loopholes in an overcrowded city, then they knit their own life. Green Locker - that’s the name of the work she created which depicting a storage area under the guise of flower pots - not a heroic works actually, as in the ideal architectural masterpiece which start from the imagination of its designer that can solve all problems then everyone will be happy. Silvia did not want to solve the tangled problems of street vendor, especially with illegal space which make pedestrians become uncomfortable and disturb the “cleanliness” of city space. Green Locker is not spectacular architectural idea. Making lockers is common thing to do. Making locker as flower pot in disguise is not very remarkable. It is so easy because Silvia only imitates then modifies the design of existing flower pots. Perhaps that was missing from our urban planner’s mind that informal workers are critical necessity. Moreover, urgent is a matter of time. They are pretty busy to maintain the space, especially if they should maintain the time - the aspect that cannot be observed with flash eye. Jeremy Till, a professor of architecture in Englands, does not want to romanticize the dirt and boast all filthy things when he reminded that the dirt as the traces of life. The message is more important than that: to situate architecture in and through time.4 However, there is more important thing than all absurd thing mentioned earlier: this work has an obvious value and stands for the object that she studied - the street vendors. In the city, which is not ideal since the beginning, impartiality is impossible; Silvia only chose to stand for the street vendors, people are forced into the dual system made by the stake holders. Green Locker is ordinary architectural item indeed, but the strategy for street vendors to use it as camouflage to be ordinary pedestrians is a fresh idea and also straightforward allusion to the prevailing system. Based on Ardi Yunanto conversation with street vendors in the location, this idea made the other street vendors aware of other possibilities that never comes to their mind before. At this time, the appreciation by a qualified expert is no longer important. This work has a clear perspective already. Unfortunately, it is not easy for the highness of our city to hear or to see the other possibilities. When the existing system is hard to change, there is nothing wrong if we exclaimed it while hiding our faces.

114


— Endnotes 1 James Joyce as quoted from Jeremy Till, Architecture Depends. (Cambridge: The MIT Press, 2009), page, 101. 2 Ardi Yunanto and Farid Rakun (ed.), Gerilya Urban: Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010. (Jakarta: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara, 2010), page 30. 3 Goenawan Mohamad, “Gelanggang,” Majalah Tempo (September 10, 2012). 4 Jeremy Till, Architecture Depends, page 104.

115


116


117


118


119


120


121


122


123


124


Menengok Gerakan Mahasiswa dan Geliat Seni Mahasiswa oleh

Renal Rinoza Kasturi

Gerakan Mahasiswa Dalam Lintasan Masa Tunduk Ditindas Atau Bangkit Melawan Karena Mundur Adalah Pengkhianatan— itulah sebuah jargon yang sering diteriakkan para aktivis gerakan mahasiswa yang tergabung dalam FORKOT—sebuah gerakan mahasiswa yang begitu populer pada masa Reformasi 1998 dan di tahun 2000an. Jargon-jargon dan yel-yel dengan lantang mereka teriakan ketika aksi turun ke jalan dan rapat-rapat yang mereka adakan untuk terus memompa denyut militansi. Selain itu, lagu Darah Juang Kami— sering dikumandangkan dengan membahana sebagai nyanyian suci perjuangan mahasiswa. Sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia adalah sebuah lintasan panjang yang berantai dan historis walaupun dengan situasi dan konteks yang berbeda namun persambungannya terus terajut dan bersifat imanen. Sebuah persoalan yang menjadi pertanyaan ialah, seperti apakah gerakan moral yang disuarakan oleh mahasiswa? Kita dapat ambil contoh di era 1950an, gerakan mahasiswa saat itu “diboncengi� oleh kepentingan elite politik serta hubungan patron-client antara seniornya sebagai politisi dan juniornya yang masih duduk di bangku kuliah dapat dilihat sebagai perluasan kepentingan politik diantara faksi-faksi politik kala itu. Asumsi itu bisa benar, bisa juga tidak tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Begini, kala itu sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, seluruh elemen bangsa tak terkecuali mahasiswa mempunyai basis kesadaran ideologis yang sangat tinggi, dan pasca proklamasi dibukalah koran partisipasi 125


politik rakyat Indonesia secara besar-besaran. Arbi Sanit menulis bahwasanya kesadaran ideologis mahasiswa semakin mengkristal semenjak partai politik dibentuk kembali, berdasarkan maklumat Wakil Presiden tanggal 3 Nopember 1945.1 Di medio 1950an karakteristik gerakan mahasiswa dapat dilihat sebagai perpanjangan tangan elit politik karena gerakan mahasiswa memiliki peran utama sebagai pendukung ideologi di antara semarak ideologi yang tumbuh subur pada era tersebut. Pada saat Demokrasi Terpimpin diterapkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis gerakan mahasiswa mengalami krisis ideologi dan krisis arah perjuangan dan hampir-hampir saja mengalami dislokasi gerakan namun dapat dilihat gerakan mahasiswa di era 1960an berganti format gerakan dan merevitalisasi kembali tentang gerakannya dan perlahan menjaga jarak dengan institusi politik dan para politisi profesional. Independensi gerakan mahasiswa menemukan formatnya yang asli dan kembali ke asal sebagai gerakan moral di mana gerakan mahasiswa di era 1960an tampil sebagai gerakan politik alternatif sebagai anti-teori terhadap kebekuan para politisi yang bungkam dan tak bisa banyak melakukan apa-apa kecuali sebagai stempel negara. Reorientasi gerakan mahasiswa di tahun 1960an menemukan tajinya pasca G 30 S di mana peran gerakan mahasiswa menyuarakan pembubaran PKI mendapatkan sokongan kuat dari elit-elit politik yang anti Soekarno dan sudah barang tentu mendapatkan dukungan penuh dari TNI AD. Misi gerakan ini yang kita kenal dalam sejarah ialah aksi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Setelah puas merobohkan Orde Lama dan suksesi kepemimpinan nasional berganti menjadi rezim Orde Baru, para aktivis gerakan mahasiswa pada awal-awal masa Orde Baru sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintahan baru tersebut dan hematnya pemerintahan awal Orde Baru memberikan sebuah harapan tentang demokrasi dan pembangunan—isu strategis yang menjadi fokus perhatian gerakan mahasiswa kala itu. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa menjadi pondasi bagi pencapaian citacita pembangunan Orde Baru. Rupanya harapan yang terlalu tinggi kepada rezim yang memerintah tak sesuai dengan cita-cita gerakan mahasiswa yang menjadi mendukung Orde Baru. Di awal 1970an kebijakan pembangunan Orde Baru mengecewakan para aktivis mahasiswa di mana keran-keran modal asing mulai masuk dan mengancam ketahanan industri dalam negeri dan menciptakan ketimpangan sosial. Suara gerakan mahasiswa kembali lantang menyuarakan penolakannya terhadap upayaupaya pemerintah yang memberikan porsi lebih kepada pemodal asing. Hak-hak politik dibungkam melalui seperangkat peraturan yang mengekang kesadaran politik mahasiswa. Perangkat peraturan yang mengebiri peran politik mahasiswa termaktub dalam kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di tahun 1977/78. Kebijakan ini dikenal oleh kalangan gerakan mahasiswa sebagai bentuk kebijakan depolitisasi gerakan mahasiswa. Sejatinya, mahasiswa sebagai gerakan moral cum gerakan politik tetap satu nafas yang tak akan berhenti dan terus hidup walau mendapatkan tekanan dari berbagai pihak tanpa terkecuali lingkungan sosial yang tidak ramah sekalipun. Hariman Siregar dalam catatannya menulis, bahwa gerakan mahasiswa akan tampil sebagai gerakan moral ketika kondisi politik macet, tidak ada saluran. Pada kondisi politik stabil atau katakanlah ada tanda-tanda perbaikan dan ada saluran yang mewadahinya, gerakan mahasiswa akan menyurut.2 126


Seni dan Aktualisasi Gerakan Mahasiswa Dalam catatan saya, kontribusi gerakan mahasiswa dalam menyuarakan pandangannya tak hanya dapat dilihat dari aksi-aksi turun ke jalan ataupun meramaikan forum-forum saja melainkan dapat menggunakan berbagai macam media, entah itu surat kabar atau ekspresi seni. Dalam pembacaan saya medium seni yang digunakan oleh mahasiswa baik oleh perseorangan atau secara kelompok dapat kita lihat dari geliat mahasiswa menggunakan aktivitas kebudayaan. Sejarah mencatat, adalah Soedjojono yang mendeklarasikan seni sebagai alat perjuangan dan kesadaran ideologis. Mengutip argumentasi Ronny Agustinus (2009) yang menjelaskan bahwa Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) adalah organisasi seni pertama—diinisiasi oleh kalangan pemuda terpelajar Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda sebagai tanah jajahan)—yang tegas “menyatakan seni rupa modern Indonesia harus memberiandil bagi perjuangan melawan kolonialisme. Keterkaitan antara wacana berkesenian dan wacana sosial ditegaskan oleh pandangan Soedjojono tentang seniman yang “tidak boleh absen dan tak mengalami situasi politik penting dari sejarah bangsanya sendiri. Bagi Soedjojono, gerak hidup masyarakat adalah gerak politik. Dengan kata lain, seni tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan kehidupan politiknya.3 Dalam lintasan sejarah gerakan mahasiswa dengan lapangan kesenian tak hanya berhenti di bidang seni rupa saja, melainkan merambah ke dalam bidangbidang kesenian dan kebudayaan lainnya seperti teater, tari, drama, musik dan kolaborasi di antaranya. Secara singkat perkembangan aktivisme mahasiswa dengan seni dapat kita runut dari berdirinya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), Seniman Indonesia Muda (SIM) di tahun 1940an, berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di tahun 1950 yang mempunyai fatsun politik yang jelas antara seni dan politik yang tidak dapat dipisahkan. Dalam LEKRA baik mutu estetis dan mutu ideologis adalah kredo yang tak terpisahkan di antara keduanya dan menjadi prasyarat mutlak bagi diskursus seni dan politik. Beranjak di medio 1950-1960an jagad kesenian dan kebudayaan Indonesia tak terlepas dari hingar bingar politik kebangsaan yang mencapai titik nadirnya di peristiwa Oktober 1965. Bipolaritas juga terjadi di institusi pendidikan tinggi seni, yaitu antara kubu Bandung dan kubu Yogyakarta yang mewakili orientasi ideologi masing-masing. Di satu sisi, kubu Bandung (Fakultas Seni Rupa ITB) dituduh sebagai laboratorium Barat4 dalam basis epistemik kurikulumnya dan di sisi lain kubu Yogyakarta (ASRI-sekarang Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta) yang mempunyai orientasi pada gaya realisme. Dalam kerja artistiknya, seniman lulusan Seni Rupa ITB umumnya terbiasa dengan ungkapan esensi bentuk, warna, garis, maupun esensiesensi pemikiran personal. Rangsangan yang didapat dari persoalan sehari-hari terlebih dahulu dicerna, diolah dalam suatu fase inkubasi. Di dalam proses prapenciptaan karya, seniman berkutat dengan konsepsi-konsepsi.5 Pada titik ini, tak ayal, seni adalah suatu pengetahuan, suatu aktivitas ilmiah yang metodenya dapat dipertanggungjawabkan. Kecenderungan pola mimetis kubu Yogyakarta, yang meniru objek apa adanya, lawan ekspresi personal dan pola abstraksi yang dipegang teguh oleh kubu Bandung memang melahirkan dinamika dalam seni rupa modern Indonesia.6 Di medio 1970an aktivisme seni yang sebelumnya pasca 1965 mengalami stagnansi dipecahkan melalui Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB) yang fenomenal itu. Lahirnya GSRB merupakan respon terhadap dinamika kehidupan kesenian dan kebudayaan serta kehidupan politik Indonesia. Kebijakan Negara Orde 127


Baru yang memisahkan antara urusan seni dan politik mendapatkan tanggapan yang serius dari para seniman yang notabene dilahirkan dari rahim akademik. Aktivisme seni di 1980an yang menonjol adalah kiprah secara individual bukan secara kolektif seperti di era 1970an yang tergabung dalam sebuah gerakan. Nama-nama yang menggemparkan jagat seni rupa modern Indonesia di 1980-an adalah Semsar Siahaan—peristiwa pembakaran patung Citra Irian Dalam Torso karya Soenaryo dosennya di FSRD ITB (Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung) melambungkan namanya menjadi seniman yang radikal dan progresif. Terhadap pembakaran patung tersebut Semsar beralasan bahwa seni modern Indonesia, hanya mengeksploitasi kebudayaan dan seni tradisional. Bergerak tak jauh dari sekedar mengeksplorasi bentuk-bentuk (profan) seni tradisional. Formula seperti itu sudah merasuki kurikulum pendidikan seni dan membuat mahasiswa tak lagi kritis dan tumpul kreasi. Cara-cara ini diyakini Semsar sebagai sesuatu yang senafas dengan apa yang dilakukan pihak rezim militer dalam melakukan pendekatan keamanan melalui bidang seni dan budaya untuk mengebiri pikiran kritis.7 Isu-isu yang dibawa Semsar dalam setiap karyakaryanya mengandung protes sosial yang kental dan melibatkan dirinya dalam aktivisme gerakan sosial. Semsar dalam kapasitasnya sebagai seniman telah bergerak maju dengan membawa isu-isu global. Ia mempunyai kesadaran politik anti globalisasi, anti kapitalisme, dan perjuangan HAM serta keberpihakannya dengan orang-orang tertindas ia sampaikan dalam karya-karyanya. Video sebagai Moda Perjuangan Gerakan Sosial Dalam tulisan ini saya tidak begitu terlalu jauh dalam menjabarkan peranan seni berbasis audio visual (baca: video), melainkan bagaimana video dapat dijadikan alat perjuangan bagi aktivisme mahasiswa dalam berdemokrasi dan berdialektika terhadap dinamika sosial politik. Dalam hal ini, video berperan besar bagi tumbuhnya demokratisasi media di Indonesia yang tentunya peran gerakan mahasiswa tak terlepas dari pemanfaatan medium ini. Tumbuhnya berbagai macam lembaga, komunitas-komunitas menandakan keampuhan medium ini dalam memberikan wacana alternatif di tengah-tengah masyarakat luas yang terhegemoni oleh tayangan televisi. Pengalaman Reformasi 1998 dapat dilihat sebagai tonggak penting bagi pemanfaatan medium ini sebagai alat perjuangan bagi proses demokratisasi dan ekspresi kebudayaan yang lebih luas. Saya mencatat pasca 1998 begitu banyak tumbuhnya organisasi-organisasi yang menggunakan medium video sebagai alat komunikasi sosial dan video dapat memberikan dampak signifikan bagi kehidupan politik itu sendiri. Dalam laporan penelitian Kunci Cultural Studies & EngageMedia pada 2009, dirilis tentang aktivisme dan distribusi video di Indonesia di mana aktivisme video di Indonesia melibatkan individu maupun kelompok dengan latar belakang sosial, ideologi gerakan, metode pendekatan, pola dan wilayah intervensi serta sasaran perubahan yang berbeda-beda. Dalam penelitiannya, Kunci Cultural Studies & EngageMedia mengindentifikasi setidaknya ada tiga pendekatan utama dalam gerakan video di Indonesia (1) aktivisme yang mendorong perubahan di level komunitas akar-rumput melalui partisipasi dalam produksi video (untuk selanjutnya disebut aktivis video akar-rumput), (2) aktivisme yang secara taktis memproduksi materi-materi video bermuatan isu sosial yang ditujukan untuk mempengaruhi persepsi publik dan proses pengambil keputusan di level eksekutif (untuk selanjutnya disebut aktivis video taktis) dan (3) aktivisme yang berbasis 128


eksperimentasi dalam penggunaan teknologi dan pencitraan video sebagai sarana mendorong perubahan relasi antara publik dan teknologi (untuk selanjutnya disebut aktivis eksperimentasi video).8 Di samping itu, tipologi aktivisme video di Indonesia dilakukan dengan pendekatan eksperimentasi video. Penggiat video dalam pengelompokan ini melakukan eksplorasi teknologi dan pencitraan video sebagai sarana untuk mendorong perubahan relasi antara audiens, pencipta dan media. Pada saat yang bersamaan, para penggiat video ini mau mendudukkan publik luas secara lintas kelas dan wilayah geografis, dalam posisi tawar yang kritis terhadap hegemoni media. Termasuk di sini adalah, ruangrupa dan Forum Lenteng. *** Rasanya berbicara aktivisme mahasiswa dalam lanskap kesenian tak lengkap tanpa membahas kiprah kelompok Taring Padi yang dibentuk pada penghujung tahun 1998 yang berkedudukan di Yogyakarta. Heidi Arbuckle menulis, di tengah-tengah kebanyakan kelompok kesenian yang muncul di Indonesia pasca tumbangnya Soeharto, Taring Padi mempunyai keunikan karena merupakan salah satu dari sedikit kelompok yang terang-terangan menyatakan bahwa praksis budaya mereka tidak terpisah dari politik. Setelah bertahun-tahun lamanya di bawah retorika anti-komunis dan depolitisasi rezim Suharto, ini merupakan posisi yang radikal untuk menganggapnya demikian. Namun pada kenyataannya kredo budaya Taring Padi muncul dari melting pot ide lokal dan impor di mana budaya kerakyatan- sebuah tradisi praktik budaya radikal yang berkembang di Indonesia sebelum munculnya Soeharto pada tahun 1965, dengan nyaman menggabungkan etos punk DIY (Do It Yourself—pen) dan beberapa isme—termasuk anarkisme, dadaisme, bahkan wanita-isme (bentuk lokal dari feminisme).9 Di Jakarta, aktivisme mahasiswa dalam berkesenian mendapat ruang aktualisasinya melalui perhelatan Jakarta 32°C yang diinisiasi dan difasilitasi oleh ruangrupa. Pergelaran pameran Jakarta 32°C ini secara perdana diselenggarakan pada tahun 2004 yang mengkhususkan pada karya-karya mahasiswa untuk diperkenalkan kepada publik yang lebih luas dan setiap dua tahun sekali secara berkelanjutan pameran Jakarta 32°C diselenggarakan dengan tema yang berbeda di setiap tahunnya. Perhelatan Jakarta 32°C bertujuan menumbuhkan dialog kritis mahasiswa disamping memperkenalkan karya-karyanya untuk membangun kesadaran bersama. Dalam catatan kuratorial Jakarta 32°C tahun 2006 ditegaskan selama proses pembelajaran di perguruan tinggi, mahasiswa banyak menghasilkan karya-karya kreatif yang tidak pernah dipublikasikan dengan baik untuk dipresentasikan ke masyarakat luas. Padahal, seni kontemporer, kontekstualitas dan relasi kreatif dengan keadaan sosial, budaya, politik, dan hal-hal lain yang terjadi dalam masyarakat saat ini menjadi sangat penting.10 Disamping itu tumbuh pula organisasi atau kelompok seni mahasiswa yang berjejaring diantaranya Artcoholic, Propagraphic Movement, Kampung Segart dan Sakitkuningcollectivo—yang memfokuskan diri pada bidang visual art dan performing art.11 Terakhir Komunitas Djuanda—sebuah kelompok studi yang fokus pada pemberdayaan media yang didirikan oleh mahasiswa komunikasi/jurnalistik UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta serta beberapa kelompok mahasiswa lainnya yang juga memberikan kontribusi signifikan bagi aktivisme seni mahasiswa. 129


— Catatan Kaki 1 Lihat Arbi Sanit. Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa; Refleksi dan Gagasan Alternatif. Penerbit Lingkar Studi Indonesia dan Yayasan LBH Indonesia. Hal. 83-84. 2 Ibid. Hal. 36. 3 Lihat Ronny Agustinus. “Taring Padi: Seni Melawan Tirani”. Hal. 183 dalam Manshur Zikri. Argumen Mahasiswa Hari Ini. Diterbitkan oleh Jakarta 32ºC zine. 2012. 4 Pelabelan kubu Bandung disebut sebagai laboratorium Barat pertama kali dilontarkan oleh kritikus seni rupa Trisno Sumardjo dalam artikelnya “ Bandung Mengabdi Laboratorium Barat”. Lihat Bambang Bujono & Wicaksono Adi (Ed.). Seni Rupa Indonesia: dalam Kritikan dan Esai. Penerbit Dewan Kesenian Jakarta. 2012. Hal. 131. 5 Lihat Aminudin TH Siregar. Instalasi Sunaryo (1998-2003): Saksi Tragedi Kemanusiaan. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). 2007. hal. 9. 6 Ibid. Hal 14 7 Lihat S. Malela Mahargasarie. Dia Yang Tak Pernah Takluk. http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2005/02/28/OBI/mbm.20050228.OBI106307.id.html. dengan penyesuaian redaksi kalimat oleh penulis. 8 Lihat Laporan Penelitian Kunci Cultural Studies & EngageMedia. VideoKronik: Aktivisme Video Dan Distribusi Video Di Indonesia. Penerbit EngageMedia. 2009. Hal. 26. 9 Lihat Heidi Arbuckle. Teeth of the Rice Plant (Taring Padi). http://undergrowth.org/teeth_of_the_rice_ plant_taring_padi, diakses 29 September 2012. 10 Lihat Catatan Editorial Laila Achmad. Katalog Jakarta 32° 2006. Ruangrupa dan Komplotan Jakarta 32°C. Hal. 3. 11 Ibid. Hal. 50. Sumber Acuan Aminudin TH Siregar. Instalasi Sunaryo (1998-2003): Saksi Tragedi Kemanusiaan. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). 2007. Arbi Sanit. Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa; Refleksi dan Gagasan Alternatif. Penerbit Lingkar Studi Indonesia dan Yayasan LBH Indonesia. Catatan Editorial Laila Achmad. Katalog Jakarta 32° 2006. Ruangrupa dan Komplotan Jakarta 32°C. Heidi Arbuckle. Teeth of the Rice Plant (Taring Padi). http://undergrowth.org/teeth_of_the_rice_plant_ taring_padi, diakses 29 September 2012. Laporan Penelitian Kunci Cultural Studies & EngageMedia. VideoKronik: Aktivisme Video Dan Distribusi Video Di Indonesia. Penerbit EngageMedia. 2009. Ronny Agustinus. “Taring Padi: Seni Melawan Tirani” dalam Manshur Zikri. Argumen Mahasiswa Hari Ini. Diterbitkan oleh Jakarta 32° C zine. 2012. S. Malela Mahargasarie. Dia Yang Tak Pernah Takluk. http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2005/02/28/OBI/mbm.20050228.OBI106307.id.html. Trisno Sumardjo “ Bandung Mengabdi Laboratorium Barat” dalam Bambang Bujono & Wicaksono Adi (Ed.). Seni Rupa Indonesia: Dalam Kritikan dan Esai. Penerbit Dewan Kesenian Jakarta. 2012.

130


In A Glance: Student Movement and Their Action in Art by

Renal Rinoza Kasturi

Student Movement in the Time Trajectory To obey the oppression or to rise in resistance, because stepping back would be treason—it is a jargon frequently yelled by the activists of FORKOT student movement. This movement consisted of student organs in numerous universities and gaining popularity during Reformation era of 1998 and 2000’s. They cried similar jargons while protesting on the streets, organizing meetings to pump up the beat of militancy. Additionally, Darah Juang Kami were sung solemnly, victoriously, as a sacred lament of students’ struggle. True, the history of student movement in Indonesia is a long trajectory of time, interlinking in numerous events. Different in the terms of context and situation, the movement will continuously weave with immanent nature. A problem that left a big question mark: what moral movement aspired by the student would be? Take example of the 50’s, when such movement was “freeloaded” by the interest of political elites and the relation of patron-protégé between the senior as a politician and the junior as a university student. Back then it can be viewed as an expansion of political interest between political factions. Such assumption is not incorrect, but can also be wrong, depends on where we stand. See it this way: ever since the Independence Day of August 17, 1945, all elements of the nation, including students, have very well understanding about their 131


basic of ideology. Post Independence had opened the faucet of citizens’ political participation widely. As Arbi Sanit wrote, the students’ ideology awareness had been crystallized since the reestablishment of political parties, based on the Vice President edict in November 3, 1945.1 In the mid 50’s the characteristics of student movement could be seen as an extension of the political elites as the movement has a major role to support the ideology among different ideologies thrived on that era. As Guided Democracy implemented through Presidential Decree of July 5, 1959, student movement was practically enduring the crisis of both ideology and disorientation of their struggle. They almost had a movement dislocation, but they had changed the format of struggle that could be seen in the 60’s. Those students had revitalizing the movement and slowly keeping their distance with political institutions and professional politicians. The independence of student movement had found its genuine format and back to their origin as moral movement. They presented themselves as alternative political movement, as an anti-theory to the rigid and silent politicians that hardly doing anything but being a state’s stamp. Student movement’s reorientation had discovered its strength in the 60’s after G30S whose role of aspiring the dissolution of PKI—Partai Komunis Indonesia, Indonesian Communist Party—gained strong endorsement from anti-Sukarno elites that led to full support from Indonesian Army—TNI AD. The mission of this movement that we acknowledged from the history was Trikora—Tri Tuntutan Rakyat, Three Demands of the People. Satisfied from knocking down the Old Order and the succession of national administration had changed into New Order regime, student movement activists were fully supporting the policies of the new government in its early days. It was quite mindblowing for the movement when the New Order had given them hope about democracy and development—strategic issues that had been the focus of their attention at that time. In this case, the student movement had provided a foundation to achieve the goals of the New Order. However, high expectation towards ruling regime did not meet the ideals of the initially supportive student movement. New Order’s development policies in early 70’s was disappointing since the taps of foreign capitals started to open, threatening the security of domestic industries and creating social gaps. Student movement went back, loudly, to give voice of opposition towards government’s efforts that gave more portions to the foreign investors. Political rights were silenced through set of rules, curbing the students’ political awareness. Those rules curtailed the political role of the students was written in the policy of 1977/78 Normalization of Campus Life/Student Coordinating Board (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan – NKK/BKK). This policy had been known among the activists as a form of depoliticization towards student movement. Indeed, students as moral cum political movement should remain one breath that will not stop and continuously living despite the pressure from various sides, including unfriendly social surrounding. Hariman Siregar wrote that student movement would appear as moral movement when the political condition stands still and without channels. In stable situation or if there is signs of improvement and intercepting channels, the movement will recede.2 Art and the Actualization of Student Movement In my notes, contribution of student movement voicing their views could not only be seen from the protests on the streets nor merely jazzing up the forums. It can 132


also be viewed from various media, both newspaper and art expression. It is in my understanding that art medium used by students both individually and in group could be traced from the action in using cultural activities. History has recorded Soedjojono who declared art as a tool of struggle and building ideology awareness. Ronny Agustinus (2009) argued that Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia – Indonesia Drawing Experts Association) was the first art organization in Indonesia. It was initiated by Indonesian well-educated youths (back then was called Dutch East Indies as colonies)—firmly, as cited, “declaring [that] Indonesian modern fine arts should contribute for the struggle against colonialism.” The relation between artistic discourse and social discourse had been confirmed by Soedjojono’s view about artists who “must not be absence and inexperienced in facing the significant political situation from the history of his or her nation.” For Soedjojono, the living movement of the people is political movement. In other words, arts cannot be separated from the people and its political life.3 In the streak of history, student movement and the field of art do not stop in the area of fine arts only. They venture to other fields of arts and culture such as theater, dance, drama, music, and the collaboration in between. In brief, the cultivation between student activism and art could be traced back from the establishment of Persagi, Seniman Indonesia Muda (SIM – Young Indonesian Artists) in the 40’s, and the establishment of Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA – People’s Cultural Association) in 1950 with clear political determination between arts and politic that intertwined to each other. In LEKRA, both quality of aesthetic and ideology are integral credo that serves absolute prerequisite for arts and political discourse. Moving along the 50’s and 60’s, the world of Indonesian arts and culture could not be separated from frenetic political nationalism that reached its zero point in 1965 event. Bipolarity also occurred in higher educational institution of arts between Bandung and Yogyakarta factions, both representing their own ideologies. In one hand, Bandung faction (ITB Faculty of Arts) had been accused as Western lab4 in term of curriculum epistemic base. On the other hand, Yogyakarta faction (ASRI—now ISI Faculty of Fine Arts) had the orientation of realism style. In its artistic performance, an artist graduated from ITB will be mostly familiar with the essence expression of shape, color, lines, and the essence of personal thoughts. Impulse (stimuli) gained from daily problems had digested first and processed through a phase of incubation. In the process of pre-creation, artists are struggling with conceptions.5 At this point, it is no doubt that art is a science, a scientific activity whose method could be accounted for. The trend of mimetic pattern from Yogyakarta faction that mimicked the object as it is vs. personal expression and abstract patterns held firmly by Bandung faction had given birth to the dynamics in modern Indonesian fine arts.6 In the mid 70’s art activism—prior to its stagnancy of post-65—was solved through extraordinary Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB – Indonesian New Art Movement). The birth of GSRB was a response towards the dynamics life of arts and culture along with the life of politics in Indonesia. The state’s policy of the New Order that separated arts and political affairs got serious response from the artists notably born form the wombs of their alma mater. Standing out art activism in the 80’s was individual contribution instead of collectively as in the 70’s. The name that shook the world of Indonesian modern fine arts at that time was Semsar Siahaan. The event, in which he burned down the statue of Citra Irian Dalam Torso made by his own teacher in FSRD ITB (Fakultas 133


Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung) Soenaryo, had catapulting his name as one of the progressive and radical artists. About the statue burning, Semsar argued that Indonesian modern art was merely exploiting traditional culture and art forms. The artists, particularly, were moving not far from exploring the (profane) shapes of traditional arts. Such formula had been pervading the curriculum of art education and no longer made the students becoming more critical, making their creativity blunt. Semsar believed that this method was of one breath with what military regime do in making security approach through art and culture in order to castrate critical thinking.7 Semsar’s artworks bring about intense social protest while he himself actively involved in social movement activism. His capacity as an artist had move forward by bringing global issues. His political awareness was anti-globalization, anti-capitalism, and human rights struggle, taking the side with oppressed people that he gave voice through his works. Video as the Mode of Social Movement Struggle In this writing, I will not describe much about the role of audio-visual based artworks (as in video), but how video could be used as a tool for student activism in the struggle for democracy and dialectic towards socio-political dynamics. In this case, video plays a major role for the growth of Indonesian democratization media. The role of student movement is undoubtedly cannot be separated from the advantageous of such media. The mushrooming establishments and communities indicate the efficacy of this media to provide alternative discourse amidst the public that influenced by TV hegemony. The experience of 1998 Reformation could be seen as an important milestone for the use of this medium. It is a mean of struggle in the process of democracy and broader expression of culture. I noted that in post-1998 there were numerous organizations benefiting from video as equipment for social communication. In the mean time, video provides significant impact on the life of politics itself. Research result from Kunci Cultural Studies & EngageMedia in 2009 had reported about activism and video distribution in Indonesia. It stated that such video activism had been involving both individual and groups with different backgrounds in the terms of social, ideology of the movement, pattern and the area of intervention, and target of changes. Kunci Cultural Studies & EngageMedia identified at least three main approaches in Indonesian video movement: (1) activism that leads to changes in grassroots level through their participation in the video production (hereinafter referred as grassroots video), (2) tactical activism producing video materials with social content aiming to influence public perception and the process of decision making in executive level, and (3) experiment-based activism in term of technology application and video imaging as a mean to encourage the change in the relation between public and technology (hereinafter referred to video experimentation activist).8 Additionally, video activism typology in Indonesia had been done with the approach of video experimentation. In this grouping, video enthusiasts did some technology exploration and video imaging to encourage the changing of relation between audience, creator, and media. Simultaneously, they wanted to make broader public, crossing both classes and geographic borders, to sit together in more critical bargaining position towards media hegemony. Included here are Ruangrupa and Forum Lenteng. *** 134


Talking about student activism in the art landscape does not feel complete without discussing about the contribution of Taring Padi art group. Established in the late 1998, the group was based in Yogyakarta. Taring Padi, as Heidi Arbuckle wrote, has unique quality that is shortlisted among numerous art groups that emerged in Indonesia after the fall of Suharto. It is because Taring Padi has openly and clearly stated that their cultural praxis is attached to politic. For more than three decades under anti-communist rhetoric and depoliticization of Suharto regime, this is a radical remark. However, cultural credo of Taring Padi emerged from local and imported idea in their melting pot. It synergizes peoples’ popular culture—a tradition of local cultural practice that developed in Indonesia prior to Suharto’s emergence in 1965—with punk’s DIY (Do It Yourself) comfortably, along with some –isms, including anarchism, dadaism, and even womanism (local form of feminism).9 In Jakarta, student activism in terms of art could have their space of actualization through the event of Jakarta 32°C initiated and actualized by ruangrupa. The maiden exhibition of Jakarta 32°C was held in 2004, specializing in the works of university students for broader public introduction. This event is held biennale afterwards, continuously carries out different theme every time. Jakarta 32°C event aims to foster critical dialogue among students in addition to introduce their works to build collective awareness. Curatorial note of 2006 Jakarta 32°C emphasized the learning process in university, where the students produced countless creative works without any publication nor decently represented to wider public. In fact, contemporary art, context and creative relations towards the situation of social, culture, politics, and other problematic occurrences take place in nowadays society has become of great importance.10 Besides, there are growing numbers of networking organizations or students art groups. To mention some are Artcoholic, Propagraphic Movement, Kampung Segart and Sakitkuningcollectivo, focusing on visual and performance art. There is also Djuanda Community, a study group focuses on media empowerment. The students, majoring in communication/ journalism in UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta, established this community. These student groups and many other similar ones had significantly contributed towards art activism of the students.11 — Endnotes 1 See Arbi Sanit. Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa; Refleksi dan Gagasan Alternatif, Penerbit Lingkar Studi Indonesia dan Yayasan LBH Indonesia. pp. 83-84. 2 Ibid. p. 36. 3 See Ronny Agustinus. “Taring Padi: Seni Melawan Tirani”. p. 183 in Manshur Zikri. Argumen Mahasiswa Hari Ini. published byJakarta 32ºC zine. 2012. 4 Labeling Bandung side as West Laboratorium had firstly coined by art an critics Trisno Sumardjo in the article of “ Bandung Mengabdi Laboratorium Barat”. See Bambang Bujono & Wicaksono Adi (Ed.). Seni Rupa Indonesia: dalam Kritikan dan Esai. Penerbit Dewan Kesenian Jakarta, 2012, p. 131. 5 See Aminudin TH Siregar. Instalasi Sunaryo (1998-2003): Saksi Tragedi Kemanusiaan. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2007, p. 9 . 6 Ibid. Hal 14. 7 See S. Malela Mahargasarie. Dia Yang Tak Pernah Takluk. http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2005/02/28/OBI/mbm.20050228.OBI106307.id.html, with redactional adjustment by the author.. 8 See research report of Kunci Cultural Studies & EngageMedia. VideoKronik: Aktivisme Video Dan Distribusi Video Di Indonesia. Penerbit EngageMedia, 2009. p. 26. 9 See Heidi Arbuckle. Teeth of the Rice Plant (Taring Padi). http://undergrowth.org/teeth_of_the_rice_ plant_taring_pad, accessed September 29, 2012. 10 See Editorial notes of Laila Achmad. Katalog Jakarta 32° 2006. Ruangrupa dan Komplotan Jakarta 32°C. p. 3. 11 Ibid., p. 50.

135


Reference Aminudin TH Siregar. Instalasi Sunaryo (1998-2003): Saksi Tragedi Kemanusiaan. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Publishing. 2007. Arbi Sanit. Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa; Refleksi dan Gagasan Alternatif. Lingkar Studi Indonesia dan Yayasan LBH Indonesia Publishing. Editorial notes of Laila Achmad. Katalog Jakarta 32° 2006. Ruangrupa dan Komplotan Jakarta 32°C. Heidi Arbuckle. Teeth of the Rice Plant (Taring Padi). http://undergrowth.org/teeth_of_the_rice_plant_ taring_padi, accessed September 29, 2012. Research report of Kunci Cultural Studies & EngageMedia. VideoKronik: Aktivisme Video Dan Distribusi Video Di Indonesia. EngageMedia Publishing, 2009. Ronny Agustinus. “Taring Padi: Seni Melawan Tirani” in Manshur Zikri. Argumen Mahasiswa Hari Ini. Published by Jakarta 32° C zine. 2012. S. Malela Mahargasarie. Dia Yang Tak Pernah Takluk. http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2005/02/28/OBI/mbm.20050228.OBI106307.id.html. Trisno Sumardjo “Bandung Mengabdi Laboratorium Barat” in Bambang Bujono & Wicaksono Adi (Ed.). Seni Rupa Indonesia: Dalam Kritikan dan Esai. Dewan Kesenian Jakarta Publishing. 2012.

136


137


138


Beruntung Karena Menyimpang: Sebuah Catatan Tentang Pendidikan dan Pekerjaan oleh

Mirwan Andan

Benarkah pekerjaan selalu berbanding lurus dan sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh? Tampaknya tidak dan sebagai awalan mari kita memulai pembicaraan ini dengan mengupas lapisan-lapisan yang melingkupi pekerjaan dan pendidikan. Pendidikan adalah kata yang selalu identik dengan sekolah, baik itu formal berjenjang dan diganjar gelar, maupun non-formal yang tak memberi embel-embel titel. Meskipun dua kubu konsep pendidikan tersebut selalu sama dalam satu hal: akan jadi apa orang-orang tersebut setelah menempuh pendidikan. Bagi sebagian besar orang yang merasa telah berinvestasi waktu, tenaga, pikiran dan materi, 139


tentunya ingin mendapatkan sesuatu yang lebih setelah menempuh pendidikan tersebut. Pendidikan dijalani sebagai salah satu anak tangga kehidupan untuk mendapatkan status sosial dan jaminan hidup yang wajar, dan kalau bisa berlebih kenapa tidak. Ini terutama terjadi di masyarakat yang menganut pola hidup materialistis. Untuk ukuran negara seperti Indonesia yang terlanjur digelari sebagai negara dunia ketiga karena masih berkembang dan tertinggal jauh dari negara maju yang bergelar dunia pertama, atas dalih pembangunan tentunya dibutuhkan tenaga manusia yang terampil, cekatan dan memiliki pendidikan yang mumpuni. Dan tidak mengherankan jika sebagian besar lulusan SMA, para calon mahasiswa, berbondong-bondong memilih kedokteran, hukum, teknik dan ekonomi: empat fakultas yang selalu dimitoskan menyediakan masa depan gemilang. Sebagaimana pada saat SMA, para orang tua akan merasa bangga jika anaknya duduk di kelas IPA, bukan di kelas IPS atau Bahasa yang dianggap sebagai kelas buangan. Padahal mungkin ada di antara mereka yang terlanjut masuk kelas IPA, sangat ingin belajar ilmu kemasyarakatan di kelas IPS atau mengenali lebih dalam ilmu budaya di kelas Bahasa. Hal seperti ini yang terjadi di Indonesia bisa dilacak akarnya semenjak Soeharto mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang bercita-cita tinggal landas seperti pesawat, dan membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan teknis layaknya robot, untuk mengolah sumber daya alam yang berlimpah ruah sejauh mata memandang. Lain cerita dengan pendidikan non-formal yang tidak menawarkan gelar. Pendidikan jenis ini dirancang agar tenaga terampil bisa muncul dari kelas masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan resmi. Ketidakmampuan kelompok masyarakat tertentu untuk mengakses pendidikan resmi tersebut kemudian diberi kompensasi oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, berupa pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus singkat. Dan tentunya, para lulusan program tersebut diharapkan bisa mengisi kebutuhan lapangan industri, sebagai tenaga kerja yang siap menyumbangkan tenaga fisik, tanpa perlu terlalu menggunakan kemampuan berpikir dalam bekerja, karena template-nya sudah disiapkan. Dan di situlah letak permasalahannya, karena bekerja mengisi kebutuhan industri selalu berarti tidak terlalu diperlukannya imajinasi yang merdeka. *** Pekerjaan, kata kunci kedua dalam tulisan ini adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Semenjak era umat manusia di zaman pra-sejarah hingga di era digital serba cepat ini, bekerja atau melakukan pekerjaan, tampaknya menjadi satusatunya cara untuk bertahan hidup. Terlepas dari bagaimana pekerjaan itu dilakukan, intinya bisa membuat bertahan hidup. Bahkan kata bekerja, dalam perkembangannya bukan hanya lekat dengan manusia saja, tapi juga diberikan oleh manusia kepada binatang atau kepada tumbuhan, padahal jangan-jangan, binatang dan tumbuhan memiliki konsep sendiri tentang bagaimana bertahan hidup yang berbeda dengan konsep manusia, yang sama sekali bukan “bekerja�. Contohnya, tidak jarang kita mendengar pernyataan seperti ini “kawanan lebah itu bekerja untuk membangun sarangnya�, atau “daun-daun pohon mangga itu berfotosintesis, bekerja menyerap sinar matahari�. Semenjak manusia mulai menemukan cara-cara terbaru untuk mengolah sumber daya alam untuk bertahan hidup, maka pada saat itulah dosa asal manusia terhadap alam dan sesama manusia bermula. Pengelolaan sumber daya alam 140


membutuhkan tenaga manusia untuk menjalankannya. Lalu eksploitasi yang terjadi, bukan hanya eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam, tapi juga pada saat yang bersamaan, eksploitasi manusia terdahap sesama manusia, exploitation de l’homme par l’homme. Dan selanjutnya, untuk kembali menekankan pernyataan di atas, tak ada cara lain lagi bagi umat manusia untuk bertahan hidup, sampai saat ini, selain bekerja. Namun celakanya, dalam perkembangannya, kelas dalam masyarakat yang terbentuk, juga berarti pembedaan pekerjaan. Ada yang bekerja sedikit tapi mendapatkan lebih banyak, dan sebaliknya, ada yang bekerja lebih banyak tapi hanya mendapatkan sedikit. Kelompok pertama yang mendapatkan lebih banyak padahal bekerja lebih sedikit, selalu dibela telah melewati masamasa sulit dalam mencapai posisinya, sehingga wajar jika mendapatkan lebih banyak. Masa-masa sulit yang dimaksud biasanya adalah masa pendidikan yang lama sekaligus memiliki pengalaman yang teruji. Sedangkan kelompok kedua yang bekerja lebih banyak tapi hanya mendapatkan sedikit, selalu dituduh sebagai kolompok yang pantas mendapatkan hal tersebut, karena tidak memiliki harga yang perlu dibayar mahal berupa pengalaman pendidikan resmi maupun pengalaman menghadapi segala medan. Pada titik ini, manusia adalah makhluk yang memiliki harganya masing-masing, tergantung ijazah apa yang dimilikinya dan pengalaman bekerja apa yang pernah dilalui sebelumnya. *** Di Indonesia atau bisa jadi di negara-negara dunia ketiga lainnya di dunia ini, pendidikan dan pekerjaan adalah dua hal yang berbeda. Berbeda dalam artian kadang tidak memiliki hubungan sama sekali, jika pun memiliki hubungan, maka ia hanya ditampilkan sebagai pelengkap kebutuhan statistik. Hal tersebut bisa diilustrasikan seperti ini: seorang sarjana Sastra Prancis atau Teknik Arsitektur bekerja sebagai pegawai bank swasta. Semasa menjalani masa kuliah sang mahasiswa Sastra Prancis sibuk bergelut dengan mata kuliah semisal telaah novel Prancis sampai bisa paham dengan tuntas tentang penokohan, alur, setting bahkan isi kepala sang pengarangnya. Sebagaimana sang mahasiswa Teknik Arsitektur menghabiskan waktu di laboratorium dengan meja gambarnya, menarik garis dengan teliti agar rancangan ruang dalam sebuah gedung yang sedang ia kerjakan, bisa presisi seperti yang diharapkan. Nah, sekarang muncul pertanyaanpertanyaan: apa hubungan yang jelas antara mempelajari prosa Prancis dan menekuni ilmu menggambar ruang dalam gedung, dengan aktivitas di bank yang melulu tentang hitung-hitungan uang? Apakah disiplin keilmuan sang sarjana Sastra Prancis dan sang sarjana Teknik Arsitektur terpakai di bank tersebut. Tentuk tidak, karena tidak perlu menjelaskan karya Samuel Beckett, En Attendant Godot atau Sambil Menunggu Godot kepada para pengantri di bank yang menunggu giliran ingin menabung atau menarik uang tunai. Sebagaimana sang sarjana Teknik Arsitektur tidak perlu menceramahi para peserta antrian di bank tersebut mengenai rancangan dalam gedung bank tempatnya bekerja ditata sedemikian rupa agar para pengantri bisa merasa nyaman. Sebagai sarjana sastra Prancis dan sarjana Teknik Arsitektur yang bekerja di Bank adalah sesuatu yang sahsah saja, tak ada hukum yang melarangnya, atau fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkannya, tapi mari kita menggunakan akal sehat dan jernih untuk melihatnya lebih jelas: lapangan pekerjaan yang tersedia untuk disiplin ilmu tertentu di perguruan tinggi memang ternyata tidak selaras. Lalu kenapa jurusan 141


disiplin ilmu tersebut tetap ada dan terus menerima mahasiswa dalam jumlah yang tidak sedikit? Semestinya ada studi kelayakan mengenai daya tampung sebuah jurusan tertentu di perguruang tinggi dengan ketersediaan lapangan kerja, dan hal tersebut semestinya menjadi bagian dari kesibukan pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, penyelenggara negara. *** Tapi sekali lagi, untuk bertahan hidup di negara seperti Indonesia, sebagaimana disebutkan di atas, tampaknya memang tidak dibutuhkan hubungan sebab-akibat yang jelas antara latar belakang pendidikan dan jenis pekerjaan yang dilakoni setelah menempuh pendidikan. Memang ada yang beruntung menjadi seperti yang diharapkan sesuai pendidikan yang ditempuh sebelumnya, tapi itu bukan karena jaminan keselamatan yang disediakan oleh sistem, melainkan karena penyimpangan-penyimpangan yang muncul di sepanjang alur yang kacau balau ini. Jakarta, 15 November 2012.

142


Deviant Luck: A Note on Education and Work by

Mirwan Andan

Is it true that one’s job will always match and correspond with education that he or she pursued? Apparently not. As a beginning, let us start the discussion by peeling the layers covering the work and education. As a word, education always identified with school, be it formal stages— rewarded by diploma—as well as non-formal that lacks of credential in whatsoever. Even so, those two sides of educational concept will forever crystallize into one thing: what will become of these people after they put so much effort for it? For most people who feel like investing their time, energy, thoughts and material, they are surely expecting to reap what they sow. Education has been endured as one of the steps in the path of life toward better social status, and a guarantee of a decent life, to seek more and more if possible. This is specifically true in communities that embrace materialistic lifestyle. In a country like Indonesia dubbed as third world country for evolving far behind the first world ones, skilled manpower, nimble and qualified education are required for the sake of development. Thus the phenomenon in which the majority of high school graduates, the future college students, flocked into medicine, law, engineering and economics majors: those Big Four provide the myth of a bright future ahead. As in high school, parents will be very proud if their children are majoring in Science and not Social Studies, moreover Language that considered as classes of the outcast. There might be some of Science students 143


whose true curiosity is studying social structure in Social Studies, or yearning to recognize the culture through Language classes. This phenomenon happened in Indonesia since Suharto launched Five-Year Development Plan (Repelita), aspiring people to take off like a plane, that in greater need of workers with robotic technical skills to process abundant natural resources. Another story lurks behind non-formal education, which is not offering any degree. This type of education designed to produce skilled labor from the unfortunate class, those who don’t have access to formal education. Therefore, various parties compensate the inability of these groups to enjoy small portion of education—specifically the government—in the form of training and short courses. And of course, the graduates are expected to meet the need of the industries, to become physical workers who don’t do too much thinking and merely following the already prepared templates instead. There lies the problem, since working to meet the production plan need no independent imagination. *** “Work”, the second keyword in this article, is inevitable in one’s life. Since prehistoric era of the mankind up to this fast-paced digital age, working or earning one’s living seems to be the only way to survive. Regardless of how the work was done, the point is to survive. Even the word ‘work’ is not only attached to human, but also given by humans to animals and plants, whereas those two animated creatures might have their own concepts about how to survive, which is different and not “work” at all. For example, it is not uncommon to hear statements like “that swarm of bees are working to build their nests,” or “the mango leaves are photosynthesizing, working by absorbing the sunlight.” Ever since human began to find new ways to process natural resources in order to survive, there begin the man’s original sin, to nature and to fellow humans. Natural resource management requires manpower to run it. Then in the process, not only natural resources that human exploited, but also fellow human— de l’homme par l’homme exploitation. Re-emphasizing the above statement, there is no other way for human to survive, to date, except by working. But unfortunately, its evolution shapes some classes in society and job differentiation. Some people do very little and earn so much, while some others have to do much only to get very little. The first group that gaining more by working less has their hard times to go through in reaching their position as a defense, thus, it is right to have more. Those hard times mean long period of education and experiences. On the other hand, the second group that work more to get less will always be accused of being the one that deserve it. They don’t worth the price because their lack of formal education or experience. At this point, human is a creature with price tag, depending on qualification and working experiences. *** In Indonesia and perhaps also in other third world countries, education and work are two different things. Different in the sense that sometimes they completely unrelated, and even if it is then it is only shown as complementary statistical needs. It can be illustrated as follows: A French Literature or Architecture graduates are working in a private bank. In the period of their studies, the French student was 144


busy struggling with French novels to get into the characterization, plot, setting and even the mind of the author. At the same time the Architecture student spent his study in the lab on his drafting table, carefully drawing lines to make the building design he was working on be precise as expected. And here comes the million dollar question: Is there any clear relevance between learning French prose or designing a building with their activities in the bank that takes all on accounting and finance? Were the science of French Literature and the degree in Architecture have any use at the bank? Certainly not, because there is no need to explain Samuel Beckett’s, En Attendant Godot or Waiting for Godot to the queues waiting to save or withdraw the money. And the Architecture bachelor does not need to lecture them about the design of the bank building that was arranged so the people can feel comfortable. Of course it is fine to work in a bank even you are a French literary scholar or an Architecture graduate, no law against it, or fatwa from Indonesian Ulema Council that forbids it. But let’s use common sense to see it clearly: The availability of jobs for some majors in the college is not synchronized. So why those majors remain exists and still receiving students? There should be some feasibility study about the capacity of particular majors in college versus job availability, and that should be a part of the government’s serious business as the organizer of education and state. *** But then again, to survive in a country like Indonesia, as mentioned above, it doesn’t take any clear causality connection between educational background and the type of work you’re working after. Indeed, some are lucky to be as expected by their education, but it was not because of safety assurance provided by the system, but merely because of deviations that appears throughout this chaotic flow. Jakarta, November 15, 2012.

145


146


147


148


Mendidik Yang Terdidik oleh

Leonhard Bartolomeus

“Menjadi seniman tidak harus melalui pendidikan formal kesenian. Untuk menjadi pelukis misalnya, tidak dibutuhkan ijazah.� — Asmudjo J. Irianto (Visual Art Edisi 19 Juni-Juli 2007. Hlm.18) Pernyataan di atas boleh jadi sebuah ironi dari apa yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan seni rupa Indonesia. Berbeda dengan cabang ilmu lain yang justru berusaha menegaskan posisi profesional mereka lewat misalnya, penulisan jurnal, seminar internasional, serta diskusi-diskusi intelektual. Dunia pendidikan seni rupa nampaknya hanya bisa bergerak lamban dan pasif. Pola pergerakan seperti ini kemudian menghambat proses penyebaran informasi tentang seni, yang seharusnya disampaikan kepada khalayak yang lebih luas. Belum lagi hasil lulusannya yang kemudian bingung mendapati pasar yang sudah sangat ramai dan dipenuhi berbagai macam intrik. Maka tidak heranlah kalau masyarakat kita yang konon berbudaya itu, malah tergagap-gagap menghadapi gelombang pertumbuhan kesenian yang katanya kontemporer. Keterlambatan penyampaian informasi ini tentu dapat kita alamatkan kepada sekolah-sekolah seni; mereka yang mengaku sebagai akademisi seni, serta kepada pemerintah dan lembaga-lembaga budayanya. Karena tugas untuk mengedukasi masyarakat merupakan tanggung jawab mereka, itu pula alasan kenapa sekolahsekolah tersebut dibentuk dan didirikan. Saat ini tidak ada akses bagi masyarakat awam untuk turut mencicipi sedikit pengetahuan tentang kesenian, walaupun hampir di kota besar memiliki sekolah seni, namun tidak ada proses komunikasi dua arah yang terjadi dengan lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Kalau pun ada komunikasi, hanya berlangsung satu arah saja, tanpa ada proses aktif untuk turut mendorong masyarakat berpikir dan belajar. Kesulitan-kesulitan itu mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah proses organisasi dan birokrasi yang lambat ala Orde Baru. Tanpa bermaksud mengurangi kedaulatan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, hal itu memang masih terjadi di banyak tempat. Proses seperti itu kemudian 149


menciptakan kultur pendidikan yang ‘terlalu rapi’. Padahal dalam proses kreatif, respons yang cepat akan menjadi kunci untuk lebih berkembang. Hal ini mungkin pernah dirasakan sebagian besar pelajar sekolah tinggi seni. Maka kemudian muncul anggapan bahwa birokrasi kampus/sekolah adalah penghalang kebebasan untuk berekspresi. Kemudian tercipta stigma ‘orang atas’ dan ‘orang bawah’ sebagai kepanjangan bentuk feodalisme di sekolah. Yang lebih parah, tidak ada upaya yang jelas baik dalam bentuk perubahan strukstur, pengefektifan sistem, serta perubahan kurikulum untuk dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan yang terus tumbuh ini. Alih-alih memberikan informasi kepada publik, yang terjadi sekarang malah upaya untuk meng-elite-kan sekolah seni serta gelar sarjana seni. Kita dapat menerka-nerka, bahwa upaya ini mirip dengan proses penciptaan kanon-kanon di Barat. Masyarakat dibiarkan ‘manggut-manggut’ mendengarkan penjelasan bertele-tele dari para akademisi. Cara ini jelas sangat efektif untuk kemudian menciptakan jarak antara masyarakat biasa dengan kaum elite teredukasi seni (atau dengan senimannya). Sayangnya, sistem ini mungkin hanya berhasil pada kebudayaan barat. Di sini, dalam tradisi akar budaya yang telah lama mengenal kesenian, masyarakat kemudian malah menjadi tidak acuh akan fenomena kesenian. Sehingga, bukannya menciptakan jarak dan status elite, para akademisi ini malah terjebak dalam ruang hampa kebimbangan. Dan yang selanjutnya terjadi, seperti kita tahu, para terdidik itu kemudian lari dan memenuhi galeri serta pasar seni rupa. Berorientasi pada pasar memang tidak sepenuhnya salah, akan tetapi seniman juga lulusan sekolah seni seharusnya dapat menjadi agen-agen budaya bagi masyarakat. Mereka juga harus mendorong perkembangan masyarakat yang sadar budaya. Terutama dalam era keterbukaan informasi ini, mereka dapat menjadi filter dalam menyampaikan informasi yang benar kepada publik. Dengan akses yang sangat mudah ke jejaring sosial dan internet, proses penyebaran informasi –secara viral– terjadi dengan sangat cepat dan masif. Kita dengan mudah dapat menemukan misalnya, video-video tutorial membuat patung, atau cara menggambar still life. , ketikkan di kotak pencari Google apa saja tentang sejarah seni, mungkin hasilnya akan sangat mencengangkan. Sedang apa yang diajarkan di sekolah seni malah sangat lambat dan ketinggalan jaman. Hal seperti ini sebetulnya sudah terjadi di dunia sastra, di mana orang tidak perlu sekolah sastra untuk dapat menjadi penulis novel ataupun bacaan lain. Namun apakah jurusan sastra perlu dihilangkan? Tidak, malah nampaknya semakin banyak remaja yang ingin belajar sastra, walau belum tentu juga menjadi penulis. Fenomena ini kemudian tergambar dengan jelas pada acara Jakarta 32°C 2012. Di mana para pesertanya tidak hanya mereka yang belajar di sekolah seni (fine arts) namun juga dari jurusan lain. Bahkan ada pula yang bukan bersekolah dari sekolah seni dan desain. Tanpa bermaksud kembali pada dikotomi pemikiran High Art - Low Art, kondisi yang tercipta di Jakarta 32°C 2012 sebetulnya menunjukkan peta pemikiran yang sudah maju. Artinya terlepas dari program studi yang ditekuni (seni murni, kriya, desain) setiap orang dapat menciptakan karya, dipamerkan, dan mendapat apresiasi dari publik. Tengoklah pada Jompet Kuswidananto, salah seorang seniman kontemporer Indonesia. Ia berangkat bukan dengan latar belakang sekolah seni melainkan sekolah teknik mesin. Tanpa perlu tahu dari mana ia mendapatkan ilmu 150


keseniannya, kita dapat menganalisa pada karya-karyanya, bahwa keilmuan yang ia punya memberikan warna dan dimensi baru dalam karyanya. Dan hal ini yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah seni kita. Alih-alih membuka diri pada ilmu lain, kadangkala masih berkutat pada wacana perbincangan tentang bagaimana menciptakan seni yang indah dan benar. Padahal seharusnya membuka diri pada keilmuan di luar seni, misalkan sosial dan politik, dengan demikian akan terjadi pengayaan bagasi ide sang seniman. Proses ini yang sebetulnya perlu dilakukan oleh sekolah-sekolah seni di Indonesia. Dengan pola penyebaran informasi yang sangat terbuka ini, sebetulnya dapat menjadi arena pertukaran dan pengayaan ide dan gagasan dalam berkarya. Bayangkan apabila situasinya seperti ini: Dua orang membuat karya instalasi, Satu orang merupakan mahasiswa seni murni sedang yang satunya adalah mahasiswa arsitektur. Tentu karya yang diciptakan akan sangat berbeda dan memiliki dimensi pemikiran yang berbeda pula. Yang satu berangkat dengan kesadaran artistik dan teori-teori seni, yang lain bertolak dari pemikiran sosial tentang arsitektur. Tanpa membicarakan baik dan buruk, benturan diantara keduanya pasti akan menciptakan proses pertukaran informasi dan pengetahuan yang bisa berguna, selain untuk mereka tentu juga bagi orang lain. Kondisi multidisiplin ini tidak akan terjadi, apabila institusi hanya membatasi diri pada keilmuan seni saja. Padahal seni, terutama seni kontemporer merupakan satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi perkembangan masyarakat. kegiatan workshop yang turut diselenggarakan sebagai rangkaian acara dari Jakarta 32°C 2012 merupakan contoh yang menarik bagaimana kondisi multi disiplin ini terbangun. Peserta yang berasal dari kalangan yang beragam, secara bersama-sama melakukan riset dan eksplorasi secara visual atas sebuah masalah yang diangkat. Komunikasi dua arah yang terjadi bukan hanya antara peserta dan mentor tetapi juga dengan masyarakat dan lingkungan sekitar, ketika peserta melakukan riset lapangan. Sebagai sebuah acara berkesenian, Jakarta 32° C 2012 telah menjadi bagian yang sangat penting dalam perkembangan seni di Jakarta. Terlepas dari berbagai kekurangan dan kelebihan yang menyertainya, kegiatan ini telah mengambil posisi baru untuk menjembatani proses penyebaran pengetahuan akan seni kepada masyarakat khususnya pada anak muda. Tanpa harus menghilangkan peran sekolah seni sebagai intitusi yang bertanggung untuk mendidik masyarakat, inisiatif yang dilakukan oleh Jakarta 32°C harus terus dilakukan. Hingga akan tiba masanya ketika seni dan segala macam bentuknya menjadi sebuah bagian dari kultur budaya masyarakat dengan menggunakan anak-anak muda sebagai pionir di garis depan.

151


152


Educating the Educated by

Leonhard Bartolomeus

“Being an artist does not have to go through a formal art education. To be a painter, for example, is not required a bachelor degree.” Asmujo J. Irianto (Visual Art, June 19 - July 2007 Edition, page 18) The expression above perhaps is an irony for art education in Indonesia. Art is so different with other sciences that had an exact profession after the students graduated, for example through journal writing, international seminar, and discussion by our intellectual people. Art education in Indonesia seemed having passive and slow movement. This pattern is the reason of why the distribution process on all information about art is so slow and cannot be distributed to the public. Not to mention, the fresh graduated student flustered to find the market that is already crowded and filled with various intrigues. So, it is not marveled that this supposedly civilized society is stuttered to face the art movement said to be contemporaneous. The lateness of information distribution could be addressed toward art school they said to be the art academy, and also toward the government and other art institutions. The main reason why those art schools were established because they should educating the people, but in fact it is not. Nowadays, common people do not have a chance to learn about art knowledge, even in the big city which has an art school because there is two-way communication in society. If there was this communication, it just only one way without active process to support society to think and learn. Several factors caused those difficulties. One of the difficulties is the inaction of bureaucracy and organization ala New Order Regimn. Without wishing to diminish of the school education, it is still to be the case in many places. Such a process creates ‘too neat’ educational culture. Whereas in the creative process, prompt response will be the key to develop it further. Most students in art schools might feel this way. So then came the notion that school bureaucracy was the barrier to freedom of expression. It created the stigma about “up” and “down” people as the 153


extension form of feudalism in school. It got worse when there was no apparent effort to change the structure to improve the effectiveness of the system as well as to change curriculum that could adapting to these growing up environment. Instead of giving information to the public, which is happening now us an attempt to make the art school and bachelor of art title become more elite. We can guess that this effort is similar to Canon creation in the West. The community left only to ‘nod’ and listen the academicians. It was obviously an effective way to create distance between ordinary people and the ‘elite’ educated one (or the artist). Unfortunately this system may only succeed in western culture. The roots of cultural tradition in Indonesia show that people were familiar with art matters, then the people will know about the phenomenon on art. So this made the academicians were trapped in a vacuum indecision. Then, what will happen next, as we know, the educated one are run and hide in the galleries and art markets. Market oriented is not entirely a wrong act, but the artist who came from art institution should be the culture agents to the community. They should encourage the development of culturally conscious society. We should have noted that in this open information era, they could be a filter to deliver the information to the public. Through easy access to social network and internet, the process of information distribution will be quicker and more massive. We can easily find, for example, tutorial video how to make a sculpture, or other video ‘how to draw still life’. In fact, when we type the keyword in search box Google anything about art history, the result may be very surprising. What is being taught in art school is truly slow and out-dated! Something like this had actually been happening in the world of Indonesian letters - people not need to be letters student to write a novel or other kind of literature. Knowing this fact, should this faculty need to be removed? Actually no! It seems that more teens want to study literature, though they will not be a writer someday. This phenomenon is clearly seen in Jakarta 32°C 2012 event. The participants are not only coming from fine art college, but also from other faculties. Even some were not coming from the school of art and design. Without wishing to the dichotomy of ‘Hign Art - Low Art’, Jakarta 32°C 2012 actually made a condition that can be said ‘an advance’. This means that regardless from the object of the study (fine arts, crafts, design), anyone can make an artwork, display it, then the public will appreciate that. Just look at Jompet Kuswidananto, one of Indoseian contemporary artists. He started from mechanical engineering school, not an art school. Without needing to know where he got the art knowledge, we can analyze that new colour and dimension were presented in his artwork. This thing was not told by our art schools. Instead of open the other knowledge about art, they sometimes only talked about the old discourse on art: how to create an exact and auratic artwork. They should be open to the other art knowledge - social and political context, for instance - that will enriching the box of ideas for the artist. This process actually had been done by the art institutions in Indonesia. In this open information era, this process will be an arena of exchange and enrich the ideas in the artwork making progress. Imagine a situation like this: two people are making an installation artwork - the one is one fine arts student and the other is architecture student. Of course the work will be different and has different dimension of thought. One is using artistic consciousness and theories of art, and 154


the other is using social theories about architecture. Without talking about good and bad, the conflict between those different background will create information and knowledge exchange that will be useful - not only for themselves, but also for others. This multidisciplinary condition will not happended if the institutions only confine themselves to teach art theories. In fact, art - especially contemporary art- is an inseparable part of the development. A workshop made by Jakarta 32ËšC is the interesting example in how this multidisciplinary process develop. The participants who came from various backgrounds were working together to do a research and exploration in visual matter about the social issue. This two way communication was not only happening for participants and facilitators, but also for the society surround them when they researched. As an art event, Jakarta 32ËšC 2012 has become a very important part in the art movement in Jakarta. In spite of the various advantages and disadvantages that accompany it, this activity has taken a new position to bridge the knowledge and sharing process in art to the public, especially the youths. Without having to remove the role of the art school as an institution responsible for educating the public, initiatives undertaken by Jakarta 32ËšC should be done. Until the time would come when the arts and all kinds of forms be a part of the community culture and the youths are the pioneer at the forefront.

155


Biografi Singkat Pemateri Workshop Short Biography of Workshop Facilitator Irwan Ahmett Irwan Ahmett! Seorang desainer / seniman, tertarik pada isu-isu sosial dan perubahan perilaku masyarakat. Pada saat ini, ia menyelidiki nilai dan makna kebahagiaan dalam masyarakat perkotaan melalui sarana konsepsi game tertentu. Irwan Ahmett dibesarkan di sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat hingga akhirnya meninggalkan masa kecilnya yang bahagia, nakal dan spontan. Ia mendirikan Ahmett Salina studio di mana ia bekerja sebagai editor kreatif sekaligus mengejar kampanye inisiatif perihal multi-disiplin media yang beragam. Irwan Ahmett menikmati bekerja secara interaktif dan selalu mencoba untuk menyetuh emosi publik dengan melibatkan mereka dalam karya yang telah ia buat sejauh ini. Irwan Ahmett! A designer/artist, interested in social issues and behavior changes. At the moment, He is investigating the value and meaning of happiness in urban society, through the means of specified games conceptions. Irwan Ahmett grew up in a small town in the province of West Java and went through a happy, naughty and spontaneous childhood. His past has been highly influential in his creative process. Irwan Ahmett established Ahmett Salina studio, both serving productively as its creative editor, and pursuing his personal independent multi-disciplinary media-diverse campaign initiatives. Irwan Ahmett enjoy working interactively, and have been trying to touch the public emotion through asking for their involvement in every work he's done so far. http://www.irwanahmett.com The Secret Agents (Indra Ameng & Keke Tumbuan) Duo yang bekerja pada proyek-proyek yang berkaitan dengan seni konseptual, musik yang bagus dan hal-hal menyenangkan lainnya. A duo working on projects involving conceptual art, good music, and other delightful things. http://thesecretagents.multiply.com

156


Bagasworo Aryaningtyas Lebih dikenal sebagai “Chomenk”, lahir pada 1983 di Jakarta. Ia jebolan pendidikan jurnalistik di Institut Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta. Setelah bergabung di Forum Lenteng sejak 2003, ia aktif membuat karya seni video yang telah dipamerkan di berbagai perhelatan film dan seni rupa nasional dan international, seperti International Film Festival Rotterdam (IFFR), Belanda; The ZINEBI International Festival Documentary and Short Bilbao Spanyol; Experomenta, India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Jerman. Pada 2011 karyanya dipamerkan dalam Pameran Enter Utopia y Distopia-Palestra Asia di Musei Universitario Arte Contemporaneo (2011), Meksiko;Art Dubai (2011) di Saudi Arabia; dan Video Room – SH Contemporary, The Asia Pasific Contemporary Art Fair (2011) di Shanghai, China. Ia juga terlibat dalam beberapa penelitian, seperti penelitian Dewan Kesenian Jakarta tentang sejarah kritik seni rupa Indonesia. Kini ia bekerja untuk Forum Lenteng di divisi Penelitian Pengembangan dan menetap di Jakarta. Better known as “Chomenk”, was born 1983 in Jakarta. He graduated from school of journalism at the Institute of Social and Political Science (IISIP), Jakarta. After joining Forum Lenteng since 2003, he actively creates works of video art that have been exhibited in various film and art events nationally and internationally, such as the International Film Festival Rotterdam (IFFR), The Netherlands; The ZINEBI International Festival of Documentary and Short Bilbao Spain; Experomental, India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Germany. In 2011, his work exhibited in the Exhibition Enter y Utopia-Dystopia Palestra Asia in Musei Universitario Arte Contemporaneo (2011), Mexico; Art Dubai (2011) in Saudi Arabia, and Video Room - SH Contemporary, The Asia Pacific Contemporary Art Fair (2011) in Shanghai, China. He was also involved in several studies, such as research on the history of art criticism in Indonesia held by Jakarta Arts Council. He is currently working for Forum Lenteng on Research and Development division, and settled in Jakarta.

157


Syaiful Anwar Dilahirkan di Jakarta pada 26 Februari 1983. Ia menyelesaikan Strata 1 ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di tahun 2007. Tahun 2010 ia terlibat dalam proyek filem dokumenter Crossing The Boundaries: CrossCulture Video Project For Peace 2010 bersama Yayasan Interseksi. Tahun 2011, karya videonya menjadi salah satu pemenang kompetisi seni media yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Di tahun yang sama ia menjadi mentor untuk workshop video dalam perhelatan Jakarta 32oC. Ia juga pernah terlibat dalam beberapa pameran fotografi, antara lain; pameran fotografi JEDA di Galeri Cipta III-Taman Ismail Marzuki dan Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, pada tahun 2006. Kini ia tinggal dan bekerja di Jakarta sebagai Koordinator Produksi di Forum Lenteng. Bersama Forum Lenteng, karyakaryanya telah dipresentasikan baik dalam perhelatan festival filem nasional seperti; Jakarta International Film Festival, Festival Film Dokumenter, maupun dalam perhelatan internasional, seperti International Film Festival Rotterdam, Belanda; Zinebi International Festival Documentary and Short Film of Bilbao, Spanyol; Experimenta, India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Jerman. Juga perhelatan seni rupa, seperti Pameran Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko tahun 2011 dan 24 Edition Images Festival (Presentasi Khusus), Toronto Free Gallery, Kanada di tahun yang sama. Terakhir berpameran bersama Forum Lenteng dalam Pameran Seni Video “Membajak TV” di Komunitas Salihara dengan karya “Masa Analog, Masa Represi”. Born in Jakarta, February 26, 1983. He completed bachelor degree on communication science at the Institute of Social and Political Sciences in 2007. In 2010 he was involved in a documentary film project Crossing the Boundaries: Cross-Culture Video Project For Peace 2010 with Yayasan Interseksi. In 2011, his video art became one of the winners of an art competition organized by the Art Directorate, Directorate General of Culture Value, Arts and Film, Ministry of Culture and Tourism. In the same year he became a mentor for a video workshop in Jakarta event 32°C. He has also been involved in several photography exhibitions, among others; PAUSE photography exhibition at Gallery Cipta III-Taman Ismail Marzuki and Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, in 2006. He is currently living and working in Jakarta as a Production Coordinator at Forum Lenteng. Joint Forum Lenteng, his works have been presented both in the event of national film festivals such as the Jakarta International Film Festival, Documentary Film Festival, as well as in international events like the International Film Festival Rotterdam, the Netherlands; Zinebi International Festival of Documentary and Short Film of Bilbao, Spain; Experimenta, India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Germany. His artworks also were shown for several events of art, such as Entre Exhibition Utopia Dystopia y-Palestra Asia in Museo Universitario Arte Contemporaneo, Mexico in 2011 and 24 Edition Images Festival (Special Presentations), Toronto Free Gallery, Canada in the same year. Last exhibited together Forum Lenteng in Video Art Exhibition “Membajak TV” in Salihara Community with the work “Masa Analog, Masa Represi”. 158


Anggun Priambodo Lahir di Trenggalek, 16 Mei 1977. Mengambil mata kuliah Desain Interior pada tahun 1996 – 2001. Aktif sebagai sutradara filem dan perupa di Jakarta. Membuat filem pendek, video musik, iklan TV dan video eksperimental. Sebagai perupa, karya-karyanya meliputi proyek kerjasamanya dengan ruangrupa, Rumah Seni Cemeti, Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Nadi, dan banyak lainnya. Born in Trenggalek, May 16, 1977. Took his undergraduate study in Interior Design in 1996-2001. He has been active as film director and visual artist in Jakarta. Makes short films, music videos, TV commercials and experiment videos. As visual artist his works comprise projects with Ruangrupa, Cemeti Art House, Selasar Sunaryo Art Space, Nadi Gallery and many others. http://anggunpriambodo.com/ http://www.youtube.com/user/culapculap Popo Lahir di Jakarta, 15 Maret 1982. Memulai karirnya bidang street art sejak 2001. Berkuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, mengambil jurusan Public Relation (tidak selesai), tapi kemudian dia menamatkan kuliahnya di Universitas Terbuka. Popo telah mengikuti beberapa pameran berstandar nasional maupun internasional. Pameran pertamanya “Numpang Nampang” di RURU Galeri pada Maret 2011. Popo Saat ini masih aktif “melukis” di jalanan, bekerja sebagai dosen Desain Komunikasi Visual di kampus IISIP, dan selalu menyajikan karya-karya terbarunya di thepopopaint.blogspot.com. Popo mendapatkan anugrah “The Best Mural Artist” pada “Tembok Bomber” Award 2010, wadah daring untuk para seniman jalanan Indonesia. Was born in Jakarta March 15, 1982. He started his career in the street art since 2001. Studied at the Institute of Social and Political Sciences, Jakarta (IISIP), majored in Public Relation (not finished), but then he finished his undergraduate degree at the Open Learning University. Already took part on several exhibitions with national and international standards. Popo held his solo exhibition “Numpang Nampang” at ruangrupa Gallery in March 2010. He is currently active drawing on the street, working as a lecturer in Visual Communication Design IISIP Jakarta campus, and always updating his personal blog at thepopopaint.blogspot.com. On “Tembok Bomber” Award 2010, he won “The Best Mural Artist” votes. Tembok Bomber is an online forum for Indonesian street artist.

159


oomleo Yang bernama asli Narpati Awangga, pernah kuliah di jurusan Seni Grafis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sejak akhir 2003, ia bergabung dengan ruangrupa sebagai penjaga gawang data digital dan website ruangrupa. Selain itu ia menekuni dunia desain website dan grafis. Hingga akhirnya memilih pixel art sebagai jalan hidupnya. Pada akhir 2004 bersama Henry Foundation dan Mateus Bondan, ia menjadi salah satu anggota Band Elektro Pop, Goodnight Electric. His real name is Narpati Awangga, once a student of Graphic Design at the Art Institute of Indonesia, Yogyakarta. Since the end of 2003, he joined ruangrupa as digital data goalkeeper and maintaining ruangrupa website. In addition, he learned the world of web design and graphics. Finally, he chose pixel art as his way of life. In the end of 2004, along with Henry Foundation and Mateus Bondan, he became one of the main members of Electro Pop Band, Goodnight Electric. http://oomleo.com/ Ardi Yunanto Lahir di Jakarta, 21 November 1980. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Nasional di Malang, Jawa Timur, ia kembali ke Jakarta pada 2003, kota di mana ia dibesarkan. Sejak 2004 bergabung dengan ruangrupa dan sejak 2007 menjadi redaktur untuk Karbonjournal.org ini. Selain menulis dengan sangat tidak produktif, ia bekerja lepas sebagai penyunting, peneliti, desainer grafis, penyelenggara pameran, sambil terus meluangkan waktu menulis fiksi. English: Born in Jakarta, November 21, 1980. After graduated from Institut Teknologi Nasional in Malang, East Java majoring on Architecture, he went back to Jakarta, the city where he grew up, in 2003. Since 2004, he joined ruangrupa and since 2007 he is the Karbonjournal.org editor. Besides writing in an unproductive way, he is working as freelance editor, researcher, graphic designer, and exhibition organizer - while still seaching the time to write fiction. Iswanto Hartono Lahir di Purworejo, 1972. Seniman, Arsitek dan Pengajar. Menjadi anggota ARTLab ruangrupa sejak 2009. Tinggal dan berkarya di Jakarta. Born in Purworejo, 1972. Artists, Architects and Teachers. Become a member ARTLab ruangrupa since 2009. Living and working in Jakarta.

160


Biografi Singkat Penulis Short Biography of Writers

Andang Kelana Dilahirkan di Jakarta pada 7 Mei 1983. Dalam tiga tahun terakhir, seniman ini fokus dalam mengembangkan proyek seni media melalui karya-karya webbased. Ia pernah studi ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta namun tak lulus. Semenjak 2003 bergiat di Forum Lenteng, dan sekarang menjadi Sekretaris-Jenderal di organisasinya. Selain menjadi desainer grafis lepas, semenjak November 2011 ia juga memprogram film-film yang ditayangkan di kineforum-Dewan Kesenian Jakarta dan juga ketua di Komplotan Jakarta 32°C, ruangrupa-Jakarta. Terakhir di tahun ini, mengikuti program residensi di Ansan City, Korea Selatan selama dua bulan. Andang Kelana was born in Jakarta, May 7, 1983. In the last three years, this artist focused on media-art project through web-based artworks. He studied Communication Science at Institute of Social and Political Sciences, Jakarta, but he did not finish it. Since 2003, he has been working, and now becomes the Secretary General in Forum Lenteng. He is not only a freelance graphic designer, but also program manager in kineforum-Jakarta Arts Council and also the chairman of Gang of Jakarta 32° C, ruangrupa-Jakarta. This year, he had been invited in the residential program in Ansan City, South Korea, for two months. Asep Topan Lahir di Majalengka, 27 Juni 1989. Menyelesaikan studi di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta pada 2011. Aktif bergiat di ruangrupa sebagai penulis dan pengelola website kritik seni rupa dan budaya visual jarakpandang.net serta bergiat bersama Indonesian Street Art Database sebagai periset. Pada 2011 menjadi salah satu pendiri Komunitas Refreshink, sebuah komunitas seni rupa yang terfokus pada penciptaan karya-karya seni grafis, dan terlibat dalam beberapa proyeknya meliputi penyelenggaraan pameran, workshop, serta penerbitan zine. Born in Majalengka, June 27, 1989. Graduated from Faculty of fine Art at Institute of Arts Jakarta, in 2011. He is currently active at ruangrupa as a writer and website admin for jarakpandang.net, a site for art and visual culture criticism, and also as a researcher at Indonesian Street Art database. He is one of the founder of Refreshink Community, art community focused on artwork creation based on graphic design and contributed on several projects such as exhibition, workshop, and zine publishing. 161


Ellena Ekarahendy Mahasiswi Desain Komunikasi Visual, School of Design, Binus, Jakarta; kelahiran 1991. Aktif berkegiatan bersama Titik Dua dan Teach For Indonesia. Pada 2012 mengikuti Workshop Penulisan Kritik Seni Rupa dan Budaya Visual ruangrupa. Selain desain grafis, juga tertarik pada sastra, isu gender, pluralisme, pendidikan, dan aktivisme. Ellena Ekarahendry is Visual Communication Design student in School of Design, Bina Nusantara, University; was born in 1991. Currently, having activities in Titik Dua and Teach for Indonesia. In 2012, she joined Writing on Art and Visual Culture Criticism held by ruangrupa. She is not only interested in graphic design, but also in literature, gender issues, pluralism, and activism. Leonhard Bartolomeus Lahir, tinggal, dan besar di pinggiran Jakarta. Menamatkan pendidikan di Institut Kesenian Jakarta pada 2012. Sedang berjuang untuk menjadi penulis sekaligus keramikus paruh waktu. Bekerja lepas sebagai desainer grafis, penulis, spesial efek make up, dan pelatih teater. Saat ini sedang mencari kesibukan di ruangrupa juga menulis di situs Jarakpandang.net. Born, lived, and grew up in the outskirts of Jakarta. Completing his education at the Jakarta Art Institute in 2012. He is struggling to become a writer and parttime ceramist. Working as a freelance graphic designer, writer, special effects makeup, and theater coach. Currently, looking for the bustle at ruangrupa and also writing at Jarakpandang.net. Manshur Zikri Mahasiswa Departemen Kriminologi FISIP, Universitas Indonesia. Aktif berkegiatan di Forum Lenteng, sebagai penulis dan partisipan akumassa, dan juga Koordinator Program Pemantauan Media rekammedia-akumassa, Forum Lenteng. Manshur Zikri, student of the Department of Criminology, Faculty of Social, University of Indonesia. He is working at Forum Lenteng as a writer and akumassa participant, and also Media Monitoring Program Coordinator rekammediaakumassa Forum Lenteng.

162


Mirwan Andan Lahir di Watampone, Sulawesi Selatan pada 10 Nopember 1980. Ia pernah kuliah di Jurusan Sastra Perancis, Universitas Hasanuddin, Makassar pada 1999-2004 Â dan menyelesaikan studi Perbandingan Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Depok pada 2012. Tulisannya dimuat antara lain di Katalog Film Indonesia (Penerbit Nalar, 2008), Stiker Kota (ruangrupa, 2008) dan Journal of Inter-Asia Cultural Studies (Routledge, 2011). Sejak 2007 ia bekerja di Divisi Riset dan Pengembangan ruangrupa. Born in Watampone, South Sulawesi, Indonesia in November 10th, 1980. From 1999-2004 he studied in Universitas Hasanuddin, Makassar, majoring French Literature, and finished studying Political Science in Universitas Indonesia, Jakarta in 2012, focusing Comparative Politics. His writing appears in Indonesian Film Catalogue (Nalar Publisher, 2008), City Stickers (ruangrupa, 2008) and Journal of Inter-Asia Culural Studies (Routledge, 2011). He has been working in ruangrupa as researcher and developer since 2007. Nastasha Abigail Nastasha Abigail, kelahiran Jakarta, 13 Januari 1987, belajar jurnalisme di UPH pada tahun 2005-2009. Sembari bekerja sebagao Penyiar Radio, dia juga menjadi manajer sebuah band indie 009. While working as a Radio Announcer, She manage an indie band called Zeke and The Wrong Planeteers, penuis untuk kolom film di http://www.traxonsky.com/review-preview/film/, dan juga desainer untuk brand aksesoris miliknya, Halo. Dia mencintai untuk mencipta karya-karya seni dalam berbagai bentuk: video, drawing, dan performance art. Sebagian besar karyanya merupakan hasil kerjasama dengan ruangrupa. Born in Jakarta, 13 January 1987, studied journalism at UPHin 2005-2009. While working as a Radio Announcer, She manage an indie band called Zeke and The Wrong Planeteers, writer for movie column in http://www.traxonsky.com/reviewpreview/film/ and designing her own accessories brand called Hullo. She loves creating artwork in various forms. Videos, drawings, and performance art. Mostly her works comprise projects with ruangrupa.

163


Natya Sekar Arum Lahir di Jayapura, 15 April 1992. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa aktif program studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Memiliki ketertarikan yang besar pada media massa, literatur dan kebudayaan populer—terutama dalam ihwal visual. Di waktu senggang, ia juga bekerja lepas sebagai desainer grafis dan kontributor untuk beberapa media anak muda. Natya Sekar Arum, born in Jayapura, April 15, 1992. Currently, listed as an active student of Visual Communication Design, Faculty of Art and Design, ITB. She has a great interest in the mass media, literature and popular culture, especially in visual culture. In her spare time, she also worked as a freelance graphic designer and contributor to several youngster media. Renal Rinoza Kasturi Seorang Peneliti Media & Penulis, lahir di Jakarta, 8 Maret 1984. Tahun 2010 lulus dari Fakultas Dakwah & Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di tahun 2007 sempat kuliah Filsafat Barat pada Program E.C Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Aktif di Komunitas Djuanda. Menulis kajian sinema, video dan kebudayaan visual di jurnalfootage. net. Bersama akumassa.org, menulis aneka tulisan feature berbasis jurnalisme warga. Bekerja sebagai Periset Media Akumassa Forum Lenteng dan saat ini Ia juga sedang fokus kepada pengembangan risetnya di bidang Persebaran Komunikasi Massa dan Inovasi Media, Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT), Network Society dan Computer-Mediated Communication (CMC). A media researcher and writer, born in Jakarta, March 8, 1984. In 2010, Graduated from Faculty of Da'wa and Communication, Islamic State University Syarif Hidayatullah, Jakarta. He had studied Western Philosophy in EC Program, Driyakara School of Philosophy, Jakarta. Active at Djuanda Community. Writing articles on study of cinema, video and visual culture at journalfootage.net. Writing various feature-based citizen, journalism writing at akumassa.org. Working as a researcher at Media Akumassa Forum Lenteng, focusing on his developmental research: The distribution of Mass Communication and Media Communication, Information and Communication Technology (ICT), Network Society and ComputerMediated Communication (CMC).

164


Rizki Ramadan Lahir pada April 1988, menyelesaikan kuliah di Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran pada 2011 lalu. Sejak duduk di bangku SMA mulai mengabulkan ketertarikan terhadap seni visual lewat desain grafis dan fotografi. Dipadu dengan ketertarikan untuk membagi pemikiran lewat tulisan, di tahun 2009 membuat sebuah fotografi bertajuk Terlalu. Lalu, di tahun 2011, memprakarsai sebuah project bertukar kartu pos kreasi sendiri yang bernama Card to Post. Kini, sambil pelan-pelan mengurusi proyek-proyek tersebut juga ikut berkontribusi menulis untuk sebuah majalah remaja pria. Born in April 1988, finished his study at the Faculty of Communication, Padjadjaran University in 2011. He began pursuing his interest in arts through graphic design and photography since high school. In 2009, he combined all his interest to share his thought through writing, he made "Memang Terlalu", a photography zine. After that, he initiated a project to exchange own creations postcard called "Card to Post" in 2011. While maintaining all those projects carefully and heart fully, he is contributing articles for boy magazine. Robin Hartanto Adalah warga Jakarta yang, sama seperti warga biasa lainnya, menghabiskan separuh hidupnya di jalan sambil berkicau di Twitter. Ia percaya bahwa hidup adalah seri kejadian yang, tanpa diduga, saling bertautan. Berkat cita-citanya sebagai arsitek, misalnya, ia sekarang bekerja sebagai penulis serabutan. Robin Hartanto is a Jakarta residence just like any other ordinary citizens who are spending their life on the road while twittering on Twitter. He believes that life is a series of events, unexpectedly happened and interlocked one and another. Owing to the fact that he wanted to be an architect, for one example, he is working as freelance writer now. Umi Lestari Pernah berhasrat menjadi psikoanalis tetapi malah terdampar menjadi penulis, penerjemah dan peneliti lepas. Lulusan Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kecintaannya pada sastra membawanya berada di tim redaksi mediasastra.com, portal diskusi sastra, sejak 2012. Ia pernah menjadi aktor teater JogjaBroadway pada 2011, bekerjasama dengan Garasi Enterprise. Saat ini ia magang sebagai pengulas buku di Rujak Center for Urban Studies. Desired to be a psychoanalyst, but ended up as a freelance writer, translator and researcher. Graduated English Literature, Sanata Dharma University, Yogyakarta. Her interest on literature makes her be one of the editors at mediasastra.com, portal for discussion on literature, since 2012. She was JogjaBroadway actor in 2011, in collaboration with Garasi Enterprise. She is having an internship as book reviewer at Rujak Center for Urban Studies. 165


Catatan Penjurian Pemenang Karya Terbaik Jakarta 32°C 2012

Jakarta 32ºC kelima mengumumkan pemenang 5 karya terbaik di akhir acara pameran yang bertempat di Galeri Nasional Indonesia. Ketentuan pemenang merupakan keputusan bersama antara Tim Artistik Jakarta 32°C dan hasil penilaian nilai dari 7 juri terpilih. 7 juri ini adalah para mentor dari kegiatan workshop Jakarta 32ºC, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Anggun Priambodo - perupa, pemateri Workshop Video Bunyi. Irwan Ahmett - perupa, pemateri Workshop Ruang Publik. Indra Ameng - seniman, pemateri Workshop Fotografi. Keke Tumbuan - photographer, pemateri Workshop Fotografi Popo, street artist, pemateri Workshop Komunikasi Visual. Syaiful Anwar – video artist, pemateri Workshop Video Eksperimental Mahardika Yudha - video artist, selaku perwakilan juri dari Tim Artistik Jakarta 32ºC.

Beberapa kriteria penilaian meliputi: • • • • •

Gagasan segar dan aktual yang berhubungan dekat dengan masa kini Konsep Visual Eksplorasi Medium Display atau presentasi karya Judul

Karya terpilih merupakan karya-karya yang memang memiliki gagasan yang berhubungan dekat sekali dengan keadaan sekarang. Dalam hal ini, beberapa contoh pilihan tema yang dipilih memiliki gagasan yang bersinggungan dengan kehidupan anak muda, khususnya mahasiswa sekarang. Selain itu, permasalahan kota Jakarta dengan segala macam bentuk kegiatan dan pekerjaan masyarakatnya pun dapat terekam di dalam karya-karya terpilih. Dan di luar itu terdapat pula tema-tema sosial dan juga interaksi masyarakat dengan lingkungannya. Selain gagasan, hal yang terpenting berikutnya adalah bagaimana mereka mengeksekusi gagasan tersebut dan mempresentasikannya menjadi sebuah karya visual. Karya visual pun berhubungan dengan medium karya yang dibuat. Pada karya-karya terpilih, eksplorasi media terlihat berbeda dengan karya-karya serupa yang lain. Pemilihan medium pun menjadi salah satu bentuk nilai lebih dan inovasi bagi si pembuat karya. Presentasi karya dengan gagasan dan eksplorasi media akan berhubungan dalam pembentukan display karya dalam ruang pamer yang menjadi satu kesatuan. 166


Kelima karya terbaik untuk perhelatan Jakarta 32°C yang kelima adalah: 1. Elle & Rush, Universitas Bina Nusantara, dengan karya Jukstaposisi. Video berdurasi 6 menit 6 detik. 2. Siam Muhidin, M. Ferdy Pratama, Arief Rahmanto, Universitas Persada Indonesia – Y.A.I, dengan karya Mr.Postman. Mix Media Interaktif. 3. Retno Tiawan, Universitas Negeri Jakarta, dengan karya Imajinasi. Mix Media dengan dimensi variabel. 4. Citra Melati, Universitas Bina Nusantara, dengan karya Mama, Anak Perempuanmu Bertato. Video berdurasi 4 menit 20 detik. 5. Cut and Rescue (Aditya Fachrizal Hafiz dan Mario Julius), Institut Kesenian Jakarta dan Interstudi, dengan karya Mixtape Project: Interpreting Jakarta with Audio. Multimedia dan instalasi interaktif. Demikian pemenang 5 karya terbaik, kepada seluruh partisipan atau pameris, juga kepada semua rekan mahasiswa yang telah mengirimkan karyanya, baik yang terpilih maupun yang tidak terpilih, kami ucapkan terima kasih atas dukungan dan partisipasinya dalam rangka mengikuti Jakarta 32°C 2012 ini. Kami juga berterima kasih kepada segenap rekan-rekan mahasiswa, seniman muda, para partner dan sponsor yang telah mendukung dan membantu terselenggaranya Jakarta 32°C 2012 ini. Sampai bertemu di kegiatan selanjutnya di 2014. Jakarta, 18 Oktober 2012 Andang Kelana Ketua

M. Sigit Budi S. Koordinator Artistik Jakarta 32°C 2012

167


Notes on the five best artworks of Jakarta 32°C 2012

The fifth Jakarta 32º C announced the winners of the five best artwork in the end of the exhibition at the National Gallery of Indonesia. The winner provisions is a joint decision between Jakarta 32°C Artistik Team and seven elected judges. The judges who are the Jakarta 32ºC workshop facilitators are: 1. Anggung Priambodo – artist, Sound Video Workshop facilitator 2. Irwan Ahmett – artist, Public Art Workshop facilitator 3. Indra Ameng – artist , Photography Workshop facilitator 4. Keke Tumbuan – photographer, Photography Workshop facilitator 5. Popo – street artist, Visual Communication Design Workshop facilitator 6. Syaiful Anwar – video artist, Experimental Video Workshop facilitator 7. Mahardhika Yudha - video artist, the representative judges of Jakarta 32°C Artistic Team Some criteria of judgment covering: • • • • •

Fresh and actual ideas that should be related to the present Visual Concepts Medium Exploration Presentation Display Title

The selected artworks are artworks that have ideas closely related to the present. In this case, some of the ideas in their artworks are related with the youth way of living, especially university students. In addition, urban issues related with activities and professions in the society also represented in the selected artworks. Besides that, there are also social issues and they can interact with society in their environment. Not only the ideas, but also how they manage the ideas and process it into the artworks become important thing to do. The artworks still related with the chosen medium. In those selected artworks, medium exploration seemed a bit different with the other artworks. Selected medium also added the value and depicted the creator innovation. Presentation of idea and medium exploration will be related to the display of the artworks in the white cub and these things become a single unit.

168


Five best works in the fifth Jakarta 32°C event: 1. Elle & Rush, Bina Nusantara University, for Juktaposisi/Juxtaposition. Video lasts 6 minutes six seconds.

2. Siam Muhidin, Ferdy Pratama, Arief Rahmanto, Persada Indonesia University – Y.A.I, for Mr. Postman. Interactive Mix Media.

3. Retno Tiawan, Jakarta State University, for Imajinasi/Imagination. Mix Media with variable dimensions.

4. Citra Melati, Bina Nusantara University, for Mama, Anak Perempuanmu Bertato/Mama, Your Daughter has a Tattoo. Video lasts for 4 minutes, 20 seconds.

5. Cut and Rescue (Aditya Fachrizal Hafiz and Mario Julis), Intitute of Arts Jakarta and Interstudy, for Mixtape Project: Interpreting Jakarta with Audio. Interactive multimedia and installation.

Those are the five artworks and its creators that win in this event. Thank to all participants and people who exhibit, all students who have been sent the artworks - both for the elected and non-elected, for the support and participation in Jakarta 32°C 2012. We also thank to all fellow students, young artists, the partners and sponsors who have supported and helped the implementation of Jakarta 32°C 2012. See you at the next event in 2014. Jakarta, October 18, 2012 Andang Kelana Chaiman

M. Sigit Budi S. Jakarta 32 ° C 2012 Artistic Coordinator 169


170


171


Jakarta 32°C adalah sebuah forum antar mahasiswa di Jakarta, dan pameran besar dua tahunan bagi karya-karya visual mahasiswa di Jakarta. Diadakan sejak 2004, Jakarta 32°C bertujuan untuk menumbuhkan dialog kritis para mahasiswa serta memperkenalkan karya-karya terbaik mereka kepada publik yang lebih luas. Jakarta 32°C memiliki program pameran, diskusi, workshop, pemutaran film, pertunjukkan musik dan bazar. Jakarta 32°C is a forum and bienalle for university students in Jakarta. It is held since 2004 and aiming to make critical thinking forum for students and introducing their artworksto wider public. Jakarta 32°C programs are exhibition, discussion, workshop, film screening, music show and bazzar. ruangrupa adalah sebuah artists’ initiative yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta. Organisasi nirlaba yang bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, dan penerbitan jurnal. ruangrupa is an artists’ initiative established in 2000 by a group of artists in Jakarta. It is a not-for-profit organization that strives to support the progress of art ideas within the urban context and the larger scope of the culture, by means of exhibitions, festivals, art labs, workshops, research, and journal publication. ruangrupa Tebet Timur Dalam Raya, No.6 Tebet - Jakarta Selatan Indonesia - 12820 email: info@ruangrupa.org p/f: +62.(0).21.830.4220 172


Ucapan Terima Kasih Thanks To

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Galeri Nasional Indonesia ruangrupa crew Tim Peluncuran Buku Book Launching Team Indra Ameng, Ajeng Nurul Aini, Laurentius Daniel, M. Sigit Budi S., Andike Widyaningrum, Dian Lestari, Lisna Dwi Atmojodiarjo, Mohammad Fauzi, Nissal Nur Afryansyah Komplotan Jakarta32°C Afra Suci Ramadhan, Manshur Zikri, Umi Lestari, Pitoresmi Pujiningsih Leonhard Bartolomeus Sentimental Moods The Experience Brothers  Sidoy dan Yodis, Skoyers dan Yokes, Silau dan Ualis Zappa, Tesi dan Pedro (dan kekasih gelapnya) ruru shop, kulkas dan radionya Ngab Jek dan Sam Suga PES 2013 Bro Skuteng, Nasi Goreng Mas Agus, Warteg Ibu Belakang, Cendol Bandung Tebet, Abang fotokopi sebelah kiri, dan Pasar Loak Jembatan Item Funky Kota dan Patung Buddha ruangrupa Kopi original dan latte

173


174


SAMPAY JVMPA di SI YU in 2014

175


176


177


ht tp://jakar ta32c.org/ @jakar ta32c f a c e b o o k /jakar ta32c email info@jakar ta32c.org w eb si te t w i t ter

178


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.