Majalah Sastra Libri

Page 1

LIBRI

EDISI I/IX/2012

LIterasi BuRuh migran Indonesia

Pembawa Harta Karun Itu Bergelar BMI Cerpen: Puisi:

Tung Ping Chau Mimpi yang Terputus Ikrar Layang-layang Astry Anjani Luluk Andrayani Fitri Parasdyani

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

Ruang Buku: Mimpi Buruk dan Silsilah Keluarga Sosok:

Miswen Briliana Fitri

Perpustakaan: Perpustakaan Bintang Al-Ikhlas


EDITORIAL

Majalah Sastra LIBRI Pemimpin Redaksi: Adi Toha Kontributor: Gisa Elinda, Lintang Panjer Sore, Luluk Andrayani, Astry Anjani, Zhianing Anami Fotografi: Indira Margareta Kontributor Tamu: Dewi Kharisma Michellia, Fitri Parasdyani, Pinto Anugrah Alamat Redaksi: Jl. Raya Kranji No. 2 Kedungwuni Timur, Pekalongan. No. Telp.: 081320932117 email: librisastra@yahoo.com. Redaksi menerima kiriman tulisan berupa cerpen, puisi, esai, ulasan buku, surat, catatan perjalanan, foto-foto kegiatan sastra dan literasi, dan tulisan kreatif lainnya. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah maksud dan tujuan penulis.

Surat dari Rantau

embaca geliat sastra dan tulis-menulis yang semakin pesat di kalangan buruh M migran terutama di Hongkong, perlu adanya sebuah wadah baru untuk menampung dan menyebarluaskan karya-karya sastra dan karya tulis lainnya yang berhubungan dengan dunia literasi. Maka dari itu kami berinisiatif untuk membuat sebuah wadah media baru dalam bentuk majalah yang khusus menampilkan karya-karya sastra. Majalah tersebut kami namai LIBRI. LIBRI, bisa berarti singkatan dari Literasi Buruh Migran Indonesia, juga merupakan kata tersendiri yang berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti segala hal yang berkaitan dengan buku. Untuk permulaan, media ini akan disebarluaskan dalam bentuk digital, dan semoga ke depan, dapat disebarluaskan dalam bentuk cetakan. Buletin Sastra LIBRI berisi karya-karya cerpen, puisi, ulasan buku, esai, catatan harian, reportase kegiatan sastra/literasi, profil penulis, profil komunitas, dan informasi lain yang berkaitan dengan sastra dan literasi di kalangan BMI. Buletin ini direncanakan untuk terbit paling lambat satu bulan sekali. Dalam setiap edisi, prioritas karya yang dimuat adalah karya dari penulis-penulis BMI di berbagai negara, BMI purna, dan satu dua penulis tamu. Kami berharap, dengan hadirnya LIBRI di tengah-tengah para pembaca, akan menambah kesemarakan iklim sastra dan literasi di Hongkong khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Juga, kami berharap, dengan kelahiran media baru untuk mewadahi kreativitas dan karya tulis dari rekan-rekan buruh migran, akan menjadi penyemangat untuk semakin berkarya lebih banyak dan lebih baik. Salam Sastra. [PemRed]

Assalamualaikum. Wr. Wb. Saudariku, sahabatku. Dengan surat ini, aku ingin mengabarkan bahwa keadaanku cukup sehat. Semoga Saudariku di tanah air dalam lindungan Allah SWT. Amin. Semoga surat ini dapat mengobati kerinduan kita yang terhalang lautan lepas. Dan semoga lautan lepas ‘kan menjadi saksi bahwa kerinduanku pada tanah air tidak dapat dibendung lagi. Saudariku, aku ingin sedikit berbagi keresahan yang mengganjal di hati ini. Aku tidak tahu pada siapa lagi harus mengadu bebanku. Semoga setelah Saudariku membaca surat ini beban itu sedikit berkurang. Baru tiga hari berada di rumah majikanku di Hongkong, dia sudah sering membentak-bentak, meskipun aku tidak melakukan kesalahan. Salah atau benar, sedikit pun aku tidak pernah melawannya, hingga dia menganggapku ibarat tong sampah yang siap menampung segala kekesalannya, segala umpatannya. Mungkin saja penyebab kekesalannya itu memang pekerjaanku yang kurang baik atau memang itu sudah menjadi wataknya, aku tidak tahu. Wajar saja jika pembantu sebelumku yang dari Filipina hanya mampu bertahan hingga dua minggu. Saudariku, tahukah kamu, aku pernah melawan dia ketika aku di Hongkong sudah setahun. Saat itu, menjelang Hari Raya Cina, dia sering sekali memarahiku tanpa sebab. Kesabaranku pun habis. Aku tidak bisa lagi mengendalikan emosi. Saat itu dia berucap, “Jika kamu tidak bisa bekerja di sini, maka aku akan menelepon agenmu,” katanya saat itu. Lalu aku jawab, “Lebih baik kamu interminit saya saja! Itu lebih baik. Saya akan sangat senang jika kamu memulangkan saya ke tanah air.” Aku menangis. Semua memori perlakuannya kepadaku tibatiba saja berputar kembali di otak. Pernah dia membanting pisau di hadapanku, berteriak-teriak memarahiku, ketika dia akan pergi ke kantor. Sorenya, pukul 6, ketika aku lelah dan duduk di dapur sebentar, dia mengatakan dengan marah, “Kalau kamu free cari kerjaan lain lagi.” Aku ingin berteriak saat itu, tapi suaraku masih kaku untuk melawannya, aku masih takut. Hingga keberanian itu muncul, Saudariku. Aku melawan dia dan alhamdulilah pagi-pagi dia tidak berteriak-teriak lagi seperti orang kesetanan. Tapi, tetap saja dia selalu mencari gara-gara denganku. Dia juga selalu menuduhku mengambil makanannya. Saudariku, seandainya Saudariku dalam posisiku, bagaimana perasaanmu? Pasti sakit hati sekali dituduh yang bukan-bukan, tidak sesuai fakta yang ada. Walau majikanku cerewetnya tidak ketulungan, tetapi ada kelebihan dia yang patut diacungi jempol, yakni saat membayar uang gajianku, dia tidak pernah telat, bahkan lebih awal dari tanggal gajian. Aku di sini juga diberi waktu libur sesuai peraturan pemerintah. Meski begitu, majikan perempuanku itu juga pernah melanggar peraturan pemerintah. Aku disuruh bekerja di rumah

ibunya yang berada di Kwai Heng saat dia berlibur untuk dua minggu lamanya. Di rumah nenek itu aku dipaksa memakan babi olehnya. Aku lebih memilih makan tanpa lauk daripada harus makan babi. Aku pun masak sendiri, dan saat aku lengah, ternyata si nenek mencampurkan babi beserta kuahnya ke dalam sepiring tumis kacang panjang yang aku buat khusus untukku. Saat aku makan baru aku tersadar rupanya di dasar piring ada beberapa irisan babi. Tentu aku marah besar dan membuang semangkuk nasi. Dia sangat murka, keesokan harinya aku minta pulang. Selepas makan babi itu entah mengapa aku demam tinggi selama seminggu. Saat itu tidak ada majikan di rumah dan tidak ada makanan untuk pengganjal perutku. Karena saat itu aku masih dalam masa potongan dan majikanku pun tidak memberiku uang makan, aku pun hanya bisa menahan lapar. Tapi melalui temanku, Allah mengulurkan kasih sayangnya. Temanku memberiku makanan dan juga obat-obatan. Saudariku, meski begitu, di Hongkong ini aku banyak menimba ilmu. Salah satunya ialah menulis. Aku sangat menikmatinya. Ketika cerpen pertamaku masuk menjadi buku antologi pertamaku, aku senang sekali. Selain itu aku meluangkan waktuku untuk bergabung di Organisasi Majlis Taklim yang kegiatannya meliputi belajar Al Quran, menjahit, kursus komputer, dan kerajinan tangan. Alhamdulillah Majlis Taklim ini sudah mempunyai yayasan untuk anak yatim di Jawa timur yang dana pendiriannya dikumpulkan dari para BMI yang bergabung di organisasi ini. Saudariku, kabarnya kamu akan bekerja di Hongkong? Jika benar, maka berdoalah semoga kamu diberi majikan yang baik. Karena tidak semua majikan secerewet majikanku atau sekejam majikan yang pernah kamu dengar beritanya di televisi. Salah satu temanku yang bernama Siti Munawaroh mempunyai majikan sangat baik. Majikannya itu mengetahui jika temanku itu sangat genius. Maka, majikannya mengikutkan dia lomba pidato mengenai “kebudayaan” yang dilaksanakan di Nanyang Polytechnic of Hongkong dan para pesertanya adalah mahasiswa se-Asia Tenggara. Tidak disangka-sangka, temanku, salah satu peserta dari buruh migran itu justru keluar menjadi juara kedua. Saudariku, jika kamu akan ke Hongkong, maka gunakan waktu liburmu untuk menimba ilmu. Pandai-pandailah berinteraksi, jangan sekali-kali kamu bergabung dengan komunitas yang bakal merusak kepribadianmu. Bergabunglah dengan komunitas yang akan terus mendidikmu menjadi pribadi yang diharapkan kedua orangtuamu. Sekian dulu surat dariku, Saudariku. Jika ada kesilapan kata, mohon dimaafkan. Semoga kelak, kita dapat berjumpa kembali, di sini, atau di tanah air. Wassalamualaikum Wr. Wb. Diani Ramadhaniesta Bekerja di Hongkong sejak 26 Februari 2011, tinggal di Man On Shan

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


gak salah dengar nih? Jalan sampai sini saja, kamu sudah bilang capek. Padahal nanti jalan ke jiso terus kembali lagi ke sini. Kalau kamu pingsan aku juga yang repot. Aku sendiri saja deh. Sebelum satu jam aku sudah sampai di sini lagi.” Tia terus terang meragukan kemampuan Amel untuk menemaninya, karena dia paling sering minta istirahat di antara teman yang lain. “Bilang dulu ke Kak Juan kalau begitu.” “Enggak usah. Kasihan dia capek ngatur monyet-monyet usil seperti kalian,” sambil berkata Tia menjauhi Amel, enggan melihat sewotan temannya. Dengan cepat Tia kembali ke jiso berharap jam tangannya masih ada di sana. Kalau pun ada yang mengambil semoga berbaik hati mau mengembalikannya. Tia membayangkan bagaimana nanti kalau jam itu tidak ada. Pasti si bos akan ngomel satu minggu penuh. Dan alamat minggu depan dia melanjutkan perjalanan. Karena jarak yang ditempuh belum ada separuh pulau. Tia segera meletakkan benda yang dipegangnya kemudian meraih kamera Nikon yang diulurkan Amel. Begitu selesai foto mereka pun segera keluar untuk bergabung dengan teman-teman lain. Sebelum melangkah jauh Tia menoleh ke reruntuhan rumah itu kembali. “Kasihan juga rumah itu. Kenapa tidak ada yang merawatnya? Padahal aku yakin, dulu rumah itu pasti sangat bagus,” ucap Tia dalam hati. Rombongan hiking itu berjalan menyusuri pantai yang banyak dihiasai karang-karang yang sangat indah. Terkadang saat berjalan mereka menemui kepiting maupun kerang yang bentuknya sangat unik.Setiba di pantai yang terdapat batu sangat besar, di mana di atas batu bisa untuk duduk sepuluh orang lebih, mereka memutuskan untuk istirahat sambil memandang air laut di bawah, yang tak henti menerjang batu yang mereka duduki. “Kita istirahat di sini dulu sekalian makan,” teriak Kak Juan. Dan tanpa dikomando setiap orang mengeluarkan bekal masing-masing. Setelah mengambil makan secukupnya Tia dan Amel duduk menjauh. Maksud mereka, ingin menikmati makan sambil memandang air laut dari atas batu karang. Sementara teman-teman yang lain sudah mencari tempat masing-masing. “Jam tanganku di mana? Aduh.Pasti ketinggalan di jiso1 tadi.” Tia berkata sambil meletakkan nasi yang dia bawa di atas batu karang dan berusaha mencari jam yang mungkin terselip di antara barang-barang yang ada di dalam tas ranselnya. “Nanti saja kalau mau pulang kita ke sana lagi,” balas Amel menenangkan Tia. “Aku harus mengambilnya sekarang. Jam itu hadiah dari bosku, harganya jin kei man wo2. Nanti kalau keburu di ambil orang bagaimana?” “Kalau begitu aku temani ya?” “Kamu…? Mau menemani aku ke jiso tadi? Apa eng-

Tung Ping Chau Oleh: Gisa Elinda

S

eperti ada magnet yang menyeret langkah Tia untuk terus memasuki reruntuhan rumah itu, padahal tidak ada satu bagian pun dari rumah itu yang menarik. Semua telah hancur. Atapnya sudah tidak ada, sehingga begitu tengadah langsung bisa menatap langit.Sementara itu, tumbuhan merambat memenuhi hampir seluruh permukaan dinding yang berlumut itu. Pandangan Tia mengedar ke seluruh bagian reruntuhan dan berhenti saat melihat sebuah benda yang tergantung di sela-sela tanaman merambat. Karena penasaran dia berusaha melihat lebih dekat benda tersebut, meski untuk mengambil benda itu, dia harus menyingkirkan sebatang kayu sisa atap yang masih menjuntai di hadapannya. Tia mengamati benda yang sekarang berada dalam genggamannya. Bentuknya yang persegi mungkin saja pigura foto tapi bisa juga hanya sekedar hiasan dinding. Untung saja benda ini terbuat dari logam jadi tidak mudah lapuk seperti kayu. Meski berkarat, benda itu masih jelas bentuknya. Tia mencoba membersihkannya agar bisa memastikan apakah itu foto ataukah hanya sekadar hiasan. Saat mulai membersihkan, tiba-tiba dia melihat sketsa samar tentang kehidupan di rumah itu berpuluh tahun silam. “Tia, tolong foto aku di sini!” Tiba-tiba Amel bersuara membuat sketsa yang dilihat Tia langsung menghilang. “Ternyata anak ini tadi mengikutiku,” pikir Tia sambil tetap membersihkan benda yang dia pegang. “Minta izin dulu sama penunggu rumah ini sebelum foto. Kalau tidak, nanti ada penampakan lain di foto. Baru tahu rasa kamu!” Tia menggoda Amel yang sudah terkenal penakut itu. “Iih. Tia, jangan ngomong gitu kenapa. Merinding benar nih aku. Cepetan jepret deh. Terus kita segera keluar dari tempat ini. Kak Juan sudah teriak-teriak dari tadi tuh!” Di luar reruntuhan Tia memang mendengar Kak Juan yang menjadi koordinator hiking berteriak memanggil teman-teman yang masih asyik berfoto-foto, supaya segera

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


CERPEN

tidak boleh liburan. Tia tiba di jiso dengan ngos-ngosan, tapi langsung tersenyum tatkala melihat jam tangannya tergeletak manis di dekat wastafel. Segera dia mengambilnya kemudian mengenakan jam itu sambil bergegas kembali ke rombongan.Di luar jiso Tia berhenti dan memandang sekeliling.“ Kenapa jiso ini sepi sekali ya? Padahal pengunjung yang bersamaku tadi satu kapal penuh, belum yang dari daerah lain. Ke mana juga orang yang bertugas membersihkan jiso ini. Biasanya selalu ada orang yang bertugas membersihkannya,” pikir Tia. Baru mulai melangkah Tia melihat seorang nenek berdiri di pantai sedang melempar sesuatu ke air. Karena rasa penasaran tingkat tinggi, yang kalau tidak dituntaskan takut bisa jadi jerawat, akhirnya Tia mendekati nenek itu. “Cousan, Bobo.” 3 “Cousan, mui-mui.” 4 “Timkai liko Cung Bobo tam?” 5 Tia lebih penasaran setelah yang dilempar bobo tadi ternyata Cung. Meski belum pernah memakannya tapi Tia tahu makanan itu, karena majikannya sering makan. Bobo itu kemudian bercerita bahwa yang dia lakukan saat itu adalah memberi makan ikan-ikan, supaya ikanikan tersebut tidak memakan seorang patriotisme sekaligus penyair yang bernama Qu Yuan. Katanya penyair tersebut menceburkan diri ke sungai, karena putus asa melihat negaranya dilanda perang saudara. Berhubung di pulau tidak ada sungai, jadi bobo tersebut melemparkan Cungnya ke laut. Saat melihat dan mendengarkan bobo itu bercerita, Tia seperti sedang mendengarkan kembali almarhumah neneknya bercerita sewaktu dia masih sekolah dasar, tentang perjuangan Maha Patih Gajahmada yang ingin menyatukan nusantara. Tia terus mengamati hingga cung-cung itu habis dilempar dan saat tinggal satu diberikan padanya untuk dilempar. Dengan sekali ayunan tangan, cung itu telah jatuh di air laut dan entah ikan apa yang akan memakannya. Sadar sudah terlalu lama berdiri dan yakin teman-temannya sudah mulai berjalan lagi, Tia segera berpamitan pada bobo. Baru membalikkan badan dan melangkah tiba-tiba terdengar suara, “Bruuukkk…” Bobo itu terjatuh karena tongkat yang dia pakai patah. Tia segera menolongnya meski bobo bilang tidak perlu. Mau tidak mau Tia harus mengantar bobo sampai di rumahnya terlebih dahulu. Toh, nanti dia bisa menanyakan pada bobo, jalan pintas supaya bisa menyusul teman-temannya yang telah mulai berjalan.

karena kebijakan pemerintah pulau ini dikosongkan. “Gimana kak, mana Tia?”Amel segera memberondong Juan dengan pertanyaan. “Tidak ada tanda-tanda sama-sekali.” “Aku tadi sudah melarang, tapi dia ngotot ingin mengambil,” dengan wajah menyesal Amel berkata sambil air matanya mulai menetes. “Terus bagaimana ini, Kak? Kapal kita sudah merapat tuh.” Teman yang dari tadi diam ikut bersuara sambil menunjuk sebuah kapal feri yang mulai mendekati dermaga. “Kalian pulang dulu, aku tinggal di sini.” “Besok saja kita kembali ke sini mencari Tia,” jawab yang lain. “Tidak, aku tidak akan meninggalkan pulau ini tanpa dia. Aku yang mengajak dia ke sini. Nanti aku minta tolong ke orang-orang yang berkemah itu untuk membantu mencari Tia.” Akhirnya dengan terpaksa teman-teman Tia naik juga ke kapal feri yang menjemput mereka dan pengunjung lain. Karena keharusan tinggal di rumah majikan, mereka harus pulang sesuai ketentuan dari majikan. PELAN-PELAN Bobo mengambil kunci dari saku bajunya, kemudian membuka pintu. Saat pintu terbuka, Tia merasakan kesejukan luar biasa dari dalam rumah. Sepertinya AC rumah itu sedang dinyalakan. Dingin sekali. Di tambah bau harum masakan. Kelihatannya seseorang sedang memasak makanan. Tia langsung teringat makan siangnya tadi di atas karang. Begitu masuk rumah, bobo segera menuju sebuah kursi yangmengilap dan penuh dengan ukiran. Baru kali ini Tia melihat kursi sebagus itu. Majikannya yang kaya raya saja tidak mempunyai kursi seperti itu. Kelihatannya kursinya

KEENAM perempuan yang semuanya teman-teman Tia tersebut langsung bangkit saat mengetahui Juan keluar dari hutan sendiri yang hanya mengangkat bahu saja. Mereka semua termasuk Tia dan Juan adalah buruh migran Indonesia yang sedang bekerja di Hongkong. Mereka dipersatukan oleh hobi yang sama yaitu hiking. Dan pada hiking kali ini mereka sepakat mendatangi Pulau Tung Ping Chau. Pulau itu merupakan salah satu pulau terluar Negara Hongkong. Meski secara administratif termasuk wilayah Hongkong, namun jaraknya lebih dekat dengan Cina daratan yang hanya berjarak 4 Km. Sementara dari Hongkong pulau ini bisa di tempuh dengan naik kapal feri selama 1 jam 40 menit. Pulau ini dahulu dihuni, namun

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012 http://www2.imperial.ac.uk


model Cina tempo dulu, karena masih berbentuk kayu dan ada ukirannya. Tampak begitu elegan dan sesuai sekali saat bobo duduk di atasnya. Di samping kursi terdapat guci yang sangat mengilap. Dan perlengkapan rumah lain yang semuanya bagus dan mengilap, seolah setiap hari dibersihkan. Wah, hebat benar nihbobo pikir Tia. Di pulau terpencil mempunyai rumah begini mewah. “Bobo dong pingkoa hai lito?” 6 “Ngo? Jike.” 7 “Lei lokong? Lei caik leh?” 8 Bobo tersebut kemudian bercerita kalau dulu dia tinggal di pulau ini bersama suami dan anak-anaknya. Tetapi karena suatu aturan suami dan anak-anak beserta para tetangga lainnya pindah ke lokasi yang ditunjuk pemerintah. Tetapi bobo tidak mau ikut pindah karena di situ ada makam kedua orangtua dan leluhurnya. Maka dia memilih tetap tinggal di pulau itu. Bobo menghela napas sebentar seolah mengenang masa beberapa puluh tahun silam. Saat kebersamaan bersama keluarga mereka masih berkumpul. Setelah beberapa saat dia mulai melanjutkan ceritanya lagi. Dulu suaminya sering datang tapi lama-kelamaan tidak pernah datang lagi menjenguk, karena ternyata suaminya menikah lagi. Begitupun anak-anaknya, dahulu sering datang, kalau malam minggu atau libur sekolah mereka biasa menghabiskan liburan di sini. Tetapi lama-kelamaan, mereka juga mulai jarang datang. Dan akhirnya tak satu pun dari mereka datang, hingga bertahun-tahun. Tia mendengarkan bobo itu bercerita dengan melongo karena kasihan melihat nasib nenek itu. “Mui-mui, timyong a yukwo lei hai lito dong ngo?” Bobo itu tiba-tiba bertanya pada Tia. “Ngo?” Tia kebingungan mencari jawaban. Bobo terus merayu Tia supaya dia mau tinggal di rumah itu bersamanya. Katanya nanti akan diberi banyak uang asal mau bekerja di situ. Tia sih tertarik dengan gajinya tetapi kalau harus tinggal di pulau ini, ampun deh. Seperti katak dalam tempurung mungkin dia nantinya. Karena di pulau ini sinyal telepon tidak ada, kalaupun ada pasti kena roaming apalagi sinyal wifi tidak mungkin bisa connect. Melihat Tia kebingungan Bobo terus memohon agar dia mau bekerja di rumah itu. Bahkan lama-kelamaan mata bobo mulai mengembang dan akhirnya menetes sebutir air dari sudut matanya. Dan disusul butiran-butiran selanjutnya. Tia tak kuasa mengelak, dia tahu perasaan bobo itu, merasa kesepian. Sementara suami dan anak-anaknya tidak ada yang memperhatikan. Tetapi, Tia juga tidak mungkin menerimanya, karena di samping masih terikat kontrak dengan majikannya, dia juga akan kesulitan berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia. Bobo itu masih menangis tapi saat melihat Tia masih bersikukuh tidak mau menerima ajakannya, rona muka bobo secara perlahan berubah seperti tidak suka. Lamakelamaan mulai tampak dan muka itu mulai memerah menahan amarah. Melihat hal itu, Tia bermaksud segera pamit tetapi lidahnya kaku.Tubuhnya pun tidak mau diajak berdiri. Seperti ada lem perekat yang menempel di kursi yang didudukinya saat itu. Sementara muka bobo semakin memerah dan secara perlahan air mata yang keluar berubah warna menjadi merah. Tia terperanjat melihat itu. Dia ingin berteriak, tetapi mulutnya tidak bergerak seolah suaranya terhenti di

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

tenggorokan. Mata bobo masih mengalirkan air mata berwarna merah menatap gadis di depannya dengan tajam.Sementara Tia diam ketakutan, ingin memejamkan mata juga tidak bisa. Tangan bobo bergerak menuju arahnya. Seperti hendak merangkul atau memeluk. Tia ingin lari tapi tidak bisa. Tangan itu semakin dekat. Dan… “Tia, bangun! Kenapa tidur di sini. Semalaman kami mencarimu di seluruh pulau ini.” Tangan Juan menepuk pundak Tia yang tertidur di sebuah kuburan tua. Setelah semalaman mencari keberadaan Tia di bantu beberapa orang yang kebetulan berkemah di pulau itu. “Kak Juan.” Tia terperanjat kaget dan langsung memeluk Juan sambil menangis. “Sudahlah! Ceritanya nanti saja.Kita ke dermaga saja menunggu kapal datang.” Juan dan Tia meninggalkan lokasi kuburan tua menuju dermaga. Sementara orang-orang yang membantu mencari Tia kembali ke kemah mereka masing-masing dengan masih menyimpan tanda-tanya kenapa bisa menemukan gadis itu tertidur di kuburan. Padahal malam harinya mereka sudah melalui tempat itu tapi tidak menemukan apa-apa. Tetapi, pagi harinya menemukan gadis itu tertidur di sana. Sambil menunggu kapal datang Juan dan Tia duduk di sebuah batu besar di dekat dermaga. Tia masih terlihat begitu ketakutan dan teringat dengan bobo di rumah itu. “Nih satu-satu. Lumayan buat sarapan.” Juan mengeluarkan sesuatu dari tas rangselnya. “Cung?” Tia terperanjat melihat apa yang diberikan Juan kepadanya. “Iya. Kenapa? Ini tidak ada daging babinya. Kemarin kan Peh Cung, jadi boboku menyuruh membuatnya. Kemarin aku bawa banyak dan sudah dimakan teman-teman. Untung saja masih tersisa dua, bisa buat sarapan.” Mendengar perkataan Juan, Tia hanya tertegun. Pantas saja bobo kemarin membuang Cung-cung ke air laut. Untung saja dia tidak mau menerima permintaan bobo itu untuk bekerja padanya. Kalau mau, pasti pagi ini dia tidak bisa menikmati matahari lagi. Tia pun bergidik sendiri sambil menimang-nimang Cung yang dia pegang.[] _____

1. Kamar kecil di Hongkong 2. Beberapa ribu Dolar Hongkong 3. Selamat pagi Nenek 4. Selamat pagi nona (panggilan kepada anak perempuan) 5. Kenapa Cung ini nenek buang. 6. Cung adalah makanan yang terbuat dari beras ketan yang di dalamnya biasanya diisi daging babi atau kacang-kacangan. Kemudian dibungkus daun kelapa yang dibentuk seperti prisma. 7. Nenek dengan siapa tinggal di sini? Saya? Sendiri Mana suami dan anakmu

“Sebuah ruangan tanpa buku, seperti tubuh tanpa jiwa.” —Marcus Tullius Cicero


CERPEN

Mimpi yang Terputus oleh: Lintang Panjer Sore

“S

yira, setelah lulus SMA nanti, kamu mau langsung kerja, atau nerusin kuliah?” tanya Bapak sembari menyulut sebatang rokok di sela-sela jemarinya. “Syira ikut kata Ibu saja, Pak. Kalau disuruh cari kerja ya kerja, kalau disuruh nerusin kuliah ya kuliah. Lagian sekarang Syira kan baru kelas lima SD, masih lama, Pak,” jawabku sambil menatap ke arah Ibu yang meninabobokan Santi adikku. “Kok, Handi tidak ditanya, Pak?” protes kak Handi yang berada di meja belajar. “Iya, Handi nanti kalau sudah lulus SMA mau langsung cari kerja atau nerusin kuliah saja?” ucap Bapak yang mengulangi pertanyaannya sebentar tadi. “Handi kepengin nerusin kuliah sampai S3 Jurusan Kedokteran. Nah kalau Handi sudah jadi dokter nanti, seluruh penduduk desa tempat kita tinggal akan Handi layani dengan gratis dan sepenuh hati. Nah, kalau Syira nakal akan Kak Handi suntik pakai jarum yang gede,” ujar Kak Handi

projectgifted.com

seketika, membuatku nyeletuk dan tidak mau kalah dengan keinginannya. “Cita-cita Syira pengin jadi pramugari, jadi bisa naik pesawat ke manamana dengan gratis. Kalau Kak Handi kan harus duduk diam di rumah sakit, bau obat-obatan lagi. Enakan naik pesawat. Wek.” “Sudah, sudah, apa pun cita-cita kalian, Ibu hanya ingin kalian selalu ada untuk Ibu, untuk Bapak, ketika kami sedang membutuhkan kalian,” kata ibu seketika membuat kami akur untuk diam. “Syira, Handi, Ibu pergi ke ladang dulu ya.” Seperti pagi yang telah berlalu, lirih suara Ibu selalu membuat tidurku terjaga dan semua mimpi-mimpi indahku tentang sebuah cita-cita dan keluarga utuh terputus begitu saja. Dari celah-celah lubang dinding yang terbuat dari bambu, kulihat masih gelap di luar sana, tampaknya matahari pun belum terbangun dari tidurnya. Tak bisa menahan mata yang masih mengantuk, aku hanya bisa menjawab

suara ibu dengan raungan pelan dan kembali mengejar mimpi yang telah terputus. “Bibi, seragam sekolahku mana? Buku gambarku mana?” tanyaku kepada Bi Iyem pembantu rumah. Sambil tersenyum Bi Iyem menyodorkan sepasang seragam sekolah dan buku gambar milikku, yang baru saja diambilnya dari laci almari. “Habis tukar baju terus sarapan dulu ya, Non,” perintah Bi Iyem sambil berlalu. Setelah selesai ganti baju, perlahan langkah kakiku menuruni tangga, dari lantai atas menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah. Kulihat kakak serta adikku telah duduk manis menikmati masakan Bi Iyem. Roti, selai dan susu segar semua tersedia di atas meja. Dadar telor, sosis goreng bikinan Bi Iyem memang sangat menggoda selera sarapan pagi. Setelah menyapa mereka dengan ucapan selamat pagi, kutarik kursi dan duduk manis di samping kakak. Ketika tangan kiriku meraih gagang garpu, Prang!! Suara benda jatuh membuyarkan semua mimpiku. Ketika kuterbangun dan beranjak dari tempat tidur, pecahan piring telah berserakan di lantai. Tutup nasi juga ikut tergeletak di depan tungku kayu. “Istri macam apa ibumu itu! Pagipagi kok meja makan dibiarkan kosong! Enggak masak lauk buat sarapan!” Pun seperti setiap pagi yang telah berlalu, dari balik daun pintu dapur aku mendengar suara bapak tiriku sedang marah. Mengumpat ibu yang katanya tidak masak buat sarapan. Walaupun semestinya, ibu selalu menanak nasi dan membakarkan sekeping terasi juga ikan asin buat mengisi perut kami sekeluarga sebelum pergi mengais rezeki, memunguti sisa-sisa panen di ladang orang. Setiap kali mendengar Bapak yang lagi marah, kakakku Handi langsung datang menyerahkan Santi, yang kini telah menginjak umur dua tahun dari hasil perkawinan Ibu dengan bapak tiriku “Syira, cepetan bawa Adik naik ke dipan,” suruh Kak Handi sembari menarik lenganku dan menidurkan adik di atas dipan. “Tetap diam di sini ya, jangan turun. Kakak akan pergi cari Bu De.” Setelah meletakkan adik di sampingku,

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


kakak berlalu pergi melewati pintu belakang. Dan kini tinggal aku dan adik yang terbaring bisu sambil mendengarkan mulut Bapak yang masih meracau. “Tiap kali dari pasar wage uang sudah tak kasih! Ke mana semua uang itu?! Kenapa tiap pagi selalu bikin suami teriak-teriak terus. Matahari belum terbit sudah menghilang ke mana. Dasar istri tidak tahu menjaga uang belanja! Brak!” Timba pun ikut pecah terkena tendangan Bapak. “Eh! Ke mana Ibumu?” suara Bapak menghampiri kami berdua. Ketakutan, itulah yang kurasa. Karena biasanya kalau Bapak marah di pagi hari dia akan menyeret kakiku dari dipan dan menyuruhku pergi ke warung untuk pergi mengutang nasi bungkus. Dan ketakutanku benar-benar terjadi. Tanpa aba-aba apa pun, bapak menyeret kedua kakiku dan menyuruhku pergi utang nasi di warung Bu Patmi yang terletak di RT sebelah. Adik yang masih terbaring hanya mampu melihat ulah Bapak terhadapku. Tiada pilihan lagi selain menuruti perintah Bapak untuk pergi mengutang. Sekembalinya dari warung Bu Patmi, sebungkus nasi lengkap lauknya telah kubawa pulang dengan hasil utang seharga lima ratus rupiah. Dengan sikap yang tidak sabar menunggu, Bapak langsung menyantap tanpa memikirkan perut anak-anaknya. Dari pintu belakang kakak datang bersama Bu De. “Le, Nduk, kalian bersiaplah berangkat ke sekolah, biar Bu De yang jaga adik kalian,” kata Bu De memerintah. “Tapi, Bu De, uang SPP Syira dan Kak Handi sudah nunggak tiga bulan, Syira mau ngomong sama Bapak,” jawabku kepada Bu De yang telah menggendong Santi. Namun Bu De tidak mengizinkanku untuk bicara sama Bapak, malah tetap menyuruhku untuk segera pergi ke sekolah. Akhirnya, tanpa berani bersuara lagi aku dan Kak Handi langsung mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Dengan bekal sepuluk nasi berlaukkan terasi bakar yang telah menjadi pengganjal perut, kami berjalan menyusuri jalan pedesaan menuju ke sekolah. Seperti biasa, di sepanjang perjalanan Kak Handi selalu menghapalkan perkalian dari angka satu sampai seratus. Sedangkan aku sendiri, akan menggigit jari-jari kuku yang mulai memanjang akibat tidak pernah sempat dipotong oleh Ibu atau Bapak ketika pulang sekolah. Sambil meludahkan kuku yang telah terpotong oleh gigitan, kulihat berbagai motor lalu-lalang silih berganti. Kebanyakan adalah teman-teman sekelasku yang

pergi sekolah diantar oleh orangtua mereka. Entah kenapa, setiap kali mataku memandang mereka, dalam hati ini selalu berkecamuk. “Mereka pasti bahagia punya orangtua yang perhatian dan sayang sama mereka.” Tanpa sadar, bibirku tiba-tiba mengucapkan kecamuk hati yang membuat Kak Handi langsung menggandeng tanganku dan bertanya, “Apa yang kamu pikirkan, Syira. Apa kamu merasa iri terhadap mereka?” Pertanyaan Kak Handi membuatku berpaling arah, kubuang pandangan ke atas rimbunan pohon juwet yang berdiri tinggi menjuntai ke awan. Entah dari mana asalnya tiba-tiba hatiku terdorong untuk melepaskan tangan kakak. Seketika sepasang kakiku berlari dan terus berlari tanpa tahu ke mana arah kaki hendak menuju. “Syira! Tunggu! Jangan lari!” Panggilan dan teriakan Kak Handi tak kuhiraukan. Aku hanya ingin terus berlari, berlari meninggalkan rumah yang kurasa tak pernah kutemukan kedamaian di dalamnya. Hingga sesampainya di perempatan jalan, kakiku berhenti. “Syira, sebaiknya kita langsung ke sekolah. Karena sebentar lagi lonceng masuk akan berbunyi,” ucap kakak terengah karena ikut lari mengejarku. “Kakak pergilah ke sekolah sendiri, Syira ingin pergi ke ladang orang untuk membantu Ibu. Pergilah, Kak,” perintahku tanpa menatap ke wajahnya. “Ngomong apa kamu, Syir! Seharusnya kamu bisa paham dengan jerih payah Bapak dan Ibu. Mereka mencari uang untuk menyekolahkan kita, agar

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

kelak kita tidak dangkal ilmu seperti mereka. Ayok buruan berangkat.” Kakak berusaha menarik lenganku dan membawaku menuju jalan pintas menuju sekolah. “Lepaskan!” Kutepiskan tangannya yang telah membekaskan tanda merah di lenganku. “Kak, Syira rela jika harus harus dangkal ilmu. Syira rela jika harus berhenti sampai di bangku kelas lima SD saja. Syira rela jika tidak dapat menjadi pramugari. Tapi sungguh, Syira tidak pernah rela, jika tiap pagi Bapak harus mengumpat Ibu gara-gara makan tidak ada lauknya. Telinga dan hati Syira sakit, Kak. Apalagi jika tiap pagi sebelum kita terbangun dari mimpi Ibu telah pergi menerobos kegelapan untuk mengais rezeki di ladang orang. Kulitnya hitam mengkilat karena terpanggang matahari setiap hari. Lalu, Ibu baru bisa kembali saat matahari telah tertidur di langit sana. Kasihan Ibu, Kak.” Aku berontak sembari menunjuk ke arah langit barat. Seketika, air mata kak Handi meleleh keluar dari kedua sudut matanya. Dan kembali menggandeng tanganku sambil berkata, “Jika Syira benar-benar mau pergi membantu Ibu, Kakak akan menemanimu. Mari kita sama-sama rahasiakan hal ini dari Bapak, juga Ibu.” Sambil melangkah menuju ke ladang orang kami bergandengan tangan dan terpaksa harus mengubur semua mimpi-mimpi semalam. Demi meringankan beban Ibu juga demi kelangsungan hidup untuk mengisi perut.[]

Lintang Panjer Sore

seaplanealaska.com


CERPEN

Ikrar Layang-layang oleh: Dewi Kharisma Michellia

K

AWAN masa kecilku tertidur pulas di dalam peti mati, di sana dia membeku serupa jenazah yang sesungguhnya, dan bersiap diantar pergi, kala hujan tengah diantar pulang ke tanah. Di sebuah desa domestik yang penghuninya masih tak memedulikan perubahan zaman, kawanku berpulang dengan menusuk perut di hadapan putranya yang konon masih balita. Dia sempat dibawa ke rumah sakit paling besar di desa itu, tapi nyawanya tetap tak terselamatkan. Kini peti matinya dijemput oleh pesuruh ayahnya. Aku melihat mobil ambulans itu melintas di depanku di tengah badai. Layang-layang persegiku basah di tanah dan tenggelam oleh banjir. Saat itu aku duduk di pinggiran sawah dengan memegangi kaleng yang dibelitkan tali nilon. Duduk memandang ke arah langit. Seharian itu desa terendam; terjangan hujan bertubi bagai manuver menyerbu tubuhku. Barangkali benar; orang yang nampak paling kuat di pagi hari adalah mereka yang sebelumnya telah menangis sepanjang malam. Kurenungkan hampir segala hal yang pernah terjadi dalam kehidupan kami, kusadari selama ini aku kalah akan nasib. Aku paham benar bahwa hidup hanyalah pinjaman. Tubuhku sendiri pun suatu saat harus kukembalikan ke bumi. Kurasa semua orang menyadarinya pada satu waktu dalam hidup mereka. Namun, sama sepertiku, mengapa tidak ada satu pun orang yang secara hakiki merelakan—ketika tiba masanya pinjaman-pinjaman itu harus dikembalikan? Ini sama saja dengan ikatan sentimental antara aku dan denda peminjaman buku. Aku hampir selalu mengembalikan buku-buku pinjamanku di perpustakaan dengan denda, sekalipun hanya satu hari saja. Meski aku sadar betul aku bukan orang kaya, biaya kuliahku pun adalah beasiswa dari hasil subsidi uang rakyat. Tiap saat terlambat mengembalikan buku, kubayangkan; bilakah aku bisa berlaku serupa terhadap hidup, di mana aku dapat meminjam lebih lama kebersamaanku dengan sekian orang yang kukasihi, sekalipun aku mesti membayar lebih. Meskipun, hidup lebih lama berarti aku harus bertahan dengan jantung yang sudah tak lagi berdetak atau paru-paru yang tak mampu lagi me-

nyaring udara, dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang tak lagi membahagiakan. Namun hidup tanpa kebahagiaan pun boleh saja, asalkan aku tak mesti meninggalkan, atau mereka tak mesti ditinggalkan. Agar, bila memang tiba saatnya, kami akan mati sambil saling bergenggaman tangan; dengan memejamkan mata pada detik yang sama. Kuakui aku pernah membenci praktik-praktik memperpanjang usia. Membayangkan semua orang berlomba bekerja seumpama mesin untuk mengumpulkan uang yang di kemudian hari kembali mereka gunakan untuk berobat dan mengganti suku cadang tubuh yang kedaluarsa. Seumur hidupku aku selalu mencibir mereka yang menggunakan ragam obat dan krim awet muda. Namun hari ini, baru setelah orang yang paling berarti dalam hidupku meninggal, aku menyadari kegilaan-kegilaan itu dapat ditoleransi. Aku bahkan rasanya ingin mendukung siapa pun yang kini mengerjakan eksperimen travel dengan mesin waktu. Kita semestinya bisa kembali ke waktu yang silam. Untuk berada dalam ruang dan waktu yang sama dengan kebahagiaan sejati dalam hidup kita. Dalam hidupku: layang-layang, dia, dan langit biru.

DIA cantik dalam gaun kematian. Telah tiga hari dia dipajang di dalam peti mati yang diletakkan di aula bagian depan rumahnya yang megah. Gadis jelitaku itu menempati istana, di mana raja dan ratu yang menjadi orang tuanya adalah tokoh utama yang melarang dia berkawan dengan orang sepertiku. Dia putri pertama, hari itu tiga adik-adiknya yang tak lebih cantik darinya menjadi penyambut dari setiap pelayat yang datang. Aku melihat para tamu tetap sumringah disapa dengan tiga bidadari dangkal itu. Sekalipun berkuliah di kota, aku tak pernah memedulikan penampilan. Lima tahun aku bekerja untuk negara, tak pernah sudi aku mengeruk kekayaan negara hasil jerih-payah rakyat hanya untuk kepentingan pribadiku. Pulang ke desa, aku selalu membawa pakaian-pakaian paling lusuh yang kupergunakan di kota. Namun, hari itu, pakaianku yang lusuh telah diguntingi dan dibakar oleh kawanku. Menurutnya, aku harus berpakaian baik. Agar setidaknya aku percaya diri untuk hadir di pemakaman. Ia bilang, tak mungkin bagiku untuk merelakan kepergian kekasih begitu saja, tanpa menghadiri pemakamannya. Baru setelah aku dipereteli begitu

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


olehnya aku lantas memberanikan diri bertandang lagi ke istana itu; setelah bertahun-tahun lalu diusir dengan ditendang, diinjak, dan diludahi. Saat aku datang, aku melihat di rumah megah itu, pigura-pigura baru dengan lukisan tujuh generasi mengisi ruang depan. Dalam salah satu lukisan, kawan masa kecilku berdiri di sebelah suaminya sembari memegang bahu putranya yang masih balita. Genaplah lima tahun dia menikah dengan pengusaha kaya itu—yang mana untuk dapat menikahi sang gadis, pada zaman semacam ini pun pengusaha kaya itu mesti terlebih dulu memenangkan semacam tarung pemanahan modern yang diselenggarakan ayah si gadis. Maka, sama seperti tokoh-tokoh picik dalam pewayangan, ia memenangkan si gadis dengan kelicikannya. Setelah puluhan pria yang sama kaya dan tampan gugur sebelum dirinya, ia menang karena telah terlebih dulu memerkosa kawanku. Hanya karena ia kaya dan tampan, ayah kawanku tak menolak menikahkan putrinya saat itu juga. Andai aku yang meniduri putrinya, ia pasti langsung meminta gadisku itu mengaborsi kandungan. Tanpa satu kali pun ia pernah tahu sumpah yang pernah aku dan putrinya ikrarkan bertahun-tahun silam. PADA masa kecil kami, aku pernah berjanji akan menikahi gadisku itu di persawahan, tangan kami akan saling diikatkan pada tali nilon, dan kami akan sama-sama berlari ke arah belakang sambil menerbangkan layanglayang. Harapan semacam itu tak akan pernah bisa kuwujudkan di perkotaan, apalagi dengan gadis yang lain. Tetapi aku tahu ayahnya tentunya tak akan pernah mau tahu. Karena itulah, di sini kemudian kutemui putrinya, membeku biru; alasan kematiannya yang bunuh diri dirahasiakan serapat-rapatnya agar hanya

segelintir orang yang tahu. Tak ada yang wajahnya lebih sedih dan kuyu daripadaku di tempat itu, dan pada akhirnya aku menjadi orang yang paling pertama disuruh meninggalkan tempat itu hanya karena persembahyangan keluarga untuk jenazah akan segera dilaksanakan. Kemudian tamu undangan lain menyusul di belakangku. Aku bisa saja merelakan dia menikah dengan siapa pun, baik yang dia cinta ataupun tidak. Namun kini, berat bagiku merelakan kepergiannya. DI LUAR rumah, aku bertemu dengan putranya yang menyendiri di dekat kolam air mancur. Bahkan putranya sama sekali tak menyerupainya. Mata bulat dengan cahaya redup, kulit pucat, rambut ikal—semirip apa pun ia dengan ibunya, ada hal-hal dalam diri ibunya yang tak dapat kutemukan di dirinya. “Halo, Nak, apa anak-anak di desa ini sekarang masih biasa bermain layangan?” Namun tetap saja kutanyai putranya. “Paman—siapa?” Ia bertanya. “Kawan ibumu di perantauan. Dulu, kami sering bermain ke sawah bersama. Menerbangkan layang-layang, melihatnya membumbung tinggi.” “Apa itu menyenangkan?” “Aku pernah berjanji kepada ibumu, aku akan mengajari anak-anak kami bermain layangan. Aku tak menyangka ibumu meninggal begitu cepat. Dulu kami biasa bermain layangan ketika ada pemakaman massal di kampung. Diam-diam, kami menyelinap ke tengah hutan, dan menerbangkan layang-layang,” jelasku. “Mengapa begitu?” “Legenda di desa ini. Aku dan ibumu menemukannya di lembah hutan pinus. Kami sering kali melihat wajah orang-orang yang meninggal itu di sisi layangan, terbang, hingga putus, dan kami kembali pulang. Kami biasa

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

melakukannya untuk melepas rindu,” jawabku. “Aku ingin melihat wajah ibu di langit. Apakah paman bisa mengajariku bermain layangan?” pintanya pada akhirnya. PIPINYA yang tembem memerah. Ia berlari bersamaku, tertawa dan menceritakan segala macam hal dalam kesehariannya. Aku mengawali perkawanan dengan mengajarinya membentuk layang-layang sendiri. Kuminta ia menggambar wujud layangan sesuai keinginannya. Kami mencari bambu, kertas layangan, dan benang nilon. Ia menggambar naga. Pada hari kami membentuk layang-layang naga, ibunya dimakamkan. Aku dan ia tahu hampir semua orang mencari-carinya, tapi kami bahagia dan kami tak peduli. Melalui hutan pinus, di dekat bebatuan sungai, kami menerbangkan layangan. Kaki kami berdarah-darah karena menerjang batu-batu kecil. Memandangi layang-layang yang terbang tinggi di kejauhan, aku seolah berharap agar asap kremasi sampai di sana, dan ia akan melihat putranya dan aku duduk bersebelahan. “Aku melihat bayangan ibu di sebelah layang-layang.” Meski aku tak mampu melihatnya, layang-layang itu kemudian putus, membumbung jauh, dan bukannya jatuh, ia justru terbang semakin tinggi. “Ibu pergi ke langit ditemani layang-layang,” imbuh putranya. Ingin aku menjawab, namun setelah kupejamkan mataku, aku tak mampu membukanya lagi.[] Dewi Kharisma Michellia Lahir di Denpasar, kini menetap di Yogyakarta dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa UGM, Balairung


PUISI

PUISI-PUISI ASTRY ANJANI Puisi Yang Lahir Dari Rahim Air Mata

Stanza Jejak Smaraloka

anyelir darah membebat jelajah waktu lorong-lorong sunyi menjerit dengan pintalan penuh pinta mengejawantahkan duka di dada semesta

hanya butuh waktu sepersekian detik saat gemuruh menikam dada melambungkan segala kisah deru redam yang ingin segera menamatkan riwayatnya

langgam harpa binasa sudah iramakan gending swargaloka di tanah penuh luka darah-darah menyatu, menggumpal jadi bara luluh lantakkan dinding kokoh penyatuan jiwa ranggaslah sudah bumiku palestina lindap nestapa di sepanjang gurun prahara hamparkan beribu epitaf bermata elang cabik-cabik nurani berselubung amarah sungai-sungai alirkan darah keniscayaan para gembala tersungkur menenteng kitab suci sementara matari pisit melipat cahaya gantung diri di balik keranda

puisi kini telah retak, kekasih tercecer di setiap sudut perjalanan sementara matahari kian jalang membakar apa saja yang kusebut rindu di pucuk senja, gemawan masih saja berwarna ungu ya, ungu yang sendiri sekejap lamunan menerawang langu surga sedekap erat urat leher lalu angin menerbangkan seputik kamboja menabur getah di tubuhku sendiri

10 Maret 2012

dengar, aku belum juga ingin kembali aku masih merindukan wangi hujan juga hutan cemara di matamu menyesap aroma tanah basah ciptakan sajak penuh degup doa

Risalah Puja Bunda

Kendal, 17 Mei 2012

adalah sejuk rumahmu Bunda, yang membawaku kembali menyusuri jalan pulang. kebun kopi, aspal berlubang, hamparan padi menguning usia, juga jernih air yang mengalir dari hulu : hatimu. sejuk, serupa ketika kau dendangkan sebait kidung surga di hening malam, menyatu di dinding rapuh yang bisu. aku ingat, ada bening di sudut matamu. saat hatimu menjerit, melepas kekang tanganmu dari pelukku. “bukankah kini bonekamu telah dewasa, Bunda? mampu menyeka sendiri peluh yang membanjir, lelah meski menyusuri jalanan Ibukota. bukan seperti ketika kau harus mengumbar dada, kala aku menangis karena barbieku hilang!� dan mengingatmu saat ini, airmata yang tertahan kembali berebut keluar, berhamburan menapak jalan kembali padamu. untuk sekedar menikmati sarapan nasi liwetmu, yang kau tanak dengan bara tungku jiwa tulusmu. atau, berlari-lari kecil di pematang sambil membawa rantang nasi yang kau kirim untuk Ayah, yang sedang menghujamkan mata cangkul di tanah harapan. meski dongeng yang akan kau dapatkan selepas aku meninggalkanmu dulu, tak seindah suara lesung kala kau menumbuk padi. namun aku tau, lumbungmu selalu menampung getas gabuknya padi, dalam satu ikatan doa. yang menjuntai di setiap tapak hari. 2 Des 2011

10

Lalu Tanya Itu Pun Datang di sebuah inkubator tubuh mungil menggigil mengerjap, menerka, menangis barangkali di imunnya dunia itu fana di emperan toko tubuh kumal menggelepar mengorek, mengais, sampah adalah makanan di matanya dunia itu lupa lalu, di mana Tuhan tempatkan surga dan neraka? Kendal, 30 Mei 2012

Astry Anjani, lahir di Kendal, 22 Februari 1984. Menekuni kepenulisan puisi sejak awal 2011, sewaktu masih bekerja di Hongkong. Karyanya terkumpul dalam beberapa antologi bersama, salah satunya adalah Jejak Mata Pena (Abatasa, 2012).

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


PUISI-PUISI LULUK ANDRAYANI Narasi Negeri Beton

kumasuki saja jendela itu mungkin di balik sana ada taman sejati

\a/ hujan dan senja. tenggelam. berkabung hati larungkan serpih-serpih deru kalbu menyeru gebu di ranting waktu aku rindu pada belai mentari yang merayap di ujung dahi kugubah gerimis melagu pilu ya inilah kenangan-kenangan tak luntur di undak-undak sayap malaikat —berkeliat menjamu wahyu saat titis-titis mengantung terjatuh di ujung hari, kuhitung berapa jengkal kecamuk mengaduk tanpa arah tanpa jeda andai langit tetap biru, wasiat keemasan kan sampai nyatanya jerit di bawah payung hitam yang terdengar adalah wasiat pendobrak pasti!

\e/ stasiun dan laut. ah ternyata sampai juga bagaimana aku lupa pada curahan genang kenang jemari ingin rengkuh segala bayang—namun semua terbang satu satu tak mampu lagi kujejaki pertanyaan dunia mimpi kanan bukan selalu benar kiri bukan selalu salah aku yang salah megarti tentang kejar kebulatan tekad bidadari biru lesap dalam pancuran tempat naganya berharap—hanya bunga malam kosong dan aku terbuang stasiun terakhir berdinding laut menunggu langkah menjejak : kepada-Nya

LA, 130612

\b/ mungkin dan tak mungkin. dunia hanya ada dua kemungkinan. berpasangan. melengkapi tanpa ragu bergulir senada putaran bumi bulan planet-planet dan aku hanya menempati ruang sisa airmata darah sepi menyileti diri pasrah dalam semua pasangan ada dan tiada bukan lagi cerita keajaiban semua telah tergaris dualisme keabadian \c/ bukit dan sepi. aku tidak tahu masih berapa baris lagi yang harus kulangkahi agar kugapai seluruh cakrawala ah! itu hanya angan—kembang malam bermekaran tiada arti meski seribu tafsir digelar untuk satu titik sudah sudahi bualan, serapah, ludah gendangku sudah meruah ngiangnya dan membuat radang bersarang di dada pergi saja jangan kembali depan dikejar belum tentu tunduk di kaki puncak hening hanya pengandaianku—berakhir sesal percuma membual sudahi saja sebelum radang bernanah dan muncrat amiskan denah perjalanan \d/ jendela melambai. membentak-bentak inginkan tubuh ringkihku, sedang kerat daging amblas digerogoti waktu. apalagi yang diinginkan? pun airmata sudah mengering sadar atau tidak penanggungan kian berat sanggupkah kata tanggung jawab ditopang laku? tanya sering muncul tanpa jawab merayu mendayu bermelodi bahkan berelegi tapi aku telah mati tiada ketakutan pada koak gagak di bumbung juga gugu tuhu di flamboyan bisu

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

Kepulangan aku pulang, Mak! penuhi panggilan rindumu namun selendang pelangi pudar di pundak kembara sisakan lubang hitam di dada nganga penuh bisa petualangan tanpa henti aku pulang, Mak! saat suratmu dikirim oleh asrul sani tadi siang dan sebelum hari mencapai senja aku merangkak telusuri liku luas dunia ini tangan tak sampai memeluk juga kuseberangi luas samudera lagi-lagi dayung patah dan layar tumbang aku telah pulang, Mak! tepat sebelum senja merangkak malam membawa sejuta luka dan kini puaslah dahaga rindu kita pulas!

Ma On Shan, 13512 Luluk Andrayani, lahir di Trenggalek, 1989. Aktif dalam kegiatan kepenulisan di Hongkong. Karya-karyanya termasuk dalam antologi bersama Deru Awang-Awang (Februari 2012), Jejak Mata Pena (April 2012). Aktif dalam grup Bengkel Puisi Swadaya Mandiri.

11


PUISI

PUISI-PUISI FITRI PARASDYANI YANG ASING PADA WAKTU dan kita menjadi berjarak dengan waktu karena setiap pagi asing sendiri tak percaya bahwa matahari di timur berbeda dengan hari lalu pun jendela jendela di dinding rumah, yang kian lapuk dan pasrah kita mesti mengulang bagaimana cara membaca jam pada masa kanak sebelum masa tua semakin kejam sebab bagaimanapun tak ada yang benar benar sama saban hari napas, udara, air, angin membawa kicau yang lain kita jangan lagi asing pada apa pun tumbuh wajar seperti daun daun yang tumbuh tenang di pucuk ranting seperti bola yang menggelinding di tanah basah seorang ibu menghadap cermin memandang bocah yang resah membaca usia pada wajah kitakah? Boja, 2012

PULANG kita hidup tidak sendirian di sini rumah rumah berjajar tenang sambil memegang lampu redup tak seperti matamu yang senang bercerita tentang perjalanan itu di atas truk atau bus malam setiap kali kota dengan banyak kehidupan kau sambangi tentu itu membuatku iri karena desa ini hanya menyajikan sawah dan sunyi, jalanan dan lengang pulang. Kataku padamu lewat apa pun yang mungkin sampai namun perjalananmu entah kapan usai, kapan selesai tak ada surat kuterima sedang suaramu sudah lekat di dadaku ah, kita tak hidup sendirian di sini, bukan? setiap magrib kulihat anak anak berlari menuju mushola sambil merapalkan doa menjelang malam pulang memeluk tangan bapak dan ibu mereka begitulah sebelum kentongan berbunyi dan malam betapa sepi ada jangkerik di sana sedang bernyanyi di tengah sawah laron-laron di sini sedang berputar mencari cara nyaman untuk mati dan kau di lampu itu, entah sedang apa sendiri pulang. Kataku padamu lewat apa pun yang mungkin sampai namun perjalananmu entah kapan usai, kapan selesai Boja, 2012

KATAKAN BAHWA INI SEDERHANA sesederhana inikah kehidupan seperti kembali lagi masa kanak tertawa memamerkan barisan gigi kemudian mengotori baju tanpa takut bagaimana membersihkan juga lutut yang penuh bercak cakaran kucing, jatuh di tanah, tanda jagoan –tak apa benarkah demikian menyenangkan langkah langkah kaki menjadikan PR matematika sangat berharga di hari kelak tunggu dulu, di sini tak ada yang pasti seperti itu bahkan baru kemarin banyak orang terpana sebab bibir mereka berlipat ganda padahal tak ada rumus apa pun selain cara bangun pagi hari kemudian berlari memungut pertanyaan dan menjawabnya sendiri tentang bagaimana nasi bisa menjadi napas tentang bagaimana handphone bisa membuat seseorang bertahan hidup tentang baju bagus, merk sepatu, ocehan tetangga sesederhana inikah kehidupan atau sebaliknya memang ada baiknya kembali kanak lagi bermain petak umpet sepanjang hari bermimpi apa pun setiap malam bercerita dan menangis sesuka hati tangisan yang mentah dan murni Boja, 2012

12

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


CERITA HARI INI --PAGI ibu buru buru ke kamar mandi ia mencuci segala ihwal, termasuk hati dinyalakannya mesin cuci ada yang menderum ngeri panggilan ayah, atau suara di seberang jalan oh itu tukang sayur ibu tak akan beli apa apa hari ini meski perut kami tak pernah kenyang, oleh rutinitas yang membosankan nanti ibu masakkan, cerita sebagai pengganjal perut dan modal tertawa lalu tukang sayur pergi terus berteriak sayur dan tak ada yang membeli --SIANG siapa yang tidur siang, mendengkur lagi di ruang sebelah, kamar siapa? tidak tahu, sepertinya kamar yang tidak ada di rumah ini tapi jelas suaranya tak jauh jauh dari sini mungkin di dapur? tidak, di dapur cuma ada kompor yang dingin atau ruang tamu? mana ada, pintu tertutup tak ada orang masuk mungkin di teras hanya angin tenang dan asing kau tau tak pernah ada orang di rumah siang siang begini --SENJA ayah pulang membawa banyak sekali cerita ada yang manis, pahit, dan pekat seperti cokelat aku tak suka, kata ibu lalu matahari surup masakan di meja tiba tiba hangat ini sayur tadi pagi, kan? tanya ayah aku menyanyi sambil melihat gelap di jendela jam di dinding terus beranjak tua --MALAM selamat tidur. kenapa belum tidur? aku sedang menulis, bu. menulis apa? menulis cerita. cerita apa? cerita kita. oh, bagian mana? setiap bagian. oh, jangan terlalu banyak mimpi. ya, bu. lampu mati. Boja, 2012

Fitri Parasdyani. Lahir di Boja, 9 Agustus. Berdomisili di Boja. Alumnus FPBS IKIP PGRI Semarang. Puisi dan cerpennya dimuat di beberapa media massa dan antologi bersama: Kursi yang Malas Menunggu (TBJT, 2010), Shinigami (TBJT, 2010), Tanda (Teater Semut Kendal, 2011), Beternak Penyair (Hysteria-Dekase, 2011), Merajut Sunyi, Membaca Nurani-Napak Tilas Jejak Penyair Iman Budi Santosa di Medini (KLM-APSAS, 2012), Perempuan dan Dering Handphone (TBJT, 2012). Berproses bersama Komunitas Lereng Medini.

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

13


ESAI

Reproduksi Pahlawan Devisa dalam Surat Berdarah untuk Bapak Presiden Oleh: Pinto Anugrah

K

esejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan negara. Memajukan bangsanya melalui pendidikan dan menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Salah satu jalan keluar bagi semua tujuan tersebut untuk menekan angka pengangguran di negara ini adalah menjadi tenaga kerja di luar negeri atau lazim disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berbagai lapangan kerja yang menjanjikan kesejahteraan disediakan, mulai dari buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pengasuh, karyawan perusahaan, dan lain-lain. Semua itu merupakan jalan keluar untuk menekan angka pengangguran, mendatangkan kesejahteraan, dan membawa harapan untuk mengubah nasib bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak ketinggalan, sistem seperti itu secara tidak langsung membawa keuntungan ekonomi bagi negara berupa devisa kerja, yang kemudian untuk menghargai para tenaga kerja tersebut negara menamai mereka—dan secara tidak langsung—mengangkat mereka sebagai pahlawan, Pahlawan Devisa. Hal ini jelas merupakan suatu usaha pemerintah untuk mengangkat harkat dan martabat para tenaga kerja tersebut karena telah memberikan keuntungan bagi negara berupa devisa. Dalam ideologi negara, Althusser menyebutkan, bahwa negara ideologis berfungsi secara masif dan berkuasa lewat ideologi, tapi berfungsi secara sekunder melalui represi, bahkan melalui tingkatan tertinggi—tapi hanya pada akhirnya—fungsi ini menjelma sangat halus dan tersembunyi, bahkan simbolik.[1] Salah satu penggambaran hal tersebut terdapat di dalam cerpen Surat Berdarah untuk Bapak Presiden karya Jaladara.[2] Salah satu bagian di dalam cerpen tersebut, tertulis:

14

“Bagaimana perasaan Bapak Presiden sebagai pemimpin saya jika tahu kalau saya, rakyat yang Bapak pimpin diperlakukan lebih rendah daripada anjing? Ah, mungkin Bapak tidak akan pernah tahu. Mungkin Bapak lebih mementingkan urusan lain yang lebih besar, yang lebih menguntungkan daripada sekedar mengurusi urusan remeh temeh rakyat kecil seperti saya ini…..”[3] Hal ini, apa yang disebut Althusser dengan Aparatus Negara, seorang pemimpin belum tentu tidak tahu dengan keadaan rakyatnya, namun kembali ke paradigma aparatus negara tersebut, bahwa “saya” di dalam cerpen tersebut kalau ingin memperbaiki nasibnya, harus dengan keinginan dan usaha sendiri, jangan bergantung kepada negara—yang dalam hal ini diwakili oleh “Bapak Presiden”. Negara pun berusaha menanamkan ideologi semacam itu bahwa nasib yang baik itu adalah sekolah yang tinggi, untuk memperbaiki nasib itu adalah dengan pendidikan. Penanaman ideologi pendidikan inilah, yang juga menjadi semacam bentuk harapan imajiner di dalam individu “saya” sebagai seorang tenaga kerja yang “saya” sendiri menganggap dirinya lebih rendah daripada anjing. Sehingga “saya” jadi menyesali sekaligus menggantungkan harapan, seandainya “saya” ini mempunyai pendidikan yang lebih tinggi tentu nasibnya akan lebih baik. Di dalam cerpen Surat Berdarah untuk Bapak Presiden ini, tokoh Minah sebagai “saya” memaparkan seperti ini di dalam surat yang dituliskannya: “Bapak Presiden yang baik hati. Kenapa sekolah harus mahal ya? Sampai kapan orang-orang seperti saya bisa memperbaiki kualitas hidup jika untuk sekolah saja tidak sanggup?”[4] Althusser sendiri menjelaskan tentang Aparatus Pendidikan, sebagai suatu usaha terhadap institusi yang tidak berhasil memenuhi syarat utuh sebagai sebuah pendidikan, namun ada aparatus di balik itu. Strinati menjelaskan tentang aparatus pendidikan yang dikemukakan Althusser tersebut dengan,[5]

bahwa fungsi ideologi mengamankan reproduksi berbagai relasi produk. Ini artinya bahwa ideologi dijelaskan dalam pengertian basis ekonomi, dan ideologi ini memiliki otonomi yang diandaikan memiliki suatu konsekuensi fungsi yang direkatkan padanya oleh cara produksi. Jadi bahwa timbulnya keinginan untuk mempunyai pendidikan yang lebih tinggi bagi tokoh “saya” ini karena ketertekanan yang timbul dari dirinya, nasib yang menimpanya terjadi karena tidak mendapat pendidikan yang lebih tinggi, sehingga timbul dorongan bagi individu tersebut untuk memiliki pendidikan yang lebih tinggi agar individu tersebut tidak berada pada posisi yang “lebih rendah daripada anjing”. Padahal, dorongan ketidaksadaran itu timbul akibat sistem aparatus kapitalis yang mengekangnya, yang oleh Strinati sendiri menjelaskan,[6] bahwa pendidikan direduksi menjadi suatu mekanisme penanaman keterampilan teknis maupun sikap-sikap terhormat yang dipaksakan, indoktrinisasi ideologi yang dominan, dan penyebaran orang dalam bidang produksi. Keterkungkungan di dalam sistem ini menjadikan pendidikan hanya sebagai bentuk dari upaya untuk melahirkan para kapitalis-kapitalis baru, bukan sebagai upaya untuk memperbaiki nasib individu ke arah yang lain. Jadi yang disalahkan dalam pandangan ini individu itu sendiri, kenapa dia berpendidikan rendah sehingga akhirnya nasibnya cuma bisa menjadi TKI. Kenapa dia tidak berusaha memperbaiki nasib. Posisi seperti ini bukanlah salah dari sistem itu sendiri—kapitalis misalnya, dia menjadi miskin dan pergi keluar negeri untuk menjadi TKI karena di negeri sendiri, semua lahan telah dimonopoli oleh perusahaan tertentu atau sistem tertentu. Lahan yang dulunya adalah sawah dan ladang, sekarang telah menjelma menjadi pabrik-pabrik dan gedung-gedung modern, sehingga tempat baginya—bagi orang-orang miskin seperti dirinya tidak tersedia. Keadaan tersebut dapat tercermin di dalam kutipan cerpen tersebut:

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


“…. Bapak Presiden berapa ya gajinya sebulan? Pasti sangat banyak pasti bisa untuk membiayai sekolah putra-putri Bapak sampai setinggi-tingginya. Tidak seperti gaji saya, Pak. Kata Mbak Tutik, seharusnya saya menerima gaji lebih besar dari gaji yang saya dapatkan saat sekarang. Tapi saya tidak tahu bagaimana harus mengurusnya, Pak….”[7] Peran aparatus pendidikan inilah yang dijalankan oleh tokoh “saya” karena pendidikannya hanya sampai SD sehingga pada akhirnya dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk nasibnya sendiri, bahkan untuk mengurus gajinya yang seharusnya dia terima lebih besar dari yang selama ini dia dapat pun dia tidak mampu. Pada akhirnya, tidak hanya tokoh “saya” saja yang tunduk dan pasrah terhadap hegemoni kekuasaan yang membelenggu dan mengalami kebuntuan cara berpikir, tapi juga aparatus itu sendiri—dalam hal ini aparatus negara, yang tidak melakukan pembelaan apa-apa disaat para TKI itu mendapat masalah di luar sana, padahal mereka tersebut disebut dengan pahlawan devisa, seperti yang diceritakan pada cerpen ini: “Hampir setengah jam lamanya Minah bergelut melawan anjing-anjing kelaparan itu. Minah menjerit minta tolong, namun sia-sia, tidak ada yang mendengar jeritnya…. Minah terkapar.”[8] Kemudian: “Hongkong. Apple Daily. Seorang wanita pekerja migran asal Indonesia ditemukan tewa di sebuah rumah di kawasan Tai Po. Wanita duapuluh tahun itu bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya. Korban meninggal karena kehabisan darah….”[9]

Seperti itulah ending dari cerpen ini, yang menggambarkan bagaimana individu sebagai subjek yang pada akhirnya tunduk juga kepada kekuasaan, walau untuk matinya sekalipun. Althusser[10] menjelaskan tentang subjek ini sebagai makhluk yang patuh, yang taat pada kekuasaan yang lebih tinggi, dan karenanya, semua kebebasan dilucutinya, selain kebebasan untuk menerima kepatuhannya. ___________ [1] Lihat Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, 2010, Yogyakarta: Jalasutra, hlm 22. [2] Lihat Alan Maligi, dkk, Nanduring Karang Awak; A Bilingual Anthology of Indonesian Writing, Ubud Writers & Readers Festival 2011, 2011, Ubud: UWRF 2011, hlm 33. [3] Ibid, hlm 37. [4] Ibid, hlm 35. [5] Lihat Dominic Striniti, Popular Culture; Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, 2010, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, hlm 243. [6] Ibid. [7] Lihat Alan Maligi, dkk, Nanduring Karang Awak; A Bilingual Anthology of Indonesian Writing, Ubud Writers & Readers Festival 2011, 2011, Ubud: UWRF 2011, hlm 36. [8] Ibid, hlm 38. [9] Ibid [10] Lihat Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, 2010, Yogyakarta: Jalasutra, hlm 59.

Pinto Anugrah Cerpenis kelahiran Padang, buku kumpulan cerpennya berjudul Kumis Penyaring Kopi

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

sumber foto: www.centroone.com

Nanduring Karang Awak - Cultivate the Land Within adalah buku kumpulan puisi dan cerpen dwi bahasa yang berisi karya-karya para penulis Indonesia terpilih dalam Ubud Writer & Reader Festival 2011. UWRF 2011 yang telah berlangsung Oktober 2011 merupakan peristiwa istimewa bagi BMI, karena dalam festival sastra bertaraf internasional ini terdapat dua penulis terpilih dari kalangan BMI, yakni Jaladara (BMI Hongkong) dan Nessa Kartika (BMI Singapura): bukti bahwa penulis dari kalangan buruh migran tidak bisa dipandang sebelah mata dan sudah mendapat pengakuan secara internasional lewat ajang ini. Dalam buku ini, selain terdapat cerpen Surat Berdarah untuk Bapak Presiden karya Jaladara, yang berkisah tentang perjuangan seorang buruh migran di Hongkong, juga terdapat penggalan novel yang berkisah tentang buruh migran Hongkong karya Rida Fitria, penulis perempuan asal Lumajang. Penulis-penulis Indonesia terpilih yang karyanya tergabung dalam buku ini berasal dari berbagai pelosok Indonesia. Festival sastra internasional UWRF diadakan setahun sekali di Ubud, Bali. Para penulis terpilih diseleksi dari karyakarya yang telah dikirimkan ke kurator. Mereka yang terpilih akan diundang untuk berbicara dalam berbagai diskusi panel yang dihadiri oleh penulis-penulis dari seluruh dunia. Ayo, adakah rekan-rekan dari penulis BMI yang mau menyusul? Siapkan karya-karya terbaik Anda untuk tahun berikutnya. Siapa tahu tahun berikutnya 15 giliran Anda yang terpilih.[Red]


Pembawa Harta Karun Itu Bergelar BMI Oleh: Adi Toha

B

ukan hal aneh lagi jika pada suatu waktu kita mendengar ada buruh migran yang sukses dan beruntung, sehabis masa kontrak kerja di luar negeri, pulang ke tanah air dengan membawa kesuksesan berupa materi, yang barangkali dapat diukur dengan kasatmata; karena memang itulah yang menjadi raison d’être keberangkatan para buruh migran itu ke luar negeri: untuk mengais rezeki karena keterbatasan lapangan kerja di tanah air. Lagi pula, masyarakat kita sudah mafhum akan hal itu. Namun, jika ada buruh migran yang pulang ke tanah air dengan memboyong “satu” perpustakaan untuk didirikan di kampung halaman, itu baru luar biasa. Lintang, seorang BMI di Hongkong sekaligus penyalur buku dari Indonesia ke Hongkong, mengungkapkan bahwa dalam satu bulan, dirinya memasukkan lebih kurang 300 eksemplar buku berbahasa Indonesia untuk dipasarkan di Hongkong. Buku-buku tersebut merupakan pesanan dari rekan-rekan sesama BMI lainnya, baik yang memesan lewat media jejaring sosial, ataupun lewat lapaknya yang digelar di Lapangan Viktori, bersamaan dengan perpustakaan lesehan yang dikelolanya bersama teman-temannya. Menurutnya, hal ini karena mereka memerlukan bahan bacaan untuk mengisi kekosongan sela waktu luang di rumah majikan. Pilihan yang cerdas. Kebutuhan akan buku-buku berbahasa Indonesia ini di satu sisi dapat diartikan sebagai semacam usaha untuk mengisi waktu luang dengan membaca, mengingat, sebagian besar tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri dalam sektor informal berasal dari kalangan berpendidikan kurang tinggi, sehingga tidak begitu familier dengan bahasa selain Indonesia, dan di sisi lain, oleh karena itu, membaca buku-buku berbahasa Indonesia di sela-sela kesibukan pekerjaan di negara asing dapat dijadikan sebagai bentuk usaha untuk tetap mendekatkan diri dengan bahasa ibu, maka dari itu, mendekatkan diri dengan kampung halaman. Selain itu, kesadaran untuk membaca—dan menulis—di kalangan buruh migran Indonesia di Hongkong juga semakin tinggi. Berangkat dari hal itu, beberapa rekan BMI mulai berinisiatif untuk mendirikan perpustakaan-perpustakaan swadaya dan independen baik di Hongkong— memanfaatkan hari libur mingguan dengan menggelar buku-buku koleksi perpustakaan di lingkungan Lapangan Viktori—ataupun di kampung halaman mereka masing-masing. Muntamah Sekar Cendani, BMI Hongkong, meng16

Ket: Aktivitas salah satu perpustakaan lesehan

awali dengan buku-buku koleksi pribadinya yang dikirimkan dari Hongkong ke kampung halamannya, kini mendirikan Pondok Maos Cendani (PMC) di Kediri. Bekerja sama dengan pegiat dan relawan operasional harian, kini Muntamah dapat mengelola perpustakaan di kampung halamannya, menjalin jejaring dengan perpustakaan-perpustakaan lainnya, sambil tetap bekerja di Hongkong. Hal sama juga dilakukan oleh Pendar Bw, dengan perpustakaan Wiwawi yang dirikannya di Cilacap. Lintang, selain menyalurkan buku-buku pesanan dari Indonesia ke Hongkong, juga mendirikan perpustakaan Bintang Al-Ikhlas (BAI) yang dia jalankan bersama beberapa relawan, rekan-rekannya sesama BMI. Bustomi, BMI asal Jombang, juga sudah lama mendirikan perpustakaan lesehannya yang dia beri nama LSO (Lentera Sukses Organisasi). Ita W, menggerakkan perpustakaannya yang bernama Pandu Pustaka. Selain itu, perpustakaan juga didirikan oleh beberapa komunitas seperti FLP-HK, dan lembaga seperti Dompet Dhuafa HK. Menjamurnya perpustakaan-perpustakaan swadaya ini merupakan akibat positif yang tidak terelakkan dari berkembangnya budaya literasi di kalangan BMI Hongkong. Sebagian besar, pada awalnya mereka mendirikan perpustakaan dari koleksi pribadi yang tidak seberapa, yang mungkin saja merupakan buku-buku yang mereka bawa dari kampung halaman. Untuk penambahan koleksi buku, selain dengan cara menyisihkan sebagian uang dari gaji bulanan, juga dari infak atau sumbangan sukarela dari para peminjam. Bekerja menjadi BMI di luar negeri, bagi sebagian orang yang tersadarkan, tidak lagi sekadar mengumpulkan materi untuk dibawa pulang sehabis masa kontrak mereka nanti, tapi sekaligus sebagai peluang untuk mengembangkan diri dan ketika nantinya mereka pulang ke kampung halaman, mereka membawa serta sesuatu yang lain selain materi. Imroatul, seorang BMI Singapura yang habis masa kontraknya beberapa bulan silam, kembali ke kampung halamannya dengan memboyong ratusan buku yang dikoleksinya semasa bekerja di Singapura. Kebetulan, majikannya gemar membaca Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


dan mengoleksi buku, dan dari sanalah dia menjadi tertarik. Buku-buku yang sebagian besar berbahasa Melayu dan Inggris itu rencananya akan dia pergunakan untuk mendirikan perpustakaan kecil di kampung halamannya. Ratu Bilqis, begitu habis masa kontraknya di Hongkong beberapa bulan silam dan kembali ke kampung halamannya di Subang, kini mendirikan rumah baca Bilqis dan aktif mengembangkan desanya hingga menjadi desa produktif di Jawa Barat. Beberapa kawan BMI yang saya tanya, paling sedikit mereka memiliki lima buah buku bacaan (selain kitab suci) di dalam kamar tempat tinggal mereka, ada juga yang memiliki puluhan buku. Saya membayangkan, jika kesadaran untuk membaca dan kesadaran akan arti penting buku bagi peningkatan wawasan dan pengembangan pribadi semakin luas di kalangan BMI, sehingga buku akan menjadi salah satu daftar belanjaan wajib selain kebutuhan primer dan kebutuhan akan updating budaya pop dan teknologi lainnya, maka jumlah buku yang dimiliki oleh masing-masing akan sama, misalnya, dengan jumlah baju yang dimiliki. Dan setiap kali ada buku baru, akan diperbincangkan sama kadarnya dengan setiap kali ada mode pakaian terbaru atau handphone terbaru. Kemudian pada akhirnya, buku-buku akan menjadi barang berharga yang ikut dikirimkan ke rumah di kampung halaman beserta materi lainnya sebagai bentuk hasil kerja keras di luar negeri. Taruh saja, misalnya, paling banyak satu persen saja dari seluruh populasi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, memiliki kesadaran itu, maka bisa dibayangkan, akan ada berapa banyak perpustakaan-perpustakaan kecil yang berdiri di pelosok-pelosok

desa, yang menjadi kampung halaman sebagian besar tenaga kerja tersebut. Memang, hal-hal semacam ini, iklim literasi yang tumbuh seperti ini, hanya dapat terjadi di negara-negara tertentu. Didukung oleh regulasi yang tepat, baik oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah negara penempatan, BMI bisa mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya, salah satunya sebagai manusia pembelajar terhadap lingkungannya, yang memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan diri, bukan sekadar menjadi komoditas dan mesin produksi. Menemukan suatu taman yang sejuk dan rindang di tengah-tengah panasnya gurun yang mahaluas tentu saja merupakan sesuatu yang menakjubkan, seperti menemukan harta karun. Dan di tengah-tengah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama di pedesaan, karena ketiadaan bahan bacaan yang memadai, justru para BMI-lah, melampaui bermacam keterbatasan mereka miliki, yang menjadi penjaga taman harta karun tersebut. Sebuah perpustakaan selalu merupakan taman ilmu pengetahuan, yang siapa pun tidak akan pernah tidak mendapatkan apa-apa saat memasukinya.[] Daftar Perpustakaan BMI di Hongkong: 1. Rumah Baca Lentera Qalbu (RBLQ), Tsim Tsa Tsui, didirikan oleh dua BMI asal Banyumas: Annie Ramadhani, dan sang adik, Sofiana. 2. Perpustakaan Berkah, Bawah Jembatan King Road Java Road, Nort Point, Hongkong. 3. Perpustakaan Buku OASE, depan Toko Indomarket Causeway Bay. 4. Perpustakaan Al-Hikmah, samping Toko Indomarket. 5. Perpustakaan Al-Halim, bawah eskalator depan LIBRARY HK; 6. Perpustakaan Pandu Pustaka. 7. Perpustakaan Sirotol mustaqim. 8. Perpustakaan LSO. 9. Perpustakaan Bayu Insani. 10. Perpustakaan Kediri Peduli. 11. Perpustakaan Nurmuslima. 12. Perpustakaan FLP HK

Ket: Ayyu (kiri), pengelola Pondok Maos Cendani,

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

[berbagai sumber]

17


RAK BUKU

Perjalanan Panjang Mencari Silsilah Keluarga

B

agaimana jadinya jika kau mengetahui bahwa dirimu hadir di dalam sebuah keluarga, tumbuh dewasa bersama mereka, tapi melalui sebuah silsilah yang rumit, dan ada bagian dari masa lalu yang sangat berarti bagimu, tapi berusaha dihapus oleh seorang nenek yang begitu dominan dalam kehidupanmu? Itulah yang dialami oleh Aurora. Dia lahir dari seorang ibu mulato, bernama Lynn, gadis tercantik di San Francisco, yang meninggal sewaktu melahirkan dirinya. Kakeknya dari pihak ibu adalah seorang tabib China ternama, bernama Tao Chien, sementara nenek dari pihak ibunya adalah wanita Chile bernama Eliza Sommers. Ayah kandungnya adalah seorang playboy dari Chile bernama Matias Rodriguez, putra dari Paulina del Valle, wanita kaya raya berkemauan keras dan memiliki insting bisnis yang kuat. Akan tetapi, Matias tidak pernah menikahi Lynn, meskipun gadis itu sangat mencintainya. Lynn dinikahi oleh Severo del Valle, keponakan Paulina yang sangat mencintai Lynn, terlepas dari Lynn sudah lebih dulu dihamili oleh Matias, agar anak dalam kandungan Lynn memiliki ayah sekaligus demi menutupi aib keluarga del Valle. Paulina pada awalnya geram dan tidak percaya bahwa anaknya yang keturunan bangsawan itu telah menghamili gadis keturunan China. Namun, pada saat kelahiran Aurora, Paulina berusaha keras untuk merebut cucu biologisnya itu dari tangan Eliza dan Tao Chien, terlepas dari fakta bahwa Matias enggan menikahi Lynn, karena dia begitu ingin memiliki cucu perempuan. Dengan keanggunan dan kecerdikannya, Eliza berhasil mempertahankan Aurora, melawan mulut manis dan tawaran-tawaran menggiurkan dari Paulina. Wanita bangsawan itu berang, dan bertekad untuk merebut Aurora apa pun caranya. Tao Chien dan Eliza, yang sangat berduka karena kehilangan putri satu-satunya, yang selama ini dijaga dan dibesarkan dengan adat kesopanan yang ketat, sangat menyayangi Aurora, apalagi sang kakek, yang memberinya nama China, Lai Ming. Tao Chien menjadi sosok kakek, ayah, sekaligus pahlawan bagi Lai Ming kecil. Namun, kehidupan kakek dan cucu itu tidak berlangsung lama. Pada saat Lai Ming berusia 5 tahun, Tao Chien meninggal. Eliza, demi memenuhi pesan suami yang sangat dicintainya itu untuk membawa jenazah Tao Chien ke Hongkong, kampung halamannya, akhirnya menyerahkan Aurora kepada Paulina untuk dibesarkan seterusnya. Kedua nenek itu bersepakat bahwa mereka tidak akan pernah mengungkit-ungkit asal usul dan masa kecil Aurora, demi masa depannya. Segalanya tidak berlangsung mudah. Hari-hari pertama tinggal di kediaman Paulina, Aurora terus-menerus memanggil Nenek Eliza. Butuh waktu lama sampai Aurora mulai terbiasa dengan kehidupan Paulina yang kaya raya dan glamor, berbeda dengan kehidupan Kakek Tao dan Nenek Eliza yang bersahaja. Paulina dengan sekuat tenaga berusaha “menenggelamkan” Aurora ke dalam kehidupannya, dan menghapus 5 tahun kehidupan Aurora sebelumnya. Dia tidak disekolahkan di luar, tapi dengan mendatangkan guru khusus ke rumah. Paulina berniat menjadikan Aurora sebagai keluarga del Valle sejati. Wanita itu berhasil. Namun, selalu ada ruang kosong dalam diri Aurora yang sama sekali tidak terpenuhi. Apa yang diingat oleh Aurora

18

Judul: Potret Warna Sepia Penulis: Isabel Allende Penerbit: Gramedia Terbit: Februari 2012 “Cinta adalah kontrak bebas yang diawali dengan percikan api dan bisa berakhir dengan cara yang sama. Ribuan bahaya mengancam cinta, namun bila kedua sejoli mempertahankannya, cinta bisa selamat, tumbuh ibarat pohon dan memberikan kerindangan buah-buahan, namun itu hanya terjadi apabila keduanya terlibat.” —Aurora del Valle

tentang 5 tahun masa kecilnya hanyalah mimpi buruk tentang sosok-sosok berpiama hitam yang mengepungnya dan tiba-tiba dia kehilangan pegangan dari sesosok tangan dari orang yang dicintainya. Mimpi itu terjadi berulang-ulang. Portrait in Sepia merupakan novel kelanjutan dari Daughter of Fortune karya Isabel Allende, penulis kawakan kelahiran Peru, yang merupakan novelis wanita paling sukses di Amerika Latin. Dalam buku sebelumnya, Allende berkisah tentang Eliza Sommers, bagaimana gadis yang semula alim itu mengarungi samudra dari Valparaiso menuju California, kemudian San Francisco, di tengah ancaman bandit-bandit dan para pemburu emas, demi menyusul kekasihnya yang tergiur oleh demam penemuan emas di California; ditemani oleh Tao Chien yang jujur dan setia. Novel ini terbagi menjadi tiga bagian dan satu epilog. Bagian pertama mengisahkan kelahiran Aurora dan anggoraanggota keluarganya. Bagian kedua berkisah tentang kehidupan Aurora yang mulai rumit dan berkembang. Bagian ketiga, Aurora mulai tumbuh dan mulai jatuh cinta dengan fotografi, menikah dengan Diego Dominguez. Dan bagian epilog bercerita bagaimana hubungan keluarga Aurora yang semakin rumit dan kembalinya Eliza ke dalam kehidupan cucunya, demi melengkapi potongan-potongan masa lalu yang hilang, yang seiring waktu coba disatukan oleh Aurora. Meskipun pusat cerita adalah Aurora, tetapi tokoh-tokoh lain dalam novel ini juga sama menariknya dengan karakter masing-masing yang tidak hitam-putih. Bisa dibilang, tidak ada protagonis-antagonis, semuanya adalah tokoh utama, yang saling berkelindan membuat jalinan cerita yang kompleks dan memikat. Severo del Valle misalnya, ayah tiri Aurora itu menjadi sosok yang begitu gentlemen, hampir seperti malaikat, terlepas dari kengerian perang pasifik yang dialaminya. Cintanya yang begitu dalam kepada Lynn, kasih sayangnya kepada Aurora, dan pengabdiannya kepada Paulina, juga kemudian, tanggung jawabnya kepada Nivea, istri keduanya. Di jantung buku ini ada kisah cinta. Ada kisah cinta antara Eliza dan Tao Chien yang begitu kukuh karena telah melewati tempaan hebat dan perjalanan yang rumit, yang telah dikisahkan dalam buku sebelumnya; kini mereka tinggal mengalami masa-masa keindahannya. Ada kisah cinta antara Severo terhadap Lynn yang begitu tiba-tiba dan besar, sehingga dia harus memutuskan Nivea, tunangannya

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


yang sangat mencintainya; ada juga kedalaman cinta Nivea terhadap Severo sehingga dia selalu menunggu Severo untuk kembali bersamanya lagi. Lebih daripada itu, buku ini adalah kisah tentang sosoksosok wanita yang kuat, yang tidak mudah menyerah dengan keadaan dan keterpurukan, di tengah dominasi kaum pria. Eliza, Aurora, Paulina, dan Nivea adalah wanita-wanita kuat yang menjadi perajut kisah yang sangat memikat dalam novel yang juga berlatar sejarah dan perang di Amerika Latin ini. Meskipun buku ini adalah kelanjutan dari Daughter of Fortune, tapi tanpa membaca buku prekuel itu pun kita tetap dapat mengikuti keseluruhan kisah tanpa harus tersesat. Allende menyelipkan beberapa potongan kisah yang signifikan dari buku sebelumnya sehingga buku ini cukup nyaman untuk dibaca sebagai buku tersendiri. Akhirnya, dapatkah Aurora menemukan rahasia-rahasia gelap masa lalunya, dan lepas dari mimpi-mimpi buruk tentang lelaki berpiama hitam yang mengepungnya? Membaca buku ini kita akan mengetahui perjalanan hidup Aurora sekaligus perjalanan panjang sebuah keluarga dalam menjalani konflik demi konflik yang tidak biasa, di tengah pergolakan sejarah yang mau tidak mau berpengaruh dalam kehidupan pribadi para pelaku-pelakunya. Mengharukan tapi tidak cengeng, mendalam tapi tidak membuat kening berkerut. Sungguh buku yang sangat berbobot untuk dilewatkan.[] Adi Toha (Penulis, Penerjemah, dan Penyunting Lepas)

“Aku tidak memintamu mencintaiku, Lynn, cinta yang kurasakan untukmu cukup untuk kita berdua.” —Severo del Valle “Anggur itu seperti orang, Aurora; makin sulit situasinya, makin bagus buahnya. Sungguh sayang aku telat mengetahui kebenaran ini, sebab kalau aku tahu lebih awal, akan kugencet kau dan anak-anakku dengan lebih keras.” —Paulina del Valle Isabel Allende, adalah sastrawan wanita kelahiran di Lima, Peru, pada 2 Agustus 1942. Namanya melambung ke jajaran penulis dunia lewat novel berjudul The House of the Spirits (Rumah Arwah), yang bercorak realisme magis. Novel-novelnya, selain banyak yang berlatar sejarah dan Amerika Latin, juga berkisah tentang dinamika kehidupan perempuan. Karya-karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah: The House of the Spirits, Daughter of Fortune, City of the Beast, dan Kingdom of The Golden Dragon. Ia kini menetap di California bersama suaminya.

INFO BUKU BMI Judul: Jejak Mata Pena, kumpulan puisi Pengarang: Lintang Panjer Sore, Astry Anjani, Luluk Andrayani, dkk. Penerbit: Abatasa Publishing Tahun Terbit: 2012

Judul: Sekeping Hati:

Buku ini adalah kumpulan puisi karya delapan pengarang perempuan BMI yang menamakan diri “Kemboja Mencari Warna. Beragam tema puisi terdapat di dalamnya, mulai dari suara hari buruh migran, puisi cinta, puisi kepada Tuhan, dan puisi bernuansa alam. “Puisi yang dimuat dalam buku ini, tentu saja merupakan jejak penyairnya sebagai bagian dari hidup dan kehidupan. Dengan mata penanya, penyair menulis puisi yang sekaligus memberikan kesaksian yang seksi,” demikian komentar penyair Dimas Arika Mihardja, Direktur Eksekutif Bengkel Puisi Swadaya Mandiri terhadap buku ini. Jejak Mata Pena, menjadi kesaksian delapan perempuan tangguh ini dalam bergelut dengan realitas di sekeliling yang mereka tuangkan dalam bentuk puisi. Layak untuk dibaca oleh para penyuka puisi dan pembaca pada umumnya.

Begitu banyak kejadian dalam hidup ini. Seharusnya ada ribuan hikmah yang bisa dipetik, lalu disebar sebagai bibit kearifan, hingga akhirnya mampu menumbuhkan berjuta pohon kebaikan. Kalau tidak ada hikmah yang bisa dipetik, mungkin selama ini kita hanya melihat kejadian berdasarkan lahirnya saja. Sudah saatnya kita ubah cara pandang kita, jangan lihat hidup hanya dari lahirnya saja, tapi lihatlah dari hakikatnya. Jika masih belum berhasil juga, mungkin hati kita yang telah gersang, hati kita kering menunggu mati. Jangan sampai itu terjadi, maka berdoalah. Saat ramainya pesan hidup tak jua melahirkan kearifan, maka berdoalah, “Ya Tuhan kami, buka pintu hati kami. Beri kami hidayah-MU dan beri kami kekuatan untuk tetap berada di jalan-MU.”

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

Catatan Hati Seorang Wanita Salihah

Pengarang: Arsya Kirana Penerbit: Pesantren Penulis Publishing Tahun Terbit: -

19


SOSOK

MISWEN BRILIANA FITRI: BMI Menulis, Pasti Bisa!

I

klim kepenulisan yang kondusif di kalangan BMI Hongkong telah melahirkan para penulis yang sudah dapat diakui kepiawaiannya dalam menggoreskan pena. Karya-karya mereka merentang dari novel, cerpen, puisi, dan reportase jurnalistik. Miswen salah satunya. Wanita bernama lengkap Miswen Briliana Fitri ini menjadi kontributor koran SUARA, salah satu surat kabar berbahasa Indonesia yang terbit di Hongkong. Wanita yang memiliki perawakan tinggi semampai dan lahir di kota Punggelan, Banjarnegara, Jawa Tengah ini bekerja di Hongkong sejak Agustus tahun 2004 sampai sekarang. Di sela-sela kesibukannya bekerja, tim majalah LIBRI berkesempatan untuk mewawancarainya secara daring. Apa arti menulis bagi Miswen dan apa yang menjadi alasan Miswen untuk menulis? Menulis adalah media berekspresi dan berinteraksi yang efektif saat mulut tak mampu mewakili apa yang ingin kita ucapkan. Menulis juga sebuah tantangan dalam menjalani fase ke fase, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi ingin mampu. Dan dari proses membaca kemudian timbul rasa menggebu-gebu ingin melahirkan bacaan. Menulis juga saya maknai menjadi, cara lain dalam mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, karena saat mulai memasuki dunia kepenulisan dengan serius, saat itu saya sedang berada dalam titik kegagalan di bidang lain. Dengan aktif menulis, saya bisa melupakan sesaat kesakitan saya akibat kegagalan tadi. Menulis juga salah satu jalan bangkit dari keterpurukan, cara positif dalam menyalurkan emosi, boleh dibilang, menulis adalah sebuah pelarian yang positif, penyembuh saat kita menghadapi sakitnya kegagalan atau keterpurukan, sebuah refleksi bagi diri yang letih. Saya menulis karena menulis adalah salah satu cara pembuktian, di antara cara-cara lain yang juga pernah saya coba, bahwa jika saya mau, “Saya Pasti Bisa”. Karena menulis bukan hobi atau cita-cita saya sejak kecil, jadi bagi saya pribadi, menulis juga merupakan sebuah tantangan. Karena saat menuangkan tulisan, butuh proses kerja keras di sana. Sejak kapan Miswen meluai menulis? Dan karya apa saja yang telah Miswen lahirkan? Saya mulai menulis sejak usia pra sekolah, tapi mulai serius belajar menulis sejak berbaur dengan komunitas penulis dan bergabung dengan FLPHK awal Agustus tahun 2010. Satu tulisan saya dibukukan bersama dalam antologi Opick Inspirasiku oleh Penerbit Leutika pada tahun 2011. Dan kini saya menjadi kontributor koran Suara dan koran Klick selama dua tahun.

20

Apakah apa kendala saat menulis? Kendala seperti apa? Ya. Dalam urusan catat-mencatat saya sering mengalami kendala. Selain karena pada awalnya saya tidak mengenal ilmu EYD, tata letak paragraf yang berantakan sering membuat saya mutung untuk menulis, dan kadang berhenti di tengah-tengah. Apalagi jika harus menuruti suasana hati. Dan karena di Hongkong saya adalah seorang buruh migran sepenuh waktu, jadi soal pembagian waktu, antara bekerja di rumah majikan untuk mengurus anak-anak mereka dan menulis, juga merupakan salah satu kendala paling rumit yang saya alami. Jadi, bisa tidak bisa saya harus membagi waktu sebaik mungkin. Di sela kesibukan sehari-hari Miswen, kapan Miswen menulis? Saya biasanya menulis sekitar pukul 9.00 pagi seusai mengerjakan pekerjaan rumah hingga pukul 11.00 siang. Selain waktu itu saya harus fokus menjaga anak-anak majikan. Siapa penulis favorit Miswen, juga buku seperti apa yang Miswen suka baca? Penulis favorit saya adalah Tere Liye. Dan buku bacaan favorit saya adalah “Serial Diskusi Tasawuf Modern”. Adakah memotivasi Miswen untuk menulis? Tidak ada, motivasi saya untuk menulis karena timbul dari tantangan atau keinginan saat saya membaca. Saya tidak terilhami dari seseorang tertentu, tapi dari berbagai bacaan yang kadang teramat sederhana sehingga timbul motivasi dalam diri saya bahwa saya bisa menulis yang serupa atau bahkan yang lebih baik. Itu aja. Sedikit banyak saya terilhami oleh salah satu penulis idola, Andrea Hirata. Terutama saya tertantang menulis setelah membaca buku serial diskusi tasawuf moderen. Lalu harapan apa yang ingin Miswen dapat dari menulis? Harapan saya dari menulis tidak lain adalah dapat menulis yang bisa mencerahkan dan menginspirasi atau memberikan motivasi untuk orang lain, syukur-syukur bisa menjadi profesi tetap.” [Lintang]

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


Dorong Budaya Baca di Kalangan BMI

“S

aya ingin mengajak teman-teman BMI lainnya meluangkan waktu pada hari libur, mengenal dunia baca, dan tambah wawasan dari hasil membaca. Karena sejatinya, buku adalah jendela dunia yang harus kita buka.” Itulah motivasi pertama Irna Kholiyannawati alias Lintang Panjer Sore, BMI Hongkong kelahiran Rembang, Jawa Tengah, yang bekerja sejak 12 Maret 2009. Lintang adalah pendiri sebuah taman baca “koper” yang bermarkas di samping mesin minum bawah jembatan layang Causeway Bay setiap hari Minggu. Taman baca yang dia beri nama Bintang Al-Ikhlas (BAI) itu dia dirikan tahun 2011. Pada awal diresmikan namanya, hanya Perpustakaan Al-Ikhlas, disingkat menjadi AI. Namun, beberapa teman memberi masukan agar mengganti nama, karena di Hongkong sudah ada organisasi yang bernama Al-Ikhlas, khawatir tumpang tindih dan menimbulkan perselisihan nantinya. Pada saat itu dia tidak langsung menerima masukan dari teman-temannya. Karena dia berprinsip, Al-Ikhlas bukan mau mencari ketenaran ataupun ingin bersaing. Tapi Al-Ikhlas ingin bisa berguna dan berharga untuk sesama khususnya para pembaca buku di kalangan BMI, tidak terkecuali. Namun, setelah menimbang-nimbang satu dan lain hal, maka dia menambahkan “Bintang”, kini Perpustakaan itu bernama Perpustakaan Bintang Al-Ikhlas. Kata “bintang”, katanya, melambangkan harapannya akan perpustakaan tersebut. Pertama, dia berharap, setiap insan itu memiliki kesadaran untuk bisa berlomba-lomba ingin menjadi bintang. “Tapi bukan dalam pengertian bintang sebagai artis loh…” ujarnya. Yang dimaksud adalah

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

bintangnya orangtua, bintangnya masyarakat, bintangnya kampung halaman, bintangnya bangsa dan agama. “Kata bintang juga lebih dekat dengan nama pena saya, Lintang,” katanya. Bermula dari jumlah koleksi pertama BAI yang hanya sekitar 100 eksemplar dari koleksi pribadinya, hingga sekarang koleksinya berjumlah 300 eksemplar lebih. Penambahan koleksi untuk perpustakaan BAI selain dari koleksi pribadinya, juga dia peroleh dari hasil diskon pembelanjaan buku, juga dari donatur, di antaranya dari teman-teman BMI dan teman-teman jaringan perpustakaan lain di Indonesia, salah satunya Rumah Baca Jala Pustaka di Pekalongan. “Mekanisme peminjaman buku di BAI, bagi yang belum menjadi anggota hanya cukup meninggalkan nama lengkap dan nomor telepon serta daerah tinggal. Bagi yang sudah menjadi anggota, cukup menunjukkan nomor KTP (Kartu Tanda Peminjam),” tuturnya. Kegiatan berkala di BAI selain pinjam-meminjam buku, juga ada kegiatan belajar mengaji, menulis, dan berbisnis. Dalam menjalankan BAI, Lintang tidak sendirian. Dia dibantu oleh beberapa relawan, bahkan semua anggota termasuk relawan, mereka bekerja sama saling membantu tanpa pamrih. Mereka juga mengumpulkan uang kas yang selain digunakan demi kepentingan bersama, rencananya juga akan mereka salurkan ke panti asuhan juga untuk mengembangkan rumah baca BAI yang ada di Indonesia. Dalam menjalankan perpustakaannya, Lintang tidak terlepas dari beberapa kendala. “Yang menjadi kendala dalam menjalankan BAI, selama ini cuma musim hujan saja,

21

PERPUSTAKAAN

PERPUSTAKAAN BINTANG AL-IKHLAS (BAI):


karena teman-teman yang meminjam menjadi berkurang dan tempatnya agak tertempa air hujan,” ujarnya. Terlepas dari kendala yang ada, selama ini teman-teman selalu memberikan dukungan terhadap aktivitas BAI, tak ada yang memandang sebelah mata atau bagaimana. Buktinya, BAI terkadang mendapat sumbangan buku-buku koleksi pribadi dari teman-teman BMI lain. Hampir satu tahun beroperasi, menurut Lintang, BAI belum pernah mendapat kendala dari pihak pemerintah Hongkong ataupun KJRI. “Itu terbukti, pada saat para pegawai dinas dari imigrasi Hongkong lalu-lalang mengontrol keadaan Victoria Park, mereka tidak mengusir kami,” ungkapnya. “Itu juga menjadi bukti bahwa pemerintah Hongkong sangat menghormati dan menghargai ilmu yang tersimpan di dalam buku-buku, mendukung keberadaan perpustakaan, meskipun dikelola oleh BMI.” Meskipun begitu, sepengetahuan Lintang, perhatian KJRI terhadap aktivitas BAI atau perpustakaan lainnya di Hongkong masih kurang. KJRI belum pernah terjun langsung

22

memberikan perhatian khusus pada aktivitas literasi yang digerakkan oleh pihak BMI, baik itu secara berkelompok maupun individu. Dia berharap, KJRI ataupun pemerintah RI pada umumnya, sudi meluangkan waktunya untuk terjun langsung mengelilingi lokasi-lokasi “perpustakaan lesehan” inisiatif para BMI yang peduli akan pendidikan dan arti penting sebuah buku bagi para BMI. Perpustakaan erat kaitannya dengan tulis-menulis. Ada hubungan sebab-akibat antara perkembangan perpustakaan lesehan di Hongkong dengan iklim tulis-menulis yang saat ini kian marak di kalangan BMI Hongkong. Itu juga diamini oleh Lintang. “Perkembangan perbukuan dan tulis-menulis di kalangan BMI Hongkong sudah sangat pesat, terbukti dengan banyaknya BMI yang menulis. Meski begitu, tetap masih banyak yang harus dikembangkan lagi dalam dunia tulis-menulis,” katanya. Menurutnya, buku adalah harta karun yang tak pernah habis dimakan tujuh turunan ataupun habis oleh zaman. Dengan buku, dia merasa ikut berbagi dan membagi ilmu kepada orang lain. Berdakwah lewat buku. Bekerja untuk keluarga memang salah satu tujuan utama, tapi selain itu dia juga menyisihkan uangnya untuk mengumpulkan buku dan meminjamkannya kepada teman-teman BMI lainnya. Lintang berharap, BAI mampu memberikan sumbangsih terhadap perkembangan perbukuan dan tulismenulis di kalangan BMI Hongkong dan kelak, jika suatu hari nanti sudah tidak di Hongkong lagi, dia dapat menemukan orang yang memiliki semangat untuk menghargai buku, memanfaatkan buku, dan membagikan ilmu dengan sukarela tanpa mengenal pamrih. Buku adalah Gudang Ilmu. “Mari cerdaskan bangsa dengan membaca!” ajaknya penuh semangat. [Zhianing Anami] Sumber: ddhongkong.org

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012

23


MAJALAH SASTRA LIBRI Literasi Buruh Migran Indonesia

24

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.