EVALUASI PELAYANAN MIGRASI KETENAGAKERJAAN ANTARA ATURAN DAN PELAKSANA

Page 1

EVALUASI PELAYANAN MIGRASI KETENAGAKERJAAN ANTARA ATURAN DAN PELAKSANAAN

Penulis :

Ridwan Wahyudi Risca Dwi Ambarsari Savitri Wisnu Wardhani



EVALUASI PELAYANAN MIGRASI KETENAGAKERJAAN ANTARA ATURAN DAN PELAKSANAAN

Penulis : Ridwan Wahyudi Risca Dwi Ambarsari Savitri Wisnu Wardhani


Evaluasi Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan antara Aturan dan Pelaksanaan Tim Penulis : Ridwan Wahyudi Risca Dwi Ambarsari Savitri Wisnu Wardhani Pembaca Kritis : Sri Palupi Muhammad Irsyadul Ibad Sampul dan Tata Letak : Agus Wiyono Di Dukung oleh : Yayasan TIFA Diterbitkan Oleh : Jaringan Buruh Migran a/n The Institute for Ecosoc Rights Jln. Tebet Timur Dalam VI C No 17 Jaksel Telp dan fax : (021) 8304153 Email : jaringan@buruhmigran.or.di | Fanpage : Jaringan Buruh Migran | FB : Jaringan Buruh Migran – jbm | twitter : @jariburuhmigran | IG : Jaringan Buruh Migran (JBM) | blogspot : jaringanburuhmigran.org | website : jaringan.buruhmigran.or.id

ii


PRAKATA

S

egala puji dan syukur dipanjatkan atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kesabaran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan ini. Laporan yang hadir dihadapan pembaca ini dapat disebut sebagai studi kebijakan integratif karena merefleksikan pelaksanaan pelayanan migrasi ketenagakerjaan dan sekaligus mengidentifikasi potensi risiko atas kebijakan perlindungan bagi buruh migran dan anggota keluarganya di Indonesia. Ketika penelitian ini tengah dilakukan, DPR RI bersama pemerintah sedang menggodok RUU PPMI. Sebuah rancangan undang-undang yang merupakan perubahan atas UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (UU PPTKILN). Rancangan undang-undang ini kemudian disahkan pada 25 Oktober 2017 dan disahkan menjadi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia No. 18 tahun 2017 (UU PPMI). Sebuah tonggak sejarah bagi perjuangan buruh migran sekaligus memberikan wajah baru pada aspek kebijakan perlindungan bagi buruh migran dan anggota keluarganya di Indonesia. Laporan ini sebenarnya berusaha memotret realitas secara holistik mengenai pola layanan dan penyelenggaraan yang dibentuk dari ketentuan sebelumnya mengenai penempatan dan perlindungan buruh migran dari level pemerintah desa, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Kemudian setelah disahkannya ketentuan yang baru, laporan ini sekaligus menggali potensi kerugian yang kemungkinan merugikan buruh migran dan anggota keluarganya mengenai kebijakan migrasi di Indonesia secara resiprokal. Oleh sebab itu, hal ini menjadi relevan karena di dalam ketentuan yang baru juga disebutkan bahwa segala peraturan yang lama tetap akan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang baru. Sebagaimana telah diulas oleh penelitian-penelitian sebelumnya bahwa tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraan kebijakan migrasi ketenagakerjaan telah memberikan dampak yang sangat merugikan bagi buruh migran dan anggota keluarganya. Untuk itu, laporan ini sekaligus menguraikan secara rinci mengenai tumpang tindih itu dan menawarkan solusinya. Demikian iii


juga, hal ini untuk menjawab potensi dampak perubahan yang ditimbulkan dari ketentuan yang baru dengan berlandaskan kepada prinsip pelayanan kepada warga negara. Selain itu, laporan ini juga memberikan kontribusi gagasan dan pemikiran dalam penyusunan peraturan pelaksana dalam migrasi ketenagakerjaan.  Berdasarkan serangkain hasil analisis dari produk kebijakan yang baru, para pembuat kebijakan rupayan masih belum memaklumi dan menyadari mengenai relasi pengetahuan dan kekuasaan yang mewujud pada setiap keaktoran terkait buruh migran. Buktinya, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan saat ini merupakan legitimasi atas penundukan migrasi penduduk yang jauh dari pemenuhan hak setiap orang untuk selalu berpindah dan memperoleh penghidupan yang layak. Padahal, kekuasaan dan pengetahuan itu terletak di mana-mana pada setiap aktor penduduk. Jika hal tersebut dikebiri, tindakan yang tak dapat dimungkiri berpotensi terjadi adalah setiap buruh migran dengan segala kekuasaan dan pengetahuannya akan mencipta dan bergerak dengan menggunakan sistemnya sendiri di luar dari ketentuan migrasi yang sah. Tentunya laporan ini memiliki banyak keterbatasan. Singkatnya periode waktu penulisan dan jangkauan lokasi menjadi tantangan bagi tim penulis untuk menyelesaikannya. Terlebih lagi, kompleksitas atas permasalahan buruh migran juga menjadi tantangan yang berat bagi penulis untuk dapat diungkapkan secara mendalam mengenai kesenjangan yang sebenarnya terjadi dalam konteks pelayanan  migrasi ketenagakerjaan yang lebih manusiawi. Terlepas dari segala keterbatasan dan kekurangan dari laporan ini, semoga ikhtiar laporan ini dapat menjadi awal untuk advokasi dan studi lanjutan untuk mendorong perlindungan dan pelayanan bagi buruh migran di Indonesia. Penulis yang pertama mengucapkan ribuan terima kasih kepada Ibu Sri Palupi dari Institute Ecosoc Rights dan Bapak Muhammad Irsyadul Ibad dari Institute for Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (INFEST) sebagai pembaca kritis atas laporan ini. Dengan penuh kesabaran dan ketelitian beliau, telah memberikan sumbangsih berupa kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan laporan ini. Penulis menghargai segala bantuan dan dukungan yang diberikan oleh rekanrekan dari kalangan masyarakat sipil dan mantan buruh migran yang berafiliasi di bawah Human Rights Working Group (HRWG), The Institute for Ecosoc Rights, INFEST, IRGSC, Justice Without Border (JWB), LBH Jakarta, Migrant Aid, PIAR, Solidaritas Perempuan, dan SBMI, yakni Agung Subastian, Bobi Anwar Maarif, Daniel Awigra, Daryanti, Domingus Elcid, Fathulloh Muzamil, Hariyanto, Juwarih, M. Cholily, M. Koim, Oky Siagian, Paul Sinlaeloe, Putrajuddin, Rizky Oktaviana, Rido, Robidin, Sabarudin, Sri Aryani, Wawan Kuswanto, Wike Devi Erianti, Dina Suro dan iv


Windasari yang memberikan pelbagai dampingan, masukan serta gagasan untuk memantapkan penulisan ini. Selain itu tim penulis juga berterimakasih kepada para mantan buruh migran yang bersedia untuk meluangkan waktu berdiskusi dengan tim penulis. Selain daripada itu, penulis turut mengaturkan banyak terima kasih yang tidak terhingga kepada tim dari Sekretariat Jaringan Buruh Migran dan Yayasan Tifa yang telah memberi peluang kepada penulis untuk menyelesaikan laporan serta kemudahan yang diperuntukkan sepanjang proses penelitian. Apresiasi dan rasa hormat penulis sampaikan kepada Judha Nugraha dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Soes Hindharno dan Yuli Adi dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Hermono dari BNP2TKI, Sumardjono dari BPJS Ketenagakerjaan, dan Maliki dari Bappenas yang telah memberikan sebarang informasi dan berbagi pengetahuan yang diperlukan oleh tim penulis. Kemudian terima kasih penulis haturkan kepada Joni Dharma dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, Via dan Pendi dari BP3TKI Bandung, Riyadi dari Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, Agung dari LP3TKI Surabaya, Geo Awang dan Siwa dari BP3TKI Kupang, Samuel dan Thomas dari Dinas Tenaga Kerja Nusa Tenggara Timur, Daddy Hariyadi, Ali, Wulaningsih dari Kepala Disnaker Indramayu, Sukirman dari Dinas Tenaga Kerja Indramayu, Ahmad dari Setda Kabupaten Indramayu, Yogie dari BP3TKI- LTSP di Kabupaten Indramayu, Sutanggi dari Kasi Litbang Bappeda Indramayu, Riski dari Dinas Tenaga Kerja Banyuwangi dan Panji Tri dari P4TKI Banyuwangi yang telah menyediakan waktu dan informasi kepada penulis ketika melakukan kerja lapangan. Tak lupa, penulis juga sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Bukhori selaku perangkat desa Dadap dan Wartoni selaku Kuwu Majasari dari Kabupaten Indramayu, Ahmad selaku bendahara Desa Krasak, Khoirul Anam dari Desa Taman Agung dan Mustain dari Desa Pakistaji Kabupaten Banyuwangi, Â Adam Mamun dari Desa Retraen dan Yohannes Numeni dari Desa Sonraen Kabupaten Kupang. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua buruh migran dan anggota keluarganya serta pihak-pihak yang terlibat di dalam penulisan laporan karena telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya kepada tim penulis.

Jakarta, 28 Agustus 2018 Tim Penulis v


Ringkasan Eksekutif

M

igrasi ketenagakerjaan di Indonesia telah sekian lama mewarnai kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Laporan ini merupakan studi kebijakan integratif, di mana hal ini merefleksikan ketentuan yang lama, yakni melalui UU PPTKILN (UU No. 39 tahun 2004) dan sekaligus menggali potensi kerugian yang kemungkinan merugikan buruh migran dan anggota keluarganya mengenai kebijakan migrasi di Indonesia secara resiprokal dari ketentuan yang baru UU PPMI (UU No. 18 tahun 2017). Untuk itu, tujuan laporan ini, pertama, mengetahui perbedaan pelayanan migrasi ketenagakerjaan antara UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN) dengan UU No.18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Kedua, mengidentifikasi praktik atau pelaksanaan pelayanan migrasi ketenagakerjaan di beberapa daerah terpilih. Ketiga, menganalisis kesenjangan antara aturan dan pelaksanaan menurut ketentuan yang lama dan ketentuan yang baru berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Temuan dan rekomendasi laporan ini diperoleh dari analisis konten melalui wawancara kepada aktor pemerintah di level desa, kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat; aktor PPTKIS/P3MI, masyarakat sipil dan buruh migran. Sementara itu, untuk melengkapi data dari wawancara dilakukan kelompok diskusi terarah (FGD), di mana komponennya adalah masyarakat sipil dan pemerintah. Sedangkan untuk kebutuhan analisis yang lebih mendalam dilakukan wawancara mendalam kepada akademisi dan masyarakat sipil yang aktif melakukan kerjakerja pengelolaan pengetahuan. Adapun lokasi yang menjadi objek dari laporan ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat; Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur; Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur dan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Desa dan Pemerintah Daerah Peran desa agaknya telah diabaikan dari ketentuan yang lama, karena kewenangannya tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam peraturan perundangundangan. Fungsinya tak lebih sebagai pelaksana tugas pembantuan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kendati demikian, pelaksanaanya juga kurang optimal, sebab pada praktiknya masih tergantung kepada pemerintah

vi


daerah dan pemerintah pusat. Terlebih lagi, pasca penetapan UU Desa, desa selalu menjadi objek sasaran program-program pemberdayaan purna buruh migran oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang membuatnya sulit untuk mandiri. Meski demikian, serbuan program-program tersebut masih belum mampu menciptakan ruang pendisiplinan migrasi yang aman dan teratur di desa. Sementara itu, peran kabupaten masih belum mampu menangkal serbuan informasi menyesatkan (hoax) yang diproduksi oleh aktor perekrut mengenai mekanisme migrasi ketenagakerjaan yang memicu kerugian buruh migran pada tiap tahapan migrasi. Terlebih lagi, peran pemerintah kabupaten masih sebatas reaktif daripada aktif. Dengan begitu, pelaksana pemerintah di kabupaten hanya menunggu pengaduan saja meski mereka sebenarnya mengetahui sebaran informasi sesat itu telah merajalela melalui poster, brosur, promosi radio, televisi lokal dan lainnya. Meski pengawasan menjadi kewenangan pemerintah provinsi, tapi keberadaan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) nakal juga kurang ditertibkan oleh kabupaten. Padahal, keberadaan LPK hanya sebatas pelatihan saja, bukannya ikut menempatkan buruh migran ke luar negeri. Di samping itu, melalui ketentuan yang, agaknya masih sulit bagi pemerintah kabupaten untuk melayani pengaduan yang berbasis hak karena keterbatasan kewenangan dalam penyelesaian sengketa. Pengalaman penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan oleh pemerintah provinsi menunjukkan bahwa lambannya respon terhadap ketersediaan pasar kerja di lintas kabupaten/kota yang berada di bawah naungannya. Akibat yang ditimbulkan dari hal tersebut ialah perizinan perekrutan yang memakan waktu lebih lama dan memaksa perekrut sendiri yang menentukkan dengan tanpa mempertimbangkan analisis pasar kerja. Hal ini masih jamak dijumpai di pemerintah provinsi. Di samping itu, keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan selalu menjadi alasan klasik yang tak berujung pangkal dalam mengurai permasalahan pendisiplinan migrasi ketenagakerjaan yang prosedural. Kebijakan dan Kelembagaan Dalam ketentuan yang baru tidak banyak mengalami perubahan dalam aspek pemenuhan hak untuk kebebasan bergerak. Faktanya, kelompok PRT migran masih dipaksa untuk menempuhnya melalui jalur agensi perekrutan dalam pelaksanaan migrasi. Mengingat kelompok PRT migran secara kebetulan didominasi oleh perempuan, membuat ketentuan baru berimplikasi bias gender. Karenanya, terdapat diskriminasi dalam pelaksanaan migrasi dengan sektor atau kelompok ketenagakerjaan lainnya. Tentunya, hal itu akan direspon dengan perlawanan secara partikular karena jejaring komunitas buruh migran telah mengembangkan

vii


pengetahuannya mengenai migrasi ketenagakerjaan dengan cara mereka sendiri. Di samping itu, kebijakan yang baru mengandung inkonsistensi karena materi muatannya tidak patuh dalam mekanisme penyusunan peraturan perundangundangannya. Eksklusifitas pengetahuan para pemegang kebijakan telah mengorbankan kelompok-kelompok yang berisiko mengalami korban perdagangan orang, yakni ABK migran dan PRT migran. Karenanya, para pemegang kebijakan telah gagal dalam menentukan prioritas dalam pembentukan kebijakan atau panduan untuk pelindungan bagi kelompok-kelompok tersebut. Sementara itu kelembagaan yang berwenang mengurus migrasi ketenagakerjaan masih berpotensi tumpang tindih dalam pelaksanaanya. Tumpang tindih bakalan terjadi antara kementerian dan badan serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan aspek-aspek kewenangan yang bakalan tumpang tindih meliputi pelaksanaan pengaduan dan remidi, pembinaan dan pengawasan, serta reintegrasi dan pemberdayaan. Di samping itu, hubungan antar kementerian dan badan terlihat sangat alot karena masing-masing telah mengklaim kebenaran praktik pelindungan bagi buruh migran melalui angka-angka statistik, kartu, aplikasi, dan program-program pemberdayaan. Sementara pembenaran tersebut belum tentu relevan dalam memenuhi kebutuhan realitas pelindungan bagi buruh migran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembenaran-pembenaran tersebut hanya dijadikan sebagai kedok untuk eksistensi pengetahuan yang eksklusif dan penguasaan anggaran pelidungan buruh migran. Di samping itu, peran masyarakat sipil nampaknya juga mengalami disintegrasi di antara mereka yang beroperasi di level pusat dan daerah. Hal itu bukanlah tanpa alasan, mengingat kebijakan yang lama telah membingkai pemusatan pelayanan dan sekaligus pengetahuan dalam konteks pelindungan bagi buruh migran. Keterbatasan sumber daya manusia yang mumpuni, sarana dan prasarana, problem komunikasi, dan pendanaan merupakan penyumbat dalam distribusi pengetahuan antar masyarakat sipil. Meskipun pada dasarnya fungsi pelengkap yang melekat pada masyarakat sipil untuk selalu memantau dan mengawasi penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan telah dimiliki, tapi minimnya perspektif keberpihakan terhadap buruh migran yang dilatarbelakangi dengan keuntungan personal oleh oknum masyarakat sipil senantiasa menghantui dan menambah persoalan buruh migran di daerah. Rekomendasi Perwujudan pelindungan buruh migran tak cukup diatasi oleh aktor pemerintah saja, melain perlu keterlibatan semua pihak yang berkepentingan atas buruh

viii


migran. Mengingat akses informasi merupakan elemen yang paling penting dalam menciptakan migrasi ketenagakerjaan aman dan prosedural, pemanfaatan jejaring buruh migran, purna buruh migran dan anggota keluarganya merupakan langkah yang strategis untuk dilekatkan pada setiap program-program pelindungan buruh migran. Di samping itu, kelompok sasaran program harus senantiasa dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program yang inklusif. Karenanya, hal ini dapat menjawab kebutuhan pelindungan yang relevan bagi buruh migran berdasarkan keunikan daerah asalnya. Untuk itu, peran Bapennas seharusnya selektif dan teliti pada setiap usulan program-program pelindungan oleh kementerian dan badan. Hal ini juga mesti merujuk pada setiap kewenangan institusi terkait sebagai regulator dan operator agar potensi tumpang tindih dapat dihindarkan. Selain hal di atas, dalam mengurai tumpang tindih antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pendirian unit kerja atau perangkat badan yang beroperasi di level pemerintah daerah tidak diperlukan lagi. Selain alasan efisiensi dan efektivitas, pendirian tersebut berpotensi melanggar UU Pemerintahan daerah. Dengan demikian, penguatan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di bawah koordinasi pemerintah daerah atau dinas tenaga kerja merupakan langkah yang strategis untuk segera dilaksanakan. Sementara kewenangan badan sebagai pelaksana dapat menugaskan stafnya untuk memberikan pelayanan di LTSA. Demikian juga, pemerintah daerah mesti dilimpahi kewenangan dalam konteks pengaduan dan remidi, sehingga hal ini dapat mendekatkan pelayanan kepada buruh migran yang sedang berperkara. Selain itu, pemerintah pusat seharusnya mendorong daerahdaerah kantong buruh migran agar menjadikan pelindungan buruh migran dan anggota keluarganya sebagai prioritas pembangunan di daerahnya. Kemudian untuk mengakhiri tumpang tindih dan ego sektoral antar kementerian dan badan, diskresi kebijakan perlu segera diambil dengan mengangkat wakil menteri ketenagakerjaan yang sekaligus merangkap sebagai kepala badan. Hal yang tidak kalah penting selain rekomendasi di atas, guna menciptakan pelayanan prima kepada buruh migran yakni dengan merevisi prinsip tradisional manajemen publik melalui sistem koordinasinya antara agen manajemen publik dengan objek yang diurus untuk menyokong pelayanan publik dan masyarakat sipil dalam peningkatan keterbukaan dan perubahan prinsip melalui perubahan paradigma pelayanan melalui peningkatan kapasitas aparatur sipil negara. Dengan demikian, hal ini dapat meningkatkan pemahaman aparatur sipil negara dalam memandang masyarakat sipil sebagai mitra sejajar yang saling melengkapi dalam mewujudkan pelindungan buruh migran dan anggota keluarganya.

ix


DAFTAR ISI

x

Prakata Tim Penulis ...................................................................................................

iii

Ringkasan Eksekutif ...................................................................................................

vi

Daftar Singkatan dan Akronim ................................................................................

xv

Kata Pengantar ...........................................................................................................

xix

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................

1

1.1 Latar Belakang......................................................................................................

1

1.2 Tujuan Kajian.........................................................................................................

4

1.3 Signifikansi dan Batasan Kajian.........................................................................

4

1.4 Desain Kajian.........................................................................................................

5

1.4.1 Pendekatan Kajian..................................................................................

6

1.4.2 Teknik Pengumpulan Data....................................................................

6

1.4.3 Lokasi Kajian............................................................................................

7

1.5 Telaah Pustaka......................................................................................................

9

1.5.1 Tata Kelola Pemerintah yang Baik dan Bersih..................................

9

1.5.2 Tata Kelola Migrasi Ketenagakerjaan Berbasis Pendekatan Hak Asasi Manusia..........................................................................................

12

1.5.3 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Migrasi Ketenagakerjaan....................................................................................

15

1.6 Ringkasan..............................................................................................................

18

BAB II PROFIL DAERAH SASARAN KAJIAN......................................................

19

2.1 Pendahuluan..........................................................................................................

19

2.2 Provinsi Jawa Barat..............................................................................................

20

1.1.1 Profil Kabupaten Indramayu................................................................

20

a. Kondisi Geografis..........................................................................

20

b. Kondisi Demografis......................................................................

22


c. Jumlah Penduduk Miskin............................................................

24

d. Tingkat Kemiskinan (PO).............................................................

25

e. Potensi Daerah..............................................................................

26

f. Tingkat Kesejahteraan Penduduk..............................................

28

2.2.2 Karakteristik Buruh Migran Asal Indramayu.....................................

29

a. Potret Buruh Migran Indramayu................................................

29

b. Situasi Persoalan Buruh Migran di Indramayu........................

30

c. Prioritas Daerah Terkait Pelindungan Buruh Migran ............

32

2.3 Provinsi Jawa Timur ............................................................................................

34

2.3.1 Profil Kabupaten Banyuwangi.............................................................

34

a. Kondisi Geografis..........................................................................

34

b. Kondisi Demografis......................................................................

36

c. Tingkat Kesejahteraan Penduduk..............................................

38

2.3.2 Karakteristik Buruh Migran Asal Banyuwangi..................................

39

a. Situasi dan Kondisi Buruh Migran Banyuwangi.......................

39

b. Prioritas Daerah Terkait Pelindungan Buruh Migran.............

43

2.4 Provinsi Nusa Tenggara Timur...........................................................................

46

2.4.1 Profil Kabupaten Kupang......................................................................

46

a. Kondisi Geografis..........................................................................

46

b. Kondisi Demografis......................................................................

47

c. Tingkat Kesejahteraan Penduduk..............................................

49

2.4.2 Karakteristik Buruh Migran Asal Kupang.............................................

51

a. Kondisi Buruh Migran Kupang dan Peran Pemerintah Daerah.............................................................................................

51

2.5 Ringkasan ..............................................................................................................

56

BAB III TINJAUAN KEBIJAKAN MIGRASI KETENAGAKERJAAN.................

57

3.1 Pendahuluan..........................................................................................................

57

3.2 Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan menurut Ketentuan Lama (UU PPTKILN)................................................................................................................

57

3.2.1

Definisi dan Makna Perlindungan dari UU PPTKILN......................

58

a. Penempatan Buruh Migran.........................................................

59

xi


b. Pembiayaan ...................................................................................

59

c. Pendidikan dan Pelatihan............................................................

61

d. Jaminan Sosial...............................................................................

61

e. Pengaduan dan Penanganan Kasus...........................................

62

3.2.2

Peraturan Pemerintah Masih Menggantung..................................

63

3.2.3

Inkoordinasi dan Konflik antar Instansi...........................................

64

3.2.4

Pengawasan bagi Perlindungan Buruh Migran Indonesia...........

64

3.2.5

Perspektif Gender dalam UU PPTKILN............................................

65

3.3 Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan menurut Ketentuan Baru (UU PPMI)......................................................................................................................

66

3.3.1 Definisi dan Makna Perlindungan dari UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia....................................................................................

67

Penempatan Buruh Migran........................................................

69

b. Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya................

70

c.

Pendidikan dan Pelatihan...........................................................

72

d. Pembiayaan...................................................................................

74

e. Jaminan Sosial..............................................................................

74

f.

Penanganan Kasus dan Bantuan Hukum.................................

76

3.3.2 Peraturan Pemerintah Tidak Lagi Menggantung............................

77

3.3.3 Koordinasi dan Pembagian Kewenangan antar Instansi Pemerintahan..........................................................................................

78

3.3.4 Pengawasan bagi Perlindungan Buruh Migran Indonesia.............

81

3.3.5 Perspektif Gender dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia..................................................................................................

82

3.4 Prinsip-Prinsip Perlindungan Hak Buruh Migran menurut Konvensi Migran 1990..........................................................................................................

84

3.5 Ringkasan...............................................................................................................

89

BAB IV PELAKSANAAN PELAYANAN MIGRASI KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ASAL BURUH MIGRAN....................................................................

91

4.1 Pendahuluan..........................................................................................................

91

4.2 Desa sebagai Gerbang Pertama Proses Migrasi Ketenagakerjaan.............

92

a.

xii


4.3 Pelaksanaan Desentralisasi Pelayanan Penempatan dan Pelindungan Buruh Migran........................................................................................................

104

4.3.1 Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Pemerintah Kabupaten...

105

4.3.2 Pemerintah Provinsi sebagai Representasi Pemerintah Pusat......

121

4.4 Perubahan Kebijakan yang Mendasar di Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah mengenai Migrasi Ketenagakerjaan...........................

136

4.5 Kesimpulan.............................................................................................................

152

BAB V EVAUASI ATAS PELAYANAN PELINDUNGAN BURUH MIGRAN......

155

5.1 Pendahuluan.........................................................................................................

155

5.2 Diseminasi Informasi ..........................................................................................

156

5.3 Perekrutan............................................................................................................

159

5.4 Kontraktual...........................................................................................................

161

5.5 Pendidikan dan Pelatihan ..................................................................................

172

5.6 Pengaduan dan Remidi.......................................................................................

173

5.7 Pembinaan dan Pengawasan.............................................................................

177

5.8 Remitansi dan Sosial Remitansi........................................................................

179

5.9 Reintegrasi dan Pemberdayaan........................................................................

181

5.10 Ringkasan.............................................................................................................

184

BAB VI KESENJANGAN ANTARA ATURAN DAN PELAKSANAAN...............

185

6.1 Pendahuluan .........................................................................................................

185

6.2 Dampak Kebijakan terhadap Urusan Pemerintahan......................................

185

6.2.1 Inkonsistensi Kebijakan dan Tumpang Tindih Kelembagaan .......

186

6.2.2 Kerja Sama dengan Negara Tujuan.....................................................

190

6.2.3 Arah Komitmen di Level Regional dan Internasional......................

192

6.3 Dampak Kebijakan terhadap Buruh Migran....................................................

199

6.3.1 Terhadap Akses Keadilan bagi Kelompok Rentan...........................

200

a. Buruh Migran Tidak Berdokumen.............................................

201

b. Buruh Migran Sektor Rumah Tangga (PRT Migran)...............

203

c. Buruh Migran Sektor Perikanan (ABK Migran)........................

206

xiii


xiv

6.3.2 Terhadap Akses Sosial dan Ekonomi..................................................

209

6.3.3 Terhadap Akses Informasi ...................................................................

211

6.4 Peran Masyarakat Sipil.........................................................................................

214

6.5 Ringkasan ..............................................................................................................

219

BAB VII KESIMPULAN..............................................................................................

221

7.1 Pendahuluan..........................................................................................................

221

7.2 Ringkasan Temuan................................................................................................

222

7.3 Saran dan Rekomendasi......................................................................................

228

7.4 Kajian dan Advokasi Lanjutan.............................................................................

233

7.5 Penutup..................................................................................................................

235

LAMPIRAN....................................................................................................................

237

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................

279


Daftar Singkatan dan Akronim ABK

: Anak Buah Kapal

ADBMI

: Advokasi Buruh Migran Indonesia

AFML

: ASEAN Forum on Migrant Labour

AKAD

: Antar Kerja Antar Daerah

AKAN

: Antar Kerja Antar Negara

AMS

: ASEAN Member States

APJII

: Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia

ARAK

: Aliansi Rakyat untuk Konvensi Migran

ARC

: Alien Resident Certificate

ASEAN

: Association of Southeast Asian Nations

ASETUC

: ASEAN Services Employees Trade Union Council

ASN

: Aparat Sipil Negara

ASPEK

: Afiliasi Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia

Bapennas

: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BLK

: Balai Latihan Kerja

BLKLN

: Balai Latihan Kerja Luar Negeri

BNP2TKI

: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

BP3TKI

: Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

BNSP

: Badan Nasional Standarisasi Profesi

BPHN

: Badan Pembinaan Hukum Nasional

BPJS

: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BPS

: Badan Pusat Statistik

BPTKIT

: Balai Pelayanan TKITerpadu

BSR

: Business ServiceResponsible

Daring

: Dalam jaringan

Desmigratif

: Desa Migran Produktif

DIM

: Daftar Inventarisasi Masalah

Dit. PPTKLN

: Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri

xv


xvi

DPRD

: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPR RI

: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

FGD

: Focus Group Discussion

GCM

: Global Compact on Migration

GCR

: Global Compact on Refugees

GFMD

: Global Forum Migration and Development

HAM

: Hak Asasi Manusia

HRWG

: Human Rights Working Group

ID

: Identity

ILO

: International Labour Organization

IMO

: International Maritime Organization

IMWU

: Indonesian Migrant Workers Union

INFEST

: Institute for Educational Development, Social, Religious and Cultural Studies

IOM/OIM

: International Organization for Migration/Organisasi Internasional untuk Migrasi

IRGSC

: Institute of Resource Governance and Social Changes

Jari PPTKLN

: Jaringan Revisi Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri

JBM

: Jaringan Buruh Migran

KBRI

: Kedutaan Besar Republik Indonesia

KJRI

: Konsulat Jenderal Republik Indonesia

KKBM

: Komunitas Keluarga Buruh Migran

KOTKIHO

: Koalisi Organisasi TKI Hong Kong

KSBSI

: Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia

KSP

: Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia

KSPSI

: Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia

KTKLN

: Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri

KTT

: Konferensi Tingkat Tinggi

LBH APIK

: Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan

LBH Jakarta

: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta

LP3TKI

: Loka Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI

LPK

: Lembaga Pelatihan Kerja

LSM

: Lembaga Swadaya Masyarakat

LSTA

: Layanan Terpadu Satu Atap


LTSP

: Layanan Terpadu Satu Pintu

Luring

: Luar jaringan (offline)

MDGs

: Millennium Development Goals

MI

: Migrant Institute

MLC

: Maritime Labour Convention

MoA

: Memorandum of Agreement

MoU

: Memorandum of Understanding

NELM

: New Economic of Labour Migration

NSPK

: Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria

NT

: New Taiwan Dollar

NTT

: Nusa Tenggara Timur

OBH

: Organisasi Bantuan Hukum

OECD

: Organization for Economic and Co-operation Development

OGI

: Open Government Indonesia

OGP

: Open Government Partnership

OHCHR

: United Nations High Commissioner for Human Rights

OPD

: Organisasi Perangkat Daerah

P3MI

: Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia

P4TKI

: Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI

PAP

: Pembekalan Akhir Pemberangkatan

PBB

: Persatuan Bangsa-Bangsa

PBHI

: Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia

Pelindungan

: Proses, cara, perbuatan melindungi

Perlindungan

: Tempat berlindung

PHK

: Pemutusan Hubungan Kerja

PPNS

: Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Prolegda

: Program Legislasi Daerah

Prolegnas

: Program Legislasi Nasional

PRT

: Pekerja Rumah Tangga

PT

: Perseroan Terbatas

PTPPO

: Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

PPTKIS

: Pelaksana Penempatan TKI Swasta

PTSP P2TKI

: Pusat Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan TKI

Puslitfo

: Pusat Penelitian dan Informasi

PWNI & BHI

: Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia

xvii


xviii

RPJMN

: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RT

: Rukun Tetangga

RUU

: Rancangan Undang Undang

RW

: Rukun Warga

SAKIP

: Sistem Akuntabilitas Kinerja Institusi Pemerintahan

SBM

: Serikat Buruh Migran Indonesia

SDGs

: Sustainable Development Goals

SDM

: Sumber Daya Manusia

SIP

: Surat Ijin Perekrutan

SIP2MI

: Surat Ijin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia

SIP3MI

: Surat Ijin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia

SIPPTKIS

: Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI Swasta

SISKOTKLN

: Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri

SKPD

: Satuan Kerja Perangkat Daerah

SKCK

: Surat Keterangan Catatan Kepolisian

SKPLN

: Surat Keterangan Pindah Luar Negeri

SMK

: Sekolah Menengah Kejuruan

SOP/POS

: Standard Operating Procedures/ Prosedur Operasi Standar

SP

: Solidaritas Perempuan

SPR

: Surat Pengantar Rekrut

SP2HP

: Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan

TKI

: Tenaga Kerja Indonesia

TPB

: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

TPPO

: Tindak Pidana Perdagangan Orang

TURC

: Trade Union Rights Center

UU

: Undang - Undang

UKP-PPP

: Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan

UNDP

: United Nations Development Programme

UNIMIG

: Union Indonesian Migrant

UPT P3TKI

: Unit Pelayanan Teknis Penempatan dan Perlindungan TKI

UU PPMIÂ

: Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

UU PPTKILN

: Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri

WNI

: Warga Negara Indonesia


Kata Pengantar

D

alam era kontemporer yang kian terglobalisasi, tata kelola, tak terkecuali dalam bidang migrasi ketenagakerjaan, menampakkan setidaknya dua tren utama. Pertama, tata kelola bersifat multilevel, mulai dari tingkat lokal, nasional, regional hingga global. Kedua, terjadi proliferasi aktor, di mana partisipasi entitas selain negara menjadi semakin penting. Tata kelola migrasi kontemporer, jika sebelumnya didominasi oleh kemitraan negara dengan pihak swasta, ditandai dengan pengakuan terhadap peran masyarakat sipil yang semakin menguat. Dalam analisis yang lebih saksama pun dapat kita lihat, bahwasanya, negara sendiri pun tidak bersifat uniter. Ini terlihat dalam penekanan kepentingan nasional yang berbeda antar-instansi pemerintah, serta tumpang-tindih wewenang di antara mereka. Sejarah migrasi ketenagakerjaan Indonesia, khususnya jika ditinjau dari perspektif komparatif dengan negara pengirim utama lainnya di kawasan, yakni Filipina, menunjukkan lambannya institusionalisasi di masa sebelumnya dalam pengiriman dan perlindungan buruh migran Indonesia. Meski kedua negara mulai mengirimkan buruh migran pada periode yang sama (1970-an), Filipina sudah terlebih dahulu membangun kerangka hukum dan instrumen perlindungan yang komprehensif, sementara Indonesia baru menggulirkan legislasi pertamanya di tingkat nasional melalui UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN). Tentunya, hukum tidak bersifat statis, dan ketika era pasca-Reformasi 1998 memungkinkan partisipasi yang lebih aktif dari aktor-aktor di luar negara, perbaikan demi perbaikan, meski bersifat inkremental, mulai nyata terlihat. Pada kurun waktu setahun terakhir, beberapa perkembangan menarik terkait tata kelola migrasi ketenagakerjaan telah kita saksikan. Di tingkat nasional, salah satu pencapaian yang paling penting bagi Indonesia tentunya adalah pengesahan kerangka legal nasional baru, UU No. 17 tahun 2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), yang juga mempertimbangkan acuan-acuan yang digariskan oleh Konvensi Migran 1990 tentang Perlindungan Seluruh Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Di tingkat regional, Konsensus ASEAN mengenai Perlindungan Buruh Migran di Kawasan yang disepakati sepuluh tahun xix


setelah Deklarasi Cebu, meski belum mengikat secara hukum, kita terima dengan catatan kritis. Dalam konteks ini, evaluasi yang disusun oleh Jaringan Buruh Migran (JBM) menjadi sangat penting, dan hadir pada waktu yang tepat. Menggarisbawahi kesenjangan antara aturan dan implementasi, studi ini menyediakan catatan awal tentang kompleksitas penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan Indonesia kontemporer. Ada beberapa sumbangsih utama dari studi ini. Pertama, JBM memberikan uraian yang mendalam mengenai realitas migrasi dan tata kelola di tingkat lokal. Sebagian ahli merujuk pada istilah glokalisasi untuk menggambarkan bagaimana perkembangan-perkembangan di tingkat global termaktub dalam lokalitas dan entitas yang kita anggap sebagai “lokal�. Terkait migrasi, terdapat urgensi untuk mencermati desa sebagai situs glokal yang strategis, mengingat posisinya sebagai kantong buruh migran. Di satu sisi, tentunya atensi pemerintah yang semakin meningkat kepada desa kita sambut sebagai perkembangan yang baik. Bias urban dalam penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan selama ini berdampak pada terpusatnya informasi di perkotaan, yang jelas merugikan buruh migran yang kebanyakan berasal dari wilayah pedesaan. Keterbatasan informasi yang dimiliki buruh migran berkontribusi pada lemahnya juga akses mereka kepada perlindungan. Mengarahkan perhatian ke desa kita harapkan menjadi langkah perbaikan—namun di sisi lain, desa juga dapat kita jadikan titik awal untuk mengamati dengan lebih kritis praktik-praktik manajemen migrasi, serta relasi migrasi dengan pembangunan. Meski pemberdayaan buruh migran sebagai aktor pembangunan dan kontribusi riil mereka melalui remitansi memiliki makna yang positif, pada hakikatnya, tanggung jawab utama pembangunan tetap terletak pada pemerintah. Tanpa struktur-struktur untuk menunjang dan memfasilitasinya, sumbangsih migrasi terhadap pembangunan tidak akan pernah maksimal. Potret komparatif tim penulis terhadap tiga daerah yang diangkat—Indramayu, Banyuwangi dan Kupang—juga menjadi pengingat, bahwasanya profil desa di masing-masing tingkat lokal tidak seragam, dan tidak bisa diperlakukan demikian. Di saat yang bersamaan, arus migrasi dalam batas negara, utamanya urbanisasi, yang tentunya sangat terkait dengan pembahasan desa, belum banyak terlihat dari kajian ini. Literatur studi migrasi menggarisbawahi bahwa hingga kini pergerakan intranegara dari desa ke kota masih tercatat sebagai arus perpindahan dengan skala terbesar. Ke depannya kita berharap, fokus kajian pada desa juga akan membantu pemahaman tentang keterkaitan antara migrasi internal dan internasional. Sumbangsih utama yang kedua dari studi ini terletak pada uraian yang sangat

xx


menyeluruh mengenai UU No. 17 tahun 2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), sebagai kerangka legal utama yang akan menjadi panduan penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan Indonesia ke depan. Pesimisme mengenai layanan perlindungan di masa mendatang kiranya dapat dipahami— namun, ditinjau dari perspektif jangka panjang (longue durÊe), banyak juga perbaikan yang telah dihasilkan dalam kurun 2004-2017, khususnya karena pengawalan dari teman-teman masyarakat sipil. Ini tidak boleh dinafikan dan dikecilkan artinya. Aktor perlindungan, sebagaimana halnya dalam tata kelola, tidak lagi hanya negara semata. Dalam dekade terakhir, masyarakat sipil telah tampil sebagai aktor pelindung yang semakin legitimatif. Yang harus menjadi catatan penting kita kemudian adalah bagaimana menjaga tersedianya ruang demokrasi di Indonesia, karena perlindungan terhadap buruh migran banyak bergantung kepadanya. Studi JBM ini juga memberikan pemetaan isu-isu penting dalam migrasi ketenagakerjaan, mulai dari pentingnya perspektif gender; integrasi buruh migran ke dalam skema jaminan sosial nasional; hingga perhatian terhadap anak buah kapal (ABK)—sebagai bagian dari populasi buruh migran Indonesia, kerentanan khas subkelompok tersebut selama ini tidak terlalu banyak dipahami. Secara lebih sekilas, studi ini juga menyempatkan meninjau tata kelola di tingkat hubungan bilateral dengan negara penerima, yang sayangnya lebih sering diatur melalui mekanisme MoU, yang bersifat informal, dan tak jarang lebih menekankan aspek penempatan ketimbang perlindungan. Di masa mendatang, penting bagi pengkaji migrasi Indonesia untuk tidak hanya mendalami konteks domestik, terutama karena migrasi merupakan fenomena transnasional. Menguasai konteks negara penerima, khususnya aspek hukum tenaga kerja setempat, bersifat krusial, karena ada keterbatasan negara pengirim (limit of the sending state) yang sangat nyata dalam memberikan perlindungan serta akses pada keadilan ketika buruh migran tengah berada di negara penerima. Salah satu isu lain yang terpenting, migrasi buruh tak berdokumen, perlu mendapatkan pembahasan yang lebih mendalam. Kita memerlukan analisis yang lebih jujur tentang migrasi aman (safe migration)—karena sebagaimana telah ditunjukkan oleh berbagai literatur, keputusan untuk melakukan migrasi yang tak terdokumentasi (undocumented migration) terkait dengan persoalan-persoalan struktural seperti kebijakan negara (salah satu contoh keputusan yang kurang tepat, misalnya, adalah pemberlakuan moratorium); mahalnya biaya perekrutan yang acapkali menempatkan buruh migran dalam kondisi terbelit utang, dan seterusnya. Juga menarik bagaimana studi ini berani mengajak kita mulai berpikir,

xxi


misalnya, mengenai keterkaitan antara migrasi ketenagakerjaan dengan tipe migrasi lain, yakni pergerakan pengungsi/pencari suaka. Kita berharap kajian ini akan ditindaklanjuti dengan rangkaian publikasi berikutnya yang memberikan ruang elaborasi yang lebih luas untuk mengupas masing-masing bahasan penting ini dengan lebih komprehensif. Akhir kata, saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para penulis dan semua pihak yang mendukung publikasi ini. Saya berharap studi yang telah disusun JBM ini dapat menjadi rujukan yang berguna bagi berbagai pemangku kepentingan, dan menjadi landasan yang kokoh untuk kajian-kajian selanjutnya tentang migrasi ketenagakerjaan Indonesia.

Tangerang, 2 September 2018 Avyanthi Azis Pengajar pada Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

xxii


Bab I - Pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi bukan hal yang baru dalam sejarah manusia. Migrasi terjadi serta merta sejak manusia dilahirkan di dunia. Oleh karena itu, secara harfiah dapat dikatakan bahwa fenomena migrasi muncul karena kehendak manusia untuk selalu bebas bergerak demi mencari peluang hidup yang terbaik dalam aspek politik, ekonomi, budaya, kesehatan, hukum dan aspek lainnya pada masa mendatang. Migrasi penduduk di Indonesia ditandai oleh pelbagai masa, yaitu zaman pra-kolonial, kolonial, pascakolonial, orde lama, orde baru dan reformasi. Akan tetapi, wajah yang sebenarnya migrasi penduduk di Indonesia dimulai pada orde baru, di mana hal tersebut sangat berpengaruh terhadap era-era selanjutnya. Ketika itu sudah tersedia landasan sistem perundang-undangan dan kelembagaan yang berwenang dan bertugas memberikan pelayanan kepada penduduk yang hendak bermigrasi. Meski pada rezim orde baru terdapat dua cakupan kebijakan migrasi, yaitu migrasi antara daerah yang dikenal dengan istilah transmigrasi dan migrasi keluar negeri. Adapun tujuan dan kepentingan rezim pada waktu itu adalah perluasan kesempatan kerja bagi masyarakatnya dan alternatif sumber devisa. Sehingga hal tersebut nampak bahwa motivasi ekonomi merupakan bangunan yang melandasi kebijakan migrasi di Indonesia. Kran aliran migrasi ketenagakerjaan Indonesia dibuka sejak era 1970-an. Ketika itu diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 tahun 1970 tentang Pengerahan Tenaga Kerja pada rezim Soeharto. Melalui regulasi tersebut, pemerintah hanya mengatur mengenai syarat umum pengerahan tenaga kerja,1 pemberian izin pengerahan dan pengawasan pemerintah serta sanksi untuk pelanggaran aturan tersebut (Susilo et. al., 2013: 17). Kemudian di tahun 1980an, penerimaan minyak bumi dan gas Indonesia mengalami penurunan sehingga pemerintah merasa perlu mencari alternatif sumber penerimaan lainnya, yaitu melalui penerimaan uang kiriman yang bersumber dari buruh migran Saudi Arabia pada waktu itu (Farbenlum et al. 2013: 36).

1


Penempatan buruh migran Indonesia secara formal ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Menteri Tenaga Kerja RI Nomor PER 149/MEN/1983 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi. Regulasi ini mengatur secara rinci mengenai perusahaan perekrutan, mekanisme penempatan, tata cara pengiriman uang, serta penetapan biaya penempatan sebesar USD 870 untuk laki-laki dan USD 1.350 untuk pekerja perempuan. Di dalamnya, buruh migran juga dibebani dengan kewajiban yang disertai ancaman sanksi bagi pelanggar. Sistem sanksi ini menyerupai regulasi perekrutan tenaga kerja masa kolonial, Koeli Ordonantie, yang diikuti dengan instrumen penghukumannya Poenale Sanctie (Ibad, et. al., 2014: 16). Kemudian pada tahun 1984 pemerintah Indonesia mengesahkan Kepmenaker No. 408/ Men/1984 tentang Pengerahan dan Pengiriman Tenaga Kerja ke Malaysia yang memiliki substansi yang tidak jauh berbeda dengan regulasi penempatan ke Arab Saudi. Pada tahun 1985, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan institusi pengelola penempatan pekerja dengan mulai melibatkan pihak swasta (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia/PJTKI) serta memisahkan sektor pekerja formal dan informal melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Kep.28/ Men/1985 Tentang Penetapan Pola Perjanjian Kerja Antar Kerja Antar Negara (AKAN). Pemisahan ini dilaksanakan karena pemerintah hendak meningkatkan penempatan Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran ke Saudi Arabia. Pasca-reformasi, melalui UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri, tata kelola penempatan buruh migran semakin banyak melibatkan pihak swasta. Sebagian peneliti menilai bahwa undangundang tersebut memberikan legitimasi yang kuat terhadap peran swasta, di samping mengurangi peran pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam proses penempatan buruh migran (Bachtiar, 2013). Bahkan lebih daripada itu, Castles et. al. (2014) menyebutkan bahwa peran agen perekrut swasta di kampungkampung, termasuk di antaranya adalah para calo/sponsor/broker, yang tidak terkelola dengan baik telah berkontribusi besar terhadap rangkaian kerentanan terhadap buruh migran yang menjebaknya ke dalam tindak kejahatan, seperti penipuan, pemalsuan, jeratan hutang hingga eksploitasi dan perdagangan orang. Pendapat Castels et.al. (2014) di atas terbukti dengan banyaknya buruh migran yang mengalami berbagai permasalahan, baik sebelum maupun sesudah berada di negara penempatan. Berdasarkan data IOM Indonesia, terdapat 7.193 kasus perdagangan orang di Indonesia sejak 2005-2014, di mana 82% merupakan buruh migran. Ironisnya, 82% di dalamnya adalah kelompok rentan, yaitu perempuan dan 16 % anak-anak (IOM Indonesia, 2015). Contoh lain, dalam kurun 2015-2016, Serikat

2


Bab I - Pendahuluan Buruh Migran Indonesia (SBMI), telah menangani sebanyak 1.500 permasalahan yang diadukan oleh buruh migran, di mana 145 di antaranya teridentifikasi sebagai kasus perdagangan orang. Dari Jumlah tersebut, 49% di dalamnya adalah buruh migran sektor rumah tangga dan 51% adalah laki-laki (SBMI, 2017). Berdasarkan catatan SBMI, kelompok laki-laki dengan sektor jabatan Anak Buah Kapal (ABK) sektor perikanan yang bekerja di perairan internasional mengalami risiko yang tinggi terhadap berbagai permasalahan. Hal ini disebabkan, di antaranya, oleh absennya mekanisme pelindungan dari pemerintah terhadap pekerja di sektor jabatan ABK. Selain itu, data dari Komisi Nasional Perempuan juga menunjukkan bahwa kekerasan ranah komunitas diklasifikasikan ke dalam kategori lain yang mencakup kasus trafficking (310 kasus) dan buruh migran (226 kasus) (Komnas Perempuan, 2015). Sementara itu, data yang dirilis oleh pemerintah juga menunjukkan fenomena yang sama. Menurut Badan Nasional Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), di tahun 2011 hingga 2016, sebanyak 28.067 buruh migran telah mengadukan keluhannya. Pemerintah telah merevisi UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN menjadi UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Selain itu, pemerintah telah meratifikasi konvensi migran 1990 tentang perlindungan seluruh hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya. Sebuah perjalanan proses yang amat panjang karena desakan tersebut telah berlangsung sejak 2010. Namun baru di tahun 2017, revisi UU dengan mempertimbangkan konvensi migran 1990 ditetapkan di tahun 2017. Oleh sebab itu, pertanyaan yang mendasar patut diajukan mengenai apakah ketentuan yang baru ditetapkan tersebut telah selaras dengan semangat substansi yang terdapat di dalam konvensi migran 1990 yang syarat dengan muatan prinsipprinsip hak asasi manusia. Belum lagi tarik ulur kepentingan antara kementerian dan lembaga yang senantiasa mengikuti sepanjang proses perjalanan perubahan ketentuan tersebut menjadi problem tersendiri yang melekat pada kebijakan pelindungan buruh migran. Berdasarkan identifikasi awal dari pelbagai kajian sebelumnya, terdapat empat hal mendasar yang menyebabkan buruknya tata kelola penempatan buruh migran. Pertama, lemahnya koordinasi antara pihak yang masih mementingkan kepentingan institusinya sendiri (ego sektoral), yang ditandai dengan minimnya koordinasi (Chapsos & Malcolm, 2017: 183; Farbenlum, 2017: 170). Kedua, dominasi swasta, khususnya Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) terhadap proses tata kelola buruh migran menjadikan berbagai kebijakan yang dihasilkan condong sebagai alat untuk memuaskan kepentingan pihak swasta (Bachtiar, 2013). Meskipun PPTKIS diberikan tanggung jawab yang besar, namun

3


pemerintah juga agaknya lemah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan (Farbenlum: 2017). Ketiga, berdasarkan pengalaman Jaringan Buruh Migran (JBM) mengenai proses pembahasan juga kurang transparan, karena JBM mengawal proses revisi UU PPTKILN yang selanjutnya disahkan menjadi UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Dugaan mengenai materi muatan dan substansi yang terkandung di dalamnya memicu keraguan terhadap pelindungan kepada buruh migran dan anggota keluarganya. Dari serangkaian identifikasi di atas, nampaknya belum tersedia kajian yang representatif berkenaan dengan substansi kebijakan yang baru saja ditetapkan. Kendati demikian, kajian mengenai tumpang tindih kewenangan antara kementerian dan lembaga di level pemerintah pusat sudah beberapa dilakukan oleh peneliti, namun kajian mengenai dinamika kelembagaan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan desa amat jarang ditemui. Terlebih lagi paska penetapan ketentuan yang baru, kajian mengenai dinamika kelembagaan yang terkait dengan tata kelola migrasi ketenagakerjaan, nyaris belum tersedia sama sekali. Selain itu, tidak banyak kajian yang meletakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam mengukur keberpihakan produk kebijakan untuk migrasi ketenagakerjaan. 1.2 Tujuan Kajian Berdasarkan latar belakang di atas, kajian mengenai tata kelola migrasi ketenagakerjaan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui perbedaan tata kelola migrasi ketenagakerjaan antara UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN) dengan UU No. 17 tahun 2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). 2. Mengidentifikasi praktik atau pelaksanaan tata kelola migrasi ketenagakerjaan di beberapa daerah terpilih. 3. Menganalisis kesenjangan antara aturan dan pelaksanaan menurut ketentuan yang lama dan ketentuan yang baru berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. 1.3 Signifikansi dan Batasan Kajian Pelbagai macam kajian telah banyak dihasilkan pada tema-tema tata kelola pemerintahan, akan tetapi tema yang memberikan fokus kepada masyarakat buruh migran yang spesifik masih jarang dikaji oleh para peneliti, terlebih lagi jika dihubungkan dengan pendekatan hak asasi manusia konsepsi dan komitmen internasional yang tertuang ke dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), 4


Bab I - Pendahuluan di mana hal ini merupakan komitmen pemerintah untuk 15 tahun ke depan (2016 – 2030). Untuk itu, kajian ini memiliki kepentingan dalam menggambarkan aspekaspek kunci pada praktik pelayanan publik di setiap level pemerintahan bagi buruh migran sebagai strategi dan bahan rujukan untuk advokasi bersama untuk perbaikan pelayanan pelindungan buruh migran dari sudut pandang praktisi pada saat ini dan masa mendatang. Demikian juga, kajian ini juga berkepentingan tidak hanya membatasi pada sudut pandang praktisi saja, akan tetapi kajian ini juga dapat sebagai bahan rujukan dan sekaligus akan memperkaya literatur mengenai wacana kontemporer dalam isu migrasi ketenagakerjaan di Indonesia dan komitmen pemerintah terhadap interaksi global pada ruang akademis. Untuk selanjutnya, kajian ini memberikan penekanan dan merepresentasikan pada kritik terhadap tata kelola migrasi ketenagakerjaan di Indonesia. Dengan demikian, kajian ini memperhatikan lebih mendalam mengenai tata kelola migrasi ketenagakerjaan ke dalam pelayanan perijinan, perekrutan, pendataan, diseminasi informasi, pengaduan dan remidi, pendidikan dan pelatihan, remitansi dan sosial remitansi, reintegrasi dan pemberdayaan yang diberikan oleh lembaga publik dari level pemerintah desa, kabupaten, provinsi hingga pusat kepada buruh migran. Mengingat buruh migran berasal dari pelbagai daerah, kajian ini hanya membatasi di lokasi Indramayu Jawa Barat, Banyuwangi Jawa Timur dan Kupang Nusa Tenggara Timur, serta Jakarta sebagai pusat pemerintahan. 1.4 Desain Kajian Berkenaan dengan migrasi ketenagakerjaan, telah banyak definisi yang berkembang di antara para sarjana migrasi penduduk dan lembaga-lembaga Internasional yang memiliki fokus kepada isu ini. Untuk itu, penelitian ini merujuk pada definisi yang bersumber dari United Nations Research Institute for Social Development (UNSRID): “Migration governance relates to all possible governance levels and actors (state and non-state) involved in the process of negotiation, implementation, enforcement and monitoring of regulations.� (The Economist Intelligence Unit, 2017: 13). Mengingat begitu beragamnya latar belakang keaktoran pada kelompok yang berkepentingan dalam urusan penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan, hal ini sangat jelas bahwa aktor pemerintah telah memainkan peranan yang paling besar pengaruhnya. Untuk itu, hal itu sangat penting untuk dianalisis peranannya

5


dan sekaligus aktor yang terlibat dalam kaitannya untuk melindungi buruh migran. Selain aktor pemerintah terdapat pula aktor lainnya, yakni PPTKIS/P3MI, masyarakat sipil dan buruh migran, di mana keberadaan mereka mencakup di setiap level pemerintahan. Dalam melihat hubungan keaktoran secara komprehensif, pandangan Foucault cukup relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisis keaktoran buruh migran. Menurutnya, setiap masyarakat modern selalu menciptakan rezim kebenaran pada ruang dan waktu tertentu yang dipertimbangkan sebagai kebenaran dan kemudian menghasilkan wacana. Wacana tersebut dapat dikatakan sebagai sistem yang teratur dalam tata cara untuk produksi, distribusi, perputaran, peraturan dan berjalannya pernyataan-pernyataan pada waktu dan ruang tertentu. Dengan demikian, setiap masyarakat tertentu memiliki kebijakannya sendiri, di mana hal ini berarti mekanisme dapat membedakan antara pernyataan benar dan salah (Foucault, 1980: 38). Melalui pandangan tersebut, suatu kebijakan tertentu dapat bersambungan formasinya antara aktor yang terlibat. 1.4.1 Pendekatan Kajian Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang memandang realitas yang merupakan hasil rekonstruksi oleh individu/aktor yang terlibat dalam situasi sosial (Somantri, 2005: 58). Teknik analisis menggunakan analisis konten dengan metode koding. Koding berarti proses mengorganisasi materi/informasi ke dalam kelompok atau segmen teks sebelum memaknai informasi yang diperoleh oleh peneliti (Creswell, 2009: 186). Untuk itu, metode penelitian ini bercirikan kumpulan informasi yang berupa ikatan konteks yang menggiring kepada pola-pola atau teori yang menjelaskan fenomena sosial. 1.4.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menganalisis kinerja sistem pengambilan keputusan yang berwenang dalam konteks migrasi ketenagakerjaan oleh pelbagai pihak atas eksistensi ataupun perubahan kebijakan. Selama ini pemerintah telah mengumandangkan mengenai konsep tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dari level desa hingga pemerintah pusat. Untuk mengetahui penyelenggaraan tata kelola itu, kajian ini menggunakan teknik pengumpulan data secara terpilih (purposive sampling) melalui wawancara semi terstruktur kepada sumber primer yang berasal dari mantan buruh migran dan anggota keluarga, masyarakat sipil, serikat buruh, perusahaan perekrutan buruh migran, pemerintah desa, pemerintah daerah kabupaten, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Berkaitan dengan sumber sekunder mempercayakan dari peraturan atau undang-undang, artikel

6


Bab I - Pendahuluan ilmiah, buku, siaran media, dan prosiding yang memiliki akurasi data dan kejelasan sumber. Berikut ini merupakan kategori aktor yang telah berhasil diwawancarai oleh tim pengkaji:

Tabel 1.1 Jumlah dan kelompok yang diwawancarai No

Kelompok yang diwawancarai

Jumlah

1

Pemerintah pusat

12 orang

2

Pemerintah daerah provinsi

4 orang

3

Pemerintah daerah kabupaten

4 orang

4

Pemerintah desa

6 orang

5

PPTKIS/P3MI

3 orang

6

Akademisi

1 orang

7

Masyarakat sipil

7 orang

8

Buruh migran

4 orang

Total

41 orang

Setelah informasi dan data diperoleh, pengkaji menyelenggarakan kelompok diskusi terarah (focus group discussion/FGD) dengan berbagai pihak. Mereka adalah pemerintah pusat yang mengurusi migrasi ketenagakerjaan di Indonesia, yakni Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Sementara dari kalangan masyarakat sipil yang terlibat di dalamnya ialah Human Rights Working Group (HRWG), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (Seknas JBM), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Solidaritas Perempuan (SP). 1.4.3 Lokasi Kajian Dalam konteks migrasi ketenagakerjaan, hubungan antara negara asal dan negara tujuan tidak dapat dipisahkan di antara keduanya. Akan tetapi, pada kajian ini hanya memfokuskan pada penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan di negara asal saja. Mengingat daerah asal buruh migran mencakup berbagai daerah di Indonesia, pengkaji mempertimbangkan beberapa aspek untuk menentukan lokasi kajian. Untuk level pemerintah daerah, pengkaji mempertimbangkan berdasarkan jumlah buruh migran di daerah tertentu, karakteristik migrasi, dan penyelenggaraan pemerintahan untuk pelayanan migrasi. Dengan demikian, untuk

7


level pemerintah daerah, kajian ini mengambil perhatian di Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Kajian ini dilaksanakan selama satu tahun, yakni dari bulan Agustus 2017 hingga Juli 2018, dengan menggunakan studi kasus di Banyuwangi Jawa Timur, Indramayu Jawa Barat, Kupang Nusa Tenggara Timur dan Jakarta. Daerah-daerah ini dipilih dengan pertimbangan jumlah buruh migran dari daerah asal dan keragaman institusi pelayanan di daerah tersebut. Untuk itu, di Jawa Timur, kajian ini menguji kinerja Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI) Banyuwangi, di mana lembaga ini merupakan perangkat struktural di bawah BNP2TKI. Sementara itu, untuk level provinsi, kajian ini fokus kepada Loka Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (LP3TKI) Surabaya, juga merupakan perangkat struktural di bawah BNP2TKI di level Provinsi. Di samping itu, kajian ini juga menggali informasi dan data dari Dinas Tenaga Kerja sebagai organisasi perangkat daerah (OPD) di bawah pemerintah daerah provinsi melalui pembinaan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia yang juga memberikan pelayanan kepada buruh migran. Khusus provinsi Jawa Timur, sejak awal 20217 telah mengoperasikan Pusat Terpadu Satu Atap Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PTSP P2TKI), di mana pos ini di bawah struktur Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur. Berbeda dengan Jawa Timur, Indramayu dipilih karena hal ini dirasa kontras dengan Banyuwangi. Indramayu sebagai daerah asal buruh migran dengan jumlah terbesar, namun tidak memiliki P4TKI atau perangkat sejenis di bawah struktural BNP2TKI. Sebaliknya, di Indramayu telah tersedia Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP), di mana semua pelayanan yang berkaitan dengan sebelum pemberangkatan buruh migran berlangsung di unit tersebut di bawah koordinasi Dinas Tenaga Kerja setempat. Namun, di level provinsi terdapat BP3TKI Bandung yang memberikan pelayanan kepada buruh migran Jawa Barat. Model tata kelola kelembagaan ini mirip dengan yang terjadi di Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, di mana terdapat BP3TKI Kupang di wilayah provinsi tapi tidak terdapat P4TKI atau perangkat sejenis di bawah struktural BNP2TKI di Kabupaten Kupang. Provinsi Kupang dipilih karena sebagai salah satu provinsi terluar dan merupakan daerah sumber migrasi tidak prosedural (irregular migration) di Indonesia. Kajian juga dilaksanakan di Jakarta dengan menggali informasi dan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, BNP2TKI, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan Kementerian Luar Negeri. Selain penggalian data dari unsur pemerintah, kajian ini juga mengumpulkan informasi/data dari masyarakat sipil yang konsen terhadap

8


Bab I - Pendahuluan buruh migran di lokasi sasaran dan level fokus advokasinya, serta perusahaan perekrutan buruh migran yang melaksanakan penempatan. 1.5 Telaah Pustaka Dewasa ini, terdapat beberapa konsepsi yang berkaitan dengan migrasi di tataran global. Kesemuanya memiliki karakteristik tersendiri yang diaplikasikan menurut fenomena migrasi yang terjadi di negara tertentu. Seperti yang telah kita ketahui bahwa migrasi dilatarbelakangi oleh perubahan demografi, konflik, kebencanaan dan perubahan iklim (Castles et. al., 2014). Akan tetapi, mengingat begitu banyak fenomena migrasi dengan pelbagai latar belakangnya, sebenarnya, hal itu tetap merujuk kepada sebuah prinsip dan paradigma mengenai kebebasan individu untuk bergerak, di mana fungsi negara harus memfasilitasi atas hak warga negara tersebut dengan mempertimbangkan setiap akses pelayanan dasar dan perlindungan. Untuk itu, dalam kajian ini menggarisbawahi konsepsi yang relevan dan kritik atas praktik migrasi ketenagakerjaan di Indonesia. Adapun konsepsi yang dimaksud adalah tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, tata kelola migrasi ketenagakerjaan yang berbasis pendekatan hak asasi manusia dan komitmen pemerintah pada interaksi global untuk menyongsong era pembangunan berkelanjutan (SDGs) dalam konteks migrasi ketenagakerjaan di periode 2016 – 2030. 1.5.1 Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean Governance) Tak seorang pun yang mengetahui secara pasti awal mula istilah governance dipergunakan oleh pelbagai institusi. Istilah tersebut juga tidak ditemukan pula definisi tunggal yang menyebutkan istilah governance ini melalui pembatasan yang jelas. Istilah governance sangat fleksibel, tergantung konteks dan objektif yang hendak dicapai. Meminjam pendapat Gisselquist (2012) bahwa governance merupakan bagian dari istilah sesuatu ruang sosial yang berpindah kepada institusi pembangunan dan menjadi aktor lain di ruang internasional. Dalam forum Busan High Level Aid Effectiveness di tahun 2011, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan menyebut bahwa “good governance is perhaps the single most important factor in eradicating poverty and promoting development.� Meskipun demikian, dalam konsensus tersebut istilah tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih merupakan sebuah objektif yang elusif. Artinya, hal itu membedakan sesuatu kepada perbedaan organisasi dan tidak menyebutkan perbedaan aktor di dalam organisasi tersebut.

9


Pada dasarnya, governance merupakan sebuah konsep, yang lebih lanjut menurut Gisselquist (2012) merujuk kepada institusi ekonomi dan manajemen pelayanan publik yang merangkumi transparansi, akuntabilitas, perubahan peraturan, keahlian sektor publik dan kepemimpinan. Sementara bagi organisasi lainnya seperti PBB, Uni Eropa, OECD dan lainnya, governance lebih menyoroti kepada demokrasi governance, hak asasi manusia governance dan aspek politik governance. Antara program yang dijalankan oleh institusi ini ialah pengawasan pemilihan umum, dukungan partai politik, pemberantasan korupsi, membangun sistem peradilan yang adil, reformasi keamanan, akses layanan sosial, transparansi dalam akuntansi, desentralisasi, hak sipil dan politik serta tanggung jawab governance. Selain daripada karakteristik seperti partisipasi, kebijakan dan hukum, transparansi, pertanggungjawaban, berorientasi kepada kesepakatan, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, strategi di masa depan, informasi masyarakat juga menjadi hal yang penting bagi pembuat kebijakan dan semua pihak dalam perubahan sosial, mendirikan kompetisi dan kesinambungan pengetahuan ekonomi (OECD, 2015). Selanjutnya, UNDP mempertimbangkan dalam promosi tata kelola yang baik dan bersih sangat perlu dilaksanakan, seperti pemberantasan korupsi, kode etik sektor publik, memperbaiki kualitas komunikasi, peran dan tanggung jawab, memperbaiki manajemen keuangan, audit eksternal, kerjasama pembangunan, indikator, peningkatan kapasitas, penaksiran kerja, teknologi komunikasi dan informasi. Namun pada masa sekarang, penanda hak asasi manusia juga dipergunakan oleh negara-negara maju sebagai faktor yang menentukan dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Di dalam resolusi dewan HAM PBB 2000/64 telah menyatakan bahwa kesinambungan pembangunan manusia dan penekanannya pada prinsip tata kelola pemerintahan membuat resolusi tersebut sebagai dukungan implisit berdasarkan hak asasi manusia sebagai pembangunan (UHCHR, 2015). Berikut ini merupakan model tata kelola pemerintahan yang baik yang dianut oleh pelbagai institusi yang terangkum sebagai berikut: 1. Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih berarti pemerintah memiliki objektif, berorientasi kepada masyarakat dan pengguna jasa publik; 2. Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih berarti performa yang efektif dalam kejelasan fungsi dan peran sebuah institusi publik; 3. Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih berarti mempromosikan nilai ke semua organisasi birokrasi dan mempertontonkan nilai tata kelola yang terbaik melalui kebiasaan;

10


Bab I - Pendahuluan 4. Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih berarti memberitahu kepada masyarakat, keputusan yang terbuka dan pengurusan risiko organisasi sektor publik 5. Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih berarti membangun kapasitas dan kemampuan atas organisasi sektor publik menjadi lebih efektif 6. Tata kelola pemerintah yang baik dan bersih berarti pelibatan semua pihak dan mempertanggungjawabkannya Di Indonesia sendiri, pelaksanaan tata kelola yang baik dan bersih mulai digalakkan pasca kejatuhan rezim Suharto. Pelaksanaanya pun bukan tanpa kendala dan hambatan, di mana hal tersebut terletak pada level kebijakan, kelembagaan, resistensi pegawai terhadap perubahan dan sentralisasi kepemimpinan yang merupakan warisan dari rezim yang terdahulu (Rahman, 2011). Meskipun demikian, di Indonesia telah terjadi perubahan perbaikan pada sisi akuntabilitas karena peran media yang cukup gencar dalam memberitakan idealitas tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Sebenarnya usaha untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di Indonesia melalui paradigma desentralisasi juga terlihat cukup menonjol, tapi kurang begitu berdampak signifikan pada beberapa aspek. Lankaster (2007) menyoroti enam poin penting dalam usaha tersebut, di antaranya adalah aspirasi dan akuntabilitas, stabilitas politik, kualitas hukum dan aturan, efektivitas pemerintahan dan kontrol terhadap korupsi. Akan tetapi, reformasi ke arah tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih justru diarungi cukup terjal ketika kapasitas sumber daya manusia di level pemerintahan daerah agaknya belum mampu melaksanakannya (Utomo, 2011: 269). Dalam tata kelola migrasi ketenagakerjaan, terdapat beberapa permasalahan yang mendasar. Ketidakjelasan kewenangan dan tanggungjawab antara Kementerian Ketenagakerjaan dan BNP2TKI dalam mengurus buruh migran merupakan simpul atas carut marutnya manajemen migrasi ketenagakerjaan (Farbenlum, 2016). Hal itu belum lagi dengan ragam persoalan migrasi yang melintas batas negara, sehingga hal ini mesti melibatkan Kementerian Luar Negeri untuk mengurai persoalan buruh migran. Di sisi lain, beberapa institusi juga mengeluarkan kebijakan yang tumpang tindih dalam migrasi ketenagakerjaan untuk jenis sektor yang berlainan, antaranya sektor perikanan juga tak luput dari praktik ini (Chapsos & Malcom, 2017). Dengan demikian, hal ini membuat kerancuan dalam hal pelayanan, khususnya dalam akses keadilan. Terkadang buruh migran merasa resah dalam pengaduan permasalahannya.

11


1.5.2 Tata Kelola Migrasi Ketenagakerjaan Berbasis Pendekatan Hak Asasi Manusia Dalam beberapa tahun terakhir, tata kelola migrasi ketenagakerjaan disibukkan oleh agenda multilateral yang melibatkan pelbagai pihak yang berkepentingan, yaitu organisasi internasional, pemerintah, pengusaha, masyarakat sipil dan serikat buruh. Masing–masing pihak telah berusaha menafsirkan gagasannya sendiri mengenai tata kelola migrasi ketenagakerjaan yang terbaik bagi versinya. Meskipun demikian, gagasan untuk memasukkan tata kelola migrasi ketenagakerjaan ke dalam kancah global sedikit terlambat jika dibandingkan dengan isu tata kelola lainnya, seperti perdagangan, kesehatan, keuangan dan lain-lainnya (Piper, 2017: 376). Padahal, migrasi internasional bukan hanya kunci ekonomi dalam era globalisasi, namun juga menjadi topik perdebatan yang sensitif dalam berbagai diskusi mengenai kebijakan migrasi. Negara asal buruh migran, sementara itu, terjebak dengan wacana persimpangan antara pembangunan dan migrasi ketenagakerjaan melalui perbaikan saluran formalisasi remitansi, tata cara transfer dan investasi (Piper & Yamanaka, 2007), ketimbang mempertimbangkan aspek di atas pemenuhan hak bagi buruh migran (Piper, 2007: 14). Fokus pada pembahasan negara-negara asal/tujuan buruh migran ini sangat terlihat pada tema-tema yang diusung dalam pertemuan tahunan Global Forum Migration and Development (GFMD), yang diawali sejak tahun 2007 lalu di Brusel sebagai hasil rekomendasi dari High Level Dialogue di New York pada tahun 2006. Selain berhenti pada wacana pembangunan saja, forum ini juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil. Kondisi ini membuat arah kebijakan GFMD hanya berlandaskan pada perspektif pemerintah semata yang selama ini terbukti jauh dari pendekatan hak asasi manusia yang transparan dan akuntabel (Chaves, 2015: 9; Crepeau & Atak, 2016: 144). Pada saat ini, meskipun dalam konteks migrasi ketenagakerjaan telah tersedia instrumen pelindungan yang menjadi acuan global yang terkandung di dalam konvensi perlindungan hak-hak migran dan anggota keluarganya 1990, pemerintah Indonesia juga tidak serta-merta menerapkannya. Sekalipun ratifikasi tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2011, konvenan ini tidak seluruhnya diadaptasi ke dalam norma-norma penyusunan undang-undang pelindungan pekerja migran Indonesia (UU PPMI). Hak reunifikasi, misalnya, merupakan hak yang paling fundamental melalui landasan sosiologis tidak dimasukkan ke dalam ketentuan UU PPMI. Padahal, penghilangan atau pengabaian atas hak reunifikasi berdampak kepada kesehatan keluarga buruh migran, baik itu di ruang lingkup fisik maupun psikis, yang mengakibatkan kerugian sosial yang mesti dibayar mahal. Untuk itu,

12


Bab I - Pendahuluan keengganan pemerintah dalam mengadaptasi norma-norma konvenan dalam perumusan kebijakan ini menjadi penanda gagalnya upaya perspektif hak asasi manusia ke dalam tata kelola migrasi ketenagakerjaan di Indonesia, utamanya terkait dengan aspek pelindungan sosial, yang ketentuannya melekat di dalam konvensi tersebut (Piper, 2017a: 377). Pemerintah masih belum sepenuh hati memfasilitasi buruh migran sebagai agen pembangunan. Dalam konteks rekrutmen, misalnya, tidak diadopsinya konvenan terkait seperti Konvensi ILO 181 tentang agensi ketenagakerjaan swasta memengaruhi minimnya pemenuhan mengenai akses untuk mencapai kecakapan keahlian dan peningkatan remitansi, sebab keberadaan buruh migran masih dikekang oleh kebijakan-kebijakan yang sebenarnya semakin membuat mereka rentan dan tereksploitasi (Spitzer & Piper, 2014). Merujuk kepada konvensi migran 1990, buruh migran dan anggota keluarganya di dalam konvensi itu memiliki norma-norma penting yang berikatan dengan hak buruh migran, seperti hak atas infomasi, hak atas bantuan hukum, hak atas pendidikan, hak pemberdayaan, hak kesehatan, hak reunifikasi, hak atas jaminan sosial dan hak reintegrasi. Hak atas informasi memuat ketentuan mengenai tata cara migrasi ketenagakerjaan yang diatur oleh pemerintah, khususnya terkait dengan pembiayaan, perjanjian kerja, informasi negara tujuan, informasi mengenai majikan, tata cara pengiriman uang, informasi mengenai organisasi serikat pekerja/buruh di negara tujuan penempatan. Di samping itu hak atas informasi sebagaimana tercatat dalam konvensi migran 1990 mengatur terkait kelembagaan pengaduan jika terjadi pertikaian, informasi mengenai jaminan sosial, saluran komunikasi yang tersedia, informasi perusahaan perekrutan yang diakui oleh pemerintah, informasi mengenai bentuk-bentuk pelanggaran atas ketenagakerjaan. Dalam proses persiapan pemberangkatan, buruh migran juga berhak mendapatkan informasi mengenai kebiasaan berbahasa dan budaya negara tujuan, dan informasi yang relevan antara negara asal dan negara tujuan penempatan buruh migran. Begitu juga dengan hak atas bantuan hukum bagi buruh migran, konvensi migran 1990 mengamanatkan terciptanya skema advokasi peradilan yang jelas antara negara asal dan negara tujuan penempatan, baik itu perkara pidana maupun perdata. Skema advokasi peradilan yang dimaksud di sini berkaitan dengan tata cara pelaporan dan pendampingan. Antara negara asal dan negara tujuan harus menyediakan pelindungan bagi saksi dan/atau korban yang sedang bertikai. Fasilitasi bantuan hukum yang disediakan oleh lembaga bantuan hukum atau pemerintah harus mudah dan gratis bagi buruh migran. Lembaga bantuan hukum yang menyediakan pendampingan juga harus memiliki pengacara aktif

13


selain paralegal yang senantiasa mendampingi kasus-kasus buruh migran. Hak atas pendidikan bagi calon buruh migran ini berkaitan dengan proses sebelum keberangkatan calon buruh migran. Yang dimaksud dengan pendidikan dalam poin ini terkait dengan keahlian, baik itu keahlian berkomunikasi dengan bahasa negara tujuan ataupun keahlian dalam menggunakan peralatan kerja sesuai dengan spesifikasi pekerjaan di negara tujuan penempatan. Proses pendidikan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga, dalam hal ini adalah perusahaan perekrutan, harus dipantau dan diawasi oleh pemerintah. Bentuk pemantauan dan pengawasan itu di antaranya adalah ketersediaan modul yang telah disesuaikan dengan kebutuhan buruh migran, peralatan yang tersertifikasi dan durasi kegiatan belajar mengajar kepada calon buruh migran. Selain itu, setelah proses pembelajaran telah selesai, juga perlu dilakukan uji keahlian oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Hak pendidikan pada buruh migran di dalam arah revisi merumuskan untuk dibebankan kepada negara, mengingat konstitusi menjamin hak pendidikan kepada warga negara. Hak pemberdayaan bagi buruh migran ini meliputi pengetahuan bagi calon atau mantan buruh migran beserta anggota keluarganya. Pemberdayaan di sini memiliki cakupan yang sangat luas. Hal ini boleh diartikan sebagai pengetahuan mengenai kecakapan hidup sebelum atau pasca-migrasi. Proses sosialisasi pengetahuan atas kecakapan hidup ini bisa diselenggarakan oleh siapapun dan/atau fasilitasi oleh pemerintah. Proses tersebut seharusnya dilaksanakan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara bersama-sama melalui proses pembangunan partisipatif dengan masyarakat di setiap level pemerintahan. Untuk itu, calon atau mantan buruh migran dan anggota keluarganya harus dilibatkan pada proses awal perencanaan pembangunan dalam konteks pemberdayaan. Hak jaminan sosial, hak reunifikasi dan kesehatan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya. Selain merupakan hak dasar yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah kepada buruh migran, mekanisme pemenuhan hak dilakukan secara transparan dan akuntabel. Pemerintah juga mendorong untuk jaminan pelindungan atas keselamatan kerja buruh migran, baik itu pada saat proses pemberangkatan, masa bekerja dan masa kepulangan buruh migran. Buruh migran biasanya menghabiskan waktunya di negara tujuan hingga bertahun-tahun karena menyesuaikan kontrak kerja atau mencapai tujuan prioritasnya. Oleh karenanya, melalui UU ratifikasi konvensi ini, pemerintah dapat melakukan intervensi untuk menjamin hak reunifikasi antara buruh migran dan anggota keluarganya selama proses sebelum keberangkatan dan pada masa bekerja di negara tujuan penempatan. secara umum, hal ini diperlukan sinergi

14


Bab I - Pendahuluan antar pihak untuk perwujudan hak yang diakui sebagai bentuk pelindungan kepada buruh migran. Bagi buruh migran yang telah pulang kembali ke daerah asalnya, pemerintah harus menjamin terwujudnya reintegrasi antara mantan buruh migran dan warga sekitar. Artinya pemerintah harus memberikan pemahaman kepada masyarakat dengan harapan menghindarkan stigmatisasi, pelabelan negatif dan diskriminasi antara mantan buruh migran dan masyarakat setempat. Pelayanan pemulangan buruh migran tidak harus spesial dan hal itu disesuaikan dengan kebutuhan. Akan tetapi, keselamatan dan keamanan semasa dalam perjalanan pulang ke kampung halaman juga harus menjadi perhatian yang serius. Identifikasi atas kebutuhan reintegrasi ini penting dan berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi di masyarakat bagi buruh migran purna. 1.5.3 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Migrasi Ketenagakerjaan Pada sidang umum PBB tanggal 27 September 2015, masyarakat internasional telah mengadopsi sebuah ambisi global untuk periode pencapain selama 15 tahun ke depan, atau yang disebut dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Agenda ini merupakan penyempurnaan dari Millenium Development Goals (MDGs), sekaligus melengkapi capaian pembangunan global yang agaknya agenda tersebut masih belum tercapai pada beberapa capaian dan indikator di beberapa negara berkembang, khususnya Asia dan Afrika. SDGs senantiasa memfokuskan pembangunan kepada pengurangan angka kemiskinan yang dikaitkan dengan ketimpangan pembangunan dengan meningkatkan pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, infrastruktur, sumber daya kelautan, perdamaian, tata kelola serta memasukkan kemampanan ekologi sebagai bentuk perubahan iklim, sebagai agenda pelengkapnya (Sachs, 2012). Mengacu pada aspek tersebut, konsep yang berusaha dibangun di dalam SDGs meletakkan prinsip ekonomi sebagai inti (core) di bawah kendali prinsip keadilan sosial dengan semangat memelihara sistem ekologi (biotik dan abiotik) yang berkesinambungan untuk kesejahteraan generasi saat ini dan tidak merusak generasi masa mendatang (Griggs, 2013). Meskipun melalui konsep tersebut terdapat peneliti yang pesimistik melihat agenda ambisius ini karena konsep tersebut boleh saja hanya sebagai sebuah hiasan semata, mengingat proses pemantauan dan pengawasan terhadap pencapaian indikator yang tidak mudah (Langford, 2016: 173).

15


Gambar 1.1 Pergeseran paradigma saat ini

MDGs

SDGs EKONOMI

EKOLOGI SOSIAL EKONOMI

LINGKUNGAN HIDUP

SOSIAL

Dari 17 capaian utama dan 169 indikator dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan SDGs, 5 capaian di antaranya bersinggungan kuat dengan pemenuhan hak-hak buruh migran. Hal itu, misalnya, capaian ke-5 mengenai kesetaraan gender, yang di dalamnya ingin menghapuskan perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan perdagangan orang terhadap perempuan dan anak-anak. Selanjutnya, capaian ke-8 mengenai kerja layak dan pertumbuhan ekonomi, termasuk indikator yang berkaitan adalah memberantas kerja paksa, mengakhiri perbudakan dan segala bentuk tenaga kerja di bawah umur dengan melindungi hak-hak pekerja dan mempromosikan keselamatan kerja di lingkungan tempat bekerja bagi buruh migran. Berikutnya, capaian ke-10 yang berkaitan dengan mengurangi ketidaksetaraan di antara negara dengan memudahkan aturan, keselamatan, keterjangkauan, pertanggungjawaban dan kebebasan bergerak melalui perencanaan yang matang dan terkelola dengan baik. Seterusnya adalah capaian ke-16 mengenai perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat untuk mempromosikan perdamaian dan masyarakat inklusif untuk pembangunan berkelanjutan dengan menyediakan akses keadilan bagi semua lapisan masyarakat yang efektif, akuntabel dan inklusif di setiap level kelembagaan. Pada akhirnya, elemen ke-17 adalah kerjasama untuk memperkuat pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan revitalisasi global (MADE, 2015). Tata kelola migrasi ketenagakerjaan telah berkembang sedemikian rupa, namun masih banyak aspek migrasi yang terlewatkan. Seperti misal, migrasi buruh perempuan di sektor rumah tangga dan buruh migran sektor perikanan tangkap. 16


Bab I - Pendahuluan Letak tempat kerja yang berada di lingkungan domestik (rumah-rumah) dan juga di luar dari yurisdiksi sebuah negara (di perairan internasional) membuat subjek dari pekerjaan rumah tangga dan perikanan tangkap luput dari regulasi yang mengatur mekanisme pelindungan. Ironisnya, hingga saat ini, berkenaan dengan hal tersebut hanya 24 negara di dunia yang meratifikasi konvensi 189 mengenai pekerjaan layak bagi pekerja rumah tangga, atau ketentuan yang mengakui keberadaan pekerja rumah tangga. Di samping itu, pelindungan bagi kelompok rentan lainnya seperti buruh migran perikanan tangkap hanya diratifikasi oleh 10 negara di dunia, yakni konvensi 188 mengenai kerja perikanan, yang membuat kerentanan para pekerja di sektor tersebut semakin tinggi. Migrasi ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan kebijakan antara negara asal dan negara tujuan. Untuk itu, infrastruktur migrasi yang aman (infrastructure for safe migration) dengan tersedianya peraturan tentang keselamatan migrasi dan pelindungan kepada buruh migran adalah faktor yang perlu dicapai di dalam pembangunan berkelanjutan dalam konteks tata kelola migrasi ketenagakerjaan. Migrasi perempuan adalah salah satu fenomena yang menguat dalam tiga dekade terakhir, khususnya di sektor pekerjaan domestik. Sayangnya, secara bersamaan praktik kerentanan yang dialami perempuan dalam bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan juga meningkat. Untuk itu, perlakuan setara kepada semua buruh migran dalam mendapatkan pelindungan serta akses sosial, kesehatan dan akses kepada lembaga keuangan yang seharusnya menjadi nilai-nilai yang tertanam di dalam tata kelola migrasi ketenagakerjaan (Fleury, 2016). Selain daripada itu, kebijakankebijakan dalam bentuk pemerangan terhadap eksploitasi juga mesti digalakkan oleh pemerintah. Terlebih lagi hingga sekarang, praktik perekrutan di bawah umur untuk penempatan buruh migran yang umumnya menimpa perempuan masih kerap kali kita jumpai. Selanjutnya tata kelola kelembagaan yang mengurus buruh migran belum sepenuhnya menjunjung tinggi hak buruh migran. Indikator utama adalah minimnya akses terhadap bantuan hukum yang mudah dan terjangkau oleh buruh migran. Gejala lainnya, yakni masih dominannya peraturan mengenai bisnis proses perusahaan jasa penempatan tenaga kerja yang mengenyampingkan hak buruh migran itu sendiri. Selain itu, kelembagaan tata kelola migrasi ketenagakerjaan masih kental dengan praktik intervensi politik yang berpihak kepada korporasi di dalam industri penempatan buruh migran. Seperti misal, para pemilik perusahaan jasa penempatan tenaga kerja kini banyak yang menjadi pengambil kebijakan, seperti anggota parlemen. Hal ini menjadikan tata kelola penempatan buruh

17


migran agaknya lebih condong terhadap kepentingan korporasi. Di samping itu, praktik rent-seeking yang melibatkan aktor pemerintah dan aktor korporasi di dalam bisnis penempatan buruh migran juga masih kerap terjadi (Wahyudi, 2017a). Hal ini menunjukkan masih lemahnya upaya pengawasan kepada masing-masing pihak berkepentingan dalam penempatan buruh migran. Kita juga dapat mencermati mengenai bagaimana berbagai agenda global yang bertumpu pada mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik itu dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Untuk mendiskusikan hal tersebut, dua paradigma terkait kiranya perlu dipertimbangkan, yaitu (1) manajemen migrasi yang memuat mengenai ketentuan migrasi penduduk yang teratur dan aman, terhindar dari perdagangan orang, dan aman dari penyelundupan manusia di bawah kontrol kebijakan negara, dan (2) persimpangan antara migrasi dan pembangunan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan di negara asal buruh migran melalui kecakapan keahlian buruh migran (Piper, 2017b, 3). Setidaknya dua paradigma yang saling terkait tersebut mampu mencapai lima capaian penting, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dalam bidang migrasi ketenagakerjaan. 1.6 Ringkasan Pelayanan migrasi ketenagakerjaan di Indonesia memang memiliki akar sejarah pelibatan swasta yang cukup panjang sehingga selalu mewarnai praktik suram yang dialami oleh buruh migran. Hingga saat ini, pemerintah belum mampu menghilangkan praktik diskriminasi yang dialami oleh buruh migran. Terlebih lagi, praktik penindasan semakin nyata dialami oleh buruh migran. Sementara itu, pemerintah cenderung meletakkan pengurusan migrasi ketenagakerjaan pada konsepsi dan agenda keumuman yang belum tentu hal itu sesuai dengan pemenuhan hak-hak pekerja migran. Untuk itu, melalui permasalahan yang diangkat dalam kajian ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran dan pengetahuan sebagai arah advokasi kebijakan untuk meningkatkan pelindungan bagi buruh migran. Dengan demikian, pemaparan mengenai desain di atas rasanya telah cukup untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang tengah dihadapi dalam konteks tata kelola migrasi ketenagakerjaan di Indonesia.

18


BAB II

PROFIL DAERAH SASARAN KAJIAN 2.1 Pendahuluan Kajian ini mencakup sasaran di tiga daerah asal buruh migran yang memiliki perbedaan jumlah buruh migran, karakteristik geografis dan bagaimana pemerintah daerah membuat layanan migrasi ketenagakerjaan. Tiga daerah asal dipilih yakni Indramayu, Jawa Barat; Banyuwangi, Jawa Timur; dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan sebaran jumlah buruh migran, Indramayu saat ini menduduki daerah asal buruh migran yang tertinggi. Hal ini juga sama dengan kawasan provinsinya, di mana provinsi Jawa Barat juga merupakan kawasan daerah asal buruh migran yang tertinggi berdasarkan statistik penempatan BNP2TKI. Pada bagian ini hendak mengulas mengenai kondisi geografis, penduduk dan secuil mengenai kebijakan migrasi ketenagakerjaan dari daerah asal buruh migran. Daerah asal buruh migran boleh dikatakan bersumber dari seluruh provinsi di Indonesia. Tren penempatan sebenarnya mengalami penurunan dari tahun ke tahun yang merupakan dampak dari penghentian penempatan buruh migran pekerja rumah tangga di negara-negara Timur Tengah. Meski demikian, jumlah yang terbanyak masih didominasi oleh daerah yang berasal dari provinsi-provinsi di Jawa. Jawa Barat masih menjadi daerah yang tertinggi penduduknya bekerja ke luar negeri. Tren itu pun, kemudian, disusul Jawa Tengah dan Jawa Timur di urutan ketiga dengan jumlah buruh migran tertinggi. Tiga daerah di Jawa sekaligus menempati 61 per seratus dari keseluruhan buruh migran yang ditempatkan ke luar negeri sebanyak 234.451 orang di tahun 2016.

19


Grafik 2.1 Statistik Penempatan Daerah Asal Buruh Migran Tertinggi

Sumber: Puslitfo BNP2TKI

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa kajian ini menentukan lokasi daerah dari Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Alasan penentuan lokasi didasarkan kepada jumlah buruh migran berasal, jarak antara daerah asal buruh migran dengan pemerintah pusat, karakteristik pelayanan di daerah tersebut bagi buruh migran, dan inisiatif pemerintah daerah dalam menjalankan inovasi pelayanan publik. 2.2 Provinsi Jawa Barat 2.2.1 Profil Kabupaten Indramayu a. Kondisi Geografis Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah di Lingkungan Provinsi Jawa Barat. Ibukotanya bernama Indramayu yang memiliki batas-batas wilayah administrasi seperti bagian utara adalah Laut Jawa; bagian selatan adalah Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Cirebon; bagian barat adalah Kabupaten Subang, dan bagian timur adalah Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon. Letak wilayah dan batas-batas digambarkan melalui peta di bawah ini.

20


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian

Gambar 2.1: Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Indramayu

Sumber : Bappedalitbang Kabupaten Indramayu, 2017

Wilayah Kabupaten Indramayu memiliki luas 209.942 Ha, dengan panjang garis pantai 147 km yang membentang sepanjang pantai utara melewati 11 (sebelas) kecamatan yaitu Sukra, Patrol, Kandanghaur, Losarang, Pasekan, Cantigi, Indramayu, Balongan, Juntinyuat, Karangampel dan Krangkeng (Sumber: Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Indramayu Tahun 2011-2031). Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 313 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir Laut Jawa. Wilayah Kabupaten Indramayu mencakup beberapa pulau kecil dan wilayah perairan laut. Wilayah daratan didominasi oleh lahan sawah sebesar 55,92% dari total luas lahan. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Indramayu merupakan daerah pertanian (agraris) dan menjadi alasan pemerintah pusat menentukan Kabupaten Indramayu sebagai lumbung pangan nasional atau daerah pertanian nasional. Selain sebagai daerah pertanian, sektor perikanan dan kelautan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Indramayu. Pengolahan lahan seluas 12,86% berupa tambak untuk memproduksi ikan menjadi mata pencaharian pokok di beberapa wilayah pantai. Luas permukiman hanya sebesar 10,03% dari total luas wilayah, sementara luas hutan sebesar 14,70%, perkebunan sebesar 4,26%, industri sebesar 0,48%, kolam sebesar 0,18%, tanah kosong sebesar 0,10%, tambang sebesar 0,002% dan lain-lain sebesar 1,47%.

21


b. Kondisi Demografis Jumlah penduduk Kabupaten Indramayu menurut jenis kelamin sebanyak 1.845.205 jiwa yang terdiri dari jumlah penduduk laki-laki sebanyak 923.733 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 921.472 jiwa. Komposisi penduduk Kabupaten Indramayu menurut jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Kabupaten Indramayu Tahun 2017

22

NO

KECAMATAN

LAKI-LAKI

PEREMPUAN

JUMLAH

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

1

HAURGEULIS

46.625

45.700

92.325

2

KROYA

32.004

31.365

63.369

3

GABUSWETAN

28.745

28.985

57.730

4

CIKEDUNG

20.186

20.524

40.710

5

LELEA

23.584

24.082

47.666

6

BANGODUA

14.491

14.377

28.868

7

WIDASARI

18.129

18.051

36.180

8

KERTASEMAYA

31.864

31.732

63.596

9

KRANGKENG

32.905

32.690

65.595

10

KARANGAMPEL

32.307

31.971

64.278

11

JUNTINYUAT

42.975

43.217

86.192

12

SLIYEG

30.944

31.160

62.104

13

JATIBARANG

37.767

37.821

75.588

14

BALONGAN

22.424

22.607

45.031

15

INDRAMAYU

55.840

55.321

111.161

16

SINDANG

28.347

27.978

56.325

17

CANTIGI

13.467

13.311

26.778

18

LOHBENER

30.360

30.258

60.618

19

ARAHAN

19.486

19.399

38.885

20

LOSARANG

30.847

30.540

61.387

21

KANDANGHAUR

48.666

47.479

96.145

22

BONGAS

26.159

26.542

52.701

23

ANJATAN

45.578

45.768

91.346


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian 24

SUKRA

26.857

27.550

54.407

25

GANTAR

34.064

33.426

67.490

26

TERISI

29.588

29.239

58.827

27

SUKAGUMIWANG

18.334

18.844

37.178

28

KEDOKANBUNDER

25.973

26.049

52.022

29

PASEKAN

14.244

13.625

27.869

30

TUKDANA

29.287

29.991

59.278

31

PATROL

31.686

31.870

63.556

923.733

921.472

1.845.205

JUMLAH

Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Indramayu, 2017

Sementara penduduk Kabupaten Indramayu berdasarkan kelompok usia lebih banyak ditemukan pada usia 35-39 tahun sebanyak 170.125 jiwa sedangkan kelompok usia terendah ditemukan pada usia lebih dari 75 tahun yaitu 20.511 jiwa, Kelompok usia penduduk tahun 2017 dapat dilihat pada diagram dibawah ini :

Grafik 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia

0-4 05-09 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 >=79

Laki-laki

59

73

78

85

84

78

80

80

73

64

49

43

31

20

11

94

Perempuan

55

69

74

82

77

74

87

90

79

63

50

42

29

20

11

11

Jumlah penduduk menurut latar belakang usia pendidikan yaitu di atas 7 (tujuh) tahun ke atas sebanyak 1.669.994 jiwa dibandingkan jumlah penduduk Kabupaten Indramayu sebanyak 1.845.205 jiwa, sehingga jumlah penduduk berusia 0-6 sebanyak 175.211 jiwa. Adapun jumlah penduduk menurut latar belakang pendidikan yang terbanyak adalah penduduk berpendidikan tamat SD/Sederajat 23


sebanyak 695.826 jiwa sedangkan jumlah penduduk menurut latar belakang pendidikan yang terkecil adalah penduduk berpendidikan Strata III sebanyak 132 jiwa. Lebih jelasnya dapat dilihat melalui grafik dibawah ini:

Grafik 2.3 Penduduk Menurut Latar Belakang Pendidikan Tahun 2017 695.826

251.780

246.356

155.306 39.070

2.468

132

ed

er SL aj TP at /s ed er SL aj TA at /s Ak ed ad er em aj at D i/D ip lo ip m lo a m I/I a I III D / S. ip M lo ud m a a IV /S tr at a I St ra ta II St ra ta III

er at

Ta m

at m

11.848

SD /s

SD /s

ed

se m ta

m

aj

ah ko l

6 0lu be k/ lu Be

at

3.186

da Ti

264.022

175.211

th

800.000 700.000 600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 0

Kepadatan penduduk Kabupaten Indramayu sebanyak 871,96 per luas wilayah/ jumlah penduduk berdasarkan luas wilayah Kabupaten Indramayu seluas 2.099.42 Ha dibandingkan jumlah penduduk Kabupaten Indramayu sebanyak 1.845.205 jiwa. Kecamatan yang terpadat penduduknya adalah Kecamatan Indramayu sedangkan kecamatan yang kepadatan penduduknya terendah adalah Kecamatan Terisi. Angka kemiskinan Kabupaten Indramayu dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 terus mengalami penurunan meskipun laju penurunannya lambat. Data BPS tahun 2015 menunjukkan jumlah penduduk miskin tahun 2015 sebanyak 253.120 jiwa dengan tingkat kemiskinan 14,98%, dibandingkan penduduk miskin tahun 2017 sebanyak 237.000 jiwa dengan tingkat kemiskinan 13,67%. Sehingga laju penurunan angka kemiskinan penduduk Kabupaten Indramayu 3 (tiga) tahun kebelakang sebanyak 16.120 jiwa dengan tingkat kemiskinan 1,31%. Untuk lebih jelasnya diuraikan pada perkembangan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan dibawah ini: c. Jumlah Penduduk Miskin Berdasarkan BPS Kabupaten Indramayu, jumlah penduduk miskin tahun 2015 sebanyak 253.120 jiwa, tahun 2016 sebanyak 237.000 jiwa, sedangkan tahun 2017 24


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian sebanyak 233.380 jiwa, sehingga terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Indramayu sepanjang 2015-2017 sebanyak 19.740 penduduk miskin. Sebagai gambaran perkembangan antar waktu jumlah penduduk miskin dapat dilihat pada grafik di bawah ini :

Grafik 2.4 Perkembangan Antar Waktu Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Indramayu Tahun 2015-2017 255.000

253.120

250.000 245.000

237.000

240.000

233.380

235.000 230.000 225.000 220.000

2015

2016

2017

Jumlah Penduduk Miskin (Ribu) Sumber: BPS Kabupaten Indramayu, 2017

d. Tingkat Kemiskinan (PO) Tingkat kemiskinan (PO) diukur dengan prosentasi jumlah penduduk miskin, berdasarkan data BPS Kabupaten Indramayu 3 (tiga) tahun terakhir tingkat kemiskinan Kabupaten Indramayu pada tahun 2015 sebanyak 14,98%, tahun 2016 sebanyak 13,96% sedangkan tahun 2017 sebanyak 13,67%, untuk lebih jelasnya perkembangan antar waktu tingkat kemiskinan Kabupaten Indramayu dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 dapat dilihat pada grafik di bawah ini :

25


Grafik 2.5 Perkembangan Antar Waktu Tingkat Kemiskinan Kabupaten Indramayu Tahun 2015 – 2017 15.5 15

14.98

14.5

13.96 13.67

14 13.5 13

2015

2016

2017

Tingkat Kemiskinan (PO) Sumber : BPS Kabupaten Indramayu, 2017

e. Potensi Daerah 1. Pertambangan Kabupaten Indramayu memiliki potensi bahan galian (mineral) yang beraneka ragam dan tersebar di setiap kecamatan. Bahan galian meliputi bahan galian mineral bukan logam dan batuan. Bahan galian mineral bukan logam yang ada di Kabupaten Indramayu adalah tanah liat (clay). Sedangkan bahan galian batuan antara lain sirtu dan pasir urug. Selain itu, Kabupaten Indramayu memilki potensi pertambangan gas dan minyak bumi yang berada di wilayah daratan (on shore) maupun di wilayah perairan (off shore). 2. Pesisir dan Laut Secara geografis wilayah Kabupaten Indramayu berada di wilayah pantai utara Jawa dengan panjang garis pantai 147 km, sehingga jika berdasarkan kewenangan kabupaten dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah laut sejauh 4 mil, maka luas wilayah lautan Kabupaten Indramayu adalah 946,68 km2. Wilayah pesisir dan laut Kabupaten Indramayu juga memiliki pulau-pulau kecil, yaitu Gugusan Pulau Biawak yang terdiri dari Pulau Biawak, Pulau Gosong, dan Pulau Candikian. Kondisi fisik dasar pesisir Kabupaten Indramayu terdiri dari dataran pantai dan rawa alluvial pantai dengan kemiringan lereng 0%-5%, merupakan daerah yang bertopografi landai, perairan dangkal, berlumpur, berpasir dan berawa, pola arus yang dipengaruhi arus laut Jawa, serta bervegetasi mangrove 26


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian dan terumbu karang. Sungai-sungai yang bermuara ke pantura diantaranya Sungai Cimanuk, Cipunagara, Cipanas, Cimanis, Cilalanang, Pangkalan, Kumpulkuista dan Pamengkang. Perairan laut relatif tenang menjadi lingkungan yang kondusif bagi perkembangan wilayah baik aktivitas sosial maupun aktivitas ekonomi. 3. Keanekaragaman Hayati Pelestarian keanekaragaman hayati (termasuk plasma nutfah) di Kabupaten Indramayu tersebar dalam kawasan konservasi sebagai lokasi konservasi keanekaragaman ekosistem yang dilakukan secara insitu dan menekankan terjaminnya dan terpeliharanya keanekaragaman hayati secara alami melalui proses evolusi, yaitu di kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya. 4. Keanekaragaman Flora Kabupaten Indramayu memiliki keanekaragaman tumbuhan, tumbuhan yang termasuk pohon dan diusahakan sebagai hutan produksi di Kabupaten Indramayu yaitu jati (Tectona grandis), kayu putih, bako-bako, dan ac. Mangium. Sementara itu untuk vegetasi di wilayah pesisir indramayu banyak dijumpai ekosistem mangrove dan estuari. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara ekosistem darat dengan laut. Ekosistem estuari banyak dijumpai di muara sungai dan merepresentasikan pengaruh daratan terhadap laut di badan perairan kali/kanal. Vegetasi mangrove di kawasan pantai didominasi oleh tegakan api-api (Avicena marina) yang banyak tumbuh di pantai, saluran air dan pematang tambak. Sedangkan tegakan jenis Rizhopora micronata banyak dijumpai di bagian tengah areal tambak. Di beberapa lokasi di pesisir Indramayu terutama pada lokasi sekitar pelabuhan (jetty) berpasir landai, dijumpai vegetasi pantai seperti kangkungan (Ipomea pescaprae), putri malu (Mimosa sp), saliara (Lantana camara) alang-alang, cermut dan tumbuhan menjalar lainnya. 5. Keanekaragaman Fauna Di kawasan pesisir Kabupaten Indramayu yang merupakan lahan basah (mud flat), hewan terestrial yang menonjol adalah hewan liar dari kelompok burung. Menurut Syahminan, dkk (2001), di kawasan pesisir Indramayu terdapat 45 jenis burung dari 30 famili, dimana 11 jenis burung di pesisir tersebut diantaranya merupakan jenis burung yang dilindungi. Adapun untuk jenis ikan yang berada di kawasan pesisir diantaranya adalah ikan sembilang, bloso, betok, blanak, ikan buntal, cray fish, dan ikan lain dari 27


kelompok artropoda. Selain itu pada kawasan pesisir terutama pada daerah pantai berpasir juga banyak terdapat biota pesisir lain diantaranya kepiting kecil, kerang-kerangan, remis dan lain sebagainya. Kelompok amfibi dan reptil semakin langka, karena habitat yang tersedia semakin berkurang dan belum satupun dari jenis kelompok ini yang sudah bisa didomestikasi dan dibudidaya. Kelangkaan beberapa spesies kelompok ini terjadi sebagai akibat perburuan oleh manusia untuk dikonsumsi dan dipelihara antara lain seperti katak sawah, katak catang, beberapa jenis ular, biawak, bunglon dan lain- lain. Beberapa jenis amfibi dan reptil yang banyak dijumpai Kabupaten Indramayu adalah biawak terutama di daerah Pulau Biawak. f. Tingkat Kesejahteraan Penduduk Berdasarkan Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Indramayu yang dirilis BPS Indramayu tahun 2017, jumlah rumah tangga yang memegang bukti kepemilikan tanah bangunan tempat tinggal yang tertinggi adalah pada status kepemilikan dengan bukti surat Girik/Letter C/lainnya yaitu sebesar 50,65%, tertinggi kedua yaitu dengan bukti kepemilikan status hak milik (SHM) atas nama ART sebesar 28,59%, sedangkan bukti kepemilikan SHM bukan atas nama ART memiliki persentase terendah yaitu sebesar 4,14%. Untuk rumah tangga yang bangunan dinding utamanya terbuat dari bahan bangunan tembok merupakan jumlah terbanyak yaitu sebanyak 89,95% rumah tangga, sedangkan rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu/batang kayu memiliki jumlah prosentasi terendah yaitu sebesar 2,56%. Sementara rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri sebesar 27,33%. Jumlah rumah tangga berdasarkan sumber utama penerangan yang menggunakan listrik PLN adalah sebesar 99,40% dan yang menggunakan sumber lainnya selain PLN sebesar 0,34%. Pada kategori kepemilikan aset, ada sebanyak 73,40% rumah tangga yang memiliki sepeda motor, kulkas/lemari pendingin 50,49%, emas/logam mulia 15,29%, TV 6,43%, mobil 5, 03%, dan AC 4,61% rumah tangga. Dari aspek konsumsi jenis komoditi makanan, padi-padian adalah jumlah tertinggi rata-rata konsumsi perkapita sehari yaitu sebesar 1.084.21 kal. Rumah tangga dengan akses sumber air bersih1 sebanyak 88,61% dan akses sumber air minum layak2 sebanyak 88, 76%. Sedangkan sumber air utama yang 1 Sumber Air Minum Bersih adalah sumber air minum yang berasal dari air kemasan, air isi ulang, ledeng, dan sumur bor/pompa, sumur terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan limbah/kotoran/tinja terdekat lebih dari 10 m. Data Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Indramayu 2017, hal 59. 2 Sumber Air Minum Layak adalah sumber air minum yang berasal dari ledeng, air hujan, dan sumur

28


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian digunakan untuk minum terbesar adalah air kemasan/isi ulang sejumlah 67,95% rumah tangga dan jumlah terendah adalah sumber air lainnya (air permukaan seperti sungai, danau, waduk, kolam, irigasi, air hujan) yaitu sejumlah 1,01% rumah tangga. Akses penduduk Kabupaten Indramayu terhadap program jaminan sosial berdasarkan data BPS 2017 menurut jenisnya antara lain Raskin/Rastra sebesar 72,47%, Program Indonesia Pintar (PIP) sebesar 87,77%, Kartu Perlindungan Sosial (KPS)/Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebesar 25,30%, dan Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar 6,49% rumah tangga. Sementara jumlah rumah tangga yang menerima jaminan sosial menurut jenisnya dalam satu tahun terakhir yaitu Jaminan Pensiun/Veteran sebesar 2.61%, Jaminan Hari Tua 1.74%, Asuransi Kecelakaan Kerja 1.09%, Jaminan/Asuransi Kematian 1.23%, dan Pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebesar 0,47%. Dari tampilan data diatas dapat dilihat bahwa program jaminan sosial yang paling tinggi diakses oleh penduduk adalah program PIP yang berkaitan dengan pendidikan sedangkan jenis jaminan sosial yang paling banyak dirasakan manfaatnya oleh penduduk adalah Jaminan Pensiun/Veteran. Pekerjaan (didalamnya tingkat pengangguran, angkatan produktif dan jumlah pekerjaan dilihat dari pemilihan gender) dan mata pencaharian mayoritas penduduk. (tidak ada data 2016-2017) 2.2.2 Karakteristik Buruh Migran Asal Indramayu a. Potret Buruh Migran Indramayu Selama empat tahun terakhir, 9 (sembilan) kabupaten di Jawa Barat yang menjadi kantong-kantong TKI masih tetap sama, meskipun secara urutan ada yang berubah. Sepanjang 2016, dari jumlah tertinggi hingga terendah secara berturutturut, yaitu: Kabupaten Indramayu (16.625 orang), Cirebon (10.078 orang), Subang (6.522 orang), Majalengka (3.235 orang), Cianjur (3.227 orang), Karawang (2.749 orang), Sukabumi (2.250 orang), Bandung (773 orang), dan Purwakarta (731 orang).3 Sedangkan menurut negara penempatannya, 10 (sepuluh) negara dengan penempatan TKI terbanyak asal Jawa Barat pada 2016, yaitu: Taiwan, Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Hong Kong, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Oman, dan Kuwait.4 bor/pompa, sumur terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan limbah/kotoran/tinja terdekat lebih dari 10 m. Data Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Indramayu 2017, hal 59. 3 http://www.jabarprov.go.id/index.php/artikel/detail_artikel/347/2017/04/07/Layanan-Terpadusatu-Pintu-bagi-TKI 4 Ibid

29


Berdasarkan data dari sumber Puslitfo BNP2TKI, jumlah penempatan TKI asal Kabupaten Indramayu mengalami sedikit kenaikan selama 2 tahun terakhir yaitu sebanyak 16,625 TKI di tahun 2016 dan menjadi daerah asal buruh migran tertinggi kedua setelah Lombok Timur. Kemudian pada 2017, jumlah penempatan buruh migran asal Indramayu mengalami kenaikan menjadi 17,618 TKI dan menjadikannya daerah asal buruh migran tertinggi. Selisih kenaikan jumlah TKI dalam 2 tahun terakhir adalah sebanyak 933 orang. Banyak yang menjadi faktor penyebab banyak masyarakat Indramayu yang menjadi buruh migran, selain kondisi kemiskinan. Salah satu yang menarik yaitu Indramayu yang ditetapkan sebagai lumbung padi nasional sehingga harus memiliki lahan abadi yang tidak bisa dialihfungsikan menjadi industri.5 Akibatnya, pemerintah jarang memberikan lapangan kerja ke masyarakat disebabkan harus memenuhi target dari pusat untuk pertanian 1,7 juta ton beras pada tahun 2015.6 Menurut Kepala Disnaker Indramayu, sebagai salah satu daerah kantong buruh migran terbesar, potensi buruh migran asal Indramayu adalah perempuan. Pada tahun 2017, terdapat 260 perempuan atau 70% yang bekerja keluar negeri dengan pendidikan yang mayoritasnya rendah. Basis data yang digunakan Disnaker selama ini adalah SiskoTKLN.7 Namun akan ada system baru terkait pendataan buruh migran yang terkoneksi dari desa hingga kementerian. Sistem ini akan dibangun dalam skema desmigratif yang menjadikan desa sebagai sumber data dan menyesuaikan dengan UU yang baru. b. Situasi Persoalan Buruh Migran di Indramayu Pendidikan yang rendah dan kurangnya lapangan kerja membuat banyak perempuan di Indramayu memilih bekerja di luar negeri sebagai pekerja domestik sejak tahun 1980-an. Dulu, negara tujuan terbesar adalah negara-negara di Timur Tengah terutama Arab Saudi tapi saat ini banyak juga yang bekerja di Hong Kong dan Taiwan.8 Menurut SBMI Indramayu yang selama bertahun-tahun melakukan proses pendampingan kasus-kasus buruh migran, persoalan yang menjerat para buruh migran bermula sejak awal perekrutan. Banyak yang direkrut secara tidak resmi sehingga tidak menempuh proses pemberangkatan secara prosedural. Kebanyakan calon buruh migran minim informasi tentang proses migrasi yang resmi 5 http://www.tribunnews.com/regional/2015/02/23/90-persen-tki-asal-indramayu-bekerja-di-sektorinformal

6

Ibid

7 Wawancara JBM dengan Kepala Disnaker Indramayu, 4 April 2018 8 https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/01/160124_majalah_buruhmigran_indramayu

30


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian dan aman sehingga semua proses pengurusan dokumen persyaratan cenderung dipercayakan kepada pihak sponsor atau calo. Sebagian besar buruh migran yang terjerat masalah bekerja di Negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Irak, Suriah, Jordania, Abu Dhabi dan Yaman. Selain itu, adapula yang bekerja di Taiwan maupun Hongkong. Selaras dengan jumlah penempatan yang tinggi, BNP2TKI juga mencatat Indramayu sebagai kabupaten yang memiliki jumlah pengaduan buruh migran tertinggi selama dua tahun berturut-turut. Pada 2016, jumlah pengaduan buruh migran asal Indramayu sebanyak 261 pengaduan dan sedikit meningkat sebanyak 265 pengaduan pada tahun 2017.9 Sayangnya tidak ada data spesifik mengenai jenis-jenis masalah yang diadukan dan berapa persentase kasus yang dapat diselesaikan hingga saat ini. Sementara itu, data crisis center LTSP P2TKI Indramayu mencatat sebanyak 59 kasus yang dilaporkan sepanjang 2017 dan 14 kasus hingga Maret 2018. Adapun jumlah kasus buruh migran perempuan sekitar 80% dan mayoritas bekerja sebagai pekerja domestik. Jenis kasus terbanyak yang dilaporkan adalah buruh migran tidak dapat pulang dengan berbagai macam kondisi yang melatarbelakangi seperti melebihi kontrak, gaji tidak/belum dibayar, ditahan majikan, overstay, dll. Jenis kasus kedua terbanyak yang dilaporkan adalah kasus buruh migran yang meninggal dunia, namun tidak ada keterangan mengenai penyebabnya. Terkait banyaknya kasus yang dialami buruh migran, pemerintah daerah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir kasus-kasus yang menimpa buruh migran. Selain upaya meminimalisir juga perlu adanya langkah-langkah untuk meningkatkan ketahanan keluarga buruh migran yang ditinggalkan karena pada kenyataannya banyak pasangan yang bercerai atau ganti keluarga ketika buruh migran kembali dari luar negeri. Oleh karena itu, perlindungan tidak hanya untuk buruh migran, tapi juga untuk keluarganya. Cakupan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah desa belum sampai melihat ke aspek itu. Seperti yang biasa dipraktekkan oleh kantor desa Krasak, yang selama ini hanya mencatat saja warga yang meminta surat izin suami/ orang tua. Biasanya warga datang ke kantor desa hanya untuk mengurus KTP dan KK. Banyak warga tidak tahu ketika ditanya informasi mengenai PPTKIS yang memberangkatkannya. Kebanyakan warga juga tidak mau ketika aparat desa meminta mereka untuk didampingi sponsor saat mengurus surat izin ke kantor desa. Untuk penanganan pemulangan jenazah buruh migran, pemerintah desa belum dapat memfasilitasi karena tidak ada perintah dari pusat. Biasanya 9 Puslitfo BNP2TKI

31


pemerintah desa baru tahu ketika sudah di rumah. Begitu pula dengan buruh migran yang pulang karena memiliki masalah, pemerintah tidak tahu karena warga tidak atau enggan melapor. Warga Krasak biasanya takut kalau diminta ke kantor desa. Sponsor juga banyak yang tidak mau melapor ke kantor desa sehingga pemerintah desa kesulitan mendata warganya yang berangkat keluar negeri maupun mengetahui kasusnya.10 c. Prioritas Daerah Terkait Pelindungan Buruh Migran Pada tahun 2016, dua LTSP sudah beroperasi melayani penempatan perlindungan TKI, salah satunya adalah Indramayu. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari unit teknis BNP2TKI, menunjukkan bahwa LTSP Indramayu sudah menerbitkan 11.774 identitas (ID) TKI dan 11.774 Rekomendasi Paspor, Surat Keterangan Pengganti Elektronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) sebanyak 8.194, penerbitan E-KTP sebanyak 33, penerbitan paspor terhitung 27 Agustus-15 September 2017 sebanyak 677 atau rata-rata 20 paspor per hari. LTSP Indramayu juga sudah memproses penempatan TKI sebanyak 513 orang, proses pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) 265 TKI, dan jumlah pengaduan yang diterima sebanyak 43 dengan rincian dalam proses sebanyak 15 dan telah selesai 28 pengaduan.11 Sedangkan hingga Maret 2018, terdapat 5.787 calon buruh migran yang mendaftar di LTSP.12 Meski LTSP sudah beroperasi sejak 2016, sayangnya belum ada data valid yang dapat diakses peneliti yang dapat menggambarkan segregasi gender, pendidikan, status perkawinan, usia, sektor kerja, dan Negara tujuan buruh migran asal Indramayu. Namun, beberapa informasi mengenai hal-hal tersebut didapat melalui wawancara dengan berbagai instansi pemerintah daerah terkait antara lain Disnakertrans, BP3TKI, Bappeda, dan aparat desa. Indramayu yang ditetapkan sebagai daerah pertanian nasional memiliki orientasi pembangunan yang mengarah pada penyediaan lahan abadi dan industri lokal. Khusus pada pembangunan industri lokal yang akan didorong untuk menekan angka buruh migran agar setelah kembali dari luar negeri bisa berwirausaha dan menghasilkan dari lahan milik sendiri. Menurut Kasi Litbang, Bappeda Indramayu, lahan di Indramayu mayoritas dikuasai oleh orang-orang kaya yang sebagiannya bukan penduduk asli Indramayu sehingga para buruh tani yang tidak memiliki lahan

10 Wawancara JBM dengan Bendahara Desa Krasak, Indramayu, 4 April 2018 11 https://news.detik.com/berita/d-3678897/8-ltsp-baru-akan-dibuka-untuk-layani-tki 12 Wawancara JBM dengan petugas LTSA Kabupaten Indramayu, 4 April 2018

32


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian produktif banyak yang menjadi buruh migran. Sedangkan yang masih bertahan bekerja sebagai buruh tani, biasanya bekerja dengan system kontrak atau sistem harian. Upaya lain yang dilakukan pemerintah setempat untuk menekan angka buruh migran adalah dengan mengembangkan koperasi untuk pemberdayaan dan reintegrasi buruh migran termasuk pelatihan yang tepat dan sesuai untuk buruh migran. Selaras dengan upaya Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa Krasak, salah satu desa asal buruh migran terbesar di Indramayu, juga mulai merintis pembentukan koperasi dengan alokasi dana desa yang khusus diperuntukkan bagi wirausaha purna TKI. Setiap tahun pemerintah desa memiliki anggaran sebesar 17 juta untuk pelatihan-pelatihan purna pekerja migran. Saat ini, dana desa memang masih dilarikan ke infrastruktur sebesar 80% dan pemberdayaan hanya 20% termasuk buruh migran. Untuk meminimalisir kasus seperti kekerasan fisik dan gaji tidak dibayar, Pemerintah Desa merencanakan pembentukan Perdes yang dimulai sejak tahun 2017. Perdes akan mencakup beberapa hal-hal penting seperti perekrutan awal, menghilangkan sponsor atau calo yang nakal dan penanganan kasus dengan mekanisme desa. Manfaatnya agar bisa melindungi warga dari oknum PT yang tidak bertanggung jawab. Pada tahun 2017, Pemerintah desa sudah mengalokasikan anggaran untuk sosialisasi Perdes. Sedangkan untuk pendataan, profil desa sudah bisa diperbarui/ di-update. Harusnya setiap tahun ada update data penduduk. Dengan sistem dari bimtek itu sebenarnya Dinas tinggal memasukkan data, alamat, asal usul domisili dan dokumen-dokumen terkait penempatan. Di bawah ini, beberapa prioritas Pemerintah Kabupaten Indramayu terkait isu ketenagakerjaan yang tercantum dalam dokumen Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Indramayu Tahun Anggaran 2017: 1. Meningkatkan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja, dengan arah kebijakan pengembangan kualitas tenaga kerja berbasis kompetensi dan berbasis masyarakat baik yang dilakukan oleh LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) pemerintah maupun swasta; 2. Mengembangkan Kewirausahaan, dengan arah kebijakan meningkatkan kerjasama dengan Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi baik di Tingkat Provinsi maupun Pusat untuk pemberian sertifikasi tenaga kerja yang akan memasuki dunia kerja; 3. Mendorong terjadinya kesempatan kerja dan perluasan lapangan kerja, dengan arah kebijakan : a. Mencetak calon wirausahawan;

33


b. Menciptakan dan memperluas lapangan kerja; c. Penempatan pencari kerja terdaftar dengan keahlian di dalam maupun di luar negeri. 2.3 Provinsi Jawa Timur 2.3.1 Profil Kabupaten Banyuwangi a. Kondisi Geografis Menurut Badan Pusat Statistik (2017), Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten dalam provinsi Jawa Timur yang terletak di bagian timur Pulau Jawa. Kabupaten ini terletak diantara 111053’-114038’ Bujur Timur dan 7043-8046’ Lintang Selatan. Secara geografis Kabupaten Banyuwangi berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di sebelah Utara, Samudera Indonesia di sebelah Selatan, Kabupaten Bondowoso di sebelah Barat, dan Selat Bali di sebelah Timur. Kabupaten Banyuwangi terbagi menjadi menjadi 24 kecamatan, 217 desa/kelurahan, 836 dusun, 22.903 Rukun Warga dan 10.556 Rukun Tetangga. Luas wilayah Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat pada peta berikut ini.

Gambar 2.2: Peta Luas Wilayah Kabupaten Banyuwangi

Sumber:https://banyuwangikab.go.id/new/profil/gambaranumum.html

34


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian

Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah kawasan hutan. Area hutan ini mencapai 32%, persawahan 12%, perkebunan 14%, 22% pemukiman dan 17% dimanfaatkan untuk Tambak. Sedangkan, wilayah Utara, Barat dan Selatan Kabupaten Banyuwangi merupakan deretan pegunungan dengan tanah yang mencapai kemiringan rata-rata 400. Selain itu, Banyuwangi memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km. Hal tersebut juga mendorong sektor pariwisata di Banyuwangi. Beberapa sektor pariwisata khususnya pantai yang dimiliki Banyuwangi antara lain; Pulau Kalong, Pulau Merah, Pulau Bedil Kecil, Pulau Mustaka, Pulau Parangjahe, Pulau Bedil, Pulau Gelirang, Pulau Lutung, Pulau Mustaka Kecil, Pulau Somang, Pulau Boom, Pulau Santen, Pulau Parengan, Pulau Watu Layar, Pulau Tabuan, Pulau Batu Mandi, dan Pulau Karang Bolong. Pulau Merah menjadi salah satu ikon Banyuwangi yang menarik wisatawan lokal maupun manca negara. Potensi tanah di daerah Kabupaten Banyuwangi yang terbentang dari bagian Utara hingga Selatan yang banyak dialiri sungai-sungai bermanfaat mengairi hamparan sawah yang luas. Di Kabupaten Banyuwangi terdapat 35 DAS sepanjang tahun yang cukup untuk mengairi hamparan sawah. Mengingat sawah merupakan sektor dasar penduduk Banyuwangi. Sebagian besar penduduk Banyuwangi juga bekerja sebagai petani maupun buruh tani. Berikut diagram persentase luas wilayah Kabupaten Banyuwangi.

Diagram 2.1 Persentase Luas Kabupaten Banyuwangi

27% 39%

14%

17%

Hunian

Ladang

Perkebunan

4%

Sawah

Tambak

Permukiman

Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2017

35


b. Kondisi Demografis Dari tahun 2015, jumlah penduduk Kabupaten Banyuwangi mengalami peningkatan di tahun 2016, dimana pada tahun 2015 jumlah penduduk mencapai 1.594.083 jiwa, sedangkan pada tahun 2016 telah meningkat hingga mencapai 1.599.811 jiwa. Kepadatan penduduk Kabupaten Banyuwangi sebesar 272 jiwa setiap 1 km2 pada tahun 2016. Sedangkan kepadatan penduduk tertinggi berasal dari Kecamatan Banyuwangi yaitu 3.605 jiwa. Berdasarkan komposisi jenis kelamin, jumlah penduduk Kabupaten Banyuwangi lebih banyak berjenis kelamin perempuan daripada laki-laki pada tahun 2016. Untuk lebih detail, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Kab. Banyuwangi Tahun 2016 NO

36

KECAMATAN

LAKI-LAKI

PEREMPUAN

JUMLAH

1

Pesanggaran

25.016

24.406

49.422

2

Siliragung

22.898

22.227

45.125

3

Bangorejo

30.400

30.005

60.405

4

Purwoharjo

32.840

32.960

65.800

5

Tegaldlimo

31.398

30.825

62.223

6

Muncar

67.147

66.040

133.187

7

Cluring

35.597

35.800

71.397

8

Gambiran

29.649

30.249

59.898

9

Tegalsari

23.713

23.591

47.304

10

Glenmore

34.739

36.155

70.894

11

Kalibaru

31.233

32.047

63.280

12

Genteng

42.456

42.693

85.149

13

Srono

44.421

44.648

89.069

14

Rogojampi

46.920

47.617

94.537

15

Kabat

34.392

35.001

69.393

16

Singojuruh

22.287

23.320

45.607

17

Sempu

36.000

36.323

72.323

18

Songgon

24.939

25.570

50.509


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian 19

Glagah

17.142

17.921

35.063

20

Licin

14.270

14.494

28.764

21

Banyuwangi

53.240

55.377

108.617

22

Giri

15.093

14.524

29.617

23

Kalipuro

41.740

42.580

84.320

24

Wongsorejo

38.446

39.462

77.908

795.976

803.835

1.599.811

JUMLAH

Sumber: Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka, BPS Banyuwangi 2017

Sementara penduduk Kabupaten Banyuwangi menunjukkan bahwa kelompok umur produktif sekitar 15-64 tahun, dan penduduk usia produktif akan menanggung ekonomi. Dalam hal ketenagakerjaan, survei angkatan kerja nasional tahun 2015 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk usia kerja perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Akan tetapi jumlah penduduk laki-laki yang bekerja lebih tinggi dibanding perempuan. Hal ini sebanding dalam kaitannya dengan pekerjaan penduduk laki-laki tampak lebih mendominasi dari pada perempuan. Dalam konteks pendidikan, persentase penduduk Banyuwangi juga masih didominasi oleh jenis kelamin laki-laki. Berikut terdapat grafik persentase penduduk Kabupaten Banyuwangi berdasarkan pendidikan tertinggi dan jenis kelamin tahun 2016.

Grafik 2.6 Penduduk Menurut Latar Belakang Pendidikan Tahun 2016 Dipl. IV/S1/S2/S3 Dipl. III/Akademi Dipl. I-II SMK SMA

3.01

4.71

0.08 0.76 0.72 0.31 4.39 3.37 11.56

14.67

SMP

24.24 25.97

SD

33.06 31.93

Tidak Punya

18.13

Laki-laki

23.08

Perempuan

Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2017

37


Dalam hal penduduk dan ketenagakerjaan, jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan akhir yang ditamatkan adalah tamatan SD sebanyak 935, tamatan SMP sebanyak 916, tamatan SMA sebanyak 1603, tamatan Diploma I/1II/III sebanyak 187 dan tamatan universitas sebanyak 394 orang. Lebih detailnya dapat dilihat pada tebel berikut ini.

Tabel 2.3 Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin tahun 2016 Pendidikan yang Ditamatkan

Terdaftar Laki-laki

Perempuan

Jumlah

SD

95

840

935

SMP

127

789

916

SMA

703

900

1.603

Diploma I/II/III

56

131

187

Universitas

186

208

394

2.868

4.035

Jumlah

Sumber: Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka, BPS Banyuwangi 2017

c. Tingkat Kesejahteraan Penduduk Berdasarkan Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Banyuwangi yang dirilis Badan Pusat Statistik Banyuwangi tahun 2017, jumlah rumah tangga yang memegang bukti kepemilikan bangunan tempat tinggal yang tertinggi adalah pada status kepemilikan dengan bukti surat SHM atas nama ART yang didominasi oleh jenis kelamin perempuan sebesar 39.34%, tertinggi kedua yaitu dengan bukti kepemilikan status hak milik Girik/Letter C yang didominasi oleh laki-laki sebesar 31.53%, di posisi kedua disusul oleh bukti kepemilikan SHM bukan atas nama ART yang didominasi laki-laki sebesar 7.13 %. Sedangkan SHGB/SHSRS memiliki persentase terendah yaitu sebesar 1,34% yang diduduki oleh jenis kelamin perempuan. Untuk rumah tangga yang bangunan utama atap rumah terbuat dari bahan bangunan genteng merupakan jumlah terbanyak yaitu sebanyak 86,83% rumah tangga. Sedangkan persentase rumah tangga dengan bahan bangunan utama dinding rumah terbanyak adalah terbuat dari bahan bangunan tembok yaitu sebanyak 90.21% dan bahan bagunan utama lantai rumah terluas adalah berasal

38


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian dari bahan bangunan semen/bata merah sebesar 34.93%. Jumlah rumah tangga berdasarkan sumber utama penerangan yang menggunakan listrik PLN adalah sebesar 88,64% dan yang menggunakan sumber lainnya selain PLN sebesar 2.10%. Sedangkan aset yang dimiliki oleh rumah tangga terbanyak adalah sepeda motor yaitu sebesar 81.69% rumah tangga. Rumah tangga dengan akses sumber air bersih sebanyak 74,43% dan akses sumber air minum layak sebanyak 16, 20%. Sedangkan sumber air utama yang digunakan untuk minum terbesar adalah air sumur/mata air terlindung sejumlah 33,48% rumah tangga dan jumlah terendah adalah sumber air minum dari sumur/ mata air tidak terlindung yaitu sejumlah 1,74% rumah tangga. Terdapat pelayanan program jaminan sosial dari pemerintah untuk penduduk Kabupaten Banyuwangi berdasarkan data BPS 2017. Jenis-jenis program jaminan sosial antara lain 1). Bantuan program keluarga harapan (PKH) yakni mencapai 11.48%. Program Keluarga Harapan ini merupakan program perlindungan sosial terbesar yang diterima oleh rumah tangga. 2). Program Indonesia Pintar (PIP) sebesar 91.53%. 3). Raskin/Rastra sebesar 36.54% rumah tangga. Sementara jumlah rumah tangga yang menerima jaminan sosial menurut jenisnya dalam satu tahun terakhir yaitu Jaminan Pensiun/Veteran sebesar 2.99%, Jaminan Hari Tua 0.73%, Asuransi Kecelakaan Kerja 1.31%, Jaminan/Asuransi Kematian 0.39%, dan Pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebesar 0,42%. Artinya, jaminan sosial pensiun/veteran adalah jaminan sosial yang paling banyak diterima oleh penduduk Kabupaten Banyuwangi. 2.3.2 Karakteristik Buruh Migran Asal Banyuwangi a. Situasi dan Kondisi Buruh Migran Banyuwangi Bila melihat dari visi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menurut RPJPD adalah “Kabupaten Banyuwangi yang religius, sejahtera dan mandiri berbasis agribisnis dan ekowisata terpadu�. Untuk Misi kabupaten Banyuwangi ada 7 yakni : 1) Mewujudkan masyarakat Kabupaten Banyuwangi yang religius, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal; 2) Mewujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat; 3) Mewujudkan kualitas masyarakat melalui peningkatan SDM berasa pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; 4) Mewujudkan peningkatan pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi yang berkelanjutan; 5) Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih profesional dan tanggung jawab; 6) Mewujudkan Kabupaten Banyuwangi yang mandiri berbasis agribisnis terpadu dan ; 7) Mewujudkan Kabupaten Banyuwangi yang mandiri berbasis Ekowisata Terpadu.

39


Sasaran program prioritas Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan sesuai dalam RPJMD Kabupaten Banyuwangi tahun 20162025 dibagi menjadi tiga prioritas. Pertama, Untuk program prioritas I (pertama) yang berkaitan dengan isu ketenagakerjaan adalah : 1) Program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja; 2) Program peningkatan kesempatan kerja; 3) Program pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial; 4) Program perlindungan perempuan dan anak; 5) Program peningkatan keberdayaan masyarakat pedesaan; 6) Program pengembangan usaha koperasi; 7) Program penumbuhan wirausaha baru dan ; 8) Program peningkatan dan pengembangan usaha mikro. Kedua, untuk program prioritas II, lebih diarahkan kepada program perlindungan tenaga kerja terutama perlindungan bagi buruh migran Indonesia yang mengalami masalah dan program pengembangan hubungan industrial dan syarat kerja melalui penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sedangkan ketiga, program prioritas III lebih diarahkan kepada internal SKPD. Jika dilihat dari alokasi dana menurut RPJMD tahun 2017 dan 2018, dana terbesar lebih diarahkan pada pertanian dalam bentuk pengairan irigasi, rawa dan pengairan umum. Selain pertanian juga untuk kesehatan mulai dari pembiayaan kesehatan hingga peningkatan kualitas rumah sakit publik. Alokasi dana ketika lebih diarahkan pada program pembangunan fasilitas publik hingga pada administrasi perkantoran. Detail anggaran dapat dilihat ditabel dibawah ini.

Tabel 2.4 Pendanaan Terbesar Program Daerah tahun 2017 dan 2018 menurut RPJMD Program Daerah Program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan

40

Dana 2017

Dana 2018

103.940.780.800 104.299.033.600

Program Pembiayaan Kesehatan

84.072.308.000

90.912.543.580

Program peningkatan kualitas pelayanan RSUD Genteng

72.126.735.000

76.970.000.000

Program Pembangunan Fasilitas Publik

75.000.000.000

46.250.000.000

Program Pengelolaan LPJU

46.900.000.000

47.582.000.000

Program Penataan, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

25.000.000.000

25.500.000.000

Program Pelayanan Administrasi Perkantoran

22.521.000.000

22.521.000.000


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian Program Upaya Peningkatan Kesehatan Perorangan

32.355.333.000

21.452.715.420

Program Peningkatan Produksi dan Kualitas Produk Perkebunan dan Hortikultura

20.500.000.000

24.050.000.000

Peningkatan Kapasitas Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah

12.724.800.000

12.724.800.000

Program Pengembangan Destinasi dan Jaringan Kemitraan Pariwisata

10.532.388.000

10.532.388.000

Sedangkan pendanaan untuk ketenagakerjaan seperti peningkatan kesempatan kerja, produktivitas tenaga kerja dan perlindungan perempuan dan anak masih sangat minim. Alokasi dana menurut RPJMD selama satu tahun hanya dibawah 1 milyar selama satu tahun sedangkan bila melihat jumlah buruh migran Indonesia dan angkatan kerja di Banyuwangi cukup besar. Terlebih bila melihat alokasi yang ada lebih diutamakan kepada peningkatan produktivitas tenaga kerja yang sifatnya lebih umum dapat diakses angkatan kerja yang ingin bekerja di Banyuwangi dan yang ingin bekerja di luar negeri. Alokasi dana khusus untuk buruh migran terutama perlindungan bagi buruh migran belum tertuang secara spesifik dalam RPJMD Banyuwangi. Detail dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 2.5 Pendanaan Program ketenagakerjaan tahun 2017 dan 2018 menurut RPJMD Program Daerah

Dana 2017

Dana 2018

Program Peningkatan Kesempatan kerja

960.000.000

960.000.0000

Program Peningkatan dan Produktivitas Tenaga Kerja

815.000.000

815.000.000

Program perlindungan Perempuan dan Anak

820.928.000

820.928.000

Bila melihat program prioritas pertama yang dilakukan oleh pemerintah daerah terutama peningkatan kesempatan kerja, kesempatan kerja lebih diarahkan bukan pada peningkatan lapangan pekerjaan di dalam negeri tetapi justru peningkatan bekerja ke luar negeri. Data BNP2TKI tahun 2018 menunjukkan Kabupaten Banyuwangi sendiri merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang menjadi buruh migran. Menurut data BNP2TKI dari tiga tahun terakhir (2016-2018) yakni sebanyak 2.021 penduduk, lalu pada tahun 2017 jumlahnya semakin naik mencapai 2.371 orang dan semakin naik 41


lagi pada tahun 2018 sebanyak 2.563 orang13. Negara terpopuler yang menjadi tujuan buruh migran asal Banyuwangi pada tahun 2017 adalah Taiwan yang mencapai 1.701 orang, sedangkan Hongkong adalah Negara yang diminati kedua setelah Taiwan sebesar 1, 064 orang. Kemudian disusul dengan Negara Singapura, Malaysia, Timur Tengah, Korea Selatan dan Brunei Darussalam14. Sedangkan data penempatan buruh migran di Jawa Timur menurut BNP2TKI juga mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 2016 dengan 2017. Pada tahun 2016, sebanyak 21.567 penduduk yang menjadi buruh migran di luar negeri, sedangkan pada tahun 2017 telah bertambah sebanyak 29.832 orang. Dari data penempatan TKI di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah warga Banyuwangi yang berangkat menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri terus bertambah. Â Hal itu disebabkan dari berbagai kemungkinan, di antaranya faktor ekonomi, kurang tersedianya lapangan kerja, tingkat upah yang rendah, pendidikan maupun indikasi kemiskinan. Penempatan kerja di sektor informal masih terlihat mendominasi, terutama didominasi oleh para TKI wanita, mereka bekerja di bagian pembantu rumah tangga, dan baby sitter. Sedangkan Formal itu didominasi oleh TKI laki-laki, biasanya kerja di pabrik atau perusahaan15. Selaras dengan jumlah penempatan yang tinggi, buruh migran asal Banyuwangi pun banyak mengalami masalah di luar negeri. Banyaknya buruh migran asal Banyuwangi yang mengalami masalah dan mengadu di Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (P4TKI) Kabupaten Banyuwangi dari tahun 2015-2017 sebesar 166 orang16. Masalah-masalah yang sering diadukan meliputi; gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, pekerjaan tidak sesuai PK, PT bermasalah, putus komunikasi, PHK sepihak, kecelakaan kerja, sakit, dan meninggal. Di sisi lain, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Banyuwangi dalam kurun waktu 2016-2018/April telah dan sedang mendampingi 33 kasus buruh migran. Menurut Ketua SBMI Banyuwangi, persoalan-persoalan buruh migran terus bertambah karena pada masa pra-penempatan masih terdapat ketimpangan informasi terkait migrasi yang baik dan aman. Seperti buruh migran masih tidak mendapat akses informasi untuk mengetahui PPTKIS yang resmi atau tidak resmi sehingga banyak penduduk yang mengalami penipuan oleh PPTKIS. Sedangkan dalam hal permasalahan purna-penempatan, masih belum tersedia layanan

13 BNP2TKI, Data Penempatan dan Perlindungan PMI periode bulan Juni 2018 14 Dinas Tenaga Kerja Banyuwangi, Data Rekap TKI, 2017 15 http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/272704/ribuan_warga_banyuwangi_masih_memilih_ menjadi_tki.html 16 P4TKI Kabupaten Banyuwangi, Rekap Data Pengaduan Kasus tahun 2015-2017

42


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian penanganan kasus yang dapat menyelesaikan permasalahan buruh migran. Seperti ketika buruh migran melapor karena terdapat masalah dengan PPTKIS, lembaga di daerah yang bertugas untuk mengurus buruh migran biasanya hanya sekedar memanggil PPTKIS tanpa ada tindakan yang lebih lanjut. Di sisi lain, buruh migran yang menjadi korban TPPO masih belum mendapatkan pendampingan yang serius dalam hal penanganan kasus. Bahkan, berdasarkan pengalaman SBMI Banyuwangi yang mendampingi korban TPPO, kasus tersebut selalu berhenti di Polres/ kepolisian. Hingga sekarang, penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun kepolisian untuk kasus TPPO juga masih rendah, salah satu permasalahannya adalah minimnya menggunakan UU TPPO untuk menganalisa kasus. Kalaunpun menggunakan UU TPPO, sanksi bagi PPTKIS hanya dikenakan sanksi penipuan dan tidak dikenakan sanksi-sanksi lainnya. Hal ini mengakibatkan buruh migran resah dan putus asa untuk melaporkan masalah-masalah migrasi ketenagakerjaan.17 Terkait banyaknya kasus yang dialami buruh migran, masih minimnya peran pemerintah yang mengurusi buruh migran seperti Dinas Tenaga Kerja dan P4TKI sehingga buruh migran masih belum memahami fungsi dan kewenangan kedua lembaga ini dalam memberikan perlindungan bagi buruh migran. Selain itu, perlindungan yang diberikan oleh pemerintah desa juga belum menyentuh buruh migran. Misalnya, fungsi kantor desa Kebondalem dalam memberikan perlindungan bagi buruh migran hanya sebatas kegiatan pencatatan administratif seperti mencatat warga yang meminta surat izin suami/orang tua. Untuk penanganan warganya yang mendapat masalah dari luar negeri seperti sakit, pemerintah desa terkesan kurang peduli18. Praktik seperti ini juga didukung oleh kebijakan yang tertuang dalam UU No. 39/2004, yang mana belum ada mandat yang jelas terkait dengan peran pemerintah desa untuk ikut bertanggung jawab melindungi warganya yang menjadi buruh migran. b. Prioritas Daerah Terkait Pelindungan Buruh Migran Dalam melihat kompleksitas kondisi buruh migran asal Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Daerah melakukan beberapa upaya-upaya seperti Provinsi Jawa Timur telah mendirikan Pusat Terpadu Satu Atap Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PTSP P2TKI). Sedangkan pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah melakukan upaya-upaya seperti : 1. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah mendirikan Mall Pelayanan Publik 17 Wawancara dengan Agung Subastian, Ketua SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 Mei 2018 18 Wawancara dengan Buruh Migran, Banyuwangi, 10 Maret 2018

43


di tahun 2017, di mana fungsinya juga serupa dengan Layana Terpadu Satu Atap/LTSA, namun tidak khusus untuk pelayanan migrasi ketenagakerjaan melainkan pelayanan publik yang sifatnya umum. Mall pelayanan publik ini merupakan inisiatif dari pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Menurut pihak Kesejahteraan Masyarakat Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, selama ini mall pelayanan publik memang tidak khusus untuk melayani buruh migran. Namun, rencananya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) akan diletakkan di Mall Pelayanan Publik. Sasarannya lebih kepada perempuan yang mengalami kekerasan. Dengan maksud bahwa buruh migran perempuan atau TKW bisa memanfaatkan pengaduan P2TP2A ketika mendapat masalah. Namun, dalam proses pembahasan dimasukkannya P2TP2A di Mall Pelayanan Publik masih menuai kekhawatiran karena jika ada seseorang yang datang ke P2TP2A untuk konseling akan dipandang bahwa orang tersebut sedang bermasalah, sehingga warga yang akan datang ke P2TP2A di Mall Pelayanan Publik akan merasa malu19 bila menurut informasi bidang Kesejahteraan Masyarakat, Pemda Banyuwangi. Namun bila melihat masih belum banyaknya perempuan yang dapat mengakses layanan P2TP2A ini dikarenakan informasi serta manfaat pelayanan P2TP2A belum menjangkau seluruh lapisan perempuan khususnya buruh migran perempuan. 2. Pada tahun 2017, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 15 tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri. Namun, kedepan dalam mengoptimalisasikan perlindungan ditingkat daerah, Pemda Banyuwangi harus menyelaraskan isi Perda dengan UU No.18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. 3. Smart Kampung di Kabupaten Banyuwangi. Salah satu program yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi saat ini adalah Smart Kampung. Tujuannya untuk mendekatkan pelayanan kepada warga desa melalui teknologi atau pelayanan berbasis online20 karena jika mengurus ke Lembaga Pemerintahan Kota maka harus menempuh sekitar 4,5 jam dari desa ke kota. Dari 217 desa, masih ada 2 desa yakni Desa Benculuk dan Desa Taman Agung yang menjalankan smart kampung. Smart kampung ini merupakan sebuah inisiatif dari Pemda untuk memanfaatkan dana desa agar desa dapat memberikan pelayanan lebih kepada warganya. Salah satu 19 Wawancara dengan Pihak Bidang Kesejahteraan Masyarakat Pemda, Banyuwangi, 06 Maret 2018 20 https://sekolahdesa.or.id/smart-kampung-pemkab-banyuwangi-dan-perlindungan-tki-dari-desa/

44


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian pelayanan smart kampung adalah pelayanan kependudukan dimana warga desa tidak perlu lagi mengurus layanan kependudukan seperti pengurusan KTP, KK dan dokumen kependudukan ke kota kabupaten. Dengan smart kampung, penduduk desa dapat mengurusnya melalui kantor desa dengan menggunakan sistem online. Namun program smart kampung ini juga masih terbatas untuk pengurusan kependudukan bagi penduduk lokal desa. Bila ada warga desa lain atau kabupaten lain yang pindah ke desa program smart kampung, pelayanan ini masih belum dapat maksimal digunakan. Selain itu, smart kampung belum juga menjangkau warga yang menjadi buruh migran21 seperti pendataan belum terintegrasi dengan data kabupaten atau pengurusan data kependudukan bagi anak-anak buruh migran yang lahir di luar negeri. Beberapa kendala pelaksanaan smart kampung yang belum optimal karena desa lebih memprioritaskan pembangunan fisik dibandingkan pemanfaatan sosial. Selain itu juga terdapat kendala pada jaringan internet, informasi dan pengetahuan akan teknologi. 4. Desa Migran Produktif (Desmigratif). Salah satu komitmen Kementerian Ketenagakerjaan dalam melindungi buruh migran yakni dengan meluncurkan program Desa Migran Produktif (Desmigratif). Tujuan program ini tidak hanya memberdayakan TKI purna saja, tetapi pemberdayaan tersebut juga diperuntukkan bagi keluarga TKI. Dengan demikian masyarakat yang selama ini memiliki ketergantungan terhadap pekerjaan di luar negeri, memiliki bekal kemampuan dan modal untuk mengembangkan wirausaha di daerahnya. Program desmigratif ini dirancang sekaligus untuk menekan jumlah TKI non-prosedural yang termasuk dalam kategori tindak pidana perdagangan manusia (human trafficking) yang kerap melibatkan masyarakat desa sebagai korbannya. Program ini juga memberikan manfaat ganda yakni perlindungan dan pemberdayaan TKI dan keluarganya. Artinya, adanya Desmigratif ini merupakan upaya perlindungan sejak pra hingga purna penempatan. Desmigratif juga bertujuan untuk mengeliminasi keberadaan calo yang merekrut TKI dengan berbagai cara untuk tujuantujuan yang tidak bertanggung jawab.22 Kabupaten Banyuwangi turut menjadi sasaran program desmigratif karena termasuk daerah kantong buruh migran. Pada tahun 2017, terdapat dua desa yang letaknya di Banyuwangi Selatan yakni Desa Taman Agung dan Tegaldlimo yang 21 Wawancara dengan Pihak Bidang Kesejahteraan Masyarakat Pemda, Banyuwangi, 06 Maret 2018 22 http://www.koran-jakarta.com/manfaat-program-desmigratif/

45


mendapat program Desmigratif. Program Desmigratif ini berlaku selama 1 tahun. Penentuan dua desa yang dijadikan sasaran program Desmigratif nampaknya tidak transparan. Menurut analisis SBMI Banyuwangi, dua desa tersebut tidak tepat untuk menjadi sasaran Desmigratif karena desa tersebut tidak memiliki jumlah buruh migran yang besar, terutama TKI non-prosedural. Sedangkan jika melihat output dari program desmigratif, visi Desmigratif belum teraplikasi dengan baik, seperti belum bisa memberikan informasi untuk tata-cara pengaduan kasus23. Bahkan, terdapat warga yang mengeluh kepada SBMI Banyuwangi karena ketika datang ke kantor Desmigratif, kantornya dalam keadaan tutup. 2.4 Provinsi Nusa Tenggara Timur 2.4.1 Profil Kabupaten Kupang a. Kondisi Geografis Kabupaten Kupang merupakan salah satu Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibentuk bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tanggal 9 Agustus 1985. Secara geografis Kabupaten Kupang terletak antara -9015’ 11,78’ - -10022 14,25” Lintang Selatan dan antara 123016’ 10,66” - 124013’ 42,15” Bujur Timur. Batas-batas Kabupaten Kupang meliputi; Laut Sawu dan Selat Ombai di sebelah Utara; Kota Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua dan Laut Sawu di sebelah Barat; Samudra Hindia; Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Negara Timor Leste di sebelah Timur. Kabupaten Kupang terbagi menjadi menjadi 24 kecamatan, 17 desa/kelurahan, 668 Dusun, 1.119 Rukun Warga dan 1358 Rukun Tetangga. Luas wilayah Kabupaten Kupang dapat dilihat pada peta berikut ini.

23 Wawancara dengan Agung Subastian, Ketua SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 Mei 2018

46


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian

Gambar 2.3: Peta Relief Luas Wilayah Kabupaten Kupang

Sumber: RTRW Kabupaten Kupang, 2015

Menurut topografinya sebagian besar permukaan wilayah Kabupaten Kupang merupakan daerah berbukit-bukit, bergunung-gunung dan sebagian dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 0-500 meter. Kabupaten Kupang juga memiliki curah hujan yang rendah, hujan biasanya pada bulan Desember hingga Maret sedangkan selebihnya merupakan musim kemarau. b. Kondisi Demografis Pada tahun 2016, jumlah penduduk Kabupaten Kupang sebanyak 360.228 jiwa. Berdasarkan pembagian jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 184.314 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 175.914 jiwa. Dari besarnya jumlah penduduk Kabupaten Kupang, sebanyak 323 orang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).24 Kepadatan penduduk rata-rata 68 jiwa/km2. Berdasarkan kecamatan, jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kabupaten Kupang Timur yakni 15,81 dari total penduduk Kabupaten Kupang, sedangkan kepadatan tertinggi terdapat di Kupang Tengah yakni 534 jiwa/km2. Untuk lebih detail, dapat dilihat pada grafik berikut ini. 24 Kabupaten Kupang Dalam Angka, BPS Kabupaten Kupang 2017

47


Grafik 2.7 Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Kupang

Sementara penduduk Kabupaten Kupang usia 15 tahun keatas yang bekerja sebanyak 62,63 persen dan 2,71 persen sedang mencari pekerjaan. Sebagian besar penduduk bukan angkatan kerja melakukan kegiatan mengurus rumah tangga (21,18 persen) dan sekolah (9,13 persen). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak yang bekerja daripada perempuan dan perempuan lebih banyak mengurus rumah tangga daripada laki-laki. Jenis pekerjaan utama terbesar penduduk adalah bekerja sebagai tenaga usaha pertanian dan peternakan yakni sebanyak 62,26 per seratus. Berikut grafik persentase penduduk Kabupaten Kupang usia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan.

48


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian

Grafik 2.8 Persentase Penduduk Usia Kerja 15 Tahun Ke atas menurut Jenis Kegiatan

Pada tahun 2011 Kabupaten Kupang mengalami Angka Tingkat Pengangguran Terbuka tertinggi yaitu sebesar 2,25%. Beberapa faktor yang menyebabkan semakin tingginya tingkat pengangguran di Kabupaten Kupang antara lain: 1. Jumlah Usia produktif yang cukup tinggi yang tidak seimbang dengan tersedianya lapangan pekerjaan 2. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kupang tidak banyak menyerap tenaga kerja 3. Pendidikan yang masih rendah di Kabupaten Kupang 4. Ketatnya peraturan terkait ketenagakerjaan seperti UMK setiap tahun atau pemberian pesangon membuat pelaku usaha lebih berorientasi melakukan investasi padat modal dibandingkan padat karya. e. Tingkat Kesejahteraan Penduduk Rumah tangga penduduk Kabupaten Kupang yang memiliki bangunan utama atap rumah terbuat dari bahan bangunan berupa seng merupakan jumlah terbanyak yaitu sebanyak 80,19% rumah tangga. Sedangkan persentase rumah tangga dengan bahan bangunan utama dinding rumah terbanyak adalah terbuat dari bahan bangunan tembok yaitu sebanyak 45.71% dan bahan bagunan utama lantai rumah adalah berasal dari bukan tanah sebanyak 70.83% dan lantai tanah sebanyak 29,17%. Jumlah rumah tangga berdasarkan sumber utama penerangan

49


yang menggunakan listrik PLN adalah sebesar 76,77% dan yang tidak menggunakan listrik sebesar 20.24%. Sedangkan rumah tangga dengan akses sumber air minum terbanyak adalah dari mata air terlindung yaitu 35,39%, kemudian dari sumur terlindung 32,31%, sumur tak terlindung sebanyak 9,23%, sumur Bor/pompa sebanyak 8,73%, leding meteran sebanyak 4, 10%, air kemasan bermerk sebanyak 3.00% dan air hujan sebanyak 1,21% Di sisi lain, terdapat rumah tangga yang masuk dalam kategori jenis rumah tangga miskin dan perumahan yang tidak layak dihuni. Seperti kecamatan Sulamu merupakan kecamatan yang memiliki jumlah rumah tangga miskin terbanyak. Sedangkan kecamatan Amfoang Tengah merupakan kecamatan yang memiliki jumlah rumah tangga perumahan tidak layak yakni sebanyak 650 rumah tangga yang tinggal dalam perumahan tidak layak. Untuk lebih detailnya dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel. 2.6 Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Perumahan Tidak Layak Huni menurut Kecamatan di Kabupaten Kupang No

50

Kecamatan

Rumah Tangga Miskin

Perumahan Tidak Layak Huni

-

57

1

Semau

2

Semau Selatan

862

-

3

Kupang Barat

609

-

4

Nekemese

-

50

5

Kupang Tengah

-

-

6

Taebenu

-

-

7

Amarasi

-

-

8

Amarasi Barat

924

621

9

Amarasi Selatan

-

320

10

Amarasi Timur

-

339

11

Kupang Timur

671

-

11

Amabi Oefeto Timur

-

-

12

Amabi Oefeto

-

-

13

Sulamu

1.175

551

14

Fatuleu

234

78

15

Fatuleu Barat

-

-


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian 16

Fatuleu Tengah

-

-

17

Takari

-

-

18

Amfoang Selatan

-

257

19

Amfoang Barat Daya

-

-

20

Amfoang Utara

-

71

21

Amfoang Barat Laut

-

-

22

Amfoang Timur

-

352

23

Amfoang Tengah

670

650

5.145

3.306

Kabupaten Kupang

Sumber: Kabupaten Kupang dalam Angka, 2017

2.4.2 Karakteristik Buruh Migran Asal Kupang a. Kondisi Buruh Migran Kupang dan Peran Pemerintah Daerah Dilihat dari RPJMD Kabupaten Kupang terdapat beberapa komitmen yang berkaitan dengan tenaga kerja. Salah satu komitmennya adalah penyiapan kualitas sumberdaya manusia yang kompetitif yang akan masuk dalam bursa kerja. Pemerintah Kabupaten Kupang juga berupaya untuk mengurangi pengangguran dengan memfasilitasi pencari kerja dengan adanya pelatihan keterampilan kerja, pemagangan, bimbingan softskill, bursa kerja dan lain-lain. Berdasarkan catatan dari RPJMD Kabupaten Kupang, ada tiga aspek permasalahan ketenagakerjaan di Kabupaten Kupang yakni : 1. Kualitas dan daya saing angkatan kerja a. Kualitas, produktivitas, serta kompetensi sesuai bidang keilmuan dan/ atau bidang kerja yang digeluti b. Sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki keterampilan, dan kreativitas serta berdaya saing tinggi c. Ketersediaan pasar tenaga kerja dan persaingan antar tenaga kerja dan dengan tenaga kerja asing. 2. Perluasan lapangan kerja bagi warga a. Tingkat pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Bruto) tidak seiring dengan pertumbuhan angkatan kerja dan jumlah pencari kerja yang masih tersisa b. Peningkatan kompetensi, kreativitas, kemandirian dan kewirausahaan untuk mengurangi jumlah pencari kerja. 3. Hubungan industrial yang harmonis

51


a. Pengawasan Ketenagakerjaan, perlindungan dan kesejahteraan pekerja serta hubungan industrial b. Integrasi data kependudukan dengan data ketenagakerjaan. Permasalahan dalam aspek Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menurut RPJMD adalah 1) Perlindungan anak dari tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya; 2) Kapasitas Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Kelembagaan perlindungan perempuan pada berbagai tindak kekerasan; 3) Ketahanan keluarga, agama, ekonomi, sosial dan budaya, dan ; 4) Partisipasi perempuan di Kabupaten Kupang agar berdaya secara ekonomi. Dalam RPJMD Kabupaten Kupang juga membahas tentang Isu global dan keterkaitannya dengan Visi Kabupaten Kupang adalah dalam pencapaian SDGs ke 11 yaitu bagaimana membuat pemukiman penduduk yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan. Lima pondasi utama SDGs yang meliputi: manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian dan kemitraan dengan 17 target sasaran utama akan dilaksanakan melalui penetapan visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan daerah Kabupaten Kupang sampai dengan tahun 2019. Untuk mengatasi permasalahan di atas, menurut RPJMD, sasaran prioritas dan program yang akan diintervensi yakni, pertama, meningkatkan pemenuhan kesempatan kerja bagi angkatan kerja dengan melakukan pelatihan berbasis kompetensi, mengembangkan sistem informasi dan promosi ketenagakerjaan yang terintegrasi dan efektif, peningkatan pelayanan penempatan tenaga kerja, konseling dan job matching, memfasilitasi lembaga pendidikan dan pelatihan di BLK, pemberian sertifikasi pendidikan dan pelatihan, pemahaman K3 di perusahaan termasuk PPTKIS hingga peningkatan cakupan jaminan sosial melalui BPJS. Kedua, memfasilitasi penyelesaian masalah hukum bagi masyarakat dan pemerintahan melalui penataan peraturan perundang-undangan agar jumlah kasus yang diadukan berkurang. Ketiga, meningkatkan pemberdayaan perempuan melalui penguatan kelembagaan jaringan PUG dan PUHA, serta penyediaan data terpilah terkait potensi pengarusutamaan gender sebagai bahan pengambilan kebijakan yang responsif gender. Keempat, peningkatan perlindungan perempuan dan anak melalui perbaikan mekanisme pelaporan, rehabilitasi serta integrasi sosial terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dan trafficking. Selain itu adanya Pemberdayaan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPTP2A) untuk bekerjasama dengan berbagai pihak. Meskipun telah ada perhatian kepada program ketenagakerjaan baik itu didalam maupun diluar negeri, namun secara alokasi dana menurut RPJMD,

52


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian sasaran program daerah terbesar pada tahun 2017 dan 2018 lebih diarahkan pada : 1) Belanja bantuan keuangan kepada Prov/Kab/Kota dan Desa; 2) program pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan; 3) program pelayanan internal seperti pelayanan administrasi perkantoran; 4) Program kesehatan mulai dari pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana puskesmas, program upaya kesehatan masyarakat jaminan kesehatan nasional serta peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit paru-paru dan mata; 5) Program pendidikan melalui wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan 6: Program pertanian dan peternakan. Detail anggaran menurut RPJMD dapat dilihat di tabel dibawah ini.

Tabel 2.7 Pendanaan terbesar Program Daerah tahun 2017 dan 2018 Program Daerah 1. Belanja Bantuan Keuangan kepada Prov/ kab/kota dan desa

Dana 2017

Dana 2018

206.215.645.400 198.713.452.012

2. Program Pembangunan Jalan dan Jembatan

75.219.435.050

78.899.802.950

3. Program Pelayanan Administrasi Perkantoran

58.592.580.000

73.516.230.870

4. Program Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana puskesmas

52.450.730.361

48.602.275.000

5. Program Upaya Kesehatan Masyarakat

24.141.137.600

26.082.522.300

6. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun

15.385.700.060

25.869.363.876

7. Program Peningkatan Kapasitas Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah

17.564.359.960

17.075.149.600

8. Program Jaminan Kesehatan Nasional

15.424.848.789

28.989.000.260

9. Program Pengadaan Peningkatan Sarana dan Prasarana rumah sakit/rumah sakit jiwa/rumah sakit paru-paru/rumah sakit mata

12.859.439.850

14.644.700.574

10. Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan

12.442.689.900

2.577.348.900

11. Program Peningkatan Produksi Hasil Peternakan

11.387.229.250

11.716.780.000

12. Program Peningkatan Teknologi Pertanian/ Perkebunan

10.550.995.850

12.182.589.000

53


Sedangkan sama halnya dengan Kabupaten Banyuwangi, pendanaan ketenagakerjaan menurut RPJMD untuk Kabupaten Kupang juga masih minim dibandingkan program-program lainnya. Program daerah yang ada juga masih umum yakni untuk peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, peningkatan kesempatan kerja dan perlindungan dan pengembangan lembaga ketenagakerjaan. Ketiga program inipun sifatnya juga sangat umum yakni kepada seluruh angkatan kerja yang ingin bekerja di Kupang dan di luar negeri. Untuk program bagi angkatan kerja yang ingin bekerja keluar negeri tidak tampak secara jelas alokasi dana yang dianggarkan. Sedangkan bila melihat banyaknya kasus yang dialami oleh buruh migran Indonesia terutama kasus trafficking yang mengakibatkan kematian, sangat tinggi. Masalah trafficking juga telah dibahas dalam intervensi program. Sayangnya pendanaan untuk mengatasi permasalahan trafficking dan buruh migran masih minim sehingga dapat diartikan pemerintah daerah Kabupaten Kupang masih minim dalam memperbaiki tata kelola migrasi agar warga kabupaten Kupang terlindungi. Berikut tabel dibawah ini memperlihatkan alokasi ketenagakerjaan menurut RPJMD.

Tabel 2.8 Program Ketenagakerjaan menurut RPJMD untuk Anggaran tahun 2017 dan 2018 Program Daerah

Dana 2017

Dana 2018

1. Program Peningkatan kualitas dan produktivitas 1.300.384.500 4.379.564.500 tenaga kerja 2. Program Peningkatan Kesempatan Kerja

793.954.000 1.107.021.500

3. Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Ketenagakerjaan

994.386.000

812.961.000

Menurut data BNP2TKI tiga tahun terakhir (2016-2018), provinsi Nusa Tenggara Timur telah mengirim 3.056 penduduk ke luar negeri untuk menjadi buruh migran. Kabupaten Kupang sendiri merupakan daerah kantong buruh migran, yang mana BP3TKI Kupang telah menempatkan 1.089 orang untuk bekerja di luar negeri. Dari banyaknya penduduk Kupang yang menjadi buruh migran, mereka juga mengalami berbagai permasalahan. BNP2TKI mencatat terdapat 364 orang yang mengadu mengalami berbagai masalah selama tiga tahun terakhir (2016-2018). Sedangkan menurut data kompilasi dari BP3TKI Kupang dan Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Orang menyebutkan selama 8 tahun (2011 – Juli 2018), jumlah pekerja migran dari NTT yang telah meninggal sebanyak 273 orang.25 Salah 25 Konferensi Pers JBM http://www.jaringanburuhmigran.org/2018/03/pasca-ratifikasi-konvensipbb-1990.html

54


Bab II - Profil Daerah Sasaran Kajian satu kasus TKI asal Kupang yang meninggal adalah Milka, Milka meninggal pada tanggal 09 Maret 2018. Selain itu, Milka juga menjadi korban TPPO. Banyaknya kasus-kasus yang dialami buruh migran asal Kabupaten Kupang disebabkan beberapa hal seperti masih kurangnya informasi bekerja ke luar negeri secara benar dan dapat dipahami buruh migran, sosialisasi migrasi yang aman, dan pengawasan dari pemerintah. Terlebih untuk purna-pekerja migran, pemerintah tidak memberi bantuan (khususnya untuk korban yang mendapat permasalahan ketenagakerjaan) ataupun pelatihan wirausaha dan justru kelompok-kelompok agama yang memberi bantuan pada purna-TKI asal Kabupaten Kupang.26 Dalam melihat kompleksitas kondisi buruh migran asal Kabupaten Kupang, di Kabupaten Kupang telah didirikan Layanan Satu Atap (LTSA) pada 4 September 2017 yang diresmikan oleh Direktur Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan dan Gubernur NTT. Dibentuknya LTSA ini bertujuan untuk mempermudah pelayanan bagi tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri dengan komitmen pelayanan lebih cepat, murah, santun dan melindungi tenaga kerja27 serta mencegah calon TKI ilegal yang bekerja keluar negeri.28 Namun, menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT bahwa LTSA belum berjalan secara optimal karena kendala peralatan seperti dari kantor imigrasi di Kupang.29 Menurut aktivis dari Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Orang NTT, LTSA ini masih belum efektif dan efisien untuk perlindungan buruh migran karena bertempat di Kabupaten/Kota sedangkan calon buruh migran berasal dari pelosok-pelosok desa. Jika melihat masalah terbesar pada pra-penempatan calon buruh migran di Kabupaten Kupang adalah masih banyaknya dokumendokumen persyaratan untuk bermigrasi kerja yang dipalsukan yang diperantarai oleh calo, maka keberadaan LTSA di tingkat Kabupaten/Kota ini masih tidak dapat menekan peran calo karena akses buruh migran dari pelosok desa ke Kabupaten/ Kota masih jauh sehingga calo masih menguasai informasi kerja ke luar negeri. Jika pendekatannya tidak pada desa, maka problematika calo atau pemalsuan data akan tetap terjadi.30

26 Wawancara dengan Pekerja Migran asal Kabupaten Kupang, 14/04/3018 27 http://www.floresa.co/2017/09/04/ltsa-untuk-tki-dibuka-di-kupang-ini-manfaatnya/ 28 http://kupang.tribunnews.com/2018/02/26/pemerintah-bentuk-ltsa-tki-di-kabupaten-kupang-dansumbar 29 https://kupang.antaranews.com/berita/6560/imigrasi-terkendala-peralatan-di-ltsa 30 Wawancara dengan Greg dari Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Orang NTT, 08 Juni 2018

55


2.5 Ringkasan Daerah asal buruh migran memang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Namun pada kajian ini hanya dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu agar memperoleh data daerah asal buruh migran yang lebih komprehensif. Antara pertimbangan tersebut adalah jumlah buruh migran, karakteristik penempatan buruh migran, pengelolaan kelembagaan dalam pelayan migrasi ketenagakerjaan dan komitmen pemerintah daerah dalam pelindungan buruh migran. Mengingat pelayanan migrasi ketenagakerjaan berkaitan erat dengan pengaturan pemerintahan daerah, maka sasaran kajian ini mengambil wilayah jawa yang diwakili oleh Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Banyuwangi. Sementara untuk wilayah terluar diwakili oleh Kabupaten Kupang. Jika memperhatikan komitmen daerah sasaran pada kajian ini berdasarkan dari dokumen RPJM Daerah terlihat bahwa pelayanan buruh migran masih belum menjadi prioritas pembangunan, untuk itu diperlukan sinergi dan koordinasi dengan pemerintah pusat agar rencana pembangunan selaras untuk pelindungan buruh migran.

56


BAB III

TINJAUAN KEBIJAKAN MIGRASI KETENAGAKERJAAN 3.1 Pendahuluan Pada bagian ini hendak membentangkan mengenai kebijakan migrasi ketenagakerjaan di Indonesia berdasarkan beberapa perspektif ketentuan. Perspektif yang pertama berangkat dari ketentuan Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UU PPTKILN). Sedangkan perspektif yang kedua berasal dari perubahan dari UU PPTKILN yakni melalui Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Kemudian dari produk hukum tersebut, ulasan ini mencoba menemukan prinsip-prinsip internasional yang terkandung di dalam konvensi migran 1990 sebagaimana konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Perlindungan seluruh Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. 3.2 Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan menurut Ketentuan Lama (UU PPTKILN) Pada bagian ini menekankan pada beberapa poin penting dalam pelayanan migrasi ketenagakerjaan dan dampak yang ditimbulkan dari ketentuan tersebut. Selain itu, ulasan meletakkan pada bagaimana upaya pemerintah dalam pelaksanaan UU PPTKILN. Hal ini untuk menjawab apakah perintah yang diamanatkan oleh UU PPTKILN sudah dijalankan oleh pemerintah atau belum yang ditunjukkan dengan ketersediaan perintah untuk membuat peraturan atau pelayanan migrasi secara langsung, seperti pembiayaan, pendidikan dan pelatihan,pengaduan dan jaminan sosial. Kemudian, ulasan ini juga menekankan pada bagaimana pemerintah menafsirkan sebuah produk hukum yang berimplikasi pada pelayanan bagi buruh migran.

57


3.2.1 Definisi dan Makna Perlindungan dari UU PPTKILN Terdapat lebih dari 72 persen buruh migran Indonesia sebagian besar berasal dari daerah pedesaan. Hal tersebut cenderung dikarenakan kurangnya kesempatan pekerjaan di pedesaan dan bekerja di luar negeri dianggap memberikan peluang bagi penduduk Indonesia untuk mencari upah yang lebih tinggi (Silvey, 2007).1 Berdasarkan data BNP2TKI per Maret 2018, data penempatan pekerja migran berdasarkan PPTKIS berjumlah 19.694 (sembilan belas ribu enam ratus sembilan puluh empat) orang yang bekerja sebagai pekerja Migran.2 Pelindungan bagi buruh migran merupakan akar dari terciptanya kesejahteraan rakyat Indonesia, di mana antara pelindungan dan penempatan kerja di luar negeri adalah dua sisi dari satu mata uang yang tak terpisahkan. Pada pembahasan bab ini lebih meninjau tentang apa makna dari konsep “Perlindungan TKI” dalam UU 39/2004 yang terdapat pada Bab VI dan terdiri dari 8 pasal yakni pasal 77, pasal 78, pasal 79, pasal 80, pasal 81, pasal 82, pasal 83 dan pasal 84. Membahas “perlindungan” dalam buku ini menjadi penting karena pada dasarnya tingginya kasus - kasus yang menimpa pekerja migran adalah akibat dari lemahnya pelindungan yang diberikan oleh negara/pemerintah. Pelindungan untuk pekerja migran merupakan hal utama dalam siklus migrasi kerja karena dari sebelum bekerja, saat bekerja hingga para buruh migran kembali ke tempat asalnya yang selalu diselubungi kerawanan pelanggaran hak-hak mereka. Oleh sebab itu, penetapan suatu perlindungan yang sejati adalah kunci untuk mengatasi berbagai masalah-masalah migrasi kerja. Namun, apakah makna yang sebenarnya dari “Perlindungan TKI” dalam UU PPTKILN? atau kata “perlindungan” dalam UU PPTKILN hanya sebagai formalitas dan pencitraan adanya uluran tangan dari pemerintah untuk mengurus buruh migran dengan baik. Untuk menemukan jawaban atas perlindungan sejati bagi buruh migran maka perlu membedah dan menganalisis UU PPTKILN tersebut. Pada bab VI tentang Perlindungan TKI dalam UU PPTKILN menunjukkan bahwa pada keterangan isi dari pasal-pasal dan ayat-ayatnya hanya memberikan penjelasan secara umum sehingga secara logika tidak dapat dijelaskan dan sulit untuk diimplementasikan. Misalnya pada pasal 77 ayat 2 dikatakan bahwa “perlindungan dilaksanakan mulai dari pra-penempatan, masa penempatan dan purna penempatan”. Jika hanya dijelaskan secara umum saja, maka bagaimana dengan asas-asas dan mekanisme pelaksanaan perlindungannya. Nampaknya 1 Silvey, R. (2007). ‘Unequal borders: Indonesian Transnational Migrants at Immigration Control’, Geopolitics, 12(2): 265-279 2 Laporan Data BNP2TKI tahun 2018. http://www.bnp2tki.go.id/2018

58


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan bab perlindungan ini juga tidak diuraikan secara menyeluruh dan tidak dikaitkan dengan bab-bab yang lain yang tercantum dalam UU 39/2014. Berikut beberapa kelemahan perlindungan dalam UU 39/2004 berdasarkan beberapa masalah krusial a. Penempatan Buruh Migran Dalam UU PPTKILN pasal 10 terdapat lima macam penempatan yaitu pertama, penempatan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara tujuan atau yang disebut G to G. Kedua, penempatan yang dilaksanakan melalui pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) kepada pengguna perseorangan. Ketiga, penempatan yang dilaksanakan melalui pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) kepada pengguna berbadan hukum. Keempat, penempatan untuk kepentingan perusahaan sendiri. Kelima, penempatan secara mandiri atau penempatan buruh migran perseorangan. Tidak dapat terbantahkan bahwa wajah UU PPTKILN adalah wajah swasta atau pasar. Dengan artian bahwa tanggung jawab untuk memberikan pelayanan dan mengurus buruh migran mulai dari informasi, perekrutan, penempatan hingga mengurus kepulangan dilimpahkan kepada PPTKIS/Swasta. Seperti pada pasal 61 UU 39/2004 bahwa PPTKIS ditugaskan untuk mengurus perjanjian kerja di luar negeri dan pada pasal 33 Kepmen 104A/2002 justru memberatkan buruh migran, di mana mengamanatkan kewajiban PPTKIS untuk membuat perjanjian penempatan dengan calon buruh migran. Ironisnya, pada ayat 2 memuat pengakuan tak langsung tentang pinjaman biaya penempatan secara halus (dengan maksud adalah hutang). Pada tahap ini buruh migran sangat rentan eksploitasi.3 b. Pembiayaan Menilik permasalahan krusial mengenai pembiayaan dalam UU PPTKILN pasal 52 huruf h dengan jelas menyatakan bahwa biaya penempatan ditanggung oleh calon TKI dan cara pembayarannya. Selanjutnya pada pasal 76 mengamanatkan bahwa PPTKIS membebankan biaya penempatan kepada calon TKI, komponen biaya meliputi; dokumen jati diri, pemeriksaan kesehatan, psikologi, pelatihan kerja, sertifikasi kompetensi kerja, asuransi perlindungan pekerja migran, visa kerja, rekrutmen dan promosi, transportasi/tiket, jasa agensi, jasa PPTKIS dan akomodasi. Sedangkan yang menanggung segala biaya penempatan yang mana segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan calon buruh migran menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta atau PPTKIS, pernyataan tersebut 3 The institute for Ecosoc Rights, (2010). Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI : Antara Indonesia-Singapura-Malaysia : 386

59


terpapar pada pasal 39. Pada dasarnya biaya penempatan dapat dibayarkan oleh calon pekerja migran sendiri, dibayarkan majikan, dan dibayar baik oleh pekerja migran dan majikan. Jumlah yang harus dibayar pun nilainya beragam.

Tabel 3.1 Biaya Penempatan Pekerja Migran Berdasarkan Peraturan Menteri No

Kepmen

Negara

Biaya yang ditanggung Biaya yang ditanggung calon pekerja migran majikan

1.

152/2011

Malaysia

5.040.000

7.592.000

2

588/2012

Singapura

12.647.000 (jawa) 13.788.000 (luar jawa)

15.092.000 (jawa) 16.233.000 (luar jawa)

3

98/2012

Hongkong

5.5000.000

12.297.000 (jawa) 15.297.000 (luar jawa)

4

296/2016

Taiwan

18.291.000

19.080.000

5

295/2013

Taiwan

34.218.100

6

17/2011

Korea Selatan

3.400.000

Sumber: Diskusi Biaya Penempatan di Group Whatsapp SBMI dalam Evaluasi Rekomendasi AFML oleh Human Rights Working Group, 2017.

Pembayaran biaya penempatan dapat melalui mekanisme pinjaman atau kredit di bank, namun akan terkena suku bunga yang tinggi sekitar 10-12 %. Oleh sebab itu, pekerja migran lebih memilih berhutang kepada agensi (PPTKIS) atau rentenir untuk membayar biaya penempatan. PPTKIS atau agensi penempatan sendiri memiliki mekanisme pembayaran biaya penempatan yang berbeda antara calon pekerja migran laki-laki dan perempuan. Bahwa, perempuan lebih diterapkan mekanisme pembayaran dengan ‘potongan gaji/hutang’, sedangkan laki-laki harus membayar di awal pemberangkatan. Di mana calon pekerja perempuan dapat membayar penempatan tersebut dengan metode potong gaji selama 6-8 bulan di awal bekerja di luar negeri (Hugo 2002; Lindquist 2010). Sedangkan, untuk lakilaki yang ingin bekerja di luar negeri, PPTKIS harus membayar biaya penempatan sejumlah lima belas juta hingga empat puluh juta rupiah sebelum berangkat bekerja ke negara tujuan. Peran swasta lagi-lagi mendominasi dalam biaya penempatan, bagi masyarakat miskin yang ingin mencari pekerjaan di luar negeri, mereka terpaksa untuk berhutang ke PPTKIS dan mereka rentan mengalami pembengkakan biaya/ 60


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan overcharging. Bahkan pada akhirnya jerih payah dan uang yang mereka hasilkan dengan bekerja di luar negeri habis karena untuk melunasi hutang biaya perekrutan dan penempatan pada PPTKIS. Tak jarang pula mereka pulang dengan keadaan ditipu oleh pihak agensi. Regulasi terkait penempatan TKI di dalam UU PPTKILN pun masih belum mengakomodir kebutuhan buruh migrant karena karakter dari UU PPTKILN sendiri lebih banyak memiliki tujuan untuk pengaturan penempatan saja dan ekspansi peran swasta. Lalu dimanakah peran negara? Tanpa kehadiran negara yang seharusnya bertanggung jawab melindungi warga negaranya membuat buruh migran semakin rentan untuk kehilangan hak-haknya. c. Pendidikan dan Pelatihan Sesuai amanat UU PPTKILN bahwa kewajiban setiap calon buruh migran adalah harus memiliki sertifikat kompetensi kerja. Sedangkan lembaga yang bertanggung jawab memberikan pendidikan dan pelatihan adalah PPTKIS dan biaya pendidikan dan pelatihan kerja ditanggung oleh buruh migran. Namun dengan PPTKIS diberikan tanggung jawab besar, terjadi banyak permasalahan yang dialami buruh migran. Mengingat bahwa PPTKIS adalah berparadigma bisnis/profit. Terlebih peran calo secara aktif juga menjadi penyebab bengkaknya biaya pendidikan dan pelatihan. Beberapa permasalahan dalam proses pendidikan dan pelatihan yang disediakan PPTKIS; materi pendidikan dan pelatihan tidak sesuai dengan negara tujuan, tenaga pengajar tidak sesuai dalam bidangnya, Lembaga Pendidikan & Keterampilan justru menjadi broker terselubung. Ketidakkonsistenan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh PPTKIS ini sangat meresahkan calon buruh migran. Hal ini juga akibat dari ketidakhadiran negara/pemerintah dalam melayani pendidikan dan pelatihan buruh migran. Terlebih pada UU PPTKILN tidak diatur mekanisme kerja mandiri bagi pekerja rumah tangga (PRT) sehingga harus membayar/melunasi dan mengikuti pelatihan dan pendidikan kembali (mengulang) walaupun telah menyelesaikan masa kontrak kerja di negara tertentu. Hal ini membuat buruh migran (khususnya PRT) terjerat hutang dan rentan eksploitasi. Hal tersebut adalah bukti bahwa perlindungan buruh migran pada UU 39/2004 tidak serius dalam mensejahterakan warga negaranya. d. Jaminan Sosial Dalam UU PPTKILN, asuransi buruh migran tercantum pada Pasal 68 yang berbunyi “Pelaksana penempatan TKI swasta wajib menginstruksikan TKI yang diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi�. Artinya terdapat mandat pemberian jaminan sosial diberikan oleh swasta melalui konsorsium TKI/Asuransi 61


Pekerja Migran Indonesia yang dikelola oleh 3 konsorsium yakni Jasindo, Astindo dan PT Asuransi Sinar Mas yang memiliki 13 coverages. Dengan melimpahkan tanggung jawab atas perlindungan jaminan sosial kepada Swasta, maka yang terjadi adalah kerentanan pelindungan yang dikomersialkan atau dijadikan lahan basah (lahan bisnis) karena pada dasarnya perusahaan asuransi swasta tersebut bermotif keuntungan belaka. Akibatnya buruh migran justru sulit untuk mendapatkan hak asuransinya, seperti pada saat mengurus klaim asuransi. Dengan adanya pelimpahan tanggung jawab pemerintah kepada swasta untuk memberikan jaminan sosial, maka pemerintah dengan jelas tidak mengamalkan Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat ...�. e. Pengaduan dan Penanganan Kasus Tingginya kasus-kasus yang dialami oleh buruh migran yang sangat rentan dengan tindak kekerasan, eksploitasi, pemerkosaan, meninggal, sakit, korban perdagangan orang dan tindak kejahatan lainnya disebabkan karena tipisnya perlindungan dari pemerintah. Hal ini terlihat dari pasal 85 UU 39/2004 yang mana mengamanatkan jika terjadi sengketa antara TKI dengan pelaksana penempatan TKI swasta mengenai pelaksanaan perjanjian penempatan, maka kedua belah pihak mengupayakan penyelesaian secara damai dengan cara bermusyawarah. Selanjutnya jika penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah. Artinya UU 39/2004 dalam hal penanganan kasus dan pengaduan, peran pemerintah lebih pasif tidak aktif dalam terlibat untuk penanganan kasus dan pengaduan. Bila membandingkan dengan proses perlindungan bagi buruh dalam negeri, misalnya dalam UU PPHI No 2 Tahun 2004, terlepas dari tidak idealnya isi dan pelaksanaan undang-undang PPHI, namun dalam UU PPHI jelas disebutkan peran pemerintah aktif dalam menangani kasus. Hal ini terlihat dari pasal 4 ayat (1) hingga ayat (3), di mana instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat harus menerima catatan perselisihan kedua belah pihak yang tidak terselesaikan secara bipartit/musyawarah. Pihak instansi ketenagakerjaan tersebut wajib mengecek bukti dari para pihak yang dilampirkan. Bila bukti tidak lengkap, maka instansi di bidang ketenagakerjaan wajib mengembalikan berkas kepada para pihak dan dan meminta para pihak melengkapi dalam waktu 7 hari (pasal 2). Setelah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menerima catatan dari para pihak, maka instansi tersebut wajib

62


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan menawarkan para pihak untuk menyepakati perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase (pasal 3). Dalam pasal ini terlihat peran instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dalam hal ini Disnaker setempat terlibat aktif dalam proses penyelesaian perselisihan antar pihak. Dalam UU 39/2004, hanya dimandatkan “dapat meminta bantuan� dari Disnaker yang ada di kabupaten/kota. Mekanisme dan praktik penanganan kasus yang sering ditemui yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah beragam. Terdapat praktik-praktik mediasi yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI) dan pemerintah daerah (Disnaker di Prov/Kab/Kota atau BP4TKI/ BP3TKI) yang baik tapi juga terdapat praktik-praktik yang tidak baik. Meski telah ada berbagai peraturan turunan mulai dari Permanaker hingga Perka Badan (No 28/2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Masalah Calon TKI/TKI melalui Mediasi dan Advokasi), namun implementasi di lapangan sangat berbeda-beda. Terdapat kasus yang berhasil diselesaikan dan buruh migran mendapatkan hak-haknya tapi juga ada yang tidak mendapatkan hak-haknya sehingga kasusnya masih terkatungkatung. Padahal secara peraturan terutama peraturan turunan telah dijelaskan sanksi bagi PPTKIS yang melanggar kasus misalnya overcharging. Namun kembali lagi pada masalah yang kerap kali dialami di Indonesia, pada masalah implementasi terutama pemastian akan hak-hak buruh migran yang masih minim. 3.2.2 Peraturan Pemerintah Masih Menggantung Dalam bab VI Perlindungan TKI dalam UU PPTKILN ini masih harus dijelaskan oleh peraturan pemerintah yang selama bertahun-tahun tidak rampung. Padahal pasal-pasal ini berkaitan dengan isu krusial yang dihadapi oleh buruh migran sehingga sifatnya sangat mendesak demi keamanan dan kelangsungan pekerjaan buruh migrant selama di luar negeri, hal tersebut merupakan tanggung jawab perlindungan dari pemerintah. Dengan tidak diaturnya didalam peraturan turunan mengenai batasan pembuatan peraturan turunan. Tidak sedikit peraturan turunan UU PPTKILN dibuat setelah lebih dari tujuh tahun seperti PP tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PP No 3 Tahun 2013) yang baru disahkan pada tahun 2013 dan PP Pelaksanaan Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PP No 4 Tahun 2015). Kementerian ketenagakerjaan yang pada saat itu masih bernama Kemenakertrans sudah hampir menerbitkan semua peraturan turunan baik itu berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan menteri, meskipun secara kuantitas jumlah aturan penjelas tersebut terlihat produktif, namun untuk produktivitasnya

63


terasa belum memadai karena masih banyak ketentuan dalam UU PPTKILN yang belum dapat dijalankan karena belum komplitnya atau belum terbitnya peraturan pelaksananya lainnya. Selain itu juga, implementasi dari kebijakan yang masih jauh dari yang diharapkan untuk memberikan perlindungan bagi buruh migran. 3.2.3 Inkoordinasi dan Konflik antar Instansi Seperti selama ini telah jauh kita sadari, intransparansi mengacu pada kinerja birokrasi pemerintah pada umumnya dan kerjasama antar lembaga-lembaga pemerintah. Akibatnya seandainya suatu konsistensi dalam yurisprudensi pada akhirnya dapat diciptakannya sistem pemerintahan yang kompak, handal dan terpadu dalam mencapai tujuan, yaitu penempatan berbasis perlindungan buruh migran. Sebab permasalahan utama dalam birokrasi di Indonesia selain kapasitas sumberdaya manusia adalah sulitnya bekerja sama dan saling berkoordinasi antar lembaga pemerintahan.4 UU PPTKILN secara tersirat seolah-olah pemerintah bertanggung jawab dalam keseluruhan proses penempatan dan perlindungan buruh migran. Namun bila melihat pasal-pasal dalam UU 39/2004, kepastian untuk berkerjasama dan berkoordinasi tidak tampak pada pasal-pasal yang tertuang di dalamnya. Misalnya ialah jika dilihat dari sisi perimbangan tugas antar lembaga, pemerintah pusat memiliki tugas terbanyak dengan 18 pasal penugasan. Namun kata pemerintah pusat dalam definisi menunjuk kepada presiden dan menterinya. Selain itu masih ada tugas spesifik kepada pemerintah daerah (9 pasal penugasan), Menteri dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja (8 pasal penugasan), KBRI (6 pasal penugasan) dan BNP2TKI (3 pasal penugasan)5. Meski telah diberikan tugas-tugas penugasan, namun pemastian koordinasi antar instansi tidak terlalu nampak jelas. Bahkan, di dalam UU 39/2004, tidak dijelaskan secara kaku dan jelas hubungan antara Menakertrans dan BNP2TKI. Seperti di pasal 94 UU 39/2004 yang mengamanatkan pembentukan BNP2TKI, namun tidak dijelaskan secara jelas mengenai mekanisme dan pola relasi kerja sama antara BNP2TKI dengan Kementerian Tenaga Kerja. Akibatnya, secara praktik banyak sekali ditemukan ketidakpaduan dalam kebijakan dan implementasi yang merugikan hak-hak buruh migran. 3.2.4 Pengawasan Bagi Perlindungan Buruh Migran Indonesia Dalam UU 39/2004 pasal 5 menetapkan bahwa tugas utama pemerintah adalah ‘mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi’ penyelenggaraan 4 Ibid, hal 401 5 Ibid, bal 414

64


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan penempatan dan perlindungan. Bagaimana mungkin tugas pemerintah melakukan empat hal sekaligus? Jika diibaratkan, sangat sulit bagi seorang pelaksana sekaligus juga berperan mengawasi secara obyektif kegiatan pelaksanaan yang dilakukannya sendiri. Jika kedua amanat ini diemban oleh satu pihak saja, maka yang terjadi adalah kontradiksi, di mana di dalam internal pelaksana itu terjadi suatu pertentangan, bahkan, suatu konflik kepentingan ketika pelaksana juga menjadi pengawas internalnya sendiri. Ironisnya, ketika pemerintah mengemban seluruh tugas dan tanggung jawabnya dalam mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggara penempatan dan pelindungan buruh migran, namun dalam pasal-pasal berikutnya pemerintah justru menyerahkan dan melimpahkan persoalan-persoalan krusial terkait perlindungan buruh migran seperti pemberian informasi, pendidikan/pelatihan dan bahkan tanggung jawab pemulangan/ pengurusan buruh migran meninggal diserahkan pada PPTKIS. Penyelenggaraan pengawasan itu bersifat eksternal, artinya kegiatan pengawasan seharusnya diarahkan kepada pihak-pihak di luar pemerintah. Lalu siapa yang akan mengawasi kegiatan pengawasan ini? Pertanyaan ini mengantarkan pada praktik publik kemasyarakatan yang menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), di mana setidaknya telah diakui tiga pihak yang berbeda satu sama lain tapi saling bekerjasama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga pihak tersebut adalah pemerintah, bisnis dan masyarakat sendiri. Secara otomatis, kalangan bisnis lebih mengacu pada para PPTKIS dan sejatinya masyarakat mengacu pada buruh migran, organisasi buruh migran dan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang mendukung kepentingan buruh migran. Sayangnya, dalam UU PPTKILN terbukti dari 107 pasal, hanya satu pasal yang menyebut kata ‘masyarakat’ yaitu pada pasal 86 ayat 2 yang menyatakan dalam melakukan pembinaan, pemerintah dapat mengikutsertakan PPTKIS, organisasi dan atau masyarakat.6 3.2.5 Perspektif Gender dalam UU PPTKILN Secara historis buruh migran Indonesia didominasi oleh perempuan. Berdasarkan data BNP2TKI pada tahun 2017, lebih dari 80 persen buruh migran adalah perempuan pada sektor domestik sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan jumlahnya naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, jumlah PRT Indonesia di luar negeri naik menjadi 46.849 orang, hampir dua kali lipat jika dibandingkan tahun 2016.7 Sedangkan, jumlah laki-laki yang bekerja ke luar negeri mengalami 6 Ibid, hal 406-408 7 Laporan Data BNP2TKI tahun 2018. http://www.bnp2tki.go.id/2018

65


penurunan. Perempuan dari desa yang memutuskan bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja di sektor domestik merupakan pengalaman pertama mereka untuk pekerjaan berbayar. Sebelum bermigrasi ke luar negeri, mayoritas mereka merupakan ibu rumah tangga, buruh cuci tak berbayar dan buruh tani tak berbayar (hanya membantu suami bertani). Dengan bekerja ke luar negeri, para buruh migran perempuan dapat berpenghasilan lima kali lebih besar dibandingkan dengan yang akan diterima jika mereka bekerja di Indonesia. Melihat banyaknya penduduk Indonesia perempuan yang menjadi buruh migran, UU PPTKILN yang miskin pelindungan ini juga miskin perspektif gender. Dari 7.440 kata dalam UU, hanya ada satu kata ‘perempuan’ yang digunakan dalam undangundang ini, satu kata perempuan ini pun membahas terkait kerangka pelarangan perempuan hamil untuk bekerja di luar negeri. Padahal, mayoritas buruh migran adalah perempuan dan sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak-hak dasar mereka.8 Memang pada pasal 2 disebutkan tentang prinsip kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi dan anti perdagangan manusia. Namun, semua itu hanya tempelan dari beberapa huruf saja, yang mana semua itu kosong makna dan praktik. Karena yang terjadi adalah sistem penempatan buruh migran yang diatur dalam UU 39/2004 justru berpeluang memfasilitasi perdagangan manusia, khususnya buruh migran perempuan. Selain itu, miskinnya perspektif gender dalam UU 39/2004 juga bisa kaitkan dengan dikeluarkannya/ tidak dilibatkannya Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak dalam skema perlindungan buruh migran. 3.3 Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan Menurut Ketentuan Baru (UU PPMI) Setelah 7 tahun semenjak revisi UU PPTKILN/UU 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2010, pada 22 November 2017, UU baru yang menggantikan UU No 39/2004 berlaku efektif melalui UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Apabila kita melihat dari 91 pasal yang tertuang dalam UU PPMI, telah terdapat perubahan dari cara berpikir mengenai migrasi buruh migran Indonesia yang dulunya lebih ke arah penempatan, kemudian yang sekarang lebih ke arah pelindungan. Meski demikian, sampai batasan manakah perlindungan buruh migran Indonesia diberikan? Pada bab ini akan diuraikan beberapa perubahan positif untuk pelindungan buruh migran Indonesia dan juga kelemahannya.

8 Op cit, hal 419-420

66


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan 3.3.1 Definisi dan Makna Perlindungan dari UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Jika membandingkan definisi dan makna perlindungan yang ada di UU PPTKILN dengan UU PPMI, makna perlindungan tidak lagi hanya membagi dengan perlindungan di pra, penempatan dan purna penempatan, tapi terdapat penambahan definisi dan makna pelindungan yang dapat dilihat dari tiga aspek, yakni aspek hukum, ekonomi dan sosial. Penjabaran ketiga perlindungan ini diatur pada pasal 31-36 UU PPMI. Pemaknaan perlindungan hukum dalam UU PPMI dibagi menjadi tiga, yakni: 1) kriteria negara tujuan buruh migran Indonesia; 2) kewenangan pemerintah untuk menentukan negara yang hentikan atau dilarang dan; 3) kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan perlindungan hukum. Pasal

Ayat

31

Pekerja Migran Indonesia hanya dapat bekerja ke negara tujuan penempatan yang: a. mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing; b. telah memiliki perjanjian tertulis antara pemerintah negara tujuan penempatan dan Pemerintah Republik Indonesia; dan/ atau c. memiliki sistem Jaminan Sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing.

32

(1) Pemerintah Pusat dapat menghentikan dan/atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia untuk negara tertentu atau jabatan tertentu di luar negeri dengan pertimbangan: a. keamanan; b. pelindungan hak asasi manusia; c. pemerataan kesempatan kerja; dan/atau d. kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan nasional. (2) Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat memperhatikan saran dan pertimbangan Perwakilan Republik Indonesia, kementerian/ lembaga, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, dan masyarakat. (3) Penetapan negara tertentu atau jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

67


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian dan pelarangan penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 33

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan pelindungan hukum terhadap Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum negara tujuan penempatan, serta hukum dan kebiasaan internasional.

Sedangkan pemaknaan perlindungan sosial diarahkan pada kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan 1) peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja melalui standarisasi kompetensi kerja; 2) peningkatan lembaga akreditasi dan sertifikasi; 3) penyediaan tenaga pendidik dan pelatih; 4) reintegrasi sosial baik kepada buruh migran maupun keluarga buruh migran; 5) adanya kebijakan perlindungan kepada anak dan perempuan dan; 6) penyediaan pusat perlindungan buruh migran Indonesia di negara tujuan. Pasal 34

Ayat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pelindungan sosial bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia melalui: a. peningkatan kualitas melalui standarisasi; b. peningkatan peran sertifikasi; c. penyediaan tenaga kompeten; d. reintegrasi sosial melalui layanan peningkatan keterampilan, baik terhadap Pekerja Migran Indonesia maupun keluarganya; e. kebijakan pelindungan kepada perempuan dan anak; dan f. penyediaan pusat pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan penempatan.

Untuk pemaknaan pelindungan ekonomi diarahkan kepada 1) pengelolaan remitansi dengan melibatkan lembaga perbankan atau lembaga keuangan; 2) melakukan edukasi keuangan kepada buruh migran Indonesia dan; 3) edukasi kewirausahaan. Diharapkan buruh migran yang pulang ke Indonesia dapat berdaya tidak hanya secara sosial tetapi juga ekonomi. Meskipun UU PPMI lebih lengkap bila dibandingkan dengan UU 39/2004, di mana dalam UU 39/2004 tidak diatur mengenai reintegrasi ekonomi, namun isi pasal terkait dengan perlindungan ekonomi seharusnya tidak hanya secara ekonomi melalui kegiatan pemberdayaan ekonomi tapi juga menyangkut rehabilitasi sosial dimana buruh migran purna yang pulang tidak hanya yang berhasil tetapi banyak yang mengalami kasus.

68


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan Buruh migran yang mengalami kasus terlebih kasus yang menyangkut kekerasan dan pelecehan perlu diberikan perhatian khusus tidak hanya selama di luar negeri tetapi juga di dalam negeri dan perlu didampingi untuk proses reintegrasi dengan lingkungan sekitarnya. Pasal

Ayat

35

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pelindungan ekonomi bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/ atau Pekerja Migran Indonesia melalui: a. pengelolaan remitansi dengan melibatkan lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank dalam negeri dan negara tujuan penempatan; b. edukasi keuangan agar Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dapat mengelola hasil remitansinya; dan c. edukasi kewirausahaan.

36

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan hukum, pelindungan sosial, dan pelindungan ekonomi bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/ atau Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain ketiga aspek yang ditambahkan dari definisi dan makna perlindungan dalam UU PPMI, pada bagian preamble UU (di bagian mengingat) disebutkan salah satu dasar hukum pembuatan UU PPMI juga melihat UU No 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Dengan adanya penyebutan Konvensi PBB 1990, arah UU PPMI diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan seperti Konvensi PBB 1990. Pelindungan bagi buruh migran Indonesia juga lebih diperkuat mulai dari proses migrasi di antara sebagai berikut : a. Penempatan Buruh Migran Meskipun tidak ada perbedaan dalam mekanisme penempatan di mana dalam UU PPMI juga mengakomodir lima mekanisme penempatan seperti yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya, yakni: G to G, penempatan melalui PPTKIS atau sekarang disebut sebagai Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) kepada pengguna berbadan hukum, penempatan P3MI kepada pengguna perseorangan, penempatan untuk kepentingan perusahaan sendiri dan penempatan secara perseorangan/mandiri. Namun terdapat perbedaan besar dalam melihat pihak yang melakukan penempatan buruh migran Indonesia. Dalam UU 39/2004, PPTKIS diberikan peran sangat besar mulai dari informasi, pendataan, 69


pendidikan dan pelatihan serta penyiapan dokumen kerja. Dalam UU PPMI, peran P3MI dipangkas sehingga hanya bertanggung jawab pada penempatan buruh migran saja. Hal itu dapat disebutkan peran P3MI hanya sebagai travel agent. P3MI tidak diperbolehkan lagi memberikan informasi, merekrut, mengurus dokumen dan mendidik buruh Migran Indonesia. Tugas dan tanggung jawab ini diserahkan kepada pemerintah terutama pemerintah daerah hingga pemerintah desa. Oleh karenanya, semangat UU PPMI tidak lagi sentralistik, di mana peran pemerintah pusat mendominasi seluruh urusan buruh migran tetapi menjadi desentralistik, yakni urusan ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah hingga desa. b. Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Definisi hak asasi manusia menurut UU No 39/1999 tentang HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) terdapat beberapa hak asasi yang dimiliki individu diantaranya hak atas jaminan kebutuhan pribadi, hak atas jaminan perlindungan hukum, hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya dan terakhir, hak atas jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan. Melihat isi pasal dari UU PPMI, terdapat penambahan hak asasi bagi buruh migran yang diakui oleh pemerintah dimana salah satu yang fundamental adalah hak berserikat, hak beribadah, hak untuk memperoleh penjelasan mengenai hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja dan hak memperoleh akses komunikasi. Selain diaturnya hak bagi buruh migran, juga terdapat hak bagi keluarga buruh migran yakni berupa jaminan atas perlindungan hukum, sosial dan ekonomi (pasal 3 huruf b), memperoleh informasi terkait dengan kasus, menerima harta benda buruh migran Indonesia yang meninggal, memperoleh salinan dokumen perjanjian kerja dan memperoleh akses informasi (pasal 6 ayat 3). Selain itu hak yang diterima keluarga buruh migran hak mendapatkan pemberdayaan (pasal 24 ayat 1 huruf e), hak atas jaminan sosial (pasal 29 ayat 1) dan mendapatkan reintegrasi sosial (pasal 34 huruf d). Bila dibandingkan pengakuan hak kepada keluarga buruh migran, pengakuan hak keluarga buruh migran dalam UU PPMI lebih luas. Sedangkan bila di dalam UU 39/2004, hak bagi keluarga buruh migran hanya sebatas mendapatkan peningkatan kesejahteraan dan mendapatkan informasi terkait kasus yang dialami buruh migran. 70


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan Pasal

Ayat

Hak buruh migran Indonesia (pasal 6 ayat 3)

Setiap Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia memiliki hak: a. mendapatkan pekerjaan di luar negeri dan memilih pekerjaan sesuai dengan kompetensinya; b. memperoleh akses peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan dan pelatihan kerja; c. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja, tata cara penempatan, dan kondisi kerja di luar negeri; d. memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi serta perlakuan tanpa diskriminasi pada saat sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja; e. menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut; f. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara dan/atau Perjanjian Kerja; g. memperoleh pelindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di negara tujuan penempatan; h. memperoleh penjelasan mengenai hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja; i. memperoleh akses berkomunikasi; j. menguasai dokumen perjalanan selama bekerja; k. berserikat dan berkumpul di negara tujuan penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tujuan penempatan; l. memperoleh jaminan pelindungan keselamatan dan keamanan kepulangan Pekerja Migran Indonesia ke daerah asal; dan/atau m. memperoleh dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia.

71


Hak keluarga buruh migran Indonesia

Pasal 6 ayat 3 (1) Setiap Keluarga Pekerja Migran Indonesia memiliki hak: n. memperoleh informasi mengenai kondisi, masalah, dan kepulangan Pekerja Migran Indonesia; o. menerima seluruh harta benda Pekerja Migran Indonesia yang meninggal di luar negeri; p. memperoleh salinan dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia; dan q. memperoleh akses berkomunikasi. Pasal 24 Ayat 1 huruf e Pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Pasal 29 ayat 1 Dalam upaya Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Pemerintah Pusat menyelenggarakan Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Pasal 35 huruf b Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pelindungan ekonomi bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia melalui: b. edukasi keuangan agar Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dapat mengelola hasil remitansinya; dan

c. Pendidikan dan Pelatihan Dalam pembukaan UUD 1945 di alinea ke 4 disebutkan bahwa tugas pemerintah salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Berpedoman dengan UUD 1945, tugas mencerdaskan buruh migran yang seharusnya menjadi tugas pemerintah, sayangnya semenjak UU 39/2004, tugas ini diserahkan kepada swasta (PPTKIS). Akibatnya, tidak sedikit kasus yang menimpa buruh migran karena buruh migran tidak dapat berkomunikasi dan bekerja di negara tujuan. Kemudian dalam UU PPMI, tugas mendidik dan melatih buruh migran tidak lagi diserahkan kepada swasta (P3MI) namun diserahkan kepada pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pasal 34). Pemerintah pusat dan daerah memiliki peranan yang sama dalam hal penyediaan dan memfasilitasi pelatihan calon buruh migran melalui pelatihan vokasi yang dananya diambil dari anggaran pendidikan ((pasal 39 huruf o, pasal 40 huruf g dan pasal 41 huruf i). Artinya tugas untuk penyediaan pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi sendiri adalah sistem pendidikan

72


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan tinggi yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu. Pendidikan vokasi mencakup program pendidikan diploma I (D1), diploma II (D2), diploma III (D3) dan diploma IV (D4). Sedangkan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/ kota) diberi kewenangan tambahan yakni menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja dilakukan oleh BLK ataupun swasta yang terakreditasi (pasal 40 huruf a dan pasal 41 huruf f). Artinya, pendidikan dan pelatihan buruh migran di dekatkan dengan tempat buruh migran berasal. Pasal

Ayat

Pasal 34

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pelindungan sosial bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia melalui: a. peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja melalui standardisasi kompetensi pelatihan kerja; b. peningkatan peran lembaga akreditasi dan sertifikasi; c. penyediaan tenaga pendidik dan pelatih yang kompeten; d. reintegrasi sosial melalui layanan peningkatan keterampilan, baik terhadap Pekerja Migran Indonesia maupun keluarganya; e. kebijakan pelindungan kepada perempuan dan anak; dan f. penyediaan pusat Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan penempatan.

Pasal 39 huruf o

Pemerintah Pusat memiliki tugas dan tanggung jawab: Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan.

Pasal 40 huruf a

Pemerintah Daerah provinsi memiliki tugas dan tanggung jawab: menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi;

Pasal 40 huruf g

Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan;

Pasal 41 huruf f

Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki tugas dan tanggung jawab: menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja kepada Calon Pekerja Migran Indonesia yang dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi;

73


Pasal 41 huruf i

Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan;

d. Pembiayaan Berbicara mengenai pembebanan biaya yang berkeadilan bagi buruh migran hingga saat ini belum terwujud. Alih-alih hampir sebagian besar buruh migran berada pada situasi overcharging/pembebanan biaya diluar ketentuan. Meskipun telah ada Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pembiayaan buruh migran yang bekerja di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan lain-lain, namun, praktik yang terjadi, buruh migran dikenai biaya yang lebih dari peraturan yang ada. Dalam UU PPMI, terdapat klausul agar buruh migran tidak mengalami masalah pembiayaan dengan adanya klausul buruh migran Indonesia tidak boleh dikenai biaya penempatan (pasal 30 ayat 1). Hal ini dapat diartikan biaya diluar biaya penempatan seperti dokumen jati diri dan lain-lain menjadi biaya buruh migran Indonesia. Namun sayangnya di ayat ke-dua-nya dibuka peluang untuk apa saja biaya penempatan yang tidak dibebankan atau dibebankan kepada buruh migran Indonesia melalui Peraturan Kepala Badan. Akibatnya, hingga kini penentuan biaya yang bisa dibebankan atau tidak, masih menjadi pembahasan pemerintah dalam membuat peraturan turunannya. Terdapat kekhawatiran bahwa buruh migran tidak dapat keluar dari jeratan biaya penempatan dan pembebanan berlebih. Meski demikian, dalam bagian pembiayaan, telah ada perbaikan bila dibandingkan antara UU PPMI dengan UU PPTKILN. Dalam UU PPTKILN meskipun sudah dijelaskan secara detail dan cukup rinci apa saja pembebanan yang perlu dibayarkan buruh migran Indonesia seperti pengurusan dokumen jati diri, pemeriksaan kesehatan dan psikologi dan pelatihan serta sertifikasi kompetensi, namun biaya penempatan yang disebabkan buruh migran Indonesia melalui peraturan turunannya, melebihi dari 3 mandat UU PPTKILN. Akibatnya, buruh migran berada dalam jeratan hutang selama bekerja dan rentan tereksploitasi. e. Jaminan Sosial Jaminan sosial bagi buruh migran Indonesia merupakan salah satu bentuk pelindungan pemerintah kepada buruh migran Indonesia. Praktik konsorsium asuransi yang sarat dengan keuntungan korporasi dan meniadakan pelindungan, menjadi salah satu catatan penting yang diperbaiki dalam UU PPMI. Oleh karenanya, agar buruh migran dapat mengakses program asuransi tanpa perantara seperti calo, broker atau sponsor, maka dalam UU PPMI dilakukan pengintegrasian

74


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan sistem jaminan sosial yang sudah ada bagi buruh dalam negeri dan dapat diakses oleh buruh luar negeri. Pemerintah telah membuat Permenaker No 7 tahun 2017 tentang BPJS Tenaga Kerja Indonesia. Penerbitan Permenaker ini patut diapresiasi dimana pemerintah telah berani mengubah para aktor yang terlibat di mana tidak lagi swasta melalui konsorsium TKI tetapi melalui BPJS dengan prinsip-prinsip salah satunya wali amanah. Meskipun demikian masih terdapat permasalahan bila dilihat dari regulasi Permenaker yang lahir sebelum UU PPMI disahkan. Beberapa temuan yang terinventarisir adalah sebagai berikut: 1. Manfaat BPJS Ketenagakerjaan yang diterima antara buruh dalam dan luar negeri tidak sama. Buruh migran Indonesia hanya mendapat dua manfaat dari empat manfaat (Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian) 2. Buruh migran Indonesia menanggung sendiri pembayaran iurannya. Namun jika di dalam negeri terdapat pembagian biaya antara pekerja dan pemberi kerja 3. Buruh migran Indonesia yang mengalami kecelakaan kerja dapat menerima klaim dari BPJS TKI namun sifatnya pengembalian, padahal tidak semua buruh migran Indonesia diasuransikan oleh majikan. 4. Jaminan Kecelakaan Kerja yang ditanggung bila buruh migran Indonesia mengalami cacat anatomi sedangkan kasus yang tidak berhubungan dengan kecelakaan anatomi tidak bisa dicakup oleh BPJS TKI seperti jantung bocor. 5. BPJS Ketenagakerjaan memiliki program return to work (RTW) tapi hanya bisa diakses buruh dalam negeri. 6. BPJS Ketenagakerjaan memiliki program PAK (Penyakit akibat kerja). Meski dalam mendapatkan klaim atas PAK ini bagi buruh dalam negeri juga membutuhkan analisis yang mendalam namun buruh dalam negeri dibuka peluangnya. Berbeda halnya bagi buruh migran Indonesia. Tidak ada peluang mengakses PAK, padahal buruh migran Indonesia membutuhkan pelindungan. 7. Cakupan dalam BPJS Ketenagakerjaan masih sangat minim bila dibandingkan dengan cakupan asuransi TKI yang mencapai 13 manfaat. 8. Permenaker No 7/2017 tidak mengatur adanya mekanisme banding bagi pencari keadilan dalam mengajukan klaim asuransi. Oleh sebab itu, diharapkan Permenaker dapat diubah untuk mengatasi permasalahan yang telah disampaikan diatas dan harus terharmonisasi dengan UU PPMI pasal 29.

75


Pasal 29

Ayat 1. Dalam upaya Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Pemerintah Pusat menyelenggarakan Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. 2. Penyelenggaraan program Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional. 3. Penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 4. Untuk risiko tertentu yang tidak tercakup oleh Jaminan Sosial, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dapat bekerja sama dengan lembaga pemerintah atau swasta. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia secara khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

f. Penanganan Kasus dan Bantuan Hukum Terdapat kemajuan dalam hal penanganan kasus dan bantuan hukum dalam UU PPMI. Pertama, Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) nomor 18 Tahun 2017 mengakui hak untuk memperoleh perlindungan dan bantuan hukum bagi pekerja migran. Hal ini tertuang di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g yakni : (1) Setiap Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia memiliki hak: g. memperoleh perlindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di negara tujuan penempatan. Kedua, UU PPMI mengakomodir hak mendapatkan pendampingan, mediasi, advokat selama bekerja di negara penempatan berupa fasilitas jasa advokat oleh pemerintah pusat dan/atau perwakilan Indonesia. Ketiga, adanya sanksi pidana bagi badan hukum, pejabat, dan individu. Sanksi pidana banyak diatur di dalam UU PPMI ini, yakni sanksi terhadap orang yang menempatkan pekerja migran yang tidak memenuhi persyaratan, orang perseorangan dan sanksi bagi pejabat yang sengaja memberangkatkan pekerja migran yang tidak memenuhi persyaratan dokumen, dan sengaja menahan pemberangkatan juga mendapat ancaman sanksi pidana. Keempat, dalam UU PPMI ruang untuk penyelesaian perselisihan tidak hanya secara musyawarah dan mediasi dengan melibatkan instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan tetapi juga dapat mengajukan ke pengadilan setempat. 76


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan Meski terdapat beberapa kelebihan namun ada beberapa kelemahan dari UU PPMI yang diharapkan dapat diperbaiki dalam peraturan turunannya. Beberapa kelemahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bantuan hukum dalam UU PPMI tidak diatur secara rinci mengenai bentuk layanan bantuan hukum yang didapat oleh buruh migran Indonesia. perlu diketahui, terdapat UU No 16 tahun 2011 tentang Undang-Undang Bantuan Hukum dimana dalam UU tersebut, negara diberi mandat untuk memberikan bantuan hukum bagi setiap warganya. 2. Meskipun telah diatur mengenai penyelesaian perselisihan mulai dengan menggunakan musyawarah, melalui dinas tenaga kerja setempat hingga gugatan ke pengadilan, namun dalam UU PPMI belum diatur mekanisme khusus untuk mendapatkan keadilan. Misalnya adalah ketika kasusnya perdata atau pidana. 3. Belum adanya aturan teknis untuk mengatur penyelesaian kasus dan bantuan hukum bagi buruh migran Indonesia. dikawatirkan bila tidak ada peraturan khusus tersendiri mengenai penyelesaian kasus dan bantuan hukum maka buruh migran Indonesia akan sulit mendapatkan hak-haknya dalam hal mengakses mekanisme bantuan hukum, pengadilan mana yang berwenang dan mekanisme restitusinya. 3.3.2 Peraturan Pemerintah Tidak Lagi Menggantung Jika UU PPTKILN dibandingkan dengan UU PPMI, terdapat perbedaan dalam pengaturan di peraturan penutupnya. Hal tersebut telah disebutkan di atas bahwa UU PPTKILN tidak mengatur batasan berapa lama peraturan turunan akan diselesaikan sehingga masih ada peraturan turunan yang disahkan setelah lebih dari 7 tahun UU PPTKILN disahkan dan diberlakukan, maka dalam UU PPMI, telah diatur mengenai batasan pembuatan peraturan turunan sehingga dengan adanya batasan ini, pemerintah harus membuat peraturan turunan ini sesuai dengan mandat UU PPMI. Dalam pasal 90 UU PPMI ditegaskan bahwa peraturan pelaksana dari UU harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak UU PPMI diundangkan. Dengan adanya ketegasan pasal ini, diharapkan implementasi dari UU PPMI dapat segera diwujudkan sebab UU PPMI masih bersifat umum dan membutuhkan banyak sekali peraturan turunan. Jaringan Buruh Migran, menginventaris sebanyak 28 peraturan turunan mandat dari UU PPMI untuk dibuat. Pemerintah sendiri di berbagai kesempatan akan mengefektifkan peraturan turunan sehingga tidak membuat 28 peraturan turunan namun hanya kurang lebih 14 peraturan turunan yang akan dibuat. 77


3.3.3 Koordinasi dan Pembagian Kewenangan antar Instansi Pemerintahan UU PPMI yang disahkan pada 22 November 2017 telah menjawab sebagian besar permasalahan kelembagaan bila dibandingkan dengan UU PPTKILN. Pertama, adanya distribusi kewenangan layanan migrasi buruh migran dari pemerintah pusat (sentralistik) kepada pemerintah daerah (desentralistik). Pembagian kewenangan ini diatur jelas di pasal 39 hingga pasal 43. Pembagian kewenangan ini tidak hanya di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan hingga tingkat desa. Desa diberi amanat untuk memberikan lima layanan perlindungan yakni pemberian informasi, verifikasi data dan pencatatan termasuk memfasilitasi pencatatan kependudukan PMI, pemantauan keberangkatan dan kepulangan hingga pemberdayaan.

78

Pasal

Ayat

Pemerintah Pusat (Pasal 39)

Pemerintah Pusat memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menjamin pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/ atau Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya; b. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan Pekerja Migran Indonesia; c. menjamin pemenuhan hak Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya; d. membentuk dan mengembangkan sistem informasi terpadu dalam penyelenggaraan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; e. melakukan koordinasi kerja sama antar instansi terkait dalam menanggapi pengaduan dan penanganan kasus Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia; f. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia bermasalah; g. melakukan upaya untuk menjamin pemenuhan hak dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia secara optimal di negara tujuan penempatan; h. menyusun kebijakan mengenai Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya; i. menghentikan atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia untuk negara tertentu atau pada jabatan tertentu di luar negeri; j. membuka negara atau jabatan tertentu yang tertutup bagi penempatan Pekerja Migran Indonesia; k. memberikan dan mencabut SIP3MI; l. memberikan dan mencabut SIP2MI;


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan m. melakukan koordinasi antar instansi terkait mengenai kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; n. mengangkat pejabat sebagai atase ketenagakerjaan yang ditempatkan di kantor Perwakilan Republik Indonesia atas usul Menteri; dan o. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan. Pemerintah Daerah Provinsi (Pasal 40)

Pemerintah Daerah provinsi memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi; b. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya; c. menerbitkan izin kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; d. melaporkan hasil evaluasi terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia secara berjenjang dan periodik kepada Menteri; e. memberikan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah bekerja; f. menyediakan pos bantuan dan pelayanan di tempat pemberangkatan dan pemulangan Pekerja Migran Indonesia yang memenuhi syarat dan standar kesehatan; g. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; h. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan Pekerja Migran Indonesia; dan dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di tingkat provinsi.

Pemerintah Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki tugas dan Daerah tanggung jawab: Kabupaten/Kota a. menyosialisasikan informasi dan permintaan Pekerja Migran (Pasal 41) Indonesia kepada masyarakat; b. membuat basis data Pekerja Migran Indonesia; c. melaporkan hasil evaluasi terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia secara periodik kepada Pemerintah Daerah provinsi;

79


d. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya; e. memberikan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah bekerja di daerah kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewenangannya; f. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja kepada Calon Pekerja Migran Indonesia yang dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi; g. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja di kabupaten/kota; h. melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya; i. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; j. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan Pekerja Migran Indonesia; dan k. dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah Desa (Pasal 42)

Pemerintah Desa memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; b. melakukan verifikasi data dan pencatatan Calon Pekerja Migran Indonesia; c. memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan Calon Pekerja Migran Indonesia; d. melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan Pekerja Migran Indonesia; dan e. melakukan pemberdayaan kepada Calon Pekerja Migran Indonesia, Pekerja Migran Indonesia, dan keluarganya.

Kedua, pembagian peran pemerintah dalam hal mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi lebih jelas. Pada pasal 45, kewenangan untuk mengatur, membina dan mengawasi adalah tugas dari Kementerian Ketenagakerjaan. Sedangkan kewenangan untuk melaksanakan kebijakan yang 80


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan didalamnya termasuk menyelenggarakan pelayanan penempatan (G to G) dilakukan oleh Badan. Diharapkan dengan pembagian kewenangan antara regulator dan operator yang lebih jelas ini, maka kerja pemerintah lebih maksimal. Ketiga, konflik kelembagaan yang terdahulu antara BNP2TKI dan Kemenaker telah terselesaikan melalui pasal 46 ayat 2 yang mana kedudukan badan meskipun tetap diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden, namun dalam mekanisme kerja tidak lagi di “koordinasikan” tetapi “melalui” Menteri . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata dikoordinasikan tidak jelas apakah mempunyai makna mengatur atau melakukan koordinasi. Sedangkan “melalui” menurut KBBI dapat diartikan “melewati”. Diharapkan dengan melalui, hubungan Badan dengan Menteri lebih jelas dalam hal melakukan kerjasama dalam tata kelola migrasi PMI. Keempat, tugas pembinaan yang didalamnya memuat unsur koordinasi dalam UU PPMI di pasal 75 ayat 1 dan 2 tidak lagi dilakukan oleh dua instansi seperti UU 39/2004 melainkan satu instansi yakni pemerintah pusat dan daerah termasuk fungsi pengawasan. Dengan diberikan tugas koordinasi dan pengawasan kepada pemerintah pusat dan daerah, dapat disimpulkan bahwa kewenangan Badan sebagai pelaksana kebijakan termasuk tugas pengawasan pelaksanaan jaminan sosial yang ada di tingkat daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pasal 47 UU PPMI). Kelima, dalam UU PPMI diatur mengenai Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) baik ditingkat provinsi dan kabupaten/kota (pasal 38). Meskipun mandat LTSA bersifat optional, namun diharapkan LTSA yang ada benar-benar memberikan kemudahan pelayanan tidak hanya administrasi tetapi juga bantuan hukum bagi buruh migran sehingga buruh migran Indonesia menerima manfaat dari keberadaan LTSA yang ada dan mulai mengurus dokumen kerjanya sendiri. Diharapkan dalam LTSA, tidak ada lagi pungli dan transparan tapi juga berperspektif pelayanan publik yang ramah dan non diskriminasi bagi buruh migran Indonesia. 3.3.4 Pengawasan bagi Pelindungan Buruh Migran Indonesia Dalam UU PPMI diatur mengenai pengawasan bagi buruh migran sama halnya dengan UU 39/2004 yang terdahulu. Namun sayangnya dalam UU PPMI prinsip pengawasan yang tertuang masih sangat umum meskipun telah disebutkan juga peran serta masyarakat dalam proses pengawasan (pasal 76). Berkaca dari PP Pengawasan TKI (peraturan turunan UU 39/2004), kedepan untuk optimalisasi implementasi UU PPMI, diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai

81


pengawasan. Bila dalam PP No 4 Tahun 2015 telah mengatur mengenai ruang lingkup pengawasan, mekanisme pengawasan dan mekanisme koordinasi antar instansi baik dari tingkat daerah hingga di luar negeri, maka PP Pengawasan yang terbaru selain mengatur tiga hal ini juga harus mengatur mengenai alur, tata cara pengawasan yang lebih detail, mekanisme pelaporan kepada publik dan koordinasi dengan lembaga lain terkait dengan pengawasan ketenagakerjaan PMI, termasuk mekanisme pelibatan masyarakat sipil dalam proses pengawasan. Selain itu, meski telah disebutkan peran kelembagaan pemerintah baik di daerah maupun pusat dalam penanganan kasus seperti yang tertuang di pasal 77 UU PPMI, namun peran-peran yang ada masih sebatas pada pengawasan ketenagakerjaan saja dan tidak pada penyelesaian perselisihan seperti bila melihat pada UU No 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial. Dimana meskipun UU PPHI juga belum mampu memberikan perlindungan maksimal kepada buruh dalam negeri, namun dalam UU PPHI, peran pemerintah terlibat dalam proses penyelesaian perselisihan ada. Yang mana peran pemerintah tidak hanya sebagai pengawas ketenagakerjaan saja tetapi pemerintah juga terlibat aktif melalui dikeluarkannya nota upaya penyelesaian yang tidak tercapai antar pihak sehingga pemerintah dilibatkan ketika kasus dibawa di pengadilan (pasal 4 dan 5 UU PPHI). 3.3.5 Perspektif Gender dalam UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Perspektif gender dalam seluruh kebijakan seharusnya menjadi penting terlebih bila undang-undang tersebut mengatur mengenai pelindungan warga yang mayoritas adalah perempuan. Dalam konteks migrasi ketenagakerjaan, belum ada satupun kebijakan dikeluarkan baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya yang menggunakan indikator kesetaraan gender dan keadilan gender. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan lakilaki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Adapun indikator kesetaraan gender mencakup 4 hal yakni:

82


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan 1. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya yang akan dibuat. Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi anak didik adalah akses memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk anak didik perempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara atau tidak. 2. Partisipasi adalah keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di tempat yang sama atau tidak. 3. Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini apakah pemegang jabatan tertentu sebagai pengambil keputusan didominasi oleh gender tertentu atau tidak. 4. Manfaat adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Keputusan yang diambil oleh sekolah memberikan manfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki atau tidak.9 Selain kesetaraan gender juga diperlukan kebijakan yang berkeadilan gender, di mana tidak ada ketimpangan perlakuan yang menyebabkan ketidakadilan dan kekerasan bagi perempuan dan laki-laki. UU PPMI telah mengakomodir beberapa aspek dalam kesetaraan gender dimana tertuang pada penjelasan pasal 2 huruf f mengenai asas kesetaraan dan keadilan gender. Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa asas kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu keadaan pada saat perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak asasi dan potensinya untuk bekerja ke luar negeri. Selain itu UU PPMI sudah menghapus larangan bagi ibu hamil bekerja keluar negeri seperti yang tertuang dalam UU PPTKILN. Meskipun telah disebutkan mengenai asas kesetaraan dan keadilan gender dalam UU PPMI serta tugas pemerintah pusat dan daerah untuk membuat kebijakan perlindungan kepada perempuan dan anak (pasal 34 huruf e), namun masih perlu dikaji lebih mendalam apakah implementasi UU PPMI benar-benar berkeadilan gender dengan menggunakan indikator adil gender. 9 https://tipsserbaserbi.blogspot.com/2016/10/pengertian-gender-kesetaraan-gender-dan-istilahterkait.html (diakses pada 29 Agustus 2018)

83


3.4 Prinsip-Prinsip Perlindungan Hak Buruh Migran menurut Konvensi Migran 1990 Melalui kacamata Internasional, berbagai persoalan yang muncul dari dampak arus pekerja yang melintas batas negara serta jaminan terhadap pemenuhan dan perlindungan hak pekerja migran telah diatur dalam Konvensi PBB 1990 mengenai Perlindungan Hak bagi Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Konvensi ini dibentuk dan disepakati dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hak asasi manusia, khususnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional tentang Hak sipil dan Politik, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Konvensi Hak Anak. Dengan meyakini bahwa hak pekerja migran dan anggota keluarganya belum diakui secara memadai dimanapun juga, karenanya membutuhkan perlindungan internasional yang layak pada hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, menegaskan kembali dan menetapkan norma-norma dasar dalam konvensi yang menyeluruh yang dapat diterapkan secara universal. Hal itu menyebabkan tidak hanya negara peserta yang dapat meratifikasi konvensi tersebut, namun terbuka untuk semua negara non-peserta. Seperti diatur dalam Pasal 86 ayat (1) yang menyatakan bahwa konvensi tersebut terbuka untuk ditandatangani oleh semua negara dan harus melalui proses ratifikasi untuk memberlakukannya sebagai hukum nasional suatu negara.10 a. Prinsip kewajiban Negara timbul sebagai konsekuensi logis dari adanya ketentuan menurut hukum HAM Internasional bahwa individu adalah pihak pemegang HAM (right bearer) sedangkan posisi negara adalah pihak pemegang kewajiban (duty bearer) terhadap HAM, yaitu kewajiban untuk: 1. Melindungi (to protect) 2. Menghormati (to respect) 3. Memenuhi (to fulfil) 4. Menyebarluaskan (to promote) 5. Mengembangkan (to enhance)

10 “Harmonisasi Aturan Hukum Pekerja migran Antara International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families dan Undang-Undang Nasional�, Nurdin Muslim, diunggah pada 27 Agustus 2018

84


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan Menurut hukum internasional, kewajiban diatas merupakan kewajiban yang bersifat erga omnes atau kewajiban bagi Negara jika menyangkut norma-norma HAM yang bersifat sebagai jus corgens (peremptory norms) yaitu prinsip fundamental hukum internasional yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai dasar untuk pemeliharaan tatanan hukum internasional, misalnya larangan melakukan penyiksaan, kerja paksa, perbudakan, dan genosida. Negara-Negara Pihak wajib mengambil kebijakan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diterapkan pada warga negaranya untuk memastikan bahwa kondisi kerja dan kehidupan para pekerja migran dan anggota keluarganya yang berada dalam situasi reguler memenuhi standar kebugaran, keselamatan, kesehatan dan prinsip-prinsip martabat manusia. Hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya yang ditentukan dalam Konvensi ini tidak dapat dicabut, tidak dibolehkan untuk melakukan segala bentuk tekanan terhadap para pekerja migran dan anggota keluarganya dengan maksud agar mereka melepaskan atau menghilangkan segala hak-hak di atas, tidak dimungkinkan untuk mengurangi hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini melalui perjanjian. NegaraNegara Pihak juga wajib mengambil kebijakan yang tepat untuk memastikan dihormatinya prinsip-prinsip yang termuat dalam Konvensi antara lain: b. Prinsip Kesetaraan dan Non Diskriminasi, merupakan bagian dari pengakuan, penghormatan dan pemenuhan atas seluruh hak pekerja migran dan anggota keluarganya dan harus berlaku tanpa adanya perbedaan berdasarkan jenis kelamin, usia, ras, suku, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik, kedudukan ekonomi, asal-usul etnis atau status sosial, status perkawinan, kelahiran dan kewarganegaraannya, atau lain-lain. Prinsip ini dikenal juga sebagai universalisme HAM yang menekankan bahwa manusia berkedudukan setara menyangkut harkat dan martabatnya. Prinsip yang bersifat umum ini terdapat di hampir semua hukum internasional tentang HAM dan diterapkan ke dalam hak-hak lainnya secara lebih luas. Oleh karena itu, Negara-negara pihak wajib mengharmonisasikan prinsip ini ke dalam hukum nasional yang mengatur tentang sistem penempatan dan pelindungan di semua tahap migrasi sejak pra keberangkatan hingga proses reintegrasi dengan keluarga dan komunitasnya. c. Prinsip Keadilan Gender dan Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah sebuah prinsip yang menimbulkan kewajiban bagi Negara-Negara Pihak untuk menghadirkan upaya memberikan keadilan dan menghargai 85


perbedaan dalam peran sosial budaya, kebutuhan, kesempatan, hambatan dan kerentanan antara perempuan dan laki-laki. Prinsip ini merupakan turunan dari prinsip kesetaraan dan dikenal dengan second principle of justice yang mengakui peran dan pelibatan perempuan secara setara dalam hal akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Prinsip ini juga memberi perhatian khusus tentang kekerasan baik fisik, psikis, seksual yang dialami oleh perempuan pekerja migran11 termasuk menyediakan mekanisme penanganan yang sensitif dan responsif gender kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan dari lapis identitas yang dimilikinya yaitu sebagai perempuan, pekerja dan warga negara. Dalam hal gender, tubuh yang berbeda berdampak pada pembagian kerja, akses pada fasilitas kesehatan, dan pelayanan publik lainnya. Hukum nasional terkait pelindungan pekerja migran perlu memasukkan prinsip ini untuk memastikan bahwa keberagaman tubuh dan peran sosial yang dipilih perempuan akan dilindungi oleh negara meskipun tubuh dan pilihan tersebut tidak dihargai dalam keluarga atau tradisi. d. Prinsip Anti Perbudakan dan Perdagangan Manusia. Kerentanan pekerja migran terhadap praktik perdagangan manusia sangat tinggi terjadi untuk berbagai tujuan eksploitasi seperti kerja paksa, kawin kontrak, hingga penjualan organ. Data pemerintah maupun laporan kasus yang dihimpun berbagai organisasi pemerhati pekerja migran menunjukkan bahwa kasus yang menimpa pekerja migran mayoritas memenuhi unsur-unsur terpenuhinya tindak pidana perdagangan orang.12 IOM mendata jumlah korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sejak 2005 hingga 2015 11 Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 1992, menyebutkan definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun kehidupan pribadi. 12 Unsur-unsur perdagangan orang termuat dalam definisi menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu “Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi�.

86


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan sebanyak 48% yang direkrut oleh calo dan 36% direkrut oleh PPTKIS.13 Data ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan adanya keterlibatan penyalur resmi yang merekrut korban. Beberapa PPTKIS berkolusi dengan mitra bisnis setempat melakukan cara-cara beroperasi yang mirip dengan sindikat perdagangan orang, mulai dari menahan dokumen perjalanan, menampung dan memindahkan, bujuk rayu hingga ancaman kekerasan dengan tujuan eksploitasi. Situasi ini bisa menjadi lebih buruk lagi bagi PRT Migran yang tidak berdokumen. Tanpa pelindungan hukum, perempuan buruh migran tidak berdokumen semakin rentan menjadi korban perdagangan orang. Karena itu, setiap regulasi pelindungan pekerja migran perlu mempertimbangkan kerentanan khusus ini serta dapat memberikan jaminan untuk meminimalisir terjadinya perdagangan pekerja migran di keseluruhan proses migrasi misalnya dengan mengatur sanksi yang tidak saja dapat menjerat pelaku perseorangan namun juga korporasi dan pejabat negara yang memfasilitasi terjadinya praktik perdagangan orang. Sementara porsi kewenangan untuk pengaturan sanksi dan penegakan hukumnya dapat melibatkan pemerintah daerah melalui UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum diimplementasikan secara maksimal khususnya pada penanganan kasus perdagangan pekerja migran. Masih banyak aparat hukum baik pusat maupun daerah yang belum memahami UU PTPPO dan bahkan enggan menggunakan kebijakan ini pada kasus yang dialami pekerja migran. Pemerintah juga masih menafikkan bahwa praktik perdagangan manusia sangat rentan dan kerap terjadi, terutama pada sistem penempatan pekerja migran yang berlaku saat ini. e. Prinsip Aksesibilitas terhadap Informasi dan Layanan. Artinya kebijakan nasional harus menjamin kemudahan akses dan layanan untuk para pekerja migran maupun anggota keluarganya untuk mendapatkan informasi maupun penjelasan terutama baik tentang proses atau tahap migrasi yang aman, dokumen-dokumen persyaratan bekerja, negara tujuan, fasilitas jaminan sosial, termasuk hak-hak sebagai pekerja migran. Selama ini, pekerja migran seringkali menghadapi kesulitan untuk memperjuangkan

13 IOM 2015, Menghentikan Eksploitasi Migran, Newsletter IOM – Maret, link: http://indonesia.iom.int/ sites/default/files/Newsletter%20-%20Maret%202015%20-%20Indonesian.pdf

87


haknya hanya karena tidak mendapat akses informasi yang benar, utuh dan mudah mengenai proses migrasi yang akan dijalani atau prosedur untuk melaporkan atau mengurus masalah yang dihadapinya. Hingga saat ini, masih banyak calon pekerja migran yang hanya dapat mengandalkan agen perekrut (sponsor atau calo) untuk berbagai informasi mengenai proses dan pengurusan dokumen-dokumen persyaratan dari desa hingga pusat. Hal ini akhirnya dapat membuat calon pekerja migran bergantung sepenuhnya pada agen perekrut sehingga rentan dan mudah menjadi target penipuan atau dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan bagi pelaku. Kebijakan nasional terkait perlindungan pekerja migran perlu memperhatikan kondisi di atas sebagai rujukan dalam membuat sebuah sistem informasi yang mudah, ramah, dan murah dari desa, pusat, hingga negara tujuan bagi pekerja migran dan anggota keluarganya. f. Prinsip Persamaan Kedudukan di Depan Hukum dan Pemerintahan. Prinsip turunan dari dua prinsip utama ini dapat diartikan bahwa konvensi memberikan jaminan bagi pekerja migran untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan warga negara lainnya di negara asal maupun negara tujuan dalam mengakses layanan bantuan hukum maupun jaminan keadilan dalam setiap proses hukum yang dihadapinya. Pekerja migran yang kebanyakan berasal dari keluarga miskin seringkali kesulitan untuk memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum karena berbagai kondisi antara lain tidak terjangkaunya biaya jasa pengacara atau tidak tersedianya layanan bantuan hukum yang ramah bagi pekerja migran dan keluarganya baik dari pemerintah negara asal maupun negara tempat bekerja. Beberapa kasus pekerja migran yang berhadapan dengan hukum di negaranya maupun Negara tujuan minim menghasilkan putusan yang berpihak pada pekerja migran, bahkan terdapat putusan yang justru mengkriminalisasi pekerja migran itu sendiri. Untuk itu, prinsip ini diperlukan dalam setiap regulasi perlindungan pekerja migran agar setiap pekerja migran terjamin haknya terkait perlakuan yang sama di depan hukum pada semua tingkatan. Regulasi tersebut juga harus menyediakan kejelasan upaya pembelaan dan penegakan hukum dengan menjunjung tinggi prinsip imparsialitas yang berpihak pada pemenuhan hak-hak pekerja migran maupun keluarganya.

88


Bab III - Tinjauan Kebijakan Migrasi Ketenagakerjaan g. Prinsip Otonomi Daerah. Prinsip ini pada dasarnya adalah agar regulasi yang disusun perlu mempertimbangkan kekhasan daerah asal pekerja migran

dan

menggarisbawahi

bahwa

persoalan

migrasi

memiliki

keterkaitan dengan berbagai persoalan di masing-masing daerah. Untuk itu, penting menghubungkan dengan persoalan lainnya di daerah dan mensinergikan dengan aturan-aturan yang lain demi menghasilkan solusi yang komprehensif terkait sistem pelayanan migrasi ketenagakerjaan, misalnya migrasi sangat erat kaitannya dengan persoalan kependudukan dan pengembangan ekonomi di daerah dan sebagainya. Sebuah regulasi di tingkat daerah hendaknya mempertimbangkan kekhasan serta kebutuhan yang spesifik dalam menjalankan sistem tata kelola migrasi di tingkat daerah. Kewajiban negara dalam menyediakan sistem tata kelola migrasi ketenagakerjaan yang berperspektif HAM diatur dalam Bab IV yang menetapkan negara-negara pihak wajib memajukan “kondisi yang baik, setara, manusiawi, dan berdasar hukum� bagi migrasi internasional pekerja migran dan anggota keluarganya. Persyaratan in mencakup pembuatan kebijakan tentang migrasi; pertukaran informasi dengan negara-negara pihak lainnya; ketentuan mengenai informasi pada para majikan, pekerja dan organisasinya mengenai kebijakan, hukum, dan peraturan-peraturan; dan bantuan pada pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi ini juga menetapkan sejumlah aturan mengenai praktik rekrutmen pekerja migran hingga kepulangan pekerja migran ke negara asal termasuk langkah-langkah detail yang harus diambil pemerintah untuk meminimalisir pekerja migran tidak berdokumen. 3.5 Ringkasan Berdasarkan ulasan di atas, meskipun Indonesia telah menetapkan UU nomor 6 tahun 2012 tentang ratifikasi konvensi mengenai pelindungan seluruh hakhak pekerja migran dan anggota keluarganya, jika diteliti lebih mendalam dari ketentuan yang lama maupun yang baru, prinsip-prinsipnya masih jauh dari harapan kebiasaan internasional. Prinsip yang paling kentara telah melenceng ialah mengenai pengaturan mengenai eksistensi perempuan migran yang masih dibedakan perlakuan pelayanan migrasi daripada kelompok laki-laki. Hal ini berarti bahwa meskipun UU nomor 6 tahun 2012 telah menjadi konsideran dalam UU PPMI tidak serta merta semua prinsip dan norma dalam kebiasaan internasional

89


diakui dan diatur di dalam UU PPMI. Jika dalam perumusan peraturan perundangundangan, pemerintah telah gagal memahami mengenai prinsip kebebasan dan kesetaraan, maka tentunya akan sulit bagi pemerintah melaksanakan pelindungan yang berpihak bagi seluruh hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya.

90


BAB IV

PELAKSANAAN PELAYANAN MIGRASI KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ASAL BURUH MIGRAN 4.1 Pendahuluan Sebagaimana yang telah diulas pada bagian sebelumnya bahwa kajian ini mengambil lokasi sasaran di Indramayu, Jawa Barat; Banyuwangi, Jawa Timur; dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jawa Barat dipilih merupakan daerah asal buruh migran yang tertinggi. Tambahan lagi, Jawa Barat merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan ibukota negara di mana pusat pemerintahan terletak di Jakarta. Jawa Barat juga telah memiliki peraturan daerah nomor 9 tahun 2013 tentang Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Jawa Barat. Sementara itu, untuk pemerintah daerah kabupaten yang dipilih, yakni Indramayu merupakan daerah yang tertinggi jumlah buruh migrannya secara nasional. Berkenaan dengan karakteristik pelayanan, di Jawa Barat telah tersedia BP3TKI Bandung sebagai representasi atau perangkat BNP2TKI yang memiliki fungsi koordinasi lintas kabupaten/kota di Jawa Barat. Sementara itu, di Indramayu tidak tersedia P4TKI yang merupakan perangkat BNP2TKI yang berada di tingkat kabupaten/kota. Malahan, sejak 2015 lalu pemerintah kabupaten Indramayu telah mendirikan dan mengoperasikan LTSP di bawah koordinasi Dinas Tenaga Kerja setempat sebagai pusat pelayanan migrasi ketenagakerjaan yang terintegrasi. Sedangkan dua desa dipilih yakni Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat dan Desa Majasari, Kecamatan Sliyeg merupakan representasi desa padat buruh migran dan desa yang telah berinovasi untuk pelindungan buruh migran secara berturut-turut. Berkenaan daerah asal yang dipilih selanjutnya Jawa Timur karena karakteristik pelayanan yang sebelumnya telah dikembangkan oleh pemerintah daerah provinsi Jawa Timur. Pemerintah provinsi, sebelumnya, telah mendirikan UPT P3TKI Jawa Timur di bawah koordinasi Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur. Namun,

91


setelah Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2004 tentang Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Asal Jawa Timur direvisi menjadi peraturan daerah nomor 4 tahun 2016 tentang Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, peran UPT P3TKI dilebur. Sebagai penggantinya, di tahun 2017 Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur memodifikasi UPT P3TKI menjadi Pusat Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PTSP P2TKI). Di sisi lain, BNP2TKI telah mengoperasikan Loka Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (LP3TKI) Surabaya. Sedangkan di tingkat pemerintah kabupaten, kajian ini menentukan Kabupaten Banyuwangi karena daerah ini memiliki karakteristik pelayanan yang inovatif dan terobosan yang telah diakui dengan memperoleh pelbagai penghargaan, baik itu dari pemerintah maupun swasta, sebagai daerah yang paling inovatif dalam melaksanakan pelayanan publik. Sedangkan dua desa yang mewakili Banyuwangi untuk dijadikan sebagai lokasi kajian ialah Desa Pakistaji, Kecamatan Kabat dan Desa Tamanagung, Kecamatan Cluring. Kedua desa merupakan penerima sasaran dua program yang berbeda, Desa Pakistaji penerima manfaat program Smart Kampung yang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, sementara Desa Tamanagung merupakan penerima manfaat program Desa Migran Produktif (Desmigratif) yang dikembangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Nusa Tenggara Timur dipilih di dalam kajian ini karena merupakan daerah terluar dan memiliki jarak dengan ibukota yang sangat jauh. Jika dilihat dari coraknya, Nusa Tenggara Timur merupakan kawasan daerah dengan kepulauan. Dalam konteks migrasi ketenagakerjaan, Nusa Tenggara Timur, demikian juga, dilabeli sebagai daerah dengan tingkat migrasi tidak prosedural tertinggi yang disertai dengan praktik tindak pidana perdagangan orang. Berkaitan dengan kelembagaan pelayanan migrasi ketenagakerjaan, di tingkat provinsi telah tersedia BP3TKI Kupang sebagai perangkat BNP2TKI. Sementara itu, Kabupaten Kupang dipilih sebagai representasi di tingkat kabupaten, di mana pelayanannya bersifat konvensional dengan memaksimalkan peran dinas tenaga kerja setempat. Sedangkan di level pemerintah desa, Kelurahan Buraen dan Desa Sonraen yang terletak di Kecamatan Amarasi Selatan telah ditentukan dalam penggalian informasi dan data dalam kajian ini. 4.2 Desa sebagai Gerbang Pertama Proses Migrasi Ketenagakerjaan Dalam kaitan migrasi ketenagakerjaan internasional, peran desa agaknya telah diabaikan oleh UU nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri (PPTKILN). Hal ini boleh

92


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran terlihat di dalam kepengaturan UU PPTKILN yang mengeluarkan peran desa untuk menjadi bagian dari kelembagaan yang mengurusi migrasi ketenagakerjaan. Dengan kata lain secara implisit hendak menyampaikan bahwa konteks migrasi ketenagakerjaan internasional ini telah melampaui kewenangan berskala lokal desa sehingga peranannya tidak dimasukkan ke dalam aturan pokok pengelolaan migrasi ketenagakerjaan internasional di Indonesia. Hal ini terjadi karena pada waktu itu desa belum sepenuhnya diberikan kewenangan secara mandiri yang dapat menyelenggarakan, menata, membina dan memberdayakan desa (asas subsidiaritas desa).1 Ketentuan itu masih dapat dirasakan oleh kehadiran UU Pemerintahan Daerah yang semakin memperjelas posisi desa yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat menugaskan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kepada desa.2 Aspek yang demikian ini membuat desa hanya menjalankan urusan sisa dari pemerintah di atasnya. Pasca penetapan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa telah dinyatakan secara jelas bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,3 di mana desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota.4 Sementara itu, dalam konteks migrasi ketenagakerjaan, bahwa kebanyakan buruh migran kita berasal dari desa. Dengan demikian, migrasi ketenagakerjaan internasional tidak dapat dipisahkan dari kesatuan masyarakat yang inheren untuk memperoleh pelayanan berskala lokal desa ketika menjalani proses atau tahapan migrasi. Jika merujuk UU Desa beserta aturan turunannya, di dalamnya dapat diidentifikasi bahwa terdapat empat kewenangan berskala lokal desa yang boleh diselenggarakan dan diatur oleh pemerintah desa berkaitan dengan migrasi ketenagakerjaan, yakni diseminasi informasi, pendataan, pelayanan pengaduan masyarakat dan pemberdayaan.5 Pengalaman yang terjadi dalam kaitan pelayanan migrasi ini lebih bersifat 1 Di dalam penjelasan UU nomor 6 tahun 2014, asas subsidiaritas berarti penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa 2 Pasal 372 ayat (1) UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 3 Pasal 1 ayat (1) UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa 4 Pasal 5 UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa 5 Pasal 8 jo pasal pasal 13 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Lokal Desa

93


kewenangan yang ditugaskan oleh ketentuan di atasnya melalui asas pembantuan. Pelayanan desa yang dimaksud meliputi pemberian ijin orang tua/wali/suami/ istri ketika calon buruh migran hendak berangkat ke luar negeri.6 Demikian pula syarat lain mengenai perlunya Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)7 yang mengharuskan calon buruh migran berurusan dengan pemerintah desa. Dua buah persyaratan tersebut memerlukan pengesahan pemerintah desa. Kejadian tersebut belum sepenuhnya dianggap sebagai peristiwa kependudukan oleh desa yang pada akhirnya pemerintah desa hanya sebatas mencatat saja, tanpa harus melayani aspek lain yang sesuai dengan kewenangan berskala lokal desa. Seperti halnya yang terjadi di Desa Dadap di Kabupaten Indramayu, lampiran pengesahan seperti salinan identitas perekrut, surat izin perekrutan dan profil perusahaan perekrut hanya dibiarkan bertumpuk begitu saja. Malahan, acap kali dijumpai bahwa warga yang meminta pengesahan perijinan kepada desa tidak menyertakan lampiran-lampiran seperti salinan penawaran kerja, salinan surat ijin perekrutan dan profil perusahaan perekrutan. Dengan tidak mencatatnya secara rapi, Desa Dadap, bahkan, tidak mengetahui berapa jumlah warganya yang bekerja di luar negeri. Desa Dadap hanya mampu memperkirakan jika saat ini sekitar empat ribu warganya sedang berada di luar negeri dari jumlah keseluruhan penduduk Desa Dadap lebih dari 17 ribu jiwa.8 Selama ini, pemerintah desa Dadap hanya menggantungkan segala layanan dan informasi dari Dinas Tenaga Kerja kabupaten Indramayu yang berkaitan dengan informasi data warganya di luar negeri dan jenis pekerjaan warganya. Meski demikian, dengan kondisi tersebut, Desa Dadap juga tidak pernah meminta informasi tersebut untuk kepentingan pendataan. Kotak 4.1 Robidin mengaku jika motivasi berangkat ke Taiwan berdasarkan anjuran dari orang tuanya. Kebetulan orang tuanya adalah mantan BMI Qatar. Alasan lainnya bahwa Robidin ingin membantu perekonomian orang tuanya dan sebagai bekal untuk menikah kelak. Awalnya Robidin disarankan untuk bekerja ke Qatar, akan tetapi sponsor di sekitar rumahnya mengatakan bahwa lowongan pekerjaan di Qatar tidak tersedia, lalu sponsor menawarkan pekerjaan di Taiwan. Robidin menerima tawaran tersebut karena sponsor mengatakan bahwa di Taiwan,

6 Pasal 13 huruf (b) UU nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia 7 Pasal 11 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri 8 Wawancara dengan Bukhori, Juru Tulis/Mantan Sekretaris Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu pada Rabu 27 September 2017 di kantor Desa Dadap.

94


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran tentunya, lebih besar pendapatannya jika dibandingkan dengan Qatar. Sponsor mengatakan kepada Robidin bahwa biaya penempatan Taiwan sebesar 28 juta rupiah. Berkaitan dengan hal ini terjadi proses tawar menawar antara Robidin dan sponsor hingga terjadi kesepakatan bahwa pembiayaannya sebesar 27 juta rupiah. Pada saat pendaftaran, Robidin menyerahkan uang sebesar 17 juta rupiah sebagai tanda kesepakatan proses keberangkatan ke Taiwan. Robidin mengawali proses pemeriksaan kesehatan di Indramayu dengan biaya sendiri lalu melanjutkan pembuatan paspor di Pemalang dengan biaya 1 juta rupiah yang didampingi oleh jasa pembuatan paspor. Robidin, kemudian, membayarkan biaya penempatan yang kedua sebesar 10 juta rupiah kepada sponsor. Selama proses sebelum keberangkatan, Robidin mengaku hanya mendatangi kantor kuwu/ kepala desa saja untuk meminta surat ijin. Robidin juga mengatakan tidak pernah mendatangi dinas tenaga kerja kabupaten Indramayu. Robidin, setelah itu, berangkat ke Bekasi menuju PT BSA. Di tempat itu, sempat terjadi perselisihan karena PT BSA mengklaim belum menerima biaya penempatan dari Robidin. Akhirnya, perselisihan tersebut diselesaikan karena Robidin menyampaikan ke media sehingga situasinya menjadi ramai. Robidin menjalani proses PAP di BNP2TKI. Padahal, sebelumnya, Robidin mengaku tidak pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan di PT BSA. Robidin menunggu di rumah untuk pengesahan visa kerja dari Taiwan. Setelah itu diberangkatkan ke Taiwan, Robidin mengaku dipekerjakan di pabrik karung goni. Jenis pekerjaan tersebut berbeda dengan yang dijanjikan karena PT BSA dan sponsor sebelumnya menjanjikan di pabrik plastik. Robidin dipotong gajinya sebesar NT 5.573 selama 10 bulan. Selain itu, terdapat pula potongan untuk pemeriksaan kesehatan ketika baru tiba di Taiwan sebesar NT 2.000. Kemudian terdapat potongan lagi sebesar NT 1.800 selama tahun pertama, NT 1.700 selama tahun kedua dan NT 1.500 selama tahun ketiga. Adapun potongan lainnya, Robidin diharuskan membayar asuransi kesehatan sebesar NT 284 setiap bulan. Robidin mengaku bahwa pekerjaannya sangat berat dan bahkan dirasa seperti tidak ada hari libur. Adapun hari libur itu dinilai sebagai lembur dan pekerjaan itu bukanlah pilihan melainkan pekerjaan wajib dikerjakan oleh setiap pekerja. Setiap pekerja yang tidak mengikuti lembur juga dikenakan sanksi. Walaupun demikian, perhitungan lembur pun juga tidak jelas. Robidin sempat mempertanyakan mengenai ketidaksesuaian pekerjaannya itu kepada manajemen perusahaan. Namun jawabannya sungguh tidak menyenangkan. Robidin diminta mengurusnya kepada perusahaan yang memberangkatkannya. Hal ini, kemudian,

95


juga disampaikan kepada sponsor dan PT BSA, tapi tanggapannya diminta untuk sabar dengan keadaan. Merasakan telah terjadi pelanggaran atas perjanjian sebelum berangkat, Robidin memutuskan untuk pindah kerja ke tempat lainnya. Keputusan tersebut membuat Robidin bekerja serabutan di luar perusahaan goni tanpa dokumen selama 10 bulan dan pada akhirnya tertangkap polisi dan dipenjara selama 1 bulan. Robidin tidak pernah melaporkan masalahnya ke KDEI, karena tidak mengetahui informasi mengenai institusi yang menyediakan layanan pengaduan bagi buruh migran Indonesia di Taiwan. Setelah menjalani masa hukuman, akhirnya, Robidin dideportasi oleh pemerintah Taiwan. Setelah tiba di Indonesia, Robidin ingin mengurus dokumennya yang ditahan oleh PT. BSA. Namun Robidin malah diminta uang sebsar 17 juta rupiah. Robidin mengaku bingung dengan kondisi tersebut karena disuruh membayar denda ketika ingin mengambil dokumennya. Akhirnya Robidin melaporkan kasusnya kepada SBMI Indramayu. Awalnya pengaduan Robidin hanya ingin mengambil dokumennya saja. Namun setelah dianalisis oleh tim advokasi SBMI Indramayu bahwa terdapat pelanggaran pembiayaan senilai 30 juta rupiah yang pada akhirnya Robidin melaporkan kasus tersebut ke BNP2TKI. Mediasi pertama antara Robidin yang didampingi kuasa hukum dari SBMI mengalami kegagalan dan tidak ada kesepakatan. Mediasi kedua, seluruh dokumen Robidin dikembalikan dan PT BSA menawarkan ganti rugi kerugian Robidin sebesar 500 ribu rupiah. Padahal menurut perhitungan Robidin bahwa beban pembiayaan yang mesti dibayar oleh PT BSA adalah sebesar 30 juta rupiah. Robidin masih bersikukuh bahwa Robidin menginginkan agar ganti rugi sebesar 30 juta rupiah harus dibayar oleh PT BSA. Lagipula, PT BSA telah melanggar kontrak penempatan terlebih dulu, perjanjiannya bekerja di perusahaan plastik tapi kenyataannya bekerja di perusahaan karung goni. Gagal menuntut keadilan melalui saluran remidi di BNP2TKI, Robidin melaporkan kasusnya ke Kementerian Ketenagakerjaan. Dari proses mediasi di Kementerian Ketenagakerjaan telah terjadi negosiasi dan akhirnya PT BSA menawar jumlah ganti rugi kepada Robidin senilai 4 juta rupiah sebagai kompensasi pembiayaan. Terlebih lagi Robidin mengaku tidak pernah menandatangani perjanjian penempatan sebelum berangkat ke Taiwan pada waktu itu, Robidin menduga tanda tangannya dipalsukan oleh oknum PT BSA. Di samping hal ini merupakan perkara pidana. Di akhir perkara, kasus Robidin, malahan, ditutup secara sepihak oleh Kementerian Ketenagakerjaan, tanpa memberitahukan kepada Robidin terlebih dahulu mengenai penutupan perkara. Robidin mengetahui status tersebut

96


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran dari BNP2TKI. Pada awalnya BNP2TKI sebenarnya hendak menjatuhkan sangsi administratif berupa tunda layanan kepada PT BSA karena dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan Robidin. Namun pada akhir keputusan tersebut urung dilaksanakan karena kasus Robidin sudah ditutup dan dianggap perkara telah selesai oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Hingga saat ini, Robidin tidak tahu harus ke mana lagi untuk memperoleh keadilan dari pelanggaran hak yang dialaminya.

Minimnya pelayanan desa berkaitan dengan migrasi ketenagakerjaan diperparah dengan rendahnya tingkat pembinaan yang mesti dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten.9 Walaupun pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk berinovasi10 melalui program-program yang digulirkan untuk kepentingan pembaharuan penyelenggaraan pemerintahan, namun nampaknya isu buruh migran telah luput dari perhatian dalam konteks pendataan dan informasi. Di Banyuwangi misalnya, sebagai daerah dengan segudang ide dan gagasan mengenai inovasi penyelenggaraan pemerintahan, belum meletakkan isu buruh migran sebagai prioritas sasaran ke dalam program-programnya. Meski Banyuwangi telah mengusung program smart kampung,11 tapi sepertinya program tersebut dipahami hanya sebatas ketersediaan infrastruktur teknologi informasi di desa. Desa Pakistaji di Banyuwangi merupakan desa sasaran program smart kampung mengaku belum menyediakan informasi seputar buruh migran, pendataan, mekanisme pengaduan, serta perijinan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan umum.12 Lagipula, pemerintah desa mengaku memperoleh informasi migrasi ketenagakerjaan sangat terbatas dari pemerintah daerah. Sebagian besar desa/kelurahan sebenarnya tidak memiliki ketentuan yang jelas mengenai pendataan yang semestinya dilakukan oleh pemerintah desa/

9 Lihat kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pembinaan untuk urusan penyelenggaraan pemerintahan desa pada pasal 24 huruf (b) jo. Pasal 115 UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 10 Pasal 386 UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 11 Program �Smart Kampung�diluncurkan di tahun 2016 memiliki tujuh kriteria, yaitu pelayanan publik, pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan, pengembangan pendidikan dan senibudaya, peningkatan kapasitas SDM, integrasi pengentasan kemiskinan, dan melek informasi hukum. Semua kriteria tersebut diturunkan ke program yang menyentuh kepentingan publik. TIK dijadikan pendorong untuk menjalankan program sesuai tujuh kriteria tersebut. Lihat https:// www.banyuwangikab.go.id/berita-daerah/smart-kampung-banyuwangi-gerakkan-ekonomi-lokal. html diakses dan dikelola pada 19 November 2017 pukul 8.56. 12 Wawancara dengan Mustain, Kepala Desa Pakistaji Kecamatan Kabat pada Rabu 18 Oktober 2017 di Kantor Kepala Desa Pakistaji. Telusuri laman resmi yang dimiliki oleh pemerintah desa Pakistaji melalui pranala berikut http://pakistaji.desa.id/

97


kelurahan untuk calon buruh migran yang hendak berangkat ke luar negeri. Pemerintah desa, terkadang, memanggil sponsor/perekrut untuk memastikan mengenai keberangkatan calon buruh migran dari desanya.13 Malahan, pemerintah desa biasanya langsung memberikan pengesahannya tanpa melakukan klarifikasi terhadap pihak perekrut terlebih dahulu atas calon buruh migran yang hendak diberangkatkan ke luar negeri. Tidak sedikit pula dijumpai bahwa perekrut selalu meminta calon buruh migran untuk berproses sendiri terkait segala urusan dengan pemerintah desa. Hal ini membuat dilematis bagi pemerintah desa, antara pelayanan kepada warga dan ketertiban penyelenggaraan urusan pemerintahan yang baik. Jika pemerintah desa memaksa untuk melengkapi lampiran perizinan seperti SIP, identitas perekrut dan profil perusahaan perekrut serta menghadirkan perekrut; pemerintah desa dianggapnya mempersulit warganya yang hendak bekerja ke luar negeri.14 Kondisi di atas sangat jelas menunjukkan bahwa persyaratan tersebut sangat sulit dilengkapi oleh sponsor atau perekrut. Pemerintah desa menyadari bahwa hal itu adalah tantangan yang sulit untuk diwujudkan karena belum membudayanya kepentingan tertib administrasi di seluruh desa-desa di Indonesia. Untuk itu, biasanya, pemerintah desa kerap kali mengambil jalan pintas dengan memandang bahwa hal itu kurang begitu perlu dilakukan mengingat belum tersedia ketentuan yang memandatkan desa untuk melaksanakan pendataan kepada buruh migran.15 Beruntunglah jika desa tersebut mencatat dan mengadministrasikan setiap dokumen keberangkatan calon buruh migran, akan tetapi jika pemerintah desa tidak melaksanakan itu, maka sebenarnya pemerintah desa telah lalai dalam penyelenggaraan urusan pemerintahannya sendiri berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hal ini, sekaligus, mengakibatkan pemerintah desa mengalami kesulitan ketika warganya mengadu terkait permasalahan di luar negeri. Di Banyuwangi, misalnya, beberapa waktu lalu ada instruksi oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa agar mendata seluruh warga desa yang di luar negeri. Akan tetapi, pemerintah kabupaten Banyuwangi tidak menginformasikan untuk apa proses pendataan tersebut dilaksanakan, apakah hal itu hanya untuk kepentingan pendataan saja atau kepentingan program.16 13 Wawancara dengan Yohanes Numeni, Lurah Buraen Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang pada 24 Agustus 2017 di Kantor Lurah Sonraen. 14 Wawancara dengan Wartono, Kuwu/Kepala Desa Majasari, Kecamatan Sliyeg, Indramayu pada Kamis, 28 September 2017 di Kantor Kuwu Majasari. 15 Wawancara dengan Wawan Kuswanto, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi. 16 Wawancara dengan Mustain, Kepala Desa Pakistaji Kecamatan Kabat pada Rabu 18 Oktober 2017

98


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran Desa tidak diinformasikan secara detil untuk urusan tersebut, padahal, proses pendataan memerlukan waktu, tenaga dan biaya, sementara tiga poin tersebut tidak disediakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi.17 Lagipula, pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi hingga saat ini belum begitu terbuka dalam urusan program-program yang berkaitan dengan desa dan buruh migran. Hal itu dibuktikan dengan penunjukkan desa penerima manfaat dalam program Desa Migran Produktif (Desmigratif). Masyarakat tidak pernah diberitahu justifikasinya untuk menjawab pertanyaan mengapa program tersebut disasarkan ke Desa Tamanagung dan Desa Tegaldlimo. Padahal, dengan melibatkan masyarakat sipil yang konsen terhadap buruh migran di Banyuwangi, setidaknya hal tersebut dapat memberikan masukan dan kritik terkait keberhasilan program.18 Walaupun Desmigratif merupakan inisiatif pemerintah pusat, akan tetapi koordinasi antar level pemerintahan dan peran serta masyarakat juga menjadi sangat penting untuk kesuksesan sebuah program dan tentunya, untuk kesejahteraan buruh migran dan anggota keluarganya. Desmigratif memiliki empat pilar pelaksanaan kegiatan yang difokuskan di desa atau kelurahan yang merupakan basis buruh migran, yakni layanan informasi migrasi, usaha ekonomi produktif, pengasuhan anak yang ditinggalkan orang tua buruh migran oleh komunitas (community parenting) dan koperasi desmigratif. Berkaitan dengan desa penerima manfaat Desmigratif, lihat desa/kelurahan yang merupakan sasaran program Desmigratif pada Lampiran I dalam kajian ini. Dampak yang ditimbulkan karena minimnya proses pendataan terhadap buruh migran yang dilaksanakan oleh pemerintah desa adalah pemerintah desa acap kali dikagetkan dengan peristiwa yang dialami oleh buruh migran di luar negeri. Seperti contohnya, pemerintah desa tiba-tiba baru menyadari bahwa yang bermasalah di luar negeri oleh pemberitaan media adalah warganya. Contoh lainnya ialah dengan serta merta pemerintah desa menerima jenazah buruh migran yang meninggal di luar negeri yang dikirim oleh BP3TKI.19 Kebanyakan pemerintah desa malah mengetahui fakta yang terjadi dari pemberitaan media. Lebih lagi, hubungan antara pemerintah desa dan keluarga buruh migran juga belum terjalin inheren dalam aspek peran dan tanggung jawab di dalam pelayanan publik bahwa desa di Kantor Kepala Desa Pakistaji 17 Wawancara dengan Agung Subastian, Ketua SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi. 18 Wawancara dengan Wawan Kuswanto, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi.

19 Wawancara dengan Yohanes Numeni, Lurah Buraen Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang pada 24 Agustus 2017 di Kantor Lurah Sonraen.

99


merupakan pemerintahan yang memperoleh tugas pembantuan dari pemerintah pusat, jika hal ini mengikuti ketentuan UU PPTKILN. Kendati demikian, tugas pembantuan ini boleh dimaknai kurang efektif karena pelayanan terhadap buruh migran bukan atas prakarsa desa yang sebenarnya desa memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas itu sendiri. Demikian juga, kesenjangan diseminasi informasi dan pengetahuan dari pemerintah pusat ke pemerintah desa juga kurang paripurna dalam pemerataannya yang berakibat kepada minimnya pemahaman pemerintah desa dalam konteks migrasi ketenagakerjaan. Inisiatif maju dan patut dicontoh oleh desa-desa lain kantong buruh migran ialah seperti yang dilakukan oleh pemerintah Desa Majasari di Kabupaten Indramayu, di mana di tahun 2012 telah menerbitkan Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Desa Majasari. Berkat inisiatif ini, Desa Majasari telah memperoleh pelbagai penghargaan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat sebagai desa terbaik nasional di tahun 2016. Adapun isi daripada peraturan desa tersebut memuat ketentuan mengenai nilai-nilai, kewenangan desa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berkaitan dengan buruh migran dan pemberdayaan. Pada intinya peraturan desa tersebut memuat ketentuan teknis dan bisa langsung diaplikasikan dalam penyelenggaraan pemerintah desa untuk urusan migrasi ketenagakerjaan. Hal ini seperti contohnya dalam penataan perekrutan calon buruh migran. Desa Majasari telah menyadari bahwa perekrutan merupakan titik paling rawan dalam migrasi ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, pemerintah desa Majasari menerapkan proses pendataan dan pengawasan melalui pengesahan surat ijin orang atau wali, di mana sponsor yang akan menempatkan warganya juga harus ikut menandatanganinya ke dalam surat izin tersebut. Hal ini berbeda dengan praktik-praktik dalam pemberian ijin yang terjadi desa-desa kantong buruh migran pada umumnya, di mana sponsor tidak ikut menandatangani surat ijin tersebut. Proses perijinan di desa yang terjadi biasanya ketika sponsor PPTKIS/P3MI telah melampirkan identitas perekrut, profil perusahaan dan surat ijin penempatan, tapi dokumen tersebut malahan tidak diambil oleh pemerintah desa sebagai arsip desa sebagai basis pendataan. Hal itu terjadi ketika calon buruh migran membawa pulang kembali dokumen-dokumen identitas perekrut agar diserahkan kepada pemerintah desa, tapi diserahkan lagi kepada perekrut seperti pengalaman di Banyuwangi.20

20 Wawancara dengan Muhammad Afandi, Wakil Kepala Kantor Cabang PT Pamor Sapto Dharmo Jumat, 20 Oktober 2017, di Kantor cabang PT Pamor Sapto Dharmo, Tegalsari, Banyuwangi

100


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran

Gambar 4.1 Beberapa Penghargaan Desa Majasari

Dalam hal diseminasi informasi, Desa Majasari di Kabupaten Indramayu menyebarkannya melalui ruang dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring). Kebetulan Desa Majasari telah mengembangkan laman resmi dan media sosial yang aktif dalam memberikan informasi dan menerima keluhan dari warganya. Kemudian, di Majasari terdapat pula radio komunitas yang dikelola warganya sendiri. Tambahan lagi, Desa Majasari juga aktif memberikan sosialisasi melalui forum-forum atau pertemuan yang tersedia di desa serta papan informasi yang selalu diperbarui. Adapun papan informasi, selain memuat ketentuan mengenai proses dan syarat-syarat menjadi buruh migran, di dalamnya juga berisi tentang lowongan tenaga kerja di luar negeri dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Indramayu dan perusahaan perekrutan yang akan merekrut warga Majasari. Melalui peraturan desa tersebut, di dalamnya diatur pula mengenai ketentuan bantuan hukum bagi warga Majasari yang mengalami masalah di luar negeri. Oleh sebab itu, melalui mekanisme pemberdayaan, Desa Majasari selalu melatih paralegal desa agar dapat membantu warganya. Adapun mekanismenya ketika paralegal mendapatkan surat keputusan dari kepala desa untuk menangani sebuah perkara buruh migran, maka yang bersangkutan boleh mengajukan dana desa sebagai fasilitasi dan operasionalisasi penanganan kasus.21 Walaupun di dalam peraturan

21 Wawancara dengan Wartono, Kuwu/Kepala Desa Majasari, Kecamatan Sliyeg, Indramayu pada Kamis, 28 September 2017 di Kantor Kuwu Majasari.

101


desa tersebut tidak terdapat ketentuan sanksi, karena memang peraturan desa tidak diperkenankan memasukan materi muatan mengenai sanksi, tapi setidaknya ada rekomendasi dari pemerintah desa kepada dinas tenaga kerja. Jika terdapat sponsor/perekrut nakal, maka Desa Majasari akan melaporkan perekrut tersebut beserta perusahaan perekrut ke dinas tenaga kerja setempat. Selanjutnya, Desa Majasari berharap dinas tenaga kerja meneruskannya ke pemerintah pusat agar yang bersangkutan mendapatkan sanksi yang sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Kondisi di Desa Majasari tidak demikian halnya dengan desa-desa yang belum memiliki produk hukum sendiri. Dalam konteks pengaduan, mekanisme yang biasa dilakukan oleh pemerintah desa adalah merujuk kasus tersebut ke kepolisian setempat. Di Desa Dadap Indramayu contohnya, pemerintah desa malah sering kali dilewati begitu saja oleh buruh migran dan anggota keluarganya yang mengalami masalah. Buruh migran selalu berurusan langsung dengan sponsor/ perekrut mereka sendiri ketika terjadi permasalahan.22 Akibatnya, hal ini yang membuat desa kurang begitu paham mengenai permasalahan buruh migran dan bagaimana mengatasi atas masalah tersebut. Terlebih lagi, desa juga tidak pernah menginformasikan bahwa desa siap menerima pengaduan dan menyelesaikan perkara buruh migran atau warganya. Di Indramayu, keterbatasan pembinaan oleh pemerintah daerah kepada desa membuat pengetahuan migrasi ketenagakerjaan amat langka dipahami oleh staf desa.23 Hal serupa juga terjadi di wilayah timur Indonesia seperti di Nusa Tenggara Timur. Selain tantangan pelayanan pendataan bagi calon buruh migran, penyediaan saluran informasi mengenai migrasi yang aman dan benar juga urung dilaksanakan. Perangkat desa di Kupang belum tentu memahami mengenai mekanisme penempatan tenaga kerja di luar negeri.24 Celakanya, perangkat desa tidak sedikit ditemukan bahwa mereka merangkap sebagai sponsor.25 Dengan demikian, atas pernyataan tersebut tidak dapat disangkal lagi bahwa informasi mengenai migrasi ketenagakerjaan masih dikuasai oleh sponsor atau perekrut daripada pemerintah

22 Wawancara dengan Bukhori, juru tulis/mantan sekretaris desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu pada Rabu 27 September 2017 di kantor Desa Dadap. 23 Wawancara dengan Juawarih, Ketua SBMI Indramayu pada Jumat, 29 September 2017 di Sekretariat SBMI Indramayu 24 Wawancara dengan Yohanes Numeni, Lurah Buraen Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang pada 24 Agustus 2017 di Kantor Lurah Sonraen. 25 Pernyataan Rudy Soik, anggota kepolisian daerah Nusa Tenggara Timur dalam acara Sosialisasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di kantor Lurah Sonraen, Amarasi Selatan, Kupang pada Rabu, 23 Agustus 2017

102


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran desa yang berwenang menyalurkan informasi ketenagakerjaan di luar negeri. Jika informasi mengenai migrasi ketenagakerjaan yang disampaikan oleh sponsor/ perekrut tidak dilakukan verifikasi terlebih dahulu ke pemerintah setempat (Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/kota) oleh masyarakat, maka hal itu berakibat fatal. Dengan mudah masyarakat yang menerima informasi migrasi ketenagakerjaan yang sepihak dari sponsor/perekrut akan menjadi korban penipuan berjamaah. Terlebih lagi, kita sering menemukan bahwa informasi yang disampaikan oleh sponsor/perekrut kerapkali ditambah-tambahi, menyesatkan dan cenderung menipu. Akibatnya, banyak buruh migran yang sebenarnya menjadi korban penipuan dengan tujuan untuk bisa diberangkatkan ke luar negeri untuk bekerja.26 Tindak kejahatan penipuan terjadi karena adanya kesenjangan relasi informasi dan pengetahuan antara sponsor/perekrut dan calon buruh migran. Pada tataran kronis di dalam migrasi ketenagakerjaan, di mana buruh migran sangat rentan menjadi korban perdagangan orang, Archer (2013: 4) berpendapat bahwa hubungan antara korban dan pelaku perdagangan orang merupakan bentuk dominasi total dari relasi kuasa dengan praktik-praktik kekerasan di mana hal tersebut mengesampingkan beban tanggung jawab atas akibat di antara pihak. Verifikasi atas informasi yang diperoleh merupakan keniscayaan untuk mendapatkan kebenaran informasi yang disampaikan oleh setiap pihak. Dengan demikian, pada tataran tingkat lanjut, masyarakat memiliki pijakan ketika bertindak untuk tidak mudah percaya terhadap pihak-pihak yang menyampaikan informasi kepada masyarakat.27 Situasi di desa akan menjadi semakin rumit ketika buruh mengalami masalah, baik sebelum atau ketika sedang bekerja di luar negeri. Pada prinsipnya pemerintah desa akan merujuk kasus tersebut ke dinas tenaga kerja setempat yang memiliki pelayanan pengaduan atas masalah buruh migran. Akan tetapi, keterbatasan data yang dimiliki oleh pemerintah desa membuat permasalahan tersebut juga sulit untuk diurai dan dipecahkan oleh dinas tenaga kerja. Jika praktiknya demikian, maka hal tersebut masih dirasa pelayanan tersebut telah tersedia, meskipun itu terbatas. Akibatnya, upaya penyelesaian kasus menjadi lama dan bahkan terhenti jika tidak dipantau oleh pelapor atau pendamping. Malahan, pemerintah desa sering apatis terhadap permasalahan buruh migran. Hal tersebut, tentunya, dirasa jauh dari pemenuhan atas hak-hak buruh migran yang terlanggar. Permasalahan buruh migran, memang, lebih rumit daripada permasalahan kasus-kasus

26 Wawancara dengan Adam Mamun, Sekretaris Desa Retraen, Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang pada Tanggal 23 Agustus 2017 di Kantor Lurah Sonraen, Amarasi Selatan 27 Wawancara dengan Yohanes Numeni, Lurah Buraen Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang

103


ketenagakerjaan yang dialami oleh pekerja lokal. Akan tetapi, jika pemerintah desa jeli dalam melihat setiap hubungan kausalitas yang berkaitan dengan perekrutan, setiap permasalahan tentunya dapat ditelusuri jejak kasusnya dan setiap perkara dapat diurai solusinya. 4.3 Pelaksanaan Desentralisasi Pelayanan Penempatan dan Pelindungan Buruh Migran Desentralisasi merupakan sebuah konsepsi yang luas. Hal tersebut bisa dipahami sebagai pemberian kekuasaan politik dan keuangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, di mana hal itu termasuk tanggung jawab dengan cakupan pelayanan yang lebih luas seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, pertanian, komunikasi, infrastruktur umum dan sektor ekonomi lainnya (Nasution, 2016). Jika merujuk kepada konstitusi formal, desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.28 Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah.29 Pemerintah daerah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan di level daerah terdiri dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan kecamatan sebagai dekonsentrasi pemerintah kabupaten.

Tabel 4.1 Perkembangan Wilayah Administratif Pemerintahan Tahun

Provinsi

Kabupaten

Kota

Kecamatan

Desa/Kelurahan

2010

33

399

98

6.699

77.548

2011

33

399

98

6.773

78.558

2012

33

399

98

6.879

79.702

2013

34

413

98

6.982

80.714

2014

34

416

98

7.042

81.626

Sumber: BPS (2015: 8) 28 Pasal 1 angka 8 UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan asas otonomi sendiri berarti prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Kemudian juga yang dimaksud di sini daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 29 Penjelasan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

104


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam konteks buruh migran meliputi diseminasi informasi mengenai migrasi aman dan benar, perekrutan, perizinan dan pendataan, pendidikan dan pelatihan, pemeriksaan kesehatan, reintegrasi melalui pemberdayaan, pengaduan dan remidi. Mengingat begitu kompleksnya urusan kewenangan tersebut, hal tersebut patut diajukan beberapa pertanyaan kunci apakah pelayanan migrasi ketenagakerjaan dilaksanakan secara efektif dan efisien? Bersamaan dengan itu, kesenjangan sumber daya manusia, ketimpangan sarana dan prasarana infrastruktur publik, sebaran penduduk dengan pusat pelayanan pemerintahan dan letak geografis antar instansi pemerintah merupakan tantangan tersendiri dalam mewujudkan tata kelola yang baik dan bersih, di mana hal ini menjadi agenda nasional. Walaupun saat ini gencaran teknologi informasi telah menjalar di pelbagai daerah, tapi apakah infrastruktur tersebut juga dimanfaatkan dengan baik untuk kemudahan dalam konteks pelayanan publik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa menggelayut di benak kita untuk memastikan apakah pemerintah daerah selama ini menyadari mengenai pemenuhan dan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Dari pemerintah daerah kabupaten yang menjadi sasaran lokasi atas penelitian ini, hanya Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Banyuwangi saja yang memiliki kemajuan dalam aspek pelayanan migrasi ketenagakerjaan. kabupaten Indramayu telah mendirikan Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) sejak 2015. Meski masih mengalami kendala di sisi infrastruktur, sistem informasi layanan dan sumber daya manusia, LTSP Indramayu tertatih-tatih untuk perbaikan pelayanan. Di samping itu, pelayanan untuk pemeriksaan kesehatan nampaknya tidak dapat langsung dilaksanakan di LTSP. Pada proses pemeriksaaan kesehatan, hal itu hanya pendaftaran saja yang dapat dilaksanakan di LTSP dan selanjutnya dilaksanakan di rumah sakit daerah Indramayu. LTSP Indramayu merupakan yang pertama di Jawa Barat. Sementara Kabupaten Banyuwangi telah mendirikan Mall Pelayanan Publik di tahun 2017, di mana fungsinya juga serupa dengan LTSP, tapi tidak khusus untuk pelayanan migrasi ketenagakerjaan melainkan pelayanan publik yang sifatnya umum. 4.3.1 Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Pemerintah Kabupaten Peran pemerintah daerah kabupaten/kota sebenarnya sangat vital dalam penyelenggaraan penempatan dan pelindungan buruh migran ke luar negeri. Akan tetapi, dari kajian ini ditemukan bahwa hanya satu dari dari tiga pemerintah

105


kabupaten yang telah memiliki produk hukum di level kabupaten mengenai penempatan dan pelindungan buruh migran. Kabupaten Indramayu telah menetapkan peraturan daerah Kabupaten Indramayu nomor 2 tahun 2013 tentang perlindungan ketenagakerjaan. Meski demikian, peraturan daerah tersebut dinilai kurang efektif oleh masyarakat sipil Indramayu karena di dalamnya mengatur tiga ketentuan sekaligus, yakni mengenai Antar Kerja Antar Daerah (AKAD), Antar Kerja Antar Negara (AKAN) dan tenaga kerja asing menjadi satu ketentuan peraturan daerah kabupaten Indramayu.30 Padahal, masing-masing ketentuan memiliki karakteristik sendiri dalam proses, mekanisme dan cakupan perlindungannya. Dalam merespon kebijakan daerah Indramayu yang kurang relevan dalam konteks migrasi ketenagakerjaan, ratusan purna buruh migran asal Indramayu di tahun 2016 telah mendesak agar ketentuan tersebut diubah dan menjadi produk hukum sendiri-sendiri sehingga pemerintah daerah harus merencanakan perubahan atas peraturan daerah tersebut.31 Berbeda dengan Indramayu, Kabupaten Banyuwangi telah merampungkan pembahasan bersama DPRD kabupaten di tahun 2017. Proses selanjutnya adalah verifikasi oleh pemerintah provinsi Jawa Timur sebagaimana hal tersebut merupakan rangkaian proses yang mesti dilakukan dalam penerbitan peraturan daerah kabupaten berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Akan tetapi, proses verifikasi oleh pemerintah provinsi Jawa Timur masih tersendat karena secara bersamaan DPR RI bersama pemerintah pusat telah menetapkan UU nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebagai pengganti dari UU nomor 39 tahun 2004 mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada tanggal 22 November 2017.32 Meski demikian, jika pemerintah provinsi tidak merespon rancangan peraturan daerah tersebut, maka secara otomatis peraturan daerah itu akan menjadi sah. Pemandangan yang mencolok mengenai kebijakan perlindungan buruh migran di level pemerintah daerah kabupaten terjadi di wilayah timur Indonesia. Kabupaten Kupang merupakan salah satu daerah yang menjadi lokasi penetapan

30 Wawancara dengan Juwarih, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia pada Jumat, 29 September 2017 di Sekretariat SBMI Indramayu 31 Lihat pranala berikut dengan tajuk “Buruh Indramayu Gelar Aksi Bela TKI� http://www.republika. co.id/berita/nasional/daerah/16/12/19/oifftm361-buruh-indramayu-gelar-aksi-bela-tki diakses dan diolah pada 26 November 2017 pukul 6.11 32 Wawancara dengan Riski, staf Bidang Penempatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi pada Kamis, 19 Oktober 2017 di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

106


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran kajian ini, tapi daerah ini tidak memiliki produk hukum level daerah kabupaten yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan buruh migran. Padahal, Kupang dikenal sebagai sebagai daerah dengan tingkat migrasi tidak prosedural sangat tinggi. Dengan demikian, hal ini boleh dikatakan bahwa agaknya persoalan migrasi ketenagakerjaan belum dianggap sebagai persoalan yang mendesak untuk diatur oleh pemerintah daerah Kabupaten Kupang. Aspek kunci urusan pemerintahan dalam migrasi ketenagakerjaan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota belum begitu digalakkan oleh pemerintah pusat. Hal itu diperparah dengan kurang efektifnya pelaksanaan pengawasan ketika urusan tersebut diletakkan di pemerintah daerah provinsi dalam usaha penyelenggaraan pengawasan lintas pemerintah kabupaten/kota. Dalam aspek diseminasi informasi seperti contohnya, pemerintah daerah kabupaten/kota melalui dinas tenaga kerja setempat sangat minim penyelenggaraan sosialisasi dan penyuluhan mengenai bursa kerja luar negeri bersama PPTKIS/P3MI. Terlebih lagi pemanfaatan teknologi informasi yang mampu terintegrasi dengan desadesa sebagai sarana penunjang penyebaran informasi sebagai alternatif untuk kekurangan ASN juga tidak dimanfaatkan dengan baik. Akibat inilah yang kemudian membuat kebanyakan buruh migran memperoleh informasi lowongan kerja di luar negeri dari sponsor atau calo. Bahkan, tidak sedikit pula buruh migran yang tidak pernah berurusan dengan dinas tenaga kerja setempat, baik pada proses sebelum keberangkatan dan setelah penempatan. Di Indramayu misalnya, sebagai daerah kantong buruh migran tertinggi di Indonesia, sosialisasi bersama PPTKIS/P3MI untuk penyuluhan dan perekrutan sudah jarang dilaksanakan. Adapun sosialisasi yang masih dilakukan untuk penempatan Malaysia sektor formal, seperti di manufaktur atau perkebunan.33 Kebanyakan para sponsor malah merekrut langsung ke calon buruh migran di desa-desa. Tren penempatan buruh migran asal Indramayu saat ini adalah perawat orang lanjut usia atau pengasuh anak (caregiver) di Taiwan.34 Hal ini dirasakan sangat kontras jika dihubungkan dengan kebutuhan pelayanan, di mana jenis sektor yang padat peminatnya malah tidak dilakukan penyuluhan dan pembinaan kepada calon buruh migran melalui bursa kerja. Mengingat pembinaan melalui pelaksanaan bursa kerja ini merupakan bagian dari elemen pengawasan pemerintah kepada pelaksana penempatan swasta, maka hal ini 33 Wawancara dengan Dedi Hariyadi, Kepala Dinas Tenaga kabupaten Indramayu pada Kamis, 28 September 2017 di kantor Dinas Tenaga Kerja Indramayu 34 Wawancara dengan Ali Alamudin, Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Indramayu pada Kamis, 28 September 2017 di kantor Dinas Tenaga Kerja Indramayu

107


akan sulit untuk mengukur sejauh mana pemerintah mengawasi perekrutan buruh migran. Padahal, hal ini merupakan amanat dari peraturan daerah Indramayu mengenai perlindungan ketenagakerjaan.35 Sosialisasi kepada masyarakat mengenai prosedur migrasi sebenarnya telah disampaikan di setiap pertemuanpertemuan yang diselenggarakan oleh dinas tenaga kerja, meski sifatnya bukan menjadi tajuk utama dalam pertemuan tersebut, tapi hal itu sangat penting untuk disampaikan. Pemerintah sebenarnya sadar bahwa penyelenggaraan sosialisasi yang khusus untuk tema buruh migran tidak akan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Karenanya, dengan menyinggung isu buruh migran di setiap kesempatan bersama khalayak atau forum yang mendiskusikan ketenagakerjaan dirasa mampu mencapai efektivitas dalam diseminasi informasi. Diseminasi informasi yang merata diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai perekrutan tidak resmi kepada calon buruh migran. Perekrutan merupakan aspek kritis dalam migrasi ketenagakerjaan. Karenanya, buruh migran dapat menjadi korban penipuan, pemalsuan hingga perdagangan orang yang merupakan akibat dari kesenjangan informasi, pengetahuan dan dominasi relasi kuasa mengenai migrasi ketenagakerjaan antara buruh migran dan aktor perekrut (Archer, 2013: 4). Di Kupang contohnya, sponsor dan calo kerap kali mendominasi informasi dan pengetahuan mengenai migrasi ketenagakerjaan. Saluran migrasi prosedural, dengan begitu, menurut kalangan calon buruh migran di Kupang yakni dengan menyerahkan semua proses migrasi kepada sponsor atau calo, terlepas apakah proses tersebut resmi atau tidak resmi. Pada kondisi tersebut, sebenarnya, buruh migran pada posisi tidak mengetahui persis mengenai prosedur migrasi ketenagakerjaan. Semua informasi dan pengetahuan disumbat melalui informasi palsu yang menguasai ruang masyarakat dan dibawa oleh sponsor dan calo yang pada akhirnya mengaburkan informasi yang disampaikan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga yang peduli terhadap isu buruh migran di Nusa Tenggara Timur pada umumnya.36 Lain halnya seperti yang terjadi di Indramayu dan Banyuwangi, migrasi tidak prosedural di Kupang terjadi akibat perekrutan tidak resmi masih lazim dilaksanakan oleh jaringan perekrut tidak resmi. Jika di Banyuwangi biasanya terjadi di daerah utara yang mendekati Situbondo dan Bondowoso, di mana kebanyakan buruh migran berangkat ke Malaysia yang hanya berbekal paspor saja yang kemudian

35 Lihat pasal 46 huruf (a) Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 2 tahun 2013 tentang Perlindungan Ketenagakerjaan 36 Wawancara dengan Domingus Elcid Li, Direktur Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) pada tanggal 25 Agustus 2017 di kantor IRGSC, Kupang.

108


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran melanggar izin tinggal di negara tujuan penempatan. Malaysia merupakan tujuan favorit dari migrasi tidak prosedural di Banyuwangi.37 Sementara itu, di Indramayu perekrutan untuk penempatan buruh migran di negara-negara Timur Tengah untuk sektor pekerja rumah tangga masih saja terjadi hingga kini. Modus yang biasa dilakukan oleh perekrut adalah melalui penawaran kerja palsu dan visa umrah. Penawaran tersebut dilakukan seolah-olah buruh migran ditempatkan untuk sektor formal, tapi setibanya di negara tujuan penempatan, buruh migran dipekerjakan di sektor pekerja rumah tangga. Sementara untuk visa umrah, kebanyakan buruh migran dipaksa untuk melanggar izin tinggal di Saudi Arabia dan bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Sedangkan semua pembiayaan dibebankan kepada majikan di sana.38 Padahal penempatan untuk pengguna perseorangan dengan kata lain sektor pekerja rumah tangga di negara-negara Timur Tengah telah dihentikan dan dilarang oleh pemerintah.39

Gambar 4.2 Brosur LPK

37 Wawancara dengan Panji Tri, Koordinator Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI) Banyuwangi pada Rabu, 18 Oktober 2017 di Kantor P4TKI Banyuwangi 38 Wawancara dengan Juwarih, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia pada Jumat, 29 September 2017 di Sekretariat SBMI Indramayu 39 Wawancara dengan Juwarih, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia pada Jumat, 29 September 2017 di Sekretariat SBMI Indramayu

109


Tidak hanya untuk sektor domestik saja, perekrutan oleh Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) swasta ke negara-negara Asia Timur baru-baru ini marak terjadi. Hampir semua daerah dengan basis buruh migran yang tinggi sudah pasti dihadapkan dengan persoalan penempatan tidak resmi oleh LPK. Negara tujuan penempatan yang paling umum adalah Jepang dan Korea Selatan. Perizinan LPK swasta menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.40 Akan tetapi, pembinaan dan pengawasan dilaksanakan secara terkoordinasi oleh instansi pemerintahan seperti kementerian, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.41 Meski demikian, LPK yang sebagaimana fungsinya adalah meningkatkan keahlian dan kecakapan kerja, malah terlibat ke dalam bisnis penempatan. Dampaknya adalah ribuan buruh migran tertipu karena penawaran kerja di Jepang. Werkudoro Topo (nama samaran) menerangkan bahwa sebagai upaya untuk bertahan hidup dan mengembalikan pinjaman untuk biaya penempatan kerja di Jepang yang nilainya mencapai ratusan juta, korban penipuan penempatan kerja di Jepang mengajukan visa namin agar dapat bekerja dan memperoleh penghasilan.42 Visa Namin adalah visa suaka sebagai proses untuk memperoleh status pengungsi, di mana visa ini harus diperbarui setiap enam bulan. Jepang telah menandatangani protokol pengungsi di tahun 1981 dan diundangkan di tahun 1982. Dengan mengajukan visa namin berarti yang bersangkutan telah mendeklarasikan melepaskan status kewarganegaraan yang dimiliki sebelumnya, namun hal ini tidak disadari oleh buruh migran di Jepang karena sebagai upaya untuk mempertahankan hidup di Jepang. Di tahun 2016, sebanyak 1.829 warga Indonesia mengajukan visa Namin. Pemerintah Jepang menduga bahwa tren peningkatan pemohon oleh negara-negara yang tidak sedang berkonflik seperti Indonesia dan Filipina karena penyalahgunaan pendaftaran oleh pemohon. Awalnya para pemohon ini datang ke Jepang dengan visa turis selanjutnya melanggar ijin tinggal di Jepang dan mengajukan visa Namin.43 Perizinan PPTKIS/P3MI cabang dan pendataan calon buruh migran merupakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam migrasi ketenagakerjaan. Pemerintah daerah provinsi yang telah memiliki 40 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 17 tahun 2016 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) 41 Pasal 19 jo. Pasal 21 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 17 tahun 2016 tentang Tata Cara Perijinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) 42 Wawancara dengan melalui media sosial bersama akun Werkudoro Topo pada 26 November 2017 43 Lihat pranala berikut yang berjudul “Tahun Lalu, hampir 2.000 WNI mencari Suaka di Jepang� http://internasional.kompas.com/read/2017/02/10/22082671/tahun.lalu.hampir.2.000.wni. mencari.suaka.di.jepang diakses dan diolah pada Selasa, 5 Desember 2017 pukul 8.02

110


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran peraturan daerah yang mengatur khusus mengenai pelayanan penempatan dan pelindungan buruh migran umumnya telah mengatur mengenai mekanisme perizinan pendirian PPTKIS/P3MI cabang. Di Jawa Barat dan Jawa Timur misalnya, bagi PPTKIS/P3MI cabang yang hendak mendirikan di daerah tersebut harus menyetor deposito atas nama dinas tenaga kerja provinsi senilai 100 juta rupiah. Dana tersebut diperuntukan sebagai tanggung jawab pengganti apabila PPTKIS/ P3MI cabang memiliki sengketa dengan buruh migran yang ditempatkannya (vicarious liability). Untuk selanjutnya, dinas tenaga kerja kabupaten/kota memperoleh tembusan dari pemerintah daerah provinsi atas pendirian PPTKIS/ P3MI cabang tersebut. Sedangkan pendataan dilakukan oleh dinas tenaga kerja kabupaten/kota ketika buruh migran meminta rekomendasi paspor dan identitas buruh migran. Di Jawa Barat dan Jawa Timur sendiri secara berturutturut telah berdiri sebanyak 35 dan 64 kantor cabang PPTKIS/P3MI, sedangkan perekrut resmi yang terdaftar sebanyak 90-an orang di dua daerah tersebut. Penerbitan rekomendasi paspor dan identitas buruh migran sebenarnya dapat dikatakan sebagai pelaksanaan pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pelaksanaan penempatan. Karenanya, dinas tenaga kerja setempat juga melakukan wawancara kepada masing-masing calon buruh migran mengenai kesiapan fisik dan mentalnya. Pada proses ini dinas memeriksa kelengkapan dokumen dan kebenaran informasi ketenagakerjaan yang disampaikan oleh perekrut kepada buruh migran. Meski demikian, kendala yang dihadapi oleh dinas adalah ketika calon buruh migran berproses melalui daerah lain yang bukan dari daerahnya. Hal ini umumnya berkaitan dengan kedudukan PPTKIS/P3MI, di mana di dalamnya terdapat proses pendidikan dan pelatihan bagi calon buruh migran. Akibatnya yang terjadi ketidaksesuaian data yang dimiliki oleh dinas dan BNP2TKI yang terdapat di dalam Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri (SISKOTKLN). Di Banyuwangi misalnya, di tahun 2016 hanya menerbitkan rekomendasi paspor dan identitas buruh migran sejumlah 127 calon buruh migran.44 Akan tetapi jika data itu dilihat di SISKOTKLN, jumlah buruh migran asal Banyuwangi sebanyak 4.039 orang. Hal ini, tentunya, merupakan tantangan bagi pemerintah daerah kabupaten/kota atas tanggung jawab yang melekat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan jika berproses di daerah lain. Pendataan merupakan aspek krusial dalam migrasi ketenagakerjaan. Hingga saat ini tak satupun instansi pemerintah daerah kabupaten/kota yang mampu menyebut dengan angka yang pasti mengenai berapa jumlah warganya yang 44 Wawancara dengan Riski, staf Bidang Penempatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupten Banyuwangi pada Kamis, 19 Oktober 2017di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

111


sedang berada di luar negeri untuk bekerja. Pada umumnya, pemerintah daerah hanya mencatat keberangkatan buruh migran saja, tapi kepulangannya tidak tercatatkan untuk kepentingan pemutakhiran data. Dengan demikian, pemerintah daerah hanya mampu memperkirakan jumlahnya saja mengenai jumlah warganya yang sedang berada di luar negeri. Pertanyaan kunci mengenai kebijakan sebuah pemerintah daerah yang patut diajukan adalah mengenai bagaimana pemerintah daerah menyusun kebijakan perlindungan buruh migran? Sementara pemerintah tidak memiliki data potensi atau aset sumber daya manusia di daerahnya sendiri. Selain pendataan tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan jumlah angkatan kerja yang berada di luar negeri (brain drain), akan tetapi data tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan hak politik buruh migran dalam perhelatan pemilihan umum. Dalam hal ini, pemutakhiran data buruh migran menjadi pekerjaan rumah setiap pemerintah daerah kantong buruh migran. Proses sebelum keberangkatan yang tak kalah penting menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota adalah pendidikan dan pelatihan bagi buruh migran. Meskipun proses ini pada ketentuan sebelumnya menjadi domain dari PPTKIS/P3MI, akan tetapi hal yang memungkinkan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota melalui optimalisasi BLKLN. Walaupun tidak semuanya daerah kabupaten/kota yang menjadi sasaran atas kajian ini memiliki BLKLN, namun setidaknya muncul inisiatif dari pemerintah daerah untuk meningkatkan keterampilan buruh migran. Di Indramayu contohnya, begitu menyadari tren peningkatan buruh migran saat ini di sektor formal, program BLK yang digulirkan oleh dinas tenaga kerja setempat yakni dengan mengembangkan peningkatan keahlian untuk alat-alat produksi, seperti mengelas, mesin jahit dan lainnya. Selain pada proses perekrutan, pembengkakan biaya penempatan biasanya terjadi melalui modus pendidikan dan pelatihan oleh PPTKIS/P3MI. Beberapa pemerintah daerah mulai menyadari gejala penyalahgunaan tersebut dengan mendorong PPTKIS/P3MI agar membuka cabang sekaligus BLKLN di daerahnya. Di Banyuwangi, misalnya, telah tersedia satu buah PPTKIS/P3MI cabang yang juga tersedia BLKLN swasta di dalamnya. Berbeda dengan Banyuwangi, Indramayu malah tersedia tiga buah BLKLN swasta. Dengan beroperasinya BLKLN swasta di daerah, hal ini berimplikasi terhadap biaya hidup oleh buruh migran selama menjalani proses pendidikan dan pelatihan. Meski demikian, walaupun berada di dalam satu daerah, calon buruh migran diwajibkan untuk menginap di penampungan yang disediakan oleh pengelola BLKLN swasta. Hal ini menurut pengelola BLKLN swasta untuk memudahkan buruh migran agar memenuhi 400 jam pendidikan pelatihan

112


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran yang diwajibkan oleh pemerintah.45 Dari proses ini pula sebenarnya PPTKIS/P3MI memperoleh tambahan pendapatan dari biaya hidup (living cost) yang dibebankan kepada buruh migran selama di penampungan yang diijinkan oleh pemerintah.46 Kendala yang dihadapi oleh pemerintah ialah bagaimana pengawasan efektif dilaksanakan pada proses pendidikan dan pelatihan. Hal ini untuk memastikan apakah calon buruh migran yang ditampung di BLKLN PPTKIS/P3MI benar-benar sedang menjalani pendidikan dan pelatihan atau sedang menunggu penawaran kerja dari luar negeri? Karenanya, banyak kasus telah dijumpai bahwa calon buruh migran yang berada di penampungan dengan alasan pendidikan dan pelatihan sebenarnya sedang menunggu penawaran kerja dari negara tujuan penempatan. Hal ini sangat kontras bahwa proses pendidikan dan pelatihan seharusnya dilakukan ketika calon buruh migran telah memperoleh penawaran kerja dari negara tujuan penempatan dan surat izin perekrutan dari pemerintah. Akibatnya, dengan kondisi demikian akan terjadi penumpukan manusia di penampungan yang memungkinkan terhadap pelbagai tindakan pelanggaran kemanusiaan. Meskipun hal itu nampaknya sulit dilakukan mengingat cakupan wilayah yang dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, tapi peran strategis yang dapat melibatkan desa/kelurahan beserta perangkatnya seperti RT dan RW untuk ikut terlibat dalam pengawasan juga tidak digalakkan oleh pemerintah daerah. Tidak semua buruh migran yang diberangkatkan ke luar negeri telah menguasai bahasa negara tujuan penempatan. Kebanyakan mereka diberangkatkan ke luar negeri dengan pemahaman bahasa yang sangat minim. Oleh sebab itu, konflik yang terjadi antara majikan dan buruh migran di negara tujuan penempatan boleh dikatakan yang utama disebabkan oleh faktor komunikasi. Padahal, keahlian komunikasi dengan menggunakan bahasa negara tujuan merupakan salah satu rangkaian bahan ajar yang semestinya dilakukan oleh BLKLN swasta. Untuk itu, hal ini sangatlah wajar untuk mempertanyakan mengenai kredibilitas penera (assessor) yang menguji kompetensi calon buruh migran. Penera seharusnya tidak serta merta meluluskan calon buruh migran yang sebenarnya belum layak kompetensinya untuk kepentingan pasar. Akibat yang ditimbulkan adalah sering kali dijumpai buruh migran yang mengalami pemutusan hubungan kerja oleh majikan karena tidak mampu berkomunikasi secara baik dengan majikan.47 45 Wawancara dengan Anita, Direktur BLKLN Gilang Falna Mandiri Indramayu pada Kamis, 28 September 2017 46 Wawancara dengan Muhammad Afandi, Wakil Kepala Kantor Cabang PT Pamor Sapto Dharmo pada Jumat, 20 Oktober 2017, di Kantor cabang PT Pamor Sapto Dharmo, Tegalsari, Banyuwangi 47 Wawancara dengan Wawan Kuswanto, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi.

113


Dengan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang efektif sebelum keberangkatan dapat memberikan praktik terbaik bagi buruh migran purna. Tidak sedikit buruh migran purna mendirikan pendidikan kursus bahasa negara tujuan untuk warga sekitarnya. Pengetahuan bahasa tingkat dasar umumnya diperoleh buruh migran pada proses pendidikan dan pelatihan. Sementara itu untuk kefasihannya melalui praktik sehari-hari di negara tujuan penempatan. Praktik baik ini sebenarnya memperoleh perhatian dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk dilakukan pembinaan dan pengawasan. Karenanya, hal ini sering ditemui bahwa buruh migran purna yang mendirikan lembaga kursus juga terlibat ke dalam industri percaloan buruh migran yang sangat merugikan. Pelayanan pemeriksaan kesehatan calon buruh migran yang merupakan masuk pada tahapan pra migrasi, sebenarnya, menjadi tantangan oleh semua pemerintah daerah kabupaten/kota kantong buruh migran. Tidak semua pemerintah daerah kabupaten/kota menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi syarat untuk menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan. Walaupun sarana prasarana tersebut sudah memperoleh rekomendasi dari menteri kesehatan, akan tetapi hal itu tidak serta merta hasil pemeriksaan kesehatan dapat diterima oleh negara tujuan. Beberapa negara tujuan penempatan seperti Hong Kong dan Taiwan misalnya, mewajibkan pemeriksaan kesehatan harus terhubung melalui sistem dalam jaringan (online) mereka. Berdasarkan daerah yang menjadi sasaran kajian ini menunjukkan bahwa tak satu pun infrastruktur publik prasarana kesehatan milik pemerintah daerah kabupaten yang telah mengembangkan sistem dalam jaringan terhubung dengan negara tujuan penempatan. Kendati demikian, daerah-daerah yang rumah sakitnya telah memperoleh rekomendasi dari menteri kesehatan juga tidak mengembangkan pelayanannya melalui sistem dalam jaringan. Mendekatkan pelayanan dengan buruh migran adalah keniscayaan karena hal ini dapat mengurangi beban bagi buruh migran dalam pembiayaan penempatan. Praktik yang terjadi membuktikan bahwa meskipun pemerintah telah menetapkan biaya penempatan yang di dalamnya memuat ketentuan batasan mengenai biaya pemeriksaan kesehatan, faktanya biaya pemeriksaan kesehatan selalu lebih tinggi daripada yang ditentukan oleh pemerintah melalui keputusan menteri ketenagakerjaan maupun keputusan direktur jenderal pembinaan dan penempatan tenaga kerja. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketersediaan infrastruktur publik untuk pemeriksaan kesehatan di suatu daerah, perkembangan harga pada komponen pelayanan pemeriksaan kesehatan karena hal ini ditentukan oleh pemerintah daerah, transportasi dan akomodasi dari lokasi buruh migran berasal. Di Banyuwangi contohnya, tren peningkatan penempatan ke

114


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran Taiwan memaksa buruh migran melalui perusahaan perekrut untuk melaksanakan pemeriksaan kesehatan bagi calon buruh migran yang akan ditempatkannya di Malang.48 Dalam hal ini, pelaksana penempatan swasta hanya menuliskan besaran biaya untuk pemeriksaan kesehatan saja, sementara komponen pembiayaan lainnya seperti transportasi, konsumsi dan akomodasi dituliskan di komponen pembiayaan lainnya yang dibebankan kepada buruh migran yang biasanya melalui kredit konsumsi yang dibayarkan melalui skema potong gaji. Berkenaan dengan mekanisme pengaduan dan remidi, data menunjukkan bahwa tidaklah banyak buruh migran yang menempuh remidi melalui pelayanan pengaduan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh masyarakat sipil di daerah tersebut. Di Indramayu contohnya, sebanyak 30-an kasus telah ditangani oleh SBMI Indramayu di tahun 2015-2016. Dari kasus tersebut, hanya 2 kasus yang berusaha diselesaikan di dinas tenaga kerja setempat. Sebagian besar kasus dirujuk ke pemerintah pusat karena memiliki peluang lebih besar dalam hal tingkat keberhasilan dan efektivitas penyelesaian sengketa ketenagakerjaan.49 Lain halnya di Banyuwangi, jumlah kasus yang dirujuk ke pemerintah pusat tidak sebanyak seperti di Indramayu. Meski kedua masyarakat sipil tersebut sama-sama mendampingi kasus buruh migran dalam jumlah yang banyak, SBMI Banyuwangi dalam kurun waktu 2016 – 2017 telah dan sedang mendampingi 30 kasus buruh migran, berupaya membangun mekanisme remidi di daerah melalui efektivitas pelayanan oleh dinas tenaga kerja atau P4TKI setempat.50 Akan tetapi, dua daerah tersebut rasanya sepakat dengan mengatakan bahwa kecenderungannya masih sangat lemah dalam penegakkan hukum untuk aspek pidana yang menyangkut permasalahan buruh migran seperti tindak pidana perdagangan orang yang dialami oleh buruh migran. Di Indramayu contohnya, sejauh ini SBMI Indramayu telah mengadukan tiga kasus dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang. Akan tetapi dari tahun 2015 hingga 2017, status kasusnya tidak pula naik ke pemeriksaan di level dakwaan oleh kejaksaan negeri. Bahkan, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) oleh Kepolisian Resor Indramayu diperoleh oleh pelapor atau pendamping jika diminta oleh kuasa hukum atau pendamping. Padahal SP2HP merupakan kewajiban kepolisian kepada pelapor dalam konteks hukum pidana. 48 Wawancara dengan Muhammad Afandi, Wakil Kepala Kantor Cabang PT Pamor Sapto Dharmo pada Jumat, 20 Oktober 2017, di Kantor cabang PT Pamor Sapto Dharmo, Tegalsari, Banyuwangi 49 Wawancara dengan Juwarih, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia pada Jumat, 29 September 2017 di Sekretariat SBMI Indramayu 50 Wawancara dengan Agung Subastian, Ketua SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi.

115


Terlebih lagi, pemberitahuannya pun masih berkutat pada persoalan penyidikan dan penyelidikan, bukan pada perkembangan perkara yang menggembirakan pelapor mengenai status perkara yang diadukan. Baru setelah SBMI Indramayu menggelar aksi dengan jumlah massa ribuan pada hari buruh migran sedunia tahun 2016 lalu, tersangka ditahan tapi tak lama kemudian dilepaskan lagi dengan alasan tersangka kooperatif. SBMI Indramayu beberapa kali menggelar pertemuan dengan Kepolisian Resor Indramayu, dan kepala kepolisian resor Indramayu komitmen akan menyelesaikan kasus tersebut. Tapi pada kenyataannya, kasus yang dilaporkan belum ada perkembangan yang signifikan, seperti contohnya, berkas pemeriksaan belum dilimpahkan ke kejaksaan negeri Indramayu.51 Sedangkan di Banyuwangi, terdapat 16 kasus dari 30 kasus di periode 2016-2017 yang diduga sebagai kasus tindak pidana perdagangan orang, di mana korbannya adalah buruh migran. Sejauh ini empat kasus sudah diadukan dan hanya satu kasus yang diterima oleh kepolisian resor Banyuwangi dengan alasan kelengkapan buktibukti pendukung telah lengkap. Akan tetapi, meskipun kasus tersebut diterima tapi tidak serta merta disidik dan diselidiki oleh kepolisian terhadap pihak-pihak yang terlibat. Faktanya, hingga saat ini, SBMI Banyuwangi sebagai kuasa hukum korban menerima SP2HP dari kepolisian resor Banyuwangi jika hal itu diminta oleh kuasa hukum atau pendamping korban.52 Sementara proses pelaporannya juga tidak baku, terkadang kepolisian meminta laporan dalam bentuk surat resmi, namun tidak jarang yang meminta agar korban datang sendiri untuk melapor. Kesan yang muncul dari proses ini seolah-oleh mempersulit seseorang yang hendak melapor. Hal ini menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi korban karena merasakan sulitnya mengakses keadilan atas kerugian yang dideritanya. Dengan demikian, di benak korban memunculkan ketidakpastian atas upaya penuntutan keadilan melalui mekanisme peradilan yang ada. Dalam setiap kasus pidana buruh migran, TPPO misalnya, sebenarnya korban tidak hanya menuntut atas kerugian yang telah dideritanya, tapi juga ingin menghukum pelaku yang telah memanfaatkannya sehingga menimbulkan kerugian atas diri korban. Tumpulnya penegakkan hukum bagi permasalahan buruh migran membuat asa pun pupus karena satu-satunya arena untuk menuntut keadilan juga tidak berpihak kepada buruh migran. Dengan demikian, menurut paralegal Banyuwangi dapat dikatakan bahwa penegakkan hukum di daerah masih kurang begitu dirasakan oleh buruh migran dan anggota

51 Wawancara dengan Juwarih, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia pada Jumat, 29 September 2017 di Sekretariat SBMI Indramayu 52 Wawancara dengan Agung Subastian, Ketua SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi.

116


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran keluarganya.53 Kotak 4.2 Rido bersama istrinya, Sintia, bermaksud berangkat ke luar negeri bersamasama atas tawaran kerja dari Yadi dan Helmi. Dua orang tersebut merupakan sponsor yang cukup dikenal oleh warga sekitar. Sponsor menawarkan pekerjaan sebagai petugas kebersihan (cleaning service) di airport Brunei Darussalam. Rido sudah membayar biaya penempatan seperti yang disampaikan oleh sponsor sebesar 9 juta rupiah untuk dua orang (Rido bersama istrinya). Tapi hingga 6 bulan berjalan Rido mendaftar tidak ada kejelasan mengenai keberangkatan mereka. Padahal, segala sesuatunya sudah disiapkan termasuk dokumen persyaratan. Selama proses tersebut, Rido akhirnya menjadi tahu bahwa bukan hanya dirinya dan istrinya saja yang merasa ditipu oleh sponsor, melainkan terdapat 8 orang lainnya yang mengalami permasalahan yang sama seperti Rido dengan sponsor yang sama pula. Akhirnya mereka semua sepakat agar dibatalkan saja proses keberangkatannya ke Brunei Darussalam dan meminta uang tersebut dikembalikan oleh sponsor. Rido dan istrinya mengaku telah meminta bantuan pelbagai pihak, mulai dari LSM lokal dan wartawan. Tapi usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Malah Rido harus mengeluarkan uang terus menerus untuk biaya penanganan kasus untuk oknum LSM dan wartawan tersebut. Rido dan Sintia, akhirnya, menerima kontak SBMI Banyuwangi dari salah satu rekannya yang juga korban. Pihak SBMI Banyuwangi mengatakan agar semua korban berkumpul sehingga dalam proses pengaduan akan lebih mudah proses penyelesaiannya. SBMI Banyuwangi meminta agar Rido dan seluruh korban Yadi dan Helmi melaporkan kasus tersebut ke dinas tenaga kerja kabupaten Banyuwangi. Perkara mereka sempat dimediasi oleh Disnaker Banyuwangi sebanyak tiga kali. Mediasi pertama mengalami kebuntuan karena tidak membuahkan kesepakatan. Mediasi kedua menyepakati pihak Yadi dan Helmi mengakui kesalahan mereka tapi belum menemui kesepakatan untuk uang yang harus dikembalikan kepada para korban. Mediasi ketiga menghasilkan bahwa Yadi dan Helmi harus mengembalikan semua uang yang dipungut dari para korban. Dari keseluruhan proses mediasi oleh Disnaker, Rido dan rekan-rekannya melihat bahwa Disnaker, dalam hal ini adalah Kepala Bidang Penempatan, kurang berpihak kepada buruh migran. Malah keberpihakan mereka lebih kepada Yadi dan Helmi. Rido beranggapan bahwa 53 Wawancara dengan Wawan Kuswanto, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi.

117


semacam ada ketakutan yang dirasakan oleh Disnaker karena setiap proses mediasi, Yadi dan Helmi selalu membawa seluruh kawan-kawannya yang oknum LSM dan wartawan itu yang jumlahnya mencapai belasan orang. Posisi terakhir dari perkara ini, Helmi dan Yadi telah mengembalikan sebagian dari uang yang diambilnya. Itupun bertahap cara pengembaliannya. Hingga saat ini, Rido dan Sintia baru menerima setengah dari uang yang disetorkan oleh Yadi dan Helmi. Proses pengembalian uang tersebut selalu molor dari jadwal pembayaran yang telah ditetapkan pada saat mediasi. Dari keseluruhan proses tersebut, Rido dan Sintia mengaku hanya pada saat mengalami masalah saja berhubungan dengan Disnaker Banyuwangi. Sebelumnya untuk proses pendaftaran, Rido dan Sintia mengaku tidak pernah dibawa ke Disnaker Banyuwangi. Pembuatan rekomendasi paspor pun juga urung dilakukan karena mereka membuat paspor di Tulungagung melalui perantara calo dengan membayar 1,5 juta rupiah. Di Kupang sebagai salah satu daerah dengan tingkat migrasi tidak prosedural yang tertinggi di Indonesia dihadapkan dengan tantangan mengenai penegakkan hukum untuk kasus-kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang. Begitu mengguritanya jaringan pelaku perdagangan orang yang mengorbankan buruh migran di Kupang, daerah ini mesti berjuang antar korsa di tubuh anggota kepolisian. Pada akhir 2014 lalu, seorang prajurit kepolisian bernama Rudy Soik yang menjabat sebagai penyidik direktorat kriminal khusus kepolisian daerah Nusa Tenggara Timur, mengaku bahwa dirinya dikriminalisasi oleh atasannya sendiri ketika sedang melakukan penangkapan kepada Ismail Pati Sanga sebagai terduga pelaku tindak pidana perdagangan orang. Hal itu terkait kasus 26 dari 52 buruh migran yang hendak diberangkatkan ke luar negeri oleh perekrut bernama Ismail Pati Sanga di sebuah penampungan yang tak manusiawi. Langkahnya sempat terhenti dan Rudy Soik harus menjalani hukuman penjara selama empat bulan karena pada saat yang bersamaan dilaporkan oleh Ismail Pati Sanga dengan tuduhan tindak penganiayaan oleh Rudy Soik. Proses hukum Rudy Soik justru sangat cepat, di mana selang beberapa jam Rudy Soik langsung ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan.54 Dengan demikian, baik di Jawa maupun kawasan luar jawa, hal ini dapat dikatakan bahwa penegakkan hukum yang mengorbankan buruh migran masih terlihat suram di seluruh penjuru Indonesia. Reintegrasi merupakan hak buruh migran pasca penempatan. Dengan kata

54 Lihat pranala berikut untuk informasi lebih lanjut “SBMI Dukung Rudy Soik Berantas Perdagangan Orang di NTT� https://buruhmigran.or.id/2014/09/04/sbmi-dukung-rudy-soit-berantasperdagangan-orang/ diakses dan diolah pada Selasa, 5 Desember 2017 pukul 20.37

118


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran lain reintegrasi dimaksudkan agar buruh migran dapat menyatu kembali dengan keluarga dan komunitasnya di daerah asal. Praktik yang paling umum dilakukan pemerintah adalah melalui pemberdayaan bagi purna buruh migran. Pengalaman di Banyuwangi menunjukkan bahwa sinergitas antar instansi atau dinas belum cukup terjalin efektif. Masing – masing memiliki program sendiri-sendiri tanpa memperhatikan perubahan mengenai peningkatan keahlian terhadap kelompok yang telah diintervensi melalui program oleh dinas lainnya. Di Kecamatan Bangorejo misalnya, yang merupakan daerah penghasil buah, ketika daerah tersebut sudah diselenggarakan bimbingan teknis mengenai minuman olahan kepada mantan buruh migran oleh dinas perindustrian, seharusnya dinas tenaga kerja meningkatkan keahlian pemasaran atau fasilitasi sarana prasarana pemasaran. Namun yang terjadi tidak demikian. Dinas tenaga kerja malah membuat program yang serupa dari dinas lain. Dengan begitu terlihat tidak efektif, tidak efisien dan tumpang tindih dalam pelaksanaannya .55 Pengalaman reintegrasi di Indramayu malah cenderung mengejutkan. Hal ini seolah-olah terdapat dugaan bahwa dinas tenaga kerja setempat telah memetakan organisasi atau komunitas mana saja yang bergelut di bidang pemberdayaan buruh migran dan organisasi atau komunitas yang konsen terhadap pendampingan permasalahan buruh migran. Di balik semua dugaan tersebut, isu pelayanan oleh pemerintah daerah yang sebenarnya mencuat adalah transparansi dan keterbukaan pada setiap kebijakan-kebijakan pemberdayaan buruh migran. Jika prinsip partisipatif dan terbuka dijalankan oleh pemerintah daerah di dalam penyelenggaraan kebijakan reintegrasi, maka sebenarnya kecurigaan tersebut tidak akan muncul. Dalam upaya mendekatkan pelayanan kepada buruh migran, beberapa daerah kantong mulai mendirikan pusat pelayanan terpadu. Di Indramayu misalnya telah didirikan Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) sejak 2016 lalu. Sedangkan di Banyuwangi baru saja mendirikan mall pelayanan publik. Meski kedua-dua institusi tersebut memiliki perbedaan desain yang signifikan, tapi pada dasarnya model tersebut memiliki fungsi yang sama, yakni meletakkan pelayanan yang biasanya dilakukan oleh instansi terkait ke dalam satu bangunan pusat pelayanan. LTSP hanya memfokuskan rangkaian pelayanan terhadap calon buruh migran yang hendak berangkat. Sedangkan mall pelayanan publik meliputi pelayanan yang bersifat umum mulai dari perizinan, kependudukan, ketenagakerjaan, pendidikan, dan seterusnya yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. 55 Wawancara dengan Wawan Kuswanto, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi.

119


Terdapat beberapa keraguan oleh masyarakat sipil mengenai pusat pelayanan terpadu di atas. Meski dari desain terkesan hal itu efektif dan efisien, namun pusat pelayanan tersebut belum tentu menjawab atas kebutuhan pelayanan kepada masyarakat. Di Indramayu contohnya, LTSP belum memiliki parameter dan keberpihakan terhadap buruh migran dalam mekanisme remidi. Hal ini berkaitan dengan kedudukan hukum bagi seorang mediator, apakah benar yang bersangkutan telah memiliki kualifikasi dan sertifikasi sebagai seorang mediator dan bertindak atas tata usaha negara. Karenanya, mekanisme penyelesaian perkara buruh migran selalu ditempuh melalui jalur mediasi. Bahkan, mediasi bisa dilakukan lebih dari empat kali, tentunya hal ini tidak sesuai dengan ketentuan.56 Fakta yang terjadi adalah siapapun boleh diperkenankan masuk meski tidak memiliki hubungan atau tanggung jawab hukum atas siapa yang bertikai sehingga tempat tersebut malah dijadikan sebagai tempat berkumpul oknum lembaga swadaya masyarakat yang tidak memiliki kejelasan fungsi dan menambah persoalan buruh migran. Begitu menjumpai buruh migran yang meminta pelayanan pengaduan di LTSP, dengan serta merta berusaha terlibat dan seolah-olah menawarkan solusi atas perkara yang dialami oleh buruh migran.57 Padahal, mekanisme pendampingan kepada penerima bantuan telah diatur jelas mengenai tata caranya dalam undang-undang nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum beserta peraturan turunannya. Pusat pelayanan malah berubah menjadi konsentrasi sarang penyamun yang siap menghisap rente dari keringat buruh migran. Lain halnya seperti yang terjadi di Banyuwangi yang baru saja mendirikan mall pelayanan publik. Selain persoalan campur tangan oleh oknum wartawan dan lembaga swadaya masyarakat yang tidak memiliki keberpihakan kepada buruh migran, mall pelayanan publik tak ubahnya hanya sarana pindah kantor saja. Hal itu tidak akan memberikan perubahan yang signifikan terhadap perbaikan pelayanan ketika standarnya belum menempatkan pemenuhan hak warga negara sebagai indikator keberhasilan pelayanan publik. Dalam hal tersebut, pelayanan dilihat ke dalam dua sudut pandang. Pertama adalah kondisi di mana ASN mampu menempatkan diri sebagai pelayan publik negara. Jika kondisinya demikian, ASN ini menyadari bahwa keloyalannya sebagai pelayan publik dan menempatkan publik sebagai yang utama dalam pekerjaannya. Kedua, di mana ASN menempatkan diri sebagai pelayan bupati/walikota atau penguasa. Kondisi yang kedua ini adalah 56 Lihat pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 22 tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum 57 Wawancara dengan Juwarih, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia pada Jumat, 29 September 2017 di Sekretariat SBMI Indramayu

120


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran kontradiktif untuk aspek ideal dalam pelayanan publik. Terkadang yang terjadi berkebalikan, ASN yang seharusnya melayani publik buruh migran, justru lebih condong terhadap penguasa dengan kepemilikan kapital yang dalam hal ini adalah calo.58 4.3.2 Pemerintah Provinsi sebagai Representasi Pemerintah Pusat Tak satupun negara dengan wilayah yang luas mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan dan program-programnya secara efektif dan efisien melalui sistem sentralistik. Di Indonesia, misalnya, pelimpahan kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menganut sistem desentralisasi, apakah pelimpahan tersebut bersifat pada pilihan devolusi, dekonsentrasi, delegasi ataupun bahkan privatisasi, hal tersebut tergantung dari para pengambil keputusan politik penguasa pada rezim yang bersangkutan. Terdapat tujuh elemen dasar yang membangun entitas pemerintah daerah, yakni urusan pemerintahan, kelembagaan, personalia (ASN), keuangan daerah, perwakilan daerah, pelayanan publik dan pengawasan. Jika sebelumnya mekanisme pembagian urusan pemerintahan tersebut mengikuti konsep urusan sisa (residual functions) yang diserahkan ke tingkat kabupaten/ kota dan desa sementara urusan pemerintahan di tingkat pusat dan di tingkat provinsi ditentukan secara jelas dan spesifik, sedangkan cakupan urusan sisa yang diserahkan ke kabupaten/kota dan desa sangat luas, maka menimbulkan kesan bahwa di kabupaten/kota mengacu kepada prinsip otonomi luas atau general competence sedangkan otonomi terbatasnya (ultra vires) ada di tingkat provinsi. Dengan demikian, hal ini perlu pembagian dan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang terkoordinasi secara sinergis, konsisten, efektif dan efisien (Kementerian Dalam Negeri, 2011). Untuk itu, dalam hal ini, kepala daerah provinsi sebenarnya memegang dua peranan sekaligus, yakni sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai pelaksana otonomi daerah.59 Dalam urusan migrasi ketenagakerjaan yang sebenarnya hal tersebut merupakan urusan wajib yang tidak ada kaitannya dengan pelayanan dasar yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, pemerintah provinsi dapat mengatur urusan pemerintahan berdasarkan kewenangannya setelah pemerintah pusat mengatur dan menentukan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) lebih dulu. Pemerintah provinsi, selanjutnya, mengatur dan menentukannya di level lintas kabupaten/kota yang sesuai dengan batas wilayahnya. Dalam kaitan 58 Wawancara dengan Wawan Kuswanto, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi. 59 Pasal 4 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

121


migrasi ketenagakerjaan, UU nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia telah membagi urusan kewenangan antar level pemerintahan. Kewenangan provinsi berdasarkan asas konkuren yang terdapat di dalam ketentuan mengenai buruh migran secara umum dapat digarisbawahi yakni pelayanan perizinan PPTKIS/P3MI dan perekrutan, fasilitasi dokumen migrasi, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan/pelatihan vokasi, pengaduan dan remidi, pembinaan dan pengawasan, serta kepulangan dan pemberdayaan.60 Dari tiga pemerintah daerah provinsi yang menjadi lokasi sasaran atas kajian ini hanya provinsi Nusa Tenggara Timur saja yang belum memiliki produk hukum yang mengatur mengenai penempatan dan pelindungan buruh migran. Proses yang terjadi hingga penghujung tahun 2017 sedang dilaksanakan pembahasan antara pemerintah provinsi dan DPRD Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, dua daerah lainnya, yakni provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur telah memiliki produk hukum yang secara khusus mengatur mengenai buruh migran. Malahan, peraturan daerah Jawa Timur telah selesai direvisi dan ditetapkan di tahun 2016. Tentunya hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam konteks pelaksanaan penempatan dan pelindungan buruh migran oleh pemerintah daerah provinsi, di mana di tahun 2017 pemerintah telah menetapkan perubahan undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang menjadi rujukan atas peraturan daerah yang mengatur tentang buruh migran. Terlebih lagi, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, sejumlah produk hukum di level provinsi yang mengatur mengenai buruh migran telah ditetapkan yang masih merujuk UU PPTKILN.

Tabel 4.2 Peraturan Daerah Provinsi Mengenai Buruh Migran yang Diterbitkan Beberapa Tahun Terakhir No Nomor Peraturan

Judul Peraturan Daerah

Provinsi

1

Pelayanan Penempatan dan Nomor 4 tahun 2016 Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri

Jawa Timur

2

Nomor 1 tahun 2016 Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Nusa Tenggara Barat

3

Nomor 16 tahun 2014

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Provinsi Lampung ke Luar Negeri

Lampung

60 Lihat Pasal 40 UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

122


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran

4

Nomor 9 tahun 2013

Pedoman Penempatan dan Perlindungan Jawa Barat Tenaga Kerja Indonesia Asal Jawa Barat

Perubahan peraturan perundang-undangan tersebut diikuti pula perubahan substansi pada norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) yang menjadi rujukan pembentukan peraturan daerah. Beberapa perubahan di dalam pokok pikiran yang terdapat di dalam undang-undang yang baru (UU 18/2017) tidak tersedia atau bahkan direduksi ketentuannya dari undang-undang yang lama (UU 39/2004). Poin penting yang menjadi sorotan dari perbandingan tersebut seperti ketentuan mengenai perijinan dan pendataan, perekrutan, pelatihan vokasi, pembiayaan, jaminan sosial, peran atase ketenagakerjaan, peran antar level pemerintahan, layanan terpadu satu atap, kelembagaan, peran serta masyarakat, pemberdayaan dan reintegrasi. Meski demikian, di dalam ketentuan penutup UU yang baru juga disebutkan bahwa semua peraturan pelaksanaan dari UU yang lama masih tetap berlaku ketika ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang baru.61 Akan tetapi, mengingat begitu banyak perubahan substansi yang terdapat di dalam UU yang baru, jika tetap merujuk kepada UU yang lama dalam pelaksanaannya, maka hal tersebut dapat dinilai sebagai kerugian. Hal itu karena UU yang baru mengatur lebih lengkap mengenai hak-hak buruh migran dan lebih detail mengenai ketentuan prosedur pelaksanaan oleh pemerintah yang ditetapkan di dalamnya. Pertentangan di atas memunculkan persoalan di daerah, di mana hal itu dinilai telah terjadi inefisiensi anggaran karena pemerintah daerah telah melaksanakan pembahasan dan penetapan peraturan daerah dengan merujuk kepada undangundang yang sudah dicabut. Terlebih lagi intensitas pembahasan UU yang baru terlihat aktif dilaksanakan oleh rezim presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Artinya, sejak 2015 pembahasan UU baru selalu masuk program legislasi nasional yang kemudian ditetapkan di tahun 2017. Persoalannya adalah mengapa pemerintah daerah tetap bersikukuh memasukkan peraturan daerah mengenai buruh migran ke dalam program legislasi daerah, meskipun pada hakikatnya pemerintah daerah sudah mengetahui proses yang terjadi di level nasional pada periode tersebut. Dampak dari keegoisan pemerintah daerah tersebut membuat peraturan daerah yang sudah dibahas dan ditetapkan tidak mencakup NSPK yang telah berubah antara ketentuan yang lama dan ketentuan yang baru. Beberapa aspek kewenangan yang secara signifikan telah berubah adalah mengenai proses 61 Lihat pasal 89 UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

123


perekrutan kepada buruh migran pada nantinya adalah pendaftaran di mana buruh migran yang harus mendatangi langsung dinas tenaga kerja dan PPTKIS/P3MI harus melakukan seleksi kepada calon buruh migran serta pendidikan dan pelatihan yang telah berubah menjadi pelatihan vokasi yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta yang terakreditasi. Dua aspek penting yang secara substansi telah berubah pada UU yang baru, di mana hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah daerah. Di Jawa Timur, misalnya, sebelumnya telah memiliki peraturan daerah nomor 2 tahun 2004 tentang pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia, kemudian direvisi menjadi peraturan daerah nomor 4 tahun 2016 tentang pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, di mana substansi peraturan daerah yang baru dinilai oleh pegiat buruh migran di Jawa Timur lebih buruk daripada yang lama. Jika peraturan daerah yang lama telah mengatur dua poin penting, yakni pembentukan Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPT P3TKI) di mana institusi ini merupakan perangkat di bawah dinas tenaga kerja Jawa Timur sehingga memudahkan proses koordinasi. Sepintas fungsi UPT P3TKI menyerupai LTSA yang baru-baru ini digagas oleh kementerian ketenagakerjaan, tapi fungsinya bahkan lebih maju karena UPT P3TKI mampu menyelesaikan kasus-kasus buruh migran di daerah. Tambahan lagi, di dalam peraturan daerah yang lama juga mengamanahkan kepada PPTKIS/P3MI yang kantor pusatnya di luar Jawa Timur harus mendirikan cabang di Jawa Timur jika hendak merekrut buruh migran asal Jawa Timur. Proses ini dinilai tepat untuk memudahkan pengawasan kepada PPTKIS/P3MI. Selanjutnya peraturan daerah yang lama juga mengatur mengenai pelindungan keluarga buruh migran, khususnya pelindungan anak buruh migran yang ditinggalkan, di mana hal ini sebenarnya tidak dirinci oleh UU yang lama tapi justru diatur oleh peraturan daerah Jawa Timur.62 Dalam pelaksanaan proses perekrutan, pengalaman dari kajian ini menunjukkan bahwa pemberian Surat Pengantar Rekrut (SPR) kepada PPTKIS/P3MI oleh dinas tenaga kerja provinsi mengindikasikan bahwa tidak satupun daerah yang bisa melaksanakan dalam waktu satu hari kerja. Meskipun di dalam ketentuan sudah sangat jelas bahwa amanah dari peraturan menteri adalah satu hari kerja untuk pelayanan penerbitan SPR.63 Alasan mengenai mengapa hal tersebut tidak terlaksana dalam waktu satu hari dikarenakan oleh proses pemeriksaan dokumen

62 Wawancara dengan Cholily, Direktur Migrant Aid, pada hari Selasa, 24 Oktober 2017 di Kantor Migrant Aid Jember 63 Lihat pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 22 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

124


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari persyaratan penerbitan SPR. Di Jawa Timur, misalnya, setelah dokumen diperiksa oleh pejabat yang berwenang acap kali ditemukan bahwa surat izin perusahaan penempatan (SIPPTKIS/SIP3MI) sudah kadaluarsa.64 Sementara itu, Surat Izin Perekrutan (SIP) yang diterbitkan oleh BNP2TKI tidak berlaku mengikat bahwa jaminan dan tanggung jawab hukum dari pejabat yang menerbitkan berlaku untuk pejabat BNP2TKI. Untuk itu, jika terjadi kesalahan di dalam penerbitan SPR akan menjadi tanggung jawab pejabat dinas tenaga kerja provinsi yang bersangkutan. Meskipun pelayanan sudah dilakukan secara dalam jaringan (online) melalui SISKOTKLN, tapi tanpa ada jaminan yang mengikat dari setiap proses juga akan sulit dilakukan secara cepat dan serta merta. SISKOTKLN memang memudahkan proses migrasi, akan tetapi jika norma hukumnya tidak diatur sedemikian rupa, juga berakibat fatal bagi pihak yang berwenang jika di kemudian hari dijumpai kesalahan yang berkonsekuensi terhadap sangsi kepada pejabat tersebut. SPR selalu menjadi polemik antar instansi di level provinsi sejak pelaksanaan UU 39/2004. Pada awal berdirinya BP3TKI Bandung, misalnya, baik dinas tenaga kerja provinsi dan BP3TKI sama-sama menerbitkan SPR. Hal ini mengindikasikan ketidakpastian pelayanan oleh pemerintah, sehingga PPTKIS/P3MI pada akhirnya memiliki pilihan kecenderungan dalam hal permintaan pelayanan kepada pemerintah. Jika PPTKIS/P3MI lebih puas dengan pelayanan oleh dinas tenaga kerja provinsi, maka mereka meminta SPR kepada dinas tenaga kerja provinsi. Begitupun sebaliknya yang terjadi di BP3TKI. Selain memiliki ketidakpastian, hal ini juga membingungkan bagi PPTKIS/P3MI, di mana persoalan birokrasi menambah panjangnya rantai proses penempatan bagi buruh migran.65 Kemudian, polemik itu baru berakhir setelah ditetapkannya ketentuan mengenai siapa pejabat yang berwenang untuk menerbitkan SPR di level pemerintah daerah provinsi.66 Hingga saat ini, PPTKIS/P3MI masih bimbang dengan kebijakan dinas tenaga kerja provinsi yang berkaitan dengan penerbitan SPR. Dalam kaitan ini, PPTKIS/ P3MI mengajukan jumlah kuota untuk setiap kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Dengan demikian, PPTKIS/P3MI hanya berasumsi tanpa memiliki pertimbangan yang pasti bagaimana pengusulan jumlah buruh migran di masingmasing kabupaten/kota. Akibatnya, usulan tersebut acap kali dibatalkan oleh dinas 64 Wawancara dengan Riyanto, Kepala PTSP P2TKI Jawa Timur pada hari Senin, 23 Oktober 2017 di Kantor PTSP P2TKI, Jawa Timur 65 Wawancara Kepala Bidang Penempatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat pada hari Senin, 2 Oktober 2017 di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat 66 Lihat pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 22 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

125


tenaga kerja provinsi dengan ketidakpastian waktu dan jumlah untuk setiap daerah kabupaten/kota yang dipilih oleh PPTKIS/P3MI. Padahal, pihaknya sudah merekrut sejumlah buruh migran yang diusulkan sendiri, tapi proses penerbitannya yang lama dan tidak pernah selesai dalam waktu satu hari juga menjadi persoalan.67 Dampak tersebut, tentu saja, memiliki implikasi pelayanan terhadap buruh migran yang dilaksanakan oleh PPTKIS/P3MI. Alasan molornya penerbitan SPR juga mengakibatkan banyak PPTKIS/P3MI merekrut calon buruh migran tanpa memiliki izin. Malahan, dari perekrutan tidak prosedural yang terjadi biasanya buruh migran sudah ditampung terlebih dahulu untuk proses pendidikan dan pelatihan, padahal sebenarnya belum diperkenankan untuk menjalani proses tersebut karena belum memiliki izin perekrutan. Dari situasi ini, terdapat pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari situasi sulit tersebut yang mengakibatkan PPTKIS/ P3MI harus mengeluarkan biaya lebih banyak, dan tentu saja, PPTKIS/P3MI akan menagihnya kepada buruh migran melalui skema pembiayaan penempatan.68

Gambar 4.3 Pendidikan dan Pelatihan di BLKLN Gilang Falna Mandiri, Indramayu

Proses penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang untuk selanjutnya di dalam UU yang baru disebut sebagai pelatihan vokasi merupakan salah satu 67 Wawancara dengan Subhan Pulo, Kepala Cabang PT Qafco pada hari Sabtu tanggal 26 Agustus 2017 di kantor cabang PT Qafco, Kupang 68 Wawancara dengan Muhammad Afandi, Wakil Kepala Kantor Cabang PT Pamor Sapto Dharmo pada Jumat, 20 Oktober 2017, di Kantor cabang PT Pamor Sapto Dharmo, Tegalsari, Banyuwangi

126


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran elemen terpenting dalam proses sebelum keberangkatan. Proses ini merupakan peningkatan keterampilan calon buruh migran untuk spesifikasi sektor tenaga kerja tertentu bagi buruh migran. Setiap buruh migran yang mengikuti pendidikan dan pelatihan umumnya mereka yang telah memiliki identitas (ID) sebagai calon buruh migran yang diterbitkan oleh dinas tenaga kerja kabupaten/kota yang kemudian dicatatkan ke dalam SISKOTKLN. Akan tetapi, tidak sedikit pula dijumpai bahwa calon buruh migran yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di BLKLN swasta terlebih dahulu, setelah memperoleh sertifikat kompetensi kerja, mereka baru mendaftar ke luar negeri melalui PPTKIS/P3MI. Kemungkinan terjadi proses seperti ini karena PPTKIS/P3MI yang bersangkutan belum memiliki SIP atau penawaran kerja untuk merekrut calon buruh migran.69 Pihak BLKLN swasta pun juga tidak bisa menolak ketika terdapat calon buruh migran yang mendaftar untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan walaupun belum memiliki ID. Namun, mereka harus membayar sendiri mengenai pembiayaan. Berdasarkan ketentuan telah mengamanatkan bahwa kewajiban PPTKIS/P3MI melalui BLKLN swasta untuk menyelenggarakan 400 jam pelatihan untuk calon buruh migran negara tujuan Timur Tengah, 600 jam untuk kawasan Asia Pasifik dan 200 jam untuk Malaysia dan Singapura,70 namun masih banyak dijumpai buruh migran yang sebenarnya belum memiliki standar pelatihan dan kualifikasi tapi tetap saja diberangkatkan oleh PPTKIS/P3MI. Hal ini terjadi di semua daerah, di mana biasanya visa kerjanya sudah diterbitkan oleh negara tujuan sebelum proses pendidikan dan pelatihan telah rampung, sehingga mereka segera diberangkatkan, tanpa memperhitungkan kompetensi dan kesepakatan pembiayaan yang secara penuh sudah dibayar oleh buruh migran. Dampak dari praktik seperti ini selain BLKLN tidak patuh pada ketentuan juga berakibat pada kerugian yang mesti ditanggung oleh buruh migran. Belakangan BNP2TKI menghapuskan syarat ketentuan jam pelajaran bagi calon buruh migran untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di BLKLN.71 Kasus yang paling sering dijumpai oleh masyarakat sipil di daerah seperti tiba-tiba buruh migran dipulangkan dari negara tujuan penempatan sebab memiliki keterbatasan komunikasi dengan majikan. Dengan kata lain, hal ini

69 Wawancara dengan Anita, Kepala BLKLN Gilang Falna Mandiri pada hari Kamis, 28 September 2017 di PT Raeng Noto Bersama, Indramayu 70 Lihat informasi selengkapnya melalui tautan yang berjudul “Tahun 2014, BNP2TKI Tunda Layan 266 BLKLN,” http://www.bnp2tki.go.id/read/9823/-Tahun-2014-BNP2TKI-Tunda-Layan-266-BLK-LN diakses dan diolah pada 24 Oktober 2017 pukul 5.35 71 Lihat informasi selengkapnya pada tautan yang berjudul “Durasi Pelatihan TKI akan Dihapus,” http://industri.bisnis.com/read/20160204/12/516352/durasi-pelatihan-tki-akan-dihapus diakses dan diolah pada 24 Oktober 2017 pukul 5.55

127


merupakan permasalahan yang terjadi pada saat proses pelatihan di BLKLN swasta, meski mereka sebenarnya telah mengikuti ujian kompetensi dan telah memiliki sertifikasi kompetensi kerja. Calon buruh migran tersebut sebenarnya belum sepantasnya untuk diberangkatkan ke luar negeri untuk bekerja. Senada dengan pernyataan masyarakat sipil, dinas tenaga kerja provinsi sering pula menemui kasus seperti rujukan visa kerjanya telah diterbitkan oleh departemen tenaga kerja di negara tujuan, selanjutnya, dengan serta merta PPTKIS/P3MI langsung mengikutkan ujian kompetensi calon buruh migran tanpa harus memenuhi jam pelajaran pertemuan pada proses pendidikan dan pelatihan. Sementara itu dinas tenaga kerja provinsi tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi proses uji kompetensi yang dilakukan oleh penera (assessor) karena hal itu merupakan kewenangan BNSP.72 Pelaksanaan pelayanan pengaduan sebagai akses remidi atas permasalahan yang dialami oleh buruh migran merupakan kewenangan yang dimiliki oleh dinas tenaga kerja provinsi. Dalam hal ini kasus-kasus buruh migran dapat dibagi menjadi dua, yakni permasalahan pidana dan perdata. Permasalahan pidana meliputi penipuan, pemalsuan, pemerasan, penyekapan dan lainnya hingga tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sedangkan permasalahan perdata biasanya berkaitan dengan kontraktual seperti ketidaksesuaian atau wanprestasi atas pihak yang mengadakan perjanjian, di mana mengatur mengenai sektor ketenagakerjaan, ketentuan negara tujuan, gaji dan pembiayaan serta asuransi. Namun, tidak sedikit pula permasalahan sosial yang dialami oleh buruh migran seperti keterlantaran karena dideportasi oleh negara tujuan, sakit dan meninggal dunia di negara tujuan penempatan dengan status tidak berdokumen juga menjadi bagian dari pelayanan yang dilakukan dinas provinsi. Jika permasalahannya adalah demikian biasanya dinas berkoordinasi dengan dinas sosial provinsi untuk penanganan masalah kesejahteraan sosial. Peran pengawas ketenagakerjaan merupakan kewenangan dinas tenaga kerja provinsi, di mana di antaranya merupakan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Selain jumlahnya kurang mencukupi dalam sebarannya di lintas kabupaten/ kota dalam wilayah administratif provinsi, tapi PPNS dinilai kurang memiliki keberpihakan terhadap buruh migran. Sebagian kalangan masyarakat sipil berpendapat bahwa walaupun terdapat PPNS di dinas tenaga kerja provinsi, upaya remidi yang ditempuh tetap melalui pendekatan mediasi yang diselenggarakan

72 Wawancara dengan Riyanto, Kepala PTSP P2TKI Jawa Timur pada hari Senin, 23 Oktober 2017 di Kantor PTSP P2TKI, Jawa Timur

128


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran oleh dinas tenaga kerja provinsi.73 Hal ini dikarenakan dinas tenaga kerja selalu merujuk UU PPTKILN, di mana penyelesaian sengketa boleh melalui pendekatan musyawarah kekeluargaan juga diatur di dalamnya.74 Pemahaman yang keliru mengenai pelindungan berakibat fatal bagi akses keadilan buruh migran. Gejala ini ditunjukkan jika tingkat kerugian yang secara jelas bukti-buktinya dialami oleh buruh migran lebih besar, tapi fungsi pemerintah melalui pengawas ketenagakerjaan hanya sebatas penengah saja, bukan sebagai pelindung. Hal ini pula menyangkut masalah pidana yang dialami oleh buruh migran. Kendati demikian, supremasi hukum di level pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam menangani permasalahan pidana yang dialami oleh buruh migran juga tidak digalakkan penegakannya. Mediasi, memang, bagian dari proses penyelesaian sengketa, namun mediasi belum tentu menjawab asas balas dendam dan asas kejeraan di dalam ketentuan hukum pidana terhadap pelaku yang telah berbuat tindak pidana kepada buruh migran.75 Imbas yang ditimbulkan dari lemahnya penegakkan hukum terhadap perkara yang menimpa buruh migran dapat mencakup multifaktor. Hal tersebut tidak hanya berkenaan dengan faktor hukum saja, melainkan buruh migran yang bermasalah juga akan terpapar pada faktor ekonomi, sosial dan budaya. Faktor ekonomi membuat buruh migran kehilangan atas hak remitansi karena mengalami kegagalan dalam memperoleh peluang pendapatan dan hak yang semestinya diterima oleh buruh migran dan anggota keluarganya. Sementara itu, faktor sosial berhubungan dengan interaksi dengan lingkungannya bahwa buruh migran tersebut bermasalah, di mana komunitas sosialnya akan selalu melihat nilai, simbol dan kode kesejahteraan dalam bentuk kebendaan yang melekat pada buruh migran bermasalah. Akibatnya buruh migran yang berperkara merasa terpinggirkan di komunitasnya yang merasa bahwa ia telah gagal. Sedangkan faktor budaya akan memproduksi kebiasaan buruk yang dipahami di masyarakat akibat dari ulah oknum APH, di mana buruh migran yang bermasalah akan merasa bahwa menuntut remidi melalui prosedur hukum yang berlaku bukanlah upaya untuk memperoleh hak-hak yang terlanggar karena mereka mempertimbangkan mengenai tingkat keberhasilannya yang sangat minim diterima oleh buruh migran bermasalah. Gejala ini akibat dari pengalaman proses penegakkan hukum mandul 73 Wawancara dengan Wawan Kuswanto Kadir, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi. 74 Pasal 85 ayat (1) UU nomor 39 tahun 2004 tentang PPTKILN. Ketentuan ini tidak mengalami perubahan di dalam, karena masih dijumpai pada pasal 77 ayat (1) UU nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia 75 Op.cit.

129


yang dialami oleh buruh migran. Konteks yang acap kali dijumpai adalah buruh migran enggan melaporkan kasus-kasus pidana yang dialaminya karena sudah merasa jumud dengan praktik penegakkan hukum. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, praktik penegakkan hukum yang mandul terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang berkontribusi kepada pemiskinan yang semakin akut. Migrasi ketenagakerjaan merupakan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, akan tetapi peluang tersebut dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mengeksploitasi warga yang menjadi buruh migran dengan segala keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh buruh migran. Walaupun Nusa Tenggara Timur telah ditetapkan sebagai daerah dengan status darurat perdagangan orang, hal ini tidak membuat pemerintah daerah provinsi untuk berbenah. Indikator yang mudah dilihat selain penegakkan hukum yang lemah adalah rendahnya keterbukaan dan pelibatan masyarakat sipil oleh pemerintah provinsi dalam upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Dengan demikian, proses pemantauan dan pengawasan oleh masyarakat sipil atas pemberantasan tindak perdagangan orang akan semakin sulit dipastikan mengenai proses hukum dan pemenuhan hak-hak buruh migran yang menjadi korban eksploitasi.76 Dalam perkara perdata ketenagakerjaan yang dialami oleh buruh migran, nampaknya persoalan ini belum menjadi perkara serius oleh pemerintah daerah provinsi dalam akses remidi bagi buruh migran. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa perkara perdata ketenagakerjaan buruh migran mencakup hak kontraktual buruh migran, yakni perjanjian penempatan, perjanjian kerja dan jaminan sosial melalui instrumen BPJS ketenagakerjaan ataupun melalui asuransi swasta. Perkaraperkara tersebut, kecuali asuransi atau jaminan sosial, amat jarang dilaporkan ke institusi di level pemerintah provinsi. Sebagai contoh pelanggaran perjanjian penempatan antara buruh migran dan PPTKIS/P3MI, di mana titik penekanannya terletak pada instrumen pembiayaan buruh migran, tidak banyak dilaporkan oleh buruh migran di level provinsi. Padahal, jika diteliti lebih rinci, hampir semua buruh migran yang ditempatkan oleh PPTKIS/P3MI mengalami pelanggaran perjanjian penempatan dalam perkara pembebanan biaya berlebih oleh PPTKIS/P3MI. Penempatan ke Taiwan, misalnya, jika perjanjian penempatan yang dibuat oleh buruh migran dan PPTKIS/P3MI dikonfrontasi dengan keputusan direktur jenderal pembinaan penempatan tenaga kerja kementerian ketenagakerjaan nomor 52 dan 53 tahun 2009 mengenai standar biaya penempatan buruh migran ke Taiwan untuk 76 Wawancara dengan Domingus Elcid Li, Direktur Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) pada tanggal 25 Agustus 2017 di kantor IRGSC, Kupang.

130


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran sektor informal dan formal, pastilah ditemui ketidaksesuaian antara klausul yang diperjanjikan dan fakta yang dialami oleh buruh migran Indonesia di Taiwan. Dinas tenaga kerja berkewajiban memeriksa dan mengesahkan setiap perjanjian yang dibuat oleh buruh migran dengan pelbagai pihak mengenai penempatan kerja. Walaupun dalam proses tersebut, pejabat yang berwenang sebenarnya mengetahui mengenai pelanggaran kontraktual tersebut, tapi nampaknya hal itu dibiarkan saja. Dinas tenaga kerja akan bertindak ketika muncul pengaduan dari buruh migran mengenai pelanggaran kontraktual. Dalam hal ini kita bisa menilai bahwa hingga saat ini pemerintah cenderung reaktif daripada aktif. Jika praktik supervisi oleh pemerintah selalu mengabaikan ketentuan mengenai perjanjian yang dibuat oleh buruh migran dengan PPTKIS/P3MI, maka hal ini akan selalu menghasilkan praktik pemburuan rente yang merugikan buruh migran. Berkaitan kepulangan buruh migran bermasalah karena dideportasi, sakit atau meninggal dunia dengan status tidak berdokumen sebenarnya hal ini dapat dikategorikan sebagai kelompok yang mengalami masalah kesejahteraan sosial. Dengan demikian dinas tenaga kerja provinsi sebenarnya dapat bekerja sama dengan dinas sosial provinsi yang penanggulangan problem tersebut yang dapat dikategorikan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).77 Di pelbagai daerah yang menjadi sasaran lokasi atas kajian ini menunjukkan bahwa persoalan tersebut dilaksanakan oleh BP3TKI. Akan tetapi, bentuk pelayanannya hanya bersifat taktis yang sebatas mobilisasi pemulangan jenazah buruh migran dari bandar udara atau pelabuhan kepada ahli warisnya. Mengenai persoalan apakah yang bersangkutan telah menerima hak-haknya atau tidak, bukan bagian dari prosedur dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial buruh migran, padahal mereka sebelumnya merupakan pekerja yang berhak atas upah dan remunerasi dari majikan di negara tujuan penempatan.

77 Pasal 40 huruf (b) UU nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

131


Gambar 4.4 Poster LPK di Pinggiran Jalan Jawa Timur

Problem pembinaan dan pengawasan selalu menjadi perhatian serius oleh masyarakat sipil di setiap pemerintah daerah provinsi. Inefektivitas pelaksanaan pembinaan dan pengawasan menyebabkan sengkarutnya penempatan yang dilakukan oleh swasta, baik itu penempatan oleh PPTKIS/P3MI atau penempatan oleh perseorangan. Belakangan muncul kasus-kasus buruh migran mengenai penempatan tidak prosedural yang diselenggarakan oleh LPK ke Jepang. Promosi mengenai tawaran dan penempatan kerja ke luar negeri yang berlebihan oleh pelaku penempatan swasta masih lazim terdengar di radio-radio dan televisi lokal serta begitu mudah terlihat di baliho, spanduk, poster, brosur dan alat promosi lainnya di desa-desa, di mana basis mayoritas buruh migran berasal. Pemandangan ini tak lebihnya sebagai kepungan hoax (informasi palsu) di desa-desa basis yang dibuat oleh oknum pelaksana penempatan swasta. Praktik yang begitu lazim yang membuat masyarakat kurang begitu sadar bahwa hal tersebut merupakan pembohongan publik. Akan tetapi, penyesatan atas informasi ini juga kurang ditertibkan oleh pemerintah melalui perangkat pengawas yang tersedia di dinas 132


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran tenaga kerja provinsi, di mana wilayah kerjanya adalah lintas kabupaten/kota. Pemerintah provinsi melalui perangkat dinas tenaga kerja setempat secara formal memiliki fungsi pembinaan dalam hal penempatan buruh migran kepada pemerintah yang berada di bawahnya, baik itu pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa. Hal itu boleh dilaksanakan, misalnya, dengan menugaskan kepada desa terkait supaya tertib administrasi kepada warganya yang hendak berangkat ke luar negeri atau penertiban poster dan spanduk di wilayah desa yang menawarkan penempatan kerja oleh PPTKIS/P3MI atau perekrut perseorangan. Lagipula, pembinaan secara langsung kepada pemerintah kabupaten/kota juga nampaknya sangat terbatas intensitasnya. Jika pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi efektif dilakukan, jenis-jenis promosi yang menyesatkan juga akan berkurang dan masyarakat dapat terhindar dari informasi menyesatkan yang diproduksi oleh oknum PPTKIS/P3MI atau perekrut perseorangan di daerah asal. Berdasarkan UU PPMI mengamanahkan kepada pemerintah provinsi yang berkewajiban mengurus layanan pemberangkatan dan kepulangan bagi buruh migran.78 Akan tetapi, praktik seperti ini berpotensi mengulang kembali pemusatan pelayanan kepulangan buruh migran seperti yang pernah beroperasi di Balai Pelayanan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (BPKTKI) Selapajang dulu jika tidak direncanakan secara bijak. Selain model seperti ini merupakan bentuk diskriminasi pelayanan terhadap buruh migran dengan masyarakat umum yang baru tiba dari luar negeri, di mana pada akhirnya malah mengkodifikasinya menjadi sarang penyamun untuk memeras buruh migran. Berkaitan dengan itu, mengingat model pelayanan kepulangan bagi buruh migran yang memperhatikan pelayanan yang setara dan sensitif gender terhadap buruh migran masih belum begitu diperhatikan oleh pemerintah. Padahal, berdasarkan pengalaman buruh migran bahwa mereka selalu merasa khawatir jika diwajibkan pulang melalui pemusatan pelayanan. Kendati demikian, walaupun tidak dilaksanakan melalui pemusatan pelayanan di debarkasi, kepentingan pendataan buruh migran yang baru pulang dari negara tujuan penempatan memang dipandang sebagai sebuah keniscayaan untuk akurasi dan sebaran jumlah warga negara. Terlebih lagi, pemerintah belum memanfaatkan teknologi informasi dan keramahan pelayanan bagi buruh migran yang baru pulang dari luar negeri. Kebutuhan itulah, pada dasarnya, yang diimpikan oleh buruh migran yang baru pulang dari luar negeri sebagaimana berjuluk pahlawan devisa. Pemberdayaan bagi mantan buruh migran dan anggota keluarganya merupakan 78 Pasal 40 huruf (f) UU nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

133


skema pelindungan setelah bekerja yang diatur di dalam ketentuan.79 Meski pelaksanaan pemberdayaan dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun kekhawatiran yang bakalan muncul adalah sinergitas pelaksanaan pemberdayaan antar level pemerintahan. Sejauh ini dari penilaian oleh masyarakat sipil, pelaksanaan program-program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, baik dari kementerian ketenagakerjaan maupun BNP2TKI, belum sepenuhnya melibatkan masyarakat sipil yang konsen terhadap isu buruh migran di tingkat provinsi. Malahan yang terjadi, program-program yang diselenggarakan oleh pemerintah mengkooptasi peran masyarakat sipil yang berakibat kepada menurunnya tingkat kritis terhadap pemerintah terkait dengan pelayanan pelindungan kepada buruh migran. Seperti halnya yang terjadi di Jawa Timur, di mana sebagian anggota masyarakat sipil yang aktif dalam advokasi hak buruh migran malah direkrut sebagai pendamping program atau paralegal ke dalam program Komunitas Keluarga Buruh Migran (KKBM) yang dilaksanakan oleh BNP2TKI melalui LP3TKI Surabaya. Praktik yang terjadi dari model seperti ini membuat masyarakat sipil yang dulunya aktif melaporkan kasuskasus buruh migran, diminta untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada petugas perlindungan LP3TKI, yang pada akhirnya kasus tersebut urung dilaporkan kepada pemerintah. Praktik yang sedemikian merupakan kemunduran, di mana peran antara masyarakat sipil dan pemerintah harusnya saling melengkapi pelindungan tapi sebaliknya, pemerintah malah cenderung mengebiri peranan masyarakat sipil. Pelaksanaan pemberdayaan oleh pemerintah dinilai oleh masyarakat sipil sangat minim pemerataan. Di Jawa Timur, misalnya, daerah dengan tingkat migrasi yang tinggi seperti kabupaten-kabupaten di Pulau Madura dan tapal kuda blambangan malah tidak disasar oleh program-program pemberdayaan dari pemerintah. Padahal, di balik program pemberdayaan yang digulirkan secara pasti bermuatan peningkatan kesadaran terhadap masyarakat untuk bermigrasi secara benar dan aman.80 Alasan yang mendasari mengapa daerah-daerah tersebut tidak disasar sebagai daerah penerima manfaat program disebabkan oleh data yang dimiliki oleh BNP2TKI melalui SISKOTKLN.81 Dalam kaitan ini, secara implisit dapat dikatakan bahwa pemerintah sebenarnya ingin lepas tangan dengan menghindari kawasan rawan migrasi tidak prosedural. Tugas pokok yang seharusnya diemban 79 Pasal 24 ayat (1) huruf e jo. pasal 24 ayat (2) UU nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia 80 Wawancara dengan Wawan Kuswanto, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi. 81 Wawancara dengan Agung, Kepala Seksi Perlindungan LP3TKI Surabaya pada hari Senin, 23 Oktober 2017 di Kantor LP3TKI Surabaya

134


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran melalui pelaksanaan pembinaan kepada masyarakat mengenai migrasi prosedural malah dihindari dikarenakan data yang dimiliki menunjukkan tingkat migrasi yang rendah. Dari gejala ini dapat dikatakan bahwa metode pengelolaan data penempatan adalah satu hal, tapi untuk apa data itu dipergunakan adalah hal lain yang belum tentu relevan dengan aspek aksiologisnya.

Gambar 4.5 Loket PTSP P2TKI Jawa Timur di Surabaya

Semua pemerintah daerah provinsi yang menjadi sasaran atas penelitian ini telah mendirikan layanan terpadu mengenai migrasi ketenagakerjaan. Di Jawa Barat telah mengoperasikan Balai Pelayanan Tenaga Kerja Indonesia Terpadu (BPTKIT). Sedangkan di Jawa Timur telah mendirikan Pusat Terpadu Satu Atap Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PTSP P2TKI). Sementara itu, di provinsi Nusa Tenggara Timur telah mendirikan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Akan tetapi, semua sepakat bahwa kendala yang dihadapi oleh layanan terpadu yakni mengenai layanan pemeriksaan kesehatan yang tidak memungkinkan dilaksanakan di layanan terpadu. Mengingat jika pemeriksaan kesehatan dipaksakan untuk diselenggarakan di layanan terpadu akan menghabiskan anggaran yang besar untuk pengadaan sarana dan prasarana, peralatan dan sumber daya manusia. Serapan anggaran tersebut dinilai tidak efisien jika dibandingkan dengan jumlah pelayanan buruh migran layanan terpadu yang tidak sampai 50 orang setiap harinya.

135


4.4 Perubahan Kebijakan yang Mendasar di Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah mengenai Migrasi Ketenagakerjaan Di dalam ketentuan yang baru telah disebutkan secara jelas mengenai urusan kewenangan antar level pemerintahan serta antar kementerian dan badan. Hal ini sebenarnya untuk memperjelas pelaksanaan dalam penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan, di mana di dalam ketentuan yang lama tidak diatur secara rinci mengenai pembagian urusan kewenangan dan tanggung jawab tersebut. Konsekuensinya dari pelaksanaan yang lama membuat tumpang tindih kewenangan antar instansi pemerintahan yang berdampak pada rantai proses birokrasi ke dalam tahapan migrasi ketenagakerjaan secara prosedural. Demikian pula dalam rantai proses yang panjang pada tahapan migrasi ketenagakerjaan berpotensi merugikan dalam aspek pembiayaan yang mesti ditanggung oleh buruh migran. Merespon atas kebijakan pemerintah pusat dalam konteks migrasi ketenagakerjaan menyebabkan pemerintah daerah tergopoh-gopoh dan cenderung apatis yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pelaksanaan di level daerah. Sebagai contoh dari itu adalah beberapa daerah kantong buruh migran selama ini telah menafsirkan dan menyusun sendiri mengenai kebijakan pelindungan bagi buruh migran walaupun mengetahui proses revisi UU PPTKILN tengah berjalan. Bahkan di tahun 2017, di mana tahun tersebut merupakan pengesahan UU PPMI, terungkap beberapa daerah telah mengesahkan peraturan daerah mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia dengan merujuk kepada ketentuan yang lama. Padahal, jika dilihat dari NSPK yang ditentukan telah terjadi perubahan yang mendasar antara ketentuan yang lama dengan ketentuan yang baru. Hal ini boleh dikatakan sebagai kerugian substansial. Kerugian lainnya ialah mengenai anggaran yang terserap untuk pembahasan dan penetapan peraturan daerah yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Hal ini merupakan praktik kemubaziran anggaran publik yang nyata. Melencengnya kebijakan pemerintah daerah tersebut bukan lantaran tanpa sebab. Di samping minimnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mekanisme penyusunan kebijakan daerah, proses pembahasan revisi UU PPMI telah menyedot energi dan mempergunakan waktu yang terlampau lama. Padahal, pada waktu yang bersamaan, pemerintah daerah boleh membuat peraturan bupati mengenai pelindungan buruh migran sebagai alternatifnya. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa temuantemuan yang terjadi di lapangan mengenai rantai proses migrasi ketenagakerjaan berpotensi merugikan bagi komunitas buruh migran dan keluarganya. Temuan tersebut meliputi ruang lingkup kebijakan di satu sisi dan pelaksanaan atas

136


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran kebijakan di sisi lainnya. Pada tabel di bawah ini diuraikan secara rinci mengenai kekuatan dan kelemahan yang terdapat di ketentuan yang baru serta usulan yang terbaik dalam setiap poin kunci urusan pemerintahan yang berkaitan dengan migrasi ketenagakerjaan berdasarkan kewenangan level pemerintahan. Uraian di bawah boleh dimaksudkan bahwa ketentuan yang baru berpotensi merugikan bagi komunitas buruh migran atau yang disebut umumnya sebagai viktimologi yuridis yang pada akhirnya pada pelaksanaannya menindas buruh migran. Hal itu berangkat dari penelusuran di lapangan yang ditemui pula bahwa pemahaman dari pelaksana kebijakan yang kurang utuh dalam menafsirkan produk hukum berisiko akan selalu menempatkan buruh migran dan anggota keluarganya pada posisi yang selalu salah. Meski hal ini harus diuraikan dan dianalisis lebih mendalam mengenai fakta sosial yang terjadi di lapangan karena ketimpangan relasi kuasa antara buruh migran dan perekrut. Di level pemerintah desa, misalnya, meski amanah dari ketentuan sebelumnya menegaskan bahwa perlunya pengesahan dari pemerintah desa bagi setiap warganya yang hendak bermigrasi ke luar negeri, tapi pengesahan tersebut selanjutnya tidak pula dicatat ataupun diregistrasi oleh pemerintah desa sebagai peristiwa kependudukan warganya yang pindah ke luar negeri secara sementara. Padahal, pada setiap urusan birokrasi pemerintahan telah menyandarkan bahwa setiap tindakan pejabat yang berwenang harus disertai dengan mandat dari peraturan perundang-undangan dan kemudian mengadministrasikan atas tindakan tersebut. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi bagi pengesahan oleh pemerintah desa yang berupa surat ijin dari suami/istri/wali bagi setiap orang yang hendak bermigrasi. Dengan demikian hal boleh dikatakan bahwa kemampuan sumber daya manusia di level pemerintah desa mesti selalu dibina oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dalam urusan administrasi pemerintahan. Pada konteks di atas, karena pemerintah desa merupakan organisasi birokrasi, maka secara tak langsung kebiasaan itu bakal mereduksi peran desa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, di mana hal itu boleh berimplikasi kepada fungsi lain yang tidak akan terlaksana dengan baik. Pada aspek pelayanan pengaduan dan remidi, misalnya, di mana hal ini merupakan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa, tidak dapat terselenggara dengan optimal karena keterbatasan data yang dimiliki oleh desa. Berkaitan dengan hal ini, lagipula, pemerintah desa menafsirkan secara sepihak bahwa permasalahan buruh migran mencakup urusan luar negeri sehingga hal itu bukan menjadi kewenangannya. Setali tiga uang, kondisi tersebut memungkinkan buruh migran dan anggota keluarganya yang bermasalah merasa tidak perlu mengadu dan menuntut

137


kepada pemerintah desa karena sebelumnya tidak pernah disampaikan mengenai kewenangan pelayanan pengaduan dan remidi pemerintah desa pada tahapan pra migrasi. Hal ini diperparah dengan keterlibatan aktor perekrut dan perusahaan perekrutan, di mana keberadaannya yang memiliki sumber daya, modal dan aset yang melekat menurut penilaian warga desa membuat pemerintah desa enggan ketika berhadapan dengan aktor tersebut. Pemerintah desa, sebenarnya, mengetahui permasalahan yang terjadi dan semestinya harus melakukan apa, akan tetapi langkah menghindar dari masalah buruh migran merupakan langkah umum yang biasanya diambil oleh pemerintah desa. Walaupun hal itu tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat pemerintah desa yang memiliki keberpihakan kepada warganya, meski jumlahnya tidak banyak. Dari beberapa kasus malah dijumpai bahwa kepala desa menghindar dari masalah buruh migran karena berkaitan dengan kecenderungan politik pada saat pemilihan kepala desa sebelumnya. Situasi tersebut menyebabkan buruh migran termarjinalisasi secara ganda di desa, yakni, yang pertama disebabkan oleh pilihan politiknya dan yang kedua kerana statusnya sebagai buruh migran. Problem akses informasi yang diperoleh oleh masyarakat desa mengenai migrasi ketenagakerjaan menjadi kendala yang serius. Pemerintah desa yang seharusnya menjadi sumber informasi rujukan yang terdekat dan terjangkau oleh masyarakat desa, informasi seputar migrasi malah cenderung kurang disediakan. Bahkan, dari beberapa kasus yang dijumpai, terdapat perangkat desa yang merangkap menjadi perekrut yang tidak resmi. Terlepas dari penguasaan informasi oleh aktor perekrut PPTKIS/P3MI yang tidak terkendali mengepung desa menjadi persoalan, pembinaan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak dilaksanakan secara intensif dan inklusif merupakan persoalan lainnya. Imbas dari problem informasi menyebabkan permasalahan buruh migran di desa berkelindan secara multidimensi memaksa desa untuk menanggulanginya. Hal ini, tentunya, sangat sulit untuk dipenuhi oleh desa dan pemerintah kabupaten/kota. Kendati demikian, pelibatan masyarakat sipil untuk diseminasi informasi amat langka terjadi. Walaupun hal itu harus diakui bahwa peran masyarakat sipil di daerah cenderung menjadi oknum pemeras dan/ atau penipu yang membuat pihak pemangku kepentingan juga enggan untuk bekerja sama. Beragamnya kapasitas masyarakat sipil di daerah membuat hal itu tidak serta merta dibina oleh pemerintah mengenai peranannya untuk kepentingan pembangunan yang lebih baik. Pada akhirnya, diperlukan upaya yang berat dan sulit untuk pemetaan aktor masyarakat sipil yang jelas dan berpihak kepada buruh migran jika hendak bekerja sama untuk kepentingan pelindungan buruh migran, salah satunya melalui penyediaan layanan informasi.

138


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran

Tabel 4.3 Perubahan yang Mendasar Mengenai Migrasi Ketenagakerjaan Berdasarkan Kewenangan Desa Aspek UU 39/2004 Pelayanan

UU 18/2017

Kekuatan

Kelemahan

Usulan

Diseminasi Informasi

Tidak secara eksplisit dinyatakan menjadi kewenangan desa

Desa berwenang menerima dan menyebarkan informasi ketenagakerjaan luar negeri kepada masyarakat

Desa dan dinas tenaga kerja kabupaten/kota dapat mengintegrasikan teknologi informasi untuk diseminasi informasi

Infrastruktur dan sebaran kapasitas perangkat desa belum sepenuhnya merata

Pembinaan yang inklusif oleh pemerintah kabupaten/ kota bersama masyarakat sipil mengenai pelayanan informasi migrasi ketenagakerjaan di pemerintah desa

Pendataan

Desa menggantungkan pendataan dari dinas tenaga kerja kabupaten/ kota mengenai warganya yang bekerja ke luar negeri

Desa melaksanakan verifikasi data dan pencatatan calon buruh migran dan buruh migran yang telah berintegrasi dengan komunitasnya

Pemerintah desa memiliki data kependudukan yang valid

Belum tersedia model atau sistem pendataan bagi buruh migran yang baku di level pemerintah desa di seluruh Indonesia

Memasukkan migrasi penduduk ke luar negeri ke peristiwa kependudukan ke dalam sistem administrasi kependudukan

Pengaduan

Tidak tersedia ketentuan yang secara khusus untuk pelayanan pengaduan dan remidi pada permasalahan buruh migran di level desa

Tidak diatur secara jelas mengenai kewenangan pemerintah desa untuk pelayanan pengaduan dan remidi, tapi diatur melalui ketentuan lainnya berkaitan dengan kewenangan berskala lokal desa (aturan turunan UU Desa)

Melalui aturan turunan UU Desa, pemerintah desa memiliki kewenangan mendirikan pos pengaduan bagi warga

Pemerintah desa belum tentu aktif menyelenggarakan layanan pengaduan bagi buruh migran jika tidak ada instruksi atau ketentuan pemerintah daerah kabupaten/kota

Pembinaan yang intensif oleh pemerintah daerah kabupaten/ kota kepada pemerintah desa mengenai layanan bantuan hukum bagi komunitas buruh migran dan anggota keluarganya

139


Pemberdaya- Tidak diatur an secara jelas ketentuan mengenai pemberdayaan bagi kelompok mantan buruh migran dan anggota keluarganya

Pemerintah desa secara jelas dinyatakan berwenang melaksanakan pemberdayaan bagi komunitas calon, buruh migran, mantan buruh migran dan anggota keluarganya

Dapat berintegrasi dan beririsan dengan program-program pemberdayaan yang telah diselenggarakan oleh pemerintah yang berfokus kepada pembangunan desa

Pemerintah desa belum mampu menyusun sebuah program pemberdayaan sendiri bagi mantan buruh migran dan anggota keluarganya

Perlu singkronisasi dan siner-gi dengan program-program pemerintah yang berfokus pada pembangunan desa dengan melibatkan peran serta masyarakat sipil

Peran pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan sangat vital. Selain pemerintah kabupaten merupakan level pemerintahan yang paling dekat dengan warga, pemerintah kabupaten/kota juga berkewajiban memberikan pembinaan terhadap pemerintah desa dan komunitas buruh migran dan anggota keluarganya. Peran pemerintah kabupaten/ kota, sekaligus, menjadi gerbang pertama sebagai koordinasi fungsi pengawasan kepada aktor swasta yang terlibat dalam urusan penempatan buruh migran, di mana kewenangan pengawasan terletak di level provinsi. Pada ketentuan yang sebelumnya, pengaturan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota sebenarnya telah tersedia, namun, hal itu dilengkapi oleh ketentuan baru yang secara jelas disebutkan mengenai pembagian kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota. Akan tetapi, jika mengidentifikasi karut marut dalam penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan oleh pemerintah desa, hal ini boleh ditafsirkan bahwa hal itu merupakan kegagalan pemerintah kabupaten/kota. Antara aspek kritis yang perlu disorot dalam pelaksanaan migrasi ketenagakerjaan di level pemerintah kabupaten/kota mencakup diseminasi informasi, pembinaan dan pengawasan, pendataan, perekrutan, pelatihan vokasi, kontraktual, pengaduan dan remidi, serta reintegrasi dan pemberdayaan. Dalam kaitan informasi ketenagakerjaan luar negeri, pemerintah kabupaten/ kota dirasa belum optimal untuk menjalankannya. Hal ini dibuktikan dengan minimnya informasi ketenagakerjaan luar negeri yang disebarkan dan disosialisasikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Gejala lainnya ialah pengetahuan perangkat desa mengenai migrasi ketenagakerjaan yang masih lemah. Contoh lainnya ialah dengan menjamurnya perekrut tidak resmi yang beroperasi di wilayah kabupaten/kota yang menunjukkan kegagalan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan informasi kepada seluruh masyarakat. Pemahaman masyarakat mengenai migrasi ketenagakerjaan yang baik memungkinkan masyarakat terlibat 140


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran ke dalam penertiban perekrut tidak resmi yang beroperasi di ruang lingkup desa atau kabupaten. Dengan diseminasi informasi migrasi ketenagakerjaan yang merata oleh pemerintah kabupaten/kota sebenarnya berkontribusi terhadap pelindungan warga dari ancaman migrasi tidak prosedural dan bahkan dari ancaman praktik perdagangan orang. Pembinaan dalam hal ini sebenarnya tidak seharusnya dilaksanakan secara langsung melalui pertemuan-pertemuan, tapi boleh juga dilaksanakan melalui alat peraga kampanye, seperti brosur, spanduk, iklan layanan masyarakat dan lainnya, yang memanfaatkan pelbagai media. Dalam ketentuan yang baru, memang, perekrutan tidak diperkenankan secara langsung oleh PPTKIS/P3MI atau perekrut tidak resmi lainnya, namun penekanannya lebih kepada pendaftaran calon buruh migran melalui dinas tenaga kerja terlebih dahulu. Akan tetapi mengingat realita yang terjadi hingga kini, pendaftaran buruh migran kepada dinas tenaga kerja setempat dilakukan oleh calon buruh migran atas keterlibatan aktor perekrut terlebih dahulu. Artinya pada hakikatnya, proses perekrutan masih lazim terjadi dan hal tersebut dinilai bukan merupakan sebuah pelanggaran. Perekrutan kepada calon buruh migran diperparah dengan menjamurnya keberadaan LPK di kabupaten/kota yang berpotensi terhadap perekrutan tidak resmi. Dengan melihat realita tersebut, ketentuan pelaksanaan dari kebijakan yang baru mengenai perekrutan tidak serta merta ditetapkan. Padahal, untuk mengubah budaya perekrutan yang penuh dengan manipulasi dan penipuan yang lazim dilakukan oleh perekrut yang selama ini terjadi dibutuhkan waktu pembiasaan pendaftaran calon buruh migran oleh pelayanan pemerintah yang tidak singkat. Persoalan kontraktual bagi buruh migran nampaknya belum menjadi perhatian serius bagi pemerintah kabupaten/kota sebagai salah satu instrumen untuk menebus atas hak-hak buruh migran yang terlanggar. Dari sejumlah kasus yang ditemui di daerah, kontraktual belum menjadi rujukan hukum atas persoalan yang dialami oleh buruh migran, terkecuali kontraktual jaminan sosial atau asuransi swasta. Kasus-kasus yang sering dijumpai malahan merupakan dugaan tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh perekrut tidak resmi. Sementara itu, kasus-kasus yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial seperti pemulangan bagi buruh migran tidak berdokumen yang dapat dikategorikan sebagai keterlantaran, sakit, dan bahkan meninggal dunia di negara penempatan tujuan kerap kali membanjiri layanan pengaduan dinas tenaga kerja kabupaten/ kota. Kendati demikian, persoalan krusial yang terjadi pada masa sebelum keberangkatan seperti pelanggaran perjanjian penempatan terlihat tidak banyak yang mengadu kepada dinas. Pelanggaran yang umumnya terjadi terkait dengan

141


pembiayaan yang dialami oleh buruh migran. Dari pengalaman di sejumlah daerah, muncul pertanyaan mendasar berkaitan dengan kontraktual yakni mengapa buruh mingan tidak mengadu kepada dinas tenaga kerja setempat ketika terjadi pelanggaran kontraktual? Antara sebab yang mendasar dari ulasan pada bagian sebelumnya adalah buruh migran kurang diberitahu mengenai akibat hukum yang ditimbulkan ketika membuat perjanjian. Namun melalui proses pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh buruh migran, di dalamnya tidak disampaikan mengenai hak kontraktual buruh migran. Layanan pengaduan dan remidi dapat dijumpai di seluruh daerah kantong buruh migran, tapi di dalamnya belum tersedia infrastruktur yang secara khusus menyelenggarakan pelayanan itu. Inisiatif baru muncul setelah dua tahun belakangan, di mana di beberapa daerah sudah mulai berdiri LTSA. Pendirian LTSA yang diharapkan mampu memudahkan pelayanan dan memangkas biaya proses pra migrasi bagi buruh migran dinilai kurang terbuka untuk masyarakat sipil sebagai bagian dari proses pemantauan dan pengawasan. Mengingat kompleksnya masalah buruh migran yang melibatkan masalah kesejahteraan sosial, LTSA yang telah beroperasi mengesampingkan peran dinas sosial yang memiliki fungsi pelayanan kepada kelompok masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial. Aspek fundamental berkaitan dengan pengaduan dan remidi, selain berupa infrastruktur LTSA, adalah memastikan apakah standar keberpihakan mengenai pelindungan kepada buruh migran sudah tersedia, termasuk di dalamnya upaya reviu secara berkala dengan melibatkan masyarakat sipil dan mantan buruh migran dengan merujuk kepada standar keberpihakan atas pelayanan pengaduan yang diselenggarakan oleh LTSA atau dinas tenaga kerja kabupaten/kota. Pelindungan setelah penempatan umumnya diwujudkan melalui skema pemberdayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada mantan buruh migran dan anggota keluarganya. Pemerintah telah banyak menggulirkan program-program pemberdayaan yang diselenggarakan oleh dinas-dinas di kabupaten/kota dengan kelompok sasaran mantan buruh migran dan anggota keluarganya. Namun dari program-program itu menunjukkan tidak mencapai target atas hasil yang diharapkan dan tidak tepat sasaran. Hasil ini terlihat dari masih samarnya dampak perubahan sosial dan ekonomi pasca pelaksanaan program-program pemberdayaan. Walaupun gejala itu sudah dirasakan oleh dinasdinas kabupaten/kota, tapi hal itu tidak serta merta dilaksanakan evaluasi atas program. Koordinasi antar dinas-dinas di pemerintah daerah merupakan barang langka dan mahal untuk dilaksanakan yang membuat minimnya efektivitas atas pelaksanaan program. Pragmatisme senantiasa menggelayut jika kita memandang

142


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran program-program yang dijalankan oleh dinas-dinas yakni mengenai penyerapan anggaran yang telah direncanakan melalui APBD. Berkaitan dengan hal itu, proses perencanaan program dilaksanakan sekenanya karena minimnya basis data bagi kelompok sasaran penerima program. Absennya reviu dan penilaian atas efektivitas program-program pemberdayaan oleh dinas-dinas menjadikannya hanya sebatas event kegiatan tahunan yang kurang berdampak terhadap menuju kesejahteraan masyarakat buruh migran dan anggota keluarganya.

Tabel 4.4 Perubahan yang Mendasar Mengenai Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan berdasarkan Kewenangan Kabupaten/Kota Aspek UU 39/2004 Pelayanan Diseminasi Informasi

Kabupaten/ Kota berkewajiban melaksanakan pembinaan melalui pemberian informasi prosedur migrasi yang benar dan aman kepada calon buruh migran yang disebut secara jelas di dalam peraturan turunan

UU 18/2017

Kekuatan

Kelemahan

Usulan

Selain berwenang memberikan informasi mengenai prosedur migrasi secara aman dan benar, di dalamnya juga disebut mengenai tata cara proses distribusi informasi dari level pemerintah di atasnya

Informasi prosedur migrasi dapat terintergrasi dan merata tersampaikan kepada kabupaten/kota karena menjadi amanah undangundang

Kesenjangan pengetahuan dan informasi antar kabupaten/kota akan terjadi ketika pemerintah di level atasnya tidak melaksanakan distribusi informasi secara optimal dan intensif

Pelibatan masyarakat sipil ke dalam pelaksanaan diseminasi informasi dan tata cara prosedur migrasi yang aman dan benar sebagai upaya pemerataan informasi serta pemantauan dan pengawasan mengenai pelaksanaan pelayanan. Kampanye pelindungan dengan memanfaatkan pelbagai alat dan media kampanye yang dapat dijangkau oleh masyarakat.

143


Pendataan

Kabupaten/kota berkewajiban mendata dan mencatat setiap calon buruh migran yang mendaftar untuk bekerja ke luar negeri, tapi tidak disebutkan secara jelas mengenai pendataan kepulangan buruh migran

Menyebut secara rinci mengenai kewajiban pemerintah kabupaten/kota dalam pendataan keberangkatan dan kepulangan buruh migran hingga kepada fasilitasi kepulangan dengan masalah spesifik seperti deportasi, peperangan, wabah penyakit dan bencana alam.

Kabupaten/ kota akan memiliki basis data buruh migran yang valid dan akurat mengenai penduduk yang bermigrasi ke luar negeri dan mereka yang telah pulang bereintegrasi dengan komunitasnya

Pendataan akan sulit dilakukan ketika buruh migran berproses dari daerah lain di luar kabupaten/kota domisili buruh migran yang bersangkutan, mengingat infrastruktur pelayanan yang mereata di setiap kabupaten/kota

Pengembangan sistem informasi dan pendatan yang lengkap dan terpadu antar level pemerintah. Informasi harus selalu termutakhirkan dan terpadu dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah kabupaten/ kota. Selain itu, pendaftaran wajib melalui dinas tenaga kerja kabupaten/ kota

Perekrutan

Di dalam peraturan turunan disebut mengenai prosedur perekrutan melalui penyuluhan dan pembinaan yang dilaksanakan oleh dinas tenaga kerja kabupaten/kota bersama PPTKIS

Calon buruh migran tidak direkrut tapi diwajibkan mendaftar terlebih dahulu ke dinas tenaga kerja kabupaten/ kota yang kemudian PPTKIS/P3MI dapat melakukan seleksi terhadap calon buruh migran yang sesuai dengan minat, bakat dan kompetensi calon buruh migran

Memiliki asas anti perdagangan manusia di mana proses perekrutan merupakan salah satu unsur kritis yang dapat menjerumuskan buruh migran ke dalam praktik perdagangan orang, sehingga proses perekrutan dihilangkan

Budaya proses perekrutan yang diselenggarakan oleh PPTKIS/P3MI yang sulit diberantas dan mendorong calon buruh migran untuk direkrut terlebih dahulu oleh PPTKIS/ P3Mi ketimbang bersedia mendaftarkan diri ke dinas tenaga kerja setempat

Membuat peraturan turunan yang baku dan jelas mengenai pendaftaran calon buruh migran dengan memasukan kewajiban pemerintah desa sebagai pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendaftaran calon buruh migran

144


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran Kontraktual

Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan setiap perjanjian antara buruh migran dan PPTKIS/P3MI tapi tidak disertai sanksi atas kelalaian yang dilaksanakan oleh dinas tenaga kerja kabupaten/kota

Melaksanakan pengawasan dan pembinaan yang disertai dengan ancaman sangsi terhadap pejabat negara yang lalai karena memberangkatkan calon buruh migran yang tidak disertai dengan persyaratan yang diamanahkan oleh undangundang

Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kontraktual akan lebih tertib karena pejabat yang berwenang terancam sanksi pidana jika lalai mengawasi proses dan tahapan kontraktual buruh migran

Ketentuan yang baru hanya mengatur ancaman maksimal dan tidak disertai ancaman minimal atas sangsi yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan.

Kesadaran mengenai kontraktual harus dilaksanakan sejak proses pelatihan vokasi atau memasukkan pendidikan dasar mengenai hukum perikatan ke dalam pelatihan vokasi calon buruh migran

Pendidikan dan pelatihan/ Pelatihan Vokasi

Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan oleh PPTKIS/ P3MI dan diuji oleh penera (assessor) swasta yang tersertifikasi oleh BNSP

Terjadi perubahan terminologi menjadi pelatihan vokasi, di mana kabupaten/kota berwenang menyelenggarakannya yang dianggarakan dari dana fungsi pendidikan

Hak pendidikan dan pelatihan menjadi tanggung jawab negara terhadap warga negara

Institusi BLKLN belum merata berdiri di setiap daerah kantong buruh migran. Di samping itu, dalam penyelenggaraan pelatihan vokasi belum tersedia ketentuan dan mekanisme penyerapan anggaran negara jika hal itu dilaksanakan oleh swasta

Penyelenggaraan pelatihan vokasi harus melibatkan peran serta masyarakat atau mantan buruh migran yang dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan

145


Pengaduan dan remidi

Penyelenggaraan pelayanan pengaduan dan remidi tidak secara rinci disebutkan. Praktik yang umum terjadi adalah petugas antar kerja juga melaksanakan pelayanan pengaduan dan remidi kepada buruh migran yang bermasalah

Pembinaan Pemerintah dan daerah pengawasan kabupaten/kota berkewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap proses migrasi ketenagakerjaan

146

Setiap daerah kabupaten/kota dapat mendirikan LTSA, di mana di dalamnya telah tersedia layanan yang secara khusus menerima layanan pengaduan dan remidi kepada buruh migran yang bermasalah

Di setiap daerah kabupaten/ kota akan tersedia petugas khusus memberikan layanan pengaduan dan remidi bagi buruh migran

Petugas yang memberikan layanan pengaduan dan remidi terhadap buruh migran di daerah berjumlah amat terbatas yang memiliki keberpihakan terhadap permasalahan buruh migran. Hal berpotensi terulang kembali dengan memposisikan petugas sebagai penengah, bukan sebagai pelindungan buruh migran

Memasukkan komponen pendidikan dan pelatihan keberpihakan terhadap calon petugas pelayanan pengaduan dan remidi bagi kelompokkelompok yang mengalami masalah kesejahteraan sosial yang dalam hal ini adalah buruh migran dan anggota keluarganya

Pemerintah daerah kabupaten/kota berkewajiban melaksanakan pembinaan dan koordinasi pengawasan terhadap proses migrasi ketenagakerjaan yang disertai dengan ancaman sangsi pidana terhadap pejabat yang lalai

Petugas yang berwenang akan lebih tertib dan teliti dalam menyelenggarakan migrasi ketenagakerjaan

Perpindahan posisi atau mutasi petugas struktural dan fungsional yang kerap kali dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang tanpa mempertimbangkan aspek dampak terhadap pihak yang dilayani berkonskuensi terhadap rendahnya tingkat akses keadilan buruh migran

Melaksanakan pengkuran kinerja terhadap petugas yang berwenang untuk pembinaan dan pengawasan secara berkala dengan melibatkan masyarakat sipil dan mantan buruh migran


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran Reintegrasi Pemerintah dan Pember- daerah kabudayaan paten/kota berwenang menyelenggarakan reintegrasi melalui programprogram pemberdayaan kepada purna buruh migran

Pemerintah daerah kabupaten/ kota secara jelas disebutkan berwenang menyelenggarakan reintegrasi sosial dan ekonomi melalui programprogram kepada purna buruh migran dan anggota keluarganya

Reintegrasi tidak hanya ekonomi tapi juga mencakup dimensi sosial bagi buruh migran dan anggota keluarganya

Penyelenggaraan program pemberdayaan belum tersedia parameter untuk indikator keberhasilan dan partisipasi masyarakat dari penyelenggaraan reintegrasi melalui pelaksanaan pemberdayaan kepada buruh migran dan anggota keluarganya

Penyelenggaraan reintegrasi melalui pemberdayaan mesti melibatkan semua pihak dan terintegrasi antar instansi di level pemerintahan untuk menghindari tumpang tindih capaian dan kompetisi antar pemerintah

Pemerintah provinsi sebenarnya kurang berinteraksi langsung dengan buruh migran pada masa sebelum keberangkatan karena peranannya meliputi lintas kabupaten/kota. Namun, di sisi lain, pada penyelenggaraan reintegrasi melalui skema pemberdayaan, pemerintah provinsi dapat langsung berinteraksi dengan mantan buruh migran dan anggota keluarganya. Meski demikian, terdapat aspek krusial dalam pelayanan migrasi ketenagakerjaan yang sangat vital dimandatkan kepada pemerintah provinsi, yakni pendataan dan perizinan bagi cabang PPTKIS/ P3MI dan perekrut serta buruh migran, penyelenggaraan pelatihan vokasi, pembinaan dan pengawasan, pengaduan dan remidi serta reintegrasi dan pemberdayaan. Hampir semua pemerintah provinsi yang merupakan daerah kantong buruh migran telah memiliki produk hukum sendiri dalam pelayanan penempatan dan pelindungan buruh migran. Peraturan daerah, dengan demikian, mengatur mengenai tata cara pendirian cabang PPTKIS/P3MI dan juga mengesahkan perekrut yang berizin atau berafiliasi dengan PPTKIS/P3MI yang melakukan aktivitas perekrutan di wilayah provinsi tertentu. Meski perizinan mengenai perekrut telah diatur sedemikian rupa, tapi pada praktiknya masih saja perekrut yang tak berizin berleluasa merekrut calon buruh migran. Perbedaan perekrut yang berizin atau tidak terletak pada kepemilikan identitas yang dapat memutakhirkan data calon buruh migran di dalam SISKOTKLN yang dikembangkan dan dioperasikan oleh BNP2TKI. Modus yang sering dijumpai biasanya perekrut tidak resmi menyerahkan orang yang berhasil direkrutnya kepada perekrut yang memiliki izin atau identitas

147


perekrut. Dengan begitu, perekrut tidak berizin akan memperoleh imbalan dari perekrut resmi karena telah berhasil merekrut seseorang calon buruh migran. Imbalan yang diberikan sebenarnya bersumber dari uang buruh migran ketika sudah bekerja di luar negeri dengan skema pemotongan gaji di luar dari ketentuan pembiayaan. Ketentuan yang baru telah mengamanahkan bahwa pada masa mendatang tidak akan ada lagi proses perekrutan, tapi yang akan ada adalah proses pendaftaran. Psimismistik akan selalu ketika pemerintah provinsi pada praktik ketentuan yang lama saja belum mampu melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya secara komprehensif. Sebagaimana hal ini juga disebutkan di dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah bahwa fungsi pengawasan menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Dalam konteks ketenagakerjaan meliputi pengawasan penempatan, pengawasan pelatihan kerja, pengawasan norma-norma ketenagakerjaan dan pengawasan terhadap objek orang/badan dalam konteks ketenagakerjaan.82 Jalan buntu bakal ditemui untuk optimalisasi pengawasan di lintas kabupaten/kota ketika pemerintah provinsi masih sama polanya dengan tidak melibatkan masyarakat yang fokus terhadap pelindungan buruh migran. Pemerintah provinsi berwenang atas verifikasi dokumen kelengkapan bagi calon buruh migran. Salah satu dokumen penting, tapi kurang begitu mendapatkan perhatian ialah dokumen kontraktual buruh migran. Kendati demikian, pentingnya dokumen tersebut tidak serta merta dipahamkan kepada calon buruh migran pada tahapan pendidikan dan pelatihan. Karena itu, dokumen kontraktual ini akan selalu dijadikan sebagai rujukan hukum ketika terjadi sengketa buruh migran dan pihak PPTKIS/P3MI. Reviu berkala atas pelayanan pengaduan dan remidi menekankan kepada jenis-jenis kerugian dan capaian yang berhasil ditebus melalui di pemerintah provinsi. Selama ini reviu berkala mengenai proses pelayanan pengaduan dan remidi dengan melibatkan mantan buruh migran yang bermasalah tidak pernah dilaksanakan untuk memperbaiki sistem pelayanan oleh pemerintah provinsi. Hal itu, ditambah lagi dengan rendahnya intensitas penguatan organisasi pendamping buruh migran melalui pembinaan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi. Selain pembinaan ini memiliki fungsi diseminasi informasi, tapi juga bagaimana masyarakat sipil mampu mendampingi buruh migran yang mengalami masalah dengan menancapkan perspektif korban sebagai yang utama. 82 Wawancara dengan Yuli Adi, pengawas ketenagakerjaan kementerian ketenagakerjaan pada 28 November 2017

148


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran Selama ini penyelenggaraan reintegrasi oleh pemerintah provinsi melalui pemberdayaan dilaksanakan melalui kehendak teknokrasi pejabat pemerintah provinsi. Hal ini terlihat ketika proses yang dijalankan untuk program reintegrasi tanpa memperhitungkan kebutuhan buruh migran yang sifatnya partikular. Oleh yang demikian itu, pemerintah provinsi sebenarnya dapat dikatakan tidak menjalankan prinsip-prinsip transparansi dan partisipatif dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Sebab, perencanaan menjadi proses yang penting untuk diambil perhatian, karena proses ini menekankan terhadap rencana capaian dari hasil yang diharapkan, baik kuantitatif maupun kualitatif. Terlebih lagi, di dalam ketentuan yang baru, reintegrasi bermuatan sosial dan ekonomi, dengan demikian hal ini menjadi lebih kompleks untuk mengukurnya. Mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya, penyelenggaraan pemberdayaan hanya menekankan pada dimensi ekonomi semata yang tidak memperhitungkan kebutuhan pada dimensi sosial. Hingga saat ini, belum terdapat model yang terbaik dari pelaksanaan pemberdayaan pemerintah berkaitan dengan reintegrasi sosial dan ekonomi.

Tabel 4.5 Perubahan Mendasar untuk Perbaikan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan berdasarkan Kewenangan Pemerintah Provinsi Aspek UU 39/2004 UU 18/2017 Pelayanan

Kekuatan

Kelemahan

Usulan

Diseminasi Informasi

Pemerintah provinsi melaksanakan diseminasi informasi kepada buruh migran

Pemerintah provinsi menekankan pelaksanaan pembinaan mengenai diseminasi informasi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayahnya mengenai migrasi ketenagakerjaan

Penekanan kepada struktural dan koordinasi antar level instansi pemerintahan

Menambah rantai panjang birokrasi dalam hal disemi-nasi informasi migrasi ketenagakerjaan

Pengembangan sistem informasi yang terintegrasi dan terpadu antar level pemerintahan untuk fasilitasi distribusi informasi dan perampingan birokrasi pemerintahan

Pendataan

Pendataan terhadap PPTKIS/P3MI, perekrut dan buruh migran

Pendataan terhadap PPTKIS/ P3MI dan buruh migran serta kepulangan buruh migran

Pemerintah provinsi sudah tidak lagi melakukan pendataan terhadap petugas rekrut. Melaksanakan pendataan kepulangan di debarkasi buruh migran

Berpotensi mengulangi praktik diskriminasi pelayanan kepulangan buruh migran dengan warga lainnya di debarkasi

Pendataan kepulangan dapat memanfaatkan teknologi dengan mesin layan/lapor diri kepulangan di setiap debarkasi yang dapat dipandu oleh petugas yang ramah

149


Perekrutan

Pengesahan ijin melalui SPR dan usulan jumlah buruh migran dan sektor ketenagakerjaan yang direkrut oleh PPTKIS/P3MI

Menghilangkan ijin perekrutan SPR oleh PPTKIS/ P3MI tapi diganti dengan pengesahan informasi lowongan pasar kerja luar negeri yang kemudian dapat melakukan seleksi kepada calon buruh migran di pemerintah kabupaten/kota

Peran pemerintah provinsi mengelola dan mengesahkan penawaran dan persedian pasar kerja luar negeri lintas kabupaten/kota

Tempo penerbitan ijin permintaan buruh migran memerlukan waktu pemeriksaan dokumen persyaratan oleh PPTKIS/ P3MI yang berpotensi menghambat proses pendaftaran dan pembengkakan biaya yang kemudian dibebankan kepada buruh migran

Pemeriksaan dokumen PPTKIS/ P3MI semestinya dilaksanakan oleh pemerintah pusat, kemudian pemerintah provinsi melaksanakan pengolahan pasar kerja luar negeri berdasarkan persedian pencari kerja di lintas kabupaten/kota

Kontraktual

Hak kontraktual (perjanjian penempatan, kontrak kerja dan kontrak jaminan sosial) telah diamanahkan secara jelas di dalam undangundang dan ketentuan teknisnya diatur di dalam peraturan turunan

Ketentuan mengenai norma-norma yang diperjanjikan disebutkan secara jelas di dalam undang-undang

Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang terkandung di dalam kontraktual buruh migran disebutkan secara jelas di dalam undangundang

Pergeseran paradigma di dalam penyusunan peraturan perundangundangan, di mana ketentuan yang mengatur hal teknis yang disebutkan di dalam undangundang (penyebutan peraturan menteri/kepala badan seharusnya disebut di dalam peraturan pemerintah)

Pengetahuan mengenai hukum perikatan harus disampaikan di dalam pelatihan vokasi bagi calon buruh migran

150


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran Pendidikan dan pelatihan

Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan diselenggarakan oleh swasta melalui pembiayaan yang dibebankan kepada buruh migran

Penyelenggaraan pelatihan vokasi dilaksanakan oleh pemerintah yang dibebankan dari anggaran negara melalui fungsi pendidikan

Pemenuhan atas hak pendidikan dan pelatihan negara kepada warganya

Mekanisme penyerapan anggaran pelatihan vokasi yang dilaksanakan oleh swasta masih belum jelas ketentuannya dan prosedur pengukuran kapasitas buruh migran

Penyelenggaraan pelatihan vokasi mesti melibatkan mantan buruh migran dan masyarakat sipil dengan menjamin keterbukaan dan transparansi dalam pelaksanaannya. Pre test dn post mesti dilakukan pada setiap materi di dalam pelatihan vokasi untuk melihat ukuran keberhasilannya.

Pengaduan dan remidi

Pelayanan pengaduan telah disebutkan tapi tidak spesifik mengenai ketentuan dan pelaksanaan teknis yang dimiliki oleh pemerintah provinsi

Pelayanan pengaduan disebutkan secara jelas dan pemerintah provinsi dapat mendirikan LTSA, di mana di dalamnya juga mengatur mengenai pelayanan pengaduan dan remidi

Pelaksanaan pelayanan pengaduan dan remidi diamanahkan di setiap level pemerintahan

Keterbatasan sumber daya manusia yang cakap dan berpihak terhadap buruh migran

Reviu secara berkala dengan merujuk standar keberpihakan mengenai pelayanan pengaduan dan remidi dengan mempertimbangkan penebusan hak-hak buruh migran yang terlanggar dengan melibatkan masyarakat sipil

Pembinaan Pembinaan dan dan pengpengawasan awasan diselenggarakan oleh pemerintah dengan mengacu kepada ketentuan perundangundangan lainnya yang relevan

Menyebutkan secara jelas bahwa pembinaan dan pengawasan dilaksanakan di setiap level pemerintah, dari pusat ke daerah hingga pemerintah desa dengan melibatkan masyarakat sipil

Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bersama masyarakat sipil diatur di dalam undang-undang

Belum meratanya pengetahuan dan keberpihakan dari ragam masyarakat sipil di daerah dan ASN di daerah

Pelibatan tidak hanya dijadikan sebagai justifikasi dan legitimasi saja, tapi juga mempertimbangkan aspek dampak mengenai kesadaran dan kesejahteraan buruh migran

151


Reintegrasi Pemerintah dan Pember- provinsi dayaan berwenang menyelenggarakan reintegrasi kepada mantan buruh migran

Pelaksanaan reintegrasi sosial dan ekonomi dilaksanakan secara terkoordinasi antar level pemerintahan

Amanah dari undang-undang mengenai pelaksanaan reintegrasi melalui pemberdayaan harus dilaksanakan bersamasama dan terkoordinasi antar level pemerintahan sehingga mengurangi praktik tumpang tindih penyelenggaraan reintegrasi dan pemberdayaan

Belum tersedianya praktik terbaik dalam pelaksanaan reintegrasi sosial dan ekonomi melalui pemberdayaan yang diselenggarakan antar level pemerintahan

Menyusun kerangka logis dalam penyelenggaraan reintegrasi sosial dan ekonomi melalui pemberdayaan secara bersama-sama antar level pemerintahan dengan melibatkan masyarakat sipil secara terbuka dan transparan

4.5 Kesimpulan Pengalaman dari daerah asal buruh migran menunjukkan bahwa penyelenggaraan dan pelaksanaan migrasi ketenagakerjaan dapat dikatakan masih jauh dari harapan semua pihak. Praktik yang terjadi sekarang memang masih mengikuti dari ketentuan yang lama (UU PPTKILN). Meskipun di dalam ketentuan yang baru (UU PPMI), pada substansinya, telah banyak mengalami perubahan di dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan migrasi ketenagakerjaan di daerah asal buruh migran. Justru yang terlihat bahwa di dalam ketentuan yang baru menyebutkan secara jelas mengenai tugas dan tanggung jawab dari praktik yang dilaksanakan dari ketentuan yang lama. Walaupun terjadi pergeseran paradigma tapi tidaklah sangat signifikan. Hanya saja dari sisi hukum, ketentuan hukum amat rapuh di dalam mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan yang berpotensi digugat oleh kelompok-kelompok yang mengambil keuntungan dari eksistensi buruh migran. Kendati demikian, pengesahan UU PPMI harus diapresiasi karena semakin memperjelas peran desa dan pemerintah daerah yang memperoleh mandatnya. Di samping itu, revisi terhadap peraturan daerah yang telah merujuk ketentuan lama mesti segera dilaksanakan untuk melengkapi pelindungan terhadap buruh migran dan anggota keluarganya dari daerah asal. Berdasarkan pengalaman yang diakibatkan dari ketentuan yang lama, desa sebagai gerbang pertama sekaligus pintu terakhir di dalam rantai migrasi ketenagakerjaan terlihat lalai terhadap pelayanan buruh migran dan anggota keluarganya. Hal ini bukan karena tanpa alasan, sebab di dalam ketentuan yang 152


Bab IV - Pelaksanaan Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan di Daerah Asal Buruh Migran lama, desa memang tidak secara jelas dimandatkan sedemikian rupa mengenai apa yang menjadi kewenangannya dalam urusan migrasi ketenagakerjaan. Terbitnya UU Desa yang mengakui dan mengatur tentang penyelenggaraan pemerintah desa, pembangunan desa, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa yang menjadi kewenangan pemerintah desa dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang kuat untuk kepentingan pelindungan buruh migran dan anggota keluarganya. Berdasarkan temuan di lapangan, beberapa aspek urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa antara lain layanan informasi migrasi ketenagakerjaan, pengesahan perizinan dan pendataan, layanan dan pengaduan serta pemberdayaan bagi buruh migran dan anggota keluarganya. Pada aspek administrasi pemerintahan, berdasarkan ketentuan lama, desa hanya memberikan pengesahan terhadap ijin calon buruh migran, akan tetapi pengesahan izin tersebut kurang teradministrasikan dengan baik. Sementara itu, layanan informasi migrasi ketenagakerjaan sangat minim, bahkan terdapat pula perangkat desa yang merangkap sebagai perekrut. Desa terkesan kurang peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh warga buruh migran. Lantaran hal itu desa tidak memahami mengenai bagaimana mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa buruh migran. Demikian juga, buruh migran dan anggota keluarganya kurang memperoleh perhatian serius dalam pelaksanaan pemberdayaan oleh pemerintah desa. Pengalaman di level pemerintah kabupaten/kota terlihat lebih baik daripada pemerintah desa, meskipun masih terdapat kendala lainnya dalam aspek tata kelola migrasi ketenagakerjaan yang perlu diperbaiki lagi. Antaranya ialah mengenai diseminasi informasi, kontraktual buruh migran, pengaduan dan remidi, pembinaan dan pengawasan serta reintegrasi dan pemberdayaan. Aspek pertama yang paling krusial dalam hal pembinaan melalui diseminasi informasi yang kurang merata. Di sisi lainnya, pengawasan masih menjadi hambatan besar, baik elemen pengawasan pada penempatan, pelatihan vokasi, norma-norma ketenagakerjaan maupun terhadap objek orang/lembaga/badan swasta yang diawasi. Sementara itu, tumpang tindih juga terjadi dalam penyelenggaraan pemberdayaan. Lantaran dinas-dinas di kabupaten/kota menyelenggarakan program-program pemberdayaan yang menyasar kelompok buruh migran dan anggota keluarganya tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, membuat program-program yang dijalankan hanya sebatas penyerapan anggaran. Sementara itu, pelayanan pengaduan dan remidi masih belum mampu dipenuhi oleh pemerintah kabupaten/ kota. Di samping konstruksi pelayanan pengaduan dan remidi secara terpusat telah terbangun dan membudaya dari ketentuan yang lama, tapi upaya inovatif

153


yang diciptakan untuk mendekatkan pelayanan pengaduan dan remidi serta pemenuhan hak buruh migran dan anggota keluarganya belum terlihat signifikan. Di dalam ketentuan yang baru telah menghilangkan proses perekrutan, melainkan pendaftaran bagi calon buruh migran. Dengan demikian, hal ini berkonsekuensi terhadap hilangnya persoalan mengenai izin perekrutan dari pemerintah provinsi yang biasanya molor dan menimbulkan ketidakpastian bagi buruh migran yang diurus oleh PPTKIS/P3MI. Kendati demikian, pelaksanaan pembinaan dan pengawasan masih menjadi kendala yang lazim dihadapi oleh pemerintah provinsi. Demikian juga dengan cakupan wilayahnya yang lintas kabupaten/kota, ketersediaan SDM yang mumpuni, dan anggaran dalam pembinaan dan pengawasan bakal menjadi alasan klasik yang disampaikan secara berulang-ulang oleh pemerintah provinsi. Senada dengan pemerintah kabupaten/ kota, persoalan reintegrasi melalui skema pemberdayaan berpotensi memicu konflik kepentingan antar instansi sepanjang kepentingan terhadap penguasaan pengelolaan anggaran dan pengetahuan yang subjektif selalu dijadikan sebagai parameternya. Di balik temuan itu semua, reformasi penyelenggaraan dan pelaksanaan migrasi ketenagakerjaan oleh desa dan pemerintah daerah harus segera diwujudkan. Peran masyarakat sipil di daerah yang masih terbatas pada fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan, semestinya sudah mulai digeser ke arah pelengkap fungsi pemerintah yang belum maksimal pelaksanaannya dalam konteks migrasi ketenagakerjaan. Di samping itu, masyarakat sipil juga harus mendorong pemerintah daerah untuk berinovasi dalam usaha untuk mengurai persoalan keterbatasan anggaran yang selalu dijadikan sebagai umpan. Walau bagaimanapun, permasalahan migrasi ketenagakerjaan yang terjadi hinggi kini berasal dari hulu yang kemudian meletup di hilir. Dengan demikian, diperlukan usaha yang serius, transparan dan terukur dalam mengurai permasalahan migrasi yang terletak di daerah asal buruh migran.

154


BAB V

EVALUASI ATAS PELAYANAN PELINDUNGAN BURUH MIGRAN 5.1 Pendahuluan Pada hakikatnya, pelindungan bagi buruh migran tak hanya tergantung pada undang-undang nomor 18 tahun 2017 (UU PPMI) tentang pelindungan pekerja migran Indonesia saja, melainkan hal itu dapat diwujudkan melalui rangkaian produk hukum peraturan perundang-undangan lainnya yang sudah tersedia dan tentunya relevan pada setiap pelaksanaan tahapan migrasi. Tujuan tersebut tak lain ingin mewujudkan efektivitas kinerja instansi yang memperoleh mandat dari ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Mengingat migrasi ketenagakerjaan merupakan fenomena multidimensi yang mencakup dimensi hukum, sosial, budaya, politik dan ekonomi. Oleh sebab itu, perwujudan pelindungan bagi buruh migran Indonesia dapat menyandarkan pada ketentuan lainnya, seperti undangundang perlindungan konsumen, undang-undang keterbukaan informasi publik, undang-undang hak asasi manusia, undang-undang perlindungan perempuan dan anak, undang-undang bantuan hukum, undang-undang kesejahteraan sosial, undang-undang pelayanan publik, undang-undang hubungan luar negeri, undangundang pemerintahan daerah, undang-undang desa, undang-undang anti korupsi dan undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Terlepas dari ketersedian peraturan perundang-undangan itu, pelaksanaan atas ketentuan tersebut mesti diambil perhatian untuk selalu dipantau dan diawasi oleh masyarakat. Bagaimanapun, di rezim keterbukaan ini, peran masyarakat sipil dan media memiliki kontribusi yang besar untuk pelindungan buruh migran Indonesia. Pelbagai wacana dan teori mengenai migrasi ketenagakerjaan telah berkembang sedemikian rupa, di mana hal tersebut sebenarnya ingin mewujudkan ekspresi atas hak setiap individu untuk selalu bebas bergerak dan memperoleh penghidupan 155


yang layak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang berpotensi melanggar hak warga negara untuk bebas bergerak dan memperoleh penghidupan yang layak. Salah satunya ialah melalui keputusan menteri ketenagakerjaan nomor 260 tahun 2015 tentang penghentian penempatan TKI pada pengguna perseorangan ke negara-negara timur tengah. Meski kepentingan pemerintah berdalih ingin mewujudkan pelindungan bagi buruh migran dengan mencegah keberangkatan buruh migran ke negara-negara yang belum mengatur kondisi ketenagakerjaan yang layak, tapi pada kenyataannya bentuk pelanggaranlah yang dialami oleh kelompok migran. Pada perkembangannya, sementara itu, belum ditemukan inisiatif pemerintah untuk mewujudkan pelindungan bagi buruh migran yang ingin bermigrasi di kawasan tersebut hingga kini. Pemerintah terlihat sukar dalam menafsirkan formula yang tepat untuk mewujudkan pelindungan buruh migran karena masih dirasakan hingga kini tumpang tindih kewenangan antar kementerian dan lembaga dengan model yang lebih baru dan terstruktur. Karenanya, selain menghindari ego sektoral yang menghinggapi antar kementerian/lembaga, menganalisis langkah yang tepat untuk merampingkan kewenangan institusi yang terlibat dalam penyelenggaraan di ruang lingkup regulator dan operator, adalah usaha yang dapat dilakukan saat ini. Terlebih lagi, Indonesia juga sangat aktif berkomitmen terhadap instrumeninstrumen yang disepakati oleh komunitas dunia. Hal ini merupakan sebuah momentum untuk melihat lebih jauh untuk penyelenggaraan pelindungan buruh migran yang lebih baik karena Indonesia sudah berusaha terbuka dengan masyarakat dunia. Pada bab ini hendak membentangkan mengenai praktik-praktik tata kelola migrasi ketenagakerjaan yang sudah dijalankan oleh pemerintah dan bagaimana hal itu dijalankan berlandaskan paradigma hak asasi manusia. 5.2 Diseminasi Informasi Pemerintah mulai menyadari bahwa untuk menciptakan migrasi ketenagakerjaan secara prosedural dan aman dibutuhkan pemerataan informasi yang dimandatkan kepada seluruh level pemerintahan dan pelbagai pihak berkepentingan. Diseminasi informasi yang merata itu pada akhirnya mampu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai proses migrasi yang benar dan aman. Sebagai buktinya, di dalam ketentuan yang baru, pelayanan informasi mengenai migrasi ketenagakerjaan menjadi kewenangan pemerintah di setiap level pemerintahan. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang tidak secara jelas menyebutkan mengenai kewajiban setiap level pemerintah dalam mengemban tugas tersebut. Untuk itu,

156


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran berdasarkan amanah tersebut, ke depan pemerintah bersama-sama masyarakat dapat merumuskan bentuk, model dan pendekatan diseminasi informasi yang seperti apa bagi semuanya untuk pencapaian pemerataan informasi. Mengenai bagaimana informasi tersebut diumumkan, diperoleh dan disediakan juga menjadi faktor yang menentukan dalam diseminasi informasi. Meski telah kita ketahui bersama bahwa diseminasi informasi dapat melalui saluran dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring). Perkembangan era digital telah menggiring kita pada kedekatan informasi melalui daring. Hal tersebut ditandai dengan perkembangan alat elektronik yang membuat masyarakat tidak mengalami kesulitan lagi dalam mencari informasi, khususnya informasi migrasi ketenagakerjaan. Tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah mampu mengumumkan dan menyediakan informasi berkala mengenai migrasi ketenagakerjaan melalui saluran daring yang dibangun atau dikembangkan ke dalam sistem informasi seperti laman resmi pemerintah yang terhubung dengan media sosial (facebook, twitter, instagram dan lainnya). Informasi tak hanya seputar mengenai ketentuan dan proses migrasi prosedural saja, melainkan informasi berkala mengenai peluang kerja, persyaratan, pembiayaan, kegiatan-kegiatan pelindungan, layanan pengaduan dan lainnya. Meski pemerintah telah memiliki sumber yang berlebih misalnya sumber daya manusia, sarana dan prasarana, anggaran dan peralatan, tapi efektivitas pengelolaan media daring juga menjadi tantangan lanjutan, seperti bagaimana pemerintah merespon tanggapan dari buruh migran di media daring yang disediakan dan seberapa cepat respon tersebut. Permasalahan yang timbul pada masa sekarang adalah bagaimana pemerintah meyakinkan masyarakat yang belum sepenuhnya merujuk informasi resmi yang diproduksi oleh pemerintah melalui media daring. Terlebih lagi informasi migrasi ketenagakerjaan juga diproduksi oleh aktor perekrut yang lebih masif dan intensif dilakukan secara langsung interaksinya dengan masyarakat. Sebagai catatan, pengguna internet di Indonesia adalah 132,7 juta orang atau 51,7%, tapi sebagian besar meletakkan fungsi internet yang utama sebagai akses kepada konten media sosial 127,9 juta orang (97,7%), hiburan 128,4 juta orang (96,8%), kemudian diikuti konten berita 127,9 juta (96,4%), pendidikan, komersial dan layanan publik 121,5 juta pengguna (APJII, 2016). Dengan demikian berarti masyarakat Indonesia masih meletakkan fungsi internet sebagai sistem informasi strategis yang terakhir untuk mencari informasi sebagai bekal peningkatan pengetahuan. Sementara itu, pemerintah juga terkesan belum menggalakkan untuk pembiasaan informasi rujukan melalui saluran dijital. Selain peningkatan efektivitas pengelolaan laman

157


resmi pemerintah yang terhubung dengan media sosial, penghapusan peran pembawa informasi menyesatkan (hoax) dari perekrut atau sponsor juga harus segera dinihilkan. Pemerintah selalu mengatakan mengenai jumlah anggaran yang tidak mencukupi untuk pemerataan informasi secara langsung melalui kegiatan sosialisasi di masyarakat. Padahal akar permasalahannya sebenarnya terletak pada bagaimana pemerintah menyusun perencanaan yang terukur dalam melaksanakan diseminasi informasi untuk efektivitas dalam konteks peningkatan kesadaran. Hal itu boleh dilaksanakan, misalkan, melalui model dan pendekatan apa sosialisasi itu dilaksanakan dan siapa saja aktor yang menjadi sasaran atas pelaksanaan sosialisasi tersebut. Praktik yang kerap terjadi ialah sasaran penerima informasi dicomot begitu saja yang kemudian dilegitimasi oleh pemerintah yang menandakan bahwa tanggung jawab kegiatan telah gugur. Kebiasaan seperti itu seharusnya dihilangkan mulai sekarang jika pemerintah serius ingin memerangi penyebar informasi palsu dan sesat. Selain itu, tambahan lagi, pada saat perencanaan, pemerintah semestinya mempersiapkan alat untuk mengukur sejauh mana efektivitas pasca kegiatan diseminasi itu dilaksanakan. Kemudian dengan cara apa masyarakat yang sudah memperoleh informasi secara langsung dapat membagikan informasi kepada komunitas di sekitarnya. Hasil yang hendak dicapai seharusnya menempatkan bagaimana informasi mengenai migrasi ketenagakerjaan secara prosedural tersebut dapat senantiasa tersebar dan memenuhi ruang komunikasi masyarakat, seperti komunikasi dari mulut ke mulut yang intensif dilakukan oleh masyarakat pada setiap perjumpaan dengan komunitasnya. Pemerintah juga dituntut untuk memiliki mekanisme dalam penyediaan jenis informasi setiap saat yang diminta oleh masyarakat. Konteks ini sebenarnya secara tak langsung berlaku fungsi pemantauan dan pengawasan oleh masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal penetapan kebijakan yang dibuat oleh badan publik. Namun dari pengalaman sebelumnya, badan publik yang mengurusi migrasi ketenagakerjaan dan pelayanan kepada buruh migran, juga tidak berkomitmen untuk menyediakan informasi setiap saat yang diminta oleh masyarakat. Di tahun 2014 misalnya, telah dilaksanakan gerakan permintaan informasi oleh masyarakat, di mana kepentingannya ingin menyebarluaskan informasi dan mengukur sejauh mana badan publik telah menjalankan mekanisme pengelolaan informasi berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik. Beberapa contohnya adalah mengenai kebijakan yang dibuat oleh kementerian ketenagakerjaan tentang penunjukkan tiga konsorsium asuransi swasta.1 Selain 1 Lihat tautan berikut ini untuk informasi lebih lanjut dengan judul “Sidang Sengketa Informasi

158


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran itu, pada waktu yang sama juga dilaksanakan gerakan permintaan informasi di seluruh badan publik di luar negeri berkaitan dengan pelayanan warga negara. KJRI Hong Kong contohnya, menanggapi permintaan informasi buruh migran Hong Kong dengan tidak memberikan jawaban mengenai larangan mengapa buruh migran Hong Kong tidak diijinkan untuk pindah agensi.2 Pada intinya, dua badan publik tersebut sepakat secara berjamaah dengan tidak menyediakan informasi yang diminta oleh masyarakat sehingga berakhir di sidang sengketa oleh komisi informasi pusat. Hal tersebut di atas, sebenarnya, menandakan penyelenggaraan pemerintahan oleh badan publik dilaksanakan secara serampangan yang berdampak pada buruknya pelayanan informasi terhadap buruh migran dan anggota keluarganya. Beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa badan publik tidak memenuhi penyediaan informasi setiap saat yang diminta oleh masyarakat adalah adanya perbedaan pemahaman dan perspektif terhadap undang-undang keterbukaan informasi publik, kapasitas sumber daya manusia badan publik dalam mengelola informasi dan masih adanya resistensi terhadap kelompok masyarakat yang bertindak sebagai pemohon informasi.3 Untuk itu, Infest Yogyakarta, salah satu organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada isu pengelolaan pengetahuan dan informasi publik merekomendasikan beberapa poin penting dalam hal diseminasi informasi migrasi ketenagakerjaan yang semestinya dilaksanakan oleh badan publik, yakni perlunya pembinaan oleh komisi informasi pusat kepada badan publik terkait dengan pengelolaan informasi publik, penekanan kolaborasi dengan masyarakat sipil terkait dengan diseminasi informasi, dan penegakkan ketentuan perundang-undangan jika terdapat badan publik yang tidak mampu memenuhi dalam penyediaan informasi publik. 5.3 Perekrutan Di dalam ketentuan yang baru telah mengamanatkan mengenai pelarangan perekrutan oleh swasta kepada calon buruh migran secara langsung. Hal itu

tak Dihadiri oleh Termohon Kemenakertrans,� https://buruhmigran.or.id/2015/02/20/sidangsengketa-informasi-tak-dihadiri-termohon-kemenakertrans/ dimuat turun dan diolah pada 28 Desember 2017 pukul 14.46 2 Lihat tautan berikut ini untuk informasi lebih lanjut dengan judul “Penuhi Permintaan Informasi, KJRI Hong Kong Didesak Perbaiki Pelayanan,� https://buruhmigran.or.id/2015/02/10/penuhipermintaan-informasi-kjri-hong-kong-didesak-perbaiki-pelayanan/ dimuat turun dan diolah pada 28 Desember 2017 pukul 14.50 3 Wawancara dengan fathullah Muzamil, manajer pusat sumber daya buruh migran Infest Yogyakarta pada hari Kamis, 28 Desember 2017.

159


sekaligus menggeser paradigma perekrutan itu sendiri, di mana hal itu menekankan kepada penuntutan calon buruh migran agar lebih aktif dengan cara mendaftar langsung kepada dinas tenaga kerja kabupaten/kota setempat. Setelah mendaftar, kemudian PPTKIS/P3MI merekrutnya melalui basis data pencari kerja luar negeri yang terdapat di dinas tenaga kerja setempat. Langkah selanjutnya, melalui sorotan profiling terhadap calon buruh migran, PPTKIS/P3MI secara sekilas telah mengetahui mengenai keterampilan dan keahlian berdasarkan kualifikasi yang diinginkan mengenai pencari kerja tersebut. Idealnya, calon buruh migran tersebut telah menunjukkan bukti sertifikasi kompetensi keahlian dan keterampilan atau pengalaman kerja yang disebutkan di dalam surat antar kerja antar negara (AKAN). Namun jika calon buruh migran belum memiliki sertifikasi kompetensi atau belum memiliki pengalaman kerja luar negeri, maka diwajibkan mengikuti pelatihan vokasi. Sementara itu, pelatihan vokasi menjadi tanggung jawab negara, sedangkan penyelenggaranya dapat dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta dengan anggaran yang bersumber dari fungsi pendidikan. Perekrutan merupakan salah satu aspek krusial dalam wacana pembangunan dan migrasi ketenagakerjaan. Karenanya, melalui perekrutan dan penempatan tenaga kerja dapat mengurangi angka pengangguran dan menekan kemiskinan yang kemudian meningkatkan pendapatan penduduk usia produktif. Akan tetapi, jika perekrutan tidak terkelola dengan baik dapat berakibat malapetaka bagi buruh migran dan negara. Pelbagai jenis tindak pidana dan pelanggaran berawal dari proses perekrutan, yang sebagian besar buruh migran dijerumuskan oleh pihak-pihak ke dalam aktivitas terlarang. Untuk kasus perekrutan buruh migran, kesenjangan informasi dan relasi antara buruh migran dan aktor perekrut membuat banyak buruh migran dirugikan oleh aktivitas perekrutan tidak resmi yang pada akhirnya berpotensi menjadi korban perdagangan orang. Archer (2013) berpendapat bahwa hubungan antara korban dan aktor pelaku tindak pidana perdagangan orang adalah adanya dominasi relasi informasi, pengetahuan dan kuasa yang dimiliki oleh aktor perekrut terhadap korban yang membuat korban tidak mampu melakukan perlawanan terhadap pelaku. Dari pelbagai kasus buruh migran kerap kali dijumpai bahwa kebanyakan korban perdagangan orang tidak berani melaporkan pelaku yang berada di Indonesia karena mayoritas pelaku telah menancapkan kendali korban yang menentukan keputusannya. Alasan tersebut dilatarbelakangi oleh pemahaman keliru mengenai praktik hutang budi yang ditanamkan ke dalam benak buruh migran oleh perekrut atau sponsor. Lebih lanjut, alasan lainnya adalah aktor perekrut/sponsor yang terlibat biasanya merupakan sanak keluarga terdekat sehingga muncul keengganan

160


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran jika kasusnya dilaporkan akan berkonsekuensi hukum yang mesti ditanggung oleh sanak tersebut. Tantangan di depan dalam pelaksanaan perekrutan berdasarkan dari ketentuan yang baru ialah adanya manipulasi proses pendaftaran. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan mengingat sepertinya amat sulit memberantas aktor perekrut/ sponsor tidak resmi yang beroperasi di desa-desa hingga saat ini karena peranannya sungguh membudaya dan menguasai informasi dalam ruang lingkup masyarakat di daerah kantong buruh migran. Manipulasi yang dimaksud dengan cara seolah-olah calon buruh migran tersebut mendaftar kepada dinas tenaga kerja kabupaten/ kota, padahal sebenarnya calon buruh migran tersebut sudah mendaftar terlebih dahulu kepada perekrut atau sponsor.4 Proses tersebut dapat dinilai sebagai kontrak awal antara calon buruh migran dan sponsor/perekrut. Meski adakalanya hal itu tidak tertulis, tapi pada pelaksanaannya sangat dipatuhi oleh buruh migran. Terlebih lagi, dengan adanya ancaman, bujuk rayu dan penanaman pola pikir hutang budi oleh sponsor/perekrut di benak buruh migran, maka hal itu boleh berpotensi menimbulkan pengalaman yang merugikan buruh migran. Kekhawatiran yang muncul adalah buruh migran hanya akan patuh kepada sponsor atau perekrut saja meski buruh migran sadar bahwa tindakan sponsor/perekrut merupakan bentuk pelanggaran. Terkecuali jika bentuk kerugian yang dialami oleh buruh migran sangat berat, buruh migran baru berani menuntut kepada sponsor/perekrut atas kerugian-kerugian yang dialaminya. Namun sebagian besar buruh migran enggan untuk menuntut atas kerugian yang dialaminya. Kerugian tersebut dianggapnya hanya sebagai nasib yang tidak berpihak kepadanya dan menggantungkan kerugian yang diterimanya kepada kuasa yang lebih tinggi (Tuhan), di mana hal itu di luar dari jangkauannya untuk mengurai atas permasalahan yang menimpanya (Bastide, 2015). 5.4 Kontraktual Kontraktual atau perjanjian adalah faktor yang membentuk hukum (Mertokusumo, 2003). Dalam konteks buruh migran, kontraktual dapat dipahami sebagai segala sesuatu perjanjian yang membentuk hukum antara buruh migran dan pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara itu di dalam migrasi ketenagakerjaan, terdapat tiga kontraktual yang dibuat oleh buruh migran, yakni perjanjian penempatan, perjanjian kerja dan kontrak asuransi atau jaminan sosial.

4 Wawancara dengan Wawan Kuswanto, Pembina SBMI Banyuwangi pada Selasa, 17 September 2017 di Sekretariat SBMI Banyuwangi.

161


Perjanjian penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan buruh migran Indonesia (PPTKIS/P3MI) dan calon buruh migran Indonesia yang memuat hak dan kewajiban antara pihak, dalam rangka penempatan buruh migran Indonesia di negara tujuan penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, perjanjian kerja perjanjian tertulis antara buruh migran Indonesia dan pemberi kerja (majikan) yang memuat syarat kerja, hak, dan kewajiban setiap pihak, serta jaminan keamanan dan keselamatan selama bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kontrak jaminan sosial atau asuransi, selanjutnya, merupakan jaminan sosial atas kemungkinan risiko yang dihadapi oleh buruh migran pada proses sebelum bekerja, semasa bekerja dan setelah bekerja. Dalam ketentuan yang baru, perjanjian penempatan sebenarnya telah memenuhi (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) untuk selanjutnya diatur secara lebih rinci melalui peraturan turunannya. Di dalam perjanjian penempatan telah memuat ketentuan yang amat krusial, yakni biaya penempatan buruh migran. Karenanya, sejauh ini, SBMI mencatat sebanyak 238 kasus pembebanan biaya berlebih oleh PPTKIS/P3MI yang dilaporkan selama periode 2015-2016. Dari sejumlah kasus tersebut, mayoritas didominasi oleh kasus buruh migran Hong Kong dan Taiwan. Sementera kerugian buruh migran dari kasus ini berkisar antara 23 juta – 65 juta rupiah untuk setiap buruh migran. Hal ini bisa dibayangkan berapa nilai remitansi buruh migran yang tidak dapat diterima keluarganya jika jumlah tersebut dikalikan dengan jumlah penempatan pada periode yang sama di negara tersebut. Tentunya, kasus seperti ini tidak menutup kemungkinan terjadi di negara tujuan penempatan lainnya. Pelbagai alasan berkembang mengapa pembebanan biaya berlebih boleh berlaku kepada buruh migran. Antaranya seperti penyumbatan pemahaman dan pengetahuan dari perjanjian yang dibuat oleh buruh migran, manipulasi perjanjian, jual beli permintaan kerja (job order) dan rendahnya mekanisme remidi karena kapasitas SDM petugas dan penegakkan hukum oleh pemerintah. Selain biaya penempatan dilarang untuk dibebankan kepada buruh migran di dalam ketentuan yang baru, ancaman sanksi pidana juga akan berlaku kepada pihak-pihak yang telah terbukti memungut biaya penempatan kepada buruh migran. Bahkan ketika terjadi sengketa, buruh migran tidak boleh dipungut untuk proses penyelesaian perselisihan dengan PPTKIS/P3MI. Selama ini yang terjadi adalah pembebanan biaya berlebih oleh PPTKIS/P3MI dimasukkan ke dalam skema perjanjian penempatan. Adapun pembengkakan tersebut meliputi biaya perekrutan, modus uang saku/uang fit,5 biaya hidup selama menjalani proses 5 Modus uang saku/uang fit biasanya diterapkan oleh PPTKIS/P3MI untuk kemudahan perekrutan

162


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran pendidikan dan pelatihan di penampungan, dan biaya lainnya ketika buruh migran sudah berada di negara tujuan penempatan. Tabel 5.1 merupakan peraturan yang mengatur mengenai pembiayaan penempatan buruh migran di beberapa negara tujuan penempatan. Di dalam tabel yang disajikan telah terungkap bahwa tidak semua di negara tujuan penempatan buruh migran diatur mengenai ketentuan pembiayaan, sehingga semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Negara tujuan Brunei Darussalam, misalnya, tidak dijumpai kasus mengenai pembengkakan biaya penempatan, sehingga selain permasalahan kesetaraan, dugaan perampasan hak remitansi melalui skema potongan gaji pastilah tidak dapat dielakkan terjadi bagi buruh migran yang bekerja di Brunei Darussalam karena hal itu tidak terdapat ketentuan yang pasti mengenai pembiayaan penempatan.

Tabel 5.1 Ketentuan mengenai Biaya Penempatan Buruh Migran di Beberapa Negara Tujuan Negara Tujuan

Jumlah Biaya

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 152 tahun 2011 tentang Biaya Penempatan TKI pada pengguna perseorangan ke Malaysia

Malaysia

Rp 12.632.00

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 588 tahun 2012 tentang Biaya Penempatan TKI pada pengguna perseorangan ke Singapura

Singapura

No

Jenis dan Judul Peraturan

1

2

Penanggung Majikan menanggung Rp.7.592.000 sedangkan buruh migran Rp. 5.040.000

Rp. 27.739.000 Majikan – Rp menanggung 30.021.000 Rp. 15.092.000 – Rp. 16.233.000 sedangkan buruh migran Rp. 12.647.000 – Rp 13.788.000

calon buruh migran. Uang saku biasanya diberikan ketika buruh migran telah dinyatakan fit pasca pemeriksaan kesehatan. Permasalahannya ialah buruh migran tidak pernah diberitahu bahwa uang saku/uang fit yang diberikan merupakan uangnya sendiri melalui skema potong gaji dengan mekanisme pinjaman kepada lembaga keuangan. Parahnya lagi, jumlah pinjaman dari lembaga keuangan yang tertuliskan di perjanjian kredit biasanya berbeda dengan nilai yang diberikan kepada buruh migran. Jika hal itu disebut sebagai bunga lembaga keuangan, nilai kelebihannya pun tidak rasional jika dijumlahkan dengan suku bunga acuan ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

163


3

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 98 tahun 2012 tentang Biaya Penempatan TKI pada pengguna perseorangan ke Hong Kong

Hong Kong Rp. 30.077.400 Majikan menanggung Rp. 12.297.000 – Rp. 15.297.000 sedangkan buruh migran Rp. 14.780.400

4

Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan RI nomor 152 tahun 2009 tentang biaya penempatan TKI formal (pabrik/konstruksi) di Taiwan

Taiwan

Rp. 9.895.400

5

Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan RI nomor 153 tahun 2009 tentang biaya penempatan TKI informal di Taiwan

Taiwan

Rp.10.075.400 BMI PRT Pemula – Rp18.291.000 Rp. 18.291.000 BMI PRT pengalaman kurang dari satu tahun Rp. 10.200.400 BMI PRT pengalaman lebih dari satu tahun Rp. 10.075.400

Buruh migran menanggung biaya

Para pemburu rente atas migrasi ketenagakerjaan di Indonesia memaksa agar buruh migran kurang begitu memahami mengenai perjanjian penempatan tersebut. Selain tidak pernah diberitahukan mengenai faktor yang dapat membentuk hukum yang pada akhirnya juga berakibat terhadap tanggung jawab hukum yang mesti diterima buruh migran, di mana salah satu pengelebuhannya melalui proses mengadakan perjanjian yang tidak transparan. Bahkan, tidak sedikit pula ditemukan bahwa perjanjian penempatan dimanipulasi oleh oknum PPTKIS/ P3MI/perekrut, di mana buruh migran tidak pernah menandatangani perjanjian tersebut. Dalam melakukan perjanjian, Subekti (2005) menentukan empat asas yang perlu diketahui oleh para pihak. Asas dalam sebuah perjanjian yang selanjutnya dituangkan ke dalam kontrak perjanjian ialah sebagai berikut: 1. Asas Kebebasan Berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

164


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran kepada para pihak untuk: a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun; c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya; d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan; dan e. Menentukan tunduk pada hukum mana perjanjian yang dibuat. 2. Asas Konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. 3. Asas Pucta Sunt Servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum, merupakan asas bahwa hukum atau pihak ketiga harus menghormati kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya undangundang. 4. Asas Kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja atau dirinya sendiri. Artinya perjanjian berlaku hanya untuk para pihak pembuatnya saja. Di bawah ini merupakan petikan perjanjian penempatan antara buruh migran dan PPTKIS/P3MI untuk sektor caregiver di Taiwan yang menunjukkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan biaya penempatan yang diatur oleh keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja yang terdapat di dalam tabel 5.2. Petikan perjanjian penempatan ini sebenarnya telah melalui pemeriksaan oleh dinas tenaga kerja kabupaten/kota setempat. Akan tetapi, meski dinas tenaga kerja setempat telah mengetahui adanya pelanggaran atas perjanjian yang dibuat antara buruh migran dan PPTKIS/P3MI, petugas juga tidak menegur atau membatalkan perjanjian tersebut dan malah mengabaikannya dengan mengesahkan perjanjian penempatan tersebut.

165


Gambar 5.1 Perjanjian Penempatan Buruh Migran informal ke Taiwan di Bagian Awal Perjanjian

Pada bagian awal perjanjian penempatan tersebut dinyatakan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh buruh migran informal ke Taiwan telah sesuai dengan prosedur dari ketentuan keputusan direktur jenderal pembinaan dan penempatan kementerian ketenagakerjaan, tapi jika dilihat rincian potongan gaji pada lampiran perjanjian penempatan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut, amat jelas pembebanan biaya telah dialami oleh buruh migran (Lihat gambar 5.3). Komponen pembiayaan tersebut tiba-tiba muncul di negara tujuan penempatan, di mana buruh migran dibebani dengan Alien Resident Card (ARC) sebesar NT 3.000 yang harus dicicil sebanyak tiga kali selama periode kontrak kerja tiga tahun. Berkenaan dengan ARC, modus yang dilakukan biasanya buruh migran harus membayar keseluruhan pada awal bulan atau pada saat menerima

166


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran gaji pertamanya. Kemudian komponen biaya jasa agensi Taiwan yang harus dibayar setiap bulan sebesar NT 1.800 di tahun pertama, NT 1.700 di tahun kedua dan NT 1.500 di tahun ketiga, sehingga totalnya adalah NT 60.000 selama kontrak kerja tiga tahun. Selanjutnya komponen pemeriksaan kesehatan periodik sebanyak empat kali selama kontrak kerja tiga tahun, yakni ketika buruh migran baru tiba di Taiwan sebesar NT 2.000; selanjutnya enam bulan setelah bekerja NT 2.000; kemudian 18 bulan setelah bekerja sebesar NT 2.000; dan 30 bulan setelah bekerja atau 6 bulan sebelum kontrak kerja telah selesai NT 2.000, sehingga totalnya sebesar NT 8.000. Komponen terakhir adalah asuransi kesehatan di Taiwan sebesar NT 295 yang harus dibayar setiap bulan oleh buruh migran sehingga jumlah yang dipotong sebesar NT 10.620. Sementara standar gaji buruh migran informal di Taiwan sebesar NT 17.000 per bulan. Menurut catatan SBMI, pada proses pembuatan perjanjian, terdapat beberapa permasalahan yang kerap kali terjadi, di mana hal ini berbuntut kepada pelanggaran sejak proses awal telah berlangsung. Berikut merupakan permasalahan yang kerap kali terjadi pada saat proses pembuatan perjanjian dan akses remidi buruh migran dan para pihak pengguna: 1. Perjanjian (kontrak) diberikan kepada buruh migran pada waktu yang tidak tepat dan tidak cukup waktu ketika melakukan proses penandatanganan; 2. Buruh migran tidak diberikan waktu untuk melakukan negosiasi (tawar menawar); 3. Buruh migran tidak dijelaskan mengenai isi perjanjian; 4. Buruh migran seringkali di bawah ancaman atau praktik jeratan hutang untuk melakukan perjanjian (kontrak); 5. Buruh migran dan keluarganya tidak diberikan salinan perjanjian (kontrak); 6. Keberpihakan pemerintah lebih kepada pengguna (majikan/PPTKIS/P3MI); 7. Mediasi yang tidak transparan dan berbelit; dan 8. Tidak ada kejelasan waktu dalam proses penyelesaian kasus oleh pemerintah

167


Gambar 5.2 Rincian Beban Biaya yang Harus Ditanggung oleh Buruh Migran Informal Taiwan

Pengalaman pahit buruh migran dalam konteks kontraktual berlanjut pada perjanjian kerja. Buruh migran kerap kali mengalami pelanggaran perjanjian kerja, di mana buruh migran selalu pada posisi yang dirugikan dari perselisihan tersebut. Menurut catatan akhir tahun SBMI 2016, sebanyak 210 kasus pelanggaran perjanjian kerja telah dilaporkan pada periode 2015-2016. Kasus yang paling umum adalah perbedaan jenis pekerjaan antara perjanjian kerja dengan kenyataan pekerjaan yang mesti dikerjakan oleh buruh migran. Terlebih lagi, perjanjian kerja

168


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran yang sebenarnya sudah disetujui di Indonesia juga belum tentu berlaku di negara tujuan penempatan. Majikan biasanya malah membuat perjanjian kerja baru yang dipergunakan selama kontrak kerja berlangsung ketika buruh migran baru tiba di negara tujuan, sementara ketentuan yang diperjanjikan amat berbeda dengan perjanjian kerja yang dibuat di Indonesia. Dari sejumlah kasus yang ditemui oleh SBMI, bahkan, ketentuan mengenai perjanjian kerja malah berusaha dinihilkan dalam konteks ketenagakerjaan. Kontraktual buruh migran yang ketiga dalam pembahasan ini ialah penyelenggaraan jaminan sosial atau asuransi swasta. Meski pada rezim sebelumnya jaminan sosial buruh migran telah diserahkan kepada swasta. Namun mulai Agustus 2017, jaminan sosial buruh migran diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Pelbagai kalangan menyampaikan dukungannya bahwa jaminan sosial buruh migran telah diselenggarakan dan dikelola oleh negara. Meski demikian risiko yang ditanggung oleh BPJS ketenagakerjaan harus ditambal untuk memenuhi pelindungan sosial yang terbaik bagi buruh migran mengingat keragaman permasalahan buruh migran yang sangat kompleks. Sekilas memang perbedaannya cukup signifikan antara risiko yang ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan dan konsorsium asuransi. Hal itu sangat kontras jika dibandingkan dengan jenisjenis risiko yang ditanggung oleh penanggung, di mana konsorsium asuransi menanggung 13 jenis risiko pertanggungan, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan hanya 5 risiko, satu risiko merupakan pilihan. Dengan memperbandingkan kuantitas risiko, tentu, tidaklah bijak jika hanya membanding-bandingkan jenis pertanggungan yang ditawarkan tapi pada kenyataannya manfaat itu sulit untuk diakses oleh buruh migran jika diselenggarakan oleh asuransi swasta.

Tabel 5.2 Perbandingan Risiko Buruh Migran Antara Konsorsium Asuransi Swasta dan BPJS Ketenagakerjaan No

Jenis Risiko

Asuransi Swasta BPJS Ketenagakerjaan

1

Kecelakaan Kerja

Tersedia

Tersedia

2

Meninggal Dunia

Tersedia

Tersedia

3

Hilang Akal Budi

Tersedia

Tersedia

4

Sakit

Tersedia

Tersedia (hanya pra dan pasca penempatan)

5

Penghentian Hubungan Kerja (PHK)

Tersedia

Pilihan (harus mengikuti program jaminan hari tua)

169


6

Kekerasan fisik, perkosaan dan pelecehan seksual

Tersedia

Tersedia (hanya pra dan pasca penempatan)

7

Pemulangan buruh migran bermasalah

Tersedia

Tidak Tersedia

8

Menghadapi Masalah Hukum

Tersedia

Tidak Tersedia

9

Kerugian atas pihak lain selama perjalanan pulang

Tersedia

Tidak Tersedia

10

Dipindahkan ke tempat kerja (bukan atas keinginan buruh migran)

Tersedia

Tidak Tersedia

11

Gagal Berangkat (bukan atas kesalahan calon buruh migran)

Tersedia

Tidak Tersedia

12

Gagal Ditempatkan (bukan atas kesalahan buruh migran)

Tersedia

Tidak Tersedia

13

Upah Tidak Dibayar

Tersedia

Tidak Tersedia

Berdasarkan fakta di lapangan, tawaran yang menggiurkan oleh konsorsium asuransi atas risiko yang dipertanggungkan, justru hal tersebut berbanding terbalik atas minimnya penyelesaian atas tuntutan risiko yang dialami oleh buruh migran. Hal itu boleh jadi karena beberapa alasan, seperti informasi yang disumbat oleh pihak tertentu sehingga membuat buruh migran kurang memahami mengenai asuransi, sulitnya upaya persyaratan untuk tuntutan yang diajukan oleh buruh migran dan minimnya akses layanan yang disediakan oleh konsorsium asuransi. Menurut data yang dihimpun oleh BNP2TKI menunjukkan bahwa banyak risiko yang sebenarnya tidak dituntut (lihat tabel 4.5). Implikasi dari praktik tersebut menunjukkan dugaan bahwa konsorsium asuransi telah menerima dana yang sangat besar di sisi lain, dan kecilnya bilangan nilai dari tuntutan yang dikabulkan oleh konsorsium asuransi di sisi lainnya. Selain daripada itu, rumitnya persyaratan dalam pengajuan tuntutan membuat tuntutan tersebut acap kali direduksi nilainya dan bahkan ditolak oleh konsorsium asuransi. Sampai program asuransi TKI tersebut telah usai masa berlakunya, konsorsium asuransi tidak mendirikan perwakilan pelayanan di luar negeri. Bahkan, amanat keputusan menteri ketenagakerjaan bahwa konsorsium asuransi harus mendirikan sekurang-kurangnya 15 kantor perwakilan di setiap embarkasi dan debarkasi pun juga dilanggar oleh konsorsium asuransi TKI.

170


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran

Tabel 5.3 Jenis dan Tuntutan Risiko yang Dikabulkan oleh Konsorsium Asuransi No

Jenis Risiko

2015

2016

2017

%

1

Meninggal Dunia

106

304

251

661

5,19%

2

Sakit

431

730

605

1.766

13,86%

3

Kecelakaan Kerja/Cacat Tetap

11

22

48

81

0,64%

4

Gagal Berangkat Bukan Karena Kesalahan calon buruh migran

91

186

275

552

4,33%

5

Pelecehan Seksual

2

2

0,02%

6

Gagal Ditempatkan bukan karena kesalahan buruh migran

3

8

6

17

0,13%

7

PHK

182

434

3.576

4.192

32,91%

8

Menghadapi Masalah Hukum

0,00%

9

Upah Tidak Dibayar

19

13

32

0,25%

10

Pemulangan buruh migran yang Bermasalah

937

2.329

2.154

5.420

42,55%

11

Kerugian selama perjalanan pulang ke daerah asal

1

1

0,01%

3

4

8

0,06%

7

7

0,05%

12 Hilangnya akal budi 13

2014

Dipindahkan tidak sesuai penempatan TOTAL

1 –

1.762

4.036 6.941 12.739 100.00%

Sumber: Puslitfo BNP2TKI

Buruh migran, telah kali kesekian, dikesampingkan di dalam skema pelindungan sosial di negara tujuan penempatan. Antara faktor yang menghambat integrasi tersebut adalah buruh migran bukan warga negara, cakupan peraturan negara setempat kepada buruh migran, administrasi dokumen dari negara asal dan negara tujuan, rantai panjang dalam ketentuan keimigrasian, proses transfer pembayaran iuran, faktor bahasa, infrastruktur pelayanan di negara tujuan dan mekanisme penerapan kepada jenis pekerja tertentu yang diatur oleh negara tujuan.

171


5.5 Pendidikan dan Pelatihan Perubahan mendasar telah terjadi di dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi buruh migran pada ketentuan yang baru. Hal ini tak hanya dalam istilah saja yang berubah menjadi pelatihan vokasi, melainkan penyelenggaraanya menjadi kewajiban pemerintah, baik pusat maupun daerah, di mana anggarannya bersumber dari fungsi pendidikan. Berkaitan dengan pelaksanaannya boleh diselenggarakan oleh institusi pelatihan kerja milik pemerintah dan swasta yang telah terakreditasi. Pendidikan dan pelatihan pada hakikatnya adalah peningkatan keterampilan dan keahlian calon buruh migran sehingga diharapkan mereka mampu menaikkan produktivitasnya dalam berkompetisi di pasar kerja negara tujuan penempatan. Selama ini, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebelumnya hanya mengacu kepada kurikulum untuk jenis sektor ketenagakerjaan dan peningkatan keterampilan bahasa negara tujuan penempatan. Tantangan ke depan ialah pelatihan vokasi dapat meningkatkan nilai produktivitas atas performa buruh migran, selain penyadaran mengenai hak-hak dasar dalam kerja layak, prosedur migrasi, akses remidi dan budaya negara tujuan penempatan, merupakan materi final yang tak dapat ditawar lagi untuk diberikan kepada buruh migran. Dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebelumnya, buruh migran selalu mengawatirkan lamanya proses oleh PPTKIS/P3MI antara pendaftaran dan keberangkatan, di mana proses di dalamnya mencakup pendidikan dan pelatihan di penampungan. Kemudian pemahaman ini berkembang di antara komunitas buruh migran bahwa singkatnya proses sebelum keberangkatan menjadi tolok ukur atas pencapaian keberhasilan PPTKIS/P3MI dalam pelayanan jasanya kepada calon buruh migran. Dengan begitu, buruh migran menganggap bahwa PPTKIS/ P3MI telah sigap dan cekatan dalam mengurus keberangkatan calon buruh migran. Pemahaman buruh migran seperti ini bukan tanpa sebab, karena ketika berada di naungan penampungan, doktrin yang berusaha ditanamkan oleh PPTKIS/ P3MI kepada calon buruh migran adalah seberapa cepat PPTKIS/P3MI yang bersangkutan memberangkatkan calon buruh migran ke luar negeri. Hal ini yang kemudian menjadi acuan pemahaman buruh migran yang keliru berkenaan dengan pencapaian oleh PPTKIS/P3MI, di mana hal itu bukan terletak pada sejauh mana PPTKIS/P3MI mampu meningkatkan nilai-nilai yang dimiliki oleh buruh migran dalam konteks migrasi ketenagakerjaan, tapi malahan seberapa cepat PPTKIS/ P3MI mengurus keberangkatan buruh migran. Pada konteks di atas, buruh migran sebenarnya mengalami potensi kerugian berganda, yakni kurang memperoleh peningkatan keterampilan dan keahlian

172


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran untuk penambahan nilai dalam konteks ketenagakerjaan dan kerugian pembiayaan yang telah dikeluarkan oleh buruh migran. Kerugian itu dialami ketika calon buruh migran yang diberangkatkan sebelum memenuhi alokasi waktu proses pendidikan dan pelatihan yang ditentukan, tapi buruh migran telah membayar biaya itu secara penuh melalui skema potong gaji atau biaya secara langsung. Implikasi dari praktik ini sebenarnya memunculkan spekulasi bahwa proses pendidikan dan pelatihan merupakan sebuah beban bagi PPTKIS/P3MI, tapi strategis untuk menambah kekayaan perusahaan dengan menempatkan praktik efisiensi yang keliru dalam pemberian jasa kepada buruh migran. 5.6 Pengaduan dan Remidi Pelayanan pengaduan dan akses remidi bagi buruh migran tidak banyak mengalami perubahan di dalam ketentuan yang baru. Hanya saja amanah untuk penyelenggaraan remidi bagi pemerintah daerah telah semakin jelas diatur di dalam undang-undang yang baru. Namun mengenai proses remidi tidak banyak mengalami perubahan dalam usaha penyelesaian sengketa antara buruh migran dan para pihak yang terlibat ke dalam sebuah perkara. Meski penyelesaian sengketa boleh melalui musyawarah pada tahap awal, namun hal ini bisa jadi akan berlangsung secara terus menerus dilaksanakan tanpa harus melalui proses lanjutan ataupun melalui mekanisme peradilan. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dapat diterjemahkan bahwa proses penyelesaian sengketa tersebut dapat melalui mediasi. SBMI menyoroti bahwa banyak mediator yang tidak memiliki kompetensi dan keberpihakan kepada buruh migran. Alasan tersebut diperkuat bahwa terdapat sejumlah kecil mediator yang memiliki sertifikasi dari mahkamah agung. Oleh karena itu, dari fakta-fakta tersebut telah menggiring opini publik bahwa BNP2TKI telah gagal menyertakan keadilan bagi buruh migran dalam konteks pelindungan. Walaupun mediasi merupakan salah satu upaya untuk menempuh ganti rugi, tapi hal itu akan berakibat fatal bagi penegakkan hukum di Indonesia jika perkara pidana ketenagakerjaan buruh migran tetap menempuh akses remidi melalui mediasi. Terlebih lagi, pada realitanya, buruh migran tidak lepas dari perkara pidana pada tahap pra migrasi. Dari ribuan kasus yang mengadu kepada BNP2TKI misalnya, kebanyakan buruh migran sebenarnya mengalami perkara pidana. Perkara yang paling lazim terjadi, misalnya, penahanan dokumen asli buruh migran atau penipuan oleh sponsor/PPTKIS/P3MI sebelum buruh migran mengadu ke perkara lainnya yang menjadi masalah utama yang sedang dihadapi oleh buruh migran.

173


Tabel 5.4 Pengaduan Buruh Migran dari 2011 s/d 2016

Sumber: Puslitfo BNP2TKI

Dari data di atas, BNP2TKI mengklaim telah menyelesaikan 27.326 kasus. Kendati demikian, justifikasi atas penyelesaian permasalahan buruh migran mesti diambil perhatian, apakah hal itu sudah menjawab rasa keadilan buruh migran yang terlanggar hak-haknya? BNP2TKI tak seharusnya hanya menyajikan data pengaduan dan penyelesaiannya saja, melainkan remidi yang sudah diperoleh oleh buruh migran yang berperkara mesti menjadi acuan basis data atas pelayanan remidi. Sementara itu, instrumen yang dijadikan sebagai basis penyelesaian pengaduan yang berpihak kepada buruh migran juga belum tersedia. Hal tersebut boleh dijalankan, misalnya, dengan melakukan penaksiran atas kerugian-kerugian yang dialami oleh buruh migran dan berapa jumlah hak yang berhasil diserahterimakan kepada buruh migran. Melalui taksiran seperti ini diharapkan mampu menjawab keraguan publik atas pelayanan pengaduan dan akses remidi buruh migran yang diselenggarakan oleh BNP2TKI. Dari penyajian data dan informasi oleh BNP2TKI harus diakui bahwa BNP2TKI lebih kreatif ketimbang kementerian dalam hal penyederhanaan, penyatuan dan pengkhususan dari realitas atas problem buruh migran. Penyederhanaan berarti

174


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran mengurangi kompleksitas atas permasalahan buruh migran ke dalam bingkai angka-angka statistik. Sedangkan penyatuan berfungsi mengintegrasikan pelbagai aspek dan lokasi atas permasalahan yang terjadi. Sementara pengkhususan berusaha mengembangkan pemahaman yang spesifik tentang berbagai hal yang berkaitan dengan masalah buruh migran. Namun, hal itu agaknya masih sukar dalam menterjemahkan realitas atas permasalahan buruh migran, dengan menyebutkan permasalahan lainnya, karena hal ini meninggalkan kekhususan yang tak mampu diungkapkan ke dalam penyajian data dan informasi di atas. Dengan kata lain, terdapat batasan atas standar dan konsepsi terhadap realitas yang dikembangkan ke dalam penyajian data dan informasi yang melekat pada pengetahuan di BNP2TKI. Jika hal ini dipatuhi terus menerus, maka akan terjadi pendisiplinan birokrasi dalam pelayanan pengaduan dan remidi dengan merujuk pada ketentuan baku yang sebenarnya masih terbatas dan tidak utuh dalam menerjemahkan masalah. Untuk itu, jika pengetahuan dalam memandang realitas permasalahan buruh migran tidak segera disempurnakan, maka berpotensi kepada pola urus yang keliru kepada buruh migran. Karenanya, berdasarkan penyajian informasi tersebut telah berlaku sebagai justifikasi dalam pengambilan keputusan dalam birokrasi di BNP2TKI. Dari sekian banyak jumlah buruh migran yang mengadu kepada BNP2TKI, dugaan mengenai jumlah buruh migran yang tidak mengadu kepada pemerintah dirasa lebih banyak. Hal ini seiring dengan jarak antara tempat tinggal dan pusat pengaduan, infrastruktur dan kapasitas SDM di bagian pengaduan. Dari SOP yang dimiliki oleh BNP2TKI misalnya, jika pengadu tidak dapat melengkapi bukti selama 1 bulan, dan kemudian dalam waktu 3 bulan pengadu tidak dapat dihubungi mengenai proses lanjutan penyelesaian perkara, maka pengaduan dianggap sudah selesai.6 Padahal, perkaranya tidak segampang itu, selain bukti pendukung amat jarang dimiliki oleh buruh migran karena tidak pernah diberikan salinannya oleh PPTKIS/P3MI/perekrut, pelayanan mesti lebih aktif dalam menjangkau buruh migran untuk mewujudkan pelayanan prima. Mengingat buruh migran merupakan kelompok terpinggirkan yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah, dengan demikian, hal itu bisa jadi kemungkinannya buruh migran yang mengadu tidak mampu menjangkau pusat pengaduan karena masalah transportasi atau keterhubungannya dengan pihak yang diadukan. BNP2TKI seharusnya bisa menawarkan pihak-pihak yang terbiasa memberikan layanan bantuan hukum

6 Lihat Bab III Kriteria Kasus Selesai, nomor 1 huruf (b) dan (d) dalam lampiran I, Peraturan Kepala BNP2TKI nomor 25 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Masalah Calon Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia melalui Mediasi dan Advokasi

175


jika buruh migran yang mengadu mengalami kendala dalam proses pengaduan. Dengan demikian, BNP2TKI tak hanya menanggapi perkara yang diadukan oleh buruh migran saja, akan tetapi juga semestinya mengurai permasalahan ketika buruh migran menjalani proses penyelesaian sengketa oleh BNP2TKI. Masalah-masalah mengenai pelayanan pengaduan dan remidi yang terpusat sebenarnya sudah dirasakan cukup lama oleh kalangan masyarakat sipil yang sering mendampingi buruh migran yang berperkara. Kendati demikian, desakan agar pelayanan pengaduan dan remidi bisa diselenggarakan di daerah terus menguat, tapi hal itu tidak akan berarti ketika pemerintah daerah juga tidak diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada PPTKIS/P3MI yang terbukti melakukan pelanggaran. Proses yang paling umum terjadi, misalnya, ketika pemerintah daerah atau perangkat BNP2TKI di daerah telah mengusulkan agar PPTKIS/P3MI tertentu dijatuhi sanksi karena tidak berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa, tapi setelah itu proses penyelesaian sengketa akan diulang lagi di tingkat pusat. Dengan demikian, setiap rekomendasi pada perangkat di bawah BNP2TKI tidak serta merta dikabulkan oleh pemerintah pusat, walaupun sangsi telah jelas kebuntuan atas sengketa tersebut. Kendala rantai birokrasi yang panjang tidak hanya mempersulit proses migrasi saja, melainkan juga pada proses pengaduan dan remidi. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi proses penyelesaian sengketa berulang di level pemerintah pusat adalah adanya tanggung jawab verifikasi dan pemeriksaan oleh level pemerintah yang berada di atasnya. Hubungan struktural di dalam birokrasi yang berlaku seperti ini tak lepas dari praktik kepatuhan karena juga disertai dengan reward dan punishment. Kondisi demikian membuat pejabat pada instansi level tertentu akan sulit untuk bertindak netral dan memihak kepada buruh migran karena sudah terjadi perbedaan dalam memandang realitas dalam setiap proses, translasi dan norma-norma yang melekat pada level di atasnya. Selain itu, pengulangan proses remidi di level pemerintah pusat juga berkonsekuensi terhadap pembiayaan dari proses ini yang mesti ditanggung oleh para pihak. Oleh sebab itu, hal ini dapat dikatakan bahwa akses remidi bagi buruh migran, sebenarnya, berharga sangat mahal untuk sebuah keadilan. Padahal, proses penyelesaian sengketa tak semestinya diverifikasi berulang kali. Ketika proses di daerah sudah dijalankan dengan baik, tentunya dengan memperhatikan setiap tahapan proses penyelesaian sengketa, pembuktian dan pelanggaran yang terjadi dapat diselesaikan di level daerah. Selain persoalan pelaksanaan pengaduan dan remidi di daerah, persoalan serupa juga terjadi di luar negeri. Peran KBRI/KJRI selalu menjadi tumpuan utama

176


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran dalam pelaksanaan pengaduan dan remidi di tingkat hilir. Meski klaim tuntutan atas kerugian sudah dinyatakan dalam bentuk nilai nominal yang berhasil ditebus atas usaha KBRI/KJRI telah dijalankan, tapi proses seleksi jenis sengketa buruh migran masih tetap berlangsung hingga sekarang. Konsekuensi dari seleksi tersebut sebenarnya menimbulkan praktik diskriminasi antara buruh migran berdokumen dan tidak berdokumen. Ironisnya, penyelesaian sengketa di luar negeri bagi buruh migran berdokumen juga dilaksanakan melalui proses mediasi. Mekanisme peradilan amat langka diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial atau quasi peradilan di negara tujuan penempatan. Sementara itu, pelayanan perlindungan di luar negeri untuk akses bantuan hukum hanya diberikan kepada warga negara Indonesia yang menghadapi masalah hukum pidana saja, baik yang diduga sebagai pelaku atau sebagai korban. Sedangkan buruh migran berdokumen yang mengalami masalah ketenagakerjaan tidak memperoleh layanan bantuan hukum dari pemerintah. Padahal, masalah ketenagakerjaan merupakan perkara hukum perdata yang semestinya juga memperoleh akses bantuan hukum agar dapat menuntut majikan/agensi untuk membayar hak-hak remitansi buruh migran. Berkenaan dengan penyelesaian sengketa buruh migran tidak berdokumen akan didiskusikan pada bagian selanjutnya. 5.7 Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebenarnya bagian tak terpisahkan dari penyelenggaraan pelindungan buruh migran pada setiap tahap migrasi. Selain pembinaan dan pengawasan berlaku dari level pemerintah pusat kepada level pemerintah daerah, tugas dan tanggung jawab itu juga melekat kepada pelaksana swasta yang melaksanakan pelatihan vokasi dan penempatan buruh migran. Di dalam ketentuan yang baru, pelaksanaan pembinaan dan pengawasan lebih rinci dinyatakan. Hal ini juga beririsan dengan ketentuan lainnya seperti undangundang pemerintahan daerah yang menganut asas konkuren. Tantangan ke depan dalam konteks pembinaan adalah dalam waktu dua tahun pasca penetapan undang-undang nomor 18 tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia, pemerintah harus mengatur ketentuan turunan atau pelaksanaannya. Hal ini berarti memastikan pengaturan mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) yang harus menjadi rujukan pemerintah daerah dalam penyusunan peraturan daerah tentang pelindungan buruh migran. Mengingat undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang PPTKILN saja baru memiliki peraturan turunan atau pelaksanaanya setelah 9 tahun undang-undang

177


tersebut disahkan, hal ini tidak menutup kemungkinan aturan pelaksana UU PPMI juga berlaku demikian. Jika hal ini terjadi, maka ini merupakan kelalaian yang merugikan semua pihak, baik bagi buruh migran dan publik secara umum karena penyerapan anggaran dalam penyusunan peraturan daerah belum tentu diterjemahkan secara relevan oleh pemerintah daerah. Dampak dari kelalaian pemerintah pusat ini nantinya dapat dilihat dari lahirnya peraturan daerah di level provinsi dan kabupaten mengenai penempatan dan pelindungan buruh migran yang belum tentu relevan dengan kebijakan baru. Karenanya, pemerintah daerah akan menafsirkan sendiri NSPK mengenai pelindungan buruh migran karena pemerintah pusat terlambat mengatur dan menentukannya peraturan pelaksananya. Kekhawatiran tersebut akan selalu ada dan bisa saja terulang kembali karena ketentuan yang baru juga mengatur bahwa ketentuan pelaksana sebelumnya akan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang baru.7 Dengan demikian, pemerintah pusat barangkali akan merasa hal itu tidaklah mendesak untuk dilaksanakan dengan segera. Untuk itu, sebagai langkah antisipasi, maka harus ada pihak-pihak yang selalu terlibat untuk memantau dan mengawasi kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan reformasi kebijakan pada masa transisi pasca pengesahan ketentuan yang baru berdasarkan NSPK di dalamnya. Selain kebijakan peraturan turunan, pembinaan dan pengawasan harus lebih efektif dilaksanakan kepada swasta yang melaksanakan pelatihan vokasi dan penempatan buruh migran. Terlepas dari pelaksanaan fungsi pengawasan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan provinsi, di mana masalah koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota akan senantiasa menghadang untuk efektivitasnya, ketersediaan sumber daya fungsi pengawasan juga terbatas. Pengawas ketenagakerjaan, lebih lanjut, melaksanakan pengawasan di lintas kabupaten/kota. Sementara itu, jumlah pengawas yang memiliki kapasitas dan kompetensi dalam elemen pengawasan8 juga terbatas. Untuk itu, tidaklah sepenuhnya keliru jika hal itu boleh ditaksir bahwa pelaksanaan pengawasan akan cenderung reaktif daripada aktif. Kondisi demikian membuat pengawas lebih banyak pasif yang berarti tidak menindak walaupun menjumpai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaksana swasta, selama tidak ada pengaduan dari masyarakat. Contoh yang paling sering kita jumpai ketika banyak sekali poster-poster milik LPK bertebaran yang menawarkan penempatan kerja ke Jepang, tapi hal ini 7 Lihat pasal 89 huruf (b) UU nomor 18 tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia 8 Elemen pengawasan meliputi pengawasan penempatan kerja, pelatihan kerja, norma-norma ketenagakerjaan dan pengawasan terhadap objek orang atau badan/lembaga yang diawasi

178


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran tidak ditertibkan oleh pengawas ketenagakerjaan. Untuk itu, peran masyarakat sipil harus lebih aktif melaporkan pelaksana swasta yang sebenarnya melanggar ketentuan. Kolaborasi ini juga sangat berkontribusi terhadap pencegahan migrasi tidak prosedural. Pengawasan oleh pemerintah secara tradisional dapat diterjemahkan sebagai bentuk dominasi kekuasaan oleh negara berdasarkan ketentuan perundangundangan. Melalui proses pendisiplinan terus menerus akan membentuk struktur masyarakat bahwa proses migrasi di luar dari ketentuan undang-undang akan berakibat penghukuman bagi yang melanggarnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai pengawasan meletakkan buruh migran dan pelaksana penempatan sebagai objek. Padahal, setiap individu dan kelompok masyarakat memiliki pengetahuan dan kekuasaannya sendiri yang masih terpecah-pecah dan tidak linier dengan kehendak pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan sekaligus penguasa atas kewenangannya. Kegagalan pengawasan terjadi ketika pengetahuan mengenai migrasi prosedural tidak mampu dipahami oleh buruh migran dan pelaksana penempatan sebagai subyek yang berkuasa penuh atas dirinya sendiri untuk memutuskan proses migrasi berdasarkan pengetahuannya. 5.8 Remitansi dan Sosial Remitansi Remitansi merupakan kekuatan ekonomi buruh migran yang mampu menyedot perhatian publik. Berangkat dari logika sederhana itu bahwa remitansi selain bermanfaat bagi keluarga buruh migran, tapi juga sekaligus menguntungkan negara melalui konversi ke dalam bentuk cadangan devisa negara. Karenanya, emosi khalayak dapat tertarik oleh sensitivitas isu buruh migran yang berawal dari segudang pelanggaran hak dan penindasan yang dialaminya dan juga remitansi yang dihasilkan oleh komunitas buruh migran. Mereka telah berkontribusi besar terhadap perekonomian negara melalui konversi cadangan devisa, tapi sebaliknya, mereka belum memperoleh pelayanan yang sepadan dari negara. Beruntungnya, ketentuan yang baru sudah mengatur mengenai kebijakan remitansi buruh migran.9 Meski sifatnya hanya sebatas pembinaan melalui edukasi kewirausahaan dan formalisasi saluran remitansi, hal ini patut diapresiasi bersama. Karena itu, dampak dari kebijakan ini diharapkan mampu menumbuhkan perekonomian di daerah kantong buruh migran melalui peningkatan pendapatan dan mendorong konsumsi keluarga buruh migran yang lebih bijak serta dalam jangka panjang dapat mengurangi kemiskinan.

9 Lihat pasal 35 UU nomor 18 tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia

179


Grafik 5.1 Remitansi dari 2011 – 2016 dalam milyar USD 10 9 8

6.73

6.99

2011

2012

7.4

8.34

9.42

8.8

2014

2015

2016

7 6 5 4 3 2 1 2013

Sumber: Puslitfo BNP2TKI

Melalui kebijakan ini sekaligus pemerintah hendak mewujudkan pelindungan ekonomi buruh migran. Satu hal yang patut diwaspadai adalah bagaimana pemerintah mampu mengedukasi komunitas buruh migran dan anggota keluarganya dari perilaku konsumtif yang berlebihan. Dengan perkataan lain, konsumsi dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah asal buruh migran di sisi lain, namun berangkat dari remitansi ini membuat fenomena migrasi ketenagakerjaan merupakan kemunduran menurut pandangan para sarjana neo marxist di sisi lainnya. Karenanya, remitansi dapat memicu ketergantungan yang menuntut produksi terus menerus yang hal ini sulit dilakukan di daerah asal buruh migran. Lagipula, produksi yang dihasilkan oleh buruh migran akan dihisap oleh kalangan pemodal yang memanfaatkan jasa buruh migran. Sementara itu, buruh migran memiliki keluarga yang berharap dapat berintegrasi kembali dengan komunitasnya. Dengan demikian, kurang bijaknya dalam mengelola remitansi akan membawa buruh migran berperilaku konsumtif berlebihan. Ketergantungan yang lebih serius, bahkan, akan memicu buruh migran untuk selalu bermigrasi terus menerus yang berakibat pada pada kerugian sosial yang tinggi atas anggota keluarga yang ditinggalkannya. Untuk itu, literasi keuangan harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pelatihan vokasi. Dengan begitu, buruh migran mampu menyusun perencanaan keuangan sendiri dari remitansi yang dihasilkan mengenai tempo kerja dan prioritas hasil atas pendapatan yang diperoleh selama bekerja di luar negeri. Tantangan yang mesti diwujudkan mencakup komitmen pemerintah untuk 180


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran menuntut hak-hak remitansi yang tidak mampu dibawa pulang atau diterima oleh buruh migran dan anggota keluarganya. Hal ini disebabkan karena pemotongan gaji di luar dari ketentuan perjanjian dan penahanan gaji oleh majikan/agensi ketika bekerja di negara tujuan penempatan. Meski ketentuan ini tidak diatur di dalam pelindungan ekonomi buruh migran, tapi hal ini berkaitan erat dengan ketentuan mengenai pelindungan selama bekerja. Bahkan, ketentuan mengenai penyediaan jasa advokat untuk bantuan hukum bagi buruh migran yang mengalami masalah ketenagakerjaan juga telah tersedia di dalam ketentuan yang baru. Untuk itu, mengkalkulasi nilai antara kerugian dan perolehan tebusan dalam konteks remidi menjadi penting sebagai bahan justifikasi pelindungan remitansi buruh migran. Hal lain yang menjadi kekhawatiran semua pihak mengenai fenomena migrasi ketenagakerjaan yakni mengalirnya sumber daya manusia ke luar negeri (brain drain). Ketika mencermati fenomena migrasi yang terjadi di Indonesia, buruh migran selalu berintegrasi ke kampung halamannya. Walaupun brain drain telah terjadi secara temporer dengan gejala semakin sulitnya memperoleh tenaga kerja di sektor pertanian. Namun, keadaan ini, tentu saja, berbalik dengan yang disebutkan di atas, eksistensi buruh migran sekaligus berpeluang terjadi transfer pengetahuan, gagasan, pola pikir dan modal sosial yang diperoleh oleh buruh migran dari negara tujuan penempatan atau yang disebut sebagai brain gain. Walau dengan kondisi bagaimanapun, mantan buruh migran akan membawa serta pengalamannya yang diperoleh dari negara tujuan penempatan. Faktor yang demikian sebenarnya luput dari perhatian pemerintah karena absennya kebijakan yang secara khusus mengedukasi mantan buruh migran untuk memaksimalkan pengalaman yang diperolehnya setelah bekerja di luar negeri. Pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan peluang dengan menyelenggarakan sertifikasi kompetensi berdasarkan pengalaman yang diperoleh oleh buruh migran. Karenanya, dengan kondisi harfiah sekalipun, buruh migran sebenarnya selalu berusaha meningkatkan produktivitas nilai semasa berada di luar negeri. Tinggal bagaimana upaya lanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencocokkan pasar kerja dalam negeri yang sesuai dengan kompetensi buruh migran. Untuk itu, literasi keuangan dan penanaman pola pikir berkenaan dengan peluang yang kemungkinan bisa diperoleh di luar negeri mesti diajarkan kepada calon buruh migran pada saat menjalani pelatihan vokasi. 5.9 Reintegrasi dan Pemberdayaan Komunitas buruh migran dan anggota keluarganya telah membentuk kesatuan masyarakat dinamis yang saling terhubung dan tak dapat dipisahkan

181


antara negara asal dan negara tujuan jika dilihat dari pandangan fungsionalisme struktural yang terjadi saat ini. Dengan kondisi demikian, new economic of labour migration (NELM) boleh dijadikan sebagai pendekatan teori yang relevan untuk menjelaskan fenomena migrasi berulang dan reintegrasi di Indonesia. Sederhananya, NELM mengulas mengenai faktor yang menentukan seseorang dan keluarganya untuk bermigrasi dan menetap secara temporer di luar negeri dengan mempertimbangkan perbedaan gaji dan pendapatan, kemudian setelah mencapai titik tertentu dari keuntungan ekonomi yang diperoleh, buruh migran akan berintegrasi dengan komunitasnya di negara asalnya. Hal inilah yang membedakan dengan pendekatan classical economy, di mana mobilisasi penduduk semata-mata melalui pertimbangan peluang pendapatan dan kelangsungan hidup yang lebih baik, kemudian migran tinggal menetap bersama anggota keluarganya di negara tujuan penempatan (De Haas, 2010). Meskipun fenomena di atas telah jamak diketahui oleh semua orang, namun hingga saat ini belum tersedia formulasi yang tepat untuk dijadikan sebagai model atau konsep mengenai reintegrasi sosial dan ekonomi untuk tujuan peningkatan pelindungan buruh migran dan anggota keluarganya yang dibuat oleh pemerintah. Di dalam ketentuan yang baru sebenarnya telah dinyatakan dengan jelas mengenai reintegrasi sosial dan ekonomi, tapi basis pendekatannya sepertinya melalui pemberdayaan komunitas mantan buruh migran dan anggota keluarganya. Terlepas apakah konsep pemberdayaan yang dilaksanakan saat ini memang yang paling tepat atau belum, tapi ikhtiar tersebut perlu diuji dan diukur untuk mengetahui dampak perubahan yang terbaik. Faktor lainnya yang sepertinya luput dari perhatian pemerintah adalah bagaimana menyampaikan pesan positif publik mengenai fenomena migrasi ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia, di mana hal ini juga absen dari program-program pemberdayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Padahal, dengan cara demikian sebenarnya akan memudahkan buruh migran untuk berintegrasi dengan komunitasnya. Selama ini kekhawatiran yang dialami oleh buruh migran ketika berkeinginan untuk kembali ke komunitasnya berkaitan erat dengan nilai, simbol dan kode yang memenuhi ruang di daerahnya menurut pandangannya sendiri yang sangat subjektif. Meskipun nilai-nilai tersebut belum tentu tepat untuk dijadikan sebagai acuan oleh buruh migran tapi hal itu sangat memengaruhi keputusannya untuk berintegrasi atau bermigrasi ulang. Nilai, simbol dan kode-kode kesejahteraan dalam konteks kebendaan yang dimaksud merujuk kepada apa yang diperoleh dan dimiliki oleh buruh migran selama bekerja di luar negeri yang dapat berfungsi sebagai tanda dalam interaksi sosial ekonomi dengan komunitasnya ketika

182


Bab V - Evaluasi Atas Pelayanan Pelindungan Buruh Migran berreintegrasi. Buruh migran berasumsi dengan cara memandang lingkungan asalnya, memunculkan pertanyaan apakah yang diperoleh dan dimilikinya dari luar negeri itu sudah dinilai sebagai sebuah kesuksesan atau kegagalan. Tentunya faktor pembanding juga berlaku, yakni dengan apa yang sudah diperoleh dan dimiliki oleh buruh migran lainnya juga menjadi pertimbangan untuk menentukan nilai subjektif itu. Kondisi akan semakin lebih kompleks ketika buruh migran yang bersangkutan berintegrasi dengan keadaan belum purna kontrak kerja. Pertimbangan akan ruang subjektif dan sempit itu akan senantiasa menghantui buruh migran sehingga keputusan untuk migrasi berulang dirasa langkah yang paling tepat untuk menentukan masa depannya. Dari analogi seperti ini kebanyakan buruh migran terjebak dengan senantiasa melakukan migrasi berulang hingga belasan bahkan puluhan tahun lamanya untuk tinggal secara temporer di luar negeri. Sementara itu, buruh migran juga memiliki anggota keluarga di negara asal yang memerlukan afeksi untuk kelangsungan masa depannya, yang pada akhirnya, berpotensi menjadi persoalan sosial yang muncul di kemudian hari. Dalam merespon rantai migrasi yang sedemikian pelik ini, penguatan kepada mantan buruh migran dan anggota keluarga sepertinya menjadi perhatian semua pihak. Penguatan tidak hanya bermuatan ekonomi semata, seperti yang saat ini diselenggarakan melalui program-program pemberdayaan oleh pemerintah, tapi juga bagaimana kelompok sasaran mampu membuat perencanaan secara partisipatif dan bersama-sama dipatuhi oleh semua pihak. Poin penting dari penguatan dalam perencanaan partisipatif akan menekankan prioritas apa dan tempo berapa lama akan menetap di luar negeri. Selama ini mantan buruh migran dan anggota keluarganya dipaksa untuk menerima penguatan dalam konteks akses ekonomi, seperti kegiatan ekonomi produktif bagi mantan buruh migran dan anggota keluarganya. Dengan kata lain, program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah belum menjawab problem sosial komunitas buruh migran dan anggota keluarganya. Terdapat pula program pemerintah yang menawarkan mengenai penguatan komunitas pengasuhan (community parenting), namun program itu hanya bermuatan investasi jangka panjang melalui pendidikan yang menyasar anggota keluarga yang ditinggalkan, di mana meletakkan hanya sebagai objek semata. Padahal, migrasi ketenagakerjaan meliputi pelbagai dimensi yang melatarbelakanginya, seperti sosial, ekonomi, politik dan hukum. Adakalanya buruh migran bermigrasi karena alasan keterasingan di lingkungan keluarga atau konflik keluarga. Ada pula yang ingin memperoleh akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik di

183


negara tujuan penempatan. Alasan-alasan seperti ini tak mampu ditanggulangi melalui pendekatan ekonomi dalam konteks pemberdayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah saat ini. Dengan perencanaan partisipatif pada setiap program pemberdayaan pemerintah, hal ini sekaligus memunculkan pembangunan yang inklusif untuk kesejahteraan buruh migran dan anggota keluarganya. Dalam ketentuan yang baru, penyelenggaraan penempatan buruh migran hendak diwujudkan dengan skema yang baru, khususnya dalam mekanisme perekrutan yang diubah menjadi pendaftaran oleh buruh migran. Melalui proses ini secara implisit menuntut calon buruh migran untuk lebih aktif ketika pada tahapan pra migrasi. Semua persyaratan harus dilengkapi terlebih dahulu oleh calon buruh migran sebelum mendaftar ke dinas tenaga kerja setempat. Melalui penyelenggaraan program-program reintegrasi dengan konsep pemberdayaan, sebenarnya, hal itu bermuatan diseminasi informasi yang seharusnya memiliki skema untuk mendorong calon buruh lebih giat dan aktif pada tahapan pra migrasi dalam konteks akses informasi. Hal ini dapat melalui penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan teknologi informasi, peralatan dan sumber daya manusia yang lebih mendekatkan dengan masyarakat. Dengan begitu, pendamping masyarakat dapat membantu dalam penyediaan layanan informasi dan pendaftaran secara daring (online) kepada calon buruh migran.10 5.10 Ringkasan Pelindungan buruh migran tidak hanya mencakup proses pada saat sebelum penempatan, masa penempatan dan purna penempatan saja, melainkan pelindungan mesti dilekatkan pada setiap aspek pelayanan pemerintah mengenai migrasi ketenagakerjaan. Adapun aspek pelayanan yang dimaksud seperti diseminasi informasi, perekrutan, pendidikan dan pelatihan, kontraktual, pengaduan dan remidi, pembinaan dan pengawasan, remitansi dan sosial remitansi, serta reintegrasi dan pemberdayaan. Sementara kesemuanya melekat pada setiap level pemerintahan. Pada ulasan ini menunjukkan bahwa seluruh aspek pelayanan migrasi ketenagakerjaan belum sepenuhnya membaik dan saling berkelindan di antara lainnya yang pada akhirnya mengakumulasi seluruh problem buruh migran. Untuk itu, koordinasi yang sinergi antar level pemerintahan merupakan keniscayaan yang harus segera diimplementasikan pasca penerbitan UU PPMI untuk mewujudkan pelindungan buruh migran yang lebih komprehensif.

10 Wawancara dengan Hermono, Sekretaris Utama BNP2TKI pada 4 Januari 2018.

184


BAB VI

KESENJANGAN ANTARA ATURAN DAN PELAKSANAAN 6.1 Pendahuluan Bagian ini merupakan ulasan atas implikasi dari aturan-aturan yang ditentukan oleh pemerintah dan identifikasi atas kendala pemerintah dalam pelaksanaan atas aturan-aturan tersebut. Antara implikasi yang berdampak terhadap urusan pemerintahan adalah mengenai adanya ketidakpastian UU PPMI dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang berakibat kepada tumpang tindih kewenangan karena ketidakcakapan dalam penafsiran sebuah produk kebijakan. Kemudian, di dalamnya juga hendak mengulas mengenai tantangan pemerintah dalam interaksinya terhadap dinamika regional dan internasional untuk mewujudkan pelindungan buruh migran. Sementara itu, pada bagian ini juga hendak mengulas mengenai beberapa sektor ketenagakerjaan yang paling berisiko tinggi atas kebijakan yang tersedia. Tidak luput pula pada bagian ini menekankan kepada analisis terhadap sosial ekonomi buruh migran atas implikasi kebijakan. 6.2 Dampak Kebijakan terhadap Urusan Pemerintahan Ulasan ini menekankan kepada analisis mengenai eksistensi UU PPMI terhadap urusan pemerintahan, termasuk melihat lebih dalam bagaimana pemerintah bersama DPR dalam menyusun produk hukum. Di dalamnya juga hendak memeriksa apakah UU PPMI dibuat telah menganut koherensi dengan peraturan perundangundangan yang lainnya atau malah bertabrakan dengan produk hukum lainnya. Mengingat pelindungan buruh migran ini mencakup kebijakan di Indonesia dan negara tujuan, maka arah kebijakan tentunya hendak memastikan apakah upaya pelindungan telah dilaksanakan oleh pemerintah di negara tujuan. Di sisi lain, pemerintah berkomitmen di level regional dan internasional dalam upaya promosi dan pelindungan buruh migran yang sekaligus hal ini ingin memastikan apakah komitmen pelindungan itu sudah dirasakan oleh buruh migran. Untuk itu, hal ini

185


penting untuk diperiksa lebih dalam mengenai komitmen itu dan implementasinya di lapangan dalam perwujudan pelindungan buruh migran. 6.2.1 Inkonsistensi Kebijakan dan Tumpang Tindih Kelembagaan Salah satu momok yang selalu menghantui dalam perwujudan pelindungan buruh migran ialah pelaksanaan kebijakan yang tumpang tindih antar kementerian/ lembaga dan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Praktik ini sekaligus juga mengurangi efektivitas penyelenggaraan pelindungan yang menyeluruh dan tentunya memubadzirkan dalam konteks efisiensi anggaran. Faktor yang mengakibatkan sebenarnya dapat dicermati dari kebijakan yang tersedia. Berangkat dari substansi UU PPMI dapat ditemukan mengenai potensi tumpang tindih kewenangan yang mengakibatkan ego sektoral antar instansi. Pertama ialah mengenai materi muatan yang terkandung di dalam UU PPMI dan hubungannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Kedua yaitu mengenai aspekaspek dalam penyelenggaraan pelindungan buruh migran seperti pemberdayaan, pengawasan, pengaduan dan remidi. Berdasarkan pasal 10 UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, menyebutkan bahwa materi muatan undangundang harus mengatur mengenai (a) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; (c) pengesahan perjanjian internasional tertentu; (d) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau (e) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Akan tetapi, yang terjadi dalam UU PPMI langsung mengatur materi muatan mengenai perintah pembentukan 12 peraturan menteri dan 3 peraturan kepala badan yang sebenarnya bersifat teknis, di mana materi muatan ini seharusnya diatur melalui perintah peraturan pemerintah. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum jika merujuk kepada hierarki peraturan perundang-undangan.1 UU PPMI mengatur mengenai pembagian kewenangan oleh kementerian dan badan, serta antar level pemerintah daerah hingga pemerintah desa. Namun, jika substansinya masih mengikuti UU PPTKILN dan tidak segera diharmonisasi menurut UU PPMI, maka hal ini akan terlihat inkonsistensi dan rancu. Berdasarkan UU pemerintahan daerah yang menganut asas konkuren yang berarti pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah

1 Lihat asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada pasal 7 ayat (1) UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan

186


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan kabupaten/kota sudah sangat jelas kewenangannya.2 Urusan ketenagakerjaan yang merupakan urusan wajib tapi tidak berkaitan dengan layanan dasar telah secara gamblang dinyatakan bahwa hal ini menjadi urusan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan demikian berarti secara eksplisit urusan ketenagakerjaan lebih tepatnya menjadi kewenangan dinas tenaga kerja provinsi atau kabupaten/kota. Namun yang terjadi hingga saat ini, badan yang dibentuk melalui undang-undang sebelumnya kemudian diatur oleh peraturan presiden nomor 81 tahun 2006 tentang BNP2TKI, dapat membentuk perangkat atau unit kerja di bawahnya hingga level pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, seperti BP3TKI, LP3TKI dan P4TKI. Padahal, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah memiliki organisasi perangkat daerah (OPD), di mana terdapat dinas tenaga kerja yang mengurusi ketenagakerjaan. Dampak dari problem kelembagaan di atas ialah koordinasi kurang berlangsung secara sinergis dan harmonis antara dinas tenaga kerja provinsi atau kabupaten/ kota dengan perangkat BNP2TKI yang beroperasi di wilayah pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Konsekuensinya, PPTKIS/P3MI, buruh migran dan anggota keluarganya merasa bimbang atas pelayanan yang dibutuhkan kepada pemerintah. Hal ini tergantung kepada pilihan subjektif yang tidak jelas ukuran dan kepastian hukumnya mengenai kecenderungan pelayanan, apakah mesti membawanya ke dinas tenaga kerja atau perangkat di bawah BNP2TKI. Oleh sebab itu, tantangannya terletak pada pengawalan dalam pembentukan peraturan presiden yang mengatur mengenai badan, di mana didalamnya harus memuat asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan tujuan, dan kejelasan rumusan untuk pelayanan pelindungan dan penempatan yang terbaik bagi buruh migran. Pembagian urusan kewenangan yang begitu jelas antara kementerian ketenagakerjaan dan badan yang diatur di dalam UU PPMI sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk pembatasan kewenangan atas penyelenggaraan urusan migrasi ketenagakerjaan bagi kementerian. Hambatan yang kemungkinan dijumpai adalah ketika berinteraksi dengan dunia internasional dalam pembahasan kesepakatan atau instrumen yang bersifat multinasional. Pihak penyelenggara, baik itu negara atau organisasi internasional, pasti akan mengundang kementerian ketenagakerjaan sebagai perwakilan pemerintah Indonesia untuk pembahasan dan penyepakatan instrumen mengenai migrasi ketenagakerjaan. Terlebih lagi, kewenangan kementerian ketenagakerjaan di dalam ketentuan yang baru sebatas pengaturan norma dan standar, bukan pada pelayanan dan penyelenggaraan teknis 2 Pasal 9 ayat (3) UU nomor 23 tahun 2014 sebagaimana telah diubah menjadi UU nomor 9 tahun 2015 tentang pemerintahan daerah

187


untuk urusan migrasi ketenagakerjaan.3 Untuk itu, tantangannya akan lebih sulit jika koordinasi antar kementerian dan badan berlangsung alot. Terlebih lagi mengenai sejarah SDM yang bertugas di badan memiliki ikatan yang kurang harmonis dan berlangsung secara turun temurun dengan kementerian ketenagakerjaan.4 Tumpang tindih dalam aspek teknis berpotensi terjadi ketika antara kementerian ketenagakerjaan dan badan sama-sama berwenang menyelenggarakan pemberdayaan sosial dan ekonomi.5 Sebagaimana telah diulas pada bagian sebelumnya bahwa pelaksanaan program-program pemberdayaan telah mengakibatkan terjadinya kompetisi antar pelaksana program yang berisiko menimbulkan kerugian, karena tidak mendasarkan kepada hasil dan dampak perubahan terbaik yang diharapkan. Di samping itu, pada proses perencanaannya terkesan tertutup dan tidak partisipatif oleh pelaksana program, program-program yang diselenggarakan hanya diletakkan pada kepentingan ekonomi semata. Pada program itu juga tidak terlihat dari desain dan skema untuk perubahan sosial kepada komunitas mantan buruh migran dan anggota keluarganya untuk peningkatan migrasi prosedural dan pelindungan. Kementerian Ketenagakerjaan cenderung memaksakan skema pemberdayaan melalui ekonomi, sekaligus hal ini hanya melihat bahwa persoalan kesejahteraan buruh migran dapat ditangani dengan menggunakan pendekatan ekonomi. Lebih jauh lagi, hal ini perlu juga diperiksa sebagaimana ukuran dan instrumen dalam wadah ekonomi, apakah hal ini cocok dilaksanakan di daerah kantong yang bercirikan kepulauan dan lainnya? Sementara pelaksanaan program diseragamkan di seluruh wilayah Indonesia. Terlebih lagi pemberdayaan telah menjadi kewenangan pemerintah daerah dan desa. Dengan kata lain, program yang dicanangkan oleh kementerian ketenagakerjaan sebagai agenda teknokrasi yang tanpa memperhitungkan kewenangan lokal. Dalam konteks pemberdayaan, sebelum melangkah lebih jauh pada pelaksanaannya, perlu koordinasi dan evaluasi multi pihak atas penyelenggaraan program-program pemberdayaan yang semestinya dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Karenanya, berdasarkan pertimbangan efektivitas, terdapat pula kementerian lain di bawah koordinasi kementerian yang berlainan pula, juga terlibat dalam program-program pemberdayaan kepada mantan buruh migran dan anggota keluarganya. Dari situasi

3 Wawancara dengan Soes Hindharno, Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan pada 28 November 2017 4 Wawancara dengan Hariyanto, Ketua Umum SBMI pada 3 Januari 2018 5 Lihat pasal 45 huruf (g) jo. pasal 47 huruf (f) UU nomor 18 tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia

188


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan ini terlihat bahwa Bappenas kurang jeli dalam memverifikasi dan mengevaluasi program-program pemberdayaan. Jika memang di dalam amanah UU PPMI, mandat kementerian ketengakerjaan ialah regulator, maka jenis-jenis program pemberdayaannya mesti bersifat substantif mengenai pengaturan pemberdayaan. Misalkan kementerian ketenagakerjaan menyusun SOP dan modul pelatihanpelatihan bagi kelompok sasaran, sementara itu badan yang melaksanakan pendampingannya. Berkenaan dengan pelayanan teknis seperti pengaduan dan remidi berpotensi menimbulkan tumpang tindih antara kementerian dan badan. Di samping badan telah mengembangkan pusat krisis yang telah lengkap keberadaan infrastruktur, instrumen dan sumber daya di dalamnya, kementerian ketenagakerjaan juga nampaknya telah membuka layanan pengaduan dan remidi. Meskipun sifatnya terkesan sporadis dan kurang tertata dengan baik, tapi pelayan itu telah tersedia. Namun yang perlu digarisbawahi mengenai efektivitas dua buah institusi negara yang sama-sama memberikan layanan pengaduan dan remidi. Keberadaan dua layanan untuk pengaduan dan remidi yang masing-masing juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan layanan tersebut membuat organisasi bantuan hukum buruh migran berpotensi mengambil pilihan kecenderungan. Meskipun hal ini tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur dalam penyelesaian sengketa bagi perkara buruh migran, tapi cukup membuat dinamika kepentingan antar lembaga terusik. Langkah organisasi bantuan hukum di atas diambil agar masing-masing institusi mengevaluasi pelayanan pengaduan dan remidi. Perpindahan permintaan pelayanan oleh organisasi bantuan hukum buruh migran kepada salah satu institusi misalnya, akan membuat institusi lainnya terusik dan bertanya-tanya mengapa berlaku demikian, yang kemudian diharapkan institusi menjadikannya sebagai bahan evaluasi. Celakanya ialah apabila institusi tersebut tidak mengambil pelajaran atau bahan evaluasi untuk perbaikan dalam pelayanan pengaduan dan remidi. Hal ini membuat tidak menyelesaikan persoalan, tapi justru merugikan semua pihak, khususnya buruh migran. Tapi setidaknya dari pengalaman pelayanan yang kurang profesional itu, organisasi bantuan hukum mencatat dan mengumpulkan buktibukti sebagai bahan advokasi kebijakan yang lebih nyata dalam konteks pelayanan pengaduan dan remidi bagi buruh migran yang lebih baik.6 Berdasarkan proses di atas, organisasi bantuan hukum sebenarnya memiliki pengetahuan dan kekuasaannya sendiri untuk menentukan jalan dan cara terbaik untuk menebus hak-hak buruh migran yang terlanggar. Jika pemerintah dengan 6 Wawancara dengan Hariyanto, Ketua Umum SBMI pada 3 Januari 2018

189


segala aturan dan kekuasaan yang melekat di atasnya telah gagal mewujudkan pelindungan bagi buruh migran, maka dalam hal ini, organisasi bantuan hukum juga memiliki kekuasaan dan pengetahuan di atasnya untuk mewujudkan pelindungan bagi buruh migran dengan caranya sendiri yang barangkali hal itu di luar dari ketentuan yang melekat dalam konteks migrasi ketenagakerjaan atau mempergunakan peraturan yang relevan dalam konteks pelayanan publik. Karenanya, setiap kekuasaan oleh pemerintah yang kurang berpihak kepada kelompok tertentu, akan selalu muncul kekuatan-kekuatan untuk menandingi kekuasaan itu sehingga mencapai pada titik yang harmonis sesuai dengan harapan semua pihak. 6.2.2 Kerja Sama dengan Negara Tujuan Sebagaimana yang terkandung di dalam norma UU PPMI menyebutkan bahwa buruh migran dapat bekerja di negara tujuan penempatan yang telah memiliki perjanjian kerja sama tertulis dengan Indonesia, memiliki peraturan perundangundangan yang melindungi buruh asing, dan memiliki sistem jaminan sosial yang melindungi buruh asing.7 Berikut merupakan daftar perjanjian kerja sama Indonesia dan negara tujuan penempatan:

Tabel 6.1 Daftar Perjanjian Kerja Sama Dengan Negara Tujuan Penempatan yang Telah Dibuat Oleh Pemerintah Indonesia No Negara Tujuan Penempatan Tahun Perjanjian

Jenis Sektor

1

Kuwait

1996

Formal dan Informal

2

Philipina

2003

Formal dan Informal

3

Malaysia

2004

Formal

4

Australia

2005

Formal dan Informal

5

Uni Emirat Arab

2007

Formal dan Informal

6

Jepang

2008

Formal dan Informal

7

Qatar

2008

Formal dan Informal

8

Yordania

2009

Formal dan Informal

9

Turki

2010

Formal dan Informal

10

Lebanon

2010

Formal dan Informal

7 Pasal 31 UU nomor 18 tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia

190


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan 11

Malaysia

2011

Informal

12

Taiwan

2011

Formal dan Informal

13

Selandia Baru

2012

Formal dan Informal

14

Korea Selatan

2013

Formal dan Informal

15

Arab Saudi

2014

Formal dan Informal

Sumber: Direktorat PPTKLN Kementerian Ketenagakerjaan

Namun pasca penetapan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan nomor 260 tahun 2015 tentang penghentian penempatan tenaga kerja Indonesia pada pengguna perseorangan di negara-negara Timur Tengah, membuat perjanjian kerja sama dengan negara-negara kawasan Timur Tengah yang terdapat di dalam daftar di atas dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal serupa juga terjadi untuk negaranegara kawasan Asia Pasifik yang sudah tidak berlaku lagi karena telah habis masa berlakunya. Beberapa di antara sedang dalam proses penjajakan dan perundingan, tapi hingga kapan target penyelesaian masih kabur perwujudannya. Upaya yang akan ditempuh oleh pemerintah Indonesia pasca penetapan UU PPMI ialah evaluasi dan reviu atas perjanjian kerja sama dan kebijakan yang ditetapkan. Adapun di antaranya, yakni (1) melaksanakan kajian dan evaluasi kembali terhadap kebijakan keputusan menteri ketenagakerjaan 260 tahun 2015; (2) Pembentukan dan reviu perjanjian kerja sama penempatan dan pelindungan di beberapa negara, seperti Kuwait (pemisahan formal dan informal), Brunei Darussalam, Arab Saudi, Korea Selatan dan Taiwan; (3) Pembenahan dan reviu terhadap perjanjian kerja sama mengenai struktur biaya penempatan yang meliputi Malaysia, Taiwan dan Singapura.8 Meski demikian, walaupun perjanjian kerja sama telah dilaksanakan antara Indonesia dan negara tujuan penempatan, tantangannya adalah bagaimana perjanjian tersebut dipatuhi dan diimplementasikan oleh masing-masing pihak. Pengalaman telah membuktikan bahwa perjanjian kerja sama acap kali dilanggar oleh masing-masing pihak dengan tidak membuat harmonisasi ketentuan yang dapat diberlakukan di negara-negara masing. Untuk itu, sifat dokumen perjanjian tidak hanya dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) yang berarti hanya sebuah nota kesepahaman saja, melainkan perjanjian harus mengikat dalam

8 Persentasi Soes Hindharno, Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, pada kegian kelompok diskusi terarah (FGD) perumusan aturan turunan UU PPMI di Bogor, pada 15 November 2017

191


bentuk Memorandum of Agreement (MoA) atau nota persetujuan.9 Berkenaan dengan proses negosiasi atau perundingan dengan negara tujuan penempatan, pemerintah kurang transparan karena tidak pernah mengikutsertakan peran masyarakat untuk memperoleh masukan dalam perwujudan pelindungan buruh migran. Hal itu diperparah dengan akses kepada dokumen perjanjian yang amat sulit diperoleh oleh masyarakat. Sebagai bahan evaluasi bersama, setiap perencanaan untuk kebijakan penempatan sebelum membuat perjanjian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pelindungan bagi buruh migran. Perencanaan boleh meliputi mengenai konteks hukum negara tujuan penempatan, budaya setempat dan kajian terhadap pasar kerja kawasan. Hal ini, dengan demikian, akan relevan untuk penyiapan buruh migran dalam konteks peningkatan keahlian dan keterampilan kerja pada masa pra migrasi dari pasar yang tersedia di negara tujuan penempatan. 6.2.3 Arah Komitmen di Level Regional dan Internasional Dalam konteks migrasi ketenagakerjaan di ruang global, pemerintah cukup ambisius menempatkan posisinya untuk promosi, pemenuhan dan pelindungan hak-hak buruh migran. Pemerintah cukup aktif untuk berkomitmen dalam pelbagai instrumen pelindungan buruh migran di level regional dan internasional. Hal itu dibuktikan hampir semua instrumen internasional yang berbasis pada pendekatan HAM yang terkait dengan buruh migran telah diratifikasi oleh Indonesia. Dari ratifikasi atas instrumen tersebut boleh dijadikan sebagai basis konsideran di dalam perumusan undang-undang yang relevan, mengingat migrasi ketenagakerjaan meliputi pelbagai dimensi ketentuan perundang-undangan. Kendati demikian, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah adalah bagaimana mengimplementasikan instrumen-instrumen internasional tersebut untuk perwujudan pelindungan buruh migran yang selayaknya. Berkenaan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan implementasinya dapat dilihat di dalam Lampiran II dari laporan ini. Di ASEAN misalnya, posisi pemerintah Indonesia sangat berpretensi dengan menempatkan posisi untuk pelindungan buruh migran yang terunggul, di mana hal itu akan sangat sulit diterima oleh negara-negara anggota ASEAN (AMS) lainnya ketika tidak memperhitungkan dinamika antar AMS. Walaupun pada akhirnya, Indonesia harus mengikuti kesepakatan AMS lainnya dengan mengambil kesepakatan yang kurang menguntungkan bagi buruh migran. Hal ini berkaitan dengan instrumen ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights 9 Wawancara dengan Hariyanto, Ketua Umum SBMI pada 3 Januari 2018

192


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan on Migrant Workers (Konsensus ASEAN) yang disahkan di tahun 2017 yang lalu. Pada awalnya terdapat beberapa isu krusial dalam pembahasan tingkat pejabat senior ketenagakerjaan yang berkaitan dengan judul dan sifat dokumen, pelindungan bagi buruh migran tidak berdokumen, pelindungan bagi buruh migran perempuan, mekanisme reviu dan amandemen. Dalam proses penyusunannya, setidaknya, memerlukan waktu 10 tahun bagi AMS untuk menyepakati Konsensus ASEAN, di mana durasi ini merupakan satu putaran kepemimpinan ASEAN, yakni Filipina sebagai tuan rumah. Konsensus ASEAN merupakan salah satu mandat dari ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of their Rights of Migrant Workers atau yang dikenal sebagai Deklarasi Cebu yang ditandatangani di Cebu Filipina di tahun 2007. Proses pembahasan yang panjang terjadi karena terdapat perbedaan perspektif dan pemahaman dalam memandang eksistensi buruh migran. Pemerintah Indonesia pada saat pembahasan bersikukuh dengan menempatkan posisi agar Konsensus ASEAN bersifat mengikat secara hukum (legally binding) bagi seluruh AMS. Sementara itu, sembilan AMS lainnya menyetujui agar mengikat secara moral saja. Pemerintah Indonesia, meski pada akhirnya, harus menelan kepahitan dengan menerima kesepakatan mengenai sifat dokumen yang sukarela (morally binding). Melalui kesepakatan itu, dengan demikian, berarti AMS tidak berkewajiban atas Konsensus ASEAN ke dalam peraturan perundang-undangan dalam negerinya agar dapat diimplementasikan. Perjuangan pemerintah Indonesia tak hanya terhenti di isu mengenai sifat dokumen saja, melainkan mengusulkan pengaturan pelindungan bagi buruh migran tidak berdokumen ke dalam Konsensus ASEAN. Pelindungan yang dimaksud mencakup akses sosial, keadilan dan kesehatan selama di negara tujuan penempatan. Usulan ini, namun pada akhirnya, ditolak oleh AMS lainnya dan untuk kedua kalinya pemerintah Indonesia harus menelan kepahitan dari proses ASEAN. Sebenarnya pada awalnya, pemerintah Filipina selalu selaras dengan posisi Indonesia dalam menyikapi isu krusial di dalam Konsensus ASEAN. Akan tetapi, pemerintah Filipina tidak bersedia mengambil risiko ketika menjadi pemimpin ASEAN yang kemudian disahkanlah Konsensus ASEAN ini di tahun 2017 pada konferensi tingkat tinggi ASEAN di Manila, Filipina. Dengan kondisi demikian, Santoso (2017) berpendapat bahwa kegagalan negosiasi untuk perbaikan kebijakan melalui kerangka instrumen ASEAN untuk buruh migran disebabkan oleh tidak mumpuninya kekuatan konsolidasi antar kelompok aktor negara asal buruh migran untuk mengatasi kontradiksi gagasan dan pandangan di tingkat regional. Mandat Deklarasi Cebu lainnya adalah untuk menguatkan promosi dan pelindungan bagi buruh migran dalam peningkatan tata kelola migrasi

193


ketenagakerjaan di ASEAN, di mana AMS merekomendasikan untuk mengorganisasi pertemuan rutin tahunan bernama ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML). Pada prosesnya, sebelum AFML digelar, diselenggarakan proses di setiap AMS terlebih dahulu untuk menggali masukan dan rekomendasi di level nasional terkait dengan isu di tahun tersebut yang melibatkan serikat buruh, asosiasi pengusaha, masyarakat sipil dan pemerintah. Akan tetapi, kelengkapan aktor yang terlibat membuat pembahasan berlangsung cukup alot untuk mencapai kesepakatan di level nasional. Terlebih lagi, delegasi yang dikirim memiliki latar belakang yang beragam, sehingga memunculkan tantangan sendiri untuk merumuskan kesepakatan. Selain itu, hingga saat ini, rekomendasi yang dihasilkan AFML mencapai jumlah ratusan dengan pelbagai kompleksitas isu dalam migrasi ketenagakerjaan. Hal ini, tentunya, menjadi tantangan tersendiri untuk mengevaluasi setiap rekomendasi dalam implementasinya. Meski demikian, hasil rekomendasi AFML dapat dijadikan sebagai panduan untuk advokasi dalam promosi dan pelindungan buruh migran di level nasional. Karenanya, dari rekomendasi itu belum tentu pemerintah mengadaptasi atas rekomendasi yang dihasilkan oleh AFML jika tidak selalu dipantau atas pelaksanaannya. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, lebih lanjut, sangat kaya dengan muatan prinsip hak asasi manusia yang membuat rekomendasi AFML akan lebih kuat jika dilengkapi pula dengan bukti-bukti kasus atau praktik terbaik sebagai basis argumentasi advokasi kebijakan (Wahyudi, 2017a: 47). Di tingkat internasional, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di tahun 2030, di mana SDGs merupakan merupakan penyempurnaan dari MDGs yang telah berakhir tempo pencapaian targetnya di tahun 2015. Terdapat 5 dari 17 tujuan SDGs di dalamnya mengatur mengenai migrasi. Lima tujuan itu hendak mencapai kesetaraan gender (tujuan 5), pertumbuhan ekonomi yang merata untuk perluasan kesempatan kerja (tujuan 8), kebebasan bergerak lintas negara yang aman dan teratur untuk mengurangi kesenjangan antar negara (tujuan 10), akses keadilan dengan membangun kelembagaan yang efektif (tujuan 16) dan meningkatkan kerjasama multipihak (tujuan 17). Melalui peraturan presiden nomor 59 tahun 2017 tentang tujuan pembangunan berkelanjutan, di mana di dalam lampirannya, telah ditentukan sedemikian rupa tentang pihak-pihak yang akan mengemban tanggung jawab pada setiap tujuan dan indikator di dalam SDGs. Kekhawatiran yang barangkali muncul dalam proses pencapaian SDGs ini boleh dipengaruhi oleh proses transfer pengetahuan di kalangan birokrasi antar level pemerintahan, ketersediaan anggaran, cakupan wilayah yang luas untuk pemerataan pembangunan dan prosesnya yang tidak partisipatif. Sebagaimana

194


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan kekurangan yang dialami oleh pencapaian MDGs pada periode yang lalu juga berpotensi terulang kembali pada pencapaian SDGs mendatang. Seperti yang diungkapkan oleh Lisbet (2013), kendala utama yang dihadapi oleh pemerintah dalam pencapaian MDGs adalah kurang meratanya fokus wilayah pembangunan. Pemerintah terlihat hanya fokus pembangunan di wilayah perkotaan, sementara wilayah desa tetap termarginalkan yang ditandai dengan kesenjangan infrastruktur publik yang sangat mencolok. Terlebih lagi, masyarakat desa juga kurang menerima manfaat dan akses dari proses pembangunan. Akibatnya, pembangunan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat perkotaan, di mana kondisi ini meningkatkan kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat desa dan kota. Faktor utama penyebabnya karena terjadi kemandegan diseminasi informasi dan pengetahuan, sarana dan prasarana penunjang informasi dan kapasitas SDM yang kurang mumpuni (Lisbet, 2013: 142). Mengingat sebagian besar komunitas buruh migran dan anggota keluarganya berasal dari desa, penyelenggaraan pencapaian SDGs harus lebih menjangkau dan menekankan kepada masyarakat desa sebagai basis penerima manfaat. Pada saat ini, sebenarnya, pemerintah telah banyak menggulirkan program-program pembangunan dan pengentasan kemiskinan yang berfokus di wilayah desa. Untuk itu, peluang ini harus dimanfaatkan secara serius dengan memasukkan indikatorindikator di dalam SDGs yang hendak dicapai sebagai bagian dari pelaksanaan program-program yang sedang berjalan. Keuntungannya, selain untuk efektivitas pelaksanaan dalam pencapaian target, tapi juga untuk efisiensi anggaran daripada harus menciptakan program baru lagi dengan tema SDGs. Akan tetapi, ketika melihat perkembangan pelaksanaan program-program dengan basis penerima manfaat mantan buruh migran dan anggota keluarganya, hal ini sangat sulit dilaksanakan secara sinergi dan terkoordinasi antar level pemerintahan. Mengingat konflik kepentingan dan ego sektoral untuk melaksanakan program masingmasing antara kementerian dan badan masih terjadi hingga kini. Permasalahan tidak hanya terjadi pada ruang lingkup pelaksanaan saja, melainkan kebijakan yang tersedia juga berkontribusi terhadap tumpang tindih kewenangan sebagaimana hal ini sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Fokus perhatian dalam SDGs semestinya tertuju pada tujuan ke-16 yang mengangkat capaian pendirian kelembagaan yang tangguh dan akses keadilan kepada masyarakat. Seperti halnya telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa dari sisi kebijakan menunjukan kemungkinan bakal terjadi tumpang tindih kewenangan antara kementerian dan badan serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Akan tetapi, ketika membaca sasaran RPJMN 2015-2019

195


yang dihubungan sasaran global mengenai pengembangan lembaga yang efektif, transparan dan akuntabel di semua tingkatan pemerintah, sepertinya hal tersebut kurang begitu relevan untuk mengurai permasalahan mengenai tumpang tindih kewenangan dalam konteks migrasi ketenagakerjaan jika dilihat dari target yang direncanakan. Karenanya, sasaran di dalam RPJMN hanya berfokus kepada aspek manajemen dan pembinaan sumber daya manusia seperti pelaporan dengan status wajar tanpa pengecualian, peningkatan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan (SAKIP), pelaksanaan e-procurement, peningkatan indeks reformasi birokrasi dan kepatuhan terhadap undang-undang pelayanan publik.10 Salah satu capaian yang semestinya ditingkatkan secara ekstra adalah melalui sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan (SAKIP), di mana jika merujuk SAKIP tahun 2015, kinerja pemerintah terbilang sangat rendah, yakni kementerian/ lembaga: 60,24%, Provinsi: 30,30%, Kabupaten/Kota: 2,38%, sedangkan target capaian yang hendak dicapai dengan skor B (rata-rata 60 – 70 %).11 SAKIP adalah rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah.12 Untuk itu, partisipasi masyarakat sangat penting dalam pemberian masukan kepada pemerintah sehingga dapat menunjang efektivitas kinerja dan efisiensi anggaran yang berdasarkan kepada penyelenggaraan SAKIP yang mesti dipahami oleh masyarakat terlebih dahulu, yakni rencana strategis, perjanjian kinerja, pengukuran kinerja, pengelolaan data kinerja, pelaporan kinerja dan reviu dan evaluasi kinerja. Masih berkaitan dengan tujuan ke-16, akses keadilan bagi kelompok buruh migran dan marginal yang terlihat masih tumpul pelaksanaannya di level daerah. Hal ini merupakan tantangan dalam pencapaian target sasaran terhadap akses keadilan yang merata bagi masyarakat. Akses keadilan bagi semua masyarakat dirasa sulit tercapai, mengingat masih minimnya ketersediaan organisasi bantuan hukum (OBH) atau orang yang menyediakan jasa bantuan hukum secara nasional sangat timpang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan data 2013-2015 jumlah advokat di Indonesia sebanyak 1.117 dan 1.018 paralegal serta 310 OBH. Pada periode 2016-2018 terjadi peningkatan yakni, 2.070 pengacara dan

10 Lihat lampiran bab XVI, angka 5, Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2017 tentang tujuan pembangunan berkelanjutan 11 Ibid. 12 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan

196


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan 2.130 paralegal, dan 405 OBH.13 Sebelumnya, di awal 2018, Kementerian Hukum dan HAM menetapkan permenkumham Nomor 1 tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum, namun peraturan ini telah dibatalkan sebelum efektif berjalan oleh Mahkamah Agung karena dinilai melanggar UU Advokat di dalam materi muatannya. Kekosongan ketentuan ini membuat penyebaran dan distribusi pengetahuan kepada pihak-pihak yang memberikan bantuan hukum bagi kelompok marginal secara gratis, tentunya, mandek. Akses keadilan bagi buruh migran, tentunya, akan lebih sulit karena minimnya paralegal dan OBH di tahuntahun mendatang jika kondisi demikian terus berlanjut. Jika jumlah penyedia layanan bantuan hukum di atas dibandingkan dengan jumlah kasus pengaduan kelompok buruh migran, di mana jumlahnya sudah mencapai 4 ribuan perkara lebih yang mengadu ke BNP2TKI setiap tahunnya, tentu hal ini sangat kontras. Kondisi ini belum lagi jika ditambah dengan kelompok marginal lainnya seperti warga miskin, tentu hal ini tidaklah sebanding. Menurut BPHN, sebagaimana yang telah dikutip oleh harian Kompas (11/1/2017), total permohonan bantuan hukum litigasi sebanyak 5.592 perkara dan nonlitigasi 1.103 perkara di tahun 2016. Kemudian dari jumlah itu, sebanyak 3.335 perkara diterima dan 797 perkara ditolak.14 Untuk itu, pemerintah harus lebih jeli dalam membuat peraturan yang berkontribusi terhadap akses keadilan dan memperbanyak peran paralegal dan OBH yang terakreditasi untuk meningkatkan pelindungan masyarakat, khususnya kelompok marginal seperti warga miskin dan komunitas buruh migran. Pada proses internasional, Indonesia telah terlibat aktif dalam penyusunan muatan substansi pada global compact on migration and global compact on refugee (GCM & GCR) di tahun 2017. GCM & GCR ini sederhananya merupakan terjemahan dari tujuan 8, 10 & 17 di dalam SDGs, yang berarti pada poin peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk perluasan kesempatan kerja; pengurangan kesenjangan antar negara dengan fasilitasi migrasi secara aman, regular dan teratur; dan menguatkan kerja sama global untuk pembangunan berkelanjutan (Newland, 2017: 3). Sebagaimana hal ini berangkat dari KTT PBB di New York yang mengadopsi resolusi 71/1 yang kemudian dikenal dengan Deklarasi New York untuk pengungsi dan migran pada pada 19 September 2016. 13 Lihat informasi selengkapnya melalui laman SBMI dengan judul “Mengakses Keadilan lewat Bantuan Hukum Paralegal” http://sbmi.or.id/2017/09/mengakses-keadilan-lewat-bantuan-hukumparalegal/ diunduh dan diolah pada 3 Januari 2018, pukul 13.17 14 Lihat selengkapnya di Harian Kompas (11/1/2017) berjudul “Bantuan Hukum Gratis bagi Kaum Miskin” melalui tautan https://www.pressreader.com/indonesia/ kompas/20170116/282089161467112 diunduh dan diolah pada 3 Januari 2018, pukul 14.02

197


GCM & GCR berusaha memformulasikan dengan kepaduan antara realitas migrasi ketenagakerjaan dan migrasi pencari suaka atau pengungsi. Tantangan bagi Indonesia terletak pada ketentuan mengenai pencari suaka dan pengungsi, di mana Indonesia tidak meratifikasi protokol pengungsi 1951/1967. Namun Indonesia sebenarnya sudah menyiapkannya dengan membuat Peraturan Presiden nomor 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi yang dapat menjadi rujukan untuk formulasi posisi Indonesia dalam GCM & GCR yang akan diselenggarakan di sidang umum PBB ke-73 pada September 2018. Kesepakatan ini sekaligus berpotensi membuka kran migrasi penduduk dari negara-negara utara ke negara selatan karena dampak dari perubahan iklim. Dalam konteks keterbukaan, pemerintah Indonesia saat ini sedang menjadi lokomotif global dalam inisiatif bertajuk Open Government Partnership (OGP), bahkan Indonesia bertindak sebagai komite pengarah (2015-2018). Presiden Joko Widodo cukup berambisi dalam hal ini karena dalam pernyataannya menaruh harapan besar melalui Open Government Indonesia (OGI), di mana hendak membangun masa depan tata kelola pemerintahan di Indonesia yang lebih terbuka, lebih partisipatif dan lebih inovatif bersama-sama masyarakat sipil.15 Pelaksanaan open government ini sekaligus merevisi prinsip tradisional dalam administrasi publik melalui sistem koordinasinya antara agen manajemen publik dengan objek yang diurus untuk menyokong pelayanan publik dan masyarakat sipil dalam peningkatan keterbukaan dan perubahan prinsip melalui perubahan paradigma pelayanan melalui peningkatan kapasitas aparatur sipil negara (Achkasov, 2016: 79). Sifatnya yang sukarela, kendati demikian, terlihat tidak banyak institusi pemerintah yang terlibat ke dalam inisiatif keterbukaan dan transparansi publik. Sejauh ini yang menjadi tim inti dalam OGI ialah Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Komisi Informasi Pusat. Sementara itu, jika ditelusuri ke dalam laman OGI, di dalamnya tidak ditemukan institusi mana yang telah berkomitmen dan prosesnya sudah sejauh mana dalam pelaksanaan OGI. Hal ini menggelikan, sebuah inisiatif keterbukaan, tapi proses dan keluarannya dilaksanakan secara tertutup. Dalam konteks migrasi ketenagakerjaan, lagipula, institusi pemerintah yang mengurusi ketenagakerjaan telah absen secara berjamaah

15 Lihat pranala berikut untuk informasi lebih lanjut, yang berjudul “Bagaimana OGI Bekerja� http:// www.opengovindonesia.org/about/1/open-government-indonesia, diakses dan dioalah pada 5 Januari 2018, pukul 11.18

198


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan karena tidak tergabung ke dalam inisiatif OGI. Hal ini akan menjadi tantangan yang besar bagi migrasi ketenagakerjaan karena amanah kebijakan menginstruksikan pelaksanaan diseminasi informasi yang merata dan perampingan proses migrasi dalam aspek tata kelola. Pelbagai komitmen sukarela yang dianut oleh pemerintah di atas sebenarnya ingin menunjukkan keterbatasan kuasa pengetahuan yang dimiliki oleh setiap level pemerintah dan antar badan publik. Karenanya, hasil yang diharapkan atas pelbagai inisiatif belum begitu dirasakan oleh komunitas buruh migran dan anggota keluarganya. Keputusan sukarela merupakan kehendak kebebasan atas pilihan yang diputuskan oleh penguasa. Dengan kata lain, instansi atau subyek bebas mengambil keputusan tersebut, dengan konsekuensi yang mesti ditanggungnya, dan terkadang bahkan mengabaikan tuntutan kuasa di pihak masyarakat sipil sehingga membuat mereka berpikir dan bertindak atas kuasa pengetahuan yang diproduksi sendiri untuk mengajukan protes dan gerakan sipil untuk perubahan kebijakan (Baumgarten & Ullrich, 2012: 27). Setiap instansi yang menjadi pelaksana atas keputusan itu, sementara itu, juga memiliki pengetahuan, di mana mereka menerjemahkannya sendiri atas kuasa yang dimilikinya. Dengan harapan bahwa setidaknya komitmen tersebut barangkali mampu memengaruhi setiap keputusan yang diambil atas klaim kebenaran yang ditafsirkan oleh setiap instansi. Akan tetapi jika wacana yang dibangun atas landasan pengetahuan yang kurang berpihak kepada buruh migran akan berpeluang hanya sebagai hiasan semata. Hal itu akan terlihat mempesona dalam interaksi global, akan tetapi ambisi itu sebenarnya mengecewakan dalam pelaksanaan dalam perwujudan pelindungan bagi buruh migran. 6.3 Dampak Kebijakan terhadap Buruh Migran Penggunaan analisis dengan pendekatan UU PPTKILN agaknya masih relevan mengingat UU PPMI belum memiliki peraturan turunan yang berarti pula ketentuan yang baru tidak dapat dilaksanakan. Hal ini juga berkaitan dengan kelompok buruh migran berisiko tinggi yang terlanggar hak-haknya. Tentunya hal ini masih sulit bagi mereka untuk menuntut keadilan. Kendati di dalam UU PPMI telah mengatur kelompok ABK migran, namun tidak demikian halnya dengan kelompok PRT migran yang pengaturannya secara substansi masih sama dengan UU PPTKILN. Untuk itu, pada bagian ini akan secara khusus mengulas mengenai kelompok buruh migran berisiko tinggi dengan merefleksikan ketentuan yang lama dan menggali potensi kerugian dari ketentuan yang baru.

199


6.3.1 Terhadap Akses Keadilan bagi Kelompok Rentan Hampir semua kelompok buruh migran sebenarnya dapat dikatakan rentan dan berisiko tinggi karena tinggal di luar negeri secara temporer, di mana hal ini jauh jangkauan dari sistem hukum dan pemerintahan kita. Mitigasi risiko yang efektif yakni dengan menekankan pelindungan pada dirinya sendiri. Hal ini harus benar-benar menjadi kebiasaan berpikir buruh migran sebelum berangkat ke luar negeri. Jika sudah mengalami masalah, tentunya, dibutuhkan usaha ekstra untuk mengurai permasalahan tersebut. Pelbagai ragam persoalan dialami buruh migran, mulai dari penahanan dokumen jati diri, penahanan dan pemotongan gaji di luar prosedur, kekerasan psikis dan fisik, penipuan, pelecehan seksual, pemenjaraan, menjadi korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia serta terancam hukuman mati. Kasus buruh migran yang menjadi korban perdagangan orang dan terancam hukuman mati ialah yang paling menyedot perhatian publik. Karenanya, perdagangan orang merupakan rangkaian kejahatan yang membuat buruh migran menanggung kerugian yang sangat besar, di samping negara juga mengalami imbas yang serupa. Terlebih lagi, polanya yang terorganisasi dan bersifat transnasional juga akan menambah kerumitan dalam penyelesaian perkara pidana perdagangan orang yang menimpa buruh migran. Dengan demikian, dalam pemberantasan tindak perdagangan orang dibutuhkan komitmen antar negara. Untuk itu, semangat anti perdagangan orang harus menjadi konsideran pemerintah dalam membuat perjanjian kerja sama penempatan buruh migran dengan negara tujuan. Di sisi lain, buruh migran yang terancam hukuman mati, khususnya di negara-negara Timur Tengah, harus menempatkan buruh migran bahwa mereka sebenarnya adalah korban. Terlepas dari perbuatan pidana yang buruh migran lakukan, tapi semua itu pastilah memiliki hubungan kausalitas yang memposisikan buruh migran sebagai objek yang dapat dimanfaatkan. Perbuatan pidana tidaklah mungkin terjadi oleh buruh migran tanpa diawali dengan kerugian yang dialami sebelumnya. Ataupun perbuatan pidana di negara tujuan penempatan juga tidak terjadi jika buruh migran tidak ditempatkan kepada majikan yang merugikan buruh migran. Selain hal tersebut, manajemen dan penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan yang belum membaik merupakan bagian kausalitas tak dapat dipisahkan dalam rantai migrasi ketenagakerjaan yang membuat buruh migran semakin rentan. Kementerian Luar Negeri mencatat dalam kurun waktu 2014-2017, telah membebaskan 205 warga negara Indonesia dari ancaman hukuman mati. Meski terdapat dua orang WNI gagal diperjuangkan yang berakhir pada ekskusi mati oleh kerajaan Saudi Arabia. Dalam kurun waktu tersebut juga terjadi penambahan

200


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan kasus baru sebanyak 162 WNI yang terancam hukuman mati. Mayoritas WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri berstatus sebagai buruh migran, khusus Timur Tengah dapat dipastikan bahwa mereka adalah buruh migran.16 Hal inilah yang juga ikut mengundang sensitivitas publik, di mana kelompok buruh migran seharusnya memperoleh pelindungan maksimal dari negara karena kerentanan atas risiko itu. Tantangan terberat dari kasus pembebasan hukuman mati bagi WNI di luar negeri adalah di mana Indonesia juga memberlakukan hukuman mati. Namun perbedaanya terletak pada jenis kasusnya, Indonesia memberlakukan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba dan terorisme. Sementara itu, WNI yang terancam hukuman mati berstatus buruh migran. Hal inilah yang kiranya dapat dijadikan sebagai alat pada ruang negosiasi dengan negara tujuan untuk membebaskan buruh migran. Terlepas dari pendapat penulis sendiri sebenarnya sangat menolak hukuman mati. Karenanya, berkaitan dengan hukuman mati, tak satupun seseorang atau aktor negara di muka bumi ini yang boleh merampas hak hidup seseorang. a. Buruh Migran Tidak Berdokumen Bank Dunia memperkirakan sebanyak 9 juta buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri di tahun 2016, di mana hanya 51% yang menempuh jalur resmi (Bank Dunia, 2017). Dari temuan tersebut bukan berarti bahwa dari jumlah 51% merupakan buruh migran tidak berdokumen. Akan tetapi secara implisit perlu dibedakan bahwa pelanggaran prosedur dengan pelabelan sebagai “ilegalâ€? oleh pemerintah Indonesia, belum tentu membuat buruh migran berstatus tidak berdokumen di negara tujuan penempatan (Sapaan & Naerssen, 2018: 12). Pada dasarnya buruh migran memiliki cara sendiri untuk bekerja secara legal di negara tujuan, meski hal itu di luar dari ketentuan prosedur migrasi di Indonesia. Buruh migran, dalam hal ini, boleh memanfaatkan jaringan sosialnya untuk menanggulangi permasalahan dokumentasi dan akses layanan dasar selama bekerja di luar negeri. Praktik seperti ini umumnya dilakukan oleh buruh migran asal Madura dan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang bermigrasi ke Malaysia. Mengenai jumlahnya yang dapat ditaksir dari kondisi tersebut menempatkan Malaysia sebagai negara yang tertinggi dengan Âą1,25 juta buruh migran Indonesia tidak berdokumen (Wahyudi, 2017b). Berangkat dari perkiraan jumlah tersebut, nampaknya cukup relevan jika mengategorikan jenis-jenis buruh migran menurut ketentuan hukum yang berlaku di Malaysia. Kassim & Rugaiyah (2011) merincinya 16 Wawancara dengan Judha Nugraha, Kepala Sub Direktur Kelembagaan dan Diplomasi Perlindungan Direktorat PWNI & BHI Kementerian Luar Negeri, pada 27 November 2017.

201


bahwa terdapat delapan kategori warga asing di Malaysia yang tinggal secara tidak berdokumen, mereka adalah sebagai berikut: 1. Seseorang yang memasuki sebuah negara tanpa membawa dokumen perjalanan luar negeri (paspor) sama sekali; 2. Seseorang yang memasuki sebuah negara dengan membawa dokumen perjalanan luar negeri lalu tinggal dan menetap di negara tersebut meski ijin tinggalnya sudah habis (overstay); 3. Seseorang yang memasuki sebuah negara dengan dokumen perjalanan luar negeri dan menetap secara temporer untuk bekerja tapi tidak memiliki ijin kerja di negara tersebut. Kemudian setelah ijin tinggal hampir berakhir, seseorang tersebut kembali lagi ke negaranya. Proses ini terjadi setiap bulan; 4. Seseorang yang memasuki dan bekerja di sebuah negara, tapi tidak memperpanjang ijin/permit kerjanya; 5. Seseorang yang memasuki dan bekerja di sebuah negara, tapi keterangan identitas dan majikannya berbeda dengan yang tertuliskan di dalam dokumen resminya; 6. Anak warga asing/buruh migran yang tidak didaftarkan ke pemerintah, baik pemerintahnya sendiri melalui perwakilan atau pemerintah negara tujuan; 7. Seorang pengungsi atau pencari suaka, karena negara yang bersangkutan tidak meratifikasi teks dan protokol pengungsi tahun 1951/1967; dan 8. Seseorang pengungsi di Sabah yang diberikan ijin tinggal tapi tidak memperpanjang setiap tahun sekali. Dari delapan kategori di atas, nomor 1-6 adalah yang sering kali dialami oleh buruh migran Indonesia di Malaysia, dan bahkan di luar negeri, mengingat hampir semua negara tujuan buruh migran tidak meratifikasi konvensi pengungsi. Mengenai jumlah buruh migran Indonesia tidak berdokumen secara keseluruhan pastinya tidak ada yang tahu mengenai secara rinci. Di samping risiko stereotip dan diskriminasi telah jamak dijumpai oleh buruh migran pada umumnya, risiko kriminalisasi acap kali dirasakan oleh kelompok buruh migran tidak berdokumen. Situasi ini akan bertambah sulit ketika buruh migran tidak berdokumen mengalami masalah di luar negeri. Dengan status tersebut mengakibatkan buruh migran mengalami sulitnya terhadap semua akses layanan dasar. Upaya kementerian luar negeri yang akan memberlakukan lapor diri bagi buruh migran dengan menggunakan kartu identitas dan surat keterangan pindah luar negeri (SKPLN)17 sebagai basis pendataan WNI di 17 Lihat pasal 18 UU nomor 23 tahun 2006 sebagaimana telah diubah menjadi UU nomor 24 tahun

202


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan luar negeri yang tidak memiliki dokumen izin tinggal atau ketenagakerjaan harus diapresiasi. Kementerian yang mengampu pelindungan warga negara ini juga telah mengawali terobosan dengan mengembangkan aplikasi Safe Travel yang berisi informasi negara-negara yang dibutuhkan oleh WNI. Melalui fitur tersebut telah dilengkapi dengan panic button yang dipergunakan untuk kondisi darurat yang sedang dialami oleh WNI seketika itu. Tujuan dari semua ini adalah agar semua WNI juga memperoleh pengakuan dan pelindungan dari pemerintah, baik yang statusnya berdokumen maupun tidak berdokumen.18 Namun tantangannya adalah bagaimana pemerintah mampu secara cepat merespon kepanikan yang sedang dialami oleh buruh migran ketika mengalami masalah seketika itu? Dan seberapa banyak WNI di luar negeri telah melek teknologi sebagai penunjang layanan pelindungannya? Hal ini perlu peneraan lebih lanjut untuk memastikan efektivitas teknologi sebagai basis layanan. Persoalan buruh migran tidak berdokumen tidak bisa diselesaikan oleh negara asal saja, akan tetapi perlu komitmen negara tujuan penempatan untuk penertiban buruh migran tidak berdokumen. Selain upaya peningkatan kesadaran buruh migran oleh pemerintah agar bermigrasi secara prosedural, kebijakan mengenai biaya penerbitan visa kerja juga mesti direviu. Kebijakan tersebut mesti melihat antara pendapatan dan biaya hidup buruh migran selama di negara tujuan penempatan. Meski biaya visa kerja menjadi tanggung jawab majikan, tapi pada kenyataanya seperti yang terjadi di Malaysia, buruh migran sendirilah yang membayar visa kerja tersebut. Di samping itu, supremasi hukum juga mesti ditegakkan, baik praktik korup yang terjadi di perbatasan maupun majikan yang mempekerjakan buruh migran tidak berdokumen juga seharusnya ditindak oleh ketentuan yang berlaku di negara tersebut (Wahyudi, 2017b). b. Buruh Migran Sektor Rumah Tangga (PRT Migran) Buruh migran sektor rumah tangga dikategorikan sebagai jenis buruh migran informal yang bekerja pada pengguna perseorangan. Kategori informal dan formal merupakan bentuk dikotomi yang tidak jelas mengapa PRT migran disebut sebagai jenis tenaga kerja informal masih kabur hingga kini. Walaupun secara implisit pemerintah ingin mengatakan bahwa hal itu merupakan bentuk pengasingan atas sektor PRT migran karena tidak diakui keberadaannya. Sektor PRT, malahan, tidak begitu jelas dinyatakan mengenai norma, standar, prosedur, kriteria dan materi 2013 tentang Administrasi Kependudukan 18 Wawancara dengan Judha Nugraha, Kepala Sub Direktur Kelembagaan dan Diplomasi Perlindungan Direktorat PWNI & BHI Kementerian Luar Negeri, pada 27 November 2017.

203


muatannya di dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan peraturan turunannya. Akan tetapi, bentuk pengakuan dan pengaturannya malah merujuk kepada UU pemerintahan daerah dan turunannya.19 Konsekuensi logisnya, ketentuan tersebut hanya mengatur mengenai pembagian kewenangan dalam mekanisme penyaluran PRT antar level pemerintah daerah. Adapun mengenai mekanisme penyelesaian sengketa, pengupahan dan hak berorganisasi bagi PRT tidak diatur secara jelas. Kendati demikian, ketentuan mengenai PRT tiba-tiba diakui pada UU nomor 18 tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia, di mana ketentuan ini merujuk kepada undang-undang ketenagakerjaan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa telah terjadi kerancuan dan inkonsistensi dalam konteks materi muatan peraturan perundang-undangan mengenai PRT. Pada tahun 2015 lalu, pemerintah telah menghentikan penempatan buruh migran pada pengguna perseorangan di negara-negara Timur Tengah melalui keputusan menteri ketenagakerjaan nomor 260 tahun 2015. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah secara jelas ingin menyampaikan bahwa sebenarnya masih sulit membedakan antara pembatasan dan pelindungan terhadap PRT migran. Meski justifikasi atas kebijakan tersebut bertujuan untuk pelindungan dengan cara mencegah risiko permasalahan PRT migran di negara-negara Timur Tengah melalui penghentian penempatan, tapi kebijakan tersebut sebenarnya telah melanggar hak warga negara untuk selalu berpindah dan memperoleh penghidupan yang layak. Walaupun pada kenyataanya harus diakui bahwa negara-negara Timur Tengah memang belum memiliki instrumen hukum mengenai pelindungan PRT di negaranya, tapi jika kebijakan ini terus berlanjut dapat berpotensi terhadap praktik pelanggengan migrasi tidak prosedural. Sementara itu, minat buruh migran cukup tinggi untuk bekerja ke negara-negara Timur Tengah. Hingga laporan ini ditulis belum ada kejelasan pemerintah untuk membuka kesempatan bagi PRT migran yang berminat bekerja di negara-negara tersebut dan sekaligus usaha pemerintah untuk penciptaan pelindungan bagi PRT migran di negara-negara Timur Tengah di masa mendatang. Akhir-akhir ini terdengar kabar dari negeri jiran Malaysia bahwa mulai 1 januari 2018 telah memberlakukan kebijakan perekrutan secara langsung (direct hiring) untuk sektor PRT bagi semua negara asal buruh migran. Sebuah kebijakan yang sebenarnya menguntungkan PRT migran jika dilihat dari kacamata proses migrasi, khususnya dalam hal pembiayaan penempatan oleh PPTKIS/P3MI dan agensi. Alasan serupa dinyatakan oleh Malaysia bahwa mekanisme penempatan melalui skema 19 Lihat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

204


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan agensi berimplikasi terhadap proses panjang dan biaya mahal yang ditanggung oleh PRT migran dan majikan.20 Akan tetapi, kebijakan tersebut direspon dengan penolakan21 karena bertentangan dengan ketentuan bahwa PPTKIS/P3MI yang menempatkan buruh migran pada pengguna perseorangan harus melalui mitra usaha di negara tujuan penempatan.22 Di sisi lain, menurut SBMI yang sering mendampingi proses mediasi kepada PRT migran yang bersengketa, PPTKIS/P3MI secara berjamaah mengaku bahwa tidak pernah memantau dan memperoleh informasi dari mitra usaha mengenai pemantauan berkala23 kepada buruh migran yang ditempatkannya.24 Hal ini boleh dikatakan bahwa lemahnya pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Lebih fatal lagi dapat dikatakan jika pemerintah patuh terhadap sebuah ketentuan yang dibuatnya, namun sekaligus juga melanggar sendiri dari ketentuan lainnya. Dari praktik yang terjadi, pemerintah tidak mampu membuat kebijakan yang berpihak kepada PRT migran karena seperti ada sebuah desakan kuat yang menguasakan penempatan dan pelindungan PRT migran kepada swasta dan/atau pemodal. Praktik yang sebenarnya melalui model privatisasi (penswastaan), di mana hal ini berarti seluruh mekanisme dan tanggung jawab dibebankan kepada swasta. Implikasinya melalui praktik pembebanan biaya jasa melalui skema hutang dan potong gaji oleh PPTKIS/P3MI/agensi membuat banyak PRT migran yang tidak tahu secara pasti mengenai bagaimana berapa jumlah biaya penempatan dan bagaimana memperoleh layanan dukungan dari perwakilan pemerintah atau institusi ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan ketika terjadi pelanggaran biaya penempatan. Hal ini berarti jika terdapat sengketa PRT migran dan majikan,

20 Terdapat sembilan negara asal yang diijinkan kepada majikan untuk merekrut langsung buruh migran, yakni Bangladesh, Cambodia, Laos, Filipina, Indonesia, Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Vietnam. Lihat tautan berikut untuk informasi lebih lanjut, “Malaysians, here’s how to hire a maid yourself, https://www.nst.com.my/news/exclusive/2017/10/296872/exclusive-malaysians-hereshow-hire-maid-yourself, diakses dan diolah pada 11 Januari 2018, pukul 11.58 21 Lihat tautan berikut yang berisi keterangan pemerintah dalam merespon kebijakan direct hiring oleh Malaysia, “Indonesia Tolak Program Direct Hiring oleh Malaysia,� http://kemnaker.go.id/ berita/berita-tki/indonesia-tolak-program-direct-hiring-bagi-pekerja-migran-di-malaysia, diakses dan diolah pada 11 Januari 2018, pukul 12.39 22 Lihat pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Mitra Usaha dan dan Pengguna Perseorangan 23 Lihat pasal 53 ayat (4) jo. pasal 54 ayat (2) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 22 tahun 2014 tentang Pelaksanaan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Di dalam ketentuan ini menyebutkan bahwa pemantauan berkala yang seharusnya menjadi tanggung jawab PPTKIS/P3MI dan mitra usaha ialah setiap enam bulan selama 2 tahun kontrak kerja dan tiga bulan sebelum kepulangan buruh migran. 24 Wawancara dengan Bobi Anwar Maarif, Sekretaris Jenderal SBMI, pada 11 Januari 2018

205


mereka akan dikembalikan lagi ke majikan/agensi atau dipulangkan ke negara asal. Hal tersebut membuat semuanya semakin buruk karena ditambah lagi dengan lemahnya penegakkan hukum terhadap agensi yang nakal (Anderson, 2016: 8). Meskipun pengaturan terhadap PRT migran telah disebutkan di dalam ketentuan yang baru, tapi pengakuannya masih bersifat parsial. Hal ini terlihat bahwa buruh migran perseorangan/mandiri dapat bekerja ke luar negeri kepada pemberi kerja berbadan hukum.25 Dengan kata lain, praktik ini melarang buruh migran mandiri yang bekerja kepada pengguna perseorangan, di mana jenis sektor tenaga kerja ini ialah PRT migran. Untuk itu, di dalam kebijakan yang baru dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam mekanisme penempatan bagi PRT migran jika dibandingkan dengan ketentuan yang lama. Secara jelas ketentuan yang baru menghendaki bahwa PRT migran harus melalui PPTKIS/ P3MI dalam mekanisme penempatan, yang berarti sesungguhnya telah berlaku praktik migrasi keterpaksaan yang nyata. Kebijakan ini sekaligus mendiskriminasi terhadap PRT migran karena memperlakukan praktik yang berbeda dengan sektor ketenagakerjaan lainnya. Kebijakan ini, lebih lanjut, bermuatan bias gender karena faktanya mayoritas PRT migran adalah perempuan. Oleh sebab itu, sebagai imbas dari kebijakan baru, sesungguhnya, telah mengorbankan kelompok perempuan karena memaksanya untuk bermigrasi melalui swasta yang berpotensi menambah risiko PRT migran terhadap eksploitasi dan penindasan atau viktimologis yuridis. c. Buruh Migran Sektor Perikanan (ABK Migran) Gelombang migrasi ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terjadi pada sektor tenaga kerja di daratan tapi juga di lautan. Kementerian Luar Negeri mencatat bahwa terdapat 198.461 anak buah kapal (ABK) migran yang bekerja di perairan internasional di tahun 2011. Mereka terkonsentrasi di Laut Cina Selatan, Laut Andaman, Lautan Atlantik dan Karibia, Lautan Pasifik, Laut Australia dan Selandia Baru. Mereka direkrut dan ditempatkan oleh perusahaan penempatan pelaut dan awak kapal, di mana status perusahaan ini tidak terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan sebagai perusahaan penempatan tenaga kerja luar negeri, melainkan terdaftar di Kementerian Perhubungan.26 Kementerian Perhubungan tidak semestinya mengatur mengenai perekrutan dan penempatan tenaga kerja, akan tetapi pengaturan yang berkaitan dengan jenis/identitas kapal berdasarkan

25 Lihat pasal 63 ayat (1) UU nomor 18 tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia 26 Lihat Bab II Tata Cara dan Prosedur Perijinan bagi Perusahaan Perekrutan dan Penempatan pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal

206


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan sarana dan prasarana kapal serta lalu lintas laut yang merujuk kepada ketentuan dan panduan yang dibuat oleh International Maritime Organization (IMO). Sementara itu, berkaitan dengan norma dan standar ketenagakerjaan mengenai perekrutan dan penempatan tenaga kerja seharusnya diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan. 27 Kementerian Luar Negeri melaporkan bahwa dalam kurun waktu 20122015 telah membantu 2.238 ABK migran. Adapun rincian kasusnya adalah sebanyak 1.148 mengalami sengketa ketenagakerjaan, 833 kasus menjadi korban penyelundupan manusia, 287 kasus menjadi korban perdagangan orang, 94 kasus terlibat ke dalam industri perikanan ilegal (illegal fishing) dan 6 kasus terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. SBMI mencatat terdapat empat kasus besar dalam kurun waktu 2013 – 2017 yang telah dilaporkan ke kepolisian dengan dugaan kasus tindak pidana perdagangan orang. Pertama adalah 201 kasus pemulangan ABK migran dari Trinidad and Tobago, Venezuela dan Pantai Gading yang terjadi di tahun 2013. Kedua terjadi di tahun 2014, sebanyak 74 ABK migran dipulangkan dari Afrika Selatan. Ketiga adalah 26 ABK migran yang dipulangkan dari Jeju Island, Korea Selatan di tahun 2015. Kemudian yang keempat adalah 4 kasus ABK migran yang dipulangkan dari Afrika Selatan di tahun 2016. Berangkat dari kasus-kasus yang bermunculan, tentunya, masih banyak kasus lagi ABK migran yang tidak terlaporkan. Hal itu belum termasuk kasus almarhum Supriyanto, seorang ABK migran yang meninggal dunia karena dihantam dengan tuas besi penarik benang oleh rekannya sendiri atas suruhan kapten kapal orang Taiwan, merupakan deretan panjang atas kepiluan yang dialami oleh ABK migran. Jika mencermati sebaran sengketa perkara ABK migran, kebanyakan mereka mengalami perkara dalam konteks ketenagakerjaan. Kendati demikian, kondisi tersebut tak membuat pemerintah menyadari mengenai kekosongan hukum dan perspektif dalam melihat sengkarutnya penempatan ABK migran. Hal itu dibuktikan dari kebijakan pemerintah yang malah mendahulukan pelaksanaan ratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) menjadi UU nomor 15 tahun 2016 tentang ratifikasi MLC 2006 ketimbang konvensi ILO 188 tentang pekerja perikanan, di mana konvensi ini lebih spesifik mengatur pekerja di sektor perikanan. Sementara itu, di dalam MLC telah dinyatakan secara jelas bahwa pengaturannya meliputi semua pelaut dan kapal milik swasta maupun publik, akan tetapi, pengaturannya dikecualikan bagi kapal penangkapan ikan atau yang bergerak di industri

27 Wawancara dengan Hariyanto, Ketua Umum SBMI pada 3 Januari 2018

207


perikanan, kapal tradisional seperti jenis dhow28dan junk,29 dan kapal perang atau kapal pelengkap angkatan laut.30 Mayoritas ABK migran berasal dari pesisir utara Jawa Tengah, di mana sebelumnya mereka berprofesi sebagai nelayan tradisional. Dari beberapa kasus, akan tetapi, dijumpai pula sebagian dari mereka yang direkrut mengaku baru kali pertama melaut dan baru lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Setelah mereka dikirim ke pelabuhan di negara tertentu dan kemudian melaut, itu kali terakhir mereka melihat daratan. Dalam berlayar, kondisi itu memungkinkan bahwa tidak ada ketentuan yang jelas mengenai kapan mereka akan menyandar meski di dalam kontrak kerja dituliskan secara rinci periode waktu sandar. Berkaitan dengan ketentuan penggajian akan diberikan pada waktu kapal sandar di pelabuhan, di mana nilai besarannya adalah sebagian kecil di atas kapal, lalu sebagian besar dikirim langsung ke rekening ABK migran atau anggota keluarganya. Kondisi akan semakin sulit ketika kapal tempat ABK migran bekerja tidak pernah sandar yang berakibat kepada ABK migran tidak pernah menerima gaji yang dijanjikan di dalam kontrak kerja. Berdasarkan pengalaman penyintas dari praktik perbudakan di lautan ini mengaku bahwa mereka harus kerja selama 20 jam perhari tanpa hari libur mingguan. Sebagian juga pernah mengalami kekerasan dari kapten dan mandor karena minim keahlian sebelum berangkat. Lantaran sebagian besar daripada ABK migran ini tidak pernah mengikuti pelatihan keselamatan dan keterampilan kerja, tekanan dalam wujud kekerasan fisik di atas kapal dianggap hal yang lumrah bagi ABK migran. Hal ini diperkuat bukti bahwa sertifikat kompetensi yang dimiliki oleh 28 Menurut Encyclopedia Britanica, Dhow merupakan kapal berlayar Arab yang terdiri dari satu atau dua kapal induk. Biasanya dengan pemasangan layar miring (layar segitiga). Dhow beroperasi di Laut Merah dan Samudera Hindia. Pada jenis yang lebih besar, yang disebut baggalas dan booming, sementara sebutan lain yang lebih besar adalah mizzensail. Dhow memiliki busur tajam, dengan dorongan ke depan dan ke atas, dan dalam bentuk dan ukuran yang lebih besar biasanya dihiasi dengan jendela. Lihat pranala berikut untuk informasi lebih lanjut https://www.britannica.com/ technology/dhow diunduh dan diolah pada 4 Januari 2018, pukul 8.30 29 Menurut Encyclopedia Britanica, Junk memiliki penjelasan berupa kapal layar klasik Cina yang terkenal tapi tak diketahui dari mana asalnya, masih banyak digunakan hingga sekarang. Junk memiliki ciri dengan buritan tinggi menjulang ditegakkan busur, disertai lima tiang yang dilapisi layar persegi yang terdiri dari panel linen atau anyaman yang diratakan dengan potongan bambu. Setiap layar bisa dikembangkan atau ditutup dengan mengunakan tarikan. Kemudinya besar dengan kemudi berbalikan yang berada di tengah galadak kapal. Lambung kapal dipartisi oleh sekat padat yang melintang baik melintang dan membujur untuk menambah kekuatan. Jung Cina berlayar ke perairan Indonesia dan India pada awal Abad Pertengahan. Lihat pranala berikut untuk informasi lebih lanjut, https://www.britannica.com/technology/junk-ship diunduh dan diolah pada 4 Januari 2018, pukul 8.37 30 Pasal 2, paragraph 2 dan 4, Labour Convention (MLC) 2006

208


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan ABK migran sebagai persyaratan untuk berangkat ke luar negeri terbukti palsu. SBMI selaku pendamping hukum ABK migran pernah meminta keterangan resmi dari Kementerian Perhubungan bahwa pihaknya tidak pernah menerbitkan buku pelaut atas sejumlah ABK migran yang sedang didampingi proses hukumnya oleh SBMI. Dari sejumlah kasus yang dijumpai, ABK migran yang terselamatkan, justru tertangkap oleh otoritas perairan dari sebuah negara. Tindakan itu diambil karena kapal yang ditumpangi tidak memiliki izin operasi. Setelah tertangkap, ABK migran ditinggalkan begitu saja oleh kapten kapal di negara tempat mereka tertangkap, sementara kapten kapal yang biasanya merupakan warga negara Cina atau Taiwan melarikan diri. Dari situasi ini membuat perwakilan pemerintah di luar negeri memberikan pelayanan kekonsuleran dan kemudian memulangkan ke Indonesia tanpa membawa gaji selama bekerja. Saat ini pemerintah belum memiliki formula dan model teknis untuk pelindungan ABK migran. Lagipula, konvensi ILO 188 yang mengatur mengenai pekerja perikanan juga tidak diratifikasi oleh pemerintah. Salah satu alternatif yang memungkinkan, selain meratifikasi konvensi ILO 188 adalah melalui penyelenggaraan perekrutan yang adil oleh swasta terhadap ABK migran. Di dalam ketentuan yang baru, sebenarnya, telah mengatur mengenai pelaksana penempatan swasta bagi buruh migran dan ABK migran untuk menyetor deposito senilai 1,5 milyar rupiah. Dengan demikian, ketentuan ini sekaligus akan mendegradasi jumlah perekrut dan aktor penempatan awak kapal swasta yang tidak memenuhi persyaratan dalam hal aset perusahaan sebagai jaminan pelindungan ABK migran, jika ketentuan ini benarbenar ditegakkan dan dipatuhi oleh penyelenggara pemerintah. 6.3.2 Terhadap Akses Sosial dan Ekonomi Mulai 1 Agustus 2017, pemerintah telah memindahkan skema pelindungan sosial yang awalnya dikelola oleh swasta kemudian dialihkan kepada negara melalui keterlibatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Keikutsertaan badan negara ini dapat dinilai positif karena negara terlibat langsung ke dalam pelindungan sosial buruh migran. Akan tetapi, sebagaimana pada bagian sebelumnya telah diulas mengenai minimnya cakupan pelindungan sosial yang ditentukan oleh BPJS kepada buruh migran. Kondisi ini sekaligus memunculkan spekulasi di kalangan buruh migran. BPJS hanya berhasrat untuk menghimpun dana dari buruh migran saja dengan memaksa mereka membeli iuran BPJS yang telah ditetapkan tanpa mempertimbangkan manfaat yang diperoleh oleh buruh migran di negara tujuan.31 Sementara untuk upaya pelindungan tidak begitu 31 Lihat informasi lengkapnya melalui tautan yang berjudul “IPMI Malaysia Ragukan Manfaat BPJS

209


dipertimbangkan oleh BPJS. Hal ini terlihat ketika BPJS hanya menanggung jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua (pilihan) saja, di mana penafsiran atas risiko yang dijaminkan di luar dari permasalahan buruh migran yang selama ini dialami oleh mereka, seperti PHK sepihak. Hingga saat ini, BPJS Ketenagakerjaan TKI belum dapat dipergunakan oleh buruh migran di luar negeri. Mereka yang telah terdaftar di luar negeri, tidak serta merta mendapatkan perawatan kesehatan oleh institusi kesehatan di negara tujuan jika terjadi kecelakaan kerja yang dialami oleh buruh migran. Padahal, untuk mendapatkan perawatan kesehatan di luar negeri, buruh migran harus membayar ganda sebagai deposit terlebih dahulu seperti contoh kebijakan yang ada di Malaysia. Apakah BPJS sudah mempertimbangkan hal ini? Sementara BPJS hanya bisa menanggung ketika buruh migran telah kembali ke Indonesia. Itupun masih sulit diperoleh. Seperti contoh buruh migran asal Blitar yang mengalami kecelakaan kerja di negara tujuan. Meskipun telah memperoleh perawatan dari rumah sakit negara tujuan dan buruh migran tersebut telah dipulangkan ke Indonesia, buruh migran tersebut masih sulit mengakses BPJS. Padahal yang bersangkutan memerlukan perawatan jalan di rumah sakit terdekat sebagai akibat kecelakaan kerja yang dialaminya. Alasan penolakannya pun sangat menyedihkan, di mana buruh migran pulang dalam kondisi tidak cacat.32 Dari gambaran di atas berbanding terbalik dengan apa yang sudah dilakukan oleh BPJS dalam penghimpunan dana dari buruh migran. Satu bulan pasca pemberlakuan BPJS dalam skema perlindungan sosial buruh migran, pihaknya langsung menggandeng perbankan yang memiliki jaringan di hampir seluruh negara ASEAN. BPJS menekankan lebih banyak buruh migran yang mengikuti program BPJS di luar negeri, dengan demikian, BPJS memudahkan mekanisme pendaftaran dan pembayaran iuran dengan ketersediaan infrastruktur yang disediakan oleh perbankan tersebut.33 Terlebih lagi, Menteri Ketenagakerjaan mengingatkan kepada buruh migran untuk mengikuti program Jaminan Hari Tua BPJS Ketenagakerjaan, di mana hal ini akan bermanfaat bagi buruh migran yang telah terintegrasi dengan lingkungan sosialnya untuk pembiayaan rumah dan lain-

Ketenagakerjaan untuk TKI,� http://www.liputanbmi.com/baca/2241/ipmi-malaysia-ragukanmanfaat-bpjs-ketenagakerjaan-untuk-tki diakses dan diolah pada 23 Juli 2018, pukul 15.05 32 Pernyataan Sulis, Koordinator Persatuan TKI Purna (Pertakina) Blitar pada 21 Juli 2018 33 Lihat informasi selengkapnya melalui tautan yang berjudul “Permudah TKI Bayar Iuran, BPJS Ketenagakerjaan Gandeng CIMB Niaga,� https://ekonomi.kompas.com/ read/2017/09/26/214830826/permudah-tki-bayar-iuran-bpjs-ketenagakerjaan-gandeng-cimbniaga diakses dan diolah pada 23 Juli 2018, pukul 15.32

210


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan lain karena sifatnya seperti tabungan.34 Karenanya, di balik program jaminan hari tua terkandung penghimpunan dana yang lebih besar bagi buruh migran. Akhir-akhir ini terdengar kabar yang mengejutkan dari pelbagai daerah kantong buruh migran bahwa pemerintah daerah akan mengatur calon buruh migran agar tidak menceraikan pasangannya di Indonesia. Langkah ini menyulut reaksi keras dari sejumlah kalangan, di mana situasinya sebenarnya tidak segampang itu. Perceraian terjadi karena pelbagai faktor yang melatarbelakanginya. hal itu, tentu, tidaklah bijak jika buruh migran harus menanggungnya sendiri. Upaya yang terbaik untuk mengantisipasinya ialah melalui edukasi perencanaan keuangan calon buruh migran yang akan berangkat ke luar negeri.35 Kendati demikian, hal ini lantas tidak pula dilaksanakan oleh sejumlah daerah kantong buruh migran. Memang daripada mengurusi perceraian pasangan buruh migran, pemerintah daerah semestinya menyiapkan calon buruh migran untuk mengetahui tujuan prioritasnya sebelum berangkat ke luar negeri. Pengelolaan keuangan buruh migran merupakan aspek yang sangat penting bagi buruh migran. Dalam UU PPMI juga sudah diamanatkan sedemikian rupa mengenai pengelolaan keuangan buruh migran,36 tinggal bagaimana pemerintah menafsirkan perintah undang-undang tersebut ke dalam bentuk program-program. Bukannya malah mengurusi perceraian di kalangan buruh migran. Pengelolaan dan edukasi keuangan bagi buruh migran merupakan upaya kolaboratif yang harus didiskusikan dan ditentukan oleh seluruh anggota keluarga buruh migran. Dengan demikian, hal ini dirasa mampu menjawab persoalan buruh migran yang terus menerus bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja karena belum membuat perencanaan keuangan. Oleh karena itu, tantangan pemerintah ialah memastikan bagaimana buruh migran membuat instrumen perencanaan keuangan yang dapat dipatuhi oleh semua anggota keluarganya. Karenanya, bagian ini merupakan upaya pelindungan ekonomi buruh migran dan anggota keluarganya. 6.3.3 Terhadap Akses Informasi Perubahan yang mendasar dalam UU PPMI terletak pada tersebarnya kewenangan di setiap level pemerintahan untuk kepentingan layanan informasi 34 Lihat informasi selengkapnya lewat tautan yang berjudul “Pekerja Migran Diingatkan Program JHT,� diakses dan diolah pada 23 Juli 2018, pukul 15.55 35 Lihat informasi selengkapnya melalui tautan yang berjudul “Disnaker Banyuwangi Larang Gugat Cerai Suami selama Kerja di Luar Negeri,� http://kbr.id/nusantara/10-2017/disnaker_banyuwangi_ larang_tki_gugat_cerai_suami_selama_kerja_di_ln/92902.html diakses dan diolah pada 23 Juli 2018 pada pukul 16.02. 36 Lihat huruf (b) dan (c) pasal 35 UU PPMI.

211


migrasi ketenagakerjaan. Kendati demikian, pengalaman telah membuktikan bahwa UU PPTKILN sebenarnya juga mengamanatkan demikian, akan tetapi informasi migrasi aman yang seharusnya diperoleh oleh buruh migran malah cenderung ditutup-tutupi dengan dalih bahwa itu urusan swasta. Berawal dari informasi penawaran kerja, di mana hanya badan publik di level pusat saja yang menampilkan lowongan kerja di luar negeri. Ketika hal itu diklarifikasi kepada pemerintah daerah yang secara jelas dinyatakan di dalam portal BNP2TKI, informasi lowongan tenaga kerja luar negeri belum tentu tersedia. Portal di dinas tenaga kerja setempat pun juga demikian, karena tidak berisi lowongan tenaga kerja luar negeri. Jika ditanyakan mengapa informasi tersebut tidak disajikan di dalam portal resmi dinas tenaga kerja, alasannya bahwa informasi lowongan hanya sedikit, khawatir pelamar akan membludak untuk melamar lowongan tersebut. Selebihnya portal dinas tenaga kerja berisi informasi usang yang tidak dimutakhirkan dan juga tidak pernah direspon jika terdapat warganya yang bertanya dan mengomentari mengenai informasi yang ditampilkan di dalam portal dinas tenaga kerja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan pengetahuan berbasis teknologi hanya sebatas sebagai pelengkap semata, belum dirasa penting untuk kemudahan pelayanan informasi. Berdasarkan amanat dari UU PPTKILN menyebutkan bahwa PPTKIS/P3MI bersama-sama dinas tenaga kerja setempat memberikan penyuluhan kepada calon pencari kerja luar negeri. Namun hal ini juga urung dilakukan oleh dinas tenaga kerja. Padahal, melalui dataset yang tersedia bagi pelamar kerja luar negeri sebenarnya telah dikantongi oleh dinas tenaga kerja. Jika ada lowongan kerja negeri, dinas tenaga kerja dan PPTKIS/P3MI bisa langsung menyeleksi berdasarkan minat, bakat dan keterampilan yang dimiliki oleh calon buruh migran. Adakalanya antara calon buruh migran dan dinas tenaga kerja bertatapan langsung dengan calon buruh migran ketika meminta rekomendasi paspor. Hal ini dapat dinilai sebagai bentuk penyuluhan dari dinas tenaga kerja. Namun situasinya berbeda, di mana pada situasi tersebut calon buruh migran sudah terlebih dahulu bersinggungan dengan perekrut yang menyampaikan informasi tenaga kerja luar negeri berdasarkan perspektif dan pesan perekrut. Pada akhirnya calon buruh migran yang menerima informasi dari dinas tenaga kerja hanya melihat apa yang dilakukan oleh dinas sebagai penyuluhan sebatas formalitas semata yang tak wajib dipatuhi. Justru, arahan dan petunjuk dari perekrutlah yang paling dipatuhi oleh calon buruh migran. Buktinya, calon buruh migran mematuhi perintah perekrutnya untuk menitipkan dokumen pribadi miliknya ke PPTKIS/P3MI, padahal hal itu bukan persyaratan yang diatur dalam peraturan.

212


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan Penjelasan di atas sekaligus menunjukkan dominasi relasi dan kuasa aktor perekrut/PPTKIS/P3MI atas calon buruh migran yang berarti pula gagalnya pemerintah dalam konteks akses informasi yang terbuka kepada buruh migran. Idealnya, akses informasi buruh migran yang dilaksanakan oleh pemerintah seharusnya berimplikasi terhadap kesadaran buruh migran dalam mengambil dan menentukan tindakannya. Namun yang terjadi hingga saat ini adalah buruh migran masih tunduk dan patuh kepada aktor perekrut atau swasta, di mana jika hal itu diteruskan maka buruh migran yang akan selalu dirugikan pada praktik tersebut. Praktik buruk yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah seharusnya tidak menular kepada pemerintah desa, karena umumnya perekrutan terjadi di desa. Semangat kegotongroyongan atau sosio-kultural yang terjadi di desa sebenarnya melebihi keterbukaan menurut konsepsi pemerintah. Namun syaratnya adalah bagaimana masyarakat desa mampu menyerap dan memahami informasi migrasi ketenagakerjaan yang aman dan teratur sehingga dapat mencegah informasi menyesatkan yang dibawa oleh aktor perekrut yang beroperasi di desa-desa kantong buruh migran. Sosialisasi yang dilaksanakan mengenai migrasi aman dan teratur oleh pemerintah tidak seharusnya hanya sebatas pada agenda formalitas dari satu forum ke forum lainnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam sosialisasi migrasi aman dan teratur boleh diartikan bahwa kehadiran mereka diikutsertakan bukan atas dasar ikut serta dalam agenda sosialisasi. Dalam pemahaman yang lebih ekstrim bahwa masyarakat dipaksa berpartisipasi ketimbang secara sadar bahwa sosialisasi untuk diseminasi itu penting bagi mereka. Amat jarang dalam program-program pemerintah menyelenggarakan pengorganisasian masyarakat agar muncul tanggung renteng dalam hal penyebaran informasi. Pendisiplinan penyebaran informasi tidak hanya sebatas melalui forum formal, tapi bagaimana mengorganisasi masyarakat agar mereka lebih peka atas informasi valid yang dibawa oleh pemerintah. Pada akhirnya masyarakat akan memandang hal ini sebagai kebutuhan bukan atas paksaan mengikuti kegiatan sosialisasi. Melalui UU PPMI, amanat untuk diseminasi informasi terletak di setiap level pemerintahan. Tinggal hal ini bagaimana pemerintah menafsirkan wujud diseminasi informasi mengenai penciptaan migrasi aman teratur kepada buruh migran. Berdasarkan pengalaman dari daerah-daerah yang menjadi sasaran kajian ini menunjukkan minimnya keterlibatan masyarakat untuk agenda perencanaan dan pelaksanaan yang inklusif dalam hal diseminasi informasi migrasi aman dan teratur.

213


6.4 Peran Masyarakat Sipil Ulasan ini dibedakan antara peran masyarakat sipil yang beroperasi di level pusat, daerah dan luar negeri (komunitas/paguyuban buruh migran). Idealnya, peran masyarakat sipil ialah sebagai pelengkap untuk memastikan promosi, pemenuhan dan pelindungan semua hak-hak warga negara oleh pemerintah. Pada awalnya masyarakat sipil yang konsen terhadap advokasi untuk pelindungan buruh migran masih bersifat organisasi komunitas berskala kecil di daerah dan lembaga swadaya masyarakat yang keduanya belum berjejaring secara solid dan kompak. Hal ini terjadi pada awal tahun 2000-an, di mana merupakan periode awal reformasi di Indonesia yang ditandai dengan keterbukaan oleh media dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Meski demikian, kemunculan gerakan komunitas itu masih bersifat primordial dan belum terkoordinasi dengan baik di level nasional. Kebanyakan masih terpecah-pecah dan belum terbentuk sebuah kekuatan gerakan bersama untuk melakukan advokasi kebijakan pelindungan buruh migran. Sementara itu, kebijakan migrasi ketenagakerjaan yang ditandai dengan ditetapkannya UU PPTKILN di tahun 2004 membuat pelayanan terkonsentrasi di pemerintah pusat. Ketentuan ini sekaligus membuat kesenjangan pengetahuan mengenai migrasi ketenagakerjaan yang tidak merata di kalangan masyarakat sipil yang beroperasi di level pusat dan daerah. Pada tahun 2008, gerakan lintas organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari 24 organisasi sudah mulai terorganisasi yang ditandai dengan dibentuknya aliansi rakyat untuk konvensi migran (ARAK). Pengalaman selama mendampingi permasalahan buruh yang kompleks dan sulitnya penyelesaian sengketa di level daerah memicu keterhubungan antara masyarakat sipil di daerah dan pusat yang semakin inheren. Kemudian hal itu juga ditandai dengan melakukan kerja-kerja bersama untuk mengidentifikasi setiap permasalahan yang selanjutnya menyusun rencana aksi bersama untuk advokasi kebijakan yang terbaik bagi pelindungan buruh migran. Lalu pada tahun 2010, gerakan untuk revisi UU PPTKILN mulai bergulir dengan nama Jaringan Revisi Undang-Undang Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (Jari PPTKLN). Semangat gerakan Jari PPTKLN membuahkan hasil yang ditandai dengan masuknya revisi UU PPTKILN ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2011. Keberhasilan awal yang dicapai oleh Jari PPTKLN juga disusul oleh ARAK karena telah sukses meyakinkan pemerintah dan DPR untuk meratifikasi konvensi migran 1990 tentang pelindungan seluruh hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya melalui UU Nomor 6 tahun 2012 tentang ratifikasi konvensi migran. Akan tetapi, seiring waktu bergulir, revisi UU PPTKILN selalu hanya menjadi warna yang kurang

214


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan menarik bagi DPR dan pemerintah karena hanya muncul sebagai daftar Rancangan Undang-Undang (RUU) di dalam prolegnas yang terus menerus berulang setiap tahunnya. RUU tidak pernah dibahas dan selalu ditunda pembahasannya di tahuntahun berikutnya. Bahkan, pada periode tersebut, pemerintah bersama DPR hanya merumuskan sebuah judul saja. Pembahasan mengenai judul sangat menguras energi dan waktu karena hal ini berkaitan dengan landasan ideologis peraturan perundang-undangan diatur di dalamnya. Periode berikutnya, Jari PPTKLN berubah nama menjadi Jaringan Buruh Migran (JBM) yang beranggotakan 23 organisasi di level nasional, daerah dan luar negeri pada tahun 2014. Mereka ialah ASEAN Employees Services Trade Union Council (ASETUC), Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK), Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Migrant Workers Union Netherlands (IMWU Netherlands), Institute for Educational Development, Social, Cultural and Religious Studies (INFEST), Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Koalisi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (KOTKIHO), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADMI Lombok), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Migrant Aid, Migrant Institute (MI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Serantau Malaysia, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Seruni Banyumas, Solidaritas Perempuan (SP), The Institute for Ecosoc Rights, Trade Union Rights Center (TURC), dan Union Migrant Indonesia (UNIMIG). Nafas pelindungan buruh migran berhembus kencang setelah terjadi perpindahan kekuasaan ke rezim presiden Joko Widodo pada tahun 2014. Mengusung kabinet kerja, pemerintahan Joko Widodo menempatkan pelindungan WNI/BMI bersama dengan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan negara berporos maritim sebagai cita-cita yang pertama dalam Nawacita. Di awal pemerintahannya, selain menggenjot pembangunan infrastruktur, pembangunan sosial di bidang migrasi ketenagakerjaan terlihat cukup menggeliat. Selanjutnya pemerintah bersama DPR RI mulai melaksanakan pembahasan dengan menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai konflik-konflik yang akan diatur dan terkandung dalam pengaturan norma-norma RUU PPMI. Peran JBM cukup aktif dalam pengawalan dan pemantauan proses legislasi RUU PPMI. Tidak hanya menegosiasikan sebuah ketentuan yang mesti diatur di dalam RUU PPMI melalui saluran formal seperti forum-forum pembahasan, melainkan JBM juga melakukan pendekatan dan lobi kepada aktor-aktor pembuat kebijakan

215


secara personal. Dengan begitu proses pendekatan tidak bisa serta merta bisa dilakukan. Hal itu perlu penggalian informasi terlebih dahulu kepada pihak atau personal yang hendak didekati atau dilobi, sebelum penyampaian pesan kunci menurut perspektif masyarakat sipil. Beberapa poin kunci pelindungan bagi buruh migran yang pada akhirnya sepemahaman dalam perspektif adalah sebagai berikut:

Tabel 6.2 Materi Usulan JBM dalam UU PPMI No

216

Usulan JBM yang Sepemahaman di dalam UU PPMI

Usulan JBM yang Tidak Diadaptasi ke dalam UU PPMI

1

Definisi buruh migran dan anggota keluarga (darat dan laut) telah sesuai dengan konvensi migran 1990

Pengakuan atas hak reunifikasi buruh migran. Hal ini menimbulkan praktik diskriminasi antara buruh migran dan pekerja ekspatriat

2

Konvensi migran 1990 masuk ke dalam konsideran, sehingga pengakuan hak-hak buruh migran lebih banyak. Beberapa tambahan hak yang diakui seperti kebebasan berserikat, pelindungan sosial, ekonomi dan hukum

PRT migran dapat bermigrasi secara mandiri. Akibat dari pelanggaran hak ini terjadi praktik migrasi keterpaksaan karena PRT migran harus melalui PPTKIS/P3MI

3

Pendidikan dan pelatihan/pelatihan Pembentukan dewan pengawas vokasi menjadi tanggungjawab pemerintah (sebelumnya PPTKIS/P3MI). Hal ini akan meningkatkan keterampilan calon buruh migran tidak hanya formalitas semata, tapi juga mengurangi biaya penempatan hingga Rp 8 juta

4

Layanan informasi ketenagakerjaan dan pendataan sejak dari desa

Jaminan sosial mencakup permasalahan yang sering dialami oleh buruh migran, seperti pemutusan hubungan kerja, gaji tidak dibayarkan oleh majikan dan pemulangan bermasalah bukan atas kesalahan buruh migran

5

Ada kejelasan pembagian kewenangan operator dan regulator (Kementerian dan Badan), serta pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat, provinsi, daerah dan desa

Memasukkan UU PTPPO sebagai konsideran ke dalam UU PPMI sehingga berlaku sanksi minimal

6

Rejim konsorsium asuransi TKI diganti dengan BPJS Ketenagakerjaan

Pidana bagi pengurus korporasi yang melakukan pelanggaran


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan 7

Layanan LTSA di daerah-daerah, sehingga tidak harus dilakukan di Pusat

8

Menghapus KTKLN, kartu yang sering menjadi alat untuk pemerasan buruh migran

9

Penguatan peran atase ketenagakerjaan di luar negeri

Pengaturan mengenai perwujudan mekanisme quasi peradilan ketenagakerjaan

10 Dalam pengesahan permintaan kerja (job order) ada verifikasi agensi dan calon pemberi kerja oleh Atase Ketenagakerjaan 11 Pengurangan peran PPTKIS/P3MI

12 Sanksi tidak hanya untuk korporasi tetapi juga untuk pejabat 13 Pasal mengenai konflik kepentingan (pejabat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan penempatan dan pelindungan dilarang merangkap sebagai komisaris/pengurus perusahaan penempatan) 14 Aturan turunan dibatasi dua tahun harus selesai. Sebelumnya ada amanat undang undang yang tidak dilaksanakan Sumber: Rilis JBM (25/10/2017)

Pelaksanaan pengawalan dan pemantauan pada proses legislasi acap kali menghadapi kendala. Selain pembahasan oleh pemerintah dan DPR RI terkadang berlangsung secara tertutup, bahkan, jadwal dan lokasi pelaksanaan pembahasan pun juga biasanya tidak transparan. Akibatnya, masyarakat sipil sukar memperoleh informasi perkembangan proses legislasi. Hal ini menjadi sangat penting ketika terjadi pembangunan konstruksi pada pokok pikiran dan substansi dalam pembahasan yang tidak berpihak dan berpotensi merugikan buruh migran, maka

217


peran masyarakat sipil dapat langsung mengambil tindakan untuk melakukan penolakan melalui protes, kampanye media ataupun mobilisasi aksi massa. Di samping itu, kampanye biasanya mengambil momentum dari kejadian pilu yang dialami oleh buruh migran. Kemudian menghubungkannya dengan norma yang sebaiknya diatur di dalam UU PPMI. Di samping itu, proses ini sekaligus untuk peningkatan intensitas isu agar memunculkan desakan publik yang mengambil perhatian terhadap buruh migran dengan tujuan pelindungan buruh migran yang paripurna. Penyusunan dan pengesahan peraturan perundang-undangan merupakan kompromi politik di balik ragam pemahaman dan pengetahuan para pihak yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Karenanya, politik sederhananya dapat berarti pula sebagai sebuah siasat untuk sebuah tujuan dan kepentingan. Sementara, pembuatan dan pengesahan undang-undang merupakan sebuah proses politik. Hal ini yang membuat terjadinya perbedaan pendapat dan pemahaman dalam memandang isu buruh migran. Tidak serta merta usulan dari komunitas buruh migran dan masyarakat sipil dianggapnya sebagai tujuan yang terbaik dalam konteks pelindungan. Para pembuat kebijakan, tentunya, akan mempertimbangkan kelompok lainnya yang bersinggungan dengan buruh migran. Untuk itu, perlunya memeriksa dan melihat apakah kebijakan yang disusun oleh pemerintah dan DPR apakah di dalamnya menguntungkan buruh migran atau pihak lainnya. Kepentingan pembuat kebijakan belum tentu hanya melihat satu sisi saja, melainkan sisi lainnya, yakni sisi kelompok pemodal dan pengusaha yang terlibat dalam bisnis penempatan buruh migran. Jika dilihat dari substansi UU PPMI, kompromi politik para pembuat kebijakan, baik pemerintah dan DPR, masih condong terhadap kelompok pemodal dan pengusaha. Lantaran, dalam ketentuan tersebut masih memaksa PRT migran harus melalui PPTKIS/P3MI pada proses migrasi. Sementara itu, dari segi jumlah, PRT migran ialah yang terbesar ketimbang sektor ketenagakerjaan lainnya. Hal ini juga berarti pula ceruk pasar yang berhasil dikuasai oleh pemodal. Praktik yang sedemikian ini tidak menutup kemungkinan eksploitasi dan penindasan senantiasa terjadi secara berulang dan terus menerus karena menempatkan kelompok rentan pada penguasa dan pemodal yang rakus untuk untuk mengakumulasi kekayaannya. Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa dampak dari konstruksi kebijakan yang bersifat terpusat membuat peran masyarakat sipil menjadi terpusat. Sementara itu, peran masyarakat sipil daerah dan luar negeri (komunitas/ paguyuban buruh migran luar negeri) masih berbasis pendekatan primordialistik

218


Bab VI - Kesenjangan Antara Aturan dan Pelaksanaan dengan memanfaatkan ketimpangan relasi kuasa antara buruh migran dan masyarakat sipil yang sangat mencolok. Hal ini membuat masih jarang terjadi pelaksanaan advokasi, baik kasus maupun kebijakan, oleh masyarakat sipil daerah dan di luar negeri mengacu kepada peraturan dan perundang-undangan yang tersedia. Selain kapasitas masyarakat sipil di daerah dan luar negeri belum merata dalam sebarannya, transfer pengetahuan dari masyarakat sipil yang beroperasi di pusat ke daerah juga agaknya sedikit tersumbat. Faktor yang melatarbelakanginya seperti jumlah sumber daya yang terbatas, komunikasi, sarana dan prasarana dan pendanaan dalam melakukan transfer pengetahuan. Di sisi lain, pembinaan oleh pemerintah daerah juga kurang optimal dilaksanakan karena disebabkan oleh kapasitas SDM pemerintahan yang mumpuni jumlahnya terbatas, paradigma dalam menempatkan masyarakat sipil dan ketersediaan anggaran pembinaan. Akibatnya peran masyarakat sipil di daerah dan luar negeri yang seharusnya melengkapi pemerintah dalam fungsi pelayanan dan pelindungan, malah menambah persoalan bagi buruh migran dan anggota keluarganya, seperti membela kepentingan sponsor atau oknum PPTKIS/P3MI. Kelemahan di atas tentu saja mengawatirkan, namun, di sisi lainnya dapat dinilai sebagai keuntungan, utamanya bagi oknum pegawai pemerintah dan oknum masyarakat sipil di daerah dan luar negeri yang tidak memiliki keberpihakan terhadap buruh migran. Dalam penyelesaian sengketa buruh migran misalnya, masyarakat sipil di daerah dan luar negeri kadangkala memanfaatkan perkara yang dialami buruh migran dengan cara memihak kepada pihak yang menguntungkan dirinya secara personal. Seringkali dijumpai bahwa oknum masyarakat sipil di daerah dan luar negeri malah memihak lawan dari buruh migran. Di sisi lainnya, masih terdapat oknum pegawai pemerintah yang masih resisten terhadap keberadaan peran masyarakat sipil. Untuk itu, kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat sipil seperti ini dinilai sebagai keuntungan oleh oknum pemerintah. Kendati demikian, peran pemantauan dan pengawasan kepada pemerintah sebenarnya melekat pada masyarakat sipil di daerah dan luar negeri. Namun peran itu belum disertai asas keberpihakan yang utuh kepada buruh migran dan anggota keluarganya. 6.5 Ringkasan Setiap produk hukum pasti memiliki implikasi dan kelemahan-kelemahan karena adanya perbedaan perspektif. Hal ini juga tak luput dari eksistensi UU PPMI yang telah memunculkan potensi kerugian di kalangan buruh migran. Antara kerugian yang dimaksud muncul karena ketidakcakapan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan inkonsistensi pada peraturan,

219


tumpang tindih kewenangan kelembagaan dan sengkarutnya aspek pelayanan migrasi ketenagakerjaan. Sementara itu, potensi kerugian yang ditimbulkan dari aspek di atas ialah tidak terlindunginya kelompok-kelompok buruh migran yang berisiko tinggi seperti buruh migran tidak berdokumen, PRT migran dan ABK migran karena terdapat kekosongan peraturan ataupun memosisikan buruh migran sebagai yang tersalah. Pada dimensi sosial-ekonomi juga berpotensi merugikan buruh migran dan anggota keluarganya karena selama ini belum ada praktik baik atas implementasi kebijakan pelindungan sosial dan ekonomi buruh migran. Salah satu aspek yang sangat penting untuk ditingkatkan ialah melalui upaya keterbukaan dan pembangunan yang inklusif. namun dari pelbagai pengalaman daerah asal buruh migran hal ini sangat minim terlihat. Upaya inklusivitas buruh migran dan anggota keluarganya sangat minim karena mereka hanya sekedar dipartisipasikan, bukan partisipatif yang holistik di mana buruh migran pada kondisi tersebut telah memiliki kapasitas dan pengetahuan mengenai migrasi aman yang mumpuni. Untuk itu, hal ini merupakan tantangan bersama yang memerlukan keterlibatan semua pihak untuk mengurai solusi atas masalah buruh migran karena pada saat yang bersamaan kapasitas masyarakat sipil masih terjadi kesenjangan antara mereka yang beroperasi di level pusat dan daerah sebagai akibat dari pendisiplinan pengaturan sebelumnya yang sentralistik.

220


BAB VII

KESIMPULAN 7.1 Pendahuluan Babak baru wajah migrasi ketenagakerjaan di Indonesia telah dimulai. Hal itu ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Pelbagai kalangan menaruh harapan besar dari ketentuan yang baru ini. Karenanya, di dalamnya telah memuat substansi yang dinilai dapat memperbaiki kebijakan perlindungan bagi buruh migran dan anggota keluarganya di masa mendatang. Meskipun terdapat rangkaian usulan dari komunitas buruh migran dan masyarakat sipil tidak diadaptasi ke dalam ketentuan yang baru, ikhtiar ini perlu diapresiasi sambil terus dilakukan pemantauan, pengawalan dan pengawasan dari masyarakat dan komunitas buruh migran pada khususnya. Walau demikian, rasa pesimistik mengenai problem pelayanan perlindungan migrasi ketenagakerjaan yang ditimbulkan oleh ketentuan yang lama berpotensi terulang kembali. Sebagaimana telah disinggung oleh beberapa penelitian sebelumnya, seperti Farbenlum et. al. (2013) yang menyebutkan tumpang tindih kewenangan terjadi karena kebijakan tidak mengatur mengenai beban penanggung jawab yang jelas atas aspek-aspek dalam penyelenggaraan penempatan dan perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya. Organisasi Internasional untuk Migrasi (OIM/IOM) melalui kajiannya mengenai migrasi ketenagakerjaan di industri perikanan juga mengatakan demikian, bahwa tumpang tindih kewenangan terjadi antar kementerian dan instansi, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan perizinan perusahaan penempatan ABK migran (IOM, 2016). Catatan akhir tahun dari masyarakat sipil yang sekaligus bertindak sebagai organisasi bantuan hukum yang selama ini konsisten dalam melakukan pendampingan untuk buruh migran dan anggota keluarganya juga menyampaikan problem yang sama. SBMI dalam catatan akhir tahun 2016 menyebutkan bahwa tumpang tindih kewenangan meliputi pelbagai aspek dalam penyelenggaraan urusan migrasi ketenagakerjaan, seperti pengaturan izin perekrutan, pengaduan

221


dan remidi, pengawasan dan pemberdayaan bagi buruh migran dan anggota keluarganya (SBMI, 2017). Sementara itu, korban-korban pelanggaran hak yang dialami oleh buruh migran masih terus terjadi hingga kini. BNP2TKI mencatat bahwa sepanjang tahun 2016 saja telah menerima pengaduan sebanyak 4.756 perkara buruh migran (Puslitfo BNP2TKI, 2016). Jumlah ini tentunya akan semakin besar jika ditambah dengan pengaduan yang diterima oleh perwakilan pemerintah di negara tujuan penempatan buruh migran. Tren perkara yang dialami oleh buruh migran tidak jauh berbeda, senantiasa berulang mengenai jenis-jenisnya. Masalah-masalah ketenagakerjaan seperti gaji tidak dibayar, pembebanan biaya berlebih, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, sakit dan kecelakaan kerja; hingga masuk ke ranah perkara pidana seperti kekerasan fisik dan psikis, penipuan, pemalsuan, dan bahkan tindak pidana perdagangan orang masih dialami oleh buruh migran. Mengingat migrasi ketenagakerjaan merupakan sebuah rangkaian yang saling berkaitan antara negara asal dan negara tujuan buruh migran, tentunya hal ini dapat dikatakan bahwa permasalahan yang dialami oleh buruh migran di negara tujuan merupakan masalah yang berasal dari negara asal. Untuk itu, guna memperoleh sebuah gambaran yang holistik dan komprehensif, masyarakat sipil berinisiatif menggali informasi dan data dari praktik-praktik yang terjadi saat ini dari daerah asal hingga level nasional. Sekaligus hal ini mengidentifikasi potensi permasalahan yang kemungkinan terjadi di masa mendatang berdasarkan ketentuan yang baru. Untuk itu, tujuan kajian ini yang pertama adalah mengetahui perbedaan pelayanan perlindungan migrasi ketenagakerjaan antara UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN) dengan UU No. 17 tahun 2018 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Kedua, mengidentifikasi praktik atau pelaksanaan pelayanan migrasi ketenagakerjaan di beberapa daerah terpilih. Ketiga, menganalisis kesenjangan antara aturan dan pelaksanaan menurut ketentuan yang lama dan ketentuan yang baru berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Empat lokasi dipilih dalam kajian ini, yakni Jawa Barat (Indramayu), Jawa Timur (Banyuwangi) dan Nusa Tenggara Timur (Kupang), serta di Jakarta untuk level pemerintah pusat. 7.2 Ringkasan Temuan Dalam penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan, peran desa amatlah vital. Sebuah institusi yang paling dekat dengan warga buruh migran dan sekaligus yang paling jauh dijangkau oleh pemerintah pusat, tapi pelayanan bagi komunitas buruh migran dan anggotanya sangat terbatas. Merujuk kepada kewenangan yang

222


Bab VII - Kesimpulan dimiliki oleh desa dalam konteks migrasi ketenagakerjaan meliputi diseminasi informasi, pendataan, pengaduan dan pemberdayaan, akan tetapi, hampir semua desa di Indonesia tidak memiliki basis data dan informasi mengenai jumlah warganya yang sedang berada di luar negeri. Demikian juga mengenai siapa yang menempatkan dan jenis pekerjaan apa yang sedang dikerjakan oleh buruh migran di luar negeri. Hanya segelintir desa saja di Indonesia yang telah mengembangkan layanan informasi migrasi dan pendataan, selebihnya memberikan pelayanan yang terbatas dan seadanya. Dua dokumen persyaratan, yakni pengesahan surat izin suami/istri/wali dan pengantar SKCK, yang sebenarnya melibatkan pemerintah desa, tapi tidak begitu tercatatkan dengan sistem administrasi yang baik. Padahal sebagai organisasi birokrasi seharusnya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa memiliki dasar hukum, prosedur dan mekanisme yang jelas. Sebenarnya apa yang telah dilaksanakan oleh desa melalui persyaratan di atas telah berlaku tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Akan tetapi dilihat dari praktek pelayanan yang selama ini dilakukan di tingkat desa, Â tampaknya pemerintah desa juga kurang memahami mengenai tugas dan tanggung jawab tersebut. Terlebih lagi pemerintah desa kurang memperoleh pembinaan dari pemerintah kabupaten/kota karena masih adanya pandangan bahwa desa hanya menjalankan urusan sisa dari pemerintah di atasnya. Supradesa malahan cenderung menyalahkan desa sebagai entitas masyarakat dalam arti luas dengan mempertimbangkan kesenjangan yang mencolok dari sisi kapasitas SDM, antara perangkat daerah dan perangkat desa. Di sisi lain supradesa juga tidak mempertimbangkan sosio-kultural yang dimiliki oleh desa yang dapat dijadikan sebagai modalitas untuk perlindungan melalui peningkatan kesadaran masyarakat desa. Dengan meletakkan desa pada ruang lingkup yang sempit (baca: pemerintah desa saja), supradesa desa telah gagal menafsirkan UU Desa karena membuat desa hanya menunggu instruksi oleh aturan-aturan yang menundukkan desa sehingga tidak serta merta mendorong desa berinisiatif menerapkan mengenai apa yang menjadi kewenangannya. Terlebih lagi, pasca penetapan UU Desa, banyak sekali program-program dari supradesa yang menyasar ke desa, baik program tata kelola, pembangunan dan pemberdayaan. Hal ini berakibat kepada hilangnya fokus prioritas dalam aspek pelayanan, sehingga kelompok-kelompok rentan seperti buruh migran masih terpinggirkan dalam banyak ruang-ruang kehidupannya didesa. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang memiliki cakupan yang lebih luas dalam aspek pelayanan migrasi ketenagakerjaan juga tak mampu lepas dari permasalahan klasik. Diantaranya ialah kesenjangan sumber daya manusia, ketimpangan sarana

223


dan prasarana infrastruktur publik, sebaran penduduk dengan pusat pelayanan pemerintahan dan letak geografis antar instansi pemerintah merupakan kendala yang tak memiliki ujung pangkal dalam penguraian solusinya. Meski gencaran teknologi digital telah menjalar hingga pelosok negeri, tapi hal itu belum mampu dimaksimalkan sebagai saluran penyediaan informasi yang memudahkan dan mendekatkan akses masyarakat kepada sumber-sumber informasi yang lebih akurat. Terlebih lagi, banyak pemerintah daerah yang meletakkan infrastruktur berbasis teknologi sebagai tujuan utama, namun kurang  difokuskan pada pelayanan yang prima kepada masyarakat dengan memanfaatkan teknologi sebagai alat penunjang dan kemudahan untuk layanan kepada masyarakat. Pada akhirnya, penyediaan portal dan web milik pemerintah tak hanya berisi konten informasi yang sudah usang, komunikasi publik melalui saluran digital nampaknya juga masih pasif. Pemerintah kabupaten daerah kantong buruh migran di seluruh Indonesia masih belum memahami potensi yang dimiliki oleh buruh migran. Padahal, nilai kiriman uang buruh migran kepada keluarganya di desa telah melebihi pendapatan asli daerah. Kendati demikian, pelayanan kepada kelompok buruh migran berbanding terbalik dengan kontribusi buruh migran terhadap keluarga, daerah dan negaranya. Ketimpangan ini terlihat melalui pelayanan migrasi ketenagakerjaan di daerah yang mana anggarannya rata-rata sangat minim bagi dinas yang mengurus migrasi ketenagakerjaan. Sementara itu, hingga saat ini, pelayanan pengaduan dan remidi bagi perkara buruh migran sangat sulit ditegakkan di pemerintah kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum fokus untuk meletakkan kebijakan potensial dan prospektif terhadap pembangunan daerah dengan mengabaikan kelompok buruh migran yang minim pelayanan di daerah kantong buruh migran. Dengan demikian, kelompok buruh migran mengalami kerentanan yang berlipatlipat, di samping kurang diperhatikan eksistensinya di luar negeri, juga minim pelayanan di daerah asalnya di sisi lainnya. Akhir-akhir ini, beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki inisiatif untuk pembentukan peraturan daerah mengenai migrasi ketenagakerjaan yang sudah tidak relevan lagi. Sebuah inisiatif yang sebenarnya bisa dikatakan menyianyiakan anggaran untuk pembahasan dan penetapan peraturan daerah. Padahal, pemerintah kabupaten/kota sudah mengetahui bahwa pada saat itu sedang berlangsung pembahasan untuk ketentuan yang menjadi rujukan pembentukan peraturan daerah. Bahkan, terdapat pemerintah daerah yang mengesahkan rancangan peraturan daerah dengan merujuk ketentuan yang lama pasca pengesahan ketentuan yang baru. Terlebih,  setiap pembahasan peraturan daerah

224


Bab VII - Kesimpulan telah menyerap anggaran yang tidak sedikit. Menyia-nyiakan anggaran juga terjadi pada pelaksanaan pemberdayaan dengan menempatkan buruh migran dan anggota keluarganya sebagai kelompok sasarannya, karena di antara dinas-dinas kabupaten/kota juga memiliki program pemberdayaan dengan kelompok sasaran yang sama. Sementara itu, penyelenggaraan pemberdayaan belum sinergis antar dinas dan tidak pernah ada pula upaya untuk untuk mengukur dan menaksir mengenai tingkat perubahan sosial dan ekonomi yang diharapkan pasca intervensi program pemberdayaan. Dalam ketentuan yang baru mengamanatkan mengenai pelayanan pendataan kepulangan di debarkasi pemerintah provinsi. Jika hal ini tidak bijak dalam penafsirannya dan minim pelibatan dengan masyarakat sipil dapat memicu praktik diskriminasi terhadap buruh migran dengan masyarakat umum yang baru pulang dari luar negeri. Selain itu, pelayanan tersebut juga memicu terjadinya potensi tindak pemerasan terpusat yang dilakukan oleh sindikat atau oknum yang ingin mengambil keuntungan dari buruh migran, seperti yang pernah terjadi saat diberlakukannya Terminal Kepulangan Khusus bagi buruh migran di Selapajang, Soekarno Hatta. Â Di sisi lain, pemerintah provinsi juga memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan reintegrasi sosial dan ekonomi melalui skema pemberdayaan terhadap buruh migran dan anggota keluarganya. Praktik yang terjadi hingga saat ini bahwa pelaksanaannya bersifat langsung ke kelompok sasaran yang kurang melibatkan pemerintah kabupaten/kota, sehingga hal ini memicu tumpang tindih kewenangan di level pemerintah daerah. Hal senada juga terjadi dalam pelaksanaan pengawasan dalam konteks ketenagakerjaan. Ketika pengawasan menjadi kewenangan pemerintah pusat dan provinsi, hal ini berakibat kepada pelaksanaan pengawasan yang kurang berjalan efektif. Di samping cakupan wilayahnya lintas kabupaten/kota, jumlah pengawas yang kompeten tak sebanding dan tak merata sebarannya untuk mengawasi pelayanan dan norma-norma dalam migrasi ketenagakerjaan. Keadaan ini meningkatkan risiko bagi buruh migran menjadi korban akibat penyalahgunaan wewenang oleh PPTKIS/P3MI/LPK yang menempatkan buruh migran tidak berdasarkan norma-norma ketenagakerjaan. Kehadiran kebijakan yang baru belum tentu memperbaiki kondisi perlindungan buruh migran. Hasil penelusuran mengenai proses pembahasan dan telaah pada kebijakan tersebut, materi muatan dan norma-norma di dalamnya masih bersifat umum dan masih terdapat kerancuan dan ketidakpastian di dalam klausul yang diatur di dalamnya. Penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan juga masih berpotensi tumpang tindih antara kementerian dan lembaga serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Faktor yang melatarbelakangi bukannya

225


terletak pada menempatkan perlindungan buruh migran sebagai yang utama, tapi  lebih kepada indikasi hasrat penguasaan anggaran atas klaim kebenaran berdasarkan kuasa pengetahuan yang dimiliki oleh instansi tertentu. Salah satu upaya kekuasaannya yakni dengan menyembunyikan anggaran yang dikelola oleh institusi tertentu karena tidak disajikan secara transparan dalam pengelolaan program-program. Di sisi lain, ketentuan yang baru juga belum memiliki landasan yang kuat yang mengikuti kebiasaan internasional untuk penyusunan model dan konsep bagi kelompok buruh migran yang paling berisiko tinggi, seperti buruh migran tidak berdokumen, PRT migran dan ABK migran. Terdapat upaya Pemerintah dalam memperbaiki sistem perlindungan buruh migran Indonesia melalui serangkaian komitmen baik dalam negeri maupun diluar negeri. Disahkannya Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarga melalui UU No 6 Tahun 2012 dan revisi UU 39/2004 patut diapresiasi. Di tingkat regional, khususnya di kawasan Asia Tenggara, Indonesia juga mendukung berlakunya ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children dengan meratifikasi pada tanggal 17 Oktober 2017. Dengan adanya konvensi yang sifatnya legally binding diharapkan dapat memerangi perdagangan perempuan di ASEAN dan mendekatkan buruh migran kepada akses keadilan. Meskipun telah melakukan upaya di atas, namun, beberapa konvensi penting untuk perlindungan bagi buruh migran yang rentan seperti PRT migran (KILO 189) dan ABK kapal ikan (KILO 188 tentang pekerja perikanan) belum diratifikasi hingga saat ini. Konvensi ILO 189 tentang kerja layak pekerja rumah tangga sebagai basis panduan dan rujukan untuk peningkatan perlindungan kelompok buruh migran berisiko tinggi. Jenis sektor ketenagakerjaan ini dikatakan sangat berisiko tinggi karena lokasi kerjanya yang terisolasi, minim interaksi dengan komunitasnya dan seringnya tidak memiliki rekan kerja (misalnya, PRT migran). Belum lagi kebijakan yang hadir berpotensi merugikan PRT migran karena masih memaksanya untuk melalui PPTKIS/P3MI dalam mekanisme penempatannya. Hal ini juga dapat dinilai sebagai sebuah kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, karena mayoritas PRT migran merupakan perempuan.  Selain itu, dalam pembuatan kebijakan dan program, buruh migran minim dilibatkan dalam proses pembahasannya mulai dari mengidentifikasi permasalahan dan merencanakan kebutuhan bersama-sama. Misalnya, untuk program pemberdayaan, masih berkutat pada dimensi ekonomi baik itu melalui peningkatan usaha produktif dengan penyaluran dana bantuan sosial maupun pembentukan koperasi kelompok buruh migran. Tidaklah relevan jika menempatkan buruh migran dan anggota keluarganya hanya sebatas sebagai

226


Bab VII - Kesimpulan objek program-program pemberdayaan yang diikutsertakan tanpa berbasis kebutuhan riil, tapi seharusnya buruh migran juga dipandang sebagai subjek partisipatif yang memiliki kuasa dan pengetahuan yang kemudian dibenarkan oleh dirinya sendiri untuk menentukan tindakannya. Selain tumpang tindih kewenangan antara kementerian dan badan seperti yang telah disinggung di atas, masing-masing institusi juga terlihat saling berkompetisi yang mungkin dapat memberikan perlindungan namun secara implementasi justru tidak menjawab realitas kebutuhan buruh migran dan anggota keluarganya. Hal ini dicontohkan dengan pengelolaan pemahaman dan pembenaran dari pengetahuan ASN yang ditampilkan melalui laman-laman resmi instansi pemerintah yang mengurusi migrasi ketenagakerjaan. Akibatnya, misalnya, setiap institusi beramairamai mengembangkan sistem informasi, aplikasi, kartu dan program-program pemberdayaan yang sebenarnya belum tentu menjawab kebutuhan perlindungan yang sesungguhnya. Selain itu, reformasi pelayanan juga belum merata di daerah sehingga model pelayanan publik kerap kali kurang memperhatikan subjek yang dilayani karena mental birokrasi yang kaku terhadap kelompok marginal. Sementara itu, pemerintah pusat belum mendisiplinkan pemerintah daerah agar meletakkan pelayanan migrasi ketenagakerjaan sebagai prioritasnya. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh setiap institusi tersebut sebenarnya meletakkan kecenderungan institusinya sebagai yang utama, bukan pada publik buruh migran yang seharusnya dilayani secara prima. Indikasi yang ketara dari situasi ini menunjukkan tingkat kapasitas dan pengetahuan pemerintah daerah belum memiliki keberpihakan kepada kelompok rentan. Akibatnya, hal ini memunculkan ketidakpastian pelayanan yang membuat pilihan kecenderungan terhadap institusi tertentu yang diambil oleh buruh migran dan organisasi pendamping, contohnya pada pelayanan pengaduan dan remidi atas hak buruh migran yang terlanggar. Peran masyarakat sipil dirasakan masih mendapat banyak tantangan dan resistensi hingga kini . Di samping sikap itu ditunjukkan secara implisit maupun eksplisit, tapi pemerintah juga tidak serta merta memperlihatkan perbaikan pelayanannya terhadap buruh migran berdasarkan  kritik dan rekomendasi yang disampaikan oleh masyarakat sipil. Masyarakat sipil sebenarnya tidak hanya memantau dan mengawasi pelayanan perlindungan buruh migran yang diselenggarakan oleh pemerintah saja, melain mereka juga memproduksi pengetahuan dan wacana berdasarkan perspektif mereka yang dipergunakan untuk perwujudan perlindungan yang lebih baik. Meski pemerintah telah menunjukkan itikad baiknya dengan membuka ruang-ruang keterlibatan bagi masyarakat sipil, namun dalam hal ini, pemerintah nampaknya masih enggan menerima eksistensi

227


peran masyarakat sipil sebagai mitra sejajar untuk melengkapi penyelenggaraan promosi, pemenuhan dan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. 7.3 Saran dan Rekomendasi Pengakuan peran desa dalam perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya sudah mulai direspon oleh pemerintah. Terlebih lagi, pasca penetapan UU Desa yang semakin memperjelas kewenangan desa berskala lokal untuk urusan migrasi ketenagakerjaan. Akan tetapi respon yang berlebihan dan terburu-buru tanpa koordinasi yang sepatutnya dalam perencanaan untuk mengintervensi desa, terlihat bahwa desa hanya sebagai objek untuk penyerapan anggaran semata. Akibatnya, pemerintah pusat berbondong-bondong mengintervensi desa ke dalam bentuk skema program-program pemberdayaan yang menyasar buruh migran dan anggota keluarganya yang belum tentu program-program tersebut dibutuhkan oleh buruh migran mengubah paradigma perlindungan di level desa. Untuk itu, sudah saatnya Bapennas mengkoordinasikan kementerian dan lembaga dalam proses evaluasi pada setiap perencanaan program-program pemberdayaan di desa untuk urusan migrasi ketenagakerjaan. Â Â Â Â Terlepas dari tumpang tindih program-program pemberdayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di dalamnya tak satupun program pemberdayaan yang menawarkan di luar dari dimensi ekonomi. Untuk itu, paradigma yang perlu digeser adalah tidak semata-mata meletakkan dimensi ekonomi untuk menyelenggarakan program-program pemberdayaan, tapi perlunya perencanaan partisipatif dan inklusif yang mampu mencakup multidimensi. Selain dirasa akan menjawab keraguan publik bahwa pemberdayaan tidak hanya mencakup ekonomi saja, tapi bagaimana publik berdaya dalam segala akses untuk memenuhi kebutuhan dalam kelangsungan hidupnya. Hal ini berarti meliputi akses sosial, informasi, pendidikan, kesehatan, keadilan dan akses ekonomi bagi buruh migran dan anggota keluarganya. Hal di atas dengan mempertimbangkan mengenai kewenangan yang melekat pada setiap kementerian dan lembaga berdasarkan ketentuan yang tersedia. Jika amanat undang-undang menyebutkan kewenangan sebagai regulator, maka sebaiknya penerjemahannya pada aspek pengaturan program-program pemberdayaan. Hal ini termasuk pengaturan mengenai pembagian tugas dalam pelaksanaan program termasuk penyusunan petunjuk teknis atau SOP/POS dalam skema program. Sementara itu, Bapennas juga semestinya mengevaluasinya bersama-sama masyarakat sipil dalam penyelenggaraan program-program oleh

228


Bab VII - Kesimpulan kementerian lainnya yang juga menyasar kelompok buruh migran dan anggota keluarganya. Evaluasi harus menitikberatkan pada asas manfaat terhadap dampak perubahan sosial dan ekonomi yang terukur. Terlebih lagi, melalui UU PPMI yang memiliki semangat anti perdagangan orang, secara implisit ingin menghilangkan proses perekrutan dan menuntut buruh migran untuk lebih aktif dalam proses migrasi, khususnya pendaftaran bagi calon buruh migran. Dengan demikian, keterlibatan semua pihak menjadi langkah strategis dalam hal diseminasi informasi migrasi ketenagakerjaan yang inheren pada setiap pelaksanaan program-program pemberdayaan untuk buruh migran dan anggota keluarganya (Bachtiar & Prasetyo, 2017: 44). Hal ini juga berfungsi untuk menangkal serbuan informasi menyesatkan (hoax) yang sampaikan oleh aktor perekrut atau sponsor di daerah asal buruh migran. Harapan ke depan mengenai sistem pendaftaran yang terjadi adalah bagaimana mengurangi risiko dan kerugian keuangan buruh migran, meminimalisasi risiko bisnis proses perekrutan dan menghilangkan potensi pelanggaran hak dari proses perekrutan. Karenanya, perekrutan ini sangat beririsan kuat dengan biaya-biaya, di mana praktik yang terjadi umumnya dibebankan kepada buruh migran. Untuk itu, pemerintah memang harus segera menyusun dan mengkodifikasi peraturan turunan yang jelas mengenai pendaftaran dan mempromosikan karakteristik PPTKIS/P3MI yang “baik� serta memberikan insentif pelaksanaan perekrutan etis terhadap PPTKIS/P3MI. Sementara itu, PPTKIS/P3MI juga harus memperbaiki orientasi sebelum keberangkatan buruh migran dengan mempromosikan kesadaran dan perlindungan hak-hak buruh migran serta memastikan akses remidi. Hal ini termasuk menyebarkan alat ukur untuk menaksir dan memantau pelaksanaan perekrutan dengan membuat instrumen standar ukuran yang melibatkan semua pihak (BSR, 2011: 16). Praktik migrasi ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia sebenarnya terletak pada koridor new economic of labour migration (NELM). De Haas (2010) mendefinisikannya sebagai perjuangan kolektif oleh rumah tangga migran untuk bermigrasi ke luar negeri dan menetap secara temporer dengan mempertimbangkan perbedaan gaji dan pendapatan antar negara asal dan negara tujuan. Kemudian pada titik tertentu berdasarkan kesepakatan dengan anggota keluarganya, buruh migran dapat memutuskan untuk bermigrasi lagi ke negara tujuan atau berintegrasi dengan anggota keluarga dan komunitasnya di negara asal. Demikian juga, jaringan sosial antara mantan buruh migran, buruh migran dan anggota keluarganya senantiasa saling berinteraksi dan terhubung, yang selanjutnya dapat memutuskan sebuah tujuan kolektif keluarga. Untuk itu,

229


melalui peluang ini, pemerintah seharusnya dapat merumuskan program-program pemberdayaan untuk kepentingan pembangunan dan perlindungan bagi buruh migran dan anggota keluarganya melalui penciptaan sirkulasi yang kontinu pada ruang informasi migrasi ketenagakerjaan yang aman dan teratur di daerah asal. Kerancuan dan ketidakpastian hukum mengenai kebijakan perlindungan dan beban penanggung jawab dalam UU PPMI berpotensi terulang kembali. Malahan yang terjadi ialah kewenangan itu dilegitimasi melalui klausul yang terdapat di dalam UU PPMI. Mengingat dari materi muatannya yang tidak patuh dalam mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan, konflik kepentingan antara kementerian ketenagakerjaan dan badan tak dapat dihindarkan pada praktiknya. Terlebih lagi, dari pemantauan masyarakat sipil kepada aparat sipil negara di kementerian ketenagakerjaan dan badan telah memiliki ikatan yang kurang harmonis dan berlaku secara turun temurun. Demikian juga, berdasarkan pengalaman bahwa badan juga memiliki perangkat atau unit kerja di bawahnya yang menjalar hingga level pemerintah daerah. Sementara itu, urusan ketenagakerjaan merupakan kewenangan pemerintah daerah, di mana hal ini berpotensi menimbulkan persoalan koordinasi di daerah jika badan tetap berambisi mendirikan unit kerja atau perangkat di bawahnya yang beroperasi di level pemerintah daerah. Dengan demikian, perangkat badan atau unit kerja di level daerah sebaiknya tidak diperlukan lagi. Sebagai gantinya, badan dapat menugaskan pegawainya untuk melayani di pusat terpadu yang dikoordinasi oleh dinas tenaga kerja setempat. Untuk itu, pilihan yang sekiranya dapat mengurai persoalan koordinasi antara kementerian ketenagakerjaan dan badan, hingga koordinasi di level daerah, adalah dengan mengangkat wakil menteri ketenagakerjaan yang sekaligus merangkap sebagai kepada badan. Upaya pemerintah masih belum komprehensif dalam menafsirkan perlindungan bagi kelompok-kelompok buruh migran berisiko tinggi, seperti buruh migran tidak berdokumen, PRT migran dan ABK migran. Walau bagaimana pun menjadi buruh migran tidak berdokumen bukanlah pilihan yang sebenarnya, tapi merupakan bentuk dan sikap perlawanan kolektif dengan membentuk jaringan yang kokoh terhadap sebuah kebijakan dan manajemen migrasi ketenagakerjaan yang membelenggu dan melanggar hak-hak individu untuk selalu bebas bergerak dan memperoleh pekerjaan yang layak (Wahyudi, 2017b). Terlebih lagi, hal itu sudah terbentuk jaringan sosial komunitas buruh migran melalui modal sosial yang dimilikinya antara negara asal dan negara tujuan penempatan yang kuat dan kokoh (Hasanah, 2015), pelarangan bukanlah perkara yang berarti bagi buruh migran untuk dapat bermigrasi secara tidak prosedural dengan pandangan memperoleh

230


Bab VII - Kesimpulan kehidupan yang lebih baik. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah memfasilitasi migrasi penduduk secara aman dan teratur, bukan malah menghentikannya (Kepmenaker 260/2015), yang berdampak kepada kesinambungan praktik migrasi yang tidak prosedural. Demikian juga, memastikan bahwa buruh migran dan anggota keluarganya memperoleh akses dasar dan pengakuan yang selayaknya untuk kesehatan, pekerjaan, pendidikan dan hunian, walaupun dengan status tidak berdokumen di negara tujuan penempatan. Tentunya, hal itu harus dituangkan ke dalam Memorandum of Agreement (MoA) sehingga memiliki tanggung jawab dan kekuatan yang mengikat bagi masing-masing negara yang mengadakan perjanjian. Bagi kelompok PRT migran dan ABK migran, yang mana pemerintah juga belum memiliki skema, konsep dan standar perburuhan yang baku untuk dapat menciptakan perlindungan, maka, selain segera meratifikasi konvensi ILO 188 dan 189 sebagai basis dan dasar untuk pengaturan norma-normanya, perhatian tertuju kepada negara tujuan penempatan dengan menitikberatkan kepada kebijakan perlindungan di negara tersebut kepada dua kelompok sektor tenaga kerja tersebut. Demikian juga, perjanjian kerja sama semestinya berwujud MoA bukan hanya MoU, karena sifatnya akan mengikat kedua belah pihak negara yang mengadakan perjanjian kerja sama. Dengan demikian, potensi pelanggaran yang dilakukan antar pihak juga relatif berkurang karena diawasi oleh semua pihak. Di samping itu, dalam setiap proses dan penyusunan norma-norma yang diperjanjikan seharus transparan dan mengikutsertakan masyarakat sipil. Pemerintah bersama masyarakat sipil juga dapat mengkampanyekan ke dunia internasional mengenai pemberian sanksi ekonomi kepada negara-negara yang tidak patuh terhadap kondisi layak kerja berdasarkan norma-norma ketenagakerjaan. Â Â Â Beberapa inovasi dan strategi yang perlu dikembangkan sebagai upaya integrasi perlindungan sosial bagi buruh migran di luar negeri adalah menuntut majikan untuk membayarkan iuran ke dalam mekanisme perlindungan sosial; baik itu asuransi sosial maupun asuransi swasta, mekanisme pembayaran melalui penggantian (reimbursement) biaya perawatan kesehatan untuk risiko-risiko kecelakaan kerja di negara tujuan penempatan, mengabaikan proses yang panjang dan penggunaan teknologi sebagai upaya untuk mempermudah dalam pembayaran iuran. Mengingat ruang lingkup buruh migran yang spesifik di luar negeri, dengan demikian, diperlukan ketentuan yang spesifik pula dalam konteks perlindungan sosial. Untuk itu, antara negara asal dan negara tujuan haruslah membuat instrumen kesepakatan yang mengikat di antara masing-masing pihak kedua belah negara dengan memasukan skema perlindungan sosial, selain kesepakatan yang mengatur mengenai aspek ketenagakerjaan yang bersifat umum.

231


Demikian pula terkait dengan keragaman permasalahan buruh migran di luar negeri dan mekanisme BPJS Ketenagakerjaan TKI juga tidak mencakup atas risikorisiko yang acap kali dialami oleh buruh migran, maka upaya mendesak yang segera dilakukan adalah melalui efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintah di negara tujuan. Selama ini, peran fungsi kekonsuleran dan atase ketenagakerjaan di luar negeri dapat dirasakan belum memberikan perlindungan maksimal kepada buruh migran, khususnya untuk masalah ketenagakerjaan. Pelayanan di luar negeri perlu optimalisasi dalam usaha menuntut keadilan akan hak-hak remitansi buruh migran. Usaha yang dimaksud seperti pendampingan hukum melalui pengadilan hubungan industrial di negara tujuan ketika buruh migran sedang mengalami sengketa dengan majikan (gaji tidak dibayar, PHK sepihak, dipindah-pindahkan majikan oleh agensi dan masalah ketenagakerjaan lainnya). Terlepas dari persoalan tumpang tindih antara kementerian/lembaga mengenai kewenangan tersebut di negara tujuan, bahwa perwujudan perlindungan yang menyeluruh bagi warga negara Indonesia merupakan prinsip yang mendasari eksistensi perwakilan pemerintah di luar negeri.   Selama ini, pembuatan kebijakan tidak melibatkan mantan buruh migran dan masyarakat sipil sehingga hal itu dapat menyediakan pemahaman yang utuh mengenai pendidikan dan pelatihan. Mekanisme penyelenggaraan oleh swasta yang terakreditasi juga perlu diambil perhatian, mengingat pelatihan vokasi ini bersumber dari anggaran negara dari fungsi pendidikan. Dengan demikian, penyelenggaraannya juga mesti dipantau dan diawasi bersama, termasuk kuantitas dan kualitas penyelenggaraan pelatihan vokasi. Ke depan, harapannya tidak ada lagi buruh migran yang diputus hubungan kerjanya dan dipulangkan ke Indonesia sebelum purna kontrak karena permasalahan tidak memahami bahasa dan tidak mampu berkomunikasi dengan majikannya di negara tujuan penempatan. Terlebih lagi, terjadi peningkatan remitansi yang signifikan karena meningkatkan nilai dan pemahaman mengenai mekanisme pengiriman uang yang resmi dan prosedural. Antara kurikulum yang perlu dimasukkan ke dalam pelatihan vokasi bagi calon buruh migran meliputi pemahaman hak-hak dasar, pengetahuan budaya negara tujuan, kecakapan bahasa, pemahaman migrasi prosedural, peningkatan keterampilan dan keahlian pada ruang lingkup ketenagakerjaan, pemahaman mekanisme remidi di negara tujuan, pengetahuan hak berorganisasi, pemahaman literasi keuangan dan pengetahuan kontraktual. Pemerintah telah berkomitmen dalam sebuah ambisi global melalui tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB/SDGs). Berdasarkan temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengingkaran pemerintah Indonesia secara jelas dilakukan

232


Bab VII - Kesimpulan terhadap tujuan ke-5 (kesetaraan gender) dan ke-10 (pengurangan kesenjangan antar negara dengan fasilitasi migrasi secara aman dan teratur) dalam SDGs. Di samping itu, pengingkaran komitmen juga terjadi pada tujuan ke-16 (penguatan kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan), karena konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan antara kementerian dan lembaga serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih senantiasa dirasakan hingga kini. Tambahan lagi, dengan penegakkan hukum dan akses keadilan juga masih sulit dicapai bagi kelompok buruh migran dan warga miskin. Untuk itu, pemerataan pengetahuan atas komitmen pemerintah mengenai SDGs tak cukup dilaksanakan oleh pemerintah pusat saja, melainkan perlu melibatkan masyarakat sipil. Di samping kepentingannya untuk transparansi, efektivitas, efisiensi dan partisipasi, peluang ini mampu menggeser paradigma aparatur sipil pemerintah daerah dalam memandang eksistensi masyarakat sipil. Peranan masyarakat sipil mesti diletakkan sebagai mitra sejajar pemerintah dalam pembangunan dan perlindungan bagi buruh migran dan anggota keluarganya. Tindakan resistensi dan pandangan minor merupakan sebuah pola pikir kerdil dan sempit. Dengan demikian, kebutuhannya ialah merevisi prinsip tradisional dalam administrasi publik melalui sistem koordinasinya antara agen manajemen publik dengan objek yang diurus untuk menyokong pelayanan publik dan masyarakat sipil dalam peningkatan keterbukaan dan perubahan prinsip melalui perubahan paradigma pelayanan melalui peningkatan kapasitas aparat sipil negara (Achkasov, 2016: 79). Untuk itu, partisipasi masyarakat sipil dalam penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan merupakan langkah strategis untuk mewujudkan promosi, pemenuhan dan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. 7.4 Kajian dan Advokasi Lanjutan Dalam menyikapi tumpang tindih antar kementerian dan badan berdasarkan temuan ini, kajian mengenai perampingan institusi pemerintahan dalam urusan migrasi ketenagakerjaan dengan mempertimbangkan asas kepastian hukum, efektivitas, efisiensi, dan proporsionalitas harus segera dilaksanakan dengan merujuk kepada ketentuan yang berlaku. Di samping itu, pengawalan dan pemantauan terhadap peraturan turunan UU PPMI merupakan advokasi lanjutan yang harus dilaksanakan oleh masyarakat sipil. Karenanya, amanat UU PPMI memerintahkan pembentukan peraturan turunan dalam tempo dua tahun. Tambahan lagi, pelaksanaan sosialisasi dan diseminasi informasi atas NSPK yang terkandung di dalam ketentuan yang baru harus dapat dipahami oleh pemerintah

233


daerah. Jika pembentukan aturan turunan dan diseminasi informasi tidak segera dilakukan, maka pemerintah daerah akan menafsirkan sendiri ketentuan tersebut yang kemudian akan menerjemahkannya ke dalam peraturan daerah. Dengan demikian, kerugian ganda yang ditimbulkan ialah menyia-nyiakan anggaran dan perlindungan buruh migran berpotensi memiliki perbedaan dengan semangat UU PPMI. Pada saat ini telah tersedia beberapa praktik pelayanan publik di tingkat daerah melalui LTSA/LTSP. UU PPMI mengamanatkan bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten “dapat� membentuk LTSA, tapi pelayanan di LTSA/LTSP juga perlu diuji sebagai advokasi lanjutan agar semangat pelayanan publik yang lebih mendekatkan kepada buruh migran Indonesia. Hal itu, tentunya, dengan memastikan bahwa eksistensi LTSA/LTSP memberikan pelayanan yang dibutuhkan buruh migran sesuai dengan UU PPMI. Oleh sebab itu, masukan dan rekomendasi dari buruh migran patut untuk dilaksanakan agar ke depan pelayanan LTSA/LTSP terstandarisasi sesuai prinsip HAM, non diskriminasi dan disesuaikan dengan konteks daerah yang ada. Pemerintah pusat saat ini mulai fokus terhadap pelaksanaan program-program pemberdayaan di daerah asal buruh migran dan anggota keluarganya. Untuk itu, penting untuk dilakukan analisis mengenai dampak perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di desa atas pelaksanaan program-program tersebut. Hasil ini, selain dapat dipergunakan sebagai panduan advokasi, juga dasar untuk memperkuat argumentasi dalam konteks atau model advokasi di level rumah tangga buruh migran. Di samping itu, pemantauan atas program-program pemerintah juga dapat dikolaborasikan dengan hasil audit dan evaluasi oleh lembaga negara yang bertanggungjawab di bidang perencanaan dan pengawasan pembangunan, sehingga dapat memformulasikan sebuah program yang tepat, bermanfaat dan berkesinambungan. Penelitian aksi nampaknya juga perlu dilaksanakan pada masa mendatang berkenaan dengan kelompok buruh migran perempuan. Terlebih lagi, jenis pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh perempuan migran yang masih dipandang sebagai pekerjaan berkeahlian rendah (low-skilled), di mana pemerintah melabelinya sebagai sektor informal. Hal ini sekaligus ingin melihat sejauh mana dampak gender atas kerugian-kerugian yang ditimbulkan dan hambatan-hambatan yang disebabkan oleh kebijakan yang bias gender. Penelitian seperti ini juga mencakup mengenai bagaimana peluang akses keadilan bagi perempuan migran yang mengalami pelecehan seksual, hamil ketika sedang bekerja di luar negeri dan kekerasan fisik/psikis. Kemudian, dalam hal ini juga mengenai bagaimana jejaring

234


Bab VII - Kesimpulan kelompok perempuan mewujudkan kesetaraan dalam pelbagai perlakuan. Kajian dan advokasi lanjutan yang perlu diambil perhatian ialah mengenai eksistensi ABK migran. Cakupan kajian menekankan kepada proses perekrutan, pelatihan, penempatan, kondisi kerja, pemetaan jaringan aktor transnasional di industri perikanan (supply chain) hingga arus keuangan di dalam industri ini. Basis data ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai ruang negosiasi untuk kampanye global pada industri perikanan yang ramah terhadap hak asasi manusia. Kemudian, hal itu dilanjutkan melalui penyusunan sebuah model atau konsep dalam pemberlakuan sanksi ekonomi bagi negara-negara yang tidak berkomitmen terhadap pemberantasan kejahatan perikanan dan tindak pidana perdagangan orang di industri perikanan. Model skala pemeringkatan bagi negara-negara di dunia yang dibuat oleh US Department of State nampaknya dapat dijadikan sebagai rujukan dan bandingan, tapi sejauh mana hal ini efektif terhadap negaranegara yang tidak berkomitmen, merupakan persoalan lain pada dimensi yang berlainan pula. 7.5 Penutup    Pada akhirnya, kita telah sampai di penghujung dari bagian tulisan ini. Perlindungan buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya rasanya masih tak cukup dengan hanya menghadirkan perubahan berbagai kebijakan yang baru saja ditetapkan oleh pemerintah. Selain pembentukan ketentuan pelaksana, masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diterjemahkan ke dalam penyelenggaraan perlindungan. Kita juga tak semestinya larut dalam euphoria setelah mengawal sebuah proses panjang perubahan kebijakan buruh migran. Masalah akan selalu datang, tapi bagaimana cara mengurai permasalahan itu juga merupakan persoalan lain. Untuk itu, kita harus tetap terlibat aktif dalam pengawalan, pemantauan dan pengawasan perlindungan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Jika tidak demikian, kebijakan yang baru saja ditetapkan tak ubahnya hanya sebuah onggokan kertas yang tak ternilai di balik derita buruh migran dan pelanggaran atas nilai kemanusiaan. Coretan ini hanya langkah kecil dengan menawarkan ide dan gagasan untuk peningkatan perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya. Langkah selanjutnya adalah bagaimana menghadirkan inisiatif-inisiatif berbasis komunitas dengan melakukan aksi nyata mengawal dan mengiringi terus menerus usaha pemerintah dalam mewujudkan perlindungan. Ikhtiar ini sekaligus ingin mencapai promosi, pemenuhan dan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Untuk selanjutnya, penulis mengharapkan kepada seluruh pembaca

235


yang budiman untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan ide dan gagasan ini pada kesempatan berikutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca yang budiman. Sekian penutup dari penulis, semoga dapat diterima dengan baik dan penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.***

236


LAMPIRAN Lampiran I

Tabel Desa Penerima Manfaat Program Desa Migran Produktif No

Provinsi

Kabupaten/Kota

Kecamatan

Kelurahan/Desa

1

Sumatera Utara

Deli Serdang

Tanjung Morawa

Tanjung Morawa B

2

Sumatera Utara

Deli Serdang

Sunggal

Mulyo Rejo

3

Jambi

Kerinci

Air Hangat Timur

Sungai Abu

4

Jambi

Kerinci

Siulak

Koto Tengah

5

Lampung

Lampung Tengah

Bumi Nabung

Bumi Nabung Ilir

6

Lampung

Lampung Tengah

Gunung Su ih

Buyut Utara

7

Lampung

Lampung Timur

Wa Jepara

Jepara

8

Lampung

Lampung Timur

Bandar Sri Bawono Bandar Agung

9

Banten

Tangerang

Mekar Baru

Mekar Baru

10

Banten

Tangerang

Kronjo

Bakung

11

Banten

Serang

Tirta yasa

Lontar

12

Banten

Serang

Pontan

Linduk

13

Jawa Barat

Indramayu

Juntinyuat

Juntinyuat

14

Jawa Barat

Indramayu

Krangkeng

Dukuhjati

15

Jawa Barat

Sukabumi

Curug kembar

Curugkembar

16

Jawa Barat

Sukabumi

Kebonpedes

Jambenenggang

17

Jawa Barat

Cianjur

Pagelaran

Gelar Anyar

18

Jawa Barat

Cianjur

Cilaku

Sukasari

19

Jawa Barat

Cirebon

Pangenan

Rawaurip

20

Jawa Barat

Cirebon

Susukan

Wiyong

21

Jawa Barat

Garut

Cisurupan

Cipaganti

22

Jawa Barat

Garut

Bayongbong

Hegarmanah

23

Jawa Barat

Karawang

Cimalaya Kulon

Pasirjaya

237


238

24

Jawa Barat

Karawang

Pedes

Kertamulya

25

Jawa Barat

Majalengka

Ligung

Ampel

26

Jawa Barat

Majalengka

Ligung

Kedun Kencono

27

Jawa Barat

Subang

Compreng

Com ren

28

Jawa Barat

Subang

Pusaka Negara

Pusaka Ratu

29

Jawa Barat

Indramayu

Sindang

Kenanga

30

Jawa Tengah

Batang

Pecalungan

Randu

31

Jawa Tengah

Batang

Subah

Gondang

32

Jawa Tengah

Demak

Karangawen

Jragun

33

Jawa Tengah

Demak

Kebonagung

Meganten

34

Jawa Tengah

Kendal

Ringinarum

Purworejo

35

Jawa Tengah

Kendal

Ngampel

Winong

36

Jawa Tengah

Grobogan

Klambu

Menawan

37

Jawa Tengah

Grobogan

Godong

Rajek

38

Jawa Tengah

Wonosobo

Leksono

Lipursari

39

Jawa Tengah

Wonosobo

Kaliwiro

Tracap

40

Jawa Tengah

Wonosobo

Watumalang

Kuripan

41

Jawa Tengah

Brebes

Larangan

Rengas pendawa

42

Jawa Tengah

Brebes

Wanasari

Glonggong

43

Jawa Tengah

Sragen

Ngrampal

Gabus

44

Jawa Tengah

Sragen

Karangmalang

Mojorejo

45

Jawa Tengah

Pemalang

Pemalang

Sugihwaras

46

Jawa Tengah

Pemalang

Petarukan

Nyamplung Sari

47

Jawa Tengah

Banyumas

Gumelar

Cihonje

48

Jawa Tengah

Banyumas

Rawalo

LoĹ&#x;a ri

49

Jawa Tengah

Cilacap

Binangun

Sidaurip

50

Jawa Tengah

Cilacap

Binangun

Widara Payung Wetan

51

Jawa Tengah

Jepara

Nalumsari

Bategede

52

Jawa Tengah

Jepara

Nalumsari

Muryolobo

53

Jawa Tengah

Kebumen

Ayah

Kalibangkang

54

Jawa Tengah

Kebumen

Ayah

Candirenggo


LAMPIRAN 55

Jawa Tengah

Pati

Kayen

Pasuruhan

56

Jawa Tengah

Pati

Gabus

Sugihrejo

57

Jawa Tengah

Tegal

Suradadi

Suradadi

58

Jawa Tengah

Tegal

Pagerbarang

Kertaharja

59

Jawa Timur

Kediri

Ngacar

Bedali

60

Jawa Timur

Kediri

Ringinrejo

Deyeng

61

Jawa Timur

Lamongan

Solokuro

Payaman

62

Jawa Timur

Lamongan

Brondong

Brengkok

63

Jawa Timur

Trenggalek

Dongko

Dongko

64

Jawa Timur

Trenggalek

Watulimo

Prigi

65

Jawa Timur

Magetan

Parang

Pragak

66

Jawa Timur

Magetan

Karas

Sobontoro

67

Jawa Timur

Banyuwangi

Tegaldlimo

Tegaldlimo

68

Jawa Timur

Banyuwangi

Cluring

Tamanagung

69

Jawa Timur

Pamekasan

Waru

Waru Timur

70

Jawa Timur

Pamekasan

Pegantenan

PaĹ&#x;angar

71

Jawa Timur

Ponorogo

Jenangan

Paringan

72

Jawa Timur

Ponorogo

Jenangan

Kemiri

73

Jawa Timur

Madiun

Kebonsari

Kebonsari

74

Jawa Timur

Madiun

Dagangan

Segulung

75

Jawa Timur

Sampang

Karan Penang

Tlambah

76

Jawa Timur

Sampang

Karan Penang

Karan Penang Onjur

77

Jawa Timur

Tulungagung

Sumbergempol

Mirigambar

78

Jawa Timur

Tulungagung

Kaligawir

Betak

79

Jawa Timur

Blitar

Kesamben

Siraman

80

Jawa Timur

Bitar

Kademangan

Plosorejo

81

Jawa Timur

Gresik

Pancong

Campurejo

82

Jawa Timur

Gresik

Dukun

Mentaras

83

Jawa Timur

Malang

Pagelaran

Brongkal

84

Jawa Timur

Malang

Kalipare

Arjowilangun

85

Jawa Timur

Ngawi

Kendal

Majasem

239


240

86

Jawa Timur

Ngawi

Gerih

Randusongo

87

Jawa Timur

Jember

Sumber Baru

Gelang

88

Jawa Timur

Jember

Tanggul

Darungan

89

Jawa Timur

Sumenep

Arjasa

Kolo-Kolo

90

Jawa Timur

Sumenep

Arjasa

Gelaman

91

Kalimantan Barat Sambas

Tebas

Dungun Perapakan

92

Kalimantan Barat Sambas

Tebas

Pangkalan Kongsi

93

Nusa Tenggara Barat

Bima

Ambalawi

Rite

94

Nusa Tenggara Barat

Bima

Sape

Sari

95

Nusa Tenggara Barat

Lombok Utara

Gangga

Genggelang

96

Nusa Tenggara Barat

Lombok Utara

Gangga

Bentek

97

Nusa Tenggara Barat

Lombok tengah

Batukliang

Barabali

98

Nusa Tenggara Barat

Lombok tengah

Kopang

Kopang Rembi e

99

Nusa Tenggara Barat

Lombok Barat

Gerung

Banyu Urip

100 Nusa Tenggara Barat

Lombok Barat

Gerung

Babussalam

101 Nusa Tenggara Barat

Lombok Timur

Labuhan Haji

Korleko

102 Nusa Tenggara Barat

Lombok Timur

Aikmel

Lenek Lauk

103 Nusa Tenggara Timur

Kupang

Amarasi Selatan

Buraen

104 Nusa Tenggara Timur

Kupang

Fatuleu

Camplon II

105 Nusa Tenggara Timur

Timor Tengah Selatan

Toianas

Bokon

106 Nusa Tenggara Timur

Timor Tengah Selatan

Amanuban Barat

Tubuhue


LAMPIRAN 107 Nusa Tenggara Timur

Flores Timur

İle Mandiri

Rian Kemie

108 Nusa Tenggara Timur

Flores Timur

İle Boleng

Helanlan owu o

109 Nusa Tenggara Timur

Sumba Barat Daya

Loura

Lete Konda

110 Nusa Tenggara Timur

Sumba Barat Daya

Kodi Ban edo

Walla Ndimu

111 Nusa Tenggara Timur

Ende

Lio Timur

Ranggatalo

112 Nusa Tenggara Timur

Ende

Ende

Azuramba Barat

113 Nusa Tenggara Timur

Alor

Alor Barat Laut

Lefokisu

114

Nusa Tenggara Timur

Alor

Pantai Timur

Mawar

115

Nusa Tenggara Timur

Belu

Raihat

Asumanu

116

Nusa Tenggara Timur

Belu

Kakuluk Meşak

Kabuna

117

Nusa Tenggara Timur

Sikka

Megpanda

Done

118

Nusa Tenggara Timur

Sikka

Mego

Dobo

119 Nusa Tenggara Timur

Kupan Kota

Ala k

Namosan

120 Nusa Tenggara Timur

Kupan Kota

Maulafa

Naimata Atmen

121 Nusa Tenggara Timur

Timor Tengah Utara

insana Barat

122 Nusa Tenggara Timur

Timor Tengah Utara

insana Barat

Usapinonot

Sumber: Ditjen. Bina Penta dan PPK

241


Lampiran II

Instrumen Internasional dan Implementasinya No 1

2

3

4

5 6

Jenis Instrumen Internasional ILO Convention No. 29 Forced or Compulsory Labour ILO Convention No. 87 reedom of Association and Protection of Right to Organize ILO Convention No. 98 The Aplication of The Principles of The Right to Organize and to Bargain Collectively

Tahun Ratifikasi 1950

- Pasal 77 UU No 13/2003 tentang ketentuan waktu kerja

- Pasal Pasal 104 ayat 1 UU No 13/2003, 1998

tentang hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh - Pasal 6 ayat 1 UU NO. 21/2000 tentang Serikat Pekerja

- Pasal 9 UU NO. 21/2000, Pembentukan 1957

kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun.

- Bagian kedua UU Nomor 13/2003,

ILO Convention No. 100 Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value

1958

ILO Convention No. 105 Abolition of forced labour

1999

tentang pengupahan yang bebas dari praktik diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.

- Pasal 77 ayat 2 UU 13/2003, ketentuan jam kerja dan lembur

- Pasal 153 huruf i UU No. 13/2003,

ILO Convention No. 111 Discrimination in Respect of Employment and Occupation

1999

242

Implementasi

ketentuan larangan PHK dengan alasan perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan. - Pasal 31 UU No. 13/2003, ketentuan kesempatan dan pindah kerja di dalam dan luar negeri. - Pasal 32 ayat 1 UU No. 13/2003, ketentuan penempatan tenaga kerja berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.


LAMPIRAN 7

- BAB X Bagian 1 Paragraf 2 UU No

ILO Convention No. 138 Minimum Age for Admission to Employment

1999

8

ILO Convention No. 181 Private Employment Agencies

9

- Pasal 74 UU NO 13/2003, ketentuan 2000

larangan mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaanpekerjaan yang terburuk. - Pasal 74 ayat 2 UU NO 13/2003, ketentuan bentuk-bentuk terburuk kerja anak

ILO Convention No. 188 Decent Work for Domestic Workers

11

Belum

ILO Convention No. 182 Elimination of the Worst Forms of Child Labour

10

13/2003, ketentuan usia anak (di bawah 18 tahun). Kemudian pasal 68 UU No 13/2003,ketentuan larangan kerja anak. - Pasal 69 ayat 1 UU No 13/2003, ketentuan pengecualian bagi anak berusia 13 – 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Belum

ILO Convention No. 189 Belum Work in Fishing

12

- Menjadi konsideran dalam UU NO

International Convention 1990 The Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families

18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia 2012

243


Lampiran III

KOMPARASI UU 39 TAHUN 2004 dan UU PPMI TAHUN 2017 No 1.

244

Isu Krusial

UU 39 Tahun 2004

Atase Pasal 78 Ketenaga(1) Perwakilan Republik Indonesia kerjaan memberikan perlindungan /Perwakilan terhadap TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundangundangan serta hukum dan kebiasaan internasional. (2) Dalam rangka perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintah dapat menetapkan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia tertentu. (3) Penugasan Atase Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

UU PPMI Tahun 2017 Pasal 9 ayat 2 Informasi dan permintaan Pekerja Migran Indonesia yang berasal dari Mitra Usaha dan calon Pemberi Kerja di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c harus diverifikasi oleh atase ketenagakerjaan dan/ atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk. Pasal 10 (1) Atase ketenagakerjaan dan/ atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk di negara tujuan penempatan wajib melakukan verifikasi terhadap: a. Mitra Usaha; dan b. calon Pemberi Kerja. (2) Berdasarkan hasil verifikasi terhadap Mitra Usaha dan calon Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk menetapkan Pemberi Kerja dan Mitra Usaha yang bermasalah dalam daftar Pemberi Kerja dan Mitra Usaha yang bermasalah. (3) Atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk wajib mengumumkan daftar Mitra Usaha dan calon Pemberi Kerja bermasalah secara periodik.


LAMPIRAN (4) Hasil verifikasi terhadap Mitra Usaha dan calon Pemberi Kerja bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bahan rekomendasi dalam pemberian izin penempatan bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang bermitra dengan Mitra Usaha yang bermasalah.

(1)

Pasal 21 Pelindungan Selama Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi: c. pendataan dan pendaftaran oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk;

Pasal 22 Dalam rangka peningkatan hubungan bilateral di bidang ketenagakerjaan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di luar negeri, Pemerintah Pusat menetapkan jabatan atase ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tertentu. (2) Penugasan atase ketenagakerjaan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Pejabat yang ditunjuk sebagai atase ketenagakerjaan memiliki kompetensi ketenagakerjaan dan status diplomatik (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang atase ketenagakerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (1)

245


2.

Jaminan Sosial Pekerja Migran/ Asuransi

Pasal 26 ayat 2 (2) Penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan : a. perusahaan yang bersangkutan harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum Indonesia; b. TKI yang ditempatkan merupakan pekerja perusahaan itu sendiri; c. perusahaan memiliki bukti hubungan kepemilikan atau perjanjian pekerjaan yang diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia; d. TKI telah memiliki perjanjian kerja; e. TKI telah diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja dan/atau memiliki polis asuransi; dan f. TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN. Pasal 63 (1) KTKLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 hanya dapat diberikan apabila TKI yang bersangkutan: a. telah memenuhi persyaratan dokumen penempatan TKI di luar negeri; b. telah mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); dan c. telah diikutsertakan dalam perlindungan program asuransi.

246

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Jaminan Sosial Pasal 29 Dalam upaya Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Pemerintah Pusat menyelenggarakan Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Penyelenggaraan program Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional. Penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Untuk risiko tertentu yang tidak tercakup oleh Jaminan Sosial, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dapat bekerja sama dengan lembaga pemerintah atau swasta. Ketentuan lebih lanjut mengenai Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia secara khusus diatur dengan Peraturan Menteri.


LAMPIRAN Pasal 68 Pelaksana penempatan TKI swasta wajib menginstruksikan TKI yang diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi. (2) Jenis program asuransi yang wajib diikuti oleh TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. (1)

3.

Definisi Pekerja Migran Indonesia

Pasal 1 angka 1: Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

Pasal 1 angka 2: Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia

4.

Dokumen

Pasal 51 Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI barus memiliki dokumen yang meliputi: a. Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir; b. surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah; c. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali; d. sertifikat kompetensi kerja; e. surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi; f. paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;

Pasal 13 Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, Calon Pekerja Migran Indonesia wajib memiliki dokumen yang meliputi: a. Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan fotokopi buku nikah; b. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah; c. sertifikat kompetensi kerja; d. surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi; e. paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat; f. Visa Kerja; g. Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia; dan h. Perjanjian Kerja.

247


i. j. k. l.

visa kerja; perjanjian penempatan kerja; perjanjian kerja, dan KTKLN.

Pasal 105 ayat (2) (2) Selain dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri, TKI yang bekerja di luar negeriSecara perseorangan harus memiliki KTKLN. 5.

Penempatan PMI Oleh Pemerintah

Pasal 10 huruf a Pelaksana penempatan TKI di luar negeri terdiri dari: a. Pemerintah;

BAB VII PELAKSANA PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA Bagian Kesatu Umum Pasal 49 Pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia ke luar negeri terdiri atas: a. Badan; b. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; atau c. perusahaan yang menempatkan Pekerja Migran Indonesia untuk kepentingan perusahaan sendiri.

Pasal 11 (1) Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penempatan TKI Pasal 50 oleh Pemerintah sebagaimana (1) Penempatan Pekerja Migran dimaksud pada ayat (1), diatur Indonesia oleh Badan lebih lanjut dengan Peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pemerintah. Pasal 49 huruf a, dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara Pemberi Kerja Pekerja Migran Indonesia atau Pemberi Kerja berbadan hukum di negara tujuan penempatan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan Pekerja Migran Indonesia oleh Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

248


LAMPIRAN 6.

Penempatan BAB IV PMI Oleh PELAKSANA PENEMPATAN TKI DI Swasta LUAR NEGERI Pasal 10 huruf b Pelaksana penempatan TKI di luar negeri terdiri dari: b.Pelaksana penempatan TKI swasta. Pasal 12 Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri.

7.

PenemPasal 106 patan Perse- (1) TKI yang bekerja di luar orangan/ negeri secara perseorangan Mandiri berhak untuk memperoleh perlindungan. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 [ayat 4] Pekerja Migran Indonesia Perseorangan adalah Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan. Pasal 63 (1) Pekerja Migran Indonesia Perseorangan dapat bekerja ke luar negeri pada Pemberi Kerja berbadan hukum. (2) Segala risiko ketenagakerjaan yang dialami oleh Pekerja Migran Indonesia Perseorangan, menjadi tanggung jawab sendiri. (3) Pekerja Migran Indonesia Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melapor pada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan Perwakilan Republik Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pekerja Migran Indonesia Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

249


8.

Pembiayaan

Pasal 39 Bagian Keenam Segala biaya yang diperlukan dalam Pembiayaan kegiatan perekrutan calon TKI, Pasal 30 dibebankan dan menjadi tanggung (1) Pekerja Migran Indonesia jawab pelaksana penempatan TKI tidak dapat dibebani biaya swasta. penempatan (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 52 huruf h biaya penempatan sebagaimana Biaya penempatan yang harus dimaksud pada ayat (1) diatur ditanggung oleh calon TKI dan cara dengan Peraturan Kepala Badan. pembayarannya; Bagian Ketujuh Pembiayaan Pasal 76 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat membebankan biaya penempatan kepada calon TKI untuk komponen biaya : a. pengurusan dokumen jati diri; b. pemeriksaan kesehatan dan psikologi; dan c. pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja. (2) Biaya selain biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. (3) Komponen biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus transparan dan memenuhi asas akuntabilitas.

250


LAMPIRAN 9.

Fungsi Pelaksaan Pusat Pelayanan Terpadu/ Pelayanan Terpadu Satu Atap

Pasal 98 BAB IV (1) Untuk kelancaran pelaksanaan LAYANAN TERPADU SATU ATAP pelayanan penempatan TKI, PENEMPATAN DAN PELINDUNGAN Badan Nasional Penempatan PEKERJA MIGRAN INDONESIA dan Perlindungan TKI Pasal 38 membentuk Balai Pelayanan (1) Pelayanan penempatan Penempatan dan Perlindungan dan Pelindungan Pekerja TKI di Ibukota Provinsi dan/ Migran Indonesia dilakukan atau tempat pemberangkatan oleh Pemerintah Pusat dan TKI yang dianggap perlu. Pemerintah Daerah secara terkoordinasi dan terintegrasi. (2) Dalam memberikan pelayanan penempatan dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah membentuk layanan terpadu satu atap. (3) Layanan terpadu satu atap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan: a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pelayanan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; b. memberikan efisiensi dan transparansi dalam pengurusan dokumen penempatan dan pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia; dan c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan Pekerja Migran Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai layanan terpadu satu atap diatur dengan Peraturan Pemerintah.

251


10.

252

BAB II BAB V TUGAS, TANGGUNG JAWAB, DAN TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KEWAJIBAN PEMERINTAH PEMERINTAH PUSAT DAN Pasal 5 PEMERINTAH DAERAH (1) Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, Bagian Kesatu dan mengawasi penyelengPemerintah Pusat garaan penempatan dan Pasal 39 perlindungan TKI di luar negeri. Pemerintah Pusat memiliki tugas dan (2) Dalam melaksanakan tugas tanggung jawab: sebagaimana dimaksud pada a. menjamin pelindungan Calon ayat (1), Pemerintah dapat Pekerja Migran Indonesia dan/ melimpahkan sebagian atau Pekerja Migran Indonesia wewenangnya dan/atau tugas dan keluarganya; perbantuan kepada Pemerintah b. mengatur, membina, Daerah sesuai dengan peraturan melaksanakan, dan mengawasi perundang-undangan. penyelenggaraan penempatan Pekerja Migran Indonesia; Pasal 6 c. menjamin pemenuhan hak Calon Pemerintah bertanggung jawab Pekerja Migran Indonesia dan/ untuk meningkatkan upaya atau Pekerja Migran Indonesia perlindungan TKI di luar negeri. dan keluarganya; d. membentuk dan Pasal 7 mengembangkan sistem Dalam melaksanakan tugas dan informasi terpadu dalam tanggung jawab sebagaimana penyelenggaraan penempatan dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dan Pelindungan Pekerja Migran Pemerintah berkewajiban : Indonesia; a. menjamin terpenuhinya hake. melakukan koordinasi kerja hak calon TKI/TKI, baik yang sama antarinstansi terkait berangkat melalui pelaksana dalam menanggapi pengaduan penempatan TKI, maupun dan penanganan kasus Calon yang berangkat secara Pekerja Migran Indonesia dan/ mandiri; atau Pekerja Migran Indonesia; b. mengawasi pelaksanaan f. mengurus kepulangan Pekerja penempatan calon TKI; Migran Indonesia dalam hal c. membentuk dan terjadi peperangan, bencana mengembangkan sistem alam, wabah penyakit, informasi penempatan calon deportasi, dan Pekerja Migran TKI di luar negeri; Indonesia bermasalah; d. melakukan upaya diplomatik g. melakukan upaya untuk untuk menjamin pemenuhan menjamin pemenuhan hak dan hak dan perlindungan TKI Pelindungan Pekerja Migran secara optimal di negara Indonesia secara optimal di tujuan; dan negara tujuan penempatan;


LAMPIRAN e. memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

h. menyusun kebijakan mengenai Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya; i. menghentikan atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia untuk negara tertentu atau pada jabatan tertentu di luar negeri; j. membuka negara atau jabatan tertentu yang tertutup bagi penempatan Pekerja Migran Indonesia; k. memberikan dan mencabut SIP3MI; l. memberikan dan mencabut SIP2MI; m. melakukan koordinasi antarinstansi terkait mengenai kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; n. mengangkat pejabat sebagai atase ketenagakerjaan yang ditempatkan di kantor Perwakilan Republik Indonesia atas usul Menteri; dan o. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan. Bagian Kedua Pemerintah Daerah Provinsi Pasal 40 Pemerintah Daerah provinsi memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi;

253


b. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya; c. menerbitkan izin kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; d. melaporkan hasil evaluasi terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia secara berjenjang dan periodik kepada Menteri; e. memberikan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah bekerja; f. menyediakan pos bantuan dan pelayanan di tempat pemberangkatan dan pemulangan Pekerja Migran Indonesia yang memenuhi syarat dan standar kesehatan; g. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; h. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan Pekerja Migran Indonesia; dan i. dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di tingkat provinsi.

254


LAMPIRAN Bagian Ketiga Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota Pasal 41 Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menyosialisasikan informasi dan permintaan Pekerja Migran Indonesia kepada masyarakat; b. membuat basis data Pekerja Migran Indonesia; c. melaporkan hasil evaluasi terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia secara periodik kepada Pemerintah Daerah provinsi; d. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya; e. memberikan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah bekerja di daerah kabupaten/ kota yang menjadi tugas dan kewenangannya; f. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja kepada Calon Pekerja Migran Indonesia yang dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi; g. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja di kabupaten/ kota;

255


h. melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya; i. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; j. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan Pekerja Migran Indonesia; dan k. dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di tingkat kabupaten/ kota. Bagian Keempat Pemerintah Desa Pasal 42 Pemerintah Desa memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; b. melakukan verifikasi data dan pencatatan Calon Pekerja Migran Indonesia; c. memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan Calon Pekerja Migran Indonesia; d. melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan Pekerja Migran Indonesia; dan e. melakukan pemberdayaan kepada Calon Pekerja Migran Indonesia, Pekerja Migran Indonesia, dan keluarganya.

256


LAMPIRAN Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI KELEMBAGAAN Pasal 44 Pelaksanaan tugas pemerintah di bidang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia diselenggarakan oleh kementerian dan Badan. Pasal 45 Tugas Menteri sebagai pembuat kebijakan: a. menyusun norma dan standar mengenai: 1) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; 2) p e n g a w a s a n penyelenggaraan penempatan; 3) penetapan penyelenggara Jaminan Sosial; 4) pemenuhan hak Pekerja Migran Indonesia; b. mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; c. melakukan kerja sama luar negeri untuk menjamin pemenuhan hak dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia melalui koordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan hubungan luar negeri;

257


d. menghentikan atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia pada negara tertentu atau jabatan/profesi tertentu; e. menerbitkan dan mencabut SIP3MI atas usul kepala Badan paling lama 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pengusulan; f. mengusulkan pejabat atase ketenagakerjaan kepada menteri yang menyelenggarakan hubungan luar negeri; g. melakukan pemberdayaan sosial dan ekonomi purna Pekerja Migran Indonesia; dan h. tugas lain yang sesuai dengan kewenangannya. Pasal 46 (1) Tugas Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan oleh Badan yang dibentuk oleh Presiden. (2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala Badan yang diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. (3) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan dalam pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia secara terpadu.

258


Pasal 47 Tugas kepala Badan sebagai pelaksana kebijakan: a. melaksanakan kebijakan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia: 1) melayani dan melindungi Pekerja Migran Indonesia; 2) menetapkan dan mencabut SIP2MI; 3) m e n y e l e n g g a r a k a n pelayanan penempatan; 4) melakukan pengawasan pelaksanaan pelayanan Jaminan Sosial; 5) memenuhi hak Pekerja Migran Indonesia; 6) memverifikasi dokumen Pekerja Migran Indonesia; b. melaksanakan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia melalui kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan negara tujuan penempatan; c. mengusulkan pencabutan SIP3MI kepada Menteri terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; d. memberikan Pelindungan Selama Bekerja dengan berkoordinasi dengan Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan; e. melakukan fasilitasi, rehabilitasi, dan reintegrasi purna Pekerja Migran Indonesia; f. melakukan pemberdayaan sosial dan ekonomi purna Pekerja Migran Indonesia; dan g. tugas lain yang sesuai dengan kewenangannya.

259


11.

260

Kelembagaan

Pasal 18 (1) Menteri dapat mencabut SIPPTKI apabila pelaksana penempatan TKI swasta : a. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; atau b. tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dan/atau melanggar larangan dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang diatur dalam Undang-undang ini. (2) Pencabutan SIPPTKI oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta terhadap TKI yang telah ditempatkan dan masih berada di luar negeri. (3) Tata cara pencabutan SIPPTKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB VI KELEMBAGAAN Pasal 44 Pelaksanaan tugas pemerintah di bidang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia diselenggarakan oleh kementerian dan Badan. Pasal 45 Tugas Menteri sebagai pembuat kebijakan: a. menyusun norma dan standar mengenai: 5) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; 6) pengawasan penyelenggaraan penempatan; 7) penetapan penyelenggara Jaminan Sosial; 8) pemenuhan hak Pekerja Migran Indonesia; b. mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; c. melakukan kerja sama luar negeri untuk menjamin pemenuhan hak dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia melalui koordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan hubungan luar negeri; d. menghentikan atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia pada negara tertentu atau jabatan/profesi tertentu; e. menerbitkan dan mencabut SIP3MI atas usul kepala Badan paling lama 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pengusulan;


f. mengusulkan pejabat atase ketenagakerjaan kepada menteri yang menyelenggarakan hubungan luar negeri; g. melakukan pemberdayaan sosial dan ekonomi purna Pekerja Migran Indonesia; dan h. tugas lain yang sesuai dengan kewenangannya. Pasal 46 (1) Tugas Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan oleh Badan yang dibentuk oleh Presiden. (2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala Badan yang diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. (3) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan dalam pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia secara terpadu. Pasal 47 Tugas kepala Badan sebagai pelaksana kebijakan: a. melaksanakan kebijakan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia: 1) melayani dan melindungi Pekerja Migran Indonesia; 2) menetapkan dan mencabut SIP2MI; 3) menyelenggarakan pelayanan penempatan; 4) melakukan pengawasan pelaksanaan pelayanan Jaminan Sosial;

261


5) memenuhi hak Pekerja Migran Indonesia; 6) memverifikasi dokumen Pekerja Migran Indonesia; b. melaksanakan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia melalui kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan negara tujuan penempatan; c. mengusulkan pencabutan SIP3MI kepada Menteri terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; d. memberikan Pelindungan Selama Bekerja dengan berkoordinasi dengan Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan; e. melakukan fasilitasi, rehabilitasi, dan reintegrasi purna Pekerja Migran Indonesia; f. melakukan pemberdayaan sosial dan ekonomi purna Pekerja Migran Indonesia; dan g. tugas lain yang sesuai dengan kewenangannya. 12.

Pendataan

Pasal 22 Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat memberikan kewenangan kepada kantor cabang untuk : a. melakukan penyuluhan dan pendataan calon TKI; b. melakukan pendaftaran dan seleksi calon TKI; c. menyelesaikan kasus calon TKI/TKI pada pra atau purna penempatan; dan d. menandatangani perjanjian penempatan dengan calon TKI atas nama pelaksana penempatan TKI swasta.

Bagian Ketiga Pelindungan Selama Bekerja Pasal 21 (1) Pelindungan Selama Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi: a. pendataan dan pendaftaran oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk; Pasal 41 Pemerintah Kabupaten/ Kota b. membuat basis data Pekerja Migran Indonesia;

Pasal 42 Pemerintah Desa b. melakukan verifikasi data dan pencatatan Calon Pekerja Migran Indonesia;

262


13. Pendidikan/ Paragraf 3 Pelatihan Pendidikan dan Pelatihan Kerja Pekerja Pasal 41 Migran (1) Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan jabatan. (2) Dalam hal TKI belum memiliki sertifikat kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksana penempatan TKI swasta wajib melakukan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Pasal 42 (1) Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. (2) Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk : a. membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompe-tensi kerja calon TKI; b. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja di luar negeri; c. membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan; dan d. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon TKI/TKI. Pasal 43 (1) Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja swasta atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi persyaratan.

Pelindungan Sosial Pasal 34 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pelindungan sosial bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia melalui: a. peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja melalui standardisasi kompetensi pelatihan kerja; b. peningkatan peran lembaga akreditasi dan sertifikasi; c. penyediaan tenaga pendidik dan pelatih yang kompeten; d. reintegrasi sosial melalui layanan peningkatan keterampilan, baik terhadap Pekerja Migran Indonesia maupun keluarganya; e. kebijakan pelindungan kepada perempuan dan anak; dan f. penyediaan pusat Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan penempatan. Pasal 39 huruf o Pemerintah Pusat memiliki tugas dan tanggung jawab: o. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan. Pasal 40 huruf g Pemerintah provinsi g. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan;

263


(2) Pendidikan dan pelatihan Pasal 41 huruf i pemerintah sebagaimana dimaksud pada kabupaten/kota ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai dengan i. menyediakan dan memfasilitasi peraturan perundang-undangan pelatihan Calon Pekerja Migran yang berkaitan dengan Indonesia melalui pelatihan pendidikan dan pelatihan kerja. vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; Pasal 44 Calon TKI memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dalam bentuk sertifikat kompetensi dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah terakreditasi oleh instansi yang berwenang apabila lulus dalam sertifikasi kompetensi kerja. Pasal 45 Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja. Pasal 46 Calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan dilarang untuk dipekerjakan.

264


14.

Sistem PENYELESAIAN PERSELISIHAN BAB IX Penanganan Pasal 85 PENYELESAIAN PERSELISIHAN Kasus dan (1) Dalam hal terjadi sengketa Bantuan antara TKI dengan pelaksana Pasal 77 Hukum penempatan TKI swasta (1) Dalam hal terjadi perselisihan mengenai pelaksanaan antara Pekerja Migran Indonesia perjanjian penempatan, dengan pelaksana penempatan maka kedua belah pihak mengenai pelaksanaan Perjanjian mengupayakan penyelesaian Penempatan, penyelesaian secara damai dengan cara dilakukan secara musyawarah. bermusyawarah. (2) Dalam hal musyawarah (2) Dalam hal penyelesaian sebagaimana dimaksud pada secara musyawarah tidak ayat (1) tidak tercapai, salah satu tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan penyelesaian meminta bantuan instansi perselisihan tersebut kepada yang bertanggung jawab di instansi yang bertanggung jawab bidang ketenagakerjaan di di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/ Pemerintah. kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Pusat. (3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, salah satu atau kedua belah pihak dapat mengajukan tuntutan dan/atau gugatan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

265


15. Peran Serta Masyarakat

BAB VIII PEMBINAAN Pasal 86 (1) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat mengikutsertakan pelaksana penempatan TKI swasta, organisasi dan/atau masyarakat.

Menimbang huruf F: (b) bahwa penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia perlu dilakukan secara terpadu antara instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah dengan mengikutsertakan masyarakat; Pasal 76 ayat 2 (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan masyarakat. Pasal 32 ayat 2 (2) Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat memperhatikan saran dan pertimbangan Perwakilan Republik Indonesia, kementerian/lembaga, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, dan masyarakat. Pasal 11 ayat 2 (2) Pemerintah Daerah kabupaten/ kota melakukan sosialisasi informasi dan permintaan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat dengan melibatkan aparat Pemerintah Desa.

266


16.

Sistem dan Pelayanan Pemulangan Pekerja Migran

Pasal 66 Pasal 21 ayat 1 huruf h Pemerintah wajib menyediakan h. fasilitasi repatriasi. pos-pos pelayanan di pelabuhan pemberangkatan dan pemulangan Pasal 39 huruf e TKI yang dilengkapi dengan fasilitas Pemerintah Pusat memiliki tugas dan yang memenuhi syarat. tanggung jawab: f. mengurus kepulangan Pekerja Pasal 75 Migran Indonesia dalam hal terjadi (1) Kepulangan TKI dari negara peperangan, bencana alam, wabah tujuan sampai tiba di daerah penyakit, deportasi, dan Pekerja asal menjadi tanggung jawab Migran Indonesia bermasalah; pelaksana penempatan TKI. (2) Pengurusan kepulangan TKI Pasal 40 Pemerintah Provinsi/ sebagaimana dimaksud pada Daerah ayat (1) meliputi hal : b. mengurus kepulangan Pekerja a. pemberian kemudahan Migran Indonesia dalam hal terjadi atau fasilitas kepulangan peperangan, bencana alam, wabah TKI; penyakit, deportasi, dan Pekerja b. pemberian fasilitas Migran Indonesia bermasalah sesuai kesehatan bagi TKI yang dengan kewenangannya sakit dalam kepulangan; dan c. pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihakpihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan. (2) Pemerintah dapat mengatur kepulangan TKI. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

267


17.

Reintegrasi Purna Kerja

Pelindungan Setelah Bekerja Pasal 24 ayat 1 huruf d: Pelindungan Setelah Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c meliputi: a.

fasilitasi kepulangan sampai daerah asal; b. penyelesaian hak Pekerja Migran Indonesia yang belum terpenuhi; c. fasilitasi pengurusan Pekerja Migran Indonesia yang sakit dan meninggal dunia; d. rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosiai; dan e. pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Pasal 34 huruf d: reintegrasi sosial melalui layanan peningkatan keterampilan, baik terhadap Pekerja Migran Indonesia maupun keluarganya; Pasal 41 huruf h Pemerintah Kab/ kota h. melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya; Pasal 47 huruf e: c. melakukan fasilitasi, rehabilitasi, dan reintegrasi purna Pekerja Migran Indonesia;

268


18.

Hak Keluarga Pekerja Migran

Pasal 3 huruf c: Bab 1 Ketentuan Umum Nomor 5, 7 c. meningkatkan kesejahteraan dan 8: TKI dan keluarganya. (5) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan Pasal 73 ayat 2: Calon Pekerja Migran Indonesia (2) Dalam hal TKI meninggal dunia dan/atau Pekerja Migran di negara tujuan sebagaimana Indonesia dan keluarganya dimaksud pada ayat (1) huruf dalam mewujudkan terjaminnya e, pelaksana penempatan TKI pemenuhan haknya dalam berkewajiban : keseluruhan kegiatan sebelum a. memberitahukan tentang bekerja, selama bekerja, dan kematian TKI kepada setelah bekerja dalam aspek keluarganya paling lambat 3 hukum, ekonomi, dan sosial. (tiga) kali 24 (dua puluh empat) (7) Pelindungan Selama Bekerja jam sejak diketahuinya kematian adalah keseluruhan aktivitas untuk tersebut; memberikan pelindungan selama b. mencari informasi tentang Pekerja Migran Indonesia dan sebab-sebab kematian dan anggota keluarganya berada di memberitahukannya kepada luar negeri. pejabat Perwakilan Republik (8) Pelindungan Setelah Bekerja Indonesia dan anggota keluarga adalah keseluruhan aktivitas TKI yang bersangkutan; untuk memberikan pelindungan c. memulangkan jenazah TKI sejak Pekerja Migran Indonesia ke tempat asal dengan cara dan anggota keluarganya tiba yang layak serta menanggung di debarkasi di Indonesia hingga semua biaya yang diperlukan, kembali ke daerah asal, termasuk termasuk biaya penguburan pelayanan lanjutan menjadi sesuai dengan tata cara agama pekerja produktif. TKI yang bersangkutan; d. mengurus pemakaman di negara Pasal 3 huruf b: tujuan penempatan TKI atas menjamin pelindungan hukum, persetujuan pihak keluarga TKI ekonomi, dan sosial Pekerja Migran atau sesuai dengan ketentuan Indonesia dan keluarganya. yang berlaku di negara yang bersangkutan; Pasal 6 ayat 3: e. memberikan perlindungan (1) Setiap Keluarga Pekerja Migran terhadap seluruh harta milik Indonesia memiliki hak: TKI untuk kepentingan anggota a. memperoleh informasi keluarganya; dan mengenai kondisi, masalah, f. mengurus pemenuhan semua dan kepulangan Pekerja hak-hak TKI yang seharusnya Migran Indonesia; diterima. b. menerima seluruh harta benda Pekerja Migran Indonesia yang meninggal di luar negeri;

269


c.

memperoleh salinan dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia; dan d. memperoleh akses berkomunikasi. Pelindungan Setelah Bekerja Pasal 24 Ayat 1 huruf e: Pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Pasal 27 ayat 2 huruf : (2) Dalam hal Pekerja Migran Indonesia meninggal dunia di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia berkewajiban: a. memberitahukan tentang kematian Pekerja Migran Indonesia kepada keluarganya paling lambat 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya kematian tersebut; b. mencari informasi tentang sebab kematian dan memberitahukannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota Keluarga Pekerja Migran Indonesia yang bersangkutan; c. memulangkan jenazah Pekerja Migran Indonesia ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama Pekerja Migran Indonesia yang bersangkutan;

270


d. mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan Pekerja Migran Indonesia atas persetujuan pihak Keluarga Pekerja Migran Indonesia atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan; e. memberikan pelindungan terhadap seluruh harta milik Pekerja Migran Indonesia untuk kepentingan keluarganya; dan f. mengurus pemenuhan semua hak Pekerja Migran Indonesia yang seharusnya diterima. Bagian Kelima Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia Pasal 29 upaya Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Pemerintah Pusat menyelenggarakan Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. (2) Penyelenggaraan program Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional.

(1) Dalam

Pasal 34 huruf d: Reintegrasi sosial melalui layanan peningkatan keterampilan, baik terhadap Pekerja Migran Indonesia maupun keluarganya;

271


Pasal 35 huruf b dan c Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pelindungan ekonomi bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia melalui: a. edukasi keuangan agar Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dapat mengelola hasil remitansinya; dan b. edukasi kewirausahaan. 19.

Sanksi Kepada PMI

Pasal 79 Setiap Orang yang dengan sengaja memberikan data dan informasi tidak benar dalam pengisian setiap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 69 Orang perseorangan dilarang melaksanakan penempatan Pekerja Migran Indonesia.

272


20.

Sanksi Kepada Pejabat

22.

Sanksi Kepada PPTKIS

Pasal 84 (1) Setiap pejabat yang dengan sengaja memberangkatkan Pekerja Migran Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap pejabat yang dengan sengaja menahan pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 100 (1) Menteri menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69 ayat (1), Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73 ayat (2), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1), Pasal 82, Pasal 83, atau Pasal 105.

BAB VII PELAKSANA PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA Pasal 37 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), dan Pasal 27 ayat (3). Pasal 19 (1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia wajib menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan jabatan dan jenis pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Kerja.

273


(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempatan TKI; c. pencabutan izin; d. pembatalan keberangkatan calon TKI; dan/atau e. pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

(2) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan jabatan dan jenis pekerjaan yang tercantum dalam Perjanjian Kerja sebagaimana di maksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 25 ayat 3 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak melaporkan data kepulangan dan/ atau data perpanjangan Perjanjian Kerja Pekerja Migran Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 27 ayat 3 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif. Pasal 62 Perusahaan yang tidak bertanggung jawab terhadap pelindungan pekerjanya yang ditempatkan ke luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2), dikenai sanksi administratif. Pasal 74 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 62 berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin.

274


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 23.

Sanksi Of Interest

24. Pengawasan

Pasal 73 Pejabat, pegawai, petugas, dan setiap Orang yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia dan/atau organisasi usaha yang terkait dengan penempatan Pekerja Migran Indonesia. Pengawasan Pengawasan Pasal 92 Pasal 76 (1) Pengawasan terhadap (1) Pemerintah Pusat dan penyelenggaraan penempatan melakukan pengawasan dan perlindungan TKI di luar Pemerintah Daerah terhadap negeri dilaksanakan oleh pelaksanaan penempatan dan instansi yang bertanggung Pelindungan Pekerja Migran jawab di bidang ketenagakerjaan Indonesia. pada Pemerintah, Pemerintah (2) Pemerintah Pusat dan Provinsi, dan Pemerintah Pemerintah Daerah dalam Kabupaten/Kota. melaksanakan pengawasan (2) Pengawasan terhadap sebagaimana diniaksud pada penyelenggaraan penempatan ayat (1) dapat mengikutsertakan dan perlindungan TKI di luar masyarakat. negeri dilaksanakan oleh (3) Ketentuan lebih lanjut Perwakilan Republik Indonesia mengenai pengawasan terhadap di negara tujuan. pelaksanaan penempatan dan (3) Pelaksanaan pengawasan Pelindungan Pekerja Migran terhadap penyelenggaraan Indonesia diatur dengan penempatan dan perlindungan Peraturan Pemerintah. TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

275


Pasal 93 (1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota wajib melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya kepada Menteri. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri 25.

276

Informasi

Pasal 8 Pasal 6 Setiap calon TKI/TKI mempunyai (1) Setiap Calon Pekerja Migran hak dan kesempatan yang sama Indonesia atau Pekerja Migran untuk : a. bekerja di luar negeri; b. Indonesia memiliki hak: memperoleh informasi yang benar a. mendapatkan pekerjaan di luar mengenai pasar kerja luar negeri negeri dan memilih pekerjaan dan prosedur penempatan TKI di sesuai dengan kompetensinya; luar negeri; b. memperoleh akses peningkatan kapasitas diri Pasal 34 melalui pendidikan dan (1) Proses perekrutan didahului pelatihan kerja; dengan memberikan informasi c. memperoleh informasi yang kepada calon TKI sekurangbenar mengenai pasar kerja, kurangnya tentang : tata cara penempatan, dan a. tata cara perekrutan; kondisi kerja di luar negeri; b. dokumen yang diperlukan; d. memperoleh pelayanan yang c.hak dan kewajiban calon TKI/ profesional dan manusiawi TKI; d. situasi, kondisi, dan resiko serta perlakuan tanpa di negara tujuan; dan e. tata cara diskriminasi pada saat sebelum perlindungan bagi TKI. bekerja, selama bekerja, dan (2) Informasi sebagaimana setelah bekerja; dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara lengkap dan Pasal 8 ayat 3 huruf a benar. Pelindungan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:


(3) Informasi sebagaimana a. pemberian sosialisasi dan dimaksud pada ayat (1) dan diseminasi informasi; ayat (2), wajib mendapatkan persetujuan dari instansi Pasal 9 yang bertanggung jawab di (1) Informasi sebagaimana dimaksud bidang ketenagakerjaan dan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c disampaikan oleh pelaksana dan permintaan Pekerja Migran penempatan TKI swasta. Indonesia berasal dari: a. Perwakilan Republik Pasal 73 ayat 2 huruf b Indonesia di negara tujuan (2) Dalam hal TKI meninggal dunia penempatan; di negara tujuan sebagaimana b. Mitra Usaha di negara tujuan dimaksud pada ayat (1) huruf penempatan; dan/atau e, pelaksana penempatan TKI c. calon Pemberi Kerja, baik berkewajiban : perseorangan maupun badan a. memberitahukan tentang usaha asing di negara tujuan kematian TKI kepada penempatan. keluarganya paling lambat (2) Informasi dan permintaan Pekerja 3 (tiga) kali 24 (dua Migran Indonesia yang berasal puluh empat) jam sejak dari Mitra Usaha dan calon diketahuinya kematian Pemberi Kerja di negara tujuan tersebut; penempatan sebagaimana b. mencari informasi tentang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) sebab-sebab kematian huruf c harus diverifikasi oleh dan memberitahukannya atase ketenagakerjaan dan/atau kepada pejabat Perwakilan pejabat dinas luar negeri yang Republik Indonesia dan ditunjuk. anggota keluarga TKI yang bersangkutan; Pasal 11 (1) Pemerintah Pusat Pasal 87 mendistribusikan informasi Pembinaan oleh Pemerintah dan permintaan Pekerja Migran sebagaimana dimaksud dalam Pasal Indonesia kepada Pemerintah 86, dilakukan dalam bidang : a. Daerah kabupaten/kota melalui informasi; b. sumber daya manusia; Pemerintah Daerah provinsi. dan c. perlindungan TKI. (2) Pemerintah Daerah kabupaten/ kota melakukan sosialisasi Pasal 88 informasi dan permintaan Pekerja Pembinaan oleh Pemerintah dalam Migran Indonesia sebagaimana bidang informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada dimaksud dalam Pasal 87 huruf a, masyarakat dengan melibatkan dilakukan dengan : aparat Pemerintah Desa.

277


a. membentuk sistem dan jaringan informasi yang terpadu mengenai pasar kerja luar negeri yang dapat diakses secara meluas oleh masyarakat; b. memberikan informasi keseluruhan proses dan prosedur mengenai penempatan TKI di luar negeri termasuk risiko bahaya yang mungkin terjadi selama masa penempatan TKI di luar negeri.

278

Pasal 41 Pemerintah Daerah kabupaten/ kota memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menyosialisasikan informasi dan permintaan Pekerja Migran Indonesia kepada masyarakat; Pasal 42 Pemerintah Desa memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan;


DAFTAR PUSTAKA Achkasov, V.A. & Rozanova, M.S. 2016. An Open Government Implementation Model for Migration Management: The Case of Russia. Public Administration Issues, no 5 (Special Issue, electronic edition), pp. 77–91 Anderson, Bridget. 2016. Worker, Helper, Aunty, Maid? Working Conditions and Attitudes, Experienced by Migrant Domestic Workers in Thailand and Malaysia. Bangkok: International Labour Organization (ILO) Archer, Margaret S. 2013. Human Trafficking in Human Beings: Modern Slavery – A Sociological Approach. Pontifical Academy of Sciences, Scripta Varia 122, Vatican City Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). 2016. Saatnya Jadi Pokok Perhatian Pemerintah dan Industri. Buletin APJII, Edisi 5, 2016 Bachtiar, P.P. 2013. The Governance of Indonesian Overseas Employment in the Context of Decentralization. Jakarta: SMERU Research Institute. Bachtiar, P., P. & Prasetyo, D., D. 2017. Return Migration and Various Reintegration Programs for Low-Skilled Migrant Workers in Indonesia. Diedit oleh Bree Ahrens. Jakarta: SMERU Research Institute. Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Statistik 70 tahun Indonesia Merdeka. BPS: Jakarta Bank Dunia. 2017. Pekerja Global Indonesia: Antara Peluang dan Risiko. Jakarta: Bank Dunia Bastide, L. 2015. Faith and Uncertainty: Migrants’ Journey between Indonesia, Malaysia and Singapore. Health, Risk & Society, Routledge: Francis & Taylor Group, DOI: 10.1080/13698575.2015.1071786 Baumgarten, B. & Ullrich, P. 2012. Discourse, Power, and Governmentality. Social Movement Research with and beyond Foucault. WZB Discussion Paper SP IV 2012-401, Berlin. DOI 10.1007/978-3-658-13381-8_2 Brettel C. & Hollifield J.F. 2015. Migration Theory: Talking Across Disciplines. New York: Routledge, Taylor & Francis Group

279


Business for Social Responsibility (BSR). 2011. Step Up: Improving Recruitment of Migrant Workers in Indonesia. Findings from a research visit to Semarang, May 3 – 7, 2011. Castles, M. J., Haas, D.H. & Miller, M. J. 2014. The Age of Migration: International Population Movements in the Modern World 5th (fifth) Edition. New York: Palgrave Macmillan Publisher. Chapsos, I & Malcolm, J. 2017. Maritime Security in Indonesia: Towards a Comprehensive Agenda? Marine Policy, 76 (2017) 178–184 Chaves, J., J. 2015. Transnational Social Movements in ASEAN Policy Advocacy: The Case of Regional Migrants’ Rights Policy. UNSRID, Research Paper 2015–1. Crepeau, F., & Atak, I. 2016. Global Migration Governance: Avoiding Commitments on Human Rights, Yet Tracing a Course for Cooperation. Netherlands Quarterly of Human Rights, Vol. 34/2, 113–146. Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approach, the third edition. California: Sage Publications. De Haas, H. 2010. Migration and Development: A Theoretical Perspective. International Migration Review, Volume 44, Issue 1, Spring 2010, Pages 227–264 Farbenlum, B. 2017. Governance of Migrant Worker Recruitment: A Rights-Based Framework for Countries of Origin. Asian Journal of International Law, 7(2017), pp.152–184. Farbenlum, B., Taylor-Nicholson, E., & Paoletti, S. 2013. Akses Buruh Migran terhadap Keadilan: Studi Kasus Indonesia. New York: Open Society Foundation Fleury, A. 2016. Understanding Women and Migration: A Literature Review. Knomad Working Paper No. 8. Foucault, M. 1980. Power/Knowledge: Selected interviews and other writings, 1972– 1977. NY: Pantheon Griggs, D. 2013. Sustainable Development Goals for People and Planet. Nature, Vol. 495: 305 – 307. Gisselquist, R. 2012. What Does “Good Governance” Mean? Tokyo: UNU Press. Hardiyansyah. 2011. Kualitas Pelanan Publik: Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasinya. Yogyakarta: Gava Media. Hasanah, T. 2015. Potensial Social Capital of Indonesian Immigrant in Malaysia: A Preliminary Research. Procedia – Social and Behavioral Sciences, Vol. 211: 383 – 389.

280


Kassim, A & Mat Zin, R. 2011. Policy on Irregular Migrants in Malaysia: An Analysis of Its Implementation and Effectiveness. Philippines Institute for Development Studies, Discussion Paper Series number 2011-34 Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan). 2015. Catatan Akhir Tahun 2014. Jakarta: Komnas Perempuan Ibad, M. I., Silitonga, F., & Wahyudiono, T. 2014. Modul Pendidikan Dasar dan Menengah Buruh Migran. Jakarta: SBMI International Organization for Migration (IOM). 2015. Counter TraffickingFactsheet. Jakarta: International Organization for Migration. Langford, M. 2016. Lost in Transformation? The Politics of the Sustainable Development Goals. Ethics & International Affairs, 30, No. 2, pp.167–176. Lankaster, Sir Tim. 2007. Reform on Indonesia’a Governance: Myth or Reality? Oxford: Corpus Christi Colege, Institute of Policy Studies. Lisbet. 2013. Pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) melalui Kerja Sama Internasional. Politica, Vol. 4, No. 1: 129 – 156 Mertokusumo, S. 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty. Migration and Development Civil Society Network (MADE). 2015. Migration and SDGs Implementation. MADE, MADE Advocacy Toolbox Nasution, A. 2016. Government Decentralization Program in Indonesia. ADBI Working Paper 601. Tokyo: Asian Development Bank Institute. Newland, K. 2017. Towards a Global Compact for Migration: A Development Perspective. A Series to Inform the Debate, Migration Policy Institute, Issue No. 1 Nicholson, W. 1991. Intermediate Microeconomis. The Dryden Press. OECD. 2015. Good Governance and Information Society Strategies. Website resmi http://www.oecd.org diunduh dan diolah pada 14 Jun 2017, pukul 5.21. Piper, N. 2017a. “Global Governance of Labour Migration: From ‘Management’ of Migration to an Integrated Rights-based Approach.” Dalam Regulatory Theory: Foundations and applications, edited by Peter Drahos, published 2017 by ANU Press, The Australian National University, Canberra, Australia. Piper, N. 2017b. Migration and SDGs. Global Social Policy, 1 – 8. DOI: https://doi. org/10.1177/1468018117703443

281


Piper, N. 2010.Temporary Economic Migration and Rights Activism - an organisational perspective. Ethnic and Racial Studies, 33, 1, pp. 108-125. DOI: http://dx.doi.org/10.1080/01419870903023884 Piper, N. 2007. Governance of Migration and Transnationalization of Migrants’ Rights – An Organisational Perspective. COMCAD Arbeitspapiere - Working Papers, No. 22, 2007. Piper, N., & Yamanaka, K. 2007. “Feminised Migration in East and Southeast Asia and the Securing of Livelihoods.” Dalam N. Piper (ed), New Perspectives on Gender and Migration: Livelihoods, Rights, and Entitlements, pp. 161-190.. London: Routledge Rahman, A., B. 2011. Good Governance: Challenges and Prospects for Indonesia. Widyariset, Vol. 14 No.1: 83 – 92. Sapaan, E. & Nearssen, Ton van. 2018. Migration Decision-Making and Migration Industry in the Indonesia-Malaysia Corridor. Journal of Ethic and Migration Studies, Special Issues: Exploring the Migration Industries, DOI: 10.1080/1369183X.2017.1315523 Santoso, A. 2017. Migrant Workers and ASEAN: A Two-Level State and Regional Analysis. New York: Routledge Sachs, J., D. 2012. From Millennium Development Goals to Sustainable Development Goals. Lancet, Vol. 379: 22, 06–11 Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). 2017. Catatan Akhir Tahun 2016. Jakarta: SBMI Spitzer, D & Piper, N 2014. Retrenched and Returned: Filipino Migrant Workers during Times of Crisis. Sociology 48(5): 1007–23. Somantri, G., R. 2005. Memahami Metode Kualitatif. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2: 57-65. Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa. Susilo, W., Hidayah, A., & Mulyadi. 2013. Selusur (Minus) Kebijakan Pelindungan Buruh Migran Indonesia. Jakarta: Migrant Care The Economist Intelligence Unit. 2016. Measuring well-governed migration: The 2016 Migration Governance Index. London: The Economist Intelligence Unit The Independent Commission for Good Governance in Public Services. 2004. The Good Governance Standard for Public Services. London: OPM (Office for Public Management Ltd) & CIPFA (The Chartered Institute of Public Finance and Accountancy). 282


UHCHR. 2015. Good Governance and Human Rights. Website resmi http://www. uhchr.org diunduh dan diolah pada 14 Jun 2017, pukul 8.12 UNDP. (tanpa tahun). UNDP Newsletter: Toward Good Governance. Laman resmi http://www.undp.org diunduh dan diolah pada 14 Jun 2017, pukul 6.43. Utomo, T., W., W., 2011. “Building Good Governance through Decentralization in Indonesia.” Diedit oleh Kimura, H., Suharko, Javier & Tangsupvattana, dalam Limits of Good Governance in Developing Countries. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wahyudi, R. 2017a. “Kontribusi AFML kepada Perlindungan dan Pemenuhan Hak Pekerja Migran Indonesia di Malaysia.” Diedit oleh Daniel Awigra dalam Evaluasi Rekomendasi AFML untuk Perlindungan Buruh Migran di ASEAN. Jakarta: Human Rights Working Group (HRWG). Wahyudi, R. 2017b. Illegal Journey: the Indonesian Undocumented Migrant Workers to Malaysia. Populasi, Vol. 25 (2): 90 – 115.

283


284



Jaringan Buruh Migran a/n The Institute for Ecosoc Rights Tebet Timur Dalam VI C No 17 Jakarta Selatan Telp dan fax : (021) 8304153 Email : jaringan@buruhmigran.or.di Fanpage : Jaringan Buruh Migran FB : Jaringan Buruh Migran – jbm, twitter : @jariburuhmigran, IG : Jaringan Buruh Migran (JBM), blogspot : jaringanburuhmigran.org, website : jaringan.buruhmigran.or.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.