12 minute read
Gusdurpedia Edisi 6
GUSDURPEDIA Edisi: 6/Juli/VII/2019
Advertisement
KOLOM GUS DUR
Islam, Ideologi, dan Etos Kerja di Indonesia
Dalam Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di Banjarmasin, forum menyampaikan permintaan fatwa, bagaimana status negara Hindia Belanda dilihat dari pandangan agama Islam, karena ia diperintah oleh pemerintah yang bukan Islam dan orang-orang yang tidak beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam, wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?
Jawaban dari pertanyaan itu cukup menarik. Negara Hindia Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar, sebagai kewajiban agama, karena negara tersebut menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan ajaran agama Islam. Bahan pengambilan atau sumber rujukan yang digunakan adalah Bughyah al-Mustarsyidin, sebuah kitab agama yang dikarang oleh Al-Hadrami.
Fatwa di atas menyentuh dua hal yang sangat penting bagi kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama mereka, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut, dan dengan demikian memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin dalam kehidupan mereka. Di pihak lain, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang bukan negara Islam.
Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan cukup kuat, seperti yang kita lihat pada kaum muslimin dewasa ini di negeri kita. Wawasan kebangsaan dan orientasi keagamaan itu saling mendukung, bukannya saling menolak, seperti yang masih terjadi di negeri-negeri lain hingga saat ini. Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai rekonsiliasi definitif antara Islam dan negara, dalam hal ini terutama dengan ideologi Pancasila, namun bukan berarti bahwa permasalahan hubungan antara Islam dan negara di negeri kita telah terselesaikan secara tuntas. Sebuah sisi dari hubungan itu masih memungkinkan timbulnya friksi antara kepentingan kaum muslimin dan kepentingan negara.
Sisi itu adalah senjangnya watak yang dimiliki keduanya, Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti Republik Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan nilainilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di negeri ini.
Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari landasan hubungan antara Islam dan negara dalam bentuk yang lebih baik, dari hanya sekedar kebebasan melaksanakan ajaran Islam bagi kaum muslimin, seperti yang selama ini mengatur kehidupan kita sebagai bangsa. Dengan sadar harus dilakukan upaya untuk mencari tali pengikat yang lebih kokoh bagi kehidupan kaum muslimin negeri ini dalam kaitannya dengan ideologi negara. Sebenarnya upaya ke arah itu telah dilakukan oleh berbagai kalangan, namun hinggga saat ini hasilnya masih belum menunjukkan hasil yang final. Apa yang akan dipaparkan selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah merupakan sebuah upaya lanjutan belaka, dan sama sekali tidak memiliki pretensi telah menemukan jawaban yang memuaskan. Bahkan justru sebaliknya, ia akan mengundang lebih banyak masalah, yang diharapkan akan mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari jawaban final di kemudian hari.
Seorang pemikir muslim yang melakukan rintisan ke arah rekonsiliasi antara agama dan negara itu adalah Syeikh Ali Abdurraziq dari Mesir. Pada tahun tigapuluhan, ia menyatakan bahwa Islam hanya mengenal tiga sendi kehidupan bernegara, yaitu keadilan (’adalah), persamaan (musawah) demokrasi (syura). Apabila suatu negara telah memiliki ketiga sendi kehidupan itu, dengan sendirinya ia dapat diterima keabsahannya oleh Islam. Dengan segera ia mendapatkan reaksi sangat keras dari semua kalangan, baik ulama maupun cendekiawan muslim lainnya, apalagi dari kalangan aktivis gerakan Islam. Ia diusir dari lingkungan Al-Azhar, tempat ia mengajar sekian tahun lamanya, dan bukunya dibakar serta dilarang beredar.
Mengapa demikian besar reaksi yang dihadapi? Tidak lain, karena ia mengkesampingkan sisi normatif dari Islam, yang telah meletakkan demikian banyak ketentuan yang terkait dengan kehidupan masyarakat, dalam bentuk hukum agama (fiqh). Dari fiqih itu lalu dikembangkan wawasan hukum kenegaraan yang dikenal dengan sebutan Hukum Islam, seringkali dikenal dengan nama lain, yaitu Syari’ah. Ali Abdurraziq melihat negara sebagai instrumen yang terpisah dari hukum agama, dan dengan demikian secara praktis ia memperkenalkan gagasan negara sekuler dalam cakrawala pemikiran kaum muslimin tentang negara dan konstitusi.
Dalam negara seperti itu, hukum agama tidak memperoleh tempat, karena hukum yang diberlakukan adalah hukum nasional negara itu. Islam dilepaskan dari fungsi normatifnya, dan tinggal berfungsi filosofis belaka, yaitu sebagai dasar negara, dan dengan demikian tidak memperoleh keabsahan sebagai sumber hukum yang bersifat langsung. Dalam ungkapan lain, Islam hanya berfungsi inspiratif bagi kehidupan warga negara secara keseluruhan. Tanpa membenarkan atau menyalahkan Ali Abdurraziq, jelas bagi kita bahwa reaksi hebat itu merupakan bukti masih kuatnya pandangan yang berkebalikan dari pandangannya itu. Masih cukup besar jumlah kaum muslimin yang menentang pandangan sekuler tentang hubungan agama dan negara. Juga terbukti masih kuat keinginan untuk memberlakukan Hukum Islam ini dalam kehidupan bernegara, melalui legislasi ajaran Islam dan menjadikan produknya sebagai hukum Nasional.
Gema dari tuntutan seperti itu masih terus bergaung, lebih lima puluh tahun setelah Ali Abdurraziq menuliskan karyanya. Di luar Indonesia, kita lihat betapa saat ini para aktivis gerakan Islam menuntut pemberlakukan Hukum Syari’ah, yang akan melarang Benazir Bhuto menjadi perdana menteri lagi di Pakistan. Pada saat ini muncul kasus seorang pria yang oleh pengadilan dilarang mengawini istri kedua, karena tidak memenuhi persyaratan untuk itu, namun oleh banyak kalangan (termasuk penguasa salah satu negara bagian), keputusan itu dianggap melanggar ketentuan agama yang tidak memberlakukan persyaratan apapun bagi perkawinan dengan istri kedua.
Dalam memahami hubungan antara agama dan negara menjadi jelas bagi kita, bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan pesat dalam pemikiran keagaman maupun kenegaraannya. Ideologi Pancasila telah didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin, yaitu menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi akidah dalam kehidupan kaum muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya dan tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara teoritik tidak akan diberlakukan undang-undang maupun peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama di negara ini. Secara keseluruhan, Islam berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah sebagai akhlak masyarakat (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan melalui proses konsensus (Undang-undang seperti Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama No. 7/1989).
Dengan mengakui wewenang Hukum Islam untuk mengatur kehidupan warga negara, melalui filter berupa Hukum Nasional, watak kehidupan bernegara dan berbangsa terhindar dari orientasi sekuler, seperti yang dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti pendapat Ali Abdurraziq. Situasi seperti ini memang tidak sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki pelaksana ajaran Islam secara utuh sebagai produk legislatif formal, atau dengan istilah lain yang menghendaki pelaksanaan sepenuhnya Hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Bagi pandangan seperti itu, memang tidak akan ada yang memuaskan selain berdirinya sebuah Negara Islam, sedangkan dalam kenyataan yang dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia.
Masalahnya juga belum selesai bagi mereka yang telah dapat menerima kenyataan yang terjadi, dan dapat menerima kehadiran Pancasila dalam konteks yang diuraikan di atas. Pancasila masih harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut Islam, antara lain seperti yang dirumuskan Ali Abdurraziq. Pancasila harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis, menganut paham perlakuan sama di muka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi kepada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Itulah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi kita, Pancasila. Kunci itu diperoleh dari lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat: jaminan dasar akan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.
Lembaga-lembaga kenegaraan harus disusun berdasarkan acuan yang jelas akan mewujudkan kekuasaan pemerintah yang terbatas, bukan kekuasaan tanpa batas. Untuk itu kedaulatan hukum atas lembaga pemerintahan maupun kemasyarakatan, serta atas individu maupun kelompok warga negara, harus dijaga sekuat mungkin. Penjagaan kedaulatan hukum itu hanya dimungkinkan, apabila kebebasan berpendapat dan berserikat benar-benar dihormati. Karenanya, jalinan antara kedaulatan hukum, kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat merupakan kunci yang mutlak harus diberikan Islam kepada ideologi negara dan bangsa kita.
Dalam konteks sumbangan Islam kepada ideologi, dengan sedirinya tidak bisa diabaikan kebutuhan akan penumbuhan etos kerja yang benar, yang akan membawa kepada wawasan ideologi seperti dikemukakan di atas. Etos kerja itu harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan transformasi sosial yang diperlukan untuk melintasi garis kemiskinan menuju kepada kemakmuran di masa depan. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik.
Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan capaian (achievement). Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern. Semangat menjunjung tinggi profesionalisme adalah titik kepentingan dari transformasi sosial yang disebutkan di atas. Islam menjunjung tinggi profesionalisme, seperti dapat dibuktikan dengan berbagai cara yang tidak disebutkan di sini. Karena itu Islam mau tidak mau harus mengembangkan dalam dirinya etos-etos kehidupan yang berwatak transformis.
Jakarta, 07 September 2019
KATA GUSDURIAN
Pakar
Oleh: Alissa Wahid Koordinator Jaringan Gusdurian
Di Beberapa tahun terakhir ini, di media sosial Gus Nadirsyah Hosen sangat aktif mengutip dalil-dalil agama Islam dengan menyertakan potret kitab-kitab klasik (kitab mu’tabar) yang menjadi rujukannya. Terutama saat ia sedang beradu pandangan dengan akun-akun lain dalam pembahasan tentang hukum Islam atau pendapat berlandaskan agama Islam, misalnya tentang khilafah. Gus Nadir selalu merujuk kepada kitabkitab klasik tersebut untuk mengajarkan kepada publik dan lawan berdebatnya bahwa kita perlu selalu mempertanggungjawabkan pendapat kita, tidak asal bicara, apalagi menyimpulkan ayat-ayat Tuhan secara literal tanpa landasan keilmuan. Gus Nadir memilih menantang pandangan segelintir orang yang dipandangnya tidak memiliki keilmuan yang cukup tetapi begitu gigih meyakini dan menyebarkan tafsirnya atas Firman Tuhan tersebut.
Berkembangnya media sosial dan teknologi informasi memang memunculkan fenomena yang tidak hanya menarik, tetapi juga menjungkirbalikkan situasi: banyak orang tanpa kompetensi profesional atau keilmuan yang adekuat mendadak menjadi pakar isu tertentu (subject matter expert). Semisal, orang awam yang membahas tentang gejala dan diagnosis penyakit tertentu, bahkan, bisa menyarankan obat tertentu untuk mengobatinya. Atau yang lebih mutakhir bagi publik Indonesia adalah munculnya analisanalis politik awam yang merasa tak awam sepanjang pesta demokrasi 2019.
Dalam bukunya Death of Expertise (Matinya Kepakaran, 2017), Tom Nichols membahas berkembangnya media sosial yang mendorong demokratisasi (lebih spesifik: egalitarianisme) informasi. Setiap orang bisa menjadi sumber informasi tanpa batas, baik batas pemahaman maupun batas jangkauan pengaruhnya.
Pengetahuan dapat diakses semudah mengetukkan jempol sehingga setiap orang dapat merasa menguasai sebuah topik dengan berbekal akses kepada internet. Echo chamber yang disediakan mesin teknologi informasi semakin membombardir sekaligus mengurung individu dengan banjir informasi yang sesuai dengan fokusnya, tanpa terekspos dengan informasi penyeimbang.
Dampak perkembangan teknologi informasi ini berkelindan dengan kecenderungan alamiah manusia yang disebut Efek Dunning-Kruger. David Dunning dan Justin Kruger menunjukkan kecenderungan individu untuk menilai diri lebih rendah atau lebih tinggi dari kompetensi sejatinya.
Menariknya, individu yang kompeten justru cenderung menilai dirinya lebih rendah dari kemampuannya, sedangkan individu yang inkompeten cenderung menilai dirinya lebih tinggi dari kapasitas kompetensi obyektifnya.
Al-Ghazali juga menyebutkan empat jenis manusia: yang tahu dan paham apabila ia tahu, yang tahu dan tak paham bahwa ia tahu, yang tak tahu dan paham bahwa ia tak tahu, serta yang tidak tahu dan tak paham bahwa ia tak tahu. Sering kali jenis keempat inilah yang menimbulkan persoalan. Ketidakpahamannya, didukung bias kognitif Efek Dunning-Kruger, menyebabkan ia merasa menguasai sebuah topik, dan ia menilai dirinya lebih tinggi daripada kapasitas obyektifnya karena itu ia menjadi cukup percaya diri untuk menilai dirinya sebagai pakar.
Di sisi lain, semakin dalam ilmu yang digali para profesional, semakin kuat kesadaran mereka bahwa segala hal tidak sesederhana tampak luarnya, dan karenanya mereka lebih berhati-hati dan lebih rendah hati. Semakin berisi, padi semakin merunduk. Maka dengan mudahnya, para profesional yang menghabiskan sumber daya selama bertahun-tahun untuk mendalami ilmu tertentu menjadi seakan gelagapan menghadapi gelombang manusia awam yang meyakini kepakarannya. Otoritas pemahaman atas sebuah perkara tak lagi menjadi kemuliaan para pakar.
Dan dalam beberapa konteks, dinamika ini membawa dampak yang merusak. Misalnya pengaruh gerakan antivaksin yang menguat dalam dasawarsa terakhir ini menyebabkan beberapa negara bagian di Amerika Serikat dilanda wabah cacar air yang sebelumnya sudah diberantas. Begitu juga tahun 2017 di Indonesia, di mana 95 kabupaten dari 20 provinsi mencatat meningkatnya kasus difteri, dua pertiganya terjadi pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi difteri.
Dan tentu saja, dampak merusak terbesar dari Efek Dunning-Kruger dan matinya kepakaran terjadi dalam konteks agama dan politik/ideologi. Pesta demokrasi Indonesia dibanjiri kabar palsu yang disengaja untuk memengaruhi publik, dan para pengidap bias kognitif ini pun dengan percaya diri menyebarluaskannya bak pakar atau analis politik profesional.
Puncaknya adalah pertandingan saksi pakar yang hadir dalam persidangan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Hamburan pendapat atas nama agama dari para ”ahli agama” yang tidak mendalami ilmu agama menyebabkan kaum awam bertransformasi menjadi kaum yang memahami tuntunan agama secara dangkal. Sebuah contoh konyol tidak lama ini adalah foto yang viral dari Tasikmalaya: plang Dinas Sosial Kabupaten Tasikmalaya yang ditulis dengan huruf arab pegon tanpa mengikuti kaidah penulisan abjad pegon yang tepat, entah siapa pakar yang menuliskannya.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa perselisihan di dunia ini diakibatkan oleh tak mampunya kaum bodoh berhenti menanggapi hal yang tidak ia kuasai. Namun, dalam kondisi saat ini, agaknya problem ini juga disebabkan ketidakmampuan para pakar untuk memenangi pertarungan pengaruh di ruang publik.
Sejauh mana kita akan membiarkan kecenderungan ini menciptakan kerusakan- kerusakan, baik kecil maupun besar, dalam masyarakat kita? Bagaimana demokrasi menjelma dalam demokratisasi di segala lini yang dipicu teknologi informasi? Semoga para pakar yang arif bijaksana dapat segera mencerahkan kita.
Sumber: Kolom ‘Udar Rasa’ Harian Kompas edisi 6 Mei
Semua Salah Amerika dan Yahudi!
Oleh: Mohammad Pandu Pegiat Santri Gus Dur Yogyakarta
Bermula dari komentar saya atas postingan seorang kawan di status media sosialnya, kami pun terlibat diskusi kecil. Dalam postingannya, dia membagikan berita tentang meninggalnya 100 anak hafidz-hafidzah di Afghanistan akibat serangan udara sebuah helikopter. Anak-anak ini meninggal di hari bahagia kelulusannya.
Kawan saya menyayangkan para generasi penghafal al-Qur’an tersebut menjadi korban. Dia juga menyalahkan Amerika sebagai dalang penyerangan yang kemungkinan besar sudah direncakan tersebut. Amerika –menurutnya– tidak suka terhadap calon pempimpin masa depan dari generasi Qur’ani yang tangguh jiwa dan raganya. Lebih jauh lagi, barangkali Amerika memang tidak suka Islam.
Melihat kabar duka yang dibagikan sang kawan, saya turut empati sekaligus skeptis. Muncul rasa haru sekaligus pertanyaan di kepala saya: Apakah benar jumlah korban tepat di angka 100? Apakah benar Amerika menjadi tersangka utama dan satu-satunya? Apakah benar latar belakang penyerangan adalah kebencian terhadap para penghafal al-Qur’an (atau Islam)?
Sejauh perjalanan membunuh rasa penasaran itu, berbagai portal berita (nasional/internasional) yang saya baca terkait pemberitaan bahkan bertolak belakang dengan informasi yang disebarnya. Benar ada penyerangan, tapi tidak ada angka 100 pada hitungan korban. Tidak ada pula keterlibatan Amerika. Juga tidak ada indikasi kesengajaan melukai penduduk sipil, apalagi dalih “menghancurkan” Islam.
Penyerangan itu terjadi pada awal April lalu. Operasi udara yang dilancarkan militer Afghanistan ke Distrik Dashte Archi, Provinsi Kunduz ditujukan untuk menyapu kelompok Taliban yang sedang berkumpul di sana. Meski rencananya Pemerintah Afghanistan menyasar para komandan Taliban dan anak buahnya, naas saja bom yang dijatuhkan juga menimpa sebuah madrasah.
Pemerintah Afghanistan secara resmi mengakui bahwa penyerangan ini berada di bawah tanggungjawabnya. Tentu saja pihak Amerika yang berada di Afghanistan pun menyangkal keras bahwa dirinya terlibat. Terkait korban, tidak ditemukan data jumlah secara pasti, baik dari pihak Taliban maupun penduduk sipil. Sebagian besar media melaporkan jumlah korban meninggal dan terluka mencapai lebih dari 100 orang. Verifikasi data seperti ini setidaknya mencegah saya untuk berempati secara membabi buta.
Seperti kita tahu, Amerika memang menjadi sekutu pemerintah Afghanistan dalam memerangi kelompok Taliban. Sepanjang sejarahnya, negara adidaya itu juga meninggalkan jejak darah di berbagai pergolakan konflik Timur Tengah. Tapi bukan berarti kita harus secara otomatis menyalahkan Amerika ketika ada umat Islam yang menjadi korban dan langsung menuduhnya anti- Islam. Kompleksitas geopolitik di Timur Tengah tidak sesederhana itu.
Di Indonesia, Amerika hanyalah satu entitas yang sering diwaspadai dan dijadikan musuh bersama (common enemy) berbarengan dengan subjek lainnya: Asing, Aseng, Komunis, Freemason, Illuminati, dan Yahudi. Meski tidak menyeluruh, masih banyak masyarakat kita yang percaya bahwa Amerika dan kawan-kawan adalah iblis yang tak ada baik-baiknya.
Jadi jangan heran, misal ada berita tentang suatu huru-hara yang menuduh salah satu di antara musuh bersama tadi sebagai dalangnya, berita itu bisa menyebar secepat api membakar jenggot. Banyak orang langsung percaya tanpa merasa harus mengkroscek kebenarannya. Ujungnya, berita itu akan banyak dibagikan disertai dengan himbauan atau makian.
Kita ambil contoh bagaimana sentimen anti-Yahudi digulirkan di negara kita. Disulut oleh konflik Palestina dengan Israel, masyarakat Indonesia berbondongbondong memberi dukungan Palestina sebagai bangsa yang ditindas. Dukungan ini bisa atas nama kemanusiaan atau juga sentimen keagamaan.
Lebih jauh lagi, kaum Yahudi kemudian dipandang sebagai kelompok yang patut dibenci dan haram hukumnya untuk diberi ruang dalam hati kita. Yahudi juga diidentikkan dengan kelompok pembenci Islam, ingin menghancurkannya dengan cara-cara yang halus, bahkan Yahudi juga dianggap ingin menguasai dunia dengan segala konspirasinya.
Lantas, apakah benar Yahudi adalah pusat dari segala kekacauan di dunia ini? Sebagaimana banyak berita mengabarkan dan cerita konspirasi menuturkan. Baiklah, mari kita jernihkan dulu apa dan siapa itu Yahudi!
Kita harus bisa membedakan Yahudi sebagai ras, Judaisme sebagai kepercayaan, dan Zionisme sebagai ideologi politik. Orang-orang Yahudi sangat beragam, sebagaimana kita yang berasal dari kelompok masyarakat Jawa, Bali, atau Papua. Dalam menganut kepercayaan pun sama halnya, sebagian dari mereka ada yang memeluk Judaisme, Islam, Kristen, atau bahkan agnostik dan ateis.
Tidak semua orang Yahudi menganut ideologi Zionisme. Artinya, tidak semua di antara mereka percaya bahwa harus ada negara orang Yahudi di Yerusalem. Ada banyak kaum Yahudi sendiri yang menentang itu, baik mereka yang berada di Israel ataupun yang tinggal di luar Israel.
Di antaranya adalah JVP (Jewish Voice for Peace), komunitas Yahudi di Amerika yang aktif menolak berdirinya negara Israel serta mendukung kemerdekaan Palestina. Ada juga Neturei Karta, kelompok ortodoks Yahudi yang percaya bahwa mendirikan negara Israel sebelum datangnya Mesiah bertentangan dengan ajaran Judaisme.
Di Israel sendiri terdapat berbagai kelompok, salah satunya adalah Maki: Partai komunis Israel yang menentang keras pendudukan dan mendorong pembebasan Palestina. Ya, mereka ini sudah Yahudi, komunis pula, tapi malah membela Palestina matimatian. Bingung kan?
Akhir kata, saya hanya ingin menyarankan bahwa ada baiknya kita membenci apa yang kita pahami saja, pun dengan mencintai. Tidak semua yang jahat di dunia ini sama sekali tak pernah berbuat baik, tidak pula yang baik di dunia ini bersih dari perbuatan jahat. Kita dituntut adil sejak dalam pikiran, saudara-saudara.
Sumber: Islami.co
Nantikan edisi selanjutnya...