29 minute read

Gus Dur & Pancasila

gusdur pedia edisi XI | Juni 2020

Gus Dur & Pancasila

Advertisement

Daftar Isi

Kata Gus Dur: Nilai-nilai Indonesia: Apakah Keberadaannya Kini?

Tentang Gus Dur Gus Dur:Sukarno, Gus Dur, dan Komitmen Kebangsaan Kaum Nasionalis dan Agamis

Resensi: Tentang Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman

Kata Alissa: Karpet Lebran

Gusdurpedia terbit dua bulan sekali. Majalah digital ini memuat tulisan Gus Dur dan tulisan tentang Gus Dur. Dikelola oleh Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian. Majalah digital ini bebas untuk disebar dan dicetak.

ON THIS MONTH

1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan") pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal "Pancasila" pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

“Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan.” - Gus Dur

Penasehat Alissa Wahid Penanggung Jawab Jay Akhmad Pemimpin Umum Heru Prasetia Pemimpin Redaksi Sarjoko S. Redaktur Muhammad Pandu Distribusi Rifa Mufidah Layout S. Joko Email redaksi@gusdurian.net WA 0821 4123 2345 IG jaringangusdurian Twitter @gusdurians Facebook Jaringan GUSDURian, KH. Abdurrahman Wahid

Nilai-nilai Indonesia: Apakah Keberadaannya Kini?

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Pada dasarnya terdapat tiga jenis refleksi tentang apa yang dianggap sebagai karakteristik manusia Indonesia. Pada ujung yang satu kita dapati mereka, seperti Mochtar Lubis, yang menilai bangsa Indonesia dewasa ini sebagai bangsa malas, bersikap pasif di hadapan tantangan yang dibawa proses modernisasi dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu yang berarti atas prakarsa sendiri.

Mereka menyalahkan hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun dan diwarisi dari masa lampau, struktur pemerintahan yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, dan kekuatan politik begitu mutlak dari elit yang mampu memperoleh begitu banyak dari karya yang tidak sebanding artinya dengan pentingnya kedudukan yang mereka pegang.

Pandangan ini, yang dikemukakan para kritikus sosial yang menjelaskan begitu banyaknya hal-hal baik lenyap dari tangan dan jangkauan bangsa dalam tiga dasawarsa terakhir ini, merupakan introspeksi yang paling menyayat dan gaya flamboyan yang terkadang naif dari para penulis (literati) tua. Mereka harus menanggungkan derita selama perjuangan kemerdekaan sebelum 1945 dan perjuangan mempertahankannya setelah itu, dan mereka juga harus mempertahankan liberalisme pemberangusan hak-hak pribadi warga negara oleh pemerintahan langkah-langkah pertama Soekarno dalam paruh kedua tahun lima puluhan dan tahun-tahun enam puluhan.

Pandangan ini adalah cara yang tajam dan keras dari kalangan literati tua itu untuk menanamkan rasa pertanggungjawaban yang penuh atas masa depan bangsa dalam diri generasi muda. Sebagaimana diamati oleh seorang intelektual terkemuka saat ini di Jakarta, kedudukan mereka sebagai kritikus sosial menuntut dari mereka kesediaan untuk mengemukakan penyakit-penyakit utama dalam kehidupan bangsa dalam ungkapan setajam mungkin. Tanpa kemampuan melakukan hal itu, mereka akan kehilangan relevansi dalam kehidupan intelektual bangsa.

Idealisasi Nilai-Nilai Luhur

Di ujung lain dari spektrum pandangan yang ada, sikap sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa meletakkan kesemua nilai itu pada kedudukan yang sangat diagungkan sebagai prinsip pengarah yang telah membawa bangsa pada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya harus akan membawa bangsa kepada upaya tak berkeputusan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Prinsip-prinsip itu mengambil bentuk "sikap bijaksana" seperti "keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan", kesediaan berkorban untuk mengorbankan kepentingan sendiri untuk kepentingan orang lain, melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing pamrih, rame ing gawe), kesabaran di hadapan kesulitan dan penderitaan, dan seterusnya. Karena adanya sikap yang demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa pencinta perdamaian, sopan kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada akibat-akibat koruptif dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang kaya dengan retleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangun masyarakat yang adil bagi masa depan. Walau pun bertentangan satu sama lain, semua nilai di atas kini menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang terkenal itu.

Idealisasi sering kekanak-kanakan atas "nilai-nilai luhur bangsa" ini tak terhindarkan lagi berbenturan dengan pengamatan kritikus-kritikus sosial seperti Adnan Buyung Nasution, Sutan Takdir Alisjahbana, J.B. Mangunwijaya, M.A.W Brouwer dan Mahbub Djunaedi. Penggambaran yang sering satiris dan parodi mengiris yang mereka ungkapkan

Manusia hanyalah mampu bersabar secara pasif di hadapan rezim-rezim tidak demokratis yang datang secara berurutan, tanpa mampu menumbuhkan keberanian moral yang dibutuhkan untuk mempertahankan hak-hak asasi mereka yang paling mendasar.

mempertanyakan validitas klaim begitu tinggi akan kejujuran sebagai "nilai bangsa" di hadapan kenyataan akan meluasnya korupsi endemik dalam hampir setiap lapisan masyarakat.

Atau kesatriaan di hadapan penderitaan kalau diingat mayoritas bangsa, terutanra kaum intelektualnya, tidak mau mempertahankan dan membela warga negara tak bersalah dari penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan bahkan dibunuh secara kolektif, seperti terjadi dalam pergolakan sosial yang dahsyat segera setelah "percobaan penggulingan kekuasaan oleh kaum komunis tahun 1965". Manusia hanyalah mampu bersabar secara pasif di hadapan rezim-rezim tidak demokratis yang datang secara berurutan, tanpa mampu menumbuhkan keberanian moral yang dibutuhkan untuk mempertahankan hak-hak asasi mereka yang paling mendasar.

Mereka yang sibuk dengan upaya mendudukkan "nilai-nilai luhur bangsa" pada tempat yang agung menjawab serangan di atas dengan jalan menunjukkan kemampuan bangsa untuk mengatasi tantangan paling dasar terhadap kehidupannya, dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan separatis dan bahkan pertentangan intern yang tajam di lingkungan kelompok yang memerintah, tanpa kehilangan sedikitpun kerukunannya dan solidaritas sosial yang menjadi landasan kehidupannya. Manusia Indonesia tetap berhasil mempertahankan cara hidup mereka, apapun tantangan yang mereka hadapi dan penderitaan yang mereka alami dalam kehidupan.

Adakah bukti lebih konkret akan kesatriaan mereka dari kenyataan adanya "nilai paling Indonesia" di antara semua "nilai-nilai luhur bangsa", mereka mampu bangkit dari kegagalan dan kehancuran tanpa kegetiran dan kepahitan sikap terhadap kehidupan itu sendiri? Kalau sikap seperti itu dianggap manusia Indonesia sebagai bangsa melempem, apa boleh buat! Catatan sejarah telah menunjukkan manusia Indonesia mampu menjadi orang-orang revolusioner dalam sekejap mata, kalau mereka ingin. Tetapi manusia Indonesia sebagai bangsa cukup bersabar untuk menumbuhkan pendekatan gradual mereka sendiri untuk mengangkat derajat mereka dari belenggu sejarah.

Pada gilirannya, para kritikus sosial dapat mengemukakan argumentasi bahwa kejadian pembunuhan tak manusiawi atas diri orang atau kelompok tak bersalah di kala ada ledakan kemarahan berumur pendek yang terjadi dalam urutan waktu yang teratur menunjukkan bahwa kegetiran dan kepahitan menguasai jiwa bangsa, dikembangkan oleh watak terkenal manusia Indonesia untuk tersenyum

dengan sopan sambil membenci sepenuh hati dan dilindungi oleh kecenderungan manusia Indonesia untuk lempar batu sembunyi tangan. Tetapi tugas tulisan ini hanya untuk menunjuk kepada dua ujung berlawanan dalam pandangan atas karakteristik bangsa, bukannya terlibat terlalu jauh dalam pertengkaran mereka.

Pandangan Kaum Akademisi

Pandangan ketiga, yang tumbuh di kalangan akademis dan berbentuk pendekatan beragama dalam melihat barang yang sama, tidak mengikuti baik metode penyesalan diri sendiri yang digunakan para kritikus sosial maupun pandangan berkebalikan untuk mengidealisir sejumlah nilai sebagai "nilai-nilai luhur bangsa." Menurut pendapat ketiga ini, kita harus mengikuti pembuktian yang diikuti oleh kajian empiris yang dilakukan para sarjana berbagai disiplin ilmu. Dalam melakukan hasil pembuktian itu, para akademisi itu terpecah menjadi dua kelompok utama.

Pertama, mereka yang menunjuk, sesuai dengan premis-premis antropologis dan yang sebangsanya, kepada kenyatan bahwa sejumlah orientasi tertentu (biasanya mengambil bentuk sebuah nilai-nilai tradisional seperti ketundukan kepada cara hidup priayi keraton) ternyata menghadap kepada sikap-sikap dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengambi] inisiatif mengatasi tantangan menghadapi modernisasi. Contoh Prof. Koentjaraningrat, yang menekankan kenyataan mentalitas priayi sebagai penghambat pembangunan, menunjukkan baik kekuatan maupun kelemahan pendekatan ini.

Kekuatannya terletak dalam kenyataan bahwa, pemusatan pada sejumlah nilai atau orientasi, umumnya dengan menggunakan teknik-teknik yang dikembangkan mula-mula oleh para peneliti seperti Clyde Kluckhohn untuk identifikasi skala orientasi kehidupan sekelompok manusia (persepsi mereka tentang penggunaan waktu, nasib dan sebagainya), pengukuran tepat atas nilainilai atau orientasi tersebut dapat diperoleh dengan cara objektif. Lebih jauh lagi, banyak sekali pengertian objektif, umumnya dengan cara yang salah tetapi dianggap ilmiah, akan kekuatan-kekuatan yang bekerja untuk menyumbangkan sesuatu kepada nilainilai dan orientasi di atas, dengan hasil yang berbeda-beda di kalangan masyarakat yang beraneka warna di lokasi penelitian yang berlainan.

Tetapi pendekatan seperti ini untuk menggali pokok persoalan seringkali menghasilkan sesuatu yang menghindari pertanyaan pokoknya, yakni apabila konflik yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi pembangunan? Keterbatasan ini timbul dari kenyataan bahwa pendekatan di atas cenderung untuk memperlakukan semua nilai dan orientasi sebagai sesuatu yang harus dibeda-bedakan dan akhirnya dipisah-pisahkan dari faktor kehidupan yang lain, guna memungkinkan para pengamat mengidentifikasi dalam pengertian paling jelas unsur-unsur yang membentuk nilai dan orientasi itu sendiri, karakteristiknya dan seterusnya. Karena keterbatasan itulah lalu berkembang sebuah pendekatan lain di

kalangan para ilmuwan sosial belakangan ini, yang berusaha memahami hubungan antara nilai dan faktor-faktor lain dalam kehidupan secara lebih koheren. Pendekatan ini mulai dengan anggapan bahwa pada dasarnya tak ada kelompok atau orientasi bersikap negatif terhadap perubahan. Dalam lingkungan orisinalnya semula, orientasi setiap kelompok manusia menyediakan cara untuk menyerap dan mencemakan kebutuhan akan perubahan, untuk kemudian diberikan responsi yang sehat oleh kelompok itu sendiri.

Pendekatan ini tidak hanya memungkinkan para peneliti untuk mengenal cara-cara yang dikembangkan oleh berbagai masyarakat dalam menghadapi tantangan modernisasi belaka, tetapi juga untuk mengamati bagaimana lapisan-lapisan (layers) responsi suatu masyarakat membentuk suatu tema persambungan (continuity) yang dibutuhkan masyarakat itu untuk memodernisir diri tanpa kehilangan dasar-dasar kehidupan yang dianutnya. Sebuah kajian belakangan ini atas orientasi sosial-budaya empat masyarakat di Jawa menunjukkan bahwa sikap-sikap yang diambil untuk meminimalisir apa yang dirumuskan sebagai "akibat-akibat negatif pembangunan" ternyata mengambil bentuk melestarikan satu atau dua aspek orientasi yang lama, tanpa keraguan sedikitpun untuk "membuang" sisanya, guna memberikan peluang kepada nilainilai baru yang lebih peka terhadap modernisasi dalam artiannya yang penuh. Upaya melestarikan "cagar-cagar sosial-budaya" ini, sebuah analogi atas tanah-tanah reservasi suku bangsa Indian di Amerika Serikat, muncul dalam berbagai bentuk, yaitu penegasan kembali beberapa tradisi sosial-keagamaan, kesediaan untuk lebih menggunakan bahasa daerah melebihi bahasa nasional, kesediaan pekerja dalam hierarki ekonomis dan tradisi yang ada, dan seterusnya.

"Kebangsaan Modern”

Setelah melakukan tinjauan sepintas atas jenis-jenis utama refleksi tentang karakteristik bangsa, kita dapat lebih jauh melakukan pengamatan atas apa yang menurut penulis membentuk nilainilai yang membedakan manusia Indonesia dari manusia-manusia yang lain. la bukan dalam pengertian manusia memegang monopoli dan hak eksklusif atas nilai-nilai tersebut, tetapi dalam pengertian cara-cara yang digunakan untuk memanipulir, dan bahkan terkadang menyalahgunakan nilai-nilai itu di hadapan faktor-faktor modernisasi. Tetapi sebuah aspek lain yang sangat penting guna memahami penumbuhan "bentuk terakhir" rasa menjadi "bangsa modern" haruslah diberi perhatian, sebelum kita dapat melangkah lebih jauh dalam makalah ini.

Secara historis, rasa "kebangsaan modern" berkembang sejak akhir abad yang lalu dan awal abad ini di kalangan dua kelompok yang sama sekali berbeda, apa yang dinarnai "organisasi pemuda daerah" dan "gerakan Islam". Organisasi-organisasi seperti Jong Sumatra Bond dan gerakan Boedi Oetomo di Jawa menyediakan jalur unik bagi pengembangan rasa "kebangsaan modern" itu. Di pihak

lain, gerakan-gerakan Islam di waktu itu telah berhasil untuk mencapai sebuah rasa solidaritas yang tak dapat lagi dibatasi pada sebuah daerah saja.

Setelah beberapa abad penyebaran agama mereka di antara penduduk bermacam-macam di daerah yang berbeda-beda, yang menghasilkan penggunaan huruf Arab dalam penulisan bahasa lokal di kalangan lapisan masyarakat yang dapat membaca, di luar lingkungan terbatas keraton Jawa, di samping gerakan-gerakan tarekat yang lebih kurang berwatak nasional karena tersebar melampaui perbatasan administratif dan politis kerajaankerajaan yang ada, sudah wajar kalau berkembang rasa "kebangsaan modern" di kalangan gerakan Islam. Kenyataan di atas, menjelaskan mengapa gerakan keagamaan seperti Serikat Islam tersebar begitu cepat dan luas, sehingga menjadi gerakan pertama yang benarbenar berwatak "nasional".

Perkumpulan-perkumpulan pemuda daerah adalah hasil langsung dan upaya mendidik anak-anak para bangsawan lokal dan pejabat pemerintahan dari semua daerah dan mengirimkan mereka ke kota-kota besar di Jawa untuk jarak waktu cukup lama. Para siswa belia itu segera merasakan kebutuhan untuk mendirikan perkumpulan menurut pengelompokan daerah, bukan lokal masing-masing. Demikianlah, pemudapemuda Aceh, Batak, Minangkabau, Bengkulu dan Sumatra Selatan merasakan kebutuhan untuk dikenal sebagai "Pemuda Sumatra". Bermula dari ikatan primodial sebagai sesama warga sebuah daerah yang sama dan dari tujuan sederhana memiliki perkumpulan untuk tempat berkumpul bulanan dan wadah untuk saling membantu di kala kesulitan, perkumpulan-perkumpulan itu segera berkembang menjadi sesuatu yang lain.

Bagaimana primordialnya sekalipun watak mereka pada permulaan, dengan segera raisons d'etre yang lebih rasional terasa dibutuhkan oleh para pendiri perkumpulan–perkumpulan itu. Mereka harus mencari pembenaran bagi bantuan keuangan, atau bahkan hanya memperoleh izin berorganisasi, untuk perkumpulan yang mereka dirikan. Kebutuhan akan tujuan yang lebih rasional dari hanya berorganisasi sekadar untuk berorganisasi saja akhirnya membawa sesuatu yang lain dalam pandangan hidup mereka, sebuah rasa memiliki dunia lebih luas dari dunia mereka semula, yang dibatasi oleh lokalitas orang tua mereka.

Kenyataan di atas, menjelaskan mengapa gerakan keagamaan seperti Serikat Islam tersebar begitu cepat dan luas, sehingga menjadi gerakan pertama yang benar-benar berwatak "nasional".

Gus Dur &Pancasila

Secara psikologis, rasa memiliki dunia yang lebih luas dari dunia mereka semula ini juga membawakan sebuah hal lain, yaitu pelarian dari tugas mendefinisikan hubungan masingmasing dengan dunia semula dengan cara hidupnya yang spesifik. Pandangan hidup dan orientasi yang telah berubah di kalangan siswa-siswi belia itu memaksakan sebuah proses penuh kesakitan untuk melakukan pilihan antara ketundukan kepada cara hidup tradisional yang sudah tak dapat mereka terima lagi, dengan tatacaranya mencekik dan peranan seremonial yang membosankan di satu pihak dan kesadaran kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat diperoleh dengan mengikuti pola kehidupan modern di pihak lain.

Para siswa daerah itu menemukan pemecahan bagi persoalan mereka dengan cara mudah untuk menggantikan kesetiaan semula dengan kesetiaan kepada entitas kemasyarakatan yang baru, seperti kesetiaan kepada masyarakat Sumatera sebagai pengganti kesetiaan semula kepada lokalitas masing-masing. Dengan menjadi pemuda Sumatera, seorang siswa Minangkabau dapat menghindari tuntutan untuk mendefinisikan rasa keterikatan kepada sebuah "dunia Minangkabau". Dalam pengertian ini, keberadaannya sebagai seorang pemuda Sumatera memungkinkannya untuk tetap menjadi seorang Minangkabau yang baik, tanpa membuatnya harus mempertanyakan validitas banyak aspek dan praktek kehidupan Minangkabau yang tidak sesuai dengan hati nuraninya.

Perspektif yang sama dapat juga diterapkan pada kasus gerakan-gerakan Islam sejak perempat pertama abad ini, terutama Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Solo sekitar tahun 1905 dan Serikat Islam di bawah Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Dengan mengembangkan identitas baru, yang akhirnya berujung pada pencarian sebuah rasa kebangsaan yang baru bagi semua suku bangsa yang ada, para muslim yang taat (santri) itu menggantikan kebutuhan merumuskan posisi mereka sendiri dalam kaitan dengan tradisionalisme agama mereka sendiri, dengan rasa menjadi muslim baru, sebuah pertukaran yang dapat disifati sekarang ini sebagai pembaharuan tanpa terputusnya ikatan dengan masa lampau.

Hal inilah yang menyebabkan mengapa Serikat Islam segera dihadapkan kepada kesulitan-kesulitan interen dalam mengembangkan identitas diri ketika anggota-anggota Muhammadiyah, sebuah gerakan pembaharuan total yang memutuskan sama sekali ikatan-ikatan dengan masa lampau kaum muslimin di kepulauan Nusantara, memasuki keanggotaannya (atau lebih tepatnya, ketika banyak anggota Serikat Islam juga menjadi anggota Muhammadiyah).

Pengembaraan rohani dari dunia lama ke dunia baru inilah, dengan lanskap dan perbatasan yang belum jelas, yang membawakan kebutuhan untuk mengembangkan nilai-nilai dan orientasi baru, bahkan pemikiranpemikiran sosial dan ideologi politik yang baru. Demikianlah terjadinya

pemunculan spektrum begitu luas dalam pemikiran sosial dan ideologi politik di kalangan gerakan Islam dan perkumpulan pemuda daerah di tahuntahun 1930-an. Juga munculnya komunitas orang dari kalangan anggota gerakan-gerakan Islam seperti Serikat Islam, hal yang tidak mungkin terjadi belakangan di kalangan organisasi tersebut,ketika pengembaraan rohani itu berakhir pada pemukiman-pemukiman tetap yang bernama kelompokkelompok politik dalam wilayah Republik Indonesia.

Dilihat dari perspektif ini dapat dimengerti masih terdapatnya kekaburan tentang apa yang merupakan nilai-nilai yang membentuk karakteristik bangsa ini. Rasa menjadi sebuah bangsa, lahir dari kebutuhan mencari alternatif bagi kewajiban tidak menyenangkan untuk merumuskan hubungan masing-masing dengan dunia semula, membawakan unsur kesementaraan (transitory element) yang kuat ke dalam kehidupan bangsa hingga saat ini, tiga perempat abad setelah munculnya getaran rasa kebangsaan yang baru dan tiga puluh lima tahun setelah kemerdekaan bangsa diproklamirkan dalam tahun 1945.

Sejauh dilihat dan dipahami penulis, yang "paling Indonesia" di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau. Kita dapat saja menamainya sebagai pencarian harmoni, walaupun dengan begitu bersikap tidak adil terhadap pencarian besar dengan peranan dinamisnya dalam pengembangan cara hidup bangsa dan menyalurkannya ke jalan baru tanpa menghancurkan jalan lama, semuanya dalam proses yang berurutan.

Nilai-nilai lain yang bersumber pada pencarian ini, atau yang dikembangkan untuk menunjangnya, dengan demikian merupakan gugusan terbesar nilai-nilai Indonesia dewasa ini, berupa solidaritas sosial yang didasarkan pada rasa kebangsaan tanpa mengucilkan getaran rasa impulsif untuk mengutamakan kelompok-kelompok yang lebih sempit (kesetiaan suku dan seterusnya); nilai-nilai yang menampilkan watak kosmopolitan, yang masih diimbangi oleh rasa keagamaan yang kuat; kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan kembali masyarakat (social engineering) berlingkup luas, tetapi dengan kendala sikap rendah hati yang timbul dari kesadaran akan kekuatan dasar masyarakat tradisional untuk mempertahankan keutuhan diri di masa perubahan yang berlangsung secara cepat dan di hadapan tantangan dramatis terhadap keberadaan mereka sendiri; ad infinitum.

Diambil dari Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010). Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Prisma (LP3ES).

..... yang "paling Indonesia" di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.

Sukarno, Gus Dur dan Komitmen Kebangsaan Kaum Nasionalis dan Agamais

Oleh: Ahmad Zainul Hamdi

Sejak era kemerdekaan, masih saja, ada beberapa kelompok dari masyarakat kita yang tidak bisa menerima negara ini, Indonesia, secara utuh. Terutama mereka yang lebih menginginkan terbentuknya negara yang berlandaskan ajaran satu agama, Islam. Tentu hal ini melahirkan penolakan-penolakan terhadap aspek fundamental yang menjadi bagian penting atas berdirinya negara Indonesia. Salah satunya ialah penolakannya terhadap Pancasila sebagai ideologi negara.

Apa yang kita peringati setiap tahun sebagai hari lahirnya Pancasila, 1 Juni, adalah sebuah peristiwa saat Sukarno menyampaikan pidatonya yang berisi lima prinsip bagi Indonesia Merdeka pada sidang BPUPKI, (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemedekaan indonesia) di tahun 1945. Itu berarti dua setengah bulan sebelum dia dan M. Hatta mengatasnama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Sukarno sadar betul bahwa nasionalisme akan mudah terjebak ke dalam chauvinisme jika tidak dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan universal.

Di tengah maraknya kelompokkelompok yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi negara (Misal, Survei The Wahid Foundation pada Mei 2016 kepada 1.626 orang siswa peserta Perkemahan Rohis, ditemukan bahwa 37 persen sangat setuju dan 41 persen setuju Indonesia menjadi negara Islam dengan membentuk kekhalifahan), menjadi penting untuk menggali pemikiran Sukarno tentang (embrio) Pancasila.

Ada lima prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pasca-kemerdekaan: Kebangsaan Indonesia; internasionalisme atau perikemanusiaan; mufakat atau demokrasi; kesejahteraan sosial; dan ketuhanan. Kebangsaan Indonesia adalah titik berangkat Sukarno dalam mengembangkan prinsip-prinsip berikutnya.

Di dalam tulisannya yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, dia menyitir pendapat Ernest Renan bahwa yang disebut sebagai bangsa bukan merujuk pada jenis ras, bahasa, atau agama, tapi satu asas persatuan yang dibangun di atas dua hal: memiliki latar belakang nasib yang sama dan memiliki tujuan yang sama.

Sukarno sadar betul bahwa nasionalisme akan mudah terjebak ke dalam chauvinisme jika tidak dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu, prinsip kedua yang menyusuli secara langsung prinsip nasionalisme adalah prinsip internasionalisme. Istilah ‘internasionalisme’ di sini diartikan sebagai kekeluargaan bangsa-bangsa. Dalam pidatonya, Soekarno menjelaskan: “Kita bukan sadja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saja jang kedua. Inilah filosofisch prinsipe jang nomor dua, yang saja usulkan pada Tuan-Tuan, jang boleh saja namakan internasionalisme.”

Sukarno mengutip Mahatma Gandi yang menyatakan bahwa “Saya seorang nasionalis, tapi kebangsaan saya adalah kemanusiaan (my nationalism is humanity)”. Pandangan Gandi ini telah jauh-jauh hari diterima oleh Sukarno.

Dalam salah satu tulisannya yang terbit di Koran Suluh Indonesia Muda, 1928, Sukarno mengutip Gandi: “Buat saja maka tjinta saja pada tanah air itu, masuklah dalam tjinta segala manusia. Saja ini seorang patriot, oleh karena saja manusia dan bertjara manusia, saja tidak mengetjualikan siapa djuga.” Dengan semangat ini, Gandi sanggup mempersatukan Islam, Hindu, Parsi, dan Sikh dalam perlawanan terhadap penjajahan Inggris di India.

Adalah menarik, mengapa Sukarno tidak menggunakan istilah ‘humanisme’, tapi ‘internasionalisme’. Dalam tulisan di atas jelas sekali apa maksud dari istilah ini. Istilah internasionalisme bisa berorientasi kepada humanisme universval, dalam arti bahwa nasionalisme Indonesia tidak boleh menghalanginya pada persaudaraan bangsa-bangsa. Namun istilah itu juga merujuk pada dua kelompok nasionalis Indonesia yang perjuangannya berorientasi melampaui nasionalisme, yaitu kelompok Islamis dan Marxis.

Sukarno bertanya apakah dalam konteks perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan kelompok nasionalis bisa bersatu dengan kelompok Islamis yang tidak mengenal batas bangsa dan Marxis yang perjuangannya berorientasi internasional? Dia menjawab, “Ya”. Mengapa? Karena seluruh orang yang berada dalam tiga kelompok itu sebetulnya terikat dalam satu perasaan kesejaharahan bersama dan memiliki mimpi yang sama, yaitu Indonesia merdeka.

Ia kembali kepada Renant bahwa hakekat bangsa sesungguhnya adalah perasaan senasib sehingga terikat dalam perasaan satu kelompok; dan kelompok ini memiliki cita-cita bersama, tidak peduli ras, bahasa, dan agamanya.

Tulisan tahun 1928 ini kemudian muncul sangat nyata pada prinsip ketiga yang ditawarkannya, yaitu demokrasi atau permusyawaratan-perwakilan. Sukarno menjelaskan seperti ini: “Kemudia apa dasar jang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusjawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaja. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, satu buat semua, semua buat satu.”

Kita tahu bahwa Pancasila yang diusulkan Sukarno sebagai basis persatuan kehidupan bangsa Indonesia terus mengalami perdebatan. Perdebatan ini memuncak dalam Sidang Konstituate 1957-1959 sebelum pada akhirnya dikeluarkan Dekrit Presiden untuk mengakhiri perdebatan itu.

Saat Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin, Sukarno merealisasikan mimpinya tentang persatuan Indonesia yang mampu mengikat tiga kelompok itu dalam Nasakom (Nasionais-Agama-Komunis). Nasakom adalah mimpi Sukarno muda tentang bersatunya kelompok nasionalis, Islamis, dan Marxis dalam tubuh Indonesia Merdeka. NU yang dalam skema Nasakom mewakili kaum agama, sejak itu dituduh oleh banyak pihak sebagai kelompok yang berpolitik secara pragmatis.

Menarik sekali jika kita mengamati perjalanan Pancasila ini. Ketika Indonesia memasuki era Orde Baru, salah satu PR politik yang mengganjal penguasa waktu itu adalah penerimaan pancasila sebagai satu-satunya ideologi berbangsa dan bernegara, terutama dari kelompokkelompok Islam. Saat hampir semua Ormas Islam menolak Pancasila sebagai asas tunggal, NU dibawah kepemimpinan K.H. Achmad Siddiq (Rais Am Syuriah PBNU) dan K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Keua

Umum PBNU) yang terpilih pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 menerima penuh Pancasila sebagai asas tunggal.

Dalam dokumen Khittah Nahdliyyah dinyatakan dengan tegas, “Setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.” Sekeras apapun Gus Dur mengkritik otoritarisime Orde Baru saat itu, dia sama sekali tidak kehilangan arah terkait dengan sikapnya terhadap Pancasila.

Di tahun 90-an, Gus Dur dengan sangat tegas menyatakan: “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi umat Islam.”

Mengapa sebegitu kuatnya Gus Dur mempertahankan Pancasila? Jawabannya adalah karena Pancasila-lah yang memastikan kita akan tetap utuh sebagai bangsa. Pada 4 Februari 1994, Gus Dur menerbitkan artikelnya di Kompas yang berjudul “Individu, Negara, dan Ideologi.” Artikel ini sangat panjang untuk ukuran sebuah artikel koran. Di dalamnya dia menyoroti dengan sangat tajam praktik manipulasi Pancasila oleh rezim otoriter Orde Baru. Sekalipun demikian, di salah satu pargrafnya, dia menyatakan dengan tegas: “Kedudukan ideologi yang berlingkup nasional seperti itu, termasuk di dalamya Pancasila sebagai ‘ideologi nasional’ bangsa kita menjadi sangat sentral dalam kehidupan bangsa dan negara. Ia merupakan ikatan formal yang diturunkan baik dari Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-undang Dasar….”.

Suatu ketika di era pasca-Reformasi, di sebuah forum seminar di Jakarta, Bondan Gunawan (alm), seorang Soekarnois sejati dan sahabat Gus Dur, pernah menyatakan, mengapa ia yang seorang nasionalis-Sukarnois menjadi pengikut setia Gus Dur? Menurutnya, hal itu karena Gus Dur adalah seorang nasionalis sejati yang sanggup memberi roh religius-universal terhadap nasionalisme.

Nasionalisme adalah semangat kebangsaan yang merangkum segala keragaman di dalamnya. Sekalipun demikian, nasionalisme tidak boleh terjebak dalam pengungulan bangsa (chauvinisme) yang karena itu, ia harus tetap tertambat dalam persaudaraan kemanusiaan universal. Kita boleh membangun persaudaraan berdasarkan etnis atau agama, namun kita juga diikat dalam persaudaraan kebangsaan, dan kemanusiaan. [MZ]

Sumber: https://arrahim.id/azh/sukarno-gusdur-dan-komitmen-kebangsaan-kaumnasionalis-dan-agamais/

Nasionalisme adalah semangat kebangsaan yang merangkum segala keragaman di dalamnya. Sekalipun demikian, nasionalisme tidak boleh terjebak dalam pengungulan bangsa (chauvinisme) yang karena itu, ia harus tetap tertambat dalam persaudaraan kemanusiaan universal.

Gus Dur & Deklarasi NU Soal Hubungan Pancasila dengan Islam

Oleh: KH. Ahmad Mustofa Bisri

Saat membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983, ada 3 Sub Komisi Khitthah yang masingmasing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer; Drs. Zamroni, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – rahimahumullah.

Gus Dur waktu itu memimpin SubKomisi Deklarasi yang membahas tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Dan Deklarasi di bawah inilah hasilnya:

Bismillahirrahmanirrahim Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M

Rapat untuk merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali. Pimpinan (KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca Al-Fatihah. Lalu mengusulkan bagaimana kalau masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi—dr. Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera; KH. Zarkawi dari Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang—berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam Deklarasi.

Setelah semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: “Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan?” Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.

Kiai. Kun Solahuddin yang diutus Kiai. As’ad Samsul Arifin untuk ‘mengamati’ rapat, kemudian melapor ke Kiai. As’ad. Ketika kembali menemui Pimpinan dan para anggota Sub Komisi, Kiai. Kun mengatakan bahwa Kiai. As’ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan Kiai. As’ad. Hasilnya ialah Deklarasi di atas.

Yang masih menyisakan tanda tanya di benak saya selaku ‘saksi sejarah’, bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi, dan kelimanya–termasuk saya–merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah “membaca” masing-masing pribadi kami dan karenanya sudah tahu apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang –padahal– pada saat berbicara, Gus Dur tidur. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.gusdurfiles.com/2017/04/gus-durdan-kisah-deklarasi-nu-soal.html

Yang masih menyisakan tanda tanya di benak saya selaku ‘saksi sejarah’, bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi, dan kelimanya–termasuk saya–merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing.

Tentang Gus Dur dan Negara Pancasila

Oleh: Widiono

Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit : Gus Dur dan Negara Pancasila : Nur Khalik Ridwan : Tanah Air, Yogyakarta : September 2010

Buku “Gus Dur dan Negara Pancasila” ini membuktikan keberanian moral dari seorang “guru bangsa” – Gus Dur – demi mempertahankan pendirian dan keyakinannya terhadap Pancasila. Penerbitnya – di dukung oleh sejumlah aktivis muda NU yang bergairah dan tak perlu diragukan militansinya sebagai penjaga garis belakang warisan pemikiran Gus Dur soal kedudukan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sorotan lampu kamera Kang Nur Khalik diarahkan pada pandangan Gus Dur tentang pentingnya mempertahankan ideologi Pancasila sebagai falsafah negara. Keutuhan, pelacakan yang sangat intens, dan kevalidan data dalam mengkaji pandangan Gus Dur – lebih khusus – soal Pancasila menjadi suatu keunggulan tersendiri.

Pernyataan Gus Dur yang juga menjadi kutipan dalam tulisan Kang Nur Khalik – “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya.

Pernyataan Gus Dur yang juga menjadi kutipan dalam tulisan Kang Nur Khalik – “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi umat Islam.” Seolah menjadi salah satu bukti konkret Gus Dur semasa hidup sampai akhir hayat, perjuangan dan komitmennya tercurahkan pada Pancasila.

Gus Dur sangat mahfum Pancasila sebagai dasar negara dalam perjalanan historis Indonesia banyak menuai polemik dan perdebatan antara kelompok yang pro dan kelompok yang kontra terhadap Pancasila. Gus Dur juga mengakui polemik dan perdebatan tersebut mampu menimbulkan ketegangan. Namun ketegangan itu disebutnya sebagai “ketegangan kreatif” yakni, sikap kelapangan dada dan toleransi dalam lalu lintas kebangsaan yang kreatif serta mampu memajukan dan mengembangkan kualitas bangsa Indonesia.

Menurut Gus Dur, Pancasila bukan merupakan persoalan unik dan hanya di Indonesia. Di banyak negara pun, untuk merumuskan dan memantapkan dasar negara ada yang mengambil jalan dialog terbuka dan dialog dengan proses tawarmenawar yang sepi (silent bargainings). Di Indonesia yang terjadi adalah dengan silent bargainings pada kelompok elit. Alternatif yang diinginkan Gus Dur terkait ketegangan kreatif dalam merumuskan dan memantapkan Pancasila sebagai dasar negara ialah sebuah kelapangan dada dan toleransi sampai batas-batas tertentu dimana setiap kelompok tidak ada yang merasa ada konsesi berlebihan.

Paling layak disorot dan dijadikan bahan introspeksi adalah sejarah Indonesia di masa rezim Orde Baru, dengan Demokrasi berlabel Pancasilanya. Di sini tampak keluwesan Gus Dur dalam memandang Demokrasi. Gus Dur menyebutkan – Demokrasi itu politik yang nggak berhenti berkembang, penuh dinamika dan nggak ada demokrasi yang layak dan cocok. Tetapi yang terpenting harus setia dengan cita-cita ideal kita yakni bebas berbicara, berpendapat, dan berbeda pendapat.

Di samping itu, tampak juga ketegasan dan komitmen Gus Dur dalam

membela Pancasila. Pancasila, menurut Gus Dur, sangat mungkin diselewengkan dan disalahtafsirkan oleh kelompok tertentu. Persoalannya singkatnya begini: Di kalangan pemerintah pada rezim Orde Baru mengartikan demokrasi sebagai kelembagaan seperti lembaga perwakilan tetapi pihak lain berbicara soal perilaku demokrasi. Bukti ketegasan Gus Dur – selalu mengajak kembali pada Pancasila dan UUD 1945, bahkan Gus Dur berani mempertaruhkan nyawa untuk Pancasila.

Peristiwa rezim Orde Baru terulang kembali saat ini dalam proses demokrasi Indonesia. Demokrasi kembali dikebiri dan ditafsirkan sebagai kelembagaan seperti lembaga perwakilan rakyat (DPR) oleh para kelompok elit. Banyak pendapat pakar yang sangat akademis dan bahkan cenderung sulit dicerna. Padahal Gus Dur sudah mengajarkan kepada kita untuk kembali pada Pancasila. Pertanyaannya, siapa yang berani mempertaruhkan nyawa seperti Gus Dur demi membela Pancasila?

Uraian-uraian selebihnya pada buku ini mencerminkan variasi pandangan dan sikap menolak yang ‘diungkapkan’ Gus Dur. Dan yang sangat menarik adalah Kang Nur Khalik mensarikan cita-cita Gus Dur yang masih harus dilanjutkan. Terakhir dari hemat penulis, para kelompok penguasa, pemerintah, dan segenap rakyat Indonesia ada baiknya kembali pada warisan dan pandangan Gus Dur.

Sumber: http://santrigusdur.com/2015/02/menolak-lupagus-dur-dan-pancasila/amp/

Pancasila, menurut Gus Dur, sangat mungkin diselewengkan dan disalahtafsirkan oleh kelompok tertentu.

Karpet Lebaran

Oleh: Alissa Wahid

Menjelang Idul Fitri tahun 2001, Presiden Gus Dur menerima laporan tentang persiapan Istana Merdeka untuk melaksanakan open house seperti tahun sebelumnya. Kali ini ada yang berbeda. Penulis buku Presiden Gus Dur: The Untold Story (2014), Priyo Sambada, menuturkan bagaimana protokol Istana merencanakan Presiden dan Ibu Negara akan menerima rakyat di teras Istana, tidak di Ruang Kredensial Istana Merdeka yang biasa digunakan untuk berbagai acara resmi Presiden seperti menerima kredensial duta besar negara sahabat, foto bersama tamu negara, dan acara formal lain.

Bangsa kita agaknya masih belum sepenuhnya move on dari mental set feodalistik. Pemimpin dan elite politik masih sering dipandang sebagai penguasa negara dan bangsa dengan kewenangan penuh atas bumi dan segala isinya.

Protokol Istana memberikan alasan bahwa ini dilakukan untuk menjaga karpet Istana yang belum lama diganti. Diperkirakan ribuan rakyat akan memanfaatkan momentum open house Lebaran untuk menginjakkan kakinya di Istana.

Ribuan rakyat berbaris dan bergerak dalam satu jalur tentu akan menciptakan alur jejak khas di karpet batu. Pendek kata, akan merusak karpet baru seharga miliaran rupiah tersebut. Bagi protokol Istana, kerusakan itu adalah sesuatu yang tak boleh terjadi. Harus diatur agar rakyat bisa dicegah dari karpet Istana yang mulia itu.

Mendengar alasan tersebut, Presiden Gus Dur pun sempat naik darah dan berkata, "Memangnya kenapa kalau rakyat merusak karpet ini? Ini dibeli dengan uang rakyat, karpet ini milik rakyat, hak mereka untuk menginjak karpet ini!”

Alhasil, dalam open house Idul Fitri tahun tersebut, rakyat tetap diterima di ruang paling terhormat di Istana Merdeka. Prediksi protokol Istana pun terbukti: di karpet baru tertinggal jejak menjalur dari ribuan pasang kakir akyat yang ingin bersilaturahmi dengan pemimpinnya. Yang berbeda hanya pemaknaan dari jejak tersebut, yang merupakan buah dari sudut pandang mendasar dan keberpihakan. Pada rakyat atau pada elite penguasanya.

Bangsa kita agaknya masih belum sepenuhnya move on dari mental set feodalistik. Pemimpin dan elite politik masih sering dipandang sebagai penguasa negara dan bangsa dengan kewenangan penuh atas bumi dan segala isinya. Akibatnya, rakyat kehilangan daya kritis untuk menempatkan dirinya dalam perspekif dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Masih banyak warga yang dipandang dan memandang dirinya sendiri sebagai kelompok yang harus melayani pemimpin dan elite politik, bukan sebaliknya.

Sebagai contoh, mental set feodalistik ini juga berdampak pada bagaimana rakyat memandang korupsi. Pajak tidak dimaknai sebagai harta kolektik rakyat yang bergoyong royong membangun negara untuk bangsa, tetapi tetap dicerna sebagai upeti kepada penguasa.

Layaknya di masa feodal, upeti itu sepenuhnya menjadi milik penguasa untuk digunakan sesuai kebijakan sang

penguasa. Jika beruntung mendapat penguasa yang arif, harta penguasa akan digunakan untuk menyejahterakan rakyatnya. Jika apes mendapat penguasa yang lalim, rakyat tak dapat berbuat apa-apa. Maka, walaupun jajak pendapat pembaca Kompas tahun 2019 menunjukkan korupsi sebagai hal yang dianggap paling menghambat kemajuan Indonesia, rakyat tak mampu berbuat banyak.

Mental set ini pula yang membuat bangsa kita masih memberikan ruang keutamaan kepada penguasa dan elite politik, juga kepada pemilik modal yang mampu memengaruhi kebijakan negara dengan kuasa kapital dan kerap menempatkan rakyat yag lemah pada posisi rentan. Sebuah tulisan di media sosial memotretnya sesederhana ini: dalam kondisi pandemi dan keterbatasan ventilator dan ruang isolasi, akankah para pejabat dan keluarganya diutamakan dari rakyat biasa sebagaimana selama ini terjadi dalam berbagai konteks lainnya?

Sadar ataupun tidak, "karpet-karpet" negara di berbagai sudut Indonesia lebih banyak digunakan untuk menyambut para petinggi dan elite politik serta elite ekonomi bangsa ini sebagaimana karpet Istana kala itu. Dan Gus Dur bersikeras melawannya.

Sikap Gus Dur konsisten dengan keyakinan dan inti perjuangannya sejak tahun 1970-an, yaitu kedaulatan rakyat. Ia meletakkan rakyat sebagai pemilik sejati bangsa dan negara ini dengan segenap hak dan kewajibannya sehingga segalanya harus dikembalikan pada kepentingan rakyat belaka. Ini selaras dengan sumber keyakinan yang sering dikutipnya, yaitu kaidah tasharruf al-iman 'ala al-ra'iyyah manuthun bi al-maslahat (kebijakan seorang pemimpin untuk rakyatnya harus disandarkan pada kemaslahatan rakyat).

Cara pandang ini membuat karpet Lebaran di Istana dimaknai sebagai hak rakyat, bukan hak pemimpin. Sang karpet tidak dianggap sebagai milik penguasa yang berasal dari persembahan rakyat, tetapi dihargai sebagai milik rakyat. Pemimpin berkewajiban untuk menggunakannya untuk kemaslahatan bersama.

Bagi seorag pejuang demokrasi sejati, karpet tersebut bukan hanya untuk menyambut para elite politik dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Karpet itu juga bukan hanya untuk pemilik modal yang dielukelukan sebagai penggerak ekonomi negara, melupakan bukti sejarah kotribusi dan ketangguhan rakyat di sektor ekonomi informal. Dan karpet itu bukan hanya untuk para pemuka agama yang dibutuhkan dukungan politiknya untuk memenangi hati umat.

Wujud keberpihakan harus berupa kebijakan yang rumit. Ia bisa tampak dalam gestur dan tindakan yang sangat mendasar: karpet milik rakyat digunakan untuk melayani rakyat, bukan untuk menjaganya tetap bersih dan indah.

Sumber: Kolom Udar Rasa, Harian Kompas, 31 Mei 2020

Masih banyak warga yang dipandang dan memandang dirinya sendiri sebagai kelompok yang harus melayani pemimpin dan elite politik, bukan sebaliknya.

This article is from: