Penulis
Kuss Indarto Yaksa Agus Ouda Teda Ena
Solo exhibition by BUDIYANA aka BOEYAN
JAWAWOOD
Jawawood Solo Show By Budiyana Aka Boeyan Bentara Budaya Yogyakarta 2 - 10 November 2012 Penulis Kuss Indarto Yaksa Agus Ouda Teda Ena
BENTARA BUDAYA YOGYAKARTA Jl. Suroto No. 2 Kotabaru Yogyakarta
Catalog Production Graphic Design : Mintorogo Aka Godek Photography : Pranadhipta Printed By : Cahaya Timur Edition : 500 Copies
Daftar Isi: Catatan Kuratorial Karya Biodata Ucapan Terimakasih
Curatorial Note Catatan Kuratorial
Urip Mung Mampir Gendut Oleh Kuss Indarto ORANG-ORANG bertubuh gendut itu mengisi hampir semua kanvas yang digelar Budiyana atau yang mempopulerkan diri dengan sebutan Boeyan. Tubuh-tubuh gendut itu bermuasal dari dalam kerangka pemikiran yang secara lambat-laun bertaut erat dengan jalinan estetika yang mengiringi garis kreatifnya. Seniman kelahiran Sleman, 29 November 1969 ini mendasarkan pemikiran pada ungkapan sehari-hari orang Jawa, atau setidaknya di lingkungan sekitarnya, tentang makna “gemuk” itu. “Piye kabarmu? Wah, wis ketok lemu saiki. Makmur tur tentrem iki!” Bagaimana kabarmu? Wah, sudah nampak gemuk. Makmur dan tentram nih! Ungkapan dan penilaian seperti di atas sudah begitu lazim dalam pola komunikasi keseharian di tlatah Yogyakarta atau pada masyarakat Jawa pada umumnya. Mungkin bahkan meluas di bentang kawasan lain. Kalimat itu mengindikasikan bahwa pemahaman tentang pencapaian hidup yang paripurna bagi mindset orang Jawa adalah makmur, yakni berkecukupan pada aspek lahiriah: sandang, pangan, dan papan, serta tentrem, yakni telah terpenuhinya kebutuhan dalam aspek batiniah. Dan secara fisik, tubuh yang gendut, gemuk, tambun, overweight, obesity, dianggap sebagai representasi fisik atas simbol kemakmuran dan ketentraman. Sebaliknya, seseorang yang bertemu kawan atau saudaranya dengan kondisi tubuh yang samaserupa dengan keadaan bertahun-tahun sebelumnya: kurus, ceking atau bahkan yang sedang dan proporsional menurut standar kesehatan, malah dianggap belum mengalami pencapaian kualitas hidup secara fisik dan spiritual
yang lebih baik. Standar-standar yang stereotip khas Yogyakarta atau Jawa inimeski hal tersebut cukup menyesatkan kalau dihadapkan pada standar kesehatan modernmasih cukup berlaku di benak orang Jawa. Pola pemikiran tersebutlah yang kemudian dicomot oleh Boeyan untuk mendasari konsep “estetika orang-orang gendut” yang bertebar di banyak kanvas karya-karyanya. Konsep inilah yang kiranya berbeda dengan orang-orang gendut yang juga banyak muncul pada karya-karya seniman lain yang lebih populer di mata dan telinga publik seni rupa, seperti pada karya Didik Nurhadi, Cucu Rukhiyat, bahkan pada karya I Nyoman Masriadi juga nama seniman Kolombia yang lebih mendunia: Fernando Botero. Tentu ini tidak berkehendak untuk membandingkan, namun sekadar mengingatkan bahwa tubuh-tubuh gendut dalam kanvas bukanlah hal yang baru dan sekaligus memiliki titik beda yang tajam secara konseptual dan apalagi secara visual bagi para seniman yang “menganutnya”. Figur gendut sendiri, dalam dunia pewayangan di Jawa menempati porsi yang istimewa, meski ini jarang diperbincangkan secara khusus. Publik tentu sangat karib dengan sosok Semar, tokoh yang dianggap representasi dewata namun menyaru sebagai rakyat jelata. Tubuh tambunnya acapkali menjadi bahan olok-olok dan subyek utama lelucon. Namun di balik ketambunan sosok yang juga berjuluk Badranaya ini juga menyeruak sifat-sifat berkelas dewa dengan nilai spiritual yang tinggi. Saya tak tahu persis apakah percik nilai-nilai tentang tokoh Semar juga menjadi titik tolak proses penciptaan karya-karya Boeyan, namun setidaknya dia menempatkan sosok-sosok rakyat awan, kebanyakan, kaum pinggiran, menjadi pokok soal di atas kanvasnya.
Orang-orang gendut pada karya Boeyan sendiri mulai muncul secara evolutif pada kisaran tahun 2001 atau sebelas tahun lalu. Kian lama ketertarikan dan kenyamanan untuk menjadkannya sebagai ciri khas visual karya makin tak terelakkan. Bahkan Boeyan merasakan itu sebagai gejala kreatif yang menyeruak dari bawah sadar. Mau melukis manusia seperti apapun, selalu saja yang kemudian terwujud adalah sesosok laki-laki atau perempuan yang gemuk, bahkan cenderung kartunal dan lucu. Pengalaman Batin dari Masa Silam Lalu, apa yang diperbincangkan dalam karya-karya yang didominasi oleh figur-figur gendut itu? Boeyan mengakui bahwa dirinya berasal dari kawasan pinggiran kota, persisnya di bilangan Pasekan, Balecatur, Gamping, Sleman, sekitar 7 kilometer sisi barat kota Yogyakarta. Hingga kini, ketika sudah beranak-pinak, anak pertama dari pasangan Sri Subandi (almarhum) dan Sudiyah ini tetap lebih banyak menetap di kawasan dimana dulu dia lahir dan mengecap masa kanak-kanak. Kampungnya sekarangseperti kawasan laintentu telah mengalami banyak perkembangan jaman berikut sistem nilai sosial yang juga turut bergerak, meski tidak sederas dengan yang terjadi di kawasan pusat kota. Tak jauh dari rumah dan studionya masih terbentang petak-petak sawah. Saat pagi telinganya masih kuat mendengar kokok ayam dan beragam burung-burung liar. Tapi tentu tak seeksotis ketimbang yang dialami di masa kecilnya. Perubahan fisik dan nilai-nilai sosial itulah yang begitu kuat menggerakkan ingatan masa lalu Boeyan. Ayah dari Yana Samudra (18 tahun) dan Julian Dwi Kurniawan (10 tahun) ini seperti ingin
kembali menyerap sekian banyak memori masa silam yang mengendap dalam pengalaman batinnya untuk disaring dan dimanifestasikan dalam potongan-potongan kisah kecil pada lukisanlukisannya. Maka, figur-figur gendut hasil kreasi Boeyan itu menjadi perantara sekaligus perangkat untuk memasukkan dunia gagasannya tentang perikehidupan masyarakat kecil dan pinggiran yang cukup bersahaja. Seniman ini mengakui tak punya gagasan teramat besar untuk dibenamkan dalam karya lukisnya. Dia seperti laiknya seorang fotografer yang memotret sekian banyak scene kehidupan masyarakat kelas bawah dalam melakoni dan memaknai kehidupan sehari-harinya. Kehidupan mereka tidak penuh gegap-gempita, glamour apalagi “heroik�, namun dari sanalah nilainilai kesejatian hidup secara umum bisa ditimba dan diserap dimensi spirit(ual)nya. Ambil misal karyanya yang bertajuk “Demam Gramaphon�. Tergambar di sana sebuah gramaphon yang diletakkan di atas sadel belakang sepeda kumbang. Sepeda itu memuat bronjong yang terbuat dari bambu, tanda bahwa alat berkendara sederhana itu acap digunakan untuk mencari nafkah. Di sekitar gramaphon itu, setidaknya ada sebelas orang gendut yang merubung dengan berbagai ekspresi dan gesture. Mereka seperti menari dan menyanyi mengikuti syair dan lagu yang mengumandang dari gramaphon tersebut. Sekumpulan orang itu seperti tengah mengalami ekstase lewat suara musik yang mengalun, hingga tak mempedulikan hilir-mudik orang-orang lain yang tamak riuh di latar belakang. Pemandangan ini seperti mempertontonkan sebuah kebersahajaan orang-orang kecil dalam mencari pleasure, penghiburan untuk memberi jeda atas berbagai problem keseharian yang terus
menggerus rutinitasnya yang keras. Pada dimensi lain, inilah gambaran betapa sebuah kebersamaan dan kerukunan begitu mudah terbentuk pada masyarakat bawah, bahkan dengan medium dan “tali ikat” yang sederhana. Dalam gambaran lain, apresian bisa menyimak karya berjuluk “Warung Hik (Angkringan)”. Di sini juga terpapar sekitar sebelas orang yang bergerombol mengitari sebuah warung pikulan dengan menu utama nasi kucing, teh, kopi atau wedang jahe panas. Seniman yang pernah mengenyam pendidikan di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Yogyakarta antara 19861990 ini seperti ingin menunjukkan banyak halsesederhana apapun hal itu bagi orang lain, terutama bagi anak-anak generasi sekarang. Dalam lukisan itu tervisualisasikan bahwa pedagang angkringan menggelar dagangannya dengan dua “boks” yang kalau mengangkat harus dengan cara dipikul. Warung angkringan pikulan dewasa ini, sudah barang pasti, sangat sulit ditemui, bahkan mungkin sudah habis tergeser oleh warung angkringan dengan gerobak dorong. Inilah pergeseran teknologi (kecil-kecilan) dan sistem sosial yang bergerak dalam tatanan perikehidupan di sekitar kita. Dan Boeyan mencoba memotretnya kembali dari pengalaman batinnya yang masih kuat mengendap. Di luar problem itu, karya ini juga mempertontonkan segi keguyuban orang-orang kampung lewat medium yang sederhana, yakni (warung) makan. Lanskap sederhana dalam lukisan ini bisa juga menjadi miniatur bagi problem lain yang lebih besar dan bahkan menasional: bahwa semua orang di antara kita akan menjadi figur-figur yang baik, rukun dan tak berbahaya bagi sesamanya ketika problem perut bisa terpenuhi. Kita bisa berpaling pada idiom Latin yang sangat terkenal, homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi sesamanya). Idiom itu bisa bisa sangat mungkin terjadi ketika antarmanusia dihadapkan pada problem perut atau berebut sumber makan, karena sejatinya manusia secara naluriah gampang saling bunuh hanya untuk urusan mendasar dan utama: pangan. Prinsip Rukun dan Hormat Amsal dua lukisan tersebut sedikit banyak bisa memberi secuil peta pemikiran dan konsep kreatif Boeyan atas karya-karyanya. Catatan ini tidak hendak memberi “kurungan” bagi seluruh gejolak kreatif yang terwujud dalam 19 buah lukisan berukuran besar dan belasan buah lukisan lain berukuran kecil pada pameran tunggal kedua Boeyan ini. Tentu, ini hanyalah catatan penanda atas gejala-gejala yang bisa sedikit tertangkap dari tampilan visual yang ada berikut hasil obrolan ngalor-ngidul beberapa kali dengan sang pelukis. Hal pertama yang bisa ditandai lewat karyakaryanya adalah kesadaran Boeyan tentang imajinasi atas kehidupan yang penuh harmoni dalam sebuah komunitas, kelompok atau masyarakat tertentu. Ini nyambung dengan hasrat untuk menampilkan aspek kemanusiaan khas Jawa yang mendambakan hidup yang makmur dan tentrem. Perikehidupan yang harmoni ini punya korelasi yang kuat dengan paparan Franz MagnisSuseno dalam buku “Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa” (1993), mengedepankan dua kaidah penting dalam relasi sosial manusia Jawa, yakni “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat”. Romo Magnis menyebut bahwa kaidah pertama menentukan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sedang kaidah kedua menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai
sikap hormat yang ditunjukkan terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Keduanya merupakan kerangka normatif yang menentukan semua interaksi dalam masyarakat Jawa. Tujuannya jelas, memelihara harmoni atau keselarasan. Prinsip kerukunan dan prinsip hormat secara tidak langsung teraplikasikan dengan cukup kentara pada karya-karya Boeyan yang hampir semuanya menggambarkan scene aktivitas masyarakat yang penuh kegembiraan, main-main, senda-gurau, dan jauh dari problem ihwal pertentangan fisik, konflik kelompok, sosok-sosok yang bersitegang satu sama lain, dan sebagainya. Semuanya nyaris tanpa masalah, meski justru di sinilah letak permasalahannyakalau ditimbang dari perspektif yang lain. Lewat lukisan-lukisannya ini Boeyan hanya ingin mengungkapkan segi paling sederhana dari sebuah tujuan hidup, yakni menikmati kehidupan itu sendiri dengan rasa kebahagiaan, meski itu tidak seutuhnya bermakna pada telah tercapainya aspek kesejahteraan. Bisa jadi itu dua hal yang berseberangan. Toh manusia (Jawa) bisa tetap berbahagia meski dalam keterbatasan sosial ekonomi. Aspek lain yang juga secara tersirat diungkapkan dalam karya seniman yang aktif di Kelompok SEPI (Seniman Pinggiran) ini adalah keinginannya untuk mengungkapkan aspek “rasa”. Secara definitif, cukup sulit untuk menerangkan aspek “rasa” ini. Paul Stange dalam Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa (1998) mencoba mengungkapkan bahwa “rasa” itu menghubungkan penginderaan fisik (selera dan sentuhan), emosi (perasaan dari hati), dan penghayatan mistik terdalam yang hakiki. Ia, “rasa” itu, menciptakan
suatu rangkaian yang menghubungkan antara makna yang dangkal dan taraf batin yang dalam. Menyambung dengan prinsip-prinsip di atas, dalam bentuk ungkap visualnya, aspek “rasa” ini sedikit banyak mengemuka pada cara dan pendekatan Boeyan dalam menangkap obyek dan penuangannya dalam kanvas. Ada upaya untuk mengambil dan lalu menyarikan yang “kasar” agar tidak muncul dalam bidang gambar, sehingga ihwal komposisi yang baik dan artistik tetap dikedepankan meski dengan tetap menghindari bentuk-bentuk yang menyimbolkan pertentangan atas komposisi secara keseluruhan. Maka, tak heran, karya-karya Boeyan nyaris tak memunculkan nilai-nilai kontras dengan memunculkan simbol visual yang kontradiktif dengan tema keseluruhan dalam sebuah lukisan. Kalau berbicara tentang harmoni yang secara utuh menampilkan aspek yang harmonis. Demikian juga kalau berbincang tentang kelucuan, dan lainnya. Pada akhirnya, lewat sosok-sosok gendut pada lukisan-lukisan Boeyan, apresian bisa memiliki kaca benggala untuk becermin diri, mengintrospeksi diri, bahwa banyak persoalan yang dihadapi oleh manusia bisa diselesaikan dengan sikap dan “rasa” yang sederhana tanpa mesti melibatkan konflik dan segala bentuk pertentangan. Lukisan yang membincangkan tentang “Pesta Duren”, “Cerita Lucu”, “Jejamu Ben Kuat” dan lainnya seperti yang terpapar dalam pameran tunggal ini seolah mempersuasi apresian bahwa ketenangan dalam menikmati hidup mampu menaikkan derajat kemanusiaan seseorang. Toh, urip mung mampir ngombe, hidup sekadar mampir untuk minum, jadi segenap kerumitan hidup idealnya bisa dipecahkan dengan kesederhanaan dan keluasan dalam bersikap hidup.
Sementara secara visual, karya-karya Boeyan seperti telah memiliki pola yang cukup baku. Pertama, terdapat sekerumunan orang berada di latar depan dengan subject matter (pokok soal) yang terlihat dominan. Misalnya soal gramaphon, duren, pedagang jamu, dan lainnya. Di belakang itu, ada layer berikutnya yang secara fisik bentuk manusianya lebih kecil karena pertimbangan perspektif, namun tak kalah dinamisnya dibanding di latar depan (layer pertama). Uniknya, Boeyan kadang tidak mencoba untuk memberi tekanan pewarnaan yang berbeda antara layer pertama dan layer kedua. Maka, kesan crowded pun muncul. Dan di titik inilah Boeyan justru mengandaikan pancapaian artistik muncul. Ciri khas visual lain yang kentara pada karya Boeyan adalah perihal kostum. Hampir semua manusia yang ada di atas kanvasnya mengenakan pakaian yang mencirikan kultur Jawa (Tengah) atau Yogyakarta. Ada baju lurik bergaris-garis tebal dengan berbagai warna pada sosok laki-laki, dan baju kebaya berikut bawahan kain jarik dengan berbagai motif sesuai imajinasi sang pelukis. Dengan visualisasi manusia yang gendut dan cenderung kartunal, sosok-sosok manusia itu tidak tampil dalam atmosfir yang sangat jadul meski berkostum “kuno�. Kiranya ini adalah siasat artistik yang cukup menarik dari Boeyan. Meski, tentu saja, masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang perlu dibenahi. Misalnya, tentang motif batik pada kain jarik yang bisa dikelola lebih detil dan tajam untuk tema tertentu demi menguatkan substansi karya. Tubuh-tubuh gendutnya pun masih berpotensi untuk dimainkan sebagai bagian dari satir atau ironi tertentu ketika Boeyan hendak membincangkan tema tertentu yang bertendens. Orang-orang gendut itu mungkin menyimpan banyak penyakit. Namun dalam kesadaran Boeyan,
mereka adalah sosok yang mampu meredam tekanan dan kompleksitas hidup dengan ketentraman dan daya humor yang memadai. Kenapa harus merumitkan diri? *** Kuss Indarto, penulis seni rupa, editor in chief www.indonesiaartnews.or.id
JAWAWOOD : JAWAWUT Sebuah lukisan yang memotret arak-arakan pengantin Bekakak, adalah kunci pertama untuk membaca arah pemikiran Budiayana alias Boeyan. Karya yang berjudul Pengantin Bekakak (200 x 140, oil on canvas, 2012) sebuah lukisan yang memotret arak-arakan “BEKAKAK SAPARAN �, yang diselenggarakan tiap bulan Sapar, di desa Ambarketawang, Gamping, Sleman. Di sisi selatan Desa Ambarketawang merupakan kawasan perbukitan gamping atau batu kapur. Seluruh warga desa menjalani kehidupan selain sebagai petani adalah sebagai penggali batu kapur. Asal-muasal profesi sebagai penggali batu kapur ialah pada masa pembangunan Keraton Yogyakarta saat itu. Namun, usaha penggalian batu kapur ini sering sekali menelan banyak korban jiwa. Di antaranya adalah sepasang suami istri yang juga abdi dalem keratin, yaitu Kyai Wirosuto dan istrinya. Lantaran banyak korban yang berjatuhan, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang memerintah saat itu mencari petunjuk untuk menyelesaikan permasalahan ini, dengan bertapa di kawasan Gunung Gamping. Dalam pertapaannya, Sang Sultan mendapat wisik atau petunjuk, yaitu penunggu tempat itu meminta Sepasang Pengantin untuk dikorbankan setiap tahunnya. Demi kelancaran dan keselamatan kegiatan penggalian batu Gamping, wisik itu lantas dilaksanakan dengan
simbolisasi, yakni dengan membuat sesaji berbentuk “BEKAKAK � ialah kurban atau tumbal yang berbentuk tiruan atau replika Sepasang Boneka Pengantin--persis dengan Patung Loro Blonyo--yang dibuat dari beras ketan dan diisi gula merah. Sehingga ketika disembelih Gula Merah itu memancar dari Leher yang terpotong, serupa dengan darah. Ternyata, upacara simbolisasi penyembelihan boneka replika sepasang Pengantin itu berhasil, tak ada lagi korban berjatuhan. Dan, sejak saat itulah tradisi Saparan Bekakak menjadi sebuah rutinitas tahunan yang dilaksanakan di Desa Ambarketawang. Di kawasan itulah Boeyan dilahirkan pada 28 November 1969 silam, dari lahir tumbuh hingga dewasa, dengan lingkungan yang sangat menjaga tradisi dan spiritualismenya itu mengawal kehidupannya, membentuk ruang kesadaran pada dirinya. Boeyan kecil hingga masa remajanya adalah bagian dari upacara bekakak, ia adalah sosok kecil dan dekil yang selalu setia ikut rayahan berebut dari makanan jajan pasar dalam upacara Saparan Bekakak. Semenjak lulus SMSR Yogyakarta tahun 1990, Boeyan lantas memilih menjadi Pelukis, walaupun pada awalnya masih bergelut di dunia industri kerajinan. Barulah mulai tahun 1998 ia mencoba keberuntungannya memilih jalur profesi sebagai pelukis. Keseriusannya dalam memilih Full Time Artist menjadi Pelukis di iringi dengan
membentuk Kelompok SEPI (Seniman Pinggiran) bersama Agus Nuryanto, Ouda Teda Ena, Yundhi Pra dan kawan-kawan, yang mengawali debut pamerannya pada 26 Desember 1998 silam di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, yang di akui atau tidak Kel.SEPI telah memberi kontribusi Penting dalam Sejarah Senirupa kita. Dalam Pameran Tunggalnya yang ke-2 ini Boeyan mencoba mengangkat potret kehidupan masyarakat Jawa dengan segala polah tingkah manusianya, gaya hidupnya--yang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari akar budayanya--dengan mengusung tema JAWAWOOD, pada 2 -11 November 2012 di Bentara Budaya Yogyakarta. Kata JAWAWOOD sedikit mengingatkan dengan kata HOLLYWOOD dan BOLLYWOOD dimana dari kedua-duanya menggunakan kebudayaan sebagai alat propaganda kebudayaan. Kata JAWAWOOD sendiri berasal dari kata Jawa dan Wood. Jawawood merupakan permainan kata-kata /plesetan dari kata JAWAWUT atau dalam pengucapan di sebut Jewawut, yang konon adalah sebuah jenis tanaman padi namun batangnya lebih mirip tanaman jagung yang hanya tumbuh di pulau Jawa. Yang termasuk dalam jenis Jawawut yaitu Otek dan Canthel. Dan nama pulau Jawa ini, konon diambil dari kata Jawawut ini. Sementara Wood berarti kayu, dan kayu yang tumbuh di Jawa adalah Jati. Akhirnya kata Jawawood adalah lebih tepatnya sebagai
penggambaran pola kehidupan yang Sejatining Jawa atau Jawa yang Sejati Dalam kehidupan sejati masyarakat Jawa, semua akan dilihat dari polah tingkah atau perilaku, tentu kita kenal ungkapan: Ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga saka busana. Artinya: “nilai pribadi seseorang dinilai dari ucapan (katakatanya), sedangkan nilai badan (penampilan) dilihat dari pakaian yang dikenakan”. Peribahasa ini menasihatkan agar berhati-hati dalam berbicara, karena kata-ucapan akan dijadikan pegangan orang banyak. Sedangkan busana lebih berpengaruh pada keindahan dan penampilan seseorang. Selain itu, di Jawa terdapat pula peribahasa yang khas menunjukkan sifat perangai masyarakatnya, seperti: Wong Jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis. Artinya: “orang Jawa suka terselubung”. Makna yang lebih jauh adalah, berpikir dan bersikapnya orang Jawa tidak selalu terbuka atau berterus terang, tetapi cenderung bersifat simbolik. Tindak perbuatan serta tutur katanya penuh sanepa, kias, perlambangan. Banyak hal tidak dinyatakan dengan terbuka, atau lebih bersifat sinamudana (disamarkan). Misalnya saat menghadapi hal-hal yang tidak cocok (tidak sesuai) dengan pikiran maupun perasaannya, dia tetap menanggapinya dengan tersenyum, jarang menunjukkan ketidaksetujuan atau penolakannya dengan terang-terangan.
Dilihat dari karya-karyanya, Boeyan tampak ingin menunjukkan Spiritualisme yang diyakini nenek moyangnya. Ia tampak menunjukkan pandangan masa lampau, dengan meminjam adegan-adegan yang terjadi di masyarakatnya. Dimana setiap profesi orang Jawa, sesungguhnya bagian dari Spiritualisme, dimana semua pekerjaan dikerjakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan sang Pencipta Alam. Pilihan figur-figur Gemuk, sebagai subject matter dalam karyanya, Boeyan sesungguhnya ingin menunjukan rasa syukur nikmatnya, atas kehidupan yang ia jalani kini. Figur gemuk dalam masyarakat Jawa seringkali dijadikan lambang kemakmuran. Dan Rasa Makmur dan berkecukupan sesungguhnya muncul dari dasar rasa ikhlasnya dalam menjalani profesi. Potret keharmonisan dan kemesraan dalam karya Boeyan, bisa dilihat dari karyanya yang berjudul “Mengusir Angin� (120 x 100 cm, oil on canvas, 2009). Di sini Boeyan menghadirkan adegan Seorang lelaki yang sedang dikeroki (Kerokan ) oleh seorang perempuan, yang katanya adalah istrinya. Adegan kerokan justu dilakukan di kursi dari bambu, bukan di atas tempat didur atau tikar. Sehingga dua tubuh gemuk tampak saling berdesakan, berhimpitan di atas kursi yang tak seberapa besar. Kerokan adalah salah satu
pengobatan untuk menghilangkan sakit masuk angin. Seperti halnya kop yang berasal dari China, kerokan adalah teknik pengobatan tradisional Jawa. Karya ini sepertinya begitu penting bagi Boeyan, hingga dari karya ini muncul karya 2 dimensi (lukisan) dan 3 dimensinya (patung). Jangan-jangan ia saat ini tengah masuk angin, sehingga perlu seseorang yang bisa mengusir angin dari tubuhnya. Bukan sekedar tampak lembut pijatan dan kerokannya, tetapi yang betulbetul mampu mengusir angin dengan penuh rasa ikhlas dan sabar. Sehingga mampu mengurai satupersatu angin-angin yang terlanjur masuk pun segera keluar terbawa kentut dan sendawa, sehingga yang mendengar suara kentut yang keras dan sendawa yang berulang-ulang pun turut lega karena angin sudah berhembus keluar. Seperti halnya keikhlasan si tukang pijit, keikhlasan-keikhlasan lain banyak tersirat dalam aktifitas-aktifitas masyarakat Jawa. Berbagai profesi yang dilakukan tidak semata mencari peruntungan harta semata, tetapi lebih mencari keintiman antarmanusianya juga keridloan Illahi, sehingga keharmonisan terwujud dengan indahnya. Mengutip tulisan Damarjati Supadjar dalam sebuah buku yang berjudul Meditasi Jawa,
mengusung kesimpulan diskusi antara Albert Einstein dan RPM Sosro Kartono (kakang kandung RA.Kartini) tentang medan terpadu (unified field) bahwa : “Realitas alam semesta ini berdiri di atas prinsip keikhlasan, di mana di dalamnya ada residu pun didaur ulang, sehingga mendatangkan manfaat”. Beberapa prinsip-prinsip RPM Sosro Kartono mengacu pada prinsip keikhlasan “Perang tanpa wadyabala (bertempur tanpa pasukankarena bertempur melawan diri sendiri), Sugih tanpa bandha (kaya tanpa harta benda-karena kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan yang dikemas dengan ilmu pengetahuan), Digdaya tanpa aji (sakti tanpa mantra), Menang tanpa ngasorake (Menang tanpa harus mengalahkan), Trimah mawi pasrah (Menerima dengan berserah diri ), Suwung Pamrih tebih ajrih (Tanpa Pamrih jauh dari rasa takut), dan lain sebagainya “. Kita percaya, bahwa tidak semua Budaya Jawa boleh dikatakan “mati” atau tidak relevan lagi lantaran tertindih oleh modernitas dan globalisasi kebudayaan masa kini. Tidak lain karena apa yang disebut nilai-nilai internasionalitas, nasionalitas, regionalitas, hingga lokalitas akan selalu menyertai dan mewarnai setiap perkembangan zaman dan peradaban. Nilai kearifan orang Jawa yang bertebaran di sekitar kita ribuan banyaknya. Dalam Pameran Tunggal JAWAWOOD karya Budiyana
alisa Boeyan ini hanyalah menyajikan “segenggam” narasi visual Kearifan Lokal dan semoga dapat digunakan untuk Tegur-Sapa kembali saling mengingatkan akan kekayaan wacana kearifan lokal Jawa bagi generasi demi generasi mendatang. Bantul, 1 Oktober 2012 Yaksa Agus Penulisr tiban yang fitrah sesungguhnya adalah Pelukis
Jawawood: Sebuah Canda Makna
berbalut canda akan menjadi menarik dan tidak
Menurut penuturan pelukis Budiyana, ide
membosankan. Kedua, pesan yang berupa kritik
atau pikiran yang mendasari pemberian judul
yang dibalut canda akan menjadi halus dan segar
pameran ini adalah sebuah plesetan atau
sehingga tidak akan menimbulkan konflik bagi yang
permainan kata untuk member makna yang lucu.
mengritik dan yang dikritik. Ketiga, pesan yang
Jawawood bisa sebuah plesetan yang
berisi pembelajaran atau pengetahuan yang
berhubungan dengan kata Jawawut jenis biji-bijian
berbalut canda akan penuh dengan simbol. Pesan
semacam padi yang konon menjadi makanan
yang disampaikan tidak mentah sehingga penerima
orang-orang yang berdiam di pulau Jawa. Bisa juga
pesan atau pembelajar harus mengupas simbol-
Jawawood dihubungkan dengan Hollywood atau
simbol yang ada supaya bisa memahami
Bollywood yang menjadi ikon film sebagai sebuah
maknanya. Proses pengupasan makna ini adalah
hasil kebudayaan.
sebuah proses pembelajaran yang tentu tidak
Bagi saya karya-karya Budiyana bukanlah
mudah. Pembelajar harus berusaha keras
sekedar plesetan. Karya-karya Budiyana lebih
mengupas balutan candanya untuk mendapatkan
sebagai sebuah guyon maton atau canda yang
inti dari sebuah pesan tersebut. Ini adalah sebuah
penuh makna. Canda makna adalah sebuah tradisi
proses mengasah kecerdasan sekaligus
dalam masyarakat Jawa untuk menyampaikan
pencerdasan.
sebuah pesan penting atau menyampaikan sebuah
Lukisan Budiyana Sebagai Canda Makna
pengetahuan secara tidak langsung. Pesan yang
Seperti yang saya ungkapkan di atas, tujuan
disampaikan secara tidak langsung dengan
pertama dari sebuah canda makna adalah
bahasa yang berbalut canda ini mempunyai
menyampaikan pesan secara menarik. Saya
beberapa tujuan. Setidaknya ada tiga tujuan dari
berteman dengan pelukis Budiyana semenjak tahun
sebuah canda makna. Pertama pesan yang
1998an ketika kami sama-sama membentuk
Kelompok SEPI. Semenjak itulah kami sering
akan senyum-senyum atau tertawa ngakak. Tetapi
terlibat diskusi, bertukar ide-ide tentang seni rupa
kalau kita mau berhenti sejenak di depan lukisan ini
pada umumnya dan tak jarang berkarya bersama-
dan mengupas bungkus candanya, mungkin kita
sama. Mengamati perkembangan lukisan
akan menemukan sebuah makna. Mungkin sebuah
Budiyana secara sekilas seperti menonton dagelan
refleksi atau bahkan sebuah kritik terhadap diri
Mataraman. Lukisan yang baru selalu segar dan
pelukis sendiri atau bahkan pada senirupa
ada unsur-unsur kelucuannya.
Indonesia secara keseluruhan. Bisakah orang
Lucu, segar, dan menarik. Itulah kesan yang
Jawa berfoto bejajar dengan van Gogh? Bisakah
selalu muncul dari lukisan Budiyana. Apakah
seniman Indonesia berdiri sejajar dengan seniman
berhenti pada lucu dan menarik saja? Tentu saja
Barat? Bisakah seniman Indonesia menggali ke-
tidak. Dalam kelucuan itu selalu tersimpan makna
indonesia-annya sendiri dan sejajar dengan
sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh
seniman dari seluruh dunia? Ataukah kita hanya
Budiyana kepada penikmat karyanya. Misalnya
akan selalu mengimpor, mengekor budaya dari
salah satu lukisan yang dibuat Budiyana pada
Negara lain?
tahun 2000an berjudul 'Foto Bareng van Gogh'.
Kedua, canda makna adalah sebuah kritik
Lukisan ini menggambarkan orang-orang
tanpa konflik. Akhir-akhir ini kita mendengar,
berbadan tambun berpakaian Jawa khas lukisan
melihat, dan membaca tentang terjadinya banyak
Budiyana sedang berdiri berjajar berfoto dengan
konflik yang tak jarang memakan korban jiwa.
Vicent van Gogh pelukis legendaries Belanda.
Mengapa konflik ini terjadi? Salah satu
Orang-orang ber-blangkon dan bersarung berfoto
penyebabnya saya kira adalah perbedaan. Sebuah
bareng van Gogh dengan telinga terbalut dan
kelompok masyarakat memberikan saran kepada
merokok pipa.
kelompok yang lain yang mempunyai pendapat
Orang yang melihat lukisan ini biasanya
berbeda. Namun saran tersebut disampaikan
bukan lagi dengan kata-kata namun dengan tindak
sejarah (dengan huruf 's' kecil) tentang kepunahan
kekerasan. Apakah sarannya sampai? Saya kira
tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa dan tentu
tidak.
saja juga terjadi pada tradisi masyarakat etnis lain. Dengan guyon maton, kritikan dan saran
Lagi-lagi makna terdalam dari canda ini
bisa disampaikan dengan segar dan halus. Dengan
secara keseluruhan adalah: Akankah tradisi atau
kesegaran dan kehalusan justru biasanya isi pesan
kebudayaan Jawa (dan etnis lain) mengglobal
akan diterima. Di sinilah saya kira salah satu
menjadi Jawawood seperti halnya Bollywood dan
keunggulan Budiyana karena dia bisa membalut
Hollywood? Ataukah akan menjadi punah seperti
gejala-gejala sosial yang ada dalam masyarakat
tanaman Jawawut?
dengan sebuah canda.
Selamat menikmati canda makna Budiyana
Ketiga, guyon maton ala Budiyana ini
sambil tersenyum-senyum. Tetapi jangan lupa
memang penuh simbol. Sesudah tersenyum-
menyelam lebih dalam supaya Anda berjumpa
senyum dengan candanya di permukaan, kita harus
dengan maknanya.
menyelam ke dalam mencoba mengurai simbol
Penulis Ouda Teda Ena
yang dipakai supaya bisa menemukan maknanya. Kebanyakan tema lukisan Budiyana adalah tema keluarga atau kejadian sosial sebuah masyarakat, yang diwakili oleh masyarakat Jawa. Namun pesan yang disampaikan oleh lukisan-lukisan tersebut tidak hanya terbatas pada masyarakat Jawa tetapi juga tentang masyarakat etnis lain di Indonesia yang budayanya terpinggirkan oleh budaya global. Lukisan-lukisan Budiyana tak jarang adalah catatan
Art Work Karya
“ Sakinah “ Oil On Canvas, 80 x 80, 2007
“ Cerita Lucu “ Oil On Canvas, 110 x 140, 2008
“ Pesta Saat Panen “ Oil On Canvas, 100 x 120 , 2007
“ Ini Jagoku “ Oil On Canvas, 80 x 80 , 2010
“ Kebahagiaan Bersama “ Oil On Canvas, 90 x 200 , 2009
“ Pesta Duren “ Oil On Canvas, 90 x 200 Cm, 2009
“ Harga Bebek “ Oil On Canvas, 140 x 140 , 2012
“ Mbok Tenong “ Oil On Canvas, 140 x 140 , 2012
“ Menatap Harapan masa Depan “ Oil On Canvas, 100 x 100, 2012 { On Progres }
“Dorong Yuuk “ Oil On Canvas 100 x 120, 2012
“Berburu Musang Musim Panen “ Oil On Canvas 140 x 200, 2012
“Jamu Kuat “ Oil On Canvas 100 x 120, 2012
“Bekakak Saparan “ Oil On Canvas 140 x 200, 2012
“Demam Grammaphone “ Oil On Canvas 140 x 200, 2012
“Bar Caos “ Oil On Canvas 100 x 200, 2012
“Warung Hiek“ (Angkringan) Oil On Canvas 140 x 200, 2012
“Nyonya Lisa “ Oil On Canvas 90 x 70, 2012
“Panen Raya “ Oil On Canvas, 100 x 200, 2011
“ Mengusir Angin “ Oil On Canvas, 100 x 120, 2010
“Mengusir Angin “ Fiber Glass, 90 x 129 x 75 {On Progres}
Profil Seniman
Curiculum Vitae Bio Data
Curriculum Vitae
Nama Tempat/Tgl Lahir Studio HP
: Budiyana : Sleman, 29 Nopember 1969 : Jl. I Dewa Nyoman Oka 4 A Kotabaru Yogyakarta : +62877 3969 3661
PAMERAN TUNGGAL 2012 : - Pameran Tunggal “ JAWAWOOD “ di Bentara BudayaYogyakarta. 2006 : - Pameran Tunggal “ The Joy Fun Java “ di Gallery Hadiprana Jakarta.
AKTIFITAS PAMERAN 2012 : - Pameran bersama “Bersyukur Tunggal Ika” 50 th Galeri Hadiprana, Jakarta. - Pameran “Cheng Shui #2” Kelompok SePi di Galeri ISI Yogyakarta. 2011 : - Pameran “Cheng Shui” Kelompok SePi di Galeri Surabaya 2010 : - Pameran bersama “Behind The Funny Make-Up” di Galeri Hadiprana, Jakarta. - Pameran Seni Rupa FKY XXII “ ART SCENCE “ di Beteng Vredeburg Yogyakarta. 2009 : - “ KoeDa Biennale “ , Kelompok SEPI di mpatArt Studio Kotabaru,Yogya. - “ MeMangun “ , Kelompok SEPI Karta Pustaka Yogyakarta. 2008 : - Pameran bersama Kelompok SEPI “ * 010 # “ di Taman Budaya Yogyakarta. - Pameran “ Seraut Wajah Seni Lukis Indonesia “ Koleksi Bentara Budaya di Jakarta. 2007 : - Pameran bersama Kelompok SEPI “ Kepala BerIsI “di Balai Roepa Tembi,Yogyakarta. 2006 : - Pameran bersama Kel. SEPI “ Remember “ Greens Café Western Australia. - Work Shop Seni Rupa,Kelompok SEPI,YPR dan 4 Kampung.
Malang. - Pameran bersama Kel. SEPI “ Bongkar Memori “ di Beteng Vredeburg. 2002 : - Pameran bersama Kelompok SEPI “ Membuka ” di Hotel Sejahtera,Yogyakarta. - Pameran Bertiga “Gelombang Ekspresi ” di Bentara Budaya, Yogyakarta. 2001 : - Pameran bersma Kelompok SEPI “ Dua Meteran “di Beteng Vredeburg, Yogyakarta. - Pameran Sketsa Kel. SEPI di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta. - Workshop Perfoment Art di Cemeti Yogyakarta. 2000 : - Pameran bersama Kelompok SEPI “ Peloeit 2000 “di Vredeburg, Yogyakarta. - Drawing panjang Kelompok SEPI di Kaliurang, Yogyakarta. - Ziarah Estetika Kelompok SEPI, Sketsa bersama di Makam Imogori. 1999 : - Pameran Instalasi Kelompok SEPI “ Violance And Man II“ di Sriwedari Solo. - Pameran Instalasi Kelompok SEPI “ Violance And Man I “ di Seni Sono Yogya . 1998 : - Pameran bersama Kel. SEPI di Beteng Vredeburg, Yogyakarta. - Mendirikan Kelompok SEPI bersama dengan Ouda dan Agus Nuryanto.
Ilustrasi Karya Lama
UCAPAN TERIMA KASIH 1. KEPADA TUHAN YME ATAS SEGALA ANUGRAH KEAJAIBANNYA 2. KEPADA BENTARA BUDAYA YOGYAKARTA, MAS HERMANU, MBAK WUR, MBAK YULI DAN MAS HERMANTO 3. DAMARDJATI SUPADJAR 4. SUKO WIDAGDO 5. ARIF AZAZIE ZAIN 6. KUSS INDARTO 7. YAKSA AGUS 8. OUDA TEDA ENA 9. TANGAN KANAN { YUNDHI PRA, BAMBANG, RAHMAN MANDO, GREG SUSANTO } 10. KELOMPOK SENIMAN PINGGIRAN 11. JOGJA SNACKERS CLUB 12. REKAN - REKAN PERS 13. SELURUH STAF BBY DAN SEMUA KAWAN - KAWAN YANG TURUT MEMBANTU.