Vol. I No.2 Oktober 2011
ISSN 2088 3706
Reformasi Pelayanan Organisasi Sektor Publik Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik Abdul Mahsyar
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik Fatmawati
Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik Jaelan Usman
Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Muhammad Basri
Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah Muhammad Idris
Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance Muhammadiah
Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) Rabina Yunus
Reformasi Birokrasi Melalui E− Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? Zainuddin Mustapa
OTORITAS VOLUME I
NOMOR 2 HAL. 81-155
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
MAKASSAR, OKTOBER 2011 ISSN 2088 3706
Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Jurnal OTORITAS berisi artikel tulisan ilmiah dalam bentuk hasil-hasil penelitian dan non-penelitian, kajian analisis, aplikasi teori dan review tentang masalah-masalah negara, masyarakat, dan lembaga intermediary, serta pemerintahan secara umum, baik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Penerbitan Jurnal ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas serta menyebarluaskan kajian ilmu pemerintahan, sekaligus sebagai wahana komunikasi diantara cendikiawan, praktisi, mahasiswa, dan pemerhati masalah-masalah publik dan praktika ilmu pemerintahan.
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ISSN 2088 3706
DEWAN REDAKSI Penerbit : Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Penanggung Jawab : Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Mitra Bestari : Prof. Dr. Faried Ali, SH, MS Dr. A. Syamsu Alam, M.Si Dr. A. Mappamadeng Dewang, M.Si Pemimpin Redaksi : Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si Redaktur Pelaksana : Dr. Jaelan Usman, M.Si Andi Nuraeni Aksa, SH, MH Drs. Alimuddin Said, M.Pd Rudi Hardi, S.Sos, M.Si Bidang Usaha : Ihyani Malik, S.Sos, M.Si Design Grafis : Andi Maddukelleng, S.IP Distribusi : Hardiansyah, S.Sos Jusri Adi, S.IP Percetakan CV. Adi Perkasa Jl. Talasalapang Ruko BPH Makassar Alamat Redaksi : Gedung F1 Lt.1 Pusat Perkantoran FISIP Unismuh Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. (0411) 866972 ext. 107 Fax. (0411) 865588 Email: jurnal@ip-fisipunismuh.info jurnalotoritas@gmail.com www.ip-fisipunismuh.info
DAFTAR ISI Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik (Abdul Mahsyar)............................................................................... Hal. 81 - 90 Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik (Fatmawati)......................................................................................... Hal. 91 - 101 Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik (Jaelan Usman)................................................................................Hal. 102 - 109 Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan (Muhammad Basri)...................................................................... Hal. 110 - 117 Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah (Muhammad Idris)........................................................................ Hal. 118 - 126 Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance (Muhammadiah)............................................................................. Hal. 127 - 136 Kualitas Pelayanan Publik Pemerintahan Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) (Rabina Yunus)............................................................................... Hal. 137 - 145 Reformasi Birokrasi Melalui E-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? (Zainuddin Mustapa)..................................................................... Hal. 146 - 155
Ukuran kertas Jenis huruf Ukuran huruf
: A4 (210x297 mm) : Cambria : 12 pts
Redaksi Jurnal OTORITAS menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syarat, format, dan tata tulis artikel dapat dilihat pada Petunjuk Penulisan Jurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS dilembaran belakang Jurnal ini. Artikel yang masuk ditelaah penyunting ahli untuk dinilai kelayakannya. Penyunting dapat memodifikasi artikel untuk keseragaman format, istilah dan kepentingan teknis lainnya tanpa merubah substansi artikel.
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK Abdul Mahsyar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588
ABSTRACT Public always demanded quality public services from the bureaucrats, even though these demands are not in line with expectations because the empirically public services that occurred during this still characterized by such things as convoluted, slow, expensive, exhausting, uncertainty. Under such circumstances occur because people are still positioned as the party to “serve” is not being served. If considered public service issues in Indonesia, the main problems of public service today is associated with improved quality of service itself. According to Albrecht and Zemke (1990) the quality of public services is the result of interaction of various aspects, the system of care, human resources service provider, strategy, and customers. While Mohammad (2003) states that quality service is dependent on aspects such as how the pattern of its implementation, support human resources, and institutional management . New Perspectives for Public Service and Good Governance is considered most appropriate for the conditions present in addressing issues of public services in Indonesia, using a model like the model citizen’s charter, model KYC (Know Your Customer), and m-Government model. Keywords : Problem, Quality, Public Service
ABSTRAK Publik selalu menuntut kualitas pelayanan publik dari birokrat, meskipun tuntutan ini tidak sesuai dengan harapan karena pelayanan publik secara empiris yang terjadi selama ini masih ditandai dengan hal-hal seperti berbelit-belit, lambat, mahal, ketidakpastian melelahkan,. Dalam keadaan seperti itu terjadi karena orang masih diposisikan sebagai pihak yang "melayani" tidak dilayani. Jika dianggap isu-isu pelayanan publik di Indonesia, masalah utama dari pelayanan publik saat ini dikaitkan dengan peningkatan kualitas layanan itu sendiri. Menurut Albrecht dan Zemke (1990) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, sistem pelayanan, sumber daya manusia penyedia layanan, strategi, dan pelanggan. Sementara Mohammad (2003) menyatakan bahwa kualitas pelayanan tergantung pada aspekaspek seperti bagaimana pola pelaksanaannya, dukungan sumber daya manusia, dan manajemen kelembagaan. Perspektif Baru untuk Layanan Publik dan Pemerintahan yang Baik dianggap paling tepat untuk kondisi saat ini dalam menangani isu-isu pelayanan publik di Indonesia, dengan menggunakan model seperti piagam warga teladan, model KYC (Know Your Customer), dan m-Government model. Kata Kunci : Masalah, Kualitas, Pelayanan Publik 81
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
diperbaiki, karena dengan perbaikan kualitas pelayanan publik yang semakin baik dapat Pelayanan kepada masyarakat sudah men- mempengaruhi kepuasan masyarakat sehijadi tujuan utama dalam penyelenggaraan ngga kepercayaan masyarakat terhadap administrasi publik. Di Indonesia penyelengga- pemerintah dapat dibangun kembali. raan pelayanan publik menjadi isu kebijakan Dari segi sosial budaya, pelayanan publik yang semakin strategis karena perbaikan yang buruk mengakibatkan terganggunya pelayanan publik di negara ini cenderung psikologi masyarakat yang terindikasi dari berjalan di tempat, sedangkan implikasinya berkurangnya rasa saling menghargai di kalasebagaimana diketahui sangat luas karena ngan masyarakat, timbulnya saling curiga menyentuh seluruh ruang-ruang kepublikan meningkatnya sifat eksklusifisme yang berlebaik dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, bihan, yang pada akhirnya menimbukan ketibudaya dan lain-lain. Dalam bidang ekonomi, dakpedulian masyarakat baik terhadap buruknya pelayanan publik akan berimplikasi pemerintah maupun terhadap sesama. Akibat pada penurunan investasi yang dapat bera- yang sangat buruk terlihat melalui berbagai kibat terhadap pemutusan hubungan kerja kerusuhan dan tindakan anarkis di berbagai pada industri-industri dan tidak terbukanya daerah. Seiring dengan itu masyarakat cendelapangan kerja baru yang juga akan berpenga- rung memilih jalan pintas yang menjurus ke ruh terhadap meningkatnya angka pengang- arah negatif dengan berbagai tindakan yang guran. Akibat lebih lanjut dari masalah ini tidak rasional dan cenderung melanggar adalah timbulnya kerawanan sosial. hukum. Perbaikan pelayanan publik akan bisa memperbaiki iklim investasi yang sangat di- B. PENGERTIAN DAN KONTEKS perlukan bangsa ini untuk dapat segera keluar PELAYANAN PUBLIK dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sayangnya upaya menuju kepada perbaikan Pelaksanaan pelayanan publik pada tersebut masih sebatas lips service. Dalam prinsipnya ditujukan kepada manusia. Sudah berbagai studi yang dilakukan terhadap menjadi kodratnya setiap manusia membupelayanan publik ini rupanya tidak berjalan tuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim linear dengan reformasi yang dilakukan dalam dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat berbagai sektor sehingga pertumbuhan dipisahkan dengan kehidupan manusia. Sejak investasi malah bergerak ke arah negatif. lahirnya manusia sudah membutuhkan Akibatnya harapan pertumbuhan ekonomi pelayanan, sebagaimana dikemukakan Rusli yang diharapkan dapat menolong bangsa ini (2004) bahwa selama hidupnya, manusia keluar dari berbagai krisis ekonomi belum selalu membutuhkan pelayanan. Pelayanan terwujud sesuai dengan harapan. menurutnya sesuai dengan life cycle theory of Sementara dalam kehidupan politik, leadership bahwa pada awal kehidupan manuburuknya pelayanan publik berimplikasi dalam sia (bayi) pelayanan secara fisik sangat tinggi, terhadap kepercayaan masyarakat kepada tetapi seiring dengan usia manusia pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik yang dibutuhkan akan semakin menurun. selama ini menjadi salah satu variabel penting Masyarakat setiap waktu selalu menuntut yang mendorong munculnya krisis keperca- pelayanan publik yang berkualitas dari biroyaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis krat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak kepercayaan tersebut teraktualisasi dalam sesuai dengan harapan karena secara empiris bentuk protes dan demonstrasi yang cende- pelayanan publik yang terjadi selama ini masih rung tidak sehat, hal itu menunjukkan kefrus- bercirikan hal-hal seperti berbelit-belit, tasian publik terhadap pemerintahnya. lamban, mahal, melelahkan, ketidakpastian. Sehubungan dengan itu perbaikan pela- Keadaan demikian terjadi karena masyarakat yanan publik mutlak diperlukan agar image masih diposisikan sebagai pihak yang buruk masyarakat kepada pemerintah dapat “melayani� bukan yang dilayani. A. PENDAHULUAN
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
82
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Pelayanan publik secara konseptual dapat dijelaskan dengan menelaah kata demi kata. Menurut Kotler sebagaimana dikutip oleh Lukman( 2000), disebutkan bahwa Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Istilah publik dalam pengertian sehari-hari di Indonesia sering dipahami sebagai negara atau umum, hal ini biasa dijumpai dalam pola Bahasa Indonesia yang menterjemahkan publik seperti pada istilah public administration yang diterjemahkan sebagai administrasi negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi Bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, atau orang banyak. Berdasarkan uraian pengertian di atas, maka berbagai pengertian pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan (Kurniawan, 2005). Dalam Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, diberikan pengertian publik sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan pengertian pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas, dan lainnya (Mohammad, 2003). Berbagai gerakan reformasi publik yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini juga ditandai pada berbagai karya ilmiah yang telah ditulis oleh para pakar berkaitan dengan pelayanan publik ini antara lain yang berkembang di Amerika Serikat dengan munculnya paradigma postbureaucratic oleh Barzelay (1992) bersama dengan Armajani (1997). Pandangan postbureacratic berkaitan dengan pelayanan publik terlihat pada penekanan administrasi publik pada hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk dan keterikatan terhadap norma, dan mengutamakan misi, pelayanan dan hasil akhir (outcome). Kemudian selanjutnya dalam waktu yang hampir bersamaan muncul pula paradigma reinventing government yang disampaikan oleh Osborne dan Gaebler (Keban, 2008) kemudian dioperasionalisasikan oleh Osborne dan Plastrik pada tahun 1997 dalam karyanya Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. Paradigma ini juga dikenal dengan nama New Public Management. Pandangan dari paradigma ini sebenarnya menekankan bahwa pemerintah atau birokrat sesungguhnya haruslah memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat. Mereka menilai bahwa pemerintahan harus mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. New Public Management dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kinerja pelayanan publik pada birokrasi moderen (Vigoda, dalam Keban, 2008). Penjelasan lain terhadap perspektif pelayanan publik dapat dilihat dalam karya J.V. Denhardt dan R.B. Denhardt dalam bukunya The New Public Service (2003). Paradigma ini 83
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
memberikan pandangan yang berkaitan dengan pelayanan yakni bahwa administrasi publik harus melayani warga masyarakat bukan pelanggan, mengutamakan kepentingan publik, dan melayani daripada mengendalikan. Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal menurut paradigma new public service yaitu pelayanan publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik yang ada. Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan warga negara dan kelompok komunitas. Pandangan tersebut mengandung makna karakter dan nilai yang terkandung di dalam pelayanan publik tersebut harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka karakter pelayanan publik juga harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Selain itu pelayanan publik model baru ini harus bersifat non-diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh dasar teoritis yang digunakan yaitu teori demokratis yang menjamin adanya persamaan warga negara tanpa membeda-bedakan asal-usul, kesukuan, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian (Dwiyanto, 2005). C. MASALAH-MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA Terlepas dari berbagai teori, pendekatan, perspektif dan paradigma berkaitan dengan pelayanan publik yang senantiasa berubah untuk menyesuaikan diri dengan dinamika perkembangan kebutuhan masyarakat yang terdapat di negara-negara maju atau pada belahan dunia lainnya. Pergeseran tersebut bertujuan untuk menciptakan suatu kerangka pelaksanaan pelayanan publik yang lebih baik, efisien, responsive, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Bagi negara sedang berkembang termasuk di Indonesia gelombang tekanan untuk mengubah wajah pemerintahan dan substansi operasi mesin pelayanan publiknya tidak terlepas dari tekanan-tekanan dari lembagalembaga internasional seperti misalnya IMF, World Bank, atau lembaga donor lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari kepentingan Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
lembaga-lembaga tersebut yang beroperasi di Indonesia. Adanya tuntutan perbaikan pelayanan publik tersebut kadangkala menjadi prasyarat utama oleh lembaga-lembaga internasional atau negara-negara donor tersebut dalam memberikan bantuan (loan). Seperti IMF dan World Bank, kedua lembaga keuangan yang amat berpengaruh tersebut sejak hampir dua dekade terakhir ini semakin rajin mendesakkan tuntutan politik terhadap negara-negara berkembang untuk mendevolusikan sistem pemerintahan dan sistem pelayanan publiknya yang monopolistik dengan menganjurkan kebijakan pemerkuatan otonomi daerah, privatisasi sektor publik dan pemberian kesempatan yang luas pada sektor-sektor di luar birokrasi pemerintah (Abdul Wahab, 2000). Menelusuri permasalahan pelayanan publik di Indonesia sebenarnya dapat dilihat pada beberapa periode dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya dimulai pada masa orde baru dan terakhir periode reformasi. Pergeseran paradigma dalam pelayanan publik tidak dilepaskan dari perubahan iklim politik yang berimplikasi pada kebijakankebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Di Indonesia pada masa orde baru misalnya pelayanan publik ditandai oleh dominasi negara pada berbagai elemenelemen kehidupan bangsa, sehingga pada masa ini dikenal dengan paradigma negara kuat atau negara otonom dimana kekuatan sosial politik termasuk kekuatan pasar kecil pengaruhnya dalam kebijakan publik, bahkan dalam pelaksanaannya. Dalam era reformasi ditandai pada paradigma deregulasi setengah hati, dimana pemerintah memilih sektor tertentu untuk dideregulasi yang pertimbangan utamanya bukan pencapaian efisiensi pelayanan publik, tetapi keamanan bisnis antara pejabat negara dan pengusaha besar. Kemudian pada paradigma reformasi pelayanan publik. Paradigma ini mengkaji ulang peran pemerintah dan mendefinisikan kembali sesuai dengan konteksnya, yaitu perubahan ekonomi dan politik global, penguatan civil society, good governance, peranan pasar dan masyarakat yang semakin besar dalam penyusunan dan pelaksanaan 84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
kebijakan publik. Sekalipun di Indonesia secara politik era reformasi itu sudah berjalan sekitar 10 tahun sejak lengsernya Presiden Suharto pada tahun 1998, namun dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih ditandai berbagai kelemahan-kelemahan, padahal sudah banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat antara lain perumusan kembali Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang sebenarnya memberikan perluasan kewenangan pada tingkat pemerintah daerah, dipandang sebagai salah satu upaya untuk memotong hambatan birokratis yang acapkali mengakibatkan pemberian pelayanan memakan waktu yang lama dan berbiaya tinggi. Dengan adanya desentralisasi daerah mau tidak mau harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat, seiring dengan pelayanan yang harus disediakan. Upaya untuk memperbaiki pelayanan telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain kebijakan ini dapat dilihat pada Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Kemudian Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan apartur pemerintah kepada masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/ 7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui keputusan-keputusan, tetapi juga melalui peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan dalam diklat-diklat struktural pada berbagai tingkatan. Hanya saja dari berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik, namun masih saja ditemukan berbagai kelemahan dalam pelayanan publik ini. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil survay yang dilakukan oleh UGM pada tahun 2002 diketahui bahwa dilihat dari sisi efisiMasalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
ensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan (Mohamad, 2003). Oleh karena itu, dengan membandingkan upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dengan kondisi pelayanan publik yang dituntut dalam era desentralisasi, tampaknya upaya pemerintah tersebut masih belum banyak memberikan kontribusi bagi perbaikan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Bahkan birokrasi pelayanan publik masih belum mampu menyelenggarakan pelayanan yang adil dan non-partisan. Jika diperhatikan berbagai permasalahan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, maka permasalahan utama pelayanan publik sekarang ini adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas dari pelayanan itu sendiri. Menurut Albrecht dan Zemke (1990) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan, sumber daya manusia pemberi pelayanan, strategi, dan pelanggan. Sementara Mohammad (2003) menyebutkan bahwa pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada aspek-aspek seperti bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan yang mengelola. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik di Indonesia masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: (1) kurang responsive, (2) kurang informatif, (3) kurang accessible, (4) kurang koordinasi, (5) birokratis, (6) kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan (7) inefisiensi. Dilihat dari sisi sumber daya manusianya kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, emphaty dan etika. Pola kerja yang digunakan oleh sebagian besar aparatur yang ada sekarang ini masih dipengaruhi oleh model birokrasi klasik, yakni cara kerja yang terstruktur/ hierarkis, legalistik formal, dan sistem tertutup. Selain itu beberapa pendapat menilai bahwa kelemahan sumber daya manusia aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan disebabkan oleh sistem kompensasi yang rendah dan tidak tepat. Kelemahan pelaksanaan pelayanan publik lainnya dapat dilihat pada sisi kelembagaan, 85
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan khirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
sesuatu yang mudah. 6. Melayani daripada mengendalikan. 7. Menghargai orang, bukannya produktivitas semata.
Pandangan yang mirip dengan perspektif yang dikemukakan Denhardt dan Denhardt tersebut sekalipun dengan nama yang berbeda adalah perspektif yang dikemukakan oleh Bovaird dan Loffler (2003) bahwa terdapat tiga pendekatan dalam administrasi publik yaitu public administration, public management, dan D. PILIHAN PERSPEKTIF public governance. Sementara G.Shabbir ADMINISTRASI DALAM MENGATASI Cheema (2007) sebagaimana dikutip oleh MASALAH PELAYANAN PUBLIK Keban (2008) mengemukakan empat fase administrasi publik yang juga menggambarkan Sebagaimana diketahui perkembangan perkembangan administrasi publik yaitu: traataupun pergeseran paradigma dalam admi- ditional public administration, public managenistrasi publik senantiasa berlangsung sesuai ment, new public management, dan governance. dengan tuntutan lingkungan, seperti situasi Paradigma terakhir yang dikemukakan dan kondisi sosial kemasyarakatan, peruba- oleh Cheema tersebut yakni governance han iklim politik, dan ekonomi. Berbagai mendapatkan perhatian yang besar dari perubahan terjadi seiring dengan berkem- berbagai negara melalui ajakan UNDP dengan bangnya kompleksitas persoalan yang diha- menggunakan istilah Good Governance, dapi oleh administrator publik. Kompleksitas adapun karakteristik good governance dari ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus UNDP meliputi (Keban, 2008): mengembangkan ilmu administrasi publik. 1. Participation yaitu bahwa semua orang Denhardt dan Denhardt (2003) mengungharus diberi kesempatan yang sama unkapkan bahwa terdapat tiga perspektif dalam tuk mengemukakan pendapatnya dalam administrasi publik. Perspektif tersebut pengambilan keputusan baik langsung adalah old public administration, new public atau melalui perantara institusi yang memanagement, dan new public service. Berdawakili kepentingannya. sarkan perspektif yang dikemukakan oleh 2. Rule of law, yaitu bahwa aturan hukum Denhardt dan Denhardt sebagai pencetus persharus adil dan ditegakkan tanpa pandang pektif baru administrasi publik yakni new bulu. public service, kedua ahli ini menyarankan 3. Transparancy, yaitu bahwa keterbukaan untuk meninggalkan prinsip administrasi harus dibangun diatas aliran informasi klasik dan new public management yang teryang bebas. masyhur dengan reinventing governement- 4. Responsiveness, yaitu bahwa institusinya, dan beralih ke prinsip new public service. institusi dan proses yang ada harus diaMenurut Denhardt dan Denhardt (2003), rahkan untuk melayani para stakeholders. administrasi publik harus: 5. Consensus orientation yaitu bahwa harus 1. Melayani warga masyarakat bukan ada proses mediasi untuk sampai kepada pelanggan. konsensus umum yang didasarkan atas 2. Mengutamakan kepentingan publik. kepentingan kelompok, dan sedapat 3. Lebih menghargai kewarganegaraan dari mungkin didasarkan pada kebijakan dan pada kewirausahaan. prosedur. 4. Berpikir strategis dan bertindak demo- 6. Equity, yaitu bahwa semua orang memiliki kratis. kesempatan yang sama untuk memperbaiki 5. Menyadari bahwa akuntabilitas bukan dan mempertahankan kesejahteraannya.
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
86
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
7. Effectiveness and efficiency, yaitu bahwa proses dan institusi-institusi yang ada sedapat mungkin memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pemafaatan terbaik terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada. 8. Accountability, yaitu bahwa para pengambil keputusan di instansi pemerintah, sektor publik dan organisasi masyarakat madani harus mampu mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan dan diputuskannya kepada publik sekaligus kepada para pemangku kepentingan. 9. Strategic vision yaitu bahwa para pemimpin dan masyarakat publik harus memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang terhadap pembangunan manusia, dengan memperhatikan latar belakang sejarah, dan kompleksitas sosial budaya.
sedangkan pada aspek keadilan sosial hal ini menunjukkan bahwa pemberian pelayanan kepada masyarakat harus dilandaskan pada aspek keadilan dalam pengertian tidak boleh ada diskriminasi atau perbedaan yang didasarkan pada alasan-alasan ekonomi, politik, dan alasan yang tidak rasional lainnya. Salah satu intisari dari prinsip NPS tersebut adalah bagaimana administrator publik mengartikulasikan dan membagi kepentingan warga negara (Denhardt dan Denhardt, 2003). Agar kepentingan warga negara tersebut dapat terbagi rata, diperlukan media pertemuan antara pemerintah dengan warga masyarakat, sehingga semua kepentingan warga masyarakat dapat diakomodasi. Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik ini, beberapa kegiatan sudah dilakukan oleh pemerintah misalnya dapat Mencermati beberapa perspektif yang dilihat pada kegiatan perencanaan partisipatif dikemukakan oleh para ahli tersebut, dan seperti musyawarah pembangunan (Musrenupaya untuk mengatasi masalah-masalah bang) baik pada tingkat kecamatan, kabupaberkaitan dengan pelaksanaan pelayanan ten, maupun provinsi dan nasional. Meskipun publik di Indonesia sesuai dengan perkem- demikian kegiatan tersebut tidak dapat disebangan IPTEK, kemajuan pengetahuan lenggarakan sewaktu-waktu, sehingga kepenmasyarakat serta perubahan iklim politik tingan masyarakat dalam bentuk kebutuhan yang lebih demokratis, maka perspektif tidak dapat ditangkap dengan cepat oleh pemeadministrasi publik yang relevan dapat rintah. Seperti kebutuhan yang terjadi secara diterapkan adalah perspektif new public sevice tiba-tiba seperti kebutuhan akan kesehatan, (NPS) dan governance. NPS sebagai paradig- air bersih, bisa terjadi sewaktu-waktu. Agar ma terbaru dari administrasi publik meletak- kebutuhan masyarakat dapat segera diantisikan pelayanan publik sebagai kegiatan utama pasi dan diatasi oleh pemerintah maka diperlupara administratur publik. Pelayanan dalam kan media komunikasi antara pemerintah dan konteks ini berbeda dengan pelayanan berba- masyarakat. Sesuai dengan perspektif New sis pelanggan (konsumen) sebagaimana di- Public Service maupun good governance, ada begagas oleh dalam pradigma New Public Mana- berapa model pelayanan publik yang dapat digement (NPM). NPM menurut Kamensky gunakan untuk mengatasi masalah pelayanan dalam Denhardt dan Denhardt (2003) dida- publik di Indonesia diantaranya adalah: sarkan pada public choice theory, dimana teori 1. Model Citizen’s Charter (kontrak pelayatersebut menekankan pada kemampuan nan), model ini berasal dari ide Osborne individu seseorang dibandingkan dengan kedan Plastrik (1997). Dalam model ini termampuan publik secara bersama-sama. dapat standar pelayanan publik yang Penggunaan perspektif New Public Service ditetapkan berdasarkan masukan warga dalam mengatasi masalah pelayanan publik di masyarakat, dan aparat pemerintah berIndonesia hal ini juga sesuai dengan dasar janji untuk memenuhinya dan melaksananegara Pancasila khususnya pada Sila keemkannya. Model ini merupakan pendekatan pat dan kelima, yang menekankan pada musyadalam pelayanan publik yang memposisiwarah mufakat dalam hal ini adanya kesepakan pengguna layanan sebagai pusat katan antara pemerintah selaku pemberi layaperhatian. Oleh sebab itu, kebutuhan dan nan dengan warga sebagai penerima layanan, kepentingan pengguna layanan harus Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
87
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
menjadi pertimbangan utama dalam proses pelayanan. Citizen’s Charter ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial antara warga dengan aparat birokrasi untuk menjamin mutu pelayanan publik. Adanya kontrak sosial tersebut, maka warga memiliki hak-hak baru apabila dirugikan oleh birokrasi dalam memberikan pelayanan. Dengan mengadopsi model Citizen’s Charter, birokrasi juga harus menetapkan sistem untuk menangani keluhan pelanggan dengan tujuan memperbaiki kinerjanya secara terus menerus. 2. Model KYC (Know Your Costumers), model ini dikembangkan dalam dunia perbankan yang dapat diadaptasi ke dalam konteks pelayanan publik dalam organisasi pemerintah. Mekanisme kerja dalam model ini yaitu berupaya mengenali terlebih dahulu kebutuhan dan kepentingan pelanggan sebelum memutuskan jenis pelayanan yang akan diberikan (Dwiyanto, 2005). Untuk mengetahui keinginan, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan, maka birokrasi pelayanan publik harus mendekatkan diri dengan masyarakat. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan para pelanggan yaitu melalui survai, wawancara, dan observasi. Jika menggunakan metode survai maka seperangkat daftar pertanyaan harus disusun untuk mengidentifikasi keinginan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat terhadap pelayanan yang diinginkan. Dalam model KYC ini birokrasi pemerintah harus mengetahui siapa yang menjadi pelanggannya (orang atau kelompok masyarakat yang dilayani). Oleh sebab itu setiap unit birokrasi pemerintah harus mampu mendefinisikan pelanggannya atau pengguna jasa mereka, sehingga untuk selanjutnya mereka dapat mengorientasikan pelayanan kepada kebutuhan masyarakat pengguna jasa tersebut. Kantor kelurahan misalnya harus mampu mengidentifikasi pengguna jasa mereka, apakah masyarakat yang ada dalam Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
wilayah kelurahannya, ataukah camat dan bupati yang mengangkat lurah tersebut. 3. Model M-Government (m-Gov), kemajuan teknologi dibidang informasi dan komunikasi ikut berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja birokrasi pemerintah terutama dari segi pelayanan warga masyarakat. M-Government sebenarnya diadaptasi dari Electronic Government (e-Gov) yakni salah satu cara untuk menjalankan fungsi pemerintah dengan memanfaatkan berbagai perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) (Nugroho, 2008). Menurut Kuschu dan Kuscu (2003) bahwa penggunaan e-Gov setidaknya mampu mengubah pola interaksi antara pemerintah dengan masyarakat. Pelayanan yang semula berorientasi pada antrian (in line) di depan meja pegawai dan tergantung pada jam kerja serta person pegawai yang menangani suatu pelayanan tertentu berubah menjadi layanan on line yang dapat diakses website pemerintah melalui komputer yang terhubung ke internet, selama 24 jam sehari. Konsep pemerintah yang menggunakan teknologi bergerak tersebut disebut Mobile Government (m-Gov). Model ini pada saat sekarang sudah dapat digunakan dengan mudah karena fasilitas yang dipergunakan dapat melalui komputer PC di rumah atau di kantor, Laptop/notebook/tablet, dan Hp (Mobile Phone). mGov adalah strategy and its implementation involving the utilization of all kinds of wireless and mobile technology, services, applications and devices for improving benefits to the parties involved in e-government including citizens, businesses and government units (Kuschu dan Kuscu, 2003). Beberapa daerah di Indonesia sudah mengimplementasikan e-Gov ini seperti Kota Solo dan Kabupaten Sragen. Juga Presiden SBY menggunakan e-Gov dalam memberikan pelayanan seperti membuka layanan SMS pada nomor 9949 untuk menerima keluhan masya88
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
rakat, juga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menerima pengaduan masyarakat mengenai kasus-kasus korupsi melalui fasilitas SMS. Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan m-Gov ini seperti melalui jaringan internet dengan menggunakan laptop, kini sudah banyak tersedia jaringan WiFi (wireless fidelity) yakni perangkat yang memungkinkan pengguna untuk mengakses internet secara nirkabel bahkan beberapa lokasi tersedia hotspot gratis. Cara lain yang dapat digunakan dalam implementasi m-Gov ini yaitu melalui handphone baik penggunaan melalui suara atau SMS (short massage service). Pemanfaatan suara melalui telepon atau Hp (mobile phone) untuk menerima kebutuhan dari masyarakat sudah sering digunakan di dunia bisnis dengan nama Call Centre, pada institusi perbankan dikenal dengan nama phone banking. Untuk organisasi publik, konsep ini diterapkan dengan menempatkan beberapa pegawai sebagai agen. Nantinya agen ini akan memberikan informasi tentang kebutuhan masyarakat. Selain berfungsi sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat, agen ini juga dapat berfungsi sebagai penghubung aspirasi antara masyarakat dengan pemerintah. Kebutuhan masyarakat dimasukkan ke dalam sistem yang terintegrasi sehingga dapat diketahui oleh pimpinan instansi. Melalui fasilitas SMS di Hp yaitu fasilitas yang dapat digunakan untuk mengirim dan menerima pesan-pesan pendek. Ada beberapa bentuk dari penggunaan teknologi ini di pemerintahan (Nugroho, 2008), antara lain: a. Pemerintah ke masyarakat, dalam hal ini pemerintah dapat memberikan informasi kepada warganya melalui SMS. b. Masyarakat ke pemerintah, keluhan dan saran masyarakat dapat dikirimkan ke pemerintah melalui SMS. Menurut Lallana dan Zalesak (2004) untuk poin a dan b di atas disebut mCommunication. c. Pemerintah ke pegawai negeri sipil, pemerintah dapat memberikan pengumuman kepada PNS melalui SMS, sehingga informasi dapat lebih cepat diterima dan akhirnya pelayanan kepada masyarakat Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
dapat lebih cepat. Kemampuan lain dari ponsel adalah mampu memberikan lokasi dimana PNS berada, ini diperlukan untuk mengetahui keberadaan pegawai jika mereka tidak berada di kantor. Untuk hal ini menurut Lallana dan Zalesak (2004) disebut m-Administration. Ada beberapa cara atau pola yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan model pelayanan M-Gov ini, konsep yang ditawarkan oleh (Nugroho, 2008) adalah: a. Masyarakat dengan Basis Data Aduan Masyarakat b. Basis Data Aduan Masyarakat dengan Pemerintah Daerah c. Basis Data Aduan Masyarakat dengan DPRD d. Sistem Aduan Masyarakat dengan Muspida e. Sistem internal Pemda via SMS E. PENUTUP Perspektif New Publik Service dan Good Governance dianggap paling tepat untuk kondisi sekarang dalam mengatasi masalahmasalah pelayanan publik di Indonesia. Hal itu didukung oleh situasi politik yang lebih demokratis dan keterbukaan pemerintah. Dan untuk efektif nya implementasi persepektif tersebut, dapat diterapkan dengan menggunakan beberapa model seperti model citizen’s charter, model KYC (Know Your Customer), dan model m-Government. Dengan adanya modelmodel tersebut di atas diharapkan kendalakendala yang selama ini menghambat efektivitas pelaksanaan pelayanan publik dapat diatasi sehingga pelaksanaan pelayanan publik dapat ditingkatkan efektivitasnya, sekalipun demikian kesemuanya kembali kepada person atau pelaksana pelayanan tersebut yakni aparat pemerintah dan juga partisipasi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Denhardt, J.V., dan Denhardt, R.B., 2003. The New Public Service: An Approach to Reform. International Review of Public Aministration Vol 8 No 1. 2004. The 89
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
New Public Service: Serving, Not Steer- Nugroho, Rino A., 2008. “Model Pelayanan Publik Menggunakan M-Governement ing. New York: M.E Sharve. (Studi Kasus di Solo, Sragen, Sukoharjo Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good dan Karanganyar)”. Jurnal Dinamika, Governance Melalui Pelayanan Publik. Vol 8 : No. 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Osborne, D., dan Gaebler, T., 1996. Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Frederickson, H.G., 1987. Administrasi Negara Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Baru (terjemahan). Jakarta: LP3ES. Publik (Terjemahan). Jakarta: CV Taruna Grafika. Keban, Y.T., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Osborne, D., dan Plastrik, P., 1997. Banishing Isu. Jakarta: Gava Media. Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Governement . New York: Kushcu dan Kuscu. 2003. From E-government Addison-Wessley Publising Company. to M-government: Facing the Inevitable in the Proceeding of European Confrence Thoha, Miftah, 2008. Ilmu Administrasi Public on E-Government (ECEG 2003), Trinity Kontemporer. Jakarta: Kencana. College, Dublin. Zalesak, Mischal. “Overview and Opportunities Lallana, E. 2004. eGovernment for Developof Mobile Government”. www.develop ment, M-Government Definitions and m e n t g a t e w a y. o r g / do w n lo a d / 218309/mGov.doc., di akses (24 Juni Models. www.egov4dev.org/mgovdefn. htm. di akses (20 Mei 2007) 2010)
*********
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
90
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
KEMITRAAN DALAM PELAYANAN PUBLIK : SEBUAH PENJELAJAHAN TEORITIK Fatmawati Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588
ABSTRACT Public services in recent years become a central issue has forced all parties, both state and public institutions to perform again in its implementation regulations. Although the provision of public services is an obligation that must be done by the government as the organizer of the state. However, the obligation to provide such services are still not able to give satisfaction to the user community. To realize good governance requires the synergistic partnership between agencies both within and outside the government bureaucracy. The agencies include the private sector and civil society. Partnerships must be built in an environment that is transparent, which is built with good communication, especially in any decision-making. This meant that the policies are formulated to meet the expectations of society. Thus, the partnership between government, communities and businesses are expected to promote the establishment of governance, development and public services more democratic and more professional. Keywords: Bureaucratic Management, Professional, Public Service.
ABSTRAK Pelayanan publik dalam beberapa tahun terakhir menjadi isu sentral telah memaksa semua pihak, baik negara dan lembaga publik untuk tampil lagi dalam peraturan pelaksanaannya. Meskipun pelayanan publik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Namun, kewajiban untuk menyediakan layanan tersebut masih belum mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat pengguna. Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan kemitraan sinergis antara lembaga baik di dalam dan di luar birokrasi pemerintah. Badan-badan termasuk sektor swasta dan masyarakat sipil. Kemitraan harus dibangun dalam lingkungan yang transparan, yang dibangun dengan komunikasi yang baik, terutama dalam pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa kebijakan yang diformulasikan untuk memenuhi harapan masyarakat. Dengan demikian, kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan bisnis diharapkan untuk mendorong terwujudnya pelayanan pemerintahan, pembangunan dan publik yang lebih demokratis dan lebih profesional. Kata kunci: Manajemen Birokrasi, Profesional, Pelayanan Publik.
91
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. PENDAHULUAN
kehidupan bernegara bangsa yang demokratik memiliki hak untuk dilayani. Adalah kewajiban pejabat-pejabat pemerintahan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan para warga itu. Namun, apa lacur.? Perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang era reformasi ini ternyata belum sepenuhnya mengubah tatanan kehidupan masyarakat di bidang pelayanan publik. Harapan masih sangat jauh bahwa warga masyarakat bisa memperoleh akses yang lapang ke arah pelayanan yang baik dan berkualitas. (Larasati, 2008:255). Menurut Miftah Thoha (dalam Sedarmayanti, 2009:243), pelayanan publik dapat dipahami sebagai suatu usaha oleh seorang/ kelompok orang, atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Hanya saja, dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan bukanlah tugas yang mudah mengingat usaha tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu kemudian peran swasta dan masyarakat sangat diharapkan untuk melengkapi pemerintah dalam menciptakan kualitas pelayanan publik yang optimal. Keterlibatan dunia usaha (swasta) dan masyarakat dalam optimalisasi pelayanan publik tentu saja sangat mendukung dalam pencapaian tujuan besar yaitu Good Governance, dalam konsep Good Governance, peran masyarakat dan sektor swasta menjadi sangat penting karena adanya perubahan paradigma pembangunan dengan meninjau ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula berperan sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Tentu saja hal ini bisa diwujudkan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah memiliki kapabilitas yang memadai.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sumbangan pikiran dalam rangka upaya peningkatan pelayanan publik oleh pemerintah. Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, oleh karena itu organisasi pemerintah sering pula disebut sebagai “pelayanan masyarakat� (public service) (Wasistiono, 2009). Walaupun tugas dan fungsi pelayanaan publik merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah namun dengan prinsip partisipasi mayarakat sebagai salah satu pilar kepemerintahan yang baik atau good governance, masyarakat sebenarnya perlu dilibatkan lebih jauh dalam kegiatan penyediaan pelayanan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan demikian paradigma dominan yang selama ini cenderung memandang pelayanan publik menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, sementara masyarakat berada di pihak yang pasif, yang hanya menunggu dan menagih untuk mendapatkan pelayanan tampaknya perlu dikaji ulang. Adanya sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat memungkinkan kualitas pelayanan menjadi lebih meningkat, karena masyarakat sendiri turut mengawasi pelaksanaannya. Di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka dalam mengakses dan menggunakan pelayanan publik, akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut umumnya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Sebaliknya, pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara, pada kenyataannya hanya sebuah retorika, sebab urusan pelayanan publik yang demikian kompleks, mustahil dapat dikerjakan semua hanya oleh pemerintah. Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, berprosedur jelas, dilaksanakan dengan segera dan dengan biaya yang pantas, telah terus B. PERGESERAN PARADIGMA mengedepan dari waktu ke waktu. Tuntutan PELAYANAN PUBLIK ini berkembang seiring dengan berkembangnya kesadaran bahwa warga negara dalam Paradigma baru administrasi publik, Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
92
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
menyebabkan pola hubungan antara negara dengan masyarakat, yang lebih menekankan kepada kepentingan masyarakat. Akibatnya negara dituntut untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan lebih baik dan lebih demokratis. Pemahaman yang senada diberikan oleh Denhardt bahwa paradigma baru pelayanan publik (new public services paradigm) lebih diarahkan pada “democracy, pride and citizen”. Lebih lanjut dikatakan bahwa “Public servants do not delever customer service, they delever democracy” Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan publik sebagai norma mendasar dalam penyelenggaraan administrasi publik (Larasati, 2008:260) Pelayanan publik adalah identik dengan representasi dari eksistensi birokrasi pemerintahan, karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas pelayanan publik merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah. Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat besar kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar pemerintah tidak pernah mendapat tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan dunia swasta hanya memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karenanya berkenaan dengan reformasi di sektor publik, salah satu prinsip penting yang merubah paradigma pelayanan publik adalah prinsip streering rather than rowing. Berkenaan dengan prinsip ini, pemerintah diharapkan untuk lebih berperan sebagai pengarah daripada sekedar pengayuh. Fungsi pengayuh bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang profesional. Prinsip ini menjelaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara terus menerus bekerja sendirian, dan harus mulai mengubah paradigma pelayanan agar tujuan dari penyelenggaraan pelayanan dapat tercapai lebih baik lagi. Perjalanan demokratisasi yang berlangsung di Indonesia memberikan pelajaran yang berharga bagi pemerintah (birokrasi) dan warga negara (citizen). Wajah dan sosok birokrasi kini mengalami perubahan dari birokrasi yang kaku berorientasi ke atas menuju Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
ke arah birokrasi yang lebih demokratis, responsif, transparan, dan partisipatif. Secara teoritis, Eisler dan Montuori (2001:11) membuat pernyataan yang menarik yang berbunyi “Beginning to recognize and acknowledge Partnership in ourselves and in others, and finding creative alternatives for Dominator thinking and behaviors is a first step towards building a Partnership organization.” (memulai dengan mengakui dan memahami kemitraan pada diri sendiri dan orang lain, dan menemukan alternatif yang kreatif bagi pemikiran dan perilaku dominator merupakan langkah pertama ke arah membangun sebuah organisasi kemitraan). Istilah kemitraan seringkali dipertukarkan dengan banyak istilah lain seperti kolaborasi, aliansi, ko-produksi atau konsorsium. Istilahistilah ini sebenarnya sebagai perwujudan dari kerjasama antar individu atau kelompok yang saling membantu, saling menguntungkan dan secara bersama-sama meringankan pencapaian tujuan yang telah mereka sepakati bersama. Permasalahan definisi ini kemudian diikuti dengan pernyataan mendasar bahwa kemitraan sebagai proses, produk, hasil penjelajahan, atau hasil akhir (BorriniFeyerabend, 1996). Secara khusus pada bidang pelayanan publik, pengertian kemitraan mengacu kepada dukungan sukarela dan resiprokal (timbal balik) antara dua atau lebih badan sektor publik yang berbeda. Dengan kata lain antar administrasi publik dengan privat, termasuk organisasi nonprofit. Berbagai sektor tersebut saling memberikan dukungan satu sama lain dalam rangka pelayanan publik yang menjadi bagian dari misi pemerintah. Pengertian kemitraan sebagai kerja bersama (working together) dikemukakan oleh Hodget & Johson (2001:323) bahwa kemitraan diarahkan untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan individu, kelompok, lembaga atau organisasi untuk menghasilkan suatu keluaran yang bermakna dan berkelanjutan. Dalam kemitraan terjadi relasi antarorganisasi dan dengan relasi tersebut akan tercipta kerja sama. Sistem kemitraan bertumpu pada kepercayaan. dengan ciri-ciri-nya, antara lain: (I) persamaan 93
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
dan organisasi yang lebih landai: (2) hierarki aktualisasi yang luwes (di mana kekuasaan dipedomani oleh nilai-nilai seperti caring dan caretaking); (3) spiritualitas yang berbasis alamiah; (4) tingkat kekacauan yang rendah yang terbentuk dalam sistem; dan (5) persamaan dan keadilan gender. Masa sekarang model komando dan kontrol ini selain tidak sesuai lagi, juga makin menjadi tidak berlaku. Kekakuan birokrasi bersifat mematikan organisasi yang berkehendak mengarahkan secara efektif di lingkungan yang cepat berubah di mana inovasi dan fleksibilitas merupakan faktor-faktor kunci. Di dalam sistem kemitraan, kreativitas sangat bernilai dan dihargai. Kreativitas kemitraan tidak mengecualikan perubahanperubahan kreatif yang dramatis, sistem tersebut juga mendorong hubungan-hubungan kreatif dan pendekatan-pendekatan kreatif terhadap masalah-masalah sehari-hari. Kreativitas sehari-hari dalam organisasi dapat mendorong perbaikan terus menerus dan perbaikan kualitas, seperti praktik manajerial baru, penghargaan baru, proses pendidikan baru, bagan organisasi baru dan sebagainya. Jika organisasi dirancang dengan pemikiran sistemik, perbaikan hidup dan prinsipprinsip kemitraan, maka diperlukan pergeseran mendasar dalam cara orang berpikir dan merancang organisasi. Disamping itu organisasi memerlukan jenis kreativitas yang perlu dijaga dan didorong oleh model kemitraan: perlindungan yang luas dan belum begitu dimanfaatkan dari kreativitas sosial dan kewirausahaan sosial. Kemitraan berusaha melibatkan masyarakat, baik dalam bentuk kelompok maupun individual. Vigoda (2002:527) menyebut mereka sebagai “social players� yang memiliki tingkatan kepentingan, keahlian, sumberdaya dan kemampuan pengambilan keputusan yang bervariasi. Vigoda menyoroti kondisi ideal dari proses kemitraan di mana masyarakat sebagai warga negara dan pemerintah sebagai penanggung jawab pemerintahan bertindak sebagai sepasang “partner� dalam proses pengambilan keputusan. Khususnya dalam proses pemberian pelayanan, warga negara harus diperlakukan sebagai rekan Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
kerja, dan bukan sebagai subjek atau pelanggan. Kemitraan dalam perspektif hubungan antarorganisasi masa kini dikemukakan oleh Limerick dan Cunnington (1993:6). Menurut keduanya, ada delapan sebagai respon terhadap dunia yang selalu berubah. Kedelapan dimensi tersebut adalah: n Managing global market; n Building new kind of alliance between the public and private sector; n Balancing competition with collaboration; n Drawing investors into corporate environment; n Accepting corporate responsibility; n designing new form of organizations; n Integrating sub cultures; n Turning every employee into the new millennium. Salah satu dari delapan dimensi tersebut adalah mendesain bentuk baru organisasi. Desain bentuk baru organisasi tersebut diarahkan kepada perubahan-perubahan beberapa karakteristik. Pertama, organisasi bergerak dari bentuk independen ke interdependen. Kedua, organisasi bergerak dari organisasi khierarkis ke organisasi networks. Ketiga, bergerak dari model partisipasi ke budaya kemitraan (Taket and White, 2000:13). Bentuk baru organisasi pada masa depan juga terkait dengan peristilahan kemitraan dalam pelayanan publik. Pada bidang publik, kemitraan mengacu pada situasi saling memberi dukungan antar organisasi dalam rangka pelayanan publik. (Taket and White, 2000:14). Hal ini dicirikan oleh karakteristik berikut: n Sekurang-kurangnya ada dua lembaga yang berbeda, sektor publik dengan private atau sektor nonprofit. n Adanya perjanjian tertulis untuk menentukan kerangka kemitraan. n Adanya tujuan (pada umumnya penyelenggaraan pelayanan publik). n Adanya pembagian tanggung jawab yang terdiri dari pembagian risiko, sumber daya, biaya, dan manfaat, baik yang bersifat tangible maupun intangible. 94
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Dari definisi ini, unsur-unsur kemitraan dapatlah disebutkan sebagai berikut: kesukarelaan, kerja sama, upaya ke arah pembangunan berkelanjutan, alokasi yang efisien atas sumber daya komplementer yang dicurahkan, serta keterlibatan sektor perusahaan, kelompok masyarakat sipil dan pemerintah. Kalau keseluruhan unsur tersebut muncul, maka potensi bagi penyelenggaraan program pembangunan yang unggul memang sudah memadai. Tujuan dan manfaat dibentuknya kemitraan adalah untuk mencapai hasil yang lebih baik, dengan saling memberikan manfaat antar pihak yang bermitra, Hafsah (2000:5462) mengemukakan mengenai manfaat yang dapat diperoleh dalam kemitraan, beberapa diantaranya yaitu: n Kemitraan dapat meningkatkan produktivitas organisasi; n Kemitraan dapat membantu organisasi mencapai tujuan dengan lebih efisien; n Kemitraan mengurangi beban risiko yang ditanggung oleh organisasi dengan membaginya; n Kemitraan memberikan dampak sosial yang besar. Ada beberapa persyaratan bagi keberhasilan kerja kemitraan yang melibatkan kepentingan semua pihak yang terlibat, yaitu badan-badan dan departemen pemerintah dan masyarakat setempat sendiri. Bryden, et al, (1998) mengajukan pedoman terselenggaranya proses ini, yang meliputi pelatihan semua pihak yang terlibat, penggunaan secara hatihati bahasa yang digunakan ketika berinteraksi dengan orang-orang setempat, penggunaan contoh-contoh dan penghubung, akuntabilitas dan kepemerintahan yang terbuka, menjabarkan tujuan-tujuan ke dalam tugas-tugas yang mudah dicapai, pesta keberhasilan, menjaga masyarakat setempat sadar informasi, dan adaptasi secara terusmenerus untuk menghadapi perubahanperubahan dan kebutuhan-kebutuhan baru. Pada pihak lain, Agranoff dan Mc Guire (2004, 183) menambahkan perlunya kepemimpinan dan kemampuan memandu, sebab pengelolaan networks bukan sekedar konsensus atau suatu tindakan yang diambil bersama Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
tetapi juga dukungan ide atas kon-sensus dari organisasi masing-masing. Kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyarakat (Public Private Community Partnership) merupakan suatu model kemitraan yang didasarkan pada kerangka penyedia terbaik (Best Sourcing). Dengan kerangka Best Sourcing tersebut pemerintah dapat mendorong sektor swasta-masyarakat untuk terlibat dalam memberikan pelayanan publik tertentu yang mana hal itu akan lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan (value for money) dan memberikan win-win solution baik bagi pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat. C. POLA KEMITRAAN PEMERINTAH, SWASTA DAN MASYARAKAT Jika mengacu pada teori barang publik, maka pada dasarnya pelayanan publik merupakan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakannya, sedangkan untuk barang privat sektor swastalah yang menyediakan. Namun dalam kenyataannya terdapat beberapa barang campuran, yaitu barang semi publik (quasi public goods) dan semi privat (quasi private goods). Pelayanan publik meliputi penyediaan barang publik murni, semi publik, dan semi privat. Untuk kategori barang campuran ini, baik sektor publik maupun swasta dapat sama-sama menyediakan. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, pemerintah daerah dapat melakukan program kemitraan dengan sektor swasta (public private partnership) atau bisa juga bekerjasama dengan sektor ketiga yaitu dengan organisasi nonprofit dan LSM (Mardiasmo, 2004). Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut: n Pendidikan. n Kesehatan. n Keagamaan. n Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan. n Rekreasi: taman, teater, musium, turisme. n Sosial. n Perumahan. 95
Vol. I, No. 2, Oktober 2011 n n n n
Pemakaman/krematorium. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian. Air minum. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.
Di dalam pelaksanaannya komposisi kemitraan yang disarankan kepada otoritas lokal terdiri dari (Chapman dalam Sumartono, 2008) : n Lembaga-lembaga pemerintah n Otoritas lokal n Bisnis swasta dan organisasi-organisasi komersial n Kelompok-kelompok masyarakat n Organisasi-organisasi lingkungan n Kelompok-kelompok sukarela, dan Individu-individu pribadi. Bentuk kerjasama pemerintah dengan swasta/masyarakat bisa berupa kontrak kerja, tender penyediaan barang atau jasa, atau bisa juga berupa Business Process Outsourcing (OECD, 2001). Model kemitraan yang dapat diadopsi antara lain: Gambar 1. Hubungan Kemitraan Sektor Publik, Sektor Swasta dan Sektor Ketiga (Masyarakat)
Sumber: Mahmudi, 2007:55
1. Operasi–Pemeliharaan (Operation–Maintenance) Pada Operation–Maintenance, sektor publik menyewa sebuah organisasi swasta untuk mengerjakan satu atau lebih tugas atau pelayanan publik selama lima sampai tujuh tahun. Sektor publik masih sebagai penyedia pelayanan yang utama Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
sedangkan organisasi swasta mengerjakan pelayanan yang diserahkan kepada pihak luar oleh sektor publik. Sektor swasta harus menentukan pelayanan publik yang sesuai dengan biaya dan pelayanan tersebut harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh sektor publik. Secara umum, pemerintah menggunakan prosedur kompetitif untuk memilih pihak yang menyelenggarakan service contract. Pembelian tersebut harus didasarkan pada waktu pelaksanaan yang lebih singkat dan yang membutuhkan sumberdaya yang sedikit (Bennet dalam Suhartono, 2005: 74). 2. Bangun-Transfer-Operasi (Build-Oper-ate-Transfer) Build-Operate-Transfer Contract (BOT) didesain untuk membawa investasi sektor swasta membangun infrastruktur baru. Pada BOT, sektor swasta akan membangun, membiayai, dan mengoperasikan infrastruktur baru dan system baru yang sesuai standar pemerintah. Periode operasi adalah cukup lama agar sektor swasta dapat menerima kembali biaya-biaya konstruksi dan mendapatkan keuntungan. Jangka waktu operasi tersebut adalah 1920 tahun. Setelah periode operasi selesai, seluruh infrastruktur diserahkan kepada pemerintah (Bastian, 2001). Pemerintah berkedudukan sebagai pemilik fasilitas infrastruktur, sekaligus menjadi konsumen dan regulator dari pelayanan tersebut (Bennet dalam Suhartono, 2005: 75). 3. Wrap Around Addition Kemitraan bentuk Wrap Around Addition merupakan kerjasama antara pemerintah daerah dengan swasta yang dalam hal ini partner swasta mendanai dan membangun tambahan fasilitas publik yang tersedia. Partner swasta juga mengoperasikannya sampai tenggang waktu tertentu sampai dengan modal partner swasta kembali ditambah keuntungan yang diinginkannya. Kemitraan jenis ini dapat diaplikasikan pada hampir seluruh infrastruktur dan fasilitas publik termasuk jalan, air bersih, 96
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
pengolahan limbah dan lain sebagainya Kedua, ada interaksi antara sektor publik dan (Mahmudi, 2007:57). sektor swasta. Interaksi ini terjadi pada derajat yang berbeda, bisa 99% publik dan 1% swasta 4. Sewa-Beli (Leasing) atau sebaliknya 1% publik dan 99% swasta. Sewa-Beli merupakan jenis kemitraan Ada elemen-elemen yang contracting out yang dalam hal ini pemerintah daerah (misalnya perawatan kendaraan, kebersihan) melakukan kontrak kepada partner atau pembagian tugas (tindakan preventif dan swasta untuk melakukan desain, pembia- pembangunan saluran hidran). yaan, dan membangun fasilitas untuk Ketiga, dimungkinkan 100% peran sektor layanan publik. Partner swasta kemudian swasta, dengan tidak melibatkan masyarakat menyewakan kepada Pemda sampai den- dan pemerintah, artinya penyediaan pelayagan kepemilikan fasilitas menjadi milik nan sepenuhnya dikelola swasta, dengan tidak pemerintah. Hal ini dilakuan ketika Pemda ada keterlibatan pemerintah baik pada reguingin menyediakan fasilitas layanan akan lasi maupun penyediaan fasilitas. tetapi tidak bersedia memberikan pendaKeempat, ada interaksi antara pemerintah naan. Sewa-Beli dapat digunakan untuk dan masyarakat. Pegawai fasilitas pelayanan, pembangunan modal seperti gedung, ar- misalnya, merupakan kombinasi antara tenaga mada kendaraan, air bersih dan penye- profesional pemerintah dan sukarelawan diaan fasilitas komputer (Mahmudi, masyarakat. 2007:58). Kelima, urusan pelayanan publik 100% menjadi urusan masyarakat. Tidak ada 5. Pelayanan Berbasis Masyarakat organisasi pemerintah maupun swasta yang (Community-Based Provision) telibat dalam perencanaan, pengadaan, dan Community-based provision berawal ke- penanganan masalah tersebut. tika keterbatasan keuangan menghadang Keenam, kombinasi antara organisasi pemerintah untuk memberikan pelayanan swasta yang berorientasi pada profit dengan yang cukup untuk masyarakat. Commu- LSM yang non profit. Lembaga penyedia nity-based provision mendorong anggota pelayanan mungkin ditangani swasta, tetapi masyarakat untuk memenuhi kebutu- dikombinasikan dengan tenaga profesional hannya sendiri. Anggota dari Community dan warga masyarakat. Yang terakhir merubased provision meliputi individual, pakan kombinasi dari tiga pilar governance: keluarga atau perusahaan dalam ruang pemerintah (publik), swasta, dan masyarakat. lingkup mikro. Seringkali beberapa Kombinasi tersebut sama dengan interaksi aktivitas tidak dapat diakui dan tidak dapat antara pemerintah-swasta (public-private) terintegrasi dalam system yang formal. Di tetapi dengan tambahan tenaga sukarelawan beberapa kota dimana pemerintah dari masyarakat (Paskarina, 2007:8). mengakui adanya NGO, NGO akan memSetiap bentuk kemitraan, masing-masing berikan bantuan pada group non-formal mengandung potensi keuntungan dan keini secara terorganisir. NGO menyediakan rugian. Oleh karena itu, perencanaan yang input untuk proses manajemen media baik, manajemen risiko, dan penilaian mennegosiasi antara CBO dengan lembaga dalam tentang skema kemitraan mutlak harus politik yang lebih luas, jaringan kerja, dan dilakukan agar pemerintah tidak dirugikan penyebaran informasi (Bennet dalam yang pada akhirnya masyarakatlah yang Suhartono, 2005:78) dirugikan. Bila model kemitraan ini diterapkan, D. KEMITRAAN SEBAGAI PERWUJUDAN setidaknya terdapat tujuh kemungkinan pola GOOD GOVERNANCE DALAM interaksi kemitraan; pertama, seratus persen PELAYANAN PUBLIK pengaturan, kontrol dan evaluasi dilakukan pemerintah secara otonom dan mandiri. Harus diakui bahwa penerapan sistem Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
97
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
kemitraan di Indonesia masih merupakan hal yang baru dan belum banyak dipahami dengan baik oleh para perumus kebijakan di daerah. Akan tetapi dari beberapa kasus di daerah yang telah berhasil menerapkannya, tampak bahwa sistem kemitraan bisa merupakan terobosan bagi penciptaan mekanisme pelayanan yang lebih berkualitas serta reformasi birokrasi publik di Indonesia. Kemitraan dalam pelayanan publik jelas sangat sesuai dengan gagasan tata pemerintahan yang baik sebab prinsip dasar dari governance adalah keterlibatan tiga pihak dalam proses pelayanan, yaitu pemerintah daerah, unsur-unsur swasta, dan unsur-unsur masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan. Secara teoritis yang dikemukakan Tascereu dan Campos (Thoha, 2003:63), tata pemerintahan yang baik ( terjemahan good governance) merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen yaitu pemerintahan (government), rakyat (citizen) atau civil society dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding atau tidak terbukti maka akan terjadi pembiasan dari tata pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan dan mengawal proses pelaksanaan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi kelompok-kelompok private (dunia usaha) dan civil society yang meliputi kelompok-kelompok infrastruktur politik (Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM, kelompok penekan, partai politik, Perguruan Tinggi dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Atas dasar tersebut, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik sesungguhnya adalah bagaimana membangun kemitraan dan komunikasi yang baik antara ketiga aktor tersebut. Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang governance yang baru muncul sekitar beberapa tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan good governance dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, term good governance diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab, ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Sofyan Efendi, 2005:2). Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep government berkonotasi bahwa peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas negara. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan (Sofyan Efendi, 2005:2). Kemudian secara implisit kata good dalam good governance sendiri mengandung dua pengertian; pertama, nilai yang menunjung tinggi kehendak rakyat dan nilai yang meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan kemandirian dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut (Tjahjanulin Domai, 2005:6). Prinsip-prinsip yang melandasi konsep tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai landasan good governance, yaitu akuntabilitas, 98
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
transparansi, dan partisipasi masyarakat. Selain itu juga, Good Governance yang efektif menuntut adanya koordinasi dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi dari ketiga pilar yaitu pemerintah, masyarakat madani, dan pihak swasta. Governance mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui dalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda. Menurut UNDP, governance atau tata pemerintahan memiliki tiga domain yaitu (Sedarmayanti, 2009:270): a. Negara atau tata pemerintahan (state); b. Sektor swasta atau dunia usaha dan (private sector;) c. Masyarakat (society). Ketiga domain dalam Governance tersebut berada dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sektor pemerintahan lebih banyak memainkan peranan sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak berkecipung dan menjadi penggerak aktifitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari sektor pemerintahan maupun swasta. Karena di dalam masyarakatlah terjadi interaksi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya (Wasistiono, 2009:31). Membangun, mewujudkan/menerapkan good governance, bukan hanya berupa masalah perbaikan kondisi dan komitmen birokrasi dan administrasi publik saja, tetapi juga perbaikan kondisi dan komitmen dunia usaha dan masyarakat yang memiliki berbagai macam kelompok sosial dengan kondisi dan kepentingan yang berbeda. Ketiga unsur tersebut, yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat harus secara bersama-sama/ mengadakan hubungan kemitraan berupaya mewuudkan terlaksananya good governance (tata pemerintahan yang baik). Penyediaan pelayanan sosial dasar yang bermutu oleh lembaga-lembaga yang kompeKemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
ten, bertanggung jawab dan akuntabel, sering dipandang sebagai perwujudan dari tata pemerintahan yang baik. Dalam tata pemerintahan, mutu pelayanan mencerminkan titik temu antara permintaan dan penawaran serta menjadi faktor penentu peningkatan standar dan kualitas hidup. Konsep kemitraan menjadi penting untuk didiskusikan, karena adanya kesadaran bahwa persoalan-persoalan pembangunan tidak dapat lagi dilihat hanya dari kepentingan dan tanggung jawab satu kelompok saja. Pembangunan telah menjadi kesadaran baru sebagai ‘kerja patungan’ dan bukan sebagai ‘single fighter’ dari pemerintah saja. Pemerintah tidak mungkin lagi mengerjakan semua urusan karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia, sehingga kerjasama dan kemitraan dengan pihak-pihak lain harus dilakukan agar kualitas pelayanan publik tetap dapat dipenuhi sesuai dengan tuntutan masyarakat. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik sementara tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik semakin meningkat. Sebagai suatu konsep, kemitraan pemerintah-dunia usaha-masyarakat diprediksi dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. E. KESIMPULAN Kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu dikembangkan agar penyediaan pelayanan publik menjadi lebih dekat dan mudah diakses masyarakat. Berbagai model jejaring kemitraan perlu dikembangkan tidak hanya untuk mengantisipasi tuntutan pelayanan publik, tapi juga untuk mengantisipasi dominasi pemerintah atau pasar dalam penyediaan barang dan jasa publik. Dominasi pemerintah akan menciptakan ketergantungan dan meminimalkan inovasi serta posisi tawar masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Sebaliknya, dominasi pasar dalam penyediaan public goods akan menyebabkan monopoli yang eksploitatif dan meminimalkan akses masyarakat terhadap pelayanan publik yang berkualitas. 99
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Karena itu, model jejaring kemitraan menjadi opment: Oct 2001; 21, 4; ABI/INFORM alternatif untuk mengatasi kelemahanResearch. Pg 321-332 kelemahan tersebut agar pelayanan publik yang berkualitas menjadi lebih mudah diakses Larasati, Endang. 2008. Reformasi Pelayanan masyarakat. Publik (Public Services Reform) dan Di kota-kota seluruh dunia, pemerintah Partisipasi Publik. “Dialogue” JIAKP, Vol. telah menemukan bahwa keterlibatan tiga 5, No. 2, Mei 2008 : 254-267 domain adminstrasi publik (pemerintahswasta-masyarakat) dapat meningkatkan Mahmudi. 2007. Kemitraan Pemerintah kualitas pelayanan publik, melalui penurunan Daerah dan Efektivitas Pelayanan biaya dan perluasan cakupannya. Dengan pePublik. Jurnal Sinergi Kajian Bisnis dan layanan publik demikian dapat meningkatkan Manajemen Vol. 9 No. 1, Januari 2007 kualitas kehidupan masyarakat. hal. 53 – 67 DAFTAR PUSTAKA Agranoff, Robert., and Michael Mc Guire. 2004. Collaborative Public Management: New Strategies for Local Government. Washington: Georgetown University Press
Mardiasmo. 2004. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Paskarina, Carolina. 2007. Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Pelayanan Publik. Warta Bapeda: www.bapedajabar.go.id
Borrini-Feyerabend, G. 1996. Collaboration Management of Protected Area: Tailor- Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi ing the Approach to the Context. Social Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepehttp:// Policy Group IUCN. mimpinan Masa Depan (Mewujud-kan www.iucn.org/ (download 12-1-2011) Pelayanan Prima dan Kepemerin-tahan yang Baik. Bandung: Refika Aditama Bryden, J.S.M., and Murphy, C. 1998. Evaluation and Monitoring of the Loggan Com- Sofyan Efendi. 2005. Membangun Budaya munity Forestry I nitiative, Inception Birokrasi untuk Good Governance. Report and Final Refort. Scottish Office, Lokakarya Reformasi Birokrasi. Jakarta: Edinburh. www.abdn.ac.uk/arkleton/ Departemen Pemberdayaan Aparatur npp/parte Negara. Eisler, R & Montuori, A. 2001. The Partnership Suhartono. Ehrmann. 2005. Model-model PubOrganization: A System Approach. O.D. lic Private Partnership pada Sektor Practitioner, Vol. 33, No. 2. http:// Pelayanan Air Bersih. Jurnal Akuntansi www.bepress.com?article (download dan Bisnis. Volume 5 No. 1 Pebruari 10-2-2011) 2005: 72-81 Hanif, Nurcholis. 2005. Teori dan Praktek Sumartono. 2008. Kemitraan Pemerintah Desa Pemerintahan dan Otonomi Daerah. dengan Badan Perwakilan Desa dalam Jakarta: Trasindo. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Disertasi (Tidak Diterbitkan), UGM. Hodgett, S., and Johnson, D. 2001. Troubles, Partnerships and Possibilities: A Study Taket & White. 2000. Partnership and Particiof the Making Belfast Work Developpation, Decision Making in the ment Initiative in Nerthern Ireland. Multiagency Setting. http://www. Journal Public Administration & Develtower.com/partnership-participationKemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
100
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
decision-making-in-multiagency-set- Vigoda, Eran., 2002, From Responsiveness to ting-a-r-taket Collaboration: Governance, Citizens, and the Next Generation of Public AdminisTjahjanulin Domai. 2005. Dari Pemerintahan tration, dalam Public Admi-nistration ke Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Review, Vol. 62, No. 5, Hal. 527-540. Depdagri. Wasistiono, Sadu. 2009. Kapita Selekta Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi Politik di IndoPenyelenggaraan Pemerintahan Daenesia. Jakarta: Raja Gravindo Persada rah. Bandung: Fokus Media.
*********
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
101
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
MANAJEMEN BIROKRASI PROFESIONAL DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN PUBLIK Jaelan Usman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588
ABSTRACT Professional management of public services should be more goal-oriented paradigm of governance that is based on a new management approach, both theoretically and practically. Simultaneously, a paradigm of governance goal is expected to eliminate practices that Weberian bureaucracy is negative as hierarkhikal bureaucratic structures that result in operating cost is more expensive (high cost economy) than the benefits gained, the prevalence of red tape, lack of initiative and creativity of the apparatus, the growth of culture mediokratis (as opposed to meritocratic culture) and in-efficiency. Therefore, institutions of public service can be done by government and non-governmental organizations. If the government, the organization of government bureaucracy is the forefront of the organization (street level bureaucracy) related to public service. If the non-government, then shaped the organization of political parties, religious organizations, nongovernmental organizations and civil society organizations to another. Anyone pelayanananya institutional forms, the most important thing is how to provide assistance and facilities to the community in order to meet the needs and interests. Keywords: Good Governance, Partnerships, Public Service.
ABSTRAK Manajemen profesional pelayanan publik harus lebih berorientasi pada tujuan paradigma pemerintahan yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru, baik secara teori maupun praktis. Secara bersamaan, paradigma dari tujuan pemerintahan diharapkan dapat menghilangkan praktek bahwa birokrasi Weberian adalah negatif seperti struktur birokrasi hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (ekonomi biaya tinggi) daripada manfaat yang diperoleh, prevalensi birokrasi, kurangnya inisiatif dan kreativitas aparatur, pertumbuhan mediokratis budaya (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan in-efisiensi. Oleh karena itu, institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Jika pemerintah, organisasi birokrasi pemerintah adalah garis depan organisasi (jalan birokrasi tingkat) terkait dengan pelayanan publik. Jika non-pemerintah, kemudian membentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang lain. Siapapun pelayanananya bentuk kelembagaan, hal yang paling penting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan. Kata kunci: Good Governance, Kemitraan, Pelayanan Publik.
102
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. PENDAHULUAN Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000). Menurut Siagian (1994), misalnya; mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik: tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi pada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993; Thaba, 1996; Fatah, 1998), birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian�, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman
birokrasi “orwellian� yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal. Meskipun sudah menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap konteks sistem budaya masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola perilaku yang beragam. Gejala demikian menunjukkan bahwa birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa alasan, mengapa bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga, birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya di dalam kinerja organisasi birokrasi. Demikian dapat ditegaskan, bahwa ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih Berjaya hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Hal ini dapat dipahami, karena di dunia barat birokrasi telah berkembang selama beberapa abad. Suatu misal pada abad pertengahan dan seterusnya, perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di dukung oleh masyarakat industri. Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung berhubungan dengan gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model birokrasi rasional di dalamnya. Namun demikian, bagi masyarakat yang sedang berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan dirasakan. Selain itu, birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, sehingga kecaman dan pesimisme muncul karena 103
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Islamy (1998), menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya. Lebih lanjut Islamy (1998), terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan mengenai posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat atau kliennya. Apakah birokrasi publik itu alat rakyat? Alat penguasa? Ataukah penguasa itu sendiri? Guna merespon kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b) Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman
birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan system dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesi-ensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Bertitik tolok dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabality), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency). Menyadari akan hal tersebut, maka untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented). Menurut Johnson (1991), istilah �professional� dan “professionalisasi�, dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang. Pertama, 104
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
dipergunakan untuk menunjuk pada perubahan besar dalam struktur pekerjaan, dengan jumlah pekerjaan-pekerjaan professional, atau bahkan pekerjaan-pekerjaan halus (white collar jobs) yang meningkat secara relative dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya, baik sebagai akibat perluasan kelompok pekerjaan yang sudah ada ataupun sebagai akibat munculnya pekerjaan-pekerjaan baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan dalam arti yang hampir sama dengan peningkatan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengupayakan adanya pengaturan rekrutmen dan praktek dalam bidang pekerjaan tertentu. Ketiga, memandang professionalisasi sebagai suatu proses yang jauh lebih rumit yang menunjuk pada suatu pekerjaan dengan sejumlah atribut prinsip-prinsip professional yang merupakan unsur-unsur pokok profesionalisme. Keempat, menunjuk pada suatu proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu pekerjaan dengan tahap-tahap perubahan organisatoris yang dapat diramalkan menuju bentuk akhir profesionalisme. Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugastugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). B. STRATEGI PENDEKATAN
perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan. Kedua, keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes. Ketiga, tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya. Keempat, staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral. Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah. Keenam, mengurangi peranperan pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi. Ketujuh, birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan. Kedelapan, rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotism. Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan para pakar dengan berbagai label, misalnya dengan nama “managerialism” oleh Pollitt (1990), “new public management” oleh Hood (1991), “market based public administration” oleh Lan dan Rosenbloom (1992), dan “entrepreneurial government/reinventing Government” oleh Osborn dan Gaebler (1992). Apapun label yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan “process” menuju ke “product”, atau dari “ rule governance” menuju ke “goal governance”. C. KOMPARASI RULE GOVERNANCE DAN GOAL GOVERNANCE
Strategi manajemen birokrasi profesional Perlu disadari bahwa, dalam perdebatan dalam pelayanan publik ini ditandai dengan teoritis dari kedua kutub orientasi ini, baik rule beberapa karakteristik antara lain: Pertama, governance maupun goal governance memiliki Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman
105
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
segi kelemahan dan kelebihannya masingmasing. Kelemahan rule governance, misalnya, dianggap mempunyai penerapan peraturan yang kaku, bercirikan struktural hierarkhikal, pengawasan yang ketat, bersifat impersonal, dan sebagainya, sehingga menjadikan birokrasi sebagai “mesin rasional” yang menciptakan perilaku aparat yang formal dan robotic yang kurang peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Akibat dari struktur birokrasi yang terlalu rasional bisa menimbulkan hal-hal yang sifatnya disfungsional, in-efesiensi dan bahkan konflik dengan masyarakat yang dilayani, karena sifat impersonal aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Demikian pula, aturan-aturan (rules) sebagai sarana untuk mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri. Kelebihannya, menunjukkan semakin tingginya tertib administrasi yang dicapai oleh birokrasi publik. Adapun kelebihan goal governance yaitu meletakkan fokus utamanya pada “the achievement of result and taking individual responsibility for their achievement”. Tetapi ia juga memiliki kelemahan apabila prinsip-prinsip manajemen baru itu hendak diterapkan di sektor publik. Misalnya, sampai sekarang masih terjadi diskursus yang seru terhadap 10 prinsip dalam entrepreneurial governmentnya Osborn dan Gaebler (1992) yang mereka kemukakan dalam uraian yang sangat provokatif yaitu Reinventing Government. Konsep pemerintahan entrepreneur Osborn dan Gaebler yang mencoba menemukan nilai-nilai baru (re-inventing) di bidang pemerintahan ternyata menurut Painter (1994) mempunyai kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kritik Painter terhadap konsep pemerintahan entrepreneur adalah bahwa ia terlalu bias pada “new administrative values” yang lebih banyak menitik beratkan pada orientasi goal governance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik yang sebenarnya masih potensial yang berbasis pada rule governance. Painter menyebutnya bukannya reinventing government melainkan pemerintahan yang sudah dalam keadaan tertinggal (abandoning government), karena Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman
Osborn dan Gaebler sebenarnya telah menghapus atau setidak-tidaknya telah membelotkan nilai-nilai pemerintahan. Padahal kedua nilai tersebut (lama dan baru) bisa disatu padukan. Kritik lain, misalnya dari Pollitt (dalam Hughes, 1994) yang meragukan penerapan prinsip-prinsip entrepreneurship di sektor publik. Setidak-tidaknya ada dua hal yang melemahkan konsep tersebut dengan mengatakan : “ First, the provider/consumer transactions in the public services tend to be notably more complex than those faced by the costumer in a normal market; and second, public service consumers are never merely consumers, they are always citizens too, and they has a set of unique implications for the transactions” (Pertama, transaksi, provider/konsumer dalam pelayanan publik cenderung berada pada sesuatu yang khusus dan lebih komplek daripada berhadapan dengan pelanggan di pasar yang normal; Kedua, pengguna pelayanan publik tidak hanya konsumer saja, mereka juga termasuk warga negara lain, dan mereka adalah bagian yang unik dari implikasi suatu transaksi). Sehubungan dengan itu, menurut Hughes (1994) diperlukan adanya repositioning dengan menyusun agenda kebijakan reformasi administrasi Negara dengan mensinergikan orientasi rule governance dan goal governance. Hughes mengatakan: the best parts of the old model professionalism, impartiality, high ethical standards, the absence of corruption can be maintained, along with the improved performance a managerial model premises” (bagian terbaik dari model profesionalisme lama adalah sikap yang adil, standard etika yang tinggi, tingkat korupsi yang dapat dipantau, bersamaan dengan bentuk dasar pemikiran model manajerialnya). Memahami perdebatan persoalan tatanan dan pertikaian (order and conflict) seperti diatas, hingga kinipun para teoritisi sosiologipolitik sering membandingkannya dengan perdebatan hubungan antara struktur dengan tindakan. Berkenaan dengan persoalan ini, Sharrock dan Watson (1988) mengemukakan sebagai berikut ; “What is the relationship between structure and agency? The two seem 106
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
inimical: structure apparently means givenness, constraint, stability, whilst agency seemingly implies creativity, autonomy, fluidity. How, then, do structure and agency relate in society: is it primarily one or the other? Does emphasis on structure marginalize or eliminate agency, does emphasis on agency dispose of structure?�. Tampaknya, hubungan antara struktur dengan tindakan cenderung digambarkan sebagai bersifat antagonistik. Struktur sering digambarkan sebagai suatu ketentuan, kekuatan penghambat, dan kestabilan. Sedangkan tindakan cenderung menampakkan daya cipta, otonomi, dan ketidak stabilan. Karena itu, penting untuk diajukan pertanyaan. Manakah yang lebih mendasar, struktur atau tindakan? Benarkan bila penekanan diberikan kepada struktur berarti menghilangkan atau meminggirkan tindakan? Sebaliknya, benarkan bila penekanan diberikan kepada tindakan berarti membuang struktur begitu saja? Benarkah bahwa tertib yang berlangsung dalam birokrasi selalu bersifat impersonal? Benarkan bahwa para pejabat birokrasi hanya tunduk kepada suatu tatanan yang menjadi kiblat bagi segala tindakannya?. Mengapa birokrasi cenderung bertindak berbeda pada setting ruang dan waktu yang berbeda? Apakah perubahan yang dilakukan oleh birokrasi sesuai dengan fungsi reformasi yang dikehendaki oleh masyarakat banyak, ataukah sekedar formalitas sebagai kewajiban struktural yang cenderung statusquo; atau hanya sebagai mesin alat penggerak untuk memanipulasi dan memobilisasi rakyat agar tunduk pada kekuasaan birokrasi (machine bureaucracy)?. Pertanyaan-pertanyaan ini antara lain dapat dijawab melalui pandangan kelompok: aliran strukturalis, aliran strukural-konflik, dan aliran strukturasi. Aliran strukturalis (Marx, 1942; Dahrendorf, 1959), berpandangan bahwa kekuasaan (birokrasi) adalah sebagai fasilitas atau sumber sosial yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi sosial dari kekuasaan adalah untuk memelihara ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat. Kekuasaan sebagai atribut utama dalam sistem sosial berwujud kepemimpinan yang bertanggung jawab, tetapi juga berbentuk keputusan-keputusan yang Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman
mengikat bagi semua golongan masyarakat. Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar itu, menurut pandangan strukturalis, konsentrasi kekuasaan adalah syah selama masyarakat memang menghendakinya. Kritik terhadap hampiran ini adalah karena kaum strukturalis terlalu menitik beratkan pada struktur yang statis (statusquo) dengan mengabaikan proses perubahan sosial yang terjadi, serta ketidak mampuannya mengatasi konflik secara efektif (Cohen, 1968; Gouldner, 1970; Abrahamson, 1978). Implikasi hampiran strukturalis ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan bahwa perubahan tindakan birokrasi merupakan gerakan moral masyarakat yang menghendaki adanya suatu perubahan paradigma kinerja birokrasi. Berbeda halnya dengan pandangan aliran struktural-konflik (Gramsci, Baran, Coser, dalam Turner, 1974); kelompok yang satu ini justru melihat tindakan birokrasi sebagai suatu fakta sosial yang banyak diwarnai oleh dominasi politik, eksploitasi sosial, dan perkembangan ekonomi. Dominasi politik ditandai dengan suasana paksaan (coercion) yang menimbulkan intimidasi, propaganda dan indoktrinasi. Dominasi sosial ditandai dengan supremasi golongan/ras/budaya yang menyebabkan suasana hegemoni. Sedangkan dominasi ekonomi ditandai oleh eksploitasi akibat ketimpangan distribusi alat produksi antara kepentingan kelas borjuasi dengan proletar. Implikasi pandangan aliran strukturalis konflik ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan bahwa perubahan paradigma yang dilakukan oleh birokrasi justru akan menimbulkan konflik baru (new conflict) dalam tatanan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Menurut aliran strukturasi Giddens (dalam Baert, 1998), mencoba mencari hubungan antara struktur dan aktor. Kelompok strukturasionis ini tidak memandang struktur dan aktor atau agen sebagai dua hal yang dikotomis sehingga menghasilkan dualisme struktur; sebaliknya dua hal tersebut saling berhubungan secara dialektis dan kontinuum 107
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
sehingga menghasilkan dualitas struktur. Aktor atau agen menurut pandangan aliran ini adalah partisipan yang aktif dalam mengkonstruksi kehidupan sosial, setidak-tidaknya menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Setiap tindakan manusia selalu mempunyai tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara rutin dan diam-diam memonitor apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana reaksi orang terhadap tindakannya dan lingkungan dimana ia melakukan aktivitas tersebut. Sedangkan struktur, selain dapat membatasi aktivitas manusia (constraining) tetapi juga memberikan kebebasan bertindak (enabling) kepada manusia. Dualitas struktur melihat kekuasaan (birokrasi) sebagai simuka janus (the janus face of power) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting, terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur. Dualitas struktur menganalisis bagaimana tindakan-tindakan aktor sosial diproduksi dan juga bagaimana struktur secara terus menerus di reproduksi dalam kegiatan-kegiatan si aktor sosial sepanjang waktu dan ruang yang sangat luas. Teori strukturasi ini tidak luput dari kritik. Beberapa kritik yang sering dikemukakan terhadap aliran strukturasi antara lain : (a) masih sedikitnya bukti empirik yang bisa memperkuat validitas teori ini; Bukan aktor atau agen merubah struktur, tetapi justru struktur merubah aktor atau agen; (b) Giddens dipandang gagal menjelaskan fenomena konflik; (c) diragukan keaslian, kedalaman, kejelasan analitik dan konsistensi internalnya (fallacy of perspectivism), karena berasal dari pinjaman berbagai teori lain; dan (d) dicurigai karena pendirian politiknya cenderung mendukung statusquo. Implikasi hampiran strukturasi ini terhadap fenomena birokrasi professional diharapkan akan berdampak positif dalam upaya menciptakan kejelasan pembagian konsep ruang publik (public sphere) dan ruang pribadi (private sphere) dalam pembaharuan perubahan orientasi tindakan birokrasi. Jawaban teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan untuk memancing wacana dan emosi para pembaca apakah strategi manajemen birokrasi profesional masih dimungkinkan untuk Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman
dilaksanakan atau tidak di Negara Republik Indonesia ini? Jika ya, maka akan lahir puteraputeri bangsa yang terbaik dari yang terbaik (best for the best) seperti yang diharapkan selama ini. D. KESIMPULAN Mencermati uraian terdahulu tentang manajemen birokrasi profesional, kaitannya dengan kecenderungan merosotnya pelayanan publik di berbagai Negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia dapat disimpulkan bahwa, pada masa revolusi industri di Eropa, profesionalisme yang demikian itu sesuai dengan realitas. Tetapi menjadikan fenomena historis yang sangat konteksual ini sebagai suatu paradigma untuk masa kini nampaknya tidak lebih dari sebuah mitos. Profesionalisme sejati telah memudar, dan kaum professional seperti yang dapat kita saksikan telah bertingkah laku moneymindedness. Kemadirian mereka pun semakin terdesak oleh birokratisasi pelayanan dan oleh berbagai pengawasan. Betapa tidak, lembaga profesionalisme telah mengalami banyak kemerosotan peran dalam masyarakat. Secara garis besar simpulan yang ditarik untuk mengatasi persoalan kemunduran birok-rasi dalam hal pelayanan publik sebagai “solusi� strateginya meliputi : (1) merubah persepsi dan paradigma birokrasi mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan daerah yang mampu menjelaskan standar minimal pelayanan publik dan sanksi yang akan diberikan; (5) adanya mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan yang kuat dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik; (7) adanya pembaharuan di bidang sistem administrasi publik; dan (8) adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan demokratis. 108
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
DAFTAR PUSTAKA Osborn, David and Gaebler, Ted, 1996, Mewirausahakan Birokrasi: Reinventing Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Bevir, Mark, 2011, “Democratic Governance: publik, Jakarta : Pustaka Binaman A Genealogy”, Local Government StudPressindo. ies, Vol. 37(1), February 2011, (pp 3– 17) Osborne, David dan Plastrik, Peter, 2000, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Blau, Peter.M dan Meyer, Marshall.W, 2000, Menuju Pemerintahan Wirausaha, Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Jakarta : PPM. Terjemahan, Jakarta : Prestasi Pustakaraya. Putra, Fadillah dan Arif, Saiful, 2001, Kapitalisme Birokrasi: Kritik ReinvenChisholm, M., 2010, “Emerging Realities Of ting Government Osborne Gaebler, Local Government Reorganisation”, PubYogyakarta : LKiS. lic Money Management, 30, (pp. 143– 150) Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Giddens, Anthony, 1995, The Constitution of Struktural, Jakarta, Raja Grafindo Society, Cambridge : Polity Press. Persada.
Baert, Patrick, 1998, Social Theory Twentieth Century, Cambridge : Polity Press.
Hariandja Denny, BC, 1999, Birokrasi Nan Setiono, Budi, 2002, Jaring Birokrasi: Tinjauan Pongah: Belajar dari Kegagalan Orde dari Aspek Politik dan Administrasi, Baru, Yogyakarta: Kanisius. Bekasi : Gugus Press. Heckscher, Charles and Donnellon, Anne (ed), 1994, The Post Bureaucratic Organization: New Perspectives on Organizational Change, London, New Delhi : Sage Publications. Henderson, Keith M, and Dwivedi,O.P, 1999, Bureaucracy and The Alternatives in World Perspective, London : Macmilland Press Ltd. Kaisiepo, Manuel, 1987, “Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara: Birokrasi dan Politik Indonesia”, Jurnal Politik 2, Jakarta : Gramedia.
Siagian, SP, 1994, Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi Dan Terapinya, Jakarta : Ghalia Indonesia. Sumoprawiro, Hariyoso,2002, Pembaruan Birokrasi Dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta : Peradaban. Tjokrowinoto, Moeljarto,2001, Birokrasi dalam Polemik, Saiful Arif (editor), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thoha, Miftah dan Dharma, Agus (editor), 1999, Menyoal Birokrasi Publik, Jakarta : Balai Pustaka.
*********
Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman
109
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
BUDAYA MUTU DALAM PELAYANAN PENDIDIKAN Muhammad Basri Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588
ABSTRACT Educational services in schools is part of the community and the public school. Service quality is a product and or services in accordance with established quality standards and customer satisfaction. Quality in education include the quality of input, process, output, and outcome. Input-grade education when it is ready to proceed otherwise. The process of quality education to create an atmosphere where learning is active, innovative, creative, effective, dan fun. Output otherwise qualified if the learning outcomes of academic and non academic students achieving at least equal to the minimum completeness criteria specified. Outcome graduates expressed significantly faster when absorbed in the world of work, fair wages, all parties acknowledge and satisfied with the intelligence, skill, personality. Government's efforts to service and quality of education is the use of School-Based Management (SBM) is accompanied by the determination of output criteria, processes, and educational input at school. Expected Output school student achievement / school both academic and non academic generated meets the specified criteria. (2) process, ie, among others: the effectiveness of teaching and learning process, schools have the teamwork of a compact, intelligent and dynamic, the school has the authority (autonomy), school evaluation and continuous improvement, (3) input, ie, among other : the school has: policies, goals, and quality objectives are clear, available resources, feasible, and highly dedicated. Keywords: Education Services, The Quality of Education
Pelayanan pendidikan di sekolah adalah bagian dari masyarakat dan sekolah umum. Kualitas layanan adalah produk dan atau jasa sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan dan kepuasan pelanggan. Kualitas dalam pendidikan termasuk kualitas input, proses, output, dan hasil. Input-kelas pendidikan bila sudah siap untuk melanjutkan sebaliknya. Proses pendidikan yang berkualitas untuk menciptakan suasana di mana pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan Dan. Keluaran dinyatakan memenuhi syarat jika hasil belajar siswa akademik dan non akademik mencapai paling tidak sama dengan kriteria kelengkapan minimal yang ditetapkan. Lulusan Hasil mengungkapkan secara signifikan lebih cepat ketika diserap di dunia kerja, upah yang adil, semua pihak mengakui dan puas dengan, keterampilan kepribadian kecerdasan,. Upaya Pemerintah untuk pelayanan dan kualitas pendidikan adalah penggunaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) disertai dengan penentuan kriteria output, proses, dan input pendidikan di sekolah. Keluaran sekolah diharapkan prestasi siswa / sekolah dihasilkan akademik baik akademis dan non memenuhi kriteria yang ditentukan. (2) proses, yaitu, antara lain: efektivitas proses belajar mengajar, sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis, sekolah memiliki kewenangan (otonomi), evaluasi sekolah dan perbaikan terus-menerus, (3) input, yaitu, antara lain: sekolah memiliki: kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, sumber daya yang tersedia, layak, dan berdedikasi tinggi. Kata kunci: Pendidikan Layanan, Kualitas Pendidikan
110
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
90 persen dari jumlah guru SMP/MTs yang diperlukan terpenuhi, (f) 90 persen memiliki Pelayanan dasar atau pelayanan minimun kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang menurut jenisnya adalah: (1) pelayanan ditetapkan secara nasional, (g) 100 persen kewargaan, (2) pelayanan kesehatan, (3) siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap pelayanan pendidikan, dan (4) pelayanan setiap mata pelajaran, (h) jumlah siswa SMP/ ekonomi. Dalam bidang pendidikan, upaya MTs per kelas antara 30-40 siswa, (i) 90 perpemerintah dalam rangka terciptanya pela- sen dari siswa yang mengikuti ujian sampel yanan pendidikan yang baik diwujudkan mutu pendidikan standar nasional mencapai dalam aturan hukum antara lain: (1) Undang- “nilai memuaskan� dalam mata pelajaran BahaUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem sa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, Pendidikan Nasional, pasal 51 ayat 1 menyata- dan IPS di kelas I dan II, (j) 70 persen dari kan pengelolaan satuan pendidikan anak usia lulusan SMP/MTs melanjutkan ke Sekolah dini, pendidikan dasar, dan pendidikan Menengah Kejuruan (Diknas, 2005:10). menengah dilaksanakan berdasarkan standar Di beberapa negara, upaya pelayanan pelayanan minimal dengan prinsip Manaje- pendidikan diwujudkan dengan penetapan men Berbasis Sekolah/Madrasah; (2) Undang- batasan wajib belajar terhadap warganya. undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Bersumber dari Unesco Statistical Yearbook, Nasional tahun 2000-2004 pada Bab VII RRC menetapkan umur 7-15 tahun, Korea tentang Bagian Program Pembangunan Selatan sama dengan Jepang masing-masing Bidang Pendidikan, khususnya sasaran ketiga 6-15 tahun, dan Amerika Serikat 6-16 tahun, yaitu terwujudnya manajemen pendidikan dan Indonesia wajib belajar warganya umur yang berbasis pada sekolah dan masyarakat 7-15 tahun (Wijaya, 1999:4). (school/community based management); (3) The Worldalmanac and Book of Fact 2000 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. melaporkan hasil pelayanan pendidikan 44 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan berdasarkan persentase penduduk yang Pendidikan dan Komite Sekolah, (4) Kepmen- mampu baca tulis pada beberapa negaradiknas No.087 tahun 2004 tentang Standar negara: Indonesia mencapai angka 84 persen, Akreditasi Sekolah, (5) Peraturan Pemerintah RRC 82 persen, Korea Selatan 98 persen, No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Jepang 100 persen, dan Amerika Serikat 97 Pendidikan (Diknas, 2007:3-4), (6) Kepmen- persen (Wijaya,1999:4). Muhtifah (tanpa diknas No.129a/U/2004 tentang Standar tahun) mengemukakan bahwa hasil pelayaPelayanan Minimal Bidang Pendidikan Bab 1 nan pendidikan Human Development Index pasal 1 menyatakan bahwa Standar Pelayanan (Indeks Pengembangan Manusia), prestasi Minimal (SPM) bidang pendidikan adalah tolok siswa anak Indonesia hanya mampu menguaukur kinerja pelayanan pendidikan yang sai 30 persen dari materi bacaan dan sulit diselenggarakan oleh Daerah. sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian Pasal 3 ayat 2 menyatakan: Standar yang memerlukan penalaran. Studi InternaPelayanan Minimal (SPM) Sekolah Menengah tional Association of Educational Achievement, Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) tahun 1992 menyatakan bahwa keterampilan terdiri atas: (a) 90 persen anak dalam kelom- membaca siswa kelas IV SD di Indonesia hanya pok usia 13-15 tahun bersekolah di SMP/MTs, 51,7, sementara siswa SD di Hongkong (b) anak putus sekolah (APS) tidak melebihi mencapai 75,5, Singapura; 74,0, Thailand; satu persen dari jumlah siswa yang berseko- 65,1, dan Filipina 52,6. lah, (c) 90 persen sekolah memiliki sarana dan The Third International Mathematic and prasarana minimal sesuai dengan standar Science Study-Repeat-TIMSS-R, tahun 1999 teknis yang ditetapkan secara nasional, (d) 80 menemukan prestasi siswa SLTP kelas 2 di persen sekolah memiliki tenaga kependidikan Indonesia diantara 38 negara peserta, Indonon guru untuk melaksanakan tugas adminis- nesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan trasi dan kegiatan non mengajar lainnya, (e) ke-34 untuk Matematika. Balitbang tahun A. LATAR BELAKANG
Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
111
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
2003 menunjukkan data ubahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya ada delapan yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya ada delapan SMP yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP), dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (Basuki, 2010). Salah satu yang diharapkan diterima oleh masyarakat dari sekolah adalah mutu pendidikan yang baik sebagabukti hasil pelayanan. Dalam hal tersebut, Jalal dan Supariadi (2001:88) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek yang dapat memberikan jaminan mutu pendidikan yaitu: kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas.
adalah produk dan atau jasa yang sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan dan memuaskan pelanggan. Mutu dibidang pendidikan meliputi mutu input, proses, output, dan outcome. Input pendidikan dinyatakan bermutu jika siap berproses. Proses pendidikan bermutu apabila mampu menciptakan suasana yang PAKEMB (Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan Bermakna). Output dinyatakan bermutu jika hasil belajar akademik dan non akademik siswa yang tinggi. Outcome dinyatakan bermakna apabila lulusan cepat terserap di dunia kerja, gaji wajar, semua pihak mengakui kehebatan lulusan dan merasa puas. Zeithaml, Parasuraman & Berry (1990:26) menggunakan ukuran kualitas pelayanan dengan: tangible, reliability, responsiveness, assurence, dan empathy. Tangible, yaitu fasilitas B. PELAYANAN PENDIDIKAN SEBAGAI fisik, peralatan, pegawai, dan fasilitas-fasilitas PELAYANAN PUBLIK komunikasi yang dimiliki oleh penyedia layanan. Reliability atau reliabilitas adalah Sinambela (2008:5) memberikan definisi kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan publik sebagai pemenuhan keingi- pelayanan yang dijanjikan secara akurat. Renan dan kebutuhan masyarakat oleh penyele- sponsiveness atau resposivitas adalah kerelaan nggara negara. Negara didirikan oleh publik untuk menolong pengguna layanan dan (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas. dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Assurance atau kepastian adalah pengetahuan, Undang-undang RI No. 25 Tahun 2009 pasal kesopanan, dan kemampuan para petugas 1 ayat 1 berbunyi: pelayanan publik adalah penyedia layanan dalam memberikan keperkegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka cayaan kepada pengguna layanan. Empathy pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan adalah kemampuan memberikan perhatian kebutuhan perundang-undangan bagi setiap kepada pengguna layanan secara individual. warga negara dan penduduk atas barang, jasa Layanan pendidikan di sekolah sebagai dan/atau pelayanan administratif yang disedia- sistem (Depdiknas, 2007:9) seperti dalam kan oleh penyelenggara pelayanan publik. gambar 1. Layanan pendidikan di sekolah sebagai Gambar 1. layanan publik dinyatakan dalam pasal 5 ayat Sekolah sebagai Sistem (Dikutip dari Depdiknas, 2007:9) 2 UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik yang selengkapnya berbunyi: ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumberdaya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. Tuntutan masyarakat adalah layanan yang berkualitas atau layanan yang bermutu. Usman, (2008:479) menyatakan bahwa mutu Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
112
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Gambar 1 mengilustrasikan bahwa kinerja sekolah dapat diukur dari dimensi-dimensi kualitas, produktivitas, efetivitas, baik internal maupun eksternal. Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud meliputi input, proses, dan output. Khusus untuk kualitas output sekolah dapat dikategorikan menjadi akademik (misal: Nilai Ujian Nasional), dan non-akademik (misal: olah raga dan kesenian). Kualitas output sekolah dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input dan proses persekolahan. Produktivitas adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah, misalnya jumlah guru, modal sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah, misalnya jumlah siswa yang lulus sekolah setiap tahunnya. Contoh produktivitas misalnya, jika tahun ini sekolah lebih banyak meluluskan siswanya dari pada tahun lalu dengan input yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih produktif dari pada tahun sebelumnya. Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan. Misalnya, NUN idealnya 60, namun NUN yang diperoleh siswa hanya 45, maka efektivitasnya adalah 45:60=75 persen. Efesiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efesiensi internal dan efesiensi eksternal. Efesiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efesiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan nonekonomik) yang diperoleh setelah pada kurun waktu yang lama di luar sekolah. Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
C. PELAYANAN PENDIDIKAN Di sekolah-sekolah sejak tahun 1999 telah diujicobakan perbaikan manajemen yaitu perubahan dari manajemen dari berbasis pusat menuju manajemen berbasis sekolah (MBS). UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 51 ayat 1 menyatakan pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Danim, S (2007:34) menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitas untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang bermutu. Depdiknas, (2007:1112) mengemukakan pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis, seperti dalam tabel 1. Tabel 1 mengungkapkan bahwa manajemen pola baru, memposisikan sekolah sebagai suatu lembaga yang otonom, fleksibel, dan partisipatif. Pelayanan pendidikan di era desentralistik dan otonomi pendidikan Jalal dan Supriadi (2001:76) menyatakan bahwa dua istilah yang sering dipertukarkan pemakaiannya yaitu desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan ke daerah, sedangkan otonomi berangkat dari pengakuan atas otoritas daerah. Tabel 1. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan
Dikutip dari Manajemen Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2005:7).
113
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan dalam era desentralistik yang lebih menarik adalah kesimpulan bersama antara Regional Education Development and Improvement Project melalui laporan pertama tahun 1999, Japan International Cooperation Agency (JICA), Badan Penelitian dan Pengembangan (BALITBANG) Depdiknas, International Development Center of Japan (IDCJ) menyatakan ada delapan masalah yang menjadi tugas Depdiknas, yaitu: (1) demokratisasi pendidikan; kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan masih belum sepenuhnya tercapai, (2) rendahnya relevansi pendidikan, (3) rendahnya akuntabilitas, (4) rendahnya profesionalisme dalam praktik pendidikan dan manajemen, (5) kurang efesien dan efektivitas dalam alokasi anggaran dan manajemen, (6) adanya keseragaman, (7) desentralisasi manajemen pendidikan belum tercapai, dan (8) debirokratisasi manajemen pendidikan belum terlaksana (Syafaruddin, 2010:5-6). Chapman (1990:18) menyatakan bahwa implikasi dalam desentralisasi pendidikan adalah: (1) desentralisasi melahirkan banyak inisiatif berkenaan dengan respon pemerintah terhadap kompleksitas masalah pendidikan, (2) meningkatnya minat terhadap perubahan kurikulum nasional dengan mengajukan standar. Daerah harus memberikan kontribusi terhadap perbaikan kurikulum dalam rangka perbaikan bangsa, (3) dorongan untuk melaksanakan persamaan atau pemerataan dalam pendidikan dengan berbagai kemudahan mengakses sekolah bagi semua anak, atau sekolah untuk semua, (4) berusaha mewujudkan efektivitas sekolah dan peningkatan mutu sekolah menjadi idealisme desentralisasi pendidikan, (5) peningkatan otonomi bagi guru dalam memperkecil kontrol birokrasi pendidikan sehingga profesi kependidikan semakin meningkat kualitasnya, (6) peningkatan minat dan perhatian daerah terhadap pelaksanaan dan pandangan mutu pendidikan, (7) mendorong organisasi sekolah yang unggul, otonomi sampai ke sekolah, membangun tim kerja dan akuntabilitas. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana pasal 51 ayat (1) yang menyatakan Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, ‘pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan pelayanan minimal dengan prinsip menajemen berbasis sekolah’. Depdiknas (2007:6-10) menyatakan beberapa tantangan yang harus ditangani oleh pemerintah dan masyarakat terhadap pelayanan pendidikan, terutama pada tiga bidang yaitu: (1) di bidang akses (kesempatan memperoleh pendidikan); (2) bidang mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan meliputi: mutu sebagian sekolah masih rendah, prestasi non akademik masih belum memuaskan, angka mengulang kelas masih cukup tinggi, proses pembelajaran masih kurang optimal, dan fasilitas pembelajaran belum memadai; (3) bidang tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik kelemahan-kelemahannya meliputi: koordinasi dan sinkronisasi program masih belum berjalan dengan baik, kualitas pelaksanaan program belum optimal, pelaksanaan monitoring dan evaluasi belum optimal, prinsipprinsip pengelolaan pendidikan yang berpihak pada rakyat belum dilaksanakan secara optimal, manajemen dan informasi yang lemah, masih banyak sekolah, Kabupaten/Kota, dan Provinsi, yang belum memiliki Renstra pengembangan pendidikan, kapasitas Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota kurang memadai, dan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) belum memadai. Sekadar perbandingan upaya pelayanan pendidikan di beberapa Negara, misalnya Amerika, Jerman, Austria, Singapura, Jepang, Malaysia, dan Australia, Srirahmadhena (2010) menyatakan bahwa Amerika Serikat telah berhasil menyediakan pendidikan gratis selama 12 tahun dan biaya pendidikan relatif murah pada tingkat perguruan tinggi. Satriawan (2008) menyatakan bahwa Jerman dan Austria mendanai seluruh sistem pendidikannya sampai di perguruan tinggi. Di Jerman wajib belajar 9-10 tahun, dengan sistem pendidikannya terkenal sebagai yang terbaik di dunia. Di Jepang anak usia sekolah, 99 persen terdaftar di sekolah, siswa yang telah menyelesaikan studinya di SD dapat langsung ke SMP karena SD-SMP termasuk kelompok ‘gimukyouiku’ atau Compulsory Education atau program wajib belajar dengan menggratiskan (Adeluna, 114
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
tanpa tahun). Fanany (2007) menyatakan bahwa wajib sekolah di Australia hingga 10 tahun. Orang tua siswa dapat dipenjara kalau anaknya tidak disekolahkan. Sistem pendidikan di Australia tidak diatur secara sentral dari pusat, tetapi desentralisasi dan sangat otonom. D. BUDAYA MUTU Salusu (2008:454-455) menyatakan bahwa terdapat beberapa istilah yang digunakan berkaitan dengan mutu, khususnya jika berkaitan dengan manajemen, diantaranya Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total Quality Management (TQM) yang juga dikenal dengan istilah Total Quality Control atau Pengendalian Mutu Terpadu. Salusu menjelaskan bahwa MMT adalah salah satu konsep manajemen yang mula-mula dikembangkan oleh W. Edwards Deming, seorang ahli fisika Amerika yang kemudian, dikenal sebagai bapak manajemen kualitas. Etwar (2011) mengemukakan 5 definisi mutu menurut tokohnya masing-masing: (1) Philip B. Crosby, mutu adalah kesesuaian terhadap persyaratan atau keunggulan yang dipublikasikannya, seperti jam tahan air, sepatu yang awet, atau dokter yang ahli. Pendekannya adalah top-down; (2) W. Edwards Deming, mutu berarti pemecahan masalah untuk mencapai penyempurnaan terusmenerus, seperti penerapan ‘Kaizen’ di Toyota dan ‘gugus kendali mutu’ pada Telkom. Pendekatannya adalah bottom-up. Deming juga tokoh yang menelurkan prinsip Total Quality Management yang dipakai di seluruh dunia hingga sekarang; (3) Joseph M. Juran, mutu adalah kesesuaian dengan penggunaan, seperti sepatu yang dirancang untuk olahraga atau sepatu kulit yang dirancang untuk ke kantor atau ke pesta. Orientasi Juran adalah penentuan harapan pelanggan; (4) Ishikawa, mutu berarti kepuasan pelanggan; (5) ISO 9000:2000, mutu adalah derajat/tingkat karakteristik yang melekat pada produk yang mencukupi persyaratan atau keinginan. Arcaro (2007:8-10) menyatakan bahwa Joseph M. Juran juga diakui sebagai salah seorang bapak mutu. Juran menyebut mutu sebagai tepat untuk pakai, dan menurutnya Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
bahwa tepat untuk dipakai, ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi layanan. Dasar misi mutu sebuah sekolah adalah mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna, seperti siswa dan masyarakat. Pandangan Juran tentang mutu adalah: (1) meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir, (2) perbaikan mutu merupakan proses berkesinambungan, bukan program sekali jalan, (3) mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator, (4) pelatihan massal merupakan prasyarat. Upaya pemerintah terhadap mutu pendidikan di sekolah diantaranya penetapan kriteria output, proses, dan input pendidikan di sekolah dalam menggunakan MBS. Secara garis besarnya kriteria MBS tersebut meliputi: (1) output; output sekolah yang diharapkan adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen sekolah. Output sekolah diklasifikasikan menjadi dua yaitu prestasi akademik (academic achievement) dan prestasi non-akademik (non-academic achievement), (2) proses; karakteristik proses adalah: (a) proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi, (b) kepemimpinan sekolah yang kuat, (c) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (d) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, (e) sekolah memiliki budaya mutu, (f) sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis, (g) sekolah memiliki kewenangan (kemandirian), (h) partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat, (i) sekolah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen, (j) sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan pisik), (k) sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan, (l) sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, (m) memiliki komunikasi yang baik, (n) sekolah memiliki akuntabilitas, (o) manajemen lingkungan hidup sekolah bagus, (p) sekolah memiliki kemampuan menjaga sustaina-bilitas, (3) input; input pendidikan karakteristiknya adalah: (a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, (b) sumberdaya tersedia dan siap, (c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi, (d) memiliki harapan prestasi yang tinggi, (e) fokus pada pelanggan (khususnya 115
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
siswa), dan (f ) input manajemen, misalnya DAFTAR PUSTAKA perincian tugas yang jelas (Depdiknas, 2008). Adeluna. Tanpa tahun. Pendidikan di Jepang E. PENUTUP (Online), (http://japanlunatic.do.am/ index/pendidikan_di_jepang/0-926), Kualitas pelayanan pendidikan di sekolah Diakses (9 Februari 2011) adalah sejauhmana sekolah dapat menunjukkan ketersediaan, kelengkapan, kelayakan sarana Arcaro, J.S. 2010. Pendidikan Berbasis Mutu : dan prasarana sekolah, tenaga pendidik dan tePrinsip-prinsip dan Tata Langkah naga kependidikan, reliabilitas tenaga pendidik, Penerapan. Terjemahan Yosal Iriantara. responsivitas tenaga pendidikan dalam melakYogyakarta: Pustaka Pelajar. sanakan pelayanan, kepastian dalam pelayanan, dan sikap empati dalam pelayanan pendi- Basuki, M. 2010. Mengurai Masalah Pendididikan di sekolah. Pelayanan pendidikan dengan kan di Indonesia. (Online), (http:// b e r i ta s o r e . c o m / 2 0 1 0 / 0 5 / 2 5 / manajeman pola baru sejatinya senantiasa mengurai-masalah-pendidikan-di-Inmemiliki harapan prestasi siswa baik akademik donesia) Diakses (30 September 2010) maupun non akademik (olahraga, seni, kepramukaan, keagamaan) dan prestasi sekolah yang dapat meningkatkan kepercayaan Chapman, J.D. 1990. School-Based-Decision Making and Management. New York: masyarakat terhadap sekolah. Sekolah harus The Falmers Press. lebih awal untuk memikirkan penerapan ISO (International Standar Organizations) sebagai antasipasi menghadapi tantangan global Danim, S. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akadebidang pendidikan masa yang akan datang. mik. Jakarta: Bumi Aksara. Harapan masyarakat dari sekolah diantaranya adalah mutu pendidikan yang baik sebagai hasil pelayanan yang baik, ditandai dengan mini- Depdiknas Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Dirjen Dikdasmen. 2005. mal tiga aspek jaminan mutu pendidikan yaitu, Pedoman Pendayagunaan Konsultan kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas. dalam Pembinaan SMP di Seluruh InUntuk mencapai mutu pendidikan di sekodonesia. Jakarta. Dirjen Manajemen lah, salah satu pilihannya adalah mengacu pada Dikdasmen Depdiknas. penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau juga dikenal dengan Total Quality Management (TQM) dengan implementasi nyatanya ———————.2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Dir. PSMP Dirjen disekolah melalui Manajemen Berbasis Manajemen Dikdasmen Depdiknas. Sekolah (MBS). MBS menuntut ketersediaan dan kesiapan sumber daya manusia (tenaga pendidik dan tenaga kependidikan) sumber- ———————.2008. Informasi Program Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah daya lainnya (uang, peralatan, perlengkapan, Pertama. Jakarta: Dirjen Manajemen bahan, dsb.), kemampuan, kemauan, kerelaan, Pendidikan Dasar dan Menengah. dan dedikasi yang tinggi. Karakteristik sekolah bermutu dengan penerapan MBS diantaranya: (1) fokus pada kostumer yaitu masya- Etwar, Emin. 2011. Tokoh-tokoh Mutu Layanan. (Online), (http//eminetwar. blogspot.com/ rakat/murid, (2) keterlibatan menyeluruh 2011/04/tokoh-tokoh-mutu-layanan. warga sekolah dalam tugas, (3) pengukuran html, diakses (16 April 2011) yang berkesinambungan dan menyeluruh, (4) komitmen terhadap tugas sebagai pengabdian, (5) perbaikan berkelanjutan yang terstandar. Salusu, J. 2008. Pengambilan Keputusan Startegik untuk Organisasi Publik dan Standar yang diharapkan adalah International Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo. Standardization for Organization (ISO). Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
116
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Satriawan, Mirza. 2008. Sistem Pendidikan Syafie, Inu Kencana., Jamaluddin Tanjung., dalam Ideologi Sekuler-Kapitalisme: Supar dan Modeong. 1999. Ilmu AdmiStudi kasus Sistem Pendidikan nistrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta. Amerika. (Online), (http://taukhid. wordpress.com/2008/08/22/sistem- Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. 2003. pendidikan-dalam-ideologi-sekulerSistem Pendidikan Nasional. Jakarta. kapital isme-stud i-kasus-sistempendidikan-amerika/) Diakses (9 Undang-Undang No. 25Tahun 2009. PelayaFebruari 2011) nan Publik. Jakarta: AM Asa Mandiri. Sinambela, P.L. 2008. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Usman, H. 2008. Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksaara.
Sriramadhena. 2010. Pendidikan di Amerika Wijaya, I. E. 2010. “Studi Komparatif PendiSerikat. (Online), (http://srirahmadhena. dikan di Kawasan Asia: RRC, Korea w o r dp r e s s . c o m / 2 0 1 0 / 0 9 / 2 9 / Selatan dan Jepang�. Educare: Jurnal pendidikan-di-amerika-serikat/) Pendidikan dan Budaya. (hal. 4-18) Diakses (9 Februari 2011) Zeithaml, V.A., A. Parasuraman & Leonard L. Syafaruddin. 2010. Kepemimpinan Pendidikan: Berry. 1990. Delivering Quality Service: Akuntabilitas Pimpinan Pendidikan Balancing Custumer Perception and dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Expectations. New York: The Free Quantum Teaching. Press, MacMilan Inc.
*********
Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
117
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
REFORMASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI DAERAH Muhammad Idris Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588
ABSTRACT In reformation era, as now, the implementation of the development of specific public services in the service of Building Permit (IMB), it is time to use the principles of quality management-oriented activities to improve and enhance public service delivery is increasingly competitive, and in anticipation of increased globalization and the need received international recognition for quality and process of public service. Public service management system is required with respect to the development of globalization so that the demand for minimum service standards can be actualized in order to improve public services. Thus, the behavior of the bureaucracy in the service delivery of licensing services, local authorities have time to do a public service reform minimum quality standards in public service. Reforms intended primarily; institutional model to a one-stop service, publish a minimum service standards, increase surveillance, patterns of human resource development personnel, and public participation. Keywords: Reform, Public Services, Building Permits
ABSTRAK Di era reformasi seperti sekarang ini, pelaksanaan pengembangan layanan publik tertentu dalam pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), sekarang saatnya untuk menggunakan prinsip-prinsip manajemen mutu yang berorientasi kegiatan untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang semakin kompetitif, dan untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi dan kebutuhan mendapatkan pengakuan internasional untuk kualitas dan proses pelayanan publik. Layanan sistem manajemen publik diperlukan sehubungan dengan perkembangan globalisasi sehingga permintaan untuk standar pelayanan minimum dapat diaktualisasikan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. Dengan demikian, perilaku birokrasi dalam pelayanan jasa perizinan, pemerintah daerah memiliki waktu untuk melakukan standar pelayanan publik minimal reformasi kualitas dalam pelayanan publik. Reformasi dimaksudkan terutama; model kelembagaan ke layanan satu atap, menerbitkan standar pelayanan minimum, peningkatan pengawasan, pola personil pengembangan sumber daya manusia, dan partisipasi masyarakat. Kata kunci: Reformasi, Pelayanan Publik, Izin Bangunan
118
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. LATAR BELAKANG MASALAH Pelayanan Publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Penyelenggara Pelayanan Publik adalah lembaga dan petugas pelayanan publik baik Pemerintah Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik. Adapun Penerima Layanan Publik adalah perseorangan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik. Pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Kep/25/M.Pan/2/2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, dinyatakan bahwa Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan. Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan. Masyarakat yang merupakan pelanggan dari pelayanan publik, juga memiliki kebutuhan dan harapan pada kinerja penyelenggara pelayanan publik yang profesional. Sehingga yang sekarang menjadi tugas Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah adalah bagaimana memberikan pelayanan publik yang mampu memuaskan masyarakat. Adanya implementasi kebijakan Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yang tertuang dalam UU tentang Pemerintahan daerah menyebutkan bahwa Pemerintah mempunyai tanggung jawab, kewenangan dan menentukan standar pelayanan minimal, hal ini mengakibatkan setiap Daerah (Kota/ Kabupaten) di Indonesia harus melakukan pelayanan publik sebaik-baiknya dengan standar minimal. Keterkaitan dengan pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini didasari oleh filosofi keanekaragaman dalam kesatuan dengan pendekatan besaran dan isi otonomi yang menekankan pada pembagian urusan yang berkeseimbangan berdasarkan asas eksternalitas, akuntabilitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Secara umum pemberian otonomi ditujukan adalah untuk: 1. Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik; 2. Mengembengkan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan; 3. Memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah, serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab berdasarkan Undang-undang tersebut salah satunya adalah untuk meningkatkan pelayanan publik, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat bukan hanya harus meningkatkan dengan adanya keleluasaan otonomi pada daerah, akan tetapi peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat tersebut haruslah menjadi semakin baik. Hal ini berarti, bahwa intensitas pelayanan atau tingkat kesejahteraan masyarakat itu meningkat, seiring dengan terwujudnya kualitan pelayanan yang semakin baik. Meskipun demikian, dalam kenyataanya pelayanan publik di daerah tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris pelayanan publik, khusus pada pelayanan bidang perizinan 119
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
daerah dalam implementasinya masih terkesan berbelit-belit, lambat, mahal, melelahkan, dan bahkan masih dijumpai tidak transparans, serta kurang adil. Kenyataan ini, sering berakibat timbulnya pandangan negatif masyarakat sebagai “custemer� atau pengguna layanan, yang akhirnya merupakan keluhankeluhan terhadap pelayanan. Kecenderungan itu, terjadi sebagai dampak dari perilaku birokrasi yang masih memposisikan masyarakat sebagai pihak yang melayani, dan bukan yang dilayani. Sesungguhnya standar pelayanan minimal ditujukan pelayanan pada masyarakat umum, namun terkadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara. Sebagaimana kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Strandar Pelayanan Minimal (SPM). PP ini berisi ketentuan mengenai jenis dan pelayanan dasar yang menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar dari pemerintah daerah sesuai dengan ukuranukuran yang ditetapkan oleh pemerintah. Selanjutnya Standar Pelayanan Minimal dengan prinsip-prinsipnya, yaitu sederhana, konkret, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian. Dengan demikian, pelaksanaan pengembangan pelayanan publik khusus pada pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) , sudah saatnya menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang berorientasi pada mutu guna memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik yang semakin kompetitif, dan sebagai antisipasi perkembangan globalisasi serta perlunya mendapat pengakuan internasional terhadap mutu dan proses pelayanan publik. Sistem manajemen pelayanan publik diperlukan dengan memperhatikan perkembangan globalisasi sehingga tuntutan akan Standar Pelayanan Minimal dapat diaktualisasikan dalam rangka peningkatan pelayanan publik.
daerah adalah mengharapkan kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Pelaksanaan pelayanan IMB di daerah selama ini, dipandang masyarakat belum akuntabilitas, efisien, dan efektif sehingga masyarakat sebagai penerima layanan tidak terpuaskan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ada pertanyaan penting yang perlu dijawab untuk memenuhi tuntutan pelayanan publik di bidang pengurusan IMB di daerah, sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas Pelayanan pengurusan IMB di daerah 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi peningkan kualitas pelayanan IMB. 3. Bagaimana reformasi pelayan yang dibutuhkan untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal pelayanan IMB C. PEMBAHASAN 1. Kerangka Konseptual Kualitas Pelayanan Publik
Berbicara mengenai kualitas pelayanan, Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1990) mengemukakan bahwa dengan pelayanan yang prima (Service Excellence) setiap orang menjadi pemenang; baik para pengguna layanan, para karyawan, manajemen, para pemilik atau stockholders, masyarakat, maupun negara/daerah. Konsep ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya arti sebuah kualitas, baik dalam penyelenggaraan usaha produksi barang maupun jasa-jasa, termasuk pelayanan publik yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah baik di Pusat, Provinsi, maupun di kabupaten/kota, Kecamatan dan bahkan di Kelurahan/desa. Dengan demikian, pengertian prima dalam hubungannya dengan kualitas pelayanan ataupun kualitas produk bukan hanya diucapkan, tetapi memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan, sehingga masyarakat tidak mengeluh, kecewa, dan tidak memandang pemberian layanan yang buruk. Salah satu penyebab terjadinya krisis B. PERMASALAHAN kepercayaan masyarakat kepada birokrasi pemerintahan, bahkan terhadap aparat keaDipahami bahwa salah satu bagian dari manan dan penegak hukum, pada dasarnya proses penyelenggaraan pemerintahan di dipicu oleh kegagalan aparatur birokrasi Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
120
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
dalam menampilkan kualitas layanan prima kepada masyarakat sesuai bidang masingmasing. Akibatnya citra birokrasi pemerintahan menjadi sangat buruk di mata sebagian masyarakat. Dengan demikian, prestasi dan kinerja para birokrat dan aparat dalam menjalankan tugasnya dinilai buruk manakala kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa terabaikan. Sebaliknya, manakala masyarakat sebagai pengguna atau pemanfaat jasa pelayanan tertentu tidak mengeluh dan menunjukkan kepuasan atas layanan yang diterimanya, maka dapat dinilai berkualitas. Menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan memang bukan pekerjaan mudah, karena karakteristik nilai bagi semua orang tentunya berbeda satu sama lain berdasarkan presfektif masing-masing. Namun demikian, bukan berarti tidak dapat diukur dan dijelaskan aspek-aspek yang merupakan indikator dengan berbagai pendekatan teori untuk mendeskripsikannya. Seperti, misalnya dikemukakan oleh Parasurahman, (Jurnal JIANA, 2010) bahwa terdapat lima dimensi yang digunakan oleh pelanggan untuk menentukan kualitas pelayanan, yakni : (1) bukti langsung (tangibles), (2) keandalan (reliability), (3) daya tanggap (responsiveness), (4) jaminan (assurance), dan empati (empaty). Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pendapat tersebut pada awalnya dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan dalam sektor privat. Pada perkembangan lebih lanjut justru banyak digunakan untuk menggambarkan kualitas pelayanan di sektor publik. Hal ini oleh para pendukung pendapat ini berasumsi bahwa kualitas pelayanan pada sektor publik dan sektor privat adalah sama walupun masingmasing memiliki batas-batas tertentu. Salah satu pendapat dari Rainey, (Jurnal JIANA, 2010) membuat ringkasan pendapat mengenai kekhasana karakter dari organisasi dan manajemen publik dengan menyatakan bahwa kekhasan karakter tersebut dapat dikelompokkan ke dalam : faktor lingkungan, transaksi organisasi lingkungan, peranan dan struktur, dan proses keorganisasian. Dengan demikian, kualitan pelayanan pada sektor publik sangat ditentukan oleh lingkungan organisasi, baik internal maupun lingkungan ekternal. Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
Pandangan-pandangan tersebut semakin memperjelas konsep kualitas pelayanan publik yang diarahkan pada peranan perilaku individu dan biroksi, khususnya pada pelayanan pemerintahan. Ndraha, (2005) memberikan pernyataan singkat mengenai kualitas pelayanan publik adalah dapat diamati dari empat dimensi, yakni : Pengertian (understanding), penerimaan (legitimation), kepercayaan (trust), dan keterbukaan (openess). Pandangan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Rainey, tetapi saling melengkapi dalam memahami konsep pelayanan, baik yang dilayani maupun yang melayani. Dengan demikian, jika dianalisis lebih mendalam, maka sesungguhnya kualitas pelayanan sedikitnya harus termuat dimensidimensi: penerimaan, kepercayaan, keterbukaan, keadilan, responsif, dan akuntabilitas. Hal ini, berarti kualitas pelayanan sangat ditentukan oleh perilaku baik yang dilayani, dan terutama yang melayani yang tercermin dalam perilaku birokrasi. Sehingga salah satu upaya dalam pemberdayaan individu tidak terlepas dari motivasi kerja yang diarahkan sesuai tingkatan dan kebutuhannya. Berikut ini akan dijelaskan dalam pokok pembahasan makalah ini. 2. Komponen Kualitas Pelayanan Publik Kualitas pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat, maupun kualitas pelayanan yang dipersepsikan oleh lembaga pemberi pelayanan kepada masyarakat; berdasarkan pengalaman dan penelitian yang dilakukan oleh Zeithaml dkk, (Jurnal Administrasi Publik, 2003), mengatakan terdapat beberapa komponen atau variable kualitas pelayanan kepada masyarakat. Komponen-komponen pelayan prima tersebut adalah terdiri dari beberapa dimensi, sebagai berikut: 1. Wujud; yaitu penampilan fisik fasilitas lembaga pelayanan, peralatan yang digunakan, pegawai atau petugas pelayanan, dan peralatan bantu komunikasi. 2. Kemampuan Terpercaya; yaitu kemampuan untuk menampilkan kinerja pelayanan yang dijanjikan secara tepat dan akurat. 121
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
3. Daya Tanggap; yaitu kemauan untuk membantu dan melayani masyarakat konsumen secara segera sesuai dengan permintaan ataupun harapan masyarakat. 4. Kompetensi; yaitu penguasaan atas pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memberikan pelayanan tertentu. 5. Kesantunan; yaitu sikap yang ditunjukkan pada saat memberikan pelayanan yang umumnya terdiri dari kesopanan, penghargaan terhadap masyarakat, perhatian, pertimbangan, kebijaksanaan, dan sikap bersahabat. 6. Kredibilitas; yaitu tingkat kepercayaan atau jaminan mutu, kesungguhan, kejujuran yang ditunjukkan oleh petugas atau lembaga pelayanan kepada masyarakat. 7. Keamanan; yaitu berkaitan dengan seberapa jauh pelayanan jasa yang diberikan bebas dari kesalahan dan resiko yang akan ditanggung masyarakat, memberikan rasa aman, dan bebas dari keraguan. 8. Akses; yaitu kemudahan untuk menemukan lokasi pelayanan atau kemudahan untuk menemui petugas layanan. 9. Komunikasi; yaitu bagaimana lembaga pelayanan memelihara hubungan dengan masyarakat konsumennya dengan cara regular mengirimkan informasi dengan berbagai cara. 10.Memahami Kehendak Masyarakat; yaitu kemampuan lembaga dan para petugas layanan memiliki kemampuan dan berusaha sebaik mungkin untuk memahami berbagai kehendak, kebutuhan, maupun keinginan masyarakat yang beragam, dan menyesuaikan dengan tingkat pelayanan yang diberikan.
dapat digunakan adalah Model Kesenjangan Pelayanan yang dikembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1990), sebagai kerangka analisis untuk mengevakuasi permasalahan yang berkaitan dengan kualitas pelayanan, berdasarkan kesenjangankesenjangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh masyarakat konsumen dan apa yang dirumuskan dan ditetapkan oleh lembaga dan petugas pemberi pelayanan. Zeithaml, menjelaskan bahwa terdapat 4 kesenjangan (gap) yang secara berjenjang menjelaskan tentang bagaimana mengukur kualitas pelayanan publik, sebagai berikut: Gap1: menjelaskan bahwa rendahnya kualitas pelayanan publik karena karena adanya kesenjangan antara apa yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat dengan yang dipersepsikan oleh penyedia layanan. Gap 2: menjelaskan bahwa sesungguhnya penyedia layanan mengetahui apa yang diharapkan oleh masyarakat, namun dalam prakteknya, layanan yang diberikan tidak sama dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Gap 3: menjelaskan bahwa apa yang diharapkan oleh masyarakat sudah dipahami dan dibuatkan standar pelayanan oleh pemberi layanan sebagaimana harapan masyarakat, namun demikian layanan yang diberikan tidak sebagaimana standar yang sudah ditentukan sebelumnya. Gap 4: menjelaskan bahwa sudah ada konsistensi antara harapan masyarakat, persepsi pemberi layanan dan sudah dibuatkan standar pelayanan sebagaimana yang diharapkan dan dipesepsikan oleh pemberi layanan, namun dalam pelaksanaannya tidak berjalan sebagaimana dengan yang diinformasikan kepada masyarakat.
3. Model Kesenjangan Kualitan Pelayanan Publik
4. Pembahasan Kualitas Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Memahami langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan public, khusus oleh pemerintah daerah, sebaiknya dipahami pula model analisis bagaimana mengidentifikasi permasalah dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat. Salah satu model yang
Zeithaml, dkk (1990) mengemukakan bahwa penyebab utama persepsi kualitas pelayanan rendah adalah kesenjangan antara apa yang dijanjikan perusahaan tentang layanannya dan apa yang sesungguhnya diberikan. Ketepanan dan keakuratan apa yang dikomunikasikan tentang layanan yang
Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
122
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
diberikan sangat tergantung pada bagian pemasaran dan bagian operasional. Oleh karena apa yang dikomunikasikan oleh bagian pemasaran tentang kualitas layanan yang menjadi tanggungjawabnya haruslah sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh bagian operasional. Jika apa yang disampaikan atau dikomunikasikan bagian pemasaran tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan, akan berakibat pada kekecewaan pelanggan tentang kualitas pelayanan yang diberikan. Salah satu bentuk pelayan IMB adalah adanya kesenjangan Another form of coordination central to providing service quality is consistency in policies and procedures across departments and koordinasi antara kebijakan dan prosedur seluruh departemen dan cabang. If a service organization operates many outlets under the same name, whether franchised or company-owned, customers expect similar performance across those outlets. Jika organisasi jasa beroperasi dengan banyak outlet dan dengan nama sama, apakah waralaba atau perusahaan yang dimiliki, pelanggan mengharapkan kinerja yang serupa di outlet. If managers of individual branches or outlets have significant utonomy in procedures and policies, customers may not receive the same level of service quality across the branches. Jika manajer cabang atau outlet memiliki otonomi yang signifikan dalam prosedur dan kebijakan, pelanggan cenderung tidak dapat menerima kualitas pelayanan pada tingkat yang sama di cabang. In this case, what they expect and receive from one branch may be different from what is delivered in other branches. Under these circumstances, the size of Gap 4 can be large. Dalam hal ini, apa yang mereka harapkan dan yang mereka terima dari satu cabang mungkin berbeda dari apa yang disampaikan di cabang lain. A question frequently asked by companies is, “How much standardization can we achieve across branches without taking away the autonomy and perceived control of managers?� Sebuah pertanyaan yang sering diajukan oleh perusahaan adalah, “Berapa banyak standardisasi yang dapat kita terapkan pada seluruh cabang, tanpa menguangi otonomi dan kontrol terhadap seluruh cabang tersebut�. Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
Yang menjadi masalah adalah bagaimana menjamin bahwa standar pelayanan yang ditetapkan disebuah outlet tidak menganggu persepsi dan harapan pelanggan pada pelayanan outlet lainnya, jika saja para manajer outlet diberi kewenangan untuk melayani pelanggan dengan cara mereka sendiri. At issue is the need to assure con sistency across outlets (so that expectations set by one outlet do not interfere with perceptions of service at another outlet) while allowing the managers autonomy to serve customers in their own ways. Salah satu contoh maklumat pelayanan izin IMB Kota Makassar, yakni : Kepala Dinas Tata Ruang Bangunan Kota Makassar, Andi Oddang Wawo menegaskan, sebagai wujud peningkatan pelayanan prima ke masyarakat, pengurusan izin mendirkan bangunan yang tadinya dua belas hari kerja, dipangkas menjadi enam hari kerja. Pemangkasan ini, guna memudahkan masyarakat memperoleh IMB. Dinas tata ruang bangunan kota Makassar memberikan kemudahan bagi masyarakat yang hendak memiliki izin mendirikan bangunan, tidak perlu lagi menunggu hingga dua belas hari kerja, melainkan cukup enam hari kerja sesuai prosedur dan mekanisme yang berlaku. Pemangkasan sistem birokrasi pengurusan IMB di dinas tata ruang bangunan tak terlepas dari komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan prima ke masyarakat khususnya bagi pemohon IMB di Makassar. Disisi lain, dinas tata ruang bangunan berharap, untuk tercapainya peningkatan PAD kedepan, dipandang perlunya optimalisasi kegiatan pelayanan serta pembinaan masyarakat, sehingga DTRB saat ini mengharapkan adanya penambahan personil yang profesional yang menguasai teknis pada dinas tata ruang bangunan. (Sumber:http://makassartv.co.id/index.php? option=com_content&view=article &id=828: d tr b - p a n g k a s - b i r o k r a s i - p e n g u r u s a n imb&catid=3:berita-umum&Itemid=56, akses 20 Oktober 2010). Informasi ini menunjukkan betapa mudahnya menggambarkan tentang janji birokrasi terhadap pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab mereka. Kantor Pelayanan 123
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Administrasi Perizinan (KPAP) dan Dinas Tata Ruang dan Bangunan (DTRB) berusaha membangun citra kepada publik tentang kualitas layanan mereka, bahkan diwaktu lain, mereka justru mengumbar bahwa mereka dapat menyelesaikannya dalam waktu 6 hari kerja. Namun pada kenyataannya tanggapan pelanggan terhadap pelayanan IMB berikut sangat berbeda dengan apa yang dijanjikan Birokrasi perizinan terhadap pelanggan. Bahkan menggambarkan keluhan seorang pelanggan yang mengurus IMB dan berusaha untuk memperoleh simpati publik dengan mengadu halnya kepada DPRD Kota Makassar untuk mendapatkan tanggapan. Dengan demikian, kenyataan di atas menunjukkan tentang ketidakkonsistenan antara apa yang dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai penerima layanan dengan apa yang dialami oleh masyarakat. Ketidakkonsistenan antara apa yang dijanjikan pemberi layanan dengan yang diberikan kepada masyarakat dalam pelayanan publik Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Makassar. Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi karena komunikasi yang terjalin antara bagian-bagian dalam unit kerja tidak singkron antara yang satu dengan yang lainnya. Pengurusan IMB sesungguhnya berada pada 2 kamar yang berbeda, yaitu: (1) Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan (KPAP) Kota Makassar sebagai pelaksana kegiatan peng-administrasian seluruh jenis perizinan di Kota Makassar; dan (2) Dinas Tata Ruang dan Bangunan (DTRB) Kota Makassar sebagai pelaksana teknis pengurusan IMB. Selain itu, hasil temuan Saifullah K. (2010) “Tentang Pelayanan IMB pada Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Gowa� bahwa : 1. Standar pelayanan minimum penyelesaian permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) selama 12 hari kerja, belum dilaksakan secara konsisten. Permohonan tersebut sering berkasnya tidak diteruskan ke Kantor Pelayanan Perizinan, sehingga memakan waktu yang cukup lama karena harus memenuni syarat administrasi dimaksud. 2. Sering juga pemohon tidak melalui prosedur berlaku alias menggunakan jasa Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
calo sehingga tidak dapat dibuktikan bahwa proses itu berjalan sesuai ketentuan. Dengan kata lain, jangan sampai perantara tersebut tidak menyalurkan permohonan Anda dengan cara sengaja mengulur-ulur waktu sehingga proses pengurusan IMB jadi lama dan tidak jelas penyelesaiannya. Dengan demikian, pelaksanaan pelayan perizinan di daerah merupakan salah satu permasalah yang tidak pernah terselesaikan dengan baik. Masalahnya adalah perilaku birokrasi yang terkait dengan pemberian pelayanan perizinan masih dipandang “diskriminatif� kalangan masyarakat sebagai orang yang terlayani. D. SOLUSI PENINGKATAN KUALITS PELAYANAN IMB DI DAERAH Berdasarkan dengan kenyataan perilaku birokrasi dalam pemberian pelayanan pelayanan perizinan, pemerintah daerah sudah saatnya melakukan Reformasi Pelayanan Publik yang berkualitas sesuai standar minimal dalam pelayanan publik. Berikut ini, dikemukakan beberapa solusi meningkatkan kualitas pelayanan publik sebagai berikut : 1. Bahwa untuk merubah sikap/budaya organisasi, ada beberapa alternatif meningkatkan kualitas pelayanan: (a) melakukan reformasi internal dari aparat birokrasi tentang tugas atau jabatan yang diembangnya. Karena persepsi selama ini bahwa aparat dibutuhkan masyarakat harus berubah bahwa aparatlah yang membutuhkan masyarakat. (2) Peningkatan suasana kompetisi yang sehat dalam memberikan pelayanan. Bagi mereka yang berprestasi perlu diberikan reward, bagi mereka yang tidak berprestasi perlu di berikan punishment yang bersifat mendidik. (3) Mendeskripsikan dan mempublikasikan stantar pelayanan yang baik yang menyangkut kualitas, besarnya biaya, waktu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. (4) Peningkatan moralitas aparat terutama yang berkaitan dengan hak, kewajiban dan tanggungjawab baik secara sosial, administratif, 124
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
maupun spritual. (5) Secara eksternal, perlu adanya peningkatan sense of responsibility dari masyarakat yang menyangkut upaya penyadaran terhadap hak-hak sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan yang terbaik. Menyampaikan keluhan atau penyimpangan.
Permohonan IMB, (2) Penerapan pola pembinaan yang tepat dan berdaya guna dengan pendisiplinan yang manusiawi dalam meningkatkan kualitas pelayanan permohonan IMB kepada Masyarakat, (3) Keteladanan Pimpinan dalam menyegerakan melayani pemohon IMB.
2. Menciptakan lingkungan organisasi yang E KESIMPULAN transparan yang memaksa aparat berperilaku sesesuai prosedur. Alasannya Berdasarkan uraian sebelumnya, reforkarena lingkungan dinas perizinan yang masi pelayanan publik bidang IMB di daerah, kurang transparan dan tidak adanya maka dapat dikemukakan beberapa simpulan: kontrol eksternal, ditambah banyaknya 1. Standar kualitas pelayanan IMB di daerah instansi yang terlibat dalam penyelesaian masih menunjukkan stantar pelayanan urusan perizinan, telah menciptakan rukurang maksimal, karena masih terdapat ang yang nyaman dan aman tumbuhnya kesenjangan antara janji Birokrasi dengan motif-motif yang kuat yang berorientasi pelayanan yang dirasakan oleh masyarapada kepentingan pribadi aparat. kat sebagai pelanggan. Konsistensi terhadap penyelesaian IMB masih lamban dan 3. Model dalam meningkatkan kualitas pelasering mensyatkan yang mempersulit yanan publik antara lain; (1) Model Kelempemohon. bagaan, yaitu format kelembagaan One Stop service (OSS) difungsikan sebagai 2. Ada beberapa faktor yang sering berfrontline dari dinas-dinas yang ada untuk sentuhan langsung dengan kualitas menjadi satu-satunya lembaga yang berpelayanan IMB: masih adanya kewenang hubungan dengan masyarakat yang melebih dari satu departeman dan tidak jelas merlukan berbagai pelayanan. (2) Model garis koordinasinya, sikap/budaya Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik, birokrasi pelayanan masih rendah, dan yaitu memberdayakan lembaga pelayasikap masyarakat pemohon masih tidak nan publik sehingga dapat mengoptimalmenyadari memenuhi prosedur yang kan fungsi pelayanan publik sesuai resmi sehingga mempersulit aparat dengan perkembangan tuntutan perkemmelakukan kualitas yang terbaik dan adil. bangaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. (3) Model Siklus Layanan, yaitu 3. Solusinya meningkatkan kualitas pelayatetap melaksanakaan kewenangan dan nan adalah: Reformasi model kelembatugas-fungsinya yang diatur sesuai progaan ke pelayanan satu atap, publikasisedur. Tetapi teknis pelaksanaan dengan kan standar pelayanan minimal, tingkatpola pelayanan umum satu atap. (3) Model kan pengawasan, pola pembinaan SDM Standar Pelayanan Minimal, yaitu mengaparatur, dan tumbuhkan partisipasi gali pandangan masyarakat terhadap mutu masyarakat tentang pentingnya prosedur pelayanan yang diberikan oleh OSS yang pelayanan. didasarkan pada indikator standar pelayanan. DAFTAR PUSTAKA 4. Dalam upaya meningkatkan pelayanan perizinan Mendirikan Bangunan (IMB), langkah yang dapat ditempuh yaitu; (1) Peningkatan pengawasan sebagai instrumen kendali disiplin Aparat Pelayanan Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
Dwiyanto, Agus. Dkk. 2005. “Pengamatan untuk Menilai Kinerja Pelayanan Publik�, dalam Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: UGM Press. 125
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Gedeona, Hendrikus Tri Wibawanto, 2010, “Pendekatan Kualitatif Dan Kontribusinya Dalam Penelitian Administrasi Publik” Jurnal Jurnal Ilmu Administrasi, Vol.VII (3), September 2010, (hal. 183192) Gibson, dkk. (1996). Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses, Binarupa Aksara, Jakarta.
Serving Citizens. New York: United Nations: Economic and Social Affairs. Saifullah K. (2010). Pelayanan Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kantor Pelayan terpadu Kabupaten Gowa (Tesis), Universitas Muhammadiyah Makassar, Makassar.
Suryani, Ade Irma, (2008). Implementasi Penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Dalam Perspektif Azas-Azas Goodsell, C.T. 2006. “A New Vision Public AdUmum Pemerintahan Yang Baik Di ministration”, dalam Public Administration Review, (Jul/Agust, 06), 4, Academic Kabupaten Sukamara, Universitas Research Library, (pp. 623-635) Diponegoro, Semarang.
Ndraha, Talizidulu, (2005). Kybernology : Sebuah Konstruksi Ilmu Pemerintahan, Jakarta : Rineka Cipta.
Tobirin, 2008, “Penerapan Etika Moralitas Dan Budaya Malu Dalam Mewujudkan Kinerja PNS Yang Profesional” Civil Service : Jurnal Kebijakan & Manajemen PNS, Vol.II No. 2 (2008) (Hal. 53-79)
Robbins, Stephen P., (2003). Perilaku Organisasi, (Jilid 2), Terjemahan, Jakarta : PT. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Indeks Kelompok Gramedia, Pelayanan Publik Rondinelli, D.A. 2007. “Government Serving People: The Changing Role of Public Ad- Zeithaml, Valarie. Parasuraman, dan Leonard L. Berry, (1990). Delivering Quality Serministration in Democratic Govervice: Balancing Customer Perceptions and nance”, dalam Public Administration and Expectations, The Free Press, New York. Democratic Governance: Governments
*********
Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
126
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
REFORMASI PELAYANAN PUBLIK SEBAGAI STRATEGI MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE Muhammadiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588
ABSTRACT System of government with good governance paradigm is intended to further promote the involvement of all stakeholders in governance. In practical terms, the challenge of good governance paradigm will be faced with the demands of society in improving the quality of public services. Public service practices that are conducive to stimulating real and public participation to further improve the implementation of good governance. so many public service activities that feel a lack of good public service, so that all parties are less optimistic about the realization of good governance in Indonesia. A country with a high heterogeneity conditions in a variety of things such as ethnic, cultural, geographical, religious, and socio-economic development level, is a considerable potential as a source of conflict, and can lead to national disintegration. Development of civil society requires a public space (public sphere) in which every citizen could freely and independently express opinions about various social problems. Transparency of information and public service is fundamental in the governance demands that the principle of good governance, in which required the disclosure of information as one of the implementation requirements of public accountability. Keywords: Public services, Good Governance, Transparency
ABSTRAK Sistem pemerintahan dengan paradigma pemerintahan yang baik dimaksudkan untuk lebih mempromosikan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam pemerintahan. Dalam istilah praktis, tantangan paradigma pemerintahan yang baik akan dihadapkan dengan tuntutan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik praktek-praktek yang kondusif untuk merangsang partisipasi yang nyata dan masyarakat untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang baik. begitu banyak kegiatan pelayanan publik yang merasa kurangnya layanan publik yang baik, sehingga semua pihak yang kurang optimis tentang realisasi pemerintahan yang baik di Indonesia. Sebuah negara dengan kondisi heterogenitas yang tinggi dalam berbagai hal seperti tingkat perkembangan etnis, budaya, geografis, agama, dan sosial-ekonomi, adalah potensi besar sebagai sumber konflik, dan dapat menyebabkan disintegrasi nasional. Pengembangan masyarakat sipil membutuhkan ruang publik (ruang publik) di mana setiap warga negara bisa secara bebas dan mandiri mengekspresikan pendapat tentang berbagai masalah sosial. Transparansi informasi dan pelayanan publik adalah fundamental dalam tuntutan pemerintahan yang prinsip pemerintahan yang baik, di mana diperlukan keterbukaan informasi sebagai salah satu persyaratan pelaksanaan akuntabilitas publik. Kata Kunci: Pelayanan publik, Good Governance, Transparansi
127
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. PENDAHULUAN Pelayanan publik yang berkualitas merupakan tuntutan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan good governance. Pertanyaan yang berkaitan dengan masalah ini, adalah mengapa reformasi pelayanan publik menjadi persoalan strategis untuk membangunan good governance, pada hal sebenarnya masih banyak aspek penting yang juga yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan good governance. Pemerintah menghadapi menghadapi persoalan yang tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan good governance, seperti persoalan membangun karakter bangsa (nation character building), persoalan minyak bumi yang sudah kritis, dan persoalan kehutanan (ilegal loging) yang makin sulit diatasi, dan pencurian ikan yang makin meningkat, penambangan ilegal hasil tambang seperti pasir, batu bara. Pertanyaan ini perlu dijawab agar kita semua memahami mengapa kita memilih membangun pelayanan publik daripada persoalan-persoalan tersebut. Argumen yang paling kuat kita memilih memprioritaskan membangunan pelayanan publik adalah agar benar-benar diyakini bahwa pelayanan publik yang kondusif dapat mengantar dan menjdikan bangsa Indonesia mampu mewujudkan good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jawaban lainnya adalah bahwa karena reformasi pelayanan publik memiliki dampak yang cukup luas terhadap perubahan perilaku birokrasi dan masyarakat. Diharapkan juga bahwa melalui reformasi pelayanan publik agar tercipta pelayanan publik yang dapat menjadi lokomotif pembangunan menuju good governance. Dalam kaitan ini, ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi fokus dalam memulai implementasi good governance khususnya di Indonesia. Pertama; bahwa pelayanan publik di Indonesia masih merupakan persoalan krusial, dimana sebagian besar masyarakat merasa bahwa pelayanan publik yang selama ini dilaksanakan masih jauh dari pelayanan publik yang sesungguhnya. Pelayanan publik yang mahal, waktu yang lama, proses yang berbelit-belit, Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
kurangnya akurasi, merupakan sesuatu yang hampir dialami dalam berbagai macam kegiatan pelayanan publik di Indonesia. Kelemahan pelayanan publik yang demikian ini telah menjadikan masyarakat enggan, malas, dan takut berhubungan dengan birokrasi. Praktek pelayanan publik yang kondusif sesungguhnya dapat membangkitkan semangat dan partisipasi publik untuk lebih meningkatkan penyelenggaraan good governance. Pelayanan publik yang kondusif seharusnya tidak hanya mitos, slogan dan janji, tetapi harus menjadi realitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jika saat ini apatisme dan pesimisme masyarakat terhadap eksistensi birokrasi sebagai lembaga pelayanan publik terasa makin luas, terutama disebabkan oleh birokrasi telah lama dan terus mempraktekkan bad governance, seperti pungutan liar yang terjadi pada hampir seluruh birokrasi, keramahan birokrat yang masih sulit didapatkan, prosedur yang berbelit-belit dan waktu yang lama menjadi pengalaman setiap hari bagi mereka yang berhubungan dengan birokrat. Namun sangat ironi, karena masyarakat juga terpaksa mengapresiasi praktek bad governance, karena memudahkan mereka mendapatkan pelayanan publik. Bahkan masyarakat menilai bahwa bad governance, khususnya pungutan liar (pungli) adalah wajar, tidak jadi masalah, justru merasa lega karena proses pelayanan dapat segera selesai (Dwiyanto, 2008). Masyarakat rela membayar mahal yang penting urusan cepat selesai (Kristiadi, 2005). Praktek bad governance telah merambah ke berbagai level pemerintahan. Bad governance tidak hanya terjadi eselon rendah, tetapi juga pada eselon tinggi, juga tidak hanya terjadi pada pemerintah pusat, tetapi telah sampai ke pemerintah daerah. Bad governance bukan hanya terjadi di lembaga eksekutif, tetapi juga terjadi dilembaga legislatif dan yudikatif. Bad governance bukan hanya terjadi di lembaga pemerintahan, tetapi juga di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Demikian luasnya lembaga yang mempraktekkan bad governance dan begitu banyaknya aktivitas pelayanan publik yang 128
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
merasakan pelayanan publik yang kurang baik, sehingga berbagai pihak masih kurang optimis terhadap terwujudnya good governance di Indonesia. Diakui secara konseptual dan visi dari good governance telah cukup memadai, namun secara misi dan implementasi masih sulit direalisasikan. Kondisi seperti ini menjadikan masyarakat makin toleran terhadap bad governance, sehingga apa yang menjadi harapan dalam good governance masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu, jika kita komitmen kepada good governance, maka kebiasaan-kebiasaan buruk yang terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik (bad governance) seharusnya harus dieliminer, direduksi, hingga pada gilirannya kita menikmati good governance yang sesungguhnya. Harus ada komitmen yang kuat bahwa nilai-nilai yang terdapat good governance harus diwujudkan dalam perilaku semua pihak, bukan hanya dari birokrasi, tetapi juga dari masyarakat yang memiliki kebiasaan suka menabrak (melanggar) prosedur, tidak senang entry, memaksakan kehendak, mencari jalan pintas, tidak merasa risih dengan perilaku bad governance. B. GOOD GOVERNANCE SEBAGAI PERADABAN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN PUBLIK Sistem pemerintahan sebagai hasil peradaban manusia terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Salah satu sistem pemeritahan yang terkenal dan menjadi harapan masyarakat dalam dunia modern adalah Good governance. Good governance sebagai suatu perkembangan peradaban yang luhur dalam bidang sistem pemerintahan, karena hakikat dan tujuannya sejalan dengan tuntutan kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan dengan paradigma good governance dimaksudkan untuk lebih mengedapankan keterlibatan seluruh stakeholders dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sistem pemerintahan good governance memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikutserta berpartisipasi dalam setiap tahapan dan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan. Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
Keberadaan masyarakat dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan good governance merupakan refresentasi bahwa organisasi pemerintahan adalah milik, oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan bukti pengakuan akan pentingnya peranserta masyarakat dalam mengurus dan mewujudkan tujuan masyarakat. Dalam sistem pemerintahan good governance, masyarakat memiliki peran strategis, karena masyarakat turut menentukan arah, proses dan tujuan sistem pemerintahan. Masyarakat bukan lagi sebagai penonton, tetapi juga telah menjadi pemain sentral sejajar dengan lembagalembaga lain dalam sistem pemerintahan good governance. Sistem pemerintahan good governance sangat mengedepankan keterbukaan, transparansi, kebersamaan dan kesetaraan antara pemerintah dengan masyarakat. Dengan demikian good governance merupakan penjabaran secara eksplisit penyelenggaraan sistem demokratisasi pemerintahan. Dalam penyelenggaran sistem pemerintahan good governance, masyarakat diharapkan tampil sebagai pelaku atau aktor yang dapat mendorong terciptanya sistem pemerintahan yang sesuai dengan dinamika dan tuntutan masyarakat yakni pelayanan publik yang berkualitas atau pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Sistem pemerintahan good governance menuntut organisasi publik bertindak sebagai agen perubahan (agent of changes), agen pembaruan (agent of innovation), dan agen pembangunan serta lembaga terdepan yang melayani berbagai kepentingan dan memenuhi harapan masyarakat. Good governance merupakan sistem ketatapemerintahan yang menjadi harapan besar dari berbagai lapisan masyarakat, karena sistem pemerintahan yang mengembangkan paradigma good governance diharapkan mampu menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif. Frederickson (1997) mengartikulasikan governance sebagai suatu proses dimana suatu sistem sosial, ekonomi atau sistem organisasi kompleks lainnya dikendalikan dan diatur. Sedangkan dalam 129
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
perspektif fungsional, governance dimaknai sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya (Pinto, 1994). UNDP (1994) menjelaskan governance is defined as the exercuse of political, economic, and aminisrative authority to manage nation’s affair at all level. Governance has legs; economic, political and administrative. Pandangan ini menegaskan bahwa governance mempunyai tiga dimensi yakni dimensi politik, ekonomi dan dimensi administrasi, dimana ketiga dimensi tersebut berpengaruh terhadap pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah (negara). Karena itu, sistem pemerintahan good governance mencakup proses dan struktur masyarakat yang mengarahkan hubungan-hubungan sosial ekonomi dan politik untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Pengertian good dalam konteks good governance mengandung dua pengertian (Widodo, 2000), Pertama, good berarti nilainilai yang menjunjung tinggi kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, dengan orientasi pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara, dan mengedepankan legitimacy, accountability, authonomy dan devolution of power. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam melaksanakan tujuan nasional dengan orientasi pada bagaimana pemerintahan mempunyai kompetensi serta struktur dan mekanisme politik dan administrasi berfungsi secara efisien dan efektif. Berkaitan dengan orientasi good governance, Masdiasmo (2002) orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance, dimana pengertian dasarnya adalah kepemerintahan yang baik, yang berupaya menciptakan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif. Good governance menuntut reformasi peran Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
aparatur negara agar mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Di Indonesia, reformasi sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang ditandai dengan lahirnya berbagai ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan negara/daerah berdasarkan paradigma good governance yakni suatu sistem pemerintahan yang lebih transparans, berkeadilan, akuntabel dengan mengedepankan pelayanan publik. Tujuan reformasi sistem penyelenggaraan birokrasi pemerintahan dalam rangka penguatan dan pemberdayaan peran serta masyarakat dalam berbagai aktivitas pemerintahan, termasuk dalam pengambilan kebijakan publik. Ide dasar reformasi sistem pemerintahan birokrasi adalah negara sebagi institusi legal formal dan konstitusional yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan, baik dalam fungsinya sebagai regulator maupun sebagai agent of changes. Reformasi sistem pemerintahan menuntut adanya implementasi yang sebenarnya dari civil society, yakni sistem pemerintahan yang memberi ruang gerak yang luas bagi masyarakat untuk turut serta berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah dan implementasi dari sistem pemerintahan yang demokratis yang menjadi inti dari good governance. Suatu negara dengan kondisi heterogenitas yang tinggi dalam berbagai hal seperti etnis, budaya, geografis, agama, dan tingkat perkembangan sosial-ekonomi, merupakan potensi yang cukup besar sebagai sumber konflik, dan dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Potensi konflik makin besar ketika pemerintah mengembangkan sentralisasi sistem pemerintahan, politik dan ekonomi, di mana pengambilan keputusan dilakukan secara terpusat (sentralistik) sehingga sering menimbulkan kekecewaan masyarakat daerah. Kondisi tersebut makin memperkuat proposisi bahwa pengembangan masyarakat madani dengan sistem pemerintahan desentralisti dan demokratis adalah suatu keniscayaan. Masyarakat madani memerlukan bukan hanya untuk mempertahankan 130
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
kelangsungan kehidupan sosial dan politik masyarakat yang mandiri dan demokratis, tetapi juga untuk kelangsungan pemerintahan itu sendiri. Dalam konteks sistem pemerintahan dan sistem politik tersebut, maka pertanyaan yang perlu dijawab adalah; apa yang harus dilakukan untuk mendorong pengembangan masyarakat madani di Indonesia?. Format sistem pemerintahan yang bagaimana yang seharusnya dikembangkan agar mampu memfasilitasi pengembangan masyarakat madani?. Sistem birokrasi seperti apa yang kondusif bagi pengembangan masyarakat madani. Pengembangan masyarakat madani memerlukan ruang publik (public sphere) di mana setiap warga negara bisa secara bebas dan mandiri mengemukakan pendapatnya tentang berbagai masalah kemasyarakatan. Masyarakat seharusnya memiliki ruang gerak yang memadai untuk memanfaatkan potensinya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, seperti kebebasan menentukan arah/pilihan politik, perlakuan yang adil secara hukum, biaya dan pelayanan pendidikan dan kesahatan yang murah, serta kebutuhan lainnya. Konsep masyarakat madani bermuara pada tiga syarat pokok dalam pemerintahan yaitu: 1) kompetisi yang sesungguhnya dan di anrtara individu dan kelompok, tidak ada unsur paksaan, 2) partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pembuatan kebijakan publik, 3) kebebasan politik dalam seluruh proses sosial dan kenegaraan. C. TRANSPARANSI SEBAGI PILAR REFORMASI PELAYANAN PUBLIK Konsep dan penggunaan istilah transparansi dewasa ini makin populer sejalan dengan perkembangan peradaban manusia yang menuntut agar penyelenggaraan pemerintahan menganut asas keterbukaan dan transparansi. Pemerintahan yang tidak mengedepankan keterbukaan dan transparansi saat ini dianggap sebagai bukanlah sistem pemerintahan baik dan ideal. Transparansi dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan, khususnya pelayanan publik Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
merupakan salah satu ciri utama good governance. Karena good governance menayaratkan adanya transparansi dalam seluruh aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Transparansi dimulai dari proses perencanaan, implementasi sampai dengan evaluasi. Informasi yang melatarbelakangi setiap tindakan pemerintah, seperti bentuk tindakan, waktu, proses, biaya, dan aktornya harus di publikasikan kepada masyarakat sebagai implememtasi dari accountability kepada publik. Masyarakat diberi akses yang luas untuk mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan terkait dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan. Organisasi pemerintahan tidak boleh menutup akses informasi bagi masyarakat yang membutuhkan informasi. Karena melalui keterbukaan informasi tersebut masyarakat dapat menilai arah, tujuan, proses, implementasi dan hasil-hasil yang dicapai organisasi publik dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Melalui keterbukaan informasi masyarakat dapat melakukan kontrol, menentukan sikap dan merespons atas penyelenggaraan sistem pemeritahan dan pelayanan publik. Melalui keterbukaan informasi, masyarakat dan seluruh stakeholders dapat mengetahui proses perencanaan, implementasi kebijakan yang disusun bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat perlu mengetahui apakah anggaran yang tersedia telah digunakan sesuai dengan kinerja yang diharapkan? Apakah kebijakan yang dibuat telah dilaksanakan dengan baik?. Hal ini semua hanya mungkin diketahui jika pemerintah mengembangkan keterbukaan informasi, dan terjadinya komunikasi dua arah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan good governace menuntut pemerintah mendengar suara publik, tidak boleh berpurapura tidak mendengar dan tidak mengetahui suara publik. Bahkan sangat dituntut agar pemerintah segera memberi respons jika ada tuntutan dan keinginan masyarakat yang memang sejalan dengan tujuan dan sasaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. 131
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Pada negara-negara maju yang mengembangkan sistem pemerintahan demokratis, pemerintah menjamin adanya akses bagi masyarakat untuk mengetahui informasi mengenai dinamika kegiatan pemerintahan. Masyarakat memiliki the right to know terhadap apa pun yang terjadi dalam organisasi pemerintahan. Masyarakat dijamin hakhaknya untuk mengetahui perkembangan kegiatan yang sedang dan akan berlangsung. Hal ini semua dimaksudkan agar selain agar masyarakat dapat mengetahui mengenai aktivitas pemerintah, juga agar masyarakat dapat memberikan masukan kepada pemerintah jika memang diperlukan. Masyarakat adalah pengguna hasil kerja pemerintahan, karena itu masyarakat berkewajiban memberi saran dan masukan kepada pemerintah jika mereka melihat bahwa ada sesuatu yang tidak sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Setiap aparatur birokrasi pemerintahan berkewajiban menjelaskan kepada masyarakat mengenai aktivitas pemerintahan baik diminta maupun tidak diminta oleh masyarakat. Namun dalam banyak hal, keterbukaan sistem pemerintahan di Indonesia masih belum sepenuhnya menjalankan prinsip-prinsip keterbukaan informasi pelayanan publik. Masih terdapat organisasi publik yang hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat umum seperti kebijakan dan proses penyelenggaraan kebijakan operasional yang bersifat teknis, tetapi kurang terbuka mengenai halhal yang sensitif, seperti informasi keuangan, baik sumbernya maupun penggunaannya. Ketertutuan infomasi dan komunikasi publik, tidak hanya berlaku bagi orang-orang diluar ogranisasi publik atau masyarakat, tetapi juga sering dilakukan terhadap anggota organisasi lainnya didalam organisasi tersebut, baik pejabat pada bidang yang berbeda maupun stafnya sendiri. Biasanya yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan anggaran suatu proyek untuk kepentingan publik hanya orang-orang tertentu, seperti pimpinan beserta staf yang secara hirarkis bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek tersebut, sementara rekan kerja yang berbeda bidang tugasnya tidak mendapatkan informasi yang memadai Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
mengenai hal tersebut walaupun mereka berada dalam institusi yang sama. Kondisi seperti ini memperlihatkan betapa rendahnya kualitas transparansi informasi yang masih berlangsung pada berbagai organisasi publik. Sudah menjadi tradisi dan pemandangan umum diberbagai organisasi publik di Indonesia, dimana informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyelengggaraan pelayanan publik, khususnya mengenai hal-hal yang sensitif seperti anggaran masih sangat sulit didapatkan. Karena itu, transparansi informasi pelayanan publik masih merupakan sesuatu yang menjadi tantangan dalam mewujudkan penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan ada kecenderungan bahwa informasi mengenai hal-hal yang sensitif tersebut menjadi barang mewah dan langka sehingga tidak mungkin dikonsumsi oleh masyarakat luas. Ketertutupan informasi pelayanan publik yang demikian itu mengindikasikan bahwa untuk mewjudkan good governance melalui transparansi pelayanan publik masih merupakan kendala dan tantangan yang menuntut kebijakan dan kemauan politik (political will) pemerintah yang sungguh-sungguh jika konsisten dan komitmen terhadap penyelenggaraaan ketatapemerintahan yang baik (good governance). Keterbukaan atau transparansi informasi dan penyelenggaraan pelayanan publik merupakan tuntutan pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menganut prinsip good governance, dimana didalamnya diharuskan adanya keterbukaan informasi sebagai salah satu persyaratan implementasi dari akuntabilitas publik. Transparansi pelayanan publik, tidak hanya bekaitan dengan kebijakan (policy), tetapi juga menyangkut seluruh aspek penyelenggaraan pelayanan publik, mulai dari proses munculnya gagasan, perencanaan, implementasi, pengendalian, dan evaluasi seharusnya dilakukan secara transparan. Dalam melakukan semua ini seharusnya melibatkan seluruh stakeholders yakni masyarakat, swasta dan pemerintah secara bersama-sama memikirkan dan merumuskan seluruh aspek yang berkaitan dengan ide, gagasan, penyelenggaraan, dan pengendalian pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. 132
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Dalam realitasnya, masyarakat sering tidak memiliki akses yang cukup untuk mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pelayanan publik. Warga masyarakat kurang memiliki informasi yang komprehensif mengenai prosedur dan proses pelayanan publik yang seharusnya dilakukan. Bahkan sebagian besar masyarakat tidak mengetahui persis apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Masyarakat cenderung lebih banyak mengetahui kewajiban daripada haknya, sebab organisasi publik memang lebih mengedepankan informasi tentang kewajiban masyarakat atas pelayanan publik yang diberikan daripada haknya. Sehingga ketika berhadapan dengan organisasi publik (birokrat), masyarakat mengikuti apa saja yang dianjurkan窶電iperintahkan oleh birokrat. Kondisi pelayanan semacam ini sangat bertentangan pradigma good governance yang mengutamakan keterbukaan atau transparansi baik mekanisme, biaya, tempat, waktu dan petugas pelayanan serta kesetaraan antara birokrat dengan warga masyarakat, maupun keseimbangan antara hak dan kewajiban warga masyarakat dan pemerintah (birokrasi). Proses dan prosedur pelayanan yang panjang, berbelit-belit dan rumit tentu saja menciptakan opportunity cost yang besar, waktu pengurusan yang panjang dan tenaga yang melelahkan bagi pengguna layanan publik. Kondisi seperti ini mendorong masyarakat mencari cara mudah serta jalan pintas untuk menyiasati bagaimana cara menerima pelayanan publik yang cepat, yang tidak banyak membuang waktu dan energi walaupun dengan risiko biaya yang lebih tinggi. Praktek semacam ini sangat lazim dan mudah dijumpai dalam proses penyelenggaraan publik pada beberapa instansi pemerintahan. Bahkan prakrek semacam ini sudah cenderung dianggap sebagai hal yang wajar dan menguntungkan semua pihak, baik penerima maupun pemberi layanan publik. Praktek semacam ini sejalan dengan temuan GDS 2002 yang menunjukkan bahwa kebanyakan para pengguna jasa pelayanan publik justru merasa lega dan terbantu ketika diminta membayar pungutan diluar ketentuan yang Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
berlaku (pungutan liar), yang penting urusan cepat selesai. Sebagian lagi menganggap pungutan liar sebagai hal yang wajar dan tidak berkeberatan membayarnya. Anggapan yang demikian ini muncul karena para pengguna jasa layanan publik sudah terlalu lama dan sering membayar pungli, sehingga perilaku seperti ini sudah dianggap hal yang biasa dan tidak lagi dinilai sebagai hal yang menyimpang dan memberatkan. Pengguna jasa ketika ingin berhadapan dengan birokrasi publik mereka telah mengetahuainya dan telah mempersiapkan diri melakukannya. Sebagian tidak berpikir apakah perilaku ini sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan bagi mereka yang mengetahui pun juga melakukan hal yang sama karena mereka telah memahami bahwa sudah jarang sekali mengurus pelayanan publik yang tidak menggunakan biaya tambahan diluar ketentuan yang berlaku. Namun demikian, jika hal ini dibiarkan berlangsung tanpa adanya upaya sungguhsungguh untuk menjalankan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan publik maka tentu saja sangat sulit untuk mewujudkan clean and good governance melalui transparansi pelayanan publik. Reaksi masyarakat pengguna jasa layanan publik ketika dimintai uang rokok oleh birokrat adalah: (1) Masyarakat pengguna jasa layanan publik yang menganggap uang rokok (pungli) sebagai hal yang wajar tetapi tidak mau membayar di desa dan dikota ratarata 4,7 % . (2) Yang marah dan menolak membayar rata-rata 13,9 %, (3) Yang merasa lega karena dengan demikian urusan cepat selesai rata-rata 15,5%, (4) Yang merasa keberatan tetapi tetap membayar rata-rata 19,9%, (5) Yang menganggap pungli sebagai hal wajar sehingga rela membayarnya ratarata 46,1 %. Temuan di atas mengindikasikan bahwa persoalan pungutan liar dalam proses pelayanan publik telah merupakan suatu hal yang cukup memperihatinkan, dimana pengguna jasa pelayanan publik jauh lebih besar yang menganggap pungutan liar dalam pelayanan publik sudah merupakan tradisi yang berlangsung cukup lama dan merambah keseluruh 133
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
aspek pelayanan publik. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dan jauh dari prinsipprinsip good governance yang telah lama dipraktekkan di negara-negara maju. Dan perilaku semacam ini pulalah yang menjadi hambatan utama dalam upaya mewujudkan good governance di Indonesia. Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat dengan birokrasi mengindikasikan beberapa hal: Pertama, kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar masyarakat dihadapan pemerintah. Di sini nampak kekuasaan pemerintah terlalu kuat dan sebaliknya posisi masyarakat sangat lemah. Pemerintah dapat mendiktekan keinginannya dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintah dapat menuntut atau mewajibkan masyarakat melakukan banyak hal untuk mendapatkan pelayanan dari birokrasi, namun pada saat yang sama hakhak masyarakat kurang mendapat perhatian. Kondisi seperti ini mermunjukkan masih berlangsungnya pemerintahan yang bad governance. Kedua, Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang sering ditemukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik menunjukkan inkonsistensi birokrasi dalam mewujudkan transparansi. Birokrat berdalih bahwa trasparansi birokrasi telah berlangsung ketika prosedur pelayanan telah dipajang dipapan pengumuman atau melalui media massa, padahal yang diumumkan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban termasuk sanksi bagi pengguna jasa layanan, yang tidak mentaati prosedur dan ketentuan dalam pelayanan publik, sementara yang berkaitan dengan hak-haknya jarang sekali diumumkan. Demikian juga kewajiban penyelenggara layanan jarang diumumkan termasuk sanksi yang diterima jika layanan publik yang diberikan kepada masyarakat tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Suatu hal yang perlu dijelaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik yang sessuai dengan pradigma good governance adalah kharusan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara masyarakat pengguna jasa pelayanan dengan birokrasi penyelenggara pelayanan. Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
Konsep transparansi sering digunakan secara tumpang tindih dengan paradigma lain dalam good governance seperti accountability dan responsiveness. Konsep transparansi menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan publik dilaksanakan secara terbuka (bersifat terbuka) dan dapat diketahui dengan mudah oleh para stakeholders. Dimensi-dimensi pelayanan publik yang seharusnya dilakukan secara terbuka seperti persyaratan, biaya, waktu, tempat, waktu dan personnel (Waluyo, 2005), serta hak dan kewajiban penyelenggara (birokrasi) seluruhnya dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah diakses bagi mereka yang membutuhkan. Karena itu, setidaknya ada tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi pelayanan publik. Pertama, tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup persyaratan, biaya, waktu yang dibutuhkan dan mekanisme yang harus dipenuhi. Hal ini dimaksudkan agar seluruh stakeholders mengetahui dan mempersiapkan diri untuk melakukan pelayanan publik. Kedua, seberapa mudah peraturan pelayanan dipahami oleh masyarakat dan stakeholders lainnya. Maksud dari “memahami� bukan hanya dalam artilateral tetapi juga makna dibalik semua peraturan tersebut. Diperlukan penjelasan mengenai persyaratan, biaya, prosedur dan batas waktu setiap jenis pelayanan publik. Jika semua hal ini diketahui secara jelas oleh masyarakat, maka diharapkan akan terjadinya kepatuhan dalam melakukan pelayanan publik. Publikasi informasi mengenai berbagai aspek pelayanan publik tersebut menjadikan masyarakat tidak lagi banyak bertanya mengenai apa yang harus dilakukan dalam pelaksanaan suatu jenis pelayanan publik. Hal ini penting, karena setiap jenis pelayanan publik memiliki standar pelayanan tersendiri dalam hal biaya, waktu, tempat, prosedur serta personnel penyelenggaraan pelayanan publik. Transparansi tidak hanya berkaitan dengan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik, tetapi juga berkaitan dengan kepercayaan, dan menghilangkan kecurigaan yang memang sudah lama mendera birokrasi 134
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
di Indonesia. Dewasa ini telah terjadi kecurigaan dalam berbagai aspek kehidupan dan aktivitas pelayanan publik, terutama pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintahan. Kecurigaan ini berawal dari berbagai pengalaman masyarakat ketika berhubungan dengan birokrasi publik, baik masa lalu maupun saat ini. Sehingga tidak mengherankan jika masyarakat mempertanyakan setiap kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan publik, terutama masalah biaya yang sebenarnya diperlukan untuk suatu jenis pelayanan publik. Ketiga, kemudahan memperoleh informasi yang benar mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Sering terjadi, dimana informasi diterima oleh masyarakat berbeda dengan kebijakan yang sebenarnya. Lain yang diputuskan lain pula yang disampaikan. Untuk menghindari hal-hal yang demikian atau miskomunikasi, maka diperlukan informasi yang benar-benar valid sehingga masyarakat menaruh kepercayaan kepada birokrasi pemerintahan. Agak sulit mempercayai suatu informasi jika komunikatornya tidak dipercaya. Karena itu, komunikator yang baik adalah mereka yang mampu menyampaikan apa yang sebenarnya menjadi keputusan organisasi. D. PENUTUP Ketatapemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu peadaban baru yang menjadi paradigma sistem pemerintahan yang mengedepankan pelayanan publik yang berkualitas, dimana didalamnya birokrasi dituntut tidak saja berperan sebagai administrator, komunikator (katalik), tetapi juga sebagai pelayan publik yang diharpkan mampu menciptakan pelayanan yang berorientasi pada customer satisfaction yakni birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik yang memuaskan bagi masyarakat. Salah satu dimensi pelayanan publik yang berkualitas yang menjadi tanggung jawab birokrasi adalah transparansi dalam berbagai aspek pelayanan publik. Pelayanan publik yang berkualitas merupakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
yang tidak dapat diabaikan oleh organisasi pemerintahan. Hal ini menjadi penting dipahami, karena masih ada birokrat yang masih belum sungguh-sungguh mengutamakan pelayanan publik tersebut dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Pelayanan publik yang berkualitas harus memenuhi syarat seperti tangibility, reliable, responsiveness, assurance, dan empathy. Jadi pelayanan publik yang dikehendaki dalam good governnce adalah pelayanan publik yang memiliki standar tertentu, bukan pelayanan publik seperti masa lalu yakni pelayanan publik yang lamban, biaya tinggi, berbelit-belit, waktu yang lama serta ditandai dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). DAFTAR PUSTAKA Colebatch, H.K, 2009, “Governance As A Conceptual Development In The Analysis Of Policy” Critical Policy Studies, Vol. 3, No. 1, April 2009, (pp 58–67) Denhart, Janet V and Robert B. Denhard, 2003. New Public Service: Serving Not Steering. London : M.E. Sharpe. Dwiyanto, Agus .2002. Reformasi Birokrasi Publik Indonesia. Yogyakarta : PSKK UGM Frederickson, H. George, 1984. Administrasi Negara Baru (New Publivc Administration), diterjemahkan oleh Al Ghoze, Jakarta : LP3ES. Hutter, Bridget M and Jones, Clive J, 2007, “From Government To Governance: External Influences On Business Risk Management” Regulation & Governance (2007) 1, (pp 27–45) Keban. Y.T. 2008. Enam Dimensi Stratetgis Administrasi Publik. Yogyakarta: Gava Media. Kettl. D.F. 2002. The Transformation of Governance. Baltimore and London : The John Hopkins University Press. 135
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Kristiadi, J.B., 1998. Penyelenggaraan Rakhmat, 2009. Teori Administrasi dan Manajemen Publik. Tangerang : Pemerintahan Daerah dalam Usaha Pustaka Arif Meningkatkan Pelayanan Publik pada Abad XXI, Bandung, FISIP-UNPAD. Sarundajang. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta : Kata Hasta Kumorotomo, Wahyudi, 1994. Etika AdmiPustaka nistrasi Negara. Jakarta : PT. Grafindo Persada. Waluyo. 2007. Manajemen Publik; Konsep, Aplikasi dan Implementasinya Dalam Osborne, David and Ted Gaebler, 1996. ReinPelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta : venting Government (Mewirausahakan Mandar Maju. Birokrasi), Jakarta : PPM. Osborne David And Peter Plastrik, 2000. Memangkas Birokrasi. Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Jakarta : PPM.
Zeithaml, V.A. Parasuraman dan L.L.Berry. 1990. Delivering Quality Services Balancing Customer Perception and Expectation, New York : The Free Press
*********
Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
136
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH DAERAH (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) Rabina Yunus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Universitas Hasanuddin Jl. P. Kemerdekaan Km. 10 Tamalarea Makassar, Kampus Unhas Tamalanrea Makassar, Telp. (0411) 585024, 586200 (ext. 2211, 2100)
ABSTRACT Measuring the quality of public services in the Building Permit in the one-stop services office of Bone Regency, using indicators of the ability of the apparatus, system services and influential factor in the service of Building permit. The data was collected through interviews, observation and documentation, as a way to know the description of the organizational structure, education and training, ability to work completion on schedule, the convenience in obtaining services, clarity of information, security and protection services to consumers in the Office of One-Stop Services (KPTSA) of Bone Regency. The factors that affect the public service of Building Permit (IMB), among others; timeliness, ease of filing, the accuracy of service, the cost of service. Factor is a barometer of the consumer or the use of the service, so whether or not the services provided by the government back to the things mentioned above. In the public service should further develop the quality of human resources and democratization, leadership model must shift from power to the approach of expertise (from macho to maestro) and democratic in spirit, close to the subordinates and apply humanistic model of bureaucracy is putting a human in its proportions. Keywords: Quality, One-Stop Services, Local Government
ABSTRAK Mengukur kualitas pelayanan publik dalam Izin Bangunan di kantor pelayanan satu atap Kabupaten Bone, dengan menggunakan indikator kemampuan aparatur, sistem layanan dan faktor yang berpengaruh dalam pelayanan Membangun izin. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, sebagai cara untuk mengetahui gambaran struktur organisasi, pendidikan dan pelatihan, kemampuan untuk bekerja selesai sesuai jadwal, kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, kejelasan layanan informasi, keamanan dan perlindungan kepada konsumen di Kantor Pelayanan Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone. Faktorfaktor yang mempengaruhi pelayanan publik Izin Mendirikan Bangunan (IMB), antara lain; ketepatan waktu, kemudahan pengajuan, akurasi pelayanan, biaya pelayanan. Faktor adalah barometer konsumen atau penggunaan layanan, sehingga apakah layanan yang diberikan oleh pemerintah kembali ke hal-hal tersebut di atas. Dalam layanan publik lebih lanjut harus mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan demokratisasi, model kepemimpinan harus bergeser dari kekuasaan ke pendekatan keahlian (dari macho untuk maestro) dan berjiwa demokratis, dekat dengan bawahan dan menerapkan model birokrasi humanistik adalah meletakkan manusia dalam proporsinya. Kata kunci: Kualitas, Pelayanan Satu Atap, Pemerintah Daerah Keywords: quality, one-stop services, local government
137
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. LATAR BELAKANG
Salah satu jenis pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bone yang banyak mendapat keluhan dari masyarakat adalah pelayanan bidang IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Mengingat pentingnya kebutuhan akan fasilitas perumahan yang menjadi salah satu kebutuhan pokok dari masyarakat, dimana untuk membangun fasilitas perumahan tersebut dibutuhkan adanya suatu izin pendirian. Namun dalam proses mendapatkan IMB tersebut, masyarakat sering mengeluhkan pelayanan IMB oleh Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA), diantaranya adalah masih adanya penyimpangan baik dari segi prosedur, biaya maupun waktu penyelesaiannya. Berbagai keluhan masyarakat terhadap pelayanan IMB yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap secara implisit menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik khususnya bidang IMB tersebut masih rendah. Pemerintah sebagai pemegang otoritas urusan pelayanan publik tampaknya lupa diri yang kemudian melakukan berbagai penyimpangan. Masyarakat sebagai pihak yang harus mendapatkan pelayanan dari pemerintah, yang secara langsung dapat merasakan manfaatnya sekaligus yang menanggung konsekuensi buruk dari pelayanan, karena itu diperlukan sikap proaktif masyarakat dalam melakukan pengawasan masyarakat terhadap aktivitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Salah satu komitmen dalam pembentukan pemerintahan adalah kerelaan warga negara untuk taat kepada aturan-aturan hukum, kesediaan untuk mendukung setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan komitmen itu kemudian timbul suatu jalinan hubungan yaitu hubungan pemerintahan. Hubungan ini terjadi antara Pemerintah dan yang diperintah atau masyarakat bahwa masing-masing pihak mempunyai posisi dan peran tertentu. Pemerintah berperan sebagai penyedia pelayanan kebutuhan bagi masyarakat, sedangkan masyarakat berperan sebagai penerima pelayanan dari pemerintah. Tugas pemerintah pada hakekatnya adalah mengatur dan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Komitmen ini hanya bisa dipegang kalau rakyat merasa bahwa B. RUMUSAN MASALAH pemerintahan yang berjalan masih mengarah pada upaya untuk melindungi dan melayani Berdasarkan uraian latar belakang, maka masyarakat. Tugas pelayanan umum (public masalah penelitian ini dapat dirumuskan service) kepada masyarakat lebih menekankan sebagai berikut : kepada mendahulukan kepentingan masyara1) Bagaimana kualitas pelayanan publik kat, mempermudah urusan masyarakat, membidang IMB pada Kantor Pelayanan persingkat waktu proses pelaksanaan urusan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Di Kabumasyarakat dan memberikan kepuasan paten Bone? kepada masyarakat. 2) Bagaimana sistem pelayanan IMB pada Lahirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap Pelayanan Publik merupakan tantangan ter(KPTSA) Di Kabupaten Bone? sendiri dalam peningkatan kualitas pelayanan 3) Faktor-faktor apakah yang mempengapublik, terutama bagi organisasi pemerintah ruhi kualitas pelayanan publik bidang daerah dalam meningkatkan kepuasan maIMB pada Kantor Pelayanan Terpadu syarakat sebagai pelanggan layanan publik. Satu Atap (KPTSA) Di Kab. Bone?. Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
138
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini dapat dirumuskan yaitu : 1. Menganalisis aspek yang menentukan kualitas pelayanan publik bidang IMB di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Di Kabupaten Bone dilihat dari aspek struktur organisasi, kemampuan aparat, dan sistem pelayanan. 2. Menganalisis sistem pelayanan IMB pada Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Di Kabupaten Bone. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan bidang IMB di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Di Kabupaten Bone seperti Ketepatan waktu, kemudahan dalam pengajuan, akurasi pelayanan bebas dari kesalahan dan biaya pelayanan. D. KONSEP PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ukuran/standar pelayanan publik yang profesional, yang artinya pelayanan publik dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi pelayanan (aparatur pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut : 1. Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran; 2. Sederhana, mengandung arti prosedur/ tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelitbelit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan; 3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai : a. Prosedur/tata cara pelayanan; b. Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). 4. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan baik dan profesional. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga 5. negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
Keterbukaan, mengandung arti prosedur/ tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/ tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta; Efisiensi, mengandung arti : a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan 139
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keter-paduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan; b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/ instansi pemerintah lain yang terkait.
6.
7.
8.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan kualitas pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh faktor struktur organisasi, kemampuan aparat dan sistem pelayanan. Ketiga faktor ini saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan dalam ikut menentukan tinggi rendahnya dan baik buruknya suatu pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kualitas pelayanan publik mempunyai indikator ketepatan waktu, kemudahan dalam Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung pengajuan, akurasi pelayanan yang bebas dari arti pelaksanaan pelayanan masyarakat kesalahan dan biaya pelayanan. Hal tersebut dapat diselesaikan dalam kurun waktu sangat dipengaruhi oleh faktor struktur yang telah ditentukan; organisasi, kemampuan aparat dan sistem pelayanan. Semakin baik faktor struktur orgaResponsif, lebih mengarah pada daya nisasi, kemampuan aparat dan sistem pelatanggap dan cepat menanggapi apa yang yanan maka kualitas pelayanan publik akan menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi semakin baik pula dan semakin dapat memumasyarakat yang dilayani; askan masyarakat sebagai pengguna hasil pelayanan, dengan demikian. Sehingga kualitas Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap pelayanan publik yang berkualitas dapat terapa yang menjadi tuntutan, keinginan dan capai, akan hal tersebut kami paparkan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani yang bentuk kerangka pikir peneltian berikut ini ; senantiasa mengalami tumbuh kembang. Kerangka Pikir Penelitian
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik umum). Senada dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Dalam versi pemerintah, definisi pelayanan publik dikemukakan dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yaitu segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
E. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan tujuan menggambarkan penyusunan program secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan jenis penelitian asosiatif yang berupaya menafsirkan data 140
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variabel dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung. Pemilihan informan dilakukan secara purposive, artinya teknik penentuan informan dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa informan tersebut dianggap mampu memberikan informasi atau data yang relevan dengan permasalahan penelitian. Informan penelitian ini adalah pegawai pada kantor pelayanan satu atap. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan secara intensif (observation), wawancara yang dilakukan secara mendalam (in depth interview) dan teknik dokumentasi serta telaah kepustakaan.
3) Keputusan Bupati Bone (Nomor 15 Tahun 2008) Tentang Penunjukkan Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap di Kabupaten Bone Sebagai Tempat Pelayanan Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Bangunan (IPB) dan Izin Perpanjangan Penggunaan Bangunan (IPPB) Khusus Rumah Tinggal.
Permohonan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum atau instansi pemerintah maupun swasta. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diperlukan semata-mata bertujuan agar adanya tertib bangunan. Berbagai faktor yang mempengaruhi sistem pelayanan publik, khususnya dalam pelayanan F. HASIL PENELITIAN DAN Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada kantor PEMBAHASAN pelayanan terpadu satu atap yakni (a), strukPelayanan publik yang diberikan oleh apa- tur organisasi, (b), kemampuan aparat (c), sisrat pemerintah dalam suatu birokrasi peme- tem pelayanan. Keinginan untuk mewujudkan rintahan sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintahan yang baik merupakan idaman kualitasnya rendah. Namun hal ini tidak men- dari masyarakat, keinginan tersebut berangjadikan alasan utama untuk tetap pesimistik kat dari suatu asumsi dasar tentang pembentuatas perubahan yang mungkin terjadi dalam kan pemerintahan itu sendiri, yaitu untuk paradigma pelayanan yang selama ini menem- memberikan kesejahteraan kepada masyarakatpatkan aparat dengan birokrasinya pada nya melalui pelayanan yang diberikan, bahwa posisi yang harus dilayani, tetapi harus beru- hal ini hanya dapat diwujudkan jika pengelobah kepada paradigma yang menempatkan laan pemerintahan dilakukan oleh organisasi pengguna jasa (konsumen) pada posisi yang pemerintahan yang benar-benar konsisten lebih tinggi. Pelaksanaan pelayanan publik terhadap masyarakat dan bangsanya. khususnya pelayanan Izin Mendirikan 1. Kemampuan Aparat Bangunan (IMB) di Kabupaten Bone. Pembahasan mengenai kemampuan Pemerintah Kabupaten Bone telah aparat ini, akan diawali dari konsep bahwa melimpahkan kewenangan tersebut kepada kemampuan aparat dalam penelitian ini Pemerintah Kantor Pelayanan Terpadu Satu adalah suatu keadaan yang menunjukkan Atap di Kabupaten Bone. Adapun peraturan pengetahuan, kemampuan dan kemauan yang mendasari pelaksanaan kewenangan dari aparat untuk melaksanakan tugas dapelayanan IMB di Kantor Pelayanan Terpadu lam rangka memperlancar tujuan organiSatu Atap di Kabupaten Bone adalah sebagai sasi. Kemampuan sumber daya manusia berikut : (aparat) pada suatu lembaga sangat menen1) Undang-undang Republik Indonesia tukan perkembangan lembaga tersebut. (Nomor 28Tahun 2002) Tentang Kemampuan aparat secara formal dapat Bangunan Gedung. dilihat dari tingkat pendidikannya, kemam2) Peraturan Pemerintah Republik Indopuan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal, nesia (Nomor 45 Tahun 1998) Tennamun dalam proses pelaksanaan pelayatang Perubahan Atas Peraturan Pemenan sesuai tugas pokok dan fungsinya rintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang diatur dalam struktur organisasi. retribusi Daerah. Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
141
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
2. Struktur Organisasi Dalam hal restrukturisasi dan reorganisasi Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone telah lama muncul ide untuk dilakukan, seperti yang terungkap dari hasil wawancara yang dikemukakan Bapak AS sebagai berikut : “Baiknya untuk Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone biar tetap eksis dibuat struktur organisasi sendiri, sehingga adanya eselon bagi Kepala Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone nantinya. Jadi semua kegiatan pelayanan terpusat di satu tempat, dan instansi yang terkait menempatkan personilnya di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) itu. Ini tentu akan lebih efisien dan efektif “ (Wawancara, 7 Mei 2011). Berdasarkan dari apa yang dikemukakan oleh salah seorang informan maka dapat dianalisa bahwa dengan keberadaan Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone dalam hal struktur organisasi dari segi tingkat pembagian tugas pokok dan fungsi sudah terlihat adanya pembagian tugas pokok dan fungsi yang jelas. Karena dalam pelaksanaan sehari-hari petugas yang bertugas di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone hanya berjumlah 10 (sepuluh) orang, yang terdiri dari : 1 orang petugas Tata Usaha (TU); 8 orang petugas loket pelayanan; 1 orang petugas bagian umum pengamatan penulis bahwa dari 10 (sepuluh) orang yang bertugas ini, kelemahan yang terlihat adalah hanya beberapa petugas yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan yang lainnya pegawai yang berstatus Rollsstaads atau yang lebih dikenal dengan pegawai honorer. 3. Sistem Pelayanan. Tugas pokok dan fungsi yang diatur dalam pelaksanaan pelayanan publik, khususnya pada izin mendirikan bangunan (IMB) terlaksana dengan baik, demikian pula Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
dengan pelaksanaan tugas antar instansi juga terlaksana dengan baik, walaupun dengan waktu yang kurang efisien dikarenakan setiap urusan pelayanan baru akan diproses setelah terku-mpul beberapa formulir pengajuan dan baru dibawa ke instansi terkait. Hal ini diungkapkan oleh Bapak YA sebagai berikut: “Pengurusan IMB dilakukan bilamana, kalau yang mengurus IMB dalam satu hari sudah terkumpul banyak baru dibawa ke Bagian perizinan untuk diproses. Sedangkan kalau masih sedikit menunggu dulu yang mengurus besoknya baru diproses�. (Wawancara 15 Mei, 2011). Berdasarkan pengamatan penulis bahwa dalam hal pelayanan publik yang dilakukan pada Kantor pelayanan terpadu satu atap, nampak terjadi sistem pelayanan berdasarkan tingkat hubungan antara atasan dan bawahan, disisi lain masih terlihat adanya budaya bugis yang sangat mempengaruhi dalam hubungan bapak dengan anak. Hal ini disebut budaya paternalisme yang memandang atasan sebagai pihak yang harus dihormati oleh bawahannya, selain itu bawahan hanya dipandang sebagai alat untuk menjalankan perintah atasannya, sehingga ada kecenderungan bahwa aparat birokrasi yang telah menjadi pimpinan mempertahankan kedudukannya karena dirasakan mampu memberikan keuntungan finansial dan sosial. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kemampuan aparat yang semakin tinggi dan semakin baik maka akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yaitu akan semakin baik.Tetapi dalam kasus di Kabupaten Bone ini dalam hal kemampuan aparat, indikator pendidikan aparat ternyata tidak sesuai dengan konsep yang ada. Dimana dalam konsep yang ada semakin tinggi pendidikan aparat maka kemampuannnya semakin baik, tetapi kasus di Kabupaten Bone tingkat pendidikan aparat tidak membawa pengaruh yang significant terhadap kemampuan 142
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
aparat dalam hal kualitas pelayanan. manan bagi masyarakat kurang diperhaIndikator lain dalam variabel kemampuan tikan. Hal ini terlihat dari kondisi ruang aparat adalah kemampuan penyelesaian pelayanan yang tidak memperhatikan pekerjaan sesuai jadwal, dengan maksud faktor kenyamanan berdasarkan stĂĄndar. bahwa prosedur yang dilakukan oleh pengguna jasa tidak memerlukan waktu 5. Kejelasan informasi yang ditunda-tunda dalam melaksanakan Selain hal tersebut diatas, dalam menpelayanan terhadap masyarakat. Permadukung sistem pelayanan, pihak Kantor salahan kemampuan aparat dalam melaPelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) kukan kerja sama di Kantor Pelayanan Kabupaten Bone juga memberikan kejeTerpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten lasan informasi tentang pelayanan yang Bone, terlihat masih menjadi kendala diberikan berkaitan dengan pelayanan demikian pula halnya kerja sama antara publik yang diberikan. Hal tersebut dilaatasan dan bawahan kurang tercipta kukan sebagai upaya dalam rangka mendengan baik, bawahan hanya meminta jalin hubungan dengan masyarakat sebapetunjuk atasan kalau merasa bingung gai pihak yang harus dilayani dengan baik. dalam memutuskan sesuatu kebijakan Apabila ada keluhan dari masyarakat yang akan dilakukan, hal ini sebagaimana yang berkaitan dengan pelayanan publik, yang diungkapkan oleh Bapak RA sebagai masyarakat dapat mengadukan keluhan berikut: tersebut melalui media massa Radar Bone (milik Pemda Kabupaten Bone) atau “Sebagai pegawai apabila ada pekerjaan melalui radio Suwara Daya Indah. Berkaiyang tidak pas, maka harus minta petunjuk tan dengan perlindungan terhadap damatasan soalnya sebagai bawahan harus pak hasil pelayanan, Kantor Pelayanan loyal. Loyalitas itu wajar-wajar saja, supaya Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten setiap tindakan yang kita ambil itu benar. Bone seperti yang telah dijelaskan sebeJadi, kebijakan tetap ada di tangan atasanâ€? lumnya bahwa pihak Kantor Pelayanan (Wawancara 15 Mei, 2010). Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone menjamin dan memberikan perlinSebagai institusi yang bertugas melayani dungan terhadap konsumen apabila ada publik dalam hal ini masyarakat, Kantor kesalahan. Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone yang diwakili oleh Kepala G. FAKTOR-FAKTOR YANG Kantor secara periodik memberikan perMEMPENGARUHI KUALITAS tanggungjawaban kepada bapak Bupati PELAYANAN Bone. Hal-hal yang dilaporkan adalah mengenai laporan keuangan hasil pemaSalah satu indikator dalam memperoleh sukan dari Kantor Pelayanan Terpadu kualitas pelayanan publik yang baik maka yang Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone. Hal perlu untuk diperhatikan adalah ketepatan Ini penting sekali karena laporan keua- waktu pelayanan yang berkaitan dengan wakngan tersebut akan dipertanggungja- tu tunggu dan proses. Semakin cepat dan tepat wabkan kepada masyarakat dalam ben- waktu dalam proses pelayanan, maka akan tuk pembangunan melalui Pendapatan Asli membuat pengguna jasa semakin puas, selain Daerah (PAD). itu kemudahan dalam pengajuan permohonan dan kelengkapan administrasi yang menyang4. Kenyamanan dalam memperoleh kut prosedur atau tata cara, tidak berbelit-belit, pelayanan mudah dipahami dan dilaksanakan. Kenyataan yang ada di Kantor Pelayanan Sementara itu, indikator berikutnya akuTerpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten rasi pelayanan yang berkaitan dengan apakah Bone menunjukkan bahwa faktor kenya- pelayanan tersebut bebas dari kesalahan, Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
143
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
menunjukkan dalam setiap permohonan pelayanan masih diketemukan kesalahankesalahan yang berkaitan dengan hal-hal teknis, misalnya kesalahan dalam proses mencetak dokumen. Hal ini patut sebenarnya masih dapat dianggap wajar, tetapi sebagai konsumen yang ingin mendapat pelayanan yang terbaik seharusnya setiap kesalahan hendaknya dapat dikurangi bahkan tidak terdapat kesalahan sedikitpun. Indikator terakhir dalam menentukan kualitas pelayanan publik di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan indikator besarnya biaya pelayanan, faktor biaya pelayanan dianggap penting karena faktor ini paling rawan dan krusial sekali di mata banyak pihak. Penetapan besarnya biaya pelayanan telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bone, karena sangat membantu dalam memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). H. KESIMPULAN DAN SARAN
prinsip ‘The right man in the right place’ maka dalam pendelegasian tugas dan wewenang serta pemberian kesempatan kepada pegawai untuk memegang tanggung jawab perorangan harus jauh dari pola pendekatan hubungan pribadi, tetapi lebih ditekankan pada objektifitas kualitas keahlian dan kecakapan individu penerima wewenang. DAFTAR PUSTAKA Linquist, Evert, 2006, “Organizing for Policy Implementation: The Emergence and Role of Implementation Units in Policy Design and Oversight” Journal of Comparative Policy Analysis, Vol. 8, No. 4, December 2006 (pp.311–324) http:/ /www.tandfonline.com/page/termsandconditions, diakses (09 Agustus 2011) Moenir, H.A.S., 1992, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.
Osborne, David dan P. Plastrik, 1997, Banishing 1. Kesimpulan Bureaucracy : The Five Strategies for Kualitas pelayanan publik di Kantor PelaReinventing Government, New York, yanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Addison–Wesley. Bone dapat dikatakan masih rendah, hal ini disebabkan antara lain; Masih tidak konsistennya antara waktu tunggu dengan waktu Supranto, 2001, Pengukuran Tingkat Kepuasan: Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka penyelesaian dalam memberikan pelayanan Cipta, Jakarta. kepada masyarakat sebagai konsumen., Belum adanya sistem yang terkomputerisasi dan terintegrasi online dengan instansi terkait. Tobirin, 2008, “Penerapan Etika Moralitas Dan Budaya Malu Dalam Mewujudkan Pelayanan kepada masyarakat dilayani dengan Kinerja PNS Yang Profesional” Civil tanggap dan cepat, namun daya inisiatif dan Service: Jurnal Kebijakan & Manajemen kreativitas masih kurang, terlalu prosedural. PNS, Vol.II No. 2 (2008) (Hal. 53-79) 2. Saran Perlunya peningkatan kualitas pelayanan Widodo, Joko, 2001, Good Governance : Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol publik terhadap pelayanan Izin Mendirikan Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Bangunan (IMB) maka di harapkan pendidiOtonomi Daerah, Insan Cendekia, kan dan pelatihan lebih ditingkatkan, demikian Surabaya. pula dengan ketepatan waktu melayani sehingga disarankan untuk melaksanakan pelayanan dengan sistem on line terhadap berbagai uru- Zeithaml, Valarie A., (et.al), 1990, Delivering Quality Services: Balancing Customer Percepsan pelayanan publik pada Kantor Pelayanan tions and Expectations, The Free Press, Terpadu Satu Atap kabupaten Bone. Dilihat A Division of Macmillan Inc., New York. dari kemampuan aparat, harus melaksanakan Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
144
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Peraturan Daerah Kabupaten Bone N0. 25 Tahun 2009 Tentang Izin Mendirikan Bangunan
DOKUMEN PUBLIK Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Peraturan Bupati Bone N0. 74 tahun 2008 Tentang Rincian tugas, fungsi dan tata kerja kepala unit, sekertaris, kepala bagian tata usaha, kepala bidang dan sub bagian pada unit pelayanan terpadu perizinan Kabupaten Bone.
Keputusan Bupati Bone (Nomor 15 Tahun 2008) Tentang Penunjukkan Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap di Kabupaten Bone Sebagai Tempat Papelayanan Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Bangunan (IPB) dan Izin Perpanjangan Penggunaan Bangunan (IPPB) Khusus Rumah Tinggal.
*********
Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
145
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
REFORMASI BIROKRASI MELALUI E-GOVERNANCE : PELUANG ATAU TANTANGAN DALAM PELAYANAN PUBLIK ? Zainuddin Mustapa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Timur Jl. Rappocini Raya No.171-173 Makassar Telp.(0411) 421974, Fax (0411) 852111
ABSTRACT The government will continue to strive to make efforts to reform the bureaucracy, as an integral part of improving government management and enhance the dignity of the government in the eyes of the international community and the world. However, increasingly based on that, the reform is not easy, because he did not take place in a vacuum chamber. Bureaucratic reforms face cultural constraints, structural and even mental constraints of bureaucracy, in addition to technical constraints. The problems are now required is a renewed commitment of the leaders or officials at central and local levels to continue to push reforms through e-government bureaucracy. Important conclusions can be drawn from this study is that e-government is implemented seriously and consistently will greatly support the transparency of public services. What also must be understood by government officials is that the use of e-government still requires consistent monitoring systems. In addition to extensive knowledge of information technology, e-government must also be supported by good integrity among policy makers and pelaksannya. Teknoogi information does make many things easier and more efficient. Keywords: Bureaucracy, E-Government, Information Technology
ABSTRAK Pemerintah akan terus berusaha melakukan upaya untuk mereformasi birokrasi, sebagai bagian integral untuk meningkatkan manajemen pemerintahan dan meningkatkan martabat pemerintah di mata masyarakat internasional dan dunia. Namun, semakin berdasarkan itu, reformasi tidak mudah, karena ia tidak terjadi dalam ruang vakum. Reformasi birokrasi menghadapi kendala budaya, hambatan struktural dan bahkan mental birokrasi, di samping kendala teknis. Masalah sekarang yang dibutuhkan adalah komitmen baru dari para pemimpin atau pejabat di tingkat pusat dan daerah untuk terus mendorong reformasi melalui e-government birokrasi. Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa e-government dilaksanakan dengan serius dan konsisten akan sangat mendukung transparansi pelayanan publik. Yang juga harus dipahami oleh pejabat pemerintah adalah bahwa penggunaan e-government masih memerlukan sistem monitoring rutin. Selain pengetahuan luas tentang teknologi informasi, e-government juga harus didukung oleh integritas yang baik di antara pembuat kebijakan dan pelaksannya. Informasi teknoogi tidak membuat banyak hal lebih mudah dan lebih efisien. Kata kunci: Birokrasi, E-Government, Teknologi Informasi
146
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. PENDAHULUAN Dukungan pemerintah terhadap perkembangan e-government di Indonesia mulai tampak pada periode awal tahun 1990-an, meskipun lembaga-lembaga yang berkompeten bagi pengembangan sistem informasi dalam organisasi publik sebenarnya sudah ada pada beberapa dasawarsa sebelumnya. Terkait dengan pengembangan e-government, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No-3 tahun 2003 mengenai Strategi Pengembangan Egovernment. Namun dengan rumusan rencana pengembangan e-government yang masih abstrak dalam aturan tersebut, tampak-nya masih banyak perbedaan pemahaman di antara para pejabat pemerintah sendiri. Dalam pandangan umum, e-government sejauh ini masih dipahami sebatas sebagai pembuatan situs web oleh organisasi pemerintah. Belum banyak yang memahami secara luas bahwa tahap-tahap perkembangan pemanfaatan teknologi informasi dalam organisasi publik itu bisa berbeda-beda mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. Tetapi kurang jelasnya konsep e-government itu dapat dimaklumi karena cakupan tugas-tugas pemerintah yang sangat luas dengan kebutuhan di masingmasing daerah yang beragam. Secara umum, tahap pengembangan egovernment dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) tahap informatif, 2) tahap interaktif, dan 3) tahap transaktif. Tahap informatif mengandung arti bahwa pembukaan situs web oleh organisasi pemerintah sebatas digunakan sebagai sarana penyampaian informasi tentang kegiatan pemerintahan di luar media elektronik maupun non-elektronik yang selama ini ada. Tahap interaktif berarti penggunaan teknologi internet yang memungkinkan kontak antara pemerintah dan masyarakat melalui situs web dapat secara online sehingga memungkinkan interaksi yang lebih interaktif dan terbuka. Sedangkan tahap transaktif adalah penggunaan teknologi internet yang memungkinkan transaksi pelayanan publik melalui situs web. Misalnya, kemungkinan untuk membayar pajak, melakukan permintaan formulir, atau transaksi lainnya Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
melalui internet. Seperti diketahui tugas utama birokrasi adalah untuk menjalankan pemerintahan dan juga sebagai struktur yang menjamin kelancaran pemerintahan. Namun pada kenyataannya, birokrasi memiliki kelemahan dalam pelaksanaannya dilapangan, ia memiliki citra buruk yang melekat dalam dirinya (the bad sides of bureaucracy) terutama dalam praktik pelayanan publik sehari-hari, khususnya di Negara sedang berkembang yang mewarisi tradisi birokrasi yang korup dan kurang berpihak pada rakyat yang mestinya mereka layani, diminta ataupun tidak. Apabila kita bertanya kepada kritikus pemerintahan tentang penilaian mereka terhadap praktik birokrasi, maka kita akan mendapatkan gambaran kebalikan dari identitas teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh penggagasnya. Kegalauan itu tidak saja dilontarkan oleh ilmuwan Negara sedang berkembang namun juga dalam banyak kasus di Negara maju. Secara teoritis pun banyak orang member penilaian negative, sebagian bagian dari sifat birokrasi yang kaku dan formalistis, sebab tidak semua urusan masyarakat dan pmerintahan bisa didekati dengan pendekatan formalistis. Contohnya, orang miskin yang belum memiliki stempel miskin dari birokrasi lokal. Mereka tidak bisa mendapatkan hakhaknya yang asasi misalnya memperoleh perawatan dan pengobatan karena dia tak mendapati dirinya memiliki kartu keterangan miskin. Kritikan itu berisi poin-poin yang umumnya negatif, dapat dilihat seperti contoh berikut ini : [bureaucracy] evokes the slowness, the ponderousness, the routine, the complication of procedures, and the maladapted responses of bureaucratic organizations to the needs which they should satisfy, and the fustations which their members, clients, or subjects consequently endure. Dikatakan bahwa gambaran bagi organisasi birokratik adalah keadaan yang lamban, yang membosankan, yang rutin, yang rumit prosedunya, dan yang buruk adaptasinya terhadap kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi, dan juga mengingatkan kita akan rasa frustasi yang terus-menerus dirasakan oleh para anggotanya, kliennya atau subyeknya. 147
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Pengidentikan birokrasi dengan berbagai hal yang bernada negative memang bukanlah sesuatu hal yang baru. Bagi banyak ahli birokrasi tetap memiliki varriasi konotasi, tergantung kelompok social yang menyampaikan keluhan. Golongan tertentu dengan jabatan tinggi mengeluh tentang hilangnya keistimewaan, yang oleh tradisi ada, bisa dibatasi oleh birokrasi. Kalangan pengusaha mengeluhkan campur tangan birokrasi dalam perdagangan, para seniman mengeluhkan pekerjaan tulismenulis mereka yang tak kunjung masuk urusan utama birokrasi, para ilmuwan mengeluhkan kedunguan para pelaksana tugas atau PNS yang bekerja lamban dan seenaknya sendiri, para negarawan mengeluhkan penundaan penyusunan dan pelaksanaan agenda pemerintahan. Dalam sebuah masyarakat dan ekonomi yang semakin digerakkan oleh inovasi teknologi, birokrasi di Negara-negara sedang berkembang harus berhadapan dengan proses tuntutan yang baru yaitu : efesiensi, produktifitas, akses rakyat terhadap informasi yang ada dalam birokrasi serta tuntutan kepastian dan rasa aman dan rasa nyaman (convenience). Dalam proses Negara yang menuju demokrasi selalu terdapat tuntutan dan bahkan kebutuhan akan hak-hak “masyarakat yang diperintah” harus diletakkan seiring dengan tujuan-tujuan pembangunan. Secara umum diketahui bahwa diluar lingkungan birokrasi, secara historis, inovasi-inovasi teknologi telah menghasilkan kualitas kehidupan yang meningkat dengan kata lain kalau mau maju ya harus ada inovasi. Bagi seorang pemimpin pemerintahan yang baik, pelayanan yang baik adalah visi yang selalu ingin diciptakannya dalam menjamin perbaikan pemerintahan secara keseluruhan. Dan tampaknya dari ber-bagai segi pemerintahan ada keyakinan : tak ada satu cara yang baku, tak ada “cara terbaik” kea rah pemerintahan yang baik. Dan dalam pekembangannya yang sekarang e-government berhasil-berhasil menjadi alternative yang umum diterapkan di Negara sedang berkembang dalam reformasi pemerintahannya. B. KONSEP DASAR E-GOVERNMENT Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
Pengertian tentang e-government telah banyak dikemukakan para praktisi maupun akademisi sehingga definisi yang ada mengandung penekanan yang berbeda-beda. Bank Dunia (2001) mendefinisikan E-government sebagai penggunaan teknologi informasi oleh instansi pemerintah seperti Wide Area Networks (WAN), Internet, mobile computing) yang dapat digunakan untuk membangun hubungan dengan masyarakat, dunia usaha, dan instansi pemerintah lainnya. Sedangkan definisi lain mengatakan bahwa e-government adalah penggunaan teknologi informasi untuk membuka pemerintah dan informasi pemerintah untuk memungkinkan dinas-dinas pemerintah untuk berbagi informasi demi kemanfaatan publik, untuk memungkinkan terjadinya transaksi secara online dan untuk mendorong pelaksanaan demokrasic. Selanjutnya variasi tentang definisi e -government dapat disajikan sebagai berikut: n
n
n
E-government applies concepts of electronic commerce (e.g. information and marketing through Web sites, selling to customers online) to government operations. Refers to the federal government’s use of information technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) to exchange information and services with citizens, businesses, and other arms of government.. Government activities that take place by digital processes over a computer network usually use the Internet, between the government and members of the public and entities in the private sector, especially regulated entities. These activities generally involve the electronic exchange of information to acquire or provide products or services, to place or receive orders, to provide or obtain information, or to complete financial transactions. The anticipated benefits of e-government include reduced operating costs for government institutions and regulated entities, increased availability since government services can be accessed from virtually any location, and convenience due to round-the-clock availabiliry. 148
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Teman-teman di atas apabila direlokasikan dengan manfaat yang diperoleh melalui penerapan e-government masih sangat jauh. Melalui e-government paradigma pelayanan public bergeser dari paradigma birokratis menjadi paradigma e-government yang mengedepankan efesiensi, transparansi, dan fleksibilitas, yang akhirnya bermuara pada kepuasan pengguna layanan public. Manfaat lain e-government dikemukakan oleh European Commision;
sumber daya manusia, perangkat keras, dan organisasi. Kemampuan sumberdaya manusia atau peopleware terutama para pejabat birokrasi maupun staff dalam menggunakan Internet yang masih terbatas. Hal ini terbukti dari masih sangat tergantungnya birokrasi dalam pengembangan e-government terhadap pihak luar. Operasionalisasi e-government juga tidak berjalan lancar ditandai dengan sarana interaksi yang disediakan tidak dimanfaatkan dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa n Transforming government into a dynamic, paradigma pelayanan publik berbasis eproductivity-driven concept and set of Institu- goverment memerlukan persiapan yang lebih tions (for example through re-engineering). serius, bukan hanya implementasi aplikasi n Providing interactive user-driven services to saja tapi harus bisa melalukan transformasi citizens and businesses which maximise budaya, seperti ditekankan oleh Eurepean fu46lment and security, whilst generating Commision: “Adding ICT to government services, . trust and confidence. however, does not itself produce “e-Government� n Using ICT to support good governance so - new technologies must be implemented hand that democracy is characterised by accoun- in hand with organisational change and new tability, openness and transparency, and that skills if convenient, service-oriented services are articulation between the different parts of to flow�. society, including government, is flexible, efAspek hardware yakni berkaitan dengan fective and beneficial to the common good. teknologi dan infrastuktur juga menjadi n Supporting the general role of government in tantangan. Terbatasnya hardware dan softunderpinning and promoting the wealth, wel- ware serta masih sedikitnya instansi pemefare and sustainable development of society. rintah yang terhubung pada jaringan baik lokal (LAN) maupun global (Internet) E -government Indonesia yang masih menyebabkan perkembangan e-government dalam tingkatan interaksi belum dapat tidak dapat berjalan lancar. Sebenarnya mentransformasi pelayanan publik yang melalui implementasi e-government komunilebih baik. Bahkan untuk komunikasi kasi internal antar dinas pernerintah dapat eksternal pun masih belum dapat dimanfaatlebih terjalin, namun demikian karena kan dengan baik walaupun sarana interaksi keadaan infrastruktur jaringan yang masih yang ada berupa forum, email, chat, polling, terbatas maka e-government akhirnya hanya dan lainnya sudah disediakan pada setiap dimanfaatkan untuk komunikasi eksternal website pemerintah. Sarana interaksi belum yang juga belum maksimal. dapat ditujukan untuk komunikasi formal Berdasarkan aspek organisasi atau maupun informal, juga untuk umpan balik organoware, seringkali instansi pemerintah langsung yang cepat seperti yang disampaidalam mengoperasionalkan e-government kan oleh Alfred dalam tabel di atas, apalagi menemui kendala dalam aspek organisasi. untuk sarana providing interactive userKendala ini ditandai dengan tidak fleksibelnya driven services to citizens and businesses Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT) which maximise fulfilment and security, whilst birokrasi yang dapat mewadahi perkembagenerating trust and confidence sebagaimana ngan baru model pelayanan publik melalui ependapat European Commision. government. Para admin e-government di Keadaaan di atas, menunjukkan tanta- beberapa daerah yang selalu memonitor ngan penerapan e-government di Indonesia pengaduan masyarakat tidak mempunyai masih sangat banyak di antaranya dari segi wewenang dan kemampuan untuk langsung Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
149
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
berinteraksi dengan masyarakat misalnya dalam memberikan jawaban. Sedangkan untuk meminta pejabat atau pegawai yang terkait untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan masyarakat, para admin tersebut tidak mempunyai wewenang. Hambatan organoware lainnya adalah belum adanya regulasi yang mengijinkan transaksi melalui media elektronik dapat dianggap sah. Walaupun sudah ada Undang-Undang ITE namun belum ada Juklak dan Juknis di samping SOT dan regulasi. Tantangan organoware berikutnya adalah terbatasnya dana yang tersedia untuk pengembangan dan operasionalisasi e-governent di daerah. Pemerintah pusat hanya menyediakan kerangka kebijakan dan panduan tidak disertai dengan alokasi dana sehingga harus ditanggung oleh daerah yang bersangkutan.
manajemen pelayanan dan peningkatan mutu pelayanan publiknya. Dengan kata lain seolah ada adagium : “tidak aka nada perbaikan mutu pelayanan publik tanpa inovasi. Tidak ada inovasi tanpa aplikasi IT dalam birokrasi. Dengan kata lain tidak ada pelayanan yang baik tanpa e-government”. Kutipan pengertian dibawah ini adalah contohnya : Government–a publik organization – is part of a broader governance system. It is a means to a goal. These days, government is seen predominantly as a publik organization set up by a society for the purpose of pursuing that society’s development objectives. This comprises articulating the society’s development-related demands, proposals and needs, aggregating them and implementing respon sive solution. Enjoyment of publik consent constitutes the source of government’s legitimacy. Trans-parency is a condition sine qua non for government’s accountC. E-GOVERNANCE SEBAGAI TREN GLO- ability vis-à-vis its oversight body. E-government BAL MODERNISASI BIROKRASI is a gover-nment that applies ICT to transform its internal and external relationships. Throught Selama lima tahun belakangan ini, ilmuwan the application of IT to its operations, a governpemerintahan dan juga badan-badan resmi ment does not alter its functions or its obligaPBB untuk pelayanan publik terus meng- tion to remain useful, legitimate, transparent evaluasi dan sekaligus mencari strategi yang and accountable. If anything, this application jitu dalam rangka mengembangkan standar raises society’s expectations about the performutu pelayanan publik bagi Negara-negara mance of government, in all respects, to a much berkembang. Tidak kurang dari UNPAN higher level. (www.unpan.org) dan World Public Sector Kutipan di atas memberi pengertian sekamisalnya, selalu saja mengembangkan ide dan ligus penilaian bahwa e-government adalah menfasilitasi pengembangan sistem baru aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka perbaikan pelayanan publik dalam dan dengan pihak luar diharapkan (better publik services). meningkatkan performance pemerintahan Mengapa perbaikan pelayanan publik dan memenuhi ekspektasi masyarakat akan dikaitkan dengan keberanian inovasi dalam peningkatan kualitas pemerintahan. Demikian birokrasi dan pentingnya introduksi IT (Infor- pula terbukti semakin maju sesuatu Negara mation Technology) untuk perbaikan sistem semakin tinggi tingkat e-government. pelayanan, peningkatan produktifitas, efesiensi dan bahkan demokrasi dan apa masalah D. PERAN NEGARA-NEGARA MAJU yang akan dihadapi Negara-negara berkemMENUJU E-GOVERNMENT bang seperti Indonesia? Dari sisi akademis, seperti telah ada keDeskripsi berikut ini akan menampilkan simpulan umum, bahwa tren aplikasi e-gover- peringkat kesiapan e-government secara global nment dalam pemerintahan serta hasil yang untuk 25 negara teratas di dunia. Kebanyakan telah dicapai oleh beberapa Negara maju Negara-negara dengan ekonomi maju dan bermengesankan bahwa Negara yang ingin pendapatan tinggi menduduki peringkat memperbaiki pelayanan publiknya, sedikit teratas jika dibandingkan dengan rata-rata atau banyak ia harus berani berinovasi dalam Negara lain. Meski mayoritas Negara tersebut Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
150
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
adalah Negara industry maju, namun beberapa Negara berpendapatan menengah dengan ekonomi sedang berkembang atau sedang beranjak menuju maju, memperlihatkan adanya trend “pengejaran akan ketertinggalan�.
telekomunikasi dan sangat rendahnya indeks Modal Sumber Daya Manusia. Disparitas dalam tingkat kesiapan e-government bukan hanya mencerminkan rendahnya level sumber daya infrastruktur dan modal sumber daya manusia beberapa bagian di Peringkat Kesiapan E-Government seluruh dunia. Disparitas itu juga menunjukSecara Global 25 Negara Teatas kan besaran kesenjangan yang ada. Indicatorindikator di Amerika Utara dan Eropa sekitar 5 -10 lebih tinggi dalam hal basis sumber daya manusianya dan sekitar 4-20 kali dalam hal pembangunan infrastrukturnya. Sebagai misal, jika AS dijadikan pembanding. Bahkan meskipun 40 persen penduduknya tidak online, tingkat kesiapan telekomunikasi di Afrika dan Asia tengah dan selatan hanya 1/20 dari AS. Asia tengah dan selatan yang merupakan sepertiga jumlah penduduk dunia memiliki sekitar 20 persen dari rata-rata kapasitas modal sumber daya manusia AS. Ebarnya disparitas ini berakhir pada “kesenjangan digital� (digital divide). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menawarkan solusi untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik yang lebih berbasis pada good governance. Pemanfaatan e-government bagi birokrasi diharapkan dapat menjadi alternatif bagi reformasi birokrasi menuju pelayanan yang lebih baik. Untuk mendukung keberhasilan dalam penerapan e-government, pemerintah pada tahun 2003 telah mengeluarkan beberapa panduan yaitu Panduan Pembangunan Infrastruktur Portal Pemerintah, Panduan ManajeSumber : United Nations ; World Publik Sector Report men Sistem Dokumenen Elektronik PemerinSecara keseluruhan, Amerika Utara dan tah, Panduan Penyusunan Rencana PengemEropa memimpin di seluruh dunia. Negara- bangan e-government Lembaga, Pedoman negara Asia Tengah-Selatan dan Afrika me- Penyelenggaraan Diklat ICT dalam Menunjang miliki kesiapan e-government yang terendah. e-government, Pedoman tentang PenyelenggaTak diragukan bahwa yang mendasari gamba- raan Situs Web Pemerintah Daerah. ran ringkas secara agregat ini ialah tingkatan Kemudian dilengkapi dengan panduan pembangunan ekonomi, social dan politik dari yang dikeluarkan pada tahun 2004 meliputi: Negara-negara yang bersangkutan. standar mutu dan jangkauan pelayanan serta Salah satu factor primer turut berperan pengembangan aplikasi (e-services), kebijakan dalam menyumbangkan angka kesiapan e- tentang kelembagaan, otorisasi, informasi dan government yang tinggi ialah investasi di masa keikutsertaan swasta dalam penyelenggaraan, lalu dalam sumber daya telekomunikasi dan kebijakan pengembangan pemerintahan yang manusia. Rendahnya kesiapan e-government baik dan manajemen perubahan, panduan di Asia tengah-selatan dan Afrika merupakan tentang pelaksanaan proyek dan pengangsebuah cerminan dari sangat rendahnya indeks garan e-government aplikasi e-government Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
151
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
pemerintah pusat dan daerah. Kemudian pada tahun 2006, Pemerintah membentuk Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas) melalui Keppres C-006 yang salah satu tugasnya untuk mempercepat proses implementasi e-government. Namun demikian keberhasilan penerapan e-government belum terlihat signifikan. E. APLIKASI E-GOVERNMENT DI NEGARA BERKEMBANG Terdapat harapan bahwa masuknya IT dalam birokrasi dan terdapatnya keberanian inovasi dalam berbagai hal akan menghantar pemerintah pada fase kemajuan seperti yang dicapai oleh dunia industry, perbankan dan perguruan tinggi di luar instansi pemerintahan. Tak bisa dipungkiri bahwa jika sebuah Negara atau subsistem pemerintahan telah berani mengintroduksi kegagapan teknologi atau kesenjangan digital (Digital Divide), hal itu akan membuka kesempatan yang luas bagi pencapaian pembaharuan di subsistem yang lain. Hal ini berlaku bagi semua Negara, seberapapun level pembangunan ekonomi mereka, level pembangunan sumber daya manusia mereka dan apapun konteks social dan cultural yang ada dalam komunitas atau Negara tersebut. Jika bisa mengatasi GAPTEK dan berani bertarung melawan cara-cara lama yang lamban dan birokratis maka harapan akan kemajuan lain akan tercapai. Penggunaan dan optimalisasiteknologi dasar dan menengah dalam birokrasi memungkinkan berlangsungnya komunikasi internal dan eksternal pemerintah secara cepat, tepat, sederhana berjangkauan luas dan memiliki kesanggupan menjalin jaringan. Inovasi dan introduksi IT dalam birokrasi bisa dimanfaatkan untuk menurunkan biaya dan meningkatkan efektivitas, yang merupakan dua fitur yang diinginkan dari semua kerja pemerintahan, dan yang terutama dalam hal pelayanan publik. Penggunaan dan optimalisasi mesin yang tepat dalam subsistem birokrasi juga bisa digunakan untuk optimalisasi waktu, dimana komunikasi dapat dilakukan dari luar jam kantor sekalipun dan dari jarak yang amat jauh sekalipun. Apabila sistem IT digunakan jam Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
kerja bisa bertambah 24 jam setiap sehari administrasi publik yang berfungsi 24 jam setiap hari selama 7 hari seminggu, yang memiliki transparansi dan akuntabilitas, terbentuk jaringan kerja, dan memiliki manajemen iformasi dan penciptaan pengetahuan. Selain itu, IT bisa memberikan perlengkapan kepada masyarakat untuk bisa berpartisipasi secara sungguh-sungguh dalam sebuah proses politik yang inklusif sehingga melahirkan dukungan publik yang selalu mengikuti informasi (well-informed) yang merupakan basis yang paling utama bai legitimasi pemerintahan. Dari sudut pandang ini, inovasi di tangan pemerintah bisa menjadi sebuah alat yang efektif untuk menambahkan nilai publik. Jelas, maksimalisasi nilai publik pada akhirnya akan bergantung pada penentuan mengenai kapan, bagaimana dan dimana memanfaatkan kapasitas-kapasitas komunikasi yang baru yang bisa didapat oleh pemerintah lewat aplikasi IT dalam kerja mereka. Masalah lain dalam inovasi dan penggunaan IT khususnya di Negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah terbatasnya keterampilan dan kultur birokrasi sipil. Pegawai negeri sipil haruslah sanggup dan bersedia untuk mendukung e-government atau setidaknya harus bersedia belajar dan berubah. Kultur yang ada dalam tubuh birokrasi sipil menentukan penilaian terhadap kemungkinan kehilangan yang akan dihasilkan oleh penerapan e-government terhadap individu pegawai negeri sipil dan juga terhadap kekuatan dan efektivitas dari lobi anti-perubahan. Demikian juga dengan masalah koordinasi. Koordinasi dan upaya yang dibutuhkan baik dalam maupun antar pemerintah haruslah diperkuat terlebih dulu sebelum aplikasi egovernment diterapkan untuk menghindari penggandaan, menjamin interoperabilita dan memenuhi ekspektasi-ekspektasi para pengguna. Kerangka legal, e-government memunculkan kebutuhan-kebutuhan legal yang khusus dan hal ini harus disadari dan dihadapi sejak awal. Infrastruktur harus dinilai berdasarkan latar belakang kebutuhan dan hasil yang diinginkan. Keterbatasan infrastruktur akan membatasi hasil maupun pengembangan yang direncanakan. Sebaliknya, jika 152
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
berlebihan melampaui kebutuhan, ada bahaya dan akan menjadi perlengkapan yang membebani kantor yang mahal dan mubazir. Pemimpin sektor publik harus berkomitmen terhadap e-government, memimpin dan membangun dukungan luas baginya, dan berani untuk belajar. Hal ini akan menghadirkan tanda-tanda positif yang sangat penting yang dibutuhkan oleh birokrasi sipil dari pucuk pimpinannya. Publik harus memiliki keterlibatan pribadi dalam pengembangan e-government. Hal ini harus diperkuat dengan secara aktif, sungguh-sungguh dan kontinyu mengundang partisipasi masyarakat dalam pengembangan aplikasi e-government sehingga aplikasi IT akan membentuk kebiasaan hidup dan kerja masyarakat. Harus ada visi dan rencanarencana untuk menjembatani jurang-jurang yang ada dalam keterampilan dan akses. Jika tidak, baik administrasi publik maupun masyarakat tak akan bisa berharap akan bisa melek dan sanggup menggunakan IT, yang merupakan bahan penting bagi keberhasilan e-government. Juga dalam hal ini diperlukan Kemitraan. Sejak awal, pemerintah harus melihat organisasi-organisasi di luar pemerintahan sebagai mitranya dalam ha sumber keuangan, peningkatan keterampilan, akses yang lebih baik dan kapasitas yang memadai untuk membentuk jaringan IT. Kemitraan tak boleh dijalin dengan mengorbankan transparasi, akuntabiltas atau kelayan investasi secara ekonomis. Juga perlunya monitoring dan evaluasi. Menetapkan tanggung jawab yang jelas dan tolak ukur yang realistis bagi pengembangan e-government merupakan sebuah bahan penting bagi keberhasilan yang akan dicapai dan bagi pembangunan transparansi dan akuntabilitas secara menyeluruh dalam sector publik. Alasan mendesak bagi para pengguna egovernment adalah persepsi akan nilai tambah. Setiap rancangan pengembangan e-government haruslah memasukkan sebuah perhitungan nilai tambah yang bisa diberikannya kepada individu penggunanya. Hal ini paling bisa dicapai jika perhitungan tersebut dengan perhitungan para pengguna. Akses dan keterampilan. Penerapan e-government haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga para Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
pengguna potensial e-government bisa betulbetul memanfaatkannya secara mudah dalam hal waktu, biaya, dan usaha. Solusi-solusi imajinatif bagi peningkatan level kemudahan penggunaan ini haruslah menjadi bagian dari setiap rencana pengembangan e-government. Solusi-solusi tersebut harus dipertimbangkan, namun sekaligus mentrasendensi, tingkat akses dan keterampilan individu. Privasi dan keamanan. Factor keamanan dan privasi apapun pendefinisiannya secara cultural–haruslah ditegaskan sejak awal secara terbuka dan ditangani secara potensial. Publik dibatasi untuk tidak melanggar wilayah privasi dan rahasia ini dan setiap berita (bahkan yang bersifat informal) harus dibatasi agar tidak menjadi sebuah kemunduran yang besar yang memiliki konsekuensi-konsekuensi jangka panjang. Seperti kita ketahui, didalam desakan masyarakat akan pelayanan publik yang baik, proses pembangunan yang mengharuskan keterlibatan pemerintah, masyarakat dan synergy dunia luar. Penerapan e-government paling baik jika dilakukan dalam bidang-bidang yang dianggap sebagai terkait erat dengan prioritas. Kebutuhan-kebutuhan pembangunan oleh masyarakat. Alasan lain mengapa harus inovatif ialah tuntutan efisiensi dan efektivitas sebagai criteria kunci sukses pemerintah. Namun harus diakui banyak masalah terjadi kalau IT diterapkan ditengah setanah seperti yang kita lihat bahwa kemampuan pemerintah untuk menggunakan IT dalam gerak kerjanya dibatasi oleh kondisi ketersediaan pendanaan (awal). Bukan operasi awal proyek percontohan e-government harus dimulai dengan pemahaman yang baik mengenai biaya yang dibutuhkan dan dengan menjamin pendanaan setelah dilakukan analisis yang seksama terhadap biaya penerapan. Manakala mungkin dan layak, pendanaan tersebut harus dipandang sebagai sebuah investasi bisnis dan bisa diharapkan akan menghasilkan kembalian. F.
CATATAN AKADEMIK E-GOVERNMENT DAN PELAYANAN PUBLIK
Menurut hemat kita, upaya dalam rangka untuk memperbaiki birokrasi kita, sistem 152
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
birokrasi, pembenahan personel maupun budaya yang melingkupinya, dan aplikasi IT dalam birokrasi memang penting. Cepat atau lambat Indonesia akan mengejar efisiensi dan produktifitas pelayanan publiknya sesuai dengan demand masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain fasilitas e-government di tingkat pusat dan propinsi di Indonesia memang perlu mendapat dukungan yang pantas. Pengalaman banyak Negara mengisyaratkan, bahwa apabila dalam periode yang terlalu panjang, suatu birokrasi tak kunjung menampakkan kesungguhannya termasuk dalam peningkatan pelayanan publiknya maka trust kepada pemerintah akan turun dan pemerintah akan selalu tertinggal dalam memperbaiki diri. Di Indonesia, pembenahan birokrasi biasanya dilakukan melalui pendekatan incremental, perubahan yang sedikit demi sedikit, dengan harapan antara lain agar didapatkan perubahan yang terencana (guidance development). Demikian pula introduksi IT dalam pemerintahan akan menyertai pembenahan peningkatan mutu pelayanan. Terlalu tinggi nafsu untuk mentransformasikan birokrasi tradisional dengan modernitas akan bisa berakibat ongkos social politik yang terlalu mahal, misalnya robohnya berupa jaminan kelanjutan tersedianya lapangan kerja dalam pemerintahan yang tak tergantikan oleh mesin. Tapi, masalahnya ialah, transformasi semangat pemerintahan yang modern dengan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi ke dalam kalangan birokrasi, tidaklah simple. Ia akan menghadapi berbagai pintu-pintu (barier) antara lain, berupa pertanyaan berikut ini; Pertama, mulai dari manakah transformasi itu dilakukan? Sebab pada prakteknya nanti, orang akan dihadapkan pilihan-pilihan yang beragam. Sebab adalah sulit mentransformasi ide itu pada semua level birokrasi, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kotamadya, level propinsi, level pusat atau keseluruhan secara berbarengan. Dan, pilihan-pilihan strating point itu akan membawa konsekuensikonsekuensi sendiri. Pilihan harus dimulai secara berbarengan, umpamanya, membawa konsekuensi: mudah diucapkan, sulit dilaksanakan karena mekanisme evaluasi jadi bias. Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
Kedua, oleh siapakah atau lembaga apakah yang bertanggung jawab sebagai pelaksana dalam kaitan transformasi jiwa wirausaha ini dalam sistem birokrasi?. Sebab selama ini, instansi yang terdekat dengan tugas pembenahan, semisal Depdagri, Menkominfo, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Kementerian Negara Peningkatan Aparatur Negara, atau bahkan induk-induk departemen belum tampak secara institusional mengagendakan transformasi jiwa entrepreneur ini sebagaimana yang diidealkan dan diangankan banyak orang. Walaupun, dimeja-meja diskusi mereka menyetujui ide ini. Ketiga, sudah adakah atau apa sajakah isi (content) dari proses transformasi itu, yang dapat dijadikan bahan rujukan spesifik dari proses dalam birokrsai kita?. Persoalan yang muncul kemudian adalah, belum adanya mekanisme transformasi inovasi dan IT ini dalam sistem kelembagaan pemerintah dimana mereka bekerja. Jadi justru tataran sistemnya yang belum siap menerima usulan ini. Masuknya jenis-jenis tugas-tugas baru dalam pemerintahan; yaitu industrialisasi, perdagangan antar Negara, investasi asing, pengelolaan bantuan luar negeri, hal-hal baru yang yang berkaitan dengan otonomi daerah, mengharuskan pejabat di daerah bekerja dengan kemampuan yang optimal. Apabila prasyarat diatas dapat terpenuhi maka harapan akan peningkatan pelayanan publik akan dapat ditingkatkan dalam waktu cepat. G. KESIMPULAN Kinerja e -government Indonesia belum dapat dirasakan secara signifikan baik oleh pihak internal maupun eksternal pemerintah. Beberapa tantangan dan hambatan masih banyak yang harus dihadapi. Namun demikian seiring dengan telah disahkannya Undangundang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maka terbesit harapan e-government akan dapat lebih dirasakan oleh masyarakat. Di samping itu pemerintah juga sudah mengeluarkan statemen yang akan menurunkan tarif Internet sampai 40%, hal ini akan semakin memberikan peluang yang lebih besar bagi penerapan e-government 154
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
untuk masa yang akan datang. Menjadi sangat penting sekarang ini adalah pembaharuan komitmen para pemimpin atau pejabat di tingkat pusat maupun daerah untuk terus mendorong reformasi birokrasi melalui e-government. Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari studi kasus kedua kota ini ialah bahwa e-government yang dilaksanakan secara serius dan konsisten akan sangat menunjang transparansi pelayanan public. Yang juga harus dipahami oleh para pejabat pemda ialah bahwa pemanfaatan e-government tetap memerlukan sistem pengawasan yang konsisten. Selain pengetahuan yang luas tentang teknologi informasi, e-government juga harus didukung oleh integritas yang baik di antara para perumus kebijakan dan pelaksannya. Teknologi informasi memang membuat banyak hal semakin mudah dan semakin efisien.
Anonim. (2007). “Ada TI Ada Reformasi Birokrasi”, majalah e-Indonesia, Vol III (20). Garson, D. (1999). Information Technology and Computer Applications in Public Administration: Issues and Trends, Hershey: Idea. Senn, J A. (1990). Information Systems in Management, California: Wadsworth. Wilcoks, L. & Harrow, J. (eds.) (1992) Rediscovering Public Service thlana-gement, London: McGraw-Hill. Yusof, M.M. (2005). Information Systems and Executives’Role: The Pre-electronic Government Era Experience, Selangor: Utusan. Heeks, R. (2005). The Implementation of Information Systems in Public Organisations.
DAFTAR PUSTAKA Albrow, Martin, 1970. Bereaucracy, New York, Praeger Publisher Luthans, 1989. Fred Organizational Behaviour, 4th Edition. Mc Graw–Hill Series in Management. Said, M. Mas’ud, 1987. Perspektif perilaku birokrasi. Jakarta Rajawali ——————————, 1997. Debirokrasi Birokrasi Indonesia, UMM Press Malang, ——————————,2007. Birokrasi di Negara Birokratis, UMM Press Malang. Thoha, Miftah, 2002, Reformasi birokrasi Pemerintahan. Seminar Good Governance di Bappenas.
Indrajit, R.E. (2002). Electronic Government, Yogyakarta: Andi Offset. Kumorotomo, W& Margono, S.A. (2004). Sistem Informasi Manajemen dalam Organisasi Publik, Yogyakarta: Gama Press. Rosenau, James N (2007), “Governing The Ungovernable: The Challenge Of A Global Disaggregation of Authority”, Regula-tion & Governance (2007) 1, pp 88–97. Rouben, L. (ed.). (1999) Citizens and the New Governance: Beyond New Public Management, Amsterdam: IOS Press. Starling, G. (2006). Managing the Public Sector, Boston: Wadsworth Publishing. Stiglitz, J. (2005). Globalization and Its Discontents, New York: New Harper.
*********
Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
155
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
76
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Petunjuk Penulisan Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan
ISI ARTIKEL Artikel yang dipublikasikan Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan meliputi hasil penelitian dan non penelitian (kajian analisis, aplikasi teori dan review) tentang masalah-masalah negara, masyarakat, dan lembaga intermediary, serta pemerintahan secara umum. Artikel yang dimuat dalam jurnal diprioritaskan artikel hasil penelitian dan belum pernah atau akan diterbitkan dalam media cetak lain. Isi artikel diketik spasi ganda dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dengan ukuran kertas A4 (21x29,7cm) minimal 15 halaman dan maksimal 25 halaman. Berkas naskah (file) dibuat pada program olah data Microsof Word dilengkapi dengan nama penulis, judul artikel, nama dan alamat lembaga, kode pos, beserta nomor telepon/faks.
ARTIKEL HASIL PENELITIAN Judul Maksimal 14 Kata dalam Bahasa Indonesia atau 10 Kata dalam Bahasa Inggris, lugas dan menarik Nama Penulis Lengkapi dengan nama dan alamat lembaga tempat kegiatan penelitian, kode pos, telp/faks, dan telp/faks untuk koresponden dengan penulis. Abstrak Merupakan miniatur (segala sedikit) isi dari keseluruhan tulisan, meliputi masalah, tujuan, metode, hasil, simpulan dan signifikan maksimal 200 kata. Key Word (Kata Kunci) Memuat konsep yang terkandung dalam artikel terdiri dari 3 hingga 5 konsep. Pendahuluan (tanpa sub judul) Memuat latar belakang maslah penelitian, uraian dan fokus permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori dan hasil penelitian terdahulu yang nyata-nyata mendukung pemecahan permasalahan dan tujuan penelitian. Metode Menjelaskan bagaimana prosedur penelitian dilakukan design penelitian, populasi, sampel, instrumen, skala pengukuran, dan teknik analisis data.
Hasil Hasil (bersih) analisis data yang dilengkapi dengan illustrasi (gambar, foto, tabel, dan grafik). Pembahasan Menginterpretasikan hasil penelitian dan mengkaitkan dengan konsep dasar. Bandingkan dengan teori, hasil penelitian dengan orang lain yang relevan dan implikasi dan praktisnya. Dalam pembahasan diperlukan, ketajaman analisis dan sintesis secara kritis. Simpulan Ditulis dalam bentuk essay memuat esensi dari perpaduan antara hasil dengan pembahasan dan bukan hanya rangkuman.
ARTIKEL NON PENELITIAN Judul, nama penulis, abstrak, key word, sama dengan format hasil penelitian. Pendahuluan (tanpa sub judul) Sub Judul Sub Judul sesuai dengan kebutuhan Sub Judul
}
Tabel Angka dan huruf menggunakan huruf bertipe Times New Roman berukuran 10 point. Singkatan yang ada di dalam tabel diberikan kepanjangan singkatan tersebut dibawah tabel. Gambar Gambar grafik maksimun lebar 10,5 cm dibuat dalam program pengolahan data (Microsoft Office). Angka dan huruf keterangan gambar menggunakan huruf bertipe Arial berukuran 9 point. Daftar Pustaka/Rujukan Daftar Rujukan diharapkan lebih 80 % bersumber dari pustaka primer (Jurnal, hasil penelitian, disertasi, tesis, skripsi) dari pustaka skunder (buku, majalah) dan tahun terbitan lebih 80 % adalah 10 tahun terakhir, diurutkan secara alphabet dan kronologis. Kutipan dalam artikel Kutipan dalam artikel dapat berupa kutipan langsung atau tidak langsung. Yang penting setiap kutipan harus mencerminkan, nama pengarang, tahun terbitan dan nomor halaman.
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Naskah dapat dikirim memalui E-mail, CD, atau via pos paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan ke Redaksi Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan : Alamat : Gedung F1 Lt.1 Pusat Perkantoran Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 - 866972 ext. 107 Fax. 0411 - 865588 Email: jurnal@ip-fisipunismuh.info atau jurnalotoritas@gmail.com www.ip-fisipunismuh.info
ISSN 2088 3706
Alamat Redaksi : Gedung F1 Lt.1 Pusat Perkantoran FISIP Unismuh Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588 Email: jurnal@ip-fisipunismuh.info Email: jurnalotoritas@gmail.com www.ip-fisipunismuh.info
PENERBIT : Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
ISSN 2088 3706
9 772088 370122