Vol. III No.1 April 2013
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Amir Muhiddin
Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan Andi Rosdianti Razak
Formalisasi Sistem Pemerintahan Islam (Studi Tentang Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Perda Baca Tulis Al-Quran di Kota Makassar) M.Anwar Basir, Jaelan Usman, Abd.Rahman
Perencanaan Partisipatif Dalam Pembangunan Daerah Aryati Puspasari Abady
Peran Aktor Dalam Penyusunan Agenda Kebijakan Pemekaran Wilayah Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah Irman Salaputa, Muhlis Madani, Andi Luhur Prianto
Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADesa) di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Kaharuddin, Abd.Kadir Adys, Mappigau Samma
Partisipasi Publik sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance Otonomi daerah Muhammadiah
Implementasi Program Alokasi Dana Desa (ADD) Dalam Pemberdayaan Masyarakat di Desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Octrian TSL, Mappamiring, Mappigau Samma
VOLUME III NOMOR 1 HAL. 001-074 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
MAKASSAR, APRIL 2013
Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Jurnal OTORITAS berisi artikel tulisan ilmiah dalam bentuk hasil-hasil penelitian dan non-penelitian, kajian analisis, aplikasi teori dan review tentang masalah-masalah negara, masyarakat, dan lembaga intermediary, serta pemerintahan secara umum, baik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Penerbitan Jurnal ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas serta menyebarluaskan kajian ilmu pemerintahan, sekaligus sebagai wahana komunikasi diantara cendikiawan, praktisi, mahasiswa, dan pemerhati masalah-masalah publik dan praktika ilmu pemerintahan.
Vol. III No.1 April 2013
ISSN 2088 3706
DEWAN REDAKSI Penerbit : Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Penanggung Jawab : Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Mitra Bestari : Prof. Dr. Faried Ali, SH, MS Dr. A. Syamsu Alam, M.Si Dr. A. Mappamadeng Dewang, M.Si Pemimpin Redaksi : Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si Redaktur Pelaksana : Dr. Jaelan Usman, M.Si Andi Nuraeni Aksa, SH, MH Drs. Alimuddin Said, M.Pd Rudi Hardi, S.Sos, M.Si Bidang Usaha : Ihyani Malik, S.Sos, M.Si Design Grafis : Andi Maddukelleng, S.IP Distribusi : Hardiansyah, S.Sos Jusri Adi, S.IP Percetakan : CV. Adi Perkasa Jl. Talasalapang Ruko BPH Makassar ALAMAT REDAKSI : Menara Al Iqra Lt. 5 Jurusan Ilmu Pemerintahan Unismuh Makassar Jl. Sultan Alauddin No.259 Makassar 90221 Telp. (0411) 866972 ext. 107 Fax. (0411) 865588 Email: jurnal@ip-fisipunismuh.info jurnalotoritas@gmail.com www.ip-fisipunismuh.info
Ukuran kertas Jenis huruf Ukuran huruf
: A4 (210x297 mm) : Cambria : 12 point
DAFTAR ISI Partisipasi Masyarakat Dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) ( Amir Muhiddin ) ..................................................................................................................... Hal. 1 - 9 Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan ( Andi Rosdianti Razak ) .................................................................................................................. Hal. 10 - 15 Formalisasi Sistem Pemerintahan Islam (Studi tentang Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Perda Baca Tulis Al-Quran di Kota Makassar) ( M. Anwar Basir1, Jaelan Usman2, Abd. Rahman3 ) ....................................................................................................................Hal. 16 - 24 Perencanaan Partisipatif Dalam Pembangunan Daerah ( Aryati Puspasari Abady ) .................................................................................................................. Hal. 25 - 34 Peran Aktor Dalam Penyusunan Agenda Kebijakan Pemekaran Wilayah Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah ( Irman Salaputa1, Muhlis Madani2, Andi Luhur Prianto3 ) .................................................................................................................. Hal. 35 - 47 Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADesa) di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa ( Kaharuddin1, Abd. Kadir Adys2, Mappigau Samma3 ) .................................................................................................................. Hal. 48 - 56 Partisipasi Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance Otonomi Daerah ( Muhammadiah ) .................................................................................................................. Hal. 57 - 66 Implementasi Program Alokasi Dana Desa (ADD) Dalam Pemberdayaan Masyarakat di Desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto ( Octrian TSL1, Mappamiring2, Mappigau Samma3 ) .................................................................................................................. Hal. 67 - 74 Redaksi Jurnal OTORITAS menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syarat, format, dan tata tulis artikel dapat dilihat pada Petunjuk Penulisan Jurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS dilembaran belakang Jurnal ini. Artikel yang masuk ditelaah penyunting ahli untuk dinilai kelayakannya. Penyunting dapat memodifikasi artikel untuk keseragaman format, istilah dan kepentingan teknis lainnya tanpa merubah substansi artikel.
Vol. III No.1 April 2013
Vol. III No.1 April 2013
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBUATAN PERATURAN DAERAH (PERDA) COMMUNITY PARTICIPATION IN THE MAKING OF LOCAL REGULATIONS Amir Muhiddin Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Pancasakti Makassar Jl. Andi Mangerangi No 73, Makassar 90223 Telp : 0411-871306
ABSTRACT Community participation in the making of regulations is one form of democratic government, and therefore the community should be given the widest possible space for he highest authority in the country adopts democracy. People are expected to not only enjoy the development alone, but is also expected to set about to the end of development where it is directed, therefore people should be included from the rulemaking will be guiding and controlling up to implementation and evaluation as well. Community participation in the development process means that people also take part responsible, in the future if an error occurs or deviations in development. Keywords : Participation, Community and Legal Drafting
ABSTRAK Partisipasi masyarakat dalam pembuatan perda merupakan salah satu wujud pemerintahan yang demokratis, oleh sebab itu masyarkat perlu diberi ruang yang seluas-luasnya karena dialah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara yang menganut paham demokrasi. Rakyat diharapkan bukan sekedar menikmati pembangunan semata, akan tetapi juga diharapkan menata hendak kemana akhirnya pembangunan itu diarahkan, oleh sebab itu rakyat hendaknya diikut sertakan mulai dari pembuatan peraturan yang akan menjadi penuntun dan pengendali sampai kepada pelaksanaan dan sekaligus evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan berarti masyarakat juga ikut serta bertanggung jawab, apabila dikemudian hari terjadi kesalahan atau penyimpangan dalam pembangunan. Kata Kunci : Partisipasi, Masyarakat, dan Pembuatan Perda 1
Vol. III No.1 April 2013
Pasca diundangkannya UU Pemerintahan Daerah, ribuan peraturan daerah lahir, baik Perda provinsi maupun perda kabupaten/ kota. Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga memberikan perubahan signifikan terhadap pembentukan Perda. Hal ini disebabkan, karena Undang-Undang ini diatur secara rinci apa yang menjadi kewenangan pemerin-tahan daerah. Pengaturan ini bahkan membagi pula kewenangan pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Urusan yang menjadi kewenangan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Adanya wewenang untuk membuat Perda sendiri merupakan harapan baru karena pemerintah di tingkat lokal dapat memberdayakan daerah dalam mengatasi persoalanpersoalan riil yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, perdagangan perempuan-anak, pengabaian hakhak minoritas, dan sebagainya. Harapan ini muncul dikaitkan dengan sejumlah asumsi diantaranya adalah daerah lebih mengetahui konteks lokal baik sosial maupun budaya dan juga kebutuhan dasar masyarakatnya. Dengan asumsi ini, kehadiran perda diharapkan dapat memberikan ruang perlindungan yang lebih tepat dan mudah diakses oleh masyarakat di daerah tersebut. Kewenangan untuk menyusun Peraturan Daerah setelah otonomi daerah membuat jumlah Peraturan Daerah sampai dengan pertengahan 2002 melonjak tinggi, yakni mencapai 6000-an yang diterbitkan oleh 368 kabupaten/kota di Indonesia. Dari jumlah Peraturan Daerah tersebut, 761 diantaranya dibatalkan dan masih ada 200 Peraturan Daerah yang masih dalam proses review di Kementrian Dalam Negeri. Peraturan Daerah yang dibatalkan tersebut pada umumnya Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah karena dinilai
berpotensi mendistorsi aktifitas perekonomian. Selain itu, terdapat berbagai Peraturan Daerah yang kontroversi dan bermasalah pada tingkat implementasinya di tengah masyarakat terkait dengan Hak Asasi Manusia, diskriminasi, kesetaraan jender, pencemaran lingkungan dan sebagainya. Banyaknya Peraturan Daerah yang dibatalkan dan penolakan dari masyarakat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap proses pembentukan Peraturan Daerah. Bagaimana proses tersebut berjalan? Apa kekurangan dari proses yang ada saat ini? Dinamika politik seperti apa yang muncul selama proses pembentukan tersebut dilakukan sehingga berakhir dengan pembentukan Peraturan Daerah yang kontroversial dan bermasalah dalam implementasinya sampai dengan terindikasi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Situasi ini mengakibatkan meningkatnya tuntutan dari banyak pihak untuk mengintegrasikan hak asasi manusia ke dalam Peraturan Daerah. Oleh karenanya, peran pemerintah daerah dalam memenuhi, menghormati dan melin-dungi hak asasi manusia sangatlah penting. Oleh karena itu, tugas praktis untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia adalah terutama tugas nasional dan setiap negara harus bertanggungjawab atasnya. Pada tingkat nasional, hak dapat dilindungi dengan baik melalui peraturan yang cukup, badan peradilan yang mandiri, dan pelaksanaan perlindungan dan pemulihan individu, serta pembentukan institusi yang demokratis. Selain itu, pendidikan dan kampanye informasi yang paling efektif harus dirancang dan dilaksanakan pada tingkat nasional dan lokal, dengan mempertimbangkan konteks budaya dan tradisi lokal. Ketika negara-negara meratifikasi suatu instrumen partisiapsi, mereka memasukkan ketentuanketentuan instrumen partisipasi itu ke dalam peraturan domestiknya secara langsung atau menggunakan cara-cara lain sesuai dengan kewajiban yang terdapat di dalam instrumen partisipasi masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya untuk melaksanakan pemerintahan yang demokratis. Partisipasi
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Community participation in the making of local regulations - Amir Muhiddin
2
A. PENDAHULUAN
Vol. III No.1 April 2013 dimulai dari perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan evaluasi. Upaya ini dilakukan agar masyarakat dilibatkan dalam pembangunan, bukan sekedar menikmati semata, melainkan ikut serta merancang, dan menata hendak kemana akhirnya pembangunan itu diarahkan. Salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat dalam merancang pembangunan adalah dilibatkannya mereka dalam pembuatan peraturan, termasuk peraturan daerah yang disingkat dengan Perda. Dengan demikian segala aktifitas pemerintahan dan pembangunan, masyarakat memperoleh kesempatan mengikuti proses, mulai dari pembuatan peraturan yang akan menjadi penuntun dan pengendali sampai kepada pelaksanaan dan sekaligus evaluasi. Itu berarti masyarakat juga ikut serta bertanggung jawab, apabila dikemudian hari terjadi kesalahan atau penyimpangan pembangunan. Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan, dalam pasal 53 secara jelas mengatur mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan termasuk Perda. Partisipasi masyarakat ini merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat yang sangat penting dalam rangka menciptakan good governance. Partisipasi masyarakat dalam UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur pada Bab X pasal 53 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Penjelasan Pasal 53 itu menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Senada dengan hal tersebut, dalam pasal 139 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Penjelasan Pasal 139 (1)
Pemerintahan Lokal mengacu pada status lingkup pengambilan keputusan yang telah didesentraslisasi dari Pemerintahan Pusat. Beetham (1996: 30) berpendapat bahwa pemerintahan lokal berpotensi lebih demokratis karena memiliki kapasitas untuk bertanggungjawab (responsiveness) dan representatif (representativeness). Misalnya, seorang wakil masyarakat terpilih mungkin lebih mudah dihubungi dan memiliki insentif yang besar untuk mengenali tuntutan lokalnya, dan mewakili bagian yang luas, khususnya perempuan dan kelompok etnik minoritas. Blair (2000: 21) juga berpendapat bahwa pemerintahan lokal potensial untuk jadi lebih demokratis karena, ‘dengan membangun demokrasi popular dan akuntabilitas kepada pemerintahan lokal, pemerintah di tingkat
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Community participation in the making of local regulations - Amir Muhiddin
3
tersebut menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dari bunyi pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2004 dan pasal l39 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, serta Penjelasannya dapat diketahui bahwa: 1. Masyarakat berhak memberikan masukan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda, 2 Masukan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. 3. Hak masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Bagaimana hak-hak masyarakat tersebut dapat teraplikasi sangat ditentukan oleh kedua belah pihak, baik masyarakat, maupun pemerintah, meskipun demikian, pemerintah sekurang-kurangnya harus memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, misalnya membuat regulasi berkenan dengan bagaimana tehnis menyampaikan bentuk partisipasi tersebut , ini penting sebab selama ini yang dimaksud masyarakat tidak jelas, mulai dari personalnya sampai kepada jumlahnya. Berdasarkan uraian di atas makan tulisan ini akan mengkaji bagaimana pentingnya partisipasi masyarakat, dan bagaimna aplikasinya di lapangan. B. ARTI DAN PENTINGNYA PARTISIPASI MASYARAKAT
Vol. III No.1 April 2013 lokal akan menjadi lebih responsif kepada tuntutan warganya, dan akan lebih efektif dalam penyelenggaraan pelayanan publiknya’. Menurut pandangan Blair, apakah suatu pemerintahan lokal demokratis atau tidak tergantung pada aspek akuntabilitas dari para wakil yang terpilih itu. Meski demikian, padangan ini masih mempertimbangkan peran warga dan/atau warga negara pada pemerintahan lokal dalam logika demokrasi representatif. Warga negara berpartisipasi dan berperan dalam mencapai keseimbangan dan penanggulangan kemiskinan melalui pemilihan wakil yang lebih mewakili dan akuntabel untuk pemerintahan lokal. Bagaimanapun, ada pula pendekatan yang lain, yang menuntut peran warga yang lebih aktif, melalui partisipasi langsung dalam berbagai kegiatan publik. Pendekatan ini peduli (concerní) pada transformasi pengetahuan yang melampaui pengetahuan tentang ruang publik (public sphere) dan demokrasi representatif, dan menentang batasan-batasan antara ;public dan privat yang memungkinkan bentuk-bentuk yang lebih langsung dari keterkaitan demokratik (Gaventa & Valderrama, 1999). Peralihan bentuk demokrasi perwakilan menjadi bentuk-bentuk pemerintahan demokrasi langsung ini memerlukan perubahan dalam bagaimana mengkonseptualisasikan warga (citizen) dan kewargaan (citizenship). Formasi pemerintahan yang mengaitkan warga secara langsung menuntut sebuah pendekatan partisipasi warga yang memungkinkan warga, di manapun dan siapapun dia, menjadi pembuat dan penentu keputusan (Cornwall & Gaventa, 2000), melalui perwakilan yang penuh dalam proses pemerintahan. Partisipasi warga menjadi sebuah konsep dan praktek yang melebihi pengetahuan-pengetahuan liberal tradisional tentang partisipasi politik yang terbatas pada kampanye dan pemilihan umum. Itu berarti partisipasi warga juga mencakup akses warga untuk mengidentifikasi prioritas lokal; merencanakan dan melaksanakan program; dengan mendudukkan warga sebagai aktor kunci pembuat kebijakan. Baik sebagai pelaksana maupun penerima manfaat dalam
proses pemerintahan lokal. Satu hal penting dalam hal ‘kelokalan’ ini adalah, melalui proses desentralisasi, pemerintahan lokal dapat menyediakan kesempatan bagi Negara dan warganya untuk bersama-sama berpartisipasi dalam pemerintahan. Partisipasi warga dengan demikian dapat didefenisikan sebagai ‘perluasan agenda masyarakat, di mana masyarakat dapat memobilisasi dan merumuskan tuntutannya (Cornwall & Gaventa, 2001) Sebagai klien atau penerima manfaat warga masyarakat dapat mempertanyakan kualitas atau biaya suatu pelayanan. Sebagai warga, warga masyarakat dapat menggunakan hak mereka untuk mengusulkan atau menolak kebijakan sosial yang akan mempengaruhi mereka. Mengamati sejarah partisipasi sejak tahun 1970-an hingga saat ini, Cornwall membedakan antara partisipasi yang dipaksakan (induced and invited participation) melalui kelompok pengguna, konsultasi, dan sejenisnya, dengan partisipasi warga, di mana warga ‘masyarakat datang untuk membangun ruangnya sendiri dan melakukan perubahan menurut strateginya sendiri’ (Cornwall, 2000: 77). Lebih jauh Cornwall mengatakan, rekonseptualisasi kewargaan akhirnya menempatkan warga sebagai ‘pihak yang dapat bertindak’ (as the exercise of agency), ketimbang sebagai sekumpulan hak dari identitas nasional. Pemaknaan kewargaan sebagai ‘pihak yang dapat bertindak’ ini menjadi dasar dari sebuah pendekatan yang lebih inklusif dengan sejumlah hak yang dikembangkan oleh warga itu sendiri. Pemahaman baru partisipasi warga sebagai hak, dan sebagai ruang beraktifitas yang melampaui batasan-batasan antara Negara dan masyarakat sipil, juga menuntut pemahaman baru tentang apa yang dimaksud dengan pemerintahan (governance). Selayaknya warga dapat terkait dengan pemerintah lokal melalui wakil-wakilnya dan juga melalui sistem demokrasi partisipatif. Namun, aturan dan mekanisme untuk keterkaitan langsung ini perlu dimantapkan, ‘agar dapat mengatur tata hubungan yang baru dari rasa saling percaya dan kerjasama untuk maju, khususnya jika sektor masyarakat yang secara historis
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Community participation in the making of local regulations - Amir Muhiddin
4
Vol. III No.1 April 2013 aksesnya telah diabaikan dalam realita pembuatan kebijakan publik, ingin dilibatkan’ (Fung & Wright, 2001). Bagaimana caranya hubungan yang baru ini dimantapkan? Goetz and Gaventa (2001) berpendapat bahwa jika pemerintah mau memantapkan mekanisme partisipasi, upaya-upaya mereka akan jauh lebih efektif jika upaya-upaya itu sama dengan tuntutan warganegara. Jadi tantangannya sekarang adalah bagaimana membangun kapasitas yang sama pada kedua belah pihak. Itulah pemerintahan lokal yang partisipatif. Dalam konteks tata pemerintahan, partisipasi warga seringkali dihubungkan dengan manajemen atau model pemerintahan. M. Gottdiener (1987) menghubungkan partisipasi dengan sistem tata pemerintahan (governance) yang berpusat rakyat. Tata pemerintahan yang berpusat rakyat merupakan pilihan yang harus ditempuh untuk menjamin keberlanjutan demokrasi, pembangunan, dan keadilan sosial. Pilihan ini mengandung konsekwensi harus semakin menguatnya partisipasi masyarakat di satu sisi, sementara di sisi yang lain pemerintah harus mengambil peran sebagai fasilitator dalam menegosiasikan berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda atau saling bertentangan. Paritispasi berarti mendorong proses belajar bersama, komunikasi yang seimbang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepakatan warga sebagai sumber utama dalam dalam pengambilan keputusan di tingkat politik formal, dan memberikan ruang yang cukup bagai rakyat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan B. Guy Peters (1996), menghubungkan partisipasi dengan berkembangnya berbagai model pemerintahan. Menurut Peter, partisipasi yang luas dapat tumbuh dalam tata pemerintahan partisipatif (participatory state) yang lebih menekankan negosiasi dan keterlibatan dalam proses pengambilan kebijakan ketimbang hirarki dan teknokrasi. Dalam tata pemerintahan yang berpusat rakyat atau tata pemerintahan partisipatif, kebijakan ditempatkan sebagai proses sosial politik tempat warga menegosiasikan alokasi barang dan anggaran publik. Kebijakan
bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokratis oleh kelompok orang yang dipercaya untuk merumuskan itu (biasanya politisi, birokrat, atau akademisi). Kebijakan merupakan ruang bagi teknisi dan anggota masyarakat untuk melakukan interaksi dan menggabungkan pengetahuan. Karena itu kebijakan harus melibatkan pihak yang luas, dan agar dapat terlaksana harus menjamin agar kepentingan berbagai pihak (stakeholders) sudah dikonfrontasi atau dinegosiasikan. Dalam perspektif ini partisipasi tidak dipandang sebagai cara melainkan tujuan itu sendiri. Dalam konteks pemerintahan dan kebijakan publik, partisipasi telah mengundang perdebatan antara pendukung dan para kritisinya. Para pendukung partisipasi mengungkapkan keunggulan partisipasi yaitu: menjamin ketercapaian tujuan, membangun kapasitas lokal, meningkatkan cakupan pengambil kebijakan, target keuntungan yang lebih baik, menjamin keberlanjutan, dan menjamin suara kelompok marjinal terutama kelompok miskin dan perempuan terakomodasi. Sedangkan bagi kritisinya partisipasi dapat menyebabkan: membengkaknya biaya dan waktu untuk formulasi kebijakan, destabilisasi kekuatan politik, terlalu ideologis, dan menjatuhkan beban pada orang miskin. Mengingat penerapan konsep partisipasi warga harus melibatkan struktur politik dan birokrasi pemerintahan, maka kerangka hukum merupakan syarat perlu (necessary condition). Hal ini disebabkan di satu sisi perangkat politik dan pemerintahan hanya mungkin bekerja berdasarkan pada aturan hukum, dan di sisi lain warga dapat masuk dalam proses pengambilan kebijakan publik bila ruang untuk partisipasi telah disediakan oleh perangkat hukum. Partisipasi masyarakat bukan sekedar mengikut sertakan masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan. lebih dari itu masyarakat juga harus mengetahui apa-apa saja yang pemerintah lakukan untuk menunjang kehidupan masyarakat, termasuk dalam kesejahteraannya. Partsipasi itu sendiri menuntut adanya keterbukaan karena tanpa keterbukaan pemerintah tidak mungkin
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Community participation in the making of local regulations - Amir Muhiddin
5
Vol. III No.1 April 2013 mendapatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon (1997) bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. Dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul “Beginselen van de democratische rechsstaat� (Philipus M. Hadjon, 1997) bahwa 1). pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia; 2). pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih; 3). setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul; 4). badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana “(mede) beslissing-recht� (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas; 5). asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka; 6). dihormatinya hak-hak kaum minoritas. Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo, 1992. Menurutnya, ada lima asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, dua diantaranya adalah asas pertanggungjawaban dan asas publik (openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah: asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas perwakilan (Philipus M. Hadjon, 1987). Senada dengan itu, Sri Soemantri M. (1992) mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam lima hal, dua diantaranya adalah: pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap merugikan. Tampak jelas bahwa dalam paham demokrasi terdapat asas keterbukaan, yang berkaitan dengan asas partisipasi masyarakat,
sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno (1987), bahwa paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui dua sarana: secara langsung melalui pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partai-partai mau terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat, maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat itu semakin penting urgensinya dalam proses pengambilan keputusan setelah dikampanyekannya good governance oleh Bank Duniamaupun UNDP. Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya UNDP mengartikan partisipasi sebagai karakteristik pelaksanaan good governance adalah keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif (Sumarto,2003). Senada dengan pengertian tersebut, Seidman, Seidman, dan Abeyserkere (2001) memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihak pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusankeputusan pemerintahan.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Community participation in the making of local regulations - Amir Muhiddin
6
Vol. III No.1 April 2013 Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik yang diberikan oleh Huntington dan Nelson (dalam Budiardjo, 1981) bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dalam kepustakaan kebijakan publik di Belanda disebut inspraak atau partisipasi politik langsung (Demen dan Thomassen, 1983). Ciri terpenting dari partisipasi politik langsung adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan. Dikaitkan dengan pendapat McClosky, bahwa partisipasi politik adalah kegiatankegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan publik (Budiardjo, 1981). Sehingga jelas, partisipasi politik langsung merupakan salah satu bentuk partisipasi politik dan bentuk lainnya dapat disebut sebagai partisipasi politik tidak langsung. Dari penjelasan tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam bentuk Perda, terdapat hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan Perda, yakni memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan rancangan Perda. Menurut Utomo (2003), manfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan Perda adalah : 1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik. 2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik. 3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutifdan legislatif.
Menurut Manan (2003) hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau antar-anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Hukum mempunyai dua pengertian, yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Bapak Pembentuk Negara Indonesia, mengakui adanya hukum tidak tertulis, sebagaimana pernah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 : “UndangUndang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis� (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2004). Berkenaan dengan negara hukum, Saragih mengemukakan, bahwa legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya sebagai ciri negara hukum adalah setiap tindakan baik dari pihak penguasa maupun dari pihak rakyat harus dibenarkan secara hukum (Saragih, 1980). Mengenai asas legalitas, Asshiddiqie (2005) berpendapat, bahwa dalam setiap negara hukum diisyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas perundangundangan yang sah dan tertulis. Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap tindakan penyelenggara negara maupun warga negara harus berdasarkan aturan hukum, baik aturan hukum yang tertulis maupun yang aturan hukum yang tidak tertulis. Yang dimaksud aturan hukum
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Community participation in the making of local regulations - Amir Muhiddin
7
4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat. Sesuai dengan ide negara hukum, maka partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda mesti diatur secara jelas dalam suatu aturan hukum tertentu
Vol. III No.1 April 2013 tertulis disini adalah peraturan perundangundangan, sedangkan yang dimaksud dengan aturan hukum yang tidak tertulis disini adalah dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang kemudian dituangkan dalam. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tidak saja cukup diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun pengaturannya tersebut haruslah dilakukan secara jelas. C. PELAKSANAAN PARTISIPASI PEMBUATAN PERDA
tersebut. Apabila suatu Perda telah dapat menampung aspirasi masyarakat luas tentunya peran serta masyarakat tersebut tidak akan terlalu dipaksakan pelaksanaannya. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kualitas anggota DPRD maupun seluruh jajaran Pemerintah yang mempunyai tugas membentuk suatu Perda. D. KESIMPULAN 1. Partisipasi masyarakat penting dan strategis. Penting karena pada hakekatnya dialalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara yang menganut paham demokrasi. Strategis karena dialah yang seharusnya merancang sehingga bukan sekedar menikmati pembangunan semata, akan tetapi juga menata hendak kemana akhirnya pembangunan itu diarahkan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pembentukan perda antara lain: dilakukannya rapat dengar pendapat umum atau rapat-rapat lainnya yang bertujuan menyerap aspirasi masyarakat, dilakukannya kunjungan oleh anggota DPRD untuk mendapat masukan dari masyarakat, ataupun diadakannya seminar-seminar atau kegiatan yang sejenis dalam rangka melakukan pengkajian atau menindak lanjuti berbagai penelitian untuk menyiapkan suatu Rancangan Peraturan Daerah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya kadang masih terdapat berbagai penafsiran tentang siapa yang dimaksud dengan istilah masyarakat, ada yang mengartikan setiap orang pada umumnya, setiap orang atau lembaga yang terkait, atau setiap lembaga swadaya masyarakat. Menurut Indrati (2007) bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah setiap orang pada umumnya terutama masyarakat yang �rentan� terhadap peraturan tersebut, setiap orang atau lembaga terkait, atau setiap lembaga swadaya masyarakat yang terkait. Mengenai sejauh mana masyarakat tersebut dapat ikut serta dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini UU dan Perda), hal tersebut dapat tergantung pada keadaan dari pembentuk perundangundangan sendiri oleh karena UUD dan berbagai peraturan perundang-undangan telah menetapkan lembaga mana yang dapat membentuk peraturan perundang-undangan
3. Pelaksanaan partisipasi dapat dilakukan dalam berbagai cara misalnya dilakukannya rapat dengar pendapat antara DPRD dengan masyarakat, kunjungan oleh anggota DPRD untuk mendapat masukan dari masyarakat, seminar-seminar atau kegiatan yang sejenis dalam rangka melakukan pengkajian atau menindak lanjuti berbagai penelitian untuk menyiapkan suatu Rancangan Peraturan Daerah, dan sebagainya.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Community participation in the making of local regulations - Amir Muhiddin
8
2. Salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat dalam merancang pembangunan adalah dilibatkannya mereka dalam pembuatan peraturan, termasuk peraturan daerah yang disingkat dengan Perda. Dengan demikian segala aktifitas pemerintahan dan pembangunan, masyarakat memperoleh kesempatan mengikuti proses, mulai dari pembuatan peraturan yang akan menjadi penuntun dan pengendali sampai kepada pelaksanaan dan sekaligus evaluasi. Itu berarti masyarakat juga ikut serta bertanggung jawab, apabila dikemudian hari terjadi kesalahan atau penyimpangan pembangunan.
Vol. III No.1 April 2013 DAFTAR PUSTAKA Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Kusnardi, Moh.dan Bintan R. Saragih, 1980, Abeyserkere, 2001, Penyusunan Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Rancangan Undang-undang Dalam Sistem Undang-Undang Dasar 1945,: Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Penerbit PT Gramedia. Jakarta Proyek ELIPS Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik In- Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi & donesia. Jakarta Konstitusionalisme Indonesia, Penerbit Konstitusi Press.Jakarta Bagir Manan, H., 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press. Yogyakarta Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, ed., 2004, Undang-Undang Daemen, H.H.F.M. dan J.J.A. Thomassen, 1983, Dasar Negara Republik Indonesia “Jarak Antara Warga dan Pemerintah” Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR dalam A.Hoogerwerf, ed., Ilmu RI., Jakarta Pemerintahan, terjemahan, Penerbit Erlangga, Jakarta Maria Farida Indrati s., 2007, Ilmu Perundangundangan, Kanisius, Yogyakarta. Fanz Magnis-Suseno, 1987, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral dasar Miriam Budiardjo, ed., 1981, Partisipasi dan Kenegaraan Modern, PT Gramedia. Partai Politik, PT Gramedia, Jakarta Jakarta Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Gaventa, J. (2001), Towards Participatory LoHukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT cal Governance: Six Propositions for Bina Ilmu. Surabaya Discussion. Paper presented at the Ford Foundation - LOGO Program Officers' Sad Dian Utomo, 2003, “Partisipasi Masyarakat Retreat, Buxted Park, Sussex, England, dalam Pembuatan Kebijakan”, dalam June 13-15, 2001, carried out in conIndra J. Piliang, Dendi Ramdani, dan junction with the Institute of DevelopAgung Pribadi, Otonomi Daerah: ment Studies (IDS) Learning Initiative Evaluasi dan Proyeksi, Penerbit Divisi on Local Governance Network (LOGOKajian Demokrasi Lokal Yayasan Link). Harkat Bangsa. Jakarta Hetifah Sj Sumarto, 2003, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Sri Soemantri M., 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni. Bandung
*********
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Community participation in the making of local regulations - Amir Muhiddin
9
Vol. III No.1 April 2013
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN PUBLIC PARTICIPATION IN DEVELOPMENT Andi Rosdianti Razak Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadyah Makassar Jl. Sultan Alaudin No. 259 Makassar 90221 Tlp. O411-866972 ext. 107. Fax. O411-8655888
ABSTRACT Public participation in development have emerged since the enactment of the Act of 1945 and is constitutionally have a clear reference and is a must for anyone involved in the management of natural resources in Indonesia. However, community participation in development in the reform era is still showing a tendency not run perfectly. How is the condition of public participation from the beginning until now not received the proper position in the form of authority and obligation and the right to participate as a community run development, researched. The approach taken is to study literature, using secondary data from the literature, mass media, legislative provisions, also performed a comparative study of the various opinions and understanding of the role of the community. A number of variables that were examined include: statutory provisions, the role of government, forms of interaction and implementation of public participation efforts by the government in the role of the community so that the development can be improved. From the results of the study the implementation of legislation relating to public participation from the old order to the regional autonomy era still can not be run effectively and efficiently. Keywords: public, participation, development.
ABSTRAK Peran serta masyarakat dalam pembangunan sudah muncul sejak diberlakukannya UU 1945 dan secara konstitusional telah memiliki acuan yang jelas dan merupakan kewajiban bagi siapapun yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Namun peran serta masyarakat dalam pembangunan di era reformasi ini masih memperlihatkan kecenderungan belum berjalan dengan sempurna. Bagaimana kondisi peran serta masyarakat sejak awal sampai saat ini belum mendapatkan posisi yang tepat dalam bentuk kewenangan dan kewajiban serta hak sebagai masyarakat dalam ikut menjalankan pembangunan, diteliti. Metode pendekatan yang dilakukan adalah dengan studi pustaka, dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari literatur, media masa, ketentuan perundangundangan, juga dilakukan studi komperatif dari berbagai pendapat dan pemahaman tentang peran serta masyarakat. Sejumlah variabel yang dikaji antara lain : ketentuan perundang-undangan, peran pemerintah, bentuk interaksi pelaksanaan peran serta masyarakat dan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam peran serta masyarakat agar pembangunan dapat ditingkatkan. Dari hasil kajian pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang menyangkut peran serta masyarakat sejak orde lama hingga era otonomi daerah masih belum dapat berjalan secara efektif dan efisien. Kata kunci: Masyarakat, Partisipasi, Pembangunan.
10
Vol. III No.1 April 2013 A. PENDAHULUAN Peran serta masayarakat dalam pembangunan sudah muncul sejak diberlakukannya UUD 1945 dan secara konstitusional telah memiliki acuan yang jelas dan merupakan kewajiban bagi siapapun yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Dalam GBHN pembangunan nasional juga telah menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup secara bertahap pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki negara dilakukan secara bijaksana sebagai landasan pembangunan tahap berikutnya. Oleh sebab itu peningkatan peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan termasuk dalam proses perencanaan dan pelaksanaan terutama yang menyangkut secara langsung kehidupan dan masa depan mereka. Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup juga menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 5 ayat 1). Serta mempunyai hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pasal berikutnya menengaskan bahwa setiap orang juga berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (Pasal 6). Peranan informasi dalam pengelolaan lingkungan sangat penting oleh karena itu setiap orang juga berhak atas dan berkewajiban untuk memberikan informasi tentang lingkungan hidup yang benar dan akurat. Ada tiga hal utama yang harus dilihat sebagai pesan konstitusional dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia, (1) bahwa pengelolaan sumberdaya alam Indonesia haruslah dilihat sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan, mayoritas rakyat Indonesia; (2) bahwa pemerintah harus berperan aktif dalam pengaturan pengelolaan sumberdaya alam sebagai manifestasi penguasaan negara terhadap sumberdaya alam; (3) bahwa rakyat dijamin haknya tidak saja untuk berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya alam tetapi juga dalam melakukan kontrol terhadap pemerinPeran serta Masyarakat dalam Pembangunan Public participation in development - ANDI ROSDIANTI RAZAK
tah sebagai lembaga yang telah dimudahkan untuk melakukan pengaturan. Pengalaman selama Indonesia berada dibawah cengkraman orde baru telah membuktikan, bahwa pengingkaran terhadap ketiga hal utama dalam konstitusional ini telah memunculkan persoalan besar terhadap lingkungan hidup Indonesia. Perusakan lingkungan hidup dan pengurasan sumberdaya alam nyaris tidak terkontrol dan disisi lainnya peran serta masyarakat mengalami distorsi yang terus menerus melalui rekayasa berbagai peraturan dan surat keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Proses perusakan lingkungan hidup dan pengurasan sumberdaya alam berjalan seiring dengan dikesampingkannya peran serta rakyat. Kontrol sosial yang datang dari luar lingkaran elit (politik dan ekonomi) selama lebih dari 30 tahun kekuasaan orde baru cenderung untuk didiskriminalisasikan tentu saja merupakan pengingkaran terhadap realitas sosial Indonesia. Pemerintah harus merespon serta mengakomodir aspirasi dari reformasi dengan cara memberanikan diri untuk mengundang public debate serta substansi peraturan perundangan harus berorientasi pada keterbukaan dan pemberdayaan masyarakat sipil. Dari uraian tentang kondisi peran serta masyarakat sejak awal (UUD 1945) sampai saat ini (reformasi, otonomi daerah) belum mendapatkan porsi yang tepat dalam bentuk kewenangan dan kewajiban serta hak sebagai masyarakat dalam ikut menentukan jalannya pembangunan sesuai dengan (UUD 1945 dan UU nomor 23 Tahun 1997 dan otonomi daerah UU nomor 32 Tahun 2004). Atas dasar itu penulis bermaksud untuk mengkaji peran serta masyarakat dalam pembangunan di era otonomi daerah yang juga memperlihatkan kecendrungan belum dapat berjalan dengan sempurna. Kondisi seperti ini telah nampak sejak awal pemerintahan orde lama (19451967), orde baru (1967-1998); orde transisi reformasi pembangunan (Mei 1998-Oktober 1999); orde persatuan nasional (Oktober 1999-Januari 2001); orde kabinet gotong royong (Januari 2001–2004); dan orde kabinet Indonesia bersatu (2004-2009). Tidak sedikit proyek-proyek pembangunan di 11
Vol. III No.1 April 2013 daerah masih sering ditutup-tutupi, sehingga setelah proyek tersebut beroperasi memunculkan permasalahan baru yang menimpa masyarakat itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini sangat diperlukan pengembangan dan revitalisasi sektor hukum dibidang pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah. B. PERAN PEMERINTAH ORGANISASI PUBLIK (PEMERINTAHAN INDONESIA) Ada enam kali perubahan dalam organisasi publik (pemerintahan) dan memperlihatkan perubahan yang berbeda tetapi ada sejumlah benang merah yang nampak antara perubahan–perubahan itu secara periodik organisasi publik dalam arti pemerintahan negara modern Indonesia dapat dibagi menjadi enam tahapan yaitu : 1. Dibawah kepemimpinan Soekarno (1945-1966) masa orde lama; 2. Dibawah kepemimpinan Soeharto (1967-1998) masa orde baru); 3. Dibawah kepemimpinan Habibie (Mei 1998-Oktober 1999) masa orde transisi; 4. Dibawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Oktober 1999-Januari 2001) masa kabinet persatuan nasional; 5. Dibawah kepemimpinan Megawati Sukarno Putri (Januari 2001-2004) masa kabinet gotong royong RI; 6. Dibawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (2004-2009) masa kabinet Indonesia bersatu. Di era Sukarno organisasi publik tidak bisa berorientasi secara efektif karena diterbitkan dalam fragmentasi politik, di era Soharto fragmentasi itu dihilangkan dengan meninggalkan kekuasan politik (monolitik) model ini berlanjut di era Habibie kemudian berbalik lagi seperti di era Suharto ketika Wahid menjadi presiden, kemudian berlanjut di era Megawati Sukarno Putri dan di era Susilo Bambang Yudhoyono sampai saat ini. Pada kenyataannya organisasi publik di setiap periode cenderung untuk melayani kepentingan pemegang kekuasaan daripada melayani publik. Penguasa itu sendiri bersifat plural Peran serta Masyarakat dalam Pembangunan Public participation in development - ANDI ROSDIANTI RAZAK
yaitu terdiri dari para partai pemenang pemilu untuk menghindari konflik yang lebih keras maka semua di koalisi. Pada era Soharto dan Habibie organisasi publik lebih menjolok melayani kepentingan penguasa karena sifat kekuasaannya yang monolitik. Organisasi publik tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membangun dirinya sendiri sebagai sebuah lembaga yang berkepentingan terhadap kebutuhan publik. Di setiap era organisaisi publik mengalami kegagalan, karena cenderung menjadi tidak peka terhadap lingkungan terutama lingkungan sosial dan akhirnya tidak mampu merespon perubahan dan krisis dan kadangkala memaksakan kehendak yang dikaitkan dengan konsep publik yaitu memaksa setiap orang untuk mengikutinya. Kondisi ini telah sejak awal periode orde baru sampai saat ini di era otonomi daerah telah bermunculan rajaraja kecil disetiap kabupaten/kota. Dan hubungan raja-raja kecil didaerah (desentralisasi) masih terikat dengan raja di raja pusat (sentralisasi) sehingga konflik dan ketimpangan selama ini terjadi adalah paradigma pembangunan yang hanya terfokus pada masalah ekonomi, tidak adanya kebijakan pemerintah yang konsisten dan tidak terkoordinasi dengan baik, kebijakankebijakan tersebut juga tidak berpihak kepada rakyat yang banyak sehingga masyarakatpun merasa tidak diikutsertakan. Jika hal ini tetap dipertahankan dalam otonomi daerah maka akan terjadi konflik kepentingan antara pemerintah daerah, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terutama antar anggota masyarakat sendiri (Sihotang, P. Ozon Des 2001). C. BENTUK INTERAKSI PELAKSANAAN PERAN SERTA MASYARAKAT Peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan telah tercantum secara konstitusional dalam peraturan perundangan. Peran serta masyarakat ini merupakan kemitraan diantara para stakeholder khususnya pemerintah, swasta dan masyarakat dalam proses pembangunan yang dikenal dengan konsep “Public Private Partnership�. 12
Vol. III No.1 April 2013 Hal yang paling mendasar yang perlu dilakukan untuk mencapai konsep tersebut adalah perlu dilakukan pengambilan “kekuatan� masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan. Bentuk interaksi pelaksanaan peran serta masyarakat untuk mencapai kemitraan tersebut dapat dijelaskan dalam tiga bentuk model yaitu model pertama menggambarkan situasi saat awal sejak era orde lama-orde baru dan transisi, dimana interaksi antara pemerintah-swasta begitu kuat sementara disisi lain masyarakat belum berdaya. Situasi ini menyebabkan interaksi pemerintah-swasta justru mendominasi sekaligus menetukan arah pembangunan. Disini masyarakat hanyalah sebagai obyek pembangunan masyarakat belum menjadi subyek pembangunan itu sendiri. Model kedua tahap ini memperlihatkan interaksi yang seimbang antara stakeholder, yaitu interaksi pemerintah-masyarakat-swasta interaksi ini dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi semua pihak bagaimana bergaul di lingkungan mejemuk dalam pengambilan keputusan. Semua pihak bisa belajar sehingga saling menghargai terutama adanya perbedaan pendapat dan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Model ini merupakan metode partisifatif yang paling pas untuk diterapkan dalam pola interaksi. Model ini telah nampak diterapkan di era Abdurrahman Wahid, Megawati Sokarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Model ketiga adalah model yang paling ideal dari bentuk kemitraan pemerintah-masyarakatswasta. Disini stakeholder sadar betul akan hak dan kewajibannya. Dalam model ini masyarakat tidak lagi harus terlibat langsung secara teknis dalam kontrak-kontrak pembangunan antara pemerintah swasta. Walaupun demikian masyarakat tetap mempunyai kekuatan dalam menentukan arah kontrak sendiri melalui mekanisme demokrasi dan transparansi. Dalam model ini masyarakat menjadi subyek pembangunan bukan lagi sebagai obyek pembangunan dan kedaulatan berada ditangan rakyat tetapi model ini belum dapat dilaksanakan di Indonesia karena peran serta Peran serta Masyarakat dalam Pembangunan Public participation in development - ANDI ROSDIANTI RAZAK
masyarakat masih terabaikan. Ketiga model ini (1, 2, 3) disajikan dalam bentuk gambar. D. UPAYA-UPAYA YANG PERLU DILAKUKAN PEMERINTAH AGAR PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DAPAT LEBIH DITINGKATKAN Dari hasil kajian pengamatan peran serta masyarakat dalam pembangunan di era otonomi daerah tidak luput dengan adanya benang merah kebijakan organisasi publik (pemerintah) sejak orde lama sampai saat ini yaitu adanya perubahan-perubahan yang menampakkan perbedaan dan persamaan dalam melibatkan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan. Seperti yang telah dijelaskan dimuka bahwa metode 2 adalah model yang sangat realistis yang telah dirasakan masyarakat sejak pergantian atau setelah era transisi dibawah pemerintahan Habibie yaitu sejak era pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono pada saat ini. Masyarakat yang tadinya menjadi obyek pembangunan harus diubah posisinya paling tidak sejajar posisinya dengan stakeholder yang lain (pemerintah-swasta). Namun untuk mencapai model ketiga dimana masyarakat bukan lagi sebagai obyek pembangunan tetapi sebagai subyek pembangunan memerlukan waktu yang cukup lama dan tenaga yang tidak sedikit untuk merubah keadaan. Penerapan otonomi daerah juga menjadi penghalang untuk menuju model ketiga desentralisasi setengah hati masih dirasakan oleh masyarakat. Terbukti bahwa aspirasi masyarakat dalam menentukan diterima atau ditolak suatu kegiatan pembangunan masih ada di tangan pusat. Adanya sidang kabinet yang sangat berpotensi untuk menggagalkan aspirasi masyarakat didaerah, walaupun disektor sumberdaya alam seperti sektor kehutanan dan lingkungan hidup telah ada menteri yang menanganinya. Namun dapat berubah dengan mudah dalam sidang kabinet dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Kondisi ini akan memperparah kerusakan sumberdaya alam yang kian 13
Vol. III No.1 April 2013 hari kian meningkat karena perbedaan pendapat yang tidak menghasilkan kesepakatan hanyalah memperparah kerusakan lingkungan hidup. Kalau terus menerus terjadi ketidakseimbangan antara stakeholder, maka pembangunan yang dilaksanakan akan tidak dapat berkelanjutan sehingga perlu pemerintah mengadakan upaya-upaya agar keseimbangan kemitraan dapat tercapai. Bobot bisa dibuat secara seimbang dengan mengurangi dan menambahkan bobot dari ketiga stakeholder tersebut. Untuk memberikan bobot tambahan pada pihak masyarakat bisa dila-kukan dengan pengembangan sumberdaya manusia, penguatan ekonomi atau pening-katan kesadaran akan hak dan kewajibannya. Untuk mengurangi bobot pemerintah dan swasta bisa dilakukan dengan penaatan ulang atau penyempurnaan kebijakan dan aturan yang telah dilaksanakan dari hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan. Dari hasil kajian di atas ada beberapa yang bisa dilakukan agar peran serta masyarakat dalam pembangunan dapat ditingkatkan antara lain : 1. Hak masyarakat terhadap sumberdaya alam harus diperhatikan; 2. Perlu adanya peningkatan ekonomi masyarakat sehingga masyarakat lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung pada pihak-pihak lain; 3. Pengembangan peluang untuk mengambil keputusan yang partisipatif. Proses perencanaan pembangunan yang terpadu dan partisipatif sebagai salah satu tahap yang penting, perlu dikembangkan sehingga semua pihak ikut menentukan arah pembangunan didaerahnya; 4. Ego sektoral harus dihilangkan; 5. Perlu ada komitmen yang tinggi dari pengambil keputusan formal di daerah, karena tanpa dukungan mustahil kebijakan bisa diterapkan; 6. Perlu memperkuat aspek “Public relation� stakeholder, khususnya masyarakat melalui LSM, sehingga semua informasi mengenai kebutuhan pengelolaan lingkungan hidup bisa tersampaikan kepada pihak lain dengan baik; Peran serta Masyarakat dalam Pembangunan Public participation in development - ANDI ROSDIANTI RAZAK
7. Otonomi daerah harus bisa dilaksanakan secara penuh, sehingga pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah mempunyai kewenangan untuk bisa memutuskan (Renggana, A. 1999); 8. Revitalisasi ketentuan Pasal 10 ayat c UUPLH No.23 Tahun 1997 yang menyatakan: Pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. E. PENUTUP Pelaksanaan peraturan dan perundangundangan yang menyangkut peran serta masyarakat dalam pembangunan sejak orde lama hingga era otonomi daerah masih belum dapat berjalan secara efektif dan efisien. Kondisi seperti ini terasa pada pelaksanaan UUD 1945, UUPLH No. 23 Tahun 1997 dan juga masih terasa dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam pelaksanaan UUD 1945, dibawah kepemimpinan orde lama (1945-1966) organisasi publik belum mampu berfungsi seperti sekarang. Bahkan dapat dikatakan tidak ada pelayanan publik yang dilakukan dalam konteks ekonomi dalam arti yang signifikan, karena pemerintahan pada saat itu dijalankan dengan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI. Sedangkan kebijakan pemerintah dibawah kekuasaan orde baru (1967-1998) telah membuktikan pengingkaran terhadap pesan konstitusional yang mengakibatkan munculnya persoalan besar terhadap lingkungan hidup yaitu perusakan dan pengurasan sumberdaya alam yang tidak terkontrol dan disisi lainnya peran serta masyarakat mengalami distorsi yang terus menerus melalui rekayasa berbagai peraturan dan surat keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian dalam pelaksanaan UU No. 23/1997 dibawah kepemimpinan orde transisi (1998-1999), kabinet persatuan Indonesia (1999-2001), kabinet gotong royong (2001-2004), kabinet Indonesia bersatu (2004-2009), hak dan jaminan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pemba14
Vol. III No.1 April 2013 ngunan belum mendapatkan ruang yang jelas dan kebijakan pemerintah masih berjalan mekanisme sentralisasi. Dalam pelak-sanaan UU No. 32 Tahun 2004 dibawah kepemimpinan kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) tentang pemerintahan daerah, peran serta masyarakat masih terabaikan, masyarakat masih sebagai obyek pembangunan. Bentuk interaksi pelaksanaan peran serta masyarakat antara pemerintah-swasta masyarakat masih dalam tahap model kedua, dimana masyarakat yang tadinya menjadi obyek pembangunan akan berubah posisinya sejajar dengan stakeholder lainnya (pemerintahswasta). Bentuk interaksi ini memperlihatkan interaksi yang seimbang antara stakeholder dan merupakan metode partisipatif yang paling pas untuk diterapkan dalam pola interaksi. Bentuk interaksi model ketiga adalah paling ideal masyarakat tidak lagi harus terlibat langsung secara teknis dalam kontrak-kontrak pembangunan antara pemerintah dan swasta, akan tetapi masyarakat tetap mempunyai kekuatan dalam menentukan arah pembangunan melalui demokrasi dan transparasi. Dalam model ini masyarakat menjadi subyek pembangunan bukan lagi sebagai obyek pembangunan. Model ini belum dapat dilaksanakan di Indonesia karena peran serta masyarakat masih terabaikan. Kalau dilihat dari ketidakseimbangan bobot antara swasta, pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan maka pembangunan yang dilaksanakan tidak akan dapat berkesinambungan sehingga pemerintah perlu mengadakan upaya-upaya keseimbangan
kemitraan yaitu dengan mengurangi atau menambahkan bobot dari ketiga stakeholder tersebut. Untuk memberikan bobot tambahan pada pihak masyarakat bisa dilakukan dengan pengembangan SDM, penguatan ekonomi atau peningkatan kesadaran akan hak dan kewajiban. Dan untuk mengurangi bobot pemerintah dan swasta bisa dilakukan dengan penataan ulang atau penyempurnaan kebijakan dan ataupun yang telah dilak-sanakan dari hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan. Ada delapan butir upaya yang perlu dilakukan pemerintah agar peran serta masyarakat dalam pembangunan dapat lebih ditingkatkan dan guna mendayagunakan dan menghasilgunakan peran serta masyarakat diperlukan enam persyaratan yang perlu dipenuhi dalam pengelolaan lingkungan hidup. DAFTAR PUSTAKA http : www//Pembangunan, Pada tanggal 28 Februari 2011 jam 16.00 Wita http : www//Perencanaan Pembangunan, Pada tanggal 28 Februari 2011, jam 15.00 Wita Kunarjo. 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. Jakarta : UIPress Propenas 2000-2004. 2003. UU No. 25 Th. 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Jakarta : Sinar Grafika
*********
Peran serta Masyarakat dalam Pembangunan Public participation in development - ANDI ROSDIANTI RAZAK
15
Vol. III No.1 April 2013
FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (STUDI TENTANG IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PERDA BACA TULIS AL-QURAN DI KOTA MAKASSAR) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (STUDY ON THE IMPLEMENTATION OF THE GOVERNMENT PERDA READ WRITE IN THE CITY OF AL-QURAN MAKASSAR) M. Anwar Basir1, Jaelan Usman2, Abd. Rahman3 1
Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 3 Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alaudin No. 259 Makassar 90221 Tlp. O411-866972 ext. 107. Fax. O411-8655888 2
ABSTRACT
Perda Literacy Al-Quran (BCTA) which passed in 27 April 2012, but actually this regulation has long proclaimed the new year, but this can be realized and in Perda. Researchers are encouraged to try to describe and explain the Islamic Government Study On Implementation Of Government Policy Regulation Literacy Al-Quran In Makassar. Type of study is a survey approach, using interviews and questionnaires as material to reveal the facts and data necessary research to support the discussion of research. Survey and interview approach is an approach in making the news and the fact that these events are found relative, the distribution for further research. surveys and interviews are also used to investigate the implementation of government policies in achieving the objectives for the implementation of Regulation Literacy Al-Quran, study uses informants. This study uses data analysis techniques derived from the results of this study will be analyzed descriptively the result of an interview with the informants and respondents will also be supported with quantitative data in the form frekuensi.Hasil tabulation showed that people have taken enthusiastically to the government’s policy the enforcement of laws Literacy Quran could bring a lot more people know the Koran and fluent in reading the Al-Quran for the betterment of life towards a better society, Till hopes ideals of the nation can be achieved as stated in the introduction of legislation (nation intellectual life and participate in the establishment of world order bedasarkan lasting peace and social justice for all Indonesian people), the next generation will be a major Insan literacy understand the Quran for the continued life of the nation and the state can be achieved. Keywords: Implementation, BCTA Policy.
16
Vol. III No.1 April 2013 ABSTRAK PERDA Baca Tulis Al-Quran (BCTA) yang disahkan pada bulan 27 April 2012, tetapi sebenarnuya perda ini sudah lama dicanangkan namun baru tahun ini dapat terealisasikan dan di perda. peneliti terdorong untuk mencoba menggambarkan dan menjelaskan Pemerintahan Islam Study Tentang Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Perda Baca Tulis Al-Quran Di Kota Makassar. Jenis Penelitian ini merupakan pendekatan survey, wawancara dan menggunakan kuesioner sebagai bahan untuk mengungkap data dan fakta penelitian yang diperlukan untuk mendukung pembahasan penelitian. Pendekatan survey dan wawancara merupakan suatu pendekatan dalam pengambilan berita dan fakta sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi untuk penelitian lebih lanjut. survey dan wawancara juga digunakan untuk menyelidiki tentang Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam mencapai tujuan demi terlaksananya Perda Baca Tulis Al-Quran, Penelitian ini menggunakan informan. Penelitian ini menggunakan teknik analisa Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dianalisa secara deskriptif yakni hasil dari wawacara dengan informan dan responden yang juga akan didukung dengan data-data kuantitatif dalam bentuk tabulasi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki antusias terhadap kebijakan yang diambil pemerintah dalam pemberlakuan Perda Baca Tulis Al-Quran yang bisa membawa masyarakat jauh lebih mengenal Al-Quran dan fasih dalam membaca Al-Quran demi perbaikan hidup masyarakat kearah yang lebih baik, Hingga harapan cita-cita bangsa dapat tercapai sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan perundang-undangan (mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang bedasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia), generasi penerus akan menjadi Insan yang utama yang paham baca tulis Al-Quran demi kelangsungan kehidupan bangsa dan negara dapat tercapai. Kata kunci: Implementasi, Kebijakan BCTA (Baca tulis Al-Quran)
A. PENDAHULUAN Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang menggunakan Al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan dalam semua aspek hidup, seperti dasar undang-undang, mahkamah perundangan, pendidikan, dakwah dan perhubungan, kebajikan, ekonomi, sosial, kebudayaan dan penulisan, kesehatan, pertanian, sains dan teknologi, penerangan dan peternakan. Dasar negaranya adalah Al Quran dan Sunnah. Para pemimpin dan pegawaipegawai pemerintahannya adalah orang-orang baik, bertanggung jawab, jujur, amanah, adil, faham Islam, berakhlak mulia dan bertakwa. Dasar pelajaran dan pendidikannya ialah dasar pendidikan Rasulullah, yang dapat melahirkan orang dunia dan orang Akhirat, berwatak abid dan singa, bertugas sebagai hamba dan khalifah Allah (Mohammad Arshad, Sistem Pemerintahan Islam Suatu Sinar Keadilan� 2010).
Politik dan hukum ketatanegaraan merupakan suatu persoalan yang sangat penting sebagai suatu sarana untuk mengatur dan menjalankan proses pemerintahan. Namun mispresepsi atau pun banyak perbedaan pendapat mengenai persoalan tersebut tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Karena pembahasan atau kajian tentang masalah ini khususnya hukum tata Negara Islam masih sangat minim dilakukan. Dalam hal ini pun biasanya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu dan kurang adanya sosialisasi sehingga umat muslim secara umum masih kurang atau belum mengetahui dan memahaminya. Sistem ekonominya bersih dan adil. Suci dari riba, monopoli, penindasan, penipuan dan hal haram lainnya. Pembagiannya adil menurut keperluan untuk kemudahan, kewajiban, kedudukan dan bidang seseorang. Sistem sosialnya bersih dari kemungkaran dan maksiat terang-terangan. Setiap orang dihormati hak asasinya serta diberi peluang untuk
FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (studi tentang implementasi kebijakan pemerintah terhadap Perda baca tulis Al-Quran di kota Makassar) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (Study On The Implementation Of The Government Perda Read Write In The City Of Al-Quran Makassar) - M. ANWAR BASIR1, JAELAN USMAN2, ABD. RAHMAN3
17
Vol. III No.1 April 2013 melaksanakan hak-hak asasi masing-masing sesuai dengan bakat dan kebolehannya. Sistem ketentaraan berjalan atas disiplin Islam. Kebudayaan dan adat-istiadat dibenarkan berbagai asalkan semuanya tidak bertentangan dengan Islam. Belakangan ini marak diperbincangkan di Dewan Perwakilan Rakyat mengenai pemberlakuan PERDA Baca Tulis Al-Quran (BCTA) yang disahkan pada bulan 27 April 2012, tetapi sebenarnya Perda ini sudah lama dicanangkan namun baru tahun ini dapat terealisasikan dan di perdakan. Sebenarnya perda ini tidak asing lagi karena daerah/kota lain Pemkot Bogor, Pemkab Pulau Bintang, Pemkab Madura, Pemkab Gowa, Pemkab Takalar dan Pemkab Bulukumba telah membuat aturan tersebut sejak lama namun baru tahun ini dapat diberlakukan di Kota Makassar. Setelah diberlakukan perda sejak di sahkannya, kami berniat untuk melakukan penelitian mengenai sejauh mana pemerintah berperan aktif dalam pelaksanaan perda BCTA dan Kementerian Agama serta salah satu Organisasi Kepemudaan yang sejak lama telah melaksanakan evaluasi terhadap bacaan AlQuran anak santri yang nantinya di wisuda dengan melihat dari sudut ini kami melihat perlunya diadakan penjajakan/penulusuran terhadap perda BCTA tersebut. Penulis sangat terpanggil untuk melakukan penelitian terhadap persoalan diatas, melalui penelitian di harapkan hasilnya dapat memberikan kontribusi bagi sulawesi Selatan terkhusus di kota Makassar. B. KERANGKA TEORITIS Implementasi Bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan, (Usman, 2002:70), Perluasan aktifitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif, (Setiawan, 2004:39), Suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi
tindakan kebijakan dari politik kedalam admistrasi. Pengembangan kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program, (Harsono, 2002:67), Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatanhambatan tertentu sambil mencari peluang untuk mencapai tujuan/mewujudkan sasaran yang diinginkan (dalam Tangkilisan, 2003:12), kebijakan Pemerintah, Kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh lagi (lebih menekankan kepada kearifan seseorang), sedangkan kebijakan mencangkup aturan-aturan yang ada didalamnya sehingga Policy lebih tepat diartikan sebagai kebijakan, sedangkan kebijaksanaan merupakan pengertian dari kata Wisdom (Islamy, 1997:5), kebijakan pemerintah suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Bambang Sunggono 1994 : 137). Pemerintah Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani (demokratĂa) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata (demos) "rakyat" dan (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettys burgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (studi tentang implementasi kebijakan pemerintah terhadap Perda baca tulis Al-Quran di kota Makassar) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (Study On The Implementation Of The Government Perda Read Write In The City Of Al-Quran Makassar) - M. ANWAR BASIR1, JAELAN USMAN2, ABD. RAHMAN3
18
Vol. III No.1 April 2013 Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya memerintah masyarakat. Sistem pemerintahan Islam Study tentang Implementasi kebijakan pemerintah terhadap perda Baca tulis Al-Quran di Kota Makassar. Dengan berlakunya PERDA Baca Tulis AlQuran ini terkadang banyak hal yang masih harus dienahi sebagai aturan baru (PERDA baru) banyak tantangan atau komentar dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat baik itu dalam ummat muslim itu sendiri maupun dari ummat non-muslim, dalam pemberlakuan perda ini pemerintah tentunya harus jeli melihat situasi atau kondisi yang berkembang dalam artian pemerintah harus sering melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap perda tersebut, demi kesempurnaan perda tersebut. C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, dengan pertimbangan bahwa Kota Makassar merupakan Ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan dan juga merupakan kota terbesar di Kawasan Indonesia Timur. Selain itu, juga karena pertimbangan efisiensi dan efektifitas penggunaan biaya dan waktu dalam pelaksanaan penelitian serta pemerintah Makassar baru-baru ini megesahkan perda Baca Tulis Al-Quran. Penelitian akan dilaksanakan kurang lebih 2 (dua) bulan dari bulan September – November 2012. Dasar penelitian yang digunakan adalah survey yaitu metode yang mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi dari sejumlah responden dan informan yang dianggap dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan penelitian ini. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif suatu penelitian yang dilakukan dengan menggambarkan dan menjelaskan Sistem Pemerintahan Islam Study Tentang Implementasi Kebijakan Pemerintah terhadap Perda Baca Tulis Al-Quran di Kota Makassar. Penelitiaan ini menggunakan fokus penelitian yaitu Kantor Balai Kota Makassar, Kantor DPRD, Kantor Kementerian Agama Kota Makassar dan Salah satu Organisasi Kepemudaan serta beberapa perwakilan dari masyarakat yang berada dalam wilayah Kota Makassar. Dengan demikian, memulai penelitian ini jumlah responden yang akan dijaring adalah sebanyak 50 orang yang diharapkan akan menggambarkan atau mewakili pendapat terhadap Sistem Pemerintahan Islam Study Tentang Implementasi Kebijakan Pemerintah terhadap Perda Baca Tulis Al-Quran di Kota Makassar. Penelitian ini akan dianalisa secara deskriptif yakni hasil dari wawacara dengan informan dan responden yang juga akan didukung dengan data-data kuantitatif dalam bentuk tabulasi frekuensi untuk mendapatkan penggambaran mengenai Sistem Pemerintahan Islam Study Tentang Implementasi Kebijakan Pemerintah terhadap PERDA Baca Tulis Al-Quran di Kota Makassar, kami mengambil sumber data penelitian ini meliputi Kabag Hukum dan Kesra, Ketua-Ketua Komisi DPRD, Ka. Kapontren Kementerian Agama
FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (studi tentang implementasi kebijakan pemerintah terhadap Perda baca tulis Al-Quran di kota Makassar) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (Study On The Implementation Of The Government Perda Read Write In The City Of Al-Quran Makassar) - M. ANWAR BASIR1, JAELAN USMAN2, ABD. RAHMAN3
19
Vol. III No.1 April 2013 Kota Makassar, BKPRMI dan beberapa orang Perda memiliki dua bahwa pendidikan baca perwakilan dari masyarakat Kota Makassar. tulis Al-Qur’an merupakan bagian dari aktifitas hidup masyarakat muslim di Kota MakasD. HASIL DAN PEMBAHASAN sar, maka dipandang perlu adanya upaya yang intensif dan berkesinambungan dengan Hasil melakukan standarisasi lilsensi bagi para Kebijakan dan langkah-langkah yang pengajar pendidikan baca-tulis Al-Qur’an. diambil pemerintah dalam penerapan perda. Sasaran pendidikan baca-tulis Al-Qur’an adalah peserta didik yang beragama islam Pengusul pembuat Perda Baca Tulis Al- pada semua jalur dan jenjang pendidikan, Quran (DPRD Kota Makassar) Dalam pem- Setiap Murid SD Siswa SLTP dan Siswa SLTA bahasan Perda Baca Tulis Al-Quran, DPRD yang akan menamatkan jenjang pendidikan berperan aktif dalam pembuatan PERDA BCTA wajib pandai Baca Tulis Al-Qur’an melalui inyang murni inisiatif dari pada DPRD itu sendiri tra kurikuler sesuai dengan tingkat penyang dimana diutarakan langsung oleh Pak didikannya. Mudzakkir Ali dalam pertemuan di Gedung DPRD berfungsi sebagai penggagas DPRD pada Tanggal 12 November 2012 utama lahirnya Perda Baca Tulis Al-Quran pukul 14:45 Wita. yang sadar dan prihatin akan kondisi generasi DPRD berinisiatif dalam pembuatan Perda penerus bangsa yang tidak pandai dalam Baca BCTA dengan melihat kondisi di masyarakat Tulis Al-Quran khususnya Ummat Islam, yang dimana yang fasih dalam membaca Al- diharapkan generasi yang mengerti tentang Quran hanya berkisar antara 25% saja dari Baca Tulis Al-Quran semakin meningkat jumlah masyarakat kota Makassar, sehingga bahkan seluruh Umat Islam khususnya di Kota melihat hal ini DPRD berinisiatif untuk Makassar akan paham dan tau betul tentang membuatkan suatu aturan dalam bentuk Baca Tulis Al-Quran yang beriman dan perda yang dimana perpanjangan dari pera- bertaqwa kepada Allah yang Maha Esa. turan daerah Provinsi Sulawesi Selatan No.04 Pengambil kebijakan (Pemerintah Kota) tahun 2006 tentang bebas buta aksara yang Esensinya terletak bagaimana sebuah lembaga dibuat oleh Pemprov. DPRD lebih memperinci pendidikan betul-betul memiliki kepedulian lagi tentang hal tersebut yang dimana dalam kepada anak didik untuk pandai dalam baca Perda memiliki dua bahwa pendidikan baca tulis Al-Quran dan siswa tidak akan pernah tulis Al-Qur’an merupakan bagian dari maju-maju apabila si-Pendidik menyerahkan aktifitas hidup masyarakat muslim di Kota penuh tanggung jawab kepada orang tua anak Makassar, maka dipandang perlu adanya tidak bersama-sama dalam mendidik anak upaya yang intensif dan berkesinambungan sebagai generasi penerus bangsa yang padengan melakukan standarisasi lilsensi bagi ham akan baca tulis Al-Quran. para pengajar pendidikan baca-tulis AlBagi anak yang beragama islam yang Qur’an. bersekolah di sekolah non-muslim maka akan DPRD berinisiatif dalam pembuatan Perda diberikan/difasilitasi dalam pelajaran agamaBCTA dengan melihat kondisi di masyarakat nya begitupun sebaliknya, serta disekolahyang dimana yang fasih dalam membaca Al- sekolah umum lainnya. Penerapan perda baca Quran hanya berkisar antara 25% saja dari tulis Al-Quran mendorong agar sekolahjumlah masyarakat kota Makassar, sehingga sekolah dapat memberikan sarana dan pramelihat hal ini DPRD berinisiatif untuk sarana yang dibutuhkan dalam mengajar anak membuatkan suatu aturan dalam bentuk menjadi generasi qurani yang teruraikan perda yang dimana perpanjangan dari pera- pada tabel 1 (satu)-10 (sepuluh) turan daerah Provinsi Sulawesi Selatan No.04 Jadi posisi pemerintah dalam Perda tahun 2006 tentang bebas buta aksara yang berperan aktif dalam memberikan fasilitas dibuat oleh Pemprov. DPRD lebih memperinci baik sarana maupun prasarana demi kelanlagi tentang hal tersebut yang dimana dalam caran Perda BCTA, baik pemberian izin bagi FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (studi tentang implementasi kebijakan pemerintah terhadap Perda baca tulis Al-Quran di kota Makassar) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (Study On The Implementation Of The Government Perda Read Write In The City Of Al-Quran Makassar) - M. ANWAR BASIR1, JAELAN USMAN2, ABD. RAHMAN3
20
Vol. III No.1 April 2013 lembaga pendidikan dalam pengelolaannya maupun memberikan Insentif kepada para pendidik dalam pelaksanaan pemberian pendidikan kepada generasi penerus dalam proses Belajar Baca Tulis Al-Quran. Tanggapan salah satu instansi pemerintahan (Kementerian Agama Kota Makassar) dan salah satu Ormas masyarakat (BKPRMI Kota Makassar) serta beberapa perwakilan dari Masyarakat dalam pemberlakuan perda. Kementerian Agama Kota Makassar adalah Kementerian Agama melaksanakan/ mendidik sudah sejak lama pelaksanaan baca tulis Al-Quran karena merupakan tugas dari pada Kementerian Agama dalam mendidik generasi penerus dalam belajar memahami AlQuran, apalagi dengan dikeluarkannya PERDA Provinsi Sulawesi Selatan No.04 Tahun 2006 inilah yang menjadi landasan Kementerian Agama dalam membina anak didik agar paham akan baca tulis Al-Quran. Sebagai pemberi sertifikat kepada santri yang telah dinyatakan lulus seleksi/ujian yang diuji oleh Kementerian Agama yang sumber dananya dari masyarakat sebagai penggati biaya administrasi. Lembaga yang mengelola selain Kementerian Agama ada Lembaga Kepemudaan yang juga mengelolah hal tersebut yaitu BKPRMI, dalam hal ini Kementerian Agama menambahkan bahwa disini dalam pendidikan ini Kementerian Agama bertindak sebagai Negerinya sedangkan BKPRMI sebagai swastanya apabila termasuk dalam pendidikan Formal. Kementerian Agama selalu mengadakan pendataan terlebih dahulu terhadap Lembaga yang melakukan pendidikan terhadap pembinaan Baca Tulis Al-Quran kepada MasjidMasjid, Mushollah maupun Pengajian Kampung. Dengan disahkannya PERDA Baca Tulis Al-Quran membuat masyarakat sadar akan pentingnya memahami Baca Tulis Al-Quran hingga tidak ada lagi umat Islam yang tidak tahu lagi tentang Al-Quran sehingga tercipta Masyarakat Qurani yang beriman dan bertaqwa, yang sebagaimana di gambarkan pada tabel 1-10. BKPRMI Kota Makassar merupakan suatu Lembaga Kepemudaan yang mengurus tentang Taman Kanak-Kanak Al-Quran yang tugasnya mendidik agar anak-anak mengerti
dan tahu baca tulis Al-Quran. BKPRMI singkatan dari Badan Komunikasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia, yang memiliki arah dan tujuan menjadikan generasi remaja yang pandai membaca dan memahami Al-Quran. Dengan diperdakannya Baca Tulis AlQuran BKPRMI terasa lebih diperhatikan dengan Pemerintah setempat, karena dengan diberlakukannya perda tersebut mejadikan BKPRMI memiliki legalitas, hingga dalam mendidik anak-anak dan remaja sehingga BKPRMI merasa diperhatikan dan diberi peluang dang tanggung jawab oleh Pemerintah. Sudah jelas dengan berlakunya PERDA Baca Tulis Al-Quran memberikan peluang kepada Lembaga untuk dapat memberikan sumbangsih kepda generasi penerus bangsa menjadi generasi Qurani yang berakhlah dan berbudi pekerti yang baik serta dapat dipercaya. Secara terpisah kami meberikan angket dengan rincian dan mendapatkan hasil yang terurai dalam tabel 1 (satu)-10 (sepuluh). Pembahasan Dalam penelitian ini hasil yang dicapai sangat maksimal karena mulai dari pemerintah, DPRD Kota Makassar, Kementerian Agama, BKPRMI dan Masyarakat sangat antusias sekali dengan diberlakukannya PERDA Baca Tulis Al-Quran yang sebagaimana tergambar dalam Tabel Frekuensi yang terurai dari pertanyaan sebagai berikut: Tabel 1. Pemahaman Tentang PERDA Baca Tulis Al-Quran
N o.
Kategori Jaw aban
F
Persen %
1.
Sangat setuju
9
18
2.
Setuju
38
76
3.
Kurang setuju
3
6
4.
Tidak setuju
-
-
5.
Sangat tidak setuju
-
-
Jumlah
50
100
Sumber: hasil olah kosioner, November 2012
FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (studi tentang implementasi kebijakan pemerintah terhadap Perda baca tulis Al-Quran di kota Makassar) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (Study On The Implementation Of The Government Perda Read Write In The City Of Al-Quran Makassar) - M. ANWAR BASIR1, JAELAN USMAN2, ABD. RAHMAN3
21
Vol. III No.1 April 2013 Dari hasil yang dicapai dalam tabel diatas N o. Kategori Jaw aban F Persen % tergambar ada beberapa orang dari kosioner yang belum tahu betul tentang baca tulis Al1. Sangat setuju 17 34 Quran, pemerintah harus lebih intensif lagi dalam hal ini. 2. Setuju 23 46 Diharapkan dengan bantuan media, 3. Kurang setuju 10 20 pemerintah lebih dapat membagi informasi kepada masyarakat hingga hubungan 4. Tidak setuju emosional tetap terjaga. disini peran media juga sangat diperlukan untuk menyampaikan 5. Sangat tidak setuju sebuah peraturan yang telah maupun yang Jumlah 50 100 akan dibuat pemerintah hingga masyarakat luas dapat mengetahui tentang peraturan Sumber: hasil olah kosioner, November 2012 Daerah (PERDA) tersebut dan juga diharapkan bagi masyarakat maupun aparatur pemerintahan yang telah mengetahui aturan Dari hasil penelitian yang digambarkan tersebut dapat di publikasikan. dalam tabel tersebut, masih kurangnya mansyarakat yang tahu tentang Baca Tulis AlQuran. Masyarakat berharap pemerintah Tabel 2. menyebarluaskan aturan tersebut. Pemahaman tentang aturan yang diberlakukan pemerintah Disini bukan hanya Pemerintah berperan tetapi juga media sangat diperlukan baik media cetak maupun media elektronik, hingga N o. Kategori Jaw aban F Persen % perda tersebut dapat diketahui oleh halayak ramai khususnya Masyarakat Kota Makassar. 1. Sangat setuju 7 14 Jadi, selain Pemerintah, Masyarakat dan 2. Setuju 38 76 lembaga pendidikan yang berperan dalam hal ini tetapi juga media juga sangat berperan 3. Kurang setuju 5 10 untuk menyampaikan PERDA tersebut. 4.
Tidak setuju
-
-
5.
Sangat tidak setuju
-
-
Jumlah
50
100
Sumber: hasil olah kosioner, November 2012
Dari hasil penelitian dapat terlihat dari tabel diatas masih ada beberapa orang yang kurang paham akan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah tetapi masih ada masyarakat yang masih belum paham tentang PERDA Baca Tulis Al-Quran karena pemerintah menyampaikan atau mempublikasikan suatu aturan belum maksimal hingga masyarakat ada yang sudah mengetahui ada juga yang belum mengetahui hal tersebut.
Tabel 4. Pemerintah memberikan sarana-prasarana pada lembaga pendidikan demi pelaksanaan dan pemberlakuan PERDA Baca Tulis Al-Quran.
N o.
Kategori Jaw aban
F
Persen %
1.
Sangat setuju
21
42
2.
Setuju
15
30
3.
Kurang setuju
14
28
4.
Tidak setuju
-
-
5.
Sangat tidak setuju
-
-
Jumlah
50
100
Sumber: hasil olah kosioner, November 2012 Tabel 3. Pempublikasian tentang PERDA Baca tulis Al-Quran sangat jelas
Dari tabel diatas tersebut tergambar, masih kurangnya lembaga pendidikan yang
FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (studi tentang implementasi kebijakan pemerintah terhadap Perda baca tulis Al-Quran di kota Makassar) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (Study On The Implementation Of The Government Perda Read Write In The City Of Al-Quran Makassar) - M. ANWAR BASIR1, JAELAN USMAN2, ABD. RAHMAN3
22
Vol. III No.1 April 2013 mendapatkan santunan/bantuan baik berupa sarana maupun prasarana. Diharapkan pemerintah turun langsung melihat kondisi yang terjadi di masyarakat dan memberikan bantuan baik sarana maupun prasarana. Masyarakat berharap pemerintah memberikan sarana prasarana bagi lembaga pendidikan yang membutuhkan bantuan, hingga apa yang dicita-citakan akan terlaksana secara maksimal. Dengan diberikannya bantuan tersebut Pemerintah dapat mementau jalannya Lembaga tersebut yang sewaktu-waktu pemerintah dapat memberikan sanksi kepada lembaga pendidikan apabila sarana-prasarana telah terpenuhi. Tabel 5. Kesadaran Masyarakat akan perlunya memahami Al-Quran melalui belajar Baca Tulis Al-Quran
N o.
Kategori Jaw aban
F
Persen %
1.
Sangat setuju
18
36
2.
Setuju
28
56
3.
Kurang setuju
-
-
4.
Tidak setuju
4
8
5.
Sangat tidak setuju
-
-
Jumlah
50
100
Sumber: hasil olah kosioner, November 2012
Dalam hasil tabel diatas menggambarkan mesih adanya masyarakat yang kurang sadar (paham) betapa pentingnya Baca Tulis AlQuran demi terciptanya masyarakat yang fasih baca tulis Al-Quran. Dengan pahamnya masyarakat paham Baca Tulis Al-Quran membuat generasi penerus menjadi lebih baik hingga generasi penerus kita menjadi terarah dan perkelahian maupun tawuran yang terjadi dimana-mana bisa diminimalisir dengan adanya PERDA ini masyarakat selalu merasa diawasi dalam menjadi kehidupan sehari-harinya. Dengan diberlakukannya PERDA Baca Tulis Al-Quran tersebut pemerintah lebih memperhatikan kitab suci yang diyakininya
dengan tidak mengganggu ummat agama lain dan memperlihatkan bahwa inilah agama Islam yang penuh dengan Rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Hingga dalam bermasyarakat dapat terjalin hubungan yang harmonis tanpa harus saling mengganggu ummat lain. D. KESIMPULAN Sistem Pemerintahan (politik) Islam sangat jauh berbeda dengan Sistem Politik, ideologi-ideologi dan isme-isme akal manusia. Islam memiliki tafsiran dan bentuk yang khusus dan istimewa tentang pemerintahan. Sistem Pemerintahan Islam adalah Sistem Pemerintahan yang menggunakan Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan dalam semua aspek hidup, seperti dasar undang-undang, Mahkamah Perundangan, Pendidikan, Dakwah dan Perhubungan, Kebajikan, Ekonomi, Sosial, Kebudayaan dan Penulisan, Kesehatan, Pertanian, Sains dan Teknologi, Penerangan dan Peternakan. Istilah Sistem Pemerintahan berasal dari gabungan dua kata Sistem dan Pemerintahan. Kata Sistem merupakan terjemahan dari kata sistem (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Dengan berlakunya Perda Baca Tulis AlQuran memberikan spirit baru yang dapat menjadikan generasi yang panda membaca dan menulis Al-Quran serta memahaminya yang dimana hasil penelitian akhir yang menyatakan setuju sebanyak 18 orang yang menyatakan kurang setuju sebanya 2 orang tetapi pada intinya Perda Baca Tulis Al-Quran sangat diterimah dalam masyarakat pada umumnya. Dengan berlakunya Perda Baca Tulis AlQuran generasi kita kedepannya bukan hanya paham dengan pendidikan umum tetapi juga menjadi generasi Qurani yang nantinya generasi kita akan menjadi kokoh dengan hantaman dari luar hingga masyarakat Indonesia menjadi berbobot khususnya generasi penerus Kota Makassar yang akan membuka jendela dunia bahwa inilah bangsaku tercinta. DAFTAR PUSTAKA
FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (studi tentang implementasi kebijakan pemerintah terhadap Perda baca tulis Al-Quran di kota Makassar) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (Study On The Implementation Of The Government Perda Read Write In The City Of Al-Quran Makassar) - M. ANWAR BASIR1, JAELAN USMAN2, ABD. RAHMAN3
23
Vol. III No.1 April 2013 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/ Penafsiran Al–Qur’an, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Jaiz, Hartono, H, 1999, “Dibawah Bayang – bayang Soekarno–Soeharto: Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru”. Darul Falah Islam Kaffa, Jakarta.
Gieyono, Muhammad dkk, 2010, “Struktur Pemerintahan Dalam Islam”, http:// ahmadnaufa.wordpress.com/2010/ 04/18/struktur-pemerintahan-dalamislam/, Oktober 2012 10:02.
Arvio, Idham, 2012, “Pengertian Implementasi Kebijakan”, http:://localhost/G:/ bahan/pengertian-implementasikebijakan.html, Oktober 2012 14:50
Kasim, Nur, 2010, “Sejarah kota Makassar Sejarah dan Perkembangan Pemerintahan kota Makassar”, http:// nurkasim49. blogspot.com/, Oktober 2012 14:15. Bin Abdurrahman Ali Bassam, Abdullah, 2008, “Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim (Taisirul–Allam Syarh Umdatul Ahkam)”, Megawati, Lena, 2012, “Sistem Pemerintahan Demokrasi Indonesia”, http:// Darul Falah (Buku Islam Kaffah), lenamegawati.blogspot.com/2012/ Jakarta. 01/normal-0-false-false-false-in-xnone-x.html, Oktober 2012 09:50. Bukhreissy, Husain, “Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahi Bukhari”, Al Ikhlas, Mohammad, Arshad, 2010, “Sistem Surabaya. Pemerintahan Islam Suatu Sinar Keadilan”, http://members.tripod.com/ Departemen Agama Republik Indonesia, ibn_muhammad/sistem.html, 2005, Al–Qur’an dan terjemahannya,
*********
FORMALISASI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (studi tentang implementasi kebijakan pemerintah terhadap Perda baca tulis Al-Quran di kota Makassar) FORMALIZATION OF ISLAMIC GOVERNMENT SYSTEM (Study On The Implementation Of The Government Perda Read Write In The City Of Al-Quran Makassar) - M. ANWAR BASIR1, JAELAN USMAN2, ABD. RAHMAN3
24
Vol. III No.1 April 2013
PERENCANAAN PARTISIPATIF DALAM PEMBANGUNAN DAERAH PARTICIPATORY PLANNING IN LOCAL DEVELOPMENT Aryati Puspasari Abady Program Studi Ilmu Administrasi Publik Pasca Sarjana Universitas 45 Makassar Jl. Urip Sumoharjo Km 4 , Makassar 90231 Telp : 0411-452901
ABSTRACT Planning is done by the current government is a plan that has been implemented by using the mechanisms of the Regional Planning Council (Musrenbang) both at the village, district, county / city and provincial level. Implementation plan based on community participation is based on Law No. 25 Year 2004 on National Development Planning System. Implementation Musrenbang conducted so far by the government still needs to search and study further. This relates to whether the processes are carried out only to be a legitimacy for the government to formulate a policy so that it becomes a justification that the policies established through a participatory process or mechanism of development policy formulation planning had been aspirational. Policies established through a participatory process has a high acceptability if implemented. This is because all stakeholders are involved in every stage of policy development planning. Keywords: Planning, Participatory Local Development
ABSTRAK Perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini merupakan perencanaan yang telah dijalankan dengan menggunakan mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbang) baik di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi. Implementasi perencanaan yang berbasis pada partisipasi masyarakat didasarkan pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pelaksanaan Musrenbang yang dilakukan selama ini oleh pemerintah masih perlu penelusuran dan kajian lebih lanjut. Hal ini berkaitan dengan apakah proses yang dilakukan hanya menjadi sebuah legitimasi bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan sehingga menjadi sebuah pembenaran bahwa kebijakan yang ditetapkan tersebut melalui proses yang partisipatif atau mekanisme perencanaan penyusunan kebijakan pembangunan memang sudah aspiratif. Kebijakan yang ditetapkan melalui proses yang partisipatif memiliki akseptabilitas tinggi jika diimplementasikan. Hal ini disebabkan karena semua stake holder merasa ikut dilibatkan dalam setiap tahapan penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan daerah. Kata kunci: Perencanaan, Partisipatif, Pembangunan Daerah.
25
Vol. III No.1 April 2013 A. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah dengan konsep sistem pemerintahan desentralisasi memberikan ruang kepada warga masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan mengambil peran yang lebih besar dalam merumuskan kebijakankebijakan daerahnya, (Kurniawan, 2007; 79). Dalam hal ini ada empat hal yang dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh warga dengan kebijakan otonomi daerah dan sistem pemerintahan desentralistis. Pertama, partisipasi warga dalam pembuatan kebijakan dapat memperkuat konsolidasi demokrasi. Kedua, warga dapat berpartisipasi dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien. Ketiga, warga akan dengan mudah menyalurkan aspirasinya dan berperan dalam merumuskan berbagai pembuatan kebijakan. Keempat, akan meningkatkan pembagian hasil dari sumberdaya alam dan kekayaan yang dimiliki daerah. Partisipasi masyarakat menjadi salah satu jargon yang telah mengemuka saat ini pemerintahan yang baik (good governance). Dengan demikian proses pemerintahan yang dijalankan atas dasar partisipasi masyarakat telah memiliki salah satu karakteristik sebagai pemerintahan yang baik, (Hosnan, 2007:36). Keberadaan partisipasi masyarakat menurut Budiarjo dalam Hosnan (2007) pada dasarnya tidak terlepas dari pertimbangan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Bahkan lebih jauh Bintoro Tjokroamidjojo (2004) mengatakan bahwa pembangunan yang meliputi segala segi kehidupan, politik, ekonomi, dan sosial budaya itu baru akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari kegiatan seluruh rakyat di dalam suatu negara. Adanya partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor dari keberhasilan otonomi daerah. Masyarakat daerah, baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu, merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, Perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
karena secara prinsip penyelenggaraan otonomi daerah ditujukan guna mewujudkan masyarakat sejahtera di daerah yang bersangkutan, (Kaho, 2003: 120). Perencanaan partisipatif yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah mengacu pada regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Perencanaan pembangunan dengan pelibatan masyarakat dilakukan dengan mekanisme musrenbang mulai dari tingkat kelurahan hingga di tingkat provinsi. Penyelenggaraan Musrenbang khususnya untuk penyusunan. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dilakukan setiap tahun menjadi suatu hal yang cukup menarik karena kegiatan ini menjadi sebuah agenda rutin yang dijalankan oleh pemerintah daerah pada tahapan perencanaan pembangunan dengan pelibatan masyarakat. Teknis pelaksanaan kegiatan tersebut mengacu pada Surat Edaran Bersama oleh Kepala Bappenas dan Mendagri Nomor 0008/ M.PPN/01/2007 dan 050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang. Pelibatan Masyarakat pada kegiatan Musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD yang selama ini dilaksanakan cenderung hanya menjadi sebuah justifikasi terhadap sebuah proses perencanaan pembangunan daerah. Pemerintah memang memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses perencanaan, namun pada tahapan penetapan program/kegiatan yang akan ditetapkan sebagai kebijakan terkadang tidak mengakomodir usulan yang berasal dari kebutuhan masyarakat. Ruang yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan regulasi yang tercantum dalam Undang-udang Nomor 25 Tahun 2004 yang mensyaratkan bahwa mekanisme perencanaan pembangunan tetap memprioritaskan keterlibatan masyarakat secara luas. Hal ini juga sesuai dengan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bahagijo dan Triwibowo (2008) dari Perkumpulan Prakarsa yang melakukan penelitian terhadap dominasi elite lokal dalam reformasi kebijakan pro-poor di Kota Makassar dan Kota Kendari. Penelitian ini menemukan bahwa jalur partisipatif terpinggirkan dalam arena dominan. 26
Vol. III No.1 April 2013 Kajian ini menemukan bahwa meskipun jalur politis, jalur teknokratis/birokratis dan jalur partisipatif bekerja dalam arena perencanaan dan penganggaran, namun jalur teknokratis dan politis terlihat lebih dominan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi diskoneksi antara proses Musrenbang dengan proses alokasi anggaran. Output perencanaan yang dibawa ke dalam arena penganggaran lebih didominasi oleh output perencanaan teknokratis oleh Walikota, Bappeda dan SKPD. Di sisi lain, mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat (Jaring Asmara) atau Musrenbang pada arena penganggaran juga tidak berjalan efektif. Menurut penelitian tersebut, di Makassar justru menunjukkan bahwa mekanisme musrenbang lebih dimanfaatkan sebagai politik citra dengan strategi untuk mengukur derajat respon masyarakat, aspirasi dan orientasi politik semata. Ada kecendurungan mekanisme Musrenbang tidak menjadi bagian strategis yang bakal terumuskan dalam program pembangunan maupun dianggarkan. Hasil penelitian Bahagijo dan Triwibowo (2008) menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat nampaknya hanya sebatas pada proses pengusulan program maupun kegiatan pembangunan melalui LPM pada setiap kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan baik di tingkat kelurahan dan kecamatan maupun di tingkat kota. Pada saat pemerintah menyusun dokumen perencanaan yang berisi program/kegiatan prioritas, masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Kondisi ini yang menyebabkan dokumen perencanaan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah cenderung akomodatif. Dalam penyelenggaraan kegiatan Musrenbang yang dilakukan setiap tahun oleh pemerintah, mulai dari tingkat kelurahan dan kecamatan hingga pada penyelenggaraan Musrenbang di tingkat kota memperlihatkan kecenderungan tingkat partisipasi masyarakat yang masih rendah. Hal ini terjadi pada pelaksanaan musrenbang setiap tahunnya. Tingkat pertisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Musrenbang yang masih rendah juga diutarakan oleh lurah maupun camat sebagai fasilitator penyelenggaraan Musrenbang. Perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
Dari hasil penelusuran yang dilakukan, diketahui pula tingkat kehadiran masyarakat dalam penyelenggaraan musrenbang kelurahan dan kecamatan dari tahun ke tahun masih di bawah angka 50 persen dari undangan yang diedarkan oleh pihak penyelenggara (pemerintah dan LPM). Hal tersebut di atas juga diakui oleh kepala Bappeda Kota Makassar dari hasil wawancara oleh media dan dipublikasi di internet yang menyatakan bahwa minat masyarakat Makassar mengikuti Musrenbang masih rendah. Hal ini berdasarkan hasil penelitian dari sejumlah lembaga pemantau yang ada di daerah ini. Laporan pemantau independen mencatat bahwa hanya sekitar 40 persen partisipasi masyarakat dalam mengikuti kegiatan Musrenbang. Justru yang hadir hanya pejabat grass rood (Ketua RT dan RW) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). B. PERENCANAAN PASRTISIPATIF DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK Perencanaan partisipatif merupakan salah satu proses pembelajaran yang penting bagi masyarakat. Perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Perencanaan partisipatif artinya menekankan partisipasi luas dari semua stakeholders dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pembangunan, (Suratman, 2008) Konsep pembangunan partisipatif dikemukakan oleh Nasrun (2008) yaitu pembangunan yang dilaksanakan oleh berbagai komponen kepublikan (pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat non pemerintah) secara tersistem. Selanjutnya dinyatakan bahwa ketertarikan sistemik dari berbagai komponen kepublikan dalam pembangunan daerah memerlukan langkah penyusunan portofolio yang didahului proses evaluasi internal dengan menggunakan analisis SWOT. Perencanaan partisipatif menurut Abe (2008:81) adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan masyarakat (baik 27
Vol. III No.1 April 2013 secara langsung maupun tidak langsung). Abe juga menawarkan dua bentuk perencanaan partisipatif yaitu: pertama, perencanaan yang langsung disusun bersama rakyat, berupa perencanaan lokasi setempat (menyangkut daerah di mana masyarakat berada) dan berupa perencanaan wilayah yang disusun dengan melibatkan masyarakat secara perwakilan; kedua, perencanaan yang disusun melalui mekanisme perwakilan sesuai institusi yang sah (seperti parlemen). Esensi pembangunan partisipatif adalah pembangunan yang dilaksanakan dengan mengoptimalkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen; pembangunan yang mengaktualkan perilaku kepublikan (transparansi, konsistensi, akuntabilitas dan kepastian hukum); pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kemandirian, kredibilitas, kemitraan dan keunggulan (K4). Conyers (1991:154155) menjelaskan tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat penting dalam proses pembangunan, yaitu: (1) partisipasi masyarakat dapat menjadi “telinga” untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, permasalahan dan kebutuhan masyarakat; (2) efektifitas dan efesiensi dari program atau proyek pembangunan akan lebih mudah dicapai, apalagi dalam kondisi kontribusi masyarakat dapat mengurangi beban biaya yang harus dikeluarkan untuk suatu implementasi pembangunan; dan (3) partisipasi secara etik-moral merupakan hak demokrasi bagi rakyat, sehingga dengan partisipasi yang maksimal pemerintah sudah otomatis meredam potensi resistensi dan proses sosial bagi efek-efek samping pembangunan. Partisipasi sebagai nilai dasar demokrasi menjadi perhatian penting dalam administrasi publik yang demoktratis. Pada dasarnya, gagasan partisipasi dalam administrasi publik mencakup dua ranah, yaitu manajemen partisipatif dan partisipasi masyarakat dalam administrasi publik. Osborne & Gaebler (2005) mengungkapkannya ketika memasukkan dua prinsip yang menyentuh dua ranah tersebut dalam prinsip-prinsip reinventing government. Pertama, prinsip “community owned government: empowering rather than serving” yang menunjukkan betapa pentingnya Perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
partisipasi masyarakat dalam administrasi publik. Kedua, prinsip “decentralized government: from hierarchy to participation and teamwork” yang menunjukkan betapa pentingnya manajemen partisipatif yang memungkinkan partisipasi dalam penyelenggaraan administrasi publik. Wamsley & Wolf (1996) mengumpulkan berbagai tulisan yang melukiskan betapa pentingnya melibatkan masyarakat dalam administrasi publik pada posisi sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan. Dalam bukunya menekankan betapa pentingnya democratic government yang mengedepankan partisipasi masyarakat dalam administrasi publik. Little (1996, dalam Warmsley & Wolf 1996) menjelaskan konsepsi democratic public administration dengan memaparkan konsekuensi tiga substansi demokrasi. Government of the people berarti pemerintahan masyarakat akan membawa legitimasi bagi administrasi publik. Government by the people berarti menjamin adanya representasi administrator publik dan akuntabilitas administrasi publik terhadap masyarakat. Government for the people berarti bahwa administrasi publik akan benar-benar menjalankan kepentingan publik, bukan kepentingan birokrasi. Gagasan administrasi publik demokratis juga diungkapkan oleh Denhardt & Denhardt (2007) dengan adanya perspektif new public service yang menunjukkan betapa pentingnya partisipasi masyarakat ini dalam administrasi publik. Arnstein (1971) mengemukakan teori yang cukup terkenal yaitu ladder of participation (tangga partisipasi). Teori ini mengemukakan bahwa partisipasi sebagai bentuk kekuasaan masyarakat yang dapat mempengaruhi perubahan pembuatan kebijakan. Arnstein mengklasifikasikan derajat partisipasi dalam tiga kategori yang dirinci ke dalam delapan anak tangga partisipasi. Derajat terendah adalah non partisipasi. Partisipasi yang terjadi pada level ini adalah aktifitas partisipasi semu atau terjadi distorsi partisipasi. Derajat kedua memperlihatkan adanya patisipasi (tokenism). Derajat ini lebih membuka ruang untuk dilakukan dialog publik sehingga warga memiliki kesempatan untuk 28
Vol. III No.1 April 2013 menyampaikan aspirasi maupun pendapatnya, namun pada derajat ini masyarakat belum terlihat langsung dalam pengambilan kebijakan. Derajat ketiga adalah kendali warga. Pada tingkatan ini, masyarakat memiliki akses yang lebih besar dan keterlibatan secara langsung, baik pada proses pembuatan kebijakan hingga pada tahap implementasi kebijakan oleh pemerintah. Pada derajat ini terjadi redistribusi kekuasaan dari pemerintah kepada masyarakat melalui negosiasi. Burns, Hambleton dan Hogget kemudian mengem-bangkan teori partisipasi publik yang lebih besar sesuai dengan analisis pemerintahan daerah. Teori tersebut dinamakan “ladder of citizen empowerment” (tangga pemberdayaan masyarakat). Beberapa pemikiran yang melatarbelakangi teori yang dikemukakan tersebut. Pertama, konsep yang dikemukakan oleh Hirschman pada tahun 1970 dimana strategi pemberdayaan terdiri atas dua pilihan, yaitu exit dan voice. Kedua, pemikiran yang melatarbelakangi adalah pembedaan antara konsep pilihan, partisipasi dan kendali. Pemikiran ketiga adalah ruang lingkup kekuasaan warga. Partisipasi warga dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahan daerah dibedakan dalam tiga wilayah pengambilan keputusan, yaitu praktek operasional, keputusan anggaran, dan pembuatan kebijakan. Analisis yang dilakukan Burns, Hambleton dan Hogget dengan berdasarkan pada beberapa pemikiran yang melatarbelakangi teori ladder of citizen empowerment maka diperoleh tiga derajat partisipasi masyarakat dan dua belas anak tangga. Masing-masing derajat partisipasi dibagi dalam beberapa anak tangga yang jaraknya tidak sama pada masing-masing derajat. Berkaitan dengan partisipasi masyarakat, tidak terlepas dari Teori Pilihan Publik (Public Choice). Denhardt and Denhardt (2007) menjelaskan salah satu ide dari new public service adalah seek the public interest dimana administrator publik harus memberikan sumbangsih untuk membangun kepentingan publik bersama. Tujuannya tidak untuk menemukan solusi cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan tetapi menciptakan kepentingan bersama dan tanggungjawab bersama. Perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
Pilihan publik didasarkan pada rational choice theory, (Frederickson & Smith, 2003). Cendekiawan yang menjadi pioneer terhadap rational choice ini adalah Adam Smith. Menurutnya bahwa orang-orang yang melakukan pencarian terhadap kepentingan diri mereka, melalui mekanisme ”invisible hand”, menghasilkan secara kolektif manfaat yang menguntungkan bagi semua masyarakat. Menurut Nugroho (2003), model kebijakan pilihan publik merupakan proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan ataskeputusan tersebut. Pada intinya, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiaries atau customer dalam konsep bisnis). Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Model Kerangka Konseptual perencanaan partisipatif dalam konteks pembangunan daerah dituangkan dalam gambar skema seperti dibawah ini: PRINSIP GOOD GOVERNANCE:
PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH
SISTEM PENYELENGGARA
TINGKAT
FAKTOR-FAKTOR YANG
MUSRENBANG
PENYUSUNAN RKPD
PENYELENGGARA PARTISIPASI
29
Vol. III No.1 April 2013 C. SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH YANG PARTISIPATIF Award (1979:3 dalam Amirin, 1989:10) menjelaskan bahwa sistem merupakan sehimpunan komponen atau sub sistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam sistem perencanaan pembangunan dibutuhkan berbagai masukan, proses maupun keluaran yang merupakan sub sistem yang akan menjadi satu sistem yang saling berkaitan dengan tujuan untuk penyusunan dokumen perencanaan yang baik. Musyawarah perencanaan pembangunan daerah yang dilaksanakan, baik untuk program/kegiatan yang akan dilaksanakan untuk jangka panjang, jangka menengah maupun rencana jangka pendek seharusnya dilakukan dengan mengutamakan partisipasi masyarakat sebagai wujud bottom-up planning. Hal ini dilakukan dengan melibatkan semua termasuk berbagai stakeholder terkait dengan mekanisme perencanaan pembangunan. Perencanaan yang dibuat oleh masyarakat diawali dengan membuat daftar kebutuhan masyarakat dan merupakan masukan (input) dalam proses perencanaan untuk menjadi sebuah dokumen perencanaan yang mencerminkan keterlibatan masyarakat secara luas. Masukan yang dibuat oleh masyarakat didasarkan pada berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat untuk kemudian dijadikan sebagai program maupun kegiatan yang butuh penanganan sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Penyusunan daftar kebutuhan masyarakat belum melibatkan semua elemen masyarakat. Kenyataan yang ditemui di lapangan diketahui bahwa daftar kebutuhan yang dibuat oleh masyarakat melalui ketua RT dan RW yang merupakan daftar inventarisasi sebagai hasil identifikasi yang dilakukan sendiri oleh para ketua RT dan RW dan tidak melalui proses Pra Musrenbang Kelurahan. Hal ini terjadi karena persepsi bahwa masyarakat sudah terwakili aspirasinya melalui para ketua RT dan RW. Perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
Penyusunan daftar program dan kegiatan prioritas dibuat berdasarkan indikator standar sesuai dengan yang dipahami oleh masyarakat secara umum. Kaitannya dengan indikator penentuan program dan kegiatan prioritas yang akan dijadikan acuan oleh masyarakat, diketahui bahwa Bappeda sebagai penanggungjawab pelaksana kegiatan Musrenbang masih kurang melakukan sosialisasi terhadap indikator skala prioritas standar yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa indikator prioritas tersebut sangat membantu masyarakat untuk dapat mengidentifikasi program dan kegiatan yang dianggap prioritas. Dengan demikian, masyarakat memiliki perspektif yang sama untuk memahami program dan kegiatan yang prioritas dilaksanakan oleh Pemerintah. Hal yang cukup menarik dan sering terjadi daftar prioritas program dan kegiatan yang telah dibuat sesuai dengan urutan prioritas. Namun saat ada kepentingan dari penentu kebijakan, baik yang berasal dari elite eksekutif maupun yang berada di legislatif, dengan sendirinya daftar prioritas yang telah dibuat akan mengalami perubahan urutan prioritas. Intervensi politik memiliki pengaruh yang besar terhadap bergesernya urutan skala prioritas karena besarnya kepentingan kelompok (interest group) terhadap pelaksanaan program atau kegiatan tersebut. Program yang telah diidentifikasi berdasarkan berbagai indikator didanai melalui berbagai sumber pendanaan. Kegiatan yang didanai melalui APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi serta APBN. Namun tidak sedikit usulan yang diharapkan oleh pemerintah dapat dilakukan melalui sharing. Berbagai bentuk pembiayaan yang telah disebutkan sebelumnya, juga dapat dibiayai melalui bantuan dalam bentuk hibah dari berbagai lembaga donor baik yang berasal dari dalam negeri maupun lembaga yang berasal dari luar negeri. Model sharing pembiayaan program dan kegiatan cukup penting untuk didorong untuk direspon dan diberikan apresiasi. Hal ini disebabkan karena inti partisipasi adalah untuk menggugah masyarakat agar lebih memiliki tanggungjawab bersama-sama 30
Vol. III No.1 April 2013 pemerintah dalam mengatasi persoalan yang ada di masyarakat. Dengan model sharing tersebut, masyarakat juga akan memiliki tanggungjawab moril (sense of belonging) untuk bisa memelihara hasil yang telah dibangun secara bersama-sama. Dengan demikian, program dan kegiatan yang menjadi prioritas oleh masyarakat dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Program dan kegiatan prioritas yang diusulkan masyarakat dan dianggap perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah justru sering tidak diakomodir dalam dokumen perencanaan. Langkah yang sering dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah adalah dengan membangun komunikasi secara informal dengan orangorang yang memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan melalui invisible hand sehingga bisa membantu untuk merealisasikan kebutuhan masyarakat. Komunikasi yang dibangun secara informal tersebut ternyata menunjukkan hasil yang lebih optimal dan efektif dalam memperjuangkan program dan kegiatan prioritas untuk diakomodir dalam dokumen perencanaan serta dituangkan dalam pembiayaan melalui APBD. Inovasi lain yang dilakukan adalah mencoba menggugah kepedulian para pengusaha yang melakukan aktifitas usaha di wilayah bersangkutan untuk berpartisipasi membangun masyarakat yang berada di sekitarnya. Langkah yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah setempat dengan mengajukan proposal kepada para pengusaha sebagai bentuk pertanggung-jawaban sosial pengusaha dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) kepada masyarakat sekitarnya. Selain itu, langkah yang biasa dilakukan adalah dengan mencoba melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah yang lebih di atas termasuk dengan pemerintah pusat dan lembaga donor dengan tujuan agar bisa dilakukan penyelarasan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dengan usulan yang dimiliki oleh masyarakat. D. TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN MUSRENBANG Perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
Pelaksanaan Musrenbang membuka ruang kemitraan kepada pemerintah kelurahan dan kecamatan bersama-sama dengan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Kemitraan yang dilakukan atas pembagian tanggungjawab dan kewenangan pelaksanaan kegiatan Musrenbang ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan. Realitas yang masih terjadi yaitu penanggungjawab sekaligus pelaksana kegiatan Musrenbang dilakukan oleh pemerintah kelurahan dan kecamatan. Hal ini yang menjadi salah satu pemicu terjadinya disharmonisasi hubungan antara lurah dan camat dengan pengurus LPM. Bappeda sebagai leading sector pelaksanaan kegiatan Musrenbang dan penyusunan RKPD belum bisa menyediakan informasi yang memadai mengenai hasil pelaksanaan kegiatan Musrenbang tingkat kabupaten/ kota. Informasi tersebut terkait dengan program ataupun kegiatan prioritas yang terakomodir dalam dokumen perencanaan yang belum efektif disosialisasikan kepada masyarakat. Dengan demikian, kredibilitas Bappeda bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat, bukan hanya proses perencanaan yang dilakukan secara partisipatif , tetapi hasil dari proses panjang dan melibatkan masyarakat juga bisa dipertanggungjawabkan. Tingkat kehadiran masyarakat pada penyelenggaraan Musrenbang kelurahan dan kecamatan masih menunjukkan tingkat kehadiran yang rendah. Tingkat kehadiran masyarakat dioengaruhi berbagai faktor, namun khusus bagi masyarakat perkotaan faktor yang paling dominan mempengaruhi tingkat kehadiran masyarakat adalah rutinitas masyarakat yang tergolong cukup padat. Dengan demikian, masyarakat tidak memiliki waktu yang banyak untuk ikut terlibat langsung pada kegiatan Musrenbang. Keterwakilan masyarakat, khususnya dalam penyelenggaraan Musrenbang Kelurahan belum sepenuhnya menghadirkan semua elemen masyarakat. Beberapa kelompok masyarakat belum terwakili termasuk masyarakat marginal, kelompok pendidik, maupun beberapa elemen lain yang ada di masyarakat. Temuan menarik khususnya keterwakilan masyarakat adalah pada saat penyusunan 31
Vol. III No.1 April 2013 dokumen perencanaan hasil Musrenbang tingkat Kota, Bappeda tidak lagi mengikutsertakan masyarakat untuk ikut menentukan program dan kegiatan prioritas yang akan diakomodir dalam RKPD. Derajat partisipapsi masyarakat pada kegiatan Musrenbang Kelurahan dan Kecamatan dikaitkan dengan derajat partisipasi masyarakat dari Burn, Hambleton dan Gogget diketahui berada pada derajat partisipasi warga (citizen participation). Namun setiap tahapan berbeda anak tangga derajat partisipasinya. Semakin tinggi jenjang pelaksanaan Musrenbang, partisipasi masyarakat semakin rendah anak tangga partisipasinya. Dengan kata lain bahwa partisipasi masyarakat tinggi pada tahapan Musrenbang lebih awal (Kelurahan dan Kecamatan), namun semakin tinggi tingkatan pelaksanaan musrenbang (Kota dan Provinsi) partisipasi masyarakat justru semakin rendah karena ruang yang diberikan (public space) sudah berkurang. E. FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN MUSRENBANG 1. Komitmen Pemerintah Komitmen pemerintah dalam hal perencanaan partisipatif melalui penyelenggaraan Musrenbang belum dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini dapat dilihat dari proses tahapan Musrenbang yang belum dijalankan dengan benar seperti proses Pra-Musrenbang padahal proses inilah yang sesungguhnya menjadi entrypoint bagi masyarakat secara umum untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhan mereka. Selain itu, pemerintah juga tidak melibatkan masyarakat dalam proses penentuan program dan kegiatan prioritas. Masyarakat hanya terlibat dalam bentuk pemberian usulan program sedangkan penetapan program dan kegiatan yang menjadi prioritas sebahagian besar bukan merupakan hasil usulan masyarakat. Hal lain adalah program dan kegiatan yang telah ditetapkan tidak disampaikan kembali pada kecamatan atau kelurahan. Akibatnya, Perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
masyarakat semakin kehilangan informasi tentang usulan prioritas mereka yang disampaikan dalam proses Musrenbang. Kondisi ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah masih rendah dalam mewujudkan perencanaan partisipatif melalui penyelenggaraan Musrenbang. Rendahnya komitmen pemerintah terhadap penyelenggaraan Musrenbang yang memicu sikap apatis masyarakat. Hal ini terkait dengan proses penyusunan program dan kegiatan prioritas yang belum transparan. Dengan demikian, masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang rendah karena mereka menganggap bahwa penyelenggaraan Musrenbang belum bisa dijadikan media yang efektif untuk menyalurkan aspirasi serta mengusulkan program dan kegiatan yang prioritas dari masyarakat untuk ditangani oleh pemerintah. 2. Komunikasi Besarnya pengaruh komunikasi secara informal terhadap penyusunan dokumen perencanaan yang mengakibatkan daya tarik Musrenbang kurang kuat untuk mewujudkan perencanaan partisipatif. Dengan kata lain, penentuan program dan kegiatan prioritas justru efektif dilakukan melalui komunikasi informal yang dilakukan secara “invisible hand� oleh masyarakat terhadap pemerintah maupun penentu kebijakan. Dalam konteks perencanaan partisipatif melalui mekanisme Musrenbang, maka dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Musrenbang pemerintah sudah seharusnya menjadikan Musrenbang sebagai satu-satunya media komu-nikasi bagi masyarakat untuk mengusulkan berbagai program prioritas. Komunikasi informal bisa dilakukan, namun tetap mengacu pada dokumen hasil Musrenbang yang telah dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan memiliki motivasi untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan Musrenbang karena dokumen perencanaan hasil pelaksanaannya dijadikan acuan oleh pemerintah dalam mengakomodir usulan masyarakat dalam dokumen perencanaan dan anggaran. 32
Vol. III No.1 April 2013 3. Tingkat Sosial Ekonomi Masyarakat Tingkat sosial ekonomi masyarakat memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang lebih baik dan berada pada tingkat menengah ke atas memiliki partisipasi cenderung sedikit lebih rendah dalam kegiatan Musrenbang kelurahan dan kecamatan. Jika dibandingkan dengan partisipasi masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah yang memiliki tingkat partisipasi yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang memiliki rutinitas yang cukup padat dengan berbagai kegiatan memiliki keterbatasan waktu untuk ikut serta secara aktif dalam kegiatan Musrenbang. Namun di sisi lain, mereka tidak menutup diri dan berpartisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran maupun media penghubung yang efektif dengan para pengambil kebijakan, karena mereka memiliki hubungan yang cukup erat dengan para elite yang ada di eksekutif maupun di legislatif. Sehingga golongan masyarakat tersebut berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan namun dilakukan secara pasif karena tidak menghadiri secara langsung kegiatan Musrenbang yang dilaksanakan. Dengan rutinitas yang cukup padat, menyebabkan masyarakat yang berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke atas tidak memiliki waktu untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan Musrenbang. Selain karena alasan tersebut, masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang cukup mapan cenderung lebih individual karena mereka beranggapan bahwa hamper semua kebutuhannya dapat dipenuhi, baik oleh upaya mereka sendiri atau melalui hubungan yang baik dengan para penentu kebijakan yang ada di eksekutif maupun di legislatif tanpa harus berpartisipasi dalam kegiatan Musrenbang.
lahan dan kebutuhan prioritas. Disalurkan dengan proses yang baik dan mengakomodasi berbagai kebutuhan semua elemen masyarakat. Daftar kebutuhan masyarakat dibuat berdasarkan analisa dan pertimbangan potensi wilayah masing-masing. Dengan demikian, format yang baku diberlakukan oleh pemerintah kota sebaiknya disinergikan dengan kearifan lokal dari masyarakat serta wilayahnya. Pelaksanaan program dan kegiatan yang dibiayai dari berbagai sumber, baik berasal dari APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi maupun APBN atau bahkan bantuan/hibah dari lembaga donor tidak menjadi masalah, namun tetap mengacu pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Banyak program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah merupakan program dan kegiatan reaktif dan masih sedikit program dan kegiatan yang bersifat proaktif terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dan sangat terbatas program dan kegiatan yang lahir dari pemerintah bersifat antisipatif terhadap berbagai permasalahan yang mungkin di masyarakat. Derajat partisipasi masyarakat dalam mekanisme Musrenbang sudah berada pada derajat partisipasi warga (citizen participation). Namun terjadi perbedaan anak tangga pada setiap tahapan Musrenbang, semakin tinggi tingkatan pelaksanaan Musrenbang, semakin rendah derajat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Musrenbang. Berbagai faktor yang mempenagruhi terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Musrenbang adalah: (1) komitmen pemerintah; (2) komunikasi; dan (3) tingkat sosial ekonomi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Abe, A. 2002. Perencanaan Daerah Partisipatif. Solo: Pondok Edukasi.
E. KESIMPULAN Arnstein, Sherry R. 1971. “Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation� in Perencanaan partisipatif dalam pembanguEdgar S. Cahn and Barry A. Passet. nan daerah dapat dilaksanakan pemerintah Citizen Participation: Effecting Comjika didukung dengan sistem perencanaan munity Change. New York: Praeger yang baik, dimana masukan dari masyarakat Publishers. yang berasal dari hasil identifikasi permasaPerencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
33
Vol. III No.1 April 2013 Burns, Danny. Robin Hambleton and Paul Hogget. 1994. The Politics of Decentralization: Revitalizing Local Democracy. London: Macmillan. Denhardt, Janet V. and Robert B. Denhardt. 2007. The New Public Service: Serving, not Steering (Expanded Edition). Armonk, New York: M.E. Sharpe.
Jurnal Membangun Indonesia dari Daerah: Partisipasi Publik dan Politik Anggaran Daerah. Jakarta: JICA. Nasrun, Mappa. 2008. Makalah: Pembangunan Partisipatif. Kriteria Kelayakan dan Normatif. Makassar.
Nugroho D, Riant. 2003. Reinventing Pembangunan. Menata Ulang Paradigma Frederickson, H. George and Kevin B. Smith. Pembagunan untuk Membangun Indo2003. The Public Administration Theory nesia Baru dengan Keunggulan Global. Primer. USA: Wesview Press. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hosnan. 2007. Mendorong Partisipasi Osborne, David & Ted Gaebler. 2005. Masyarakat dalam Pembangunan Mewirausahakan Birokrasi. ReinventDaerah. Jurnal Membangun Indonesia ing Government. Jakarta: PPM. dari Daerah: Partisipasi Publik dan Politik Anggaran Daerah. Jakarta: JICA. Tjokroamidjojo, Bintoro. 2004. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good GoverKaho, Josef Riwu. 2003. Prospek Otonomi Daerah nance dan Perwujudan Masyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia: Madani. Jakarta: Lembaga Administrasi Faktor-faktor yang Mem-pengaruhi Negara. Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Cetakan III. Jakarta: Rajawali Pers. Wamsley, Gary L. And James F. Wolf. 1996. Refounding democratic public adminisKurniawan, Apep Fajar. 2007. Otonomi tration: modern paradoxes, postmodern Daerah: Menumbuhkan Partisipasi challenges. Thousand Oaks, California: Warga dalam Pembuatan Kebijakan. Sage Publications.
*********
Perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah Participatory planning in local development - Aryati Puspasari Abady
34
Vol. III No.1 April 2013
PERAN AKTOR DALAM PENYUSUNAN AGENDA KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH KECAMATAN DI KABUPATEN MALUKU TENGAH ROLE OF ACTORS IN SETTING AN AGENDA FOR DISTRICT EXPANSION IN CENTRAL MALUKU REGENCY Irman Salaputa1, Muhlis Madani2, Andi Luhur Prianto3 1 Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 3 Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588
2
ABSTRACT This study aimed to describe the actor cent in the preparation of the regional growth policy agenda in Central Maluku Regency, as well as patterns of interaction or orientation of the actors are in a process of developing regional growth policy agenda in Central Maluku district. The research method used in this study is the writer-Qualitative Descriptive using two kinds of data, namely primary data and secondary data. The data were analyzed by descriptive qualitative analyze all the data collected through interviews writers. The results showed that the role of actors in the process of drafting the policy agenda of regional expansion in Central Maluku district is dominant to influence policy makers in determining the direction of a policy on the decision, of course, it happens through a pattern of interaction or orientation undertaken by actors or interest groups in the achievement of the desired goals. Policy makers in both the executive and legislative branches or groups who contribute to the process of policy formulation in anything, in order to put forward the public interest rather than the interests of individuals and groups so that what the government agenda which has been included in the concept of the Law No. 32 Year 2004 can be achieved. Keywords: Role of Actors, Policies and District Expansion ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan peren aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, serta pola hubungan interaksi atau orientasi dari para aktor tersebut dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Deskriptif-Kualitatif dengan menggunakan dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu menganalisis semua data yang berhasil dikumpulkan penulis melalui wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran aktor dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah sangat dominan untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam menentukan arah suatu kebijakan itu di putuskan, tentunya hal itu terjadi melalui suatu pola hubungan interaksi atau orientasi yang di lakukan oleh para aktor atau kelompok-kelompok kepentingan dalam pencapaian suatu tujuan yang di inginkan. Para pembuat kebijakan baik eksekutif maupun legislatif ataupun kelompok-kelompok yang turut serta dalam proses perumusan kebijakan dalam hal apa saja, agar lebih mengedepankan kepentingan publik dari pada kepentingan individu maupun kelompok sehingga apa yang menjadi agenda pemerintah yang telah termuat dalam konsep UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat dicapai. Kata kunci: Peran Aktor, Kebijakan dan Pemekaran Wilayah
35
Vol. III No.1 April 2013 A. PENDAHULUAN Reformasi adalah suatu usaha yang dimaksud agar praktik-praktik politik yang dianggap oleh masyarakat tidak sesuai dan tidak selaras dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat diubah atau ditata ulang agar menjadi lebih sesuai dan lebih selaras. Dimasa transisi sekarang ini, maraknya pemekaran wilayah disebabkan karena faktor peluang (faktorfaktor di Pusat) yang memang terbuka lebar khususnya oleh kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah reformasi. Peluang ini kemudian ditangkap dan dimanfaatkan oleh daerah dan elit-elit daerah. Kebijakan pemekaran wilayah atau pembentukan daerah baru (desentralisasi teritorial) bukanlah sesuatu yang baru karena selalu di buka peluangnya dalam perundang-undangan Pemerintahan Daerah sejak zaman Presiden Soekarno hingga sekarang. Ditengah-tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, peluang-peluang tersebut dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 4-8, pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan: pembentukan daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Terkait dengan Undangundang tersebut, maka Pemerintah juga melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang “tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah�. Pemekaran wilayah dimasa reformasi terjadi disebabkan oleh lemahnya Pemerintah Pusat dan menguatnya Pemerintah Daerah (local power) hal ini dipandang dari kepentingan daerah adalah peluang untuk mengajukan tuntutan atau aspirasi terhadap Negara. Karena Pemerintahan Pusat yang lemah maka lemah pula dalam menghadapai tekanantekanan dari daerah, elit-elit lokal serta massa bergerak (mobs) namun hal ini bukanlah suatu alasan pembenar atas begitu banyaknya proposal pemekaran dari daerah-daerah yang ujung-ujungnya diloloskan oleh Pusat. Hal ini
dikarenakan para aktor Negara juga mempunyai agenda tersembunyi (hidden agenda), para politisi dan partai politik tertentu merasa diuntungkan dengan adanya pemekaran wilayah yaitu bertambahnya daerah pemilihan dan merebut posisi-posisi sentral di daerah baru tersebut. Disamping itu para politisi dan partai politik tersebut (plus para aktor-aktor di Depdagri/DPOD) dicurigai menerima pelicin atau uang gratifikasi dari elit-elit daerah pengusung proposal pemekaran. Sehingga pemekaran wilayah benar-benar merupakan industri atau bisnis yang mendatangkan banyak keuntungan dan investasi untuk masa depan dari para aktor pelakunya. Artinya, tujuan-tujuan pragmatis sangat dominan dalam pemekaran wilayah di Indonesia era reformasi, dan sebaliknya kepen-tingan publik dalam pemekaran hanya sebagai tumpangan atau antara bagi aktor-aktor dalam mencapai self-interest mereka yang sesungguhnya. Sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dalam melaksanakan kewenangan untuk mengatur, Pemerintah Daerah dan DPRD perlu merumuskan kebijakan publik. Berdasarkan Undang-undang, proses perumusan kebijakan publik dilakukan oleh Pemerintahan Daerah dan DPRD dimana dalam proses tersebut akan terjadi interaksi antara masyarakat dengan penyelenggara Pemerintahan Daerah dan antara instansi penyelenggara Pemerintahan Daerah (Madani, 2011:5). Proses tawar menawar yang terjadi antara aktor pembuat kebijakan dengan Secara teoritis, biasanya suatu masalah sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan, masalah tersebut menjadi isu terlebih dahulu. Isu ini akan menjadi embrio awal bagi munculnya masalah-masalah publik dan bila masalah tersebut mendapat perhatian yang memadai, maka ia akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Sebuah isu atau permasalahan dimulai dari adanya problem isu di tengah-tengah masyarakat. Problem isu ini berawal dari isu yang kecil dan lama-kelamaan mendapat tanggapan dari masyarakat luas, sehingga isu
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
36
Vol. III No.1 April 2013 menjadi sebuah pembicaraan di tengahtengah masyarakat dan menjadi isu publik. Setelah menjadi isu publik, maka tentunya isu ini akan diakomodir oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ada untuk disampaikan kepada pembuat kebijakan di daerah untuk menjadi pembahasan bersama. Pembahasan yang terjadi antara pembuat kebijakan (DPRD dan Pemda) tentang isu yang disampaikan oleh kelompok-kelompok kepentingan tadi yang menjadi isu agenda. Proses penyusunan kebijakan merupakan suatu rangkaian aktivitas yang tidak terpisahkan dari sebuah proses kebijakan, artinya suatu aktivitas yang berlangsung secara simultan. Namun apabila dikaji secara mendalam baik dari sisi teoritik maupun praktis, maka penyusunan kebijakan merupakan suatu aktivitas yang tidak dapat dipisahkan. Studi kebijakan publik secara umum dapat dikaji dalam berbagai pentahapan yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dan analisis kebijakan. Pada tahapan formulasi kebijakan biasanya didahului oleh beberapa aktivitas di antaranya identifikasi masalah atau isu menjadi masalah kemudian langkah penyusunan agenda (Madani, 2011:6). Selanjutnya dilihat dari prosedur pemekaran, menurut penulis, studi kelayakan daerah pemekaran oleh Pemerintahan Daerah pengusul sebaiknya direvisi supaya lebih objektif. Penelitian dan penyusunan proposal pemekaran haruslah dilakukan oleh tim ahli yang dapat dipercaya (kredibel) dan independen dari multi stakeholder daerah, provinsi dan pusat. Disamping itu DPOD (Mendagri, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM dan lain-lain) serta tim teknis perlu dibongkar dan digantikan dengan para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Ini untuk mengubah domain pemekaran dari wilayah politik dan lobi-lobi, menjadi domain publik yang netral dan rasional yang dijauhkan dari “politik dagang sapi” dan konspirasi antar relit daerah dengan elit pusat. Menurut prakarsa sendiri, ditinjau dari dinamika politik lokal yang berlangsung di wilayah Kabupaten Maluku Tengah tentang pemekaran wilayah baik Kabupaten maupun
Kecamatan belum sesuai dengan ketentuan perundang-perundangan. Hal ini penulis temui pada tahun 2007, untuk membentuk satu kabupaten baru maka dibutuhkan 5 (lima) kecamatan sebagai syarat fisik. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 5 ayat 5 bahwa “syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk membentuk provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Sementara itu semua dusun yang berada di desa Horale, Gale-gale dan Lisabata Timur di Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah “disulap” menjadi desa untuk menjadi persyaratan pembentukan Kecamatan baru yaitu Kecamatan Seram Utara Barat yang pada akhirnya juga menjadi persyaratan untuk membentuk satu Kabupaten baru. Dari penjelasan diatas, tergambar jelas bahwa tingginya keinginan dari aktor-aktor lokal yang berada di Kabupaten Maluku Tengah untuk merebut posisi-posisi sentral pada daerah pemekaran tersebut. Akal-akalan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah dengan mempercepat pemekaran kecamatan sebagai persiapan pembentukan kabupaten baru (Kabupaten Pantura) menurut penulis ini adalah suatu bentuk penyimpangan sebab pembentukan atau pemekaran kecamatan yang terjadi di Maluku Tengah saat ini adalah karena kuatnya tekanan dari para aktor politik dan sematamata hanya untuk menutupi salah satu persyaratan saja, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti yang telah kita ketahui tujuan dari pemekaran itu sendiri. Sementara itu minimnya sumber daya manusia di Kabupaten Maluku Tengah juga sangat berpengaruh pada siap tidaknya masyarakat dalam menjemput “arus besar” pemekaran wilayah. Penulis tertarik meneliti terhadap persoalan di atas dengan harapan hasil penelitian dapat memberikan hasil dan berguna bagi Kabupaten Maluku Utara.
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
37
Vol. III No.1 April 2013 B. KERANGKA TEORIS Peran aktor dalam membahas pemeran serta atau aktor-aktor dalam proses perumusan kebijakan, ada perbedaan yang cukup penting yang perlu diperhatikan antara negara maju dengan negara berkembang. Di negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan negara-negara maju. Kecenderungan struktur pembuatan keputusan di negara-negara maju adalah lebih kompleks karena kualitas hidup sudah menjadi isu utama dalam pembuatan kebijakan. Pembahasan mengenai siapa yang terlibat dalam proses kebijakan publik menurut Anderson (1979), Lindblom (1980) maupun Lester dan Joseph Stewart, Jr (2000) bahwa “aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses kebijakan publik dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi (inside of government) dan para pemeran serta tidak resmi (ourside of government). Yang termasuk ke dalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif ), legislatif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan (interest group), partai politik dan warga negara individu. Namun menurut Moore (dalam Badjuri dan Yuwono, 2003:24) bahwa “secara umum aktor ini dapat dikelompokkan dalam tiga domain utama yaitu aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil society)�. Ketiga aktor ini saling berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan publik. Secara lebih makro konsep Anderson (1984) adalah diungkap bahwa aktor kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai konsem terhadap kebijakan. Mereka dapat terdiri dari aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa makna aktor dalam kaitannya dengan kebijakan publik selalu terkait dengan pelaku dan penentu terhadap suatu kebijakan yang
berinteraksi dan melakukan interrelasi di dalam setiap tahap proses kebija-kan publik. Merekalah pada dasarnya yang menentukan pola dan distribusi kebijakan yang akan di lakukan oleh birokrasi yang di dalam proses interaksi dan interrelasinya cenderung bersifat konfliktif dibandingkan dengan sifatnya yang harmoni dalam proses itu sendiri. Anderson menegaskan bahwa proses bargaining dapat terjadi dalam tiga bentuknya yaitu negosiasi (negotitation), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise). Sesungguhnya penjelasan bargaining berakar pada istilah bahwa jika terdapat dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang masing-masing memiliki kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan penyesuaian (sharing) yang diharapkan dapat terbangun dalam sistem pembahasannya. Dengan demikian negosiasi menjadi langkah awal untuk membentuk opini dan mengarahkan aktor untuk melakukan langkah negosiasi. Setelah proses negosiasi antaraktor terjadi dalam posisi yang berbeda diantara aktor, maka prinsip saling memberikan dan meneri-ma kemudian mewarnai proses pengambilan kebijakan yang di bahas dalam forum aktor yang terlibat. Pada akhirnya proses itu akan berjuang pada proses kompromistik dimana masing-masing aktor saling melakukan penyesuaian dengan konsep atau ide aktor yang lainnya sehingga dapat di putuskan kebijakannya. Sementara itu proses pengambilan kebijakan publik dengan menempatkan adanya pola hierarki yang berlaku antara aktor satu dengan aktor yang lain disebut sebagai pengarahan (commanding) (Anderson, 1984). Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model ini adalah berkaitan dengan pola perumusan kebijakan yan sangat struktural, dimana satu kelompok aktor menjadi superornidat dan kelompok yang lain tentu saja menjadi subornidat. Penyusunan agenda (agenda setting) adalah suatu proses yang meliputi suatu rangkaian tindakan dan strategi dalam mana isu tertentu menjadi pusat perhatian bagi masyarakat. Penyusunan agenda (agenda setting) adalah
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
38
Vol. III No.1 April 2013 tahap awal dari suatu proses kebijakan publik. Meskipun merupakan tahap awal, tetapi kegiatan penyusunan agenda adalah kegiatan yang sulit karena meliputi pengenalan masalah yang benar. Hal ini dikarenakan pembuat kebijakan tidak selalu berhadapan dengan masalah yang akan dipecahkannya (melalui kebijakan yang akan diputuskannya). Meskipun terkadang pembuat kebijakan sudah menemukan "masalah", tetapi belum tentu "masalah" itulah yang pali-ng urgen dan dituntut oleh publik untuk dipecahkan Charles O. Jones dalam bukunya "An Introduction to the Study of Public Policy" (Third Edition) menyadari dan mengilustrasikan betapa pengambil kebijakan dihadapkan pada kondisi sulit dalam penyusunan agenda dikarenakan kompleksitas masalah yang akan ditangani dengan kalimat menarik sebagai berikut: Masalah dapat timbul dari peristiwaperistiwa penting apa saja; sebagian diamati dan diambil tindakan oleh pembuat kebijakan, dan banyak lagi yang dibiarkan saja (Jones, 1984: 76). Untuk memahami seluk beluk penyusunan agenda (agenda setting), maka menurut Hoppe dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1969, "Agenda adalah sebuah istilah tentang pola-pola tindakan pemerintahan yang spesifik sifatnya, terutama dalam tahapan awal perkembangan suatu kebijakan. Agenda bisa diartikan sebagai analisis tentang bagaimana suatu problem dikembangkan, didefinisikan, dan diformulasikan cara-cara untuk pemecahannya" (Hoppe, 1969; dan Jones, 1984). Kegiatan membuat masalah publik (public problems) menjadi masalah kebijakan (policy problems) sering disebut dengan penyusunan agenda (agenda setting). Dengan demikian, agenda kebijakan akan memuat masalah kebijakan yang perlu direspons oleh sistem politik yang bersumber dari lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan awal proses perumusan kebijakan publik (public policy formulation) diawali dengan kegiatan penyusunan agenda (agenda setting). Proses penyusunan agenda kebijakan (policy agenda) menurut Anderson dalam Lembaga Administrasi Negara (2002:10) secara runtut terdiri
atas: masalah pribadi (private problems), masalah publik (public problems) dan isu (issues). Kebijakan berasal dari bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata kebijaksanaan maupun kebajikan, sedangkan menurut pengertian kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh prilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya. Menurut Anderson (1984:3) memberikan pengertian atas defenisi kebijakan adalah serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan. Maka dalam kebijakan harus mempunyai penyusunan agenda dimana penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Sejalan dengan perkembangan studi yang makin maju, Dunn (1980) mengaitkan pengertian kebijakan dengan analisis kebijakan yang merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Di sini dia melihat ilmu kebijakan sebagai perkembangan lebih lanjut dari ilmu-ilmu sosial yang sudah ada. Metodologi yang dipakai bersifat multidisiplin. Hal ini berhubungan dengan kondisi masyarakat yang bersifat kompleks dan tidak memungkinkan pemisahan satu aspek dengan aspek lain Pemekaran Daerah bila dicermati ulang agaknya sedikit membingungkan dan terbalik dengan pemahaman kita selama ini. Pengertian pemekaran dearah dapat diartikan memekarnya atau mengembangnya suatu daerah menjadi lebih luas. Sedangkan makna pemekaran daerah, sebagimana sudah dipahami umum saat ini, adalah terbaginnya daerah otonom Provinsi, Kabupaten/Kota menjadi beberapa daerah otonom baru (Ratnawati, 2006:331). Secara yuridis formal, UU No. 32 Tahun 2004 sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 129 Tahun 2000 yang di revisi menjadi
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
39
Vol. III No.1 April 2013 PP No.78 tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah saat ini PP No. 129 Tahun 2000 sedang dalam proses penyelesaian revisi menjadi PP No. 78 tahun 2007 merupakan rujukan hukum pemekaran wilayah dari tahun 1999 hingga sekarang. Bias politis-pragmatis dalam pemekaran wilayah yang selama ini sering terjadi perlu segera dikoreksi supaya labih netral, rasional dan akuntabel. Sebab, keberhasilan atau kegagalan deareh-daerah pemekaran adalah juga merupakan keberhasilan atau kegagalan Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR). Kedua lembaga inilah yang merupakan instansi terakhir yang menyetujui berdirinya daerahdaerah pemekaran. Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder. Untuk itu, dengan memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahami berbagai aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan konteks aktor adalah sangat terkait dengan macam dan tipologi yang akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah kebijakan publik, maka aktor yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi dan kelompok diluar birokrasi.
adalah pemerintahan daerah serta elemenelemen tertentu yang mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah. Penelitian ini dasarkan pada penelitian survey dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif, yakni suatu penelitian yang pengumpulan data utama dilakukan di lapangan dan selanjutnya berusaha mendeskripsikan temuan-temuan atau faktorfaktor penelitien secara apa adanya. Penelitian ini menggunakan informal dengan sampel informan : Pemda Kabupaten Maluku Tengah, DPRD Kabupaten Maluku Tengah, Partai Politik, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama. Data yang telah dikumpulkan salanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan cara pengelompokan data atau mengkategorisasikan data, yaitu data yang ada ditabulasi dengan memberikan bobot presentasi dan selanjutnya diinterpretasikan dengan memberikan uraian secara deskriptif sesuai dengan fakta atau keadaan lokasi penelitian. D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Maluku Tengah dengan objek penelitian adalah pemerintahan daerah serta elemen-elemen tertentu yang mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah. Penelitian ini dasarkan pada penelitian survey dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif, yakni suatu penelitian yang pengumpulan data utama dilakukan di lapangan dan selanjutnya berusaha mendeskripsikan temuan-temuan atau faktor-faktor penelitien secara apa adanya. Penelitian ini menggunakan informal dengan sampel informan : Pemda Kabupaten Maluku Tengah, DPRD Kabupaten Maluku Tengah, Partai Politik, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama. Data yang telah dikumpulkan salanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan cara pengelompokan data atau mengkategorisasikan data, yaitu data yang ada ditabulasi C. METODE PENELITIAN dengan memberikan bobot presentasi dan selanjutnya diinterpretasikan dengan memPenelitian ini dilaksanakan di Kabupaten berikan uraian secara deskriptif sesuai Maluku Tengah dengan objek penelitian dengan fakta atau keadaan lokasi penelitian. Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
40
Vol. III No.1 April 2013 E. HASIL DAN PEMBAHASAN Peran Aktor Dalam Penyusunan Agenda Kebijakan Pemekaran Wilayah Proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran yang berlangsung di Kabupaten Maluku Tengah merupakan suatu proses untuk meningkatkan upaya Pemerintah dalam menentukan suatu permasalahan sehingga dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa di Negara Indonesia pengeruh aktor dalam proses penyusunan agenda kebijakan baik di Pemerintahan Pusat maupun Daerah sangatlah besar, begitu pula yang terjadi pada Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah yang sistem kekerabatannya masih terpelihara dengan baik hingga sekarang dan sistem ini pula yang telah memberikan peluang tersendiri bagi kelompok-kelompok tertentu untuk membangun relasi dengan para pemangku kekuasaan yang memanfaatkan kewenangannya dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. Aktor-aktor yang berperan dalam proses tersebut di Kabupaten Maluku Tengah sangat berpariasi yaitu dari kalangan formal maupun non formal yang semuanya itu mempunyai pengaruh masing-masing dalam menentukan arah kabijakan tersebut. Aktor formal dalam hal ini Eksekutif dan Legislatif memiliki obsesi tersendiri ketika suatu isu pemekaran yang telah masuk kedalam penyusunan agenda di respon baik dan senantiasa di perjuangkan oleh para aktor non formal sehingga mudah bagi Pemerintahan Daerah dan DPRD dalam mempercepat proses pemekaran dan di tetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah. Proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah yang berlangsung di Kabupaten Maluku Tengah juga mengedepankan nilai-nilai adat istiadat dan budaya dari suatu wilayah yang dijadikan target dalam proses tersebut sebab mayoritas masyarakat di Kabupaten Maluku Tengah mempunyai adat istiadat dan budaya yang berbeda-beda di antara sekelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Salah satu alasan yang
paling mendasar sehingga hal itu di perhatikan oleh Pemerintahan Daerah adalah karena di Kabupaten Maluku Tengah sistem Pemerintahan Desa (Negeri) dipimpin oleh seorang kepala desa yang pada masyarakat Kabupaten Maluku Tengah disebut dengan istilah Raja. Selain itu dapat dilihat pula besarnya peran aktor dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten Maluku Tengah melalui terbentuknya beberapa Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Seram Utara dan Kecamatan Tehoru dan telah ditetapkan aturannya berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pembentukan Kecamatan Telutih, Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 09 Tahun 2010 tentang Pembentukan Kecamatan Seram Utara Timur Seti, dan Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pembentukan Kecamatan Seram Utara Timur Kobi. 1. Pemerintah Daerah (Eksekutif) Jantung dari proses demokrasi adalah pengelolaan proses perumusan kebijakan publik. Dalam demokrasi, setidaknya penyelenggaraan pemerintahan harus dilihat dari sejauh mana kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah mendapatkan kerelaan dari masyarakat, sebab kalau pun tidak mendapatkan dukungan bulat dari masyarakat maka paktik politik dalam sistem demokrasi bukan lagi kembali kepada masyarakat tapi kepada pihak-pihak tertentu saja. Dalam proses tersebut ketika suatu isu tentang pemekaran mulai muncul ke permukaan maka Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tangah membentuk suatu tim yang diangkat berdasarkan pendekatan-pendekatan persuasif atau kesamaan marga dari Kepala-kepala Bagian yang memiliki tujuan yang sama dalam memperjuangkan isu pemekaran. Tim tersebut senantiasa mengikuti perkembangan isu serta membangun relasi dengan para Raja-raja dalam hal penentuan wilayah yang dijadikan target pemekaran sehingga isu pemekaran dapat masuk ke dalam penyusunan agenda kebija-
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
41
Vol. III No.1 April 2013 kan melalui penguatan kerja sama tim dengan para raja. Tak lupa penulis sampaikan hasil temuan di lokasi penelitian bahwa fenomena politik yang berlangsung di Kabupaten Maluku Tengah sangat kental dengan sistem kekeluargaan sehingga dalam penentuan kepala-kepala bagian sistem inilah yang di gunakan. Peran pemerintah daerah (birokrasi) di Kabupaten maluku Tengah dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran sangat dominan sebab mereka bersama DPRD melakukan rancangan terhadap peraturan daerah terkait pemekaran kecamatan. Namun hal ini bukan menjadi suatu kewenangan penuh bagi mereka untuk menentukan arah dari kebijakan tersebut, banyak pertimbangan-pertibangan yang harus dilihat dari kalangan aktor baik itu DPRD maupun kelompok-kelompok penekan lainnya. Berikut wawancara penulis dengan salah satu kepala bagian di Kabupaten Maluku Tengah. Hasil wawancara penulis dengan Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah mengenai peran pemerintah daerah (birokrasi) dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. “Mengenai peran pemerintah daerah (birokrasi) terkait proses perumusan kebijakan pemekaran baik negeri maupun kecamatan sangat dominan namun tidak harus menyampingkan orang-orang diluar birokrasi, sebab merekalah sebagai penggagas suatu isu tentang pemekaran dan birokrasi hanya menjalankannya sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku� (Wawancara ASO, 7 Agustus 2012). Olehnya itu dalam proses tersebut sangat di harapkan keterlibatan masyarakat sehingga apa yang menjadi keluhan dan kebutuhan vital dari masyarakat dapat di lihat sebelum kebijakan pemekaran di tetapkan. Hal ini tentunya telah di atur dalam UUD RI 1945 pasal 27 yaitu setiap orang berkedudukan yang sama dalam pemerintahan dengan tidak terkecualinya. Secara teoritis dapat dilihat pula pendapat Holl (1966) bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah
untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hasil wawancara penulis dengan kepala PU terkait partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. “Terkait dengan hal tersebut, suatu proses perumusan agenda kebijakan itu ada yang dari Eksekutif, ada juga Hak inisiatif dari Legislatif. Dengan proses ini maka masyarakat tidak dilibatkan secara langsung hingga sampai dengan dikeluarkannya sebuah kebijakan. Jadi keterlibatan masyarakat hanya berada pada saat kebijakan tersebut di sosialisasikan� (Hasil Wawancara, YP, 8 Agustus 2012) 2. DPRD (Legislatif) DPRD (Legislatif) adalah salah satu lembaga yang memiliki fungsi untuk merancang aturan atau perda, salah satu fungsi legislatif ini telah menunjukan bahwa peran DPRD dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan wilayah sangat dominan baik itu pada saat munculnya isu hingga isu tersebut dapat masuk ke dalam penyusunan agenda kebijakan maupun sampai pada tahapan penetapan suatu agenda kebijakan dalam bentuk perda. Selain itu hak inisiatif yang dimiliki oleh DPRD juga memberikan peluang tersendiri untuk lebih meningkatkan peranannya dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. Peluang-peluang tersebut dimaksimalkan oleh para anggota dewan dalam konteks formulasi kebijakan yang pada intinya memiliki orientasi tujuan jangka panjang pada daerah yang akan dimekarkan. Hal ini dapat dilihat dari orientasi partai politik yang telah mengusungnya atau dari kalangan kelompokkelompok kepentingan yang memiliki kesamaan tujuan sehingga pemekaran betulbetul dijadikan sebagai lahan bisnis bagi oknbum-oknum yang terlibat secara langsung dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah. Hasil wawancara penulis dengan ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah terkait
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
42
Vol. III No.1 April 2013 peran DPRD dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. “Peran DPRD dalam proses tersebut sangat maksimal, sebab tampa mereka suatu isu terkait pemekaran tidak dapat di tetapkan dalam bentuk peraturan daerah (perda) seperti yang telah kami lakukan pada tahun 2010 lalu terkait dengan persoalan pemekaran. Perkembangan isu pemekaran yang muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai akibat dari adanya masalah yang dirasakan oleh masyarakat terkait kurang optimalnya fungsi pelayanan sehingga pada tahun tersebut kami menetapkan peraturan daerah tentang pemekaran tiga (3) kecamatan dengan nomor yang berbeda” (Wawancara AM, 8 Agustus 2012) Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka menurut analisis penulis Hasil wawancara penulis dengan anggota DPRD terkait peran oknum-oknum politik yang terlibat secara langsung dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten Maluku Tengah. “Ketika suatu isu pemekaran itu muncul maka oknum-oknum politik yang ada di daerah mulai memainkan perannya masing-masing di antaranya oknum-oknum dari birokrasi, DPRD, partai politik dan juga oknum-oknum politik lainnya baik secara individu maupun kelompok yang pada gilirannya sama-sama memiliki kepentingan dalam meloloskan isu tersebut sehingga pemekaran wilayah benar-benar terlaksana” (Wawancara RL, 8 Agustus 2012) 3. Partai Politik Di Kabupaten Maluku Tengah, pengaruh peran serta Pertai Politik dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah dapat dilihat dari sejauh mana suatu isu terkait pemekaran wilayah di perjuangkan hingga sampai pada tahapan penyusunan agenda. Orientasi Partai Politik dalam hal ini sangat didukung oleh eksekutif sebab mereka sama-sama memiliki tujuan yang sangat besar ketika isu terkait pemekaran ini dapat melewati proses penyusunan agenda hingga ditetapkan dalam bentuk Perda.
Hasil wawancara penulis dengan Sekretaris Partai Golkar terkait peran partai politik dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. “Sebuah rumusan kebijakan itu bukanlah persoalan yang mudah bagi para pembuat kebijakan. Olehnya itu, peran serta partai politik dalam proses tersebut sangat di butuhkan, artinya suatu peluang emas bagi partai politik untuk memainkan perannya dalam memperjuangkan kepentingannya pada wilayah yang dijadikan target pemekaran” (Wawancara AN, 13 Agustus 2012) Keberlangsungan proses tersebut tidak terlepas dari semakin besarnya tekanan partai politik untuk menyukseskan dan mempercepat proses pemekaran sebab sangat mudah bagi parati politik untuk melakukan perekrutan anggota maupun massa pada wilayahwilayah pemekaran sehingga obsesi mereka ketika terjadi momen-momen politik (Pilkada) dapat dimaksimalkan untuk menguasai wilayah pemekaran tersebut. Senada dengan pemaparan tersebut maka menurut Gabriel Almond yang mengemukakan bahwa ada dua elemen penting dalam proses pembuatan dan penerapan kebijakan, yaitu kelompok kepentingan (interest group) dan partai politik. Hal itu semakin mempertegas akan besarnya peranan partai politik dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan di Indonesia. Hasil wawancara penulis dengan sekretaris partai PKS terkait orientasi pertai politik dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. “Pada umumnya partai politik mempunyai posisi yang sangat strategis dalam proses penyusunan agenda kebijakan baik itu kebijakan pemekaran maupun kebijakankebijakan lainnya. Terkait persoalan ini maka orientasi partai politik sangat berpangaruh dalam menentukan arah suatu kebijakan sebab mereka menggunakan semua jalur untuk memuluskan maksud dan tujuan mereka baik melalui jalur Birokrasi maupun melalui jalur politik” (Wawancara AT, 13.Agustus 2012).
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
43
Vol. III No.1 April 2013 4. Tokoh Masyarakat Sebagai suatu proses yang menentukan kemaslahatan hidup bersama, konsep penyusunan agenda kebijakan bukanlah proses yang di anggap dapat mewujudkan tujuan kelompok atau golongan tertentu saja melainkan sebaliknya kepentingan publiklah yang harus di kedepankan. Olehnya itu pada tataran proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah yang berlangsung di Kabupaten Maluku Tengah sesuai dengan teorinya maka sedah menjadi suatu kepastian bagi masyarakat Kebupaten Maluku Tengah untuk turut berpatisipasi atau memainkan perannya dalam proses tersebut sehingga apa yang menjadi kendala bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan roda organisasinya dapat dilihat dan diatasi. Persoalan ini menurut penulis tentunya dengan cara melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses penyusunan agenda kebijakan tersebut bukan sebaliknya masyarakat di marginal. Terkait dengan keterlibatan masyarakat dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan maka di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab VI tentang Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Pasal 139 ayat 1 menegaskan bahwa: “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan peraturan daerah yang bersangkutan”. Namun pada penerapannya dilapangan partisipasi masyarakat dalam proses ini adalah hal yang cukup mengakhawatirkan sebab masyarakat sendiri masih menyadari bahwa keterlibatan mereka dalam perumusan kebijakan itu masih semu, karena masyarakat merasa tidak pada semua tahapan perumusan kebijakan tersebut masyarakat hanya dilibatkan pada tahapantahapan tertentu saja. Selanjutnya hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat terkait peran atau partisipasi tokoh masyarakat dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. “Dalam proses perumusan agenda kebijakan, partisipasi masyarakat hanya berada pada saat sosialisasi saja, dimana pemerintah daerah meminta pendapat dari masyarakat terlebih
dahulu melalui orang-orang tertentu tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat sehingga dapat di pertimbangkan dalam proses tersebut” (Wawancara AS, 9 Agustus 2012) 5. Tokoh Pemuda Peran serta tokoh pemuda yang berada di Kabupaten Maluku tengah dalam memperjuangkan suatu isu hanya sampai pada tahapan penyusunan agenda namun tidak diberi kesempatan untuk ikut serta terlibat secara langsung dalam proses perumusannya hingga sampai pada kebijakan tersebut di tetapkan. Dalam proses tersebut, hanya orang-orang terpilih sajalah yang memiliki keterlibatan secara langsung dan posisi tokoh pemuda dalam proses tersebut hanya sampai pada tahapan-tahapan tertentu saja. Kondisi tersebut menurut penulis sangat dikhawatirkan sebab di kabupaten Maluku tengah tidak adanya keterlibatan masyarakat dan kurang peran para tokoh-tokoh dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah sehingga pemekaran wilayah sudah tentu menjadi lahan bisnis yang banyak mendatangkan keuntungan bagi para aktor-aktor daerah yang terlibat dalam proses tersebut. Hasil wawancara penulis dengan tokoh pemuda terkait peran tokoh pemuda dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kabupaten Maluku tengah. “Pada prinsipnya proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran harus melihat persoalan-persoalan apa yang dialami oleh masyarakat dan juga aspirasi dari masyarakat sebab ketika kebijakan tersebut di tetapkan maka sudah menjadi suatu keharusan untuk masyarakat dalam menikmatinya tanpa harus melihat sejauhmana keberpihakan kebijakan tersebut. Tokoh pemuda dalam hal ini sangat di harapkan keterlibatanya namun hanya sampai pada tahapan-tahapan tertentu saja dan selanjutnya aktor-aktor daerah keuntungannya masing-masing” (Wawancara AM, 9 Agustus 2012). 6. Tokoh Agama Proses penyusunan agenda kebijakan pemekara wilayah sebagaimana dimaksud
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
44
Vol. III No.1 April 2013 dalam pertanyaan diatas maka tokoh agama di Kabupaten Maluku Tengah tidak pernah diikutsertakan dalam proses tersebut baik itu dari munculnya suatu isu hingga sampai pada penetapan suatu kebijakan. Tokoh agama bagi pemerintah daerah kabupaten Maluku tengah sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan aktivis daerah terkait keterlibatan tokoh agama dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. “Dalam setiap proses perumusan kebijakan baik itu dari munculnya suatu isu sampai pada tahapan penyusunan agenda, tokoh agama tidak pernah dilibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses tersebut sebab para aktor kebijakan menganggap bahwa tokoh agama tidak memiliki kapasitas terkait dengan proses yang dimaksut� (Wawancara MS, 9 Agustus 2012)
Dari matriks diatas maka, indikator dari sangat dominannya kelompok aktor yang satu dengan yang lainnya adalah sebagai barikut: a. Tingkat kemampuan individu/kelompok terhadap percepatan proses pemekaran wilayah kecamatan di Kabupaten Maluku tengah. b. Dalam proses perumusan kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, budaya paternalistik lebih dikedepankan. c. Tidak adanya komunikasi yang baik antara kelompok yang terlibat dengan kelompok yang tidak terlibat. Pola Hubungan Interaksi Antara Aktor Dalam Proses Penyusunan Agenda Kebijakan Pemekaran Wilayah
1. Aktor Negara Di Kabupaten Maluku Tengah proses inteDari uraian diatas maka matriks yang da- raksi yang terjalin antara pemerintah daerah pat penulis gambarkan terkait peran aktor dengan DPRD dalam suatu tahapan penyudalam penyusunan agenda kebijakan peme- sunan agenda kebijakan pemekaran wilayah karan wilayah kabupaten Maluku tengah terjadi terutama adalah dalam bentuk kerja adalah sebagai barikut: sama. Hal ini dapat dilihat dari adanya kesadaran akan kepentingan dan tujuan bersama Tabel No. 1 Matriks Peran Aktor pada wilayah yang di jadikan target pelakDalam Penyusunan Agenda Kebijakan Pemekaran sanaan pemekaran. Interaksi dalam bentuk Wilayah Di Kabupaten Maluku Tengah inilah yang selalu dibangun oleh kedua lembaga tersebut dalam rangka mempercepat Efektivitas Peran proses penyusunan agenda kebijakan N o. Kelompok Aktor SD D KD TD pemekaran hingga ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah. 1. Pemerintah Daerah P Hasil wawancara penulis dengan Kepala 2. DPRD P Bagian Pemerintahan mengenai pola hubungan interaksi antara aktor Negara dalam proses 3. Partai Politik P penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. 4. Tokoh Masyarakat P “Pola interaksinya sangat kooperatif, 5. Tokoh Pemuda P artinya suatu bentuk kerja sama yang baik di bangun oleh pemerintah daerah dengan DPRD 6. Tokoh Agama P menyangkut penyusunan agenda kebijakan pemekaran yang pada intinya kedua aktor Sumber: Analisis hasil wawancara 2012 tersebut juga sama-sama memiliki obsesi untuk menguasai wilayah tersebut. Salah satu Keterangan: tujuannya adalah dengan bertambahnya suatu SD : Sangat Dominan wilayah maka bertambah pula daerah pemilihan D : Dominan yang sudah tentu daerah tersebut menjadi KD : Kurang Dominan TD : Tidak Dominan daerah kekuasaan bagi para aktor yang memiliki Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
45
Vol. III No.1 April 2013 andil terbesar dalam proses penyusunan agenda kebijakan hingga sampai pada penetapannya dalam bentuk aturan (perda)” (Wawancara, ASO, 7 Agustus 2012). Hasil wawancara penulis dengan ketua DPRD mengenai interaksi antara aktor dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kabupaten Maluku tengah. “Pada prinsipnya suatu isu terkait pemekaran wilayah sebelum masuk ke dalam penyusunan agenda isu tersebut harus bersaing dengan isu-isu yang lainnya. Ketika isu terkait pemekaran itu yang dianggap urgen maka isu tersebut memasuki tahapan selanjutnya. Sementara dalam proses tersebut, interaksi diantara para aktor juga tidak pernah lepas dari masuknya isu terkait pemekaran sebab dengan adanya komunikasi diantara para aktor inilah sebesar apapun kendalanya namun pemekaran tetap dilaksanakan” (Wawanvara AM, 8 Agustus 2012) 2. Aktor Non-Negara Di Kabupaten Maluku Tengah, kebijakan pemekaran wilayah hanya dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu saja, masyarakatlah yang lebih banyak merasakan dampak negatif dari penerapan kebijakan pemekaran wilayah tersebut. Berikut hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat mengenai pola interaksi anrata aktor non-Negara dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di kabupaten Maluku tengah. “Terjadinya pemekaran maka terbuka pula peluang. Interaksi diantara para pemegang kendali dalam proses perumusan kebijakan itu sudah pasti ada, namun kami sangat merasa disampingkan oleh pemerintah daerah maupun DPRD dalam proses tersebut. Artinya kami tidak diberi ruang untuk melakukan komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung padahal dalam kerangka teori kebijakan pemerintah dengan DPRD haruslah mendengar keluhan rakyat sebab tujuan utama dari pemekaran adalah kesejahteraan rakyat” (Wawancara AS, 9 Agustus 2012).
yang terjadi di lokasi penelitian adalah bahwa ternyata minimnya partisipasi aktor nonNegara dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Maluku Tengah menyebabkan keberpihakan kebijakan pemekasran tersebut mutlak untuk kepentingan para aktor Negara. Jadi menurut penulis sangat disayangkan bagi masyarakat di Kabupaten Maluku Tengah bahwa yang seharusnya kue pemekaran tersebut dicicipi oleh masyarakat sehingga tujuan dari pemekaran itu benar-benar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. E
KESIMPULAN
Dalam suatu proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan yang berlangsung di Kabupaten Maluku Tengah tidak dapat dilepas-pisahkan dari peran serta para aktor kebijakan atau kelompok-kelompok kepantingan dalam memperjuangkan aspirasi dari masyarakat berupa isu-isu yang telah didesain sedemikian rupa demi suatu tujuan bersama. Keterlibatan aktor atau kelompokkelompok kepentingan dalam proses penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah sesungguhnya sangat diharapkan oleh para pembuat kebijakan sebab ketika terjadi kemandekan ide atau gagasan dari para pembuat kebijakan, maka para aktor dan kelompok-kelompok inilah yang senantiasa mempresur mereka sehingga proses tersebut dapat sampai pada suatu agenda kebijakan yang mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi mereka-mereka yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Pola hubungan interaksi atau orientasi dari para aktor atau kelompok-kelompok kepentingan dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah dapat dilihat melalui suatu bentuk kerja sama yang sangat indah dan mesra dalam mewujudkan tujuan bersama di daerah pemekaran tersebut.
Dari hasil wawancara diatas, maka fakta Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
DAFTAR PUSTAKA 46
Vol. III No.1 April 2013 Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S, 2000. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta. Deddy T, Tikson (2005), Dalam Konteks Pembangunan sebagai transformasi Madani, Muhlis, 2011. Dimensi Interaksi Aktor ekonomi, (Online), (http// Ilearn. Dalam Proses Perumusan Kebijakan Unand ac.id, blog, index.php, entryid, Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta. di akses 1 Desember 2012). Abidin, Said Zaenal. Kebijakan Public Policy, Nawawi Ismail, 2009 public policy, Analisis, Jakarta, Pancar Siwah, 2004. Strategi Advokasi Teori, dan Praktek. PMN Surabaya. Agustino, Leo, 2006, Dasar-Dasar Kebijakan Publik I, Alfabeta,. Bandung. 2008, Ndraha, Taliziduhu, 2010, Metodologi Ilmu Dasar-dasar Kebijakan Publik II, Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta. Alfabeta, Bandung. Widjaja, HAW, 2011, Otonomi Daerah dan Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal Era Daerah Otonom, Rajawali Pers, Jakarta. Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. http://fuadinotkamal.wordpress.com/2012/ 0 3 / 2 4 / k e b i j a k a n - da n - a n a l i s i s Wibawa, Samudra, 2011. Politik Perumusan kebijakan/ diakses 21 Oktober 2012 Kebijakan Publik, Graha Ilmu, pukul 01.18 Yogyakarta. Ratnawati, Tri, 2009, Pemekaran Daerah, Subarsono, 2011. Analisi Kebijakan Publik Politik Lokal dan Beberapa Isu Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Terseleksi: Penerbit Pustaka Pelajar, Pelajar, Yogyakarta. Jokyakarta. 2006, Potret Pemerintahan Lokal Di Indonesia Di Masa Perubahan, Huttman, Elizabeth D. (1981), Introduction to Pustaka Pelajar, P2P LIPI, YogyakartaSocial Policy, McGraw-Hill Book ComJakarta. pany, New York, Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Wahab, Solichin, Abdul, 2010. Analisis Tentang Pemerintahan Daerah, UII Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Pers, Yogyakarta, 2005.
*********
Peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten Maluku Tengah Role of actors in setting an agenda for district expansion in Central Maluku regency - IRMAN SALAPUTA1, MUHLIS MADANI2, ANDI LUHUR PRIANTO3
47
Vol. III No.1 April 2013
PERAN PEMERINTAH DESA DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DESA (PADESA) DI DESA PANNYANGKALANG KECAMATAN BAJENG KABUPATEN GOWA GOVERNMENT'S ROLE TO INCREASING REVENUE VILLAGES (PADESA) IN PANNYANGKALANG VILLAGE, BAJENG DISTRICT GOWA REGENCY Kaharuddin1, Abd. Kadir Adys2, Mappigau Samma3 1 Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 3 Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadyah Makassar Jl. Sultan Alaudin No. 259 Makassar 90221 Tlp. O411-866972 ext. 107. Fax. O411-865588
2
ABSTRACT Pannyangkalang Village is one of villages in the district of Bajeng in Gowa regency who have one source of income gravel mining village. Researcher aims to look at the role of government in improving revenue villages and factors supporting and inhibiting increased revenue villages, the village Pannyangkalang Bajeng district. research used in this research is descriptive. Sampling village officials concerned. The study used a technique that is purely qualitative analysis to determine the general description of the role of village government in improving village revenue (PADesa). This study used data collection techniques the researchers used the interview (interview). The results showed that the original source of rural income in the form of rural enterprises where there is no village finances are still dependent on government. While the factors supporting increased revenue villages namely the resources or the potential available and sufficient village while limiting factor in increasing revenue villages namely the rural less solid due to disagreements, lack of firmness of the village government to make policy, financial administration that has not been well , village infrastructure incomplete, resource capacity of the village officials are not qualified. Keywords: Roles, Increased, PADesa, Village ABSTRAK Desa Pannyangkalang adalah salah satu desa di kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa yang mempunyai salah satu sumber pendapatan desa penambangan sirtu. Peneliti ini bertujuan melihat peran pemerintah dalam meningkatkan pendapatan asli desa dan faktor pendukung dan penghambat peningkatan pendapatan asli desa, di desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa. Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penarikan sampel aparat desa yang bersangkutan. Penelitian menggunakan teknik analisis kualitatif murni yaitu untuk mengetahui gambaran secara umum tentang peran pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa (PADesa). Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah wawancara (pedoman wawancara). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber pendapatan asli desa berupa usaha desa belum ada dimana keuangan desa masih tergantung pada pemerintah. Sedangkan faktor pendukung meningkatkan pendapatan asli desa yaitu sumber daya atau potensi desa yang tersedia dan mencukupi sedangkan faktor penghambat dalam meningkatkan pendapatan asli desa yaitu perangkat desa yang kurang solid karena adanya ketidaksesuaian pendapat, tidak adanya ketegasan pemerintah desa untuk melakukan kebijakan, administrasi keuangan yang belum baik, sarana dan prasarana desa yang kurang lengkap, kemampuan sumber daya aparatur perangkat desa yang tidak mumpuni. Kata Kunci: Peran, Peningkatan, (PADesa), Desa
48
Vol. III No.1 April 2013 A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara yang memiliki sebutan atau julukan sebagai Negara agraris yang sedang berkembang. Disebut agraris karena sebagian penduduknya beraktifitas sebagai petani, tanahnya subur dan lahan pertaniannya luas dan hanya terdapat pada pedesaan. Suatu Negara yang ingin maju tentunya mempunyai upaya mengelola dan memanfaatkan semua potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Negara Indonesia termasuk Negara yang memiliki kekayaan alam yang beraneka ragam jenisnya dan jumlahnya cukup banyak (http:// pinterdw.blogspot.com). Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Otonomi Desa merupakan subsistem dari sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan desa menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperlihatkan potensi dan keanekaragaman daerah. Desa memiliki posisi sangat strategis, sehingga diperlukan adanya perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Indikasi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi desa. Dalam pelaksanaan pemerintahan daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab, maka daerah harus memenuhi komponenkomponen penting dalam sistem administrasi pemerintahan daerah. Adapun salah satu komponen penting dalam sistem administrasi pemerintahan daerah adanya keuangan. Faktor keuangan merupakan salah satu faktor yang cukup penting bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya. Di satu sisi daerah harus siap menerapkan desentralisasi, yang juga berarti memainkan peranan melebihi apa yang berkelanjutan karena masyarakat dapat langsung merealisasikan beberapa kebutuhan yang tertuang dalam dokumen perencanaan di desanya.
Desa memiliki memiliki sumber pembiayaan berupa Pendapatan asli desa, bantuan pemerintah dan pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa, karena desa harus membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa atau lebih tegas lagi pengurusan dan pengaturan rumah tangga desa (otonomi desa) maka desa harus mempunyai sumber pendapatan untuk pemeliharaan jalan, jembatan, bangunan desa, sampai upah pamong desa. Desa harus mencari dana sepenuhnya dalam pengertian tanpa dana dari pemerintah, pembatasan gerak terhadap desa sepanjang hidupnya, desa masih tenang-tenang saja menyelenggarakan pemerintahannya tanpa hambatan keuangan. Terbatasnya kemampuan keuangan tidak mempengaruhi dan tidak boleh mempengaruhi kegiatan pemerintahan desa, sehingga sebagian besar pamong desa menerima upah yang kurang mencukupi, tetapi mereka tetap melaksanakan tugasnya. Desa mempunyai hak otonom dan sebagai konsekuensi logis mempunyai otonom, ia harus mempunyai sumber keuangan sendiri, sesuatu yang diperoleh oleh desa untuk mendukung penyelenggaraan pemerintah desa. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian desa memerlukan sumber pembiayaan untuk mendukung programprogramnya. Pendapatan desa merupakan sumber daya yang sangat vital bagi penyelenggaraan pemerintahan desa. Desa Pannyangkalang adalah salah satu desa di kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa dengan jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak 4501 orang atau 1202 KK dan dianggap desa terbelakang karena infrakstuktur yang tidak memadai seperti akses transportasi yang rusak dan belum diaspal padahal di desa tersebut terdapat kegiatan penambangan sirtu yang menjadi salah satu sumber pendapatan desa. Dalam kasus tersebut menunjukkan kurang optimalnya penggunaan pendapatan asli desa dan kurangnya peran pemerintah dalam meningkatkan pendapatan asli desa
Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Padesa) Di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Government's Role to Increasing Revenue Villages (PADesa) in Pannyangkalang Village, Bajeng District Gowa Regency - KAHARUDDIN1, ABD. KADIR ADYS2, MAPPIGAU SAMMA3
49
Vol. III No.1 April 2013 terlihat dari kurangnya sarana dan prasarana terutama jalan darat, pemerintah desa seakanakan menyandarkan keuangannya kepada bantuan pemerintah daerah maupun pusat saja. Faktor penghambat Pendapatan Asli Desa (PADesa ) itu sendiri yaitu lambannya peran pemerintah Desa dalam mengelola kekayaan asli desa. Dimana kekayaan desa yang dimiliki kurang dioptimalkan dalam melakukan pendapatan asli desa, contohnya kekeyaan desa yang dimiliki yaitu penambangan pasir, industri batu bata, sektor pertanian. Penulis merasa sangat perlu untuk mengkaji tentang persoalan dan permasalahan diatas melalui penelitian ini sehingga di harapkan hasinya mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat Gowa khususnya Desa Pannyangkalang. B. KERANGKA TEORITIS Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Abdullah (2003 :16) Dalam rangka pelaksanaan tugas mengatur dan mengurus setiap desa diberi wewenang sebagai berikut : Kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal-usul desa, Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah atau pemerintah pusat dan Tugas pembantu dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten (Pasal 99 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Indikator pemerintahan yang baik adalah jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat dalam daya belinya. Desa yang otonom akan memberi ruang gerak yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan yang nyata masyarakat dan tidak banyak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan pemerintah. Untuk melakukan
otonomi desa, maka segenap potensi desa baik berupa kelembagaan, sumber daya alam dan sumber daya manusia harus dapat dioptimalkan. Untuk itu, tahap awal ketiga potensi tersebut perlu diidentifikasi terlebih dahulu baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pengelolaan sumber daya alam harus berbasis kemasyarakatan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan kata lain, kemitraan dengan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam merupakan syarat utama dalam otonomi desa. (Widjaja 2010: 24). Kekayaan dan sumber-sumber pendapatan desa, pada dasarnya adalah merupakan sumber daya desa. Secara umum sumber daya biasa dipahami dalam bentuk tanah, tenaga kerja dan modal. Ada juga yang berpendapat bahwa sumber daya identik dengan aset, karena disamping meliputi property juga termasuk didalamnya unsur manusia atau penduduk desa (SDM). Berbicara tentang aset desa, maka biasanya telah dibatasi pada aset yang bersifat tangible atau yang berwujud. Dalam PP 72/2005 tentang Desa, Permendagri 4/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa dan Perda 20/2007 tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa, sumber pendapatan desa terdiri dari PADesa, Bagi hasil pajak dan retribusi, bagian dana perimbangan yang berupa ADD, bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemrprov dan Pemkab serta hibah dari pihak ketiga. Dari beberapa sumber pendapatan Desa tersebut, sumber yang paling besar berasal dari bantuan Pemerintah dan bantuan Pemerintah Daerah, maka secara otomatis Pemerintah Desa mulai menggantungkan pembiayaan penyelengaraan pemerintahan dan pembangunannya melalui dana bantuan dari Pemerintah tersebut. Keberadaan sumbersumber pendapatan desa ini merupakan awal ketergantungan dari segi pembiayaan, karena sumber-sumber pendapatan asli desa sangat tidak memadai hasilnya, sedangkan sumbersumber laiinya telah dikenai pajak dan retribusi oleh Pemerintah yang lebih atas, sedangkan desa 11 hanya menikmati hasil pembagian dari pajak dan retribusi tersebut. Hasilnya pun tidak seberapa besar apabila
Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Padesa) Di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Government's Role to Increasing Revenue Villages (PADesa) in Pannyangkalang Village, Bajeng District Gowa Regency - KAHARUDDIN1, ABD. KADIR ADYS2, MAPPIGAU SAMMA3
50
Vol. III No.1 April 2013 dibandingkan dengan bantuan yang rutin yang diberikan oleh Pemerintah. Sedangkan jenis kekayaan Desa terdiri atas: Tanah Kas Desa (TKD), Pasar Desa, Pasar Hewan, Tambatan Perahu, Bangunan Milik Desa, Pemandian Umum yang dikelola oleh Desa, obyek rekreasi yang dikelola oleh desa, tempat pemancingan di sungai yang dikelola oleh desa, hutan desa, kuburan desa, lapangan desa, saluran air milik desa. Dalam upaya peningkatan Asli Desa yang merupakan urusan pemerintah oleh pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sehingga Pendapatan asli desa semakin meningkat demi tercapainya indikator pemerintah yang baik yang menjadi tujuan di terapkannya otonomi desa. Namun dalam upaya Peningkatan Pendapatan Asli Desa tidak terlepas dari dua indikator/ faktor untuk mencapai tujuan tersebut, faktorfaktor yang dimaksud adalah faktor penghambat dan faktor pendukung. Disinalah pemerintah mempunyai peranan besar untuk membangkitkan partisapasi masyarakat untuk saling mendukung demi tercapainya Peningkatan Pendapatan Asli Desa ( PADesa). Pendapatan asli desa sendiri berasal dari kekayaan dan sumber-sumber pendapatan desa lainnya menjadi tanggung jawab pemerintah desa dalam mengelola dan mengoptimalkan peningkatan asli desa. Sumber pendatapatan desa terdiri dari PADesa, bagi hasil pajak dan retribusi, bagian dana perimbangan yang berupa ADD. Pendapatan asli desa ditopang oleh beberapa indikator seperti hasil usaha desa, kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, dan hasil gotong royong. Untuk mendorong kinerja atau upaya pendapatan asli desa maka perlu yang namanya strategi kebijakan pengembangan ekonomi daerah, namun pengembangan ekonomi ini dapat dlihat dari karakteristik, potensi, geografis, dan kebutuhan daerah tersebut. Jadi starategi yang dapat digunakan dalam pengembangan ekonomi dapat dilakukan beberapa hal seperti Meningkatkan aksebilitas, mendorong pemanfaatan sumber daya alam, meningkatkan kelangsungan
kegiatan usaha, dan meningkatkan kemampuan pemerintah dalam mengembangkan daya tarik investasi desa. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian survey suatu jenis penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan variabel-variabel dari responden di lokasi penelitian. Peneliti melakukan penelitian di Desa Pannyangkalang terletak di wilayah kecamatan Bajeng kabupaten Gowa. Di Desa tersebut fasilitas jalan raya belum memadai padahal terdapat aktivitas tambang golongan C yaitu tambang sirtu. Penelitian ini menggunakan fokus informan dimana fokus penelitian adalah mengenai peran pemerintah dalam meningkatkan pendapatan asli desa di desa Pannyangkalang, dari penulusuran peneliti dilapangan sesuai dengan konseptual diatas maka peneliti mengambil informan yaitu kepala desa beserta aparatur desa dan kepala BPD beserta anggotanya dan toko masyarakat. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui kombinasi teknik pengumpulan data yaitu Teknik observasi adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dengan cara melakukan pengamatan langsung terhadap obyek penelitian, hal yang diamati adalah kegiatan yang dilakukan pemerintah desa. Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan cara mewawancarai responden maupun informan atau pihak-pihak yang dianggap dapat memberikan informasi berkaitan dengan studi ini. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendapatkan tambahan informasi dan gagasan yang berkaitan dengan penelitian ini. Dokumentasi yaitu dengan cara menelaah dokumen melalui kajian literature dan undang-undang, dokumen, surat-surat keputusan, majalah dan surat kabar yang berkaitan dengan peran pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif murni yaitu untuk mengetahui gambaran secara umum tentang peran pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa (PADesa).
Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Padesa) Di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Government's Role to Increasing Revenue Villages (PADesa) in Pannyangkalang Village, Bajeng District Gowa Regency - KAHARUDDIN1, ABD. KADIR ADYS2, MAPPIGAU SAMMA3
51
Vol. III No.1 April 2013 tersebut dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi hasil. Desa Pannyangkalang terletak di wilayah Dalam PP 72/2005 tentang Desa, PermenKecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa. Wilayah dagri 4/2007 tentang Pedoman Pengelolaan desa Pannyangkalang secara Administratif Kekayaan Desa dan Perda 20/2007 tentang dibatasi oleh sebelah selatan berbatasan Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa, dengan kelurahan Tamallayang Kecamatan sumber pendapatan desa terdiri dari PADesa, Bontonompo, sebelah timur berbatasan Bagi hasil pajak dan retribusi, bagian dana dengan desa Pa’bentengan dan kecamatan perimbangan yang berupa ADD, bantuan Polombangkeng selatan yang dipisahkan oleh keuangan dari Pemerintah, Pemerintah sungai Ca’dika dan sebelah barat berbatasan Provinsi dan Pemerintah Kabupaten serta dengan desa Tangke Bajeng dan kelurahan hibah dari pihak ketiga. Kalebajeng Kecamatan Bajeng. Luas wilayah desa Pannyangkalang sebeWawancara dengan H sebagai Bendahara sar 425 ha. Luas lahan yang ada terbagi dalam Desa bahwa: beberapa peruntukan, dapat dikelompokkan “Pendapatan desa berasal dari alokasi dana seperti untuk fasilitas umum adalah sebagai desa yang berasal dari APBD kabupaten sebeberikut: luas tanah untuk jalan 15 ha, tanah sar Rp. 95. 565.000,- dan dana dari LKMD untuk bangunan umum 4 ha, sedangkan untuk dimana dana berasal dari masyarakat”. aktivitas pertanian dan penunjangnya terdiri (Wawancara Tanggal 16 November 2012). dari lahan sawah dan ladang seluas 204 ha, sementara untuk peruntukan lahan untuk Berdasarkan wawancara diatas menunjukaktivitas ekonomi terdiri lahan untuk industri kan bahwa di desa tersebut belum ada yang batu merah 27,5 ha, untuk lahan pemukiman memaksimalkan kekayaan desa yang dimiliki terdiri atas bangunan rumah 150 ha, tanah dimana kekuangan desa hanya menganpekarangan 50 ha, yang digarap untuk golo- dalkan dari ADD (alokasi dana desa) yang ngan C seluas 18,5 ha. Jumlah penduduk Desa berasal dari kabupaten dan dana dari LKMD Pannyangkalang untuk tahun 2011 sebanyak padahal di desa tersebut memiliki potensi 1202 KK di tujuh dusun, jumlah laki-laki sumber daya alam yang baik. sebanyak 2236 orang, sedangkan perempuan sebanyak 2265 orang. 1. Kekayaan Desa Adapun peran atau langkah-langkah yang Peran Pemerintah Dalam Meningkatkan diambil oleh pemerintah desa dalam meningPendapatan Asli katkan usaha desa, kekeyaan desa dan gotong royong yakni sebagai berikut : Desa meliputi semua penerimaan uang Tabel No. 1 melalui rekening kas umum daerah yang Potensi Sumber Daya Alam menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) N o. Peruntukan L u as tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Sehubungan dengan hal 1. Sawah 119,36 ha tersebut pendapatan daerah yang dianggar2. Ladang 737,33 ha kan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai 3. Perkebunan Kakao 20,00 ha untuk setiap sumber pendapatan. Seluruh pendapatan daerah yang dianggarkan secara 4. Pemukiman 38,16 ha bruto, yang mempunyai makna bahwa jumlah 5. Lain-lain 18,15 ha pendapatan yang dianggarakan tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan Sumber: Di olah dari Data Sekunder Tahun 2011 dalam rangka menghasilkan pendapatan D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Padesa) Di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Government's Role to Increasing Revenue Villages (PADesa) in Pannyangkalang Village, Bajeng District Gowa Regency - KAHARUDDIN1, ABD. KADIR ADYS2, MAPPIGAU SAMMA3
52
Vol. III No.1 April 2013 Jika merujuk dari tabel yang ada diatas menunjukkan bahwa kekayaan desa yang dimiliki oleh desa pannyangkalang kebanyakan masyarakatnya lebih cenderung berladang dan bertani bila dibandingkan jika memilih kekayaan alam yang lainnya. Ini didukung oleh lebih luasnnya sektor pertaniaan dan berladang. Seperti tanah kas desa, Tanah Kas Desa (TKD) berdasarkan Instruksi Mendagri No. 12 Tahun 1996 tentang Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa, adalah suatu lahan yang dimiliki oleh Pemerintah Desa dan dikelola untuk kegiatan usaha desa, sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan desa yang bersangkutan. Dengan pengertian itu dapat disimpulkan bahwa TKD adalah merupakan kekayaan desa dan juga merupakan sumber pendapatan asli desa di samping sumber-sumber pendapatan lainnya seperti pasar desa, bangunan desa dan hasil swadaya dan partisipasi, Hasil swadaya artinya beberapa kelompok masyarakat berupaya sendiri untuk menanggung beban biaya atas suatu kegiatan. Berdasarkan pengalaman, swadaya masyarakat muncul apabila masyarakat menilai suatu kegiatan mengandung prospek positif bagi kehidupannya di masa depan. Umpamanya sejumlah masyarakat desa secara sukarela mengeluarkan sejumlah uang untuk biaya pengaspalan sebuah jalan atau gang yang dengan pengaspalan itu dapat meningkatkan status sosial, naiknya harga tanah dan meningkatkan efektivitas ekonomi. Sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Pemberdayaan potensi desa, dalam meningkatkan pendapatan desa dilakukan, antara lain dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa, kerjasama dengan pihak ketiga dan kewenangan melakukan pinjaman. Sumber pendapatan daerah yang berada di desa, baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten, tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh pemerintah desa. Pendapatan daerah dari sumber tersebut harus diberikan kepada desa yang bersangkutan dengan pembagian secara
proporsional dan adil. Ketentuan seperti ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban biaya ekonomi tinggi dan dampak lainnya. Berdasarkan hasil wawancara yang saya dapatkan dari informan yaitu S sebagai sekertaris BPD yang manyatakan bahwa : “Desa pannyangkalang memiliki potensi pendapatan asli desa yang banyak seperti sumber galian golongan C, pertanian karena sumber pendapatan masyarakat desa terbesar yaitu pertanian dan perternakan terutama perternakan sapi�. (Wawancara HM, 16 November 2012). Potensi desa dibagi menjadi 2 macam yaitu: Potensi fiisik yang meliputi, tanah, air, iklim, dan cuaca, flora dan fauna. Potensi non fisik, meliputi masyarakat desa, lembagalembaga sosial desa, dan aparatur desa, jika potensi dimanfaatkan dengan baik, desa akan berkembang dan desa akan memiliki fungsi bagi daerah lain maupun bagi kota. Berbeda halnya yang diungkapkan oleh sebagai kepala desa yang lebih cenderung membahas mengenai Tanah Khas Desa (TKD) dimana dia mengatakan bahwa : “Untuk sementara ini sudah ada TKD yang jelas yang dimiliki oleh desa, namun tidak sedikit juga masyarakat yang mengklaim bahwa sebagian dari tanah khas desa merupakan tanah warisan dari neneknya, jadi untuk sementara ini saya lebih fokus mengurus persolan tersebut�. (Wawancara TM, Tanggal 16 November 2012). Jika menyimak dari pernyataan bapak kepala desa apa yang dihadapi sekarang merupakan konflik agraria yang harus diselesaikan secara musyawarah. Dimana kepala desa merupakan mediasi antara aparatur desa dengan masyarakat. 2. Usaha Desa Untuk menunjang segala kekayaan alam yang miliki oleh desa pannyangkalang maka pemerintah desa harusnya memiliki Badan Usaha Milik Desa ( BUMDes ). Badan Usaha Milik Desa adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya memperkuat perekonomian
Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Padesa) Di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Government's Role to Increasing Revenue Villages (PADesa) in Pannyangkalang Village, Bajeng District Gowa Regency - KAHARUDDIN1, ABD. KADIR ADYS2, MAPPIGAU SAMMA3
53
Vol. III No.1 April 2013 desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Ciri utama BUMDes dengan lembaga ekonomi komersil lainnya, sebagai berikut: Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola bersama, Modal bersumber dari desa sebesar 51% dan dari masyarakat sebesar 49% melalui penyertaan modal, Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal. Bidang usaha yang dijalankan berdasarkan pada potensi dan informasi pasar. Keuntungan yang di peroleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota (penyetara modal) dan masyarakat melalui kebijakan Desa, difasilitasi oleh pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintahan desa dan operasionalisasi dikontrol secara bersama oleh BPD, pemerintah desa dan anggota kelompok. Proses pembangunan desa walaupun sederhana tidak bisa tidak harus membutuhkan dana. Dana tersebut bisa bergerak dari dalam desa yang bersangkutan bisa pula berasal dari luar desa Pengelolaan potensi desa untuk menambah pendapatan desa dapat dikatakan masih belum optimal. Dari sisi penerimaan keuangan desa masih sangat tergantung dari transfer pemerintah yang ada diatasnya. Wawancara dengan Kepala Desa mengatakan bahwa: “Usaha desa yang dimiliki desa belum ada tapi akan dibuat seperti pemberdayaan masyarakat tani dimulai dengan pembuatan irigasi dimana dananya berasal dari ABPD kegiatan ini dimaksudkan untuk membantu petani sehingga semua petani dapat bertani sepanjang tahun tanpa bergantung pada hujan. Dengan adanya irigasi diharapkan produksi padi meningkat dan ekonomi masyarakat terutama petani juga meningkat”. (Wawancara TM, 16 November 2012).
Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan di desa pannyangkalang untuk tahun 2012 dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel No. 1 Potensi Sumber Daya Alam NO.
D U SU N
TARGET
BULAN
1.
Pa”bundukang
7.837.358
5.085.410
2.
Bilaya
7.390.087
5.361.440
3.
Romang Tobang
9.137.381
5.569.811
4.
Sapta Marga
-
-
5.
Balla” Parang
7.540.728
3.325.925
6.
Ciniayo
6.152.481
4.347.559
7.
Kp. Beru
6.571.423
2.377.059
46.697552
26.067.204
JUMLAH
Sumber: Di olah dari Data Sekunder Tahun 2011
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa dusun di desa pannyangkalang yang memiliki jumlah pemasukan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB ) yang paling tinggi adalah dusun Romang Tobang yaitu Rp. 5.569.811 sedangkan jumlah pemasukannya yang paling rendah yakni dusun Ballaparang sejumlah Rp. 3.325.925. Namun adapun dusun yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan yaitu dusun Saptamarga dikarenakan dusun tersebut dalam proses sengketa. Seperti yang dikemukakan oleh Kepala Desa Pannyangkalang bahwa: “Dusun Sapta Marga tidak dikenakan pajak karena pada dahulu kala dusun tersebut dijadikan sebagai pemukiman atau kompleks para anggota TNI dengan perjanjian ketika pensiun Tentara tersebut harus meninggalkan rumah yang ditempatinya akan tetapi banyak diantaranya memilih tetap tinggal karena Berdasarkan hasil wawancara diatas sudah menganggap sudah diberikan padahal menunjukkan bahwa desa Pannyangkalang menurut warga tanah itu tidak diberikan cuma belum memiliki usaha desa demi menunjang dipinjamkan”. perekonomian desa dan kesejahteraan ma(Wawancara TM, 16 November 2012). syarakat. Di samping Desa Pannyangkalang belum mempunyai usaha desa ternyata penPembangunan desa adalah pembangunan dapatan pajak bumi dan bangunan masih yang dilaksanakan di desa secara menyeluruh kurang dari terget yang ditentukan. dan terpadu. Pemerintah desa memberikan Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Padesa) Di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Government's Role to Increasing Revenue Villages (PADesa) in Pannyangkalang Village, Bajeng District Gowa Regency - KAHARUDDIN1, ABD. KADIR ADYS2, MAPPIGAU SAMMA3
54
Vol. III No.1 April 2013 bimbingan, pengarahan, bantuan, fasilitas yang diperlukan sedangkan masyarakat memberikan partisipasinya dalam bentuk swadaya dan gotong royong masyarakat dalam setiap pembangunan sehingga sumber pendapatan asli desa menjadi sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan.
Seperti yang dikatakan oleh Bendahara Desa bahwa: “dana yang dikelola oleh Bendahara hanya berasal dari alokasi dana desa(ADD) dan dana dari LKMD, biaya pengurusan jual beli tanah atau izin keramaian tergantung keikhlasan masyarakat itupun tidak di catat oleh Bendahara” (Wawancara H, 16 November 2012). Berdasarkan pernyataan diatas menunjukkan bahwa sistem administrasi keuangan desa dan petanausahaan keuangan desa belum terkelola dengan baik terutama sumber keuangan lain selain ADD dan dana LKD.
Faktor Pendukung Dalam meningkatkan pendapatan asli desa di desa Panyangkalang seperti yang dinyatakan oleh kepala desa bahwa: “Salah satu faktor pendukung meningkatkan pendapatan asli desa yaitu sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya E. KESIMPULAN banyak seperti pengelolaan potensi desa seperti pertanian dan tambang golongan C”. Berdasarkan hasil analisis Peran Peme(Wawancara TM, 16 November 2012). rintah dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADesa) di Desa Pannyangkalang Kec. Hal yang hampir sama yang diungkapkan Bajeng Kab. Gowa dapat disimpulkan hal-hal oleh tokoh masyarakat bahwa: sebagai berikut: “Segala upaya yang dilakukan oleh kepala 1. Dalam PP 72/2005 tentang Desa, PermenDesa saya siap menjalankan demi meningkatnya dagri 4/2007 tentang Pedoman Pengelopendapatan asli desa karena didesa ini banyak laan Kekayaan Desa dan Perda 20/2007 potensi yang bisa dimanfaatkan, namun tentang Sumber Pendapatan dan Kekayasemuanya tergantung perintah dari bos (kepala an Desa, sumber pendapatan desa terdiri desa)”. dari PADesa, Bagi hasil pajak dan retri(Wawancara AL, 16 November 2012). busi, bagian dana perimbangan yang berupa ADD, bantuan keuangan dari Berdasarkan hasil wawancara tersebut Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan dapat disimpulkan bahwa faktor pendukung Pemerintah Kabupaten serta hibah dari dalam meningkatkan pendapatan asli desa pihak ketiga. Adapun kekayaan desa yang yaitu memaksimalkan potensi desa yang ada. dimiliki oleh desa Pannyangkalang yaitu sawah, ladang, perkebunan kakao, pemuFaktor Penghambat kiman dan lain-lain. Dari hasil penelitian Dalam upaya peningkatan pendapatan asli dapat disimpulkan bahwa peran pemedesa seperti pelaksanaan manajemen keuarintah dalam meningkatkan pendapatan ngan dan kekayaaan desa dapat dikatakan asli desa di desa Pannyangkalang Kecabelum terselenggara dengan baik. Dalam matan Bajeng Kabupaten Gowa belum pelaksanaan perencanaan keuangan daerah, optimal karena belum adanya usaha desa banyak desa yang belum menerapkan angsebagai program yang menunjang peregaran APBD desa serta belum menetapkan konomian desa dan masyarakat. skala prioritas serta distribusi sumber daya 2. Faktor pendukung dalam meningkatkan dengan baik. Dalam pelaksanaan dan penatapendapatan asli desa yaitu terdapat sumusahaan keuangan desa juga belum dilakukan ber daya yang memadai seperti pertanian dengan baik. Sumber keuangan lain yang karena mata pencaharian utama masyasering digarap dan dimanfaatkan oleh desa rakat dengan luas persawahan seluas surat keterangan penduduk dari ketertiban 119,3 ha dan tambang galian golongan C nikah, talak dan rujuk, izin keramaian, jual beli yang merupakan sumber pendapatan tanah dan lain-lain juga belum baik. desa yang potensial. Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Padesa) Di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Government's Role to Increasing Revenue Villages (PADesa) in Pannyangkalang Village, Bajeng District Gowa Regency - KAHARUDDIN1, ABD. KADIR ADYS2, MAPPIGAU SAMMA3
55
Vol. III No.1 April 2013 3. Faktor penghambat peningkatan penda- Sugiono, 2010. “Metodologi Penelitian patan asli desa setelah melakukan peneKuantitatif, Kulitatif dan R&D�, litian yaitu perangkat desa yang kurang ALFABETA, cv. Bandung. solid karena adanya ketidaksesuaian pendapat, tidak adanya ketegasan peme- Wasistiono, Irwan. 2006. Prospek rintah desa untuk melakukan kebijakan, Pembangunan Desa. FM Fokusmedia: administrasi keuangan yang belum baik, Jakarta. sarana dan prasarana desa yang kurang lengkap, kemampuan sumber daya apara- Widjaja. 2010. Otonomi Desa Merupakan tur perangkat desa yang tidak mumpuni. Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Raja Grafindo Persada: Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Abdullah, Rozali. 2003. Pelaksanaan Otonomi Otonomi Daerah. Luas dan Federalisme Sebagai Suatu Alternatif. RajaGrafindo: Jakarta. Peraturan MENDAGRI No.12 tahun 1996 tentang Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Adisasmita, Rahardjo. 2011. Manajemen Kas Desa. Pemerintahan Daerah. Graha Ilmu: Yogyakarta. Peraturan Pemerintah Rebublik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Dunn, W. (2003). Pengantar analisis kebijakan publik. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni- PERMENDAGRI No.4 Tahun 2007 Tentang versity Press. Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa. Fahmal. 2006. Peran Asaa-Asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. UII PRESS: Yogyakarta.
Peraturan Daerah No. 20 Tahun 2007 tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa. (http://pinterdw.blogspot.com/2012/03/ unsur-unsur-desa.html?=1diakses 26/ 06/2012 pukul 21.41 wita).
Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Erlangga: Jakarta. (http://www.sloetan.com/2012/01/26/ pembentukan-desa/ diakses tgl 26/ Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Evaluasi 06/2012 pukul 21.32 wita). Kinerja SDM. Refika Aditama: Bandung. Bintarto. http://id.shvoong.com/social-sciSoetriono & Hanafie, Rita, 2007. Filsafat Ilmu ences/1995187-pengertian-desa-dandan Metodologi Penelitian. Penerbit ciri-cirinya/#ixzz1yK421noq diakses Andi, Yogyakarta. tgl 01/07/2012 pukul 22.09 wita.
*********
Peran Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Padesa) Di Desa Pannyangkalang Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Government's Role to Increasing Revenue Villages (PADesa) in Pannyangkalang Village, Bajeng District Gowa Regency - KAHARUDDIN1, ABD. KADIR ADYS2, MAPPIGAU SAMMA3
56
Vol. III No.1 April 2013
PARTISIPASI PUBLIK SEBAGAI STRATEGI MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE OTONOMI DAERAH GOVERNMENT'S ROLE TO INCREASING REVENUE VILLAGES (PADESA) IN PANNYANGKALANG VILLAGE, BAJENG DISTRICT GOWA REGENCY Muhammadiah Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadyah Makassar Jl. Sultan Alaudin No. 259 Makassar 90221 Tlp. O411-866972 ext. 107. Fax. O411-865588
ABSTRACT Achieve good governance through public participation is a must. The big challenge in governance and development in the era of regional autonomy sourced from within the community. In society there is a potential and enormous resources, if utilized properly will contribute significantly to the progress of society and areas .. The experiences show that governance and development without involving the public's participation will face serious problems. Because it must be recognized by government actors that the public should be involved in every stage of the process of governance and development programs. Communities are stakeholders that should not be ignored, because they have a strategic role and the potential for continuity of government and regional development. Keywords: public participation, good governance
ABSTRAK Mewujudkan good governance melalui partispasi publik merupakan suatu keniscayaan. Tantangan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di era otonomi daerah bersumber dari dalam masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat potensi dan sumber daya yang sangat besar, jika dimanfaatkan secara baik akan memberi kontribusi nyata bagi kemajuan masyarakat dan daerah.. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tanpa melibatkan partsipasi publik akan menghadapi persoalan serius. Karena itu harus disadari oleh aktor-aktor pemerintahan bahwa masyarakat seharusnya dilibatkan dalam setiap proses tahapan program pemerintahan dan pembangunan. Masyarakat merupakan stakeholders yang tidak boleh diabaikan, karena mereka memiliki peran dan potensi strategis bagi kelangsungan pemerintahan dan pembangunan daerah. Kata kunci: partisipasi publik, good governance
57
Vol. III No.1 April 2013 A. LATAR BELAKANG Salah satu strategi membangun dan mewujudkan ketatapemeintahan yang baik (Good governance) adalah melibatkan dan mendorong partisipasipasi masyarakat dalam setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan. Demokrasi sebagai inti dari Good Governance menuntut keikutsertaan seluruh elemen masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan,dan pembangunan, mulai dari perumusan pembuatan dan penyusunan kebijakan sampai pada pelaksanaan dan pengendalian pemerintahan. Keikutsertaan masyarakat dalam setiap aktivitas pemerintahan merupakan pilar utama negara demokrasi. Di dalam negara demokrasi rakyatlah yang berdaulat, sehingga sangat tepat jika sistem pemerintahan yang mengembangkan sistem pemerintahan demokrasi menjadikan partsipasi masyarakat sebagai sesuatu yang menjadi suatu keniscayaan. Mayarakat sebagai elemen pokok dalam sistem pemerintahan negara seharusnya diberi ruang untuk mengambil bagian dalam membangunan sistem pemerintahan dan pembangunan negara yang maju dan kuat. Masyarakat memiliki potensi yang sangat besar dalam segala aspek. Karena dalam masyarakat tersimpan sumber daya raksasa. Dalam masyarakat terdapat energi atau kekuatan massa yang sangat besar, anggota masyarakat yang memiliki intelektulaisme tinggi. Juga terdapat ahli pemikir dan implementatif pemerintahan dan pembangunan yang handal. Sehingga potensi yang demikian besar tersebut jika dilibatkan secara optimal dalam segala aktivitas pemerintahan bisa lebih memperkuat spirit yang lebih besar bagi pemerintah untuk mempercepat laju pembangunan bagi negara yang bersangkutan. Sebaliknya jika masyarakat tidak dilibatkan dalam aktivitas pemerintahan dan pembangunan, negara dapat mengalami stagnasi, karena mengabaikan potensi besar yang terdapat didalam masyarakat. Bisa terjadi segala macam aktivitas pemerintahan akan mendapat kritikan yang serius, dan tindakan yang dapat menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan negara yang
kurang atau tidak melibatkan partisipasi masyarakat sering mendapat tantangan besar dalam pelaksanaannya. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang telah dibuat dengan menggunakan sumber daya yang besar, namun ketika kebijakan terebut hendak diimplementasikan sertamerta mendapat respons negative dari masyarakat.seperti, tindakan deskruktif. Kita telah menyaksikan rencana kebijakan pemerintah yang kurang melibatkan partisipasi rakyat seperti rencana kebijakan menaikkan harga BBM mendapat perlawanan serius dari masyarakat yang bermuara pada terjadinya kerugian besar bagi negara dan masyarakat. Dewasa ini masyarakat makin sadar bahwa mereka memiliki hak untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sehingga pemerintah seharusnya meresponsnya dengan baik dengan melibatkan mereka dalam berbagai aktivitas pemerintahan dan pembangunan. B. PARTISIPASI PUBLIK DAN DEMOKRASI Dalam negara yang mengembangkan demokrasi, partisipasi publik merupakan suatu keniscayaan. Dimanapun di dunia ini ketika sistem pemerintahan yang menganut paham demokrasi lalu tidak melibatkan partsipasi masyarakat akan menghadapi tantangan yang cukup besar. Dalam literatur ilmu politik, partisipasi masyarakat merupakan salah satu dimensi penting bagi eksistensi sistem pemerintahan yang demokratis. Partisipasi publik tidak hanya sebatas keterlibatan masyarakat dalam Pemilihan Umum, tetapi juga dalam berbagai aktivitas politik lain yang berimplikasi bagi kepentingan masyarakat. Para ilmuan politik dan kebijakan publik memiliki berbagai argumen yang bisa diajukan untuk mendukung pernyataan mereka bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik merupakan hal penting yang harus dilakukan negara yang menganut paham demokrasi. Menurut Wagle (2000), demokrasi hanya akan memiliki arti ketika warga negara sebagai stakeholders utama selalu dilibatkan dalam proses pembuatan seluruh jenis kebijakan publik yang dihasilkan oleh pemerintah. Hal ini penting
Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
58
Vol. III No.1 April 2013 karena setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah selalu memiliki implikasi luas dalam masyarakat. Kebijakan publik harus selalu berorientasi kepada kepentingan publik, bukan kepentingan pejabat pemerintahan dan elit politik. Partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan publik merupakan satusatunya cara untuk meyakinkan masyarakat bahwa pembuatan kebijakan publik dilakukan secara demokratis dan untuk kepentingan publik secara keseluruhan. Banyak keuntungan yang diperoleh, bagi masyarakat dan pemerintah jika pembuatan kebijakaan publik dilakukan secara demokratis. Keuntungan pertama adalah adanya peningkatan kualitas kebijakan publik yang dihasilkan oleh pemerintah. Peningkatan kualitas kebijakan publik pada gilirannya sangat menguntungkan bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan publik tersebut, Kedua adalah mendatangkan keuntungan bagi masyarakat (Wagle, 2000). Partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan publik menurut Smith dan Ingram (1993) juga akan memberi manfaat bagi pemerintah. Sebab pemerintah akan menjadi lebih kuat dalam arti ada peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pembuatan kebijakan yang akan berimplikasi pada peningkatan dukungan publik terhadap pemerintah, misalnya pemberian suara pemilihan umum. Ilmuan politik lainnya, Sample (1993), Webler, Kastenho,Z, dan Renn (1995) yang dikutip oleh Glicken (2000) mengatakan partisipasi publik dalam proses pembuatan keputusan akan mendatangkan keuntungan, yakni memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi para pembuat keputusan melalui pengembangan pembuatan kebijakan yang berkualitas, memberikan legitimasi yang lebih besar terhadap keputusan-keputusan yang dibuat karena partisipasi publik dapat meningkatkan akuntabilitas publik dalam proses pengambilan keputusan, serta memberikan citra positif sebagai suatu masyarakat demokratis. Partisipasi publik selama era reformasi memang terasa sudah ada. Elememen-elemen masyarakat sering telah diikutsertakan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan
publik, walaupun belum optimal, sehingga kondisi ini sangat berbeda dari zaman Orde Baru. Pada era reformasi Lembaga legislative (DPR dan DPRD) telah menyiapkan ruang aspirasi sebagai tempat bagi setiap elemen masyarakat yang akan menyampaikan aspirasinya. Juga masyarakat diberi kesempatan untuk memilih partai politik dan pemimpin negara dan daerah, memilih anggota legislative maupun eksekutif. Kondisi seperti ini tidak terjadi pada rezim Orde Baru. Kalaupun ada elememen masyarakat yang diikutkan dalam pembuatan kebijakan publik pasa rezim Orde Baru, tentu dari mereka yang dianggap bagian dari rezimnya Orde Baru memang memiliki banyak organisasi massa yang menjadi alat legitimasi demokrasi model Orde Baru. Di masa rezim Orde Baru pejabat publik didominasi oleh elit politik dari Golkar. Pada zaman Orde Baru, partisipasi publik dalam pemilihan umum merupakan partisipasi semu (pseudo participation) artinya keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum karena tekanan, bahkan paksaan. Moynihan, Wilcox (1994) membedakan level partisipasi masyarakat menjadi lima jenis, yaitu: (1) pemberian informasi, (2) konsultasi, (3) pembuatan keputusan bersama, (4) melakukan tindakan bersama, (5) mendukung aktivitas yang muncul atas swakarsa masyarakat. Menurut Wilcox, pada level mana partisipasi masyarakat akan dilakukan sangat bergantung pada kepentingan apa yang hendak dicapai. Untuk pengambilan kebijakan strategis yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak tentu masyarakat harus dilibatkan secara penuh. Sementara dalam pengambilan keputusan yang lebih bersifat teknis mungkin pemberian informasi kepada masyarakat sangat sudah memadai. Level partisipasi yang dikemukakan Wilcox pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pengklasifikasian partisipasi publik yang dibuat oleh Arstein (1969) yang ia sebut sebagai “Delapan tangga Partisipasi Publik�, yang menggambarkan berbagai jenis partisipasi dari yang hanya bersifat simbolik (manipulasi) sampai dengan partisipasi yang besifat substansial, dimana masyarakat memegang kontrol terhadap jalannya
Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
59
Vol. III No.1 April 2013 pemerintahan. Secara lengkap “Delapan jika setiap pembuatan kebijakan publik meliTangga Partisipasi� itu dapat dilihat dalam batkan elemen-elemen masyarakat sebagai ganbar sebagai berikut: mitra yang saling mengisi, saling mendukung dalam menghasilkan kebijakan. Pemerintah hendaknya menempatkan 1. Kontrol oleh w arga Negara Masyarakat dan menyadari bahwa masyarakat sebagai p u n ya 2. Pendelegasian w ew enang kew en an g an komunikan, komunikator dan lembaga p en u h / 3. Kemitraan kontrol publik terhadap kebijakan yang dibuat Partisipasi Penuh oleh eksekutif dan legislative. Pihak eksekutif 4. K o n sesi dan legislative dapat berkomunikasi dan Partisipasi 5. Konsultasi Simbolik memberikan informasi secara luas mengenai 6. Pemberian Informasi maksud dan isi sebuah kebijakan publik. 7. Terapi Dengar pendapat dan debat publik dipelukan Tidak Ada Partisipasi untuk menyamakan persepsi terhadap suatu 8. Manipulasi kebijakan yang akan dibuat. Pemerintah tidak Gambar: Delapan Tangga Partisipasi Publik boleh menutup diri dan merasa superior dalam membuat kebijakan publik. Pemerintah Melihat tipologi partisipasi publik oleh harus terbuka dan menjadi komunikator Moynihan, Astein dan Wilcox, maka dapat yang efektif dalam pembahasan berbagai disimpulkan bahwa manfaat maksimal dari kebijakan publik. Pemerintah juga harus pelibatan publik dalam pengambilan mengembangkan transparansi dan akuntabikeputusan sangat dipengaruhi oleh litas dalam pembuatan kebijakan publik. kepentingan, isu dan masalah yang hendak Pemerintah dan masyarakat harus bersamadipecahkan. Isu, kepentingan dan masalah sama mengatasi permasalahan dalam proses akan mempengaruhi peran dan jenis perumusan dan pembuatan kebijakan publik. partisipasi yang harus dimainkan oleh Pembuatan kebijakan publik seharusnya masyarakat. memiliki pola kerja yang baik, serta sesuai dengan rule dan role yang dimiliki setiap C. PARTISIPASI DALAM PEMBUATAN aparatur pemerintahan. Salah satu bentuk partisipasi yang perlu diperhatikan adalah KEBIJAKAN PUBLIK partisipatif-populis yang berarti masingDalam sebuah negara demokratis, kaum masing pejabat pemerintah di tingkat pusat elit (penentu kebijakan pemerintahan ekse- dan daerah dapat menjalankan tugas dan kutif dan legislative) harus mempertanggung- kewenangannya, bebas dari tekanan dan jawabkan penyelengaraan setiap kebijakan intimidasi kerena pelaksanaan tugas yang dibuat kepada publik. Pemerintah pemerintahan merupakan pelaksanaan seharusnya memperhatikan dan menguta- amanat publik. Dikeluarkannya sebuah instrumen kebimakan aspirasi dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap pembuatan kebija- jakan UU No. 32 Tahun 2004 akan berpengakan dan keputusan. Untuk mewujudkan suatu ruh terhadap tatanan kehidupan masyarakat kebijakan yang sesuai dengan tuntutan pada masa yang akan datang. Robert Mac Iver masyarakat, maka partisipasi masyarakat (The Web of Government 1954) mendeskripsangat diperlukan sebagai kekuatan pendu- sikan tahapan instrumentasi kebijakan kung utama dalam perumusan kebijakan pemerintahan sebagai salah satu model dalam publik. Kebijakan publik yang baik harus proses pembuatan kebijakan, di mana pememendapat persetujuan kolektif dari warga rintah sebagai pembuat kebijakan perlu menimasyarakat. Pemimpin pemerintahan sebagai lai dan memilih beberapa alternatif kebijakan aktor pengambil kebijakan hendaknya yang tepat bagi kemajuan bersama dalam mamenyadari bahwa ia berasal dari rakyat dan syarakat. UU nomor 32 tahun 2004 sebagai bekerja untuk rakyat, sehingga sangat logis instrumen pembuatan kebijakan diharapkan Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
60
Vol. III No.1 April 2013 dapat menciptakan perubahan dalam sistem sosial kemasyarakatan yakni dengan memberi ruang kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan.
masyarakat, sehingga terbina hubungan yang harmonis. 3) Meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat dalam implementasi program pembangunan, sehingga lebih mudah mewujudkan good governance di daerah.
D. PARTISIPASI DALAM PELAYANAN PUBLIK
E. DIMENSI-DIMENSI PARTISIPASI PUBLIK
Partisipasi masyarakat di dalam proses pembuatan kebijakan merupakan hal penting dalam negara demokrasi. Partisipasi masyarakat menjadi sangat tepat untuk menjadikan partisipasi publik sebagai salah satu prinsip yang harus dijalankan oleh pemerintah guna mewujudkan good governance. Partisiapsi publik merupakan salah satu bentuk pelayanan publik, karena hal ini sejalan dengan pandangan baru yang berkembang saat ini dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan cara melihat masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan (customer), tetapi juga sebagai warga negara yang memiliki negara dan pemerintahan yang ada didalamnya (owner). Dengan tegas dinyatakan bahwa negara dan pemerintah adalah milik rakyat, karena eksistensi negara dan pemerintah memang hanya untuk rakyat. Peran partisipasi publik sebagai strategi meningkatkan kualitas pelayanan publik saat ini mendapatkan momentum yang tepat, karena otonomi daerah memberi ruang yang luas kepada daerah untuk merancang dan menentukan sendiri jenis pelayanan yang paling mendesak bagi masyarakat. Pemerintah daerah sebagai motivator dan fasilitator pembangunan di daerah bertugas sebagai provider layanan publik Rayner (1997) “One of the critical fungtions of local government is to be a forum where people can negotiative their interes, raise concerns about matters affecting them and try to reach a consensus or accommodate the needs of others� Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik, pemerintah akan mendapatkan beberapa keuntungan; 1) Pemerintah daerah akan mengetahui kebutuhan dan cara memenuhi kebutuhan masyarakat secara tepat. 2) Terjadi saling percaya antara pemerintah dan
1. Strategi Mengidentifikasi Peran Masyarakat Jika sebelunya masyarakat dilihat hanya sebagai customer, maka saat ini masyarakat telah dipandang sebagai warga negara yang memiliki negara, tentu berimplikasi pada pososi masyarakat dalam proses penyediaan layanan publik yang sebelumnya hanya dilakukan oleh pemerintah. Perubahan posisi ini seharusnya diikuti oleh perubahan strategi melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Wray et. Al (2000) memperlihatkan mengenai bagaimana sebenarnya kedudukan warga negara yang diposisikan sebagai pengguna berperan sentral dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 1. Masyarakat/warganegara sebagai customer yakni pengguna utama dan klien pelayanan publik sehingga mereka harus diperlakukan sebagi customer yang berharga bagi pemerintah sebagai provider. 2. Masyarakat sebagai pemilik (owner) yakni pemilik negara melalui pajak yang dibayarkan sebagi investasi pelayanan publik yang disediakan pemerintah. 3. Masyarakat sebagai pembuat dan penasehat isu kebijakan yakni menentukan visi pemerintah dan strategi untuk mewujudkan masa depan yang dinginkan. 4. Masyarakat bersama pemerintah sebagai produsen pelayanan publik yakni masyarakat dan institusi yang dibentuk oleh masyarakat bermitra dengan pemerintah menjadi penyedia pelayanan publik. 5. Masyarakat sebagai evaluator kualitas pelayanan publik yang dilakukan pemerintah yakni masyarakat sebagai penilai kualitas pelayanan publikyang disediakan pemerintah.
Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
61
Vol. III No.1 April 2013 6. Masyarakat sebagai pemantau pelayanan publik yakni pengukuran kinerja dilakukan oleh masyarakat yang bersifat independen dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Dari uraian ini terlihat bagaimana sebenarnya peranan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai warga negara yang memiliki hak mendapatkan pelayanan public, serta bagaimana pula peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. 2. Instrumen Meningkatkankan Partisipasi. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pelayanan publik dengan berbagai cara, dan dengan kedalaman yang berbedabeda. USAID menyebut instrumen partisipasi dalam penyediaan pelayanan publik sebagai berikut: 1) Penerbitan newsletter secara reguler (mingguan, bulanan) yang berisi aktivitas penting tentang pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah yang diberikan kepada masyarakat secara gratis. 2) Pertemuan warga dengan pemerintah daerah atau DPRD yang dilakukan secara berkala. 3) Menggunakan media massa untuk konfrensi pers, memberikan press release, pemerintah memberi penjelasan kepada wartawan mengenai isu-isu penting dalam masyarakat. 4) Membuka saluran kritik dan saran untuk pemerintah daerah melalui surat, telepon, e-mail dan sebagainya. 5) Menerbitkan brosur yang berisi pemberitahuan kepada masyarakat tentang organisasi pemerintah daerah. 6) Talk show melalui TV, Radio lokal untuk membahas masalah pelayanan publik. 7) Public bearing dengan bebagai topik misalnya pembiayaan, kualitas pelayanan publik dan sebagainya. 8) Membentuk semacam lembaga perwakilan yang menampung dan mendiskusikan aspirasi generasi muda tentang masalah demokrasi. 9) Mengadakan festival daerah sebagai sarana untuk mengintegrasikan keinginan masyarakat dengan berkumpul dan mendiskusikan masalah daerah. 10) Membentuk tim khusus
di pemerintah daerah untuk menangani masalah peningkatan partisipasi masyarakat. 11) Membuat forum “Anda bertanya Kami menjawab� yang diterbitkan di media massa lokal untuk berinteraksi dengan masyarakat tentang keluhan dan masalah yang dihadapi masyarakat. 12) Melakukan survey untuk menjaring aspirasi masyarakat. 13) Membentuk program-program kemitraan bersama masyarakat dengan fokus utama mencari cara memecahkan masalah khusus yang dihadapi oleh mesyarakat. 14) Membuat Citizen dan LSM Charter, yaitu kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat atau LSM untuk melakukan aktivitas bersama guna memecahkan masalah yang dihadapi pemerintah dan masyarakat. 15) Membuat mekanisme untuk menyediakan dana bagi programprogram yang muncul atas inisiatif masyarakat. Pemeritah Skotlandia dalam penelitiannya tentang “Customer and Citizen Focused Public Service Provision �(http:/www. Sctland. Go v. u k / c r u / k d 0 1 / b lu e / c c f p - 0 7 . a s p ) menyebut instrumen untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik, yaitu: (1) membuat saluran untuk menampung keluhan konsumen, (2) membuat saluran untuk menampung saransaran dari konsumen, (3) melakukan survey konsumen, (4) melakukan kontrak atau pertemuan dengan konsumen, (5) membuat forum untuk memperoleh masukan kualitatif dari konsumen, misalnya membentuk forum konsumen. 3. Menyesuaikan Instrumen Partisipasi yang Sesuai dengan Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik Agar partisipasi pelayanan publik efektif, perlu dilakukan pemilahan berbagai inst-rumen partisipasi untuk disesuaikan dengan peran masing-masing dari masyarakat sebagai pengguna layanan publik. Sesuai dengan peran yang dimainkan oleh warga negara sebagai pengguna layanan publik, maka instrumen partisipasi pelayanan publik dikelompokkan sebagai berikut:
Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
62
Vol. III No.1 April 2013 1). Peran masyarakat sebagai customer; Peran yang dijalankan yakni masyarakat sebagai pengguna utama dan klien dari pelayanan public, sehingga mereka harus diperlakukan sebagai customer yang berharga oleh pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik; 2). Masyarakat sebagai pemilik; Bagaimana peran yang dijalankan: masyarakat sebagai pemilik negara melalui pajak yang dibayarkan kepada yang melakukan investasi terhadap pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah. Masyarakat adalah owners karena mereka memberi suara secara langsung untuk memilih gubernur/bupati/walikota yang akan menjalankan pemerintahan. Instrumen partisipasinya adalah menyediakan tempat bagi perwakilan masyarakat untuk menjadi dewan pengawas lembaga pelayanan masyarakat dan membentuk Ombudsman serta ombudsneighour. 3). Peran masyarakat sebagai pembuat isu kebijakan; peran yang dijalankan adalah masyarakat menentukan visi pemerintah, masa depan yang ingin diwujudkan serta strategi untuk mencapai tujuan-tujuan tesebut. Masyarakat adalah penasehat pemerintah ketika akan membuat kebijakan yang menyangkut kepentingan publik. Instrumen partisipasinya adalah membentuk dewan penasehat pemerintah daerah, penjaring aspirasi masyarakat dan publik bearing; 4). Masyarakat bersama dengan pemerintah sebagai produsen layanan publik. Peran yang dijalankan adalah masyarakat bersama institusi-institusi yang dibentuk bekerjasama dengan pemerintah merupakan penyedia layanan publik, baik dibayar maupun dilakukan secara sukarela. Instrumen partisipasinya adalah membentuk perkumpulan masyarakat untuk menyelenggarakan layanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan dan sebagainya serta membuat program kemitraan. 5). Peran masyarakat sebagai evaluator kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Peran yang dijalankan sebagai pengguna utama pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah; masyarakat memegang posisi yang paling senteral untuk menilai kualitas pelayanan publik yang disediakan pemerintah. Instrumen partisinya adalah melakukan survey konsumen dan membetuk watchdog untuk berbagai jenis pelayanan publik. 6). Peran masyarakat sebagai pemantau independen pelayanan publik. Peran yang dimainkan adalah pengukuran kinerja yang dilakukan oleh masyarakat pada level akar rumput yang lebih bersifat independen dengan berorientasi pada kesejahteraan masyarajat secara umum. Instrumen partisipasinya adalah mendorong munculnya relawan untuk mengawasi dampak kegiatan pelayanan publik pada masyarakat, misalnya timbulnya volusi udara dan sebagainya. 4. Memilih Instrumen Partisipasi Wilcox (1994) mengingatkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih instrument partisipasi, yaitu: 1) Partisipasi akan dilakukan secara penuh jika dibutuhkan masyarakat, sebaliknya partisipasi juga dapat bersifat terbatas. 2) Meskipun masyarakat hanya “satu� namun mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Mengingat eksistensi masyarakat yang berbeda tentu juga memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga stakeholders yang berbeda itu harus dipertimbangankan peranannya. 3) Partisipasi membutuhkan waktu sehingga harus mempertimbangkan jenis partisipasi yang paling tepat untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. 4) Masyarakat akan bersedia berpartisipasi jika mereka telah saling memahami, memiliki kepercayaan untuk ikut berpartisipasi serta mengetahui manfaat dari kegiatan partisipasinya.5) Pengambil kebijakan harus menyadari posisinya, sebab kewenangan yang dimilikinya mempengaruhi jenis partisipasi yang akan diterapkan. 5. Mengimplementasikan Strategi Partisipasi
Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
63
Vol. III No.1 April 2013 Implementasi partisipasi pelayanan publik yang dipilih merupakan tahapan yang kritis dan sulit, karena hal ini merupakan tindakan nyata yang mengintegrasikan; sumber daya manusia pemerintah daerah, unit birokrasi pelaksana, sumber daya keuangan, dan strategi yang dipilih untuk mewujudkan partisipasi dalam penyediaan layanan publik. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam implementasi strategi partisipasi sebagai berikut: 1) Mempersiapkan SDM yang bertanggung jawab untuk menjalankan strategi yang sudah dipilih dengan memberikan pelatihan, rapat-rapat koordinasi tentang cara pelaksanaan strategi partisipasi tersebut. 2) Membentuk kepanitiaan yang terdiri dari para staf yang sudah dilatih sebagai unit yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas mendorong partisipasi. 3) Mempersiapkan anggaran yang digunakan untuk menunjang kegiatan tersebut agar kegiatan peningkatan partisipasi berlangsung secara berkelanjutan.4) Mempersiapkan tekonologi yang dapat mendukung kegiatan partisipasi. 5) Melakukan evaluasi secara kontinu atas pelaksanaan kegiatan partisipasi. F. GOOD GOVERNANCE UNTUK PEMERINTAH DAERAH Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sistem pemerintahan telah melahirkan suatu model baru yang disebut Good Governance. Good governance merupakan sistem kepemerintahan yang menjadi impian masyarakat, karena good governance memiliki paradigma yang dapat menciptakan ketatapemerintahan yang efisien, sehingga dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Frederickson (1997) mengartikulasikan governance sebagai suatu proses dimana suatu sistem sosial, ekonomi atau sistem organisasi kompleks lainnya dikendalikan dan diatur. Sedangkan dalam perspektif fungsional, governance dimaknai sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya. (Pinto, 1994). UNDP (1994) menjelaskan governance is defined as the
exercuse of political, economic, and aminisrative authority to manage nation’s affair at all level. Governance has legs; economic, political and administrative. Pandangan ini menegaskan bahwa governance mempunyai tiga dimensi yakni dimensi politik, ekonomi dan dimensi administrasi, dimana ketiga dimensi tersebut berpengaruh terhadap pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah (negara). Karena itu, sistem pemerintahan good governance mencakup proses dan struktur masyarakat yang mengarahkan hubunganhubungan sosial ekonomi dan politik untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Berkaitan dengan orientasi good governance, Masdiasmo (2002) orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk mencipatakan good governance, dimana pengertian dasarnya adalah kepemerintahan yang baik, yang berupaya menciptakan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif. Good governance menuntut reformasi peran aparatur negara agar mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Menurut UNDP (LAN dan BPKP, 2000) karakteristik good governance adalah:1)Participation, setiap warga negara memiliki hak suatu dalam pembuatan keputusan. 2) Rule of law, pemerintahan harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hak asasi manusia.3) Transparancy, yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.4) Responsiveness, penyelenggara pemerintahan harus melayani kepentingan stakeholders. 5) Consensus orientation, perantara kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan yang terbaik dalam hal kebijakan maupun prosedur.6) Equity, semua warga negara berhak mendapatkan kesejahteraan.7) Effectiveness and efficiency, lembagalembaga pemerintah harus menghasilkan produk dan menggunakan sumber-sumber yang tersedia yang sesuai dengan yang ditentukan. 8) Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat betanggung jawab kepada
Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
64
Vol. III No.1 April 2013 publik.9) Strategy visi贸n memiliki visi yang tepat untuk melaksanakan kebijakan pelayanan publik Di Indonesia, reformasi sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang ditandai dengan lahirnya berbagai ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan negara/daerah berdasarkan paradigma good governance yakni suatu sistem pemerintahan yang lebih transparans, berkeadilan, akuntabel dengan mengedepankan pelayanan publik. Tujuan reformasi sistem penyelenggaraan birokrasi pemerintahan dalam rangka penguatan dan pemberdayaan peranserta masyarakat dalam berbagai aktivitas pemerintahan, termasuk dalam pengambilan kebijakan publik. Ide dasar reformasi sistem pemerintahan birokrasi adalah negara sebagai institusi legal formal dan konstitusional yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan, baik dalam fungsinya sebagai regulator maupun sebagai agent of changes. Reformasi sistem pemerintahan menuntut adanya implementasi yang sebenarnya dari civil society, yakni sistem pemerintahan yang memberi ruang gerak yang luas bagi masyarakat untuk berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis sesuai dengan paradigma good governance. Dalam konteks sistem pemerintahan dan sistem politik tersebut, maka pertanyaan yang perlu dijawab adalah apa yang harus dilakukan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik di Indonesia?. Format sistem pemerintahan yang bagaimana yang seharusnya dikembangkan agar mampu memfasilitasi partisipasi masyarakat?. Sistembirokrasi seperti apa yang kondusif bagi partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat memerlukan ruang publik (public sphere) di mana setiap warga negara bisa secara bebas dan mandiri mengemukakan pendapatnya tentang berbagai masalah kemasyarakatan. Masyarakat seharusnya memiliki ruang gerak yang memadai untuk memanfaatkan potensinya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, seperti kebebasan menentukan arah/pilihan politik, perlakuan yang adil secara hukum, biaya dan pelayanan pendi-
dikan, misalnya pendidikan gratis, pelayanan kesehatan yang murah, serta kebutuhan lainnya. Konsep masyarakat bermuara pada tiga syarat pokok dalam pemerintahan yaitu: 1) kompetisi yang sesungguhnya dan di antara individu dan kelompok, tidak ada unsur paksaan, 2) partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pembuatan kebijakan, implementasi dan pengawasan kebijakan publik, 3) kebebasan politik dalam seluruh proses sosial dan kenegaraan. F. KESIMPULAN Partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan, penyelenggaraan programprogram pembangunan dan pelayanan publik merupakan elemen pokok dalam good governance, karena melalui partisipasi masyarakat akan membantu pemerintah menjadikan pemerintahan yang efisien dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi masyarakat sejak era reformasi di Indonesia telah terlihat secara nyata misalnya dalam bidang politik seperti keikiutsertaan masyarakat dalam PEMILUKADA dan PEMILU Presiden, DPR/DPRD, DPD yang telah meningkat. Pelayanan bidang kesehatan di mana masyarakat telah mendirikan dan maanfaatkan sarana dan prasarana kesehatan secara swadaya misalnya POSYANDU, KB Mandiri. Dalam bidang pendidikan, dimana masyarakat telah berpartisipasi secara nyata dengan membangun sekolah swasta dan tempat kursus (workshop) yang telah banyak menghasilkan ilmuan dan praktisi. Partisipasi masyarakat juga telah kelihatan dalam hukum, dimana beberapa lembaga advokasi ikut membantu masyarakat (bantuan hukum) bagi yang kurang mampu baik financial maupun persoalan hukum praktis. Dalam bidang keamanan dimana masyarakat telah terlibat dalam membangun POSKAMLING. Dalam bidang keuangan negara dimana masyarakat telah aktif membayar pajak sehingga APBN kita sebagian besar bersumber dari pajak masyarakat. Demikian juga dalam pembuatan kebijakan publik, dimana dalam pembahasan suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah juga
Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
65
Vol. III No.1 April 2013 melibatkan elemen masyarakat yang memiliki Glicken, J. 1999. :Effective Public Involvement kompetensi. Dalam bidang keagamaan masyain Public Desicions” in Science Commurakat telah ikut berpartisipasi pembangunan nication. V. 20 (3). sarana dan prasarana peribadatan yang sampai saat ini telah tersedia secara memadai. Kei Ho, A.T and Coaates, P. 2002. “Citizen ParSecara sederhana dapat dikatakan bahwa muticipation Legitimazing Performance lai dari pencarian isu, formulasi, pembuatan, Measurement as a Decisions Tool,” Govpelaksanaan dan pengendalian dari kebijakanernment Finance Review. April. kebijakan tersebutdi atas telah melibatkan partisipasi masyarakat. Moynihan, DP. 2003. Normative and Instrumental Perspective on Public ParticiDAFTAR PUSTAKA pation. Amwrican Review of Public Administratiion, V 33 (2). Albrow, Martin, 1989, Birokrasi, diterjemahkan oleh Rusli Karim dan Totok Osborne, D. and T. Garbler. 1992. Reinventing Daryanto, PT. Tiara Wacana. Jakarta. Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public SecDenhart, Janet V and Robert B. Denhard, tor. Reading, MA Addison. Wesley. 2003. New Public Service: Serving not Steering. London. M.E. Sharpe. Osborne, D. and P. Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategis for ReDwiyanto, Agus .2002. Reformasi birokrasi inventing Government. Massachusets: Publik Indonesia. Yogyakarta. PSKK UGM. Addison-Wesley Publishing. ----------, 2006. Mewujudkan Good Governance Melalaui Pelayanan Publik, Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Ferlie.E. et. al. 1996. The New Public Management in Action. Oxford: Oxford University Press. Frederickson, H. George, 1984. Administrasi Negara Baru (New Publivc Administration), diterrjemahkan oleh Al Ghoze, Jakarta. LP3ES.
Reyner, M. 1997. Local Government: Where Democracy is born”’ in local Government Focus acces via internet www.loc-gov.uk/cru/kd01/blue/ccfp07, asp. UNDP. 1997. Tata Pemerintahan yang Baik dari KIta untuk Kita. Jakarta: UNDP. Urban Instite-USAID (tt) Citizen Participation Model Local Government. Local Government Refort Project.
*********
Partisipasi publik sebagai strategi mewujudkan good governance otonomi daerah Public participation as a strategy for making good governance regional autonomy - MUHAMMADIAH
66
Vol. III No.1 April 2013
IMPLEMENTASI PROGRAM ALOKASI DANA DESA (ADD) DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA PUNAGAYA KECAMATAN BANGKALA KABUPATEN JENEPONTO IMPLEMENTATION OF VILLAGE FUND ALLOCATION (ADD) TO COMMUNITY EMPOWERMENT IN PUNAGAYA VILLAGE BANGKALA DISTRICT JENEPONTO REGENCY Octrian TSL 1, Mappamiring 2, Mappigau Samma3 1 Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 3 Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alaudin No. 259 Makassar 90221 Tlp. O411-866972 ext. 107. Fax. O411-865588
2
ABSTRACT Punagaya village through the village fund allocation (ADD) will allocate a budget for community development in the areas of sugar production business, the study aims to look at the implementation of the allocation of funds in the rural community empowerment programs and the factors that affect the implementation of the implementation of the allocation of funds within the village community empowerment program in the Village Punagaya sub Bangkala Jeneponto district. This research is descriptive qualitative research sampling technique used was purposive sampling. This study uses data analysis techniques interviews and observations, after which the data collected are then analyzed using frequency tables later be described qualitatively. Number of samples 33 people consisting of 1 person village head, village secretary 1 person, a member of the Committee seminar 5 people, local people 7 people, 4 people Ibu PKK, brown sugar 6 people Makers, Executive Team Live Help ADD 3orang, public figures 6 people. Penelitaian showed that 52% of people believe that the implementation of the Village punagaya village fund allocation in the village punagaya poorly this happens because people do not see the program conducted by the local government to improve the empowerment and increased repair services performed by local governments to use allocation of village funds. Based on the research I did it, it can be concluded that the public has not been empowered by optimal utilization of ADD in the Village District Punagaya Bangkala Jeneponto. It is caused due to problems such as the allocation of funds provided inadequate to meningatkan empowerment, besides the allocation of funds is often given too late and village officials rendahmya influence on the development and management of the allocation of funds is a factor inhibiting village program implementation in the village of village fund allocation Punagaya Sub Bangkala Jeneponto but from the village fund allocation is expected to increase creativity, prosperity and jobs for the community. Keywords: Implementation, Village Fund Allocation (ADD)
67
Vol. III No.1 April 2013 ABSTRAK Desa Punagaya melalui Alokasi dana desa (ADD) akan mengalokasikan anggaran untuk pemberdayaan masyarakat di bidang usaha produksi gula merah,penelitian ini bertujuan untuk melihat implementasi alokasi dana dalam program pemberdayaan masyarakat desa dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan implementasi alokasi dana desa dalam program pemberdayaan masyarakat di Desa Punagaya kecamatan Bangkala kabupaten Jeneponto. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik penarikan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data hasil wawancara dan observasi , dimana setelah data dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan tabel frekwensi kemudian di deskripsikan secara kualitatif. Jumlah sampel 33 orang terdiri dari Kepala desa 1 orang, Sekretaris desa 1 orang, anggota Panitia seminar 5 orang , Masyarakat setempat 7 orang, Ibu PKK 4 orang , Pembuat gula merah 6 orang, Tim Pelaksana Bantuan Langsung ADD 3orang, Tokoh masyarakat 6 orang. Penelitaian ini menunjukkan bahwa sebesar 52% masyarakat Desa punagaya beranggapan bahwa implementasi alokasi dana desa di Desa punagaya kurang baik hal ini terjadi karena masyarakat tidak melihat adanya program yang dilakukan oleh pemerintah setempat guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan perbaikan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah setempat dengan menggunakan alokasi dana desa. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat belum diberdayakan secara optimal dalam pemanfaatan ADD di Desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto. Hal ini disebabkan karena adanya masalah seperti alokasi dana yang diberikan belum memadai untuk meningatkan pemberdayaan masyarakat , selain itu alokasi dana ini sering terlambat diberikan dan rendahmya pengaruh aparatur desa terhadap pengembangan dan pengelolaan alokasi dana desa ini menjadi faktor penghambat implementasi program alokasi dana desa di Desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto padahal dari alokasi dana desa ini diharapkan dapat meningkatkan kreatifitas, kesejahteraan dan lapangan kerja bagi masyarakat. Kata kunci: Implementasi, Alokasi Dana Desa (ADD)
A. PENDAHULUAN Implementasi Kebijakan merupakan langkah lanjutan berdasarkan suatu kebijakan formulasi. Definisi yang umum dipakai menyangkut kebijakan implementasi adalah (Wahab, 1997: 63). Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, pejabat-pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan– tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Keberadaan Desa secara yuridis formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini Desa diberi pengertian sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat se-
tempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah guna terwujudnya kemandirian daerah yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal. Meskipun titik berat otonomi diletakkan pada tingkat Kabupaten/Kota, namun secara esensi sebenarnya kemandirian tersebut harus dimulai dari level pemerintahan di tingkat paling bawah, yaitu Desa. Sehingga pembangunan daerah seharusnya lebih terfokus pada pemberdayaan masyarakat Desa. Dalam kondisi demikian, pemerintah daerah selalu di ragukan kapasitasnya dalam menjalankan desentralisasi. Di sisi lain, birokrasi daerah juga harus mereformasi diri dari pemerintahan yang korup menjadi pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Saat ini Pemerintah Desa (Pemdes) setidaknya dapat bernafas lega. Betapa tidak, untuk menjawab persoalan minimnya sumber dana keuangan dan rendahnya tingkat kesejahteraan aparat pemilihan desa ter-
Implementasi program alokasi dana desa (add) dalam pemberdayaan masyarakat di desa punagaya kecamatan bangkala kabupaten Jeneponto Implementation Of Village Fund Allocation (ADD) To Community Empowerment In Punagaya Village Bangkala District Jeneponto Regency - OCTRIAN TSL 1, MAPPAMIRING 2, MAPPIGAU SAMMA 3
68
Vol. III No.1 April 2013 jawab dengan beberapa produk perundangundangan telah dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah produk Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/2005 yang mengatur tentang Desa. Dibanding dengan produk sebelumnya, Peraturan Pemerintah tersebut setidaknya telah memberi secercah harapan untuk mengoptimalkan roda pemerintah desa. Oleh karena desa tidak lagi mendapat perlakuan diskriminatif seperti pada masamasa sebelumnya, dimana desa hanya dijadikan obyek dari seluruh produk politik. Kehadiran Peraturan Pemerintah itu juga memberi ruang besar dan layak bagi desa. Sebaik apapun regulasi yang dibuat jika tidak ditunjang dengan komitmen riil maka hanya selesai di atas kertas saja. Paling tidak sampai saat ini hampir seluruh pemerintah daerah di Sulawesi bersikap inkonsistensi untuk menerapkan Alokasi Dana Desa dan Lebih parah lagi karena mereka terkesan telah mengabaikan aturan perundang-undangan. Pada point satu huruf c pasal 68 Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/2005 ditegaskan bahwa “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota paling sedikit 10 persen, yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa�. Namun pada tingkat implementasi tidak demikian halnya. Sejak Alokasi Dana Desa di programkan, seharusnya Pemda telah melakukan penyesuaian.Tidak realistis jika alasan ketidaksiapan perangkat aturan dan sumber daya pemdes dijadikan sebagai kambing hitam. Ironisnya, hanya karena tertekan oleh Pemdes lantas dana pembangunan Desa/ Kelurahan (DPDK) dinaikkan dari besaran sebelumnya. Dari Rp 7 juta naik menjadi Rp 30 juta. Pemberian dana tersebut secara tidak langsung telah mengebiri hak-hak pemerintah dan masyarakat desa. Malah dibeberapa daerah, pemberiaan DPDK disertai dengan embel-embel layaknya sinter klas yang masuk ke kampung-kampung. Inkosistensi sikap Pemda mulai ditunjukkan sejak kebijakan ADD mulai digulirkan. Keganjilan lain muncul karena hampir setahun sejak dikeluarkan pada bulan Maret 2005, aparat Pemda terkesan menutup-
nutupi. Jangankan tersosialisasi ke aparat Pemdes ditingkat DPRD pun tidak seluruhnya mendapat informasi. Selama ini, pembangunan desa masih banyak bergantung dari pendapatan asli desa dan swadaya masyarakat yang jumlah maupun sifatnya tidak dapat diprediksi. Selain itu, desa memperoleh pula bantuan pembangunan dari dinas/instansi pemerintah kabupaten, dimana penentuan program-programnya lebih ditetapkan oleh dinas/instansi itu sendiri (top down). Meskipun programnya baik tetapi sering tidak ketemu dengan asas manfaat karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh desa. Sehingga sering kita jumpai masyarakat kurang peduli dalam mendukung program maupun memeliharanya. Ada pun program pemberdayaan masyarakat di Desa Punagaya yaitu akan mengalokasikan anggaran untuk pemberdayaan masyarakat di bidang usaha produksi gula merah, Program dari alokasi dana desa jaga adalah penunjangan kegiatan PKK misalnya untuk peruntukan biaya rapat,pembuatan baju seragam gerak jalan.kemudian untuk peruntukan infrastruktur desa misalnya untuk pembuatan jamban keluarga dan flat dekker, serta ada pembiayaan untuk pembinaan anakanak dan remaja. Beberapa Kabupaten telah melakukan inovasi dengan pengalokasian dana langsung ke desa dari APBD-nya untuk mendukung pembangunan di wilayah pedesaan. Alokasi dana ke desa ini, telah terbukti mampu mendorong penanganan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa secara mandiri, tanpa harus lama menunggu datangnya program-program dari pemerintah Kabupaten. Dengan adanya alokasi dana ke desa, perencanaan partisipatif akan lebih berkelanjutan karena masyarakat dapat langsung merealisasikan beberapa kebutuhan yang tertuang dalam dokumen perencanaan di desanya. Penulis merasa sangat perlu untuk mengkaji tentang persoalan dan permasalahan diatas melalui penelitian ini sehingga di harapkan hasilnya mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat jeneponto khususnya Desa Punagaya.
Implementasi program alokasi dana desa (add) dalam pemberdayaan masyarakat di desa punagaya kecamatan bangkala kabupaten Jeneponto Implementation Of Village Fund Allocation (ADD) To Community Empowerment In Punagaya Village Bangkala District Jeneponto Regency - OCTRIAN TSL 1, MAPPAMIRING 2, MAPPIGAU SAMMA 3
69
Vol. III No.1 April 2013 bangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran Implementasi Kebijakan akan potensi yang dimilikinya serta berupaya Implementasi merupakan langkah lanju- untuk mengembangkannya. United nation detan berdasarkan suatu kebijakan formulasi. velopment program (UNDP) menterjemahkan Definisi yang umum dipakai menyangkut kebi- pemberdayaan (empowerment) sebagai suatu jakan implementasi adalah (Wahab, 1997: 63). proses yang memungkinkan kalangan indiviImplementasi adalah tindakan-tindakan yang dual atau kelompok merubah keseimbangan dilakukan baik oleh individu-individu, pejabat- kekuasaan dalam segi sosial, ekonomi maupun pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah politik pada sebuah masyarakat atu komunitas. atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan–tujuan yang telah digariskan dalam Pemberdayaan Masyarakat keputusan kebijakan. Pemberdayaan masyarakat adalah memoKonteks implementasi demikian baru tifasikan dan mendorong dalam peningkatan akan terlihat pengaruhnya setelah kebijakan stabilitas program desa yang dimana untuk tersebut dilaksanakan. Hal itulah yang menun- menciptakan suatu desa yang baik dan jukkan bahwa proses pelaksanaan kebijakan berpotensi stabil. Di jelaskan bahwa pembermerupakan salah satu tahapan penting dan dayaan masyarakat mengacu pada proses momentum dalam proses perumusan/pem- perubahan struktural masyarakat dengan buatan kebijakan selanjutnya, sebab berhasil pendekatan baru dan lebih baik agar masyaatau tidaknya suatu kebijakan dalam mencapai rakat dapat memenuhi kebutuhan dasar dan tujuannya ditentukan dalam pelaksanaannya. sosialnya secara layak. Konsep lain dari pemOleh karena itu, rumusan kebijakan yang telah berdayaan masyarakat, bahwa munculnya dibuat, tidak akan mempunyai arti apa-apa istilah pemberdayaan masyarakat disebabkan atau hanya akan merupakan rangkaian kata- karena meningkatnya tuntutan masyarakat kata indah dan baku yang tersimpan rapi berkenaan dengan adanya masalah-masalah dalam sebuah dokumen kalau tidak diimple- yang terkait dengan ekologi, ekonomi, politik, mentasikan. Berkaitan dengan hal itu, dapat sosial dan budaya akibat globalisasi. dikatakan bahwa salah satu tolok ukur keberhasilan suatu strategi atau kebijakan terletak C. METODE PENELITIAN pada proses implementasinya. Penelitian ini adalah penelitian survey, dan Alokasi Dana Desa (ADD) jenis penelitian kualitatif yaitu yang merupaPemberian anggaran kepada desa untuk kan penelitian menggambarkan kejadian melaksanakan program-program desa yang secara umum dengan sistematis tentang Impdi serahkan oleh pusat untuk suatu desa. lementasi Program Dana Alokasi Desa Dalam Alokasi Dana Desa selanjutnya disebut ADD Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Punagaya adalah dana yang bersumber dari APBD Kecematan Bangkala Kabupaten Jeneponto. Kabupaten yang dialokasikan dengan tujuan Populasi dalam penelitian ini adalah aparat pemerataan kemampuan keuangan antar Desa dan masyarakat desa Punagaya Kecamadesa untuk mendanai kebutuhan desa dalam tan Bangkala Kabupaten Jeneponto yaitu kepala rangka penyelenggaraan pemerintahan dan desa, Sekertaris Desa, ibu PKK, tim pelaksana pelaksanaan pembangunan serta pelayanan bantuan langsung ADD, tokoh masyarakat, masyarakat. Alokasi Dana Desa merupakan pembuat gula merah, panitia seminar pelakperolehan bagian keuangan desa dari kabu- sana kegiatan dan masyrakat setempat. Tekpaten yang penyalurannya melalui Kas Desa. nik penarikan sampel dalam penelitian ini Alokasi Dana Desa merupakan bagian dana adalah purposive sampling yang bertujuan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memilih responden secara sengaja, yaitu yang diterima oleh Kabupaten. mereka yang dianggap berkompeten atau Pemberdayaan adalah upaya untuk mem- dianggap tahu pasti tentang alokasi dana desa. B. KERANGKA TEORITIS
Implementasi program alokasi dana desa (add) dalam pemberdayaan masyarakat di desa punagaya kecamatan bangkala kabupaten Jeneponto Implementation Of Village Fund Allocation (ADD) To Community Empowerment In Punagaya Village Bangkala District Jeneponto Regency - OCTRIAN TSL 1, MAPPAMIRING 2, MAPPIGAU SAMMA 3
70
Vol. III No.1 April 2013 Dimana sampelnya terdiri dari kepala desa 1 orang, sekretaris desa 1 orang, ibu-ibu PKK 4 orang, tokoh masyarakat di enam dusun sebanyak 6 orang, panitia seminar 5 orang, masyarakat setempat 7 orang, pembuat gula merah 6 orang, tim pelaksana ban-tuan langsung ADD 3 orang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik Wawancara (Interview) yaitu mengajukan pertanyaan langsung kepada responden yang berkaitan dengan implementasi program alokasi dana desa dalam pemberdayaan masyarakat, Pengamatan (Observasi) yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan langsung terhadap implementasi program alokasi dana desa alam pemberdayaan masyarakat dan Kuesioner/Angket yaitu merupakan tekhnik pengumpulan data yang berisi rangkaian pertanyaan tertulis yang diberikan kepada responden untuk di jawab. Analisa data penulis menggunakan teknik analisis data hasil wawancara dan observasi setelah data dikumpulkan selanjutnya dianalisis data dengan menggunakan tabel frekwensi kemudian di deskripsikan secara kualitatif.
Dari data tabel diatas, menunjukkan bahwa sebesar 52% masyarakat Desa Punagaya beranggapan bahwa implementasi alokasi dana desa di Desa Punagaya dalam kategori kurang baik hal ini terjadi karena masyarakat tidak melihat adanya program yang dilakukan oleh pemerintah setempat guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan perbaikan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah setempat dengan menggunakan alokasi dana desa ini. Memang mereka membuat daftar usulan rencana kegiatan (DURK) namun implementsi dari rencana tersebut belum mampu dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari masih adanya rencana kegiatan yang belum dilaksanakan seperti pengadaan air bersih dan perbaikan/rehabilitasi gedung pertemuan masyarakat.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi alokasi dana dalam program pemberdayaan masyarakat dan mengetahui faktor-faktor yang Berhubungan dengan pelaksanaan alokasi dana desa dalam program pemberdayaan masyarakat di Desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
Faktor Penghambat a). Alokasi Dana di Desa Belum Memadai Alokasi dana desa yaitu pemberian anggaran kepada desa untuk melaksanakan program-program desa yang di serahkan oleh pusat untuk suatu desa. Namun pemberian alokasi kepada setiap desa dirasa belum memadai, begitupula yang dirasakan oleh Pemerintah Desa Punagaya Kabupaten Jeneponto dimana mereka merasa bahwa alokasi dana desa yang mereka peroleh belum mampu meningkatkan pemberdayaan masyarakat karena alokasi dana desa ini belum mampu meningkatkan pembangunan disegala bidang yang dapat menunjang peningkatan pemberdayaan masyarakat. Dapat kita lihat tanggapan responden pada tabel berikut :
Tabel 1 : Hasil Analisa Implementasi alokasi dana desa di Desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
Tabel 2 : Hasil Analisa Kecukupan Alokasi Dana Desa Di Desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
NO.
KATEGORI JAWABAN
FR E K U E N S I
PRESENTASE (% )
NO.
KATEGORI JAWABAN
FR E K U E N S I
PRESENTASE (% )
1.
Sangat Baik
-
0%
1.
Sangat Memadai
4
12 %
2.
B ai k
11
33 %
2.
Memadai
2
6%
3.
Kurang Baik
17
52 %
3.
Kurang Memadai
13
39 %
4.
Tidak Baik
5
15 %
4.
Tidak Memadai
14
42 %
33
100 %
33
100 %
JUMLAH
Sumber: Di olah dari Data Sekunder Tahun 2012
JUMLAH
Sumber: Di olah dari Data Sekunder Tahun 2012
Implementasi program alokasi dana desa (add) dalam pemberdayaan masyarakat di desa punagaya kecamatan bangkala kabupaten Jeneponto Implementation Of Village Fund Allocation (ADD) To Community Empowerment In Punagaya Village Bangkala District Jeneponto Regency - OCTRIAN TSL 1, MAPPAMIRING 2, MAPPIGAU SAMMA 3
71
Vol. III No.1 April 2013 Hasil penelitian tentang kecukupan alokasi dana desa Pungaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto. Sebanyak 12% responden yang menyatakan sangat memadai, 6% responden yang menyatakan memadai, sebanyak 39% responden yang menyatakan kurang memadai dan sebanyak 42% responden yang menyatakan tidak memadai. Hal ini menunjukan alokasi yang didapat tidak memadai maka peningkatan pemberdayaan masyarakat ini menjadi terhambat. b). Alokasi Dana Lambat Alokasi dana desa diberikan kepada setiap desa setiap tahunnya, namun alokasi dana desa ini terkadang diberikan tidak tepat pada waktunya. Mengenai alokasi dana desa dapat kita lihat pada tabel berikut : Tabel 3 : Hasil Analisa Ketepatan Waktu Pemberian Alokasi Dana Desa di desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto. NO.
KATEGORI JAWABAN
FR E K U E N S I
PRESENTASE (% )
1.
Sangat Tepat
5
15 %
2.
Tepat
7
21 %
3.
Kurang Tepat
13
39 %
4.
Tidak Tepat
8
24 %
33
100 %
JUMLAH
Sumber: Di olah dari Data Sekunder Tahun 2012
Hasil penelitian tentang kecukupan alokasi dana desa Punagaya Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto. Sebanyak 15% responden yang menyatakan sangat tepat,21% responden yang menyatakan tepat, sebanyak 39% responden yang menyatakan kurang tepat dan sebanyak 24% responden yang menyatakan tidak tepat. Hal ini menunjukan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah terhdap dana alokasi tidak tepat dan lambat. Faktor Pendukung a). Partisipasi Desa Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “participation� adalah pengambilan bagian atau pengikut sertaan. Menurut Keith Davis, partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada penca-
paian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan emosi. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijaksanaan. Sumodingrat (1988) Partisipasi sebagai salah satu elemen pembangunan merupakan proses adaptasi masyarakat terhadap perubahan yang sedang berjalan. Dengan demikian partisipasi mempunyai posisi yang penting dalam pembangunan. Sumodingrat menambahkan, bahwa parasyarat yang harus terdapat dalam proses pembangunan berkelanjutan adalah dengan mengikutsertakan semua anggota masyarakat/rakyat dalam setiap tahap pembangunan b). Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketenteraman. Pemerintah mulai menyadari bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan salah satu agenda tahunan yang harus mendapatkan perhatian utama, untuk itu sekarang pemerintah berusaha melakukannya melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri (PNPM Mandiri) Dan melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, dan mendorong produktivitas masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa. Sehingga jika diteliti lebih jauh program ini tidak saja berfungsi untuk menanggulangi kemiskinan, tetapi juga sebagai stimulus untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan program Pemerintah Pusat, Pemerintah diberbagai daerah juga telah berusaha membuat berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan bagi rumah tangga miskin dan membuka lapangan kerja pada sektor informal salah satunya melalui alokasi dana desa yang bertujuan meningkatkan pemberdayaan
Implementasi program alokasi dana desa (add) dalam pemberdayaan masyarakat di desa punagaya kecamatan bangkala kabupaten Jeneponto Implementation Of Village Fund Allocation (ADD) To Community Empowerment In Punagaya Village Bangkala District Jeneponto Regency - OCTRIAN TSL 1, MAPPAMIRING 2, MAPPIGAU SAMMA 3
72
Vol. III No.1 April 2013 masyarakat. Oleh karena itu diharapkan dengan adanya alokasi dana desa pemerintah dan masyarakat desa dapat diberdayakan sehingga mereka memperoleh kehidupan yang lebih layak dan sejahtera.
kreativitasnya masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dirinya untuk menciptakan lapangan kerja yang dapat menunjang kehidupannya. E. KESIMPULAN
c). Peningkatan Lapangan Kerja Proses pembangunan pada suatu masya- 1). Implementasi Kebijakan Alokasi Dana rakat, paling tidak harus memiliki tiga tujuan Desa (ADD) di desa Punagaya Kecamatan inti pembangunan, yaitu: (1) Peningkatan Bangkala Kabupaten jeneponto berjalan ketersediaan serta perluasan distribusi bercukup lancar. Hal ini dapat terlihat dari bagai barang kebutuhan hidup yang pokok, tahap persiapan berupa penyusunan seperti sandang, pangan dan papan. (2) Daftar Usulan Rencana kegiatan (DURK), Peningkatan standar hidup yang mencakup penyelesaian setiap kegiatan sampai peningkatan pendapatan, penambahan penyedengan tahap penyusunan pertanggung diaan lapangan kerja, perbaikan kualitas jawaban. Namun demikian pencapaian pendidikan, serta peningkatan perhatian atas tujuan Alokasi Dana Desa belum optimal. nilai-nilai kultural dan kemanusissaan. (3) Hal ini dapat dilihat dari pencapaian Perluasaan pilihan-pilihan ekonomis dan tujuan Alokasi Dana Desa (ADD), yaitu sosial bagi setiap individu dalam suatu negara, meningkatnya penyelenggaraan pemeyakni dengan membebaskan mereka dari rintahan, pembangunan dan kemasyarabelitan sikap menghambat dan ketergantukatan, meningkatnya kemampuan lembangan terhadap negara lain. ga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendali Tiga tujuan inti pembangunan yang harus mendorong peningkatan partisipasi dimiliki oleh suatu negara dalam proses pemswadaya gotong royong masyarakat dan bangunan belum dapat terpenuhi di negarapembangunan serta mendorong peningnegara berkembang. Hal ini dikarenakan katan partisipasi swadaya gotong royong adanya permasalahan yang banyak dihadapi masyarakat. oleh negara-negara berkembang saat ini, 2). Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan seperti Indonesia, diantaranya adalah implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) Pertama, mayoritas penduduknya bekerja di di desa Punagaya Kecamatan Bangkala sektor pertanian dibandingkan dengan yang Kabupaten Jeneponto diantaranya, Fakbekerja di sektor industri karena mengalami tor pendukung yaitu: Peningkatan kreakekurangan modal, teknik, dan kekurangan tifitas masyarakat, Peningkatan kesejahkeahlian managerial. Kedua, memiliki sumberteraan masyarakat, Peningkatan lapangan sumber alam yang melimpah namun belum kerja. Sedangkan Faktor Penghambat diolah dan dimanfaatkan secara maksimal yaitu: Alokasi dana di desa belum memasehingga masih bersifat potensial karena dai, Alokasi dana lambat. kekurangan modal dan tenaga ahli. Ketiga, mayoritas penduduknya masih terbelakang DAFTAR PUSTAKA yang dapat diketahui dari kualitas penduduk sebagai faktor produksi tergolong rendah Agustino L, 2006, Dasar-Dasar Kebijakan sehingga efisiensi tenaga kerjanya pun Publik, Alfabeta, Bandung. rendah. Untuk itu diharapkan dengan adanya alo- Abidin, Said Zainal. Kebijakan Publik. kasi dana desa ini dapat menciptakan lapangan Jakarta:Penerbit Pancur Siwah, 2004. kerja bagi masyarakat desa setempat sehingga tidak ada lagi pengangguran dan masya- Khaeruddin dan Erwin AS, 2006, Metodologi rakat dapat hidup dengan sejahtera. Melalui Penelitian, CV. Berkah Utami, Makassar. Implementasi program alokasi dana desa (add) dalam pemberdayaan masyarakat di desa punagaya kecamatan bangkala kabupaten Jeneponto Implementation Of Village Fund Allocation (ADD) To Community Empowerment In Punagaya Village Bangkala District Jeneponto Regency - OCTRIAN TSL 1, MAPPAMIRING 2, MAPPIGAU SAMMA 3
73
Vol. III No.1 April 2013 Nawawi I, 2009. Public Policy (Analisis, strategi Wacana, Yogyakarta. advokasi teori dan praktek), PMN, Surabaya. Masykur M, Abaikan Regulasi Pelaksanaan ADD Pemda Kebiri Hak-hak Desa. http:/ Sumodiningrat, Gunawan, Strategi Pember/ p b h r s u lt e n g . o r g / c o m p o n e n t / dayaan Masyarakat Dalam. op tion,com_docman/Itemid,59/, tanggal 10 Maret 2008. Salusu, J. Pengambilan Keputusan Stratejik. Cet. Ketiga, Jakarta: Graindo, 2002. Pelaksanaan Otonomi Daerah, http:// google.com, tanggal 12 juni 2010. Satori, Djama’an, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung. Tim Mudik, Alokasi Dana Desa (ADD) Bukan Sekedar Uang, http://www.forum Thoha M, 2008, Birokrasi pemerintahan desa.org/mudik/mudik2/salam.php, Indonesia di Era Reformasi, Kencana tanggal 8 juni 2010. Prenada Media Group, Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. Putra, Fadlllah, 2003, Paradigma Kritis Dalam 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Studi Kebijakan Publik. Surabaya pustaka pelajar, 2003. ............ Himpunan Peraturan Perundang – Undangan Kecamatan, Desa Dan KeluWidjaja, 2003, Otonomi Desa, PT. Raja rahan, 2008, Fokusmedia, Bandung. Grafindo Perdsada, Jakarta. ............ Himpunan Peraturan dan petunjuk Winarno B, 2008, Gagalnya organisasi Desa pelaksanaan pemerintah desa dan dalam Pembangunan di Indonesia, Tiara kelurahan, Fokus Media, Bandung.
*********
Implementasi program alokasi dana desa (add) dalam pemberdayaan masyarakat di desa punagaya kecamatan bangkala kabupaten Jeneponto Implementation Of Village Fund Allocation (ADD) To Community Empowerment In Punagaya Village Bangkala District Jeneponto Regency - OCTRIAN TSL 1, MAPPAMIRING 2, MAPPIGAU SAMMA 3
74
Vol. III No.1 April 2013
75
Vol. III No.1 April 2013
Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance : Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
- Zainuddin Mustapa
76
Vol. III No.1 April 2013
Petunjuk Penulisan Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan
ISI ARTIKEL Artikel yang dipublikasikan Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan meliputi hasil penelitian dan non penelitian (kajian analisis, aplikasi teori dan review) tentang masalah-masalah negara, masyarakat, dan lembaga intermediary, serta pemerintahan secara umum. Artikel yang dimuat dalam jurnal diprioritaskan artikel hasil penelitian dan belum pernah atau akan diterbitkan dalam media cetak lain. Isi artikel diketik spasi ganda dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dengan ukuran kertas A4 (21x29,7cm) minimal 15 halaman dan maksimal 25 halaman. Berkas naskah (file) dibuat pada program olah data Microsof Word dilengkapi dengan nama penulis, judul artikel, nama dan alamat lembaga, kode pos, beserta nomor telepon/faks.
ARTIKEL HASIL PENELITIAN Judul Maksimal 14 Kata dalam Bahasa Indonesia atau 10 Kata dalam Bahasa Inggris, lugas dan menarik Nama Penulis Lengkapi dengan nama dan alamat lembaga tempat kegiatan penelitian, kode pos, telp/faks, dan telp/faks untuk koresponden dengan penulis. Abstrak Merupakan miniatur (segala sedikit) isi dari keseluruhan tulisan, meliputi masalah, tujuan, metode, hasil, simpulan dan signifikan maksimal 200 kata. Key Word (Kata Kunci) Memuat konsep yang terkandung dalam artikel terdiri dari 3 hingga 5 konsep. Pendahuluan (tanpa sub judul) Memuat latar belakang masalah penelitian, uraian dan fokus permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori dan hasil penelitian terdahulu yang nyata-nyata mendukung pemecahan permasalahan dan tujuan penelitian. Metode Menjelaskan bagaimana prosedur penelitian dilakukan design penelitian, populasi, sampel, instrumen, skala pengukuran, dan teknik analisis data.
Hasil Hasil (bersih) analisis data yang dilengkapi dengan illustrasi (gambar, foto, tabel, dan grafik). Pembahasan Menginterpretasikan hasil penelitian dan mengkaitkan dengan konsep dasar. Bandingkan dengan teori, hasil penelitian dengan orang lain yang relevan dan implikasi dan praktisnya. Dalam pembahasan diperlukan, ketajaman analisis dan sintesis secara kritis. Simpulan Ditulis dalam bentuk essay memuat esensi dari perpaduan antara hasil dengan pembahasan dan bukan hanya rangkuman.
ARTIKEL NON PENELITIAN Judul, nama penulis, abstrak, key word, sama dengan format hasil penelitian. Pendahuluan (tanpa sub judul) Sub Judul Sub Judul sesuai dengan kebutuhan Sub Judul
}
Tabel Angka dan huruf menggunakan huruf bertipe Times New Roman berukuran 10 point. Singkatan yang ada di dalam tabel diberikan kepanjangan singkatan tersebut dibawah tabel. Gambar Gambar grafik maksimun lebar 10,5 cm dibuat dalam program pengolahan data (Microsoft Office). Angka dan huruf keterangan gambar menggunakan huruf bertipe Arial berukuran 9 point. Daftar Pustaka/Rujukan Daftar Rujukan diharapkan lebih 80 % bersumber dari pustaka primer (Jurnal, hasil penelitian, disertasi, tesis, skripsi) dari pustaka skunder (buku, majalah) dan tahun terbitan lebih 80 % adalah 10 tahun terakhir, diurutkan secara alphabet dan kronologis. Kutipan dalam artikel Kutipan dalam artikel dapat berupa kutipan langsung atau tidak langsung. Yang penting setiap kutipan harus mencerminkan, nama pengarang, tahun terbitan dan nomor halaman.
Vol. III No.1 April 2013
Naskah dapat dikirim memalui E-mail, CD, atau via pos paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan ke Redaksi Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan : Alamat : Menara Al Iqra Lt. 5 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 - 866972 ext. 107 Fax. 0411 - 865588 Email: jurnal@ip-fisipunismuh.info atau jurnalotoritas@gmail.com www.ip-fisipunismuh.info
good governance
public service
professional bureaucracy
Alamat Redaksi : Menara Al Iqra Lt. 5 Jurusan Ilmu Pemerintahan Unismuh Makassar Jl.Sultan Alauddin No.259 Telp.0411 - 866972 ext.107 Fax.0411 - 865588 Email: jurnal@ip-!sipunismuh.info jurnalotoritas@gmail.com www.ip-!sipunismuh.info ISSN 2088 3706
PENERBIT : Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
9 772088 370238