Pesantren, Character Education, Mental Health

Page 1

Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

PESANTREN SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN KARAKTER ; TINJAUAN PSIKOLOGIS Rela Mar’ati (Staf Pengajar STIT Islamiyah Karya Pembangunan Paron Ngawi) ABSTRACTS: Character education is education that emphasizes the formation of character values in students. The goal of character edocation is: (1)to develop student sosially, ethically and academically by infusing character development into every aspect of the school culture and curriculum, (2) to help students develop good character which includes knowing, caring about and acting upon core ethical values such as : respect, responsibility, honest, fairness, compassion. Pesantren contributed greatly to the character of education in Indonesia, because the values prevailing in the pesantren-containing cargo formation of character. Those values are respect, brotherhood, sincerity and simplicity, independence, the prohibition violates the rules, and exemplary. As the basis of character education, values in pesantren is also a positive impact on mental health. Keywords : Pesantren, Character Education, Mental Health PENDAHULUAN Membahas akar sejarah pendidikan di Indonesia, tidak akan lepas dari peran dan kontribusi pesantren. Pendidikan pesantren adalah pendidikan tertua di Indonesia, hingga saat ini model pendidikan pesantren masih bertahan di tengahtengah modernisasi pendidikan di luar pesantren itu sendiri. Pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan jaman. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, bila dirunut kembali sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i (Hasbullah, 1999) Sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik Jawa Timur), Spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri jawa dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa (Zuhri, 1979). Sebagai

pendidikan

indegeneous

dan khas,

pesantren

tumbuh

dan

berkembang dari akar budaya masyarakat Islam di Indonesia. Dengan demikian, pesantren

sesungguhnya

AL MURABBI

terbangun

Vol. 01 No. 01

dari

konstruksi

Juli-Desember 2014

kemasyarakatan

ISSN 2406-775X

dan

1


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

epistemologi sosial yang menciptakan suatu transendensi atas perjalanan historis sosial. Menurut Nawawi (2006), hal yang menjadi titik penting ialah kenyataan eksistensi pesantren sebagai salah satu pemicu terwujudnya kohesi sosial. Keniscayaan ini karena pesantren hadir terbuka dengan semangat kesederhanaan, kekeluargaan, dan kepedulian sosial. Konsepsi perilaku (sosial behavior) yang ditampilkan pesantren ini mempunyai daya rekat sosial yang tinggi dan sulit ditemukan pada institusi pendidikan lainnya. Pesantren adalah model pendidikan yang memiliki karakteristik khas, dimana pola pendidikan yang berjalan selama 24 jam, mencakup pada pendidikan keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan pengembangan potensi umat. Selain itu keterkaitan yang sangat erat secara sosial, banyak kita temui pondok pesantren tumbuh dan berkembang umumnya di daerah pedesaan karena tuntutan masyarakat yang menghendaki berdirinya pondok pesantren, walau saat ini juga sudah banyak pesantren yang berdiri di daerah perkotaan, hai ini dikarenakan perkembangan dari daerah itu sendiri yang awalnya sebuah desa, berkembang menjadi daerah pusat industri, pendidikan, ataupun pemerintahan. Model pendidikan pondok pesantren telah ada sepanjang rentang perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pondok pesantren telah ada sebelum masa penjajahan, pada masa penjajahan, dan setelah kemerdekaan, bahkan sampai sekarang dengan segala dinamikanya. Pada masa sebelum penjajahan pondok pesantren digunakan sebagai metode untuk menyebarkan agama Islam. Pada masa penjajahan pondok pesantren

menjadi

wadah

strategis

untuk

mencetak

pejuang-pejuang

kemerdekaan. Dan pada masa kemerdekaan, pondok pesantren menjadi penyokong utama sistem pendidikan nasional. Menurut Mas’ud (2002) meskipun tidak ada bukti dukungan dari pemerintah koloni atau sultan untuk memacu kualitas

dan

kuantitas

pendidikan

Islam

di

Jawa

abad

ke-19,

tetapi

pertumbuhannya terjadi secara massif. Hal ini karena keberadaan pesantren merupakan keinginan dari masyarakat sendiri, sehingga masyarakat yang mengembangkan dan memeliharanya. Sejalan dengan perkembangannya, saat ini pesantren tidak lagi hanya sebagai pendidikan non formal, tetapi beberapa pesantren yang menerapkan kurikulum umum dan khusus (mengikuti kurikulum pemerintah) telah dinyatakan sebagai lembaga pendidikan formal dibawah naungan Kementerian agama. Ini merupakan sebuah perkembangan yang menggembirakan dan membanggakan, AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

2


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

karena selain tetap memegang teguh tradisi-tradisi luhur pesantren, secara kualitas dan kuantitas pesantren ternyata juga mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan umum. Perwajahan baru pesantren terjadi karena tuntutan dan tantangan zaman, pembangunan, kemajuan ilmu, dan teknologi. Dengan perubahan tersebut, diharapkan pesantren mampu mencetak santri-santri yang capable dalam dunia praktis, sehingga pesantren menjadi pilihan utama pendidikan bagi masyarakat dan menjadi tuan rumah untuk sistem pendidikan di negeri sendiri. Di negara Indonesia inilah pesantren lahir dan berkembang, semoga tidak menjadi terasing di negeri ibu kandungnya sendiri, tergerus oleh sistem pendidikan umum produk kolonial. Berdasarkan

pemaparan

diatas,

dapat

disimpulkan

bahwa

sejarah

perkembangan pesantren tidak lepas dari sejarah pendidikan di Indonesia. Pesantren adalah produk asli dari sistem pendidikan Indonesia, karena pesantren lahir dari akar budaya masyarakat muslim Indonesia. Sebagai sistem pendidikan yang memiliki karakteristik khas, proses belajar berjalan selama 24 jam dan sangat berurat akar dengan kultur Islam. Menurut Nawawi (2006) ada tiga karakteristik basis utama kultur pesantren yaitu : (a) Tradisionalisme, (b) Pertahanan budaya, dan (c) Pendidikan agama. Hal yang menggembirakan adalah adanya kesadaran para pengelola pesantren dan kementrian agama yang menaungi kelembagaan pesantren untuk melakukan reformasi dan inovasi terhadap sistem pendidikan di pesantren, terutama dalam hal perubahan kurikulum dan metode mengajar. Mereka menyadari eksistensi pesantren akan tetap ada dan dibutuhkan, manakala pesantren mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan melahirkan santri-santri yang professional pada bidangnya, secara kualitas tidak kalah bersaing dengan lulusan sekolah umum. Saat ini, pesantren telah menjadi bagian dari lembaga formal yang lulusannya setara dengan lulusan sekolah umum. Bisa dikatakan pesantren tidak hanya sebagai garda utama pendidikan moral bangsa karena nilai-nilai agamanya yang kental, tapi juga penyokong utama sistem pendidikan nasional. PENDIDIKAN KARAKTER Merunut pada sejarahnya, para para tokoh, pemimpin, dan pakar pendidikan dunia menyepakati bahwa sejarah pendidikan karakter sama tuanya AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

3


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

dengan sejarah pendidikan itu sendiri. Sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, nabi Muhammad SAW menegaskan

bahwa

misi

utamanya

dalam

mendidik

manusia

adalah

menyempurnakan akhlak dan mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Namun seiring dengan perkembangannya, pembentukan karakter sebagai tujuan dasar pendidikan mulai tergerus oleh pemikiran positivisme dan relativisme yang menganggap bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar dan salah, semua nilai adalah relatif. Setiap individu bebas menentukan nilainya sendiri tanpa bisa dipaksa oleh siapapun. Pendidikan karakter pun semakin tenggelam dengan adanya paham pluralisme yang menganggap semua nilai, apapun itu, adalah baik. Menurut Howard, pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter mulai dipandang sebagai tujuan utama pendidikan, namun timbul tenggelam berkaitan dengan masalah-masalah politik dan kejadian-kejadian bersejarah. Begitu pula di Indonesia, corak pendidikan karakter bersesuaian dengan era politik yang berkuasa. Misalnya pada era demokrasi terpimpin, pendidikan karakter dikenal dengan istilah national and character building, Pada era orde baru pendidikan karakter digulirkan dalam penataran P4,

dan pada era reformasi pendidikan

karakter dimasukkan dalam kurikulum berbasis kompetensi.. (Majid, 2011) Pada Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Dikti, 2011), pendidikan karakter ditempatkan sebagai visi pertama dari 8 visi pembangunan

nasional.

Dalam

berbagai

kesempatan

presiden

RI

juga

mengungkapkan pentingnya pembangunan watak (character building), karena Negara Indonesia ingin membangun manusia yang berakhlak, berbudi pekerti dan berperilaku baik. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa ini disusun sebagai pelaksanaan amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan sekaligus pelaksanaan arahan Bapak Presiden Republik Indonesia. Setelah mengetahui bahwa pendidikan karakter pada saat ini menjadi kebutuhan yang krusial bagi pendidikan nasional, muncul pertanyaan mendasar tentang pengertian pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

4


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

didik. Ada empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh FW Foerster (Timothy, 2011), Pertama, pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati normanorma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut. Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih. Menurut Gaffar (2010) pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi

nilai-nilai

kehidupan

untuk

ditumbuhkembangkan

dalam

kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Dalam definisi tersebut ada tiga ide pikiran penting, yaitu : (1) proses transformasi nilai-nilai, (2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, (3) menjadi satu dalam perilaku. Menurut Majid (2011) pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standart-standart baku. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa. Menurut Lickona (1993), tujuan dari pendidikan karakter adalah: (1) mengembangkan kemampuan sosial anak didik, baik secara etika dan akademis dengan memasukkan pendidikan karakter dalam kurukulum pendidikan, (2) membantu anak didik mengembangkan karakter baik yang meliputi aspek mengetahui

(knowing),

peduli

(caring),

hormat

(respect),

tanggung

jawab

(responsibility), kejujuran (honesty), keadilan (fairness), dan kasing sayang (compassion). Sedangkan menurut Kusuma (2011) tujuan pendidikan karakter adalah : (1) menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang baik sehingga menjadi kepribadian yang khas, (2) mengoreksi perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan, (3) membangun koneksi yang harmonis antara keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter. AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

5


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

Menurut Rosworth Kidder, ada ciri-ciri yang menjadikan kualitas pendidikan karakter yaitu: (1) Empowered, pendidik harus mampu memperdayakan dirinya untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan dimulai dari dirinya sendiri, (2) Effctive, proses pendidikan harus dilaksanakan secara efektif, (3) Extended into community, komunitas harus membantu dan mendukung sekolah dalam menanamkan nilai-nilai, (4) Embedded, integrasikan seluruh nilai ke dalam kurikulum dan seluruh rangkaian proses pembelajaran, (5) Engaged, melibatkan komunitas dan menampilkan topik-topik yang cukup esensial, (6) Epistemological, harus ada koherensi antara berpikir makna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu siswa menerapkannya secara benar, (7) Evaluative, penilaian yang meliputi kesadaran etik, kepercayaan diri untuk membuat keputusan, kapasitas menampilkan

kepercayaan

diri

secara

praktis,

kapasitas

menggunakan

pengalaman praktis dalam komunitas, dan kapasitas untuk menjadi agen perubahan. (Majid, 2011) Berdasarkan pada pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter tidak hanya mendidik untuk memahami saja tetapi menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam diri sehingga terbentuk sebuah karakter atau kepribadian yang khas. Benar, akhirnya, kesuksesan pendidikan karakter sesorang tidak hanya berhenti pada penilaian kognitif, namun bagaimana karakter itu bisa membentuk manusia berkepribadian dan beradab, sesuai dengan pendapat Mardiatmaja yang menyatakan bahwa pendidikan karaekter adalah ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia (humanis human). Seharusnya tidak sekedar formalitas atau berhenti pada pewacanaan nilai dan norma dalam penerapan pendidikan karakter di lingkungan pendidikan, karena penilaiannya sangat kompleks dan komprehensif. Jangan sampai terjebak dalam rutinitas dan pengguguran kewajiban sedangkan ruh pendidikan karakter itu sendiri justru diabaikan. Hal ini hanya akan menjadi sia-sia karena pendidikan karakter yang diterapkan tidak akan pernah bisa menghasilkan manusia-manusia berkarakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus disokong oleh segenap elemen bangsa, baik dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Pada dasarnya karakter itu dibentuk dari peneladanan (modelling) dan pembiasaan (habituation), jadi bagaimana mungkin pendidikan karakter bisa berperan secara optimal jika belum ada sinergi antara lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan. AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

6


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

PESANTREN SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN KARAKTER Dampak negatif era globalisasi salah satunya adalah terjadinya degradasi moral akibat begitu mudahnya terjadi pertukaran informasi dan budaya. Perubahan adalah keniscayaan yan selalu akan membawa dua hal, baik dan buruk. Permasalahannya bukan pada perubahan yang terjadi, tapi bagaimana mental kita dalam menghadapi perubahan tersebut. Untuk dampak yang baik, kita perlu memiliki mental bersaing dan kerja keras agar kita mampu beradaptasi dan survive melawan tuntutan hidup. Begitu pula dengan dampak buruk, kita perlu mentalitas keimanan yang kuat sebagai filter menangkal hal yang merusak, misalnya godaan hidup materialistik tidak akan pernah menjerumuskan kita pada tindakan korupsi dan kolusi. Pembentukan mental inilah yang membutuhkan pendidikan karakter sebagai penopangnya. Pendidikan adalah agent of change bagi perubahan mentalitas bangsa, dan pesantren adalah satu media perubahan itu. Seperti yang telah disampaikan oleh Mendiknas Mohammad Nuh (Departemen Pendidikan Nasional, 2011), pada Seminar Nasional Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Pola Pendidikan Pesantren di Kementerian Pendidikan Nasional. Beliau mengatakan bahwa pola-pola pendidikan berbasis karakter yang berkembang di pondok pesantren dinilai berhasil, oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional ingin memasukkan tradisi pendidikan pesantren ke sekolah umum. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas Mansyur Ramly menyampaikan, kegiatan pesantren kilat yang mengadopsi budaya pesantren di sekolah umum mulai jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas berkontribusi terhadap pembentukan karakter, akhlak, budi pekerti, dan perilaku anak didik. Tujuan dari transfer pendidikan karakter di pesantren itu, sambung Mansyur, adalah untuk pembentukan budaya sekolah yang dilakukan melalui pembiasaan nilai positif di sekolah. Dijelaskan diatas bahwa pesantren adalah bentuk pertama pendidikan di Indonesia, bahkan sebelum Negara Indonesia itu sendiri ada. Pesantren adalah produksi pendidikan lokal yang indegenious dan khas. Pendidikan integral yang tercipta di pesantren sangat efektif membentuk karakter para santri, karena karakter dibangun bukan sekedar dengan pembelajaran, akan tetapi juga pengajaran, pelatihan, pembiasaan, dan pembinaan. Menurut Dhofier (1986) AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

7


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

pondok pesantren memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki oleh pendidikan formal lainnya yaitu memiliki sifat kharismatik dan suasana kehidupan keagamaan yang mendalam. Sedangkan menurut Nasir (2005) karakteristik khusus pendidikan pondok pesantren adalah penanaman nilai-nilai agama, pembentukan mental dan intelektual. Menurut Rahim (2001), pondok pesantren memiliki dua karaktristik khusus yaitu (1) adanya karakter pendidikan yang memungkinkan santrinya belajar secara tuntas (mastery learning). Dalam konsep ini, pendidikan dilakukan tidak terbatas pada pola transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga proses pembentukan kepribadian secara menyeluruh. Metode pengajaran khas pesantren seperti bandongan dan sorogan, merefleksikan upaya pesantren melakukan pengajaran yang menekankan kualitas penguasaan materi. (2) kuatnya partisipasi masyarakat, karena didorong oleh permintaan dan kebutuhan masyarakat sendiri. Itulah sebabnya, tingginya tingkat partisipasi masyarakat telah menempatkan pesantren dan kyai sebagai pusat kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, keberlangsungan pesantren sangat tergantung kepada seberapa besar partipasi masyarakat dan bagaimana pelayanan pesantren terhadap permintaan dan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan karakteristik khusus pesantren diatas, bukan suatu hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren adalah basis pendidikan karakter bangsa. Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Darul Muttaqien, KH Mad Rodja Sukarta (Antara news, 2011), pondok pesantren merupakan institusi pendidikan yang menaruh perhatian besar terhadap pembangunan akhlak para peserta didiknya. Pembangunan akhlak menjadi perhatian besar bagi kebanyakan pesantren di Tanah Air. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren umumnya selalu diprioritaskan pada penggemblengan masalah akhlak. Pesantren merupakan kawah candradimuka pendidikan karakter bangsa. Pesantren memberikan kontribusi signifikan dalam membangun moralitas dan karakter bangsa. Menurut Ghofur (2007) ada beberapa nilai atau tradisi santri yang menunjukkan bahwa pembiasaan-pembiasaan tradisi ini membentuk karakter kepribadian santri. Nilai-nilai tradisi tersebut adalah : 1. Sikap Hormat dan Ta’dzim Sikap ini ditujukan kepada para kyai, ulama sebelumnya, dan para ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari sebagai bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai. Sikap hormat (respect) adalah salah AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

8


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

satu tujuan dari pendidikan karakter. Dengan munculnya karakter hormat pada anak didik akan memudahkan dalam transformasi keilmuan. Sehingga terbentuk pribadi yang mudah menerima kebaikan dan mampu menghargai setiap perbedaan dengan sikap yang bijaksana tanpa melunturkan prinsip-prinsip yang telah dimiliki. Sikap hormat ini diperlukan pada masa ini untuk membentuk kepribadian kuat yang tidak luntur

akibat

pergeseran nilai dan budaya,

namun tetap bisa

menyikapinya secara dewasa dan bijaksana. 2. Persaudaraan Penerapan kewajiban sholat berjamaah dapat membentuk pribadi yang peduli terhadap lingkungan sosial, karena dalam sholat berjamaah tidak hanya mengajarkan tentang konsep kepemimpinan, tetapi juga kebersamaan dan persaudaraan. Dalam pendidikan karakter, sikap ini termasuk dalam sikap peduli (caring) dan kasih sayang (compassion). Sikap ini perlu dimiliki oleh generasi bangsa ini, karena sesuai dengan kepribadian bangsa yang mengutamakan sikap gotong royong, mufakat, dan kebersamaan. 3. Keikhlasan dan Kesederhanaan Dalam banyak hal, gaya hidup pesantren tidak banyak berubah dari waktu kewaktu, lebih mengedepankan aspek kesederhanaan, mekipun kehidupan di luar memberikan perubahan gaya hidup dan standar yang berbeda. Sikap ini diperlukan untuk membentuk pribadi yang bersahaja di tengah-tengah kehidupan yang materialistik dan hedonis. Dengan sikap ini pula, dapat dibentuk generasi yang bermental mencipta atau memproduksi, bukan generasi konsumtif. Sikap ini dalam pendidikan karakter termasuk dalam karakter mengetahui (knowing), mengetahui berarti menyadari fungsi dan peran mereka dalam kehidupan yang berarti tidak harus selalu mengikuti arus atau trend semata. 4. Nilai Kemandirian Nilai kemandirian diajarkan dengan cara santri mengurusi sendiri kebutuhan

kebutuhan

dasarnya.

Prinsip

yang

termuat

dalam

kemandirian adalah bahwa menjaga dan mengurus diri sendiri tanpa harus dilayani dan tidak menggantungkan pada yang lain adalah merupakan AL MURABBI

nilai

yang

Vol. 01 No. 01

penting.

Sikap

ini

Juli-Desember 2014

membentuk ISSN 2406-775X

karakter

9


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

bertanggung jawab (responsibility). Ketika seseorang telah mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri (mampu mengarahkan diri) maka hampir dapat dipastikan ia akan mampu bertanggung jawab pada amanah yang dipikulkan kepadanya. Mental ini diperlukan dalam etos kerja seorang muslim, apalagi dalam era persaingan bebas, kerja keras dan profesionalitas sangat diperlukan. 5. Larangan melanggar aturan yang berlaku Pesantren

memiliki

aturan

yang

baku

dan

ketat

dalam

pelaksanaanya. Barangsiapa yang melanggar peraturan, maka akan mendapatkan hukuman/sanksi dari kyai atau ustadz. Peraturan yang ditegakkan secara tegas dan disiplin akan mendidik anak menjadi disiplin dan bertanggung jawab. Selain itu penegakan kedisiplinan juga akan melatih anak untuk jujur (honesty) pada setiap perbuatan yang dilakukan, karena pada dasarnya peraturan ditegakkan diatas landasan keadilan (fairness). 6. Nilai keteladanan Untuk menanamkan nilai-niai tersebut, instruksi kepada santri harus dibarengi pula dengan contoh yang baik. Untuk mengajar santrinya akan pentingnya sholat jama’ah, seorang kyai harus/perlu menjadi imam salat, Karena kyai dianggap sebagai waratsatul anbiya’, maka kyai menjadi teladan bagi santrinya

sehingga pesantren tidak saja mendidik

pengetahuan agama, tetapi juga moral yang baik. Hal ini sesuai dengan pendidikan karakter yang pada prinsipnya mengajarkan kebaikan dengan keteladanan (modelling) dan pembiasaan (habituation). Dilihat dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Di sini terlihat jelas bahwa tujuan pendidikan nasional sangat kental dengan muatan pendidikan karakter. Unsur-unsur karakter yang ingin dibentuk dinilai bisa diakomodir atau dipenuhi oleh pesantren. Seperti manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia, sangat mungkin bisa terbentuk di pendidikan pesantren karena ciri khas pesantren adalah penekanan pada pendidikan agama AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

10


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

dan akhlak. Kemudian membentuk manusia berilmu, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab tentu bisa dibentuk di pesantren karena adab atau kebiasaankebiasaan yang berlaku di pesantren yang tentu saja berbasis kebangsaan. Ditinjau secara kejiwaan (psikologis) nilai-nilai yang berlaku di pesantren ternyata memberikan dampak yang positif terhadap kesehatan mental. Akhirakhir ini, dalam ilmu psikologi banyak dikaji kemanfaatan agama bagi kesehatan mental. Munculnya pandangan transpersonal, dianggap sebagai mahzab kelima dalam psikologi menjadi alternatif dan pelengkap bagi mahzab-mahzab yang sudah ada seperti aliran psikoanalisa, humanistik, behavior, dan kognitif. Maka banyak bermunculan psikoterapi-psikoterapi religius seperti meditasi, relaksasi, dan doa. Dalam psikologi Islam, saat ini juga telah banyak dikembangkan psikoterapi Islami seperti terapi sholat tahajjud, terapi dzikir dan sebagainya yang kesemuanya ini telah terbukti secara ilmiah dapat menurunkan gangguan kejiwaan secara signifikan. Pada dasarnya kebutuhan beragama adalah kebutuhan fitrah setiap manusia, sehingga motivasi seseorang dalam bertindak sebenarnya adalah dorongan dari kebutuhan beragama. Jika menurut Maslow (Ancok, 2004) kebutuhan tertinggi manusia adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, maka berbeda dalam konsep Islam,

menurut

Baharudin

(2004)

kebutuhan

tertinggi

manusia

adalah

keyakinan/agama. Jika kebutuhan ini tidak dicukupi, maka akan menimbulkan ketidakseimbangan jiwa, sehingga muncul rasa takut, was-was, gelisah, dan cemas. Terbukti, pada zaman sekarang dimana manusia terlalu disibukkan dengan

urusan

dunia

dan

meninggalkan

nilai-nilai

keimanan.

Mereka

mendapatkan kesenangan dunia (kekuasaan, harta) dengan kata lain mampu mengaktualisasikan diri, namun yang terjadi mengapa justru mereka mengalami kehampaan (meaningless) sehingga banyak terjadi kasus bunuh diri atau gangguan kejiwaan. Akhirnya, secara logika dapat diterima bahwa agama bisa dijadikan terapi, karena jiwa yang sakit pada dasarnya mengalami ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan akan beragama atau pemenuhan beragama menjadi obat untuk menghilangkan kehampaan. Pendidikan karakter secara tidak langsung menjadi tindakan preventif untuk menaggulangi gangguan kejiwaan. Menurut AM Arief (2009), tradisi pesantren yang mengamalkan ajaran Islam seperti ritual-ritual beribadah sehari-hari dapat menjadi terapi religi untuk kesehatan jiwa. Menurut Zakiyah Daradjat (Sholeh, AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

11


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

2005) mengembangkan sifat-sifat terpuji (akhlakul karimah) dapat mencegah timbulnya gangguan kejiwaan. Muatan dalam pendidikan karakter adalah menumbuhkan dan mengembangkan sikap-sikap terpuji seperti yang telah dipaparkan diatas. Dengan demikian dengan diterapkannya pendidikan karakter dalam kurikulum sekolah, sejatinya tidak hanya mencetak generasi beradab tapi juga mencetak generasi yang sehat secara mental kejiwaan. begitu pula dengan pesantren, yang menjadi basis pendidikan karakter, juga akan mencetak generasi yang tidak hanya sholeh tapi juga generasi yang sehat secara mental kejiwaan. Berikut ini penjelasan tentang tradisi-tradisi pondok pesantren yang dapat menyehatkan jiwa : 1.

Sikap hormat, adalah salah satu akhlakul karimah yang akan menghindarkan sesorang dari sifat sombong dan riya’. Sikap sombong akan menjadikan seseorang terlalu terobsesi dan berambisi. Jika dia tidak mampu memenuhi keinginannya, maka hatinya akan dipenuhi dengan rasa tidak puas, iri, dan dengki. Hati yang iri dan dengki membuat orang mudah gelisah dan cemas. Dengan sikap hormat, sesorang akan mudah menerima kebaikan (open minded) dan bijaksana di dalam menghadapi permasalahan, sehingga hati menjadi tenang dan rileks.

2.

Persaudaraan,

yaitu

kebersamaan

atau

ukhuwah

Islamiyah,

akan

menghindarkan sikap anti sosial dan kepribadian introvert yang maladaptive yang sering kali menjadi komorbid gangguan kejiwaan seperti skizoprenia, paranoid dan anxiety (Davison, 2006)

Oleh karena itu saat ini telah

dikembangkan model terapi sholat jamaah untuk para pasien gangguan kejiwaan (skizoprenia) dan anxiety, karena dengan berinteraksi dengan orang lain ternyata dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan, serta gangguan halusinasi. 3.

Keikhlasan dan kesedarhanaan, adalah bagian dari akhlakul karimah yang dapat menjadikan seseorang memiliki mental kuat. Rasa ikhlas akan mengantarkan hati menjadi tenang dan tabah dalam menghadapi segala ujian hidup sehingga tidak mudah terserang stress dan deperesi.

4.

Kemandirian, dalam ilmu psikologi kemandirian dapat memunculkan sikap regulasi diri. Menurut Zimmerman (Chairani, 2010) regulasi diri adalah pikiran, perasaan, dan tindakan yang terencana oleh diri, dan terjadi secara berkesinambungan sesuai dengan upaya pencapaian tujuan pribadi. Dengan

AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

12


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

regulasi diri, seseorang dapat menata kehidupannya dengan baik dan rapi sesuai dengan prioritas yang dicanangkan. Dengan demikian, regulsi diri yang baik dapat menghindarkan seseorang dari stress dan depresi akibat kurang rapinya perencanaan hidup atau dalam melakukan tugas kehidupan sehari-hari. 5.

Larangan melanggar peraturan yang berlaku, selain termasuk dalam pembentukan sikap regulasi diri, penegakan peraturan di pesantren pada dasarnya adalah menegakkan syariat Islam. Seperti yang diungkapkan pada pemaparan diatas bahwa kesehatan jiwa terjadi karena manusia melanggar atau mengabaikan larangan agama. Orang yang melanggar larangan agama, hatinya mudah gelisah, dan cemas, serta tidak mendapatkan kepuasaan dari perbuatan buruk yang dilakukan (meaningless). Seperti contoh sekarang ini, Nunun Nurbaiti tersangka suap cek pelawat gubernur bank BI, saat ini mengalami gangguan amnesia karena faktor depresi berat, atau tersangkatersangka korupsi lainnya yang justru meninggal terlebih dahulu sebelum diadili karena serangan jantung dan stroke akibat beban mental yang sangat berat.

6.

Keteladanan,

juga

merupakan

bagian

dari

akhlakul

karimah

yang

menghindarkan seseorang dari gagguan kejiwaan. Contoh kongritnya adalah kepribadian Rasulullah Muhammad SAW, beliau adalah contoh pribadi yang memiliki kesehatan mental yang sempurna. Berbagai cobaaan hidup dan beban amanah yang begitu berat yang harus beliau pikul tidak pernah sedikitpun menjadikan

jiwa beliau goncang. Hal ini karena tinggginya

keimanan beliau kepada Allah SWT, sehingga beliau selalu optimis, tenang, percaya diri dan tawakal pada setiap masalah yang dihadapi.

KESIMPULAN Pesantren adalah model pendidikan tertua dan khas di Indonesia. pesantren senantiasa mengiringi sejarah peradaban budaya di negeri ini, tak terkecuali sejarah pendidikan nasional. Saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai garda penjagaan moral bangsa, tapi seiring dengan perkembangan tututan zaman, pesantren kina menjadi basis utama bagi pembentukan karakter bangsa. Pesantren dianggap berhasil menerapkan pendidikan karakter dikarenakan nilai-nilai luhur yang menjadi kultur pesantren mengandung muatan-muatan pendidikan karakter. AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

13


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

Nilai luhur yang menjadi kebiasaan para santri itu adalah sikap hormat, persaudaraan, keikhlasan dan kesederhanaan, kemandirian, larangan melanggar aturan, dan keteladanan. Selain itu, dengan adanya muatan pendidikan karakter di pesantren, ternyata pesantren tidak hanya bisa mencetak generasi sholeh dan beradab, tapi juga bisa mencetak generasi yang memiliki kesehatan mental. Mengapa demikian? karena kebiasan-kebiasan yang dilakukan di pesantren dapat membentuk kepribadian sehat, selain itu dapat digunakan sebagai psikoterapi untuk mengobati gangguan kejiwaan.

DAFTAR PUSTAKA AM Arief, M. (2009). Urgensi Terapi Religi Pesantren dalam Era Globalisasi. Jurnal “Lentera” Nomor 13 Vol. 8 Januari 2009. STAI Miftahul ‘ula.Nganjuk Ancok, Djamaludin. (2004). Intregasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islam. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Antara News. 2011. Pesantren Benteng Pendidikan Karakter Bangsa. www. antaranews.com. Tanggal akses : 20-12-2011 Baharuddin. (2004). Paradigma Psikologi Islami. Studi Tentang Elemen Psikologi dari Alqur’an. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Chairani, Lisya dan M.A. Subandi.( 2010). Psikologi Santri Penghapal Al-qur’an. Peranan Regulasi Diri. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Davison, C.G, Neale, M.J&Kring, M.A. (2006).Psikologi Abnormal :Edisi ke 9. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Pendidikan Pesantren Dinilai Berhasil Bentuk Karakter. www.portalnasionalri.com. Tanggal akses : 20-12-2011 Dikti. 2011. Pendidikan Karakter. Dikti.go.id. Tanggal akses ;20-12-2011 Dhofier, Z. (1990). Tradisi Pesaantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. LP3ES. Jakarta Gaffar, Mohammad Fakry. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Islam (Disampaikan pada Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama, 08-10 April. 2010 di Yogyakarta) Ghofur, Abdul. (2007). Etika Santri dalam Masyarakat. (Disampaikan pada Orientasi Mahasiswa Baru Program Studi Akhwal al-Syakhsiyyah Konsentrasi Ilmu Falak Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 11 Agustus 2007 di Semarang) Hasbullah. (1999). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. lembaga Studi Islam dan Kemasyrakatan LKIS. Jakartapesantren Kesuma, Dharma, dkk. (2011). Pendidikan Karakter. Kajian Teori dan Praktek di Sekolah. PT Remaja Rosdakarya. Bandung Linckona, Thomas. (1993). The Return of Character Education. Educational Leadership. New York. Majid, Abdul, dan Dian Andayani. (2011). Pendidikan Karakter Perspektif Islam. PT Rosdakarya. Bandung Mas’ud, Abdurrahman. (2002). “Sejarah dan Budaya Pesantren” dalam Ismail S.M. (ed). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Nasir, Ridlwan. (2005). Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

14


Rela Mar’ati, Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter

Nawawi. (2006). Sejarah Dan PerkembanganPesantren. “Ibda” Jurnal Studi Islam Dan Budaya Vol.4 No.1 Jan-Jun 2006. P3M STAIN Purwokerto. Rahim, Husni. (2001). Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. logos Wacana Ilmu. Jakarta Sholeh, M dan Imam Musbikin. (2005). Agama Sebagai Terapi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Timothy, W. 2011. Wajah Sistem Pendidikan di Indonesia. www.pendidikan karakter.com. Tanggal akses : 20-12-2011 Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Zuhri, Saifuddin. (1979). Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Al-Ma’rifat. Bandung

AL MURABBI

Vol. 01 No. 01

Juli-Desember 2014

ISSN 2406-775X

15


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.