MIQOT VOL. XXXII Januari-Juni 2008

Page 1



WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG INFÂQ Achyar Zein Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara, Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20731 e-mail: achyar.zein@yahoo.com

Abstract: The Qur’anic Perspectives on Donation (Infâq). Wealth distribution is an important concept regarding social welfare. One of key concepts on wealth distribution in the Qur’an is infâq, which stands for efficient attitude and practices on one hand and reducing wastefullness on the other. Works on Qur’anic exegesis and Islamic law, both classical works and modern ones, contain much discussion about this concept. The author argues that one of the most dominant views regarding infâq is that it is considered as a non-binding act of charity or a recommended act (sunnah) in Islamic law. Ibn ‘Abbâs, for instance, holds that it renders a bridging concept between zakât and almsgiving. This paper is an attempt to explore the concept of infâq by analyzing various Qur’anic verses and provide a comparison with prominent views of Islamic scholars.

Kata Kunci: infâq, keborosan dan al-nafaqah

Pendahuluan Infâq adalah konsep yang ditawarkan al-Qur’an dalam urusan pengelolaan dan pendistribusian harta. Konsep ini bertujuan agar pemilik harta (shâhib al-amwâl) dapat mengelola hartanya dengan baik dan terhindar dari sifat pemborosan dan kekikiran. Selain itu, infâq juga bertujuan untuk membimbing pemilik harta supaya lebih terarah, sesuai, berhasil guna dan berdaya guna dalam mendistribusikan hartanya kepada orang lain. Dengan demikian, infâq adalah sebagai pembatas dari sifat boros (membelanjakan harta dengan tidak terarah) dan sifat kikir (menumpuk-numpuk harta). Pembahasan tentang infâq, khususnya dalam wacana fiqh iqtishâdi, tampaknya kurang bergaung bila dibanding pembahasan tentang zakat, bahkan tidak sedikit karyakarya monumental di bidang ekonomi yang terkesan seolah-olah mengenyampingkan pembahasan infâq. Padahal al-Qur’an banyak sekali menginformasikan bagaimana urgennya infâq dalam menumbuhkembangkan perekonomian umat karena prinsip

1


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 fundamental ekonomi didasarkan kepada perolehan dan pendistribusian harta. 1 Berdasarkan kategori kedua inilah (pendistribusian harta) maka pembahasan tentang infâq cukup urgen untuk diperbincangkan. Dalam fenomena masyarakat terdapat pemahaman yang terkesan tumpang tindih dalam memandang zakat, sedekah dan infâq. Zakat selalu diartikan dengan pemberian yang status hukumnya wajib sedangkan sedekah dan infâq dikonotasikan sebagai pemberian yang status hukumnya sunah. Status hukum yang dimiliki oleh sedekah dan infâq sedikit mengundang kebingungan tentang letak perbedaan keduanya sekalipun sudah jelas diposisikan oleh al-Qur’an. Implikasi yang dapat dirasakan adalah munculnya interpretasi secara mendadak bahwa sedekah diberikan untuk seseorang secara langsung, sedangkan infâq menyangkut suatu lembaga atau kadang-kadang keduanya disebut secara bersamaan dalam satu kasus. Untuk mendudukkan pengertian infâq ini dipandang perlu membahas ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan infâq. Pernyataan al-Qur’an tentang infâq dirasa cukup jelas demikian juga mengenai sasarannya karena infâq merupakan jalan tengah untuk mengatasi sifat keborosan dan kekikiran yang ada pada diri manusia. Infâq, zakat dan sedekah diinformasikan dalam al-Qur’an dengan format yang berbeda dan bahkan ayatayat yang membahas ketiga persoalan ini bila dilihat dari segi kuantitasnya tidak terlalu jauh berbeda. Karena itu, tulisan kali ini ingin melihat bagaimana kedudukan infâq berdasarkan informasi al-Qur’an baik dari segi pengertian maupun eksistensinya dalam bidang ekonomi.

Pengertian infâq dalam al-Qur’an Pengertian tentang infâq dan al-nafaqah pada prinsipnya adalah sama, apalagi kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Bahkan al-Qur’an sendiri pernah menyebutkan keduanya pada satu ayat yang seolah-olah al-nafaqah merupakan bagian kecil dari infâq.2 Al-Râghib al-Ishfahânî memiliki kecenderungan kepada pengertian ini di mana dia menjelaskan bahwa al-nafaqah adalah salah satu bagian dari infâq.3 Sedangkan pada versi yang lain menyamakan pengertian antara infâq dengan al-nafaqah, setidaknya yang memiliki kecenderungan dalam konteks kesamaan ini di antaranya Ibn Qudâmah, al-Ghirnâthî, al-Kâsânî dan bahkan Ibn Jarîr al-Thabarî. Ibn Qudâmah misalnya terkesan mengartikan bahwa infâq dan al-nafaqah adalah

Dalam al-Qur’an, kata-kata al-infâq dengan berbagai bentuknya disebutkan sebanyak 74 kali. Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqî, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 886-887. 2 Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 270. 3 Al-Râghib al-Ishfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), h. 502. 1

2


Achyar Zein: Wawasan Al-Qur’an Tentang Infâq

sama. Hal ini terlihat melalui pembahasan tentang kewajiban suami memberikan alnafaqah kepada istrinya yang belum ‘digauli’ atau istri menolak untuk melakukan hal tersebut tanpa ‘uzur. Dalam tataran ini Ibn Qudâmah kadang-kadang menyebutnya dengan al-nafaqah dan kadang-kadang menyebutnya pula dengan infâq.4 Hal yang sama diungkapkan oleh al-Ghirnâthî. Ia membagi kewajiban al-nafaqah kepada empat sasaran. Pertama, istri dengan syarat dukhûl dan memungkinkan untuk istimtâ‘. Kedua, anak kandung dengan syarat apabila mereka masih kecil dan tidak mempunyai harta. Ketiga, kedua orangtua (ibu dan bapak) dengan syarat bilamana mereka fakir. Keempat, kewajiban memberikan al-nafaqah kepada budak.5 Pembagian yang dibuat oleh al-Ghirnâthi ini tidak jauh berbeda seperti dibuat oleh al-Kasanî. 6 Berdasarkan ulasan kedua tokoh ini yakni al-Ghirnâthî dan al-Kâsânî dapat diasumsikan bahwa pembagian al-nafaqah yang mereka maksud sama dengan pendistribusian infâq sebagaimana yang lazim diketahui selama ini. Muhammad al-Syaukânî dalam tafsirnya mengutip beberapa pendapat ketika menginterpretasi Q.S. al-Baqarah/2: 3. Menurutnya bahwa infâq ialah mengeluarkan harta secara langsung sedangkan kata ‫ ﻣن‬pada ayat ini bermakna ‘sebagian’ agar jangan terkesan boros. Menurut Ibn Jarîr sebagaimana yang dikutipnya dari Ibn Mas‘ûd bahwa kata adalah al-nafaqah seseorang atas keluarganya. Ibn Jarîr juga mengutip pendapat al-Dhahhâk bahwa yang dimaksud dengan al-nafâqât ialah salah satu bentuk pendekatan diri di mana mereka mendekatkan diri kepada Allah berdasarkan ukuran kesanggupan dan kesungguhan mereka. Menurut Ibn Jarîr lagi bahwa infâq adalah segala sesuatu yang diberikan.7 Berdasarkan pernyataan di atas tentang pengertian infâq dan al-nafaqah nampaknya kedua persoalan ini sangat sulit untuk dibedakan apalagi kedua akar katanya sama. Terlihat apa yang diungkapkan oleh al-Râghib al-Ishfahânî lebih mudah untuk dimengerti di mana beliau menyebutkan bahwa al-nafaqah adalah sebagian dari infâq. Lihat Ibn Qudâmah, Al-Mughnî, juz VI (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyah al-‘Arâbiyah, t.t.), h. 735-736. 5 Muhammad Ahmad Juzai al-Ghirnâthî al-Mâlikî, Qawânîn al-Ahkâm al-Syar’iyah (Beirût: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1979), h. 245-247. 4

Menurut al-Kâsânî bahwa al-nafaqah terbagi kepada empat yaitu 1. al-Nafaqah kepada isteri, 2. al-Nafaqah kepada kerabat, 3. al-Nafaqah kepada budak dan 4. al-Nafaqah kepada hewan atau barang tidak bergerak seperti rumah. Adapun kerabat menurutnya terbagi pula kepada dua yaitu faktor kelahiran seperti anak dan dua orang tua dan faktor bukan karena kelahiran dan ini pun terbagi kepada dua yaitu kerabat yang diharamkan menikahinya seperti adik perempuan, adik perempuan ayah dan adik perempun ibu. Adapun kerabat yang tidak diharamkan menikahinya seperti anak dari adik perempuan ayah begitu juga anak dari adik perempuan ibu. Selengkapnya lihat ‘Ala’ al-Dîn Abî Bakr bin Su’ûd al-Kâsânî al-Hanafî, Kitâb Badâ’i’ al-Shanâ’i’ fî Tartîb al-Syarâ’i’ (Beirût: Dâr al-Kitab al-‘Arâbî, 1982), h. 15-40. 6

Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-Syawkanî, Fath al-Qadîr, jilid I (Beirût: Dâr alFikr, 1973), h. 36. 7

3


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

Infâq dan Kaitannya dengan Ekonomi Satu di antara prinsip ekonomi yang sangat fundamental ialah cara mendapatkan dan mendistribusikan harta. Agar pendistribusian ini tepat guna dan berhasil guna maka langkah-langkahnya diatur sedemikian rupa sehingga terkesan tidak adanya keborosan dan kemubaziran. Apalagi harta yang dikelola pada prinsipnya adalah milik Allah dan sangat wajar jika pendistribusiannya sesuai dengan kehendak pemiliknya. Pendistribusian ini didasari kepada keberadaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang berfungsi menjalankan aktifitas kehidupannya sangat tergantung kepada harta. Meskipun ketergantungan manusia ini sangat besar namun tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya yang dalam istilah Malik ben Nabi menyebutnya dengan ‘dinamika ekonomi’. Terjadinya dinamika ekonomi ini menurutnya disebabkan oleh dua hal yaitu, pertama, adanya kebutuhan primer masingmasing individu yang hanya dapat dipenuhi dengan harta. Kedua, adanya keinginan mensuplai mereka-mereka yang tidak mampu seperti fakir, miskin, ibn sabîl dan lainlain.8 Dinamika ekonomi ini menurutnya didasarkan kepada dua prinsip yang sangat asasi. Pertama bahwa untuk mendapatkan sesuap nasi dalam mempertahankan hidup adalah hak bagi setiap mulut. Prinsip asasi yang pertama ini wajib diupayakan dan merupakan tanggung jawab kolektif untuk menanggulanginya. Kedua, adanya kewajiban bagi setiap individu untuk mencari segala macam bentuk kebahagiaan. Prinsip asasi yang kedua ini tidak mesti melalui usaha secara konkrit namun keberadaannya sangat ditentukan oleh prinsip asasi yang pertama.9 Prinsip asasi inilah yang mendasarkan fondasi ekonomi Islam dengan ketuhanan Malik ben Nabi, Al-Muslim fî ‘Âlam al-Iqtishâd (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1979), h. 81. Menurut M. Umar Chapra bahwa sistem ekonomi Islam memiliki sasaran-sasaran dan strategi yang berbeda dengan sistem sekuler. Sistem ini didasarkan kepada tujuan kebahagiaan manusia (al-falâh), kehidupan yang baik (hayâtun thaiyibah) dengan menekankan aspek persaudaraan (ukhuwah), keadilan sosio ekonomi dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan spritual umat manusia. Lihat M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 7. 8

Ibid., h. 82. Menurut Muhammad Sa‘îd Ramadhân bahwa prinsip asasi yang merupakan kebutuhan manusia terhadap adanya harta yang dikelola dalam manajemen ekonomi disebabkan manusia memiliki rasa lapar, haus dan kebutuhan akan pakaian. Lihat Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî, Naqdh Awhâm al-Mâddiyah al-Jadaliyah (al-Diyâlektîyah) (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1979), h. 262-263. M. Umar Chapra menegaskan bahwa tuntutan untuk mencapai kemakmuran material dalam kerangka nilai-nilai Islam menghendaki: a). Ia tidak boleh dicapai lewat produksi barang dan jasa yang tidak esensial dan secara moral dipertanyakan. b). Ia tidak boleh memperlebar kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin dengan mendorong konsumsi yang mencolok. c). Ia tidak boleh menimbulkan bahaya kepada generasi sekarang atau yang akan datang dengan memerosotkan lingkungan fisik dan moral mereka. Lihat M. Umar Chapra, Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 3. 9

4


Achyar Zein: Wawasan Al-Qur’an Tentang Infâq

karena adanya ruang pemisah di antara manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Prinsip ketuhanan ini diyakini dapat menjembatani ruang pemisah tadi dan sekaligus sebagai penghubung antara individu dengan masyarakat lainnya. Dengan kata lain adanya upaya untuk saling membantu antar sesama manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Justru itu pandangan Islam terhadap prinsip ekonomi ialah adanya korelasi antara kemaslahatan individu dengan kemaslahatan masyarakat yang diikat kuat dari segi fitrah. Berdasarkan inilah munculnya kewajiban untuk saling membantu bukan saling menghisap dan menyantap di antara keduanya. Satu hal lagi bahwa Islam tidak pernah melarang seseorang yang mencari kesenangan pribadinya melalui pemanfaatan masyarakat banyak asalkan dilakukan dengan jalan yang baik, namun Islam menganjurkan agar kesenangan yang diperoleh melalui masyarakat tadi diinfaqkan supaya yang lainnya dapat merasakan hal yang sama pula. 10 Menurut M. Umer Chapra, Islam mengakui kontribusi yang diberikan oleh kepentingan pribadi dan keinginan untuk memperoleh keuntungan terhadap inisiatif individu, dorongan, efsiensi dan kewirausahaan. Di pihak lain, kejahatan dari ketamakan, nafsu yang tidak mengindahkan kebutuhan-kebutuhan orang lain dapat diatasi dengan cara memperkenalkan sebuah mekanisme internal yang mampu bekerja secara otomatis dengan penekanan yang tak pernah berakhir pada keimanan kepada Allah, nilai-nilai moral, pertanggungjawaban di hadapan Allah, persaudaraan manusia dan keadilan sosio ekonomi.11 Meskipun tidak secara eksplisit Chapra menyebutkan mekanisme internal adalah infâq, namun berdasarkan kriteria yang ada diyakini bahwa yang dimaksudkan dengan mekanisme internal tersebut adalah infâq, apalagi Chapra memberikan prinsip dasar ekonominya kepada ketuhanan sesuai dengan prinsip dasar infâq itu sendiri. Karena itu, keberadaan infâq dalam rangka meningkatkan perekonomian umat tidak dapat dipandang sebelah mata. Dalam konteks ini al-Qur’an menawarkan sebuah sistem yang populer disebut dengan infâq.12 Sistem ini ditawarkan karena bertitik tolak dari adanya larangan Abû al-A’la al-Mawdûdî, Ushûl al-Iqtishâd bain al-Islâm wa al-Nuzhûm al-Mu‘âsharah wa Mu’dhalât al-Iqtishâd wa Hilluha fî al-Islâm (Arab Saudi: al-Dâr al-Su‘ûdiyah, 1985), h. 20-21. 11 M. Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 82. 10

Prinsip dasar dalam al-Qur‘an yang menyebabkan manusia diberi kesempatan untuk mengelola harta karena adanya legitimasi dari Tuhan bahwa manusia adalah khalifah-Nya di muka bumi yang tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan manusia di dunia. Dengan demikian, Tuhan telah memberikan wewenang kepada manusia untuk mendapatkan harta tanpa batas, namun pada sisi lain Tuhan menganjurkan agar harta yang sudah dimiliki diberikan sebagiannya melalui jalan al-infâq. Lihat Nûr al-Dîn ‘Attar, Al-Mu’âmalât al-Mashrafiyah wa alRibawiyah wa ‘Ilâjuhâ fî al-Islâm (Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1983), h. 26. 12

5


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 berperilaku mubazir ditambah lagi adanya keborosan dalam mendistribusikan harta kepada hal-hal yang sama sekali tidak dapat diterima oleh akal (hura-hura). Kehadiran konsep infâq ini merupakan kajian yang sangat menarik khususnya dalam fiqih iqtishâdî karena pendistribusiannya yang sangat sistematis. ‘Abd Allâh Nâshih ‘Ulwân memberikan pernyataan bahwa tidak terdapat satu syari’at pun dari syari’at umat-umat yang terdahulu seperti syari’at Islam yang memberikan motivasi untuk berinfaq pada jalan yang baik namun mengkritik sifat kikir dan pelit. Hal ini tertuang dalam redaksi-redaksi al-Qur’an dan hadis yang banyak sehingga redaksi-redaksi ini seolah-olah memberikan asumsi bahwa harta yang disimpan wajib diinfaqkan semuanya di jalan Allah, guna memberikan pahala besar bagi yang berinfaq.13 Kebutuhan manusia terhadap harta merupakan Sunnah Allâh yang tidak dapat dipungkiri karena dengan harta inilah manusia dapat mempertahankan kehidupannya.14 Untuk mendapatkan dan mengelola harta ini maka muncullah gagasan ‘trendi’ yang dikenal dengan istilah ekonomi yang muncul dari sudut pandang yang berbeda. Mengenai ekonomi ini terdapat tiga sistem yang sangat populer yaitu sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan Islam. Bila infâq merupakan konsep dalam pengelolaan harta dan merupakan sub bagian dari ekonomi Islam, maka tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa ekonomi Islam merupakan jembatan yang mampu menghubungkan dua sistem ekonomi yang terus bertikai yaitu antara kapitalis dan sosialis. Bila kapitalis hanya mementingkan keuntungan individu maka sosialis lebih mementingkan kelompok. Berlainan halnya dengan Islam yang memberikan kebebasan individu (yang dalam hal ini cenderung kepada kapitalis) pada satu sisi, namun pada sisi lain Islam menekankan bahwa pada hak individu terdapat juga hak orang lain yang harus didistribusikan (yang dalam hal ini cenderung kepada sistem sosialis). Pada tataran aplikasi dan akademis maka sistem kapitalis dan sosialis lebih menonjol bila dibanding sistem Islam. Tetapi akhir-akhir ini sistem ekonomi Islam mulai bergaung. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya bank-bank Islam yang berdiri. Begitu juga seminar-seminar dan bahkan tidak sedikit perguruan tinggi yang membuka jurusan ekonomi Islam. 13

h. 52.

‘Abd Allâh Nâshih ‘Ulwân, Al-Takâful al-Ijtimâ`î fî al-Islâm (Kairo: Dâr al-Salâm, 1983),

Kecenderungan manusia kepada harta memang sudah merupakan ketentuan Tuhan yang menjadikan harta tersebut sebagai hiasan dalam kehidupan manusia sebagaimana tercantum dalam Q.S. Âli ‘Imrân/3:14, 14

                

         

6


Achyar Zein: Wawasan Al-Qur’an Tentang Infâq

Dalam konteks ini, M. Umer Chapra menyebutkan bahwa ketika ‘kran’ ijtihad dibuka selebar-lebarnya, di mana hubungan yang telah melemah karena kekakuan fiqih dan dominasi ilmu ekonomi konvensional di negara-negara Muslim, maka kecenderungan untuk menormalisasikan hubungan antara ilmu ekonomi Islam dan fiqih semakin bergaung. Bila ilmu ekonomi sifatnya memecahkan persoalan yang dihadapi, maka tugas fiqih akan merespons mana di antara solusi yang direkomendasikan sesuai dengan maqâshid al-syarî‘ah (prinsip dasar hukum).15 Ketiga sistem ekonomi di atas memiliki pandangan yang berbeda terhadap harta baik dari segi pemiliknya, cara mendapatkannya dan bahkan pendistribusiannya. Beda pandang ini tidak hanya sebatas pemilikan pribadi an sich namun dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara. Justru itu selalu diklaim apakah suatu negara berbentuk kapitalis, sosialis dan Islam sangat tergantung kepada ideologi ekonomi yang dijalankannya. Sistem ekonomi kapitalis sebagaimana yang digambarkan oleh al-Maudûdîmemandang bahwa harta adalah milik individu yang sedikit pun tidak ada hak atau campur tangan orang lain di dalamnya. Pemilik harta memiliki kebebasan untuk mengelola hartanya sesuai dengan kemauan dan kesukaannya sampai kepada tingkat monopoli segala jenis produk. Berlainan halnya dengan sistem sosialis di mana individu sama sekali tidak punya hak untuk memiliki dan semuanya diserahkan kepada publik yang dalam hal ini diatur oleh negara sehingga kebebasan individu untuk mengelola harta diatur oleh negara. Adapun Islam seolah-olah berada di antara keduanya dengan arti kata memberikan kebebasan kepada individu untuk memiliki dan mengelola hartanya namun di dalam harta tersebut ada sebagian kecil hak orang lain. 16 Melalui ketiga sistem di atas dapat dianalisis bahwa sistem kapitalis dan sosialis tidak akan bertahan karena sistem kapitalis tidak memberikan gerak dan ruang kepada pihak lain untuk berkembang dan dengan demikian akan tercipta kesenjangan sosial yang menganga. Begitu juga sosialis yang sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada individu untuk mengelola hartanya akan menimbulkan sifat pemalas karena harta yang didapatnya tidak bisa diberikan kepada keluarga yang dicintainya. Islam akan menciptakan suasana yang kondusif dimana pemilik harta akan memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memiliki hal yang sama dan inilah yang disebut dengan infâq.

M. Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 95. Selanjutnya Chapra mengharapkan agar adanya interaksi antara pakar ekonomi dengan fuqahâ’ guna membantu dunia Islam yang menjunjung tinggi peranan agama. 16 Selengkapnya lihat al-Maudûdî, Ushûl al-Iqtishâd, h. 13-23. 15

7


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

Pernyataan al-Qur’an Tentang infâq Harta menurut pandangan Islam merupakan milik Tuhan secara absolut namun Tuhan memberikan hak paten kepada manusia untuk mengelolanya. Pengelolaan ini diatur oleh Tuhan dalam al-Qur’an mulai dari cara mencarinya yang menurut persepsi penulis disebut dengan zakat, kemudian kewajiban mengeluarkan sebagiannya yang dalam tataran ini disebut dengan sedekah hingga kepada pendistribusiannya yang disebut dengan infâq. Ketiga aturan ini merupakan petunjuk bagi manusia agar hak paten yang telah diberikan oleh Tuhan dalam memiliki harta dapat dipelihara sebaik-baiknya.17 Dengan demikian, maka pembahasan tentang harta tidak bisa terlepas dari pembahasan tentang zakat, sedekah dan infâq apalagi ketiga persoalan ini saling berkaitan dan sulit untuk dipisahkan. Meskipun antara zakat, sedekah dan infâq saling berkaitan, bukan berarti bahwa ketiganya dapat diartikan dalam pengertian yang sama, sehingga kadang-kadang mengaburkan makna hakiki dari zakat, sedekah dan infâq itu sendiri. Dalam tataran fiqh, kadang-kadang dijumpai adanya statement yang menyamaratakan ketiga perspektif ini sehingga terkesan makna dari masing-masing ketiga persoalan ini selalu tumpang tindih. Penggandengan kata-kata lain yang berbeda ketika dikaitkan dengan zakat dan sedekah serta infâq dalam al-Qur’an mengindikasikan bahwa ketiga hal ini memiliki perbedaan yang sangat prinsip. Bila informasi tentang zakat selalu digandeng dengan shalat sebagai sarana hubungan manusia dengan Tuhan, maka infâq selalu digandeng dengan anjuran beriman kepada Allah.18 Penggandengan ini mengindikasikan bahwa persoalan infâq tidak hanya sebatas persoalan kemanusiaan yang dibingkai dalam sosial ekonomi infâq juga merambah soal keimanan.19 Zakat sesuai arti lughawi adalah bertambah, tumbuh dan bersih, maka diasumsikan bahwa zakat adalah anjuran untuk mencari harta dengan jalan yang baik dan suci apalagi Islam memiliki satu prinsip bahwa harta harus bertambah dan merupakan aib bila harta tersebut berkurang, hal ini dapat dilihat dengan adanya sistem warisan dalam Islam. Sedangkan sedekah sesuai dengan keterangan al-Qur’ân adalah penyisihan sebagian harta yang dimiliki yang khusus diberikan kepada ashnâf yang delapan. Setelah penyisihan tadi dilakukan, maka harta yang ada sudah merupakan milik mutlak seseorang, karena hak orang lain sudah dikeluarkan, pendistribusian hak mutlak ini diatur oleh al-Qur’an agar si pemilik harta jangan berlaku boros dan jangan pula bersikap kikir dan inilah yang disebut dengan al-infâq. 17

Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 3, 254, 267; Q.S. Âli ‘Imrân/3: 17; Q.S. al-Anfâl/8: 3; Q.S. alTaubah/9: 99. Menurut al-Qardhâwî bahwa perintah wajib membelanjakan uang tercantum setelah anjuran beriman kepada Allah dan Nabi-Nya. Ini merupakan pertanda jelasnya perintah membelanjakan uang, bukan sekadar anjuran yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Kombinasi antara iman dan al-infâq banyak terdapat di dalam ayat al-Qur’an. Lihat Yûsuf alQardhâwî, Norma dan Etika Ekonomi Islam, terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 138. 18

Ekonomi Islam dapat diibaratkan bagaikan satu bangunan yang terdiri atas landasan, tiang dan atap. Landasannya terdiri atas lima komponen yaitu tauhid, ‘adîl, nubuwwa, khilâfah dan ma’ad (return). Tauhid bermakna ke-Mahatunggalan Allah sebagai Pencipta, pemilik semua 19

8


Achyar Zein: Wawasan Al-Qur’an Tentang Infâq

Informasi al-Qur’an tentang infâq dapat dikategorikan kepada beberapa persoalan di antaranya motivasi,20 efisiensi,21 sasaran,22 material,23 dan etika,24 yang sekaligus merupakan alasan bahwa infâq termasuk ke dalam persoalan ekonomi karena ekonomi itu sendiri mengatur tentang efisiensi agar shâhib al-amwâl dapat mendistribusikan hartanya dengan tepat guna dan berhasil guna. Mengantisipasi akan hal ini, maka alQur’an dan hadis menawarkan konsep infâq dengan berbagai karakteristiknya. Terdapatnya anjuran untuk melaksanakan infâq dalam al-Qur’an pada prinsipnya menampik pandangan yang seolah-olah keberadaan infâq itu sendiri menempati posisi akhir setelah persoalan zakat dan sedekah. Padahal secara prinsipil anjuran untuk melakukan ketiga hal tadi menempati kapasitas dan posisi yang sama dalam hal kewajiban.25 Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketiga pilar ini baik zakat, sedekah maupun infâq memiliki perbedaan baik esensinya maupun eksistensinya dan sekaligus informasi al-Qur’an dimaksud menolak adanya pendiskriminasian di antara ketiga pilar ekonomi tadi. Pada sisi lain dengan terdapatnya anjuran agar melaksanakan infâq di jalan Allah merupakan bentuk efisiensi terhadap harta yang dimiliki agar shâhib alamwâl tidak terjerumus ke dalam jurang kehancuran yaitu berupa keborosan, hurahura dan kemubaziran. Meski demikian, Islam tetap ‘memerangi’ jiwa manusia dari kekikiran, pemborosan dan kemewahan, berusaha membersihkan masyarakat dari sifat-sifat tersebut dan

yang ada di bumi dan di langit, pemberi rezeki yang Maha Adil yang berkuasa atas segalanya. Pengingkaran atas nilai tauhid dapat membawa manusia menjadi megalomania, merasa dirinya hebat, semua bisa diatur dengan uang. Lihat Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 176. Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 3, 261, 265, 270, 274; Q.S. Âli ‘Imrân/3: 117 dan 134; Q.S. al-Anfâl/8: 3 dan 60; Q.S. al-Taubah/9: 99 dan 121; Q.S. al-Ra’d/13: 22; Q.S. Ibrâhîm/14: 31; Q.S. al-Nahl/16: 75; Q.S. al-Hajj/22: 35; Q.S. al-Qashash/28: 54; Q.S. al-Sajadah/32: 16; Q.S. Sabâ’/34: 39; Q.S. Fâthir/35: 29; Q.S. al-Syûra/42: 38; Q.S. al-Hadîd/57: 7 dan 10; dan Q.S. al-Munâfiqûn/63: 10. 21 Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 195, 254, 267, 272; Q.S. Âli ‘Imrân/3: 17 dan 92; Q.S. alFurqân/25: 67; dan Q.S. al-Taghâbun/64: 16. 22 Q.S. al-Baqarah/2: 215 dan 273; Q.S. al-Nisâ’/4: 34; dan Q.S. al-Thalâq/65: 6. 23 Q.S. al-Baqarah/2: 219. 20

Q.S. al-Baqarah/2: 262; Q.S. al-Nisâ’/4: 38 dan 39; Q.S. al-Mâidah/5: 64; Q.S. alAnfâl/8: 36; Q.S. al-Taubah/9: 34, 54, 91, 92 dan 98; Q.S. al-Isrâ’/17: 100; Q.S. al-Kahf/18: 42; Q.S. Yâsin/36: 47; Q.S. Muhammad/47: 38; Q.S. al-Munâfiqûn/63: 7; dan Q.S. al-Thalâq/ 65: 7. 24

Dalam sebuah hadis dari Abû Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah bersabda melalui firman Allah (hadis Qudsi), Wahai manusia! Laksanakan al-infâq, engkau akan diberi al-infâq. Menurut al-Nawâwî bahwa hadis ini merupakan makna dari firman Allah: Al-Infâq apa saja yang kamu berikan Allah pasti akan menggantinya. Lihat Imâm Muslim, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwî, juz II (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 690-691. 25

9


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 mempersiapkan jiwa manusia pada kegemaran untuk melaksanakan infâq dan memberi dalam upaya memenuhi hak Allah dan manusia. Karena itu, kita hampir tidak pernah menemukan perintah untuk berzikir kepada Allah melainkan senantiasa diiringi dengan perintah untuk melaksanakan infâq di jalan-Nya dan memberi makan kepada orangorang miskin.26 Anjuran untuk melaksanakan infâq di jalan Allah berdasarkan informasi al-Qur’an tidak lain merupakan efisiensi yang terpola ke dalam empat bentuk yang bervariasi. Pertama, bentuk perintah dan peringatan seperti Q.S. al-Baqarah ayat 278 dan 279. Kedua, dalam bentuk inkar dan anjuran seperti Q.S. al-Hadîd ayat 10. Ketiga, bentuk ganjaran mulia seperti Q.S. al-Baqarah/2: 245 dan 261. Keempat, dalam bentuk ancaman keras seperti Q.S. al-Taubah/9: 34 dan 35.27 Berlainan halnya dengan sedekah maka al-Qur’an menunjuk sasaran infâq yaitu ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.28 Begitu juga sasaran infâq diberikan kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah sehingga mereka tidak dapat berusaha di muka bumi namun tidak memproklamirkan kefakirannya, 29 dan begitu juga para istri adalah merupakan sasaran infâq.30 Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsaubân bahwa Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik dinar yang diinfaqkan oleh seseorang ialah dinar yang diinfaqkan kepada keluarganya dan dinar yang diinfaqkan untuk kenderaanya di jalan Allah serta dinar yang diinfaqkan untuk sahabatnya di jalan Allah”. Menurut al-Nawâwî bahwa yang dimaksud dengan keluarga mencakup orang-orang yang ditangulangi belanjanya seperti istri, pembantu dan anak. 31 Informasi tentang sasaran ini agaknya merupakan antisipasi atau sebagai pelengkap dari bagian-bagian (ashnâf) yang delapan dalam sasaran sedekah. Dengan kata lain, al-Qur’an menyediakan format yang berbeda sebagai tawaran jika dalam kelompok delapan (ashnâf) masih belum mampu mengcouver kelompok-kelompok yang perlu untuk diperhatikan. Karena itu, format yang ditawarkan oleh al-Qur’an ini bernuansa kekeluargaan, sementara dalam hal sedekah terkesan dalam konteks universal.

26

h. 24.

Mawardi Noor, et al., Garis-Garis Besar Syariat Islam (Jakarta: Khairul Bayan, 2002),

Yûsuf al-Qardhâwî, Norma dan Etika Ekonomi, h. 139-140. Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 215. 29 Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 273. 30 Lihat Q.S. al-Nisâ’/4: 34; dan Q.S. al-Thalâq/65: 6. 27 28

Imâm Muslim, Shahîh Muslim, h. 692. Dalam hadis yang lain, Imâm Muslim juga meriwayatkan dari Abû Hurairah bahwa Rasulullah bersabda “Adapun yang dimaksud dengan menginfaqkan dinar di jalan Allah ialah al-infâq kepada budak, miskin dan keluarga, namun yang paling besar pahalanya adalah al-infâq kepada keluarga”. 31

10


Achyar Zein: Wawasan Al-Qur’an Tentang Infâq

Kesan yang tertangkap melalui informasi ini ialah prinsip ekonomi yang ditawarkan oleh al-Qur’an melalui infâq bernuansa kekeluargaan sementara sedekah bernuansa kerakyatan. Kombinasi dari kedua prinsip ini mengindikasikan adanya hak-hak paten bagi keluarga shâhib al-amwâl karena bagaimanapun andil mereka dalam pengumpulan harta tak dapat dinafikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya al-Qur’an juga menjelaskan bahwa secara material harta yang diinfaqkan ialah harta yang lebih dari kebutuhan. Menurut al-Qardhâwî apa-apa yang melebihi kebutuhan adalah suatu patokan dalam mengeluarkan al-nafaqah karena tidak ada sedekah kecuali apabila harta yang disedekahkan melebihi kebutuhan. Dengan kata lain, Islam menggariskan bahwa membelanjakan harta tidak boleh melampaui batas, misalnya menafkahkan harta untuk orang banyak dalam jumlah lebih besar daripada nafkah pribadinya. Peraturan ini ditetapkan agar dia dan keluarganya dapat hidup serba cukup, tidak mengemis kepada orang lain. 32 Pada sisi lain, al-Qur’an juga memuat tentang etika yang berkaitan dengan infâq. Etika ini dibangun untuk menghormati perasaan orang-orang yang menerima infâq. Salah satu anjuran etika ini ialah agar yang berinfaq jangan menyebut-nyebut (mengungkitungkit) pemberiannya dan jangan pula menyakiti perasaan yang menerima. 33

Penutup Infâq adalah pendistribusian harta di jalan Allah dengan ruang lingkup kerabat ataupun yang non kerabat dan merupakan mitra yang sama kedudukannya dengan persoalan zakat dan sedekah. Sedangkan dalam konteks fiqh iqtishâdî merupakan salah satu pola dalam rangka menumbuhkembangkan perekonomian rakyat dengan sasaran yang tepat guna dan berhasil guna agar pemiliki tidak terkesan boros dan tidak pula terkesan kikir.

Pustaka Acuan ‘Abd al-Bâqî, Muhammad Fu’âd. Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t. ‘Attâr, Nûr al-Dîn. Al-Mu’âmalât al-Mashrafiyah wa al-Ribawiyah wa ‘Ilâjuhâ fî al-Islâm. Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1983.

Al-Qardhâwî, Norma dan Etika Ekonomi, h. 140-141. Dalam tataran ini al-Qardhâwî kadang-kadang mengidentikkan bahwa al-infâq sama dengan sedekah, meskipun pada awalnya dia mempertanyakan adanya sebagian ulama yang mengidentikkannya. 33 Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 262. 32

11


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Al-Bûthî, Muhammad Sa’îd Ramadhân. Naqdh Awhâm al-Mâddiyah al-Jadaliyah (alDiyâlektîyah). Damaskus: Dâr al-Fikr, 1979. Chapra, M. Umar. Islam dan Pembangunan Ekonomi. Terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Chapra, M. Umer, Islam and The Economic Challenge, terj. Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000). Chapra, M. Umer. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam. Terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Chapra, M. Umer. Sistem Moneter Islam. Terj. Ikhwan Abidin Basri, Gema Insani Press, 2000. Al-Ghirnâthî, Muhammad Ahmad Juzaî. Qawânîn al-Ahkâm al-Syar’iyah. Bayrût: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1979. Al-Ishfahânî, al-Râghib. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân. Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.t. Ibn Qudâmah, Al-Mughnî. Juz VI, Mesir: Maktabah al-Jumhûriyah al-‘Arâbiyah, t.t. Imâm Muslim. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwî. vol. II, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t. Karim, Adiwarman A. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press. 2001. Al-Kâsânî al-Hanafî. ‘Ala’ al-Dîn Abî Bakr bin Su’ûd, Kitâb Badâ‘i’ al-Shanâ‘î’ fî Tartîb alSyarâ‘î’. Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arâbî, 1982. Al-Mawdûdî, Abû al-A’la. Ushush al-Iqtishâd bayna al-Islâm wa al-Nuzhum al-Mu’âsharah wa Mu’dhalât al-Iqtishâd wa Hilluhâ fî al-Islâm. Riyâdh: Dâr al-Su‘ûdiyah, 1985. Nabi, Mâlik ben, Al-Muslim fî ‘Âlam al-Iqtishâd, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1979. Noor, Mawardi, et al. Garis-garis Besar Syariat Islam. (Jakarta: Khairul Bayaan, 2002. Al-Qardhâwî, Yûsuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Al-Syawkânî, Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad. Fath al-Qadîr. Juz I, Beirût: Dâr alFikr, 1973. ‘Ulwân, ‘Abd Allâh Nâshih. Al-Takâful al-Ijtimâ’î fî al-Islâm. Kairo: Dâr al-Salâm, 1983.

12


HAMKA’S METHOD OF QUR’ANIC INTERPRETATION Milhan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara Medan, Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail: milhany@yahoo.com

Abstrak: Metode Hamka dalam Penafsiran al-Qur’an. Di antara sekian penafsir al-Qur’an modern di Indonesia, Hamka memiliki keunikan dalam pendekatannya. Pendekatan ini dapat disebut sebagai pendekatan sistemik, yang menekankan kesaling-terkaitan seluruh ajaran al-Qur’an mengenai berbagai hal. Karena itu, setiap ayat al-Qur’an mestilah ditafsirkan dalam konteks sistem tersebut, bukan sebagai bagian yang terpisah-pisah. Pendekatan Hamka ini secara alamiah melahirkan pemahamannya yang khas pula tentang Islam.

Kata Kunci: Hamka, tafsir al-Qur’an

Introduction Haji Abdul Malik Karim Amrullah, widely known by his abbreviated name, Hamka,1 was much concerned with the development of Islamic teachings in Indonesia. Having been influenced by the Muslim reformist ideas championed by Muhammad ‘Abduh and his colleagues, he attempted to dessiminate and ameliorate the reform ideas in his country, Indonesia, through the means available to him, that is by preaching and writing. Hamka was one of the most influential Indonesian scholars and the most prolific contemporary authors, having written 113 books including his monumental Qur’anic commentary Tafsîr al-Azhar.2 In this commentary, he devoted to compromise between tafsîr bi al ma’tsur and tafsîr bi al-ra’yi3 approach. As is well known, there are several approaches employed

Hamka was born in Maninjau, West Sumatera on February 17, 1908 and died in Jakarta on July 24, 1981. See Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (Jakarta: Panjimas, 1983), p. 44. 2 Sides Sudyarto, “Hamka, Realisme religious”, in Hamka di Mata Hati Umat, ed. Nasir Tamara, et al. (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), p. 337-339. 1

Tafsîr bi al-Ma’tsur is the interpretation in terms of explanation derived from the Qur’an itself, and from the traditions of the Prophet and his Companions and their Successors; while the interpretation based on the valid ideas of the commentators is called tafsîr bi al-ra’yiî. See 3

13


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 in exegetical literature tafsîr bi al-ma’tsur, tafsîr bi al-ra’yi, tafsîr al-isyarî4 and the modern approach.5 For Hamka, the application of the al-ma’tsur method only was tantamount to “textbook thinking” and was something he did not want to engage in. However, he did not want to follow solely al-ra’yi for fear of deviating from the purpose of the Qur’an.

Hamka’s Systemic Approach to Qur’anic Interpretation It is hard to elaborate Hamka’s principle of interpretation comprehensively, since he did not compose a special work on it. 6 Moreover, the works which discuss his commentary do not focus on his principle perse.7 Therefore, the only way to apprehend it is through his commentary, where he explains and employs this principle. The way adopted in writing this commentary, Hamka remarks, is the way of the salaf. In other words, it is way of the Prophet, the Companions and the Successors. 8 The explanation of the Prophet is obtained from his Sunnah; that is his sayings (aqwâl), deeds Ahmad Von Denffer, ‘Ulûm al-Qur’an: An Introduction to the Sciences of the Qur’an (London: The Islamic Foundation, 1983), p. 132. Tafsîr al-Isyarî indicates the interpretation of the Qur’an beyond its outer meanings. The people practising this kind of interpretation concern themselves with the meanings attached to verses of the Qur’an, which are visible only to those whose hearts Allah has opened to deep spiritually. This method of tafsîr is often found in the works of mystically-inclined authors. See, Ibid. 4

Modern tafsîr is the interpretation that attempts to reconcile between the method of tafsîr bi al-ma’tsur and that of tafsîr bi al-ra’yiî as well as to prove that the Qur’an is able to respond to modern needs both materially and spiritually. See J. M. S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960) (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 80; J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1974), p. 17-19. 5

Hamka is different from the other Indonesia exegetical scholars, such as T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy. The latter does not only write commentaries but also writes several works on the principle of interpretation. His commentaries are Tafsir al-Quranul Majied “An-Nur”, 30 Jilid (Jakarta: Bulan Bintang, 1976); Tafsir al-Bayan, 4 vol (Bandung: Al-Ma’arif, 1966), while his works on the principle of interpretation are, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1954) and Ilmu-Ilmu al-Quran: Media Pokok dalam Menafsirkan alQuran (Jakarta: Bulan Bintang, 1972). 6

At the time this article was written, two works discussing his commentary were found. The are Yunan Yusuf’s Corak Penafsiran Kalam: Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990). Yusuf examines Hamka’s manner of interpreting the theological verses. The author concludes that Hamka’s way is very similar to the approach of the Rationalists. However, he does not adopt the whole method of the Mu‘tazilah. This conclusion is based on Hamka’s interpretation of eight essential theological concepts. They are the authority of reason (‘aql), the function of revelation, free will and predestination, faith, the authority and will of God, the justice of God, the action of God and the attributes of God. The second book is written by Federspiel, Popular Indonesian Literature of Qur’an (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1994). In his book, Federspiel does not actually focus on Hamka’s commentary. He just assesses the development of exegesis in Indonesia, including Hamka’s work. 8 Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), p. 41. 7

14


Milhan: Hamka’s Method of Qur’anic Interpretation

(af‘âl) and his decisions (taqrîr) concerning the activities of the Companions. The authority of the Prophet’s explanations of the Qur’an was testified by God through His saying “and We have sent down unto thee (also) the Message, that you mayest explain clearly to men what is sent for them, and that they may give thought.”9 From his elaboration of the authority of Muhammad as the interpreter of the Qur’an, Hamka rejects any interpretation that is contradictory to the explication of the Prophet,10 since the Prophet’s elucidations were sanctioned by God. Furthermore, Hamka recommends the study of the Sunnah because through it, one can observe that the Qur’an consists of three main components. The first component comprises the legal verses, from which all legal dictums are drawn. Moreover, since most legal verses had been throughly explained by the Prophet, it is unnecessary to seek any interpretation other than that of Muhammad. Hamka even condemned those who deny the interpretation of the Prophet concerning the Syarî‘ah and merely apply their own interpretations instead.11 The second component is related to ‘aqîdah or belief. To establish belief, Hamka explains, in the hearts of believers God reveals numerous signs throughout the Qur’anic verses about the creation of this universe. Interestingly, He shrouds some of their contents in mystery and ambiguity. However, several of these can be interpreted in accordance with scientific developments or with philology.12 The third component of the Qur’an deals with the history of the previous peoples or prophets, such as the stories of Joseph and Moses. In interpreting the historical verses, Hamka determines, one should be extremely careful in adopting the interpretations of the previous scholars, since several of them are false. The untrue interpretations mostly originated from the isrâ’îliyyât.13 With regards to the isrâ’îliyyât, Hamka classifies them into three categories. First those which are not contrary to the Qur’an or the Sunnah of the Prophet. Such traditions are undoubtedly true and can be accepted as the basis for interpretation. Secondly, those traditions whose unsoundness is obvious, for they are incompatible with the purpose of the Qur’an or the principles of Islam. Those traditions, Hamka recommends, have to be Q.S. al-Nahl/16: 44. Hamka, Tafsir al-Azhar, p. 25. 11 Ibid., p. 26. 12 Ibid., p. 27. 9

10

Ibid., p. 29. Isrâ’îliyyât is an Arabic term which refers to those narratives which are found in commentary books written by Jews or Christians who had converted to Islam. Among the eminent isrâ’îliyyât authors one may count ‘Abd Allâh ibn Salâm, Ka’b al-‘Ahbâr, Wahb ibn Munabbih and Ibn Juraij. These authors were interested in explaining the Qur’anic verses pertaining to past events, especially to previous prophets and their followers. Understandably, these authors often drew from the vast repertoire of their previous religions knowledge, and this in turn inevitably coloured their writing. Hence the isra’iliyyât narratives are divided into three categories: the accepted, the non-accepted and rejected ones. See Muhammad Husaya al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I (Kairo: Dâr al-Kutub alHadîtsah, 1961), p. 165-200. 13

15


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 rejected. Thirdly, there are certain isrâ’îliyyât traditions whose soundness or unsoundness is doubtful. These traditions, Hamka declares, should be neither accepted nor rejected.14 In order to avoid misinterpretations, Hamka suggests following the literal meaning of stories, since they provide explanations of past events, which can, in turn, be adopted as educational elements not as real tales. 15 This is in line with the Qur’anic message saying that “There is, in their stories, instruction for men endued with understanding. It is not a tale invented, but a confirmation of what before it, a detailed exposition of all things, and a Guide and a Mercy to any such as believe.”16 Following the interpretation of the Prophet, one may employ that of the Companions. Their elucidations, Hamka declares, are very similar to the Prophet’s, especially concerning the legal matters, because “we believe that the Companions derived the interpretation of legal verses directly from the Prophet”.17 However, Hamka cautioned against a blind acceptance of the Companions’ interpretations, especially when the latter appear to base themselves upon their personal point of view, or when a particular matter appears to draw a variety of differing opinions. In that case, our author advocated caution while scrutinizing and choosing from the various interpretations. 18 The interpretations of the Successors of the Companions on legal verses were sanctioned by our author since they derived from their predecessors. However, their interpretation of historical verses were cautioned against since they often drew from the isrâ’îliyyât and hence should be rejected.19 It seems that Hamka’s approach closely followed the ma’tsûr method. However, that was not the only means he deemed satisfactory in understanding the message of the Qur’an. Instead, he advocated a compromise between naql (traditions) and ‘aql (reason). In other words, he suggested following the way of the salaf (scholars of early Islam) when it is not contradictory to reason and applying reason where it is necessary to do so. Any commentary which limits itself to the thought of earlier scholars, he further remarks, is an axample of “textbook thinking”.20 On the other hand, an interpretation based solely on reason will likely deviate from the real purpose of the Qur’an.21 In addition, a measure of partiality is inevitable when writing a commentary. Many commentators, Hamka declares, have turned aside from the main tafsîr objective of tafsîr and have concentrated instead on propagating or defending the opinion of their school of thought. This can be Hamka, Tafsir al-Azhar, p. 33. Ibid., p. 30. 16 Q.S. Yûsuf/12: 111. 17 Hamka, Tafsir al-Azhar, p. 31. 18 Ibid., p. 31. 19 Ibid., p. 33. 20 Ibid., p. 40. 21 Ibid. 14 15

16


Milhan: Hamka’s Method of Qur’anic Interpretation

witnessed in the work of Zamakhsharî, in which he propagated and defended the doctrine of the Mu’tazila, al-Razî who advocated the Syafi’î doctrine, and Alùsì who promoted his Hanafî inclination.22 Although Hamka greatly appreciated the method of Ibn Taymiyya23 and mentioned that “the way that had been followed by Ibn Taymiyya in interpretation is free from ra’yi (reason)”,24 yet, he was not against the use of reason per se. Indeed, one cannot ignore reason especially when the Qur’an declares “He granteth wisdom to whom He pleaseth, and he to whom wisdom is granted receiveth indeed a benefit overflowing, but none will grasp the Message but men of understanding”. 25 How can the wisdom of the Qur’an be obtained, Hamka questions, if Ibn Taymiyya’s strictest methodology is to be followed ? In order to reconcile between the applications of naql and ‘aql, Hamka propose conforming to the system of al-Ghazâlî. The latter had mentioned that it was not enough to follow the literal meaning of the verses and the interpretations of the salaf, but that one should contemplate the Qur’an as a whole and try to understand its global essence.26 In addition to striking a middle course between the ideas of Ibn Taymiyya and al-Ghazâlî, Hamka also attempted to pursue the technique of the Companions in interpretation. He admired their devotion and method, which consisted of referral to the explanations of the Prophet and the application of their sound opinions.27 With regards to sound narratives in which the matn (content) contradicts reason, Hamka favoured the recourse to reason. This can be seen from his refutation of the reports concerning revelational background of verses 22: 52.28 These reports explain that Satan made the Prophet pronounce the following words “Verily they (idols) are the exalted maidens (gharânîq)”29 after Muhammad had recited verses 53: 19-21.30 Hamka acknowledged that the story of the gharânîq had been accepted as sound by a number of

Ibid. Ibn Taymiyya emphasizes that the only sound method of interpretation is to refer, in descending order, to the Qur’an itself, the Sunna (the Prophet’s traditions), the aqwâl (sayings) of the Shahâba (the Companions of the Prophet) or to those of the Tabi‘ûn (the Followers of the Companions of the Prophet). See Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, p. 48-50. 24 Hamka, Tafsir al-Azhar, p. 34. 25 Q.S. al-Baqarah/2: 269. 26 Hamka, Tafsir al-Azhar, p. 36. 27 Ibid., p. 37. 28 Never did We send an apostle or a prophet before thee, but, when he framed a desire, Satan threw some (vanity) into his desire: but God will cancel anything (vain) that Satan throws in, and God will confirm (and establish) His signs: for God is full of knowledge and wisdom”. 29 The story of the gharânîq (exalted maidens) is well known. 30 “Have ye seen Lât, and ‘Uzzâ, and another, the third (goddess), Manât ? What ! For you the male sex, and for Him, the female ?” 22 23

17


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 classical scholars,31 because, based on their requirements, the chain of its isnâd is solid enough to warrant the acceptance of its authencity. However, Hamka argued, if we accept the above tradition, it would indicate that we believe that Satan could intervance and influence Divine Revelation.32 In addition, Hamka classified the tradition as part of the unsound isrâ’îlliyyât.33 Hamka also vehemently criticized any interpretation contrary to philology. He rejected the interpretation of those who mention that all the verses of the Qur’an are accumulated in the dot under the letter b in the phrase bismillâh. This idea, he remarks, is baseless and highly imaginative, for it is clear that the letter b itself has no sense if it is not related to the other letters. Moreover, the dot has no meaning by itself.34 Another significant element of Hamka’s principle is his view of the authorization of the learned scholars (‘ulamâ) in discussing the Qur’an. He declares that the learned scholars are permitted to express their ideas about the Qur’an, even if their ideas are not in conformity with the interpretations of past scholars. In other words, he grants the scholars the right to devise their own opinions.35 In addition, he proposes a new method of interpreting the Qur’an that is compatible with the modern era. This ideal process calls for the involvement of numerous scholars, whereby each scholar is talented in a specific field of knowledge. For instance, when a psychological matter is discussed, there should be a psychologist involved and when a social topic is examined there should be a sociologist involved.36 Then, Hamka’s exegesis provides tahlili method.37 He always starts each surah (chapter) with an introduction about the place and time of its revelation, and whether it was revealed during the Meccan or the Medinan periods. His purpose in doing so is to facilitate the reader’s understanding of the surah, as each period has its own distinct characteristics. The chapters revealed in one period have their own style which helps provide a proper understanding of the situational context. This can be seen from his introduction to surah al-Nisâ’ where he begins by providing the situational origin of the Among them is al-Thabarî who argues that this story is sound by presenting several reports, see his commentary, Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. XVII (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1987), p. 131-3. 32 Hamka, Tafsir al-Azhar, vol. XVII, p. 189-96. 33 Ibid., vol. I, h. 33. 34 Ibid., p. 71-2. 35 Ibid., p. 38. 36 Ibid., p. 5. Q.S. al-Nisâ’/4: 59, “O ye who believe! Obey God, and obey the Apostle, and those charged with authority among you. If ye differ in anything among yourselves, refer it to God and His Apostle, if ye do believe in God and the Last Day: that is the best, and most suitable fo final determination”. 37 In tahlilî method, a commentator exegetes the verse one at a time from the first to the end of the chapter of the Qur’an. 31

18


Milhan: Hamka’s Method of Qur’anic Interpretation

chapter. Al-Nisâ’, Hamka asserts, is a Medinah surah as it was revealed after Muhammad’s migration to Medina. This notion is based on ‘Aishah’s assertion that it is a Medinan surah. The latter was able to make such an assertion on the basis of her cohabitation with the Prophet. It was after their cohabitation, she affirmed, that this surah was revealed. Hamka explains the distinction between the Meccan and the Medinan verses in the following terms. The Meccan verses, he elucidates, are primarily concerned with matters of faith while the Medinan ones incorporate all matters of social, legal, political and interhuman interactions. After providing the background information of each verse, Hamka begins his exegesis by examinin one verse at a time. 38 After discussing each verse, Hamka draws his conclusion concerning the verse or verses discussed. The conclusion depends on the central issue raised on the verse or verses. This help the reader understand the objective of the verse or verses. A case in point is his exposition of 4: 585939 which he believes to be an elaboration of the main foundations of governing the state. In administering a state or government, he declares, the trust (amânah) has to be bestowed on those who are worthy of it and can look after it properly. Not only that, they must be skillful as well. They, as the leaders of the community, must dispense justice among people impartially and without making any exeptions to their relatives and friends.40

Conclusion Having outlined the salient features of Hamka’s approach of interpreting the Qur’an, one can deduce that his method is based on the following principles: 1. The interpretation of the Qur’an by the Qur’an as the first step. 2. The interpretation of the Qur’an by the Sunnah of the Prophet, when one does not encounter any explanation from the Qur’an itself. 3. If one does not find any interpretation from the Qur’an and the Sunnah, one can resort to the interpretations of the Companions. According to Hamka, the latter were the people who knew the best interpretation of the Qur’an after the Prophet. This can be deduced from the statement in which he praises Ibn Taymiyya’s method of interpreting the Qur’an through al-ma’tsûr method.41 Hamka, Tafsir al-Azhar, vol. V, p. 215. Q.S. al-Nisâ’/4: 58, “God doth command you to render back your trusts to those to whom they are due; and when ye judge between man and man, that ye judge with justice; verily how execellent is the teaching which He giveth you! for God is He Who heareth and seeth all things”. 40 Ibid., p. 136. 38 39

Ibn Taymiyya resorts to the Companions, as the third source of interpretation after the Qur’an and the Sunnah. This is in accordance with his remark: “When the interpretation of the Qur’an is not discovered from the Qur’an itself or from the Sunnah, I will try to find it 41

19


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 4. When no explanation from the Qur’an, the Sunnah and the Companions is found, Hamka consulted the interpretation of certain Successors of the Companions. 5. If one does not encounter any of the above-mentioned sources. Hamka allowed scholars to apply ijtihâd. Ijtihâd here refers to all the fields of knowledge that can help one to understand the meaning and the purpose of the Qur’an. A case in point is Arabic philology because the Qur’an was revealed in the Arabic tongue, as God says: “With it came down the Spirit of Faith and Truth, To thy heart and mind, that thou mayest admonish, In the perspicuous Arabic tongue”. 42 []

Bibliography Denffer, Ahmad Von. Ulum al-Qur’an: An Introduction to the Sciences of the Qur’an. London: The Islamic Foundation, 1983. Dhahabî, Muhammad Husaya al. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I. Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1961. Federspiel, Howard. Popular Indonesian Literature of Qur’an. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1994. Hamka. Ilmu-Ilmu al-Quran: Media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Hamka. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1954. Hamka. Tafsir al-Bayan, 4 vol. Bandung: Al-Ma’arif, 1966. Hamka. Tafsir al-Quranul Majied “An-Nur”, 30 vol. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Ibn Taymiyya. Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr. Kuwait: Dâr al-Qur’an al-Karîm, 1971. J.J.G. Jansen. The Interpretation of the Koran in Modern Egypt. Leiden: E.J. Brill, 1974. J. M. S. Baljon. Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960). Leiden: E.J. Brill, 1968. Rusydi. Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka. Jakarta: Panjimas, 1983. Sudyarto, Sides. “Hamka, Realisme religius,” dalam Hamka di Mata Hati Umat, ed. Nasir Tamara, et al. Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Al-Thabarî. Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. XVII. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1987. Yusuf, Yunan. Corak Penafsiran Kalam: Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.

from the Companions, for they were the most knowlegdeable, about that”. See his book, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971), p. 95. 42

Q.S. al-Syu‘arâ’/26: 193-195.

20


SYI‘AH ITSNA ‘ASYARIYAH: Beberapa Prinsip Ajaran Zulkarnaen Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail: zulnas_nas@yahoo.com

Abstract: Syi‘ah Itsna ‘Asyariyah: Some Principal Teachings. The debate of ideological understanding of the rightful leadership is an important issue within the Shiates mainstream of Islam. The Shiates put ‘Ali—the fourth of al-khulafâ’ al-râsyidûn—in a special position, because they consider him as the rightful successor of the Prophet Muhammad. On the contrary, however, they consider the other three caliphs as unlawful claimers to the caliphate. However, differences of understanding in the Shiates also occur at doctrinal level that gives rise to the emergence of the Twelvers and Seveners of Shiates, the former of which holds that there are twelve lawful number of imâm whereas the latter believes that there are only seven respectively. This article traces the historical roots of divergent doctrine within the Shiites mainstream, analyses how it develop through times, and argues that the different doctrine hold by respective sects whether at a lesser or greater extent lead to different factions.

Kata Kunci: syi‘ah itsna ‘Asyariyah, imâmah

Pendahuluan Aliran Syi‘ah adalah satu-satunya aliran yang terpisah, yang sangat penting dalam Islam.1 Secara etimologis, syi‘ah berarti pengikut atau pendukung paham. Kalimat ini untuk satu orang, dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan. Yang dimaksud dengan Syi‘ah di sini adalah Syî‘ah al-‘Aliyyîn yang artinya pengikut atau pendukung ‘Alî ibn Abî Thâlib yang meyakini bahwa imâmah adalah hak ‘Alî dan ahl albait–keturunan ‘Alî dari pernikahannya dengan Fatimah, yang diterima berdasarkan wasiat.2 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h. 249. Hasân Ibrâhîm Hasân, Târîkh Daulah Fâthimiyah, jilid III (Kairo: Mathba‘ah Lajnah wa al-Ta’lîf wa al-Nasyr, 1908), h. 1. 1 2

21


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Dalam perspektif sejarah, kemunculan Syi‘ah tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik yang terjadi di kalangan umat Islam. Menurut Abû Zahrah, sejarah kemunculan Syi‘ah dimulai pada akhir masa pemerintahan ‘Utsmân ibn ‘Affân, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa ‘Alî ibn Abî Thâlib. 3 Namun, perlu dijelaskan bahwa bibit-bibit Syi‘ah sebenarnya telah muncul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ketika itu Abû Bakar terpilih menjadi khalifah melalui debat terbuka di balai Tsaqîfah. Proses pemilihan tersebut tidak dihadiri oleh ahl al-bait. Mereka merasa ditinggalkan dan menganggap bahwa umat Islam telah mengenyampingkan dan mengambil hak-hak ahl al-bait sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW.4 Pendapat lain menyebutkan bahwa gerakan menokohkan ‘Alî dan menyebarnya isu bahwa ‘Alî ibn Abî Thâlib yang berhak menjadi khalifah, sudah ada pada masa kekhalifahan ‘Utsmân Ibn ‘Affân. Gerakan tersebut dipelopori oleh ‘Abd Allâh ibn Sabâ’, yaitu seorang Yahudi yang mengaku Islam. Ia menyebarkan isu bahwa sebelum wafat, Nabi Muhammad SAW. telah berwasiat ‘Alî-lah yang menggantikan beliau untuk memimpin umat Islam. Sebab itu, tiga khalifah yang terdahulu tidak berhak menjadi khalifah. Mereka dianggap merampas hak ‘Alî dan mengkhianati wasiat Nabi. Untuk menguatkan pendapatnya itu, ia menyebutkan adanya hadis Gadhir Kum. 5 Hadis yang diyakini sebagai wasiat Nabi yang harus dipedomani oleh seluruh kaum muslimin. Pada awal kemunculannya, Syi‘ah membawa ajaran yang paling kental, yakni masalah Imâmah/kepemimpinan6 yang mempersatukan kaum Syi‘ah dan membedakannya dengan aliran politik lainnya. Namun pada perkembangan berikutnya, ajaran ini jugalah yang menjadikan Syi‘ah terpecah-pecah ke dalam beberapa aliran atau sekte. Sebab orang-orang Syi‘ah akhirnya tidak mempunyai sikap yang sama dalam menempatkan posisi ‘Alî dan keturunannya sebagai imam. Ketika ‘Alî wafat, pemikiran ke-Syi‘ahan berkembang menjadi mazhab-mazhab, sebagian mazhab menyimpang dan sebagiannya lagi lurus. Hal ini terjadi karena keanekaragaman penganut Syi‘ah yang terdiri atas kelompok ekstrim (al-ghulât), moderat, dan liberal. Di antara kelompok yang ekstrim Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Mazdâhib al-Fiqhiyah (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arâbî, t.t.), h. 35. 4 Cyrill Glase, The Concise Encyclopedia of Islam (London: Stacey International, 1989), h. 365. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1990), h. 211. 5 Ghadir Kum adalah nama suatu tempat antara Makkah dan Madinah yang jaraknya 3 mil dari Jahfah, dan 82 mil dari Makkah. Disebut demikian karena disampaikan di Ghadir Kum, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW. pulang dari haji Wada‘. Lihat Mushthafa Muhammad al-Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab (Jakarta: GIP, 1995), h. 133-134. 6 Dalam konteks ini, Syi‘ah berpendirian bahwa ‘Alî Ibn Abî Thalib telah ditunjuk sebagai khalifah atau imam berdasarkan nash atau wasiat Nabi Muhammad SAW. dan sekaligus imâmah tidak akan keluar dari keturunannya. Lihat Muhammad ‘Abd al-Karîm ibn Abî Bakr Ahmad alSyahrastanî, Al-Milal wa al-Nihl (Beirût: Dâr al-Fikr, 1997), h. 146. Bandingkan dengan Annemarie Schimmel, Islam: An Introduction (New York: State University of NY Press, 1992), h. 91. 3

22


Zulkarnaen: Syi’ah Itsna ‘Asyariyah

ada yang menempatkan ‘Alî pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkatnya pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari Muhammad SAW. 7 Di antara aliran-aliran Syi‘ah yang muncul, terdapat beberapa aliran besar yang membentuk sekte-sekte Syi‘ah, seperti Syî‘ah Zaidiyah, Syî’ah Ismâ‘îliyyah, dan Syî‘ah Itsna ‘Asyariyah. Pada tulisan yang singkat dan sederhana ini tidak akan membicarakan seluruh sekte-sekte tersebut, tetapi hanya membahas sekte Syi‘ah Itsna ‘Asyariyah. Pembahasan tentang sekte ini pun dibatasi pada konsep Imamah dan beberapa ajaran pokok lainya saja.

Syi‘ah Itsna ‘Asyariyah atau Imâmah Dua belas Disebut Syi‘ah Itsna ‘Asyariyyah atau Syi‘ah dua belas karena mereka mempercayai dua belas imam yang nampak (tidak gaib). 8 Beberapa aliran Syi‘ah yang ada sekarang ini di dunia Islam seperti di Iran, Irak, Pakistan, dan negara-negara lainnya pada umumnya adalah golongan yang membawa nama Syî‘ah Itsna ‘Asyariyyah atau Syî’ah Imâmiyah. 9 Penganut paham Syî‘ah Itsna ‘Asyariyyah berpendapat bahwa para imam diketahui bukan melalui sifat-sifat mereka, melainkan penunjukan orangnya secara langsung. Kepemimpinan ‘Alî–‘Alî menjadi imam adalah melalui penunjukan Nabi Muhammad SAW., kemudian dia menunjuk penggantinya berdasarkan wasiat dari Nabi Muhammad dan mereka dinamakan al-awshiya–para penerima wasiat. Para penganut aliran Imamiyah telah sepakat bahwa keimaman ‘Alî telah ditetapkan berdasarkan nash yang pasti dan tegas dari Nabi Muhammad SAW. dengan menunjuk langsung dirinya, bukan dengan penyebutan sifat orangnya. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah dari kemaslahatan-kemaslahatan umum yang diserahkan kepada pertimbangan umat, dan yang mengendalikan urusan itu diangkat dengan pemilihan. Tetapi imamah itu adalah suatu rukun agama, suatu ‘aqîdah, tidak boleh Nabi membiarkannya dan menyerahkannya kepada umat sendiri, Nabi wajib menentukan siapa yang akan menjadi imam, dan yang ditentukan itu haruslah orang yang ma’shum dari dosa besar, ataupun kecil dan bahwa ‘Alî adalah orang yang ditentukan untuk itu. Dalam Islam, tidak ada masalah yang lebih penting daripada penentuan Imam, sehingga Nabi Muhammad wafat dan meninggalkan umatnya dengan hati yang tenang. Kalau memang Nabi Muhammad diutus untuk menghilangkan perbedaan pendapat dan menciptakan kesamaan pandangan di kalangan umatnya, tentu dia tidak boleh meninggalkan mereka tanpa pedoman, sehingga setiap orang menempuh caranya masing-masing dan saling bertentangan. Jadi, menurut pendapat mereka, Nabi wajib menentukan seseorang yang

Abû Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, h. 37. Rahman, Islam, h. 256. 9 Ibid., h. 47. 7 8

23


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 akan menjadi rujukan, pedoman, dan pegangan umatnya. ‘Alî adalah orang yang ditentukan Nabi Muhammad utnuk menjadi imam berdasarkan nash darinya. 10 Penganut Syî‘ah Imâmiyah mendasarkan penunjukan pribadi ‘Alî atas beberapa hadis Nabi Muhammad yang sanadnya mereka yakini benar dan sahih, misalnya hadis “barang siapa aku menjadi pemimpinnya, maka ‘Alî adalah pemimpinnya. Ya Allah tolonglah dan lindungilah orang yang menolong dan melindunginya, ‘Alî dan musuhilah orang yang memusuhinya.” Atau hadis yang berbunyi “Orang yang paling pantas menjadi hakim di antara kamu adalah ‘Alî”. Adapun pihak yang tidak sependapat dengan mereka, meragukan hadis-hadis itu berasal dari Nabi Muhammad SAW. Penganut aliran Imamiyah juga mendasarkan pendapat mereka atas kesimpulan yang mereka tarik dari kenyataan-kenyataan yang datang dari Nabi Muhammad SAW. Di antara kenyataan itu adalah Nabi Muhammad tidak pernah mengangkat seorang pun di antara sahabat untuk menjadi amîr dalam peperangan di mana ‘Alî berada di bawah komandonya. Ketika terpisah dari Nabi Muhammad dalam peperangan. Baik yang diikuti oleh Nabi maupun yang tidak diikutinya, dia selalu menjadi amîr. Berbeda dengan Abû Bakar, ‘Umar, dan sahabat besar lainnya. Mereka pada suatu kesempatan diangkat menjadi panglima perang, tetapi pada kesempatan yang lain menjadi prajurit di bawah komando panglima lainnya. Bukti yang paling jelas adalah ketika Nabi Muhammad mewasiatkan kepada Usamah bin Zaid untuk menjadi panglima perang dalam suatu peperangan yang berlangsung setelah dia wafat. Dalam pasukan Usamah itu termasuk Abû Bakar dan ‘Umar. Mereka yakin bahwa Nabi Muhammad memerintahkan keduanya untuk menjadi prajurit dalam pasukan itu agar keduanya tidak menentang ‘Alî dalam kekhalifahannya yang menurut keyakinan mereka, berdasar wasiat Nabi. Dalil lainnya adalah ketika surat al-Barâ’ah turun, Nabi Muhammad mengutus ‘Alî untuk membacakannya kepada kaum Muslimin yang sedang melaksanakan ibadah haji dan tidak menyerahkan tugas itu kepada Abû Bakar, padahal saat itu Abû Bakar bertindak sebagai amîr al-hâjj. Bukti-bukti tersebut dikemukakan sebagai dalil tentang penentuan pribadi ‘Alî menjadi imam, yaitu berdasarkan hadis-hadis yang mereka yakini kesahihannya dan peristiwa-peristiwa yang mereka tafsirkan menjadi nash untuk itu, serta tentang penafsiran mereka terhadap peristiwa-peristiwa yang oleh kalangan aliran Imamiyah diakui benar-benar terjadi. Syi‘ah Imamiyah atau Itsna ‘Asyariyah adalah aliran Syi‘ah yang mengakui eksistensi dua belas orang imam yang berhak memimpin seluruh masyarakat muslim. Kedua belas imam tersebut dimulai dari ‘Alî ibn Abî Thalib sebagai penerima wasiat dari Nabi Muhammad SAW. melalui nash. Para penerima wasiat (al-awshiyâ) setelah ‘Alî adalah 10

Al-Syahrastânî, Al-Milal wa al-Nihl, h. 131.

24


Zulkarnaen: Syi’ah Itsna ‘Asyariyah

keturunan Fathimah, yaitu Hasan kemudian Husein, selanjutnya ‘Alî Zain al-‘Abidîn, Muhammad al-Bâqir, Ja’far al-Shiddiq ibn Muhammad al-Baqîr, Mûsa al-Kazhim, ‘Alî alRidha, Muhammad al-Jawad, ‘Alî al-Hadî, Hasan al-‘Askarî, dan anaknya, Muhammad, sebagai imam yang kedua belas.11 Menurut Syalabî bahwa Syi‘ah Itsna ‘Asyariyah terbentuk sesudah pertengahan abad ketiga Hijriyah, yakni setelah lahirnya imam-imam yang berjumlah dua belas tersebut.12 Perkembangan selanjutnya yang terpenting setidaknya terjadi pada dua masa. Pertama, masa ini bermula dari tahun 932-1026 M., yaitu ketika kekhalifahan ‘Abbâsiyah berada di bawah kendali Dinasti Buwaihi. Pada saat itu aliran ini dianut oleh para penguasa Buwaihi sebagai paham keagamaan mereka. 13 Kedua, ketika Syah Ismâ’îl menjadikan aliran ini sebagai paham resmi negara Persia Baru, yang didirikannya pada tahun 1502 M. Periode ini berlangsung sampai sekarang, di mana Imamiyah–Syî‘ah Itsna ‘Asyariyah-tetap menjadi mazhab resmi Republik Islam Iran.

Konsep Imâmah Dalam sistem keyakinan keagamaan Syi‘ah Itsna ‘Asyariyyah, konsep tentang Imamah merupakan masalah yang paling mendasar. Tidak sempurna iman seseorang kecuali ia yakin terhadap doktrin yang lima, yaitu al-Tauhîd, al-‘Adl, al-Nubuwwah, alImâmah, dan al-Ma‘âd.14 Di dalam Ushûl al-Kâfî, salah satu buku pegangan aliran ini, disebutkan bahwa setiap orang yang tidak beriman kepada imam Dua Belas maka dia adalah kafir, sekalipun dia adalah keturunan ‘Alî dan Fathimah.15 Mengenai konsep keimamahan menurut pandangan Syi‘ah adalah sebagai berikut: 1. Allah wajib menetapkan imam untuk memimpin hamba-hamba-Nya. 16 Demikian halnya dengan Rasul, ia wajib menunjuk orang yang akan menggantikannya sebagai imam. Karena hal itu adalah sebagai urusan Allah, maka tidak ada urusan manusia dalam penentuan imam. Berdasarkan hal ini mereka menolak keberadaan Abû Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman.

11 12

219. 13

123.

Abû Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, h. 51-52. Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: al-Husna Dzikra, 1983), h. C.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993), h.

Ahmad Mahmûd Subhî, Nazhariyat al-Imâmah (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1969), h. 415. TIM, Mengapa Kita Menolak Syi‘ah (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam– LPPI, 1998), h. 29-30. 16 Muhammad ‘Imârah, Tayyarât al-Fikr al-Islâm (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1991), h. 207. Dalam hal ini didasarkan atas Q.S. al-Qashash/28: 68. 14 15

25


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 2. Ucapan para imam itu setara dengan sabda Nabi. Perbedaannya hanya pada keadaan Nabi yang menerima wahyu, sedang para imam tidak. 3. Seluruh umat wajib mematuhi dan membantu imam dalam melaksanakan imâmahnya. Sebab imam adalah pemimpin yang menjalankan otoritas Ilâhiyah dan al-Nubuwwah. 4. Imam adalah orang yang memiliki pengetahuan yang tidak terbatas. Pengetahuannya melampaui pengetahuan yang dimiliki manusia biasa, sebab ia langsung menerima pengetahuan itu dari Tuhan melalui ilham dengan perantaraan rûh al-quds.17 5. Imam mereka yang kedua belas, Muhammad ibn Hasan al-‘Askarî yang bersembunyi di Sardab, yaitu sebuah kota di Sammara (Irak). Menurut mereka, ia masih hidup dan tidak akan mati sampai ia muncul untuk memimpin Syi‘ah dalam membangun Daulah Islâmiyyah dengan keadilan, setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman yang merajalela. Dialah al-Mahdî al-Muntazhar,18 yang dinantikan kemunculannya.

Beberapa Ajaran Lain Inti ajaran Syi‘ah adalah berkisar masalah khilafah. Jadi, masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan masalah-masalah agama. Ajaranajarannya yang terpenting yang berkaitan dengan khilafah yaitu al-‘Ishmah, al-Mahdî, al-Taqiyah, al-Raj‘ah, sifat Tuhan dan keadilan/al-‘adl.

Al-‘Ishmah Menurut golongan Syi‘ah bahwa imam-imam mereka itu sebagaimana para nabi adalah bersifat al-‘ishmah atau ma’shûm, yaitu dalam segala tingkah laku, tidak pernah berbuat dosa besar maupun kecil, tidak ada tanda-tanda berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah ataupun lupa. Mereka berpendapat bahwa para imam itu menerima wahyu karena itu tidak salah dan senantiasa benar.

Al-Taqiyah Al-Taqiyah adalah tindakan menyembunyikan keyakinan yang benar demi kewaspadaan, yang dilakukan untuk menjaga agama yang benar dari musuh-musuh Maksud perantaraan rûh al-quds adalah menerima pengetahuan dan hukum-hukum Tuhan serta seluruh informasi lainnya melalui Nabi atau imam-imam sebelumnya. Lihat Imârah, Ibid., h. 212. 18 Muhammad al-Mahdî al-Muntazhar yaitu Abû al-Qasim Muhammad Ibn al-Hasan alAskarî ibn ‘Alî al-Hadî ibn Muhammad al-Jawad, Imam ke-12 yang mereka beri gelar dengan al-Mahdî al-Muntazhar yaitu Mahdî yang ditunggu-tunggu kedatangannya, yang sekarang oleh Syi‘ah dikatakan sedang bersembunyi. 17

26


Zulkarnaen: Syi’ah Itsna ‘Asyariyah

dengan menyembunyikannya dalam keadaan-keadaan di mana ada ketakutan akan dibunuh atau ditangkap maupun difitnah. 19 Demi kepentingan umat, pelaksanaannya ditetapkan sebagai suatu kewajiban. Al-Taqiyah yang dimaksud adalah menampakkan sesuatu yang berlainan dengan apa yang tersirat di dalam dada untuk memelihara diri dari kezhaliman, baik terhadap jiwa maupun terhadap kehormatan. Bagi penganut Syi‘ah, diamnya ‘Alî tidak menentang Abû Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmân, adalah karena taqiyah semata. Demikian juga sikap al-Hasan terhadap Mu’âwiyah, dan sikap Muhammad ibn Hanafiyah membai’atkan ‘Abd al-Mâlik ibn Marwan. Segala yang mereka lakukan terhadap Ahl al-Sunnah, seperti salat bersama-sama, berpuasa bersamasama adalah karena taqiyah semata. Landasan hukum al-Taqiyah adalah dalil ‘aqli dan dalil naqli. Secara ‘aqli adalah dibolehkannya menolak bahaya dengan ber-taqiyah, dan secara naqli dapat dilihat dalam al-Qu’ran surat ‘Âli ‘Imrân/3: 28, yang artinya, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” Dalam ajaran Syi‘ah Itsna ‘Asyariyah, doktrin tersebut merupakan ajaran yang sangat fundamental, dan demi kepentingan umat pelaksanaannya ditetapkan sebagai suatu kewajiban. Landasan hukum al-taqiyah adalah dalil ‘aqli dan naqli. Secara ‘aqli sebagaimana tersebut di atas misalnya di daerah yang dikuasai musuh, seorang Syi‘i boleh berbicara dan bertindak-tanduk seperti salah seorang di antara musuh mereka agar tidak menyeret saudara-saudara ke dalam bahaya dan penganiayaan. Sedangkan secara naqli sebagaimana ayat tersebut di atas. Berkenaan dengan hal ini, Imâm Ja’far al-Shâdiq mengemukakan bahwa “al-taqiyah adalah agamaku dan agama bapakbapakku. Barang siapa yang tidak ber-taqiyah, maka tidak ada agama baginya.” Berdasarkan dalil-dalil tersebut, menurut Itsna ‘Asyariyah seorang Syi‘i tidak hanya boleh menyembunyikan keimanan yang sebenarnya, melainkan memang harus berbuat demikian.

Al-Raj‘ah dan al-Mahdî Di kalangan Syi‘ah, paham Mahdiyah merupakan i’tiqâd yang berkenaan bahwa kelak akan muncul seorang imam yang dinamakan al-Mahdî, yaitu pemimpin yang akan mengembangkan keadilan dan memusnahkan kezaliman.

Abdul ‘Azizi A. Sachedina, The Just Ruler (al-Sulthan al-‘Adl) in Shi’ite, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1991), h. 13. 19

27


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Al-Raj‘ah adalah keyakinan yang mempercayai bahwa sebagian manusia akan mengalami proses reinkarnasi atau hidup kembali ke dunia setelah mereka mengalami kematian. Mereka adalah orang-orang yang telah berbuat zalim dan menganiaya para imam dan ahl al-bait, setelah itu baru Allah menghidupkan kembali para imam dan ahl al-bait, setelah itu baru Allah menghidupkan kembali para imam satu persatu, dimulai dari ‘Alî ibn Abî Thâlib, sampai dengan Hasan al-‘Askarî. Namun sebelum kedatangan mereka, akan muncul terlebih dahulu imam Mahdî al-Muntazhar, sebagai pembuka jalan bagi raj‘ah-nya para imam yang lain. Raj‘ah mereka ke dunia ini adalah sebagai pengganti atas hak syar‘i-nya dalam khalifah yang belum terwujudkan pada kehidupan sebelum raj‘ah.20

Sifat Tuhan Syî‘ah Itsna ‘Asyariyyah berpendapat bahwa Allah SWT. Esa dalam sifat dan zatNya. Apa yang disebut sifat Allah adalah zat-Nya sendiri. Jadi sifat bukanlah tambahan atas zat dan bukan pula sebaliknya.

Al-‘Adl Mereka memberi makna keadilan Tuhan dengan pengertian menafikan kemungkinan Tuhan berbuat zhalim. Tuhan adalah zat yang Maha Adil, yang tidak mungkin ada kezaliman pada ketetapan dan hukum-hukum-Nya. Dia memberi pahala bagi orangorang yang taat dan memberi siksa bagi orang-orang yang berbuat dosa. Dia tidak membebani hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak disanggupi dan tidak menyiksa mereka melebihi dari siksa yang seharusnya mereka terima.

Fiqh Dalam hal fiqh, Syî‘ah Itsna ‘Asyariyyah memiliki aliran tertentu, khususnya ushûl al-fiqh dan furu`-nya. Syi`ah tidak menerima segala dasar yang tidak sesuai dengan mazhab mereka. Bagi Syi‘ah, hanya ada tiga dasar saja yaitu, al-Qur’an yang ditafsirkan menurut tafsir mereka sendiri, Sunnah yang diriwayatkan oleh golongan Syi‘ah sendiri, dan pendapat imam yang mereka anggap ma‘shûm. Syi‘ah menolak ijmâ` karena mengambil ijmâ` berarti mengambil paham pihak lain. Mengenai qiyas dianggap sebagai pendapat akal. Sedangkan hukum harus diterima dari orang yang terpelihara dari kesalahan.

20

Musa al-Musawi, Meluruskan Penyimpangan Syi‘ah (Jakarta: t.p., 1993), h. 201-204.

28


Zulkarnaen: Syi’ah Itsna ‘Asyariyah

Tafsîr al-Bâthinî Dalam hal penafsiran, Syî‘ah Itsna ‘Asyariyyah melakukan penafsiran al-Bathinî. Menurut mereka, ada ajaran yang bermakna hakiki sebagaimana lafaznya, dan ada juga yang ditakwilkan secara batin agama yang bertujuan untuk keilahian imamah. Seperti kata salat dapat bermakna sebagai pekerjaan salat itu sendiri, namun dalam tafsîr bathinî diartikan sebagai mengikuti imam. Hal ini sebagaimana tertuang pada ayat 43 surat. Selanjutnya hampir semua kalimat wali, wilâyah, dan isytiqâq lainnya dalm al-Qur’an yang dikaitkan dengan Imâm ‘Alî dan keturunannya. Menurut golongan ini khususnya kandungan al-Qur’an itu bersifat sembunyi dan dirahasiakan. Untuk mengetahuinya hanya Nabi yang sanggup dan mampu memahaminya. Rasulullah telah memberikan kunci kepada ‘Alî ibn Abî Thâlib untuk mengetahui rahasia tersebut. Dengan demikian hanya orang-orang yang memiliki kemampuan spiritual yang cukup dan tinggilah yang mampu mengakui posisi ‘Alî dalam imamah. Merekalah yang mampu mengetahui makna agama secara bathinî.

Penutup Syi‘ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji ‘Alî secara berlebihan. Karena mereka beranggapan bahwa beliau adalah yang lebih berhak menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah lainnya seperti Abû Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsmân ibn ‘Affân telah dianggap sebagai perampas khilafah. Doktrin imamah Syi‘ah Itsna ‘Asyariyyah merupakan ajaran yang paling fundamental dalam sistem keyakinan mereka. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sekte Syi‘ah lainnya. Syi‘ah Itsna ‘Asyariyyah merupakan sekte terbesar dan yang paling banyak pengikutnya di antara sekte-sekte Syi‘ah yang ada. Tidak jauh berbeda dengan sekte Syi‘ah lainnya. Perbedaannya terletak pada jumlah imam yang dipercayai mereka yaitu sampai kepada imam yang kedua belas.

Pustaka Acuan Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam, terj. Hasan. Bandung: Mizan, 1993. Glase, Cyrill. The Concise Encyclopedia of Islam. London: Stacey International, 1989 Hasân, Hasân Ibrâhîm. Târîkh Daulah Fâthimiyah, jilid III. Kairo: Mathba‘ah Lajnah wa al-Ta’lif wa al-Nasr, 1908. ‘Imârah, Muhammad. Tayyarât al-Fikr al-Islâm. Kairo: Dâr al-Syurûq, 1991. Al-Musawi, Musa. Meluruskan Penyimpangan Syi‘ah. Jakarta: t.p., 1993. Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984. 29


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Schimmel, Annemarie. Islam: an Introduction. New York: State University of New York Press, 1992. Al-Syahrastânî, Muhammad ‘Abd al-Karîm ibn Abî Bakr Ahmad. Al-Milal wa al-Nihal. Beirût: Dâr al-Fikr, 1997. Al-Syak’ah, Mushthafa Muhammad. Islam Tidak Bermazhab. Jakarta: GIP, 1995. Sachedina, Abdul ‘Azizi. The Just Ruler (al-Sulthân al-‘Adl) in Shi`ite, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1991. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1990. Subhî, Ahmad Mahmûd. Nazhariyat al-Imâmah. Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1969. Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: al-Husna Dzikra, 1983. TIM. Mengapa Kita Menolak Syi‘ah. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam– LPPI, 1998. Abû Zahrah, Muhammad. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah fî al-Siyâsah wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqihiyah. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arâbî, t.t.

30


Zulkarnaen: Syi’ah Itsna ‘Asyariyah

Skema Silsilah Imam Duabelas 1. ‘Alî bin Abî Thalib

3. al-Husain

2. al-Hasan

4. ‘Alî Zain al-‘Abidîn

5. Muhammad al-Bâqir

6. Ja’far al-Shâdiq

7. Mûsa al-Kazhim

8. ‘Alî al-Ridho

9. Muhammad al-Taqi’

10. ‘Alî al-Hadî

11. al-Hasan al-Askarî

12. Muhammad al-Mahdî

31


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

KONSTRUK TEOLOGIS ISLAMISME RADIKAL DI INDONESIA PASCA-ORDE BARU Masdar Hilmy Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 60237 e-mail: m.hilmy@yahoo.co.id

Abstract: Theological Construct of Islamic Radicalism in Post New Order Indonesia. This article seeks to investigate the theological foundation of radical Islamism in post-New Order Indonesia. It basically argues that an attempt at delineating the nomenclature of Islamism from its pejorative connotation becomes imperative in order not to lump such words as pure salafis with salafi jihadist. In addition, the venture of all types of radical Islamism begins with the creed that the establishment of Islamic realm on earth based on the Qur’an and Hadith is a holy duty and regarded as compulsory upon every adult Muslim male. As such, the article analyses 1) the account of belief system of radical Islamism, 2) the transformation process of violence into a sacred creed, and 3) the centrality of such doctrines as jihad and istisyhâd (martyrdom).

Kata Kunci: Islamism, radikal, jihad, istisyhâd

Pendahuluan Sudah umum diketahui bahwa Islamisme radikal di Indonesia hanya terbentuk dari kaum minoritas di tengah mayoritas masyarakat Muslim lainnya yang jauh lebih moderat dan toleran.1 Setelah tragedi bom Bali I dan II, aktivisme bawah tanah yang Berdasar pada survei nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Jakarta, bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Freedom Institute Jakarta, umat Islam yang pernah berpartisipasi dalam salah satu dari ketiga aktivisme politik di bawah hanya 6,5% dari total populasi, mereka yang pernah berpartisipasi dalam dua dari tiga aktivisme politik hanya 0,9%, dan 0,5% bagi mereka yang yang pernah ikut dalam setiap ketiga aktivisme politik secara bersamaan. Dalam survei tersebut responden ditanyakan apakah pernah terlibat dalam waktu lima tahun terakhir ini dalam: (1) Pemboikotan terhadap semua jenis produk perdagangan yang dianggap tidak “Islami,” (2) Penyerbuan atas tempattempat hiburan malam dan diskotik, dan (3) Demonstrasi solidaritas bagi penderitaan sesama Muslim yang tertindas baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Tentang hasil survei selengkapnya, lihat “Alienasi Islamis: Modal Kultural bagi Aktivis Islamis,” dalam Media Indonesia (12 November 2004). 1

32


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

dilakukan oleh jaringan terorisme di Tanah Air sudah banyak terendus seiring ditangkapnya sejumlah anggota jaringan mereka. Kendati demikian, mengasumsikan bahwa jaringan teroris tidak lagi memberikan ancaman serius adalah menyesatkan secara teoretis. Dibongkarnya rencana pemboman di beberapa target yang diincar oleh kelompok Noordin Mohd. Top menjadi bukti kuat bahwa kelompok Jihadi Muslim mampu melakukan pengorganisasian diri secara rapi dan mampu melakukan operasi kekerasan di sejumlah sasaran yang memiliki sistem pengamanan canggih, sekalipun kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa kelompok Jihadi ini hanya terdiri atas sebagian kecil saja dari kelompok minoritas Muslim radikal. Sejumlah kajian tentang islamisme radikal di Indonesia pasca-Orde Baru telah menyumbangkan sejumlah perspektif. Namun demikian, sebagian besar karya ini tidak mampu menjawab dua pertanyaan mendasar ini. (1) Apa dan bagaimana definisi islamisme radikal, dan (2) Apa yang menyebabkan kaum radikal berubah menjadi Jihadi. Sebagai akibatnya, karya-karya ini mengalami pengaburan argumen teoretis tentang penggunaan istilah “radikal” itu sendiri. Kajian-kajian ini seolah menyamakan seluruh aspek dalam realitas Islamisme radikal ke dalam sebuah kata “radikal.” Ini berarti bahwa kajian-kajian ini tidak mampu menyediakan sebuah upaya pengidentifikasian realitas islamisme radikal yang membedakan, misalnya, antara kaum radikal “moderat” dan kelompok radikal paling ekstrem yang menggunakan kekerasan sebagai metode dalam melaksanakan operasi ideologisnya. Kajian-kajian ini hanya menekankan pada aspek struktural islamisme radikal ketimbang “non-struktural.” Sebagian besar dari kajian-kajian ini pada gilirannya tidak mampu menghindar dari analisis relasi Islam dan negara, iman dan politik dan semacamnya.2 Kajian-kajian ini berargumen bahwa sejarah islamisme radikal di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari genealogi gerakan Darul Islam (DI) yang telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat pada tahun 1950-an.3 Analisis jenis ini biasanya mendasarkan diri pada asumsi bahwa tidak ada cara lain bagi proses islamisasi sosial-politik di luar struktur kekuasaan, yakni pada level negara. Mazhab “struktural” ini, jika boleh disebut demikian, tidak mampu melampaui analisis negara, tetapi dalam waktu bersamaan menegasikan kenyataan bahwa target islamisme radikal telah bergeser ke tingkat non-negara, yakni masyarakat secara umum.4 Secara garis besar, temuan awal telah dikemukakan oleh International Crises Group Lihat, misalnya, Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in PostSuharto Indonesia,” dalam South East Asia Research 10 (2), h. 117-154. Lihat juga, Noorhaidi Hasan, “Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia,” dalam Indonesia 73 (2002), h. 145-169. 3 Lihat, misalnya, Bilveer Singh, “The Challenge of Militant Islam and Terrorism in Indonesia,” dalam Australian Journal of International Affairs, vol. 58, h. 47-68. 4 Oliver Roy, Globalised Islam: The Search for a New Ummah (London: Hurst, 2004), h. 3. 2

33


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 (ICG)—yang dikomandani oleh Sydney Jones—dalam riset terakhirnya yang berusaha melakukan pembedaan yang hati-hati antara dua kubu dalam lanskap islamisme radikal di Indonesia, salafi dan salafi jihâdî, dua entitas berbeda yang biasanya disamakan dalam satu kata sebagai “radikal” oleh kajian-kajian terdahulu.5 ICG mengartikan salafi sebagai “a Muslim reformist movement aiming to return Islam to the purity of the religion as practiced by the Prophet Muhammad and the two generations that followed him.” Sementara itu, salafi jihâdî diartikan sebagai “the radical fringe of salafism determined to target Islam’s enemies through violence, aimed in particular at the United States and its allies.”6 Dalam konteks inilah, tulisan ini berusaha menguraikan konstruk teologis islamisme radikal di Indonesia pasca Orde Baru, baik kelompok salafi maupun salafi jihâdî. Tulisan ini akan diawali dengan menghadirkan gagasan-gagasan Muslim radikal tentang persoalanpersoalan teologis tertentu dalam bahasa mereka sendiri. Tulisan ini, dengan begitu, tidak bermaksud menghadirkan penjelasan-penjelasan normatif tentang, misalnya, bagaimana definisi jihad menurut Islam, bom bunuh diri, kekerasan, dan semacamnya.

Meneguhkan Hukum Tuhan: Teologi Islamisme Radikal Petualangan dan repertoire segala bentuk radikalisme keagamaan dalam Islam, baik yang salafi-moderat hingga yang salafi-jihâdî, berpangkal dari doktrin fundasional bahwa meneguhkan eksistensi hukum Tuhan berdasar pada teks suci dalam Islam—alQur’an dan Hadis—merupakan tugas suci yang harus diemban oleh setiap pribadi Muslim. Prinsip dasarnya adalah tidak ada entitas buatan manusia yang boleh menguasai dan memerintah umat manusia kecuali hukum Tuhan. Kelompok Muslim radikal sangat meyakini bahwa demokrasi adalah inovasi dan kreasi manusia belaka dan, karenanya, dianggap sebagai bid‘ah yang diharamkan dalam Islam. Demokrasi, dengan demikian, tidak boleh ditoleransi dan memerintah umat Islam. Di Indonesia, salah satu agenda mendasar kalangan radikal adalah untuk mengganti Pancasila, ideologi negara, dengan hukum Islam (syari‘ah).7 Mereka meyakini bahwa syari‘ah adalah hukum yang paling unggul dan suci yang pasti benar adanya (nizhâm syâmil, manhaj al-hayât) yang secara universal bisa diterapkan di berbagai ruang dan waktu (shâlih li kulli zamân wa makân), termasuk bagi non-Muslim yang menempati wilayah dâr al-Islâm. Pancasila, demokrasi, sosialisme, dan kapitalisme harus ditolak bukan karena hal-hal semacam ini bukan berasal dari Islam tetapi juga karena merepresentasikan pemberontakan manusia atas ICG Asia Report No. 83, Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix (13 September 2004). 6 Ibid., h. 32. 5

Tim Behrend, “Reading Past the Myth: Public Teachings of Abu Bakar Ba’asyir,” (Makalah, tidak diterbitkan), h. 6. Lihat juga, Abu Bakar Ba’asyir, “Sistem Kaderisasi Mujahidin dalam Mewujudkan Masyarakat Islam,” dalam Irfan Suryahardi Awwas (ed.), Risalah Kongres Mujahidin dan Penegakan Syari’ah Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001), h. 79-90. 7

34


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

hukum Tuhan.8 Kalangan radikal meyakini bahwa hanya melalui hukum Tuhanlah sebuah tatanan sosial politik yang adil, sejahtera dan harmonis bisa ditegakkan. Agar bisa menegakkan hukum Tuhan di atas bumi, sebuah perjuangan (jihad) bersifat imperatif untuk melepaskan masyarakat Muslim dari kontaminasi praktik-praktik tradisi pagan. Berpijak pada diktum-diktum al-Qur’an, kaum radikal percaya bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan sebagai komunitas terbaik untuk melaksanakan misi mulia amar al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar.9 Salah satu asumsi mendasar bagi upaya penegakan hukum Tuhan adalah bahwa terdapat korelasi yang kuat–yang diyakini berada di bawah kontrol Tuhan—antara kondisi alam dengan kondisi umat manusia, masyarakat dan moralitas yang bisa berimplikasi pada kosmologi Islamisme radikal. 10 Equilibrium sebuah tatanan sosial hanya bisa dijaga melalui penegakan hukum Tuhan. Sebaliknya, sosial disorder dan tumbuhberkembangnya berbagai macam penyakit sosial tidak lain kecuali menggambarkan pelanggaran moral individu terhadap hukum-hukum Tuhan, baik di kalangan internal masyarakat Muslim maupun di luar. Asumsi yang sama juga digunakan untuk memahami fenomena hukum alam dengan berargumen bahwa di dalam tingkat ketaatan terhadap Tuhan terdapat harmoni dan disharmoni alam. Ini berarti bahwa seluruh bencana alam di dunia ini seperti tsunami, gempa bumi, angin ribut, banjir, kelaparan, kekeringan panjang, dan kerusakan fisik lainnya diyakini sebagai konsekuensi langsung dari ketidaktaatan manusia terhadap Tuhan. Bagi kaum radikal, satu-satunya cara mengatasi disharmoni ekosistem adalah dengan kembali pada otentisitas Islam, yang terdiri dari al-Qur’an dan Hadis dalam pengertiannya yang sangat literal-tekstual. Penyakit sosial apapun yang bisa menyebabkan degradasi kemuliaan dan kehormatan manusia hanya bisa diobati melalui norma-norma dan resep Islam. Seiring dengan doktrin penegakan kerajaan Islam, kaum radikal mengembangkan konsep ketidaksalahan teks keagamaan (the inerrancy of the authoritative text) beserta tafsir-tafsir standarnya yang terdiri dari al-Qur’an, Hadis, dan syarî‘ah. Supaya bisa berfungsi dengan baik, mereka memerlukan semacam “flesh-and-blood authority” untuk menafsirkan teks-teks suci di atas dalam mengadaptasikan diri mereka dengan tantangan perubahan zaman. Kebutuhan untuk menerapkan sebuah pemahaman teks yang literaltekstual di kalangan radikal menyebabkan dinegasikannya khazanah tradisi Islam Klasik yang begitu kaya karena dianggap telah banyak menyimpang dari ajaran-ajaran suci Islam. Seiring dengan kebutuhan ini, kehadiran otoritas keagamaan menjadi sine qua non sebagai sebuah supreme body yang menyokong penerapan hukum Tuhan pada tataran praktis. Tim Behrend, “Reading Past the Myth,” h. 6. Q.S. Âli ‘Imrân/3: 110. 10 Emmanuel Sivan, “The Enclave Culture,” dalam Martin E. Marty and R. Scott Appleby (ed.), Fundamentalisms Comprehended (Chicago: The University of Chicago Press, 1995), h. 35. 8 9

35


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Otoritas sakral dapat dijumpai pada orang-orang tertentu. Tingkat keulamaan dan pendidikan formal cukup berperan dalam proses seleksi para pemimpinnya, tetapi faktor terpenting sebenarnya adalah hadirnya karisma yakni, hadirnya berkah suci (heavenly blessing) yang telah memisahkan seorang laki-laki (biasanya tidak pernah perempuan) dari sekumpulan orang lain dari anggota “enclave.” Orang semacam ini memiliki kapasitas mengombinasikan kebaikan, kemampuan memutus masalah (decision-making ability), dan penguasaan tradisi teks. Penting dicatat bahwa sekalipun Sayyid Qutb lebih terkenal sebagai seorang sarjana al-Qur’an (sebagai pengarang kitab tafsir Fî Zhîlâl al-Qur’ân), tetapi yang lebih banyak ditulis oleh para muridnya lebih banyak menekankan pada aspek kepribadiannya seperti kesedehanaannya, ketaatannya, militansinya, dan sifat-sifat sejenisnya, yang mengantarnya pada derajat kesyahidan tertinggi. 11 Sistem keyakinan islamisme radikal di Indonesia telah dibentuk dan dipola melalui berbagai macam cara, baik dalam pengertian ketersediaannya atau ketiadaannya orangorang yang dianggap otoritatif. Dalam kasus salafi murni, otoritas lokal nampaknya cukup dalam membentuk mindset Islamisme radikal. Otoritas lokal ini telah terwakili oleh figur-figur karismatik semacam Abu Bakar Ba’asyir, Ja’far Umar Thalib, Habib Rizieq, dan banyak lagi lainnya. Bagi kalangan salafi jihâdî, proses terbentuknya radikalisme dapat dilacak dari genealogi intelektual di mana jihâdî veteran perang Afghanistan telah memainkan peran signifikan. Di antara mentor yang paling disegani di kalangan salafi jihâdî sebagian besar adalah jihâdî internasional seperti Osama bin Laden, Ayman alZawahiri, Mullah Omar, Abdullah Azam, dan semacamnya.

Ketika Kekerasan Menjadi Suci Secara garis besar, terdapat dua cara mendirikan dan menegakkan realitas Islam. Yang pertama adalah cara damai melalui proses transformasi sosial yang panjang dan berjenjang. Cara ini diadvokasi oleh tokoh-tokoh semacam Abu Bakar Ba’asyir. 12 Dia dengan jelas menganjurkan penerapan syari‘ah dalam seluruh aspek kehidupan sosialpolitik, perundang-undangan dan sistem hukum, sistem perbankan, dan aspek-aspek kehidupan publik lainnya. Sebagai seorang mantan aktivis partai Masyumi, Ba’asyir cenderung menggunakan politik dalam pengertiannya yang lebih luas sebagai alat mengejawantahkan ideologi keislamannya. Hal ini mengingatkan pada cara-cara transformasi sosial-politik yang telah dilakukan oleh Maududî, seorang ideolog kenamaan dari Pakistan, yang menganjurkan islamisasi negara dan masyarakat secara berjenjang. Sekalipun elaborasi ideologis Maududî meniscayakan adanya penggunaan metode revolusi sebagai mitos politik modern, peniscayaan ini tetaplah sebatas semantik Ibid., h. 51. Idi Subandy Ibrahim dan Asep Samsul M. Romli, Kontroversi Ba’asyir: Jihad Melawan Opini “Fitnah” Global (Bandung: Nuansa, 2003), h. 39. 11 12

36


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

ketimbang pragmatis.13 Lebih penting lagi, kedua tokoh di atas tidak menganjurkan kekerasan sebagai sarana menempuh revolusi Islam. Cara damai dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam bisa mengambil beberapa bentuk, yang salah satunya adalah dakwah. Kaum radikal yang memfokuskan diri pada metode ini lebih menekankan pada kesalihan personal (personal piety). Bagi kelompok ini, prioritasnya adalah bagaimana individu-individu dapat mempraktikkan sebuah pemahaman yang murni tentang Islam berdasar al-Qur’an dan sejumlah hadis terpilih. Hal ini bukan saja termasuk dakwah dan kesalihan individual, tetapi juga sebuah program untuk menghilangkan praktik-praktik populer yang cenderung dihakimi sebagai Islam yang tidak murni. Metode kedua adalah nasihat (maw‘izhah dîniyyah) yang berpijak pada ketentuan-ketentuan agama. Sudah umum dimaklumi, bukan saja di kalangan Muslim radikal tetapi juga di kalangan kaum Muslim, bahwa ulama memiliki tanggung jawab untuk menasihati para pemimpin tentang ketentuan-ketentuan Islam. Metode damai ketiga adalah uswah hasanah (exemplary deeds) untuk diikuti oleh anggota masyarakat Muslim lainnya. Metode damai ini diadopsi dari sebuah ayat yang mengatakan bahwa seorang Muslim harus mengajak yang lain kepada Tuhan melalui kebijaksanaan (hikmah) dan nasihat yang baik (maw‘izhah hasanah), dan mereka saling berdebat atau bermujâdalah tentang persoalan keagamaan tertentu dengan cara yang baik. Di samping itu, terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa umat Muslim terlahir sebagai komunitas terbaik yang memiliki tanggungjawab memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar.14 Dalam sebuah Hadis, Nabi juga pernah bersabda “Barang siapa di antara kalian yang menyaksikan kemunkaran, hendaklah diubah dengan tangannya (kekuasaan), jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya, dan jika tetap tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Tetapi ketahuilah bahwa yang terakhir ini termasuk bentuk selemah-lemahnya iman.”15 Cara yang kedua adalah melalui aksi-aksi kekerasan. Dalam konteks ini, terdapat dua perilaku yang berbeda di kalangan radikal menyangkut penggunaan aksi-aksi kekerasan dalam melakukan transformasi sosial. Perilaku yang pertama berasal dari apa yang oleh ICG disebut sebagai radikal salafi yang menganggap penggunaan metode kekerasan sebagai upaya terakhir setelah cara-cara gradual yang damai mengalami jalan buntu. Di sisi lain, radikal jihadi menerima penggunaan cara-cara kekerasan tanpa reserve dalam mengoperasikan ideologi mereka sebagaimana dilakukan oleh sejumlah sayap radikal di Indonesia seperti Jamaah Islamiyah (JI). Mereka berargumen bahwa Said Amir Arjomand, “Unity and Diversity in Islamic Fundamentalism,” dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (ed.), Fundamentalisms Observed (Chicago: Chicago University Press, 1995), h. 488. h. 184; Mumtaz Ahmad, “Islamic Fundamentalism in South Asia: The Jamaat-i-Islami and the Tablighi Jamaat of South Asia,” dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (ed.), Fundamentalisms Observed (Chicago: Chicago University Press, 1995), h. 488. 14 Q.S. al-Nisâ’/4: 110. 15 Hadis riwayat Bukharî dan Muslim. 13

37


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 penggunaan aksi-aksi kekerasan dimaksudkan untuk menghilangkan kemungkaran di atas bumi dan dianggap sebagai jihad, tugas mulia, sebagai manifestasi dari doktrin alQur’an “menyuruh yang baik dan mencegah yang munkar.” Menyangkut penggunaan cara-cara kekerasan oleh kelompok radikal, pertanyaannya kemudian adalah mengapa mereka menganjurkan dan bahkan melakukan tindak kekerasan atas nama agama? Dalam pandangan Najib Ghadbian, terdapat empat jawaban untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, alasan-alasan struktural barangkali menjustifikasi tindakan mereka. Kelompok radikal jihadi ini hidup dalam lingkungan politik dan ekonomi yang bercirikan represi politik dan deprivasi ekonomi. Kedua, mungkin terdapat benang merah dengan perspektif kaum radikal dalam membaca dan memahami realitas teks yang biasanya bersifat literal-tekstual, bukan substansialkontekstual. Ketiga, kaum radikal memahami dunia ini secara one-sided, bahkan terkadang paranoid, terutama dalam kaitannya dengan cara mereka mengonstruk “musuh” mereka. Keempat, transformasi pandangan dunia dan ideologi jihâdî terjadi melalui pengerahan kaum relawan pemuda Muslim yang dilakukan secara masif di seluruh dunia melawan pendudukan tanah-tanah Muslim oleh kekuatan non-Muslim seperti Afghanistan. 16 Perdebatan antara kaum radikal jihâdî dan radikal salafi tentang penggunaan metode kekerasan berkisar pada dua hal. Pertama adalah signifikansi kekerasan dan kedua konstruk teologis yang menjustifikasi kekerasan. Bagi kelompok pertama, para penguasa politik yang menindas atau kekuatan kafir tidak akan menyerah sampai mereka dihadapi dengan kekuatan. Mereka meyakini bahwa Islam mendorong orang-orang beriman untuk melakukan jihad untuk memerangi apa yang dianggap sebagai kemungkaran, sebuah istilah yang diartikan sebagai sikap, perilaku dan tindakan yang melanggar ketentuan hukum Tuhan seperti sudah tercantum dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi. Satusatunya cara menegakkan superioritas Islam adalah dengan cara menghukum siapa pun yang dianggap melanggar hukum Tuhan. Seluruh pendosa, dalam konsepsi kaum radikal, diidentifikasi sebagai musuh Tuhan, tidak menjadi soal apakah mereka itu Muslim terlebih non-Muslim. Dalam konteks Indonesia sekarang ini, hegemoni Barat telah menjadi target utama operasi radikal jihadi untuk membalas agresi Barat terhadap tanah dan bangsa Muslim, atau yang mereka sering istilahkan sebagai “konspirasi Kristen-YahudiZionis,” terhadap seluruh umat Muslim di seluruh dunia.17 Untuk mendukung argumentasi mereka, dikutiplah sebuah ayat dalam al-Q.S. al-Baqarah/2: 120, “Umat Yahudi atau Kristiani tidak akan pernah rela kepadamu kecuali kalian mengikuti agama-agama mereka.” 18

Najib Ghadbian, “Political Islam and Violence,” dalam New Political Science, vol. 22, No. 1, 2000, h. 77-88. 17 ICG, Indonesia Backgrounder, h. 1. 18 Imam Samudra, Aku Melawan Teroris!, h. 160. 16

38


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

Namun demikian, ICG memprediksi bahwa sebagian besar kalangan radikal di Indonesia tidak akan bertindak sejauh itu.19 Namun demikian, kelompok salafi memandang penggunaan kekerasan sebagai kontraproduktif di tengah proses islamisasi dengan menjustifikasi regim atau kekuatankekuatan asing bagi represi dan hegemoni berkelanjutan. Kelompok ini cenderung melihat penggunaan kekerasan sebagai berakar pada “ambisi untuk mengarahkan, mengontrol dan membenarkan perilaku individu yang salah, dan mengambil aksi pencegahan melawan individu atau kelompok yang dianggap sebagai “bad Muslims”.20 Mengenai doktrin jihad, mereka menganggapnya sebagai upaya terakhir dan dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan serta syarat-syarat yang ketat, termasuk menimbang untung-ruginya, pembatasan terhadap kekerasan berlebihan, dan memberikan penghormatan terhadap kehidupan manusia.21 Namun dalam perkembangan selanjutnya, metode kekerasan yang dilakukan oleh kaum radikal jihadi telah bermetamorfosis menjadi semacam “irregular war” atau teror melawan kaum “kafir,” terutama Amerika Serikat dan para sekutunya.22 Metode kekerasan memang tidak selalu dibarengi dengan pembunuhan sebanyak-banyaknya orang yang tidak berdosa. Pada dasarnya, teror atau kekerasan tanpa korban dianggap lebih berhasil jika pesan yang diampaikannya bisa ditangkap oleh musuh.23 Kejadian tragis 11 September yang menghancurkan menara kembar WTC mengubah secara dramatis paradigma penggunaan kekerasan oleh radikal jihâdî. Bukan saja kekerasan dilancarkan terhadap orang-orang tidak berdosa, tetapi juga melibatkan sebanyak mungkin korban jiwa. Serangkaian bom bunuh diri di Indonesia, sejak bom Bali pada 12 October 2002, yang kemudian diikuti oleh bom Hotel Marriot pada 5 Agustus 2003, pemboman di depan Kedutaan Australia pada 9 September 2004, dan terakhir bom Bali seri II pada 2006 mengindikasikan secara gamblang sentralitas kekerasan di kalangan radikal jihadi. Konsep kekerasan menurut radikal jihadi tidak pernah semata-mata bermakna kejahatan, ia adalah self-fulfilling prophecy untuk mengharap rida Allah. Membunuh, dengan begitu, tidak pernah diartikan membunuh semata-mata, dalam dirinya terkandung tugas mulia dalam menegakkan Islam dari ancaman musuh-musuhnya. Tidak mengICG, Indonesia Backgrounder, h. 1. Ibid. 21 Ghadbian, “Political Islam and Violence,” h. 87. 19 20

Lebih jauh tentang irregular war dan terorisme dalam Islam, lihat misalnya, Tamara Sonn, “Irregular Warfare and Terrorism in Islam: Asking the Right Questions,” dalam James Turner Johnson dan John Kelsay (ed.), Cross, Crescent, and Sword: The Justification and Limitation of War in Western and Islamic Tradition (New York and London: Greenwood Press, 1990), h. 129-147. 22

David C. Rapoport and Yonah Alexander (ed.), The Morality of Terrorism: Religious and Secular Justifications (New York: Pergamon Press, 1982); Aref M. Al-Khattar, Religion and Terrorism: An Interfaith Perspective (Westport, Conn: Praeger, 2003). 23

39


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 herankan jika keberadaan musuh dalam konsepsi kaum radikal sangat diperlukan guna mengonfirmasikan kebenaran yang mereka pegang. Bagi kalangan radikal jihâdî di Indonesia, Amerika hanya akan menindas, memecah-belah, dan selanjutnya menjajah tanah Islam. Kebijakan internasional Amerika dalam kasus konflik Israel-Palestina, invasinya ke Afghanistan dan Irak tidak lebih dari rasional yang legitimate untuk melancarkan aksi-aksi kekerasan melawan negara adidaya ini, baik terhadap militernya ataupun masyarakat sipilnya. Karena itu, musuh mereka dikonstruksi secara sosiologis maupun politis di atas pijakan teks suci.24

Sentralitas Jihad Dalam pengertiannya secara etimologis, jihad berasal dari bahasa Arab j-h-d, yang makna dasarnya adalah berjuang atau berusaha. Jihad seringkali digunakan dalam teks-teks klasik dengan makna terdekatnya adalah berjuang, dan seringkali berperang. Jihad awalnya tidak bermakna “perang suci,” sebuah istilah yang seringkali disalahpahami oleh kebanyakan sebagai padanan “Perang Salib” (Crusades) atau “Perang Adil” (Just War) dalam tradisi Judeo-Christianity.25 Di kalangan umat Islam sendiri terdapat keragaman pendapat tentang makna istilah tersebut. Sekalipun jihad tidak pernah secara eksplisit bermakna peperangan dalam al-Qur’an, konotasinya di bawah kata qitâl (secara literal, perang) telah dipahami oleh kebanyakan umat Islam sebagai sebuah basis teologis bagi peperangan melawan musuh-musuh Allah dalam sejarah Muslim awal. Kata ini biasanya diambil dari ayat-ayat dalam al-Qur’an seperti “berjuang di jalan Allah,” dan telah ditafsirkan secara beragam sebagai berjuang secara moral ataupun berjuang secara fisik atau bersenjata. Tujuan jihad, sebagaimana dipahami oleh banyak umat Islam, adalah untuk memperoleh supremasi atau kejayaan Islam. 26 Harus diakui bahwa jihad telah menjadi salah satu kosa kata paling penting dalam kamus islamisme radikal yang seringkali dipakai sebagai basis teologis untuk membenarkan tindak kekerasan sebagian dari mereka. Di Indonesia, kata ini telah diartikan dalam beragam cara, bergantung siapa yang mengartikannya. Sekalipun jihad merupakan istilah yang populer di seluruh sayap kelompok radikal, mereka berselisih pendapat tentang apakah jihad harus dilihat dari pengertiannya yang generik atau Jonathan T. Drummond, “From the Northwest Imperative to Global Jihad: Social Psychological Aspects of the Construction of the Enemy, Political Violence, and Terror,” dalam Chris E. Stout (ed.), The Psychology of Terrorism (Westport, Conn: Praeger, 2002), h. 55-58. 25 “Perang” dalam bahasa Arab adalah “harb” atau ghazw”, dan “suci” bermakna “muqaddas”. Seperti Bernard Lewis telah jelaskan, tidak ada kata yang sepadan dengan perang suci dalam bahasa Arab Klasik. Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988), h. 71. 26 Lihat, Q.S. al-Baqarah/2: 193, Q.S. al-Anfâl/8: 39, Q.S. al-Taubah/9: 33. Rudolph Peters, Islam and Colonialism: The Doctrine of Jihad in Modern History (The Hague: Mouton Publishers, 1979), h. 10. 24

40


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

spesifik. Bagi kaum salafi murni, jihad cenderung diartikan dalam pengertiannya yang lebih luas sebagai mengambil tindakan apapun yang dianggap perlu guna meningkatkan kualitas keimanan seseorang, sekalipun terdapat konteks tertentu ketika jihad harus dimaknai sebagai perang suci. Kaum radikal jihadi, di sisi lain, mengartikan jihad hanya dalam konteks perang fisik (yang dalam bahasa Arab bermakna ghazw atau qitâl) melawan semua jenis musuh Tuhan dengan tujuan menjaga Islam sebagai satu-satunya agama yang paling benar dan murni di muka bumi. 27 Kedua kelompok radikal bahwa jihad harus dikumandangkan melawan kekuatan non-Muslim yang menindas umat Islam di seluruh dunia, dan bukan melawan sesama Muslim karena dianggap bersaudara. Mengenai status jihad dalam Islam, sementara radikal salafi menempatkan jihad sebagai kewajiban kolektif (fardh kifâyah) masyarakat Muslim, salafi jihadi menempatkannya sebagai sebuah kewajiban setiap individu Muslim (fardh ‘ain), sama wajibnya seperti kewajiban-kewajiban lainnya dalam Islam seperti shalat, puasa, zakat, dan pergi haji ke Makkah.28 Kaum radikal salafi berpendapat bahwa setiap individu Muslim harus berpartisipasi dalam jihad dalam situasi-situasi darurat, ketika dâr al-Islâm berada di bawah ancaman serangan asing yang tak terduga. Namun demikian, dalam keadaan normal, seorang individu Muslim tidak perlu berpartisipasi sepanjang terdapat anggota Muslim lainnya yang memikul beban bagi semua dalam mempertahankan kejayaan Islam. Posisi teologis ini didasarkan pada sebuah konsep klasik hukum Islam yang dikembangkan sepanjang tiga abad pertama dari sejarah Islam. 29 Di sisi lain, salafi jihâdî mendasarkan argumentasi mereka pada persepsi bahwa umat Muslim di seluruh dunia berada di bawah ancaman konspirasi Zionis-Kristen. Kondisi semacam ini dipahami sebagai justifikasi kuat untuk mengobarkan jihad bagi seluruh umat Muslim melawan semua musuh Allah.30 Dalam menjustifikasi jihad sebagai sebuah kewajiban individual, Imam Samudra, misalnya, merujuk pada sebuah ayat alQur’an sebagai berikut “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padaha ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”31 Samudra menggambarkan para mujâhidîn (prajurit Allah) yang berperang di medan pertempuran sebagai ahl al-thughûr (prajurit garda depan). Pada saat Nabi Muhammad masih hidup, demikian Samudra, ketika status jihad ICG, Indonesia Backgrounder, h. 25. Samudra, Aku Melawan Teroris!, h. 79 dan 128-129. 29 Lebih jauh tentang jihad sepanjang sejarah Islam, lihat, misalnya, Reuven Firestone, Jihad: The Origin of Holy War in Islam (New York and Oxford: Oxford University Press, 1999); Murtada Mutahhari, “Jihad in the Qur’an,” dalam Mahmud Taleqani, et al. (ed.) Jihad and Shahadat: Struggle and Martyrdom in Islam (Houston, Texas: Institute for Research and Islamic Studies, 1986), h. 81- 124. 30 Samudra, Aku Melawan Teroris!, h. 69. 31 Q.S. al-Baqarah/2: 216. 27 28

41


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 menjadi kewajiban bagi setiap individu, seluruh umat Muslim diklasifikasikan sebagai ahl al-thughûr. Selama perang Tabuk, misalnya, terdapat tiga orang sahabat Nabi yang konon desersi dari tugas berperang, dan Nabi memberikan mereka hukuman lunak dengan mengucilkan mereka dari pergaulan sehari-hari dari para sahabat lainnya. Tidak ada seorang pun dari kalangan ahl al-thughûr, jelas Samudra, tidak pernah pergi ke medan perang. Seluruh pendiri empat imam madzhab, Ibn Taymiyyah dan muridnya, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, diriwayatkan turut berperang melawan non-Muslim mengikuti pendahulu mereka.32 Perdebatan lainnya yang diangkat oleh kaum radikal salafi dan salafi jihâdî terpusat pada apakah jihad harus dilancarkan secara defensif ataukah ofensif. Pada dasarnya, kubu radikal salafi cenderung melihat jihad dalam maknanya yang defensif, ketimbang yang ofensif. Sebagaimana dalam kasus konflik antar-agama di Maluku, mereka menganggap komunitas Muslim berada dalam keadaan diserang oleh non-Muslim, dan mengobarkan jihad di daerah ini wajib hukumnya.33 Sebaliknya, kalangan radikal jihadi melihat jihad dalam pemaknaannya yang ofensif (hujumî). Imam Samudra dan Imam Mukhlas, pelaku bom Bali lainnya, berargumen bahwa bentuk terbaik pertahanan adalah menyerang.34 Tujuan jihad adalah bukan sebatas untuk memproteksi sesama Muslim Muslim semata, tetapi juga untuk menghancurkan kendala apapun ke arah penegakan Islam dan untuk menghunjamkan rasa takut ke hati musuh-musuh Allah, di antaranya adalah kaum musyrikîn, munâfiqîn, dan sudah barang tentu kaum kafir. Pertanyaannya kemudian adalah, sampai kapan jihad dikumandangkan?. “Sampai tidak ada fitnah (penindasan), dan sampai seluruh umat manusia di dunia ini mengakui kebenaran Islam atau mereka berpindah agama ke Islam,” kata Imam Samudra.35 Guna membenarkan pendirian teologis ini, dia mengutip sebuah ayat dalam al-Qur’an, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-Anfâl/8: 39). Dia juga mengutip dua hadis Nabi, “Saya (Muhammad) diutus oleh Allah menjelang hari kiamat melalui pedang hingga Allah menjadi satu-satunya Tuhan yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya” (HR. Bukharî-Muslim). Hadis yang lain adalah “Saya diutus oleh Allah untuk memerangi seluruh umat manusia hingga mereka mengucapkan kalimat ‘lâ ilâha illa Allâh’ (tidak ada tuhan selain Allah). Jika mereka sudah mengucapkannya, maka ketahuilah Allah akan mengamankan harta benda dan darah mereka, kecuali atas hak-hak yag ditetapkan Islam, dan mengingat Allah” (HR. Bukharî-Muslim).36 Samudra, Aku Melawan Teroris!, h. 69. ICG, Indonesia Backgrounder, h. 4. 34 Ibid., h. 25. 35 Samudra, Aku Melawan Teroris!, h. 133. 36 Ibid., h. 133-4. 32 33

42


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

Dalam mengonstruksi konsep jihad, salafi jihadi banyak dipengaruhi oleh Ibn Taymiyyah yang menganjurkan jihad bagi setiap Muslim, dan yang berpendapat bahwa jika tidak bisa dihindari membunuh orang kafir tanpa membunuh Muslim, maka pembunuhan itu diperbolehkan. Selain itu, mereka juga berpijak pada dua belas seri buku ‘Abd Allâh Azzam (seorang ideolog al-Qaeda terkemuka) tentang latihan jihad yang berjudul Tarbiyah Jihadiyah (Pendidikan Jihad). Imam Samudra berpandangan bahwa terdapat empat tahap berjihad. Langkah pertama adalah kontrol diri di mana jihad belum diperintahkan. Setiap Muslim harus bersabar dalam menghadapi segala penindasan, penghinaan dan ejekan orang kafir. Tahap ini telah dialami oleh sejumlah sahabat Nabi, seperti keluarga Bilal bin Rabah dan Yasîr yang telah disiksa oleh majikan mereka yang kafir karena perpindahan agama mereka ke Islam. Langkah kedua adalah ketika Muslim diizinkan, belum diperintahkan, untuk melakukan jihad sebagai sebuah pertahanan diri jika mereka diperlakukan secara tidak adil oleh orang kafir. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur’an “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orangorang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata “Tuhan kami hanyalah Allah” (Q.S. al-Hajj/22: 39-40). Tahap ketiga adalah ketika jihad wajib dilakukan secara terbatas saja, hanya terhadap mereka yang memerangi Muslim. Hal ini didasarkan pada sebuah ayat dalam al-Qur’an, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. al-Baqarah/2: 190). Tahap yang terakhir adalah ketika jihad menjadi kewajiban setiap Muslim guna memerangi seluruh non-Muslim dan musyrikîn. Hal ini terjadi jika semua tahapan sebelumnya telah dilalui, dan kaum jihadi meyakini bahwa langkah ini adalah ketentuan Allah yang terakhir yang telah menghapus seluruh fakta dan perjanjian perdamaian yang pernah dibuat Nabi Muhammad dengan kaum kafir. Tahap ini berpijak pada ayat “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orangorang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (Q.S. al-Taubah/9: 29). Ayat yang lain juga dirujuk seperti “Dan perangilah kaum musyrikîn itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya” (Q.S. al-Taubah/ 9: 36).37 Jihad harus dikumandangkan demi membalaskan dendam bagi sesama Muslim atas penindasan dan siksaan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah. Bagi radikal Muslim, baik murni salafi atau jihadi, komunitas Muslim di seluruh dunia harus bersatu 37

Ibid., h. 125-29.

43


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 dalam menghadapi para penjajah itu karena setiap Muslim bersaudara. Umat Islam digambarkan sebagai satu kesatuan tubuh, jika ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka anggota tubuh lainnya harus turut merasakannya. Empati sesama Muslim atas penindasan dan siksaan saudaranya harus ditunjukkan dalam bentuk solidaritas transnasional melalui jihad.

Doktrin Kesyahidan (Istisyhâd) Mati di jalan Allah (fî sabîl Allâh) merupakan tujuan akhir dari perjalanan kalangan radikal.38 Jenis kematian ini, dalam konsepsi mereka, memiliki kualifikasi yang sangat terhormat di mana Tuhan menjanjikan pertemuan dengan-Nya dan bidadari di surga. Dalam Islam, sama seperti agama-agama besar lainnya, doktrin ini disebut sebagai “martyr” (syahîd), dan proses di mana Muslim mencari kematian di jalan ini disebut istisyhâd (menjadi syahîd). Kualifikasi kesyahidan dipahami oleh kaum radikal sebagai stratifikasi tertinggi dan paling terhormat dari segala jenis kematian. Dengan kualifikasi ini, kesyahidan merupakan satu-satunya jenis kematian yang diobsesikan oleh kalangan radikal, terutama salafi jihadi. Dalam Islam, seluruh prajurit yang gugur di medan jihad melawan semua musuh Allah diyakini sebagai syahîd. Seperti halnya dalam kasus jihad, syahâdat memiliki justifikasi yang kuat dalam al-Qur’an, seperti Q.S. Âli Imrân/3: 169 dan Q.S. al-Hajj/22: 58-59. Dari ayat ini jelaslah bahwa kaum radikal memahami konsep syahâdat dalam pengertian keabadian (immortality). Ayat-ayat ini mengindikasikan bahwa mereka yang terbunuh (syahîd) dalam medan jihad bukanlah benar-benar mati, sejatinya mereka mendapatkan balasan terhormat di akhirat kelak. Istilah syahîd, yang makna dasarnya adalah “saksi,” beserta derivasinya, bisa dijumpai dalam al-Qur’an lebih dari limapuluh kali yang berarti persaksian seorang Muslim di atas bumi atas keesaan Tuhan, kerasulan Muhammad, dan kebenaran iman. 39 Dalam Islam, syahîd yang ideal adalah mereka yang mati di jalan Allah “dengan tangannya, lidahnya, dan hatinya.” Sekalipun demikian berjuang dengan hati adalah selemah-lemah iman.40 Penekanan pada perjuangan yang bersifat keluar ini tidak mengandaikan peperangan yang liar dan tidak terkontrol. Tetapi, Islam menganjurkan perjuangan yang terorganisir bagi kebaikan dan melawan kejahatan. Sementara syahîd yang ideal dalam Islam adalah mereka yang gugur dalam peperangan, peperangan aktual Lebih jauh tentang doktrin kesyahidan dalam Islam, lihat, misalnya, Raphael Israeli, “A Manual of Islamic Fundamentalist Terrorism,” dalam Journal of Terrorism and Political Violence, Vol. 14, No. 4, 2002, h. 23-40; Bandingkan Raphael Israeli, “Islamikaze and Their Significance,” dalam Journal of Terrorism and Political Violence 9/3, Autumn 1997, h. 96-112. 39 Mahmoud M. Ayoub, “Martyrdom in Christianity and Islam,” dalam Richard T. Antoun and Mary Elaine Hegland (ed.), Religious Resurgence: Contemporary Cases in Islam, Christianity, and Judaism (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1987), h. 70. 40 Ibid., h. 75. 38

44


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

sebenarnya bukanlah sebuah persyaratan absolut bagi kesyahidan. Islam, lebih jauh lagi, memiliki kaum syahîd yang secara diam-diam dan dengan segala keberanian menahan penyiksaan dan kematian. Fenomena budak Bilal bin Rabah dan Yasîr yang disiksa oleh para majikannya hanya gara-gara mereka masuk Islam menjadi bukti kesyahidan lain yang tidak kalah terhormatnya.41 Di Indonesia, kaum salafi dan salafi jihadi memiliki pandangan berbeda mengenai praktik-praktik operasi kesyahidan diri. Kaum salafi murni cenderung menganggap praktik kesyahidan diri seperti dalam kasus 11 September sebagai bid’ah yang diharamkan dalam Islam. Sementara itu, kelompok kedua diwakili oleh kelompok Imam Samudra yang berpendapat bahwa operasi kesyahidan diri merupakan bagian integral dari jihad yang sangat dianjurkan oleh Islam bagi setiap Muslim dewasa. Samudra menyebut operasi kesyahidan sebagai “istimata” (mencari mati). Untuk mendukung posisi telogisnya, Samudra mengutip fatwa para mufti terkemuka seperti Yûsuf Qardhâwî yang mengatakan bahwa operasi kesyahidan diri diperbolehkan hanya di daerah-daerah tertentu seperti Palestina, dan Nawaf Hail al-Takrarî yang mengatakan bahwa operasi jenis ini tidak hanya dibatasi di Palestina saja. Selain itu, Samudra juga mendasarkan argumentasinya pada praktik kaum ahl al-thughûr dengan mengutip perkataan Sufyan ibn ‘Uyaynah, seorang ulama dari generasi tabi‘ûn dan guru dari Imâm Syafi‘î, yang mengatakan bahwa “jika kamu melihat kaum Muslim berselisih paham (tentang suatu masalah), maka ikutilah pendapat para mujâhidîn dan ahl al-thughûr.”42 Dalam pandangan Samudra, baik mujâhidîn maupun ahl al-thughûr memiliki tempat yang terhormat dan lebih dekat kepada Allah ketimbang ulama yang hanya duduk, belajar dan mengajarkan ilmu-ilmu agama (qâ‘idîn) kepada santri. Dia menggangap sejumlah jihadi kontemporer sebagai ahl al-thughûr, seperti Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri, Abdullah Azam, Mullah Omar, dan Sulayman Aby Ghayth. Untuk memperkuat argumentasinya, dia merujuk pada sebuah ayat al-Qur’an berikut “Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat” (Q.S. al-Nisâ’/4: 95). Kaum salafi jihadi yang melakukan operasi kesyahidan diri di sejumlah tempat di Indonesia tidak akan menganggap kematian mereka sebagai sia-sia. Mereka berkeyakinan bahwa kematian mereka hanya menjadi entry point dari perjalanan panjang menuju surga Tuhan dan bertemu dengan bidadari-Nya yang sangat cantik. Karena alasan inilah, tidak mengherankan jika mereka menamakan para pelaku kesyahidan diri sebagai “pengantin,” mengasumsikan bahwa pelaku kesyahidan diri akan disambut oleh para 41 42

Ibid. Samudra, Aku Melawan Teroris!, h. 171.

45


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 bidadari Allah di surga.43 Juga dilaporkan bahwa sebelum operasi kesyahidan, dilakukan sebuah diskusi kecil untuk memilih siapa yang akan melaksanakan operasi dimaksud, dan sumpah bai’at harus diambil. Yang menarik, setiap jihadi yang terlibat dalam operasi tersebut berharap untuk dipilih sebagai pelaku. Segera setelah dia terpilih dia akan merasa sangat bahagia dengan keputusan tersebut, dan mereka yang tidak terpilih akan menangis karena telah kehilangan satu kesempatan yang sangat berharga dalam hidupnya.44 Dalam pandangan kaum salafi jihadi, operasi kesyahidan diri (istimata atau istisyhâd) itu berbeda dari aksi bunuh diri yang terlarang dalam Islam. Sementara operasi kesyahidan diri harus berdasar pada niat untuk melindungi kaum Muslim dan untuk menegakkan Islam, aksi bunuh diri adalah sebuah aksi bodoh yang berpijak pada rasa frustasi dan tidak ada kaitannya dengan menegakkan agama. Tidak ada ganjaran bagi pelaku kesyahidan diri kecuali surga Tuhan, sementara ganjaran bagi mereka yang melakukan aksi bunuh diri adalah neraka. Di samping itu, operasi kesyahidan diri harus menyertakan sejumlah persyaratan berikut. (1). Para pelaku harus memiliki anggapan yang kuat bahwa mereka akan terbunuh dalam operasi tersebut. (2). Operasi dimaksud ditujukan untuk menjatuhkan moralitas musuh. (3). Operasi tersebut ditujukan untuk membangkitkan semangat jihad dan keberanian kaum Muslim. (4). Dalam operasi dimaksud, pelaku mungkin terbunuh oleh senjata musuh. (5). Dia terbunuh oleh senjatanya sendiri.45

Penutup Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gambar islamisme radikal di Indonesia tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Pengklasifikasian radikal Muslim ke dalam dua kelompok besar, salafi murni dan salafi jihadi, merupakan terobosan penting dalam membedah anatomi islamisme radikal di tanah air pasca-Orde Baru. Ia membantu memahami secara lebih jelas apa yang dimaksud dengan Islamisme radikal di Indonesia. Namun demikian, pertanyaan sejauh mana klasifikasi ini mewakili gambar obyektif islamisme radikal di Indonesia membutuhkan penelitian lebih lanjut. Sejalan dengan ini, sejumlah perspektif bisa diterapkan untuk mendekati topik dimaksud. Jauh dari ambisi untuk menyediakan sebuah gambar yang komprehensif tentang islamisme radikal, perspektif teologis yang digunakan pada tulisan ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa teks-teks suci keagamaan memberikan kontribusi secara signifikan dalam membentuk dan memola mindset kaum radikal. Syu’bah Asa, “Pengantin Darah,” dalam Tempo (20 September 2004). Informasi ini diberitakan oleh Syafi’i Anwar, Direktur Eksekutif International Conference of Islam and Pluralism (ICIP), Jakarta, di Melbourne, Desember 2005. 45 Samudra, Aku Melawan Teroris!, h. 183. 43 44

46


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

Memang, baik salafi murni maupun salafi jihadi menggunakan sumber-sumber tekstual yang teramat selektif yang sebagian besar diambil dari mentor-mentor mereka di Negara-negara Timur Tengah. Kedua kelompok saling sepakat atas poin-poin tertentu, tetapi saling berbeda pendapat atas hal-hal lainnya. Genealogi intelektual kaum salafi murni biasanya kembali pada teks-teks suci yang ditulis oleh para mentornya dari kalangan ikhwân al-muslimÎn seperti Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna. Di lain pihak, kaum salafi jihadi menggunakan teks-teks keagamaan yang ditulis oleh kalangan jihadi internasional semacam Abdullah Azam beserta duabelas jilid bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tentang latihan jihad. Buku-buku ini ditransfer oleh veteran perang Afghan dan mereka menganggap mentor mereka sebagai ahl al thughÝr, yang fatwa-fatwanya layak untuk diikuti ketimbang fatwa ulama lainnya. Di Indonesia, buku-buku ini sangat mudah untuk diakses berkat upaya penerjemahan dan penerbitan oleh sejumlah penerbit local secara bebas. Kecenderungan eklektisisme untuk mengambil teks-teks keagamaan tertentu sembari meninggalkan lainnya tidak terjadi begitu saja. Ini mengindikasikan bahwa terdapat sebuah proses seleksi alamiah di kalangan Muslim radikal untuk memprioritaskan teks tertentu atas lainnya. Kontestasi dinamis ini terjadi terutama berkat proses demokratisasi secara terbuka yang telah berlangsung setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Hal ini membuat setiap orang bisa mengakses secara bebas diskursus radikal apapun berdasar pada preferensi masing-masing tanpa dihinggapi rasa takut untuk ditekan pemerintah sebagaimana terjadi sebelumnya. Akibatnya, makna keagamaan apapun yang terkandung dalam setiap doktrin keagamaan seperti jihad dan istisyhâd telah diperebutkan dan direproduksi oleh kelompok radikal dari berbagai sudut pandang. Di masa depan, diramalkan bahwa kontestasi makna semacam ini akan terus terjadi dengan intensitas berbeda asalkan kontestasi tersebut tidak keluar dari bingkai ruang publik yang damai tanpa harus diinterfensi oleh pemerintah. Mengenai pertanyaan apa yang menyebabkan salafi murni menjadi jihadi, tidak tersedia argumen yang meyakinkan yang dikembangkan sejauh ini. Namun demikian, ICG telah membuat sebuah asumsi awal bahwa terdapat momen-momen menentukan sepanjang sejarah Indonesia, seringkali diasosiasikan dengan represi dan kekerasan domestik, sebagai momen awal di mana pemisahan antara keduanya terjadi. ICG mengidentifikasi tiga peristiwa yang terjadi antara 1998-1999 dan yang menyebabkan pemisahan tersebut. Momen pertama adalah fatwa bulan Februari oleh World Islamic Front, yang dipimpin oleh Osama bin Laden, untuk menyerang bangsa Amerika beserta aliansi dan segala bentuk kepentingannya di Indonesia, dan jihad melawan komunitas Kristen dan Yahudi. Yang kedua adalah jatuhnya rezim Suharto (Mei 1998) dan kembalinya para pemimpin Jemaah Islamiyah (JI) ke Indonesia (akhir 1999), dan yang ketiga adalah pecahnya konflik komunal di Ambon (awal 1999).46 Apapun hasilnya, temuan 46

ICG, Indonesia Backgrounder, h. 26.

47


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 tersebut sangat terbuka untuk dikritisi melalui sebuah proyek penelitian yang lebih mendalam.

Pustaka Acuan Ahmad, Mumtaz. “Islamic Fundamentalism in South Asia: The Jamaat-i-Islami and the Tablighi Jamaat of South Asia” dalam Martin E. Marty and R. Scott Appleby (ed.). “Fundamentalisms Observed. Chicago: Chicago University Press, 1995. Al-Khattar, Aref M. Religion and Terrorism: an Interfaith Perspective. Westport, Conn: Praeger, 2003. Arjomand, Said Amir. “Unity and Diversity in Islamic Fundamentalism” dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (ed.), “Fundamentalisms Comprehended.” Chicago: The University of Chicago Press, 1995. Asa, Syu’bah, “Penantin Darah,” dalam Tempo. 20 September 2004. Ayoub, Mahmoud M. “Martyrdom in Christianity and Islam” dalam Richard T. Antoun and Mary Elaine Hegland (ed.), Religious Resurgence: Contemporary Cases in Islam, Christianity, and Judaism. Syracuse-New York: Syracuse University Press, 1987. Ba’asyir, Abu Bakar. “Sistem Kaderisasi Mujahidin dalam Mewujudkan Masyarakat Islam” dalam Irfan Suryahardi Awwas (ed.), Risalah Kongres Mujahidin dan Penegakan Syari’ah Islam. Yogyakarta: Wihdah Press, 2001. Behrend, Tim. “Reading Past the Myth: Public Teachings of Abu Bakar Ba’asyir.” Makalah, tidak diterbitkan. Bernard, Lewis. The Political Language of Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1988. Bruinessen, Martin van. “Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia,” dalam South East Asia Research 10 (2). Drummond, Jonathan T. “From the Northwest Imperative to Global Jihad: Social Psychological Aspects of the Construction of the Enemy, Political Violence, and Terror,” dalam Chris E. Stout (ed.), The Psychology of Terrorism. Westport, Conn: Praeger, 2002. Firestone, Reuven. Jihad: The Origin of Holy War in Islam. New York and Oxford: Oxford University Press, 1999. Ghadbian, Najib. “Political Islam and Violence,” dalam New Political Science, vol. 22, no. 1 (2000). Hasan, Noorhaidi. “Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia,” dalam Indonesia 73 (2002). Ibrahim, Idi Subandy dan Asep Samsul M. Romli, Kontroversi Ba’asyir: Jihad Melawan Opini “Fitnah” Global. Bandung: Nuansa, 2003. 48


Masdar Hilmy: Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde Baru

ICG Asia Report N 83. Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix. 13 September 2004. Israeli, Raphael. “A Manual of Islamic Fundamentalist Terrorism,” dalam Terrorism and Political Violence, vol. 14, no. 4, Winter 2002. Israeli, Raphael. “Islamikaze and Their Significance,” dalam Journal of Terrorism and Political Violence 9/3, Autumn 1997. Media Indonesia. 12 November 2004. Mutahhari, Murtada, “Jihad in the Qur’an.” dalam Mahmud Taleqani, et al. (ed.), Jihad and Shahadat: Struggle and Martyrdom in Islam. Houston-Texas: Institute for Research and Islamic Studies, 1986. Peters, Rudolph. Islam and Colonialism: The Doctrine of Jihad in Modern History. The Hague: Mouton Publishers, 1979. Rapoport, David C. dan Yonah Alexander (ed.). The Morality of Terrorism: Religious and Secular Justifications. New York: Pergamon Press, 1982. Roy, Oliver. Globalised Islam: the Search for a New Ummah. London: Hurst, 2004. Samudra, Imam. “Aku Melawan Teroris.” Singh, Bilveer. “The Challenge of Militant Islam and Terrorism in Indonesia,” Australian Journal of International Affairs, vol. 58, no. 1, March 2004. Sivan, Emmanuel. “The Enclave Culture,” dalam Martin E. Marty and R. Scott Appleby (ed.), Fundamentalisms Comprehended. Chicago: The University of Chicago Press, 1995. Sonn, Tamara. “Irregular Warfare and Terrorism in Islam: Asking the Right Questions,” dalam James Turner Johnson and John Kelsay (ed.), Cross, Crescent, and Sword: The Justification and Limitation of War in Western and Islamic Tradition. New York and London: Greenwood Press, 1990.

49


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

DIALOG ESOTERIS ANTARAGAMA: Kajian Filsafat Iluminasi Suhrawardi Arifinsyah Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara, Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail: arifinsyah68@yahoo.com

Abstract: Interreligious Esoteric Dialogue: A Study of Suhrawardi’s Illuminative Philosophy. A sufi is one of the most serius figures who deals and gets involved with the esoteric interfaith dialogue related not only to academic discourses but also to practical aspects. One of well-known sufi is Suhrawardi, a pioneer of the illumination philosophy, who succeed to combine between profane and sufistic or esoteric dimension into a religious life. The writing tries to analyze Suhrawardi’s opinions concerning the esoteric dialogue among religious adherents.

Kata Kunci: dialog esoteris, agama-agama, dan iluminatif

Pendahuluan Sejak abad pertengahan sampai sekarang, studi tentang agama terasa semakin berkembang. Sejak saat ini pula tumbuh kesadaran baru bahwa agama selain merupakan keyakinan dan pedoman hidup untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, juga menjadi objek studi dan penelitian para ilmuwan dan agamawan. Kajian agama-agama tidak hanya melalui pengamatan fenomena dengan menggunakan metode empiris yang dirumuskan dalam bentuk evaluatif dan deskriptif, tetapi juga melakukan penelitian esoterik, eksoterik, dan inklusif dengan pendekatan Perennial untuk mencari titik temu yang hakiki. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan baru, para ahli dalam berbagai disiplin ilmu menaruh perhatian untuk mengadakan studi terhadap agama, karena disadari bahwa agama mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan disadari bahwa tanpa mengetahui kedudukan dan peran agama dalam suatu masyarakat, maka tidak mungkin memperoleh gambaran lengkap mengenai mayarakat tersebut. 50


Arifinsyah: Dialog Esoteris Antaragama

Sejarah mencatat kontak Islam dengan agama-agama lain, bahwa kelompok Islam yang paling toleran, paling simpati, paling terbuka, dan paling ramah terhadap agamaagama lain adalah para sufi. Karena itu, dalam pembicaraan tentang perjumpaan Islam dengan agama-agama lain, sufisme adalah wakil Islam yang berhak dan pantas untuk diungkapkan. Dalam konteks itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkap pandangan filsafat Iluminatif Suhrawardî tentang perbedaan keagamaan dan sikapnya terhadap agama-agama lain.

Mengenal Suhrawardî Nama lengkapnya adalah Syihâb al-Dîn Yahya bin Habasî bin Amarak Abû Futuh Suhrawardî. Ia dikenal dengan sebutan Syaikh al-Isyrâq, terutama di kalangan para muridnya. Ia juga populer dengan sebutan Suhrawardî al-Maqtûl. Agaknya, penamaan ini sengaja disandangkan kepadanya, karena akhir hayatnya dibunuh. Ia dilahirkan pada abad ke-6 H di pedesaan Janizan, bagian utara Iran. Tidak ada yang tahu pasti tanggal kelahirannya. Penulis biografinya yang paling terkenal adalah Syahrazurî. Ia memperkirakan kelahiran Suhrawardî sekitar tahun 545-550 H atau 1166-1171 M.1 Suhrawardî belajar di bawah bimbingan Majd al-Dîn Jîlî yang mengajarinya filsafat dan teologi di Maragha. Guru berikutnya adalah Fakh al-Dîn al-Mardinî (w. 594/1198), yang mengajarinya filsafat di Isfahan atau Mardin sekaligus sebagai gurunya terpenting dan banyak mempengaruhi jalan pikirannya. 2 Setelah menyelesaikan pendidikan formal, Suhrawardî mulai mengembara menjelajahi pelosok negeri Persia untuk berguru kepada sejumlah syaikh sufi (tidak diketahui siapa guru itu). Dalam pengembaraannya, ia banyak menghabiskan waktu untuk bertafakkur dan berdo’a di tempat ia beruzlah. Pada periode ini, ia juga melakukan perjalanan ke daerah Anatolia dan Syiria. Namun sesampainya di Syiria, sambutan yang semula simpatik dari sang Sulthan Mâlik al-Zhahir (1186-1216) anak Shalâh al-Dîn al-Ayyubî kepada Suhrawardî berubah menjadi bumerang yang menyebabkan kematiannya. Rasa tidak senang di kalangan ulama ketika itu terhadap pemikiran-pemikiran Suhrawardî yang mereka anggap sangat berbahaya bagi umat Islam, dijelaskan sebagai isu sentral agar Shalâh al-Dîn al-Ayyubî mengeksekusinya. Permohonan para ulama itu dikabulkan oleh Shalâh al-Dîn al-Ayyubî dengan terlebih dahulu mengancam Mâlik al-Zhahir untuk turun dari tahta kerajaan apabila ia tidak mengikuti pendapat para ulama ketika itu. Akhirnya, Suhrawardî pun dipenjarakan pada tahun 587 H/1191 M dan meninggal pada usia 38 tahun. Syahrazurî, Nuzhat al-Arwâh wa Raudhat al-Arfah fî Târîkh al-Hukamâ wa al-Falâsifah, ed. S. Khursid Ahmad (Kairo: Nahda, 1976), h. 119-143. 2 T. Izutsu, “Ishraqiyah,” dalam Mircea Eliade (ed.), Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan, 1987), h. 298. 1

51


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

Filsafat Iluminatif (al-Isyrâq) Boleh dikatakan bahwa pembicaraan tentang filsafat Islam kurang lengkap bila tidak menyertakan filsafat Iluminatif di dalamnya. Kurangnya pengenalan terhadap filsafat Iluminatif selama ini dimungkinkan karena filsafat Iluminatif (al-Hikmah alIsyrâqiyah) tersebut tidak pernah diterjemahkan orang ke dalam bahasa Latin. 3 Karena itu, filsafat iluminatif tidak pernah dikenal di dunia Barat. Tidak seperti karya-karya filsafat Ibn Sînâ, al-Farâbî, dan al-Ghazâlî (baca: pra-Suhrawardî), yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Biasanya karya-karya filosof muslim yang ditulis orangorang Barat, seperti Munk dan de Boer, berakhir pada Ibn Rusyd. Kenyataan ini dimungkinkan karena filsafat iluminatif dianggap tidak berpengaruh pada Skolastik Latin. Karena itu, nama Suhrawardî tidak mungkin sejajar dengan nama Ibn Sînâ, al-Farâbî, dan al-Ghazâlî. Padahal, abad ke-7 hijrah atau ke-13 M. bukan akhir pemikiran spekulatif dalam Islam. Bahkan, sejalan dengan melemahnya filsafat Peripatetik Aristotelianisme pada abad ke-6 H atau abad ke-12 M di timur, muncul aliran pemikiran sangat penting yaitu aliran Isyrâqiyah (baca: filsafat iluminatif) yang digagas oleh Syihâb al-Dîn Suhrawardî.4 Filsafat iluminatif ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam, khususnya di kalangan Syi‘ah, tetapi kecil saja di dunia Barat. Perbedaan ini dimungkinkan karena pengaruh filsafat iluminatif tidak begitu membekas di Barat pada saat itu, yaitu pada masa kejayaan Skolastis Latin seperti disebut di atas. Di samping itu banyak tuduhan yang dilontarkan kepada sufisme, bahwa beberapa sufi, seperti al-Hallâj, Ibn al-‘Arabî dan al-Suhrawardî, mengajarkan doktrin kesatuan agama-agama. Yang dimaksud dengan kesatuan agama-agama, menurut tuduhan ini, adalah semua agama pada hakikatnya adalah satu dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu Tuhan yang Esa. Perbedaan antara agama terletak hanya pada nama, bentuk, dan cara ibadah, bukan pada tujuannya. Perbedan itu tidak menghalangi para penganut masing-masing agama untuk sampai kepada tujuan yang sama (esoteris). Agama para penyembah berhala dan agama para penyembah api sama dengan agama para penyembah Tuhan. ‘Abd al-Rahmân al-Wakîl menuduh bahwa para sufi beriman kepada kesatuan agama-agama, baik yang berasal dari angan-angan, khayal dan nafsu maupun yang berasal dari apa yang diwahyukan Allah kepada rasul-rasul-Nya. Bagi para sufi, iman dan tauhid sama dengan kufur dan syirik dalam Islam dengan petunjuk serta kesuciannya sama dengan agama Majusi dengan kesesatan dan kekotorannya. 5 Agama para sufi dengan pasti meniadakan azab. Karena Tuhan mereka, menurut agama ini Seyyed Hossein Nasr, “Filsafat Hikmah Suhrawardî” dalam Ulumul Qur’an (Edisi 3/ VII/1997), h. 53. 4 Di samping aliran Isyraqiyah, pada saat itu ajaran sufi Muhyî al-Dîn Ibn ‘Arâbî juga berkembang di dunia timur menggantikan filsafat Aristotelianisme. Lihat, Ibid., h. 52. 5 ‘Abd al-Rahman al-Wakil, Hadzihi Hiya al-Sufiyah: Matba’at al-Sunnah al-Muhammadiyah (Kairo: Nahdah, 1955), h. 93. 3

52


Arifinsyah: Dialog Esoteris Antaragama

adalah setiap orang musyrik dan setiap orang bertauhid, musthail bagi Tuhan mengazab dirinya sendiri. Pembicaraan tentang persoalan ini berkenaan dengan pandangan dan sikap para sufi sebagai suatu kelompok Islam tentang agama-agama lain. Apakah Tuhan yang disembah orang-orang muslim, menurut sufisme adalah juga Tuhan yang disembah para penganut agama-agama lain? Apakah agama-agama lain musuh yang dijauhi, dilawan, atau kalau bisa dilenyapkan? Apakah agama-agama lain teman yang harus didekati? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis akan memaparkan faktafakta historis yang menunjukkan pandangan dan sikap Suhrawardî terhadap agamaagama lain. Atas dasar itu pula, penulis berupaya untuk mempresentasikan tentang filsafat Iluminatif untuk mengetahui lebih lanjut apakah memang benar filsafat Iluminatif tersebut bertolak belakang dengan filsafat Peripatetik (khususnya dalam mengetahui ’kebenaran’ suatu pengetahuan) atau filsafat Iluminatif tersebut semata-mata menonjolkan unsur asketisme (sufistik) dalam menemukan ’kebenaran’ universal, terutama tentang semangat penyemarakan dialog esoteris agama. Hal ini dipandang perlu karena merupakan prinsip-prinsip penting dalam filsafat Iluminatif. Dalam bahasa Arab, Isyrâq berarti percahayaan atau illuminasi dan masyriq berarti Timur. Secara etimologis keduanya diturunkan dari kata syaraq yang berarti terbitnya matahari. Lagi pula, kata sifat illuminasi ’musyriqiyyah’ dan ’masyaqiyyah’ (ketimuran) dalam bahasa Arab ditulis persis sama. Identifikasi simbolik timur dengan cahaya, yang sering digunakan pengertian itu oleh para ahli Isyrâq, menimbulkan kesulitan untuk dipahami. Apakah ketimuran atau iluminatif. Sejak semula, dalam kitab Mantiq alMasyrîqiyîn, yang sebagian telah banyak hilang, Ibn Sînâ telah menerangkan adanya kearifan timur (baca: Hikmah al-Isyrâqiyyah) yang lebih unggul daripada filsafat Peripatetik.6 Karenanya, kata ’masyrîqiyyûn’ juga dapat dibaca ’musyiqiyyûn’ yang berarti iluminatif atau ketimuran (Orientalisme). Kesatuan maknawi antara cahaya dan timur dalam peristilahan filsafat Isyraqi berkaitan dengan simbolisme matahari yang terbit di timur dan yang menerangi segala sesuatu, sehingga cahaya diidentifisir dengan gnosis dan illumination. Begitu pula Barat, tempat terbenamnya matahari, di sana kegelapan berkuasa, ia adalah tanah kebendaan, kebodohan pemikiran diskursif yang terjerat dalam liku-liku logikanya sendiri. Sebaliknya Timur adalah alam cahaya dan wujud, negeri pengetahuan dan iluminasi yang mengatasi keterbatasan pemikiran diskursif dan rosionalis. Timur adalah negeri ilmu yang membebaskan manusia dari dirinya sendiri serta dari dunia, yaitu ilmu yang terpadu dengan kesucian.

6

Ibn Sînâ, Mantiq al-Masyrîqîyah (Kairo: Nahdah, 1919 M), h. 2-4.

53


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Hal senada juga dinyatakan oleh Corbin,7 bahwa Isyrâqiyyah adalah suatu pengetahuan yang bersifat ketimuran, karena pengetahuan itu sendiri pengetahuan Timur Suhrawardî. Inilah sebabnya mengapa Suhrawardî mengaitkan kearifan Isyrâqî dengan para filosof Yunani, seperti Asclepius, Phytgoras dan Plato yang kebijakannya didasarkan atas pemurnian batin dan intuisi intelektual, bukannya atas dasar logika diskursif. Kearifan Isyrâqî, menurut Nasr, baik secara metafisik maupun secara historis, mempunyai makna bentuk pemikiran pra diskursif purba yang bersifat intuitif (dzauq), bukannya diskursif (bahts) yang mencari cahaya melalui sikap zuhud (asketisme) dan pembersihan rohani. Di tangan Suhrawardî kebijakan tersebut mengambil bentuk sebuah mazhab filsafat baru yang mengintegrasikan filsafat-filsafat Platonis dan Aristotelian dengan Angelologi Zoroasterian serta ide-ide Hermeneutik. Ia kemudian meletakkan semua itu ke dalam rangka sufisme. 8 Berkaitan dengan pendapat kedua penulis di atas, Izutsu mengatakan bahwa Corbin dan Nasr telah memberikan penekanan pada signifikansi Suhrawardî sebagai seorang pembangkit pemikiran Iran kuno. Menurutnya, kedua penulis ini berulang-ulang menunjukkan apa yang mereka anggap sebagai kualitas mistis pemikiran Suhrawardî yang mendasar, namun tanpa upaya kajian sistematis terhadap dasar-dasar filsafat Iluminasi. Karakteristik umum semacam itu, lanjut Izutsu, meskipun berguna tetapi tidak memberikan suatu pandangan komperhensif tentang filsafat Iluminatif. 9 Untuk menilai secara rinci peran Suhrawardî dalam perkembangan pemikiran filsafat pasca Ibn Sînâ, seseorang harus menggambarkan karakter pemikirannya. Peran Suhrawardî sebagai pensintesis ’kebijaksanaan’ (wisdom) Yunani dan Iran dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan keagamaan dan mistis, tidak dapat dibatasi sebelum melihat penanganannya terhadap problem logika, fisika, matematika, dan meta-fisika. Untuk mengatakan bahwa Suhrawardî adalah seorang mistikus yang ditakdirkan untuk mengagungkan dan menghidupkan filsafat dan kebijaksanaan (hikmah) Iran kuno, dan untuk menggambarkannya sebagai seorang yang ’perenialis’, bijak, dan agung, tidak harus membatasi hakikat pemikirannya yang sebenarnya meskipun ia bukan seorang mistikus, teolog, filosof yang sistematis atau ideolog sejumlah bentuk nasionalisme Iran abad pertengahan. Karenanya, untuk mengatakan sesuatu yang penting tentang pemikiran Suhrawardî, pertama-tama harus diteliti (dibatasi) dengan jelas hakikat dasar-dasar logika dan epistemologi filsafat Iluminasi. Hanya dengan dasar analisis sistematis semacam itu dapat ditunjukkan apakah Suhrawardî seorang mistikus sistematisnya, adalah pembelaan, penjelasan, atau sistematisasi atas pengalaman-pengalaman mistis sebagai sebuah metode untuk menyingkap realitas. Ibid. Nasr, “Filsafat Hikmah Suhrawardî,” h. 56. 9 Izutsu, “Ishraqiyah,” h. 298. 7 8

54


Arifinsyah: Dialog Esoteris Antaragama

Epistemologi Filsafat Iluminatif Sukar mengidentifikasi sistem yang dipakai Suhrawardî walau dengan paradigma epistemologis apa pun, seperti Empirisme, Rasionalisme dan sebagainya. 10 Menurut Suhrawardî, seseorang dapat tiba dengan kepastian melalui pengetahuan yang diperoleh dengan iluminasi. Namun ia tidak menolak kemungkinan mendapatkan pengetahuan melalui model-model kognisi lainnya. Epistemologi filosofis Suhrawardî tersusun dari tiga elemen, yaitu definisi, pemahaman persepsi, dan ide-ide bawaan. Suhrawardî sulit menerima definisi sebagai cara mencapai pengetahuan karena tidak hanya esensi sesuatu yang ingin diketahui yang harus didefinisikan, sebagaimana diperlihatkan kaum Peripatetik Aristotelianisme, tetapi semua aksiden-aksiden dan atributatribut sesuatu juga harus didefinisikan. Definisi tentang atribut-atribut ini diperlukan karena merupakan bagian penting dari esensi sesuatu dan proses pendefinisian ini secara praktis tidak mungkin dilakukan. Menurut Suhrawardî problem ini muncul karena semua definisi akan mengarah pada konsep-konsep apriori yang tidak perlu didefinisikan. Suhrawardî menambahkan, jika hal di atas mungkin, maka ada elemen-elemen yang berada di luar definisi, seperti suara, bau, dan lain-lain. Dia menambahkan bahwa “suara tidak bisa didefinisikan dengan benda lain dan umumnya sensasi sederhana tidak bisa didefinisikan.”11 Secara sederhana, Suhrawardî ingin menekankan bahwa definisi perlu diambil untuk sesuatu yang penting dan nilainya dalam mencapai kebenaran tidak perlu dibesarbesarkan. Jelaslah bahwa batasan-batasan dan definisi-definisi sebagaimana yang dikemukakan oleh para Peripatetik tidak akan pernah tercapai. Berbeda dengan definisi yang mendapat dukungan sangat lemah dalam epistemologi filosofis Suhrawardî, pemahaman persepsi (innate ideas) terlihat lebih signifikan. Hal ini karena kebanyakan benda yang tidak bisa didefinisikan dapat diketahui melalui pemahaman-pemahaman. Dengan alasan ini ia berkata “Jadi mengetahui dan menyadari suatu kegiatan menjadi tugas pemahaman.” 12 Pemahaman, menurut Suhrawardî, akan mampu membedakan antara entitas yang sederhana dan yang kompleks. Entitas yang kompleks didefinisikan dari segi entitas tunggal dan bukan sebaliknya. Namun, pemahaman kita tidak bisa terhindar dari problem yang sama, seperti yang dihadapi definisi. Dihadapkan pada sesuatu, yang kompleks bisa diketahui dari yang sederhana, tetapi bagaimana mengetahui cara yang sederhana? Di sinilah dibutuhkan prinsip aksiomatik di mana segala sesuatu bisa didefinisikan. Jika tidak, kita kembali menghadapi problem mengetahui sesuatu melalui sesuatu lainnya Mahdi Aminrazavi, Suhrawardî’s Rasionalistic Approach to Problem of Knowledge (Internasional Islamic University: Pakistan Islamic Research, 1990), h. 178-179. 11 Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (New York: Delmar, 1976), h. 105-108. 12 Ibid., h. 61. 10

55


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 dalam proses tanpa akhir ad infitum sebagaimana ditegaskan Suhrawardî. Tidak ada sesuatu yang lebih nyata dari apa yang bisa dipahami, selama semua pengetahuan kita datang dari pemahaman, maka semua yang dipahami bersifat bawaan dan tidak bisa didefinisikan. Pada akhirnya pemahaman persepsi (innate ideas) menghadapi problem yang sama dengan definisi. Namun demikian, Suhrawardî sama sekali tidak menolak kognisi jenis ini dan memandangnya perlu karena memungkinkan kita mengetahui sesuatu yang tidak dapat didefinisikan.13 Ada ide-ide bawaan yang dia pandang perlu sebagai alat untuk menghubungkan dua elemen lain dari segi epistemologi filsafatnya. Ide-ide bawaan memberikan kaitan penting antara pandangan Suhrawardî tetang ilmu pengetahuan dengan definisi dan pemahaman persepsi yang memungkinkan dia menyajikan teori ilmu pengetahuan yang koheren dan konsisten. Apakah sifat dan struktur ide-ide ini Kantian atau Platonic masih belum jelas dalam karya-karya filsafatnya, dan hal ini tidak akan pernah jelas sebelum kita telaah karya-karya teosofisnya. Ide-ide bawaan ini harus bersifat aksiomatik. Tetapi, menurut Suhrawardî, hanya cahaya yang memiliki sifat ini. Karena itu dapat disimpulkan bahwa ide-ide bawaan yang menjadi kunci menuju validitas epistemologi filosofis Suhrawardî adalah cahaya. Dengan pengertian ini, cahaya merupakan tali penghubung antara karya teosofis dan filosofisnya. Dengan demikian, maka konsep Suhrawardî tentang epistemologi filosofis didasari oleh pandangan bahwa sementara dalam beberapa domain diperlukan berbagai kognisi dan epistemologi. Namun akhirnya, kepastian datang melalui illuminasi, yaitu pengetahuan tanpa perantara. Dalam pendahuluan Hikmah al-Isyrâq, Suhrawardî menyimpulkan teorinya ’presential knowledge’ dengan mengatakan: Ketika kita mengobservasi dunia untuk mendapatkan kepastian kejadian-kejadian di dalamnya, kita lalu melandasi seluruh sains tertentu pada basis kepastian ini (matematika-astronomi). Dengan anologi, kita amati benda-benda tertentu dalam domain spritual lalu menggunakannya sebagai fondasi bagi benda-benda lainnya. Dia yang memiliki jalan dan metode selain ini tidak akan mendapatkan manfaat dari hal ini dan segera akan jatuh dalam keraguan. 14 Suhrawardî menggambarkan bahwa filsafat pada umumnya dan epistemologi khususnya harus memiliki sebuah landasan isyrâqî bila akan digunakan sebagai kognisi. Karena itu, cahaya menjadi substansi ilmu pengetahuan dan pengetahuan sebagai substansi cahaya. Bila sesuatu tidak membutuhkan definisi dan ekplanasi, sesuatu itu

Aminrazawi, Suhrawardî’s Rasionalistic Approach, h. 181. Suhrawardî, Al-Talwihat, dalam Henry Corbin (ed.), Majmu’ah Mushannafat Syaikh Isyraq, jilid I (Teheran: Anjuman Syahansyahiy Falsafah Iran, 1394 H), h. 22. 13 14

56


Arifinsyah: Dialog Esoteris Antaragama

harus memiliki sifat yang jelas, dan tidak ada sesuatu yang lebih jelas dari cahaya. Jadi, tidak ada benda lain yang tidak membutuhkan definisi selain cahaya. Selain telah menampilkan sebuah teori ilmu pengetahuan yang rasional dan penting, Suhrawardî juga telah mengedepankan sebuah epistemologi filosofis yang menjadi basis awal bagi konsepsi tentang isyrâqî dan karya-karya esoterik lainnya. Inilah cara memahami analisis rasionalnya tentang teori ilmu pengetahuan. Suhrawardî menggunakan hukum intuisi (ahkâm hads, hukum al-hads) sebagai bentuk penyimpulan yang valid. Intuisi yang digunakan Suhrawardî disini mirip dengan sifat cepat mengerti (quick wit) Aristoteles. Tetapi Suhrawardî menggabungkan bentuk penyimpulan yang khas ini ke dalam epistemologi filsafat iluminasi. Dengan menggunakan istilah teknis Peripatetik yang dimodifikasi, ia menyamakan intuisi pertama dengan aktivitas intelek biasa dan kedua dengan aktivitas intelek suci. (‘aql al-quds).15 Tetapi, ia menganggap tindakan intuisi terpenting adalah kemampuan subjek memahami banyak hal yang nampak dalam waktu singkat, tanpa guru. Dalam kasus seperti itu, intuisi bergerak menangkap istilah pengetahuan (al-hadd al-awsath) silogisme yang menyerupai penangkapan langsung (tanpa ekstensi temporal) definisi esensialis, yaitu esensi sesuatu. Proses ganda visi iluminasi (musyâhadah isyrâq) berlaku pada semua tingkat realitas. Berawal pada tingkat manusia dalam persepsi indra luar, seperti penglihatan. Mata atau subjek yang melihat, mampu melihat objek ketika objek itu sendiri disinari (mustanir) oleh matahari di langit. Pada tingkat kosmik, setiap cahaya abstrak melihat cahaya-cahaya yang derajatnya berada di atasnya. Sedang cahaya-cahaya yang lebih tinggi secara terus-menerus saat visi, menyinari yang berada di bawahnya. Sumber cahaya (Nûr al-Anwâr) menyinari segala sesuatu dan Matahari Surgawi, Huraskhah Agung memungkinkan cahaya berlangsung akibatnya, pengetahuan diperoleh melalui sepasang aktivitas, visi iluminasi dan daya pendorong yang mendasari prinsip ini adalah kesadaran sendiri. Karena itu, setiap wujud mengetahui kesempurnaan masing-masing suatu tindakan mengetahui diri yang meliputi kerinduan untuk ’melihat’ wujud yang kesempurnaannya berada di atasnya dan tindakan ini (baca: melihat) menggerakkan proses iluminasi. Proses iluminasi cahaya disebarkan dari asal usulnya yang tertinggi ke unsurunsur terendah. Dalam artian, iluminasi disebarkan dari cahaya segala cahaya ke tingkat manusia melalui prinsip-prinsip perantara tertentu, yaitu cahaya-cahaya pengendali (alAnwâr al-Qâhirah) dan cahaya-cahaya pengatur (al-Anwâr al-Mudabbirah. Di antara cahaya-cahaya pengatur terdapat cahaya-cahaya penting yang secara langsung mempengaruhi jiwa manusia, yaitu cahaya-cahaya Isfahbad.16 Secara umum, semua cahaya 15 16

Ibid., h. 155. Ibid., h. 201 dan 213-215.

57


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 yang lebih tinggi mengendalikan dan menerangi cahaya yang lebih rendah, yang pada gilirannya mampu melihat yang lebih tinggi. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa penglihatan terjadi sebagai akibat pertemuan antara mata yang sehat dan objek yang bersinar. Kapan pun cahaya ada, mata akan melihat. Penglihatan dan iluminasi cahaya baik pada objek maupun pada subjek, terjadi dalam masa tanpa durasi pada saat subjek dan objek hadir berhadaphadapan. Visi juga bekerja dalam cara yang sama, tetapi intrumennya tidak lagi mata, melainkan tindakan-tindakan kreatif imajinasi subjek yang disinari. Cahaya yang menyinari objek yang dilihat bukanlah cahaya jasmani, melainkan cahaya abstrak kosmologi illuminasi. Visi terjadi jika tidak ada halangan antara objek dan subjek. Karena itu, segala sesuatu bergantung pada cahaya, yang dijelaskan dalam teori illuminasi mengenai emanasi cahaya. SuhrawardĂŽ menyebut pancaran pertama cahaya, cahaya-cahaya malaikat tertinggi atau cahaya terdekat (al-NĂťr al-Aqrab: Cahaya I). Ia berkontemplasi tentang cahaya segala cahaya dan karena tidak ada penghalang di antara keduanya, maka ia menerima illuminasi secara langsung dari-Nya. Melalui illuminasi ini, muncul cahaya baru (Cahaya Abstrak ke II) di mana ia menerima dua iluminasi. Pertama secara langsung dari cahaya Agung dan yang kedua cahaya pertama. Proses pancaran berlanjut dalam cara yang sama. Cahaya abstrak ke III menerima empat kali illuminasi, yaitu dua kali dari cahaya di atasnya (yaitu: cahaya abstrak ke II yang menerima dua illuminasi) ditambah satu cahaya dari cahaya segala cahaya dan satu cahaya lagi dari cahaya pertama. Kemudian proses pancaran berlanjut dengan cara yang sama, dan muncullah cahaya abstrak ke IV menerima illuminasi delapan kali, yaitu cahaya abstrak ke II yang menerima dua illuminasi (cahaya) ditambah cahaya abstrak ke III, yang menerima empat cahaya dan ditambah cahaya segala cahaya dan cahaya pertama. Kemudian proses pancaran berlanjut dengan cara yang sama, dan munculah cahaya abstrak ke V menerima enambelas kali illuminasi, jumlah cahaya-cahaya (dilambangkan dengan cahaya abstrak) meningkat sesuai dengan urutan 2n-1, dengan cahaya terdekat (cahaya pertama) sebagai anggota pertama urutan ini.17

Dialog Esoteris Agama Para ilmuwan di dunia Timur melakukan penelitian agama bukan untuk objek studi atau penelitian semata, tetapi untuk diterima sebagai keyakinan dan diamalkan sebagai pedoman hidup. Pemikiran terhadap agama dilakukan orang Timur dalam rangka memperkokoh keyakinan dan keimanan yang dianut. Thaha Husein (1889-1973) mengatakan bahwa antara Islam dan Kristen terdapat 17

Ibid., h. 126-127.

58


Arifinsyah: Dialog Esoteris Antaragama

substansi yang sama, sebab pada esensinya Islam bukanlah alternatif bagi Kristen melainkan pelengkapnya.8 Abul Kalam Azad (1888-1958), yang terkenal dengan istilah al-Dîn Wâhid wa al-Syarî‘at Mukhtalifat (no difference in Din, difference only in Shari’at) menyatakan bahwa agama tetap satu dan syariat berbeda-beda.9 Fazlur Rahman (19191988) menyebutkan bahwa tema pokok al-Qur’an ada lima, yaitu Tuhan, manusia, alam semesta, wahyu, dan eskatologis. Kelima tema pokok ini ada dalam setiap agama, terutama agama wahyu.10 Demikian juga Ismâ‘îl Raji al-Faruqî (1921-1986), yang cukup banyak berperan dalam trialog tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam, menyatakan bahwa pada dasarnya ketiga agama besar ini adalah satu rumpun Abrahamic Religions.11 Seyyed Husein Nasr mengatakan bahwa esensi spritualitas Islam, seperti yang terungkap dalam al-Qur’an, adalah realitas prinsip tauhid (keesaan) yakni mengenal Allah Yang Satu. Tetapi, Allah Yang Satu itu menciptakan umat manusia dalam berbagai kecenderungan yang majemuk sehingga pengenalan akan Allah itu menumbuh dalam berbagai ekspresi.12 Frithjof Schuon, ahli perbandingan agama kontemporer dan salah satu pimpinan aliran filsafat Perennial, menyatakan metafisika tradisional keagamaan yang memperlihatkan Ilahi dalam segala sesuatu atau yang disebut dengan istilah esoteris.13 Kemudian Ahmed Hosen Deedat (1918-2006), ahli perbandingan agama kontemporer yang berupaya semaksimal mungkin untuk mengembalikan dialog antaragama kepada pusatnya, yaitu dialog esoteris antaragama. Artinya mempertemukan semua agama pada ajaran dasar agama sebagai misi kenabian yang terungkap dalam kibat suci. Untuk mengembalikan agama-agama ke pusatnya, perlu diajukan pendekatan alternatif yang bersifat universal dan komprehensif. Pendekatan tersebut berangkat dari pandangan bahwa agama sebagai realitas universal yang transenden dan telah dilakukan terhadap hal-hal yang fundamental metafisis sebagai realitas tertinggi yang melampaui semua ketentuan dan batasan sebagai sesuatu yang absolut dan tidak terbatas. Pendekatan alternatif tersebut di atas adalah pendekatan tradisional. Kata tradisional bukan dalam arti adat atau kebiasaan, melainkan sebagai realitas asal yang Thaha Husain, “Mustaqbal al-Tsaqafah fî Mishr,” dalam Al-Majmû`at al-Kalîmât li Mu’allafât al-Lubnanî (Beirut: t.p., 1973), h. 33. 9 Abul Kalam Azad, The Tarjuman al-Qur’an, vol. I, terj. Syed Abd al-Lathief (Hydrabad: t.p., 1981), h. 153-160. 10 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1983). 11 Ismail Raji al-Faruqi, “Islam and Christianity: Problems and Perspectives,” dalam James P. Cotter (ed.), The World in the Third World (Washington: Corpus Books, 1968), h. 159-81. Lihat juga “Islam and Other Faiths,” dalam Historical Atlas of the Religions of the World (New York: MacMillan, 1975). 12 Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono (Jakarta: Inisiasi Press, 2004). 13 Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj. Saafroedi Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987). 8

59


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 transenden, yang telah ada sejak azali dan akan selalu ada selamanya dan manifestasinya dalam sejarah berupa agama dan juga filsafat, sains, seni dan lain-lain. Paham tersebut adalah filsafat Perennial. Dengan menggunakan pandangan kaum tradisonal (perenialis), dalam menghadapi pluralitas agama tidak terhenti pada bentuk, tetapi dilanjutkan sampai pada esensi, tidak terbatas pada fenomena, tetapi sampai pada nomena, karena semua yang ada terdiri dari lahir dan batin, bentuk, dan rupa. Keberadaan agama-agama yang majemuk memiliki satu realitas absolut yang menjadi pengikat bersama pada tingkat transenden semua agama. Artinya, dengan pendekatan filsafat perenialisme, agama-agama yang dipeluk oleh manusia tidak mungkin menyebabkan timbulnya konflik sosial. Sebab, seperti dijelaskan Huston Smith (1918-1995), agama pada tingkat esoteric atau common vision mempunyai kesatuan dan kesamaan gagasan dasar. Semua agama terikat oleh persamaan suatu realitas Absolut, Universal, dan Azali pada tingkat transenden. 14 Dengan pendekatan filsafat Perennial, Islam memandang bahwa doktrin tantang ke-Esaan Tuhan tidak hanya menjadi milik Islam sebagai agama, melainkan lebih merupakan inti dari setiap agama. Dengan kata lain, agama-agama pada dasarnya lebih menegaskan doktrin ke-Esaan Tuhan, walau dengan menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda. Karena itu, Islam menyeru seluruh umat beragama agar berpegang pada titik persamaan tersebut, yakni keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat menjadi landasan teologis yang kokoh dalam membangun kerukunan umat beragama. Orang Muslim dapat berdampingan dengan orang non-Muslim atau sebaliknya dengan tetap memperhatikan dan menghormati rambu-rambu agama masing-masing. Kesamaan pandang tersebut dapat memperkokoh hubungan antara kelompok umat beragama yang ada di tengah masyarakat bangsa. Dalam kaitan ini, Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengajak para ahli kitab menuju ke titik persamaan, yaitu menyembah Tuhan Yang Esa dan tidak mempersekutukan-Nya, sebagaimana firman-Nya: Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.15 Ayat di atas mengesankan adanya pengikat persamaan suatu realitas absolut, universal dan azali pada tingkat transenden dari semua agama. Sejalan dengan filsafat 14 15

Huston Smith, The Religions of Man (New York: t.p., 1958), h. 18. Q.S. Âli ‘Imrân/3: 64.

60


Arifinsyah: Dialog Esoteris Antaragama

Perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang al-tauhîd tidak hanya menjadi pesan milik Islam sebagai agama, melainkan lebih merupakan inti dari nilai agama wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi-nabi merupakan penegasan mengenai doktrin tauhid yang menjadi inti semua agama, meskipun menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda-beda. Dalam Islam, ajaran untuk hidup bersama para penganut agama lain dalam suatu komunitas mendapatkan landasan teologis berupa seruan untuk mengajak seluruh umat beragama sama-sama berpegang pada pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal, yaitu keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid. Keyakinan ini menjadi titik temu common platform bagi semua agama. Al-Qur’an meletakkan kriteria keselamatan bagi pemeluk agama apapun dengan tiga butir kewajiban, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Kenabian, beriman kepada hari akhir, dan beramal saleh. Mereka yang melaksanakan tiga macam kewajiban tersebut tidak perlu takut dan khawatir karena akan mendapat pahala dari Allah SWT: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orangorang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.16 Dalam Islam, kerukunan hidup umat beragama dan kesatuan mereka mendapatkan landasan teologis yang kokoh, baik secara ritual maupun secara sosial. Sebagai agama, Islam tidak mempunyai keberatan dan hambatan dalam menghadapi pluralitas agama, karena pluralitas itu sendiri merupakan Sunnah Allâh yang harus diterima sebagai kenyataan yang tidak bisa dihindari. Salah satu contoh wacana dialog agama yang sangat bagus antara sufisme, tradisitradisi, dan agama-agama lain adalah dialog yang dilakukan Syihab al-Dîn Suhrawardî (w. 1191 M), pendiri mazhab Illuminasi atau Isyrâq. Filsafat Illuminasi Suhrawardî adalah hasil dialog spiritual dan intelektual yang dilakukan secara sungguh-sungguh dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain dalam kapasitasnya sebagai seorang sufi-filsuf atau filsuf-sufi. Suhrawardî mengambil unsur-unsur dari berbagai sumber untuk membangun filsafat illuminasinya. Sumber-sumber itu diakuinya berasal dari satu sumber, yaitu Hermes Agathadaemon (yang dalam Islam tokoh ini dianggap sebagai Nabi Idris as.). Hermetisme disebarkan oleh kaum Sabean, “para pengikut Nabi Idris,” yang memperkenalkan ke dunia Islam tulisan-tulisan yang dianggap berasal dari Hermes. Dalam mengkontruksi filsafat Iluminatif-nya, seperti halnya kaum Peripatetik, Suhrawardî juga menggunakan logika. Namun, yang merupakan pandangan khas illuminasionis tentang posisi logika adalah bahwa, logika dianggap subordinat kemampuan 16

Q.S. al-Baqarah/2: 62.

61


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 potensial jiwa sendiri untuk diberi inspirasi oleh ruh Ilahi, yang terjadi dalam suatu ’konfirmasi’ dalam wujud individu, yang betul-betul membimbing manusia melawan putusan-putusan dan penyimpangan-penyimpangan palsu. Kebijaksanaan ini pada umumnya diperoleh melalui illuminasi (Isyrâq), dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karena dalam pandangan ini, intuisi, ilham, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama dalam membangun ilmu yang benar. Di dunia Islam, pengetahuan esoterik Hermetik sampai kepada Suhrawardî. Kebijakan Illuminasi (Hikmah al-Isyrâq) sebagai aktualisasi otentik filsafat Perenial umat manusia mempunyai sumber awalnya pada wahyu-wahyu Ilahi yang diterima Nabi Idris, yaitu Hermes, yang dengan demikian menjadi nenek moyang filsafat. Kebijaksanaan Hermetik ini kemudian tersebar kepada generasi-generasi berikutnya melalui dua jalur, Yunani-Mesir dan Iran kuno. Cabang pertama Hermetisme, setelah berkembang di Mesir Kuno, tersebar di Yunani, yang melahirkan para bijak Gnostik seperti Empedokles, Plato, dan Plotinus. Tradisi ini kemudian dipertahankan dalam Islam oleh para sufi awal termasuk Dzû al-Nûn al-Misrî (w. 859 M) dan Abû Sahl al-Tustarî (w. 896 M). Cabang kedua Hermetisme, yang diwakili di Iran Kuno oleh para raja pendeta mistik Kayumarth, Faridun, dan Kay Kusraw, berkembang ke dalam sufisme Abû Yazîd al-Bistamî dan al-Hallaj. 18 Suhrawardî memandang dirinya sebagai titik temu historis antara dua tradisi ini, yang menyatukan dan memadukan ke dalam suatu keseluruhan organik eksistensial seluruh unsur penting dari kebijaksanaan Hermetik, yang dihasilkan dalam rangkaian panjang perkembangan historisnya. Kepada keseluruhan ide-ide gnostik yang terpadu itu, Suhrawardî memberikan suatu reformulasi filosofis yang khas, yang terstruktur dari sudut simbolisme Zoroastrian tentang cahaya yang gelap. Istilah Zoroastrianisme di sini dipahami dalam pengertian ajaran “esoterik” spiritual Zoroaster yang dapat dibedakan dengan ajaran “esoterik”-Nya.19 Suhrawardî memandang dirinya sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya al-Hikmah al-Ladunniyah (kebijaksanaan Ilahi) dan al-Hikmah al-‘Atiqah (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksaan ini adalah perenial (abadi) dan universal, filsafat perenis dan universalis, yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.20 Kadang-kadang para sarjana modern menuduh Suhrawardî mempunyai sentimen

A.J. Arberry, Sufisme: An Account of the Mystics of Islam (London: Unwin Paperbacks, 1979), h. 26-27. 19 Izutsu, “Ishrâqiyah,” h. 298. 20 Nasr, Three Muslim Sages, h. 61. 18

62


Arifinsyah: Dialog Esoteris Antaragama

anti Islam dan berusaha menghidupkan kembali Zoroastrianisme melawan Islam. 21 Pembelaan Seyyed Hossein Nasr terhadap Suhrawardî perlu disimak. Pemikir sufi ini ber-kata: Adalah benar seperti banyak diilustrasikan, bahwa Suhrawardî menggunakan simbol Zoroastrian, sebagaimana orang-orang lain seperti Jabr Ibn Hayyân menggunakan simbol Hermetik, untuk menggunakan doktrin-doktrinnya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa doktrinnya adalah anti Islam. Itu adalah universalitas Islam yang memperkenalkannya untuk mengintregasikan banyak unsur yang berbeda dan memungkinkan esoterisme Islam untuk memakai bahasa bentuk-bentuk terdahulu kebijaksanaan tradisional.22 Bagi Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi adalah teman yang harus didekati untuk diajak dialog. Agama-agama lain itu tidak merusak dan menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas Islam, karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam pengertian ajaranajaran esoteriknya. Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain adalah juga kebijaksanaan perenial dalam Islam. Karena itu, Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan identitas dirinya. Artinya, Islam mesti mengakui kebenaran yang dimiliki oleh agama lain, namun ia tidak lebur dalam kebenaran yang ada pada agama lain itu dengan merelatifkan agamanya sendiri. Sepanjang yang dapat penulis analisis, filsafat Iluminatif Suhrawardî sesuai dengan prinsip kesatuan agama atau esoteris antaragama yang tertera di dalam al-Qur’an, yaitu. Prinsip pertama, al-Qur’an mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus rasul-rasul-Nya kepada seluruh umat manusia. Firman Allah: Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu,” Maka di antara umat itu ada orangorang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).17 Prinsip kedua, al-Qur’an mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwat (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan sebagaimana firman Allah: Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua. Agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.18 T. Burckhardt, Nature Saint Surmonter Nature: Etudes Traditionnelles (t.tp.: t.p., 1950), h. 10-14. 22 Nasr, Three Muslim Sages, h. 79. 17 Q.S. al-Nahl/16: 36. 18 Q.S. al-Anbiyâ’/21: 92. 21

63


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Prinsip ketiga, al-Qur’an menegaskan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara genealogis paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Firman Allah: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).19 Prinsip keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitâb). Firman Allah: Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”.20 Prinsip kelima, dari seluruh prinsip di atas, maka konsekuensi yang sangat logis adalah tidak boleh ada paksaan dalam agama. Firman Allah: Dan jikalau tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orangorang yang beriman semuanya ?21 Dari lima prinsip di atas, jelas bahwa secara esoteris, semua agama itu sama tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sedangkan perbedaan dalam bidang eksoteris dan manhaj, seyogianya tidak harus membawa pada pertentangan dan perselisihan.

Penutup Pemikiran Suhrawardî bukan sebuah konstruksi teologis ataupun teosofis, juga bukan sagesse orientale (hikmah dari timur), tetapi filsafat Iluminatif, yaitu filsafat mistis sistematis yang mengabaikan dogmatis dengan disposisi dinamis. Meskipun mengandung sophia (kebijaksanaan) dalam pengertiannya yang kaku, ia pada dasarnya adalah sebuah konstruksi filsafat yang bertujuan menyelidiki sesuatu, termasuk jawaban-jawaban atas sesuatu itu, yang diungkapkan secara radiks dan sistematis. Bagi Suhrawardî, perjumpaan dan dialog antara Islam dengan agama-agama lain Q.S. al-Syûrâ/42: 13. Q.S. al-‘Ankabût/29: 46. 21 Q.S. Yûnus/10: 99. 19 20

64


Arifinsyah: Dialog Esoteris Antaragama

bukan sekedar untuk memahami agama-agama lain dan menciptakan kerukunan, tetapi lebih jauh untuk memperkaya, menyuburkan, dan memperdalam pengalaman keagamaan dan spiritualnya. Ia sangat terbuka dan siap menyerap tradisi-tradisi agama-agama lain, tanpa mengingkari iman yang ia pegang teguh, tanpa kehilangan identitas asli, tanpa jatuh ke dalam sinkretisme, dan tanpa bermaksud menyinggung perasaan penganut agama-agama lain. Belum pernah seorang sufi pun, sepengetahuan penulis, berpindah kepada agama lain, tetapi sebaliknya, karena keramahan dan daya tarik sufisme, tidak sedikit orang lain berpindah kepada Islam. Suhrawardî memang mengambil berbagai unsur dari tradisi-tradisi dan agamaagama lain untuk membangun filsafat Illuminasinya. Ini berarti bahwa ia dipengaruhi tradisi-tradisi dan agama-agama di luar Islam. Tetapi perlu dicatat bahwa Suhrawardî tidak hanya “pihak yang menerima” pengaruh dari luar Islam, tetapi juga kemudian menjadi “pihak yang memberi” pengaruh kepada tradisi-tradisi dan agama-agama di luar Islam. Dengan demikian terbuktilah bahwa perjumpaan Islam (sufisme filosofis Suhrawardî) dengan agama-agama lain, merupakan dialog agama-agama yang menjadikan Islam versi sufisme tidak hanya sebagai pihak yang memahami agama-agama lain, tetapi juga sebagai pihak yang dipahami agama-agama lain. Tidak hanya sebagai pihak yang dipengaruhi agama-agama lain, tetapi juga sebagai pihak mempengaruhi agama-agama lain. Tidak hanya sebagai pihak yang bersifat ramah terhadap agama-agama lain, tetapi juga sebagai pihak yang menerima keramahan agama-agama lain.

Pustaka Acuan Aminrazavi, Mahdi. Suhrawardi’s Rasionalistic Approach to Problem of Knowledge. Pakistan: Islamic Research Internasional Islamic University, 1990. Arberry, A.J. Sufisme: An Account of the Mystics of Islam. London: Unwin Paperbacks, 1979. Azad, Abul Kalam. The Turjuman al-Qur’an, terj. Syed Abd al-Lathief, vol. I. Pakistan: Hydrabad, 1981. Al-Faruqi, Ismail Raji. “Islam and Christianity: Problems and Perspectives.” Dalam James P. Cotter (ed.). The World in the Third World. Washington D.C.: Corpus Books, 1968. Burckhardt, T. Nature Saint Surmonter Nature: Etudes Traditionnelles. Januari-Pebruari 1950. Hussein, Thaha. Mustaqbal al-Tsaqafat fî Mishr. Beirut: Al-Majmu‘ât al-Kalîmât lî Mu’allafât al-Lubnany, 1973. Ibn Sînâ. Mantiq al-Masyriqiyah. Kairo: Nahdah, 1919 M. Izutsu, T. “Ishraqiyah.” Dalam Mircea Eliade (ed.). Encyclopedia of Religion, vol. 16. New York: Macmillan, 1987. 65


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Nasr, Seyyed Hossein. Three Muslim Sages. New York: Delmar, 1976. Nasr, Seyyed Hossein. Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono. Jakarta: Inisiasi Press, 2004. Nasr, Seyyed Hossein. “Filsafat Hikmah Suhrawardî,” dalam Jurnal: Ulumul Qur’an, edisi, 3/VII/1997. Rahman, Fazlur. Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1983. Schuon, Frithjof. Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj. Saafroeddi Bahar. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987. Smith. Huston. The Religions of Man. New York: t.p., 1958. Suhrawardî. Al-Talwihat, dalam Henry Corbin (ed.). Majmû‘ah Mushannafat Syaikh Isyraq, jilid I. Teheran: Anjuman Syahansyahiy Falsafah Iran, 1394 H. Syahrazurî. Nuzhat al-Arwâh wa Raudhat al-Arfah fî Târîkh al-Hukamâ wa al-Falâsifah, ed. S. Khursid Ahmad. Kairo: Nahdah, 1976. Al-Wakîl, ‘Abd al-Rahmân. Hâdzihi Hiya al-Sûfiyah: Mathba‘ah al-Sunnah alMuhammadiyah. Kairo: Nahdah, 1955.

66


‘UMAR IBN AL-KHATHTHÂB DAN SIYÂSAH SYAR‘IYYAH Azhari Akmal Tarigan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate 20371 e-mail: azhariakmaltarigan@yahoo.co.id

Abstract: ‘Umar Ibn al-Kaththâb and Islamic Polity: An experimentation of Application of Islamic Law in Local Context. The compatibility of Islamic teaching to all times and places, in itself, makes ijtihâd indispensable. That is to say that Islamic tenets need to be interpreted in a specific context of time and space. ‘Umar ibn al-Khaththâb has always been regarded as the prototype of such efforts. Many innovations in different aspects of life were accredited to ‘Umar, making him a very popular reference for later generations in performing ijtihâd. This article examines the contribution of ‘Umar’s experimentation with the syari‘ah, providing the readers with some interesting examples.

Kata Kunci: ‘Umar Ibn al-Khaththâb, siyasah, had

Pendahuluan Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ‘Umar ibn al-Khaththâb adalah sahabat yang pemikirannya sering disalahpahami tidak saja oleh generasi semasanya tetapi juga oleh generasi-generasi sesudahnya. Pada satu sisi ‘Umar ibn al-Khaththâb dituduh “menyimpang dari ayat-ayat al-Quran,” bahkan ‘Umar dianggap telah melakukan nasakh, sedangkan pada sisi lain ia dipandang tokoh generasi awal Islam yang mampu menangkap, meminjam istilah Fazlur Rahman, ideal moral al-Qu’ran. ‘Umar Ibn al-Khaththâb sering dijadikan contoh generasi awal Islam yang mampu menyemali substansi ayat-ayat alQ’uran sehingga tidak terjebak pada teks-teks al-Qu’ran. Lebih dari itu, ‘Umar ibn al-Khaththâb banyak dipuji baik di Timur ataupun di Barat terlebih–lebih berhubungan dengan kecerdasan dan keberaniannya dalam berijtihad. Thaha Husein seorang intelektual Mesir dalam karyanya al-Syaikhân menyatakan, “Meninggalnya ‘Umar bisa dikatakan sebagai akhir dari fase yang terindah dalam sejarah Islam dan umat Islam, dari semenjak meninggalnya Rasulullah SAW hingga 67


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 akhir zaman. Setelah itu dalam hari-hari yang dilewatinya, umat Islam belum pernah menemukan-dan saya kira tidak akan pernah menemukan-sosok pemimpin yang mempunyai kemiripan karakter dengan ‘Umar Ibn al-Khaththâb.” 1 Selanjutnya H.A.R Gibb dan J.H. Kramers dalam Shorter Encyclopedia of Islam menyebutkan bahwa ‘Umar Ibn al-Khaththâb khalifah II adalah salah seorang dari tokohtokoh terbesar pada permulaan Islam dan pendiri imperium Arab.2 Michael Hart menempatkan ‘Umar Ibn al-Khaththâb dalam urutan ke-51 dalam karyanya The 100 Ranking of the Most Influential Persons in History. Alasan yang dikemukakan oleh Hart adalah ‘Umar Ibn al-Khaththâb adalah pemimpin terbesar Islam setelah Nabi Muhammad SAW. ‘Umar Ibn al-Khaththâb bagi Hart merupakan tokoh utama dalam penyerbuan oleh Islam. Menurutnya, tanpa penaklukan-penaklukannya yang secepat kilat, diragukan apakah Islam bisa tersebar luas sebagaimana kita saksikan seperti ini. 3 Pada perkembangan selanjutnya, bahkan sampai di era modern ini, ‘Umar Ibn alKhaththâb sering dijadikan contoh konkrit perlunya keberanian dalam berijtihad kendati sepintas terkesan “menyimpang” dari ketentuan lahir nash. Munawir Sjadzali dalam menggagas reaktualisasi ajaran Islam menjadikan ‘Umar ibn al-Khaththâb sebagai contoh dalam berijtihad. Nashr Hamid Abû Zaid intelektual Mesir yang sangat kontroversial itu juga menjadikan ‘Umar Ibn al-Khaththâb sebagai contoh bahkan apa yang dilakukannya di era modern ini telah dilakukan ‘Umar pada masa yang paling awal. Persoalan yang belum sepenuhnya selesai adalah bagaimana sebenarnya bentuk ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb dilihat dari kacamata ushûl fiqh dan siyasah syar‘iyyah. Pertanyaan ini muncul karena pada masa itu ilmu ushûl fiqh dan siyasah syar‘iyyah belum terbentuk. Pertanyaan selanjutnya, apa sebenarnya hakikat ijtihad ‘Umar ibn al-Khaththâb?. Makalah ini ingin menjawab dua pertanyaan pokok ini dengan menganalisis beberapa kasus ijtihad Umar Ibn al-Khaththâb yang dianggap penting.

Latar Belakang Intelektual Paling tidak, ada dua hal yang menjadi perhatian para ahli berkenaan dengan perkembangan intelektual ‘Umar ibn al-Khaththâb.4 Pertama menyangkut pengalaman Thaha Husein, Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam: Abu Bakar dan Umar, terj. Ali Audah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 126. 2 H.A.R Gibb dan J. H. Kramers, Shorter Encylopedia of Islam (Leiden: E.J.Brill, 1974), h. 600. 3 Michael Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Junaidi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1993), h. 266. 4 Umar Ibn al-Khaththâb diperkirakan lahir empat tahun sebelum terjadinya perang Fijar. Muhammad Khudary Bek menyebutkan ia lebih muda tiga belas tahun dari Rasulullah SAW. Umar Ibn al-Khaththâb memeluk Islam pada usianya yang ke 26 tahun tepatnya pada tahun ke enam kerasulan Muhammad SAW. 1

68


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

‘Umar sebagai penggembala dan kedua pengalamannya sebagai pedagang. Mahmud Ismâ’îl dalam bukunya Falsafah al-Tasyri‘ ‘inda ‘Umar ibn al-Khattab-sebagaimana dikutip Amiur-mengatakan bahwa pengalaman ‘Umar sebagai penggembala unta yang diperlakukan sangat keras oleh ayahnya berpengaruh terhadap temperamen ‘Umar ibn al-Khaththâb yang menonjolkan sikap keras dalam pergaulan. Sedangkan pengalamannya sebagai pedagang yang sukses yang membawa barang dagangan pulang pergi ke Syiria, berpengaruh terhadap kecerdasaan dan kepekaan serta pengetahuannya terhadap berbagai tabiat manusia.5 Suasana pendidikan yang sangat keras diterima ‘Umar ibn al-Khaththâb dari ayahnya membuatnya menjadi sosok yang keras bahkan terkadang kasar, teguh dalam pendirian, pemberani, yang pada gilirannya membuatnya sebagai tokoh penting dalam struktur masyarakat Quraisy. Wajarlah jika ia merupakan salah seorang yang didoakan Rasulullah untuk masuk Islam disamping Abû Jahal, yang tujuannya tentu saja untuk memperkuat perjuangan Islam.6 Tidak banyak informasi yang tersedia berkenaan dengan faktor-faktor yang membuat ‘Umar ibn al-Khaththâb menjadi orang yang cerdas dan memiliki ketajaman nalar. Di antara informasi yang ada menyebutkan bahwa kecerdasan dan ketajaman nalar ‘Umar ibn al-Khaththâb dibentuk oleh kecintaan dan penguasaannya pada syairsyair Arab.7 Kecintaan ‘Umar ibn al-Khaththâb terhadap syair sebenarnya sudah cukup untuk menunjukkan kecerdasannya. Bagaimanapun juga kemampuan menangkap pesanpesan yang dilukiskan oleh sebuah syair membutuhkan pengetahuan tersendiri. Syair tidak dapat dipahami seadanya. Makna yang dikandung syair bukan hanya terletak di dalam susunan kata-katanya, tetapi lebih dari itu makna syair terdapat dibalik katakata dan suasana “alam” ketika syair itu dibuat. Lebih dari itu untuk menangkap pesan yang dikandung syair, dibutuhkan perasaan yang halus dan mendalam. ‘Umar ibn alKhaththâb memiliki semua persyaratan itu. Tidak itu saja, perhatiannya terhadap syair tampak pada anjuran kepada orangorang terdekatnya. Ia pernah memerintahkan kepada anaknya ‘Abd Allâh ibn ‘Umar untuk mempelajari syair baik untuk keperluan menisbahkan garis keturunan ataupun Amiur Nuruddin, Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 4 6 Rasulullah berdo’a yang artinya, Allâhumma yâ Allâh, Perkuatlah Islam dengan salah seorang yang Engkau cintai, Umar Ibn al-Khaththâb atau ‘Amr bin Hisyam (Abû Jahal). Lihat, Thaha Husein, Dua Tokoh Besar, h. 126 7 Menurut Judah ‘Abd Allâh Mushthafa, Syi’ir merupakan karya sastra dalam bentuk puisi adalah jiwa (hayah) orang-orang Arab, pengungkapan terhadap kemampuan dan budaya mereka, serta kantong ilmu, garis keturunan dan berbagai riwayat (akhbâr), maka jaranglah didapati orang-orang Arab yang tidak mengucapkan Syi’ir atau yang tidak pernah diriwayatkan syi’ir daripadanya. Dikutip dari Amiur Nuruddin, Ijtihad, h. 18. 5

69


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 untuk memperhalus budi pekerti. Demikian juga kepada Abû Mûsâ al-‘Asy‘arî, ‘Umar Ibn al-Khaththâb pernah berkata, “Suruhlah orang di sekitarmu mempelajari syair, karena syair mencerminkan ketinggian akhlak dan kelurusan pemikiran (al-ra`y) serta pengetahuan tentang keturunan.8 Al-Syatibî ketika menjelaskan tentang qasdu al-syari‘ fî wad‘i al-syari‘at li al-ifhâm di dalam al-Muwafaqat, di akhir pembahasannya mengutip pernyataan ‘Umar Ibn alKhaththâb berkenaan dengan urgensi syair ini. “Umar Ibn al-Khaththâb berkata, “Hai manusia, peliharalah kumpulan syair-syair pada masa Jahiliyah, karena di dalamnya terdapat penafsiran terhadap kitab al-Qur’an yang kamu miliki.” 9 Cukup beralasan jika kita mengatakan, kemampuan ‘Umar ibn al-Khaththâb dalam menangkap pesan al-Qur’an melebihi kemampuan sahabat-sahabat yang lain, disebabkan penguasaannya terhadap syair. Artinya, ketajaman nalar dan kedalaman rasa yang selama ini terlatih ketika memahami syair-syair Arab, pada perkembangan selanjutnya sangat bermanfaat pada diri ‘Umar Ibn al-Khaththâb dalam menyelami kandungan alQur’an. ‘Abbâs Mahmûd al-Aqqad mengisahkan bagaimana para sahabat memandang ilmu ‘Umar ibn al-Khaththâb sebagai berikut: Pemahaman ‘Umar terhadap Syariat sebagai orang yang bertanggung jawab dalam terlaksananya itu memang masyhur di kalangan fukaha seperti kemasyhurannya dalam sastra dan sejarah bangsanya. ‘Abd Allâh ibn Mas‘ûd berkata, “Sesungguhnya ‘Umar lebih mengetahui daripada kami tentang Kitabullah dan lebih paham dari kami akan Agama Allah.” Dan bila seseorang berselisih tentang membaca ayat, maka Ibn Mas‘ûd berkata kepadanya, “Bacalah seperti ‘Umar membacanya.” Sekiranya ilmu ‘Umar diletakkan pada satu daun timbangan dan ilmu manusia pada daun timbangan lainnya, maka masih lebih berat ilmu ‘Umar.” Mereka meriwayatkan bahwa, ‘Umar menguasai sembilan persepuluh dari ilmu… Ibn Sirrin berkata, jika ada yang mengatakan bahwa ia lebih mengetahui dari ‘Umar, maka ragukanlah agamanya…10 Pemikir-pemikir yang telah meneliti ‘Umar Ibn al-Khaththâb menyimpulkan tidak sedikit ayat-ayat al-Qu’ran turun dalam konteks mengkonfirmasi (muwâfaqât) pemikiran ‘Umar Ibn al-Khaththâb. Ibn Qayyim di dalam ‘Ilâm al-Muwaqqi‘în menjelaskan konfirmasi al-Qur’an terhadap pendapat ‘Umar dalam ungkapan yang cukup panjang: Adalah salah seorang di antara sahabat yang apabila ia memberi pendapat maka turunlah ayat al-Qur’an untuk mengkonfirmasinya, seperti pendapat ‘Umar Ibn alKhaththâb tentang tawanan Badar agar dibunuh, maka al-Qur’an turun menyetujuinya. Nuruddin, Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khattâb, h.19-20 Al-Syâtibi, Al-Muwafaqat fî Ushûl al-Syari’at, juz II (t.p: t.t.p., t.t.), h. 88 10 ‘Abbas Mahmud al-Aqqad, Kecemerlangan Khalifah Umar Ibn al-Khaththâb terj. Bushtami Abdul Gani dan Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1978 ), h. 275 8 9

70


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

‘Umar menyarankan supaya istri-istri Nabi memakai hijâb, lalu al-Qur’an turun mengesahkannya. Ia juga berpendapat agar sebagian makam Ibrahim dijadikan tempat salat, maka al-Qur’an turun membenarkannya. ‘Umar berkata kepada istri-istri Nabi, jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Allah memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih baik daripada kamu, maka turunlah al-Qur’an menyetujuinya. Tatkala ‘Abd Allâh Ibn Ubay meninggal, Rasulullah bermaksud mensalatkannya, sambil menarik kain Nabi, ‘Umar berkata bahwa sesungguhnya Ubay munafik, maka turunlah ayat yang membenarkannya.11 Hemat penulis, bukanlah suatu kebetulan, jika apa yang dipikirkan ‘Umar Ibn alKhaththâb tentang sesuatu ternyata dikonfirmasi atau dibenarkan al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya dalam membaca tanda-tanda zaman, ketajaman nalarnya dalam menganalisis fenomena yang sedang berlangsung, yang pada gilirannya melahirkan pendapat yang cerdas dan jernih. Konfirmasi al-Qur’an terhadap pendapat ‘Umar pada saat nuzûl wahyu, setidaknya menjadi dasar yang cukup kuat bagi para sahabat-sahabat besar untuk menyetujui cara ‘Umar menafsirkan ayat-ayat al-Quran pada masa-masa berikutnya. Jadi, paling tidak ada dua pertimbangan mengapa sahabat-sahabat seperti Abû Bakar, ‘Utsman, ‘Alî dan sebagiannya dapat menyetujui pendapat ‘Umar yang menurut sebagian yang lainnya menyimpang dari al-Qur’an. Pertama, pendapat ‘Umar masa lalu yang selalu dikonfirmasi al-Qur’an dan kedua, argumentasi yang disampaikan ‘Umar sangat rasional dan kontekstual.

Pembuatan Dîwân Tampaknya ‘Umar Ibn al-Khaththâb tidak melanjutkan tradisi yang telah dirintis oleh Abû Bakar al-Shiddiq dalam hal gelar kepemimpinan. Ketika Abû Bakar menjadi khalifah, ia menyebut dirinya sebagai khalifah Rasulullah. Sejatinya, sebutan untuk ‘Umar adalah khalifah min khalifat Rasûl Allâh. Bisa saja ada yang berpendapat bahwa sebutan tersebut tidak praktis dan tidak lagi memberi makna normatif. Namun alasan yang paling substansial adalah, dengan sebutan amîr al-mu’minîn sebenarnya ‘Umar telah menempatkan dirinya sebagai penguasa atau kepala negara muslim pertama dalam pengertian yang sesungguhnya. Penyebutan itu juga bermakna perubahan dari pemerintahan kenabian ke negara modern. Berkenaan dengan hal ini menarik mencermati ungkapan yang diberikan oleh Mahmoud M. Ayyub sebagai berikut.12 “Umar adalah penguasa atau kepala negara Muslim pertama dalam pengertian yang sebenarnya. Dialah yang pertama disebut dengan amîr al-mu’minîn (pemimpin kaum mukmin), sebagai ganti sebutan yang kurang praktis dan semakin kurang bermakna, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi`în ‘an Rabb al-’Âlamîn, juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), h. 81. 12 Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung: Mizan, 2004), h. 69. 11

71


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 “pengganti dari pengganti Rasulullah”. Yang juga menjadi simbol perubahan dari pemerintahan kenabian ke negara Muslim adalah tindakan administratifnya yang sangat penting, yaitu menetapkan kalender Islam untuk tujuan penentuan tanggal lembaran, peristiwa, dan dokumen penting negara. Sepuluh tahun kekuasaannya merupakan masa ekspansi dan kesejahteraan besar dengan segala godaan dan masalah demografis yang menyertainya. ‘Umar memahami masalah-masalah dan godaan itu, dan berusaha menanganinya. Tidak ragu lagi, ia adalah seorang genius dalam politik, tetapi tidak memiliki visi dan kelemahlembutan seperti Abû Bakar.” Bagaimana keberhasilan ekspansi yang dilakukan oleh ‘Umar ibn al-Khaththâb, Harun Nasution melukiskannya sebagai berikut: Pada zaman ‘Umar ibn al-Khaththâb gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) mencapai puncaknya. Ibu kota Syiria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Byzantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan demikian Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ’Amr ibn Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa‘ad Ibn Waqqash. Iskandariyah, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah, Irak, jatuh tahun 637. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan ‘Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian wilayah Persia dan Mesir.13 Salah satu terobosan ‘Umar Ibn al-Khaththâb dalam kapasitasnya sebagai kepala negara adalah menata administrasi pemerintahan yang untuk ukuran masanya tentu sangat modern. Dalam sejarah Islam pembuatan daftar atau catatan rekapitulasi ini disebut dengan dîwân.14 Oleh al-Mawardî, dîwân didefinisikan sebagai tempat untuk menyimpan apa-apa yang berhubungan dengan negara seperti daftar pekerjaan dan proyek negara, daftar kekayaan negara, siapa-siapa yang bertanggungjawab terhadap keduanya dan daftar tentara dan para pegawai negara.15 Sedangkan al-Farra’ menyatakan bahwa dîwân dibuat untuk memelihara segala apa yang berhubungan dengan hak-hak pemerintahan (al-sulthanah), apakah berkenaan dengan tugas-tugas atau harta benda serta berkenaan dengan hak dan kewajiban para tentara dan pegawai. 16

13

h. 58.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1985),

Di dalam Hans Wehr, kata dîwân bermakna to record, write down, set down, put down in writing. Dalam bentuknya yang lain dîwân dengan huruf alif pada waw bermakna, account books of the treasury (in the older Islamic administration). Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1979), h. 303. 15 Abî al-Hasan ‘Alî bin Muhammad bin Habib al-Baghdadî al-Mawardî, Al-Ahkâm alSultaniyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), h. 249. 14

72


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

Lebih lanjut, menurut Mawardî, pembentukan dîwân ini tampaknya dipengaruhi oleh kerajaan Parsi. Bahkan kata dîwân itu sendiri menurutnya berasal dari bahasa Parsi. Salah satu fungsi dîwân tersebut adalah untuk memudahkan ‘Umar Ibn alKhaththâb dalam membagi harta serta untuk memudahkan dalam membuat daftar gaji pegawai dan tentara.17 Dalam pembagian harta, kebijakan ‘Umar Ibn al-Khaththâb tampaknya berbeda dengan kebijakan yang diambil oleh Abû Bakar al-Shiddiq. Jika Abû Bakar memilih membagi harta tersebut dengan jumlah bagian yang sama, maka ‘Umar ibn al-Khaththâb memilih untuk membaginya secara berbeda. Tegasnya tiap orang tidak lagi mendapatkan bagian yang sama. Dengan memanfaatkan dîwân tersebut, ‘Umar dapat melakukan pembagian harta dari bait al-mâl yang pada masa itu cukup melimpah sesuai dengan urutan-urutan kabilah dengan mendahulukan terhadap orang yang paling dekat dengan Rasulullah. Jika suatu kaum sama dalam kedekatan dan kekerabatannya dengan Rasulullah, maka didahulukan mereka yang masuk Islam terlebih dahulu dan yang ikut berjihad dalam Islam. Di samping itu, ‘Umar Ibn al-Khaththâb juga menggunakan paramater siapa yang paling membutuhkan.18 Menurut beberapa sumber, ‘Umar Ibn al-Khaththâb telah memprotes Abû Bakar karena memberi bagian yang sama terhadap seluruh rakyat. Pada waktu itu, ‘Umar menyatakan, “apakah engkau samakan saja antara orang yang melakukan dua hijrah dan menghadap dalam sembahyang ke dua kiblat dan antara orang yang masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah karena takut kepada pedang? Adakah engkau samakan saja antara orang yang memerangi Rasulullah dengan orang yang berperang bersamanya?”.19 Ternyata Abû Bakar tetap berada pada pendiriannya dan ‘Umar baru bisa merealisasikan pemikirannya tersebut setelah menjabat sebagai khalifah. Beberapa informasi menyebutkan, ‘Umar Ibn al-Khaththâb banyak melakukan terobosan-terobosan baru dalam pemerintahannya. Persoalannya adalah apa yang menjadi pertimbangan ‘Umar Ibn al-Khaththâb dalam membuat dîwân, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Tidakkah ‘Umar termasuk orang yang membuat hal baru yang tidak ada referensi normatifnya? Untuk menjawab masalah ini, Muhammad Baltaji mengemukakan dua argumentasi. Pertama, pertimbangan ‘Umar Ibn al-Khaththâb dalam membuat dîwân adalah demi

Abû Ya‘la Muhammad Ibn Husain al-Farra’, Al-Ahkâm al-Sulthâniyah (Beirut: Dâr alFikr, 1994), h. 265. 17 Al-Mawardî, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 249. 18 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khaththâb, terj. Masturi Irham (Jakarta: Khalifa, 2005), h. 406-407. Lihat juga al-Mawardî, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 251. 19 Al-‘Aqqad, Kecemerlangan Khalifah, h. 183. 16

73


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 maslahat. Seiring dengan perkembangan Islam yang sedemikian pesat, maka tata tertib administrasi menjadi sesuatu yang niscaya. Administrasi ini menjadi penting agar tidak ada hak-hak masyarakat Islam yang terlanggar karena semuanya tercatat dengan rapi. Kedua, ‘Umar mengqiyaskannya dengan usulan pembuatan parit kepada Rasulullah pada saat perang Khandaq, yang mana usulan tersebut datang dari Salman al-Fârisî yang berkebangsaan Parsi. Jika Rasul saja dapat menerima “hal-hal baru” dari orang Parsi mengapa ia tidak mencontoh hal-hal yang baik dari Parsi seperti membuat dîwân.20

Kasus-Kasus Ijtihad ‘Umar Ibn Al-Khaththâb Untuk memberi batasan yang jelas, makalah ini akan mengkaji ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb dalam rentang waktu dua belas tahun, yaitu dimulai sejak meninggalnya Rasulullah SAW. pada bulan Rabiul Awal 11 H sampai meninggalnya ‘Umar ibn alKhaththâb pada bulan Zulhijjah 23 H (632-643 M) atau tepatnya selama dua belas tahun sembilan bulan dan beberapa hari sesuai dengan hitungan hijriyah yang ditetapkan oleh ‘Umar Ibn al-Khaththâb.

Mu’allaf Al-Qur’an secara tegas dan jelas menyebutkan di dalam surah al-Taubah/9: 60 bahwa salah satu asnaf yang berhak menerima zakat adalah mu’allaf, sebagaimana yang terdapat pada ayat di bawah ini:

                         

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Beranjak dari ayat ini, sejak masa Rasulullah sampai masa Abû Bakar al-Shiddiq, orang-orang yang tergolong mu’allaf ini selalu mendapatkan bagian dari harta zakat. Dalam pandangan ‘Umar mengapa Rasul memberi bagian zakat untuk mu’allaf, karena pada waktu itu umat Islam masih sangat lemah, maka diberilah orang mu’allaf itu harta zakat karena takut akan kejahatan mereka, dan pada sisi lain untuk melembutkan hati

20

Baltaji, Metodologi Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb, h. 406.

74


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

mereka.21 Tidak tanggung-tanggung, efek yang ditimbulkannya adalah Islam menjadi agama yang kuat dengan masuk Islamnya beberapa tokoh berpengaruh atau paling tidak, umat Islam berada dalam posisi aman dan damai tanpa khawatir dengan gangguan kaum kafir. Setidaknya ada tiga kelompok yang dapat dikategorikan sebagai orang-orang mu’allaf. Pertama, orang-orang musyrik yang hatinya masih jauh dan asing dengan Islam. Mereka diberi zakat agar tidak mengganggu orang Islam atau setidaknya mereka tidak ikut membantu jika ada kelompok yang ingin menyerang umat Islam. Kedua, orangorang musyrik dari kalangan pembesar dan orang-orang terhormat yang diharapkan keislamannya, atau paling tidak mereka tidak ikut menghalang-halangi kaumnya yang ingin memeluk Islam. Ketiga, orang-orang yang baru masuk Islam, yang imannya masih lemah yang besar kemungkinan dapat digoyang. Mereka diberi zakat agar tidak kembali kepada kekafiran.22 Pada masa ‘Umar Ibn al-Khaththâb orang-orang mu’allaf ini tidak lagi mendapatkan zakat. Ia telah menghentikan pembagian untuk mu’allaf. Alasan yang dikemukakannya sebagaimana yang dilaporkan oleh Muhammad Rasyîd Ridha sebagai berikut: Dulu Rasulullah memberi zakat untuk mu’allaf bertujuan untuk melunakkan dan menarik mereka ke dalam Islam ditambah pada masa itu Islam masih sangat lemah. Saat ini Allah telah menguatkan umat Islam, sehingga orang-orang mu’allaf tidak diperlukan keberadaannya.23 Masalahnya adalah, ketika ‘Umar tidak lagi memberikan bagian untuk mu’allaf, apakah Umar dapat dikatakan telah melanggar al-Qu’ran? Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menyelami ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb. Menurut Muhammad alNuwaihi, kefardhuan dan keharaman di dalam al-Qu’ran tidaklah bersifat abadi, akan tetapi hal itu lebih didasarkan pada situasi dan kondisi yang ada. Baginya, ‘Umar ibn alKhaththâb sebagai sosok Muslim yang jujur dan pemberani tersebut, patutlah dipuji ketika ia berani tampil beda menyalahi konsep-konsep baku teks-teks syariat yang ada di dalam al-Qur’an. Semua itu dilakukannya adalah semata-mata demi roh Islam, selaras dengan kemaslahatan yang mendesak, dan karena faktor perubahan situasi dan kondisi.24 Pendapat Muhammad al-Nuwaih ini dikritik oleh Muhammad Baltaji. Dalam tesisnya ia menyatakan keliru besar kalau menuduh ‘Umar Ibn al-Khaththâb telah melakukan nasakh, perombakan bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan

21

h. 367.

Muhammad Rawwas Qal’ajî¸ Mausû’ah Fiqh ‘Umar Ibn al-Khaththâb (t.t.p.: t.t.p, 1981),

Baltaji, Metodologi Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb, h. 179. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’ân al-Karîm (al-Masyhur bi al-Tafsîr al-Manâr) juz X (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), h. 433. 24 Baltaji, Metodologi Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb, h. 186. 22 23

75


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 oleh al-Qur’an. Bagi Baltaji, ‘Umar bukan merombak apalagi membatalkan, hanya saja ia menunda atau menghentikan sementara pengamalannya sampai ditemukan kembali alasan-alasan untuk menyalurkan harta zakat tersebut.25 Singkatnya, ‘Umar tidak lagi menemukan alasan (ratio legis) hukum untuk memberikan bagian mu’allaf pada masanya. Menurut Sulaimân Muhammad Thamawî dengan mengutip Muhammad Abû Zahrah, ‘Umar melihat hikmah pemberian bagian zakat untuk mu’allaf telah hilang seiring dengan menguatnya posisi umat Islam. Inilah yang menghalangi ‘Umar untuk mengeluarkan bagian zakat mu’allaf. Dengan demikian, tidaklah berati bahwa ‘Umar telah meninggalkan atau menggugurkan hukum yang telah digariskan oleh ayat alQur’an.26 Ternyata ketika hikmah27 pemberian itu ditemukan kembali, maka bagian zakat mu’allaf dapat dibagikan kembali sebagaimana yang telah dilakukan oleh khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-Azîz ketika memberikan kepada al-Bithriq (komandan pasukan Romawi yang membawahi 10.000 pasukan) mata uang sebanyak 1000 dinar, demi menjaga kepentingan orang Islam dan pengamalan dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. 28 Jadi, kata yang lebih tepat untuk menjelaskan ijtihad ‘Umar adalah bahwa ia menunda pemberian bagian zakat mu’allaf karena tidak ditemukannya alasan (‘illat atau hikmah) pemberian itu pada masanya. Ahmad Hasan dalam karyanya menyebutkan bahwa tidak diberikannya bagian zakat untuk mu’allaf disebabkan karena ada perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi ‘Umar Ibn al-Khaththâb dengan kondisi yang dihadapi oleh Rasulullah. Disebabkan keadaan yang berubah tersebut, maka bagian itu tidak lagi valid. 29 Tindakan ‘Umar ini tampaknya bertolak belakang dengan al-Qur’an. Tetapi sebenarnya, ia mempertimbangkan situasi yang ada dan mengikuti ruh perintah al-Qur’an. Pertimbangan pribadinya membawanya pada keputusan bahwa seandainya Rasulullah masih hidup dalam kondisi yang sama, tentu beliau akan memutuskan hal yang serupa. 30 Bagi Amiur Nuruddin, ‘Umar tampaknya sangat memahami tambatan (al-manâth) hukum pembagian mu’allaf yaitu adanya unsur penarikan (istijlab). Umat Islam pada masa Rasulullah sangat membutuhkan orang-orang mu’allaf baik untuk diajak masuk Islam atau untuk menahan mereka agar tidak mengganggu umat. Pada masa ‘Umar, tambatan (al-manâth) hukum itu tidak lagi tampak karena umat Islam semakin kuat. Ibid., h. 185. Sulaiman Muhammad Thamawî, ‘Umar Ibn al-Khaththâb wa Ushûl al-Siyâsah wa alIdârah al-Haditsah: Dirasah Muqâranah (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 174. 27 Muhammad Yûsuf Mûsa juga mengemukakan alasan yang senada dengan Thomawî. Hanya saja ia menggunakan kata illat. Lihat Muhammad Yûsuf Mûsa, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Kitab al-’Arâbî, 1958), h. 62-64. 28 Ibid., h. 67. 29 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terj. (Bandung: Pustaka Salman, 1984), h. 107. 30 Ibid. 25 26

76


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

Sebagai akibatnya, berubah pula hukumnya. Inilah alasan mengapa ‘Umar tidak memberi bagian mu’allaf.31 Cukup menarik mencermati ungkapan Muhammad Mushtafa Syalabî yang juga menyebutkan bahwa dalam masalah ini inti persoalan adalah ‘illat. Ia menyatakan: Ini dalil bahwa hukum-hukum tersebut sangat terkait dengan kemaslahatan dan akan mengalami perubahan (penggantian) ketika kemaslahatannya berubah. Siapa yang mengingkari hal ini, sama dengan mengingkari ijma’ sahabat yang banyak berhujjah dengan ini (mashlahat).32 Membaca ijtihad ‘Umar berkenaan dengan penghentian pembagian zakat untuk mu’allaf, ada kecenderungan yang menunjukkan penghentian itu didasarkan pada pertimbangan perubahan kondisi sosial budaya masyarakat Islam pada saat itu. Disebabkan adanya perubahan zaman dan makan ini berakibat pada perubahan hukum. Inilah yang disebut oleh Ibn Qayyim dengan taghayyur al-fatwa bi taghayyur al-azmân wa al-amkinah (perubahan fatwa atau hukum yang disebabkan dengan perubahan masa dan tempat).33

Harta Rampasan Perang Salah satu keberhasilan ‘Umar sebagaimana yang dijelaskan oleh Michael Hart adalah dalam hal penaklukan sehingga Islam memiliki wilayah yang sangat luas. Konsekuensinya, dari peperangan demi peperangan tentara Islam banyak memperoleh harta rampasan perang baik yang bergerak atau pun yang tidak bergerak. Dikisahkan di dalam sejarah, setelah Irak berhasil diduduki, para tentara Islam meminta kepada komandan perang Sa‘ad ibn Abî Waqqas untuk membagi tanah dan barang-barang yang berhasil mereka kuasai. Begitu juga ketika tentara Islam berhasil menguasai daerah Syam, mereka meminta komandannya Abû ‘Ubaidah ibn al-Jarrah untuk membagi tanah. Begitu juga di Mesir, ketika tentara Islam berhasil membebaskannya dari cengkeraman imperium Romawi, Zubair ibn Awwam wakil tentara meminta kepada ’Amr ibn al-’Ash untuk membagi tanah yang dikuasi kepada pasukan yang ikut berperang. Ternyata tidak ada satu komandan pun yang berani membuat keputusan sampai mereka membawa masalah tersebut kepada amîr al-mu’minîn ‘Umar Ibn al-Khaththâb. Dari sinilah awal mula peristiwa yang cukup menegangkan tersebut. Menarik untuk

Nuruddin, Ijtihad Umar Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khattâb, h. 145. Muhammad Mushthafa Syalabî, Ta‘lil al-Ahkam (Beirut: Dâr al-Nahdah al-Syarifah, 1981), h. 37-38. 33 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I‘lam al-Muwaqqi’în, juz III, h. 14. 31 32

77


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 dianalisis sebelum memberikan keputusannya, ‘Umar terlebih dahulu mengajak para sahabat-sahabat bermusyarah.34 Nurcholish Madjid dengan baik sekali melukiskan kisah ini. Ia menuliskan, ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, Zubair ibn al-Awwam dan Bilal ibn Rabbah adalah sahabat-sahabat yang cukup keras menolak pendapat ‘Umar Ibn al-Khaththâb pada kasus harta rampasan perang. Mereka menuduh ‘Umar hendak meninggalkan hukum-hukum yang telah ditetapkan al-Qur’an dalam Q.S. al-Anfâl/8:41 yang bunyinya.35

             

                     

Pertengkaran yang memuncak sampai tiga hari itu membuat Umar Ibn al-Khaththâb bersedih dan dalam keadaan “sesak dada,” ia berdo’a, “ya Allah lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan.”36 Ternyata ‘Umar Ibn al-Khaththâb memutuskan untuk tidak membagi-bagikan tanah-tanah yang telah berhasil ditaklukkan. Tanah-tanah tersebut tetap dikelola oleh pemiliknya semula, hanya saja mereka diwajibkan membayar jizyah (bagi yang menolak untuk masuk Islam) dan membayar kharaj untuk tanah yang dikelolanya tersebut. 37 Pada saat yang sama keputusan ‘Umar ibn al-Khaththâb untuk tidak membagi-bagikan harta rampasan perang sebagaimana yang ditetapkan Allah di dalam Q.S. al-Anfâl/ 8:41, mendapat dukungan dari sahabat-sahabat senior lainnya seperti ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Alî ibn Abî Thâlib dan lainnya. Apakah ‘Umar ibn al-Khaththâb dipandang meninggalkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang pembagian harta rampasan perang? Menurut ‘Abd al-Rahmân Taj, dalam kasus ini ‘Umar memutuskan hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan Baltaji, Metodologi ijtihad ‘Umar Ibn al-Khattâb, h. 131. Dasar yang digunakan para sahabat yang menuntut pembagian harta rampasan perang adalah surah al-Anfâl ayat 41 yang artinya, Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibn al-Sabîl. Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada Nabi Muhammad pada hari furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu. 36 Nurcholish Madjid, “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad Umar Ibn al-Khattâb,” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h.16. 37 Penting dicatat yang termasuk ke dalam fa‘i sebagai sesuatu yang diperoleh dari musuh Islam tanpa melakukan peperangan dan pembunuhan adalah jizyah, kharaj dan usyur. Lihat, Sulaiman Muhammad Thamawî, Umar Ibn al-Khattâb, h. 174-178. Lihat juga, Mûsa, Tarikh al-Fiqh al-Islâmi, h. 65. 34 35

78


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

umum. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan ‘Umar sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari. ‘Umar berkata: “Kalaulah aku tidak memikirkan generasi Muslim yang belakangan, tidaklah aku menaklukkan sebuah wilayah (kampung) kecuali aku akan membagi-bagikan rampasan perang tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah pada tanah Khaibar.”38 Beberapa informasi menyebutkan, kasus rampasan perang ini termasuk kasus yang paling berat dihadapi ‘Umar.39 Begitu beratnya, ‘Umar melakukan perenungan yang mendalam sampai ia menemukan argumen terbarunya sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’an (Q.S. al-Hasyr/59: 7-10).40 Seluruh ayat ini ia bacakan kepada para sahabat sampai pada akhirnya khusus setelah membaca ayat 10, ia menyatakan: Ayat ini secara umum berlaku untuk semua orang yang muncul sesudah mereka apakah kaum ansar atau muhajirin, sehingga harta rampasan perang (fa‘i) adalah untuk mereka semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya untuk mereka (tentara yang ikut berperang saja), dan kita tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa bagian? Kini menjadi jelas bagiku akan perkara yang sebenarnya.41 Menurut Munawir Sjadzali, ayat yang dibacakan ‘Umar sebagaimana yang terdapat di dalam surah al-Hasyr adalah hanya sekadar untuk menyelamatkan muka para penentangnya (face saving device).42 ‘Umar menggunakan ayat yang bercerita tentang fa‘i, dan tentu saja fa‘i berbeda dengan ghanimah43 yang menjadi perselisihan dengan para sahabatnya. ‘Abd al-Rahman Taj, Al-Siyâsah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islâmî (Mesir: Matba’ah Dâr al-Syarif, 1953), h. 148. Bandingkan dengan Thamawî, Umar Ibn al-Khattâb, h. 175. 38

Beberapa informasi menyebutkan musyawarah dilaksanakan sebanyak dua kali. Pertama dikalangan panglima perang dan orang-orang Muhajirin, sedangkan musyawarah kedua melibatkan tokoh-tokoh dari Anshar. Musyawarah tersebut berlangsung dengan sangat menegangkan. Umar harus menguras pemikirannya untuk menemukan alasan yang benarbenar dapat diterima para sahabat. Fazlur Rahman melukiskan musyawarah tersebut hampir saja menjelma menjadi sebuah krisis. 39

Khusus terjemahan ayat 10 adalah, Dan orang-orang yang datang sesudah mereka baik kaum Muhajirin ataupun Ansar, mereka berdo’a “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudarasaudara kami yang telah lebih dahului beriman dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Penuntun lagi Maha Penyayang”. 40

Madjid, Pertimbangan Kemaslahatan, h. 19. Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 39. 43 Ghanimah diterjemahkan sebagai harta rampasan perang yang bergerak, diperoleh melalui sebuah peperangan, sedangkan fa‘i adalah harta bergerak ataupun tidak bergerak yang diperoleh dengan penaklukan tanpa adanya pertumpahan darah. Diduga karena ketakutan, penduduk di wilayah taklukan itu mening-galkan harta bendanya. Inilah yang disebut fa‘i. Namun, pada masa ‘Umar, perbedaan antara ghanimah dan fa‘i belum muncul. Berkenaan dengan kasus ‘Umar pada ayat di atas, terkadang para sahabat menggunakan kata fa‘i ketika meminta bagian harta dan terkadang juga menggunakan kata ghanimah. Selanjutnya Mufassir belakangan 41 42

79


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Berkenaan dengan masalah ini menarik untuk menganalisis penjelasan Fazlur Rahman sebagai berikut: When, however, Iraq (sawad) and Egypt were conquered and added to the muslim territory in Umar’s time, he refused to distribute these massive territories among the Arab soldiers and dispossess the original inhabitants. There was solid opposition against ‘Umar’s stand even though he was not alone in holding this opinion but several other men of eminence agreed with him. The opposition hardened so mach that a kind of crisis developed, but ‘Umar remainded firm and tried to argue his case on the ground that if Arab Soldier became land-settlers they would cease to be fighters, although his real considerations, as it subsequently turned out, were based on a keen sense of sosio economic justice.44 Selanjutnya menurut Fazlur Rahman, kendati keputusan yang diambil ‘Umar berbeda dengan praktik Sunnah yang ada, sebenarnya ia telah mengimplemen-tasikan esensi dari Sunnah Nabi tersebut untuk menegakkan keadilan sosial ekonomi di tengah masyarakat. Ahmad Hasan tampaknya sependapat dengan Fazlur Rahman. Menurutnya, ‘Umar tampaknya meninggalkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung suruhan agar membagikan harta rampasan perang di kalangan kaum Muslimin. Menurut aturan praktik, tanah juga seharusnya dibagikan sebagaimana barang lain yang termasuk ghanîmah. Tetapi ‘Umar cenderung pada keuntungan yang didapat kaum muslimin secara umum dari pada kepentingan masing-masing orang. Keadilan sosial menuntut bahwa tanah yang ditaklukkan tidak dibagikan di antara tentara yang berperang. Ilustrasi ini memberi contoh penting dari istihsân yang awal, yaitu menyimpang diri dari aturan yang sudah ada demi kepentingan dan kesejahteraan sosial.45 Menurut Muhammad Mûsa Thamawî, ‘Umar membangun dasar ijtihadnya dalam menjaga dan mempertahankan tiga bentuk kemaslahatan. Pertama, mencegah terjadinya penumpukan harta (tanah pertanian) pada segelintir orang. Kedua, kharaj (pajak) bumi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan negara dan jihâd fî sabîl Allâh. Ketiga, kalaulah harta itu dibagikan, maka tidak ada lagi yang dapat diberikan kepada orangorang lemah, anak yatim dan orang miskin. 46 Tampaknya pada kasus harta rampasan perang ini, ijtihad ‘Umar didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan yang bentuknya lebih konkrit pada perwujudan keadilan social ekonomi di kalangan masyarakat muslim.

tampaknya mulai membedakan makna ghanimah dan fa‘i. Surah al-Anfâl ayat 41 di atas, dipahami sebagai ayat tentang ghanimah. Sedangkan ayat tentang fa‘i itu ditemukan di dalam surah alHasyr ayat 7. Al-Suyuthî, Al-Durr al-Mansur fî Tafsîr al-Ma’sur, juz III (Beirut: Dâr al-Kutub alIlmiyyah, 2000), h. 453. 44 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher, 1994), h. 180. 45 Hasan, Pintu Ijtihad, h. 108. 46 Thamawî, Umar Ibn al-Khattâb, h. 176; Mûsa, Tarikh al-Fiqh, h. 66.

80


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

Menggugurkan Had Mencuri Di dalam al-Qur’an (Q.S. al-Mâidah/5: 38) Allah SWT. berfirman:

               Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan mereka sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. Melalui ayat ini diistinbatkanlah hukum yang berkenaan dengan had mencuri yaitu potong tangan. Dalam sejarahnya baik Rasulullah, Abû Bakar al-Shiddiq bahkan ‘Umar Ibn al-Khaththâb telah mempraktikkan hukum potong tangan ini, akan tetapi ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa ‘Umar Ibn al-Khaththâb pernah tidak melaksanakan potong tangan ini pada beberapa kasus. Pada musim paceklik, ‘Umar Ibn al-Khaththâb tidak melaksanakan potong tangan. Ibn al-Qayyim melaporkan ucapan ‘Umar yang terkenal dengan masalah ini yaitu, “tahun ini saya tidak akan melaksanakan potong tangan”. Al-Sarkhasî juga pernah meriwayatkan bahwasanya pada musim paceklik itu didatangkan kepada ‘Umar Ibn al-Khaththâb, dua orang pencuri dengan tangan terikat dan bersamanya sepotong daging. Pemilik daging itu lalu berkata, “saya memiliki unta yang sedang bunting, yang saya tunggui sebagaimana musim rumput menunggu unta itu. Namun kedua orang ini telah mengambilnya. Mendengar itu ‘Umar berkata, “maukah kamu merelakan untamu yang bunting itu. Karena aku tidak memotong tangan pencuri, yang mencuri kurma ketika masih berada dalam tandannya.”47 Berkenaan dengan kasus ini ‘Umar tidak memotong tangan pencuri tersebut karena perbuatan itu dilakukan pada musim paceklik ini. Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa anak-anak Hatib bin Abî Balta‘ah mencuri unta seorang laki-laki Banî Manzilah. Oleh ‘Umar, anak-anak itu kemudian dipanggil dan mereka pun mengakui semua perbuatannya. Walaupun ‘Umar telah memerintahkan kepada Katsir ibn al-Shilt (seorang algojo yang bertugas mengeksekusi) untuk membawa dan memotong tangannya namun pada akhirnya ‘Umar menarik keputusannya dan menyuruh kepada orang tua anak tersebut untuk mengganti unta milik laki-laki Bani Mazinah. Alasannya adalah kedua anak itu mencuri karena kelaparan.48 Riwayat yang tidak kalah menariknya diriwayatkan oleh Abû Yûsuf bahwa seorang laki-laki yang mencuri harta dari bait al-mâl. Demikian juga, seorang budak yang mencuri Baltaji, Metodologi Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khattâb, h. 261. Thamawî, Umar Ibn al-Khattâb, h. 202. Lihat juga Ibn Qayyim, I‘lam al-Muwaqqi’în, juz III, h. 22; Baltaji, Metodologi Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khattâb, h. 261; Hasan, Pintu Ijtihad, h. 108. 47 48

81


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 harta tuannya juga tidak dipotong tangannya.49 Oleh Sa‘ad orang tersebut dilaporkannya kepada ‘Umar dan ia menyatakan bahwa laki-laki ini tidak dipotong tangannya. 50 Dari beberapa kasus di atas, ternyata ‘Umar Ibn al-Khaththâb tidak melaksanakan potong tangan pada musim paceklik yang melanda seluruh negeri (paceklik nasional) atau paceklik yang melanda individu (paceklik individual) seperti yang terjadi pada kasus anak-anak Hatib. Namun menurut Sulaimân Muhammad Thamawî, tidak dipotongnya tangan para pencuri pada musim paceklik disebabkan karena ‘Umar memiliki penafsiran yang mendalam terhadap ayat-ayat Allah. ‘Umar tidak ingin berlebih-lebihan serta melampaui batas dalam melaksanakan had,51 terlebih lagi dalam kondisi paceklik. Banyak pengkaji yang menyebut ‘Umar Ibn al-Khaththâb telah meninggalkan ayat al-Qur’an yang diyakini sebagai qath‘i al-dalâlah, karena alasan paceklik, ayat yang qath‘i itu tidak diamalkan oleh ‘Umar. Muhammad Rawwas Qal‘aji di dalam karyanya menyebut beberapa syarat yang harus ada dalam rangka menegakkan had pencurian. Pertama, bahwa harta atau benda yang dicuri tersebut adalah harta yang bukan milik si pencuri atau syibh milk (harta tersebut seolah-olah miliknya pada hal bukan miliknya). Kedua, bahwa benda/harta yang dicuri tersebut terkumpul pada satu tempat. Ketiga, bahwa benda yang dicuri tersebut harus mencapai nisab (kadar tertentu). Berkenaan dengan kadar ini terjadi perbedaan dikalangan ulama. Ada yang menyebut 1/4 dinar atau yang senilai itu. Ada juga yang menyebut lima dirham.52 Dalam kasus pengguguran had di atas, Ibn al-Qayyim lebih menyoroti pada masalah syibh al-milk tersebut. Menurut Ibn Qayyim, orang yang butuh dan terpaksa untuk mendapat-kan barang dengan cara mencurinya, mempunyai hak atas barang itu karena barang itu menjadi milik baginya. Pada masa paceklik itu, ada kesulitan bagi ‘Umar untuk membedakan mana orang yang mencuri karena membutuhkan dan mana yang mencuri bukan karena membutuhkan. Pada kejadian ini bercampurlah antara orangorang yang berhak mendapatkan had dengan orang-orang yang tidak mendapatkannya, maka digugurkanlah had potong tangan. Penjelasan Ibn Qayyim ini dibangun atas pemahamannya atas hadis nabi yang menyuruh untuk membatalkan had jika permasalahannya masih samar-samar. 53 Pendeknya, syarat-syarat untuk menegakkan had sebagaimana dijelaskan oleh Qal‘aji tampaknya tidak terpenuhi pada kasus pencurian pada musim paceklik. Menurut Muhammad al-Nuwaih, adapun yang dilakukan ‘Umar dalam mengThamawî, Umar Ibn al-Khattâb, h. 202. Hasan, Pintu Ijtihad, h. 108-109. 51 Thamawî, Umar Ibn al-Khattâb, h. 202. 52 Qal‘ajî¸ Mausu’ah Fiqh ‘Umar Ibn al-Khattâb, h. 383. 53 Ibn Qayyim, I‘lam al-Muwaqqi’în, h. 23-23. 49 50

82


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

gugurkan had pencuri, sebagaimana yang ia lakukan pada musim paceklik, ketika si kaya tidak mau lagi menginfakkan hartanya, atau ketika ia menemukan ada sekelompok pengusaha yang tidak menunaikan gaji karyawannya dengan memadai, merupakan keputusan yang sempurna dan ideal. Meskipun, ia tidak menemukan ketentuan dan dasarnya di dalam al-Qur’an dan Sunnah. 54 Dengan demikian, menurut Muhammad al-Nuwaih, pelaksanaan potong tangan baru dapat dilaksanakan jika kondisi ekonomi rakyat telah berada pada tarap kemakmuran, masyarakat dengan sangat mudah dapat memperoleh rezeki, orang kaya mau melaksanakan perintah Allah seperti zakat, infaq, sadaqah dan bentuk-bentuk filantropi lainnya. Jika dalam suasana kemakmuran ini masih saja ada orang yang mencuri barulah had ditegakkan. Penting dicatat, pemikiran yang senada dengan Muhammad al-Nuwaih ini banyak dikembangkan oleh pengkaji hukum Islam di Indonesia. Untuk menyebut diantaranya adalah Masdar Farid Mas‘udi yang menolak hukum pidana Islam termasuk masalah had pencurian selama Indonesia secara ekonomi belum makmur.

Strategi Implementasi Para pemikir hukum Islam berbeda pendapat dalam membaca ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb. Ada yang menempatkannya secara moderat, namun ada pula yang memposisikan ‘Umar Ibn al-Khaththâb sebagai embrio pemikiran liberal dalam Islam. Muhammad Yûsuf Mûsa, Muhammad Rasyîd Ridhâ, Sulaimân Muhammad Thamawî, dan Muhammad Baltaji untuk sekadar menyebut beberapa nama, bahkan dalam tingkat tertentu Fazlur Rahman dan Ahmad Hasan adalah pemikir-pemikir yang memosisikan ‘Umar secara moderat. Kendati mereka mengakui bahwa ‘Umar banyak meninggalkan teks-teks al-Qur’an, namun sebenarnya hal itu disebabkan oleh alasan-alasan yang sebenarnya di dukung oleh ajaran al-Qur’an lainnya atau paling tidak didukung oleh substansi ajaran al-Qur’an. Dalam kasus pembagian harta rampasan perang, jelas terlihat bahwa pemikiran ‘Umar yang terkesan menyimpang dari teks al-Qur’an ketika tidak membagi rampasan perang kepada tentara jelas adalah mempertimbangkan kemaslahatan yang dalam hal ini keadilan sosial ekonomi, yang maslahatnya lebih besar dan berperspektif masa depan. Demikian juga dalam hal pembagian zakat untuk mu’allaf, mereka tidak berani untuk menyebut ‘Umar Ibn al-Khaththâb telah mengganti (al-tabdîl) syariat yang telah ditetapkan Allah, paling-paling mereka menyebut ‘Umar menunda pelaksanakan hukum tersebut karena tidak diperoleh alasan yang kuat untuk melakukannya. Baltaji, Metodologi Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khattâb, h. 269. Ia mengutip pendapat Muhammad al-Nuwaih ini dari tulisannya tentang “Nahwa Tsaurah fî al-Fikr al-Dîn”, dalam Majalah Adab (Mei 1970), h. 100. 54

83


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Namun penting dicatat, Fazlur Rahman dan Ahmad Hasan sedikit lebih maju dalam memahami dinamika ijtihad ‘Umar. Bagi mereka ‘Umar banyak meninggalkan teks-teks al-Qur’an walaupun teks tersebut jelas tunjukannya (qath‘i al-dilâlah), namun karena ditemukan kemaslahatan yang bagi mereka adalah semangat dasar (elan vital) al-Qur’an, maka ‘Umar melakukan penyimpangan dari bunyi teks tersebut. Kuncinya, bagi mereka ‘Umar bukan hanya mengandalkan ra’y (rasionalitas) semata, melainkan karena pemahamannya yang mendalam terhadap al-Qur’an Berbeda dengan pemikir lainnya seperti Muhammad al-Nuwaih dan Nashr Hamid Abû Zaid dan beberapa pemikir liberal lainnya, menyebut ‘Umar ibn al-Khaththâb dengan rasionalitasnya meninggalkan ayat-ayat al-Qur’an dan menggantinya dengan hukum yang lebih sesuai dengan semangat zaman. Tidak tanggung-tanggung, Muhammad Nuwaih (1917-1980) dalam bukunya yang telah disebut di muka menawarkan beberapa gagasan fundamental dalam memahami ajaran Islam dalam konteks modern dan beberapa yang penting akan dikutip di sini. Pertama, Islam tidak memberikan kepada kelompok tertentu manapun hak untuk memonopoli interpretasi ajaran-ajarannya atau hak untuk mewakili komunitas muslim. Kedua, Islam tidak menawarkan keteraturan bentuk masyarakat Islam yang final. Ketiga, hukum-hukum al-Qur’an tidak semuanya memiliki daya ikat yang sama. Keempat, beberapa hukum al-Qur’an pada masa Rasulullah dihapus pada periode berikutnya, bahkan sudah ada yang dihapus oleh ‘Umar Ibn alKhaththâb. Ia berkesimpulan, legislasi yang bersifat duniawai tidaklah dimaksudkan sebagai legislasi yang abadi, literal atau tak bias berubah. Prinsip kemaslahatan umat menurutnya adalah prinsip mendasar dari semua legislasi Islam. 55 Nashr Hamid Abû Zaid juga melihat ‘Umar Ibn al-Khaththâb sebagai contoh bagaimana pentingnya memahami alasan legal (‘illah) dalam menetapkan hukum yang pada gilirannya dapat mengganti atau merubah hukum yang telah ditetapkan oleh alQur’an. Belajar dari kasus mu’allaf qulubuhum, Nashr Hamid Abû Zayd mempraktikkannya pada kasus hukum waris. Setelah menganalisis al-Qur’an tentang waris, ia berkesimpulan bahwa hukum waris Islam harus diganti dan perempuan harus mendapatkan bagian yang sebanding dengan laki-laki. Alasannya, jika dahulu perempuan tidak produktif, saat ini kondisi telah berubah dan perempuan menjadi produktif. 56 Sebagaimana dikutip oleh Moch. Nur Ichwan dari A. H. Green dan Magda al-Nowaihi, “Mohammad al-Nowaihi 1917-1980”, dalam A. H. Green (ed.), In Quest of an Islamic Humanism: Arabic and Islamic Studies In Memory of Mohammad al-Nowaihi (Kairo: The American University of Cairo Press, 1984), h. xi-xxiv. Lihat, Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid (Jakarta: Teraju, 2003), h. 32. 55

Dalam menganalisis ayat waris ini Nashr Hamid Abû Zaid menggunakan teori Hermeneutik. Lebih luas lihat Nasr Hamid Abû Zaid, Naqd al-Khitab al-Dînî (Kairo: Sînâ li alNasyr, 1994). Di Indonesia, karya-karya Nashr Hamid Abû Zaid telah banyak diterjemahkan seperti¸Teks Otoritas Kebenaran (1995), Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana dalam Islam (2003), Tekstualitas al-Qur’an (2001), Imam Syafi’î: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, (1995) yang kesemuanya ini diterbitkan oleh penerbit LKiS, Yogyakarta. 56

84


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

Terlepas dari perbedaan dalam memandang ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb, hemat saya ada yang mempertemukan analisis yang dikembangkan pemikir-pemikir hukum Islam yaitu berkenaan dengan masalah teks (nas) dan realitas. Persoalan sebenarnya terletak pada bagaimana mendialogkan teks yang telah tersusun huruf demi huruf dengan realitas konkrit yang dihadapi. ‘Umar Ibn al-Khaththâb hemat saya sangat memahami teks-teks al-Qur’an. Ia sadar ke mana dilâlah yang dikehendaki oleh teks. Kita berandai-andai, jika realitas umat Islam masih dalam keadaan lemah dan masih pula tergolong minoritas, akankah ‘Umar membatalkan bagian untuk mu’allaf?. Jika ‘Umar menyaksikan pencurian pada era kemakmuran, bukan pada musim paceklik, apakah ‘Umar akan tetap melakukan potong tangan?. Jika itu yang terjadi, saya menduga ‘Umar adalah orang yang paling konsisten dalam menjalankan bunyi teks? Masalahnya adalah, ‘Umar membaca realitas yang berbeda. Ditambah lagi posisinya sebagai kepala negara menuntutnya untuk memberikan keputusan yang terbaik bagi rakyatnya. Membaca ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb, secara kreatif tampak dengan jelas bagaimana ‘Umar mendialogkan teks dengan konteks untuk selanjutnya menerapkannya dalam konteks lokal.

Penutup Beranjak dari kasus-kasus di atas, tampak adanya dinamika yang ditempuh ‘Umar Ibn al-Khaththâb. Bagi hal-hal yang bersifat duniawi murni yang tidak ada sandaran normatifnya, ‘Umar berani mengambil contoh luar selama bermanfaat untuk pemerintahan dan umat Islam. Inilah yang kita lihat dalam kasus dîwân. Dalam kasus zakat, ‘Umar menyadari sekali betapa pentingnya memahami rasio logis yang tersembunyi di balik bunyi teks al-Qur’an. Ketika ratio legisnya hilang, maka hukum tersebut tidak dapat diterapkan lagi. Pada kasus harta rampasan perang, ‘Umar mempertimbangkan kemaslahatan umum yang lebih luas cakupannya dan memiliki perspektif masa depan. Dalam hal ini, ia meninggalkan ayat yang bersifat spesifik dan memiliki jangkauan yang lebih sempit. Sedangkan dalam kasus pencurian, ‘Umar memahami peran penguasa dalam menentukan mekanisme pelaksanaan hukum. Dalam konteks ini, hemat saya ‘Umar melihat bahwa hukum potong tangan itu adalah hukuman yang maksimal. 57

Untuk menjelaskan pengertian batas maksimal ini, Syahrur menggunakan surah alMâidah/5: 38 sebagai contoh. Pada ayat ini Allah memberikan batasan maksimal atau tertinggi hukuman bagi pencuri yaitu dalam bentuk potong tangan. Hakim tidak boleh memutuskan hukuman bagi pencuri untuk memo-tong siku atau bahunya. Jika ini terjadi berarti hakim tersebut telah melampaui had yang ditetapkan Allah. Sebaliknya, selama tidak melampaui batas maksimal atau tertinggi, maka bagi seorang mujtahid atau hakim berhak atau boleh untuk menghukum pencuri dengan cara-cara yang ada di bawah batas maksimal. Lihat, Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’ân: Qirâ‘ah Mu‘ashirah (Beirut: Syirkah lî al-Tauzi‘ wa al-Nashr), h. 453. 57

85


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Hukuman tersebut dapat diterapkan jika persyaratannya dipenuhi secara lengkap. Jika tidak, maka penguasa dapat menurunkan kadar hukumannya.

Pustaka Acuan Al-‘Aqqad, ‘Abbas Mahmoud. Kecemerlangan Khalifah Umar Ibn al-Khaththâb. Terj. Bushtami Abdul Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Baltaji, Muhammad. Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khaththâb. Terj. Masturi Irham, Jakarta: Khalifa, 2005. Al-Farra’, Abû Ya‘la Muhammad ibn Husein. Al-Ahkâm al-Sultâniyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Gibb, H. A. R., dan J.H. Kramers. Shorter Encylopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1974. Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka Salman, 1984. Hart, Michael. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Terj. Mahbub Junaidi, Jakarta: Pustaka Jaya, 1993. Husein. Thaha. Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam: Abu Bakar dan Umar. Terj. Ali Audah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Ichwan, Moch Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‘an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid. Jakarta: Teraju, 2003. Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I‘lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-’Âlamîn. Juz I, Beirut: Dâr alFikr, 1995. Mûsa, Muhammad Yûsuf. Tarikh al-Fiqh al-Islâmî. Mesir: Dâr al-Kitab al-‘Arâbî, 1958. Madjid, Nurcholish. “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad Umar Ibn al-Khaththâb.” dalam, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988. M. Ayoub, Mahmoud. The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisi Politik dalam Sejarah Muslim. Terj. Munir A. Mu’in, Bandung: Mizan, 2004. Al-Mawardî, Abî al-Hasan ‘Alî bin Muhammad bin Habib al-Baghdadî. Al-Ahkâm alSulthâniyah. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI Press, 1985. Nuruddin, Amiur. Ijtihad ‘Umar Ibn al-Khaththâb: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 1987. Qal‘ajî, Muhammad Rawwas. Mausû‘ah Fiqh ‘Umar Ibn al-Khaththâb. t.tp.: t.p.1981. Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Delhi: Adam Publisher, 1994. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Qur‘an al-Karîm (Tafsîr al-Manâr). Juz X, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999. Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1997. 86


Azhari Akmal Tarigan: ‘Umar Ibn al-khaththâb dan Siyâsah Syar’iyyah

Syahrur, Muhammad. Al-Kitab wa al-Qur‘an: Qirâ‘ah Mu‘ashirah. Beirut: Syirkah li alTauzi‘ wa al-Nasr. Syalabî, Muhammad Mushthafa. Ta’lil al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Nahdah al-Syarifah, 1981. Al-Suyutî. Al-Durr al-Mansur fî Tafsîr al-Ma’sur. Juz III, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000. Al-Syâtibi. Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘at. juz II, t.tp: t.p., t.t. Taj, ‘Abd al-Rahman. Al-Siyâsah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islâmî. Mesir: Matba‘ah Dâr al-Syarif, 1953. Thamawî, Sulaiman Muhammad. Umar Ibn al-Khaththâb wa Ushûl al-Siyâsah wa alIdârah al-Hadisah: Dirâsah Muqaranah. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1979. Zaid, Nasr Hamid Abû. Naqd al-Khitab al-Dînî. Kairo: Sînâ li al-Nasyr, 1994.

87


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

ISLAM VERSUS TERORISME (Suatu Pendekatan Tafsir Hukum) Ahmad Tholabi Kharlie Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat e-mail: abimania@yahoo.com

Abstract: Islam Versus Terrorism: A Legal Qur’anic Exegesis Approach. In the last decade, terrorism discourse has become one of the most important international issues. The West has claimed that Islam had supported terrorism and violence against other community, especially the West. This article attempts to elaborate the issue of terrorism in the context of Qur’anic exegesis and Islamic jurisprudence (fiqh). The author argues that Islam as the grace for the whole universe (rahmatan li al ‘âlamîn), in its very doctrines, never support terrorism, radicalism, violent actions, and destructive actions on the earth (fasâd fi al-ardh). This paper attempts to discuss how the Qur’an responses to the issue of terrorism by analyzing the interpretation of legal related verses.

Kata Kunci: terorisme, tafsir hukum, al-irhâb, jihad, kekerasan.

Pendahuluan Beberapa dekade terakhir, diskursus terorisme seperti telah merasuki alam pikiran (world view) masyarakat dunia. Terorisme tidak hanya dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan dan dipandang dapat mengancam tatanan masyarakat global, tapi juga menjadi topik yang menarik untuk diwacanakan, atau bahkan menjadi komoditas politik yang sangat strategis. Kecenderungan terakhir ini agaknya yang menjadi ironi. Bagaimana tidak, ketika masyarakat dunia merasa jenuh dengan konflik dan mulai mengubah orientasi kepada terciptanya keserasian dan kesepahaman di antara bangsa-bangsa di dunia, beberapa kelompok justru memanfaatkan isu terorisme sebagai komoditas politik demi mendapatkan keuntungan kelompoknya. Fakta historisnya, terorisme memang bukan persoalan baru. Apalagi menjadi trade mark era modern. Karena itulah akar terorisme dianggap inheren dengan manusia dan kemanusiaan. Perasaan takut, tertekan, dan terancam adalah bagian dari siklus kehidupan psikologis manusia. Ia akan selalu ada dan menghinggapi siapa saja. Potensi alamiah 88


Ahmad Tholabi Kharlie: Islam Versus Terorisme

inilah yang pada gilirannya menjelma menjadi perilaku yang cenderung menghancurkan dan membawa malapetaka jika berada pada suasana yang tidak kondusif. Ulasan di atas agaknya menemukan momentumnya ketika suasana dunia tengah riuh-rendah dengan persoalan maraknya tragedi-tragedi kemanusiaan yang diakibatkan perilaku-perilaku teror yang disinyalisasi terkait erat dengan sikap dan pola keberagamaan. Tak pelak, tudingan Barat begitu transparan mengarah kepada umat Islam. Mereka memberikan generalisasi, meski akibat perbuatan beberapa oknum Muslim, dan menganggap Islam sebagai agama teroris.1 Peristiwa paling menghebohkan pada dasawarsa ini adalah tragedi luluh lantaknya Menara Kembar World Trade Center (WTC) dan penyerangan Markas Besar Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada 11 September 2002 yang lalu. Peristiwa ini secara signifikan telah mengubah peta politik internasional dan menempatkan Islam dan Barat dalam hubungan penuh ketegangan. Suasana ini seolah telah membuktikan tesis Huntington (1990-an) mengenai clash civilization antara Islam dan Barat, yang memprediksikan Islam menggantikan komunisme sebagai musuh potensial Barat. Pada titik ini, menarik dikemukakan suatu pertanyaan, terutama ketika dikaitkan dengan pendiskreditan Barat terhadap Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan. Apa sesungguhnya yang disebut dengan terorisme itu? Benarkan Islam, dalam hal ini alQur’an, memberikan legitimasi dan mentoleransi perilaku-perilaku yang bernuansa teror yang cenderung mengakibatkan kehancuran peradaban umat manusia?

Asal-usul dan Pengertian Perkembangan mutakhir menunjuk istilah “terorisme� sebagai terminologi populer yang terasa sangat sulit dirumuskan definisi, karakteristik, dan ragam penalaran lainnya. Terminologi ini sudah bukan lagi sekadar konsep, melainkan telah menjadi diskursus baru yang mengharu-biru di belantika isu-isu global yang pada gilirannya berimplikasi pada tatanan masyarakat dunia. Bahkan pada tataran tertentu diskursus ini telah menyita perhatian banyak kalangan karena representasinya sebagai gerakan yang berskala global. Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstremetas, dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai “teroris�. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror

Kalau diruntut dalam sejarah, semua agama memiliki sejarah yang sama menyangkut geneologi kekerasan atas nama agama yang cenderung bernuansa teror. Baca misalnya dalam, Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (BerkeleyLos Angeles-London: University of California Press, 2001), h. 5 1

89


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 seringkali menimbulkan konotasi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung.2 Dalam literatur bahasa Arab terorisme selaras dengan kata “al-irhâb”, yang berarti intimidasi atau ancaman.3 Istilah tersebut digunakan al-Qur’an untuk melawan “musuh Tuhan” (Q.S. al-Anfâl/8: 60). Karenanya, kalau kita mencermati gerakan Islam Politik, pandangan fundamentalistik dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan “musuh Tuhan”. Bagi mereka, Barat disebut-sebut sebagai salah satu simbolisasi musuh Tuhan.4 Melihat sejarahnya, terorisme sebenarnya bukan gejala baru, tapi sudah setua usia umat manusia. Perasaan diteror atau rasa gentar yang mencekam merupakan salah satu kelemahan yang inheren dalam diri manusia. Perilaku teror adalah salah satu cara dan sarana untuk mencapai tujuan dengan mengeksploitasi kelemahan tersebut. 5 Bentuk teror dapat berupa pembunuhan, penganiayaan, pemboman, peledakan, pembakaran, penculikan, intimidasi, penyanderaan, dan pembajakan. Semua itu dapat menimbulkan perasaan panik, takut, khawatir, gelisah, dan ketidakpastian. Praktik semacam ini pernah dilakukan oleh Attila, seorang raja bangsa Hun, yang berkuasa antara tahun 434-453 M. Dia dikenal dalam sejarah sebagai sebagai salah seorang yang secara luas melakukan terorisme dengan sangat efektif dalam serangkaian petualangan perangnya di pelbagai wilayah Eropa bagian Timur dan Tengah. 6 Bahkan, fenomena kekerasan yang dapat disebut terorisme jauh lebih tua lagi. Kelompok Sicarii, sekte agama yang aktif dalam perjuangan Zealot di Palestina (6673M) tampak melakukan kegiatan-kegiatan yang susuai dengan kategori tindak terorisme, yang membuat mereka pantas disebut sebagai teroris. Kelompok lain, yang juga sering dikelompokkan sebagai teroris, adalah sekte Assasin, pecahan kelompok Syiah Ismâ‘îliyyah, Zuhairi Misrawi, “Islam dan Terorisme”, Harian Umum Kompas, 2002. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pondok Pesantren alMunawwir, 1984), h. 576. Menurut Zaid bin Muhammad bin Hadî al-Madkhalî, bahwa term al-irhâb adalah sebuah terminologi yang terbangun di atasnya makna yang memiliki bentuk (modus) beraneka ragam yang intinya adalah gerakan intimidasi, teror, atau gerakan yang menebarkan rasa takut kepada individu atau masyarakat yang sudah dalam keadaan aman dan ternteram. Gerakan intimidasi (teror) ini telah mencapai pada tingkat pelenyapan jiwa seseorang yang tidak bersalah, merampas harta orang lain, bahkan merenggut kehormatan yang dilindungi, serta memecah persatuan, terutama merubah kenikmatan menjadi kesengsaraan serta pelbagai macam fitnah, dan juga membuat kerusakan di muka bumi dan mewariskan pada penduduk bumi kebusukan serta menyebarluaskan suasana mencekam. lihat dalam Zaid bin Muhammad bin Hadî al-Madkhalî, Al-Irhâb wa Âtsâruhu ‘ala al-Afrâd wa al-Umâm (Madînah: Dâr al-Sabîl al-Mu’minîn, 1417 H.), h. 1 4 Misrawi, Islam dan Terorisme. 5 Muhammad Badaruddin, “Terorisme: Standar Ganda AS dan Sikap Islam,” dalam www. Islamlib.com. 6 Ibid. 2 3

90


Ahmad Tholabi Kharlie: Islam Versus Terorisme

yang kegiatan-kegiatan mereka di antara abad ke-11 dan abad ke-13 sering disebut oleh sementara sejarawan sebagai terorisme.7 Namun secara istilah, terorisme baru muncul dalam dunia modern untuk kali pertama ketika digunakan dalam pemerintahan kaum Jacobins dalam Revolusi Perancis pada 1789 yang dengan bangga menamakan diri sebagai “Kaum Teroris”. Aksi-aksi teror yang mereka lakukan berkembang menjadi suatu sistematika aksi yang mengeksploitasi rasa gentar/ketakutan manusia terhadap serangan berupa kekerasan fisik dengan maksud menimbulkan perasaan tidak berdaya atau memancing tindak balas dendam yang dapat mencetuskan situasi yang menguntungkan bagi kelompok teroris (huru-hara, kekacauan sosial, pemberontakan, dan revolusi). 8 Pada mulanya, banyak pendapat yang menganggap terorisme sebagai suatu gejala sementara yang akan hilang dengan sendirinya, dan pelakunya dianggap gila, kurang waras, atau kriminal. Gejala itu dianggap akan lenyap dengan meningkatnya peradaban dan melihat kenyataan bahwa terorisme tidak pernah dan tidak akan berhasil mencapai tujuan atau menyelesaikan persoalan. Tetapi, kenyataan menunjukkan terorisme terus berlanjut, bahkan berkembang dan meluas, serta dikelola dengan semakin sistematis. Bahkan lebih tragis lagi telah menjadi bagian integral dari kebijakan resmi sebuah pemerintahan untuk menceng-keramkan kekuasaan atau mengarsiteki eksistensi sebuah negara yang sebelumnya tidak ada, semisal Israel. 9 Menurut Azyumardi Azra,10 terorisme merupakan masalah moral yang sulit. Inilah salah satu alasan pokok terjadinya kesulitan dalam mendefinisikan “teror” dan “terorisme”. Usaha-usaha untuk mendefinisikan istilah-istilah ini sering didasarkan pada asumsi, bahwa sejumlah tindakan kekerasan—khususnya menyangkut politik (political violence)—adalah justifiable dan sebagian lagi unjustifiable. Kekerasan yang dikelompokkan ke dalam bagian terakhir inilah yang sering disebut sebagai “teror” atau “terorisme”. Klasifikasi tindakan-tindakan kekerasan menjadi dua kelompok seperti itu mengandung persoalan dalam dirinya sendiri. Terdapat persoalan tentang batas-batas tindakan kekerasan yang justifiable dengan unjustifiable. Batas-batas pengelompokkan ini relatif, tergantung dari siapa yang mengelompokkan. Kekerasan yang bagi sebagian orang unjustifiable sangat boleh menjadi justifiable bagi pihak lain.11 Pengertian “teror” Azyumardi Azra, “Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis,” dalam Jurnal Islamika, No. 4 April-Juni 1994, h. 84 8 Ibid., h. 85. 9 Ibid. 10 Ibid., h. 83-84. 11 Sebagai contoh, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PLO, atau garis keras PLO, dipandang sementara pihak, khususnya Barat, sebagai terorisme. Bahkan PLO dianggap sebagai organisasi teroris yang tidak memiliki legitimasi politik, yang menggunakan metode-metode 7

91


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 dan “terorisme”, dengan demikian, terletak pada justifikasi moral yang mendefinisikannya. Lebih jauh lagi, menurut Wilkinson dalam Terrorism and the Liberal State (1997), seperti dikutip Azra,12 bahwa salah satu persoalan pokok dalam mendefinisikan terorisme adalah terletak pada sifat subyektif teror itu sendiri. Umat manusia mempunyai akarakar ketakutan yang berbeda. Pengalaman-pengalaman pribadi dan latar belakang budaya yang berbeda, membuat citra atau ketakutan yang berbeda pula satu sama lain. Kompleksitas saling mempengaruhi di antara faktor-faktor subyektif dan respons-respons individual yang sering tidak rasional mengakibatkan semakin sulitnya pengkajian dan pendefinisian secara akurat dan ilmiah atas teror dan terorisme. Kesulitan pendefinisian ini semakin bertambah, karena istilah terorisme hampir sepenuhnya digunakan secara pejoratif untuk mengacu kepada tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi oposisi yang dipandang berada di luar mainstream tatanan dan norma politik mapan. Memang sangat mudah menuding kegiatan kelompok-kelompok kecil yang ‘aneh’ dan ‘menyimpang’ sebagai teror, dengan mengabaikan “terorisme resmi” yang dipraktikkan sejumlah rezim dan pemerintah tertentu. Terlepas dari kesulitan-kesulitan pendefinisian itu, lanjut Azra, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan, antara lain bahwa agaknya perlu dibedakan antara “teror” dan “terorisme”. Penggunaan kekerasan atau teror tidak langsung merupakan terorisme, karena teror bisa dilakukan untuk tujuan-tujuan kriminal dan personal. Sebaliknya, terorisme adalah penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstranormal, khususnya penggunaan ancaman kekerasan. 13 Dalam lingkup pengertian terorisme itu, T.P. Thornton membedakan dua kategori penggunaan teror. Pertama, enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka. Kedua, agitational terror, yakni kegiatan teroristik yang dilakukan oleh mereka yang ingin mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik itu. 14 Sejauh menyangkut definisi terorisme, hingga saat ini, belum ada satu definisi pun tentang terorisme yang diterima secara universal. Untuk representasi dunia Barat sekalipun, mungkin sulit ditemukan rumusan yang sama. Namun demikian, cukup fair kekerasan yang tidak sah untuk mencapai tujuan-tujuannya yang tidak bisa diterima. Sebaliknya, sebagian pihak lain memandang PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina yang tertindas yang menggunakan kekerasan, yang memang diperlukan dan justifiable, bukan teroris, untuk mencapai tujuan-tujuan yang adil, sah, dan tidak terelakkan. 12 Ibid. 13 Ibid. 14 Ibid., h. 84.

92


Ahmad Tholabi Kharlie: Islam Versus Terorisme

jika memilih Amerika Serikat (AS) sebagai representasi yang layak dari persepsi dunia Barat terhadap terorisme. Pertama, karena di dalam aturan hukum AS memang terdapat pasal yang menyangkut terorisme. Kedua, AS termasuk negara Barat terbesar, yang secara tegas menggunakan atau memanipulasi rumusan ini dalam kebijakan luar negerinya secara meluas, yang dampaknya dirasakan oleh negara-negara dan kelompok-kelompok lain.15 Menurut title 22 dari United States Code, section 2656f(d) terdapat rumusan sebagai berikut:16 -

Istilah “terorisme” berarti aksi kekerasan bermotivasi politik yang direncanakan sebelumnya, yang dilakukan terhadap sasaran non-tempur (non-combatant) oleh agenagen rahasia atau sub-nasional, yang biasanya dimaksudkan untuk memengaruhi kalangan tertentu.

-

Istilah “terorisme internasional” berarti terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negeri.

-

Sebutan “kelompok teroris” berarti setiap kelompok yang mempraktikkan—atau memiliki sub kelompok yang mempraktikkan — terorisme internasional.

Pemerintah AS telah menggunakan definisi tentang terorisme ini untuk tujuantujuan statistik dan analisis sejak 1983. Definisi terorisme tersebut, dari satu segi, bisa dimanfaatkan oleh pemerintah AS untuk memojokkan negara-negara tertentu, yang dianggap tidak menjalankan kebijaksanaan yang sejalan dengan kepentingan AS. Departemen Luar Negeri AS setiap tahun mengeluarkan semacam laporan tentang terorisme, yang berisi nama kelompok yang dianggap melakukan aksi teroris, serta negera-negara yang dianggap mendukung atau mensponsori terorisme. Laporan Deplu AS April 1993, berjudul Pattern of Global Terrorism 1992, memasukkan Kuba, Iran, Irak, Libya, Korea Utara, dan Suriah ke dalam “daftar Negara Pensponsor Terorisme.”17 Sementara itu, di Indonesia, yang beberapa tahun terakhir, terutama pasca pengeboman di Legian Bali dan Hotel Marriot Jakarta, telah berinisiatif mengadakan aturan formal tentang terorisme yang terangkum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam pasal 1 ayat (1) peraturan tersebut dikemukakan: (1) Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.18 Satrio Arismunandar, “Terorisme, Kekerasan, dan Posisi Gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah,” dalam Jurnal Islamika, No. 4 April-Juni 1994, h. 88. 16 Ibid. 17 Ibid. 18 Ketentuan dimaksud diatur dalam beberapa pasal berikut ini. Pasal 6. Setiap orang 15

93


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Selanjutnya pada ayat (2) dan (3) dinyatakan tentang unsur kekerasan sebagai bagian dari tindakan teror, (2) Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 7. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Pasal 8. Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang: (a) menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; (b) menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; (c) dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; (d) karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; (e) dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; (f) dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara; (g) arena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak; (h) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan; (i) dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau empertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan; (j) dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan; (k) melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang; (l) dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara

94


Ahmad Tholabi Kharlie: Islam Versus Terorisme

(3) Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas. Dengan beragamnya pandangan orang tentang terorisme, menunjukkan kenyataan bahwa terorisme adalah sebuah diskursus yang dapat dipandang dari pelbagai sudut disiplin ilmu pengetahuan, seperti sosiologi, kriminologi, politik, hubungan internasional, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Karena itu, agaknya sulit untuk merumuskan suatu definisi yang mampu mencakup keseluruhan aspek dan dimensi. Namun demikian, kita dapat saja menemukan empat kriteria utama yang terdapat dikategorisasikan tindakan terorisme global akhir-akhir ini, yakni:19 (1) Merupakan representasi “kejahatan yang terorganisasi” (organized crime). Organisasi semacam pada umumnya tidak memiliki struktur dan bentuk yang jelas.20 Agaknya, faktor inilah yang (boleh jadi) membuat gerakan terorisme sulit diberantas secara tuntas. (2) Gerakan terorisme bersifat “lintas kawasan” (trans-national crime). Hal ini dapat dilihat dari para teroris yang melancarkan teror terkadang tidak dilakukan di tempat di mana ia berasal. Bahkan, pada umumnya dilakukan di luar negaranya. (3) Gerakan terorisme bertujuan memunculkan perasaan ketakutan yang luar biasa (extra ordinary crime) kepada objek tindakan teror. (4) Gerakan terorisme pada umumnya cenderung tidak mengenal pemilahan (indiscrimination) atau dalam bahasa militer disebut “non-combatant” yakni objek serangan diarahkan pada tempat-tempat atau zona sipil yang tidak layak menjadi wilayah kekerasan. tersebut; (m) dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan; (n) dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; (o) melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n; (p) memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan; (q) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan; (r) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan. 19 Muhammad Amin Suma, Perkuliahan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 30 Desember 2003. 20 Beberapa dekade yang lalu, di Indonesia, pola semacam ini sangat populer dengan istilah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) untuk menunjuk adanya gerakan oposisi atau separatisme yang menggejala pada waktu itu.

95


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 (5) Gerakan terorisme pada umumnya bersifat rahasia. Kecenderungan ini memang inheren pada hampir semua jenis kejahatan.

Tinjauan Kewahyuan Teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun Hadis, tidak ada yang secara tegas menyebut terminologi “terorisme”. Namun menilik modus dan dampak yang ditimbulkan oleh perilaku tersebut, meluruskan suatu pemikiran untuk mengangkat diskursus terorisme ke dalam konteks perilaku perusakan di muka bumi, sebagaimana yang terekam dalam Q.S. al-Mâidah/5:33-34:

               

                 

                 

Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal-balik,21 atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Setelah Allah SWT. menyebut kisah Qabil dan Habil pada ayat sebelumnya, dan menerangkan kejinya dosa pembunuhan, serta menganjurkan agar tidak terpancing mengikuti perbuatan si pembunuh, yakni Dia menyebutkan bahwa barangsiapa membunuh jiwa seseorang tanpa hak, maka seakan-akan ia membunuh jiwa seluruh manusia. Di sini Allah SWT. menyebut siksaan yang ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, sehingga orang-orang lain tidak akan berani melakukan kejahatan serupa. Dia juga menjelaskan siksaan bagi pencuri sebab hal tersebut termasuk salah satu jenis perbuatan yang merusak keamanan di muka bumi ini, dan termasuk juga bentuk perbuatan yang merusak. 22 Dalam hal ini Allah SWT. mensyariatkan hukum-hukum agar dapat mencegah Maksudnya adalah memotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika melakukan kejahatan sekali lagi, maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan. 22 Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân (Makkah al-Mukarramah: t.p. t.t.), h. 548. 21

96


Ahmad Tholabi Kharlie: Islam Versus Terorisme

manusia melakukan pelbagai macam kejahatan dan dosa. Dia juga menyesuaikan hukum mencuri dan menyamun setelah menyebutkan dosa pembunuh jiwa. 23 Menurut M. Quraish Shihab,24 pelampauan batas yang ditegaskan oleh ayat yang lalu dapat terjadi dalam pelbagai bentuk seperti pembunuhan dan perampokan, dan karena pembunuhan dinilai sebagai (seolah-olah) membunuh semua orang, maka boleh jadi timbul dugaan bahwa pembalasan atas mereka juga harus lebih dari sekadar menghilangkan nyawanya.25 Karena itu ayat ini berpesan, “Sesungguhnya pembalasan yang adil dan setimpal terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya”, yakni melanggar dengan angkuh ketentuan-ketentuan Rasulullah SAW. “dan yang berkeliaran membuat kerusaka di muka bumi”, yakni melakukan pembunuhan, perampokan, dan pencurian dengan menakut-nakuti masyarakat, “hanyalah mereka dibunuh” tanpa ampun jika mereka membunuh tanpa mengambil harta, atau “disalib” setelah dibunuh jika mereka merampok dan membunuh, “untuk menjadi pelajaran bagi yang lain”, sekaligus menenteramkan masyarakat umum bahwa penjahat telah tiada, “atau dipotong tangan kanan” mereka karena merampas harta tanpa membunuh, “dan juga dipotong kaki kiri mereka dengan bertimbal balik,” karena dia telah menimbulkan rasa takut dalam masyarakat, “atau dibuang dari negeri tempat kediamannya,” yakni dipenjarakan agar tidak menakutkan masyarakat. Ini jika ia tidak merampok harta. “Yang demikian itu”, yakni hukuman itu, “sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia”, sehingga selain mereka yang tadinya bermaksud jahat akan tercegah melakukan hal serupa. Selain itu, hukuman yang akan mereka terima di “akhirat” bila mereka tidak bertaubat, ialah “mereka memperoleh siksaan yang besar”. Para mufasir berbeda pendapat mengenai sebab turunnya ayat ini, terutama menyangkut keterkaitan dengan ayat sebelumnya.26 Imâm Ahmad, al-Bukhârî, Muslim, dan Ashhâb al-Sunan meriwayatkan dari Anas bin Mâlik, bahwa dua persukuan dari Ukal dan Urainah datang ke Madinah untuk menghadap Nabi dan meminta keterangan tentang Islam. Kemudian mereka memeluk agama Islam. Tetapi mereka sangat gelisah di dalam kota Madinah dengan alasan ketidaksesuaian mereka dengan cuaca kota tersebut. Kemudian Nabi meminjamkan beberapa ekor unta yang susunya boleh mereka peras dan minum.27 Selanjutnya mereka pergi ke luar kota, tetapi sesampai di luar kota, di tempat yang bernama Harrah, mereka membelot dan kembali menjadi kafir. Lebih kejam lagi, mereka membunuh para penggembala unta yang susunya diizinkan Nabi mereka meminumnya, Ibid. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 25 Ahmad Mushthafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104. 26 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223. 27 Ibid. h. 224. 23 24

97


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 bahkan unta-unta itu mereka bawa pergi sesudah membunuh gembala-gembalanya dan mencungkil mata mereka. Mendengar kejahatan yang keterlaluan itu, Rasulullah SAW. mengutus “patroli” untuk mengejar mereka hingga tertangkap. Dengan murkanya, patroli yang diutus Rasul tersebut memotong tangan-tangan mereka dan menusuk mata mereka dengan besi panas, lalu mereka tinggalkan orang-orang itu di lapangan Harrah hingga mati. Sementara itu, Abû Daûd dan al-Nasâ’î dari Ibn ‘Abbâs meriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik yang bertaubat sebelum mereka dapat ditangkap karena membuat keonaran. Maka orang itu tidak ada jalan lagi buat dihukum. Artinya, mereka mendapat pengampunan. 28 Ada pula riwayat lain dari Ibn Jarîr dan al-Thabranî dari Ibn ‘Abbâs yang menyatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum dari Ahl al-Kitâb yang dahulu pernah membuat perjanjian dengan Rasululah SAW., kemudian perjanjian itu mereka lupakan, dan mereka langsung membuat kerusakan di muka bumi. Maka diberilah kebebasan oleh Tuhan kepada Nabi, tentang tindakan apa yang akan diambil terhadap mereka itu. Boleh orang itu dibunuh, disalib, serta dipotong tangan dan kakinya dengan berselang-seling. Namun ada riwayat tambahan, jika dia masuk Islam sebelum dihukum, maka tidaklah dilakukan hukuman itu kepadanya lagi. 29 Ayat ini, seperti dikemukakan di atas, meskipun turun menyangkut kasus al‘Urainiyyûn, tetapi karena redaksinya bersifat umum, maka tentu saja, sesuai dengan kaidah tafsir, pemahaman teks ayat bukan berdasar sebab turunnya, tetapi berdasarkan redaksinya yang bersifat umum. Para ulama membahas maksud kata yang bersifat umum itu, dalam hal ini adalah kalimat Yuhâribuna Allâh wa Rasûlah (memerangi Allah dan RasulNya).30 Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.31 Pertama, Imâm Mâlik menyatakan bahwa “al-Muhârib” (orang yang memerangi) itu adalah orang yang mengganggu orang lain dengan senjata dan mengancamnya, baik di kota (tempat yang ramai penduduknya) atau di hutan belantara (tanah yang tidak berpenduduk). Kedua, Imâm Abû Hanîfah berpandangan bahwa yang dimaksud dengan penjahat yang dikategorikan sebagai penyamun ialah orang yang mengganggu orang lain dengan senjata baik di tanah lapang atau di hutan belantara. Adapun di kota (daerah permukiman), maka tidaklah dapat dikatakan sebagai penyamun. Sebab korbannya masih dapat ditolong. Ketiga, Imâm al-Syâfi‘î berpendapat bahwa siapa mencuri besar-besaran di kota, Ibid. Ibid. 30 Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 79. 31 Muhammad ‘Alî al-Sayis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm (Mesir: Muhammad ‘Alî Shubhî wa Auladuh, 1953), h. 183-184. 28 29

98


Ahmad Tholabi Kharlie: Islam Versus Terorisme

maka dikatakan sebagai “muhârib” (orang yang memerangi, baik yang beroperasi di rumahrumah, di jalan-jalan, di daerah pedalaman, ataupun di desa, hukumnya adalah sama. Sementara itu, Ibnu Mundzir menegaskan bahwa “penjelasan al-Qur’an adalah secara umum, maka tidaklah dapat sesorang dikecualikan dari kandungan ayat tersebut dengan tanpa adanya alasan yang mendukung. Karena masing-masing dapat dikatakan sebagai orang yang memerangi.” Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî32 berpendapat bahwa tampaknya inilah pendapat yang paling kuat, karena keumuman ayat tersebut. Barangkali di sana terdapat segerombolan penjahat yang mengganggu harta benda dan jiwa orang lain yang lebih membahayakan dari pada para penyamun di tanah lapang yang sunyi dari penduduk. Dalam magnum opus-nya, Tafsir al-Azhar, Hamka menyatakan bahwa memerangi Allah dan Rasul-Nya diartikan dengan menentang kehendak Allah dan Rasul dengan sengaja. Arti dasar dari perang adalah tindakan permusuhan. Maka, apabila kita menghilangkan nyawa seseorang, maka dinamakan membunuh. 33 Tetapi, apabila seseorang menentang sekumpulan orang dengan menggunakan senjata, digunakan juga kata “qital” atau “berbunuhan”. Namun, jika mengangkat senjata bukan karena peperangan yang sah, misalnya menyamun bersama, merampok bersama, maka dinamakan memerangi Allah dan Rasul. Sebab orang yang dirampok atau dirampas itu bukan musuh, melainkan orang-orang yang merasa hidup aman di bawah lindungan peraturan Allah dan rasul. Maka sikap mengadakan perkumpulan atau gerombolan perampok atau penyamun itu jelas menggnggu keamanan masyarakat. Sikap mereka ini bukan berperang dengan orang yang mereka rampok, sebab tidak ada sebab-sebab yang menyebabkan orang-orang yang aman itu boleh diperangi. Maksud merampok dan menyamun ini benar-benar hanya karena hendak merampas harta benda mereka, kalau perlu dengan membunuh orangnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Badui Bani Ukal dan Bani Urainah terhadap penggembala unta. 34 Para ahli fiqih, terutama ulama salaf, mendiskusikan bagaimana teknis pelaksanaan hukum ini. Di antara satu dengan yang lainnya dipertalikan dengan kalimat “aw” yang berarti “atau,” atau dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangannya. Maka yang berhak menentukan salah satu dari hukum ini adalah Imâm (kepala negara). Bukan atas kehendaknya sendiri, sehingga bergantung kepada rasa kasih sayangnya, melainkan musyawarah dengan para ahli yang berkompeten. Yakni setelah menimbang beratringannya kesalahan.35 Dengan adanya kalimat “atau”, hakim mendapat kebebasan berijtihad menindak Al-Shâbûnî, Rawâ’î’ al-Bayân. Hamka, Tafsir al-Azhar. 34 Ibid. 35 Ibid. 32 33

99


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 dengan seberat-berat hukuman (maksimum) atau seringan-ringannya (minimum). AlQur’an sendiri tidak memberikan rincian, karena Islam memeberikan hak penuh bagi hakim untuk berijtihad, mana hukum yang akan dijatuhkan. Maka jelaslah keempat hukum yang ditawarkan itu.36 Pertama, hukum bunuh yang dilaksanakan secara hebat dan berwibawa. Berdasarkan kepada hadis Rasulullah yang menyatakan agar dalam melaksanakan hukum bunuh dilakukan dengan sebaik-baiknya. Yakni dengan cepat dan jitu. Kedua, hukuman salib. Yakni dibuat kayu palang, kemudian dia dinaikkan ke atas kayu palang itu, dan dibiarkan di sana sampai mati. Atau dibunuh setelah beberapa waktu tergantung. Maksudnya ialah supaya terlebih dahulu disaksikan oleh orang banyak. Tampaknya sanksi yang kedua ini lebih berat ketimbang yang pertama kalau dia dipalangkan lalu dibiarkan sampai mati. Ketiga, dipotong tangannya dan kakinya secara berselang-seling. Artinya, jika tangan kanannya yang dipotong, hendaklah kakinya dipotong yang sebelah kiri, dan sebaliknya. Orang ini boleh dibiarkan hidup dengan tangan-kakinya hilang sebelahmenyebelah. Karena itu, dalam melakukan hukuman yang ketiga ini, para ahli tentang tubuh manusia memberi nasihat agar terlebih dahulu direndam dengan minyak tanah agar darahnya tidak habis mengalir keluar, sehingga dia mati karena darahnya habis mengalir. Keempat, dibuang dari bumi. Ini adalah sanksi yang paling ringan di antara ketiga hukuman di atas, karena tingkat kesulitannya lebih ringan dari antara gerombolan itu. Misalnya, dia hanya turut membantu, yang dapat ditindak oleh hakim dan diselidiki dengan seksama. Kemudian ayat berikutnya memberikan pengecualian, yakni kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka sebelum kamu dapat menguasai, yakni menangkap mereka, “Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang�, dan karena itu maka hak Allah untuk menjatuhkan sanksi atas mereka yang bertaubat sebelum ditangkap itu dicabut-Nya tetapi hak manusia yang diambil oleh para penjahat yang bertaubat itu harus dikembalikan atau dimintakan kerelaan para pemiliknya. 37 Mencermati paparan singkat tafsir ayat di atas tampak bahwa Islam sangat tidak mentoleransi tindakan-tindakan brutal, yang mengancam eksistensi harkat kemanusiaan dan alam semesta, meski dengan dalih apapun, karena perilaku semacam itu dianggap sebagai bentuk penentangan dan perlawanan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Brutalisme atau yang lebih populer dengan radikalisme pada umumnya terkait dengan lingkaran kejahatan atau persoalan kriminalitas, sebagaimana dikemukakan 36 37

Ibid. Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 78.

100


Ahmad Tholabi Kharlie: Islam Versus Terorisme

dalam ayat di atas. Namun, acapkali diskursus ini disandingkan, bahkan terkadang terkesan dipaksakan, dengan pola keberagamaan kelompok tertentu. Dari titik ini, agaknya sulit dihindari adanya legitimasi Islam terhadap tindak “kekerasan”. Hal ini memang, diakui atau tidak, menjadi realitas ajaran Islam, dan oleh Barat, seperti dikemukkan Weber, dianggap sebagai ajaran yang memiliki etos keprajuritan, bukan kewirausahaan. Pandangan semacam ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah. Karena dalam beberapa teks dikemukakan mengenai keniscayaan penggunaan jalan kekerasan dalam rangka mencapai “tujuan”, seperti dalam teks ayat-ayat “al-qitâl”. Namun patut disayangkan, konsep tersebut sering disalahartikan, baik oleh kalangan non-Muslim (uotsider) maupun umat Islam sendiri (insider). Sebagian umat Islam terkadang terlampau berlebihan dalam mengimplementasikan kebolehan berperang dengan kaum kafir, sehingga tidak mengherankan jika memunculkan kesan di mata non-muslim bahwa Islam sebagai agama yang penuh dengan kekerasan dan identik dengan pemaksaan kehendak. Padahal ajaran Islam membawa kedamaian dan pemaafan, seperti dalam firman-Nya:

      Damai! Demikian sapaan dari Tuhanmu Yang Maha Penyayang (kepada mereka yang cinta damai) (Q.S. Yâsîn/36: 58)

        Berikanlah pengampunan, bimbinglah ke arah kesepakatan (damai) dan jangan bertindak bodoh (melawan kekerasan dengan kekerasan). (Q.S. al-A‘râf/7: 199) Maka dari titik ini, tindakan-tindakan kekerasan ilegal yang mencoba dibungkus dengan apologi agama, yang biasa menggunakan jargo-jargon “jihad”, adalah tidak sesuai dengan ruh ajaran Islam, atau meminjam istilah Tariq Ramadan, karena sesungguhnya tidak ada tindakan terorisme yang islami. 38

Penutup Di akhir pembahasannya, al-Shâbûnî39 menguraikan bahwa Islam, dengan syariatnya yang abadi, senantiasa memelihara kehormatan manusia, dan menjadikan perbuatan menganiaya jiwa, harta, atau kehormatan itu sebagai kejahatan yang sangat berbahaya yang mengakibatkan pelbagai macam siksaan teramat berat. Berbuat zalim di muka bumi (termasuk terorisme), dengan melakukan pembunuhan, merampas harta benda orang Tariq Ramadan, Semua Jenis Terorisme Tidak Islami!, Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla (Jakarta: www. Islamlib.com, 2003), dimuat tanggal 1 september 2003. 39 Al-Shâbûnî, Rawâ’î’ al-Bayân, h. 556-557. 38

101


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 lain, dan memusuhi orang-orang yang terpelihara keamanannya dengan mencuri harta bendanya, semuanya itu adalah jenis-jenis kejahatan yang harus ditanggulangi dengan serius dan tegas, sehingga para penjahat tidak lagi berusaha membangkitkan kerusakan di muka bumi ini, dan tidak lagi muncul hal-hal yang mengganggu keamanan dan ketenteraman, baik individu maupun masyarakat. Islam telah menetapkan bagi pelaku tindak kriminal dengan pelbagai macam hukuman atau sanksi seperti hukuman mati, disalib, dipotong tangannya dan kakinya, dan diasingkan dari bumi. Hukuman-hukuman ini benar-benar dianggap sebagai upaya memberantas kejahatan itu hingga ke akar-akarnya dan memusnahkan perbuatan dosa itu dari buaiannya, serta menjadikan umat manusia berada dalam situasi yang aman, damai, dan sentosa. Maka dalam konteks kekerasan berdalih agama, yang acapkali ditudingkan kepada umat Islam, sesungguhnya tidak memiliki landasan yang kuat untuk mendapat dukungan normatif dari Islam. Untuk itulah, kekerasan-kekerasan yang menodai kesucian ajaran Islam dianggap sebagai bagian dari tindak kriminal yang harus diselesaikan laiknya penyelesaian hukum kriminal lainnya. Sudah saatnya kita menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat. Memahami dinamika kehidupan ini secara terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran “yang lain� (the other), yang ada di luar kelompoknya. Keberagamaan yang moderat akan melunturkan polarisasi antara fundamentalisme dan sekularisme dalam menyikapi modernitas dan perubahan. Islam yang di tengah-tengah (ummatan wasathan) akan membentuk karakter Islam yang demokratis, terbuka, dan juga rasional. Islam hadir untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan perdamaian. Adalah tugas kita semua untuk memberikan citra positif bagi Islam yang memang berwajah humanis dan anti-kekerasan ini. Hanya sejarahlah yang akan membuktikan apakah agama mampu hadir seperti yang dicita-citakannya.

Pustaka Acuan Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1999. Arismunandar, Satrio. “Terorisme, Kekerasan, dan Posisi Gerakan-Gerakan Islam di Timur Tengah,� dalam Jurnal Islamika, 1994. Azra, Azyumardi. Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis, dalam Jurnal Islamika, 1994. Badaruddin, Muhammad. Terorisme: Standar Ganda AS dan Sikap Islam, dalam www. Islamlib.com. Hamka. Tafsir al-Azhar. Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. 102


Ahmad Tholabi Kharlie: Islam Versus Terorisme

Juergensmeyer, Mark. Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence. Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press, 2001. Madkhalî, Zaid bin Muhammad bin Hadî. Al-Irhâb wa Âtsâruhu ‘ala al-Afrâd wa al-Umam. Madinah: Dâr al-Sabil al-Mu’minîn, 1417 H. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafa, Tafsîr al-Marâghî, juz IV. Kairo: t.p., t.t. Misrawi, Zuhairi. “Islam dan Terorisme,” dalam Kompas. 2002. Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: Pondok Pesantren alMunawwir, 1984. Ramadan, Tariq. “Semua Jenis Terorisme Tidak Islami!, Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla,” dalam www. Islamlib.com, dimuat tanggal 1 September 2003. Al-Sayis, Muhammad ‘Alî. Tafsîr Âyât al-Ahkâm. Mesir: Muhammad ‘Alî Shubhî wa Awladuh, 1953. Al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî, Rawâ’i’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân. Makkah al-Mukarramah: t.p., t.t. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2001.

103


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

MENGUAK BEBERAPA DIMENSI BUDAYA KERAJAAN ACEH (Sebuah Kajian Historis) Amirul Hadi IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Jl. Darussalam Banda Aceh, 23111 email: amhadi62@yahoo.com

Abstract: Exploring Some Cultural Dimensions of Acehnese Sultanates: An Historical Study. Culture constitutes a significant dimension of the life of community. As a concept, experts in general define culture as an ideational system, which include ideas, concepts, rules, and meanings that are shared by community and expressed in daily life. In its history, especially during the 17th century, Aceh, as an Islamic kingdom, developed its own culture, as it was evident in the state’s institutions and behaviors. This includes, among others, political, intellectual, ceremonial, and cosmopolitan and tolerant culture. All these were induced by the Islamic character of the kingdom, which was also enriched by its Acehnese and Southeast Asian elements.

Kata Kunci: budaya, kerajaan, Aceh, dan Islam

Pendahuluan Pada tanggal 24 Juni 1599, Frederick de Houtman—seorang petualang, pedagang, dan pelaut Belanda—mendarat di Banda Aceh. Kedatangan bangsa Belanda pertama ke Aceh ini disambut secara kenegaraan oleh Sultan, Sayyid al-Mukammil (berkuasa 1589-1604). Beragam makanan dan minuman dihidangkan, dan—sesuai dengan tradisi kerajaan ketika itu—tamu Belanda ini turun ke sungai bersama dengan Sultan sambil menikmati hidangan. Acara tersebut juga dimeriahkan oleh kesenian, terutama taritarian. Bahkan, al-Mukammil juga menghadiahkan sepasang pakaian adat dan keris, sebagai sebuah penghormatan terhadap tamu Eropa ini.1 Hampir empat dekade berikutW.S. Unger (ed.), De Oudste Reizen van de Zeeuwen Naar Oost-Indie 1598-1604 (‘sGravenhage: Martinus Nijhoff, 1948), h. 71-78. Lihat juga, Karel A. Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950, terj. Jan Steenbrink and Henry Jansen (Amsterdam: Rodopi, 1993), h. 11-12. 1

104


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

nya, tepatnya tahun 1638, seorang utusan Portugis, Francesco di Soza di Castro yang dikirim oleh penguasa Portugis di Goa ke Aceh, melakukan sebuah kesalahan besar. Di Castro menolak menaiki Gajah yang telah disediakan khusus oleh penguasa Aceh untuk menyambut tamu negara yang akan dibawa ke istana. Ia sesungguhnya tidak mampu berjalan, karena terluka ketika sebelumnya terlibat kontak senjata dengan dua kapal Belanda di dekat perairan Aceh. Karena itu, ia ditandu oleh anak buahnya di atas karpet. Penolakan ini merupakan penghinaan bagi penguasa Aceh. Hanya beberapa langkah mereka berjalan, anak buah kapal Portugis yang membawa utusan pemerintah mereka tersebut diserang oleh para pengawal Sultan, dan di Castro pun ditangkap.2 Dua contoh di atas secara jelas memberikan petunjuk betapa kerajaan Aceh ketika itu memiliki “budaya memuliakan tamu, terlebih lagi utusan negara asing. Karena itu, prosesi dan protokoler kenegaraan dilakukan dalam rangka menyambut para tamu tersebut. Mengikuti segala aturan kenegaraan dalam penyambutan tersebut bermakna bahwa penguasa Aceh (ini juga bermakna kerajaan itu sendiri) merasa dihargai, seperti yang dilakukan oleh Frederick de Houtman. Sebaliknya, penolakan terhadap acara penyambutan bermakna penghinaan bagi penguasa dan kerajaan Aceh itu sendiri. Contoh yang diberikan di atas juga merupakan ilustrasi betapa kerajaan Aceh ketika itu telah membangun sebuah budaya tersendiri yang dipegang dan dilaksanakan secara ketat oleh kerajaan. Pertanyaan yang patut diangkat di sini adalah bentuk-bentuk budaya apakah yang sesungguhnya dikembangkan oleh kerajaan Aceh dalam sejarahnya?, dan nilai-nilai apa saja yang dikandung oleh budaya tersebut?. Jawaban terhadap dua pertanyaan ini tidak hanya membutuhkan kajian yang bersifat “eksternal”, yaitu perilaku keseharian masyarakat Aceh dalam perjalanan sejarahnya, tetapi juga dimensi “internal” dari perilaku tersebut, yaitu pandangan dunia, nilai-nilai dan norma yang dianut, dan berbagai faktor internal lainnya yang merupakan pemicu munculnya berbagai perilaku. Kajian mengenai budaya kerajaan Aceh masa lampau ini difokuskan pada abad ke-17. Pemilihan periode ini dianggap tepat untuk tujuan kajian ini. Dalam sejarahnya, abad ke-17 merupakan masa klimaks Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Periode ini dikenal dengan “masa keemasan” (golden age). Sebagai sebuah abad keemasan, kemajuan dalam berbagai bidang merupakan realitas historis, dan di antaranya adalah pembentukan budaya yang berbentuk ke-Acehan. Kajian mengenai budaya Aceh ini dilakukan pada tataran “Kerajaan”. Namun, sebelum diskusi mengenai topik ini dilakukan penting di sini membahas secara singkat konsep “budaya” itu sendiri.

G. W. J. Drewes and P. Voorhoeve, “Introduction” to Adat Atjeh (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958), catatan no. 6, h. 27. 2

105


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

Budaya Sebagai Sebuah Konsep Budaya identik dengan kehidupan manusia itu sendiri. Artinya, budaya muncul dari dan dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Karena itu, budaya (culture) merupakan objek kajian disiplin ilmu-ilmu sosial (social sciences). Mengkaji budaya bermakna mengkaji manusia itu sendiri, sebagai makhluk yang kompleks dan memiliki natur biologis yang berbentuk material dan psikologis yang bersifat internal dan spiritual. Dua dimensi dari natur manusia inilah yang memberikan warna bagi perkembangan kajian terhadap perilaku manusia, termasuk budaya di dalamnya. Dalam hal ini, secara garis besar para ahli ilmu sosial terbagi ke dalam dua kubu utama. Yang pertama adalah kelompok yang menganut konsep “mekanistik” dari perilaku manusia. Dari perspektif ini, perilaku manusia dipandang sebagai sebuah mesin yang bergerak dan beraktivitas sebagai reaksi otomatis, objektif, dan dapat diprediksi terhadap berbagai rangsangan dari luar (lingkungan). Dalam hal ini, aturan (order)—yang bersifat internal dan dengan kekuatan yang ia miliki—menentukan jenis perilaku yang terinspirasi oleh faktor luar. Sebagai lawan dari konsep ini adalah jenis pendekatan yang dikenal dengan “subjektif” terhadap perilaku dan aturan. Dari perspektif ini, perilaku sesungguhnya ditentukan oleh sesuatu yang berada di dalam diri seseorang, perasaan, persepsi, dan sensibilitas. Artinya, bentuk perilaku seseorang atau masyarakat tergantung pada apa yang ada dalam pikirannya. Karena itu, pengalaman dan makna dari pengalaman menempati posisi sentral dalam pendekatan ini. Konsep budaya dipahami sebagai “aturan (order) yang terkait dengan aktivitas yang penuh makna”. 3 Dalam ilmu-ilmu sosial, pertentangan antara Karl Marx dan G.W. Friedrich Hegel merupakan bentuk dari perbedaan yang kontras antara “mekanistik” dan “bentuk kultural” dalam menjelaskan fenomena sosial. Hegel melihat bahwa dalam perjalanan sejarah manusia terdapat periodisasi. Setiap periode dijelaskan dalam framework tersendiri yang sarat dengan pengalaman yang bermakna. Inilah yang ia maksud dengan Geist, spirit dari masa, sebuah konsep yang berkembang di dalam konteks idealisme Jerman yang dapat disamakan dengan “budaya”. Sebaliknya, Marx, yang menganut model pemahaman materialis historis terhadap perkembangan, menegaskan bahwa adalah penolakan objektif terhadap kepentingan yang rasional yang merupakan sumber dari sebuah perkembangan, bukan frustasi objektif. Yang menjadi cocern utama adalah terkait dengan wujud ekonomi dan politik, bukan subjektif. Ia memberikan dikhotomi yang radikal antara “superstruktur” (superstructure) dengan “dasar” (base), atau antara “kesadaran” (consciousness) dengan makhluk sosial. Dari perspektif ini, fenomena kultural Jeffrey C. Alexander, “Analytic Debates: Understanding the Relative Autonomy of Culture,” dalam Jeffrey C. Alexander and Steven Seidman (ed.), Culture and Society: Contemporary Debates (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), h. 1-2. 3

106


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

(budaya)—baik berbagai aturan hukum, ritual keagamaan, maupun seni dan pemikiran intelektual—merupakan bentuk superstruktur yang dipicu oleh dasar, atau kebutuhan hidup manusia. Karena itu, fenomena kultural tidak dapat dijelaskan melalui struktur internal atau makna, tetapi harus dilakukan melalui kajian terhadap berbagai elemen material yang direfleksikan.4 Dalam kajian filosofisnya terhadap budaya, Wilhelm Dilthey memberikan tekanan pada sentralitas pengalaman manusia sebagai sumber makna, baik bagi pelaku maupun peneliti. Kebutuhan manusia terhadap terwujudnya sikap saling memahami berakibat pada transformasi dari pengalaman individual kepada ide yang dianut bersama (shared ideas) dan, akhirnya, kepada kekuatan bangunan sistem kultural. Di sini terlihat jelas bahwa filosof ini memberikan penekanan terhadap peran internal dan subjektif dari sistem yang dibangun ini. Posisi khusus ini, menurutnya, memerlukan metoda “hermenuetik,” yang ia pahami sebagai sebuah metoda penafsiran. Menemukan natur berbagai struktur internal dan subjektif bermakna menemukan “makna” yang dikandung. Dalam konteks ini, “penafsiran” berangkat dari “pemahaman,” tidak semata-mata dari pengamatan (observation). Dilthey adalah orang yang pertama dan barangkali masih merupakan pemikir yang memiliki pengaruh yang sangat jauh dalam kajian filosofis terhadap budaya. Hal ini ia lakukan dengan memberikan tekanan pada kajian fenomena sosial yang dilakukan secara ekslusif dari kacamata kultural. Sementara kajian mekanistik menempati posisi kedua, dan ini meliputi kajian matematika, fisika, biologi, dan mungkin juga ekonomi.5 Sungguh, sebelum akhir abad ke-19, para filosof sosial dan sejarawan cenderung melihat budaya sebagai bentuk ide, atau spirit, yang menjadi dasar bagi kajian terhadap masyarakat.6 Perkembangan yang berarti dalam hal ini memperlihatkan bentuknya dalam sejarah teori sosial abad ke-20. Talcott Parson merupakan di antara tokoh terpenting dalam hal ini. Dalam pendekatan “functionalist” yang ia kembangkan dalam kajian sosial, Parson menegaskan bahwa hubungan antara budaya dan kekuatan material tidak dilihat sebagai “pengalaman internal” melawan “faktor luar,” tetapi dicermati dari tataran analitis dari sebuah dunia empiris yang menyatu. Dari perspektif ini, Parson mencermati bahwa para pelaku melakukan internalisasi terhadap sebuah aturan yang penuh makna (sebuah sistem kultural) yang lebih umum sifatnya dari seperangkat interaksi sosial (sistem sosial) yang mereka sendiri juga merupakan bagian darinya. Argumen analitis ini bermakna bahwa, pada satu sisi, setiap perilaku sosial memiliki referensi kultural, karena itu ia tidak dapat dilihat secara mekanistik. Namun, pada sisi Ibid. Ibid., h. 3. 6 Neil J. Smelser, “Culture: Coherent or Incoherent,” dalam Richard Munch dan Neil J. Smelser (ed.), Theory of Culture (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1992), h. 4. 4 5

107


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 yang lain, karena dalam terma analitis perilaku-perilaku juga merupakan bagian dari sistem sosial, bukan hanya sistem kultural, perspektif kelompok idealis juga harus ditolak. Parson juga menawarkan sistem analitis yang ketiga, yaitu personalitas, atau berbagai imperatif psikologis. Bagi Parson, perilaku berbentuk simbolis, sosial, dan—pada waktu yang sama juga—berwujud motivasional. Ini bermakna bahwa—dengan memberikan tekanan pada analisis otonomi terhadap sistem kultural, sosial, dan psikologis—Parson telah menemukan jalan keluar bagi dikhotomi antara aliran mekanis dan subjektif, tanpa meninggalkan salah satunya. Di sini terdapat ruang untuk budaya (culture), tetapi dalam bentuk otonomi yang relatif, dan pada saat yang sama juga dibutuhkan analisa yang lebih berbentuk mekanistik.7 Konsep budaya yang dikembangkan oleh para antropolog termasuk di antara yang paling berpengaruh pada pemikiran ilmu-ilmu sosial abad ke-20. Budaya di kalangan antropolog, tentu, tidak bermakna hasil karya seni dan perilaku sosial yang baik. Ia lebih mengacu kepada pengalaman yang dipelajari dan diakumulasi. Namun, tidak ada kesatuan definisi yang diberikan oleh para antropolog terhadap konsep budaya itu sendiri, meskipun persamaan di antaranya juga terlihat. E.B. Tylor, dalam karya klasiknya Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art and Custom memberikan definisi budaya sebagai “suatu kesatuan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, nilai-nilai moral, hukum, adat, dan berbagai bentuk kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang sebagai anggota masyarakat”.8 R. Linton memberikan definisi budaya sebagai “seperangkat pengetahuan, sikap, dan berbagai bentuk perilaku yang telah terbiasa yang dimiliki bersama dan diturunkan oleh para anggota masyarakat tertentu”.9 Dari dua definisi yang dikutip di atas terdapat dua hal yang dapat disimpulkan. Pertama adalah budaya dipahami sebagai pola kehidupan dalam masyarakat. Dalam hal ini, budaya mengacu kepada bentuk fenomena yang dapat dicermati (observasi). Sementara dimensi kedua mengacu kepada budaya yang dipahami sebagai “sistem pengetahuan dan kepercayaan yang terorganisasi melalui mana masyarakat membentuk pengalaman dan persepsi mereka, memformulasi perilaku-perilaku, dan memilih di antara berbagai alternatif”.10 Budaya dari perspektif ini mengacu kepada “dunia ide” (the realm of ideas). Roger M. Keesing cenderung memahami terma budaya dari perspektif ini, yakni sebagai sebuah sistem ideational. Untuk itu, budaya meliputi “berbagai sistem ide yang dimiliki bersama, konsep-konsep dan aturan-aturan, dan makna yang merupakan landasan dan diekspresikan dalam pola kehidupan manusia”.11 Alexander, “Analytic Debates,” h. 4-5. Dikutip dalam Roger M. Keesing, Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective, second edition (Froth Worth and Chicago: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1981), h. 68. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid. 7 8

108


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

Dari perspektif ini, kita dapat menyebut sebuah budaya Aceh yang dipahami sebagai sistem ide, konsep, aturan, dan makna yang secara kolektif dimiliki oleh masyarakat Aceh dan menjadi landasan bagi perilaku dalam kehidupan mereka. Karena itu, budaya meliputi segala dimensi kehidupan manusia yang diwujudkan dalam perilaku. Adalah keliru ketika budaya dipahami hanya berwujud seni. Ia sesungguhnya mencakup segala dimensi, termasuk budaya politik, budaya kerja, budaya belajar, dan lainnya. Dari perspektif inilah, tulisan ini mencoba melakukan eksplorasi terhadap budaya Aceh pada masa lampau, terutama abad ke-17.

Beberapa Budaya Aceh Abad ke-17 Kajian terhadap suatu masyarakat, termasuk Aceh, dari perspektif historis dilakukan melalui dua tataran. Pertama adalah tataran “praktikal”. Dari dimensi ini, berbagai informasi mengenai aktivitas kehidupan di kerajaan Aceh yang terkait dengan topik bahasan dilakukan, seperti aktivitas politik, intelektual dan lainnya. Hal ini diikuti oleh tahap kedua, yaitu kajian terhadap dimensi “konseptual”. Dari perspektif ini, upaya eksplorasi dilakukan terhadap ide-ide dan berbagai motif di balik perilaku masyarakat ketika itu. Untuk tujuan ini, dibutuhkan kajian mengenai “pandangan dunia” (world view) masyarakat Aceh. Hanya melalui kajian terhadap dimensi “praktikal” dari masyarakat Aceh ketika itu dan “pandangan dunia” yang mendasarinya, keterkaitan erat antara makna (meaning) dan perilaku (action) dapat ditangkap dan dipahami.

Budaya Politik Pertama yang perlu ditegaskan dalam hal ini adalah kerajaan Aceh merupakan sebuah entitas politik Islam yang berdiri sendiri, yang disebut “kesultanan”. Ketika Aceh muncul secara resmi sebagai sebuah kerajaan Islam pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, kekuatan politik di dunia Islam tidak lagi terfokus pada kekhalifahan di Baghdad, akan tetapi telah terdistribusi ke berbagai kekuatan kecil, yang dikenal dengan “kesultanan”. Istilah ini berasal dari kata “sultan”, yang dalam bahasa Arab bermakna “pemegang kekuasaan atau otoritas”. 12 Dinasti Seljuk adalah yang pertama menggunakan gelar ini untuk penguasa mereka pada abad ke-11 M.13 Ketika itu, gelar ini diberikan oleh khalifah kepada para penguasa de facto di Baghdad dan berbagai propinsi. Namun, pada abad ke-13 gelar ini digunakan dalam pengertian pemerintahan Islam Untuk diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Muhammad bin Mukarram bin Manzûr, Lisân al-‘Arâb al-Muhith, ed. Yusuf Khayyath, vol. 3 (Beirut: Dâr al-Jill, Dâr Lisan al-‘Arâb, 1988), h. 182-183; Sir Thomas Arnold, The Caliphate (New York: Barnes & Noble, 1965), h. 128, 202; Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1988), h. 35. 12

13

H.J. Kramer, et al, “Sultan,” EI2; Lewis, The Political Language, h. 52.

109


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 yang memiliki otonomi penuh, sebagaimana yang digunakan oleh Dinasti Turki Usmani dan Mamluk. Mulai saat itu, para penguasa lokal di berbagai penjuru dunia Islam menggunakan gelar ini dengan kekuasaan penuh terhadap wilayahnya, tanpa harus mendapat “legitimasi” terlebih dahulu dari khalifah di Baghdad.14 Dalam konteks inilah gelar “sultan” digunakan oleh penguasa Aceh ketika itu. Ini bermakna bahwa Aceh merupakan sebuah kerajaan Islam yang berdiri sendiri dengan tugas mengimplementasikan ajaran Islam di bumi Aceh. Inilah yang ditegaskan oleh ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili bahwa kerajaan Aceh merupakan sebuah “kekhalifahan” yang berdiri sendiri.15 Penguasanya disebut sebagai khalîfah, yang bermakna “wakil Tuhan” yang memiliki tanggung jawab mengimplementasikan ajaran Islam di wilayah kekuasaannya.16 Karena itu, para penguasa Aceh diberi gelar yang sarat dengan nilai-nilai politis dan keagamaan. Sultan Iskandar Muda, umpamanya, diberikan gelar Sayyidunâ wa Mawlanâ Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat Zhill Allah fî al-‘Alâm. Demikian juga halnya dengan penggantinya Iskandar Thani. 17 Ratu Shafiyyat al-Dîn diberi gelar dengan Sulhanah Taj al-‘Alam Shafiyyat al-Dîn Berdaulat Zhill Allah fî al-‘Alam.18 Sebagai seorang penguasa dari sebuah entitas politik Islam, seorang sultan di kerajaan Aceh memiliki dua otoritas, yaitu “politik” dan “agama”. Ia sesungguhnya memiliki legitimasi dan otoritas sebagai pemimpin politik yang juga memiliki kekuasaan (power). 14

Ibid., h. 182-183; Arnold, The Caliphate, h. 99-183.

Yang menarik dalam hal ini adalah tidak terdapat istilah “kesultanan” dalam berbagai sumber tradisional ketika menyebut Aceh. Aceh dalam sumber-sumber ini disebut sebagai sebuah “kerajaan.” Namun, istilah yang berasal dari Hindu ini telah secara eksplisit ditransformasi ke dalam makna Islami. Kata asal dari kerajaan adalah “raja”, dan ketika ditulis dalam bahasa Arab ia terdiri dari tiga huruf, yaitu “ra”, “alif”, dan “jim”. Menurut Adat Aceh, “ra” bermakna “rahmat Allah” kepada Sultan sebagai penguasa Muslim di kawasan ini. Huruf yang kedua adalah “alif” yang bermakna “anugerah”. Sebagai seorang penguasa, ia dijadikan khalifah Allah di muka bumi dan dianugerahkan otoritas untuk melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya. Sementara huruf “jim” bermakna jamal (keindahan), yang meliputi sikap penguasa (raja), singgasananya dan perilakunya. Lihat Adat Atjeh. Reproduced in facsimile from a manuscript in India Office Library, ed. by G.W.J. Drewes and P. Voorhoeve (‘sGravenhage: Martinus Nijhoff, 1958), h. 4-5; “Genealogy of the Kings of the Mahomedan Dynasty in Achin: From the 601st Year of the Hejira to the Present Time,” trans. T. J. Newbold, The Madras Journal of Literature and Science 3 (1836), h. 54; “Translation from the Majellis Ache,” trans. T. Braddel, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia 5 (1851), h. 26. Penting juga untuk disebutkan di sini bahwa meskipun terma “kesultanan” tidak pernah disebut dalam karya-karya tradisional ketika merujuk kepada Aceh, namun para penguasanya disebut dengan nama “sultan.” Ini merupakan bukti yang cukup akurat untuk menyebut Aceh sebagai sebuah kesultanan, di samping kerajaan. 15

Lihat karyanya Mir’at al-Thullab fî Tashil Ma‘rifat al-Ahkâm al-Syar‘iyyah li al-Malik alWahhab (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 1971), h. 2-3. 17 Lihat Nûr al-Dîn al-Ranirî, Bustanu’s-Salatin, ed. T. Iskandar (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966), h. 36, 44, 58, 60, 72-73; Adat Atjeh, h. 49, 53, 113-116. 18 Al-Singkilî, Mir’at al-Thullâb, h. 3. 16

110


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

Namun, pada saat yang sama ia juga menyandang predikat sebagai pemilik otoritas keagamaan. Ini tidak berarti bahwa seorang penguasa Aceh juga berfungsi sebagai seorang ‘ulama’. Gelar dan predikat ‘ulama’ yang sesungguhnya hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai ilmu keagamaan yang mendalam. Karena itu, otoritas kegamaan yang dimiliki oleh sultan dalam hal ini harus dipahami dari perspektif bahwa ia adalah penguasa tertinggi dari sebuah kerajaan Islam melalui mana ajaran Islam dapat dilaksanakan secara baik. Dengan kata lain, otoritas keagamaannya ini dapat disebut sebagai sebuah “otoritas yang mengandung makna keagamaan” (religiously sanctioned authority).19 Kepemilikan kedua otoritas ini (politik dan agama) di tangan seorang sultan bermakna bahwa kesultanan merupakan sebuah institusi yang memiliki nilai “sakral”, meskipun penguasanya tidak. Dengan kata lain, kesultanan merupakan sebuah lembaga yang sakral, sementara penguasanya secara pribadi tidak. Karena itu, dapat dicermati dalam perjalanan sejarahnya, Aceh pernah memiliki beberapa sultan yang tidak memenuhi persyaratan kemampuan manajerial dan moral yang memadai sehingga mereka harus diturunkan dan, bahkan terbunuh. 20 Adalah dilandasi oleh kepemilikan kedua otoritas ini juga, seorang penguasa di Aceh diberikan tanggung jawab yang besar dalam memimpin umatnya. Di antara tugas terpenting dari penguasa adalah mewujudkan sebuah kerajaan yang maju, makmur, adil, dan berkedaulatan. Hal ini ditambah lagi dengan tugas mengaplikasikan ajaran Islam di kerajaan dan menjaga keselamatan kerajaan, baik dari ancaman dalam maupun luar.21 Tugas dan tanggung jawab penguasa ini akhirnya menuntut adanya loyalitas dari pihak rakyat, sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Singkili.22 Aceh juga merupakan sebuah kerajaan yang menganut “tradisi kekuasaan” model Asia Tenggara, dimana seorang penguasa merupakan “pusat” dari mana semua aktivitas kerajaan berasal. Karena itu, pendelegasian kekuasaan kepada para bawahannya merupakan sebuah keniscayaan. Ia adalah seorang pemegang kekuasaan juridis tertinggi yang mendelegasikan kekuasaannya kepada para qadhi dan perangkat hukum lainnya. Kekuasaan politik juga didelegasikan kepada para penguasa lokal (uleebalang) yang diberikan secara resmi dalam bentuk “sarakata.” Namun, ia juga dibantu oleh petinggi keagamaan, yang bergelar syaikh al-Islam. Yang menarik dalam hal ini adalah seorang syaikh al-Islam tidak hanya memiliki tugas keagamaan, tetapi juga memiliki peran politik yang besar, seperti deputi sultan, penasihat sultan, bahkan juga guru dari penguasa. 23

Untuk diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh (Leiden: E. J. Brill, 2004), h. 37-65. 20 Ibid., h. 65-90. 21 Ibid., h. 90-93. 22 Al-Singkilî, Mir’at al-Thullâb, 4. Lihat juga, Hadi, Islam and State, h.85. 23 Hadi, Islam and State, h. 47, 50-56, 120-121, 48-161, 164, 171, 179, 183, 19

111


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

Budaya Belajar/Intelektual Barangkali tidak ada yang menyangkal bahwa dalam perjalanan sejarahnya kerajaan Aceh dikenal sebagai “pusat studi keIslaman” (center for Islamic studies) di kawasan Asia Tenggara.24 Prestasi ini tentu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi ia dicapai melalui kerja keras dari pihak kerajaan dan tradisi pembelajaran yang panjang dan berkesinambungan, yang mencapai puncaknya pada abad ke-17. Budaya belajar dan intelektual kerajaan Aceh harus ditelusuri dari kegiatan yang sama beberapa abad sebelumnya, yaitu pada masa kerajaan Pasai. Ia tidak hanya dikenal sebagai “pusat kajian Islam”, akan tetapi juga sebagai “pusat penyebaran pertama agama Islam di kawasan Asia Tenggara”.25 Barangkali, tidak terlalu asing bagi para sejarawan kawasan ini sebuah laporan perjalanan Ibn Battutah, seorang pelancong Muslim asal Moroko, yang terkenal mengenai Pasai. Pada tahun 746 H/1345 M. dan kemudian pada tahun 747 H./1347 M., Ibn Battutah mengunjungi Pasai, di mana ia menemukan sebuah komunitas Muslim, yang bermazhab Syafi‘î. Sultan Pasai, al-Malik al-Zhahir, tidak hanya seorang Muslim yang taat, akan tetapi juga melakukan berbagai aktivitas keagamaan di wilayah kekuasaannya.26 Sebagai sebuah pusat penyebaran Islam di kawasan ini, Pasai juga akhirnya dituntut secara alami untuk memenuhi kebutuhan intelektual ke-Islaman. Tradisi intelektual Pasai ketika itu sungguh didukung oleh pusat kekuasaan. Ibn Battutah ketika itu menemukan dua ‘ulama’ Persia di Pasai, yaitu Qadhi Syarîf Amîr Sayyid dari Syiraz dan Tâj al-Dîn dari Isfahan. Diskusi keagamaan dilaksanakan secara reguler di istana dan masjid, di mana Sultan juga berperan serta aktif.27 Di sini terlihat betapa penguasa Pasai ketika itu memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap bidang pendidikan dan pengkajian Islam. Budaya ilmiah dan tradisi intelektual yang berkembang di Pasai terus berlanjut pada abad ke-15. Karenanya, meskipun Melaka telah muncul sebagai sebuah kesultanan pada abad ke-14 dan 15, posisi Pasai sebagai ranah pengkajian Islam tetap tidak tergantikan. Melaka masih memiliki respek yang tinggi terhadap Pasai sebagai pusat kajian ke-Islaman di kawasan ini, dan ia tetap menjadikan Pasai sebagai tempat rujukan bagi diskursus ke-Islaman. 28 24

216.

D. G. E. Hall, A History of South-East Asia, ed. 3 (New York: St. Martin’s Press, 1962), h.

Ibid., h. 206. Ibn Battuta, Rihlah, terj. C. Defremy and B.R. Sanguenetti, vol. 4 (Paris: L’Imprimerie Nationale, 1894), h. 224-240. Lihat juga Rihlat Ibn Battutah, ed. ‘Abd al-Halî al-Tazî, vol. 4 (Rabat: Akadimiyyah al-Mamlakah al-Maghribiyyah, 1997), h. 113-117; Ibn Battuta, Ibn Battuta Travels in Asia and Africa, 1325-1354, terj. H. A. R. Gibb (London: Routledge & Kegan Paul, 1963), h. 272-276, 301-303. Lihat juga Ross E. Dunn, The Adventure of Ibn Battuta: A Muslim Traveler of the 14th Century (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1989), h. 251, 257, 266. 27 Ibn Battutah, Rihlah, vol. 4, 230-231; Rihlat Ibn Battutah, vol. 4, h. 114-115. 25 26

Buyong bin Adil, The History of Malacca during the Period of the Malay Sultanate (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1974), h. 36. Lihat juga 28

112


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

Budaya dan tradisi intelektual inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Dengan kata lain, Aceh mengadopsi tradisi ini dari Pasai. Abad ke-16 memperlihatkan kemajuan intelektualitas yang tinggi di Aceh. Ini dibuktikan dengan kedatangan beberapa ‘ulama’ luar untuk misi pendidikan. Mereka menetap dan mengajar di Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Husain (berkuasa 1571-1579), seorang ‘ulama’ Makkah, Muhammad Azhari, datang dan mengajar di Aceh dan di mana juga ia akhirnya meninggal. Berikutnya, pada masa pemerintahan Sultan ‘Ala’ al-Dîn (1579-1596), tradisi kedatangan ‘ulama’ juga terus berlanjut dan bahkan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Seorang ‘ulama’ Makkah yang lain, bernama Syaikh Abû al-Khair ibn Syaikh Ibn Hajr, datang ke Aceh untuk mengajar berbagai kajian ke-Islaman, termasuk tasawuf dan fiqih. Syaikh Muhammad Yamanî, dari Yaman, juga datang ke Aceh dengan mengajarkan ilmu ushûl al-fiqh. Juga pada masa pemerintahan Sultan ini paman Al-Ranirî datang dan berkarir di Aceh. Ia adalah Syaikh Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad, yang mengajar sastra Arab, logika, fiqih, ushûl al-fiqh, dan bahkan tasawuf.29 Pada abad ke-17, tradisi kedatangan ‘ulama’ luar ke Aceh tidak terjadi lagi secara besar-besaran. Pada abad ini hanya Nûr al-Dîn al-Ranirî, ‘ulama’ yang berasal dari Gujarat (India), yang datang dan berkarir secara ilmiah dan, dalam beberapa hal, politik di kerajaan ini. Di antara alasannya adalah telah munculnya beberapa ‘ulama’ tempatan, yang tidak hanya berkarir dalam bidang keilmuwan, akan tetapi juga dalam aspek sosial dan politik. Ini tidak berarti bahwa budaya dan tradisi ilmiah di kerajaan Aceh berkurang. Bahkan, pada kurun ini intensitas diskursus ke-Islaman di kerajaan ini mencapai puncaknya, paling tidak dari perspektif Asia Tenggara. 30 Dalam kajian mengenai mata rantai diskursus ke-Islaman di Aceh ketika itu patut disebut Hamzah Fansurî (wafat 1600?). Pemikir, sastrawan, dan penganut paham Wujudiyyah ini merupakan simbol dari kelanjutan budaya dan tradisi intelektual keIslaman di kerajaan Aceh ketika itu. Perannya di kerajaan tidak hanya terlihat dalam bidang intelektual, keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik dan ekonomi. 31 Kenyataan bahwa ajaran Wujudiyyah yang ia kembangkan sangat populer ketika itu menunjukkan bahwa diskursus keagamaan sangat intens. Adalah pada masanya John Davis menyaksikan bahwa “masyarakat Aceh adalah Muslim, mereka mendidik anak-anak mereka, dan memiliki lembaga pendidikan (sekolah) yang banyak”.32 Aliran keagamaan ini kelihatanSejarah Melayu or Malay Annals, annot. and trans. C. C. Brown (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970), h. 90-96, 145-149; H. Overbeck, “The Answer of Pasai”, JMBRAS 11, 2 (1933), h. 254-260; R. Roolvink, “The Answer of Pasai”, JMBRAS 38, 2 (1965), h. 129-139. Al-Ranirî, Bustan, h. 32-34. Hadi, Islam and State, h. 153-158. 31 Lihat laporan yang diberikan John Davis (1599), Frederick de Houtman (1601), dan James Lancaster (1602) mengenai hal ini. 32 John Davis, The Voyages and Works of John Davis: The Navigator, ed. A. H. Markham (London: The Hakluyt Society, 1880), h. 151. 29 30

113


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 nya mendapat dukungan dari pusat kekuasaan. Kedekatan tokoh ini dengan para penguasa dibuktikan tidak hanya oleh perannya dalam bidang ekonomi dan politik, akan tetapi juga dalam bidang intelektual.33 Hamzah menulis sebuah karya yang berjudul Ikatan-Ikatan ‘Ilmu al-Nisâ’, sebuah karya sajak yang mengandung ajaran sufi, atas perintah Sultan Sayyid al-Mukammil, atau—paling tidak—didedikasikan kepadanya.34 Tradisi intelektual juga terus berlanjut dan berkembang pada masa Iskandar Muda (berkuasa 1607-1636). Tokoh agama dan intelektual yang paling berpengaruh ketika itu adalah Syams al-Dîn al-Sumatranî (wafat 1630). Seperti Hamzah, Syams al-Dîn adalah juga penganut dan tokoh ajaran Wujudiyyah. Hubungan intelektualnya dengan Hamzah diakui oleh para sarjana, di mana ia dikatakan berguru pada Hamzah, atau—paling tidak—memiliki hubungan intelektual dengannya. 35 Kapasitas intelektualnya telah membawa A.H. Johns untuk menulis bahwa Syams al-Dîn adalah “putra Melayu pertama yang telah mewariskan banyak karya dalam bahasa Arab dan sejumlah karya yang berbentuk prosa dalam bahasa Melayu.”36 Informasi akurat tidak didapat mengenai aktivitas intelektual di kerajaan, terutama di istana, ketika itu. Namun, dapat diasumsikan bahwa hal ini juga dilakukan oleh penguasa. Ini dapat diperkuat oleh kenyataan bahwa Iskandar Muda merupakan murid dari Syams al-Dîn.37 Di antara sejumlah karya yang ia tulis, dua di antaranya didedikasikan kepada Iskandar Muda. Kedua karya tersebut ditulis sebagai panduan awal dalam tasawuf, yang berjudul Thariqat al-Salikîn dan Nûr al-Daqâ’iq.38 Budaya dan tradisi intelektual kerajaan terus berlanjut pada masa pemerintahan berikutnya. Para ‘ulama’ senantiasa menduduki posisi sentral di kerajaan, seperti yang ditunjukkan oleh al-Ranirî (wafat 1658) dan al-Singkilî (wafat 1693). Diskursus keagamaan juga mengambil tempat di istana. Di antara yang terpenting dari diskursus ini adalah debat teologis yang terjadi pada masa pemerintahan Shafiyyat al-Dîn (1641-1675) antara al-Ranirî melawan Shaif al-Rijâl, murid Syams al-Dîn. Perdebatan ini akhirnya dimenangkan oleh Shaif al-Rijâl, yang bermakna bahwa dukungan istana kepada al-Ranirî berakhir.39 Dukungan penguasa terhadap budaya dan tradisi intelektual terus berlanjut. Amirul Hadi, “Exploring the Life of Hamzah Fansurî: A Historical Study”, al-Jami‘ah vol. XXXXI, No. 2 (2003), h. 277-306. 34 Syed Muhammad Naquib al-Attas, “New Light on the Life of Hamzah Fansurî”, dalam JMBRAS vol. XXXX, vol. 2 (1967), h. 49. 35 C. A. O. Nieuwenhuijze, Syams al-Din van Pasai (Leiden: E.J. Brill, 1945), h. 19-20. 36 A. H. Johns, “Shams al-Din al-Samatrani”, EI2. 37 Ibid. 38 Lihat Nieuwenhuijze, Samsu ‘l-Din, 26, 291; Syams al-Dîn al-Sumatranî, “Nûr alDaqâ’iq: the Sumatran Mystic Shamsu ‘l-Din ibn ‘Abdullah”, ed. A. H. Johns, JRAS (1953), h. 137-151. 39 Lihat Takeshi Ito, “Why Did Nuruddin ar-Raniry Leave Aceh in 1054 A.H.?”, BKI 134 (1978), h. 489-491. 33

114


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

Diskursus intelektual keagamaan yang berkenaan dengan iman dan kufur, khususnya ketika al-Ranirî masih berada di Aceh, kelihatannya telah memicu minat para penguasa untuk lebih banyak lagi mempelajari Islam. Hal ini diwujudkan dengan melakukan diskusi keagamaan di istana, dan—yang juga tidak kalah penting adalah—permintaan para penguasa agar para ulama menulis buku-buku tertentu. Iskandar Thani, umpamanya, telah meminta al-Ranirî untuk menulis kitab Bustan al-Salathin dan Asrâr al-Insân fî Ma‘rifat al-Rûh wa al-Rahman. Shafiyyat al-Dîn bertanggung jawab atas perintah penyusunan sebuah karya mengenai perbandingan agama, yang berjudul Tibyan fî Ma‘rifat al-Adyân.40 Shafiyyat al-Dîn juga dikatakan telah meminta al-Singkilî untuk menulis kitab yang berjudul Mir’at al-Thullâb.41 Karyanya yang lain, yaitu mengenai hadis yang diberi judul Arba‘în, juga dikatakan ditulis atas perintah penguasa ketika itu, yaitu Zakiyyat al-Dîn (berkuasa 1678-1688).42 Kegiatan intelektual para ulama ketika itu tidak hanya terbatas pada diskursus ke-Islaman yang mengambil tempat di istana dan penulisan karya-karya keagamaan, tetapi juga keterlibatan mereka di dalam lembaga pendidikan. Meskipun kita tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai jenis lembaga pendidikan yang terdapat ketika itu, tidak dapat dinafikan bahwa lembaga-lembaga tersebut ada -sebagaimana yang disebutkan oleh Davis-dan telah menghasilkan banyak alumni. Di depan telah disinggung bahwa terdapat kemungkinan bahwa Syams al-Dîn alSumatranî adalah murid Hamzah Fansurî. Al-Ranirî juga dikatakan mempunyai beberapa orang murid.43 Al-Singkilî juga mempunyai sejumlah murid, di antaranya adalah Burhan al-Dîn (wafat 1693), atau yang lebih dikenal dengan Tuanku Ulakan dari Minangkabau,44 ‘Abd al-Muhyi dari Jawa Barat, dan ‘Abd al-Malik ibn ‘Abd Allâh (wafat 1736) dari Trengganu. Di antara muridnya yang berasal dari Aceh adalah Daûd al-Jawî al-Fansurî ibn Ismâ‘îl ibn Agha Mushthafa ibn Agha ‘Alî al-Rumî, yang bersama-sama dikatakan telah mendirikan sebuah dayah di Banda Aceh.45

Budaya Seremonial Yang dimaksud dengan budaya seremonial di sini adalah kebiasaan dalam S.M.N. al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din Al-Ranirî (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986), h. 25-27. 41 P. Voorhoeve, Bayan Tajalli: Bahan-Bahan Untuk Mengadakan Penyelidikan Lebih Mendalam Tentang Abdurrauf Singkel, terj. Aboe Bakar (Banda Aceh: PDIA, 1980), h. 40. 42 Ibid. 43 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dengan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), h. 177-178, 184-185. 44 Hamka, Ajahku: Riwajat Hidup Dr. Abd Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum di Sumatera (Djakarta: Djajamurni, 1967), h. 24, catatan no. 1; Azra, Jaringan Ulama, h. 209. 45 Azra, Jaringan Ulama, h. 209-211. 40

115


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 melakukan berbagai aktivitas secara seremonial dengan segala aturan dan perangkatnya. Semua seremoni yang dilakukan memiliki makna yang berbeda, sesuai dengan momentum yang ada, baik politis, imperial, maupun agama. Yang menarik adalah jenis seremonial apapun yang dilakukan, semuanya tetap terkonsentrasi pada istana dan penguasa, sebagaimana yang akan dipaparkan secara singkat di bawah ini. Di awal artikel ini telah disebutkan secara singkat bagaimana Frederick de Houtman, yang tiba di Aceh pada tanggal 24 Juni 1599, diberikan jamuan kenegaraan oleh al-Mukammil dengan segala acara kesenian tradisional dan hadiah kerajaan. Setahun sebelumnya, John Davis juga mendapat sambutan kenegaraan, di mana ia juga diberikan keris kehormatan kerajaan yang memberikannya kebebasan dalam beberapa hal untuk tinggal dan berbisnis di Aceh. Kepadanya juga diberikan seperangkat pakaian adat kebesaran.46 Hal yang serupa juga dialami oleh para pengunjung yang lain, seperti James Lancaster,47 Augustin de Beaulieu48 pada masa Iskandar Muda, dan Thomas Bowrey 49 pada masa pemerintahan Shafiyyat al-Dîn, untuk menyebutkan beberapa contoh. Bentuk kegiatan seremonial kerajaan ini memberikan implikasi beberapa poin penting. Pertama adalah adanya budaya memuliakan tamu di kalangan masyarakat Aceh. Ia juga menunjukkan—terutama bagi masyarakat dunia—bahwa Aceh merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat dan berpergaulan internasional. Unsur budaya yang tercermin dalam berbagai karya seni juga terdapat dalam setiap seremonial kerajaan. Berbagai ritual dan perayaan keagamaan juga dilakukan secara kenegaraan. Di antara kegiatan-kegiatan yang terpenting adalah prosesi ketika Sultan berangkat Shalat Jum‘at dan kegiatan dalam mesjid, kegiatan dalam bulan Ramadhan, seremoni dan ritual Idul Fitri dan Idul Adha. Yang menarik dari semua prosesi dan seremoni ini adalah— kecuali kegiatan ritual itu sendiri—semua kegiatan ini bermula di istana dan juga berakhir di istana. Penguasa dan istananya berada pada posisi “sentral” dari kegiatan. Dalam hal ini, tidak dilihat lagi adanya perbedaan yang signifikan antara perayaan kenegaraan, yang bersifat tradisional, dengan perayaan keagamaan, yang berbentuk sakral. Artinya, kedua bentuk perayaan tradisional dan keagamaan menyatu menjadi “sebuah kegiatan kerajaan”. Bila dikaji lebih lanjut, fenomena ini mengacu pada konsep bahwa semua prosesi dan perayaan tersebut—dengan segala atribut kebesaran kerajaan—merupakan “kerajaan itu sendiri”. 50 Davis, The Voyages, h. 140-141. James Lancaster, The Voyages of Sir James Lancaster to Brazil and the East Indies, 15911603 (London: Printed for the Haklyut Society, 1940), h. 93. 48 Augustin de Beaulieu, “The Expedition of Commodore Beaulieu to the East Indies”, dalam John Harris (ed.), Navigatum atque Itinerantium Bibliotheca, or A Complete Collection of Voyages, vol. I (London, 1764), h. 731. 49 Thomas Bowrey, A Geographical Account of Countries Round the Bay of Bengal, 1669 to 1679, ed. R.C. Temple (Cambridge: Printed for the Haklyut Society, 1905), h. 307. 50 Untuk diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Hadi, Islam and State, h. 118-146; 46 47

116


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

Budaya Kosmopolit dan Toleran Aceh Darussalam adalah sebuah kerajaan pantai. Di kawasan, dimana “Islam” dan “dagang” berjalan secara beriringan, kejelian penguasanya dalam menarik perhatian para pedagang—baik regional maupun internasional—untuk singgah di pelabuhannya merupakan suatu hal yang fundamental. Inilah di antara faktor penentu yang membuahkan hasil gemilang di Aceh pada abad ke-16, yang dikenal sebagai abad kebangkitan Aceh Darussalam. Masa keemasan Aceh abad ke-17 sesungguhnya adalah hasil kerja keras para penguasanya pada masa sebelumnya, yaitu abad ke-16. Kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 merupakan momentum penting bagi kebangkitan Aceh sebagai sebuah kerajaan yang baru saja berdiri. Portugis dianggap oleh masyarakat Nusantara—khususnya Muslim—sebagai musuh “agama” dan “dagang”. Karena itu, bangsa Portugis ini dianggap sebagai musuh bersama. Mulai saat itulah Aceh, yang telah menunjukkan kemampuan militer, politik, dan ekonomi yang tangguh, menjadi tumpuan harapan para padagang Muslim dan non-Muslim. Berkembangnya Aceh sebagai kawasan pelabuhan regional dan internasional menjadikan Banda Aceh sebagai sebuah kota yang kosmopolit yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia, baik Muslim maupun non Muslim. Para pedagang Muslim umumnya berasal dari Arab, Turki, Persia, Abbisinia, Pegu dan India.51 Pedagang dan utusan dagang dari kawasn lain juga berdatangan, seperti Cina, Belanda, Inggris, dan Perancis.52 Mereka datang ke Aceh untuk melakukan perdagangan dan biasanya menetap di sana untuk beberapa lama. Seorang warga Perancis yang mengunjungi Aceh (tahun 1601-1603) mengatakan bahwa biasanya para pedagang tinggal di Aceh sampai enam bulan.53 Orang-orang Eropa tidak hanya mendirikan kantor perdagangan di Aceh, tetapi juga tinggal di sana untuk beberapa lama. Bahkan Thomas Best, umpamanya, pernah memiliki sebuah rumah di Banda Aceh pada tahun 1688 di mana ia pernah menjamu teman senegaranya, William Dampier. William Soames juga tinggal di Aceh, dari tahun 1696 sampai dengan 1697.54 Sifat kota Banda Aceh yang kosmopolit berakibat pada terbukanya Aceh terhadap pengaruh luar. Dengan kata lain, dimulai abad ke-16 dan terus berlanjut pada abad ke17-Aceh telah menjadi kawasan “majemuk” dan “terbuka”. Majemuk di sini bermakna penduduk yang terdiri dari berbagai etnis dan bangsa, dan juga tentunya dari dimensi Takeshi Ito, “The World of the Adat Aceh: A Historical Study of the Sultanate of Aceh” (Ph.D Dissertation, Australian National University, 1984), h. 209-248. 51 B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies (The Hague: W. van Hoeve, 1966), h. 43. 52 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636), terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 150-170. 53 Denys Lombard, “Martin de Vitre, Premier Breton a Aceh (1601-1603)”, dalam Archipel 54 (1997), h. 8. 54 Lihat Lee Kam Hing, The Sultanate of Aceh: Relations with the British, 1760-1824 (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995), h. 17.

117


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 budaya (akulturasi). Di sinilah kita cermati adanya kebijakan yang brilian dari penguasa Aceh ketika itu. Dengan sikap keterbukaan, Aceh mengadopsi apa yang mereka anggap penting dan sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka. Di antara yang terpenting dari kebijakan tersebut adalah pengadopsian bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, bukan bahasa Aceh. Kebijakan ini bahkan meluas kepada dimensi “budaya” Melayu secara lebih luas. Namun, ini tidak berarti bahwa kerajaan ini tidak memiliki peran dalam prosesnya. Inilah yang disebut oleh Leonard Andaya sebagai “model masyarakat Melayu Aceh abad ke-17”.55 Yang istimewa dalam konteks ini adalah kerajaan Aceh telah berhasil membangun “berbagai standar baru keMelayuan yang didasarkan pada model-model yang lebih Islami dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Melaka”.56 Dengan kata lain, meskipun dapat dikatakan bahwa kerajaan Aceh abad ke-17 merupakan pewaris kebudayaan Melayu kerajaan Melaka, namun ia telah membawa budaya ini menjadi lebih Islami. Yang lebih dominan dari unsur budaya tersebut adalah aspek sastra dan tradisi kerajaan. Dalam budaya sastra, Aceh telah mengadopsi bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan. Aceh, dalam hal ini, tidak hanya telah secara sukses mempertahankan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara, tetapi yang terlebih penting adalah ia telah berhasil membawa bahasa ini menjadi bahasa intelektual ke-Islaman. Aceh ketika itu menjadi pusat kajian ke-Islaman yang menghasilkan berbagai karya ke-Islaman dalam bahasa Melayu. Ini di samping berkembangnya kesusatraan Melayu di kerajaan ini secara signifikan. Hal ini juga terlihat dalam budaya dan tradisi kerajaan. 57

Penutup Diskusi di atas telah mencoba menguak beberapa dimensi budaya kerajaan Aceh pada abad ke-17. Ruang yang terbatas mengharuskan untuk membatasi cakupan bahasan. Masih ada sesungguhnya beberapa dimensi kebudayaan lain yang juga perlu dibahas, seperti budaya perang dan damai ketika itu. Bahasan budaya perang dan damai ini memerlukan ruangan tersendiri untuk dikaji, karena cakupan diskusinya yang relatif luas. Namun, beberapa poin yang telah dipaparkan di atas dapat memberikan sebagian gambaran mengenai bentuk sesungguhnya budaya Kerajaan Aceh di masa lalu, terutama abad ke-17. Kajian mengenai berbagai dimensi budaya Aceh masa lalu-terutama abad ke-17tentu perlu mendapatkan perhatian. Sejarah merupakan pelajaran yang patut dikaji secara lebih seksama untuk kepentingan kekinian. Dalam perjalanannya sejarahnya, Lihat diskusinya mengenai hal ini dalam Leonard Andaya, “The Seventeenth Century Acehnese Model of Malay Society,” (Makalah, tidak diterbitkan), h. 1999. 56 Ibid., h. 4. 57 Ibid., h. 13-29. 55

118


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

tentu telah terjadi pasang surut perkembangan budaya masyarakat ini. Tidak semua budaya masa lalu dapat kembalikan ke masa kini. Dalam hal ini perlu modifikasi sesuai dengan kondisi kekinian. Paling tidak, terdapat banyak semangat (spirit) budaya masa lalu yang dapat ditarik ke masa kini.

Pustaka Acuan Adil, Buyong bin. The History of Malacca during the Period of the Malay Sultanate. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kmenterian Pelajaran Malaysia, 1974. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. “New Light on the Life of Hamzah Fansurî” dalam JMBRAS 40, 2, 1967. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din Al-Ranirî. Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986. Alexander, Jeffrey C., “Analytic Debates: Understanding the Relative Autonomy of Culture” dalam Jeffrey C. Alexander dan Steven Seidman (ed.). Culture and Society: Contemporary Debates. Cambridge: Cambridge University Press, 1990. Andaya, Lonard. “The Seventeenth Century of Acehnese Model of of Malay Society.” Makalah, tidak diterbitkan. Arnold, Sir Thomas. The Caliphate. New York: Barnes & Noble, 1965. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dengan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994. Ibn Battutah. Rihlah. Arabic text with translation by C. Defremy and B.R. Sanguenetti, vol. 4. Paris: L’Imprimerie Nationale, 1894. Ibn Battutah. Ibn Battuta Travels in Asia and Africa, 1325-1354, trans. H.A.R. Gibb. London: Routledge & Kegan Paul, 1963. Ibn Battutah. Rihlat Ibn Battuta, ed. ‘Abd al-Halî al-Tazî, vol. 4. Rabath: Akadimiyyah alMamlakah al-Maghribiyyah, 1997. Beaulieu, Augustin de. “The Expedition of Commodore Beaulieu to the East Indies” dalam John Harris (ed.). Navigatum atque Itirenantium Bibliotheca or A Complete Collection of Voyages. vol. 1. London, 1764. Bowrey, Thomas. A Geographical Account of Countries Round the Bay of Bengal, 1669 to 1679, ed. R. C. Temple. Cambridge: Printed for the Hakluyt Society, 1905. C.C. Brown. Sejarah Melayu or Malay Annals, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970. Davis, John. The Voyages and Works of John Davis: The Navigator, ed. A. H. Markam. London: The Hakluyt Society, 1880. Dunn, Ross E. The Adventure of Ibn Battuta: A Muslim Traveler of the 14th Century. Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1989. 119


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Dunn, Ross E. “Genealogy of the Kings of the Mahomedan Dynasty in Achin, from 610st Year of the Hejira to the Present Time,” trans. T. J. Newbold, dalam The Madras Journal of Literature and Science 3. 1836. Hadi, Amirul. “Exploring the Life of Hamzah Fansurî: A Historical Study” dalam AlJami‘ah 41, 2, 2003. Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh. Leiden: E.J. Brill, 2004. Hall, D.G.E. A History of South-East Asia. New York: St. Martin’s Press, 1962. Hamka. Ajahku: Riwajat Hidup Dr. Abd Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum di Sumatera. Djakarta: Djajamurni, 1967. Hing, Lee Kam. The Sultanate of Aceh: Relations with the British 1760-1824. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995. Ito, Takeshi. “Why Did Nuruddin ar-Raniry Leave Aceh in 1054 A.H.?” dalam BKI 134, 1978. Ito, Takeshi. “The World of Adat Aceh: A Historical Study of the Sultanate of Aceh.” Ph.D Dissertation, Australian National University, 1984. Johns, A.H. “Shams al-Din al-Samatrani.” dalam EI2. Keesing, Roger M. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. Froth Worth and Chicago: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1981. Kramer, H.J. et al. “Sultan.” dalam EI2. Lancaster, James. The Voyages of Sir James Lancaster to Brazil and the East Indies 15911603, introduction. and notes by Sir William Foster. London: Printed for the Hakluyt Society, 1940. Lewis, Bernard. The Political Language of Islam. Chicago: The University of Chicago Press, 1988. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636), terj. Winarsih Arifin. Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Lombard, Denys. “Martin de Vitre, Premier Breton a Aceh (1601-1603),” dalam Archipel 54, 1997. Manzur, Muhammad Ibn Mukarram Ibn. Lisân al-‘Arâb al-Muhith, terj. Yusuf Khayyâth, vol. 3. Beirut: Dâr al-Jill, Dâr al-Lisân al-‘Arab, 1988. Nieuwenhuijze, C.A.O. Samsul ‘l-Din van Pasai. Leiden: E.J. Brill, 1945. Overbeck, H. “The Answer of Pasai,” dalam JMBRAS 11, 2, 1933. Al-Ranirî, Nûr al-Dîn. Bustanu’s-salatin. ed. T. Iskandar (ed.). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966. Roolvink, R. “The Answer of Pasai,” dalam, JMBRAS 38, 2, 1965. Schrieke, B. Indonesian Sociological Studies. Pt. 1. The Hague: W. van Hoeve, 1966. 120


Amirul Hadi: Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh

Al-Singkilî, ‘Abd al-Ra’uf. Mir’at al-Thullâb fî Tashil al-Ma‘rifat al-Ahkâm al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahhab. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 1971. Smelser, Neil J. “Culture: Coherent or Incoherent,” dalam Richard Munch and Neil J. Smelser, (ed.), Theory of Culture. Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1992. Steenbrink, Karel A. Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950, terj. Jan Steenbrink and Henry Jansen. Amsterdam: Rodopi, 1993. Steenbrink, Karel A. “Translation from the Majellis Acheh,” terj. T. Bradel, dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia 5, 1851. Unger, W.S., (ed.). De Oudste Reizen van de Zeeuwen Naar Oost-Indie: 1598-1604. ‘sGravenhage: Martinus Nijhoff, 1948. Voorhoeve, P. Bayan Tajalli: Bahan-Bahan Untuk Mengadakan Penyelidikan Lebih Mendalam Tentang Abdurrauf Singkel, terj. Aboe Bakar. Banda Aceh: PDIA, 1980.

121


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

PERDAMAIAN DAN HARMONI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN Aunurrahman Universitas Negeri Tanjung Pura, Jl. Jenderal A. Yani, Pontianak, 78124 e-mail: aunur59@yahoo.co.id

Abstract: Peace and Harmony in the Perspective of Education. Education for peace and harmony is a teaching process in creating receiprocal understanding amongst students without prejudice and negative thinking that enables them to prevent emerging conflict. It has been well established that education is a fundamental foundation to internalize norms effectively for students as it is directly related to daily life of mankind. Thus, the author argues that to build students’ tolerant character, it is deemed necessary to create tolerant atmosphere in all level, wheteher in family, social or formal educadional level. This paper tries to analyze how to implement the peaceful, harmonious and tolerant values in teaching and learning process in the formal education, family as well as society.

Kata Kunci: perdamaian, harmoni, dan pendidikan

Pendahuluan Setiap perubahan akan membawa konsekuensi positif dan negatif di dalam kehidupan. Dampak positif suatu perubahan tentu saja akan membawa individu, masyarakat atau bangsa mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Pada sisi lain dampak negatif suatu perubahan juga dapat menyentuh berbagai dimensi kehidupan. Salah satu dimensi yang sangat rentan yang seringkali kurang disadari adalah terjadinya pengikisan nilai-nilai positif dalam kehidupan individu dan masyarakat. Hal ini akan terjadi bilamana tidak diiringi dengan upaya-upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis untuk menyaring dan mengarahkan perubahan-perubahan sesuai dengan tatanan nilai dan prinsip-prinsip hidup yang mendasarinya. Beberapa komponen nilai positif yang sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh perubahan di antaranya adalah nilai-nilai toleransi, kepedulian dan kebersamaan yang menjadi nilai-nilai dasar bagi kokohnya nilai-nilai perdamaian dan harmoni. Arus 122


Aunurrahman: Perdamaian dan Harmoni dalam Perspektif Pendidikan

modernisasi yang seringkali secara gegabah dinilai sebagai sesuatu yang lebih baik seringkali menggeser nilai-nilai yang sangat luhur ini. Dampaknya, kepentingan menjadi terkotak-kotak dalam bentuk berkembangnya individualisme, kepentingan kelompok yang dominan, kepentingan daerah, kepentingan suku, agama dan berbagai kepentingankepentingan dalam sub-sub yang lebih kecil. Lebih jauh, persatuan dan kesatuan bangsa menjadi pudar, kebersamaan menjadi sesuatu yang tidak memiliki nilai yang diagungkan lagi. Dalam keadaan ini konflik tidak bisa dihindari, bahkan cenderung semakin meluas dan melebar dalam berbagai bentuknya. Pada akhirnya kehidupan yang damai dan harmoni semakin jauh dari yang dicita-citakan. Tidak ada individu dan masyarakat yang dapat luput dari suatu perubahan. Perubahan adalah suatu keharusan, karena diinginkan atau tidak perubahan itu mutlak terjadi. Sebab itu perubahan sosial dan masyarakat yang diharapkan adalah perubahan yang sekecil mungkin mengandung risiko munculnya pertikaian, konflik-konflik sosial serta berbagai bentuk gejolak dalam masyarakat. Sebab itu upaya menginternalisasikan nilai-nilai inti universal, khususnya nilai-nilai toleransi, kebersamaan, dan kepedulian merupakan langkah esensial yang sangat menentukan terwujudnya masyarakat global yang damai yang sangat didambakan semua pihak. Telah diakui oleh semua pihak bahwa pendidikan menjadi pilar sangat strategis dalam proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai karena pendidikan bersentuhan langsung dengan aspek manusia yang di dalamnya terkandung kekuatan-kekuatan yang harus distimulasi, sehingga potensi-potensi yang dimiliki berkembang secara optimal, terutama dalam meng-hadapi berbagai bentuk tantangan di masa depan. Delors mengemukakan bahwa dalam menghadapi tantangan masa depan, kemanusiaan melihat pendidikan sebagai sesuatu yang berharga yang sangat dibutuhkan dalam usahanya meraih cita-cita perdamaian, kemerdekaan dan keadilan sosial. 1 Sosialisasi nilai melalui pendidikan memang merupakan jalur yang sangat tepat, karena satu di antara fungsi pendidikan adalah sebagai wahana tranformasi budaya dan nilai. Pendidikan untuk perdamaian, hak-hak asasi manusia, demokrasi dan pembangunan berkelanjutan berarti pembangunan suatu kesadaran atas nilai-nilai universal ini. Penumbuhkembangan kesadaran peserta didik melalui pendidikan harus dilakukan melalui berbagai pendekatan yang secara sungguh-sungguh memperhatikan eksistensi peserta didik. Dalam keadaan ini pelaksanaan pendidikan harus berawal dari pemahaman secara menyeluruh tentang kemampuan, potensi-potensi serta berbagai aspek psikologis lainnya yang menyangkut peserta didik. Tanpa sentuhan yang komprehensif terhadap keberadaan peserta didik ini, maka pendidikan akan sangat sulit mengubah kesadaran mereka terhadap sesuatu perubahan yang diharapkan. Lihat Delors, “Education: The Necessary Utopia,� dalam Treasure Within, Report the International Commission on Education for the Twenty-first Century (Paris: UNESCO Publishing, 1996), h. 13. 1

123


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Upaya-upaya pendidikan untuk mengembangkan nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai toleransi, kebersamaan serta kepedulian terhadap sesama sebagai kerangka dasar bagi tumbuh suburnya nilai-nilai perdamaian dan harmoni tidak cukup hanya bertumpu pada satu kekuatan lingkungan, misalnya hanya pada lingkungan sekolah saja, akan tetapi harus memfungsikan utamanya ketiga lingkungan pendidikan, baik sekolah, rumah tangga atau keluarga dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan ini harus dipandang sebagai tiga kekuatan yang saling bersinergi, dan oleh karenanya harus pula ada kesinambungan antara nilai-nilai yang dikembangkan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam keadaan ini Micklewait dan Wooldridge melihat betapa pentingnya peran orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka sukses dan mampu mengaktualisasikan potensi mereka secara optimal. 2 Hal ini termasuk di dalam mendukung tumbuh suburnya nilai-nilai kebersamaan, toleransi, kepedulian dan kasih sayang guna mewujudkan cita-cita kehidupan yang damai dan harmoni di masa-masa mendatang. Tidak ada pilihan lain yang lebih tepat, bahwa pendidikan harus diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelengaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. 3 UNESCO, dalam sebuah buku berjudul Treasure Within, memberikan pengertian mendalam yang baru ke dalam pendidikan untuk abad XXI. Dikemukakannya bahwa setiap orang harus diperlengkapi untuk merebut kesempatan-kesempatan belajar sepanjang hayat, baik untuk memperluas pengetahuan, keterampilan dan sikap maupun untuk menyesuaikan diri pada dunia yang sedang berubah, rumit dan interdependensi.4 Agar pendidikan secara optimal dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad XX1 melihat bahwa pendidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu; (1) learning to know (belajar mengetahui), yakni memperoleh instrumeninstrumen pengertian, (2) learning to do (belajar berbuat), sehingga seseorang mampu bertindak secara kreatif di lingkungannya, (3) learnig to live together (belajar hidup bersama), sehingga dapat berperan serta dalam dan bekerja sama dengan orang lain dalam semua kegiatan manusia, dan (4) learning to be (belajar menjadi seseorang), sehingga mampu mengembangkan kepribadiannya dengan lebih baik dan bertindak dengan otonom, keputusan dan tanggung jawab pribadi yang lebih besar. 5 Pendidikan adalah upaya komprehensif, sehingga ia tidak boleh mengabaikan aspek mana pun dan potensi seseorang: ingatan, penalaran, rasa estetik, kemampuan fisik Micklewait dan Wooldridge, A Future Perfect: the Challenge and Hidden Promise of Globalization (New York: Crown Publisher, 2000), h. 304. 3 Lihat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 pasal 4 (Bandung: Citra Umbara, 2000), h. 6. 4 UNESCO APNIEVE, Belajar untuk Hidup Bersama dalam Damai dan Harmoni: Pendidikan untuk Perdamaian, Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Pembangunan Berkelanjutan untuk Kawasan Asia Pasific (t.t.p: UNESCO, 2000), h. 20. 5 Ibid. 2

124


Aunurrahman: Perdamaian dan Harmoni dalam Perspektif Pendidikan

dan keterampilan-keterampilan komunikasi. Dengan tidak bermaksud mengabaikan tiga pilar pendidikan yang lain, pendidikan untuk perdamaian lebih terkait dengan pilar ketiga, yaitu pendidikan sebagai pendukung proses belajar hidup bersama. Belajar untuk hidup bersama adalah satu dari isu-isu utama pendidikan sekarang ini, karena dunia kontemporer (kini) sudah sangat sering terjerumus pada konflik-konflik berkepanjangan, permusuhan yang menghancurkan persatuan dan kebersamaan yang telah dibina dalam waktu yang lama. Karena itu penataan secara cermat setiap dimensi pendidikan sebagai wahana pembentukan kepribadian peserta didik merupakan langkah strategis untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik di masa-masa mendatang.

Substansi Pendidikan untuk Perdamaian dan Harmoni Jika dikaji secara cermat, sesunguhnya Sistem Pendidikan Nasional telah memberikan arah yang jelas tentang betapa pentingnya keseimbangan potensi peserta didik yang harus dikembangkan melalui setiap usaha pendidikan. Hal yang paling mendasar bahwa pengembangan potensi peserta didik, baik pada kawasan intelektual, nilai-nilai moral bahkan keterampilan, harus mengakar pada nilai-nilai agama, serta kebudayaan nasional. Pendidikan Nasional memberikan acuan yang jelas pula betapa pentingnya upaya-upaya pengembangan pendidikan di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui peningkatan potensi peserta didik secara menyeluruh. Di dalam pasal 36 USPN 2003 dikemukakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan; (1) peningkatan iman dan taqwa, (2) peningkatan akhlak mulia, (3) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, (4) keragaman potensi daerah dan nasional, (5) tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (6) tuntutan dunia kerja, (7) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (8) agama, (9) dinamika perkembangan global, (10) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.6 Aspek-aspek yang menjadi arahan tersebut selayaknya dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh di dalam seluruh rekayasa pendidikan dan pembelajaran, sehingga keluaran yang dihasilkan dari proses pendidikan dapat menghasilkan peserta didik dalam kapasitas kemampuan dan kepribadian yang utuh. Misi pendidikan nasional secara jelas pula diarahkan untuk menjadikan peserta didik agar memiliki kemampuan guna mengembangkan diri serta berperan serta berpartisipasi mewujudkan iklim kehidupan masyarakat dan bangsa yang harmonis, damai sehingga terwujudnya persatuan nasional dan kokohnya nilai-nilai kebangsaan. Misi inilah yang menjadi salah satu perhatian untuk ditindaklanjuti dan dikembangkan melalui pemberian pemahaman, proses-proses latihan baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat agar mereka dapat menjadi pendukung kokohnya keserasian hidup, 6

Sisdiknas, h. 54.

125


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 kepedulian, kebersamaan guna mewujudnya masyarakat yang damai yang diharapkan oleh semua pihak. Pendidikan untuk perdamaian pada dasarnya adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi prasangka-prasangka buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya perselisihan dan konflik.7 Persaingan dalam misi ini harus dipandang sebagai upaya-upaya yang sehat untuk mencapai keberhasilan, bukan sebaliknya bahwa persaingan justru mengalahkan nilai-nilai kebersamaan bahkan penghancuran orang lain atau pihak lain untuk kepentingan sendiri. Dengan demikian diharapkan kedamaian dan keharmonisan hidup benar-benar dapat diwujudkan. Upaya-upaya untuk mengembangkan sikap-sikap positif di kalangan peserta didik tidak hanya bertumpu pada satu kekuatan lingkungan pendidikan. Pemupukan sikap keterbukaan, saling mendengar dan solidaritas hendaklah mengambil tempat di sekolah dan perguruan tinggi dan melalui pendidikan luar sekolah, di rumah dan di tempat kerja.8 Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling strategis untuk menumbuhsuburkan nilai-nilai ini, karena keluarga memang merupakan kekuatan utama di dalam pendidikan. Lingkungan sekolah berperan penting, karena sekolah merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya peserta didik dapat saling berinteraksi, belajar memahami perbedaan dalam berbagai latar keragaman. Demikian pula begitu besarnya peran pendidikan masyarakat, karena begitu banyak kepentingan yang terdapat di dalamnya. Benturan-benturan sosial akan terjadi bilamana tidak adanya saling pengertian serta kebersamaan. Yang diperlukan dalam masyarakat bukan sekedar mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak mudah untuk dicapai. Justru yang paling penting di dalam masyarakat yang berbhinneka adalah adanya saling pengertian. 9

Keluarga Sebagai Basis Utama Tillman dan Hsu, mengemukakan bahwa saat ini orang tua, pendidik, dan terlebihlebih lagi anak-anak semakin khawatir dan terpengaruh oleh kekerasan, masalahmasalah sosial yang meningkat dan kurangnya saling menghormati di antara sesama dan di dalam lingkungan sekitar mereka.10 Pada mulanya dunia anak-anak masih kecil, terbatas pada keluarga dan orang tuanya. Tetapi, jika lingkungan pertama ini aman, rileks, positif, memungkinkan anak-anak untuk menjelajah dan bereksperimen, orangUNESCO-APNIEVE, Belajar untuk Hidup Bersama, h. 15. Ibid, h. 155. 9 H. A. R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989), h. 160. 10 Diane Tillman dan D. Hsu, Living Values Parent Group: A Facilitator Guide, terj. Agustina (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2004). 7 8

126


Aunurrahman: Perdamaian dan Harmoni dalam Perspektif Pendidikan

orang di dalamnya bisa diandalkan, maka mereka akan lebih siap menghadapi lingkungan yang lebih luas.11 Karena itu maka sangat diyakini hampir seluruh proses dan aktivitas asih, asah dan asuh berlangsung di rumah. 12 Pola interaksi orang tua dan anak yang dikembangkan atas dasar komunikasi yang terbuka, saling menghargai, pemenuhan rasa kasih sayang mampu menjadi tonggak atau fundamen untuk berkembangnya sikap sosial dan saling mengpormati di dalam pergaulan yang lebih luas. Pengalaman panjang kehidupan anak di di dalam keluarga tidak hanya terbatas pada cara yang dia tempuh di dalam memandang kehidupan keluarganya, akan tetapi akan menumbuhkan persepsi dirinya tentang kehidupan sosial yang lebih luas, bahkan agar memberikan arah bagi tindakan-tindakan nyata dalam berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan di dalam ineraksi sosial tersebut. Upaya untuk menumbuhkan pemahaman, pembiasaan-pembiasaan di dalam kehidupan keluarga dapat dilakukan orang tua di dalam berbagai bentuk kegiatan atau kesempatan. Hal ini menjadi semakin penting artinya karena dinamika perkembangan di masyarakat yang diamati secara nyata oleh anak semakin kurang memberikan pendidikan yang positif. Perbedaan-perbedaan pendapat yang seringkali tidak dapat diselesaikan secara terbuka dan sehat, kekerasan seringkali menjadi solusi dalam pemecahan masalah, konflik-konflik sosial demikian mudah berkembang, kesemuanya ini merupakan pemandangan yang sangat mudah melekat di dalam pemahaman anak. Dalam sebuah buku berjudul Striking a Balance Teaching Values and Freedom (Menciptakan Keseimbangan Mengajarkan Nilai dan Kebebasan), Christopher Glesson mengemukakan bahwa di dalam kehidupan ini hanya ada dua hal yang dapat kita berikan, yakni akar dan sayap. Memberikan akar kuat untuk kehidupan kepada anak-anak muda berarti; (a) memberikan kepada mereka seperangkat nilai yang berarti menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang tak terhindarkan, (b) memisahkan mana yang pokok, mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya, mana yang hanya merupakan bayangan, dan (c) berarti membeda-bedakan mana yang abadi, mana yang hanya berupa mode. Sayap, adalah gambaran kebebasan, yang merupakan anugerah besar yang kita berikan kepada anak-anak muda kita. 13 Dalam kerangka Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keluarga diberikan tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai fundamental untuk terwujudnya sosok kepribadian anak yang tangguh sehingga mampu menjalin interaksi positif dengan lingkungannya dengan memperhatikan nilai-nilai dan norma yang berlaku. Melalui penanaman nilai-nilai dasar ini diharapkan pula anak dapat berpartisipasi di dalam T. Hogg dan Blau, Mendidik dan Mengasuh Anak Balita (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 25. W.J. Bennett, the Boook of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories (New York: Simon & Schuster, 1993), h. 108. 13 Christopher Glesson, Menciptakan Keseimbangan Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, terj. Willie Koen (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1993), h. 98. 11

12

127


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 mendukung kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik, yaitu masyarakat yang berkembang dalam tatanan kehidupan yang harmonis, damai dalam kerangka persatuan dan kesatuan yang kokoh.

Rekayasa Pendidikan Sekolah Sekolah disepakati sebagai bentuk sistem sosial yang di dalamnya terdiri dari komponen-komponen masyarakat sekolah dengan berbagai latar; ekonomi, lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan, agama bahkan keinginan, cita-cita dan minat yang berbeda. Dengan perbedaan-perbedaan ini tidak mustahil dalam masyarakat sekolah terjadi benturan-benturan kepentingan yang juga dapat mengarahkan kepada konflikkonflik kepentingan, dan oleh sebab itu perlu upaya-upaya yang secara sengaja dan terus menerus diarahkan untuk mengembangkan kebersamaan ini. Upaya-upaya untuk mengembangkan nilai-nilai kebersamaan untuk mewujudkan iklim yang harmonis dapat dilakukan melalui rekayasa kegiatan pembelajaran di kelas maupun latihan-latihan praktis dalam kehidupan nyata di luar kelas. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan keinginan yang kuat bagi setiap pendidik untuk secara terus menerus berupaya mengembangkan nilai-nilai toleransi dan kebersamaan ini kepada siswa, sehingga mereka mendapatkan latihan-latihan dan pengalaman yang bermakna terkait dengan aspek-aspek tersebut, untuk selanjutnya dapat dibawa dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat yang lebih majemuk. Hal ini sangat terkait dengan peran dan fungsi sekolah yang tanggung jawab utamanya adalah untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan-kemam-puannya, sekaligus mempersiapkan mereka agar mampu beradaptasi, bersosialisasi, bahkan lebih dari itu yaitu menjadi pelopor perubahan kebudayaan. Karena itu masyarakat sekolah harus merupakan masyarakat bermoral, dan secara keseluruhan budaya kampus/sekolah adalah budaya yang bermoral. Hanya dengan demikian lembaga ini dapat menjadi pelopor dari perubahan kebudayaan secarta total yaitu bukan hanya nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga tempat persemaian dari pengembangan nilai-nilai moral kemanusiaan. 14 Upaya pengembangan nilai-nilai toleransi dan kebersamaan pada siswa harus dirasakan sebagai tanggung jawab bersama seluruh pendidik yang ada di sekolah. Karena itu guru secara sengaja perlu mengembangkan dan merancang model-model pembelajaran yang diyakini mampu mengembangkan nilai-nilai positif ini kepada siswa. Upaya-upaya yang sengaja dan sistematis seperti ini sangat diperlukan, karena dalam pendidikan sekolah peranan guru sampai saat ini masih menempati kedudukan yang utama, lebihlebih lagi dalam pengembangan nilai dan kepribadian siswa. Peran ini semakin besar peluangnya untuk dikembangkan jika dicermati fungsi lembaga ini sebagai suatu sistem

14

H.A.R. Tilaar, Pendidikan, h. 76.

128


Aunurrahman: Perdamaian dan Harmoni dalam Perspektif Pendidikan

sosial masyarakat, di mana para siswa saling belajar untuk berinteraksi, belajar memahami norma-norma sosial sekolah, belajar bekerjasama, belajar menghargai dan belajar berbagai aspek kehidupan sebagaimana layaknya dalam masyarakat. Hal ini beranjak dari suatu filosofi bahwa setiap anak dikaruniai benih untuk bergaul, bahwa setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakekatnya di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima.15 Dari dimensi tersebut, peranan guru sulit digantikan oleh yang lain.16 Karenanya, dalam proses pembelajaran di kelas, guru tidak cukup hanya berbekal pengetahuan berkenaan dengan bidang studi yang diajarkan, akan tetapi perlu memiliki kemampuan untuk menyiapkan kondisi pembelajaran sedemikian rupa sehinggaa mampu mendorong berkembangnya aspek-aspek nilai di kalangan peserta didik. Proses belajar yang dilakukan terhadap berbagai aspek kehidupan dalam lingkungan sekolah ini akan menjadi bekal bagi siswa untuk lebih siap memasuki lingkungan masyarakat, terutama sekali setelah menamatkan pendidikan pada jenjang tertentu dalam kondisi yang beragam dan kompleks. Keberagaman agama, suku, latar sosial ekonomi, latar pendidikan orang tua, daerah termasuk adat adat istiadat dan budaya, sudah barang tentu akan ditemukan banyak perbedaan dalam sikap dan perilaku siswa. Sekolah dipandang sebagai wahana yang mempercepat impelementasi dari pluralisme melalui berbagai bentuk kegiatan seperti workshop, latihan-latihan dan kegiatan-kegiatan dalam kelompok kecil.17 Perbedaan-perbedaan inilah yang harus dipahami dan bahkan saling dihormati, sehingga memungkinkan tumbuhnya solidaritas dan kebersamaan antar sesama siswa. Menghormati perbedaan tidak berarti menghilangkan identitas diri, karena menghormati perbedaan sesungguhnya adalah memberikan peluang dan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai dengan karakteristik dirinya. Pendidikan adalah alat yang paling mangkus untuk menghindari nirtoleransi. Langkah pertama dalam pendidikan toleransi adalah mengajar orang-orang tentang hak-hak dan kebebasankebebasan bersama (berbagi) mereka, sehingga dapat dihormati, dan mengembangkan kemauan untuk melindungi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. Internalisasi nilai-nilai kebersamaan, toleransi, penghargaan terhadap hak orang lain, membiasakan dan melatih siswa untuk saling memahami guna terwujudnya tata pergaulan yang harmonis di lingkungan sekolah, merupakan frame of reference bagi terwujudnya kehidupan yang damai dan harmonis di lingkungan masyarakat dan bangsa yang lebih luas. Oleh sebab itu upaya-upaya ini tidak cukup memadai untuk diserahkan tanggung jawabnya kepada guru-guru tertentu, akan tetapi harus merupakan bagian

Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), h. xv. 16 T.E. Joan, “Pluralism and Education: Its Meaning and Method� dalam http://www.ed.gov/ database/ERIC Digest/ede347494.htm, diunduh pada tanggal 12 Desember 1992. 17 UNESCO-APNIEVE, Belajar untuk Hidup Bersama, h. 156. 15

129


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 dari tanggung jawab bersama melalui berbagai kesempatan, baik di dalam peroses pembelajaran di kelas, maupun melalui bentuk-bentuk kegiatan positif lainnya di luar kelas dalam berbagai bentuk kegiatan-kegiatan yang konstruktif.

Menyeleksi Lingkungan Sosial Masyarakat merupakan salah satu paranata pendidikan yang diharapkan dapat bersinergi secara kokoh dengan paranata pendidikan lainnya, yaitu lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat memberdayakan berbagai unsur (elemen) dan institusi yang sangat kaya dan beragam sehingga perannya menjadi sangat strategis untuk mendukung pemberdayaan dan pengembangan warga masyarakat melalui berbagai bentuk kegiatan. Hasil-hasil kajian dan pemikiran berbagai pihak untuk mengatasi konflik guna mewujudkan kehidupan yang damai di dalam masyarakat cukup banyak ditawarkan selama ini. Jamuin, memberikan pemikiran alternatif model pencegahan konflik melalui modul-modul, yaitu modul tentang; kelompok antar agama dan aliran, kelompok antar etnik, kemitraan dan kebersamaan (sarasehan dan rekreasi), pagelaran wayang interaktif, pagelaran wayang intermedia, dan ketoprak humor interaktif, serta beberapa modul advokasi lainnya. Pada umumnya solusi yang ditawarkan melalui modul-modul ini mengarah pada bentuk-bentuk ceramah. Warsilah, melalui analisis dan kajiannya mengemukakan bahwa dalam rangka mela-kukan pemahaman tentang hubungan sosial antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, perlu dilakukan upaya rekontruksi kembali mengenai hubungan sosial yang selama ini berjalan dalam kelompok. Wujud upaya pokok yang dilakukan adalah mendorong munculnya kohesi sosial yang pluralistik, dimana ketika setiap golongan dengan kerakteristik sosio-kultural masing-masing merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas bersama, bukan beberapa komunitas yang saling mendominasi atau komunitas-komunitas yang merasa tersubordinasi oleh komunitas lainnya. Sedangkan dari perspektif budaya, bagaimana mengupayakan per-temuan berbagai kelompok masyarakat dalam suatu “budaya bazaar�, bukan dalam bentuk sebaliknya “bazaar budaya�. 18 Pengembangan model organisasi konsiliasi pemuda grass-roots berbasis pembinaan kerukunan antar etnik merupakan salah satu upaya konstruktif untuk dilakukan. Hal mendasar yang menjadi pemikirannya adalah bahwa konflik-konflik yang terjadi saat ini serta beberapa waktu lampau sangat mungkin terjadi dan bergulir kepada generasigenerasi mendatang bilamana tidak ada upaya lebih intentif dan terorginisir untuk memberi peluang terjadinya kohesi sosial, komunikasi yang utuh dalam satu tatanan

Warsilah, Pluralitas Kampung Dalam Wacana Budaya Berpangkalan: Alternatif Bagi Integrasi Sosial (Jakarta: PMB-LIPI, 2000), h. 19. 18

130


Aunurrahman: Perdamaian dan Harmoni dalam Perspektif Pendidikan

kebersamaan dari latar budaya dan tradisi yang berbeda. Berbagai kegiatan yang mengisi wahana organisasi ini berpijak pada misi fundamental yaitu pembinaan kerukunan antar etnik yang arahnya secara jelas untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik multi etnik di masa-masa mendatang. Pendidikan harus dilandasai visi normatif yang mampu mengarahkan peserta didik kepada penerimaan akan pluralisme dan perbedaan serta peningkatan kemampuan untuk menempatkan diri sebagai bagian dari sistem sosial yang mampu memberi kesejukkan dan rasa aman bagi siapa pun juga. Pendidikan seharusnya menyumbang kepada keprihatinan bangsa Indonesia untuk membentuk manusia yang berbudaya demokrasi, mewujudkan masyarakat madani (civil society) yang damai dan harmoni di masa-masa mendatang. Hal itu hanya mungkin terwujud bilamana para pelaku pendidikan baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dapat atau mampu melaksanakan tugastugas pendidikan yang telah diamanahkan kepadanya secara bertanggung jawab dan profesional sehingga mampu membangkan potensi peserta didik secara seimbang dan utuh.

Penutup Kehidupan yang damai dan harmoni pada masa-masa mendatang hanya akan mungkin diiwujudkan bilamana anak-anak pada hari ini diberikan bekal benih-benih kehidupan harmoni dan keerdamaian. Pemberian contoh, pembimbingan, latihan-latihan/ pembiasaan untuk saling menghargai orang lain, bertoleransi, kepedulian terhadap sesama, belajar meng-hindari permusuhan dan konflik merupakan bentuk pendidikan dalam rangka internalisasi nilai-nilai fundamental yang harus dirtumbuhkankembangkan pada anak sejak dini sehingga akan menjadi kerangka bagi berkembangnya nilainilai perdamaian dan harmoni. Pendidikan sebagai pilar utama internalisasi nilai-nilai hendaknya dapat memainkan peran secara optimal melalui peningkatan intensitas komunikasi yang terbuka dan harmonis, utamanya dimulai pada lingkungan keluarga sebagai wahana paling strategis bagi pendidikan anak. Demikian pula peningkatan peran sekolah yang diharapkan dapat menyerasikan secara proporsional pengembangan aspek-aspek intelektual dan nilai dalam tatanan yang seimbang serta didukung pula dengan penciptaan iklim yang kondusif pada lingkungan sosial masyarakat. Sinergisitas ketiga lingkungan ini akan menjadi kekuatan besar bagi tumbuhnya nilai-nilai positif pada anak, khususnya nilainilai toleransi, kebersamaan, dan saling meng-hargai sebagai kerangka fundamental bagi suburnya nilai-nilai perdamaian dan harmoni.

131


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

Pustaka Acuan Bennett, W.J. The Book of Virtues: a Treasury of Great Moral Stories. New York: Simmon & Schuster, 1993. Delors, J. “Education: The Necessary Utopia,” dalam “Treasure Within” Report the International Commission on Education for the Twenty-First Century. UNESCO Publishing, 1996. Glesson, C. S.J. Menciptakan Keseimbangan Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, terj. Willie Koen. Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1993. Hogg, T., dan Blau. Mendidik dan Mengasuh Anak Balita. Jakarta: Gramedia, 2004. Joan, T.E. Pluralisme and Education: Its Meaning and Method dalam http://www.ed.gov/ database/ERIC, diunduh pada tanggal 12 Desember 1992. Micklethwaith, J, dan Wooldridge, A. A Future Perfect: The Challenge and Hidden Promise of Globalization. New York: Crown Publisher, 2000. Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998. Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya Bandung, 1999. Tillman, D. & Hsu, D. Living Values Parent Group: A Facilitator Guide, terj. Agustina. Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2004. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2000. Bandung: Citra Umbara, 2000. UNESCO APNIEVE. Belajar untuk Hidup Bersama dalam Damai dan Harmoni. Pendidikan untuk Perdamaian, Hak Asasai Manusia, Demokrasi dan Pembangunan Berkelanjutaan untuk Kawasan Asia Pasific. Buku Sumber UNESCO APNIEVE untuk Pendidikan Guru dan Jenjang Pendidikan Tinggi. UNESCO, 2000. Warsilah, H. Pluralitas Kampung dalam Wacana Budaya Berpangkalan: Alternatif Bagi Integrasi Sosial. Jakarta: PMB-LIPI, 2000.

132


RASULULLAH SAW. DAN PRINSIP-PRINSIP KONSELING ISLAM Lahmuddin Lubis Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail: lahmuddinlubis@yahoo.com

Abstract: The Prophet and the Principles of Islamic Counseling. From a professional perspective Islamic counseling is a recent origin and few scholars have addressed this area of study in a significant way. This article attempts to highlight the salient features of the principles of Islamic counseling by exploring the Qur’an, the sÎrah of the Prophet Muhammad and his traditions as the role model and exemplar, and then compare it to the popular mainstream of western counseling paradigms as a dominant force in counseling and social intervention. The author asserts that psychology, as the origin of western popular counseling, is devoid of religion and foster distorted concepts of humankind that are rooted in materialism whereas counseling that is based on Islam emphasizes spiritual solutions, the main objective of which is to acquire happiness both in this world and the hereafter.

Kata Kunci: Rasulullah, konselor, bimbingan, konseling

Pendahuluan Istilah bimbingan Islami belum tersosialisasi secara luas pada masyarakat, bahkan istilah ini tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadis rasul secara langsung. Namun demikian, cara-cara penasihatan dan bimbingan yang dilakukan oleh Rasululah SAW. kepada para sahabat yang mempunyai permasalahan waktu itu (14 abad yang lalu), tidak banyak perbedaan dengan bentuk layanan, pendekatan dan proses konseling yang dijalankan oleh konselor profesional versi Barat, bahkan cara yang dilaksanakan Rasulullah lebih sempurna lagi.1 Lebih jauh daripada itu, 1000 tahun sebelum Frank Parsons (Frank Parsons adalah pendiri dan pengelola biro konsultasi jabatan (vocational) pertama di Boston

W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1997), h. 86. 1

133


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Amerika Serikat pada tahun 1908 dan dipandang sebagai pelopor dalam bimbingan jabatan secara sistematis dan terencana), bimbingan konseling telah dikenal dalam Islam, khususnya dalam bidang psikologi jabatan dalam Islam klasik (Vocational Psychology in Classical Islam).2 Bahkan Rasulullah juga dikatakan sebagai sebagai seorang pemimpin yang istimewa dan mempunyai kepribadian yang agung.3 Namun demikian, dalam al-Qur’an dijumpai beberapa kata-kata atau istilah yang berkaitan dengan psikologi dan konseling, di antaranya: 1) Kata-kata “al-Nafs” disebut sebanyak 367 kali yang mengandung pengertian kemanusiaan pada keseluruhannya. 2) Kata-kata “al-Qalb” diulang sebanyak 144 kali yang memberi pengertian kepada emosi/ hati nurani. 3) Kata-kata “al-`Aql” diulang sebanyak 49 kali yang memberi pengertian tentang cara manusia berpikir. 4) Kata-kata “al-Rûh” diulang sebanyak 25 kali yang membawa pengertian kepada tiga maksud, yaitu sebagai pemberian hidup, wahyu dan malaikat.4 Sedangkan pengertian bimbingan secara umum adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu tersebut dapat mencapai kesejahteraan hidupnya. Gladding mengatakan “Guidance is the process of helping people make important choices that affect their lives, such as choosing a preferred life style”5 (bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu untuk membuat pilihan yang tepat, yaitu sebagai pilihan yang istimewa dalam gaya kehidupan mereka. Surya6 mengatakan, bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensinya dalam mencapai penyesuaian diri dengan

D.A. Carson dan M.N. Altai, “The Career Development Quarterly,” dalam National Career Development Assosiation, vol. XXXXIII 43 no. 1, September 1994, h. 197-205. 3 Sharifah Fakhruddin, Rasulullah SAW. Model Utama Kepimpinan Rumah Tangga (Johor Bahru: Cetak Ratu SDN, BHD, 1996), h. 5. 4 Hasan Langgulung, “Perspektif Baru dalam Perkembangan Psikologi Modern,” dalam Mohamed Nazar Mahmood (ed.), Pengantar Psikologi: Suatu Pengenalan Asas Kepada Jiwa dan Tingkah Laku Manusia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986), h. 29. 5 Samuel T. Gladding, Counseling: A Comprehensive Profession (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1996), h. 5. 6 Moh. Surya, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan (Teori dan Konsep) (Yogyakarta: Kota Kembang, 1988), h. 12. 2

134


Lahmuddin Lubis: Rasulullah Saw. dan Prinsip-prinsip Konseling Islam

lingkungan. Prayitno7 berpendapat bimbingan bantuan terhadap individu atau kelompok agar mereka dapat berkembang menjadi pribadi-pribadi yang mandiri. Kemandirian itu mencakup lima hal, yaitu mengenal diri sendiri dan lingkungan, menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis, mengambil keputusan, mengarahkan diri, dan mewujudkan diri Dalam kamus bahasa Inggris, “guidance” dikaitkan dengan kata asalnya yaitu “guide”, yang diartikan sebagai menunjukkan jalan (showing the way); memimpin (leading), menuntun (conducting); memberikan petunjuk (giving instruction); mengatur (regulating); mengarahkan (governing); dan memberikan nasihat (giving advice). Kalau istilah bimbingan dalam bahasa Indonesia diberi arti yang selaras dengan arti-arti yang disebutkan di atas, maka akan muncul dua pengertian yang mendasar, yaitu: 1. Memberikan informasi, yaitu menyajikan pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengambil suatu keputusan, atau memberitahukan sesuatu sambil memberikan nasihat. 2. Mengarahkan atau menuntun ke suatu tujuan. Tujuan itu hanya mungkin diketahui oleh pihak yang mengarahkan, mungkin juga perlu diketahui oleh kedua belah pihak. Natawidjaja, yang dikutip oleh Winkel8 mendefinisikan, bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang diberikan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia dapat mengarahkan diri dan dapat bertindak secara wajar sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. Dengan demikian dia dapat mengecap kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti. Demikian juga halnya dalam mendefinisikan bimbingan Islami, terdapat beberapa orang pakar yang memberikan pengertian, diantaranya Musnamar 9 mendefinisikan bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, bimbingan Islami merupakan proses bimbingan sebagaimana kegiatan bimbingan lainnya, namun dalam segala aspek kegiatannya selalu berlandaskan ajaran Islam yaitu sesuai dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Bimbingan Islami merupakan proses pemberian bantuan dari seorang pembimbing (konselor/helper/muhtasib) kepada klien/helpee/muhtasab ‘alaih. Dalam pemberian bantuan tersebut, seorang pembimbing/helper tidak boleh memaksakan kehendak atau Prayitno, Pengertian Dasar dan Asas-Asas Bimbingan dan Penyuluhan (Salatiga: Gema Bimbingan, 1983), h. 2. 8 Winkel, Bimbingan dan Konseling, h. 67. 9 Thohari Musnamar, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami (Yogyakarta: UII-Press, 1992), h. 5. 7

135


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 mewajibkan klien/helpee untuk melaksanakan apa yang disarankannya, melainkan sekedar memberi arahan, bimbingan dan bantuan, dan bantuan yang diberikan itu pun lebih terfokus kepada bantuan yang berkaitan dengan kejiwaan/mental dan bukan yang berkaitan dengan material atau finansial secara langsung, walau disadari bahwa pemberian bantuan yang bersifat langsung (directive) merupakan salah satu bentuk layanan dalam konseling, namun layanan non directive lebih mendidik klien. Masalah-masalah yang berkaitan dengan fisik atau material, politik dan ekonomi secara langsung serta penyakit mental yang kronis seperti penyakit syaraf atau gila, bukanlah tugas dan tanggungjawab konselor secara keseluruhan, karena masalah tersebut berada di luar wilayah bimbingan dan konseling, namun gejala-gejala penyakit mental seperti depresi, stres yang belum kronis, cemas (anxiety), perasaan murung, gairah hidup menurun, perasaan bersalah, perasaan berdosa, sedih, menyesal, kecewa dan sejenisnya merupakan lapangan dan garapan bimbingan dan konseling Islami. Hal ini sesuai dengan uraian Lubis10 bahwa seorang konselor (pembimbing) tidak dituntut mengatasi permaslahan klien yang berkaitan dengan materi atau finansial secara langsung, tetapi tugas konselor hanyalah mengarahkan dan menunjukkan jalan sehingga klien dapat berjalan ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, konselor tidak dituntut memberikan ikan kepada klien, tetapi konselor menyarankan kepada klien untuk membeli atau mencari pancing, dan dengan memiliki pancing, klien dengan mudah mendapatkan ikan. Demikian pula halnya dengan bimbingan konseling agama, di mana Arifin 11 mendefinisikan bimbingan dan konseling agama adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami kesulitan-kesulitan rohaniah dalam lingkungan hidupnya, agar seseorang itu mampu mengatasi masalahnya sendiri karena timbul kesadaran dan penyerahan diri terhadap kekuasaan Tuhan, timbul pada dirinya suatu cahaya dan harapan kebahagiaan hidup, baik untuk waktu ini maupun pada masa yang akan datang. Sedangkan pengertian bimbingan dan konseling Islami berdasarkan rumusan hasil seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Islami di Yogyakarta, yang dikutip oleh Abidin,12 bimbingan konseling Islami adalah proses dalam bimbingan dan konseling yang berlandaskan ajaran Islam untuk membantu individu yang mempunyai masalah guna mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Demikian juga halnya dengan perlunya bimbingan Islami bagi manusia khususnya bagi klien yang beragama Islam, seorang pembimbing perlu menyampaikan kabar Lahmuddin Lubis, Pengantar Bimbingan Konseling (Medan: IAIN-Press, 2000), h. 120. M. Arifin, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 25. 12 Zainal Abidin, “Konsep dan Pendekatan Bimbingan dan Konseling Agama Islam Dalam Mengatasi Permasalahan Sosial Masyarakat Industri dan Informasi� (Makalah, tidak diterbitkan). 10 11

136


Lahmuddin Lubis: Rasulullah Saw. dan Prinsip-prinsip Konseling Islam

gembira dan pertakut (basyîrâ wa nadzîrâ) kepada setiap pemeluk agama Islam, khususnya bagi klien yang bermasalah. Dengan adanya pengetahuan klien tentang akibat negatif bagi orang yang melalaikan tanggung jawabnya, maka klien akan menjaga amanah Allah serta berusaha melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Q.S. al-Dzâriyât/51:56 yang berbunyi: Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Dari pengertian dan definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jika bimbingan agama yang diberikan kepada klien dapat dilaksanakan dan diamalkan dengan baik, maka kecerahan dan ketenteraman batin klien semakin terwujud, dan gejala-gejala gangguan jiwa serta gejala-gejala penyakit jiwa (psychose dan neurose) yang pernah ada selama ini akan hilang sama sekali.

Konseling Islami Istilah konseling (counseling) berasal dari kata “councel” atau “to councel” yang berarti memberikan nasihat, penyuluhan atau anjuran kepada orang lain secara berhadapan muka (face to face). Dengan demikian konseling adalah pemberian nasihat atau penasihatan kepada orang lain secara individual yang dilakukan secara berhadapan (face to face) dari seseorang yang mempunyai kemahiran (konselor/helper) kepada seseorang yang mempunyai masalah (klien/helpee). Sedangkan dalam penggunaan istilah, di mana istilah konseling lebih tepat digunakan dibandingkan dengan penyuluhan atau penasihatan, karena istilah penyuluhan lebih umum dibandingkan dengan konseling, penyuluhan dapat juga digunakan pada beberapa disiplin ilmu seperti halnya penyuluhan bidang pertanian/hama, penyuluhan bidang kesehatan, penyuluhan tentang keluarga berencana (KB), penyuluhan bidang peternakan dan lain sebagainya, sedangkan konseling lebih terfokus kepada bidang psikologi/kejiwaan dan mental. Demikian juga halnya dalam proses atau operasionalnya, konseling bersifat lebih formal, mempunyai proses, terencana, terprogram dan mempunyai tindak lanjut, sedangkan penyuluhan lebih bersifat nonformal dan dapat dilakukan kapan dan di mana saja.13 Menurut Gladding14 “Counseling is conducted with persons who are considered to function within the normal range.” Sedangkan pengertian konseling Islami menurut Musnamar15 adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar individu atau klien tersebut menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk (ciptaan) Allah yang seharusnya hidup sesuai dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Lubis, Pengantar Bimbingan Konseling, h. 9. Gladding, Counseling, h. 6. 15 Musnamar, Dasar-Dasar Konseptual, h. 5. 13 14

137


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Dalam pelaksanaan proses konseling, terdapat sedikit perbedaan antara pandangan Barat dengan pandangan Islam. Proses konseling versi Barat bisa terlaksana jika klien mendatangi biro konsultasi dan meminta konselor memberi jalan keluar terhadap permasalahan yang diderita klien, sedangkan menurut Islam, jika seseorang mempunyai permasalahan atau problem, konselor Islam (seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. bisa melaksankan proses konseling baik klien yang bermasalah mendatangi konselor atau sebaliknya konselor yang mendatangi dan memberi nasihat kepada klien. Pada dasarnya tujuan dari kedua versi ini adalah sama, yaitu sama-sama berupaya memberi solusi dan kesadaran kepada klien agar klien kembali ke jalan yang lebih baik. Sebagai tindak lanjut dari rasa kesadaran itu, dia berjanji kepada dirinya dan kepada Tuhan bahwa perbuatan yang salah dan keliru itu tidak akan diulanginya lagi pada masa yang akan datang, ia juga berusaha melaksanakan ajaran agama lebih baik dari sebelumnya. Cara seperti inilah yang dituntut oleh pembimbing (konselor Islami) daripada kliennya dalam proses konseling. Dari penjelasan ini terlihatlah bahwa inti dari konseling Islami itu adalah memberikan kesadaran kepada klien agar tetap menjaga eksistensinya sebagai makhluk Allah, dan tujuan yang ingin dicapaipun bukan hanya untuk kemaslahatan dan kepentingan duniawi semata, tetapi lebih jauh dari itu adalah untuk kepentingan ukhrawi yang lebih kekal dan abadi. Hal ini sesuai dengan doa yang selalu diucapkan setiap orang yang beriman kepada Allah SWT., seperti yang terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2: 201 yang berbunyi: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Pada sisi lain, jika diperhatikan prosedur dan layanan yang dijalankan konselor kepada kliennya dalam proses konseling (versi Barat), sebenarnya tidak jauh berbeda dengan cara penasihatan yang dilakukan Rasulullah kepada sahabat. Sebagai contoh, dalam layanan konseling seorang pembimbing/konselor haruslah bersungguh-sungguh, ikhlas, sabar, tidak mudah lari dari masalah dan lemah lembut; 16 karena kesungguhan, keseriusan dan kesabaran sangat diperlukan dalam proses konseling. Demikian pula halnya dengan layanan dan nasihat yang dijalankan Rasulullah kepada para sahabat dalam mengajak dan melaksnakan yang ma’rĂťf, Rasulullah menjalankan dengan sungguh-sungguh, sabar, lemah lembut dan penuh bijaksana. Sikap Rasulullah dalam memberi layanan yang kondusif dan lemah lembut itu diabadikan dalam al-Qur’an (Q.S. Ali Imrân/3: 159). Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Barbara F. Okun, Effective Helping, Interviewing and Counseling Tehniques (New York: Northeastern University, 1997), h. 110-112. 16

138


Lahmuddin Lubis: Rasulullah Saw. dan Prinsip-prinsip Konseling Islam

Sifat-sifat mulia dan agung yang dicontohkan Rasulullah dalam memberi layanan dan penasihatan kepada klien melebihi dari sifat dan sikap yang dituntut dari seorang konselor profesional seperti yang dirumuskan oleh Persatuan Bimbingan Jabatan Nasional (National Vocational Guidance Association) yaitu: Interes terhadap orang lain, sabar, peka terhadap berbagai sikap dan reaksi, memiliki emosi yang stabil dan objektif, sungguh-sungguh, respek terhadap orang lain dan dapat dipercaya. 17 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abû Umâmah, diceritakan, seorang pemuda mendatangi Rasul dan bertanya secara lantang di hadapan para sahabat: Wahai Rasulullah, apakah engkau dapat mengizinkan saya untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu para sahabat ribut dan mau memukulinya, Nabi segera melarang dan memanggil, bawalah pemuda itu dekat-dekat kepadaku. Setelah pemuda itu duduk di dekat Nabi, Nabi bertanya kepada pemuda itu: Bagaimana jika ada orang yang akan menzinai ibumu? Pemuda itu menjawab, demi Allah saya tidak akan membiarkannya. Bagaimana terhadap anak perempuanmu? Pemuda itu menjawab, tidak juga ya Rasul, demi Allah saya tidak akan membiarkannya. Nabi melanjutkan, bagaimana jika terhadap saudara perempuanmu? Tidak juga ya Rasul, saya tidak akan membiarkannya. Nabi meneruskan, begitu juga orang tidak akan membiarkan putrinya atau saudara perempuannya atau bibinya dizinai. Nabi kemudian meletakkan tangannya ke dada pemuda itu sambil berdoa: “Ya Allah bersihkanlah hati pemuda ini, ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya.” Dari kisah di atas terlihatlah bagaimana Rasulullah (sebagai seorang konselor Islami) memberikan nasihat, arahan dan bimbingan dengan penuh persuasif, lemah lembut, penuh kesungguhan dan kesabaran menghadapi seorang pemuda (klien) yang meminta pendapat kepada beliau. Lebih jauh dari itu, Allah SWT. memberikan penjelasan bahwa di antara tugas Rasulullah SAW. diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyampaikan kebenaran dan pengajaran kepada manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Yûnus/10: 57, Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuhan bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Berdasarkan ayat dan hadis ini dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an dan Sunnah Rasul merupakan landasan ideal dan konseptual dari bimbingan dan konseling Islami. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul juga dapat dikatakan sebagai landasan utama dalam bimbingan konseling Islami, karena al-Qur’an dan hadis dalam pandangan Islam merupakan landasan naqliyah. Di samping landasan naqliyah, bimbingan konseling Islami juga Dewa Ketut Sukardi, Organisasi Admininstrasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 61. 17

139


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 memerlukan landasan ‘aqliyah, dalam hal ini termasuk filsafat Islam dan landasan ilmiah yang sejalan dengan ajaran Islam. Landasan filosofis Islami penting artinya bagi pengembangan dan kelengkapan bimbingan konseling Islami, karena ia mencakup falsafah tentang dunia manusia, falsafah tentang manusia dan kehidupan, falsafah tentang pernikahan dan keluarga, falsafah tentang pendidikan, falsafah tentang masyarakat, dan falsafah tentang upaya mencari nafkah atau kerja. Di samping itu, disiplin ilmu yang dapat memperlengkap, membantu dan dijadikan landasan gerak operasional bimbingan dan konseling Islami adalah ilmu jiwa (psikologi), sosiologi, ilmu komunikasi, ilmu hukum Islam, dan antropologi sosial. Dengan demikian, layanan yang dijalankan oleh para konselor Barat dalam proses konseling, sebenarnya telah lebih dahulu dikenal oleh Islam, yaitu seperti yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. pada 14 abad yang lalu, walaupun istilah dan caranya tidak persis sama, tujuan dan cara-cara pendekatan yang ditempuh, justru apa yang dilakukan Rasulullah jauh lebih baik. Perbedaannya hanya terlihat dari segi istilah, di mana Barat menggunakan istilah proses konseling, sedangkan dalam Islam lebih dikenal dengan istilah penasihatan atau hisbah. Proses konseling yang dilakukan bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada potensi dasarnya yaitu manusia yang fitri, fitri berarti kembali kepada kesucian dan kebenaran yang meliputi aspek jasmani dan rohani. Dengan kembalinya manusia kepada kondisi fitri ini, manusia akan mendapatkan kembali keceriaan hidup, kegembiraan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. 18 Dengan demikian, tujuan bimbingan dan konseling Islami dapat dirumuskan sebagai usaha memberikan bantuan kepada seseorang atau sekelompok orang yang sedang mengalami kesulitan lahir dan batin dalam menjalankan tugas-tugas hidupnya dengan menggunakan pendekatan agama, yaitu dengan membangkitkan kekuatan getaran batin (iman) di dalam dirinya untuk mendorongnya mengatasi masalah yang dihadapinya. Bimbingan dan konseling Islami merupakan bantuan yang bersifat mental spiritual. Melalui kekuatan iman dan ketakwaan kepada Allah SWT, seseorang itu mampu mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapinya.19

Tujuan Bimbingan dan Konseling Islami Secara umum tujuan bimbingan dan konseling Islami tidak banyak berbeda dengan tujuan bimbingan dan konseling (versi Barat), yaitu sama-sama memberikan bimbingan Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 94. 19 Achmad Mubarok, Konseling Agama: Teori dan Kasus (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1992), h. 19-20. 18

140


Lahmuddin Lubis: Rasulullah Saw. dan Prinsip-prinsip Konseling Islam

dan arahan kepada klien serta mengeluarkan klien dari permasalahan, dan perbedaannya terletak pada tujuan akhir, di mana tujuan akhir yang ingin dicapai melalui bimbingan dan konseling umum (versi Barat) adalah untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi semata-mata, sedangkan tujuan akhir bimbingan dan konseling Islami adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian tujuan bimbingan dan konseling Islami ialah membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mendapatkan keselarasan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Hidup yang selaras dengan ketentuan Allah adalah hidup yang sesuai dengan kodrat yang ditentukan oleh Allah, sesuai dengan Sunnah Allâh dan sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk Allah (baik sebagai khalîfah di muka bumi maupun sebagai ‘abdun di hadapan Allah SWT.). Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya hidup yang sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan oleh Allah SWT. melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Manusia seutuhnya atau manusia yang paripurna adalah manusia yang beriman kepada Allah, memiliki ilmu pengetahuan yang luas, senantiasa beribadah/mengabdi kepada Allah, bersifat ihsan/berbuat baik kepada orang lain dan selalu melaksanakan amal saleh. Mewujudkan diri seutuhnya (insân kâmil) seperti ungkapan tujuan di atas adalah mewujudkan diri sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia, yaitu untuk menjadi manusia yang selaras antara perkembangan diri dengan pelaksanaan fungsi dan kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk berbudaya. Dengan demikian, tujuan bimbingan dan konseling Islami adalah membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan akhir dari program bimbingan dan konseling, khususnya tujuan bimbingan dan konseling Islami adalah agar klien terhindar dari berbagai masalah, apakah masalah tersebut berkaitan dengan gejala penyakit mental (neurose dan psychose), sosial maupun spiritual, atau dengan kata lain agar masingmasing individu memiliki mental yang sehat. Mental yang sehat (qalbun salîm) dapat ditandai dari orang yang senantiasa tawakal, bersyukur, sabar/tabah, tawadu’, rajin beribadah, wara’, ikhlas, amanah dan mau berjihad di jalan Allah (fî sabîlillah), sedangkan wahananya adalah zikir, taubat, muqârabah, cinta ilmu, dan rindu hidayah. Sebaliknya mental yang berpenyakit (qalbun marîdh) dapat ditandai melalui fenomena suka melaksanakan maksiat, berbuat zalim, berburuk sangka, baik kepada Allah maupun kepada manusia, menolak kebenaran, menuruti hawa nafsu dan sebagainya.20 Thohari Musnamar, dalam Seminar Nasional Peran Pembimbing dan Konselor Agama Dalam PJP II. Yogyakarta, 7 Juni 1995. 20

141


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 Orang-orang yang memiliki mental yang sakit seperti uraian di atas, termasuk orang yang bermasalah baik dalam pandangan agama maupun dalam pandangan psikologi, dan jika hal ini dibiarkan, bukan saja dapat menjerumuskan diri pribadi yang bersangkutan, tetapi juga dapat merusak dan mengganggu orang lain.

Fungsi Bimbingan dan Konseling Islami Fungsi bimbingan dan konseling Islami sebenarnya tidak berbeda dengan fungsi bimbingan dan konseling (secara umum), walaupun dari segi istilah dan penekanannya terdapat perbedaan. Fungsi bimbingan dan konseling adalah 1. Preventif atau pencegahan, yaitu mencegah timbulnya masalah pada seseorang. 2. Kuratif atau korektif, yaitu memecahkan atau menanggulangi masalah yang sedang dihadapi seseorang 3. Developmental, yaitu mengembangkan keadaan yang sudah baik itu menjadi lebih baik.21 Menurut Prayitno dan Ermananti22 fungsi bimbingan dan konseling adalah: 1. Pemahaman 2. Pencegahan 3. Pengentasan 4. Pemeliharaan 5. Pengembangan. Jika diperhatikan fungsi Bimbingan dan konseling atau peranan konselor kepada kliennya seperti yang telah diuraikan di atas, maka tugas ini tidak banyak berbeda dengan tugas Rasulullah, para dai atau ustad terhadap umat, yaitu: 1. Menyuruh orang berbuat baik (kuratif/ korektif) 2. Mencegah dari kemungkaran (preventif) 3. Beriman kepada Allah (development) Ketiga tugas ini bukan saja tugas para ustadz/da‘i, tetapi juga tugas semua umat Islam untuk menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. dalam Q.S. Âli Imrân/3: 110,

             

           

Musnamar, Dasar-Dasar Konseptual, h. 4. Prayitno dan Ermananti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 197. 21 22

142


Lahmuddin Lubis: Rasulullah Saw. dan Prinsip-prinsip Konseling Islam

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Berdasarkan ayat ini pulahlah terdapat kesamaan peranan antara konselor dan para ustad, karena kedua petugas ini sama-sama untuk membebaskan umat dari kemaksiatan dan problem, mengajak berbuat yang baik dan menunjukkan komitmen mematuhi aturan dan norma agama (beriman kepada Allah).

Kaitan dengan Ilmu Dakwah Bimbingan dan konseling kelihatannya lebih banyak digunakan oleh para pakar konseling dalam dunia pendidikan, yaitu sebagai ilmu bantu yang diperlukan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar yang disebabkan gangguan jiwa. Padahal disiplin ilmu bimbingan konseling ini sangat relevan dengan disiplin ilmu dakwah. Bimbingan dan konseling Islami merupakan salah satu ilmu bantu dakwah. Disiplin ilmu ini bisa berdiri di deretan ilmu dakwah, yakni ilmu yang membicarakan tentang bagaimana berdakwah di kalangan mad’û yang bermasalah, yaitu orang yang mengidap gangguan kejiwaan. Namun bentuk dakwah dalam kasus ini lebih tepat dakwah pribadi atau perorangan, disebabkan masalah yang dihadapi mad’û berbedabeda, maka bentuk layanan pun lebih sesuai dengan konseling individual. Ilmu dakwah berbicara tentang komponen-komponen dakwah (dâ‘i, mad‘û, pesan dan metodologi), psikologi dakwah bertugas menyingkap suasana batin dari perilaku manusia yang terlibat dalam proses dakwah (dâ‘i, mad‘û) agar dai dapat menguraikan, meramalkan dan mengendalikan perilaku mad‘û secara umum, maka bimbingan dan konseling Islami diperlukan untuk berdakwah kepada orang-orang yang sedang mengalami problem kejiwaan, yakni membantu klien agar dapat kembali menemukan dirinya dan dengan potensi getaran imannya, diharapkan klien dapat mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi tanpa banyak bergantung kepada orang lain. Di samping itu, cara-cara yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW., para sahabat dan para dâ‘i dalam menyelesaikan permasalahan umat, tidak banyak berbeda dengan cara yang ditempuh oleh para konselor (konselor Barat), tetapi karena mereka tidak berangkat dari konsep bimbingan sebagai disiplin ilmu, maka tehnik dan prosedur bimbingan dan konseling Islami yang dilakukan adalah secara alamiah dan pada umumnya tidak pernah dicatat atau diagendakan. Jika saja para da‘i menjalankan konseling menurut teknik dan prosedur bimbingan dan konseling, maka boleh jadi peranan para da‘i lebih efektif dibanding dengan apa yang dilakukan oleh konselor profesional saat ini. Dalam rangka pengembangan layanan bimbingan dan konseling Islami di masa depan, sebaiknya para mubalig/dâ‘i hendaklah dibantu dengan disiplin ilmu bimbingan dan konseling, sehingga dengan modal itu para da‘i dimungkinkan dapat bekerja secara profesional dan tidak menutup kemungkinan para dâ‘i dapat memperkaya khazanah 143


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008 keilmuan dan melahirkan teori-teori baru dalam bidang bimbingan dan konseling. Para da‘i dapat dilibatkan dalam program layanan bimbingan dan konseling secara profesional dan mampu merespon kebutuhan masyarakat yang semakin besar. 23 Lembaga-lembaga dakwah dan pesantren-pesantren sebenarnya bisa membuka klinik bimbingan dan konseling, jika saja para ustad/mu‘allim yang ada pada pesantrenpesantren tersebut mempelajari tehnik dan prosedur bimbingan konseling. Walau disadari bahwa terdapat sedikit perbedaan antara cara yang ditempuh para da`i dan konselor dalam menghadapi audiens atau khalayak yang bermasalah, para dai umumnya menyampaikan apa yang diinginkannya sesuai dengan bahan yang telah dipersiapkannya tanpa memperhatikan masalah apa yang sedang dihadapi mad‘unya, sedangkan konselor berpijak dari masalah yang dihadapi oleh masyarakat atau seseorang, dengan kata lain, konselor mempelajari dan mengidentifikasi lebih dulu jenis penyakit yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat, setelah itu konselor memberi obat sesuai dengan jenis penyakit yang dihidapi oleh seseorang atau. Masyarakat tersebut, dan jenis layanan yang paling sesuai dalam kasus ini adalah konseling individual. Dengan demikian terlihatlah kaitan tugas seorang mubalig/da’i dengan tugas seorang konselor yang profesional, yaitu sama-sama berusaha mencegah agar klien tidak punya masalah (preventif), dan andainya klien telah mempunyai masalah, maka kedua petugas tersebut berupaya untuk menolong dan membebaskan klien dari masalah yang mereka hadapi.

Penutup Rasulullah SAW. adalah konselor pertama dan utama dalam bimbingan dan konseling, karena bentuk layanan, pendekatan dan proses konseling serta sifat dan sikap yang dituntut dari seorang konselor profesional (versi Barat) tidak jauh berbeda dengan apa yang dimiliki dan dilakukan oleh Rasulullah pada 14 abad yang lalu, bahkan cara dan bentuk layanan yang dijalankan Rasulullah SAW. lebih baik dan sempurna lagi. Perbedaan-perbedaan kecil terlihat dari pemakaian istilah dan tujuan akhir. Barat menggunakan istilah proses konseling, sedang Islam lebih dikenal dengan istilah penasihatan Tujuan akhir bimbingan konseling Barat untuk mendapatkan kebahagiaan dunia semata-mata, sedangkan tujuan akhir versi Islam untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat, karena segala amal dan aktivitas yang dilakukan oleh manusia ada kaitannya dengan pahala dan dosa.

Mubarok, Konseling Agama, h. 18-20.

23

144


Lahmuddin Lubis: Rasulullah Saw. dan Prinsip-prinsip Konseling Islam

Pustaka Acuan Abidin, Zainal. “Konsep dan Pendekatan Bimbingan dan Konseling Agama Islam dalam Mengatasi Permasalahan Sosial Masyarakat Industri dan Informasi”, Makalah: tidak diterbitkan. Arifin, M. Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Carson, D.A. & M.N. Altai, “The Career Development Quarterly: 1000 Years Before Parsons: Vocational Psychology in Classical Islam”, dalam The National Career Development Association, vol. 43, no. 1, Desember 1994. Fakhruddin, Sharifah. Rasulullah SAW. Model Utama Kepimpinan Rumah Tangga. Johor Bahru: Cetak Ratu SDN, BHD, 1996. Gladding, Samuel T. Counseling: A Comprehensive Profession. New York: Englewood Cliffs, Prentice Hall, 1996. Jalaluddin dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Langgulung, Hasan. “Perspektif Baru Dalam Perkembangan Psikologi Modern,” dalam Mohamed Nazar Mahmood (ed.), Pengantar Psikologi: Suatu Pengenalan Asas Kepada Jiwa dan Tingkah Laku Manusia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986. Lubis, Lahmuddin. Pengantar Bimbingan Konseling. Medan: IAIN Press, 2000. Mubarok, Achmad. Konseling Agama: Teori dan Kasus. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002. Musnamar, Thohari. Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami. Yogyakarta: UII-Press, 1992. Musnamar, Thohari. Hasil Seminar Nasional Peran Pembimbing dan Konselor Agama dalam PJP II. Yogyakarta, 7 Juni 1995. M. Surya dan I. Djumhur. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: Ilmu, 1975. Okun, Barbara F. Effective Helping, Interviewing and Counseling Tehniques. New York, Northeastern University, 1997. Prayitno. Pengertian Dasar dan Asas-Asas Bimbingan dan Penyuluhan. Salatiga: Gema Bimbingan, 1983. Prayitno dan Ermananti. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Sukardi, Dewa Ketut. Seri Bimbingan Organisasi Administrasi Bimbingan Konseling di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional, 1983. Winkel, W.S. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia, 1997.

145


MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008

146


MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016

MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah 1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain; 2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh; 3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; 4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman; 5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah: a. Judul; b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata; d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan; f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan); g. Penutup; h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 6. Sistematika resume hasil penelitian adalah: a. Judul; b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; d. Kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian f. Metode; g. Hasil dan pembahasan; h. Kesimpulan dan saran; i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan catatan kaki serta pustaka acuan; 8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman;


Petunjuk Pengiriman Naskah

9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis, atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com, miqot@uinsu.ac.id. 10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut: ‫= ا‬a

‫ = خ‬kh

‫ = ش‬sy

‫ = غ‬gh

‫=ن‬n

‫=ب‬b

‫=د‬d

‫ = ص‬sh

‫=ف‬f

‫=و‬w

‫=ت‬t

‫ = ذ‬dz

‫ = ض‬dh

‫=ق‬q

‫=ه‬h

‫ = ث‬ts

‫=ر‬r

‫ = ط‬th

‫=ك‬k

‫’=ء‬

‫=ج‬j

‫=ز‬z

‫ = ظ‬zh

‫=ل‬l

‫ = ي‬ya

‫=ح‬h

‫=س‬s

‫`=ع‬

‫=م‬m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut: â = a panjang, seperti, al-islâmiyah î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah û = u panjang, seperti al-dustûr Kata-kata yang diawali dengan alif lam (‫ )ال‬baik alif lam qamariyah maupun alif lam syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah. 11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah. 12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî, Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl. 13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan: a. Catatan kaki (foot note) Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548. 1

2

Ibid.

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 3

4

Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.

6

Ibid, h. 224.

b. Pustaka Acuan


MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016 Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, Juz IV. Kairo: t.p., t.t. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001. 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis; 15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah; 16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut; 17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.