Siyasah Syar'iyah

Page 1

Kekuasaan Yudikatif Dalam Pemikiran Politik Islam Oleh : ALIMUDDIN, S.HI1 Pendahuluan Berbicara

mengenai

lembaga

negara

berarti

berbicara

mengenai

alat

kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja, kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau supreme court dan Mahkamah Konstitusi. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya. Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur politik (Socio Political Sphere) selaku pemilik kedaulatan (Political Sovereignty) dengan supra struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal Sovereignty), terdapat hubungan yang saling menentukan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen struktur ketatanegaraan tersebut ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur politik telah ditentukan satu sistem, bagaimana kedaulatan rakyat sebagai dasar kekuasaan tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh lembagalembaga negara2. Pemikiran tokoh-tokoh dalam politik Islam dapat dikategorikan menjadi dua periode yakni periode pra modern dan modern. Kedua masa itu pada hakikatnya para pemikir politik Islam bergulat pada upaya untuk mencari basis intelektual dari hubungan politik dan Islam. Pada masa pra modern pemikiran politik Islam di pengaruhi oleh pemikiran yunani, melalui kajian filsafat. Sedangakan pada masa modern pengaruh 1

. Penulis adalah Calon Hakim Angkatan V pada Pengadilan Agama Baturaja wilayah hukum PTA Palembang. 2 . Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal.34.

1


politik barat terhadap politik Islam sudah masuk melalui imperialisme. Upaya-upaya dalam pencarian basis intelektual tersebut bertujuan untuk mendapatkan aspek-aspek yang baru dari relasi antara Islam dan politik diantaranya. Pertama, upaya untuk mencari sistem (the nature of autority). Kedua, upaya untuk mencari format pemerintahan. Ketiga, mencari rekonsiliasi atau titik temu antara realitas Islam dan realitas politik. Islam dan politik, demikian dua kata ini tidak habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khazanah intelektual muslim sebagai ide Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah.(Esposito, 1990 : xxi) banyak dari para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), modern dan neo modern, (Azhar, 1996 : 75-142) yang mencoba memberikan sebuah penjelasan hubungan antara Islam dan politik, dengan beragam cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda. Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan politik (baca : negara). Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna (kafah) dan lengkap (kamilah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama dari aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan Abul Aâ€&#x;la al-Maududi. Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara.

2


Pemisahan agama dan negara, menurut Swidler misalnya hanya representasi dari pemikiran Kristen. Sementara dalam Islam berlaku penyatuan agama dan negara (Swidler, 1996 : 371). Adapun di kalangan Yahudi lebih cenderung ambigu, meskipun pandangan Swidler ini dapat diperdebatkan, sebab seperti dikatakan Davis, Yahudi lebih menerapkan panyatuan agama dan negara atau politik, sebagaimana mereka menggunakan agama untuk menjustifikasi klaim atas tanah Tepi Barat jalur Gaza sebagai hadiah Tuhan. “ hak (atas tanah) ini diberikan kepada kami oleh Tuhan, ayah Abraham, Isaac dan Jacob�, kata Mencachem Begin (Davis, 1989 : 483-495). Sehingga Smith membagi pemikiran agama dan politik tersebut secara dikotomis ke dalam tipologi religio-political power organic di satu pihak dan sekuler di lain pihak. Kelompok perspektif organik, mengklaim perlunya penyatuan agama dan kekuasaa karena jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan. Sementara itu kelompok perspektif sekuler, cenderung mengklaim perlunya pemisahan antara agama dan kekuasaan, antara lain untuk tujuan menjaga ke “paripurnaan� agama (Smith, 1978 : 85). Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap (al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah). Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah seorang tokoh yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah Mohammad Husein Haekal, Fazlur Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish Madjid. Konsekuensi dari aliran ketiga itu, melahirkan pemahaman bahwa istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang ada adalah khilafah, yaitu suatu misi kaum Muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt, maupun Rasul-Nya.

3


Adapun cara pelaksanaanya, al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multiinterpretatif. Pada sisi lain, hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam yang multiinterpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda – beberapa bahkan saling bertentangan – mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan politik (Watt, 1960). Pemikiran politik Islam secara historis terpetakan dalam tiga periode dari awal terbentuknya pemikiran itu sampai sekarang, yaitu periode klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pemikiran politik Islam periode klasik dan pertengahan, melahirkan tokohtokoh intelektual semacam Ibn Arabi, al-Farabi, al-Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu khaldun. Pemikiran politik Islam kontemporer melibatkan para tokoh intelektual Muslim diantaranya ; al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Sayyid Quthb, Ali Abd Raziq, al-Maududi, Muhammad Husein Haikal, dan di Indonesia dikenal antara lain Muhammad Natsir, Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid. Sebagaimana pemikiran politik Islam klasik, pemikiran ini dapat digambarkan secara global

sebagai

sebuah

pemikiran

politik

yang

mengalami

pergeseran,

dan

berkembanglah pluralisme pemikiran tentang Islam dan tatanegara. Kekuasaan Yudikatif Menurut Pemikir Politik Islam Friedrich Julius Stahl dalam bukunya yang berjudul Philosophies de Rechts (1787), menyatakan bahwa konsep negara hukum memiliki empat unsur yaitu, hak-hak

4


asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, dan peradilan tata usaha negara3. Dengan pandangan yang hampir sama, ahli hukum Inggris A.V. Dicey mengemukakan bahwa unsur rule of law ada tiga yaitu, supremasi hukum, persamaan dalam hukum, dan konstitusi yang berdasarkan pada hak-hak asasi manusia. Pandangannya tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul Introduction to the Study of the Law of The Constitution (1885). Pada abad ke- 20, Paul Scholten dari Belanda menyatakan bahwa unsur negara hukum yang terpenting hanya dua, yaitu hak-hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Pendapatnya tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Geschiriften (1935)4. Ajaran Trias Politica yang dipelopori oleh Montesquieu bertujuan agar masingmasing kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang. Kekuasaan di sini diawasi oleh kekuasaan lainnya, “pour qu’on ne puisse abuser de pouvoir, par la disposition de choses, le pouvoir arrete de pouvoir”, artinya: agar kekuasaan itu tidak digunakan secara sewenang-wenang, maka menurut pembagiannya, kekuasaan yang satu membendung kekuasaan yang lain.5 Oleh karena itu, dibutuhkan adanya sebuah cabang kekuasaan yang berfungsi sebagai pengadilan atas penyelewengan terhadap aturan-aturan. Cabang kekuasaan yang dimaksud adalah yudikatif atau biasa dikenal sebagai pemegang kekuasaan kehakiman. Dalam pemikiran politik Islam, kekuasaan yudikatif atau biasa dikenal sebagai pemegang kekuasaan kehakiman telah ada sejak masa Rasulullah, para sahabat, dan pemikir politik Islam abad klasik, pertengahan hingga kontemporer. Sebut saja pada zaman klasik, pertengahan dan kontemporer, kekuasaan yudikatif bukan hanya sebatas wacana ketatanegaraan Islam semata, melainkan masuk dalam ranah politik praktis. 3

. Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: PSHTN UI, 2005),

hal. 55. . Ibid., hal.58 5 . S. Tasrif, “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman” dalam Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hal. 67. 4

5


Melalui tulisan ini penulis akan memaparkan sekelumit pemikiran para pemikir politik Islam zaman klasik, pertengahan dan kontemporer, sebagai bahan rujukan para penggiat studi ketatanegaraan Islam dan menambah khazanah ilmu pengetahuan bidang hukum tata negara Islam atau pemikiran politik Islam. Kendatipun tidak semua pemikiran para pemikir politik Islam diuraikan dalam tulisan ini, paling tidak mewakili pemikiran mereka tentang kekuasaan yudikatif dari zaman klasik, pertengahan dan kontemporer. Pada zaman klasik dan pertengahan sarjana Islam pertama yang menuangkan gagasan atau teori politiknya dalam suatu karya tulias adalah Syihab al-Din Ahmad Ibnu Abi Rabiâ€&#x; yang hidup di Baghdad semasa pemerintahan Muâ€&#x;tashim, khalifah Abbasyiah kedelapan putra Harun al-Rasyid dan yang menggantikan abangnya Makmun. Setelah Ibnu Abi Rabiâ€&#x; kemudian menyusul pemikir-pemikir seperti Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan Abbasyiah di Baghdad dan Ibnu Khaldun yang hidup pada abad XIV Masehi di Mesir. Mereka itu kiranya dapat kita anggap sebagai eksponen-eksponen yang mewakili pemikiran politik di dunia Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Dari beberapa pemikir zaman klasik dan pertengahan tersebut, penulis hanya memaparkan pemikiran Ibnu Taimiyah dalam tulisan ini. Alasannya, pemikiran Ibnu Taimiyah tentang kekuasaan yudikatif sangat jelas dan terperinci dibandingkan dengan pemikir lain yang lebih menyoroti persoalan negara, pola pemerintahan dan kepemimpinan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah tentang kekuasaan yudikatif, terjadi pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudikatif (kehakiman). Dengan kata lain, pelimpahan kekuasaan dan kewenangan oleh kepala negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif harus diberikan kepada orang-orang yang paling memenuhi syarat kecakapan dan kemampuan dari calon-calon yang ada. Dalam mengangkat seorang pejabat negara, baik pelaku kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan yudikatif Ibnu Taimiyah menyarankan dua faktor, yaitu kekuatan dan integritas. 6


Kekuatan harus diartikan tidak selalu sama bagi jabatan-jabatan yang berlainan, untuk penglima angkatan bersenjata misalnya, kekuatan berupa keberanian dan keteguhan pendirian serta kemahiran dalam strategi, siasat dan taktik perang. Sedangkan bagi jabatan hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif (kehakiman), kekuatan berupa pengetahuan yang memadai dalam bidang hukum dan kemampuan berlaku adil dalam memutus perkara dan kemudian melaksanakan keputusan yang diambilnya. Sedangkan yang diartikan dengan integritas menurut Ibnu Taimiyah adalah ketakwaan kepada Allah yang utuh dan kesetiaan kepada ajaran serta hukum Islam. Terhadap pelaksanaan penegakan hukum oleh lembaga yudikatif, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pelaksanaan hukum yang dimaksud adalah hukum pidana, yang terdiri dari dua macam. Yang pertama hukum pidana yang merupakan hak Allah dan yang kedua hukum pidana yang merupakan hak manusia. Hukum pidana yang merupakan hak Allah adalah hukuman bagi penyamun, pencuri dan pelaku zina. Para pelaku kekuasaan yudikatif (kehakiman) harus menegakkan dan melaksanakan hukuman hak Allah itu, meskipun tidak ada pengaduan dari siapapun, oleh karena hukuman tersebut telah jelas digariskan dalam al-Quran. Menurut Ibnu Taimiyah tidak dibenarkan menerima dari pelaku zina, pencuri, peminum-minuman keras, penyamun dan sebagainya uang tebusan agar hukuman atas mereka tidak dilaksanakan. Sedangkan hukum pidana yang merupakan hak manusia seperti pembunuhan dan penganiayaan, meskipun agama telah menentukan cara penyelesaiannya kalau pihak yang dirugikan menuntut, tetapi Islam menghimbau kepada keluarga korban supaya bersedia memaafkan.6 Selain hak manusia akan qisas dan pembalasan terhadap pembunuhan dan penganiayaan, Ibnu Taimiyah juga menyinggung hak-hak manusia yang lain seperti hak suami dan istri dalam hubungan keluarga dan hak masing-masing anggota masyarakat, baik dalam hubungan usaha maupun pergaulan sosial. Menurut penulis terdapat persamaan antara pendapat Ibnu Taimiyah dengan kenyataan yang ada di Indonesia saat ini, kendatipun Indonesia bukan negara Islam, 6

. QS. al-Maidah (hidangan) ayat 45.

7


tetapi nilai-nilai Islam sudah berjalan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, sebagaimana syarat kekuatan dan integritas dalam menentukan pelaku kekuasaan eksekutif dan yudikatif di Indonesia sudah menerapkannya, apalagi dalam setiapkali rekrutmen calon hakim, baik calon hakim tingkat pertama, calon hakim Tipikor, maupun calon hakim agung, kekuataan dan integritas menjadi syarat pokok. Pendapat Ibnu Taimiyah tentang penerapan hukum pidana juga sejalan dengan penerapan di Indonesia, walaupun pelaksanaan hukum pidana Islam hanya berlaku di Provinsi Aceh. Akan tetapi, larangan menerima suap dan konsekuensi yuridisnya sudah berjalan bagi aparat peradilan. Namun, penulis sedikit mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah tentang hak-hak suami istri dalam lingkungan hukum keluarga, Ibnu Taimiyah belum jelas menegaskan konsekuensi yuridisnya terhadap pelanggaran dari hak-hak suami istri tersebut. Apakah si pelaku mendapatkan hukuman pidana atau cukup dengan mengajukan gugatan perdata, tampaknya Ibnu Taimiyah hanya memaparkan nilai-nilai Islam saja untuk melengkapi kajian literaturnya, belum sampai kepada aplikasi praktis. Paling tidak, sebagai studi perbandingan dengan para pemikir lain, pendapat Ibnu Taimiyah tentang kekuasaan yudikatif bisa menjadi acuan. Pemikir politik Islam pada zaman kontemporer yang banyak menyumbangkan pemikiran dalam kajian kekuasaan yudikatif adalah Abul Aâ€&#x;la al-Maududi, selanjutnya disebut Maududi. Pemikir besar Islam kontemporer ini dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 di Aurangabad India Tengah dan wafat pada tanggal 23 September 1979 di New York Amerika Serikat. Beliau adalah seorang pembicara ulung dan penulis yang produktif, terutama mengenai konsep ketatanegaraan. Salah satu sumbangsih pemikiran Maududi tentang konsep kekuasaan negara adalah kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dengan ketentuan bahwa badan yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar lembaga eksekutif yang berarti mandiri, objektif dan profesional, oleh karena hakim tugasnya adalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hamba-Nya, bukan mewakili atau atasnama kepala negara (eksekutif).

8


Dalam sidang pengadilan menurut Maududi, kedudukan kepala negara adalah sama tinggi dengan orang-orang lain dan tidak dapat dibenarkan pemberian dispensasi kepada seseorang untuk tidak hadir pada sidang pengadilan hanya karena kedudukannya dalam pemerintahan atau dalam masyarakat. Dari sini terlihat jelas bahwa prinsip equality among the law benar-benar diterapkan oleh Maududi dimana antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif keduanya sama, termasuk apabila aparat eksekutif melanggar hukum, maka proses penerapan hukumnya sama di mata hukum dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif bebas mandiri tanpa intervensi pihak manapun sehingga penegakan hukum dapat berjalan tanpa tebang pilih dan pandang bulu. Selanjutnya Maududi juga secara tegas memaparkan bahwa dalam Islam, badan yudikatif harus bebas sama sekali dari badan eksekutif. Tugas seorang hakim dalam pandangan Maududi ialah melaksanakan dan memaksakan syariat Allah di kalangan abdi-Nya. Dia bukanlah menduduki jabatan pengadilan itu dalam kapasitas wakil khalifah atau amir (pemimpin), melainkan sebagai wakil Allah Yang Mahakuasa.7 Kedudukan seorang hakim di sini sangat jelas bahwa sosok seorang hakim menurut Maududi bukan hanya sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif yang bebas, mandiri dan profesional, melainkan lebih dari itu hakim mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan hukum Allah terhadap khalifah. Hukum yang dimaksud bukan hanya hukum yang terkodifikasi dalam bentuk undang-undang, tetapi lebih dari itu adalah hukum yang bersumber dari al-Quran dan Hadits. Dari pandangan Maududi tersebut, penulis melihat terdapat kejanggalan bagi seorang Abul Aâ€&#x;la al-Maududi dalam memandang konsep kekuasaan yudikatif. Maududi yang kita kenal sangat kental dengan pemikiran Islam, karena latar belakang beliau yang dibesarkan dalam lingkungan Islam yang taat, dan pembinaan yang beliau terima sepanjang hidup sehingga terbentuklah karakter seorang Abul Aâ€&#x;la al-Maududi yang anti Barat. Maududi sangat gigih memperjuangkan syariat Islam sehingga pendapat beliau tentang kekuasaan yudikatif benar-benar jelas dan terperinci. Hukum yang 7

. Abul Aâ€&#x;la al-Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore 1939), hal.60-61.

9


ditegakkan adalah hukum Islam yang bersumber dari nash. Hakim adalah sebagai wakil Allah yang menjalankan hukum nash. Akan tetapi, penulis mencermati bahwa konsep Maududi tentang kekuasaan negara yang dilakukan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan konsep Trias Politica yang pada dasarnya berasal dari Barat, yang secara keras ditolak oleh Maududi. Sebenarnya, baik dalam ajaran maupun sejarah Islam tidaklah terdapat gagasan Trias Politica, Maududi menjanjikan sistem politik Islam yang paripurna tanpa harus melihat kepada sistem Barat. Tetapi, ketika sampai kepada persoalan pembagian kekuasaan Negara, beliau masih menganut sistem Barat dengan konsep Trias Politica dan belum memberikan konsep alternatif yang benar-benar bersumber dari nash. Selain Ibnu Taimiyah yang mewakili pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan, dan Abul Aâ€&#x;la al-Maududi yang muncul sebagai pemikir Islam kontemporer, sekarang penulis akan memaparkan pemikir Islam kontemporer sebagai pelengkap dari para pemikir sebelumnya. Adalah Abd al-Wahhab Khallaf seorang pakar hukum Islam pada fakultas hukum Universitas Kairo di Mesir, sejauh ini kita mengenal Prof. Abd al-Wahhab Khallaf sebagai ahli dalam bidang hukum Islam terutama kajian ushul al-Fiqh (dasar-dasar hukum Islam) bukan yang lain. Akan tetapi, disanalah uniknya, ternyata Prof. Abd al-Wahhab Khallaf juga banyak mengamati persoalan hukum tata negara Islam dan aliran politik Islam. Hal itu dapat dilihat dalam bukunya berjudul

Al-Siyasah

al-Syar’iyyah,

beliau

membahas

dasar-dasar

politik

dan

pemerintahan dalam perspektif Islam. Pembahasan beliau dalam buku tersebut banyak berkaitan dengan upaya pelaksanaan prinsip-prinsip syariat Islam dan kemaslahatan umat. Artinya, untuk melaksanakan dua aspek ini dari segi siyasah syar’iyah memerlukan adanya lembaga sebagai instrument pelaksanaannya, yaitu pemerintahan. Menurut Khallaf, pembagian kekuasaan adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari

pemerintahan

konstitusional

yang

bersendikan

musyawarah.

Kewenangan kepala negara berasal dari rakyat dan adanya pertanggung jawaban kepala negara. Lebih lanjut Khallaf menegaskan bahwa kekuasaan negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan membuat undang-undang (al-sulthat at-tasyriâ€&#x;iyat), 10


kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman (al-sulthat al-qadhaiyat), dan kekuasaan melaksanakan undang-undang (al-sulthat al-tanfiziyat) masing-masing istilah dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan legislatif, eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Adapun sumber hukum bagi pemerintahan Islam terdiri dari hukum dasar Ilahi yang disyariatkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan yang ditetapkan oleh lisan Rasul-Nya. Sumber ketiga menurut Khallaf adalah hukum produk ijtihad penguasa (wulat al-amr) yang tidak bertentangan dengan hukum dasar untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Dari ketiga pemikiran para ahli tersebut di atas, konsep kekuasaan yudikatif dalam pemikiran politik Islam lebih mengena pada pemikiran Abd al-Wahhab Khallaf. Alasannya, Ibnu Taimiyah dan Abul Aâ€&#x;la al-Maududi sama-sama berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga aspek, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan kekuasaan yudikatif, hal itu sejalan dengan pendapat Abd al-Wahhab Khallaf. Tetapi, dalam penerapan hukum yang dilakukan seorang hakim sebagai pelaksana badan yudikatif, Ibnu Taimiyah tidak secara spesifik menjelaskan, hanya sebatas penerapan hukum pidana dan hukum muamalah saja, sementara Abul Aâ€&#x;la al-Maududi lebih berani menyatakan bahwa penerapan hukum tidak boleh pandang bulu dan tebang pilih, prinsip persamaan di muka hukum harus ditegakkan tanpa terkecuali. Hukum yang dimaksudkan beliau adalah hukum Allah yang bersumber dari nash. Akan tetapi argumentasi Maududi dimentahkan dengan kiprah beliau yang anti Barat, dan fanatik pada syariat Islam, sedangkan pendapat beliau tentang Trias Politica sangat bertentangan dengan tindak tanduk beliau. Mengamati dua pendapat pemikir politik Islam tersebut, maka pemikiran Abd alWahhab Khallaf lebih mudah diterima dan dipahami, kendatipun Khallaf tidak terperinci memaparkan konsep pembagian kekuasaan dalam negara, tetapi istilah yang ditawarkan beliau sejalan dengan konsep Trias Politica. Khallaf tidak serta merta menjadikan al-Quran dam hadits sebagai referensi utama pelaku kekuasaan yudikatif (kehakiman) yaitu hakim. Namun demikian, Khallaf juga memberikan tawaran bijaksana

11


bahwa ijtihad masih terbuka lebar dan menjadi sumber hukum bagi penguasa, sepanjang tidak bertentangan dengan nash dan kemaslahatan rakyat. Apa yang telah disampaikan Khallaf tersebut, sejalan dengan apa yang terjadi di Indonesia, peradilan agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan yudikatif (kehakiman) di Indonesia, menerapkan konsep ijtihad dalam menegakkan hukum dan peraturan. Indonesia meskipun bukan negara Islam, lebih dahulu menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal itu terbukti dari banyaknya produk peraturan perundang-undangan yang disahkan Badan Legislatif DPR yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Sebut saja, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta perubahan pertama dan kedua sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalam UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman perubahan atas UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan, UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Syariâ€&#x;ah (Kini UU No. 10/1998), UU Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS), UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam, UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam, UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturanperaturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan, PP Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP Nomor 72 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Inpres Nomor 4 tahun 2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD.

Penutup Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembagian kekuasaan atau kita kenal dengan Trias Politica terdapat di berbagai macam negara yang memakainya,

12


termasuk Indonesia. Termasuk dalam konsep ketatanegaraan Islam sendiri para pemikir politik Islam masih sependapat menggunakan konsep Trias Politica dalam pembagian kekuasaan negara. Setiap negara memiliki gaya dan sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Di Indonesia memakai Trias Politica tidak murni, karena masih ada intervensi dari lembaga-lembaga eksekutif dengan lembaga yudikatif maupun legislatif. Lembaga eksekutif di Indonesia adalah presiden dan wakil presiden, sedangkan legislatif adalah DPR, serta lembaga yudikatif adalah MA dan MK. Menurut hukum tata negara, lembaga-lembaga atau pembagian kekuasaan tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Misalnya presiden diberi kewenangan untuk membuat UU bersama badan legislatif, dari sana dapat kita simpulkan bahwa ada hubungan antara lembagalembaga tinggi negara. DAFTAR PUSTAKA

A.

Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-rambu Syariah, Prenada Media, Jakarta, 2003.

Al-Maududi, Abul A‟la, Political Theory of Islam : Inter-Collegiate Muslim Brotherhood, Lahore, 1939. Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Beirut : Dar al-Fikr, 1975. Al-Mawardi, Abu Hasan, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mesir : al-Halabi, 1973. Al-Raziq, Ali , al-Islam wa Ushul al-Hukmi, Beirut : Maktabah al-hayah : 1966. Arkoun, Mohemmed, Rethinking : Common Questions, Uncommon Answers, Yudian W. Asmin (Penterjemah), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1996. Azed, Abdul Bari dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PSHTN UI, 2005. Ibn Khaldun, As-Siyasah asy-Syari‘ah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah, Dar al-Kutub al-„Arabiyat, Bairut, 1966.

13


Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988. Madjid, Nurcholish, Agama dan Negara Dalam : Sebuah Telaah atas Fiqh Siyasi Sunni, Makalah Seri KKA Nomor 55/Tahun V/ 1991. Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Rahman, Fazlur, Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London : University of Chicago Press, 1982. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. V, UI-Press, Jakarta, 1993. Smith, Donald Eugene, Religion and Political Development, Boston : Little, Brown and Co , 1978. Tasrif, S. “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman� dalam Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.

14


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.